Pencarian

Senopati Pamungkas Dua 20

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 20


"Kalau benar begitu..."
Halayudha mengangguk berat.
"Apa pun caranya, sebenarnya kita mengenal lebih dalam pengertian yang berbeda. Kekuatan utama Obah Ora Owah hanya berbeda pengertiannya dari apa yang saya kenal dengan pukulan Banjir Bandang Segara Asat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hanya mungkin bedanya, saya masih harus menggerakkan pukulan dan melontarkan, sementara Jalan Perdamaian sama sekali tidak menggerakkan apa-apa.
"Gemuka sekarang ini berdiam diri, dan membiarkan Raja mengambil tindakan, berbuat. Tanpa perlu bergerak apa-apa, semua keinginannya tercapai."
"Maaf, Mahapatih, pengetahuan saya mengenai bahasa aslinya sangat terbatas. Ini juga dari ingatan yang tumpul, ketika hamba mendengarkan apa yang dikatakan Naga Nareswara.
"Karena pada pupuh keempat belas yang menyebutkan mengenai asal mula tenaga dikatakan bahwa, lihat tapi tidak kelihatan itulah yi, dengar tapi tak terdengar itulah hsi, pegang tapi tak bisa disentuh itulah wei.
"Tiga kata pada pupuh keempat belas yang disebutkan sebagai kekuatan asal mula, sebenarnya bisa mengandung pengertian tersendiri.
Ungkapannya bisa seperti yi-hsi-wei, atau mirip-mirip i-hi-vei, yang memperlihatkan sesuatu yang berbeda."
Nyai Demang mencoret-coret di lantai dengan jarinya, lalu menggeleng.
"Akan saya sediakan keperluan Nyai.
"Akan tetapi agaknya saya harus bekerja keras dan cepat.
"Apakah Nyai masih ingin di sini sementara ataukah ingin kembali ke tempat semula?"
Bukan kebaikan yang tulus. Ini hanya karena cara berpikir Halayudha yang praktis. Pada akhirnya tak ada gunanya menahan Nyai Demang seperti sekarang ini, seperti yang dulu dilakukan pada Naga Nareswara atau Kama Kangkam.
"Terserah Nyai."
"Mahapatih tak akan mampu berbuat sendiri."
"Rasanya begitu. "Pertanyaan yang Nyai ajukan mengenai bagaimana cara Gemuka memperoleh kedudukannya sekarang, menghajar saya, menampar kekuatan saya."
Dugaan Halayudha hanya satu.
Gemuka bisa mempengaruhi dan kemudian dekat dengan Raja hanya dengan satu alasan: Permaisuri Praba! Tak ada cara lain.
Rasanya kekuatan sukma sejati yang selama ini ditafsirkan orang, bukan jatuh di pangkuan Permaisuri Praba begitu saja, melainkan melalui cara yang biasa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Disembuhkan. Kalau benar begitu, kenapa Permaisuri Praba tidak menghukum dirinya" Dari mana jiwa besar itu muncul"
Halayudha tidak berani mengemukakan kemungkinan masuknya Gemuka melalui pengobatan Permaisuri Praba, karena tak bisa membayangkan betapa Nyai Demang akan murka hebat.
Perasaan sesama wanita akan membuat Nyai Demang membencinya tujuh turunan.
"Kita harus berpacu karena saya menyadari bahwa jika Gemuka pada akhirnya menguasai kekuatan sukma sejati dan bisa lebih berhasil, habislah kita semua ini.
"Maaf, Nyai. "Selangkah dari pintu Nyai akan segera mengenali bangunan Keraton.
Saya akan menemui Nyai untuk bertanya, dan dalem kepatihan terbuka lebar untuk kedatangan Nyai."
Halayudha mengangguk, dengan menyembah hormat melangkah ke luar.
Nyai Demang masih tercenung beberapa saat sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Menuju ke tempat kediamannya.
Dengan pikiran yang penuh.
Tak ada yang bisa dipegang sekarang ini. Bahkan Upasara Wulung pun rasanya perlu diragukan. Apakah bukan karena sebab yang lain ia memutuskan bersama Ratu Ayu"
Tak ada yang bisa dipercaya.
Perasaan ini tumbuh dalam sudut hati Nyai Demang sewaktu Gendhuk Tri datang. Mereka minum teh bersama, bercakap biasa. Yang membuat Nyai Demang bertanya-tanya adalah kenapa Gendhuk Tri tidak sedikit pun bertanya atau heran.
Gendhuk Tri seperti menyembunyikan sesuatu justru dengan tidak melontarkan pertanyaan kenapa pada pertemuan sebelumnya mereka tak bisa saling bertemu.
"Kamu baik-baik saja, anakku?"
"Seperti yang Nyai lihat."
Suaranya dingin. "Anakku Jagattri, apakah kini kamu pun perlu mempertimbangkan siapa yang mengajak bicara padamu" Apakah kamu akan percaya kalau saya mengatakan saya baru saja bertemu dengan Mahapatih Halayudha?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri sama sekali tidak bereaksi.
"Apakah yang saya katakan ini merupakan rencana yang lain"
Benarkah kamu berpikir begitu?"
"Nyai, mengapa Nyai selama ini mendustai saya?"
Mata Nyai Demang sedikit membelalak.
"Dalam hal apa?"
"Dalam hal Kakang Upasara.
"Saya tidak menyesali putusan saya menjadi menantu Rama Ki Dalang Memeling. Saya tidak menyesali apa yang telah saya putuskan dan lakukan.
"Tetapi saya menyesali kenapa Nyai yang tidak bertemu dengan Kakang Upasara bisa mengatakan sebaliknya."
Nyai Demang beringsut. Mundur.
Matanya masih membelalak.
"Aku... aku... mana mungkin aku mendustai?"
Gendhuk Tri menghela napas.
"Kakang Upasara mengatakan bahwa selama ini ia belum bertemu lagi dengan Nyai sejak pertarungan di Lodaya."
Nyai Demang menggeleng. "Itu tidak mungkin. "Tidak mungkin."
Nyai Demang berdiri mendekat.
Lalu mundur lagi. "Apakah kau benar Jagattri, Gendhuk Tri, atau manusia jejadian?"
Nyai Demang memegangi pipinya, dadanya, beberapa kali menghela napas. Bagaimana mungkin ia tak bertemu dengan Upasara kalau bisa mengetahui dan mengingat apa yang dikatakan"
Tapi sama mustahilnya kalau Gendhuk Tri berdusta.
Apakah yang ditemuinya itu bukan Upasara Wulung" Tak mungkin.
Apakah yang ditemui Gendhuk Tri bukan Upasara Wulung"
Ataukah yang dilihatnya sekarang ini bukan Gendhuk Tri"
Benarkah ini semua karena keunggulan Gemuka" Ataukah Halayudha" Ataukah keduanya"
Kalau tidak, lalu siapa"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tantangan Kekuasaan SEBENARNYA tuduhan, tudingan, dan perkiraan Halayudha maupun Nyai Demang tidak meleset terlalu jauh.
Bahkan boleh dikatakan sangat tepat.
Terutama mengenai Raja Jayanegara yang telah memperhitungkan dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa muncul. Daya tarik utama baginya sekarang ini adalah memainkan peranannya. Karena secara menyeluruh merupakan tantangan kekuasaan. Raja ingin membuktikan pada dirinya bahwa takhta yang dikenakan, kursi emas yang diduduki sekarang ini bukan karena kebetulan dirinya adalah putra mahkota, melainkan karena dirinya adalah yang paling menguasai dan paling kuat.
Lebih dari sebelumnya, kini pusat perhatian terserap ke arahnya tanpa kecuali. Semua mata di bumi dan di langit seolah seperti menyorot ke arahnya. Baik dari mahapatihnya, para senopatinya, para prajurit, para raja seberang, maupun Dewa-Dewa di atas awan.
Kalau sebelumnya selalu mengajak Permaisuri Praba Raga Karana dalam pembicaraan, dalam rerasan, kini dilakukan kembali. Padahal sejak Permaisuri Praba membisikkan bahwa Tunggadewi dan Rajadewi sengaja dikabarkan hilang, Raja tak mau mendatangi.
Kini berubah. Bahkan dengan perasaan tidak meluap, Raja bisa mengajak bicara Permaisuri Praba.
"Apa lagi yang kamu impikan, Praba"
"Akan ada puncak upacara pengangkatanmu sebagai permaisuri yang resmi. Sejak itu pula, putra yang kamu kandung nanti akan menjadi putra mahkota.
"Apa lagi yang kamu impikan, Praba?"
"Raja sesembahan seluruh tanah Jawa.
"Hamba hanya berani memimpikan apa yang menjadi perintah Paduka."
"Apakah bukan kebesaran Baginda yang membuatmu menjadi permaisuri sekarang ini"
"Ingsun hanya putra Baginda...."
Tampak kekecewaan tergurat di wajah Raja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang segera berpaling, menggerakkan tangan menyuruh Permaisuri menyingkir. Raja sendiri bergerak bersamaan melangkah ke arah lain, menuju tempat penyimpanan senjata pusaka.
Tempat yang paling wingit, paling angker, dan keramat. Tempat yang hanya boleh dimasuki Raja, atau prajurit yang bertugas membaca mantra dan memandikan senjata.
Tapi sejak beberapa waktu lalu, Raja memerintahkan bahwa tak ada seorang pun yang boleh memasuki senthong tempat penyimpanan senjata pusaka.
Para prajurit hanya mengawasi dari kejauhan.
Dengan menunduk dan menyembah, kala Raja keluar atau masuk.
Seperti sekarang ini. Ruangan itu boleh dikatakan sangat tertutup. Tanpa jendela, dengan pintu yang hanya terbuka saat Raja melalui.
Selebihnya hanya jajaran senjata pusaka yang ditata dengan sempurna. Dengan nama-nama pusaka, asal-usul, serta peletakan yang berurutan.
Hanya kali ini agak lain.
Sudah beberapa saat lalu lain. Karena dua tombak pusaka tidak dipasang tidur di dinding. Melainkan diberdirikan tegak, dengan ujung menganga tanpa tutup.
Di atas kedua ujung tombak itu terbaring tubuh yang kaku, seolah membeku karena tertusuk.
Begitu Raja masuk, tubuh yang berbaring di atas ujung tombak di bagian belakang kepala serta kaki bergerak sedikit. Kedua tangan yang terangkap di dada membuat gerakan menyembah.
Raja mengambil tempat bersila di bagian ujung, dekat dengan tumpukan keris.
"Jadi apa sebenarnya maumu, Gemuka"
"Selain menjadi penasihat batin, kekuasaan apa yang kamu incar?"
Yang diajak bicara memang Gemuka!
Saudara angkat Pangeran Hiang yang datang bersama ke tanah Jawa ini telah melakukan pilihan yang tepat. Tidak merapat bersama perahu.
Melainkan turun lebih dulu, dan sasaran utamanya adalah Keraton.
Tidak terlalu sulit bagi Gemuka menyusup ke dalam Keraton dan berbuat semaunya. Yang menjadi sasaran utama adalah kapustakan.
Kemudian bergerak ke dalam.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan satu langkah yang tepat dan tak terduga.
Ketika itu Raja menuju ke tempat pembaringan, menguakkan selimut.
Pandangan Raja berubah ketika menemukan sosok tubuh yang berbaring dengan tenang. Dengan dada telanjang menampakkan keperkasaan.
"Raja Tanah Jawa yang memiliki semuanya, saya bisa melipat habis tubuhmu. Kalau mau." Raja bergerak cepat mencabut kerisnya, dan dengan sangat cepat pula menusuk ke arah perut. Meskipun lama tidak berlatih silat, Raja Jayanegara termasuk tokoh yang tidak sembarangan.
Gemblengan Mpu Sora terbukti dari tenaga dan arah sasaran.
Akan tetapi tubuh yang ditusuk mendadak miring.
Dan keris tertancap di ranjang.
Tanpa bisa dicabut. "Raja Tanah Jawa. "Kalau aku mau, sejak tadi aku bisa membunuhmu."
Raja berusaha keras menarik kerisnya. Tangan kirinya yang bebas menjotos keras. Ke arah leher tubuh yang miring. Kembali terjadi sesuatu yang tak diduga.
Tangannya melengket. Tak bisa ditarik. Baru terlepas ketika tubuh yang miring itu telentang.
"Aku Gemuka. "Benarkah kamu Raja Tanah Jawa?"
"Siapa yang mengajarimu tak mengenal tata krama?"
Suara Raja menanggung beban kemurkaan serta mengandung ancaman.
"Aku memang tak mengenal tata krama.
"Tetapi aku sangat kamu butuhkan. Permaisuri Praba akan sembuh seperti sediakala."
Raja melangkah mundur setindak.
Gemuka tetap berbaring dengan kedua tangan terlipat di dada.
Dengan napas yang teratur.
"Di mana saja, Raja membutuhkan kekuatan yang bisa diandalkan.
"Aku akan mendampingimu, seperti dongengan kera putih mendampingi sang Prajaka menuju Puncak Jagat.
"Aku bisa membunuhmu, kapan saja aku mau.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ini sangat jelas membuktikan, aku tidak berbuat jahat."
Tutur bicaranya kaku, terpotong-potong, akan tetapi cukup bisa dimengerti.
"Siapa kamu, Gemuka"
"Apa maksudmu?"
"Aku sedang mencari saudaraku.
"Aku ingin kamu menjadi raja yang besar. Yang tidak dimakan mahapatih ataupun senopatimu. Akulah senopatimu, pendetamu, prajuritmu yang sesungguhnya.
"Ambillah kedua putri.
"Atau aku akan mengambilkan untukmu.
"Perintahkan agar mahapatihmu mencari.
"Setelah itu Permaisuri Praba akan kusembuhkan."
Semakin banyak berbicara, semakin memperlihatkan bahwa gaya berbicara Gemuka sangat tidak biasa. Caranya mengucapkan aku, kalimatnya yang berloncatan, serta sikapnya yang kurang ajar menegaskan bahwa Gemuka memang tidak mengenal tata krama.
Tapi inti maksudnya jelas.
Raja tak sempat berpikir banyak.
Sorot mata Gemuka begitu tajam mencengkeram. Pandangan yang dulu dirasakan dari Ibunda Permaisuri Indreswari yang membuatnya tak berani menempuh jalan lain. Pandangan Pendeta Manmathaba yang seakan tusukan pedang tipis.
"Raja Tanah Jawa akan mengetahui kepalsuan Mahapatih."
Dan semua terbukti. Ketika kemudian kedua putri Permaisuri Rajapatni tahu-tahu berada dalam kamar peraduannya. Ketika kemudian Halayudha menyampaikan kesimpulannya bahwa kedua putri diculik Ratu Ayu.
Tapi yang paling menggetarkan adalah ketika Gemuka mengatakan dengan suara yang dingin.
"Raja Tanah Jawa, kalau memang Raja menghendaki Permaisuri sehat seperti sediakala, tunggulah saat yang tepat. Saat Raja merasa perlu berbicara dengannya, saat di mana kesembuhan itu tak terduga.
"Siapa yang tidak menginginkan kesembuhan, ia akan sembuh. Siapa yang sangat berharap dan memaksa diri, tak akan terpilih."
