Pencarian

Senopati Pamungkas Dua 13

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 13


Mpu Sina meraih kerisnya dan maju. Sambaran angin dari Jalu-salah satu Jalu atau dua di antaranya membuatnya miring ke kiri. Ayunan kerisnya seperti memancarkan tenaga ganas yang ditakuti.
Dalam sekejap terjadi pertarungan di ruang yang begitu sempit. Keris Mpu Sina menusuk kiri-kanan, sementara kedua kakinya tak terhindarkan lagi beradu dengan kaki-kaki yang lain. Jaghana menggelundungkan tubuhnya, terlibat dalam pertarungan jarak dekat.
Begitu merasa tekanan lawan melonggar, Gendhuk Tri menerjang maju.
Kini semuanya terlibat dalam pertarungan jarak pendek. Dengan menjatuhkan diri, beberapa kali Gendhuk Tri menghindar. Selendang menampar wajah lawan beberapa kali, akan tetapi seperti tak mengubah apa-apa. Tak berpengaruh sedikit pun.
Benturan tubuh Jaghana membuat dua lawan tersudut, akan tetapi sebaliknya ia sendiri kena dibekuk dan terbanting.
Tak bergerak lagi. Gendhuk Tri merasakan seluruh tulangnya hancur ketika kena bekuk. Gulatan mereka betul-betul mematahkan. Tanpa terasa Gendhuk Tri mengeluarkan jeritan. Air matanya menetes menahan rasa perih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya Mpu Sina yang masih bertahan.
Keris pusakanya bahkan bisa melukai dua lawan, sebelum tangannya tertekuk dan mengeluarkan suara krak, keras.
Untuk kemudian terkulai. Ketiganya diseret menjadi satu dan ditumpuk.
"Kami sudah berkata bahwa tak ada yang bisa masuk ke perahu suci ini dan meninggalkan begitu saja. Hanya kematian yang bisa membebaskan kalian.
"Apalagi kalian telah melukai kami."
"Bawa ke atas!" perintah Jalugeni. "Biarkan mereka yang di luar mengetahui apa yang terjadi."
Ketiganya dibawa ke atas, ke lantai perahu. Ditumpuk.
Ketika itulah rombongan Mahapatih mencoba naik ke perahu. Hanya dengan menggerakkan tiang utama kapal yang bergerak memutar, rombongan Mahapatih betul-betul tersapu. Jatuh kembali ke sungai, dengan mengenaskan.
Nyai Demang bahkan tak bisa bergerak karena satu anak panah menancap di pundaknya.
"Habis sudah," teriak Eyang Puspamurti. "Semuanya sudah keok.
Sudah melata. Tak bersisa lagi. Seharusnya Jaghana tidak mengajak bertarung di ruangan yang sempit. Itu keunggulan pasukan Tartar.
"Mada, kamu mau ke mana"
"Senggek, atau Genter, atau siapa kamu, kenapa ikut"
"Kwowogen, kamu..."
Mada tak memedulikan lagi. Ia memberosot turun, diikuti dua temannya. Eyang Puspamurti sejenak tercenung, sebelum akhirnya meloncat turun.
"Kalian bandel. "Naik kembali. Eyang akan turun tangan sendiri."
Siapa pun yang melihat pemandangan di atas perahu tergetar hatinya.
Tersayat. Terkelupas habis. Di perahu, Gendhuk Tri, Jaghana, dan Mpu Sina ditumpuk bagai batang kayu. Sementara sepuluh Jalu berdiri membentuk satu barisan, mendongak melawan langit.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Di pinggir bengawan, Mahapatih masih berada dalam perawatan Nyai Demang. Hanya Halayudha yang berdiri kaku.
"Kalian para ksatria tanah Jawa, sungguh luar biasa.
"Selama kami mengelilingi jagat, belum pernah kami menampakkan diri seperti sekarang ini. Akan tetapi kalian memaksa kami.
"Atas nama Pangeran Sang Hiang dan Putri Koreyea, kami akan melaksanakan hukuman bagi yang berani melanggar masuk ke perahu.
"Di sini ada semut api, ada barisan kumbang, dan ular hijau.
Ketiganya akan berpesta pora.
"Bagi siapa yang ingin bersimpati, silakan naik.
"Dan setelah tak ada lagi, kami akan segera berangkat. Kalau kalian memang ksatria dan mempunyai dendam, kami semua menunggu di Keraton Langit, negeri kami." Suaranya lantang. Garang.
"Kami masih memberi kesempatan terakhir."
Sepi. Halayudha mengusap bibirnya.
Ini saatnya tampil. Menunjukkan bahwa dirinya tetap ksatria, dirinya senopati yang ulung. Akan tetapi Halayudha juga sadar bahwa kemungkinan selamat sangat kecil. Kalau tingkatan Jaghana saja bisa ditekuk begitu mudah, kemungkinan baginya juga sangat sulit.
Padahal sekarang justru posisi yang menguntungkan.
Dengan tumbangnya para senopati, berarti tak ada lagi yang akan menghalangi dirinya di belakang hari. Jalan makin lapang. Bukankah Mahapatih sendiri sudah bisa dikalahkan dan tercebur ke sungai"
Kalaupun ada yang mengganjal, itu hanya urusan dengan Raja. Yang Halayudha yakin bisa menyelesaikan dengan baik.
Dengan sangat baik. Dengan sangat baik sekali.
Habisnya para senopati dan hilangnya para ksatria membuat dirinya sendirian. Bahkan Raja pun akan tunduk di bawah kekuasaannya.
Bahkan dirinya bisa menduduki kursi Keraton, secara resmi.
Siapa lagi yang bisa menghalangi"
Kesempatan seperti sekarang ini tidak datang dua kali.
Halayudha berdiri kaku. Pada saat seperti sekarang ini tak ada yang memperhatikan dirinya. Karena yang lain dicekam ketakutan dan kecemasan.
"Masih ada kesempatan bagiku?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Suara Eyang Puspamurti terdengar bagai tetesan air di kegersangan.
"Kami menunggu."
"Aku akan ke sana. Tapi lewat mana"
"Kenapa bukan kalian saja yang menuju kemari?"
"Kami tak akan pernah meninggalkan perahu."
"Baik, baik, aku mengerti.
"Sebentar aku cari rakit atau kayu..."
Eyang Puspamurti betul-betul menunjukkan gerakan orang yang bingung. Mada dan kedua temannya sudah menyediakan kayu, akan tetapi malah diusir.
"Kalian bertiga ke pohon. Segera!"
Mada malah menatap gagah.
"Kalau tidak, aku tak jadi bertarung."
Mada surut dua langkah. Eyang Puspamurti mencari galah untuk mendayung. Akan tetapi baru dua tombak menghilir, rakitnya oleng. Sehingga Eyang Puspamurti melayang kembali ke pinggir.
"Susah, susah, susah."
Eyang Puspamurti berputar-putar mencari kayu yang lain.
"Kalau susah pakai rakit, kenapa tidak meloncat pakai galah?"
Mendadak terdengar suara halus, tapi jelas terdengar. Jelas tak ada nada mengejek, tak ada nada menggurui.
Suara yang membuat Nyai Demang membelalak.
Sesaat lupa akan rasa sakitnya!
Suara itu! Suara yang membuat Gendhuk Tri terjaga dan waspada. Matanya mencari-cari arah datangnya suara dengan debaran jantung yang aneh sekali.
Jaghana yang berada di bawahnya tersenyum.
Pasti. Pasti Kakang Upasara"
Kekuasaan dan Kodrat (1) BAHKAN Halayudha menengok ke arah datangnya suara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bibirnya gemetar. Apakah betul itu suara Upasara Wulung"
Suara tokoh sakti yang bisa muncul pada situasi yang sangat gawat"
Seolah ksatria yang sempurna"
Benar. Itu suara Upasara Wulung.
Tak mungkin. Sangat tidak mungkin. Halayudha menyaksikan sendiri tubuh Upasara Wulung yang dipoteng-poteng. Lebih dari itu, Halayudha ikut menanganinya, Halayudha ikut merajah tubuh Upasara. Dan meyakinkan diri di kuburannya!
Dewa pun tak akan bangkit kembali dari kematiannya yang begitu mengenaskan.
Tak mungkin. Sama sekali tak mungkin. Gendhuk Tri juga merasa tak mungkin. Barangkali ini hanya lamunannya. Ataukah sesungguhnya dirinya sudah mati, sehingga arwahnya bisa bertemu dengan kakangnya"
Tapi kenapa Jaghana tersenyum"
Seolah membenarkan. Ah, ini pikirannya sendiri! Selama ini Paman Jaghana selalu menampilkan wajah penuh senyuman. Bahkan senyuman dan sorot mata yang penuh welas asih itu tetap tak berubah ketika menyamar sebagai Truwilun.
Ah. Kenapa dirinya begitu bodoh, begitu peka dan cengeng di saat-saat terakhir seperti ini"
Suara lembut itu juga membuat Permaisuri Rajapatni tergetar.
Darahnya mendesir cepat sekali.
Meskipun berada dalam ruang yang sangat sempit, yang membuatnya tak bisa bergerak, akan tetapi gema dan getaran itu tetap terasakan.
Inilah akhirnya. Upasara akan datang. Suara hatinya mengatakan begitu, sejak ia memutuskan bergabung dengan Baginda. Hanya dengan cara begini Upasara akan muncul kembali ke dunia. Lebih ada alasan kuat, dibandingkan hanya untuk membebaskan Baginda.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Permaisuri Rajapatni sadar bahwa jalan pikiran seperti ini sangat mungkin sekali salah. Jalan pikiran semacam ini seperti membuat penilaian yang rendah.
Tapi jauh dalam sudut hatinya yang masih bisa jujur, Permaisuri Rajapatni seperti ingin mengatakan demikian. Bahwa Upasara Wulung akan muncul untuk membebaskannya.
Seperti dulu juga. Ketika ditawan pasukan Tartar.
Tak ada yang berubah. Bahkan peristiwanya sama. Sama persis.
Rajapatni menyadari bahwa getaran darahnya membuat duduknya jadi tidak jenak, jadi gelisah. Dan di ruang yang sangat sempit, tempat ia duduk bersinggungan dengan permaisuri yang lain, dengan Baginda, sedikit tarikan napas yang berbeda saja bisa diketahui.
Tapi Rajapatni tak peduli.
Getaran itu dirasakan sepenuhnya.
Siapa lagi yang bisa membuatnya menggeletar, membuat darahnya mengalir cepat, angannya melambung"
Siapa lagi" Siapa lagi, selain Upasara"
Kakangmas Upasara Wulung"
Rajapatni tertegun sendiri. Kenapa ia menjadi sangsi" Apakah karena kemudian tak ada suara apa-apa"
Nyai Demang berdiri terhuyung-huyung. Prajurit yang menjaganya dikibaskan. Rasa ngilu tak dipikirkan lagi.
Dengan berdiri terhuyung, pandangan Nyai Demang menyapu ke arah pinggir sungai yang lain.
Di mana kamu, Adimas Upasara"
Nyai Demang menghela napas panjang. Berat.
Tidak. Tak ada bayangan Upasara.
Yang ada adalah bayangan putih, tinggi sekali, seolah sedang melayang menuju perahu. Enteng bagai sayap burung yang tidak mengepak.
Bayangan putih itukah Upasara"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan. Bukan. Upasara-nya tidak setinggi itu, dan tidak pernah memakai pakaian putih.
"Kamu benar." Kini suara Eyang Puspamurti yang terdengar. Tubuhnya mengayun tinggi dengan lontaran galah. Sekali hinggap, berdiri di samping bayangan putih tinggi.
Halayudha menepuk jidatnya.
Dugaannya benar. Yang muncul adalah Upasara Wulung. Yang dengan gagah seolah terbang, turun dari angkasa. Bagai gerakan Dewa.
Kalau sekilas seperti tinggi, itu karena Upasara digendong di pundak seseorang. Yang untuk sementara ini belum dikenali Halayudha.
Terutama karena pikirannya mendadak menjadi tumpang-tindih.
Kalau Upasara muncul, pertarungan bisa menjadi lain.
Apalagi ada Eyang Puspamurti-setidaknya yang mengaku itu dan pernah ditemui. Bahkan pernah menelanjanginya!
Halayudha tak menunggu kesempatan.
Kakinya menjejak tanah, tubuhnya melayang ke atas. Ke arah galah yang ditinggalkan Eyang Puspamurti, yang masih menancap di sungai.
Dengan sekali ayun tubuhnya hinggap di perahu. Ini kesempatan terbaik untuk ikut tampil.
Bertarung atau tidak, masih bisa diperhitungkan kemudian. Tapi kalau sampai ia muncul belakangan dan peristiwanya sudah selesai, namanya tak akan diperhitungkan lagi.
"Kakang..." Suara Gendhuk Tri yang lirih, membuat lelaki berpakaian putih menoleh ke arahnya.
"Tole, kamukah itu...."
"Dewa Maut..." Suara yang lirih, suara yang samar. Akan tetapi Nyai Demang seperti bisa mendengar semuanya.
Seperti dibisikkan di daun telinganya.
Yang baru saja datang memang Upasara Wulung!
Tubuhnya tampak tinggi karena digendong Dewa Maut. Yang tampak lebih putih lagi karena seluruh rambutnya berupa uban.
Bagaimana mungkin bisa muncul berdua"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pertanyaan itu tertelan dalam hati. Nyai Demang menunduk, bersujud, mengucap terima kasih yang tulus kepada Dewa Yang Maha dewa.
Apa yang terjadi di perahu tak penting lagi. Dibandingkan dengan kemunculan Upasara.
Itu saja sudah jawaban dari doa yang selama ini dipanjatkan. Yang diam-diam memperbesar harapannya sejak Permaisuri Rajapatni menunjukkan tanda-tanda yang tidak biasanya. Permaisuri Rajapatni, ketika itu, Nyai Demang yakin sekali hal itu, menyembunyikan sesuatu.
Sesuatu yang agaknya membuat Permaisuri Rajapatni kemudian ragu. Apakah benar Upasara Wulung masih hidup"
Sesuatu yang sempat tercium oleh Gendhuk Tri juga.
Sementara itu di atas pohon, ketiga lelaki muda menajamkan pandangannya. Antara kagum, heran, dan keinginan besar yang membludak untuk ikut terjun ke perahu.
Yang terlihat hanyalah tubuh Eyang Puspamurti bergoyang-goyang.
Di sebelahnya berdiri seorang lelaki tua yang seluruh rambutnya putih, wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa-apa, yang kemudian menuju ke arah Gendhuk Tri. Di sebelahnya lagi, seorang lelaki yang gagah, tegap, akan tetapi tampak kurus, berdiri dengan kaki sedikit membuka.
Itukah Upasara Wulung"
Di sebelahnya lagi Senopati Halayudha berdiri gagah.
Melirik ke arah Upasara. "Kamu datang pada saat yang tepat, Upasara."
Yang terdengar sebagai jawaban justru teriakan Dewa Maut yang menyayat hati.
"Tole, Tole... kenapa kamu" Apanya yang sakit?"
"Dewa Maut, bukankah itu Kakang Upasara?"
"Yang mana?" "Yang datang bersama Dewa Maut."
"Ya, ya, dia Dewa Maut. Itu gelarannya."
"Masih linglung juga.
"Dewa maut...."
Gendhuk Tri menahan rasa sakit yang mengilukan. Semua tulang punggungnya seperti rontok, retak, sehingga untuk bernapas pun sulit.
