Pencarian

Senja Jatuh Di Pajajaran 6

Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 6


kata Ki Rangga Guna. "Dan aku akan menuju
Sagaraherang," lanjutnya lagi.
Ki Rangga Guna mengatakan, ke Pakuan amat penting,
sebab harus meneliti pusat perkembangan pemerintahan ini.
"Aku akan sulit menembus Pakuan, sebab semua perwira
kerajaan sudah diperintahkan menangkapku hidup atau pun
mati. Hanya engkau seorang murid Ki Guru Darma yang
belum mereka kenal. Tapi hati-hati, di sana kau jangan
sekali-kali membuka diri. Jangan sampai dirimu diketahui
orang lain punya hubungan dengan Ki Guru Darma," kata
Ki Rangga Guna. Ginggi mengangguk-angguk.
"Aku sendiri akan menyelidiki kegiatan Ki Banaspati.
Aku juga harus tahu, apa yang sebenarnya dia lakukan.
Apakah benar kegiatannya untuk kepentingan rakyat
ataukah hanya sekadar memenuhi ambisi pribadinya belaka
?" kata Ki Rangga Guna.
"Bagaimana cara mengetahuinya, Paman?" tanya
Ginggi. Dan Ki Rangga Guna merenung dalam.
"Sulit menebak isi hati orang, sesulit mencari ujung
langit," kata Ki Rangga Guna tersenyum dengan bibir
terkatup rapat. "Yang berjuang ingin merebut kekuasaan dia
mengusung alasan demi rakyat. Begitu pun yang tengah
berkuasa, dia memimpin negara demi rakyat. Sang Prabu
Sakti bersikap keras terhadap rakyat tetap dengan alasan
demi rakyat jua. Dia inginkan rakyat yang taat kepada raja.
Mentaati keinginan raja berarti mentaati keinginan negara.
Bila semua rakyat setia terhadap negara, maka negara itu
akan menjadi besar dan kuat. Kebesaran sebuah negara dan
kekuatan sebuah negara akhirnya akan sanggup melindungi
kepentingan rakyat. Jadi semuanya akan terpulang kepada
rakyat jua?" kata Ki Rangga Guna.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bila begitu pentingkah ada pemberontakan?" tanya
Ginggi. "Aku tidak bicara soal pemberontakan, anak muda.
Tidak juga Ki Guru Darma. Ki Darma pergi dari istana
karena dia tak setuju dengan kebijakan Raja. Ki Darma
menganggap Raja keliru dalam memimpin. Tapi tidak
berarti Ki Darma menginginkan ada pergantian raja.Hyang
sudah mengatur segalanya, termasuk memilih seorang raja
untuk memimpin negara. KalauHyang sudah memilih
begitu, ada bahaya apa pun mengancam raja tapi karena
sudah dipilihnya, raja akan tetap selamat. HanyaHyang
yang tahu, saat kapan raja akan turun tahta dan bagaimana
caranya raja akan tergantikan dengan yang baru," kata Ki
Rangga Guna lagi. "Oleh sebab itu Ki Guru Darma tak
bicara tentang pemberontakan. Dia tak pernah melawan
raja dan negara. Setiap titah raja dia laksanakan dengan
sebaiknya, negara pun selalu dia bela dengan taruhan
nyawa. Tapi Ki Guru Darma tahu, raja sedang sakit. Dan
orang sakit bukan untuk dienyahkan tapi harus diobati.
Itulah sebabnya Ki Guru Darma selalu melontarkan kritik.
Yang namanya obat memang tidak enak, tapi menyehatkan. Seharusnya kritik itu diibaratkan air bersih
untuk mandi di saat kita sedang dekil. Kritik itu harus
diibaratkan kita sedang lapar diberi nasi. Kritik sebenarnya
ibaratgalah cedek tinugelan teka (galah sodok dipotong
runcing). Galah sodok adalah semacam seligi atau bambu
runcing. Makin pendek makin baik, karena kemungkinan
patah makin berkurang. Artinya, kritik dapat memperkokoh, mempertajam kemandirian seseorang. Begitu orang tua zaman Pajajaran dulu berbicara tentang
pentingnya kritik. Tapi, ya barangkali orang zaman
sekarang tak gemar menelan kritik, atau bisa juga karena
orang zaman sekarang tak luwes melontarkan kritik
sehingga datangnya amat menyakitkan. Kritik Ki Guru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Darma, daripada diterima, malah orang yang melontarkan
kritik itu sendiri dianggap melawan raja dan dianggap
pemberontak," kata Ki Rangga Guna menghela nafas.
Ginggi juga ikut menghela nafas dalam-dalam. Dia
prihatin oleh nasib buruk yang menimpa Ki Darma.
Menurutnya, Ki Darma orang yang begitu cinta terhadap
negara dan pengabdi setia terhadap Raja. Namun rasa cinta
dan pengabdian Ki Darma kurang diterima dengan baik
oleh pemerintah. (O-anikz-O) Berbagi Tugas Ginggi dan Ki Rangga Guna akhirnya membagi tugas.
Ginggi harus pergi menuju Pakuan sebab akan banyak yang
harus diselidiki di sana. Sedangkan Ki Rangga Guna akan
menyelidiki tindak-tanduk Ki Banaspati di Sagaraherang.
"Untuk sementara, lupakanlah nasib Ki Guru Darma.
Kita harus berdoa untuk keselamatannya. Tapi bila Ki Guru
ternyata sudah tiada, kita pun harus berdoa agar dirinya
diterima di sisiNya," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi mengangguk, kendati dia tak tahu bagaimana
caranya melakukan doa. Ketika disampaikannya bahwa dia tak bisa berdoa
dengan cara apa pun, Ki Rangga Guna hanya tersenyum
pahit. "Dahulu Ki Guru Darma seorang pengikut agama lama
yang setia. Tapi hidupnya goncang dengan kehadiran
agama baru, yang oleh fihak-fihak tertentu kehadiran agama
baru tersebut dilibatkan dalam urusan politik. Entahlah,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengapa akhirnya dia tak memberi pengajaran agama
padamu, anak muda," kata Ki Rangga Guna.
"Perlu benarkah seseorang memeluk sebuah agama?"
tanya Ginggi. "Manusia itu mahkluk lemah. Kalau dia merasa
sombong hanya karena dirinya lebih pandai dari makhluk
lainnya, sebetulnya masih ada yang jauh lebih pintar
darinya. Manusia hanya bisa membunuh sesamanya dan
tak mampu berbuat kebalikannya, yaitu menghidupkan
yang mati. Manusia hanya pandai merusak alam tapi tak
sanggup menciptakan alam. Padahal alam terbentuk karena
ada yang mencipta. Manusia bisa hidup pun karena ada
yang menghidupkan. Dan manusia harus sadar, di atas
dirinya ada sesuatu kekuatan yang menguasai hidupnya.
Dialah yang harus kita sembah. Agama yang ada di dunia
selain menyuruh kita berbuat kebajikan terhadap alam dan
seisinya, juga harus berbuat hormat kepada Sang Pencipta.
Itulah pentingnya kita beragama, anak muda!" kata Ki
Rangga Guna menerangkan panjang lebar.
"Agama apa yang terbaik buatku?" tanya Ginggi
penasaran. Kembali Ki Rangga Guna tersenyum pahit.
Namun kemudian dia menoleh dan memandang pemuda
itu. "Barangkali tidak keliru Ki Guru Darma tidak
memberikan ajaran agama padamu," ujar Ki Rangga Guna.
"Bila Ki Guru mengajarkan agama padamu, berarti dia
akan mengajari agama yang diyakininya. Artinya, Ki Guru
memaksakan kehendak agar kau memilih keyakinan yang
telah diyakininya selama ini. Barangkali Ki Guru Darma
tidak mau begitu. Dia akan membiarkan kau melakukan
pencarian terhadap satu keyakinan. Tidak diberi oleh orang
lain, tidak pula dipaksa oleh kehendak orang lain. Kalau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pun sekarang kau membutuhkan agama, tentu Ki Guru
Darma hanya mengharapkan agama yang kau dapatkan
adalah agama yang benar-benar kau yakini sendiri
kebenarannya. Barusan kau tanya padaku, agama apa yang
kau anggap baik buatmu. Jawabannya bukan harus keluar
dari mulut orang lain, namun dari keyakinan hatimu
sendiri. Sekarang ada banyak agama terdapat di bumi
Pajajaran ini. Alangkah bijaksananya bila semua orang
memberi kebebasan kepada semua orang dalam memilih
keyakinan beragama seperti yang diucapkan Sang Prabu Sri
Baduga Maharaja semasa memimpin Pajajaran mencapai
puncak keemasannya," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi menatap tajam Ki Rangga Guna.
"Sri Baduga Maharaja dulu tetap setia dengan keyakinan
lama. Sebab menurutnya, tidak mudah orang berpindah
agama dan keyakinan. Namun kendati begitu, beliau tak
memaksakan kehendak agar semua rakyat ikut-ikutan
bertahan dengan keyakinan yang dimiliki Raja. Sri Baduga
Maharaja tidak melarang rakyat memilih agama. Yang
beliau tidak suka adalah orang yang suka memilih-milih
agama. Dari agama yang satu ke agama yang lain, begitu
seterusnya. Dan semua Raja Pajajaran, dari mulai Sri
Baduga Maharaja, sampai yang tengah memerintah
sekarang, tetap setia terhadap kebijakan kebebasan
berkeyakinan. Kendati negara berpegang kepada keyakinan
lama, tapi Raja memberikan kemerdekaan kepada seluruh
rakyatnya untuk memilih keyakinannya masing-masing,"
kata Ki Rangga Guna. "Aku hingga kini setia kepada
keyakinan lama tanpa ada orang yang memaksanya.
Sekarang, aku pun tak berkehendak memaksakan keyakinanku pada orang lain. Aku bersyukur kau merasa
perlunya kehadiran agama di hatimu. Soal keyakinan apa
yang akan engkau pegang, jangan minta pendapat orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lain, tapi carilah olehmu sendiri. Pilihlah sebuah agama
yang kau yakini bisa membawa keselamatan bagi dirimu
sendiri tapi sambil tidak merugikan keyakinan orang lain.
Pilihlah sebuah agama yang membawa kebenaran pada
dirimu sendiri tapi sambil tidak menjelek-jelekan keberadaan keyakinan agama lain. Kau harus bisa memilih
agama yang secara sempurna bisa menjaga martabatmu,
dan bisa menyelamatkan dirimu baik di dunia mau pun
keselamatan kelak di alam lain. Jangan tergesa-gesa
memilihnya tapi juga jangan berlarut-larut mengulur
waktu," kata Ki Rangga Guna lagi dengan panjang lebar.
"Aku tidak akan mengajarkan agama yang aku anut.
Tapi sedikit kepandaian yang bersifat lahiriah, akan aku
berikan seluruhnya padamu," kata Ki Rangga Guna.
"Maksud Paman, aku akan kau ajari ilmu berkelahi?"
tanya Ginggi. Ki Rangga Guna menganggukkan kepalanya.
"Aku " sebetulnya tak gemar berkelahi, Paman," kata
Ginggi menundukkan kepala.
"Menguasai ilmu berkelahi bukan maksudnya harus
gemar berkelahi. Bahkan aku sebetulnya benci kepada
orang yang senang memamerkan kepandaiannya," tukas Ki
Rangga Guna. "Ilmu berkelahi hanyalah sebagai alat
perlindungan. Seperti sebuah topi, kau pakai bila hari panas
atau hujan. Atau seperti sejumput makanan bila kau lapar,"
kata Ki Rangga Guna. "Tapi ilmu berkelahi kebanyakan menampilkan gerakan
yang tujuannya untuk membunuh saja, Paman," tukas
Ginggi. Ki Rangga Guna tersenyum. "Semuanya terpulang
kepada kita sebagai pemakainya, anak muda. Bila kau
punya pisau, apakah akan dipergunakan untuk mengupas
buah-buahan ataukah akan kau pergunakan untuk melukai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan membunuh orang" Ada orang yang tega membunuh
sesamanya dengan sebuah beliung (kapak), padahal benda
itu dibuat untuk mengambil kayu bakar di hutan. Seekor
ular memiliki bisa yang amat mematikan. Tapi tidak setiap
hari dia membunuh. Kalau dia tak diganggu, tak pernah
ular mengganggu. Bahkan kadang-kadang, ular hanya pergi
meloloskan diri setiap diganggu, kendati kalau mau, ular
bisa menyerang dan membunuh," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi merenung mendengar penjelasan ini. Namun
akhirnya dia mengangguk-angguk penuh pengertian.
"Baiklah, aku terima pemberianmu, Paman ?" kata
Ginggi akhirnya. Ki Rangga Guna terkekeh-kekeh
mendengar ucapan Ginggi sehingga membuat pemuda itu
heran sendiri. "Mengapa Paman tertawa mendengar kesanggupanku?"
tanyanya. Kembali Ki Rangga Guna tertawa, bahkan
sedikit terbahak-bahak, membuat pemuda itu semakin tak
mengerti. "Kau ini orang jujur, sekaligus juga kurang ajar!" kata Ki
Rangga Guna."Orang lain menyembah-nyembah minta aku
menjadi gurunya, di sini, malah kau jual mahal sehingga
kau yang mengajukan syarat apakah boleh atau tidaknya
aku melatihmu!" kata Ki Rangga Guna lagi.
Ginggi tersipu-sipu mendengarnya. Benar sekali, aku
kurang ajar, katanya dalam hatinya.
Dan sambil melakukan perjalanan bersama, Ginggi
mendapatan tambahan ilmu yang sangat berarti.
Ginggi kini mulai sadar akan kekeliruan dirinya. Hanya
karena dia tak gemar berkelahi maka dia menolak latihan-
latihan keras seperti apa perintah Ki Darma. Kalau Ki


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Darma turun gunung, Ginggi sering bohong seolah-olah
berlatih dengan keras selama Ki Darma tidak ada. Sekarang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ulah bohongnya terbukti hanya merugikan dirinya sendiri
saja. Ketika melawan Ki Rangga Wisesa hampir-hampir
saja nyawanya melayang. Kepandaiannya tak berarti apa-
apa dalam menghadapi ilmu-ilmu Ki Rangga Wisesa yang
ganas dan aneh itu. Dan kepandaiannya semakin tak berarti
saja bila dibandingkan dengan Ki Rangga Guna.
Menghadapi Ki Rangga Guna, ternyata Ki Rangga Wisesa
bukan tandingannya. Walau pun ketika itu Ki Rangga
Guna tidak membalas serangan saudara kembarnya, tapi
nampak nyata Ki Rangga Wisesa kewalahan dan putus asa
karena setiap usahanya dalam menyerang Ki Rangga Guna,
tak pernah berhasil. Bila begitu, ternyata murid-murid Ki Darma rata-rata
berkepandaian amat tinggi.
"Semua sebetulnya diberi sama, kecuali beberapa yang
beda. Itu karena disesuaikan dengan sifat dan jiwa masing-
masing murid. Saudara kembarku merasa iri sebab ada satu-
dua jurus yang Ki Guru berikan padaku tidak diberikan
padanya. Ada ilmu-ilmu ganas dari Ki Guru hanya
diberikan padaku, itu karena Ki Guru kenal betul sifatku.
Kata Guru, ilmu ganas jangan diberikan kepada orang yang
memiliki jiwa pemarah. Adikku tak diberi sebab dia
memang kurang pandai mengendalikan perasaan jiwanya.
