Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 28

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 28


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bawa kami bertiga. Kedua orang itu tidak akan dapat
mengelak atas kejahatan yang pernah mereka lakukan"
berkata Paksi. Orang yang masih mempergunakan nalarnya itu
mengangguk-angguk. Jika anak muda itu bersalah, ia tidak
akan bersedia dan bahkan mengusulkan agar ditangkap dan
dibawa ke barak prajurit terdekat.
"Baiklah" berkata orang itu, "kami akan menangkap kalian
bertiga dan membawa ke barak prajurit terdekat"
Paksi meloncat mengambil jarak dari kedua lawannya
sambil berkata, "Aku akan menyerahkan diriku"
Tetapi kedua orang lawannya itu nampak ragu-ragu.
Bahkan keduanyapun kemudian saling memberikan isyarat.
Paksi curiga atas isyarat itu. Namun sebelum Paksi
mengambil langkah, keduanyapun telah meloncat melarikan
diri ke arah yang berbeda. Sambil mengayun-ayunkan
kerisnya, mereka menyibak orang yang berkerumun semakin
banyak. Paksi terkejut. Ia tidak mau kehilangan kedua orang
lawannya. Karena itu, maka Paksipun segera meloncat
mengejar salah seorang dari mereka sambil berteriak,
"Tangkap yang seorang lagi. Mereka bukan sekedar penjahat.
Tetapi mereka adalah pengkhianat"
Beberapa orang memang berusaha mengejar seorang di
antara lawan Paksi. Tetapi karena orang itu mengacu-acukan
kerisnya, sementara orang-orang yang mengejarnya tidak
bersenjata, maka akhirnya orang itu berhasil meloloskan
dirinya. Tetapi seorang lagi yang dikejar oleh Paksi sendiri,
tidak mampu melepaskan diri dari tangan Paksi. Perkelahian
masih terjadi. Tetapi Paksi yang telah menyarungkan kerisnya,
justru sulit untuk dihindarinya.
Ketika orang itu berusaha mengayunkan kerisnya menusuk
ke arah lambung, Paksi mampu mengelak. Sambil meloncat ke
samping, maka Paksipun kemudian berhasil menendang
pergelangan tangan orang itu sehingga kerisnya terlepas dan
jatuh di tanah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan cepat orang itu berusaha untuk menjangkau
kerisnya. Tetapi dengan cepat kaki Paksi menyambar
tubuhnya, sehingga orang itu terlempar jatuh berguling di
tanah. Demikian orang itu berusaha bangkit, maka sekali lagi Paksi
menyerangnya. Tangannya terayun mendatar menyambar
keningnya, sehingga orang itupun terhuyung-huyung surut.
Paksi yang memburunya langsung menyerang orang itu
pada dadanya. Pukulan tangan Paksi yang menghantam dada
orang itu terasa bagaikan hentakan batu sebesar kepala
kerbau yang jatuh menghimpitnya.
Sekali lagi orang itu jatuh terbanting. Namun ia tidak
segera dapat bangkit. Matanya menjadi berkunang-kunang,
sementara nafasnya menjadi sesak.
Paksi membiarkan orang itu yang dengan kesulitan
memaksa untuk berdiri tegak. Paksilah yang kemudian
memungut keris orang itu. Sambil mengacukan keris itu, iapun
berkata, "Kau aku tangkap"
Orang itu tidak dapat mengelak lagi. Ujung keris itu hampir
melekat di dadanya sebelah kiri. Jika keris itu ditekan, maka
ujungnya akan segera menancap di jantung.
Sementara itu beberapa orang telah berdatangan. Seorang
di antara merekapun berkata, "Yang seorang tidak dapat
ditangkap" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Biarlah. Yang
seorang ini akan dapat menunjukkan, kemana kawannya itu
melarikan diri" "Aku akan membawanya ke barak di sebelah alun-alun
pungkuran. Ia akan ditahan disana"
"Barak itu adalah barak pasukan khusus yang baru pulang
dari perburuannya untuk mencari Harya Wisaka. Tetapi
ternyata Harya Wisaka telah terbunuh justru di kotaraja"
"Ya. Aku adalah salah seorang penghuni barak itu"
Beberapa orang nampak ragu-ragu. Untuk memantapkan
kepercayaan mereka, maka Paksipun berkata, "Marilah, kita
bawa orang ini kesana"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memang ada di antara orang-orang itu yang kurang
percaya bahwa Paksi akan membawa orang yang telah
ditangkapnya itu ke barak di sebelah alun-alun pungkuran.
Karena itu, maka beberapa orangpun telah mengikuti Paksi
yang menggiring orang itu.
Di sepanjang jalan, iring-iringan kecil itu memang menarik
perhatian. Tetapi tidak seorang pun di antara orang-orang
yang ikut membawa orang yang ditangkap Paksi itu ke barak
prajurit di sebelah alun-alun pungkuran dapat memberi
penjelasan jika ada orang yang bertanya kepada mereka.
"Kami kurang tahu. Orang itu akan dibawa ke barak prajurit
di sebelah alun-alun pungkuran"
"Orang itu tentu bukan sekedar pencopet di pasar" desis
seseorang. "Kenapa?" bertanya kawannya.
"Barak itu untuk sementara dihuni oleh pasukan khusus.
Jika orang itu dibawa kesana, tentu ada hubungannya dengan
persoalan-persoalan yang gawat yang menyangkut
ketenangan Pajang" Kawannya mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah Paksi memang membawa orang itu ke barak
pasukan khusus di sebelah alun-alun pungkuran. Namun yang
tidak terduga itu telah terjadi. Ketika Paksi melewati jalan
yang menuju ke alun-alun pungkuran, maka tiba-tiba saja
orang itu menjerit kesakitan. Paksi memang melihat anak
panah yang meluncur dengan cepat yang dilepaskan oleh
seseorang yang berada di balik dinding yang memagari alun-
alun pungkuran itu langsung mengenai dada orang yang akan
dibawa ke barak prajurit itu.
Dengan sigapnya Paksi meloncat memburu ke arah asal
anak panah itu. Iapun segera meloncat ke atas dinding.
Namun Paksi itu tertegun. Ia tidak melihat orang yang
dicarinya. Untuk beberapa saat Paksi mengamati keadaan di
sekitarnya. Ia hanya melihat sebuah busur dan dua anak
panah yang tidak dipergunakan. Agaknya karena satu saja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
anak panah telah berhasil membunuh sasarannya, orang itu
tidak melepaskan anak panah berikutnya.
"Mungkin akulah yang akan menjadi sasarannya kemudian.
Tetapi orang itu tergesa-gesa" geram Paksi.
Dalam pada itu, beberapa orang telah mengerumuni orang
yang terkena panah di dadanya itu. Namun agaknya orang itu
sudah tidak akan dapat tertolong lagi. Nafasnyapun tinggal
satu-satu. Meskipun ia masih sempat mengerang, namun kemudian
iapun terdiam. Orang-orang yang mengerumuni sama sekali tidak
mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun Paksi
yang kemudian kembali mendekati orang yang terkena panah
itu harus menahan kemarahan yang menghentak di dadanya.
Tetapi orang itu sudah mati.
Paksi yang jantungnya bergejolak itupun kemudian berkata
kepada orang-orang yang berkerumun, "Siapa yang mau
membantu aku untuk pergi ke barak itu?"
Orang-orang itu termangu-mangu. Sementara itu Paksipun
berkata, "Aku tidak dapat pergi sendiri. Aku harus menunggui
orang yang terbunuh ini. Meskipun ia sudah mati, tetapi tubuh
ini akan menjadi bukti perbuatan sekelompok orang yang tidak
bertanggung jawab" "Apa yang harus kami lakukan jika ada di antara kami yang
bersedia pergi ke barak itu?" bertanya seorang anak muda.
"Hanya melaporkan apa yang telah terjadi kepada Raden
Sutawijaya atau kepada Pangeran Benawa"
"Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa" Apakah salah
seorang di antara kami akan dapat menghadap salah seorang
dari keduanya?" "Laporkan saja kepada petugas di regol untuk
menyampaikan kepada Raden Sutawijaya atau Pangeran
Benawa. Katakan bahwa aku berada disini. Namaku Paksi"
Anak muda itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun
berkata, "Aku akan pergi ke barak itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah, beberapa lama Paksi menunggu. Semakin
lama semakin banyak orang yang berkerumun. Mereka
bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Tetapi tidak seorang
pun yang dapat memberikan jawaban yang jelas.
Namun beberapa saat kemudian, beberapa orang berkuda
mendatangi tempat itu. Merekapun kemudian menyibak
orang-orang yang berkerumun di sekitar tubuh yang terbaring
dengan panah menancap di dadanya.
Dua orang di antara mereka adalah Raden Sutawijaya dan
Pangeran Benawa. "Kita bawa tubuh ini ke barak" berkata Raden Sutawijaya.
Seorang prajuritpun kemudian telah menaikkan tubuh yang
sudah tidak bernyawa lagi itu ke atas punggung seekor kuda.
Kemudian menuntun kuda itu ke barak diiringi oleh beberapa
orang prajurit yang lain.
Paksipun kemudian berkata kepada orang-orang yang
berkerumun, "Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan
kalian membantu" Orang-orang itu saling berpandangan. Ternyata anak muda
itu tidak berbohong, bahwa ia memang salah seorang
penghuni barak pasukan khusus. Bahkan anak muda itu
nampak begitu akrab dengan Raden Sutawijaya dan Pangeran
Benawa. Apalagi orang-orang yang hampir saja termakan oleh
teriakan-teriakan dua orang yang bertempur melawan anak
muda itu. Seandainya mereka benar-benar berusaha
menangkapnya dan memukulinya, maka anak muda itu tentu
tidak akan berdiam diri. Beberapa orang di antara mereka
tentu akan menjadi korban. Kemudian, kemarahan para
prajurit dari pasukan khusus itu akan dapat menjadi bencana
bagi mereka. Sejenak kemudian, maka Paksipun minta diri kepada orang-
orang yang masih berkerumun. Katanya kemudian, "Sekarang,
aku persilahkan kalian meninggalkan tempat ini. Sekali lagi
terima kasih. Jika kalian melihat atau mengalami sesuatu yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terasa ganjil, hubungi aku, Paksi. Atau jika besok aku
meninggalkan barak itu, hubungi prajurit Pajang dimanapun"
Orang-orang yang berkerumun itu berdiri termangu-mangu.
Mereka kemudian memandang Paksi yang meloncat ke
punggung seekor kuda yang diberikan oleh seorang prajurit
kepadanya. Sementara prajurit itupun berjalan kaki menyusul
kawannya yang menuntun kuda yang di punggungnya
diletakkan mayat orang yang terbunuh oleh panah yang
dilepaskan oleh orang yang tidak dikenal.
Jarak dari tempat itu ke barak pasukan khusus itu memang
sudah dekat. Memang hanya bergeser beberapa puluh patok
saja, sehingga sejenak kemudian Paksipun telah berada di
barak itu. Demikian Paksi duduk di pendapa bersama Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa, maka Paksipun segera
melaporkan apa yang telah terjadi.
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa mendengarkan
laporan Paksi dengan sungguh-sungguh.
Demikian Paksi selesai menyampaikan laporannya, maka
Pangeran Benawapun berkata, "Aku kagumi kesetiaan para
pengikut Harya Wisaka"
"Memang luar biasa" Raden Sutawijayapun mengangguk-
angguk. "Dengan demikian, kitapun tahu, bahwa kau merupakan
salah satu sasaran utama dari para pengikut Harya Wisaka,
Paksi" "Tentu ada hubungannya dengan perintah ayahku sendiri"
"Satu teka-teki yang rumit, kenapa ayahmu ingin
membunuhmu?" desis Raden Sutawijaya. "Sementara kita
tahu, bahwa persoalannya bukan karena kau memusuhi Harya
Wisaka. Usaha ayahmu menyingkirkanmu sudah dilakukan
sejak kau belum terlibat dalam permusuhan dengan Harya
Wisaka" "Itulah yang membuat aku bersedih, Raden"
"Sudahlah" berkata Raden Sutawijaya, "jangan menambah
beban di hatimu. Untuk sementara batasi persoalan yang kau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hadapi. Kita sedang mencari Harya Wisaka. Jika kita berhasil,
maka kita berharap untuk dapat menemukan Ki Tumenggung
Sarpa Biwada" Paksipun mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang kita akan menyerahkan orang yang
terbunuh itu untuk dikuburkan dengan baik"
"Dimana orang itu akan dikuburkan?"
"Biarlah orang itu dikubur dekat kuburan orang yang
disebut Harya Wisaka itu. Sementara kita harus
mempersiapkan penyerahan para prajurit dari pasukan khusus
ini ke kesatuan mereka masing-masing"
Paksi mengangguk-angguk. Demikianlah, maka Paksipun segera tenggelam dalam
kesibukan. Ia harus mempersiapkan kelompoknya untuk
menyerahkan mereka kembali ke kesatuan mereka.
Perpisahan yang segera akan terjadi itu memang tidak
menyenangkan setelah beberapa lama mereka bersama-sama.
Bukan sekedar bersama-sama bertamasya menyusuri lembar
dan lereng-lereng pegunungan yang udaranya segar. Tetapi
mereka bersama-sama bertarung dengan taruhan nyawa
mereka. Beberapa orang di antara mereka benar-benar telah
terbunuh sehingga untuk selamanya tidak akan bertemu lagi.
Karena itu, maka hubungan Paksi dan para prajurit menjadi
sangat erat. Mereka merasa menjadi sekelompok orang senasib
sepenanggungan. "Apakah Ki Lurah dapat masuk ke dalam kesatuan kami?"
bertanya seorang prajuritnya.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paksi tersenyum. Katanya, "Aku bukan seorang lurah
prajurit yang sebenarnya. Karena itu, akupun harus kembali ke
kesatuanku" "Kesatuan yang mana?" bertanya prajurit yang lain.
"Bukankah aku berasal dari padepokan di Hutan Jabung?"
Prajurit itu menarik nafas. Katanya, "Ki Lurah sudah putus
segala macam ilmu kanuragan. Karena itu, Ki Lurah dapat
meninggalkan padepokan dan benar-benar menjadi seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
prajurit. Maka Ki Lurahpun akan benar-benar diangkat menjadi
seorang lurah prajurit pada usia yang masih muda"
Paksi tersenyum. Katanya, "Aku harus kembali ke
padepokan. Masih banyak yang harus aku pelajari. Pada
saatnya aku akan mengabdikan diriku bagi Pajang. Mungkin
menjadi seorang prajurit, mungkin lewat jalur pengabdian
yang lain" Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun prajurit yang
lainpun berkata, "Kami berharap bahwa Ki Lurah akan sering
datang ke kesatuan kami"
"Ya. Aku akan berusaha untuk datang mengunjungi kalian
di barak kalian" "Di barakku tidak ada seorang pemimpin yang memiliki
tataran ilmu sebagaimana Ki Lurah Paksi"
"Jangan membuat penilaian atas atasanmu. Mereka tentu
orang-orang berilmu. Kalian adalah prajurit yang diikat oleh
paugeran serta kesetiaan terhadap pengabdian"
Ketika malam turun, maka di barak pasukan khusus yang
jumlahnya tidak terlalu banyak itu telah diselenggarakan
pertemuan khusus untuk menyelenggarakan acara perpisahan.