"Apakah semua sudah datang?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Suara Jalugeni terdengar lantang.
"Jangan salahkan kalau kami tak memberi kesempatan lagi."
"Rasanya salah satu dari kami sudah lebih dari cukup. Rasanya dengan satu jurus saja, bisa selesai semuanya.
"Mada, Kwowogen, kalian bisa lihat dengan baik"
"Perhatikan ya!"
Mata Gendhuk Tri tak berkedip.
Memandang lelaki yang berdiri gagah. Yang membalas menatap mata Gendhuk Tri.
"Adik Tri, tahan sebentar. Dewa Maut akan menolong. Paman Jaghana, Paman..."
Suara halus itu terhenti.
"Saya Sina, prajurit tua. Benarkah ini Upasara Wulung, ksatria lelananging jagat?"
Kekuasaan dan Kodrat (2) UPASARA menunduk hormat. "Oh, kiranya Senopati Sina yang gagah dan budiman.
"Maafkan saya tidak mengenal Paman yang agung. Benar, saya Upasara Wulung. Mengenai sebutan itu, saya belum pantas menyandangnya."
Jalugeni maju setindak. "Apakah benar ini Upasara Wulung, lelananging jagat yang menggetarkan langit?"
"Sebutan yang berlebihan lebih susah ditanggalkan, meskipun sebenarnya hanya beban."
"Saya Jalugeni, siap menghadapi siapa pun."
"Kalau memang itu yang kita cari bersama," suara Upasara tetap lembut. "Apakah tidak lebih baik adik saya dan Paman Jaghana serta..."
"Tak ada yang meninggalkan tempat ini."
Upasara mengangguk. "Kakang... Kakang baik-baik saja?"
"Berkat bantuan Dewa Maut."
"Jangan sebut-sebut nama itu lagi. Kamu sudah janji."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mpu Sina menutup mata. Dunia persilatan memang dunia yang ganjil. Di saat segenting ini masih bisa saling bercanda.
Memang agak susah diterangkan dengan satu-dua kalimat untuk menjawab pertanyaan Gendhuk Tri maupun ucapan Dewa Maut.
Upasara Wulung sendiri tak menduga bahwa perjalanan hidupnya akan membawanya ke tengah dunia ramai. Ke tengah pertarungan.
Ketika pundak kirinya dilukai Halayudha dan beberapa pukulan keras menghantam tubuhnya, Upasara tak sadarkan diri. Kekuatannya benar-benar habis. Untuk mengambil napas pun dadanya terasa ngilu.
Antara sadar dan tidak, tubuhnya diseret ke dalam bagian Keraton.
Berada dalam pengawalan ketat. Upasara tak mampu bergerak.
Hanya pikirannya coba dijernihkan untuk menerima kenyataan sebenarnya.
Kenyataan yang sebenarnya itu adalah munculnya Permaisuri Rajapatni.
"Kakangmas, saya tak tahu harus berbuat apa. Tapi sebelum saat terakhir, biarlah saya mengusahakan sesuatu.
"Mohon Kakangmas Upasara tidak menolak."
Tubuh Upasara dingin. Jangan kata menolak, untuk mengatakan sesuatu saja tak mampu.
"Saya tahu Kakangmas tidak menyukai cara-cara seperti ini. Akan tetapi kalau belum pesti, Dewa akan menolong Kakangmas."
Upasara merasa tubuhnya diangkat, dibawa ke suatu tempat. Yang diingat bahwa yang mengangkat Permaisuri Rajapatni dengan dua putrinya.
Seperti dimasukkan ke sumur.
Upasara baru mengingat kemudian, bahwa sehari-hari yang menemani adalah Dewa Maut. "Kamu hidup lagi. Celaka. Celaka.
"Padahal kematian jauh lebih membahagiakan."
Yang membuat Upasara sedikit risi adalah Dewa Maut menjejalkan buah-buahan ke dalam mulutnya. Kadang menjilati luka Upasara, mengurut hingga beberapa saat.
"Tak ada gunanya lagi.
"Simpanan tenaga di pundak saya telah musnah."
"Memang. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Itu bagus. Berarti kamu tak usah main silat lagi. Di sini terus menemani aku. Tapi aku tak butuh teman. Mudah-mudahan kamu lebih cepat tua dan mati lebih dulu."
Saat itu Upasara hanya bisa membatin. Bahwa Dewa Maut adalah Dewa Maut yang sama seperti ketika di Perguruan Awan, ketika seluruh tenaga dalamnya sudah terkuras habis.
Yang kini tetap linglung, berbicara tidak keruan juntrungannya, yang menanam sendiri buah-buahan, yang tiba-tiba lenyap beberapa hari.
Dan muncul lagi tanpa memberitahukan apa-apa.
Upasara menjalani hidup dalam gua di bawah Keraton. Beberapa kali mencoba mengerahkan tenaga dalamnya lagi. Beberapa kali mencoba berlatih kembali.
"Kamu keliru. "Biasa saja. Jangan berangan menjadi jago silat lagi. Kitab Bumi yang kamu pelajari itu sebenarnya kitab yang baik. Yang mengajarkan kebaikan. Tapi Kitab Penolak Bumi lebih baik lagi. Tapi juga tidak baik."
Upasara lebih suka berdiam diri.
"Tenaga dalammu pernah habis. Lalu kamu diajari untuk mengembalikan. Sekarang tangan kirimu lumpuh, itu bagus. Kamu bisa bangkit lagi.
"Setiap tenaga dalam mempunyai cadangan. Itu yang kita panggil kembali. Kalaupun pernah hilang, pasti ada tenaga cadangan yang berikutnya.
"Itu sebabnya pohon sawo yang kutanam akan selalu berbuah. Itu sudah kodrat. Kucing yang beranak juga akan beranak lagi. Raja yang pergi, akan ada raja lainnya. Raja yang pergi tetap bisa menjadi pergi."
"Paman Dewa Maut..."
"Itu dulu. "Sekarang lain namanya. Namaku yang sekarang Upasara Wulung.
Dan kamu yang bernama Dewa Maut.
"Rasanya begitu lebih baik. Bukan lebih baik. Lebih tepat. Kalau berbuah mangga, kita akan menyebutnya pohon mangga, biarpun aku membuat pohon yang kecil sekali, yang bentuknya seperti pohon cemara.
"Kamu sudah melihat sendiri, kan"
"Itulah. "Kalau kamu Upasara, tidak tepat. Ksatria lelananging jagat tak mungkin bersembunyi di sini. Tak mungkin ditolong dengan pengorbanan seorang ksatria gagah, atau pengorbanan seorang wanita."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Paman..." "Aku yang memanggil kamu Paman.
"Karena aku Upasara."
"Baik, Pa... Baik, Upasara.
"Bagaimana penjelasan pengorbanan tadi?"
"Lho, kamu yang tahu.
"Aku tidak sadar waktu itu."
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya?"


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kodrat. Menurut kitab, kodrat itu ada. Itulah alam. Itulah manusia.
Lalu ada kekuasaan. Ada raja. Menjadi raja itu kodrat. Tapi kodrat menguasai, kodrat kekuasaan hanya mempunyai arti kalau untuk manusia. Untuk kodrat.
"Menurut kitab, raja itu ditunjuk Dewa. Dewa memilih manusia untuk menjadi penerusnya. Siapa yang mengajarkan itu" Agama. Percaya kepada Dewa Yang Maha dewa.
"Lalu Dewa ini dewanya siapa"
"Dewanya Dewa, juga dewanya manusia.
"Jadi kekuasaan itu milik manusia. Bukan milik raja.
"Menurut kitab, kamu menjadi Dewa Maut.
"Aku Upasara Wulung. Yang dibawa Permaisuri dan putrinya sambil berurai air mata. Karena ada seorang ksatria gagah perkasa yang mau menjadi tumbal bagimu. Yang tubuhnya akan dipotong-potong, dipisahkan kaki dari tubuh, tangan dari tubuh.
"Sehingga semua percaya aku ini sudah mati. Sudah dikubur.
Padahal aku yang sesungguhnya di sini.
"Walau memang sudah mati.
"Sudah dikubur oleh diriku sendiri.
"Menurut kitab..."
Dengan bahasa yang mencong ke sana kemari, Upasara seperti dituntun kembali menemukan dirinya.
Yang membuat Upasara terkejut adalah bahwa Dewa Maut mempelajari Kitab Bumi, Kitab Pamungkas, Kidungan Para Raja, dan Kidungan Paminggir sekaligus. Dengan leluasa masuk dan keluar Keraton, Dewa Maut memang bisa memperoleh semua itu.
"Kamu pasti mengira aku terpengaruh kitab-kitab yang kubaca serampangan ini. Itu keliru.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Semua kitab ini sama. Yang menciptakan juga sama. Apa bedanya Raganata atau Eyang Sepuh atau Sri Baginda Raja" Kamu keliru kalau mau memisah-misahkan.
"Bumi segalanya, itu kata kitab.
"Manusia segalanya, itu juga kata kitab.
"Raja itu segalanya, juga kata kitab.
"Perhitungan itu segalanya, juga kata kitab.
"Kodrat juga ada. Kekuasaan juga ada. Kekuasaan ada karena kodrat.
Kodrat itu ada karena ada manusia.
"Bagaimana, Paman, sudah makin mengerti?"
Dalam dunia yang jungkir-balik itulah Upasara Wulung justru menemukan kembali semangatnya. Menemukan kebenaran, kekuatan yang selama ini timbul-tenggelam dalam dirinya.
"Aku Upasara. Ksatria, gagah, belum pernah menyentuh wanita. Aku mempunyai kekasih permaisuri. Tetapi aku juga lelananging jagat, sehingga tidak pantas kalau aku mengundurkan diri karena asmara yang ruwet.
"Itu hanya terjadi padamu, Paman.
"Ketika kamu mengundurkan diri dari dunia persilatan karena kekasihmu lari dengan lelaki lain, lalu kamu terus-menerus berada di sungai, tak mau menginjak daratan. Kamu selalu membunuh orang dalam pertarungan.
"Aha, kamu sekarang geli sendiri melihat dirimu.
"Karena kamu memilih bergaul dengan sesamamu. Yang kemudian mati, dan kamu jadi gila.
"Maaf, Paman, aku bicara terus terang padamu."
Pergeseran Kekuasaan Dewa
DENGAN cara terbalik, Dewa Maut terus menganggap dirinya sebagai Upasara Wulung, dan menganggap Upasara Wulung sebagai dirinya.
"Paman sudah kehilangan tenaga dalam. Selesai sudah, karena rontok dari dalam. Karena terpatahkan tulang pundak, karena tenaga dalam Paman sudah terkuras oleh tenaga mengisap Banjir Bandang Segara Asat.
"Berbeda dengan diriku. Aku mempelajari inti Kitab Bumi. Tenaga dalam yang terkumpul selalu menyisakan tenaga simpanan. Semua
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
yang kumiliki ada tenaga cadangannya. Yang tak bisa dikeluarkan kalau tidak diubah lebih dulu. Dengan mengetahui cara mengubahnya, tenaga dalam itu bisa dipanggil kembali.
"Aku pernah mengalami.
"Satu kali. "Dan aku bisa mengalami lagi.
"Lagi. "Lagi. "Selama aku bisa memanggil kembali, tenaga dalamku tak bisa musnah. Kecuali kalau memang dimusnahkan. Kecuali kalau memang tak bisa memanggil dan mengubahnya. Kecuali kalau tak mau. Kecuali kalau gabungan dari semua.
"Aku juga mengalami keraguan. Apakah tidak lebih baik begini saja.
Lebih tenteram, lebih ayem, bersembunyi dalam gua seperti Paman.
"Tapi aku tidak. "Aku ksatria. Aku memilih memulihkan tenaga dalam dan kembali ke jagat."
"Bagaimana kamu bisa memulihkan tenaga cadangan untuk kedua kalinya?" tanya Upasara yang menjadikan dirinya seolah Dewa Maut.
"Kamu tak tahu. "Tetapi aku tahu."
"Bagaimana caranya?"
"Dicari." "Sekarang tenaga cadangan itu tak ada lagi. Tak ada yang membantumu, seperti dulu Eyang Dodot Bintulu."
"Paman salah menduga. Ilmu itu adalah cara. Adalah laku. Kalau ilmu itu benar adanya, siapa saja bisa menggunakan. Tidak selalu yang menciptakan.
"Bagaimana caraku"
"Mencari. "Hanya aku yang tahu."
Upasara mengangguk mantap.
"Itulah sebabnya ada kitab. Dituliskan untuk dipelajari siapa saja.
Itulah kekuasaan. Tadinya hanya dimiliki para Dewa, yang dipinjamkan kepada manusia. Salah satu yang dipilih, jadilah ia raja, sebagai penerus kekuasaan Dewa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Raja tak bisa salah.
"Kalau salah ia bertanggung jawab kepada Dewa. Bukan kepada permaisurinya, prajuritnya, senopatinya, atau rakyatnya.
"Raja tak bisa diganggu gugat.
"Kekuasaannya adalah titipan Dewa.
"Itulah yang ditulis kitab. Tapi ada kitab lain, yang mengidungkan tentang manusia. Yang mengatakan bahwa kekuasaan dari Dewa adalah kodrat, yang memang diwariskan kepada mahamanusia. Dan mahamanusia ini bisa siapa saja. Bisa dititipi menjadi raja, menjadi senopati, menjadi segala yang namanya manusia.
"Dengan kata lain, Dewa telah menggeser kekuasaannya. Sehingga raja tidak saja bertanggung jawab kepada Dewa yang memberinya kekuasaan, tetapi juga kepada sesama manusia, yang sama-sama mahamanusia juga.
"Pergeseran itu sudah ditulis dalam kitab."
"Apakah ajaran itu bukan yang tidak diperkenankan Sri Baginda Raja untuk dipelajari?"
"Kalau ya kenapa" Kalau tidak kenapa"
"Kamu tua, rambutmu putih, gelarmu Dewa Maut. Tapi tetap saja tak bisa mengerti bahwa mahamanusia bisa saling melarang, saling memperbolehkan. Saling mempercayai kitab atau tidak. Sri Baginda Raja sendiri juga menuliskan, dalam kitab.
"Berbeda" "Ya. "Tapi sama. "Sebab sama-sama kitab."
"Upasara Wulung, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
"Mencari." "Mencari apa?" "Mencari diriku."
"Caranya?" "Dengan laku. Semua ilmu, semua jalan dicari dengan laku. Kalau aku sudah menemukan, aku bisa tahu apakah diriku menjadi ksatria, dan berarti keluar dari tempat ini. Apakah aku mau menjadi pohon, dan berdiri di sini sampai berbunga dan berbuah. Apakah diriku Dewa."
"Upasara, kamu lihat aku ini seperti apa" Di mana laku-ku?"
Dewa Maut berkejap-kejap matanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Agak bingung sesaat dengan pertanyaan Upasara yang agaknya mengena.
"Kenapa aku tidak mau meninggalkan tempat ini?"
"Rasanya," Dewa Maut menjawab lirih, "rasanya kamu ini masih Dewa Maut. Yang mencari. Yang sedang melakukan laku. Mencari apakah dirimu itu Dewa. Ternyata bukan. Apakah pohon atau air. Ternyata bukan. Apakah ksatria" Ada benarnya, ada bukannya. Apakah kamu ini pendeta" Apakah kamu wanita" Apakah kamu pria" Apakah kamu raja"
"Dan akhirnya, kamu menangkap sisik terang.
