Pencarian

Senopati Pamungkas Dua 11

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 11


Inikah jawaban dari kemauan utama Eyang Sepuh"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jaghana terus melanjutkan perjalanan sebagai Truwilun, ditemani Wilanda, sebagai Cantrik.
Sampai kemudian bertemu dengan Mada, Madana, Senggek, Genter serta Kwowogen.
Yang seperti diutarakan Wilanda, mengusiknya dengan ajaran Kidungan Pamungkas.
Segalanya menunjukkan ke sana. Batinnya membisikkan ke arah itu.
Jaghana merasakan getaran yang sama melihat kapuk yang terbang.
Merasakan kembali kata-kata "perpisahan" dengan Eyang Sepuh mengenai kidungan untuk "menyambut tamu yang datang".
Wilanda masih menunggu. Jaghana merangkapkan kedua tangannya.
"Pencerahan itu datang pada Paman Wilanda.
"Bahagialah Paman atas kemurahan Dewa."
Wilanda merangkapkan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar.
Bisa dimengerti. Selama ini Wilanda merasa dirinya orang luar, merasa belum sepenuhnya diterima dalam Perguruan Awan.
Ia mulai mengenal dunia persilatan dan ajaran kehidupan dalam Perguruan Awan sejak masih kecil. Di alam yang tenteram itu dirinya mengenal arti hidup, asal mula, dan tujuannya.
Akan tetapi kemudian sekali hatinya bercabang. Ia ingin melihat dan merasakan dunia di luar perguruan. Itu sebabnya kemudian ia pergi dan nyuwita, mengabdi sebagai prajurit Keraton Singasari.
Jauh dalam hati Wilanda ada beban dosa, beban rasa bersalah.
Karena siapa pun yang meninggalkan Perguruan Awan, apalagi menjadi prajurit Keraton, tak akan pernah diterima kembali di Perguruan Awan.
Namun nasib menunjukkan lain.
Sewaktu ada berita akan adanya Tamu dari Seberang, ia ditunjuk sebagai penunjuk jalan. Mengantarkan Upasara Wulung dan Ngabehi Pandu.
Dan sejak itu tak kembali ke Keraton.
Karena merasa menemukan ketenteraman dan jawaban dari yang dicarinya. Sehingga mau mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan orang lain.
Nilai luhur dan kesediaannya berkorban inilah yang menyebabkan Wilanda diterima kembali berdiam di Perguruan Awan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi jauh dalam hatinya masih tersisa sepenggal rasa mengganjal, bahwa dirinya belum diterima secara utuh.
Semua dijalani, diyakini, tapi masih ada rasa kurang.
Sampai ketika Jaghana mengatakan mengenai pencerahan!
Inikah maksud utama Eyang Sepuh"
Bagi Jaghana pertanyaan itu lebih jelas dari pertanyaan batin: Apa maksud utama Eyang Sepuh"
Saat itu juga Jaghana dan Wilanda mengumpulkan kelima murid jalanan.
"Mulai sekarang, kalian berlima mandi-keramas hingga bersih. Semua yang kotor yang melekat dalam tubuh kalian, dari ujung kuku, lubang hidung, telinga, mata, lubang tubuh yang lain, harus dibersihkan.
"Selama menyiapkan diri tak boleh berbicara satu sama lain, makan atau minum, atau memikirkan yang lain."
"Tidak boleh bertanya?"
"Sekarang pun tidak."
Lima hari lima malam berturut-turut Jaghana dan Wilanda berdiam bersama kelima pemuda. Tanpa sepatah kata, tanpa petunjuk tertentu.
Berdiam bersama. Tidak menyentuh air, tanpa menyentuh dedaunan.
Sampai hari ketujuh, Wilanda diam-diam mengakui tekad besar dalam diri kelima murid yang diajari. Mereka berlima, tanpa kecuali, melakukan apa yang diajarkan.
Tak ada yang bertanya. Tak ada yang saling sapa.
Tak ada apa-apa. Lapar, dahaga, keinginan bicara, semuanya bisa dipendam dalam-dalam.
Hari kesepuluh, kelimanya secara bersamaan mulai mengikuti setiap gerak Jaghana.
Duduk bersemadi. Menghela napas. Semua diikuti. Sebisanya.
Hari keempat puluh, tarikan napas mereka berlima mulai mengikuti tarikan napas Jaghana. Yang kemudian menyatukan tangan, dan mulai membimbing lewat batin, lewat suara tak terucapkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Satu-satunya tuntunan yang ada hanyalah suara kidungan lambat dari Wilanda.
Sampai kemudian Jaghana dan Wilanda mengucapkan selamat berpisah sementara dan meneruskan perjalanan.
Sampai kemudian terlibat dengan utusan dari Keraton, yang membawanya ke Keraton Majapahit.
Percakapan Dua Ksatria EYANG PUSPAMURTI tak mendengar jawaban Jaghana mengenai keinginannya untuk mengikuti ke mana pun Jaghana pergi.
Karena dirinya tenggelam dalam alam pikirannya sendiri. Sesuatu yang terjadi dengan sendirinya setelah sekian lama berkutat dengan pengerahan tenaga dalam secara terus-menerus. Kelonggaran dan istirahat menyeretnya ke masa lalu.
Saat dirinya masih berada dalam Keraton. Masih menjadi kerabat yang mempunyai darah biru. Puspamurti merasa paling bangga, karena di antara putra wayah, anak-cucu Sri Baginda Raja, dirinya termasuk istimewa. Paling sering diajak bicara oleh Sri Baginda Raja, untuk membicarakan beberapa persoalan. Terutama mengenai tata pemerintahan dan keinginan-keinginan besar yang kadang mengganggu kelelapan Sri Baginda Raja. Sehingga tengah malam pun Sri Baginda Raja bisa memanggil sepuluh orang lain untuk diajak mendengarkan apa yang dikehendaki.
Seperti ketika suatu malam, Sri Baginda Raja memanggilnya. Di dalam sudah duduk berjajar para sesepuh Keraton, termasuk Mpu Raganata. Yang termasuk anak muda saat itu hanya Pandu dan dirinya.
"Malam ini ingsun pribadi ingin mendengar suara kalian yang biasanya hanya mengangguk dan mengiya.
"Ingsun bawa dua anak muda, karena biasanya mereka ini bodoh dan suka melihat dari sisi yang berbeda.
"Raganata, apa keberatanmu kalau Kitab Bumi yang menjadi ajaran kanuragan resmi?"
Mpu Raganata menyembah hormat.
"Kitab itu belum lengkap."
"Itu berarti kamu setuju. Karena tak pernah ada kitab yang lengkap dan sempurna.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"ingsun bisa memutuskan sendiri, dan akan memperbesar wibawa.
Tapi ada baiknya mendengarkan dari kalian, ingsun hanya mau mendengar keberatan, bukan pujian.
546 "Pandu?" "Kitab itu terlalu merepotkan, Sri Baginda Raja.
"Hanya memungkinkan dipelajari dari awal. Sehingga hanya berguna untuk bayi-bayi yang baru dilahirkan dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat sebelumnya, serta..."
"Mulai hari ini, kamu cari semua bayi yang lahir. Tak peduli anak pangeran, atau anakku, atau anak orang sudra parisangka yang hina.
"Ambil mereka, didik sebagaimana ada di kitab itu.
"Senamata Karmuka akan membantu untuk mengadakan Ksatrian Pingitan ini.
"Jelas?" Sri Baginda Raja membuat seluruh darah Puspamurti bergerak ke arah kepala ketika menoleh ke arahnya.
"Kamu, apa yang kamu ketahui"
"Jangan hanya bisa makan enak dan jadi senopati saja nantinya. Apa kata kamu?"
"Sembah bagi Sri Baginda Raja.
"Barangkali yang menciptakan sendiri bisa di-timbali"
"Baik, ingsun akan bicara dengannya...
"Sekarang." Saat itulah Puspamurti bisa melihat jelas ksatria muda yang kemudian dikenal sebagai Eyang Sepuh. Ia memasuki Keraton dengan langkah gagah. Hanya selembar kain dikenakan di tubuhnya. Kakinya masih mengesankan kotor ketika duduk bersila.
"Kamu, kamu senang kalau Kitab Bumi menjadi ajaran resmi Keraton?"
"Senang, Baginda Raja.
"Seperti semua yang ada di sini, yang menyetujui, karena itu kitab paling gampang."
"Apa maksudmu?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Raganata menulis lebih hebat. Ajaran Kitab Air juga lebih halus.
Tetapi yang ini lebih gampang, sehingga tak akan menimbulkan kesulitan apa-apa dalam mengajarkan. Tetapi juga tak menghasilkan apa-apa."
"Apa maumu?" "Sri Baginda Raja juga memberi kesempatan lahirnya ajaran resmi dalam kanuragan, kitab yang membasmi, menghancurkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang ini."
"Hmmm..." "Hamba sudah menyusun."
"Hmmm..." "Hamba bisa memainkan sekarang."
Puspamurti tergetar. Seumur-umur belum pernah melihat ada orang yang sedemikian wungkul, sedemikian wadag, lahiriah, dalam berbicara dengan Sri Baginda Raja.
Bahwa Sri Baginda Raja Kertanegara sangat terbuka, terutama dalam menerima para ksatria dan pendeta, itu sudah menjadi pengetahuan umum. Akan tetapi bahwa seorang ksatria berani menunjukkan dirinya, itu termasuk luar biasa.
Kalau tidak hebat sekali, pastilah kurang waras.
Eyang Sepuh yang ini menyimpan dua-duanya.
"Ingsun tidak butuh sekarang...."
"Setelah itu nanti masih ada satu ajaran lagi, yang akan menuntaskan semua ajaran yang ada. Kitab terakhir...."
"Kamu juga sudah siap?"
"Segera setelah kitab petunjuk penangkal yang ini."
"Kamu ini keras kepala dan sombong.
"Tak tahu tata krama."
"Sri Baginda Raja yang mengajarkan."
"Ingsun?" "Sri Baginda Raja adalah raja yang berkuasa. Yang bisa memanggil mahapatih, para patih, para senopati, bukan manusia macam hamba ini
"Apakah itu juga menganjurkan tata krama"
"Sri Baginda Raja mengantar kepada kegelisahan karena banyak petinggi Keraton digeser tempatnya...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ingsun tidak butuh mendengar."
"Maaf, ampun, Baginda Raja...."
"Ingsun hanya mengatakan mengenai Kitab Bumi...."
Tak ada suara. "Apa lagi kata-katamu, Bejujag?"
"Kalau saja raja sebelum Sri Baginda Raja memerintahkan ini, saat sekarang ini seluruh bumi, seluruh jagat, dan langitnya berada di tangan Sri Baginda Raja.
"Dewa akan turun kemari menyembah."
Sri Baginda Raja mendesis perlahan.
"Mulutmu lancang. Kamu manusia kurang unggah-ungguh.
"Sekarang semuanya bubar."
Semua menyembah dengan hormat, berlalu dengan hormat.
Hanya Puspamurti yang ditahan.
"Kamu ini punya darah Keraton, punya kesempatan besar, tapi kamu ini bukan ksatria. Kamu bahkan lelaki pun bukan."
Puspamurti menggigil. "Bejujag itulah ksatria.
"Ia ksatria yang sesungguhnya.
"Ingsun juga ksatria.
"Lebih dan dia, lebih dari siapa saja. Sayang, kalian anak-cucuku tak lebih dari lumpur basah.
"Padahal sebentar lagi seluruh jagat akan jadi milik kalian. Dewa akan datang ke bumi dan menyembah padaku."
Puspamurti merasa terpukul. Sejak itu ia mulai jarang dipanggil menghadap. Dan untuk membuktikan dirinya pantas sebagai senopati, Puspamurti menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar tapa brata, di samping mempelajari ilmu silat.
Bahkan kemudian ketika diangkat sebagai senopati Keraton, Puspamurti menunjukkan pilihan lain
Namun kejadian itu tak pernah lepas dan ingatannya. Pengaruhnya mengendap ke dalam hatinya, batinnya, kesadarannya. Bahwa di jagat ini hanya ada dua ksatria sejati. Ksatria yang sesungguhnya, yaitu Sri Baginda Raja dan Eyang Sepuh.
Puspamurti menghabiskan semua kemampuannya untuk menjadikan dirinya ksatria.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itulah yang menenggelamkan dirinya.
Dengan harapan suatu ketika nanti muncul bisa mengimbangi Eyang Sepuh. Suatu ketika Sri Baginda Raja nanti akan menyebutnya sebagai ksatria.
Siapa nyana jika semuanya berubah"
Siapa nyana jika dirinya akan bertemu dengan murid Eyang Sepuh yang dengan jitu menunjukkan perbedaan dan juga persamaan antara Kidungan Paminggir dan Kidungan Pamungkas"
Semua kemampuan, kedalaman yang diselami, ditelanjangi dengan ucapan Jaghana. Sehingga ilmunya untuk menahan usia pun rontok kemudian. Seperti juga cara menahan kematian yang dilakukan Kebo Berune.
Tak ada alasan lain untuk tidak mengikuti Jaghana.
"Eyang Puspamurti, apakah saya pantas diikuti?" Suara Jaghana terdengar datar, tidak berusaha merendahkan diri. "Saya sendiri masih mengikuti langkah yang tersesat.
"Bahkan Wilanda yang selalu bersama saya bisa terpisah seperti sekarang ini."
"Rasanya saya menemukan kembali jalan yang harus saya lalui, Jaghana."
"Kalau Eyang bersedia jalan bersama, marilah kita berjalan bersama.
Kalau nanti ada jalan yang berbeda, kita akan menempuh sendiri-sendiri...."
"Sekian lama saya merasa meniti jalan yang tepat. Tapi hari bisa ini dipertemukan denganmu.
"Itu sudah lebih dari cukup.
"Saya belum terlambat untuk melihat jalan. Walau untuk sesaat saja."
Percakapan Tumimbal Lahir
JAGHANA untuk pertama kalinya menggeser duduknya. Tangannya menjauhkan sandal kayunya, yang ternyata cukup lama di tempat itu sehingga beberapa binatang yang berlindung di dalamnya berlarian.
"Tidak semestinya Eyang mendahului kehendak Dewa."
"Hanya karena saya menyadari hidup yang tinggal sesaat saja"
"Jaghana, saya sudah tua.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Eyang Sepuh masih menjadi ksatria, saya sudah seusia dengannya.
Yang membedakan adalah Eyang Sepuh bisa menciptakan maha karya, sedang saya untuk memahami diri sendiri pun masih susah.
"Tapi selebihnya sama.
"Kami sama-sama menuju ke kematian. Eyang Sepuh mempunyai cara yang lebih luhur.
"Jaghana, saya mengenal semua ksatria yang gagah perkasa. Saya sezaman, menghirup udara yang sama dengan Eyang Sepuh, Paman Sepuh, Mpu Raganata. Tapi apa yang saya lakukan"
"Menahan usia. Menyimpan umur.
"Dua raja yang memerintah berlalu, saya tidak mengetahui. Jagat berubah, saya tak tahu.
"Apa sesungguhnya yang telah saya lakukan?"
"Masih ada yang bisa dilakukan, Eyang."
"Ada, memang. "Tapi apa lebih baik untuk kehidupan"
"Jaghana, murid kekasih Dewa... Kalau sekarang saya berbuat sesuatu, saya tak tahu apakah itu berarti atau tidak. Apakah itu bukannya malah menyengsarakan manusia lain" Saya telah buta dalam dua kali tata pemerintahan Keraton.