"Hari ini juga Ingsun akan ke sana."
"Kalau tidak ingin bersenang dengan kedua putri."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Lalu disambung, "Lebih dulu." Lalu dibetulkan. "Kalau Raja tidak ingin bersenang dengan kedua putri lebih dulu."
"Ingsun bisa melakukan setiap saat seperti dulu, seperti sekarang, seperti yang akan datang."
"Itu membuktikan Raja Tanah Jawa sangat mencintai Permaisuri Praba sekarang, dan itu artinya kesembuhan.
"Sebelum matahari sepenuhnya tenggelam."
Raja memandang tak percaya.
Siapa Berbisik, Siapa Berisik
GEMUKA tak berubah sikapnya.
"Permaisuri Praba hanya terkunci nadi dan sarafnya.
"Aku bisa meniup dari sini.
"Aku bisa meniup sebelumnya. Itu jalannya. Itu penyembuhnya.
Seperti semua dongeng, semua kisah, aku akan membuktikan keajaiban lebih dulu, sehingga Raja percaya.
"Meskipun sebenarnya bukan keajaiban. Hal yang sangat biasa.
Makanya temui sebelum matahari tenggelam, sehingga Raja memberi kuasa dan keluhuran Permaisuri Praba hanya dengan usapan tangan.
"Bukti lebih berbicara."
Nyatanya begitu! Nyatanya terbukti Permaisuri Praba seketika sembuh kembali.
Meskipun yang membuat Raja sangat murka ialah pengakuan Permaisuri Praba bahwa kesembuhannya berkat kebesaran Baginda!
Hanya karena saat itu Raja menemui Jabung Krewes lebih dulu, dan datang membawa Kidungan Para Raja yang ditulis Baginda.
Dan ditembangkan olehnya.
Makanya bisa dimengerti kalau Raja murka dan seketika itu juga timbul niatnya membuka rahasia mengenai Gemuka.
Akan tetapi itu tersaput dengan kemurkaan yang lain.
Yaitu ketika Permaisuri Praba mengatakan langsung bahwa kedua putri disembunyikan oleh Raja sendiri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kemurkaan yang membuat Raja kalap tidak sepenuhnya bisa dimengerti oleh Praba Raga Karana.
Karena masalahnya bukan hanya bahwa kedoknya terbuka kala mengatakan daya asmara yang sejati dan masih menyembunyikan dua putri, akan tetapi lebih dari itu.
Telinga Raja menjadi panas membara, justru karena Praba mengetahui bahwa dirinyalah yang berada di belakang penculikan dua putri.
Rasanya tidak masuk akal, tidak masuk rasa.
Semakin dipikir, semakin dirasa-rasa, semakin membuahkan tanda tanya.
Selama ini Praba terbaring. Bahkan menggerakkan kelopak mata saja tak bisa. Bagaimana mungkin bisa mengetahui rencana penculikan dua putri" Yang Mahapatih pun tak mengetahui"
Amarah yang luar biasa karena Raja merasa dipermainkan Gemuka.
Satu-satunya orang yang mengetahui hanyalah Gemuka.
Itu pula sebabnya begitu melangkah masuk, Raja langsung menusuk dengan pertanyaan apa yang disembunyikan.
"Pertanyaan menarik.
"Aku mau balas dendam.
"Mau menghancurkan, menundukkan tanah Jawa.
"Tapi apa hubungannya?"
"Praba mengetahui siapa di belakang penculikan kedua putri."
Wajah Gemuka seperti berubah. Tubuhnya sedikit bergoyang di atas tombak.
"Raja Tanah Jawa. "Tanahmu tanah perkasa. Sehingga aku menduga kamu sengaja membuka serangan dengan taktik itu.
"Tak ada yang mengetahui.
"Tapi kalau benar Permaisuri Praba mengetahui, itu menunjukkan ada kekuatan lain yang hebat.
"Tanahmu tanah perkasa.
"Perahu Siung Naga Bermahkota bisa kamu tenggelamkan. Itu belum berarti menang.
"Tapi tak mengurangi inilah tanah perkasa."
Gemuka merangkapkan kedua tangannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pada puncak pesta nanti, akan terlihat jelas. Siapa yang berbisik dan membisikkan apa, siapa yang berisik tapi tidak membisikkan apa-apa.
"Raja Tanah Jawa, "Jangan sampai tidak, siapa pun yang dianggap lawan, hadirkan di puncak pesta."
"Ingsun tak pernah diperintahkan manusia atau Dewa."
Gemuka tidak menjawab. Memejamkan matanya. Hanya dua tombak yang menyangga tubuhnya bergoyang, menandai gemuruh yang terjadi saat memusatkan perhatian.
Bagi Gemuka keterangan bahwa Permaisuri Praba mengetahui rencana penculikan sulit dimengerti. Selain dengan pengertian bahwa memang tanah Jawa tanah yang perkasa. Yang menyimpan kekuatan demikian kuat, demikian kuat, di balik kelembutan dan kesan mudah dikuasai.
Gemuka adalah Gemuka yang lebih mengenal kekerasan padang pasir, lahir di antara barisan yang berperang. Hubungannya dengan Pangeran Hiang sangat dekat. Boleh dikatakan satu perasaan dan satu pikiran.
Akan tetapi Gemuka tetap bisa berbeda kesimpulan.
Terutama untuk pertama kalinya secara terbuka, adalah mengenai pendudukan tanah Jawa. Gemuka merasa bahwa jalan yang ditempuh Pangeran Hiang terlalu berbahaya. Justru karena berusaha menaklukkan dengan kekuatan kekerasan.
Gemuka sedikit pun tak menyangsikan kekuatan Barisan Api serta kehebatan Pangeran Hiang ataupun kelengkapan perahu Siung Naga Bermahkota.
Tapi ia juga punya perhitungan lain.
Yang lebih jelas. Yaitu gagalnya tiga utusan utama, yang dilengkapi puluhan perahu dengan persenjataan yang lengkap. Demikian juga kedatangan pendeta resmi Raja Segala Naga yang tak ada kabar beritanya.
Ini yang membuatnya tujuh kali lebih waspada.
Terutama karena banyak kemungkinan yang tak terduga, yang menyebabkan seluruh kemenangan berubah menjadi kekalahan.
Rombongan Pangeran Hiang yang perahunya bisa ditenggelamkan, hancurnya Barisan Api yang selama ini belum pernah terpatahkan di Jepun maupun Koreyea, semua adalah bukti-bukti yang membuatnya menahan diri untuk meraih kemenangan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sebenarnya dengan menyusup ke dalam Keraton dan berduaan dengan Raja, Gemuka sudah berhasil. Sudah bisa mengibarkan bendera kemenangan.
Akan tetapi hati kecil Gemuka mengatakan bahwa kemenangan itu tak akan berarti banyak. Bukan kemenangan seperti yang diraih prajurit Tartar menundukkan seluruh jagat.
Karena dengan dibawanya Raja, tidak berarti tanah Jawa dengan sendirinya tunduk, dan setiap tahun kemudian akan menyerahkan upeti sebagai tanda pengakuan adanya kekuasaan yang lebih tinggi.
Raja yang menggantikan bisa menantang perang dan menyerbu sampai Tartar. Atau paling tidak raja-raja di tempat lain akan lebih mengakui kekuasaan keraton ini.
Itu yang menahannya berbuat seketika.
Karena Gemuka ingin mereguk kemenangan dalam arti yang sebenarnya. Kalaupun ia kembali ke Tartar dengan membawa tawanan seorang raja, itu benar-benar dalam arti segalanya.
Nyatanya tidak begitu mudah.
Nyatanya baru selangkah saja sudah terpatahkan. Ternyata Permaisuri Praba mengetahui apa yang direncanakannya bersama Raja.
Bisa dimengerti kalau Raja mencurigainya.
Bisa dimengerti kalau Gemuka mencurigai Raja.
Dalam pengertian Gemuka, tanah yang liat dan kuat ini mulai memperlihatkan keperkasaannya. Inilah kekuatan yang tak terduga, yang diperhitungkan, akan tetapi tetap saja meleset.
Alasan Gemuka semakin kuat untuk mengumpulkan semua tokoh yang ada, dan ia akan memperlihatkan keunggulannya menaklukkan semuanya tanpa kecuali.
Memang ada keraguan yang menyebabkan Gemuka menjadi lebih waspada. Yaitu disebutnya tokoh utama dalam pembebasan Baginda yang bernama Upasara Wulung. Yang menurut cerita yang sampai ke telinganya lewat penuturan para senopati kepada Raja, Upasara Wulung mampu mematahkan Barisan Api.
Lebih menggetarkan lagi karena mulai disebut-sebut adanya kekuatan sukma sejati.
Alasan-alasan itulah yang makin menahan Gemuka untuk bertindak.
Pilihannya adalah sekali melakukan harus berhasil. Seperti selama ini.
Seperti selama ini dirinya belum pernah gagal melakukan tugas Keraton.
"Gemuka..." "Meskipun berbaring, aku mendengarkan, Raja Tanah Jawa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku berbaring, karena inilah cara untuk menghimpun kekuatan.
Dengan tidak bergerak. Dengan diam.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semua tindakan akan terhimpun menjadi tenaga dalam.
"Raja Tanah Jawa bisa belajar kalau mau."
"Ingsun bisa memutuskan sendiri kapan dan apa perlunya.
"Apa benar kamu yang menyembuhkan Praba, ataukah karena kidungan?"
"Raja Tanah Jawa. "Ketahuilah aku bisa bergerak ke mana pun aku mau. Telingaku terbuka lebar sehingga mengetahui yang dikatakan orang. Dengan begitu aku mengerti pentingnya Permaisuri Praba bagi Raja. Aku segera melihat dan menemukan penyembuhannya.
"Kebetulan Raja membawa kidungan.
"Kalaupun tidak, akan sembuh kembali. Karena aku telah membebaskan, dengan mengatur kesembuhannya sebelum matahari terbenam."
"Apakah Praba mengetahui hal ini?"
"Rasanya tidak."
"Ingsun baru percaya sepenuhnya, kalau kamu membuktikan satu keunggulan lagi. Satu keajaiban lagi."
Pendeta Empyak Jagat GEMUKA. mendesis. Tangannya bergerak. Serentak dengan itu senjata pusaka yang berada dalam ruangan saling beradu, mengeluarkan bunyi. Bahkan dua keris lepas dari sarungnya, bergerak sendiri, menuju ke arah Raja.
Yang hanya bisa memandangi.
Karena kakinya membeku. Tak bisa digerakkan sama sekali. Bahkan untuk menggeser.
Bahkan untuk menggerakkan pinggang.
Juga kedua tangannya. Bahkan lehernya. Inilah hebat. Bahwa senjata bisa lepas dari sarungnya, itu bukan sesuatu yang luar biasa. Tanpa kekuatan langsung dengan disentuh pun, keris
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
pusaka bisa lepas dari sarungnya, bila disandingkan dengan keris pusaka sakti yang lainnya, yang kebetulan kekuatannya bertentangan.
Akan tetapi bahwa itu disertai dengan bergeraknya semua senjata, mencengangkan juga. Apalagi Raja seperti terpaku di tempatnya.
Semuanya terjadi tanpa Gemuka mengubah posisi tidurnya.
"Gemuka!" "Apa lagi yang Raja Tanah Jawa inginkan?"
"Ini permainan anak-anak."
"Apa Raja Tanah Jawa ingin menderita gering seperti Permaisuri" Itu lebih mudah."
Mendadak seiring dengan tarikan napas Gemuka yang keras, dua keris itu melesat. Langsung menuju Raja yang tak bisa bergerak.
Raja memejamkan matanya. Trang! Dua keris itu berbenturan sendiri. Jatuh ke lantai.
"Masih perlu bukti lagi"
"Raja Tanah Jawa, sekarang ini tak ada kekuatan lain di seluruh jagat yang akan mampu menyatroni Raja. Tak ada, karena Gemuka yang tanpa tanding ini berada di belakang Raja Tanah Jawa. Karena Kiai Sambartaka dari tlatah Hindia akan mendukung tanpa upah. Sebentar lagi Pangeran Hiang pun akan bergabung.
"Siapa lagi yang bisa mengalahkan, menandingi kami selain Pendeta Empyak Jagat?"
Suara Gemuka terdengar dalam nada tinggi. Seolah dibakar dengan semangat yang kelewat tinggi dari kebiasaannya yang selama ini terlihat.
Pendeta Empyak Jagat, atau Pendeta Puncak Dunia, adalah sebutan untuk menggambarkan tokoh sakti mandraguna yang berasal dari puncak dunia, tempat yang tertinggi di seluruh jagat. Gambaran ini menjadi semacam ukuran, bahwa tak ada lagi yang lebih tinggi darinya kecuali langit.
Sebutan ini sebenarnya bukan mengada-ada. Karena memang dulunya, menurut kisah dituturkan secara turun-temurun, tokoh yang pertama kali mengembangkan ilmu silat, mula-buka-nya, asal-usulnya, dari seorang pendeta yang mampu menaklukkan gunung tertinggi di jagat. Yang mampu melintasi dan menyebarkan ilmunya sampai ke negeri Cina, yang menjalar sampai Jepun, Koreyea, dan menyebar ke arah sekitar. Di balik gunung yang lain, ke Nepal, Tibet, tlatah Hindia, yang menurut anggapan menyebar antara lain ke tanah Jawa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ditimbang dari sisi ini, apa yang dikemukakan Gemuka sangat beralasan untuk meletakkan posisinya di tempat teratas. Apalagi dengan menyebut nama Kiai Sambartaka yang juga menjadi pendukungnya.
Raja bukan baru dua kali ini mendengar Gemuka menyebut Pendeta Empyak Jagat, atau kadang disebut sebagai Ksatria Empyak Jagat, dan membahasakan dirinya sebagai kera putih yang berada di sisinya.
"Raja Tanah Jawa. "Bahkan Kaisar di Tartar sekarang ini pun tak memiliki susunan kekuatan pendukung yang begini dahsyat!
"Kenapa masih ragu?"
Raja mengakui apa yang dikatakan Gemuka.
Akan tetapi wajahnya tetap tak menunjukkan perubahan.
"Jadi apa yang kamu takutkan"
"Kenapa menunda puncak pesta?"
"Saya tak akan membuat kesalahan seperti yang lain.
"Saya akan siap mengalahkan siapa pun juga. Kalaupun yang kalian sebut sebagai Eyang Sepuh muncul kembali, saya siap.
"Semua akan saya tumpas. Habis."
Raja menarik napas dalam.
Tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuhnya kembali bisa digerakkan.
"Gemuka, apa yang sebenarnya kamu perhitungkan?"
"Pertama, para ksatria, para pendekar, para thay hiap, yang setingkat dengan Upasara Wulung.
"Kedua, para senopati yang menjadi antek Mahapatih Halayudha.
"Ketiga, para cerdik dan culas yang selalu mencurangi.
"Semua akan saya sikat dalam waktu yang bersamaan."
"Dan kalau semua bisa kamu kalahkan, apa yang tersisa bagi Ingsun?"
"Raja Tanah Jawa. "Raja yang bijaksana.
"Tak ada yang tersisa bagi Raja Tanah Jawa, selain pengakuan atas kebesaran Kaisar di Tartar. Selain tanda penyerahan yang tak bersyarat sampai turunan terakhir.
