Jejak Di Balik Kabut 6
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 6
bermata tiga butir batu akik itu, lakukanlah."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku hanya dapat
mengucapkan terima kasih, Ki Marta. Namun perkenankan aku
mohon. Sebenarnya sudah lama aku ingin menyampaikan
permohonan ini." "Apa yang akan kau minta?"
"Apakah aku diperkenankan menyebut Ki Marta sebagai
guruku. Aku pernah berguru kepada seseorang. Tetapi karena
aku harus pergi dari rumah dan meninggalkan keluargaku,
maka hubunganku dengan guruku telah terputus. Tetapi aku
masih tetap menganggapnya sebagai guruku. Jika Ki Marta
berkenan, maka aku akan merasa mempunyai dua orang
guru." Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, "Itu terserah saja
kepadamu. Tetapi rasa-rasanya jantungku seperti digelitik jika seseorang memanggilku guru. Karena itu, aku tidak
berkeberatan jika kau menganggap aku sebagai gurumu.
Tetapi panggil aku Ki Marta begitu saja."
Paksi memandang Ki Marta Brewok sekilas. Katanya, "Aku
mengucapkan terima kasih. Tetapi aku merasa lebih mantap
jika aku diperkenankan memanggil guru."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terserah saja kepadamu," berkata Ki Marta Brewok
kemudian. "Tetapi jika kita tidak bertemu lagi, maka kau tidak akan mempunyai kesempatan menyebutku guru."
"Bukankah aku harus datang ke alun-alun Pajang jika aku
sudah menemukan cincin itu?"
Ki Marta Brewok tertawa pula. Katanya, "Terserah saja
kepadamu, aku tidak berkeberatan."
"Terima kasih, Guru," berkata Paksi kemudian. "Tetapi jika aku boleh bertanya, ke mana guru akan pergi selanjutnya?"
"Aku tidak dapat mengatakan kepadamu, Paksi. Tetapi aku
masih mengemban berbagai tugas yang penting. Meskipun
demikian, jika ada kesempatan aku masih akan berusaha
menemuimu meskipun aku tidak tahu, kau pergi ke mana jika
kau pada suatu saat meninggalkan tempat ini."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku memang
masih akan mengembara. Mungkin untuk waktu yang masih
panjang." "Hati-hatilah. Jangan sampai tersesat ke mulut Batara Kala yang selalu menganga menunggu mangsa. Padahal apapun
akan ditelannya, terutama mereka yang memang sudah
termasuk dalam kumpulan orang-orang yang mempunyai ciri
tertentu." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku pernah
mendengar dongeng itu."
"Kau harus menerjemahkan dengan benar." Paksi
mengangguk-angguk. "Nah, aku kira pekerjaan di sini sebagian besar sudah
selesai. Karena itu, aku akan minta diri karena mungkin aku
tidak akan kembali lagi kemari."
"Kenapa sebagian besar, Guru."
"Memang belum tuntas. Kau sendirilah yang akan
menuntaskannya," jawab Ki Marta Brewok.
"Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih. Semoga
Yang Maha Agung selalu menyertai Guru."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, "Kita akan selalu
berdoa. Jika kita bersungguh-sungguh, maka doa kita akan
didengar-Nya." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi bagaimanapun juga,
terasa jantungnya berdegup semakin cepat. Kepergian Ki
Marta Brewok tentu akan membekas di dalam hatinya,
meskipun di hari-hari terakhir Ki Marta Brewok sudah jarang-
jarang mengunjunginya. Demikianlah Ki Marta Brewokpun telah minta diri sekali lagi.
Ia benar-benar akan meninggalkan Paksi di gubuk kecilnya,
jauh dari rumahnya, jauh dari sanak-kadangnya.
Ketika Ki Marta Brewok menepuk bahu anak muda itu,
terasa mata Paksi menjadi panas.
Demikianlah, maka malam itu Ki Marta Brewok telah
meninggalkan Paksi seorang diri. Paksi yang melepaskan
kepergian Ki Marta Brewok itu di depan gubuknya,
memandanginya sampai orang itu hilang dalam kegelapan.
Sudah puluhan kali, bahkan ratusan kali ia memandangi
punggung Ki Marta Brewok. Namun malam itu rasa-rasanya ia
telah kehilangan orang yang dianggap sebagai gurunya.
Dua kali Paksi terpisah dari guru yang membimbingnya.
Tetapi sejenak kemudian, Paksi teringat pesan Ki Marta
Brewok. Karena umurnya sudah delapan belas, maka ia harus
sudah mendudukkan dirinya pada tiga alas. Di antaranya
adalah kemandirian. Paksi menarik nafas dalam-dalam.
Ketika kemudian Ki Marta Brewok hilang dari pandangan
matanya menyusup ke dalam kegelapan, maka Paksipun
masuk kembali ke dalam gubuk kecilnya. Paksi bahkan telah
memadamkan lampu minyaknya. Kemudian berbaring di atas
ketepenya di dalam gelap.
Tetapi ternyata sampai dini hari Paksi tidak dapat tidur
sama sekali. Ia sempat mengenang pertemuannya dengan
orang yang mengaku bernama Marta Brewok itu. Waktu itu,
lebih dari setahun yang lalu, seleret sinar seakan-akan jatuh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari langit. Dan Ki Marta Brewok itu menggiringnya untuk
datang ke tempat terpencil itu.
Di dini hari Paksi sudah bangun. Ia masih mempunyai
sedikit waktu untuk menyalakan perapian. Sementara itu,
Paksipun segera berbenah diri seperti kebiasaannya setiap
hari. Ketika fajar menyingsing, Paksi telah memadamkan apinya.
Air yang dijerangnya sudah mendidih.
Sebelum pergi ke sungai, Paksi sempat meneguk minuman
hangatnya. Nasinya masih utuh. Biasanya Ki Marta Brewok
ikut makan bersamanya. Tetapi malam itu, Ki Marta Brewok
datang hanya untuk minta diri.
Hari yang kemudian terbentang di hadapannya terasa
menjadi sepi. Meskipun sebelumnya, selama lebih dari setahun
ia berada di tempat itu, Ki Marta Brewok belum pernah datang
mengunjunginya di siang hari, namun Paksi masih
berpengharapan, bahwa di malam hari, orang itu akan datang.
Tetapi Paksipun kemudian menyadari, bahwa ia tidak dapat
tenggelam dalam perasaan sepinya. Hari-hari yang bakal
datang masih banyak yang harus dilakukannya.
Karena itu, maka Paksi tidak ingin merenung terus-
menerus. Ia harus menerima kepergian Ki Marta Brewok
sebagai satu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya.
Karena itu, maka Paksipun segera mengambil bumbung
legennya. Ia harus memanjat beberapa batang pohon kelapa.
Ketika kemudian pekerjaannya di gubuk kecilnya sudah
selesai, maka untuk mengisi waktunya Paksi telah turun ke
dalam goa. Hari itu Paksi merasa malas untuk pergi ke pasar.
Apalagi ia masih mempunyai garam cukup, sehingga ia masih
belum memerlukannya. Ketika ia berada di dalam ruang yang cukup luas di dalam
goa itu, maka ia telah merenungi lagi lukisan-lukisan yang ada di dinding goa yang datar itu. Tetapi semua garis telah dilihat dan dipelajarinya dengan saksama. Karena itu, maka Paksipun
memiliki berbagai macam kemampuan mempergunakan
beberapa jenis senjata dengan baik. Di rumahnya Paksi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempunyai sebilah parang yang dibelinya pada seorang
pande besi. Parang yang biasanya dipergunakan untuk
membelah kayu. Namun di tangan Paksi, parang itu telah
dipergunakannya untuk mematangkan ilmu pedangnya.
Dengan tongkat kayunya, Paksi juga berusaha untuk berlatih
mempergunakan tombak pendek. Sementara itu, ia telah
mempelajari pula mempergunakan berbagai macam senjata
yang lain. Di antaranya Paksi juga memiliki ketrampilan
mempergunakan cambuk dan cemeti.
Untuk beberapa saat lamanya, Paksi berlatih seorang diri di
dalam ruangan itu. Namun ketika keringatnya telah terperas
dari tubuhnya, maka Paksipun menghentikan latihannya itu,
sementara pakaiannya yang telah basah ketika ia menerobos
air terjun, telah menjadi semakin basah pula oleh keringat.
Di luar sadarnya, Paksipun telah duduk di tempat ia
menjalani laku. Dicobanya mengingat lagi, apakah yang
pernah terjadi pada dirinya.
Ketika ketajaman angan-angannya membayangkan kembali
apa yang dilakukannya, maka serasa ia mendapatkan
sandaran baru pada inderanya. Ada kekuatan yang belum
pernah diungkapkannya. Kekuatan yang khusus bekerja pada
inderanya itu. Ketika Paksipun kemudian membuka matanya dan keluar
dari dunia angan-angannya, maka dengan penuh kesadaran
akan kemampuannya, maka Paksipun telah mengungkapkan
kekuatan yang membuat inderanya menjadi semakin tajam.
Dengan demikian, maka penglihatan Paksipun menjadi
semakin tajam pula di dalam gelap di goa itu. Paksi seakan-
akan melihat segalanya semakin jelas. Jauh lebih jelas dari
sekedar ketajaman penglihatannya.
Demikian pula Paksi mampu mendengar lebih jelas.
Gemuruh air terjun. Namun juga siul burung-burung di luar
goa itu. Gemerisik daun yang bergoyang disentuh angin
pegunungan yang semilir lembut.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu sadar,
bahwa ia telah mampu membangun Aji Sapta Pandulu dan Aji
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sapta Pangrungu. Dengan demikian, maka Paksipun sadar
pula, bahwa ia juga akan dapat membangunkan ilmunya
untuk mempertajam inderanya yang lain jika diperlukannya.
Setiap kali Paksi menyadari kelebihan yang ada di dalam
dirinya, maka Paksi selalu merasa betapa ia berhutang budi
kepada Ki Marta Brewok. Tetapi sejalan dengan itu, iapun
selalu ingat akan pesan-pesannya, bahwa setiap yang dimiliki
itu adalah kurnia. Apalagi kelebihan dari sesamanya. Karena
itu maka iapun harus menempatkan dirinya di jalan yang
dikehendakiNya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Di dalam kegelapan ia
menengadahkan wajahnya. di dalam hati Paksi memohon agar
nalar budinya tidak terlepas dari kendali kesadaran diri akan
keberadaannya, kelebihannya serta sangkan paraning dumadi,
sehingga dapat tercermin pada sikap dan tingkah lakunya.
Tiba-tiba saja terngiang di telinganya kata-kata orang yang
datang untuk mencari ndaru itu, hubungan antara ilmu dan
amal. Sejenak Paksi merenung. Namun kemudian Paksi itupun
melangkah ke mulut goa. Sejenak kemudian Paksi sudah berada di gubuk kecilnya. Ia
sudah berganti pakaian Pakaiannya yang basah sudah
dicucinya. Ternyata hari-harinya kemudian terasa menjadi semakin
sepi sejak Ki Marta Brewok menyatakan bahwa dirinya tidak
akan datang lagi ke tempat itu. Bahkan Paksipun kemudian
merasa, bahwa keberadaannya di tempat itu tidak lagi
mengikatnya. Tetapi Paksi masih menunggu jagungnya menjadi tua.
Rasa-rasanya ia akan mendapatkan kepuasan tersendiri untuk
memetiknya, sementara padi gaga yang ditanamnya juga
sudah mulai berbunga, sehingga ia merasa masih ada
keterikatan dengan tempat itu.
Di hari-hari mendatang, Paksi mengisi hari-harinya yang
sepi dengan berkeliaran di pasar. Bercanda dengan Kinong,
bergurau dengan penjual dawet dan sekali-sekali berbicara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersungguh-sungguh dengan pande besi yang sedang
membuat parang. Tetapi kegelisahan masih saja membayang di pasar itu.
Ketika Paksi datang ke pasar agak siang, ia berpapasan
dengan orang-orang yang dengan tergesa-gesa meninggalkan
pasar. "Ada apa?" bertanya Paksi ketika ia bertemu dengan
seorang yang sudah dikenalnya.
"Keributan telah terjadi," jawab orang itu. "Pulang sajalah anak muda."
Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi Paksi tidak segera
berbalik arah. Ia masih saja melangkah ke arah pasar.
Paksi itupun berhenti ketika ia bertemu Kinong dan ibunya
berjalan tergesa-gesa pula. Bahkan Kinong yang digandeng
ibunya itu berlari-lari kecil sambil menjinjing keranjang
kecilnya. "Kinong, ada apa?" bertanya Paksi.
Kinong memang berhenti. Ibunya juga berhenti.
"Jangan pergi ke pasar, Ngger. Agaknya akan terjadi
keributan lagi." Paksi mengerutkan dahinya, sementara Kinongpun berkata
selanjutnya, "Ada dua orang berkuda yang datang ke pasar
itu. Tetapi selain mereka telah ada pula dua orang yang sudah
berada di sekitar tempat ini beberapa hari yang lalu. Orang
yang sering makan tetapi tidak membayar penuh itu."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Biarlah aku ingin
melihat apa yang akan terjadi."
"Jangan, Ngger," cegah ibu Kinong. "Nanti kau akan terjerat dalam peristiwa yang tidak kau ketahui ujung
pangkalnya. Bahkan mungkin kau akan cidera karenanya,
sementara kau tidak mempunyai sangkut-paut dengan
mereka." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
menjawab, "Aku akan melihat dari kejauhan. Aku tentu tidak akan berani mendekat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi kau harus berhati-hati, Ngger. Sebenarnya kau
tidak menuruti keinginantahumu itu. Yang terjadi nampaknya
bukan sekedar main-main."
"Terima kasih," desis Paksi. "Aku akan berhati-hati."
Kinong dan ibunyapun kemudian meninggalkan Paksi yang
termangu-mangu, mengikuti arus orang-orang yang
menyingkir menjauhi pasar.
Dengan hati-hati Paksi melangkah mendekati pasar yang
sudah menjadi sepi. Bahkan para pande besipun telah
meninggalkan perapian mereka. Meskipun beberapa orang
laki-laki yang memiliki sedikit keberanian masih berada di
pasar, tetapi mereka sudah membenahi dagangan mereka.
Namun demikian, pada jarak yang agak jauh, beberapa
orang juga masih menunggu. Mereka ingin melihat apa yang
akan terjadi. Paksi mendekati seorang laki-laki yang berjongkok di
belakang sebatang pohon, beberapa puluh langkah dari pintu
gerbang pasar.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Paksi kemudian berjongkok di sebelahnya, orang itu
terkejut bukan buatan, sehingga terlonjak dan bergeser
setapak. Orang itu menarik nafas dalam-dalam setelah ia melihat
seorang anak muda berjongkok di sebelahnya.
"Kau mengejutkan aku anak muda."
"Maaf, Paman. Aku tidak berniat mengejutkan Paman.
Tetapi aku ingin bertanya, apa yang terjadi?"
"Lihat," desis orang itu.
Paksi melihat bukan hanya dua orang berkuda, tetapi
ampat orang berkuda mendekati regol pasar. Ampat orang
yang berwajah garang. Menilik sikap dan pakaiannya, maka
mereka adalah orang-orang yang mengembara di dunia olah
kanuragan. "Siapakah mereka itu?" bertanya Paksi.
"Aku tidak tahu. Tetapi seorang di pasar ini telah
mendengar bahwa sekelompok orang akan datang mencari
musuhnya yang berada di pasar ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana ia dapat mendengarnya?"
"Orang itu hanya mendengar seorang berkata kepada
kawannya agar kawannya itu memanggil kawan-kawannya
yang lain. Ketika hal ini tersebar, maka orang-orang seisi
pasarpun telah meninggalkan pasar."
"Paman tidak pergi?" bertanya Paksi.
"Aku ingin membuktikan apa yang terjadi. Apakah ceritera
itu benar atau orang yang sekedar ingin melihat kekisruhan
terjadi di pasar ini."
"Ternyata orang-orang itu benar-benar datang."
"Ya. Orang-orang itu benar-benar datang. Tetapi yang
dicarinya tentu sudah pergi."
Baru saja mulut orang itu terdiam, tiba-tiba saja mereka
mendengar suara seorang perempuan tertawa. Suaranya
melengking tinggi. Sementara itu, dua orang perempuan yang
berpakaian asing itu telah keluar dari sebuah kedai yang
terletak tidak jauh dari pintu gerbang pasar itu.
"Siapa yang kalian cari?" bertanya salah seorang dari kedua orang perempuan itu.
Keempat orang berkuda itu termangu-mangu sejenak.
Namun seorang di antara merekapun meloncat turun sambil
menjawab, "Kalian perempuan-perempuan Goa Lampin?"
"Ya," jawab salah seorang perempuan itu.
"Siapakah di antara kalian yang telah melukai adikku?"
"Bukan kami. Tetapi saudara kami. Bukankah kalian datang
dari Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga?"
