Pencarian

Senja Jatuh Di Pajajaran 7

Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 7


"Ki Banen bercerita padaku. Malam itu bulan
benderang," kata Ki Ogel sesudah merawat Ki Banen. "Ki
Banen terkejut ketika ia bertugas sebagai tugur benteng, ada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bayangan berkelebat memasuki puri di mana Nyimas
Banyak Inten berada. Ki Banen tak tahu, bayangan
siapakah itu. Tapi karena rasa curiganya telah melekat pada
Suji Angkara, Ki Banen langsung menduga bahwa yang
datang mengunjungi puri secara sembunyi-sembunyi tentu
berniat jahat. Menurut Ki Banen, bayangan itu pasti Suji
Angkara," kata Ki Ogel.
Ginggi menoleh kepada Ki Banen.
"Benarkah, Paman?" tanya Ginggi pada Ki Banen. Yang
ditanya hanya termenung. Kemudian dengan perlahan dia
menggelengkan kepala. "Aku hanya menduga saja. Kendati bulan benderang,
tapi bayangan itu meloncat-loncat dengan lincah. Mataku
tak sanggup mengikutinya dengan jelas," jawab Ki Banen.
Selanjutnya Ki Banen bercerita bahwa karena rasa
penasarannya, dia terus menguntit bayangan itu.
"Tapi akhirnya aku kehilangan jejak. Kucari ke mana-
mana, tapi bayangan misterius itu tidak kutemukan. Putus
asa karena tak kutemukan yang aku kuntit, akhirnya aku
kembali keluar benteng. Dan ketika itulah, di sudut benteng
aku dihadang seseorang ?"
"Siapa dia?" "Aku tak tahu. Gerakannya begitu cepat. Dia
menghambur padaku dan melancarkan serangan pukulan
dahsyat. Tubuhku terlontar beberapa tindak dan tak
sadarkan diri ?" kata Ki Banen memegangi dadanya.
"Tidak sempatkah kau lihat wajahnya walau hanya
sebentar" Bukankah waktu itu bulan benderang?" tanya
Ginggi penasaran. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar. Tapi bulan telah condong ke barat. Dia
menyerang membelakangi cahaya bulan. Jadi hanya
bayangannya saja yang aku lihat. Dan aku tak kenal, siapa
penyerang gelap ini," keluh Ki Banen. Tapi Ki Banen yakin,
orang itulah yang secara diam-diam memasuki puri. Sebab
setelah tahu dia dikuntit, dia mengurungkan rencananya.
"Hanya saja sebelum dia pergi, dia balas dendam sebab
kegagalannya melakukan sesuatu karena kuntitanku itu,"
kata Ki Banen. Batuk-batuk lagi. Dan Ginggi sudah siap
dengan kain lap. Namun batuk Ki Banen tak berlangsung lama dan tak
sampai muntahkan darah. "Luka dalammu amat parah, Paman. Celakanya, selama
ini nampaknya kau tak menggubris lukamu itu," kata
Ginggi. "Aku setiap hari berobat dengan telaten. Madi selalu
setia memberikan ramuan yang aku harus minum setiap
hari," jawab Ki Banen.
"Ah, aku tak melihat kau berobat. Kalau lukamu terus
diobati, pasti sembuh. Tapi darah hitammu itu hanya
menandakan ada luka lama yang tak pernah sembuh. Coba
aku lihat ramuan obatmu bila benar kau berobat setiap
hari," kata Ginggi. Ki Ogel dan Ki Banen saling pandang.
"Engkau harus percaya padaku. Bukankah ketika terjadi
pertempuran di hutan jati, aku banyak mengobati anak
buah Suji Angkara yang terluka sabetan golok perampok?"
tanya Ginggi sekaligus mengingatkan kedua orang itu
bahwa dirinya "akhli" pengobatan.
"Ya, betul! Kau bisa mengobati orang sakit!" Ki Ogel
menepuk dahinya. Sesudah itu dia segera berjingkat
memburu sudut ruangan. Di sana ada meja kecil. Dan di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
atas meja ada bungkusan kain. Bungkusan itu dibawa ke
hadapan Ginggi. "Ini obat pemberian Madi," kata Ki Ogel memberikan
bungkusan obat yang sudah dibukanya sendiri. Ginggi coba
meneliti ramuan itu. Hanya berupa serpihan-serpihan kayu
yang sudah dikeringkan. "Ramuan ini digodok dan airnya diminum setiap pagi
dan sore," kata Ki Ogel.
Ginggi seperti tak mendengar omongan orang tua ini
karena matanya tengah meneliti jenis ramuan itu.
"Ini ramuan yang dibuat dari irisan batang kayu petai
cina dan batang kayu pohon gedi," kata Ginggi memegang-
megang serpihan kayu tersebut.
"Bagaimana, cocokkah ramuan ini?" tanya Ki Ogel.
"Batang pohon petai cina gunanya untuk mengeringkan
luka dan kayu gedi merupakan obat untuk melancarkan
jalannya darah," kata Ginggi.
"Ya, cocokkah ramuan itu untuk mengobati luka Ki
Banen?" Ginggi masih tak mengeluarkan jawaban pasti. Alisnya
berkerut dan matanya menyipit tanda dia tengah berpikir
keras. "Daun dan batang pohon petai cina gunanya untuk
merapatkan luka karena luka sabetan benda tajam. Aku
biasanya hanya menggunakan ramuan ini untuk obat luar
saja. Entahlah, bagaimana kemungkinannya bila digunakan
obat luka dalam, sebab luka dalam bukan karena ada otot
yang sobek dan mengeluarkan darah misalnya," Ginggi
terus menyipitkan mata saking kerasnya berpikir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh,ya, " Jangan diminum ramuan ini!" ucapnya
kemudian. Baik Ki Ogel mau pun Ki Banen melirik tajam
pada Ginggi. "Petai cina bila digunakan menutup luka luar akan
bekerja cepat mengeringkan darah. Sedangkan bila
digunakan terhadap luka dalam dan masuk ke dalam aliran
darah, hanya akan membuat darah menggumpal dan
membeku. Bila pengobatan ini terus berlangsung, maka
aliran darah akan tersumbat oleh darah-darah beku," kata
Ginggi yakin. "Dan batang pohon gedi sebagai obat pelancar aliran
darah, bagaimana?" tanya Ki Ogel.
"Ya, ramuan itu pun sama jangan diminum. Kau
bayangkanlah Paman, sesuatu yang sedang tersumbat, kau
dorong-dorong dengan cara paksa, bagaimana akibatnya?"
tanya Ginggi. "Saluran darah akan rusak, mungkin bocor, mungkin
pecah!" kata Ki Ogel.
"Nah, benar begitu!" seru Ginggi.
"Berbahaya sekali! Bila begitu si Madi akan membunuh
Ki Banen. Kurang ajar. Aku harus menuntut bocah dungu
itu!" teriak Ki Ogel.
"Jangan terburu nafsu. Barangkali Madi tak menyadari
kegunaan obat itu. Sebaiknya kita teliti saja, darimana dia
dapatkan ramuan itu," kata Ginggi. "Aku kira Madi tak
berniat jahat. Lagi pula ramuan itu memang obat dan bukan
racun. Hanya saja tak tepat bila digunakan mengobati luka
dalam," ungkap Ginggi lagi.
Setelah mengeluarkan pendapatnya, Ginggi berjanji akan
mencarikan obat yang tepat bagi kesembuhan Ki Banen.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang aku ingin tanya, mengapa sembilan bulan lalu
kalian meninggalkanku secara tiba-tiba di Sagaraherang.
Sepertinya kalian pergi dari tempat itu secara tergesa-gesa
sekali," kata Ginggi menyelidik.
"Itulah bagian dari keganjilan-keganjilan Suji Angkara,
anak muda. Dia selalu bertidak aneh. Suka melakukan
sesuatu secara diam-diam," kata Ki Ogel. "Tengah malam
kami berempat dibangunkan dan diajaknya melanjutkan
perjalanan ke Pakuan. Ketika aku tanya, mengapa mesti
buru-buru seperti itu, dia malah membentak. Aku tak tahu,
apa sebenarnya yang terjadi. Padahal di Sagaraherang
engkau pun tahu, kita dilayani dengan baik. Mungkin dia
curigai Ki Banaspati karena perampok di hutan jati
menyebutnya seolah-olah Ki Banaspati pimpinan mereka.
Tapi, bukankah Ki Banaspati sudah bilang bahwa itu hanya
fitnah belaka?" kata Ki Ogel menceritakan kembali
peristiwa mengapa mereka berangakat secara tiba-tiba dari
Sagaraherang. Hanya Ginggi yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Namun tadi Ginggi sengaja bertanya karena hanya akan
mengecek saja, apakah para pengikut Suji Angkara tahu
persis peristiwa di Sagaraherang"
"Kalau begitu kalian tak sayang padaku, sehingga
meninggalkanku begitu saja ?" gumam Ginggi pura-pura
menyesal dengan peristiwa itu.
"Ki Banen sudah bilang, dia akan cari kau dulu untuk
diajak serta. Tapi Seta menolaknya, sebab sebelumnya pun
kau tak ikut rombongan kami. Apalagi Suji Angkara
nampaknya begitu amat tergesa-gesa ingin segera meninggalkan tempat itu secara diam-diam," kata Ki Ogel.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi sudah aku katakan tadi, sebaiknya kau jangan
bergabung dengan Suji Angkara," kata Ki Banen menimpali
sambil tetap tergolek lemah.
"Selama ini hidupku terkatung-katung, ingin sekali kerja.
Suji Angkara pernah menawariku kerja," gumam Ginggi.
"Carilah kerja di mana saja tapi jangan pada Suji
Angkara," Ki Banen balik bergumam.
"Betul, anak muda. Kau ini sok usil mudah mengeritik
orang. Bila kau terang-terangan mengeritik tindak-tanduk
Suji Angkara, bisa membahayakan dirimu. Di Pakuan ini
nampaknya dia punya pengaruh, entah karena apa. Namun
yang jelas, banyak orang yang segan padanya, terutama di
kalangan istana ?" kata Ki Ogel sambil mendongakkan
kepala ke langit-langit seolah-olah tengah menerka-nerka
apa kedudukan Suji Angkara di Pakuan ini.
Ginggi pun sebenarnya berpikiran sama. Suji Angkara ini
amat misterius sampai-sampai menimbulkan perhatian
khusus bagi Ki Banaspati ketika di Sagaraherang. Padahal
yang Ginggi tahu, sebelumnya Ki Banaspati menganggap
pemuda itu sebagai bawahannya dalam menghimpun seba
di wilayah timur. Untuk berusaha membuka tabir-tabir ini,
tak ada cara lain selain langsung memasuki istana. Ginggi
harus membuka banyak tabir. Bagaimana pandangan
kalangan istana terhadap kegiatan Ki Banaspati, termasuk
pula pandangan Ki Bagus Seta. Ginggi juga harus
menyelidik, apa kegiatan sebenarnya dari Ki bagus Seta.
Apakah dia bertindak murni sebagai pejabat Pakuan,
ataukah memiliki tujuan khusus seperti Ki Banaspati. Dan
bila mengingat akan hal ini, pemuda itu jadi termenung.
Kalau ternyata Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta bersekutu
untuk menjatuhkan Raja, apa yang harus dilakukan Ginggi"
Berpangku tangan, mencoba menggagalkannya, ataukah
sama sekali bergabung ikut membantu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berkerut dahi pemuda itu. Bila ikut bantu, artinya
artinya terjun dalam upaya pemberontakan. Ki Rangga
Guna pernah bilang, memberontak terhadap pemerintahan
yang syah adalah tindakan hina dan jahat sebab akan
mengakibatkan suasana negara semakin kacau. Rakyat pun
akan menderita sebab di antara mereka akan terjadi pro dan
kontra. Pemberontakan yang bertujuan akan mengganti
tatanan negara, menurut Ki Rangga Guna hanya akan
mengembalikan negara ke titik nol lagi.
"Seorang pemimpin yang bertahta karena menggantikan
raja lama dengan kekerasan biasanya tidak senang bila
dalam melanjutkan kepemimpinannya mengikuti tata-cara
raja yang dijatuhkannya. Dengan demikian dia jelas akan
mengubah gaya kepemimpinannya. Dia akan mengganti
seluruh aparatnya, mungkin dengan yang lebih bagus lagi,
tapi mungkin hanya sebagai jatah bagi hasil atas jasa-jasa
orang yang membantunya melakukan pemberontakan dan
bukan dihitung atas dasar mampu atau tidaknya menjadi
aparat. Yang jelas, mengganti tatanan negara beserta
aparatnya, hanya akan mengembalikan cita-cita kemajuan
negara ke tingkat awal. Rakyat yang akan jadi korban sebab
mereka tak ada habis-habisnya disuruh berjuang dari awal
lagi," kata Ki Rangga Guna ketika itu.
Selama tiga bulan Ki Rangga Guna bersamanya,
memang banyak memberikan berbagai pengetahuan,
termasuk pengetahuan akan kejadian masa lalu. Menurut
Ki Rangga Guna, selama hampir 900 tahun ini Kerajaan
Sunda berdiri, dan berubah menjadi Pajajaran 68 tahun
silam (1482 Masehi), sudah dipimpin oleh 38 raja.
Pergantian dari raja ke raja lainnya dilakukan secara damai
dan penurunan tahta secara kekerasan bukanlah tradisi
orang Sunda. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kata Ki Rangga Guna, dari 38 raja yang memegang
tahta Kerajaan Sunda, hanya tiga raja yang tergantikan
kedudukannya karena pemberontakan, yaitu Sang Prabu
Rakean Tamperan Barmawijaya (723-739 Masehi), dua raja
lagi yang hidup sebelum Sang Prabu Rakeyan Tamperan
Barmawijaya, yaitu terhadap Sang Sena (716 Masehi) dan
kepada Prabu Purbasora (723 Masehi) ayahandanya Sang
Prabu Rakeyan Tamperan Barmawijaya.
"Peristiwa pemberontakan dan perebutan kekuasaan ini
terjadi karena saling balas-membalas keluarga masing-
masing," kata Ki Rangga Guna. "Jadi terbukti, pergantian
kekuasaan dengan jalan kekerasan dan rebutan, hanya akan
melahirkan kekerasan lainnya lagi. Itulah sebabnya, para
penerus raja-raja Sunda menghindari berbagai pertikaian di
dalam negri. Hanya dua raja yang tergantikan karena
pembunuhan. Sang Prabu Arya Kedaton, raja Sunda ke 9
terbunuh oleh menterinya sendiri karena tak senang atas
asal-usul Sang Raja. Tetapi Raja Sunda ke 31 terbunuh
karena sesuatu hal yang terhormat. Beliau adalah Prabu


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wangi atau Sang Prabu Maharaja Linggabuana yang tewas
dalam pertempuran membela kehormatan dan harga diri di
Bubat, negri timur. Pergantian kekuasaan lainnya yang
dialami raja-raja Sunda terjadi secara wajar-wajar saja tanpa
ada kemelut yang berarti. Hal-hal seperti ini setidaknya
akan membantu kerukunan di dalam negri sendiri," tutur Ki
Rangga Guna yang pada prinsipnya tak menghendaki
adanya pemberontakan yang bertujuan merebut kekuasaan
negara. Siapa yang harus Ginggi ikuti pendapatnya, dia masih
bimbang memikirkannya. Namun bila dia hanya berpangku
tangan saja, dia akan malu terhadap Ki Darma, sebab
hanya menandakan bahwa hidupnya tiada guna. Apa pun
yang dilakukan Ki Banaspati, sebenarnya adalah upaya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melawan kebijaksanaan raja yang dalam hal ini dianggapnya sebagai amanat guru. Namun jalan pikiran Ki
Rangga Guna yang menolak pemberontakan pun pada
hematnya suatu upaya dalam menjalankan amanat guru
juga. Ki Darma acapkali berkata, agar semua muridnya
berjuang mengembalikan kejayaan bumi Pajajaran. Hanya
bedanya, Ki Banaspati menafsirkan ucapan guru dengan
jalan memberontak dan Ki Rangga Guna menafsirkan
dengan jalan berupaya bekerja agar Pajajaran aman dan
tentram. Semua sepertinya berjalan di atas kebenaran.