"Kalau sekarang saya bertindak..."
"Maaf, Eyang, apakah kebenaran bisa berubah?"
"Entah. "Saya tak tahu. "Saya benar-benar tak tahu. Saya tak tahu kenapa ada senopati yang sakti seperti Halayudha. Apakah ia berbuat kebaikan atau tidak, saya tak mengerti. Sehingga saya tak tahu apakah harus memerangi atau membantu.
"Saya tak tahu kenapa ksatria berbakat luar biasa seperti Upasara Wulung harus tewas.
"Jaghana, kamu masih bertanya mengenai kebenaran?"
"Saya menjalani dengan mengikuti suara hati."
"Kapan selesainya?"
"Tak ada selesainya, Eyang.
"O-oo." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Semua mengikuti irama alam yang telah dikodratkan. Semuanya akan tumimbal lahir, akan lahir kembali. Karena tak ada yang bisa diselesaikan.
"Eyang Sepuh tak berhenti dengan Kitab Bumi, tak berhenti dengan Kitab Penolak Bumi, tak berhenti setelah menyelesaikan Kitab Paminggir."
"Ya, Eyang Sepuh pepunden kamu itu pasti akan melahirkan lagi, kalau mau.
"Tapi apa yang sebenarnya ia lakukan"
"Apa yang kamu lakukan" Menolong orang dengan menjadi dukun, menjadi peramal" Berapa yang bisa kamu tolong, dan berapa yang tak bisa kamu tolong?"
Jaghana mundur perlahan. Lalu berdiri perlahan. Tak terlihat sama sekali bahwa sudah beberapa malam ia duduk tanpa mengubah posisi sama sekali.
"Saya akan meneruskan perjalanan, Eyang."
"Saya akan mengikuti...."
Puspamurti mencoba berdiri.
Tersenyum. "Saya makin tua rasanya.
"Jaghana, katakan kamu mau ke mana?"
"Menuju ke depan, menemui yang ingin saya temui."
"Baik, baik kalau kamu tak mau saya ikuti.
"Katakan apa yang harus saya lakukan sekarang ini?"
"Eyang lebih tahu."
"Setelah tahu seperti sekarang, saya tak tahu apa-apa.
"O-oo. "Jaghana, katakan. Kalau ada yang pernah kamu lakukan dan belum selesai, padahal kamu ingin melakukan, biarlah saya yang melanjutkan."
"Eyang mengetahui ada lima pemuda yang sedang mempelajari Kidung Pamungkas."
"Pamungkas?" "Pamungkas, Eyang...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya akan meneruskan apa yang pernah kamu lakukan.
"Rasanya sebentar lagi mereka akan melewati jalan ini juga."
Jaghana menunduk lembut, kemudian berlalu.
Tinggal Puspamurti yang berdiri sendirian. Menatap ke langit dan menghela napas berat.
Sendirian. Alam seperti tak berubah.
Hanya tubuhnya yang berubah. Menjadi kakek-kakek dalam waktu sekejap.
Itulah jawaban dari seluruh hidupnya selama ini. Bahwa manusia tidak bisa menahan kemudaan, tak bisa mengatasi kematian. Bahwa mahamanusia tak bisa mengenakan mahkota susun tujuh.
Puspamurti kembali duduk di bawah pohon.
Berkidung perlahan: Semua bisa mati juga mahamanusia semua bisa perkasa tapi hanya ada satu raja tak ada yang perlu disesali
kalaupun tidak menjadi tak ada yang digetuni saat ini mahamanusia tumimbal lahir
seperti air seperti bumi seperti senopati seperti raja seperti Dewa... Suaranya terhenti, ketika suara langkah kaki mendekat ke arahnya.
Wajahnya tak berubah sedikit pun ketika melihat bahwa yang ada di hadapannya adalah Halayudha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa maumu, Halayudha?"
Halayudha merangkapkan kedua tangannya.
"Mohon diberitahu, siapa nama besar Eyang yang berada di bawah pohon...."
"Kamu juga tak akan percaya.
"Tapi kamu manusia yang cocok dengan Kidungan Paminggir. Kamu senopati yang kuat dan hebat. Kamu dekat dengan takhta, tapi kamu tak akan pernah menduduki.
"Sayang ada sinar hitam di atas kepalamu."
Halayudha masih tetap bertanya-tanya dalam hati. Sejak tadi ia memang berusaha mengejar dan mengetahui ke arah mana larinya Puspamurti, karena masih mendongkol. Segala macam ilmunya ternyata masih belum bisa untuk menundukkan Puspamurti yang hanya memainkan satu jurus ilmu.
Kini ia bertemu dengan kakek yang mengenakan pakaian aneh Puspamurti. Yang pertama terlintas dalam kepalanya adalah bahwa kakek ini tokoh yang sakti. Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa mengenakan pakaian Puspamurti" Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa menyebabkan kipas kayu Puspamurti tergeletak patah"
Dalam arti lain, kakek ini sudah bisa mengalahkan Puspamurti.
Apalagi tadi seperti mengidungkan sesuatu.
Itu saja yang menahan Halayudha bertindak sembrono.
"Maaf, Eyang mengenakan pakaian Puspamurti...."
"Kenapa kamu cari dia"
"Karena kamu kesal tak bisa mengalahkan?"
"Karena ada urusan Keraton, Eyang...."
"O-oo, urusan Keraton ataukah urusanmu pribadi"
"Sudahlah, kamu menyingkir dari depanku. Aku sedang memikirkan hal lain, dan aku kurang menyukaimu."
"Kalau sebijak Eyang masih dipengaruhi suka dan kurang suka, di mana kebijaksanaan itu?"


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalimat Halayudha terdengar sembarangan.
Tapi justru mengena tepat di hati Puspamurti. Pertanyaan yang biasa-biasa itu justru merenggut makna yang mengguncang.
Bagaimana tidak jika hal itu menggelisahkan hati Puspamurti"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Secara badaniah dirinya telah berubah. Tapi belum bisa menerima seluruhnya nilai-nilai yang baru. Apakah ketidaksukaannya pada Halayudha bukan bawaan dari sebelumnya"
Jaghana telah membuka simpul pergulatan batinnya, akan tetapi tak tuntas.
Inilah yang membuatnya ragu.
Sebaliknya, Halayudha merasa menemukan peluang untuk masuk.
Jalan pikiran yang cepat menangkap sesuatu yang berbeda dari biasanya, segera menemukan bentuknya.
"Sebagai abdi Keraton yang disertai tanggung jawab, saya lebih banyak melakukan kesalahan, kekeliruan, dosa, daripada yang tidak memegang pangkat dan derajat apa-apa.
"Kalau itu yang menyebabkan Eyang tidak menyukai saya, saya tak bisa berbuat lain."
Percakapan Calon Prajurit
HALAYUDHA menyembah hormat. Lalu membalik dan berlalu.
Satu kejap berikutnya jalan pikirannya sudah menemukan langkah yang akan ditempuh. Kini ia yakin bahwa tokoh yang dihadapi tak bisa dipaksa, tak bisa disuruh-suruh. Bahkan kemudian Halayudha bisa yakin bahwa eyang tua itu adalah Puspamurti.
Sesuatu yang paling mungkin, mengingat pakaian yang dikenakan sama, dan bisa mengetahui bahwa ia dicari. Siapa lagi yang mengetahui hal itu kalau bukan orang yang bersangkutan" Dugaannya diperjelas lagi karena kidungan yang ditembangkan lirik-liriknya mengingatkan akan Kidung Pamungkas.
Sebenarnya Halayudha saat ini kurang begitu tertarik mengenal diri Puspamurti. Pikirannya sedang terpusat bagaimana bisa menyusun kekuatan yang sempurna, sehingga kesempatan mendapat pangkat dan derajat dalam Keraton tak tergoyahkan lagi. Akan tetapi dasar panggilan hati kecilnya sebagai pendekar tak bisa dialihkan begitu saja.
Karena ini juga masalah yang nantinya ikut menentukan kursi yang diduduki.
Dalam hatinya sudah memperhitungkan siapa yang bakal menjadi lawan tangguh. Selama ini, jelas Eyang Sepuh kecil kemungkinannya muncul kembali. Lawan utama yang bisa menandingi saat ini ialah Kiai Sambartaka, kalau ia berada di pihak lawan. Diam-diam masih diakuinya kehebatan Kiai Kiamat yang selalu bisa meloloskan diri dari ancaman maut.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tokoh lain yang patut diperhitungkan ialah Jaghana yang tadi disebut-sebut. Akan tetapi secara keseluruhan, Halayudha yakin bisa menundukkan. Baik dalam pertarungan satu lawan satu ataupun ia mengerahkan para senopatinya.
Yang agak sulit diperhitungkan ialah munculnya tokoh muda yang kini tampak tumbuh cakar dan sayapnya. Di antaranya yang paling mengganggu ialah Gendhuk Tri. Wanita yang satu ini sejak kecil mempunyai dasar-dasar yang luar biasa, dididik langsung oleh Mpu Raganata. Dasar Kitab Air telah
menemukan bentuknya yang menjila, yang unggul. Apalagi ketika dimainkan secara berpasangan, benar-benar perlu diperhitungkan tersendiri. Terutama juga karena Gendhuk Tri jelas bukan tokoh yang bisa dibujuk rayu oleh derajat, pangkat, harta, dan godaan yang lain.
Bahkan dalam perhitungan Halayudha sekarang ini, Gendhuk Tri bisa menjadi lebih berbahaya dari Upasara Wulung sendiri.
Penguasaan ilmunya sudah mendekati, dan di balik itu Gendhuk Tri memiliki kecerdasan serta mampu mencium bau busuk, seratus kali di atas Upasara Wulung yang polos. Sehingga Gendhuk Tri lebih sulit dikuasai atau diliciki.
Yang membuat Gendhuk Tri bisa lebih berbahaya ialah bahwa pada saat ini atau saat lain ia bisa bergabung dengan Ratu Ayu dan Nyai Demang. Gabungan kekuatan dan dendam yang bisa merobek semua rencana yang ada. Peluang yang ada adalah mengadu ketiganya.
Walaupun Halayudha menyadari bahwa itu bukan sesuatu yang mudah.
Hal lain, adalah kemungkinan munculnya tokoh-tokoh baru yang selama ini belum diperhitungkan. Yang sangat mungkin sekali, mengingat undangan Eyang Sepuh untuk pertarungan di Trowulan menyebar ke seluruh penjuru jagat.
Itu sebabnya Halayudha sangat hati-hati terhadap Eyang Puspamurti.
Hati-hati dalam artian ia tak akan berdiri sebagai musuh. Itu merupakan prinsip hidupnya.
Sedangkan mengenai para senopati yang lain, Halayudha tak memandang sebelah mata. Ia merasa mampu menghadapi, baik pertarungan satu lawan satu, maupun dalam memperebutkan pengaruh Raja. Bahkan sampai tingkat Mahapatih pun, Halayudha merasa sekarang ini dengan sedikit mengeluarkan tenaga akan bisa menguasai.
Karena tenggelam dalam alam pikirannya, Halayudha tak menyadari bahwa di depannya berjalan lima pemuda yang melangkah dengan gagah. Untuk bersembunyi pun tak sempat.
Melihat cara jalan yang tergesa, Halayudha menduga ada sesuatu yang sedang tergesa dikejar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha meminggirkan tubuhnya.
"Bagaimana jika tidak bertemu?" tanya Senggek.
"Biasanya kita sudah bertemu," tambah Genter.
"Ketemu atau tidak, kita jalan terus.
"Terus," kata Mada, seolah menjadi perintah.
"Siapa yang kalian cari?"
Kelima pemuda itu berhenti. Berpaling. Memandang sekilas. Lalu melanjutkan perjalanan dengan menjawab,
"Kami mencari Guru...."
Halayudha menekuk lututnya. Sekali loncat, tubuhnya melayang di depan kelima pemuda.
"Siapa gurumu?"
"Dukun Truwilun...," jawab Kwowogen lantang.
"Sejak kapan dukun berewok tak tahu tata krama itu mempunyai..."
Halayudha belum menyelesaikan kata "murid", ketika Mada mendadak maju. Bersamaan dengan jotosan pukulan ke arah ulu hati.
Madana juga membarengi dengan sapuan kaki.
Halayudha tersenyum dalam hati.
Tanpa mengubah kaki, tangan, atau tubuh, Halayudha bahkan memejamkan matanya.
Terdengar pukulan keras mengenai sasaran.
Buk, buk, buk. Mada meringis, tangannya menjadi legam sesaat. Sementara Madana berlari-lari terputar terpincang-pincang. Senggek, Genter, dan Kwowogen bersiaga.
"Lalat pun tak bergoyang...," kata Halayudha dengan dingin. Matanya menyorotkan sinar keras menikam.
Sorot mata yang tidak biasanya. Memang tidak biasanya Halayudha terpancing kemurkaan yang dahsyat. Kali ini juga karena tidak menduga bahwa pukulan Mada yang kelihatan biasa-biasa itu sempat membuatnya terguncang. Dadanya terasa perih.
Itu suatu pukulan yang luar biasa.
Sekurangnya karena Halayudha sama sekali tidak menyangka bahwa pukulan itu bisa membuatnya kaget. Jelas dari gerakan maupun cara berjalan mereka seperti anak ingusan. Tak ada tenaganya. Akan tetapi ternyata benturan tenaganya cukup kuat. Hanya karena Halayudha
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
jauh lebih sakti, tangan Mada yang melepuh dan kaki Madana bagai menendang pohon.
"Kalian ternyata beringas dan kurang ajar. Tak tahu siapa yang kalian hadapi...."
"Siapa pun yang kami hadapi apa bedanya?"
"Siapa kamu?" "Aku Mada. Siapa sampeyan?"
"Kalian akan mati berdiri kalau kusebutkan namaku. Aku tak mau membunuh dengan cara yang begitu mudah dan menyenangkan. Tidak seimbang dengan kekurangajaran kalian yang main pukul.
"Tapi, aku ingin melihat ilmu macam apa yang kalian pelajari."
Tangan Halayudha terulur keduanya. Dengan mempergunakan tenaga membetot, kelimanya seperti ditarik paksa masuk ke jangkauan kakinya. Dan sekali bergerak, kelimanya menjadi jungkir-balik.
"Keluarkan ilmu kalian!"
Kelimanya terduduk. "Ayo, keluarkan! Belum satu gebrakan kalian sudah nyungsep seperti cacing. Truwilun yang mengajari ilmu kalian ternyata sangat bodoh...."
Mada dan Madana kembali menggerung. Keduanya meloncat, meskipun gerakannya kurang sempurna.
Sekali Halayudha menangkap tangan, terdengar sambaran angin keras. Sebelum Madana sadar apa yang terjadi, tubuhnya rontok ke tanah. Tulang tengkorak hingga ke leher hancur. Seakan kepalanya dipadatkan oleh tenaga yang luar biasa keras.
Mada yang tak bisa menemui sasaran, kembali meloncat.
Kali ini Halayudha yang meloncat mundur.
Ini tak masuk akal. Jelas mereka berlima bukan tandingannya. Sekali gebrak saja lumat habis. Akan tetapi toh masih ada yang menyerang.
"Kalian cari mati!"
"Tidak. Tapi kalau itu terjadi, apa salahnya?" Kwowogen maju.
"Sudah jelas kalian kalah, kenapa tidak menyembah minta maaf atau lari?"
"Sampeyan sudah menghina Guru. Saya tak bisa membiarkan begitu saja. Halayudha mencibirkan bibirnya.
"Bagus. Bagus itu, Mada.
