Pencarian

Senopati Pamungkas Dua 14

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 14


Sangat dalam. Duduknya sedikit berubah. Dadanya tegak, akan tetapi kedua tangannya dilipat di dada.
"Pangeran Hiang memaksakan sesuatu yang tidak pada tempatnya."
"Tak ada pilihan lain, Pangeran Upasara."
Kalau mengikuti adatnya, yang walaupun telah banyak berubah tidak lagi sebagai gadis cilik, Gendhuk Tri sudah akan melabrak. Tapi kini menjadi ragu.
Meskipun terucap pula. "Apa maunya, Kakang?"
"Baginda beserta keluarganya ada di ruangan sebelah kiri dan kanan.
Semua dalam keadaan selamat. Hanya tinggal mengangkat satu papan, dan menyilakan keluar."
"Bukan jebakan?"
Gendhuk Tri merasa dirinya menjadi sangat tolol. Karena Upasara tidak menggubris pertanyaannya.
Gendhuk Tri mengubahnya menjadi:
"Apa lagi yang kita tunggu, Kakang?"
"Merampungkan."
Gendhuk Tri hampir saja menanyakan: Merampungkan apa. Namun pertanyaan itu dilontarkan untuk dirinya sendiri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dan dicoba dijawab. Rampung atau selesai, dalam satu pertarungan berarti kemenangan.
Kemenangan dalam pertempuran hanya berarti satu. Mengalahkan atau menewaskan lawan.
Arahnya pasti ke situ. Karena secara telak Upasara telah memenangkan pertarungan melawan Barisan Api.
Tetapi kenapa Pangeran Hiang menagih janji agar Upasara menghabisi"
Tetapi, lebih kenapa, Upasara justru menjadi ragu"
"Pangeran Hiang..."
"Pangeran Upasara..."
"Maafkan..." Gendhuk Tri makin terasa puyeng. Kalimat yang didengar makin tidak ketahuan arahnya. Baru disebutkan nama saja sudah dijawab. Dengan menyebutkan nama pula.
Sebenarnya jalan pikiran Gendhuk Tri sudah tepat.
Lebih lengkapnya ialah bahwa Pangeran Sang Hiang mengakui keunggulan Upasara Wulung. Karena kini tak bisa "menyambut", sebab Putri Koreyea sedang menderita sesuatu.
Tak ada pilihan lain, Pangeran Sang Hiang menerima kekalahan yang berarti kematian.
Itu yang ditagih. Itu yang harus merupakan janji.
Dan Upasara menjadi ragu.
Gendhuk Tri memang tak bisa menebak apa yang berkecamuk dalam hati Upasara. Yang jakunnya bergerak naik-turun menahan gejolak di dadanya.
Bagi Upasara memang merupakan pilihan yang sulit.
Memenangkan pertarungan dan membebaskan Baginda beserta para permaisuri adalah tujuannya. Akan tetapi tak pernah menduga bahwa Pangeran Hiang tidak ingin melanjutkan pertarungan sebagaimana layaknya sesama ksatria. Sesama pendekar.
Karena istrinya sedang menderita.
Dan bagi ksatria sejati, apalagi seorang Pangeran Putra Mahkota, kehormatan besar yang menyebabkan lebih berharga dan lebih bermakna adalah menerima kematian.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang memberatkan Upasara ialah: Jika kekalahan itu dalam suatu pertarungan, tak ada masalah yang mengganjal. Tapi ini urung, karena Putri Koreyea tengah menderita sakit.
Upasara menutup matanya. "Pangeran Upasara...
"Tugas mengabdi raja, mengabdi Keraton, lebih mulia dari semua keagungan.
"Kenapa harus ragu karena seseorang seperti saya yang justru menyebabkan malapetaka ini?"
Itu jawaban yang memantapkan tekad Gendhuk Tri.
Tapi Upasara tak bergerak.
Belum memutuskan apa-apa.
Samar-samar Gendhuk Tri mendengar sorak-sorai di luar. Celaka, pikirnya. Celaka besar kalau ada perintah untuk menyerbu. Halayudha bisa mengambil keuntungan dari kekeruhan!
Senyum Samar Rajapatni GENDHUK TRI mengambil keputusan.
Sebelum terjadi perubahan yang tak bisa dikendalikan, Gendhuk Tri berdiri. Membelakangi arah dia datang. Tangannya merabai dinding kayu. Mengetuk-ngetuk.
Mencari-cari kalau ada suara yang berbeda gemanya. Kalau benar begitu, berarti di belakang dinding itu ada ruangan.
Dugaannya tak keliru. Walaupun kelihatannya selintas seperti tatanan kayu, akan tetapi ada yang berongga. Gendhuk Tri merabai semua benda yang kelihatannya bisa menjadi alat untuk membuka dinding kayu itu. Jalan pikirannya sederhana, semua peralatan dalam perahu serba diatur oleh alat-alat.
Nyatanya benar! Ketika menarik salah satu gantungan jala yang kelihatannya sengaja dipasang, bagian dinding kayu membuka.
Membuka! Sesaat Gendhuk Tri tak tahu apa yang harus dilakukan.
Baru kemudian sadar bahwa yang duduk berimpitan di depannya adalah Baginda, beserta para permaisuri yang tak bisa tidak terpaksa beradu lutut.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tempat yang sangat sempit.
Gendhuk Tri bersila. Menyembah. "Ingkang Sinuwun keparenga..." Permintaannya agar Baginda meninggalkan tempat mendapat jawaban seketika.
Baginda segera berdiri. Agak terhuyung-huyung karena gerak langkahnya pincang. Pastilah karena selama beberapa hari darahnya tak bisa mengalir sempurna. Ini berbeda dari para permaisuri yang masih mengiringi langkah Baginda dengan menyembah.
"Mohon para permaisuri berkenan mengikuti Baginda...."
Tanpa diminta dua kali, Permaisuri Indreswari berjalan dengan berjongkok, mengikuti Baginda. Disusul Permaisuri Tribhuana, Permaisuri Mahadewi.
Permaisuri Jayendradewi merangkapkan kedua tangan, mengucap syukur kepada Dewa Yang Maha murah sebelum mengusap wajahnya.
"Terima kasih tak terhingga...."
Kalimatnya tetap lirih, teratur nadanya, bersih, tanpa ada tekanan tertentu ketika mengucapkan.
Melewati masa-masa yang mengerikan, berada dalam tempat yang sangat sempit, di antara orang yang disembah dan tak disukai, tidak membuat Permaisuri Jayendradewi berubah. Setitik pun tidak.
Bahkan gelungan rambut dan warna kulitnya tak berubah.
Semua tenggelam dalam ketabahan dan kekuatan batin yang luar biasa besarnya mengingat segala apa yang bergolak.
Sikap yang sempurna dalam menerima dan menjalani kehidupan.
Permaisuri Rajapatni berjalan jongkok di belakangnya. Tatapan matanya menunduk, tangannya bergerak pelan, seirama dengan gerak kakinya yang melangkah beringsut.
Gendhuk Tri tergetar. Sejak masih gadis kecil, Gendhuk Tri selalu mengawasi Permaisuri Rajapatni. Bahkan ketika selalu bersama-sama, secara tetap Gendhuk Tri mencuri pandang. Mencari jawaban, kelebihan apa yang tersimpan dalam tubuh Gayatri sehingga membuat Upasara Wulung tak pernah bisa mengalihkan perhatian.
Tubuh yang tak terlalu istimewa.
Dibandingkan dengan permaisuri lain, atau putri Keraton yang lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mata, hidung, bibir, alis mata, telapak kaki, tak jauh berbeda.
Gerakan tangan, kaki, tubuh, tak jauh berbeda.
Kemben, kain, setagen, tak jauh berbeda.
Apanya" Sikapnya" Sikapnya tak jauh berbeda. Gendhuk Tri mengenal sangat baik ketika bisa bersama-sama untuk beberapa saat. Bahkan bayangan tubuh Permaisuri Rajapatni diperhatikan.
Apanya" Yang tak terlihat! Yang tak teraba. Barangkali itulah jawabannya. Karena sekarang ini Permaisuri Rajapatni menuju ke luar, menaiki tangga dengan tetap menunduk.
Tidak melirik, tidak menoleh, tidak terganggu irama geraknya.
Hanya tadi, rasanya, ada senyuman.
Senyuman samar yang menyiratkan kebahagiaan sejati.
Senyuman" Samar" Ataukah hanya bentuk bibir yang memang begitu"
Tidak. Gendhuk Tri merasakan sebagai senyuman kemenangan tanpa merendahkan siapa pun. Senyuman sebagai tanda rasa syukur.
Memuliakan Dewa dan sesama.
Tidak berlebihan Gendhuk Tri menduga demikian. Senyuman yang samar dan sukar diartikan itu seolah berbahagia atas pemunculan Upasara Wulung. Seolah memberikan restu kepada Gendhuk Tri.
Itu yang dirasakan Gendhuk Tri.
Kilatan pikiran ke masa lalu melesat cepat. Gendhuk Tri sudah mencurigai ada sesuatu yang direncanakan Permaisuri Rajapatni.
Apalagi kini ternyata Upasara muncul dalam keadaan tak kurang suatu apa.
Permaisuri Rajapatni sudah tahu sejak semula.
Bahkan sudah memperbincangkan dengannya.
Ketika itu seolah Permaisuri Rajapatni merelakan Upasara Wulung.
Itu yang menyakitkan. Bagi Gendhuk Tri, Upasara adalah Kakang Upasara-nya!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan milik wanita mana pun. Bukan Ratu Ayu, Nyai Demang, apalagi Permaisuri Rajapatni!
Gendhuk Tri mendongkol. Berarti dulu dirinya dibohongi habis-habisan sewaktu menggali tulang-belulang Upasara. Berarti Permaisuri Rajapatni selalu merasa menang. Ataukah sekarang ini masih tetap menduga bahwa Upasara muncul menolong ke perahu karena di situ ada Permaisuri Rajapatni"
Yang secara sengaja datang ke perahu.
Gendhuk Tri merasa benar-benar panas.
Segera bangkit, dan berputar untuk kemudian meloncat ke atas. Ke lantai perahu.
Kesigapan dan keunggulannya masih menunjukkan penguasaan ilmu yang sulit ditandingi. Keberaniannya sudah terbukti. Akan tetapi dalam soal asmara, Gendhuk Tri tak berbeda dari wanita yang lain. Tak berbeda dari Permaisuri.
Emosinya meninggi! Ada sesuatu yang meletup-letup dan ingin ditumpahkan dengan suara keras di depan Permaisuri.
Akan tetapi yang terdengar oleh telinganya ialah sorak-sorai.
Gegap-gempita. Para prajurit kini sepenuhnya sudah membuat jembatan penghubung. Semuanya bersorak-sorai, setelah Baginda mengangguk perlahan. Lalu bergegas turun, dan dengan cepat sekali masuk ke tandu.
Diiringi para permaisuri yang masuk ke tandu yang berbeda-beda.
Gendhuk Tri kesal. Kakinya hampir dibanting ketika sorak-sorai berubah menjadi teriakan beringas.
Mata Gendhuk Tri membelalak. Tak disangka tak dinyana bahwa para prajurit mulai melepaskan anak panah berapi. Tertuju ke perahu.
"Musnahkan perahu!"
Teriakan keras, ganas, dan memerintahkan penyerbuan saat itu hanya mungkin berasal dari Halayudha.
Inilah gila! "Tahan!" Seruan Gendhuk Tri tak ada gunanya. Karena desiran anak panah lebih banyak dari yang diduga. Beberapa menancap di dinding, di lantai, dan apinya perlahan mulai merembet.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kedua tangan Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Mengusir hujan anak panah berapi. Akan tetapi serbuan makin gencar. Diikuti lemparan tombak dan teriakan.
Gendhuk Tri tak habis mengerti.
Tak habis pikir. Bagaimana mungkin Halayudha bisa memerintahkan penyerbuan ini"
Bagaimana para prajurit seperti kesetanan dan tidak memedulikan keselamatan dirinya dan Upasara Wulung" Ksatria yang justru dengan gagah perkasa membebaskan Baginda, ketika yang lainnya tersuruk ke dalam bengawan"
Jalan pikiran Gendhuk Tri dipenuhi kejengkelan berganda.
Kejengkelan kepada Permaisuri karena masalah pribadi, dan kini merasa dikhianati secara terang-terangan.
Cara yang menjijikkan. Halayudha manusia sangat licik, licin, dan penuh tipu daya. Akan tetapi apa yang dilakukan sekarang ini benar-benar keterlaluan.
Tambah lagi kejengkelan Gendhuk Tri karena agaknya tak ada yang berusaha menahan atau mencegah.
Menyakitkan! Gendhuk Tri tak mampu bertahan karena dadanya bergetar keras.
Tubuhnya membalik, masuk kembali ke perahu.
Apa yang dilihatnya di dalam tak berubah.
Upasara masih bersidekap dengan mata tertutup.
"Kakang... Kakang, perahu ini diserbu."
Tak ada jawaban. "Bangsat Halayudha itu..."
Suaranya tak selesai. Dua batang panah memancarkan api masuk.
Menancap di lantai. Menangkap Ikan di Air Keruh
TEBAKAN Gendhuk Tri tak meleset.
Memang Halayudha yang berdiri di belakang penyerbuan ini. Bahkan ia sendiri yang berada di depan.
Sewaktu Barisan Api bisa dikalahkan, Halayudha merasa saatnya untuk bertindak. Ia mendekati Mahapatih Nambi, dan dengan suara lugas berkata dingin,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Maaf, Mahapatih, Raja menghendaki Mahapatih beristirahat, seperti sebelumnya.
"Saya mendapat perintah untuk melanjutkan tugas Mahapatih."
Halayudha tidak memperlihatkan wajah kikuk sedikit pun. Karena ia tahu memperhitungkan situasi. Sekarang bukan saatnya merendahkan diri. Sekarang bukan saat untuk menampilkan dirinya.
Tanpa membuang waktu, Halayudha meloncat ke atas seekor kuda.
"Dengar, kalian para prajurit Keraton yang gagah berani.
"Hari ini saya, Senopati Halayudha, mendapat perintah langsung dari Raja Jayanegara untuk memegang komando penyerangan.
"Bagi yang sakit, diminta mengundurkan diri.
"Bagi yang lelah, diminta berada di belakang.
"Yang bersedia mati demi Raja, bersiap!"
Halayudha mengambil tombak panjang dan menggoyangkan.
"Kita maju untuk membebaskan Baginda. Untuk menghancurkan lawan."
Halayudha memerintahkan membuat rakit sambungan, memerintahkan barisan panah api dan semua prajurit mulai bergerak.
Sebagian diminta mengamankan Mpu Sina, Dewa Maut, Jaghana, serta Nyai Demang.
Perhitungan Halayudha mengatakan bahwa jika pun Baginda tak bisa diselamatkan, kini saatnya mengubur perahu Siung Naga Bermahkota.
Tak ada cara lain. Dengan demikian semua keributan masa lalu akan ikut terkubur. Dengan demikian tak perlu merisaukan bagaimana Upasara nantinya.
Dengan mengatas namakan Raja, Halayudha tidak sembarangan saja.
Ia mempunyai mandat untuk mengambil alih kepemimpinan Mahapatih.
Persiapan menuju ke perahu menemukan sinar terang.
