Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 40

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 40


pepohonan sambil terkantuk-kantuk oleh silirnya angin.
Bahkan ada di antara mereka yang benar-benar tertidur
nyenyak di bawah sebatang pohon yang rindang. Demikian
saja mereka berbaring di atas rerumputan.
Ki Bekel, Wijang dan Paksi duduk di atas setumpuk bambu
yang masih sedang digarap untuk dihilangkan sekat ruasnya.
Sedangkan Ki Bekel sempat juga berbaring di bawah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bayangan dedaunan yang lebat. Bajunya dibukanya di bagian
dadanya sambil dikipasi dengan caping bambunya.
Seperti hari sebelumnya, mereka beristirahat beberapa
lama. Wijang dan Paksi dengan sengaja tidak mendekati Ki
Bekel agar mereka tidak mempunyai kesempatan untuk
berbicara tentang sikap Ki Demang yang masih harus
menyembunyikan cacatnya sampai waktu yang dianggapnya
tepat. Ketika matahari sudah sedikit melewati puncak, maka
Wijang dan Paksipun telah bangkit berdiri. Didekatinya Ki
Bekel yang masih berbaring sambil mengipasi dadanya dengan
caping bambunya. "Kita mulai lagi, Ki Bekel"
Ki Bekel tidak ingin bermalas-malasan lagi. Iapun segera
bangkit sambil berkata, "Baik. Baik. Kita akan mulai lagi"
Demikianlah, maka derap kerja yang semakin menarik bagi
anak-anak muda itu telah dimulai lagi. Wijang dan Paksi
bersama beberapa orang telah menyambung bambu yang satu
dengan bambu berikutnya. Kerja itu memang membutuhkan ketelatenan. Sementara
itu, matahari bergerak terus di putaran langit yang cerah.
Tidak selembar awan pun yang nampak bergerak di udara. Di
sebelah utara nampak segumpal kecil awan berlabuh di
cakrawala. Keringat telah membasahi seluruh tubuh anak-anak muda
yang bekerja di bawah teriknya matahari. Yang tidak berbaju,
kulitnya menjadi semakin kelam, berkilat-kilat seakan-akan
berminyak. Wijang, Paksi dan beberapa anak muda masih sibuk
menyambung bambu yang satu dengan yang lainnya dengan
hati-hati agar air tidak terlalu banyak terbuang.
Adalah wajar jika talang air itu di beberapa tempat
merembes dan bahkan menitik. Tetapi jangan terlalu banyak,
sehingga air yang mengalir di talang itu tetap sampai di
sasaran. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, Wijang dan Paksi masih harus mengatur
ketinggian talang bambu itu agar air dapat mengalir dengan
lancar, tetapi tidak tumpah ruah lewat lubang-lubang pada
setiap ruasnya. Lubang-lubang yang dibuat untuk
menghilangkan sekat-sekat pada ruas bambu itu.
Ternyata kerja itu tidak dapat dipaksakan untuk segera
selesai. Meskipun anak-anak muda yang ada di gumuk kecil itu
semuanya ikut menanganinya. Ketinggian talang itu harus
benar-benar diperhitungkan, sehingga tiang-tiang bambu yang
pendek itupun harus diukur satu demi satu.
Sekali-sekali Wijang minta mulut talang dibuka agar dapat
dipastikan air tidak tumpah atau bahkan mengalir ke arah
yang berlawanan. Namun mulut talang itupun kemudian ditutup kembali.
Meskipun kemudian matahari menjadi semakin rendah, namun
tidak seorang pun di antara anak-anak muda itu yang berniat
menghentikan pekerjaan sebelum selesai. Bahkan bayangan
senjapun mulai membayang. Cahaya matahari menjadi
semakin redup. Sementara itu, Wijang dan Paksipun telah memasang
bambu terakhir pada ujung talang yang sampai di kotak
sawah Mbah Rejeb yang kering itu.
Sambil meletakkan ujung bambu itu pada patok terakhir,
maka Wijangpun berkata, "Trima, buka mulut talang itu"
Trimapun segera berlari. Seorang kawannya mengikutinya
untuk membantu meletakkan mulut talang di tempat yang
sudah disiapkan. Dengan nafas terengah-engah, Trima
bersama seorang kawannyapun segera memasang mulut
talang itu. Demikian air mulai masuk ke dalam talang, maka
Trima dan kawannyapun berlari kembali ke sawah Mbah
Rejeb. Nafas mereka hampir terputus. Mereka harus berlari lebih
cepat dari ujung aliran air di sepanjang talang itu.
Sebelum mereka sampai di kotak sawah Mbah Rejeb, Trima
sudah berteriak, "Air sudah mengalir"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang, Paksi, Ki Bekel dan anak-anak muda itu menjadi
tegang. Mereka menunggu dengan penuh harapan agar air
lewat talang itu dapat mengalir ke kotak sawah Mbah Rejeb.
Demikian Trima dan kawannya sampai, maka airpun telah
tertumpah dari ujung talang bambu itu. Air yang jernih dari
semacam kolam penampungan air yang dibuat oleh anak-anak
muda itu pula. Orang-orang yang menyaksikan titik air yang pertama
tertumpah itupun bersorak dengan gembiranya. Beberapa
orang anak muda saling berpelukan. Ki Bekelpun segera
menepuk bahu Wijang dan Paksi sambil berkata, "Kami
berhutang budi kepada kalian berdua"
"Kita sudah melakukan bersama-sama, Ki Bekel"
"Tetapi kalianlah yang menurunkan gagasan tentang
penyaluran air itu. Kalian berdualah yang telah memaksa kami
untuk meninggalkan kemalasan kami. Tanpa harapan yang
kalian tiupkan, kami tidak akan mampu bangkit. Bahkan
mungkin sampai anak cucu. Apalagi ketamakan Ki Cakrajaya
dan anaknya Wandawa itu selalu membayangi kami. Ki
Demang pun sama sekali tidak membantu kami dengan cara
apapun juga selain sesekali memberikan peringatan tentang musim kering
yang terasa terlalu panjang di padukuhan kami"
"Tetapi sekarang Ki Bekel dan anak-anak muda padukuhan
ini sudah bangun" "Ya" berkata Ki Bekel sambil mengangguk-angguk.
Beberapa saat lamanya mereka mengamati air yang
mengalir dari talang bambu itu. Meskipun hanya satu lajur,
namun arusnya cukup deras, sehingga anak-anak muda itu
bersama-sama telah mandi di pancuran talang air yang hanya
selajur itu. Namun Wijang dan Paksi telah memperingatkan, bahwa
bambu itu masih baru. Mungkin di dalam aliran air itu masih
terbawa gelugut yang dapat membuat kulit mereka menjadi
gatal. Tetapi oleh kegembiraan yang meluap, anak-anak muda
itu tidak menghiraukannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, maka Paksipun berkata kepada mereka, "Nanti,
di rumah kalian harus mandi sekali lagi dengan air sumur agar
kalian tidak menjadi gatal-gatal sehingga semalam kalian tidak dapat tidur. Jika kalian tidak dapat tidur, maka besok kalian
akan terlambat datang"
"Baik" jawab salah seorang di antara mereka, "nanti kami
akan mandi lagi di rumah"
Wijang dan Paksi memandang kegembiraan itu sambil
tersenyum. Wijangpun kemudian berbisik kepada Ki Bekel,
"Tiang penyangga talang itu tidak perlu setinggi orang, Ki
Bekel. Tetapi dapat lebih rendah lagi. Jika kali ini kita pasang agak tinggi, agar langsung dapat dilihat aliran air yang tumpah lewat talang bambu itu. Kami pun sudah mengira, bahwa
anak-anak itu akan dengan gembira mandi dari aliran air yang
melewati talang itu"
Ki Bekelpun tersenyum. Katanya, "Biarlah mereka
menumpahkan kegembiraan itu"
Beberapa saat lamanya Ki Bekel, Wijang dan Paksi
menunggu. Baru setelah anak-anak itu puas saling berdesakan
mandi dari air pancuran yang tertuang lewat talang bambu itu,
merekapun bersiap-siap untuk pulang.
Hari itu mereka terlambat pulang. Langit sudah menjadi
muram. Senja telah turun. Ki Bekel, Wijang dan Paksi berjalan
menyusuri pematang menuju ke padukuhan. Sementara itu,
anak-anak muda yang masih basah, bukan saja tubuhnya,
tetapi sebagian juga pakaiannya, sudah berlari-lari mendahului pulang. Mereka ingin segera memberitahukan kepada Mbah
Rejeb, bahwa air sudah mengalir sampai ke kotak sawahnya di
ujung bulak yang selama musim kemarau menjadi kering dan
bahkan seakan-akan telah pecah-pecah sampai ke lapisan di
bawahnya. Mbah Rejeb yang baru duduk-duduk di serambi depan
rumahnya terkejut melihat anak-anak muda yang datang
berlarilari memasuki halaman rumahnya yang tidak terlalu
luas. "Ada apa?" bertanya Mbah Rejeb.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Trimalah yang menjawab, "Air sudah mengalir, Mbah. Air
dari gumuk kecil itu"
"He?" Mbah Rejeb dengan serta-merta bangkit berdiri.
"Air sudah mengalir, meskipun baru satu talang air yang
siap. Besok kami akan membuat beberapa talang air. Kami
akan membuktikan bahwa air dari gumuk itu dapat mengairi
sawah kita yang hanya basah di musim hujan. Jika hujan
terlambat, maka paceklik akan berkepanjangan. Bahkan
kadang-kadang kita hanya sempat makan dedaunan yang
menjadi semakin menyusut"
Mbah Rejeb itupun dengan serta-merta berkata, "Marilah.
Aku akan melihatnya"
Ternyata Trima dan kawan-kawannya tidak berkeberatan
untuk mengantar Mbah Rejeb pergi ke ujung bulak.
Ketika Mbah Rejeb dan anak-anak muda itu keluar dari
regol halaman rumahnya yang sederhana, mereka berpapasan
dengan Ki Bekel, Wijang dan Paksi.
"Kalian akan pergi kemana?" bertanya Ki Bekel.
"Mbah Rejeb ingin melihat air yang sudah mengalir itu"
Ki Bekel tersenyum. Katanya, "Baiklah. Antar Mbah Rejeb.
Hati-hati, gelap sudah turun"
"Apakah anak-anak ini tidak membual, Ki Bekel?"
"Tidak, Uwa. Mereka berkata sebenarnya. Air memang
sudah mengalir" Mbah Rejeb itupun kemudian di antar oleh anak-anak muda
pergi ke sawahnya. Orang tua itu berjalan dengan cepat di
paling depan. Sementara itu anak-anak mudapun
mengikutinya di belakang.
Ki Bekel, Wijang dan Paksi tersenyum melihat Mbah Rejeb
yang tua itu masih mampu berjalan begitu cepat, sehingga
ada di antara anak-anak muda yang harus berlari-lari kecil.
"Apakah Ki Bekel tidak pergi ke sawah?" bertanya salah
seorang di antara anak-anak muda itu.
Ki Bekel menggeleng. Katanya, "Kalian sajalah yang pergi.
Aku akan beristirahat"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun malam sudah turun, tetapi Mbah Rejeb yang
sudah terbiasa menyusuri pematang sawah, masih saja
berjalan dengan cepat. Apalagi kotak-kotak sawah itu tidak
ditumbuhi tanaman apapun. Tanahnya yang kering tidak
memungkinkan tanaman dapat tumbuh dengan baik dan
menjanjikan panenan yang memadai. Sehingga karena itu,
maka bulak itupun nampaknya seperti sebuah padang yang
kerontang. Beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai di kotak
sawah Mbah Rejeb yang menjadi berdebar-debar. Ia
mendengar gemericik air seperti air yang mengalir dari sebuah
pancuran. "Air. Itu suara air" desis Mbah Rejeb.
"Ya, Mbah. Itu suara air"
Mbah Rejeb yang tua itupun kemudian berlari-lari kecil. Ia
tidak lagi menyusuri pematang. Tetapi Mbah Rejeb itu berlari
melintasi kotak-kotak sawah yang kering.
Ketika ia sampai di sawahnya, tiba-tiba saja terasa kakinya
menginjak tanah yang basah. Di hadapannya, talang air
mengalir seperti sebuah pancuran menumpahkan air tanpa
henti. "Ini baru satu lajur, Mbah. Besok kami akan membuat
lima lajur atau lebih. Meskipun air itu belum mencukupi untuk
mengairi beberapa kota sawah, tetapi kami sudah
membuktikan, bahwa jika kita mau, kita akan dapat
mendapatkan air itu di segala musim. Tidak hanya di musim
basah menunggu hujan turun"
Mbah Rejeb itu menjadi begitu gembira sehingga seperti
anak-anak muda yang melihat air mulai mengalir di talang
bambu itu, maka dengan pakaian yang dipakainya Mbah Rejeb
itu berjongkok di bawah air yang mengalir seperti pancuran
itu. "Alangkah segarnya" desis Mbah Rejeb. Seteguk air masuk
ke dalam mulutnya dan bahkan tertelan pula. Anak-anak muda
itu membiarkan Mbah Rejeb berjongkok beberapa saat di
bawah pancuran. Sementara itu, ada juga di antara anak-anak
muda itu yang pakaiannya masih juga basah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalian luar biasa" berkata Mbah Rejeb setelah berdiri. "Air
ini akan membasahi kotak sawahku ini. Tetapi jika kita
berhasil membuat parit, maka seluruh bulak ini akan basah"
"Itulah yang kami inginkan, Mbah"
"Nah. Biarlah orang banyak mengetahui apa yang terjadi
ini. Aku akan menemui tetangga-tetangga kita dan berceritera
tentang air ini" "Jangan sekarang, Mbah. Kita buat mereka terkejut. Biarlah
air menggenang lebih dahulu. Sementara itu, kami akan
membuat jalur-jalur berikutnya. Empat atau lima jalur lagi.
Biarlah mereka melihat air agak banyak, sehingga mereka
mempunyai gambaran yang lebih baik tentang perlunya
sebuah parit" "Sebenarnya kita sudah mempunyai parit" berkata anak
muda yang lain. "Kita tinggal mengalirkan air dari gumuk kecil itu"
"Parit itu harus diperbaiki lebih dahulu"
"Ya. Di sana-sini tanggulnya sudah koyak. Bahkan beberapa
puluh langkah di sebelah simpang tiga itu sudah tertimbun
tanah" "Jika parit itu sudah diperbaiki, maka kita tinggal membuat
parit dari gumuk kecil itu dan kita tumpahkan ke dalam parit
kita. Air itu sudah akan mengalir ke seluruh bulak ini" berkata Trima.
"Kita akan mengerjakannya"
"Kita, seluruh padukuhan. Laki-laki dan perempuan"
berkata Mbah Rejeb. Namun akhirnya Mbah Rejeb itupun menjadi kedinginan.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhnya bergetar dan giginyapun gemeretak. Bukan karena
marah, tetapi karena pakaiannya yang basah. Tetapi Mbah
Rejeb itu masih tertawa. Katanya, "Nah, marilah kita pulang.
