Jejak Di Balik Kabut 29
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 29
sambil membawa kuda beban yang membawa gerabah itu.
Sedangkan beberapa orang yang mengerumuninya telah pergi
pula seorang demi seorang.
Demikian para prajurit itu pergi, maka Raden Sutawijaya
telah mengajak Pangeran Benawa dan Paksi melanjutkan
perjalanan. "Kau tidak apa-apa, Paksi?" bertanya Pangeran Benawa.
"Tidak, Pangeran" jawab Paksi.
Bertiga merekapun melanjutkan perjalanan menuju ke
rumah Ki Gede Pemanahan. Ketika mereka sampai di rumah
itu, maka merekapun segera memberikan laporan kepada Ki
Gede tentang peristiwa yang dialami oleh Paksi ketika ia
menjajakan gerabah dengan kuda bebannya.
"Sukurlah bahwa kau berhasil mengatasi mereka bertiga,
Paksi" "Ya, Ki Gede. Aku mengucap sukur atas perlindungan Yang
Maha Agung" "Apakah mereka bertiga mengenalimu?"
"Ya, Ki Gede. Mereka mengenali aku, anak Tumenggung
Sarpa Biwada" "Apakah mereka akan menangkapmu atau membunuhmu?"
"Agaknya perintah yang mereka terima adalah
membunuhku di tempat. Tidak menangkapku"
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam iapun berkata, "Bagaimana mungkin Ki
Tumenggung itu memerintahkan untuk membunuh anaknya?"
"Tetapi itulah yang terjadi, Ki Gede" sahut Paksi.
"Baiklah. Kau beristirahat disini. Biarlah nanti prajurit
penghubung pergi ke padepokan di Hutan Jabung untuk
memberitahukan bahwa kalian bertiga tidak pulang malam ini,
sehingga Ki Panengah dan Ki Waskita tidak menjadi gelisah"
Demikianlah, maka malam itu Paksi berada di rumah Ki
Gede Pemanahan. Di rumah Ki Gede, Paksi mendapat
pengobatan yang lebih baik. Bukan sekedar obat yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditaburkan di atas luka-lukanya saja, tetapi iapun mendapat
minuman yang dapat memacu pulihnya kekuatannya.
"Kau harus makan yang banyak" berkata Raden Sutawijaya
ketika mereka makan malam, "dengan demikian kekuatanmu
akan segera pulih kembali"
Paksi tersenyum. Sambil menyenduk nasi ke mangkuknya
ia berkata, "Aku berani bertaruh, siapkah yang terbanyak
makan di antara kita"
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tertawa. Tetapi
sebenarnyalah mereka bertiga makan dengan lahapnya.
Malam itu mereka bertiga dapat tidur dengan nyenyak.
Meskipun Paksi beberapa kali terbangun oleh perasaan pedih
yang masih terasa di luka-lukanya, namun kemudian iapun
segera tertidur lagi. Ketika mereka bangun di pagi-pagi sekali, keadaan Paksi
sudah menjadi semakin baik. Tenaganya serasa telah tumbuh
kembali, meskipun belum utuh. Namun Paksi tidak lagi merasa
dirinya terlalu lemah. Tetapi ternyata Raden Sutawijaya minta agar mereka tidak
segera kembali ke padepokan hari itu juga. Ia masih
memikirkan keadaan Paksi yang masih belum pulih
sepenuhnya. "Tetapi Hutan Jabung itu tidak terlalu jauh" berkata Paksi
kepada Raden Sutawijaya. "Bukan jaraknya, tetapi kita bisa bertemu dengan para
pengikut Harya Wisaka. Jika mereka tahu kaulah yang
membunuh ketiga orang pengikutnya, maka mereka tentu
sangat mendendammu" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih sempat
berkata, "Jika saja aku dapat menangkap mereka hidup-hidup
atau salah seorang dari mereka"
"Jangan kau sesali" berkata Pangeran Benawa. "Sulit
bagimu untuk melakukannya. Jika sedikit saja kau salah
hitung, maka kaulah yang akan menjadi korban"
Paksi tidak menjawab. Tetapi ia tidak memaksa untuk
kembali ke padepokan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hari itu, Paksi benar-benar beristirahat bersama Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa bahkan
tidak pergi ke istana. Ia tetap saja berada di rumah Ki Gede
Pemanahan. Selain beristirahat dengan baik, Paksipun mendapat obat
yang ternyata dapat bekerja dengan sangat baik bagi
tubuhnya. Kekuatannya tumbuh semakin pesat sehingga rasa-
rasanya telah pulih kembali.
Setiap kali Paksi makan bersama Raden Sutawijaya dan
Pangeran Benawa, maka mereka selalu mendorong Paksi
untuk makan sebanyak-banyaknya. Baru pada hari berikutnya,
merekapun minta diri untuk kembali ke Hutan Jabung.
Ketika mereka minta diri kepada Ki Gede Pemanahan, maka
Ki Gede itupun bertanya, "Kalian tidak membawa kuda?"
"Tidak, Ayah. Kami kemarin lusa membawa kuda beban
yang agaknya telah diambil oleh sekelompok prajurit"
Ki Gede tersenyum, iapun kemudian bertanya kepada
Raden Sutawijaya, "Apakah kalian akan membawa kuda?"
"Tidak, Ayah" Raden Sutawijaya menggeleng. "Kami akan
berjalan kaki saja. Bukankah Hutan Jabung tidak terlalu jauh.
Bahkan mungkin kami dapat melihat sesuatu yang berarti di
sepanjang perjalanan kami"
"Berhati-hatilah. Mungkin kalian menjumpai sesuatu yang
berarti. Tetapi mungkin pula kalian menjumpai orang-orang
yang sedang mendendam itu"
"Baik, Ayah" jawab Raden Sutawijaya.
"Bagaimana keadaanmu, Paksi?" bertanya Ki Gede.
"Keadaanku sudah berangsur baik, Ki Gede" jawab Paksi.
"Apakah tenagamu sudah pulih kembali?"
"Meskipun belum sepenuhnya, tetapi sudah cukup
memadai, Ki Gede" "Baiklah. Jika demikian, pergilah"
Demikianlah beberapa saat kemudian, ketiga orang itupun
telah meninggalkan rumah Ki Gede Pemanahan. Mereka tidak
langsung keluar gerbang kota. Tetapi dengan penyamaran
mereka, ketiganya berjalan-jalan lebih dahulu di dalam kota.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi mereka tidak menjumpai sesuatu yang menarik
perhatian mereka. Mereka tidak melihat laki-laki yang memikul
bahan pangan atau membawa di atas kepalanya bakul berisi
beras atau jagung. Nampaknya setelah ketiga orangnya
terbunuh, Harya Wisaka menjadi semakin berhati-hati.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka ketiga orang
itupun kemudian keluar dari pintu gerbang kota yang
mendapat pengawasan yang seksama. Namun tidak seorang
pun di antara para prajurit yang bertugas yang dapat
mengenali Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi
meskipun setiap orang yang lewat, keluar atau masuk,
diperhatikan oleh para penjaga pintu gerbang dengan
saksama. Bahkan orang-orang yang duduk di dalam pedatipun
tidak luput dari pengawasan.
Namun yang ditanamkan kepada para prajurit yang
bertugas itu adalah ciri-ciri Harya Wisaka dan beberapa orang
pengikutnya yang terpenting. Karena itu, mereka yang tidak
sesuai dan bahkan tidak mendekati ciri-ciri yang telah mereka
ketahui itu, seakan-akan tidak lagi mendapat banyak
perhatian. Di perjalanan kembali ke padepokannya, Raden Sutawijaya,
Pangeran Benawa dan Paksi itu tidak mendapat hambatan
yang berarti. Sementara itu, keadaan Paksipun telah menjadi
benar-benar hampir pulih. Ia tidak merasa letih dalam
perjalanannya kembali ke Hutan Jabung. Luka-lukanyapun
sudah tidak terasa nyeri lagi, meskipun masih harus mendapat
pengobatan. Kedatangan mereka disambut oleh Ki Panengah, Ki Waskita
dan Ki Kriyadama serta para penghuni padepokan itu. Bahkan
dua tiga orang pemimpin prajurit yang ikut bekerja di
padepokan itu telah menyambutnya pula.
"Menurut prajurit penghubung yang memberitahukan
bahwa kalian tidak dapat pulang. Paksi telah terluka parah"
berkata Ki Panengah. "Ya, Guru" jawab Paksi. "Tetapi luka itu sudah mulai
membaik. Aku mendapat obat dari Ki Gede Pemanahan"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sukurlah" Ki Kriyadama mengangguk-angguk. "Meskipun
demikian, kau harus masih banyak beristirahat"
"Ya, Ki Kriyadama" Paksi mengangguk-angguk.
Sementara itu Ki Waskita telah langsung melihat luka-luka
Paksi. Namun katanya kemudian, "Tentu sudah jauh lebih baik
dari saat kau terluka"
"Ya, Guru" jawab Paksi.
"Sekarang beristirahatlah. Pengobatan itu harus
dilanjutkan. Apakah kau mendapat obatnya dari Ki Gede?"
"Ya, Guru" "Bagus. Dalam tiga empat hari, maka segala-galanya tentu
sudah akan pulih kembali. Luka-luka ini sudah akan sembuh.
Mungkin masih tersisa. Tetapi sudah tidak akan berpengaruh
apa-apa lagi" "Ya, Guru" Paksipun kemudian telah pergi ke biliknya. Seperti yang
dikatakan oleh Ki Waskita, Ki Panengah dan Kriyadama,
Paksipun harus banyak beristirahat.
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berada di bilik
Paksi itu sejenak, namun merekapun kemudian telah keluar
lagi. Pangeran Benawa masih juga sempat berpesan, agar Paksi
tidak usah memikirkan apa-apa lagi.
"Untuk sementara kita lupakan saja Paman Harya Wisaka"
"Ya, Pangeran" "Tidur adalah salah satu pengobatan yang baik. Darahmu
sudah terlalu banyak keluar. Meskipun kau merasa bahwa
tenagamu sudah akan pulih kembali, tetapi karena darahmu
terlalu banyak terperas dari luka-lukamu, kau masih
memerlukan waktu untuk dapat pulih kembali"
"Ya, Raden" Ketika Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa keluar dari
bilik Paksi, maka Paksi memang membaringkan tubuhnya di
amben bambu. Sebenarnya ia memang merasa letih setelah
menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh. Dalam keadaan
yang wajar, ia tidak akan merasa letih meskipun harus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menempuh perjalanan sepuluh kali lipat. Tetapi pada saat
darahnya telah banyak terperas, maka rasa-rasanya
tenaganyapun menyusut. Karena itu, maka Paksipun sadar, bahwa ia harus banyak
beristirahat untuk dapat menjadi pulih segala-galanya. Namun
ketika Paksi itu tinggal berbaring sendiri di dalam biliknya,
maka angan-angannyapun mulai merambah keluarganya. Ia
mulai mengingat-ingat lagi bagaimana adiknya berkata
kepadanya, bahwa Paksi bukanlah kakaknya. Pengakuan
ibunya serasa terngiang kembali di telinganya, bahwa Paksi
memang bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ingatan itu telah membuat Paksi menjadi gelisah. Dengan
susah payah ia berusaha untuk melupakannya. Setidak-
tidaknya untuk sementara. Ia ingin tubuhnya menjadi pulih
kembali tanpa terhambat oleh kegelisahan yang mencengkam
jantungnya. Tetapi Paksi tidak berhasil. Bahkan ingatannya tentang
kata-kata adiknya dan pengakuan ibunya itu terasa semakin
dalam tertanam di dalam hatinya.
"Ah" Paksipun segera bangkit. Udara terasa menjadi
semakin panas. Justru karena itu, maka Paksipun telah
bangkit dan melangkah keluar. Bahkan kemudian Paksipun
duduk di serambi belakang.
Paksi masih mendengar kesibukan orang-orang yang
sedang bekerja menyelesaikan padepokan di dekat Hutan
Jabung itu. Sebagian besar dari bangunannya sudah berdiri dengan
kokohnya. Hari itu Paksi masih dapat menahan diri dan
menyimpan persoalannya di dadanya. Ketika kemudian Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa minta Paksi masuk ke dalam
biliknya, Paksipun berkata, "Udara terasa panas sekali di
dalam bilik" Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak
memaksanya. Agaknya di luar udara terasa lebih sejuk.
Apalagi jika angin bertiup dari arah Hutan Jabung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika tekanan perasaannya itu memuncak, maka Paksipun
telah menemui Ki Panengah dan Ki Waskita di dalam ruang
khusus mereka. "Aku ingin berbicara dengan guru berdua" berkata Paksi
kemudian. "Apa yang akan kau bicarakan, Paksi?"
"Tentang diriku sendiri, Guru" jawab Paksi.
Ki Panengah dan Ki Waskita mengerutkan dahinya.
Sementara Paksipun berkata, "Tetapi tidak dengan orang lain.
Bahkan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa sekalipun"
"Apakah ada rahasia yang menyelimuti dirimu?" bertanya Ki
Waskita. "Ya. Dan itu terasa sangat menyakitkan, Guru"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Malam nanti, setelah kita keluar dari sanggar"
Paksi mengangguk-angguk. Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin rendah,
maka mereka yang mengerjakan padepokan itupun telah
menyelesaikan pekerjaan mereka untuk hari itu. Merekapun
pergi membersihkan tubuh mereka. Kemudian membenahi
pakaian. Para cantrikpun telah beristirahat pula. Nanti, pada saat
malam turun, mereka akan berada di dalam sanggar. Mereka
berada di Hutan Jabung tidak semata-mata untuk
mengerjakan padepokan yang akan mereka pergunakan itu
saja. Tetapi merekapun harus meningkatkan kemampuan dan
ilmu mereka. Ketika malam turun, maka seperti biasanya para cantrik
telah bersiap untuk berlatih di dalam sanggar di bawah
tuntunan sebagian oleh Ki Panengah dan sebagian oleh Ki
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waskita. Sebagian mempergunakan sanggar tertutup dan
sebagian mempergunakan sanggar terbuka di halaman
padepokan yang lama. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah berada di
antara mereka pula. Raden Sutawijaya berada di sanggar
bersama Ki Panengah, sedangkan Pangeran Benawa berada di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam sanggar bersama Ki Waskita. Mereka membantu Ki
Panengah dan Ki Waskita menuntun para cantrik
meningkatkan ilmu mereka.
Sementara itu Paksi masih belum ikut dalam latihan-latihan
yang berat karena luka-lukanya serta tubuhnya yang belum
pulih sepenuhnya. Namun menjelang tengah malam, setelah latihan-latihan itu
selesai, serta Ki Panengah dan Ki Waskita telah mandi, maka
Paksipun menghadap keduanya di dalam bilik khususnya.
"Paksi" berkata Ki Panengah, "apa yang akan kau
sampaikan kepada kami" Nampaknya kau telah membawa
beban perasaan yang sangat berat"
"Ya, Guru" desis Paksi. "Aku merasa tidak kuat untuk
memikulnya. Aku ingin menyampaikannya kepada guru
berdua, agar beban itu terasa berkurang. Aku mohon
petunjuk-petunjuk, apa yang sebaiknya aku lakukan"
"Katakan, Paksi" desis Ki Panengah.
Paksipun kemudian telah menceriterakan, bahwa ia telah
bertemu dengan adiknya. Namun ternyata bahwa dalam
pertemuan itu jantungnya telah ditikam oleh satu kenyataan
yang sangat pahit. "Guru, ternyata aku bukan anak Ki Tumenggung Sarpa
Biwada" Ki Panengah dan Ki waskita saling berpandangan. Dahi
merekapun berkerut. Mereka memandang Paksi dengan dada
yang berdebaran. Paksi menundukkan kepala dalam-dalam. Dadanya terasa
bergetar semakin cepat. "Tenangkan hatimu, Paksi" berkata Ki Panengah.
"Kenyataan ini memang sangat pahit. Tetapi bukankah lebih
baik bagimu untuk mengetahui dengan pasti, siapakah dirimu,
daripada selalu berteka-teki tentang sikap Ki Tumenggung
Sarpa Biwada yang selalu mengancammu?"
"Aku sama sekali tidak menghiraukan, apakah aku
terancam atau tidak, Guru. Tetapi aku harus menerima
kenyataan tentang ibuku. Selain itu, jika aku telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memecahkan satu teka-teki yang rumit, namun aku telah
menghadapi teka-teki lain yang lebih rumit lagi"
"Teka-teki apa lagi, Paksi?"
"Teka-teki siapakah ayahku itu. Ibu sama sekali tidak mau
memberikan petunjuk. Bahkan ibu mengatakan bahwa ayahku
itu sudah tidak berada di Pajang lagi"
"Kemana ayahmu itu menurut ibumu, Paksi?" bertanya Ki
Panengah. Paksi menarik nafas dalam sekali. Katanya, "Guru, ibu tidak
mau berbicara tentang ayahku"
Paksipun kemudian mengulangi kata-kata ibunya tentang
laki-laki yang sebenarnya adalah ayahnya.
Ki Panengah dan Ki Waskita termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Ki Waskitapun berkata, "Sudahlah, Paksi.
Betapapun pahitnya, kau tidak dapat merubah kenyataan yang
telah terjadi itu. Kau harus menerimanya dengan dada yang
lapang" Paksi mengangguk. Katanya, "Ya, Guru. Aku harus
menerima kenyataan tentang diriku sendiri dan terutama
tentang ibuku. Tetapi apakah sudah sepantasnya, bahwa aku
untuk selanjutnya tidak mengenal siapakah ayahku?"
"Kau mendendamnya?" bertanya Ki Waskita.
"Buat apa aku mendendamnya, Guru. Yang terjadi sudah
terjadi, sementara ibu menganggap bahwa laki-laki itu tidak
bersalah. Bahkan ibu justru menyalahkan dirinya sendiri"
"Sudahlah, Paksi"
"Menurut ibu, kakek hampir membunuhnya" Kakek tidak
dapat menerima dengan ikhlas kenyataan tentang ibuku.
Tentu saja bukan hanya kakek. Tetapi semua orang tidak
dapat menerima dengan ikhlas kenyataan itu"
"Aku mengerti, Paksi" berkata Ki Panengah. "Namun untuk
sementara kau dapat mengesampingkan persoalan itu. Untuk
sementara. Yang segera harus kau lakukan, bagaimana kau
bersikap terhadap Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang
sebenarnya bukan ayahmu itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku memang tidak mau dibunuhnya, Guru. Tetapi
bagaimanapun juga ia sudah mengangkat ibu dari genangan
lumpur. Meskipun mungkin Ki Tumenggung Sarpa Biwada
mempunyai pamrih, tetapi kehadirannya dalam kehidupan
ibuku telah memberikan arti tersendiri. Aku tidak dapat
membayangkan apa jadinya seandainya Ki Sarpa Biwada itu
tidak mau menikahi ibu pada waktu itu"
"Sudahlah, Paksi. Sudahlah" potong Ki Panengah. "Seperti
yang aku katakan, untuk sementara kau dapat
mengesampingkan persoalan pribadimu"
"Itukah yang terbaik bagiku saat ini, Guru?"
Ki Panengah termangu-mangu sejenak. Namun Ki
Panengah itupun kemudian menyahut, "Untuk sementara,
Paksi. Untuk sementara saja"
"Tetapi, Guru. Bagaimana pendapat Guru, apakah dalam
persoalan itu hanya ibu saja yang bersalah sebagaimana
dikatakan oleh ibu" Apakah laki-laki yang membuat ibu hamil
sebelum menikah itu tidak bersalah?"
"Tentu ia juga bersalah, Paksi" sahut Ki Waskita. "Salahnya
sama besarnya dengan kesalahan ibumu. Tidak seharusnya
ibumu menyalahkan dirinya sendiri"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi Ki
Panengah berkata, "Paksi, jangan kau biarkan dirimu
tenggelam ke dalam persoalan itu. Sebaiknya kau bangkit
untuk menghadapi hari-harimu saat ini. Kau, Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa"
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti, Guru"
"Bukan berarti bahwa kau harus menghapusnya sama
sekali. Tetapi seperti yang sudah aku katakan beberapa kali, untuk
sementara, Paksi" "Ya, Guru" "Tetapi untuk selanjutnya aku berjanji, bahwa aku akan
membantumu" "Terima kasih, Guru"
"Kau tidak sendiri, Paksi" berkata Ki Waskita. "Yakinlah itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi mengangguk sambil berdesis, "Ya, Guru"
"Nah, apakah masih ada yang ingin kau sampaikan?"
"Tidak, Guru. Aku sudah mengatakannya semuanya. Guru
berdua tahu, beban apakah yang sekarang aku pikul. Mudah-
mudahan aku tidak tertimbun di dalamnya"
"Sudah aku katakan, kau tidak sendiri, Paksi"
"Terima kasih, Guru"
Demikianlah, sejenak kemudian, Paksipun telah minta diri.
Meskipun beban masih terasa sangat berat, tetapi setelah ia
mengatakannya kepada kedua gurunya, maka rasa-rasanya ia
mempunyai kekuatan baru untuk memikulnya.
"Aku memang harus melupakan untuk sementara persoalan
pribadiku" berkata Paksi di dalam hatinya. Paksipun
menyadari, bahwa masih banyak persoalan yang lebih besar
harus dihadapinya bersama-sama dengan Raden Sutawijaya,
dengan Pangeran Benawa dan dengan banyak orang lainnya
Ketika kemudian Paksi keluar dari ruangan khusus kedua
gurunya, malam telah larut. Saudara-saudara seperguruannya
telah tertidur. Namun ketika ia melangkah di dekat
pembaringan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya,
keduanya ternyata masih belum tidur.
Ketika Paksi melangkah ke pembaringannya, maka
Pangeran Benawa itupun berdesis, "Selamat malam, Paksi"
"Selamat malam, Pangeran"
"Tidurlah" berkata Raden Sutawijaya kemudian, "kau harus
banyak beristirahat"
"Ya, Raden" Paksipun kemudian membaringkan dirinya. Tetapi ia masih
saja gelisah. Berbeda dengan saat-saat ia bermalam di rumah
Ki Gede Pemanahan. Justru waktu itu badannya masih terasa
sakit dan sangat lemah, serta perhatian Pangeran Benawa dan
Raden Sutawijaya atas keadaannya, Paksi justru sempat tidur
nyenyak. Sekali-sekali ia terbangun karena nyeri pada lukanya.
Namun kemudian ia tertidur lagi. Selain badannya masih
terasa sakit, iapun merasa sangat letih pada waktu itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi ketika tenaga dan kekuatannya berangsur pulih
kembali, maka ia justru menjadi semakin sulit dapat tidur.
Tetapi akhirnya Paksi tertidur juga meskipun hanya sebentar.
Dalam pada itu, setelah Paksi meninggalkan kedua
gurunya, maka Ki Waskitapun berkata kepada Ki Panengah,
"Aku akan mempergunakan jalan yang satu ini untuk
menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada, Ki Panengah"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kasihan Paksi. Tetapi menurut pendapatku, lebih baik
baginya untuk segera mengetahui, bahwa ia bukan anak Ki
Tumenggung Sarpa Biwada"
"Tetapi ia terjerat pada teka-teki yang menurut Paksi lebih
besar lagi. Paksi tentu ingin tahu, siapakah ayahnya. Siapakah laki-laki yang telah menodai ibunya semasa gadisnya dan
kemudian meninggalkannya dalam keadaan hamil"
Ki Panengah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata, "Ki Waskita memang dapat mempergunakan
cara yang satu itu sekarang"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki
Panengahpun berkata, "Mudah-mudahan cara ini berhasil
memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada keluar dari
persembunyiannya" "Apakah sebaiknya aku berhubungan dengan Ki Gede
Pemanahan. Mungkin Ki Gede dapat memberikan beberapa
petunjuk yang berarti"
"Baiklah. Besok aku akan menemui Ki Gede Pemanahan"
Sebenarnyalah di keesokan harinya, Ki Waskitapun sudah
mempersiapkan diri untuk menemui Ki Gede Pemanahan.
Ketika kudanya sudah siap, maka Ki Waskitapun minta diri
kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa, Paksi dan
murid-muridnya yang lain. Ki Waskita pun memberitahukan
pula kepergiannya itu kepada Ki Kriyadama.
"Guru akan pergi sendiri?" bertanya Paksi.
"Ya, Paksi. Aku kira tidak akan ada hambatan di perjalanan.
Para pengikut Harya Wisaka tidak mengenal aku kecuali Harya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wisaka sendiri dan barangkali beberapa orang yang tentu
jarang-jarang keluar dari persembunyiannya"
"Jika Ki Waskita mengijinkan, biarlah aku dan Adimas
Pangeran Benawa menyertai Ki Waskita" berkata Raden
Sutawijaya. Tetapi Ki Waskita tersenyum Katanya, "Terima kasih.
Biarlah aku pergi sendiri. Mungkin aku tidak pulang hari ini.
Mungkin besok atau lusa"
Raden Sutawijaya tidak mendesaknya. Namun Ki Waskita
sendiri berkata, "Sudah terlalu lama Harya Wisaka menjadi
buruan. Mungkin ia sudah sembuh. Mungkin tenaga dan
kemampuannyapun sudah pulih pula. Karena itu, kita harus
segera menangkapnya. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa
dan Paksi sudah bekerja keras. Tetapi sampai sekarang masih
belum berhasil. Biarlah kemudian aku dan Ki Gede Pemanahan
langsung mencobanya turun ke arena. Bagaimanapun juga,
kami merasa bersalah, bahwa Harya Wisaka itu sempat luput
dari tangan kami. Padahal Harya Wisaka sudah masuk ke
dalam bilik Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Kesempatan yang
tidak akan dapat terulang kembali"
Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi hanya
dapat mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Panengahpun
berkata, "Jika perlu, aku mohon Ki Waskita mengirimkan
penghubung kemari" "Baik, Ki Panengah. Mudah-mudahan aku tidak terlalu lama
berada di kotaraja" "Bukankah Ki Waskita setiap kali dapat menengok
padepokan ini seandainya Ki Waskita dan Ki Gede tidak segera
dapat menemukan Harya Wisaka" Bukankah jarak Hutan
Jabung tidak terlalu jauh dari kotaraja?" berkata Ki Kriyadama.
"Tentu" jawab Ki Waskita. "Namun segala sesuatunya juga
tergantung kepada Ki Gede Pemanahan"
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Waskita sudah
berpacu di atas punggung kudanya, meskipun Ki Waskita
menurut ujudnya sudah semakin tua, tetapi ia masih saja
sigap dan tegar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan angin pagi yang menerpa tubuhnya yang meluncur
di punggung kudanya dan berlari seperti anak panah yang
terlepas dari busurnya itu, nampak seakan-akan menjadi
semakin tangkas. Di padepokan, Paksipun kemudian menemui Ki Panengah.
Dengan nada dalam iapun berkata, "Kenapa tiba-tiba Ki
Waskita pergi ke kotaraja" Apakah ada hubungannya dengan
keteranganku semalam, Guru?"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki
Waskita memang tersinggung atas tingkah laku Harya Wisaka
dan para pengikutnya. Ki Waskita merasa ikut disakiti
mendengar peristiwa yang menimpa dirimu. Untunglah Yang
Maha Agung melindungimu sehingga kau selamat meskipun
kau terluka parah. Ki Waskita berpendapat, bahwa gerakan
Harya Wisaka itu benar-benar harus dihentikan. Karena itu,
maka Ki Waskita akan menghadap Ki Gede Pemanahan.
Mungkin keduanya akan dapat mengambil langkah-langkah
yang lebih tajam menusuk ke dalam gerakan yang dipimpin
oleh Harya Wisaka itu"
Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Panengahpun
berkata, "Di luar sikap kita terhadap Harya Wisaka, mau tidak
mau kita harus memujinya. Demikian cerdiknya Harya Wisaka
dan para pengikutnya mengatur persembunyiannya, sehingga
para petugas sandi yang telah dikerahkan, masih juga belum
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu mencium jejaknya"
"Ya, Guru. Ternyata para pengikut Harya Wisaka benar-
benar setia kepadanya, sehingga sulit bagi para petugas sandi
dari Pajang untuk menemukannya. Padahal segala cara sudah
ditempuh. Bahkan para prajurit sudah memasuki setiap pintu
rumah untuk mencarinya. Tetapi semuanya sia-sia"
"Mudah-mudahan Ki Waskita dapat menemukannya"
Paksi tidak bertanya lebih jauh. Tetapi terasa di sudut
hatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak dikatakan oleh Ki
Panengah kepadanya. Namun ia tidak dapat memaksa Ki
Panengah untuk mengatakannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, kuda Ki Waskitapun berlari dengan
kencangnya menuju ke pintu gerbang kotaraja. Namun ketika
kuda itu turun ke jalan yang lebih ramai, maka Ki Waskitapun
telah memperlambat derap kaki kudanya.
Sebenarnyalah Ki Waskita ingin segera bertemu dengan Ki
Gede Pemanahan. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Ia
mempunyai satu jalan yang barangkali dapat ditelusuri menuju
ke persembunyian Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Jika saja Ki
Tumenggung itu dapat ditangkap, mungkin mereka dapat
merintis jalan menuju ke persembunyian Harya Wisaka itu.
Perjalanan Ki Waskita memang tidak terlalu lama. Jarak
yang tidak begitu panjang itu tidak terlalu banyak memerlukan
waktu. Karena itu, maka sebelum matahari menjadi terlalu
tinggi, Ki Waskita sudah memasuki pintu gerbang kotaraja.
Para petugas di pintu gerbangpun memperhatikannya.
Tetapi ciri-ciri orang berewok itu sama sekali tidak
bersinggungan dengan ciri-ciri yang mereka kenal sebagai ciri-
ciri Harya Wisaka dan beberapa orang pengikutnya yang
terpenting. Ketika Ki Waskita sampai di rumah Ki Gede Pemanahan,
ternyata Ki Gede masih berada di rumahnya. Sehingga karena
itu, maka Ki Gedepun masih sempat menerimanya sebelum Ki
Gede pergi ke istana untuk menghadap Kangjeng Sultan
Hadiwijaya. Kepada Ki Gede Pemanahan, Ki Waskita menyampaikan
rencananya untuk memancing Ki Tumenggung sehingga
kemudian dapat ditelusuri jalan ke persembunyian Harya
Wisaka. Ki Gede Pemanahan itupun mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah, Ki Waskita, jika cara itu yang akan Ki Waskita
lakukan" "Kita sudah tidak mempunyai cara lain, Ki Gede. Segala
usaha sudah dilakukan. Tetapi kita tidak berhasil menemukan
persembunyian Harya Wisaka"
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kasihan
Paksi. Selama ini ia dibayangi oleh teka-teki, kenapa ayahnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sampaihati untuk benar-benar berniat membunuhnya.