"Ya." "Saudara kami telah melukainya karena adik
seperguruanmu itu tidak mau mendengarkannya. Seharusnya
adikmu tidak berkeliaran di tempat ini. Daerah ini tertutup
bagi orang asing, karena daerah ini menjadi daerah perburuan
kami. Meskipun demikian, kami tidak akan mengelakkan
tanggung jawab. Meskipun yang melukai saudaramu itu bukan
kami, tetapi kami akan mempertanggungjawabkannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus," berkata orang yang telah turun dari kudanya.
"Kami ingin orang yang melukai adik seperguruanku itu
menyerahkan diri. Kami akan membawanya ke hutan Tegal
Arang di pinggir Kali Praga."
Kedua orang perempuan itu tertawa. Seorang di antara
mereka berkata, "Kau kira kami gila" Kau kira kami tidak tahu apa yang akan terjadi jika salah seorang di antara kami
berada di lingkunganmu?"
"Bukankah kau katakan bahwa kalian akan bertanggung
jawab?" "Maksudku, kami akan bertanggung jawab jika kalian
menuntut. Seharusnya kalian berterima kasih karena
saudaraku itu tidak membunuh adikmu. Seandainya wajah
adikmu tidak terlalu kotor, mungkin adikmu akan mendapat
kehormatan menjadi penghuni Goa Lampin bersama beberapa
orang laki-laki tampan yang lain."
Orang yang sudah turun dari kudanya itu tersinggung.
Katanya, "Kami adalah laki-laki yang mempunyai harga diri.
Kami sudah tahu apa yang dilakukan oleh perempuan-
perempuan Goa Lampin. Sebenarnya kami lebih senang
menjauhi kalian, bahkan lebih baik bahwa seumur hidup kami
tidak bertemu dengan perempuan Goa Lampin. Namun kali ini
kami ingin membalas sakit hati adikku itu."
"Jangan sesali. Jika adikmu mau mendengar peringatan
kami, maka tidak akan terjadi bencana itu."
"Kalian tidak berhak mengusir adikku dari tempat ini. Apa hakmu menyebut daerah ini sebagai daerah perburuan. Aku
tahu, yang kalian maksud tentu perburuan atas ndaru yang
jatuh di tempat ini, yang mungkin sekali adalah cincin yang
hilang itu, karena sinar ndaru itu memang agak berbeda dari
ndaru yang lain. Ada tiga pancaran sinar yang nampak,
sehingga orang menduga bahwa tiga sinar itu mengisyaratkan
tiga butir mata batu akik."
"Ya. Kami adalah orang yang pertama datang ke tempat
ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Omong kosong. Kau kira daerah ini sama sekali tidak
berpenghuni atau kau kira bahwa tidak ada orang lain yang
sedang melakukan samadi di sekitar tempat ini termasuk
adikku itu?" Tetapi perempuan itu tertawa. Katanya, "Jangan mengigau.
Berterima kasihlah bahwa adikmu hanya menjadi cacat. Tidak
mati. Itu sudah cukup."
Sementara itu seorang lagi dari orang-orang berkuda itu
meloncat turun. Dengan geram orang itu berkata, "Kita tidak perlu terlalu banyak bicara. Kita minta yang melukai saudara
kita itu untuk menyerah. Jika tidak maka mereka berdua akan
kita bawa." Kedua perempuan itu tertawa. Seorang di antara mereka
berkata, "Kalian berempat. Karena itu, jangan hanya
membawa dua orang. Aku masih mempunyai dua orang
kawan lagi, sehingga kita masing-masing berempat."
Laki-laki yang turun kemudian dari kudanya itu
menggeram. Katanya, "Cukup. Panggil semua kawan-kawanmu.
Semakin banyak semakin baik. Kalian akan berguna di
perguruan kami." Salah seorang dari kedua orang perempuan itu meletakkan
jari-jarinya di mulutnya. Kemudian terdengar suitan nyaring.
Getarannya merambat sampai ke telinga dua orang
kawannya yang berada di sebuah kedai yang lain.
Beberapa saat kemudian, maka kedua orang perempuan
dengan ciri-ciri pakaian yang serupa, ikat kepala hitam dengan pertanda merah, telah keluar dari kedai itu dan melangkah
mendekati kedua kawannya yang telah lebih dahulu
berhadapan dengan orang-orang berkuda itu.
Demikian kedua orang perempuan itu mendekat, maka dua
orang penunggang kuda yang lainpun telah meloncat turun
pula. Mereka kemudian mengikat kuda-kuda mereka pada
sebatang pohon waru yang tumbuh di seberang jalan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mereka juga berempat," desis salah seorang dari orangorang berkuda itu.
"Kita hanya membutuhkan orang yang melukai saudara
kita," geram orang yang tertua di antara mereka.
Tetapi perempuan-perempuan itu sama sekali tidak
menjadi gentar. Bahkan seorang di antara mereka yang baru
saja keluar dari kedai itu berkata, "Inikah mereka yang sedang mencari saudara kita?"
"Ya," jawab kawannya.
Perempuan itu meredupkan matanya. Kemudian katanya,
"Urungkan saja niatmu. Jika kalian tidak meninggalkan tempat ini dengan segera, maka kalian pun akan menjadi cacat
seumur hidup atau bahkan mati di sini."
Paksi yang menyaksikan pembicaraan itu menarik nafas
panjang. Ternyata perempuan-perempuan dari Goa Lampin itu
benar-benar perempuan yang garang.
"Berapa orang kekuatan perempuan-perempuan dari
Perguruan Goa Lampin itu?" bertanya Paksi di dalam dirinya.
Laki-laki tertua di antara keempat orang berkuda itu
berkata, "Sebenarnya kami tidak ingin bermusuhan dengan
Perguruan Goa Lampin. Tetapi kamipun tidak dapat
membiarkan saudara kami mengalami nasib buruk tanpa
menuntut balas." Perempuan-perempuan itu tertawa. Suaranya melengking-
lengking tinggi. Tiba-tiba saja tengkuk Paksi terasa meremang. Suara
tertawa perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin
itu terdengar seperti ringkik hantu perempuan yang bangkit
dari balik kubur. Namun kedua belah pihakpun telah bersiap. Mereka mulai
memencar. Seorang akan bertempur melawan seorang.
Sejenak kemudian, maka kedua belah pihak telah mulai
bergeser. Nampaknya kedua belah tidak ingin kehilangan
kesempatan. Karena itu, maka orang-orang yang terlibat
dalam pertempuran itu telah menggenggam senjata mereka
masing-masing. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keempat orang perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu
telah memegang pedang mereka masing-masing. Sementara
itu, dua di antara orang-orang berkuda itu bersenjata golok
yang besar dan panjang, seorang bersenjata kapak dan
seorang lagi bersenjata bindi yang bergerigi seperti buah
blimbing lingir. Perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu
sama sekali tidak bergetar melihat jenis-jenis senjata yang
khusus itu. Seorang perempuan yang bertubuh tinggi tegap
sengaja menghadapi orang yang bersenjata kapak itu sambil
berkata, "Senjatamu bagus, Ki Sanak. Mungkin kau memang
seorang blandong kayu yang setiap hari bergaul dengan
kapak." "Ya," jawab orang yang bersenjata kapak itu, "aku memang seorang blandong kayu. Tetapi aku sanggup untuk membelah
bukan saja balok-balok kayu. Tetapi tubuh orang-orang yang
telah menghina aku atau perguruanku."
Perempuan yang bertubuh tinggi tegap itu tertawa.
Katanya, "Sudahlah, jangan membual. Bersiaplah. Kalian akan mengalami nasib yang sama seperti saudaramu itu. Bahkan
siapapun yang berani mengganggu tugas kami di sini mencari
cincin pusaka yang hilang itu, akan kami singkirkan."
"Tidak seorangpun yang pantas mendapat hak seperti itu.
Jika kau sedang mencarinya, lakukanlah. Tetapi biarlah orang
lain juga melakukan."
"Tidak. Aku peringatkan sekali lagi. Tidak ada orang lain yang dapat melakukannya di sini."
Laki-laki yang lain ternyata tidak sabar lagi. Dengan geram
seorang berkata, "Kita akan menyelesaikan mereka
secepatnya." Perempuan-perempuan itu tertawa. Namun suara tertawa
merekapun segera terputus ketika seorang di antara laki-laki
berkuda itu mulai memutar senjata dan bergeser maju.
Bahkan seorang yang lain telah menjulurkan senjatanya pula
menggapai tubuh perempuan yang sangat menjengkelkannya
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi perempuan-perempuan dari Goa Lampin itupun
dengan cepat mengelak. Bahkan merekapun segera bergeser
saling menjauh. Dengan demikian, maka sejenak kemudian,
pertempuranpun telah terjadi antara orang-orang dari
Perguruan Goa Lampin dan orang-orang yang datang dari Alas
Tegal Arang. Paksi yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang
agak jauh menjadi berdebar-debar. Ternyata orang-orang dari
berbagai perguruan telah terlibat dalam usaha pencarian
cincin yang bermata tiga butir batu akik itu.
"Semakin lama tentu akan menjadi semakin banyak,"
berkata Paksi di dalam hatinya.
Namun Paksi justru yakin, bahwa cincin itu tidak akan jatuh
dari langit. Seandainya cincin itu ada di sekitar tempat itu,
keberadaannya tentu bukan bersamaan dengan jatuhnya
ndaru yang dilihat oleh beberapa orang itu. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa ndaru itu bercahaya dalam tiga warna.
Namun benturan-benturan itu telah benar-benar terjadi.
Orang yang berjongkok di samping Paksi menyaksikan
pertempuran itu dengan tubuh gemetar. Bahkan kemudian
iapun beringsut sambil berkata perlahan, "Aku akan pergi saja.
Aku takut." Paksi tidak dapat menghalanginya jika orang itu memang
takut melihat pertempuran yang menjadi semakin sengit.
Senjatapun mulai beradu. Bunga apipun telah memercik di
setiap benturan senjata yang terjadi.
Namun ternyata masih juga ada beberapa orang yang
bertahan untuk menyaksikan pertempuran itu.
Paksipun kemudian memperhatikan orang-orang yang
bertempur itu dengan saksama. Namun ternyata Paksi yang
mampu menilai ilmu dari orang-orang yang bertempur itu
masih dapat menengadahkan dadanya. Paksi masih meyakini,
bahwa ilmu dan kemampuannya masih jauh lebih tinggi dari
orang-orang Goa Lampin maupun dari Alas Tegal Arang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Paksipun menyadari, bahwa ia tidak boleh
menyombongkan dirinya. Karena betapapun tinggi ilmu
seseorang, tetapi orang itu tentu masih mempunyai
kelemahan. Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit.
Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka
sampai ke puncak. Namun beberapa saat kemudian, maka Paksipun melihat
bahwa orang-orang dari Alas Tegal Arang itu memiliki
kekuatan yang pada dasarnya lebih besar dari orang-orang
Goa Lampin. Karena itu, maka perlahan-lahan orang-orang
Goa Lampinpun mulai terdesak. Meskipun mereka mampu
bergerak cepat, namun ternyata sulit bagi mereka untuk
mengatasi kemampuan orang-orang dari Alas Tegal Arang.
Orang dari Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga yang
bersenjata kapak itupun telah mendesak lawannya pula. Sulit
bagi lawannya untuk menahan ayunan kapak yang besar itu.
Jika perempuan dari Goa Lampin itu mencoba membentur
ayunan kapak lawannya, maka ia harus mengerahkan
tenaganya untuk menahan agar senjatanya tidak terlepas.
Kawan-kawannya yang lainpun harus mengerahkan
segenap kekuatan dan kemampuan mereka untuk menahan
arus serangan lawannya. Paksi yang menyaksikan pertempuran itu mengerutkan
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dahinya. Orang-orang dari Alas Tegal Arang itu semakin
mendesak lawannya. Bahkan tiba-tiba saja seorang di antara
perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu menjerit. Namun
kemudian perempuan itu berteriak marah, "Aku bunuh kau."
Ternyata senjata lawannya mampu menggapai kulitnya,
sehingga segores luka telah menganga di lengannya.
Namun justru karena darah telah mulai menitik dari
lukanya, maka lawannya berusaha untuk semakin
menekannya. Ternyata orang-orang Goa Lampin itu semakin mengalami
kesulitan. Sementara itu, Paksi yang menyaksikan
pertempuran itu dari kejauhan menduga, bahwa dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keadaan yang rumit, perempuan yang pernah dilihatnya
dengan mengenakan baju coklat itu akan datang lagi
menolong murid-muridnya. Tetapi Paksi salah duga. Dalam keadaan yang sulit, salah
seorang perempuan dari Goa Lampin itu telah membunyikan
isyarat. Suitan nyaring telah terdengar lagi dengan irama yang berbeda.
Namun dalam pada itu, seorang lagi dari antara mereka
telah berteriak kesakitan. Namun kemudian mengumpat kasar
meskipun ia seorang perempuan. Ternyata ujung senjata
lawannya telah menyentuh pundaknya.
Tetapi lawannya tidak membiarkannya mengambil jarak.
Ketika perempuan itu meloncat menjauh, lawannya telah
memburunya. Sekali lagi senjatanya terjulur lurus menggapai
lambung. Perempuan itu terdorong surut. Darah mengalir dengan
derasnya dari luka di lambungnya. Sementara itu, lawannya
menjadi semakin garang. Sambil menggeram ia siap untuk
meloncat dengan senjata terayun.
Namun orang itulah yang kemudian berteriak. Sebuah pisau
belati tiba-tiba saja telah menancap di punggungnya.
Orang itu masih sempat berpaling. Dilihatnya seorang
perempuan berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Orang yang di punggungnya tertancap pisau belati itu
masih sempat mengumpat, "Pengecut kau. Kenapa kau serang
aku dari belakang" Apakah kau tidak berani bertempur
berhadapan?" Tetapi perempuan yang melempar pisau belati itu tertawa.
Ia masih menggenggam sebilah pisau lagi di tangan kirinya.
Namun pisau itu tidak dilemparkannya. Laki-laki dari Alas
Tegal Arang yang sudah terluka itu tidak lagi dapat berbicara
lagi. Lawannya, perempuan yang sudah dilukainya, justru
dengan dendam yang membara telah mengayunkan
senjatanya dengan sisa tenaganya menebas lambung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Laki-laki yang sudah terluka itu berteriak. Kemarahan dan
dendam meledak di dadanya. Tetapi ia tidak dapat berbuat
banyak. Tubuhnyapun kemudian terhuyung-huyung sejenak.
Perempuan yang melemparkan pisau belati itu tertawa
semakin keras. Ia menyaksikan orang Alas Tegal Arang itu
jatuh tersungkur dan sama sekali tidak bergerak lagi.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan menyaksikan
pertempuran itu ia dapat mengenali watak perempuan-
perempuan dari Goa Lampin lebih banyak lagi. Ternyata
mereka sangat licik di medan.
Dalam pada itu, beberapa orang perempuan dari Goa
Lampin telah muncul. Ternyata mereka tidak hanya berempat.
Tetapi agaknya mereka ingin menjajagi kemampuan orang-
orang Alas Tegal Arang, sehingga mereka telah turun ke
medan, seorang melawan seorang. Tetapi dalam keadaan
yang terdesak, maka hadirlah cara-cara yang terbiasa mereka
lakukan. Tiga orang dari Alas Tegal Arang harus melihat kenyataan
itu. Karena itu, maka seorang di antaranya telah memberikan
isyarat, sehingga ketiga orang itu berusaha untuk
meninggalkan arena. Mereka tidak dapat mengingkari
kenyataan, bahwa lawan mereka yang menjadi terlalu banyak
itu tidak dapat mereka imbangi lagi.
Sejenak kemudian, maka ketiga orang dari Alas Tegal
Arang itu berusaha untuk melarikan diri dari pertempuran.
Orang-orang dari Goa Lampin itu memang berusaha untuk
mengejar mereka. Tetapi ketiga orang itu berlari demikian
cepatnya meninggalkan arena. Dengan tangkasnya mereka
meloncat ke punggung kuda mereka yang tertambat pada
pohon waru. Namun dengan satu hentakkan, maka tambang
yang memang tidak terlalu kuat itu telah terlepas.
Sejenak kemudian maka tiga orang penunggang kuda itu
memacu kudanya meninggalkan pasar itu. Tetapi seorang
perempuan dari Goa Lampin yang sudah hampir berhasil
memburu seorang di antara ketiga orang itu tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melepaskannya begitu saja. Demikian kuda itu berlari,
perempuan dari Goa Lampin itu telah melemparkan pisaunya.
Pisau itu tidak menancap di punggung orang berkuda itu.
Tetapi pisau itu sempat menggores pundaknya.
Laki-laki di punggung kuda itu mengumpat. Namun ia tidak
berhenti. Dipacunya kudanya semakin cepat.
Sejenak kemudian, pertempuranpun sudah selesai.
Perempuan-perempuan dari Goa Lampin yang jumlahnya
ternyata tujuh orang itu telah berkumpul. Tiga orang di antara mereka terluka. Seorang mengalami luka yang agak parah.
"Kita tidak akan tinggal diam," berkata salah seorang dari mereka. "Guru akan menentukan, apa yang harus kita lakukan kemudian menghadapi orang-orang dari Alas Tegal Arang."