Seorang prajurit yang lukanya masih belum sembuh,
dengan haru berkata kepada Raden Sutawijaya, Pangeran
Benawa dan Paksi, "Kami belum pernah mendapat seorang
pemimpin seperti Raden, seperti Pangeran dan seperti Ki
Lurah Paksi" "Tentu tidak. Tetapi karena pada saat terakhir kalian
berjuang bersama kami, maka seakan-akan kami adalah
orang-orang terdekat dengan kalian. Tetapi aku minta, bahwa
kalian akan dapat kembali pada suasana semula di kesatuan
kalian" berkata Raden Sutawijaya.
Sementara itu Pangeran Benawapun berkata, "Keberadaan
kami di antara kalian, jangan sampai merusakkan kesetiaan
kalian kepada paugeran bagi seorang prajurit yang harus
kalian taati. Aku adalah Pangeran Benawa, putera Kangjeng
Sultan di Pajang. Atas nama Ayahanda, Pajang mengucapkan
terima kasih kepada kalian. Tetapi tentu dengan pesan, bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pada kalian masih dituntut kesediaan kalian meningkatkan
perjuangan atas dasar pengabdian lebih tinggi lagi"
Para prajurit itu mengangguk-angguk.
"Besok akan ada upacara penyerahan kembali pasukan
khusus ini. Upacara itu akan dihadiri oleh Ki Gede Pemanahan,
yang secara resmi akan mewakili Ayahanda Kangjeng Sultan
Hadiwijaya" Malam itu dilalui dengan suasana yang berbaur antara
kegembiraan dan keharuan. Namun mereka bukanlah orang-
orang yang cengeng. Mereka berhadapan dengan kenyataan
dan ketahanan jiwa seorang prajurit. Karena itu, maka mereka
jalani tugas-tugas mereka dengan hati lapang.
Demikianlah, di hari berikutnya, maka di halaman barak itu
telah dilakukan penyerahan kembali para prajurit dari pasukan
khusus itu kepada kesatuan mereka masing-masing.
Penyerahan kembali itupun ternyata tidak luput dari
perhatian para pengikut Harya Wisaka. Mereka mengartikan
serah terima itu sebagai satu babak akhir dari usaha
perburuan terhadap Harya Wisaka, karena Harya Wisaka
sudah dinyatakan mati. "Mereka tidak akan memburunya lagi" desis seorang
petugas sandi yang ditugaskan Harya Wisaka untuk
mengamati para prajurit dari pasukan khusus itu.
"Ternyata ketajaman penglihatan orang-orang Pajang
hanya sampai sekian"
Kawannya tertawa. Katanya, "Permainan Harya Wisaka kali
ini benar-benar meyakinkan"
"Sst. Jangan didengar orang lain, meskipun orang-orang di
lingkungan kita sendiri. Orang-orang kitapun harus yakin,
bahwa Harya Wisaka telah mati"
"Apakah pernyataan itu tidak mengendorkan perjuangan
para pengikut Harya Wisaka?"
"Mungkin. Tetapi Pajang akan kehilangan kewaspadaan"
Demikianlah, saat matahari sepenggalah, maka upacara
itupun sudah selesai. Para prajurit mendapat kesempatan
untuk beristirahat di rumah mereka masing-masing. Jika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saatnya mereka kembali, maka mereka tidak lagi kembali ke
barak pasukan khusus itu. Tetapi mereka akan kembali ke
barak pasukan mereka semula.
Dalam pada itu, ketika Ki Gede Pemanahan yang
menghadiri upacara serah terima itu sudah meninggalkan
barak itu, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan
Paksipun telah bersiap-siap untuk kembali ke barak. Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa serta Paksi telah mendapat
ijin dari Ki Gede Pemanahan serta Kangjeng Sultan, untuk
kembali ke padepokan mereka di Hutan Jabung. Namun
merekapun sudah mendapat ijin pula untuk membantu
mencari Harya Wisaka dengan cara mereka.
"Kita akan kembali ke padepokan sore nanti bersama-sama
Ki Waskita" berkata Raden Sutawijaya.
Karena itu, untuk beberapa saat mereka masih harus
menunggu di barak itu. Ki Waskitalah yang sudah berjanji
untuk datang ke barak itu. Kemudian mereka akan berangkat
bersama-sama ke padepokan di Hutan Jabung.
Ketika matahari mulai turun, maka Ki Waskitapun benar-
benar telah singgah di barak pasukan khusus yang telah
ditinggalkan sebagian besar penghuninya. Hanya para petugas
dari kesatuan lain tetap berada di barak itu.
"Kapan kita akan berangkat?" bertanya Ki Waskita.
"Kapan saja menurut Ki Waskita" jawab Raden Sutawijaya.
"Pada dasarnya kami sudah siap. Kita tinggal menunggu Ki
Waskita. Demikian Ki Waskita memerintahkan kami berangkat,
maka kamipun akan berangkat"
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita
akan segera berangkat. Tetapi beri kesempatan aku minum
lebih dahulu" "O. Silahkan, Ki Waskita" jawab Raden Sutawijaya.
Paksilah yang kemudian bangkit untuk mengambil
minuman ke dapur Untuk beberapa saat mereka masih berada
di barak itu. Paksi masih sempat berceritera tentang dua
orang yang akan membunuhnya ketika ia mengunjungi ibu
dan adiknya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Waskita menarik nafas panjang. Katanya, "Kau harus
bersukur bahwa kau berhasil menyelamatkan diri"
"Ya, Ki Waskita"
"Namun dengan demikian, kita tahu bahwa rumah itu
masih tetap diawasi oleh para pengikut Harya Wisaka"
"Untuk apa sebenarnya Harya Wisaka mengawasi rumah
Paksi, Ki Waskita" Bukankah Ki Tumenggung sudah tidak ada
di rumah?" Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah iapun berkata, "Agaknya sasarannya memang Paksi"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Begitu benci ayahnya
kepadanya. Apalagi setelah keduanya dengan tegas berdiri
berseberangan. "Ikatan di antara para pengikut Harya Wisaka masih juga
rapi" berkata Ki Waskita, "sehingga ketika kau berhasil
menangkap seorang di antara mereka, maka dalam waktu
singkat mereka dapat menyiapkan orang lain untuk
membungkam orang yang telah kau tangkap itu"
Paksi mengangguk-angguk. Demikianlah, setelah Ki Waskita meneguk minumannya,
maka iapun berkata, "Marilah. Kita berangkat. Berhati-hatilah
di jalan. Di antara kita ada dua sasaran penting. Paksi yang sudah
dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya dan Pangeran Benawa
yang membawa cincin kerajaan itu"
Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Namun iapun
kemudian tersenyum. Katanya, "Ya. Ada dua sasaran. Tetapi
bukankah kuda kita mampu berlari kencang?"
Ki Waskita tersenyum. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Demikianlah, maka Ki Waskita, Raden Sutawijaya, Pangeran
Benawa dan Paksi itupun segera minta diri kepada pemimpin
prajurit yang bertugas di barak itu untuk kembali ke
padepokan. Sejenak kemudian, maka empat orang penunggang kuda
telah menyusuri jalan yang menuju ke Hutan Jabung. Jalan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang semakin lama terasa semakin sepi. Apalagi ketika
mereka sudah memasuki jalan kecil yang menuju ke hutan itu.
Ternyata mereka tidak menemui hambatan di sepanjang
perjalanan mereka yang memang tidak terlalu panjang itu.
Dalam satu dua hari, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa
dan Paksi itu menjalani kehidupan mereka di padepokan
sebagaimana mereka lakukan sebelum mereka meninggalkan
padepokan di pinggir Hutan Jabung itu. Namun pembangunan
padepokan di bawah pimpinan Ki Kriyadama itu sudah menjadi
semakin nyata. Beberapa bangunan telah berwujud.
Sedangkan yang lain sudah sampai pada tahap-tahap akhir.
Tinggal kemudian sampai pada tahap-tahap penyelesaian
pada bagian-bagian yang rumit dan mempercantiknya.
Seperti sebelum mereka meninggalkan padepokan, maka
mereka pun ikut bekerja sebagaimana para cantrik yang lain.
Merekapun ikut pula memasuki sanggar terbuka dan
sanggar tertutup untuk mengikuti latihan-latihan yang menjadi
semakin berat. Meskipun Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa
dan Paksi sudah berada pada tataran yang lebih tinggi, namun
merekapun dengan tekun ikut pula mengikuti latihan-latihan
bersama para cantrik lainnya. Dengan demikian, maka akan
dapat menjadi pendorong bagi para cantrik yang lain.
Namun demikian, Ki Waskita, Raden Sutawijaya, Pangeran
Benawa dan Paksi berada di padepokan, maka pola-pola
latihanpun mulai berubah. Orang-orang berilmu tinggi itu
mendapat tugas khusus untuk membimbing para cantrik itu
dalam latihan-latihan khusus, sehingga dengan demikian,
kemampuan para cantrik itu akan meningkat lebih cepat.
Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Pangeran
Benawa dan Paksi, tidak melupakan kesediaan mereka untuk
ikut mencari Harya Wisaka dengan cara mereka.
Tetapi pertanyaanpun timbul di antara mereka, "Cara yang
bagaimana yang akan mereka tempuh?"
Raden Sutawijaya tersenyum sendiri ketika mereka
berbicara tentang maksud mereka untuk ikut mencari Harya
Wisaka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Darimana kita akan mulai" desis Raden Sutawijaya itu.
"Itulah yang sulit" sahut Pangeran Benawa. "Para petugas
sandi dan para prajurit sudah melakukan sejak lama. Tetapi
mereka masih belum menemukannya. Padahal Harya Wisaka
itu sedang dalam keadaan luka cukup parah"
"Apakah kita dapat minta petunjuk kepada Ki Waskita dan
Ki Panengah" Kita memang tidak akan melibatkan orang lain.
Tetapi bukankah kita dapat mendengarkan petunjuk-petunjuk
orang lain yang kita percaya dan kita yakini akan membantu
kita?" bertanya Paksi.
"Aku tidak berkeberatan" berkata Raden Sutawijaya.
Sementara itu, Pangeran Benawapun menyahut, "Aku
sependapat. Kita dapat minta petunjuk mereka"
Ketiganyapun sepakat untuk berbicara dengan Ki Panengah
dan Ki Waskita setelah mereka selesai dengan tugas-tugas
mereka. Ketika kemudian para cantrik termasuk Raden Sutawijaya,
Pangeran Benawa dan Paksi selesai berlatih, sementara malam
menjadi semakin malam, Raden Sutawijayapun menemui Ki
Panengah dan Ki Waskita, mohon waktu untuk menghadap.
"Silahkan, silahkan Raden"
"Aku, Adimas Pangeran Benawa dan Paksi ingin berbicara
tentang usaha memburu Harya Wisaka"
"Baiklah, Raden. Aku dan Ki Waskita menunggu di
pringgitan" "Terima kasih atas perkenan Ki Panengah dan Ki Waskita.
Kami akan mandi dahulu"
Demikianlah, setelah Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa
dan Paksi mandi dan mengganti pakaian mereka yang basah
oleh keringat, maka merekapun segera menghadap Ki
Panengah dan Ki Waskita di pringgitan.
"Apa yang ingin Raden bicarakan?" bertanya Ki Panengah.
Raden Sutawijaya beringsut setapak. Dengan nada datar
iapun berkata, "Kami ingin berbicara tentang usaha kami
untuk ikut serta mencari Harya Wisaka"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Panengah itupun tersenyum. Katanya, "Aku mengerti.
Kalian tentu terpanggil untuk melakukannya. Apalagi setelah
kalian membawa pasukan khusus memburunya sampai jauh
ke selatan. Namun ternyata Harya Wisaka itu masih berada di
kotaraja" "Ki Gede memang sudah memperhitungkan" sahut Ki
Waskita. "Itulah sebabnya, aku dipanggil untuk ikut
menjebaknya. Tetapi kami gagal menangkap Harya Wisaka"
"Rasa-rasanya Pajang tidak akan dapat tenang sebelum
Harya Wisaka itu tertangkap. Selama ia masih memimpin
pasukannya, maka setiap saat ia akan dapat menggerakkan
pasukannya yang kuat untuk menyerang kotaraja"
"Ya. Pasukannya tersebar dimana-mana. Terutama di
Pegunungan Kendeng" desis Ki Waskita. "Hanya jika Harya
Wisaka tertangkap, maka pasukannya akan bercerai berai"
"Apakah kabar kematiannya itu tidak berpengaruh terhadap
para pengikutnya?" bertanya Paksi.
"Para pemimpinnya tentu tahu, bahwa Harya Wisaka tidak
mati" Paksi mengangguk-angguk. "Nah, kami ingin mendapat petunjuk, darimana kami harus


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai. Apakah kami harus mengawasi setiap pintu di seluruh
kotaraja, atau kami sebaiknya berkeliaran siang dan malam di
jalan-jalan dan lorong-lorong sempit atau bagaimana menurut
pendapat Ki Panengah dan Ki Waskita?"
"Memang rumit" desis Ki Panengah. "Harya Wisaka tentu
berada di satu tempat yang tersembunyi. Ia tidak akan pernah
keluar dari persembunyiannya sebelum ia sembuh benar serta
tenaga dan kemampuannya pulih kembali"
"Para prajurit dan para petugas sandi sudah mencarinya
dari rumah ke rumah. Bukan hanya rumah-rumah orang yang
dicurigai, tetapi setiap rumah di kotaraja sudah dimasuki.
Tetapi para prajurit itu tidak juga dapat menemukannya"
Ki Panengah mengangguk-angguk. Katanya, "Memang sulit
untuk mencari seorang yang berilmu tinggi dan mempunyai
pengikut yang luas. Banyak orang yang bersedia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melindunginya dan bahkan siap menanggung akibatnya jika
perlindungannya itu kemudian diketahui oleh para prajurit
Pajang" "Kita tidak dapat sekedar menunggu"
"Aku mengerti" sahut Ki Panengah, "tetapi kalianpun tidak
boleh tergesa-gesa. Apa yang terjadi pada Paksi ketika ia
menengok ibu dan adiknya, memperingatkan kalian, bahwa di
kotaraja bertebaran orang-orang yang memusuhi kalian.
Nampaknya mereka dengan mudah mengenali kalian,
sedangkan kalian sangat sulit untuk mengenali mereka"
"Tetapi kamipun dapat membuat diri kami tidak mudah
dikenali" berkata Pangeran Benawa.
"Menyamarkan diri akan dapat menjadi salah satu cara
untuk mencari jejak Harya Wisaka. Tetapi kalian tidak boleh
menyesalinya jika usaha itu menjadi sia-sia"
"Tetapi bukankah kita harus berusaha?" desis Pangeran
Benawa. "Ya. Kita harus berusaha"
Namun dalam pada itu, Ki Waskitapun berkata, "Kita tidak
harus langsung menemukan Harya Wisaka. Mungkin kita
dapat menemukan isterinya lebih dahulu. Bukankah kalian
pernah mengenal wajah Sekarsari?"