Aku sudah kedinginan"
Anak-anak muda itupun kemudian mengikuti Mbah Rejeb
yang pulang ke rumahnya. Ketika Mbah Rejeb itu memasuki
regol halaman, Trimapun berkata, "Jangan disebar-luaskan
dahulu, Mbah. Kita akan mengejutkan tetangga-tetangga kita"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau kira kawan-kawanmu dapat menyembunyikan rahasia
ini?" "Kita berusaha"
"Jika tidak dapat?"
"Apaboleh buat. Tetapi setidak-tidaknya kita sudah mulai
mengerjakan jalur-jalur yang lain"
"Nanti malam kawan-kawanmu sudah menceriterakan
kepada ayah dan ibunya. Kepada kakek dan neneknya. Ayah,
ibu, kakek dan nenek itu esok pagi-pagi sudah
menceriterakannya kepada tetangga-tetangganya. Mungkin di
simpang-simpang jalan. Mungkin di pasar, mungkin di mana
saja mereka saling bertemu dengan tetangga-tetangganya itu"
Trima tersenyum. Katanya, "Mudah-mudahan kita dapat
menahan diri" "Baiklah. Aku akan mencobanya juga" berkata Mbah Rejeb.
Sejenak kemudian, maka anak-anak itupun segera minta
diri. Sementara Mbah Rejeb itupun langsung pergi ke pakiwan
sambil membawa ganti pakaian.
"Kau kenapa, Ki?" bertanya isterinya yang juga sudah tua.
"Tidak apa-apa" jawab Mbah Rejeb.
"Pakaianmu basah kuyup"
"Aku tergelincir di sungai. Untung kepalaku tidak
membentur batu" Nyi Rejeb itupun menyahut, "Lain kali hati-hatilah, Ki.
Orang yang sudah setua Ki Rejeb sebaiknya jangan pergi ke
sungai setelah gelap"
"Perutku sakit, Nyi. Aku tidak dapat menunggu sampai
esok" Nyi Rejeb tidak menyahut lagi. Sementara itu Ki Rejeb telah
hilang di pintu belakang. Dalam pada itu, selagi anak-anak
muda padukuhannya berbesar hati oleh keberhasilan mereka,
Ki Cakrajaya telah pergi menemui Ki Demang.
"Ternyata kedua orang pengembara itu belum juga pergi,
Ki Demang. Orangku masih melihat keduanya bekerja
bersama-sama anak-anak muda di dekat gumuk kecil itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku sudah menemui mereka, Ki Cakrajaya. Aku sudah
minta agar mereka pergi. Mereka hanya boleh tinggal di sini
sampai hari ini" "Hari ini mereka harus sudah pergi"
"Bukan hari ini mereka sudah harus pergi. Menurut
pendengaranku, Ki Cakrajaya menetapkan bahwa mereka
berdua tidak boleh lebih dari hari ini berada di kademangan
ini" "Tidak. Maksudku, selambat-lambatnya hari ini mereka
harus sudah meninggalkan kademangan ini"
"Bukankah hanya berselisih satu hari" Besok mereka akan
pergi. Akulah yang menentukan hari kepergian mereka. Aku
juga sudah memberikan apa yang Ki Cakrajaya maksudkan
dengan kenang-kenangan yang berupa uang. Mereka
mengucapkan terima kasih atas pemberian Ki Cakrajaya itu.
Merekapun akan menepati perintahku untuk pergi esok pagi"
Ki Cakrajaya mengerutkan dahinya. Dengan nada berat
iapun berkata, "Baiklah, Ki Demang. Aku akan menunggu. Jika
esok mereka belum pergi, maka aku tidak akan dapat
bersabar lagi. Aku akan membuka rahasia Ki Demang. Ki
Demang akan dapat kehilangan kedudukan"
"Tetapi aku tidak merugikan padukuhan-padukuhan lain, Ki
Cakrajaya. Aku hanya merugikan satu padukuhan"
"Tidak, Ki Demang. Ki Demang juga menyalurkan hasil
bumi dari beberapa padukuhan hanya kepadaku. Ki Demang
juga telah menempatkan aku dalam jajaran tertinggi orang-
orang yang berpengaruh di kademangan ini. Semuanya itu Ki
Demang lakukan, karena aku telah menyuap Ki Demang"
Ki Demang tidak menjawab. Tetapi ia sudah berjanji di
dalam dirinya, bahwa pada saat yang tepat, ia akan membuka
cacat yang melekat pada dirinya itu, terutama di hadapan para
penghuni padukuhan yang miskin itu. Perasaan bersalah
bahwa ia tidak berbuat sesuatu, bahkan justru menghambat
pembaharuan di padukuhan itu, akhirnya telah menjadi beban
baginya. Hampir setiap hari terjadi gejolak di dalam dirinya.
Kadang-kadang keinginannya untuk berbuat sesuatu itu begitu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kuat. Namun kemudian pupus karena ia tidak akan dapat
melakukannya. Pemberian Ki Demang itu telah
membelenggunya, sehingga pada suatu saat terasa, bahwa ia
tidak akan kuat lagi mengusung beban yang diletakannya
sendiri di pundaknya. "Ki Demang" berkata Ki Cakrajaya kemudian, "aku minta
diri. Aku akan melihat, apakah esok siang orang-orangku
masih dapat melihat kedua orang itu"
"Jangan besok siang, Ki Cakrajaya. Besok sore"
Ki Cakrajaya mengerutkan dahinya. Katanya, "Ya. Besok
sore" Sepeninggal Ki Cakrajaya, Ki Demang duduk sendiri di
pringgitan. Jantungnya masih saja terasa bergejolak. Ia tidak
dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atas dirinya, jika
ia berterus-terang kepada orang-orang yang tinggal di
padukuhan yang miskin itu, dan yang bahkan dijaga agar
tetap miskin untuk seterusnya. Jika Ki Demang berhasil
mempertahankan kemiskinan itu sampai keturunan
berikutnya, maka padukuhan itu tidak akan pernah dapat
bangkit. Sehingga dengan demikian, keturunan Ki Cakrajaya
akan tetap dapat memanfaatkan kemiskinan itu untuk
keinginannya. Dalam pada itu, betapapun gembiranya anak-anak muda
yang telah berhasil mengalirkan air meskipun baru pada satu
lajur talang bambu itu, namun mereka berusaha untuk tidak
menceriterakannya kepada orang lain. Trima minta agar
mereka tetap diam sampai saatnya beberapa jalur talang
bambu itu dapat menyalurkan air sebagaimana yang satu lajur
itu. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka anak-anak
muda itupun segera berbaring di pembaringan. Mereka ingin
cepat tidur agar besok mereka dapat bangun pagi-pagi sekali.
Dalam pada itu, Wijang dan Paksi masih juga bermalam di
rumah Ki Bekel. Malam itu keduanya sudah menyatakan minta
diri. Esok pagi mereka akan meninggalkan padukuhan itu
untuk melanjutkan pengembaraan mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau saja aku seorang perempuan, maka kepergian kalian
akan aku tangisi" berkata Ki Bekel.
"Contoh itu sudah siap, Ki Bekel. Anak-anak akan dapat
menyelesaikan. Ketinggian tiang penyangga tidak lagi harus
mengukur satu demi satu. Tinggi talang itu sudah menjadi
jelas. Yang harus mereka buat adalah tinggal menyesuaikan
dengan talang yang sudah ada"
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun iapun berkata,
"Meskipun demikian, dibutuhkan api yang menyalakan minyak
seberapa pun banyaknya"
"Bukankah, niat itu sudah menyala. Tinggal
memeliharanya. Jangan sampai kehabisan minyak agar api itu
tetap dapat berkobar dari hari ke hari"
Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun
bertanya, "Apakah kalian akan pergi esok pagi-pagi sekali?"
"Kami masih akan pergi ke gumuk kecil itu, Ki Bekel.
Namun sekedar untuk minta diri. Kami akan langsung
meninggalkan padukuhan bahkan kademangan ini"
"Sukurlah jika kalian berdua masih sempat minta diri
kepada anak-anak muda yang justru semakin tertarik kepada
kerja mereka di gumuk kecil itu. Bukankah kalian juga sudah
minta diri kepada Ki Demang?"
"Ya, Ki Bekel" "Apa katanya?" "Ki Demang mengucapkan selamat jalan. Kami diberinya
tambahan uang sebagai bekal di perjalanan"
Ki Bekel mengangguk-angguk sambil berdesis, "Jadi kalian
diberi bekal uang oleh Ki Demang?"
"Ya, Ki Bekel. Dengan pemberian itu Ki Demang memang
menginginkan agar kami segera pergi"
"Apakah kalian memang membutuhkan uang untuk
menambah bekal kalian?"
"Tidak, Ki Bekel. Kami sudah mempunyai bekal cukup"
Ki Bekel mengerutkan dahinya. Ada sesuatu bergejolak di
jantungnya. Namun Wijang dan Paksi dapat meraba, apa yang
sedang dipikirkan oleh Ki Bekel itu. Karena itu, maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijangpun berkata, "Ki Bekel, kami sudah mempunyai bekal.
Ki Bekel tidak usah memikirkannya. Bahkan uang yang
diberikan oleh Ki Demang itu pun tidak dapat kami terima"
Ki Bekel menarik nafas panjang. Katanya, "Maaf, anak-anak
muda. Ada terbersit niat kami untuk memberikan tambahan
bekal itu. Tetapi kami terlalu miskin, sehingga jika kami
mencoba memberikannya juga, tentu jumlahnya sangat
sedikit" Wijang itupun menyahut sambil tersenyum, "Sudahlah, Ki
Bekel. Sudah aku katakan, bahwa kami sudah membawa bekal
yang cukup. Aku tidak sekedar membual. Jika Ki Bekel berniat
memberikan tambahan bekal itu, tolong, pergunakan untuk
kepentingan air yang sedang Ki Bekel perjuangkan bersama
anak-anak muda padukuhan ini"
"Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih, anak muda.
Kami berharap bahwa pada suatu saat kami dapat bertemu
lagi tidak dalam keadaan seperti ini. Kalian tidak lagi
mengenakan pakaian serta sebutan pengembara. Kami ingin
bertemu kalian yang sebenarnya"
Wijang tertawa. Paksipun tertawa pula. Dengan nada dalam
Paksipun berkata, "Inilah kami yang sebenarnya, Ki Bekel"
Tetapi Ki Bekel menjawab dengan tegas, "Tidak. Kalian
bukannya anak-anak muda sebagaimana aku kenal sekarang.
Mungkin nama kalian pun berbeda. Bukan Wijang dan Paksi.
Kenyataan kalian itulah yang pada suatu saat ingin aku
ketahui" Wijang dan Paksi hanya dapat tertawa.
Sejenak kemudian, ketika di luar sudah terdengar suara-
suara malam di sela-sela desah angin yang lembut, maka Ki
Bekelpun mempersilahkan Wijang dan Paksi untuk
beristirahat. "Aku sudah mengantuk, anak-anak muda. Aku tidak ingin
besok pagi datang kemudian dari anak-anak muda itu"
"Tetapi apakah kerja Ki Bekel tidak terbengkalai karena Ki
Bekel selalu berada di gumuk kecil itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, anak muda. Ada bebahu yang lain yang dapat
mengerjakannya. Aku juga sudah berpesan, jika ada yang
tidak terselesaikan, biarlah aku disusul di gumuk kecil itu"
Wijang dan Paksipun mengangguk-angguk.
Demikianlah, sejenak kemudian maka Wijang dan Paksipun
telah berada di gandok. Sementara itu, Ki Bekelpun langsung
pergi ke biliknya. Ia ingin cepat tidur agar esok pagi Ki Bekel tidak terlambat datang di gumuk kecil itu.
Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir
menjelang fajar, maka Ki Bekelpun sudah siap untuk
berangkat. Namun ia masih juga belum dapat bangun lebih
pagi dari Wijang dan Paksi.
Nyi Bekellah yang menjadi terlalu sibuk di dapur untuk
segera mempersiapkan makan pagi bagi Ki Bekel dan kedua
orang anak muda yang berada di rumahnya itu.
"Ki Bekel akan berangkat ke gumuk pagi-pagi sekali?"
bertanya Nyi Bekel. "Anak-anak juga akan datang lebih pagi. Biarlah aku datang
mendahului mereka" "Tetapi semakin lama semakin dini. Dalam sepekan
mendatang, Ki Bekel akan berangkat tengah malam"
"Bukan begitu, Nyi. Bukankah semakin pagi udaranya
terasa semakin sejuk" Udara belum begitu panas dan debu
pun belum terlalu banyak bertebaran"
Nyi Bekel tidak menjawab. Ia masih saja sibuk
mempersiapkan makan pagi bagi Ki Bekel yang nampaknya
tidak begitu sabar menunggu.
Setelah mereka selesai makan pagi dan siap untuk
berangkat, Wijangpun berkata, "Ki Bekel, aku juga ingin
mohon diri kepada Nyi Bekel. Nanti dari gumuk itu kami akan
langsung meninggalkan padukuhan ini. Karena kami tidak
akan singgah lagi di rumah ini, maka kami akan mohon diri
sekarang juga" Ki Bekelpun kemudian telan memanggil Nyi Bekel yang
berada di belakang. "Ada apa?" bertanya Nyi Bekel.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kedua anak muda itu akan minta diri"
"Apakah mereka jadi akan meninggalkan padukuhan ini
pada hari ini?" "Ya. Mereka akan meninggalkan kita dan padukuhan ini.
Tetapi mereka sudah meninggalkan gagasan yang sangat
berarti bagi kita di padukuhan ini"
Nyi Bekelpun kemudian telah pergi menemui Wijang dan
Paksi. Dengan sikap keibuan Nyi Bekel itupun berpesan, "Hati-
hati di perjalanan, Ngger. Banyak batu-batu padas yang
runcing serta duri-duri yang tajam"
"Ya, Nyi. Kami akan berhati-hati" jawab Wijang.
"Jangan lupa, mohon tuntunan-Nya di sepanjang jalan.
Meskipun kalian pengembara yang berpengalaman sekalipun,
tanpa tuntunan-Nya, kalian akan dapat tersesat. Bukan hanya
arah perjalanan kalian saja yang dapat tersesat, tetapi juga
sikap dan tingkah laku. Cermatlah menjatuhkan pilihan atas
masalah-masalah yang kalian hadapi"
"Ya, Nyi" "Nah, selamat jalan anak-anak"
"Doa Nyi Bekel hendaknya menyertai kami"
"Aku akan berdoa bagi kalian"
Demikianlah, maka Wijang dan Paksipun meninggalkan


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah Ki Bekel bersama-sama dengan Ki Bekel sendiri pergi
ke gumuk kecil. Udara pagi menjelang matahari terbit memang terasa
segar. Burung-burung liar terdengar berkicau di pepohonan.
Satu dua tetes embun masih menitik dari dedaunan yang
basah. Ki Bekel, Wijang dan Paksi berjalan menyusuri jalan
setapak, menuju ke gumuk kecil di kaki Gunung Merapi. Untuk
mengatasi dinginnya udara pagi, merekapun berjalan dengan
cepat. Sekali-sekali mereka meloncati lekuk-lekuk batu padas.