"Marilah kita kembali ke penginapan," desis yang lain.
Beberapa di antara mereka sempat berpaling memandang
tubuh orang Alas Tegal Arang yang terkapar di tanah. Namun
seorang dari mereka berkata, "Jangan hiraukan tubuh itu.
Biarlah orang-orang pasar itu mengurusnya."
Sejenak kemudian, maka perempuan-perempuan itupun
telah meninggalkan pasar itu.
Beberapa saat kemudian, pasar itu benar-benar menjadi
sepi. Beberapa orang yang melihat pertempuran itu dari
kejauhan masih tetap bersembunyi di tempatnya. Belum
seorangpun yang berani keluar dari persembunyiannya.
Paksipun masih berada di belakang pohon. Sebenarnya
Paksi ingin segera mendekati bekas arena pertempuran itu.
Tetapi ia tidak ingin menarik perhatian banyak orang.
Baru kemudian, ketika sudah ada satu dua orang yang
keluar dari persembunyian mereka, Paksipun telah keluar pula
dan melangkah mendekat. Beberapa orang mengerumuni tubuh yang terbujur diam.
Darah mengalir membasah tanah di seputarnya.
Ketika seorang akan menyentuhnya, seorang yang lain
berkata, "Nanti kawan-kawannya menyangka, kita yang
melakukannya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu tidak," jawab yang lain. "Kawan-kawannya mengetahui dengan pasti, siapakah yang telah membunuhnya.
Kita akan menguburkannya meskipun kita tidak mengenal
orang ini sebelumnya."
"Ya," sahut yang lain lagi. "Kita tidak dapat membiarkannya terbujur di situ."
Beberapa orangpun kemudian telah menghubungi orang-
orang yang tinggal di sekitar pasar itu. Merekapun kemudian
sepakat membawa tubuh itu akan dikubur di sebuah kuburan
yang terletak di ujung padukuhan.
"Kita akan menyelenggarakan dengan sewajarnya," berkata seorang bebahu padukuhan itu.
Namun dalam pada itu, paksi sendiri diam-diam sibuk
mencari sesuatu yang dapat memberikan arti padanya. Ketika
ia menemukan sebuah pisau belati yang menggores salah
seorang dari orang-orang berkuda itu, maka dengan diam-
diam pisau itu disembunyikannya di bawah bajunya.
Beberapa saat kemudian, maka tubuh salah seorang korban
dari pertempuran itupun telah diusung dibawa ke banjar
sebelum dikuburkan secara wajar.
Ketika Paksi kemudian beringsut meninggalkan pasar itu,
maka ia masih melihat dua orang yang dikenalnya dari
Perguruan Sad. Mereka mengenakan ciri-ciri mereka
sebagaimana pernah dilihat oleh Paksi sebelumnya.
Tetapi kedua orang itu tidak berbuat sesuatu. Bahkan
ketika keduanya lewat di sebelah Paksi yang berdiri termangu-
mangu, Paksi mendengar salah seorang dari mereka berdesis,
"Perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu
memang keterlaluan. Mereka merasa terlalu kuat, sehingga
mereka berbuat sesuka hati mereka tanpa menghormati
perguruan-perguruan yang lain."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya orang-orang
dari Perguruan Sad juga menganggap orang-orang dari
Perguruan Goa Lampin itu berbuat tanpa menghiraukan dan
apalagi menghormati kehadiran perguruan yang lain. Bahkan
sejak semula sudah menunjukkan sikap bermusuhan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Paksi tidak menunggui perkembangan keadaan di
pasar itu lebih jauh. Menurut pendapatnya tidak ada lagi yang
penting yang bakal terjadi. Sehingga karena itu, maka Paksi
itupun segera meninggalkan pasar itu dan kembali ke gubuk
kecilnya. Di gubuknya Paksi sempat merenungi pisau belati yang
dibawanya itu. Pada daun pisau itu masih nampak membekas
darah yang sudah mengering.
Ternyata pada senjata orang-orang dari Goa Lampinpun
tidak terdapat ciri-ciri perguruan itu. Tidak ada lingkaran yang dibelah dengan garis tegak berwarna merah.
Tetapi Paksi memakluminya. Jika sesuatu terjadi sehingga
senjata itu diketemukan oleh orang lain, maka mereka tidak
segera menghubungkannya dengan Perguruan Goa Lampin.
"Tetapi mereka berbangga dengan ciri-ciri perguruan
mereka," berkata Paksi di dalam hatinya. "Sehingga karena itu, maka ciri-ciri perguruan mereka itu selalu melekat pada
setiap orang dari Perguruan Goa Lampin itu."
Selagi Paksi merenungi senjata itu, maka sebuah
pertanyaan telah terbersit di dalam hatinya, "Untuk apa
sebenarnya orang-orang Goa Lampin itu mencari cincin
bermata tiga butir batu akik itu" Apakah salah seorang di
antara mereka akan memakainya dan berharap untuk dapat
menurunkan penguasa di atas bumi ini?"
Namun Paksipun kemudian berdesis, "Semakin banyak
orang yang mencarinya, maka harganyapun tentu menjadi
semakin mahal. Mungkin seseorang, sekelompok orang atau
sebuah perguruan mencari cincin itu untuk dapat dijualnya
dengan harga mahal. Atau seseorang telah mengupah mereka
untuk mendapatkan cincin itu."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya adalah salah
seorang yang ingin mendapatkan cincin itu. Bahkan ayahnya
juga telah memerintahkan beberapa orang mencarinya selain
Paksi itu sendiri. Tetapi apa yang dapat dilakukan Paksi setahun yang lalu.
Sementara orang-orang berilmu tinggi, bahkan sekelompok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang dan perguruan-perguruan menurunkan orang-orangnya
untuk melakukannya pula. Seandainya Paksi tidak bertemu dengan Ki Marta Brewok,
maka Paksi tidak akan lebih beruntung dari seekor serangga
yang menyurukkan diri ke dalam api.
"Kenapa ayah telah memerintahkan aku untuk
mencarinya?" bertanya Paksi di dalam hatinya sebagaimana
pertanyaan yang sudah muncul setahun yang lalu di
kepalanya. Bahkan ibunyapun pernah berkata, mungkin di luar
sadarnya, bahwa ayahnya sengaja mengusirnya dari rumah.
"Kenapa ayah berbuat seperti itu?"
Tetapi Paksi mencoba menenteramkan hatinya sendiri,
"Mungkin waktu itu ayah benar-benar kebingungan. Ayah
ingin segera mendapatkan cincin itu mendahului yang lain."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Diselipkannya pisau itu
di dinding gubuk kecilnya. Kemudian Paksipun melangkah
keluar untuk melihat tanaman jagungnya.
Hari itu Paksi lebih banyak merenungi ciri-ciri dari beberapa
perguruan yang telah dikenalnya. Bukan saja ciri-ciri ujudnya.
Tetapi juga ciri-ciri sifat dan wataknya. Paksi juga mencoba
untuk mengenali unsur-unsur gerak yang khusus nampak
pada setiap perguruan itu. Perguruan Goa Lampin, Perguruan
Sad dan perguruan di Alas Tegal Arang.
Namun yang pernah dikenalnya hanyalah murid-murid dari
perguruan itu. Ia belum pernah melihat kemampuan para
pemimpin dari perguruan perguruan itu. Apalagi pemimpin
tertinggi mereka. Jika perempuan berbaju lurik coklat itu
adalah pemimpin tertinggi dari perguruan Goa Lampin, maka
ia baru melihat orangnya. Belum kemampuannya.
Namun dengan demikian, maka Paksipun telah terdorong
untuk lebih mematangkan ilmunya. Ia harus meyakinkan
dirinya, bahwa ia pantas untuk turun ke gelanggang
perburuan cincin bermata tiga butir batu akik itu.
Ketika malam turun, Paksi duduk di atas sebuah batu yang
besar memandang ke arah yang jauh. Langit bersih dan
bintang-bintangpun menghambur sampai ke ujung cakrawala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di sejuknya semilirnya angin, maka Paksi telah mengambil
satu keputusan untuk menempuh satu perjalanan pendek di
kaki Gunung Merapi itu. Ia dapat menempuh perjalanan dua
atau tiga hari untuk melihat-lihat keadaan yang lebih luas dari sekedar menyusuri jalan singkat dari gubuknya ke pasar dan
sebaliknya. Namun Paksipun menyadari, bahwa di sekitar tempat itu
sudah bertebaran orang-orang yang sedang mencari cincin
bermata tiga butir batu akik. Mereka merasa dituntun oleh
cahaya ndaru yang turun dari langit di sekitar tempat itu.
Malam itu paksi telah mempersiapkan dirinya. Ia sudah
membenahi gubuk kecilnya yang akan ditinggalkannya untuk
beberapa hari. Paksi sudah mencuci alat-alat dapurnya dan
menumpuknya di sudut. Selebihnya, rumah itu tidak berisi
apa-apa lagi. Malam itu Paksi tidak membuat perapian. Ia tidak
menyiapkan makannya buat esok, karena esok ia tidak akan
berada di gubuknya. Ketika malam beredar sampai menjelang fajar, maka
Paksipun telah bangun. Berbenah diri dan bersiap untuk
menempuh perjalanan untuk dua atau tiga hari.
Ketika Paksi sudah siap untuk berangkat, maka rasa-
rasanya sesuatu telah bergayut di hatinya. Ia sudah lama
tinggal di gubuk itu. Ketika ia akan meninggalkannya,
meskipun hanya untuk dua tiga hari, hatinya menjadi berat.
Gubuk itu tentu akan menjadi kesepian. Tidak akan terdengar
derit pintu. Tidak ada asap mengepul di malam hari. Tidak
akan ada lampu dlupak kecil menyala di dalamnya.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
kakinya telah melangkah meninggalkan gubuknya itu.
Tangannya menjinjing tongkat yang diberikan oleh pengemis
tua itu kepadanya. Paksi menyentuh kampil berisi bekal uang yang dibawanya
dari rumahnya. Masih cukup banyak. Selama tinggal di
gubuknya, Paksi seakan-akan telah mencukupi kebutuhannya.
Hanya bahan-bahan pokoknya sajalah yang dibelinya di pasar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika jagung, ketika pohon dan tanaman-tanamannya mulai
berbuah, maka Paksi dapat lebih banyak menghemat. Apalagi
Paksi dapat berburu binatang di hutan atau mencari ikan di
kedung atau dengan kemampuan bidiknya mencari burung-
burung liar yang berterbangan di antara pepohonan.
Agar kampil itu tidak banyak dilihat orang, maka Paksi telah
mengikat kampil di bawah bajunya. Ia hanya menyiapkan
uang secukupnya di kantong ikat pinggangnya.
Pagi-pagi sekali Paksi sudah berada di pasar. Penjual nasi
tumpang yang juga sudah berada di pasar itupun bertanya,
"Kau datang lebih awal dari kebiasaanmu, anak muda?"
Paksi tertawa. Dengan berbisik ia berkata, "Aku lapar sekali semalam. Karena itu, pagi-pagi aku sudah berangkat ke
pasar." Penjual nasi tumpang itu tertawa. Katanya, "Jadi kau akan membeli nasi tumpang sekarang?"
Paksi mengangguk sambil tersenyum.
Sambil duduk di sebelah penjual nasi tumpang itu Paksi
makan sepincuk nasi tumpang yang masih hangat. Namun
Paksi sempat juga bertanya, "Apakah Kinong belum nampak?"
"Belum," jawab penjual nasi tumpang itu. "Sebentar lagi."
Paksi mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ketika ia
sudah selesai dan membayar harga nasi yang dimakannya,
Paksi berkata, "Biarlah aku titip kembalinya. Jika Kinong datang, berikan saja kepadanya."
"Semuanya?" bertanya penjual nasi itu.
"Tidak sekaligus. Mungkin untuk dua atau tiga hari."
Penjual nasi itu mengerutkan dahinya. Sementara Paksipun
bangkit sambil berkata, "Sudahlah. Aku sudah kenyang."
"Kau akan pergi ke mana?"
"Aku akan pergi ke rumah paman."
"O, jadi bukan sekedar kelaparan?"
Paksi tertawa. Katanya, "Aku akan berada di rumah paman
dua atau tiga hari."
Paksipun kemudian meninggalkan penjual nasi tumpang
itu. Ketika di depan regol pasar ia berpapasan dengan penjual
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dawet yang baru datang, maka penjual dawet itupun
menyapanya, "He, masih sepagi ini kau sudah berada di sini.
Bukankah biasanya kau datang setelah matahari
sepenggalah?" Paksi tersenyum. Katanya, "Aku hanya singgah. Aku akan
pergi ke rumah paman."
"Kau tidak minum dawet?"
"Masih terlalu pagi," jawab Paksi sambil tertawa.
Beberapa orang yang sudah dikenalnya di pasar itu telah
menyapanya pula. Dan Paksipun menjawab sebagaimana
dikatakan sebelumnya, "Aku pergi ke rumah paman."
Demikianlah, Paksi sudah mulai menempuh sebuah
perjalanan untuk melihat keadaan di sekitar tempat
tinggalnya. Sebelum ia benar-benar melanjutkan usahanya
untuk mencari cincin yang hilang dalam sebuah
pengembaraan yang panjang dan keras.
Paksi memilih jalan ke arah selatan, melingkari kaki Gunung
Merapi. Paksi tidak saja berjalan melalui jalan yang sudah
banyak dilalui orang. Tetapi sesekali Paksi berjalan menyusuri jalan di pinggir hutan, menuruni lembah dan melintasi padang
perdu yang berbatu-batu padas.
Lewat tengah hari Paksi memasuki sebuah padukuhan yang
tidak terlalu besar. Padukuhan yang agak terpencil di kaki
gunung. Ketika Paksi lewat di jalan induk padukuhan itu, maka
orang-orang yang kebetulan berpapasan atau sedang berada
di halaman, memandanginya seperti memandang sesuatu
yang sangat asing bagi mereka.
Tetapi Paksi berjalan saja terus. Agaknya jarang sekali
padukuhan itu dilewati oleh orang lain, sehingga jika
seseorang yang tidak mereka kenal lewat, maka orang itu
akan sangat menarik perhatian.
Dari padukuhan yang terpencil itu Paksi berjalan terus.
Jalan masih saja terasa menurun. Namun hamparan-
hamparan sawah menjadi semakin luas. Meskipun demikian, di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
wajah cakrawala masih nampak hijaunya hutan yang
menyelimuti kaki Gunung Merapi.
Ketika matahari mulai turun, Paksi melewati sebuah
padukuhan yang agak besar. Di ujung padukuhan terdapat
sebuah pasar sudah sepi. Pasar itu memang tidak terlalu besar
yang agaknya hanya menjadi ramai di setiap hari pasaran.
Di sekitar pasar itu tidak terdapat sebuah kedaipun.
Sedangkan pagarnya yang terbuat dari bambu sudah rusak di
sana-sini. Paksi berhenti di dekat regol pasar. Agaknya memang
sudah tidak ada orang lagi di pasar itu kecuali satu dua orang yang agaknya bertugas membersihkan sampah yang
tertinggal. Namun Paksi masih melihat sebuah pedati berhenti di depan pasar
itu. Dua orang masih sibuk memuat kelapa ke atas pedati.
Nampaknya mereka adalah pedagang kelapa yang membeli
kelapa di pasar itu dan membawanya ke pasar yang lain atau
kepada orang-orang yang membuat minyak kelapa.
Tetapi selain mereka, ternyata Paksi masih melihat seorang
perempuan yang duduk di atas sebuah batu tidak jauh dari
pedati itu. Seorang perempuan yang menundukkan kepalanya
sambil sekali-sekali mengusap matanya.
Perempuan itu ternyata telah menarik perhatian Paksi.
Karena itu, seakan-akan di luar sadarnya, Paksi telah
melangkah mendekati perempuan itu.
Perempuan yang sudah separo baya itu menengadahkan
wajahnya. Ketika ia melihat Paksi, tiba-tiba saja wajahnya
memancarkan harapan. Dengan serta-merta perempuan itu
bangkit mendekati Paksi sambil berkata, "Anak muda. Kau
tentu memerlukan selembar kain lurik. Aku menjual sehelai
kain lurik. Bukan kain yang baru. Tetapi jenisnya termasuk
kain yang baik." Paksi mengerutkan dahinya. Sebelum ia menjawab,
perempuan itu berkata pula dengan nada meminta, "Tolong
aku, anak muda. Pedagang kelapa itu tidak mau membelinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang-orang yang lain juga tidak mau. Sedangkan aku sangat
membutuhkan uang." Paksi tidak dapat menolak ketika perempuan itu
menyorongkan sehelai kain lurik kepadanya.
"Belilah, Ngger."
Paksi masih berdiri termangu-mangu. Sementara itu wajah
perempuan yang semula memancarkan harapan itupun
kembali menjadi suram. "Bagaimana, Ngger?" bertanya perempuan itu.
Sementara itu, kedua orang yang menaikkan kelapa ke
dalam pedatinya itupun sudah selesai. Terdengar cambuk
meledak. Dan pedati itupun mulai bergerak.