Mungkin aku yang dianggap cocok menerima ilmu-ilmu
yang sebetulnya amat berbahaya itu. Aku pun sudah lihat
gerakanmu. Kau dipercaya memegang ilmu ganas sebab
barangkali Ki Guru percaya kau bisa membawanya," kata
Ki Rangga Guna. "Tapi aku tak sepandai kau, Paman?" potong Ginggi.
"Tak ada murid yang diberi satu ilmu bisa memilikinya
dengan kesempurnaan yang sama satu sama lainnya. Itu
semua terpulang kepada kepandaian si murid itu sendiri.
Kau kan pernah bilang, tak begitu kerasan dengan segala
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
macam ilmu kekerasan. Jiwamu sudah menolaknya dari
dalam. Tentu mempengaruhi kesempurnaan. Sebaliknya
aku begitu mengharapkan memiliki ilmu-ilmu tinggi, sebab
aku terkenang masa silam di Talaga. Kalau orang tuaku
memiliki ilmu bela diri, tak nanti dia tewas dalam
penyerbuan tentara Cirebon. Orang yang memiliki
kepandaian sedikitnya bisa melawan sebelum kalah. Aku
selalu bersemangat dalam latihan. Ketika berpisah dengan
Ki Guru, aku tetap mencari dan menambah ilmu. Orang-
orang lain di negri sebrang lautan, seperti dari Negri
Tulangbawang, Palembang, Malangkebo (Minangkabau)
atau Parayaman (Pariaman), atau bahkan orang Cina,
Campa, Keling, Parasi, dan Siem, semuanya memiliki ilmu
kepandaian dengan ciri kekuatan masing-masing yang
berbeda. Aku banyak berhubungan dengan mereka dan
saling tukar-menukar ilmu. Ilmu-ilmu gabungan itu, aku
gabungkan dan aku latih bertahun-tahun, keras dan penuh
godaan. Namun hasilnya membanggakan. Puluhan mungkin ratusan kali aku dihadang dan menyerbu musuh,
sampai saat ini aku masih diberi usia panjang. Itu di
antaranya karena ilmu berkelahi yang aku miliki," kata Ki
Rangga Guna. Karena selama di perjalanan harus berlatih, akibatnya
sebelum melaksanakan tugas masing-masing, maka dua
atau tiga bulan mereka habiskan waktu untuk urusan latih-
melatih. Dan sampai pada suatu saat, mereka harus berpisah
karena sama-sama teringat kembali kepada tugas yang
harus mereka kerjakan. "Kita sebenarnya telah kembali ke selatan, padahal
Pakuan letaknya di sebelah barat, agak ke utara," kata Ki
Rangga Guna ketika memberi tahu arah mana jalan yang
harus ditempuh untuk menuju Pakuan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Untuk kembali ke arah jalan pedati, seharusnya kau
mesti kembali ke utara, yaitu memasuki lagi wilayah
Tanjungpura. Itu perjalanan amat jauh. ada jalan terdekat
menuju Warunggede," kata Ki Rangga Guna.
"Warunggede?" "Warunggede juga merupakan wilayah yang dipimpin
oleh seorang Kandagalante. Mengapa harus menuju ke
sana, sebab jalan pedati melewati wilayah tersebut."
Kata Ki Rangga Guna, dari Talaga di arah timur sampai
Pakuan jauh di barat sebetulnya dihubungkan oleh sebuah
jalan utama dan bisa dilalui kereta atau roda pedati, melalui
Wado, Sumedanglarang, Sagaraherang, Purwakarta, Cikao,
Karawang, Tanjungpura, Warunggede, Cibarusa, Cileungsi
dan berakhir di Pakuan. Dari Kerajaan Talaga jalan pedati
berlanjut ke selatan, yaitu menuju Kawali dan berakhir di
pusat Kerajaan Pajajaran Lama yaitu Galuh. Kata Ki
Rangga Guna. "Bila kau sudah tiba di Warunggede, kau
bisa menuju Pakuan menyusuri jalan pedati yang enak
dilalui. Tapi di beberapa wilayah harus berhati-hati. Antara
Karawang-Tanjungpura-Warunggede,
jalan pedati bersinggungan dengan wilayah utara yang sudah dikuasai
Pasukan Cirebon. Asalkan engkau tidak terlalu banyak
bicara soal Pakuan, tidak terjadi bentrokan dengan pasukan
musuh," ungkap Ki Rangga Guna. Ginggi mengangguk-
angguk tanda mengerti. "Nah, sudah kubekali kau berbagai pengetahuan.
Sekarang tiba saatnya kita melaksanakan tugas masing-
masing," kata Ki Rangga Guna.
"Kita akan segera berpisah, Paman?" tanya Ginggi. Ki
Rangga Guna hanya mengangguk kecil.
"Kalau ada umur ada jodoh, kita pasti bertemu lagi. Tapi
kalau Hyang tak mempertemukan kita lagi, tak perlu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
disesalkan benar. Kita sebelumnya pun tak pernah kenal
dan tak pernah bertemu, bukan?" kata Ki Rangga Guna.
Ginggi hanya menghela nafas mendengar ucapan Ki
Rangga Guna ini. "Baiklah kita berpisah di sini, Paman. Semoga nasib kita
baik dan di suatu waktu kita bisa bertemu lagi," kata Ginggi
mengeraskan perasaan. Dia harus belajar berani melakukan
sesuatu. Di antaranya harus berani melakukan perpisahan.
Beberapa kali terjadi, pemuda itu susah menepis
perpisahan. Berpisah dengan Ki Darma, berpisah dengan
Nyi Santimi, berpisah dengan gadis anak pemilik warung di
Tanjungpura, dan kini berpisah dengan Ki Rangga Guna.
Semua terasa berat bila Ginggi tak berani mengeraskan
hati dan perasaan. Pemuda itu berdiri mematung ketika Ki Rangga Guna
duluan meninggalkannya. Matahari sudah condong ke barat. Dan karena Ki
Rangga Guna berjalan menuju timur, maka punggungnya
tersorot sinar lembayung. Bayangan tubuhnya jatuh
menimpa tanah di hadapannya dan langkah Ki Rangga
Guna seperti bermain dengan bayangannya sendiri.
Sampai hilang di kelokan jalan setapak, sampai keadan
benar-benar sepi, baru kemudian pemuda itu berani
melangkah. Pelan tak bergairah.
(O-anikz-O) Menuju Kota Pakuan Untuk kembali ke jalan pedati, Ginggi tak perlu kembali
ke utara menuju Tanjungpura, tapi memotong jalan agak ke
barat, untuk kemudian belok ke kanan agak ke utara lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benar seperti apa kata Ki Rangga Guna, jalan memotong
menuju Warunggede tidak begitu jauh tapi harus lewat
jalan setapak membelah hutan jati. Sehari penuh dia
menerobos hutan tanpa bertemu manusia seorang jua pun.
Ginggi di tengah perjalanan hanya bertemu binatang hutan
yang tak begitu membahayakan.
Sampai tiba di wilayah Kandagalante Warunggede,
pemuda itu tidak mendapatkan rintangan berarti. Begitu
pun ketika perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan pedati ke
arah barat. Ginggi sering bertemu lewat dengan para
pejalan kaki, atau pun rombongan pedati dengan isi penuh
hasil bumi, tapi satu sama lain tidak saling mengganggu.
Ginggi harus menyebrangi sebuah sungai yang amat lebar
tapi berair tenang, jauh sebelum tiba di Kandagalante
Warunggede, kata seorang kakek pemilik rakit penyebrangan, sungai besar itu bernama Citarum.
Ginggi teringat ucapan Ki Rangga Guna, bahwa Pakuan
mutlak hanya berkuasa di batas sungai ini sampai ke barat.
Namun kendati begitu, wilayah utara tetap dikuasai
pasukan Banten atau Cirebon. Dengan kata lain, kekuasaan
mutlak yang dipegang Pakuan sebenarnya wilayah tengah
dan selatan mulai batas Sungai Citarum ke arah barat.
Wilayah-wilayah yang ada di sebelah timur Citarum
merupakan wilayah-wilayah "transisi" karena pertentangan
politik dengan Cirebon. Beberapa wilayah timur ada
beberapa yang bertahan dan setia kepada Pakuan tapi
kebanyakan sudah mulai bimbang. Dan semakin jauh
menuju timur, semakin jauh dari pusat pemerintahan, rasa
setia terhadap Pakuan pun semakin menipis. Beberapa
kerajaan kecil yang dulu ada di bawah kekuasaan Pakuan
seperti Sumedanglarang, Sindangkasih, Talaga, atau bahkan
Cirebon Girang, semenjak masuk pengaruh Cirebon, praktis
berkiblat ke Cirebon, kendati secara militer, negara-negara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tersebut tak pernah memusuhi Pakuan dan apalagi
membantu Cirebon ikut menyerbu ke barat. Hal ini bisa
terjadi barangkali karena apa pun yang terjadi, Pakuan
beserta Pajajaran masih tetap disegani. Bahwa dulu puluhan
atau ratusan silam Pakuan Pajajaran berupa sebuah negara
besar dengan segala macam kewibawaannya, sampai hari
itu pun masih dihormati para penghuni negara-negara kecil
itu. Apalagi bila diingatkan dengan hubungan silsilah,
bahwa yang menjadi pucuk pimpinan di negara-negara kecil
itu hampir semua punya pertalian kerabat dengan raja-raja
Pajajaran. Kalaupun seolah-olah terjadai "putus" hubungan,
semuanya terjadi karena politik juga.
Cirebon yang dibantu kerajaan besar di wilayah timur
bernama Demak melebarkan sayap kekuasaan dengan cara
menyebarkan keyakinan baru. Cirebon yang kuat karena
bantuan Demak lebih leluasa menyebarkan pengaruh ke
pusat kerajaan kecil di wilayah timur, sebab mereka lebih
dekat. Sebaliknya pengaruh Pakuan terasa lebih kecil
karena letaknya yang jauh di barat. Maka bagi negara-
negara kecil di timur, siapa yang lebih kuat memberikan
pengaruh, dialah yang akan berkuasa.
Tentu saja ini kerugian buat Pakuan. Kalau ingin
mengembalikan kebesaran Pajajaran seperti masa-masa
lalu, maka raja yang sekarang harus berupaya "mengambil"
lagi semua negara kecil di timur yang ratusan atau puluhan
tahun lalu masih berada di bawah pengaruhnya.
Oleh sebab itu Ginggi di lain fihak merasa kagum
terhadap peranan Ki Banaspati. Entah secara bagaimana
awalnya, yang jelas orang ini telah menjadi kepercayaan
dari muhara (pejabat penarik pajak negara) untuk
menjangkau pajak-pajak di wilayah timur Sungai Citarum.
Mencoba mengumpulkan seba dari wilayah timur artinya
harus berupaya mengembalikan pengaruh Pajajaran ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
negri-negri kecil yang kini sudah berada di bawah pengaruh
Cirebon. Kalau Ki Banaspati mampu melakukannya, maka
orang ini benar-benar hebat. Dia akan menjadi orang yang
benar-benar dihargai dan diperlukan di Pakuan. Diperlukan
di Pakuan" Kalau benar demikian, tepatkah kini dia
menghimpun kekuatan untuk merebut kekuasaan di
Pakuan" Apakah memang begitu seharusnya, orang yang
diperlukan Pakuan harus menjadi pengendali utama di
Pakuan itu sendiri" Ginggi teringat kembali ucapan Ki Darma yang
disampaikan melalui Ki Rangga Guna. Bahwa Ki Darma
memang tak puas dengan cara Raja sekarang memerintah.
Tapi Ki Darma tak pernah bermaksud mengenyahkan Raja
dengan menggantinya. Yang Ki Darma katakan, Raja
sedang sakit dengan berbuat keliru. Orang sakit harus
diobati dan bukan dienyahkan.
Dengan lebih jelasnya harus disebutkan, bahwa Ki
Darma sebetulnya tidak memerintahkan para muridnya
untuk melakukan pemberontakan dan apalagi merebut
kekuasaan. Sedangkan Ki Banaspati diketahui Ginggi
tengah berupaya menyusun kekuatan militer yang kelak
akan digunakan menyerang Pakuan. Tidakkah ini
berlebihan dan melenceng dari keinginan Ki Darma"
Beruntung sekali Ginggi bertemu dengan salah seorang
murid Ki Darma dan yang kebetulan tidak mengecewakan
dirinya. Melihat sikap dan pendirian Ki Rangga Guna,
Ginggi yakin, jalan pikiran orang itu masih wajar dan
berjalan tepat di atas perintah Ki Darma.
Sekarang Ginggi tidak sendirian dalam mengemban
perintah gurunya. Dan masih ada satu harapan lagi. Satu
orang lagi murid Ki Darma belum diketemukan. Ginggi
berharap, murid kedua Ki Darma ini masih hidup dan tetap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ingat amanat gurunya. Bila benar demikian, perasaan
pemuda itu semakin lega. Sekarang, walau pun kembali sunyi karena harus
berjalan sendirian lagi, tapi dada pemuda itu terasa lapang.
Dia memang harus menuju barat. Banyak tugas yang harus


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diselesaikannya di sana. Pertama ingin menyelidiki sejauh
mana peranan Ki Banaspati di Pakuan. Kedua, Ginggi
harus melacak Suji Angkara yang misterius dan yang
dipastikan juga menuju Pakuan, bahkan mungkin sudah
berada di sana. Ginggi harus sanggup membongkar
kemisteriusan pemuda itu. Siapaa dia sebenarnya. Dan
benarkah kecurigaan dirinya terhadap pemuda itu
beralasan" Ginggi bercuriga, setiap Suji Angkara memasuki satu
wilayah, hampir selalu ada gadis bunuh diri karena
pemerkosaan. Ki Rangga Wisesa memang melakukan hal
yang sama. Tapi korban-korban yang lain, jelas perbuatan
orang lain di luar Ki Rangga Wisesa. Dan Ginggi
mencurigai Suji Angkara. Bila tudingan ini tidak benar,
Ginggi akan merasa berdosa. Tapi bila ternyata benar,
maka Ginggi akan mengeraskan tekad untuk membuat
perhitungan. Dan ingat akan masalah ini, Ginggi menjadi
bimbang. Ginggi amat heran bila harus memikirkan Suji Angkara
bisa melakukan tindakan tercela macam ini. Pemuda itu
nampaknya kaya raya, ditampilkan melalui caranya
memilih pakaian mahal dan mewah. Suji Angkara juga
dikenal di Desa Cae sebagai anak seorang kuwu, gemar
berniaga dengan bangsa asing dan berwajah tampan.
Kesemua bukti ini sebetulnya sudah bisa dijadikan
sebagai modal untuk memikat gadis-gadis cantik. Mengapa
pula pemuda pesolek itu harus melakukan tindakan kasar,
memperkosa wanita" Ginggi bingung memikirkannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biarlah, akan aku kuak tabir ini dengan penyelidikan
seksama. Kalau Suji Angkara gemar berbuat jahat, tidak
ada bangkai busuk yang tak tercium kendati disembunyikan
di tempat tertutup, pikirnya.
(O-anikz-O) Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 12 Setelah tiba di wilayah Cibarusa, Ginggi tak mendapat
kesulitan berarti untuk mencari tahu ke mana arah menuju
Pakuan. Jalan pedati antara Cibarusa dan Pakuan cukup
ramai sebab setiap hari banyak orang datang dan pergi ke
Pakuan. Kebanyakan dari mereka terdiri dari kaum
pedagang, baik berdagang hasil bumi seperti padi huma,
kacang-kacangan dari ladang, atau pun buah-buahan,
sampai kepada hasil ternak seperti kerbau, sapi, kambing
dan ayam. Para saudagar yang berdagang macam-macam
kain, dari mulai kain kasar sampai kain halus. Kain kasar
dibawa orang dari wilayah-wilayah seputar Pakuan untuk
diperdagangkan di sana, sebaliknya kain halus dibawa dari
Pakuan untuk diperdagangkan di wilayah-wilayah seputar
Pakuan. Ginggi masih cukup memiliki uang logam perak hasil
pemberian Kuwu Wado. Ketika dari Cibarusa mohon ikut
menumpang sebuah pedati dengan imbalan beberapa
keping uang logam perak, pemilik kendaraan bertenaga sapi
itu amat bersenang hati menolongnya.