Sekarang Paksi dibayangi oleh teka-teki yang baru, siapakah
ayahnya yang sebenarnya"
"Mudah-mudahan ikatannya dengan Ki Tumenggung Sarpa
Biwada menjadi lebih longgar. Selama ini ia masih merasa
terikat oleh hubungan antara anak dan ayah, sehingga
langkah Paksi masih serba canggung"
"Baiklah, Ki Waskita" berkata Ki Gede kemudian, "nanti kita
akan membicarakan cara-cara terbaik yang dapat kita tempuh.
Sekarang aku persilahkan Ki Waskita beristirahat. Aku akan
menghadap Kangjeng Sultan. Sekaligus menyampaikan
rencanamu untuk memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada"
"Silahkan, Ki Gede. Aku akan menunggu Ki Gede.
Sementara sambil menunggu, aku akan melihat-lihat keadaan
kotaraja. Aku ingin pergi ke pasar"
"Ke pasar?" "Aku ingin melihat-lihat. Beberapa kali Raden Sutawijaya
dan Pangeran Benawa berada di pasar dalam penyamaran.
Namun mereka tidak melihat apa-apa yang mereka inginkan"
"Kaupun tidak akan melihat apa-apa, Ki Waskita. Kecuali
berbagai macam makanan yang barangkali menarik bagi Ki
Waskita" Ki Waskita tertawa. Katanya, "Disini aku sudah mendapat
suguhan makanan yang jarang aku temui"
Ki Gedepun tertawa pula. Namun sejenak kemudian, Ki Gede telah meninggalkan
rumahnya untuk pergi ke istana menghadap Kangjeng Sultan
Hadiwijaya. Sementara itu, sambil menunggu Ki Gede pulang,
Ki Waskita telah menyusuri jalan-jalan di kotaraja untuk
melihat-lihat suasana. Ki Waskita itu juga berjalan melalui lorong-lorong sempit.
Bahkan lorong yang telah dilalui Paksi pada saat anak muda
itu bertemu dengan tiga orang pengikut Harya Wisaka, bahkan
bersama dengan adik laki-lakinya yang telah mengatakan
rahasia yang disimpan oleh ibunya bertahun-tahun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Ki Waskita tidak bertemu dengan orang-orang yang
mencurigakan. Tidak bertemu dengan orang-orang yang
membawa bahan pangan atau keperluan sehari-hari lainnya.
Tetapi Ki Waskita mencoba mengamati arah perjalanan
adik Paksi bersama ketiga orang yang membawa bahan
pangan itu. Jika mereka berjalan dari pasar, maka mereka tentu telah
menempuh jalan yang agak melingkar.
Tetapi mungkin mereka memang tidak dari pasar. Tetapi
mereka tinggal mengambil ke tempat yang sudah ditentukan.
Orang lain lagi, mungkin perempuan, yang telah pergi
berbelanja ke pasar. Pada saat matahari mulai turun, maka Ki Waskitapun telah
kembali ke rumah Ki Gede Pemanahan. Ternyata Ki Gedepun
telah kembali pula dari istana.
"Aku sudah mengatakan rencana Ki Waskita kepada
Kangjeng Sultan sekaligus" berkata Ki Gede Pemanahan.
"Bagaimana tanggapan Kangjeng Sultan?" bertanya Ki
Waskita. "Kangjeng Sultan menyetujuinya. Kita tinggal
membicarakan perincian dari rencana ini termasuk
pengamanannya" Ki Waskita mengangguk-angguk.
Setelah keduanya makan dan beristirahat sejenak, maka Ki
Gedepun berkata, "Kita dapat membicarakannya sekarang, Ki
Waskita. Mudah-mudahan usaha ini berhasil"
Ki Waskitapun mengangguk hormat sambil berkata,
"Mudah-mudahan, Ki Gede. Kita memang harus mencoba
beberapa jalan untuk mencapai sasaran"
Demikianlah keduanyapun mulai berbicara tentang rencana
mereka untuk menjebak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Namun Ki Gedepun kemudian berkata, "Tetapi Ki Waskita
harus sangat berhati-hati. Jika rencana ini meleset sedikit saja, maka Ki Waskita akan benar-benar dapat menjadi korban"
"Aku mengerti, Ki Gede. Tetapi kita tidak mempunyai jalan
lain" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah. Aku minta Ki Waskita benar-benar bersiap. Aku
akan bersiap pula. Tetapi Ki Waskita harus bersiap-siap pula
mengambil langkah-langkah yang tepat apabila ada
perkembangan baru yang terjadi pada rencana ini yang
sebelumnya tidak kita perhitungkan"
"Baik, Ki Gede. Aku sudah siap, bahkan akupun siap
mengalami akibat yang paling buruk dari rencana ini. Jika
ternyata Ki Tumenggung Sarpa Biwada lebih cerdik dari kita,
maka akulah yang akan menjadi korban"
Ki Gedepun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah.
Kita akan mencobanya"
"Tetapi kita harus melakukannya dengan sabar. Mungkin
kita memerlukan waktu yang agak lama untuk dapat berhasil,
atau tidak sama sekali"
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Waskita harus
mempunyai tempat tersendiri di dalam kota ini. Ki Waskita
tidak dapat hilir-mudik ke rumahku, karena dengan demikian,
maka para pengikut Harya Wisaka akan mengetahui, bahwa
yang Ki Waskita lakukan adalah satu jebakan"
"Ya, Ki Gede. Selama kita melakukan rencana ini, maka aku
akan berada di rumah Ki Panengah yang pernah dijadikannya
padepokan. Rumah itu sekarang kosong, hanya ditunggui oleh
seorang pembantunya"
"Baiklah, Ki Waskita. Kita akan segera melakukan tugas kita
masing-masing" "Besok kita akan mulai dengan rencana ini, Ki Gede"
"Ya, besok. Lewat tengah hari. Aku harus mempersiapkan
segala sesuatunya" Sejenak kemudian, maka Ki Waskitapun telah minta diri. Ki
Waskita itupun langsung pergi ke rumah Ki Panengah yang
pernah dipergunakannya sebagai padepokan sementara
sebelum pindah ke Hutan Jabung.
Penunggu rumah itu sudah mengenal Ki Waskita dengan
baik. Karena itu, maka Ki Waskita tidak menemui kesulitan
untuk berada di rumah itu dalam tiga empat hari. Dari rumah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itulah, Ki Waskita akan melakukan usahanya untuk menjebak
Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Namun sementara itu, ternyata Ki Waskitapun menjadi
berdebar-debar pula atas rencananya. Kemungkinan berhasil
atau gagal sama besarnya. Demikian pula kemungkinan yang
dapat terjadi atas dirinya. Nasib baik dan nasib buruk
menunggu di kedua sisi rencananya itu.
Dalam pada itu, sebelum Ki Waskita memasuki rencananya,
di sisa hari itu, ia masih juga berjalan-jalan melihat-lihat
suasana. Menjelang senja, Ki Waskita itu duduk di pinggir alun-alun
Pajang. Ia masih sempat melihat beberapa orang prajurit
berlatih sodoran. Beberapa di antaranya nampak terampil
mempermainkan tombaknya sambil menunggang kuda.
Namun ada di antara mereka yang nampaknya baru mulai.
Namun begitu senja turun, maka latihan itupun segera
berakhir. Alun-alun itupun menjadi sepi. Sedangkan Ki
Waskitapun kembali pula ke rumah Ki Panengah.
Di malam hari, Ki Waskita tidak segera dapat tidur. Iapun
keluar pula berjalan-jalan. Namun Ki Waskita itu tidak
menemukan apa-apa. Yang dijumpainya adalah beberapa
orang prajurit yang meronda. Dijumpainya empat orang
prajurit berkuda yang mengelilingi kota. Namun ditemuinya
pula empat orang prajurit yang meronda dengan berjalan kaki.
Tetapi setiap kali Ki Waskita selalu bersembunyi di balik
pepohonan, karena berjalan seorang diri di malam hari akan
dapat dicurigai. Setidak-tidaknya ia harus menjawab beberapa
pertanyaan. Jika jawabnya tidak memuaskan, maka ia akan
dapat dibawa ke barak prajurit itu.
Di hari berikutnya, maka Ki Waskita benar-benar harus
mempersiapkan dirinya. Bukan saja mempersiapkan unsur
kewadagannya, tetapi juga unsur ketahanan jiwanya. Sebagai
orang yang berilmu sangat tinggi, Ki Waskita mempunyai
kepercayaan yang besar terhadap dirinya sendiri. Selain
berpihak kepadanya, karena ia menjalankan tugas bagi
keselamatan banyak orang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun demikian, Ki Waskita masih saja merasa gelisah.
Yang dilakukannya kali ini adalah tugas khusus yang sangat
rumit. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Cara yang
ditempuhnya itu adalah satu-satunya cara yang diketahuinya.
Meskipun perbandingan antara berhasil dan gagal, sama
besarnya. Dengan gelisah Ki Waskita menunggu matahari naik sampai
ke puncak. Namun rasa-rasanya matahari begitu malasnya
merangkak di langit, sehingga waktu terasa berjalan sangat
lambat. Namun akhirnya mataharipun melewati titik puncaknya. Ki
Waskita yang sudah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya
itupun meninggalkan rumah Ki Panengah, menuju ke rumah Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Ki Waskita sama sekali tidak berusaha melepaskan diri dari
pengawasan para pengikut Harya Wisaka yang dipercayanya
masih tetap mengawasi rumah itu. Ki Waskitapun berjalan
melalui jalan depan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Masuk lewat regol halaman yang sedikit terbuka. Kemudian
menutupnya kembali, tetapi seperti semula, tidak terlalu rapat.
Kedatangan Ki Waskita mengejutkan seisi rumah itu. Adik
perempuan Paksi yang melihat kedatangannya, segera
memberitahukan kepada ibunya.
"Siapa, Nduk?" bertanya Nyi Tumenggung Sarpa Biwada.
"Entah, Ibu. Tetapi rasa-rasanya ia pernah datang kemari
ketika Kakang Paksi pulang dan kemudian ditangkap"
Nyi Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun melangkah keluar pintu pringgitan.
Nyi Tumenggung terkejut melihat Ki Waskita berdiri
termangu-mangu di halaman. Sesaat Nyi Tumenggung berdiri
membeku di depan pintu pringgitan.
Namun Ki Waskita itupun kemudian berkata sambil
membungkuk hormat, "Aku, Nyi. Orang menyebutku Ki
Waskita. Aku adalah salah seorang dari guru Paksi, anak Nyi
Tumenggung" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"O" Nyi Tumenggung menjadi gagap. Sementara itu adik
perempuan Paksipun berdesis, "Guru Kakang Paksi, Ibu?"
"Ya, ya, Nduk" jawab ibunya. Kemudian Nyi Tumenggung
itupun mempersilahkan, "Silakan duduk. Ki Waskita"
Ki Waskitapun kemudian naik ke pendapa dan duduk di
pringgitan ditemui oleh Nyi Tumenggung. Kepada adik
perempuan Paksi, Nyi Tumenggung itupun berkata, "Pergilah
ke dapur, Nduk. Kau dapat menyiapkan minuman, bukan?"
"Sudahlah, Nyi. Tidak usah"
Tetapi Nyi Tumenggungpun berkata, "Tidak apa-apa, Ki
Waskita. Hanya air" Adik perempuan Paksipun kemudian pergi ke dapur untuk
menyiapkan minuman dan makanan. Kepada pembantunya,
adik Paksi itupun berkata, "Aku yang diminta ibu untuk
membuat minuman" Pembantunya hanya tersenyum saja. Gadis kecil itu
memang sudah trampil membuat minuman dan kemudian
membawanya ke pringgitan.
Dalam pada itu, di pringgitan, Nyi Tumenggungpun
bertanya dengan suara yang bergetar, "Apa yang Ki Waskita
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehendaki?" "Nyi" berkata Ki Waskita, "aku ingin mendapat bantuanmu"
"Bantuan apa, Ki Waskita" Apakah masih ada yang dapat
aku lakukan?" "Nyi" berkata Ki Waskita, "maaf jika aku minta bantuanmu
untuk menangkap Ki Tumenggung"
Wajah Nyi Tumenggung menjadi merah. Dengan nada
tinggi iapun berkata, "Kau mempergunakan kesempatan ini?"
"Jangan salah paham, Nyi. Kau tahu bahwa Ki Tumenggung
telah menjadi pengikut Harya Wisaka. Sementara itu Harya
Wisaka telah memberontak. Bukankah itu berarti bahwa Ki
Tumenggung telah memberontak pula?"
"Apakah Ki Waskita termasuk salah seorang yang bertugas
untuk menangkap para pemberontak atau sekedar
memanfaatkan keadaan bagi dendam pribadi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah artinya, bahwa sekarang aku berbicara tentang
dendam pribadi?" desis Ki Waskita. "Tetapi jika yang kau
maksud dengan dendam pribadi itu adalah dendam karena
muridku telah menjadi luka parah karena harus bertempur
melawan tiga orang pengikut Harya Wisaka, maka aku tidak
mengelak. Bahkan seharusnya Nyi Tumenggungpun
mendendam pula, karena Paksi adalah anak Nyi Tumenggung"
Pembicaraan merekapun terputus karena adik perempuan
Paksi menghidangkan minuman dan makanan.
"Terima kasih, anak manis" desis Ki Waskita sambil
tersenyum. Adik perempuan Paksipun tersenyum pula. Tetapi ia tidak
memandang wajah tamu ibunya itu. Bahkan wajahnyapun
menunduk dalam-dalam. Demikian ia meletakkan mangkuk minuman dan makanan,
maka adik Paksipun itupun segera beringsut meninggalkan
pringgitan. "Nyi Tumenggung" berkata Ki Waskita kemudian, "sekali
lagi aku mengulangi permohonanku agar Nyi Tumenggung
bersedia membantuku"
"Apa yang dapat aku lakukan?"
"Mengijinkan aku bermalam disini. Biarlah aku tidur di
dapur atau di kandang atau dimana saja"
Terasa dada Nyi Tumenggung bergetar. Dengan suara yang
patah-patah Nyi Tumenggung itupun berkata, "Kau minta aku
membantumu untuk menangkap suamiku?"
"Nyi, sasaran utamanya sebenarnya bukan Ki Tumenggung.
Tetapi Harya Wisaka. Jika Ki Tumenggung bersedia bekerja
sama untuk menangkap Harya Wisaka, maka ia tentu akan
mendapat banyak keringanan hukuman"
"Kau ingin melihat harga diri suamiku tersuruk semakin
dalam di lumpur yang kotor?"
"Kenapa?" "Jika suamiku memang memberontak, biarlah ia menjadi
seorang pemberontak yang baik. Yang menengadahkan
dadanya menghadapi akibat dari jalan yang dipilihnya. Aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak ingin bahwa suamiku melakukan pengkhianatan ganda.
Berkhianat kepada negaranya dan kemudian berkhianat atas
keyakinan yang dipilihnya"
"Aku sependapat, Nyi. Tetapi apakah Nyi Tumenggung
tidak mempunyai pertimbangan yang lebih jauh" Jika
pemberontakan ini berlangsung lebih lama lagi, maka
bayangkan, berapa banyaknya korban yang akan jatuh.
Kematian demi kematian akan saling susul-menyusul"
"Adalah wajar seorang laki-laki mempertaruhkan nyawanya
demi keyakinannya. Mereka yang yakin, bahwa Harya Wisaka
bersalah akan berdiri di satu pihak. Sementara mereka yang
dengan setia berdiri di belakang Harya Wisaka, akan berada di
pihak lain. Jika kedua belah pihak itu berbenturan, bukankah
wajar jika jatuh korban?"
"Kau yakin, bahwa yang berdiri di kedua belah pihak itu
berlandaskan pada keyakinan" Tidakkah mungkin mereka
berdiri di atas janji-janji kosong atau bahkan lebih buruk
ancaman-ancaman yang memaksa mereka menjalankan
pekerjaan suka atau tidak suka karena tidak mempunyai
pilihan. Mungkin anak dan isterinya berada di bawah
ancaman. Mungkin ayah atau ibunya atau bahkan dirinya
sendiri" "Alangkah beragamnya kemungkinan-kemungkinan yang
dapat Ki Waskita sebutkan. Tetapi jangan memperalat aku
untuk menangkap suamiku sendiri, kemudian memaksanya
berkhianat" "Jika demikian, sejalan dengan pendapatmu itu, Nyi, kau
akan membiarkan Paksi saling membunuh dengan ayahnya.
Atau lebih buruk lagi, Paksi akan berhadapan dengan adik laki-
lakinya yang sudah terpengaruh oleh ayahnya. Jika sikapmu
teguh, Nyi, aku sanggup untuk membuat Paksi kehilangan
nuraninya menghadapi adik laki-lakinya sekaligus ayahnya.
Paksi akan dapat memburu adik laki-lakinya itu, karena ia
sudah menemukan jejaknya. Paksi akan dapat memburunya
dengan sekelompok prajurit sebagaimana dibawanya saat ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpura-pura memburu Harya Wisaka keluar kota, karena
kami tahu, bahwa Harya Wisaka masih berada di dalam kota"
Terasa jantung Nyi Tumenggung itu bagaikan tertusuk
sembilu. Terasa dadanya mulai menjadi pepat. Matanya
menjadi panas. Namun Nyi Tumenggung bertahan untuk tidak
menangis. "Jangan adu domba anak-anakku"
"Jika Harya Wisaka dapat ditangkap, maka permusuhanpun
akan dapat diredam. Paksi dan adik laki-lakinya tidak perlu
saling mengancam" "Jangan campuri persoalan anak-anakku dengan licik.
Biarlah mereka menentukan langkah mereka sendiri"
"Untuk memecahkan kekalutan yang terjadi di Pajang
memang diperlukan pengorbanan. Tetapi kita harus berusaha,
agar korban yang jatuh tidak berlebihan. Biarlah mereka yang
terlibat dan meyakini perjuangannya mempertaruhkan
nyawanya sebagai laki-laki. Tetapi jangan menyurukkan
korban di luar bingkai permasalahannya"
"Ki Waskita" berkata Nyi Tumenggung kemudian, "sayang,
aku tidak dapat membantumu"
Ki Waskita memandang Nyi Tumenggung dengan tajamnya.
Katanya, "Baiklah, Nyi. Jika demikian aku memang harus
mencari jalan lain. Aku harus membius Paksi agar ia dapat
bersikap tegar menghadapi kenyataan. Paksi yang sudah tahu
hubungannya dengan ayahnya dan adiknya, akan menjadi
lebih mudah untuk mengarahkan sikapnya"
"Apa yang akan kau lakukan, Ki Waskita?"
"Seperti yang Nyi katakan. Kami akan berpegang atas
keyakinan kami dengan teguh. Paksi akan membawa
sekelompok prajurit untuk menemukan adik laki-lakinya.
Akupun tidak peduli terhadap anak itu. Tetapi aku tidak ingin
Paksi mati di tangan para pengikut ayahnya yang sudah
terbius oleh janji-janji Harya Wisaka, karena aku sangsi,
bahwa mereka benar-benar berpegang atas satu keyakinan"
"Ki Waskita" "Dari adik laki-lakinya itu, Paksi akan dapat mengetahui
dimana ayahnya bersembunyi. Ayahnya yang telah dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sungguh-sungguh berniat membunuhnya. Dari mereka akan
ditelusuri tempat persembunyian Harya Wisaka"
"Tetapi anakku itu tidak bersalah. Ia tidak bersikap atas
dasar keyakinannya" "Ia bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah lewat remaja. Karena
itu ayahnya telah menyuapinya dengan satu keyakinan
kebenaran perjuangan Harya Wisaka. Kebenaran untuk satu
pencapaian atau kebenaran tentang kedudukan yang tinggi,
aku tidak tahu. Tetapi itulah yang dilakukannya"
"Ternyata kau manfaatkan peristiwa ini untuk kepentingan
pribadimu. Jika Ki Tumenggung bersungguh-sungguh untuk
membunuh Paksi, maka kaupun akan bersungguh-sungguh
berusaha membunuh adik Paksi. Bahkan kau tidak segan-
segan mengadu kedua kakak beradik itu"
"Ya. Aku tidak mau kehilangan muridku tanpa berbuat apa-
apa" "Kau licik sekali, Ki Waskita"
"Mungkin aku adalah orang yang paling licik di seluruh
Pajang. Tetapi aku masih berbangga bahwa aku akan ikut
berusaha menangkap Harya Wisaka, seorang pemberontak
yang sekarang menjadi buruan. Termasuk para pengikutnya"
Nyi Tumenggung itu mengusap matanya. Tetapi ia tidak
mau menangis. Ia bukan seorang perempuan yang cengeng.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Gejolak di jantung
Nyi Tumenggung Sarpa Biwada rasa-rasanya akan
memecahkan dadanya. Nyi Tumenggung itu merasa berdiri di
jalan simpang. Jalan yang manapun yang dipilihnya akan
berujung pada kegetiran yang tajam menusuk sampai ke
pusat jantung. "Nyi" berkata Ki Waskita kemudian, "agaknya memang
nasib Paksi yang buruk. Dalam ancaman maut dari seorang
yang sebelumnya dianggapnya ayahnya sendiri, yang
memberikan perintah tidak masuk akal kepadanya untuk
mencari sebuah cincin kerajaan yang belum pernah dilihatnya,
bahkan dalam mimpi, namun dijalaninya dengan ikhlas, kini
sama sekali tidak mendapat perlindungan. Bukan perlindungan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kewadagan, tetapi perlindungan atas ketenangan jiwanya" Ki
Waskita itupun berhenti sebentar. Lalu katanya pula, "Baiklah.
Agaknya kau juga ingin menyingkirkan Paksi yang kau anggap
menjadi penghalang atas hubunganmu dengan suamimu.
Baik, Nyi. Jika demikian, memang tidak ada orang lain yang
harus berbuat apapun baginya selain gurunya"
"Ki Waskita" "Nyi, jika aku atau Ki Panengah menemukan mayat Paksi
yang berhasil dibunuh oleh Ki Tumenggung Sarpa Biwada,
maka kami akan membawanya kemari. Kau tentu puas melihat
anak muda yang dianggap duri di dalam keluarga ini mati
dengan luka arang keranjang di tubuhnya"
"Ki Waskita" "Tetapi Paksi dan kami berdua tentu tidak akan menyerah
dan membiarkan hal itu terjadi. Kami akan melindungi Paksi
dengan cara apapun juga. Kasar atau halus. Agar Paksi tidak
terbunuh, maka kami akan membunuh"
"Cukup, cukup, Ki Waskita" suara Nyi Tumenggung itu
bergetar oleh getar jiwanya. Katanya kemudian, "Sampai hati
kau berkata seperti itu kepadaku. Sampai hati kau menuduh
aku ingin menyingkirkan Paksi"
"Jadi apa yang harus aku katakan" Kau menolak untuk
bekerja sama menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang
jelas ingin membunuh Paksi. Bukankah itu berarti bahwa kau
lebih senang Paksi terbunuh" Jika Ki Tumenggung itu
tertangkap dan bersedia bekerja sama, maka ia tidak akan
mati. Jika ia masih juga harus dihukum, maka hutangnya
kepada Pajangpun akan lunas. Pada suatu saat ia akan
menghirup udara bebas dan
kembali kepadamu sebagai orang yang merdeka. Tetapi
apakah Paksi akan dapat kembali kepadamu jika ia mati?"
Nyi Tumenggung mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia
masih bertahan untuk tidak menangis. Tetapi ia benar-benar
dihadapkan pada satu pilihan yang amat sulit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena Nyi Tumenggung tidak segera menjawab, maka Ki
Waskita itupun berkata selanjutnya, "Jika kau tetap pada
pendirianmu, Nyi, aku memang tidak mempunyai pilihan lain"
Namun dengan suara sendat dan patah-patah Nyi
Tumenggung itupun berkata, "Baiklah, Ki Waskita. Aku akan
membiarkan diriku kau peralat untuk menangkap Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Aku tidak tahu, apakah alasanmu
sebenarnya. Bahkan seandainya kau mempunyai dendam
pribadi" "Sudah aku katakan, Nyi. Aku tidak mau Paksi dibunuh.
Paksi adalah harapan perguruan kami bagi masa depan. Pada
saatnya Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa akan
meninggalkan perguruan kami karena kedudukan mereka.
Tetapi Paksi tidak. Ia akan berada bersama kami untuk
seterusnya" "Selanjutnya, silahkan apa saja yang ingin kau lakukan Ki
Waskita. Jika kau akan bermalam disini, silahkan. Dimana kau
akan tidur, terserah saja kepadamu. Aku dan anak
perempuanku akan berada di bilik bersama pembantuku di
dapur" "Aku tidak bermaksud seperti itu, Nyi. Aku tidak akan
merampas hakmu. Aku hanya ingin memancing agar Ki
Tumenggung Sarpa Biwada atau orang-orangnya datang ke
rumah ini. Itu saja. Karena itu, yang aku perlukan adalah
kesan bahwa aku berada di rumah ini"
Nyi Tumenggung menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Matanya memang menjadi basah. Tetapi Nyi
Tumenggung tetap tidak menangis.
Dengan nada rendah, Ki Waskitapun kemudian berkata,
"Aku mohon maaf, Nyi. Aku sama sekali tidak ingin menyakiti
hatimu. Aku juga tidak ingin membalas dendam pribadi. Aku
hanya ingin ikut membantu menenangkan gejolak yang terjadi
di Pajang sekarang ini. Tetapi jika hal ini dianggap sebagai
satu sikap yang berlebihan, maka biarlah aku mengatakan,
bahwa aku hanya ingin menyelamatkan Paksi"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyi Tumenggung mengangguk kecil. Sementara itu Ki
Waskitapun berkata selanjutnya, "Biarlah aku tidur dimana
saja. Aku sudah terbiasa tidur di udara terbuka, di pategalan
atau di dalam semak-semak. Bahkan di dahan-dahan pohon di
hutan" Nyi Tumenggung menunduk semakin dalam. Katanya,
"Biarlah pembantuku menjadi saksi, bahwa kehadiran Ki
Waskita di rumah ini semata-mata untuk kepentingan tugas-
tugas yang kau emban. Apakah tugas-tugas bagi Pajang atau
beban kewajiban yang harus kau pikul untuk menyelamatkan
Paksi" "Karena itu, kehadiranku jangan mengganggu kegiatanmu
sehari-hari, Nyi. Aku tahu, bahwa ada ruang di sebelah
lumbung padi. Aku akan berada disana"
"Tidak ada ruang di lumbung padiku, Ki Waskita"
"Bukankah biasanya ada lumpang dan lesung yang
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditempatkan di sisi lumbung?"
"Sekedar di serambi yang terbuka"
"Itu sudah cukup, Nyi. Aku akan tidur di sebelah lesung.
Tentu akan terasa hangat"
"Tidak, Ki Waskita. Aku tidak dapat membiarkan kau tidur
di serambi lumbung yang kotor itu. Kau akan merasa gatal-
gatal di seluruh tubuhmu"
"Sudahlah. Jangan menjadi masalah. Jika Nyi Tumenggung
mengijinkan, aku akan keluar masuk halaman rumah ini untuk
selanjutnya tidur dimanapun tanpa mengganggumu"
Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
tidak akan dapat mengelak, ia harus memilih. Namun semua
pilihan akan sangat menyakitkan hatinya. Justru karena Nyi
Tumenggung itu sadar sepenuhnya, bahwa ia akan menjadi
alat untuk menjebak suaminya sendiri, maka hatinyapun
menjadi sangat pedih. Tetapi Nyi Tumenggung tidak dapat
membiarkan Paksi mati dibunuh oleh suaminya itu, karena
Paksi adalah anaknya. Akhirnya, Nyi Tumenggung harus membiarkan Ki Waskita
keluar masuk regol halaman rumahnya. Tetapi Ki Waskita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak pernah naik pendapa atau masuk lewat pintu butulan
yang menghadap ke longkangan. Jika Ki Waskita datang ke
rumah itu, maka iapun langsung pergi ke belakang. Kadang-
kadang duduk di bawah sebatang pohon kemiri yang rindang,
kadang-kadang di bawah pohon jambu air yang berbuah lebat.
Sekali-sekali adik Paksipun bertanya kepada ibunya, untuk
apa orang tua itu berada di rumahnya.
Nyi Tumenggung memang sulit untuk menjawab. Namun
kemudian katanya, "Ia mempunyai tugas untuk mengawasi
rumah ini, Nduk" "Kenapa dengan rumah ini" Apakah orang itu menunggu
ayah disini?" "Sudahlah, jangan pikirkan. Bukankah ia tidak mengganggu
kita?" Adik perempuan Paksi itu mengangguk-angguk. Sementara
itu, Ki Waskita masih saja hilir-mudik antara rumah Ki
Panengah yang kosong dan rumah Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. Bahkan jika senja mulai turun, Ki Waskita itupun
memasuki regol halaman rumah Nyi Tumenggung. Tetapi Ki
Waskita tidak pernah menemui Nyi Tumenggung lagi. Ia
langsung pergi ke halaman belakang. Bahkan jika Ki Waskita
berada di rumah itu di siang hari, ia tidak segan-segan
membantu membersihkan kandang dan lumbung padi.
Nyi Tumenggungpun tidak pernah pula menyapanya.
Dibiarkan saja Ki Waskita berkeliaran di kebun belakang
rumahnya. Nyi Tumenggungpun tidak pernah menyediakan
minuman apalagi makan bagi Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita
memang tidak memerlukannya.
-ooo00dw00ooo- Jilid 27 SEHARI, dua hari, tiga hari telah berlalu. Namun tidak ada
terjadi apapun di rumah Nyi Tumenggung Sarpa Biwada.
Kehidupan di rumah itu berjalan seperti biasanya tanpa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terpengaruh oleh kehadiran Ki Waskita. Meskipun demikian,
para pembantu di rumah itu menjadi heran. Apa yang
dilakukan oleh Ki Waskita di rumah itu tidak dapat mereka
mengerti. Sedangkan Nyi Tumenggung sendiri tidak pernah
mengatakan apa-apa kepada mereka tentang orang yang
kadang-kadang berada di halaman belakang rumah itu.