Karena saat itu Baginda sedang berjalan keluar. Halayudha segera meloncat ke perahu, melakukan sembah, dan dengan cepat membopong Baginda. Lalu membawa ke tepi, ke dalam tandu yang telah disediakan.
Demikian juga para permaisuri, langsung dikempit dan diloncatkan.
"Baginda dan para permaisuri telah selamat.
"Hancurkan perahu!"
Beberapa senopati bukannya tidak mengetahui bahwa Upasara Wulung serta Gendhuk Tri masih berada di dalam. Halayudha bukan tidak mengetahui keraguan ini.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Di dalam masih banyak musuh yang berbahaya. Lebih berbahaya.
"Upasara telah berpesan, setelah meloloskan Baginda tak ada yang perlu ditunggu.
"Upasara pasti bisa meloloskan diri.
"Seraaaaang!" Teriakan mengguntur itulah yang membuat seolah bengawan berubah menjadi lautan api. Persiapan yang sedemikian lama dan selalu tertahan, menemukan pelampiasannya.
Gerakan tangan dan tubuh Gendhuk Tri tak banyak mengubah situasi, karena panah api telanjur dilepaskan.
Halayudha tersenyum tipis.
Kini saatnya ia tampil sepenuhnya.
Tangannya bergerak dan genderang dibunyikan keras bertalu-talu.
Halayudha memutar tubuh dan mendekat ke arah tandu Raja Jayanegara.
"Baginda telah diselamatkan atas kemurahan hati Raja.
"Hamba menunggu perintah selanjutnya."
"Lakukan." "Mahapatih..." "Lakukan." Halayudha menyembah ke arah tandu.
"Kalau Raja berkenan untuk berada di tempat yang lebih menyenangkan, kami telah menyediakan."
"Lakukan saja, Halayudha...."
Jalan makin lebar. Jalan menganga, terbuka. Langkahnya lebih leluasa. Inilah yang dinamakan "menangkap ikan di saat air keruh". Mendapatkan sesuatu yang diinginkan di saat kekisruhan.
Halayudha bisa memainkan cara "mendapatkan ikan tanpa mengeruhkan air", akan tetapi bisa pula "menangkap ikan di saat air keruh".
Yang penting menemukan ikan.
Dan sekarang inilah ikan itu berada dalam genggaman.
Tak akan dilepaskan. Diyakinkan tak akan bergerak dari kedua tangannya.
Dengan jalan memecah barisan menjadi tiga bagian.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pertama, rombongan untuk mengawal Baginda dan para permaisuri menuju ke Simping. Dengan cara begini Halayudha menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi antara Baginda dan Raja.
Walaupun resminya Baginda telah menyerahkan kekuasaan ke Raja, akan tetapi pamor dan wibawanya masih bergema dan terasakan. Bila Baginda kembali ke Keraton, tata aturan yang baru bukan tidak mungkin bakal keluar. Ini berarti bisa mengganggu ikan dalam genggaman Halayudha.
Maka mengembalikan ke Simping merupakan jalan terbaik.
Kedua, rombongan untuk mengawal Mahapatih Nambi dan Mpu Sina kembali ke Lumajang. Dengan cara ini Halayudha menempatkan Mahapatih Nambi kembali ke posisi seperti sedang melakukan palapa karya, bebas tugas. Jelas sekali dalam keadaan seperti ini Mahapatih tak akan bisa berbuat apa-apa. Secara resmi tak mempunyai kekuasaan untuk memerintah para prajurit, kecuali yang menjadi anak buahnya langsung.
Dengan mengikutsertakan Mpu Sina, Halayudha menempatkan senopati tua yang disegani itu ke dalam barisan yang "tidak dikehendaki Raja", sehingga makin jelas petanya. Bahwa Raja tetap tidak menyukai Mpu Sina.
Tak ada lagi kesempatan untuk mencari pengaruh.
Ketiga, rombongan untuk mengantar Raja kembali ke Keraton. Dalam barisan dan upacara kebesaran seolah memenangkan pertempuran yang hebat. Ini perlu bagi Raja untuk mendapat kesan bahwa apa yang dilakukan berhasil dengan sempurna. Pesta pora akan dilakukan di Keraton.
Dengan demikian, Halayudha bebas menentukan apa yang terjadi di bengawan. Bisa berbuat apa saja.
Berbuat apa saja itu antara lain menenggelamkan perahu Siung Naga Bermahkota.
Perintahnya hanya satu. Menghanguskan perahu. Menunggui terus sampai perahu itu menjadi abu.
Dalam hati kecilnya, Halayudha merasa ngeri menghadapi Upasara Wulung. Beberapa kali berupaya melenyapkan, akan tetapi selalu gagal.
Lebih dari itu, Upasara justru bisa muncul kembali dengan kekuatan yang lebih.
Kalau menghadapi Upasara yang dulu, Halayudha masih merasa mampu menemukan titik-titik di mana ia melakukan keunggulan.
Banyak cara untuk mengakali ksatria gagah yang tak tahu lekuk-liku
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tipu muslihat. Akan tetapi kemampuan ilmu silatnya sekarang ini ternyata jauh melesat dari yang diperhitungkan.
Perkiraannya meleset. Kematian Upasara karena hajaran dan tusukan yang menghancurkan pundak kirinya ternyata tak berpengaruh.
Bahkan sebaliknya. Upasara bisa memainkan kedua tangannya secara leluasa.
Kiri atau kanan sama saja.
Di samping itu tenaga dalamnya juga berkembang sangat luar biasa.
Dalam pandangan Halayudha, rasa-rasanya ia tak mampu menandingi lagi. Tak ada yang mampu menandingi.
Karena Barisan Api yang kokoh, ganas, dan kuat sekali, bisa ditaklukkan. Padahal Halayudha menjajal sendiri, satu lawan satu saja posisinya tidak jelas-jelas unggul. Tokoh setingkatan Eyang Puspamurti juga tak jauh berbeda dengan dirinya. Tingkatan Jaghana malah bisa dikalahkan.
Ini bukti kuat bahwa Upasara jelas bisa mengungguli siapa saja.
Perhitungan Halayudha, dengan mengamankan bantuan yang mungkin ada, Upasara akan dibiarkan bertarung mati-matian dalam perahu. Pertarungan maut dengan Pangeran Sang Hiang. Dalam konsentrasi tinggi itulah perahunya dibakar.
Tak terlalu sulit bagi Halayudha mengamankan Jaghana dan Nyai Demang yang kondisinya belum pulih. Eyang Puspamurti bisa segera diminta menjaga ketiga muridnya. Sedangkan Dewa Maut tak bisa memaksakan kehendaknya sendiri.
Itu sebabnya rencana Halayudha berjalan lancar.
Penyerangan dengan panah api bisa terus berlangsung. Api yang membakar kegelapan menjulang ke arah langit. Mengeluarkan bunyi gemeretak. Halayudha tetap berjaga di pinggir bengawan.
Siapa tahu Upasara, Gendhuk Tri, Pangeran Hiang, Putri Koreyea, dan entah penghuni mana lagi, bisa meloloskan diri. Terjun ke bengawan. Itu yang dijagai.
Mereka bisa lolos dengan mudah kalau tidak sedang bertarung. Kalau pertarungan tingkat mengadu tenaga dalam, tak ada kesempatan bagi mereka semua untuk lolos.
Mati bersama kayu. Menjadi abu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sederhana caranya. Hebat hasilnya.
Percakapan Pangeran GENDHUK TRI benar-benar bagai kebakaran seluruh bulu tubuhnya.
Betapa tidak. Beberapa panah api mulai menancap di lantai bawah dan menyala.
Beberapa anggota Barisan Api yang masih sadar dan bisa melarikan diri menyelusup ke bawah.
Kok Upasara masih duduk bersila menghadapi dinding kayu!
Tak bergerak, tak beringsut.
Kalau sedang mengadu tenaga dalam atau bertarung, tak jadi soal.
Tapi ini hanya duduk. Enam anggota Barisan Api juga duduk mengelilingi.
Mengawasi.

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakang..." "Pertanyaan dan ajakan yang bagus.
"Pangeran Upasara, kenapa tidak segera meninggalkan perahu?"
"Sebagai tetamu, saya masuk dan diundang untuk menikmati suguhan teh.
"Sebagai tetamu, kalau sekarang diusir saya akan segera pergi."
"Bergegaslah." Upasara menyembah. Panas mulai terasa. "Dengan satu permintaan...."
"Seratus permintaan akan saya kabulkan, kalau saya bisa melakukan saat ini."
"Satu..." "Katakan." "Kehidupan." "Kehidupan adalah segalanya."
"Manusia menjadi manusia tatkala hidup."
"Aaaahhh. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa tidak cukup puas dengan kemenangan yang gilang-gemilang ini?"
"Pangeran Hiang telah berjanji."
"Pangeran Upasara! "Jangan paksakan kehinaan yang terburuk untuk saya telan."
"Kalau itu memang kehinaan, biarkanlah kita bersama menelan.
Kalau kemenangan adalah segalanya, seperti yang Pangeran Hiang katakan, berarti selama ini saya menempuh jalan yang keliru."
Suasana hening. Tak ada yang bergerak. Barisan api tetap duduk bersila.
"Pangeran Upasara...
"Percakapan kita sia-sia. Kemenangan adalah segalanya. Kekuasaan ada di tangan pemenang. Kodrat dan wiradat, usaha, ditentukan dan berlaku untuk pemenang.
"Ilmu silat pada dasarnya mencari kemenangan. Siapa yang menjadi pemenang, dialah yang paling sakti. Siapa yang memegang kemenangan, ia menjadi paling benar.
"Kemenangan. "Dan di jagat ini hanya ada satu pemenang.
"Hanya ada satu ksatria lelananging jagat. Tidak dua atau tiga. Yang lainnya adalah yang kalah.
"Kemenangan. "Kunci dan penyelesaian.
"Pangeran Upasara, saya adalah cucu Eyang Agung Khan yang Tiada Tara, Jengiz Khan, yang mulai hidup di gurun panas penuh debu dan kotoran kuda. Hanya kemenangan yang menyatukan, yang mengangkat menjadi pemimpin. Hanya dengan kemenangan yang gilang-gemilang bisa menguasai Keraton Cina.
"Saya adalah putra mahkota Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa, yang melanjutkan kemenangan demi kemenangan di seluruh jagat.
Rama Prabu Kubilai Khan tak akan bisa diakui dan menaklukkan keraton-keraton lain kalau tidak mencapai kemenangan.
"Saya adalah putra mahkota, yang berhak memakai umbul-umbul, bendera sendiri, dan saya memilih Siung Naga Bermahkota. Kenapa saya yang dianggap berhak mewarisi takhta, dan bukan ratusan putra mahkota yang lain, yang justru selalu berada di sekeliling Keraton"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Karena saya mencapai kemenangan.
"Setelah Eyang Agung Khan, tak ada prajurit dan pendekar Tartar yang mampu menaklukkan Keraton Jepun. Puluhan kapal yang berlayar hancur ditelan ganasnya ombak, disabet samurai berpedang panjang.
Rama Prabu Khan tak bisa memenangkan.
"Tetapi, dengan Barisan Api yang perkasa, bisa menginjakkan kaki ke tanah Jepun, dan menaklukkan. Saya pemenang.
"Demikian juga di Keraton Koreyea.
"Para pendekar yang ganas, yang kokoh dan telengas, yang mempunyai akar persilatan dataran Cina tapi berkembang sendiri, tak pernah bisa dikalahkan sebelumnya. Tetapi saya datang dan meraih kemenangan.
"Kemenangan. "Kemenangan yang membuat Rama Prabu Khan memilih saya sebagai putra mahkota yang bakal menggantikan takhta jagat.
"Kemenangan. "Kemenangan yang maha sempurna manakala tanah Jawa ini bisa ditaklukkan. Akan tetapi sejak utusan Rama Prabu Khan, Sri Baginda Raja Kertanegara berani mengirim balik utusan dan menyatakan perang.
"Menyatakan untuk merebut kemenangan.
"Utusan demi utusan datang ke tanah Jawa, tapi tanpa hasil. Seolah tanah yang selalu basah, sungai kecil, dan keraton tanah ini mengganggu kesempurnaan kemenangan Keraton Tartar. Tak ada wilayah yang tak tunduk, tidak bisa ditaklukkan, kecuali secuil tanah di sini.
"Kemenangan. "Kemenangan, Pangeran Upasara.
"Kemenangan yang dikehendaki Sri Baginda Raja. Kemenangan yang menyebabkan saya datang ke tanah Jawa. Untuk membuktikan kemenangan.
"Karena kemenangan adalah segalanya.
"Kemenangan adalah kebenaran.
"Kemenangan adalah Dewa. Kemenangan adalah kekuatan.
Kemenangan adalah kekuasaan. Kemenangan adalah kesahan hidup yang tanpa tanding.
"Suara Pangeran Hiang bergema lama.
Tak ada yang bergerak. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Barisan Api juga diam. Gendhuk Tri merasa udara semakin panas, asap semakin tebal.
"Kemenangan. "Itu satu-satunya nilai.
"Yang lainnya kalah. Mati. Tumpas. Hina."
"Pangeran Hiang..."
"Tak perlu kata-kata itu.
"Pangeran Upasara telah memperoleh kemenangan."
Upasara terdiam. Jakunnya tak bergerak. Kaku. Gendhuk Tri mengangkat alisnya, dan menurunkan cepat sekali.
"Kalau kemenangan berarti segalanya, kenapa Pangeran Hiang masih harus melindungi Putri Koreyea"
"Bukankah dengan memenangkan dan menundukkan Keraton Koreyea, semua tak mempunyai arti penting lagi?"
Polos suaranya. Datar nadanya.
Tapi ucapan Gendhuk Tri menikam tajam. Menggurat ke dalam, menoreh bagian yang tersembunyi.
Sederhana cara mengucapkannya.
Namun dengan kalimat yang kekanak-kanakan ini, Gendhuk Tri menyusupkan pertanyaan yang paling mendasar. Dengan mempersoalkan Pangeran Hiang yang masih melindungi Putri Koreyea, berarti pangeran Hiang melihat adanya tata nilai yang lain. Berarti bukan hanya kemenangan atas Koreyea satu-satunya arti. Kalau tidak, untuk apa melindungi Putri Koreyea yang sedang gering"
Bahwa antara Pangeran Hiang dan Putri Koreyea ada hubungan asmara, Gendhuk Tri sudah mendengar dari cerita sebelumnya. Tetapi kenyataan yang dikemukakan meruntuhkan semua topangan pikiran Pangeran Hiang.
Terdengar helaan napas berat.
Bersamaan dengan itu terdengar bunyi kayu berderak.
Dinding perahu di depan Upasara bergerak. Naik. Membuka.
Upasara melakukan sembah penghormatan.
Barisan Api menunduk seperti mencium lantai yang mulai panas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri sendiri melongo.
Matanya membelalak. Bibirnya membuka.
Dinding perahu yang membuka itu tak jauh berbeda dari dinding di balik tempat penahanan Baginda dan para permaisuri. Bahkan lebih sempit lagi.
Hanya bisa untuk berbaring satu orang.
Tanpa bisa banyak bergerak.
Di situlah Pangeran Hiang berada selama ini. Tanpa bergerak sama sekali. Berbaring di atas semacam kulit binatang. Sambil merangkul Putri Koreyea yang juga menggeletak di dadanya.