"Sampai Raja Tanah Jawa yang turunan mana nanti mampu mengulang kebesaran Sri Baginda Raja."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tahukah kamu bahwa ini semua bukan pekerjaan gampang?"
"Saya merasakan dendam Raja Tanah Jawa.
"Atau semua yang tumbuh di bumi Jawa.
"Akan tetapi, kalau semua tak ada yang bisa melawan kami, apa yang kalian pilih" Mati dengan percuma pun tak mudah."
"Kenapa kamu masih menguatirkan Upasara Wulung?"
"Dia dianggap ksatria lelananging jagat. Ia dinobatkan sebagai yang tak terkalahkan, dan mampu selamat dari perahu Siung Naga Bermahkota. Ilmunya dengan penguasaan Kitab Bumi yang luar biasa membuat saya gatal untuk mencoba. Apalagi saya mendengar ia menguasai ilmu Merogoh Sukma Sejati."
"Kenapa kamu masih menguatirkan para senopati?"
"Perang di Lodaya, sejauh saya tahu, membuktikan bahwa para senopati mau mati bergiliran sampai habis untuk membela rajanya. Ini harus ditundukkan dari atasan.
"Mahapatih cukup digdaya.
"Akan tetapi komandonya bisa beralih ke tangan senopati yang lain."
"Siapa yang kamu maksudkan para cerdik pandai yang culas?"
"Siapa saja. "Para ksatria atau para senopati.
"Para pendeta atau para prajurit.
"Para istri atau para kuda.
"Semua bisa bergerak, berubah, dan harus diperhitungkan."
"Kenapa kamu tidak jegal mereka satu demi satu?"
"Raja Tanah Jawa. "Saya tak akan mengulangi kesalahan para pendahulu. Di tanah Jawa ini, ksatria bisa menjadi senopati, akan tetapi juga bisa menjadi prajurit biasa. Dan begitu pula sebaliknya.
"Semua bisa saling berkait.
"Satu-satunya jalan adalah menumpas habis."
"Pada puncak pesta nanti?"
Raja berdiri, menuju pintu.
Tapi berhenti. "Ingsun tak pernah diperhitungkan.
"Itu kekeliruanmu, Gemuka.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ingsun masih tetap yang paling menentukan. Adalah keliru besar kalau kamu menganggap telah bisa menguasaiku dengan menakut-nakuti.
"Kalau kamu berharap pesta puncak nanti, sebelum pesta itu bisa terjadi sesuatu. Sebelum kamu bergerak, mereka akan bergerak lebih dulu. Ingsun bahkan bisa merasakan sekarang ini.
"Halayudha bisa menghimpun kekuatan besar.
"Mendahuluimu. "Upasara bisa menghimpun kekuatan besar.
"Mendahuluimu. "Dalam soal strategi kamu masih pupuk bawang, meskipun usiamu melebihiku."
"Saya telah memperhitungkan itu.
"Raja Tanah Jawa bisa memilih kekuatan mana. Kekuatan Gemuka, dukungan para senopati, atau dari para ksatria. Yang pasti tidak dari ketiga-tiganya secara bersamaan.
"Apakah cukup jelas?"
"Kamu lupa, bahwa Ingsun inilah sesungguhnya Pendeta Empyak Jagat itu."
Raja melangkah ke luar, dengan satu gerakan cepat sekali.
Sekali tubuhnya bergerak, pintu terbuka dan tertutup kembali.
Gemuka memuji kehebatan Raja. Bukan dari loncatannya, akan tetapi dari gagasan yang dimuntahkan ke wajahnya. Seolah kotoran yang menyapu kegagahan Gemuka yang hampir saja terpancing.
Dari arah tumpukan senjata pusaka terdengar suara perlahan.
"Kenapa Gemuka menyebut-nyebut nama saya?"
"Kiai Sambartaka, tutup mulutmu rapat-rapat.
"Saya mengatakan apa adanya, karena Raja juga mengatakan apa adanya. Dan saya menjunjung tinggi sifat ksatria seorang raja.
"Beliau memang raja yang sesungguh-sungguhnya.
"Saya tahu kamu pun menyimpan dendam busuk dan rencanamu sendiri, akan tetapi sekarang kamu akan selalu tunduk pada saya.
"Bukankah ini juga terus terang?"
Perjalanan Hamba Sahaya KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
KIAI SAMBARTAKA seperti menemukan dirinya telanjang bugil. Tak ada yang bisa disembunyikan dari sorot mata Gemuka.
Sejak pertama kali bertemu.
Itu terjadi ketika Kiai Sambartaka menyembunyikan diri untuk menyempurnakan ilmunya. Merasa aman berada dalam suatu tempat yang selama ini tak diendus siapa pun. Tekadnya hanya satu: memperdalam ilmunya untuk membalas dendam, atau kalau tidak berhasil lebih baik terkubur hidup-hidup tanpa diketahui siapa pun.
Sejak melarikan diri dengan menenggelamkan diri di Kali Brantas, Kiai Sambartaka merasa tak bisa dengan tegak memandang langit.
Bagaimana mungkin dirinya yang dijuluki Kiai Kiamat yang menghancurkan seluruh jagat dan isinya bisa dipecundangi dan dikalahkan beberapa kali. Bahkan usahanya untuk bersatu dengan para pendeta Syangka juga kandas. Padahal dengan melakukan hal itu, para tetua di tlatah Hindia tak akan pernah memaafkannya.
Makanya kalau Kiai Sambartaka memilih untuk melatih ilmunya atau binasa, bukan pilihan yang mengada-ada.
Yang membuatnya terusik hanyalah ketika menemukan tujuh ular kobra yang menjadi senjata andalannya mati dengan saling gigit.
Ini tak pernah terjadi. Ular kobra adalah jenis ular paling berbisa yang langka, yang menjadi simbol kesuburan, simbol bencana, simbol kebesaran dan keganasan.
Selama hidupnya, Kiai Sambartaka sangat yakin bisa menguasai ular kobra lebih dari siapa pun di jagat ini. Sehingga tak ragu lagi menyembunyikan pasangan kobra di balik jubahnya, atau bahkan dalam mulutnya.
Tak mungkin mereka saling menyerang sendiri.
"Bagaimana mungkin kamu melatih ular kecil, kalau kamu tak bisa menghidupkan?"
Sesosok tubuh yang tinggi, tegap, terselimuti jubah kedodoran berdiri kukuh di depannya.
"Kalau ksatria dari mana asalmu, kalau pendeta dari mana perguruanmu."
"Menggelikan. "Bagaimana orang setua kamu, dari ilmu silat Hindia, tak bisa mengenaliku" Akulah sumber ilmu silat yang kamu pelajari. Pembagian empat tenaga berlipat tak mempunyai makna kalau kamu padukan dengan Jalan Buddha. Karena Jalan Buddha justru menghapus perbedaan pembagian pengerahan tenaga."
"Apakah engkau datang dari negeri Empyak Jagat?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pandanganmu tajam. "Tapi keliru. "Aku pangeran dari Tartar, yang pernah melewati Empyak Jagat.
Namaku Gemuka. Aku membutuhkanmu, seperti sang Ksatria Utama membutuhkan hamba sahaya. Kamu salah satunya."
"Aku tak pernah mendengar nama Gemuka.
"Tapi aku mengenal kiasanmu mengenai sang Ksatria Utama yang menaklukkan Empyak Jagat, diiringi hamba sahayanya yang berwujud kera, babi, kuda..."
"Kamulah babi. "Akulah kera. "Mulai sekarang, kita menuju ke Keraton."
Kiai Sambartaka mengernyitkan jidatnya. Ia merasa asing dan tak begitu saja menyerah, meskipun mengetahui bahwa Gemuka mempunyai ilmu yang cukup tinggi. Karena bisa membuat ular kobranya saling menggigit.
Gemuka menebak jalan pikiran Kiai Sambartaka. Dengan bersuit keras, ia mendengingkan suara, dan mendadak saja puluhan ular muncul bersama, menggeliat-geliat dan garang.
Kiai Sambartaka tak sedikit pun gentar dengan ular walau jumlahnya banyak sekali. Akan tetapi bahwa Gemuka bisa memanggil dalam sekejap, itu sungguh luar biasa.
Apalagi ketika dengingannya berubah, ratusan kumbang mendesing di atas kepalanya.
"Dalam penguasaan kemauan binatang, kamu tak akan menang.
"Tenagamu tak akan mampu menandingi. Geseran dua kaki ke arah yang bertentangan untuk mengacaukan suara juga akan percuma.
Karena titik pusarmu terbuka.
"Adalah sangat mudah mematahkan seranganmu, dengan mendesiskan ular di balik jubahmu."
Kiai Sambartaka benar-benar tak habis pikir.
Semua yang akan dilakukan bisa ditebak.
"Seperti kera menaklukkan babi, itulah yang kulakukan kini.
"Semua ilmumu ada dalam genggaman tanganku."
"Apa maumu, Gemuka?"
"Seperti kamu. "Menaklukkan tanah Jawa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kita bisa bekerja sama untuk sementara. Setelah itu, kita boleh beradu kemenangan."
"Bagaimana kamu mengetahui diriku?"
"Dari gerakanmu bisa terbaca jelas. Dari undangan pertemuan setiap lima puluh tahun bisa terbaca jelas.
"Namamu saja menunjukkan kekalahanmu pada tanah Jawa."
"Apa yang kamu inginkan?"
"Keterangan sebanyak mungkin mengenai tanah Jawa.
"Kamu pasti mengetahui karena kamu lebih lama di sini. Kita bersama melakukan pembalasan dan meratakan tanah Jawa."
Dua tangan Gemuka bergerak.
Kumbang menyerbu ke arah barisan ular, yang balas menyerang.
Dalam sekejap terjadi pertarungan yang aneh. Yang mengerikan, karena ular dan kumbang kemudian saling bunuh sendiri.
"Itulah yang dinamakan tenaga Mo yang sebenarnya. Tenaga Tao yang sesungguhnya.
"Memindahkan tanpa menggerakkan.
"Aku tahu kamu bisa melakukan, akan tetapi hanya terhenti pada kekuatan untuk mengeluarkan suara tanpa menggerakkan bibir. Ilmu yang sebenarnya baru tahap awal. Lima puluh tahun lagi, kamu tak akan pernah bisa maju, dan usiamu sudah membunuhmu."
Kiai Sambartaka menggeram dalam hati.
Namun akhirnya mengikuti jejak Gemuka. Yang selama perjalanan bertanya terus-menerus, mencoba menggali keterangan selengkap mungkin, dan hanya beberapa kali saja memberi petunjuk di mana kemungkinan terbesar Kiai Sambartaka bisa dikalahkan.
"Cara berpikirmu yang salah.
"Selama kamu menganggap ilmu silat di tanah Jawa berasal dari tanah Hindia, itu betul. Akan tetapi kalau kamu menganggap sama, kamu keliru.
"Pengerahan tenaga dalam yang kamu paksakan akan lumer menghadapi tenaga dalam yang berkembang di tanah Jawa ini. Itulah sebabnya kamu bisa dengan mudah dikalahkan."
"Kalimatmu serba jemawa.
"Tapi aku melihat adanya kebenaran yang kamu katakan."
"Tak ada ilmu silat yang bisa membungkam ilmu silat tanah Jawa, selama ia tidak mengikuti cara-cara yang dipakai di sini. Tapi begitu
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
kamu mengikuti cara pernapasan di sini, kamu bisa terseret oleh cara mereka.
"Dua-duanya berarti kalah."
"Tak mudah menaklukkan tanah Jawa."
"Tidak akan pernah, dengan kekerasan yang kita miliki.
"Semakin keras kita mengimpit, semakin lenyet mereka, akan tetapi justru semakin liat.
"Sebagai sesama hamba sahaya, kita bisa berbagi pengalaman."
Itulah sebabnya kemudian Kiai Sambartaka bersedia mengikuti Gemuka. Kembali menyusup ke dalam Keraton.
Pada permulaannya mereka berpisah, akan tetapi kemudian selalu berada di tempat penyimpanan senjata. Dan setiap kali Gemuka memberondong dengan berbagai pertanyaan tanpa henti.
Yang membuat Kiai Sambartaka bertanya-tanya dalam hati ialah karena ternyata Gemuka menyimpan beberapa hal yang sudah diketahui. Hanya ingin dicocokkan saja.
Terutama mengenai kekuatan-kekuatan yang ada. Terutama mengenai jurus-jurus ilmu silat, terutama mengenai tata krama dalam Keraton.
Yang tetap mengherankan ialah bahwa Gemuka seperti tidak menutupi perasaannya. Apa yang dipikirkan, apa yang direncanakan, bisa dikatakan secara terbuka. Seperti juga mengenai persahabatan sebagai sesama hamba sahaya, akan tetapi juga kemungkinan mereka berdua akan saling memperebutkan kemenangan.
Sungguh rasa percaya diri yang berlebihan.
"Kiai Sambartaka, aku minta kamu sebarkan tanda siung naga di berbagai tempat. Aku masih berharap saudaraku, Pangeran Sang Hiang, mengetahui keberadaanku."
"Kenapa tidak kamu lakukan sendiri, Gemuka?"
"Aku perlu menghimpun seluruh kemampuanku.
"Dengan berdiam diri di sini, aku mengumpulkan tenaga dalam yang bisa disimpan, dan bisa dikerahkan sewaktu-waktu. Aku adalah kera sakti, yang bisa menyimpan makanan dalam mulut.
"Kamu belum bisa melakukan itu."
Meskipun tersinggung, Kiai Sambartaka melakukan juga. Karena pada pikirnya, saudara Gemuka yang disebut Pangeran Sang Hiang pastilah tokoh yang sakti. Atau bahkan mungkin yang dimaksudkan sebagai Ksatria Utama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itu berarti kekuatan mereka lebih sempurna.
Benar-benar merupakan rencana penaklukan yang sempurna.
Itu sebabnya Kiai Sambartaka mengusulkan untuk menghimpun lebih banyak lagi. Terutama raja-raja atau utusan yang berasal dari seberang.
Termasuk dari negeri Turkana.
"Aku mendengar ilmu Jalan Buddha Wanita adalah ilmu yang sesat.
Dan aku tidak melihat keuntungannya ia berpihak pada kita."
"Ratu Ayu adalah istri Upasara Wulung."
Wajah Gemuka berubah keras.
Pribadi Ambalung Usus TINJUNYA terkepal. Bukan hanya itu saja. Tubuhnya bergerak, melayang turun, sementara dua tombak yang dijadikan tempat berbaring lepas jatuh ke lantai.
"Aku dengar nama besar thay hiap yang bergelar lelananging jagat.
Aku sudah gatal tangan untuk menjajal Upasara Wulung. Yang pastilah sedemikian saktinya sehingga selama ini tak ada yang bisa mengalahkan.
"Ada yang bisa membunuhnya, akan tetapi ternyata bukan mengalahkannya.
"Itulah kekeliruanmu, Kiai.
"Apakah kamu kira jika Ratu Ayu berpihak ke kita, Upasara Wulung akan mengikuti" Kamu tidak mengenal manusia tanah Jawa. Manusia di belahan bumi ini adalah manusia yang ambalung usus, satu-satunya pengertian yang bisa menerangkan siapa mereka."