"Kenapa Bibi menjual kain ini?" bertanya Paksi.
"Kami memerlukan uang, Ngger."
"Untuk apa?" bertanya Paksi.
Perempuan itu mengerutkan dahinya. Kemudian dengan
nada berat iapun menjawab, "Bukankah kami memerlukan
makan." "Selama ini, apakah yang Bibi makan bersama keluarga"
Hasil sawah atau apa?"
Perempuan itu memandang Paksi dengan mata yang mulai
berkaca-kaca. Paksi menjadi heran melihat sikap perempuan itu. Tetapi
dengan demikian, maka ia menjadi semakin tertarik. Karena
itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Duduklah, Bibi.
Mungkin kita akan berbincang agak panjang."
Perempuan itupun kemudian duduk kembali di atas batu,
sementara Paksipun duduk pula di sebelahnya.
"Keadaan Bibi menimbulkan beberapa pertanyaan di
hatiku." Perempuan itu menunduk dalam-dalam. Namun kemudian
iapun mulai terisak. "Apa yang terjadi, Bibi?" bertanya Paksi.
Perempuan itu mencoba untuk menahan perasaannya.
Sambil mengusap matanya ia berkata, "Kami telah terjerumus ke dalam kesulitan yang besar, Ngger."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maksud Bibi?" bertanya Paksi.
Perempuan itu memandang berkeliling, seakan-akan takut
ada orang lain yang melihatnya. Sikap perempuan itu tidak
luput dari pengamatan Paksi pula.
"Ngger," berkata perempuan itu, "aku belum mengenal Angger sebelumnya. Tetapi entahlah, tiba-tiba saja timbul
kepercayaanku kepadamu."
Paksi menarik nafas panjang. Sambil mengusap matanya
perempuan itu berkata, "Kami telah tersesat, Ngger.
Sebenarnya kami akan pergi ke Kembang Arum. Tetapi kami
tidak tahu, di mana kami sekarang berada."
"O, jadi Bibi telah tersesat. Siapa sajakah yang Bibi maksud dengan kami" Bibi dan siapa lagi?"
"Aku dan kemenakanku, Ngger. Seorang gadis. Setelah
ayah dan ibunya hilang beberapa saat yang lalu, maka anak
itu berniat mencari pamannya, kakak kandung ayahnya yang
tinggal di Kembang Arum. Tetapi sampai di sini kami tidak
tahu, ke mana kami harus pergi."
Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya dengan suara
lembut, "Bibi. Jika hanya karena itu, maka Bibi tidak
terjerumus ke dalam kesulitan yang besar. Aku akan bersedia
mengantar Bibi mencari padukuhan yang bernama Kembang
Arum." "Menurut keterangan, Kembang Arum terletak di sisi
selatan kaki Gunung Merapi, Ngger."
"Jika demikian, kita sudah tidak terlalu jauh lagi dari
tujuan." "Tetapi persoalannya tidak hanya sampai di situ, Ngger."
"Maksud Bibi?" "Ketika kami berdua kebingungan dan kehilangan jalan,
kami telah bertanya kepada seorang laki-laki yang kebetulan
lewat. Laki-laki itu dengan manis menjawab pertanyaan-
pertanyaan kami. Namun menurut laki-laki itu, Kembang Arum
masih sangat jauh. Karena itu, dengan ramah laki-laki itu
mempersilahkan kami singgah dan beristirahat di rumahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Laki-laki itu bahkan bersedia untuk mengantar kami di
keesokan harinya ke Kembang Arum."
"Ada soal apa lagi yang timbul, Bibi?"
"Ternyata laki-laki itu bukan seorang yang berhati manis
sebagaimana wajahnya. Ia telah menahan kami di rumahnya.
Bahkan orang itu memaksa kemenakanku untuk bersedia
menjadi isterinya meskipun kemenakanku itu masih terlalu
muda untuk menikah."
"Bukankah kemenakan Bibi itu dapat menolak?"
"Ya. Kemenakanku memang menolak. Tetapi ia sudah
berada di tangan laki-laki yang ternyata adalah laki-laki yang garang. Bahkan isterinya juga seorang perempuan yang keras
dan kasar. Isterinya juga ikut memaksa agar kemenakanku itu
bersedia menjadi isteri suaminya yang garang itu."
"Bagaimana hal itu dapat terjadi?" bertanya paksi.
"Kemenakanku tetap menolaknya. Tetapi laki-laki itu
bersama isterinya tetap berkeras. Mereka memberi waktu
sebulan. Sementara itu selama kami berada di rumahnya,
kami harus menyediakan makan dan minum kami sendiri.
Karena itu, maka aku harus menjual apa saja yang ada pada
kami." "Kenapa kalian tidak pergi saja?" bertanya Paksi.
"Kami tidak dapat meninggalkan rumah itu, Ngger. Kami
disekap di dalam rumah itu dengan berbagai macam ancaman.
Mereka berharap jika kami sudah tidak dapat makan dan
minum, maka agar kami tidak menjadi kelaparan,
kemenakanku itu akan bersedia menjadi isteri laki-laki yang
garang itu. Bahkan mungkin menurut sifat dan wataknya, jika
ia tidak lagi dapat menahan nafsunya, sesuatu yang sangat
buruk akan dapat terjadi dengan kemenakanku itu."
"Bibi pernah minta bantuan kepada seseorang?" bertanya Paksi.
"Tidak seorangpun berani menolong kami. Bahkan seorang
yang kami harap bersedia menolong kami telah
memberitahukan kepada orang itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah laki-laki yang telah menyekap kemenakan Bibi di rumahnya itu?"
"Ternyata ia seorang pemimpin sebuah gerombolan
penjahat. Namanya Bahu Langlang. Seorang yang sangat
ditakuti. Kami memang sudah tidak mempunyai harapan untuk
terlepas dari tangannya," suara perempuan itu bergetar.
Matanya menjadi semakin basah. Bahkan isaknya mengeras.
Katanya pula, "Aku bertanggung jawab atas keselamatan
gadis itu. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa."
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tiba-tiba
saja ia bangkit dan mendekati salah seorang yang sedang
membersihkan pasar itu sambil bertanya, "Apakah Ki Sanak
tahu, dimanakah letak Padukuhan Kembang Arum itu?"
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
menjawab, "Ambil jalan ke selatan ini, anak muda. Kau akan sampai pada sebuah gumuk kecil. Kemudian kau berbelok ke
kanan. Jika kau berani menempuh jalan pinggir hutan, maka
Kembang Arum tidak lagi terlalu jauh. Tetapi jika mengambil
jalan melingkar, maka sekitar tengah malam kau baru akan
sampai." "Jadi, Kembang Arum sudah tidak terlalu jauh, Ki Sanak?"
bertanya Paksi lagi. "Tidak terlalu jauh. Tadi, pedagang kelapa yang membawa
pedati itu adalah orang Kembang Arum."
Perempuan separo baya yang mendengar keterangan
itupun tiba-tiba bangkit pula. Namun ia menjadi lemas
kembali. Bagaimanapun juga, kemenakannya telah terkurung
dan tidak dapat meninggalkan rumah Bahu Langlang.
-ooo00dw00ooo- Jilid 06 PAKSIPUN kemudian kembali duduk di sebelah perempuan
yang sedang menahan tangisnya itu. Terdengar perempuan
itu berdesis, "Apa yang dapat aku lakukan" Jika Angger
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersedia membeli kain lurik itu, maka sehari dua hari akan
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat makan. Tetapi sesudah itu, apalagi yang harus kami
jual" Jika saat kelaparan itu datang, maka kemenakanku
akhirnya akan pasrah. Tetapi apakah anak itu harus menjadi
salah seorang dari isteri-isteri Bahu Langlang?"
Selain menjadi isteri Bahu Langlang, maka kemenakannya
itu akan menjadi budak isteri utamanya yang garang dan
sekasar Bahu Langlang sendiri. Ia akan melayaninya seperti
seorang hamba. Mencuci pakaiannya, menyediakan makan
dan minumnya, memijitnya jika perempuan itu merasa letih.
Bayangan-bayangan yang buruk itu telah menghantuinya.
Apalagi perempuan itu telah melihat sendiri apa yang harus
dilakukan oleh salah seorang isteri Bahu Langlang yang juga
tinggal di rumah itu. Ia bukan saja harus bekerja keras, tetapi ia juga sering disakiti oleh isteri utama Bahu Langlang itu.
Sedangkan Bahu Langlang sendiri tidak memperdulikannya
apa yang terjadi atas perempuan malang itu. Baginya, asal
perempuan itu tidak lari dari rumahnya, itu sudah cukup.
"Kemenakanku itu akan mengalami nasib seperti itu pula
nantinya," desis perempuan itu. Seperti air yang mengalir, perempuan itu menumpahkan perasaannya kepada Paksi.
Meskipun Paksi masih muda, tetapi seakan-akan mampu
menampung kegalauan hatinya itu.
Paksi memang mendengarkannya dengan sungguh-
sungguh. Perasaannya tergelitik untuk berbuat sesuatu. Ia
tidak dapat membiarkan gadis itu mendapat malapetaka dan
mengalami penderitaan hidup yang sangat panjang.
Namun Paksi sadar, untuk mengeluarkan gadis itu dari
rumah Bahu Langlang memang harus ditempuh dengan jalan
kekerasan. "Apa boleh buat," berkata Paksi di dalam hatinya. Bahkan kemudian iapun teringat kepada kata-kata orang yang datang
kepadanya untuk mencari benda di langit yang sekiranya jatuh
di sekitar gubuknya, bahwa harus ada hubungan antara ilmu
dan amal. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata kepada
perempuan itu, "Bibi, aku ingin ikut bersama Bibi menemui orang yang bernama Bahu Langlang itu."
Perempuan itu terkejut. Dengan gagap iapun bertanya,
"Untuk apa kau temui Bahu Langlang?"
"Kemenakan Bibi itu harus dibebaskan dari tangan laki-laki itu."
"Bagaimana kau akan membebaskannya?" bertanya
perempuan itu. Dari wajahnya membayang keraguan dan
bahkan ketidakyakinannya atas pendengarannya.
"Bibi," berkata Paksi kemudian, "aku akan berusaha. Aku tidak tahu apakah usahaku akan berhasil atau tidak."
"Apa yang akan kau lakukan, Ngger?" perempuan itu masih bertanya pula.
"Aku akan menemui Bahu Langlang. Aku akan minta agar
kemenakan Bibi itu diijinkan untuk pergi jika gadis itu tidak
mau dijadikan isterinya."
"Tidak akan ada artinya, Ngger. Bahkan mungkin kau akan
membuatnya menjadi marah, sehingga ia akan dapat berbuat
sesuatu yang dapat mencelakaimu."
"Tetapi harus dilakukan sesuatu, Bibi," jawab Paksi. "Tanpa berbuat sesuatu, tidak akan ada perubahan yang terjadi."
"Tetapi aku tidak bermaksud menyeretmu ke dalam
kesulitan, Ngger. Jika segala sesuatunya aku katakan
kepadamu, semata-mata sekedar untuk mengurangi beban
yang menyesak di hatiku."
"Aku mengerti, Bibi. Tetapi perasaanku sendirilah yang
telah mendorongku untuk melakukannya."
Tetapi perempuan itu menggeleng. Katanya, "Jika terjadi
sesuatu atasmu, maka beban di hatiku akan semakin
bertambah. Sementara itu, gadis itu masih akan tetap berada
di tangan Bahu Langlang yang garang itu."
"Kita akan memohon kepada Yang Maha Agung sambil
berusaha, Bibi. Semoga usaha ini akan ada artinya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi perempuan itu menyahut, "Kau masih sangat muda,
Ngger. Hari-harimu masih panjang. Jangan karena keluhanku,
masa depanmu itu akan kau patahkan."
Paksi tersenyum. Katanya, "Satu keyakinan terpahat di
hatiku, bahwa permohonan kita untuk melakukan niat yang
baik akan didengar-Nya."
"Tetapi menurut perhitungan naluriahnya, maka sulit bagi
kita untuk melepaskan diri dari tangan Bahu Langlang. Apalagi
orang itu tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
Selama beberapa hari aku di rumahnya, aku sudah melihat
Bahu Langlang membunuh dua orangnya sendiri yang
dianggapnya berkhianat."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia
bertanya, "Apakah setiap hari di rumah itu terdapat para
pengikutnya?" "Tidak, Ngger. Bahkan jarang-jarang pengikutnya itu
datang. Jika mereka datang tentu sesuatu yang penting.
Bahkan kematian." Tiba-tiba Paksi itupun berkata, "Bibi, antarkan aku
menemui Bahu Langlang."
Perempuan itu menjadi tegang. Katanya, "Jangan, Ngger.
Aku keberatan. Kau masih terlalu muda untuk mengalami
perlakuan bengis Bahu Langlang. Tidak bermaksud
mendahului kehendak Yang Maha Agung, kau masih terlalu
muda untuk mati." Tetapi Paksi seakan-akan tidak mendengarnya. Katanya,
"Mari, Bibi. Supaya aku tidak usah mencari rumah itu sendiri.
Katakan, bahwa Bibi telah bertemu dengan anak Bibi yang
akan mengantarkan Bibi ke padukuhan Kembang Arum."
"Jangan bebani aku dengan penyesalan yang lebih dalam,
Ngger. Jika kau mau membeli kain lurikku itu, aku sudah akan
mengucapkan seribu kali terima kasih. Setidak-tidaknya kau
akan menyelamatkan anakku untuk tiga hari."
Tetapi Paksi yang telah berdiri itu berkata, "Jika Bibi tidak mau menunjukkan rumah Bahu Langlang, aku akan pergi
sendiri. Tentu tidak sulit untuk mencari rumah itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perempuan itu tidak berdaya untuk menolak keinginan
Paksi untuk menemui Bahu Langlang. Penyesalan telah
menggores jantungnya. Seakan-akan dirinyalah yang telah
menjerumuskan Paksi ke dalam neraka, justru karena
perempuan itu sudah beberapa hari tinggal di rumah Bahu
Langlang. Tanpa dapat mengelak lagi, maka perempuan itu telah
berjalan bersama Paksi menuju ke rumah Bahu Langlang.
Sambil berjalan Paksi bertanya, "Bibi, siapakah nama Bibi selengkapnya?"
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara
yang hampir tidak terdengar ia menjawab, "Orang
memanggilku Nyi Permati, Ngger."
"Nama kemenakan Bibi?"
"Namanya Kemuning, Ngger."
"Kemuning," Paksi mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, "Bukankah kemuning itu nama sejenis bunga?"
"Ya, Ngger." Hampir di luar sadarnya Paksipun berdesis, "Bibi, di
halaman rumahku juga terdapat sebatang pohon kemuning.
Jika pohon kemuning itu berbunga, maka aku sering
memandanginya berlama-lama. Warna kuning yang anggun,
bau semerbak, terasa menyentuh hati."
"Tetapi kemuningku berwarna kusam. Baunya sama sekali
tidak harum, apalagi semerbak."
Paksipun tersenyum. Tetapi iapun kemudian terdiam. Ia
mulai membayangkan orang yang bernama Bahu Langlang itu.
Jika kesan yang pertama dapat menimbulkan kepercayaan Nyi
Permati dan Kemuning, maka ujud itu tentu tidak
menyeramkan sebagaimana namanya. Jika kemudian orang
itu menjadi menyeramkan, tentu setelah Nyi Permati
mengenali sifat, watak serta pamrihnya yang buruk.
Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berbelok
mengikuti jalan yang lebih kecil. Dengan suara yang bergetar
penuh dengan ketegangan jiwa, Nyi Permati berkata, "Rumah Bahu Langlang ada di ujung jalan ini, Ngger. Tetapi sekali lagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
aku mohon, urungkan niatmu. Aku mengucapkan beribu
terima kasih atas kesediaanmu menolong kami. Tetapi aku
mohon, jangan kau lakukan."
Paksi tersenyum. Katanya, "Aku sudah sampai di sini, Bibi."
Nyi Permati memandang Paksi itu sekilas. Anak muda itu
bertubuh tegap. Wajahnya yang tampan dan bersih, rasa-
rasanya mencerminkan kepribadiannya, meskipun ia baru saja
terkecoh oleh ujud dan sikap manis Bahu Langlang. Namun
Nyi Permati melihat perbedaan pada keduanya.
Sebenarnyalah bahwa bukan saja jiwa Paksi menjadi
matang setelah ia menempa diri. Tetapi ujud Paksi berubah.
Tubuhnya tidak lagi tinggi, pipih dan kekurus-kurusan. Tetapi
tubuh Paksi berkembang dengan baik. Paksi menjadi anak
muda yang tampan, tegap, dan kekar.
Nyi Permati menjadi semakin tegang ketika kakinya
melangkah semakin dekat dengan pintu regol halaman rumah
Bahu Langlang. "Itulah rumahnya," suara Nyi Permati menjadi gemetar.
Paksi mengangguk-angguk. Rumah itu terhitung rumah
yang besar dan berhalaman luas.