"Ayo naiklah. Tapi kau harus duduk di tumpukan kain
belacu ini, anak muda," kata pemilik pedati.
Ginggi duduk menclok di atas tumpukan kain. Kain
belacu itu semua berwarna putih, digulung di sebuah kayu
bulat hampir menyerupai tongkat tapi dengan ukuran besar.
"Ramai sekali lalu-lintas di sini, Paman ?" kata Ginggi
sambil menoleh kiri-kanan.
Bagi pemuda itu, ini pemandangan pertama, melihat
orang di jalan besar berlalu-lalang dengan berbagai
kesibukan dan keperluannya masing-masing.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak seramai puluhan tahun silam, anak muda," kata
pemilik pedati. Seorang tua bertopicotom (topi anyaman
bambu bulat melengkung seperti wajan) dan berbaju
kampret hitam dengan dada dibiarkan terbuka.
Ginggi tersenyum pahit. Sementara orang suka
mengatakan bahwa zaman cenderung bergerak maju. Tapi
Pajajaran sepertinya tak terikat oleh kecenderungan ini.
Buktinya, pemilik pedati ini menyebutkan, lalu-lintas ke
Pakuan malah lebih ramai puluhan tahun silam dibanding
sekarang. "Dulu ketika Pajajaran di bawah pimpinan Sang Prabu
Sri Baduga Maharaja, Pakuan begitu makmur sebab
perdagangan amat maju," katanya pelan dan sesekali
menengok kiri-kanan sepertinya ucapannya ini tak boleh
didengar banyak orang. "Sekarang mengapa tidak semaju dulu?" tanya Ginggi
mencoba menguji keberanian orang ini berbicara.
Pemilik pedati hanya tersenyum tipis.
"Zaman memang telah berubah, anak muda, dan
semuanya membawa perubahan juga. Perubahan itu bisa
berupa kemajuan, tapi bisa juga berupa kemunduran. Dan
barangkali bagi Pajajaran roda kehidupan sedang ada di
bawah. Pajajaran sedang ada dalam kemunduran. Sebab
roda kemajuan telah berada di tangan kekuasaan yang
baru," kata pemilik pedati berkata serius.
Ginggi menoleh untuk menatap pemilik pedati ini.
Orang tua ini ternyata tahu juga masalah perkembangan
negara. "Ya, bagaimana tidak tahu, aku kan sejak muda berniaga
kecil-kecilan. Dari wilayah seputar Pakuan aku kirimkan
kain kasar, sebab bangsa-bangsa lain memborong kain kasar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
buatan Pajajaran. Sebaliknya bangsa-bangsa asing seperti
Cina, Keling, Campa dan Maladewa datang ke Pajajaran
menjual kain halus atau berbagai barang keperluan yang di
Pakuan belum dibuat. Pedagang dan pembeli, semua
berkumpul di pelabuhan-pelabuhan milik Pakuan, seperti di
Cirebon, Banten, atau di Muara Cimanuk. Perdagangan
dengan bangsa asing paling banyak dilakukan di Pelabuhan
Kalapa. Dalam setahun, Pakuan butuh seribu ekor kuda
dan dibelinya dari Pulau Sumba atau Sumbawa. Tapi
sebaliknya orang-orang Pakuan dalam satu tahun sanggup
menjual merica, lada, dan buah asam masing-masing seribu
buah kapal. Begitu majunya perdagangan ketika itu," kata
pemilik pedati sambil mengatur langkah penghela sapi agar
bisa memilih jalan yang agak rata.
"Sekarang perdagangan hanya dilakukan sebatas di
dalam negri saja, sebab semua pelabuhan milik Pakuan
sudah jatuh ke tangan Banten atau Cirebon. Banten yang
dulu termasuk pelabuhan penting milik Pakuan dalam
hubungan dagang dengan negri-negri di Andalas, sekarang
malah jadi musuh Pakuan yang setiap saat bisa melakukan
penyerbuan," kata pemilik pedati. "Zaman telah berubah,
anak muda. Ada yang maju ada yang mundur. Giliran
Pajajaran yang mundur, sebab kemajuan sekarang ada di
tangan orang lain, Banten, Cirebon dan Demak. Merekalah
kini yang melakukan perdagangan antar pulau," katanya
lagi. "Sang Rumuhun memang sudah mengaturNya. Ada
yang datang ada yang pergi. Ada yang lama ada yang baru
dan yang usang digantikan dengan yang bagus. Tak ada
sesuatu yang tetap di dunia ini," ucapnya lagi.
"Engkau darimana berasal, anak muda, dan mau apa
datang ke Pakuan?" tanya pemilik pedati sambil lalu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku dari wilayah Kandagalante Tanjungpura dan
berniat mengunjungi sanak saudara. Kalau Paman
kerapkali datang kedayo (ibukota), barangkali pernah kenal
pemuda yang bernama Purbajaya?" tanya Ginggi setengah
berbohong, setengahnya lagi berkata benar. Mencari
pemuda bernama Purbajaya memang sudah termasuk
bagian dari rencananya. Untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti Suji
Angkara, sekarang bisa ditelusuri lewat diri Purbajaya, anak
bangsawan wilayah Tanjungpura Utara itu.
Ginggi ingat, menurut cerita pelayan Juragan Ilun Rosa,
secara diam-diam Purbajaya menjalin hubungan cinta
dengan anak gadis Juragan Ilun Rosa. Anak gadis itu tiba-
tiba mati bunuh diri, dan dianggapnya karena putus asa
membaca surat yang ditulis Purbajaya yang mengabarkan
dirinya akan kawin dengan putri bangsawan di Pakuan.
Keterangan ini bertolak belakang dengan cerita ayahanda
Purbajaya yang hanya mengatakan bahwa anak muda itu
pergi ke Pakuan karena akan melamar kerja sebagai
puhawang atau ahli kelautan. Bahkan diceritakannya pula,
bahwa Purbajaya pernah berkata, bila sudah berhasil
mencapai cita-citanya, dia meminta ayahnya agar sudi
meminang gadis pujaannya yang ada di Tanjungpura.
Mana yang benar dari kedua bukti ini, Ginggi belum bisa
mengambil kesimpulan. Tapi urusan ini sepertinya ikut
melibatkan perilaku Suji Angkara. Pemuda pesolek ini
berjanji akan ikut menangani kasus ini. Bagaimana cara
membantu menanganinya" Pemuda yang bertutur-sapa
selalu sopan tapi terkadang bertindak kejam ini mengatakan
bahwa dia akan menindak Purbajaya. Mengapa Suji
Angkara ingin menyelesaikan perkara ini seperti itu"
Ginggi ingat, pelayan Juragan Ilun Rosa menceritakan
pula bahwa secara diam-diam Suji Angkara menggoda
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gadis anak Juragan Ilun Rosa di taman belakang rumah,
tapi gadis itu selalu menolaknya dengan mengatakan bahwa
dirinya sudah ada yang punya.
Antara pertemuan Suji Angkara dengan peristiwa
terjadinya bunuh diri gadis itu hanya berselang satu hari
saja. Kapan surat nipah yang berisi "pengkhianatan"
Purbajaya diterima gadis itu" Kalau mengingat cerita
pelayan, ketika ditemui Suji Angkara di taman belakang
rumah, gadis itu masih demikian setia terhadap Purbajaya.
Bila begitu, maka surat dari pemuda itu pasti diterima
dalam sehari saja. Tapi pelayan tak pernah mengatakan
melihat orang mengirimkan surat kepada gadis itu. Dari
mana surat itu didapat"
Satu hal penting lagi yang perlu disimak Ginggi. Ibunda
gadis itu secara naluri menangkap suatu bukti, anaknya
mati bukan sekadar kecewa atas "pengkhianatan"
kekasihnya, melainkan karena sebab lain juga. Istri Juragan
Ilun Rosa mendapatkan anak gadisnya bunuh diri dengan
menusukkan patrem ke lehernya sambil dandanan tak
karuan, kusut-masai tak beraturan, bahkan seperti ada bekas
cakaran kuku di beberapa bagian tubuhnya.
Sayang sekali Juragan Ilun Rosa perhatiannya telah
terpusat kepada surat daun nipah itu. Dia lebih percaya
anaknya mati karena kecewa merasa dikhianati. Juragan
Ilun Rosa bahkan langsung setuju ketika Suji Angkara
berjanji akan menindak bahkan membunuh Purbajaya bila
ditemukan di Pakuan. "Saya tak kenal dengan pemuda bernama Purbajaya,
anak muda," kata pemilik pedati sambil mengingat-ingat.
"Dia bekerja sebagai apa didayo ?" pemilik pedati balik
bertanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekitar enam bulan lalu, Purbajaya pergi dari
Tanjungpura ke Pakuan karena ingin melamar bekerja
sebagai puhawang," kata Ginggi mengubah duduknya
karena sejak tadi menclok terus di atas timbunan gulungan
kain. "Maksudmu petugas akhli dalam bidang penelusuran
laut dan teluk?" "Ya, ya begitulah!"
"Di Pakuan ada pejabat yang pernah berurusan dengan
itu. Dia Pangeran Yogascitra, masih kerabat Sang Prabu
walau kerabat jauh. Kalau kau bisa mengunjunginya,
barangkali punya celah-celah untuk mencarinya," kata
pemilik pedati. Ginggi tersenyum cerah mendengarnya. Berarti ada
harapan mencari di mana pemuda Purbajaya berada.
"Bagaimana, apa mudahkah aku mengunjungi Pangeran
Yogascitra, Paman?" tanya Ginggi.
"Semua bangsawan di Pakuan pandai menjaga kehormatan dirinya. Tapi, ada banyak cara untuk
menjaganya. Ada yang tidak sembarangan berhubungan
dengan siapa saja, ada juga yang begitu ramah menerima
kehadiran siapa saja. Namun yang penting, kau datanglah
ke sana secara baik-baik dan dengan tindak-tanduk sopan.
Etika hidup bagi mereka berada di atas segalanya. Kalau
kau pandai menggunakan etika dan menyenangkan mereka,
kau pasti tidak akan sulit bertamu ke kediaman Pangeran
itu, anak muda," kata pemilik pedati memberikan petuah.
Senja mulai jatuh ketika roda pedati menggelinding
pelan memasuki pintu gerbang dayo (kota) Pakuan.
Berdebar hati Ginggi ketika melihat pintu gerbang kota
yang demikian besar dan berwibawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pintu gerbang ini tidak dibuat oleh kayu-kayu jati
sepertilawang kori di wilayah kandagalante atau apalagi
bila dibandingkan denganlawang kori sebuah wilayah desa.
Pintu gerbangdayo Pakuan menjulang tinggi dan terbuat
dari batu-batu dengan ukiran halus. Di kiri kanannya,
membelakangi gapura, berdiri kokoh patungrotadenawa
(raseksa) sambil memanggul sebuah penggada besar, seolah-
olah tengah menjaga keamanan Pakuan dari gangguan
musuh. Pedati berhenti sejenak sebab akan menghadapi
pemeriksaan para jagabaya. Ini pemeriksaan kedua, sebab
ketika tadi siang pedati menyebrangi jembatan besar Sungai
Cihaliwung (Ciliwung), pedati bermuatan gulungan kain
katun dan belacu ini pun diperiksa petugas sebelum


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan penyebrangan. Namun karena tak ada sesuatu yang mencurigakan,
pedati berjalan kembali dan diperbolehkan memasukidayo,
Sekarang pedati berjalan melewati sebuah alun-alun yang
amat luas. Jauh di sebrang alun-alun nampak lagi sebuah
gerbang. Lebih mewah dan lebih berwibawa lagi bentuknya.
Terbuat dari batu hitam halus yang terdapat ukiran-ukiran
yang bernilai seni tinggi. Gerbang itu seperti pintu masuk ke
sebuah kompleks besar yang dikelilingi benteng kokoh.
Remang-remang di dalam benteng terlihat bangunan-
bangunan baik terbuat dari batu mau pun dari kayu-kayu
jati, menjulang melampaui tingginya benteng.
"Itulah pintu gerbang untuk memasuki pusat dayo, anak
muda. Raja dan para bangsawan tinggal di sana," kata
pemilik pedati. "Apakah Paman akan masuk ke sana?" tanya Ginggi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku ini hanya pedagang biasa. Keperluanku ke sini
untuk mengirim barang-barang dagangan ke pasar. Tidak
sembarangan orang masuk ke sana, apalagi malam hari.
Jadi, sebaiknya malam ini kau cari penginapan di luar
benteng. Esok hari baru minta izin jagabaya untuk bertamu
ke kediaman Pangeran Yogascitra," kata pemilik pedati.
Ginggi turun dari tumpukan kain dan mengucapkan
terima kasih karena dirinya diperkenankan menumpang
pedati. (O-anikz-O) Keramaian di Pakuan Ginggi berdiri sendirian di tepi alun-alun yang dikelilingi
pohon-pohon besar. Di sudut alun-alun dekat gerbang ada
tiga pohon amat besar. Daunnya rimbun dan rantingnya
bergayut ke permukaan tanah hampir-hampir menyerupai
jenggot raksasa. Di Puncak Cakrabuana pun pohon besar
seperti ini ada terdapat dan Ki Darma menyebutnya sebagai
pohon beringin. Hanya bedanya, beringin yang terdapat di
sudut alun-alun benteng luar ini nampak lebih terawat.
Batangnya tak memiliki lumut, sepertinya setiap hari ada
petugas yang khusus bekerja membersihkan lumut pohon
yang usianya pasti sudah amat tua ini.
Di depan pohon itu pun ada semacam tempat pemujaan.
Ada asap dupa mengelun dari sudut tempat pemujaan itu.
Bunga dan macam-macam sesaji juga nampak bertebaran di
sana. Ketika hari sudah hampir gelap benar, ada seorang
membawa pelita dan ditaruhnya di tempat pemujaan.
Ginggi melangkah menyusuri tepi alun-alun. Kata Ki
Banaspati, Pakuan inidayo (ibukota) yang amat ramai.
Penduduknya lebih dari limapuluh ribu orang dan jumlah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pasukan keamanan di seluruh negri berjumlah lebih dari
seratus ribu prajurit ditambah seribu orang perwira
pengawal raja. Berbicara soal pengawal raja, Ginggi jadi
teringat Ki Darma. Bukankah dulu orang tua ini bekerja
sebagai pengawal raja" Betapa besar sebetulnya jasa Ki
Darma. Dia mengabdi puluhan tahun kepada tiga orang
Raja Pajajaran yang berturut-turut memerintah di Pakuan.
Namun hanya karena Ki Darma selalu berani melontarkan
kritik terhadap raja, maka jasanya seperti tertimbun oleh
kesalahan ini. Tak ada orang yang berani memuja dan
memperlihatkan perasaan bangga terhadap Ki Darma,
sebab kata Ki Rangga Guna, siapa yang menyebut Ki
Darma akan dianggap punya hubungan tertentu dengan
orang tua itu. Dan yang memiliki pertalian dengan Ki
Darma akan ditangkap petugas karena akan mendapat
perlakuan yang sama, yaitu dituduh pemberontak.