Kiai Sambartaka bukannya tak mengerti apa maksud kata-kata Gemuka. Ambalung berarti menjadi tulang, seperti tulang, karena balung berarti tulang. Sedangkan ambalung usus, mengandung dua pengertian yang sangat berbeda. Antara pengertian keras, seperti tulang, dan pengertian lembut, seperti usus. Ini berarti usus pun bisa menjadi keras seperti tulang. Sebaliknya juga mungkin, yaitu tulang yang keras berubah menjadi lembut dan bisa ditekuk seperti usus.
Tak terlalu sulit mengetahui hal itu. Akan tetapi masuk ke pengertian untuk memahami wong Jawa, benar-benar menunjukkan ketajaman pandangan Gemuka.
Dengan kata lain, satu istilah dari Gemuka sudah bisa mematahkan usulan Kiai Sambartaka. Bahwa ditariknya Ratu Ayu belum tentu
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
berarti tertariknya Upasara. Bahkan bisa berarti lain sama sekali. Yaitu terbalik. Ratu Ayu yang mengikuti jalan yang ditempuh Upasara.
Meskipun dalam penampilan bisa saja sama: Ratu Ayu berada di pihak mereka!
Meskipun dalam penampilan bisa saja sama, seperti tak bisa dibedakan di mana sebenarnya Ratu Ayu berpihak.
Wajah yang serba bertentangan, yang tak bisa diduga arti anggukan dan gelengan, arti menyerang dan bertahan, arti gusar dan bangga., menurut Kiai Sambartaka telah menyesatkan pandangannya.
Yang dialami secara langsung ketika terlibat dalam pertarungan mati hidup habis-habisan di Trowulan. Saat itu ada bayangan Eyang Sepuh, ada Paman Sepuh, serta ada Upasara Wulung sebagai wakil ksatria Jawa. Yang bertarung habis-habisan melawan tokoh-tokoh kelas puncak, yang berarti saling melawan antar mereka sendiri.
Di sinilah kehebatan itu terlihat jelas!
Naga Nareswara, Kama Kangkam, dan Paman Sepuh tewas seketika.
Kiai Sambartaka hanya bisa menyelamatkan diri dengan cara yang tidak terpuji. Sementara Upasara Wulung dan Eyang Sepuh bisa muncul sebagai pemenang.
Dua pemenang. Yang sebenarnya tidak mungkin, karena dalam perebutan gelar ksatria lelananging jagat, hanya ada satu pemenang.
Akan tetapi nyatanya bisa.
Karena sejak semula Eyang Sepuh antara ada dan tiada. Antara muncul dan lenyap. Moksa. Tidak turun ke gelanggang, akan tetapi ikut bertarung.
Sifat yang serba bertentangan, antara yang dan im, yang sejak awal disadari secara penuh oleh Gemuka. Yang justru menyatu dalam satu pribadi. Yang ambalung usus.
"Paling tidak, mereka berdua tidak secara terang-terangan berada di pihak lawan dan mengibarkan bendera atau umbul-umbul sendiri."
"Kiai, aku hargai daya pikirmu.
"Tapi Upasara adalah ksatria yang telah membuktikan diri tak terkalahkan selama ini.
"Satu-satunya cara yang tepat adalah melindasnya. Menindak habis."
"Saat yang terbaik sekarang ini.
"Musim kawin ular berbisa, segala binatang berbisa, sehingga akan bisa kita kerahkan seluruhnya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Cara yang tidak gagah.
"Tapi aku akan melakukannya."
Kiai Sambartaka mengangguk berat.
"Kalau Pangeran Hiang mengenali tanda Gemuka, ia akan bergabung dengan kita. Dengan begitu, sampailah kita kepada kehendak yang sesungguhnya."
"Keliru. "Sampailah kita kepada puncak pesta yang sesungguhnya. Soal kemenangan, itu soal lain. Akan tetapi aku tak percaya Dewa akan melindungi mereka dan kemenangan yang mereka raih dengan kebetulan itu bisa terulang."
"Apakah keberadaan kita selama ini belum diketahui?"
"Mereka akan mengetahui sebagai penyesalan karena terlambat."
Apa yang diperkirakan Gemuka yang begitu cepat dan mendalam mencoba memahami budaya tanah Jawa memang tak teraba oleh yang lain.
Bahkan Raja Jayanegara baru kemudian mengetahui adanya Kiai Sambartaka.
Halayudha yang terkenal cerdik serta pandai membaca situasi dan mencari jalan untuk mengatasi situasi dan mencari jalan untuk mengatasi, sama sekali tak memperhitungkan kehadiran Kiai Sambartaka yang diam-diam mengalami kemajuan dalam melatih ilmunya di bawah petunjuk Gemuka. Apa yang sangat berarti bagi Kiai Sambartaka, bukan saja hanya karena dirinya bisa lebih memahami ilmu yang selama ini dipelajari, melainkan juga bagaimana menggunakan ilmu serta jurus-jurus dahsyatnya untuk menghadapi Upasara Wulung, atau para ksatria yang akan menjadi lawannya.
Keunggulan ilmunya tak akan ada artinya jika ketika menghadapi lawan jadi teperdaya. Seperti yang selama ini terjadi. Seolah ilmu dari tanah Hindia menjadi mandul dan menemui tembok buntu.
Ketidaktahuan Halayudha bisa berakibat berat di belakang hari!


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi saat itu Halayudha memang sedang memusatkan seluruh kemampuannya untuk menebak dan mencegat seorang tokoh yang menurut perhitungan Nyai Demang adalah Gemuka. Sedemikian terpusatnya perhatian Halayudha pada Gemuka, sehingga yang lainnya termasuk terlupakan.
Terutama kehadiran Tujuh Senopati Utama, yang selama ini tak pernah berdiam diri. Apalagi pada dasarnya mereka mengabdi sepenuhnya kepada Baginda. Dan jauh di dalam hati kurang utuh pengabdiannya kepada Raja, yang mencapai puncaknya saat pengusiran
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Baginda-atau menyebabkan Baginda mengungsi-ke Simping. Ditambah lagi dengan perbuatan Raja yang melabrak tata krama susila dengan menguasai Tunggadewi serta Rajadewi.
Alasan yang kuat mendesak yang membuat mereka siap mengorbankan apa saja.
Kalau sampai saat itu mereka belum bergerak, terutama karena Senopati Tanca masih berusaha menahan. Namun suatu ketika saat mereka berkumpul di kediaman Senopati Yuyu, Senopati Tanca tak bisa menahan lagi gejolak yang ada.
"Para Kisanak, para Senopati Utama, saya tahu bagaimana Kisanak melihat dan memperhitungkan saya. Karena kelihatannya mengabdi setia kepada Raja.
"Sesungguhnyalah begitu.
"Saya tak ragu se-glugut pinara sasra, saya mengabdikan seluruh jiwa-raga saya kepada Yang Mulia Baginda..."
Suaranya lembut tak terpengaruh oleh gelora nafsu emosi. Pengakuan Senopati Tanca bahwa dirinya tak ragu "serambut bambu dibagi seribu", atau tak ragu sedikit pun dalam mengabdi Raja, ternyata berlanjut dengan kata yang diucapkan sama tenangnya.
"...Kisanak Senopati Utama akan mengetahui, bahwa sayalah yang tetap akan melaksanakan hukuman pembalasan. Itu sumpah saya."
"Kenapa hanya diomongkan saja?" suara Senopati Kuti yang terbiasa lugas terdengar keras.
"Semua itu ada sangatnya.
"Ada waktu yang tepat.
"Dalam sehari ada lima sangat, lima waktu yang baik dan juga tidak baik. Alam yang mengatur.
"Mengatur kapan nangka berbunga, berbuah, dan masak. Kita tak bisa nggege mangsa, mempercepat waktu.
"Saya dalam mengobati, menyusun jamu, merawat tanaman, sangat yakin adanya sangat, kapan memberi minum, kapan bisa sembuh."
"Maaf, saya tak mengenal kata-kata pujangga yang ahli pujasastra.
"Bagi saya setiap waktu adalah baik.
"Juga sekarang ini."
"Terserah Kisanak."
Senopati Wedeng berdeham kecil, mencoba melunakkan suasana yang panas menjarak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Semua baik dan benar.
"Kita bertujuh berkumpul di sini bukan karena kita dharmaputra, senopati pilihan. Akan tetapi terutama karena kita digerakkan niatan yang sama, untuk meluhurkan asma Keraton.
"Maaf, kalau saya salah bicara.
"Beberapa kali usaha kita gagal. Bahkan Permaisuri Indreswari bisa melucuti kita sebelum bergerak...."
"Jangan diungkit soal itu."
"Maaf, Kisanak Semi yang gagah berani.
"Saya hanya memperkirakan bahwa Raja sengaja mengadakan pahargyan, penghormatan besar-besaran kepada Permaisuri Praba Raga Karana sebagai siasat Mahapatih Halayudha untuk menarik keluar kita.
Sehingga ketidaksukaan kita, ketidakpatuhan kita sebagai prajurit terbaca jelas, dan saat itu kita akan ditumpas."
"Oleh sebab itu, kita akan mendahului," kata Senopati Yuyu mantap.
"Malam ini kita dahului."
Pengabdian Tanpa Alis APA yang dikatakan Senopati Yuyu tak perlu dipertanyakan lagi, karena sudah menjadi persetujuan bersama. Kecuali Senopati Tanca yang tidak segera mengangguk. Malah menghela napas, dan kedua tangannya bersidekap, menutup di depan dada.
Di antara Tujuh Senopati Utama, Senopati Yuyu boleh dikatakan paling tidak mau menonjolkan diri. Selama ini selalu diam, dan tidak banyak menarik perhatian. Apalagi jika dibandingkan Senopati Semi maupun Kuti yang gagah dan bicara lantang.
Akan tetapi keberadaan Senopati Yuyu di antara ketujuh dharmaputra diakui sebagai penentu. Karena jika Senopati Yuyu telah memutuskan sesuatu, yang lainnya akan mengikuti. Tak ada keraguan untuk mempertanyakan kembali.
Justru kalau merasa tidak perlu berpendapat, Senopati Yuyu tidak membuka mulut.
Lebih suka menarik diri, seperti yuyu atau ketam.
Yang tahan berada dalam tempat persembunyiannya untuk waktu yang lama, dan keluar pada saat yang tepat. Untuk menjapit mangsanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam pertarungan dengan pasukan Tartar, Senopati Yuyu tidak muncul sebagaimana Senopati Kuti dan Semi yang langsung terjun ke gelanggang. Akan tetapi senopati inilah yang menyusun rencana penyerangan balik kepada pasukan Tartar. Yang berbisik di telinga Raden Sanggrama Wijaya ketika itu, bahwa ketiga Naga tak mengetahui kepada siapa harus membalaskan dendam.
Senopati Yuyu-lah yang dengan cepat dan tepat menjapit gagasan untuk membelokkan arah serangan pasukan Tartar ke Singasari, dan kemudian menyiapkan satu pukulan jitu di saat pasukan Tartar merayakan kemenangan.
Semua dilakukan dalam diam.
Dengan mulut tertutup. Pertama kali terbuka di depan para senopati yang lain ialah ketika Baginda mengangkatnya sebagai dharmaputra. Senopati Yuyu satu-satunya yang mengatakan bahwa Baginda memberikan beban yang kelewat berat untuk pundak yang hina dan ringkih.
"Tanpa gelar resmi, tanpa sebutan yang dibuatkan prasasti, hamba adalah abdi yang sama. Dengan pemberian gelar kelewat terhormat ini hamba merasa tak mampu berbuat apa-apa, karena takut mengotori kehormatan anugerah, kebesaran yang Baginda limpahkan."
Ketika Baginda tetap melaksanakan, Senopati Yuyu seperti ketam yang kembali ke sangkarnya. Mendapat sebutan sebagai yuyu rumpung ambarong rongge. Sebutan yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Yuyu rumpung adalah ketam yang buntung, yang kehilangan kakinya. Ambarong berarti menutup diri dengan dedaunan.
Sedangkan rongge berarti rongga atau sarangnya.
Sikap yang ditunjukkan Senopati Yuyu adalah sikap bijak abdi dalem, pengabdi Baginda. Karena penolakannya berarti hanya untuk dirinya sendiri, dan itu dilakukan dengan memperkuat dirinya. Membuat benteng pertahanan, dalam hal ini tidak membuat huru-hara atau keonaran atas putusan Baginda. Sekarang ini, setelah sekian lama berdiam diri, Senopati Yuyu mengemukakan pendapatnya.
Mendahului menyerang! "Kisanak semua, para Senopati Utama yang diistimewakan Baginda.
"Mahapatih, atas restu Raja, berusaha memancing kita muncul ke permukaan, dan akan melibas habis. Tanpa sisa, tanpa bekas.
"Apa yang kita lakukan malam ini adalah menangkap dan mengamankan Mahapatih lebih dulu, dengan alasan bahwa Mahapatih ingin kraman, ingin memberontak, ingin menyusun kekuatan sendiri.
"Itu langkah pertama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Langkah kedua, menghaturkan peristiwa ini secepatnya kepada Raja.
Jika Raja merestui, kita berhenti di sini.
"Jika Raja tidak merestui, kita tak bisa mundur lagi.
"Kita akan menyembah kepada Putri Tunggadewi, sebab beliaulah putri turunan Baginda, yang menurut Kitab dibenarkan menduduki takhta."
Keenam Senopati Utama menunduk.
Mendengarkan. Membenarkan. "Selama ini Raja sesembahan telah berlaku welas tanpa alis, dan kita menerima dengan pengabdian yang bisa kita sungkemkan. Kalaupun nantinya harus berakhir dengan welas temahan lalis, itu suratan nasib yang terbawa sejak lahir.
"Hanya kalau boleh saya meminta dengan sangat dan hormat, demi persaudaraan dan pengabdian kita bersama, sebagai sesama prajurit, Kisanak Tanca tidak perlu turun tangan."
Selaksa badai menyambar bersama ke balik benak Senopati Tanca.
Untuk beberapa saat bibir bawahnya seperti memberat. Helaan napasnya masih tertahan di dada.
Dengan mengatakan welas tanpa alis, Senopati Yuyu ingin mengatakan bahwa selama ini pengabdian mereka tidak diterima dengan baik. Welas adalah belas kasihan, kasih atau dalam hal ini berarti pengabdian. Tanpa berarti tidak dengan. Sedangkan alis, sebenarnya berasal dari kata lalis, yang berarti sengsara.
Sedangkan welas temahan lalis, menggambarkan pengabdian yang mereka lakukan selama ini berakhir, temahan, dengan kesengsaraan.
Yang juga bisa berarti kematian dengan cara hina.
Itu dua kemungkinan yang digambarkan oleh Senopati Yuyu. Yang pertama, menilai keadaan pada masa lalu pengabdian mereka, yang kedua mengenai apa yang bisa terjadi.
Bagi Senopati Tanca, kemungkinan itu bukannya tak diketahui.
Seperti senopati yang lain, kemungkinan terburuk sudah diketahui. Dan tidak membuat mereka gentar atau mundur. Justru karena ini merupakan panggilan jiwa prajurit pengabdi yang sejati.
