Pencarian

Senopati Pamungkas Dua 22

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 22


"Kita berdua ditakdirkan menjadi budak dari persilatan yang dungu, di mana kemenangan adalah kematian bagi lawan atau kawan.
"Aku, Upasara Wulung, di sini menunggu."
Dalam satu tarikan napas, Upasara Wulung menoleh dan menyembah ke arah Pangeran Hiang.
"Pangeran Hiang, saya tak akan pernah melupakan persaudaraan kita. Saya meminta maaf atas segala kelancangan dan kekisruhan yang terjadi, dalam segala hal.
"Saya tak ingin menghapus persaudaraan yang pernah menyatukan kita.
"Kecuali kalau Pangeran Hiang ingin memutuskan."
"Pangeran Upasara. "Persaudaraan kita tak akan dipisahkan, pun oleh kematian.
"Karena Pangeran Upasara dan Saudara Tua Gemuka sesama saudara, saya tak akan memihak kepada siapa pun.
"Banyak hal tak bisa dijelaskan sekarang, dan kapan pun.
"Saya siap menerima kenyataan yang terjadi."
Pangeran Hiang menghormat dengan mengepalkan kedua tangannya dan mengangkat tinggi ke arah Upasara serta Gemuka, berulang kali, sebelum melangkah mundur.
Tak ada beban yang lebih berat dari yang disandang Pangeran Hiang.
Di satu pihak ia menganggap Upasara Wulung ksatria sejati dan saudaranya, pada pihak yang lain ia tak bisa menahan Gemuka.
Jalan satu-satunya adalah menarik diri dari pertarungan.
Dengan mundurnya Pangeran Hiang, yang berada di tengah pendapa segera menyingkir. Nyai Demang lebih dulu mundur sambil memapah Ki
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalang Memeling yang kelihatannya sangat payah. Bantuan tenaga dalam yang dikerahkan oleh Gendhuk Tri ternyata tak banyak artinya.
Eyang Puspamurti dengan mengangguk-angguk berjalan minggir.
Diikuti para senopati, termasuk Senopati Jabung Krewes dan Senopati Yuyu. Mereka membentuk barisan bersama para senopati yang lain, berada di luar bekas pendapa.
Yang tertinggal hanya Gemuka dan Upasara Wulung.
Berhadapan. Gemuka menghirup napas dalam-dalam. Dadanya mengembang besar, padat dan memperlihatkan kekuatan yang sesungguhnya ketika perlahan udara itu disemburkan. Uap putih mengalir perlahan dari bibirnya.
Sementara Upasara masih menggenggam Kangkam Galih.
Perhatian Gendhuk Tri terpecah antara keinginan untuk menyaksikan pertarungan yang menentukan dan menemani Ki Dalang Memeling yang hanya tinggal menunggu sangat, saat yang baik. Akhirnya yang kedua yang dilakukan. Gendhuk Tri menolak keinginan para prajurit yang ingin membawa Ki Dalang Memeling. Gendhuk Tri bersila di dekat regol, memangku kepala Ki Dalang Memeling.
Nyai Demang gemetar bersila di sebelahnya.
Halayudha dalam keadaan terengah-engah mencoba memusatkan perhatiannya kepada Gemuka dan Upasara, silih berganti.
Berenang di Awan PERHATIAN yang terpusat di tengah pendapa tak terganggu sedikit pun ketika Eyang Puspamurti dengan perlahan membopong tubuh Ratu Ayu, memondong ke tepi.
Gemuka membuat gerakan pembuka. Kedua tangannya bergerak serentak ke arah kiri dan kanan, jubah gedombrongannya bergerak-gerak, dan sekali entak, tubuhnya melayang.
Benar-benar melayang di tengah udara.
Bagai burung tanpa mengepakkan sayap.
Pemandangan yang mencengangkan sekaligus mengerikan.
Mencengangkan karena tubuh yang gemuk, gede, seolah bagai kapas yang bisa bermain sesukanya di tengah udara. Mengerikan karena terbayangkan setiap saat siap menyambar dan meremukkan apa yang tersenggol.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara Wulung yang sejak tadi berdiam diri mulai bergerak. Pedang Galih ditancapkan ke pendapa, ketika kedua kakinya memasang kuda-kuda, dengan menarik kaki kiri ke belakang setengah tertekuk. Kedua tangannya bergerak bersamaan dari bawah, dengan siku menghadap ke belakang.
Tangannya meninggi sebatas dada dan mengentak ke arah angin.
Apa yang dilakukan Upasara bisa diperhatikan dengan jelas karena gerak pembuka yang dilakukan adalah gerak pembuka semua gerak silat yang berdasarkan ajaran Kitab Bumi. Semua jago silat sejak belajar pertama memulai dengan gerak itu. Hanya bedanya Upasara tidak menghadap langsung seperti gerakan seolah menunggang kuda, melainkan dalam siaga kuda-kuda.
Ini sedikit-banyak menunjukkan bahwa Upasara sangat memperhitungkan serangan lawan. Sehingga tidak langsung menyerang ataupun menguatkan tenaga dalamnya, melainkan langsung menjaga diri.
Bisa dimengerti mengingat sejak pertama muncul Gemuka telah memperlihatkan keunggulan yang luar biasa. Dengan senjata yang aneh, ataupun gedubrakannya yang mampu meratakan pendapa. Kali ini pun tak jauh berbeda. Malah bisa dikatakan lebih berbahaya.
Karena tubuhnya bisa mengambang di udara, seolah berenang di awan, nglangi ing mega. Gerakan ini hanya mungkin dilakukan oleh tokoh yang menguasai tenaga dalam secara sempurna. Sebab dengan kemampuan berenang di awan, kemampuannya mengatur tenaga dalam tak terikat dengan kekuatan bumi.
Pada saat melayang dan membebaskan diri dari getaran bumi, segala serangan bisa terjadi secara tak terduga.
Inilah gerakan yang langsung memotong apa yang dilakukan Upasara.
Karena Upasara justru memamerkan gerakan yang intinya mengambil kekuatan bumi!
Gemuka memang mengetahui sumber kekuatan dan inti ajaran yang dikembangkan di tanah Jawa. Bahkan mempelajari dengan cepat, sehingga mampu menangkap sari patinya. Itu sebabnya pada gebrakan pertama langsung memakai tenaga dalam yang tak tergantung pada kekuatan bumi.
Sedangkan Upasara tetap memakai kekuatan bumi, justru pada situasi di mana ia mengetahui lawan yang bergerak lebih dulu memakai serangan yang mematahkan kekuatannya.
Agaknya ini tak bisa dipisahkan dari rasa percaya diri yang hebat, di samping mengadu senggara macan. Atau mengadu kerasnya auman di
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
antara singa. Saling menunjukkan bahwa Gemuka atau Upasara sama-sama mengetahui jurus-jurus yang dimainkan lawannya.
Terlihat jelas dari gerakan Gemuka, yang menjadi sangat hati-hati.
Ketika tubuhnya menyambar turun, tangan kanannya melontarkan serangan. Yang diarah adalah pundak kiri Upasara dengan pukulan jarak jauh dan dengan tangan terkepal. Dentuman angin panas yang ditimbulkan beriringan dengan uap putih yang kini bisa berubah menjadi lurus bagai sorot matahari di sela-sela daun.
Lurus, memancar, dan mengarah.
Upasara mengangkat tangan kiri dengan telapak tangan membuka.
Cahaya putih yang menggempur ditangkis dengan telapak terbuka, dan bersamaan dengan itu tubuhnya bergeser ke kanan, membawa berkas cahaya putih itu yang kemudian dipotong dengan tangan kanannya.
Keduanya bergerak dengan lambat, penuh perhitungan dan sedikit pun tidak ingin berbuat kesalahan.
Bagi para senopati yang melihat, bisa mempelajari setiap gerakan yang sekilas sangat sederhana. Namun semua juga mengerti bahwa dalam gerakan yang sederhana itu tersimpan kekuatan yang besar. Yang akan menentukan kemenangan pada langkah-langkah dan jurus-jurus berikutnya.
Eyang Puspamurti menggigit bibirnya.
Komentar yang biasanya mengiringi setiap gerakan atau jurus menarik untuk diterangkan kini hanya menggantung di bibir. Rasanya terlalu sayang membagi perhatiannya dengan apa yang disaksikan dan dirasakan sekarang ini.
Meskipun Eyang Puspamurti mengetahui bahwa pertarungan akan berjalan cukup lama.
Gemuka memulai dengan pukulan jarak jauh berupa tonjokan atau jotosan, yang berarti masih ingin menjaga jarak pertarungan. Dengan lontaran pukulan jarak jauh, lebih berarti menjajal dan mencari tahu kekuatan lawan daripada sebagai serangan yang mematikan. Apalagi dalam hal ini Gemuka tidak segera menyusul dengan merangsek masuk, atau membiarkan Upasara mengambil posisi menyerang. Dan kemudian baru melontarkan pukulan pendek dengan kembangan dari gerakan siku, atau sepanjang tangan.
Sebaliknya, Upasara tidak memandang remeh lawan.
Serangan yang terarah ke pundaknya ditahan dan dikesampingkan, tanpa kemudian langsung balik menyerang.
Dalam pertarungan sesama jago silat, jurus-jurus untuk menghindar atau menangkis bisa dibedakan dari berbagai susunan atau rangkaian
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
gerak yang ada. Baik dengan mengelak, menangkis, menangkap, atau membungkam pukulan.
Dalam mengelak bisa dengan mengegos diri sampai dengan menjatuhkan tubuh untuk menghindari serangan. Dengan menangkis berarti mencoba adu tenaga keras lawan keras. Dengan menangkap berarti berusaha menguasai gerakan lawan sepenuhnya, karena apa yang dilakukan lawan ditangkap, diterima, dan seketika itu juga dibalas.
Gerakan menghindar juga bisa berarti sama-sama melepaskan pukulan. Lawan memukul dan dibalas dengan pukulan. Dalam hal ini adu kecepatan memukul lebih dulu, dan kecepatan menghindar yang kemudian. Bisa juga membuat gerakan mengunci, di mana pukulan lawan yang terlontar tak bisa ditarik kembali dan atau dikembangkan.
Sedangkan membungkam pukulan lawan, menjadikan serangan lawan tak ada artinya sama sekali. Membiarkan lawan memukul dan seolah mengena, tapi sesungguhnya tak membekaskan akibat apa-apa.
Gemuka menarik kembali pukulannya, dan satu langkah ke samping sambil membalikkan tubuh, kakinya meluncur ke depan. Kini asap putih yang makin padat, meskipun mulai samar oleh sinar matahari, terlihat jelas memancar dari arah kaki. Dalam gebrakan kedua ini makin jelas bahwa Gemuka memamerkan kemampuannya.
Kalau dalam serangan pertama, arah pukulannya hanya satu, gerakan tendangan ini memperlihatkan lima berkas uap yang berganti-ganti dalam sekejap. Uap putih yang memancar dari tumit, sisi kaki, ujung telapak kaki, seluruh telapak kaki, dan punggung kaki. Lima serangan yang bergantian.
Pancaran uap yang terlihat sama kuatnya. Seakan berkas matahari yang sebagian tertutup daun sebagian terbuka karena daunnya bergerak tertiup angin.
Masing-masing serangan mengarah ke bagian bawah tubuh Upasara.
Ke arah paha, pangkal paha, selangkangan, silih berganti.
Upasara menarik sedikit kakinya, sehingga posisi tubuhnya kini sedikit miring, dan posisi kakinya condong untuk bertahan, karena berat tubuhnya berada di belakang. Akan tetapi posisi tangannya membuka, tidak menutupi bidang sasaran lawan, sehingga bisa diartikan sebagai siap menerima serangan berikutnya, atau dengan kata lain memancing lawan bergerak maju. Memancing dalam artian bukan sengaja membuka diri untuk diserang, melainkan memancing dalam pengertian bisa diartikan secara begitu, atau menganggap serangan lawan sangat encer. Sehingga tidak perlu membuat pertahanan secara khusus.
Gemuka bukan tidak mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang ada. Tetapi tetap saja menggertak maju, tanpa suara, dan kedua
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
kakinya menyerang secara bersamaan ke arah kedua kaki Upasara.
Dalam satu gerakan, kedua kaki Gemuka bisa sekaligus menendang, menyapu, mengait, mengungkit, mengangkat, dan menebas.
Kembangan tendangan yang nyaris sempurna.
Penuh dengan liku-liku gerakan yang seakan mustahil bisa dilakukan dalam sekejap. Sementara Upasara melangkah ke samping kiri, kanan, maju setindak. Kakinya mengisi sela-sela gerakan Gemuka. Setiap kali Gemuka membuka serangan, Upasara membarengi; dan ketika Gemuka menarik atau mengubah serangan, kecepatan dan ketepatan yang sama dilakukan Upasara.
Pertarungan bawah yang mengagumkan, bisik hati Senopati Jabung Krewes. Ia bisa melihat dengan jelas, bahwa dalam gerakan-gerakan serangan kaki untuk saling menjajal keras dan membongkar pertahanan lawan, Upasara sedikit lebih kuat. Ini terlihat dari kakinya yang bergerak lebih mantap, dan posisinya setengah telapak kaki lebih dulu, sebelum serangan datang.
Jabung Krewes bisa mengerti. Dalam soal permainan kaki, Upasara mempunyai dasar yang kuat. Bahkan ilmu sandarannya adalah Kitab Bumi yang oleh Ngabehi Pandu dulu diterjemahkan sebagai kekuatan kaki banteng hitam. Yang walaupun menitikberatkan pada serangan ganas, diimbangi dengan pertahanannya yang kokoh.
Delapan Menutup Empat INI sangat berbeda dengan Gemuka. Sekurangnya menurut nalar Jabung Krewes. Pada Gemuka, sedikit atau banyak, dasar-dasarnya justru tidak terlalu mengakar. Karena seperti setiap kemungkinan alam yang wajar, mereka yang dibesarkan di daerah pegunungan gerakan kakinya lebih lincah menyerang, akan tetapi kurang kuat pertahanannya. Lebih mudah menghindari serangan dengan loncatan dibandingkan dengan menahan tubuh.
Bagi Jabung Krewes ini sementara membingungkan. Atau lebih tepatnya membuat sorot matanya menyipit dan sepenuh kemampuannya mengarah untuk mengartikan rangkaian serangan demi serangan, hindaran demi hindaran.
Satu hal bagi Jabung Krewes tak perlu diragukan lagi. Bahwa apa yang dipikirkan, apa yang diperhitungkan selama mengikuti pertarungan ini, pastilah sudah terpikirkan oleh Gemuka maupun Upasara. Bahkan sejak pertama kali, Gemuka sudah mengetahui kemungkinan Upasara lebih unggul di bagian kaki untuk bertahan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi nyatanya, justru serangan yang memperlihatkan kekuatan utama Upasara yang dilawan.
Apakah ini bukan tidak mungkin merupakan bagian dari keingintahuan sampai seberapa jauh keunggulan lawan" Sehingga kemudian bisa memperhitungkan bagaimana menghadapinya"
Jadi semuanya menjadi sangat tepat kalau mulai bergerak dengan lambat, saling menjajal dan mengetahui kekuatan lawan yang sesungguhnya.