"Ya, Ki Waskita" sahut Raden Sutawijaya.
"Mungkin juga pembantu-pembantunya yang dapat kita
kenali. Ki Tumenggung Suryanata, misalnya"
"Ya, Ki Waskita. Aku mengenal Ki Tumenggung Suryanata
dengan baik" sahut Pangeran Benawa.
"Ki Rangga Darmasasmita"
"Ya" "Demang Kongas. Dan masih beberapa orang lagi"
"Sebagian dari mereka tentu sudah berada di luar kotaraja"
desis Raden Sutawijaya. "Ya. Bahkan mungkin mereka sempat keluar masuk pintu
gerbang utama kotaraja. Mungkin sebagai penjual gula kelapa
atau sebagai sais gerobag yang membawa ketela pohon"
"Bukankah kami dapat melakukannya pula?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi bagaimanapun juga ada bedanya" desis Ki Waskita.
"Apa bedanya?" "Kita adalah orang-orang yang mencari dan mereka adalah
orang-orang yang dicari"
Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun
mengangguk-angguk. Dengan nada datar Raden
Sutawijayapun berkata, "Mereka hanya berkepentingan untuk
menyamarkan diri. Sedangkan kita, selain menyamarkan diri
juga harus menemukan orang-orang yang sedang menyamar"
"Tetapi cara itu dapat ditempuh. Salah satu usaha yang
dapat kalian lakukan. Bukankah para petugas sandi juga
berusaha menemukan mereka dengan cara yang hampir
sama. Mereka bahkan mempunyai keuntungan, bahwa mereka
bukan orang-orang yang sudah banyak dikenal sebagaimana
Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi"
"Ya" Pangeran Benawa mengangguk-angguk.
Sementara itu Paksi justru menundukkan kepalanya. Terasa
detak jantungnya menjadi semakin cepat.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Paksi?"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sedang
berpikir tentang ayahku. Ia adalah salah seorang dari para
pengikut Harya Wisaka. Aku akan dapat mengenalinya dengan
baik, meskipun seandainya ayahku berpakaian dan berlaku
seperti seorang pengemis. Tetapi ayahkupun akan dengan
mudah mengenali aku, meskipun aku bertingkah laku seperti
orang gila sekalipun"
"Namun bagaimanapun juga kita harus berusaha" desis
Raden Sutawijaya. "Ya" Paksi mengangguk.
"Mungkin yang akan kita lakukan akan mirip dengan apa
yang akan dilakukan oleh para petugas sandi sebelum kita
menemukan cara lain yang lebih baik"
"Ya" desis Paksi.
"Kita sudah berpengalaman dalam pengembaraan kita di
lereng selatan Gunung Merapi" berkata Pangeran Benawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku sama sekali tidak menyamar sebagai siapa-siapa. Aku
mengembara sebagai aku sendiri. Sementara itu, Pangeran
memang tidak dikenal oleh orang-orang padesan itu"
"Kau benar, Paksi" berkata Pangeran Benawa. "Tetapi kita
untuk sementara tidak mempunyai cara lain. Kitapun tidak
dapat menjamin bahwa kita tidak akan bertemu dan
berhadapan dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada"
"Paksi" berkata Ki Waskita, "jika kau kemudian harus
berselisih dengan ayahmu, itu bukan karena kau seorang anak
yang tidak tahu diri. Bukan seorang anak durhaka yang tidak
tahu kebaikan orang tua. Tetapi kau tahu, bahwa ayahmu itu
adalah seorang yang telah melawan Pajang. Seorang yang
telah memberontak. Sehingga persoalannya menjadi jelas"
Paksi hanya menundukkan kepalanya. Jantungnya berdesir
ketika Raden Sutawijaya itupun berkata, "Kau tidak berdosa
jika kau melawan ayahmu itu, Paksi. Selain kau mengemban
tugas negara, kau juga sekedar mempertahankan hidupmu,
karena pada suatu saat, akhirnya kau harus memilih, kau atau
ayahmu yang harus mati"
Paksi menarik nafas dalam-dalam.
Namun akhirnya, cara itupun akan dipergunakan untuk
sementara sebelum mereka menemukan cara yang lebih baik.
Pada hari-hari tertentu, terutama pada hari-hari pasaran di
pasar gedhe, mereka akan memasuki kota dengan membawa
segerobag kelapa ke pasar. Mungkin mereka akan bertemu
dengan pengikut Harya Wisaka yang dapat mereka kenali,
atau bahkan orang-orang terpenting di antara mereka.
Sebenarnyalah, pada hari pasaran di pasar gedhe, ketiga
orang itu membawa segerobag ketela pohon memasuki
kotaraja. Merekapun langsung membawa gerobag mereka ke
pasar. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi ternyata
tidak canggung-canggung lagi menjual hasil bumi itu.
Sebelumnya mereka sudah mempelajari apa yang harus
mereka lakukan, jika mereka membawa segerobag ketela
pohon. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di pasar itu, beberapa orang pedagang sudah menunggu.
Mereka membeli ketela pohon dari manapun untuk mereka
jadikan gaplek yang dapat tahan lama. Di masa paceklik di
daerah pegunungan yang tanahnya tidak subur, gaplek akan
menjadi makanan pokok pengganti beras dan jagung.
Setelah gerobag mereka kosong, maka mereka bertiga
tidak segera pergi meninggalkan pasar. Mereka masih duduk-
duduk di pinggir jalan, tidak jauh dari pasar itu sambil
mengamati orang-orang yang hilir mudik.
Tetapi mereka tidak melihat seorangpun yang dapat
mereka kenali. Ketika seorang perempuan cantik dalam
pakaian yang kusut lewat, Pangeran Benawa bergeser
setapak. Namun kemudian dengan nada rendah iapun
berdesis, "Aku kira Bibi Sekarsari"
"Memang mirip" sahut Raden Sutawijaya. "Tetapi Bibi
Sekarsari tentu akan nampak lebih tua tanpa merias
wajahnya" Namun setelah mereka melakukannya tiga empat kali, dan
bahkan mereka bertiga sudah mencoba memasuki dan ikut
berdesakan di pasar, mereka tidak menemukan seorangpun
yang mereka yakini sebagai pengikut Harya Wisaka.
"Beberapa orang petugas sandi tentu berkeliaran pula di
pasar ini" desis Raden Sutawijaya.
"Tetapi mereka tidak akan dapat langsung mengenali para
pemimpin yang menjadi pengikut Harya Wisaka" sahut
Pangeran Benawa. "Belum tentu. Mungkin mereka sudah mengenal Ki
Tumenggung Suryanata, atau Ki Rangga Darmasasmita atau
Sarpa Biwada" sambung Paksi.
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menarik nafas
panjang. Tetapi mereka tidak menyahut.
Dalam pada itu, Ki Panengah dan Ki Waskita selalu
mengikuti usaha Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan
Paksi itu dengan saksama. Meskipun beberapa kali mereka
tidak menemukan apa-apa, tetapi mereka tidak segera
menjadi jemu. Bahkan merekapun telah mengambil cara lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka membawa gerabah dengan kuda-kuda beban
berkeliling lewat lorong-lorong kecil.
Tetapi mereka tidak pernah bertemu atau melihat orang-
orang yang mereka cari. Bahkan ketika mereka dengan
sengaja membawa gerabah dengan kuda beban lewat di
depan rumah Paksi, mereka tidak melihat seorang di dekat
atau di sekitar regol halaman rumah itu.
Meskipun mereka tetap menduga, bahwa rumah itu masih
selalu diawasi, tetapi mereka tidak menemukan orang yang
pantas dicurigai mengawasi rumah itu.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Waskitapun menjadi
prihatin pula melihat Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan
Paksi bekerja dengan tabah dan tanpa mengenal lelah untuk
menelusuri jejak Harya Wisaka atau orang-orang terdekatnya.
Tetapi Ki Waskita sendiri seakan-akan berdiri di jalan
simpang. Jika ia ikut langsung mencari jejak, akan dapat
menimbulkan salah paham. "Yang paling mungkin aku pancing adalah Ki Tumenggung
Sarpa Biwada, Ki Panengah" berkata Ki Waskita. "Tetapi apa
kata orang yang mengetahui atau akhirnya mengetahui
persoalannya?" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. "Aku mengerti, Ki
Waskita. Kita pun harus menjaga perasaan Paksi.
Bagaimanapun juga Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu adalah
ayahnya. Sampai saat ini, Paksi seakan-akan masih bingung.
Apa yang harus dilakukannya menghadapi sikap ayahnya,
meskipun ia mempunyai dua alasan terpenting untuk melawan
ayahnya" Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Paksi sadar
sepenuhnya bahwa ayahnya akan membunuhnya. Kemudian
Paksipun sadar bahwa ayahnya telah memberontak. Tetapi
ternyata bagi Paksi kedua alasan itu masih belum cukup untuk
melupakan hubungan keluarga di antara mereka, sehingga
Paksi masih tetap ragu-ragu"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari
kesulitan yang dihadapi oleh Ki Waskita jika ia akan langsung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melibatkan diri dalam perburuan jejak Harya Wisaka melalui
para pengikutnya. Namun Ki Panengah itupun kemudian
bertanya, "Bagaimana dengan adik laki-laki Paksi itu?"
"Kita belum tahu anak itu akan dibawa kemana. Aku tidak
yakin bahwa anak itu dibawa ke perguruan Ki Ajar Wisesa
Tunggal. Meskipun Ki Tumenggung pernah ingin menyerahkan
Paksi ke perguruan itu, tetapi bahkan sebaliknya Paksi telah
mengalahkan orang yang bernama Semburwangi, namun adik
laki-laki Paksi itu tidak akan dibawa kesana. Jika anak itu
dibawa kesana, maka orang-orang yang memburunya akan
dengan mudah melacaknya"
"Ya" jawab Ki Panengah, "tetapi apakah kita tidak
mencobanya menghubungi Ki Ajar Wisesa Tunggal?"
"Apakah Ki Ajar akan bersedia membantu kita?"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Menemui Ki Ajar Wisesa Tunggal mungkin memang adalah
usaha yang sia-sia. Tetapi kita dapat mencobanya"
Tetapi Ki Waskitapun berkata, "Aku ingin memperingatkan
sifat-sifat Ki Ajar Wisesa Tunggal, Ki Panengah. Apakah kira-
kira ia akan dapat diajak bekerja bersama" Ia akan
menganggap kita orang-orang yang tidak berarti dan
memperlakukan kita sesuka hatinya sendiri. Tetapi pada batas
kesabaran itu, akan dapat terjadi hal-hal yang justru tidak kita inginkan"
Ki Panengah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti,
Ki Waskita" Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. "Jadi, bagaimana
kita dapat melacak anak itu?"
"Sulit, Ki Panengah. Sesulit melacak jejak ayahnya itu
sendiri. Tetapi kita memang harus mencari jalan"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki
Waskita itupun berkata, "Ki Panengah, jika tidak ada jalan lain, maka aku akan menempuh jalan yang satu itu, apapun
akibatnya. Mungkin kemudian jantung Paksi akan teriris.
Tetapi mungkin pula ia akan bersukur"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun ternyata Ki Waskita masih juga belum dapat
mengambil keputusan. Sementara itu, Raden Sutawijaya,
Pangeran Benawa dan Paksi masih juga berusaha untuk
melacak jejak Harya Wisaka dengan caranya. Tetapi setelah
beberapa lama mereka lakukan, namun masih juga belum
terdapat kemajuan apa-apa.
Dalam pada itu, hari-hari Ki Waskita selanjutnya dilewatinya
dengan penuh kebimbangan. Ia melihat satu jalan yang dapat
ditempuhnya. Tetapi jalan itu akan dapat membawa akibat
yang kurang baik bagi Paksi. Bukan hanya karena jalan yang
satu itu memungkinkan ayahnya dapat tertangkap, tetapi ada
sisi-sisi lain yang akan dapat menghentak ketenangan jiwa
Paksi. Dengan demikian, maka Ki Waskita itu seakan-akan telah
berubah menjadi seseorang perenung. Kebimbangan yang


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat telah mengguncang perasaannya siang dan malam,
sehingga terasa pengaruhnya terhadap kehidupan Ki Waskita
itu sehari-hari. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi yang akrab
dengan Ki Panengah dan Ki Waskita, ternyata menangkap
perubahan sikap Ki Waskita itu.
"Apa yang terjadi dengan Ki Waskita, Ki Panengah?"
bertanya Raden Sutawijaya.
"Aku tidak dapat mengatakannya, Raden"
"Apakah sebaiknya kami bertanya langsung kepada Ki
Waskita saja?" "Biarlah Paksi yang bertanya"
"Aku?" desis Paksi.
"Ya, kau, Paksi"
Paksi justru menjadi berdebar-debar. Kenapa harus dirinya
yang bertanya kepada Ki Waskita"
Namun Ki Panengah itupun mengulanginya, "Sebaiknya kau
sajalah yang bertanya, Paksi, meskipun itu juga tidak
menjamin bahwa jawab Ki Waskita itu akan memuaskanmu.
Mungkin kau justru menjadi bingung. Tetapi mungkin pula
sebaliknya" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku menjadi berdebar-debar, Guru"
"Tetapi mungkin Ki Waskita tidak akan menjawab sama
sekali" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Aku
akan mencobanya" "Jangan tergesa-gesa. Kau dapat menemuinya nanti malam
atau esok. Bukankah kau besok tidak akan memasuki kotaraja
dengan penyamaran?" "Tidak, Ki Panengah. Mungkin pekan depan, jika pasar
gedhe itu sedang pasaran"
"Jika demikian, temuilah Ki Waskita itu esok. Pagi atau
siang atau sore" "Baik, Ki Panengah"
Hari itu Paksipun telah mempersiapkan diri untuk menemui
dan bertanya langsung kepada Ki Waskita, kenapa Ki Waskita
nampak menjadi murung. Besok ia akan menemuinya dan
berbicara dengan gurunya itu.
Namun sebelum Paksi benar-benar menghadap, anak muda
itu sudah menjadi berdebar-debar. Jantungnya serasa
berdetak semakin cepat. "Tetapi aku harus berbicara dengan guru untuk mendapat
gambaran yang jelas tentang keadaannya"
Di hari berikutnya, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa
dan Paksi tidak pergi ke kotaraja. Mereka telah ikut terjun ke dalam kesibukan menyelesaikan pembangunan padepokan di
Hutan Jabung itu. Namun Paksipun nampak gelisah. Ia mendapat tugas untuk
menemui Ki Waskita yang di hari-hari terakhir nampak
murung. Tetapi Paksi tidak melakukannya secara khusus. Ia
tidak ingin datang menemui gurunya dan mohon waktu untuk
berbicara bersungguh-sungguh. Namun Paksi ingin menemui
dan berbicara dengan Ki Waskita itu justru pada saat mereka
beristirahat. Sebenarnyalah, ketika matahari sampai di puncak, maka
mereka yang bekerja menyelesaikan padepokan itupun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beristirahat. Mereka mendapat sebungkus nasi dengan lauk-
pauknya bagi makan siang mereka.