Aliran air yang sama sekali tidak terarah serta bebatuan yang
tersebar. Ketika mereka sampai di gumuk kecil, ternyata anak-
anak muda yang mengerjakan talang bambu itu masih belum
datang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Hanya
selang beberapa saat anak-anak muda itu sudah mulai
berdatangan. Bahkan ada dua orang anak muda yang baru
sekali itu ikut datang ke gumuk kecil di kaki Gunung Merapi
itu. "Kami singgah sebentar di kotak sawah Mbah Rejeb"
berkata Trima. "Air sudah mulai tergenang setelah semalam suntuk talang
bambu itu mengalir" berkata anak muda yang lain.
"Sukurlah" desis Ki Bekel. "Apakah Mbah Rejeb sudah
mengetahui bahwa air mulai menggenang di kotak
sawahnya?" "Mbah Rejeb ada di sawahnya. Ketika kami datang ke kotak
sawahnya yang dialiri air itu, Mbah Rejeb sudah berada di
sana" "Mbah Rejeb tentu gembira sekali melihat sawahnya
menjadi basah" desis Ki Bekel.
"Mbah Rejeb tadi minta maaf kepada kami" berkata Trima
kemudian. "Kenapa?" bertanya Ki Bekel.
"Ketika kami minta ijin untuk mengalirkan air ke sawahnya,
Mbah Rejeb menanggapinya dengan acuh tak acuh. Bahkan
Mbah Rejeb menganggap bahwa kami sedang bermimpi,
meskipun Mbah Rejeb tidak berkeberatan"
Ki Bekel tersenyum. Katanya, "Nanti, bukan hanya Mbah
Rejeb yang menyesali sikapnya. Tetapi seisi padukuhan ini
akan mengakui, bahwa gagasan ini bukan sekedar mimpi.
Tetapi bahwa kita benar-benar telah memperjuangkan sebuah
harapan untuk digapai"
"Kita akan mulai dengan membuat lajur-lajur berikutnya"
berkata Trima kemudian. "Ya" sahut Ki Bekel. "Tetapi sebelumnya, Wijang dan Paksi
akan minta diri kepada kalian"
Anak-anak muda itu sudah mengetahui meskipun belum
pasti, bahwa Wijang dan Paksi akan melanjutkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengembaraannya. Meskipun demikian, ketika Ki Bekel
mengatakannya, terasa jantung merekapun tergetar.
Trima yang melangkah mendekat berkata, "Kenapa kalian
tidak menunda keberangkatan kalian" Bukankah kita sedang
asyik dengan talang air yang sudah menunjukkan awal dari
keberhasilan itu?" Wijanglah yang menjawab dengan nada berat, "Sebenarnya
kami ingin menunggui perjuangan kalian merebut masa depan
lebih lama lagi. Tetapi kami tidak dapat berada di satu tempat terlalu lama. Karena itu, kami minta diri. Ada panggilan lain
yang harus kami jalani sesuai dengan niat kami sejak kami
berangkat mengembara"
"Bagaimana jika kalian hanya sekedar menunda beberapa
hari saja?" "Kami sudah terlalu lama berhenti di sini" jawab Wijang.
Anak-anak muda yang lainpun berusaha untuk menahan
agar Wijang dan Paksi tidak segera meninggalkan padukuhan
itu. Tetapi Wijang dan Paksi sudah mengambil keputusan
untuk melanjutkan pengembaraannya.
Kepergian Wijang dan Paksi memang menimbulkan
kekecewaan di hati anak-anak muda itu. Apalagi mereka yang
baru sehari mulai atau bahkan baru akan mulai. Namun
sebelum meninggalkan mereka, Wijangpun berkata, "Aku
yakin, bahkan kalian akan dapat menyelesaikan pekerjaan ini.
Bukan hanya sampai pada lima atau enam jalur talang air.
Tetapi kalian akan bekerja tanpa jemu sampai mengalirkan
sebuah parit yang cukup besar dari gumuk kecil ini untuk
menuangkan air ke parit yang sudah ada setelah parit itu
diperbaiki. Di bawah bimbingan Ki Bekel, maka masa depan
padukuhan ini akan dapat kalian bina sehingga padukuhan ini
tidak akan menjadi padukuhan yang miskin. Kalian akan
menjadi pilar-pilar penyangga dari masa depan itu"
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk kecil.
"Atas nama seisi padukuhan, aku mengucapkan selamat
jalan bagi kalian, Angger Wijang dan Paksi" berkata Ki Bekel
kemudian. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami akan berusaha untuk dapat sampai ke padukuhan ini
kembali di kemudian hari"
Demikianlah, maka Wijang dan Paksipun meninggalkan Ki
Bekel dan anak-anak muda yang sedang bekerja di gumuk
kecil itu. Kekecewaan mereka atas kepergian kedua orang
pengembara itu akan mereka tebus dengan kerja keras
sebagaimana diteladani oleh Wijang dan Paksi.
Ketika Wijang dan Paksi sudah tidak nampak lagi,
terlindung oleh tikungan dan gerumbul-gerumbul perdu serta
gundukan-gundukan batu padas, maka Ki Bekel telah
mengajak anak-anak muda itu untuk mulai dengan kerja
mereka. "Kita akan menyiapkan bambu untuk membuat jalur-jalur
talang yang baru" berkata Ki Bekel.
Serentak anak-anak muda itupun mulai bergerak. Mereka
segera menggenggam alat-alat yang mereka perlukan. Mereka
akan menyiapkan bambu yang akan mereka pergunakan
untuk talang air. Mereka akan membuat lubang-lubang pada
ruasnya, kemudian menghilangkan sekat-sekat pada ruas itu.
Dalam pada itu, Wijang dan Paksipun telah mulai lagi
dengan perjalanan mereka. Namun seperti yang mereka
katakan, mereka akan singgah untuk menemui Ki Bekel yang
padukuhannya telah mengalami perampokan yang dilakukan
oleh beberapa orang. Ketika Wijang dan Paksi memasuki padukuhan itu, maka
orang-orang padukuhan itu memandanginya dengan curiga.
Bahkan ketika ia bertanya di manakah rumah Ki Bekel,
ternyata seorang remaja yang berdiri di pinggir jalan itu
menggelengkan kepalanya. "Aku ingin bertemu dengan Ki Bekel" berkata Wijang.
Remaja itupun menggeleng lagi.
"Ada berita penting yang harus segera didengar oleh Ki
Bekel" berkata Wijang. "Jika terlambat, maka seluruh
padukuhan ini akan mengalami kesulitan"
Remaja itu mengerutkan dahinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tolong, tunjukkan rumah Ki Bekel. Kami akan menemuinya
dan memberikan laporan kepadanya"
Remaja itu ternyata terpengaruh juga oleh ceritera Paksi.
Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Berjalanlah terus.
Kalian akan sampai di sebuah simpang empat. Beberapa
langkahlagi kalian akan melihat sebuah regol yang baru
diperbaiki. Di sebelah regol itu terdapat gentong berisi air
minum. Nah, regol yang diperbaiki itu adalah regol halaman
rumah Ki Bekel. Kau dapat bertanya kepada orang yang
sedang memperbaiki regol itu"
"Terima kasih" jawab Paksi, "kami akan pergi ke rumah Ki
Bekel" Wijang dan Paksipun kemudian melangkah menyusuri jalan
utama padukuhan itu. Seperti yang dikatakan oleh remaja
yang mereda temui, keduanya sampai ke sebuah simpang
empat. Tidak jauh dari simpang empat itu, mereka melihat
dua orang sedang memperbaiki sebuah regol halaman. "Tentu
rumah itu rumah Ki Bekel" desis Paksi.
"Ya. Regolnya sedang diperbaiki"
Ketika mereka sampai di regol yang sedang diperbaiki itu,
Wijangpun bertanya kepada kedua orang itu, "Apakah Ki Bekel
ada di rumah?" Keduanya nampak ragu-ragu. Ada semacam kecurigaan di
sorot mata mereka. "Apakah keperluan kalian?" bertanya salah seorang dari
kedua orang yang sedang memperbaiki regol itu.
"Ada sedikit persoalan yang ingin kami bicarakan, Ki Sanak.
Mungkin tidak penting bagi Ki Bekel. Tetapi agaknya penting
bagi kami berdua" Kedua orang itu masih saja termangu-mangu. Namun
dalam pada itu, seorang yang bertubuh tinggi tegap berkumis
tebal, nampak turun dari tangga pendapa rumahnya.
"Itukah Ki Bekel?" bertanya Wijang dengan serta-merta.
Hampir di luar sadarnya, kedua orang itu menjawab hampir
bersamaan, "Ya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terima kasih, Ki Sanak" jawab Wijang yang kemudian
menggamit Paksi. Keduanyapun kemudian melangkah memasuki halaman rumah
yang cukup luas itu. Bedanya nampak jelas dengan rumah Ki
Bekel di padukuhan miskin itu. Ki Bekel padukuhan ini agaknya
jauh lebih berkecukupan dari Ki Bekel dari padukuhan miskin
itu. Ki Bekel memang agak terkejut melihat kedua orang yang
masih muda, memasuki halaman rumahnya. Keduanya sama
sekali masih belum dikenalnya.
"Maaf, Ki Bekel" berkata Wijang, "kami datang untuk
menemui Ki Bekel" Ki Bekel memandang mereka berdua dengan tajamnya.
Dengan nada berat Ki Bekel itupun kemudian bertanya,
"Siapakah kalian berdua?"
"Kami adalah dua orang kakak beradik yang sedang
mengembara, Ki Bekel"
"O. Apakah kalian kehabisan bekal dan datang menemui
aku untuk minta uang?"
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Namun Wijang dan
Paksi sadar, bahwa mereka harus menahan diri. Ki Demang
sudah mengatakan kepada mereka bahwa mungkin sambutan
Ki Bekel akan mengecewakan mereka.
"Kami sudah terbiasa menempuh perjalanan tanpa bekal, Ki
Bekel. Sehingga kami tidak memerlukan bekal apapun di
pengembaraan kami" "Jadi, untuk apa kau mencari aku?"
"Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan"
"Kalian, dua orang pengembara mempunyai persoalan yang
akan kalian bicarakan dengan aku?"
"Ya, Ki Bekel" "He, kalian pikir, kalian ini siapa" Kau kira aku tidak
mempunyai pekerjaan sehingga aku harus secara khusus
berbicara dengan pengembara?"
"Mungkin ada manfaatnya, Ki Bekel. Mungkin tidak bagi Ki
Bekel. Tetapi akan bermanfaat bagi aku dan bagi Pajang"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagi Pajang" Kau sebut-sebut Pajang" Kalian adalah debu
bagi Pajang. Pergilah, aku tidak mau kau ganggu. Ada kerja
yang lebih penting yang harus aku kerjakan"
"Maaf, Ki Bekel. Kami hanya minta waktu beberapa saat
saja. Selanjutnya kami akan segera pergi"
"Pergi. Sebelum aku menjadi marah"
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Paksilah yang
kemudian berkata, "Kami mempunyai satu pertanyaan yang
penting, Ki Bekel. Jika Ki Bekel bersedia menjawab, kami akan
sangat berterima kasih"
"Aku tidak mempunyai urusan dengan para pengembara.
Kalau aku melayani para pengembara, maka aku tidak akan
sempat berbuat apa-apa"
Wijang dan Paksi harus tetap menahan diri menanggapi
sikap Ki Bekel itu. Mereka tidak akan dapat memaksakan
kehendak mereka. Jika mereka melakukannya juga, maka
akan dapat timbul keributan di padukuhan itu. Karena
keduanya tidak segera beranjak pergi, maka Ki Bekelpun
kemudian membentak mereka, "Pergi. Cepat pergi. Aku tidak
dapat melayani kalian"
Namun dalam pada itu, selagi Wijang dan Paksi masih
termangu-mangu, seekor kuda yang berderap di jalan utama
itu berhenti di depan regol. Penunggangnyapun segera
meloncat turun dan menuntun kuda itu memasuki halaman.
Dengan tergopoh-gopoh Ki Bekelpun menyongsongnya sambil
mempersilahkan tamu itu. "Ki Demang. Marilah, Ki Demang.
Silahkan" Ki Demangpun kemudian menuntun kudanya melintasi
halaman. Sementara itu, Ki Bekelpun menghampiri Wijang dan
Paksi sambil menggeram tertahan, "Pergi. Yang datang itu
adalah Ki Demang. Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa
aku sibuk sekali. Aku tidak dapat melayani kalian, para
pengembara" Wijang dan Paksi termangu-mangu sejenak. Namun Ki
Bekel itu terkejut ketika Ki Demang mendekati keduanya
sambil berkata, "Jadi kalian sudah sampai di sini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, Ki Demang. Kami sedang berusaha meyakinkan Ki
Bekel, bahwa kami datang tidak untuk minta uang. Kami
sudah terbiasa mengembara tanpa bekal sama sekali"
Ki Demang tersenyum. Katanya, "Ki Bekel, berikan
kesempatan kepada mereka untuk menemui Ki Bekel"
Ki Bekel justru menjadi heran. Dengan tidak sadar iapun
bertanya, "Siapakah mereka, Ki Demang" Apakah Ki Demang
sudah mengenal mereka?"
"Keduanya adalah pengembara. Keduanya sudah datang
menemui aku. Kedatanganku justru untuk memberitahukan
kepada Ki Bekel, bahwa dua orang pengembara akan datang
menemui Ki Bekel. Tetapi aku kira mereka akan datang nanti
agak siang atau di sore hari"
Ki Bekel masih saja termangu-mangu. Rasa-rasanya Ki
Bekel sulit untuk mengerti, bahwa Ki Demang memerlukan
datang kepadanya karena kedua orang pengembara. "Ada
beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada Ki Bekel"


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Bekel itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat
mengelak lagi. Karena itu, maka dipersilahkannya Ki Demang
naik ke pendapa. Ia ingin menemui kedua pengembara itu di
serambi gandok. Namun justru Ki Demanglah yang mengajak keduanya,
"Marilah. Kita berbicara di pringgitan"
Wijang dan Paksi memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika
Ki Demang naik, sekali lagi iapun mengajak keduanya,
"Marilah. Naiklah"
Ki Bekel tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian
mengikuti Ki Demang naik ke pendapa langsung pergi ke
pringgitan. Sementara itu Wijang dan Paksipun telah ikut pula
menuju ke pringgitan. Sejenak kemudian, maka mereka berempatpun telah duduk
di atas tikar pandan rangkap yang putih, yang sebenarnya Ki
Bekel sama sekali tidak menyediakannya bagi para
pengembara. Ki Demanglah yang kemudian berkata, "Ki Bekel, seperti
yang aku katakan tadi, sebenarnya aku datang untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memberitahukan, bahwa kedua pengembara ini berniat ingin
bertemu dengan Ki Bekel"
"Demikian pentingkah sehingga Ki Demang memerlukan
datang sendiri ke rumahku?"
"Tidak. Tetapi aku tidak ingin terjadi salah paham.
Padukuhan ini baru saja didatangi oleh segerombolan orang
yang melakukan kejahatan. Di antaranya terdapat orang yang
berilmu tinggi, yang dengan sombongnya dengan sengaja
memamerkannya. Mungkin ia bermaksud menakut-nakuti
orang yang ingin menangkapnya. Aku khawatir bahwa masih
saja ada kecurigaan terhadap orang-orang yang belum dikenal
di padukuhan ini, termasuk kedua orang pengembara ini"
Ki Bekel mengangguk-angguk. Dipandanginya kedua orang
pengembara itu sejenak. Kemudian iapun bertanya, "Untuk
apakah sebenarnya mereka menemui aku, Ki Demang?"