Kalau benar begitu, apakah itu berarti Upasara akan lebih dulu diketahui kekuatannya"
Perhitungan Jabung Krewes yang pertama meleset.
Kalau tadinya menyangka Gemuka masih akan memainkan gerakan yang lambat, ternyata sebelum matanya berkedip sudah berubah.
Berubah menjadi sangat cepat sekali.
Kaki kanannya tertarik ke belakang, dan mendadak kaki kirinya meluncurkan tendangan serong kanan depan, yang setelah melontarkan pukulan, kaki yang sama justru tertarik ke belakang serong kiri.
Sementara kaki kanannya menggantikan ke arah depan.
Sedemikian cepat dan berurutan, sehingga tubuh Gemuka seperti berputar terbalik.
Hebat, getar bibir Halayudha dalam hati.
Gemuka kini benar-benar memperlihatkan serangan yang ganas.
Delapan penjuru ditutup dengan tendangan, baik arah belakang, serong kiri belakang, samping kiri, serong kiri depan, depan lurus, serong kanan depan, samping kanan, maupun serong kanan belakang.
Berarti delapan penjuru angin dikuasai oleh tendangan.
Yang membuat Halayudha memuji hebat adalah bahwa Gemuka menguasai delapan penjuru angin dengan dua kakinya. Secara bergantian dan tidak beraturan atau tidak berurutan dari serong kanan depan ke samping kanan misalnya. Melainkan saling mengisi di tempat lowong, di mana Upasara ingin memantapkan pertahanan atau berusaha memulai serangan.
Dengan dua kaki yang sama hidupnya.
Bergantian. Pujian Halayudha menggambarkan betapa segala perhitungan sebelumnya yang masih berupa perkiraan, kini menemukan buktinya yang jelas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gemuka yang baru saja memainkan kekuatan nglangi ing mega dengan tidak memedulikan kekuatan bumi, pada jurus berikutnya sudah sepenuhnya menginjak bumi!
Yang dipamerkan kini adalah serangan dengan kekuatan bumi.
Sepenuhnya. Dengan indah, sebat, keras, dan terarah serta membingungkan. Karena dengan berhasil menguasai delapan penjuru angin, Gemuka bisa memaksa Upasara berada dalam kekuasaan kekuatannya serta bisa memaksakan kemauannya.
Kalau ini terjadi, jurus-jurus berikutnya akan berbahaya bagi Upasara.
Meskipun Halayudha sadar sepenuhnya bahwa Upasara tak akan dikalahkan dalam waktu begitu cepat.
Justru di sini daya tariknya.
Apalagi jika dibandingkan dengan pertarungan sebelumnya.
Dalam pertempuran total yang melibatkan hampir semua senopati dan ksatria serta para prajurit, puncak-puncak keindahan dan kekuatan tak bisa diikuti. Apalagi kemudian berakhir dengan cepat, setelah Ratu Ayu terkena Kangkam Galih, dan Kiai Sambartaka adu tenaga dalam dengan dirinya.
Boleh dikatakan tidak seimbang dengan persiapan yang begitu mencengkam sebelumnya.
Yang membuat Halayudha lebih tajam mengikuti adalah bahwa untuk sementara matanya tak bisa membedakan jelas bagian mana yang kaki kiri, dan bagian mana yang kaki kanan. Bagian mana yang dipakai untuk menyerang, dan bagian mana yang dipakai untuk bertahan.
Gerakan sepasang kaki Gemuka demikian cepat berubah posisi, dengan demikian Upasara bisa terseret untuk menangkap serangan yang sama berbahayanya.
Jika ini yang terjadi, maka ini akan merupakan satu babakan di mana Upasara dipaksa berjuang lebih keras.
Sama dengan jalan pikiran Halayudha, Senopati Jabung Krewes melihat hasil yang sebaliknya. Upasara tidak banyak bergerak untuk menghindar, kecuali berusaha menguasai empat penjuru, dan terutama sekali bagian pusat, titik tengah.
Ini berarti delapan penjuru angin yang dikuasai Gemuka bisa dilawan dengan empat penjuru dan satu pusat. Dengan rangkaian gerakan kiblat papat, lima pancer, atau empat arah angin dan satu pusat.
Benar-benar pertarungan yang memperlihatkan akar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Karena sesungguhnya ini menggambarkan sikap dasar yang menyertai lahirnya paham atau pengertian mengenai alam dan kehidupan.
Ini pula yang menyebabkan Eyang Sepuh dulu mengajak para ksatria seluruh jagat untuk bertemu dan menguji ilmu siapa yang sesungguhnya menempuh jalan suci, jalan yang sebenarnya.
Delapan penjuru arah, delapan mata angin, atau bisa disebut Delapan Langkah Naga, merupakan inti utama pemahaman gerakan ilmu dari Tartar, yang juga dari tlatah Hindia. Atau bahkan menyebar sampai ke Turkana seperti yang diperhatikan dengan Langkah Jong oleh Ratu Ayu Azeri Baijani.
Sementara di tanah Jawa, Halayudha melihat bahwa gurunya, Paman Sepuh Dodot Bintulu, memakai perhitungan yang berbeda. Bukan delapan penjuru angin, melainkan empat kiblat. Yaitu arah timur, barat, selatan, dan utara. Dengan perbedaan pokok adalah titik tengah, yang disebut sebagai unsur kelima, pancer atau pusat.
Pengertian ini mengandung penjabaran yang sangat berbeda bentuk dan artinya. Bahwa kemudian Eyang Sepuh mampu merumuskan dan menjadikan sebagai ajaran dalam Kitab Bumi, itu tetap tak mengubah empat kiblat yang ada. Bahwa kemudian dalam Bantala Parwa juga muncul penekanan yang berbeda, tak mengubah dasar yang ada. Hanya penajaman di sana-sini yang berubah peranannya.
Yang mungkin bisa dikatakan sangat berbeda dari sebelumnya adalah apa yang dituliskan dalam Kidung Pamungkas, di mana unsur pancer benar-benar menjadi inti kekuatan utama dan satu-satunya. Di mana empat kiblat bisa diganti dengan unsur kakang kawah, adi ari-ari, dalam menerangkan kekuatan lahirnya manusia. Yang diawali dengan kawah atau keluarnya air sebagai saudara tertua, dan ari-ari sebagai adiknya.
Dari empat menjadi dua. Tetapi unsur titik tengah sebagai pusat masih sama.
Dan sesungguhnya, sejauh Halayudha bisa mengetahui, inti ini yang membedakan ajaran yang berkembang di tanah Jawa dengan yang masih dekat dengan intinya.
Bagi Halayudha, pertarungan Gemuka melawan Upasara sekarang ini jauh lebih mengungkapkan kenyataan sebenarnya dibandingkan dengan pertarungan habis-habisan di Trowulan.
Karena apa yang terjadi di Trowulan lebih menunjukkan para tokoh jagat bertemu dan bertarung mati-hidup. Bukan mempersoalkan "jalan mana yang paling lurus dan bersih", ilmu siapa yang paling mendekati kebenaran.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sekarang ini, Gemuka dan Upasara memakai dasar jurus yang sama, dalam pengertian yang sama, dengan penekanan yang berbeda. Boleh dikatakan mereka berdua memainkan jurus yang sama!
Di sini akan teruji ajaran mana yang lebih unggul. Bisa dibandingkan langsung karena menggunakan jurus yang sama.
Seolah dua saudara seperguruan tengah berlatih.
Menggembirakan dan mencemaskan.
Menggembirakan karena kini bisa disaksikan secara jelas dan bersih pertarungan yang terjadi. Mencemaskan karena Halayudha merasa kurang tenang dengan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam negerinya. Sebagai pesilat yang banyak menggauli dan terjun berlatih sebagai aliran kelas dunia, Halayudha menyadari bahwa beberapa pergeseran dasar ke arah penyempurnaan terus terjadi.
Dalam hal ini, pengertian empat kiblat terasakan sebagai sudah ketinggalan dibandingkan dengan delapan penjuru yang lebih rinci.
Mencemaskan kalau akhirnya harus menerima kekalahan dan mengakui bahwa Gemuka lebih unggul, dalam artian ilmunya lebih mendekati kebenaran, ilmu yang sejati.
Apalagi sekarang ini Upasara Wulung menyandang beban gelaran sebagai lelananging jagat. Sehingga kekalahannya merupakan kekalahan seluruh Jawa.
Kalau ini terjadi, entah sampai kapan sebutan itu bisa disandang kembali, mengingat munculnya tokoh-tokoh sakti mandraguna.
Perasaan itu menyelinap dalam pikiran Halayudha yang tak sempat merenungkan apa artinya, kenapa hatinya merasakan.
Gerak Tipak Kuda KALAU Halayudha tak sempat merenungkan, terutama bukan karena perhatiannya terbetot ke arah pertarungan. Akan tetapi memang tak merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Dari mempertimbangkan keunggulan pribadi, menjadi mempertimbangkan keunggulan tanah kelahirannya.
Kekalahan Upasara akan dirasakan sebagai kekalahan Keraton.
Suatu jalan pikiran yang sebelumnya tak sempat terdengar dalam hati nurani Halayudha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Di tengah pendapa, pertarungan masih terus berlangsung ketat.
Sampai jurus kesepuluh, gempuran kuda-kuda terus berlanjut dan makin mengimpit.
Gemuka kelihatan sangat digdaya dengan menguasai delapan penjuru angin, akan tetapi tetap saja tak mampu mendesakkan kelebihannya.
Upasara dengan tenang menggeser kakinya ke empat penjuru, dan sesekali saja bertahan di tengah.
Memasuki jurus kedua belas, Gemuka mengubah gerakannya. Kaki kanan terangkat sejajar dengan pangkal paha, kaki kiri sedikit menekuk. Tangan kanannya tertarik ke bawah dengan genggaman kencang sementara tangan kiri membuka di depan dada. Arus gelombang tenaga langsung terasakan panas dan meringis.
Upasara menarik kedua kakinya ke kedudukan pusat.
Ketika kaki kanan Gemuka meng-gedruk lantai, gerakannya benar-benar berubah. Kali ini tidak menjelajah ke arah delapan penjuru angin, akan tetapi ke empat penjuru.
Mengikuti gerakan Upasara.
Yang berarti dari segi kembangan lebih sederhana. Meskipun kecepatan geraknya sama. Dengan demikian, Gemuka selangkah lebih unggul. Karena empat penjuru yang dikuasai merupakan gerakan rangkap. Segi empat yang dikuasai adalah segi empat rangkap.
Segera terlihat tubuh Gemuka menyempitkan ruangan, dan seakan mengurung Upasara sepenuhnya.
Gerakan ini tak urung membuat Upasara terperangah. Karena irama permainan Gemuka menjadi susah diduga.
Ini baru permulaan. Sangat cepat Gemuka mengubah lagi pola serangan kaki. Dari segi empat rangkap, berubah menjadi segi empat potong. Kalau sebelumnya langkahnya seakan berurutan menutup empat penjuru, kini bagian akhir diubah menjadi gerakan putaran.
Pada hitungan keempat, tubuh Gemuka berputar mengiris dari sisi tengah. Untuk menembus benteng pertahanan Upasara di bagian pusat!
Kaki kanan dan kaki kiri menopang satu sama lain. Putaran tubuh Gemuka berhasil membongkar pertahanan Upasara.
Gemuka mulai dengan ke depan, dan menukar dari gerakan ke samping kanan, mundur, dan kembali ke tempat semula. Mengubah menjadi berputar di langkah keempat. Begitu seterusnya. Sehingga langkah yang menguasai delapan penjuru menjadi berlipat, dan dalam satu serangan sekurangnya dua kali tubuh Gemuka melesak ke tengah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Memasuki jurus kelima belas, Upasara terdesak. Kekukuhan kakinya mulai tergoyahkan. Beberapa kali kakinya beradu, dan Gemuka mampu mendesak. Sehingga uap putih yang tersalur seakan bisa memotong arah kaki Upasara.
Pada jurus kedua puluh, Gemuka mengembangkan gebrakan yang lain lagi. Kali ini memakai gerakan segi tiga berbalik. Seakan dalam empat penjuru ada dua segi tiga yang dikuasai sepenuhnya oleh Gemuka.
Itulah keunggulan. Nyai Demang pun mengakui. Meskipun sebagian perhatiannya ke arah Ki Dalang Memeling yang tak lagi memperlihatkan keteg, denyut kehidupan, akan tetapi tak urung tersedot ke arah pertarungan.
Karena Nyai Demang bisa memahami bahwa guntingan kaki Gemuka makin ketat menempel. Dengan gerakan segi tiga rangkap dalam empat penjuru, Gemuka sepenuhnya menguasai.
Secara perhitungan biasa, dalam segi empat, dalam empat penjuru angin dikuasai, bisa dibagi menjadi empat gerakan segi tiga. Akan tetapi bagi Gemuka cukup menguasai dua segi tiga saja. Yang lainnya bisa diabaikan karena bisa dilakukan gerakan rangkap. Pada langkah ketujuh dengan langkah kedua.
Keunggulan yang nyata. Sejak langkah gempuran mengubah delapan penjuru menjadi empat kiblat yang dimainkan secara rangkap, Gemuka menemukan kunci pemecahan. Dengan kemampuannya sebagai jawara sejati, perubahan gerakan menjadi segi tiga rangkap merupakan langkah berikutnya untuk mengunci dan mempersempit ruang Upasara.
Dua kali Upasara terpaksa menjatuhkan diri, baik dalam keadaan berbaring untuk menangkap kaki Gemuka, ataupun dengan jongkok untuk menahan, atau juga sikap duduk untuk persiapan melancarkan serangan balasan. Miring tubuhnya, tengadah, menyapu kaki, atau mencoba mendongkrak ke atas, seperti tak bisa menembus ketatnya kepungan Gemuka.
Yang lagi-lagi menambah dan mengubah serangannya.
Kali ini Nyai Demang tak bisa menahan rasa kuatirnya. Tubuhnya berdiri untuk menyaksikan jalannya pertarungan. Darahnya menderas, dan tanpa terasa tangannya mulai dingin.
Gerakan Gemuka bukan lagi segi tiga terbalik, akan tetapi kini mengiris. Keluar-masuk, menyerang, bertahan, akan tetapi tetap dalam irama menembus pertahanan Upasara yang mulai berloncatan.
Gawat. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam benak Nyai Demang terbayangkan mata gerigi yang dipergunakan Pangeran Hiang! Roda bergerigi yang bila digerakkan akan bisa mengiris, menembus lebih pasti dan teratur. Gerakan gergaji!
Gerakan yang meringkas jalannya pertarungan.
Meskipun lebih lambat, lajunya lebih pasti. Dan Gemuka membuktikan dengan gemilang.
Untuk memotong sebatang kayu, bisa dilakukan dengan parang atau pedang dengan sekali tebas. Akan tetapi jika batang pohonnya terlalu besar dan kuat, tebasan yang bagaimanapun akan sulit memotong.
Beberapa kali menebas, bisa-bisa arah sasarannya berbeda, sehingga batang pohon bisa rusak akan tetapi belum tentu roboh. Ini berbeda misalnya dengan gerakan gergaji. Yang maju perlahan, akan tetapi pasti.