Seperti biasanya, Ki Waskita memang lebih senang ikut
makan bersama mereka yang bekerja menyelesaikan
padepokan itu. Ki Panengah juga sering melakukannya, tetapi
tidak sesering Ki Waskita.
Namun ketika Ki Waskita mendekati Ki Kriyadama yang
juga sedang makan bersama mereka yang sedang beristirahat
itu, Paksi mendekatinya sambil berdesis, "Guru. Ada sesuatu
yang ingin aku tanyakan"
"He?" Ki Waskita memandang Paksi dengan kerut di kening.
"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan, Guru"
"Kita akan makan siang dan beristirahat"
"Sambil makan siang, Guru. Persoalannya bukan persoalan
yang penting" Ki Waskita itupun kemudian duduk di sebatang balok kayu
yang terbujur di belakang bangunan yang sedang dikenakan
bersama Paksi sambil memegang sebungkus nasi bagi makan
siang mereka. "Apa yang ingin kau tanyakan, Paksi?"
"Maaf, Guru. Bukan maksudku mengusik perasaan Guru"
Ki Waskita memandang Paksi dengan tajamnya. Dengan
nada dalam iapun berkata, "Katakanlah. Jika saja aku dapat
menjawab, maka aku akan menjawabnya"
Paksi memang masih saja ragu-ragu. Tetapi rasa-rasanya ia
mengemban tugas dari Raden Sutawijaya dan Pangeran
Benawa. Paksi dipercaya untuk berbicara dengan gurunya,
kenapa pada hari-hari terakhir Ki Waskita nampak murung dan
bahkan gelisah. "Guru" berkata Paksi kemudian, "sebelumnya aku mohon
maaf. Mudah-mudahan tangkapan kami atas penglihatan kami
pada hari-hari terakhir ini tidak benar"
Ternyata Ki Waskita segera tanggap. Karena itu, iapun
tersenyum sambil bertanya, "Siapakah yang kau maksud
dengan kami?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi mengerutkan dahinya. Katanya, "Aku, Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa"
"O. Terima kasih atas perhatian kalian. Tetapi apakah yang
telah kalian lihat?"
"Menurut penglihatan kami, Guru pada hari-hari terakhir ini
nampak murung" Ki Waskita tertawa. Katanya, "Apakah aku menjadi
murung" Atau bahkan seperti seorang gadis yang merajuk?"
"Tidak. Tidak, Guru. Dalam pengamatan kami, nampaknya
ada sesuatu yang Guru pikirkan. Justru masalah yang agaknya
sangat rumit" -ooo00dw00ooo- Jilid 26 KI WASKITA masih tertawa. Katanya, "Kau benar, Paksi.
Ada sesuatu yang sedang aku pikirkan. Seperti juga yang kau
pikirkan. Aku merasa gelisah seperti orang lain, bahwa Harya
Wisaka masih juga belum dapat dilacak jejaknya. Jika aku
nampak murung, karena aku sedang memikirkan satu cara
yang mungkin dapat ditempuh. Tetapi cara itu akan
mempunyai akibat yang tidak dapat aku perhitungkan sebelumnya"
"Maksud Guru?" Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Katanya, "Mungkin
aku dapat mencari jalan untuk melacak Harya Wisaka. Tetapi
tidak langsung. Aku mungkin dapat melacak salah seorang
pembantu Harya Wisaka yang terhitung dekat. Dari sana akan
kita dapatkan jejak Harya Wisaka itu"
"Jika jalan itu memungkinkan kita sampai kepada Harya
Wisaka, bukankah jalan itu dapat dicoba?"
"Tetapi tebusannya akan dapat menjadi mahal sekali,
Paksi" "Maksud, Guru" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
wajah Paksi dengan tajamnya. Namun tiba-tiba saja Ki
Waskita itu berkata, "Paksi, bukankah kita belum mulai
makan" Makanlah sebelum waktu untuk beristirahat usai"
"Aku tidak lapar, Guru"
"Kau tentu lapar. Bukankah kita akan berbicara sambil
makan. Sekarang makanlah"
Paksi tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian membuka
pula sebungkus nasi dan mulai makan bersama Ki Waskita dan
Ki Kriyadama. Sementara itu, Ki Waskitapun mulai berbicara dengan Ki
Kriyadama tentang pembangunan padepokan yang mendekati
tahap-tahap akhir itu. Semakin lama semakin asyik sehingga
Paksi tidak mendapat waktu untuk berbicara lagi.
Meskipun demikian, bahwa lontaran pertanyaan yang
pernah disampaikan kepada Ki Waskita itu dianggapnya cukup
untuk mengusik perasaan Ki Waskita. Paksi sudah merasa
cukup untuk menyentuh hati orang tua itu, sehingga ia
mengerti, bahwa ada yang memperhatikan perubahan
sikapnya di saat-saat terakhir.
Sebenarnyalah, sejak Paksi datang menemuinya dan
bertanya tentang masalah yang sedang direnunginya, Ki
Waskita justru menjadi semakin memikirkannya. Ia masih
tetap ragu-ragu untuk mengambil sikap.
Namun sementara itu, usaha untuk menemukan Harya
Wisaka seakan-akan telah mengalami jalan buntu. Usaha
Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi sama sekali
belum menunjukkan kemajuan sama sekali.
Sementara itu, usaha untuk menemukan adik Paksipun
masih meragukannya, apakah sudah sepantasnya adiknya
menjadi rambatan untuk menemukan ayahnya.
"Adikku tidak bersalah sama sekali" berkata Paksi kepada
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.
"Adikmu memang tidak bersalah. Bahkan iapun merasa
terpaksa untuk meninggalkan rumahnya mengikut ayahnya.
Bukankah kita tidak memburunya dan akan menghukumnya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kita hanya ingin membuatnya membuka jalan untuk
menemukan Ki Tumenggung Sarpa Biwada" jawab Raden
Sutawijaya. "Tetapi Seandainya adikku itu diketemukan, maka ia akan
dipaksa untuk menunjukkan, dimana ayah bersembunyi.
Bahkan seandainya adikku itu benar-benar tidak
mengetahuinya, maka ia akan diperas sampai darahnya kering
untuk mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya"
Pangeran Benawa tersenyum sambil menggeleng,
"Bukankah kita tidak akan berbuat sejauh itu, Paksi"
Seandainya adikmu itu kami ketemukan, bukankah dengan
demikian kita telah membebaskan adikmu dari satu keadaan
yang tidak disukainya?"
Paksi menggeleng sambil berdesis, "Mungkin, jika anak itu
jatuh ke tangan kita. Tetapi jika anak itu jatuh ke tangan
orang lain, maka tujuan penangkapan itu tentu untuk
memeras keterangan anak itu agar menunjukkan dimana ayah
bersembunyi" Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak membantah.
Paksi memang dapat menduga sebagaimana dikatakannya itu.
Jika adik Paksi itu jatuh ke tangan prajurit sandi tanpa
diketahui oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa atau Paksi
sendiri, maka akibat yang buruk memang akan dapat terjadi.
Prajurit sandi itu memang dapat memaksa anak itu untuk
menunjukkan dimana ayahnya bersembunyi. Untuk mendapat
keterangan, seseorang kadang-kadang memaksa orang lain
untuk menjawab sesuai dengan keinginannya, sehingga
kadang-kadang seseorang justru harus berbohong untuk
memenuhi keinginan orang-orang yang memaksanya
mengatakan sesuai dengan kebenaran.
Sedangkan orang-orang yang menginginkan kebenaran itu
justru menjadi puas oleh kebohongan itu. Paksipun kemudian
tidak lagi berbicara tentang adiknya.
Karena setiap kali ia mendengar usaha untuk mencarinya
sebagai salah satu pintu untuk sampai kepada ayahnya, terasa
jantungnya menjadi berdebar-debar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika hari pasaran di pasar gedhe itu tiba, maka seperti
yang pernah dilakukan, maka Raden Sutawijaya, Pangeran
Benawa dan Paksipun telah berada di pasar. Tetapi hari itu,
mereka merencanakan tidak saja membawa gerabah ke pasar,
tetapi juga akan membawa gerabah yang diusung di atas
punggung kuda beban itu berkeliling.
Pada saat matahari menjadi semakin tinggi, maka Raden
Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksipun telah
memisahkan diri. Mereka menuntun kuda masing-masing
dengan muatan gerabah berkeliling dari lorong ke lorong.
Jalan di kotaraja masih nampak ramai. Orang-orang yang
pergi dan pulang dari pasar masih berlalu-lalang. Sekali-
sekaliseorang berkuda melintas. Pada kesempatan lain, tiga
orang prajurit yang meronda lewat menyusuri jalan.
Paksi menuntun kudanya memasuki lorong yang lebih
sempit. Ia menawarkan gerabahnya dari pintu ke pintu rumah.
Namun tiba-tiba Paksi itu terkejut. Ia melihat tiga orang
berjalan berlawanan arah. Nampaknya mereka juga baru
pulang dari pasar lewat jalan lain. Seorang di antara mereka
membawa dua bakul yang dipikulnya. Agaknya isinya berbagai
macam kebutuhan sehari-hari. Sedangkan dua orang yang lain
membawa bakul di atas kepala mereka. Mungkin berisi beras
atau jagung. Yang menarik perhatian Paksi adalah seorang
remaja yang berjalan beberapa langkah di belakang mereka.
Seorang remaja dengan pakaian yang kumuh seperti pakaian
yang dipakai oleh Paksi sendiri. Mengenakan caping bambu
yang lebar sambil menjinjing sebuah keba dari pandan yang
kasar. Semakin dekat Paksi menjadi semakin berdebar-debar.
Bahkan jantungnya serasa menjadi semakin cepat dan
semakin keras berdegup. Sementara itu, remaja itu masih belum memperhatikannya.
Mungkin remaja itu sudah melihatnya. Tetapi ia tentu mengira
bahwa Paksi adalah seorang penjual gerabah yang membawa
dagangannya di atas punggung seekor kuda beban yang
dituntunnya menyusuri lorong-lorong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akhirnya Paksipun yakin, bahwa remaja itu adalah adiknya.
Adiknya yang dicarinya dan yang agaknya juga dicari oleh
para petugas sandi. Paksipun kemudian berhenti dan mengikat
kudanya pada sebatang pohon di pinggir jalan sambil
menunggu remaja itu lewat. Sementara remaja itu sama sekali
tidak memperhatikannya dan tidak mengenalnya.
Demikian remaja itu melangkah di sebelah Paksi, maka
Paksipun menangkap tangannya sambil berdesis, "Kau tidak
mengenal aku?" Remaja itu terkejut. Dipandanginya Paksi dengan tajamnya.
Remaja itu memang adik Paksi.
"Kakang Paksi" desis remaja itu.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, aku kakakmu. Paksi"
Remaja itu masih saja menatap Paksi. Namun tiba-tiba ia
mendorong Paksi sambil berdesis, "Kau bukan kakakku"
"Aku Paksi, kau kenal aku, kan?"
"Aku tahu, kau Kakang Paksi. Tetapi kau bukan kakakku"
Paksi tidak sempat bertanya lebih jauh. Tiga orang yang
berjalan mendahului remaja itupun berhenti. Mereka
meletakkan pikulan serta bakul yang mereka bawa di atas
kepala mereka. "Siapakah orang ini?" bertanya seorang di
antara mereka. "Paksi" "Inikah anak muda yang bernama Paksi itu?"
"Ya" Orang itu menggeram. Dengan suara yang berat iapun
berkata, "Nasibmu buruk, anak muda. Kau termasuk salah
seorang yang harus disingkirkan"
"Maksudmu?" "Kau harus dibunuh"
Namun adik Paksi itupun berkata, "Biarkan orang itu pergi"
"Tidak mungkin. Ia sudah melihat dan dapat mengenalimu.
Karena itu, maka ia harus dibunuh"
"Biarkan ia pergi"
"Sayang. Ia telah masuk ke dalam lubang kuburnya. Kita
tinggal menimbuninya saja"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi bergeser selangkah surut. Sementara laki-laki yang
bertubuh pendek tetapi berbadan kekar itupun menggeram,
"Aku akan mencincangmu"
Kawannya yang lain, yang berwajah tampan dan berkumis
tipis berkata, "Sebaiknya kau tidak usah membuat ulah. Itu
hanya akan memperpendek umurmu dan mempersulit jalan
kematianmu" "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?"
"Kau harus menyerahkan diri. Dengan demikian, maka kau
akan mati dengan tanpa mengalami penderitaan"
Paksi memandang ketiga orang itu berganti-ganti. Menurut
penglihatannya, ketiganya adalah orang-orang yang memiliki
ketrampilan mempermainkan senjatanya. Apalagi ketika
ketiganya telah mencabut pedang pendeknya yang mereka
sembunyikan di dalam bakul mereka.
"Jangan bunuh orang itu. Biarlah mereka pergi" berkata
adik Paksi itu. Tetapi ketiga orang itu tidak menghiraukannya. Merekapun
telah mulai memutar pedang pendek mereka.
"Kita harus segera menghabisinya sebelum kehadiran kita
disini diketahui orang dan dilaporkannya kepada para prajurit"
Paksi tidak dapat mengelak, iapun segera melangkah surut
dan menggapai tongkatnya yang disangkutkannya pada kuda
bebannya. Demikian ia menarik tongkatnya itu, maka seorang di
antara ketiga orang yang hendak membunuhnya itu sudah
menyerangnya. Namun Paksipun sudah siap. Dengan tangkasnya iapun
menangkis serangan itu. Bahkan dengan satu putaran,
tongkatnya telah mematuk ke arah perut orang yang
menyerangnya itu. Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Paksi mampu
bergerak demikian cepatnya. Dengan serta-merta iapun
segera meloncat ke samping. Namun tongkat Paksipun telah
menggeliat dan terayun mendatar.
Orang itu tidak sempat menangkis ketika tongkat itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyambar lengannya Orang itu terhuyung-huyung ke
samping. Namun dengan cepat kawannya datang
membantunya. Orang yang berwajah tampan dengan
berkumis tipis itu telah meloncat sambil menebas langsung ke
arah leher Paksi. Tetapi Paksi sempat merendah. Tongkatnya justru
menyambar kaki orang itu, sehingga orang itu tidak mampu
menyelamatkan keseimbangannya. Dengan kerasnya orang itu
terbanting di tanah. Namun ketika Paksi siap mengayunkan tongkatnya untuk
mengakhiri perlawanan orang berwajah tampan itu, yang
lainpun telah menyerangnya pula. Karena itu, maka Paksipun
harus meloncat menghindari serangan itu. Sambil memutar
tongkatnya Paksi harus berloncatan mengelak dari serangan
kedua orang lawannya bersama-sama.
Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama
menjadi semakin sengit. Ketiga orang yang tentu para
pengikut Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu
bertempur dengan keras dan kasar. Mereka langsung
meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Mereka ingin
dengan cepat membunuh Paksi, karena jika kehadiran mereka
diketahui orang dan dilaporkan kepada para prajurit, maka
mereka akan mendapatkan kesulitan.
Tetapi, ternyata tidak mudah membunuh Paksi. Anak muda
itu mampu berloncatan seperti sikatan menyambar bilalang.