Ini yang membuat Gendhuk Tri membelalak dan melongo.
Membelalak karena tak percaya apa yang dilihatnya. Melongo karena tak mengerti apa yang sesungguhnya sedang dihadapi.
Gendhuk Tri merasakan bahwa kini seluruh tubuhnya panas terbakar. Rambutnya menjadi sangat kering dan terasa bagai bara.
Perjalanan Larung BANYAK sebabnya kenapa Gendhuk Tri tertegun.
Upasara Wulung pun memperlihatkan rasa heran, walau sekilas.
Pangeran Sang Hiang, yang begitu didengungkan namanya, yang selama ini hanya didengar suara dan dikenal namanya, kini terlihat jelas.
Sedang berbaring sambil memeluk Putri Koreyea dengan kencang.
Erat sekali. Di ruangan yang sangat sempit itu, Pangeran Hiang mengenakan pakaian longgar yang menutup seluruh tubuhnya. Bagian atasnya memakai lengan yang menggelembung, sedang bagian bawahnya membuka bagai mengenakan kain yang bersisa.
Matanya jernih, tajam menikam, berada di bawah sepasang alis yang tebal pendek. Mengilat seperti rambutnya yang tersanggul sangat rapi.
Hanya cundhuk di gelung yang menyerupai taring naga yang membedakannya dari Barisan Api.
Sementara Putri Koreyea wajahnya bagai kapas. Bagai air cucian beras. Putih, pucat. Matanya berupa garis tipis, demikian juga alisnya.
Pakaian yang dikenakan juga serba panjang dan berbunga-bunga, penuh sulaman dengan benang emas. Sekilas mengingatkan apa yang pernah dikenakan Ratu Ayu,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam ruangan yang begitu sempit, dengan pakaian lengkap yang begitu tebal, sambil berangkulan!
Tetapi segera Gendhuk Tri menyadari, bahwa Pangeran Hiang memeluk tidak sekadar memeluk. Akan tetapi telapak tangannya masuk ke perut, memberikan dorongan tenaga dalam ke tubuh Putri Koreyea, yang tergeletak pasrah, tak bergerak. Tidak juga udara yang berada di dekat hidungnya.
Tarikan napasnya samar, lemah.
Kalau tadi melihat Baginda dengan para permaisuri duduk rapat seolah beradu lutut saja Gendhuk Tri tak habis heran, apalagi sekarang ini.
"Pangeran, parahkah sakit Putri Koreyea?"
...........................
Pangeran Hiang tidak menjawab langsung.
"Di sini ada beberapa karung kulit, yang berasal dari kulit beruang yang sudah dimasak. Kalian bisa masuk ke dalamnya, dan membiarkan hanyut di air bengawan kalau mau.
"Masih ada kesempatan.
"Kalian berdua mempunyai kebenaran, yang tidak ada hubungannya dengan kemenangan."
Pangeran Hiang menggerakkan pundaknya.
Kulit binatang yang ditiduri seperti digerakkan tangan yang halus, menutup tubuhnya dan tubuh Putri Koreyea, yang tetap tak bergerak, tak bereaksi.
Kulit membungkus, sehingga tubuh Pangeran dan Putri seperti dalam karung.
Salah satu Jalu mengulurkan karung yang sama kepada Upasara dan Gendhuk Tri.
"Kenakan. "Sebentar lagi perahu akan meledak dan terbakar."
Gendhuk Tri melongo lagi.
"Ada berapa karung kulit seperti ini?"
"Dua." "Kalian sendiri bagaimana?"
"Kami hidup di perahu dan selalu bersama perahu.
"Kenakan segera, seperti perintah Pangeran Sang Hiang, Khan yang Gagah...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri ragu. Sejenak. Karung kulit itu begitu menempel ke tubuhnya seperti membungkus sendiri. Upasara juga masuk. Rapat sempurna.
Ada perasaan jengah, malu, marah, tapi Gendhuk Tri tak bisa berbuat apa-apa. Karung telah menutup. Gelap. Hanya hidungnya yang bisa mengenali bau kulit binatang.
Selebihnya tak tahu apa-apa.
Tak bisa apa-apa. Itu pun tak lama. Terasa kemudian seperti guncangan yang besar, yang membalikkan tubuhnya. Disusul gemercik air di sekitarnya, dan kemudian bersamaan dengan itu disusul ledakan yang keras.
Dalam kulit karung Gendhuk Tri tak bisa bergerak, tak bisa menggerakkan apa-apa.
"Celaka," katanya perlahan. "Perahu benar-benar meledak."
"Kita hanyut." "Kita hanyut, Kakang.
"Tapi bagaimana dengan Barisan Api?"
"Mereka akan tetap berada di perahu."
Gendhuk Tri tak melanjutkan pertanyaan. Bukan karena tiba-tiba tubuhnya seperti berputar, kaki ke kepala dan kepala ke kaki, melainkan karena menjadi kikuk.
Sangat kikuk. Tubuh Upasara seperti menempel di tubuhnya.
Setiap kali Gendhuk Tri bergerak, yang terjadi adalah guncangan-guncangan, seolah karung kulit melesak lebih jauh ke bawah sungai.
"Atur pernapasan...."
Suara Upasara perlahan. Gendhuk Tri sadar, bahwa terkurung dalam karung kulit yang sangat mungkin sekali berada di tengah arus dan di tengah air, mulai terasa panas.
Maka ajakan Upasara dituruti.
Tubuhnya kaku tidak membuat gerakan sedikit pun. Pikirannya dipusatkan, menuju ke satu titik tertentu. Tarikan maupun embusan napasnya sangat perlahan dan lama jaraknya.
Upasara ternyata lebih bisa bertahan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan cara itu, segera Gendhuk Tri merasakan bahwa karung kulit bisa bergerak sangat tenang. Perlahan terbawa mengikuti arus. Dan secara perlahan pula ke atas permukaan.
Mengapung. Perahu Siung Naga Bermahkota memang penuh peralatan yang serba menakjubkan. Selain berisi rangkaian senjata rahasia, bahan peledak yang guncangannya demikian keras, juga menyediakan dua karung kulit, yang bisa menjadi perahu penyelamat.
Semua tadi memerlukan persiapan yang luar biasa rumit.
Seperti halnya karung kulit ini. Bentuknya tak berbeda dengan lembaran kulit binatang yang lain. Akan tetapi dalam waktu singkat bisa saling menempel, seolah disatukan dengan perekat telur yang sangat kuat.
Dan bisa mengapung! Kulit binatang ini bisa menjadi perahu, tetapi bisa juga menjadi semacam peti mati. Dengan menenangkan tubuh, mengatur pernapasan seirit mungkin, kulit yang menjadi larung, menjadi peti mati tak bergerak. Dengan mengikuti arus, kulit ini seperti dilarung, dilemparkan ke sungai, dan menjadi bagian sungai. Seperti benda yang lain, akan setengah mengapung.
Tak beda dengan kulit biasa yang tidak bermuatan.
Perencanaan dan perhitungan yang masih mencengangkan bagi Gendhuk Tri.
Betapa tidak. Kalau berada di dalam air, bagian atasnya akan menutup dengan sendirinya. Dengan demikian air tidak bisa masuk. Sedangkan bila muncul ke permukaan, udara bisa dihirup lebih leluasa.
Bagi Gendhuk Tri maupun Upasara tak terlalu sulit untuk menahan napas sementara jika kebetulan karung kulit berada di bawah permukaan.
Yang terbayang oleh Gendhuk Tri, bagaimana Pangeran Hiang mengatur pernapasan dengan baik, kalau kenyataannya ia dibebani tubuh Putri Koreyea.
Ini menjadi perhitungan Gendhuk Tri.
Justru karena ketika ia berusaha membuka karung kulit usahanya selalu gagal. Setiap kali tangannya bergerak ke atas, mendorong kulit, justru karungnya tenggelam. Setiap gerakan menyebabkan karung kulit tak bisa mengapung.
Pikiran Gendhuk Tri sebenarnya sederhana.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalaupun ia bisa lolos dari ledakan perahu yang menjadi hangus terbakar, ia bisa menepi dengan berenang. Dan tidak berdiam diri seperti ini.
Gendhuk Tri tidak menyadari bahwa nyawanya diselamatkan oleh karung kulit. Karena ketika kulit itu menutup, membungkus bagai karung, dengan perhitungan tertentu karung itu terlontar ke dalam air.
Dalam keadaan tenggelam dan larut, ikut aliran sungai, tak bisa dikenali oleh prajurit-prajurit yang berjaga di kiri-kanan. Lolos dari tukikan tajam Halayudha. Dengan ledakan yang keras, perhatian mereka yang mengepung lebih terpecah lagi. Apalagi karena bagian-bagian perahu seakan hancur dan lepas melayang ke segala penjuru.
Untuk beberapa saat perhatian mereka tertuju kepada ledakan perahu. Itulah yang sudah diperhitungkan. Kulit beruang yang dibuat sedemikian rupa sebagai perahu penyelamat!
Bahwa Barisan Api tidak ikut menyelamatkan, atau malah berusaha menyelamatkan diri lebih dulu, ada perhitungan lain. Yang kemudian nanti baru diketahui Gendhuk Tri.
Yang terasakan sekarang hanyalah kejengkelan. Karena tak bisa membuka.
"Akan membuka sendiri, Adik Tri. Nanti di saat yang telah diatur."
"Dari mana Kakang tahu?"
"Segala sesuatu telah diperhitungkan. Baik waktu, gerakan, maupun tempatnya. Kita tinggal mengikuti saja."
Gendhuk Tri jadi makin gemas.
Karena bercakap tadi, karung kulit itu jadi makin amblas ke bawah.
Seakan menyentuh dasar sungai.
Perjalanan Kemenangan TERPAKSA Gendhuk Tri berdiam diri.
Kembali mengatur pernapasan. Meskipun kini mulai susah. Karena pikirannya bercabang-cabang. Memang sekarang ini bisa selamat, dan karung kulit ini nantinya akan membuka sendiri. Akan tetapi apa yang terjadi jika karung ini membuka sesudah berada di tengah laut"
Itu cara mati yang sia-sia.
Lebih sengsara. Tapi toh tak ada pilihan lain.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara memang tidak memahami apa yang menjadi pikiran Gendhuk Tri. Baginya segalanya jelas dan bisa segera dimengerti.
Kecuali jalan lamunan Gendhuk Tri.
Memang tak bisa disalahkan.
Upasara Wulung maupun Gendhuk Tri pernah terkurung dalam gua bawah tanah Pintu Seribu, di kawasan Perguruan Awan. Benar-benar terkurung seperti sekarang ini. Akan tetapi saat itu Upasara segera bisa meloloskan diri dengan menelusuri terowongan, sambil merangkak dan menggangsir.
Sementara Gendhuk Tri tertinggal.
Bersama gurunya yang meninggal, bersama mayat yang membusuk, yang kemudian mengeluarkan racun tubuh, dan bersarang dalam tubuh Gendhuk Tri untuk waktu yang cukup lama. Sebelum akhirnya bisa diusir oleh tenaga dalam Upasara Wulung hingga tenaga dalamnya terkuras habis.
Itu semua baru pengalaman pertama.
Dan bukan satu-satunya pengalaman.
Karena Gendhuk Tri pernah terkurung lagi dalam gua bawah tanah Keraton. Benar-benar terkurung hidup-hidup tanpa bisa bergerak.
Hanya karena ia nekat mencakar kiri-kanan tanpa memedulikan berhasil atau tidak, Gendhuk Tri yang waktu itu bersama Naga Nareswara bisa lolos kembali.
Pengalaman buruk yang membuatnya berkeringat, kalaupun hanya muncul dalam ulangan mimpi.
Kengerian itu tak terasakan oleh Upasara. Yang meskipun mengalami masa-masa gawat, akan tetapi berbeda dengan yang dialami Gendhuk Tri.
Kalaupun ada yang sedikit menghibur hatinya, ialah kenyataan bahwa kalau sekarang ini mati, ada Upasara di dekatnya. Rapat. Akan tetapi cara berpikir seperti itu dihapuskan secepatnya.
Gendhuk Tri sadar, bahwa sesungguhnya ia telah menjatuhkan pilihan kepada orang lain. Kepada Maha Singanada. Tak nanti ia begitu saja meninggalkannya.
Meskipun yang menjadi pilihan lain adalah ksatria yang memang sangat diharapkan.
Tidak segampang itu kesetiaan hati wanitanya luntur. Walau mungkin saat ia berbicara dengan Maha Singanada seperti biasa-biasa saja, akan tetapi saat itu Gendhuk Tri merasa berjanji. Dengan suara batinnya.
Dengan suara hatinya yang tulus, ikhlas, rela sepenuhnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itu pula sebabnya Gendhuk Tri merasa perlu menjauh dari Pangeran Anom.
Juga Upasara. Kakang Upasara. Lama Gendhuk Tri bergulat dengan pikiran yang maju-mundur.
Sehingga beberapa kali karung kulit tenggelam dan muncul kembali.
Ketika akhirnya terdengar bunyi menggeretak, Gendhuk Tri mengetahui bahwa tautan itu lepas dengan sendirinya.
Seperti yang diperhitungkan Upasara.
Gendhuk Tri menggeliat. Satu tangan mengayuh ke samping, dan tubuhnya meluncur ke dalam bengawan.
Barulah Gendhuk Tri sadar bahwa hari tengah berganti malam.
Air bengawan yang anehnya tetap terasa panas, membuat Gendhuk Tri bisa segera memilih arah untuk menepi.
Meskipun bukan jago berenang, Gendhuk Tri bisa menuju ke tepi tanpa kesulitan. Demikian juga Upasara Wulung.
Bersamaan dengan itu, Gendhuk Tri melihat pemandangan yang aneh. Di bawah penerangan bulan yang samar atau bintang yang remang, terlihat tubuh Pangeran Hiang mengapung di sungai.
Masih memeluk Putri Koreyea.
Seolah ketika karung kulit lepas, tubuhnya tetap seperti semula.
Mengikuti arus. Perlahan sekali, akan tetapi menuju ke arah tepi.
Tetap tak bergerak. Tanpa gerakan. Hingga tubuhnya merapat ke tepi, ke daratan yang dangkal. Tapi juga tak segera bergerak untuk berdiri atau bangun.
Sebagian atau seluruh tubuhnya dan tubuh Putri Koreyea basah.
Sesekali masih bergerak karena ombak bengawan.
"Sebentar lagi Pangeran bisa menepi dengan sendirinya.
"Sekarang mungkin belum, karena tenaga dan pikirannya masih terpusat pada Putri Koreyea."
Gendhuk Tri mengangguk. Ia duduk bersila. Memanaskan tubuhnya untuk mengusir air yang membasahi kainnya, sehingga membuat lekukan tubuhnya makin tajam.
"Kenapa begitu, Kakang...?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya tak mengetahui tepatnya.
"Hanya saja agaknya Putri Koreyea menderita penyakit yang berat, yang hanya bisa bertahan karena pengaruh tenaga dalam Pangeran Hiang.
"Kita tak bisa berbuat apa-apa, karena jika salah sedikit saja, barangkali bisa berakibat gawat."
"Kalau begitu kita menunggu saja."
Suara Gendhuk Tri berubah lembut.
"Terima kasih, Pangeran Hiang...