Mengiris langsung. Dan kini merupakan sumber utama gebrakan Gemuka.
Siapa pun mengetahui bahwa Gemuka dan Pangeran Hiang serta rombongannya datang dengan Perahu Siung Naga Bermahkota. Yang kemudian juga tercermin dalam serangan-serangannya. Seperti roda bergerigi Pangeran Hiang, seperti senjata andalan Paser Bumi. Seperti dilambangkan dengan siung naga.
Upasara dipaksa bertahan sepenuhnya.
Kalau dalam berbaring terpaksa miring, telungkup, dan telentang, kini dalam posisi jongkok pun keluar semua gerakan yang dimiliki.
Bahkan untuk posisi jongkok, Upasara terpaksa berjongkok, dengan dua kaki sejajar, ataupun terpaksa jengkeng, dengan satu kaki sedikit di belakang.
Sehingga tubuh Upasara seakan bergulingan, dan dengan demikian posisinya untuk menguasai titik tengah menjadi terlepas.
Terlepas. Hanya sesekali bisa kembali ke kedudukan semula, dengan sikap dan posisi duduk. Dengan sempok, satu kaki bersilang di atas kaki lain, dengan simpuh, kedua kaki ditekuk ke belakang sebatas lutut, ataupun sila, kedua kaki bersilangan.
Akan tetapi jelas bahwa dalam posisi seperti itu, daya tahannya menjadi lemah. Betapapun kuatnya, posisi duduknya tak akan mengungguli posisi berdiri, apalagi karena posisi duduk dilakukan dalam keadaan yang terdesak.
Hanya elak bawah yang sempurna terjadi, sementara elak atas hanya dimungkinkan dengan mengubah posisi, demikian juga jika melakukan elak tengah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tidak sampai jurus ke-25, keadaan Upasara benar-benar terpotong, terdesak dan tak bisa mempertahankan dengan mengelak. Cepat atau bahkan sangat cepat Upasara dipaksa menangkis. Dengan kekuatan kaki yang tertekuk, Upasara tak mungkin bisa leluasa melayani gebrakan Gemuka yang menyerang dengan seluruh anggota badannya.
Kedua tangan dan kakinya demikian kuat melingkung dan mengurung.
Tak ada yang bisa membaca jalan pikiran Pangeran Hiang. Akan tetapi melihat yang bersangkutan mulai menengadah ke langit, bisa diduga bahwa memasuki jurus ketiga puluh, Upasara benar-benar dibuat tak berkutik dan hanya bisa berkutetan di tempat.
Nyai Demang melirik Eyang Puspamurti.
Mencoba menangkap apa yang dipikirkan Eyang Puspamurti, yang lebih bisa memperkirakan jalannya pertarungan. Akan tetapi itu hanya menambah kecemasannya. Karena Eyang Puspamurti beberapa kali menggeleng.
Gemuka kelihatan makin bernafsu, meskipun perhitungan tetap berjalan. Kini Upasara hanya bisa menangkis dengan gerakan tangan.
Baik gerakan kedua tangan sejajar, kedua tangan membelah, kedua tangan menyilang, maupun gerakan tangan yang membuang. Berusaha menangkap serangan yang datang dan mengalihkan.
Gemuka memantapkan gerakannya, dan kakinya menginjak titik tengah, sementara kedua tangannya bergerak cepat membuat gerakan penutup. Baik dengan menyilangkan kedua tangan di dada dengan mengangkat satu kaki, maupun gerakan penutup samping dengan satu tangan kanan mengepal turun ke bawah.
Upasara terkunci. Terkuasai titik tengah dan tertutup kemungkinan untuk menjebol kembali.
"Ya, itu Tapak Kaki Kuda....
"Saya tak berpikir begitu," suara Eyang Puspamurti seperti bergumam. Mendesah. Antara bersyukur dan menyerah.
Tak bisa dibedakan oleh Nyai Demang.
Menangkap Mega, Memutar Mendung
NYAI DEMANG tak bisa membedakan, apakah ini berarti baik atau buruk bagi Upasara.
Sejak tadi, meskipun tidak sepenuhnya, Nyai Demang mengikuti jalan pembukaan yang ditempuh Upasara. Tetap menghadapi dengan jurus-
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
jurus yang berdasarkan kekuatan bumi. Yang untuk sementara bertahan dan berjaya, akan tetapi dengan direbutnya wilayah pancer, berarti sumber kekuatan Upasara habis.
Gemuka yang menguasai sepenuhnya.
Kenyataannya begitu. Akan tetap begitu, kalau Upasara terus-menerus memainkan jurus-jurus yang sama. Justru pada saat yang menentukan, ketika pancer dikuasai Gemuka yang disusul gerakan menutup, Upasara mendadak berubah.
Meloncat berdiri, dan bergerak. Tangan kanannya memukul Gemuka dari arah samping, sambil terus bergerak.
Setengah lingkaran. Bukan. Bukan setengah lingkaran, kata hati Nyai Demang.
Melainkan, melainkan... seperti yang dikatakan Eyang Puspamurti.
Mengambil gerakan tipak kuda, tapak kaki kuda!
Baru sekarang Nyai Demang bernapas lega.
Walaupun tidak bisa memainkan sendiri, dan belum tentu juga tokoh lain bisa menemukan gerakan yang dilakukan Upasara, akan tetapi Nyai Demang bisa mengikuti jalannya pertarungan.
Dengan memakai gerakan tipak kuda, gerakan itu tidak setengah lingkaran, melainkan setengah lonjong, yang ujungnya membuka. Persis seperti tipak kaki kuda.
Dengan memakai gerakan dasar seperti itu, penguasaan pancer tidak ada artinya lagi.
Bahkan sebaliknya. Gemuka seperti terkurung di tengah.
Yang sebenarnya juga bukan wilayah tengah yang menentukan.
Karena dalam bentuk tipak kuda, susah ditentukan mana bagian tengahnya. Ini berbeda dari gerakan lingkaran, di mana bagian tengah mempunyai jarak pukulan yang sama ke segenap jurusan.
Luar biasa. Upasara Wulung, Adimas Upasara Wulung, mampu mengubah, mampu menemukan jawaban yang jitu, tepat, dan mengena. Justru ketika berada dalam keadaan sangat terdesak.
Helaan napas Nyai Demang terdengar lebih keras dari yang lainnya.
Juga dari Halayudha yang setiap kali masih merasa bisa menemukan hal yang mengagumkan dalam diri Upasara Wulung. Gerakan tipak kuda bukan sesuatu yang istimewa, akan tetapi bahwa itu dipakai
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sesaat setelah Gemuka menguasai titik tengah, merupakan pencerahan yang menggetarkan.
Sebagai jago silat, Halayudha sadar sekali bahwa dalam pertarungan seseorang akan berloncatan kekuatan batinnya. Untuk menemukan dan merangkaikan kilatan-kilatan yang membersit. Hasil latihan dan pengalaman puluhan tahun akan memungkinkan keluarnya ilmu-ilmu itu tanpa disadari sekalipun.
Akan tetapi itu masih tetap pertanyaan besar yang tak bisa diterangkan. Kenapa jurus atau gerakan itu yang masuk ke alam batin, dan kenapa gerakan itu yang dipilih.
Perbedaan tipis yang bisa memilah siapa yang unggul dan siapa yang kalah.
Kini Upasara berada di atas angin.
Gemuka terjebak berada di tengah, kedua tangannya bergulung, menahan serangan pukulan pertama Upasara sejak terjepit yaitu dengan menyerang bagian atas. Seakan ada pukulan yang masuk ke tubuhnya, sehingga tangannya terangkat ke atas. Tangan kiri berjaga, sementara kaki kanan melangkah setengah masuk.
Seakan Upasara telah menduga bahwa Gemuka akan menyerang ke arah bawah ketiaknya.
Gemuka benar-benar terperangah.
Adalah sedikit di luar perhitungannya bahwa posisi Upasara yang perlahan terdesak bisa berbalik. Bahkan kemudian mengetahui arah dan kemungkinan serangan darinya. Gemuka merapatkan tangannya sambil menarik posisi kakinya dua langkah menjauh.
Posisi titik tengah yang direbut tak ada artinya lagi.
Gemuka menduga Upasara akan menyerang, sehingga ia berjaga-jaga sambil mundur. Uap putih yang tadinya memancar, kini seakan ditarik ke dalam tubuhnya. Surut masuk ke tubuh.
Upasara menerjang maju dengan gerakan tangkapan.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua tangannya bergerak searah, siap menerkam tangan Gemuka.
Yang kemudian diubah dengan tangkapan berlawanan. Tangan kirinya bergerak dari atas ke bawah, tangan kanan bergerak dari bawah ke atas.
Begitu Gemuka membuang diri, Upasara merenggangkan tangan dengan gerakan searah maupun berlawanan.
Dalam satu gerakan, pada jurus yang sama, Upasara melakukan empat jenis gebrakan sekaligus. Menangkap dengan berbagai kembangan, menarik serangan lawan, mengelak, dan mendorong!
Empat gerakan sekali gebrak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gemuka melontar ke angkasa. Tenaga dalam Upasara seakan bisa mempermainkan tenaganya, sehingga bisa terkulai untuk ditarik, didorong, diputar, dan ditangkap. Berbagai kemungkinan yang bisa terjadi sekaligus.
Kini sepenuhnya tak ada uap putih yang menandai serangan dan pengerahan tenaga keluar. Gemuka melayang ke atas, kembali membebaskan diri dari kekuatan bumi.
Pada kejapan yang sama, tubuh Upasara menggeliat berputar menyusul.
Gagah sekali gerakannya, memancarkan wibawa yang perkasa, dan indah dipandang. Tubuh Upasara seakan mengikuti tarikan Gemuka, kemudian melilit dari bawah.
Keleluasaan Gemuka dengan nglangi ing mega seakan pupus. Karena tubuh Upasara seakan melingkari dan menguasai. Mega atau awan yang menjadi kekuatan Gemuka, seakan sudah ditangkap Upasara.
Persis seperti ketika Gemuka mampu menguasai pancer.
Hanya kalau tadi Upasara mampu membalikkan serangan, kini keadaannya berbeda. Gemuka seperti terjepit.
Dengan menguasai mega, langkah berikutnya adalah memutar mendung. Mengalihkan awan hitam, untuk mengirimkan hujan ke arah yang dikehendaki.
Gemuka berada dalam kesulitan. Terlibat dalam krisis untuk menemukan langkah yang tepat!
Bahkan Senopati Jabung Krewes bisa mengikuti dengan saksama.
Apa yang diperlihatkan Upasara adalah gerakan-gerakan yang bisa dikenali. Juga dalam kehidupan sehari-hari. Agaknya justru inilah keunggulan Upasara. Mengembalikan gerakan-gerakan ilmu silat kepada sumbernya, pada gerakan-gerakan sehari-hari.
Gerakan menangkap mega dan memutar mendung adalah gerakan yang terjadi sehari-hari ketika kekuatan batin untuk menguasai mega, seseorang bisa mengumpulkan mendung untuk disisihkan, dan
"dilepaskan" di tempat tertentu.
Kalaupun Gemuka tidak mengerti lekuk liku dan latar belakangnya, ia menyadari bahwa dirinya dalam bahaya.
Apa yang dilakukan Gemuka benar-benar luar biasa.
Tubuhnya mendadak memberat luar biasa, dan dengan sendirinya amblas kembali ke pendapa. Mencoba melepaskan belitan Upasara dengan melesak ke bawah.
Dengan sepenuh tenaga. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sehingga Upasara seolah terkunci dan tangkapannya lolos. Akan tetapi kedua kakinya masih bebas mengait tubuh Gemuka. Dengan sekali sendal, tumitnya mengenai sasaran.
Tubuh Gemuka makin menderas ke lantai dan bergulingan.
Nyai Demang hampir bersorak kegirangan.
Yang disusul pekik kaget.
Dan kecemasan. Gemuka benar-benar nekat luar biasa. Ketika tubuhnya amblas ke bawah ditambah dengan sentakan kaki Upasara, Gemuka langsung menggulung di lantai pendapa. Menggulung diri ke arah Kangkam Galih, dan dengan seketika meloncat kembali, membal balik.
Menyabetkan Kangkam Galih ke arah tubuh Upasara.
Mati-hidup! Upasara sendiri sama sekali tak menduga bahwa Gemuka akan mengambil jalan pendek. Dalam benaknya masih berkelebat kemungkinan yang lain. Bahwa sesungguhnya keunggulannya belum berarti kemenangan mutlak. Tapi agaknya Gemuka tidak sabar.
Dengan gerakan menggulung dan menggelundung serta membal balik sambil meraup Kangkam Galih, keadaannya menjadi berbahaya. Karena penguasaan yang bagaimanapun sempurnanya agak susah untuk merangkaikannya dalam satu gerakan, apalagi gerakan menjatuhkan diri secara sepenuhnya.
Tapi Gemuka memilih jalan itu.
Dengan akibat bagian tubuhnya sendiri tersayat oleh Kangkam Galih.
Darah segar mengucur dari punggungnya yang dirobek oleh guratan sangat panjang, menembus pakaian luar, kulit, daging, dan bukan tidak mungkin menggores tulang.
Namun Kangkam Galih yang telah melukai dirinya oleh Gemuka diteruskan sabetannya ke arah Upasara.
Yang untuk pertama kalinya mengeluarkan jeritan keras.
Tubuhnya berjumpalitan dan jatuh ke pendapa.
Jatuh. Ambruk. Darah memancar dari paha kirinya. Membasah, menggenangi pendapa.
Gemuka berdiri dengan pedang tipis kurus panjang berlumuran darah, yang menetes hingga genggamannya yang juga berwarna merah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gemuka meloncat, menerkam!
Sambaran Rudrarosa TERIAKAN was-was terdengar bersamaan.
Gemuka, yang berubah seolah kuyup oleh darah segar yang masih menetes, dengan menggenggam Kangkam Galih terbang ke arah Upasara. Yang saat itu tengah terduduk, karena paha kirinya terluka, yang dengan mudah kelihatan karena bahkan kainnya terobek menyingkapkan luka.
Bahkan Kwowogen ikut mengeluarkan teriakan sangat keras. Karena menduga bahwa Gemuka sedang sekarat, sedang mengerahkan tenaga mautnya yang terakhir. Tak berbeda dari Kiai Sambartaka sebelumnya, yang disaksikan di depan matanya.
Hanya kali ini Gemuka masih memakai perhitungan yang matang, dan pikirannya masih jernih. Sabetan Kangkam Galih begitu tepat, mencungkil di antara tubuh Upasara dan sepenggal di atasnya.
Artinya kalau Upasara berusaha menggulingkan tubuhnya akan terkena salah satu dari rangkaian tusukannya. Kalau meloncat tak akan terbebas dari tebasan, mengingat tenaga kaki kirinya tak bisa dipakai untuk memancal.
Sungguh mengerikan. Namun apa yang terjadi lebih dari yang dibayangkan siapa pun.