"Kamu adalah manusia.
"Mahamanusia. "Itulah jawabannya. "Sehingga ketika aku kecemplung di sini, kamu mau mengajak bicara.
Mau berusaha sebagai manusia. Dan tidak mendiamkan saja seperti ketika belum menemukan jawaban."
"Kenapa aku tak mau meninggalkan tempat ini?"
"Omong kosong. "Sekarang ini kamu bisa ke mana saja. Arena semuanya adalah bumi.
Mahamanusia bisa di bumi mana pun. Bahkan tanpa bumi pun mahamanusia masih bisa ada.
"Kamu bukan manusia biasa, Dewa Maut."
Percakapan yang tidak keruan arahnya, perlahan memberi petunjuk dalam batin Upasara. Dengan menjadikan dirinya sebagai Dewa Maut dan Upasara Wulung, pencarian itu lebih cepat.
Itulah yang dirasakan oleh Upasara.
Itulah yang dicoba kembali oleh Upasara untuk mencari kekuatannya, tenaga dalamnya, melatih ilmunya. Dewa Maut yang mendampingi, sesekali berceloteh mengenai lirik-lirik dari Kitab Bumi, dari Kidungan Pamungkas, maupun Kidungan Paminggir.
Upasara Wulung boleh dikatakan menguasai seluruh tarikan napas dalam Kitab Bumi. Sehingga dengan cepat bisa mengetahui mana bagian yang disebutkan dalam Kitab Bumi yang kadang tercampur, atau sengaja digandengkan dengan lirik yang ada dalam kedua kitab yang lain.
Akan tetapi pada kesempatan berikutnya, perlahan-lahan bagian kitab yang satu bercampur dengan bagian kitab yang lain. Dengan demikian Upasara malah lega. Merasa bisa hanyut, bisa terseret, dan bisa berhubungan lebih akrab dengan Dewa Maut. Keduanya bukan hanya sering berganti peran, akan tetapi juga memerankan tokoh lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bagi Upasara, pendekatan seperti ini sesuatu yang baru baginya.
Selama ini boleh dikatakan Upasara tak pernah membayangkan dirinya orang lain. Atau bahkan mencoba mengikuti jalan pikiran seperti yang dilakukan Dewa Maut.
Makanya ia tertarik sekali.
Apalagi setelah bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, Dewa Maut bisa dalam sekejap berubah menjadi tokoh lain.
"Saya Upasara Wulung, ingin bertanya padamu, Permaisuri Rajapatni."
"Tentang apa?" jawab Dewa Maut cepat sekali.
"Siapa yang Permaisuri..."
"Kamu biasa memanggil Yayimas?"
"Siapa yang Yayimas korbankan?"
"Kakangmas sendiri sudah tahu. Untuk apa saya katakan"
"Kakangmas lupa, bahwa saya melakukan hal itu karena ia pun menghendaki hal itu. Sebagai sarana, sebagai upaya, dan juga kodrat yang digariskan padanya.
"Saya tak akan mungkin melakukan itu tanpa kesediaan dan permintaan darinya."
"Apa yang Yayi lakukan?"
"Seperti yang dikatakan. Menebas tangan, kaki, kepala, lalu membungkusnya dengan kain putih, dan memperlihatkan kepada siapa yang ingin melihat sebelum akhirnya dikubur.
"Dan melarikan Kakangmas ke gua bawah tanah."
"Siapa yang menjadi korban?"
"Kakangmas sudah tahu tanpa saya menyebutkan nama."
Upasara tercenung. "Kenapa ia melakukan itu?"
"Karena ia meminta itu. Karena tak ada harapan lagi baginya untuk hidup terus. Karena cara kematian dengan menggantikan Kakangmas merupakan jalan yang terbaik.
"Saya tak akan berani melakukan itu tanpa permintaannya. Tanpa kesediaannya. Tanpa kenekatannya untuk mencari pedang dan menebas lehernya.
"Kakangmas kira saya tega melihat itu semua?"
Dewa Maut menggigil. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seolah menyaksikan pemandangan yang mengerikan.
"Cukup, Paman."
Ngrogoh Sukma Sejati DEWA MAUT menggeleng. Seketika ia kembali ke dirinya lagi.
"Maaf, Paman," Upasara menyembah dengan hormat. "Maaf kalau saya terlalu memaksa Paman."
"Tak apa. "Kamu bisa membuat aku menjadi mahamanusia yang bisa lebih sempurna.
"Inilah bagian yang dinamakan ngelmu Ngrogoh Sukma Sejati.
Banyak yang menafsirkan, banyak yang mempelajari. Banyak pula kemungkinannya."
"Bagaimana Paman bisa melakukan?"
"Ini ngelmu, bukan ilmu.
"Ilmu bisa dipelajari, dilatih, dan dimatangkan. Ngelmu dilakukan dengan rasa"
Beberapa saat Upasara Wulung terdiam lama.
Beberapa lama Upasara terdiam.
Penjelasan yang sepotong-potong dari Dewa Maut membuka mata rantai batinnya. Menghadirkan kembali gambaran apa yang selama ini dikenalnya, diketahui, akan tetapi belum jelas.
Sekarang, meskipun masih belum seluruhnya, menjadi lebih gamblang, lebih jelas mengarah ke terang benderang.
Rasa adalah laku, yang dalam Kitab Bumi berarti penyerahan, berarti kemauan yang ikhlas lahir-batin untuk menjadi korban. Untuk mengorbankan diri tanpa pamrih. Sedangkan pada ajaran mengenai mahamanusia, rasa yang menjadi laku itu adalah... menjadi mahamanusia.
Menjadi mahamanusia adalah selalu sifat manusia. Bagaimana mahamanusia yang sejati, yang sesungguhnya, itulah sesungguhnya laku. Yang hanya bisa didekati dengan rasa.
Seperti juga bagaimana bisa memahami ajaran Ngrogoh Sukma Sejati, atau Merogoh Sukma Sejati.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sukma bisa berarti nyawa, bisa berarti hawa kehidupan. Sejati adalah inti yang sesungguh-sungguhnya. Berarti ajaran untuk merogoh sukma yang sejati. Melepaskan sukma dari tubuh.
Melepaskan nyawa, bukan sesuatu yang luar biasa bagi Upasara Wulung yang mempelajari Kitab Bumi. Bahkan titik-titik ajaran Kitab Bumi sudah membersitkan ke arah tercapainya moksa, menghilang bersama sukma dan tubuhnya, seperti yang diperlihatkan oleh Eyang Sepuh.
Pada bentuk yang lain, hal itu membentuk dalam ilmu yang diperlihatkan Eyang Kebo Berune. Dalam penguasaan ilmu ini, Eyang Kebo Berune mencapai tingkat di mana tubuhnya, badannya, jasmaninya bisa terus-menerus bertahan. Seolah masih hidup, meskipun sebenarnya sudah "mati".
Sesuatu yang pernah disaksikan sendiri.
Apalagi jika Upasara menyaksikan keseluruhan tubuh Eyang Kebo Berune yang kemudian hancur menjadi cairan busuk.
Hal yang kurang-lebih sama juga bisa terjadi pada diri Eyang Putri Pulangsih.
Ada perbedaan dalam perkembangan penampilan, akan tetapi intinya sama.
Walaupun berasal dari Kitab Bumi yang sama-sama menjadi sumber, penampilannya bisa berbeda. Bahkan dari jurus-jurus yang kemudian bisa dimainkan pun berbeda. Pada Ugrawe yang mewarisi langsung dari Eyang Dodot Bintulu, menjadi tenaga ganas Banjir Bandang Segara Asat. Memindahkan tenaga dalam ke dalam tenaga dalamnya sendiri.
Dalam ajaran Kitab Air, itu berarti mengubah diri menjadi tenaga air, yang bisa berubah mengikuti bentuk lingkaran yang ada.
Intinya sama. Bagaimana memindahkan dirinya menjadi kekuatan lain, atau kekuatan lain menjadi dirinya.
Seperti ketika Upasara Wulung mulai mengenal ilmu silat. Jurus-jurus yang dimainkan dinamai Banteng Ketaton. Itu hanya merupakan kembangan atau variasi gerak yang disesuaikan dengan kemampuannya saat itu. Jurus-jurus itu sengaja diciptakan oleh Ngabehi Pandu khusus untuknya. Akan tetapi inti kekuatannya adalah ajaran dalam Kitab Bumi juga.
Karena justru pada awalnya, tenaga yang diambil adalah tenaga bumi.
Dengan membuka telapak tangan, membentuk lingkaran, tubuh berputar, untuk mengisap tenaga bumi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sampai di sini, Upasara bisa memahami persamaan kitab-kitab yang menjadi kacau dalam hafalan dan pengertian Dewa Maut. Menjadi kacau akan tetapi sebenarnya tidak. Karena kitab-kitab itu merupakan kelanjutan dan perkembangan dari satu ke yang lainnya. Siapa pun penciptanya yang utama!
Tak jauh berbeda dari asal-muasal Kitab Bumi.
Yang berasal dari ajaran pertama Paman Dodot Bintulu, sampai yang dibakukan Eyang Sepuh.
Makin lama Upasara makin tenggelam dalam perjalanan lamunan yang bisa ditarik jauh ke depan maupun ke belakang.
"Memang begitu," tutur Dewa Maut yang seakan bisa membaca tepat yang dipikirkan Upasara.
"Lamunan itu bisa menjadi kasunyatan, menjadi kenyataan, kalau kamu sudah menjadi mahamanusia.
"Kenyataan bukan selalu berarti apa yang bisa dilihat, diraba, dikecap, melainkan apa saja yang bisa dialami.
"Merogoh nyawa sejati adalah memisahkan nyawa dari badan, tanpa harus melalui mati. Mati dalam pengertian umum, yang ditolak dalam ajaran mahamanusia.
"Padahal nyawa dan raga selalu satu.
"Itu kata kitab. "Kitab lain bisa mengatakan tetap satu, tapi bisa sendiri-sendiri."
Upasara melanjutkan lamunannya sendiri, karena jalan pikirannya kini tertuju kepada Eyang Puspamurti. Tokoh ganjil satu ini, sebenarnya melakukan hal yang sama. Mencoba menahan kematian. Dengan cara membuat dirinya selalu muda. Seolah usia tak bergerak dari semula.
Ingatan itu bermuara kepada pertanyaan dalam hati Upasara yang dikatakan perlahan.
"Paman Dewa Maut, selama saya berada di luar, untuk pertama kalinya saya mendengar pengertian mahamanusia dari Eyang Puspamurti.
"Barangkali Eyang Puspamurti satu-satunya yang sejak awal mulai mempelajari."
"Keliru kalau hanya itu."
"Apakah kekeliruan itu yang membuat Eyang Puspamurti hanya memainkan satu jurus saja?"
"Tidak betul. "Tapi bisa juga. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Upasara, kamu lebih tahu karena kamu melihat."
Upasara berusaha menjelaskan apa yang diketahui. Bahwa Eyang Puspamurti selalu memainkan satu jurus saja dan selalu mengulang dalam pertarungan yang dilakukan, dengan siapa saja.
"Rasanya Eyang Puspamurti mengetahui adanya Kitab Bumi, Paman."
"Mengetahui saja tidak cukup."
"Menguasai." 'Tidak cukup." "Menelan. "Memiliki." "Ya." "Menjadikan dirinya."
"Mengubah ilmu menjadi ngelmu. Sehingga tak kelihatan lagi memainkannya, atau memilikinya."
"Paman belum menjawab."
"Tidak selalu harus ada jawaban."
Kembali percakapan seperti tak menemukan ujung-pangkal. Tapi kembali lagi Upasara menemukan jawaban samar yang kembali akan berwujud sebagai pertanyaan.
Jawaban yang juga sekaligus pertanyaan yang selalu terjelma dalam diri Dewa Maut. Dalam sikapnya sehari-hari, dalam omongannya yang melantur.
Dalam tindak-tanduknya ketika menanam biji mangga, biji jambu, memakan buahnya, menggiring ikan di kubangan yang dibuatnya, berdiri tegak lurus menjadi pohon, menjadi rumput, berendam dan bercakap dengan penghuni air dalam bahasa yang tak dimengerti Upasara. Kalau tadinya Upasara mengira Dewa Maut benar-benar kehilangan akal, sekarang muncul pengakuan baru. Dewa Maut tetap Dewa Maut yang kehilangan akal, yang seolah bertindak tidak waras.
Akan tetapi ketidakwarasan kali ini mempunyai makna dalam pandangan Upasara.
Menjadi ikan, pohon, udara adalah bagian dari laku yang dipilih secara total dalam diri Dewa Maut. Sedemikian menyatu pendekatan itu, sehingga sukma sejati bisa mengikuti apa yang diinginkan.
Yang sedikit menggembirakan hati Upasara ialah kenyataan bahwa pencapaian yang diperoleh Dewa Maut menemukan bentuknya yang padu sewaktu Upasara datang. Kalau selama ini seakan larut tidak
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
keruan ujung-pangkalnya, sekarang lebih bisa diarahkan. Hanya arahan yang dipilih Dewa Maut adalah arahan yang tidak terarah.
Menyadari hal ini Upasara tidak memaksa Dewa Maut berlatih tenaga dalam, atau bermain silat. Upasara melakukan sendiri, sedangkan Dewa Maut memilih apa yang menjadi dorongan batinnya.
Datang dan pergi. Bercerita sendiri. Mengidung. Masuk Keraton dan kembali lagi.
Menyampaikan kabar yang didengar. Kalau maunya begitu.
Pada Awalnya Krenteg KALAU saja seketika itu Dewa Maut bercerita, akan berbeda jalan hidup perjalanan Permaisuri Rajapatni.
Akan tetapi, Dewa Maut tidak bercerita seketika.
Beberapa saat kemudian, barulah Dewa Maut menuturkan bahwa sewaktu ia masuk ke Keraton, ia mendengar bahwa Permaisuri Rajapatni akan melihat kembali kuburan Upasara Wulung. Makanya ia menuliskan ucapan selamat datang, salam pambagya.
Tulisan di pohon itu memang terbaca oleh Gendhuk Tri dan Ratu Ayu Bawah Langit, akan tetapi lebih banyak menyisakan pertanyaan tokoh mana dan apa maksudnya menuliskan di kulit pohon serta dedaunan.
"Paman membuat banyak orang bingung. Bagaimana mungkin Paman membiarkan Permaisuri, Gendhuk Tri, Ratu Ayu, Nyai Demang, atau yang lainnya membawa-bawa tulang-tulang saya, padahal Paman mengetahui sendiri saya masih hidup?"
"Dari mana kamu tahu mereka bingung?"
"Mereka berombongan datang untuk meyakinkan itu tulang saya."
"Dari mana perasaan bingung?"
Upasara mengangguk lembut.
"Kenapa harus bingung"
"Mati atau tidak, itu tidak membuat bingung. Bingung atau tidak, itu tidak membuat mati.
"Kenapa kamu tidak ikut keluar gua?"
"Kalau saya tahu dicari, saya akan keluar."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dari mana kamu tahu dicari kalau tidak keluar gua?"
Belum sempat Upasara membenarkan kalimat Dewa Maut, yang berkata sudah mengucapkan kalimat lain.
"Tanpa keluar gua, kamu bisa tahu.
"Itu yang dinamakan Ngrogoh Sukma Sejati. Biarkan sukma berjalan leluasa, tanpa terikat raga. Raga kita ini tidak mati ditinggalkan nyawa.