"Hati-hati bila memasuki Pakuan, jangan sekali-kali
mengaku sebagai murid Ki Darma!" perkataan ini
dikeluarkan oleh Ki Banaspati dan Ki Rangga Guna dalam
tempat dan waktu yang terpisah.
Ginggi kembali melangkah menyusuri tepian alun-alun
yang sebagian ditumbuhi rumput hijau, sebagian lagi hanya
berupa tanah merah sedikit berdebu.
Ginggi membayangkan tempat ini sebagai wahana untuk
latihan perang-perangan para prajurut Pakuan. Mungkin
juga digunakan sebagai tempat berlangsungnya upacara
kebesaran raja dan berbagai demontrasi ketangkasan
berkuda atau permainan senjata. Tapi yang pasti terbayang
di pelupuk matanya adalah pertempuran besar di alun-alun
ini ketika pasukan misterius yang diduga dari Banten
diperintah oleh Sultan Hasanudin secara rahasia menyerang
Pakuan. Ki Rangga Guna mengabarkan, dalam pertempuran besar ini seribu pengawal raja mati-matian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menahan serangan prajurit tanpa identitas ini. Dan sekali
pun berhasil menghalau pasukan penyerbu tapi Pakuan
banyak kehilangan perwira tangguh. Dua Senopati
Pajajaran yang amat tangguh yaitu Tohaan Ratu Sangiang
dan Tohaan Sarendet tewas di medan laga. Kepahlawanan
kedua senapati ini kata Ki Rangga Guna banyak disebut
dan dibanggakan oleh prepantun (juru pantun, pembawa
cerita yang diambil dari kisah nyata) tapi sambil
meremehkan dan menyesalkan perbuatan Ki Darma yang
dianggapnya membuat gara-gara terjadinya serangan.
Hanya beberapa bulan setelah penyerbuan ini, khabarnya
Ki Darma mengundurkan diri dan langsung dituding
mengkhianati raja. Begitulah yang terjadi belasan tahun
silam di saat Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata.
Ginggi melangkah sunyi menyisir tepian alun-alun. Di
hatinya tetap ada kebanggaan terhadap Ki Darma, kendati
perasaan ini tetap disembunyikannya di lubuk hati paling
dalam. Sekarang Ginggi tiba di sebuah perempatan jalan.
Perempatan ini merupakan akhir dari alun-alun. Bila
Ginggi menengok ke kiri, di sepanjang jalan tepi benteng
istana nampak beberapa bangunan, terang benderang oleh
cahaya lampu gantung. Di sana terlihat banyak orang, ada
yang duduk-duduk di bangku panjang, ada juga yang
sekadar berjalan-jalan sambil melihat ke sana ke mari.
Ginggi menuju ke sana, kalau-kalau ada kedai nasi di
tempat itu. Dan benar perkiraan pemuda itu. Di sana terdapat juga
kedai makanan. Sudah terlihat banyak orang yang makan-
makan di sana. Nampaknya para pedagang atau para
pengirim barang yang baru datang kedayo ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ginggi menyelip duduk di antara dua pembeli yang
tengah makan nasi dengan lahapnya. Ketika Ginggi ikut
duduk, kedua orang itu menggeser duduknya untuk
memberi kaleluasaan kepada Ginggi. Yang seorang malah
mengangguk sambil menawari pemuda itu makan. Ginggi
hanya balas mengangguk sebagai tanda ucapan terima
kasih. Ginggi memesan nasi dan lauk-pauknya apa saja
menurut pilihan pemilik kedai.
Sementara menunggu penganan disodorkan, Ginggi
melirik ke kiri dan kanan. Di petak-petak lain terdapat juga
sekumpulan orang. Mereka tengah memperhatikan sekelompok lainnya yang duduk saling berhadapan dan
sibuk melakukan permainan judi. Macam-macam tingkah
lakunya. Ada yang cemberut, ada yang tegang, tapi
kebanyakan hanya berteriak-teriak memberi semangat.
Ginggi tersenyum tipis. Bila menyaksikan tingkah laku
mereka, di bumi Pajajaran ini sepertinya tak terjadi apa-apa.
Ada orang yang berjudi, tertawa dan bersenda gurau, hanya
menandakan kehidupan mereka damai dan tak kurang
suatu apa. Barangkali benar di dayo (ibukota) pusat
pemerintahan, orang tak merasakan berbagai kesulitan
berarti sebab segala keperluan hidup tersedia di sini. Tapi
barangkali juga tawa dan senda gurau di sini hanya bersifat
semu belaka. Ginggi pernah menyaksikan ada orang
tertawa padahal hatinya tengah dirundung duka. Ginggi
juga pernah melihat orang yang memiliki banyak masalah
tapi dia tak acuh dengan masalahnya karena sudah pasrah
terhadap kemelut hidup yang dideritanya.
Ketika makanan sudah disodorkan, Ginggi mulai makan
dengan lahapnya. Makanan yang disodorkan pemilik kedai
ini terasa enak dan nikmat. Barangkali karena memang
pandai mengatur bumbu masak. Tapi barangkali juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena pemuda itu sudah lama tak mendapatkan makanan
enak. Makanan enak yang dimakan terakhir kalinya yaitu di
kedai wilayah Tanjungpura. Sesudah itu, dia hanya makan
makanan yaang ada di hutan saja. Baru kali ini dia kembali
menemukan makanan yang begitu mengundang selera
makannya. Begitu asyiknya dia makan, sampai-sampai Ginggi tak
tahu bahwa yang duduk di samping kirinya sudah
tergantikan oleh orang yang baru datang. Ginggi tak akan
memperhatikan kalau saja orang itu tidak menepuk
bahunya dengan cukup keras.
"Hei!" kata orang di samping kirinya. Ginggi hampir saja
tersedak saking terkejutnya melihat siapa yang menepuknya
ini. "Eh " engkau Madi?" pekik Ginggi heran. Ya, Madi,
pemuda jangkung berkulit hitam bergigi tonghor sahabat
Seta, calon suami Nyi Santimi, secara tiba-tiba sudah ada di
sampingnya. Ginggi menatap pemuda tonghor ini. Bukan karena
heran mengapa Madi ada di Pakuan, sebab sejak dari
Sagaraherang pun Ginggi sudah mendengarnya ada
rombongan Suji Angkara yang "melarikan" diri menuju
Pakuan. yang diherankan Ginggi, penampilan Madi kini
lain. Dia tak lagi berkampret hitam dengan ikat kepala
hitam. Malam ini pemuda yang diketahui Ginggi sebagai
pemuda yang gampang marah tapi sedikit bodoh ini
dadanya lebih lebar dengan terbuka lebar karena
menggunakan pakaian rompi tanpa lengan dan baju
kancing. Bajunya dari kain tebal, ada ornamen warna perak
di sepanjang sisi-sisi bajunya. Kepala Madi pun tak
mengenakan ikat kepala. Sekarang rambutnya yang panjang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
digelung ke atas dan disisir cukup rapih. Ada gelang
menghias terbuat dari tanduk kerbau yang sudah diperhalus
dan diberi ukiran walau sedikit kasar buatannya. Gelang-
gelang itu satu pasang dikenakan sebagai penghias
pergelangan tangan dan satu pasang lagi dikenakan di
tangan bagian atas sikut.
Ginggi melirik ke bawah, pinggang Madi dibelit angkin
(sabuk kain) batik hihinggulan dan digunakan sebagai
pengikat kain warna ungu yang menutupi celanasontog
(celana panjang sebatas betis) warna hitam.
"Hei " kau ada di sini rupanya?" kata Ginggi menunjuk
hidung pemuda tonghor itu. Madi menepiskan telunjuk
Ginggi dengan gemas, namun Ginggi sudah lebih dahulu
menarik mundur telunjuknya.
"Sialan kau anak setan! Jangan sembarangan menyapa
orang. Kau tahu, siapa aku ini?" kata Madi melotot marah.
"Ya, siapa lagi" Bukankah namamu Madi" Ataukah
sekarang sudah kau ubah namamu" Apa namamu
sekarang?" tanya Ginggi cengar-cengir.
"Tengik kau! Namaku sejak dulu tak pernah kuubah!"
kata Madi masih gemas. Ginggi menggaruk-garuk kepalanya sebagai tanda
bingung. "Heran, namamu tetap Madi, tapi kau tak mau ku sapa
?" gumam Ginggi. "Namaku tetap Madi. Tapi cobalah kau sedikit sopan
padaku. Sekarang di sini aku bukan sebagai rakyat biasa
seperti tempo hari!" kata Madi sombong.
"Kau bukan rakyat lagi sekarang" Anak bangsawankah
engkau?" Ginggi tetap berpura-pura bodoh. Tuk! Ubun-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ubun kepalanya digetok Madi."Jangan kau hina aku. Aku
memang bukan anak bangsawan. Tapi di Pakuan sini siapa
tak kenal Madi prajurit keraton?" kata Madi tersenyum
lebar. "Wah, kau jadi pegawai istana rupanya! Aku bangga
padamu!" Ginggi hahah-heheh ketawa. Madi pun ikut
ketawa senang mendengar Ginggi bangga dan kagum
padanya. "Yang lainnya bagaimana" Apakah semua sama bernasib
baik sepertimu, Madi?"
"Ya, semua bernasib lumayan. Seta, Ki Ogel dan Ki
Banen, semuanya menjadi abdi dalem istana,"
"Hebat!" "Segalanya berkat Raden Suji Angkara," kata Madi.
Ginggi mulutnya menganga. "Aku memang sudah
menduga sejak dulu. Raden Suji Angkara memang bukan
orang sembarangan. Dia sebetulnya putra Juragan Bagus
Seta!" "Bagus Seta?" "Sssst!!!" Madi membekap mulut Ginggi yang bicara
terlalu keas. Dan Ginggi meronta-ronta karena tangan Madi
terlalu lama membekapnya "Mengapa kau bekap mulutku?" tanya Ginggi tak
senang. "Mengapa kau berteriak tak sopan" Kau harus tahu diri
di sini, tolol! Juragan Bagus Seta kau sebut begitu saja. Itu
tak sopan namanya!" kata Madi berdesis marah. Ginggi
memang tadi secara tak sadar berseru menyebut nama
Bagus Seta seenaknya saja. Itu karena saking kagetnya.
Tidakkah yang di maksudnya adalah Ki Bagus Seta murid


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kedua Ki Darma" Betulkah sekarang di Pakuan sudah jadi
bangsawan" Hebat sekali. Ginggi tak boleh terlihat oleh
Madi bahwa dirinya memperhatikan Ki Bagus Seta secara
khusus. Untuk itulah kini dia mengalihkan pembicaraan.
"Prajurit Madi, kau katakan tadi Raden Suji Angkara
putra Bangsawan Bagus Seta. Bukankah di Desa Cae
pemuda tampan itu anak Ki Suntara Kuwu Cae?" tanya
Ginggi. "Ya, aku juga dulu menduga demikian. Barangkali
semua penduduk Cae pun berpikiran begitu. Tapi selama di
perjalanan mengikutinya, terkesan bahwa dia bukan
pemuda sembarangan. Tindak-tanduknya seperti bangsawan. Kekayaannya pun jauh lebih besar ketimbang
yang dipunyai seorang kuwu. Raden Suji Angkara bukan
anak seorang kuwu, melainkan memang putra bangsawan
asli yang di dayo ini sudah cukup terkenal," kata Madi.
Akhirnya pemuda itu pun menerangkannya panjang-
lebar. Bahwa sebetulnya Suji Angkara ini benar-benar putra
Ki Bagus Seta. Akan halnya hubungannya dengan Kuwu
Suntara, karena ibunda Suji Angkara dulu merupakan istri
Kuwu Suntara. Bagaimana caranya istri Kuwu Suntara
"berpindah" menjadi istri Ki Bagus Seta, Madi tidak
mengetahuinya. "Biarlah itu urusan orang-orang besar dan tak ada
pertaliannya dengan urusanku. Aku tak perlu tahu," kata
Madi. Ginggi pun mengangguk tanda menyetujui. Padahal
di lubuk hatinya berkata lain. Ini masalah tambahan yang
cukup menarik buat dirinya. Dari Sagaraherang Ginggi
disuruh Ki Banaspati untuk membuntuti Suji Angkara
untuk kemudian harus dibunuhnya. Tapi di lain fihak
pemuda pesolek ini terbukti putra Ki Bagus Seta. Mustahil
Ki Banaspati yang sering tinggal di Pakuan dan merupakan
tangan kanan muhara (petugas penarik pajak negara) tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tahu bahwa Ki Bagus Seta juga ada di Pakuan dan menjadi
bangsawan istana. Mustahil Ki Banaspati tak tahu bahwa
Suji Angkara putra Ki Bagus Seta. Sampai di sini, jalan
pikiran Ginggi terhenti. Sepasang alisnya yang tebal
membentuk golok melengkung karena benaknya berpikir
keras. Ini memang aneh dan penuh misteri. Kalau Ki
Banaspati harus mengetahui bahwa Suji Angkara putra Ki
Bagus Seta, mengapa pemuda itu sendiri seperti tidak kenal
siapa sebenarnya Ki Banaspati"
Menurut penelitian Ginggi, hubungan Suji Angkara
dengan Ki Banaspati ketika itu hanya sebatas hubungan
kerja semata. Suji Angkara dikenal sebagai pembantu
utama Ki Banaspati dalam mengurusi seba ke wilayah
timur. Lain dari hubungan itu, sepertinya Suji Angkara tak
tahu apa-apa. Ginggi pun teringat kembali, betapa dalam
percakapan dirinya dengan Ki Banaspati di Sagaraherang,
Ki Banaspati tak pernah mengungkit-ungkit bahwa Ki
Bagus Seta ada di Pakuan. Ki Banaspati dalam
percakapannya dengan Ginggi tempo hari seolah-olah
menampakkan kesan bahwa dia tak pernah tahu di mana
para saudara seperguruannya berada. Sekarang baru
ketahuan, bahwa ada dugaan Ki Banaspati sudah tahu
saudara seperguruannya ada di Pakuan dan sama-sama
mengabdi di istana, tapi ada kesan "diatur" bahwa satu
sama lain tak saling kenal. Mungkinkah keduanya menjalin
kerjasama rahasia sehingga hubungan mereka perlu
disembunyikan dari pengetahuan orang lain"
Ginggi punya dugaan keras ke arah itu. Apalagi semua
murid Ki Darma harus merahasiakan identitas masing-
masing, terutama karena pertaliannya dengan Ki Darma.
Baik Ki Bagus Seta mau pun Ki Banaspati dipastikan
Ginggi bisa memasuki istana karena mengubur identitas diri
mereka terhadap hubungannya dengan Ki Darma.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Betulkah kedua orang itu menjalin kerjasama untuk
mengejar satu tujuan" Bila begitu halnya, mengapa Ki
Banaspati harus membunuh Suji Angkara hanya karena
pemuda itu menyibak rahasia kegiatannya dalam "merampok" dan menggelapkan hasil kekayaan seba" Bila
Suji Angkara harus dibunuh, berarti rahasia kegiatannya
tidak boleh diketahui Ki Bagus Seta. Atau, bisa juga Ki
Bagus Seta juga sama-sama berkomplot mempermainkan
seba untuk Pakuan. Hanya saja Ki Banaspati benar-benar
tak tahu bahwa Suji Angkara orang Pakuan dan putra
saudara seperguruannya. Ginggi memijit-mijit dahinya. Semua yang dia uraikan di
dalam hatinya hanyalah perkiraan-perkiraan semata. Untuk
meneliti kebenarannya dia harus langsung terjun menyelidikinya. "Prajurit Madi, tolong bawalah aku pada Raden Suji
Angkara," pinta Ginggi tiba-tiba.