Upasara mengerahkan tenaganya, dan dengan kecepatan kilat memancal bumi, melejit ke atas. Kaki kanannya justru tak dipergunakan sama sekali ketika mengerahkan tenaga. Hanya kemudian kaki kanan yang terbuka itu menginjak Kangkam Galih yang tipis melentur untuk melontarkan tubuhnya.
Mengagumkan. Perhitungan yang meleset seujung rambut saja akan menghabisi nyawanya.
Tubuh Upasara membal di udara, berjumpalitan dengan kedua tangan bersiaga.
Tapi yang tak diduga justru gebrakan Gemuka. Gagal menebas Upasara dan bahkan pedang di tangannya dipakai Upasara untuk meminjam tenaga, Gemuka tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya mengikuti gerakan sentakan, dan Kangkam Galihnya menebas sekenanya.
Empat prajurit yang kena sambarannya tewas seketika.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ayunan pedang berdarah tewas menerabas!
Dalam entakan putaran yang sama.
Kwowogen bereaksi cepat. Kakinya menendang tubuh Halayudha yang terjengkang, akan tetapi dengan demikian terbebas dari tebasan.
Sementara Gemuka melayang ke bagian lain.
Ke bagian Eyang Puspamurti.
Yang mengegos perlahan. Hanya saja, kali ini egosannya seperti tak bisa dikuasai dengan baik.
Karena Ratu Ayu yang merintih terluka, yang berada antara sadar dan tidak, mendadak bangkit dan mendorong Eyang Puspamurti.
Mendorong ke arah datangnya pedang!
Mendorong ke datangnya sambaran!
Sesuatu yang tak bisa dimengerti oleh siapa pun. Justru karena Eyang Puspamurti-lah yang membawa Ratu Ayu ke bagian tepi, yang tidak membiarkannya merintih di tengah pendapa, yang memberikan bantuan dengan tenaga dalam untuk menahan sakit.
Tapi ternyata itu yang dilakukan Ratu Ayu.
Tanpa ampun lagi tubuh Eyang Puspamurti yang renta bergoyangan.
Kedua tangannya membuat gerakan menyembah, ketika sambaran itu tepat mengenai lehernya.
Mada dan Kwowogen berteriak secara bersamaan dan masuk ke gelanggang. Keduanya meraup senjata sekenanya dan maju menggebrak.
"Haha, hihi, mati lagi."
Suara Ratu Ayu mengerikan. Dialah satu-satunya yang bisa menikmati kematian Eyang Puspamurti. Satu-satunya yang tertawa ketika kepala Eyang Puspamurti terlepas dari tubuhnya yang terbanting, akan tetapi masih bisa duduk bersila dan menyembah.
Lantai pendapa makin amis oleh darah segar yang memancar.
Tawa yang pendek. Karena Gemuka lebih dari kesurupan. Kontrol kekuatannya yang menggelora, menyebabkan Kangkam Galih menyambar dari satu gerakan yang tak ada putusnya.
Gerakan yang sama, ketika berhasil merobohkan seluruh tiang pendapa. Dengan kekuatan penuh.
Bedanya kini dengan memakai pedang sakti.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Badan Ratu Ayu terenyak ketika tusukan Kangkam Galih amblas menyobek perutnya. Dan dengan gerakan berkelanjutan, pedang itu menoreh, tercabut, dan mencari mangsa yang lain.
Barangkali hanya Nyai Demang satu-satunya yang menggetuni kematian Ratu Ayu!
Bibirnya meneriakkan nama Ratu Ayu Azeri Baijani berkepanjangan, sebelum cepat melayang pergi.
Apa yang menyebabkan Nyai Demang meneriakkan nama, mempunyai latar belakang yang panjang sebagai wanita. Hati kewanitaannya mengatakan bahwa sesungguhnya hubungannya sangat erat dan selama ini merasa sangat mengenai Ratu Ayu.
Sejak pemunculan pertama, sejak perjumpaan pertama. Sampai kemudian mengadakan perjalanan bersama, merukti, merawat tulang-belulang, yang disangka Upasara.
Kalau ada yang berbeda adalah sikapnya yang terakhir. Yang tampak bengis dan lebih tua. Pada saat itu saja, Nyai Demang masih belum yakin bahwa itu adalah perubahan sikap batin yang tercermin secara sempurna. Perwatakan yang dipendam muncul dalam bentuk wadaknya.
Toh saat itu Nyai Demang masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin Upasara bisa menghadapi dengan sikap biasa, dengan sikap yang dingin tanpa beban. Dalam hati kecilnya, Nyai Demang masih mempertanyakan apakah bukan Upasara yang keliru, atau menganggap terlalu berlebihan.
Nyatanya memang tidak. Dalam keadaan yang bisa menampilkan keadaan yang sebenarnya, Nyai Demang menyaksikan sendiri.
Bagaimana Ratu Ayu mendorong Eyang Puspamurti.
Itu semua adalah jalan pikiran yang tetap tak bisa mengubah rasa harunya, suara hati kewanitaannya yang merasa eman, merasa sangat sayang. Kenapa Ratu Ayu harus berakhir hidupnya dengan cara seperti itu.
Dengan cara yang mengenaskan.
Lamunan Nyai Demang hanya sekejap, akan tetapi jalan lamunan memang serasa panjang. Hanya saja itu semua tidak menghentikan sambaran Gemuka yang tidak ada putusnya. Seakan tengah merampungkan satu jurus. Tujuh atau delapan prajurit lain menjadi mangsa Kangkam Galih. Berarti dalam satu pertarungan saja pedang pusaka hitam tipis itu sudah menghantar banyak kematian. Termasuk Eyang Puspamurti, Ratu Ayu Azeri Baijani, dan membuyarkan semua barisan yang kini tak bisa tertata.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara sendiri hanya bisa berjaga, seperti halnya Pangeran Hiang yang mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
Satu-satunya yang tak minggir lagi hanyalah Gendhuk Tri!
Karena masih menjaga tubuh Ki Dalang Memeling yang telah dingin.
Sejak tadi Gendhuk Tri tak beranjak dari tempatnya, tak terlihat dalam pertarungan akhir.
Siapa pun yang ingin menolongnya rasanya akan terlambat.
Termasuk Kwowogen dan Mada yang meraung-raung sangat keras.
Bayangan tubuh Gemuka melayang ke depan Gendhuk Tri. Yang balik tengadah menatap ke arah Gemuka. Kangkam Galih di tangannya terangkat. Gendhuk Tri tersenyum.
Kilasan senyum yang pasrah, akrab, menerima. Sebagaimana ditunjukkan oleh Eyang Puspamurti ketika Kangkam Galih menebas ke arah lehernya.
"Adik Tri..." Suara Upasara sangat serak.
Menyayat. "Angkat selendangmu."
Suara Gemuka sama seraknya.
Gendhuk Tri tersenyum. "Aku tak bisa membunuh orang yang tak melawan. Aku Gemuka, ksatria sejati."
"Tak ada yang perlu dilawan.
"Tak ada yang perlu diperangi.
"Air tak pernah memerangi siapa-siapa. Juga tak dendam diperangi.
Tak menyesali." "Angkat selendangmu."
"Pedangmu bisa mengangkatnya, Rudrarosa...."
"Apa itu Rudrarosa?"
"Kamu akan mengerti, karena kamu yang merasakan. Kamu mungkin baru mendengar sekarang, tapi kamu sudah melakukan. Barangkali dengan nama dan petunjuk yang lain.
"Gemuka, kalau tadi aku mengatakan satu patah kata saja mengenai penyebab penderitaan Putri Koreyea, Dewa pun akan percaya. Kalau aku mengatakan kamu penyebabnya, Pangeran Sang Hiang akan percaya.
"Kamu masih ingat?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Masih." "Dan apa yang kukatakan?"
"Tak ada." "Apa yang kutuduhkan padamu?"
"Tak ada." "Kamu tahu sekarang, itulah sikap untuk menghadapi Rudrarosa, kekuatan yang bisa membadai, bisa berlipat ganda, bisa tak terkalahkan.
"Sikap tidak melawan.
"Sikap tidak mendendam.
"Sikap tidak menyesali.
"Gemuka, apakah kamu masih mempunyai waktu mendengarkan sebelum ajalmu datang"
"Duduklah di sini."
Percakapan Kemurkaan GEMUKA tampak bersungut. Ganjil. Tubuhnya yang besar, yang masih meneteskan darah dari punggung merembes ke kakinya, bergerak. Duduk dengan pantat yang basah. Kangkam Galih masih digenggam erat.
Di sebelahnya, Gendhuk Tri bersimpuh di samping Ki Dalang Memeling.
"Jagattri, aku menunggu."
"Ada cara mati yang menyenangkan, ada yang mengenaskan. Ada cara mati yang dianggap ksatria, ada yang dianggap nista. Ada yang menjadi lebih gagah setelah mati, ada yang..."
"Apa hubungannya dengan diriku?"
"Itu ada hubungannya dengan dirimu, Gemuka.
"Pada saat yang menentukan, aku bisa menyudutkanmu, membuat kamu kikuk. Tetapi aku tidak melakukan."
"Jagattri, aku masih hidup dan pikiranku cerdas.
"Tidak perlu kamu ulang. Katakan apa yang kamu maksudkan dengan Rudrarosa?"
"Tak ada arti apa-apa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kita bisa mencari-cari artinya dengan menggabungkan nama Rudra, yang bisa berarti ganas, buas, hebat kelewat-lewat, mengerikan. Itulah gelaran Dewa Angin Ribut, tetapi juga sekaligus Dewa Api. Gambaran dari kemurkaan yang sesungguhnya. Sedangkan rosa, bisa diartikan kemarahan.
"Tak ada arti apa-apa.
"Pada saat kemarahan memuncak bagai angin ribut, segala apa yang merintangi akan terbasmi. Tak ada yang mampu menahan, apalagi kalau kemurkaan itu mempunyai alasan.
"Pada titik itu tak ada yang bisa menghentikan.
"Kecuali dengan kekuatan tidak melawan.
"Itulah pengertian Rudrarosa. Dalam dunia pewayangan, senjata unggulan yang sama hanya bisa dilawan dengan meletakkan senjata.
"Sebab api kemurkaan tak bisa dilawan dengan api.
"Tak bisa dilawan dengan air.
"Hanya dihadapi dengan tidak melawan, meletakkan senjata."
"Itukah yang disebut pasrah?"
"Tidak juga. "Pasrah tidak bersikap.
"Tidak melawan adalah sikap."
"Itukah. yang kamu sebut sebagai kemenangan?"
"Tidak juga. "Tidak melawan adalah tidak melawan. Bukan mencari kemenangan atau menghindari kekalahan.
"Aku tahu kamu ksatria yang gagah perkasa, yang sakti mandraguna, yang cerdik tanpa tanding, tetapi kamu tak akan pernah bisa, untuk waktu yang singkat, memahami kami dari tanah Jawa ini.
"Bagimu hanya ada dua nilai satu arti. Kalah dan menang. Tak bisa disalahkan, karena kamu dibesarkan dalam tata nilai seperti itu. Aku pernah bertemu dan bergaul dengan salah satu Naga yang hebat, sehingga sedikit banyak bisa mengerti.
"Kami di tanah Jawa ini mengenal tata nilai yang tidak selalu berarti kalah dan menang. Yaitu tidak melawan.
"Gemuka, kamu bisa..."
"Aku bisa menebaskan pedang ini, dan selesailah semua ucapanmu."
"Bisa." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pun andai kamu tidak melawan."
"Bisa. "Tetapi tidak kamu lakukan.
"Mengapa kamu mau duduk di sisiku, di saat semua kobaran dendammu sudah membakar hangus rohmu"
"Kamu bisa terus bertanya hingga arwahmu penasaran, tetapi kamu tidak akan mendapat jawaban yang jelas. Memang bukan itu jawabannya."
"Si tua..." "Eyang Puspamurti lain.
"Ketika Eyang Puspamurti merangkapkan kedua tangannya menyembah, ia tidak melawan. Ia memasrahkan diri kepada Sang Mahadewa. Kamu tidak melakukan apa-apa. Akan tetapi saat Ratu Ayu mendorong tubuh Eyang Puspamurti, ketika itu ada tenaga dan pikiran atau sikap batin Eyang Puspamurti yang menolaknya.
"Tenaga penolakan ini bukan tenaga tidak melawan.
"Sehingga tenaga kemurkaanmu menyambarnya.
"Itulah yang dimaui Dewa."
"Kamu kira aku sudah akan mati begitu saja"
"Kamu keliru, Jagattri. Darahku bisa habis, uratku bisa putus semua, akan tetapi aku tak akan mati. Aku masih bisa meratakan tanah Jawa seperti aku meratakan pendapa ini."
Percakapan keduanya terdengar jelas di seluruh pendapa.
Tapi tak ada yang bergerak atau mengurung.
Semua berada di tempatnya. Kecuali Senopati Tanca yang menaburkan obat-obatan di paha Upasara sambil menggeleng dan mengurut di sekujur urat paha hingga kaki.
"Gemuka, sekarang ada hubungannya dengan yang kukatakan barusan. Yaitu mengenai cara mati.
"Aku mengenal dan mengetahui seorang tokoh yang hebat, yang bernama Eyang Kebo Berune, yang mampu menahan kematiannya untuk jangka waktu cukup lama dengan meminjam tenaga dan tubuh manusia lain. Aku pernah mengenal seorang tokoh yang hebat, Ratu Ayu Bawah Langit, yang mampu menahan ketuaan, seperti juga Eyang Puspamurti untuk beberapa saat. Aku mengenal Eyang Sepuh yang bisa moksa sejak menciptakan ilmu-ilmunya.
"Aku mengenalmu sekarang ini.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku percaya bahwa darahmu yang habis tak akan membuatmu mati.
Penggalan di lehermu yang memisahkan kepalamu tak akan membuatmu mati.
"Itu hanyalah cara memilih kematian."
"Itu bukan kematian."
"Itu cara memilih kematian.
"Artinya mati juga. "Hilang. "Atau kembali. "Pergi. "Atau mewujud kembali.
"Musnah. "Atau tumimbal lahir.
"Gemuka, aku mengalami sendiri ketika para pu'un menitipkan racunnya dalam tubuhku. Aku mengalami sendiri.
"Aku mengalami mendengar nama besar Sri Baginda Raja Kertanegara yang membuat Kaisar Tartar tergetar dan terguncang. Sri Baginda Raja telah lama tiada, bersanding dengan para Dewa. Tetapi juga masih berada di sini, karena kamu tak bisa mengalahkan.
"Khan Segala Khan yang menurunkan kamu, masih akan ada bila kamu masih menangkap roh kematiannya."
Gemuka berdiri. Mengagumkan. Masih gagah. Masih melangkah dua tindak.
"Jagattri, kamu kira kamu sendiri yang bisa memilih cara untuk mati" Aku bisa menentukan caramu mati. Dengan menebas leher, dada, atau menyobek kewanitaanmu."
Gendhuk Tri tersenyum samar.
"Gemuka, aku sudah lama mati.
"Aku sudah mati sebelum dilahirkan. Aku tidak mempunyai asal-usul darah Khan sepertimu. Aku tak mengenal siapa-siapa, tak memiliki apa-apa.