Tongkatnya berputaran, terayun mendatar dan kemudian
mematuk dengan derasnya. Orang yang bertubuh pendek itu
terdorong beberapa langkah surut. Perutnya menjadi sakit dan
mual karena tongkat Paksi menghentaknya. Bahkan perutnya
itupun telah terluka dan berdarah.
Sementara itu, orang yang berkumis tipis itu jatuh
tersungkur ketika ayunan tongkat Paksi berhasil mengenai
tengkuknya. Tetapi ketiga orang itu masih saja bertempur
dengan garangnya. Berkali-kali mereka terlempar. Namun
setiap kali mereka telah meloncat kembali ke arena. Pedang
pendek mereka terayun-ayun mengerikan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi harus meloncat surut untuk mengambil jarak ketika
ujung pedang seorang di antara ketiga lawannya itu mengenai
lengannya. Segores luka membuat kulitnya telah menganga.
Ketiga orang lawannya tidak memberinya kesempatan.
Ketika mereka melihat darah mengalir dari luka di lengan
Paksi, maka merekapun menjadi semakin bernafsu. Seperti
seekor serigala yang mencium bau darah, mereka serentak
memburunya. Paksi menggeletakkan giginya. Berbagai macam ilmu
tersimpan di dalam dirinya. Karena itu, ketika ia terdesak, dan bahkan terluka, maka Paksipun telah menghentakkan ilmunya
dengan garangnya. Darah Paksi yang masih muda itu seakan-akan telah
mendidih ketika ia merasa lukanya menjadi nyeri. Sementara
serangan-serangan lawannya semakin lama justru menjadi
semakin menekannya. Dengan demikian, pertempuran itupun semakin lama
menjadi semakin sengit. Seorang di antara ketiga orang lawan
Paksi melenting ke atas dinding halaman di pinggir jalan.
Ketika Paksi sedang menghindari serangan orang berkumis
tipis itu, orang yang bertengger di atas dinding halaman
itupun meloncat dengan cepat sambil mengayunkan pedang
pendeknya. Paksi berdesah tertahan. Punggungnya tergores luka
melintang. Meskipun tidak begitu dalam, tetapi luka itu terasa pedih. Dengan cepatnya Paksi itupun meloncat mengambil
jarak. Sekali tubuhnya berputar di udara. Kemudian kedua
kakinya dengan lunak menyentuh tanah.
Tetapi Paksi terpaksa meloncat sekali lagi, berputar di
udara dan berdiri tegak di tanah, siap untuk melawan ketiga
orang lawannya yang memburunya.
Pertempuranpun menyala semakin sengit. Serangan-
serangan ketiga orang yang akan membunuh Paksi itu
menjadi semakin keras dan kasar.
Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka berteriak
nyaring. Orang yang bertubuh pendek itu jatuh tertelungkup
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di tanah. Kedua tangannya memegangi perutnya yang
tertembus ujung tongkat Paksi.
Orang itu masih menggeliat. Tetapi kemudian iapun
terdiam. Namun pada saat tongkat Paksi menikam perut orang
itu, ujung pedang pendek orang yang berkumis tipis itu
sempat melukai pundak Paksi.
Namun Paksi yang kesakitan itu justru menjadi semakin
garang. Seperti seekor banteng yang terluka, Paksi menyerang
kedua orang lawannya yang tersisa dengan puncak ilmunya.
Kedua lawannyapun segera terdesak. Seorang yang
berkumis tipis itu masih sempat berteriak, "Lari. Larilah. Kau tidak boleh jatuh ke tangan Paksi. Kau akan menjadi tawanan.
Tubuhmu akan dicincang untuk mendapatkan pengakuan"
Adik Paksi mendengar teriakan itu. Tetapi rasa-rasanya
kakinya menjadi beku. Karena itu, maka anak itu tidak segera
meninggalkan tempatnya. Lawan Paksi yang seorang lagipun berteriak pula, "Cepat,
tinggalkan tempat ini. Jangan bodoh, jika kau tidak mau
tersiksa di tangan prajurit Pajang"
Paksi yang muda itu tidak lagi mengekang diri. Tongkatnya
berputaran semakin cepat. Seorang lawannya yang meloncat
sambil menjulurkan pedangnya, justru mengaduh ketika
tongkat Paksi menghantam kepalanya.
Orang itu terhuyung-huyung surut. Paksi yang mencoba
memburunya tertahan. Orang yang berkumis tipis itu meloncat
sambil mengayunkan pedangnya menebas ke arah leher.
Tetapi Paksi sempat merendahkan dirinya. Demikian
pedang itu terayun di atas kepalanya, maka Paksi itupun
mengayunkan tongkatnya menyapu kaki orang berkumis tipis
itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu berteriak kesakitan.
Tulang kakinya serasa telah patah, sehingga orang itu tidak
lagi mampu berdiri. Tubuhnya terpelanting jatuh di atas lorong yang sepi itu.
Pada saat itu, kawannya yang seorang lagi mencoba untuk
mencegah serangan Paksi yang lebih menentukan. Dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjulurkan pedang pendeknya ia berusaha menikam
punggung Paksi. Tetapi Paksi yang mengetahui serangan itu dengan cepat
mengelak ke samping. Bahkan kemudian tongkatnya sempat
memukul pergelangan tangan orang itu sehingga pedangnya
terpelanting dari tangannya.
Orang itu tidak sempat memungut pedangnya. Darah muda
Paksi yang menggelegak di jantungnya itu telah memanaskan
seluruh tubuhnya, sehingga anak muda itu tidak lagi menahan
dirinya. Dengan garangnya Paksi mengayunkan tongkatnya,
menghantam tengkuk orang yang telah kehilangan senjatanya
itu, sehingga iapun jatuh tertelungkup.
Namun pada saat yang bersamaan orang berkumis tipis
yang tidak lagi dapat berdiri tegak itu merayap mendekatinya.
Pedangnya menebas ke arah mata kaki Paksi.
Tetapi Paksi sempat menghindari. Sambil meloncat ia
mengangkat tongkatnya. Namun demikian ia berpijak di
tanah, maka ujung tongkatnya itupun telah menikam dada
orang berkumis tipis itu.
Orang itu tidak sempat mengaduh. Tiga orang lawan Paksi
telah terkapar di tanah. Mati.
Paksi termangu-mangu sejenak. Beberapa goresan luka
mengoyak tubuhnya. Lengannya, punggungnya, pundaknya,
pahanya dan beberapa goresan lagi.
Dalam pada itu, ketika Paksi yakin bahwa ketiga orang
lawannya tidak lagi mampu memberikan perlawanan, maka
iapun melangkah menjauhinya. Perhatiannyapun kemudian
tertuju kepada adiknya yang berdiri ketakutan melekat dinding
halaman sebelah. Namun tiba-tiba anak itupun berteriak, "Jika kau akan
membunuh aku, bunuhlah"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk
menenangkan dirinya. Didekatinya adiknya yang berdiri
melekat dinding itu. "Marilah kita pulang. Ibu menunggumu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak. Aku tidak mau pulang. Aku tentu akan ditangkap
dan disiksa sampai mulutku mengaku, dimana ayah
bersembunyi" "Aku akan melindungimu. Marilah. Ibu sangat rindu
kepadamu. Adik kita juga sering bertanya, dimana kau
berada" "Jangan sentuh aku. Kau bukan kakakku"
Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan suara bergetar iapun
bertanya, "Bagaimana mungkin aku bukan kakakmu" Kita
dilahirkan oleh seorang ibu yang sama. Kita pun mempunyai
ayah yang sama" "Tidak. Ayah kita tidak sama"
Paksi menjadi tegang. Bahkan lebih tegang dari saat ia
berhadapan dengan ketiga orang lawannya.
"Siapa yang mengatakan itu kepadamu?"
"Ayah. Ayah mengatakan kepadaku, bahwa ayah kita
berbeda. Kau bukan anak ayah. Kau adalah benalu di rumah
kami. Karena itu, kau harus disingkirkan"
"Jika aku bukan anak ayah, katakan, menurut ayah, aku
anak siapa?" "Kau anak orang yang tidak dikenal. Itulah kenyataannya.
Karena itu, jangan sebut lagi aku adikmu"
"Tetapi ibu kita?"
"Aku mencintai ibu. Tetapi aku tidak dapat menemui ibu
sekarang" Wajah Paksi menjadi merah. Luka di tubuhnya tidak terasa
lagi. Luka di hatinya itulah yang terasa pedih dan nyeri,
sehingga tubuh Paksipun bergetar.
"Bawa aku kepada ayah. Aku ingin ayah menjelaskannya"
"Tidak. Aku bukan pengkhianat. Karena itu, jika kau ingin
membunuhku, bunuhlah"
Rasa-rasanya seluruh isi dada Paksi berguncang. Ia tidak
dapat mendengar keterangan adiknya itu. Dengan wajah yang
tegang, Paksi melangkah mendekati adiknya dan berjongkok
di hadapannya. "Menurutmu, siapa aku ini, he?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau orang asing di rumah kami. Setidak-tidaknya
ayahmulah yang asing bagi kami"
"Kau telah menghina ibu. Bukankah dengan demikian
berarti ibu telah ternoda ketika menikah dengan ayah?"
"Ya" "Diam. Diam kau kecoak kecil. Ayah itulah yang telah gila.
Ia telah memfitnah ibu. Memfitnah aku. Ayah ingin
memisahkan kita, karena ayah sekarang menjadi seorang


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemberontak, sedangkan aku tidak. Kaupun seharusnya tidak"
"Tidak ada hubungannya dengan gerakan Harya Wisaka"
jawab adiknya. "Aku sudah tidak lagi kanak-kanak. Aku sudah
dapat memisahkan persoalan demi persoalan. Kau bukan
kakakku. Tetapi kau dapat mempergunakan keikutsertaan
ayah dalam gerakan Harya Wisaka sebagai alasan untuk
membunuhku, agar kau kelak dapat memiliki warisan ayah
sepenuhnya meskipun itu bukan hakmu"
"Diam. Diam kau"
"Kau takut melihat wajahmu sendiri"
Tangan Paksi tiba-tiba saja telah terjulur menampar mulut
adiknya. Adiknya terkejut. Paksi yang masih terguncang-
guncang jantungnya itu, tidak dapat mengendalikan
tenaganya dengan baik. Karena itu, maka sentuhan tangannya
di mulut adiknya itu terasa sakit sekali. Bahkan ketika tangan adiknya itu meraba mulutnya, maka terasa cairan hangat
meleleh dari sela-sela bibirnya. Darah.
Sejenak Paksi tertegun. Ia melihat adiknya menyeringai
menahan sakit. Bahkan dari mulut adiknya itu mengalir darah
yang merah. Dari matanya yang mengaca terbayang gejolak
jantungnya yang berdegup semakin cepat dan semakin keras.
Namun tiba-tiba terdengar suara Paksi merendah, "Maafkan
aku. Aku tidak sengaja menyakitimu"
Namun jawab adiknya, "Itu hakmu. Kau bunuh ketiga
orang kawanku. Sekarang, bunuh aku sama sekali"
"Aku masih waras. Aku tidak gila. Bagaimana mungkin aku
membunuh adikku sendiri"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku bukan adikmu, kau dengar. Ayah mengatakan ini
seribu kali kepadaku. Dan akupun akan mengatakannya seribu
kali kepadamu, bahwa kau bukan kakakku"
"Apakah kau juga akan mengatakannya di hadapan ibu?"
Adiknya tertegun. Sejenak ia bagaikan membeku.
"Jika hal ini kau katakan kepada ibu, kau akan tahu
akibatnya. Selama ini kita menganggap ibu adalah seorang
perempuan yang baik, seorang ibu yang bersih, seperti air
yang bening keluar dari mata airnya. Selama ini kita minum air yang bening itu dengan ucapan sukur. Namun tiba-tiba kau
telah membantingnya ke dalam tempat sampah yang paling
kotor. Kau sebut ibu kita itu sebagai perempuan yang paling
hina" Adik Paksi itu masih tercenung. Bahkan iapun kemudian
menangis terisak. "Marilah kita pulang"
Namun jawabnya masih tetap meskipun diucapkan dengan
nada rendah, "Aku tidak mau pulang. Aku tidak dapat
berkhianat kepada ayah"
"Baiklah" berkata Paksi, "aku akan segera menemui ibu.
Aku akan bertanya, apakah yang dikatakan ayah itu benar.
Jika apa yang dikatakan ayah dan ibu tidak sama, maka aku
lebih percaya kepada ibu"
"Sekarang, bunuh aku sebelum aku ditangkap oleh prajurit-
prajurit Pajang" "Jika kau berkeras tidak mau pulang, pergilah. Kembalilah
kepada ayah. Sampaikan baktiku kepadanya"
"Ayah tidak akan mau menerimanya"
"Itu persoalan ayah. Bukan persoalanku"
Adik Paksi itu terdiam. Sementara itu Paksipun berkata,
"Pergilah sebelum para prajurit itu datang. Jika ada orang
yang melaporkan pertempuran ini, maka para prajurit akan
segera datang. Jika mereka menemukan kau masih berada
disini, maka kau akan ditangkapnya. Aku tidak tahu, apakah
aku akan dapat melindungimu atau tidak. Atau bahkan aku
juga dianggap telah berpihak kepadamu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Adik Paksi itu termangu-mangu.
"Pergilah. Cepat" bentak Paksi.
Adiknya itu masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga
Paksipun menggeram, "Jika para prajurit itu datang, aku akan
membunuhmu. Aku lebih senang melihat kau mati daripada
kau jatuh ke tangan para prajurit itu"
Adik Paksi itu nampak bingung. Namun Paksipun kemudian
menarik tangannya dan mendorongnya. "Pergi, pergi. Katakan
kepada ayahmu, bahwa aku mencarinya. Ayahku atau bukan,
tetapi ia adalah musuhku, musuh Pajang. Ia harus ditangkap
dan terserah kepada Kangjeng Sultan, apakah ia akan
diampuni atau akan digantung di alun-alun"
Adik Paksi itu mulai beranjak. Sementara Paksi itu berkata
lantang, "Pergilah kepada ayahmu. Katakan, ia harus
mempertangung"jawabkan ucapannya. Ia telah menghina
ibuku, seorang perempuan yang sangat aku hormati"
Adik Paksi itu memandang Paksi seperti memandang
sesosok hantu. Ketakutan yang ditekannya di dalam dadanya
ia telah terungkit. Bukan karena ia termasuk buruan
sebagaimana ayahnya. Tetapi ia merasa telah membuat Paksi
marah karena kebeningan hati ibunya tersentuh. Karena itu,
maka adik Paksi itupun kemudian telah bergeser semakin
menjauhi Paksi. Akhirnya anak itupun berlari menghilang di
tikungan. Paksi berdiri termangu-mangu. Masih ada darah yang
meleleh dari lukanya, meskipun tidak lagi terlalu deras. Namun pedihnya tidak sepedih luka di hatinya. Seakan-akan di luar
sadarnya, Paksi melangkah meninggalkan tempat itu. Ia tidak
lagi menghiraukan kuda bebannya. Dengan bertumpu pada
tongkatnya, Paksi melangkah semakin lama semakin jauh. Ia
juga berbelok di tikungan. Tetapi ia tidak berjalan searah
dengan adiknya. Tetapi ternyata Paksi tidak langsung menemui Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa seperti yang mereka
sepakati. Dengan mengendap-endap agar tidak menarik
perhatian orang karena luka-lukanya dan pakaiannya yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdarah, Paksi justru pulang ke rumahnya. Ia tidak peduli,
apakah rumahnya itu diawasi atau tidak, ia tidak lagi dapat
berpikir terang. Nalarnya menjadi kabur mendengar
pengakuan adiknya, bahwa Paksi bukan kakaknya. Bahwa Ki
Tumenggung Sarpa Biwada bukan ayahnya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa beberapa orang
mengetahui bahwa telah terjadi pertempuran di sebuah lorong
yang sepi. Orang yang tinggal di sebelah-menyebelah lorong
itu mendengar pertempuran itu. Mereka mendengar teriakan-
teriakan dan bentakan-bentakan. Mereka mendengar desah
dan keluh kesakitan. Mereka mendengar senjata beradu dan
hentakan-hentakan kaki. Tetapi justru karena itu, tidak seorang pun yang berani
keluar dari regol halaman rumahnya. Dengan demikian, maka
mereka tidak tahu siapakah yang telah bertempur itu.