"Heh, kalian pikir kalian ini siapa dan mau apa" Soal kecil saja diladeni dengan mati-hidup?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kami adalah calon prajurit. Kami tak bisa membiarkan penghinaan.
"Sampeyan boleh hebat, akan tetapi tak akan bisa menghina kami."
Halayudha mengangkat alis dan bersiap menyelesaikan urusan secepatnya ketika terdengar langkah kaki. Benar dugaannya, Eyang Puspamurti yang datang.
"Itu sikap yang bagus.
"Sikap gagah ksatria sejati."
Puspamurti berpaling ke arah Halayudha.
"Halayudha, kamu ini senopati utama, tapi jiwamu tak sebesar kuku hitam para calon prajurit itu.
"Tidakkah kamu malu?"
Sejenak Halayudha menahan gemuruh dadanya.
"Mereka berlima menjadi tanggung jawabku karena aku sudah berjanji kepada Jaghana untuk menjaga.
"Kalau kamu mau mengganggu, hadapi aku."
Senopati Alas Kaki EYANG PUSPAMURTI tak hanya berhenti berkata, ia melambung ke atas kedua tangan dan kakinya menekuk bersamaan, mencengkeram kepala Halayudha.
Yang segera mengangkat kedua tangannya untuk menangkis. Akan tetapi tubuh Puspamurti seperti bisa melengkung dan melebar sehingga pukulan Halayudha mengenai udara kosong. Bersamaan dengan itu, Halayudha meloloskan diri dengan merosot ke bawah.
"O-oo, sejak kapan kamu juga mencuri gerakan Kitab Air?"
Halayudha masih terhuyung-huyung ketika Puspamurti kembali melambung ke angkasa bagai kapas terbang, dan mendadak memberat ke arah tubuh Halayudha, yang kali ini memilih menyingkir ke samping kiri.
Pukulan angin yang menderu menyebabkan Mada dan ketiga sahabatnya mundur tiga langkah.
"Jangan mundur! Maju!
"Kurung senopati ini!"
Puspamurti berdiri tegak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ayo, gabungkan tenaga kalian. Pusatkan di tengah. Satu yang menyerang, yang lain mengalir. Jaghana sudah mengajarkan kekuatan inti manusia. Isap napas kuat-kuat, tahan di pusar, salurkan kepada teman...."
Halayudha benar-benar tak menyangka bahwa Puspamurti bisa mengatur serangan sambil mengajari. Yang lebih hebat lagi, ia sama sekali tak menyangka bahwa keempat pemuda dengan serta-merta mengikuti apa yang diperintahkan.
Inilah hebat. Inilah yang dikuatirkan. Selalu ada kekuatan baru yang menyeruak. Yang tak diperhitungkan sebelumnya.
Halayudha menjadi keder. Keberangasannya copot separuh.
Bisa dimengerti. Dalam tiga gerakan, Puspamurti bukan hanya bisa menebak dengan jitu apa yang dilakukan Halayudha, akan tetapi juga sekaligus mematahkan serangannya. Gerakan membebaskan diri yang mengikuti ajaran Kitab Air bisa terbaca dengan jelas, dan menyuruh keempat pemuda membentuk gerakan semacam tanggul yang menghalangi.
Sehingga air tak bisa mengalir sempurna.
Lebih heran lagi ketika ia berusaha menjebol barisan itu, sambaran tubuh Puspamurti sudah menyentuh pundaknya. Menghunjam langsung ke arah tulang pundak. Yang kalau berhasil dicengkeram habis, musnahlah seluruh kemampuan silatnya.!
Seperti yang dilakukan pada Upasara!
Sesungguhnya inilah yang membuat Halayudha begitu cepat terdesak.
Keempat pemuda itu menghayati pertarungan yang diajarkan seperti tak memedulikan hidup dan mati. Tak memedulikan siapa yang bakal terkena pukulan lebih dulu. Dipadu dengan tubuh Puspamurti yang kini bisa melayang dan hinggap sesukanya, Halayudha menjadi keteter.
Justru karena itu ia terdesak.
Pada saat terdesak, keunggulannya dalam menyerang menjadi hilang.
Itu yang agaknya secara tepat diperhitungkan Puspamurti.
Yang secara luar biasa menguasai kemampuan perubahan jurus-jurus yang diandalkan Halayudha. Dasar-dasar ajaran Kitab Bumi dan paduan dengan Kitab Air terbaca jelas bagai menemukan sebungkah batu di siang hari.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha menggerung keras, memutar tubuhnya, dan berbalik mundur.
Kembali Puspamurti sudah mencengkeram tubuhnya dan ketika Halayudha terus mengegos, kainnya terlepas.
Inilah gila. "Senopati macam apa telanjang memalukan seperti itu?"
Tubuh Halayudha panas membara. Tapi gerakannya seperti kedinginan.
Tak pernah dibayangkan dalam mimpi yang paling memalukan bahwa sekarang ini bisa dipecundangi dengan cara yang paling hina.
Justru di saat kedua tangannya turun menutupi tubuh, Puspamurti menyambar.
Halayudha menggerung, menarik kepalanya dari sambaran. Akan tetapi tak urung pinggangnya kena sodok keras, sehingga terjatuh kaku.
"Ayo, kalau kalian mau membasuh kaki di wajahnya, lakukan sekarang...."
Tapi keempat pemuda itu masih terus bergerak-gerak.
Puspamurti mengeluarkan suara "O-oo" sebelum melompat maju dan kedua tangannya meraup wajah keempatnya secara berurutan. Barulah keempatnya seperti tersadar kembali.
"Itu cara menghentikan penyatuan kekuatan.
"Tak peduli siapa yang mati, itu baik. Memang begitu cara mengatur kebersamaan. Tapi kalian baru bisa sekadar memainkan. Belum bisa menghentikan semau hati. Saat tenaga kembali ke pulung hati, jangan dituruti mengalir ke arah lain. Tahan. Kekuatan dialihkan ke dalam batin. Menjadi kekuatan menunggu.
"Kalau ada yang tergetar itu hanya bulu mata.
"Mengerti?" Keempatnya mengangguk. "Jaghana pastilah belum menurunkan ilmu itu."
"Kami berguru kepada Dukun Truwilun...."
"Sama saja." Puspamurti mengusap-usap hidungnya. "Tenaga dalam yang kalian pelajari adalah tenaga dalam dari Kidungan Pamungkas, yang akan membuat kalian menjadi mahamanusia yang bisa berbuat apa saja. Bisa mengerahkan tenaga seperti gunung, lembah, sungai, matahari, atau langit.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Cara berlatih kalian sudah baik, akan tetapi kalian ini pemalas sekali.
"Seratus tahun lagi kalian masih belum bisa apa-apa.
"Tapi tak apa. Aku sudah berjanji mengasuh kalian."
Puspamurti seperti tak memedulikan Halayudha yang masih terbaring kaku.
"Cara berputar kalian masih salah. Dalam mengerahkan tenaga, asal sepenuhnya berada dari dalam tubuh. Tubuh kalian ini, tubuh manusia yang menyimpan kekuatan sama dengan alam semesta. Kalau sebelum memukul kalian melangkah berputar, itu namanya masih memakai tenaga bumi. Masih mengambil tenaga dari perut bumi. Padahal perut kalian sendiri sudah menyimpan tenaga.
"Pengerahan tenaga bisa diatur dari pernapasan. Hirup kuat-kuat, tahan di bawah perut, alirkan ke atas, lewat hidung ke arah jidat, tahan di ubun-ubun, turunkan ke belakang melalui sumsum tulang belakang, sampai kembali terkumpul.
"Kosongkan pikiran, dan biarkan tangan bergerak sendiri untuk menangkis serangan lawan.
"Lawan kalian ini termasuk luar biasa. Ilmunya sudah setinggi langit.
Tapi ia kelewat bodoh dan sombong. Ia tak menyangka manusia bisa lebih sakti dari bumi dan air.
"Kekuatan diamnya tak berguna.
"Kekuatan mengalirnya tak tuntas.
"Karena ia bukan mahamanusia. Karena ia masih berpikir malu kalau telanjang, karena masih berpikir untuk menang. Padahal perasaan semacam itu tak perlu benar. Menang atau kalah bagi mahamanusia tak berbeda.
"Kalian perhatikan ketika Halayudha meloloskan diri" Ia menyurut ke arah bumi yang rendah. Itu gerakan air yang selalu menuju ke tempat yang rendah. Dengan membaca geraknya aku bisa mengetahui arah larinya. Ada empat penjuru yang bisa dituju, akan tetapi aku tahu ke mana. Sehingga sebelum ia sampai ke tujuan, aku sudah ada di situ.
Ketika ia menghindar lagi, ia mempergunakan tenaga putaran bumi.
"Itulah kesalahannya.
"Harusnya ia mengikuti putaran tubuhnya.
"Begitu mengikuti putaran bumi, aku tahu lalu menerjang dan merampas kainnya. Seperti yang kuduga, pikirannya masih bodoh dan terikat, sehingga ia menutupi bagian tubuhnya ketika serangan datang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sebagai mahamanusia, telanjang atau tidak, tak berbeda. Menutupi lutut atau bukan lutut, sama saja.
"Kehormatan manusia tidak hanya pada satu barang itu saja."
Halayudha mendelu hatinya.
Apa yang dikatakan Puspamurti jelas bagi telinganya. Dan lebih dari keempat pemuda itu, ia mengetahui secara persis di mana kesalahannya.
"Kamu semua harus bergembira karena Jaghana mengajarkan kidungan yang diciptakan setelah kidungan-kidungan sakti yang lain.
Sehingga lebih lengkap. "O-oo. "Itulah nasib, itulah keberuntungan.
"Itulah mahamanusia.
"Sekarang telah terbukti, kalian yang masih calon prajurit sudah bisa mengalahkan senopati yang dianggap paling sakti.
"Apa yang akan kalian lakukan sekarang ini?"
"Membalaskan dendam Madana."
Puspamurti menggeleng. "Temanmu mati. Biar saja."
Mada maju ke depan. "Eyang, kami tetap mau membalaskan dendam."
"Tidak perlu. "Kalau kamu mau membunuh Halayudha, bunuh saja. Tanpa dipengaruhi apakah itu membalas dendam atau tidak. Madana sudah sempurna, sesuai dengan kodratnya.
"Begitu juga Halayudha, kalau kamu mau membunuhnya sekarang.
"Bagaimana, kamu masih ingin membunuhnya?"
"Ya, Eyang." "Bagus." Tujuh Langkah Manusia KALAU ada yang pernah disesali dalam hidupnya, Halayudha merasakan sekarang ini. Setelah sekian tahun malang-melintang di dunia persilatan, berguru dan menyelam ke dalam dasar-dasar berbagai
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
ilmu, setelah melalui intrik perebutan pangkat dan derajat, sekarang justru terbaring telanjang di tengah padang.
Kalau dirinya mati karena pertarungan dahsyat, rasanya tak akan nelangsa seperti sekarang ini.
Tapi nasib manusia berjalan di luar tata krama manusia.
Upasara Wulung juga mati dengan cara mengenaskan. Kini gilirannya, dirinya.
Kalau mengingat bahwa Mada, Senggek, Genter, Kwowogen begitu keras kemauannya dan mempunyai kenekatan, dirinya benar-benar bisa disakiti sebelum dihabisi.
Apa yang tersisa lagi kalau mereka benar-benar menggosokkan telapak kaki ke wajahnya sebelum membunuhnya"
Diam-diam Halayudha mencoba menjajal menembus kekakuan tubuhnya yang macet, sementara Puspamurti mengangguk-angguk dan bersuara nyaring.
"Bagus, dari kalian berempat yang wajahnya paling cemerlang adalah kamu.
"Siapa namamu?"
"Tadi Kwowogen, sekarang masih sama."
"O-oo. "Nama itu berarti kekenyangan dan hampir mati. Tahukah kamu bahwa kenyang dan lapar tak ada bedanya" Haus dan sakit, menjelang mati, karena yang pertama ada adalah urip."
Keempatnya mengulang: urip.
"Urip itu hidup, artinya segalanya.
"Hanya dalam hidup segalanya punya makna, punya arti.
"Urip itu tenaga di bawah pusar."
Terhenti, sebentar. "O-oo... "Dalam urip tak beda sakit, lapar, haus, kenyang, sehingga bisa terus dilatih tanpa henti, bisa terus menyerang tanpa takut.
"Daya hidup ini bila digabung dengan cahya, dengan cahaya, akan memberi kekuatan.
"Cahaya di mata membuat kamu melihat.
"Daya hidup harus digabung dalam daya cahaya.
"O-oo. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Langkah ketiga disebut rasa. Rasa pangganda atau penciuman dari segala bau dan segala gerak.
"Langkah keempat berhubungan dengan sukma, yang selama ini membuat kita bicara.
"Langkah kelima amiyarsa, yang sehari-hari kita rasakan sebagai mendengar.
"Langkah keenam, berahi, yang kita rasakan sebagai daya asmara.
"Langkah ketujuh, budi, yang berada dalam darah, yang membuat kuku dan rambut bisa tumbuh.
"Itu tujuh langkah."
Puspamurti berjalan perlahan, memutari tempat di mana ia berdiri.
"Kekuatan manusia ialah bahwa ia itu manusia.
"Sadar. "Menerima. "Mengerti. "Mengungguli. "Tak ada yang luar biasa, tak ada yang biasa. Kekuatan bisa mengalahkan lawan, tenaga dalam, sebenarnya telah kita miliki. Hanya ada yang digunakan dengan sendirinya seperti membiarkan darah mengalir, dada berkembang, tumbuhnya rambut dan kuku, mendengar, melihat, merasa, dan berberahi. Padahal kekuatan yang sama bisa dipakai lebih.
"Sumbernya manusia, sebagai urip.
"Tanpa urip, cahaya tak ada maknanya.
"Juga rasa, juga berahi.
"Yang pertama ialah urip. Itulah segalanya. Letaknya di bagian perut di bawah pusar.
"Dalam Kitab Bumi pengerahan tenaga dengan sedikit mengangkangkan kaki seolah naik kuda, kedua tangan ditarik dari bawah ke tanah. Pada Kitab Air, gerakan tangan yang lebih menentukan dan bukan kuda-kuda kaki, sebab gerakan ini mengalir.
"Pada kalian, urip itu sendiri segalanya.
"Bisa menjadi gerak.
"Bisa gerak itu sendiri.
"Kamu tahu itu, Kwowogen?"
"Seperti yang saya dengar...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mendengar tidak hanya suara.
"Kamu juga mendengar yang tidak bersuara.
"Batu kelihatannya diam, tapi ia bersuara.
"Langit bersuara. Tak beda dengan angin.
"Pukulan, serangan lawan, bisa bersuara bisa tidak. Bisa bergerak, bisa diam. Bisa dicium baunya, bisa biasa-biasa.
"Seperti rasa berahi.
"Tahu, Kwowogen?"
"Tahu, Eyang." "Tahu bahwa pantat Halayudha bisa menimbulkan berahi?"
"Tahu, Eyang." "Itu tandanya ada urip.
"Kamu bisa merasakan berahi itu?"
"Bisa, Eyang." "O-oo. "Mau mencoba?" "Mau, Eyang." "Daya berahi itu sama dengan membunuh, sama dengan melahirkan.
Pada mahamanusia tak dibedakan.
"Tahu, Kwowogen?"
"Tahu, Eyang."

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada yang kamu tanyakan?"
"Kenapa disebut langkah, kalau berahi hanya mungkin ada karena urip?"