"Akan tetapi aku bisa merasakan kehilangan orang-orang yang kurasa pernah kumiliki dalam hatiku. Seorang lelaki yang gagah, seorang ksatria yang sesungguhnya. Kamu tak akan pernah mengenal nama besar Maha Singanada.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku merasa kehilangan seorang lelaki yang menjadi bapak, yang tak mengenal lagi anaknya sendiri, Ki Dalang Memeling.
"Aku telah memilih caraku sendiri.
"Kamu bisa menebasku, kamu bisa melawan kemauanmu sendiri untuk tidak membunuhku, tetapi hanya raga yang kamu lihat. Sifat yang wadak.
"Putri Koreyea telah mati ketika dibawa Pangeran Hiang. Sehingga sesungguhnya tak ada yang perlu disesali."
Gemuka terhuyung. Matanya meredup. "Apa benar yang kamu katakan"
"Ataukah itu bagian dari tipu muslihat tanah Jawa?"
"Kalau kamu masih ragu, itulah namanya kebenaran."
Gemuka berbalik ke arah Pangeran Hiang.
"Saudara Muda, kamu mendengar sendiri"
"Tak ada yang perlu disesali mengenai Putri Koreyea."
Pangeran Hiang mengangguk, menyoja, dan mengatakan dalam bahasa yang cepat sekali.
"Aku bahagia jika aku bisa berbuat sesuatu untukmu, junjunganku seumur hidup, Saudara Muda."
Gemuka berbalik. "Jagattri, apakah itu yang disebut-sebut ajaran mahamanusia?"
Gendhuk Tri memandang ragu.
"Aku tak tahu. "Rasanya iya. Akan tetapi siapa yang merasa dirinya mahamanusia, ia berarti masih manusia juga. Ia yang tak merasa mahamanusia, berarti tak mengerti apa-apa. Ia yang meragukan mahamanusia, masih jauh dari sebutan itu."
Gemuka mengangsurkan Kangkam Galih.
"Jagattri, ayo sekarang kamu bunuh aku.
"Itulah cara kematian yang kupilih."
Kematian yang Sempurna KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
UPASARA menyaksikan semuanya. Akan tetapi saat itu tak tahu apa yang harus dilakukan.
Gemuka benar-benar mengangsurkan Kangkam Galih kepada Gendhuk Tri.
"Tidak melawan adalah ilmumu yang dahsyat, Jagattri.
"Aku, Gemuka, keturunan Khan yang paling perkasa, tidak malu mengakui kamu yang telah mengalahkanku. Dan aku meminta kamu untuk menyempurnakan cara kematianku.
"Lakukan, Jagattri!"
Gendhuk Tri menahan gelora di dadanya.
"...tak bisa." "Kamu telah memberiku wejangan, dan aku, Gemuka, menerima.
"Kenapa kamu jadi ragu-ragu"
"Apakah kamu bahagia melihat kemenanganmu dengan tubuhku yang seperti ini?"
Gendhuk Tri masih ragu. Gemuka menggenggamkan Kangkam Galih ke tangan Gendhuk Tri.
"Ayo lakukan!"

Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"...tidak...." "Apakah aku harus menyerangmu dan kamu baru mau melawan?"
Gendhuk Tri menggeleng. "Baik, pegang pedang itu baik-baik.
"Akan kutubrukkan tubuhku."
Gendhuk Tri berusaha memegang, mengangkat, akan tetapi tangannya terkulai.
Gemuka memandang langit. "Saudara Muda. "Jagattri ini benar-benar mempunyai keunggulan tak melawan. Lahir-batin, roh dan jiwanya berbuat seperti itu. Kalau ia bisa mengangkat, berarti ia mencari kemenangan. Dan saat itu aku bisa mematikannya.
"Tetapi ia benar-benar tak melawan.
"Jagattri pantas dipuji segala Dewa.
"Tapi aku jadi susah.
"Siapa yang mau mematikanku"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku rela mati di tangan siapa pun yang tak semulus itu hatinya."
Ketenangan suasana, kata-kata yang seakan tak keruan arahnya, sengatan sinar matahari yang makin panas, semua menyatu pada kebuntuan.
Kecuali Halayudha! Dengan berangsur tenaganya pulih kembali. Kini adalah kesempatan yang terbaik yang bisa dilakukan. Diam-diam Halayudha mengerahkan tenaga dalamnya.
Matanya melirik Kwowogen yang berada di sebelahnya.
Mendadak Halayudha menerkam sambil meneriakkan,
"Jangan lakukan!"
Tangan Halayudha menyalurkan tenaga penuh ke arah Kwowogen yang meronta. Akan tetapi dengan kemampuan yang luar biasa tinggi, arah tenaga itu mengenai gagang Kangkam Galih yang dipegang Gendhuk Tri.
Hingga terangkat. Dan Gemuka seketika membalik, menerkam ke arah ujung Kangkam Galih.
Amblas hingga ke dadanya! Dan terjengkang.
Pangeran Hiang melayang. Tangannya lebih dulu mengatupkan mata Gemuka, ketika tubuhnya masih di angkasa. Mulutnya membacakan doa panjang dan pendek dengan suara tertahan.
Gendhuk Tri masih berdiri kebingungan.
Sama sekali tak menyangka bahwa ada tenaga yang menyentil gagang Kangkam Galih hingga terangkat.
"Kenapa kamu lakukan itu?"
Halayudha yang berteriak keras, sambil menotok urat nadi Kwowogen. Yang hanya bisa berdiri melotot.
"Kamu prajurit yang baik, akan tetapi tak seharusnya kamu lakukan itu, Kwowogen. Sebagai pemimpin aku malu karena perbuatanmu."
"Tunggu." Senopati Jabung Krewes meloncat.
"Tunggu, Mahapatih."
"Kamu mau melindunginya?"
"Hamba rasa..."
Halayudha meraup keris di pinggang Jabung Krewes. Menghunus.
"Aku yang tahu, aku yang bertanggung jawab sepenuhnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mundur..." Tangan Halayudha menolak tubuh Jabung Krewes, dan kerisnya meluncur disertai tubuhnya.
Sasarannya ternyata Pangeran Hiang!
Yang sama sekali tidak berjaga-jaga. Karena sedang mengantarkan kematian Gemuka!
Benar-benar cara berpikir yang susah dimengerti.
Jabung Krewes seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Bahwa Halayudha meminjam tangan Kwowogen untuk mengangkat pedang di tangan Gendhuk Tri, para senopati bisa mengetahui.
Dalam hal ini mungkin hati mereka bercabang dua. Antara membenarkan atau menyalahkan.
Membenarkan karena Gemuka dalam hal ini adalah lawan utama yang sakti mandraguna dan kini sebenarnya merasa telah dikalahkan dan memilih mati di tangan Gendhuk Tri.
Menyalahkan karena sikap yang dilakukan Halayudha bukan sikap ksatria. Meskipun ia berteriak itu sepenuhnya tanggung jawabnya.
Akan tetapi ketika membokong, dalam arti sebenarnya karena menyerang dari arah bokong, semua senopati seakan disadarkan kembali bahwa Halayudha masih tetap Halayudha!
Selama ini tak ada perubahan dan tetap tak akan berubah.
Menggunakan kelicikan untuk menyikat siapa yang dianggap lawan.
Sudah jelas bahwa sejak pertama Pangeran Hiang tidak terjun ke dalam peperangan. Bahkan kini dalam keadaan yang paling berduka.
Baik karena mendengar kematian Putri Koreyea maupun menghadapi kematian Gemuka.
Bagaimana mungkin Halayudha memakai kesempatan itu untuk bermain culas.
Akan tetapi sesungguhnya, bagi Halayudha sendiri tak ada perbedaan apa-apa. Pada suasana yang memungkinkan ia muncul, ia akan mendongakkan diri. Dengan cara apa saja. Menginjak atau berdiri di atas mayat orang lain, misalnya, akan tetapi dilakukan.
Itu yang telah terbukti selama ini.
Dan sekarang ini. Arah hunjaman keris sekarang ini tak jauh berbeda dengan ketika melepaskan keris ke pundak Upasara Wulung!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Senopati Jabung Krewes bertindak cepat. Mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk mendorong dan sekaligus memukul tangan Halayudha. Akan tetapi sia-sia.
Tak berpengaruh banyak karena hanya membuat arah sedikit melenceng.
Gendhuk Tri yang memegang Kangkam Galih juga tak sempat menyampok karena masih tertegun.
Tak ada yang menolong. Keris itu mengenai punggung Pangeran Hiang.
Yang membuat Pangeran Hiang tersentak, tubuhnya jadi seolah berdiri, dan membalik dengan mata merah. Keris yang mengenai punggungnya tidak menimbulkan luka sedikit pun.
Hanya menancap di kulit, karena Pangeran Hiang mengenakan pakaian pelindung.
Dengan keris ditangannya, Pangeran Hiang dengan kecepatan yang tinggi membidik balik.
Keris bagai busur anak panah yang disentakkan kuat.
Menyambar balik. Tak ada kesempatan bagi Halayudha untuk menghindar. Karena tak menduga bahwa Pangeran Hiang bisa kebal, tak menyangka secepat itu sambaran kerisnya.
Satu-satunya jalan adalah menarik tubuh Kwowogen untuk melindunginya.
Tanpa sempat menjerit Kwowogen tertancap keris Senopati Jabung Krewes, tepat di jakunnya.
"Ba..." Hanya seruan tertahan yang mengiringi tubuhnya yang terbanting di tanah.
Suasana yang menerkam perhatian masih ditambah lagi dengan suara gedubrakan di pintu.
Raja kembali dengan menunggangi kuda hitam.
"Demi Raja, bunuh semua pemberontak."
Teriakan Halayudha terdengar menggeledek.
"Mereka telah membunuh Permaisuri Praba, telah menghina Raja.
Kalaupun kalian para prajurit tidak memenuhi perintahku, ini adalah sabda Raja."
Raja Jayanegara mengangkat tangannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Atas nama Ingsun. "Tangkap mati atau hidup semua perusuh!"
Untuk sejenak tak ada yang bergerak.
"Barang siapa melindungi perusuh akan ditumpas habis dan dianggap perusuh juga.
"Ini perintah Ingsun.
"Mulai!" Hebat pengaruh perintah Raja.
Kalau para senopati masih sedikit ayal, tidak demikian halnya dengan seluruh prajurit. Yang segera bersiaga dan maju merangsek.
Ke arah Pangeran Hiang. Gendhuk Tri dan Nyai Demang tersentak. Tanpa terasa keduanya maju untuk setengah melindungi.
Demikian juga Upasara Wulung. Hanya saja ketika berusaha melangkah kakinya seperti mati. Tak bisa digerakkan.
Perintah Tanpa Sangsi UPASARA meringis. Rasa kakinya bukan hanya tak mengikuti kemauannya, melainkan sangat perih. Seluruh kepekaan dan rasa yang dimiliki seakan tercabut ke arah kaki. Hingga ujung rambutnya terasa berdenyut.
Ini termasuk membuatnya kecut.
Dalam banyak hal, bukan hanya sekali-dua Upasara menderita luka.
Beberapa di antaranya malah lebih parah. Akan tetapi rasa sakit yang ditinggalkan belum pernah seperti sekarang ini. Benar-benar menyita seluruh kemampuannya.
Yang membuat kecut bukan rasa sakit itu sendiri. Melainkan pemahaman bahwa Kangkam Galih merupakan pedang sakti yang tak terkirakan selama ini. Bahkan Upasara yang pernah menggunakan selama beberapa waktu tak pernah menyangka. Apalagi Galih Kaliki, yang dulunya bahkan mengira sebatang tongkat, ketika pedang tipis itu masih terbungkus sarungnya.
Kalau dirinya yang hanya tergores saja merasakan pedihnya, Upasara bisa membayangkan apa yang diderita Gemuka. Kangkam Galih telah menyobek dan mengiris sepanjang punggungnya. Akan tetapi, toh Gemuka masih bisa menahan diri. Bahkan bisa berbicara dengan jernih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara mengakui bahwa kalau saja pertarungan berlanjut terus, belum tentu dirinya bisa mengungguli. Mengingat kekuatan Gemuka yang luar biasa.
Tapi kini keadaannya berbeda.
Juga lebih sulit untuk menetapkan langkah.
Dalam arti yang sebenarnya, karena Upasara terpincang-pincang dan merasakan kengiluan yang menusuk setiap kali kakinya menyentuh lantai pendapa.
Dalam arti kiasan, karena Upasara kini menghadap prajurit dan senopati, bahkan Raja yang dikenal dan dihormati.
Menghadapi Gemuka, Kiai Sambartaka, atau bahkan Ratu Ayu, Upasara bisa mempertaruhkan jiwanya secara total. Akan tetapi sekarang ini rasanya tak mungkin kalau dirinya harus perang tanding antara mati dan hidup, melawan Raja atau para senopati.
Meskipun agaknya tak ada jalan lain.
Sebab dengan terpincang-pincang, Upasara telah menempatkan diri dalam deretan bersama Gendhuk Tri, Nyai Demang, serta Pangeran Hiang. Telah berada dalam barisan yang menentang Raja.
Nyai Demang menggosok-gosok daun telinganya karena merasa sangat kesal dan tak mampu mengartikan kejadian yang tengah berlangsung sekarang ini.
Sejak awal jelas bahwa Gemuka membawa Ratu Ayu, Kiai Sambartaka, dan melibatkan Pangeran Hiang mengadakan pertarungan besar-besaran. Siap meratakan tanah Jawa. Pada situasi segawat itu, Raja seolah menikmati apa yang terjadi. Tidak segera mengeluarkan perintah yang bisa dipakai sebagai pedoman, bisa menjadi dawuh, atau perintah.
Bahkan sesaat setelah Permaisuri Praba Raga Karana terbunuh, Raja tidak mengeluarkan perintah satu kalimat pun.
Kini, di saat pertarungan yang menentukan boleh dikatakan telah usai, Raja mendadak saja muncul.
Dan menyabdakan untuk memerangi para perusuh.
Tidak jelas mana perusuh yang dimaksud, kalau saja Halayudha tidak membuat ulah.
Nyatanya Halayudha membuat kesembronoan yang berakibat berat.
Bukan hanya membuat Kwowogen tertembus keris, akan tetapi melibatkan seluruh Keraton ke dalam perang saudara. Yang sesungguhnya sangat tidak perlu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Nyai Demang bisa mengerti kalau para senopati sedikit ragu-ragu.
Bagaimanapun sejak awal mereka menyaksikan sendiri, bagaimana Pangeran Hiang mencoba tak memihak. Lebih dari itu, mengalami sendiri dan bersama Upasara menghadapi Gemuka. Upasara bahkan telah mempertaruhkan segalanya.
Dan kini harus memerangi.
Itu semua tak mengurangi bahwa perintah Raja adalah dawuh yang tak boleh disangsikan. Perintah yang bukan hanya tak bisa dibantah, akan tetapi lebih dari itu, tak mungkin bisa ditarik kembali.
Sabda Raja lebih sakti dari semua suratan kitab.
"Tujuh Senopati Utama, apa keraguanmu?"
Ketujuh dharmaputra yang berada di barisan depan segera berjongkok dan menyembah.
"Selama ini Ingsun menyangsikan pengabdian kalian. Dan kini terbukti jelas bahwa kalian semua ragu.