Beberapa langkah dari pintu, Nyi Permati masih berkata,
"Tolong Ngger, jangan masuk halaman rumah itu."
Tetapi Paksi seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan
iapun berkata, "Katakan, bahwa Bibi telah bertemu dengan
aku, anak Bibi. Jika Kemuning ternyata tidak mengenal aku,
katakan bahwa aku sejak kecil ikut dengan paman di Kembang
Arum." Nyi Permati memang tidak ingin berbuat apa-apa lagi.
Justru Paksilah yang lebih dahulu melangkah memasuki
halaman rumah itu. Namun langkah Paksi tertegun. Demikian ia memasuki
halaman rumah itu, maka ia melihat peristiwa yang membakar
jantungnya. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap sedang
mencambuk perempuan yang tidak berdaya. Perempuan itu
menggeliat dan berguling-guling kesakitan. Meskipun ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berteriak dan minta ampun, tetapi laki-laki itu masih saja
mencambuknya. "Siapakah perempuan itu, Bibi?"
Nyi Permati sudah menjadi gemetar. Tetapi ia menjawab,
"Salah seorang isterinya."
Perempuan yang terguling kesakitan itu memang masih
muda. Agaknya ia terhitung perempuan cantik jika rambutnya
tidak terurai. Berkas-berkas darah di bibir dan baju yang
sudah terkoyak. "Kenapa perempuan itu dicambuk, Bibi?" bertanya Paksi.
"Entahlah, Ngger. Tetapi kekasaran seperti itu sering
dilakukan oleh Bahu Langlang. Sudah aku katakan, bahwa
selama beberapa hari aku di rumahnya, sudah dua orang
pengikutnya yang dibunuhnya. Pembunuhan itu sendiri sama
sekali tidak berkesan apapun pada Bahu Langlang. Seakan-
akan tidak ada sesuatu yang pernah terjadi."
"Perbuatan itu harus dihentikan," desis Paksi.
"Tetapi bukan kau, Ngger. Biarlah orang lain yang
melakukan," suara Nyi Permati bergetar.
Namun segala sesuatunya sudah terlambat. Orang yang
mencambuk perempuan yang tidak berdaya itu melihat Nyi
Permati datang bersama seorang anak muda.
Tiba-tiba wajah laki-laki itu berubah. Wajahnya yang
nampak bengis itu larut dalam senyumnya yang menghiasi
bibirnya. "Marilah, Bibi. Nampaknya Bibi baru saja datang dari
berpergian. Kemana saja Bibi pergi?"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa melihat
bagaimana ia mencambuk seorang perempuan yang tidak
berdaya, maka Paksi tentu menyangka bahwa laki-laki itu
adalah laki-laki yang ramah. Wajahnya pun tidak nampak
segarang orang-orang yang dianggap sebagai orang-orang
jahat. "Marilah, Bibi," orang itu mempersilahkan tanpa
menghiraukan perempuan yang masih saja merintih kesakitan
sambil merangkak menggapai tangga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyi Permati tidak menjawab. Sementara laki-laki itu
berkata, "Apakah Kemuning ikut dengan Bibi?"
"Tidak, Ngger," jawab Nyi Permati dengan suara gemetar.
"O, jadi di mana anak itu?" Bahu Langlang itu justru bertanya.
Seorang perempuan lain yang kemudian berdiri di tangga
menyahut, "Anak itu ada di dapur. Aku mengajarinya masak.
Nampaknya anak itu akan menjadi juru masak yang pandai."
"O, aku kira ia ikut bersama Bibi. Sejak pagi aku belum
melihatnya." Namun Bahu Langlang itupun kemudian memandang Paksi
dengan tajamnya. Namun laki-laki itu tersenyum pula sambil
bertanya, "Siapakah anak ini, Bibi?"
Paksi menjadi berdebar-debar. Ia berharap Nyi Permati
menjawab sebagaimana dikehendakinya.
Namun ternyata Nyi Permati itu menjawab, "Ia anakku,
Ngger." "Anak Bibi?" Bahu Langlang terkejut.
Sementara Nyi Permati berkata selanjutnya, "Ia anakku
yang sejak kecil dipelihara pamannya di Kembang Arum.
Bukankah Angger ingat, bahwa aku akan pergi ke Kembang
Arum" Nah, adalah kebetulan bahwa anakku itu berada di
pasar ikut dengan pamannya membawa dagangan kelapa."
Wajah Bahu Langlang menjadi merah. Namun kemudian
dengan cepat ia berusaha untuk menghapuskan kesan bahwa
hatinya bergejolak mendengar pengakuan Nyi Permati itu.
Bahkan kemudian iapun tersenyum pula sambil berkata, "Jika demikian, marilah, bawa anak itu naik ke pendapa, Bibi."
Nyi Permatipun kemudian mengajak Paksi untuk naik ke
pendapa dan duduk di atas tikar pandan yang putih di
pringgitan. Sementara itu, Bahu Langlang berkata kepada perempuan
yang berdiri di tangga, "Biarlah perempuan keparat itu diseret ke kandang. Suruhlah orang-orang yang menjemur padi itu
membawanya pergi." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Paksi sempat berdesis, "Siapakah
perempuan yang berdiri di tangga itu?"
"Isterinya. Isteri utamanya. Ia adalah penguasa kedua di
rumah ini. Sikap dan tabiatnya tidak berbeda dengan Bahu
Langlang. Keras dan bengis," jawab Nyi Permati berbisik.
Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Doakan saja,
Bibi. Perbuatan mereka tidak dapat dibiarkan terus."
Tetapi Paksi tidak dapat bertanya lebih banyak. Laki-laki
yang baru saja mencambuk isterinya itu telah naik pula dan
duduk di pringgitan menemui Nyi Permati dan Paksi.
"Siapa namamu, anak muda?" bertanya Bahu Langlang.
"Orang memanggilku, Paksi."
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paksi," Bahu Langlang mengulangi, "nama yang bagus.
Sejak kapan kau tinggal di Kembang Arum?" bertanya Bahu
Langlang. "Sejak kecil. Sekitar enam atau tujuh tahun."
"Sekarang berapa umurmu?" bertanya Bahu Langlang.
"Delapan belas tahun."
"Kalian telah berpisah sepuluh tahun lebih. Apakah
demikian kalian bertemu, kalian langsung dapat saling
mengenal?" "Nampaknya Ibu agak lupa kepadaku," jawab Paksi. "Tetapi aku tidak akan pernah dapat melupakannya."
Bahu Langlang mengangguk-angguk. Namun kemudian
iapun bertanya, "Apakah kau akan membawa ibumu
bersamamu?" "Ya. Aku akan membawa Ibu ke rumah paman. Bukankah
Ibu memang sedang mencari rumah Paman?"
Bahu Langlang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Sayang
sekali. Sebenarnya aku ingin mohon Bibi tinggal di sini. Aku
sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Bibi dapat menjadi
pengganti orang tuaku. Menjadi pepunden di sini. Tetapi
apaboleh buat. Jika Bibi ingin pergi, aku hanya ingin mohon
agar Bibi sering datang untuk menengok Kemuning. Ia tentu
sekali-sekali merasa rindu kepada bibinya. Meskipun ia merasa
kerasan di sini dan tidak ingin meninggalkan rumah ini, tetapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bibi akan tetap selalu dikenangnya, karena Bibilah yang telah
membawanya kemari sehingga Kemuning menemukan satu
ujud kehidupan yang didambakannya."
Wajah Nyi Permati menjadi tegang. Ia tentu tidak akan
dapat meninggalkan Kemuning di rumah itu meskipun
seandainya ia akan menemukan kehidupan yang jauh lebih
baik. Paksi melihat ketegangan itu membayang di wajah Nyi
Permati. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Ki Bahu Langlang, Ibu tentu tidak akan meninggalkan Kemuning di
sini. Ibu tentu akan membawa Kemuning bersamanya."
Wajah Bahu Langlang berkerut. Namun kemudian iapun
tersenyum, "Jangan merusak masa depan kanak-kanak.
Kemuning sudah kerasan di sini. Ia sudah seolah-olah menjadi
anak kandung kami sendiri. Isteriku mengasihinya dengan
sepenuh hati." "Baiklah, Ki Bahu Langlang," berkata Paksi. "Jika Kemuning memang sudah merasa kerasan di sini, biarlah kelak Ibu
mengantarkannya kemari. Ibu hanya ingin membawa
Kemuning kepada Paman agar Paman sempat melihatnya.
Paman sudah terlalu tua. Ia akan sangat menyesal bahwa jika
sampai hari akhirnya ia tidak sempat melihat Kemuning."
"Tentu. Pamanmu tentu akan sempat melihatnya. Aku
dapat membawa Kemuning ke Kembang Arum kapan saja."
"Jika demikian, kenapa kami tidak membawa Kemuning
sekarang saja, dan kemudian membawanya kembali sehari
dua hari kemudian" Jika Ibu tidak sempat, akulah yang akan
mengantarkannya kemari, karena setiap kali aku pergi ke
pasar itu untuk membeli kelapa yang akan kami jual lagi di
tempat lain. Terutama kepada mereka yang membuat minyak
kelapa." "Sudahlah. Jangan pikirkan Kemuning. Aku dan isteriku
akan mengurusnya. Tinggalkan Kemuning dengan tenang di
sini. Bibi tidak perlu menjadi gelisah. Keadaannya akan baik-
baik saja." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maaf, Ki Bahu Langlang." berkata Paksi. "Kami mohon kemurahan hati keluarga Ki Bahu Langlang. Yakinlah, bahwa
aku akan membawanya kembali kemari jika ia memang sudah
kerasan tinggal di sini."
Tetapi Bahu Langlang tersenyum sambil berkata, "Jangan
menyakiti hati anak itu. Kasihan. Ketenangannya akan
terganggu." "Ki Bahu Langlang," berkata Paksi kemudian, "biarlah ibuku berbicara sendiri dengan Kemuning. Jika Kemuning memang
berkeberatan, apaboleh buat. Kami akan meninggalkannya di
sini. Tetapi jika Kemuning ingin bertemu dan tinggal bersama
pamannya barang satu dua hari, biarlah ia kami bawa serta."
Wajah Bahu Langlangpun berkerut. Sambil menggeleng ia
berkata, "Aku minta jangan ganggu Kemuning. Itu saja."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Bahu
Langlangpun berkata kepada Nyi Permati, "Bibi, sebaiknya Bibi memberitahukan kepada anak Bibi itu, agar ia tidak usah ikut
mencampuri persoalan Kemuning. Aku tidak berkeberatan ia
singgah di sini. Tetapi jangan membuat kegelisahan seisi
rumahku termasuk Kemuning."
Nyi Permati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata, "Sudahlah, Ngger. Biarlah besok atau lusa aku ajak Kemuning ke rumah pamanmu."
"Tidak Ibu. Aku akan mengajak Kemuning sekarang.
Alangkah senangnya hati Paman jika Kemuning tiba-tiba
datang mengunjunginya. Rasa-rasanya aku tidak sabar lagi
melihat, bagaimana Paman di saat-saat yang gawat itu
tersenyum melihat kehadiran Kemuning."
Agaknya Bahu Langlang telah kehabisan kesabaran. Pada
dasarnya ia memang bukan orang yang sabar. Tetapi ia
mencoba untuk memberikan kesan yang baik kepada anak Nyi
Permati. Tetapi anak muda itu ternyata sangat
menjengkelkannya. Karena itu, maka dengan suara yang mulai bergetar Bahu
Langlang itu berkata, "Anak muda, untuk terakhir kalinya aku memperingatkanmu, jangan ganggu Kemuning."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Niatku sudah tetap, Ki Bahu Langlang," jawab Paksi
mantap. Bahu Langlang benar-benar tidak dapat menahan diri.
Karena itu, maka iapun membentak, "Cukup, anak muda. Aku
minta kau meninggalkan rumahku ini. Bibi, aku mohon,
sebelum aku bertindak menurut caraku."
Nyi Permati menjadi semakin bingung. Dengan gelisah ia
berkata, "Sudahlah. Tinggalkan rumah ini."
Tetapi Paksi tetap bersikeras Katanya, "Tidak. Aku akan
membawa Kemuning." Bahu Langlang benar-benar tidak lagi dapat mengekang
diri. Sudah sejak semula ia berpura-pura menjadi penyabar.
Tetapi ia tidak dapat bertahan terlalu lama.
Karena itu, maka Bahu Langlang itupun kemudian berkata,
"Aku sudah cukup memberimu kesempatan berbicara di sini.
Sekarang, kau harus pergi. Jangan berbicara apapun lagi."
Tetapi hati Paksipun keras seperti baja. Karena itu, maka
iapun menjawab, "Aku akan pergi bersama Kemuning."
"Cukup," mata Bahu Langlang mulai menyala. Sementara Nyi Permati mulai menjadi ketakutan. "Apakah aku harus
memperlakukanmu seperti perempuan itu?"
"Seperti itulah yang pada suatu saat akan terjadi pada
Kemuning. Pada saatnya kau menjadi jemu, maka kau akan
menyakitinya setiap hari."
Bahu Langlang itupun bangkit berdiri sambil menggeram,
"Kau memang tidak tahu diri. Jika kau terlambat keluar dari halaman rumahku, maka untuk selamanya kau tidak akan
pernah dapat keluar lagi, karena tubuhmu akan terkubur di
bawah rumpun bambu di kebun belakang rumah ini."
"Tentu banyak tubuh yang kau kuburkan di bawah rumpun
bambu itu," jawab Paksi sambil bangkit berdiri pula.
Wajah Bahu Langlang menjadi merah. Dengan garang ia
berkata, "Sekarang aku tahu apa yang kau maui anak muda.
Kau datang dengan sengaja untuk merebut Kemuning dari
tanganku. Baik. Jika kau memang sudah bersiap
melakukannya, lakukan. Halaman rumahku cukup luas."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahu Langlang tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun
segera turun ke halaman. Ketika Paksi melangkah, Nyi Permati menggamitnya sambil
berdesis, "Sudahlah, anak muda. Aku mengucapkan terima
kasih atas perhatianmu. Tetapi jangan korbankan dirimu."
Paksi tidak menghiraukannya. Iapun segera melangkah
menuruni tangga. Sejenak kemudian, Paksipun telah berdiri berhadapan
dengan Bahu Langlang di halaman.
Beberapa orang yang ada di halaman Bahu Langlang
menjadi heran melihat anak muda yang dengan beraninya
menantang Bahu Langlang. "Apakah anak muda itu belum pernah mendengar nama
Bahu Langlang?" Dalam pada itu, Paksi yang sudah berdiri berhadapan
dengan Bahu Langlang itupun berkata, "Bahu Langlang, aku
yakin bahwa kau adalah seorang laki-laki yang kata-katamu
adalah kehormatan dan harga dirimu. Marilah kita membuat
janji. Kita akan berkelahi sekarang ini. Jika aku kalah, maka
aku sadari, bahwa aku akan terkubur di bawah rumpun
bambumu. Aku sudah pernah mendengar namamu dan
akupun tahu tabiatmu. Ketika aku memasuki halaman rumah
ini, kau sedang menghakimi salah seorang isterimu. Tetapi jika aku menang, maka kau harus melepaskan Kemuning dan
ibuku. Aku akan membawa mereka dan menyelamatkan
mereka dari keganasanmu."
"Iblis kau. Aku hormati kau yang berani menantangku. Aku
hormati kau yang mencintai ibu dan saudara sepupunya
sehingga berani mempertaruhkan nyawamu. Tetapi kau akan
segera ditelan oleh kesombonganmu sendiri."
"Katakanlah bahwa kau berjanji."
"Baik. Aku terima syaratmu. Aku janji."
Demikianlah keduanyapun kemudian telah berhadapan.
Paksi telah menyandarkan tongkatnya, karena ia melihat Bahu
Langlang tidak bersenjata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Mata Bahu
Langlang bagaikan memancarkan nyala api oleh kemarahan
yang membakar dadanya. Bahwa seorang anak muda berani
menantangnya itu sudah merupakan satu penghinaan atas
dirinya. Sejenak kemudian, maka Bahu Langlang itupun mulai
bergerak. Tangannya terayun menggapai tubuh Paksi. Tetapi
Bahu Langlang belum benar-benar menyerangnya.
Namun ketika Paksi bergeser menghindari, Bahu Langlang
telah mempersiapkan serangan yang sebenarnya. Ia ingin
menghancurkan dan benar-benar membunuh anak itu dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya untuk menutup
ketersinggungannya, bahwa seorang anak telah berani
menantangnya. Dengan mengakhiri perlawanan anak itu secepatnya, maka
penilaian orang-orangnya yang melihat peristiwa itu terhadap
dirinya tidak akan terguncang oleh kesombongan anak itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, serangan Bahu
Langlang itupun datang bagaikan angin prahara.
Paksi memang terkejut. Ia tidak menduga sebelumnya
bahwa serangan Bahu Langlang akan datang demikian
cepatnya langsung dalam tataran ilmu yang tinggi.