"Pangeran telah memberikan kulit yang menyelamatkan.
Terima kasih." Tak ada jawaban. Tak ada gerakan. "Inilah perjalanan kemenangan.
"Dengan berada dalam karung kulit ini, Pangeran Hiang memilih jalan hidup...."
"Adik Tri..." Gendhuk Tri memandang Upasara dengan sorot mata kesal.
Aih. Itulah mata kanak-kanak yang polos, yang pernah cemburu, yang pernah panas membakar, yang tak bisa dilupakan Upasara. Upasara tersenyum.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gendhuk Tri memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Rasa-rasanya sudah lewat tengah malam." Suara Gendhuk Tri lirih, mengalihkan perhatian.
"Ya, angin mulai bergerak ke arah sang surya...."
"Kalau benar begitu, timur berada di sana....
"Kakang, kira-kira kita ini ada di mana?"
Upasara memandang sekeliling.
Lalu menggeleng. "Apa saja yang terjadi selama ini, Adik Tri?"
Gendhuk Tri berdiri. Menepiskan tanah dan pasir yang mengering di kainnya.
"Kakang ini sekarang aneh.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pakai tanya apa kabar dan apa yang terjadi. Bagaimana dengan Kakang sendiri?"
Upasara menceritakan secara singkat apa yang dialami. Bagaimana hidup bersama dengan Dewa Maut.
Gendhuk Tri juga menceritakan apa yang selama ini dialami.
Terutama ketika bersama Nyai Demang, Ratu Ayu, dan Permaisuri Rajapatni berusaha memindahkan kerangka Upasara.
"Di mana Ratu Ayu berada?"
"Saya tak mengetahui," jawab Gendhuk Tri datar. Terlihat sekali usaha untuk mengendalikan emosinya. "Kami berpisah begitu saja.
Wajahnya kelihatan kurang bersemangat saat itu.
"Kakang belum bertemu lagi?"
"Belum." "Sama sekali belum?"
"Belum." "Kakang kangen?"
Upasara memandang ke arah bengawan.
"Ya." Hati Gendhuk Tri seperti disodok.
Nyeri. Tapi bibirnya tersenyum, meskipun makin pedih perasaannya.
"Ratu Ayu juga selalu kangen sama Kakang."
Upasara menunduk. "Selama bersama Dewa Maut, dalam waktu yang boleh dikatakan singkat, saya merasa banyak pertanyaan dalam diri saya. Antara lain bahwa selama ini saya sering mengecewakan banyak orang. Termasuk Ratu Ayu."
"Terutama Ratu Ayu. "Ia istri Kakang, dan selalu menyebut Kakang sebagai Raja Turkana."
Upasara mengangguk. Membenarkan. Bagi Upasara tak lebih dari membenarkan ucapan Gendhuk Tri. Bagi Gendhuk Tri tak lebih dari rasa sakit untuk kesekian kalinya.
"Juga Permaisuri Rajapatni."
"Ya." "Sudahlah, Kakang. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sebentar lagi Ratu Ayu Bawah Langit akan datang. Begitu mendengar kabar Kakang muncul, ia pasti akan mencari. Dan pasti akan menemukan, walau kini kita sudah berada di Tartar sekalipun."
Getir nadanya, pahit suaranya.
Asmara Bersama, Asmara Penyatuan
UPASARA mengalihkan kepada kegiatan yang lain. Ia berjalan menuju ke pinggir, menerobos pohon-pohon.
Daerah yang dikenal, walau belum pernah diinjak.
Tanah yang dihafal, walau belum pernah disentuh.
Tanah yang masih perawan, belum pernah tersentuh kaki dan tangan, belum pernah berbau keringat manusia. Pohon-pohon masih bergulat di atas dengan akrab, bergoyang seirama dengan alam.
Waktu seperti berhenti. Hari seperti tak berganti.
Upasara menemukan satu tempat yang teduh, semacam gua yang sedikit menjorok ke dalam. Kemudian kembali ke pantai. Kulit yang tadi menjadi karung, disorongkan ke bawah tubuh Pangeran Hiang. Dengan sangat perlahan diangkat. Tanpa membuat gerakan kecil yang bisa mengganggu Pangeran Hiang serta Putri Koreyea yang tetap membeku.
Gendhuk Tri ternyata telah menata gua dengan beberapa daun kering yang ditumpuk.
Bahkan kemudian ketika sinar matahari meraba pinggiran sungai dan dedaunan, Gendhuk Tri sudah menyediakan buah-buahan, menyediakan kayu kering untuk malam nanti. Sudah menjelajah ke sekitar.
Tak menemukan bayangan siapa-siapa.
Tidak juga bekas-bekasnya.
Ketika kembali, Gendhuk Tri menemukan Pangeran Hiang masih berbaring sambil merangkul Putri Koreyea.
Gendhuk Tri duduk bersila di dekat Upasara.
Pangeran Hiang membuka matanya. Memandang sekilas dengan sorot mata terima kasih.
"Apakah Pangeran Hiang harus selalu memindahkan tenaga dalam ke tubuh Putri Koreyea?"
"Itu yang saya lakukan, Adik Tri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tubuhnya bisa mendadak menjadi dingin, kaku, tak bereaksi sama sekali. Nadinya hilang, napasnya tak bisa dirasa.
"Saat-saat seperti itu, saya hanya bisa mendekapnya, sampai keadaannya kembali biasa."
"Penyakit apa yang diderita?"
Pangeran Hiang tidak segera menjawab.
Memandang ke arah Upasara.
"Pangeran Upasara, apa yang Pangeran katakan benar. Biar bagaimanapun, kehidupan selalu lebih berarti. Saya mempertahankan kehidupan.
"Tetapi apakah ada artinya"
"Apa yang saya dekap selama ini"
"Adik Tri, apa yang Adik katakan benar. Biar bagaimanapun, bukan kemenangan yang paling berarti. Bukan itu satu-satunya. Itu sebabnya saya merasa memiliki Putri Koreyea. Saya memiliki daya asmara.
"Tetapi apa ada artinya"
"Asmara macam apa yang saya rasakan"
"Bahagialah kalian pasangan yang menemukan arti sesungguhnya dari kemenangan, dan arti sesungguhnya dari daya asmara."
"Maaf, Pangeran Hiang.
"Mungkin Pangeran Hiang keliru. Saya bukan kekasih Kakang Upasara. Hubungan kami berdua adalah hubungan kakak-adik. Kakang Upasara telah mempunyai kekasih sebelumnya, dan telah beristri Ratu Ayu Bawah Langit, yang mungkin Pangeran kenal.
"Saya sendiri... saya sendiri telah mempunyai calon."
"Maaf, Adik Tri. "Sekilas kalian berdua merupakan pasangan yang membuat saya iri.
Setelah saya amati, keyakinan itu makin besar. Maafkan."
Upasara menunduk. Dadanya bergetar. Ia merasa akrab dengan Pangeran Hiang. Akan tetapi Gendhuk Tri ternyata bisa lebih akrab lagi. Pada kalimat pertama sudah membuka masalah pribadi.
Jauh dari pikiran Upasara, bahwa sebenarnya Gendhuk Tri masih jengkel dengan sikap Upasara mengenai Ratu Ayu dan atau Permaisuri Rajapatni. Meskipun yang dikatakan mengenai dirinya sendiri adalah hal yang sesungguhnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ya, sesungguhnya! teriak Gendhuk Tri dalam hati.
"Pangeran Upasara..."
"Maaf lagi," potong Gendhuk Tri, "Kakang Upasara bukan pangeran.
Kakang adalah senopati, atau pernah menjadi senopati. Seperti saya, tak mempunyai darah biru...."
"Saya keliru lagi"
"Saya hanya merasakan bahwa kalian adalah pasangan yang bahagia.
Andai... "Saya hanya merasa bahwa Upasara adalah pangeran, putra Sri Baginda Raja Kertanegara. Tak bisa lain. Darah biru, apalagi putra raja yang besar, tak bisa disembunyikan.
"Hal yang sangat mungkin sekali terjadi. Sri Baginda Raja Kertanegara adalah pemuja surga dunia. Bisa melakukan daya asmara bersama-sama dengan para prajurit, para senopati, para pendeta, bisa memakan apa saja yang lezat, bisa menggauli siapa saja, sebagai pertanda hubungan dengan Dewa.
"Penyatuan badani adalah penyatuan batin.
"Kalau dari sekian ratus olah asmara, kenapa tidak mungkin lahir seorang Upasara?"
Tengkuk Upasara merinding.
Ini bukan pertama kali dirinya dikaitkan sebagai putra Sri Baginda Raja. Bukan itu yang menyebabkan tengkuknya dirambati kepekaan.
Melainkan ucapan Pangeran Hiang yang dingin menyebut kebiasaan Sri Baginda Raja.
Selama ini selalu menjadi pocapan, menjadi bahan pergunjingan, mengenai kebiasaan Sri Baginda Raja mengadakan pesta-pesta upacara keagamaan yang diyakini. Upacara Tantrik yang biasa diadakan dengan menenggak minuman keras, mabuk-mabukan berat, serta melampiaskan daya asmara secara bersama-sama.
Upasara mendengar semua itu, karena masa kecilnya berada di lingkungan Keraton. Saat itu hanya gurunya, Ngabehi Pandu, yang berusaha menjauhi. Biasanya pada saat pesta besar semacam itu, Ngabehi Pandu mengajaknya pergi menjauh, keluar dari Keraton.
Selama itu Ngabehi Pandu tak pernah memberi komentar, dan Upasara juga tidak pernah menanyakan.
Meskipun itu menjadi pengertian umum, karena Sri Baginda Raja tak pernah berusaha menutupi, akan tetapi rasanya tak ada yang mengungkit masalah itu, sebagai suatu kekeliruan.
Tidak juga sekarang ini. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pangeran Hiang, saya kira pandangan Pangeran tidak sepenuhnya tepat."
"Saya keliru lagi menilai"
"Apakah tidak boleh saya mengatakan bahwa Sri Baginda Raja Kertanegara mengadakan pesta asmara beramai-ramai, bersama-sama sekian puluh wanita dan para senopatinya"
"Saya hanya mengatakan, tidak menyalahkan atau mengutuk.
"Karena Sri Baginda Raja adalah tangan kanan yang dikodratkan oleh Dewa Yang Maha dewa."
Upasara menggeleng. Wajahnya kaku. Gendhuk Tri meremas kedua tangannya.
"Bukan, Pangeran Hiang.
"Sri Baginda Raja melakukan itu karena keyakinan. Karena penyatuan dengan Dewa Yang Maha dewa bisa dicapai dengan laku asmara bersama dan makan enak...."
Untuk pertama kalinya bibir Pangeran Hiang tertarik.
Seperti tersenyum. "Saya bisa mengerti.
"Sepenuhnya. "Saya bisa mengerti sepenuhnya kenapa Pangeran Upasara menjadi kaku uratnya. Saya bisa mengerti sepenuhnya kenapa Sri Baginda Raja melakukan itu, karena dalam alam pengertiannya zaman di mana Sri Baginda bertakhta adalah zaman Kaliyuga, zaman keempat, zaman terakhir yang penuh dengan penderitaan, kekacauan, penyelewengan, keedanan, kebubrahan.
"Pengertian itu bukan hanya milik Sri Baginda Raja.
"Milik siapa pun juga yang memperhitungkan sesuai dengan penalaran datangnya Kaliyuga. Yang akan berakhir jika Sri Baginda Raja mampu menguasai dan mengalahkan kodrat zaman serba bencana.
"Saya paham hal itu, Pangeran Upasara.
"Saya pribadi tidak mengenal dan menyalahkan tata krama yang diyakini. Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa tidak mempermasalahkan hal itu.
"Yang menjadi tantangan utama ialah karena Sri Baginda Raja tidak mau mengakui kebesaran takhta Tartar. Utusan perdamaian
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
disingkirkan. Tantangan dinyalakan. Bendera perang dikelebatkan.
Genderang perang ditabuh hingga memekakkan padang pasir.
"Lebih dari itu, Sri Baginda Raja malahan menyerang maju, menantang sampai ujung kaki Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa.
Mata seluruh jagat membelalak, semua kepala mendongak ketika terang-terangan Sri Baginda Raja mengirimkan utusan ke Pamalayu, mengambil putri-putri, dan terutama ke tlatah Campa.
"Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa merasa dituding dengan tombak di jidatnya. Diludahi wajahnya.
"Semua senopati Tartar bersumpah akan menumpas Keraton Singasari hingga rata dengan tanah dan air.
"Karena Keraton Campa adalah keraton yang paling dekat dengan Tartar yang berbeda di sebelah timur, yang selama diciptakan belum pernah melawan Tartar.
"Sejak keraton itu diciptakan!
"Sejak sebelum adanya tanah dan bumi!
"Sri Baginda Raja menyalakan api di bawah kaki perkemahan Tartar, dan membakar panas siapa pun yang mengenal jiwa Tartar."
Raja Ardanari SUARA Pangeran Hiang sedikit menggelora.
Meskipun tubuhnya tetap berbaring. Meskipun tidak dibantu dengan gerakan anggota tubuh yang lain. Tapi tanpa itu pun Gendhuk Tri seperti di-selomot, disundut api, seluruh tubuhnya.
Secara langsung kaitan Gendhuk Tri dengan Keraton boleh dikatakan tipis, setidaknya dibandingkan dengan Upasara Wulung. Akan tetapi itu tidak menghalangi batin dan lahiriah memuja Sri Baginda Raja secara murni.
Bahkan riwayat hidupnya sendiri berada dalam kejadian itu.
Sewaktu masih sangat kecil, dirinya telah dipersiapkan untuk dijadikan penghibur di Keraton. Tak berbeda jauh dari gurunya, Jagaddhita, yang akan mengalami nasib yang sama andai tidak bertemu dengan Mpu Raganata, yang mengubah perjalanan hidupnya menjadi ksatria.
Jauh dalam dasar hati Gendhuk Tri, kalaupun ia kemudian menjadi bagian dari penghibur Keraton, ia tak akan pernah menyesali seumur hidupnya!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak akan pernah! Karena semua itu demi Sri Baginda Raja Kertanegara.
Yang sekarang sedang digugat oleh Pangeran Hiang.
"Saya sendiri tak percaya.
"Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa sendiri tak pernah mengerti, bahwa Sri Baginda Raja Kertanegara memakai gelaran Raja Ardanari.
Gelaran yang justru dipajang, diagungkan, dalam nawala, surat kepada Rama Prabu."
Buku-buku jari tangan Upasara berderak.
Sebutan Raja Ardanari, raja yang arda, yang mempunyai nafsu asmara berlebihan, kepada nari, kaum wanita, adalah sebutan yang memanaskan darah keturunan Singasari. Karena diucapkan dengan nada mengejek oleh seorang pangeran dari Keraton Tartar. Yang menjadi musuh bebuyutan, musuh tujuh keturunan!
"Pangeran Upasara, "Adik Tri, "Saya pun terhina. Murka, dendam, terbakar dengan penghinaan Sri Baginda Raja yang menggunduli rambut-yang bagi kami adalah kehormatan termulia-juga memotong telinga utusan resmi Khan yang Perkasa.
"Sejak itu menjadi sumpah semua keturunan Khan, semua pendekar, untuk menaklukkan Keraton Singasari.
"Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
"Utusan pertama, tiga senopati utama, bisa diusir kembali ke samudra. Datang kembali ke Keraton untuk mengabarkan kekalahan dan dihukum mati. Utusan terhormat Raja Segala Naga, ternyata juga tak ada kabar beritanya.
"Saya, Putra Mahkota, pewaris takhta yang sah, dengan Barisan Api dan perahu Siung Naga Bermahkota memutuskan untuk datang.
"Untuk menang. "Tapi ini hasilnya."
Darah Upasara menurun. Kini bisa lebih dimengerti kenapa Kubilai Khan yang Perkasa menganggap Baginda Raja sebagai musuh utama. Terutama karena Sri Baginda Raja berhasil mempengaruhi Keraton Campa untuk memberontak. Terutama karena menantang perang dengan cara yang menyinggung perasaan.
Tapi Gendhuk Tri justru masih menggelegak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pangeran Hiang, apa anehnya jika Sri Baginda Raja memakai gelaran Raja Ardanari?"
"Tak ada. Tak ada anehnya." "Kenapa Pangeran seperti meremehkan?"
"Karena kita berlawanan.
"Karena kita bertarung. Dalam saat gawat peperangan, kenapa justru gelaran Raja Ardanari yang dipakai?"
Gendhuk Tri mengeluarkan suara keras dari hidungnya.
"Maaf, Adik Tri. "Saya mengatakan apa adanya. Kenyataannya. Karena saya, seperti semua ksatria Tartar, hanya mengenal kenyataan yang sesungguhnya.
Kami tidak bicara dengan bahasa dan tata krama yang lain.
"Kemenangan adalah kemenangan.
"Kekalahan berarti kekalahan.
"Maaf, Adik Tri."
"Kalau berpikir seperti itu, Pangeran tak perlu minta maaf."
Suara Gendhuk Tri masih tinggi nadanya, alot wajahnya.
Matahari memang makin panas.
Tangan Pangeran Hiang kembali menyelusup ke bawah pakaian Putri Koreyea. Menyentuh pusar.
Lalu diam agak lama. "Pangeran Hiang...," Upasara membuka pembicaraan dengan perlahan. "Adalah nasib kita berempat berada di tempat yang sementara ini. Kita dipertemukan di sini, karena nasib dan karena kita menghendakinya.
"Di sini kita bisa melanjutkan pertarungan hingga titik napas penghabisan.
"Bisa bantah kawruh, menguji pengetahuan dan pengalaman, seperti yang kita lakukan sekarang ini.
"Manakah yang menurut Pangeran paling baik?"
"Yang paling baik adalah kemenangan."
Gendhuk Tri menepuk tangannya.
"Kita bisa menentukan sekarang."
Pangeran Hiang mengangguk,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara menggeleng. "Tidak sekarang ini, selama Putri Koreyea masih gering.
Gendhuk tri mengangguk. Upasara, dan juga dirinya, tak nanti mengambil keuntungan di saat lawan kurang bersiaga.
Sebaliknya, Pangeran Hiang malahan mengangguk.
"Kemenangan adalah kemenangan.
"Apakah lawan bersiaga atau tidak, tak jadi urusan. Yang utama bagaimana meraih kemenangan.
"Pangeran Upasara dan Adik Tri, jangan bersikap lain. Saya tahu bahwa mundurnya tiga senopati Tartar, juga karena belum siap. Ketika prajurit Tartar baru saja menggempur Keraton Singasari untuk membinasakan Raja Jayakatwang, Baginda kalian memukul kami.
"Tak ada bedanya. "Itulah kemenangan."
Telinga Upasara merah. Ucapan Pangeran Hiang seperti bergetah.
Dada Gendhuk Tri gerah. Pertarungan berdarah dengan senopati Tartar saat itu, Sih-pi, Kau Hsing, Ike Meese, adalah pertarungan secara ksatria. Di dinding benteng Keraton yang terbakar. Para senopati bertarung secara ksatria, termasuk Upasara Wulung yang menjadi Senopati Pamungkas, penyelesai.
Akan tetapi memang serangan ke arah itu boleh dikata sangat tiba-tiba.
"Kalian berdua belum tentu merebut kemenangan dari saya."
Ini tantangan. Upasara menggeleng. Lalu menunduk. "Saya tergetar melihat penderitaan Putri Koreyea. Saya tak ingin memerangi hati saya sendiri.
"Penderitaan yang belum pernah saya duga.
"Pangeran Hiang, apakah pada saat menyerang, detak darah Putri Koreyea tak teraba?"
Pangeran Hiang memandang ke arah dinding gua.
"Memang tidak. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tapi ada hal lain yang ingin saya sampaikan. Sebelum kita saling berebut kemenangan, saya ingin menyampaikan rasa hormat yang tulus atas kekaguman saya.
"Kalian adalah bangsa yang unggul.
"Keraton yang menjulang ke langit, menyelusup ke bulan karena tak pernah terduga, bahkan oleh para Dewa."
Gendhuk Tri mengerutkan keningnya.
Tak sepenuhnya memahami apa yang dikatakan Pangeran Hiang.
Sewaktu melirik ke arah Upasara, tampaknya Upasara juga sama.
"Apa maksud Pangeran Hiang sebenarnya?"
"Maafkan tata ucapan saya yang tak mampu menemukan pilihan kata yang tepat.
"Kalian semua yang berada di tanah Jawa ini adalah bangsa yang mampu menyimpan kekuatan gunung meletus menjadi senyuman menunduk dan kesabaran.
"Saya kembali membicarakan Sri Baginda Raja Kertanegara, yang mengandung arti Raja yang Menguasai Jagat, Raja yang Memerintah Jagat. Betapa gagah, betapa jantan, betapa perkasa. Tapi justru pada saat menantang perang, menyebut dirinya sebagai Raja yang Bernafsu Asmara Berlebihan pada Wanita.
"Inilah aneh. "Dalam alam pikiran kami.
"Kalau rajanya mampu luwes, mampu menekuk kenyataan, mengubah kenyataan, mampu menjungkirbalikkan tata krama keunggulan di medan perang dengan nafsu asmara, bukankah itu mengandung pengertian yang berbeda tajam, tapi bisa berarti sama.
"Ada im, ada yang. "Bisa im, bisa yang, pada saat yang sama.
"Itu sebabnya tiga senopati kami terkecoh, menyerang sasaran yang keliru, dan bisa didepak ke laut.
"Demikian juga Naga Nareswara yang membawa mandat resmi, sampai di sini tergeser perhatiannya hingga mendahulukan keinginannya menjadi ksatria lelananging jagat. Sehingga tujuan utama tidak berhasil.
"Saya mempelajari itu semua. Makanya sejak pertama kali perahu menyentuh tlatah Jawa, saya hanya mau membawa Baginda, dan bukan urusan yang lain. Saya tak mau memedulikan apa pun yang terjadi."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tartar itu Matahari, Lautan...
PANGERAN HIANG duduk bersila.
"Tujuan saya hanya satu.
"Membawa Baginda ke Tartar. Sebagai tanda nyata kemenangan.
Urusan-urusan yang lain tidak saya pedulikan, karena akan menghalangi dan bisa menggagalkan tugas ini.
"Karena saya sadar, semua godaan bisa terjadi di tanah Jawa yang tanahnya lembap bagai lumpur ini. Saya menghindari pertarungan ksatria, saya tak meladeni tantangan.
"Sekarang pun, ketika Pangeran Upasara menanyakan kesehatan Putri Koreyea, saya berhati-hati. Apakah ini bukan perwujudan siasat kalian yang tak bisa saya duga.
"Juga ketika di perahu.
Kalian menanyakan tentang hal yang sama. Ketika Pangeran Upasara mendebat masalah kemenangan. Ketika Adik Tri menanyakan asmara dalam kemenangan.
"Saya berjaga-jaga."
"Begitu picikkah Pangeran Hiang?"
"Ya, agar bisa menang."
"Hmmmmm." "Nyatanya saya terpengaruh. Kalau ini bagian dari siasat, saya telah masuk perangkap. Itu sebabnya saya mengatakan pujian, sebelum akhirnya entah bagaimana."
"Pangeran Hiang, Pangeran keliru kalau mengartikan bahwa kami semua sama."
"Adik Tri benar. "Tetapi tetap tak terduga. Jiwa dan sikap kalian serba tak terduga.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saya katakan tadi, bisa menyimpan gunung meletus dalam senyuman.
Bisa menyimpan badai sambil menunduk dan menyembah.
"Itu yang tidak kami miliki.
"Kalian bisa panas, mendendam ketika saya menyebut Raja Ardanari.
Karena kalian merasa bahwa Sri Baginda Raja adalah segalanya.
"Padahal apakah Keraton kalian yang sesungguhnya"
"Sebuah bangunan tua, di tanah yang basah, di sungai yang airnya seperti air pancuran, bila dibandingkan dengan Keraton Tartar.
"Tartar adalah matahari, yang terbesar dan menerangi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dan satu-satunya. "Tartar adalah lautan, yang terbesar dan menyebar ke segala penjuru.
"Bukan sungai. "Jagat dari ujung ke ujung takluk dan menyembah. Tartar adalah kemenangan.
"Kemenangan demi kemenangan."
Setiap kali mengucapkan kata kemenangan, setiap kali pula Pangeran Hiang seperti menampilkan dirinya. Seperti menjadi ada.
"Ini sejarah yang maha panjang.
"Sejarah kemenangan.
"Eyang Agung Jengiz Khan yang Tiada Tara memulai dari padang berdebu, mengalahkan 20.000 ksatria padang pasir. Tak ada satu pun yang berhasil menghalangi. Seluruh Mongolia, Tartar, serta tlatah yang berada di bawah kekuasaan Cina dikalahkan.
"Eyang Agung Khan yang Tiada Tara menguasai jagat dengan kemenangan. Sejak masih timur sebagai senopati padang pasir Temujin, Eyang Agung mengumpulkan kemenangan. Juga ketika harus menyingkir Paman Agung Jamuka, sahabat sesama senopati. Karena hanya satu nilai yang bisa diraih, yaitu kemenangan.
"Siapa yang menghalangi kemenangan akan tersingkir.
"Keraton Tawu, pusat pemerintahan Cina yang selama usia jagat menguasai sekitarnya, dilipat habis.
"Kemenangan yang tiada tara. Eyang Agung Jengiz Khan adalah Penguasa Jagat Seisinya.
"Tlatah mana yang tak dikuasai, tak dikalahkan"
"Bahkan Samudra Adriatik, di luar tlatah tapel wates, batas dunia, dikuasai. Persia, Kwarem yang selalu ditutupi salju bisa dikuasai, ditaklukkan, dimenangi.
"Dari tanah yang kering di padang pasir hingga ke tanah yang ditutupi es.
"Dari ujung dunia yang satu sampai ujung dunia yang lain.
"Eyang Agung Khan yang Tiada Tara, sesungguhnyalah penguasa jagat. Tanpa tanding. Eyang Agung Khan yang Tiada Tara adalah matahari.
"Tradisi kemenangan yang mengalir dalam darah Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa. Yang mampu meneruskan kemenangan. Demi kemenangan itu sendiri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tradisi darah kemenangan tidak menetes dalam tubuh Paman Agung Mongke, yang disingkirkan Rama Prabu. Untuk kemenangan, Mongke atau Jamuka tak akan bisa menghalangi. Akan tersingkir.
"Adalah Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa yang mengganti raja-raja Tang, yang turun-temurun menguasai Keraton Tawu.
"Adalah Rama Prabu yang meneruskan tradisi kemenangan itu yang ditantang raja tanah Jawa."
"Itulah hebat. "Raja Kubilai Khan yang Perkasa ternyata tak mampu menundukkan Sri Baginda Raja. Lautan ternyata kalah oleh sungai.
"Mana sebenarnya yang hebat"
"Matahari atau tanah becek?"
"Siapa pun yang menang berhak menentukan kebenaran."
Gendhuk Tri mengangguk-angguk.
Semakin Pangeran Hiang mengulang, semakin Gendhuk Tri menyadari kenapa Pangeran Hiang mendewakan kemenangan sebagai satu-satunya nilai utama. Tradisi itu menetes dari buyut, eyang, dari ayahandanya yang bergelar Khan yang Perkasa. Yang lahir dan dibesarkan dalam pertarungan antara hidup dan mati, dan memperoleh kemenangan akhir.
Betapa kagoknya, ketika di tanah becek yang disebutkan muncul penghalang ke arah kemenangan yang sempurna.
Sehingga perlu dikirim senopati demi senopati yang makin tak terkalahkan.
Tapi, harus berakhir dengan keadaan sama.
Bukan kemenangan. Gendhuk Tri mengusap wajahnya.
"Cukup puas mengeluarkan semua unek-unek" Cukup lega karena segala ganjalan telah dikeluarkan"
"Pangeran Hiang, di antara kita banyak perbedaan, tetapi ada tali nasib yang mempertemukan. Karena Pangeran Hiang memaksa mempertajam perbedaan, rasanya kami juga tak bisa menolak."
"Tempat ini sangat layak.
"Tak ada siapa-siapa yang bakal menghentikan. Tak ada yang campur tangan. Pangeran Upasara dan Adik Tri mewakili Keraton Majapahit dan saya mewakili Keraton Yuan...."
"Baik. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tanpa harus diembel-embeli mewakili siapa.
"Tapi kalau Pangeran menganggap bisa mengalahkan kami berarti mengalahkan Keraton Majapahit, saya tak akan menghalangi.
"Agak susah dan tak ada gunanya mencoba mengajak bicara orang yang susah melihat dari tempat yang berbeda pijakannya.
"Silakan...." Upasara gusar dalam hatinya melihat Gendhuk Tri menantang dan mempermainkan. Akan tetapi saat itu tak bisa berbuat suatu apa. Tidak bisa mencegah lagi.
Upasara mengakui bahwa Pangeran Hiang mempunyai ilmu yang sudah di atas ilmu yang selama ini pernah dihadapi. Dari kemampuannya berkonsentrasi tinggi ketika mengapung sambil merangkul Putri Koreyea, caranya mengatur pernapasan, menunjukkan kelasnya yang di atas.
Namun itu tidak membuatnya gentar.
Hanya memang terasa ada ganjalan dalam hal Putri Koreyea. Entah kenapa sejak mendengar desahan napas, apalagi melihat sendiri, Upasara tergetar hatinya. Tersayat.
Ada penderitaan yang tergema ke dalam hatinya. Seperti saat-saat dirinya kehilangan tenaga dalam dan kemauan untuk hidup.
Itu sebabnya dari tadi beberapa kali Upasara melirik ke arah Putri Koreyea.
Saat itu Pangeran Hiang juga melirik, dan mendadak tubuhnya terlipat, masuk ke bawah tubuh Putri Koreyea. Kedua tangannya menyelusup ke bawah pakaian.
Upasara bergerak cepat. Tangan kanannya menebas udara.
Gendhuk Tri yang mengayunkan selendangnya jadi tersentak. Tidak mengira bakal disentak dengan tenaga memutar balik yang begitu kuat.
Selendangnya mengeluarkan suara keretekan, dan sobek menjadi berbagai cabikan.
Sedangkan tangannya terputar ke belakang.
Klak. Upasara segera mendekat. "Maaf, Adik Tri...."