"Ingsun perintahkan, kalian bertujuh semuanya mundur.
"Ingsun tidak membutuhkan senopati macam kalian.
"Ini perintahku."
Nyai Demang sampai memegangi dahinya. Segala yang diucapkan Raja seolah meletup begitu saja. Begitu aba penangkapan disabdakan, kemudian disusul dengan penyingkiran Tujuh Senopati Utama.
Walau secara tidak resmi terdengar bisik-bisik Raja kurang berkenan dengan pengabdian Tujuh Senopati Utama, akan tetapi perintah yang diberikan secara terbuka dalam situasi seperti sekarang ini tetap membuat Nyai Demang bertanya-tanya. Apa yang sesungguhnya terjadi di balik semua keruwetan ini"
Tujuh Senopati Utama menghaturkan sembah, kemudian berjongkok mundur dari barisan.
"Mahapatih!" "Sendika dawuh dalem..."
"Laksanakan dawuh Ingsun...."
Halayudha menyembah sekali lagi.
Lalu berbalik. "Upasara, Gendhuk Tri, Nyai Demang, Pangeran Hiang, marilah kita bersama mengurangi kemungkinan banjir darah. Jangan mengajak korban yang tak perlu.
"Menyerahlah dengan baik-baik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Raja junjungan penuh welas asih untuk mempertimbangkan pengampunan."
Suara Halayudha keras menunjukkan keunggulannya.
Meskipun Nyai Demang menduga bahwa tawaran yang diajukan Halayudha belum tentu murni dari lubuk hatinya. Adalah benar sekali bahwa dengan menyerahkan diri pertumpahan darah bisa dicegah. Akan tetapi bukan tidak mungkin Halayudha sedikit-banyak merasa jeri.
Sekarang ini kondisinya belum pulih sempurna. Sehingga hanya sepertiga kemampuannya yang bisa dikerahkan. Pastilah Halayudha memperhitungkan bahwa Pangeran Hiang bisa lebih menerkam dan mematahkannya. Demikian juga Upasara, yang meskipun terpincang-pincang, tetap diperhitungkan Halayudha.
Hal yang sama pada diri Gendhuk Tri. Yang sekarang telah tumbuh menjadi kekuatan tersendiri. Kemampuan dan ketenangan dalam menaklukkan Gemuka telah membuka semua mata, bahwa Gendhuk Tri bukan lagi tokoh sembarangan. Keunggulan yang diperlihatkan menyejajarkan dirinya dengan Upasara maupun Pangeran Hiang.
Memang bukan dalam memamerkan ilmu silat, akan tetapi kemampuannya menguasai permasalahan ternyata berhasil menyelesaikan perlawanan Gemuka.
Seorang seperti Halayudha akan memperhitungkan dengan sangat hati-hati.
Nyai Demang sendiri mengakui, bahwa dalam waktu yang sangat singkat Gendhuk Tri telah menunjukkan kemajuan yang sangat luar biasa.
Sewaktu Pangeran Hiang mengeluarkan roda bergerigi, dirinyalah yang pertama menyebut dengan Kalarupa Kalawasa. Ajian yang sebenarnya sama dengan Rudrarosa!
Nyai Demang menangkap dan mengartikan keganasan senjata roda maut bertaring. Sementara Gendhuk Tri bisa menangkapnya sebagai kekuatan raksasa, kekuatan berlipat, yang dihadapi dengan tidak melawan.
Itu perbedaan yang luar biasa.
Nyai Demang hanya bisa menangkap makna dan mengira-ngira apa yang tengah terjadi, sementara Gendhuk Tri dari peristiwa yang sama sudah langsung menemukan kunci jawaban penyelesaian.
Dalam hal seperti ini, Halayudha pasti juga melihatnya, pasti mengetahui.
"Adimas Upasara, Pangeran Hiang, anakku Tri..." suara Nyai Demang tetap terdengar lembut.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Biarkan sekarang ini saya yang menghadapi mereka.
"Kalian masih punya waktu untuk tidak melibatkan diri. Masih ada jalan lain."
"Ibu Nyai, kita berada di sini bersama-sama, kenapa masih berpikir sendiri-sendiri?"
Upasara mengangguk. Tangannya menarik kaki untuk sedikit diluruskan.
"Selama kita masih menemukan irama yang sama, kita bisa memainkan gending bersama-sama."
Pangeran Hiang ikut mengangguk.
Meskipun wajahnya tampak suram.
"Pangeran Upasara, saya hanya melibatkan dirimu kepada keruwetan."
"Maaf, Pangeran, rasanya bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal itu."
"Pangeran Upasara, mereka hanya berurusan dengan saya...."
Tangan Upasara bergerak. Memegang tangan Gendhuk Tri.
Tersenyum tipis. Selendang Gendhuk Tri mengembang dengan sendirinya, terkena penyaluran tenaga dalam Upasara. Nyai Demang segera memegangi ujungnya.
Pangeran Hiang seakan menangkap isyarat. Karena mengetahui ada tenaga yang bergerak di sekelilingnya.
Melihat Upasara tidak menjawab tawarannya, meskipun sedikit waswas, Halayudha memerintahkan para prajurit bersiaga.
"Atas nama Raja, tangkap mereka.
"Mati atau hidup!"
Tari Perdamaian TAK ada pilihan lain. Para prajurit segera menyerbu. Dari berbagai arah. Senopati Jabung Krewes juga mengangkat senjata. Meloncat ke depan, bersamaan dengan Halayudha.
Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Tubuhnya maju, memapak Jabung Krewes. Hanya saja tidak memapak serangan atau menangkis, Gendhuk Tri melenggok.
Tubuhnya bergerak luwes bagai memamerkan tarian. Menghindar sambil memiringkan tubuh. Sebelum selesai geraknya, Upasara sudah
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
berada di sampingnya. Meskipun dengan gedingklangan, terpincang-pincang, gerakannya sangat pas berada di sebelah, dan satu langkah menuju gerbang luar.
Nyai Demang dengan cepat membaca apa yang dimaui.
Ketika Upasara menyebutkan irama gending bersama-sama, Nyai Demang belum sepenuhnya mengerti. Akan tetapi begitu selendang saling dipegangi, Nyai Demang sudah menangkap isyarat itu. Maka ia bisa menyusul ke dalam barisan di sebelahnya.
Hanya Pangeran Hiang yang tampak kikuk. Karena ketika bergerak, tak urung tangannya bentrok dengan Halayudha, yang karena masih merasa jeri menarik mundur pukulannya.
"Gerakkan saja, Pangeran Hiang," bisik Nyai Demang dalam bahasa yang dimengerti Pangeran Hiang. "Kita memakai gerakan lima langkah, dalam hitungan keenam.
"Ini adalah langkah yang disebut Langkah Slendro. Entakan langkah adalah satu dengan kekuatan kepala, dua dengan gerakan leher, tiga dengan gerakan dada, empat... empat tidak dikenal, lima dengan gerakan lima, enam dengan gerakan enam."
Pangeran Hiang mengikuti langkah di samping Nyai Demang.
"Ini langkah ketiga, ya..."
Pangeran Hiang terhuyung, gerakannya kaku, akan tetapi posisi kakinya sudah tepat seperti yang dimaksudkan Nyai Demang.
"Iramanya biasa saja.
"Jangan mengikuti pikiran, akan tetapi rasa.
"Maaf, maaf ini memang masalah yang sulit. Tapi seperti memainkan Langkah Naga, yang sama... Ya, Delapan Langkah Naga, akan tetapi ini hanya berjumlah lima, karena langkah keempat kosong.
"Tidak melakukan gerakan."
Meskipun sangat kaku dan terbata-bata, Pangeran Hiang bisa menangkap apa yang dimaksudkan Nyai Demang. Terbukti dengan cepat bisa mengisi kekosongan, dan dalam sekejap keempatnya sudah berada di mulut gerbang yang roboh. Dengan satu putaran lagi, keempatnya kembali ke depan, untuk kemudian berputar melepaskan diri dari kepungan.
Lepas dari kurungan, lolos dari serangan tanpa menimbulkan satu korban pun.
Bahkan Nyai Demang masih menerangkan dan kadang tertawa lepas karena gerakan tubuh Pangeran Hiang yang sangat kaku dan terpotong-potong, sementara Upasara melakukan dengan satu kaki.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Toh akhirnya mereka berempat bisa lolos.
Sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa.
Ketika Jabung Krewes ikut menggerakkan para prajurit, hatinya masih diliputi keraguan untuk benar-benar menyergap. Setengah hati saja melakukannya. Akan tetapi begitu Upasara, Gendhuk Tri melangkah, Jabung Krewes segera menangkap irama gerakan. Gerakan penari yang langkah-langkahnya sangat dikenali.
Sehingga Jabung Krewes memainkan irama yang sama. Seolah ia menggebrak, akan tetapi sering menemukan bayangan yang keliru.
Karena memainkan dengan cepat, tak akan mudah diketahui bahwa Jabung Krewes sengaja menyamakan irama. Begitu juga aba-aba yang diberikan kepada para prajuritnya.
Mereka mengejar ke tempat yang baru ditinggalkan. Mereka mencegat pada langkah keempat.
Itu pula sebabnya keempatnya bisa segera lepas dari kepungan prajurit yang bersenjata lengkap.
Halayudha bukannya tidak mengetahui permainan ini. Permainan tarian yang dimainkan Upasara, maupun permainan yang dimainkan Jabung Krewes.
Baginya, sangat mudah membaca kemungkinan gerak yang akan terjadi. Sama mudahnya dengan melihat jari tangannya, karena irama yang menjadi sumber gerakan itu sangat dikenalnya.
Hanya Halayudha tak mau bertindak bodoh.
Halayudha tak ingin mengacaukan irama. Karena melihat bahwa semua prajurit yang mengepung, secara serempak juga memahami gerakan itu dan tak ada yang berusaha mematahkan atau mengacaukan. Dengan kata lain, para prajurit berada pada pihak Upasara Wulung.
Kalau dirinya mengambil jalan dan irama yang berbeda, Halayudha merasa hanya akan lebih menyulitkan posisinya. Pertama, itu berarti ia harus menggebrak dari prajuritnya sendiri dan ke arah luar. Kedua, itu berarti dirinya yang akan berada di depan. Paling depan.
Halayudha, seperti yang diperhitungkan Nyai Demang, sama sekali tidak ingin membuka pertarungan sekali ini. Upasara yang terpincang-pincang tak akan bisa dilawan sekarang ini. Apalagi masih ada Pangeran Hiang yang masih dalam kondisi istimewa, dengan dendam segunung yang bisa diruntuhkan ke arahnya.
Makanya Halayudha tak terlalu berkeras untuk menahan dan melibatkan diri. Hanya setelah keempatnya berada di luar pendapa, ia memerintahkan untuk terus mengejar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Meskipun sadar tak ada gunanya.
Karena para prajurit itu bukan tandingan mereka sedikit pun.
Halayudha sendiri lebih suka berbalik, menyiapkan diri untuk sowan, dan merencanakan beberapa langkah utama.
Yang pertama-tama adalah berusaha memulihkan tenaga dalamnya, dan menyiapkan kondisinya agar kembali seperti semula. Yang kedua, kini masalahnya sudah lebih terang. Terutama dengan mundurnya Tujuh Senopati Utama. Ini berarti, secara praktis Keraton sepenuhnya sudah dikuasai. Hanya menghadapi Raja. Dan keyakinannya sejak dulu, itu bukan masalah apa-apa.
Walaupun masih ada sisa ancaman, itu berasal dari Senopati Jabung Krewes. Perlu diperhitungkan mengingat tadi Raja mengangguk-angguk dan merasa bangga akan apa yang dilakukan oleh Jabung Krewes. Itu bisa menjadi pertanda buruk baginya. Akan tetapi ia tak perlu kuatir.
Perubahan itu tak akan terjadi dalam waktu dekat.
Dan sebelum perubahan itu terjadi, ia telah bergerak!
Dengan cara yang paling gampang. Membuka rahasia cara penyerangan Jabung Krewes yang membiarkan Upasara lolos. Tak begitu sulit menerangkan kepada Raja, tak terlalu sulit Raja memahami Langkah Slendro, yang melahirkan Tarian Perdamaian.
Dari satu sisi ini saja, rahasia Jabung Krewes sudah habis.
Berarti memang tak ada yang perlu diperhitungkan.
Yang ada hanya prajurit kecil.
Itu pun hanya Mada. Mada" Ini bisa jadi masalah ketiga baginya. Halayudha sedang berpikir-pikir mengenai Mada. Yang bersama dengan saudara seperguruannya, bersama dengan Eyang Puspamurti mempunyai kedudukan yang istimewa. Bukan karena ilmu silat mereka lebih unggul dibandingkan yang lain, akan tetapi Mada dan Kwowogen sudah memperlihatkan sesuatu yang mempunyai nilai lebih.
Mada bahkan bisa langsung mengambil langkah memerintah. Sesuatu yang tak terbayangkan bakal bisa dilakukan ketika ia masih mempunyai pangkal prajurit. Mada bisa berbahaya karena kalau dilihat sikapnya selama ini sangat keras. Apalagi dengan Jabung Krewes di belakangnya.
Tapi, sekarang masih belum ada apa-apanya.
Halayudha sudah mempunyai rencana untuk menghapus semuanya.
Itu tak terlalu sulit. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya tiba-tiba Halayudha seperti tersadar. Matanya berkejap-kejap, bibirnya menjadi gemetar.
Tangannya menepuk keningnya beberapa kali.
Bayangan Upasara Wulung, Nyai Demang, Gendhuk Tri, Pangeran Hiang muncul silih berganti. Yang kemudian muncul berulang adalah bayangan Gendhuk Tri. Yang bisa menenggelamkan Gemuka.
Betapa mengagumkan. Halayudha melihat dirinya sendiri. Menyelam ke dalam batinnya.
Kalau semua tokoh bisa langsung melejit dan menemukan pencerahan, kenapa dirinya seperti berjalan di tempat" Kenapa dirinya hanya bisa menjadi saksi, dan bukan pelaku"
Apakah karena dirinya hanya berpikir yang kecil dan sepele"
Halayudha menepuk keningnya.
Mengurut dadanya. Matanya terpejam. Bibirnya terkatup erat. Seolah semua geraknya takut terbaca orang lain.
Ada sesuatu yang melintas di kepala Halayudha, dan ia merasa bisa dibaca oleh orang lain.
Yaitu kesempatan terakhir dari kemungkinan yang bisa dicapai olehnya.
Menjadi orang pertama. Duduk di singgasana. Duduk di dampar kencana, kursi emas.
Sekarang saatnya! Leher Halayudha bergerak-gerak. Ia tak kuasa menahan gejolak hatinya, dorongan keinginannya yang meledak-ledak.
Sekarang ini. Para ksatria sedang menyingkir dan tak akan peduli.
Tujuh Senopati Utama dalam keadaan tidak mempunyai kekuasaan. Di Keraton tak ada pelindung dari Tartar, Syangka, Hindia, atau mana saja.
Tak ada tokoh Keraton yang disegani.
Tak ada siapa-siapa. Selain dirinya. Selain Halayudha!