"Bertanyalah sendiri kepada mereka" jawab Ki Demang.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak
ingin mengorbankan waktunya hanya untuk berbincang
dengan dua orang pengembara. Bagi Ki Bekel, waktunya akan
lebih berarti jika ia menangani beberapa masalah yang masih
belum terselesaikan di padukuhannya.
Tetapi kehadiran Ki Demang telah memaksanya untuk
melayani dua orang pengembara yang masih muda itu.
"Ki Bekel" Wijanglah yang kemudian berbicara, "kami
datang untuk menanyakan beberapa hal tentang orang-orang
yang telah merampok di padukuhan ini"
Ki Bekel mengerutkan dahinya. Ia ingin membentak
pengembara itu. Apa wewenangnya menanyakan tentang
perampokan yang telah terjadi di padukuhannya"
Sekilas dipandanginya Ki Demang.
"Jika saja tidak ada Ki Demang" berkata Ki Bekel itu di
dalam hatinya. Dalam pada itu, Ki Demangpun berkata, "Ki Bekel,
keduanya telah datang kepadaku. Mereka bertanya tentang
para perampok itu. Tetapi aku tidak dapat menyebutkannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan jelas. Karena itu, aku minta keduanya datang
menemui Ki Bekel" Ki Bekel menarik nafas panjang. Ia tidak dapat mengelak
lagi. Betapapun ia merasa telah kehilangan waktu sia-sia,
namun iapun akhirnya menjawab juga.
Disebutnya ciri-ciri beberapa orang perampok yang telah
datang ke padukuhannya sesuai dengan keterangan orang
yang telah mengalami perampokan itu.
Wijang dan Paksi mendengarkannya dengan seksama.
Keduanyapun kemudian telah mengambil kesimpulan, bahwa
mereka adalah sekelompok orang yang dipimpin langsung oleh
Ki Gede Lenglengan. "Terima kasih, Ki Bekel" berkata Wijang. "Keterangan Ki
Bekel sangat penting artinya bagi kami"
"Untuk apa kau tanyakan ciri-ciri para perampok itu?"
bertanya Ki Bekel. "Aku mempunyai kepentingan dengan mereka" jawab
Wijang. "Apa kepentingan kalian" Bukankah kalian pengembara
yang tidak punya tujuan" Apakah kalian termasuk kelompok
mereka sehingga kalian akan menuntut bagian kalian?"
bertanya Ki Bekel. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Paksipun
berkata, "Apakah seorang perampok harus menyatakan
dirinya" Seandainya kami bagian dari mereka, apakah kami
akan begitu mudahnya mengaku di hadapan Ki Bekel" Ki
Bekel, pertanyaan Ki Bekel adalah pertanyaan yang
seharusnya tidak usah diucapkan, karena pertanyaan itu tidak
akan mendapatkan jawabnya"
Wajah Ki Bekel terasa menjadi panas. Namun Ki
Demanglah yang kemudian menengahi, "Nah, anak-anak
muda, kalian sudah mendapatkan jawabannya"
"Ya, Ki Demang. Kami sudah mendapat gambaran tentang
mereka. Gambaran tentang mereka serta ciri-ciri mereka itulah
yang sangat kami perlukan"
"Mudah-mudahan berarti bagi kalian"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami mengucapkan sekali lagi terima kasih, Ki Demang.
Kami juga mengucapkan sekali lagi terima kasih kepada Ki
Bekel. Mungkin waktu Ki Bekel sangat terbatas karena
kesibukan Ki Bekel. Karena itu, kami akan segera minta diri"
berkata Wijang kemudian. Dengan singkat Ki Bekel menjawab, "Pergilah"
Namun Ki Demang justru berpesan, "Hati-hatilah di
perjalanan, anak-anak muda"
"Baik, Ki Demang. Kami akan berhati-hati. Mudah-mudahan
kami dapat menyelesaikan panggilan yang sedang kami
emban" Ki Bekel hanya dapat mengerutkan dahinya. Ada beberapa
macam pertanyaan yang bergejolak di dalam dadanya. Tetapi
jika ia mendengar jawaban yang menyakitkan itu sekali lagi,
mungkin ia tidak dapat menahan diri lagi meskipun agaknya Ki
Demang bersikap baik kepada kedua orang pengembara itu.
"Agaknya karena sikap Ki Demang itulah, maka keduanya
menjadi besar kepala. Mereka menganggap aku tidak
berharga" katanya di dalam hatinya.
Ki Demang tidak bertanya apa-apa lagi sampai kedua
pengembara itu keluar dari regol halaman rumahnya.
Sepeninggal keduanya, maka Ki Bekel itupun bertanya
kepada Ki Demang, "Menurut Ki Demang, apakah keduanya
pantas mendapat perlakuan terlalu baik?"
"Aku menghargai keduanya, Ki Bekel. Keduanya sedang
melacak para perampok yang telah mengganggu
ketenteraman padukuhan ini. Menurut dugaanku, mereka
mengikuti arah perjalanan para perampok itu sehingga mereka
akan berhasil menyusulnya"
"Tentu mereka adalah kawan-kawan para perampok itu"
"Aku yakin bukan. Ada tugas lain yang harus mereka
lakukan berhubungan dengan para perampok itu"
"Jika demikian, kenapa mereka tidak berterus-terang" Jika
mereka berdua adalah prajurit, misalnya. Kenapa mereka tidak
mengatakan kepada Ki Demang atau kepadaku, bahwa
keduanya prajurit?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku mengenal mereka. Mereka bukan orang-orang jahat.
Aku percaya kepada panggraitaku meskipun aku tidak dapat
menjawab pertanyaan Ki Bekel kenapa mereka tidak berterus-
terang tentang diri mereka berdua"
Ki Bekel menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak bertanya
lagi. Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, Ki Demangpun
telah minta diri. Katanya, "Aku datang khusus untuk
memberitahukan kepada Ki Bekel tentang kedua orang anak
muda itu" Sepeninggal Ki Demang, rasa-rasanya Ki Bekel ingin
menangkap kembali kedua orang yang menjadi sangat manja
di hadapan Ki Demang. Mereka sadar, bahwa Ki Demang akan
melindungi mereka, sehingga pengembara itu berani
merendahkannya. "Aku tidak seyakin Ki Demang bahwa panggraitanya itu
benar. Kedua pengembara itu tentu pandai berbicara dan
memutarbalikkan kenyataan tentang diri mereka, sehingga Ki
Demang telah terpengaruh"
Ki Bekelpun kemudian telah memerintahkan pembantunya
untuk menyiapkan kudanya. Ia ingin menyusul dan
memberikan sedikit pelajaran bagi kedua pengembara itu,
agar mereka dapat menghormati seseorang yang memiliki
jabatan sebagaimana Ki Bekel itu. Apalagi di hadapan atasnya
langsung. Namun sebelum Ki Bekel berangkat dengan
menunggang kudanya yang sudah siap, beberapa orang
berdatangan sambil menggiring Wijang dan Paksi memasuki
kembali halaman rumah Ki Bekel.
Ki Bekel yang melihat kedua orang yang mengaku
pengembara itu dibawa masuk ke halaman rumahnya,
memandang mereka berdua berganti-ganti dengan tajamnya.
"Ada apa?" bertanya Ki Bekel.
"Kami menangkap kedua orang yang mencurigakan ini, Ki
Bekel" jawab Ki Jagabaya dari padukuhan itu.
"Kenapa Ki Jagabaya menangkapnya?"
"Seorang remaja datang ke rumahku untuk melaporkan,
bahwa ada dua orang yang mencurigakan, mencari rumah Ki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bekel. Kata mereka, ada hal yang sangat penting yang akan
dibicarakannya dengan Ki Bekel"
"Di mana kau temukan keduanya?"
"Agaknya remaja itu sempat ragu-ragu. Ia pulang lebih
dahulu. Ketika ia menceriterakan kepada ayahnya, maka
ayahnya menyuruhnya datang ke rumahku. Agaknya aku telah
banyak kehilangan waktu. Ketika aku kemudian pergi ke
rumah Ki Bekel, aku singgah di rumah Ki Kamituwa. Kami
berdua mengajak beberapa orang tetangga untuk datang
kemari. Jika perlu, maka kami akan dapat bertindak bersama-
sama" "Tetapi kau sudah membawa kedua orang pengembara itu"
"Aku bertemu dengan mereka ketika mereka akan
meninggalkan padukuhan ini. Kami telah menangkap mereka
dan membawanya kemari. Segala sesuatunya terserah kepada
Ki Bekel" Ki Bekel memandang kedua orang anak muda itu dengan
sorot mata yang membayangkan kebencian. Dengan nada
berat Ki Bekelpun berkata, "Di hadapan Ki Demang kau telah
berani merendahkan aku. Kau telah menganggap aku terlalu
bodoh sehingga telah melontarkan pertanyaan yang sia-sia.
Sekarang Ki Demang tidak ada di sini. Kalian tidak akan dapat
bermanja-manja" "Meskipun Ki Demang tidak ada di sini, tetapi Ki Demang
akan tahu juga apa yang akan terjadi di sini"
"Persetan dengan ancamanmu. Kami dapat mengatakan
alasan apa saja kepada Ki Demang, sehingga kami harus
menghukummu" "Bukankah aku juga dapat berkata apa saja kepada Ki
Demang, bahwa aku telah diperlakukan tidak sewajarnya di
sini?" "Ki Demang tentu akan mempercayai aku dan rakyatku.
Kau tidak akan mempunyai kesempatan apapun juga untuk
membela dirimu. Sesali sikapmu. Tetapi sudah terlambat.
Kalian akan menerima hukuman akibat dari sikap kalian"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang telah dilakukannya, Ki Bekel?" bertanya Ki
Jagabaya. "Anak ini telah merendahkan namaku di hadapan Ki
Demang" "Ki Demang tidak menghukum anak ini?"
"Mereka berdua berhasil mengambil hati Ki Demang,
sehingga Ki Demang tidak marah kepada mereka. Tetapi aku
bersikap lain. Aku pun mencurigai, bahwa keduanya
mempunyai sangkut paut dengan para perampok beberapa
saat yang lalu. Karena mereka telah menanyakan ciri-ciri dan
arah kepergian para perampok itu"
"Jika demikian, apakah kita akan menghukum mereka?"
bertanya Ki Kamituwa. "Ya" jawab Ki Bekel. "Kita akan menghukum mereka"
"Hukuman apa yang pantas kita trapkan kepada mereka"
Lalu bagaimana kira-kira sikap Ki Demang jika keduanya
melaporkan kepadanya"
" Biarlah aku yang bertanggung jawab kepada Ki Demang. Aku
akan menjelaskan, apa yang telah mereka lakukan di
padukuhan ini sehingga menimbulkan kemarahan seluruh
rakyat padukuhan ini"
"Apa yang kami lakukan?" bertanya Paksi.
"Kalian sudah menyinggung harga diriku. Kalian juga
memata-matai padukuhan ini. Jika kalian tidak kami tangkap
dan kami hukum, maka nanti malam kawan-kawanmu tentu
akan datang merampok di padukuhan ini lagi"
Namun tiba-tiba saja Paksipun berkata, "Baik. Seandainya
kami adalah sebagian dari sekelompok perampok yang
ditangkap di padukuhan ini, maka kawan-kawan kami akan
datang untuk mengambil kami berdua"
Kata-kata Paksi itu ternyata telah menimbulkan keragu-
raguan di antara mereka. Beberapa orang mulai
merenunginya. Jika benar keduanya bagian dari gerombolan
perampok itu, maka persoalannya justru akan menjadi gawat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perampok yang pernah datang ke padukuhan itu adalah
orang-orang berilmu tinggi.
Mereka mampu melakukan sesuatu yang tidak masuk akal.
Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka yang
menggiring Wijang dan Paksi itupun berkata, "Kita tidak akan
pernah melepaskan mereka lagi. Kawan-kawannya tentu tidak
tahu, bahwa mereka berada di sini"
Paksi justru tertawa. Katanya, "Jangan terlalu bodoh. Jika
kami bagian dari sekelompok perampok, maka kelompok kami
itu tentu tahu, bahwa kami berada di sini. Apalagi jika kami
memang ditugaskan untuk memata-matai padukuhan ini. Jika


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai nanti sore kami tidak kembali kepada mereka, maka
mereka tentu akan datang untuk mengambil kami ke
padukuhan ini. Nah, kalian dapat membayangkan, apa yang
akan terjadi" Orang-orang yang menggiring Wijang dan Paksi itupun
menjadi termangu-mangu. Namun seorang yang bertubuh
tinggi besar dan berkumis lebat menyibak orang-orang yang
berada di halaman rumah Ki Bekel itu sambil berkata, "Ki
Bekel, ketika para perampok itu datang, kami semuanya
belum siap menghadapinya. Mereka datang tiba-tiba saja.
Sebelumnya padukuhan kita adalah padukuhan yang tenang
dan tenteram. Tetapi sekarang, keadaannya sudah lain. Kita
akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Jika kawan-kawan
kedua orang ini datang untuk mengambilnya, kita akan
menyambut mereka dengan hangat. Akibatnya tentu akan
jauh berbeda. Pada saat kita belum siap, kita memang
menjadi terkejut dan cemas menghadapi orang-orang yang
datang dengan senjata telanjang. Tetapi sekarang kitapun
akan menggenggam senjata telanjang pula. Bahkan dengan
demikian kita akan dapat membuktikan kepada Ki Demang,
bahwa keduanya benar-benar bagian dari gerombolan
perampok yang ganas yang pantas untuk dihukum"
Ki Bekel masih juga ragu-ragu. Namun kedua orang
pengembara itu telah menyakiti hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, seorang yang bertubuh agak gemuk berkata
lantang, "Aku setuju. Selanjutnya kita akan bersiap untuk
menghadapi para perampok. Seandainya kita tidak
menangkap kedua orang ini, maka kita pun harus bersiap
menghadapi para perampok itu. Kita tidak mau menjadi lahan
yang subur dari para perampok dengan membiarkan mereka
mengambil apa saja yang mereka maui di padukuhan kita ini"
Tiba-tiba saja seperti meledak orang-orang itupun
berteriak, "Kita hukum mereka. Kita hukum mereka"
Seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan
berteriak melengking di antara suara yang gaduh itu, "Aku
tahu bahwa Ki Bekel adalah orang yang berilmu tinggi. Karena
itu, para perampok itu tidak akan berarti apa-apa bagi Ki
Bekel. Pada beberapa waktu yang lalu, Ki Bekel tidak sempat
menghadapi para perampok itu karena yang terjadi adalah
demikian tiba-tiba" Ki Bekel itupun menggeretakkan giginya. Dengan lantang
iapun kemudian berkata, "Tangkap mereka. Jika keduanya
melawan, biarlah aku yang menyelesaikannya"
Orang-orang yang berada di halaman itupun serentak telah
bergerak. Mereka membuat lingkaran mengepung Wijang dan
Paksi yang berdiri termangu-mangu.
"Orang-orang ini sulit diajak berbicara" berkata Wijang.
"Kita sudah mencoba untuk menghindari kekerasan. Namun
nampaknya dendam orang-orang padukuhan ini sangat
mendalam, sehingga nalar mereka menjadi kabur di bawah
bayang-bayang dendam mereka" sahut Paksi.