Nyawa ini tetap ada, tanpa memakai raga.
"Pada awalnya adalah krenteg. Adalah niat. Adalah keinginan. Adalah ada. Adanya krenteg, atau karep, atau kehendak, karena diadakan.
"Kenapa kamu tidak mengadakan?"
"Paman, saya tidak mengetahui...."
"Kenapa kamu tidak mengetahui"
"Tahu itu ada."
"Kalau Paman tahu, apa yang mereka lalukan?"
"Untuk apa?" "Untuk mengetahui."
"Kamu sendiri bisa. Sukma kita ini bisa melakukan segala apa dengan sendirinya. Kenapa meminta aku?"
Lagi-lagi sebelum Upasara mengangguk atau berkata Dewa Maut menyambung,
"Hidup itu adanya di kemauan.
"Krenteging urip, kemauan untuk hidup. Lalu kemauan untuk merasakan asmara, untuk kangen, untuk menang, untuk kalah, untuk melatih silat seperti kamu.
"Aku tak ingin bercerita saat itu.
"Titik." "Terima kasih, Paman."
"Sejak kapan kamu memanggil Paman?" Ucapan Dewa Maut sangat keras, seolah baru pertama kali disebut dengan panggilan yang keliru.
"Bagaimana kamu memanggil dirimu sendiri, Paman?"
Upasara makin menyadari bahwa latihan pernapasan dengan konsentrasi seperti yang dilakukan Dewa Maut, tidak sepenuhnya dikuasai.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Maut bukan hanya mampu memperlihatkan bagaimana mengatur sukmanya sehingga seakan mengetahui sesuatu di tempat yang berbeda jauh, akan tetapi juga terus menggelutinya. Sementara
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara, setiap kali berusaha ke arah itu, masih terasa ada jarak.
Sehingga seolah memandang atau membayangkan sesuatu. Dan bukannya larut seperti yang dilakukan Dewa Maut.
"Tidak apa. "Sukmamu tak mau itu."
Hanya kemudian sekali Dewa Maut kelihatan gemetar. Telapak tangannya berkeringat.
"Kita segera pergi. Raja dalam bahaya."
Itulah gugahan pertama Upasara meninggalkan gua bawah Keraton.
Keduanya melalui lorong yang agaknya dibuat sendiri oleh Dewa Maut-yang setiap kali keluar atau masuk gua barangkali membuat jalan baru.
Sampai di luar, keduanya melayang bersama. Dalam pengertian sebenarnya. Karena keduanya seperti terbang. Dewa Maut berada di pundak Upasara sampai satu jarak tertentu, lalu disambung dengan Dewa Maut menyunggi Upasara, mendudukkan Upasara di pundaknya.
Yang luar biasa bagi Upasara ialah bahwa seolah keduanya mempunyai tenaga dalam dan tenaga meringankan tubuh yang seimbang. Padahal jelas sekali bahwa semua ini dilakukan dengan kekuatan Upasara.
Akan tetapi ketika Dewa Maut menyunggi, yang terlihat adalah bahwa Upasara tengah beristirahat. Begitulah sesungguhnya yang terasakan oleh Upasara.
Kalau saja Upasara mengetahui bagaimana Gendhuk Tri memainkan tenaga dalam yang menggunakan sifat air ketika menarik tubuh Senopati Sina sementara tubuhnya sendiri melayang ke bawah, kesamaan itu makin jelas.
Dengan cara ganti-berganti seperti yang dilakukan Dewa Maut dan Upasara Wulung, keduanya tak memerlukan istirahat yang sebenarnya.
Itulah yang bisa membuat keduanya datang pada saat yang tepat.
Bahwa kemudian Dewa Maut berlarian seperti anak-anak ketika menuju ke arah Gendhuk Tri, dan tak mau dipanggil Dewa Maut, itu seperti kembali ke asal-mula.
"Hati-hati...," suara lirih Mpu Sina menyadarkan bahwa kini pasukan Jalu mulai membentuk barisan.
"Ya, perlu hati-hati sedikit," kata Eyang Puspamurti. "Dengar baik-baik, Mada, apa yang kukatakan tadi. Barisan ini luar biasa. Tenaga yang terlihat seperti sepuluh ekor kuda. Yang tak terlihat barangkali lebih kuat lagi. Itu menarik, bagaimana mungkin bisa melatih otot keras begitu?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara menggeser ke kiri.
Dengan cara begitu, ia menutup serangan yang tertuju ke arah Gendhuk Tri, Dewa Maut, maupun Mpu Sina.
Hanya Halayudha yang masih menunggu, tanpa menggeser kakinya.
Suara halus Mpu Sina maupun penjelasan Eyang Puspamurti sangat tepat sekali. Sebagai jago silat, Halayudha cukup bisa membaca kemampuan lawan. Bahwa mereka terkenal kuat tenaganya dan dasar permainan silatnya menggulat lawan, sudah lama didengar. Bahwa dengan begitu ada latihan tertentu, juga bukan hal baru. Yang menjadi sedikit tanda tanya ialah, seperti yang diutarakan Eyang Puspamurti: Bagaimana cara melatihnya"
Karena otot di seluruh tubuh barisan Jalu mendadak menegang dan mengeluarkan bunyi keras.
Dengan gerakan serentak, barisan Jalu mengepung, menubruk, dan menggelut.
Eyang Puspamurti mengeluarkan tawa serentak, tangannya terulur ke depan. Maju memapak. Demikian juga Halayudha yang memakai kedua tangan untuk menahan. Sementara Upasara hanya mengubah gerakan kakinya lebih ke kiri lagi. Kedua tangannya bergerak. Satu menolak ke depan, satu lagi berjaga melindungi Dewa Maut.
Hebat serangan Barisan Api ini.
Dalam gebrakan pertama mampu membuat lawan terdesak.
Halayudha mundur dua tindak, karena benturan pukulannya seakan membalik, sementara gelutan lawan sudah menyepit pinggangnya.
Tawa Eyang Puspamurti lenyap dan diganti dengan kekaguman.
Tanpa mundur atau maju, jurusnya diulangi lagi.
Upasara menekuk tangannya.
Sikunya berhasil menyodok ulu hati lawan. Keras. Sehingga salah satu Jalu tertahan. Akan tetapi karena kini hampir semua mengepung ke arahnya, mau tak mau menjadi repot juga.
"Hiak!" Aba-aba Jalugeni membuat barisan mengepung rapat. Merangsek maju. Tanpa memedulikan gerakan lawan.
"Hiak!" Bukan pertarungan yang memuaskan mata. Bukan pameran kelihaian dan keindahan jurus. Bagi yang menyaksikan di pinggir, kesangsian lama menyeruak kembali.
Apa yang mereka saksikan tak berbeda dari sebelumnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau tadinya hanya barisan ular hijau, semut, dan kumbang yang terus merangsek maju, kini adalah barisan manusia. Yang dengan gerak kaku, keras, terus melabrak.
Mengetahui situasi kurang menguntungkan, Halayudha yang lebih dulu mundur. Bukan hanya karena lawan seperti terbuat dari batu dan besi, akan tetapi Halayudha ingin berada dalam ruang yang tidak memungkinkan untuk dikeroyok. Satu lawan satu masih memberinya napas.
Eyang Puspamurti yang menghadapi tiga lawan, memutar tubuh mengulang jurusnya.
"Hiak!" Kali ini barisan makin merapat. Dan tak tertahan lagi. Satu kali kena bekuk, nasib yang sama dengan Gendhuk Tri atau Mpu Sina akan terjadi. Padahal jalan untuk mundur dan menghindar tertutup.
"Hiak! Hiak! Hiak!"
Bahkan kini Eyang Puspamurti mulai berkelit tanpa bisa berteriak memberitahu Mada.
Tangan Gendhuk Tri terkepal keras ketika Dewa Maut menusuk telapak kakinya. Keras sekali.
"Mati aku." Dlamakan Menatap Bumi KERAS tusukan Dewa Maut, keras juga teriakan Gendhuk Tri.
Seumur-umur baru sekarang ini Gendhuk Tri berteriak kesakitan, baik di depan umum maupun kala sendiri. Penderitaan macam apa pun tak akan membuatnya mengeluarkan jeritan. Apalagi mengaduh. Lebih lagi mengeluarkan kata: "Mati aku!"
Selain sengatan rasa sakit yang memilukan, perasaan Gendhuk Tri terutama sekali juga karena tak menduga sama sekali. Selama ini Dewa Maut sangat baik kepadanya. Kelewat amat sangat berlebihan baiknya.
Selembar rambut Gendhuk Tri rontok, bisa membuat Dewa Maut berjingkrakan. Segala apa permintaan Gendhuk Tri, atau yang dianggap permintaan, akan dituruti tanpa kecuali. Bahaya apa pun akan ditempuh, dengan cara berlebihan pula menempuhnya.
Maka cukup mengejutkan apa yang dilakukan kali ini.
Sesaat tadi masih berteriak Toleee... Toleee dengan suara menyayat karena penuh perasaan. Kemudian mendekat dan menusuk telapak kaki.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Meskipun selama ini Dewa Maut menganggap Gendhuk Tri sebagai kekasihnya yang utama, akan tetapi itu semua hanya terbatas dalam tingkah laku serta kata-kata. Dalam pengertian sebenarnya, Dewa Maut tak berani menyentuh kulit tubuh Gendhuk Tri.
Kekagetan Gendhuk Tri lebih tak terduga lagi, karena saat itu seluruh perhatiannya sedang tertuju kepada Upasara.
"Kalau sakit, itu sakti."
Telunjuk jari Dewa Maut bergerak lagi. Menusuk ke arah telapak kaki bagian pinggir.
Tubuh Gendhuk Tri menggeliat, perutnya tertarik ke atas, kejang.
Seluruh tubuhnya kaku. Wajahnya pucat pasi. Tangannya mencari pegangan.
Memegang tangan Jaghana. Seolah mencari kekuatan yang bisa menjadi pegangan dari rasa sakit yang tak tertahankan. Jeritannya berubah menjadi rintihan memelas.
Air mata Gendhuk Tri membasahi wajahnya, bersamaan dengan keringat yang seolah dijebol paksa dari semua permukaan tubuhnya.
"Itu pasti teriakan wanita.
"Kamu sedang melahirkan, Tole?"
Dewa Maut mengangguk-angguk.
"Anakmu laki atau wanita?"
Saat itu kekuatan Gendhuk Tri lepas. Tubuhnya lemas. Tangannya yang basah seolah lepas dari pegangan tangan Jaghana. Akan tetapi Jaghana masih menggenggam.
Dan aneh. Dari tangan Jaghana mengalir hawa hangat yang menenteramkan, yang membuat napasnya tidak memburu.
Jaghana bukannya tidak mengetahui apa yang dilakukan Dewa Maut.
Dengan menusuk telapak kaki, sebenarnya Dewa Maut sedang melakukan Tusuk Driji Dlamakan Bumi, atau Tusuk Jari Telapak Bumi.
Yaitu yang dikenal sebagai cabang ilmu pengobatan pijat tubuh, yang tengah berkembang.
Tusukan jari ke dlamakan, yang pertama adalah untuk mengetahui bagian-bagian tubuh mana yang tidak berfungsi sebagaimana adanya.
Ilmu pengobatan ini berkembang dari dasar bahwa dlamakan atau telapak kaki adalah bagian yang paling akrab berhubungan dengan bumi. Telapak kaki selalu menghadap ke bumi, selalu menyentuh, selalu bersinggungan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan sendirinya, di situlah selalu kepekaan itu berawal. Anggapan yang sama dengan kenapa buah pepaya selalu lebih manis di bagian ujung yang menghadap ke arah bumi.
Pada telapak kaki itu terdapat berbagai susunan saraf rasa, yang menyalur ke arah semua bagian tubuh. Dari telapak kaki pula diketahui adanya sesuatu yang tidak beres. Dengan menyentuh sedikit saja akan terasakan rasa sakit yang luar biasa. Sebaliknya, jika tidak ada yang sakit tusukan itu tak lebih dari sentuhan jari biasa.
Jaghana mengetahui dasar-dasarnya, akan tetapi memang tidak secara khusus mendalami.
Sebab syarat utama dalam mempelajari Tusuk Driji Dlamakan Bumi adalah sifat welas asih. Sifat untuk menolong sesama. Siapa saja yang mempelajari ilmu itu secara mendalam, harus bersedia menolong siapa pun yang menderita. Apalagi kalau orang itu datang dan minta pertolongan darinya. Tidak peduli siapa pun yang datang, lawan utamanya sekalipun.
Syarat utama yang lain ialah, dasar ilmu pengobatan itu adalah rila legawa, atau ikhlas sepenuhnya. Tidak boleh meminta pemberian apa pun. Bahkan tidak boleh menerima pemberian yang berhubungan dengan perbuatannya.
Persyaratan itulah yang belum sepenuhnya bisa dijalani oleh Jaghana saat itu.
Akan tetapi dasar-dasar yang dilakukan Dewa Maut bisa diketahui.
Yang membuat Jaghana heran bukan bagaimana mungkin Dewa Maut mempelajari hal itu, melainkan tusukan sekali itu untuk mengetahui semuanya.
Ini termasuk luar biasa. Karena secara sekaligus hampir semua saraf diperiksa. Padahal satu saraf yang berhubungan dengan hati, darah, kalau tubuh sedang kurang sehat, bisa menimbulkan rasa sakit.
Ini sekaligus. Bisa terbayangkan kalau Gendhuk Tri sampai mengejang dan kemudian seperti kehilangan tenaga.
Kalimat Dewa Maut yang menyebut tentang "melahirkan", menyadarkan Jaghana bahwa Dewa Maut memakai pengobatan menyeluruh. Tusukan utama menyeluruh tadi bukannya tanpa perhitungan.
Dengan mengibaratkan melahirkan, Dewa Maut memang menyerang semua saraf yang biasanya bekerja lebih saat melahirkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itu sebabnya ketika Gendhuk Tri melemas, tangan Jaghana langsung menggenggam.
Memberi kekuatan. Hawa hangat itu pula yang membuat Gendhuk Tri merasa lega, dan dengan sedikit terhuyung ia bisa kembali berdiri. Kembali berdiri!
Pada saat yang berlangsung sangat cepat itu, Dewa Maut kembali menghunjamkan dua telunjuknya ke arah dua tepalak kaki Jaghana.
Yang membelalak sesaat, mengerang, dan tubuhnya bergerak tertarik ke atas.
Bisa duduk. Di kejauhan, Nyai Demang tak bisa menyaksikan secara jelas. Apalagi kondisi tubuhnya menurun. Namun ini semua tidak menghalangi rasa kagumnya kepada Dewa Maut.
Bagi Nyai Demang, Dewa Maut bukan sekadar sesama ksatria, bukan hanya pernah bersama-sama menghabiskan waktu di Perguruan Awan, dan atau juga di gua bawah Keraton. Pada peristiwa yang terakhir inilah Nyai Demang menjadi jengah, malu, dan mengutuk dirinya sendiri.
Saat itu boleh dikatakan dirinya sudah habis, tak mempunyai tenaga dalam, dan susah menemukan kesadarannya kembali. Saat itulah Dewa Maut menunjukkan jalan keluar, membimbing dengan sentuhan tangan.
Yang berkelanjutan. Peristiwa itu seperti terjadi dengan sendirinya. Terjadi dalam gelap.