Paksi memang terdesak surut. Tetapi kemudian Paksipun
telah menemukan keseimbangannya, sehingga Paksipun
segera menempatkan diri pada batas kemampuan lawannya.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi
seimbang. Paksi yang muda, namun yang telah menempa
dirinya itu, tidak banyak mengalami kesulitan menghadapi
orang yang namanya ditakuti oleh lingkungannya, Bahu
Langlang. Ketika dengan hentakannya Bahu Langlang mampu
mendesak lawannya, maka ia sudah memastikan akan dapat
dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi ternyata dugaannya keliru. Anak muda itu semakin
lama justru menjadi semakin mapan. Bahu Langlang tidak lagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendesaknya. Apa yang dilakukannya, lawannya itu mampu
mengimbanginya. Karena itu, sambil menggeram marah Bahu Langlang
mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak. Sebagai
seorang yang mempunyai pengalaman yang luas dalam
petualangannya di dunia olah kanuragan, maka Bahu
Langlang tidak segera tenggelam dalam kecemasan
menghadapi lawannya. Dengan hentakan-hentakan yang kuat,
Bahu Langlang ingin mengguncang pertahanan Paksi.
Tetapi Paksi tidak segera dapat didesaknya. Semakin lama
Paksi justru nampak menjadi semakin tegar. Serangan-
serangannya menjadi semakin cepat sementara kakinya
berloncatan semakin tangkas.
Bahu Langlang mulai menyadari, bahwa lawannya
bukannya anak-anak muda kebanyakan. Sejak semula ia
memang sudah curiga, bahwa anak muda itu bukan anak Nyi
Permati. Bukan pula sepupu Kemuning.
Karena itu, maka Bahu Langlangpun tidak mau
menanggung akibat yang paling buruk. Dengan tangkasnya ia
meloncat surut sambil berteriak, "Berikan senjataku."
Beberapa orang termangu-mangu. Namun isteri
utamanyalah yang dengan cepat tanggap. Iapun segera
meraih sebuah kapak yang tergantung di tiang di atas tangga
pendapa. Dengan cepat kapak yang besar itupun telah dilemparkan
kepada Bahu Langlang yang telah mengambil jarak dari
lawannya. Bahu Langlang menangkup kapak besarnya itu. Kemudian
terdengar orang itu tertawa. Keramah-tamahannya sama
sekali tidak nampak lagi. Tidak ada lagi senyum di bibirnya.
Yang nampak adalah pandangan matanya yang bengis.
Demikian Bahu Langlang memegang kapaknya, maka
Paksipun telah menggapai tongkatnya pula. Meskipun ternyata
ilmu Bahu Langlang yang garang itu tidak setinggi
sebagaimana dibayangkannya, namun kapaknya itu
nampaknya sangat berbahaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika orang-orang dari Goa Lampin atau orang-orang dari
Perguruan Sad itu datang kemari, maka Bahu Langlang akan
sulit untuk dapat mengatasinya," berkata Paksi di dalam
hatinya. Ternyata Bahu Langlang tidak lebih dari seorang
pemimpin perampok yang garang. Tetapi kegarangannya tidak
dilandasi dengan ilmu yang tinggi.
Sejenak kemudian, maka Bahu Langlang telah menyerang
dengan kapaknya yang besar. Menilik ayunan kapaknya itu,
maka tenaga Bahu Langlang memang sangat besar. Agaknya
dengan tenaganya yang besar serta kegarangan sikap dan
keberaniannya, Bahu Langlang menjadi seorang yang ditakuti
oleh lingkungannya. Tetapi nampaknya orang-orang dari perguruan-
perguruan yang namanya banyak dikenal, Bahu Langlang
sama sekali tidak menarik perhatian.
Demikianlah, maka dengan tongkatnya Paksi telah melawan
ayunan kapak Bahu Langlang yang garang itu. Getaran angin
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menampar tubuh Paksi karena ayunan kapak lawannya,
memberikan peringatan kepada Paksi, bahwa tenaga
lawannya memang sangat besar.
Tetapi jantung Paksi sama sekali tidak tergetar oleh ayunan
senjata lawannya itu. Sehingga dengan demikian, maka
perlawanan Paksi sama sekali tidak menjadi goyah.
Bahkan dengan tongkat kayunya, Paksi dapat menangkis
serangan kapak lawannya dengan benturan langsung. Paksi
memang yakin bahwa tongkatnya tidak akan patah. Meskipun
ujud tongkatnya adalah tongkat kayu, tetapi tongkat itu sudah
teruji kekuatannya, sehingga dalam benturan seperti apapun
dengan jenis logam apapun, tongkatnya tidak akan patah.
Bahu Langlang menjadi semakin heran. Anak itu benar-
benar anak ajaib. Pada umurnya yang masih sangat muda,
sebagaimana dikatakannya sendiri bahwa umurnya baru
delapanbelas tahun, ia sudah memiliki ilmu yang tinggi, yang
tidak terjangkau oleh ilmu Bahu Langlang yang namanya
ditakuti oleh lingkungannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, kapak Bahu Langlang hampir tidak berdaya
sama sekali. Bahkan tongkat Paksi sekali-sekali sudah mulai
menggapai tubuh lawannya. Ketika tongkat Paksi berhasil
mendorong pundak Bahu Langlang, maka Bahu Langlang itu
terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja Bahu Langlang
kehilangan keseimbangannya. Namun dengan susah payah
Bahu Langlang dapat menguasai dirinya sehingga ia tidak
jatuh terjerembab. Dalam pada itu, isteri utama Bahu Langlang yang melihat
keadaan suaminya telah menjadi marah pula. Ternyata
isterinya bukan saja seorang yang garang. Tetapi ia juga
seorang yang mampu turun ke medan.
Karena itu, ketika Bahu Langlang mengalami kesulitan,
isterinya yang garang itu telah meloncat ke gelanggang. Di
tangannya digenggamnya sebilah pedang.
"Kita akan membunuhnya bersama-sama," geram
perempuan itu. Paksi meloncat selangkah surut. Dengan nada tinggi ia
berkata, "Kita sudah membuat janji, Bahu Langlang."
Bahu Langlang memang menjadi bimbang. Tetapi isterinya
telah memutar pedangnya sambil berkata, "Jangan ragu-ragu.
Janji dengan anak-anak tidak perlu ditepati."
Bahu Langlang masih saja bimbang ketika kemudian
isterinya itu meloncat menyerang Paksi.
Paksi meloncat menghindar sambil berkata, "Bahu
Langlang. Apa katamu jika kau tidak menepati janji, maka aku
tidak akan hiraukan pula."
"Persetan dengan janji itu," teriak isterinya. Tetapi sebelum mulutnya terkatup rapat, tongkat Paksi telah terayun
menyambar pedang perempuan itu. Tanpa dapat berbuat apa-
apa, pedangnya telah terlempar beberapa langkah
daripadanya. "Bahu Langlang," berkata Paksi kemudian, "jika kau ingkar janji, maka aku akan membunuh isterimu, membunuhmu dan
membunuh siapa saja yang akan menghalangi aku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahu Langlang termangu-mangu sejenak. Tetapi ujung
tongkat Paksi seakan-akan melekat di dada isterinya.
Dengan satu gerakan sederhana, isterinya itu memang
akan dapat diselesaikan oleh anak muda itu. Tongkat itu dapat
mendorong isterinya, tetapi mengingat kemampuan anak itu,
maka tongkat itu akan dapat menghunjam di dada isterinya
itu. Isteri utama Bahu Langlang yang sudah kehilangan
pedangnya itu baru yakin, bahwa anak muda itu memang
tidak mungkin dilawannya meskipun ia bertempur bersama
suaminya, seorang yang memiliki nama besar di
lingkungannya dan ditakuti banyak orang.
Dalam pada itu, Paksipun berkata, "Bahu Langlang, aku
ingin memberimu peringatan. Jika kau mencoba berpijak pada
nama besarmu, maka dalam waktu yang singkat kau akan
binasa. Aku beritahukan kepadamu, bahwa di kaki Gunung
Merapi ini sekarang berkumpul orang-orang dari perguruan
besar yang berilmu tinggi. Bukan sekedar seorang pemimpin
perampok yang merasa dirinya tidak terkalahkan karena dapat
membunuh orang-orang tua dan anak-anak yang ketakutan.
Atau mencegat penjual dawet atau blantik kuda yang pulang
dari pasar. Di daerah ini berkeliaran orang-orang dari
Perguruan Goa Lampin, orang-orang dari Perguruan Sad dan
orang-orang perguruan di Alas Tegal Arang. Itu yang sudah
aku lihat. Aku tidak tahu, apakah masih ada orang lain yang
belum aku ketahui. Nah, camkan itu. Lihat wajahmu di
permukaan kolam ikanmu. Kau tidak lebih dari seekor tikus
kecil di antara sekelompok serigala yang buas."
Bahu Langlang termangu-mangu mendengar kata-kata
Paksi itu. Sementara Paksi itupun berkata, "Ketika aku
mendengar namamu, aku kira kau juga seorang yang berilmu
tinggi. Tetapi ternyata kau bukan apa-apa. Nah, sekarang
tempatkan dirimu di antara segerombolan serigala yang
berkeliaran di kaki Gunung Merapi ini. Menurut pendapatku,
dalam waktu yang dekat, tentu ada di antara mereka yang
datang kepadamu untuk menguji kebesaran namamu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah kau tidak berbohong, anak muda?" bertanya Bahu Langlang.
"Buat apa aku berbohong kepadamu" Apalagi setelah aku
tahu, siapa sebenarnya kau. Meskipun kau dengan tanpa
berkedip membunuh pengikut-pengikutmu sendiri, dan bahkan
dengan jantung yang sama sekali tidak tergetar mencambuk
seorang perempuan yang tidak berdaya, tetapi kau bukan
orang yang pantas aku perhitungkan. Apalagi dalam putaran
perburuan pusaka sekarang ini."
Bahu Langlang menundukkan kepalanya. Ia harus melihat
kenyataan itu. Betapa kecilnya dirinya di hadapan anak muda
itu, atau di hadapan orang-orang dari perguruan yang telah
disebutnya. Karena itu, maka Bahu Langlang itupun berkata, "Aku akan
menepati janjiku, anak muda. Tetapi aku minta kau
mengatakan apa yang sebaiknya aku lakukan sekarang."
"Bawa Kemuning keluar dan serahkan kepada bibinya."
"Aku tahu. Aku akan menyerahkannya kepada bibinya.
Tetapi setelah itu, apa yang sebaiknya aku lakukan" Apakah
orang-orang dari perguruan besar itu benar-benar akan
datang kemari?" "Menurut dugaanku, mereka akan datang."
"Apa yang harus aku lakukan?" bertanya Bahu Langlang.
"Jangan sebut lagi namamu. Kau harus mengatakan bahwa
Bahu Langlang sudah pergi. Yang ada hanyalah orang-orang
yang menunggui rumahnya. Beritahu pengikut-pengikutmu,
jangan sebut lagi nama Bahu Langlang itu. Kecuali itu,
hentikan tingkah lakumu. Kau belum terlambat untuk
memperbaiki jalan hidupmu."
Bahu Langlang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
diamatinya kedua telapak tangannya sambil berdesis, "Tangan ini telah bernoda darah. Berapa orang yang telah aku bunuh.
Apakah aku masih pantas untuk mencari jalan baru dalam
hidupku." "Selagi kau sempat, lakukan. Tetapi jika kau sudah mati,
maka kesempatan itu tidak akan pernah kau dapatkan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahu Langlang itu mengangguk-angguk. "Baiklah, anak
muda, tetapi wawasanmu telah membuka mataku."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Paksi telah menarik
tongkatnya. Sementara Bahu Langlangpun telah
mempersilahkannya kembali naik ke pendapa.
Sejenak kemudian, maka Bahu Langlang dan isteri
utamanya telah membawa seorang gadis ke pendapa itu pula.
Seorang gadis yang matanya menjadi pengab. Nampaknya
gadis itu tidak berhenti-henti menangis sejak ia berada di
rumah itu. Paksi hanya sempat memandang gadis itu sekilas. Tetapi
yang sekilas itu telah memberi kesan kepadanya, bahwa gadis
itu memang cantik. Kemuning masih saja selalu menunduk. Ia
tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya.
Namun dalam pada itu, dengan suara yang berat, Bahu
Langlang itupun berkata, "Kemuning, aku minta maaf atas
perlakuan yang sudah kau alami selama ini di rumahku.
Sekarang aku akan menyerahkanmu kepada bibimu. Kau akan
bebas. Kami tidak akan menghalangi lagi jika kalian akan pergi ke Kembang Arum."
"Aku akan mengantarkannya," desis Paksi.
"Kau akan aman di bawah perlindungannya, Kemuning."
Kemuning menjadi bingung. Ia merasakan satu suasana
yang jauh berbeda. Sikap Bahu Langlang terasa berbeda
dengan sikapnya sehari-hari. Meskipun Bahu Langlang selalu
bersikap manis kepadanya, tetapi setiap kali Kemuning
mendengar desir langkah kakinya, jantungnya serasa akan
runtuh dari tangkainya. Tetapi saat itu, sikap Bahu Langlang memang berbeda. Ia
merasakan perbedaan sikap itu dan sentuhan yang paling
dalam dari tekanan kata-kata Bahu Langlang itu. Sikap manis
Bahu Langlang rasa-rasanya tidak dibuat-buat seperti biasanya
Kemuning tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika
ia memandang bibinya, maka dilihatnya perempuan itu
berusaha menahan tangisnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun dalam pada itu, Paksipun berkata, "Marilah. Kita
tinggalkan tempat ini. Aku antarkan kalian ke Kembang Arum."
Kemuning termangu-mangu sejenak. Sementara Nyi
Permatipun bertanya, "Apakah kami diperkenankan berbenah
diri." "Tentu, Bibi," sahut Bahu Langlang dengan serta-merta.
"Lakukan apa yang ingin Bibi lakukan. Bibi tahu, bahwa
sekarang aku sudah tidak berdaya."
Nyi Permati masih ragu-ragu. Namun Paksipun kemudian
berkata, "Silahkan berbenah diri. Aku menunggu."
Sejenak kemudian, maka Nyi Permati dan Kemuningpun
telah selesai berbenah diri. Mereka membawa sebuah
bungkusan kecil. Sebungkus barang-barang yang masih
tersisa. Di antaranya adalah kain lurik yang telah ditawarkan
kepada Paksi. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Paksipun telah
meninggalkan rumah Bahu Langlang bersama Nyi Permati dan
Kemuning. Bahu Langlang dan isterinya mengantar mereka
sampai di regol halaman rumahnya.
Demikian mereka meninggalkan halaman rumah itu, maka
Kemuning merasa seakan-akan dirinya baru menapak ke
dalam sebuah mimpi. Ia sudah tidak lagi berpengharapan
untuk dapat keluar dari rumah itu. Kemuning yang masih
terlalu muda itu rasa-rasanya sudah berada di antara kuku-
kuku seekor harimau yang kelaparan.
Namun tiba-tiba ia sudah bergerak meninggalkan rumah
itu. Tetapi Kemuning yang tidak tahu apa yang terjadi masih
belum percaya sepenuhnya bahwa ia akan benar-benar lepas
dari tangan Bahu Langlang. Kemuning masih membayangkan,
bahwa pada suatu saat nanti, Bahu Langlang akan
memburunya dan membawanya kembali ke rumahnya.
Tetapi ketika mereka keluar dari padukuhan itu, Nyi
Permati itupun berkata, "Kita sudah lepas dari tangan hantu yang menakutkan itu, Kemuning. Yang Maha Agung telah
bermurah hati mengirimkan anak muda itu untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membebaskanmu." Di luar sadarnya Kemuning berpaling.
Namun ketika ia menyadari bahwa Paksi juga sedang
memandanginya, maka Kemuningpun segera melemparkan
pandangan matanya ke kejauhan.
Paksi sendiri juga menggeser pandangan matanya. Namun
yang sekilas itu mempertajam kesannya, bahwa Kemuning
memang gadis yang cantik. Itulah sebabnya, maka Bahu
Langlang ingin menjadikan gadis yang masih belum dewasa
penuh itu sebagai isterinya, meskipun landasan keinginan itu
semata-mata karena nafsu.
Demikianlah, maka ketiga orang itu berjalan semakin jauh.
Paksi yang sudah mendapat ancar-ancar arah padukuhan
Kembang Arum tidak terlalu sulit untuk menempuh perjalanan
yang sudah tidak terlalu jauh itu.
Paksi memang mengajak mereka untuk berjalan melewati
jalan pinggir hutan. Paksi sama sekali tidak menjadi takut.
Sudah setahun ia tinggal di tepi hutan. Bahkan setiap kali ia
telah menyusup memasuki hutan itu untuk berburu tanpa
merasa takut mendengar aum harimau sekalipun.
Kemuning dan bibinya memang merasa ngeri untuk
menempuh jalan sempit di pinggir hutan itu. Tetapi karena
Paksi yang berjalan di depan itu sama sekali tidak nampak
ragu, maka merekapun berjalan saja mengikutinya.