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemahaman, Bukan Kekalahan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
KALAU Halayudha sedang melayang karena merencanakan langkah menduduki singgasana, Pangeran Anom juga melayang pikirannya karena terjungkal.
Terjungkal dari angan-angan, impian yang tersisa dalam lubuk hatinya yang paling tersembunyi. Harapannya terpupus tandas.
Selama ini secara diam-diam dan terang-terangan, Pangeran Anom menaruh hati kepada Gendhuk Tri. Lebih dari putri Keraton yang mana pun, hati Pangeran Anom menemukan getar yang paling memabukkan dan membahagiakan ketika melihat Gendhuk Tri.
Perjalanannya ke Pamalayu bersama kedua orangtuanya pun urung karena ingin mengikuti Gendhuk Tri.
Dalam pandangan Pangeran Anom, Gendhuk Tri adalah wanita yang selama ini hanya bisa ditemukan dalam angan-angan. Seorang wanita yang bersikap dewasa, yang menjawab rasa rindu, dan mempunyai daya tarik asmara sejati.
Meskipun tidak secara terang-terangan menolak, Pangeran Anom mengetahui dan merasakan bahwa hati Gendhuk Tri terlalu keras untuk lumer tersinggung daya asmara. Itu menggelisahkan, akan tetapi tak mengurangi masa yang akan datang.
Juga sewaktu secara terang-terangan Gendhuk Tri mengatakan bahwa ia memilih Maha Singanada. Dengan jujur Pangeran Anom mengakui, bahwa Maha Singanada menunjukkan kelebihan dibandingkan dirinya. Dalam hatinya, Pangeran Anom mengakui kesetiaan Gendhuk Tri. Akan tetapi, dalam hati kecil Pangeran Anom masih juga bersemi harapan-harapan bahwa sebelum ada janur kuning melengkung di gapura-tanda adanya upacara pernikahan-Pangeran Anom masih melihat peluang untuk menemukan idamannya.
Betapapun kecil. Hati kecilnya, rasa kalbunya, mengisyaratkan bahwa masih ada kemungkinan untuk menyelinap ke dalam perhatian Gendhuk Tri.
Bukan karena Maha Singanada telah menjadi cacat dan kutung kakinya, akan tetapi tanpa alasan itu pun seberkas cahaya keinginan masih membersit.
Tapi tidak sekarang ini. Kalau sebelumnya bunga-bunga kerinduannya terus bersemi, kali ini seperti rontok sebelum disapa matahari.
Karena yang muncul adalah Upasara Wulung.
Ksatria yang dikagumi, lelaki yang membuatnya menunduk hormat, dan rasa-rasanya memang lelaki seperti Upasara Wulung-lah yang pantas mendampingi pujaan hatinya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pangeran Anom tak bisa menipu hatinya.
Kehadiran kembali Upasara mempunyai arti yang dalam bagi Gendhuk Tri. Apa pun dan bagaimana pun perjalanan hidup Upasara di masa lalu, tetap tak akan mengubah pandangan Gendhuk Tri. Pangeran Anom merasa yakin akan hal ini.
Bahkan boleh dikatakan lebih yakin dari Gendhuk Tri sendiri.
Justru karena Pangeran Anom merasa sangat mengenal Gendhuk Tri, mengetahui reaksi ujung rambutnya sekalipun.
Pangeran Anom seakan bisa membaca impian yang menyelinap di balik tidur Gendhuk Tri yang paling lelap sekalipun. Seakan mendengar suara hati Gendhuk Tri yang bernyanyi riang, setiap kali memandang bayangan Upasara Wulung.
Peristiwa besar yang baru saja terjadi menyadarkan sepenuhnya akan hal itu. Bukan karena ia tak disapa secara khusus, bukan karena dirinya tidak memperlihatkan keunggulan dibandingkan ksatria yang lain, melainkan karena memang itulah yang menjadi kenyataan sesungguhnya.
Bagaimana Gendhuk Tri menunduk beku ketika Putri Tunggadewi meneriakkan sesuatu, terguguk dan bersemadi, ketika itulah tangan Upasara menyentuh pundak Gendhuk Tri.
Sentuhan lembut. Sentuhan sederhana. Senggolan yang tak mempunyai arti apa-apa, andai bukan Upasara yang melakukan. Andai bukan Gendhuk Tri yang diperlukan. Dan karena itu terjadi pada Gendhuk Tri dan Upasara, getaran itu jadi berbeda.
Dalam pandangan Pangeran Anom, Gendhuk Tri menjadi sumringah, bergembira lahir-batin. Seolah menemukan kebahagiaan dan keriangan.
Dan berdiri bersama, menghadapi lawan bersama. Saling memperlihatkan dengan lirikan pendek atau saling tahu di mana posisi masing-masing.
Pangeran Anom tahu persis karena memang hanya mereka berdua yang diperhatikan.
Apalagi ketika kemudian menarikan gerakan yang sama untuk meloloskan diri dari pendapa. Betapa rukun, betapa mesra, betapa menyatu dalam irama kebersamaan.
Pangeran Anom mengakui, dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itulah pasangan yang paling sempurna. Dewa atau Dewi lain tak akan mungkin memisahkan keabadian yang membahagiakan ini. Dewa dan Dewi hanya bisa iri pada mereka berdua.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dirinya telah kalah. Kalah" Pangeran Anom mengakui sampai ke dasar hatinya. Disebut dengan istilah lain apa pun, jawabannya berarti sama. Dirinya telah dikalahkan oleh yang paling pantas mengalahkan.
Kalah" Kalah dalam rebutan asmara.
Kalah karena sepenuh-penuhnya Gendhuk Tri memasrahkan dirinya dalam rangkulan kekuatan asmara Upasara.
Tak ada kalah-menang dalam soal daya asmara, bantah batinnya lirih. Yang ada hanyalah jodoh. Hanyalah nasib, hanyalah garis tangan yang sudah ditakdirkan sebelum manusia dilahirkan.
Pembenaran ini sedikit-banyak menghibur.
Kehadiran Upasara sedikit-banyak membuatnya bersyukur.
Kalau bukan Upasara, hati kecil Pangeran Anom masih akan menggeliat. Masih berkutat mempertanyakan. Akan tetapi, Upasara adalah Upasara, kakang Gendhuk Tri yang sesungguh-sungguhnya.
Tapi apa arti pembenaran ini"
Pangeran Anom bertanya pada dirinya sendiri. Dan menjawab sendiri dengan keraguan. Bahwa ini hanyalah upaya untuk menyenangkan, untuk menenangkan, untuk menenteramkan hatinya. Bahwa yang terbaik yang bisa mengalahkannya.
Ini bukan kekalahan, ini pemahaman. Memahami bagaimana sebenarnya Dewa Yang Maha dewa mengatur jodoh manusia. Tak bisa diubah, tak bisa ditentang, tak mungkin digeser.
Jalan pikiran itu hanya menenteramkan sesaat. Sesaat berikutnya timbunan pembenaran yang lainnya. Bahwa semuanya baik, selama Gendhuk Tri menjadi lebih bahagia. Dan itu yang akan dialami nanti.
Sesaat yang berikutnya lagi, Pangeran Anom menemukan pertanyaan yang mengguncang akar ketenteramannya. Apakah benar begitu"
Apakah kalau Gendhuk Tri lebih bahagia, berarti dirinya juga bahagia"
Apakah arti ketulusan semacam itu"
Sesaat dan sesaat berikutnya, putaran jalan pikiran Pangeran Anom tetap tak ada yang melegakan. Kecuali satu kenyataan, bahwa harapannya untuk menyimpan kenangan lama, akan tetap sebagai kenangan yang menyakitkan tapi juga memabukkan.
Sedemikian puteg, sedemikian kalut pikiran Pangeran Anom sehingga tidak sadar dirinya tertinggal dari iringan yang menuju Keraton.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dan dirinya tak tahu mau ke mana.
Menghadapi kenyataan rasanya tak sanggup lagi. Satu-satunya jalan adalah mengikuti kehendak orangtuanya, Senopati Agung Brahma, menuju ke tanah seberang.
Atau masih perlu mengucapkan selamat sejahtera kepada Gendhuk Tri"
Ada gunanya. Untuk siapa" Apakah masih ada artinya bagi Gendhuk Tri, atau juga baginya sendiri" Kembali putaran pertanyaan tetaplah keraguan.
"Yayi Tri, biarlah Kakang mengenang daya asmaramu, dengan cara Kakang sendiri...."
Entah kalimat itu tercetus atau hanya terucapkan dalam hati. Tak ada bedanya. Tidak juga dengan menghela napas yang berat. Tak bisa melepaskan dengan memejamkan mata.
Berpencar ke berbagai jurusan jalan pikirannya.
Apakah ini karena garis keturunan, di mana rama-nya dulu juga mengalami kegagalan asmara yang mengenaskan, yang menyebabkan ia menyembunyikan diri separuh sisa hidupnya"
Apakah ini karena kutukan suatu kesalahan dan dosa kakek moyangnya dulu"
Apakah, apakah, apakah sebenarnya daya asmara itu"
Kenapa dulu mengenal Gendhuk Tri, kenapa bukan yang lainnya"
Kenapa begitu hebat getaran hatinya terhadap Gendhuk Tri dan bukan Putri Tunggadewi, atau Putri Rajadewi, atau wanita yang lain" Apa sebenarnya arti ini semua"
Pangeran Anom tak bisa menjawab.
Bahkan kemudian merasa tak bisa bertanya.
Tubuhnya seperti melayang di atas mega, lembut, akan tetapi setiap kali kakinya seperti terjeblos dan membuatnya sadar apa yang terjadi dengan perjalanan hidupnya.
Berapa lama duka ini harus ditanggung"
Berapa lama beban melekat ini menghancurkan kekuatan jiwanya"
Akhirnya Pangeran Anom memutuskan kembali ke Keraton lebih dulu. Untuk segera mengumpulkan prajurit dan pengikutnya, yang akan menyertai ke tanah seberang. Itu satu-satunya jalan. Satu-satunya kemungkinan, apa pun namanya. Apakah pelarian asmara, apakah ketololan asmara, atau jalan terbaik, Pangeran Anom tak bisa menilai.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Daya asmara yang tak bermuara adalah air Kali Brantas, akan selalu mengalir...."
Kalimat itu cair, menenggelamkan dirinya.
Pedang yang Tersimpan SEMENTARA itu Pangeran Hiang, Upasara Wulung, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang masih menarikan gerakan bersama. Pangeran Hiang tampak sangat kesengsem, sangat tertarik.
Karena mulai bisa mengikuti irama.
Bahkan tanpa ada yang mengejar pun, Pangeran Hiang masih terus mencoba meloncat ke kiri, ke kanan, melangkah kosong, dan menggerakkan lehernya.
Hanya karena Upasara tampak kaku, kakinya masih lurus tak tergerakkan, mereka bertiga berhenti. Dan berteduh di bawah pepohonan.
"Bagaimana kakimu, Anakmas...?"
Upasara menggeleng. "Entahlah, Nyai. "Entahlah kalau Mpu Tanca tidak segera membubuhkan reramuan."
Ketika Upasara menyingkapkan kainnya, tampak garis hitam membujur di pahanya hingga ke kaki. Luka itu telah sembuh.
"Anakmas jangan terlalu banyak bergerak."
Baru sekarang Upasara mendengar sebutan "Anakmas". Panggilan yang tidak biasanya. Baru kemudian Upasara sadar ada sesuatu yang dimaksud, ketika Nyai Demang berbicara kepada Gendhuk Tri dengan menyebut sebagai anakku.
"Kangkam Galih benar-benar luar biasa.
"Selama ini kita semua tak pernah mengetahui."
"Memang, itulah pedang yang tersimpan. Keunggulan yang begitu sempurna, ciptaan maha karya yang linuwih, yang unggul, tersimpan begitu saja.
"Apakah Anakmas sama sekali tak mengetahui asal-usul Kangkam Galih?"
"Tidak, Nyai." "Tak pernah mendengar?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tidak." "Apa Ibu Nyai pernah mendengar?"
Suara Gendhuk Tri datar, lembut, tapi menggetar.
Nyai Demang menggeleng. Sangat perlahan. "Rasanya aku pernah mendengar cerita. Barangkali saja ada hubungannya dengan Kangkam Galih. Tapi susah dirunut benar-tidaknya.
"Di masa kekuasaan Sri Baginda Raja Kertanegara, begitu banyak keunggulan yang tergali. Salah satu yang kita rasakan hingga sekarang adalah lahirnya Kitab Bumi.
"Sesungguhnya apa yang Sri Baginda Raja lakukan tidak hanya terbatas pada kitab silat. Melainkan juga pembuatan senjata pusaka, pengiriman para senopati ke tanah seberang.
"Ah, Anak Tri, apakah Mpu Raganata tak pernah bercerita?"
"Tidak. "Atau saya tak tahu.
"Saya tidak langsung diasuh Eyang Raganata yang mulia."
"Apa Jagaddhita tak pernah bercerita?"
"Tidak. "Atau saya lupa."
"Kalau tidak salah, di masa awal pemerintahan Sri Baginda Raja, para empu pembuat senjata pusaka juga dikerahkan untuk menciptakan keris yang mahasakti. Di antaranya adalah Kiai Sumelang Gandring yang menciptakan banyak keris pusaka. Akan tetapi karena gagal memenuhi permintaan Sri Baginda Raja, Kiai Sumelang Gandring mengembara ke tanah kulon, dan sampai sekarang tak kembali.
"Saya dengar ada beberapa muridnya yang mengembara kembali, akan tetapi cures, punah semuanya.
"Sungguh sayang. "Bagaimana mungkin tokoh yang demikian sakti tak meninggalkan bekas apa-apa"
"Hmmm. "Tapi kembali ke asal-mula Kangkam Galih. Kalau tak salah memang ada empu yang sakti, yang menciptakan senjata ampuh. Sedemikian ampuhnya, sehingga sang pencipta pusaka sendiri kuatir akan banyak sekali korban yang jatuh. Maka senjata itu disembunyikan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau cerita ini benar adanya, sangat cocok dengan diketemukannya Kangkam Galih. Pedang pusaka itu disembunyikan di tengah galih asam. Sedemikian sempurnanya, sehingga kita tak ada yang mengetahui bahwa tongkat kayu yang digunakan Galih Kaliki menyimpan pedang sakti.
"Hanya itu yang kuketahui sejauh ini.
"Siapa penciptanya, dan bagaimana kisah selanjutnya aku tak tahu.
Barangkali kalau kita membuka-buka kitab di perpustakaan Keraton, kita bisa melacak."
"Mungkin juga tidak," sambung Gendhuk Tri ringan. "Ada yang merasa tak perlu dikenang.
"Baik karena meninggalkan kenangan tidak menyenangkan, atau karena menganggap itu semua tidak perlu."
Nyai Demang merasa Gendhuk Tri seperti membicarakan sesuatu yang berbeda.
Walau bisa dihubungkan dengan apa yang tengah dibicarakan.
Bisa saja berarti bahwa empu pencipta Kangkam Galih merasa gagal karena menciptakan senjata pembunuh yang dahsyat. Atau karena merasa tak ada gunanya dikenang.