"Ya, aku akan bawa kau ke hadapan Raden Suji
Angkara. Mudah-mudahan kau dihukum berat!" kata Madi
dengan mulut tersenyum penuh ejekan.
"Lho, mengapa aku harus dihukum?" tanya Ginggi
heran. "Akan aku katakan kau pengkhianaat, sebab kau malah
tinggal di Sagaraherang ketika kami pergi!" kata Madi.
"Malah kalian yang aku tuduh pengkhianat!" teriak
Ginggi balas menudingkan telunjuk.
Giliran Madi yang heran. "Mengapa malah kami yang kau anggap pengkhianat,
anak tolol?" sergah Madi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Habis, kalian secara tiba-tiba meninggalkan diriku di
Sagaraherang. Kalian tinggalkan pula beberapa orang
pemikul dongdang. Bukankah kau pun tahu aku ikut
rombongan kalian dan Raden Suji Angkara pun sudah
setuju aku ikut kerja padanya?" tanya Ginggi. Madi
mengedip-ngedipkan kedua matanya sambil tertunduk ke
bawah bangku. "Ayo, coba siapa yang mengkhianati" Aku tersaruk-saruk
di hutan, kabur dari Sagaraherang, sebab ketika kalian
pergi, orang Sagaraherang menjadi beringas dan seperti
mau membunuhku. Aku akhirnya lari, ke mana saja, sebab
aku tak tahu ke mana aku harus pergi. Berbulan-bulan
kemudian, baru aku tiba di sini. Eh, aneh sekali, kau ada di
sini. Hanya bedanya, engkau demikian maju di sini,
sedangkan aku penuh derita ?" Ginggi bicara sedikit
ngibul. Madi terkekeh-kekeh mentertawakan nasib "buruk"
yang menimpa Ginggi. Tapi serentak tawanya hilang ketika
Madi meneliti keadaan tubuh Ginggi.
"Kau membual anak tolol. Kalau kau katakan kau
berkelana penuh derita, mengapa kau mampu masuk ke
kedai ini dan mengambil makanan-makanan enak"
Pakaianmu juga mencurigakan. Itu pakaian golongan
santana (masyarakat golongan menengah) kendati terlihat
dekil," kata Madi. "Nah, dekil, kan?" Ginggi tak kehilangan akal untuk
terus ngibul. "Selama mengembara kesana-kemari aku kerja
apa saja. Sekarang aku sedikit punya uang dan juga punya
pakaian santana kumal karena ketika aku berhenti kerja,
majikan memberiku bekal-bekal seperti ini," kata Ginggi.
"Hm, begitu, ya ?" Madi mengangguk-angguk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah, sekarang coba aku bawa pada Raden Suji Angkara
agar aku tak tersaruk-saruk mencari pekerjaan!" kata Ginggi
lagi. "Enak saja mau cari kerja di istana!" dengus Madi.
"Hanya orang-orang cakap dan pandai berkelahi saja yang
bisa diterima bekerja di Pakuan. Sedangkan kau bisa apa?"
"Tempo hari Ki Banen sudah bersedia mengajariku ilmu
berkelahi padaku, agar lain kali aku bisa mengalahkanmu!"
kata Ginggi. Madi terkekeh-kekeh mendengar ucapan Ginggi ini.
"Boleh kau minta latih sama Ki Banen. Limapuluh tahun
baru kau bisa menandingiku, anak tolol!" kata Madi.
"Baik, akan kubuktikan limapuluh tahun lagi!" kata
Ginggi tak kepalang ngaco.
Madi hanya tertawa-tawa saja.
"Boleh, besok aku bawa kau kepada Raden Suji
Angkara!" kata Madi. Ginggi bersyukur dalam hatinya
bahwa pada akhirnya dia sanggup menundukkan pemuda
bodoh ini kendati harus perang mulut gila-gilan.
"Nah, kalau begitu malam ini aku ikut numpang tidur di
rumahmu!" kata Ginggi.
"Enak saja! Kau cari tempat tidur sendiri. Di tepi-tepi
tembok benteng dalam, banyak emperan. Tidurlah di emper
sana!" kata Madi berjingkat dan berlalu.
"Hei, dimana aku bisa menemuimu besok?"
"Ya, kau tunggulah di kedai ini!" kata Madi sambil
negeloyor pergi. "Atau di alun-alun sebab akan ada
keramaian," lanjutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda bodoh, pikir Ginggi. Tapi dia pun tetap memuji
Madi sebagai orang jujur dan cukup punya perasaan.
Buktinya, pemuda itu mau juga meluluskan dia ikut kerja
dengan Suji Angkara. Ginggi tak begitu sulit mencari tempat untuk menginap.
Banyak kedai makanan yang juga menyediakan tempat
untuk menginap. Esok paginya Ginggi sudah berjalan-jalan di seputar
dayo. Pada siang hari. Kesibukan nampak lebih meningkat.
Dari wilayah seputarnya kaum pedagang memasuki pusat-
pusat keramaian dan mereka menggelar dagangan di sana,
seperti sayur-sayuran, umbi-umbian, buah-buahan, atau
barang keperluan sehari-hari. Ada juga orang mencari
penghasilan dengan berdagang bermacam obat-obatan
untuk menanggulangi berbagai penyakit. Di satu sudut
bahkan ada orang memamerkan kepandaian aneh semacam
permainan sulap. Penonton bertepuk tangan gembira bila
pesulap itu berhasil memamerkan satu kepandaian yang
mencengangkan. Atau penonton terkekeh-kekeh bila
pesulap memperlihatkan tindak-tanduk lucu. Anak-anak
terbahak-bahak dan para gadis menahan tawa dengan jalan
menutup mulutnya. Semakin siang jumlah yang datang semakin banyak juga.
Tua-muda, besar-kecil, lelaki dan wanita seperti beriringan
seperti hendak menuju satu tempat. Pakaian mereka bagus-
bagus. Beruntung Ginggi sempat mengganti pakaiannya,
sehingga dia pun nampak sebagai pejalan kaki dari
kalangan kaum berada. Pakaian yang dikenakannya, baju
kurung dari kain halus warna merah darah dengan ikat
kepala warna yang sama. Celananya jenis komprang dan
diikat dengan ikat pinggang kain. Semuanya hasil
pemberian Kuwu Wado. Mengenai jenis kain halus yang
dipakainya, baru akhir-akhir ini saja Ginggi tahu bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kain seperti ini dibeli dari pedagang asing, kalau tidak dari
Parasi (Parsi) mungkin dari Cina. Termasuk barang langka,
apalagi di saat- saat sekarang ini hubungan dagang di pantai
utara sudah tak mungkin dilakukan. Kalau pun masih
terdapat, khabarnya harganya cukup mahal sebab barang-
barang itu bisa masuk ke Pakuan melalui beberapa tangan.
Bila dulu sebelum pelabuhan-pelabuhan utama direbut
Cirebon dan Demak, hubungan dagang antara Pakuan
dengan negri-negri sebrang bisa langsung dilakukan,
sekarang harus menggunakan perantara. Salah satu
perantara di antaranya adalah para pedagang yang sudah
berpihak kepada kekuatan agama baru di pesisir. Merekalah
yang melakukan transaksi langsung dengan saudagar negri
sebrang. Barang-barang itu, sedianya hanya boleh
diperdagangkan di wilayah-wilayah kekuasaan agama baru
saja. Dan orang-orang Pajajaran merupakan santapan
empuk, sebab mereka yang sudah sejak dulu terbiasa
menggunakan barang-barang indah, terutama dari kalangan
santana sampai bangsawan, selalu tetap memerlukannya.
Ginggi sebetulnya tak senang menggunakan pakaian-
pakaian mewah ini. Tapi apa daya, di buntalan pakaiannya
hanya terdapat tiga pasang pakaian mewah hasil pemberian
Kuwu Wado dan juga dari Ki Sunda Sembawa. Ada
kampret halus warna kuning emas dan satunya warna biru
tua terbuat dari kain agak tebal namun tetap halus. Warna
merah darah yang dikenakannya sebetulnya hanya pantas
digunakan oleh pemuda pesolek saja. Dan melihat
potongan tubuh Ginggi yang semampai, berdada bidang,
serta kulit wajah putih dengan hidung agak mancung
bermata bundar dan sepasang alis tebal seperti golok
melengkung, segalanya pas menggambarkan dia pemuda
pesolek dari kalangan santana (kaum menengah). Banyak
gadis terpaksa melirik atau menyapu dengan kerlingan
ketika berpapasan dengannya. Bahkan para pemuda
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebayanya menatap bagaikan penuh rasa iri karena
menganggap Ginggi seperti memamerkan wajah tampan
yang dibalut pakaian mewah.
Ginggi ikut ke mana orang menuju. Sekarang baru ingat,
tadi malam pemuda Madi berkata di alun-alun akan ada
keramaian. Keramaian apa, Madi tak menjelaskan. Hanya
saja tadi malam pemuda itu akan menunggunya di alun-
alun. Ginggi bergegas menuju alun-alun. Di lain fihak ingin
segera bertemu Madi, di lain fihak lagi ingin segera melihat


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentuk keramaian itu. Alun-alun tidak terlalu jauh. dan sebentar kemudian dia
sudah berada di tempat itu. Di sana sudah banyak orang
berkerumun dan bergerombol, atau berderet di sepanjang
sisi alun-alun. Seputar alun-alun sudah dikelilingi penonton.
Ginggi melihat berkeliling. Ternyata di sisi bagian alun-
alun, ada sebuah panggung berhias diapit dua bangunan
bertenda memanjang di kiri kanannya. Semuanya dihiasi
kain warna-warni. Di setiap ujungnya tertancap umbul-
umbul. Demikian pun di depan, umbul-umbul bahkan
berderet lebih banyak lagi. Ginggi heran, kapan panggung
ini dibuat, bukankah kemarin senja suasana di alun-alun
masih sepi" Melihat kenyataan ini, hanya menampilkan
bahwa orang-orang Pakuan terampil dalam bekerja.
"Paman, akan ada keramaian apakah ini?" tanya Ginggi
pada seorang lelaki setengah baya yang ada di sampingnya.
"Hari ini akan diadakan uji ketrampilan. Sang
Susuhunan Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan memerlukan prajurit-prajurit pilihan untuk kelak dididik
dan dipersiapkan menjadi perwira pengawal Raja. Sekarang
seribu pengawal Raja sudah banyak yang berusia lanjut dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perlu penggantinya," kata lelaki setengah baya itu
menjelaskan. Kata orang itu Susuhunan Pakuan, Prabu Ratu Sakti
Sang Mangabatan berkenan menyaksikan uji ketrampilan
ini bersama para pejabat lainnya. Ketika mendengar
keterangan ini, hati Ginggi bergetar. Nama Prabu Ratu
Sakti Sang Mangabatan sudah sejak lama dia dengar
melalui mulut Ki Darma. Tiga tahun sebelum Sang
Susuhunan ini memerintah, Ki Darma sudah mengundurkan diri dari kegiatan di istana. Namun kendati
begitu, kata Ki Darma, raja ini mengenalnya sejak menjadi
putra mahkota. Namun jauh sebelum putra mahkota
inidiwastu (dinobatkan), hubungannya dengan Ki Darma
sudah kurang baik. Itulah sebabnya, jauh hari sebelum
putra mahkota dinobatkan, Ki Darma mengundurkan diri,
yang belakangan dituduhnya sebagai pengkhianat dan
pemberontak. Sekarang Ginggi akan melihat dengan mata kepala
sendiri, Raja Pajajaran yang berkedudukan di Pakuan ini.
(O-anikz-O) Keramaian di Alun-alun Ketikacahaya matahari menyorot hangat lewat celah
dedaunan pohon beringin, terdengar bunyi suara gong yang
dipukul tiga kali. Serentak dengan itu terdengar pula suara
gamelan yang ditabuh dari pinggir balandongan.Lawang
saketeng (pintu gerbang) benteng dalam terkuak lebar,
dibuka oleh delapan prajurit berpakaian lengkap. Penonton
yang tepat berada di depanlawang saketeng yang tadinya
bergerombol menutupi pinggir alun-alun segera menguak
sambil membalikkan badan menghadap lawang saketeng.
Suara gamelan ditabuh demikian bersemangat dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ambarahayat yang ada di seputar alun-alun mendadak
duduk berlutut, tangan menyembah takzim dan kepala
tertunduk ketika dari dalam benteng keluar iring-iringan.
Ginggi menoleh ke kiri dan kanan. Namun ketika
dilihatnya ada prajurit melihat dirinya dengan mata
melotot, dia segera ikut berlutut dan kedua tangan
menyembah takzim. Ginggi sebenarnya ingin menunduk juga. Tapi hati dan
perasaannya tak kuasa membendung keinginannya untuk
menyaksikan iring-iringan yang keluar dari pintu benteng
itu. Dan kendati dengan wajah tertunduk, tapi mata Ginggi
memaksakan diri untuk mengerling guna melihat iring-
iringan. Itu nampaknya sebuah iring-iringan besar. Mula-mula
ada barisan pengawal berjumlah duabelas prajurit.
Semuanya berambut panjang digelung ke atas dan disisir
rapi. Kepalanya masih diikat oleh semacam pengikat kepala
terbuat dari ornamen logam. Duabelas prajurit pengawal ini
hanya bertelanjang dada, namun leher dan sepasang
tangannya dihiasi pinggel (gelang) logam warna perak.
Semuanya bercelanasontog terbuat dari beludru kasar tapi
diberi ornamen kerlap-kerlip warna perak. Duabelas orang
prajurit pengawal ini semua memakai kain batik kebat tapi
dilipat dua, kecuali satu ujungnya dibiarkan terbuka hampir
menjuntai ke bawah. Duabelas prajurit pengawal ini memegang senjata di
tangan kanan dan perisai logam di tangan kiri. Enam orang
bersenjatakan tombak, enam orang lainnya memegang
pedang terhunus. Mereka berbaris raph dengan irama
langkah yang sama. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rombongan kuda keluar dari lawang seketeng.
Jumlahnya ada duabelas prajurit juga. Mereka pembawa
bendera dan umbul-umbul. Sesudah itu, rombongan ketiga
keluar pula. Mereka bukan prajurit dengan langkah gagah
dan wajah tegang, melainkan rombongan gadis-gadis
dengan lemah gemulai membuat orang terpesona memandangnya. Melalui sudut matanya Ginggi menghitung ada sekitar
empatpuluh orang gadis yang wajahnya molek-molek.
Rombongan gadis itu semua menggunakan kain warna
hijau muda dan ke atas memakai pakaian kebaya warna
kuning. Ada selendang tipis warna hijau tua melintang di
leher masing-masing, menutupi sebagian leher dan dada
bagian atas yang putih mulus, membuat kaum lelaki greget
melihatnya. Rombongan empatpuluh gadis cantik ini semuanya
membawa tempayan perak dengan setumpuk bunga warna-
warni di atasnya. Kini suara gamelan mengalun pelan ketika rombongan
ketiga keluar dari lawang saketeng, Rombongan ini diawali
oleh barisan pengawal dengan senjata trisula lengkap
dengan perisai di tangan kiri. Mereka gagah-gagah,
jumlahnya sekitar duabelas orang pula.
Serasa bergetar dada Ginggi ketika lirikan matanya
menyaksikan siapa yang keluar dari lawang saketeng ini.