Ketika mereka melalui jalan yang rumit, karena lereng yang
menurun agak terjal dan berbatu-batu padas yang tajam,
maka Paksipun berkata, "Jika kita menempuh jalan melingkar, maka jaraknya akan menjadi jauh. Pedagang kelapa itu tentu
membawa pedatinya melewati jalan melingkar itu. Tetapi
jaraknya dapat berlipat."
Kedua orang perempuan itu tidak menyahut. Dengan susah
payah dibantu oleh Paksi, akhirnya keduanya berhasil
melewati jalan yang terjal itu.
Paksi yang mengetahui bahwa kedua orang perempuan itu
menjadi letih, telah mengajak mereka untuk beristirahat
sejenak. Namun kemudian merekapun melanjutkan perjalanan
mereka kembali. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika mereka melewati sebuah sumber air kecil yang
jernih, maka merekapun telah berhenti untuk minum beberapa
teguk untuk melepaskan haus mereka.
Demikianlah, maka Nyi Permati dan Kemuning telah
menempuh sebuah perjalanan yang berat. Tetapi mereka
memang sudah berniat melakukannya. Bahkan sebelumnya mereka
juga sudah menempuh jalan yang panjang pula sebelum
mereka jatuh ke tangan Bahu Langlang.
Namun ketika senja turun, mereka masih belum memasuki
Padukuhan Kembang Arum. Tetapi mereka masih sempat
bertanya kepada seseorang yang pulang dari sawahnya,
tentang letak padukuhan itu.
"Sudah tidak jauh lagi, anak muda. Jika jalan ini nanti
menyilang sebuah sungai kecil, maka berantara dua bulak lagi,
kalian akan sampai."
"Apakah kami akan sampai ke padukuhan itu wayah sepi
bocah atau bahkan sebelumnya?" bertanya Paksi pula.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tergantung sekali kepada kecepatan jalan kalian," petani itu tersenyum.
Paksipun tersenyum pula. Katanya, "Ki Sanak benar."
"Kau berjalan dengan dua orang perempuan yang tentu
tidak akan dapat berjalan secepat jika kau sendiri," berkata petani itu.
"Kau dapat bertanya kepada para peronda. Hampir di
setiap padukuhan terdapat setidak-tidaknya sebuah gardu
ronda di dekat banjar. Mudah-mudahan di Kembang Arum
gardu itu terisi setiap malam. Atau mungkin sekali para
peronda itu berada di banjar itu sendiri."
"Terima kasih, Ki Sanak," Paksi mengulang.
Demikianlah, maka Paksipun telah melanjutkan
perjalanannya bersama Nyi Permati dan Kemuning.
Seperti yang dikatakan oleh petani yang pulang dari
sawahnya itu, maka beberapa saat kemudian mereka bertiga
telah melintasi sebuah sungai. Dengan demikian, maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka tinggal menempuh perjalanan dua bulak lagi untuk
sampai ke Padukuhan Kembang Arum.
"Sebenarnya aku pernah pergi ke Kembang Arum," berkata Nyi Permati, "tetapi sudah terlalu lama. Agaknya aku sudah sulit untuk mengingatnya. Bahkan jalan menuju ke padukuhan
itupun aku sudah lupa, sehingga kami tersesat."
"Jadi Bibi sudah pernah ke Kembang Arum?" bertanya
Paksi. "Ya, Ngger. Tetapi aku memang sulit untuk mengingat
sesuatu. Juga jalan ke Kembang Arum. Ketika aku berangkat
mengantar Kemuning, aku kira aku dapat mengenali jalan-
jalannya kembali. Tetapi ternyata tidak. Bahkan kami telah
tersesat ke sarang serigala itu. Bersukurlah kami, bahwa Yang
Maha Agung masih berbelas kasihan, sehingga aku telah
bertemu dengan Angger di pasar itu."
Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Bertiga mereka berjalan menyusuri bulak di gelapnya
malam. Nyi Permati dan Kemuning memang tidak dapat
berjalan secepat Paksi. Karena itu, maka Paksi harus
menyesuaikan diri. Berjalan lamban sekali.
Namun akhirnya dua bulak itupun telah mereka lampaui.
Tetapi mereka juga sudah melampaui wayah sepi bocah. Pada
wayah sepi uwong, mereka telah memasuki sebuah
padukuhan yang mereka duga adalah Padukuhan Kembang
Arum. Namun tiba-tiba Nyi Permati berkata, "Ya, kita telah
sampai. Aku ingat tugu yang ada di dekat regol itu. Tugu itu
pernah aku lihat ketika aku datang kemari waktu itu. Tugu
yang dibuat dari batu itu memang sangat menarik perhatian,
karena jarang sekali ada padukuhan yang mempunyai ciri
seperti itu." Tiba-tiba saja Kemuningpun bertanya, "Jadi, kita benar-
benar sampai ke Kembang Arum?"
"Ya, Kemuning. Kita sudah sampai di Padukuhan Kembang
Arum. Yang Maha Agung telah menuntun perjalanan kita."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemuning itupun tiba-tiba saja telah memeluk bibinya. Ia
tidak dapat menahan tangisnya. Sambil terisak ia berkata,
"Aku hampir tidak percaya Bibi. Semua harapanku seakan
akan telah pupus." "Sudahlah. Doa kita didengar-Nya. Kita wajib mengucap
sukur bahwa akhirnya kita sampai juga di padukuhan ini."
Paksilah yang kemudian berkata, "Baiklah. Marilah kita
berjalan terus. Kita baru menemukan Padukuhan Kembang
Arum. Kita masih harus menemukan rumah orang yang Bibi
cari." "Setelah sampai di sini, mudah-mudahan aku dapat
mengingat letak rumah itu, Ngger."
"Marilah kita coba," ajak Paksi.
Merekapun kemudian melangkah memasuki padukuhan.
Gelap malam memang agak membingungkan Nyi Permati.
Namun demikian, perempuan itu masih dapat mengenali
beberapa ciri yang masih ada di padukuhan itu.
Ketika mereka sampai di sebuah simpang empat di dalam
padukuhan itu, Nyi Permatipun berkata, "Aku masih ingat,
pohon beringin yang dipagari ini. Aku ingat benar. Kita harus
berbelok ke kanan." Mereka bertigapun telah berbelok ke kanan. Jalan menjadi
lebih kecil dari jalan yang mereka lalui semula. Namun Nyi
Permati semakin mengenali lingkungan di sekitarnya meskipun
gelap malam rasa-rasanya menjadi semakin pekat di dalam
padukuhan. Tetapi beberapa oncor yang ada di regol-regol
halaman membantu Nyi Permati mengamati jalan yang
dilaluinya itu. Ketika mereka sampai di sebuah regol halaman rumah yang
terhitung besar dan berhalaman cukup luas, Nyi Permati itu
berhenti. Di sebelah regol terdapat sebuah gendi berisi air.
Sebuah siwur tergantung pada sebuah patok di dekat gendi
itu. Ketika ia mengunjungi rumah saudaranya beberapa tahun
yang lalu, ia juga melihat sebuah gentong air di dekat regol
halaman. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa saat ia mengingat-ingat. Namun kemudian
katanya, "Aku yakin, bahwa rumah inilah rumah pamanmu,
Kemuning." "Bibi benar-benar yakin?" bertanya Kemuning.
"Ya. Aku yakin. Rasa-rasanya aku memang mengenali
lingkungan ini, karena aku berada di sini agak lama waktu itu."
Ketika Kemuning nampak ragu-ragu, bibinya berkata,
"Semuanya belum berubah, Kemuning. Aku masih
mengenalinya, karena waktu itu aku berada beberapa pekan
disini." "Jika Bibi yakin, marilah," berkata Paksi kemudian. Ketika Paksi kemudian menyentuh pintu regol, ternyata pintu itu
tidak diselarak dari dalam. Demikian pintu itu terbuka, maka
perlahan-lahan mereka melangkah memasuki halaman itu.
Demikian mereka berada di halaman, maka Nyi Permati
itupun berdesis, "Ya. Aku semakin yakin. Rumah inilah rumah pamanmu, Kemuning. Rumah Kakang Pananggungan."
Kemuning berdiri termangu-mangu di halaman.
Dipandanginya rumah yang terhitung besar itu. Lampu minyak
yang menyala di pendapa bergetar disentuh angin, seolah-
olah menyampaikan selamat datang kepada Kemuning dan
bibinya. Selangkah-selangkah mereka mendekati pendapa yang
sepi. Namun kemudian Paksi telah melihat pintu seketeng.
Ternyata pintu seketeng tertutup dan selarak dari dalam.
Sementara itu gandok kanan dan kiri nampak sepi.
"Jika demikian, Bibi harus mengetuk pintu pringgitan,"
berkata Paksi. Nyi Permati mengangguk kecil. Namun ketika kakinya
menyentuh tangga pendapa, perempuan itu nampak menjadi
ragu. Kemuning berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Namun akhirnya Nyi Permati itu telah memaksa diri naik ke
pendapa dan melangkah ke pringgitan. Perlahan-lahan Nyi
Permati mengetuk pintu pringgitan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak Nyi Permati menunggu. Karena agaknya belum
seorangpun yang mendengarnya, maka Nyi Permati telah
mengulanginya kembali. Baru kemudian terdengar suara seseorang dari dalam,
"Siapa di luar?"
"Aku," jawab Nyi Permati.
"Aku siapa?" "Permati." "Permati?" terdengar suara itu menghentak. Nampaknya orang di dalam rumah itu terkejut mendengar nama Permati.
"Kau benar Permati?" bertanya orang yang di dalam.
Nyi Permatipun mengenali suara itu. Dengan suara bergetar
ia menjawab, "Ya, Kakang. Aku Permati."
Terdengar langkah tergesa-gesa. Tidak hanya seorang.
Tetapi dua orang. Sejenak kemudian, pintupun terbuka. Dua orang suami
isteri berdiri di pintu pringgitan yang terbuka itu. "Permati.
Permati, kenapa kau?"
Nyi Permati hampir tidak dapat mengatakan sesuatu.
Terasa matanya menjadi panas dan tenggorokannya bagaikan
tersumbat. "Mbokayu," desis Nyi Permati.
Nyi Pananggunganpun melangkah mendekatinya. Kedua
orang perempuan yang mendekati usia tuanya itu berpelukan.
Dengan suara sendat Nyi Permati itupun berkata, "Aku
datang dengan kemenakanmu, Kemuning."
"Kemuning" Kau bawa Kemuning kemari?"
Nyi Permati yang melepaskan pelukan Nyi Pananggungan
itupun kemudian berpaling. Sambil melambaikan tangannya ia
berkata, "Kemarilah Kemuning. Ini pamanmu. Ia tidak akan
lupa kepadamu, meskipun ketika paman dan bibimu
mengunjungimu, kau masih kanak-kanak."
"Kaukah itu Kemuning?" bertanya Nyi Pananggungan.
Kemuningpun melangkah naik ke pendapa dan langsung
pergi ke pringgitan. Bibinyapun menyongsongnya pula.
Dalam pelukan bibinya, rasa-rasanya Kemuning
menemukan ketenangan dan kedamaian hati. Karena itu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
maka air matanya yang meleleh dari pelupuknya tidak
terbendung lagi, bagaimanapun juga ia berusaha
menahannya. "Marilah. Masuklah," Ki Pananggungan mempersilahkan.
Namun kemudian iapun bertanya, "Siapakah anak muda itu?"
"Anak itu telah menolong kami, Kakang. Tanpa anak muda
itu, kami tidak akan sampai di sini."
Ki Pananggungan memandang Paksi dengan tajamnya.
Namun kemudian katanya, "Jika demikian, marilah. Naiklah
anak muda." Paksipun naik pula ke pendapa.
Demikianlah, sejenak kemudian mereka sudah duduk di
ruang dalam rumah Ki Pananggungan. Tanpa tertahan-tahan
lagi, Nyi Permati telah menceriterakan apa yang telah dialami
oleh Kemuning di rumahnya dan di perjalanan menuju ke
Kembang Arum. "Apa sebenarnya yang terjadi dengan ayah dan ibu
Kemuning?" bertanya Ki Pananggungan.
"Tidak ada yang tahu, Kakang. Tiba-tiba saja keduanya
telah hilang." "Dan Kemuning jadi sendiri di rumah?" bertanya Nyi
Pananggungan. "Ya. Itulah sebabnya, kenapa aku mempunyai gagasan
untuk membawanya kemari. Namun hampir saja Kemuning
terjerumus ke dalam kenistaan sepanjang umurnya. Jika itu
terjadi, maka aku adalah orang yang paling bersalah."
"Ayah dan ibu Kemuning memang suka bertualang. Tetapi
jika mereka sudah mempunyai seorang anak gadis, maka
mereka tidak boleh memikirkan diri mereka sendiri,"
"Yang aku cemaskan, jika terjadi sesuatu atas mereka.
Mungkin mereka pergi bukan karena niat mereka akan pergi.
Tetapi ada sesuatu yang memaksa mereka. Jika hal itu tidak
membahayakan mereka, sukurlah. Tetapi jika kepergian
mereka itu justru karena mereka tidak dapat mengelakkannya,
maka itu akan sangat memprihatinkannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian Ki Pananggungan itupun kemudian telah berpaling
kepada Paksi sambil berkata, "Jadi kau sudah mengalahkan
Bahu Langlang?" "Mungkin satu kebetulan saja, Ki Pananggungan," jawab Paksi.
Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
sudah mendengar nama Bahu Langlang. Ia seorang pemimpin
perampok yang ditakuti di lingkungan sekitarnya. Apakah kau
yang masih semuda itu mampu mengalahkannya?"
"Sudah aku katakan, Ki Pananggungan, mungkin satu
kebetulan saja." "Anak muda, aku justru menjadi curiga kepadamu."
Paksi terkejut. Nyi Permati dan Kemuningpun terkejut pula.
Hampir di luar sadarnya, Nyi Permati berkata, "Anak muda
itu sudah membebaskan kami dari tangan Bahu Langlang."
"Kau memang melihat seakan-akan peristiwa seperti itu
sudah terjadi. Tetapi ini adalah sebuah permainan. Anak muda
ini adalah salah seorang dari orang-orang Bahu Langlang itu
sendiri." Wajah Permati menjadi berkerut. Namun iapun bertanya,
"Lalu, apakah keuntungannya dengan permainan itu"
Apapun yang mereka lakukan, tetapi kami sudah bebas dari
tangan Bahu Langlang."
"Kita memang tidak tahu, apa maksud yang sebenarnya.
Tetapi aku menjadi tidak percaya kepada anak ini, bahwa ia
telah dapat mengalahkan Bahu Langlang."
Paksi menjadi bingung. Demikian pula Nyi Permati dan
Kemuning. "Anak muda," berkata Ki Pananggungan sambil berdiri dan melangkah ke pintu. Kemudian Ki Pananggungan itupun telah
membuka pintu itu sambil berkata, "Pergilah. Katakan kepada Bahu Langlang, jika ia ingin mengambil Kemuning, maka ia
harus melangkahi mayatku lebih dahulu."
Paksi benar-benar tidak mengerti. Namun demikian iapun
telah bangkit pula sambil berkata, "Ki Pananggungan, aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak berkeberatan sama sekali jika aku harus pergi. Tetapi
aku masih ingin menjelaskan, bahwa aku tidak mempunyai
niat buruk, apalagi merupakan sebuah permainan yang
digerakkan oleh Bahu Langlang itu sendiri."
"Pergilah. Gerak bibirmu membuat darahku menjadi panas.
Bau nafasmu membuat aku mual."
Telinga Paksi menjadi panas. Tetapi ketika ia berpaling
kepada Nyi Permati dan Kemuning, maka iapun menarik nafas
dalam-dalam. Paksi mencoba untuk menenangkan
perasaannya yang bergejolak di dadanya.
Dengan nada rendah, Paksipun kemudian berkata, "Baiklah.
Aku mohon diri, Ki Pananggungan." Lalu katanya, "Aku mohon diri Bibi dan juga kau Kemuning. Aku mohon maaf, jika kalian
juga menganggap aku bersalah."
"Sudahlah, pergilah. Jangan terlalu banyak bicara."
Paksipun kemudian melangkah keluar pintu. Ki
Pananggungan bergeser mundur selangkah. Sementara itu Nyi
Permati dan Kemuning menjadi kebingungan. Bahkan Nyi
Pananggunganpun terheran-heran melihat sikap suaminya.
Tetapi ternyata kemarahan Ki Pananggungan tidak terhenti
sampai sekian. Ketika kemudian Paksi turun ke halaman, Ki
Pananggungan justru telah menyusulnya sambil berkata,
"Anak muda, kau kira kau dapat pergi begitu saja?"
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paksi berhenti melangkah. Ia mundur setapak ketika Ki
Pananggungan itu menyusulnya turun ke halaman.
"Aku tidak tahu maksud ki Pananggungan."