"Disebut langkah karena merupakan rangkaian.
"Pusatkan tenaga di perut bawah pusar.
"Yak. "Dari situ tenaga mengalir.
"Ke mata, ke lidah, ke berahi, ke tangan, ke kuku, ke rambut.
"Terasakan olehmu?"
"Ya, Eyang." "Tolol, jangan dengarkan dengan telinga."
"Ya...." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jangan jawab dengan lidah...."
Kwowogen tampak mendelik.
Tubuhnya bergoyangan. Demikian juga Mada, Senggek, dan Genter.
"O-oo. "Kalian masih terlalu hijau.
"Mada, kamu dengar aku?"
"Ya, Eyang." "Masih bisa melihatku?"
"Ya, Eyang." "Kamu rasakan darahmu mengalir?"
Tak ada jawaban. "Mada..." "Tidak, Eyang."
"Itulah ilmu. Itulah urip, itulah kehidupan yang sesungguhnya.
Jelas?" "Belum, Eyang."
"O-oo." "O-oo, Eyang." Jawaban terdengar bagai koor.
Halayudha yang tertelungkup merasa bahwa keempat pemuda itu mempunyai kepolosan, kejujuran yang luar biasa. Agaknya itu yang menyebabkan mereka bisa dengan cepat menerima ajaran Puspamurti atau Truwilun sepenuhnya.
Dasar-dasar yang kosong. Kalau benar demikian, meskipun boleh dikata terlambat mempelajari ilmu, di kelak kemudian hari bisa menjadi bencana. Halayudha memaki dirinya sendiri.
Jangan kata di belakang hari, sekarang pun sudah membuat bencana!
"Mada, kamu tak mendengar darahmu mengalir?"
"Tidak, Eyang."
"Senggek, kamu tidak merasa darahmu mengalir?"
"Tidak, Eyang."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Genter, kamu tidak merasa rambutmu sedang tumbuh?"
"Tidak, Eyang."
"Itulah ajaran yang sesungguhnya.
"Ilmu penguasaan tenaga dalam perut itu harus menjadi sesuatu yang tak kamu rasakan, tak kamu dengar, tak kamu lihat, tak kamu sentuh.
"Darah mengalir, kuku dan rambut dan gigi tumbuh seolah dengan sendirinya. Itu karena daya urip. Tenaga pukulan, perlawanan, menangkis, menyerang, bertahan, semua harus menjadi seperti mengalirnya darah, tumbuhnya kuku.
"Mengerti?" "Sedikit, Eyang."
"Berarti melatih pernapasan, melatih tenaga dalam itu tidak memerlukan waktu tertentu. Tetapi selalu begitu.
"Selalu. "Sebagaimana kekuatan hidup itu sendiri."
"Ya, Eyang...."
"Bagus. "Cobalah berlatih."
Percakapan Impian HALAYUDHA makin merasa dirinya sangat konyol.
Eyang Puspamurti sama sekali tak menghiraukannya lagi. Keempat pemuda juga langsung mengikuti petunjuk. Mengikuti cara melatih pernapasan, berulang kali.
Jangan kata memperhatikan dirinya, diri mereka sendiri tak digubris.
Segala gerak dan jalan pikiran mengikuti semua kalimat Eyang Puspamurti.
"Senggek..." "Ya, Eyang...."
"Kenapa kamu masih mendengar?"
"Masih, Eyang...."
"Salah. "Tolol. "Kamu tidur?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ya, Eyang...."
"Tidur, ya?" "...Eyang...." "O-oo. "Tidur yang lelap itu bermimpi.
"Kamu bermimpi apa, Senggek?"
Senggek menggelepar seperti ikan yang dilemparkan ke darat.
"Kamu harus tetap tidur, dan bermimpi.
"Apa mimpimu?" "...ada Eyang..."
"Itu bagus. "Genter?" "Ya, Eyang...."
"Kamu sudah mimpi...?"
"Rasanya..." "Sudah?" "Sudah, Eyang."
"Itu namanya mimpi. "Kamu sudah tidur?"
"Belum, Eyang."
"Itu ilmu. "Bagus... bagus. Kalian semua bagus-bagus. Kwowogen bagus, Senggek bagus, Genter juga bagus.
"Mahamanusia itu menguasai hidup.
"Mahamanusia itulah hidup.
"Tidur itu mengurangi hidup.
"Tadi kalian tak boleh tidur, karena akan mengurangi hidup.
Bermimpilah, akan tetapi jangan biasakan dirimu tidur. Banyak perguruan mengajarkan untuk mencegah makan dan minum, banyak yang mengajarkan cegah dahar-nendra, atau mencegah atau mengurangi makan minum dan tidur.
"Yang pertama salah.
"Makan dan minum itu langkah. Seperti juga berahi. Pertanda hidup.
Tak perlu dicegah. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Yang kedua setengah salah.
"Karena mengacaukan pengertian makan-minum dengan tidur.
"Tahu di mana salahnya?"
"Ya, Eyang...."
"Kamu bersedia memperistrikan Halayudha?"
'Bersedia, Eyang...."
"Aku tidak tanya kamu, Mada...."
"Tetapi saya bersedia."
"Kamu mau memperistrikan aku?"
"Bersedia, Eyang...."
"O-oo. "Kamu pikir aku mau?"
"Tidak peduli, Eyang...."
Puspamurti berkejap-kejap matanya.
Helaan napas terdengar keras.
"O-oo. Kamu perkasa, Mada.
"Sangat ksatria."
"Saya mengikuti petunjuk Eyang...."
"Apa?" "Saya mengikuti petunjuk Eyang."
"Itu baru betul. "Tak boleh ragu."
"Ya, Eyang." "Masih ingin jadi prajurit, Mada?"
"Masih, Eyang."
"Prajurit mengabdi siapa?"
"Raja." "Bukan aku?" "Raja." "Bukan Eyang?" "Raja." "Kamu bunuh Mahapatih kalau diperintah Raja?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Raja." "Bukan Keraton?"
"Raja." "Bukan senjata?"
"Raja." "Bukan ilmu silat?"
"Raja." "Raja?" "Raja." "Siapa rajamu?"
"Raja." "Siapa membunuhmu?"
"Raja." "Bukan Truwilun?"
"Raja." Tubuh Puspamurti menggigil.
Perlahan seperti kehabisan tenaga, melemas, terduduk di antara keempat muridnya.
Kepalanya menggeleng. "Jaghana, kamu benar.
"Kidung Pamungkas adalah Kidung Paminggir yang mengakui raja di atas segalanya. Kidungan para prajurit sejati.
"Jaghana, Jaghana, apakah kebetulan kamu menemukan orang-orang seperti Mada, Senggek, Genter, dan Kwowogen ini"
"Kalau mereka menjadi prajurit, apakah bukan prajurit terbaik"
"Kalau mereka prajurit terbaik, masihkah mereka manusia terbaik"
"Kalau ya, apa sebenarnya mahamanusia itu ada?"
Puspamurti terbatuk keras sekali. Tubuhnya seperti kehilangan seluruh tenaga.
Inilah kesempatan yang ditunggu Halayudha. Jalan terbaik untuk meloloskan diri. Akan tetapi beberapa kali usahanya mengembalikan tenaga selalu sia-sia.
Halayudha menunggu. Tak ada suara. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia tak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya menelungkup dan wajahnya menghadap ke tanah. Akan tetapi mendengar napas yang teratur, bisa jadi Puspamurti tertidur kelelahan.
Sesuatu yang tak akan meragukan Halayudha andai saja Halayudha mengetahui bahwa Puspamurti baru saja dikuras tenaganya dalam pertemuan dengan Jaghana, selama beberapa hari berturut-turut.
"Eyang..." "Hmmm..." "Eyang..." "O-oo..." Lejitan pikiran Halayudha memang selalu selangkah lebih dulu.
Sewaktu usahanya mencoba membebaskan diri gagal, Halayudha menjajal dengan cara mengatur napas yang diajarkan Puspamurti kepada keempat muridnya. Akan tetapi ternyata tak juga berhasil.
Karena dasar ajaran Kitab Bumi masih selalu memperhitungkan alam.
Belum lepas bebas dan polos.
Kini, ketika Puspamurti membicarakan percakapan yang bisa dilakukan dalam mimpi, Halayudha menyabet kesempatan!
Menjajal. Siapa tahu dalam keadaan setengah sadar seperti sekarang, ia bisa memperoleh cara membebaskan diri. Yang diajarkan oleh Puspamurti sendiri!
Makanya ia memanggil Eyang.
Dan menemukan jawaban. "Eyang... cahya, rasa saya terhalang."
"Darahmu tidak mengalir seperti biasanya. Karena aku yang mengubahnya."
"Kenapa?" "Biar saja." "Bukankah ajaran Eyang justru menjadikan naluri darah itu sebagai kekuatan" Kenapa Eyang justru merusakkan naluri?"
"Tidak merusak."
"Bagaimana membebaskan?"
"Dicari sumbernya. "Dari urip...."
"Jangan mau dipengaruhi, Eyang."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Siapa kamu mengganggu mimpiku?"
"Kwowogen, Eyang."
"O-oo." "Eyang, jangan..."
"Terima kasih, Eyang.... Jadi tetap dimulai dengan tenaga bawah perut?"
"Ya, mana lagi?"
"Eyang!" Halayudha memusatkan perhatian dan pikiran sebisanya. Udara dihirup keras, disimpan dalam perutnya. Ditahan. Benar! Ada tenaga panas terasakan. Ada!
Laku Lindhu SENGGEK coba mencegah agar Eyang Puspamurti tidak memberitahu Halayudha cara-cara membebaskan diri.
Akan tetapi ketika ia mencoba sadar, justru tak bisa lagi berteriak Dadanya menjadi sesak.
Sebaliknya Halayudha menemukan pemecahan!
Dengan menghimpun tenaga di bawah perut, terasa ada yang bisa digerakkan. Yang pertama terasa getaran di tangan. Halayudha mencoba menyalurkan ke arah tangan dan kaki.
Mental. Malah tubuhnya bergoyangan.
Halayudha menjajal kembali.
Rasa hangat di perutnya tak bisa digerakkan, meskipun tetap hangat.
"Eyang..." "O-oo... "Bukan begitu caranya."
"Semua sesuai petunjuk Eyang...."
"Tidak mungkin. "Aku tak memberi petunjuk.
"Itu salah." Gigi Halayudha gemeretak menahan geram.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Benar-benar hebat kelewat-lewat ajaran Eyang Sepuh ini. Luar biasa.
Setelah mampu menciptakan rangkaian jurus penolak Kitab Bumi, masih mampu menciptakan sesuatu yang sama sekali berbeda.
Sesuatu yang dasar-dasarnya pun berlainan.
Benarkah" Pertanyaan ini menggoda Halayudha. Karena kalau benar tadi disebut-sebut Jaghana yang memberi dasar pelatihan, rasanya jelas berasal dari Kitab Bumi. Jadi kalau berbeda, di mana perbedaan itu"
Benar bahwa Puspamurti belum memberitahukan caranya.
Kalau tidak begitu, berarti...
"Tenaga itu sudah ada di dasar perut, Eyang...."
"Nah, itu sudah bisa."
"Tapi tak bisa digerakkan."
"Siapa yang menyuruh menggerakkan?"
"Saya tak bisa bergerak."
"Memang tidak. "Biar saja bergerak sendiri."
"Cahya, rasa tak mampu menggerakkan...."
"Kamu keliru, Halayudha.
"Tanggalkan laku, pendekatan, cara, sistem, yang selama ini kamu pergunakan. Masing-masing mempunyai laku yang berbeda. Sama mengumpulkan tenaga, tetapi tak bisa sama menggunakan. Semakin kamu paksakan, akan semakin merusak cara yang telah kamu miliki.
"Tangan bisa memainkan keris, pedang, kantar, tombak, karena sebenarnya sama.
"Kaki bisa menendang, meloncat, menekuk, menyamping, menggunting, karena sebenarnya gerakan itu sama.
"Tangan bisa memainkan peranan kaki. Kaki bisa memainkan peranan tangan. Karena gerakan itu sama dan bisa dipelajari.
"Akan tetapi laku untuk memperoleh itu tidak sama. Kidungan mahamanusia memang berbeda."
"Saya mulai menangkap apa maksud Eyang."
"Kalau Upasara Wulung bisa mengambil tenaga dalam simpanan, itu karena selama ini ia memakai laku yang diajarkan Kitab Bumi. Kalau ia memakai laku ajaran Kitab Air, mungkin hal itu tetap bisa terjadi.
Meskipun barangkali cara pemanggilan kembali tenaga dalam itu sedikit berbeda, akan tetapi dasar-dasar laku-nya. sama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sementara Kidung Paminggir atau Kidung Pamungkas jauh berbeda."
"Ada berapa macam laku, Eyang?"
"Mana aku tahu"
"Kamu kira aku tukang catat?"
"Eyang mengalami zaman itu."
"Tapi tidak tahu. "Yang kutahu, adalah laku yang kemudian dibakukan dalam ajaran Kitab Bumi. Baik Mpu Raganata, Kebo Berune, atau Pulangsih, semuanya mempunyai laku yang sama.
"Sampai kemudian lahir Kidung Paminggir.
"Segala macam bisa menjadi berbeda. Isinya menggegerkan karena menempatkan mahamanusia sebagai yang paling unggul. Cara mengidungkan juga lain. Sejak mengambil nada dan bersiap jauh berbeda.
"Yang menjembatani itu adalah Kidung Pamungkas. Yang bisa menerima laku dasar yang ada, dan laku yang dipakai dalam Kidung Paminggir"
"Saya tahu, Eyang. "Saya sadar. "Bahwa ketika saya mencoba laku yang saya miliki, tak bisa dan tak berlaku. Semua gerak, pengaturan napas, tak bisa berjalan sebagaimana biasanya.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bumi, air, adalah bagian alam. Kodratnya adalah kodrat alam.
"Sedangkan mahamanusia, kodratnya manusia.
"Sehingga ketika daya urip yang saya miliki untuk menembus cahya, rasa tak mempan."
"Memang." "Jadi bagaimana daya manusia itu, Eyang?"
"Daya yang sama."
"Sama dengan daya alam atau daya manusia?"
"Dua-duanya, tolol. "Bukankah sudah ada Kidung Pamungkas yang menjembatani dua laku itu"
"O-oo. "Kamu belum mengerti juga"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"O-oo, ada gunanya menjadi orang yang menjadi tua.
"Halayudha, laku yang berada dalam ajaran Kitab Bumi bisa diumpamakan dengan penulisan di tanah Jawa ini. Bentuknya, gayanya, masing-masing bisa berbeda dari satu tangan dengan tangan yang lain. Tebal-tipisnya aksara tergantung tangan yang menorehkan.
"Akan tetapi selalu sama laku-nya. Dari kiri ke kanan, menggantung.
"Ini berbeda dengan laku, aksara dari tanah Tartar yang dari atas ke bawah. Atau dengan yang dari kanan ke kiri. Atau dari bawah ke atas.
"Sehingga kalau kamu membaca aksara Tartar dari kiri ke kanan, meskipun kamu mampu melahirkan kata-kata, aksara itu tak ada maknanya. Atau menjadi sangat berbeda.
"Itu sebabnya kamu bisa keok dalam seketika.
"Tapi kamu tak menduga karena merasa. Kamu merasa benar!
"Tahu" "Eyang Sepuh yang sakti itu mampu menciptakan laku yang pendekatannya jauh berbeda dari ajaran yang ada."