Enam orang prajurit memanggul jampana (alat angkut yang
diusung) dengan posisi dua orang-dua orang mengusung
tangan-tangan jampana di bagian depan, serta dua orang-
dua orang lagi mengusung tangan-tangan jampana di
bagian belakang. Siap yang duduk menumpang jampana
kayu halus berukir indah dengan motif ukir burung garuda
ini membuat dada Ginggi kembali bergetar hebat.
Barangkali, ya, barangkali inilah Sang Susuhunan Pakuan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
raja keempat Kerajaan Pajajaran, atau raja urutan
ketigapuluh delapan dari susunan raja-raja dari Kerajaan
Sunda yang didirikan Sri Maharaja Tarusbawa, hampir 900
tahun lampau (9670 M) bila dihitung sampai pengangkatan
raja hari ini yaitu Ratu Sakti Sang Mangabatan (1543-1551
M). Menyaksikan iring-iringan besar yang menuju alun-alun
ini, di telinga Ginggi terngiang kembali tembang-tembang
prepantun yang pernah dia simak di Desa Cae beberapa
bulan silam Singasari keri-kanan payung wilis lilingga gading
dipuncakan manik molah payung getas dililinggaan dipuncakan ku omas deung
payung saberilen beunang ngagaler ku lungsir tapok terong
emas keloh gelewer paranjang papan kikiceup deungeun
lilieuk deg semut sama sadulur petana tataman indah Bur
kadi kuta manglayang Lumenggang di awang-awang Juru
kendi tipandeuri Juru kandaga tiheula Deung sawung galing
kiwa tengen Di tengah kidang kancana Saha nu di singa
barong Bur tiheula ler pandeuri Satangganan lain deui
Itulah tembang-tembang prepantun dalam memberitahukan
kepindahan iring-iringan rombongan Sri Baduga Maharaja bersama para istri dari
dayo (kota) lama Galuh (Ciamis)
ke dayo baru Pakuan (Bogor) pada tahun 1482 Masehi,
atau 30 tahun silam sebelum hari ini. Barangkali iring-
iringan perjalanan Sri Baduga Maharaja dari galuh ke
Pakuan yang terbesar, tapi iring-iringan Prabu Ratu Sakti
Sang Mangabatan yang juga disebut Sang Prabu Dewata
Buana adalah yang termegah kendati hanya melakukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
iring-iringan dari istana menuju alun-alun benteng luar di
tepi Sungai Cisadane ini.
Semua ambarahayat diperintahkan untuk berdiri kembali
oleh teriakan dan aba-aba seorang prajurit yang berdiri di
tepi balandongan atau panggung. Dan mendengar aba-aba
ini, serentak semua orang berdiri. Ginggi pun berdiri dan
tatapannya langsung ke arah balandongan, Empatpuluh
gadis cantik nampak berjejer di depan balandongan, dan
menaburkan bunga warna-warni kepada seseorang yang
duduknya terpisah di sebuah singgasana kayu mengkilap.
Ginggi berdiri tidak terlalu depan, tapi juga tidak terlalu
jauh, sehingga sanggup menyaksikan orang yang duduk di
singgasana itu. Ginggi hampir-hampir tak sanggup menatap
lama kepada orang itu. Barangkali karena Ginggi sadar
bahwa yang ditatapnya adalah seorang raja dari kerajaan
yang pernah mengalami zaman keemasan puluhan tahun
silam. Atau, barangkali memang benar orang itu amat
berwibawa. Sang Raja duduk tegap dengan anggunnya. Usianya
sekitar empatpuluh tahunan, tapi begitu nampak muda.
Kulit wajahnya nampak putih halus dan seperti bercahaya.
Matanya bening dengan sorot tajam penuh keyakinan.
Hidungnya mancung dan bibirnya tipis, lebih tampan lagi
karena dihiasi kumis tipis. Di atas kepalanya terpasang
mahkota yang dihiasi emas murni. Sepasang telinganya
dihiasi susumping juga mengkilap kuning karena terbuat
dari logam emas. Itulah mungkin Makuta Binokasih
Sanghyang Pake ( kini disimpan di Museum Geusan Ulun,
Sumedang), mahkota Raja Pajajaran yang dibuat Oleh
Prabu Bunisora untuk digunakan Raja Pajajaran pertama,
yaitu Sri Baduga Maharaja (1482-1521 Masehi) dan
kemudian secara turun-temurun dipakai oleh raja-raja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seterusnya (hingga Prabu Geusan Ulun, Raja Kerajaan
Sumedanglarang, sesudah Pajajaran hancur).
Sang Prabu memakai baju kurung tipis dari kain sutra
warna kuning muda tanpa lengan. Namun sepasang
tangannya dihiasi gelang-gelang emas, baik gelang untuk
pergelangan atau tangan di dekat bahu. Leher Sang Prabu
pun dihiasi kalung emas susun tiga membentuk daun dan
kembang. "Hhm " gagah benar Sang Susuhunan," lelaki setengah
baya yang berdiri di samping Ginggi berdecak kagum,
"Lihatlah anak muda, beliau menggunakan Makuta Emas
binokasih Sanghiang Pake, yang dulu dipergunakan Sang
Susuhunan Sri Baduga Maharaja, atau bergelar Sang Ratu
Jaya Dewata, atau lebih harum lagi disebut sebagai Prabu
Siliwangi. Lihatlah pula benten emas yang membelit
pinggangnya, ataupun susumping garuda mungkur yang
terpasang di kedua telinga Sang Prabu. Oh, serasa aku
kembali ke zaman kebesaran Pakuan ketika Sang
Susuhunan Sri Baduga Maharaja masih ada," gumam lelaki
setengah baya ini. Ginggi menoleh, ternyata ada genangan
airmata meleleh di sepasang pipinya lelaki itu.
Hanya sebentar saja Ginggi mencari makna dari ucapan
ambarahayat ini sebab dari tepi balandongan ada terdengar
lagi teriakan prajurit yang menyuruh semua orang diam dan
menundukkan kepala. Semua orang tertunduk dan suasana
kembali hening. Di tengah hening ini terdengar lantunan
doa-doa yang rupanya diucapkan seorang wiku (pendeta).
Dengan nada-nada bergetar meraga sukma, sang wiku
membaca doa berpanjang-panjang. Dia berdoa semoga
Pakuan beserta Pajajaran tetap berdiri dengan kokoh
sentosa, raja bahagia dan rakyat sejahtera. Bagaimana agar
kesejahteraan bisa terangkum secara lahir batin, maka sang
wiku memberi petuah: Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suku milang awak urang lamun salah langkah eta matak urang papa leungeun lamun salah cokot
eta matak urang papa ceuli lamun salah denge eta matak
urang papa panon lamun salah jeueung eta matak urang
papa irung lamun salah ambeu eta matak urang papa
"Jangan terlalu lama berhenti, agar tidak terlanjur, agar
tidak terpengaruh penglihatan, agar
tidak terpengaruh oleh pendengaran, ujar-ujar jangan
khilaf, ingat-ingat jangan lupa," ujar
sang wiku. Selanjutnya sang wiku kembali berdoa untuk
kesejahteraan Pajajaran beserta seluruhpenghuninya :
Hati tiba tak diajak Hati datang tak diundang Yang setia selalu berhasil


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suka tanpa mengenal duka Kenyang tanpa mengenal lapar
Hidup tanpa mengenal maut
Bahagia tanpa mengenal papa
Baik tanpa mengenal buruk
Pasti tanpa mengenal kebetulan
Moksa, lepas Tanpa mengenal ulangan hidup
"Itulah Purohita (pendeta tinggi negara) Ki Raga Suci.
Dia sudah menjadi Purohita Pakuan sejak zaman Sang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Susuhunan Sri Baduga Maharaja," tutur lelaki setengah
baya di samping Ginggi. Ginggi tak sempat mengiyakan
omongan orang itu, sebab tiba-tiba semua ambarahayat
berteriak gemuruh. Semuanya mengucapkan selamat pada
Raja. Panjang umur dan hidup sejahtera!
Sang Susuhunan Prabu Sakti Sang Mangabatan berdiri
sejenak, melambai-lambaikan tangan ke segala penjuru
dengan senyum dan mata berbinar terang.
Masih terus melambaikan tangan dan sepasang matanya
mengerling kesana-kemari sebab gemuruh ambarahayat
belum juga reda. Purohita Ki Raga Suci mengangkat tangan memberi
aba-aba agar ambarahayat berhenti dan memberikan
kesempatan kepada Raja untuk berbicara. Dan semu orang
yang ada di seputar alun-alun mendadak diam seperti kena
sirep, Ribuan ambarahayat menyorotkan mata tanpa
berkedip ke arah balandongan di mana Sang Prabu berdiri.
"Tak ada masa sekarang bila tak ada masa lalu. Namun
juga masa lalu bisa berlanjut karena ketegaran masa
sekarang," ujar Sang Prabu dengan suara halus namun
mengandung wibawa yang tinggi.
"Puluhan tahun Kerajaan Pajajaran berdiri, bahkan
ratusan tahun Kerajaan Sunda ini tetap utuh. Kita tetap
kokoh, kita tetap berdiri dan sanggup bertahan dari
gangguan musuh karena setiap generasi yang diberi
tanggung jawab untuk mempertahankan negri sanggup
menjaga dengan baik. Pajajaran tetap ada karena selalu
memiliki raja yang kuat dan rakyat yang setia. Oleh sebab
itu, aku sebagai Susuhunan Pakuan, tetap menyuruh kalian
ambarahayat, agar selalu setia kepadaku. Kesetiaanmu
padaku, hanya berarti kalian mempertahankan keberadaan
Pajajaran," ujar Sang Prabu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ambarahayat masih diam terpana mendengarkan ujar-
ujar Sang Prabu Ratu Sakti.
"Pajajaran masih tetap besar. Tapi Pajajaran juga tengah
prihatin. Wilayah kekuasaan kita sekarang tidak seutuh
masa-masa lalu. Wilayah Pajajaran di pantai utara dan
barat telah direbut musuh, sehingga perdagangan kita
terganggu dan penghasilan negri berkurang. Musuh bisa
merebut wilayaah kita satu-persatu barangkali karena
mereka kuat, tapi juga bisa berarti karena tidak semua
ambarahayat bersetia penuh kepada negara. Aku dengar di
wilayah timur beberapa negri kecil yang dulu ada di bawah
Pakuan sudah berpaling kepada kekuatan agama baru.
Mereka sudah tidak membayar seba ke Pakuan. Dengan
demikian penghasilan negara semakin kecil jua. Itulah
sebabnya, semua ambarahayat harus semakin setia terhadap
Pakuan. Aku selalu memerintahkan muhara untuk terus
meningkatkan hasil seba dari kalian karena keadaan yang
kian mendesak ini. Kalau kalian tak mengeluh oleh seba
yang ditarik semakin tinggi oleh muhara, maka kalian akan
menjadi ambarahayat yang berarti sebab telah berkorban
demi kebesaran Pajajaran!" kata Sang Prabu dengan suara
yang ditinggikan. Ambarahayat masih tetap diam. Ginggi melirik ke
samping, lelaki setengah baya nampak menunduk sambil
berpangku tangan. "Kita akan tetap berusaha mempertahankan kebesaran
Pajajaran. Pakuan akan tetap berusaha mempertahankan
pengaruhnya di wilayah timur Sungai Citarum. Beberapa
daerah Kandagalante yang ada di timur sudah aku setujui
untuk menambah kekuatan prajurit dan jagabaya. Itu untuk
menjaga rongrongan dari kekuasaan Demak dan Cirebon.
Pembentukan kekuatan di wilayah-wilayah timur akan
semakin ditingkatkan sebab barangkali kelak bukan sekadar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertahan saja tapi pun akan berusaha mengembalikan hak-
hak kita yang telah hilang," seru Sang Prabu.
"Sekarang Pajajaran memiliki seratus ribu prajurit dan
seribu orang perwira pengawal raja. Jumlah prajurit akan
selalu ditingkatkan dan seribu perwira pengawal raja harus
selalu memiliki cadangan. Dan hari ini saatnya menguji
ketrampilan. Akan ada ujian tingakat bagi prajurit-prajurit
pandai. Bila benar-benar ketangguhan dan kemampuannya
meningkat dan lulus dalam ujian, maka prajurit itu akan
diangkat menjadi perwira kerajaan!" ujar Sang Prabu.
Terdengar sorak-sorai di kiri kanan alun-alun karena
ratusan prajurit berteriak-teriak sambil menacung-acungkan
senjatanya masing-masing.
"Juga akan ada ujian ketangkasan bagi ambarahayat
yang akan menyediakan dirinya menjadi prajurit Pakuan!"
kata pula Sang Prabu. Kini sorak-sorai terdengar lebih membahana sebab keluar
dari mulut ambarahayat yang jumlahnya ribuan di seputar
alun-alun itu. "Nanti para senapati dan perwira yang akan mengatur
tata-cara uji ketangkasan ini," kata Sang Prabu mengakhiri
pidatonya. Beliau kembali melambai-lambaikan tangan dan
disambut gemuruh tepukan ambarahayat.
Sang Prabu kembali duduk di singgasana yang diikuti
oleh suara tetabuhan bertalu-talu dengan irama penuh
semangat. Berbareng dengan itu, dari bawah balandongan berturut-
turut naik para wanita yang berpakaian indah-indah dengan
wajah molek-molek. Mereka duduk berjajar rapi tepat di
belakang Sang Prabu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Paman, banyak wanita cantik berderet di belakang Sang
Prabu, siapakah mereka?" tanya Ginggi menatap tak habis-
habisnya kepada deretan wanita jelita itu.
"Itulah para bidadari, putri-putri istana penghuni Taman
Mila Kancana, berselampai sutra Cina, beramben corak
manikam dan bersanggul penggetar cinta!" kata lelaki
setengah baya itu. Ginggi mengangguk dan amat setuju
dengan ungkapan indah penduduk Pakuan ini.
Apalagi di saat gemerlap dengan segala kebesarannya,
sedangkan di hari-hari kelabu, ambarahayat Pajajaran selalu
memuji-muji eloknya penghuni Pakuan.
Ginggi sejak tadi hanya memperhatikan ke arah
balandongan saja di mana Sang Prabu beserta para putri
cantik berada. Padahal di kiri kanan balandongan masih
terdapat panggung-panggung bertenda yang banyak digunakan orang untuk duduk berderet. Dan Ginggi
tersentak kaget sebab di antara deretan orang, terdapat
beberapa orang yang dikenalnya dengan baik.
Di sana ada Ki Banaspati. Dia menggunakan pakaian
senting (bedahan lima) terbuat dari kain beludru hitam.
Kepalanya ditutup bendo dari kain batik corak alas-alasan.
Tidak bersua hampir sepuluh bulan lamanya, tidak ada
perubahan di wajah Ki Banaspati. Tubuhnya masih tetap
tegap dan dadanya bidang. Alis matanya kini agak tebal
hitam. Ki Banaspati duduk sejajar dengan para hadirin lainnya.
Dan melihat penampilan dan jenis pakaian yang
digunakannya mereka, semuanya pasti terdiri dari kaum
bangsawan dan pejabat semata.
Ketika mata Ginggi mengarah ke jajaran paling pinggir,
pemuda itu kembali terkejut. Bagaimana tak begitu, sebab
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di sana duduk seorang pemuda anggun. Sama menggunakan pakaian senting beludru hitam, tapi
menggunakan bendo yang di depannya dipasang ornamen
warna emas. Pemuda berkulit putih dengan hidung
mancung tapi kalau ketawa selalu mengatupkan bibirnya,
siapa lagi kalau bukan Suji Angkara"
Ginggi bingung, ada Ki Banaspati, ada Suji Angkara.