Sebenarnyalah Ki Waskita sendiri merasa sudah terlalu
lama mondar-mandir dari rumah Ki Panengah ke rumah Nyi
Tumenggung. Tetapi usahanya untuk memancing Ki
Tumenggung masih juga belum berhasil.
Namun dalam pada itu, lewat seorang penghubung, Ki
Waskita masih selalu berhubungan dengan Ki Gede
Pemanahan. Mereka tidak boleh terlepas yang satu dengan yang lain
untuk melaksanakan rencana mereka.
Ternyata baik Ki Waskita maupun Ki Gede cukup sabar.
Meskipun hari-hari berlalu, sehingga menginjak sepekan,
mereka tidak segera menjadi jemu.
Sebenarnyalah kehadiran Ki Waskita di rumah Nyi
Tumenggung itu tidak lepas dari pengawasan para pengikut
Harya Wisaka. Di hari-hari pertama, mereka hanya sekedar
mengawasi dan memperhatikan kehadiran laki-laki itu. Tetapi
karena Ki Waskita setiap kali bahkan hampir setiap senja
datang ke rumah itu, maka kehadirannyapun segera
dilaporkan kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
"Jadi laki-laki itu datang setiap hari?"
"Ya, Ki Tumenggung. Setiap senja ia datang. Bahkan
kadang-kadang juga pagi dan siang hari ia datang pula"
Ki Tumenggung Sarpa Biwada menggeretakkan giginya.
Katanya, "Nanti aku akan melihat sendiri, siapakah orang itu"
Di sore hari, sebelum senja turun, Ki Tumenggung Sarpa
Biwada sudah berada di halaman rumah yang beradu sudut
dengan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Halaman rumah
yang tidak seluas halaman rumah Ki Tumenggung. Rumahnya
pun lebih sederhana dari rumah Ki Tumenggung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rumah itu adalah rumah salah seorang pengikut setia
Harya Wisaka yang luput dari pengawasan para petugas sandi,
karena penghuninya adalah seorang pedagang yang
nampaknya tidak pernah berhubungan dengan persoalan
pemerintahan di Pajang. Orang-orang di sekitarnya pun tidak menghiraukannya
ketika sebuah keseran yang membawa beberapa keranjang
gula kelapa memasuki halaman rumah itu ditarik oleh seorang
laki-laki bertubuh kecil dan didorong oleh laki-laki lain yang bertubuh kekar. Tidak seorang pun menyangka bahwa orang
yang tidak berbaju dan mengenakan caping bambu di atas
ikat kepalanya itu adalah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Tetapi juga tidak pula ada orang memperhatikan pedati yang
hilir-mudik di halaman rumah yang lain, terpisah satu rumah
dari rumah yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. Rumah itu telah dipergunakan oleh petugas sandi dari
Pajang untuk mengawasi rumah Ki Tumenggung.
Menurut penglihatan tetangga-tetangganya, pemilik rumah
yang tidak begitu besar itu sedang membangun rumahnya.
Hampir setiap hari satu dua pedati datang memasuki halaman
rumah itu dengan membawa kayu, batu, pasir dan kebutuhan-
kebutuhan lain. Beberapa orang pekerja sibuk membongkar
dan membuat bahan-bahan bangunan yang datang serta
menyingkirkan bahan-bahan bekas yang sudah tidak dapat
dipergunakan lagi. Namun sebenarnyalah bahwa mereka adalah para petugas
sandi Pajang yang mengawasi rumah Ki Tumenggung Sarpa
Biwada, yang pada saat saat terakhir telah ditingkatkan justru karena Ki Waskita sering berada di rumah itu.
Namun kesabaran Ki Waskita, Ki Gede Pemanahan dan
para petugas sandi pajang itu pun tidak sia-sia. Ki
Tumenggung Sarpa Biwada hatinya telah terbakar oleh
kehadiran laki-laki yang menyebut dirinya Ki Waskita itu di
rumahnya. Setiap hari. Karena itu, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada itupun
telah merencanakan usaha untuk menyergap laki-laki itu. Dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
atas dahan sebatang pohon, lewat senja Ki Tumenggung
Sarpa Biwada benar-benar melihat seorang laki-laki memasuki
halaman rumahnya. Ketika orang itu berhenti sejenak di
depan regol, Ki Tumenggung dapat melihat wajah orang itu
agak jelas karena cahaya oncor yang terang yang terpancang
di regol rumahnya itu. Ki Sarpa Biwada memang memerlukan waktu beberapa
saat untuk mengenali orang itu. Ia pernah melihat orang itu
datang ke rumahnya bersama Pangeran Benawa ketika
mereka menangkap Paksi, yang kemudian disadari, bahwa
yang terjadi saat itu hanyalah sekedar sebuah permainan dari
Pangeran Benawa. Kini Ki Tumenggung itu ingat dan bahkan yakin, siapakah
laki-laki yang datang ke rumahnya itu. Meskipun laki-laki itu
sudah banyak berubah, tetapi masih ada sisa-sisa
pengenalannya atas laki-laki yang menyebut dirinya Ki Waskita
itu. "Alangkah bodohnya aku" berkata Ki Tumenggung itu di
dalam hatinya. "Kenapa aku tidak mengenalinya ketika ia
mengambil Paksi demikian Paksi berhasil membawa cincin
kerajaan itu pulang?"
Tetapi Ki Tumenggung itu merasa bahwa ia masih belum
terlambat. Ia masih mempunyai kesempatan untuk
menghancurkan laki-laki keparat itu.
Tetapi Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak segera
bertindak. Ia menunggu malam menjadi semakin dalam. Ia
ingin semakin meyakinkan diri tentang laki-laki itu. Semakin
jauh malam menukik ke pusatnya, maka semakin jauh pula
langkah laki-laki yang sangat dibencinya itu memasuki pagar
rumah tangganya. "Siapapun laki-laki itu dahulu, tetapi
perempuan di dalam rumah itu adalah istriku" geram Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Bagi Ki Tumenggung, rasa-rasanya malam menjadi sangat
lamban. Bintang-bintang yang berkeredipan di langit seakan-
akan demikian asyiknya canda di antara mereka, sehingga
mereka tidak beranjak dari tempatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun akhirnya, malampun menjadi semakin senyap.
Suara cengkerik dan bilalang bersahutan dengan suara angkup
yang tertiup angin. Sekali-sekali terdengar derik bajang kerek yang merintih merindukan hangatnya perut ibunya.
"Bersiaplah" berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada kepada
dua orang pengikutnya yang terpilih. "Kita akan
menangkapnya dan membawanya"
"Atau membunuhnya" desis seorang pengikutnya.
"Kita akan melihat suasana" desis Ki Tumenggung.
"Marilah" geram pengikutnya yang seorang lagi, "aku sudah
tidak sabar lagi. Aku juga pernah membunuh laki-laki yang
aku temukan di bilik istriku. Aku biarkan mereka tertawa
seperti ringkik kuda. Namun kemudian keduanya tidak dapat
lagi tertawa untuk selama-lamanya"
"Kau tidak ditangkap karena membunuh?"
"Aku letakkan sebilah pedang di tangannya meskipun ia
masih telanjang. Kami dianggap telah berperang tanding"
Wajah Ki Sarpa Biwada menjadi tegang. Namun kemudian
iapun berdesis, "Marilah. Kita masuk ke rumah itu sekarang?"
"Lewat regol?" "Apakah rumah itu masih diawasi petugas sandi dari Pajang
sampai malam ini?" "Mungkin sekali"
"Mereka justru tidak akan mengawasi regol halaman.
Mereka justru akan mengawasi dinding yang mengeliling
rumahku itu" Pengawal Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Namun
ia masih berkata, "Apakah tidak ada pintu butulan masuk ke
kebun di belakang?" "Tentu diselarak"
"Kita akan meloncat masuk. Kita harus menjaga segala
kemungkinan" Akhirnya Ki Tumenggung setuju untuk memasuki halaman
rumahnya itu tidak lewat regol.
Beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung dan dua orang
pengawalnya sudah berada di dalam halaman rumah Ki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tumenggung. Dengan sangat hati-hati mereka memasuki
longkangan dan mendekati dinding rumahnya.
Rumah itu ternyata sepi sekali. Ki Tumenggung tidak
mendengar suara seseorang. Tidak mendengar percakapan
apalagi suara tertawa seperti ringkik kuda.
"Bagaimana kita masuk, Ki Tumenggung?" bertanya
pengawalnya. "Aku akan mengetuk pintu"
"Jangan" cegah seorang pengikutnya.
"Kenapa?" "Jika Ki Tumenggung mengetuk pintu, orang itu akan
berkesempatan lari melalui jalan yang sudah dipersiapkan atau
bersembunyi dimana saja"
"Orang itu tidak akan mempersiapkan jalan untuk lari"
sahut kawannya. "Kenapa?" "Ia tidak akan menyangka bahwa Ki Tumenggung akan
datang malam ini" "Tetapi lebih baik kita masuk seperti seorang pencuri
masuk ke dalam rumah yang menjadi sasarannya"
"Kau dapat melakukannya?"
Orang itu tersenyum. Katanya, "Aku adalah bekas seorang
pencuri ulung, sehingga namaku disebut-sebut oleh setiap
perempuan karena mengagumiku dan oleh setiap laki-laki
yang menjadi ketakutan karenanya. Tersebar kabar bahwa
aku mempunyai Aji Penglimunan sehingga aku dapat
menghilang dari pandangan mata"
"Kau mampu melakukannya?"
"Tentu dapat. Tetapi di dalam kegelapan dan orang-orang
yang mencariku harus memejamkan matanya"
Kawannya tertawa pendek. Tetapi Ki Tumenggung
membentak, "Bukan saatnya untuk bergurau. Jika kau
mampu, lakukan. Buka selarak pintunya dari dalam"
"Baik, Ki Tumenggung"
Orang itupun kemudian telah memanjat dinding bagian
belakang rumah Ki Tumenggung yang berbentuk kampung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dibukanya tutup keyong dengan paksa. Meskipun tutup
keyong itu terbuat dari kayu, namun orang itu benar-benar
telah membuktikan, bahwa ia adalah seorang pencuri yang
ulung, sehingga tutup keyong itupun telah terbuka.
Hampir tidak masuk akal, bahwa orang itu mampu
menyusup di antara lubang sempit pada papan kayu yang
dibukanya itu tanpa menimbulkan suara.
"Ia memang seorang pencuri ulung" desis kawannya yang
berdiri termangu-mangu di sebelah Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. "Orang itu memang memiliki kelenturan tubuh yang luar
biasa sehingga ia mampu menyusup di lubang-lubang yang
bagi orang lain dianggap terlalu sempit"
Beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung dan seorang
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengawalnya terkejut. Mereka mendengar selarak pintu
diangkat. Sementara itu mereka tidak yakin bahwa pengawal yang
berhasil masuk lewat tutup keyong itu sudah sampai di pintu
butulan. Karena itu, maka Ki Tumenggung dan seorang
pengawalnya itu segera meloncat ke samping berjongkok
melekat dinding. Tetapi ketika pintu terbuka, maka yang keluar dari dalam
adalah pengawal Ki Tumenggung yang memanjat lewat tutup
keyong itu. Orang itu justru termangu-mangu sejenak. Ia tidak
melihat Ki Tumenggung dan seorang kawannya.
Namun orang itu terkejut dan hampir saja ia menarik
senjata ketika Ki Tumenggung dan pengawalnya yang seorang
lagi tiba tiba bangkit berdiri.
"Kenapa Ki Tumenggung harus berjongkok melekat
dinding?" bertanya orang itu.
"Kami ragu-ragu, apakah yang membuka pintu itu kau atau
bukan. Kami baru saja melihat kau masuk lewat tutup keyong
itu. Bukankah memerlukan waktu untuk sampai ke pintu?"
"Sudah aku katakan. Aku adalah pencuri ulung"
"Ya. Kau tentu seorang pencuri ulung"
"Sekarang, silahkan Ki Tumenggung masuk"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tumenggungpun kemudian segera masuk langsung ke
ruang dalam. Pintu penyekat dengan ruang dalam ternyata
tidak diselarak. Sejenak kemudian, Ki Tumenggungpun berdiri dengan
ragu-ragu di depan sebuah bilik. Bilik itu adalah biliknya. Ia memastikan bahwa Nyi Tumenggungpun berada di dalam bilik
itu pula. "Sekarang, ketuk pintu itu Ki Tumenggung" desis
pengawalnya yang pernah membunuh laki-laki dan istrinya itu.
Ki Tumenggung masih saja ragu ragu.
"Ki Tumenggung bimbang?" bertanya pengawalnya.
Ki Tumenggung itu mengangguk kecil.
"Jika demikian, biarlah aku saja yang mengetuknya"
berkata pengawalnya yang masuk ke dalam rumah itu dengan
membuka tutup keyong. Orang itu tidak menunggu. Perlahan lahan ia mengetuk
pintu bilik yang tertutup itu.
Seperti yang diduga oleh Ki Tumenggung, Nyi Tumenggung
memang berada di dalam bilik itu. Ketika ia mendengar pintu
biliknya diketuk, Nyi Tumenggung itupun segera bangkit dan
duduk di bibir pembaringannya.
Terdengar lagi pintu itu diketuk.
"Siapa di luar?" bertanya Nyi Tumenggung dengan jantung
berdebaran. Pengawal Ki Tumenggung itu memberi isyarat, agar Ki
Tumenggung menjawab. "Aku, Nyi" Ki Tumenggung itu berdesis.
"Siapa?" "Aku. Buka pintunya"
Nyi Tumenggung mengenali suara itu. Karena itu, maka
dengan serta-merta iapun meloncat berdiri dan berlari ke pintu biliknya.
Dengan tergesa-gesa diangkatnya selarak pintunya
sehingga pintu itupun segera terbuka.
"Kakang Tumenggung" Wajah Nyi Tumenggung nampak
tegang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tumenggung tidak menjawab. Iapun langsung masuk ke
dalam bilik itu sambil bergumam, "Siapa yang berada di dalam
bilik ini?" Nyi Tumenggung mengerutkan dahinya. Dipandanginya Ki
Tumenggung yang mendekati pembaringannya. Namun yang
berbaring di pembaringan itu adalah anak perempuannya yang
masih tidur dengan nyenyaknya.
Sejenak Ki Tumenggung itu termangu-mangu. Kerisnya
yang sudah diputarnya sehingga terselip di dadanya, sudah
siap ditarik dari wrangkanya. Namun yang berada di
pembaringan ituadalah anak perempuannya.
Ki Tumenggung itupun kemudian membungkukkan
badannya, mencium anak itu di keningnya.
Sejenak Nyi Tumenggung termangu-mangu. Namun
kemudian iapun berkata, "Kakang, sebaiknya Kakang segera
meninggalkan rumah ini"
"Kenapa?" bertanya Ki Tumenggung.
"Kakang telah dijebak oleh seorang laki-laki yang mengaku
prajurit Pajang. Setiap hari ia datang dengan keyakinan,
bahwa Kakang akan mencurigainya dan datang pulang untuk
membuat perhitungan"
"Kau kenal laki-laki itu?"
"Ia pernah datang ketika Paksi pulang membawa cincin
yang kau cari itu" "Darimana kau tahu, kalau ia menjebakku?"
"Orang itu sendiri yang mengatakannya"
Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Katanya, "Kenapa
kau tidak mengusirnya saja?"
"Aku tidak berdaya. Ia melakukannya atas nama Pajang. Ia
mempunyai wewenang untuk berbuat lebih daripada yang
dilakukannya sekarang"
"Terkutuklah orang itu. Tetapi bukankah kau mengenalnya
atau pernah mengenalnya?"
"Mungkin. Tetapi kita tidak usah membicarakannya
sekarang" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah kau memang menginginkan laki-laki itu datang
kemari?" "Tidak. Tidak, Kakang. Sekarang pergilah sebelum kau
dijebaknya" "Aku memang akan menangkapnya"
"Tetapi ia akan dapat memanggil banyak orang yang tentu
sudah dipersiapkannya"
"Ia hanya sendiri. Orang-orangku sudah menyelidikinya.
Tidak ada orang lain di sekitar rumah ini"
"Tetapi ia mengatakan kepadaku, bahwa ia akan
menjebakmu" Ki Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun Nyi
Tumenggungpun mendesak, "Ia bahkan mengancammu,
Kakang. Pergilah sebelum orang itu melihatmu datang"
"Dimana orang itu sekarang?"
"Ia terbiasa berada di lumbung. Ia tidur di sebelah lesung"
"Nyi, aku justru akan menangkapnya"
"Tetapi ia tentu sudah siap menghadapi kemungkinan itu.
Ia akan dapat menghubungi kawan-kawannya"
Ki Tumenggung itu menjadi bimbang. Sementara seorang
pengawalnyapun berkata, "Apakah Ki Tumenggung yakin,
bahwa orang itu akan menjebak Ki Tumenggung, atau ia
sekedar menyembunyikan dirinya justru karena Ki
Tumenggung pulang" "Apa maksudmu?" bertanya Nyi Tumenggung.
"Memang ada beberapa kemungkinan" sahut Ki
Tumenggung. "Percayalah kepadaku, Kakang. Pergilah. Persoalan di
antara kita dapat kita bicarakan kemudian. Orang itu bahkan
ingin memanfaatkan keadaan ini bagi dendam pribadinya"
Ki Tumenggung memang menjadi bimbang. Tetapi
pengawalnya berkata, "Bukankah kita akan menangkap orang
itu?" "Orang itu berniat menjebakmu, Kakang. Karena itu,
pergilah" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah kita menjadi gentar karena jebakan itu?" bertanya
pengawalnya yang lain. "Kita cari orang itu. Kita akan
menangkapnya atau membunuhnya"
"Dengar aku, Kakang"
"Jangan beri kesempatan orang itu bersembunyi, Ki
Tumenggung. Nanti ia akan merayap ke dalam bilik ini jika Ki
Tumenggung pergi" Jantung Ki Tumenggung bagaikan tersengat bara
mendengar kata-kata pengawal itu. Hampir di luar sadarnya,
tangannya terayun menampar mulutnya.
Pengawal itu terkejut. Namun kemudian sambil tersenyum
iapun berkata, "Nyi, aku pernah membunuh seorang laki-laki
bersama dengan istriku di atas pembaringan"
"Kakang" suara Nyi Tumenggung menjadi serak. Ia bukan
seorang perempuan yang cengeng. Ia tidak menangis ketika ia
mencoba menolak kehadiran Ki Waskita di rumahnya
beberapa hari yang lalu. Tetapi kata-kata pengawal suaminya
itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, maka Nyi
Tumenggung tidak dapat menahan tangisnya lagi.
"Kakang" ulang Nyi Tumenggung, "kau biarkan orang itu
menghinaku?" "Maaf, Nyi. Aku hanya mengatakan pengalamanku tentang
seorang perempuan" "Dan kau anggap semua perempuan itu sama?" sahut Nyi
Tumenggung di sela-sela isaknya. "Apakah semua laki-laki
juga sama" Tidak, Ki Sanak. Tidak semua laki-laki kehilangan
harga dirinya seperti laki-laki yang kau bunuh itu. Atau kau
juga seperti laki-laki yang kau bunuh itu?"
Pengawal Ki Tumenggung itu tertawa. Katanya, "Segala
sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung"
Ki Tumenggung memang menjadi ragu-ragu. Pengawalnya
itu telah menyentuh perasaannya. Ia menjadi bimbang.
Mungkin laki-laki itu memang bersembunyi. Istrinya
memaksanya agar ia pergi sehingga laki-laki itu akan dapat
masuk ke dalam biliknya, atau istrinya dapat pergi ke bilik
yang manapun juga tempat laki-laki itu bersembunyi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nyi" Ki Tumenggung itu menggeram, "dimana laki-laki itu
sekarang?" "Kakang, kau tidak mau mendengarkan aku?"
"Laki-laki itu datang tidak hanya malam ini. Tetapi juga
malam kemarin, kemarin dulu dan bahkan di siang hari pula"
"Ia memang memancingmu dan berusaha menangkapmu"
"Akulah yang akan menangkapnya"
"Kakang. Kakang tidak mempercayai aku?"
"Bukan tidak mempercayaimu, Nyi. Tetapi aku tidak mau
kehilangan kesempatan ini"
Tangis Nyi Tumenggung justru terdiam. Dipandanginya
wajah suaminya dengan tajamnya. Dengan suara yang
bergetar iapun berkata, "Kakang, aku sudah mencoba untuk
memperingatkanmu. Tetapi terserah kepadamu. Apakah kau
masih dapat mempergunakan penalaranmu atau dadamu telah
terbakar oleh gejolak perasaanmu"
"Aku akan menangkap orang itu" Untuk menguatkan
sikapnya, maka Ki Tumenggung itupun telah membentak,
"Tunjukkan, dimana ia bersembunyi"
Namun Ki Tumenggung itupun terkejut. Dari luar bilik itu
terdengar suara seseorang, "Kau tidak usah mencariku, Ki
Tumenggung. Aku sudah berada disini"
Ketika mereka berpaling, maka merekapun melihat seorang
laki-laki berdiri di depan pintu bilik itu. Laki-laki yang dilihat oleh Ki Tumenggung masuk melalui regol halaman rumahnya
itu. "Iblis, kau. Aku ingat sekarang, siapakah kau sebenarnya"
"Sukurlah jika kau masih dapat mengingat siapa aku"
"Tetapi bagaimanapun juga, perempuan ini adalah istriku"
"Aku tahu, Ki Tumenggung. Perempuan itu adalah istrimu.
Karena itu, aku tidak mengganggunya"
Tetapi pengawal Ki Tumenggung yang mengaku pernah
membunuh seorang laki-laki dan istrinya itupun tertawa.
Katanya, "Ki Sanak, kita adalah laki-laki. Apakah kita akan
ingkar, apa yang sering dilakukan oleh laki-laki" Pada suatu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hari aku telah membunuh seorang laki-laki dan istriku. Tetapi
mungkin lain kali, akulah yang akan dibunuh"
"Ya. Kau akan mati malam ini" desis Ki Waskita.
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Apakah kau mampu
menjaring angin sehingga kau akan membunuhku?"
"Kau bukan angin, Ki Sanak, sehingga aku tidak akan
mengalami kesulitan untuk membunuhmu"
Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, "Kau agaknya
memang seorang yang keras kepala. Baiklah. Kita akan
membuktikan, apa yang akan terjadi"
"Ki Tumenggung" berkata Ki Waskita yang seakan-akan
tidak mendengarnya, "menyerahlah. Sudah terlalu banyak
darah tertumpah. Sedangkan impian Harya Wisaka tidak akan
pernah dapat terwujud"
"Jangan mengalihkan persoalan. Persoalan di antara kita
adalah persoalan yang sangat pribadi. Kau hanya
memanfaatkan keadaan untuk kepentinganmu sendiri"
"Kakang" suara Nyi Tumenggung bagaikan tersangkut di
tenggorokan. "Menyerahlah" geram Ki Tumenggung, "permainanmu akan
berakhir malam ini" Namun Ki Waskitapun menjawab, "Bukan aku yang harus
menyerah. Tetapi kau, Ki Tumenggung"
"Bagus. Kita akan melihat, siapakah di antara kita yang
harus menyerah dan harus merelakan lehernya dipenggal.
Dengan demikian persoalan kita akan selesai"
"Ki Tumenggung, kaulah yang selalu mengungkit persoalan
pribadi kita. Sudah aku katakan, bahwa apa yang aku lakukan,
terutama dalam lingkup usaha Pajang untuk menangkap
Harya Wisaka yang telah memberontak"
"Kau tidak usah membual seperti itu. Kau ternyata telah
memanfaatkan keadaan ini untuk kembali kepada perempuan
yang pernah kau khianati. Kau tinggalkan dalam keadaan yang
paling buruk bagi seorang perempuan. Apalagi seorang gadis"
"Kau jangan mengigau seperti itu, Ki Tumenggung"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Kenapa kau waktu itu
melarikan diri setelah menghamili seorang gadis" Itukah sikap
seorang laki-laki yang bertanggung jawab?"
"Ki Tumenggung, kita akan dapat membicarakan persoalan
di antara kita pada kesempatan lain. Sekarang, aku akan
menangkapmu" "Kesombonganmu masih saja melekat padamu sampai hari-
hari tuamu. Tetapi juga kelicikanmu. Kau hanya berani
mendatangi perempuan yang kau inginkan seperti laku
seorang pencuri di malam hari. Kenapa kau tidak datang
kepadaku sebelum terjadi kemelut di Pajang" Sebelum aku
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diburu karena aku berpihak kepada seorang yang memiliki
masa depan yang tajam bagi Pajang?"
"Aku menghormati ikatan pernikahan kalian, Ki
Tumenggung" "Tetapi ketika aku tidak ada di rumah, kau baru berani
datang menemui perempuan yang pernah kau khianati"
"Sudah. Sudah" teriak Nyi Tumenggung. "Sudah aku
katakan, Kakang Tumenggung. Kau telah dijebak. Dengan licik
laki-laki ini dengan sengaja mengungkit masa lalu kita, agar
kau pulang. Tetapi aku bukan perempuan yang mudah
kehilangan kesetiaanku kepada seorang suami"
Seorang di antara kedua orang pengawal Ki Tumenggung
itu tertawa. Katanya, "Kau dapat berkata begitu, Nyi. Tetapi
laki-laki ini ada di rumahmu. Dengan mendengarkan
pembicaraan Ki Tumenggung dan laki-laki itu, kami dapat
menangkap ceritera panjang kehidupanmu, Nyi. Ceritera yang
diwarnai oleh gejolak di masa gadismu. Melihat sikapmu
sekarang, Nyi, aku dapat membayangkan, bahwa Nyi
Tumenggung semasa gadisnya adalah seorang gadis yang
lincah, ramah dan tentu sangat menarik"
"Cukup, cukup" Nyi Tumenggung itu menjerit, "Kakang
Tumenggung, kau biarkan kawanmu itu menghinaku"
"Apa yang harus aku katakan, Nyi. Yang mereka lihat
sekarang, laki-laki ini berada di dalam rumah ini"
"Sudah aku katakan, ia sengaja menjebakmu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pengawal Ki Tumenggung yang lainlah yang kemudian
menyahut, "Satu langkah yang sudah direncanakan dengan
baik. Laki-laki ini mendapat dua kesempatan sekaligus.
Menjebak Ki Tumenggung dengan cara yang jarang didapat.
Agaknya itulah kelebihan laki-laki ini"
"Kakang Tumenggung, Kakang" Nyi Tumenggung tidak
tahan lagi mendengar sindiran-sindiran itu, sehingga tangisnya menjadi semakin keras. Ditutupinya wajahnya dengan kedua
telapak tangannya ketika ia terduduk dengan lemah.
Dalam pada itu, anak perempuan Ki Tumenggung itupun
telah terbangun mendengar pertengkaran yang
berkepanjangan. Ketika ia tegak di hadapan laki-laki yang
sering berada di rumahnya itu.
"Ayah" teriak gadis yang menjelang dewasa itu sambil
berlari ke arah ayahnya. Ki Tumenggung terkejut. Iapun segera berpaling. Demikian
anak perempuannya menghambur ke arahnya, maka Ki
Tumenggung itupun segera berjongkok memeluknya.
"Ayah. Ayah pergi lama sekali"
"Ya, Ngger. Sekarang ayah pulang menjemputmu"
Gadis kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berlari ke ibunya yang sedang menangis.
"Ibu, Ibu. Ibu kenapa?"
Nyi Tumenggungpun telah memeluk anak perempuannya
itu pula sementara tangisnya masih juga belum mereda. "Ibu"
Nyi Tumenggung tidak menjawab. Tetapi dipeluknya anak
gadisnya semakin erat. "Nah, Ki Tumenggung. Tidak sepantasnya kita menyiksa
perasaan Nyi Tumenggung dengan prasangka-prasangka
buruk seperti itu. Sekarang, marilah kita selesaikan persoalan kita"
Ki Tumenggung bangkit berdiri sambil berkata, "Aku bunuh
kau dan aku membunuh anakmu itu juga"
"Sudah aku katakan, kita tidak membicarakan persoalan
kita pribadi" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika aku berhasil membunuhnya, aku akan melempar
mayatnya di depan istana Pajang, istana Kangjeng Sultan
yang pernah memberikan hadiah sebilah keris kepada anak
durhaka itu" "Kakang" terdengar suara Nyi Tumenggung di sela-sela isak
tangisnya. Tetapi Ki Tumenggung seakan-akan tidak mendengarnya.
Bahkan kemudian iapun berkata kepada kedua orang
pengawalnya, "Kita akan menangkapnya hidup-hidup. Aku
masih mempunyai persoalan yang harus aku bicarakan
dengan orang ini" Ki Waskita tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera
melangkah surut ke ruang dalam. Ruang yang cukup luas
untuk membela diri. Ketika kemudian Ki Tumenggung dan dua orang
pengawalnya menyusulnya, maka Nyi Tumenggung hanya
dapat memeluk anak perempuannya, sementara tangisnyapun
semakin menjadi-jadi. Perempuan itu merasa bahwa harga dirinya sebagai
perempuan telah terinjak-injak. Kehadiran Ki Waskita di
rumahnya benar-benar telah menghancurkan kebersihan
namanya sebagai seorang istri yang dengan hati-hati menjaga
martabatnya. Meskipun ia tetap bersih, tetapi ia tidak dapat mengelakkan
tuduhan-tuduhan terhadapnya, laki-laki itu memang ada di
rumahnya. Sementara itu ia tidak sempat minta kesaksian
para pembantunya dan bahkan anak perempuannya.
Seandainya hal itu sempat dilakukannya, maka semuanya itu
tentu hanya dianggap sebagai satu sikap pura-pura yang
rendah. Sejak semula Nyi Tumenggung sudah merasa, bahwa ia
berdiri di persimpangan jalan. Jalan yang manapun yang
dipilihnya, jalan itu akan bermula kepada kepedihan yang
mengiris jantungnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Ki Waskita yang telah berada di ruang
dalam, segera mempersiapkan dirinya. Ia harus bertempur
menghadapi tiga orang yang berilmu tinggi.
Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang jantungnya telah
terbakar itupun segera memberi isyarat kepada kedua orang
pengawalnya untuk berpencar. Mereka bertiga akan
menghadapi Ki Waskita dari tiga arah.
Ki Tumenggung yang sadar, bahwa Ki Waskita adalah
seorang yang berilmu sangat tinggi, benar-benar telah
mempersiapkan diri. Tetapi bersama dengan dua pengawal
terpilihnya, maka Ki Tumenggung yakin, bahwa ia akan dapat
menangkapnya hidup-hidup, membawanya ke tempatnya
bersembunyi dan membuat perhitungan pribadi.