Tetapi tetap saja amat membingungkan pikiran Ginggi.
Sampai percakapan dengan kedua orang itu selesai, jalan
pikiran pemuda itu masih digayuti kebimbangan- kebimbangan. "Aku akan jalan-jalan melihat kota, Paman ?" akhirnya.
"Silakan kau berkeliling kota. Tapi hati-hati jangan
membuat keributan. Bila sudah malam, kau pulanglah ke
sini," kata Ki Ogel.
Ginggi mengangguk sebagai tanda terima kasih atas
penerimaan kedua orang tua itu untuk tinggal di sana. Dan
sesudah mohon diri, pemuda itu segera berlalu meninggalkan rumah kayu tua di tepi Sungai Cipakancilan
ini. Hari sudah amat siang. Di alun-alun benteng luar pun,
keramaian sudah usai. Kecuali balandongan belum
dibongkar seluruhnya. Ada satu dua petugas membereskan
sisa-sisa keramaian. Mereka bekerja dengan telaten kendati
sinar matahari sudah semakin menyengat.
Mungkin acara uji-terampil yang tadi diselenggarakan
sudah menghasilkan beberapa prajurit pilihan untuk kelak
dididik dan digodok agar menjadi perwira tangguh.
Mungkin juga sudah banyak ambarahayat yang terpilih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai calon prajurit Pajajaran. Namun yang jelas, Ginggi
kurang begitu berminat untuk menyimak urusan yang satu
itu. Di saat sengatan matahari siang, dia malah berkeliling
Pakuan untuk mengenal suasana ibukota ini lebih rinci lagi.
Sekarang Ginggi bisa memperhatikan wilayah ini lebih
seksama lagi. Seperti apa yang diterangkan seorang penduduk, Pakuan
terdiri dari dua bagian, pertama wilayah jawi khita (kota
luar) dan dalem khita (kota dalam). Batas-batas wilayah itu
memang dibatasi oleh khita (benteng), ada benteng luar dan
ada benteng dalam. Kaum santana, pedagang dan
ambarahayat tinggal di benteng luar, sedangkan para
bangsawan, pejabat dan kerabat raja tinggal di benteng
dalam. Ketika Ginggi masuk kedayo (kota) dari arah timur,
Ginggi mesti menyebrang sungai bernama Cihaliwung
(Ciliwung). Kata penduduk, sebenarnya dayo diapit dua
sungai besar. Di sebelah timur oleh Sungai Cihaliwung dan
di sebelah barat oleh Sungai Cisadane. Dua aliran sungai ini
biasa dilayari sampai ke muara. Cisadane berakhir di muara
Tangerang dan Cihaliwung berakhir di Kalapa (Sunda
Kalapa). Dulu ketika zamannya Sri Baduga Maharaja,
kedua sungai ini merupakan pelabuhan laut yang
menghubungkan perdagangan antara Pakuan dan negri-
negri sebrang. Barang-barang kiriman dari negri sabrang
bisa dibawa langsung sampai ke pedalaman Pakuan ini.
Setiap hari lalu-lintas sungai selalu ramai. Perahu dari
muara datang membawa kain halus, barang-barang keramik
dari Cina atau berbagai keperluan hidup yang belum dibuat
di Pakuan. Sebaliknya dari pedalaman, perahu beriringan
membawa hasil bumi Pakuan untuk dikirimkan ke berbagai
negri sebrang. Kapas dan buah asem, bawang merah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bahkan anggur, akan dibawa perahu-perahu kecil menuju
muara di mana di sana terdapat pelabuhan laut. Barang-
barang Pakuan kelak akan dipindahkan kejung (kapal
besar). Dalam satu tahun, hampir seribu jung meninggalkan
Pelabuhan Kalapa (Kalapa Sunda) sambil membawa buah
asem saja. Sekarang zamannya Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan,
kedua sungai ini masih tetap dilayari tapi hanya sebatas
wilayah Pakuan saja. Perahu-perahu kecil milik orang
Pakuan sudah tak berani melanjutkan perjalanan ke utara
sampai muara, sebab wilayah tersebut sudah jadi milik
kekuasaan Cirebon. Begitu pun perdagangan antar negri,
semua sudah jadi milik Cirebon. Kalau pun ada barang-
barang dari negri sabrang masuk ke wilayah Pakuan, itu
terjadi karena kenekatan para penyelundup saja.
(O-anikz-O) Pesta Ikan di Sipatahunan
Masukke tengah dayo juga ada sungai. Penduduk
menyebutnya sebagai Sungai Cipakancilan atau Cipeucang.
Sungai ini ada di antara batas dalem khita dan alun-alun.
Atau dengan kata lain, sungai ini seolah-olah melindungi
benteng dalam. Menurut orang tua yang ditanyai Ginggi,
Cipakancilan atau Cipeucang ini sebetulnya sungai yang
sengaja dibangun untuk pertahanan istana. Sebelum masuk
kelawang saketeng (gerbang keraton), sebelumnya mesti
melintasi Sungai Cipakancilan dulu.
Cukup kokoh sebagai pertahanan. Apalagi bila dilihat
dari arah selatan, sisi-sisi Cipakancilan berupa tebing terjal
di tepian benteng dalam. Pusat istana nampak nyata sebagai
daerah dataran tinggi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika Ginggi menyusuri jawi khita (benteng dalam)
menuju arah timur, sayup-sayup Ginggi mendengar hingar-
bingar, seperti banyak orng bersorak-sorai. Suara hingar-
bingar itu sepertinya datang dari arah tepian Sungai
Ciliwung. "Paman, ada kejadian apakah di sudut benteng timur?"
tanya Ginggi kepada seseorang yang tengah memikul
bawaan dan nampaknya datang dari arah timur.
"Engkau tidak ikut ramai-ramai ke sana, anak muda?"
orang itu malah balik bertanya sambil terus melangkah
cepat karena pikulannya itu.
"Ada apa di sana, Paman?"
"Orang-orang sedang marak dileuwi Kamala Wijaya!"
ucap orang itu sambil tetap melangkah tergesa-gesa.
Ginggi melangkah menuju arah yang ditunjukkan orang
itu. Sepemakan sirih jauhnya, baru dia sampai ke tempat
yang dimaksud. Suara sorak-sorai gegap-gempita memang
datang dari tempat itu, yaitu Sungai Cihaliwung.
Ratusan orang tua-muda, besar-kecil, laki-laki dan
wanita, berderet dan berkelompok di tepi sungai. Mereka
tengah menunggu sesuatu sambil berbekal alat-alat
penangkap ikan. Mereka ada yang berbekal jaring,ayakan,
atau ember kayu. Semua orang tengah menyaksikan dan
menunggu teman-temannya yang berada di tengah sungai.
Sungai Cihaliwung sedang dibendung, sehingga hanya
sebagian kecil saja air mengalir dari sela-sela bendungan.
Jadi yang disebut marak oleh orang yang ditanya tadi
adalah pekerjaan menangkap ikan dengan cara membendung bagian sungai agar ke daerah hilir,
permukaan sungai menjadi turun hingga ke dasar. Jauh di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hilir, ada lagi bendungan agar ikan di daerah aliran yang
tengah dibendung tidak lari ke hilir.
Bagian yang dibendung merupakan aliran sungai paling
dalam. Jadi, Leuwi Kamala Wijaya adalah lubuk yang ada
di aliran Sungai Cihaliwung.
Ketika Ginggi bertanya lagi kepada yang kebetulan
menyaksikan acara ini, orang itu menjelaskan bahwa ini
bagian dari acara menyambut panen tahunan di Pakuan.
Kata orang itu, setiap tahun di Pakuan diadakan acara
menyambut panen. Hampir 49 hari lamanya dan ada
macam-macam acara. Acara tahunan ini di antaranya
dihadiri juga oleh para penguasa dari wilayah-wilayah
seputar Pakuan, yang kebetulan membawa seba tahunan.
Berbagai upacara keagamaan dilangsungkan dalam pesta
panen itu, di antaranya upacara kuwerabakti,
Menurut penjelasan yang didapat Ginggi, Kuwera
adalah semacam dewa kemakmuran, suami Dewi Sri, ratu
padi-padian. Kuwerabakti adalah upacara penghormatan
dan sebagai tanda terima kasih manusia terhadap dewa
pelindung pangan sehingga pengisi jagat ini mengalami
kemakmuran. "Sebelum diadakan acara kuwerabakti, raja dan seluruh
keluarga akan mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya.
Kemudian menuju bukit punden di Sasakala Gugunungan
untuk melaksanakan upacara nyekar (ziarah) di makam
tempat moksa atau ngahiyang (menghilang) Sang Prabu Sri
Baduga Maharaja, di puncak bukit punden iti," kata orang
yang ditanya Ginggi. Selanjutnya orang itu menerangkan kembali upacara
marak atau munday di Sungai Cihaliwung ini. Marak
dileuwi Kamala Wijaya ini diadakan setahun sekali. Yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melaksanakannya semua rakyat Pakuan yang berkenaan
dengan kewajiban calagara (pajak tenaga kolektif) yang
diabdikan kepada negara. Penduduk beramai-ramai menangkap ikan dileuwi Kamala Wijaya, yang sebagian
orang menyebutnya sebagai Leuwi Sipatahunan.
"Ini bukan leuwi sembarang leuwi, sebab leuwi
Sipatahunan adalah lubuk untuk pertahanan keraton.
Sipatahunan itu pataheunan, pertahanan ?" kata orang itu.
Ginggi meneliti lubuk ini dari tepiannya. Bisa juga bila
daerah aliran sungai dalam ini digunakan sebagai
pertahanan. Letaknya ada di sebelah timur benteng luar.
Tidak sembarangan bisa menyebrangi leuwi. Bila ada
musuh menyebranginya, maka tanggul di sebelah selatan
akan dibobol dan mengakibatkan kesulitan bagi para
penyerangnya ( baca episode Kunanti di Gerbang Pakuan ).
Ginggi berpikir, demikian cerdiknya Sang Prabu Sri
Baduga Maharaja membangun pertahanan. Keraton seolah-
olah diapit dua jurang terjal dari dua aliran sungai. Hanya
ada satu celah di sebelah selatan. Tapi itu pun dihadang
benteng dan parit buatan yang airnya dialirkan dari Sungai
Cipakancilan, Orang-orang kembali bersorak-sorai sambil tangannya
menunjuk ke bawah. Ginggi juga ikut melihat. Ternyata
lubuk sudah berkurang airnya dan sudah banyak orang
mulai terjun ke bawah. Orang berteriak-teriak sambil
menunjuk kesana-ke mari karena di permukaan lubuk
sudah terlihat air bergoyang dan bergelombang karena
gerakan sirip-sirip ikan. Semakin air berkurang semakin
nyata terlihat gerakan ikan-ikan itu. Dan kembali orang-
orang bersorak-sorai tanda gembira bahwa hasil ikan akan
didapat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekarang orang yang terjun ke permukaan lubuk semakin
banyak. Jala panjang segera ditebar membentuk lingkaran
besar. Dibawa dan dipegang oleh puluhan bahkan ratusan
orang banyaknya. Namun lingkaran besar itu semakin lama
akan semakin mengecil dan menyempit serta ruang gerak
ikan-ikan yang ada di tengah kepungan pun akan semakin
terbatas ruang geraknya. Karena tempat berenang mereka
kian terbatas, maka ikan-ikan itu semakin berdempet dan
berdesak, hilir-mudik di ruangan sempit.
Sekarang dari atas tebing diturun kan anco, yaitu jaring
segi empat yang bisa diturun-naikkan dengan keempat
ujungnya diikat pada ujung bambu. Anco turun hingga ke
dasar lubuk yang kedalamannya tinggal satu atau satu
setengah depa lagi. Dibiarkan beberapa lama. Sesudah
cukup waktu ditunggu, maka anco segera diangkat. Dan
hasilnya, membuat semua orang menganga karena terpana.
Jaring anco penuh digayuti ikan besar-besar. Tubuh ikan-
ikan itu menggelepar dan meloncat-loncat, satu dua ekor
bahkan kembali ke dasar lubuk membuat orang berteriak


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena sesal. Anco ditarik ke tepi dan puluhan orang berebutan
manangkap puluhan ikan besar-besar yang menggelepar
dan meloncat-loncat, dengan bersorak gembira semua orang
berlomba menangkap dan memasukkannya ke dalam
buleng atau ke dalam ember kayu. Bukan untuk dibawa
pulang, melainkan untuk disetor kepada wadha, petugas
yang bertanggung jawab atas kelancaran calagara (pajak
tenaga). Suara sorak-sorai semakin riuh-rendah ketika air semakin
turun dan ketika kepungan jaring semakin rapat. Ratusan
mungkin ribuan ikan sudah benar-benar terkepung dan
mereka bingung kemana harus sembunyi. Akhirnya
kelompok ikan itu hanya melompat-lompat tak tentu arah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sampai pada suatu saat ikan-ikan itu hanya menggelepar-
gelepar di kubangan lumpur. Orang tinggal memungutinya
saja dan dimasukkan ke dalam buleng,
Di saat orang ramai memunguti ikan itulah, Ginggi
melihat satu rombongan mengunjungi tepi lubuk. Mereka
terdiri dari sekelompok muda belia. Yang perempuan elok-
elok wajahnya dan yang laki-laki tampan-tampan. Melihat
dandanan mereka yang bagus-bagus mudah diduga, mereka
rombongan anak-anak bangsawan. Namun yang membuat
Ginggi terkejut, di antara rombongan bangsawan itu
terdapat juga Suji Angkara dan Seta. Suji Angkara
melangkah tenang dan anggun menyertai seorang gadis
yang amat cantik rupawan. Tubuhnya semampai, kulitnya
putih bersih, sepasang pipinya halus kemerahan dan seperti
ranum. Bibirnya tipis mengulum senyum, sehingga di pipi
kanannya terbentuk lesung pipit. Yang membuat Ginggi
bergetar, ketika melihat sorot mata gadis itu yang demikian
tajam dan jernih. Ketika tak sengaja mata gadis itu
berpapasan dengan sorotnya, pemuda itu lantas tertunduk
karena tak kuat beradu pandang dengan sorot mata yang
bagaikan bintang kejora itu. Padahal mata gadis itu tak
sengaja memandangnya. Yang malah memandang terhadapnya dengan penuh perhatian adalah Suji Angkara.
Pemuda itu nampak heran sekali melihat Ginggi ada di situ.
"Hei Duruwiksa, engkau di sini juga?" Suji Angkara
berteriak tapi dengan suara ditahan. Ginggi tersenyum
mengangguk. Dan manakala Suji Angkara memanggilnya
dengan lambaian tangan, Ginggi datang mendekat.