Akan tetapi perasaan disambar badai yang dirasakan Senopati Tanca terutama sekali karena dalam urusan ini dirinya tidak diikutsertakan!
Kalimat yang sangat keras.
Dan tajam menusuk karena diucapkan Senopati Yuyu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sehingga membuat Senopati Tanca terenyak. Selama ini Senopati Tanca mengakui di antara para senopati utama yang lain, dirinyalah yang paling sering tinimbalan, dipanggil, atau paling berkenan di hati Raja. Bahkan dalam pengasingan ke Simping pun, Senopati Tanca masih ditahan di Keraton. Karena jamu dan jampinya diperlukan Raja.
Termasuk ketika mengobati dan menyiapkan pernikahan dengan Permaisuri Praba!
Seperti yang diakui sendiri, Senopati Tanca sama sekali tak membantah hal itu. Mengakui bahwa pengabdiannya selama ini tak terhenti.
Namun kalau bahkan di antara sesama prajurit yang selalu galang-gulung bersama sejak semula, sikapnya tak bisa dimengerti, Senopati Tanca sangat berduka.
"Maaf, Kisanak Tanca.
"Saya memutuskan cara ini, karena kalau kami semua temahan lalis, akhirnya mati dan kalah, Kisanak masih bisa melakukan seorang diri.
"Hanya Kisanak Tanca yang mungkin melakukan sendiri."
Terdengar helaan napas lega dari keenam Senopati Utama secara bersamaan. Dan juga desisan puji syukur.
Senopati Tanca tergetar hatinya.
Tergetar hebat karena menyalahkan dirinya yang mempunyai pandangan begitu sempit dan pendek, dan mengakui pandangan Senopati Yuyu yang luas dan menyeluruh. Tergetar hebat karena ternyata persaudaraan sesama Senopati Utama masih tetap erat dan lengket, menyatu. Lebih dari saudara sekandung, yang lahir dari perut yang sama dengan ayah yang sama.
Itulah yang menggetarkan hatinya.
Bahwa sesungguhnya selama ini mereka merasa selalu satu hati, satu tekad, satu pengabdian yang tulus. Kalaupun ada perbedaan yang kadang menajam dan bertentangan dalam berbagai peristiwa, seperti ketika ditawan dilucuti, itu tak mengurangi sedikit pun jiwa persaudaraan yang sesungguhnya.
"Kalau begitu putusan kita, jangan sampai mentari esok mendahului kita."
"Kisanak Kuti benar," kata Senopati Yuyu. "Kita siapkan para prajurit pilihan, kita dekati Putri Tunggadewi, dan kita menuju kepatihan.
"Apa yang kita perlukan hanyalah prajurit pilihan, dan selama ini penerimaan prajurit baru yang tangguh berada di bawah Mahapatih."
"Aku siap menghadapi."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tak ada yang tak siap, Kisanak Semi," tutur Senopati Pangsa. "Apa yang dikatakan Kisanak Yuyu ada benarnya. Kalau para prajurit utama berada di pihak Mahapatih, akan menyulitkan kita mencapai sasaran."
"Kita tak bisa menunda lagi.
"Apa yang ada kita gerakkan."
Senopati Yuyu mengangguk.
Tangannya menggenggam tangan Senopati Tanca yang kini berada di lutut.
"Kisanak, kita hanya melakukan tugas yang berbeda, dengan hati yang sama.
"Izinkanlah kami meninggalkan tempat ini lebih dulu. Izinkanlah sangat yang baik itu berada di pihak yang benar."
Senopati Tanca merangkul kencang.
Saat itu mendadak terdengar beberapa langkah kaki mengepung.
Ketujuh senopati berpandangan. Benar, telinga mereka tak salah. Ada puluhan langkah kaki yang mendatangi dari pelbagai penjuru. Bahkan mulai terdengar suara dan aba-aba, serta gemerincing senjata.
Cegatan Pemberontakan HANYA dalam sekejap seluruh ruangan sudah terkepung. Rapat.
Prajurit kawal Keraton berjarak rapat, dengan senjata yang disiagakan.
Bahwa gerakan para prajurit begitu cepat dan sigap serta mengambil tempat yang strategis, menunjukkan bahwa mereka yang datang sudah sangat terlatih kuat.
Senopati Yuyu membalik, menghadap ke arah yang datang. Sebagai tuan rumah, Senopati Yuyu merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi di rumahnya.
"Kisanak Jabung Krewes, silakan duduk, berbagi rembug."
Senopati Jabung Krewes tak bergerak.
Kedua tangannya tidak menunjukkan sikap persahabatan. Siku tangan kanannya bersitelekan di gagang keris. Tangan kirinya memberi aba kepada yang berada selangkah di belakangnya.
Yang berada tepat di belakangnya adalah Eyang Puspamurti. Yang tampak kurus kering dengan sanggul rambut sekenanya dan seluruhnya berwarna putih. Sedang di sebelah kanan dan kirinya, Prajurit Mada serta Kwowogen, yang tampak memberi kesan sangat subur tubuhnya, kekar, akan tetapi juga sigap.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Para Senopati Utama, atas nama suara batin kita masing-masing, atas nama Keraton, silakan mengangsurkan tangan ke belakang. Kami telah membawa bandan..."
Ucapan Senopati Jabung Krewes terdengar menusuk perasaan dan menyakitkan telinga. Dengan mengatakan membawa tali banda, tali untuk mengikat tangan yang diangsurkan dan berada di punggung, bisa diartikan sebagai memberikan hukuman. Sebab hanya para durjana atau yang bersalah yang dibanda tangannya.
Menusuk perasaan karena itu ditujukan kepada Tujuh Senopati Utama.
"Apa salah kami...?" Suara Senopati Banyak terdengar perlahan, seolah benar-benar tidak mengetahui sebab-musababnya. Meskipun sebenarnya adalah hal yang sangat biasa untuk mempertanyakan alasan jika seseorang akan dijadikan pesakitan.
"Karena tali yang saya bawa kemari adalah tali keprajuritan, berarti para Senopati Utama telah melakukan kejahatan dari segi keprajuritan.
"Hukuman akan ditentukan kemudian oleh Raja.
"Mada, Kwowogen, Puspamurti..."
Tangan kiri Jabung Krewes bergerak. Eyang Puspamurti bergerak memberi aba menirukan, bersamaan dengan tubuhnya yang seperti menggeliat maju.
Karena Senopati Yuyu yang berada di depan, Senopati Yuyu-lah yang menjadi sasaran pertama. Tanpa disadari, Senopati Yuyu melangkah ke belakang.
Satu tindak. Langkah kedua baru separuh, kaki kanan baru terangkat, ketika tubuh Eyang Puspamurti telah menyelinap di belakangnya dan menarik ke belakang tangan Senopati Yuyu.
Dan melingkarkan tali dalam sekejap.
Serta menekan pundak Senopati Yuyu, hingga yang bersangkutan tanpa dikehendaki terduduk.
Cara bergeraknya sangat cepat sekali.
Apalagi saat Eyang Puspamurti melakukan gerakan tadi, Mada dan Kwowogen juga langsung bergerak. Tubuh yang tambun itu seperti tertiup angin, ringan, berloncatan dari samping kiri dan ke kanan dan sebaliknya, berputar arah bolak-balik.
Semua senjata keris telah berhasil dirampas.
Hanya Senopati Tanca yang sempat menarik kerisnya, meskipun hanya tinggal memegangi warangka atau sarungnya saja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Perhatikan baik-baik, Mada.
"Kalau kamu menyerang, jangan pedulikan tingkatan. Kamu prajurit dan harus menghadapi senopati, tak perlu menyembah lebih dulu. Itu membuang waktu.
"Jika semua sembahan kamu lakukan, para senopati itu bukan saja hanya sempat memegang sarung keris, tapi mungkin sudah bisa menusukkan keris itu ke perutmu.
"Perhatikan dan ingat baik-baik, Mada."
Senopati Yuyu mengakui bahwa dirinya mungkin paling lemah di antara enam senopati yang lainnya. Dalam ilmu silat, dirinya memang tidak terlalu menonjol. Apalagi menghadapi Eyang Puspamurti yang telah kesohor kesaktiannya. Makanya bisa dibekuk dengan sekali gerak, bisa diikat kedua tangannya di punggung.
Itu bukan sesuatu yang luar biasa.
Yang sedikit mengherankan adalah bahwa prajurit seperti Mada atau yang satunya, ternyata memiliki ilmu yang tidak sembarangan. Bahkan sangat hebat, apalagi jika dilihat pangkatnya hanya prajurit. Dalam gerakan cepat bisa mencabut keris yang lengket di punggung!
Kalau tadi Eyang Puspamurti mengatakan Mada menyembah lebih dulu, memang ada benarnya. Gerakan tangan Mada sebelumnya seperti menyembah. Meskipun itu dilakukan seketika, lalu tubuhnya bergerak dari arah kiri ke kanan dan prajurit satunya mengambil cara terbalik.
Ini saja sudah menunjukkan keunggulan dan penguasaan akan gerak.
Bahwa gerakan mereka begitu cepat dan tepat, sedikit pun tak disangsikan Senopati Tanca. Dialah yang masih bisa bersikap tenang tak terguncang, sehingga bisa mengawasi sejak pertama.
Akan tetapi sebenarnya keunggulan ketiga prajurit itu, terutama karena lapisan prajurit yang siaga di belakang, yang akan bergerak maju untuk mati kalau terjadi sesuatu.
Keraguan para Senopati Utama yang terutama ialah menghindari pertumpahan darah yang terjadi pada prajurit-prajurit Keraton, yang masih anak buah mereka juga.
"Puspamurti, Mada, Kwowogen, ikat mereka!"
Puspamurti bergerak. Diikuti Mada dan Kwowogen. Seperti sebelumnya Mada menyembah lebih dulu sebelum menunggu dengan sabar, sampai para senopati meletakkan tangan di belakang. Sehingga baru menyelesaikan satu ikatan ketika dua yang lainnya telah selesai.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mada tinggal berhadapan dengan Senopati Tanca yang masih memegang sarung keris.
Mada mengangsurkan keris yang tadi diambil.
"Maaf, Senopati yang mpu sakti penuh wibawa.
"Mohon hamba diperkenankan menyarungkan keris yang terhunus."
Suaranya keras bagi telinga, akan tetapi nadanya ramah menghormat.
Senopati Jabung Krewes menahan napas. Tangan kanannya yang bersitelekan pada gagang keris tampak tegang. Jari-jarinya merenggang, seakan siap mengubah gerakannya menjadi cabutan keris dan mendahului Senopati Tanca.
Napas yang tertahan, karena hati Senopati Jabung Krewes bercekat.
Mada memperlihatkan sikap sangat menghormat, juga dalam mengangsurkan keris, dengan mempergunakan tangkainya untuk disodorkan.
Ini memang cara menghormat, akan tetapi berlebihan untuk keselamatan jiwanya. Karena dengan sekali sentak, dengan tenaga penuh, keris itu bisa melesat menusuk ke arah dada Mada yang telanjang.
Dalam posisi jengkeng, setengah berdiri setengah jongkok, jelas tidak memungkinkan Mada berkelit. Kakinya membentuk kuda-kuda yang bertahan. Agak sulit digerakkan. Apalagi kalau terkena serangan mendadak. Apalagi sesudah itu Mada menyembah lagi.
Senopati Tanca menerima keris. Memegang dengan tangan kanan.
Sementara tangan kirinya mendekatkan sarung keris.
Kalau saja tangan kanan itu terulur lurus dan sempurna, Mada akan menjadi sasaran empuk. Betapapun kuat dan sigapnya, tak nanti tusukan Senopati Tanca bakal meleset atau bisa tertangkis sempurna.
Bagian yang paling apes pun pasti sekitar dada. Dengan pengetahuan mengenai letak anggota di dalam tubuh, Senopati Tanca bisa mengincar sasaran yang mematikan.
Ini yang membuat Senopati Jabung Krewes bercekat.
Karena dirinya yang langsung memilih ketiga calon prajurit itu untuk segera ditarik menjadi prajurit resmi. Bahkan dimasukkan sebagai prajurit kawal Keraton yang bertugas di dalam. Suatu loncatan yang cukup tinggi dalam keprajuritan.
Karena para prajurit, apalagi calon prajurit, biasanya cukup lama bertugas sebagai wadyabala, bagian dari barisan prajurit. Yang ditugaskan di luar Keraton, baik untuk bertempur maupun tugas-tugas lain. Hanya prajurit yang istimewa yang bisa ditarik ke dalam. Dan di
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
antara mereka ini akan ada yang terpilih lagi untuk bisa masuk sebagai prajurit kawal Keraton atau prajurit kawal pribadi.
Berarti melewati satu jajaran yang penuh pemilihan dalam perhitungan. Karena jumlah prajurit kawal Keraton sangat sedikit, makanya benar-benar terpilih.
Mada, Kwowogen, serta Eyang Puspamurti bisa meraih posisi itu dalam waktu yang sangat singkat. Terutama memang karena mereka bertiga kelihatan sangat menonjol ilmu silatnya. Akan tetapi sebenarnya juga mengandung penilaian lain. Yaitu diakui adanya pengabdian yang lurus, mulus, murni, dan tak diragukan lagi.
Yang terakhir ini agak susah penilaiannya untuk diterangkan. Akan tetapi para senopati yang terlatih bisa segera mengendus ketaatan itu.
Senopati Jabung Krewes tidak ragu segera menarik ketiganya menjadi prajurit kawal Keraton. Biasanya prajurit kawal Keraton dengan sendirinya memiliki pangkat tertentu, yang setingkat atau dua tingkat di atas prajurit biasa. Akan tetapi ternyata Mada, Puspamurti, Kwowogen tidak mempersoalkan hal itu.
"Kami mencegat kraman yang mengalirkan darah lebih banyak.
"Dengan cara ini, rasanya ini pencegahan yang paling tidak membawa korban.
"Maaf atas kelancangan kami semua...."
Candaka Cumandaka SENOPATI JABUNG KREWES seakan berusaha menengahi ketegangan. Sekaligus menunjukkan jalan terbaik agar Senopati Tanca menyerah. Menyerahkan kerisnya.
Kegelisahannya sangat kentara.
Senopati Tanca menyarungkan kerisnya, akan tetapi tidak menyerahkan kepada Mada, melainkan menyelipkan ke balik setagen di punggungnya.
"Paman Senopati Tanca, izinkanlah hamba menyimpan keris pusaka Paduka."
"Aman di tempatku."
"Kalau itu kehendak Paman Senopati, hamba menjadi saksi."
Kalimat Mada terdengar menggelegar di telinga.
Berat dan menyiksa. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seperti menyisakan getaran.
Eyang Puspamurti sampai menengok ke arah Mada sambil mengernyitkan dahi. Sesuatu yang jarang dilakukan selama ini, karena Eyang Puspamurti kelihatannya tidak mau peduli pada orang lain.
Akan tetapi saat itu ada sesuatu yang membuat sukma sejatinya bergetar. Seakan memberi ingatan bahwa bisa terjadi sesuatu antara Mada, Tanca, dan keris yang diselipkan. Sesuatu yang bisa mengerikan, sesuatu yang tak terduga. Hanya saja Eyang Puspamurti belum bisa menangkap jelas gambaran apa yang akan terjadi nantinya.