Kedua orang pengawal Ki Tumenggung itupun telah
bersiaga pula. Sebenarnya mereka lebih senang untuk
membunuh korbannya di tempat. Tetapi keduanya tidak dapat
melakukan karena Ki Tumenggung ingin orang itu ditangkap
hidup-hidup. Agaknya Ki Tumenggung ingin menunjukkan kepada Nyi
Tumenggung bahwa ia berhasil menguasai laki-laki yang
dianggapnya telah datang ke rumahnya dengan laku seperti
seorang pencuri. Bagi Ki Tumenggung Sarpa Biwada, kematian merupakan
hukuman yang terlalu ringan bagi Ki Waskita. Orang itu harus
merasakan penyesalan yang mendalam sebelum ia direnggut
oleh maut. Sejenak kemudian, maka para pengawal Ki Tumenggung
itupun mulai menyerang dengan garangnya. Keduanya
berloncatan silih berganti susul-menyusul. Namun sekali-sekali keduanya menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda.
Untuk beberapa saat Ki Tumenggung masih berdiri di
tempatnya. Ia mencoba memperhatikan unsur-unsur gerak Ki
Waskita yang tangkas itu.
Setiap kali memang terkilas di kepala Ki Tumenggung
peringatan istrinya, bahwa laki-laki yang menyebut dirinya Ki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Waskita itu memang berusaha menjebaknya. Tetapi Ki
Tumenggung memang meragukan kebenaran keterangan itu.
Keterangan itu hanya sekedar untuk menakut-nakutinya
agar ia segera pergi dan membiarkan laki-laki itu tetap berada di rumahnya bersama istrinya itu.
Perasaan itulah yang kemudian menyala di dadanya.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun menggeram sambil
berkata, "Aku akan menunjukkan kepada perempuan itu,
bahwa aku akan dapat memaksanya menyembahku dan
mencium kakiku" Sejenak kemudian, Ki Tumenggung itupun segera
melibatkan dirinya. Ki Waskita harus bertempur melawan tiga
orang sekaligus. Tiga orang yang berilmu tinggi.
Pertempuran itupun kemudian menjadi semakin sengit.
Ketiga orang lawan Ki Waskita itu segera meningkatkan
kemampuan mereka. Bagaimanapun juga mereka tidak dapat
mengabaikan kemungkinan bahwa kehadiran laki-laki itu
memang usaha untuk menjebak mereka.
Tetapi Ki Waskita adalah seorang yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka ia tidak pula mudah ditundukkan.
Sementara itu, Nyi Tumenggung dan anak perempuannya
masih tetap berada di biliknya. Ia tidak pergi ke ruang dalam
untuk menyaksikan pertempuran itu. Nyi Tumenggung tidak
ingin melihat salah seorang dari keduanya itu dikalahkan,
meskipun ia tahu, bahwa hal itu jarang sekali terjadi. Dendam
yang membakar jantung suaminya dan bahkan mungkin juga
Ki Waskita, akan mendorong mereka untuk bertempur habis-
habisan. Sebenarnyalah di ruang dalam, Ki Waskita bertempur
seperti banteng ketaton. Sekali-sekali serangannya berhasil
menembus pertahanan lawannya, mengenai sasarannya.
Namun pada kesempatan lain, Ki Waskitalah yang terdorong
beberapa langkah surut. Namun Ki Tumenggung Sarpa Biwada dan kedua orang
pengawalnya itu tidak segera mampu menangkap Ki Waskita
hidup-hidup. Kulit orang itu menjadi licin bagaikan kulit belut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Langkahnya cepat dan ringan. Kakinya berloncatan seolah-
olah tidak menyentuh lantai ruang dalam rumah Ki
Tumenggung itu. Nampaknya Ki Tumenggung Sarpa Biwada benar-benar
ingin menangkap Ki Waskita hidup-hidup. Meskipun
pertempuran itu menjadi semakin seru, namun Ki
Tumenggung Sarpa Biwada tidak mempergunakan senjata
mereka, sementara Ki Waskita tidak membawa senjata sama
sekali. Dalam pada itu, ternyata Ki Tumenggung Sarpa Biwada dan
kedua orang kawannya yang berilmu tinggi itu mulai dapat
mendesak Ki Waskita. Serangan-serangan mereka bertiga
mulai dapat menembus pertahanan lawan mereka. Ki Waskita
terdorong beberapa langkah ketika kaki Ki Tumenggung
menyeruak menusuk mengenai tulang-tulang rusuknya.
Sebelum Ki Waskita sempat memperbaiki kedudukannya,
serangan seorang pengawal Ki Tumenggung yang berilmu
tinggi itu telah mengenai pundaknya.
Ki Waskita terhuyung-huyung. Namun orang itu sengaja
menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali mengambil
jarak. Namun tubuh Ki Waskita justru telah membentur gledeg
bambu hingga gledeg itu terdorong dan roboh.
Dengan tangkasnya Ki Waskitapun segera bangkit berdiri.
Ketika serangan pengawal Ki Tumenggung yang lain meluncur
ke arah dadanya, Ki Waskita sempat merendahkan dirinya
sambil bergeser ke samping, sehingga serangan itu tidak
mengenainya. Namun dalam pada itu, Ki Waskita sendiri mengalami
kesulitan untuk mampu menyentuh tubuh lawannya. Ki
Waskita yang harus bertempur melawan ketiga orang berilmu
tinggi itu, seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk
membalas. Meskipun demikian, Ki Waskita masih juga mampu
menggapai seorang lawannya. Pengawal Ki Tumenggung itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terdorong ke samping. Tubuhnya membentur dinding gebyok
di ruang dalam rumah itu.
Tetapi Ki Waskita tidak sempat memburunya. Serangan Ki
Tumenggung Sarpa Biwadapun datang membadai. Bahkan
justru serangan pengawal Ki Tumenggung yang lainlah yang
telah menyentuh lengan Ki Waskita.
Ki Waskita harus meloncat surut mengambil jarak. Namun
lawannya yang sempat dikenainya itu sudah berdiri tegak
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ki Waskita memang sulit untuk mendapat kesempatan.
Serangan-serangan lawannya semakin lama menjadi semakin
cepat. Ki Tumenggung yang dibakar oleh perasaan dendam
pribadi itu, tidak terkekang lagi. Beberapa kali serangannya
berhasil mengenai tubuh Ki Waskita. Demikian pula kedua
orang pengawalnya. Sehingga dengan demikian, keadaan Ki
Waskita menjadi semakin sulit.
Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun menjadi semakin yakin,
bahwa ia akan segera dapat menguasai Ki Waskita dan
menangkapnya hidup-hidup.
"Orang ini tidak boleh terlalu cepat mati" berkata Ki
Tumenggung di dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, Ki Waskita benar-benar telah
kehilangan kesempatan. Serangan-serangan ketiga lawannya
menjadi semakin sering mengenai tubuhnya sehingga Ki
Waskita itu bagaikan diguncang-guncang. Ketika kaki Ki
Tumenggung Sarpa Biwada mengenai dadanya maka Ki
Waskitapun terdorong beberapa langkah ke samping. Namun
tangan salah seorang pengawal Ki Tumenggung itupun
menyambar keningnya, sehingga Ki Waskita terpelanting
dengan kerasnya. Namun dengan satu putaran kaki pengawal
Ki Tumenggung yang lain terayun mendatar menghantam
pundaknya. Ki Waskita itu terlempar membentur dinding. Ketika ia
mencoba untuk bangkit, maka tubuhnya itupun tidak segera
menemukan keseimbangannya. Ketika Ki Waskita masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terhuyung-huyung, tumit Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah
menghantam perut Ki Waskita.
Sekali lagi Ki Waskita terlempar membentur dinding. Sekali
lagi Ki Waskitapun terjatuh terbanting di lantai.
Namun ketika Ki Waskita mencoba untuk bangkit, tubuhnya
terkulai lagi dan jatuh bersandar dinding.
Ki Tumenggung Sarpa Biwada berdiri termangu-mangu.
Seorang pengawalnya masih menyerangnya. Kakinya
menyambar kening Ki Waskita.
Ki Waskitapun kemudian terbaring sambil mengerang
kesakitan. Tubuhnya menggeliat seperti cacing kepanasan.
"Bangkit. Bangkit kau laki-laki sombong. Kau kira ilmumu
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah menggapai langit sehingga kau tidak dapat
dikalahkan?" berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ki Waskita tidak menjawab. Mulutnya menyeringai
menahan sakit di seluruh tubuhnya.
"Bangkit. Atau aku bunuh kau" bentak Ki Tumenggung.
Tetapi Ki Waskita tidak dapat bangkit lagi.
"Dimana kawan-kawanmu" Inikah jebakanmu" Tidak
seorang pun datang menolongmu. Teriakan-teriakan di rumah
ini tidak akan didengar oleh tetangga-tetangga sebelah-
menyebelah. Selain halaman rumah ini cukup luas, dinding
rumah inipun terlalu rapat"
Ki Waskita sama sekali tidak menjawab. Ia masih saja
mengerang meskipun tertahan-tahan.
Tiba-tiba saja Ki Tumenggung itupun menarik kerisnya
sambil berkata lantang, "Habislah kesombonganmu sampai
disini" Namun tangan Ki Tumenggung tidak sempat terayun.
Terdengar Nyi Tumenggung itu menjerit tertahan.
Ki Tumenggungpun berpaling. Bahkan iapun kemudian
melangkah mendekati istrinya yang berdiri sambil memeluk
anak perempuannya. "Nyi" berkata Ki Tumenggung, "terima kasih atas
kepedulianmu terhadapku. Kau sudah memperingatkan aku,
bahwa kehadiran laki-laki ini adalah sebuah jebakan. Bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
laki-laki ini telah mempersiapkan kawan-kawannya untuk
menangkap aku. Tetapi lihat, sampai akhirnya orang itu
terkapar hampir mati, tidak seorang pun kawannya datang
menolongnya" Nyi Tumenggung sama sekali tidak menjawab.
"Untunglah bahwa aku tidak mendengarkan peringatanmu
sehingga aku lari pontang-panting meninggalkan rumah ini,
sementara laki-laki itu masih berada di dalamnya"
Nyi Tumenggung hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Aku memang harus mencoba memahami, betapa keterpautan
perasaanmu dengan laki-laki jahanam itu. Tetapi kaupun
harus ingat, jika aku tidak hadir di dalam perjalanan hidupmu, maka kau sudah menjadi sampah. Anakmu yang kau bangga-banggakan itupun tidak lebih dari anak yang lahir dari
seonggok sampah yang kotor"
"Kakang" Ki Tumenggung seolah-olah tidak mendengarnya. Ia
berkata selanjutnya, "Sekarang, laki-laki pengecut ini telah
memanfaatkan keadaan yang kalut untuk kembali kepadamu
dan agaknya kau telah menerimanya dengan tangan terbuka"
"Tidak. Tidak. Kau salah, Kakang"
"Pada saat aku akan membunuhnya, maka kaupun telah
mencegahnya pula" "Tidak. Tidak" tangis Nyi Tumenggungpun telah meledak
lagi. Anak perempuannyapun telah menangis pula sambil
bertanya, "Ibu, Ibu. Kenapa Ibu menangis?"
"Jangan kau hiraukan ibumu" berkata Ki Tumenggung.
"Ibumu telah berkhianat terhadap kita sekeluarga. Karena itu
aku datang menjemputmu"
"Tidak. Aku tidak mau pergi. Aku akan tinggal disini
bersama Ibu" "Ia bukan ibumu lagi. Laki-laki itu telah merampas
kesetiaannya sebagai seorang ibu"
"Tidak. Ibu tidak pernah berkhianat"
"Kau masih terlalu kecil untuk mengerti"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, Ayah. Aku tidak akan pergi. Aku akan tinggal
bersama Ibu, apapun yang terjadi"
Ki Tumenggung menjadi marah. Dengan lantang iapun
berkata, "Baik. Baik. Jika kau lebih senang ikut bersama
ibumu. Sekarang ibumu berkhianat terhadap suaminya. Besok
ibumu akan berkhianat pula terhadap anak-anaknya. Kau akan
ditinggalkannya untuk mengikuti laki-laki yang diinginkannya"
"Ayah" potong anak perempuannya. Anak itu sudah bukan
kanak-kanak lagi. Tetapi ia sudah meningkat remaja, sehingga
nalarnya sudah mulai berkembang.
Ki Tumenggung ternyata tidak menghiraukannya lagi.
Iapun kembali berpaling kepada laki-laki yang terbaring
lemah. "Bangkit, laki-laki jahanam. Kalau kau tidak mau bangkit,
aku tusuk perutmu sampai ke punggung"
Seorang pengawal Ki Tumenggung mengguncang tubuh Ki
Waskita dengan kakinya. "Bangkit. Ikut kami. Kau akan
memasuki satu kehidupan yang tidak pernah kau bayangkan.
Dunia yang paling pantas bagi laki-laki jahanam seperti kau"
Ki Waskita tidak mempunyai pilihan lain. Dengan susah
payah iapun bangkit. Sementara itu keris Ki Tumenggung
segera melekat di punggungnya.
"Berjalan" bentak Ki Tumenggung.
Tertatih-tatih Ki Waskita berjalan diapit oleh dua orang
pengawal Ki Tumenggung, sementara itu di belakangnya Ki
Tumenggung berjalan dengan mengacukan keris di
punggungnya. Nyi Tumenggung tidak dapat berbuat apa-apa. Apapun
yang dilakukannya pasti salah. Karena itu, maka Nyi
Tumenggung itu telah memilih untuk berdiam diri saja.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung dan kedua orang
pengawalnya telah membawa Ki Waskita keluar lewat pintu
butulan. Seorang dari kedua pengawal itu memberitahukan
kepada memilik rumah yang beradu sudut dengan rumah Ki
Tumenggung, bahwa Ki Tumenggung tidak singgah di rumah
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malam terasa sunyi. Angin malam bertiup perlahan-lahan
menggoyang dedaunan. Dengan hati-hati Ki Tumenggung membawa Ki Waskita
menyusuri lorong-lorong sempit Ketika mereka akan
menyeberangi jalan yang lebih lebar, maka Ki Tumenggung
itupun berkata, "Tutup matanya. Meskipun umurnya tidak
akan panjang lagi, tetapi aku tidak ingin ia mengetahui,
dimana kita bersembunyi selama ini"
Seorang di antara kedua pengawal Ki Tumenggung itupun
menyambar ikat kepala Ki Waskita. Ditutupnya matanya dan
bahkan kemudian diikatnya pula tangannya.
Dengan nada berat Ki Waskita itupun berkata, "Kenapa kau
tidak jadi membunuhku saja di rumahmu tadi Ki
Tumenggung?" "Kau kira aku benar-benar akan membunuhmu?" sahut Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. "Jika aku menarik kerisku, aku
hanya ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh perempuan
itu. Ternyata ia tidak dapat membiarkan kau mati. Kau tahu
itu?" Ki Waskita yang matanya telah tertutup dan tangannya
terikat itupun berkata, "Barangkali akan lebih baik jika kau
membunuhku saja" "Kau menjadi ketakutan" Seharusnya kau bersikap seperti
seorang laki-laki yang berani menghadapi akibat apapun dari
tingkah lakumu sendiri. Tetapi agaknya kau akan
menyenangkan sekali. Bukan saja bagiku, tetapi juga bagi
kawan-kawanku" Seorang pengawal Ki Tumenggung itu berkata, "Aku ingin
melihat wajahmu menjadi putih seperti kapas karena
ketakutan. Aku ingin melihat tubuhmu basah kuyup oleh
keringat dingin sehingga kau menggigil seperti orang
kedinginan" "Tubuhmu tidak lagi berdarah jika kami menggoreskan
pisau mengoyak kulitmu, karena perasaan takutmu itu"
Ki Tumenggung Sarpa Biwada serta kedua orang
pengawalnya itupun tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Waskita tidak menyahut. Dengan mata tertutup serta
tangan terikat, Ki Waskita itupun didorong untuk berjalan
terus. Setelah menyeberangi jalan yang lebih besar, mereka
masuk kembali ke sebuah lorong sempit. Mereka merayap
perlahanlahan di atas lorong berbatu-batu padas. Sekali-sekali kaki Ki Waskita itu terantuk batu sementara punggungnya
didorong oleh para pengawal Ki Tumenggung, sehingga Ki
Waskita itu jatuh tertelungkup.
Ki Tumenggung dan kedua orang pengawalnya itu masih
saja menertawakannya. Meskipun mereka menahan diri agar
suara tertawanya tidak terdengar oleh orang-orang yang
sudah tertidur di dalam rumah mereka di sebelah-menyebelah
lorong itu. Rumah-rumah itu pada umumnya adalah rumah-rumah
yang sederhana saja. Halamannya sempit, dinding
halamannya rendah dan tidak terpelihara, tanpa regol
halaman dan berkesan kumuh.
Beberapa lama Ki Waskita berjalan dengan mata tertutup
dan tangan terikat. Sementara itu, lorong yang mereka
laluipun berkelok-kelok, sulit untuk dapat diingat.
Di dini hari, selagi suasana masih sepi, Ki Waskita telah
didorong masuk ke dalam sebuah halaman rumah yang
berada di pinggir lorong itu.
Ki Waskita merasakan kakinya terantuk pada tlundak pintu
lereng yang terbuat dari bambu. Kemudian iapun merasa
berjalan di atas sasak bambu beberapa langkah. Namun
kemudian Ki Waskita itupun harus menuruni tangga bambu
melalui lubang yang sempit.
"Ruangan di bawah tanah" berkata Ki Waskita di dalam
hatinya. Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita telah dilemparkan ke
sebuah ruangan yang dibuat di bawah tanah. Sebuah lubang
yang besar dengan tiang-tiang serta tulang-tulang bambu
petung yang kokoh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu, penutup mata Ki
Waskita itupun dibuka. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Yang berdiri di
depannya adalah salah seorang pengawal Ki Tumenggung
Sarpa Biwada. Namun Ki Waskita tidak melihat Ki
Tumenggung itu sendiri. "Tinggallah untuk sementara di lubang ini" berkata
pengawal Ki Sarpa Biwada itu.
Ki Waskita tidak menjawab.
"Besok kau akan mulai memasuki masa-masa yang
barangkali tidak pernah kau bayangkan. Ki Tumenggung Sarpa
Biwada akan mendapat keputusan yang sangat besar dengan
kehadiranmu disini, sehingga kami tidak membunuhmu di
rumah Ki Tumenggung itu"
Ki Waskita masih tetap diam saja.
"Jangan mencoba untuk berbuat sesuatu yang dapat
merugikan dirimu sendiri. Ruang di bawah tanah ini memang
kokoh. Tetapi jika kau mencoba keluar dari ruangan ini, ada
kemungkinan langit-langit dari ruangan ini akan runtuh,
sehingga kau akan terkubur hidup-hidup di dalamnya"
Ki Waskita memandang orang itu dengan pandangan
kosong. Seakan-akan tidak ada gejolak perasaannya sama
sekali menghadapi keadaan yang sangat gawat itu.
"Nampaknya kau sudah berputus asa" berkata pengawal
itu. "Tetapi perjalananmu masih belum berakhir meskipun kau
sudah sampai ke ujung"
Karena Ki Waskita tetap saja berdiam diri, maka pengawal
Ki Tumenggung itupun berkata, "Kau masih punya waktu
sedikit untuk menikmati ketenangan. Sekarang Ki
Tumenggung sedang beristirahat. Besok, setelah matahari
naik, ia akan mulai dengan permainannya yang sangat
menyenangkan. Ki Tumenggung telah menyiapkan beberapa
jenis alat yang akan membuat permainannya sangat menarik"
Ki Waskita masih saja diam bagaikan membeku.
Namun pengawal Ki Tumenggung itupun melangkah ke
tangga bambu yang masih tersandar pada dinding ruang di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bawah tanah yang lembab itu. Kemudian iapun memanjat naik
sambil berkata, "Lampu minyak itu tidak akan mati. Kau juga
tidak akan mati lemas, karena ada udara yang cukup di ruang
ini. Tutup lubang itu tidak akan terlalu rapat"
Baru kemudian Ki Waskita itupun berdesis, "Apakah kau
tidak akan melepaskan tali yang mengikat tanganku ini?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Apakah jika tali pengikat
tanganmu itu dilepas, kau akan dapat melarikan diri?"
Ki Waskita menggeleng. Katanya, "Aku tahu, bahwa tidak
mungkin aku dapat lari dari ruangan ini"
"Jadi, bukankah sama saja, apakah tanganmu terikat atau
tidak?" "Ada bedanya" jawab Ki Waskita, "jika aku digigit nyamuk,
aku akan dapat menggaruknya"
"Setan kau" geram pengawal itu.
Tetapi pengawal itu tidak menghiraukan Ki Waskita lagi.
Sejenak kemudian orang itu sudah naik ke atas. Kemudian
ditariknya tangga bambu yang bersandar di dinding lubang itu
ke atas. Sejenak kemudian, maka lubang itupun telah tertutup oleh
beberapa lembar papan yang tebal. Di atas papan itu
kemudian diletakkan sasak bambu seperti sasak di depan
pintu. Sasak yang biasa dipasang di lantai rumah berkeliling
untuk mencegah seorang pencuri masuk dengan membuat
lubang di bawah bebatur rumah.
Demikian lubang itu tertutup kembali, maka Ki Waskitapun
berusaha mendapatkan tempat yang tidak terlalu lembab.
Dengan tangan masih terikat Ki Waskita itu duduk bersandar
tiang penyangga tulang-tulang kerangka ruang di bawah
tanah itu. Seperti yang dikatakan oleh pengawal Ki
Tumenggung, bahwa lampu itu memang tidak mati. Agaknya
udara masih tetap mengalir masuk ke ruang di bawah tanah
itu lewat sela-sela papan sasak anyaman bambu yang tidak
terlalu rapat menutup lubang ruangan di bawah tanah itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa saat Ki Waskita duduk berdiam diri. Lampu
minyak yang terletak di atas ajug-ajug menyala dengan
terangnya, menerangi seluruh ruangan itu.
Sementara itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada sedang
berbaring di dalam ruangan yang sempit, seakan-akan
dihimpit oleh dinding bambu di sebelah-menyebelah. Ternyata
ruangan itupun ruangan rahasia pula. Dinding yang
memisahkan ruangan dalam dengan serambi samping
ternyata rangkap. Hanya ada rongga sempit di dalamnya berisi
sebuah amben kecil yang panjang. Disitulah Ki Tumenggung
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sarpa Biwada tidur. Ketika para prajurit Pajang memasuki rumah itu, mereka
memang tidak menemukan apa-apa. Merekapun tidak tahu,
bahwa di dalam rumah itu ada dinding yang rangkap sehingga
di sela-selanya dapat dipergunakan untuk bersembunyi
seseorang. Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah mengalami dua kali
penggeledahan atas rumah itu. Tetapi para prajurit yang
memasuki rumah itu tidak dapat menemukan apa-apa. Ki
Tumenggung sendiri berada di antara dinding rumah itu,
sementara beberapa orang pengawalnya berada di bawah
tanah. Adapun lubang di atasnya tertutup oleh beberapa lembar
papan yang kemudian di atasnya ditindih dengan sasak itu, di
atasnya lagi disamarkan dengan sebuah amben bambu yang
panjang. Di sisa malam itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidur di
dalam ruangan sempitnya itu. Sementara itu di atas lubang
yang tertutup oleh sasak dari anyaman bambu itu telah
diletakkan amben panjang pula.
Di dalam ruangan di bawah tanah, Ki Waskita berusaha
untuk menemukan kemungkinan melepaskan diri. Tetapi
ruangan itu benar-benar rapat. Satu-satunya lubang adalah
lubang yang telah ditutup rangkap serta berada di bawah
kolong amben bambu panjang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah ketika fajar menyingsing di hari berikutnya,
padukuhan itupun mulai terbangun pula. Tetapi Ki
Tumenggung sendiri masih tidur dengan nyenyaknya.
Sementara itu kedua pengawalnya bersama dengan seorang
lagi, yang berperan sebagai pemilik rumah itu, tidur di ruang
belakang. Sedangkan istri laki-laki itu berada di sentong
sebelah kanan dari tiga buah sentong yang berjajar
memanjang itu. Pada saat-saat terakhir mereka sudah merasa lebih aman
karena Pajang tidak lagi terlalu sering mengadakan
pencaharian langsung dari rumah ke rumah. Apalagi ketika
Harya Wisaka dinyatakan sudah meninggal.
Namun mereka menjadi lebih berhati-hati sejak beberapa
orang mereka terbunuh oleh Paksi.
Di dalam ruang di bawah tanah Ki Waskita tidak begitu
dapat mengenali waktu. Ia sama sekali tidak melihat sinar
matahari yang kemudian terbit, sehingga Ki Waskita itu tidak
tahu, bahwa mataharipun sudah terbit.
Kedua pengawal Ki Tumenggung yang kemudian
terbangun, harus menahan kesabaran mereka. Mereka
menunggu Ki Tumenggung mulai dengan permainannya
dengan orang yang berada di ruang di bawah tanah itu.
Tetapi Ki Tumenggung baru terbangun ketika matahari naik
sepenggalah. Kemudian duduk di ruang dalam sambil minum
minuman hangat. "Sudah siang, Ki Tumenggung" berkata salah seorang
pengawalnya. "Jangan tergesa-gesa. Kita akan minum dan makan pagi
lebih dahulu. Baru kemudian kita bermain-main dengan laki-
laki itu" Kedua pengawalnya itupun mengangguk-angguk.
Sementara itu laki-laki dan istrinya yang menghuni rumah itu
telah menyiapkan makan pagi bagi mereka.
Baru setelah makan pagi, Ki Tumenggung itupun bersiap-
siap untuk mulai dengan permainannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun seorang dari kedua pengawalnya telah
diperintahkannya untuk memberitahukan kepada beberapa
orang pengikut Harya Wisaka yang berada di rumah yang lain,
yang tidak terlalu jauh dari rumah yang dipergunakan oleh Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Sekelompok orang yang
berpindah-pindah tempat. Namun seorang penghubung yang
sempat menyusup dan berada di lingkungan keprajuritan,
selalu dapat memberikan peringatan kepada mereka apabila
akan ada peronda yang lewat atau akan ada pencaharian dari
rumah ke rumah. Mereka tidak mendapatkan tempat bersembunyi sebaik Ki
Tumenggung Sarpa Biwada karena jumlah mereka yang cukup
banyak. Namun mereka masih juga mampu menyamarkan diri
di antara para penghuni di padukuhan itu.
"Aku akan ikut" berkata pemimpin sekelompok orang itu.
"Ki Tumenggung tidak memberikan perintah seperti itu"
"Aku akan minta kepada Ki Tumenggung. Senang sekali
dapat menangkap orang penting seperti Ki Waskita"
"Ki Tumenggung mempunyai dendam pribadi"
"Kita semua mendendam orang-orang yang setia kepada
Sultan Hadiwijaya" "Tetapi Ki Tumenggung ingin membuat perhitungan atas
persoalan pribadi mereka"
"Apapun yang akan dilakukan Ki Tumenggung. Tetapi aku
akan ikut" "Terserah kepada Ki Tumenggung. Tetapi aku datang untuk
memperingatkan, agar kau dan orang-orangmu berhati-hati"
"Kami selalu berhati-hati"
"Jangan biarkan anak laki-laki Ki Tumenggung itu pergi
dengan siapapun juga"
"Anak itu tidak ingin pergi kemana-mana"
Pengawal Ki Tumenggung itu tidak dapat mencegahnya.
Pemimpin dari para pengikut Harya Wisaka itupun
mengikutinya kembali ke rumah yang dipergunakan oleh Ki
Tumenggung Sarpa Biwada untuk bersembunyi. Ia akan ikut
serta dalam sebuah permainan yang tentu akan mengasikkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika mereka sampai di rumah yang dipergunakan oleh Ki
Tumenggung itu, maka pemimpin dari para pengikut Harya
Wisaka itupun segera menyatakan diri kepada Ki Tumenggung
untuk ikut turun ke ruangan di bawah tanah.
Ki Tumenggung itupun tersenyum. Katanya, "Tetapi akulah
yang berkepentingan dengan orang itu. Kau tidak oleh
menggangguku" "Tidak, Ki Tumenggung. Aku tidak akan mengganggu Ki
Tumenggung. Aku hanya akan ikut serta. Aku akan
menyesuaikan diri dengan kepentingan pribadi Ki
Tumenggung" "Baiklah. Kita akan membawa orang itu ke kebun belakang.
Di halaman yang kosong di antara rumpun-rumpun bambu
yang lebat. Tidak akan ada orang yang melihatnya dan
seandainya orang itu berteriak-teriak, tidak akan ada yang
mendengarnya" "Baik, Ki Tumenggung. Disana pula aku dua hari yang lalu
membantai dua orang prajurit Pajang. Mereka berteriak-teriak
sekuat tenaga. Tetapi tidak ada orang yang mendengarnya"
"Baiklah" berkata Ki Tumenggung yang lalu memerintahkan
kepada kedua pengawalnya, "Ambil orang itu. Kita akan
membawanya ke sela-sela rumpun bambu di kebun kosong
itu" "Baik, Ki Tumenggung"
"Tetapi ingat. Aku tidak ingin ia mati hari ini"
"Ya. Aku mengerti"
Sejenak kemudian, maka kedua orang pengawal Ki
Tumenggung itupun telah turun ke ruang di bawah tanah
untuk mengambil orang yang terikat tangannya di ruang itu.
Sementara itu, Ki Tumenggung dan pemimpin sekelompok
pengikut Harya Wisaka itupun menunggu sambil duduk di
serambi depan. Dalam pada itu, istri penghuni rumah itupun tiba-tiba
berlari-lari turun ke halaman, sehingga dengan serta-merta Ki
Tumenggungpun memanggilnya, "He, kau akan pergi
kemana?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Penjual jamu gandring itu lewat, Ki Tumenggung"
"Setiap hari kau membeli jamu gandring. Apakah kau tidak
pernah merasa bosan?"
Perempuan itu tersenyum. Ia memang selalu membeli jamu
gandring yang dapat membuat tubuhnya menjadi hangat.
Namun ketika ia turun ke jalan, maka yang dilihatnya penjual
Senopati Pamungkas 13 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Golok Naga Kembar 2
sambil membawa kuda beban yang membawa gerabah itu.