Saat itulah perasaan dan penilaian Nyai Demang berubah pada diri Dewa Maut.
Tadinya perasaan itu disangka hanya muncul dalam lamunan. Hanya kemungkinan dari khayalnya yang mengembara.
Nyai Demang berusaha bertahan untuk tetap sadar. Akan tetapi perlahan-lahan rasa kantuk menguasai, menyeret, dan menenggelamkan. Tak jauh berbeda dari yang dialami dulu.
Bedanya, sekarang Dewa Maut berada di atas perahu yang menjadi ajang pertarungan. Yang membuatnya limbung karena sabetan udara dari berbagai arah.
Untunglah Jaghana mengetahui keadaan Dewa Maut yang sesungguhnya. Walaupun muncul seperti dewa penolong, akan tetapi sebenarnya Dewa Maut tetap Dewa Maut yang kehilangan tenaga dalamnya. Sehingga sabetan angin dari jago silat bisa menyebabkan terhuyung-huyung.
Gendhuk Tri juga bisa membaca situasi dengan sangat cepat. Begitu tubuhnya bisa berdiri, sudah langsung bersiaga.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dewa Maut, masih ada satu lagi. Mpu Sina."
"Aku tahu, Tole. "Tapi di mana jariku?"
Gendhuk Tri tak sempat tersenyum. Bahkan tarikan bibirnya belum membentuk karena Jaluagni sudah menyapu dengan guntingan kaki keras sekali. Jaghana bersiaga, dan mendadak tubuhnya menggulung di lantai. Menggelinding ke arah lawan.
Satu gebrakan yang menerobos ke arah lawan.
Kalau sebelumnya Barisan Jalu selalu merangsek maju dan menutup jalan, kini kena terobos.
Bahwa dengan itu berarti Jaghana membahayakan dirinya sendiri, itu dengan sendirinya.
"Haik! Haik! Haik!"
"Haik apa" "Itu bagus. Bukan haik.
"Mada, lihat dan dengar apa yang kukatakan sebelumnya...."
Eyang Puspamurti menepukkan kedua tangan. Tanpa ragu melangkah maju, memapak serangan Jaluagni dengan jurus yang sama.
Belitan ke arah tubuhnya tak dipedulikan lagi.
"Haik!" Jaluagni justru melangkah mundur.
"Haik!" Sekarang Eyang Puspamurti yang berteriak. Maju.
Kobaran Api Mengganas MAHAPATIH NAMBI, meskipun berada di luar medan pertarungan, mengikuti jalannya pertempuran dengan saksama. Kecemasan dan rasa tenang silih berganti, tanpa lena sedikit pun untuk mempersiapkan barisan yang bisa menyerbu sewaktu-waktu.
Untuk membebaskan Raja dan para permaisuri.
Akan tetapi yang disaksikan masih terus berubah.
Sesaat sebelumnya Barisan Api terlalu tangguh untuk dilawan para pendekar utama Keraton. Bahkan dibuat tak bergerak. Dalam titik berikutnya sewaktu Jaghana, Mpu Sina, dan Gendhuk Tri bisa terbebaskan, situasinya langsung berubah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gelundungan tubuh Jaghana yang tidak memperhitungkan keselamatan dirinya berhasil memecah arah serangan. Kini mulai terlihat bahwa Barisan Api tersurut mundur.
Yang sedikit masih tersisa adalah kecemasan bahwa situasi masih bisa berubah lagi. Kalau diingat bahwa Barisan Api mempunyai senjata rahasia yang serba mencengangkan. Baik berupa barisan binatang berbisa maupun senjata lain.
Hal kedua yang juga mencemaskan ialah bagaimana cara yang paling aman buat menyelamatkan Baginda yang entah berada di bagian mana.
Sementara itu bahaya utama masih terlihat di depan mata. Kalau dua belas Barisan Api saja sudah sedemikian sulit, bagaimana menghadapi Pangeran Hiang dan Putri Koreyea"
Pertarungan perhitungan membuat Mahapatih Nambi serba kikuk.
Memerintahkan menyerang, belum tentu menguntungkan. Menunggu, rasanya seperti berpangku tangan saja.
Sebenarnya keraguan Mahapatih sedikit-banyak menguntungkan.
Karena justru sesaat kemudian apa yang terlihat di perahu seperti terbalik.
Kini justru Barisan Api yang merangsek maju.
Bahkan terdengar teriakan keras. Bersamaan dengan itu tiga tubuh melayang ke dalam sungai. Mahapatih Nambi tak perlu memberi isyarat, karena prajurit yang berjaga selama ini segera menolong.
Yang terlempar pertama kali adalah Mpu Sina. Senopati tua yang gagah perkasa ini memang belum berada dalam kondisinya semula.
Akan tetapi bahwa dalam sekejap bisa terlempar sambil memuntahkan darah, bisa sebagai bukti ganasnya pertarungan. Tubuh kedua adalah Gendhuk Tri yang seakan dibanting keras, bersamaan dengan Dewa Maut yang mengeluarkan seruan tak bisa diartikan.
Jaghana yang pertama menyadari kekuatan lawan berubah seketika.
Sewaktu didesak mundur, barisan dengan teriakan haik memang menyudut. Apalagi ketika Eyang Puspamurti mendahului menyerang.
Akan tetapi ternyata hanya dalam satu putaran, Barisan Api ini maju kembali.
Lebih tegar, lebih gagah, dengan kekuatan berlipat ganda.
Sehingga pukulan Eyang Puspamurti yang bisa membuat lawan surut, kini berbalik. Eyang Puspamurti-lah yang meloncat dua langkah.
Mundur. Seakan tak percaya apa yang terjadi.
Benturan tenaganya membalik keras, menghantam dirinya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bisa dimengerti kalau dalam kondisi yang masih sulit, Mpu Sina terlempar lebih dulu. Demikian juga halnya dengan Gendhuk Tri dan Dewa Maut.
Barisan Api tidak berhenti di situ. Seakan ingin membuktikan tak ada yang hidup lagi setelah menginjak kapal. Dua Jalu melayang ke atas.
Dan menakjubkan. Kalau tadi hanya dikenal dengan tenaga kasat dan kuat, gerakan kaki yang menyapu keras, ternyata cara mereka mengentengkan tubuh tidak main-main. Bagai dilepas dari busur, dua Jalu terlempar ke atas.
Meraup ke arah tubuh yang loyo di tengah udara.
Upasara menggenjot kakinya.
Tubuhnya melayang gesit di udara. Satu tangan terentang mendorong Mpu Sina, Gendhuk Tri, dan Dewa Maut, satu tangan lain menjajal tekanan yang datang.
Sesaat Upasara merasa dadanya ditekan lempengan besi dari dua sisi.
Upasara mengurung dirinya dengan menarik tangannya ke dalam, dan sekali lagi sikunya terangkat ke depan.
Salah satu Jalu mengerang hebat. Tubuhnya amblas ke sungai. Akan tetapi Jalu yang kedua berhasil menjotos pinggang Upasara, sehingga tanpa ampun lagi tubuhnya ikut terbenam.
Eyang Puspamurti bahkan berteriak karena kagetnya.
Jaghana yang cemas menjadi terpecah perhatiannya. Satu pukulan keras mengenai pundaknya. Tubuhnya yang bundar licin seakan kempes tanpa tenaga.
Kekagetan Eyang Puspamurti terutama karena Upasara berhasil dijotos oleh lawan. Kena telak bagian pinggang.
Upasara sendiri sudah mengira pukulan Jalu kedua akan mengenai tubuhnya. Tak bisa lain, karena lebih baik menyelamatkan Gendhuk Tri serta Dewa Maut dan Mpu Sina. Daripada jatuh korban lebih banyak lagi. Satu sodokan sikunya yang keras merupakan bukti keunggulannya.
Akan tetapi Halayudha sendiri bisa menghitung. Jika satu mengenai satu tapi harus berkorban, jumlah lawan lebih besar. Dan yang mengherankan ialah kekuatan lawan bisa mendadak berlipat.
Kalau tadinya sudah diperhitungkan sangat kuat, ternyata masih berlipat lagi.
Inilah yang tak bisa dimengerti Halayudha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam beberapa jurus permulaan, Halayudha bisa memperkirakan kekuatan lawan. Seberapa jauh tenaga dalam dan jenis permainan silatnya. Caranya mengukur lawan tak terlalu meleset. Meskipun Barisan Api ini kuat menggeliat, sebenarnya gerakan mereka sangat kaku. Lebih banyak mengandalkan jotosan keras dan terus merangsek maju untuk bisa melibat habis.
Halayudha melihat celah-celah, bahwa jika dirinya cukup gesit dan memainkan ilmunya dengan baik, masih bisa balas menyerang atau sekurangnya bertahan. Satu-dua pukulan yang mengancam akan membuat mereka mundur sendiri.
Ternyata dugaannya meleset.
Sewaktu Barisan Api bisa digempur memang mundur. Tapi ketika maju kembali, tenaganya berlipat ganda. Seolah berubah sama sekali.
Bahkan gerakannya lebih lincah, lebih memperlihatkan kembangan untuk menyerang kanan-kiri, atas-bawah, dan tidak hanya searah.
Ini yang tak bisa dimengerti.
Meskipun Halayudha bukannya tidak mengetahui bahwa sejak mereka meneriakkan haik keras, Barisan Api ini saling mengadukan kepalan tangan, dan seketika maju dengan lebih yakin.
Ilmu macam apa lagi"
Bahwa mereka mempergunakan cara merambatkan tenaga dalam seperti merambatnya api, bisa diperhitungkan. Baik dari penamaan, maupun gerakan yang diperlihatkan.
Dan sebagaimana api, yang padam akan menyala kembali begitu bersinggungan dengan api yang menyala.
Yang mengherankan ialah kekuatan mereka menjadi lebih.
Sifat ilmu silatnya pun berubah.
Itu sebabnya sejak pertama Halayudha tidak menerobos maju atau membiarkan dirinya dikepung. Halayudha memilih satu Jalu, dan berusaha terus mengimbangi. Tidak mendesak mundur, agar tak bisa memperoleh tenaga tambahan, tetapi juga tidak segera menghabisi.
Karena ini berarti membuka dirinya untuk lawan yang baru.
Apa yang dilakukan hanya mengulur waktu untuk melihat situasi.
Maka bisa diperkirakan apa yang ada di dalam benaknya sewaktu melihat Upasara Wulung kena jotos pinggangnya. Selama ini, terasa atau tidak, diakui atau tidak, pemunculan Upasara membangkitkan semangat. Kemampuan dan ketangguhan ksatria lelananging jagat ini tak diragukan lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi bahwa pada gempuran kedua yang belum memakan sepuluh jurus sudah jatuh, betul-betul di luar dugaannya.
Berarti Barisan Api yang dihadapi lebih ganas dari perhitungan.
Terutama dari segi merembetkan kekuatan!
Itu sebabnya Halayudha menepi dan dengan satu putaran meloncat ke sungai. Gerakan tubuhnya memperlihatkan seolah ia pun bisa dipecundangi lawan.
Siapa pun yang menyaksikan tak bisa menebak tipu muslihat Halayudha.
Mahapatih Nambi tak sempat menangkap gerakan-gerakan yang dimainkan Halayudha. Karena tingkat permainan Halayudha sudah mendekati kesempurnaan. Sementara Eyang Puspamurti tak mempunyai pikiran sedikit pun untuk menduga tingkah laku Halayudha.
Dan kalau Mahapatih Nambi tidak mampu menangkap akal bulus Halayudha, apalagi para prajurit.
Yang sedikit heran adalah Jalu yang menjadi lawannya. Karena tak menduga akan ditinggal begitu saja.
Sebagai gantinya, sasarannya adalah Eyang Puspamurti.
Yang mendadak mengerahkan tenaganya melayang ke atas.
Hinggap pada tiang. Akan tetapi Barisan Api mengejar ke atas.
Bisa lebih gawat. Justru karena berada di tiang kapal tidak memungkinkan bergerak leluasa. Apalagi kini diserang dari bawah yang merayap dengan cekatan.
Benar-benar situasi yang sulit.
Rumit. Tak ada bala bantuan yang bisa menyelamatkan.
Saat itu dari pohon Mada sudah meloncat turun dan berlari kencang ke arah perahu. Tidak memedulikan kiri dan kanan atau larangan sebelumnya.
Meskipun demikian, jaraknya kelewat jauh.
Gerakan Satu Jurus EYANG PUSPAMURTI hanya bisa terus naik hingga ke ujung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dari tempat itulah matanya melihat tubuh Upasara melesat ke atas dari sungai. Seakan muncul begitu saja, menyobek air bengawan.
Seperti ketika datang bersama Dewa Maut, Upasara menginjakkan kakinya di perahu dengan gerakan yang sangat indah.
Seluruh tubuhnya yang basah hingga ke ujung rambut malah menambah kesan kegagahannya. Apalagi di mulutnya tersungging senyuman.
Upasara Wulung memang kena pukulan di pinggangnya. Tubuhnya memang amblas ke dalam air. Akan tetapi saat itu juga mumbul kembali ke atas dengan menjejakkan kakinya ke dasar sungai. Ketika salah satu Jalu yang terkena sodokan sikunya ikut tercebur, tak terlalu sulit bagi Upasara untuk menggunakan sebagai tenaga loncatan.
Kini berdiri gagah menghadapi sepuluh Jalu.
"Haik!" Serempak mereka maju menerjang.
Upasara tidak mundur. Tidak maju. Hanya memiringkan tubuhnya ke arah kanan. Tangan kirinya yang tertekuk, menutupi dagunya, sementara tangan kanannya seakan bersiap melontarkan pukulan tiba-tiba.
Kedua kakinya yang diserampang sama sekali tak dipedulikan.
Eyang Puspamurti melihat jelas Barisan Api yang memepet habis.
Dua Jalu yang berada di depan menyerang bersamaan.
Terjadi pengulangan adegan seperti semula.
Siku tangan kiri Upasara yang dipasang menyodok keras, dan satu Jalu terlempar jatuh seketika. Jalu yang kedua dibiarkan melepaskan pukulan. Tangan kanan Upasara ternyata tetap berjaga-jaga.
"Duk!" Terdengar suara keras. Pundak Upasara seperti terkena bantingan gunung.
Tapi Upasara justru melangkah maju.
"Hindari tangan kiri.
"Haik!" Terdengar aba-aba yang mendadak mengubah Barisan Api. Kini menyerang dari sisi kanan. Upasara tak mengubah gerakannya menjadi maju atau mundur.
Hanya kini tubuhnya miring ke arah sebelah kiri. Siku kanannya yang dipakai untuk menerobos pukulan lawan yang begitu dekat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hek!" Kembali satu Jalu terjengkang sambil memegangi dadanya. Tubuhnya menggeliat dalam kelojotan yang meregang. Dalam dua putaran bergulung tubuh itu berhenti dengan sendirinya.
Dalam dua gerakan, dua Jalu terbungkam.
Tapi seperti semula, pukulan lain berhasil masuk. Kembali pinggang Upasara menjadi sasaran empuk.
Tubuhnya limbung dua langkah.
Akan tetapi maju kembali.
Wajahnya tetap menyunggingkan senyuman.
"Haik!" Kini delapan Jalu seperti menyerbu bersama. Upasara tidak bergerak, tidak mundur, tidak maju. Juga tidak memiringkan tubuh. Kali ini kedua sikunya terarah ke depan tegak lurus.
