Pencarian

Senopati Pamungkas Dua 12

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 12


Agak lama baru berdiri, menuju ke bagian belakang. Mencuci tubuh, mencuci rambut, membersihkan kuku, dan mengenakan kemben warna putih dengan rambut terurai.
Hanya asap dupa yang menemani.
Hanya puji dan doa yang menyertai.
Hanya persatuan rasa suami-istri yang berhubungan, mencoba menemukan satu arti.
Percakapan Rasa Ibu PERMAISURI INDRESWARI sengaja berdiam lama di kamar Praba Raga Karana, sehingga Raja Jayanegara yang tak sabar menunggu terpaksa menemui.
Keduanya tidak berpandangan.
Raja Jayanegara berada di sisi pembaringan Praba Raga Karana, sementara Permaisuri Indreswari duduk di bawah.
Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua.
"Praba akan segera sembuh, Putraku Raja...."
"Ibu mau menyebut namanya?"
"Kalau itu sudah menjadi kemauan Putraku Raja, siapa yang bisa menghalangi"
"Kalau itu menjadi kebahagiaan putraku, apa seorang ibu tega membebani"
"Seorang ibu tetap seorang ibu. Tak bisa berubah."
Raja Jayanegara tak terpengaruh oleh kalimat yang digetarkan dengan perasaan penuh.
Ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya.
"Praba akan kembali sehat?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ibu percaya kemurahan Dewa.
"Sepenuhnya." "Cukup. "Ibu mau kembali ke kamar?"
"Ibu akan ke Simping."
Raja Jayanegara hanya menggerakkan alisnya.
Permaisuri Indreswari merasa terpukul ulu hatinya. Merasa tercekik lehernya. Merasa terbanting ke tanah berlumpur.
Pilihan untuk mengikuti Baginda ke Simping adalah pilihan yang paling hina, paling menyakitkan hatinya.
Betapa tidak. Di saat Baginda menyingkir, atau tersingkir ke Simping, saat itu ia memilih berada di Keraton. Sehingga semua penilaian buruk tertuju ke arahnya.
Itu semua diterima dengan lapang dada.
Demi putranya. Demi terwujudnya impian dan kenyataan dari doa-doanya.
Tapi kemudian dirinya dicampakkan. Putranya yang dikasihi, tumpuan segala puji, tidak menghendaki.
Itu semua diterima dengan tabah.
Demi putranya. Demi kelangsungan kejayaan putranya.
Baginya, apa yang dilakukan putranya adalah sesuatu yang berada dalam batas-batas kewajaran. Batas-batas yang dimungkinkan bagi seorang raja.
Hatinya, hati seorang ibu, masih bisa menerima.
Biarpun terluka. Biarpun tersisihkan. Akan tetapi kemudian merasa sia-sia. Merasa bahwa dirinya tak bisa berbuat apa-apa setitik pun.
Itulah sebabnya diputuskan untuk menuju Simping. Menuju ke tempat di mana dirinya akan menerima perlakuan yang tidak menyenangkan, di mana dirinya akan menerima kehinaan yang nista.
Sebagai permaisuri yang tak bekti, tak setia, tak mempunyai harga.
Tapi barangkali itu masih lebih berarti daripada di Keraton.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dan sungguh luar biasa! Pilihan yang begitu menyedihkan, tak membuat putranya bereaksi sedikit pun. Tak membuat putranya bertanya kenapa!
Batas kasih seorang ibu telah habis.
Telas, tuntas. "Putraku Raja, Ibu minta izin...."
Raja Jayanegara mengangguk.
"Segala keperluan Ibu akan tersedia."
Rasa sakit yang makin tak tertahankan.
Kenapa justru soal keperluan, soal prajurit yang mengantar, emas-berlian sebagai bekal yang dipersoalkan"
"Putraku Raja. "Ibu berangkat segera. Biarlah Tunggadewi dan Rajadewi menemani Ibu...."
Raja Jayanegara terbatuk.
Tangannya masih mengelus Praba Raga Karana.
"Saya tahu ke mana Ibu bersabda.
"Bagi saya Tunggadewi berada di mana pun tak ada gunanya."
"Putraku Raja. "Jadi benar apa yang Ibu dengar?"
"Apa yang Ibu dengar?"
"Bahwa Tunggadewi, saudaramu sendiri..."
"Apa bedanya?" Permaisuri Indreswari benar-benar merasa tercekik.
Pandangannya membelalak, napasnya mengeluarkan bunyi sebelum tubuhnya jatuh.
Sesaat sebelum jatuh pingsan, serasa selaksa matahari bertabrakan di depan matanya. Menyilaukan, membutakan, mematikan seluruh rasa.
Terutama sekali rasa seorang ibu.
Terobek, compang-camping, leleh, dan lebur berdebu!
Tak tersisa. Hatinya tak kuat menahan semua kenyataan yang paling dicemaskan.
Kenyataan yang oleh putranya dikatakan "apa bedanya?". Betapa ajaibnya. Bisa terjadi hal semacam itu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Betapa telah terputusnya hubungan rasa ibu dengan putranya selama ini.
Segala apa bisa dan boleh terjadi. Beringin utama ditumbangkan, payung kebesaran dipasang di alun-alun, semua perawan dibawa ke Keraton.
Semua itu masih bisa diterima.
Akan tetapi, akan tetapi, akan tetapi, bukan Tunggadewi atau bahkan juga Rajadewi.
Karena dalam hubungan ini rasa yang bertahan dan hidup adalah rasa ibu. Rasa sayang yang tak terhingga, yang paling tulus. Tetapi ternyata, ternyata sia-sia.
Itu sebabnya tubuh Permaisuri Indreswari tak kuasa menahan beban hantaman kenyataan. Tubuhnya digotong ke luar, dirawat dengan sangat teliti, ditunggui dengan doa yang masih ada.
Namun Permaisuri Indreswari seperti tak merasakan semua ini.
Di jagat ini, wanita yang paling hina dan sengsara, yang dikutuk semua Dewa, adalah tubuhku ini. Bukan Praba Raga Karana, bukan Rajapatni, bukan Nyai Demang, bukan Ratu Ayu, bukan Tunggadewi.
Tetapi aku. Aku. Akulah wanita itu. Karena aku yang melahirkan putraku.
Dewa segala Dewa, masihkah tersisa pengampunan bagiku, bagi putraku"
Dewa segala Dewa, apa yang masih bisa...
Suara batin Permaisuri Indreswari, suara batin seorang ibu, tak selesai. Tak ada lagi kekuatan untuk meneruskan.
Betul-betul habis gusis. Bahkan kekuatan untuk menghentikan napasnya sendiri tak ada lagi.
Sementara Raja Jayanegara tak merasakan rasa yang dimiliki ibunya.
Raja Jayanegara menunggui di samping Praba Raga Karana, mengelus dahi, memandang dengan dendam dan kecemasan.
"Praba, Praba... "Apa keinginanmu" Apa maumu"
"Katakan sekarang ini juga. Isyaratkan. Ingsun bisa berbuat apa saja bagimu, Praba.
"Tutupkan kelopak matamu, jika kamu mendengar apa yang kukatakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tutup sebentar, Praba, sebagai isyarat...."
Tak ada reaksi. Mata Praba Raga Karana terbuka dan kosong.
"Kamu ingin aku pergi dari kamar ini"
"Tutup matamu sebentar jika ya jawabnya."
Tetap menatap, terbuka. "Kamu ingin Keraton ini diratakan dengan tanah"
"Kalau itu keinginanmu, isyaratkan.
"Kalau tidak, isyaratkan dengan menutup."
Tak ada reaksi. "Jadi kamu ingin Keraton ini rata dengan tanah?"
Mata tetap terbuka. Tanpa rasa.
Raja Jayanegara menyandarkan tubuhnya ke dinding. Memandang sekeliling.
Mendadak bangkit. Meninggalkan kamar Praba Raga Karana. Bergegas. Menuju kaputren.
Sampai di depan kamar Tunggadewi, Raja Jayanegara tidak memperlambat geraknya. Kedua tangannya membuka pintu dengan paksa.
Lalu melangkah ke dalam. Pandangannya liar. Seluruh dendam membakar dan menjalar lewat gerakan tubuh dan urat-urat di wajahnya.
Para dayang menyembah rata dengan lantai.
Napas Raja Jayanegara menyulut sampai ke seluruh sudut.
"Tunggadewi, ingsun datang, sambutlah...."
Tak ada jawaban. Raja Jayanegara berpaling ke arah prajurit kawal pribadi yang selalu menyertai.
"Gantung semua yang ada di dalam kamar ini!
"Sekarang! "Ingsun akan melihat sendiri.
"Sekarang!" Percakapan Rasa Permaisuri
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
PADA saat yang bersamaan, di tengah perjalanan, Rajapatni mendadak menghentikan langkahnya.
Jari-jari tangannya bergerak perlahan ke arah Gendhuk Tri dan Ratu Ayu.
"Saya keliru mengambil arah.
"Adik Tri, Ratu Ayu, maafkan... Arah perjalanan saya seharusnya ke Simping."
Gendhuk Tri mengelus rambutnya.
"Apakah Gusti Permaisuri lebih mementingkan mengabdi suami daripada menyelamatkan putri-putrinya?"
Rajapatni tersenyum tipis.
"Itulah jawabannya, Adik Tri.
"Pertama-tama saya adalah permaisuri Baginda. Batin saya lelah mengalami pertarungan. Letih. Tapi tidak kalah.
"Saya telah memenangkannya.
"Pilihan saya adalah mendampingi Baginda."
"Di saat Baginda merelakan putrinya dari pengawasan, bukankah..."
"Adik Tri, yang ayu manis merak ati.
"Berat, sangat berat pilihan ini. Akan tetapi inilah yang terbaik saat ini, saat selanjutnya.
"Saya dilahirkan dan dididik untuk menjadi permaisuri. Itulah ajaran yang pertama dan satu-satunya.
"Kalau Adik Tri mau meneruskan perjalanan ke Keraton, saya silakan.
Saya bisa meneruskan perjalanan sendiri."
"Itu lebih baik," tutur Ratu Ayu dengan suara lembut.
"Terima kasih atas bantuan kalian berdua selama ini.
"Saya lebih menemukan rasa persahabatan, kekeluargaan, kewanitaan yang sesungguhnya dalam perjalanan ini.
"Terima kasih, Adik Ayu....
"Terima kasih, Ratu Ayu....
"Terima kasih...."
Rajapatni merangkapkan kedua tangannya.
Gendhuk Tri mengangguk. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau itu pilihan Gusti Permaisuri, saya tak bisa menghalangi.
Barangkali tekad dan sikap kepala batu ini yang dulu membuat Kakang Upasara Wulung tak pernah bisa memalingkan wajah ke arah lain.
"Tetapi saya tak bisa melepaskan begitu saja.
"Sekurangnya saya akan mengantarkan sampai Simping. Setelah itu, apa pun yang terjadi, bukan urusan saya."
Gendhuk Tri memandang ke arah Ratu Ayu.
"Silakan Ratu Ayu meneruskan perjalanan."
"Kalian ini wanita-wanita yang aneh.
"Sebentar ke timur, sebentar ke barat. Sebentar gusar, sebentar menerima.
"Kita ini, kaum wanita, selalu aneh.
"Juga di mata kaum kita sendiri.
"Barangkali tak perlu kita persoalkan kenapa Rajapatni memilih ke Simping. Tak akan membuahkan pengertian, tak akan mengubah pemahaman.
"Kalau ada sesuatu yang menyamakan kita, kita semua ini terpesona dan bisa mengagungkan Raja Turkana.
"Itu saja. "Selebihnya kita jalan sendiri-sendiri.
"Dengan keanehan dan keganjilan kita, dengan hati dan rasa wanita kita masing-masing.
"Untuk apa mengikuti ke Simping, kalau ada yang lebih bisa diselamatkan"
"Tapi pertanyaan itu juga tak perlu.
"Saya, permaisuri yang sesungguhnya Raja Turkana, tak mempunyai dendam dan hubungan apa pun dengan Raja Jayanegara. Bahwa Putri Tunggadewi pernah disayangi Raja Turkana itu soal lain.
"Tapi selebihnya tak ada.
"Baik. "Baik. "Kita berpisah di sini...."
Ratu Ayu Bawah Langit merangkapkan kedua tangannya di depan dada, lalu membungkuk dalam.
Gendhuk Tri dan Rajapatni membalas bersamaan.
Sebelum Rajapatni berdiri tegak, bayangan Ratu Ayu telah lenyap.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tinggal mereka berdua. Yang kemudian meneruskan perjalanan tanpa saling berbicara.
Meskipun banyak yang menggoda untuk saling dipercakapkan.
"Adik Ayu manis merak ati.
"Barangkali ini perjalanan bersama kita yang terakhir. Setelah saya masuk ke Simping, saya tak tahu di titisan mana kita bisa bertemu lagi.
"Akan tetapi, saya bersumpah di bawah langit, disaksikan semua penghuni bumi, disaksikan semua Dewa, saya rela, ikhlas, menerima sepenuhnya Adik Ayu, Adik Tri, bergandengan dengan Kakangmas Upasara Wulung..."
Wajah Gendhuk Tri berubah.
Tak bisa ditebak apa perasaan hatinya.
Rajapatni seperti mendesis, mengutarakan pilihan kata yang merobek hatinya.
"Adik Ayu, Adik Tri yang manis merak ati.
"Maaf kalau saya katakan, selama ini sayalah yang merasa memiliki Kakangmas Upasara Wulung, karena merasa Kakangmas Upasara yang paling memenangkan asmara saya.
"Rasa itu tak pernah berkurang setitik pun.
"Juga saat Kakangmas Upasara bersama Nyai Demang untuk beberapa saat. Juga saat Kakangmas Upasara melangsungkan pernikahan dengan Ratu Ayu Bawah Langit. Saat Adik Ayu Tri memujanya.
"Di atas itu semua, saya merasa saya yang tetap memiliki asmara Kakangmas yang paling tulus dan murni.
"Maaf... "Akan tetapi selama ini saya keliru.
"Keliru besar. Salah arah.
"Daya asmara yang sengaja saya simpan, saya kenang, hanya memberati Kakangmas Upasara. Hanya mengganggu perjalanannya sebagai ksatria utama, sebagai lelananging jagat.
"Adik Ayu Tri, kamulah wanita yang bisa mendampingi Kakangmas, menyertai dan mengangkat serta merasakan kebahagiaan tanpa beban.
"Lebih dari Ratu Ayu, lebih dari saya.
"Demi Dewa, saya rila lahir-batin, ikhlas tulus lahir-batin."
Bibir Gendhuk Tri rapat. "Gusti Permaisuri..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya tak bisa bercerita sekarang.
"Tetapi kalau ada apa-apa, di kelak kemudian hari, maukah Adik Tri mendampingi Kakangmas Upasara...?"
"Saya tak pernah mengabulkan keinginan orang lain, apalagi sesama wanita, dalam soal asmara... Kecuali kalau itu sama dengan keinginan saya sendiri."
"Ya. "Maukah Adik Ayu membimbing Tunggadewi?"
"Itu yang pertama akan saya lakukan, sebelum kita berbalik ke Simping."
"Ya. "Maukah Adik Ayu Tri memaafkan saya?"
"Itu yang saya tidak tahu.
"Tergantung apa yang harus dimaafkan."