Sedangkan beberapa orang yang mengerumuninya telah pergi
pula seorang demi seorang.
Demikian para prajurit itu pergi, maka Raden Sutawijaya
telah mengajak Pangeran Benawa dan Paksi melanjutkan
perjalanan. "Kau tidak apa-apa, Paksi?" bertanya Pangeran Benawa.
"Tidak, Pangeran" jawab Paksi.
Bertiga merekapun melanjutkan perjalanan menuju ke
rumah Ki Gede Pemanahan. Ketika mereka sampai di rumah
itu, maka merekapun segera memberikan laporan kepada Ki
Gede tentang peristiwa yang dialami oleh Paksi ketika ia
menjajakan gerabah dengan kuda bebannya.
"Sukurlah bahwa kau berhasil mengatasi mereka bertiga,
Paksi" "Ya, Ki Gede. Aku mengucap sukur atas perlindungan Yang
Maha Agung" "Apakah mereka bertiga mengenalimu?"
"Ya, Ki Gede. Mereka mengenali aku, anak Tumenggung
Sarpa Biwada" "Apakah mereka akan menangkapmu atau membunuhmu?"
"Agaknya perintah yang mereka terima adalah
membunuhku di tempat. Tidak menangkapku"
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam iapun berkata, "Bagaimana mungkin Ki
Tumenggung itu memerintahkan untuk membunuh anaknya?"
"Tetapi itulah yang terjadi, Ki Gede" sahut Paksi.
"Baiklah. Kau beristirahat disini. Biarlah nanti prajurit
penghubung pergi ke padepokan di Hutan Jabung untuk
memberitahukan bahwa kalian bertiga tidak pulang malam ini,
sehingga Ki Panengah dan Ki Waskita tidak menjadi gelisah"
Demikianlah, maka malam itu Paksi berada di rumah Ki
Gede Pemanahan. Di rumah Ki Gede, Paksi mendapat
pengobatan yang lebih baik. Bukan sekedar obat yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditaburkan di atas luka-lukanya saja, tetapi iapun mendapat
minuman yang dapat memacu pulihnya kekuatannya.
"Kau harus makan yang banyak" berkata Raden Sutawijaya
ketika mereka makan malam, "dengan demikian kekuatanmu
akan segera pulih kembali"
Paksi tersenyum. Sambil menyenduk nasi ke mangkuknya
ia berkata, "Aku berani bertaruh, siapkah yang terbanyak
makan di antara kita"
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tertawa. Tetapi
sebenarnyalah mereka bertiga makan dengan lahapnya.
Malam itu mereka bertiga dapat tidur dengan nyenyak.
Meskipun Paksi beberapa kali terbangun oleh perasaan pedih
yang masih terasa di luka-lukanya, namun kemudian iapun
segera tertidur lagi. Ketika mereka bangun di pagi-pagi sekali, keadaan Paksi
sudah menjadi semakin baik. Tenaganya serasa telah tumbuh
kembali, meskipun belum utuh. Namun Paksi tidak lagi merasa
dirinya terlalu lemah. Tetapi ternyata Raden Sutawijaya minta agar mereka tidak
segera kembali ke padepokan hari itu juga. Ia masih
memikirkan keadaan Paksi yang masih belum pulih
sepenuhnya. "Tetapi Hutan Jabung itu tidak terlalu jauh" berkata Paksi
kepada Raden Sutawijaya. "Bukan jaraknya, tetapi kita bisa bertemu dengan para
pengikut Harya Wisaka. Jika mereka tahu kaulah yang
membunuh ketiga orang pengikutnya, maka mereka tentu
sangat mendendammu" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih sempat
berkata, "Jika saja aku dapat menangkap mereka hidup-hidup
atau salah seorang dari mereka"
"Jangan kau sesali" berkata Pangeran Benawa. "Sulit
bagimu untuk melakukannya. Jika sedikit saja kau salah
hitung, maka kaulah yang akan menjadi korban"
Paksi tidak menjawab. Tetapi ia tidak memaksa untuk
kembali ke padepokan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hari itu, Paksi benar-benar beristirahat bersama Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa bahkan
tidak pergi ke istana. Ia tetap saja berada di rumah Ki Gede
Pemanahan. Selain beristirahat dengan baik, Paksipun mendapat obat
yang ternyata dapat bekerja dengan sangat baik bagi
tubuhnya. Kekuatannya tumbuh semakin pesat sehingga rasa-
rasanya telah pulih kembali.
Setiap kali Paksi makan bersama Raden Sutawijaya dan
Pangeran Benawa, maka mereka selalu mendorong Paksi
untuk makan sebanyak-banyaknya. Baru pada hari berikutnya,
merekapun minta diri untuk kembali ke Hutan Jabung.
Ketika mereka minta diri kepada Ki Gede Pemanahan, maka
Ki Gede itupun bertanya, "Kalian tidak membawa kuda?"
"Tidak, Ayah. Kami kemarin lusa membawa kuda beban
yang agaknya telah diambil oleh sekelompok prajurit"
Ki Gede tersenyum, iapun kemudian bertanya kepada
Raden Sutawijaya, "Apakah kalian akan membawa kuda?"
"Tidak, Ayah" Raden Sutawijaya menggeleng. "Kami akan
berjalan kaki saja. Bukankah Hutan Jabung tidak terlalu jauh.
Bahkan mungkin kami dapat melihat sesuatu yang berarti di
sepanjang perjalanan kami"
"Berhati-hatilah. Mungkin kalian menjumpai sesuatu yang
berarti. Tetapi mungkin pula kalian menjumpai orang-orang
yang sedang mendendam itu"
"Baik, Ayah" jawab Raden Sutawijaya.
"Bagaimana keadaanmu, Paksi?" bertanya Ki Gede.
"Keadaanku sudah berangsur baik, Ki Gede" jawab Paksi.
"Apakah tenagamu sudah pulih kembali?"
"Meskipun belum sepenuhnya, tetapi sudah cukup
memadai, Ki Gede" "Baiklah. Jika demikian, pergilah"
Demikianlah beberapa saat kemudian, ketiga orang itupun
telah meninggalkan rumah Ki Gede Pemanahan. Mereka tidak
langsung keluar gerbang kota. Tetapi dengan penyamaran
mereka, ketiganya berjalan-jalan lebih dahulu di dalam kota.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi mereka tidak menjumpai sesuatu yang menarik
perhatian mereka. Mereka tidak melihat laki-laki yang memikul
bahan pangan atau membawa di atas kepalanya bakul berisi
beras atau jagung. Nampaknya setelah ketiga orangnya
terbunuh, Harya Wisaka menjadi semakin berhati-hati.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka ketiga orang
itupun kemudian keluar dari pintu gerbang kota yang
mendapat pengawasan yang seksama. Namun tidak seorang
pun di antara para prajurit yang bertugas yang dapat
mengenali Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi
meskipun setiap orang yang lewat, keluar atau masuk,
diperhatikan oleh para penjaga pintu gerbang dengan
saksama. Bahkan orang-orang yang duduk di dalam pedatipun
tidak luput dari pengawasan.
Namun yang ditanamkan kepada para prajurit yang
bertugas itu adalah ciri-ciri Harya Wisaka dan beberapa orang
pengikutnya yang terpenting. Karena itu, mereka yang tidak
sesuai dan bahkan tidak mendekati ciri-ciri yang telah mereka
ketahui itu, seakan-akan tidak lagi mendapat banyak
perhatian. Di perjalanan kembali ke padepokannya, Raden Sutawijaya,
Pangeran Benawa dan Paksi itu tidak mendapat hambatan
yang berarti. Sementara itu, keadaan Paksipun telah menjadi
benar-benar hampir pulih. Ia tidak merasa letih dalam
perjalanannya kembali ke Hutan Jabung. Luka-lukanyapun
sudah tidak terasa nyeri lagi, meskipun masih harus mendapat
pengobatan. Kedatangan mereka disambut oleh Ki Panengah, Ki Waskita
dan Ki Kriyadama serta para penghuni padepokan itu. Bahkan
dua tiga orang pemimpin prajurit yang ikut bekerja di
padepokan itu telah menyambutnya pula.
"Menurut prajurit penghubung yang memberitahukan
bahwa kalian tidak dapat pulang. Paksi telah terluka parah"
berkata Ki Panengah. "Ya, Guru" jawab Paksi. "Tetapi luka itu sudah mulai
membaik. Aku mendapat obat dari Ki Gede Pemanahan"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sukurlah" Ki Kriyadama mengangguk-angguk. "Meskipun
demikian, kau harus masih banyak beristirahat"
"Ya, Ki Kriyadama" Paksi mengangguk-angguk.
Sementara itu Ki Waskita telah langsung melihat luka-luka
Paksi. Namun katanya kemudian, "Tentu sudah jauh lebih baik
dari saat kau terluka"
"Ya, Guru" jawab Paksi.
"Sekarang beristirahatlah. Pengobatan itu harus
dilanjutkan. Apakah kau mendapat obatnya dari Ki Gede?"
"Ya, Guru" "Bagus. Dalam tiga empat hari, maka segala-galanya tentu
sudah akan pulih kembali. Luka-luka ini sudah akan sembuh.
Mungkin masih tersisa. Tetapi sudah tidak akan berpengaruh
apa-apa lagi" "Ya, Guru" Paksipun kemudian telah pergi ke biliknya. Seperti yang
dikatakan oleh Ki Waskita, Ki Panengah dan Kriyadama,
Paksipun harus banyak beristirahat.
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berada di bilik
Paksi itu sejenak, namun merekapun kemudian telah keluar
lagi. Pangeran Benawa masih juga sempat berpesan, agar Paksi
tidak usah memikirkan apa-apa lagi.
"Untuk sementara kita lupakan saja Paman Harya Wisaka"
"Ya, Pangeran" "Tidur adalah salah satu pengobatan yang baik. Darahmu
sudah terlalu banyak keluar. Meskipun kau merasa bahwa
tenagamu sudah akan pulih kembali, tetapi karena darahmu
terlalu banyak terperas dari luka-lukamu, kau masih
memerlukan waktu untuk dapat pulih kembali"
"Ya, Raden" Ketika Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa keluar dari
bilik Paksi, maka Paksi memang membaringkan tubuhnya di
amben bambu. Sebenarnya ia memang merasa letih setelah
menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh. Dalam keadaan
yang wajar, ia tidak akan merasa letih meskipun harus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menempuh perjalanan sepuluh kali lipat. Tetapi pada saat
darahnya telah banyak terperas, maka rasa-rasanya
tenaganyapun menyusut. Karena itu, maka Paksipun sadar, bahwa ia harus banyak
beristirahat untuk dapat menjadi pulih segala-galanya. Namun
ketika Paksi itu tinggal berbaring sendiri di dalam biliknya,
maka angan-angannyapun mulai merambah keluarganya. Ia
mulai mengingat-ingat lagi bagaimana adiknya berkata
kepadanya, bahwa Paksi bukanlah kakaknya. Pengakuan
ibunya serasa terngiang kembali di telinganya, bahwa Paksi
memang bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ingatan itu telah membuat Paksi menjadi gelisah. Dengan
susah payah ia berusaha untuk melupakannya. Setidak-
tidaknya untuk sementara. Ia ingin tubuhnya menjadi pulih
kembali tanpa terhambat oleh kegelisahan yang mencengkam
jantungnya. Tetapi Paksi tidak berhasil. Bahkan ingatannya tentang
kata-kata adiknya dan pengakuan ibunya itu terasa semakin
dalam tertanam di dalam hatinya.
"Ah" Paksipun segera bangkit. Udara terasa menjadi
semakin panas. Justru karena itu, maka Paksipun telah
bangkit dan melangkah keluar. Bahkan kemudian Paksipun
duduk di serambi belakang.
Paksi masih mendengar kesibukan orang-orang yang
sedang bekerja menyelesaikan padepokan di dekat Hutan
Jabung itu. Sebagian besar dari bangunannya sudah berdiri dengan
kokohnya. Hari itu Paksi masih dapat menahan diri dan
menyimpan persoalannya di dadanya. Ketika kemudian Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa minta Paksi masuk ke dalam
biliknya, Paksipun berkata, "Udara terasa panas sekali di
dalam bilik" Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak
memaksanya. Agaknya di luar udara terasa lebih sejuk.
Apalagi jika angin bertiup dari arah Hutan Jabung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika tekanan perasaannya itu memuncak, maka Paksipun
telah menemui Ki Panengah dan Ki Waskita di dalam ruang
khusus mereka. "Aku ingin berbicara dengan guru berdua" berkata Paksi
kemudian. "Apa yang akan kau bicarakan, Paksi?"
"Tentang diriku sendiri, Guru" jawab Paksi.
Ki Panengah dan Ki Waskita mengerutkan dahinya.
Sementara Paksipun berkata, "Tetapi tidak dengan orang lain.
Bahkan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa sekalipun"
"Apakah ada rahasia yang menyelimuti dirimu?" bertanya Ki
Waskita. "Ya. Dan itu terasa sangat menyakitkan, Guru"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Malam nanti, setelah kita keluar dari sanggar"
Paksi mengangguk-angguk. Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin rendah,
maka mereka yang mengerjakan padepokan itupun telah
menyelesaikan pekerjaan mereka untuk hari itu. Merekapun
pergi membersihkan tubuh mereka. Kemudian membenahi
pakaian. Para cantrikpun telah beristirahat pula. Nanti, pada saat
malam turun, mereka akan berada di dalam sanggar. Mereka
berada di Hutan Jabung tidak semata-mata untuk
mengerjakan padepokan yang akan mereka pergunakan itu
saja. Tetapi merekapun harus meningkatkan kemampuan dan
ilmu mereka. Ketika malam turun, maka seperti biasanya para cantrik
telah bersiap untuk berlatih di dalam sanggar di bawah
tuntunan sebagian oleh Ki Panengah dan sebagian oleh Ki
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waskita. Sebagian mempergunakan sanggar tertutup dan
sebagian mempergunakan sanggar terbuka di halaman
padepokan yang lama. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah berada di
antara mereka pula. Raden Sutawijaya berada di sanggar
bersama Ki Panengah, sedangkan Pangeran Benawa berada di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam sanggar bersama Ki Waskita. Mereka membantu Ki
Panengah dan Ki Waskita menuntun para cantrik
meningkatkan ilmu mereka.
Sementara itu Paksi masih belum ikut dalam latihan-latihan
yang berat karena luka-lukanya serta tubuhnya yang belum
pulih sepenuhnya. Namun menjelang tengah malam, setelah latihan-latihan itu
selesai, serta Ki Panengah dan Ki Waskita telah mandi, maka
Paksipun menghadap keduanya di dalam bilik khususnya.
"Paksi" berkata Ki Panengah, "apa yang akan kau
sampaikan kepada kami" Nampaknya kau telah membawa
beban perasaan yang sangat berat"
"Ya, Guru" desis Paksi. "Aku merasa tidak kuat untuk
memikulnya. Aku ingin menyampaikannya kepada guru
berdua, agar beban itu terasa berkurang. Aku mohon
petunjuk-petunjuk, apa yang sebaiknya aku lakukan"
"Katakan, Paksi" desis Ki Panengah.
Paksipun kemudian telah menceriterakan, bahwa ia telah
bertemu dengan adiknya. Namun ternyata bahwa dalam
pertemuan itu jantungnya telah ditikam oleh satu kenyataan
yang sangat pahit. "Guru, ternyata aku bukan anak Ki Tumenggung Sarpa
Biwada" Ki Panengah dan Ki waskita saling berpandangan. Dahi
merekapun berkerut. Mereka memandang Paksi dengan dada
yang berdebaran. Paksi menundukkan kepala dalam-dalam. Dadanya terasa
bergetar semakin cepat. "Tenangkan hatimu, Paksi" berkata Ki Panengah.
"Kenyataan ini memang sangat pahit. Tetapi bukankah lebih
baik bagimu untuk mengetahui dengan pasti, siapakah dirimu,
daripada selalu berteka-teki tentang sikap Ki Tumenggung
Sarpa Biwada yang selalu mengancammu?"
"Aku sama sekali tidak menghiraukan, apakah aku
terancam atau tidak, Guru. Tetapi aku harus menerima
kenyataan tentang ibuku. Selain itu, jika aku telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memecahkan satu teka-teki yang rumit, namun aku telah
menghadapi teka-teki lain yang lebih rumit lagi"
"Teka-teki apa lagi, Paksi?"
"Teka-teki siapakah ayahku itu. Ibu sama sekali tidak mau
memberikan petunjuk. Bahkan ibu mengatakan bahwa ayahku
itu sudah tidak berada di Pajang lagi"
"Kemana ayahmu itu menurut ibumu, Paksi?" bertanya Ki
Panengah. Paksi menarik nafas dalam sekali. Katanya, "Guru, ibu tidak
mau berbicara tentang ayahku"
Paksipun kemudian mengulangi kata-kata ibunya tentang
laki-laki yang sebenarnya adalah ayahnya.
Ki Panengah dan Ki Waskita termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Ki Waskitapun berkata, "Sudahlah, Paksi.
Betapapun pahitnya, kau tidak dapat merubah kenyataan yang
telah terjadi itu. Kau harus menerimanya dengan dada yang
lapang" Paksi mengangguk. Katanya, "Ya, Guru. Aku harus
menerima kenyataan tentang diriku sendiri dan terutama
tentang ibuku. Tetapi apakah sudah sepantasnya, bahwa aku
untuk selanjutnya tidak mengenal siapakah ayahku?"
"Kau mendendamnya?" bertanya Ki Waskita.
"Buat apa aku mendendamnya, Guru. Yang terjadi sudah
terjadi, sementara ibu menganggap bahwa laki-laki itu tidak
bersalah. Bahkan ibu justru menyalahkan dirinya sendiri"
"Sudahlah, Paksi"
"Menurut ibu, kakek hampir membunuhnya" Kakek tidak
dapat menerima dengan ikhlas kenyataan tentang ibuku.
Tentu saja bukan hanya kakek. Tetapi semua orang tidak
dapat menerima dengan ikhlas kenyataan itu"
"Aku mengerti, Paksi" berkata Ki Panengah. "Namun untuk
sementara kau dapat mengesampingkan persoalan itu. Untuk
sementara. Yang segera harus kau lakukan, bagaimana kau
bersikap terhadap Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang
sebenarnya bukan ayahmu itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku memang tidak mau dibunuhnya, Guru. Tetapi
bagaimanapun juga ia sudah mengangkat ibu dari genangan
lumpur. Meskipun mungkin Ki Tumenggung Sarpa Biwada
mempunyai pamrih, tetapi kehadirannya dalam kehidupan
ibuku telah memberikan arti tersendiri. Aku tidak dapat
membayangkan apa jadinya seandainya Ki Sarpa Biwada itu
tidak mau menikahi ibu pada waktu itu"
"Sudahlah, Paksi. Sudahlah" potong Ki Panengah. "Seperti
yang aku katakan, untuk sementara kau dapat
mengesampingkan persoalan pribadimu"
"Itukah yang terbaik bagiku saat ini, Guru?"
Ki Panengah termangu-mangu sejenak. Namun Ki
Panengah itupun kemudian menyahut, "Untuk sementara,
Paksi. Untuk sementara saja"
"Tetapi, Guru. Bagaimana pendapat Guru, apakah dalam
persoalan itu hanya ibu saja yang bersalah sebagaimana
dikatakan oleh ibu" Apakah laki-laki yang membuat ibu hamil
sebelum menikah itu tidak bersalah?"
"Tentu ia juga bersalah, Paksi" sahut Ki Waskita. "Salahnya
sama besarnya dengan kesalahan ibumu. Tidak seharusnya
ibumu menyalahkan dirinya sendiri"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi Ki
Panengah berkata, "Paksi, jangan kau biarkan dirimu
tenggelam ke dalam persoalan itu. Sebaiknya kau bangkit
untuk menghadapi hari-harimu saat ini. Kau, Raden
Sutawijaya dan Pangeran Benawa"
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti, Guru"
"Bukan berarti bahwa kau harus menghapusnya sama
sekali. Tetapi seperti yang sudah aku katakan beberapa kali, untuk
sementara, Paksi" "Ya, Guru" "Tetapi untuk selanjutnya aku berjanji, bahwa aku akan
membantumu" "Terima kasih, Guru"
"Kau tidak sendiri, Paksi" berkata Ki Waskita. "Yakinlah itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi mengangguk sambil berdesis, "Ya, Guru"
"Nah, apakah masih ada yang ingin kau sampaikan?"
"Tidak, Guru. Aku sudah mengatakannya semuanya. Guru
berdua tahu, beban apakah yang sekarang aku pikul. Mudah-
mudahan aku tidak tertimbun di dalamnya"
"Sudah aku katakan, kau tidak sendiri, Paksi"
"Terima kasih, Guru"
Demikianlah, sejenak kemudian, Paksipun telah minta diri.
Meskipun beban masih terasa sangat berat, tetapi setelah ia
mengatakannya kepada kedua gurunya, maka rasa-rasanya ia
mempunyai kekuatan baru untuk memikulnya.
"Aku memang harus melupakan untuk sementara persoalan
pribadiku" berkata Paksi di dalam hatinya. Paksipun
menyadari, bahwa masih banyak persoalan yang lebih besar
harus dihadapinya bersama-sama dengan Raden Sutawijaya,
dengan Pangeran Benawa dan dengan banyak orang lainnya
Ketika kemudian Paksi keluar dari ruangan khusus kedua
gurunya, malam telah larut. Saudara-saudara seperguruannya
telah tertidur. Namun ketika ia melangkah di dekat
pembaringan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya,
keduanya ternyata masih belum tidur.
Ketika Paksi melangkah ke pembaringannya, maka
Pangeran Benawa itupun berdesis, "Selamat malam, Paksi"
"Selamat malam, Pangeran"
"Tidurlah" berkata Raden Sutawijaya kemudian, "kau harus
banyak beristirahat"
"Ya, Raden" Paksipun kemudian membaringkan dirinya. Tetapi ia masih
saja gelisah. Berbeda dengan saat-saat ia bermalam di rumah
Ki Gede Pemanahan. Justru waktu itu badannya masih terasa
sakit dan sangat lemah, serta perhatian Pangeran Benawa dan
Raden Sutawijaya atas keadaannya, Paksi justru sempat tidur
nyenyak. Sekali-sekali ia terbangun karena nyeri pada lukanya.
Namun kemudian ia tertidur lagi. Selain badannya masih
terasa sakit, iapun merasa sangat letih pada waktu itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi ketika tenaga dan kekuatannya berangsur pulih
kembali, maka ia justru menjadi semakin sulit dapat tidur.
Tetapi akhirnya Paksi tertidur juga meskipun hanya sebentar.
Dalam pada itu, setelah Paksi meninggalkan kedua
gurunya, maka Ki Waskitapun berkata kepada Ki Panengah,
"Aku akan mempergunakan jalan yang satu ini untuk
menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada, Ki Panengah"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kasihan Paksi. Tetapi menurut pendapatku, lebih baik
baginya untuk segera mengetahui, bahwa ia bukan anak Ki
Tumenggung Sarpa Biwada"
"Tetapi ia terjerat pada teka-teki yang menurut Paksi lebih
besar lagi. Paksi tentu ingin tahu, siapakah ayahnya. Siapakah laki-laki yang telah menodai ibunya semasa gadisnya dan
kemudian meninggalkannya dalam keadaan hamil"
Ki Panengah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata, "Ki Waskita memang dapat mempergunakan
cara yang satu itu sekarang"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki
Panengahpun berkata, "Mudah-mudahan cara ini berhasil
memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada keluar dari
persembunyiannya" "Apakah sebaiknya aku berhubungan dengan Ki Gede
Pemanahan. Mungkin Ki Gede dapat memberikan beberapa
petunjuk yang berarti"
"Baiklah. Besok aku akan menemui Ki Gede Pemanahan"
Sebenarnyalah di keesokan harinya, Ki Waskitapun sudah
mempersiapkan diri untuk menemui Ki Gede Pemanahan.
Ketika kudanya sudah siap, maka Ki Waskitapun minta diri
kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa, Paksi dan
murid-muridnya yang lain. Ki Waskita pun memberitahukan
pula kepergiannya itu kepada Ki Kriyadama.
"Guru akan pergi sendiri?" bertanya Paksi.
"Ya, Paksi. Aku kira tidak akan ada hambatan di perjalanan.
Para pengikut Harya Wisaka tidak mengenal aku kecuali Harya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wisaka sendiri dan barangkali beberapa orang yang tentu
jarang-jarang keluar dari persembunyiannya"
"Jika Ki Waskita mengijinkan, biarlah aku dan Adimas
Pangeran Benawa menyertai Ki Waskita" berkata Raden
Sutawijaya. Tetapi Ki Waskita tersenyum Katanya, "Terima kasih.
Biarlah aku pergi sendiri. Mungkin aku tidak pulang hari ini.
Mungkin besok atau lusa"
Raden Sutawijaya tidak mendesaknya. Namun Ki Waskita
sendiri berkata, "Sudah terlalu lama Harya Wisaka menjadi
buruan. Mungkin ia sudah sembuh. Mungkin tenaga dan
kemampuannyapun sudah pulih pula. Karena itu, kita harus
segera menangkapnya. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa
dan Paksi sudah bekerja keras. Tetapi sampai sekarang masih
belum berhasil. Biarlah kemudian aku dan Ki Gede Pemanahan
langsung mencobanya turun ke arena. Bagaimanapun juga,
kami merasa bersalah, bahwa Harya Wisaka itu sempat luput
dari tangan kami. Padahal Harya Wisaka sudah masuk ke
dalam bilik Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Kesempatan yang
tidak akan dapat terulang kembali"
Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi hanya
dapat mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Panengahpun
berkata, "Jika perlu, aku mohon Ki Waskita mengirimkan
penghubung kemari" "Baik, Ki Panengah. Mudah-mudahan aku tidak terlalu lama
berada di kotaraja" "Bukankah Ki Waskita setiap kali dapat menengok
padepokan ini seandainya Ki Waskita dan Ki Gede tidak segera
dapat menemukan Harya Wisaka" Bukankah jarak Hutan
Jabung tidak terlalu jauh dari kotaraja?" berkata Ki Kriyadama.
"Tentu" jawab Ki Waskita. "Namun segala sesuatunya juga
tergantung kepada Ki Gede Pemanahan"
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Waskita sudah
berpacu di atas punggung kudanya, meskipun Ki Waskita
menurut ujudnya sudah semakin tua, tetapi ia masih saja
sigap dan tegar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan angin pagi yang menerpa tubuhnya yang meluncur
di punggung kudanya dan berlari seperti anak panah yang
terlepas dari busurnya itu, nampak seakan-akan menjadi
semakin tangkas. Di padepokan, Paksipun kemudian menemui Ki Panengah.
Dengan nada dalam iapun berkata, "Kenapa tiba-tiba Ki
Waskita pergi ke kotaraja" Apakah ada hubungannya dengan
keteranganku semalam, Guru?"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki
Waskita memang tersinggung atas tingkah laku Harya Wisaka
dan para pengikutnya. Ki Waskita merasa ikut disakiti
mendengar peristiwa yang menimpa dirimu. Untunglah Yang
Maha Agung melindungimu sehingga kau selamat meskipun
kau terluka parah. Ki Waskita berpendapat, bahwa gerakan
Harya Wisaka itu benar-benar harus dihentikan. Karena itu,
maka Ki Waskita akan menghadap Ki Gede Pemanahan.
Mungkin keduanya akan dapat mengambil langkah-langkah
yang lebih tajam menusuk ke dalam gerakan yang dipimpin
oleh Harya Wisaka itu"
Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Panengahpun
berkata, "Di luar sikap kita terhadap Harya Wisaka, mau tidak
mau kita harus memujinya. Demikian cerdiknya Harya Wisaka
dan para pengikutnya mengatur persembunyiannya, sehingga
para petugas sandi yang telah dikerahkan, masih juga belum
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu mencium jejaknya"
"Ya, Guru. Ternyata para pengikut Harya Wisaka benar-
benar setia kepadanya, sehingga sulit bagi para petugas sandi
dari Pajang untuk menemukannya. Padahal segala cara sudah
ditempuh. Bahkan para prajurit sudah memasuki setiap pintu
rumah untuk mencarinya. Tetapi semuanya sia-sia"
"Mudah-mudahan Ki Waskita dapat menemukannya"
Paksi tidak bertanya lebih jauh. Tetapi terasa di sudut
hatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak dikatakan oleh Ki
Panengah kepadanya. Namun ia tidak dapat memaksa Ki
Panengah untuk mengatakannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, kuda Ki Waskitapun berlari dengan
kencangnya menuju ke pintu gerbang kotaraja. Namun ketika
kuda itu turun ke jalan yang lebih ramai, maka Ki Waskitapun
telah memperlambat derap kaki kudanya.
Sebenarnyalah Ki Waskita ingin segera bertemu dengan Ki
Gede Pemanahan. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Ia
mempunyai satu jalan yang barangkali dapat ditelusuri menuju
ke persembunyian Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Jika saja Ki
Tumenggung itu dapat ditangkap, mungkin mereka dapat
merintis jalan menuju ke persembunyian Harya Wisaka itu.
Perjalanan Ki Waskita memang tidak terlalu lama. Jarak
yang tidak begitu panjang itu tidak terlalu banyak memerlukan
waktu. Karena itu, maka sebelum matahari menjadi terlalu
tinggi, Ki Waskita sudah memasuki pintu gerbang kotaraja.
Para petugas di pintu gerbangpun memperhatikannya.
Tetapi ciri-ciri orang berewok itu sama sekali tidak
bersinggungan dengan ciri-ciri yang mereka kenal sebagai ciri-
ciri Harya Wisaka dan beberapa orang pengikutnya yang
terpenting. Ketika Ki Waskita sampai di rumah Ki Gede Pemanahan,
ternyata Ki Gede masih berada di rumahnya. Sehingga karena
itu, maka Ki Gedepun masih sempat menerimanya sebelum Ki
Gede pergi ke istana untuk menghadap Kangjeng Sultan
Hadiwijaya. Kepada Ki Gede Pemanahan, Ki Waskita menyampaikan
rencananya untuk memancing Ki Tumenggung sehingga
kemudian dapat ditelusuri jalan ke persembunyian Harya
Wisaka. Ki Gede Pemanahan itupun mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah, Ki Waskita, jika cara itu yang akan Ki Waskita
lakukan" "Kita sudah tidak mempunyai cara lain, Ki Gede. Segala
usaha sudah dilakukan. Tetapi kita tidak berhasil menemukan
persembunyian Harya Wisaka"
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kasihan
Paksi. Selama ini ia dibayangi oleh teka-teki, kenapa ayahnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sampaihati untuk benar-benar berniat membunuhnya.