"Pernyataan Ki Demang tidak mampu melunakkan hati Ki
Bekel yang selain juga mendendam, ia juga seorang yang
mudah tersinggung, agak tinggi hati dan kurang menghargai
orang lain, terutama dari tataran terendah"
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Meloloskan diri. Bukankah kita tidak akan membiarkan
korban jatuh di padukuhan ini?"
"Ya. Aku sependapat"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang dan Paksi tidak mempunyai banyak waktu untuk
membicarakan sikap yang akan mereka ambil. Namun mereka
sama sekali tidak berniat untuk menciderai seseorang. Jika itu terjadi, tentu tidak disengaja atau karena mereka tidak
mempunyai pilihan lain. "Ki Sanak" berkata Wijang kemudian kepada orang-orang
yang mengepungnya, "dengarlah baik-baik, Ki Sanak. Kami
sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan kalian.
Tetapi jika kalian tetap berniat menangkap kami, maka tentu
saja kami berkeberatan. Jika dalam gesekan kewadagan ini
ada di antara kalian yang terpaksa kami sakiti, kami minta
maaf sebelumnya" Tetapi Ki Bekel yang marah itu masih saja menjadi salah
paham. Dengan garang iapun berkata, "Ternyata kalian adalah
orang-orang yang sangat sombong. Siapapun kalian, maka
kami akan menangkap kalian hidup atau mati"
"Jangan berkata begitu, Ki Bekel. Jangan gege pati.
Akibatnya akan dapat tidak baik"
"Persetan kalian. Jika demikian, menyerahlah. Kami akan
mengikat kalian pada pohon jambu air itu"
"Itulah yang tidak aku senangi" jawab Wijang.
"Senang atau tidak senang, aku tidak peduli"
"Akibatnya akan berbeda. Jika aku tidak senang terhadap
perlakuanmu, maka aku pun dapat membuat kalian tidak
senang" "Cukup. Tangkap mereka dan ikat pada pohon jambu itu"
Orang-orang yang mengepung Wijang dan Paksi itupun
segera bergerak maju. Tetapi Wijang dan Paksi tidak
membiarkan orang-orang itu menyentuh tubuh mereka.
Paksipun segera memutar tongkatnya di atas kepalanya,
sementara Wijang yang bergeser menjauhpun telah bersiap
pula. Tiga orang yang pertama mendekati dan menggapai
lengannya, telah terlempar jatuh. Seorang yang bertubuh
agak gemuk itulah yang kemudian meloncat menyergap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang dari belakang. Dengan tangannya
yang kokoh orang itu menyekap kedua lengan Wijang.
"Pukul perutnya" teriak orang yang agak gemuk itu.
Orang yang tinggi besar itulah yang datang mendekat
bersama dua orang kawannya. Tetapi sebelum orang itu
sempat memukulnya, Wijang telah mengibaskan orang itu.
Demikian kerasnya, sehingga sekapan orang itu terlepas.
Bahkan orang itu telah terpelanting dan jatuh menimpa
kawan-kawannya. Orang yang bertubuh tinggi besar itu tertegun melihat
kawannya yang dianggapnya mempunyai tenaga yang sangat
besar itu terlepas. Tetapi sejenak kemudian orang itupun menyergap Wijang
dengan garangnya. Namun yang terjadi kemudian sama sekali tidak dapat
dimengerti oleh orang-orang yang sedang berusaha
menangkap Wijang dan Paksi itu. Tiba-tiba saja mereka
melihat orang yang bertubuh tinggi besar itu terangkat tinggi-
tinggi di atas kepala pengembara itu. Kemudian tubuhnya
diputar semakin lama semakin cepat. Ketika tubuh itu
dilepaskan, maka tubuh itu telah terlempar ke dalam
kerumunan orang-orang yang sedang bergerak maju
mendekati Wijang. Terdengar beberapa orang berteriak. Namun suara teriakan
itupun telah diatasi oleh teriakan yang lain. Dua orang
terhuyung-huyung dan jatuh terbanting di tanah. Seorang
memegangi dadanya, seorang lagi memegangi lambungnya.
Ternyata tongkat Paksi telah menyentuh dada dan lambung
kedua orang itu. Hanya sentuhan kecil. Tetapi sentuhan itu
terasa bagaikan petir yang menyambar.
Orang-orang yang mengepung Wijang dan Paksi itupun
tiba-tiba telah bergeser surut. Beberapa orang tengah
menolong orang-orang yang terjatuh karena tertimpa oleh
kawan-kawannya. Oleh orang yang bertubuh tinggi besar
serta orang yang agak gemuk itu. Sementara itu orang yang
menimpa mereka itupun masih menyeringai menahan sakit di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
punggungnya. Baru kemudian merekapun berusaha untuk
bangkit berdiri. Sementara itu, dua orang yang tersentuh tongkat Paksi,
merangkak keluar dari arena. Rasa-rasanya mereka tidak lagi
dapat bangkit berdiri. Bahkan ketika kawan-kawannya
membantunya, rasa-rasanya keduanya tidak lagi memiliki
tenaga. "Sudahlah" berkata Wijang kemudian, "jangan memaksa
kami berbuat lebih kasar lagi. Sampai saat ini kami masih
tetap menahan diri. Tetapi jika kalian masih saja mendesak
dan memaksa kami, mungkin sekali kesabaran kami akan
sampai ke batas" Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Tidak
seorang pun yang menyahut. Tetapi sebagian besar dari
mereka memandang Ki Bekel dengan tajamnya.
"Hanya Ki Bekel yang dapat melakukannya" berkata orang-
orang itu di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa jantung Ki Bekel itupun bagaikan
terbakar. Sebagai seorang yang berkedudukan tertinggi di
padukuhan itu, ia merasa bertanggung jawab. Ki Bekel itupun
merasa bahwa dirinya telah berbekal ilmu ketika ia menjabat
kedudukan yang diwarisinya dari ayahnya. Sejak ia masih
remaja, ayahnya telah mempersiapkannya dengan baik. Ia
telah dikirim pada seorang guru yang mempersiapkannya
bukan saja sebagai seorang pemimpin, tetapi juga dalam olah
kanuragan. Karena dengan kepercayaan diri yang tinggi, Ki Bekel
itupun melangkah maju sambil berkata lantang, "Minggirlah.
Aku akan menangkap mereka berdua. Tetapi jangan urai
kepungan ini agar mereka tidak dapat melarikan diri"
"Ki Bekel" berkata Wijang, "kami tidak pernah menduga
bahwa akan terjadi akibat yang sangat buruk ini. Aku minta Ki
Bekel mempertimbangkan sikap Ki Bekel. Biarkan kami pergi.
Seperti yang kami katakan sejak awal, kami tidak bermaksud
buruk. Kami pun sudah mencoba dengan berbagai cara dan
alasan agar tidak terjadi kekerasan seperti ini"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Persetan dengan celotehmu itu. Menyerah atau kalian
akan menyesali kesombongan kalian"
"Ki Bekel, seharusnya Ki Bekel dapat menilai sikap Ki
Demang. Kenapa Ki Demang tidak berniat menangkap kami"
"Kalian dapat mengelabuhinya. Tetapi kalian tidak dapat
mengelabui aku" Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sekali lagi
aku mohon, Ki Bekel. Biarkan kami pergi"
"Cukup. Menyerah atau bersiaplah. Aku akan menangkap
kalian berdua" Wijang melangkah selangkah maju sambil berkata kepada
Paksi, "Biarlah aku melakukannya, Paksi. Awasi saja orang-
orang yang mengepung kita"
Paksi mengangguk sambil berdesis, "Baiklah. Hati-hatilah"
Wijang mengangguk. Iapun menyadari, bahwa menilik
sikapnya Ki Bekel tentu bukan orang kebanyakan.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Ki Bekel.
"Melawan. Aku tidak mau ditangkap"
"Bagaimana dengan yang seorang lagi?"
"Biarlah adikku menjadi saksi. Aku akan menghadapimu Ki
Bekel. Kau telah memaksaku untuk melakukannya"
"Persetan. Ternyata kau lebih sombong dari dugaanku"
"Aku ingin menjelaskan dengan cara ini kepadamu, bahwa
seorang pemimpin tidak boleh menuduh seseorang melakukan
kejahatan dengan semena-mena. Seorang pemimpin juga
tidak boleh meremehkan orang-orang yang dianggapnya
termasuk pada tataran pergaulan yang terendah. Yang kau
lakukan Ki Bekel, merupakan kesalahan yang sangat besar
yang akan kau sesali kemudian"
"Cukup. Kau kira sesorahmu itu dapat melunakkan hatiku?"
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian
telah bersiap menghadapi Ki Bekel yang marah itu. Dalam
pada itu Paksi telah bergeser ke samping. Seperti pesan
Wijang, maka iapun mengawasi orang-orang yang sedang
mengepung mereka berdua. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Bekel yang juga sudah berada di dalam kepungan itupun
melangkah mendekati Wijang sambil menggeram, "Bersiaplah.
Aku akan menghancurkan kebanggaan dan kesombonganmu
serta gerombolanmu" Wijang tidak menjawab. Tetapi iapun melangkah mendekat
pula. Namun tiba-tiba saja Ki Bekelpun telah meloncat
menyerang. Tangannya dengan cepat terjulur lurus ke arah
dada Wijang. Namun Wijangpun dengan cepat mengelak. Ia belum
menjajagi kekuatan dan kemampuan Ki Bekel sehingga ia
masih harus berhati-hati menghadapinya.
Serangan-serangan Ki Bekelpun kemudian datang
beruntun. Cepat dan berbahaya. Sekali-sekali Wijang dengan
sengaja menyentuh serangan-serangan itu. Menangkis sambil
mengelak. Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian
Wijangpun berhasil menjajagi kekuatan dan kemampuan Ki
Bekel. Iapun kemudian dengan cepat pula dapat mengukur,
seberapa jauh kemampuan Ki Bekel di dalam olah kanuragan.
Namun Wijangpun menyadari, bahwa, Ki Bekel itu tentu
masih belum mengerahkan segenap kemampuannya. Karena
itu, maka Wijangpun telah berusaha memancing, seberapa
tinggi puncak kemampuan Ki Bekel itu.
Karena itulah maka Wijang tidak hanya sekedar menangkis
dan menghindar. Tetapi Wijangpun kemudian telah
menghentak pula menyerang.
Serangan-serangan Wijang yang datang membadai itu
telah mengejutkan Ki Bekel. Ia tidak mengira bahwa anak
muda pengembara itu mampu berbuat sebagaimana dilakukan
itu. Karena itu, maka Ki Bekelpun segera berloncatan surut
untuk mengambil jarak. Wijang tidak memburunya. Ia melihat betapa wajah Ki
Bekel menjadi tegang. Nafasnya mengalir semakin cepat.
Rasa-rasanya sulit untuk mempercayai tataran kemampuan
pengembara itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Bekel" berkata Wijang kemudian, "sekali lagi aku minta
Ki Bekel berpikir jernih. Aku akan pergi. Jangan halangi
jalanku atau aku akan membuka jalanku sendiri. Jika aku
harus membuka jalanku sendiri, maka aku tidak bertanggung
jawab atas segala akibat yang dapat timbul"
Ki Bekel itu menggeram. Ia tidak mau melihat kenyataan
itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Aku akan membungkam


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulutmu" Wijang tidak sempat menjawab. Orang itu tiba-tiba saja
telah meloncat menyerang dengan garangnya. Kakinya
terjulur mengarah ke lambung. Tetapi Wijang dengan
sigapnya menghindar. Bahkan sambil berputar kaki Wijang
telah menyambar dada Ki Bekel.
Ki Bekel itupun terhuyung-huyung. Namun akhirnya ia tidak
dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga Ki Bekel
itupun jatuh terlentang. Ki Bekel berusaha untuk segera melenting berdiri. Namun
demikian ia bangkit, tangan Wijang telah menyambar
tengkuknya, sehingga sekali lagi Ki Bekel itu jatuh.
Tertelungkup. Ki Bekel itu mengerang kesakitan. Wajahnya menjadi kotor
oleh debu. Bahkan terasa pahit di mulutnya yang menjadi
sangat kotor. Betapa kemarahan membara di jantungnya.
Namun Ki Bekel itu tidak segera dapat bangkit berdiri. Sekali
terdengar ia mengerang kesakitan.
Sementara itu, Wijangpun bergeser mundur. Iapun segera
memberi isyarat kepada Paksi. Sebagaimana mereka
putuskan, bahwa mereka akan berusaha meloloskan diri dari
orang-orang padukuhan itu. Dengan demikian, maka Wijang
dan Paksi akan menghindari kemungkinan yang lebih buruk
lagi. Paksilah yang kemudian berjalan di depan sambil
memutar tongkatnya. Orang-orang yang mengepung Wijang dan Paksi itu
terkejut melihat keadaan Ki Bekel. Menurut anggapan para
penghuni padukuhan itu, Ki Bekel adalah orang yang tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terkalahkan. Namun melawan anak muda pengembara itu, Ki
Bekel seakan-akan menjadi tidak berdaya.
Karena itu, maka orang-orang yang mengepung Wijang
dan Paksi itupun menjadi gelisah. Bahkan kemudian perasaan
takut pun mulai menyelinap di hati mereka. Sehingga ketika
Paksi memutar tongkatnya sambil melangkah ke arah regol
yang sedang diperbaiki itu, orang-orang yang mengepungnya
telah menyibak. Sebelum Ki Bekel dapat bangkit dan memberikan aba-aba,
maka Wijang dan Paksipun telah menghambur keluar regol
halaman. Keduanyapun kemudian berlari menjauhi regol
halaman rumah Ki Bekel itu. Bukan karena ketakutan, tetapi
justru perasaan khawatir, bahwa karena tingkah laku mereka,
di padukuhan itu akan jatuh korban.
Rasa-rasanya memang aneh bagi Wijang dan Paksi yang
harus berlari kencang seperti dua ekor tupai yang diburu oleh
anak-anak sepadukuhan. Ketika Ki Bekel kemudian bangkit berdiri sambil mengusap
wajahnya yang kotor oleh debu dan tanah berpasir, serta
darah yang meleleh di sela-sela bibirnya, karena dua buah
giginya patah ketika ia jatuh terjerembab, maka iapun segera
bertanya, "Di mana pengembara edan itu?"
Orang-orang yang berada di halaman itu saling
berpandangan. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab.
"Di mana kedua iblis itu, he?"
Orang yang bertubuh tinggi besar yang punggungnya
masih terasa sakit itupun menjawab, "Mereka melarikan diri,
Ki Bekel" "Lari" Dan kalian tidak berusaha menangkap mereka?"
"Bagaimana mungkin kami dapat melakukannya, Ki Bekel?"
"Jadi kalian yang jumlahnya sekian banyak itu tidak berani
menangkap hanya dua orang pengembara?"
Seorang yang bertubuh agak gemuk itupun berdesis,
"Mereka mempunyai ilmu iblis, Ki Bekel"
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun Ki Bekel itupun
sempat mengingat-ingat, apa yang telah terjadi atas dirinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hampir di luar sadarnya. Dengan kain panjangnya ia
mengusap wajahnya beberapa kali. Beberapa goresan nampak
di dahi dan hidungnya. Namun Ki Bekel tidak dapat
menyalahkan orang-orang yang berada di halaman rumahnya.