Rajapatni mengangguk. "Ya. "Ya. "Ya." Untuk selanjutnya Rajapatni memilih berdiam. Bersemadi. Juga ketika melanjutkan perjalanan.
Justru pada saat itu sebenarnya hati Gendhuk Tri terusik. Apa tujuan Permaisuri Rajapatni menyinggung-nyinggung Upasara Wulung" Adakah yang disembunyikan selama ini"
Ada kecurigaan semacam itu sejak awal.
Tapi tak tahu di mana, dan sejauh mana.
Akan tetapi keikhlasan dan sumpah Rajapatni menggetarkan batin Gendhuk Tri. Sumpah seorang permaisuri, sumpah seorang wanita yang selama ini berjanji pun sulit.
Pertanyaan dalam hati Gendhuk Tri tak terjawab saat itu.
Karena begitu memasuki Desa Simping, yang segera menyambut adalah pemandangan yang mengerikan.
Pedukuhan Simping seolah menjadi rata dengan tanah.
Hancur bagai disapu dengan lidi logam yang perkasa.
Segera Gendhuk Tri meneliti apakah masih ada yang bisa ditolong.
Sebagian prajurit telah mati mengenaskan. Anggota tubuhnya tercerai.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bekas-bekas yang ditinggalkan menjadi bukti jelas bahwa para prajurit berusaha mempertahankan diri dengan mati-matian hingga pengabdian yang terakhir.
Gendhuk Tri mengeluarkan suara tertahan.
Di antara mayat-mayat yang terbaring kaku, matanya mengenali salah seorang yang membuatnya bergidik.
"Paman..." Suaranya menggeletar ketika bersujud di samping mayat yang dadanya berbekas puluhan luka. Sebagian luka telah mengering kental.
Yang membuat Gendhuk Tri tak mengerti ialah bahwa jumlah luka di dada berjumlah belasan. Seakan korban ditusuk berulang kali secara kasar.
"Paman... Paman Wilanda...."
Siung Naga Bermahkota TUBUH Gendhuk Tri menggigil. Bahunya bergerak-gerak menahan guncangan yang menggempur batinnya.
Kematian bukan sesuatu yang luar biasa ganjil dalam perjalanan kehidupannya. Hanya saja kali ini sukmanya tergetar hebat, terguncang keras Mayat Wilanda menumbuhkan pertanyaan besar, kekesalan berat yang menggemuruh secara tiba-tiba. Wilanda. Seorang paman yang baik hati yang tidak mempunyai polah macam-macam dalam hidupnya, tidak memusuhi dan memancing permusuhan.
Rasanya seumur hidup Wilanda, seperti juga Paman Jaghana, tidak akan berbuat jahat. Juga tidak secara sengaja turut campur urusan orang lain.
Hanya dalam keadaan sangat mendesak, yang mengguncang masalah mendasar, menyebabkan mereka terjun ke gelanggang.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi"
Bahwa Wilanda bisa sampai ke Simping, akan bisa ditelusuri.
Sekurangnya bisa diperkirakan, bahwa Wilanda berusaha menahan serangan yang datang untuk melindungi Baginda.
Dan dari bekas-bekasnya, kejadiannya belum lama berlalu.
Gendhuk Tri mengakui kepekaan batin yang dimiliki Permaisuri Rajapatni yang mendadak menuju ke Simping. Kalau saja mereka berdua lebih cepat, bukan tidak mungkin akan lain jalan ceritanya.
Atau menemui nasib yang sama"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bekas-bekas pertempuran yang hebat tidak menunjukkan bahwa telah terjadi perlawanan dalam waktu lama.
Ini berarti lawan yang menyerbu cukup sakti. Sehingga bisa memusnahkan pasukan kawal dalam waktu singkat dan serentak. Yang lebih mengejutkan, semuanya meninggalkan luka yang sama dengan yang diderita Wilanda.
Gendhuk Tri memandang sekeliling.
Tak ada siapa-siapa. Bahkan bayangan Permaisuri Rajapatni pun tak ada.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah sejak kapan perginya. Pikiran Gendhuk Tri terserap oleh keterkejutan menemukan Wilanda yang sudah meninggal dunia.
Ketika memandang kiri-kanan tadi, pandangannya menemukan sepasang tombak yang sengaja didirikan. Gendhuk Tri mendekat, dan segera mengenali bukan tombak yang biasa dipergunakan prajurit kawal Keraton.
Yang lebih menarik, di ujung kayu ada ukiran kecil bergambar naga merah yang seolah siap menerkam. Yang menonjol adalah ukiran siung, atau taring.
Jelas bahwa tombak itu sengaja dipajang untuk menunjukkan siapa yang datang menyerbu.
Naga yang diwarnai merah"
Apakah masih ada lagi pendekar dari Tartar yang datang" Gendhuk Tri mempunyai dugaan ke arah itu. Baik karena sedikit-banyak ia mengenal simbol naga ketika mengenal Raja Segala Naga, atau karena rasa-rasanya yang sekarang mungkin melakukan pembasmian hanyalah lawan dari Tartar, Syangka, maupun tanah Hindia. Sangat mungkin sekali karena sasarannya adalah Baginda.
Kalau benar begitu, perjalanan ke arah ketenteraman Keraton masih lama.
Sejauh ini, Gendhuk Tri hanya menemukan dua kejadian ganjil. Ini yang kedua. Yang pertama adalah hadirnya tokoh yang tak dikenali asal-usulnya, yang menuliskan "ucapan selamat datang" ketika rombongan memindahkan mayat Upasara Wulung.
Sampai sekarang tokoh itu belum bisa diraba asal-usulnya.
Kini, yang lebih jelas, tokoh yang memakai simbol siung naga, yang sebagian diukir dan diberi warna merah. Warna darah, kemarahan, dendam.
Gendhuk Tri meloncat, mengitari keadaan sekitar.
Sepi. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak ada bayangan siapa-siapa.
Tidak juga Permaisuri Rajapatni.
Gendhuk Tri kembali ke tempat semula, menguburkan jenazah Wilanda dengan segala hormat dan puji. Setelah itu menyeka wajahnya, mengencangkan sanggul di rambutnya.
Tak ada pilihan lain. Menuju ke arah pertarungan.
Kini bukan soal apakah hatinya berpihak kepada Baginda atau tidak.
Segala perselisihan batin, besar atau kecil, terhapus dengan sendirinya.
Seperti juga Wilanda, Gendhuk Tri merasa terpanggil untuk membela kehormatan Baginda.
Tak terlalu sulit menemukan jejak-jejak yang agaknya sengaja ditinggalkan. Gendhuk Tri mengikuti dengan hati-hati, karena mengetahui bahwa si siung naga, atau siapa pun, bukan lawan yang sembarangan. Apalagi kalau dilihat caranya yang ganas dan telengas dalam menewaskan siapa yang menghalangi.
Setengah perjalanan, Gendhuk Tri berhenti.
Ia sadar keliru mengikuti jejak. Karena jejak itu makin lama makin samar, bukannya makin jelas. Dan arahnya menuju... Kedung Amba!
Apa hubungannya dengan Gua Kencana"
Gendhuk Tri ragu. Meneruskan perjalanan ke Gua Kencana atau kembali ke Simping dan mengurut kembali jejak yang ada.
Jalan pikirannya kembali ke asal. Bahwa yang lebih penting adalah menolong Baginda. Apa pun yang terjadi di Gua Kencana, tak akan terlalu berpengaruh. Lebih banyak membuang waktu karena makin jauh dari Baginda.
Tak ada kemungkinan lain kecuali mengikuti jejak ke arah Lodaya, di susuran Kali Brantas. Dugaannya menguat ke arah sana.
Ternyata tak keliru terlalu jauh. Sepenanak nasi ia melakukan perjalanan, bukti-bukti yang ditemukan makin banyak. Dan itu berarti jajaran mayat yang meninggal karena luka yang sama. Seperti digigit siung naga yang jumlahnya banyak sekali sekaligus.
Darah gendhuk Tri berdesir lebih kuat ketika menyaksikan bahwa korban-korban ini sebagian terbesar adalah prajurit dan senopati Keraton. Sebagian lagi para ksatria.
"Yayi, Adik, Gendhuk Tri..."
Gendhuk Tri menoleh ke arah datangnya suara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak salah lihat. Yang berada di depannya memang Pangeran Anom! Di sebelahnya berdiri Senopati Pangsa dan Senopati Banyak, dua dari tujuh dharmaputra.
"Yayi, Adik Tri, kamu datang juga akhirnya...."
Nada suaranya mengandung harapan yang besar, akan tetapi sekaligus juga keputusasaan.
Gendhuk Tri menenangkan hatinya. Ia maju selangkah, menunduk hormat.
"Ketiwasan, Adik Tri....
"Tak ada lagi yang tersisa...."
Pangeran Anom maju terhuyung-huyung. Tiga langkah tubuhnya jatuh terguling. Gendhuk Tri sigap meloncat maju, menyambar tubuh yang terasa mengalirkan hawa panas.
Senopati Pangsa membaringkannya di tempat yang teduh.
"Biarkan saja, Pangeran Anom butuh istirahat...."
Sesungguhnya Senopati Pangsa sendiri butuh istirahat. Juga Senopati Banyak yang tubuhnya bergoyang-goyang.
Barulah kemudian Senopati Pangsa bisa menceritakan dengan sedikit runtut.
Dugaan Gendhuk Tri tak terlalu keliru.
Desa Simping kedatangan dua pendekar dari negeri Tartar bersama dengan sekitar lima belas prajuritnya. Mereka menyerbu ke Gua Kencana, mengobrak-abrik isinya sebelum sampai ke Simping, langsung menjarah Baginda. Perlawanan yang diberikan tak imbang, karena dalam sekejap saja semua bisa ditewaskan tanpa kecuali.
"Termasuk siapa pun yang mencoba menahan serangan tersebut."
Dalam hati Gendhuk Tri sedikit dongkol, karena nama Wilanda tidak terang-terangan disebutkan.
"Kami berusaha mempertahankan sekuat tenaga, tapi kalah.
"Rombongan Pangeran Anom yang menyusul dari Keraton juga berusaha mencegat, akan tetapi tak ada gunanya. Pasukan Tartar yang tidak seberapa jumlahnya bisa menawan Baginda, dan membawanya ke Brantas.
"Kentong titir telah dibunyikan di seluruh wilayah, sehingga tak ada gunung dan lembah yang tak mendengar adanya bahaya. Kini seluruh prajurit, seluruh senopati, seluruh ksatria sedang menuju Brantas untuk merebut Baginda."
"Kecuali Raja."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Senopati Pangsa mengangguk.
"Kecuali Raja. "Tapi semua sudah bergerak. Pasukan yang dipimpin Mahapatih Nambi bersama ayahandanya dan Senopati Halayudha juga menuju ke sana.
"Masih dalam perjalanan.
"Kami tak bisa melanjutkan karena tak mampu berjalan jauh. Akan tetapi sebisa kaki kami melangkah, selebar itulah kami menuju ke sana.
"Jangan hiraukan kami, berangkatlah segera!"
Gendhuk Tri mengelus rambutnya.
Dadanya menyimpan udara yang tertahan.
"Sedemikian hebatnyakah ksatria Tartar sehingga semua tak ada yang mampu menahan?"
"Kami malu, akan tetapi kenyataannya begitu.
"Barangkali hanya pasangan seperti kamu dengan Pangeran Anom, atau Maha Singanada, atau Upasara Wulung yang sanggup mengimbangi mereka."
Gendhuk Tri berusaha menahan diri untuk tidak memberi komentar atau jawaban.
Kehormatan Tertambat di Perahu
BAGI Gendhuk Tri mengenang Upasara, Singanada, atau Pangeran Anom hanya meng-goreh-kan perasaannya. Tanpa menemukan pegangan yang menguatkan landasan gerak hatinya.
Karena kegelisahannya tak bisa diselesaikan dengan cepat. Semakin dipikir, semakin tenggelam, semakin terseret, tanpa tahu bagaimana menghentikannya.
Maka Gendhuk Tri segera menghapus pertimbangan batinnya. Segera memutuskan menuju ke pinggiran Brantas.
Perjalanan yang menggetarkan hati. Karena sepanjang jalan menemukan pemandangan yang memilukan. Wajah-wajah yang ditikam kecemasan, ketakutan tanpa bisa berbuat suatu apa dari beberapa prajurit dan sebagian besar masyarakat setempat yang menyempatkan diri untuk melihat langsung.
Bisa dimengerti, bisa dipahami.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Baginda tokoh pujaan, pemegang kekuasaan atas kehidupan Keraton.
Kalaupun sekarang ini Baginda tidak memegang tata pemerintahan secara langsung, setitik pun tak mengurangi rasa hormat. Betapa menggetarkan, karena sekarang ini Baginda berada dalam tawanan lawan.
Lawan lama yang mempunyai dendam sejak Baginda Raja Kertanegara. Lawan yang selama ini kondang kasusra ing jagat, terkenal di seluruh jagat raya sebagai penakluk dunia. Pasukan Tartar yang pernah ditekuk habis kehormatan dan keperkasaannya oleh Sri Baginda Raja, dan yang kemudian bahkan bisa disingkirkan oleh Baginda kembali ke samudra. Lawan yang tetap ditakuti karena menimbulkan ancaman yang diakui kehebatannya.
Dan sekarang hal itu terjadi.
Sekarang kengerian itu menemukan bentuknya. Baginda, bersama para permaisuri dan beberapa pengikutnya, ditawan! Menjadi korban untuk dipersembahkan ke Keraton Tartar, di tlatah yang tanahnya menyatu dengan langit.
Kalau ini benar terjadi, apa lagi yang tersisa di Keraton ini"
Kehormatan, kebanggaan, kejayaan yang didorong habis semasa Sri Baginda Raja, akan meninggalkan bekas kotor yang tak terhapus sepanjang keturunan.
Maka sebelum itu terjadi, segala apa pun akan dilakukan untuk mencegahnya.
Dalam hal ini, ketakutan itu yang terasakan memadat. Justru karena usaha ke arah itu tampaknya tidak memberikan hasil sedikit pun.
jalan pikiran Gendhuk Tri tidak berbeda jauh dari apa yang berada dalam pikiran yang lain, ketika melihat jelas perahu bertiang tinggi tertambat di pinggir bengawan.
Bukan perahu yang besar sekali, akan tetapi tampak kukuh. Tiang utamanya menjulang tinggi, seakan memamerkan kemenangan yang menyentuh langit.
Di dalam perahu itulah segala kehormatan Keraton berada.
Di sekitar perahu itulah ratusan prajurit bersiap dengan senjata mengepung. Beberapa puluh yang lain berada di sungai, dengan batang kayu, rakit seadanya, bersiap menghadang kepergian perahu.
Sesuatu yang agak mustahil bisa dilakukan.
Karena dengan melihat sekilas saja terasakan, bahwa sekali perahu bertiang tinggi dengan ukiran naga di ujungnya bergerak, rakit-rakit itu akan tersapu dengan sendirinya.
Gendhuk Tri berdeham keras.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jangan bergerak tanpa perintah!" teriaknya keras mengatasi kebisingan suara-suara.
"Kita tidak boleh bertindak sembrono. Urus para prajurit yang terluka. Barisan yang siap berada di depan. Siapa yang menjadi pemimpin di sini?"
"Gendhuk Tri, kamu datang juga akhirnya."