Mereka duduk sejajar di panggung kehormatan bersama
para pejabat negara lainnya, padahal keduanya jelas
bermusuhan setelah peristiwa di wilayah Sagaraherang itu.
Bagaimana bisa mereka kini sama-sama berada di sana"
Ginggi teringat, sebetulnya sepuluh bulan lalu dia
diperintah Ki Banaspati untuk mengejar dan membunuh
Suji Angkara. Hingga kedua orang itu bertemu di Pakuan,
Ginggi tak pernah melaksanakan perintah Ki Banaspati.
Marahkah Ki Banaspati bila kelak bertemu lagi dengannya"
Ginggi mundur beberapa tindak dan mencari tempat
berdiri di belakang kerumunan orang banyak.
Sekarang juru bicara acara mengumumkan, bahwa
sebelum diadakan uji ketrampilan, akan diawali dulu
dengan latihan perang-perangan dengan menampilkan
kebolehan siasat pertempuran yang jadi kebanggaan
Pajajaran dan Kerajaan Sunda sejak ratusan tahun yang
silam. Akan dilakukan oleh seribu perwira pengawal raja
dan dibantu pasukan prajurit.
Penonton berteriak riuh. Beberapa di antaranya bersuit-
suit nyaring saking gembiranya diberi suguhan demonstrasi
perang-perangan ini. Ginggi pernah menerima penjelasan dari Ki Rangga
Guna bahwa Pajajaran secara turun-temurun memiliki
duabelas ilmu siasat perang, yaitu Makara-Bihwa, Lisang-
Bihwa, Cakra-Bihwa, Suci-Muka, Bajra-Panjara, Asu-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maliput, Merak-Simpir, Gagak-Sangkur, Luwak-aturun,
Kidang-Sumeka, Babah-Buhaya dan Ngaliga-anik.
Menurut juru bicara, pasukan akan menampilkan siasat
bertempur yang amat terkenal yang diberi nama Merak-
Simpir. Suara gamelan bertalu-talu. Penabuh gendang dan
gambang demikian semangat menabuh alat musiknya.
Pemegang gong dan kempul, kendati menabuh alatnya tak
sesering gendang dan gambang, tapi setiap kali melakukan
tugas bagiannya, mereka memukul alat yang dipegangnya
dengan mantap dan pasti sehingga menjadi pelengkap
pembawa semangat. (O-anikz-O) Siapa Melukai Ki Banen"
Ketika suara gamelan bertalu-talu itulah keluar sebuah
barisan berseragam lengkap turun ke lapangan alun-alun
yang diringi tempik sorak penonton. Pasukan yang turun,
membentuk dua kelompok yang seolah-olah saling
bermusuhan. Satu pasukan dengan jumlah lebih besar
terdiri dari ratusan prajurit. Mereka semua bertelanjang
dada, kecuali sepasang tangan bergelang tulang hitam,
begitu pun lehernya berkalung tulang. Semua bercelanasontog hitam dengan ornamen perak di ujung
bagian kakinya. Rambutnya panjang-panjang tapi digelung
rapih ke atas. Mereka bersenjata tombak dan pedang di
tangan kanan dan perisai logam di tangan kiri.
Di lain fihak, pasukan yang menjadi lawannya
berpakaian lebih gagah lagi. Jumlahnya masih ratusan tapi
di bawah jumlah lawannya. Mereka menggunakan baju
zirah (baju terbuat dari sisik-sisik logam yang tak tembus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
senjata tajam) yang dilapisi rompi beludru hitam
berornamen gemerlap. Celana sontog hitamnya sedikit
tertutup kain batik kebat yang dikenakan terlipat dan
ujungnya menggapuy di depan seperti yang biasa digunakan
oleh para ksatria. Mereka bersiap tanpa menggunakan
senjata apa pun. Melihat penampilan mereka, kendati jumlahnya tak
persis seribu, tapi Ginggi yakin, inilah pasukan seribu
perwira pengawal raja. Sekarang dua pasukan sudah saling berhadapan. Satu di
ujung alun-alun sebelah kiri panggung, satunya lagi di ujung
kanan. "Merak-simpir!!" teriak perwira kepala. Maka secepat
kilat pasukan pengawal membentuk formasi. Formasi ini
membentuk ekor burung merak yang tengah membeber.
Pasukan paling depan terdiri perwira berjejer sepuluh orang.
Namun barisan ini terus berlapis-lapis dengan jumlah
berlipat. Pada lapis bagian kedua, jumlahnya ada duapuluh
orang. Lapisan ketiga tambah lagi menjadi tigapuluh orang
berjajar. Begitu seterusnya hingga barisan atau lapisan
paling akhir, jumlah pasukan ada sekitar enampuluh
perwira berjajar rapi ke samping.
(O-anikz-O) Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 13 Aba-aba kedua terdengar. Itulah aba-aba menyerang.
Maka dua pasukan sama-sama berlari untuk saling
berhadapan. Juru acara mengabarkan kepada penonton
bahwa pasukan lawan menggunakan siasat perang
bernamaBajra-Panjara, Mereka juga sama membentuk


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

formasi barisan tapi caranya jauh berbeda dengan yang
ditampilkan pasukan perwira. Mereka membuat lapisan
penyerangan dengan jumlah yang sama setiap lapisnya.
Ginggi menghitung, baik lapisan baris pertama mau pun
baris kedua sampai lapisan paling belakang jumlah
pertahanannya sama, yaitu terdiri dari limapuluh orang
prajurit berjajar ke samping. Ginggi pun menghitung jumlah
lapisan pasukan prajurit. Semuanya ada sepuluh lapis.
Artinya pasukan prajurut total berjumlah 500 orang. Jauh
lebih besar ketimbang pasukan perwira pengawal raja.
Dengan iringan tempik-sorak penonton, dua pasukan
berlari saling mendekat sambil tetap menampilkan cara
formasi masing-masing. Tempik-sorak makin menjadi-jadi, suara gamelan pun
makin bersemangat ketika lapisan pertama sudah saling
menyerang. Ini adalah pertempuran paling berat buat
pasukan perwira. Lapisan pertama ini jumlahnya hanya
sepuluh orang. Sedangkan di lain fihak, lapisan pertama
dari pasukan prajurit berjumlah limapuluh orang.
Ginggi mulai mengerti siasat perang formasi Merak-
Simpir ini. Lapisan pertama dengan jumlah terbatas diuji
kekuatannya dengan jumlah musuh yang lebih banyak. Bila
lapisan pertama ini gagal menghadang musuh, maka akan
bergerak lapisan kedua dengan jumlah berlipat dua. Bila
ternyata lapis kedua juga gagal membendung, maka akan
bergerak lapisan ketiga yang jumlahnya semakin berlipat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
juga. Begitu seterusnya sampai tiba pada lapisan terakhir
tapi dengan jumlah barisan paling banyak.
Tapi pertempuran lapisan atau gelombang pertama
belum memerlukan bantuan gelombang kedua, sebab
sepuluh perwira pengawal raja kendati dikepung limapuluh
prajurit bersenjata lengkap nampak melakukan perlawanan
sengit. Sepuluh orang perwira sanggup berkelit dari serbuan
ujung-ujung tombak atau pedang, bahkan sebaliknya
berhasil membalas serangan. Dan kendati dilakukan dengan
tangan kosong, tapi jurus-jurus berkelahi mereka tinggi-
tinggi dan hebat-hebat. Ginggi terpesona sekaligus juga
heran, sebab ada beberapa gerakan dan jurus-jurus yang
mirip jurus kepunyaan Ki Darma.
Namun rasa heran di hatinya tak berlangsung lama,
sebab Ki Darma belasan tahun silam adalah anggota
pasukan seribu perwira pengawal raja. Ki Darma adalah
perwira senior yang pasti banyak menurunkan ilmunya
kepada sesama perwira yang pengalaman bertempurnya di
bawah Ki Darma. Teringat akan ini, Ginggi tersenyum kecut. Orangnya
sampai hari ini tidak disukai kalangan istana tapi ilmunya
tetap dipergunakan. Siasat bertempur dengan julukan Bajra-Panjara pun
sebenarnya demikian hebat. Semua barisan terlihat berjajar
kokoh seperti kokohnya jeruji penjara. Barisan lapis
pertama dalam menyerang dan bertahan tak mengubah
gaya formasi dan posisi. Mereka berjajar rapi, ketat dan
kuat sehingga tak memberikan peluang untuk lolos dari
kepungan. Mereka pun saling menunjang satu sama lain,
sehingga bila ada salah-satu anggota terdesak maka dua
anggota di samping kiri dan kanannya segera memberikan
bantuan. Begitu seterusnya. Namun ketangguhan formasi
apa pun hanya akan sempurna hasilnya bila didukung oleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pelaku yang secara perorangan sempurna pula dalam
menampilkan kebolehan ilmu berkelahi.
Dan pasukan perwira pengawal raja ilmunya hampir dua
atau tiga tingkat di atas rata-rata prajurit biasa. Dalam
waktu yang tak terlalu lama, tiap gelombang atau lapisan
pasukanBajra-Panjara berhasil ditembus taktik perang
Merak-Simpiryang dilakukan dengan jurus-jurus perseorangan yang demikian sempurnanya. Bajra-Panjara
berantakan karena anggota pasukannya telah lintang-
pukang dan cerai-berai. Tempik-sorak dan suitan tanda pujian bergemuruh di
seputar alun-alun menyambut kemenangan pasukan
pengawal raja. Sang Prabu Ratu Sakti pun nampak
mengangguk-angguk tanda senang dengan pertunjukan ini.
Latihan perang-perangan telah selesai tanpa menimbulkan luka berarti kepada kedua anggota pasukan
tersebut. Dan kini tiba saatnya uji ketangkasan bagi para prajurit
yang akan mengalami kenaikan tingkat, disusul oleh uji
ketrampilan bagi ambarahayat yang bermaksud mengabdikan diri menjadi Prajurit Pakuan.
Macam-macam cara ujian yang diselenggarakan. Dari
mulai ujian menggunakan ketrampilan menggunakan
tujuhbelas macam senjata, sampai kepada uji ketrampilan
berkelahi. Dari mulai uji menangkap banteng, sampai
kepada uji menangkap macam kumbang yang dilepas di
tengah alun-alun. Penonton, terutama kaum wanita dan
anak-anak, bergidig ngeri bahkan ada yang menjerit
ketakutan atau menutupi mata dan berlindung di balik
pohon karena tak kuasa melihat kegagahan macan
kumbang serta aumannya yang membelah dada. Namun
binatang buas itu tak mungkin lolos dari alun-alun dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apalagi menyerang penonton.Yang menjadi sebab, karena
para perwira tangguh selalu siaga mengepung agar ruang
gerak binatang buas itu hanya terbatas di dalam kepungan
pengawal raja saja. Sedang asyik-asyiknya Ginggi menyaksikan semua
pertunjukan dan atraksi memikat ini tiba-tiba bahunya
ditepuk orang dari belakang. "Hei, kau prajurit Madi
rupanya!" teriak Ginggi gembira. "Sejak tadi aku cari-cari
kau, kemana saja?" tanyanya kembali akan menepuk bahu
Madi. Namun Madi segera menepiskan tepukan Ginggi.
"Kau jangan bertindak kurang ajar seperti itu. Aku kan
prajurit!" desis Madi melotot marah.
"Oh, maaf ?" kata Ginggi sambil senyum tetap di bibir.
"Aku sejak pagi sibuk terus. Aku kan prajurit. Dan ini
pestanya prajurit!" jawab Madi sombong.
"Tapi yang lain sibuk, kau malah tidak ?" gumam
Ginggi mencibir. "Dasar anak tolol. Yang sibuk bukan hanya di tengah
alun-alun saja. Ada juga yang melakukan kesibukan secara
diam-diam. Itulah aku, sebab aku musti memeriksa kalau-
kalau di sekeliling alun-alun keamanan tak terjamin," jawab
Madi. "Oh, begitu rupanya ?"
"Sekarang aku datang ke sini bukan sengaja cari-cari kau
tapi sedang bertugas jaga, siapa tahu di sini ada pengacau!"
kata Madi tak senang akan cibiran Ginggi.
"Pengacau?" Ginggi mengerutkan dahi.
"Ya, orang-orang bawel sepertimu bisa-bisa kutangkap
karena dianggap pengacau!" kata Madi jengkel.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hei, jangan marah seperti itu. Kau kan sudah jadi
prajurit," kata Ginggi. Madi hanya menjawab dengan
desisan. "Bagaimana, apa aku bisa ikut kerja lagi pada Raden Suji
Angkara?" tanya Ginggi kembali teringat hal ini.
"Kau lihat sana Raden Suji lagi sibuk!"
"Maksudku, ya nanti saja bila Raden Suji Angkara tidak
sibuk." "Ya, nanti saja bicaranya, tolol!" hardik Madi yang
nampaknya akan segera berlalu.
"Eh, aku dapat pesan dari Ki Banen, dia ingin bertemu
denganmu!" kata Madi menahan langkah.
"Ki Banen" Di mana aku bisa bertemu dengannya?"
"Huh, dia menjadi sering sakit-sakitan setibanya di sini.
Orang-orang pada ribut kerja diamalah sakit," kata Madi
kesal. Madi memberikan alamat di mana Ki Banen bisa
ditemui. Ketika acara uji ketrampilan masih berlangsung,
Ginggi segera meninggalkan tempat itu.
Hanya Ki Banen yang nampak baik padanya. Oleh sebab
itu mendengar orang tua itu sakit, Ginggi ingin
menengoknya. Ginggi melangkahkan kaki meninggalkan
alun-alun. Dia berjalan menyuri sebuah parit buatan yang
orang Pakuan menyebutnya sebagai Cipakancilan. Kata
Madi, Ki Banen tinggal disebuah rumah tua di tepi
Cipakancilan. Memang tidak sulit, sebab di beranda rumah
kayu jati ada orang gemuk berwajah bulat dan berkumis
tebal. "Ki Ogel ?" sapa Ginggi. Ki Ogel memicingkan kedua
matanya karena ingin jelas siapa yang menyapanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau, anak muda?" Ki Ogel balik menyapa.
"Ya, kini aku beri tahu namaku, aku Ginggi!" jawab
pemuda itu sedikit terharu. Terharu, hanya dalam waktu
sembilan bulan saja wajah Ki Ogel sudah berubah.
Rambutnya yang kini digelung ke atas sudah penuh uban.
"Aku kau tinggalkan begitu saja di Sagaraherang.
Sekarang kalian kususul. Tapi, benarkah Ki Banen sakit?"
tanyanya. Ki Ogel hanya mengangguk lesu. "Mari masuk ?"
tukasnya. Ginggi masuk ke rumah tua itu. Ada ruangan tengah
cukup luas, dilengkapi satu ruangan tidur. Ki Ogel
menunjuk ke ruangan itu. Ginggi masuk dan nampak ada
orang tua tergolek lemah di lantai papan yang beralaskan
sebuah tikar. "Ki Banen?" sapa Ginggi.
Orang yang tergolek lemah itu membuka matanya pelan-
pelan. Dengan sorot mata sayu diamenatap siapa yang
datang. Tapi rupanya Ki Banen masih hafal Ginggi. "Kau
anak muda ?" "Aku Ginggi," kata pemuda itu mendekati tubuh tak
berdaya tersebut. Ki Banen mengulurkan tangannya. Dia
sepertinya ingin memegang tangan pemuda itu.