Ki Bekel tahu, bahwa kedua orang pengembara itu ternyata
memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan dirinya tidak mampu
berbuat apa-apa menghadapi seorang saja di antara mereka.
"Biarlah iblis itu lari" desis Ki Bekel kemudian. "Jika saja
mereka tidak lari, aku akan membunuh mereka"
Orang-orang yang berada di halaman itu tidak ada yang
menyahut. Tetapi mereka melihat kenyataan di hadapan
mereka, bahwa Ki Bekel itu tentu akan dikalahkan seandainya
perkelahian itu akan berlanjut.
Untuk beberapa saat lamanya orang-orang yang berada di
halaman rumah itu saling berdiam diri. Baru kemudian Ki Bekel
itupun berkata, "Pulanglah. Tetapi jangan kehilangan
kewaspadaan. Mungkin kedua pengembara itu akan kembali
bersama dengan kawan-kawannya"
Orang-orang padukuhan itupun kemudian telah
meninggalkan halaman rumah Ki Bekel itu pula ke rumah
masing-masing kecuali para bebahu padukuhan. Tetapi
beberapa orang di antara mereka justru berhenti di mulut
jalan. Mereka masih membicarakan kedua orang pengembara
yang gagal mereka tangkap.
"Nampaknya keduanya memang bukan orang jahat"
berkata seorang yang bertubuh kecil dan pendek.
Orang yang bertubuh tinggi dan besar itupun berkata, "Ya.
Agaknya mereka bukan orang jahat Meskipun punggungku
rasa-rasanya patah ketika aku dilemparkannya, tetapi
nampaknya mereka tidak ingin menyakiti siapa pun"
"Tetapi lambungku rasa-rasanya telah dilubangi dengan
tongkat itu" "Tetapi bukankah tidak apa-apa" Hanya sedikit biru?"
Orang yang lambungnya tersentuh tongkat Paksi itupun
berkata, "Kelihatannya memang hanya sedikit biru. Tetapi
sakitnya sampai ke jantung"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau memang cengeng" berkata tetangganya yang lain.
"Kemarin kau merintih kesakitan di belakang regol halaman
rumahmu. Aku kira ada yang terjadi. Ternyata kau hanya
diseruduk oleh kambing peliharaanmu sendiri"
"Sakitnya bukan main. Coba kau pergi ke rumahku. Aku
lepas kambing jantanku itu. Jika kau diseruduk pantatmu,
maka tiga hari kau tidak akan dapat berjalan"
Tetangga-tetangganya yang ikut berbincang di mulut jalan
padukuhan itu tertawa. Namun seorang di antara merekapun
berkata, "Agaknya Ki Demang benar. Panggraita Ki Demang
cukup tajam, sehingga Ki Demang menanggapi kehadiran
kedua orang itu dengan baik sebagaimana dikatakan oleh Ki
Bekel" "Ki Bekel memang agak tinggi hati"
"Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Menilik
wajah mereka, mereka masih terlalu muda. Namun agaknya
pengembaraan mereka telah membuat mereka menjadi
matang" "Jika orang itu ingin membunuhku, maka agaknya dengan
mudah dapat dilakukan. Tetapi aku tidak mati" berkata orang
yang bertubuh tinggi besar.
"Meskipun ujudnya sedang-sedang saja, tetapi bagaimana
mungkin ia dapat mengangkatmu seperti mengangkat
seonggok kapuk saja"
"Aku juga keheranan atas tenaganya yang sangat besar.
Aku diangkatnya begitu saja tanpa ancang-ancang"
"Ke mana mereka sekarang?"
"Entahlah. Bukankah kita tidak mau cari perkara?"
Orang-orang itupun terdiam. Sementara itu, orang yang
perutnya tersentuh tongkat Paksi itupun berkata, "Aku akan
pulang. Keluargaku harus bersukur, bahwa aku masih sempat
pulang. Jika perutku benar-benar berlubang, maka yang
pulang hanyalah namaku. Anakku tidak akan ada yang
mencarikan makan. Padahal mereka masih terlalu kecil untuk
mencari makan sendiri. Aku tidak mau mereka menjadi anak
tiri dari laki-laki manapun"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu masih akan berbicara lagi. Tetapi seorang
tetangganyapun berkata, "Sudahlah. Pulanglah. Suaramu
tentu lebih menggelisahkan daripada kemungkinan kembalinya
kedua orang itu tadi"
"He?" "Anak dan istrimu menunggumu di rumah"
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
melangkah dengan kepala tunduk pulang ke rumahnya. Tetapi
beberapa langkah kemudian orang itu berhenti. Ia masih saja
berkata, "Aku akan pergi ke sawah. Tetapi aku harus pulang
dahulu mengambil cangkul dan menunjukkan kepada
keluargaku bahwa aku tidak apa-apa. Aku dapat mengatasi
kesulitan akibat pukulan tongkat anak muda yang berilmu
tinggi itu" "Ya" kawannya memotongnya, "baru sekarang kami,
tetangga-tetanggamu sejak kita masih kanak-kanak,
mengetahui bahwa kau kebal"
"Kau mulai menghina"
Tetangganya itu tertawa. Bahkan yang lainpun tertawa
pula. Seorang di antara mereka berkata, "Jangan marah.
Orang yang cepat marah, akan lekas menjadi tua. Sementara
istrimu masih tetap muda"
Orang itu bersungut-sungut. Namun iapun meneruskan
langkahnya, pulang ke rumahnya.
"Apa yang dilakukannya di rumah?" desis salah seorang
tetangganya. "Ia harus bersukur bahwa anak dan istrinya betah
mendengarkan celotehnya yang agaknya berlangsung siang
dan malam" "Mereka tentu sudah terbiasa, sehingga tidak akan
menimbulkan masalah lagi"
Namun sejenak kemudian, orang-orang yang masih berada
di ujung jalan itupun telah beranjak pulang ke rumah masing-
masing. Dalam pada itu, Wijang dan Paksipun sudah menjadi
semakin jauh dari padukuhan itu. Sambil melangkah di atas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jalan sempit, Wijangpun bertanya, "Menurut pendapatmu,
bagaimana sikap orang-orang padukuhan itu?"
"Mereka tidak marah kepada kita" jawab Paksi. "Ternyata
bahwa mereka tidak mengejar kita"
Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Bekel padukuhan
itu terlalu tinggi hati dan sombong. Mudah-mudahan yang
terjadi dapat menjadi pelajaran baginya. Keterangan Ki
Demang tidak didengarkannya. Ia lebih senang mendengarkan
kata hatinya yang sombong itu"
"Orang itu akan berpikir dua tiga kali tentang sikapnya
terhadap kita" "Bukankah Ki Bekel sudah telanjur bersikap" Jika saja kita
tidak mempunyai kemampuan untuk meloloskan diri, apakah
kita tidak menjadi bubur. Kita akan jatuh di tangan orang-
orang padukuhan ini, sementara Ki Bekel justru menginginkan
kita dilumatkan. Tidak ada orang yang akan dapat melindungi
kita" Paksi mengangguk-angguk. Iapun membayangkan orang-
orang yang tidak bersalah, yang harus mengalami nasib buruk
karena sikap orang-orang yang berpikiran pendek.
Untuk beberapa saat keduanya tidak berbicara. Mereka
seakan-akan tenggelam ke dalam angan-angan mereka
masing-masing. Dalam pada itu, mereka berdua masih menyusuri jalan
sempit. Mereka merasa bahwa mereka telah menempuh arah
yang benar. Ki Gede Lenglengan juga berjalan melalui
kademangan itu. Mungkin mereka akan dapat keterangan dari
padukuhan-padukuhan yang mereka lewati tentang
sekelompok orang yang langsung dipimpin oleh Ki Gede
Lenglengan beberapa hari yang telah lewat.
Namun kedua orang pengembara itu merasa bahwa
mereka tidak akan menuju ke daerah yang asing. Bahkan
rasa-rasanya mereka akan pulang ke rumah mereka yang
sudah lama mereka tinggalkan.
Ketika Paksi menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya
selembar awan bergayut di langit. Sekelompok burung pipit
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terbang melintas dengan cepatnya, seperti selembar kain
hitam yang tembus pandang melayang membayangi awan
yang putih. Namun sekejap kemudian telah hilang ke arah
tenggara. "Kita akan melingkari gunung ini" berkata Wijang.
"Ya. Kita akan menjelajahi kembali sisi selatan kaki Gunung
Merapi" "Daerah yang sudah banyak kita kenal"
Keduanyapun berjalan semakin cepat, seakan-akan mereka
ingin segera sampai ke sisi selatan.
Namun jalan yang mereka lalui bukan jalan yang lebar dan
rata. Jalan yang mereka lalui adalah sebuah lorong sempit
yang berbatu-batu. Namun keduanyapun kemudian telah turun ke sebuah jalan
yang lebih besar. Jalan yang nampaknya lebih ramai. Ada
bekas jalan pedati yang menjelujur sepanjang jalan itu.
Mereka berduapun menepi ketika mereka berpapasan
dengan dua orang berkuda. Nampaknya dua orang saudagar
dalam perjalanan. "Marilah, kita ikuti jalan ini" berkata Wijang.
Paksi mengangguk. Menurut dugaannya, jalan itu akan
menuju di arah lain. Tetapi menurut penglihatan mereka, di
depan mereka terdapat sebuah padukuhan yang lebih besar
dari padukuhan-padukuhan yang lain.
Demikianlah beberapa saat mereka berjalan menuju ke
padukuhan di hadapan mereka. Sebuah padukuhan yang
memang di ujung bulak persawahan yang nampaknya subur.
Air yang jernih mengalir di parit yang membujur di pinggir
jalan. "Mudah-mudahan di padukuhan itu ada pasar meskipun
kecil atau sudah sepi. Asal masih ada kedai yang buka" desis
Paksi. "Kau sudah lapar?"
"Aku haus. Tetapi aku tidak ingin minum air parit.
Bukankah kau akan mengatakan bahwa di parit itu mengalir
air yang jernih?"

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang tertawa. Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah sampai di
regol padukuhan. Keduanyapun semakin yakin, bahwa
padukuhan itu termasuk padukuhan yang alami dibandingkan
dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Di pintu regol
padukuhan mereka berpapasan dengan sebuah pedati yang
agaknya mengangkut hasil bumi.
Di belakang pedati itu, dua orang perempuan berjalan
sambil menggendong bakul berisi berbagai macam kebutuhan
dapur. Wijang dan Paksi melangkah terus menyusuri jalan
padukuhan. Semakin lama semakin dalam. Namun mereka
masih belum sampai ke pasar.
Ternyata pasar itu justru terletak di sisi lain dari padukuhan itu. Pasar itu memang bukan satu pasar yang besar. Tetapi
nampaknya hari itu adalah hari pasaran. Menilik bekasnya,
maka hari itu di pasar itu penuh dengan para penjual dan
pembeli sehingga meluap sampai di pinggir jalan.
Meskipun saat itu pasar sudah nampak agak lengang,
namun masih ada juga satu dua kedai yang pintunya terbuka.
Sedangkan di sudut pasar itu masih terdengar suara pandai
besi yang sedang menempa.
"Marilah, kita lihat. Apa yang dikerjakan oleh pandai besi
itu" ajak Wijang. "Bukankah kau mencari kedai?"
"Kedai itu masih belum akan tutup"
Paksi tidak menyahut lagi. Tetapi bersama-sama dengan
Wijang keduanya memasuki pasar yang sudah menjadi agak
sepi itu. Di sudut pasar itu, beberapa orang pandai besi masih sibuk
menempa besi yang merah membara. Sementara yang lain
masih juga membakar besi di dalam bara api yang merah
dihembus oleh ububan di sebelah perapian.
Wijang dan Paksipun kemudian berdiri sambil mengamati
benda yang sedang ditempa itu.
"Sebuah pedang" desis Wijang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya" Paksi mengangguk-angguk.
Beberapa lama mereka menunggui pandai besi yang
sedang menempa sebilah pedang itu. Hasilnya memang tidak
terlalu baik. Tetapi nampaknya pedang yang tidak terlalu
panjang itu mencukupi kebutuhan bagi orang-orang pedesaan.
Ketika Wijang dan Paksi kemudian berjongkok di sebelah
gubuk tempat pande besi itu bekerja, Wijang menggamit Paksi
sambil berdesis, "Tidak hanya sebuah. Lihat, ada beberapa
bilah pedang yang sudah siap di sebelah ububan itu"
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin sebuah
pesanan" "Mungkin sekali"
Agaknya seorang di antara pandai besi itu melihat dua
orang anak muda memperhatikan beberapa bilah pedang yang
teronggok di sebelah ububan itu. Sambil mengusap
keringatnya orang itu berdesis, "Kau tertarik pada pedang-
pedang itu, anak muda?"
"Ki Sanak membuat beberapa buah pedang Pesanan?"
"Ya. Tetapi jika kau ingin membeli, kami tidak
berkeberatan. Kami masih juga membuat pedang yang lain"
Wijang dan Paksipun kemudian melihat-lihat pedang yang
sudah siap itu. Tinggal memberi hulu dan membuat
sarungnya. "Kau tertarik, anak muda?" bertanya pandai besi itu.
Wijang tersenyum. Katanya, "Pedang yang baik. Siapakah
yang memesannya?" "Orang sepadukuhan telah memesan pedang. Bahkan
orang-orang dari padukuhan sebelah menyebelah"
"Kenapa tiba-tiba mereka memesan pedang sekian
banyaknya?" Pandai besi itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
Wijang dan Paksi berganti-ganti. Pandai besi itu tidak melihat kesan buruk pada wajah-wajah mereka. Karena itu, maka
iapun menjawab, "Beberapa hari yang lalu, sebuah padukuhan
telah dirampok. Orang-orang padukuhan itu tidak dapat
berbuat apa-apa. Mereka tidak berani melawan karena orang-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang padukuhan itu tidak mempunyai senjata yang memadai.
Hanya ada satu dua orang yang mempunyai keris. Tetapi
agaknya keris terlalu kecil dan pendek untuk berkelahi
melawan perampok yang bersenjata pedang dan golok.
Karena itu, maka orang-orang padukuhan itupun telah
memesan pedang. Jika para perampok itu datang kembali,
maka mereka sudah siap untuk melawannya"
Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Namun ingatan
merekapun segera lari kepada Ki Gede Lenglengan.
"Apakah perampok itu jumlahnya banyak?" bertanya
Wijang. "Tidak terlalu banyak. Tetapi pemimpinnya, seseorang yang
sudah cukup tua tetapi masih nampak garang, mempunyai
ilmu yang tinggi" Wijang dan Paksi masih mengangguk-angguk.
"Nah, apakah kalian juga akan membeli pedang?"
"Kami belum pernah mempergunakan pedang, Ki Sanak.
Ada keinginan untuk memilikinya. Tetapi kami tidak tahu
untuk apa. Aku membayangkan, alangkah gagahnya jika aku
membawa pedang di lambung"
"Jika demikian, cobalah memiliki pedang"
Tetapi pande besi yang lain, yang rambutnya sudah putih
tergerai di bawah ikat kepalanya, menyahut, "Jangan, anak
muda. Jika kalian tidak pernah membawa pedang, sebaiknya
kalian tetap tidak membawa pedang. Pedang adalah ciri
kekerasan. Alangkah damainya kalian yang tidak terbiasa
membawa pedang, karena kalian akan dijauhkan dari
kekerasan" Namun pandai besi yang muda menyahut, "Tetapi jika
bahaya itu datang mengancam kita?"