Nyai Demang bersuara keras. Tubuhnya melayang dari tengah rakit menuju ke bagian tepi. Tubuhnya tetap molek, walau wajahnya tampak lebih pucat.
"Mbakyu Demang..."
"Masih ada waktu untuk mengatur siasat. Kita pergunakan prajurit yang ada, kita harus membebaskan Baginda."
"Begitu perahu berlalu, kita akan kehilangan buruan."
Nyai Demang mengangguk. "Ya." "Aneh, kenapa mereka tak segera berangkat?"
"Aku juga berpikir demikian pada mulanya. Kalau tujuan mereka menawan dan membawa Baginda, sekarang saatnya membawa pergi.
Prajurit kita masih tercerai-berai...."
"Ataukah mereka menunggu untuk mengadu ilmu?"
Nyai Demang tersenyum tipis.
"Tidak, rombongan Tartar yang datang kali ini jauh berbeda dengan rombongan-rombongan sebelumnya. Berbeda, bahkan dengan rombongan Raja Segala Naga.
"Rombongan yang datang ini dipimpin langsung oleh Pangeran Hiang, salah satu putra mahkota calon pengantin Raja Tartar yang pernah menaklukkan Jepun dan tlatah Koreyea.
"Pangeran Hiang satu-satunya putra mahkota Kaisar Tartar yang berani memakai umbul-umbul, bendera tersendiri berlambang taring naga. Itu tanda kekuasaan yang akan datang, karena semua putra mahkota, semua pangeran mengikuti umbul-umbul utama. Dengan kata lain, urusannya di sini tidak tertarik untuk mengadu ilmu. Akan tetapi menjalankan tugas semata.
"Apalagi kalau belajar dari rombongan terdahulu, yang justru kalah dan gagal ketika mencoba mengadu ilmu.
"Pangeran Hiang tak akan menempuh risiko itu."
"Jadi apa lagi yang mereka tunggu?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saat yang tepat."
Gendhuk Tri mengernyitkan keningnya.
"Angin. "Sekarang belum saat yang baik. Karena kalau berangkat sekarang di samudra luas menuju Tartar, nanti badai akan menyambut."
Gendhuk Tri mengangguk. Memuji dengan sorot matanya.
"Aku berusaha memahami dari aliran sungai sekarang ini."
"Mbakyu, berarti kita masih ada waktu untuk berusaha."
Kali ini wajah Nyai Demang berubah.
Sebagian rambut yang tergerai di kening dan pelipis tampak memberi kesan muram.
"Semua usaha telah dicoba, akan tetapi bahkan untuk mendekati perahu saja tak ada yang mampu.
"Para senopati, para dharmaputra, bahkan Pangeran Anom pun sudah mencoba. Akan tetapi semua terlempar ke sungai sebelum menyentuh dinding perahu.
"Semua prajurit di sini siap menyetor nyawa demi kehormatan Baginda. Akan tetapi agaknya hanya itu yang terjadi. Dan masih akan terjadi."
Gendhuk Tri mengawasi sekitar.
Makin diamati, makin kuat bukti-bukti yang dikatakan Nyai Demang.
"Apakah Pangeran Hiang begitu sempurna dan tak terkalahkan?"
Nyai Demang berdeham. Berjalan perlahan menuju tempat yang agak teduh. Lalu berusaha duduk. Disusul helaan napas yang panjang.
"Dalam ilmu silat, tak ada yang tak terkalahkan. Sakti bisa terbang seperti rajawali, sakti bisa berenang seperti ikan, beringas seperti kijang, akan bisa dikalahkan.
"Akan tetapi sekali ini lain.
"Adik Tri mengetahui sendiri. Kekuatan yang ada pada kita tidak seberapa.
Para prajurit pilihan yang utama justru tidak berada di tempat. Para ksatria sudah cerai-berai.
"Di samping kita tak ada lagi..."
Nyai Demang tak melanjutkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tangan Gendhuk Tri menggenggam tangan Nyai Demang.
Tanpa dilanjutkan pun, kalimat berikutnya pasti akan menyebut-nyebut nama Upasara Wulung. Keduanya sudah saling mengetahui dan merasakan. "Apakah rombongan Pangeran Hiang kali ini memang pasukan istimewa?" Gendhuk Tri mengalihkan pertanyaan.
"Kukira memang demikian.
"Sejauh yang aku ketahui-dan kamu pasti juga mendengar sedikit-banyak dari Naga Nareswara-nama besar Pangeran Hiang bukan nama kosong. Kalau Keraton Matahari di Jepun bisa ditaklukkan, bisa dikuasai, kita bisa mengukur kemampuannya. Ketika tlatah Koreyea juga dilindas, kita tak meragukan lagi.
"Selama ini Jepun dan Koreyea adalah wilayah yang kelewat angker bagi Tartar. Karena sumber ilmu silat kedua wilayah itu sama dengan di daratan Cina yang sekarang dikuasai Tartar.
"Kemenangan ilmu silat Tartar yang mendasarkan diri pada kekuatan dan kecerdikan menjadi sempurna. Karena setelah membuktikan mampu menguasai ilmu silat Cina yang tiada tandingannya itu, mampu pula mengalahkan permainan silat Jepun dan Koreyea. Berarti dasar-dasar ilmu silat Cina dan kembangan-nya bisa dikuasai dan dikalahkan.
"Lebih dari itu, sewaktu aku mencoba mengadakan pembicaraan, aku mengakui keunggulan mereka. Sekitar dua belas atau tiga belas pengikutnya merupakan pendekar-pendekar pilihan. Selain Pangeran Hiang dan istrinya yang berasal dari Koreyea, rombongan ini memang luar biasa hebat. Bahkan hanya dengan mengandalkan sedikit orang saja berani datang dengan tujuan besar, membuktikan kepecayaan diri yang mantap.
"Gambaran umum yang diketahui, di sana ada tiga lawan utama yang sangat sakti. Pangeran Hiang, Putri Koreyea, dan seorang yang masih belum kuketahui namanya.
"Selebihnya para prajurit atau pendekar biasa. Akan tetapi kemampuan mereka jauh di atas para senopati kita. Aku tidak tahu persis, apakah kalau melawan mereka kita berdua bisa unggul atau tidak."
Prajurit Tua Sina KALI ini Gendhuk Tri yang menghela napas.
"Aku tidak mengecilkan arti kita. Hanya sedikit gambaran bahwa kita berada dalam kondisi terburuk sementara lawan berada dalam kondisi puncak."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri mengangguk. "Berapa lama kira-kira mereka menunggu angin?"
"Sepekan. "Lebih dari itu kita harus melihat arah angin dan arus sungai lagi."
"Apa yang Mbakyu rencanakan?"
Nyai Demang memandang Gendhuk Tri.
"Berdoa. "Tak ada jalan lain."
"Apakah Baginda dan para permaisuri berada dalam keadaan baik-baik?"
"Tak ada yang tahu. "Belum ada yang bisa menyentuh perahu."
Gendhuk Tri menggenggam tangan Nyai Demang.
"Sekarang kita coba."
Gendhuk Tri langsung berdiri. Ia memberi perintah kepada prajurit agar bersiaga di pinggir dan tidak bergerak kalau tidak ada yang memerintah.
Secepat itu pula Gendhuk Tri meloncat ke tengah bengawan.
Tubuhnya melayang enteng sekali. Disusul bayangan tubuh Nyai Demang yang berkelebat. Lompatan Gendhuk Tri sampai sepertiga lebar sungai, dan dengan menotol rakit yang ada, tubuhnya mengapung kembali ke angkasa.
Menuju perahu Siung Naga!
Yang sunyi. Tanpa ada bayangan atau tubuh orang.
Nyai Demang menyusul. Kini semua perhatian tertuju ke tengah perahu besar. Tubuh Gendhuk Tri yang melayang turun mendadak saja berputar keras, membentuk gulungan, ketika tiba-tiba dari lantai perahu menyembur semacam anak panah dan tombak secara berturut-turut.
Gendhuk Tri tidak hinggap di dasar perahu, melainkan di tiang utama.
Seperti juga Nyai Demang.
"Inikah Pangeran Hiang yang perkasa, yang menyambut tamunya dengan sapu lidi?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Teriakan Gendhuk Tri menggema keras.
Nyai Demang mengakui bahwa Gendhuk Tri yang sekarang ini sama sekali tidak meninggalkan sisa sebutan gendhuk. Cara berpikir dan bertindaknya jauh lebih dewasa dari yang selama ini dikenal.
Bahwa dengan hinggap di tiang utama sebagai satu-satunya pilihan, menunjukkan kehebatan itu. Meskipun tadi tubuhnya melayang ke arah geladak, akan tetapi tujuan yang sebenarnya adalah tiang utama.
Sehingga sejak semula mudah memutar. Dan dengan meloncat lebih dulu, Gendhuk Tri memberi kesempatan Nyai Demang untuk membaca apa yang dilakukannya.
Dan bisa mengikuti. Yang tetap sama adalah ketajaman lidahnya, dan kecepatan memanfaatkan situasi.
Nyai Demang mengakui kehebatan ini. Karena memang sejak dulu hanya Gendhuk Tri yang mampu melukai Ugrawe-yang saat itu bahkan bayangan tubuhnya saja tak bisa disentuh. Juga dengan kepintarannya memanfaatkan situasi.
Seperti sekarang ini. Dengan menyebut nama Pangeran Hiang, seolah Gendhuk Tri sudah mengetahui siapa yang dihadapi. Dan memilih menjadi lawan utamanya dengan memancing kegusaran. Karena menyebut Pangeran Hiang menyambut tamunya dengan sapu lidi!
Ini gaya Gendhuk Tri. Sejak di Pesanggrahan Simping, Gendhuk Tri bertanya-tanya dalam hati, senjata apa yang dipakai oleh pasukan Tartar yang bisa menyapu lawan dalam sekejap dan seketika. Bahkan Paman Wilanda juga terluka seketika oleh banyak tusukan secara sekaligus.
Ternyata itu semacam senjata anak panah yang dilepaskan sekaligus.
Senjata itulah yang disebut sebagai sapu lidi.
Yang ketika dilepaskan bersamaan tak bisa menemui sasarannya.
"Pangeran Hiang... Apa masih perlu saya turun menjemputmu"
Apakah tidak akan membuat bayi di perut Putri Koreyea kaget?"
Serangan kedua dengan menyebut-nyebut Putri Koreyea. Perhitungan semata-mata yang membuat Gendhuk Tri meneriakkan soal bayi dalam kandungan.
Jawabannya adalah sunyi. Tak ada apa-apa. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri melihat sekilas ke arah Nyai Demang, lalu meloncat turun Nyai Demang bergerak cepat. Ia mengibaskan kedua tangannya dan meloncat turun ke arah lain.
Kelihatannya. Karena tubuhnya berputar dan kembali hinggap di tiang.
Seperti juga Gendhuk Tri.
Yang menekuk tubuhnya membelok kembali.
Dari lantai perahu mendadak menjeplak kembali luncuran anak "lidi"
yang berbentuk anak panah. Menyambar dari segala sudut!
Sehingga kalau benar Nyai Demang atau Gendhuk Tri menginjak lantai akan dihujani dengan tusukan.
Puluhan jumlahnya. Dari segala arah. Masih disusul dengan tembakan berikutnya. Yang agaknya dilepaskan dari tali busur raksasa, kalau dilihat betapa anak panah itu melesat dengan cepat dan keras.
Bisa dimengerti kalau selama ini tak ada yang bisa menyentuh perahu. Karena sudah diperlengkapi dengan berbagai senjata rahasia yang gawat.
"Mbakyu Demang, mari kita bermain-main ke atas...."
Gendhuk Tri mendaki tiang. Dengan dua loncatan saja.
Nyai Demang berteriak kegirangan seperti anak kecil yang menemukan permainan menarik.
"Aku juga tertarik barang itu."
Benar! Tujuan Gendhuk Tri adalah mengambil simbol naga bertaring yang dipajang di tiang utama!
Dengan perhitungan, kalau bagian yang menjadi simbol perahu ini diganggu, si pemilik akan terpaksa keluar!
Perhitungan yang jitu. Tapi meleset. Pangeran Hiang maupun pengikutnya sama sekali tak terpengaruh oleh itu.
Tak ada reaksi apa-apa dari perahu.
Gendhuk Tri menjadi dongkol. Selama ini boleh dikatakan hampir semua lawan bisa diakali. Bisa dipaksa menuruti kehendaknya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kali ini lain. Benar yang dikatakan Nyai Demang, bahwa Pangeran Hiang berbeda dari semua rombongan Tartar yang pernah datang.
"Karena mereka tak mau datang, biar kita yang masuk, Nyai.
"Ayo...!" Dua tubuh melayang ke bawah.
Nyai Demang berhenti di bagian bawah sekitar dua tombak dari lantai. Sementara Gendhuk Tri terus meluncur ke bawah!
Serentak dengan itu terdengar teriakan kaget dari mereka yang menyaksikan di pinggir sungai.
Serentak dengan itu ratusan anak panah menyebar keras, menghujani dari segala penjuru, disertai kepulan asap.
"Awas!" Teriakan peringatan Nyai Demang menandakan kekuatiran yang dalam. Karena posisi Gendhuk Tri sangat tidak menguntungkan. Dalam keadaan melayang ke bawah, disambut dengan lepasan anak panah dan asap yang memercikkan api, Asap yang melumpuhkan dan membuat Pangeran Anom menjadi panas sekujur badannya.
Lebih berbahaya lagi, karena selama ini belum ada bayangan di mana lawan bersembunyi. Kalau senjata rahasia saja sudah begitu menyulitkan, apalagi tokoh yang bersembunyi. Yang bisa muncul setiap saat dan akan menggasak. Tanpa perhitungan ksatria atau tidak.
Itu sebabnya Nyai Demang kuatir akan kenekatan Gendhuk Tri.
Gendhuk Tri sendiri masih sangsi.
Antara betul-betul mendarat di lantai perahu atau berhenti di tengah seperti Nyai Demang.
Dua-duanya tidak dilakukan.
Karena Gendhuk Tri menjatuhkan kepala naga bertaring, dan dengan satu kaki menginjak, tubuhnya membal kembali ke atas.
Melayang naik. Satu tombak di atas tubuh Nyai Demang.
Pertunjukan mengatur tenaga dalam yang hebat. Karena Gendhuk Tri memakai pijakan untuk kekuatan dari barang yang dijatuhkan!
Dengan cara begitu, bukan saja puluhan anak panah lidi tak menemui sasaran untuk kesekian kalinya, akan tetapi Gendhuk Tri telah membuat Pangeran Hiang merah padam wajahnya. Karena simbol naga bertaring itu yang menjadi sasaran panah lidi dan semburan asap yang mendadak saja menghanguskan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku Prajurit Tua Sina, perlu turun tangan."
Dari daratan terdengar teriakan keras. Disusul, atau bersamaan dengan itu, sesosok tubuh melayang ke atas perahu.
Langsung. Berdiri di lantai. Inilah hebat. Panggilan Prajurit Tua UNTUK pertama kalinya ada orang luar yang mampu menginjakkan kaki di lantai perahu Siung Naga.
Dan orang itu adalah lelaki yang cukup berumur, yang menamakan dirinya Prajurit Tua Sina.
Sejenak Gendhuk Tri termangu karena tidak segera mengenali siapa yang begitu berani mati tapi juga penuh perhitungan masuk ke perahu.