Sekarang Paksi dibayangi oleh teka-teki yang baru, siapakah
ayahnya yang sebenarnya"
"Mudah-mudahan ikatannya dengan Ki Tumenggung Sarpa
Biwada menjadi lebih longgar. Selama ini ia masih merasa
terikat oleh hubungan antara anak dan ayah, sehingga
langkah Paksi masih serba canggung"
"Baiklah, Ki Waskita" berkata Ki Gede kemudian, "nanti kita
akan membicarakan cara-cara terbaik yang dapat kita tempuh.
Sekarang aku persilahkan Ki Waskita beristirahat. Aku akan
menghadap Kangjeng Sultan. Sekaligus menyampaikan
rencanamu untuk memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada"
"Silahkan, Ki Gede. Aku akan menunggu Ki Gede.
Sementara sambil menunggu, aku akan melihat-lihat keadaan
kotaraja. Aku ingin pergi ke pasar"
"Ke pasar?" "Aku ingin melihat-lihat. Beberapa kali Raden Sutawijaya
dan Pangeran Benawa berada di pasar dalam penyamaran.
Namun mereka tidak melihat apa-apa yang mereka inginkan"
"Kaupun tidak akan melihat apa-apa, Ki Waskita. Kecuali
berbagai macam makanan yang barangkali menarik bagi Ki
Waskita" Ki Waskita tertawa. Katanya, "Disini aku sudah mendapat
suguhan makanan yang jarang aku temui"
Ki Gedepun tertawa pula. Namun sejenak kemudian, Ki Gede telah meninggalkan
rumahnya untuk pergi ke istana menghadap Kangjeng Sultan
Hadiwijaya. Sementara itu, sambil menunggu Ki Gede pulang,
Ki Waskita telah menyusuri jalan-jalan di kotaraja untuk
melihat-lihat suasana. Ki Waskita itu juga berjalan melalui lorong-lorong sempit.
Bahkan lorong yang telah dilalui Paksi pada saat anak muda
itu bertemu dengan tiga orang pengikut Harya Wisaka, bahkan
bersama dengan adik laki-lakinya yang telah mengatakan
rahasia yang disimpan oleh ibunya bertahun-tahun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Ki Waskita tidak bertemu dengan orang-orang yang
mencurigakan. Tidak bertemu dengan orang-orang yang
membawa bahan pangan atau keperluan sehari-hari lainnya.
Tetapi Ki Waskita mencoba mengamati arah perjalanan
adik Paksi bersama ketiga orang yang membawa bahan
pangan itu. Jika mereka berjalan dari pasar, maka mereka tentu telah
menempuh jalan yang agak melingkar.
Tetapi mungkin mereka memang tidak dari pasar. Tetapi
mereka tinggal mengambil ke tempat yang sudah ditentukan.
Orang lain lagi, mungkin perempuan, yang telah pergi
berbelanja ke pasar. Pada saat matahari mulai turun, maka Ki Waskitapun telah
kembali ke rumah Ki Gede Pemanahan. Ternyata Ki Gedepun
telah kembali pula dari istana.
"Aku sudah mengatakan rencana Ki Waskita kepada
Kangjeng Sultan sekaligus" berkata Ki Gede Pemanahan.
"Bagaimana tanggapan Kangjeng Sultan?" bertanya Ki
Waskita. "Kangjeng Sultan menyetujuinya. Kita tinggal
membicarakan perincian dari rencana ini termasuk
pengamanannya" Ki Waskita mengangguk-angguk.
Setelah keduanya makan dan beristirahat sejenak, maka Ki
Gedepun berkata, "Kita dapat membicarakannya sekarang, Ki
Waskita. Mudah-mudahan usaha ini berhasil"
Ki Waskitapun mengangguk hormat sambil berkata,
"Mudah-mudahan, Ki Gede. Kita memang harus mencoba
beberapa jalan untuk mencapai sasaran"
Demikianlah keduanyapun mulai berbicara tentang rencana
mereka untuk menjebak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Namun Ki Gedepun kemudian berkata, "Tetapi Ki Waskita
harus sangat berhati-hati. Jika rencana ini meleset sedikit saja, maka Ki Waskita akan benar-benar dapat menjadi korban"
"Aku mengerti, Ki Gede. Tetapi kita tidak mempunyai jalan
lain" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah. Aku minta Ki Waskita benar-benar bersiap. Aku
akan bersiap pula. Tetapi Ki Waskita harus bersiap-siap pula
mengambil langkah-langkah yang tepat apabila ada
perkembangan baru yang terjadi pada rencana ini yang
sebelumnya tidak kita perhitungkan"
"Baik, Ki Gede. Aku sudah siap, bahkan akupun siap
mengalami akibat yang paling buruk dari rencana ini. Jika
ternyata Ki Tumenggung Sarpa Biwada lebih cerdik dari kita,
maka akulah yang akan menjadi korban"
Ki Gedepun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah.
Kita akan mencobanya"
"Tetapi kita harus melakukannya dengan sabar. Mungkin
kita memerlukan waktu yang agak lama untuk dapat berhasil,
atau tidak sama sekali"
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Waskita harus
mempunyai tempat tersendiri di dalam kota ini. Ki Waskita
tidak dapat hilir-mudik ke rumahku, karena dengan demikian,
maka para pengikut Harya Wisaka akan mengetahui, bahwa
yang Ki Waskita lakukan adalah satu jebakan"
"Ya, Ki Gede. Selama kita melakukan rencana ini, maka aku
akan berada di rumah Ki Panengah yang pernah dijadikannya
padepokan. Rumah itu sekarang kosong, hanya ditunggui oleh
seorang pembantunya"
"Baiklah, Ki Waskita. Kita akan segera melakukan tugas kita
masing-masing" "Besok kita akan mulai dengan rencana ini, Ki Gede"
"Ya, besok. Lewat tengah hari. Aku harus mempersiapkan
segala sesuatunya" Sejenak kemudian, maka Ki Waskitapun telah minta diri. Ki
Waskita itupun langsung pergi ke rumah Ki Panengah yang
pernah dipergunakannya sebagai padepokan sementara
sebelum pindah ke Hutan Jabung.
Penunggu rumah itu sudah mengenal Ki Waskita dengan
baik. Karena itu, maka Ki Waskita tidak menemui kesulitan
untuk berada di rumah itu dalam tiga empat hari. Dari rumah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itulah, Ki Waskita akan melakukan usahanya untuk menjebak
Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Namun sementara itu, ternyata Ki Waskitapun menjadi
berdebar-debar pula atas rencananya. Kemungkinan berhasil
atau gagal sama besarnya. Demikian pula kemungkinan yang
dapat terjadi atas dirinya. Nasib baik dan nasib buruk
menunggu di kedua sisi rencananya itu.
Dalam pada itu, sebelum Ki Waskita memasuki rencananya,
di sisa hari itu, ia masih juga berjalan-jalan melihat-lihat
suasana. Menjelang senja, Ki Waskita itu duduk di pinggir alun-alun
Pajang. Ia masih sempat melihat beberapa orang prajurit
berlatih sodoran. Beberapa di antaranya nampak terampil
mempermainkan tombaknya sambil menunggang kuda.
Namun ada di antara mereka yang nampaknya baru mulai.
Namun begitu senja turun, maka latihan itupun segera
berakhir. Alun-alun itupun menjadi sepi. Sedangkan Ki
Waskitapun kembali pula ke rumah Ki Panengah.
Di malam hari, Ki Waskita tidak segera dapat tidur. Iapun
keluar pula berjalan-jalan. Namun Ki Waskita itu tidak
menemukan apa-apa. Yang dijumpainya adalah beberapa
orang prajurit yang meronda. Dijumpainya empat orang
prajurit berkuda yang mengelilingi kota. Namun ditemuinya
pula empat orang prajurit yang meronda dengan berjalan kaki.
Tetapi setiap kali Ki Waskita selalu bersembunyi di balik
pepohonan, karena berjalan seorang diri di malam hari akan
dapat dicurigai. Setidak-tidaknya ia harus menjawab beberapa
pertanyaan. Jika jawabnya tidak memuaskan, maka ia akan
dapat dibawa ke barak prajurit itu.
Di hari berikutnya, maka Ki Waskita benar-benar harus
mempersiapkan dirinya. Bukan saja mempersiapkan unsur
kewadagannya, tetapi juga unsur ketahanan jiwanya. Sebagai
orang yang berilmu sangat tinggi, Ki Waskita mempunyai
kepercayaan yang besar terhadap dirinya sendiri. Selain
berpihak kepadanya, karena ia menjalankan tugas bagi
keselamatan banyak orang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun demikian, Ki Waskita masih saja merasa gelisah.
Yang dilakukannya kali ini adalah tugas khusus yang sangat
rumit. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Cara yang
ditempuhnya itu adalah satu-satunya cara yang diketahuinya.
Meskipun perbandingan antara berhasil dan gagal, sama
besarnya. Dengan gelisah Ki Waskita menunggu matahari naik sampai
ke puncak. Namun rasa-rasanya matahari begitu malasnya
merangkak di langit, sehingga waktu terasa berjalan sangat
lambat. Namun akhirnya mataharipun melewati titik puncaknya. Ki
Waskita yang sudah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya
itupun meninggalkan rumah Ki Panengah, menuju ke rumah Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Ki Waskita sama sekali tidak berusaha melepaskan diri dari
pengawasan para pengikut Harya Wisaka yang dipercayanya
masih tetap mengawasi rumah itu. Ki Waskitapun berjalan
melalui jalan depan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Masuk lewat regol halaman yang sedikit terbuka. Kemudian
menutupnya kembali, tetapi seperti semula, tidak terlalu rapat.
Kedatangan Ki Waskita mengejutkan seisi rumah itu. Adik
perempuan Paksi yang melihat kedatangannya, segera
memberitahukan kepada ibunya.
"Siapa, Nduk?" bertanya Nyi Tumenggung Sarpa Biwada.
"Entah, Ibu. Tetapi rasa-rasanya ia pernah datang kemari
ketika Kakang Paksi pulang dan kemudian ditangkap"
Nyi Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun melangkah keluar pintu pringgitan.
Nyi Tumenggung terkejut melihat Ki Waskita berdiri
termangu-mangu di halaman. Sesaat Nyi Tumenggung berdiri
membeku di depan pintu pringgitan.
Namun Ki Waskita itupun kemudian berkata sambil
membungkuk hormat, "Aku, Nyi. Orang menyebutku Ki
Waskita. Aku adalah salah seorang dari guru Paksi, anak Nyi
Tumenggung" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"O" Nyi Tumenggung menjadi gagap. Sementara itu adik
perempuan Paksipun berdesis, "Guru Kakang Paksi, Ibu?"
"Ya, ya, Nduk" jawab ibunya. Kemudian Nyi Tumenggung
itupun mempersilahkan, "Silakan duduk. Ki Waskita"
Ki Waskitapun kemudian naik ke pendapa dan duduk di
pringgitan ditemui oleh Nyi Tumenggung. Kepada adik
perempuan Paksi, Nyi Tumenggung itupun berkata, "Pergilah
ke dapur, Nduk. Kau dapat menyiapkan minuman, bukan?"
"Sudahlah, Nyi. Tidak usah"
Tetapi Nyi Tumenggungpun berkata, "Tidak apa-apa, Ki
Waskita. Hanya air" Adik perempuan Paksipun kemudian pergi ke dapur untuk
menyiapkan minuman dan makanan. Kepada pembantunya,
adik Paksi itupun berkata, "Aku yang diminta ibu untuk
membuat minuman" Pembantunya hanya tersenyum saja. Gadis kecil itu
memang sudah trampil membuat minuman dan kemudian
membawanya ke pringgitan.
Dalam pada itu, di pringgitan, Nyi Tumenggungpun
bertanya dengan suara yang bergetar, "Apa yang Ki Waskita
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehendaki?" "Nyi" berkata Ki Waskita, "aku ingin mendapat bantuanmu"
"Bantuan apa, Ki Waskita" Apakah masih ada yang dapat
aku lakukan?" "Nyi" berkata Ki Waskita, "maaf jika aku minta bantuanmu
untuk menangkap Ki Tumenggung"
Wajah Nyi Tumenggung menjadi merah. Dengan nada
tinggi iapun berkata, "Kau mempergunakan kesempatan ini?"
"Jangan salah paham, Nyi. Kau tahu bahwa Ki Tumenggung
telah menjadi pengikut Harya Wisaka. Sementara itu Harya
Wisaka telah memberontak. Bukankah itu berarti bahwa Ki
Tumenggung telah memberontak pula?"
"Apakah Ki Waskita termasuk salah seorang yang bertugas
untuk menangkap para pemberontak atau sekedar
memanfaatkan keadaan bagi dendam pribadi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah artinya, bahwa sekarang aku berbicara tentang
dendam pribadi?" desis Ki Waskita. "Tetapi jika yang kau
maksud dengan dendam pribadi itu adalah dendam karena
muridku telah menjadi luka parah karena harus bertempur
melawan tiga orang pengikut Harya Wisaka, maka aku tidak
mengelak. Bahkan seharusnya Nyi Tumenggungpun
mendendam pula, karena Paksi adalah anak Nyi Tumenggung"
Pembicaraan merekapun terputus karena adik perempuan
Paksi menghidangkan minuman dan makanan.
"Terima kasih, anak manis" desis Ki Waskita sambil
tersenyum. Adik perempuan Paksipun tersenyum pula. Tetapi ia tidak
memandang wajah tamu ibunya itu. Bahkan wajahnyapun
menunduk dalam-dalam. Demikian ia meletakkan mangkuk minuman dan makanan,
maka adik Paksipun itupun segera beringsut meninggalkan
pringgitan. "Nyi Tumenggung" berkata Ki Waskita kemudian, "sekali
lagi aku mengulangi permohonanku agar Nyi Tumenggung
bersedia membantuku"
"Apa yang dapat aku lakukan?"
"Mengijinkan aku bermalam disini. Biarlah aku tidur di
dapur atau di kandang atau dimana saja"
Terasa dada Nyi Tumenggung bergetar. Dengan suara yang
patah-patah Nyi Tumenggung itupun berkata, "Kau minta aku
membantumu untuk menangkap suamiku?"
"Nyi, sasaran utamanya sebenarnya bukan Ki Tumenggung.
Tetapi Harya Wisaka. Jika Ki Tumenggung bersedia bekerja
sama untuk menangkap Harya Wisaka, maka ia tentu akan
mendapat banyak keringanan hukuman"
"Kau ingin melihat harga diri suamiku tersuruk semakin
dalam di lumpur yang kotor?"
"Kenapa?" "Jika suamiku memang memberontak, biarlah ia menjadi
seorang pemberontak yang baik. Yang menengadahkan
dadanya menghadapi akibat dari jalan yang dipilihnya. Aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak ingin bahwa suamiku melakukan pengkhianatan ganda.
Berkhianat kepada negaranya dan kemudian berkhianat atas
keyakinan yang dipilihnya"
"Aku sependapat, Nyi. Tetapi apakah Nyi Tumenggung
tidak mempunyai pertimbangan yang lebih jauh" Jika
pemberontakan ini berlangsung lebih lama lagi, maka
bayangkan, berapa banyaknya korban yang akan jatuh.
Kematian demi kematian akan saling susul-menyusul"
"Adalah wajar seorang laki-laki mempertaruhkan nyawanya
demi keyakinannya. Mereka yang yakin, bahwa Harya Wisaka
bersalah akan berdiri di satu pihak. Sementara mereka yang
dengan setia berdiri di belakang Harya Wisaka, akan berada di
pihak lain. Jika kedua belah pihak itu berbenturan, bukankah
wajar jika jatuh korban?"
"Kau yakin, bahwa yang berdiri di kedua belah pihak itu
berlandaskan pada keyakinan" Tidakkah mungkin mereka
berdiri di atas janji-janji kosong atau bahkan lebih buruk
ancaman-ancaman yang memaksa mereka menjalankan
pekerjaan suka atau tidak suka karena tidak mempunyai
pilihan. Mungkin anak dan isterinya berada di bawah
ancaman. Mungkin ayah atau ibunya atau bahkan dirinya
sendiri" "Alangkah beragamnya kemungkinan-kemungkinan yang
dapat Ki Waskita sebutkan. Tetapi jangan memperalat aku
untuk menangkap suamiku sendiri, kemudian memaksanya
berkhianat" "Jika demikian, sejalan dengan pendapatmu itu, Nyi, kau
akan membiarkan Paksi saling membunuh dengan ayahnya.
Atau lebih buruk lagi, Paksi akan berhadapan dengan adik laki-
lakinya yang sudah terpengaruh oleh ayahnya. Jika sikapmu
teguh, Nyi, aku sanggup untuk membuat Paksi kehilangan
nuraninya menghadapi adik laki-lakinya sekaligus ayahnya.
Paksi akan dapat memburu adik laki-lakinya itu, karena ia
sudah menemukan jejaknya. Paksi akan dapat memburunya
dengan sekelompok prajurit sebagaimana dibawanya saat ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpura-pura memburu Harya Wisaka keluar kota, karena
kami tahu, bahwa Harya Wisaka masih berada di dalam kota"
Terasa jantung Nyi Tumenggung itu bagaikan tertusuk
sembilu. Terasa dadanya mulai menjadi pepat. Matanya
menjadi panas. Namun Nyi Tumenggung bertahan untuk tidak
menangis. "Jangan adu domba anak-anakku"
"Jika Harya Wisaka dapat ditangkap, maka permusuhanpun
akan dapat diredam. Paksi dan adik laki-lakinya tidak perlu
saling mengancam" "Jangan campuri persoalan anak-anakku dengan licik.
Biarlah mereka menentukan langkah mereka sendiri"
"Untuk memecahkan kekalutan yang terjadi di Pajang
memang diperlukan pengorbanan. Tetapi kita harus berusaha,
agar korban yang jatuh tidak berlebihan. Biarlah mereka yang
terlibat dan meyakini perjuangannya mempertaruhkan
nyawanya sebagai laki-laki. Tetapi jangan menyurukkan
korban di luar bingkai permasalahannya"
"Ki Waskita" berkata Nyi Tumenggung kemudian, "sayang,
aku tidak dapat membantumu"
Ki Waskita memandang Nyi Tumenggung dengan tajamnya.
Katanya, "Baiklah, Nyi. Jika demikian aku memang harus
mencari jalan lain. Aku harus membius Paksi agar ia dapat
bersikap tegar menghadapi kenyataan. Paksi yang sudah tahu
hubungannya dengan ayahnya dan adiknya, akan menjadi
lebih mudah untuk mengarahkan sikapnya"
"Apa yang akan kau lakukan, Ki Waskita?"
"Seperti yang Nyi katakan. Kami akan berpegang atas
keyakinan kami dengan teguh. Paksi akan membawa
sekelompok prajurit untuk menemukan adik laki-lakinya.
Akupun tidak peduli terhadap anak itu. Tetapi aku tidak ingin
Paksi mati di tangan para pengikut ayahnya yang sudah
terbius oleh janji-janji Harya Wisaka, karena aku sangsi,
bahwa mereka benar-benar berpegang atas satu keyakinan"
"Ki Waskita" "Dari adik laki-lakinya itu, Paksi akan dapat mengetahui
dimana ayahnya bersembunyi. Ayahnya yang telah dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sungguh-sungguh berniat membunuhnya. Dari mereka akan
ditelusuri tempat persembunyian Harya Wisaka"
"Tetapi anakku itu tidak bersalah. Ia tidak bersikap atas
dasar keyakinannya" "Ia bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah lewat remaja. Karena
itu ayahnya telah menyuapinya dengan satu keyakinan
kebenaran perjuangan Harya Wisaka. Kebenaran untuk satu
pencapaian atau kebenaran tentang kedudukan yang tinggi,
aku tidak tahu. Tetapi itulah yang dilakukannya"
"Ternyata kau manfaatkan peristiwa ini untuk kepentingan
pribadimu. Jika Ki Tumenggung bersungguh-sungguh untuk
membunuh Paksi, maka kaupun akan bersungguh-sungguh
berusaha membunuh adik Paksi. Bahkan kau tidak segan-
segan mengadu kedua kakak beradik itu"
"Ya. Aku tidak mau kehilangan muridku tanpa berbuat apa-
apa" "Kau licik sekali, Ki Waskita"
"Mungkin aku adalah orang yang paling licik di seluruh
Pajang. Tetapi aku masih berbangga bahwa aku akan ikut
berusaha menangkap Harya Wisaka, seorang pemberontak
yang sekarang menjadi buruan. Termasuk para pengikutnya"
Nyi Tumenggung itu mengusap matanya. Tetapi ia tidak
mau menangis. Ia bukan seorang perempuan yang cengeng.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Gejolak di jantung
Nyi Tumenggung Sarpa Biwada rasa-rasanya akan
memecahkan dadanya. Nyi Tumenggung itu merasa berdiri di
jalan simpang. Jalan yang manapun yang dipilihnya akan
berujung pada kegetiran yang tajam menusuk sampai ke
pusat jantung. "Nyi" berkata Ki Waskita kemudian, "agaknya memang
nasib Paksi yang buruk. Dalam ancaman maut dari seorang
yang sebelumnya dianggapnya ayahnya sendiri, yang
memberikan perintah tidak masuk akal kepadanya untuk
mencari sebuah cincin kerajaan yang belum pernah dilihatnya,
bahkan dalam mimpi, namun dijalaninya dengan ikhlas, kini
sama sekali tidak mendapat perlindungan. Bukan perlindungan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kewadagan, tetapi perlindungan atas ketenangan jiwanya" Ki
Waskita itupun berhenti sebentar. Lalu katanya pula, "Baiklah.
Agaknya kau juga ingin menyingkirkan Paksi yang kau anggap
menjadi penghalang atas hubunganmu dengan suamimu.
Baik, Nyi. Jika demikian, memang tidak ada orang lain yang
harus berbuat apapun baginya selain gurunya"
"Ki Waskita" "Nyi, jika aku atau Ki Panengah menemukan mayat Paksi
yang berhasil dibunuh oleh Ki Tumenggung Sarpa Biwada,
maka kami akan membawanya kemari. Kau tentu puas melihat
anak muda yang dianggap duri di dalam keluarga ini mati
dengan luka arang keranjang di tubuhnya"
"Ki Waskita" "Tetapi Paksi dan kami berdua tentu tidak akan menyerah
dan membiarkan hal itu terjadi. Kami akan melindungi Paksi
dengan cara apapun juga. Kasar atau halus. Agar Paksi tidak
terbunuh, maka kami akan membunuh"
"Cukup, cukup, Ki Waskita" suara Nyi Tumenggung itu
bergetar oleh getar jiwanya. Katanya kemudian, "Sampai hati
kau berkata seperti itu kepadaku. Sampai hati kau menuduh
aku ingin menyingkirkan Paksi"
"Jadi apa yang harus aku katakan" Kau menolak untuk
bekerja sama menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang
jelas ingin membunuh Paksi. Bukankah itu berarti bahwa kau
lebih senang Paksi terbunuh" Jika Ki Tumenggung itu
tertangkap dan bersedia bekerja sama, maka ia tidak akan
mati. Jika ia masih juga harus dihukum, maka hutangnya
kepada Pajangpun akan lunas. Pada suatu saat ia akan
menghirup udara bebas dan
kembali kepadamu sebagai orang yang merdeka. Tetapi
apakah Paksi akan dapat kembali kepadamu jika ia mati?"
Nyi Tumenggung mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia
masih bertahan untuk tidak menangis. Tetapi ia benar-benar
dihadapkan pada satu pilihan yang amat sulit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena Nyi Tumenggung tidak segera menjawab, maka Ki
Waskita itupun berkata selanjutnya, "Jika kau tetap pada
pendirianmu, Nyi, aku memang tidak mempunyai pilihan lain"
Namun dengan suara sendat dan patah-patah Nyi
Tumenggung itupun berkata, "Baiklah, Ki Waskita. Aku akan
membiarkan diriku kau peralat untuk menangkap Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Aku tidak tahu, apakah alasanmu
sebenarnya. Bahkan seandainya kau mempunyai dendam
pribadi" "Sudah aku katakan, Nyi. Aku tidak mau Paksi dibunuh.
Paksi adalah harapan perguruan kami bagi masa depan. Pada
saatnya Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa akan
meninggalkan perguruan kami karena kedudukan mereka.
Tetapi Paksi tidak. Ia akan berada bersama kami untuk
seterusnya" "Selanjutnya, silahkan apa saja yang ingin kau lakukan Ki
Waskita. Jika kau akan bermalam disini, silahkan. Dimana kau
akan tidur, terserah saja kepadamu. Aku dan anak
perempuanku akan berada di bilik bersama pembantuku di
dapur" "Aku tidak bermaksud seperti itu, Nyi. Aku tidak akan
merampas hakmu. Aku hanya ingin memancing agar Ki
Tumenggung Sarpa Biwada atau orang-orangnya datang ke
rumah ini. Itu saja. Karena itu, yang aku perlukan adalah
kesan bahwa aku berada di rumah ini"
Nyi Tumenggung menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Matanya memang menjadi basah. Tetapi Nyi
Tumenggung tetap tidak menangis.
Dengan nada rendah, Ki Waskitapun kemudian berkata,
"Aku mohon maaf, Nyi. Aku sama sekali tidak ingin menyakiti
hatimu. Aku juga tidak ingin membalas dendam pribadi. Aku
hanya ingin ikut membantu menenangkan gejolak yang terjadi
di Pajang sekarang ini. Tetapi jika hal ini dianggap sebagai
satu sikap yang berlebihan, maka biarlah aku mengatakan,
bahwa aku hanya ingin menyelamatkan Paksi"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyi Tumenggung mengangguk kecil. Sementara itu Ki
Waskitapun berkata selanjutnya, "Biarlah aku tidur dimana
saja. Aku sudah terbiasa tidur di udara terbuka, di pategalan
atau di dalam semak-semak. Bahkan di dahan-dahan pohon di
hutan" Nyi Tumenggung menunduk semakin dalam. Katanya,
"Biarlah pembantuku menjadi saksi, bahwa kehadiran Ki
Waskita di rumah ini semata-mata untuk kepentingan tugas-
tugas yang kau emban. Apakah tugas-tugas bagi Pajang atau
beban kewajiban yang harus kau pikul untuk menyelamatkan
Paksi" "Karena itu, kehadiranku jangan mengganggu kegiatanmu
sehari-hari, Nyi. Aku tahu, bahwa ada ruang di sebelah
lumbung padi. Aku akan berada disana"
"Tidak ada ruang di lumbung padiku, Ki Waskita"
"Bukankah biasanya ada lumpang dan lesung yang
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditempatkan di sisi lumbung?"
"Sekedar di serambi yang terbuka"
"Itu sudah cukup, Nyi. Aku akan tidur di sebelah lesung.
Tentu akan terasa hangat"
"Tidak, Ki Waskita. Aku tidak dapat membiarkan kau tidur
di serambi lumbung yang kotor itu. Kau akan merasa gatal-
gatal di seluruh tubuhmu"
"Sudahlah. Jangan menjadi masalah. Jika Nyi Tumenggung
mengijinkan, aku akan keluar masuk halaman rumah ini untuk
selanjutnya tidur dimanapun tanpa mengganggumu"
Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
tidak akan dapat mengelak, ia harus memilih. Namun semua
pilihan akan sangat menyakitkan hatinya. Justru karena Nyi
Tumenggung itu sadar sepenuhnya, bahwa ia akan menjadi
alat untuk menjebak suaminya sendiri, maka hatinyapun
menjadi sangat pedih. Tetapi Nyi Tumenggung tidak dapat
membiarkan Paksi mati dibunuh oleh suaminya itu, karena
Paksi adalah anaknya. Akhirnya, Nyi Tumenggung harus membiarkan Ki Waskita
keluar masuk regol halaman rumahnya. Tetapi Ki Waskita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak pernah naik pendapa atau masuk lewat pintu butulan
yang menghadap ke longkangan. Jika Ki Waskita datang ke
rumah itu, maka iapun langsung pergi ke belakang. Kadang-
kadang duduk di bawah sebatang pohon kemiri yang rindang,
kadang-kadang di bawah pohon jambu air yang berbuah lebat.
Sekali-sekali adik Paksipun bertanya kepada ibunya, untuk
apa orang tua itu berada di rumahnya.
Nyi Tumenggung memang sulit untuk menjawab. Namun
kemudian katanya, "Ia mempunyai tugas untuk mengawasi
rumah ini, Nduk" "Kenapa dengan rumah ini" Apakah orang itu menunggu
ayah disini?" "Sudahlah, jangan pikirkan. Bukankah ia tidak mengganggu
kita?" Adik perempuan Paksi itu mengangguk-angguk. Sementara
itu, Ki Waskita masih saja hilir-mudik antara rumah Ki
Panengah yang kosong dan rumah Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. Bahkan jika senja mulai turun, Ki Waskita itupun
memasuki regol halaman rumah Nyi Tumenggung. Tetapi Ki
Waskita tidak pernah menemui Nyi Tumenggung lagi. Ia
langsung pergi ke halaman belakang. Bahkan jika Ki Waskita
berada di rumah itu di siang hari, ia tidak segan-segan
membantu membersihkan kandang dan lumbung padi.
Nyi Tumenggungpun tidak pernah pula menyapanya.
Dibiarkan saja Ki Waskita berkeliaran di kebun belakang
rumahnya. Nyi Tumenggungpun tidak pernah menyediakan
minuman apalagi makan bagi Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita
memang tidak memerlukannya.
-ooo00dw00ooo- Jilid 27 SEHARI, dua hari, tiga hari telah berlalu. Namun tidak ada
terjadi apapun di rumah Nyi Tumenggung Sarpa Biwada.
Kehidupan di rumah itu berjalan seperti biasanya tanpa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terpengaruh oleh kehadiran Ki Waskita. Meskipun demikian,
para pembantu di rumah itu menjadi heran. Apa yang
dilakukan oleh Ki Waskita di rumah itu tidak dapat mereka
mengerti. Sedangkan Nyi Tumenggung sendiri tidak pernah
mengatakan apa-apa kepada mereka tentang orang yang
kadang-kadang berada di halaman belakang rumah itu.