"Engkau berada di disini Duruwiksa ?" tanya Suji
Angkara tersenyum dan sesekali melirik pada gadis di
sampingnya. "Saya mencari-cari Raden sejak dari Sagaraherang," kata
Ginggi, sopan dan hormat, "Mengapa sepertinya semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meninggalkan saya di sana, padahal Raden sudah janji akan
mengambil saya sebagai pekerja?" lanjutnya. Yang ditegur
hanya tersenyum-simpul saja, seolah-olah pertanyaan ini
tidak mengandung arti apa-apa baginya.
"Aku hanya ingin melihat kesetiaanmu saja. Tapi, ya,
engkau orang yang ulet juga ?" kata Suji Angkara.
"Jadi, diterimakah saya bekerja bersamamu, Raden?"
tanya Ginggi penuh harap, namun matanya selintas
menyambar ke arah wajah anggun di samping pemuda itu.
"Aku tak tahu apa kepandaianmu. Tapi melihat
kesetiaanmu padaku, aku terima kau kerja bersamaku," kata
Suji Angkara sambil melirik juga pada gadis di sampingnya.
"Engkau baik sekali, Raden?" Ginggi mengangguk-
angguk sepertinya penuh rasa terimakasih.
"Sudah selayaknya seorang bangsawan sayang dan
penuh perhatian kepada orang kebanyakan," gumam Suji
Angkara dengan nada suara dihalus-haluskan. Namun bagi
Ginggi nada bicara itu hanya berupa kesombongan belaka.
"Tapi pakaianmu bagus sekali. Tak layak kau
pergunakan, apalagi kau kelak hanya akan bertugas sebagai
pekerja kasar belaka," kata Suji Angkara menilik jenis
pakaian yang dikenakan Ginggi.
"Saya tak sengaja mendapatkannya. Pakaian ini hanya
sekadar barang pemberian dari bekas majikan saya di
perjalanan," tutur Ginggi tak kepalang merendah-rendah.
Suji Angkara nampak mengangguk-angguk.
"Ya, sudahlah ?" gumam Suji Angkara sambil
mengalihkan perhatian melihat orang berebutan mengambil
ikan di permukaan lubuk yang telah kering airnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah pemuda ini, Raden?" tanya gadis yang berdiri
di sampingnya sambil menyibakkan rambutnya yang tertiup
angin dan menutupi keningnya. Duhai cantiknya! Betapa
indah rambut hitam itu berkibar tertiup angin. Betapa indah
jari tangan-tangan halus itu menyibakkan sang rambut.
Ginggi menunduk ketika tatapannya terpergok oleh sorot
mata gadis semampai itu. "Ah, hanya pemuda bodoh saja, Adinda Inten," ujar Suji
Angkara. "Tapi dia orang jujur dan baik. Kelak dia akan
sering kusuruh untuk mengunjungimu, namanya Duruwiksa," Suji Angkara tersenyum ketika gadis itu
terkekeh sambil menutupi mulutnya yang merekah.
Hanya Ginggi saja yang terkejut mendengar Suji
Angkara mendengar nama gadis itu. Dinda Inten, tidakkah
maksudnya Nyimas Banyak Inten" Ginggi terkejut dan
bingung, terutama bila ingat cerita Ki Ogel dan Ki Banen.
Bukankah kedua orang tua itu bercuriga kepada
tindak-tanduk Suji Angkara terhadap gadis itu" Tapi,
nampaknya hubungan kedua orang muda itu demikian
baiknya. Mereka sudah sangat akrab dan bersahabat,
mengapa Ki Banen mencurigai Suji Angkara berindap-
indap menyelundup ke puri gadis itu"
"Betulkah namamu Duruwiksa " Mengapa wajah tampan
sepertimu kau namakan Duruwiksa ?" gadis itu masih
terkekeh lembut sambil punggung tangan kanannya
digunakan untuk menutupi rekahan mulutnya.
"Nama sesungguhnya Ginggi. Tapi dia yang mengatakan
bahwa Ginggi artinya Duruwiksa, iblis jahat yang kerjanya
menggoda manusia," Suji Angkara menerangkan. "Ayo
perkenalkan dirimu pada Nyimas Banyak Inten putri
terkasih Pangeran Yogascitra," kata lagi pemuda itu. Ginggi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menunduk dan menyembah. Gadis itu hanya mengangguk
namun dengan senyum manis di bibir tipisnya.
"Nah, yang ada di samping Dinda Inten adalah Banyak
Angga, kakak Nyimas. Sedangkan gadis cantik yang ada di
samping pemuda tampan itu adalah adikku, Layang
Kingkin. Mereka berdua merupakan sahabat-sahabat baik
yang tak pernah lepas barang sekejap," kata Suji Angkara
menunjuk kepada sepasang muda-mudi yang usianya
barangkali belum genap 20 tahun ini.
Ginggi menyembah beberapa kali sambil sudut matanya
memperhatikan sepasang muda-mudi ini. Mereka benar-
benar seperti dewa dan dewi dari kahyangan. Ginggi
memuji keelokan wajah anak-anak bangsawan ini yang
nampaknya ramah dan mudah akrab dengan siapa saja.
"Dan yang berdiri di antara mereka adalah Seta,
termasuk pembantu setiaku," kata Suji Angkara menunjuk
kepada Seta. "Saya sudah kenal Seta!" kata Ginggi tersenyum ke arah
pemuda yang mulutnya suka mengejek ini.
"Huh!" dengus Seta tak acuh.
"Ya, saya sudah kenal. Bukankah Seta adalah pemuda
gagah yang merobohkan tiga perampok sekaligus di hutan
jati tempo hari?" kata Ginggi mengingatkan "kepahlawanan" pemuda angkuh itu. Padahal yang
terbayang di mata Ginggi adalah kejadian di tepi pancuran
Desa Cae, di mana Seta dan Madi yang mengeroyoknya
dipermainkan secara diam-diam, sehingga pemuda-pemuda
itu benjut-benjut kepalanya karena saling gebuk sendiri.
Seta terkecoh dengan pujian palsu ini. Buktinya, dia
sedikit membusungkan dada sekali pun mulutnya masih
ditarik ketat untuk memberikan kesan angkuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anak buahku lihai-lihai. Jadi bila kau sudah bersamaku,
kau harus hati-hati," kata Suji Angkara. Ginggi mengangguk setuju dengan persyaratan ini.
"Bagus sekarang kau bahagiakan sahabat-sahabatku. Kau
tangkaplah ikan terbaik di lubuk. Hari ini kami ingin pesta
makan ikan di Pulo Parakan Baranangsiang," kata Suji
Angkara pelan namun bernada perintah tegas.
Sialan, dengus Ginggi dalam hatinya. Namun suka atau
tak suka, karena telanjur sudah "ikrar" ingin "mengabdi"
pada pemuda itu, dia terpaksa membuka baju dan
menyingsingkan celana sontognya. Dan brus, brus, dia
turun ke lubuk. Orang-orang tercengang-cengang melihat
pemuda berpakaian santana ikut terjun menangkap ikan.
Menurut penonton, ini tak lazim, sebab yang biasa
mengerjakan langsung pajak calagara hanyalah golongan
kebanyakan saja. Ginggi tak tahu apa yang dipikirkan mereka. Hanya yang
jelas, pemuda ini menjadi bergembira juga bisa ikut ramai-
ramai menangkap ikan. Baginya sebenarnya tak mengalami
banyak kesulitan untuk menangkap ikan berapa banyak
pun, apalagi di kubangan yang airnya sudah begitu surut.
Bila dilakukan benar-benar, dalam sekejap puluhan ikan
besar bisa dia lemparkan ke darat. Hanya tentu saja Ginggi
tak berani pamer kepandaian, kalau tak ingin dicurigai
orang. Itulah sebabnya, dalam menangkap ikan dia
perlihatkan "kebegoan" dan pura-pura lugu, sehingga
membuat tawa renyah bagi yang menyaksikannya. Ginggi
gembira berpura-pura dungu seperti itu, sebab dari bawah
lubuk dia saksikan Nyimas Banyak Inten terpingkal-pingkal
merasa lucu melihat Ginggi jatuh bangun menangkap ikan.
Nyimas Banyak Inten sampai keluar airmata saking gelinya
melihat wajah Ginggi yang tak keruan karena simbahan air
lumpur. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan "susah-payah" akhirnya Ginggi berhasil menangkap beberapa ekor ikan tagih dan hampal yang
besar-besar. Orang-orang pun bersorak riang ketika tiba-tiba
tangan Ginggi menangkap seekor ikan balidra, Sebetulnya
ini ikan jenis ganas, sebab sirip-siripnya lebar dan tajam
menyerupai sirip ikan gurame. Tenaga ikan balidra
sesungguhnya sungguh amat besar, apalagi didukung
bentuk tubuhnya yang bulat besar. Bila tak hati-hati
menangkapnya, sekali sentak ikan belidra sanggup
menampar dada orang yang berani menangkapnya dengan
sirip-siripnya sehingga akan menimbulkan luka sayatan
gergaji. Namun ikan balidra yang dipegang ekornya oleh
Ginggi hanya bergerak-gerak lemah saja. Semula penonton
menganggap Ginggi benar-benar akhli menangkap ikan
besar. Tapi belakangan mereka tertawa terkekeh-kekeh
setelah tahu ikan belidra bertubuh besar dan gagah itu
sudah lemas karena terlalu lama di kubangan lumpur.
Begitu perkiraan orang-orang yang menyaksikan. Padahal
yang sebenar-benarnya terjadi, secara diam-diam Ginggi
memencet bagian tubuh ikan besar itu agar gerakannya
menjadi lemah. Ginggi disuruh naik oleh Suji Angkara sesudah merasa
bahwa hasil tangkapan itu dianggap cukup.
"Ambillah buleng, lalu pikullah ke sana!" Suji Angkara
menunjuk ke arah hilir. Suji memberikan perintah agar Ginggi memikul buleng
menuju utara, di mana Pulo Parakan Baranangsiang
terdapat. Yang dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah
sebuah gugusan tanah terletak di tengah-tengah Sungai
Cihaliwung. Letaknya tak begitu jauh tapi juga tak begitu
dekat dari leuwi Kamala Wijaya. Sepemakan sirih lamanya
Ginggi memikul buleng yang berisi ikan tangkapannya itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keempat muda-mudi yang ditemani Seta ternyata sudah
ada di tengah Pulo. Mereka rupanya menyebrang dengan
memakai perahu hias. Mereka sudah duduk-duduk di
bangku-bangku yang terletak di sebuah bangunan kayu
beratap ijuk. Bangunan kayu itu amat indah dan akan
membut orang senang bila duduk di sana. Pemandangan
alam amat mempesona sebab gugusan pulau kecil itu
dikelilingi air Sungai Ciliwung yang mengalir tenang.
Masih ada biduk kecil yang tertambat di tepinya. Dan
tanpa ragu, Ginggi menaikkan buleng-buleng ke atas biduk,
melepaskan tali dan menyusul mereka ke tengah gugusan
pulau. "Hahaha! Ayo bersihkan dan cepat masak untuk kami!"
kata Suji Angkara tertawa gembira.
(O-anikz-O) Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jilid 14 "Ah, Raden, mengapa terlalu menyiksa pemuda itu.
Lebih baik kita kerjakan bersama, agar kita bisa makan
dengan enaknya," kata Nyimas Banyak Inten seraya
mendekati Ginggi dan akan ikut memasak. Nyimas Layang
Kingkin dan Raden Banyak Angga pun nampak ikut
merubung Ginggi dan siap membantunya.
"Hahaha! Baik, bantulah anak lamban itu biar kita cepat-
cepat menikmati ikan bakar," seru Suji Angkara gembira.
Dan ternyata dia pun ikut sekalian membeset ikan dan
menyalakan api sendiri. Selama memasak ikan, mereka mengobrol dan bercanda.
Suji Angkara nampak selalu menggoda Nyimas Banyak
Inten. Terkadang godaan-godaannya terlalu mengarah
kepada hal-hal yang mengarah kepada yang membuat
sepasang pipi gadis itu merah-merona.
Sekarang ikan sudah masak, baunya sudah menyengat
membuat perut siapa pun semakin lapar. Keempat muda-
mudi makan ikan dengan suka-cita namun tanpa
meninggalkan sopan-santun dan etika makan. Mereka
makan dengan tertib, tidak tergesa-gesa juga tidak banyak
bicara. Hanya sesekali saja ada suara aduh atau ah karena
ikan bakar masih panas atau karena ada duri mengganjal di
lidah. Hanya Ginggi dan Seta yang tidak ikut makan. Seta
berdiri mematung sambil melihat ke kejauhan dan Ginggi
malah duduk di balai-balai sambil kedua kaki digoyang-
goyang. "Hei, akan lebih ramai nampaknya bila kalian pun ikut
makan sama-sama," kata Nyimas Banyak Inten.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Betul, makanlah sama-sama," kata Nyimas Layang
Kingkin. Banyak Angga pun ikut menawari.
Karena ditawari, Ginggi mendekat dan akan segera ikut
makan kalau saja Seta tak menghardiknya.
"Lho, kita kan sudah ditawari mereka, lagi pula ikan-
ikan ini aku yang tangkap. Mengapa kau halangi?" tanya
Ginggi membuat kedua gadis senyum dikulum.
"Anak setan, engkau tak sopan bila harus sama-sama
makan bersama mereka!" kata Seta mendelik. Ginggi
menundukkan kepala. Dia baru sadar kedudukannya di
lingkungan mereka. "Yah, biarlah bila begitu aturannya ?" gumamnya
menjauh lagi. Namun Nyimas Banyak Inten seperti
menaruh kasihan kepada Ginggi. Gadis itu setengah
memaksa mengajak pemuda itu agar ikut makan. Dan
karena kebetulan yang lain sudah merasa cukup makan
ikan, oleh yang lainnya Ginggi dipersilakan mencicipi
makanan-makanan enak itu.
Karena memang sudah lapar sejak tadi pagi. Ginggi
makan ikan dengan lahapnya. Seta yang beberapa kali dia
tawari hanya mendengus sebagai tanda menolak. Sehingga
akhirnya hanya Ginggi saja yang sibuk makan ikan.
Keempat orang muda-mudi hanya tersenyum saja melihat
Ginggi makan dengan perasaan tak canggung.
"Sudah aku katakan, anak muda itu selain bodoh juga
punya kejujuran dalam bertindak," kata Suji Angkara
sambil memperhatikan tangan Ginggi comot sana comot
sini. "Ayahanda perlu orang yang lugu tapi jujur. Nanti aku
ajak kau menghadap ayahanda," kata Suji Angkara.
Ginggi menatap tajam ke arah pemuda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Engkau harus berterimakasih kepada Raden Suji, sebab
kau akan bekerja di puri ayahandanya, yaitu Bangsawan
Bagus Seta," kata Banyak Angga.
Bergetar hati Ginggi mendengarnya. Ki Bagus Seta,
murid Ki Darma adalah ayahanda Suji Angkara" Ini amat
mengejutkan, sekaligus membingungkan. Ginggi terkejut
dan bingung, bukankah ayahanda Suji adalah Kuwu
Suntara, Kepala Desa Cae"
Kembali ada misteri baru menyelimuti anak muda
tampan tapi terkesan angkuh ini. Namun di samping
keheranannya, Ginggi pun amat gembira. Kalau benar
dirinya akan dipekerjakan di puri ayahanda Suji Angkara,
berarti dia akan bertemu dengan Ki Bagus Seta. Dengan
begitu, lengkaplah pertemuan dirinya dengan keempat
murid Ki Darma. Bersama tiga murid Ki Darma yang telah ditemukan
terlebih dahulu, dia menemukan harapan sekaligus
kekecewaan dan tanda tanya. Ketika bertemu dengan Ki
Rangga Guna ada secercah harapan bahwa murid ketiga Ki
Darma ini sepertinya setia dengan amanat guru. Namun
menemukan Ki Rangga Wisesa hanya ada rasa sesal dan
kecewa saja sebab orang itu berotak miring dan perangai
serta tindakannya memalukan Ki Darma. Ki Banaspati,
murid pertama Ki Darma masih berupa teka-teki bagi
Ginggi. Sekarang teka-teki makin besar bila ingat Ki Bagus
Seta. Dia menjadi bangsawan, dia menjadi pejabat
pemungut pajak. Apa yang tengah dilakukan sebenarnya
oleh murid kedua ini, Ginggi belum bisa menebaknya.