"Tanpa pedang di lambung, kalian akan merasa lebih
tenang. Hidup kalian akan terasa damai"
Pandai besi yang muda tidak menyahut. Namun iapun
kembali ke pekerjaannya, menempa besi dan baja untuk
membuat pedang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang yang rambutnya sudah mulai putih itu sambil
bekerja berkata, "Kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini
ternyata memberikan kesempatan kerja yang lebih luas
kepada kami. Tetapi setiap kali kami harus merenung, adakah
kerja kami ini tidak bertentangan dengan tatanan kehidupan
antara sesama yang seharusnya saling mengasihi?"
Wijang dan Paksi tidak menjawab. Tetapi pandai besi yang
muda itu berkata, "Senjata ini semata-mata untuk
mempertahankan diri, Kek. Bukankah di dalam kenyataan
hidup ini masih ada orang yang ingin berbuat jahat, yang ingin memaksakan kehendaknya atas kita" Seandainya orang-orang
padukuhan itu tidak membuat pedang, apa yang dapat
mereka lakukan jika para perampok itu datang kembali
dengan membawa pedang di lambung mereka?"
"Aku tidak ingkar dari kenyataan itu. Nyatanya aku pun ikut
membuat pedang. Tetapi sebaiknya kedua anak muda itu
tidak membeli pedang. Jangan membayangkan bahwa kalian
akan nampak gagah jika di lambung kalian tergantung
pedang" Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kami
tidak akan membawa pedang di lambung. Kami hanya ingin
sekedar melihat, bagaimana pedang itu dibuat"
Orang yang berambut putih itupun terdiam. Namun
tangannya masih saja sibuk untuk menyelesaikan pedang
yang sedang digarapnya. Beberapa saat kemudian, maka Wijang dan Paksipun minta
diri. Perasaan haus itu terasa mengganggu mereka lagi.
Apalagi mereka berada di panasnya perapian dari pandai besi
itu. "Kita singgah di kedai itu sebentar" berkata Wijang.
Namun ketika mereka baru beranjak beberapa langkah dari
tempat pandai besi itu bekerja, mereka tertarik kepada
sekelompok orang yang berjalan menuju ke tempat pandai
besi itu bekerja di sudut pasar.
"Apa yang akan mereka lakukan" Apakah mereka itu orang-
orang padukuhan yang memesan pedang?" desis Paksi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak. Tentu bukan. Mereka tentu bukan orang-orang
padukuhan yang memesan pedang. Tampang mereka bukan
tampang orang-orang lugu yang mencoba untuk melindungi
diri mereka sendiri dengan pedang. Tetapi orang-orang itu
justru orang-orang yang telah matang bermain pedang"
Paksi mengangguk-angguk. Namun Wijangpun kemudian
menariknya minggir. Agaknya lincak bambu itu dipergunakan
oleh seorang penjual makanan dan minuman untuk
mempersilahkan tamu-tamunya duduk. Tetapi karena hari
sudah terlalu siang, maka penjual makanan dan minuman itu
sudah pulang. Sebenarnyalah bahwa sekelompok orang itu telah
melangkah menuju ke tempat pandai besi itu bekerja. Seorang
di antara mereka tubuhnya tinggi besar dan dengan perut
yang buncit, berkumis tebal, sedangkan rambutnya terurai
lepas di bawah ikat kepalanya yang dililitkan begitu saja di
kepalanya. "Apa yang kalian kerjakan, kakek tua?" bertanya orang
yang tinggi besar dan perutnya buncit itu.
"Kami membuat parang, Ki Sanak"
"Parang apa?" "Parang pembelah kayu. Untuk mereka yang bekerja di
dapur atau pencari kayu bakar di hutan"
Orang itu tertawa. Katanya, "Jangan menganggap mataku
buta atau otakku tumpul. Menurut penglihatanku, kau sedang
membuat pedang" "Pedang?" suara orang berambut putih itu meninggi.
"Apakah aku membuat pedang" Ki Sanak, ini namanya parang
pembelah kayu bakar"
Orang yang bertubuh tinggi besar dengan perut buncit itu
tertawa semakin keras. Katanya, "Untuk apa kau membuat
pedang, Ki Sanak" Bahkan tidak hanya sebuah. Sejak dua tiga
hari yang lalu, orang-orangku melihat kau membuat pedang"
"Ya" orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, "kami
memang mendapat pesanan pedang dari orang-orang
Karangwaru" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa mereka beramai-ramai membuat pedang?"
"Sekelompok perampok telah datang ke padukuhan itu, Ki
Sanak. Untuk menjaga kemungkinan buruk itu terulang, maka
merekapun telah memesan pedang kepada kami"
Yang kemudian tertawa bukan hanya orang bertubuh tinggi
besar dan perutnya buncit itu. Tetapi kawan-kawannya pun
tertawa pula. "Orang-orang Karangwaru akan melawan jika di padukuhan
mereka didatangi sekelompok perampok?"
"Ya, Ki Sanak. Ketika perampok itu datang beberapa hari
yang lalu, mereka sama sekali tidak siap menghadapinya"
"Kemudian merekapun mempersiapkan diri dengan
memesan sejumlah pedang kepadamu?"
"Ya" Namun tiba-tiba saja suara tertawa orang yang bertubuh
tinggi besar itu terdiam, seakan-akan ikut tertelan ke dalam
perutnya yang buncit itu. Dengan lantang iapun bertanya,
"Jadi di Padukuhan Karangwaru beberapa hari yang lalu telah
didatangi sekelompok perampok?"
"Ya, Ki Sanak. Pemimpinnya sudah tua, tetapi ia memiliki
ilmu yang sangat tinggi"
"Persetan dengan tikus itu. Kau tahu, siapakah pemimpin
gerombolan perampok itu?"
"Orang-orang Karangwaru tidak mengatakannya. Mereka
agaknya belum mengenal orang yang memimpin perampokan
itu" "Gila. Jadi ada sekelompok perampok yang berani
merampok di daerah ini" Ini wilayahku. Ini wewenangku.
Daerah ini ada di dalam kuasaku"
"He, apa maksudmu" Apakah kalian wakil dari Pajang yang
bertugas untuk melindungi kami?"
"Orang tua yang dungu. Kami bukan petugas dari Pajang.
Tetapi aku adalah Sura Tunda. Kau tentu sudah pernah
mendengar namaku" "O" orang tua itu mengangguk-angguk. "Ya. Aku sudah
pernah mendengar nama itu. Nama yang dapat membuat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setiap bulu di tubuh orang yang mendengarnya, meremang.
Sura Tunda" "Jika demikian, kau tentu tahu, bahwa tidak ada
gerombolan lain yang boleh mengusik daerah ini"
"Entahlah, Ki Sanak. Aku tidak tahu apa-apa kecuali bekerja
di perapian ini" "Jika kau tidak tahu, sekarang aku akan memberitahu
kepadamu, bahwa kuasaku sekarang sudah merembes sampai
lingkungan ini. Sejak sepekan ini aku sudah memperluas
daerah kuasaku. Siapa yang mencoba menentang, akan aku
hancurkan. Kuasaku itu meliputi Padukuhan Karangwaru pula"
Pandai besi yang berambut putih itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Baiklah, Ki Sanak. Nanti aku beritahukan pula
kepada orang-orang Karangwaru yang memesan pedang-
pedang ini" -ooo00dw00ooo- Jilid 37 "YA. Katakan kepada orang-orang Karangwaru, bahwa aku,
Sura Tunda, telah memperluas daerah pengaruhnya sampai ke
Karangwaru. Karena itu, maka mereka tidak perlu takut
terhadap gerombolan-gerombolan yang akan mengganggu
padukuhan itu. Akulah yang akan menanganinya"
"Baik, Ki Sanak. Baik. Aku akan mengatakan kepada
mereka" "Karena itu pula, maka mereka tidak perlu memesan
pedang kepadamu. Pedang itu tidak akan ada gunanya"
"Tentu ada gunanya, Ki Sanak. Jika gerombolan itu tiba-
tiba kembali" Bukankah kau tidak setiap hari berada di
Karangwaru?" "Orang-orang Karangwaru tidak boleh bersenjata"
"Tentu sebagian besar pedang itu sudah siap. Apa salahnya


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jika mereka menyimpan senjata di rumahnya?"
"Mereka akan dapat melawan gerombolanku"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah mereka berani melakukannya" Berbeda dengan
gerombolan yang sekedar lewat. Mereka memang harus
dilawan" "Kau tidak usah membantah, kakek tua. Serahkan pedang-
pedang itu kepadaku. Orang-orangku juga membutuhkannya"
"Kalau kau membutuhkan pedang, kau dapat memesan
kepadaku dengan harga yang sama dengan orang-orang
Karangwaru" Orang berambut putih itu tertawa. Katanya, "Jangan
bergurau, Kek. Waktuku tidak banyak. Serahkan pedang-
pedang yang sudah siap itu kepadaku"
"Ki Sura Tunda, orang-orang Karangwaru sudah
memberikan uang panjar kepadaku. Jika pedang-pedang ini
tidak aku serahkan kepada mereka, maka mereka akan
menuntut uang itu kembali"
"Katakan saja bahwa pedang-pedang mereka telah aku
ambil" "Tentu mereka tidak mau tahu. Mereka tentu menuntut
kepadaku untuk mengembalikan uang yang telah aku terima.
Padahal uang itu telah habis aku belanjakan bahan-bahan
pembuatan pedang ini"
Ki Sura Tunda itu tertawa semakin keras. Di sela-sela suara
tertawanya iapun berkata, "Orang tua yang malang. Agaknya
nasibmu memang buruk"
"Karena itu, jangan ambil pedang-pedang itu, Ki Sura
Tunda. Jika pedang-pedang itu kau ambil aku harus menjual
tanah pekaranganku untuk mengembalikan uang panjar itu.
Lalu aku dan keluargaku akan berkeliaran tanpa tempat
tinggal" "Uruslah dirimu sendiri, kakek yang malang. Yang penting
bagiku, pedang-pedang itu harus berada di tanganku"
Paksi telah menggamit sambil berdesis, "Orang itu akan
memaksa mengambil pedang-pedang itu"
"Kasihan pande besi tua itu" sahut Wijang.
"Apakah kita akan ikut campur?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tunggu. Kita akan melihat, apa yang akan terjadi. Kau
lihat pande besi yang tua itu tidak nampak ketakutan?"
"Aku lihat. Tentu ada sesuatu di balik sikapnya itu"
Wijang dan Paksi tidak beranjak dari tempatnya. Sementara
itu, orang yang menyebut dirinya Sura Tunda itupun berkata
lantang, "Kek, jangan halangi orang-orangku mengambil
pedang-pedang yang telah kau buat. Kami memerlukannya.
Ada beberapa orang yang menyatakan diri untuk ikut bersama
kami. Karena itu, maka aku ambil pedang-pedangmu untuk
aku bagikan kepada mereka. Dengan demikian, maka kau
sudah membantu menegakkan kuasaku di daerah ini,
sehingga untuk seterusnya kau tidak akan terganggu lagi"
"Jangan, Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku sudah
menerima uang panjar dari orang-orang Karangwaru"
"Diam" akhirnya kesabaran Sura Tunda itupun sampai ke
batas. Kepada orang-orangnya Sura Tunda itupun berkata
lantang, "Ambil pedang-pedang yang sudah siap itu"
Tetapi pande besi yang tua itu tiba-tiba saja bangkit berdiri
sambil berkata, "Sura Tunda, aku katakan sekali lagi jangan
ganggu kami. Kami juga sedang mencari uang untuk
menghidupi keluarga kami. Jika kau ingin mencari kekayaan,
harta benda dan apa saja dengan caramu, lakukanlah. Aku
tidak akan mengganggumu. Tetapi kau jangan
menggangguku" Wajah Sura Tunda menjadi merah. Kemarahannya
bagaikan meledakkan jantungnya. Namun justru untuk sesaat
Sura Tunda berdiri saja dengan mulut yang bergetar. Baru
kemudian ia dapat berbicara, "Jadi kau akan melawan?"
"Ya" jawab pande besi yang tua itu.
"Kau sadari, apa yang kau lakukan, kakek tua?"
"Aku sadari sepenuhnya. Daripada aku harus berhadapan
dengan orang-orang Karangwaru, maka aku lebih senang
berhadapan kau dan orang-orangmu"
"Gila. Apakah kau memang sudah gila, Kek?"
"Tidak. Aku dan kawan-kawanku yang bekerja di sini tidak
gila. Jika aku menyerahkan pedang-pedang itu, maka aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
benar-benar sudah gila, karena aku harus menjual tanah
pekaranganku dan rumahku"
"Kau tahu, bahwa kau akan dapat mati karena pokalmu
itu?" "Kalau aku mati, maka aku tidak perlu lagi berpikir untuk
mengembalikan uang panjar yang sudah aku terima dari
orang-orang Karangwaru"
"Setan kau, kakek tua" Sura Tunda itupun menjadi semakin
marah. Lalu katanya kepada orang-orangnya, "Tangkap orang
tua itu. Aku ingin ia tetap hidup. Biarlah ia mati dibunuh
orang-orang Karangwaru jika ia tidak dapat mengembalikan
uang panjar yang sudah diterimanya"
Dua orang pengikut Sura Tunda itupun segera bergerak.
Namun orang tua itupun berkata, "Biarlah aku datang kepada
kalian. Jika kalian datang kemari, agaknya akan sangat
berbahaya bagi kalian. Jika kalian terperosok ke dalam
perapian itu, maka kalian akan menjadi cacat. Bahkan
mungkin mati" Wijanglah yang kemudian menggamit Paksi sambil berbisik,
"Kita tidak perlu ikut campur"
"Ya, orang tua itu nampaknya cukup meyakinkan"
Sebenarnyalah, pande besi yang tua itupun kemudian
keluar dari gubuk tempatnya bekerja. Demikian ia berada di
depan gubuknya, maka dua orang telah menangkap
lengannya. Namun tiba-tiba saja kedua orang itu telah terlempar.
Seorang di antaranya menimpa Sura Tunda itu, sehingga
hampir saja Sura Tunda itu jatuh terlentang.
Untunglah tangan Sura Tunda dengan cepat mampu
menggapai sebatang pohon pelindung di depan gubuk pande
besi itu, sehingga sejenak kemudian, Sura Tunda itupun telah
berdiri tegak. Darah Sura Tunda itu bagaikan mendidih di seluruh
tubuhnya. Hampir berteriak Sura Tunda itupun berkata kepada
orang-orangnya, "Lakukan, apa yang harus kalian lakukan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ambil pedang-pedang itu. Siapa yang menghalangi,
singkirkan. Yang melawan, dapat kalian habisi saja"
Namun orang-orang yang bekerja di gubuk itupun segera
berloncatan. Ternyata merekapun dengan sigap melawan para
perampok yang ingin mengambil pedang-pedang yang sedang
mereka buat. Sejenak Sura Tunda berdiri termangu-mangu. Namun
akhirnya ia melihat, bahwa para pande besi itu bukan orang
kebanyakan. Mereka dengan tangkasnya berloncatan melawan
para pengikut Sura Tunda yang akan merampas pedang-
pedang yang telah mereka buat dengan susah payah.