Gendhuk Tri meringis. Tangan kirinya yang bebas bergerak. Menyambar pipi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Plak. Berbekas. Lima jari. Gendhuk Tri yang kaget. Tak disangka bahwa Upasara akan membiarkan pipinya kena gampar begitu telak.
"Apa maksud Kakang"
"Pangeran Hiang telah menyatakan siap."
"Maaf, Adik Tri...."
"Maaf, maaf! "Saya jadinya yang harus minta maaf."
Gendhuk Tri kesal. Belakang telinganya digaruk-garuk. Tiba-tiba saja gerakannya terhenti.
"Putri Koreyea meninggal...?"
Tanda tanya di belakang kalimatnya seperti tak kedengaran.
Kandhat Kandhara UPASARA paling kuatir, akan tetapi Gendhuk Tri yang lebih dulu bergerak. Tubuhnya mendekat. Tangannya menyentuh leher Putri Koreyea. Satu-satunya bagian yang membuka dan bisa disentuh, selain bagian wajah.
Ujung jari Gendhuk Tri tak menemukan reaksi.
Tak ada tanda-tanda. Ada sisa rasa dingin, akan tetapi bukan dingin sekali. Inilah yang membuatnya heran. Sentuhan yang dilakukan Gendhuk Tri adalah sentuhan yang dikenal dengan pijet kandhara, pijatan di bagian leher.
Bukan sembarang pijatan, karena di bagian leher, persis di bawah daun telinga bagian belakang, merupakan tempat yang penting untuk mengetahui adanya kekuatan hidup.
Detak yang lemah, tak beraturan, cepat bisa dirasakan dengan sentuhan ujung jari. Kalau upaya ini gagal, biasanya ditekan dengan ujung ibu jari.
Itu pula yang dilakukan Gendhuk Tri.
Tak ada reaksi. Tubuh Putri Koreyea seperti tak memiliki kekuatan hidup sama sekali. Tak ada detak, tak ada getaran.
"Mungkinkah kandhat kandhara?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara maju perlahan. Ujung ibu jarinya menyentuh, memancarkan tenaga murni.
Apa yang dikatakan Gendhuk Tri sebenarnya bukan menyebutkan nama penyakit tertentu. Dengan mengatakan kandhat kandhara, Gendhuk Tri mengatakan bahwa nadi leher Putri Koreyea sedang dalam keadaan tidak bergerak, tidak bereaksi, tidak hidup. Sebutan ini dipakai untuk mengatakan, seseorang yang secara jasmaniahnya masih bisa disebut hidup, akan tetapi sebenarnya hanya menunda beberapa saat dari kematian yang sesungguhnya. Pada saat itu nadi di leher mulai beristirahat, sebelum akhirnya beristirahat seterusnya.
Upasara tak menyangkal perhitungan Gendhuk Tri.
Dengan kata lain, seseorang yang kandhat kandhara seluruh tubuhnya sedang dalam ambang kematian. Pada saat seperti itu, semua pertolongan tak ada gunanya. Bahkan pengiriman tenaga dalam yang paling murni sekalipun tak akan berarti. Apalagi jenis pengobatan dengan ramuan rebusan.
Karena tubuh penderita tidak menjawab apa-apa. Tidak menolak, tidak menerima.
Sedang dalam keadaan kandhat.
Dengan perhitungan ini, sebenarnya Gendhuk Tri ingin mengatakan bahwa apa yang dilakukan Pangeran Hiang sebenarnya upaya yang sia-sia. Terobosan tenaga dalam yang bagaimanapun tak bisa menembus masuk.
Meskipun demikian, baik Gendhuk Tri maupun Upasara menyadari betul usaha Pangeran Hiang. Sesuatu yang wajar, karena ingin melakukan sesuatu yang bisa menolong.
Walau secara akal pikiran itu tidak mungkin, tetapi hubungan batin membuat Pangeran Hiang mengerahkan tenaga dalamnya.
Yang memang luar biasa. Seketika itu juga sekeliling tubuh Pangeran Hiang mengepul asap.
Bergulung seakan menguap dari air yang dididihkan dengan cepat.
Uap putih bergulung itu memang uap air. Hanya saja bukan berasal dari tubuh Pangeran Hiang. Melainkan dari sekeliling tubuh Pangeran Hiang yang terkena desakan hawa panas.
Itu pula sebabnya tanah di sekitar Pangeran Hiang berbaring menjadi kering. Terisap airnya dan menguap. Butir-butir air yang terkandung dalam tanah di sekitarnya habis terisap dan menguap. Dedaunan menjadi kering seketika. Bahkan pohon-pohon dalam jarak dua tombak mengering. Tenaga dalam yang melesak kuat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau keadaan sekitarnya saja bisa diisap zat airnya, bisa diperhitungkan bagaimana kekuatan yang sesungguhnya. Itu bisa terjadi untuk beberapa saat.
Sehingga seluruh pepohonan menjadi layu, kering, mulai dari daun hingga akar!
Sampai akhirnya berhenti sendiri.
Ketika matahari sudah mulai condong ke arah barat.
Pangeran Hiang tidak tampak lelah. Sebaliknya tetap segar seperti sebelumnya. Juga pakaiannya tidak menjadi kering.
Pengaturan tenaga dalam yang bisa mengikuti kehendaknya.
"Apa yang saya lakukan sia-sia, Adik Tri?"
"Rasanya begitu, Pangeran.
"Tanpa pertolongan apa-apa, detak itu bisa kembali teraba. Karena kalau bisa diterobos, nadi di leher Putri Koreyea akan menimbulkan reaksi.
"Saya tak tahu apakah nadi kehidupan bangsa Tartar, Mongol, atau Koreyea berbeda dari manusia yang lain."
"Apa yang kamu ketahui tentang kandhat kandhara, Adik Tri?"
Gendhuk Tri menggeleng. "Seperti yang Pangeran Hiang ketahui.
"Urat nadi di bawah telinga, di bagian leher, merupakan arus kehidupan yang terakhir. Detak ulu hati bisa berhenti, akan tetapi masih ada getaran di leher.
"Sejauh yang saya ketahui, detak di leher tidak terpengaruh oleh sesuatu di luar itu, tak mungkin bisa terkontrol. Seperti halnya detak jantung dan tarikan udara yang memompa rongga dada. Terjadi dengan sendirinya, pun kala kita lelap tertidur.
"Sejak kita bertemu, Pangeran Hiang selalu menghindar menjawab apakah Putri Koreyea terkena penyakit tertentu atau serangan tertentu.
"Kalau memang itu rahasia yang tak mau diungkapkan, ya pembicaraan pun tak banyak artinya.
"Kita menunggui kematian atau kehidupan kembali tanpa berbuat apa-apa. Seperti denyut leher itu. Akan tetapi kalau ada sebab-musababnya, barangkali kita bisa menemukan penangkalnya."
"Saya mengerti maksud Adik Tri.
"Sepenuhnya." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri tak tersinggung, meskipun setiap kali Pangeran Hiang seolah mengisyaratkan telah mengetahui, lebih banyak dan lebih baik dari apa yang diutarakan Gendhuk Tri.
Gendhuk Tri menyadari bahwa kenyataan yang sesungguhnya memang begitu. Ditambah lagi pikiran Pangeran Hiang sedang gundah.
"Tubuh Putri Koreyea tak terkena racun, tak terkena serangan tenaga dalam. Tak ada apa-apanya. Masih segar bugar ketika bersama saya.
"Lalu tiba-tiba saja membeku kaku seperti sekarang ini.
"Sebuah pertanyaan kecil, yang berarti banyak."
Tanpa diminta tanpa memberi isyarat sebelumnya, Pangeran Hiang berubah sikapnya. Menjadi lebih lembut, dan kemudian bercerita: Pada mulanya Pangeran Sang Hiang tak mengerti segala sesuatu, kecuali padang pasir, tahi kuda, angin ribut yang bisa menimbuni manusia, dan mengubah gunung yang ada. Sepanjang ingatan Pangeran Sang Hiang, ia berada dalam perkemahan dari kulit binatang, hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Setiap harinya dilalui dengan memanah burung, naik kuda, berlatih ilmu silat dan ilmu gulat, menyantap daging mentah di alam terbuka.
Sampai pada usia belasan, barulah disadari bahwa dirinya berbeda dari semua pengembara dan penunggang kuda. Dirinya mendapat perlakuan yang istimewa. Sangat istimewa. Yang justru membuat kikuk, karena kini didampingi para pelayan, para dayang, dan boleh berdiam di mana saja.
Saat itu Pangeran Hiang baru menyadari bahwa dirinya adalah putra mahkota, salah satu putra Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa.
Yang sejak awal kelahirannya dididik dalam tradisi kehidupan bangsa Mongolia.
Seperti calon-calon putra mahkota lain yang disebar ke berbagai tempat di gurun.
Setengah percaya setengah tidak, ketika ada undangan ke Keraton Tawu, Pangeran Hiang berangkat. Diterima dengan segala upaya kebesaran, mendapatkan ruangan yang sangat lebar dengan makanan dan minuman serta perempuan berlimpah.
Saat itulah Pangeran Hiang untuk pertama kalinya berjumpa dengan ibunya. Seorang putri kaisar yang terakhir. Pangeran Hiang baru mengetahui kemudian. Tidak di saat pertemuan itu. Karena ibunya hanya memandang dari jauh, dan Pangeran Hiang diajari untuk bersoja, memberi penghormatan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Beliau adalah salah satu permaisuri Kubilai Khan yang Perkasa, yang mendiami Puri Tawu, jauh sebelum kaisar lama menyerahkan takhta ke tangan Eyang Agung Jengiz Khan yang Tiada Tara."
Dari penuturan pengawalnya inilah Pangeran Hiang kemudian menyadari bahwa dalam tubuhnya mengalir darah keturunan dinasti Tang, bangsa Han yang halus lembut penuh tata krama. Dan juga mewarisi kekerasan dan nilai kemenangan dari tradisi Tartar.
Panggilan ke Keraton Tawu ini pula yang membuka matanya, bahwa para calon putra mahkota semua juga hadir. Untuk menunjukkan ketangkasan memanah burung yang berpasangan dan hanya mengenai seekor; menunggang kuda sambil melemparkan senjata, dengan berada di bawah perut kuda, menggelantung di antara kaki kuda; serta meremukkan tulang belakang lawan dalam bergulat.
Pangeran Hiang tak menemukan kesulitan sedikit pun.
Malah boleh dikatakan paling berhasil di antara puluhan putra Kubilai Khan yang Perkasa.
Yang lebih mencengangkan lagi ialah ketika menghadapi ujian ilmu surat, Pangeran Hiang memperlihatkan darah keturunan dari ibundanya. Dengan lancar Pangeran Hiang bisa membaca, menulis, dan hafal beberapa kitab utama.
Kodrat Keturunan RAJA Kubilai Khan Yang Perkasa, yang menyaksikan semua ujian dari jauh, menyatakan kepuasannya. Dan memilih lima calon putra mahkota untuk dididik secara khusus di Keraton. Dengan guru-guru utama.
Sejak saat itu pula Pangeran Hiang berdiam di Keraton Tawu dengan segala kebesarannya. Akan tetapi didikan keras padang pasir tak bisa diubah. Justru sebaliknya, Pangeran Hiang berlatih lebih keras, dan lebih giat lagi.
Kemampuannya kini berkembang bukan hanya memanah burung, naik kuda, dan meremukkan tulang belakang lawan tandingnya, akan tetapi juga bagaimana menggunakan tombak, pedang, pukulan tangan kosong, senjata rahasia.
Terutama dari berbagai guru bangsa Han beserta para pendeta, Pangeran Hiang mendapat gemblengan secara khusus.
Sesuatu yang memuaskan dahaganya akan ilmu silat.
Sesuatu yang membanggakan guru-gurunya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tapi juga sesuatu yang diam-diam mengundang bahaya. Pangeran Hiang tidak segera menyadari, akan tetapi kemudian sekali bisa merasakan bahwa persaingan para calon putra mahkota memanas dan mengganas. Terutama dari kalangan para pengikutnya.
Sampai saat itu, setelah berada di Keraton beberapa tahun, Pangeran Hiang belum pernah mendapat izin untuk menghadap Raja Kubilai Khan yang Perkasa. Ia diperkenankan menyebut Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa, akan tetapi tetap belum ada perkenan untuk sowan.
Kecuali kalau secara beramai-ramai, berada di tempat yang sangat jauh.
Masalah yang dihadapi Pangeran Hiang cukup gawat.
Dalam tata cara pemilihan calon pewaris takhta, tak lebih hanya ada lima nama yang kuat. Pangeran Hiang merupakan pilihan yang terkuat.
Yang memenuhi segala macam persyaratan.
Hanya saja darah Han yang mengalir dalam tubuhnya dari ibundanya bisa menjadi penghalang. Sebab Pangeran Hiang tidak murni merupakan keturunan langsung dari darah yang menetes di padang pasir.
Sebagian darahnya adalah darah dari dinasti Tang.
Yang bukan tidak mungkin suatu ketika nanti bisa menjadi lebih kuat dorongannya. Padahal dinasti Yuan yang akan ditegakkan oleh Raja Kubilai Khan yang Perkasa, menandai kebesaran darah Tartar.
Melalui guru-gurunya, baik dari bangsa Han maupun Mongol, Pangeran Hiang mencoba menemukan jawaban dari kegelisahan.
Pertanyaan-pertanyaan yang berawal dari kecerdasannya mempelajari berbagai kitab mengenai kodrat, mengenai keturunan, mengenai asal-usul dirinya, tak pernah memperoleh jawaban yang memuaskan.
Inilah keruwetan pertama yang dihadapi.
Dan satu-satunya. Di satu pihak dirinya diakui sebagai putra Tartar, akan tetapi di pihak lain juga tetap dianggap penerus dinasti Tang.
Masalah itu demikian berat membebani dirinya, sehingga Pangeran Hiang merasa tidak tahan. Dengan sepenuh keberanian yang tersisa, Pangeran Hiang memutuskan menghadap Raja Kubilai Khan yang Perkasa.
Ini saja sudah menyalahi tata krama.
Belum pernah ada putra yang berani mengajukan diri. Selama ini hanya menunggu kalau-kalau Raja berkenan menyebut namanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa, penguasa jagat seisinya dalam warisan kebesaran Eyang Agung Khan yang Tiada Tara, hari ini hamba menghadap.
"Sebagai putra Rama Prabu Kubilai Khan Yang Perkasa, sebagai pengembara yang menghadap kepala suku.
"Perkenanlah hamba menyampaikan sembah...."
Pangeran Hiang menunduk, menyembah dengan menyentuhkan dahi ke lantai. Tak melihat dan mengetahui reaksi Raja Kubilai Khan yang Perkasa.
Hanya suaranya yang terdengar.
"Aku tahu semuanya, Hiang putraku.
"Kamu tinggal membuktikan diri, untuk memperoleh pengakuan dari tradisi yang besar. Tradisi kemenangan. Sebab Tartar hanya mengenal itu.
"Buktikan itu."
Hanya itu. Tak ada yang lain. Sejak itu pula Pangeran Hiang berusaha keras membuktikan tradisi kemenangan yang menjadi bukti nyata keunggulan Tartar.
Itu pula sebabnya Pangeran Hiang memilih berangkat ke Jepun.
Suatu tindakan yang dinilai sangat nekat.