"Saya amat berbahagia bila dipercaya bekerja di puri
ayahandamu, Raden. Bangsawan Bagus Seta sudah lama
saya kenal dan saya kagum kepadanya," kata Ginggi
menyembah takzim. Suji mengangguk-angguk sebagai
tanda senang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, nanti sore aku perkenalkan kau pada ayahanda,"
kata Suji Angkara. Untuk yang kesekian kalinya Ginggi
menyembah takzim, disambut dengan sedikit dengus
pemuda Seta dari kejauhan.
Ginggi tak dengar dengusan ini sebab hatinya diliputi
kegembiraan bisa berhubungan dengan Ki Bagus Seta.
(O-anikz-O) Surat Cinta Suji Angkara Sudah hampir dua minggu Ginggi berada di Pakuan. Suji
Angkara yang pernah berkata akan mempekerjakan Ginggi
di kediaman Ki Bagus Seta belum pula melaksanakan
janjinya. Selama dua minggu ini, Ginggi malah disuruhnya
berada dekat-dekat dengannya.
Suji Angkara ternyata diam sendirian di sebuah rumah
besar tapi masih satu kompleks dengan rumah yang lebih
besar lagi, yaitu rumah milik Ki Bagus Seta.
Ginggi belum berkenalan dengan Ki Bagus Seta, namun
wajahnya sudah dia kenal. Orang itu bila bepergian selalu
mendapatkan pengawalan empat sampai lima orang
petugas. Dan melihat gerak-gerik para pengawalnya, Ginggi
mendapatkan bahwa mereka bukan dari jagabaya biasa,
melainkan kedudukannya jauh lebih tinggi lagi. Mungkin
bukan perwira setingkat pengawal raja, namun sepertinya
mempunyai kepandaian yang tinggi, dan Ginggi harus
demikian hati-hati untuk menyelidikinya.
Ki Bagus Seta berperawakan gagah. Tubuhnya tinggi
besar dan selalu berpakaian mewah. Matanya tajam seperti
burung elang dan dagunya runcing. Seperti menandakan
bahwa orang ini pemikir keras dan selalu bertindak tegas
dalam mengambil keputusan. Dan bila memperhatikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sepasang matanya yang tajam bagai mata burung elang itu,
Ginggi amat yakin, bahwa orang seperti itu pemerhati yang
serius, baik terhadap situasi, mau pun terhadap tindak-
tanduk orang lain. Kalau benar dugaannya, maka Ginggi
pun harus semakin hati-hati pula dalam bertindak.
Sikap-sikap ini sebenarnya hampir sama dengan tindak-
tanduk yang diperlihatkan Suji Angkara. Anak muda ini
pun seorang pemerhati dan penyelidik. Namun bedanya,
Suji Angkara ini orang yang gila hormat. Bila keinginannya
sudah terkabul dia sudah percaya terhadap mulut manis.
Selama beberapa hari Ginggi berada dekatnya, masih ada
kesan menyelidik dan menguji dari "majikannya" ini. Tapi
karena Ginggi selalu bersikap sopan dan selalu "bodoh
namun jujur", anak muda itu akhirnya memiliki
kepercayaan penuh bahwa Ginggi datang ke hadapannya
tidak memiliki tujuan apa-apa selain hendak mengabdi
belaka. Ginggi berpikir bahwa sangat mungkin Suji
Angkara mudah percaya akan hal ini karena memang
selama ini banyak orang yang mengharapkan bisa mengabdi
kepadanya. Buktinya, Seta dan Madi, adalah pengabdi yang
baik. Ki Ogel dan Ki Banen pun mungkin pada mulanya
dianggap pengabdi yang baik kalau saja kedua orang tua ini
tidak memperlihatkan sikap-sikap menentang terhadap Suji
Angkara. Dengan siapa kini dekat, bagi Ginggi tak ada bedanya
sebab semua orang akan dia selidiki. Kepada anak muda
pesolek ini, berbagai kecurigaan sudah menumpuk. Kini
usaha Ginggi adalah bagaimana cara mengungkapkannya.
Dan bila sekarang sudah bisa berdekatan dengan pemuda
itu, akan banyak cara mengungkapkannya.
Namun bagi Ginggi kini ada tantangan yang lebih besar
lagi. Dia harus sanggup membuka tabir penuh misteri dari
Ki Bagus Seta. Seperti ada rangkaian yang sambung-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyambung dan semakin melebar saja, dan semuanya
terselubung misteri. Ginggi harus sanggup membuka tabir, sejauh mana
peran Ki Bagus Seta yang di Pakuan ini berhasil
menempatkan dirinya sebagai bangsawan yang memiliki
jabatan penting, padahal gurunya sendiri sudah dianggap
pengkhianat dan selalu dikejar-kejar. Ginggi juga harus
mengetahui, bagaimana hubungan Ki Bagus Seta dengan Ki
Banaspati yang menjadi bawahan dalam mengurus pajak-
pajak negara. Ini misteri paling besar dan amat menyangkut urusan
negara. Bayangkanlah, Ki Banaspati bertugas sebagai
muhara untuk wilayah timur tapi diketahui Ginggi
menyembunyikan hasil-hasil pajak sebab akan digunakan
menghimpun kekuatan pasukan dalam upaya melawan raja.
Sedangkan Ki Bagus Seta di ibukota bertindak sebagai
pejabat muhara dan bertanggung jawab penuh dalam
memasukkan penghasilan negara. Adakah hubungan kedua
orang itu dalam upaya melaksanakan amanat guru"
Betulkah Ki Bagus Seta berusaha menjadi muhara juga
karena ingin melaksanakan amanat guru" Ginggi perlu
menyelidikinya lebih jelas lagi.
Pemberontakan adalah sesuatu yang tidak disukai Ki
Rangga Guna. Tapi kalau ternyata upaya-upaya yang
dilakukan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta merupakan
upaya menolong kepentingan rakyat seperti yang diamanatkan Ki Darma Tunggara, maka tak ada jalan lain,
Ginggi harus ikut mendukungnya. Mengapa tidak begitu"
Selama dua minggu dia berada di ibukota Pajajaran ini,
melihat kaum bangsawan hidupnya senang, melihat pula
bagaimana bahagianya raja dan keluarganya yang acapkali
bercengkrama di Taman Mila Kancana, atau makan-makan
buah durian di Tajur Agung (kebun istana), itu karena jasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengabdinya yaitu ambaraahayat. Tapi apa balas budi Raja
kepada Ki Darma, perwira yang puluhan tahun mengabdi
kepada kepada negara" Ki Darma bahkan dikejar dan
diburu serta dicap pemberontak.
Selama dua minggu ini, hampir setiap malam Ginggi
menyimak tembang-tembang prepantun (pelantun cerita),
dari prepantun istana sampai prepantun yang menggelar
pertunjukannya dijawi khita (benteng luar), selalu
menceritakan pengkhianatan Ki Darma Tunggara.
Siapa berkhianat itu yang jahat seribu perwira siap mati seribu perwira hampir mati
mati karena pengkhianatan
mati karena pengkhianatan
oh,hai, pengkhianat dialah Ki Darma Tunggara!
dialah Ki Darma Tunggara!
Ginggi hampir setiap malam mendengarkan lantunan
prepantun yang mengisahkan pertempuran mati-matian di
alun-alun luar kota Pakuan antara seribu perwira pengawal
raja melawan musuh yang datang menyerbu. Dalam
peristiwa ini Ki Darma Tunggara dicurigai melakukan
pengkhianatan dengan sengaja mengundang musuh dari
barat. Peristiwa itu terjadi belasan atau puluhan tahun yang
lalu, ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Dewata Buana
atau lebih dikenal sebagai Sang Prabu Ratu Dewata (1535-
1543 Masehi). Ki Darma Tunggara yang merasa lebih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpengalaman dalam membela negara karena sudah sejak
Pakuan dipimpin Sang Ratu Jaya Dewata atau lebih dikenal
dengan Sri Baduga Maharaja atau Sang Prabu Siliwangi
(1482-1521 Masehi), mengeritik kebijaksanaan Sang Prabu
Ratu Dewata yang lebih memperhatikan kehidupan agama
ketimbang yang lainnya. Ayahanda Sang Prabu Ratu
Dewata, yaitu Ratu Sangiang, atau lebih dikenal sebagai
Sang Prabu Surawisesa (1521-1543 Masehi) semasa
memerintah gemar berperang. Selama 14 tahun memerintah, melakukan peperangan sebanyak 15 kali.
Menurut Sang Prabu Ratu Dewata, seringnya melakukan
peperangan mungkin juga akan diakui dunia sebagai bangsa
yang gagah berani. Tapi juga akan punya risiko banyak
menyakiti musuh. Musuh yang kalah tak akan selamanya


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takut, suatu waktu mereka akan membalas kekalahan.
Peperangan yang berkepanjangan pun, baik dalam
kemenangan apalagi dalam kekalahan, hasilnya tetap akan
menyengsarakan rakyat. Dan karena perang dibentuk oleh
jalan pikiran manusia, maka Sang Prabu Ratu Dewata
memilih belajar mengendalikan pikiran agar tak selalu
dipenuhi nafsu angkara-murka. Sang Prabu Ratu Dewata
memilih hidup damai ketimbang mengundang kemelut.
Itulah sebabnya sendi-sendi agama diangkat ke permukaan.
Kuil dan biara di Pakuan diperbanyak jumlahnya, demikian
pun para wiku dan pendeta, di kuil memperdalam masalah
kebatinan ketimbang memperhatikan kehidupan lahiriyah.
Inilah yang dikritik ki Darma. Menurutnya,tapa di
nagara untuk seorang raja bukanlah mengurung diri di kuil
sambil melepaskan seluruh kehidupan lahiriyah.Tapa di
nagara adalah melaksanakan pekerjaan yang ditekuni
sehingga berguna untuk kepentingan umum. Hanya
memperhatikan kepentingan batiniyah tanpa mengurus
kepentingan lahiriyah hidup tidaklah seimbang. Apalagi
menurut Ki Darma, negara tetap dalam bahaya. Musuh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang datang tidak sekadar akan membalas kekalahan, tapi
karena punya maksud ingin menghilangkan pengaruh
Pajajaran dan akan digantikannya dengan pengaruh baru
yang dibawa oleh mereka. Jadi, mengurung diri dengan
maksud menjauhkan nafsu angkara-murka yang ada dalam
diri sendiri tidak akan mengusir bahaya peperangan, sebab
musuh tetap mengancam. Ki Darma pernah memberikan peringatan kepada Raja
bahwa sewaktu-waktu musuh dari barat akan menyerang.
Ki Darma bisa berkata begitu karena dia pandai meramal
sesuatu bahaya. Tapi peringatan ini tak dipercaya Raja
dengan mengatakan bahwa ramalan Ki Darma bohong
belaka. Namun ketika secara tiba-tiba musuh datang
menyerang dan langsung mengepung Pakuan, pemerintah
tak berterima kasih kepada Ki Darma, bahkan sebaliknya
menuduh Ki Darma berlaku khianat. Kalau benar Ki
Darma bisa meramal, mengapa katanya kedatangan musuh
yang tiba-tiba tidak bisa diramalkan" Banyak suara
mendukung kecurigaan. Katanya, mungkin saja Ki Darma
sudah tahu sebelumnya tapi tak dilaporkan. Atau ada
kecurigaan lebih besar, Ki Darma sengaja "mengundang"
musuh datang hingga ke "beranda" Pakuan tanpa diketahui
sebelumnya. Dan itu semua karena pengkhianatan Ki
Darma. Memang Raja tak berhasil membuktikan kesalahan Ki
Darma. Tapi Raja akan tetap menghukumnya ketika Ki
Darma akhirnya akan mengundurkan diri dari kegiatan
kenegaraan. Perintah untuk mengejar dan menangkap Ki
Darma dikeluarkan setelah Pakuan dipimpin oleh Sang
Prabu Ratu Sakti yang sejak dia menjadi perwira bekerja
menjadi pengawal ayahandanya, sudah membenci Ki
Darma yang senang melakukan panca parisuda (mengeritik). Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak ada yang bisa membuktikan Ki Darma melakukan
pengkhianatan. Tapi kebencian terhadapnya terus dihembus-hembuskan. Kisah peperangan di alun-alun luar
Kota Pakuan merupakan kisah populer dan penduduk
senang menikmati lantunan prepantun (juru pantun). Bila
prepantun yang membawakannya pandai melantun merdu
diiringi dawai-dawai kecapinya, maka pendengar akan
tergugah dan terbawa arus. Mereka akan membenci Ki
Darma si pengkhianat dan akan memuji kehebatan
kepahlawanan seorang perwira muda putra mahkota.
Dialah kelak Sang Ratu Sakti Sang Mangabatan raja gagah
berani yang selalu berupaya mengembalikan kejayaan
Pajajaran ke masa puluhan tahun silam.
Kisah-kisah kepahlawanan Sang Ratu Sakti dan
pengkhianatan perwira Darma Tunggara terkenal sampai
jauh ke wilayah timur seperti ketika Ginggi mendengarkan
kisah ini pertama kalinya oleh prepantun Ki Baju Rambeng,
di Desa Cae hampir setahun lalu.
Ginggi sakit hati oleh kesemuanya ini. Barangkali murid-
murid Ki Darma lainnya pun sama memendam sakit hati.
Itulah sebabnya mungkin, Ki Banaspati tak kepalang
tanggung menjalankan amanat guru. Dalam upaya
membela kepentingan rakyat, Ki Banaspati akan menghimpun kekuatan untuk digunakan melawan raja.
Tidakkah Ki Bagus Seta yang kini mengendalikan kekayaan
negara sebetulnya punya tujuan yang sama dengan Ki
Banaspati" Barangkali secara diam-diam mereka berdua
telah melakukan persekutuan dalam melawan Raja.
Ya, barangkali. Tapi apa pun yang sesungguhnya terjadi,
Ginggi harus tetap berlaku hati-hati. Dia harus mengambil
keputusan yang tepat. Untuk itulah Ginggi harus
melakukan penyelidikan seseksama mungkin. Dia tak mau
tergelincir melakukan kekeliruan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(O-ani-kz-O) Ginggi ikut di rumah besar yang dihuni Suji Angkara. Di
rumah besar yang terbuat dari susunan kayu jati pilihan itu
juga tinggal beberapa badega (pembantu) termasuk
beberapa orang pembantu wanita usia tigapuluh tahunan ke
atas tapi berwajah lumayan. Pekerjaan para badega adalah
membersihkan halaman, memandikan kuda, atau pekerjaan-pekerjaan berat yang tak mungkin dilakukan
kaum wanita. Sedangkan para pembantu wanita bekerja
dari mulai memasak, mencuci, sampai membersihkan dan
membereskan tempat tidur Suji Angkara. Para pembantu
wanita itu pun kadang-kadang bertugas memijit bila Suji
Angkara menghendakinya. Namun selama Ginggi meneliti,
sikap pemuda itu wajar-wajar saja. Dia dipijit dan para
wanita memijit, tak lebih dari itu.