"Kalau begitu, Eyang, bagaimana cara mengerahkan tenaga menurut Kidung Paminggir"
"Aku sudah lupa."
Hah! Halayudha terguncang. "Karena aku sudah masuk ke Kidung Pamungkas."
Nah! Bukankah ini sama saja artinya, yang berarti dirinya bisa lolos"
Kenapa hal kecil ini diributkan benar"
Meskipun berpikir begitu, Halayudha tidak mengutarakan. Bukan karena takut Eyang Puspamurti gusar-hal yang tak akan terjadi. Tapi kuatir kalau penjelasannya panjang-lebar. Yang berarti menunda kebebasannya.
"Bagaimana laku dalam Kidung Pamungkas"'
"Kamu sendiri pasti mengetahui."
"Saya... saya... tak bisa melihat."
"Memang tidak. "Karena Laku Lindhu tidak diterangkan secara gamblang. Harus bisa ditangkap dengan mata batin. Dengan cahya, dengan rasa, dengan berahi..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Otak Halayudha bekerja keras.
Ia cukup banyak menyelami berbagai kitab dan ajaran, sehingga baginya tak terlalu sulit memahami jenis-jenis tertentu yang baru.
Untuk hal ini, Halayudha bahkan berani memuji dirinya yang bisa cepat menangkap inti ajaran.
Seperti sekarang ini. Dengan menyebutkan Laku Lindhu, berarti yang dipakai adalah pendekatan lindhu, atau gempa bumi. Kekuatan yang dipakai untuk menerobos adalah kekuatan gempa bumi.
Sesuatu yang wajar. Sangat dekat dengan ajaran dalam Kitab Bumi.
Masih ada sangkut-pautnya, karena sama penciptanya!
Dalam memecahkan kunci membuka ajaran, Halayudha lebih cepat dari siapa pun. Dan bisa langsung menjelajahkan jalan pikiran.
"Lindhu yang mana, Eyang?"
"Yang mana saja."
"Maaf, Eyang. Ada Dua Belas Gempa Bumi yang disebut-sebut dalam Kidung Pamungkas."
"Makanya, kamu tinggal melepaskan rasa, agar tenaga gempa bumi yang sesuai yang masuk.
"Salah kalau kamu memaksakan diri.
"Salah kalau kamu mencoba satu demi satu. Itu semua cara yang dipakai untuk ajaran Kitab Bumi.
"Nah, sekarang makin jelas.
"Atau malah bingung?"
Mendadak terdengar suara Kwowogen.
"Kenapa Eyang tidak menceritakan Dua Belas Gempa Bumi itu?"
Percakapan Gempa DALAM keadaan bebas, Halayudha pastilah sudah menghajar Kwowogen hingga hancur lebur.
Tapi juga memuji. Dalam penilaian Halayudha, Kwowogen jauh lebih cerdik dari Senggek. Kalau Senggek berusaha memotong pembicaraan, sehingga dirinya sendiri menjadi kacau pemusatan tenaganya, Kwowogen mengalihkan ke arah lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Padahal tujuannya sama. Agar Eyang Puspamurti tidak segera menceritakan rahasianya, dan Halayudha tidak segera bebas!
"O-oo. "Baik juga itu. "Aku merasa menjadi makin pintar dan lebih dari kalian."
"Eyang..." "Tidak, Halayudha. Aku berbicara pada murid-muridku.
"O-oo. "Dalam jagat ini ada Dua Belas Gempa Bumi. Masing-masing berbeda kekuatan dan akibat yang ditimbulkan.
"Gempa pertama ialah gempa yang menyusahkan, yang menghancurkan persediaan makanan. Akibatnya akan terjadi bahaya kelaparan.
"Gempa kedua ialah gempa yang menghancurkan rumah. Akibatnya akan terjadi perpindahan.
"Gempa ketiga, gempa yang menggerakkan ombak samudra.
Akibatnya banyak perahu tenggelam...."
"Eyang...," teriak Halayudha dengan menirukan nada Kwowogen,
"apakah itu berarti bahwa dengan Gempa pertama, tenaga yang muncul berada dari kantong nasi, atau perut bagian bawah?"
"Ya, ya...." "Dan Gempa kedua berarti tenaga dalam yang bisa dipindahkan dari sumbernya?"
"Ya." "Dan Gempa ketiga berarti mempergunakan tenaga untuk melawan serangan yang datang?"
"Ya." "Berarti Halayudha bisa memakai tenaga Gempa..."
"Tapi Eyang tak usah menyebutkan dulu," Mada memotong di tengah.
Suaranya mengguntur. "Bagaimana dengan Gempa keempat, Eyang?"
"O-oo. "Mada, tak usah teriak. Kwowogen, tak usah kuatir.
"Aku bisa mengenali nada suara Halayudha, karena dengusan napasnya berbeda. Kalaupun kuterangkan, ia belum tentu bisa. Karena bukan seperti yang dibayangkan....
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa" "Gempa keempat"
"Gempa keempat adalah gempa dengan kekuatan menumbuhkan segala sesuatu dari dalam tanah. Akibatnya bisa membuat tanah subur.
"Gempa kelima, gempa yang menggoyang semua buah, bunga, daun yang berada di atas. Akibatnya tak akan ada buah yang tumbuh. Atau tak nanti lawan bisa mempergunakan tenaganya, karena sudah dirontokkan lebih dulu.
"Nah, dengan penjelasan lebih lengkap begitu, sekaligus bisa diketahui inti dan kekuatannya.
"Puas kamu, Halayudha"
"O-oo. "Kamu masih berkutat dengan tenaga dalammu.
"O-oo. "Gempa keenam, gempa yang mempunyai dua sisi. Kalau terjadi siang hari berarti tenaga membunuh, kalau malam hari berarti tenaga yang mempercepat tumbuhnya padi.
"Yang luar biasa adalah jika kamu bisa menggempakan dirimu dalam siang dan malam hari. Sekali menghancurkan lawan, tenaga dalammu sendiri tumbuh. Ketepatan menangkap isyarat dan menguasai saat yang tepat akan sangat menentukan.
"Gempa ketujuh, gempa yang menghancurkan semua binatang yang bergerak. Kalau saat itu lawan dengan bergerak, apalagi menggunakan tenaga mengentengkan tubuh atau berkelit, melarikan diri, maka terkerahkannya tenaga Gempa ketujuh akan menyelesaikannya.
"Gempa kedelapan, gempa yang mempunyai dua sisi seperti Gempa keenam. Yaitu gempa siang dan malam hari. Hanya saja akibatnya sama. Membunuh.
"Sisi mana pun, tenaga membunuh yang besar yang menyalur. Dua sisi berurutan akan sangat keras akibatnya.
"Gempa kesembilan, gempa yang membenturkan dua atau lebih tenaga yang ada. Akibatnya tenaga lawan akan bentrok. Tenaga gempa ini sangat menguntungkan kalau kita dikeroyok, sehingga lawan-lawan akan saling bunuh sendiri. Kalau menghadapi lawan yang menguasai banyak ilmu akan tetapi belum terkuasai sepenuhnya, hasilnya sama bagusnya.
"Kalian tahu kenapa Halayudha begitu mudah ditelikung.
"Gempa kesepuluh, gempa yang mengacaukan kekuatan dasar lawan.
Akibatnya menggoyahkan kemampuan, merusakkan kepercayaan diri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Gempa kesebelas, gempa yang menguras tenaga. Akibatnya lawan akan kehabisan tenaga, sehingga jurus-jurus berikutnya tak ada kekuatannya lagi.
"Gempa kedua belas adalah gempa ke dalam, gempa yang dipakai untuk kekuatan. Akibatnya kekuatan kita bisa secara leluasa kita pergunakan....
"Eyang... Teriakan kekuatiran Kwowogen bersamaan dengan teriakan Halayudha!
Kwowogen kuatir karena berpikir inilah yang ditunggu Halayudha!
Memang begitu. Jalan pikiran Halayudha pun sama.
Sampai ke penjelasan yang ditunggu, ia mengerahkan tenaga dalamnya seperti yang dituturkan Eyang Puspamurti. Menggertak dan mengerahkan tenaga yang terkumpul.
Berhasil. Tubuhnya yang telanjang terlontar ke atas.
Senggek yang terkejut tak bisa menguasai dirinya, sehingga tubuhnya terjengkang. Maksud hatinya ingin menahan Halayudha, akan tetapi tubuhnya tak dikuasai. Karena masih dalam pengaruh "percakapan tidur" Eyang Puspamurti.
Tubuhnya berkelojotan, sebelum akhirnya membeku.
Kaku. Mada, Genter, dan Kwowogen masih tetap menutup matanya.
Demikian juga Eyang Puspamurti.
Inilah yang dilihat sekilas oleh Halayudha ketika tubuhnya melayang di udara.
Sekilas. Sekilas karena setelah itu Halayudha tak bisa melihat lagi. Tubuhnya ambruk, kedua kakinya tak kuasa menahan tubuhnya.
Sekarang keadaannya lebih runyam lagi. Karena kali ini ia terjatuh menelentang.
"O-oo. "Mada?" "Bagus. Kamu bagus. Kesetiaan itu bagus. "Genter?"
"Ya, Eyang." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ketahui apa yang terjadi tapi tak usah terpengaruh.
"Kwowogen?" "Ya, Eyang." "Penguasaanmu paling sempurna.
"Lebih dari Mada yang memang tak bergoyang, lebih dari Genter, tapi kamu bisa menguasai diri.
"Bagus, bagus. "Ketiganya bagus sekali.
"O-oo. "Senggek menyusul sahabatnya.
"Sayang...." Suaranya mengandung nada sedih. Sesuatu yang tak terdengar selama pembicaraan berlangsung.
"Tapi tak apa. "Sampai kapan pun, Halayudha tetap terpenjara oleh kekuatannya sendiri.
"Tahu kamu?" "Bunuh saja saya, Eyang."
"Sekarang ini aku masih tidur.
"O-oo. "Apa yang akan kamu tanyakan, Mada?"
"Apakah Dua Belas Gempa Bumi itu bisa disamakan dengan Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang kesohor itu?"
"Bisa. "Tapi juga tidak. Dua Belas Jurus Nujum Bintang, lebih menyandarkan kekuatannya kepada bintang di langit, kepada alam. Pengaturan tenaga dalam pada Lintang Sapi Gumarang berbeda dengan tenaga dalam pada Lintang Tagih, karena musim Kasa berbeda usianya dengan musim Karo.
"Begitu seterusnya. "Sedangkan Dua Belas Gempa Bumi tidak mengenal musim, tidak terpengaruh karena kekuatannya pada manusia itu sendiri. Pada Urip.
Pada Sejatining Urip, inti kehidupan yang paling sejati. Tanda-tanda itu sudah bisa dimengerti sejak awal, sehingga tak ada dan tak perlu penamaan jurus-jurusnya. Hanya dibedakan Gempa kesatu, Gempa kedua, dan seterusnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Yang lebih penting..."
Mendadak suara Eyang Puspamurti terhenti.
Ajaran Kidung Pamungkas SAAT itu Mada telah tersadar. Demikian juga Genter dan Kwowogen yang terputus "tidurnya" kala Eyang Puspamurti menghentikan hubungan batin.
Mada membelalak. Karena sesaat ia sadar, ia melihat bahwa tubuh Halayudha bergerak, bangkit, dan bersiaga.
Pada saat yang sama, Eyang Puspamurti sudah berdiri gagah.
Sekejap. Karena kemudian Eyang Puspamurti terhuyung-huyung. Tangannya meraup kain Halayudha yang sejak tadi tergeletak.
"Pergilah! "Aku pantas membunuhmu karena kamu sudah membunuh dua muridku.
"Tapi pergilah, Halayudha!
"Semoga Dewa bisa kamu hancurkan."
Wajah Halayudha tampak pias.
Kain dirangkupkan ke tubuhnya, dan dalam satu loncatan saja, tubuhnya menghilang.
Eyang Puspamurti masih tertegun.
Menghela napas. "O-oo. "Ladlahom! "Itulah semuanya...."
Lalu diulangi lagi menghela napas.
Terdiam agak lama. Baru kemudian melambaikan tangan, pelan.
"Mari kita berlatih lagi.
"Jangan pikirkan yang lain."
"Saya harus merawat dua sahabat saya, Eyang...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
'Itu juga baik, Mada."
"Kenapa Eyang membebaskan Halayudha?"
"Itu yang terbaik. "Kamu akan menemukan jawabannya nanti. Kalau nasibmu baik."
"Eyang..." "Tak ada hubungannya dengan ajaran Kidung Pamungkas.
"O-oo. "Kita tak bicara itu lagi.
"Memang, Halayudha menemukan pemecahan dengan baik. Aku mengatakan bahwa kekuatan lindhu dalam tubuh tidaklah digerakkan, akan tetapi dibiarkan bergerak sendiri.
"Inilah inti ajaran Kidung Pamungkas.
"Inilah bedanya dengan ajaran yang lain.
"Laku Lindhu yang dua belas macam, semuanya tak perlu dipilih dan digerakkan, seperti kita menggerakkan pedang atau tangan. Yang menggerakkan adalah sumber tenaga urip, yang menjalar ke cahya, rasa, berahi, atau mana saja.
"Semakin kalian mendalami dan hanyut, semakin kalian mengerti, merasai, dan menyatu.
"Aku bisa membunuhnya.
"Tapi tak perlu. "Lebih dari cukup."
Dengan tertatih-tatih, Eyang Puspamurti berjalan. Kwowogen menggandeng setengah memanggul.
"Berlatihlah. "Aku akan menunggui, sambil berpacu dengan usiaku.
"Kalian harus segera menjadi prajurit."
Mereka menuju ke bawah pepohonan, dan kemudian beristirahat.
Mada mencari buah-buahan, sementara Genter menjaga. Begitu seterusnya saling ganti, menjaga, dan berlatih.
Eyang Puspamurti terus melantunkan kidungan, mengajak berlatih tanpa mengenal lelah.
Sehingga sampai bulan purnama, Mada dan kedua temannya jatuh kelelahan tanpa pernah bangun hingga sore hari berikutnya.
Akan tetapi Eyang Puspamurti tak berhenti. Terus-menerus berkidung, terus memberikan wejangan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tenaga untuk hidup itu awal dan akhirnya.
"Dalam keadaan yang bagaimana pun, menghadapi apa pun. Lawan boleh perkasa, boleh hebat, tetapi tak perlu takut sebelum bertarung.
"Tenaga untuk hidup, namanya juga urip.
"Semakin banyak godaan, semakin banyak tantangan, semakin sempurna keberadaan daya hidup.
"Dalam ilmu silat, itu yang dinamai tenaga dalam. Tenaga yang berada di dalam tubuh. Yang tak kelihatan. Yang bisa dimuntahkan, ditahan, dipakai untuk kesehatan dan kedigdayaan.
"Jangan biarkan rasa yang menguasai dirimu. Jangan biarkan tanganmu bergerak karena ingin memukul. Biarkanlah ia bergerak sendiri untuk memukul atau menangkis.
"Sekali kamu bergerak, jangan pernah ditarik mundur.
"Sekali kamu mengambil keputusan, jangan ragu, jangan menyesal.
Apa pun yang terjadi. "Karena kalah dan menang bukan perhitungan terakhir.
"Risiko itulah tanggung jawab.
"Itulah sifat ksatria.
"Itulah mahamanusia."
Didesaki ajaran yang begitu berat, ketiga pemuda itu mau tak mau terpaksa terus mengikuti. Sedapat mungkin ditelan, diikuti tanpa pernah bertanya.