Senopati Jabung Krewes tetap berdiri.
Memandang sekeliling. Kepalanya sedikit miring.
Lalu mengangguk ke arah Eyang Puspamurti.
Yang segera bergerak, menggotong para senopati ke ruangan dalam.
Dibantu oleh Mada dan Kwowogen. Hanya Senopati Yuyu yang ditinggalkan.
Bahkan kemudian ikatannya dilepas kembali.
Bersamaan dengan itu, Senopati Jabung Krewes ikut masuk, sementara para prajurit kawal Keraton menghilang dalam kegelapan.
Senopati Yuyu duduk tepekur.
Ketika Senopati Jabung Krewes tadi memiringkan kepalanya, Senopati Yuyu juga mendengar suara tapak kaki yang banyak dan datang mendekat. Disertai iringan bunyi kuda dan gemerincing senjata.
Sedikit-banyak ini menimbulkan pertanyaan dalam hati.
Memunculkan banyak tebakan dalam hati. Rombongan siapa lagi yang datang tengah malam seperti ini"
Tak terlalu lama menunggu. Karena kemudian muncul barisan prajurit Keraton yang membawa umbul-umbul, dan membentuk barisan mengepung.
Bersamaan dengan munculnya Senopati Bango Tontong yang melangkah gagah. Menyembah umbul-umbul, kemudian berpaling ke arah Senopati Yuyu.
"Tak perlu kepura-puraan.
"Atas nama Raja, saya Senopati Bango Tontong, yang bertugas dan bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban seisinya, memerintahkan Tujuh Senopati Utama untuk menyerah."
Senopati Yuyu masih tetap duduk.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tidak menggeser. Tidak bergerak. Tidak menyembah. Meskipun secara tata krama keprajuritan seharusnya melakukan sembahan sebagai penghormatan.
Meskipun dirinya adalah dharmaputra, akan tetapi dalam jajaran kepangkatan Senopati Bango Tontong berada di atasnya. Karena dalam hal ini bertindak atas nama Raja, dengan menyertakan umbul-umbul resmi sebagai pengganti kehadiran Raja.
Apalagi ketika Senopati Bango Tontong menunjukkan cincin yang menandakan bahwa ia utusan resmi Raja.
"Aku tahu kalian para Senopati Utama berkumpul di sini untuk kraman. Tak usah mungkir dan menyangkal.
"Saya selama ini telah memasang prajurit candaka yang mengamati kediaman para Senopati Utama. Semua tak ada di rumah. Dan tak meleset dugaanku, bahwa semua berkumpul di kediaman Senopati Yuyu.
"Tak ada gunanya bersembunyi.
"Prajurit Keraton Majapahit... Atas nama Raja, bersiaplah!" Terdengar bunyi serempak. Puluhan prajurit menyiagakan diri. Barisan panah, tombak, pedang, dan keris mengambil ancang-ancang untuk menyerang.
Tapi justru saat itu Senopati Yuyu menjadi tenang.
Wajahnya tetap tak berubah.
Suaranya lembut, tak berkurang tak bertambah.
"Kisanak Anom, apakah saat ini Kisanak sedang mengadakan geladi resik?"
Tangkisan jitu yang membuat Senopati Bango Tontong tersudut.
Dengan mempertanyakan apakah sekarang ini sedang ada latihan secara bersungguh-sungguh seperti kalau benar-benar terjadi, Senopati Yuyu seakan-akan tak mengerti semua yang sekarang sedang terjadi.
Menganggap tindakan Bango Tontong hanyalah latihan.
Walau bersungguh-sungguh.
Tangkisan jitu yang hanya mungkin diperlihatkan seorang senopati yang ulung. Rasanya keenam senopati yang lain tidak akan bisa melakukan apa yang dikatakan Yuyu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan karena apa. Melainkan karena ucapan yang sederhana, yang diucapkan dengan biasa-biasa ini sebenarnya telah menghancurkan semua keangkeran Bango Tontong.
Semua ini bukan tanpa perhitungan.
Bagi Senopati Yuyu, menggauli strategi perang adalah kelebihannya dibandingkan yang lain. Begitu mendengar tuduhan Bango Tontong, terbersit pikiran bahwa Bango Tontong dan para prajuritnya belum yakin benar bahwa Senopati Utama yang lain berada di kediamannya.
Jalan pikiran Senopati Yuyu adalah bahwa selama ini ada prajurit candaka, atau prajurit telik sandi, prajurit rahasia yang selalu mengamati kediaman Tujuh Senopati Utama. Sehingga bisa mengetahui bahwa keenam senopati berangkat dari kediamannya secara bersamaan.
Dugaan bahwa mereka menuju kediaman Senopati Yuyu sangat beralasan mengingat Senopati Yuyu selama ini selalu jadi panutan untuk mengambil tindakan.
Keraguan Bango Tontong disambar begitu saja oleh Senopati Yuyu.
Nyatanya berhasil! Padahal kalau Bango Tontong memerintahkan prajuritnya untuk memeriksa ke dalam, akan lain riyawat hidup para Senopati Utama.
Unggul dalam gebrakan pertama, Senopati Yuyu masih bertanya-tanya dalam hati. Itu sebabnya wajahnya belum sepenuhnya bisa wajar.
Tapi juga rasa herannya mempunyai arti bahwa Senopati Yuyu masih belum mengerti maksud kedatangan rombongan yang mengatas namakan Raja.
Hal ini ada benarnya, karena memang sebenarnya pertanyaan itu menyeruak dalam batin Senopati Yuyu.
Pertama kali muncul Senopati Jabung Krewes yang mengamankan mereka. Dengan alasan mencegat kraman. Beberapa saat kemudian muncul rombongan kedua, yang juga mengatas namakan Raja. Hanya sekali ini lebih bisa dipercaya karena memakai umbul-umbul dan memperlihatkan cincin resmi.
Kalau benar begitu, apakah mungkin dua rombongan ini utusan Raja"
Jelas tidak mungkin. Hanya selisih beberapa saat Raja memerintahkan dua rombongan perkasa, jelas menunjukkan adanya kekacauan dalam mempercayai senopati.
Kemungkinan yang lain, hanya salah satu dari rombongan ini yang benar-benar diutus Raja untuk mengamankan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pasti bukan rombongan Senopati Jabung Krewes yang kemudian ternyata memilih bersembunyi.
Berarti rombongan Senopati Bango Tontong yang resmi.
Itu juga belum tentu. Karena bisa saja Bango Tontong mendapat perintah dari Mahapatih Halayudha untuk mengadakan gerakan sapu bersih.
"Kalau kalian tak mau keluar, jangan salahkan aku yang bertindak kurang ajar."
Bango Tontong menunggu sesaat.
Sebelum akhirnya memerintahkan para prajurit untuk mendesak ke dalam. Senopati Yuyu tetap duduk tepekur.
Mendadak gerakan maju para prajurit Bango Tontong tertahan.
Terdengar suara tiupan trompet dari tanduk kerbau jantan.
Mendenging.

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak salah lagi. Yang kemudian muncul adalah Mahapatih Halayudha dengan sekitar sepuluh prajurit.
Muncul dan langsung melangkah ke dalam. Memandang Bango Tontong dengan senyuman dingin.
"Berani benar kamu, kaki kurus busuk.
"Sejak kapan kamu menjadi gedibal orang asing" Sejak kapan kamu menginjakkan kakimu yang kotor ke wajahku"
"Dasar manusia busuk berhati buruk!
"Kamu tak akan menang melawan candaka cumandaka seperti aku.
Para prajurit, tangkap Bango Tontong! Ikat tangannya!"
Tudingannya sangat perkasa.
Prajurit yang mengawalnya, baik yang mengawal Senopati Bango Tontong maupun yang mengawal Mahapatih Halayudha, bergerak bersamaan. Mendekap Bango Tontong yang seperti tak bertenaga lagi.
Mendekap, mengikat tangan Bango Tontong, serta menyeretnya.
Senopati Yuyu menyembah ke arah Mahapatih. "Mahapatih yang mulia, terimalah sembah bekti saya...."
Siasat di Dalam Siasat MAHAPATIH HALAYUDHA mengelap rambutnya, yang saat itu terlihat berkeringat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pandangan menyapu ke arah seluruh ruangan. Para prajurit bersila secara bersamaan, meletakkan senjata di samping.
Sementara mata Senopati Bango Tontong membelalak, dengan tubuh terbaring karena tangan dan kakinya terikat.
"Mahapatih yang mulia, hamba menghaturkan sembah bekti...."
Suara ulangan Senopati Yuyu seperti tenggelam dalam ruangan sunyi yang tak memantulkan gema.
Karena semua isi pikiran sedang melayang dan menemukan sasaran seperti yang diperkirakan.
Senopati Yuyu sendiri tengah menerima apa yang terjadi dan berusaha menangkap sebisanya.
Babak pertama, bahwa keinginan kraman itu sudah meluas ke Keraton. Dalam situasi yang tak menentu, semua kelompok ingin merebut kekuasaan. Dan karena banyak kelompok, masing-masing menahan diri. Melihat siapa yang lebih dulu bergerak, kemudian akan disikat.
Babak kedua, keinginannya untuk mendahului mengamankan Raja hampir saja terlaksana walau ada keraguan dari Tanca mengenai sangat yang baik.
Babak ketiga, munculnya Senopati Jabung Krewes. Yang berbuat hal yang sama.
Sama" Bisa juga lain. Senopati Jabung Krewes kelihatannya justru ingin mengamankan agar Tujuh Senopati Utama tidak jadi memberontak saat itu. Dilihat dari caranya atau kata-katanya "ingin mencegat kraman', menunjukkan bahwa sebenarnya Jabung Krewes ingin menyelamatkan Tujuh Senopati Utama untuk tidak melakukan gerakan apa-apa.
Babak keempat, munculnya Senopati Bango Tontong yang terlambat menangkap.
Saat itulah, babak kelima muncul.
Babak di mana Mahapatih Halayudha membuyarkan Bango Tontong yang mengaku utusan resmi Raja.
Kalau bukan utusan Raja, utusan siapa"
Kalau Mahapatih pun dikelabui Bango Tontong, siasat siapa yang sedang berjalan di atas siasat orang lain"
Halayudha sendiri menyebut dirinya candaka cumandaka, yang artinya seorang telik sandi yang bertingkah laku seperti telik sandi.
Permainan di atas permainan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seseorang yang berpura-pura menjadi prajurit rahasia, dan memperlihatkan diri sebagai prajurit sandi, dengan maksud mengecoh, akan tetapi sesungguhnya ia tetap prajurit sandi yang memainkan peranannya.
Halayudha memang seakan memuji dirinya sendiri.
Dengan diam-diam ia mengawasi semua gerak-gerik yang terjadi.
Ketika mengetahui Bango Tontong bergerak, Halayudha segera menunggu untuk bertindak.
Nyatanya berhasil. Bango Tontong bisa diringkus.
Dalam benak Senopati Yuyu, Bango Tontong menjadi gedibal, menjadi budak suruhan orang asing, atau kekuatan asing, seperti yang dikatakan Halayudha.
"Bango Tontong, betapa aku ingin menguliti kulitmu selembar demi selembar.
"Aku akan melakukan sekarang, disaksikan prajuritku.
"Agar kamu mati dengan puas dan bisa membela diri, katakan apa yang sebenarnya kamu inginkan?"
"Mahapatih, siksalah hamba...
"Sejak berkhianat kepada Mahapatih Nambi...."
"Jangan memperpanjang kata.
"Kenapa Gemuka menyuruhmu berbuat seperti ini?"
"Hamba hanya menjalankan perintah Mahapatih.
"Bilamana para Senopati Utama berbuat sesuatu yang mencurigakan, harus segera dibasmi."
Halayudha tertawa dingin.
"Kamu tak punya kesempatan untuk mengadu aku.
"Aku memerintahkan kamu mengawasi Tujuh Senopati Utama.
Mengawasi. Dan semua tindakan atas namaku, atas perintahku. Akan tetapi kamu bahkan berani memakai nama Raja."
"Mahapatih, Raja sesembahan yang memerintahkan hamba...."
Kaki Halayudha bergerak. Jempol kakinya tepat di jakun Bango Tontong.
"Raja tidak memerintahkan siapa-siapa.
"Karena sedang bersamaku.
"Masih perlu pembelaan lagi"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bango Tontong, kamu julig, licik, dan membahayakan. Akan tetapi kamu tak bisa mengelabuiku.
"Tak akan bisa."
Jempol kaki Halayudha bergerak sedikit.
Mata Bango Tontong mendelik. Wajahnya menjadi merah seluruhnya seakan kepiting terebus air mendidih. Keringatnya bercucuran, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh saraf peka.
Kekuatan Halayudha memang luar biasa. Ditambah kemampuannya mengetahui nadi kepekaan, siksaan yang diderita Bango Tontong benar-benar tak bisa dibayangkan.
Di balik persembunyiannya, Mada menggigit tangannya hingga berdarah. Hatinya tersayat dan terluka, tidak tahan melihat penderitaan Bango Tontong.
Eyang Puspamurti meletakkan tangannya di pundak Mada.
Senopati Yuyu sendiri menunduk, seperti para prajurit yang lain.
Suara ganjil, memelas, sesambat, merintih, terdengar samar tapi mengerikan. Tubuh Bango Tontong makin berkelojotan.
Baru terhenti ketika Halayudha sedikit merenggangkan.
"Kamu bahagia bisa mati dengan sengsara dan dengan cara yang menyakitkan. Tidak semua orang bisa mengalami sepertimu, Bango Tontong.
"Ada yang mau kamu katakan?"
"...Mahapatih... hamba... uuk..."
Teriakan tertahan. Senopati Yuyu mendongak. Wajah Bango Tontong telah berubah menjadi hitam. Seekor ular berkilat dan berkepala gede mendesis.
Hanya dengan sekali menggerakkan kakinya, Halayudha berusaha menjapit kepala kobra. Gerakan yang ganas, cepat, dan beringas.
Akan tetapi kobra itu seperti menyadari bahaya. Berkelit dan mendongak. Siap menyemburkan bisa.
Sia-sia. Gerakan pertama hanyalah pancingan. Sambaran yang sesungguhnya dengan tungkak, bagian belakang tapak kaki, yang keras membenamkan kepala ular kobra.
Membenamkan ke wajah Bango Tontong.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya terdengar bunyi kemeretek panjang, tengkorak kepala ular kobra itu rata, remuk di wajah Bango Tontong.
Senopati Yuyu bisa melihat jelas semua yang terjadi di depan matanya. Kesadarannya bagai dicampakkan ke tanah kotor berlumpur.
Bahwa Halayudha ganas serta telengas, semua hidung mengetahui.
Akan tetapi baru sekarang ini mengetahui bagaimana bentuk perwujudannya.
Kalaupun Bango Tontong melakukan kesalahan terbesar, tak seharusnya wajahnya dipakai untuk menginjak remuk kepala ular kobra.
"Kiai Sambartaka, keluarlah!
"Di tempat yang terang kita bisa berbincang. Bango Tontong tak akan menghilangkan jejak Kiai, karena ular kobra ini lebih merupakan tanda pengenalmu."