Seta juga tinggal di sana. Menurut para badega, Seta
bertugas sebagai pengawal Raden Suji. Tapi menurut
penglihatan Ginggi, pemuda yang bibirnya selalu mencibir
itu tugasnya tak lebih hanya sebagai pelayan belaka, kendati
tidak seperti badega lainnya. Seta lebih berupa pelayan
pribadi pemuda pesolek itu untuk keperluan-keperluan di
luar rumah. Akan halnya Ginggi, Suji Angkara rupanya tak
menempatkan pemuda itu secara khusus, sebab sesuai
dengan ucapan Suji Angkara, Ginggi akan dipekerjakan di
kediaman Ki Bagus Seta. Hanya saja selama dua minggi ini, Ginggi sudah dua kali
menerima tugas khusus, yaitu mengirimkan surat daun
nipah kepada Nyimas Banyak Inten. Ini bermula dari tanya-
jawab santai antara Ginggi dan Suji Angkara pada suatu
senja di taman belakang rumahnya. Suji Angkara tengah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dipijit-pijit seorang wanita pembantu dan Ginggi asyik
merawat tanaman hias di tepi kolam yang banyak dihuni
ikan mas berwarna-warni. "Duruwiksa, sedang apa kau di sana?" tanya Suji
Angkara padahal matanya meram-melek karena tengah
menikmati pijitan wanita pembantu.
"Saya tengah mencabuti daun-daun kering, Raden,"
jawab Ginggi merendah. Selama dua minggi ini pemuda itu selalu menyebut
duruwiksa kepadanya. Namun karena Suji Angkara
mengucapkannya dengan wajar tak terasa lagi sebagai
ejekan. Bahkan Ginggi pun sudah terbiasa dan seperti betah
mendengarnya. "Kau kesinilah sebentar," kata Suji Angkara melambaikan tangannya. "Baik, Raden ?" Ginggi melangkah terbungkuk-
bungkuk. Kemudian duduk bersila di mana pemuda
bersolek itu berbaring di sebuah dipan kayu.
"Kepandaianmu, sebetulnya apa sih?" tanya Suji
Angkara tiba-tiba. Ginggi sudah siap untuk menerima berbagai pertanyaan.
Dan tentu jawabannya asal bunyi saja, yang penting jauh
dari segala kebenaran yang bakal mencurigakan orang lain.
"Saya tak memiliki kepandaian selain yang Raden
ketahui selama ini," jawab Ginggi menunduk seolah-olah
memperlihatkan rasa malu dan rendah diri.
"Ilmu membaca huruf misalnya?"
Ginggi menggelengkan kepala.
"Saya ini pengembara, kemana saja kaki membawa, di
situlah saya tinggal. Tidak pernah tahu siapa kedua orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tua saya. Yang saya tahu, saya sudah hidup seperti ini. Jadi
kalau ada yang tanya dari mana asal, saya tak bisa jawab.
Tugas saya sehari-hari hanya memikirkan bagaimana hari
ini bisa makan. Lain dari itu saya tak pikirkan, termasuk
mempelajari tektek-bengek seperti membaca, menulis dan
apalagi belajar ilmu kedigjayaan seperti yang dilakukan
Seta, misalnya," kata Ginggi berpanjang lebar agar Suji
Angkara segera kehabisan apa yang akan ditanyakan
selanjutnya. Mendengar penjelasan Ginggi, pemuda itu hanya
manggut-manggut saja tanpa Ginggi tahu apa maksudnya.
"Sebetulnya wajahmu lumayan juga. Kalau kau tak
bodoh dan lugu, barangkali akan banyak wanita
memperhatikanmu," kata pemuda itu sungguh-sungguh.
Ginggi hanya menatap sejenak. Perempuan pembantu
yang tengah memijit juga seperti diingatkan oleh ucapan
oleh pemuda itu sehingga serta-merta memandangi wajah
Ginggi. "Apa tidak merepotkan bila seorang lelaki banyak
diperhatikan para gadis, Raden?" tanyanya senyum
dikulum. Suji balas tersenyum. Dia tak bicara apa-apa sehingga dia
tak bisa mengorek isi hati pemuda pesolek itu lebih jauh
mengenai perhatiannya terhadap wanita.
"Barangkali merepotkan. Tapi tidak dicintai wanita pun
sama merepotkan. Rasa sepi di hati kupikir merepotkan.
Ditolak cinta pun kupikir merepotkan sebab hati bisa
gundah- gulana," kata Suji Angkara pada akhirnya. Namun
perkatannya itu hanya diucapkan sambil mata terus meram-
melek karena keenakan mendapat pijitan-pijitan perempuan
pembantu itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang pun aku tengah menderita kerepotan," gumam
pemuda itu selanjutnya. "Terlalu banyak dicinta wanita, Raden?" tanya Ginggi
menyipitkan matanya untuk memandang Suji Angkara.
"Terlalu banyak dicinta bagi seorang bangsawan malah
lumrah. Yang tak lumrah bagi seorang bangsawan adalah
bila menerima semua cinta itu. Orang kebanyakan akan
mencibir bila melihat kaum bangsawan semena-mena dan
serampangan melakukan cinta. Sesama bangsawan pun
akan marah sebab merasa martabatnya dijatuhkan bila ada
bangsawan lainnya berlaku tak senonoh dalam urusan
cinta. Dan ini merepotkan," kata Suji Angkara.
"Mungkin akan aman bagi bangsawan bila memilih salah
satu orang yang dicinta saja," gumam Ginggi menyela
ucapan pemuda itu. Namun Suji Angkara hanya merahuh kesal.
"Raden sedang dilanda nestapa karena urusan cinta?"
tanya Ginggi. Dan Suji Angkara pelan-pelan menganggukkan kepalanya. Ginggi terdiam. Tapi perempuan pembantu masih
melanjutkan pekerjaannya memijat bagiaan-bagian tubuh
Suji Angkara sepertinya obrolan ini bukan sesuatu yang
perlu disimak benar. "Aku tengah menggandrungi Nyimas Banyak Inten, putri
cantik Bangsawan Yogascitra. Bagaimana caranya agar
cintaku tak bertepuk sebelah tangan?" gumam Suji Angkara
lagi mengatupkan mata seolah-olah membayangkan agar
cita-citanya terlaksana. Jantung Ginggi berdegup mendengarnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika pertemuan pertama kalinya di Pakuan, Ginggi
memang melihat Suji Angkara begitu penuh perhatian
terhadap gadis putri Bangsawan Yogascitra itu. Waktu itu
pun Ginggi sudah menduganya kedua muda-mudi itu
sedang menjalin hubungan baik. Tapi siapa kira hubungan
mereka belum terikat resmi. Bahkan lebih jauh dari itu,
mereka belum melakukan sesuatu ikatan. Buktinya, Suji
Angkara kini mengaku bahwa dirinya tengah menaksir


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis itu. Ginggi berdegup mengetahui kenyatan ini. Tapi
mengapa mesti berdegup" Aneh, Ginggi sendiri tak tahu,
mengapa harus berdegup"
"Betul-betulkah engkau tak bisa baca-tulis, Duruwiksa?"
tanya Suji Angkara. Ginggi menatap pemuda itu. Apa hubungan Nyimas
Banyak Inten dengan dirinya yang mengaku tak bisa baca-
tulis" Namun biar pun dilanda rasa heran, Ginggi akhirnya
mengangguk juga. "Kalau begitu, kau harus tolong aku. Kau sampaikan
suratku pada Nyimas Banyak Inten ?" kata Suji Angkara.
Ginggi masih menatap pemuda itu karena belum
mengerti mengapa dia dipilih untuk mengantarkan surat.
"Aku sebetulnya tak senang rahasia hidupku diketahui
orang lain. Kau tak bisa baca tulisan. Jadi kalau aku
mengirim surat cinta melalui kamu, rahasia cintaku tak
terbongkar," kata Suji Angkara memberikan alasan memilih
Ginggi sebagai pengirim surat.
"Biasanya surat diantar di dalam kotak kayu jati tertutup.
Mengapa takut benar isi surat itu dibuka orang?" tanya
Ginggi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku tak mau mengirim surat secara resmi, mungkin aku
lebih senang melayangkan surat secara diam-diam saja.
Surat daun nipah akan tersusun begitu saja seperti susunan
daun sirih di atas tempayan. Akan lebih aman bila dibawa
oleh orang yang tak bisa baca sepertimu," kata Suji Angkara
menerangkan. Ginggi mengangguk karena baru mengerti
apa yang ada dalam pikiran pemuda yang tengah dilanda
kasmaran. "Kalau saya dipercaya, tak apa menugaskan saya
mengirimkan suratmu itu, Raden," kata Ginggi akhirnya
dan hanya dibalas senyum tipis di bibir pemuda tampan itu.
Ginggi pun ikut tersenyum. Pemuda yang berkulit putih itu
mau menugaskan Ginggi bukan karena percaya, tapi karena
beranggapan Ginggi tak bisa baca.
(O-anikz-O) Di Taman Milakancana Akhirnya Ginggi memang diberi tugas untuk mengirimkan surat daun nipah. Dua kali banyaknya. Surat
itu tidak dibungkus apa pun. Suji Angkara hanya menyuruh
Ginggi agar menyelipkan saja di pinggangnya.
"Tapi awas, jangan kau perlihatkan surat ini pada siapa
pun juga. Kau pun harus hati-hati, daun nipah boleh kau
serahkan kepada Nyimas Banyak Inten di saat dia duduk
sendirian," kata Suji Angkara sebelum Ginggi melaksanakan tugasnya. Tengah hari Ginggi menuntun kuda-kuda kepunyaan
Suji Angkara dengan alasan akan disuruhnya merumput.
Padahal yang sesungguhnya Ginggi menuju Taman Mila
Kancana. Itu adalah sebuah taman istana. Hanya para putri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
raja beserta kerabatnya saja yang bisa bercengkrama di
sana. Kaum lelaki sebetulnya dilarang memasuki kompleks
taman tanpa seizin jagabaya. Tapi Ginggi mudah akrab
dengan siapa saja, termasuk dengan para jagabaya. Hampir
semua jagabaya tahu belaka bahwa pemuda tampan tapi
lugu dan sedikit bodoh itu adalah pekerja Suji Angkara.
Hanya kaum pria dari sesama bangsawan saja yang
mendapat pertanyaan agak teliti bila hendak memasuki
taman. Tapi para pekerja kasar yang sudah benar-benar
dipercaya tidak terlalu dipersulit untuk masuk ke taman
apalagi dengan alasan jelas, misalnya hendak membersihkan rumput atau kolam taman.
Kaum lelaki golongan kebanyakan yang menjadi pekerja
kasar dianggapnya tak akan berani mati mengganggu para
gadis istana. Lain lagi dengan pria kaum bangsawan yang
kemungkinan berani menggoda para gadis. Dan itu sebuah
pelanggaran etika. Semua orang tidak membiarkan kaum
bangsawan atau kerabat istana melanggar etika yang bisa
menjatuhkan martabat mereka.
Ini untuk yang kedua kalinya Ginggi memasuki
kompleks Taman Mila Kancana dengan alasan membersihkan rumput taman sambil memberi makan kuda.
Padahal yang sesungguhnya dikerjakan adalah mengirimkan surat daun nipah kepada gadis cantik putri
Bangsawan Yogascitra itu.
Ginggi tidak pernah tahu, bagaimana macamnya etika
surat menyurat kaum bangsawan. Tapi ketika mencuri baca
surat daun nipah yang ditulis Suji Angkara, isinya begitu
lugas dan terus terang dalam memaparkan maksud-maksud
cintanya. Surat pertama menggambarkan kerinduan yang
sangat dalam Suji Angkara terhadap Nyimas Banyak Inten.
Dikatakannya, hanya kematian yaang akan menyambut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nasibnya bila Nyimas Banyak Inten tidak memperhatikan
cintanya. "Ketika aku dirampok perampok ganas setiap bertugas
mengirim barang-barangseba, aku hadapi segalanya dengan
gagah berani, pantang mundur atau putus asa. Tapi bila
jiwaku dihadang cinta, maka hatiku tak berbuat apa-apa.
Bila cintaku terabaikan, maka tak ada lagi cara
memupusnya selain kematian," tutur surat itu menyebalkan.
Ya, menyebalkan. Tapi di lain fihak Ginggi pun bingung sendiri, mengapa
menyebalkan bagi dirinya" Ginggi membayangkan kembali,
betapa rambut hitam Nyimas Banyak Inten tersibak-sibak
indah ketika angin sore di tepileuwi Kamala Wijaya di
Sungai Cihaliwung menerpanya. Betapa sepasang mata itu
berbinar tajam menyorot dirinya ketika tak sengaja beradu
pandang. Betapa pula mulut mungil merah merekah ketika
gadis itu menertawakan dirinya ketika wajahnya berkelepotan lumpur lubuk leuwi dalam upaya menangkap
ikan di sana. Dan rasanya ada semacam kemesraan tak
sengaja ketika putri yang berkulit putih halus dengan
sepasang pipi kemerahan itu ikut membantu membalik-
balikkan ikan yang tengah dibakar Ginggi. Denyut jantung
pemuda itu bergetar hebat ketika kulit tangan halus gadis itu
secara tak sengaja bersinggungan dengan kulit tangannya.
Gadis itu jongkok di sisinya. Dia ikut sibuk menggerak-
gerakkan kipas agar api cepat menyala, sampai matanya
berair kepedihan oleh asap perapian. Bahagia sekali hari itu.
Sepertinya gadis bangsawan itu bukan teman baik Suji
Angkara tapi merupakan sahabat dia seorang. Sekarang,
gadis yang berperangai halus tapi mudah akrab itu
"dilamar" orang, siapa tidak sebal"
Surat kedua yang akan diberikan Ginggi pada gadis itu
bahkan lebih menyebalkan lagi isinya. Surat itu secara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terang-terangan mengajak Nyimas Banyak Inten untuk
melakukan pertemuan rahasia. Gila!
Ada keragu-raguan Ginggi, apakah akan diberikan saja
atau sebaliknya dibuang ke parit istana" Bila surat tak
diserahkan, Ginggi takut rencananya dalam melakukan
penyelidikan terhadap Suji Angkara akan gagal total. Bila
surat tak disampaikan dan diketahui oleh Suji Angkara, dia
pasti akan mendapat kemarahan pemuda bengaal itu. Kalau
tak dihukum pasti akan diusir pergi. Dan ini hanya akan
merugikan rencananyaa saja. Padahal posisinya kini sudah
amat menguntungkan karena telah dipercaya pemuda itu.
Maka ingat ini, dengan berat hati akhirnya dia membawa
lembaran daun nipah ke Taman Mila Kancana untuk
diserahkan pada Nyimas Banyak Inten.
Taman Mila Kancana itu cukup luas. Di sana banyak
pohon rindang, rumput-rumput menghijau dan semerbak
macam-macam bunga karena di sana-sini terdapat
hamparan bunga beraneka warna. Kolam-kolam berair
jernih dengan macam-macam ikan menghiasinya.
Ginggi hadir ke tempat itu sambil berbekal keranjang
bambu dan alat penyabit rumput seperti yang diatur Suji
Angkara. Namun kendati penyamaran sudah sempurna,
pemuda itu tidak bisa segera memberikan surat daun nipah
kepada Nyimas Banyak Inten. Di dangau kecil beratap
injuk di bawah pohonkecik memang dilihat Ginggi ada dua
orang gadis tengah mengobrol santai. Kedua gadis itu
dikelilingi para pengasuhnya, terdiri dari sekumpulan
wanita setengah baya. Macam-macam tingkah mereka. Ada
yang tengah merajut kain, ada juga yang memilin benang.