Ginggi mengerti. Dia segera memegang tangan Ki
Banen, kurus dan keriput. Ki Banen jauh lebih tua dari
umur yang sebenarnya. Jauh lebih tua dibandingkan dengan
wajah Ki Ogel yang nampak masih agak gemuk.
"Anak muda " mau apakah kau datang ke Pakuan ini?"
tanya Ki Banen dengan suara lemah hampir-hampir hanya
sebuah bisikan saja. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku " Bukankah aku sudah jadi anak buah Raden Suji
Angkara" Mengapa aku kalian tinggalkan di Sagaraherang"
Sudah barang tentu aku datang ke sini karena menyusul
kalian," kata Ginggi setengah berbohong.
"Jangan " Jangan ikut kerja di sini. Sebaiknya kau
pulanglah! Lebih baik kau selamatkan jiwamu!" Ki Banen
menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir Ginggi
pergi. Pemuda itu tak mengerti apa yang dimaksud Ki
Banen. Namun orang tua itu nampak payah untuk
melanjutkan omongannya. Dia hanya memegangi dadanya
saja dan mulutnya menahan batuk.
Ginggi menengok ke arah Ki Ogel. Dia ingin
mendapatkan penjelasan. "Tadi pagi memang Madi memberitahu kami bahwa
engkau datang ke Pakuan. Maka Ki Banen meminta agar
kau datang ke sini. Maksud Ki Banen memang begitu,
sebaiknya kau pulang saja dan jangan lanjutkan maksudmu
untuk mengabdi kepada Suji Angkara ?" kata Ki Ogel.
"Mengapa?" Ki Ogel menundukkan kepala. "Pokoknya kau pergi saja
dari sini. Kau tidak akan cocok bekerja dengannya,"
katanya sesudah lama berdiam diri.
"Aku ingin tahu, apa sebabnya aku tak boleh bekerja
kepada Raden Suji Angkara, padahal susah-payah aku
menempuh perjalanan jauh dari Sagaraherang ke Pakuan
ini," gumam Ginggi dengan nada sesal.
"Kau terangkan Ki Ogel ?" kata Ki Banen pada
akhirnya. Ginggi kembali berpaling kepada Ki Ogel. Dia
amat penasaran ingin segera mendengarkan penjelasan Ki
Ogel. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan hati-hati karena penuh rasa khawatir, Ki Ogel
bercerita tentang pengalamannya ikut Suji Angkara selama
ini. Sejak dari Desa Cae, kedua orang tua ini memang sudah
berniat bergabung dengan Suji Angkara. Pertama untuk cari
pengalaman dan kedua mencari mata pencaharian yang
layak. "Kau mungkin tahu, Suji Angkara kelihatannya begitu
kaya dan setiap hari kerjanya berfoya-foya belaka," kata Ki
Ogel. "Anak pesolek itu senang berfoya-foya karena banyak
kekayaannya. Dia banyak memiliki kekayaan karena gemar
berniaga. Itulah sebabnya, ketika ada tugas mengirimkan
barang seba, Ki Ogel dan Ki Banen tertarik untuk ikut
serta." "Aku dan Ki Banen berpikir, bila usai tugas mengirim
seba, tidak akan kembali ke kampung halaman, melainkan
akan ikut Suji Angkara berniaga," ungkap Ki Ogel.
Namun apa yang terjadi" Sesudah bersama Suji Angkara,
baik Ki Ogel mau pun Ki Banen banyak mendapatkan
keganjilan. Kata Ki Ogel, cara kerja Suji Angkara dalam
menghimpun barang-barangseba tidak wajar.
"Engkau pernah menyindir kami ketika di Desa Wado


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang cara-cara paksa dalam menarik seba yang dilakukan
Suji Angkara," kata Ki Ogel.
"Ya, benar! Waktu itu aku tak senang tindakan Raden
Suji Angkara sebab mengambil seba di desa itu terlalu
kasar!" kata Ginggi.
"Aku juga waktu itu tidak senang. Tapi aku menahan diri
sebab aku masih punya harapan dari anak itu," kata Ki
Ogel. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Ogel melanjutkan ceritanya tentang kejanggalan yang
diperlihatkan Suji Angkara. Di Desa Wado pemuda tampan
itu kepergok Ki Banen menggoda anak gadis warga desa.
Mereka anggap Suji Angkara bertindak tak senonoh sebab
mengganggu anak gadis orang yang minggu depannya akan
melangsungkan perkawinan.
"Namun kami tak melakukan teguran. Apa pun yang
terjadi, Suji Angkara adalah putra Kuwu Suntara yang
begitu disayang orang tuanya, sedangkan kami semua
menghormat pada Kuwu," kata Ki Ogel.
Ki Ogel melanjutkan ceritanya. Perasaan tak enak
semakin membebani hatinya ketika anak gadis di Desa
Wado mati bunuh diri. "Menurut berita, gadis itu bunuh diri karena kecewa
biaya untuk upacara pernikahan sebagian besar habis guna
membayar seba, Tapi benarkah begitu" Kami mencurigai
sesuatu hal. Tapi kami tak sanggup mengatakan apa-apa,"
kata Ki Ogel menghela nafas.
"Peristiwa yang sama terjadi pula di wilayah Kandagalante Tanjungpura. Anak gadis Jurangan Ilun Rosa
mati bunuh diri, setelah gadis itu sehari sebelumnya digoda
Suji Angkara. Kami menemukan banyak keganjilan. Setiap
kami masuk ke sebuah wilayah, setiap itu pula ada gadis
bunuh diri. Di Warunggede ada juga gadis bunuh diri.
Apakah memang kami patut bercuriga, entahlah. Hanya
yang jelas, setiap kami memasuki satu wilayah, selalu saja
ada peristiwa menyedihkan," kata Ki Ogel.
"Dengan kata lain kau mengatakan bahwa setiap di situ
ada Suji Angkara, maka di sana ada peristiwa. Begitukah?"
tanya Ginggi. Ki Ogel tak berani menganggukkan kepala. Sedangkan
Ki Banen hanya tergolek saja dengan pernapasan lemah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pemuda Seta dan Madi bagaimana?" tanya Ginggi.
"Seta pernah mengatakan hal ini padaku. Tapi akhirnya
dia melupakan urusan ini. Seta terlalu setia kepada Suji
Angkara sebab selalu mendapatkan perhatian lebih dari
pemuda itu. Sekarang Seta menjadi ponggawa istana dan
Madi jadi prajurit tugur benteng dalam. Mereka berdua
amat berterima kasih pada Suji Angkara yang dianggapnya
begitu berjasa mengangkat nasib mereka. Bila sudah kerja
selama setahun, khabarnya Seta akan pulang dulu ke Cae
untuk melangsungkan perkawinan dengan Nyi Santimi,"
kata Ki Ogel. Jantung Ginggi berdegup mendengarnya. Perasaan tak
enak menyelimuti hatinya bila harus diingatkan kepada
nama gadis Desa Cae ini. Setiap kali mengingat Nyi
Santimi pasti ingat peristiwa aib yang amat memalukannya.
"Lalu, mengapa Ki Banen sampai menderita sakit seperti
ini?" tanya Ginggi kembali memperhatikan orang tua
tergolek lemah di hadapannya.
"Yah " dia memang sakit keras," keluh Ki Ogel.
"Aku tanya mengapa dia sakit" Apa penyebabnya?"
tanya Ginggi lagi. "Betul " aku sakit keras," sambung Ki Banen sambil
kembali menahan batuk. Namun dia tak bisa menahan
terus. Sehingga pada suatu saat dia batuk-batuk dengan
keras. Ki Banen serentak bangkit karena batuk-batuknya
diakhiri dengan memuntahkan darah hitam!
Ginggi buru-buru menyeka lelehan darah dari mulut
orang tua itu dengan kain yang tersedia di sana. "Engkau
bukan sakit biasa. Engkau menderita karena ada luka
dalam, Paman!" kata Ginggi. "Siapa yang memukulmu
sekejam ini?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Ogel terbelalak heran. Begitu pun Ki Banen, matanya
yang layu mendadak terbuka lebar.
"Kau ?" Dari mana engkau tahu dia sakit karena
dipukul?" tanya Ki Ogel.
Ginggi sejenak terdiam. Hatinya mencari jawaban yang
sekiranya tak mengundang perhatian mereka berdua. "Ya,
karena darah hitammu itulah. Luka dalammu menyebabkan jaringan darahmu rusak berat," kata Ginggi.
"Coba aku lihat dadamu, Paman," tanpa diminta Ginggi
membuka pakaian Ki Banen di bagian dadanya. Ada tanda
kehitaman amat tipis dan hampir menghilang, menandakan
bahwa luka itu sudah lama terjadi. "Kau pasti dipukul orang
sekitar sebulan yang lalu," kata Ginggi mengira-ngira. Ki
Banen mengangguk tanda membenarkan.
"Siapa yang melukaimu dengan pukulan tenaga dalam
ini?" tanya Ginggi lagi. Ki Banen menggelengkan kepala.
"Engkau merahasaikannya padaku?" Ginggi melirik
tajam. "Tidak. Aku memang tidak tahu siapa yaang memukul
aku," kata Ki Banen.
"Coba ceritakan peristiwanya."
Ki Banen terdiam. "Ceritakanlah, Paman ?"
"Ini mungkin imbalan bagi orang yang selalu bercuriga,"
gumam Ki Banen."Suji Angkara selalu memperhatikan Nyi
Mas Banyak Inten" katanya lagi.
Ginggi mengerutkan dahi. "Baiklah aku terangkan sebelumnya," potong Ki Ogel
manakala melihat Ginggi kebingungan.
Ki Ogel bercerita lagi, bahwa di Pakuan terdapat banyak
pejabat dan kaum bangsawan. Yang terkenal saja, Ki Ogel
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyebut Bangsawan Soka. Dia masih kerabat Raja dan
menjabat mangkubumi. Ada Pangeran Yogascitra, juga
masih kerabat Raja. Dia punya dua orang anak putra dan
putri. Yang laki-laki, anak pertama, bernama Banyak
Angga, sedangkan yang kedua putri bernama Nyi Mas
Banyak Inten. Ada juga Bangsawan Bagus Seta. Punya
anak perempuan cantik yang bernama Layang Kingkin.
Gadis ini punya hubungan cinta dengan Banyak Angga,
putra Bangsawan Yogascitra.
"Bangsawan Bagus Seta ini menjabat muhara, Bila Suji
Angkara datang ke Pakuan, maka yang dimaksudnya
adalah Bangsawan Bagus Seta. Kami tak tahu apa
hubungan atau keperluan Suji Angkara kepada Bangsawan
Bagus Seta," kata Ki Ogel.
Ginggi sudah sejak tadi menahan nafas mendengar
penjelasan ini. Lengkap sudah murid-murid Ki Darma
semua ditemukan. Dan semuanya amat mengejutkan,
terutama Ki Banaspati dan Bangsawan Bagus Seta.
Bayangkanlah, pertama kali Ginggi temukan Ki Banaspati.
Dia dikenal sebagai pejabat Pakuan yang jadi tangan kanan
muhara atau pejabat penarik pajak negara. Sekarang murid
Ki Darma lainnya ditemukan sebagai pejabat muhara itu
sendiri. Dengan perkataan lain, Ki Banaspati menjadi
bawahan Bangsawan Bagus Seta. Tapi di lain pihak Ginggi
tahubahwa Ki Banaspati tidak seutuhnya bekerja untuk
Pakuan, maksudnya untuk Raja. Sebab seperti yang
dikemukakannya tempo hari, Ki Banaspati akan menghimpun kekuatan guna melakukan penyerbuan ke
Pakuan kelak. (O-anikz-O) Keliru Pilih Obat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Satu hal yang membuat Ginggi heran. Benarkah Ki
Bagus Seta menjadi muhara " Ginggi tempo hari pernah
mendapatkan kabar di Sagaraherang, bahwa yang menjadi
muhara di Pakuan adalah Bangsawan Soka. Sekarang ada
kenyataan lain, bahwa Ki Bagus Setalah yang menjadi
pejabat muhara, sedangkan Bangsawan Soka bertindak
sebagai mangkubumi. Ginggi tidak mengetahui, jabatan mana yang lebih tinggi
antara muhara dan mangkubumi, Bisa salah satu lebih
tinggi, tapi bisa juga sejajar. Tapi yang perlu digarisbawahi,
jabatan muhara dipegang Ki Bagus Seta bisa merupakan
misteri bila dikaitkan dengan Ki Banaspati.
Bagaimana tak begitu, baik Ki Bagus Seta mau pun Ki
Banaspati adalah murid-murid Ki Darma. Kedua orang itu
sama-sama dibebani tugas untuk menolong ambarahayat
Pajajaran dari tekanan Raja. Sekarang Ginggi sudah
mengetahui maksud tersembunyi Ki Banaspati. Kendati dia
bekerja sebagai aparat muhara, tapi sebagian kekayaan
negara dari hasil seba dia sisihkan untuk keperluan
pemberontakan. Lantas peranan Ki Bagus Seta sendiri,
bagaimana" Mungkinkah kedua murid Ki Darma yang
berhasil mencapai kedudukan penting di Pakuan ini
bersekutu dalam mencapai maksud-maksud tertentu"
Persekutuan ini mungkin amat rahasia. Siapa pun tak
mengetahuinya, termasuk Suji Angkara. Itulah sebabnya,
anak muda itu harus dilenyapkan seperti apa perintah Ki
Banaspati kepada Ginggi. Siapa pun adanya Suji Angkara
ini, akan benar-benar membahayakan bila dibiarkan
melaporkan penemuannya ke Pakuan. Hanya yang
menyebabkan Suji Angkara hingga hari ini masih selamat
nyawanya, barangkali karena hubungannya dengan Ki
Bagus Seta itulah. Seperti yang dikatakan Ki Ogel tadi, Suji
Angkara seperti punya hubungan erat dengan Ki Bagus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seta. Ginggi tidak pernah melaksanakan perintah Ki
Banaspati untuk membunuh Suji Angkara. Dan bila tetap
anak muda itu dianggap membahayakan, seharusnya Ki
Banaspati sudah melenyapkan Suji Angkara di Pakuan.
Namun kenyataannya, anak muda itu masih segar-bugar.
Benarkah sudah tak membahayakan, atau bagaimana"
Biarlah, waktu yang akan menentukan kelak, pikir
Ginggi karena berbagai misteri yang ada di sekitarnya
masih banyak yang tak memberi jawab.
Dia tak bisa berpikir lebih panjang lagi, apalagi dia
sekarang tengah menyimak cerita Ki Ogel.
"Coba lanjutkan ceritamu, Paman ?" kata Ginggi lagi
tak sabar karena Ki Ogel pergi ke dapur untuk menjerang
air. Ki Ogel kembali duduk di hadapan Ginggi dan Ki Banen
yang tergolek lemah. "Ya, begitu seperti apa kata Ki Banen. Dia amat
bercuriga kepada Suji Angkara. Itulah sebabnya, ketika
anak muda itu kerap kali mendekati Nyimas Banyak Inten,
Ki Banen selalu menguntit. Sampai pada suatu saat ?"
"Sampai pada suatu saat bagaimana, Paman?" Ginggi tak
sabar. Ki Banen batuk-batuk lagi, muntahkan darah hitam lagi
walau hanya berupa bercak. Dan Ginggi terpaksa
membantu menyekanya dengan kain yang ada di
hadapannya. Ki Ogel sibuk pergi ke dapur. Kembali lagi
sudah membawa air hangat di panci kayu. Mulut Ki Banen
dibersihkan dengan air hangat, disekanya beberapa kali.
Harpa Iblis Jari Sakti 28 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Istana Pulau Es 10
^