Kalaupun ada yang mengganjal dalam hati Kwowogen, itu adalah masalah dilepaskannya Halayudha. Begitu saja kesempatan pergi diberikan, ketika dendam sudah melampaui batas.
"Itu keberatanmu, Kwowogen?"
"Ya, Eyang." "Nalarmu paling jalan.
"Beda dengan Mada yang bisa menyatukan pikiran dan menjadi ketegasan. Lain dengan Genter yang membungkam diam.
"Kenapa kamu tanyakan?"
"Apakah itu bagian ajaran Eyang?"
"Tidak." "Apakah tidak layak membunuh Halayudha?"
"Tidak olehku. "Kalian belum bisa memenangkan. Sekarang, atau seterusnya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau tidak ada kaitan dengan ajaran, kenapa Eyang lepaskan?"
"Karena dosa yang ditanggung Halayudha sudah sedemikian besarnya. Dewa telah menghukum secara nista."
"Saya tak mengerti, Eyang."
"Kamu tak akan mengerti penderitaan Halayudha.
"Kalau kamu punya kaki, kamu masih bisa membayangkan penderitaan mereka yang buntung kakinya. Kalau kamu punya mata, kamu masih bisa merasakan penderitaan orang buta.
"Tapi kamu tak bisa membayangkan penderitaan orang yang tidak memiliki kejantanan. Yang tak memiliki kelelakian.
"O-oo. "Itu penderitaan yang berat.
"Tak akan pernah kamu bayangkan."
Kwowogen menunduk. "Aku baru menyadari ketika Halayudha berdiri. Aku menyadari ada yang hilang dari bagian tubuhnya. Hilang secara mengerikan kalau dilihat dari bekas-bekas luka yang ditinggalkan.
"Pernahkah kalian membayangkan itu"
"Apakah tak cukup rasa iba terhadap penderitaannya?"
"Apakah membunuhnya tak cukup untuk melenyapkan penderitaannya?"
"Tidak. "Daya hidupnya besar.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia berbakat mewarisi ajaran Pamungkas. Paling alami menerima ajaran luhur ini.
"Ingatlah baik-baik.
"Suatu hari kelak, kalian akan menjadi prajurit. Dengan bekal kesetiaan dan pengabdian, kalian akan menduduki pangkat dan derajat yang terpandang. Aku bisa bercerita karena aku pernah menjadi senopati.
"Suatu hari kelak, kalian akan menemui banyak sekali tantangan yang menghancurkan. Baik karena pangkat dan derajat kalian melorot, baik karena kalian disalahkan untuk sesuatu yang tidak kalian lakukan.
"Apa pun juga, kalian harus tetap memiliki semangat hidup.
"Kalian harus tetap hidup, tetap urip.
"Aku tetap hidup, sampai seterusnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa pun penderitaan dan kebahagiaan yang kualami.
"Tahu hal itu, Kwowogen?"
"Ya, Eyang." "Mada?" "Ya, Eyang." "Genter?" "Ya, Eyang." "Biarkan daya hidup kalian yang menjawab.
"O-oo. "Juga kalau raja kalian memutuskan hal lain. Kalau raja kalian memerintahkan kalian bertiga berbunuhan, kalian harus mempertahankan hidup. Juga kalau aku memerintahkan kalian berlatih sepenuhnya, itu yang kalian lakukan.
"O-oo. "Jangan mati untuk alasan apa pun, baik kemuliaan atau tempat di sisi Dewa.
"O-oo. "Hiduplah selalu. "Seperti aku." Kembali Eyang Puspamurti seperti memaksakan diri melatih, menyempurnakan latihan pernapasan, pukulan, gerakan tangan dan kaki.
Perintah Panglong PERJALANAN Halayudha kembali ke Keraton tidak sangat tergesa, bahkan terkadang berlambat-lambat. Di wajahnya tak tersimpan perasaan duka atau ada sesuatu yang memberati.
Dengan satu atau dua tarikan napas, Halayudha merasa kembali ke dunianya, jagatnya, sebagai senopati yang tenggelam dalam menjalankan baktinya.
Langkahnya tetap lebar ketika memasuki halaman Keraton. Beberapa prajurit menyembah hormat. Begitu juga ketika masuk ke Keraton.
Perasaan yang tajam membuatnya cepat sadar bahwa para prajurit kawal istana sedang membicarakan sesuatu dan mendadak terdiam ketika dirinya lewat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha berhenti, memandang lima prajurit yang tetap menyembah dan menunduk.
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Maaf beribu maaf, Senopati yang mulia, hamba memang bermulut lancang...."
"Kenapa kamu bicarakan segala macam payung Keraton?"
Salah seorang memberanikan diri berbicara dengan nada yang sangat menghormat.
"Hamba menjalankan perintah Raja, bahwa segala macam payung kebesaran Keraton agar dipajang di alun-alun...."
"Raja yang memerintahkan?"
"Inggih, Senopati yang mulia...."
"Hmmm, jadi kalian sudah berani lancang membicarakan perintah Raja" Kalian tahu bahwa hukuman mati pun masih terlalu ringan?"
"Hamba, hamba, hamba..."
"Hamba apa?" "Hamba kuatir, sebab perintah Raja sesembahan sekalian manusia adalah perintah panglong..."
Jalan pikiran Halayudha menangkap dua pengertian sekaligus.
Yang pertama, adalah pengertian perintah panglong. Panglong adalah istilah untuk menyebut waktu pagi setelah matahari terbit, dan sebelum lingsir wetan, atau sebelum beranjak tinggi dari timur.
Saat-saat yang dianggap mempunyai arti kurang baik untuk memutuskan sesuatu. Selama ini memang jarang atau boleh dikatakan tidak pernah seorang raja menjatuhkan putusan pada saat panglong.
Bahwa keputusan seorang raja bisa terjadi saat sirep, lewat tengah malam menjelang dini hari, bukan sesuatu yang mustahil. Malah sebaliknya dianggap sangat tepat. Sampai dengan raina, atau matahari bersinar.
Tetapi tidak di antara matahari sudah sepenggalah namun belum tepat di atas.
Halayudha bisa mengerti, keraguan itu menjadi tebal karena merasa perintah itu tidak pada tempatnya.
Memasang payung kebesaran di alun-alun!
Sesuatu yang bertolak belakang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Payung kebesaran yang sesungguhnya tetap tertutup, dan selalu di samping Raja. Kalau Raja meninggalkan tempat, barulah payung itu menyertai.
Maka termasuk aneh, kalau payung itu dibuka di lapangan.
Yang kedua, Halayudha menemukan bahwa Raja masih tetap sama dengan ketika ditinggalkan. Tak mampu menguasai dirinya.
Guncangan batinnya belum juga mereda.
Kalau perlu, bangunan Keraton ini diratakan.
"Di mana Praba Raga Karana?"
"Berada di kamar prameswaren, Senopati...."
"Di kamar permaisuri"
"Apakah Raja masuk ke sana?"
"Putri Praba mengunci dari dalam...."
Halayudha mengangguk. Tarikan napasnya menyebabkan udara tertahan di dadanya.
Otaknya cepat berjalan. "Aku ampuni kalian, sekali ini...."
Kelimanya menyembah seakan tak pernah bangkit lagi.
"Cukup. "Selain perintah membongkar pohon beringin, dan ingin menggelar payung kebesaran, apa lagi perintah Raja?"
"Menghancurkan taman di kaputren...."
"Apa lagi?" "Semua anak perawan harap dikumpulkan di kaputren...."
"Itu saja" "Bagaimana dengan tata keprajuritan" Apakah Raja menyebut namaku?"
"Mohon beribu maaf, telinga hamba tidak mendengar...."
"Sama sekali?" Tak ada jawaban. Itu artinya mengiya. "Ada disebut-sebut nama Mahapatih Nambi?"
"Maaf, Senopati yang mulia.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Raja meminta Mahapatih Nambi sowan ke Keraton dengan membawa semua anak perawan dari Lumajang...."
Tangan Halayudha terkepal.
Baginya, yang terakhir ini lebih bergema. Jika sampai Mahapatih Nambi ditarik kembali ke pusat, Keraton akan berada dalam pengawasannya lagi.
Berarti keinginannya menduduki jabatan yang sudah di depan mata bisa urung. Lebih buruk lagi, nasibnya bisa berbalik!
"Panglong..." Halayudha mendesis, sambil melangkah ke dalam.
Kini tak ada alasan lain untuk menunda. Jalan pikirannya sudah menemukan jalan keluar.
Ia harus melakukan secepatnya.
Langkah Halayudha berputar menuju gedung prameswaren, tempat para permaisuri-atau juga calon permaisuri.
Tak terlalu sulit baginya mengendap masuk, melewati barisan penjagaan. Bahkan di depan pintu yang dikawal ketat, Halayudha hanya memerlukan satu loncatan pendek sambil mengembangkan kedua tangannya.
Dua prajurit yang berjaga tak sadar apa yang menyebabkan mereka tertidur seketika.
Pintu yang tertutup dari dalam, bukan sesuatu yang sulit bagi Halayudha untuk mendobrak dan menarik, tanpa banyak menimbulkan suara.
Halayudha melangkah ke dalam.
Ke dalam sumber permasalahan.
Unggul atau hancur. Hanya itu kemungkinannya sekarang ini.
Jika Raja mengetahui dirinya masuk ke kamar Praba Raga Karana, langit pun akan diruntuhkan dan bumi akan digali untuk menghukumnya. Dosa yang tak akan diampuni sampai turunan terakhir!
Halayudha sadar akan hal itu.
Akan tetapi otaknya cukup cerdik. Bahwa saat-saat di mana Raja masih murka, pastilah tak akan berkunjung ke kamar peraduan.
Hatinya masih panas. Sesuatu yang menurut Halayudha justru disebabkan oleh Praba Raga Karana. Yang mendadak membuat Raja bingung. Segala macam tindakannya yang serba aneh, serba berlawanan dengan akal dan rasa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sehat, karena sedang kisruh, karena tak tahu harus berbuat apa terhadap Praba Raga Karana.
Kini saatnya! Halayudha melangkah masuk. Seluruh kemampuan indrianya dikerahkan untuk mencari tahu di mana Praba Raga Karana berada, begitu ia masuk dan menutup pintu.
Begitu perasaannya mengatakan di mana Praba berada, tangan kanannya terulur.
Langsung jakun Praba terjepit di antara jempol dan telunjuknya.
Praba Raga Karana tak mungkin melawan, pun andai tahu bahwa akan ada orang yang berani mendobrak masuk ke kamarnya.
Kemampuannya jauh di bawah Halayudha yang sedang dalam siaga penuh.
Apalagi saat itu sebenarnya Praba sedang pati geni, tidak melakukan gerak, tidak makan, tidak minum, tidak melihat cahaya. Sedang bergumul dengan batinnya. Sedang melarutkan diri dalam pertanyaan yang paling dalam untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan dirinya.
Sejak Raja mencampakkan dan meninggalkan dalam keadaan tanpa busana dan basah, Praba merasa tanah yang diinjak bagai mega yang melambungkan tubuh dan sukmanya.
Tak ada pegangan. Tak ada kekuatan. Dalam saat terguncang itulah ia kembali ke akar keprihatinannya.
Masuk ke kamar dan bertapa.
Menanyakan kepada Dewa Yang Maha dewa.
Apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan dirinya.
Dan bukan Dewa yang memberi jawaban, melainkan Halayudha.
Mata Praba yang mendelik, hanya mendapat jawaban senyuman tipis, dingin, dari Halayudha.
"Aku tahu kamu membenciku dan menghalangiku menjadi mahapatih.
"Jempolku jijik menyentuh kulitmu.
"Praba, tahukah kamu bahwa aku merasa menang melihat wajahmu yang murka, batinmu yang mendidih, perutmu yang bergolak mau muntah"
"Sekarang kamu puaskan mencaci dalam hati, dalam batinmu.
Sekarang dan seterusnya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jari-jari tangan Halayudha bergerak bersama, kanan dan kiri. Sangat cepat. Di kepala, leher, dada, perut, dan di bagian belakang.
Halayudha tersenyum. Matanya bersinar.
Tujuh Sumbatan Hidup HALAYUDHA meregangkan kedua tangannya. Melepaskan semua kekesalan, beban yang ada di seluruh pori-pori tubuhnya.
Sementara Praba Raga Karana masih bersimpuh di bawah.
"Semestinya aku melakukan sejak dulu.
"Atau paling baik justru sekarang ini, Praba. Sehingga aku mengetahui bahwa kamu membenciku"
"Tidak, aku tidak menyalahkanmu kenapa kamu membenciku. Kamu harus menyalahkan dirimu sendiri karena aku bisa lebih sakti darimu.
"Kamu bisa mendengar, tapi kamu tak bisa komentar. Kamu bisa melihat, tapi untuk apa, kalau menggeliat saja tak mampu"
"Anggaplah ini nasib buruk."
Halayudha berbalik. Tapi langkahnya terhenti.
Berbalik lagi. Mendekat ke Praba Raga Karana. Seakan bersikap lembut, ia duduk di dekatnya dan berbisik.
"Aku ingin pamer padamu, dan kamu bisa mengerti kenapa kamu tak bisa bergerak, tak bisa mengeluh, tak bisa merintih atau tersenyum.
"Tak ada yang mengetahui bahwa aku telah menyumbat tujuh jalan hidupmu.
"Tujuh jalan darahmu yang terutama, pusat kegiatan dan gerak hidupmu sudah kututup, dan tak ada yang mengetahui.
"Dengar baik-baik, Praba.
"Ketika aku menyentuh atas sanggulmu, aku mematikan aliran darah sahasraya, sehingga darah yang mengalir dalam otakmu tak memberikan kekuatan untuk berteriak. Untuk mematikan gerak mata seperti yang kamu kehendaki untuk memberikan sandi, kode untuk menceritakan keadaanmu, aku telah menotok jalan darah di antara alis, yaitu ayana.
"Jalan darah di tenggorokan pun telah kumatikan, wisudi tak mampu membuatmu menelan jampi dan obat-obatan. Jalur di pulung hati,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
anahata, serta di pusar, manipura, membuatmu tak akan bisa bergerak, bahkan jika ada kalajengking berjalan di tubuhmu.
"Aku tidak minta maaf kalau aku menotok jalan hidup adara, sedikit di atas lubang tubuhmu yang paling bawah, serta menotok jalan darah adistara, antara pusar dan kewanitaanmu.
"Maaf, aku tidak minta maaf.
"Karena ini untuk menjaga agar nanti kalau Raja memaksamu melakukan pergumulan asmara, tubuhmu tak akan memberi rasa apa-apa. Menjadi dingin beku, seumpama batang pisang yang terendam air.
"Praba, aku tahu kamu akan memakiku dengan kata-kata yang paling kotor.
"Meskipun bibirmu tak bergerak, matamu tak bisa mendelik, kamu menistaiku.
"Itulah yang membuatku bahagia, menang, dan menikmati sampai puas setiap kali mengingatnya.
"Aku lebih puas bisa menceritakan padamu.
"Kamu bisa mendengar, bisa mengingat, tapi tak bisa apa-apa.
"Di jagat ini hanya kita berdua yang tahu apa sebenarnya yang terjadi. Inilah lakon yang sempurna...."
Halayudha berdiri. Tersenyum. "Tanca yang paling mumpuni tak akan bisa mengerti apa yang terjadi padamu. Kalau bukan aku yang melakukan, mungkin aku sendiri tak mengerti.
"Praba, kamu melicinkan kakiku yang kotor ini, membasuh segala nista yang menempel, sehingga aku bisa melangkah dengan gagah ksatria."