Baru kemudian, ketika seorang yang lewat di lorong itu
melihat dari kejauhan apa yang terjadi, maka iapun segera
berlari berbalik menyusuri lorong itu. Orang itu berlari ke jalan yang lebih besar untuk menghadang para prajurit yang
meronda Tetapi karena tidak ada prajurit yang segera lewat,
maka iapun telah berlari ke sebuah barak prajurit. Tetapi
barak itu cukup jauh. Ketika dengan nafas yang hampir putus orang itu
melaporkan apa yang dilihatnya, maka penjaga yang bertugas
di regol tidak segera tanggap. Kata-katanya yang
dihembuskan di sela-sela nafasnya yang memburu itu
memang tidak begitu jelas. Karena itu, maka oleh penjaga
barak, orang itupun dibawa menghadap seorang lurah
prajurit. Lurah prajurit itu berusaha menenangkannya. Kemudian
dengan sabar ia mendengarkan laporan orang itu.
"Jadi telah terjadi perkelahian?"
"Ya, Ki Lurah" "Perkelahian yang terjadi antara orang-orang di sebelah-
menyebelah lorong itu atau perkelahian antara siapa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nampaknya perkelahian antara orang-orang yang garang.
Mereka bersenjata" Lurah prajurit itupun mengangguk-angguk. Katanya,
"Tunjukkan. Kami akan pergi kesana"
Bersama lima orang prajurit, lurah itupun telah pergi ke
tempat perkelahian itu terjadi. Orang yang melihat perkelahian itu diminta untuk bersedia menunjukkan tempat kejadiannya
Namun ketika mereka sampai disana, yang ditemuinya adalah
kerumunan banyak orang. Tiga sosok mayat terbaring.
Beberapa bakul dan seekor kuda beban.
Tidak seorang pun dapat memberikan keterangan. Orang-
orang yang berkerumun itu tidak melihat apa yang telah
terjadi, karena mereka tidak berani keluar dari halaman
rumahnya. Baru kemudian, setelah pertempuran itu selesai,
seorang demi seorang keluar dari halaman rumahnya
mendekati sosok tubuh yang terbaring diam itu
Lurah prajurit itu tidak mendapatkan bahan apapun untuk
mengusut, apakah yang sebenarnya sudah terjadi. Tetapi
lurah prajurit itu menduga, bahwa yang terjadi bukanlah
perkelahian antara orang-orang kebanyakan yang berselisih
tentang persoalan mereka sehari-hari.
Lurah prajurit itu dapat menduga, bahwa bakul, pikulan,
kuda beban yang membawa gerabah itu adalah bagian dari
penyamaran. Tetapi pihak-pihak yang berkelahi itu tidak
segera dapat diketahuinya.
Dengan seksama lurah prajurit dan para prajuritnya
memeriksa tempat kejadian serta tiga sosok mayat itu. Mereka
tidak menemukan ciri apapun. Pedang pendek itu juga tidak
dapat dipergunakan untuk menelusuri, siapakah mereka
bertiga itu. Siapa pula lawan mereka.
"Kita akan membuat laporan secepatnya" berkata lurah
prajurit itu. Setelah selesai dengan pemeriksaannya, serta menyimpan
ketiga buah pedang pendek serta membawa kuda beban
beserta gerabah yang ada di punggungnya, maka lurah
prajurit dan para prajuritnya itupun kembali ke barak mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan cepat mereka telah membuat laporan tentang
perkelahian yang mencurigakan itu.
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa
telah berada di tempat mereka bersepakat untuk berkumpul.
Tetapi mereka harus menunggu terlalu lama. Jauh lebih
lama dari waktu yang seharusnya
"Apa yang terjadi dengan Paksi?" bertanya Raden
Sutawijaya dengan nada kecemasan.
"Kita harus mencarinya. Ia sudah terlalu lama melampaui
batas waktu yang sudah ditentukan"
Keduanya ternyata sepakat untuk mencari Paksi.
Keduanyapun kemudian berjalan menyusuri lorong yang
mereka perhitungkan telah dilalui oleh Paksi, karena mereka
telah membagi lingkungan yang menjadi medan pengamatan
masing-masing. Ketika mereka sampai di tempat Paksi bertempur melawan
tiga orang pengikut Harya Wisaka, mereka masih melihat
beberapa orang yang sedang menimbuni lorong dengan tanah
yang diambilnya dari pinggir lorong itu.
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa semula ragu-ragu
untuk menyibak orang-orang yang sedang sibuk itu. Namun
orang-orang itu sendiri yang menyibak untuk memberi jalan
kepada kedua orang yang akan lewat.
Namun keduanya tertegun. Mereka melihat bahwa orang-
orangitu sedang sibuk menimbuni bercak-bercak darah yang
menggenang di jalan itu. "Darah" desis Raden Sutawijaya di luar sadarnya.
"Ya" tiba-tiba saja seorang di antara mereka yang
menimbuni darah itu dengan tanah, menyahut.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Perkelahian. Yang terlibat antara lain adalah seorang
penjual gerabah. Kuda bebannya diketemukan terikat disini.
Tiga sosok mayat terbaring di sekitar tempat ini"
"Seorang penjual gerabah" Kenapa ia berkelahi?"
"Tidak ada yang tahu"
"Apakah penjual gerabah itu hidup atau mati?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak ada yang tahu. Kami tidak tahu, apakah di antara
ketiga sosok mayat itu terdapat penjual gerabah itu. Kami
hanya menemukan tiga sosok mayat dan seekor kuda beban
yang membawa gerabah"
"Dimana kuda beban itu sekarang?"
"Beberapa orang prajurit telah datang. Prajurit itulah yang
meneliti apa yang terjadi. Kuda itupun mereka bawa pula"
Jantung Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menjadi
berdebar-debar. Tetapi mereka berusaha untuk
menyembunyikan perasaan mereka. Sejenak kemudian, maka
keduanyapun minta diri kepada orang-orang yang berkerumun
itu untuk meneruskan perjalanan.
Namun demikian mereka lewat, maka Pangeran
Benawapun berkata, "Paksi benar-benar dalam kesulitan.
Mudah-mudahan di antara ketiga sosok mayat itu tidak
terdapat Paksi" "Kita tidak melihat tongkatnya"
"Jika di antara mereka terdapat Paksi, mungkin tongkatnya
telah dibawa oleh para prajurit pula"
"Kita tidak tahu, prajurit yang manakah yang membawa
Paksi" "Barak prajurit yang manakah yang terdekat dengan
tempat ini?" Keduanya terdiam untuk beberapa saat. Mereka berjalan
sambil mengingat-ingat. Yang datang ke tempat itu tentu
prajurit dari barak terdekat. Jika ada prajurit yang meronda,
tentu prajurit dari barak itu pula.
Keduanyapun kemudian mempercepat langkah mereka.
Namun Raden Sutawijaya dengan ragu-ragu berkata, "Apakah
mereka dapat menerima kita?"
Pangeran Benawa termangu-mangu. Namun iapun
kemudian berdesis, "Ya. Kita dapat diusir dari barak itu atau
mungkin pula kita akan ditangkap"
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sambil menunduk
iapun bergumam, "Kenapa kita tidak bertanya apakah di
antara sosok mayat itu terdapat seorang anak muda?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah pertanyaan itu mencurigakan?"
"Ya. Memang mencurigakan"
Keduanyapun terdiam lagi.
Baru beberapa saat kemudian, Raden Sutawijayapun
berkata lagi, "Pulang ke rumah ayah. Kita akan menanyakan
melalui jalur keprajuritan, siapakah yang menangani


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertempuran itu dan siapa pula yang telah membawa kuda
beban Paksi yang ditinggalkan itu"
Pangeran Benawa mengangguk.
Dengan tergesa-gesa keduanyapun kemudian langsung
pergi ke rumah Ki Gede Pemanahan. Penjaga yang bertugas di
halaman menghentikan mereka. Tetapi ketika mereka melihat
kedua orang yang datang itu lebih jelas, maka mereka justru
menyembah. "Silahkan, Raden. Silahkan, Pangeran"
"Ayah ada di rumah?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ada, Raden" Sejenak kemudian dua orang prajurit berkuda telah
meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede Pemanahan. Ki
Gede telah memerintahkan mereka untuk mendatangi barak
prajurit yang terdekat dengan tempat kejadian.
"Ketika kami datang, semuanya sudah lewat, Ayah" berkata
Raden Sutawijaya. "Tinggal beberapa orang yang menimbuni
darah yang tercecer di lorong itu"
"Nampaknya Paksi bertemu dengan orang-orang penting di
lingkungan para pengikut Harya Wisaka. Ia sendiri ketika ia
menghadapi beberapa orang bersama-sama"
Pangeran Benawa menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Katanya, "Jika terjadi sesuatu atas anak itu, kamilah yang
bersalah" "Pangeran tidak dapat menyalahkan diri sendiri" berkata Ki
Gede Pemanahan. "Bukankah kalian sepakat untuk
memencar" Menempuh jalan masing-masing?"
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Raden Sutawijayapun bertanya, "Bagaimana
dengan kuda beban kita, Adimas Pangeran?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Biar sajalah. Nanti kita lihat. Jika ada orang yang
membawanya, biarlah dibawa"
Raden Sutawijaya tidak bertanya lagi. Nampaknya
Pangeran Benawa benar-benar menjadi gelisah. Ia mengenal
Paksi lebih dalam dari Raden Sutawijaya. Beberapa lama
Pangeran Benawa pernah mengembara bersama-sama.
Setelah beberapa lama mereka menunggu, maka kedua
orang prajurit yang menangani perkelahian yang melibatkan
seorang penjual gerabah itupun telah kembali.
Ternyata mereka harus memasuki dua barak. Baru pada
barak yang kedua, mereka mendapat keterangan tentang
penjual gerabah itu. "Mereka sedang menyusun laporan" berkata salah seorang
prajurit berkuda yang baru kembali itu.
"Tetapi bukankah kau sudah mendapatkan keterangan
lesan?" bertanya Pangeran Benawa tidak sabar.
Ternyata dari keterangan prajurit itu, tidak seorangpun dari
ketiga sosok mayat itu yang ciri-cirinya sama atau mendekati
ciri-ciri tubuh Paksi. Bahkan diyakini bahwa ketiga-tiganya
adalah para pengikut Harya Wisaka
"Mereka bukan anak muda lagi" berkata prajurit itu
kemudian. "Darimana mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa
ketiganya adalah pengikut Harya Wisaka"
"Melihat apa yang mereka bawa. Nampaknya mereka
membawa bahan makan dan kebutuhan sehari-hari. Agaknya
mereka telah berpapasan dengan petugas sandi yang
membawa kuda beban berisi gerabah itu. Tetapi kami tidak
menemukan prajurit sandi itu"
"Senjata apa saja yang diketemukan di tempat kejadian
itu?" "Pedang pendek. Sarung pedang pendek itu terdapat di
dalam bakul yang berisi bahan pangan dan kebutuhan sendiri-
sendiri itu" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Jika
demikian, maka Paksi agaknya masih hidup.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi kemana anak itu" Apakah ia tertangkap dan dibawa
menghadap ayahnya" Jika demikian, maka keadaannya akan
menjadi parah pula" bertanya Pangeran Benawa di dalam
hatinya. "Semuanya masih belum jelas" desis Raden Sutawijaya.
Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa itupun berkata,
"Apakah mungkin Paksi justru pulang?"
"Pulang kemana?"
"Ke rumahnya. Bukankah ibunya masih tinggal disana"
Dalam kesulitan dapat saja ia bersembunyi di rumahnya.
Atau bahkan apapun yang terjadi"
"Pangeran" desis Ki Gede Pemanahan yang melihat
Pangeran Benawa menjadi bingung, "jika masih ada
kesempatan, Paksi tentu akan menemui Pangeran dan
Sutawijaya di tempat yang ditentukan"
"Tetapi tidak ada salahnya kita melihat rumahnya" desis
Raden Sutawijaya. "Tetapi jika Paksi tidak ada disana, maka ibunya akan
menjadi sangat gelisah"
Raden Sutawijaya mengangguk angguk kecil.
Namun tiba-tiba Pangeran Benawa itupun berkata, "Kita
lihat apakah Paksi ada di rumahnya atau tidak. Jika terjadi
sesuatu, maka lambat atau cepat, ibunya justru harus
mengetahuinya" "Tetapi kita akan memastikan, atau setidak-tidaknya
mendekati kepastian, apakah yang terjadi dengan Paksi"
"Justru semakin cepat ibunya mengetahuinya akan menjadi
semakin baik" Agaknya niat Pangeran Benawa sudah bulat. Ia ingin
melihat ke rumah Paksi. Bahkan Pangeran Benawa
membayangkan bahwa Paksi justru telah tertangkap dan
disekap di rumahnya sendiri. Orang lain tentu tidak akan
menduganya Di tempat lain, akan dapat menjadi berbahaya
bagi para pengikut Harya Wisaka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kecuali jika Paksi itu langsung dibunuh oleh ayahnya
sendiri. "Apakah Pangeran akan membawa beberapa orang
prajurit?" "Tidak" Pangeran Benawa menggeleng, "aku akan pergi
berdua saja dengan Kakangmas Sutawijaya"
"Baiklah" sahut Raden Sutawijaya, "kita pergi ke rumah
Paksi. Tetapi asal kita ingat saja, bahwa rumah itu masih
selalu diawasi oleh para pengikut Harya Wisaka. Tetapi juga
oleh para petugas sandi"
"Jika demikian, mereka tidak akan dapat menahan Paksi di
rumah itu" "Mereka tentu mempunyai cara tersendiri untuk masuk dan
keluar rumah itu di luar jangkauan pengamatan para petugas
sandi. Tetapi mungkin pula para pengikut Harya Wisaka
mampu memancing perhatian para petugas sandi itu"
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Marilah kita pergi sekarang"
Sejenak kemudian, keduanyapun minta diri. Ki Gede hanya
dapat berpesan agar mereka berhati-hati. Apa yang terjadi
atas Paksi dapat pula terjadi atas mereka berdua.