Perhitungan Gendhuk Tri berdasarkan pengamatan bahwa Prajurit Tua Sina sudah sejak awal memperhatikan situasi, dan pada saat yang tepat masuk ke dalam. Saat yang tepat, karena setelah hamburan batang panah ia menerobos masuk.
Jalan pikiran Nyai Demang tak jauh berbeda. Hanya lamat-lamat ia seperti mengenali sosok di bawahnya. Walau belum pasti siapa dia.
Gerak-gerik dan gerakan ilmu silatnya seperti dikenali.
"Hamba Prajurit Tua Sina, meminta izin Baginda untuk kembali menerima panggilan jiwa sebagai ksatria."


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suaranya lantang. Caranya menunduk dan menyembah menunjukkan rasa hormat yang dalam.
"Maafkan kelancangan hamba selama ini, dan sekali ini."
Nyai Demang menggeleng. Sudah jelas suasana perang sangat sempit dan tidak memberi kesempatan untuk berbasa-basi, akan tetapi prajurit tua ini malah menyembah dan menghormat.
Nyai Demang kurang memahami.
Bisa dimengerti, karena tidak tahu persis siapa yang sekarang berani mati berada di perahu.
Kalaupun sedikit mengenali gerak-geriknya, ia juga tidak segera bisa menemukan hubungannya dengan Mahapatih Nambi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Memang yang sekarang berdiri gagah dengan rambut diikat selembar kain putih adalah ayahanda Mahapatih Nambi.
Mpu Sina! Senopati Keraton Singasari yang gagah perkasa di masa pemerintahan Baginda Raja Sri Kertanegara. Akan tetapi sejak Raja Muda Jayakatwang merebut kekuasaan dengan cara yang hina, Senopati Sina lebih suka menyingkirkan diri ke Lumajang.
Selama itu, apa yang dilakukan tak diketahui orang lain.
Senopati Sina seolah menenggelamkan dirinya, surut dari percaturan tata pemerintahan. Adalah putranya yang tetap mewarisi darah prajurit meneruskan pengabdiannya di Keraton dengan sama gagah dan beraninya.
Dari prajurit kawal, diangkat menjadi senopati, dan akhirnya mengemban tugas mulia sebagai mahapatih.
Seperti telah diceritakan di bagian awal, Senopati Sina tetap tak terguncang sedikit pun. Tak bergeser satu jari pun untuk kembali menengok ke Keraton. Apalagi terjun sebagai prajurit. Bahkan ketika putranya diangkat dengan upacara kebesaran Keraton, Senopati Sina yang biasa disebut dengan panggilan menghormat Mpu Sina tetap tak keluar dari kamarnya.
Sejak itu pula makin santer warta bahwa Mpu Sina tidak mau mengakui kekuasaan Baginda. Seperti semua senopati di masa pemerintahan Sri Baginda Raja, yang merasa bahwa selama ini belum ada yang pantas menggantikan takhta Keraton.
Ketidakjelasan sikap yang memancing warta ngayawara, berlebihan, inilah yang sebenarnya dipakai oleh Senopati Halayudha ketika menemui Mahapatih Nambi.
Bahwa sesungguhnya ganjalan utama yang menyebabkan Mahapatih Nambi diterima palapa karya, atau cuti dari tugas, karena secara halus Baginda kurang menyukai kekeraskepalaan Mpu Sina yang terlalu mengagungkan Sri Baginda Raja.
Singgungan kalimat itu yang menyebabkan Mahapatih Nambi segera saja terlibat perdebatan dengan Halayudha.
Di tengah perdebatan itulah kabar santer menggema lewat kentong titir yang bertalu-talu tanpa putus. Mengabarkan bahwa Baginda ditawan musuh dan kini dibawa pergi.
Pada saat itu pula Mpu Sina mengambil lagi keris yang selama ini tak pernah disentuh. Tanpa mengucapkan satu patah kata pun, berjalan ke luar pintu.
Melewati Mahapatih Nambi dan Halayudha yang masih berdebat kata.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan mengambil dua kuda, Senopati Tua Sina menempuh perjalanan terus-menerus langsung menuju Kali Brantas.
Halayudha saat itu terkesima.
Tak percaya pada apa yang dilihatnya sendiri.
Seorang senopati yang berada di derajat dan kepangkatan yang tinggi, yang tiba-tiba mengundurkan diri, mendadak kembali menyandang keris untuk maju ke medan perang. Membela kehormatan Baginda yang selama ini bahkan tak dilirik dengan sebelah mata. Tak dihormati dengan satu jari sekali pun.
Mahapatih Nambi merasa mengetahui jiwa prajurit yang luhur, prajurit yang sesungguhnya, yang diwarisinya. Akan tetapi tetap sulit mempercayai bahwa dalam seketika ayahandanya bergegas pergi.
Memang luar biasa. Mpu Sina memberikan tindakan nyata sebagai prajurit yang sesungguhnya Prajurit yang akan membela kehormatan Keraton, tanah airnya, dengan mengalahkan pertimbangan apa pun juga.
Bahwa selama belasan tahun menyembunyikan diri dari kegiatan apa pun, sampai dengan puncak pengangkatan putranya sebagai yang paling berkuasa sesudah Raja, bisa diperkirakan kekecewaan yang tak terobati.
Akan tetapi toh justru pada saat yang menentukan itulah Mpu Sina turun kembali ke gelanggang.
Tetap sebagai prajurit. Prajurit sejati. Prajurit tua sejati. Itulah yang melesatkan dirinya di tengah medan pertarungan.
Dan masih sempat meminta maaf atas apa yang dilakukan pada masa lalu, maupun sekarang ini.
Jiwa luhur. Jiwa sejati. Tanpa mengetahui masalah pribadi yang berkecamuk di dalam hati Mpu Sina sekalipun, Gendhuk Tri bisa menangkap kegagahan dan keberanian seseorang yang berani menerobos masuk ke perahu.
Dari atas Gendhuk Tri hanya menangkap sosok tua yang wajah dan seluruh kulitnya pucat seperti tak pernah tersentuh sinar matahari.
Mpu Sina selesai menyembah, meletakkan tangan di dasar lantai, dan mendadak tubuhnya melayang ke atas dengan jungkir-balik. Kedua kakinya terulur ke atas, lurus. Seolah ditarik dengan tali, tubuhnya naik tegak lurus.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau tadi Nyai Demang dan Gendhuk Tri lepas dari lantai perahu dengan meliukkan tubuh untuk mencari kekuatan, kali ini Mpu Sina dengan tubuh kaku lurus.
Bahwa tenaga yang dipakai sebagai pijakan adalah telapak tangan yang menyentuh lantai, tetap tak mengurangi kekaguman. Apalagi hanya dengan satu tangan.
Tangan kiri. Bersamaan dengan tubuh Mpu Sina yang naik, lantai perahu yang diinjak membuka.
Jeblak! Menganga. Suatu jebakan. Dengan cara yang tepat Mpu Sina meloloskan diri. Dan tubuhnya seperti bisa berbalik.
Turun di pinggir perahu. Berdiri dengan gagah di bibir pinggiran perahu.
Gagah. Sebentar. Karena mendadak pinggiran dinding perahu itu tiba-tiba juga membuka! Menjeblak ke samping!
Tanpa bisa dicegah lagi tubuh Mpu Sina terjungkal ke bawah.
Masuk ke dalam air sungai.
Gendhuk Tri berteriak keras. Tubuhnya meluncur turun, selendangnya lepas dan bergantung lurus ke bawah. Dalam keadaan kaget, tangan Mpu Sina masih sempat meraup selendang yang diulurkan Gendhuk Tri.
Akan tetapi tetap saja tubuhnya melorot ke bawah.
"Tarik!" Teriakan Gendhuk Tri seperti kurang ajar karena memberi perintah kepada orang yang lebih tua. Akan tetapi dalam keadaan kepepet, tak ada pikiran lain yang muncul seketika. Mpu Sina agaknya mengerti apa yang dimaksud Gendhuk Tri. Serta-merta ia menarik keras, dan tubuhnya mengangkasa. Tapi dengan demikian tubuh Gendhuk Tri yang makin cepat tertarik ke bawah.
Ke air sungai, atau entah jebakan apa lagi di bawah.
Inilah bahaya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seperti mengorbankan dirinya untuk keselamatan Mpu Sina.
Ini kalau Mpu Sina melepaskan selendang yang ditarik. Nyatanya tidak.
Jadi ketika itulah Gendhuk Tri masih bisa menyendal selendang dan tubuhnya naik ke atas. Memang dengan demikian tubuh Mpu Sina kembali turun. Akan tetapi dengan cara yang sama, bisa menarik dan naik kembali.
Nyai Demang yang berada di dekat kejadian bersinar pandangannya.
Pujian dalam hatinya sesaat membuatnya lupa bahwa di sekitarnya masih banyak bahaya mengancam.
Pujian itu terutama karena pada saat yang tepat Gendhuk Tri mampu mengambil tindakan yang sangat besar risikonya.
Apa yang dilakukan Gendhuk Tri bukan hanya sekadar pameran bagaimana menyalurkan tenaga dalam, mengontrol, menguasai, akan tetapi sekaligus juga menyeimbangkan dengan orang yang ditolong, yang belum dikenal.
Inilah hebat. Keseimbangan Air APA yang diperlihatkan Gendhuk Tri mengundang decak kagum.
Bahkan Pangeran Anom yang menyusul di pinggiran sungai kemudian dalam keadaan masih setengah sadar seperti melihat dirinya yang memainkan permainan indah tapi berbahaya itu.
Apa yang digambarkan Pangeran Anom tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Gendhuk Tri.
Ketika melihat dinding perahu di lambung yang bisa menjeblak dengan sendirinya, gerakan seketikanya adalah menolong Mpu Sina.
Yang dalam keadaan seperti terjegal tak mampu menguasai tenaga dalamnya untuk meloncat atau menuju sasaran yang diinginkan.
Karena tubuh Mpu Sina berada di bawah, tubuh Gendhuk Tri tak mungkin bisa mengejar. Makanya ia mengulurkan selendangnya. Yang segera bisa disaut oleh Mpu Sina, dan memakai sebagai tenaga untuk pijakan melontarkan tubuhnya ke atas.
Kalau saat itu Mpu Sina melepaskan selendang, Gendhuk Tri yang mencelos amblas ke bawah.
Kenapa itu tidak dilakukan Mpu Sina, itu yang membuat Nyai Demang bertanya-tanya dalam hati.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dugaan pertama, Gendhuk Tri dan Mpu Sina, yang menamakan diri sebagai Prajurit Tua Sina, sudah lama saling mengenal. Sehingga sangat mungkin sekali dalam waktu kritis terjadi kerja sama.
Dugaan kedua, tenaga dalam yang dimainkan Gendhuk Tri memberi isyarat bahwa selendang tak boleh dilepaskan.
Kedua dugaan ini paling masuk akal, akan tetapi justru rasanya terbantah dengan sendirinya. Pertama, Gendhuk Tri tak begitu mengenal, atau malah baru sekarang bertemu wajah dengan Mpu Sina.
Hal yang kedua, sedahsyat apa pun tenaga dalam Gendhuk Tri maupun Mpu Sina, kalau belum saling mengenal akan sulit, atau bahkan tidak mungkin, bisa mengenali isyarat dari tenaga dalam.
Dugaan yang lain adalah bahwa semua ini terjadi secara kebetulan saja.
Ada benarnya. Walau tidak tepat bulat. Karena untuk jago silat setingkat Gendhuk Tri atau Mpu Sina, kebetulan bukan tidak diperhitungkan sama sekali.
Sewaktu Gendhuk Tri berusaha menolong tadi, yang pertama-tama adalah keinginan untuk menolong. Tanpa memedulikan dirinya bakal bagaimana. Juga ketika Mpu Sina tertarik ke atas, Gendhuk Tri tetap belum tahu bagaimana dengan dirinya sendiri.
Hanya saja nalurinya mengatakan bahwa Mpu Sina tokoh yang baik, yang tidak mau mencari keselamatan di atas kecelakaan orang lain.
Di sini yang lebih berbicara adalah nurani. Akal budi yang mempercayai sesama manusia.
Bahwa pada dasarnya manusia berhati baik, mempunyai akal budi, dan bisa tolong-menolong.
Itulah yang terjadi. Ketika Gendhuk Tri bisa menggenjot tubuhnya ke atas, ketika itu pula Mpu Sina memahami ke mana arah jalan pikiran Gendhuk Tri.
Karenanya, Mpu Sina tinggal menyesuaikan tenaga tarikan dan tenaga menahan.
Dengan demikian keduanya selamat, bisa hinggap di tiang utama.
Bukan sesuatu yang luar biasa kalau Pangeran Anom membayangkan dirinya yang melayang dan menari sambil memegang ujung selendang bersama Gendhuk Tri.
Karena inti gerakan dan pengaturan tenaga dalam Gendhuk Tri adalah memakai tenaga air. Sejak timbul kesadaran dan kejelasan sumber tenaga dalamnya, Gendhuk Tri bisa maju dengan pesat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Maka tak terlalu sulit mengatur tenaga turun untuk naik silih berganti.
Gendhuk Tri mempergunakan pengaturan tenaga dalam Keseimbangan Air. Di mana air yang permukaannya lebih tinggi akan menurun ke arah yang lebih rendah.
Yang luar biasa adalah Mpu Sina yang bisa segera menyatukan diri dalam Keseimbangan Air. Begitu tenaganya sendiri berlebih ia memberikan kepada Gendhuk Tri, yang kemudian menerimanya.
Inilah kunci keberhasilan bagaimana kedua tubuh yang meluncur turun bisa kembali naik.
"Kesuwun...." Ucapan terima kasih Mpu Sina tenggelam dalam suara keras.
Suara dinding perahu yang menghantam air bengawan dengan keras.
Dan begitu terbanting ke air, bagian dinding yang tadinya halus dari kayu bersusun itu mendadak mengeluarkan ratusan ujung tombak.
Bisa dibayangkan jika orang jatuh di tengahnya.
Nyawa rangkap tujuh pun tak akan menolong.
Nyai Demang sedikit ngeri menyaksikan perubahan dinding perahu.
Kalau bagian itu bisa membuka dan menutup, bukan tidak mungkin bagian lain pun bisa berubah.
Termasuk tiang utama. Tiang yang besarnya satu pelukan ini, siapa tahu bisa juga membuka dan atau ditarik amblas ke dalam.
Nyai Demang sudah memperhitungkan bahwa kekuatan Pangeran Hiang demikian besar, akan tetapi tetap tak menduga bahwa banyak sekali jebakan yang tersedia.
Perahu ini tidak terlalu besar. Panjangnya sekitar enam atau tujuh tombak. Lebar dua tombak. Dari atas semua tampak tertutup.
Mendadak telinga Nyai Demang mendengar desisan suara binatang.
Sewaktu matanya melihat ke bawah, batinnya benar-benar mencelos.
Dari bagian bawah tiang, bergerak naik seekor ular yang berwarna hijau, gesit. Lidahnya terjulur. Seluruh kulitnya mengilat memantulkan sinar surya.
Berbeda dengan ular yang biasa dilihat, ular hijau ini mendaki ke atas dengan cara tegak lurus. Tidak melilitkan badannya.
Dengan satu tangan memegang tali, satu tangan yang lain menjentik ke bawah, Nyai Demang membidik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak. Ular itu berkelit. Nyai Demang menarik tubuhnya ke atas.