"Begitukah?" Suara yang empuk, agak asing nadanya, tapi menyiratkan kelembutan.
Semua mata yang memandang seolah tak percaya.
Karena yang muncul dari keremangan adalah Ratu Ayu Azeri Baijani.
Bersama Putri Tunggadewi!
Bahkan Halayudha sendiri tak pernah menduga sama sekali.
Tak menduga bahwa Ratu Ayu muncul saat itu, sambil mempermainkan ular kobra sepasang yang melilit di lehernya.
"Begitukah yang jadi kesimpulanmu?"
"Putri Tunggadewi, sumangga minggir kemari...."
Cara Halayudha benar-benar membuat para prajurit seluruhnya menghormati dan kagum. Dalam situasi genting, Halayudha lebih memikirkan keselamatan Putri Tunggadewi!
Kalau sebelumnya sempat terperangah dengan kebengisan Halayudha, perasaan itu terhapus utuh.
"Jangan mau, Putri. "Ular ini bisa meloncat dan menahan."
"Aha, baru sekarang aku tahu. Seorang Ratu Turkana yang katanya kesohor, bisanya hanya menakuti anak kecil dengan ular mainan.
"Mengherankan. "Alangkah nistanya ksatria lelananging jagat yang memilih istri semacam ini."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tutup mulutmu!"
Dua ekor ular kobra mendadak mendesis, terbang ke arah Halayudha.
Yang tanpa menggeser kakinya, mengangkat kedua tangannya, menyaut dua kobra.
Menjepit tepat di leher. Dan membanting ke tanah. Untuk kemudian, sekali lagi, digilas dengan tungkak-nya. Kembali terdengar kemeretek tanda remuknya dua tengkorak ular kobra yang lengket dengan lantai.
Langit Mengimpit Bumi TEMPAT yang didiami Senopati Yuyu tak berbeda dengan tempat senopati yang lain. Sebuah bangunan perumahan di dalam wilayah benteng Keraton, dengan regol, pintu depan, yang kukuh dan halaman luas. Selebihnya bangunan yang sederhana dan tak begitu besar.
Apalagi sekarang ini, di mana banyak sekali tamu yang berdatangan.
Udara terasa panas. Baik di dalam maupun di luar.
Di dalam ada enam Senopati Utama bersama dengan Jabung Krewes dan tiga prajurit kawal pilihan, sementara yang berada di luar makin lama makin bertambah.
Bisa dimengerti karena suara gemerincing senjata dan teriakan keras menyerap perhatian. Apalagi suasana tegang sudah terasakan sejak semula. Sehingga setitik gerakan yang aneh dalam Keraton bisa membangunkan siapa saja yang merasa berkepentingan mengetahui.
Tak terkecuali Nyai Demang yang segera mengambil selendang untuk menutupi bahunya yang terbuka. Di depan pintu, Gendhuk Tri ternyata sudah bersiap untuk pergi. Bersama dengan Ki Dalang Memeling yang agaknya sangat memprihatinkan keselamatan besan dan menantunya.
Ketiganya berjalan cepat menuju tempat datangnya suara gaduh tanpa mengucapkan sepatah kata.
Melewati regol yang tertutup namun tidak terkunci. Masuk ke halaman, dan di pendapa tampak beberapa prajurit bersiaga. Ketiganya mencari tempat yang nyaman untuk bisa melihat ke dalam.
Sebenarnya bisa dilihat dari sisi mana pun.
Karena pintu penghubung antara pendapa dan dalem, bagian dalam, terbuka lebar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Di dalam Halayudha tengah berdiri gagah, sementara mayat Bango Tontong masih tergeletak.
Di depannya ada dua bayangan wanita.
Gendhuk Tri segera mengenali Tunggadewi dan, rasanya hampir tak percaya, melihat Ratu Ayu! Kalau saja Halayudha tidak mengatakan Ratu Turkana, Gendhuk Tri masih ragu.
Karena sosok di depannya jauh berbeda dari Ratu Ayu yang pernah bersamanya untuk jangka waktu lama.
Bisa dimengerti cetusan kalimat Halayudha yang mengatakan
"Alangkah nistanya ksatria lelananging jagat yang memilih istri semacam ini." Dalam pandangan Gendhuk Tri, Ratu Ayu yang kesohor, yang dijuluki Ratu Ayu Bawah Langit, tak lebih dari seorang wanita yang tinggi, lelah wajahnya, dan pipinya tampak kosong menggantung.
Lebih mengerikan lagi tindakannya yang telengas.
Gendhuk Tri tak mau membiarkan jalan pikirannya meluncur terlalu jauh. Hati kecilnya merasa bahwa rasa kurang enak di ulu hatinya bisa jadi terbangun karena iri dan cemburu. Padahal sesungguhnya tidak.
Nyai Demang bahkan perlu mengejapkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan bahwa yang dilihatnya benar-benar Ratu Ayu Azeri Baijani!
Bagi sesama wanita, tak bisa dibedakan apakah ia ratu atau tokoh silat atau orang biasa, keinginan untuk memperhatikan sesamanya sangat besar. Demikian juga halnya dengan Nyai Demang.
Apalagi ini menyangkut wanita yang memang mempunyai gelaran paling ayu di seluruh kolong langit!
Kalau dulu Gendhuk Tri menganggap biasa-biasa, itu karena kurang rela mengakui. Akan tetapi sekarang ini, pendapat itu tak berlebihan.
Ini yang sedikit-banyak mengherankan. Perubahan yang terjadi sangat banyak dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Baik Nyai Demang maupun Gendhuk Tri mengetahui bahwa ada perubahan yang terjadi dalam diri Ratu Ayu. Perubahan yang bukan sekadar bertambah usia atau selalu tertekan pikiran berat, melainkan yang lebih mendasar.
Itu berarti tak bisa tidak adalah perubahan dalam mendalami ilmu silat, melatih tenaga dalam.
Kalau sudah begini, artinya hanya satu. Harus lebih hati-hati menghadapi. Gerak-gerik dan cara bersilat Ratu Ayu memang berbeda dari yang lain. Gerakannya serba kaku, terpatah-patah. Akan tetapi itu tidak menutupi kelembutannya, kodratnya sebagai wanita.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang sekarang justru tampak sangat berbeda. Langkahnya lebar, pandangannya mendongak. Bahkan kalau didekati bau harum tubuhnya yang selama ini memancing rasa ingin tahu wanita mengenai ramuan yang digunakan, kini tak ada lagi. Bahkan bau ular yang ada.
Ini saja sudah luar biasa. Dari seorang yang bersikap seolah ratu, yang membatasi gerak-geriknya, menjadi seorang yang bergerak serampangan dan bermain dengan ular berbisa.
Sangat bisa dimaklumi jika Ratu Ayu menjadi murka besar ketika secara tidak langsung Halayudha menyinggung masalah yang peka bagi wanita. Terutama karena Ratu Ayu sendiri mestinya menyadari keayuannya yang pudar.
Walau sebenarnya Halayudha tak bermaksud menyinggung ke arah yang menyakiti hati Ratu Ayu. Titik berat sindiran Halayudha lebih ke arah sikap Ratu Ayu yang menguasai Putri Tunggadewi!
Dalam pandangan Nyai Demang, sekarang menjadi lebih jelas bahwa Putri Tunggadewi dikuasai suatu tenaga tertentu. Sehingga mau melakukan sesuatu di luar batas kesadarannya.
Seperti penampilannya sekarang ini.
Ki Dalang Memeling menurunkan ikat kepalanya ke bawah, lebih banyak menutupi wajahnya. Gerakan yang hanya sekilas itu bagi Gendhuk Tri telah berbicara banyak.
Untuk seorang seperti Ki Dalang Memeling yang selalu menjauhi Keraton karena masa lampaunya, menginjak kembali bumi Keraton memerlukan perjuangan dan perpanjangan kegelisahan. Akan tetapi toh perasaan itu semua ditekan ke bawah, karena suatu maksud.
Namun bukannya tanpa mengganggu perasaannya, sehingga merasa perlu sedikit-banyak menyembunyikan wajahnya.
Sementara itu, melihat dua ular kobra sekali lagi bisa digilas dengan tungkak oleh Halayudha, Ratu Ayu mencabut pedang hitam tipis panjang dari pinggangnya.
Galih Kangkam. Pedang yang mengeluarkan udara dingin.
"Kalau tak bisa menutup mulut, aku akan membuka lebih lebar."
Sebaliknya dari menerima tantangan, Halayudha mengeluarkan suara dingin.
"Kalau ada langit mengimpit bumi, kenapa harus mengurusi dupa yang tak wangi lagi"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa jauh-jauh datang dari tanah Hindia, dengan menyandang gelar begitu gagah, selalu bersembunyi" Apa kata Sungai Gangga kalau pendetanya bersembunyi di balik kain?"
Halayudha dengan sadar memancing Kiai Sambartaka.
Dengan mengatakan saat langit mengimpit bumi, bisa diartikan sebagai kiamat. Yang menjadi gelaran Kiai Sambartaka. Sedangkan Ratu Ayu diumpamakan sebagai dupa yang tak wangi. Dengan menyertakan kata-kata Sungai Gangga, maksud Halayudha memang menuding Kiai Sambartaka yang selama ini selalu menyembunyikan diri. Bahkan kali ini menyembunyikan diri di belakang wanita.
Hati dan perasaan yang terdiri atas embun paling dingin bisa panas seketika.
Apalagi terdiri atas darah dan daging.
Kiai Sambartaka melangkah masuk, menunduk dengan cara membungkukkan badan.
"Entah apa sebabnya malam ini Mahapatih bernafsu menghabiskan waktu dengan memanggil saya. Tak baik bagi saya jika harus menolak permintaan terakhir orang yang sedang sekarat."
"Kini lengkaplah sudah.
"Apalagi jika Gemuka berani menampakkan diri. Tak perlu menunggu puncak pesta."
Gendhuk Tri melirik Nyai Demang.
Yang merasa tidak enak dalam hati.
Ki Dalang Memeling memegang tangan Gendhuk Tri dan Nyai Demang berbarengan.
Kiai Sambartaka menepukkan tangannya.
"Biarlah saya yang mewakili, Mahapatih."
"Apakah masih ada yang ditunggu Gemuka selain Pangeran Hiang, sehingga merasa belum pantas memunculkan diri?"
Terjangan kalimat Halayudha memang menusuk langsung dan masuk ke dalam persoalan. Seakan dengan enteng bisa menebak bahwa masih ada Pangeran Hiang, di samping menunjukkan pengetahuan yang luas, bahwa Gemuka hanya akan muncul kalau ada lawan yang setanding.
Yaitu Upasara Wulung. Di kerumunan pendapa, Nyai Demang bisa mendengar jelas. Dan juga mengakui, bahwa Halayudha masih tetap Halayudha yang dikenal selama ini, tanpa menghitung pertemuan terakhir.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan menyinggung nama Upasara Wulung secara tidak langsung, Halayudha menempatkan Gemuka pada tingkat paling atas. Sekaligus menghindarkan diri.
Bahwa lawan yang pantas bagi Gemuka adalah Upasara Wulung.
Bukan Halayudha atau yang lainnya.
Di pihak lain, Halayudha bisa menganggap dirinya menaikkan pamor, berani menghadapi Gemuka. Bahkan menantang secara terbuka.
"Senopati Yuyu, tempatmu akan ramai.
"Meskipun tidak seperti dalam Keraton yang lebih aman."
Terdengar kesiuran angin tajam.
Ratu Ayu yang lebih dulu bereaksi.
Galih Kangkam di tangannya bergerak dalam satu putaran penuh. Ini berarti Putri Tunggadewi berada dalam bahaya!
Pancingan Perangkap TERUTAMA karena jarak Ratu Ayu dengan Putri Tunggadewi tak begitu jauh, dan gerakannya serampangan.
Nyai Demang hampir menerjang, namun cekalan tangan Ki Dalang Memeling sangat kuat. Demikian juga Gendhuk Tri yang kini dicekal kencang.
Ki Dalang Memeling menahan napas.
"Mereka memancing kita keluar."
Bisa jadi ini merupakan umpan yang dikeluarkan Ratu Ayu untuk menarik keluar mereka yang berada di pihak Halayudha. Nyatanya pancingan itu mengena.
Satu bayangan masuk ke tengah pendapa.
Pangeran Anom, seru Gendhuk Tri dalam hati.
Memang yang meloncat ke tengah arena adalah Pangeran Anom, Bagus Janaka Marmadewa. Yang tampak sangat tampan dalam cahaya yang tidak sepenuhnya terang.
"Kanjeng Ratu Ayu, biarlah Adik Ayu Tunggadewi tak berada di sini.
"Mari, Adik Ayu, Kakang mengantarmu kembali ke kaputren."
Suara yang bening, mengalunkan keberanian yang utuh.
Bukan suara Pangeran Anom!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena ternyata yang berada di pendapa kini bertambah tiga lelaki muda yang sama-sama tampan, sama-sama gagah, dan menunjukkan sikap ksatria sejati.
Ketiganya saling menghormat sekilas, lalu siap menghadapi Ratu Ayu yang seakan mempermainkan Galih Kangkam di sekitar leher Tunggadewi.
"Siapa kalian yang begitu tampan memesona?"
"Saya yang rendah biasa dipanggil Angon Kertawardhana, dari Cakradaran. Saudara saya yang di sebelah kanan adalah Pangeran Muda Wengker dari Keraton Tua.
"Sedangkan yang berada di tengah, Ratu Ayu pasti mengetahui karena namanya yang kondang kasusra ing jagat rat, Pangeran Anom Bagus Janaka Marmadewa...."
Kebeningan suaranya merendam ketenangan dan ke-wasis-an, kemampuan dalam berbicara. Ringkas dan mendalam.
"Jadi kalian bertiga ini para pangeran yang bermimpi ingin mempersunting Tunggadewi?"
"Jauhkan pedang lebih dulu, kalau memang ingin berbicara.
"Ketahuilah, Ratu Ayu, kami dibesarkan dengan tali persaudaraan Keraton Singasari yang luhur, warisan darah yang adiluhung. Lebih bermakna dari sekadar persuntingan atau soal impian."
Angon Kertawardhana maju setindak.
Kewibawaan yang terlihat sangat menonjol.
Ki Dalang Memeling memejamkan matanya ketika wajahnya mendongak. Seperti menghadirkan kembali gambaran masa lalu.
Dengan menyebut nama Keraton Singasari, siapa mereka bisa diketahui lebih mudah.
Angon Kertawardhana yang berasal dari Cakradaran jelas sekali menunjukkan kedudukannya yang tinggi. Masih berasal dari trah Cakra yang perkasa, yang kini menguasai keraton petilasan Singasari.
Berarti masih dekat dengan keluarga Sri Baginda Raja.
Sedangkan Pangeran Muda Wengker, yang disebut berasal dari Keraton Tua, tak bisa lain yang kini menguasai Daha. Kalau benar begitu, berarti masih keturunan leluhur yang sangat dekat pula hubungannya dengan Sri Baginda Raja.
Tidak keliru kalau ketiganya bisa dipanggil dengan sebutan pangeran.