Beberapa pengasuh malah duduk-duduk di bawah pohon
sambil ngobrol kesana-kemari.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak terlalu jauh Ginggi berada, namun dia jongkok
menyabit rumput di tempat yang agak tersembunyi. Kedua
gadis yang berpakaian mewah itu adalah Nyimas Banyak
Inten dan Nyimas Layang Kingkin. Kepada Ginggi, gadis
ini diperkenalkan sebagai adik Suji Angkara. Hanya
bedanya, Nyimas Layang Kingkin tinggal di puri Ki Bagus
Seta, ayahandanya. Ginggi tak begitu bisa menangkap apa yang dibicarakan
kedua gadis belia itu, sebab suara pengasuh terdengar lebih
keras karena posisi mereka lebih dekat ke arah Ginggi.
Selagi banyak orang seperti ini, Ginggi tidak akan
mungkin memberikan surat kepada Nyimas Banyak Inten.
Oleh sebab itu Ginggi hanya menggerak-gerakkan penyabit
rumput dengan asal-asalan, menunggu Nyimas Banyak
Inten tinggal sendirian. Namun harapannya tak akan mencapai hasil, sebab
sebelum Nyimas Layang Kingkin pergi, dari jauh ada satu
rombongan lain menuju ke tempat itu. Rombongan itu
hampir sepuluh orang jumlah banyaknya, laki-laki dan
perempuan. Mereka berpakaian bagus-bagus. Satu orang
yang berjalan tenang paling depan bahkan berpakaian amat
mewah. Dia tidak memakai pakaian tertutup di bagian
atasnya, namun tubuhnya yang bidang banyak dihiasi
selendang sutra warna-warni. Sebagian membungkus
dadanya, sebagian berkibar-kibar di tangannya. Kepala
orang itu diikat hiasan beludru hitam yang banyak
ditempeli ornamen emas. Ginggi terkejut. Lelaki usia 40
tahunan berkulit putih halus berkumis tipis dengan sorot
mata menyala ini, siapa lagi kalau bukan Susuhunan
Pakuan, Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan"
Ginggi tak salah menduga, sebab kedua orang gadis
beserta pengasuhnya serempak bersimpuh di hamparan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rumput hijau serta menyembah takzim kepada rombongan
yang baru datang itu. Ginggi semakin menyembunyikan dirinya, takut kalau-
kalau Sang Susuhunan tersinggung oleh kelakuannya. Ingat
ini, pemuda ini menjadi serba salah. Tetapi bersembunyi
saja di sana akan amat berbahaya bila tiba-tiba diketahui
jagabaya dia main sembunyi. Tapi keluar dari tempat itu
pun sama tak enaknya. Akhirnya dia memilih tetap saja
tinggal di tempat gelap oleh rimbunan pepohonan, dengan
harapan kehadirannya tidak diketahui jagabaya.
Namun kendati begitu, rasa penasaran tetap menggelitik
hatinya. Sambil sembunyi, kepalanya diusahakan nongol
dan matanya menatap ke sana. Dia ingin tahu, apa saja
yang dilakukan Sang Susuhunan di taman dengan para
putri bangsawan itu. Dilihatnya Sang Raja tengah berbincang-bincang dengan
kedua putri bangsawan itu. Suaranya halus dan lemah-
lembut, sehingga Ginggi tak sanggup mendengar ucapan
raja tampan berkumis tipis itu. Yang dia saksikan, hanya
senyum dan kerling mata tajam dari Sang Prabu Ratu Sakti
saja. Secara bergiliran, nampak sepasang mata tajam
berbinar itu melirik ke arah Nyimas Banyak Inten dengan
sorot penuh kagum dan setelah itu beralih kepada Nyimas
Layang Kingkin. Sedang yang diberi kerlingan mata,
keduanya hanya menunduk dengan rona merah di pipi dan
sesekali menyembah takzim. Para pengawal seolah tak
mendengar apa yang diucapkan Sang Prabu. Mereka hanya
berdiri tegap ke segala penjuru arah dengan senjata tombak
siap di tangan. Sedang para wanita yang cantik-cantik dan
pakaiannya yang indah-indah itu, hanya menunduk dengan
senyum simpul di mulutnya yang rata-rata manis memikat
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sang Prabu tidak terlalu lama mengajak para gadis
bangsawan mengobrol. Ketika raja berkulit putih dan


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhidung mancung itu akan berlalu, semua orang
menunduk dan menyembah takzim dan tak berani menatap
muka sebelum rombongan itu benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. Rombongan raja berjalan ke jalan berbalay (dibuat dari
susunan batu sungai) yang kebetulan lewat ke tempat
Ginggi sembunyi. Maka untuk menghindari pandangan
Raja dan pengawalnya, pemuda itu menggeser badannya
sesuai dengan gerakan rombongan. Namun ketika
rombongan sudah berjalan jauh, ada suara sepertinya
gerakan benda yang ditimpukkan dari arah belakang
tubuhnya. Sejenak Ginggi merasa terkejut, kalau-kalau itu
sebuah serangan rahasia. Namun mendengar gerakannya,
timpukan itu tidak dilakukan dengan pengerahan tenaga
khusus. Tuk! Benda itu menimpuk tepat di tengkuknya. Ginggi
pura-pura terkejut dan berpaling ke belakang. Terdengar
cekikikan kaum wanita. Dan Ginggi akhirnya jadi ketawa
sendiri. Bagaimana tak ketawa sebab yang dikiranya masih
sembunyi, nyatanya tubuhnya sudah berada di tempat yang
terbuka dan dengan jelas dilihat sekumpulan wanita itu.
"Hei, laki-laki ceriwis, engkau tukang intip. Berani-
beraninya, ya?" teriak wanita-wanita pengasuh dengan
tingkah polah macam-macam yang pada intinya mencoba
menakut-nakuti Ginggi. Pemuda itu merunduk-rundukkan
badan dengan wajah penuh khawatir membuat yang
melihat tertawa. Kedua putri bangsawan itu pun tersenyum sambil
menutupi mulutnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ke sini kau! Namamu Ginggi, bukan" Badega (pelayan)
Raden Suji, bukan" Kerjamu mengintip orang, bukan?"
Salah seorang pengasuh berusia tigapuluhan nyerocos
memeriksa pemuda itu. Ginggi hanya menganguk-angguk
sembarangan. "Jadi engkau mengakui main intip orang, ya?"
"Tidak, tidak mengintip. Saya sembunyi, Bibi "!" jawab
Ginggi menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau tidak sedang main intip mengapa kau di sini?"
"Lihatlah keranjang bambu yang ada di tangan kiriku,
dan lihat pula alat penyabit rumput di tangan kananku.
Dengan demikian sudah jelas, apa yang tengah aku
kerjakan, Bibi ?" kata Ginggi memperlihatkan kedua
benda itu. "Tapi aku tadi melihat kamu berindap-indap?"
"Saya malu diketahui Sang Susuhunan. Kalau beliau
tahu saya ada di sini, wah berabe ?" kata Ginggi pula.
"Tapi kamu tidak takut oleh kami, ya?"
"Wah " kalian kan baik-baik dan ramah-ramah kepada
semua orang?" "Menjilat, ya ?"
"Betul, Bibi! Kalian semua ramah dan pemaaf. Bijaksana
lagi!" "Huh, cari muka,ya!"
"Saya sudah punya muka, bibi!"
"Cerewet! Mukamu jelek!" terak wanita pengasuh itu.
Ginggi hanya garuk-garuk kepala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudahlah Bibi, jangan terus dimarahi. Dia memang tak
salah," kata Nyimas Banyak Inten halus. Ginggi tersenyum
mendengarnya, membuat Si Bibi pengasuh kembali
mengomel. "Kau ke sinilah badega ?" Nyimas Layang Kingkin
memanggilnya. Ginggi merunduk-runduk datang mendekat.
Dia tak berani memandang putri bangsawan ini. Namun
walau pun sekilas, Ginggi pandai menilai, gadis yang
hampir empat tahun di atas usianya terlihat amat jelita,
sehingga Ginggi susah membedakan, mana yang paling
elok, wajah Nyimas Banyak Inten ataukah Nyimas Layang
Kingkin" Dua-duanya memilik sepasang mata berbinar,
berhidung kecil mancung dengan cuping hidung kembang-
kempis serta ada lesung pipit di pipi bila keduanya
tersenyum. Yang membedakan keduanya, Nyimas Banyak
Inten usianya lebih belia, mungkin sekitar 15 tahun atau
setahun di bawah usia Ginggi. Sedangkan Nyimas Layang
Kingkin nampak lebih dewasa baik raut wajahnya, mau pun
potongan tubuhnya yang lebih berisi dan membentuk.
"Ada apakah Tuan Putri ?"" tanya Ginggi bersila dan
menyembah takzim tanda hormat.
"Seharusnya aku yang tanya padamu, ada apakah
engkau datang ke sini?" putri elok Nyimas Layang Kingkin
balas bertanya. Pemuda itu kian menunduk. Beberapa lama
dia tak sanggup memberikan jawaban.
"Mengambil rumput utuk makanan kuda, ya" Kok ambil
rumputnya ke sini saja?" tanya Nyimas Layang Kingkin
sambil mengerling ke arah Nyimas Banyak Inten. Ginggi
juga ikut mengerling dan rona merah di pipi Nyimas
Banyak Inten nampak kentara. Ginggi menunduk dan
berdegup jantungnya. Rupanya hubungan Suji Angkara dan
Nyimas Banyak Inten sudah diketahui orang lain, paling
tidak oleh Nyimas Layang Kingkin, adik Suji Angkara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi tak apalah ambil rumput di Taman Mila Kancana
ini. Yang penting, kau jangan ganggu adikku, Nyimas
Banyak Inten," kata Nyimas Layang Kingkin penuh arti.
Kembali rona merah di wajah Nyimas Banyak Inten
membayang. "Hari sudah semakin siang, mari Bibi kita kembali ke
puri. Ada burung pipit tengah menanti. Siapakah yang
datang dan siapakah yang akan dipilih. Burung pipit mesti
menimbang-nimbang, Bibi ?" kata Nyimas Layang
Kingkin kembali mengerling ke arah Nyimas Banyak Inten
sambil senyum penuh arti. Dan yang dikerling hanya
menunduk malu membuat Ginggi tak mengerti apa yang
sebenarnya mereka maksudkan.
Tinggallah Nyimas Banyak Inten ditemani dua orang
pengasuhnya. Nampak mereka semua tengah termangu-
mangu membuat Ginggi tak enak hati.
"Engkau ke sini menyabit rumput, eu "."
"Nama saya Ginggi Tuan Putri."
"Jangan sebut aku begitu. Panggil saja Nyimas," potong
Nyimas Banyak Inten. "Tuan Putri adalah kerabat Raja juga ?" gumam Ginggi.
"Ya, tapi kerabat jauh. Kau baru boleh memanggil
seperti itu kepada turunan langsung Raja saja," kata Nyimas
Banyak Inten lagi. Ginggi tersenyum. Macam-macam
kehendak keluarga bangsawan ini. Nyimas Banyak Inten
seperti tak suka disebut tuan putri sedangkan Nyimas
Layang Kingkin seperti kebalikannya. Mata Nyimas
Layang Kingkin seperti berbinar ketika dipanggil tuan putri
oleh Ginggi tadi. "Baiklah " Nyimas" kata Ginggi akhirnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyimas Banyak Inten puas dengan kesanggupan Ginggi
ini. "Engkau datang ke sini karena menyabit rumput, ya?"
Ginggi merenung tapi kemudian mengangguk.
"Terima kasih kalau engkau datang ke sini hanya
menyabit rumput," gumam Nyimas Banyak Inten seperti
bicara pada diri sendiri, membuat Ginggi merasa heran.
Kini pemuda itu mengangkat wajah dan memandang
muka yang bak bidadari turun dari kahyangan ini.
Nyimas Banyak Inten balik menatap, rupanya tahu akan
keheranan Ginggi. "Entahlah Ginggi " aku belum memikirkan hal yang
bukan-bukan ?" kata Nyimas Banyak Inten masih setengah
bergumam. Ginggi menatap tajam wajah rembulan yang
kini nampak murung itu. Dia tak menyadarinya bahwa
tindakan ini tidak layak bila dilakukan oleh kebanyakan
orang sepertinya. Namun kesadaran pemuda itu tertutup
oleh gejolak rasa yang menggebu di hatinya. Rembulan itu
begitu murung, begitu kelabu bagaikan ada awan tipis
memoles wajahnya. Ingin sekali Ginggi jadi penguasa angin
dan segera meniup jauh awan kelabu yang menutup sang
rembulan. Tapi awan kelabu yang manakah yang membuat
si jelita begitu murung"
"Kau katakan pada Raden Suji " aku belum
memikirkan urusan seperti itu, Ginggi?" kata Nyimas
Banyak Inten menghela nafas panjang.
(O-anikz-O) Siapa Mencinta Nyimas Banyak Inten"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ginggi ingin berkata sesuatu, namun lidahnya seperti
terpotong di tengah jalan. Tidak, tidak akan kukatakan
perihal surat yang kubawa ini, kata Ginggi dalam hatinya.
Surat itu tak pantas dibaca oleh gadis sehalus Nyimas
Banyak Inten. Bayangkan, surat itu mengajak putri
berperangai halus itu untuk melakukan kencan-kencan
rahasia. Suji Angkara terlalu merendahkan harga diri gadis
itu. Kalau surat itu diberikan kepada Nyimas Banyak Inten,
Ginggi tak sanggup melihat hancurnya rasa hati gadis itu.
Bayangkanlah, wanita anggun sehalus Nyimas Banyak
Inten diperlakukan Suji Angkara seolah-olah gadis itu
wanita murahan dan bisa diajak apa saja. Ginggi serasa
punya alasan untuk menjegal surat itu ketika Nyimas
Banyak Inten bicara seperti tadi, "Aku belum memikirkan
urusan seperti itu," tentu yang dimaksudnya urusan cinta.
Bukankah tempo hari Suji Angkara pernah mengutusnya
mengirim surat yang isinya permohonan agar gadis ini suka
menjadi kekasih pemuda itu" Nyimas Banyak Inten telah
menolaknya, berarti surat yang isinya sembrono ini tak
perlu diberikan Ginggi kepada gadis itu.
"Saya mohon diri, Nyimas?"" gumam Ginggi menyembah takzim. Nyimas Banyak Inten mengangguk
lesu. Ginggi segera akan berjingkat tapi gadis itu
menahannya sebentar. "Ada apa Nyimas?"" kata Ginggi menatap wajah gadis
itu. "Bagaimana kau katakan agar Raden Suji tak tersinggung
perasaannya, Ginggi?" tanya putri berdagu tipis berbibir
merekah merah itu. Ditanya seperti ini Ginggi tercenung
sejenak. Ya, Ginggi pun tak tahu, omongan apa yang harus
dia sampaikan kepada pemuda tampan tapi berkesan
pemarah itu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Saya akan coba bicara benar dan wajar sehingga Raden
Suji pun akan menanggapinya dengan wajar, Nyimas?"
kata Ginggi. Namun gadis itu sepertinya menyangsikan
kemampuan Ginggi dalam menyampaikan maksudnya.