Mpu Sina mendeham perlahan. Tangannya terulur ke bawah, memapak datangnya ular hijau. Dalam jarak setengah tombak dua jarinya menuding. Satu pancaran tenaga panas menembak langsung.
Kembali ular hijau itu berkelit. Berputar sebentar, kemudian mendaki.
Tanpa menunggu kesempatan bagi ular hijau itu untuk lebih dekat, Mpu Sina melepaskan pengikat rambutnya. Kain putih di tangannya mengedut keras. Bergerak bagai kepala ular yang langsung mematok kepala ular hijau.
Ketika ular itu mencoba berkelit, Mpu Sina mengubah gerakannya.
Aneh sekali. Ular itu menggeliat, menggulung tubuhnya, dan kemudian dengan pesat terbang ke arah Mpu Sina!
Nyai Demang menjerit. Akan tetapi dengan tenang Mpu Sina membuka telapak tangan kirinya, dan memapak dengan serangan tenaga dalam. Di tengah udara ular itu tertahan sebelum akhirnya jatuh ke lantai perahu.
Terbanting. Hancur tulang tubuhnya!
Sesaat. Disusul kemudian munculnya ular yang sama dari bawah. Kali ini sekelebatan saja ada tiga ekor yang merayap naik dengan cepat. Disusul lagi lima ekor yang mengiringi dari bawah. Sesaat kemudian barisan ular menjadi sangat banyak. Seakan tiang utama yang satu pelukan lebih itu berubah warnanya menjadi hijau mengilat.
"Rasanya kita perlu ke darat...," Nyai Demang berbisik ke arah Gendhuk Tri
"Rasanya demikian, Mbakyu.
"Tapi permainan ini menarik. Di tempat sesempit ini ternyata penuh dengan mainan kanak-kanak. Saya jadi ragu, apakah Pangeran Hiang bukannya kanak-kanak abadi. Seperti umumnya pangeran yang biasa dimanja dan diperbodoh."
Perlahan suara Gendhuk Tri, akan tetapi cukup jelas bagi telinga yang menghuni perahu.
Sebaliknya dari kuatir, Mpu Sina melepaskan satu tali yang menggelantung di kapal dan diikatkan di kakinya. Cepat dan sebat sekali. Bersamaan dengan itu tubuhnya meluncur ke bawah, menyongsong ke arah ular. Sewaktu meluncur, tangan kirinya mencabut keris di bagian bawah punggung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akibatnya mengenaskan. Puluhan ular yang merayap ke atas seperti kena tebas. Menggeliat sebentar, lalu saling gigit di antara mereka dan akibatnya berteplokan jatuh ke bawah. Bagai segumpal tali yang bergulung. Makin lama makin banyak. Apalagi ular yang baru keluar dari bawah, bukannya merayap ke atas, melainkan saling gigit di antara mereka.
"Hebat sekali, Paman Sina," kata Nyai Demang lirih.
Mpu Sina tidak menjawab. Pandangannya menyapu seluruh lantai.
Mendadak pandangannya mengecil.
Nyai Demang menduga bahwa akan muncul lagi binatang aneh atau serangan yang tak terduga.
Dugaannya meleset. Karena yang terlihat bayangan seorang wanita yang menaiki rakit kecil, merapat ke arah perahu.
"Edan. Bukankah itu Permaisuri Rajapatni?"
Gendhuk Tri mengangguk. "Apa yang dilakukannya?"
Menyatu Pralaya PERTANYAAN Nyai Demang bergema dalam hatinya sendiri.
Ia sama sekali tak menemukan jawaban kenapa Permaisuri Rajapatni merapat ke arah perahu. Sendirian!
Permaisuri satu ini selalu menjadi teka-teki, pikir Nyai Demang dalam hati. Di satu pihak kadang menunjukkan sikap perlawanan kepada Baginda dan berani mendengarkan suara hatinya, di lain pihak seolah tidak mempunyai pegangan. Satu kali begitu merasa dekat dengan Upasara, pada kali yang lain justru mencincang tubuh Upasara!
Apa yang dilakukannya sekarang ini"
Ingin bergabung dengan Baginda" Ingin membuktikan dan membaktikan bahwa dalam pralaya, kematian, Permaisuri tetap menyatu"
Itu satu-satunya kemungkinan.
Kalau benar begitu alangkah tololnya. Alangkah tak bisa dimengerti hatinya, Nyai Demang meralat dalam hati.
Gendhuk Tri juga bertanya-tanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketika berada di Simping, Permaisuri Rajapatni tiba-tiba saja menghilang. Kini begitu muncul lagi, pastilah telah melakukan perjalanan jauh dan menyulitkan, masuk ke pertarungan dengan cara seperti ingin bunuh diri.
Rakit yang ditumpangi Permaisuri bergoyang.
Mpu Sina berteriak keras.
Untuk pertama kalinya mengeluarkan teriakan. Tubuhnya melorot ke bawah, akan tetapi jaraknya sangat jauh.
Nyai Demang baru sadar bahwa bahaya yang mengancam sangat besar. Karena di permukaan sungai mendadak seperti muncul batang kayu hidup yang jumlahnya cukup banyak.
Buaya! Sekurangnya ada tiga ekor buaya besar yang menggoyangkan rakit.
Dan sebentar lagi tubuh Permaisuri akan menjadi santapan hidup-hidup.
Tanpa ada yang bisa menolong.
Memang tak ada. Karena ketika seekor buaya merayap naik, rakit itu oleng dan tubuh Permaisuri terayun ke samping. Hanya saja, sebelum air sungai menelan dan atau mulut buaya menelannya, sesosok tubuh melesat dari bawah air.
Meraup tubuh Permaisuri. Mengempit di antara ketiak.
Dengan sekali loncat masuk ke perahu.
"Baginda telah menunggu.
"Silakan masuk."
Suaranya perlahan, akan tetapi terdengar mengguntur seperti berdenging. Lalu dengan sedikit menghormat, menyilakan Permaisuri masuk ke bagian dalam perahu.
Lelaki itu gagah. Bertelanjang dada. Basah tubuhnya. Juga rambutnya yang digelung aneh. Ditekuk di bagian tengah kepala. Ketika bibirnya mengeluarkan lengkingan suara, buaya-buaya itu kembali menyelam dalam sungai.
Tak ada bekasnya lagi. Gendhuk Tri menggigit bibirnya. Sangat jelas di telinganya ucapan
"Baginda telah menunggu. "Ada permainan apa sebenarnya"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sementara itu yang melihat dari pinggir sungai tak bisa menyembunyikan keheranan dan sekaligus juga kekagumannya.
Kecuali di atas salah satu pohon yang tinggi. Di situ Eyang Puspamurti yang diiringi ketiga muridnya terus menyaksikan apa yang terjadi. Agaknya Eyang Puspamurti sengaja memilih tempat yang cukup lapang untuk mengamati apa yang terjadi.
"Mada, jangan terlalu heran.
"Itu ilmu biasa. Mahamanusia bisa menguasai bintang, binatang, rembulan, dan matahari. Apalagi hanya buaya. Yang diperlukan hanya ketekunan untuk melatih.
"Juga ular hijau tadi.
"Semakin berbisa dan berbahaya, sebenarnya binatang itu semakin bisa dikuasai dengan baik. Satu bunyian yang dikenal, satu tepukan, akan membuat mereka patuh kelewat batas.
"Yang perlu kamu perhatikan ialah keris prajurit tua itu. Itu keris sakti. Anginnya saja bisa melukai. Rasanya begitu. Karena sekelebatan, dalam jarak yang belum menyentuh, ular itu sudah terluka.
"Ada yang kamu tanyakan, Mada?"
"Eyang, kenapa Prajurit Tua Sina memakai keris di tangan kiri?"
"Pertanyaanmu menunjukkan bahwa kamulah yang paling bodoh di antara bertiga, tetapi juga sekaligus paling pintar. Prajurit Tua Sina sengaja memainkan dengan tangan kiri. Inti dasarnya adalah Kitab Bumi juga. Ia senopati tua semasa Sri Baginda Raja. Ini gara-gara Eyang Sepuh yang menciptakan susunan ilmu itu."
"Apakah Eyang Sepuh kidal?"
Eyang Puspamurti tertawa.
"Bejujag" "Eyang Sepuh yang kalian hormati itu orang tidak waras. Ia sengaja memainkan, menciptakan seolah itu permainan kidal. Padahal sesungguhnya hanya mau menunjukkan bahwa dirinya mampu memainkan seperti orang kidal, seperti Eyang Putri Pulangsih."
"Eyang Putri Pulangsih kidal?"
"Ya. Tapi ia berusaha keras untuk tidak kidal. Dilatih keras, dan nyatanya Tirta Parwa yang diciptakan tidak menunjukkan kekidalan itu.
"Jagat ini memang edan.
"Yang kidal berusaha tidak kidal, yang tidak kidal justru menciptakan ilmu kidal. Jagat ini memang aneh. Karena seorang Eyang Sepuh yang edan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Itu terbawa terus tanpa ada yang menyadari. Bahkan Upasara Wulung sendiri tidak menyadari sebelumnya, kenapa tepukan satu tangan lebih bertenaga jika dimainkan tangan kiri.
"Bukankah Eyang Sepuh itu sangat edan"
"Jagat dibikin jungkir-balik oleh ulahnya. Ia memuja, mencintai Pulangsih, meniru kidalnya, tapi juga mengemohi.
"Mada, Genter, di sini kalian saya bawa tidak untuk mendengarkan cerita tentang orang edan. Perhatikan baik-baik! Apa yang kalian lihat ini adalah permainan kelas jagat. Tak ada pelajaran yang semenarik ini.
"Kamu lihat lelaki yang rambutnya digelung di bagian tengah itu"
Yang bisa mencuat dari sungai?"
"Ya, Eyang." "Tubuhnya licin. Berarti geraknya sangat cekatan, gesit. Tenaga dalamnya sangat kuat. Dengkingan suaranya sanggup memekakkan telinga kamu walaupun disumbat tangan. Hebat.
"Tapi kamu tahu kelemahannya"
"Pendengarannya tidak cukup kuat. Karena selalu berendam di dalam air, indria pendengarannya berkurang. Berarti kalau kalian menghadapi lawan seperti itu, paling menguntungkan adalah memakai tenaga lembek.
"Itu yang sedang diperhitungkan Prajurit Tua, Senopati Unggul Sina.
Ia sengaja menunggu di atas. Karena dengan permainan di udara, akan menyulitkan lelaki tadi.
"Jangan bertanya, perhatikan terus!"
Di atas perahu, Mpu Sina masih tetap bergelantungan. Sementara Gendhuk Tri menudingkan telunjuknya ke bawah.
"Lain kali jangan bawa ular yang lapar. Mereka akan saling makan sendiri."
"Kalian telah memancing Jalugeni keluar dari sarang. Saya tak akan membiarkan kalian berlalu begitu saja."
"Jalugeni, siapa yang mau keluar dari perahu"
"Aku justru ingin melihat apakah kamu masih mempunyai peliharaan jenis kecoa atau nyamuk atau perangkap tikus yang lainnya."
Suara Gendhuk Tri bersamaan dengan bunyi keras.
Dinding yang menjadi lambung kapal telah menutup kembali. Rapat seperti semula.
"Boleh juga. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ada permainan lain, Jalugeni" Aku ingin melihatnya."
Jalugeni mengertakkan giginya. Tangannya bergerak dan mendadak tiang utama bergerak.
Bergerak! Seperti tumbang. Tanpa berpikir panjang, Gendhuk Tri dan Nyai Demang meloncat turun ke arah perahu. Diiringi Mpu Sina yang cepat memutuskan tali pengikat kakinya. Ketiganya berdiri sejajar.
Berhadapan dengan Jalugeni.
"Saya Senopati Tua Sina...." Suara Mpu Sina ramah ketika memperkenalkan diri. Suatu hal yang lumrah karena lawan telah menyebutkan namanya.
"Saya Nyai Demang, abdi dalem Keraton...."
"Saya pemilik sungai ini," kata Gendhuk Tri ketus sambil tetap bertolak pinggang. "Ingin menemui Pangeran Hiang, dan ingin mengundang ke darat karena kelihatannya bisa membuat hiburan untuk anak-anak."
Jalugeni mengusap rambutnya.
"Terima kasih atas kedatangan kalian semua. Hanya saja, kali ini Pangeran Sang Hiang tidak berkenan menerima kalian. Dan urusan ini tak ada hubungannya dengan prajurit tua atau abdi dalem, ataupun pemilik sungai.
"Silakan kembali ke darat dengan baik-baik."
"Kalau bukan urusan kami, urusan siapa?"
Gendhuk Tri langsung mencerocos. Sementara berbicara pandangannya ke arah kiri-kanan, memperhatikan sekitar.
"Urusan Baginda...."
"Kamu mengerti tentang Baginda atau Keraton"
"Mengenali siapa rajanya saja tak becus, mau bicara soal Baginda."
Perintah Takhta NYAI DEMANG sadar bahwa Gendhuk Tri tengah memancing ke arah pembicaraan. Walaupun kedengarannya sangat tidak enak, Gendhuk Tri tidak bermaksud meremehkan Baginda.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mpu Sina tampak menahan gejolak darahnya yang mendidih, yang risi mendengar kalimat-kalimat Gendhuk Tri yang memberi kesan tidak mau menganggap Baginda adalah rajanya!
"Saya tak mau berbicara lebih jauh.
"Ini masalah takhta penguasa seluruh jagat tanpa kecuali. Bahkan kalau bisa kami tidak usah berbicara atau bertemu muka dengan kalian. Saya melanggar pantangan ini karena ingin membawa serta Permaisuri Rajapatni.
"Itu saja."

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tahu dari mana yang datang itu Permaisuri Rajapatni?"
Jalugeni memandang tajam.
"Kamu kira kalau ada tanda khusus yang ditinggalkan untuk Permaisuri Rajapatni, beliau mau begitu saja datang"
"Jalugeni, tolong kamu bilang sama Pangeran Sang Hiang yang katanya putra mahkota takhta Tartar yang mampu meneguk jagat. Yang barusan datang adalah pesinden dari desa yang diumpankan untuk kalian. Bahwa yang berada di Simping dan kalian bawa bukanlah Baginda sesembahan kami.
"Nah, kalau ini sudah jelas, dan kalian tetap mau membawa semua itu ke Tartar, ya... tak ada yang menghalangi."
"Kalau bukan raja kalian, untuk apa kalian memaksa bunuh diri?"
"Kenalilah tanah Jawa, dengan menginjakkan kaki ke buminya.
Bukan dari perangkap tikus ini. Siapa pun yang mengganggu ketenteraman bumi ini, mengusik selembar daun, membunuh seekor nyamuk, menjadi tanggung jawab kami semua yang dibesarkan di bumi ini.
"Mengerti?" Otot di tangan Jalugeni meregang.
"Kami datang bertiga. Tidak adil kalau kamu melawan sendirian.
Keluarkan pangeranmu dengan istrinya...."
Belum selesai ucapan Gendhuk Tri, Jalugeni bergerak sebat. Kedua kakinya menyapu Gendhuk Tri dan kedua tangannya membekuk dari arah depan dan belakang.
Cepat sekali gerakannya. Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya, namun mendadak dirasakan bahwa selendangnya menjadi kaku. Tak bisa digerakkan.
Kedua kakinya mundur dua langkah, tubuhnya berputar.