Sebenarnyalah Ki Waskita sendiri merasa sudah terlalu
lama mondar-mandir dari rumah Ki Panengah ke rumah Nyi
Tumenggung. Tetapi usahanya untuk memancing Ki
Tumenggung masih juga belum berhasil.
Namun dalam pada itu, lewat seorang penghubung, Ki
Waskita masih selalu berhubungan dengan Ki Gede
Pemanahan. Mereka tidak boleh terlepas yang satu dengan yang lain
untuk melaksanakan rencana mereka.
Ternyata baik Ki Waskita maupun Ki Gede cukup sabar.
Meskipun hari-hari berlalu, sehingga menginjak sepekan,
mereka tidak segera menjadi jemu.
Sebenarnyalah kehadiran Ki Waskita di rumah Nyi
Tumenggung itu tidak lepas dari pengawasan para pengikut
Harya Wisaka. Di hari-hari pertama, mereka hanya sekedar
mengawasi dan memperhatikan kehadiran laki-laki itu. Tetapi
karena Ki Waskita setiap kali bahkan hampir setiap senja
datang ke rumah itu, maka kehadirannyapun segera
dilaporkan kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
"Jadi laki-laki itu datang setiap hari?"
"Ya, Ki Tumenggung. Setiap senja ia datang. Bahkan
kadang-kadang juga pagi dan siang hari ia datang pula"
Ki Tumenggung Sarpa Biwada menggeretakkan giginya.
Katanya, "Nanti aku akan melihat sendiri, siapakah orang itu"
Di sore hari, sebelum senja turun, Ki Tumenggung Sarpa
Biwada sudah berada di halaman rumah yang beradu sudut
dengan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Halaman rumah
yang tidak seluas halaman rumah Ki Tumenggung. Rumahnya
pun lebih sederhana dari rumah Ki Tumenggung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rumah itu adalah rumah salah seorang pengikut setia
Harya Wisaka yang luput dari pengawasan para petugas sandi,
karena penghuninya adalah seorang pedagang yang
nampaknya tidak pernah berhubungan dengan persoalan
pemerintahan di Pajang. Orang-orang di sekitarnya pun tidak menghiraukannya
ketika sebuah keseran yang membawa beberapa keranjang
gula kelapa memasuki halaman rumah itu ditarik oleh seorang
laki-laki bertubuh kecil dan didorong oleh laki-laki lain yang bertubuh kekar. Tidak seorang pun menyangka bahwa orang
yang tidak berbaju dan mengenakan caping bambu di atas
ikat kepalanya itu adalah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Tetapi juga tidak pula ada orang memperhatikan pedati yang
hilir-mudik di halaman rumah yang lain, terpisah satu rumah
dari rumah yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. Rumah itu telah dipergunakan oleh petugas sandi dari
Pajang untuk mengawasi rumah Ki Tumenggung.
Menurut penglihatan tetangga-tetangganya, pemilik rumah
yang tidak begitu besar itu sedang membangun rumahnya.
Hampir setiap hari satu dua pedati datang memasuki halaman
rumah itu dengan membawa kayu, batu, pasir dan kebutuhan-
kebutuhan lain. Beberapa orang pekerja sibuk membongkar
dan membuat bahan-bahan bangunan yang datang serta
menyingkirkan bahan-bahan bekas yang sudah tidak dapat
dipergunakan lagi. Namun sebenarnyalah bahwa mereka adalah para petugas
sandi Pajang yang mengawasi rumah Ki Tumenggung Sarpa
Biwada, yang pada saat saat terakhir telah ditingkatkan justru karena Ki Waskita sering berada di rumah itu.
Namun kesabaran Ki Waskita, Ki Gede Pemanahan dan
para petugas sandi pajang itu pun tidak sia-sia. Ki
Tumenggung Sarpa Biwada hatinya telah terbakar oleh
kehadiran laki-laki yang menyebut dirinya Ki Waskita itu di
rumahnya. Setiap hari. Karena itu, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada itupun
telah merencanakan usaha untuk menyergap laki-laki itu. Dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
atas dahan sebatang pohon, lewat senja Ki Tumenggung
Sarpa Biwada benar-benar melihat seorang laki-laki memasuki
halaman rumahnya. Ketika orang itu berhenti sejenak di
depan regol, Ki Tumenggung dapat melihat wajah orang itu
agak jelas karena cahaya oncor yang terang yang terpancang
di regol rumahnya itu. Ki Sarpa Biwada memang memerlukan waktu beberapa
saat untuk mengenali orang itu. Ia pernah melihat orang itu
datang ke rumahnya bersama Pangeran Benawa ketika
mereka menangkap Paksi, yang kemudian disadari, bahwa
yang terjadi saat itu hanyalah sekedar sebuah permainan dari
Pangeran Benawa. Kini Ki Tumenggung itu ingat dan bahkan yakin, siapakah
laki-laki yang datang ke rumahnya itu. Meskipun laki-laki itu
sudah banyak berubah, tetapi masih ada sisa-sisa
pengenalannya atas laki-laki yang menyebut dirinya Ki Waskita
itu. "Alangkah bodohnya aku" berkata Ki Tumenggung itu di
dalam hatinya. "Kenapa aku tidak mengenalinya ketika ia
mengambil Paksi demikian Paksi berhasil membawa cincin
kerajaan itu pulang?"
Tetapi Ki Tumenggung itu merasa bahwa ia masih belum
terlambat. Ia masih mempunyai kesempatan untuk
menghancurkan laki-laki keparat itu.
Tetapi Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak segera
bertindak. Ia menunggu malam menjadi semakin dalam. Ia
ingin semakin meyakinkan diri tentang laki-laki itu. Semakin
jauh malam menukik ke pusatnya, maka semakin jauh pula
langkah laki-laki yang sangat dibencinya itu memasuki pagar
rumah tangganya. "Siapapun laki-laki itu dahulu, tetapi
perempuan di dalam rumah itu adalah istriku" geram Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Bagi Ki Tumenggung, rasa-rasanya malam menjadi sangat
lamban. Bintang-bintang yang berkeredipan di langit seakan-
akan demikian asyiknya canda di antara mereka, sehingga
mereka tidak beranjak dari tempatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun akhirnya, malampun menjadi semakin senyap.
Suara cengkerik dan bilalang bersahutan dengan suara angkup
yang tertiup angin. Sekali-sekali terdengar derik bajang kerek yang merintih merindukan hangatnya perut ibunya.
"Bersiaplah" berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada kepada
dua orang pengikutnya yang terpilih. "Kita akan
menangkapnya dan membawanya"
"Atau membunuhnya" desis seorang pengikutnya.
"Kita akan melihat suasana" desis Ki Tumenggung.
"Marilah" geram pengikutnya yang seorang lagi, "aku sudah
tidak sabar lagi. Aku juga pernah membunuh laki-laki yang
aku temukan di bilik istriku. Aku biarkan mereka tertawa
seperti ringkik kuda. Namun kemudian keduanya tidak dapat
lagi tertawa untuk selama-lamanya"
"Kau tidak ditangkap karena membunuh?"
"Aku letakkan sebilah pedang di tangannya meskipun ia
masih telanjang. Kami dianggap telah berperang tanding"
Wajah Ki Sarpa Biwada menjadi tegang. Namun kemudian
iapun berdesis, "Marilah. Kita masuk ke rumah itu sekarang?"
"Lewat regol?" "Apakah rumah itu masih diawasi petugas sandi dari Pajang
sampai malam ini?" "Mungkin sekali"
"Mereka justru tidak akan mengawasi regol halaman.
Mereka justru akan mengawasi dinding yang mengeliling
rumahku itu" Pengawal Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Namun
ia masih berkata, "Apakah tidak ada pintu butulan masuk ke
kebun di belakang?" "Tentu diselarak"
"Kita akan meloncat masuk. Kita harus menjaga segala
kemungkinan" Akhirnya Ki Tumenggung setuju untuk memasuki halaman
rumahnya itu tidak lewat regol.
Beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung dan dua orang
pengawalnya sudah berada di dalam halaman rumah Ki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tumenggung. Dengan sangat hati-hati mereka memasuki
longkangan dan mendekati dinding rumahnya.
Rumah itu ternyata sepi sekali. Ki Tumenggung tidak
mendengar suara seseorang. Tidak mendengar percakapan
apalagi suara tertawa seperti ringkik kuda.
"Bagaimana kita masuk, Ki Tumenggung?" bertanya
pengawalnya. "Aku akan mengetuk pintu"
"Jangan" cegah seorang pengikutnya.
"Kenapa?" "Jika Ki Tumenggung mengetuk pintu, orang itu akan
berkesempatan lari melalui jalan yang sudah dipersiapkan atau
bersembunyi dimana saja"
"Orang itu tidak akan mempersiapkan jalan untuk lari"
sahut kawannya. "Kenapa?" "Ia tidak akan menyangka bahwa Ki Tumenggung akan
datang malam ini" "Tetapi lebih baik kita masuk seperti seorang pencuri
masuk ke dalam rumah yang menjadi sasarannya"
"Kau dapat melakukannya?"
Orang itu tersenyum. Katanya, "Aku adalah bekas seorang
pencuri ulung, sehingga namaku disebut-sebut oleh setiap
perempuan karena mengagumiku dan oleh setiap laki-laki
yang menjadi ketakutan karenanya. Tersebar kabar bahwa
aku mempunyai Aji Penglimunan sehingga aku dapat
menghilang dari pandangan mata"
"Kau mampu melakukannya?"
"Tentu dapat. Tetapi di dalam kegelapan dan orang-orang
yang mencariku harus memejamkan matanya"
Kawannya tertawa pendek. Tetapi Ki Tumenggung
membentak, "Bukan saatnya untuk bergurau. Jika kau
mampu, lakukan. Buka selarak pintunya dari dalam"
"Baik, Ki Tumenggung"
Orang itupun kemudian telah memanjat dinding bagian
belakang rumah Ki Tumenggung yang berbentuk kampung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dibukanya tutup keyong dengan paksa. Meskipun tutup
keyong itu terbuat dari kayu, namun orang itu benar-benar
telah membuktikan, bahwa ia adalah seorang pencuri yang
ulung, sehingga tutup keyong itupun telah terbuka.
Hampir tidak masuk akal, bahwa orang itu mampu
menyusup di antara lubang sempit pada papan kayu yang
dibukanya itu tanpa menimbulkan suara.
"Ia memang seorang pencuri ulung" desis kawannya yang
berdiri termangu-mangu di sebelah Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. "Orang itu memang memiliki kelenturan tubuh yang luar
biasa sehingga ia mampu menyusup di lubang-lubang yang
bagi orang lain dianggap terlalu sempit"
Beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung dan seorang
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengawalnya terkejut. Mereka mendengar selarak pintu
diangkat. Sementara itu mereka tidak yakin bahwa pengawal yang
berhasil masuk lewat tutup keyong itu sudah sampai di pintu
butulan. Karena itu, maka Ki Tumenggung dan seorang
pengawalnya itu segera meloncat ke samping berjongkok
melekat dinding. Tetapi ketika pintu terbuka, maka yang keluar dari dalam
adalah pengawal Ki Tumenggung yang memanjat lewat tutup
keyong itu. Orang itu justru termangu-mangu sejenak. Ia tidak
melihat Ki Tumenggung dan seorang kawannya.
Namun orang itu terkejut dan hampir saja ia menarik
senjata ketika Ki Tumenggung dan pengawalnya yang seorang
lagi tiba tiba bangkit berdiri.
"Kenapa Ki Tumenggung harus berjongkok melekat
dinding?" bertanya orang itu.
"Kami ragu-ragu, apakah yang membuka pintu itu kau atau
bukan. Kami baru saja melihat kau masuk lewat tutup keyong
itu. Bukankah memerlukan waktu untuk sampai ke pintu?"
"Sudah aku katakan. Aku adalah pencuri ulung"
"Ya. Kau tentu seorang pencuri ulung"
"Sekarang, silahkan Ki Tumenggung masuk"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tumenggungpun kemudian segera masuk langsung ke
ruang dalam. Pintu penyekat dengan ruang dalam ternyata
tidak diselarak. Sejenak kemudian, Ki Tumenggungpun berdiri dengan
ragu-ragu di depan sebuah bilik. Bilik itu adalah biliknya. Ia memastikan bahwa Nyi Tumenggungpun berada di dalam bilik
itu pula. "Sekarang, ketuk pintu itu Ki Tumenggung" desis
pengawalnya yang pernah membunuh laki-laki dan istrinya itu.
Ki Tumenggung masih saja ragu ragu.
"Ki Tumenggung bimbang?" bertanya pengawalnya.
Ki Tumenggung itu mengangguk kecil.
"Jika demikian, biarlah aku saja yang mengetuknya"
berkata pengawalnya yang masuk ke dalam rumah itu dengan
membuka tutup keyong. Orang itu tidak menunggu. Perlahan lahan ia mengetuk
pintu bilik yang tertutup itu.
Seperti yang diduga oleh Ki Tumenggung, Nyi Tumenggung
memang berada di dalam bilik itu. Ketika ia mendengar pintu
biliknya diketuk, Nyi Tumenggung itupun segera bangkit dan
duduk di bibir pembaringannya.
Terdengar lagi pintu itu diketuk.
"Siapa di luar?" bertanya Nyi Tumenggung dengan jantung
berdebaran. Pengawal Ki Tumenggung itu memberi isyarat, agar Ki
Tumenggung menjawab. "Aku, Nyi" Ki Tumenggung itu berdesis.
"Siapa?" "Aku. Buka pintunya"
Nyi Tumenggung mengenali suara itu. Karena itu, maka
dengan serta-merta iapun meloncat berdiri dan berlari ke pintu biliknya.
Dengan tergesa-gesa diangkatnya selarak pintunya
sehingga pintu itupun segera terbuka.
"Kakang Tumenggung" Wajah Nyi Tumenggung nampak
tegang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tumenggung tidak menjawab. Iapun langsung masuk ke
dalam bilik itu sambil bergumam, "Siapa yang berada di dalam
bilik ini?" Nyi Tumenggung mengerutkan dahinya. Dipandanginya Ki
Tumenggung yang mendekati pembaringannya. Namun yang
berbaring di pembaringan itu adalah anak perempuannya yang
masih tidur dengan nyenyaknya.
Sejenak Ki Tumenggung itu termangu-mangu. Kerisnya
yang sudah diputarnya sehingga terselip di dadanya, sudah
siap ditarik dari wrangkanya. Namun yang berada di
pembaringan ituadalah anak perempuannya.
Ki Tumenggung itupun kemudian membungkukkan
badannya, mencium anak itu di keningnya.
Sejenak Nyi Tumenggung termangu-mangu. Namun
kemudian iapun berkata, "Kakang, sebaiknya Kakang segera
meninggalkan rumah ini"
"Kenapa?" bertanya Ki Tumenggung.
"Kakang telah dijebak oleh seorang laki-laki yang mengaku
prajurit Pajang. Setiap hari ia datang dengan keyakinan,
bahwa Kakang akan mencurigainya dan datang pulang untuk
membuat perhitungan"
"Kau kenal laki-laki itu?"
"Ia pernah datang ketika Paksi pulang membawa cincin
yang kau cari itu" "Darimana kau tahu, kalau ia menjebakku?"
"Orang itu sendiri yang mengatakannya"
Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Katanya, "Kenapa
kau tidak mengusirnya saja?"
"Aku tidak berdaya. Ia melakukannya atas nama Pajang. Ia
mempunyai wewenang untuk berbuat lebih daripada yang
dilakukannya sekarang"
"Terkutuklah orang itu. Tetapi bukankah kau mengenalnya
atau pernah mengenalnya?"
"Mungkin. Tetapi kita tidak usah membicarakannya
sekarang" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah kau memang menginginkan laki-laki itu datang
kemari?" "Tidak. Tidak, Kakang. Sekarang pergilah sebelum kau
dijebaknya" "Aku memang akan menangkapnya"
"Tetapi ia akan dapat memanggil banyak orang yang tentu
sudah dipersiapkannya"
"Ia hanya sendiri. Orang-orangku sudah menyelidikinya.
Tidak ada orang lain di sekitar rumah ini"
"Tetapi ia mengatakan kepadaku, bahwa ia akan
menjebakmu" Ki Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun Nyi
Tumenggungpun mendesak, "Ia bahkan mengancammu,
Kakang. Pergilah sebelum orang itu melihatmu datang"
"Dimana orang itu sekarang?"
"Ia terbiasa berada di lumbung. Ia tidur di sebelah lesung"
"Nyi, aku justru akan menangkapnya"
"Tetapi ia tentu sudah siap menghadapi kemungkinan itu.
Ia akan dapat menghubungi kawan-kawannya"
Ki Tumenggung itu menjadi bimbang. Sementara seorang
pengawalnyapun berkata, "Apakah Ki Tumenggung yakin,
bahwa orang itu akan menjebak Ki Tumenggung, atau ia
sekedar menyembunyikan dirinya justru karena Ki
Tumenggung pulang" "Apa maksudmu?" bertanya Nyi Tumenggung.
"Memang ada beberapa kemungkinan" sahut Ki
Tumenggung. "Percayalah kepadaku, Kakang. Pergilah. Persoalan di
antara kita dapat kita bicarakan kemudian. Orang itu bahkan
ingin memanfaatkan keadaan ini bagi dendam pribadinya"
Ki Tumenggung memang menjadi bimbang. Tetapi
pengawalnya berkata, "Bukankah kita akan menangkap orang
itu?" "Orang itu berniat menjebakmu, Kakang. Karena itu,
pergilah" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah kita menjadi gentar karena jebakan itu?" bertanya
pengawalnya yang lain. "Kita cari orang itu. Kita akan
menangkapnya atau membunuhnya"
"Dengar aku, Kakang"
"Jangan beri kesempatan orang itu bersembunyi, Ki
Tumenggung. Nanti ia akan merayap ke dalam bilik ini jika Ki
Tumenggung pergi" Jantung Ki Tumenggung bagaikan tersengat bara
mendengar kata-kata pengawal itu. Hampir di luar sadarnya,
tangannya terayun menampar mulutnya.
Pengawal itu terkejut. Namun kemudian sambil tersenyum
iapun berkata, "Nyi, aku pernah membunuh seorang laki-laki
bersama dengan istriku di atas pembaringan"
"Kakang" suara Nyi Tumenggung menjadi serak. Ia bukan
seorang perempuan yang cengeng. Ia tidak menangis ketika ia
mencoba menolak kehadiran Ki Waskita di rumahnya
beberapa hari yang lalu. Tetapi kata-kata pengawal suaminya
itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, maka Nyi
Tumenggung tidak dapat menahan tangisnya lagi.
"Kakang" ulang Nyi Tumenggung, "kau biarkan orang itu
menghinaku?" "Maaf, Nyi. Aku hanya mengatakan pengalamanku tentang
seorang perempuan" "Dan kau anggap semua perempuan itu sama?" sahut Nyi
Tumenggung di sela-sela isaknya. "Apakah semua laki-laki
juga sama" Tidak, Ki Sanak. Tidak semua laki-laki kehilangan
harga dirinya seperti laki-laki yang kau bunuh itu. Atau kau
juga seperti laki-laki yang kau bunuh itu?"
Pengawal Ki Tumenggung itu tertawa. Katanya, "Segala
sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung"
Ki Tumenggung memang menjadi ragu-ragu. Pengawalnya
itu telah menyentuh perasaannya. Ia menjadi bimbang.
Mungkin laki-laki itu memang bersembunyi. Istrinya
memaksanya agar ia pergi sehingga laki-laki itu akan dapat
masuk ke dalam biliknya, atau istrinya dapat pergi ke bilik
yang manapun juga tempat laki-laki itu bersembunyi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nyi" Ki Tumenggung itu menggeram, "dimana laki-laki itu
sekarang?" "Kakang, kau tidak mau mendengarkan aku?"
"Laki-laki itu datang tidak hanya malam ini. Tetapi juga
malam kemarin, kemarin dulu dan bahkan di siang hari pula"
"Ia memang memancingmu dan berusaha menangkapmu"
"Akulah yang akan menangkapnya"
"Kakang. Kakang tidak mempercayai aku?"
"Bukan tidak mempercayaimu, Nyi. Tetapi aku tidak mau
kehilangan kesempatan ini"
Tangis Nyi Tumenggung justru terdiam. Dipandanginya
wajah suaminya dengan tajamnya. Dengan suara yang
bergetar iapun berkata, "Kakang, aku sudah mencoba untuk
memperingatkanmu. Tetapi terserah kepadamu. Apakah kau
masih dapat mempergunakan penalaranmu atau dadamu telah
terbakar oleh gejolak perasaanmu"
"Aku akan menangkap orang itu" Untuk menguatkan
sikapnya, maka Ki Tumenggung itupun telah membentak,
"Tunjukkan, dimana ia bersembunyi"
Namun Ki Tumenggung itupun terkejut. Dari luar bilik itu
terdengar suara seseorang, "Kau tidak usah mencariku, Ki
Tumenggung. Aku sudah berada disini"
Ketika mereka berpaling, maka merekapun melihat seorang
laki-laki berdiri di depan pintu bilik itu. Laki-laki yang dilihat oleh Ki Tumenggung masuk melalui regol halaman rumahnya
itu. "Iblis, kau. Aku ingat sekarang, siapakah kau sebenarnya"
"Sukurlah jika kau masih dapat mengingat siapa aku"
"Tetapi bagaimanapun juga, perempuan ini adalah istriku"
"Aku tahu, Ki Tumenggung. Perempuan itu adalah istrimu.
Karena itu, aku tidak mengganggunya"
Tetapi pengawal Ki Tumenggung yang mengaku pernah
membunuh seorang laki-laki dan istrinya itupun tertawa.
Katanya, "Ki Sanak, kita adalah laki-laki. Apakah kita akan
ingkar, apa yang sering dilakukan oleh laki-laki" Pada suatu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hari aku telah membunuh seorang laki-laki dan istriku. Tetapi
mungkin lain kali, akulah yang akan dibunuh"
"Ya. Kau akan mati malam ini" desis Ki Waskita.
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Apakah kau mampu
menjaring angin sehingga kau akan membunuhku?"
"Kau bukan angin, Ki Sanak, sehingga aku tidak akan
mengalami kesulitan untuk membunuhmu"
Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, "Kau agaknya
memang seorang yang keras kepala. Baiklah. Kita akan
membuktikan, apa yang akan terjadi"
"Ki Tumenggung" berkata Ki Waskita yang seakan-akan
tidak mendengarnya, "menyerahlah. Sudah terlalu banyak
darah tertumpah. Sedangkan impian Harya Wisaka tidak akan
pernah dapat terwujud"
"Jangan mengalihkan persoalan. Persoalan di antara kita
adalah persoalan yang sangat pribadi. Kau hanya
memanfaatkan keadaan untuk kepentinganmu sendiri"
"Kakang" suara Nyi Tumenggung bagaikan tersangkut di
tenggorokan. "Menyerahlah" geram Ki Tumenggung, "permainanmu akan
berakhir malam ini" Namun Ki Waskitapun menjawab, "Bukan aku yang harus
menyerah. Tetapi kau, Ki Tumenggung"
"Bagus. Kita akan melihat, siapakah di antara kita yang
harus menyerah dan harus merelakan lehernya dipenggal.
Dengan demikian persoalan kita akan selesai"
"Ki Tumenggung, kaulah yang selalu mengungkit persoalan
pribadi kita. Sudah aku katakan, bahwa apa yang aku lakukan,
terutama dalam lingkup usaha Pajang untuk menangkap
Harya Wisaka yang telah memberontak"
"Kau tidak usah membual seperti itu. Kau ternyata telah
memanfaatkan keadaan ini untuk kembali kepada perempuan
yang pernah kau khianati. Kau tinggalkan dalam keadaan yang
paling buruk bagi seorang perempuan. Apalagi seorang gadis"
"Kau jangan mengigau seperti itu, Ki Tumenggung"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Kenapa kau waktu itu
melarikan diri setelah menghamili seorang gadis" Itukah sikap
seorang laki-laki yang bertanggung jawab?"
"Ki Tumenggung, kita akan dapat membicarakan persoalan
di antara kita pada kesempatan lain. Sekarang, aku akan
menangkapmu" "Kesombonganmu masih saja melekat padamu sampai hari-
hari tuamu. Tetapi juga kelicikanmu. Kau hanya berani
mendatangi perempuan yang kau inginkan seperti laku
seorang pencuri di malam hari. Kenapa kau tidak datang
kepadaku sebelum terjadi kemelut di Pajang" Sebelum aku
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diburu karena aku berpihak kepada seorang yang memiliki
masa depan yang tajam bagi Pajang?"
"Aku menghormati ikatan pernikahan kalian, Ki
Tumenggung" "Tetapi ketika aku tidak ada di rumah, kau baru berani
datang menemui perempuan yang pernah kau khianati"
"Sudah. Sudah" teriak Nyi Tumenggung. "Sudah aku
katakan, Kakang Tumenggung. Kau telah dijebak. Dengan licik
laki-laki ini dengan sengaja mengungkit masa lalu kita, agar
kau pulang. Tetapi aku bukan perempuan yang mudah
kehilangan kesetiaanku kepada seorang suami"
Seorang di antara kedua orang pengawal Ki Tumenggung
itu tertawa. Katanya, "Kau dapat berkata begitu, Nyi. Tetapi
laki-laki ini ada di rumahmu. Dengan mendengarkan
pembicaraan Ki Tumenggung dan laki-laki itu, kami dapat
menangkap ceritera panjang kehidupanmu, Nyi. Ceritera yang
diwarnai oleh gejolak di masa gadismu. Melihat sikapmu
sekarang, Nyi, aku dapat membayangkan, bahwa Nyi
Tumenggung semasa gadisnya adalah seorang gadis yang
lincah, ramah dan tentu sangat menarik"
"Cukup, cukup" Nyi Tumenggung itu menjerit, "Kakang
Tumenggung, kau biarkan kawanmu itu menghinaku"
"Apa yang harus aku katakan, Nyi. Yang mereka lihat
sekarang, laki-laki ini berada di dalam rumah ini"
"Sudah aku katakan, ia sengaja menjebakmu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pengawal Ki Tumenggung yang lainlah yang kemudian
menyahut, "Satu langkah yang sudah direncanakan dengan
baik. Laki-laki ini mendapat dua kesempatan sekaligus.
Menjebak Ki Tumenggung dengan cara yang jarang didapat.
Agaknya itulah kelebihan laki-laki ini"
"Kakang Tumenggung, Kakang" Nyi Tumenggung tidak
tahan lagi mendengar sindiran-sindiran itu, sehingga tangisnya menjadi semakin keras. Ditutupinya wajahnya dengan kedua
telapak tangannya ketika ia terduduk dengan lemah.
Dalam pada itu, anak perempuan Ki Tumenggung itupun
telah terbangun mendengar pertengkaran yang
berkepanjangan. Ketika ia tegak di hadapan laki-laki yang
sering berada di rumahnya itu.
"Ayah" teriak gadis yang menjelang dewasa itu sambil
berlari ke arah ayahnya. Ki Tumenggung terkejut. Iapun segera berpaling. Demikian
anak perempuannya menghambur ke arahnya, maka Ki
Tumenggung itupun segera berjongkok memeluknya.
"Ayah. Ayah pergi lama sekali"
"Ya, Ngger. Sekarang ayah pulang menjemputmu"
Gadis kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berlari ke ibunya yang sedang menangis.
"Ibu, Ibu. Ibu kenapa?"
Nyi Tumenggungpun telah memeluk anak perempuannya
itu pula sementara tangisnya masih juga belum mereda. "Ibu"
Nyi Tumenggung tidak menjawab. Tetapi dipeluknya anak
gadisnya semakin erat. "Nah, Ki Tumenggung. Tidak sepantasnya kita menyiksa
perasaan Nyi Tumenggung dengan prasangka-prasangka
buruk seperti itu. Sekarang, marilah kita selesaikan persoalan kita"
Ki Tumenggung bangkit berdiri sambil berkata, "Aku bunuh
kau dan aku membunuh anakmu itu juga"
"Sudah aku katakan, kita tidak membicarakan persoalan
kita pribadi" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika aku berhasil membunuhnya, aku akan melempar
mayatnya di depan istana Pajang, istana Kangjeng Sultan
yang pernah memberikan hadiah sebilah keris kepada anak
durhaka itu" "Kakang" terdengar suara Nyi Tumenggung di sela-sela isak
tangisnya. Tetapi Ki Tumenggung seakan-akan tidak mendengarnya.
Bahkan kemudian iapun berkata kepada kedua orang
pengawalnya, "Kita akan menangkapnya hidup-hidup. Aku
masih mempunyai persoalan yang harus aku bicarakan
dengan orang ini" Ki Waskita tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera
melangkah surut ke ruang dalam. Ruang yang cukup luas
untuk membela diri. Ketika kemudian Ki Tumenggung dan dua orang
pengawalnya menyusulnya, maka Nyi Tumenggung hanya
dapat memeluk anak perempuannya, sementara tangisnyapun
semakin menjadi-jadi. Perempuan itu merasa bahwa harga dirinya sebagai
perempuan telah terinjak-injak. Kehadiran Ki Waskita di
rumahnya benar-benar telah menghancurkan kebersihan
namanya sebagai seorang istri yang dengan hati-hati menjaga
martabatnya. Meskipun ia tetap bersih, tetapi ia tidak dapat mengelakkan
tuduhan-tuduhan terhadapnya, laki-laki itu memang ada di
rumahnya. Sementara itu ia tidak sempat minta kesaksian
para pembantunya dan bahkan anak perempuannya.
Seandainya hal itu sempat dilakukannya, maka semuanya itu
tentu hanya dianggap sebagai satu sikap pura-pura yang
rendah. Sejak semula Nyi Tumenggung sudah merasa, bahwa ia
berdiri di persimpangan jalan. Jalan yang manapun yang
dipilihnya, jalan itu akan bermula kepada kepedihan yang
mengiris jantungnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Ki Waskita yang telah berada di ruang
dalam, segera mempersiapkan dirinya. Ia harus bertempur
menghadapi tiga orang yang berilmu tinggi.
Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang jantungnya telah
terbakar itupun segera memberi isyarat kepada kedua orang
pengawalnya untuk berpencar. Mereka bertiga akan
menghadapi Ki Waskita dari tiga arah.
Ki Tumenggung yang sadar, bahwa Ki Waskita adalah
seorang yang berilmu sangat tinggi, benar-benar telah
mempersiapkan diri. Tetapi bersama dengan dua pengawal
terpilihnya, maka Ki Tumenggung yakin, bahwa ia akan dapat
menangkapnya hidup-hidup, membawanya ke tempatnya
bersembunyi dan membuat perhitungan pribadi.