Dua jeritan terdengar. Dua Jalu kembali terkapar.
Meskipun tubuh Upasara sendiri terkena belitan lawan dan terbanting keras. Sedemikian kerasnya sehingga perahu seakan diraup oleh gelombang pasang.
Akan tetapi begitu tubuhnya terbanting, tubuh itu kembali berdiri dengan gagah.
Siap menghadapi enam Jalu yang menggerung keras.
"Ladlahom, Dewa Yang Maha dewa, wuah-wuah-wuaaah...
"Mada, kamu perhatikan baik-baik, kan" Inilah yang disebut Jurus Satu Jurus, Gerakan Satu Jurus yang seumur hidup kupelajari sampai titisan kesepuluh.
"Wuah tahtitah.

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wer uweruwer. "Bagaimana mungkin aku yang mempelajari sampai mati dan hidup kembali tak pernah mengetahui?"
Bersamaan dengan itu tubuh Eyang Puspamurti melayang ke bawah.
Langsung berada di depan Upasara.
Berlutut. "Mahamanusia..."
Adalah Puspamurti yang sejak masih senopati secara tuntas mempelajari Kitab Paminggir, kitab yang dikenal dengan sebutan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mahamanusia. Kitab yang dalam pemahamannya mengajarkan ilmu satu jurus. Jurus yang selalu sama.
Adalah Puspamurti yang kemudian menjadi tua dan disebut dengan panggilan Eyang, merasa satu-satunya yang mewarisi dan memahami kidungan dari Kitab Paminggir.
Bukan tanpa alasan. Karena sejak semula dirinya belum pernah menemukan tokoh mana pun yang memainkan satu jurus seperti dirinya. Bahkan dari segi ajaran saja, Eyang Puspamurti ini tidak yakin ada yang pernah mendalami kitab yang menurut pendapatnya merupakan kitabnya segala kitab.
Perjumpaan dengan Eyang Kebo Berune juga menyadarkan bahwa ilmu yang dimainkan tokoh dari Berune itu tetap bukan ajaran murni dari kitab yang selama ini menjadi napasnya.
Siapa sangka kalau sekarang justru diperlihatkan oleh Upasara dan berhasil"
Halayudha yang berada di pinggir dan menjadi penonton, melebarkan matanya, mengecilkan sesaat.
Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk menangkap gambaran yang berlangsung di depan matanya.
Memang benar sejak mencuat dari bengawan, Upasara hanya memainkan satu jurus. Bahkan jurus yang paling sederhana. Meskipun jitu sekali. Menyodok lawan dengan menggunakan siku, karena Barisan Api yang mengepungnya tidak memberi ruang gerak sama sekali.
Dibandingkan dengan pukulan, siku jelas tidak terlalu meminta ruang gerak.
Untuk tingkat Upasara, pengerahan tenaga ke siku semudah memindahkan pandangan bola matanya.
Memang benar gerakan Upasara hanya miring ke kanan, lalu ke kiri, lalu berdiri lurus. Ketiga gerakan itu tetap mempergunakan siku untuk menyodok.
Dan menemui sasaran. Akan tetapi bukankah Barisan Api juga berhasil mengenainya" Sangat tidak mungkin tidak mempunyai akibat apa-apa. Karena dari gebrakan pertama justru Upasara menjadi limbung langkahnya. Tubuhnya terhuyung. Dalam gebrakan kedua tubuhnya bisa diulat lawan dan dibanting.
Ilmu yang mana pun juga, tak mungkin memberikan kekuatan kebal seperti pada tubuh Upasara yang dilihat sekarang ini.
Kalau jegalan kaki lawan tak mengguncangkan, Halayudha sepenuhnya bisa mengerti. Dasar ilmu silat Upasara adalah kuat pada
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
bagian kuda-kuda. Tak ubahnya dengan kaki banteng. Baik untuk menyerang tiba-tiba ataupun bertahan.
Akan tetapi kalau tubuh yang terkena pukulan"
Dua kali Halayudha menggeleng karena tak bisa menangkap apa yang tengah terjadi.
Sebenarnya itulah yang terlihat oleh Eyang Puspamurti.
Yang serta-merta melayang ke bawah dan berlutut di depan Upasara Wulung.
Pemandangan menarik, di mana seorang kakek secara tiba-tiba berlutut dan menghaturkan sembah kepada seorang lelaki yang lebih pantas menjadi cucunya.
Padahal sementara itu Barisan Api masih bersiaga.
Masih separuh dari jumlah yang ada.
Masih bisa membakar! Bagi Eyang Puspamurti, kejadian yang baru saja berlangsung sangat jelas, sangat gamblang. Upasara memainkan gerakan satu jurus, seperti yang diajarkan dalam kidungan. Seperti dirinya melakukan selama ini.
Bedanya, Upasara memakai satu jurus, dan setiap kali berhasil menjatuhkan lawan.
Pertanyaan yang menggeluti hati Halayudha, bagi Eyang Puspamurti adalah jawaban.
Justru dengan membiarkan bagian tubuhnya diserang, jurusnya bisa masuk. Bisa menjatuhkan!
Kalaupun diulang lagi hasilnya sama.
Kalau dua menyerang, dua pula yang jatuh. Kalau sekarang menyerang serempak di depan, lutut Upasara bisa pula menjatuhkan lawan.
Kuncinya justru pada kesempatan lawan memukul. Dengan terkena pukulan yang berat, Upasara tergoyang.
Akan tetapi justru saat itu tenaga untuk memainkan jurus satu-satunya menjadi berisi kembali.
Kembali ada. Kembali ke mula. Kalau tidak membiarkan dirinya terkena, yang terjadi adalah pengeluaran tenaga terus-menerus, yang artinya seperti menguras diri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau Eyang Puspamurti sampai berlutut, karena selama ini tidak mendapatkan pencerahan bagaimana memainkan gerakan satu jurus dalam situasi seperti sekarang ini.
Eyang Puspamurti memainkan seperti yang selama ini dilakukan.
Memainkan satu jurus, memulai lagi dengan jurus yang sama. Yang membedakan ialah pengumpulan tenaga dalam.
Tumbal Empan Papan PADA Upasara Wulung, pukulan lawan itu justru diharapkan. Secara sengaja Upasara "mematikan" diri, menyerahkan bagian tubuhnya untuk terkena pukulan lawan.
Dengan tenaga dalam yang dimiliki, pukulan atau bantingan ataupun gelutan Barisan Api tidak benar-benar membunuhnya. Melainkan menghancurkan kekuatan menyerang saat itu.
Dengan demikian pada penyerangan berikutnya, kekuatannya pulih seperti sediakala.
Bekas pukulan lawan melukai, akan tetapi tidak mempengaruhi karena tidak menguras tenaga dalamnya.
Yang sebenarnya luar biasa ialah bahwa Upasara Wulung memainkan secara tepat.
Bahwa penyerahan tubuh itu berawal dari ajaran tumbal, atau pengorbanan diri seperti yang diajarkan dalam Tumbal Bantala Parwa, agaknya tak sulit dipahami. Akan tetapi bahwa secara sangat cepat dan tepat Upasara memakai gerakan itu untuk melawan Barisan Api, sungguh mengagumkan bagi Eyang Puspamurti.
Tadi jelas bahwa Barisan Api menggunakan cara penggandaan tenaga dengan bersinggungan diri. Setiap kali bersinggungan tiga kali, kekuatan mereka berubah. Karena gerakan mereka kaku, lurus, dan searah, kemungkinannya kecil mereka akan terus merangsek maju.
Hanya saat daya tarik serangan lawan, baik yang menggesek udara atau pukulan keras, mampu membelokkan gerakan mereka, ketika itulah mereka bersinggungan.
Akan tetapi jika diikuti terus gerakan mereka, kemungkinan bersinggungan menjadi kecil.
Caranya ialah dengan mengikuti gerakan mereka, bukan melawannya.
Kemungkinan pertama itulah yang dijajal oleh Upasara, ketika tubuhnya melayang di udara dan pinggangnya kena jotosan. Kepalan yang begitu keras membuat tubuhnya amblas ke bengawan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi paling tidak satu Jalu telah terkena.
Sementara satu Jalu menjadi korban, dirinya masih bisa bangkit lagi.
Dan itulah yang dilakukan.
Gendhuk Tri merasa bisa menyeimbangkan tenaga dalamnya dengan Mpu Sina sewaktu keduanya melayang jatuh. Pilihan yang tepat untuk melakukan gerakan itu, tak jauh berbeda dengan pilihan Upasara untuk memainkan hanya satu jurus.
Namun Gendhuk Tri tetap mengagumi Upasara, yang memang memiliki tenaga dalam berlebih, dan kerelaan untuk berkorban yang sangat besar, dan empan papan, tepat dengan yang dihadapi.
Kesediaan berkorban saja tak cukup.
Harus disertai wawasan pilihan yang tepat.
Seperti yang dilakukan Upasara.
"Sumangga, Eyang...."
Upasara menggapai dengan tangan kanan. Mengajak Eyang Puspamurti berdiri.
Ia sendiri kembali tegak menghadapi kepungan.
"Memadamkan api seperti sekarang ini tak perlu banyak waktu.
"Mada, kamu di mana"
"Jangan ke mana-mana. Ini bagian yang menarik. Aku yang ingin mengajari kalian, malah diajari habis-habisan.
"Tapi tak apalah. "Kalau aku sampai berteriak ladlahom, karena apa yang diperlihatkan Upasara memang ladlahom.
"Tunggu, kenapa jadi diam semua?"
Keenam Jalu berdiri tegak.
Kedua tangan tersilang di dada.
Upasara mendesis. "Silakan mulai...."
Tak ada reaksi. Upasara tersenyum. "Pangeran Hiang, apakah Pangeran menghendaki saya yang mulai?"
Tak ada suara jawaban. Tak ada angin. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya Eyang Puspamurti yang mendengar sesuatu yang tidak biasa.
Semacam getaran udara yang menjadi lain gemanya di telinga.
Eyang Puspamurti hanya bisa menebak-nebak, bahwa Upasara tengah mendengarkan percakapan antara Pangeran Hiang dan enam anggota Barisan Api.
Hal yang sangat mungkin sekali.
Sewaktu Upasara bisa menghancurkan gebrakan tadi, ia mulai dengan bertahan. Sekarang, dijajal bagaimana kemungkinannya jika ia yang mulai!
Suatu tantangan ksatria. Kini bukan lagi sekadar mengadu mati-hidup, akan tetapi juga memperlihatkan tingkat kelihaian. Mengadu mutu ilmu silat.
Upasara mulai dengan persiapan. Kedua kakinya sedikit mengangkang seperti posisi orang naik kuda. Kedua tangannya membuka, siku rapat dengan pinggang, tangan berada di depan.
Perlahan pundaknya berputar dari belakang ke depan, seirama dengan tarikan udara dari hidung naik ke dahi, tersimpan di kepala bagian belakang dan turun lewat bagian belakang, untuk kemudian terkumpul di pusar.
Seperti pemula. Akan tetapi siapa pun bisa merasakan getaran tenaganya yang menggelombang. Dan sesaat tangannya membuka ke depan, sambaran tenaga dalam bagai dimuntahkan dari endapan.
Bersamaan dengan itu, enam Jalu bergerak. Membuat putaran.
Semua berputar. Upasara menyedot udara di hidungnya. Dengan satu tarikan tangan kanan, bagian yang berada di depan dibetot dari lingkaran. Pada saat yang sama, kakinya bergerak menyapu.
Begitu cepat sehingga satu Jalu lagi terangkat tubuhnya dan tergeser.
Upasara menempatkan dirinya dalam lingkaran.
Dan memutari lantai perahu dengan cepat. Cepat. Cepat. Makin cepat.
Barisan Api seolah diputar pada porosnya.
Mengikuti irama perputaran bumi yang semakin lama semakin cepat.
Eyang Puspamurti mundur dua-tiga tindak.
Kini disaksikannya lagi, bagaimana dengan cepat Upasara membaca kekuatan lawan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketika ia harus bergerak lebih dulu, Upasara memilih Jalu yang di depan. Sesuatu yang tidak gampang untuk menentukan, mengingat mereka berada dalam lingkaran. Pada saat yang sama, dirinya menggantikan posisi itu, sehingga berada dalam lingkaran yang sama.
Dari sinilah Upasara memaksakan kecepatan.
Hal yang juga dirasakan oleh Halayudha. Baginya, ksatria yang seperti tidak tambah usianya itu menyimpan berbagai tanda tanya yang tak bisa dijawab.
Dalam segi ilmu silat, Halayudha merasa dirinya tidak kalah. Juga dalam mempelajari kitab-kitab atau ajaran ilmu silat berbagai aliran.
Bahkan Halayudha merasa dirinya sedikit lebih unggul. Dalam hal kemampuan menyelamatkan diri, Halayudha merasa tujuh belas kali lebih hebat.
Akan tetapi selalu terbukti, bahwa Upasara Wulung lebih unggul.
Apa yang diperlihatkan Upasara Wulung bisa dimengerti, dan dirinya bisa melakukan. Akan tetapi selalu Upasara yang melakukan pertama.
Seperti sekarang ini. Dengan masuk ke lingkaran, dan ikut berputar, Upasara bukan hanya bisa mendikte apa keinginannya secara mutlak, akan tetapi sekaligus juga bisa memakai tenaga lawan untuk bertubrukan.
Inilah yang membedakan dirinya dengan Upasara.
Barisan Api kini sepenuhnya sudah terjebak. Salah satu dari mereka tak bisa melambatkan jalannya. Tak bisa mempercepat atau keluar dari barisan. Justru karena sejak semula gerakan mereka boleh dikatakan sama persis. Kalau ada yang berbeda, mereka dengan sendirinya akan bertubrukan.
Saling tabrak. Ini bisa celaka. Dan inilah situasi yang ada.
Ketika Jaghana, Gendhuk Tri, Halayudha, Mpu Sina menyerbu ke perahu, mereka mempunyai tekad yang sama. Maju menyerbu untuk
"membalikkan perahu". Akan tetapi tetap memakai gerakan dan jurus yang berbeda. Ada untungnya karena tak bisa dipatahkan seketika, akan tetapi ternyata juga lebih mudah dipatahkan.
Pusaran semakin cepat. Makin cepat lagi. Pada putaran kesekian, Upasara mendadak berhenti dan merentangkan kedua tangannya lurus.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ke arah kiri dan kanan. Menyamping. Tubuhnya sedikit menurun karena kakinya memantapkan kuda-kuda.
Apa yang terjadi bisa diduga.
Keenam Barisan Api bertabrakan. Dari dua sisi. Tubuh mereka saling menabrak, ke depan, kembali ke belakang, ke depan lagi. Baik di antara mereka, atau dua Jalu yang langsung bertabrakan dengan telapak tangan Upasara.
Semua tadi hanya terjadi dalam satu jurus.
Bahkan satu gerakan. Memancing dalam putaran dan mengempaskan.
Dibarengi suara peletakan keras, keenam Jalu bergoyang-goyang sebelum akhirnya roboh. Secara bersamaan.
Percakapan Debu dengan Kapas
TEPUK tangan dan sorak-sorai membahana.
Sepanjang bengawan berubah seketika. Wajah-wajah yang suram, tubuh yang tanpa semangat, berbalik seketika.
Samar atau jelas, semua yang melihat ke tengah perahu menyaksikan keperkasaan Upasara Wulung. Yang mempermainkan Barisan Api, yang tadinya begitu ditakuti. Yang semua dibikin rontok dalam seketika.