Kedua tangan Jalugeni tetap berada di depan dan di belakang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tetap berusaha memeluk Gendhuk Tri.
Keras. Bagai cengkeraman baja kukuh.
Seumur-umur Gendhuk Tri tak pernah menghadapi lawan yang begitu keras dan kaku gerakannya. Sangat keras dan sangat kaku!
Kalau biasanya Gendhuk Tri meloloskan diri dari bagian bawah dengan menjatuhkan tubuhnya, kali ini tidak mungkin lagi. Bukan karena kuatir ada jebakan tertentu di bawah, melainkan karena kedua kaki Jalugeni sudah menguasai bagian bawah secara total. Sedikit saja gerakan kaki Gendhuk Tri salah, akan terlibat habis!
Nyai Demang terkesima. Sehingga tak sempat menolong.
Sebaliknya, Mpu Sina yang berada dalam jarak dekat bersikap sebagai ksatria untuk tidak menyerang dari belakang.
Nasib di tangan Gendhuk Tri sendiri.
Menyadari bahaya yang tidak main-main, Gendhuk Tri menekuk tubuhnya. Semua ruas tulang dalam tubuhnya seperti dilipat menjadi satu.
Tubuhnya masih berdiri tegak, akan tetapi seolah berubah menjadi pendek.
Dua tangannya terangkat ke depan, membuat pertahanan dengan siku membuka. Sehingga kalaupun pelukan itu mencengkeram, sodokan sikunya bisa mendahului.
"Itu gerakan memadat," komentar Eyang Puspamurti. "Bukan gerakan yang menguntungkan, karena dengan begitu ia bertahan secara total.
Bertahan sepenuhnya. Dalam gerakan dua-tiga kali lagi, bahkan mungkin tenaga dalamnya tak bisa disalurkan secara leluasa.
"Seharusnya wanita itu, Tri itu, memainkan tenaga dalam dengan sifat air seperti yang dimiliki. Yaitu mengalirkan jepitan seperti gelutan-sebelum lebih jauh kalian harus tahu, itulah ciri utama Tartar.
"Berbeda dengan ilmu silat Cina yang mengandalkan tenaga dalam dan kembangan, Tartar mengandalkan tenaga luar.
"Susah. "Barangkali susah memakai tenaga mengalir. Karena Jalugeni itu sangat kuat. Luar biasa.
"Mestinya saya terjun langsung sehingga kalian bisa tahu lebih jelas...."
Penjelasan Eyang Puspamurti kepada ketiga muridnya cukup jelas, akan tetapi tidak menggambarkan kenyataan sepenuhnya.
Karena apa yang terjadi lebih cepat dan lebih beragam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jalugeni mampu menguasai Gendhuk Tri, akan tetapi juga terkejut melihat bahwa tubuh lawan bisa mengerut. Pada saat itu siku lawan seperti menembus ulu hatinya. Sehingga Jalugeni menarik tubuhnya sedikit miring ke samping. Dengan demikian, gerakan tangannya juga ikut menyamping.
Seolah menyerang Mpu Sina.
Yang dengan cepat luar biasa mencabut keris dan menusuk keras.
Jalugeni meloncat ke angkasa, tungkai kakinya mematuk dahi Mpu Sina.
Seperti julukannya, jalu adalah taji bagi ayam jantan. Gerakannya tak jauh berbeda. Yang berbeda adalah tembusan tenaganya yang begitu keras menyengat. Nama tambahan geni, atau api atau bara, bukan sekadar nama pemanis. Tetapi memang mempunyai alasan kuat.
Mpu Sina mendengus pendek. Kerisnya mendadak naik.
Tegak lurus. Mana yang lebih dulu. Ayunan tungkai yang menjadi taji atau ujung keris.
Jalugeni tak mau berisiko. Tubuhnya dijatuhkan ke depan. Mpu Sina juga tak menunggu lama. Tubuhnya ikut melayang ke atas. Kerisnya kini berpindah dalam jepitan kaki!
Menyambar ke bawah! Jalugeni mengeluarkan suara keras. Bersamaan dengan itu, mendadak atap bagian tengah rumah-rumahan membuka, dan sekian belas bayangan berkelebatan keras.
Gendhuk Tri melepaskan selendangnya. Bersama dengan Nyai Demang keduanya menyatu dan menyerbu.
Langkah keduanya tertahan, karena serbuan panah dari berbagai penjuru. Terpaksa mengurung diri, bersama Mpu Sina yang juga mundur ke belakang.
Gerakan mundur mereka begitu cepat sehingga menempel ke dinding perahu.
Yang sekali lagi menjeblak ke bawah.
Mpu Sina yang lebih dulu meluncur ke bawah. Kakinya menotol rakit yang ditinggalkan Permaisuri Rajapatni. Sekaligus tubuhnya membal ke pinggir.
Dalam menotol tadi, Mpu Sina sekaligus mengubah letak rakit yang mendekat ke arah Gendhuk Tri dan Nyai Demang. Yang melakukan gerakan sama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Di antara mereka bertiga, Nyai Demang yang paling lemah. Maka meskipun sudah mengempos seluruh kekuatan, tubuhnya tak bisa mencapai pinggiran sungai.
Gendhuk Tri tak mampu menyelamatkan karena ia sendiri tengah melayang.
Satu kelebatan tubuh menyambar Nyai Demang, merangkul, dan membawa ke tepi.
"Paman Jaghana."
Jaghana tersenyum lembut.
Matanya tetap memancarkan sinar lembut, bibirnya yang basah dan sedikit merah memancarkan senyuman. Wajah yang selalu sumringah.
Selalu mengandung harapan, kebahagiaan, dan ketenteraman.
"Ya, dia yang kalian kenal sebagai Truwilun.
"Jangan cerewet. Sekarang akulah guru kalian. Dan ini pelajaran penting!" teriak Eyang Puspamurti di tempatnya. "Gerakan Truwilun atau Jaghana itu kaku. Jelek sekali. Tak pantas kalau ia berasal dari Perguruan Awan yang kondang itu. Kenapa jadi begitu buruk" Apa ilmu silatnya sudah anjlok" Kenapa waktu menghadapi aku ia kelihatan sakti?"
Eyang Puspamurti tak pernah menduga bahwa seumur hidup Jaghana baru sekali ini memeluk wanita. Sebelumnya, jangan kata memeluk, menyentuh saja tidak pernah. Memandang lekat saja tidak.
Makanya gerakannya tampak menjadi kikuk.
"Maaf...," katanya pelan.
"Terima kasih, Paman," suara Nyai Demang terdengar sangat lirih. Ia sendiri tiba-tiba merasa kurang enak telah menyebabkan Jaghana sangat repot.
"Paman... Paman Wilanda..."
Jaghana mengangguk. Wajahnya tetap memancarkan kearifan.
"Sudahlah. Adimas Wilanda telah menemukan kesempurnaan yang sesungguhnya."
Suaranya menghibur, akan tetapi nadanya tetap terasa hambar.
Mpu Sina memberi hormat dengan sedikit membungkukkan badan.
"Saya masih sempat mengenal Perguruan Awan."
"Duh, Senopati budiman, saya yang merasa bahagia bisa bertemu dengan nama yang selama ini harum...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Keduanya tampak saling menghormati, tetapi juga menyadari bahwa tak ada waktu yang cukup untuk itu.
Di kejauhan terdengar suara lantang yang meneriakkan bahwa Mahapatih Nambi telah datang.
Mengalihkan Aliran Sungai
SEJENAK perhatian terserap ke arah Mahapatih Nambi yang seolah terbang dari atas kudanya. Begitu meloncat ke tanah langsung mengumpulkan para senopati.
"Semua prajurit, tanpa kecuali, harus bersiap! Sewaktu-waktu akan ada perintah penyerbuan!
"Saya tidak akan mempermasalahkan kebodohan prajurit telik sandi yang kebobolan sampai tingkat paling memalukan. Sekarang, semua pikiran hanya ditujukan kepada bagaimana membebaskan Baginda, mengusir lawan tanpa menimbulkan korban."
Mahapatih menunjukkan kelasnya sebagai pimpinan prajurit.
"Para dharmaputra yang ada memimpin masyarakat di sebelah barat dusun. Mereka sedang melakukan upaya untuk membendung sungai, dan membelokkan arus ke desa sebelah. Apa pun yang terjadi sebagai risiko banjir sementara, tak menjadi soal. Dengan berubahnya aliran Brantas, perahu lawan tak bisa berlayar. Mengurangi arus air yang mengalir sebanyak mungkin adalah tujuan pengerahan tenaga di sebelah barat.
"Ada pertanyaan dan keraguan?"
Jawabannya ialah anggukan.
"Pasukan panah berapi disiapkan dan mengurung secara langsung.
Kalau keadaan sudah mepet dan tak ada jalan lain, lebih baik perahu itu terbakar daripada lepas ke laut.
"Di sini saya yang memegang komando, dan tak ada yang lain."
Pandangannya menyapu ke seluruh prajurit yang menunduk hormat.
"Untuk menyelamatkan Baginda, para senopati dan para ksatria akan bekerja sama. Karena rombongan Pangeran Hiang tak bisa ditarik ke darat, pertarungan akan berlangsung di perahu. Usahakan membuat rakit sebagai jembatan ke arah perahu.
"Saya akan maju sendiri, bersama Halayudha dan para ksatria utama yang sekarang sudah berkumpul.
"Senopati Pangsa, bagaimana keadaan lawan?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Seperti sudah kami laporkan, Mahapatih.
"Nyai Demang juga sudah berusaha mengintip ke dalam perahu.
Sementara ini yang kami ketahui, Baginda dan para permaisuri ditawan di dalam perahu yang dilindungi dengan segala perlengkapan dan persenjataan aneh, serta binatang berbisa, termasuk barisan buaya.
"Kekuatan lawan ditangani oleh Pangeran Hiang dan Permaisuri Koreyea, serta pengikutnya yang berjumlah sekitar dua belas atau tiga belas pendekar.
"Pangeran Hiang seorang jago silat yang ternama, yang besar di perantauan. Ilmu silatnya berakar pada ilmu silat Tartar. Sampai sekarang belum ada yang mengetahui bagaimana wujud Pangeran Hiang dan seberapa jauh ilmunya. Kita belum bisa menerobos masuk. Usaha terakhir dilakukan oleh Mpu Sina yang mulia, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang."
"Baik, baik. "Jadi perahu itu sekaligus merupakan benteng. Apa yang telah diusahakan untuk menjebol?"
"Lewat arus sungai, akan tetapi gagal. Prajurit kita tak mampu mendekat. Persenjataan mereka juga sangat rumit. Terutama barisan anak panah yang lepas seketika, serta asap yang membuat seluruh tubuh panas seketika.
"Kami menghentikan usaha menerobos lewat rakit."
"Sementara itu saja.
"Jangan segan mengerahkan upaya untuk ini. Ibarat kata, kita semua sedang memindahkan aliran sungai dan gunung sekaligus.
"Apakah sudah ada keterangan dari Raja?"
"Raja berkenan datang memimpin sendiri."
"Baik. "Selama belum ada itu, saya yang memegang komando."
Mahapatih Nambi memberi aba-aba dengan tangannya.
Membubarkan kerumunan para senopati.
Kemudian memandang ke arah Senopati Halayudha.
"Saya perlu bantuan Senopati."
"Kebanggaan tersendiri bagi saya, Mahapatih."
Keduanya bertatapan. Seolah saling mengukur kekuatan yang tak terlihat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam situasi segenting itu, Mahapatih Nambi tak akan bisa menebak jalan pikiran Halayudha. Suaranya yang mantap dan anggukan kesetiaan tidak dengan sendirinya menggambarkan apa yang berbunyi dalam hati Halayudha.
Karena Halayudha melihat bahwa jalan mendaki lurus yang menyenangkan telah berubah sekarang ini.
Ketika berangkat ke Lumajang, Halayudha yakin sekali dirinya bakal muncul menjadi mahapatih. Kekuasaan Raja boleh dikata sudah berada dalam genggamannya. Di Lumajang dirinya sudah mempunyai rencana matang untuk menyudutkan Mahapatih Nambi. Dengan memperbesar masalah lama. Ganjalan hati Raja bahwa sesungguhnya Raja kurang berkenan dengan Mahapatih. Itu sebabnya permintaan Mahapatih untuk palapa karya, atau cuti dari tugas, mendapat persetujuan tanpa batas.
Dengan mengobarkan persoalan Mpu Sina, Halayudha merasa yakin berada di atas angin.
Itu kenyataannya. Karena Mahapatih Nambi sudah mulai terpancing. Hanya saja suasana dan situasi berubah bagai siang ke malam. Penyanderaan Baginda membuat Mahapatih bangkit kembali. Dan menjadi pemimpin yang langsung memegang komando. Ini berarti kembali ke kekuasaan yang diakui secara langsung.
Lebih kokoh lagi karena kini Mpu Sina sendiri terjun ke dalam gelanggang. Kekuatan moral yang membangkitkan semangat semua prajurit yang ada.
Apalagi ditambah pengerahan masyarakat untuk membelokkan aliran sungai, praktis Mahapatih diakui kepemimpinannya oleh semua lapisan.
Masih harus ditambah lagi bahwa kini para ksatria turut berkumpul untuk mendukung.
Sempurna sudah kekuasaan yang bulat di tangan Mahapatih Nambi.
Kalau saja dirinya yang memperoleh kesempatan itu, Halayudha merasa jauh lebih leluasa untuk tampil. Kalau saja dirinya tidak pergi ke Lumajang, pengakuan itu akan disandangnya.
Menurut perhitungannya hanya dengan peristiwa-peristiwa besar sajalah pemimpin kedua akan muncul sebagai tiang utama. Hanya dari peperangan gawat yang menentukan inilah peranan untuk Mahapatih mendapat pengakuan.
Bukti yang jelas adalah penunjukan Upasara Wulung sebagai mahapatih. Karena secara nyata Upasara Wulung menunjukkan kedigdayaan dalam pertempuran. Demikian pula ketika diadakan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
pengangkatan Nambi, yang menjadi masalah karena senopati lain juga merasa lebih berjasa. Lebih mempunyai peranan dalam pertempuran.
Peperangan yang melahirkan pemimpin.
Medan peperangan yang menciptakan orang menjadi pahlawan.
Halayudha menyadari kekeliruannya. Selama ini ia berada di balik Baginda, di dalam bayangan Raja. Meskipun kekuasaannya diakui dan bisa memainkan peranannya, tetap saja ada lubang menganga yang mengganggu keabsahannya untuk menjabat mahapatih. Karena kehadirannya tidak terasa menentukan dalam peperangan. Itu pula sebabnya Halayudha mengubah model penampilannya.
Tapi sekarang ini terlambat.
Mahapatih Nambi justru keluar dari sarang. Kekuatan yang kesilep, terbenam, malah muncul kembali. Tidak sebagai mahapatih yang palapa, melainkan sebagai pemegang kekuasaan penuh.
Berarti makin sulit baginya untuk tampil secara gagah.
Terlambat. Terlambat" Pertanyaan ini menggema. Tak ada yang terlambat. Situasi memang memungkinkan tampilnya Mahapatih Nambi. Akan tetapi ini belum berarti semuanya sudah di tangannya. Justru karena upaya untuk pembebasan Baginda sedang dimulai.
Masih ada peluang. Selalu ada peluang. Dalam peperangan, segalanya bisa berubah. Segalanya bisa terjadi.