Kedua orang pengawal Ki Tumenggung itupun telah
bersiaga pula. Sebenarnya mereka lebih senang untuk
membunuh korbannya di tempat. Tetapi keduanya tidak dapat
melakukan karena Ki Tumenggung ingin orang itu ditangkap
hidup-hidup. Agaknya Ki Tumenggung ingin menunjukkan kepada Nyi
Tumenggung bahwa ia berhasil menguasai laki-laki yang
dianggapnya telah datang ke rumahnya dengan laku seperti
seorang pencuri. Bagi Ki Tumenggung Sarpa Biwada, kematian merupakan
hukuman yang terlalu ringan bagi Ki Waskita. Orang itu harus
merasakan penyesalan yang mendalam sebelum ia direnggut
oleh maut. Sejenak kemudian, maka para pengawal Ki Tumenggung
itupun mulai menyerang dengan garangnya. Keduanya
berloncatan silih berganti susul-menyusul. Namun sekali-sekali keduanya menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda.
Untuk beberapa saat Ki Tumenggung masih berdiri di
tempatnya. Ia mencoba memperhatikan unsur-unsur gerak Ki
Waskita yang tangkas itu.
Setiap kali memang terkilas di kepala Ki Tumenggung
peringatan istrinya, bahwa laki-laki yang menyebut dirinya Ki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Waskita itu memang berusaha menjebaknya. Tetapi Ki
Tumenggung memang meragukan kebenaran keterangan itu.
Keterangan itu hanya sekedar untuk menakut-nakutinya
agar ia segera pergi dan membiarkan laki-laki itu tetap berada di rumahnya bersama istrinya itu.
Perasaan itulah yang kemudian menyala di dadanya.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun menggeram sambil
berkata, "Aku akan menunjukkan kepada perempuan itu,
bahwa aku akan dapat memaksanya menyembahku dan
mencium kakiku" Sejenak kemudian, Ki Tumenggung itupun segera
melibatkan dirinya. Ki Waskita harus bertempur melawan tiga
orang sekaligus. Tiga orang yang berilmu tinggi.
Pertempuran itupun kemudian menjadi semakin sengit.
Ketiga orang lawan Ki Waskita itu segera meningkatkan
kemampuan mereka. Bagaimanapun juga mereka tidak dapat
mengabaikan kemungkinan bahwa kehadiran laki-laki itu
memang usaha untuk menjebak mereka.
Tetapi Ki Waskita adalah seorang yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka ia tidak pula mudah ditundukkan.
Sementara itu, Nyi Tumenggung dan anak perempuannya
masih tetap berada di biliknya. Ia tidak pergi ke ruang dalam
untuk menyaksikan pertempuran itu. Nyi Tumenggung tidak
ingin melihat salah seorang dari keduanya itu dikalahkan,
meskipun ia tahu, bahwa hal itu jarang sekali terjadi. Dendam
yang membakar jantung suaminya dan bahkan mungkin juga
Ki Waskita, akan mendorong mereka untuk bertempur habis-
habisan. Sebenarnyalah di ruang dalam, Ki Waskita bertempur
seperti banteng ketaton. Sekali-sekali serangannya berhasil
menembus pertahanan lawannya, mengenai sasarannya.
Namun pada kesempatan lain, Ki Waskitalah yang terdorong
beberapa langkah surut. Namun Ki Tumenggung Sarpa Biwada dan kedua orang
pengawalnya itu tidak segera mampu menangkap Ki Waskita
hidup-hidup. Kulit orang itu menjadi licin bagaikan kulit belut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Langkahnya cepat dan ringan. Kakinya berloncatan seolah-
olah tidak menyentuh lantai ruang dalam rumah Ki
Tumenggung itu. Nampaknya Ki Tumenggung Sarpa Biwada benar-benar
ingin menangkap Ki Waskita hidup-hidup. Meskipun
pertempuran itu menjadi semakin seru, namun Ki
Tumenggung Sarpa Biwada tidak mempergunakan senjata
mereka, sementara Ki Waskita tidak membawa senjata sama
sekali. Dalam pada itu, ternyata Ki Tumenggung Sarpa Biwada dan
kedua orang kawannya yang berilmu tinggi itu mulai dapat
mendesak Ki Waskita. Serangan-serangan mereka bertiga
mulai dapat menembus pertahanan lawan mereka. Ki Waskita
terdorong beberapa langkah ketika kaki Ki Tumenggung
menyeruak menusuk mengenai tulang-tulang rusuknya.
Sebelum Ki Waskita sempat memperbaiki kedudukannya,
serangan seorang pengawal Ki Tumenggung yang berilmu
tinggi itu telah mengenai pundaknya.
Ki Waskita terhuyung-huyung. Namun orang itu sengaja
menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali mengambil
jarak. Namun tubuh Ki Waskita justru telah membentur gledeg
bambu hingga gledeg itu terdorong dan roboh.
Dengan tangkasnya Ki Waskitapun segera bangkit berdiri.
Ketika serangan pengawal Ki Tumenggung yang lain meluncur
ke arah dadanya, Ki Waskita sempat merendahkan dirinya
sambil bergeser ke samping, sehingga serangan itu tidak
mengenainya. Namun dalam pada itu, Ki Waskita sendiri mengalami
kesulitan untuk mampu menyentuh tubuh lawannya. Ki
Waskita yang harus bertempur melawan ketiga orang berilmu
tinggi itu, seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk
membalas. Meskipun demikian, Ki Waskita masih juga mampu
menggapai seorang lawannya. Pengawal Ki Tumenggung itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terdorong ke samping. Tubuhnya membentur dinding gebyok
di ruang dalam rumah itu.
Tetapi Ki Waskita tidak sempat memburunya. Serangan Ki
Tumenggung Sarpa Biwadapun datang membadai. Bahkan
justru serangan pengawal Ki Tumenggung yang lainlah yang
telah menyentuh lengan Ki Waskita.
Ki Waskita harus meloncat surut mengambil jarak. Namun
lawannya yang sempat dikenainya itu sudah berdiri tegak
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ki Waskita memang sulit untuk mendapat kesempatan.
Serangan-serangan lawannya semakin lama menjadi semakin
cepat. Ki Tumenggung yang dibakar oleh perasaan dendam
pribadi itu, tidak terkekang lagi. Beberapa kali serangannya
berhasil mengenai tubuh Ki Waskita. Demikian pula kedua
orang pengawalnya. Sehingga dengan demikian, keadaan Ki
Waskita menjadi semakin sulit.
Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun menjadi semakin yakin,
bahwa ia akan segera dapat menguasai Ki Waskita dan
menangkapnya hidup-hidup.
"Orang ini tidak boleh terlalu cepat mati" berkata Ki
Tumenggung di dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, Ki Waskita benar-benar telah
kehilangan kesempatan. Serangan-serangan ketiga lawannya
menjadi semakin sering mengenai tubuhnya sehingga Ki
Waskita itu bagaikan diguncang-guncang. Ketika kaki Ki
Tumenggung Sarpa Biwada mengenai dadanya maka Ki
Waskitapun terdorong beberapa langkah ke samping. Namun
tangan salah seorang pengawal Ki Tumenggung itupun
menyambar keningnya, sehingga Ki Waskita terpelanting
dengan kerasnya. Namun dengan satu putaran kaki pengawal
Ki Tumenggung yang lain terayun mendatar menghantam
pundaknya. Ki Waskita itu terlempar membentur dinding. Ketika ia
mencoba untuk bangkit, maka tubuhnya itupun tidak segera
menemukan keseimbangannya. Ketika Ki Waskita masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terhuyung-huyung, tumit Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah
menghantam perut Ki Waskita.
Sekali lagi Ki Waskita terlempar membentur dinding. Sekali
lagi Ki Waskitapun terjatuh terbanting di lantai.
Namun ketika Ki Waskita mencoba untuk bangkit, tubuhnya
terkulai lagi dan jatuh bersandar dinding.
Ki Tumenggung Sarpa Biwada berdiri termangu-mangu.
Seorang pengawalnya masih menyerangnya. Kakinya
menyambar kening Ki Waskita.
Ki Waskitapun kemudian terbaring sambil mengerang
kesakitan. Tubuhnya menggeliat seperti cacing kepanasan.
"Bangkit. Bangkit kau laki-laki sombong. Kau kira ilmumu
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah menggapai langit sehingga kau tidak dapat
dikalahkan?" berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ki Waskita tidak menjawab. Mulutnya menyeringai
menahan sakit di seluruh tubuhnya.
"Bangkit. Atau aku bunuh kau" bentak Ki Tumenggung.
Tetapi Ki Waskita tidak dapat bangkit lagi.
"Dimana kawan-kawanmu" Inikah jebakanmu" Tidak
seorang pun datang menolongmu. Teriakan-teriakan di rumah
ini tidak akan didengar oleh tetangga-tetangga sebelah-
menyebelah. Selain halaman rumah ini cukup luas, dinding
rumah inipun terlalu rapat"
Ki Waskita sama sekali tidak menjawab. Ia masih saja
mengerang meskipun tertahan-tahan.
Tiba-tiba saja Ki Tumenggung itupun menarik kerisnya
sambil berkata lantang, "Habislah kesombonganmu sampai
disini" Namun tangan Ki Tumenggung tidak sempat terayun.
Terdengar Nyi Tumenggung itu menjerit tertahan.
Ki Tumenggungpun berpaling. Bahkan iapun kemudian
melangkah mendekati istrinya yang berdiri sambil memeluk
anak perempuannya. "Nyi" berkata Ki Tumenggung, "terima kasih atas
kepedulianmu terhadapku. Kau sudah memperingatkan aku,
bahwa kehadiran laki-laki ini adalah sebuah jebakan. Bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
laki-laki ini telah mempersiapkan kawan-kawannya untuk
menangkap aku. Tetapi lihat, sampai akhirnya orang itu
terkapar hampir mati, tidak seorang pun kawannya datang
menolongnya" Nyi Tumenggung sama sekali tidak menjawab.
"Untunglah bahwa aku tidak mendengarkan peringatanmu
sehingga aku lari pontang-panting meninggalkan rumah ini,
sementara laki-laki itu masih berada di dalamnya"
Nyi Tumenggung hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Aku memang harus mencoba memahami, betapa keterpautan
perasaanmu dengan laki-laki jahanam itu. Tetapi kaupun
harus ingat, jika aku tidak hadir di dalam perjalanan hidupmu, maka kau sudah menjadi sampah. Anakmu yang kau bangga-banggakan itupun tidak lebih dari anak yang lahir dari
seonggok sampah yang kotor"
"Kakang" Ki Tumenggung seolah-olah tidak mendengarnya. Ia
berkata selanjutnya, "Sekarang, laki-laki pengecut ini telah
memanfaatkan keadaan yang kalut untuk kembali kepadamu
dan agaknya kau telah menerimanya dengan tangan terbuka"
"Tidak. Tidak. Kau salah, Kakang"
"Pada saat aku akan membunuhnya, maka kaupun telah
mencegahnya pula" "Tidak. Tidak" tangis Nyi Tumenggungpun telah meledak
lagi. Anak perempuannyapun telah menangis pula sambil
bertanya, "Ibu, Ibu. Kenapa Ibu menangis?"
"Jangan kau hiraukan ibumu" berkata Ki Tumenggung.
"Ibumu telah berkhianat terhadap kita sekeluarga. Karena itu
aku datang menjemputmu"
"Tidak. Aku tidak mau pergi. Aku akan tinggal disini
bersama Ibu" "Ia bukan ibumu lagi. Laki-laki itu telah merampas
kesetiaannya sebagai seorang ibu"
"Tidak. Ibu tidak pernah berkhianat"
"Kau masih terlalu kecil untuk mengerti"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, Ayah. Aku tidak akan pergi. Aku akan tinggal
bersama Ibu, apapun yang terjadi"
Ki Tumenggung menjadi marah. Dengan lantang iapun
berkata, "Baik. Baik. Jika kau lebih senang ikut bersama
ibumu. Sekarang ibumu berkhianat terhadap suaminya. Besok
ibumu akan berkhianat pula terhadap anak-anaknya. Kau akan
ditinggalkannya untuk mengikuti laki-laki yang diinginkannya"
"Ayah" potong anak perempuannya. Anak itu sudah bukan
kanak-kanak lagi. Tetapi ia sudah meningkat remaja, sehingga
nalarnya sudah mulai berkembang.
Ki Tumenggung ternyata tidak menghiraukannya lagi.
Iapun kembali berpaling kepada laki-laki yang terbaring
lemah. "Bangkit, laki-laki jahanam. Kalau kau tidak mau bangkit,
aku tusuk perutmu sampai ke punggung"
Seorang pengawal Ki Tumenggung mengguncang tubuh Ki
Waskita dengan kakinya. "Bangkit. Ikut kami. Kau akan
memasuki satu kehidupan yang tidak pernah kau bayangkan.
Dunia yang paling pantas bagi laki-laki jahanam seperti kau"
Ki Waskita tidak mempunyai pilihan lain. Dengan susah
payah iapun bangkit. Sementara itu keris Ki Tumenggung
segera melekat di punggungnya.
"Berjalan" bentak Ki Tumenggung.
Tertatih-tatih Ki Waskita berjalan diapit oleh dua orang
pengawal Ki Tumenggung, sementara itu di belakangnya Ki
Tumenggung berjalan dengan mengacukan keris di
punggungnya. Nyi Tumenggung tidak dapat berbuat apa-apa. Apapun
yang dilakukannya pasti salah. Karena itu, maka Nyi
Tumenggung itu telah memilih untuk berdiam diri saja.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung dan kedua orang
pengawalnya telah membawa Ki Waskita keluar lewat pintu
butulan. Seorang dari kedua pengawal itu memberitahukan
kepada memilik rumah yang beradu sudut dengan rumah Ki
Tumenggung, bahwa Ki Tumenggung tidak singgah di rumah
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malam terasa sunyi. Angin malam bertiup perlahan-lahan
menggoyang dedaunan. Dengan hati-hati Ki Tumenggung membawa Ki Waskita
menyusuri lorong-lorong sempit Ketika mereka akan
menyeberangi jalan yang lebih lebar, maka Ki Tumenggung
itupun berkata, "Tutup matanya. Meskipun umurnya tidak
akan panjang lagi, tetapi aku tidak ingin ia mengetahui,
dimana kita bersembunyi selama ini"
Seorang di antara kedua pengawal Ki Tumenggung itupun
menyambar ikat kepala Ki Waskita. Ditutupnya matanya dan
bahkan kemudian diikatnya pula tangannya.
Dengan nada berat Ki Waskita itupun berkata, "Kenapa kau
tidak jadi membunuhku saja di rumahmu tadi Ki
Tumenggung?" "Kau kira aku benar-benar akan membunuhmu?" sahut Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. "Jika aku menarik kerisku, aku
hanya ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh perempuan
itu. Ternyata ia tidak dapat membiarkan kau mati. Kau tahu
itu?" Ki Waskita yang matanya telah tertutup dan tangannya
terikat itupun berkata, "Barangkali akan lebih baik jika kau
membunuhku saja" "Kau menjadi ketakutan" Seharusnya kau bersikap seperti
seorang laki-laki yang berani menghadapi akibat apapun dari
tingkah lakumu sendiri. Tetapi agaknya kau akan
menyenangkan sekali. Bukan saja bagiku, tetapi juga bagi
kawan-kawanku" Seorang pengawal Ki Tumenggung itu berkata, "Aku ingin
melihat wajahmu menjadi putih seperti kapas karena
ketakutan. Aku ingin melihat tubuhmu basah kuyup oleh
keringat dingin sehingga kau menggigil seperti orang
kedinginan" "Tubuhmu tidak lagi berdarah jika kami menggoreskan
pisau mengoyak kulitmu, karena perasaan takutmu itu"
Ki Tumenggung Sarpa Biwada serta kedua orang
pengawalnya itupun tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Waskita tidak menyahut. Dengan mata tertutup serta
tangan terikat, Ki Waskita itupun didorong untuk berjalan
terus. Setelah menyeberangi jalan yang lebih besar, mereka
masuk kembali ke sebuah lorong sempit. Mereka merayap
perlahanlahan di atas lorong berbatu-batu padas. Sekali-sekali kaki Ki Waskita itu terantuk batu sementara punggungnya
didorong oleh para pengawal Ki Tumenggung, sehingga Ki
Waskita itu jatuh tertelungkup.
Ki Tumenggung dan kedua orang pengawalnya itu masih
saja menertawakannya. Meskipun mereka menahan diri agar
suara tertawanya tidak terdengar oleh orang-orang yang
sudah tertidur di dalam rumah mereka di sebelah-menyebelah
lorong itu. Rumah-rumah itu pada umumnya adalah rumah-rumah
yang sederhana saja. Halamannya sempit, dinding
halamannya rendah dan tidak terpelihara, tanpa regol
halaman dan berkesan kumuh.
Beberapa lama Ki Waskita berjalan dengan mata tertutup
dan tangan terikat. Sementara itu, lorong yang mereka
laluipun berkelok-kelok, sulit untuk dapat diingat.
Di dini hari, selagi suasana masih sepi, Ki Waskita telah
didorong masuk ke dalam sebuah halaman rumah yang
berada di pinggir lorong itu.
Ki Waskita merasakan kakinya terantuk pada tlundak pintu
lereng yang terbuat dari bambu. Kemudian iapun merasa
berjalan di atas sasak bambu beberapa langkah. Namun
kemudian Ki Waskita itupun harus menuruni tangga bambu
melalui lubang yang sempit.
"Ruangan di bawah tanah" berkata Ki Waskita di dalam
hatinya. Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita telah dilemparkan ke
sebuah ruangan yang dibuat di bawah tanah. Sebuah lubang
yang besar dengan tiang-tiang serta tulang-tulang bambu
petung yang kokoh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu, penutup mata Ki
Waskita itupun dibuka. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Yang berdiri di
depannya adalah salah seorang pengawal Ki Tumenggung
Sarpa Biwada. Namun Ki Waskita tidak melihat Ki
Tumenggung itu sendiri. "Tinggallah untuk sementara di lubang ini" berkata
pengawal Ki Sarpa Biwada itu.
Ki Waskita tidak menjawab.
"Besok kau akan mulai memasuki masa-masa yang
barangkali tidak pernah kau bayangkan. Ki Tumenggung Sarpa
Biwada akan mendapat keputusan yang sangat besar dengan
kehadiranmu disini, sehingga kami tidak membunuhmu di
rumah Ki Tumenggung itu"
Ki Waskita masih tetap diam saja.
"Jangan mencoba untuk berbuat sesuatu yang dapat
merugikan dirimu sendiri. Ruang di bawah tanah ini memang
kokoh. Tetapi jika kau mencoba keluar dari ruangan ini, ada
kemungkinan langit-langit dari ruangan ini akan runtuh,
sehingga kau akan terkubur hidup-hidup di dalamnya"
Ki Waskita memandang orang itu dengan pandangan
kosong. Seakan-akan tidak ada gejolak perasaannya sama
sekali menghadapi keadaan yang sangat gawat itu.
"Nampaknya kau sudah berputus asa" berkata pengawal
itu. "Tetapi perjalananmu masih belum berakhir meskipun kau
sudah sampai ke ujung"
Karena Ki Waskita tetap saja berdiam diri, maka pengawal
Ki Tumenggung itupun berkata, "Kau masih punya waktu
sedikit untuk menikmati ketenangan. Sekarang Ki
Tumenggung sedang beristirahat. Besok, setelah matahari
naik, ia akan mulai dengan permainannya yang sangat
menyenangkan. Ki Tumenggung telah menyiapkan beberapa
jenis alat yang akan membuat permainannya sangat menarik"
Ki Waskita masih saja diam bagaikan membeku.
Namun pengawal Ki Tumenggung itupun melangkah ke
tangga bambu yang masih tersandar pada dinding ruang di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bawah tanah yang lembab itu. Kemudian iapun memanjat naik
sambil berkata, "Lampu minyak itu tidak akan mati. Kau juga
tidak akan mati lemas, karena ada udara yang cukup di ruang
ini. Tutup lubang itu tidak akan terlalu rapat"
Baru kemudian Ki Waskita itupun berdesis, "Apakah kau
tidak akan melepaskan tali yang mengikat tanganku ini?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Apakah jika tali pengikat
tanganmu itu dilepas, kau akan dapat melarikan diri?"
Ki Waskita menggeleng. Katanya, "Aku tahu, bahwa tidak
mungkin aku dapat lari dari ruangan ini"
"Jadi, bukankah sama saja, apakah tanganmu terikat atau
tidak?" "Ada bedanya" jawab Ki Waskita, "jika aku digigit nyamuk,
aku akan dapat menggaruknya"
"Setan kau" geram pengawal itu.
Tetapi pengawal itu tidak menghiraukan Ki Waskita lagi.
Sejenak kemudian orang itu sudah naik ke atas. Kemudian
ditariknya tangga bambu yang bersandar di dinding lubang itu
ke atas. Sejenak kemudian, maka lubang itupun telah tertutup oleh
beberapa lembar papan yang tebal. Di atas papan itu
kemudian diletakkan sasak bambu seperti sasak di depan
pintu. Sasak yang biasa dipasang di lantai rumah berkeliling
untuk mencegah seorang pencuri masuk dengan membuat
lubang di bawah bebatur rumah.
Demikian lubang itu tertutup kembali, maka Ki Waskitapun
berusaha mendapatkan tempat yang tidak terlalu lembab.
Dengan tangan masih terikat Ki Waskita itu duduk bersandar
tiang penyangga tulang-tulang kerangka ruang di bawah
tanah itu. Seperti yang dikatakan oleh pengawal Ki
Tumenggung, bahwa lampu itu memang tidak mati. Agaknya
udara masih tetap mengalir masuk ke ruang di bawah tanah
itu lewat sela-sela papan sasak anyaman bambu yang tidak
terlalu rapat menutup lubang ruangan di bawah tanah itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa saat Ki Waskita duduk berdiam diri. Lampu
minyak yang terletak di atas ajug-ajug menyala dengan
terangnya, menerangi seluruh ruangan itu.
Sementara itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada sedang
berbaring di dalam ruangan yang sempit, seakan-akan
dihimpit oleh dinding bambu di sebelah-menyebelah. Ternyata
ruangan itupun ruangan rahasia pula. Dinding yang
memisahkan ruangan dalam dengan serambi samping
ternyata rangkap. Hanya ada rongga sempit di dalamnya berisi
sebuah amben kecil yang panjang. Disitulah Ki Tumenggung
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sarpa Biwada tidur. Ketika para prajurit Pajang memasuki rumah itu, mereka
memang tidak menemukan apa-apa. Merekapun tidak tahu,
bahwa di dalam rumah itu ada dinding yang rangkap sehingga
di sela-selanya dapat dipergunakan untuk bersembunyi
seseorang. Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah mengalami dua kali
penggeledahan atas rumah itu. Tetapi para prajurit yang
memasuki rumah itu tidak dapat menemukan apa-apa. Ki
Tumenggung sendiri berada di antara dinding rumah itu,
sementara beberapa orang pengawalnya berada di bawah
tanah. Adapun lubang di atasnya tertutup oleh beberapa lembar
papan yang kemudian di atasnya ditindih dengan sasak itu, di
atasnya lagi disamarkan dengan sebuah amben bambu yang
panjang. Di sisa malam itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidur di
dalam ruangan sempitnya itu. Sementara itu di atas lubang
yang tertutup oleh sasak dari anyaman bambu itu telah
diletakkan amben panjang pula.
Di dalam ruangan di bawah tanah, Ki Waskita berusaha
untuk menemukan kemungkinan melepaskan diri. Tetapi
ruangan itu benar-benar rapat. Satu-satunya lubang adalah
lubang yang telah ditutup rangkap serta berada di bawah
kolong amben bambu panjang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah ketika fajar menyingsing di hari berikutnya,
padukuhan itupun mulai terbangun pula. Tetapi Ki
Tumenggung sendiri masih tidur dengan nyenyaknya.
Sementara itu kedua pengawalnya bersama dengan seorang
lagi, yang berperan sebagai pemilik rumah itu, tidur di ruang
belakang. Sedangkan istri laki-laki itu berada di sentong
sebelah kanan dari tiga buah sentong yang berjajar
memanjang itu. Pada saat-saat terakhir mereka sudah merasa lebih aman
karena Pajang tidak lagi terlalu sering mengadakan
pencaharian langsung dari rumah ke rumah. Apalagi ketika
Harya Wisaka dinyatakan sudah meninggal.
Namun mereka menjadi lebih berhati-hati sejak beberapa
orang mereka terbunuh oleh Paksi.
Di dalam ruang di bawah tanah Ki Waskita tidak begitu
dapat mengenali waktu. Ia sama sekali tidak melihat sinar
matahari yang kemudian terbit, sehingga Ki Waskita itu tidak
tahu, bahwa mataharipun sudah terbit.
Kedua pengawal Ki Tumenggung yang kemudian
terbangun, harus menahan kesabaran mereka. Mereka
menunggu Ki Tumenggung mulai dengan permainannya
dengan orang yang berada di ruang di bawah tanah itu.
Tetapi Ki Tumenggung baru terbangun ketika matahari naik
sepenggalah. Kemudian duduk di ruang dalam sambil minum
minuman hangat. "Sudah siang, Ki Tumenggung" berkata salah seorang
pengawalnya. "Jangan tergesa-gesa. Kita akan minum dan makan pagi
lebih dahulu. Baru kemudian kita bermain-main dengan laki-
laki itu" Kedua pengawalnya itupun mengangguk-angguk.
Sementara itu laki-laki dan istrinya yang menghuni rumah itu
telah menyiapkan makan pagi bagi mereka.
Baru setelah makan pagi, Ki Tumenggung itupun bersiap-
siap untuk mulai dengan permainannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun seorang dari kedua pengawalnya telah
diperintahkannya untuk memberitahukan kepada beberapa
orang pengikut Harya Wisaka yang berada di rumah yang lain,
yang tidak terlalu jauh dari rumah yang dipergunakan oleh Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Sekelompok orang yang
berpindah-pindah tempat. Namun seorang penghubung yang
sempat menyusup dan berada di lingkungan keprajuritan,
selalu dapat memberikan peringatan kepada mereka apabila
akan ada peronda yang lewat atau akan ada pencaharian dari
rumah ke rumah. Mereka tidak mendapatkan tempat bersembunyi sebaik Ki
Tumenggung Sarpa Biwada karena jumlah mereka yang cukup
banyak. Namun mereka masih juga mampu menyamarkan diri
di antara para penghuni di padukuhan itu.
"Aku akan ikut" berkata pemimpin sekelompok orang itu.
"Ki Tumenggung tidak memberikan perintah seperti itu"
"Aku akan minta kepada Ki Tumenggung. Senang sekali
dapat menangkap orang penting seperti Ki Waskita"
"Ki Tumenggung mempunyai dendam pribadi"
"Kita semua mendendam orang-orang yang setia kepada
Sultan Hadiwijaya" "Tetapi Ki Tumenggung ingin membuat perhitungan atas
persoalan pribadi mereka"
"Apapun yang akan dilakukan Ki Tumenggung. Tetapi aku
akan ikut" "Terserah kepada Ki Tumenggung. Tetapi aku datang untuk
memperingatkan, agar kau dan orang-orangmu berhati-hati"
"Kami selalu berhati-hati"
"Jangan biarkan anak laki-laki Ki Tumenggung itu pergi
dengan siapapun juga"
"Anak itu tidak ingin pergi kemana-mana"
Pengawal Ki Tumenggung itu tidak dapat mencegahnya.
Pemimpin dari para pengikut Harya Wisaka itupun
mengikutinya kembali ke rumah yang dipergunakan oleh Ki
Tumenggung Sarpa Biwada untuk bersembunyi. Ia akan ikut
serta dalam sebuah permainan yang tentu akan mengasikkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika mereka sampai di rumah yang dipergunakan oleh Ki
Tumenggung itu, maka pemimpin dari para pengikut Harya
Wisaka itupun segera menyatakan diri kepada Ki Tumenggung
untuk ikut turun ke ruangan di bawah tanah.
Ki Tumenggung itupun tersenyum. Katanya, "Tetapi akulah
yang berkepentingan dengan orang itu. Kau tidak oleh
menggangguku" "Tidak, Ki Tumenggung. Aku tidak akan mengganggu Ki
Tumenggung. Aku hanya akan ikut serta. Aku akan
menyesuaikan diri dengan kepentingan pribadi Ki
Tumenggung" "Baiklah. Kita akan membawa orang itu ke kebun belakang.
Di halaman yang kosong di antara rumpun-rumpun bambu
yang lebat. Tidak akan ada orang yang melihatnya dan
seandainya orang itu berteriak-teriak, tidak akan ada yang
mendengarnya" "Baik, Ki Tumenggung. Disana pula aku dua hari yang lalu
membantai dua orang prajurit Pajang. Mereka berteriak-teriak
sekuat tenaga. Tetapi tidak ada orang yang mendengarnya"
"Baiklah" berkata Ki Tumenggung yang lalu memerintahkan
kepada kedua pengawalnya, "Ambil orang itu. Kita akan
membawanya ke sela-sela rumpun bambu di kebun kosong
itu" "Baik, Ki Tumenggung"
"Tetapi ingat. Aku tidak ingin ia mati hari ini"
"Ya. Aku mengerti"
Sejenak kemudian, maka kedua orang pengawal Ki
Tumenggung itupun telah turun ke ruang di bawah tanah
untuk mengambil orang yang terikat tangannya di ruang itu.
Sementara itu, Ki Tumenggung dan pemimpin sekelompok
pengikut Harya Wisaka itupun menunggu sambil duduk di
serambi depan. Dalam pada itu, istri penghuni rumah itupun tiba-tiba
berlari-lari turun ke halaman, sehingga dengan serta-merta Ki
Tumenggungpun memanggilnya, "He, kau akan pergi
kemana?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Penjual jamu gandring itu lewat, Ki Tumenggung"
"Setiap hari kau membeli jamu gandring. Apakah kau tidak
pernah merasa bosan?"
Perempuan itu tersenyum. Ia memang selalu membeli jamu
gandring yang dapat membuat tubuhnya menjadi hangat.
Namun ketika ia turun ke jalan, maka yang dilihatnya penjual
Senopati Pamungkas 13 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Golok Naga Kembar 2