Hanya Upasara yang kini berdiri sendirian.
Tanpa lawan. Dari pinggir bengawan, ketika sorak-sorai makin meninggi, terdengar pekikan nyaring. Gendhuk Tri meloncat jungkir-balik, tubuhnya memutar di udara, dan ujung kakinya menyentuh salah satu rakit, langsung meloncat kembali.
"Awas, Kakang..."
Gerakan Gendhuk Tri sangat indah. Tubuhnya yang berisi memperlihatkan garis kewanitaannya. Apalagi selendangnya yang warna-warni sebagian menyerap, dan sebagian lagi memantulkan cahaya. Dengan tubuh berjumpalitan, memberikan pemandangan yang sangat menarik. Terlebih lagi karena rambutnya terurai dan mengembang di udara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Agaknya Gendhuk Tri melompat ke tengah perahu tanpa rencana sebelumnya.
Mata batinnya yang mengatakan Upasara Wulung berada dalam bahaya.
Nyatanya begitu. Ketika Gendhuk Tri melompat ke tengah udara tadi, Upasara merasa perahu bergoyang keras. Dan bersamaan dengan itu terdengar bunyi krak yang panjang.
Tiang utama yang tegak lurus secara kokoh dengan langit, mendadak roboh.
Tepat ke arah di mana Upasara berdiri.
Seperti memperlihatkan perhitungan yang sangat matang, dan batangan kayu lebih dari sepemelukan itu bisa diatur gerakannya.
Jangan kata tubuh manusia yang terdiri atas darah dan daging, barang keras pun akan hancur berantakan tertimpa benda seberat itu.
Hanya karena bentuknya sangat besar, desiran anginnya menyadarkan orang akan adanya sesuatu. Sehingga bisa bersiap-siap menghindar.
Bagi Upasara, hanya dengan mengingsut sedikit terhindar dari gempuran.
Akan tetapi ternyata bukan itu bahaya yang sesungguhnya.
Tiang itu rebah, jatuh, dan begitu sampai di bawah bisa berputar pada porosnya. Sedemikian besar tenaga untuk memutar, sehingga perahu bergoyang keras.
Kalaupun bisa menghindar, Upasara bakal tersapu!
Tak mungkin menghindar ke arah samping mana pun. Karena hampir semua tempat diputari, bakal terkena sapuan raksasa.
Satu-satunya kemungkinan hanyalah merebahkan diri, rata dengan lantai.
Seperti Barisan Api yang menggeletak.
Itu pun terlambat! Karena papan perahu yang biasanya bisa melesak ke dalam sekarang justru sebaliknya. Dalam gerakan yang bersamaan jatuhnya tiang dan kemudian berputar, lantai perahu justru terangkat naik.
Inilah rumit. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Segala apa dalam perahu Siung Naga sudah diperhitungkan dengan sangat teliti. Sehingga setiap gerakan dan kemungkinan bisa diperhitungkan dengan teliti.
Gendhuk Tri yang melayang di udara hanya bisa menutup matanya.
Peringatannya seakan sia-sia. Karena kini tiang utama itu sudah bergerak cepat menyapu.
Mungkinkah Upasara bisa meloncat tinggi"
Mengambil pijakan dari lantai yang meninggi"
Yang harus dilakukan pada saat yang tepat"
Agaknya hanya gerakan meloncat tinggi, melewati sapuan tiang utama, yang bisa menyelamatkan.
Tapi itu juga berarti bahaya lain sudah menunggu.
Karena bersamaan dengan itu pula tebaran tombak pendek melepas dari berbagai sudut perahu. Kalau sebelumnya saja sudah demikian banyak, sekali ini lebih lagi. Tak ada tempat yang tersisa. Seseorang yang berada di perahu akan merasakan bahwa tiba-tiba cahaya matahari tertutup.
Bersitan tombak pendek atau panah yang tidak mengenai sasaran melintas ke sekitar. Bahkan sampai di pinggir sungai. Suatu pertanda memang dilepaskan dengan tenaga penuh. Tenaga manusia atau tenaga alat yang sudah dipersiapkan untuk itu.
Gendhuk Tri tak mampu meneruskan loncatan, karena sambaran senjata bertebaran ke arahnya. Terpaksa ia menggulung diri dan menutupi dengan selendangnya, dengan memberatkan tubuhnya yang melorot ke bawah.
Gendhuk Tri adalah Gendhuk Tri.
Begitu kakinya menyentuh batang kayu di bawah, langsung membal kembali ke atas.
Berjumpalitan ke perahu. Ke perahu! Sumber bencana yang mengerikan. Yang membuat para prajurit yang berjaga di pinggir mundur karena hujan panah. Sebagian malah terluka.
Terkena tembus amblas dari dada hingga punggung.
Bunyi gemeretak keras mengisi suasana karena tiang utama masih terus berputar.
Kini justru Gendhuk Tri yang masuk ke bahaya besar.
Tempat di mana pun kakinya hinggap, akan kena sapuan tiang.
Kalaupun bisa menarik kembali tubuhnya, hal itu sudah terlambat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bibir Mahapatih tergetar hebat sekali. Giginya beradu. Dalam situasi yang kritis panggilan jiwanya sebagai prajurit muncul. Kedua tangannya terangkat ke udara, memberi aba-aba untuk segera menyerbu ke perahu.
Apa pun yang terjadi nantinya, sekarang panggilan itu bergema.
Perhitungan keprajuritan mengatakan bahwa inilah pertempuran yang terakhir. Untuk sia-sia atau sebisanya menahan perahu.
Kalau saja tangan itu bergerak turun, para prajurit akan menyerbu ke dalam. Bagai iringan semut yang tak memedulikan nyawanya.
Semangat dan ketegasan Mahapatih Nambi bergema di dada semua prajurit.
Diam-diam, sambil berbaring, Mpu Sina tersenyum dalam wajah memucat. Ada kebanggaan yang bersemi. Yang bisa dibawa sebagai kenangan terakhir yang membahagiakan.
Kalau saja tangan Mahapatih bergerak turun!
Tapi tangan itu tertahan.
Karena melihat satu titik hitam di tiang yang memutar. Titik yang menyerupai sosok manusia. Dalam kejapan berikutnya, Mahapatih yakin bahwa itu adalah Upasara Wulung!
Yang menggantung, memeluk tiang utama.
Keyakinannya menjadi jelas karena kemudian tubuh Gendhuk Tri juga berada di tempat yang sama.
Menakjubkan. Dada Mahapatih bergerak naik-turun. Tangannya yang terbuka dan berada di udara gemetar.
Upasara bisa lolos. Bisa lolos dengan sempurna.
Mahapatih tak mampu menggambarkan kekuatan apa yang dimiliki Upasara sehingga bisa luput dari maut yang begitu mengerikan.
Sebenarnya Upasara tidak melakukan sesuatu yang luar biasa.
Ketika mengetahui bahaya besar tak terhindar, nalurinya mengatakan bahwa justru pada pusat bahaya itulah adanya keselamatan.
Itu berarti tiang. Dan Upasara tidak merunduk atau meloncat.
Merunduk belum tentu selamat, meloncat kena sambaran anak panah. Upasara berdiam diri, mengosongkan tenaga perlawanan yang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
ada dalam dirinya. Kekuatan tenaga bumi lepas sama sekali, menjadi bagian debu. Yang ringan, yang melaju bersama tiang.
Upasara seolah memeluk tiang.
Dan ikut berputar. Gerakannya sangat lembut sehingga tiang itu tidak menubruk ke arahnya. Tenaga benturan itu menjadi kosong. Karena kemudian Upasara mencoba menyatukan dengan putaran.
Dan sewaktu melihat Gendhuk Tri nekat menerjang, Upasara tinggal mengulurkan tangan. Meraup tangan Gendhuk Tri. Yang tubuhnya ringan bagai kapas.
Menempel di tiang. Memeluk tiang. Seperti pasangan yang berpelukan dan terhalang oleh tiang.
Sorot mata Gendhuk Tri bertatapan dengan sorot mata Upasara.
Keduanya saling pandang, berangkulan, kemudian secara serentak pula saling melepaskan diri.
Itulah ketika tiang mendadak tegak lurus dengan langit.
Yang menimbulkan suara sangat keras. Guncangan sangat kuat, sehingga kali ini perahu terseret arus!
Perahu bergerak. Kedua tangan Mahapatih turun mendadak.
Para prajurit segera mengejar ke arah perahu. Bagian tepi kiri-kanan bagai digerakkan dengan kekuatan raksasa. Semuanya bergerak.
Serentak. Prajurit yang menahan segala jenis rakit, dengan batang kayu untuk menghalangi perahu menuju ke laut, bersiaga penuh.
Kini medan pertarungan bergeser beberapa ratus tombak.
Sementara itu dari tiang bagian atas, ratusan kumbang mengeluarkan suara nyaring. Lepas dan mencari mangsa.
Dupa Kencana KEMUNGKINAN pertama, barisan lebah itu bagian dari serangan yang direncanakan. Kemungkinan kedua, penahan lebah itu hancur karena tiangnya bergerak sangat keras dan menimbulkan benturan besar.
Apa pun alasannya, itu berarti suasana bertambah keruh dan bahaya silih berganti.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Siapa pun bisa turut merasakan.
Kecuali di bagian hulu, tempat tiba-tiba semua prajurit dan masyarakat sekitar menunduk hormat, menyembah ke tanah. Karena saat itu tercium bau dupa kencana. Dupa emas.
Yang menandai kedatangan Raja Jayanegara.
Memang itu yang terjadi. Ratusan tombak sebelum rombongan Raja datang, para prajurit kawal sudah mendahului. Baik barisan yang berjalan kaki, mengendarai kuda, ataupun rombongan yang mengendarai gerobak sapi. Jumlahnya sedemikian banyak, sehingga iringan panjang sekali. Dengan panji-panji dan payung kebesaran, maupun tetabuhan.
Raja sendiri berada dalam tandu berkilauan warna prada, warna emas.
Rombongan Raja yang lengkap dengan semua prajurit kawal dan perlengkapan besar, sebagaimana lazim terjadi kalau Raja mengadakan anjangsana atau kunjungan.
Sejak masuk wilayah pertempuran, rombongan sedikit kacau. Karena semua pusat perhatian sedang terserap sepenuhnya ke tengah perahu, sementara itu mereka harus merunduk dan menyembah.
Dari sekian prajurit dan senopati, Halayudha yang segera bertindak begitu mencium bau dupa kencana. Dengan serta-merta ia berbalik, menuju ke arah tandu prada.
Halayudha menyembah dengan hormat.
"Kamu di sini, heh?"
"Sembah bagi Raja."
"Apa yang terjadi, Halayudha?"


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami para prajurit sedang berusaha membebaskan Rama Prabu, Raja...."
Halayudha tidak memakai sebutan baginda, akan tetapi menyebut sebagai "ayah raja". Karena tetap ingin meninggikan kedudukan Raja Jayanegara.
"Aku dengar itu sejak di ujung, ketika sebagian orang berusaha membelokkan arus bengawan.
"Siapa saja yang di depan?"
"Semua senopati, Raja sesembahan."
"Apakah mereka tidak tahu Ingsun datang" Ataukah keadaan sudah begitu gawatnya sehingga Ingsun tak perlu disembah lagi"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Semua senopati harusnya mengetahui. Bahwa lebih dari siapa pun di sini ini, Ingsun yang paling merasakan kepedihan. Karena yang berada dalam tawanan adalah darah daging Ingsun. Dan bukan yang lainnya...."
"Mohon ampun, Raja...."
"Halayudha, apa Nambi berada di depan?"
"Mahapatih yang memegang pimpinan...."
"Tidak buruk, heh?"
Halayudha kembali menyembah.
"Kenapa kamu diam?"
"Hamba..." "Buka mulutmu."
"Hamba tak berani matur, tak berani melaporkan...."
"Tentang Nambi" Kenapa?"
"Raja lebih maha tahu.
"Mahapatih Nambi yang gagah perkasa bersiaga dan langsung memimpin pertempuran sebagai senopati ing ngalaga, senopati medan perang.
"Hanya kalau dilihat dari sudut tata krama keprajuritan, barangkali kurang seirama. Karena atas perkenan Raja saat ini sesungguhnya Mahapatih Nambi sedang menjalani palapa karya. Masa istirahat ini atas perkenan Raja...."
Pundak Halayudha bergerak seolah menggigil. Menahan rasa gentar karena mengatakan sesuatu yang tidak berkenan di hati Raja.
Padahal sesungguhnya itulah arah yang dituju.
Dengan menyinggung masalah lepas dari tugas, Mahapatih Nambi menyalahi tata krama, melanggar angger-angger, atau undang-undang keprajuritan. Bahwa pada tingkat senopati ke atas, bisa istirahat tugas atau menjalankan tugas atas perkenan Raja.
Dan bukan menentukan sendiri semaunya.
Dengan mengaitkan tata krama keprajuritan serta kata "perkenan Raja" , Halayudha memperlihatkan kenyataan dari sisi tertentu.
Yaitu sisi bahwa sesungguhnya tindakan Mahapatih di satu sisi baik, tapi sisi lainnya sangat buruk. Bagaimana mungkin seorang mahapatih melanggar tata krama keprajuritan" Bagaimana mungkin Mahapatih yang resminya meminta restu dan perkenan Raja untuk cuti begitu saja kembali memegang komando"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha tahu bahwa kalimat ini akan masuk ke pemikiran Raja.
"Tata krama dan angger-angger harus ditegakkan.
"Ingsun pribadi yang akan mengatakan."
"Mohon ampun, Raja sesembahan yang mulia.
"Perkenankan Raja berlapang dada memaafkan, untuk tidak menarik mundur Mahapatih sekarang ini."
"Pendapatmu jujur. "Kamu senopati yang masih bisa berpikir jernih. Lebih mengutamakan kekokohan dan kebesaran Keraton.
"Ingsun bisa memerintahkan dengan satu telunjuk tangan, dan Nambi akan kembali ke Lumajang."
"Sesungguhnya."
"Tapi ia akan kehilangan segalanya.
"Ia tak menjadi apa-apa di mata para prajurit."
Raja mengangguk pelan. "Kamu siapkan diri, Halayudha...."
Dengan satu gerakan tangan, Raja memerintahkan untuk berangkat.
Kembali teriakan aba-aba perjalanan dimulai.
Bau dupa kencana makin menyesakkan udara, meskipun sebagian terbawa angin ke segala penjuru.
Dalam penciuman Halayudha, bau dupa itu sangat harum, memanjakan bulu-bulu hidungnya.
Hanya karena ia menengok ke belakang, dan menemui Raja untuk pertama kalinya sebelum senopati lain, situasinya berubah.
Bukan hanya dirinya yang tak ditanyai kenapa bisa muncul di bengawan- pertanyaan yang ditujukan kepada Mahapatih, melainkan juga sudah memindahkan tanggung jawab kepada Mahapatih Nambi.
Halayudha bukannya tidak mengetahui, bahwa Raja bisa seketika memerintahkan pergantian senopati ing ngalaga. Tanpa merenung terlalu lama pun, Raja bisa menitahkan dirinya menjadi mahapatih sekarang ini.
Sesuatu yang sangat diimpikan oleh Halayudha.
Tapi bukannya sekarang ini.