Baik pangeran Anom, pangeran muda, ataupun pangeran timur.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi tampaknya Angon Kertawardhana berusaha merendah dengan tidak menyebutkan diri sebagai pangeran. Malah lebih menekankan namanya pada angon, atau penggembala.
"Keraton tua, atau sangat tua, atau keraton rubuh, aku tak mau tahu. Akan tetapi kalian bertiga memang muda dan gagah, yang datang untuk memperlihatkan pengabdian kepada Raja.
"Baiklah, para pangeran kecil.
"Apakah kalian menghendaki Putri Tunggadewi" Kalau bisa membawa keluar, pastilah kalian telah membuat aku tak bisa bergerak lagi."
Pangeran Muda Wengker mencabut dua kerisnya.
"Kakang Pangeran, biarlah saya yang menjajal kehebatan Ratu Ayu."
Ratu Ayu menggeleng. "Raja telah mengundang seluruh penggede bawahan yang diperintah.
Masa hanya tiga orang yang masih bau kencur yang berani menampakkan diri.
"Aku masih menunggu kesempatan yang lain.
"Agar aku tidak membuang tenaga terlalu banyak."
Suara Ratu Ayu bagai teriakan yang menyengit.
Pangeran Muda Wengker memiringkan tubuhnya. Kedua ujung kakinya menahan tubuhnya yang meninggi. Dengan satu goyangan, tubuh itu berputar maju. Dua keris terhunus menusuk bersamaan.
Bersamaan dengan itu Pangeran Anom melakukan gerakan sembahan dengan cepat, dan kedua telapak tangannya bergerak maju.
Lebih tenang gerakannya, akan tetapi tenaga yang terlontar lebih berat dan mendesak.
Pada saat yang bersamaan Angon Kertawardhana malah meloncat maju. Seolah terbang ingin menerkam Ratu Ayu.
Yang berdiri dengan tenang, dan hanya merendahkan tubuhnya, bertepatan dengan tangannya bergerak memutar. Pedang Galih mengeluarkan besetan angin tajam. Memotong ketiganya sekaligus.
Dingin gerakannya, penuh dengan keyakinan diri.
Karena dengan merendahkan tubuh, arah tebasan bisa menyeluruh ke arah tiga penjuru. Benturan pertama adalah dengan kedua keris Pangeran Muda Wengker, yang tak menyangka bahwa ujung pedang lawan seperti bisa terentang memanjang. Kalau tidak buru-buru menarik diri, kedua tangannya bisa tertebas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Anom yang tampak lebih berpengalaman, bisa menahan diri untuk tidak menerjang sepenuhnya. Gebrakan majunya hanya untuk memecah perhatian lawan.
Maka begitu Ratu Ayu memendekkan tubuh, Pangeran Anom cepat mengubah serangannya.
Dengan gerakan tak terduga.
Karena Pangeran Anom menjatuhkan tubuhnya, melongsot ke arah Ratu Ayu dengan wajah menghadap ke atas. Kedua kakinya langsung mendobrak ke arah kuda-kuda Ratu Ayu.
Masuk ke celah kaki Ratu Ayu.
Gendhuk Tri menggigit bibirnya.
Gerakan menjatuhkan diri, melongsot, dan masuk ke dalam pertarungan, boleh dikatakan merupakan gerakan yang menjadi ciri utamanya. Dan Gendhuk Tri boleh dikatakan berhasil memainkan jurus berbahaya ini.
Berbahaya, karena tak terduga.
Berbahaya, karena membahayakan penyerangnya.
Gerakan itu memang bersumber dari Kitab Air, yang menggunakan tenaga banyu mili, atau air mengalir. Gerakan air yang selalu menuju tempat yang lebih rendah. Tenaga meluncur ini, dengan menggunakan pernapasan ajaran dari Kitab Air, bisa berubah menjadi kekuatan yang berlipat. Karena tidak sekadar melongsot, melainkan membiarkan tubuhnya tersedot tenaga kuda-kuda Ratu Ayu. Semakin kuat kuda-kuda Ratu Ayu semakin cepat gerakan Pangeran Anom.
Gendhuk Tri boleh dikatakan bisa melakukan gerakan itu dalam tidurnya. Karena sudah mendarah daging dan menyatu. Maka sungguh di luar dugaannya


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Anom akan memainkan jurus Banyu Mili. Persis seperti dirinya!
Apakah selama ini Pangeran Anom masih selalu mengingat dirinya, sehingga jurus yang dimainkan pun sama"
Bersitan pikiran itu membuat Gendhuk Tri tidak tenang.
Pertama, karena merasa kurang enak bahwa selama ini ternyata Pangeran Anom sangat memperhatikan dan menyayangi hingga sudut hatinya yang paling dalam.
Kedua, perasaan tidak tenang itu karena Pangeran Anom benar-benar masuk ke dalam api bahaya. Kalau tenaga dalamnya tak cukup kuat, akan mudah sekali Ratu Ayu mematahkan serangan dan balas menyerang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam keadaan telentang, akan sulit Pangeran Anom berkelit dari injakan, tusukan pedang, atau pukulan.
Atau ketiga serangan sekaligus.
Satu-satunya jalan hanyalah dengan terus meluncur, dan dengan tenaga punggung, menggeliat kekuatan untuk muncul di belakang tubuh Ratu Ayu. Akan tetapi kalau meneruskan jurus itu, berarti entakan untuk menegang dari dalam kaki tak perlu dikerahkan semua.
Sebab memang paling sulit mengendalikan tenaga dalam dan memindahkan dari kekuatan di kedua kaki menjadi kekuatan punggung.
Salah-salah gerakannya di bagian belakang tidak bisa gesit, tidak memakai kekuatan banyu muncrat saka leng, air muncrat dari liang sumber. Bukan muncratan tetapi hanya semburan.
Itu, sekali lagi, menempatkan Pangeran Anom dalam bahaya besar.
Dengan siku atau tebasan pedang yang tangannya ditekuk, Pangeran Anom tak akan bisa menghindar. Gendhuk Tri benar-benar kuatir.
Meskipun sebenarnya belum begitu gawat. Karena Ratu Ayu juga disibukkan dengan sergapan Angon Kertawardhana, yang menerkam sambil memutarkan tubuh.
Tidak langsung ke arah Ratu Ayu, melainkan berada di tengah antara tubuh Ratu Ayu dan Putri Tunggadewi.
Tujuannya memang menyelamatkan Putri Tunggadewi.
Memisahkan dari ancaman. Jurus pertama yang indah, puji Nyai Demang dalam hati. Karena ketiganya seperti bisa membaca isi pikiran satu sama lain.
Mudgara Mudra MESKIPUN memuji jurus pertama, Nyai Demang justru menjadi lebih kuatir. Bukan karena apa, melainkan karena Ratu Ayu bukan lawan sembarangan. Keunggulannya telah terbukti bahwa selama pengembaraannya tak ada yang bisa mengalahkan, kecuali Upasara Wulung. Apalagi sekarang ini.
Sementara para pangeran Anom masih belum diketahui dengan pasti kekuatan yang sesungguhnya.
Nyai Demang melepaskan cekalan Ki Dalang Memeling. Menyiapkan diri untuk terjun ke gelanggang sewaktu-waktu. Kalaupun ini pancing jebakan yang dipasang Ratu Ayu, ia tak peduli lagi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apalagi Kiai Sambartaka terlihat mengambil posisi siap untuk ikut terjun.
Hanya Halayudha yang tampak berdiri tenang.
Meskipun pikirannya menerabas kian-kemari. Membuat perhitungan mengenai jalannya pertarungan.
Yang sedikit meleset dari perkiraannya.
Karena ternyata Angon Kertawardhana bisa menempatkan diri di antara Ratu Ayu dan Putri Tunggadewi. Bahkan merangsek maju, karena Ratu Ayu bergeser mundur dari selangkangan kaki Pangeran Anom, yang serta-merta berdiri lurus dan menggempur.
Gendhuk Tri mengeluarkan suara keras.
Karena seperti bisa diduga, Ratu Ayu hanya minggir untuk balik lagi.
Dengan loncatan jong. Meloncati tubuh Pangeran Muda! Pedangnya keras menebas ke bawah.
Benar-benar bahaya. Pangeran Anom membuang tubuhnya ke arah samping, dengan gerakan Mbrebes Mili, atau gerakan seperti jatuhnya air mata.
Kangkam hitam tipis itu mengiris udara tak ada sejengkal jaraknya dari tubuh Pangeran Anom. Dari bagian kepala hingga ke kaki.
Luar biasa. Usaha Pangeran Muda untuk menahan hanya menghasilkan dua kutungan keris yang berdenting di lantai. Dua keris pusaka andalannya tertebas, seolah pelepah pisang.
Galih Kangkam memang bukan hanya pedang tajam semata di tangan Ratu Ayu. Selama ini boleh dikatakan jarang dipergunakan. Upasara Wulung sendiri, meskipun pernah memainkan satu-dua kali dalam pertempuran, tak terlalu mengenal kekuatan utamanya. Seperti juga yang lain. Yang sama-sama dimaklumi hanyalah bahwa pedang yang tipis panjang itu pastilah bukan pusaka yang biasa, karena selama ini tersimpan dalam tongkat galih asam, tanpa diketahui Galih Kaliki yang mempergunakannya.
Meskipun Pangeran Anom selamat, akan tetapi begitu masuk jurus kelima, ketiganya benar-benar tertindih berat. Pangeran Muda tak bisa merangsek maju. Malah beberapa kali harus membuang tubuhnya secara tak teratur langkahnya. Pangeran Anom bisa menyusup maju, akan tetapi juga tak berhasil mengeluarkan pukulan yang mematikan.
Seperti kesiuran angin cepat dan makin menerbitkan irisan tajam.
Angon Kertawardhana juga tak bisa berbuat banyak setelah bisa menepikan Putri Tunggadewi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan kata lain, kekalahan mereka hanya tinggal waktu saja.
Dan itu tak lama. Nyai Demang melirik Gendhuk Tri.
Gendhuk Tri melirik Nyai Demang.
Terlambat. Karena yang lebih dulu meloncat ke tengah pendapa justru Ki Dalang Memeling. Yang menggertak maju ketika pedang Galih memperdengarkan suara yang menyayat.
Karena berhasil menebas rambut Pangeran Anom dan Pangeran Muda sekaligus. Hingga gelungannya terpotong!
Mengenaskan. Karena satu atau setengah jari lebih dalam berarti kulit kepala atau malah batok kepala.
Ilmu Ratu Ayu memang ganas, akan tetapi sekali ini lebih dari itu.
Tak memedulikan lawan sama sekali. Tak memperhitungkan lawan yang menggunakan senjata tak seimbang. Tak memperhitungkan bahwa lawannya masih hijau dalam pengalaman. Justru sebaliknya, Ratu Ayu seakan memanfaatkan keunggulannya.
"Aku ingin tahu, apakah pedang ini bisa menguliti kalian sehingga Ki Dalang bisa memainkan wayang yang baru."
Ratu Ayu memang memperlihatkan keunggulannya. Ketika berhasil menebas gelung, tidak segera melanjutkan dengan serangan berikutnya.
Malah menarik diri, menunggu sampai Ki Dalang hinggap dengan selamat.
"Kamu masih mengenaliku?"
"Tidak, kalau kulitmu terkelupas.
"Sudah kukatakan sejak semula, siapa yang ingin sekalian maju, saya masih bersedia menunggu."
Ki Dalang Memeling mengeluarkan palu dari buntalan kain di perutnya. Bentuknya mirip cempala, ketokan yang biasa dimainkan dalang dengan menjapit di kaki untuk dipukulkan ke kotak wayang.
Akan tetapi jelas sekali tidak terbuat dari kayu, karena tampak berat.
Dan bukan cempala, karena ada pegangan di bawah dan ada bagian yang berat di atas.
Ki Dalang Memeling menggenggam dengan kedua tangannya.
Palu di tangannya bergetar, dan bergoyang makin keras, sebelum naik ke hidung, terdiam beberapa saat, dan turun perlahan, diiringi desisan.
"Mudra... Mudra..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Anom mengikuti dengan menurunkan kedua tangan, lalu disusul dengan desisan lirih.
"Bumispara Mudra..."
Telapak tangannya terus menurun menyentuh lantai.
Begitu Ratu Ayu mencoba menyabet, Ki Dalang Memeling menangkis, dan Pangeran Anom yang lebih dulu bisa menyerang dengan tendangan kaki.
Keras, kuat, terarah. Karena tubuh Pangeran Anom seolah bertumpu pada tangan.
Serentak dengan itu, Pangeran Muda melakukan gerakan yang sama, dan Angon Kertawardhana pun melakukan hal yang sama dengan cepat, lalu disusul dengan gerakan tangan ke arah depan, seolah sedang memberikan sesuatu, memberi amalan kepada Ratu Ayu.
Tepat, desis Halayudha dalam hati.
Terdengar suara kontrangan keras yang memekakkan telinga ketika Kangkam Galih seperti beradu dengan palu Ki Dalang yang bergerak cepat, yang sendal pancing.
Pujian Halayudha sebenarnya tertuju kepada Ki Dalang. Yang dengan cepat bisa membaca jurus-jurus andalan Ratu Ayu.
Serangan Ki Dalang adalah menggabungkan jurus-jurus yang ada dalam ajaran Sembilan Jalan Buddha, gerakan tangannya bisa disebutkan mudra. Digabungkan dengan senjata andalannya mudgara atau palu, sangat tepat untuk menghadapi Ratu Ayu.
Pedang tipisnya dilabrak dengan palu berat dan tebal yang memakai tenaga sendal pancing, begitu tersentuh pedang lawan ditarik kembali secepatnya.
Secara dasar, Ki Dalang bisa membaca dan menemukan cara mengatasi jurus Ratu Ayu.
Seperti diketahui, meskipun ilmu silat Ratu Ayu boleh dikatakan ruwet dan tak terpahami, apalagi gerakannya yang kaku, akan tetapi dasarnya tetap ajaran Jalan Buddha.
Yang pada Ratu Ayu disesuaikan menjadi cara bergerak arca Buddha, Tathagata Pratiwimba, gerakan kaku dan terpatah, namun sangat bertenaga. Inti dalamnya berpusat pada pengerahan tenaga Tathagati, atau Buddha Wanita, yang dianggap sesat.
Ki Dalang Memeling bisa saja tidak mengetahui nama jurus yang dimainkan Ratu Ayu, akan tetapi dalam pandangan Halayudha bisa menangkap sikap dasar gerakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itu sebabnya menjawab dengan mudra, gerakan tangan, atau bahkan jari dalam bersemadi sebagaimana ajaran Jalan Buddha.
Ini yang juga terbaca oleh Pangeran Anom yang meneruskan dengan Bumispara Mudra, atau Gerakan Tangan Menyentuh Bumi. Di mana kekuatan kaki dipakai untuk menyerang bagian yang kosong, bagian tubuh yang ditinggalkan pedang.
Lebih hebat lagi, Angon Kertawardhana menyambung dengan Wara Mudra, atau Gerakan Tangan yang Melambangkan Pemberian Amal.
Yang dalam hal ini berwujud tenaga dalam mendesak, mengimpit, meskipun tidak memilih tempat yang rawan.
Hikmah Pedang Hijau 13 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Pendekar Kembar 14
^