"Bagi laki-laki, biasanya cinta itu seperti pertandingan,
Nyimas. Ada menang ada kalah. Jadi, kedua hal ini
seharusnya sudah diperkirakan oleh Raden Suji," kata
Ginggi lagi. Nyimas Banyak Inten seperti tak puas dengan ucapan
Ginggi ini. Dia nampak hanya menunduk sambil memilin-
milin kain yang oleh pengasuhnya tadi tengah disulam
benang emas. "Bagaimana kalau Nyimas sendiri saja yang sampaikan?"
giliran pengasuhnya yang memberikan saran.
"Aku tak biasa berkunjung ke kediaman laki-laki, Bibi
?" gumam gadis itu menunduk.
"Tulislah surat di daun nipah, biar saya yang
menyampaikannya," kata Ginggi. Tapi Nyimas Banyak
Inten menggelengkan kepala.
"Surat suka dijadikan kenangan oleh seseorang. Kalau
itu surat baik, akan dijadikan kenangan bahagia. Tapi kalau
surat itu isinya buruk, hanya akan dijadikan kenangan
menyedihkan. Dan aku akan merasa berdosa bila harus
memaksa Raden Suji setiap saat merangkul kenangan
pahit," tutur Nyimas Banyak Inten sendu. Gadis yang
memiliki rambut ikal dan harum ini terlalu berperasaan dan
akibatnya jalan pikiran menyiksanya dirinya, pikir Ginggi.
"Kalau segalanya menjadi tidak tepat, jadi harus
bagaimana, Nyimas?" tanya Ginggi bingung. Gadis itu
masih termangu-mangu seperti tak sanggup mengambil
keputusan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ginggi, begitu ruwetkah urusan cinta?" tanya gadis itu
tiba-tiba. Ginggi menatap wajah Nyimas Banyak Inten. Tapi
kemudian menundukkan kepala lagi bila ingat etika di
Pakuan tak membenarkan orang kebanyakan saling
pandang dengan kaum bangsawan apalagi dengan para
wanitanya. Namun biar pun hanya sejenak, Ginggi sanggup
menerobos ke dasar lubuk hati gadis itu. Ya, melalui sorot
matanya yang bening dan polos, betapa gadis itu berkata
bahwa lembaran hidupnya yang putih bersih belum tergores
oleh tulisan hitam tentang cinta. Gadis itu belum mengenal
relung pahit-getirnya cinta. Bagaimana harus Ginggi jawab
atas pertanyaannya ini. Apakah cinta itu bagaikan mega
berarak-arak di langit biru, atau berupa aliran air di sungai
berjeram" Pemuda itu pernah merasakannya tapi segalanya
serba tak berketentuan. Dan cinta yang datang tanpa
persiapan serta tanpa ancang-ancang yang tepat membuat
segalanya berantakan. "Yang membuat ruwet bukan cinta tapi manusianya itu
sendiri, Nyimas?" jawab Ginggi pada akhirnya.
"Karena manusianya itu sendiri ?""
"Betul, karena cinta itu urusan hati. Dia bisa datang
tanpa diundang dan pergi tanpa diusir. Cinta juga tak bisa


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diundang dan tak bisa diusir," kata Ginggi.
"Tidak bisa diundang dan tidak bisa diusir?"
"Kalau hati tak punya perasaan cinta, diganggu oleh apa
pun kita tak tergoda. Namun sebaliknya bila di hati ada
cinta, dipisahkan karena dunia terbelah pun perasaan itu
tetap melekat," kata Ginggi lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh, bila begitu cinta hanya derita saja?" sergah gadis
itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya, seolah
yang namanya cinta terbentang di hadapannya, membendung dan menghalangi pandangan matanya.
"Engkau hanya membuat Nyimas lebih bingung saja
menghadapinya anak muda. Ah, apa sih pengalamanmu
bercinta, sehingga berani melontarkan petuah-petuah seperti
itu?" wanita pengasuh Nyimas Banyak Inten menyela dan
tak senang atas kata-kata Ginggi yang dianggapnya lancang
dan terlalu sembrono memberikan berbagai petuah.
"Barangkali ucapannya ada benarnya, Bibi?" potong
gadis itu seperti membela Ginggi.
"Tapi membikin Nyimas tambah ruwet saja. Nyimas
berdiri di antara dua tantangan yang amat berat," kata
wanita pengasuhnya dengan ucapan serius.
"Dua tantangan berat?" Ginggi mengeryitkan dahi.
"Nyimas juga tengah dilanda kebingungan karena dicinta
oleh Sang Susuhunan Pakuan!"
"Bibi!" teriak Nyimas Banyak Inten setengah menjerit
dan membelalakkan matanya. Si wanita pengasuhnya pun
nampak terkejut dan baru menyadarinya, mengapa dia
mengucapkan perkataan seperti itu.
"Ah, dasar engkau bocah tolol! Mengapa kau datang ke
sini dan kasak-kusuk bicara soal cinta" Kau yang salah
bocah gendeng!" pengasuh menyumpah-nyumpah kepada
Ginggi. Ginggi sendiri tak begitu memperhatikan sumpah-
serapah perempuan setengah baya itu, sebab ucapan awal
dari pengasuh gadis itu sudah berdebum menimpa hatinya.
Serasa menggeletar seluruh urat tubuhnya mendengar
penjelasan singkat ini. Nyimas Banyak Inten juga dicintai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Raja" Terpukul rasa hati pemuda itu dan serentak
semangatnya jatuh seperti sebatang pohon keropos yang
dilanda angin kencang. "Maafkan saya Tuan Putri?" kata Ginggi tak terasa
menyebut gadis itu dengan julukan yang sebetulnya tak
disukai gadis itu. Tapi pemuda itu tak tahu, permohonan
maafnya itu untuk apa. Apakah karena dia sudah berlaku
sembrono memberikan petuah-petuah yang belum tentu
kebenarannya, ataukah minta maaf karena " karena apa"
Ginggi mencoba mengorek-orek sesuatu yang ada di lubuk
hatinya. Perasaan apa yang ada di sana mengenai
putriBangsawan Yogascitra itu" Bah! Sialan benar! Dasar
lelaki tak tahu diri! Apa yang kau rasakan terhadap gadis
yang derajatnya ada di langit ke tujuh itu" Engkau seperti
siput yang hendak mendaki ke puncak bukit, atau bagaikan
anak itik yang akan menyebrangi lautan. Mana mungkin
ada burung gagak minta disejajarkan dengan burung merak"
Dia pun mencintai Nyimas Banyak Inten" Bah" Berkaca
dululah hei lelaki dungu! Teriak Ginggi di dalam hatinya.
"Saya mohon diri " Saya mohon diri " Maafkan saya,
Tuan Putri?" berkali-kali Ginggi bicara terbata-bata atau
setengah bergumam. Hatinya marah, menyesal juga sedih.
Tanpa mendapatkan jawaban dari gadis itu, Ginggi
cepat-cepat menjinjing keranjang bambu dan alat sabitnya,
berlalu dari tempat itu. Tiba di kediaman Suji Angkara, ternyata sudah
didapatkan Nyimas Layang Kingkin bercakap-cakap
dengan Suji Angkara. Kedua orang kakak-beradik itu
terlibat percakapan yang nampaknya amat penting sekali.
Ginggi akan segera berjingkat dari tempat itu kalau saja Suji
Angkara tak memanggilnya. Maka Ginggi menghampirinya. Sesudah berada di atas beranda berlantai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
papan jati mengkilap, Ginggi menghadap sambil beringsut,
kemudian menyembah takzim.
"Bagaimana, apa kau sampaikan suratku padanya?"
tanya Suji Angkara. Terbayang wajah cemas ketika Ginggi
memandangnya. "Ampun Raden, saya tak berani menyampaikannya, di
taman banyak orang?" Kata Ginggi sambil melirik ke arah
Nyimas Layang Kingkin. "Bagus! Aku malah khawatir bila surat itu kau
sampaikan?" Suji Angkara bernapas lega.
"Tapi seharusnya kau sampaikan surat itu, Ginggi. Biar
Nyimas banyak Inten tahu bahwa kakakku menyimpan
harapan padanya," kata Nyimas Layang Kingkin menyela.
"Hus, engkau ceroboh Nyimas! Bagaimana mungkin aku
berani mati mencintai gadis yang sedang digandrungi Sang
Susuhunan?" Suji Angkara menegur adiknya.
"Tapi kanda, di Pakuan ini bertebaran putri cantik. Sang
Susuhunan bisa leluasa memilih yang mana saja kalau
beliau tahu Nyimas banyak Inten telah ada yang punya,"
sanggah Nyimas Layang Kingkin menatap tajam kakaknya.
Tapi yang ditatap hanya menghela nafas. Ada kerut-merut
di dahinya. Mungkin pemuda tampan itu sedang bingung
atau mungkin juga tengah berpikir sesuatu. Hanya yang
jelas, ada semacam kebimbangan yang mendera hatinya.
Barangkali pemuda itu sedang tergoda untuk memikirkan
apa yang diucapkan adiknya.
"Entahlah"aku bingung memikirkannya, Dinda," gumam Suji Angkara terpekur.
"Tidak cintakah Kanda pada Nyimas Banyak Inten?"
tanya Nyimas Layang Kingkin mendesak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ditanya begitu, Suji Angkara menghela nafas. Dia
berdiri dari duduknya dan berjalan menuju jendela.
Sesampainya di tepi jendela, pemuda itu termangu-mangu
sambil menatap taman belakang rumahnya. Di sana
terhampar lapangan rumput. Tidak begitu luas tapi di sana-
sini diberi hiasan-hiasan tanaman bunga beraneka warna.
Ada beberapa ekor angsa berjalan-jalan di tepi kolam dan
sesekali menjulurkan patuknya ke permukaan tepi kolam.
"Cintaku selalu kelabu, Dinda?" gumam Suji Angkara
hampir seperti berbisik dan menyerupai sebuah ucapan
untuk dirinya sendiri saja.
"Perjuangkanlah cintamu itu. Kalau Kanda benar-benar
mengharapkan kehadiran Nyimas Banyak Inten dalam
kebahagiaan hidupmu, jangan melakukannya dengan
setengah hati. Raihlah sampai apa yang Kanda cita-citakan
berhasil kau dapatkan!" kata lagi Nyimas Layang Kingkin.
"Sudah sejak lama aku mendambakan cintanya. Tapi
semakin aku mengharapkannya, semakin besar tantangannya. Untuk mendapatkan gadis itu, aku harus
bersaing dengan Raja?" gumam pemuda itu lagi mengeluh.
"Tapi Dinda akan selalu berdoa di kuil agar cintamu
terlaksana dengan sempurna, Kanda"." ujar Nyimas
Layang Kingkin sungguh-sungguh.
"Kau amat baik padaku, adikku. Aku pun akan berdoa
setiap waktu agar cintamu tak kurang suatu apa?" kata
Suji Angkara menatap wajah Nyimas Layang Kingkin. Tapi
gadis itu nampak menunduk lesu sekali pun pada akhirnya
dia tersenyum tipis. Ginggi yang menyimak percakapan kedua orang itu tidak
bisa menduga, apa pula yang ada di hati gadis berwajah
bulat telur ini. Namun Ginggi serasa punya naluri, bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gadis itu pun memiliki sesuatu yang tengah dirahasiakannya. Percakapan kedua kakak-beradik itu terhenti ketika
mereka melirik ke arah Ginggi. Rupanya mereka baru sadar
bahwa ada orang ketiga di ruangan itu. Suji Angkara
nampak mengerutkan dahi, sepertinya tak senang dengan
kehadiran Ginggi di sana.
"Mengapa kau berada di sini, hei duruwiksa ?" tanya Suji
Angkara dengan suara sedikit ketus.
"Bukankah saya tadi dipanggil olehmu, Raden?" jawab
Ginggi. Suji Angkara tersenyum, sepertinya dia baru ingat
bahwa memang tadi dia menahan Ginggi untuk tidak
meninggalkan tempat itu. "Cepat kembalikan daun nipah itu padaku," kata Suji
Angkara pada akhirnya. Ginggi menyerahkan surat yang
sedianya diserahkan pada Nyimas Banyak Inten.
Lembaran daun nipah yang sudah diikat benang warna
hitam itu serta-merta diremas-remasnya sehingga hancur.
Pemuda itu rupanya belum puas. Dia segera mengambil
paneker dan bulu lunglum, kemudian segera membuat api.
Surat daun nipah segera dibakarnya habis. Semua
perbuatan Suji hanya disaksikan saja oleh adiknya.
"Aku amat mencintainya. Adakah cara terbaik agar aku
bisa memiliki gadis itu?"" gumam Suji pelan tapi nadanya
mengandung rasa penasaran amat sangat.
"Ya, Kanda harus memilikinya. Carilah akal yang paling
baik. Kita harus berani mengalahkan Sang Prabu tanpa
menyakitinya, Kanda?" kata Nyimas Layang Kingkin
mendesak dan penuh harap.
(O-ani-kz-O) Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malam hari Ginggi tidur sendirian di sebuah ruangan
berlantai tanah, berdempetan dengan istal kuda. Malam
demikian dingin sebab langit nampak jernih tak terhalang
mega sedikit pun. Kalau Ginggi mau menengok ke
halaman, suasana sudah demikian sunyi. Hanya suara
binatang malam saja yang terdengar di semak-semak.
Di malam yang dingin dan membuat tulang-tulang
sumsum terasa ngilu, seharusnya tak membuat betah orang-
orang berkeliaran di luar rumah. Barangkali yang paling
pantas adalah membungkus tubuh dengan selimut tebal,
tidur meringkuk hingga badan melipat, atau bila mereka
sepasang suami-istri, maka dinginnya malam mereka usir
dengan cara tidur saling peluk. Namun tentu saja tak semua
orang telah beruntung menjadi sepasang suami-istri. Seta
dan Madi misalnya, entah kapan mereka akan menjadi
seorang suami yang mendapatkan kebahagiaan dari istri
tercinta di malam dingin seperti ini. Ginggi sendiri tidak
pernah mencita-citakan suasana seperti itu. Baginya, punya
istri dan membangun rumah-tangga adalah sebuah
pekerjaan besar yang amat memerlukan pengorbanan.
Menyinta saja tanpa dicinta wanita adalah sebuah siksaan.
Tapi, dicinta wanita tanpa bisa membalas cintanya juga
sebuah derita. Terbayang di mata Ginggi wajah gadis
pemilik kedai di Tanjungpura. Gadis itu hanya dalam
sehari-semalam saja telah berani menyatakan cintanya.
Tidak melalui ucapan langsung. Tapi sorotan matanya yang
penuh harap, ucapan-ucapannya yang seperti mengikat,
segalanya membeberkan perasaan hatinya, "Kalau engkau
kembali lagi ke Tanjungpura, ayah amat menantikanmu,"
kata gadis itu yang sengaja mencegatnya di tengah jalan
saat Ginggi akan meninggalkan Tanjungpura.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mulanya gadis itu mencurigainya sebagi pemuda ugal-
ugalan yang senang mengganggu wanita. Namun setelah
belakangan terbukti bahwa Ginggi seorang yang sopan
terhadap wanita, maka gadis itu berbalik 180 derajat.
Ini derita buat Ginggi, sebab dirinya tak tega
membayangkan bahwa gadis itu kini tengah hidup dalam
penantian dan harapan kosong. Pemuda itu tak pernah
menolak tapi juga tak pernah menjanjikan sesuatu.
Cinta itu sendiri bagi Ginggi hanyalah sebuah kegelapan.