Karena itu, terbakar oleh kemarahan yang memuncak, Sura
Tunda pun segera turun ke arena perkelahian. Sura Tunda
itupun langsung menghadapi pande besi tua, yang agaknya
menjadi pemimpin dari kawan-kawannya yang masih muda-
muda itu. "Kakek tua yang tidak tahu diri. Jika kau keras kepala, aku
akan membunuhmu" Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian menjawab, "Bukankah sudah aku katakan, jika aku
mati, maka aku tidak perlu lagi memikirkan, bagaimana aku
harus mencari uang untuk mengembalikan uang panjar dari
orang-orang Karangwaru"
"Kau sudah gila, kakek tua. Tetapi baiklah, aku akan
membunuhmu dengan caraku. Cara yang tentu lebih buruk
dari cara yang dapat diambil oleh orang-orang Karangwaru"
Orang tua itu tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap
menghadapi Sura Tunda. Sejenak kemudian, pertempuran itu
berlangsung semakin sengit. Untunglah pasar itu sudah
berangsur sepi, sehingga tidak terlalu banyak orang yang
harus berlari-lari meninggalkan pasar itu.
Sementara itu, Wijang dan Paksi masih saja berada di
tempatnya untuk menyaksikan pertempuran yang semakin
seru itu. Namun akhirnya Sura Tunda harus mengakui kenyataan.
Pande besi tua itu ternyata memiliki ilmu yang lebih tinggi dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sura Tunda sendiri. Sementara itu, kawan-kawannya yang
bekerja bersamanya, telah melawan para pengikut Sura Tunda
dengan segenap kemampuan mereka. Ternyata bahwa
mereka bukannya orang-orang yang tidak berdaya. Sebagian
dari mereka memiliki bekal olah kanuragan yang dapat mereka
pergunakan untuk melindungi diri mereka.
Dalam pada itu, kemarahan Sura Tunda rasa-rasanya tidak
dapat diendapkannya lagi. Dengan garangnya, Sura Tunda
itupun berteriak kepada para pengikutnya, "Panggil semua
orang kemari. Kita bakar gubuk dan perapian ini. Kita akan
menghancurkan semua peralatannya. Kita bawa semua
pedang yang sudah jadi"
Dua orang berlari meninggalkan arena. Di luar gerbang
pasar terdengar mereka bersuit nyaring.
Sejenak kemudian, sekelompok pengikut Sura Tunda yang
tidak ikut masuk ke dalam pasar, telah berada di dalam pasar
itu pula. Dengan geram Sura Tunda itu berteriak, "Hancurkan
tempat kerja pande besi itu dan bakar gubuknya"
Wijang dan Paksi menjadi berdebar-debar, meskipun pande
besi yang tua itu mampu mengalahkan Sura Tunda, tetapi
jumlah pengikut Sura Tunda itu terlalu banyak. Mereka akan
dapat benar-benar menghancurkan tempat kerja pande besi
itu. Karena itu, maka Wijangpun berkata, "Bukankah kita tidak
akan tinggal diam dan membiarkan Sura Tunda
menghancurkan peralatan pande besi itu?"
"Ya. Marilah kita berbuat sesuatu"
Sebelum para pengikut sura Tunda yang berdatangan
semakin banyak itu benar-benar merusak peralatan pande
besi serta membakar gubuk itu, maka Wijang dan Paksi telah
mendekati lingkaran pertempuran itu.
Dengan lantang Wijangpun berteriak, "Apa yang telah
terjadi" Berhentilah, kenapa kalian berkelahi"
Wijang memang tidak mempergunakan suara wajarnya.
Pada getar suaranya terasa hentakan-hentakan pada dinding
jantung orang-orang yang mendengarnya, sehingga dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
demikian, maka orang-orang yang bertempur itu berloncatan
surut. Dengan demikian, maka pertempuran itupun telah terhenti.
"Apa yang terjadi?" bertanya Wijang pula.
"Kau siapa?" bertanya Sura Tunda.
"Kami orang-orang Karangwaru. Kami datang untuk
mengambil sebagian pedang yang kami pesan. Bukankah
sudah ada sebagian yang telah jadi?"
"Setan kau, orang-orang Karangwaru" geram Sura Tunda.
"Aku datang untuk mengambil pedang-pedang yang sudah
siap" "Itu pedang pesanan kami" jawab Wijang. "Kami sudah
memberikan uang panjar. Tidak ada orang lain yang dapat
membeli pedang-pedang itu"
Pande besi yang rambutnya sudah ubanan itu menarik
nafas dalam-dalam. Sikap Wijang itu telah mengisyaratkan
kepadanya, bahwa kedua orang anak muda itu bukan orang
kebanyakan. "Kenapa aku tidak dapat mengenalinya ketika ia
berbicara tentang pedang?" bertanya pande besi tua itu di
dalam hatinya. Namun Sura Tunda itupun berteriak, "Jangan menghalangi
kami. Aku tidak peduli, apakah kalian sudah memberikan uang
panjar atau belum. Tetapi aku memerlukan pedang-pedang
itu" "Gila kau, Sura Tunda. Kami, orang-orang Karangwaru
memerlukan pedang-pedang itu untuk melawan para
perampok" "Kami akan menghancurkan setiap gerombolan perampok
yang mengganggu daerah kuasa kami"
"Persetan dengan daerah kuasamu. Kami, orang-orang
Karangwaru akan melawan kau dan para pengikutmu pula.
Pedang-pedang itu akan sangat berarti bagi kami"
"Setan, kau. Sekarang kau hanya berdua di sini. Kau mau
apa, he?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Para pande besi itu nampaknya berusaha
mempertahankan pedang-pedang yang sudah kami pesan.
Tentu kami akan berpihak kepada mereka"
"Selagi masih ada kesempatan, pergilah. Jangan
mengharapkan pedang itu lagi. Pedang itu kami perlukan
untuk melindungi daerah kuasa kami, termasuk Karangwaru.
Karena itu, orang-orang Karangwaru tidak memerlukan
pedang lagi" "Kami memerlukan pedang itu. Justru untuk melawanmu
dan para pengikutmu"
Kemarahan Sura Tunda tidak dapat dibendung lagi. Karena
itu, maka iapun berteriak nyaring, "Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan. Jangan ragu-ragu. Yang keras kepala, akan
dibinasakan" Wijang dan Paksipun segera bergeser saling menjauh.
Sementara itu, pande besi yang tua serta kawan-kawannya
telah bersiap pula untuk bertempur lagi. Meskipun mereka
belum tahu tingkat kemampuan kedua orang anak muda yang
mengaku orang-orang Karangwaru itu, serta mereka
menyadari bahwa lawan terlalu banyak, namun pande besi itu
tidak mau menyerahkan hasil kerja mereka kepada Sura
Tunda dan para Pengikutnya.
Sejenak kemudian, pertempuranpun telah menyala
kembali. Jumlah pengikut Sura Tunda sudah menjadi lebih
banyak. Tetapi dua orang anak muda yang asing, telah
berpihak kepada pande besi itu.
Pande besi yang tua itu masih bertempur melawan Sura
Tunda. Namun Sura Tunda tidak lagi sendiri. Seorang
pengikutnya yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah
bergabung bersamanya, sehingga pande besi tua itu harus


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertempur melawan dua orang lawan.
Dalam pada itu, Wijang dan Paksi telah melibatkan diri
pula. Ternyata keduanya telah mengacaukan para pengikut
Sura Tunda. Orang-orang yang bertempur melawan keduanya,
segera terpelanting dan terlempar dari arena. Sebagian dari
mereka masih mampu melenting bangkit berdiri untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meneruskan pertempuran. Tetapi ada di antara mereka yang
menyeringai menahan sakit.
Paksi yang membawa tongkat, seakan-akan telah berubah
menjadi hantu yang menakutkan. Tongkatnya berputaran
semakin cepat. Sentuhan-sentuhan tongkatnya, rasa-rasanya
telah meretakkan tulang. Para pengikut Sura Tunda itupun telah mempergunakan
senjata mereka pula. Ada yang mempergunakan pedang, ada
yang membawa bindi dan ada yang membawa kapak.
Sementara itu Wijangpun telah menarik sepasang pisau
belatinya pula untuk melawan senjata-senjata para pengikut
Sura Tunda. Namun Wijang dan Paksi memang sengaja tidak ingin
membunuh. Tetapi dalam pertempuran yang semakin sengit,
keduanya sulit untuk menjaga agar senjata mereka tidak
melukai lawannya. Sekali-sekali ujung pisau belati Wijang juga menyentuh dan
menggores tubuh lawannya, sehingga darahnya telah menitik.
Sementara itu, tongkat Paksi telah membuat beberapa
orang kehilangan kesempatan untuk melanjutkan
pertempuran. Bahkan ada di antara mereka yang tulang
lengannya benar-benar menjadi retak. Seorang yang lain,
pergelangan tangannya tidak lagi dapat digerakkan.
Sedangkan seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan
jatuh tersungkur karena tongkat Paksi menyambar pahanya
sehingga tulang pahanya menjadi retak.
Beberapa orang pande besi itu sempat melihat sekilas
kedua orang anak muda yang sedang bertempur dengan
garangnya itu. Mereka menyadari, bahwa keduanya adalah
orang-orang yang berilmu tinggi.
Bahkan pande besi yang tua itupun berkata kepada dirinya
sendiri, "Alangkah bodohnya aku memperlakukan kedua anak
muda itu sebagai anak-anak muda yang dungu. Ternyata
mereka adalah anak-anak yang berilmu tinggi sekali"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pande besi yang tua itu masih bertempur melawan Sura
Tunda. Ternyata Sura Tunda masih saja mengalami kesulitan
meskipun seorang pengikutnya membantunya.
Semakin lama, kawan-kawan Sura Tunda pun menjadi
semakin menyusut. Beberapa orang yang berusaha untuk
menghentikan perlawanan Wijang dan Paksi yang mengaku
orang-orang Karangwaru itu sudah tidak berdaya. Yang masih
mampu bertempur sudah menjadi putus asa. Mereka seakan-
akan hanya tinggal mengepung Wijang dan Paksi dalam
sebuah lingkaran yang semakin longgar.
Para pande besi yang mempertahankan pedang yang telah
mereka buat dengan susah payah itupun semakin mendesak
lawan-lawan mereka pula, karena sebagian dari para pengikut
Sura Tunda sudah tidak berdaya dan yang lain dalam
kelompok menghadapi Wijang dan Paksi.
Dalam pada itu, Sura Tunda sendiri menjadi semakin sulit.
Ketika orang-orangnya menjadi semakin menyusut, maka
seorang pande besi yang masih muda telah mengambil lagi
pasangan Sura Tunda, sehingga dengan demikian Sura Tunda
harus bertempur lagi seorang melawan seorang dengan pande
besi yang tua itu. Dalam pada itu, Sura Tunda sudah tidak
mempunyai harapan lagi. Para pengikutnya pun tidak mungkin
lagi dapat mengalahkan para pande besi yang bertempur
bersama-sama dengan kedua orang Karangwaru itu.
Karena itu, maka Sura Tunda itu tidak mempunyai pilihan
lain. Ketika keadaannya menjadi semakin rumit, maka ia pun
segera bersuit nyaring. Dalam waktu yang singkat, maka pertempuran itupun
segera menjadi kacau. Orang-orang Sura Tunda yang masih
mungkin melarikan diri telah dengan sengaja membuat
pertempuran itu menjadi tidak menentu. Mereka berlarian
silang-menyilang untuk memberikan peluang kepada Sura
Tunda untuk menghilang. Baru kemudian mereka berusaha untuk melarikan diri,
meninggalkan arena pertempuran, sambil membantu kawan-
kawan mereka yang kesakitan dan luka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pande besi yang tua itupun memberi isyarat kepada orang-
orangnya untuk tidak mengejar mereka. Iapun telah
melepaskan Sura Tunda pula.
"Orang-orang itu akan menjadi sangat berbahaya, Kek"
berkata salah seorang pande besi yang masih muda.
"Kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita akan
berbicara dengan orang-orang Karangwaru, para bebahu
padukuhan ini serta orang-orang yang ditugaskan di pasar ini"
"Tetapi kedua orang anak muda itu bukan benar-benar
orang Karangwaru. Mereka telah membantu kita serta
menyesuaikan diri dengan keadaan yang sedang kita hadapi"
Pande besi yang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Selangkah demi selangkah orang itu mendekati Wijang dan
Paksi yang berdiri termangu-mangu. "Terima kasih, anak
muda. Kalian telah membantu menyelamatkan kami"
"Bukan apa-apa, Kek. Bukankah sudah menjadi kewajiban
kita untuk saling membantu?"
"Aku minta maaf atas kebodohanku, anak muda"
"Maksud Kakek?"
"Aku tidak dapat melihat kemampuan kalian berdua sejak
awal. Kalian tentu menertawakan aku ketika aku mencoba
menggurui Angger" "Tidak, Kek. Tidak. Nasehat Kakek itu sangat berarti.
Adalah kebetulan bahwa kami berdua yang mendengarkan kali
ini. Tetapi nasehat Kakek itu akan sangat berarti pula bagi
orang lain" Orang itu menarik nafas panjang. Ketika ia mengedarkan
pandangan matanya, maka dilihatnya pasar itu sudah sepi.
Satu dua orang yang berdatangan kembali setelah suasana
menjadi tenang, masih berdiri termangu-mangu. Namun
merekapun kemudian segera mengemasi barang-barang
mereka yang tersisa. "Jangan takut untuk datang lagi ke pasar ini" berkata
pande besi yang tua itu kepada mereka. "Pasar ini tidak boleh
mati" Lalu suaranya menurun seolah-olah ditujukan kepada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diri sendiri, "Di sini aku mencari nafkah. Jika pasar ini mati, maka lapangan kerja kami juga akan mati"
"Tidak, Kek" sahut Paksi. "Kakek sudah mempunyai
beberapa orang langganan. Seandainya, hanya seandainya
pasar ini mati, namun jika Kakek masih bekerja di sini, akan
berdatangan orang-orang yang sudah terbiasa berhubungan
dengan Kakek. Bahkan orang-orang baru pun akan
berdatangan karena mereka membutuhkan alat-alat pertanian
serta alat-alat kerja yang lain. Parang, kapak, dan ternyata
Kakek juga membuat senjata. Sepanjang senjata itu berada di
tangan yang benar untuk kepentingan yang benar seperti
orang-orang Karangwaru, maka Kakek tidak perlu merasa
bersalah" "Ya, Ngger" kakek itu mengangguk-angguk.
"Nah, silahkan Kakek melanjutkan kerja kakek. Aku kira
Sura Tunda akan berpikir ulang, jika ia ingin datang kemari"
"Kami akan menyelesaikan kerja kami untuk hari ini, anak-
anak muda. Kami akan pergi ke Karangwaru untuk
menyerahkan pesanan mereka yang sudah siap. Jika pedang-
pedang itu jatuh ke tangan orang lain, maka aku harus
mengganti uang panjar itu"
"Jadi, Kakek akan pergi ke Karangwaru?"
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 7 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Pendekar Muka Buruk 1
^