"Baiklah, Paman" jawab Pangeran Benawa, "kami akan
berhati-hati. Apalagi kami berdua, sementara Paksi seorang
diri menghadapi kekuatan yang sangat besar"
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itupun kembali
turun ke jalan. Merekapun dengan tergesa-gesa pergi ke
rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang telah
ditinggalkannya. Dalam pada itu, Paksi memang pergi untuk menemui
ibunya. Ia tidak ingat apa-apa lagi kecuali kata-kata adiknya, bahwa Paksi bukan kakaknya seayah.
"Apakah ketika ibu menikah dengan ayah, ibu sudah
melahirkan aku?" pertanyaan itu telah menggodanya,
"Sehingga aku adalah anak tiri ayah Tumenggung Sarpa
Biwada?" Tetapi menurut pendengaran Paksi selama ini, ibunya
belum pernah menikah sebelumnya. Ki Tumenggung Sarpa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biwada adalah satu-satunya suami ibunya. Ia sering
mendengarkan ceritera ibunya, bahwa ketika ayahnya
diangkat menjadi seorang pandega dengan pangkat rangga,
ibunya ikut hadir dalam wisuda itu selagi Paksi masih berada
di dalam kandungan. Itu berarti bahwa ketika ia lahir, ibunya
telah menjadi isteri Ki Rangga Sarpa Biwada. Ketika Paksi memasuki regol halaman rumahnya, tubuhnya
sudah menjadi semakin lemah. Meskipun tidak lagi terlalu
deras, tetapi darahnya masih saja mengalir dari luka-lukanya
Paksi tidak langsung naik ke pendapa. Tetapi lewat pintu
seketeng, Paksi langsung masuk ke serambi samping.
Ibunya terkejut melihat keadaan Paksi. Berlari-lari ia
mendapatkannya sambil bertanya, "Paksi, kau kenapa, Paksi?"
Paksi masih berdiri bertumpu pada tongkatnya. Ketika
ibunya akan memapahnya masuk ke ruang dalam, Paksi
menolaknya sambil berdesis, "Tidak, Ibu"
"Paksi" "Aku datang untuk mendapat pengakuan, Ibu"
"Pengakuan apa, Paksi?" ibunya termangu-mangu. "Apakah
kau mengira bahwa ibu tahu dimana ayah bersembunyi?"
"Tidak. Bukan itu"
"Lalu?" "Ibu, aku ingin tahu, aku ini anak siapa?"
"Paksi" Wajah ibunya menjadi tegang Dengan nada datar
iapun bertanya, "Aku tidak tahu maksudmu"
"Ibu" berkata Paksi yang masih berdiri bertumpu pada
tongkatnya, "aku ini anak siapa" Aku mendapat keterangan
bahwa aku bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Lalu
aku anak siapa" Apakah aku anak tirinya" Apakah aku sudah
ada ketika Ibu menikah dengan Ki Tumenggung Sarpa
Biwada" Lalu bagaimanakah dengan ceritera Ibu, bahwa Ibu
hadir ketika ayah diwisuda menjadi pandega dengan pangkat
rangga pada hampir duapuluh tahun yang lalu itu" Bukankah
Ibu menceriterakan bahwa waktu itu aku masih berada di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam kandungan. Atau barangkali yang Ibu maksud laki-laki
yang diwisuda itu bukan Ki Sarpa Biwada?"
"Paksi. Paksi. Siapakah yang mengatakannya"
Pertanyaanmu aneh dan tidak aku mengerti"
"Pertanyaanku sederhana, Ibu. Apakah aku anak Sarpa
Biwada atau bukan?" Wajah ibunya menjadi tegang. Dipeganginya kedua lengan
Paksi yang kokoh. Didorongnya Paksi perlahan-lahan sambil
berkata, "Duduklah, Paksi. Duduklah"
Paksi memang tidak dapat menolak. Paksipun kemudian
duduk di sebuah lincak bambu tutul yang panjang. Sementara
ibunya duduk di sampingnya.
"Paksi" suara ibunyapun terasa bergetar, "siapakah yang
mengatakan kepadamu?"
Paksipun kemudian menceriterakan dengan patah-patah
apa yang telah terjadi. Ia berusaha mengajak adiknya pulang.
Tetapi jawab adiknya itu sangat menyakitkan hatinya.
"Katakan, Ibu, apakah yang dikatakan ayah kepada adikku
itu benar" Jika benar, lalu apa yang telah terjadi dengan Ibu
pada waktu itu?" Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
matanya menjadi basah. Ia tidak menahan lagi tangisnya
meskipun ia berusaha. Pada saat itu, adik perempuan Paksi berlari-lari masuk ke
serambi. Gadis kecil itu terkejut melihat keadaan Paksi serta
ibunya yang menangis. "Kakang, Kakang Paksi. Kau kenapa?"
Pakaian Paksi masih berlumuran darah. Sementara ibunya
berusaha mengusap matanya. Tetapi tangisnya tidak juga
mereda. "Ibu, kenapa?" "Kakakmu Paksi terluka"
"Siapa yang melukaimu, Kakang" Siapa?"
Paksi mengusap rambut adiknya. Jika benar kata-kata adik
laki-lakinya, maka adik perempuannya itupun bukan adiknya
seayah. Itu sangat menyakitkan. Meskipun dengan demikian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi dapat memecahkan satu teka-teki yang selama ini
membebaninya, kenapa ayahnya ingin membunuhnya.
"Kakang. Marilah, aku cuci luka Kakang. Luka itu harus
diobati" "Nanti. Nanti saja anak manis"
"Jangan ditunda-tunda lagi, Kang. Ibu, luka Kakang sangat
berbahaya. Kakang Paksi akan dapat menjadi pingsan"
"Ya, ya, manis" sahut ibunya. "Marilah Paksi, aku obati
luka-lukamu" Paksi tidak menjawab. Ibunya itupun kemudian beranjak
pergi untuk mengambil air hangat.
"Lepaskan bajumu, Paksi" desis ibunya kemudian.
Paksi tidak menolak ketika ibunya kemudian mencuci luka-
lukanya dengan air hangat. Namun ibunya itupun kemudian
berkata kepada anak gadis kecilnya, "Tinggalkan kakakmu,
Nduk. Tidak baik kau melihat luka-luka yang di tubuh
kakakmu" "Aku akan membantu Ibu membersihkan luka-luka Kakang
Paksi, Ibu" Ibunya memaksa bibirnya untuk tersenyum sambil berkata,
"Tidak, Nduk. Tinggalkan kakakmu bersama ibu"
Gadis kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun
meninggalkan serambi itu, masuk ke ruang dalam. Setelah
menutup pintu, maka ibunya mulai membersihkan lagi luka
Paksi. Namun Paksi yang tidak dapat menahan gejolak
perasaannya itupun mendesaknya, "Ibu, aku ingin mendengar
jawaban Ibu" Ibu Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sambil
membersihkan luka-luka Paksi, ibunya itupun berkata, "Kau
benar-benar ingin mendengarnya, Paksi?"
"Ya, Ibu. Apapun bunyinya, aku ingin mendengarnya"
Ibu Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun dari
pelupuknya mulai menitik air matanya.
"Paksi" berkata ibunya kemudian. Suaranya bergetar di
sela-sela isaknya yang mulai menekan dadanya.
Bagaimanapun juga ibu Paksi itu berusaha, tetapi perempuan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itupun menangis. "Kau sudah dewasa, Paksi. Umurmu sudah
melampaui tujuh belas. Karena itu, biarlah kau mendengar
tentang dirimu yang sebenarnya"
Suara ibunya terputus oleh isaknya. Bahkan ibunya itupun
kemudian duduk di sebelah Paksi. Tangannya tidak lagi kuasa
bergerak membersihkan luka-luka di tubuh anak laki-lakinya
itu. Paksi tidak mendesaknya. Hatinya mulai luluh mendengar
tangis ibunya. Perlahan-lahan di sela-sela isaknya ibunya
itupun berceritera tentang dirinya sendiri di masa gadisnya.
"Laki-laki itu baik sekali, Paksi" berkata ibunya.
"Jika laki-laki itu baik sekali, kenapa ia meninggalkan Ibu
yang sudah menjadi hamil?"
Tangis ibunya semakin menekan dadanya. Dengan susah
payah ibunya mencoba menahan agar tangisnya itu tidak
meledak. "Ibumu ini hampir saja dibunuh oleh kakekmu pada waktu
itu. Aku sudah mencemarkan nama baik keluargaku"
"Kenapa laki-laki itu pergi meninggalkan Ibu?"
"Ia tidak sengaja pergi meninggalkan Ibu, Ngger. Tetapi ia
adalah seorang prajurit. Tiba-tiba saja ia mendapat tugas
untuk membasmi sekelompok perampok yang sangat ganas.
Duapuluh lima orang yang berangkat. Hanya lima belas orang
yang kembali. Delapan orang diketemukan mayatnya, tetapi
dua orang dinyatakan hilang, karena tubuhnya tidak
diketemukan. Di antara kelima belas orang yang kembali itupun ada yang
terluka bahkan parah"
"Laki-laki itu termasuk yang tidak diketemukan?"
"Ya. Aku tidak yakin bahwa ia meninggal. Tetapi laki-laki itu
memang tidak kembali"
"Kenapa laki-laki itu tidak kembali, Ibu?"
Ibunya menggelengkan kepalanya.
"Seandainya ia memang tidak mati, ia sengaja menghilang
dari pasukannya agar ia tidak harus bertanggung jawab atas
perbuatannya" desak Paksi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak. Itu tidak benar"
"Jadi?" "Ia bukan seorang pengecut. Ia seorang laki-laki sejati.
Pada suatu saat, iblis memang berhasil mencengkam jiwa
kami, sehingga yang terkutuk itu telah terjadi. Tetapi ia tentu tidak lari. Jika ia tidak kembali, tentu ada sebabnya. Dan
akhirnya, akupun tahu apa sebabnya"
"Apa sebabnya, Ibu?"
Tangis ibunya mereda. Ditatapnya mata Paksi sehingga
anak muda itu justru memalingkan wajahnya.
"Paksi, laki-laki itu terluka parah. Bersama seorang
kawannya ia memang terpisah. Tetapi keduanya justru
berhasil memasuki sarang perampok itu. Meskipun lawannya
terlalu banyak, namun keduanya berhasil menghancurkan
sarang itu. Membunuh beberapa orang di antara mereka,
sedangkan yang lain berlari bercerai-berai. Ada di antara para perampok itu yang kemudian ternyata jatuh ke tangan para
prajurit. Tetapi kedua orang itu terluka parah. Pada saat
terakhir, keduanya terjerumus ke dalam jurang yang dalam.
Itulah sebabnya, keduanya tidak dapat diketemukan oleh
kawan-kawannya" "Darimana Ibu tahu?"
"Kedua prajurit yang akhirnya berhasil menyelamatkan
dirinya, keduanya dirawat oleh orang padukuhan di bawah
jurang yang dalam itu sehingga keduanya sembuh. Tetapi
untuk itu, dibutuhkan waktu yang panjang. Sementara itu, aku
tidak dapat lagi menyembunyikan keadaanku"
"Laki-laki itu datang menemui Ibu?"
"Ya. Kedua laki-laki itu datang menemui ibu. Tetapi sudah
terlambat. Ibu sudah melahirkan seorang anak laki-laki"
"Tanpa ayah?" "Ayahnya adalah Ki Rangga Sarpa Biwada"
"Bagaimana itu terjadi?"
"Kakekmu juga seorang prajurit. Seorang prajurit muda
telah bersedia menikahi aku dengan syarat, bahwa segala
warisan kakekmu akan jatuh ke tangannya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Prajurit muda itu Ki Rangga Sarpa Biwada?"
"Ya. Tetapi ia belum rangga waktu itu"
"Jadi apa yang dikatakan adikku itu benar?"
Ibu Paksi itu menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Bagaimanapun juga ia bertahan, namun akhirnya
tangisannya tidak terbendung lagi.
"Inilah ibumu, Paksi. Selama ini aku berusaha untuk
menyembunyikannya. Tetapi aku sadar, bahwa pada suatu
saat kau tentu akan mengetahuinya juga. Apalagi saat ini
sikapmu terhadap Pajang yang bertentangan dengan sikap Ki
Tumenggung Sarpa Biwada, sehingga kau dan Ki Tumenggung
tidak akan dapat hidup bersama-sama lagi dalam satu
keutuhan keluarga. Ki Tumenggung itu nampaknya benar-
benar ingin membunuhmu"
"Ya. Aku merasakannya"
"Bahkan sejak belum pecah persoalan Harya Wisaka"
"Ayah memang telah mengusirku dengan tugas yang tidak
masuk akal itu" "Ayahmu merasa cemas, bahwa pada suatu saat, kau akan
menuntut hakmu. Rumah ini dan segala isinya adalah milik
kakekmu" "Aku tidak pernah berpikir tentang warisan"
"Aku percaya. Tetapi Ki Tumenggung tidak
mempercayaimu. Bahkan kau menjadi duri di dalam
dagingnya. Karena itu, kau harus diungkit dan disingkirkan
jauh-jauh" "Jika saja aku tahu"
"Paksi" suara ibunya meninggi, "aku minta maaf kepadamu.
Selama ini aku berusaha mengelabuhimu, seolah-olah aku
adalah seorang ibu yang baik. Tetapi sekarang kau melihat
kenyataanku. Aku memang bukan seorang bidadari yang
hatinya selembut dan seputih kapas"
"Cukup, Ibu" Paksipun bangkit berdiri. Wajahnya menjadi
tegang. Dipandanginya wajah ibunya dengan tajamnya.
Dengan suara yang memberat Paksipun bertanya, "Siapakah
laki-laki itu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Isak ibunya menjadi semakin menyesakkan dada. Namun ia
menggeleng sambil berkata, "Aku tidak dapat mengatakannya,
Paksi. Laki-laki itu tidak ada lagi di Pajang"
"Dimana?" "Aku tidak tahu"
Paksi menggeram. Namun tiba-tiba saja tubuhnya menjadi
sangat lemah. Paksipun kemudian terduduk di amben itu pula.
Tubuhnya bagaikan tidak bertulang lagi.
"Paksi" desis ibu Paksi itu sambil mengusap kedua pipi
anaknya. "Aku tidak apa-apa, Ibu. Tetapi kenyataan ini terasa sangat
pahit bagiku" "Aku mengerti, Paksi. Maafkan ibumu ini. Aku telah
menyembunyikan dosa ini hampir selama dua puluh tahun"
Paksi tidak menjawab. "Selama ini aku selalu berpura-pura bersih. Di hadapanmu
aku bersikap seakan-akan seorang ibu yang baik, yang lembut
dan tidak bersalah. Aku menjadi seolah-olah ibu yang arif
yang mencintai dan mengabdikan hidupnya bagi keluarganya.
Tetapi kau sekarang mengetahui, Paksi, bahwa semua itu
adalah pura-pura belaka. Tidak ada yang bersih. Tidak ada
yang tidak bernoda. Tidak ada pula yang arif"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih tetap
berdiam diri. Namun ketika terdengar giginya gemeretak,
maka darahnya mulai mengalir lagi dari luka-lukanya.