Tetapi arti yang lain juga mencuat. Bahwa sesungguhnya ada masa lalu yang seharusnya dihapus, karena selalu menimbulkan kenangan tidak menyenangkan. Atau karena tak mempunyai makna apa-apa.
Nyai Demang bertanya-tanya. Apakah yang dimaksudkan Gendhuk Tri kenangan dalam diri Upasara tentang Permaisuri Rajapatni" Atau justru Ratu Ayu"
Atau Gendhuk Tri sendiri dengan Maha Singanada"
Atau Pangeran Hiang"
Semuanya bisa terkena. Termasuk dirinya sendiri.
"Bagaimana rasanya, Anakmas?"
"Masih ngilu." "Barangkali..."
Kali ini Nyai Demang tak bisa melanjutkan. Karena kuatir jika akhirnya ada kesimpulan kaki itu harus dipotong. Kisah Maha Singanada sudah cukup mengerikan.
Dan apa yang dirasakan Gendhuk Tri nantinya jika harus mengalami dua kali kejadian yang sama-sama mengerikan"
"Adik Tri benar. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau empu yang menciptakan pedang tak meninggalkan apa-apa, beliau sendiri yang memutuskan begitu.
"Saya kira Adik Tri benar."
"Sejak kapan Kakang memanggil dengan sebutan itu?"
Upasara tersenyum. "Sejak bertemu dulu mestinya sudah memanggil itu.
"Apa berkeberatan?"
Gendhuk Tri tersenyum geli.
"Kita sekarang ini sudah jadi penganggur iseng yang kurang pekerjaan. Sehingga soal sebutan saja menjadi pembicaraan. Apa benar kita tak punya tanggung jawab apa-apa lagi?"
"Apa maksudmu, anakku?"
"Keraton saat ini..."
"Keraton selalu seperti itu!"
"Raja..." "Raja masih akan selalu begitu."
"Di sana masih ada Putri Tunggadewi dan Putri Rajadewi yang tak ketahuan nasibnya di tengah kekuasaan Raja. Di sana ada senopati-senopati yang kini diberangus. Dan di sana juga ada Halayudha yang makin memperlihatkan siapa dia sebenarnya."
"Lalu?" "Lalu kita berada di sini membicarakan soal panggilan, sebutan."
"Kamu sendiri yang memulai."
Gendhuk Tri mengangguk. "Saya yang memulai, karena saya merasa tak mempunyai beban lagi.
Saya tak mempunyai tanggung jawab apa-apa sekarang ini. Tidak ada pegangan, tidak ada yang..."
"Jadi kamu anggap ibumu ini..."
"Ibu Nyai kan di sini bersama kami dan tak perlu dikuatirkan."
Ucapan Gendhuk Tri tertuju kepada Upasara.
Yang hanya menghela napas pendek.
"Pedang yang tersimpan.
"Pedang yang memerlukan waktu untuk berdiam diri. Agar pedang-pedang yang lain, agar keris, tombak yang lain berbicara. Kalau semua
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
perlu ditebas dengan Kangkam Galih, yang lainnya tak perlu diciptakan."
"Pedang itu hanya ciptaan.
"Manusia yang menciptakan."
"Ada benarnya. "Akan tetapi, kalau setiap kali aku yang berada di sekitar Putri Tunggadewi dan Rajadewi, sampai kapan mereka berdua menemukan dirinya" Menemukan pasangannya"
"Adik Tri lihat sendiri mereka berdua telah tumbuh sebagai wanita yang akan menjalani kodratnya."
"Kenapa Kakang membicarakan soal jodoh?"
"Cepat atau bahkan sangat cepat, hal itu akan menjadi masalah utama, Adik.
"Mereka berdua berbeda dengan kita. Yang bisa gentayangan, tak merasa tak mempunyai beban."
"Kakang, saya mengatakan mengenai perlindungan kepada Putri Tunggadewi dan Putri Rajadewi, sebab saya pernah berjanji akan melindungi mereka berdua."
"Berjanji kepada..."
"Permaisuri Rajapatni."
Upasara mengangguk. Percakapan Perjodohan TAK terlihat bahwa penyebutan nama Permaisuri Rajapatni membuat Upasara sedikit pun berubah.
Tidak wajahnya. Tidak juga kalimatnya. Bahkan anggukannya tampak sangat wajar.
"Sebaiknya Adik Tri penuhi janji itu.
"Sebisanya. "Kalau tidak memberati."
Kini malah Gendhuk Tri yang merah wajahnya.
Sekilas menduga bahwa Upasara mengetahui apa yang pernah diperbincangkan dengan Permaisuri Rajapatni. Saat itu belum ketahuan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
bagaimana nasib Upasara. Gendhuk Tri belum mengetahui. Ketika itulah Permaisuri Rajapatni mengajukan dua permintaan. Yang pertama meminta agar kedua putrinya dijaga. Yang kedua, yang kedua...
kesediaan Gendhuk Tri menerima Upasara Wulung.
Sekilas saja. Gendhuk Tri tak merasa perlu bertanya-tanya bahwa selama itu Upasara telah bertemu sendiri dengan Permaisuri Rajapatni.
Upasara tersenyum tipis. "Adik Tri mengerti maksud saya?"
Nyai Demang yang kadang merasa bisa menangkap sesuatu yang tak terucapkan kali ini hanya bisa mendengarkan. Tak mampu menebak apa yang tengah diperbincangkan.
Ketika Nyai Demang membuang pandangan, barulah ia sadar bahwa sejak tadi Pangeran Hiang hanya berdiam diri.
"Apakah Pangeran Sang Hiang masih memikirkan langkah yang tadi?"
"Sungguh bahagia jika saja Nyai Demang bersedia memberikan petunjuk."
"Saya sendiri tidak mengetahui. Tapi bisa kita coba. Barangkali di sebelah situ kita bisa leluasa."
Nyai Demang menuju ke tempat yang agak jauh.
Diiringi Pangeran Hiang. Sebenarnya tidak perlu, kalau maksudnya agar Upasara dan Gendhuk Tri tidak menjadi rikuh, enggan, dan terganggu.
Karena bagi Upasara Wulung, satu tataran pemikiran telah dilalui.
Kini penguasaan emosi dan gejolak hatinya bisa dilakukan dengan sangat baik. Mendekati kesempurnaan.
Dan kepekaan penguasaan itu pula yang dilihat Upasara memancar dari dalam diri Gendhuk Tri. Terutama saat-saat terakhir ketika menghadapi Gemuka.
"Saya mengerti maksud Kakang."
"Saya merasa lebih tenang sekarang ini.
"Adik Tri, saya mengerti bahwa sebagian isi hati dan kesetiaan yang Adik miliki telah diserahkan kepada Maha Singanada. Bahwa kemudian Maha Singanada memilih menggantikan Kakang, Dewa Yang Maha tahu yang mencatat. Tetapi saya pun bisa mencatat dan mengakui, pasti bukan tanpa sebab.
"Itu sebabnya di pulau terpencil dulu saya membuka persoalan ini kepada Adik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Adik Tri. "Kita bukan kanak-kanak lagi.
"Kita bukan remaja yang digelorai daya asmara yang berkobar. Kita telah menjadi tua karena usia, karena kedunguan, karena pengalaman.
"Dengan mengecap kekuatan Sukma Sejati, dengan Ngrogoh Sukma Sejati, saya bisa mengetahui apa yang terjadi pada diri orang lain. Pada diri Pangeran Anom sekarang ini misalnya. Pada Ki Dalang Memeling, misalnya.
"Akan tetapi tetap saja sebagian yang tersangkut dengan diri saya, tak saya pahami."
"Hal yang sama saya rasakan, Kakang."
"Saya mengerti, Adik Tri.
"Saya mengerti."
Keduanya berpandangan. Menyembunyikan senyuman. "Penguasaan diri Adik Tri sangat luar biasa.
"Bibi Jagaddhita pun tak akan menduga bahwa Gemuka yang tak terkalahkan bisa bersujud di kaki Adik."
"Kakang bilang kita bukan kanak-kanak.
"Tapi ngomongnya seperti kanak-kanak yang memerlukan pujian."
"Saya mengatakan apa adanya."
"Saya tahu, Kakang. "Saya tahu Kakang adalah ksatria lelananging jagat, pendekar tanpa tanding. Akan tetapi sebenarnya masih ada pedang yang tersimpan, yang suatu hari kelak akan muncul ke permukaan.
"Saya tahu Kakang juga mengerti hal ini."
"Adik Tri, saya tidak membicarakan ilmu silat.
"Saya membicarakan kita."
Gendhuk Tri berdiri. "Kakang... Kapan Kakang mengenal wanita?"
Wajah Upasara berubah. "Bahkan siapa ibu Kakang saja, Kakang tak bisa kenal.
"Kakang tak mengerti apa-apa tentang wanita.
"Tak apa." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Adik..." "Apakah sekarang ini Kakang melamar... saya?"
"Ya." "Dan Kakang berharap mendengar jawabannya sekarang?"
"Ya." Wajah polos Upasara membuat Gendhuk Tri tersenyum makin lebar.
Terkikik beberapa saat. Lalu menghela napas lagi.
Wajahnya berubah murung. "Apa yang Kakang harapkan dari saya?"
Upasara tak bisa menjawab.
Tak menduga bakal ditanya seperti itu.


Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadi malah terbatuk. "Saya merasa Kakang bisa mematikan rasa yang pernah ada. Rasa asmara yang bersemi, yang tumbuh berhasil ditenggelamkan. Dengan penguasaan itu, berarti sekarang sebenarnya rasa yang sesungguhnya itu tak ada lagi.
"Apakah itu yang menjadi bekal Kakang melamar saya"
"Jawabannya juga sama. Selama ini saya telah menyerahkan perasaan yang sesungguhnya kepada Kakang Mada Singanada. Semua getaran dan perasaan saya yang sesungguhnya telah tercurah.
"Apakah kita akan menjalani kehidupan bersama yang kosong, Kakang?"
"Saya tidak memahaminya dari sisi itu," jawab Upasara lebih cepat.
"Karena daya asmara bukan satu-satunya. Yang selesai setelah diserahkan. Impian tidak habis ketika kita terbangun, Adik Tri.
"Dengan memecah sukma, menjelma menjadi mahamanusia, saya seolah bisa terpecah menjadi tiga.
"..." "Kakang..." "Adik Tri, Yayi Gendhuk, saya memang dungu. Saya kasar dan tak mengenal tata susila. Namun apa yang saya katakan adalah sesungguhnya yang ingin saya katakan.
"Saya mengetahui sampai saat-saat terakhir sebelum bertapa, bahwa Gayatri masih menyimpan kenangan asmara terhadap diri saya.
Demikian juga saya. "Betapapun aneh, ganjil, dan tidak mempunyai makna apa-apa selain bunga-bunga impian.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Akan tetapi itu tidak berarti Gayatri tidak mempunyai daya asmara terhadap Baginda. Tidak harus diartikan Gayatri melalui masa-masa yang kosong.
"Pelarian rasa kepada bunga impian tidak berarti mengurangi apa yang dialami."
"Kakang... sejak kapan Kakang memikirkan hal itu?"
"Sejak lama. "Dalam masalah asmara, Kakang lebih suka menjadi pedang yang tersimpan."
Gendhuk Tri mengikik kembali.
Kali ini selendangnya menyambar ke arah Upasara.
Dan tak dihindarkan. Tapi sambaran itu lembut, dan sebagian ujung selendang masih berada di pundak Upasara.
Gendhuk Tri tak segera menarik.
"Sebenarnya untuk apa kita bersama-sama, Kakang?"
"Tidak untuk apa-apa.
"Untuk bersama-sama. Untuk kodrat yang kita alami, kita jalani.
Untuk jodoh. Untuk mengakui bahwa ada Dewa Yang Mahadewa, yang telah menjodohkan."
Gendhuk Tri terdiam. Selendangnya ditarik. "Itulah yang disebut kehidupan.
"Barangkali..."
Gendhuk Tri berdiri. Menghela napas. "Adik Tri..." "Kenapa Eyang Sepuh dan Eyang Putri Pulangsih..."
"Karena begitulah perjalanan hidup yang digariskan Dewa Yang Mahadewa...."
"Kakang, apakah jalan yang kita tempuh ini benar adanya?"
"Benar dan tidak benar bukan pertanyaan, dan tidak memerlukan jawaban.
"Kita akan menjalani."
Gendhuk Tri melangkah. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tertahan. Karena tangan Upasara meraup selendang Gendhuk Tri.
"Apakah jawabannya harus sekarang?"
"Ya. "Karena sejak kita bertemu sudah cukup waktu untuk berpikir."
Gendhuk Tri menggeleng. Tarian Rasa NYAI DEMANG yang sejak tadi melirik-lirik tampak tegang. Meskipun tidak secara jelas mendengar percakapan Gendhuk Tri dengan Upasara, akan tetapi dari sikap keduanya, terasakan suasana yang kurang menyenangkan.
Nyai Demang mengerti bahwa Upasara Wulung bukanlah lelaki yang mengerti bagaimana mengasihi, bagaimana menunjukkan daya asmara.
Sikap yang bisa dimengerti, karena sepanjang usianya yang remaja dihabiskan di Ksatrian Pingitan. Setelah itu tak sempat mempunyai waktu untuk memperhatikan dan menyalurkan hal itu. Nyai Demang sangat mengetahui, karena ia pernah merasakan betapa sesungguhnya Upasara tergetar daya asmara terhadapnya. Akan tetapi juga terasakan begitu kikuknya. Kalau saja saat itu dirinya masuk dan memberi kesempatan, tak bisa tidak Upasara akan menyambut. Kalau dirinya membuka kemungkinan, Upasara akan berani bertindak.
Namun pada saat itu pun Nyai Demang sadar sepenuhnya. Bahwa hatinya tak bisa menerima asmara pemuda yang masih hijau dalam pengalaman. Bahkan memang pintu hatinya sudah tertutup, betapapun kisah di luaran berbalik dari kenyataannya.
Pada hati Nyai Demang, rasa yang tumbuh terhadap Upasara adalah rasa sayang seorang kakak, seorang ibu, seorang dari darah dagingnya sendiri.
Di lain pihak, Gendhuk Tri dikenal sebagai gadis yang luar biasa keras hati, keras kepala, dan sangat cugetan aten. Hati dan kemauannya mudah patah, dan kalau sudah begitu semua masalah ditarik mundur. Sebaliknya, kalau sudah menjadi kemauannya, tak ada yang bisa menghalangi.
Dua sifat yang mempunyai banyak persamaan, dalam hal susah mengalah. Segan menunjukkan rasa kalah untuk hal yang dianggap sangat peka. Dan kalau berbenturan, tak ada yang mau mengalah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau sudah begitu, masalah utama yang seharusnya tidak menjadi persoalan, bisa seolah prinsip yang tak bisa digeser.
Ini bisa bahaya. Karena jauh dalam hati Nyai Demang, seperti juga Permaisuri Rajapatni berharap keduanya bisa menjadi pasangan. Doa perlahan atau terucapkan dalam batin sering menyertai Nyai Demang. Pun di saat menerima lamaran dari Ki Dalang Memeling.
Pendekar Naga Mas 1 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Pendekar Setia 9
^