Apalagi secara resmi Mahapatih Nambi mengatakan akan memimpin langsung. Berarti terjun ke tengah peperangan.
Kalau benar Pangeran Hiang sangat sakti, masih ada kemungkinan perubahan.
Kalau dirinya cukup cerdik membaca situasi, bukan tidak mungkin ada kesempatan untuk tampil.
Selama ini yang menjadi ganjalan bagi Halayudha hanyalah Mahapatih Nambi. Karena dari para ksatria, rasanya tak ada yang bermimpi menjadi mahapatih di belakang hari. Bahkan penunjukan Baginda pun bisa batal!
Menyadari perhitungannya, Halayudha menyempatkan diri mengutarakan maksudnya.
"Maafkan hamba, Mahapatih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau hamba lancang sekarang ini, karena terpanggil untuk berbuat segera. Apakah tidak seyogyanya Mahapatih membentuk pasukan inti untuk menerobos ke dalam perahu. Karena jumlah prajurit yang banyak, hanya akan memperbanyak korban yang tidak perlu.
"Di sini kebetulan ada Mahapatih yang perkasa, ada Senopati Sina, ada Jaghana, Gendhuk Tri, Nyai Demang, dan mungkin saya sendiri.
Dengan tambahan beberapa nama lagi, rasanya kita berani menerobos ke dalam perahu."
Anggukan perlahan Mahapatih Nambi berarti satu langkah yang pasti bagi Halayudha untuk meneruskan langkah berikutnya.
Langkah yang telah jelas dalam benaknya.
Membalik Ikan, Perahu Karam
ALIS Mahapatih Nambi menyatu.
"Tujuan dari serangan pertama yang kita lakukan sekarang ini adalah untuk mengetahui keadaan dalam perahu. Saya sudah memerintahkan untuk membuat gambar perahu yang sama di darat. Sehingga kita bisa mengetahui di mana Baginda berada.
"Untuk itu semua, saya minta kerelaan para prajurit dan para ksatria berada dalam satu gerakan Membalik Ikan."
Eyang Puspamurti yang berada di atas pohon mengangguk-angguk.
"Kwowogen, kamu yang paling suka mempelajari strategi perang.
Tahu arti gerakan Membalik Ikan" Itulah gerakan untuk mengacau-balau musuh, agar kita tahu kekuatan lawan yang sesungguhnya. Kalau kita makan, ikan kita balik, kita tahu semuanya, sehingga lebih tepat memilih mana yang akan kita ambil lebih dulu.
"Gerakan yang bagus dan tepat.
"Mahapatih itu ternyata mempunyai bibit sebagai senopati ing ngalaga, senopati di medan pertempuran. Strategi ini pertama-tama bukan untuk memperoleh kemenangan seketika, melainkan untuk mengetahui kekuatan lawan. Langkah berikutnya adalah memastikan strategi selanjutnya.
"Dengan Membalik Ikan, ini berarti harus menjungkirbalikkan perahu. Atau membuat perahu karam."
"Eyang..." "Dengar dulu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dalam setiap gerakan atau strategi, bisa berarti yang sebenarnya, akan tetapi bisa juga berarti kurang atau lebih. Dalam hal ini, sangat tidak mungkin sekali membuat perahu karam. Akan tetapi suasana dibuat sedemikian rupa seolah perahu karam, dan semua isinya keluar.
"Karena saya adalah guru kalian yang sakti dan tahu segala macam lebih dari guru mana pun, kalian dengar baik-baik. Saya seret kalian bertiga kemari untuk menerima wejangan.
"Untuk serangan Membalik Ikan, yang diperlukan pertama ialah prajurit yang wedi wirang, wani mati, takut kepada kehinaan, lebih berani kepada kematian. Kematian jauh lebih berarti daripada keselamatan tapi hina. Dalam hal ini ketidakmampuan menjalankan tugas atau Membalik Ikan. Dalam mati, prajurit harus mati mbegagah, ora mringkus, mati dengan gagah, bukan ketakutan. Mati gagah ialah mati dengan membunuh lawan.
"Satu-satunya cara untuk membangun serangan ini adalah dengan bergerak cepat. Dalam ilmu keprajuritan disebutkan sebagai gerakan banteng ketaton, atau banteng terluka. Selalu menyerang ke depan, tanpa memedulikan kemungkinan terluka. Makin terluka makin maju.
Kesebatan yang dipakai adalah jurus Cukat Kadya Kilat, Kesit Kadya Tatit-Bergerak Cepat Menyambar Bagai Kilat, Menembus Satu Bagian untuk Kemudian Segera Menembus Bagian yang Lain Lagi. Gerakan burung prenjak tinaji, atau gerakan burung prenjak yang dipanah.
Tidak berada dalam satu tempat dalam satu jurus. Semakin luas wilayah yang digempur, semakin cepat mengetahui situasi.
"Dengan serangan seperti ini, apa yang kalian pelajari perlahan, diam-diam, urutan jurus menjadi tidak penting lagi. Kalian harus memakai pendekatan ngamuk punggung, atau mengamuk sebagaimana orang bodoh, yang tak mengenal ilmu silat.
"Yang penting terus-menerus merangsek, menggempur, berpindah, menyambar, dan maju.
"Mengerti, Kwowogen?"
"Ya, Eyang. "Ini sama dengan ajaran Eyang mengenai menyerbu benteng musuh."
Lain. "Eyang..." "Lain. "Menyerbu benteng, berusaha menguasai di dalam. Ini lebih dekat dengan jaladri pasang, atau pasang laut. Bukan hanya inti di dalam yang diserang, melainkan semuanya. Seluruhnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Meskipun demikian gerakan ini ada pemimpinnya, ada yang mengatur apakah gerakan ini membentuk perahu, membentuk alun-alun, atau yang lainnya."
"Apakah semuanya bersedia berkoban seperti yang dituntut, Eyang?"
"Mada, kamu selalu bodoh dan pintar.
"Harus begitu. "Kalau tidak akan mengganggu satu sama lain.
"Kenapa kamu ragu?"
"Tidak, Eyang."
"Kamu mau maju, Mada?"
"Kami bersedia sekarang juga."
"Kalian masih bodoh. Belum mampu mengendalikan diri. Sekarang perhatikan baik-baik. Mahapatih sedang menyusun kekuatan yang menjadi intinya."
Halayudha menunduk sebelum mendongak dan mulai berbicara.
"Maafkan sekali lagi.
"Rasa-rasanya kita masih mempunyai ksatria yang bisa menunjukkan pengabdian, membalas kebaikan bumi pertiwi.
"Di mana Ratu Ayu?"
Tak ada yang menjawab. "Saya kuatir kalau Ratu Ayu justru berada di perahu."
"Kenapa Senopati berpikir begitu?"
"Dalam keadaan segenting ini, siapa pun pasti akan muncul di sini.
Apakah itu Upasara, Singanada, bahkan juga Kiai Sambartaka. Ini peristiwa besar, dari segi apa pun."
"Apakah Senopati ingin mengatakan bahwa Dimas Upasara, Singanada, bisa berada dalam perahu?"
Suara Nyai Demang terdengar tinggi nadanya.
"Maaf, saya hanya mencoba melihat segala kemungkinan yang ada.
Karena rombongan Pangeran Hiang rasa-rasanya tidak mungkin berhasil secepat ini tanpa bantuan orang dalam.
"Karena serangan pertama langsung ke Simping dan menjarah isi Gua Kencana."
"Ada benarnya," potong Mahapatih Nambi. "Akan tetapi bukan sekarang ini saatnya mempersoalkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya minta dalam hal ini tak ada dugaan atau kecurigaan atau pikiran lain.
"Kita akan bergerak sekarang, seadanya."
Mahapatih Nambi bergerak ke depan. Diikuti Halayudha, Mpu Sina, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang. Sementara itu rakit dan batang kayu yang menghubungkan ke arah perahu sudah tersambung.
Jaghana melangkah di urutan paling belakang.
Dengan kawalan prajurit yang bersiaga mengepung, keenam ksatria melangkah gagah. Meniti rakit dan meloncat secara bersamaan, dari enam penjuru.
Sambutan pertama adalah lontaran anak panah yang menderas.
Karena sudah bersiaga sebelumnya, tak satu pun yang melukai.
Mahapatih langsung mendarat di lantai perahu.
Kedua tangannya menghunus keris.
Setindak langkahnya, mendadak lantai perahu seperti amblas ke bawah. Tidak benar-benar amblas, melainkan miring ke satu sisi.
Dengan sangat cepat. Akan tetapi seperti diperhitungkan oleh Eyang Puspamurti, kali ini keenamnya tidak surut atau mengubah langkah. Dengan satu teriakan keras, Mahapatih meloncat, menyerbu ke arah bangunan rumah-rumahan di buritan.
Atap bangunan rumah-rumahan itu mendadak membuka. Dan dari dalam terlempar gumpalan warna merah.
Mpu Sina dan Gendhuk Tri serta Nyai Demang menolak secara bersamaan. Sehingga gumpalan itu berbalik arah. Tiga kali gumpalan merah terlempar, akan tetapi ketiganya tertolak ke luar. Satu gumpalan terlempar ke laut.
"Awas semut ngangrang!"
Suara Jaghana sebagai peringatan halus.
Bisa diduga bahwa gumpalan semut itu bukan semut biasa, kalau dilihat sebelumnya ada barisan ular hijau. Akan tetapi Jaghana yang memberi peringatan justru bergerak lebih jauh. Begitu atap rumah-rumahan membuka, Jaghana meloncat masuk ke dalamnya.
Masuk! Eyang Puspamurti menggaruk-garuk pipinya.
"Harusnya aku ikut masuk melihat ke dalamnya."
"Semua apa, Eyang?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Entahlah. "Pastilah binatang berbisa yang sebentar lagi akan menggulung dan menerjang, menyerang mereka. Ada apa di dalam sana?"
Mpu Sina mengikuti. Akan tetapi tutup rumah-rumahan mengatup.
Dengan keris di tangan kiri, Mpu Sina menyodet, dan menarik sekuatnya.
"Masuk!" Teriakannya keras. Halayudha yang berada di dekatnya seperti ragu. Justru Gendhuk Tri-lah yang menerobos masuk.
Sementara itu Nyai Demang berusaha mengebutkan selendang dan pukulan untuk mengusir barisan semut yang terus-menerus menyerbu ke arah mereka.
Mahapatih saling pandang dengan Halayudha. Keduanya bergerak cepat ke arah rumah-rumahan. Untuk menerjang masuk.
Akan tetapi ketika tubuhnya melayang, mendadak terdengar suara sangat keras sekali.
Nyai Demang minggir ke arah dinding.
Tiang utama perahu jatuh ke bawah.
"Sekarang." Kini Mpu Sina yang bergerak cepat. Dengan keris terhunus, tanpa mengetahui apa yang berada di bawahnya, Mpu Sina meloncat ke dalam.
Barisan Semut Api

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

HALAYUDHA tidak ikut menerjang masuk.
Karena menurut perhitungannya sangat besar risikonya. Kalau atap yang selalu tertutup tiba-tiba membuka, pastilah disengaja untuk memancing.
Sebagai gantinya Halayudha menggempur dinding rumah-rumahan.
Dengan pukulan keras. Menimbulkan suara yang menggelegar karena benturan tenaga yang dahsyat.
Tapi ternyata itu juga berarti mengundang bahaya.
Gumpalan semut ngangrang, semut api, lepas dari semua sudut.
Dalam sekejap seluruh perahu berubah menjadi warna merah. Seolah terbakar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang menyaksikan dari pinggir, ataupun Eyang Puspamurti, mendecak karena kagum dan ngeri.
Betapapun hebatnya bertahan, Halayudha, Mahapatih, serta Nyai Demang, mereka tak kuasa menahan barisan yang luar biasa menerjang maju. Seribu terbunuh, tiga ribu menggerayang maju. Dengan rahang terbuka seolah kesetanan.
Nyai Demang bergidik. Ia berusaha bertahan, akan tetapi akhirnya meloncat ke arah pinggir, dan terjun ke rakit. Mahapatih juga tak mempunyai pilihan lain. Hanya Halayudha yang terus bertahan. Dengan menggulung diri, kedua tangannya secara bergantian memompa tenaga dalam untuk menepiskan serangan. Kakinya bagai menari cepat sekali. Sekali bergerak, melindas habis puluhan kepala. Beberapa gigitan mulai terasa, akan tetapi Halayudha nekat bertahan.
Beberapa saat saja. Karena kemudian dari ujung tiang utama yang merebah, mendadak terdengar dengingan suara. Ratusan kumbang lepas dan menerjang.
Halayudha menggulung kainnya, meloncat ke arah rakit. Kedua tangannya masih berseliweran mengusir kumbang. Walau tak urung beberapa sengatan mengenai tubuhnya.
Dengan mundurnya Nyai Demang, Mahapatih, dan Halayudha, untuk sementara perahu kembali sunyi.
Bagaimana nasib Jaghana, Gendhuk Tri, serta Mpu Sina belum diketahui.
"Kamu catat baik-baik, Kwowogen!
"Seorang mahapatih Keraton yang paling kuasa, dengan Senopati Halayudha yang paling sakti, ditambah lagi seorang wanita yang mampu berbicara dengan siapa saja, terbirit-birit karena semut dan kumbang.
"Pernahkah kamu membayangkan akhir yang mengenaskan ini"
"Catat baik-baik, Kwowogen!
"Di belakang hari kamu akan menyaksikan yang mungkin lebih mengerikan. Seekor cacing bisa menghancurkan Keraton.
"Dalam artian yang sebenarnya."
"Eyang, kami akan maju."
"Kamu diam di tempatmu, Mada.
"Ini masih hari pelajaran ilmu silat. Kalian belum pantas terjun ke gelanggang."
"Rama Truwilun..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tak ada siapa-siapa.
"Yang kamu dengarkan hanya aku. Lihat, masih ada yang menarik."
Apa yang disebutkan Eyang Puspamurti memang menarik perhatian.
Kawanan kumbang yang mendenging itu berputar-putar, dan kemudian secara berombongan masuk kembali ke tiang! Seperti mematuhi perintah.
Demikian juga ribuan semut api. Mulai bergulung kembali, membentuk lingkaran yang makin lama makin besar. Walaupun sebagian mati dan terinjak, akan tetapi yang tersisa bisa berkumpul kembali.
Patuh. "Kumbang bisa dikembalikan dari induknya. Dari ratunya. Akan tetapi bahwa semua bisa dilatih seperti itu, menandakan ketekunan yang luar biasa.
"Boleh juga Pangeran Hiang ini.
"Apa pikiranmu, Mada?"
"Terjun ke gelanggang."
"Sekali lagi kamu bicara itu, kupatahkan dua tangan, dua kaki, dan batang lehermu.
"Yang mampu menerobos ke sana hanya aku.
"Kalian bertiga tak perlu berbuat itu."
"Kenapa Eyang tidak turun?"
"Apa kalian bertiga sudah edan"
"Semua ilmu yang kumiliki, semua pengetahuan yang kukuasai, baru seujung kuku kuberikan kepada kalian. Bagaimana mungkin aku meninggalkan begitu saja?"
"Apakah berarti Eyang pun tak akan kembali kalau masuk ke sana?"
"Itu tidak penting, Mada."
"Eyang..." "Aku tahu pertanyaanmu.
"Yang kalian tidak tahu adalah bahwa ini pertarungan mati-hidup.