"Paksi, usahakan tenangkan hatimu. Gejolak jantungmu
dapat menekan darahmu keluar dari luka-lukanya"
Paksi masih tetap berdiam diri. Sementara ibunya mulai lagi
mencuci luka-luka di tubuh Paksi.
"Kau membawa obat untuk luka-lukamu?"
Paksi tidak menjawab. Tetapi diambilnya sebuah kantong
kecil di kantong ikat pinggangnya yang lebar.
Ibunya tidak bertanya lagi. Ia mengerti bagaimana
menggunakan obat yang berupa serbuk yang tidak begitu
lembut itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika bubuk ramuan obat untuk luka baru itu ditaburkan di
luka-luka Paksi, maka Paksipun harus mengatupkan giginya
rapat-rapat. Luka-lukanya terasa sangat pedih.
Tetapi Paksi sudah tahu, bahwa akibat sentuhan obat itu,
luka-lukanya tentu akan terasa pedih dan panas, bahkan
seperti tersentuh bara. Namun dalam pada itu, selagi luka-luka Paksi sedang diobati, pintu serambi samping yang ditutup itu
diketuk perlahan-lahan. "Ibu, Ibu" suara adik perempuan Paksi.
"Apa, Nduk?" "Ada dua orang tamu, Ibu. Rasa-rasanya aku mengenal
mereka berdua. Kawan Kakang Paksi"
Paksipun segera bangkit. Dikenakannya baju dan
disambarnya tongkatnya. "Hati-hati, Paksi"
Paksi dan ibunyapun kemudian pergi ke pintu pringgitan
yang sedikit terbuka. Ketika adik perempuan Paksi masuk ke
dalam, pintu itu tidak ditutupnya dengan rapat.
Jantung Paksi berdesir. Dari celah-celah pintu itu ia melihat
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berdiri di depan
tangga pendapa. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa
Paksipun keluar lewat pintu yang sedikit terbuka itu.
"Marilah, Pangeran. Marilah, Raden" Paksi mempersilahkan.
Ibunya, yang matanya masih pengab, telah menyusul Paksi
dan mempersilahkan pula Pangeran Benawa dan Raden
Sutawijaya untuk naik. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa terkejut melihat
keadaan Paksi. Baju yang dipakai Paksi dengan tergesa-gesa
itu adalah bajunya yang bernoda darah. Karena itu, dengan
tergesa-gesa keduanya mendekati Paksi.
Dengan serta-merta Pangeran Benawapun bertanya, "Kau
kenapa, Paksi?" "Silahkan duduk, Pangeran. Silahkan duduk, Raden"
Keduanyapun kemudian duduk di pringgitan. Sementara ibu
Paksi itupun berkata, "Silahkan, Raden. Aku mohon diri ke
belakang. Silahkan, Pangeran"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Silahkan, Bibi. Tetapi Bibi tidak usah menjadi sibuk karena
kedatangan kami" "Tidak, Pangeran. Tidak"
Demikian ibu Paksi itu hilang di balik pintu pringgitan, maka
Pangeran Benawapun mengulangi pertanyaannya, "Kau
kenapa, Paksi?" Sebelum Paksi menjawab, Raden Sutawijayapun berkata,
"Kami menjadi sangat cemas, bahwa kau tidak datang pada
waktunya. Ketika kami menelusuri jalan yang mungkin kau
lalui, kami mendapat keterangan bahwa telah terjadi
pertempuran antara beberapa orang yang tidak dikenal. Di
antara mereka adalah seorang penjual gerabah yang kuda
serta dagangannya diketemukan. Tetapi penjual gerabahnya
tidak ada di sekitar tempat itu. Yang mereka ketemukan
hanyalah tiga sosok mayat"
"Yang Maha Agung masih melindungi hamba" berkata
Paksi, "tetapi hamba terluka"
"Kaukah yang membunuh ketiga orang itu?" bertanya
Pangeran Benawa. Paksi menundukkan kepalanya. Katanya, "Hamba tidak
mempunyai pilihan lain"
"Kau memang tidak mempunyai pilihan lain, Paksi.
Nampaknya kau terluka cukup parah" berkata Raden
Sutawijaya. "Itulah sebabnya aku tidak kembali ke tempat yang kita
tentukan. Aku tidak akan dapat menghindari perhatian orang
kepadaku. Baju yang berbercak darah, tubuh yang lemah dan
seluruh keadaanku yang nampak parah. Tetapi aku dapat
menyelinap lewat lorong-lorong sempit mencapai rumah ini.
Baru kemudian aku akan pergi menemui Raden dan Pangeran
Benawa" Pangeran Benawapun kemudian sempat melihat luka-luka
Paksi yang sudah diobati oleh ibunya. Namun masih jelas,
betapa parahnya luka-luka di tubuh Paksi.
Namun sebenarnyalah bahwa pedih luka di tubuh Paksi itu
tidak sepedih luka di hati Paksi. Tetapi Paksi tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengatakannya kepada Pangeran Benawa dan Raden
Sutawijaya, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya
seutuhnya. Paksipun kemudian hanya menceriterakan, bahwa
ia telah bertemu dengan tiga orang pengikut ayahnya yang
tentu pengikut Harya Wisaka pula.
"Mereka dapat mengenali aku" berkata Paksi.
"Ternyata kau mampu mengatasinya"
"Yang Maha Agung masih melindungi aku"
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itupun
mengangguk-angguk. Namun kemudian Pangeran Benawa
itupun bertanya, "Sekarang, apa yang akan kau lakukan"
Apakah kita akan kembali ke barak?"
Paksi tidak segera menjawab. Wajahnya membayangkan
keragu-raguan. Tubuhnya masih terasa lemah sekali.
Sedangkan jika mereka kembali ke barak, mereka harus
berjalan kaki. Dalam pada itu, Raden Sutawijayapun berkata, "Menurut
pendapatku, kita bermalam saja di rumahku. Biarlah beberapa
orang prajurit pergi ke padepokan, memberitahukan bahwa
kita bermalam di kotaraja, agar seisi padepokan tidak menjadi
gelisah menunggu. Nampaknya kau masih perlu beristirahat"
"Aku dapat bermalam disini" berkata Paksi.
"Kita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa para
pengikut Harya Wisaka masih berkeliaran. Jika kau bermalam
disini, kemungkinan buruk itu dapat terjadi. Kecuali jika ayah mengirimkan sekelompok petugas untuk mengawasi langsung
rumah ini" Paksi menarik nafas panjang. Tentu ia tidak ingin
menyibukkan beberapa orang prajurit untuk menjaganya.
Sementara itu, tubuhnya masih terasa sangat lemah.
Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Baiklah,
Raden. Aku akan mengikuti Raden"
Namun Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergesa-gesa. Mereka masih berada di rumah Paksi itu untuk
beberapa lama. Sementara itu adik perempuan Paksi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghidangkan minuman dan beberapa potong makanan bagi
tamu-tamu Paksi itu. "Biarlah aku berganti pakaian agar tidak menarik perhatian
orang di sepanjang jalan" berkata paksi kemudian.
Setelah mempersilahkan tamunya minum dan makan
makanan yang dihidangkan maka Paksipun masuk ke ruang
dalam. Kepada ibunya Paksi minta pakaian yang bersih untuk
dipakainya. "Kau akan kemana, Paksi?" bertanya ibunya.
"Aku akan pergi ke rumah Raden Sutawijaya"
"Kau akan bermalam disana?"
"Ya. Besok aku akan kembali ke padepokan"
"Kapan kau datang lagi menemui ibu?"
"Aku tidak dapat mengatakan"
"Masih ada yang ingin aku jelaskan, Paksi"
"Tidak. Semuanya sudah jelas. Tidak ada lagi yang perlu
dijelaskan" "Aku mohon kau bersedia mendengarkannya, Paksi"
"Tidak perlu. Aku sudah mengerti seluruhnya apa yang
terjadi. Untuk seterusnya Ibu tidak usah memikirkan aku"
"Paksi. Kau jangan menambah beban di hatiku"
"Tidak. Aku justru ingin mengurangi beban Ibu. Jangan
pikirkan aku lagi. Aku orang yang tidak dikehendaki berada di
dalam lingkungan keluarga ini"
"Paksi" Paksi tidak menjawab. Tetapi ia berkata, "Beri aku pakaian
yang ada, Ibu" Ibunya memang masih menyimpan pakaian Paksi. Karena
itu, maka ibunyapun telah memberikan sepengadeg pakaian
yang terbaik. Tetapi Paksi menolak. Katanya, "Ibu lihat pakaian Pangeran
Benawa dan Raden Sutawijaya" Pantaskah aku, Paksi anak
tidak berayah, ini memakai pakaian seperti ini?"
"Paksi. Berhentilah menusuk perasaan ibumu dengan kata-
katamu. Aku sudah mengatakan, bahwa aku bersalah. Aku
telah hidup dalam kepura-puraan selama hampir duapuluh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tahun. Aku sudah mengaku, betapa kotornya hati ibu ini. Aku
sudah mengatakan bahwa hampir saja kakekmu
membunuhku" Paksi tidak menjawab, sementara ibunya berkata
selanjutnya, "Aku menyesal kenapa kakekmu tidak jadi
membunuhku. Aku menyesal bahwa ada juga seorang anak
muda seperti Sarpa Biwada yang bersedia menjual dirinya
menikahi aku seharga harta warisan kakekmu. Paksi, jika aku
mati saat itu, aku tidak akan mengalami perlakuan sekeji ini
dari anakku sendiri"
Ibunya menangis lagi. Ditutupnya wajahnya dengan
pakaian Paksi yang dikembalikan kepadanya itu. Diusapnya
matanya yang basah dan diciumnya pakaian Paksi sambil
berkata di sela-sela isaknya, "Paksi, sekarang aku tidak berhak lagi menciummu, Ngger. Tetapi aku akan menerima kenyataan
ini betapapun pahitnya. Dosa yang sudah aku jalani memang
harus mendapat hukuman"
Jantung Paksipun bergetar. Tiba-tiba saja ia berjongkok di
depan ibunya sambil memeluk kakinya, "Maafkan aku, Ibu"
"Paksi. Paksi" Didekapnya kepala anaknya. Sementara tangisnya menjadi
semakin keras. Adik perempuan Paksi bukan lagi kanak-kanak.
Ia sudah menjadi remaja, sehingga anak itu sudah dapat
menangkap getar kepahitan hidup ibu dan kakaknya.
Meskipun ia tidak tahu sebab yang sebenarnya, namun ia ikut
mengusap air matanya ketika ia melihat ibunya memeluk
kepala kakaknya. Beberapa saat kemudian Paksipun bangkit berdiri sambil
berdesis, "Ibu, aku minta pakaian yang sesuai dengan pakaian
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa"
Ibunya mengangguk. Ketika ibunya masuk ke dalam biliknya, maka adik
perempuan Paksi itupun mendekatinya. Tetapi ia tidak
bertanya apa yang sebenarnya terjadi, karena ia tahu, bahwa
Paksi tentu tidak akan mengatakannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi mengusap rambut adiknya yang lembut hitam lekam.
Katanya dengan nada lembut, "Jaga Ibu baik-baik"
Adik perempuannya mengangguk kecil. Namun iapun
bertanya, "Apakah sekarang Kakang akan pergi?"
"Aku akan ikut Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa"
"Bukankah Kakang akan sering pulang?"
"Tentu. Tentu. Kakang akan sering pulang"
Sejenak kemudian, maka Paksipun telah berganti pakaian.
Kepada ibunya, Paksi berpesan, agar pakaiannya yang
bernoda darah itu dibuang saja.
"Biarlah Karsa menguburnya di kebun belakang" jawab
ibunya. Sejenak kemudian, maka Paksipun telah minta diri.
Demikian pula Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.
"Dalam kesempatan pertama, aku akan datang lagi, Ibu"
berkata Paksi kepada ibunya. Kemudian kepada adik
perempuannya Paksi berpesan, "Jangan nakal. Bantu Ibu, ya"
Adik perempuannya mengangguk.
Ibu dan adik perempuan Paksi itupun melepas Paksi, Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa di regol halaman rumahnya.
Meskipun luka-lukanya sudah mampat, namun Paksi masih
kelihatan letih. Kadang kadang ia masih bertumpu pada
tongkatnya. "Kau masih lemah, Paksi" berkata Pangeran Benawa.
Paksi mengangguk. Namun jawabnya, "Tetapi setelah
minum dan makan keadaan hamba sudah menjadi semakin
baik" "Kita tidak tergesa-gesa" sahut Raden Sutawijaya. "Kita
akan singgah untuk melihat apakah kuda-kuda beban kita
masih ada" "Tetapi kuda-kuda beban yang bermuatan gerabah akan
dapat menarik perhatian, Raden" berkata Paksi. "Mungkin para
pengikut Harya Wisaka. Tetapi mungkin para prajurit yang
datang ke tempat pertempuran itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Kau
benar, Paksi. Jadi apakah sebaiknya kita tinggalkan saja kuda
itu disana?" "Ya, Raden. Menurut pendapatku, kita tinggalkan saja
kuda-kuda beban itu"
"Aku sependapat" sahut Pangeran Benawa. "Tetapi tidak
ada salahnya jika kita lewat dan melihat apakah kuda-kuda
beban itu masih disana"
Ketiganyapun kemudian berjalan melewati tempat mereka
bertiga sepakat untuk bertemu. Di tempat itu Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa menunggu Paksi. Tetapi
Paksi tidak kunjung datang, karena Paksi langsung pulang ke
rumahnya. Namun Paksi tidak mengatakan kepada Pangeran Benawa
dan Raden Sutawijaya, dorongan apakah yang memaksanya
langsung pulang menemui ibunya. Pangeran Benawa dan
Raden Sutawijaya menduga, bahwa Paksi pulang untuk segera
mengobati luka-lukanya yang parah serta mencari pakaian
yang lain yang tidak koyak-koyak dan bernoda darah.
Namun langkah mereka tertahan ketika mereka mendekati
tempat Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa
meninggalkan kuda-kuda beban mereka.
"Ada sekelompok prajurit" desis Raden Sutawijaya.
Pangeran Benawapun menyahut, "Kita melihat dari tempat
ini. Apa yang dilakukan oleh para prajurit itu"
Ketiga orang itupun kemudian berhenti. Raden Sutawijaya
berdiri di sisi lain, sedangkan Pangeran Benawa dan Paksi
berdiri bersandar dinding halaman rumah di pinggir jalan itu.
Ternyata para prajurit itu telah membawa kedua kuda
beban yang ditinggalkan oleh Raden Sutawijaya dan Pangeran
Benawa. "Kita tidak akan dapat membawa kuda beban berkeliling
lewat lorong-lorong sempit lagi" berkata Pangeran Benawa.
"Ya" Paksi mengangguk-angguk, "ketika para prajurit itu
menemukan tiga sosok mayat dan kuda beban yang aku
tinggalkan, maka merekapun mencurigai setiap kuda beban"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun beberapa saat kemudian, para prajurit itupun pergi
Pedang Keadilan 30 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Harpa Iblis Jari Sakti 12
^