Kelewat berbahaya. Utusan Raja Kubilai Khan yang Perkasa, dengan puluhan perahu yang bersenjata lengkap, sudah tiga kali dikirim. Ketiga-tiganya gagal.
Bahkan utusan terakhir dengan armada perang lengkap, kandas secara mengenaskan.
Di tengah laut. Selama ini tak ada prajurit atau senopati Tartar yang bisa menginjak tanah Jepun.
Tapi tekad Pangeran Hiang tak bergoyang.
Dirinya menyadari bahwa kelompok yang tidak menyukainya akan bersorak kegirangan dalam hati. Sebab pergi ke Jepun sama dengan bunuh diri. Berarti Pangeran Hiang akan lenyap dari pencalonan.
Dirinya menyadari bahwa kelompok yang berpihak padanya meneriakkan kesedihan dalam hati. Sebab dengan meninggalkan Keraton, kemungkinan untuk mengetahui keadaan sehari-hari makin
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
berjarak. Sehingga kalau ada sesuatu yang perlu dan mendadak, Pangeran Hiang tidak masuk hitungan.
Apa pun perhitungannya, Pangeran Hiang tetap akan berangkat.
Dengan restu Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa.
Yang memberikan tiga puluh prajurit utama, yang kemudian disebut Barisan Api. Ini adalah prajurit utama yang sejak awal kelahirannya dididik secara khusus, dilatih ilmu silat, dilatih mengetahui segala sesuatu tentang pelayaran dan perahu. Yang lebih istimewa lagi sejak kanak-kanak tubuh mereka telah ditusuki dengan jarum khusus untuk melipatgandakan tenaga yang dimiliki.
Di seluruh Keraton, jumlah Barisan Api tidak mencapai seratus orang, karena memang merupakan pilihan dari segala pilihan.
Mereka hanya mengenal satu perintah, dari Pangeran Hiang.
Mereka hanya hidup di atas perahu, yang agaknya memang merupakan rencana sejak semula untuk menaklukkan wilayah yang selama ini tak mungkin ditundukkan.
Dengan perlengkapan yang sangat sempurna.
Pangeran Hiang berangkat menuju Jepun.
Perahunya yang ramping, tidak terlalu mencolok, bisa selamat mendarat. Dan dengan keberanian yang luar biasa, Pangeran Hiang menyatroni lawan. Masuk ke salah satu keraton dan menguasai.
Menebas lawan yang ditantang maju.
Melaju hingga ke keraton utama.
Pulang kembali membawa pedang panjang dan pendek, dan segala harta benda, kitab pusaka.
Untuk dipersembahkan kepada Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa.
Yang menerima dalam upacara kebesaran, dan memuji keberhasilan Pangeran Hiang. Meskipun secara resmi Keraton Jepun tidak dikalahkan, akan tetapi pengakuan akan kebesaran Keraton Tartar sudah lebih dari cukup.
Nama Pangeran Hiang melambung ke langit.
Sejak saat itu Pangeran Sang Hiang diperkenankan memilih umbul-umbul sendiri sebagai tanda pengenalnya. Pangeran Hiang memilih simbol Siung Naga Bermahkota.
Pemakaian umbul-umbul tersendiri adalah pertanda yang luar biasa.
Pertanda pengakuan yang secara resmi dilakukan oleh Raja Kubilai Khan yang Perkasa. Secara tidak langsung memberikan isyarat bahwa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sudah ada petunjuk kuat Pangeran Sang Hiang bakal menggantikan takhta.
Pada saat itulah sebenarnya Pangeran Hiang bisa merintis karier di Keraton.
Mendampingi Rama Prabu Kubilai Khan.
Akan tetapi Pangeran Sang Hiang memilih pengembaraan ke tanah Koreyea. Suatu wilayah yang masih asing, yang ilmu silatnya mempunyai sumber yang sama dengan dataran Cina dan Jepun, akan tetapi juga memperlihatkan perbedaan.
Kembali perahu Siung Naga Bermahkota berlayar, dengan Barisan Api yang hanya berkurang empat orang.
Tanah Koreyea, di luar dugaan Pangeran Hiang sendiri, ternyata tak memberikan perlawanan yang berarti. Para pendekar Koreyea tidak setangguh yang diperkirakan.
Dengan leluasa Pangeran Sang Hiang bisa berada dalam Keraton.
Pada saat itu hatinya bagai disambar seratus geledek secara bersamaan, manakala melihat Putri Koreyea. Yang segera dipinang, dan dibawa ke Tartar.
Bukan semata-mata sebagai tanda menyerah, meskipun utusan Keraton Koreyea menyediakan dua puluh kapal untuk mengangkut segala harta benda.
Pangeran Hiang memilih tetap di perahu bersama Barisan Api.
Sambutan dari Rama Prabu Kubilai Khan juga tak dibayangkan. Kali ini bahkan diadakan upacara resmi, di mana Raja Kubilai Khan yang Perkasa merestui pilihan Pangeran Hiang.
Dan menyerahkan bagian utama dari Keraton Tawu untuk didiami.
Berarti tinggal selangkah lagi.
Pengakuan para pembesar dan para pendeta Tartar mulai dirasakan.
Pangeran Hiang menemukan dirinya sebagai penerus tradisi Tartar yang besar, sekaligus bisa berhubungan dengan bangsa Han tanpa membangkitkan permusuhan.
Tanah Becek yang Perkasa KEMENANGAN, keberhasilan, sudah diperoleh. Pengakuan sudah diterima.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi masih ada yang mengganjal hati Pangeran Sang Hiang.
Kisah lama mengenai Keraton Singasari yang menantang perang, yang mampu menghancurkan para utusan Tartar.
Walaupun rombongan pertama yang dikirimkan berhasil kembali dengan barang rampasan puluhan kapal, akan tetapi itu tidak berarti tanah Jawa menyatakan tunduk. Barang rampasan itu diperoleh dari merampas, bukan dari pemberian, sebagai upeti pengakuan kebesaran Keraton Tartar.
"Tanah lembap, becek, penuh dengan sungai kecil itu harus ditaklukkan.
"Kita tak pernah gagal merebut kemenangan.
"Kalau tidak satu kali, dua atau tiga kali."
Keputusan ini lebih banyak mengundang kekuatiran. Terutama dari Gemuka, salah seorang senopatinya yang selama ini menemani perjalanan ke tanah Jepun dan tanah Koreyea.
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Saudara Muda.
"Kalau kamu tidak berkeberatan, biarlah aku bersama Barisan Api yang berangkat."
"Terima kasih, Saudara Tua Gemuka.
"Aku bisa mengerti perasaanmu."
"Saudara Muda, dengar dulu apa yang kukatakan.
"Selama ini aku selalu mendampingimu. Baik di padang pasir yang keras anginnya, ataupun di tanah yang bercampur es. Baik dalam kesengsaraan, maupun dalam kemewahan Keraton.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak pernah menghalangimu.
"Aku yang pertama menyatakan kesediaan berangkat ke Jepun dan Koreyea."
"Saudara Tua, kita adalah anak-anak padang pasir yang sama."
Bagi Pangeran Hiang, Gemuka adalah tetap Gemuka yang menemani masa kanak-kanaknya. Dalam tidur satu kemah, memburu kuda liar, atau terus-menerus berlatih ilmu silat.
Gemuka adalah turunan langsung ketiga dari Jamuka, tokoh utama yang ikut membangun kebesaran Eyang Agung Jengiz Khan Yang Tiada Tara. Pada tubuh Gemuka mengalir seluruh tradisi kebesaran, keberanian, kejujuran yang wungkul, yang apa adanya, dari bangsa pengembara.
Hanya karena Gemuka tidak dialiri darah Khan secara langsung, Gemuka tidak menjadi putra mahkota.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi selama ini diperlakukan sama. Apalagi Rama Prabu Kubilai Khan yang Perkasa ingin menghapus permusuhan lama.
Sehingga keturunan Jamuka mendapat tempat yang terhormat.
Yang diwujudkan dengan pemberian tempat yang sesuai pada diri Gemuka. Seorang lelaki yang sesungguhnya. Yang memandang persahabatan, persaudaraan, lebih dari segala apa pun.
Itu pula sebabnya mereka berdua masih memakai sebutan panggilan
"Saudara Muda" dan "Saudara Tua". Tanpa embel-embel Pangeran atau Senopati.
"Saudara Tua, apa keberatanmu kalau aku ke tanah Jawa?"
"Tanah yang tak bisa diperkirakan.
"Sejak Raja Kubilai Khan yang Perkasa mengirimkan utusan pertama telah gagal. Kalau lebih dari satu dan gagal, pasti ada sesuatu yang luar biasa.
"Dalam soal ilmu silat, kita tak perlu ragu. Dalam perlengkapan perahu serta Barisan Api, kita tahu bahwa tak ada yang mampu mengungguli.
"Akan tetapi perhitungan itu saja tidak cukup.
"Itu sebabnya, Saudara Muda tak perlu ke sana. Terlalu banyak yang dikorbankan kalau terjadi apa-apa."
"Aku percaya, Saudara Tua akan melakukan untuk diriku."
"Salah satu dari kita cukup, Saudara Muda."
"Aku yang berangkat.
"Bagiku tanah becek itu menyimpan banyak pertanyaan. Semakin kupelajari sejarah yang terjadi, semakin tergugah hatiku.
"Di sana ada ksatria yang mengundang pendekar seluruh jagat untuk mengadu ilmu silat. Apakah sudah sedemikian damainya, sehingga diperlukan undangan pertarungan"
"Ajaran mana yang mampu berkembang di ujung sana?"
"Kita melakukan kesalahan kalau berangkat bersama."
"Saudara Tua mau tinggal di Keraton?"
Jawabannya sudah diduga sebelumnya.
Gemuka akan tetap menyertai. Bahkan demikian juga Putri Koreyea.
Karena baginya hidup bersama suaminya adalah berada di sampingnya.
Pangeran Hiang makin bertanya-tanya dalam hati, ketika menjelang keberangkatannya Ibunda mengunjunginya.
"Ibu ingin melihatmu, putraku Pangeran Sang Hiang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Barangkali ini perjumpaan yang terakhir. Karena perjalananmu kali ini adalah perjalanan yang jauh, dan usia Ibu sudah semakin tua.
"Putraku Pangeran Sang Hiang,
"Ibu tidak ingin memberati keberangkatanmu. Tetapi hati Ibu mengatakan bahwa kamu harus berhati-hati. Raja di tanah Jawa juga memiliki darah Han yang kamu miliki."
Pangeran Hiang baru ingat sekarang ini, ketika menceritakan kembali.
Bahwa apa yang menjadi suara batin ibundanya, menemukan kenyataan.
Kekuatiran yang tak terucapkan.
Kegelisahan batin wanita. Kegelisahan batin seorang ibu!
Pangeran Hiang dan Gemuka menyiapkan segala sesuatu yang dianggap perlu untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bisa muncul. Laporan-laporan dari para senopati diteliti dengan cermat.
Tak ada satu pun rasanya yang terlewatkan.
Pangeran Hiang merasa siap menghadapi.
Tapi tidak demikian halnya dengan Gemuka.
"Saudara Muda, kita harus berpisah.
"Satu perahu bisa kandas, tetapi masih ada yang tersisa."
"Saudara Tua akan memisahkan diri?"
"Itu sebaiknya. "Kalau Saudara Muda gagal, masih ada saya."
"Hati-hati, Saudara Tua."
Gemuka merangkul Pangeran Hiang. Mereka berpelukan lama. Lama sekali.
Ini untuk pertama kalinya Pangeran Hiang berpisah dengan Gemuka.
Selama ini selalu bersama.
Di hilir Kali Brantas, Gemuka meloncat ke tepi dan melanjutkan perjalanannya.
Perahu Siung Naga Bermahkota terus melaju.
Sewaktu berhasil mendapatkan kabar di mana Baginda berada, rombongan segera menuju ke sasaran. Pertama yang didatangi adalah Gua Kencana, kemudian menuju ke Simping.
Dalam satu serangan mendadak, Barisan Api bisa menghancur-ratakan lawan tanpa kesulitan yang berarti. Bahkan kemudian bisa menawan Baginda dengan para permaisuri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Membawanya ke perahu. Menyimpan di tempat yang sempit.
Dan menunggu waktu saat angin laut berbalik. Pada waktu itulah pengejaran makin hebat, makin merapat. Akan tetapi sejauh itu Pangeran Hiang tak bergerak dari ruangan yang ditempati. Barisan Api bisa mematahkan semua perlawanan.
Hingga munculnya Upasara Wulung.
Sampai di sini Pangeran Hiang berhenti bercerita. Keringat yang menetes di jakunnya yang samar terlihat.
"Selebihnya Pangeran Upasara mengetahui apa yang terjadi.
"Sungguh tidak terduga bahwa Barisan Api bisa dirontokkan seketika.
"Ilmu yang luar biasa.
"Bolehkah saya mengetahui bagaimana pemecahannya?"
Gendhuk Tri yang menyahut tidak sabar,
"Capek mendengarkan kisah Pangeran.
"Padahal Pangeran sama sekali tidak menyinggung penyakit Putri Koreyea."
Pangeran Hiang memandang sekeliling.
"Tanah yang becek, udara yang panas.
"Apakah itu perlu diutarakan?"
"Apakah bagi Pangeran lebih penting mengetahui bagaimana mematahkan serangan Barisan Api"
"Kenapa semua lelaki menganggap urusan wanita tidak penting dibandingkan ilmu silat?"
Banyak yang berubah dari Gendhuk Tri. Akan tetapi bukan nada bicaranya yang langsung bersuara dari bibirnya, tidak melalui indria yang lain.
"Bukan begitu, Adik Tri.
"Pembicaraan mengenai Barisan Api menarik.
"Karena selama ini belum pernah ada yang bisa mengalahkan sekaligus seperti sekarang ini. Tidak juga di Jepun atau Koreyea. Satu, dua, atau sepuluh bisa dikalahkan, akan tetapi tidak semudah Upasara menghadapi."
"Baru tahu kehebatan tanah becek dan lembap ini?"
"Maaf, Adik Tri. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau saya menyebut tanah becek, karena dibandingkan dengan padang pasir tanah kelahiran saya, tanah di sini sangat lembek.
"Sekali lagi, maafkan."
"Baik, baik. "Sekali ini saya maafkan. Akan tetapi sekali lagi Pangeran menyebut tanah becek, saya tak akan memaafkan lagi."
Pangeran Hiang tersenyum lebar.
"Tanah yang menyenangkan, menenteramkan, dan membahagiakan.
"Hanya di tanah Jawa ini saya menemukan canda, menemukan senyuman, tetapi juga kekerasan ilmu yang sejati."
Kisah Kitab-Kitab UPASARA berdeham kecil. "Pangeran Hiang, saya akan menceritakan apa yang menjadi latar belakang budaya tanah Jawa, sebelum menjawab pertanyaan Pangeran...."
Gendhuk Tri ikut duduk. "Berbeda dengan Eyang Agung Jengiz Khan yang Tiada Tara, raja sesembahan kami, Baginda Raja Sri Kertanegara, mempunyai darah keturunan yang berawal dari para raja di Jenggala dan Kediri, yang dulunya pernah bersatu dan berpisah.
"Baginda Raja Sri Kertanegara adalah raja yang mampu melihat gairah ombak samudra, mampu menangkap semilirnya angin gunung yang paling tinggi, akan tetapi tetap bisa menghargai derasnya bengawan.