Situasi medan pertarungan masih rawan dan bahaya besar masih bisa menggelombang setiap saat. Kalau dirinya yang memegang tongkat komando, Halayudha seperti mengumpankan diri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan lebih aman kalau sekarang ini menahan diri. Dan sebentar lagi, kalau situasinya memungkinkan, tinggal mengambil alih.
Halayudha melesat ke depan.
Melewati barisan para prajurit. Langsung kembali ke dekat perahu yang kini makin menjauh.
Langkahnya terhenti karena berpapasan dengan Mahapatih Nambi.
"Mahapatih..." "Raja berkenan memimpin langsung?"
"Raja sepenuhnya mempercayai Mahapatih," kata Halayudha tergesa.
"Itu sebabnya saya mendahului Raja untuk menyampaikan kabar ini.
"Menyelamatkan Baginda adalah kehormatan yang terbesar. Raja mengetahui dan merestui kalau Mahapatih tidak menghadap sekarang ini."
Mahapatih menghela napas.
"Suasana begini gawat. Para prajurit sedang menyerbu...."
"Sumangga, Mahapatih....
"Apakah Mahapatih ingin sowan lebih dahulu...?"
"Iya." "Atau melanjutkan pertarungan yang tengah menunggu kepemimpinan?"
Mahapatih ragu sesaat. "Karena Raja telah mendapatkan laporan jauh sebelumnya mengenai apa yang tengah terjadi...."
Terdengar pekik dan jerit ngeri.
Di bagian yang dekat dengan perahu, jerit ngeri itu makin keras terdengar. Halayudha meloncat ke depan.
Mahapatih tak bisa menahan diri.
Karena yang terlihat adalah barisan prajurit yang kini cerai-berai tak beraturan. Hancur berantakan karena serbuan kumbang yang mendenging.
Pemandangan yang mengerikan.
Karena prajurit yang terkena sengatan wajahnya berubah hitam seketika, dan berkelojotan lama.
Dua puluh prajurit yang sekarat bisa membubarkan barisan.
Betapapun gagah beraninya.
Obor, api, asap sudah dinyalakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi kumbang itu seperti gulungan awan hitam. Seratus terusir pergi, seribu yang terus menerjang.
It-Pait-Pait GEGERAN yang berlangsung sangat cepat dan ganas membuyarkan rencana serangan besar-besaran.
Mada yang kini berada di bawah menyaksikan sendiri apa yang tadi ditertawakan oleh Eyang Puspamurti. Bahwa prajurit yang andal bisa porak-poranda oleh binatang.
Pada situasi yang genting itu, Dewa Maut malah menari-nari.
Tubuhnya kurus, kecil, dengan rambut semuanya putih bagai mempertajam kekisruhan yang terjadi.
Dewa Maut mengosongkan peti yang berisi senjata, lalu dengan terhuyung-huyung memanggulnya.
It-pait-pait aku pahit ... Gerakan tubuhnya berputar, menari, disertai bunyi mendesis.
Dari sekian banyak, hanya Jaghana yang segera menangkap apa yang dimaksudkan Dewa Maut. Meskipun belum pulih benar, Jaghana mendekati Dewa Maut.
Langsung memegangi kaki Dewa Maut.
Mencengkeram kuat. It-pait-pait aku pahit, ini madu ini gula segala kumbang segala lebah datang padaku... KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Suara tembangan Dewa Maut terdengar seperti desisan, seperti lengkingan yang tinggi.
Nyai Demang, yang meskipun mendapat perawatan sementara, masih tampak lemah. Tak bisa bergerak leluasa, terutama karena luka yang membuat separuh tubuhnya kaku sama sekali. Dalam hati masih bisa menertawakan Dewa Maut yang dianggap gila, dan menertawakan dirinya sendiri.
Menertawakan Dewa Maut yang tetap saja bercanda dalam situasi yang mencemaskan.
Betapa tidak" Dewa Maut menembangkan lagu dolanan, lagu mainan anak-anak. Sewaktu dirinya masih kecil, Nyai Demang juga menembangkan lirik it-pait-pait, bila didekati kumbang atau lebah.
Waktu kecil, Nyai Demang percaya penuh dengan meneriakkan it-pait-pait tubuhnya benar-benar menjadi pahit. Dan kumbang serta lebah tak menyukai pahit. Pasti akan terbang menjauh. Kecuali kalau meneriakkan du-madu-madu, yang menyebabkan kumbang mengetahui ada madu.
Itulah sebabnya Nyai Demang geli, tapi juga ngeri. Tembangan Dewa Maut tidak diucapkan secara benar. Menjadikan dirinya pahit, akan tetapi juga menyebut madu.
Hanya jalan pikiran melenceng dari seorang seperti Dewa Maut.
Hal lain yang membuat Nyai Demang menertawakan dirinya sendiri ialah bagaimana mungkin dalam gua bawah tanah lelaki itu bisa mencuri tubuhnya!
Kenyataan sesaat dulu itu bagi Nyai Demang tak akan pernah terlupakan. Karena sejak suaminya meninggal dunia, Nyai Demang tak pernah disentuh dan menyentuh lelaki lain. Tekad itu tak berubah serambut pun, walau kabar mengenai dirinya malah sebaliknya.
Kenyataan sesaat dulu itu tak mengganggu pikiran Nyai Demang, karena selama ini Dewa Maut tidak memperlihatkan diri. Sehingga tak mengganggu hati kewanitaannya.
Pemunculan Dewa Maut membongkar kenangan Nyai Demang, karena selama ini Dewa Maut mengendap dalam, yang disembunyikan rapat-rapat dan dianggap sebagai mimpi buruk.
Nyatanya tak bisa. Terjebol dari akarnya. Memang sejak pemunculan tadi, Dewa Maut mengalami perubahan total dari sikapnya. Nyai Demang bisa merasakan. Bukan karena Dewa Maut menjadi sehat dan tidak linglung lagi. Melainkan bahwa Dewa Maut tak lagi kelimpungan menghadapi Gendhuk Tri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bagi Nyai Demang atau yang mengetahui bagaimana Dewa Maut tertunduk-tunduk bila menghadapi Gendhuk Tri, perubahan sikap itu sangat besar artinya.
It-pait-pait Aku pahit ... ... Dengingan tak terdengar jelas itu makin lama makin sering.
Memberengeng, seperti tembang yang digumamkan.
Tetapi ajaib. Ratusan atau ribuan kumbang yang berpencar menyengat kiri-kanan, yang masih berada di udara, tiba-tiba menuju ke arah Dewa Maut.
It-pait-pait ... ... ... Seiring dengan rengengan atau gumam Dewa Maut, barisan kumbang menuju ke dalam kotak bekas penyimpanan senjata.
Semuanya. Beriringan. Sempat membersit pertanyaan dalam hati Nyai Demang, apakah betul tembang dolanan itu sakti"
Jaghana-lah yang menangkap gelagat itu. Begitu Dewa Maut bergumam, Jaghana menangkap isyarat bahwa suara itu seperti dengingan kumbang. Seperti suara gesekan sayap kumbang.
Itu sebabnya langsung menangkap kaki Dewa Maut.
Untuk menyalurkan tenaga dalam. Yang membantu jangkauan desisan itu hingga jarak yang jauh, tanpa menjadi lebih keras.
Jaghana-lah yang bisa menangkap bahwa Dewa Maut berusaha memanggil barisan kumbang ke arahnya. Ke arah kotak senjata!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sesuatu yang bisa cepat dimengerti oleh Jaghana karena ia biasa hidup terus-menerus di tengah alam. Tak pernah meninggalkan Perguruan Awan. Sehingga bisa membedakan pergesekan sayap kumbang dari capung, kicau burung yang satu dari kicau burung yang lain. Bisa membedakan getaran daun yang gugur, karena sudah tua dan kuning atau sebab lain.
Jaghana tahu, akan tetapi tak bisa melakukan.
Sebaliknya, Dewa Maut bisa menirukan persis kerisikan sayap kumbang ratu. Hal yang sangat mungkin, mengingat untuk beberapa saat lamanya Dewa Maut selalu bergumul secara langsung. Ketika memelihara lebah di gua bawah tanah Keraton.
Dewa Maut bukan hanya dekat dengan segala jenis binatang.
Tapi hidup bersama binatang, dengan cara binatang itu hidup.
Dewa Maut bukan hanya dekat dengan tumbuhan.
Tapi hidup bersama tumbuhan, dengan cara tumbuhan.
Sikap yang selalu dilakukan selama ini dengan pendekatan Ngrogoh Sukma Sejati, membuat tubuhnya menjadi sesuatu yang dikehendaki.
Itu sebabnya barisan kumbang seperti tertelan ke dalam kotak.
Adat dan kebiasaannya yang tak menentu yang menyebabkan ia seketika menembangkan it-pait-pait.
... ... ... ... Kotak senjata itu penuh. "Kena. "Kena semuanya."
"Tutup." Perintah Jaghana yang mendadak menyadarkan Dewa Maut.
"Apanya yang ditutup?"
"Kotak itu." "Kenapa?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jaghana meloncat dan segera menutup kotak kayu penyimpanan senjata. Lalu dengan satu loncatan membopongnya dan melemparkannya ke dalam bengawan.
Membenamkan hingga tak kelihatan lagi.
Baru kemudian menghela napas.
"Wah, apa yang Paman Jaghana lakukan"
"Kumbang itu bisa mati di dalam kotak yang terbenam."
Jaghana merangkul Dewa Maut.
"Terima kasih... Terima kasih."
"Baiknya saya juga mengucapkan terima kasih.
"Tapi untuk apa, untuk siapa?"
Dewa Maut merenung. "Kumbang itu mati. "Padahal bahasanya sama dengan kumbang di gua. Atau di mana saja. Aku juga kumbang, tapi tak mengerti."
Lenyapnya barisan kumbang menyebabkan Upasara dan Gendhuk Tri sendirian di atas perahu.
Kalau tadi Upasara menggerakkan tangannya untuk mengusir, dan sedikit kerepotan, kini lega.
Lapang. Terang. "Ksatria gagah, pendekar budiman berilmu tinggi, kenapa tidak masuk dan minum teh bersama" Udara gerah dan air bengawan bergolak, tetapi bukankah selalu ada waktu untuk menikmati teh segar dan harum?"
Gendhuk Tri menelan ludahnya.
"Akhirnya Pangeran Hiang bersuara.
"Kenapa Pangeran tidak keluar menjemput tetamu yang dipuji?"
Pangeran Tanding UPASARA WULUNG merasa Gendhuk Tri masih seperti dulu.
Mengumbar lidahnya bergerak. Bukankah Pangeran Hiang sudah mengundang" Bukankah itu berarti sebagian rencana semula kesampaian"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri tahu apa yang dipikirkan Upasara.
Tapi tidak berusaha menjelaskan.
Karena Gendhuk Tri merasa apa yang dilakukan sudah memakai perhitungan. Bukan sekadar membuka mulut.
Gendhuk Tri sudah mengalami sendiri ketika meloncat masuk ke perahu dan masuk ke dalam jerat. Kalau diulangi lagi, bukankah apa yang dilakukan ini sia-sia"
Kalau perahu ini menyimpan selaksa rahasia, sangat mungkin lagi masih ada selaksa perangkap yang lain.
"Maaf, saya tak bisa meninggalkan tempat.
"Tak ada lagi alat untuk membantu upacara penyambutan."
Suaranya anggun, mengandung wibawa yang segera terasakan.
Gendhuk Tri masih bimbang.
Akan tetapi Upasara mengangguk perlahan, menunduk, menghaturkan sembah, lalu melangkah ke dalam. Melewati bangunan rumah yang menganga.
Bibir Gendhuk Tri terkancing.
Ia tahu kalau Upasara sudah bertekad, tak ada yang bisa menghalangi lagi. Tak ada yang bisa mengubah kemauannya.
Tak ada pilihan lain. Ikut masuk. Dengan siaga penuh. Upasara melangkah biasa di perahu bagian bawah. Lalu duduk bersila. Gendhuk Tri mengikuti gerakan Upasara dengan waspada.
Tempat itu masih sama seperti ketika ia masuk ke dalam perangkap.
Tak ada yang berubah. Ruangan serba kayu yang sempit.
"Terimalah salam dari kami, Upasara Wulung dan Gendhuk Tri wara Keraton Majapahit...."
"Tak ada kelirunya sedikit pun.
"Pangeran Upasara Wulung memang lelananging jagat yang sejati.
Saya terima salam pambagya dari sesama Pangeran."
Gendhuk Tri menajamkan pandangannya.
Tak setitik pun bayangan di depannya. Tapi suaranya sangat jelas terdengar, meskipun diucapkan dengan lidah yang asing bagi penekanan kata-kata tertentu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Suara Pangeran Hiang! Tapi di mana" Ruangan yang sempit ini tak mungkin bisa menyembunyikan Pangeran Hiang. Apalagi kalau bersama Putri Koreyea. Akan tetapi bahkan dengusan napasnya pun tak bisa diketahui asalnya.
Hanya memang, Gendhuk Tri menangkap desiran suara yang memberat. Kadang terdengar, kadang tidak.
"Pangeran Sang Hiang dan Putri Koreyea, kami berdua telah datang.
Memenuhi undangan Pangeran. Apakah Pangeran tidak ingin bertemu muka dengan sesama Pangeran?"
Suara Gendhuk Tri menjadi hilang nadanya ketika tangan kanan Upasara menyentuh lututnya.
Lembut. "Maafkan kami, Pangeran Hiang yang perkasa. Kami datang bukan pada saat yang tepat. Maaf, Pangeran Hiang.
"Maaf, Pangeran, kalau kedatangan kami mengganggu Tuan Putri."
Meskipun tidak mengetahui secara pasti, Gendhuk Tri bukannya sama sekali tidak bisa menebak. Pikirannya berjalan dengan cepat.
Bahwa tarikan napas yang berat, yang terdengar sesekali, adalah suara napas Putri Koreyea yang agaknya sedang menderita. Atau sedang mengalami sesuatu yang berat.
Terdengar suara lembut. Desahan napas lembut. "Tidak apa, Pangeran Upasara.
"Saya yang seharusnya minta maaf karena tidak bisa menyambut dengan baik."
Gendhuk Tri menangkap getaran napas berat di sebelah depan. Tepat di belakang tempat Barisan Api menyambutnya tadi.
Upasara bisa mengetahui seketika, sedang dirinya baru beberapa saat kemudian.
Tenaga dalam Upasara sudah melesat terlalu jauh.
Bahkan dengan melangkah masuk pertama kali, seakan sudah mengetahui bahwa Putri Koreyea sedang menderita.
Tapi mana mau Gendhuk Tri mengendalikan dirinya seperti Upasara"
Dirinya baru beberapa saat lalu nyaris dijemput maut oleh pasukan yang diperintahkan Pangeran Hiang.
"Pangeran, apakah kamu mengaku kalah"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau benar begitu, kenapa tidak Pangeran lepaskan raja kami?"
Gigi Upasara beradu. "Adik Tri..." "Kita datang tidak untuk menunjukkan tata krama."
Terdengar suara helaan napas.
"Raja tanah Jawa ada di depan mata.
"Silakan. "Dengan satu janji. "Pangeran Upasara bisa menyelesaikan sampai benar-benar rampung."
Jidat Gendhuk Tri berkerut.
Lebih berkerut lagi karena Upasara mengerti tawaran Pangeran Hiang.
Karena kini tampak merenung.
Dan juga menghela napas. Hina Kelana 17 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Lambang Naga Panji Naga Sakti 3
^