Siapa pun yang terjun ke dalam gelanggang tak tahu pasti apakah masih bisa hidup atau tidak.
"Mpu Sina yang paling unggul, Jaghana yang paling kuat dan murni, serta Gendhuk Tri yang banyak akalnya, begitu masuk seperti tenggelam ke alam suwung. Tak ada suara berisik. Tak ada kegaduhan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Berarti ada perangkap yang lebih luar biasa.
"Yang mampu membungkam mereka bertiga.
"Aneh sekali. Pertarungan yang sesungguhnya belum terjadi, akan tetapi semua ksatria Keraton, semua senopati pilihan sudah dikalahkan.
"Tidak percuma Keraton Tartar menguasai jagat.
"Mereka benar-benar tangguh dan mempunyai persiapan yang sangat sempurna, dari segi apa saja.
"Kalau putra mahkota seperti Pangeran Hiang, kejayaan Tartar masih akan panjang.
"Panjang... "Dulu Sri Baginda Raja mampu memotong telinga utusan Raja Tartar dan menyatakan perang. Rombongan berikutnya dapat dipatahkan oleh Baginda, digiring ke pinggir laut. Utusan yang berikutnya juga dikalahkan dalam pertarungan di Trowulan.
"Kini... "Kini, siapa yang menandangi?"
"Eyang..." "Di bengawan ini kita mengakui kejayaan mereka."
"Eyang..." "Apakah Bejujag juga mampu mengatasi kalau ia mampu menjelma lagi" Apakah pasangan Bejujag dan Pulangsih masih bisa menjadi pemenang utama"
"Jangan panggil namaku, Mada.
"Aku tahu, sebentar lagi aku akan turun ke gelanggang. Tak bisa lain.
Nasib kalian sebagai murid dari guru terbaik di jagat ini mungkin akan berakibat lain.
"Inikah yang namanya nasib?"
"Eyang, Mahapatih sedang menyiapkan serangan berikutnya."
Eyang Puspamurti melamun.
Tidak peduli bahwa Mahapatih Nambi sedang menyiapkan prajurit yang menyiapkan barisan api. Obor-obor mulai dinyalakan di tengah hari.
"Kita akan menerjang sekali lagi."
Halayudha mengangguk. "Kalau perlu, segalanya jadi abu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang mengelus gigitan semut yang menimbulkan bekas merah di kulitnya.
"Dengan api, semua semut dan kumbang akan terusir sementara.
Tapi kita tak tahu barisan apa lagi yang akan muncul.
"Apakah tidak sebaiknya kita menunggu Raja, yang bisa mengadakan pembicaraan?"
"Apa Nyai merasa gentar?"
"Halayudha, siapa pun sekarang ini gentar.
"Tapi gentar tidak berarti mundur.
"Hanya apakah tidak ada jalan lain?"
Mahapatih mengambil dua kerisnya.
"Sekarang kita maju."
Perintahnya jelas sekali.
Ia sendiri melangkah maju, diiringi para senopati yang membawa obor. Akan tetapi sebelum mendekat ke arah rakit, terjadi lagi perubahan. Rakit-rakit yang menghubungkan ke perahu bergerak-gerak.
Beberapa prajurit yang menjaga terpelanting ke sungai.
Suatu bayangan muncul dari dasar.
Pasukan buaya, yang kini, bahkan siap naik ke darat!
Mata Mahapatih berkejap-kejap. Serangan buaya itu ternyata sangat merepotkan. Rakit sebagai jembatan penghubung sebagian rusak.
Sehingga para prajurit tak bisa meloncat ke perahu.
"Lepaskan panah api," bisik Halayudha.
"Baginda dan Permaisuri masih berada di dalam."
"Mahapatih, kita tak yakin apakah Baginda berada di dalam atau ditawan di tempat lain. Perahu itu akan menjadi sangat sempit jika begitu banyak orang di dalam.
"Ataukah Mahapatih memikirkan Ayahanda?"
Halus suaranya, lembut nadanya, akan tetapi Halayudha bisa menelusupkan gagasan yang membuat Mahapatih tersudut. Kalau alasan utama tidak menyerbu adalah adanya Mpu Sina di dalam, pamor Mahapatih jadi guncang.
Berarti mementingkan keluarga di atas keselamatan yang lain.
Nyai Demang bisa membaca siasat busuk Halayudha.
"Kalau Baginda tak berada dalam perahu, untuk apa kita menyerbu ke sana?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mahapatih terdiam. Sesaat seperti tak mempunyai ketegasan tindakan apa yang harus diambil.
Pendekar Api TAK ada yang tahu persis apa yang terjadi.
Tidak juga Jaghana. Ketika atap rumah-rumahan membuka, Jaghana langsung meloncat masuk. Semua kemampuan dan kekuatannya dikerahkan untuk menangkis serangan model apa pun. Untuk itu Jaghana siap menghadapi segala kemungkinan.
Akan tetapi justru ketika meloncat masuk, tubuhnya tak bisa bergerak. Baru kemudian Jaghana sadar dirinya masuk ke jala yang dipasang sebagai perangkap.
Dengan tubuh menggantung, berada dalam jaring yang mengecil, Jaghana tak bisa bergerak sama sekali.
Demikian juga dengan Gendhuk Tri.
Hanya Mpu Sina yang sedikit berbeda. Karena begitu masuk ke jaring, kerisnya menetas, memutus tali jaring. Sehingga sesaat kemudian tubuhnya bisa menginjak lantai kayu.
Berdiri gagah. Dengan dua jaring berisi Gendhuk Tri serta Jaghana berayun-ayun di sebelah kanan dan kirinya.
Di depannya duduk bersila beberapa lelaki yang memandangi dengan sorot mata tajam. Tubuh mereka tak bergerak sama sekali, tak terpengaruh dengan kegaduhan di luar atau keris di depan mata.
Ruangan dalam sangat sempit, sehingga lelaki yang berada di depannya seolah saling bertumpuk. Sekilas seperti yang didengar, jumlah mereka sekitar dua belas atau tiga belas orang.
Mpu Sina membungkuk hormat.
"Selamat datang, prajurit tua yang gagah berani."
"Terima kasih, Kisanak Jalugeni...."
"Kami tidak menghendaki orang luar masuk ke tempat suci ini. Akan tetapi karena kalian sudah berada di dalam dan tak mau segera keluar, tak ada cara lain untuk menyambut.
"Maaf kalau tempat ini tak pantas untuk menerima kedatangan kalian bertiga."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mpu Sina bersila di lantai.
Kerisnya dimasukkan ke sarung.
"Bolehkah saya tahu nama-nama besar kalian?"
"Kami semua ini pengawal Pangeran Sang Hiang. Sebagian menyebut kami Pendekar Api, sebagian menyebut kami entah apa lagi. Karena kami selamanya berada di dalam perahu, nama di antara kami tidak menjadi penting benar.
"Akan tetapi untuk tidak mengecewakan, bolehlah kami disebut dengan nama Jalugeni, Jalulatu, Jaluapi, Jaluapyu, Jaluagni, Jalubahni, Jaludahana, Jalubtama, Jaluguna, Jaluanala, Jalusiking, Jalupawaka, dan Jalupuja...."
Dalam hati Gendhuk Tri merasa geli. Meskipun tubuhnya sama sekali tak bisa bergerak, senyumnya mengembang juga. Jawaban Jalugeni seperti mengada-ada. Karena nama-nama yang disebutkan Jalugeni seperti namanya sendiri. Yang berarti taji api.
"Terima kasih... "Saya sendiri bernama Sina, dan teman yang datang ini Jaghana dari Perguruan Awan, serta Jagattri...."
Agaknya Mpu Sina tidak tega menyebut nama Gendhuk.
"Kami ingin menegaskan apakah betul Baginda dan para permaisuri berada di dalam perahu ini?"
"Segalanya telah jelas.
"Tak ada yang ditutup-tutupi."
"Baik. "Kedatangan kami pun cukup jelas bagi Kisanak."
"Jelas. "Kami tak bisa berbuat yang lain. Pangeran Sang Hiang memerintahkan, agar kami membawa Baginda ke negeri Tartar. Dan itu yang akan kami lakukan.
"Tak ada yang lain."
"Apakah saya diperkenankan sowan menghadap Pangeran Hiang?"
"Terima kasih atas penghormatan Kisanak.
"Kami tak tahu apa-apa. Kalau Pangeran Sang Hiang bersedia menerima kalian, pasti sudah menemui di sini. Karena tidak ada, berarti tidak bisa.
"Kami sedang menunggu perintah, apakah memusnahkan kalian atau membiarkan seperti sekarang."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bagus, bagus sekali.
"Ini sangat menarik," kata Gendhuk Tri keras. "Kalian para Pendekar Api ternyata sangat patuh. Tidak sia-sia menjadi prajurit kawal.
"Hanya saya bertanya-tanya, apakah yang kalian sebut-sebut sebagai Pangeran Sang Hiang itu Dewa yang sesungguhnya" Yang mampu menentukan manusia?"
"Kami tak mau berdebat soal itu."
'Tentu saja tidak. "Kalian tidak tahu tentang tata krama Keraton. Kalian hanya mengerti bagaimana membuat perahu yang bisa menjeblak dan menutup, bagaimana memelihara ular, buaya, kumbang, kecoa, dan tikus.
"Kalau kalian tahu...
"Tidak mungkin. "Sejak semula kalian tidak dididik untuk itu.
"Percuma juga bicara mengenai hal itu."
Sunyi. Sepi. "Paman Jaghana, agaknya kita berhadapan dengan bagian perahu ini.
Apakah Paman menduga bahwa yang memerintah tak jauh berbeda dengan mereka ini?"
"Barangkali..."
Suara Jaghana menggantung.
Ia bukannya tidak tahu bahwa Gendhuk Tri berusaha memancing keluar Pangeran Hiang. Hanya saja ia sendiri tak biasa berbicara seperti itu.
"Kekuasaan. "Ini masalah kekuasaan. Kekuatan. Kita tak bisa bicara dengan akal budi.
"Kekuasaan adalah kekuatan.
"Kekuasaan adalah kemenangan.
"Kalau bisa membawa Baginda ke Tartar, berarti kemenangan yang sempurna. Sempurnalah Tartar yang menguasai jagat. Tak ada yang membantah lagi.
"Sungguh berbeda dengan Sri Baginda Raja.
"Kekuasaan Sri Baginda Raja tidak selalu dibuktikan dengan kemenangan dan kekuatan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Paman Jaghana, apakah Paman berpikir bahwa Sri Baginda Raja keliru menangkap arti kekuasaan?"
"Barangkali..."
"Kalau begitu, kenapa Pangeran Hiang ragu"
"Buat apa menunggu lagi" Kami sudah kalah. Terjebak.
"Pangeran Hiang menang. Dengan cara apa pun. Karena kekuasaan yang ditegakkan ini tidak memperhitungkan sikap ksatria atau bukan.
Itu tidak penting. "Selama bisa membantu, mendukung kekuasaan, semua adalah benar, baik, dan tepat.
"Bukan begitu, Paman?"
"Barangkali... "Karena kekuasaan yang ada mutlak. Seorang raja adalah pilihan Dewa. Selama dirinya bertanggung jawab kepada Dewa Yang Maha dewa, tak ada kesalahan, tak ada kekeliruan."
"Dewa Yang Maha dewa.
"Aha, bagaimana kita tahu itu semua pilihan Dewa?"
'Yang mempertanyakan bukan kita."
"Lalu apa bedanya Keraton dengan hutan rimba, Paman?"
"Barangkali sama."
"Paman Jaghana pernah mendengar sebutan mahamanusia..."
Kalimat Gendhuk Tri menggantung di tengah.
Dari ruangan dalam terdengar helaan napas.
Barisan Api menunduk. Jalugeni menunduk sampai kepalanya menyentuh lantai. Dengan satu gerakan tangan menarik, dua jala yang mengikat Gendhuk Tri dan Jaghana lepas.
Keduanya terbanting ke lantai.
Karena tak menduga, dan karena urat-urat dalam tubuh seperti membeku.
"Jagattri, apa arti mahamanusia?"
"Aa, agaknya Pangeran Hiang merasa tinggi hati untuk bertanya langsung.
"Tak apa, Jalugeni. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalian bisa mengatur suara untuk bisa saling mendengar. Akan tetapi saya akan mengatakan dengan cukup keras, agar Pangeran Hiang dan Putri Koreyea mendengar.
"Mahamanusia adalah manusia yang akan menjadi apa saja. Menjadi Dewa, memakai mahkota, memakai akal budi. Menjadi manusia bagi sesama manusia yang lain."
Bukan hanya Jaghana, Gendhuk Tri sendiri tidak paham benar mengenai mahamanusia. Akan tetapi tahu secara garis besar dan dengan kemampuannya berusaha untuk menuangkan kembali. Karena inilah satu-satunya jalan untuk memancing keluarnya Pangeran Hiang.
"Apakah manusia tidak bisa memerintah manusia yang lain?"
"Bisa. "Itu sebabnya ada Keraton. Ada raja, ada senopati, ada perangkat yang lain.
"Tapi dasar memerintahnya bukanlah kekuasaan, bukanlah kekuatan."
"Apa dasarnya, Jagattri?"
"Dasarnya manusia."
"Manusia yang bagaimana?"
"Jalugeni, susah kalau kamu bertanya begini. Kami mempunyai kitab yang menguraikan secara gamblang mengenai hal itu."
"Manusia yang bagaimana?" Pertanyaan Jalugeni seperti tak memedulikan jawaban Gendhuk Tri.
Percakapan Kekuasaan "TAK ada manusia yang bagaimana. Yang ada manusia."
"Manusia yang bagaimana?"
"Manusia adalah manusia. Pangeran Hiang adalah manusia. Mpu Sina adalah manusia."
"Bukankah Baginda manusia juga?"
"Ya." "Dan memerintah, dan berkuasa?"
"Ya, tetapi memerintah untuk kejayaan dan kemakmuran. Raja dipilih Dewa, tapi kekuasaan dititipkan."
"Kenapa kamu membela Baginda?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Membela manusia yang direndahkan oleh manusia yang lain."
"Siapa yang merendahkan kalian?"
"Yang bahkan menunjukkan hidup pun tak berani."
Jalugeni menggerakkan kedua tangannya. Serentak, bersama Jalu yang lain. Dalam gerakan yang sama. Gendhuk tak bisa menahan tubuhnya hingga menabrak dinding di belakangnya. Punggungnya serasa hancur.
Dengan memusatkan tenaga dalam di tubuh, Gendhuk Tri memasang kuda-kuda. Ketika sambaran kedua datang, Gendhuk Tri merendahkan badannya. Tenaganya disalurkan ke seluruh tubuh. Upayanya adalah mengalirkan tenaga yang datang menyambar.
Tangannya gemetar. Tenaga yang menyeruak masuk demikian keras, dan tangannya menjadi ngilu. Gendhuk Tri berusaha membebaskan diri, akan tetapi rasa berat justru makin lama makin mendidih. Dadanya terasa sakit.
Seluruh tubuhnya menjadi ngilu mendadak.
Jaghana menepukkan tangan dan membantu Gendhuk Tri. Akan tetapi hal yang sama terulang. Jaghana pun terbanting ke belakang, menabrak bagian belakang dengan sangat keras.
Kemelut Blambangan 1 Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Darah Dan Cinta Di Kota Medang 11
^