Dia tak pernah tahu, apa sebenarnya cinta itu. Seperti
kelelawar mencari makanan di malam hari, di saat tak ada
cahaya apa pun yang memberi tahu. Kelelawar hanya
makan makanan yang dirasa di mulut enak dan manis. Tapi
makanan apa itu sebenarnya, dia sendiri pun tak tahu sebab
semua yang dimakannya selalu di saat keadaan gelap-gulita.
Dan menurut Ginggi, cinta itu sendiri pun gulita. Dia tak
tahu, apakah cinta yang dirasakannya benar-benar murni
atau palsu belaka. Ginggi teringat kembali peristiwa aib di
hutan kecil di Desa Cae setahun lalu. Bersama Nyi Santimi
dia terperosok ke jurang cinta yang hanya mementingkan
nafsu lahiriyah belaka. Ketika gejolak birahi meninggi dan
bergelombang, serasa itulah cinta. Tapi ketika segalanya
sudah berlalu, berlalu pulalah perasaan cintanya. Ginggi tak
percaya bila yang namanya cinta hanya sebatas kenikmatan
lahiriyah saja. Itulah sebabnya, ketika gejolak darah sudah
tak menggelegak lagi, pemuda itu segera sadar dari
kekeliruannya. Ginggi menyesal. Dan celakanya, rasa
sesalnya hanya ditampilkannya lewat perbuatan pengecut.
Ginggi lari menghindar dari kungkungan cinta yang
dianggapnya palsu, kendati sampai kini dia sebetulnya tak


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa lepas dari kuntitan dosa.
Sekarang perasaan-perasaan yang sebetulnya dibencinya
telah mulai lagi merobek-robek hatinya. Tak kepalang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanggung, perasaannya kini tergoda wajah anggun Nyimas
Banyak Inten, putri bangsawan yang banyak diperebutkan
setiap ksatria Pakuan. Tidak kepalang tanggung, yang
memendam rasa dan cita-cita untuk memetik kembang
Taman Mila Kancana itu adalah juga Sang Prabu Ratu
Sakti, penguasa Pakuan. Kalau Ginggi tetap bertahan dengan perasaannya yang
sebetulnya dianggap menyebalkan ini, berarti dia harus
bersaing dengan Raja, dengan banyak ksatria Pakuan,
termasuk juga bersaing dengan Suji Angkara. Suji Angkara"
Ginggi serentak bangun dari tidurnya. Dia duduk di atas
dipannya. Benarkah Suji Angkara juga menyinta Nyimas
Banyak Inten secara sungguh-sungguh" Ginggi memicingkan sepasang matanya karena berpikir keras.
Suji Angkara sejak awal dicurigainya sebagai pemuda
misterius. Bukan saja peranannya di Pakuan sebagai apa,
tapi juga tindak-tanduknya yang erat kaitannya dengan
urusan wanita. Sejak mulai dari Desa Cae setahun yang lalu, Ginggi
sudah mendapatkan sesuatu keganjilan yaitu di mana ada
Suji Angkara, di situ terjadi peristiwa yang menyangkut
wanita. Di Desa Cae, di Tanjungpura dan baru-baru ini di
puri milik Bangsawan Yogascitra kendati tidak sempat
menjadi peristiwa yang menggegerkan karena baru terpegok
Ki Banen. Dan Ki Banen walau pun tidak bisa meyakinkan
secara pasti tapi tetap menaruh curiga bahwa Suji Angkara
secara gelap memasuki puri Yogascitra. Ki Banen curiga,
Suji Angkara akan ganggu Nyimas Banyak Inten.
Ginggi menjadi bimbang. Mungkin saja dia bercuriga
bahwa Suji Angkara gemar berbuat tak senonoh terhadap
wanita. Tapi bukankah pemuda itu mengaku bahwa
cintanya tulus terhadap Nyimas Banyak Inten. Tapi amat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mustahil seorang yang memiliki cinta tulus nekad
melakukan hal yang tak senonoh"
Bila mengingat hal-hal yang seperti ini, Ginggi menjadi
semakin tak percaya bila Suji Angkara gemar melampiaskan birahi secara jahat. Pemuda itu kaya dan
tampan. Sehari-harinya senang berpakaian bagus, anak
pejabat lagi. Mustahil tak ada seorang wanita pun yang
menyintainya secara benar terhadapnya. Mustahil tak ada
wanita yang mau melayani cintanya secara wajar sehingga
memaksa pemuda itu melakukan tindakan tak senonoh. Ya,
bisa saja seorang lelaki melakukan tindakan berahi secara
tak terpuji bila dia sudah merasa bahwa dirinya rendah,
takut tak dihargai bahkan takut dibenci wanita. Mungkinkah pemuda itu mempunyai perasaan rendah diri
seperti yang Ginggi pikirkan"
Ginggi mengingat-ingat obrolannya beberapa waktu lalu
dengan pemuda itu. Tidak, Suji Angkara sebenarnya tidak
punya sikap rendah diri. Dia adalah lelaki yang selalu ceria
tapi sedikit angkuh. Bila di hadapan umum dia selalu
menampilkan dirinya sebagai kaum bangsawan yang
terhormat, pandai menjaga diri dan taat kepada etika
kebangsawanannya. Di hadapan umum dia adalah benar-
benar seorang bangsawan yang pandai membawa diri,
hormat terhadap sesama juga terhadap wanita.
Sampai di sini, Ginggi tersentak kaget. Suji Angkara
benar-benar pandai menjaga kehormatan di hadapan
umum. Ya. Di muka umum. Kalau di belakang bagaimana"
Ginggi jadi teringat ucapan Nyi Santimi di Desa Cae
dulu yang mengatakan takut terhadap perangai Suji
Angkara. "Raden Suji bila di muka orang banyak nampak sopan
terhadap wanita, tapi bila kebetulan sedang berduaan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
matanya tajam sedikit jalang, sepertinya sorot matanya
sanggup menembus pakaian dan menjilati seluruh tubuh
yang dilihatnya. Mulutnya senyum meyeringai dan
nafasnya sedikit memburu, membuat bulu kuduk merinding," kata Nyi Santimi ketika itu.
(O-anikz-O) Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 15 Ginggi juga ingat perkataan Suji Angkara, bahwa
menjadi bangsawan itu berat. Perilaku harus dijaga, sebab
sedikit melanggar saja, sesama bangsawan akan tersinggung. Kata-kata Suji Angkara terdengar seperti
kecewa bahwa dia dilahirkan sebagai bangsawan atau
sekurang-kuranmgnya kecewa sebab dia berada di
lingkungan kaum bangsawan yang ketat dengan berbagai
aturan. Sepertinya pemuda itu merasa terkungkung dengan
kebangsawanannya. Dan bila menyimak "keluhannya"
pemuda itu, seolah-olah membuktikan bahwa di muka
umum dia ketat memegang etika sebagai bangsawan karena
keterikatan saja, karena terpaksa saja. Sedangkan hatinya
berontak, sedangkan dirinya ingin bebas melakukan apa
saja, termasuk"termasuk apa" Tidakkah juga termasuk
melakukan percintaan dengan bebas seperti kuda binal"
Ginggi dengar, di wilayah Kandagalante Sagaraherang
malam hari ada pesta makan dan minum bahkan pesta
berahi sebab di sana tersedia wanita-wanita penghibur. Dari
sekian orang pengawal barang-barangseba, hanya dua orang
yang tidak bermain cinta. Pertama Seta karena dia setia
terhadap Nyi Santimi calon istrinya, dan kedua Suji
Angkara. Karena apa" Ya, karena dia harus menjaga etika
kebangsawanannya. Kalau dia ketika itu menerima tawaran
tuan rumah yang sengaja menjamunya dengan wanita
penghibur, maka akan rusaklah mutu kebangsawanannya.
Tidak, Suji Angkara tak mau bermain wanita di muka
umum. Bila di belakang bagaimana"
Ginggi teringat lagi kesaksian badega Juragan Ilun Rosa
yang putrinya mati bunuh diri. Dua malam sebelum
peristiwa, Suji Angkara dipergoki tengah mencumbu dan
merayu anak gadis Juragan Ilun untuk melakukan
hubungan suami-istri. Gadis itu walau pun tersinggung tapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menolak dengan sopan dan mengatakan dirinya sudah
bertunangan dengan pemuda bernama Purbajaya. Sesudah
terjadi penolakan, maka musibah datang. Gadis itu esok
malamnya bunuh diri dan di samping mayatnya ada surat
daun nipah yang isinya menerangkan bahwa Purbajaya
pamitan kepada kekasihnya akan melakukan pertikahan
dengan gadis bangsawan Pakuan. Seolah-olah surat itulah
pembawa bencana bunuh dirinya gadis itu.
Betulkah bunuh diri karena putus asa ditinggal kekasih,
atau mati bunuh diri karena diperkosa" Atau dibunuh
setelah diperkosa terlebih dahulu"
(O-anikz-O) Keculasan Suji Angkara Ada titik-titik terang yang memandu Ginggi. Bila
pemuda itu akan tetap mencurigai Suji Angkara sebagai
penjahat berahi, maka alasan-alasannya cukup jelas,
mengapa pemuda itu melakukan perbuatan cabul. Ya, dia
sebetulnya laki-laki biasa yang lemah terhadap godaan
kecantikan wanita. Tapi karena dia seorang bangsawan,
harus menjaga etika kebangsawanannya. Namun sebetulnya dia tak bisa menjaganya. Apalagi di lain fihak
bila harus menyintai wanita secara berterang, pemuda itu
beberapa kali tersandung batu. Seperti pernah diungkapkannya terhadap Ginggi, bahwa Suji Angkara
beberapa kali merasa sakit hati karena ditolak cintanya.
Bermain cinta secara wajar dia tidak bisa, tapi mencari
wanita penghibur secara terang-terangan dia takut
kebangsawanannya ternoda. Maka satu-satunya jalan
dalam mencurahkan hasrat berahinya, dia lakukan
tindakan-tindakan gelap. Ya, mungkin begitu, termasuk
kepada Nyimas Banyak Inten yang menolak cintanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hah" Terhadap Nyimas Banyak Inten" Ginggi kembali
tersentak. Suji Angkara amat menyinta Nyimas Banyak
Inten, tapi dia menghadapi hambatan berat. Selain gadis itu
menolak cintanya, juga ada halangan amat besar, dia harus
bersaing dengan Raja. "Aku amat mencintainya. Adakah cara terbaik agar bisa
memiliki gadis itu?"" tanya Suji Angkara ketika itu. Dan
Ginggi masih ingat saran-saran Nyimas Layang Kingkin
kepada kakaknya. "Ya, Kanda harus memilikinya. Carilah akal yang paling
baik. Kita harus berani mengalahkan Sang Prabu tanpa
menyakitinya," begitu tutur Nyimas Layang Kingkin ketika
itu. Nyimas Layang Kingkin begitu mendesak-desak agar
kakaknya tak putus asa dalam mendapatkan cintanya.
Adakah ucapan ini punya makna" Atau, akankah ucapan
ini dijadikan makna oleh Suji Angkara untuk melakukan
sesuatu agar cintanya terlaksana" Ginggi tertegun dengan
jalan pikirannya ini. Kalau benar dugaannya, ada beberapa
kemungkinan yang akan dilakukan Suji Angkara. Pertama
dia akan meminta dengan halus terhadap Sang Prabu, atau
menggantikannya dengan gadis lain yang sekiranya Sang
Prabu sama menghargainya. Atau kedua, Suji Angkara
akan berlaku nekad, memperlakukan Nyimas Banyak Inten
secara diam-diam, yang penting hasrat cintanya tersalurkan.
Ginggi serentak bangun. Dengan perasaan tak keruan dia
keluar rumah. Di halaman keadaan cukup gelap sebab
beberapa penerangan sudah kehilangan minyak bakar. Ada
cahaya dari ribuan bintang-gemintang tapi tidak akan
sanggup menerangi bumi. Dengan dada berdebar kencang Ginggi berlari. Yang di
tuju adalah puri Bangsawan Yogascitra.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ya, Ginggi harus ke sana agar kekhawatirannya tidak
terbukti. Ginggi takut sekali perkiraannya benar, sebab
kalau semua dihubung-hubungkan, ada kecenderungan Suji
Angkara melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan Nyimas Banyak Inten. Pemuda itu diduga
akan mendahului "mengambil" Nyimas Banyak Inten
secara gelap bila secara terang-terangan dia tak akan bisa
mendapatkannya. Ginggi teringat kecurigaan Ki Banen
bahwa Suji Angkara pernah menyelundup masuk ke puri
Bangsawan Yogascitra. Kalau ini benar, bukan tidak
mungkin dia akan kembali mengulangi tindakannya.
Ginggi meloncat-loncat di atas kuta (benteng) untuk
memotong perjalanan. Dan segera meloncat ke atas dahan
pohon bila berpapasan dengan rombongan tugur (ronda).
Ginggi tidak memastikan bahwa malam ini Suji Angkara
akan menyelundup masuk ke puri Bangsawan Yogascitra.
Tapi Ginggi perlu menjaganya agar kejahatan pemuda itu
tidak berlangsung. Kalau tak terjadi malam ini mungkin
besok, atau lusa, atau mungkin kapan saja. Tapi kapan pun
itu terjadi, Ginggi harus berusaha menjaga dan menggagalkannya. Dan untuk itu terpaksa dia harus
memata-matainya. Kalau mungkin, setiap malam dia akan
mengawasi puri Bangsawan Yogascitra.
Sekarang Ginggi sudah tiba di belakang puri. Dia tak
pernah keluyuran memasuki wilayah puri ini. Namun
melihat beberapa bangunan yang terdapat di sana, Ginggi
bisa mengira-ngira, mana kediaman pemilik puri dan mana
bangunan-bangunan yang biasanya hanya dihuni para
badega atau pelayan. Bangunan-bangunan di sana amat kokoh, terbuat dari
jati pilihan. Atapnya dibuat dari sirap hitam dan beberapa


Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian berupa atap ijuk. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suasana demikian sunyi sebab rupanya semua orang
sudah terlelap dalam mimpi. Tapi Ginggi telah memiliki
ilmu yang Ki Darma namai sebagaiHiliwir Sumping Ketika
di Puncak Cakrabuana. Ginggi kerapkali diajarkan ini. Dia
belajar menulikan telinga di saat banyak terdengar suara
keras, atau sebaliknya harus sanggup mendengar sesuatu di
saat sunyi. Dari kepandaian seperti ini, Ginggi bisa
memilah-milah, suara seputarnya. Maka dari sekian jenis
suara, mulai dari suara jangkrik bernyanyi sampai bunyi
dengkur, pemuda itu bisa melakukannya.
Ketika dia pergunakan ilmu tersebut, sempat mendengar
bunyi aneh. Ginggi memiring-miringkan kepalanya, menggerak-
gerakkan daun telinganya. Ada suara desah dan bisikan
parau. Sebentar kemudian suara itu berganti menjadi kekeh
halus seperti tertahan-tahan. Ginggi meloncat seperti
kucing, mendekati arah suara itu. Datangnya di sebuah
kamar di sudut bangunan besar. Di bagian sudutnya ada
jendela. Ginggi memeriksa dengan hati-hati. Jendela itu
tidak terkunci. Ditelitinya sudut-sudut daun jendela.
Terkesiap pemuda itu sebab jendela jelas dibuka dari luar.
Ginggi mencoba membuka jendela sedikit-sedikit dan
amat pelan. di Dalam ruangan amat remang-remang sebab
cahaya pelita sungguh kecil. Tapi biar begitu remang Ginggi
bisa menyaksikan sebuah pemandangan yang membuat
Petualangan Manusia Harimau 5 Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bukit Pemakan Manusia 19
^