"Adalah Sri Baginda Raja yang berkenan menyatukan seluruh aliran persilatan dalam kitab yang sama sebagai sumber. Babon kitab ilmu kanuragan. Kitab ini menjadi pijakan bagi perkembangan semua ilmu persilatan. Dengan begitu akan terhimpun cara-cara yang benar, yang berguna bagi pertumbuhan di kelak kemudian hari.
"Para ksatria yang waktu itu mengabdi kepada Sri Baginda Raja berupaya untuk menciptakan. Salah satunya yang kemudian kami sebut sebagai Paman Sepuh. Beliau berhasil menciptakan kitab yang disebut Kitab Bumi, yang memuat Dua Belas Jurus Nujum Bintang.
"Dasar-dasar semua aliran dan ajaran disatukan, disarikan, agar bisa menjadi pegangan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Oleh tokoh seangkatan Paman Sepuh, yaitu Eyang Sepuh, kitab itu disempurnakan dengan tambahan Delapan Jurus Penolak Bumi, Tumbal Bantala Parwa.
"Hingga semuanya ada dua puluh jurus, yang tetap dinamai Kitab Bumi. Karena penyempurnaan dilakukan oleh Eyang Sepuh, kitab itu dianggap maha karya Eyang Sepuh.
"Sejak saat itu boleh dikatakan hanya ada satu babon untuk pengembangan, yaitu Kitab Bumi.
"Dua Belas Jurus Nujum Bintang menyatukan unsur-unsur bintang, irama alam dalam pengerahan tenaga dalam. Tanpa mengenali tata alam di mana ia berada, tak mungkin bisa menyelami Dua Belas Jurus Nujum Bintang.
"Sedangkan Delapan Jurus Penolak Bumi merupakan penangkal jurus-jurus yang ada. Intinya adalah menjadikan diri sebagai tumbal, sebagai korban, sebagai penyerahan diri.
"Pada masa itu, Eyang Sepuh berani mengundang para jago silat di seluruh penjuru jagat. Untuk membuktikan ajaran ilmu silat mana yang sesungguhnya paling murni, paling unggul.
"Tantangan itu berlaku setiap lima puluh tahun sekali untuk menentukan ksatria mana yang pantas menyandang gelar ksatria lelananging jagat.
"Pergolakan yang terutama terjadi sebenarnya bukan hanya di dunia perguruan silat atau di medan pertarungan, tapi juga di dalam dinding Keraton.
"Setelah Eyang Sepuh menciptakan atau menyempurnakan Kitab Bumi, Eyang Sepuh masih menurunkan satu kitab yang biasa dikidungkan, yang disebut Kidungan Paminggir.
"Inti sari ajaran Kidungan Paminggir tidak berkenan di hati Sri Baginda Raja. Sehingga Sri Baginda Raja menuliskan lanjutan kitab yang biasa ditulis para raja, yang bernama Kidungan Para Raja.
"Kalau dalam Kidungan Paminggir, Eyang Sepuh mengedepankan manusia yang bisa menjadi apa saja, Kidungan Para Raja menggariskan bahwa tidak semua manusia bisa menjadi raja. Sebab raja adalah pilihan Dewa Yang Maha dewa.
"Pada kurun waktu yang kurang-lebih sama, Mpu Raganata menyusun kitab yang diberi nama Kidung Pamungkas, kidung terakhir, yang menilik sifatnya merupakan penyatuan gagasan Eyang Sepuh maupun pandangan Sri Baginda Raja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jadi selama ini di tanah Jawa ada kitab-kitab yang menjadi inti ajaran resmi. Yaitu Kitab Bumi, Kidung Paminggir, Kidungan Para Raja, serta Kidung Pamungkas.
"Pangeran Hiang, tentu saja banyak tokoh lain, banyak kitab lain, akan tetapi itulah yang kemudian menjadi induk segala kitab yang ada.
"Maaf, Pangeran Hiang, kalau saya menerangkan satu demi satu.
"Saya ingin menunjukkan bahwa Sri Baginda Raja bukan hanya Raja Ardanari, bukan hanya penyelenggara pesta pora, tetapi juga pilihan Dewa yang sangat tepat.
"Pada saat Kidungan Para Raja dituliskan, Sri Baginda Raja tidak melarang munculnya Kidungan Pamungkas, yang lebih menekankan peranan mahamanusia."
Pangeran Hiang mengangguk-angguk.
"Saya sangat mengerti.
"Di negeri saya banyak catatan mengenai tokoh sakti mandraguna yang bernama Mpu Raganata. Yang paling ditakuti dan perlu diperhitungkan.
"Sebab menurut catatan, Mpu Raganata mempunyai ilmu silat yang sakti, menduduki jabatan tertinggi di Keraton, dan satu-satunya yang berani menentang Sri Baginda Raja, meskipun untuk itu bisa digeser."
"Tidak sepenuhnya tepat," potong Gendhuk Tri. "Mpu Raganata adalah kakek guru saya. Beliau diperhitungkan berani, bukan karena menentang Sri Baginda Raja.
"Justru keberanian itu dimungkinkan oleh Sri Baginda Raja.
"Itu bedanya cara kami memandang dengan pandangan Pangeran Hiang.
"Sri Baginda Raja bisa menindak Mpu Raganata atau siapa saja, akan tetapi hal semacam itu tidak dilakukan. Bahkan mereka diberi kesempatan.
"Saya tak tahu apakah keraton lain mempunyai raja dengan jiwa seluas lautan dan sebijak Dewa seperti di tanah Jawa!"
"Saya makin mengerti, Adik Tri.
"Kalau saya mengatakan kekuatan gunung meletus yang tersimpan dalam senyuman, sekarang mendapatkan penjelasan dalam keterangan Pangeran Upasara.
"Benar perhitungan yang selama ini, bahwa im dan yang di tanah Jawa ini bukan pertentangan. Bahwa Kidungan Para Raja dengan Kidung Paminggir tidak bertentangan. Melainkan bagian yang sama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Demikian juga dengan Kidung Pamungkas bukan merupakan gabungan dari dua yang bertentangan, melainkan bagian yang sama.
"Itu sikap budaya yang tidak kami pahami.
"Itu yang menyebabkan kami gagal.
"Pada saat tiga senopati pertama datang ke tanah Jawa untuk menghukum Sri Baginda Raja, kalian menyambut dengan baik.
Walaupun sekarang saya bisa mengerti sepenuhnya, ketika itu setiap pikiran dan lamunan yang merendahkan Sri Baginda Raja membuat siapa pun bersedia menjadi tumbal.
"Inilah yang saya maksudkan dengan kekuatan gunung meletus dalam senyuman.
"Saya mengetahui. "Saya mempelajari. "Saya mengalami sendiri.
"Adik Tri, Pangeran Upasara, dan para ksatria yang lain menyerbu ke dalam perahu Siung Naga Bermahkota, tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri. Karena Baginda ada di dalamnya.
"Bahwa selama ini Baginda pernah mengecewakan, dan akan mengecewakan lagi, itu urusan belakangan. Pun kalau Baginda itu bukan Baginda yang diabdi dulu.
"Kalau tidak salah, itulah ajaran yang ada dalam Kidung Pamungkas?"
"Pangeran telah membacanya?"
"Barangkali sebelum kalian berdua pernah mendengar namanya."
Kali ini Gendhuk Tri tak merasa tersinggung.
Cara berbicara Pangeran Hiang seolah menunjukkan sikap yang lebih tahu. Dan sebenarnya begitu.
Tanpa merasa merendahkan orang lain.
"Rombongan tiga senopati membawa apa saja. Emas, permata, senjata, salinan kitab-kitab, contoh tanah, dan tumbuhan.
"Kami mempelajari, menyalin, dan menjajal.
"Adik Tri, sebelum rombongan pertama berangkat, pengertian kami mengenai tanah Jawa hanyalah bentuk berbeda dari keraton-keraton di Hindia. Tata krama, perundangan, jurus-jurus ilmu silat, tata pemerintahan, menunjukkan persamaan sebagian atau keseluruhan.
"Kalaupun ada yang berbeda, hanya sebagian kecil karena pengaruh dari tanah Syangka.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sumber yang sama dari tanah Hindia juga merambah masuk ke daratan Cina.
"Sehingga tak terlalu sulit untuk memahami.
"Akan tetapi, begitu membaca kitab-kitab yang ada terasa benar keganjilan dan perubahan itu. Bukan hanya kembangan, tetapi bahkan menyentuh dasar-dasarnya.
"Bukan hanya gerakan tangan lurus menjadi berkelit, melainkan juga cara mengatur pernapasan.
"Inilah aneh. "Dan ketika saya menyaksikan bagaimana Upasara bisa mematahkan gerakan Barisan Api, saya merasa bahwa di balik yang diajarkan, yang ditulis lengkap dalam kitab-kitab itu, ada sesuatu yang tak bisa dituliskan, tak mampu dirumuskan.
"Apakah bukan begitu, Pangeran Upasara?"
"Pangeran Hiang bisa melihatnya.
"Saya yang berada di dalamnya tak bisa melihat karena tak berjarak."
Pangeran Hiang menghela napas.
"Selama ini saya keliru menilai kalian berdua.
"Keliru menilai diri saya."
Pangeran Hiang membungkuk, kedua tangannya terayun ke depan, wajahnya menyentuh tanah.
Kemenangan Asmara PANGERAN HIANG melakukan berulang-ulang.
Upasara menunggu sampai selesai kemudian merangkul.
"Pangeran tak perlu melakukan hal itu."
"Pangeran tak perlu melarang saya."
Sejak itu kekakuan menjadi cair. Baik Pangeran Hiang, Upasara, maupun Gendhuk Tri tidak menyimpan kekuatiran atau pertanyaan yang mengganjal.
Sekurangnya untuk sementara keinginan untuk melanjutkan pertarungan tidak terlihat.
Bagi Gendhuk Tri sebenarnya tak soal benar. Kalaupun harus menghadapi Pangeran Hiang, dirinya tak merasa gentar. Kalaupun
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
harus bertarung karena urusan yang tak jelas sebabnya pada masa lampau, juga tak memberati hatinya.
Yang membuatnya mendadak gelisah adalah karena selalu bersama Upasara.
Kakang Upasara yang diakui secara mendalam sebagai lelaki yang dipuja dan dikagumi.
Sejak masih kanak-kanak dulu.
Tak berubah. Meskipun Upasara mempunyai pilihan hati yang lain, bersanding dengan wanita lain.
Malah bertambah. Meskipun bibirnya sendiri yang terbuka dan mengatakan bahwa hatinya telah memilih lelaki lain.
Tetapi tak bisa dipungkiri dentuman hatinya yang selalu bernyanyi, bersenandung bila berhadapan, berdekatan, ataupun saling pandang.
Gendhuk Tri tak mampu menguasai diri sepenuhnya.
Inilah saat-saat yang paling sulit bagi dirinya. Bermain sandiwara seolah hubungannya dengan Upasara adalah adik-kakak, dan untuk itu batinnya merintih.
Tak bisa disembunyikan. Karena Gendhuk Tri bisa melamun, bengong, dan jalan pikiran dengan apa yang dikatakan atau dilakukan bisa lain sama sekali.
Yang membuat Gendhuk Tri lebih bingung adalah, Upasara sekarang ini bukannya tidak tahu apa yang dirasakan. Upasara mengetahui kegelisahan Gendhuk Tri.
Lebih menghebat lagi perasaan Gendhuk Tri, karena sikap Upasara justru seolah menerima kegelisahan Gendhuk Tri sebagai kegelisahan yang wajar.
Gendhuk Tri berusaha mengalihkan perhatian.
Dua malam ia meninggalkan tempat Putri Koreyea. Dengan alasan meneliti keadaan sekitar.
Memang Gendhuk Tri mencoba mengetahui di mana mereka berada.
Berusaha mengikuti Kali Brantas secara terbalik. Dalam perhitungannya, dirinya hanyut selama satu malam. Kalau kini mengurut kembali selama semalam, pastilah akan kembali ke tempat semula. Namun perhitungan keliru.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sungai ini mempunyai beberapa kelokan, pecah dan bercabang. Dan tidak mudah bagi Gendhuk Tri meniti di pinggir. Karena kadang hanya berisi pepohonan, atau tebing yang sangat terjal.
Setelah memutari terus, Gendhuk Tri makin sadar bahwa mereka berada di suatu pulau.
Yang dikelilingi sungai. Yang temu gelang ke tempat semula.
"Ke mana saja, Adik Tri?"
Aih. Suara itu bernada rindu. "Kita berada di suatu pulau, Kakang."
"Pulau yang dikelilingi sungai."
"Kakang sudah tahu?"
"Saya mengiringi di belakang."
Wajah Gendhuk Tri memerah.
Hidungnya berkembang. "Kenapa Kakang bertanya saya dari mana?"
Ganti kini Upasara yang merah wajahnya.
Tapi pandangannya tetap tenang.
"Adik Tri, kita sekarang ini bukan kanak-kanak lagi. Bukan remaja belia. Kita sudah tua.
"Barangkali sama tuanya ketika kita bertemu dengan Dewa Maut dulu."
"Kakang yang tambah tua. Saya tidak."
Upasara tersenyum. "Saya baru sadar tua kalau melihat usia. Sewaktu Pangeran Hiang menanyakan umur, saya ragu dan menghitung sampai empat puluh, lalu saya hentikan sendiri.
"Adik Tri, selama ini kita belum saling bercerita. Bagaimana keadaan Adik Tri?"
"Kakang ingin menanyakan Maha Singanada?"
"Ya. "Sejak melihat pertama bersama Adik Tri, saya bersyukur."
Gendhuk Tri tidak menjawab segera.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Maha Singanada pantas sekali bersanding dengan Adik Tri.
"Dibandingkan Pangeran Anom."
"Kakang ini sekarang aneh.
"Duluuuu, hanya memperhatikan satu orang. Sekarang hal yang kecil diperhatikan."
"Sejak bersama Dewa Maut, saya banyak berpikir kembali mengenai perjalanan hidup saya.
"Kadang saya ingin menertawai."
"Menyesali?" "Tidak. "Tak ada alasan untuk itu, Adik Tri.
"Meskipun saya menyadari ada bagian yang berubah. Hubungan Pangeran Hiang dengan Putri Koreyea aneh sekali, tetapi juga sangat nyata.
"Kemenangan asmara antara Pangeran Hiang dan Putri Koreyea adalah kemenangan atas segala rintangan. Tetapi juga sekaligus seperti yang ditanyakan Pangeran Hiang: Apa artinya kemenangan asmara seperti ini?"
"Kakang makin lucu."
"Dewa Maut juga mengatakan itu."
Gendhuk Tri menatap Upasara.
"Kakang, maukah Kakang menjawab jujur apa yang akan saya tanyakan?"
"Ya." "Siapa yang paling Kakang cintai?"
Upasara tak menjawab. Lidahnya bergerak-gerak di balik bibirnya.
"Permaisuri Rajapatni?"
"Saya tak begitu mengenalnya."
"Gayatri?" "Saya memujanya. "Wanita yang sempurna."
Ganti Gendhuk Tri yang merasa tercekik.
"Kenapa Kakang tak mau meraihnya, kalau Gayatri juga bersedia"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Memburu Iblis 21 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Dewi Sungai Kuning 2
^