Halayudha memuji dirinya.
Apa yang dikatakan memang pujian yang bisa diterima.
Keunggulannya menyumbat jalan hidup, pada tujuh tempat yang berbeda untuk mematikan rasa dan kepekaan tertentu, tak bakal diimbangi oleh yang lain.
Apalagi kali ini perpaduan bagian yang disumbat tak akan diperhitungkan.
Menyumbat jalan hidup untuk membuat kaku sekujur tubuh bukan sesuatu yang luar biasa.
Akan tetapi hanya bagian-bagian tertentu, itu memerlukan penguasaan dan latihan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itulah sebabnya Halayudha memuji dirinya sendiri.
Setelah puas menikmati keunggulannya, Halayudha melangkah ke luar dan menutup kembali pintu. Mengusap prajurit kawal, yang akan segera terbebas dari pengaruh sirep dalam beberapa saat mendatang.
Tanpa mengetahui apa yang terjadi!
Barulah kemudian Halayudha memberanikan diri menghadap Raja.
"Aku tak mau menerima," jawab Raja kepada prajurit yang melapor.
"Senopati Halayudha ingin ngunjuk atur melapor dengan hormat, mengenai Gusti Ayu Praba Raga Karana...."
"Suruh segera menghadap...."
Halayudha menikmati kepuasan lanjutan. Seakan ia bisa melihat dirinya sendiri sedang melaporkan dengan fasih, dengan kalimat merendah, seakan semua gerakannya sudah dilatih sempurna sebelumnya.
Bahwa bukan tidak mungkin kekasih Raja yang mulia, Praba Raga Karana, sedang menderita sakit tertentu. Karena dari jauh Halayudha mendengar tarikan napas yang berbeda dari tarikan napas orang yang sedang bertapa, sedang mengkhusyukkan diri.
Halayudha menambahkan bahwa perhitungannya bisa keliru, akan tetapi ia memberanikan diri menghadap untuk menyampaikan hal ini.
"Aku tak peduli, Halayudha...."
"Hamba yang peduli, Raja sesembahan seluruh Keraton.
"Karena sakitnya Gusti Praba Raga Karana ingin membaktikan seluruh hidupnya bagi Raja."
"Aku tetap tak peduli."
"Mohon ampun, Raja....
"Ilmu silat hamba masih permulaan. Akan tetapi hamba bisa merasakan bahwa jika seseorang berniat pati geni tanpa dibekali persiapan batin, perjalanan batinnya bisa tersesat."
"Aku tak peduli."
"Mohon Raja tidak menghalangi tabib Keraton menjenguknya."
"Halayudha, kamu ini aneh.
"Kamu dihalangi Praba, tapi kamu justru paling memikirkan keselamatannya."
"Mohon ampun. "Semuanya berasal dari keinginan mengabdi secara tulus...."
Halayudha seakan mampu menebak jalan berikutnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Raja Jayanegara memerintahkan para tabib masuk gedung prameswaren. Dan begitu mendengar laporan, Baginda segera menemui.
Dan seketika itu juga diumumkan agar dipanggil semua ahli yang ada.
"Senopati Tanca panggil sekarang juga!"
Halayudha mulai menyiapkan langkah berikutnya.
Setelah semuanya gagal, Halayudha mengajukan diri untuk menjajal.
Dengan bersemadi, Halayudha mulai menyentuh jalan hidup wisudi, meskipun tidak sempurna membebaskan totokan. Sehingga Praba Raga Karana untuk sesaat bisa merintih.
"Dewa Jagat! "Rasanya kalau Praba kembali seperti sediakala, kedudukan mahapatih pun masih terlalu rendah untukmu."
"Hamba hanya bisa mencoba, duh Raja....
"Hanya karena kemampuan hamba terbatas, mungkin memerlukan waktu...."
"Tak apa, Halayudha.
"Kamu rawat Praba. Tugas Keraton bisa dilakukan Nambi."
Inilah yang dinamakan jagat terbalik!
Halayudha tak akan pernah bermimpi bahwa Praba Raga Karana sedemikian berartinya sehingga bisa mengubah apa saja.
Namun sebagaimana biasanya, Halayudha tak memperlihatkan perubahan wajah sedikit pun yang menggambarkan isi hatinya.
"Kalau Raja mengizinkan, hamba akan mencari obat-obatan."
"Hari ini juga berangkat!"
Inilah yang dinamakan jagat telah kembali tegak.
Halayudha tak mau menunda waktu. Ia memerintah rombongan kecil dengan beberapa kuda pilihan, dan segera meninggalkan Keraton.
Tujuannya mencari obat. Obat untuk dirinya.
Yaitu ke Lumajang. Halayudha seperti tak sabar berkejaran dengan waktu. Rombongan yang mengikuti bisa tertinggal satu pandangan mata di padang luas.
Tetapi tak ada pilihan lain.
Lumajang. Mahapatih Nambi!
Kalau ia berhasil mengamankan, rasanya tak ada lagi yang menghalangi. Tak ada lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha memacu kudanya makin cepat.
Tidak sampai pergantian matahari berikutnya, Halayudha telah sampai di Lumajang dan segera menggeprak kudanya menuju kediaman Mahapatih Nambi.
"Hamba menghaturkan sembah, Mahapatih...."
"Saya sudah menduga Senopati akan datang...."
Suara Mahapatih Nambi tetap menunjukkan kewibawaan, kegagahan, yang membuat Halayudha bagai disiram air dingin. Karena biar bagaimanapun, dirinya adalah bawahan Mahapatih Nambi. Sehingga pengaruh itu terasakan.
Purus Puspa Lembong YANG tak pernah diperhitungkan Halayudha adalah kehadiran Permaisuri Indreswari.
Cerdik, teliti, penuh perhitungan, akan tetapi justru Permaisuri Indreswari terlupakan. Padahal justru yang sepele ini bisa membuyarkan semua rencana
Sewaktu Keraton menjadi geger tak menentu, Permaisuri Indreswari mendapat laporan lengkap. Bahwa Praba Raga Karana menderita gering.
Tubuhnya lemas tak mampu bergerak, sehingga untuk memalingkan wajah pun perlu dibantu. Pandangan matanya nanar, tetapi seperti tak melihat apa-apa.
Saat itu juga Permaisuri Indreswari memerlukan mengunjungi untuk melihat sendiri.
Raja Jayanegara tak melarang, meskipun juga tak memperlihatkan bisa menerima rasa iba.
Ada sesuatu yang menggerakkan Permaisuri Indreswari sehingga memerlukan datang sendiri. Yang pertama terlintas ialah bahwa Praba Raga Karana kena. Bahwa Praba kalah kuat sehingga bisa kesambet.
Terkena serangan ilmu hitam.
Sesuatu yang sangat wajar.
Sebagai permaisuri, Indreswari menyadari dan hidup di dalam pertikaian dan persaingan batin dengan wanita lain. Baik secara terang-terangan, apa-lagi secara diam-diam. Masing-masing wanita berusaha memuaskan, mengabdi Baginda, dengan segala macam cara.
Dengan merawat tubuh dari ujung kuku hingga ujung rambut, dengan melatih suara, cara bernapas maupun melirik, dengan segala macam ramuan obat-obatan, maupun dengan kekuatan lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kekuatan lain itu berupa mantra, baik untuk menguatkan diri maupun untuk menyerang lawan.
Permaisuri Indreswari sadar akan lekuk-liku dunia perdukunan yang berkaitan dengan perebutan daya asmara untuk menarik sebesar mungkin perhatian Baginda.
Permaisuri Indreswari sadar karena dirinya larut dalam kehidupan semacam itu terus-menerus.
Makanya yang terpikir pertama adalah bahwa Praba Raga Karana terkena pengaruh itu. Karena tak mungkin tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga, telinganya tak bisa mendengar, dan mulutnya membisu.
Masalahnya adalah dukun mana dan ilmu apa yang menyebabkan, serta bagaimana cara mengatasinya.
"Semua usaha telah dikerahkan, Gusti Permaisuri. Semua dukun, orang tua, telah dipanggil."
Permaisuri mengangguk. Ia meminta semua yang ada di dalam ruangan meninggalkan tempat.
Kemudian secara perlahan Permaisuri Indreswari membuka selimut, meraba pusar dan sedikit bagian bawah perut Praba Raga Karana.
Kepalanya menggeleng. Kemudian memerintahkan memanggil Senopati Tanca yang dikenal mempunyai ilmu dalam penyembuhan berbagai lelara, berbagai penyakit.
"Tanca, haturkan terus terang, apakah Praba kena pengaruh tenung asmara?"
"Besar kemungkinannya demikian, Gusti Permaisuri.
"Hamba tak berani memastikan, karena caranya amat sangat halus.
Beberapa kali hamba mencoba mengetahui dan masuk, akan tetapi pengaruhnya sangat samar.
"Besar kemungkinannya ilmu tenung yang selama ini tak dikenal."


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku merasakan ada sesuatu yang kejang pada tempat antara pusar dan purus."
Senopati Tanca mengangguk dalam dan menyembah.
Dalam hatinya memuji kelebihan Permaisuri. Tanpa mempelajari secara khusus, Permaisuri Indreswari bisa segera mengetahui adanya kelainan pada bagian tubuh Praba Raga Karana.
Ia sendiri memang menemukan ada bagian yang mengejang, akan tetapi tak bisa memastikan sumbernya antara pusar dan purus- istilah
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
yang sebenarnya untuk menyebutkan nama anggota tubuh yang paling laki-laki.
Dengan menyebutkan purus, Permaisuri Indreswari memakai bahasa lain yang halus, meskipun masih tak terhindarkan penunjukan yang langsung.
Senopati Tanca boleh heran, akan tetapi bagi Permaisuri Indreswari, itu semua bukan sesuatu yang luar biasa.
Karena memang sejak semula para permaisuri Keraton sadar bagaimana merawat bagian- bagian tubuh terus-menerus.
"Tanca, apakah Praba sering menggunakan jamu-jamu dan ramuan untuk memperhebat kewanitaannya?"
Wajah Tanca menjadi merah.
Tetap tak tersembunyikan meskipun menunduk.
Hatinya terasa gerah. "Aku harus membicarakan ini untuk mengetahui keadaannya sebenarnya.
"Kalau benar ia diserang dengan ilmu tenung, rasanya kamu bisa mengetahui.
"Kalau tidak, pasti karena ulahnya sendiri.
"Yang paling mungkin adalah cara merawat diri yang sangat keterlaluan sehingga menghancurkan tubuhnya sendiri. Itu sebabnya aku bertanya begitu."
"Gusti Permaisuri sangat tepat."
"Apa karena itu?"
"Hamba tak bisa matur.
"Sekarang ini tak bisa ditanyai. Para dayang yang dekat tak bisa memberi laporan yang tepat."
"Kamu sudah meneliti hal itu?"
"Sebisa mungkin, Gusti Permaisuri...."
"Berarti titik tolak kita sama.
"Yang diarah adalah kewanitaan.
"Rasanya tak usah terlalu jauh. Kita bisa mencari Purus Puspa Lembong... Kalau ini tak bisa, berarti kita semua harus bersiaga. Ada musuh besar yang leluasa bergerak dalam Keraton."
Dalam hati, Senopati Tanca kurang tulus menghormat Permaisuri Indreswari. Apalagi dengan beberapa kejadian terakhir yang menyangkut Baginda Kertarajasa ke Simping.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi sekali ini tak ada alasan untuk tidak memuji secara tulus.
Sebagai tabib Keraton, Tanca boleh dikatakan sangat menguasai segala jenis lelara bangsawan Keraton. Termasuk yang satu ini.
Purus Puspa Lembong adalah sejenis tanaman seperti keladi yang menempel pada tumbuh-tumbuhan tertentu. Jurus Puspa Lembong sangat banyak, akan tetapi yang memakai nama Purus sangat sulit ditemukan.
Sehingga akhirnya Baginda Raja Sri Kertanegara membangun hutan tersendiri untuk menyemai tanaman tersebut. Tanaman yang mempunyai kesaktian dalam pergulatan daya asmara.
Kalau Permaisuri Indreswari sampai kepada kesimpulan penggunaan Purus Puspa Lembong, ini berarti pengetahuan mengenai pengobatan sangat mendalam. Sekurangnya dengan cara itu Permaisuri Indreswari ingin menjajal kemungkinan terakhir. Yaitu menyembuhkan, atau memperparah keadaan Praba.
Kelebihan tanaman Purus Puspa Lembong adalah memperkuat kekuatan asmara yang biasanya digunakan kaum lelaki. Kini akan dicobakan ke tubuh Praba untuk menawarkan pengaruh. Semakin banyak dan terbiasa, semakin tidak mempunyai pengaruh apa pun.
Itu pengobatan yang juga dipakai sebagai jalan terakhir.
Dasar-dasarnya seperti yang selama ini dipelajari Senopati Tanca.
Bahwa untuk melawan bisa, untuk melawan racun, adalah dengan membiasakan tubuh terkena racun. Sehingga menjadi kebal.
Suatu pemikiran yang mendalam.
Yang sudah dipikirkan oleh Tanca, akan tetapi tak berani mengutarakan. Terutama karena alasan tata susila.
Dan itu yang dikatakan oleh Permaisuri Indreswari.
Yang lebih luar biasa adalah kesimpulan yang kedua. Kalau pengobatan dengan Purus Puspa Lembong tidak berhasil, berarti ada cara lain yang dipakai untuk membuat Praba Raga Karana menderita gering seperti sekarang ini.
Dan itu hanya dimungkinkan oleh orang yang bisa leluasa keluar-masuk prameswaren, yang bisa menyusup tanpa dicurigai.
Di sinilah bahaya yang sesungguhnya.
Kalau kamar Praba yang dijaga sangat ketat bisa dimasuki orang yang berbuat kurang ajar, berarti kamar siapa pun bisa digerayangi.
Tak ada lagi yang tersembunyi di Keraton ini.
"Apa lagi yang kamu tunggu, Tanca?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hamba menjalankan perintah Permaisuri...."
"Apakah penilaianku keliru?"
"Tepat, Gusti...."
"Sebentar... "Sebelum kamu berangkat, apakah kamu melihat kira-kira siapa yang berbuat kurang ajar di Keraton?"
"Hamba tak mengetahui, Gusti."
"Atau tak berani?"
"Bagi hamba tak ada untungnya menyembunyikan musuh Keraton."
Permaisuri mengangguk. "Benar. "Siapa menurutmu yang beruntung dengan sakitnya Praba?"
Pertanyaan itu menggema. Tanpa jawaban. Karena Permaisuri Indreswari segera berlalu.
Persaingan Asmara YANG juga tak diperhitungkan Halayudha adalah bahwa Mahapatih Nambi sangat dingin sikapnya.
"Senopati Halayudha.
"Aku mendengar semuanya.
"Semuanya. "Juga kabar geringnya Praba Raga Karana."
"Mahapatih mempunyai pendengaran seratus kali lebih tajam dari seratus ekor gajah."
"Pujian yang berlebihan biasanya tidak tulus.
"Sayang...." Halayudha mengertakkan giginya.
Ia menahan kegusarannya yang bergolak. Pada saat sekarang ini, bahkan rasanya Halayudha berani memutuskan untuk menantang.
Akan tetapi ditahannya desakan yang bisa mengeruhkan suasana.
Meskipun Raja telah dekat dan menjanjikan, ia tak ingin meninggalkan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
kesan buruk yang bisa menimbulkan bibit-bibit permusuhan di belakang hari.
"Sayang... "Tapi itu yang bisa terjadi.
"Geringnya Praba bisa membangkitkan dugaan yang berlebihan.
Apalagi perubahan tubuhnya yang tak bisa bergerak, menyebabkan dugaan bahwa persaingan merebutkan asmara Raja yang menjadi alasannya.
"Dengan demikian, Putri Tunggadewi dan Putri Rajadewi bisa menjadi sasaran. Bisa lebih menderita, karena perlakuan yang hina. Segala kehinaan bisa terjadi.
Sayang.... Sayang bagi Mahapatih Nambi, tapi perasaan Halayudha justru melayang.
Ia tak menduga bahwa ini bisa mengakibatkan langkah yang lebih menyeluruh. Tunggadewi, dan terutama Tunggadewi, lebih daripada Rajadewi, adalah pujaan para abdi dan senopati Keraton. Karena masih turunan langsung Baginda dengan Permaisuri Rajapatni, yang sejak sebelum lahir sudah diramalkan bakal menjadi raja yang membawa kebesaran Keraton yang belum pernah terjadi selama ini!
Betapa hebat kebesaran dan kekaguman yang menyertai Tunggadewi!
Bagi Mahapatih Nambi, ia merupakan junjungan yang sangat dihormati.
Dan sekarang ikut tersudut, ikut terguncang.
Bukankah ini sekali langkah dua lawan perkasa bisa tumbang"
"Sayang... "Tetapi apa yang harus kukatakan kalau itu yang terpikirkan dan dianggap benar"
"Padahal hanya dengan memeriksa nadi adistara, bisa diketahui apakah betul karena ilmu hitam atau tangan yang kotor."
Sekali ini Halayudha menjadi kecut.
Dengan menyebutkan nadi atau jalan hidup adistara, sebenarnya Mahapatih Nambi sudah membongkar segala kebusukan Halayudha.
Sebab kalau benar totokan di adistara bisa dibuka, bukan tidak mungkin akan diteliti jalan hidup lain yang ada.
Berarti Praba Raga Karana bisa disembuhkan.
Sekurangnya bisa berbicara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tamatlah riwayat Halayudha.
Tak ada pilihan lain! Tapi Dewa masih melindungiku, kata hati Halayudha. Justru dengan mengatakan ini, Mahapatih Nambi menjadi musuh utama. Bisa tak bisa harus dilenyapkan, sebelum mengatakan perkiraannya.
Makin tak terbantah keinginan untuk memusnahkan Mahapatih.
Yang ternyata musuh dalam segala hal.
"Sayang... "Memang seribu sayang, Mahapatih....
"Kalau saja Raja mau mendengar barang sepatah dari Mahapatih Nambi yang perkasa, kejadiannya tak akan berlarut-larut...."
"Apakah Raja tidak berkenan hatinya?"
"Hamba berdosa kalau mengatakan hal ini."
"Apa alasanmu mengatakan bahwa Raja kurang berkenan denganku"
"Apakah pengabdianku selama ini dianggap kurang?"
"Sedikit pun tidak."
"Apakah karena aku tidak segera menghaturkan semua perawan Lumajang ke Keraton?"
"Rasanya juga bukan."
"Bagiku mengundurkan diri pun bukan soal besar.
"Apakah kamu yang naik menjadi mahapatih atau cacing tanah, kalau itu kehendak Raja, tak ada yang menghalangi.
"Kenapa lagi" "Apa alasannya"
"Karena aku senopati yang berasal dari Baginda?"
"Semua senopati juga begitu, Mahapatih...."
"Lalu apa dasar pemikiranmu sehingga mempunyai perkiraan Raja tak berkenan denganku?"
Halayudha meneguk ludah. Kelu. Mahapatih menunggu. Gelisah. "Raja pernah menyebut-nyebut Bapa Pranajaya...."
Dahi Mahapatih berkerut. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mendadak terasa ada yang menyodok di perut.
Pandangannya seperti berkabut.
"Apa kamu tidak salah dengar?"
"Mudah-mudahan demikian...."
Sepi. Tak ada bunyi. "Hal... Halayudha, apa yang disabdakan Raja?"
"Pernah diucapkan bahwa Bapa Panji Panjarakan lebih mengagungkan batu di Desa Ganding...."
Mahapatih meringis. Bibirnya menjadi tipis. Mendesiskan suara berdesakan dari dada.
Ini memang merupakan bagian yang paling peka dalam kehidupan Mahapatih Nambi, yang bahkan tak mau diingat sedikit pun. Karena sangat menyakitkan.
Ayahnya Pranajaya, adalah prajurit Keraton yang selama hidupnya mengabdikan diri di Keraton. Sejak masih di Singasari, sampai kemudian mengikuti Raden Sanggrama Wijaya mendirikan Keraton Majapahit bersama dirinya, putranya.
Mahapatih Nambi merasakan getar ketulusan yang tumbuh dari sanubari yang dalam. Sampai ketika lahirnya Bagus Kala Gemet, dan prajurit tua yang selama itu patuh, mendadak mengajukan pengunduran diri dengan alasan sudah tak sanggup lagi mengabdi.
Padahal saat itu Baginda Kertarajasa mengangkatnya sebagai sesepuh di Daha untuk mengasuh Bagus Kala Gemet.
Geledek tengah hari tak membuat Senopati Nambi, saat itu, seterkejut mendengar penolakan ini. Tak disangsikan sedikit pun bahwa ayahandanya masih cukup kuat untuk mengabdi. Bahkan ilmu silat dan pengetahuan keprajuritannya makin menjadi.
Tapi itulah jalan yang dipilih.
"Bapa tak bisa bicara, Nambi.
"Teruskan mengabdi sebab kamu prajurit.
"Bapa sudah bukan prajurit."
Hanya itu. Dugaan yang berkembang menjadi kepastian adalah penolakan Senopati Pranajaya akan pengangkatan Bagus Kala Gemet sebagai putra mahkota pewaris takhta.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Senopati Nambi tak bisa melupakan peristiwa itu.
Tak bisa melupakan sedikit pun, meskipun perlahan-lahan berita tentang pembangkangan halus tak lagi dibicarakan.
Namun, kejadian yang sama terulang kembali.
Itu terjadi saat dirinya diangkat menjadi mahapatih.
Tata upacara yang gegap gempita itu tak dihadiri oleh senopati tua yang telah mengundurkan diri. Beberapa kali utusan ke Panjarakan tak mendapat jawaban.
Bahkan senopati tua itu memilih mengundurkan diri ke Desa Ganding, karena, seperti dikatakan, ingin menikmati pemandangan desa yang berbatu-batu indah.
Senopati, dan kemudian Mahapatih, Nambi menerima sebagai kenyataan yang tak mungkin diubah. Ayahnya tak pernah berkata dan bersikap lain dari isi hatinya.
Perlahan, diusirnya perasaan bersalah dalam hatinya. Karena merasa tak ada yang memedulikan dan menanyakan.
Sungguh tak nyana, bahwa Raja Jayanegara ternyata teringat.
Seperti yang dikatakan Halayudha.
Halayudha! Yang merasa beruntung selalu berada di Keraton sehingga mendengar segala kabar, dan bisa memanfaatkan!
Halayudha! Orang yang bisa memuji dirinya karena merasa berhasil.
"Maaf, Mahapatih....
"Saya pernah mengajukan nama Mahapatih untuk mengobati Praba Raga Karana...."
"Dan Raja menggeleng?"
"Raja Jayanegara mengatakan, apakah orang yang tidak bisa menyembuhkan ayahnya bisa menyembuhkan orang lain?"
Tangan Mahapatih terkepal.
Matanya memancarkan sinar kesal.
"Apakah Raja Jayanegara menganggap Bapa kurang waras"
"Itu yang kamu katakan, Halayudha?"
Percakapan Rasa Istri KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
PADA saat yang sama, di tempat yang berbeda, Senopati Tanca memasuki tempat tinggalnya.
Sebuah rumah di dekat dinding benteng.
Tenang. Tenteram. Seperti sediakala. Tak ada selembar daun di pelataran, tak ada rumput yang tumbuh sembarangan. Tak ada ranting yang menjulur lebih dari yang lain.
Juga di ruangan dalam. Semua tertata apik, peni, asri, sejuk dalam pandangan.
Seperti biasanya pula, Nyai Tanca sudah duduk menunggu di ruangan dalam. Sudah berdandan, sudah membersihkan tubuhnya yang tampak makin gemuk singset dalam kemben yang menekan secara pas. Punggung dan setengah dadanya terbuka, memperlihatkan kulit yang teramat sempurna. Seperti juga sanggulan rambutnya.
Wajahnya menunduk, akan tetapi sekilas pun orang yang melihat pertama-tama akan memperoleh kesan kesabaran, kepasrahan. Sikap menerima segala sesuatu dengan tenang.
Nyai Tanca menyorongkan daun sirih.
"Nyai.. ." "Saya tahu Kakang akan segera berangkat, karena kewajiban.
"Tidak ada salahnya Kakang nginang barang segagang daun sirih."
Senopati Tanca mengangguk pelan.
Mengenakkan duduknya, pelan.
Kalimat yang perlahan, yang diucapkan Nyai Tanca tanpa tekanan tertentu, bisa berbunyi di hati suaminya. Bukan karena kebiasaan saja, melainkan karena rasa yang tumbuh dan saling bisa menangkap.
Bahkan andai Nyai Tanca tidak menyodorkan tempat sirih, Senopati Tanca mengetahui bahwa ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
Sesuatu yang sangat mendesak.
Mata bulat Nyai Tanca, serta sorot pandangan yang seakan tidak memperlihatkan perubahan dari biasanya, memberikan arti lain.
"Saya hanya menjalankan kewajiban, Nyai...."
"Saya mengerti, Kakang.
"Saya turut berdoa bersama langkah kaki Kakang."
"Bukan kewajiban yang menyenangkan."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tidak semua kewajiban harus menyenangkan.
"Adakalanya menyenangkan, adakalanya kurang menyenangkan.
Namanya saja kewajiban."
Tak ada nada menyesali. Tak ada nada menghakimi dengan penilaian.
Justru sebaliknya, mendukung apa yang akan dilakukan Senopati Tanca.
"Ya, Nyai...." "Kakang akan berangkat sekarang juga?"
"Ya, Nyai...." "Berangkatlah segera, Kakang."
Senopati Tanca mengangguk.
"Sebelum gelap malam, saya bisa sampai di tujuan."
"Hati-hati, Kakang."
Senopati Tanca menghela napas.
Agak keras. Dan mengembuskan. Perlahan. "Saya prajurit yang menjalankan kewajiban dan pengabdian.
"Lebih mudah mengalami peperangan, lebih mudah dihitung kepahlawanan."
"Kakang..." "Saya tahu, Nyai tidak memberati pikiran saya.
"Ah, berapa lama sudah kita hidup bersama, Nyai" Berapa lama kita mengerti rasa hati masing-masing" Berapa lama saya menyadari suara hati wanita"
"Percakapan rasa wanita, terutama sebagai istri, bisa saya tangkap tanpa diucap.
"Ada sesuatu yang mengganggu dengan tugas semacam ini.
Mencarikan jamu, mengobati gundhik yang..."
"Kakang, seorang tabib menemukan kemurahan Dewa untuk menolong sesama.
"Apa artinya Kakang menjadi tabib kalau tak mau menolong orang yang membutuhkan?"
"Itu betul sekali. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Akan tetapi saya menangkap suara hati Nyai...."
"Saya tak..." Saya menangkap suara hati yang mendengung dari rasa kewanitaanmu.
"Apakah bukan kesalahan kalau saya mencari obat untuk Praba Raga Karana"
"Lebih tepat lagi, apakah tepat pengabdian kepada Raja untuk hal-hal semacam ini...."
Hening, tapi udara terasa menghangat.
"Apakah ada gunanya menolong seorang lelaki, yang harusnya menjadi panutan, menjadi teladan, selalu mengumbar nafsu asmara"
Praba Raga Karana, atau sepuluh Praba...."
"Kakang..." "Saya tahu." "Kakang... Raja adalah sesembahan, adalah segalanya. Dalam mimpi pun kita tak boleh meragukan kalau tak ingin dikutuk Dewa."
"Apa yang tersisa dalam rasa batinmu, Nyai?"
"Tak ada, Kakang...."
"Tak ada" "Tak ada. "Kamu tidak berkeberatan saya mengobati Gusti Praba?"
"Sama sekali tak ada rasa menahan...."
"Atau karena junjungan kita Putri Tunggadewi?"
Nyai Tanca menghela udara dari dadanya.
Matanya berkaca-kaca. Pandangannya menderita. Tak ada suara. "Saya merasa itu semua, Nyai.
"Inilah siksaan yang berat. Apalagi Nyai menunjukkan rasa yang sesungguhnya.
"Ah!

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hampir sepanjang usia, kita selalu bersama. Dan selama ini, Nyai tak pernah tidak mendoakan semua tindakan saya secara tulus, secara rela, secara ikhlas. Sejak pertarungan mengikuti Baginda, sampai yang terakhir ketika Senopati Tantra berusaha masuk ke Keraton.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dalam tawanan, dalam pengasingan, Nyai selalu menyertai dengan doa dan puji.
"Tak pernah Nyai menahan bayang-bayang tubuh yang melangkah.
"Baru sekali ini. "Tanpa diucapkan. Tapi saya menangkap getar rasa Nyai.
"Nyai..." Suara Senopati Tanca terdengar gemetar.
"Putri Tunggadewi adalah junjungan kita semua.
"Lebih dari itu, putri junjungan kita adalah putri Baginda. Demikian juga Raja di mana saya mengabdi sekarang ini. Dewa segala Dewa akan mengutuk sampai turunan yang terakhir.
"Apa lagi yang akan terjadi jika manusia tak bisa dibedakan dari binatang?"
Bibir Nyai Tanca gemetar.
Ada kalimat yang tak sanggup diucapkan.
"Nyai kalau ada telinga lain yang menempel di lantai dan mendengarkan serta melaporkan, saya merasa bersyukur. Karena dengan demikian ada yang menyampaikan peringatan, sebelum kiamat kobra, kiamat habis-habisan datang.
"Kutukan itu terjadi tidak pada satu atau dua orang yang menjalani, akan tetapi seluruh Keraton. Sampai ke keturunannya yang terakhir.
"Nyai, ini yang akan Nyai katakan dengan lidah.
"Tapi saya bisa mendengar sebelum menjadi kata-kata.
"Nyai..." "Kakang, semuanya belum tentu benar.
"Putri junjungan kita memang dikurung Raja. Beberapa perawan memang disowankan. Akan tetapi, rasa-rasanya..."
"Mudah-mudahan Nyai benar.
"Akan tetapi jika semua itu terbukti, Nyai, tangan saya sendiri yang akan menumpas petaka itu."
Nyai Tanca bergoyang tubuhnya.
Tersandar ke tiang tanpa tenaga.
"Saya tak akan menarik kata-kata.
"Tangan saya sendiri yang akan basah oleh darah."
Air mata Nyai Tanca meleleh.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Nyai..." "Kakang, saya tidak pernah menyesali apa yang Kakang ucapkan. Ke mana Kakang melangkah, di mana Kakang berada, di situ saya menitipkan hidup saya."
Senopati Tanca berdiri. "Saya salah seorang dharmaputra, dan tak akan bergeser seujung rambut pun.
Nyai Tanca tetap menunduk sampai suaminya lepas dari pandangan.
Kisah Bangsa Petualang 14 Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Misteri Bayangan Setan 12
^