"Kau adalah anak buah Bahu Langlang yang ganas itu. Kau
telah melakukan satu permainan yang tidak aku ketahui
maksudnya. Nah, sekarang, untuk apa kau berpura-pura dapat
mengalahkan Bahu Langlang dan kemudian membawa
Kemuning kemari" Apakah dengan demikian kau mendapat
tugas dari Bahu Langlang untuk mengetahui rumahku,
sehingga pada suatu saat ia akan datang untuk merampok
Kemuning dan seluruh harta bendaku, karena Bahu Langlang
mengetahui bahwa aku adalah seorang yang kaya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Pananggungan," berkata Paksi kemudian, "kenapa Ki Pananggungan berprasangka demikian buruknya kepadaku"
Seandainya saja aku menolong Kemuning, tetapi aku tidak
menyesal. Aku sudah merasa puas bahwa aku telah berhasil
membebaskan gadis itu dari penderitaan yang
berkepanjangan." "Jangan mengigau," potong Ki Pananggungan. "Sekarang katakan, untuk apa sebenarnya kau antarkan Kemuning
kemari?" "Ki Pananggungan," sahut Paksi, "aku tidak akan dapat menjawab pertanyaanmu."
"Setan kau anak muda. Aku tahu bahwa tongkat itu adalah
Hina Kelana 34 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Persekutuan Pedang Sakti 4
bermata tiga butir batu akik itu, lakukanlah."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku hanya dapat
mengucapkan terima kasih, Ki Marta. Namun perkenankan aku
mohon. Sebenarnya sudah lama aku ingin menyampaikan
permohonan ini." "Apa yang akan kau minta?"
"Apakah aku diperkenankan menyebut Ki Marta sebagai
guruku. Aku pernah berguru kepada seseorang. Tetapi karena
aku harus pergi dari rumah dan meninggalkan keluargaku,
maka hubunganku dengan guruku telah terputus. Tetapi aku
masih tetap menganggapnya sebagai guruku. Jika Ki Marta
berkenan, maka aku akan merasa mempunyai dua orang
guru." Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, "Itu terserah saja
kepadamu. Tetapi rasa-rasanya jantungku seperti digelitik jika seseorang memanggilku guru. Karena itu, aku tidak
berkeberatan jika kau menganggap aku sebagai gurumu.
Tetapi panggil aku Ki Marta begitu saja."
Paksi memandang Ki Marta Brewok sekilas. Katanya, "Aku
mengucapkan terima kasih. Tetapi aku merasa lebih mantap
jika aku diperkenankan memanggil guru."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terserah saja kepadamu," berkata Ki Marta Brewok
kemudian. "Tetapi jika kita tidak bertemu lagi, maka kau tidak akan mempunyai kesempatan menyebutku guru."
"Bukankah aku harus datang ke alun-alun Pajang jika aku
sudah menemukan cincin itu?"
Ki Marta Brewok tertawa pula. Katanya, "Terserah saja
kepadamu, aku tidak berkeberatan."
"Terima kasih, Guru," berkata Paksi kemudian. "Tetapi jika aku boleh bertanya, ke mana guru akan pergi selanjutnya?"
"Aku tidak dapat mengatakan kepadamu, Paksi. Tetapi aku
masih mengemban berbagai tugas yang penting. Meskipun
demikian, jika ada kesempatan aku masih akan berusaha
menemuimu meskipun aku tidak tahu, kau pergi ke mana jika
kau pada suatu saat meninggalkan tempat ini."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku memang
masih akan mengembara. Mungkin untuk waktu yang masih
panjang." "Hati-hatilah. Jangan sampai tersesat ke mulut Batara Kala yang selalu menganga menunggu mangsa. Padahal apapun
akan ditelannya, terutama mereka yang memang sudah
termasuk dalam kumpulan orang-orang yang mempunyai ciri
tertentu." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku pernah
mendengar dongeng itu."
"Kau harus menerjemahkan dengan benar." Paksi
mengangguk-angguk. "Nah, aku kira pekerjaan di sini sebagian besar sudah
selesai. Karena itu, aku akan minta diri karena mungkin aku
tidak akan kembali lagi kemari."
"Kenapa sebagian besar, Guru."
"Memang belum tuntas. Kau sendirilah yang akan
menuntaskannya," jawab Ki Marta Brewok.
"Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih. Semoga
Yang Maha Agung selalu menyertai Guru."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, "Kita akan selalu
berdoa. Jika kita bersungguh-sungguh, maka doa kita akan
didengar-Nya." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi bagaimanapun juga,
terasa jantungnya berdegup semakin cepat. Kepergian Ki
Marta Brewok tentu akan membekas di dalam hatinya,
meskipun di hari-hari terakhir Ki Marta Brewok sudah jarang-
jarang mengunjunginya. Demikianlah Ki Marta Brewokpun telah minta diri sekali lagi.
Ia benar-benar akan meninggalkan Paksi di gubuk kecilnya,
jauh dari rumahnya, jauh dari sanak-kadangnya.
Ketika Ki Marta Brewok menepuk bahu anak muda itu,
terasa mata Paksi menjadi panas.
Demikianlah, maka malam itu Ki Marta Brewok telah
meninggalkan Paksi seorang diri. Paksi yang melepaskan
kepergian Ki Marta Brewok itu di depan gubuknya,
memandanginya sampai orang itu hilang dalam kegelapan.
Sudah puluhan kali, bahkan ratusan kali ia memandangi
punggung Ki Marta Brewok. Namun malam itu rasa-rasanya ia
telah kehilangan orang yang dianggap sebagai gurunya.
Dua kali Paksi terpisah dari guru yang membimbingnya.
Tetapi sejenak kemudian, Paksi teringat pesan Ki Marta
Brewok. Karena umurnya sudah delapan belas, maka ia harus
sudah mendudukkan dirinya pada tiga alas. Di antaranya
adalah kemandirian. Paksi menarik nafas dalam-dalam.
Ketika kemudian Ki Marta Brewok hilang dari pandangan
matanya menyusup ke dalam kegelapan, maka Paksipun
masuk kembali ke dalam gubuk kecilnya. Paksi bahkan telah
memadamkan lampu minyaknya. Kemudian berbaring di atas
ketepenya di dalam gelap.
Tetapi ternyata sampai dini hari Paksi tidak dapat tidur
sama sekali. Ia sempat mengenang pertemuannya dengan
orang yang mengaku bernama Marta Brewok itu. Waktu itu,
lebih dari setahun yang lalu, seleret sinar seakan-akan jatuh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari langit. Dan Ki Marta Brewok itu menggiringnya untuk
datang ke tempat terpencil itu.
Di dini hari Paksi sudah bangun. Ia masih mempunyai
sedikit waktu untuk menyalakan perapian. Sementara itu,
Paksipun segera berbenah diri seperti kebiasaannya setiap
hari. Ketika fajar menyingsing, Paksi telah memadamkan apinya.
Air yang dijerangnya sudah mendidih.
Sebelum pergi ke sungai, Paksi sempat meneguk minuman
hangatnya. Nasinya masih utuh. Biasanya Ki Marta Brewok
ikut makan bersamanya. Tetapi malam itu, Ki Marta Brewok
datang hanya untuk minta diri.
Hari yang kemudian terbentang di hadapannya terasa
menjadi sepi. Meskipun sebelumnya, selama lebih dari setahun
ia berada di tempat itu, Ki Marta Brewok belum pernah datang
mengunjunginya di siang hari, namun Paksi masih
berpengharapan, bahwa di malam hari, orang itu akan datang.
Tetapi Paksipun kemudian menyadari, bahwa ia tidak dapat
tenggelam dalam perasaan sepinya. Hari-hari yang bakal
datang masih banyak yang harus dilakukannya.
Karena itu, maka Paksi tidak ingin merenung terus-
menerus. Ia harus menerima kepergian Ki Marta Brewok
sebagai satu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya.
Karena itu, maka Paksipun segera mengambil bumbung
legennya. Ia harus memanjat beberapa batang pohon kelapa.
Ketika kemudian pekerjaannya di gubuk kecilnya sudah
selesai, maka untuk mengisi waktunya Paksi telah turun ke
dalam goa. Hari itu Paksi merasa malas untuk pergi ke pasar.
Apalagi ia masih mempunyai garam cukup, sehingga ia masih
belum memerlukannya. Ketika ia berada di dalam ruang yang cukup luas di dalam
goa itu, maka ia telah merenungi lagi lukisan-lukisan yang ada di dinding goa yang datar itu. Tetapi semua garis telah dilihat dan dipelajarinya dengan saksama. Karena itu, maka Paksipun
memiliki berbagai macam kemampuan mempergunakan
beberapa jenis senjata dengan baik. Di rumahnya Paksi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempunyai sebilah parang yang dibelinya pada seorang
pande besi. Parang yang biasanya dipergunakan untuk
membelah kayu. Namun di tangan Paksi, parang itu telah
dipergunakannya untuk mematangkan ilmu pedangnya.
Dengan tongkat kayunya, Paksi juga berusaha untuk berlatih
mempergunakan tombak pendek. Sementara itu, ia telah
mempelajari pula mempergunakan berbagai macam senjata
yang lain. Di antaranya Paksi juga memiliki ketrampilan
mempergunakan cambuk dan cemeti.
Untuk beberapa saat lamanya, Paksi berlatih seorang diri di
dalam ruangan itu. Namun ketika keringatnya telah terperas
dari tubuhnya, maka Paksipun menghentikan latihannya itu,
sementara pakaiannya yang telah basah ketika ia menerobos
air terjun, telah menjadi semakin basah pula oleh keringat.
Di luar sadarnya, Paksipun telah duduk di tempat ia
menjalani laku. Dicobanya mengingat lagi, apakah yang
pernah terjadi pada dirinya.
Ketika ketajaman angan-angannya membayangkan kembali
apa yang dilakukannya, maka serasa ia mendapatkan
sandaran baru pada inderanya. Ada kekuatan yang belum
pernah diungkapkannya. Kekuatan yang khusus bekerja pada
inderanya itu. Ketika Paksipun kemudian membuka matanya dan keluar
dari dunia angan-angannya, maka dengan penuh kesadaran
akan kemampuannya, maka Paksipun telah mengungkapkan
kekuatan yang membuat inderanya menjadi semakin tajam.
Dengan demikian, maka penglihatan Paksipun menjadi
semakin tajam pula di dalam gelap di goa itu. Paksi seakan-
akan melihat segalanya semakin jelas. Jauh lebih jelas dari
sekedar ketajaman penglihatannya.
Demikian pula Paksi mampu mendengar lebih jelas.
Gemuruh air terjun. Namun juga siul burung-burung di luar
goa itu. Gemerisik daun yang bergoyang disentuh angin
pegunungan yang semilir lembut.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu sadar,
bahwa ia telah mampu membangun Aji Sapta Pandulu dan Aji
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sapta Pangrungu. Dengan demikian, maka Paksipun sadar
pula, bahwa ia juga akan dapat membangunkan ilmunya
untuk mempertajam inderanya yang lain jika diperlukannya.
Setiap kali Paksi menyadari kelebihan yang ada di dalam
dirinya, maka Paksi selalu merasa betapa ia berhutang budi
kepada Ki Marta Brewok. Tetapi sejalan dengan itu, iapun
selalu ingat akan pesan-pesannya, bahwa setiap yang dimiliki
itu adalah kurnia. Apalagi kelebihan dari sesamanya. Karena
itu maka iapun harus menempatkan dirinya di jalan yang
dikehendakiNya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Di dalam kegelapan ia
menengadahkan wajahnya. di dalam hati Paksi memohon agar
nalar budinya tidak terlepas dari kendali kesadaran diri akan
keberadaannya, kelebihannya serta sangkan paraning dumadi,
sehingga dapat tercermin pada sikap dan tingkah lakunya.
Tiba-tiba saja terngiang di telinganya kata-kata orang yang
datang untuk mencari ndaru itu, hubungan antara ilmu dan
amal. Sejenak Paksi merenung. Namun kemudian Paksi itupun
melangkah ke mulut goa. Sejenak kemudian Paksi sudah berada di gubuk kecilnya. Ia
sudah berganti pakaian Pakaiannya yang basah sudah
dicucinya. Ternyata hari-harinya kemudian terasa menjadi semakin
sepi sejak Ki Marta Brewok menyatakan bahwa dirinya tidak
akan datang lagi ke tempat itu. Bahkan Paksipun kemudian
merasa, bahwa keberadaannya di tempat itu tidak lagi
mengikatnya. Tetapi Paksi masih menunggu jagungnya menjadi tua.
Rasa-rasanya ia akan mendapatkan kepuasan tersendiri untuk
memetiknya, sementara padi gaga yang ditanamnya juga
sudah mulai berbunga, sehingga ia merasa masih ada
keterikatan dengan tempat itu.
Di hari-hari mendatang, Paksi mengisi hari-harinya yang
sepi dengan berkeliaran di pasar. Bercanda dengan Kinong,
bergurau dengan penjual dawet dan sekali-sekali berbicara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersungguh-sungguh dengan pande besi yang sedang
membuat parang. Tetapi kegelisahan masih saja membayang di pasar itu.
Ketika Paksi datang ke pasar agak siang, ia berpapasan
dengan orang-orang yang dengan tergesa-gesa meninggalkan
pasar. "Ada apa?" bertanya Paksi ketika ia bertemu dengan
seorang yang sudah dikenalnya.
"Keributan telah terjadi," jawab orang itu. "Pulang sajalah anak muda."
Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi Paksi tidak segera
berbalik arah. Ia masih saja melangkah ke arah pasar.
Paksi itupun berhenti ketika ia bertemu Kinong dan ibunya
berjalan tergesa-gesa pula. Bahkan Kinong yang digandeng
ibunya itu berlari-lari kecil sambil menjinjing keranjang
kecilnya. "Kinong, ada apa?" bertanya Paksi.
Kinong memang berhenti. Ibunya juga berhenti.
"Jangan pergi ke pasar, Ngger. Agaknya akan terjadi
keributan lagi." Paksi mengerutkan dahinya, sementara Kinongpun berkata
selanjutnya, "Ada dua orang berkuda yang datang ke pasar
itu. Tetapi selain mereka telah ada pula dua orang yang sudah
berada di sekitar tempat ini beberapa hari yang lalu. Orang
yang sering makan tetapi tidak membayar penuh itu."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Biarlah aku ingin
melihat apa yang akan terjadi."
"Jangan, Ngger," cegah ibu Kinong. "Nanti kau akan terjerat dalam peristiwa yang tidak kau ketahui ujung
pangkalnya. Bahkan mungkin kau akan cidera karenanya,
sementara kau tidak mempunyai sangkut-paut dengan
mereka." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
menjawab, "Aku akan melihat dari kejauhan. Aku tentu tidak akan berani mendekat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi kau harus berhati-hati, Ngger. Sebenarnya kau
tidak menuruti keinginantahumu itu. Yang terjadi nampaknya
bukan sekedar main-main."
"Terima kasih," desis Paksi. "Aku akan berhati-hati."
Kinong dan ibunyapun kemudian meninggalkan Paksi yang
termangu-mangu, mengikuti arus orang-orang yang
menyingkir menjauhi pasar.
Dengan hati-hati Paksi melangkah mendekati pasar yang
sudah menjadi sepi. Bahkan para pande besipun telah
meninggalkan perapian mereka. Meskipun beberapa orang
laki-laki yang memiliki sedikit keberanian masih berada di
pasar, tetapi mereka sudah membenahi dagangan mereka.
Namun demikian, pada jarak yang agak jauh, beberapa
orang juga masih menunggu. Mereka ingin melihat apa yang
akan terjadi. Paksi mendekati seorang laki-laki yang berjongkok di
belakang sebatang pohon, beberapa puluh langkah dari pintu
gerbang pasar.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Paksi kemudian berjongkok di sebelahnya, orang itu
terkejut bukan buatan, sehingga terlonjak dan bergeser
setapak. Orang itu menarik nafas dalam-dalam setelah ia melihat
seorang anak muda berjongkok di sebelahnya.
"Kau mengejutkan aku anak muda."
"Maaf, Paman. Aku tidak berniat mengejutkan Paman.
Tetapi aku ingin bertanya, apa yang terjadi?"
"Lihat," desis orang itu.
Paksi melihat bukan hanya dua orang berkuda, tetapi
ampat orang berkuda mendekati regol pasar. Ampat orang
yang berwajah garang. Menilik sikap dan pakaiannya, maka
mereka adalah orang-orang yang mengembara di dunia olah
kanuragan. "Siapakah mereka itu?" bertanya Paksi.
"Aku tidak tahu. Tetapi seorang di pasar ini telah
mendengar bahwa sekelompok orang akan datang mencari
musuhnya yang berada di pasar ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana ia dapat mendengarnya?"
"Orang itu hanya mendengar seorang berkata kepada
kawannya agar kawannya itu memanggil kawan-kawannya
yang lain. Ketika hal ini tersebar, maka orang-orang seisi
pasarpun telah meninggalkan pasar."
"Paman tidak pergi?" bertanya Paksi.
"Aku ingin membuktikan apa yang terjadi. Apakah ceritera
itu benar atau orang yang sekedar ingin melihat kekisruhan
terjadi di pasar ini."
"Ternyata orang-orang itu benar-benar datang."
"Ya. Orang-orang itu benar-benar datang. Tetapi yang
dicarinya tentu sudah pergi."
Baru saja mulut orang itu terdiam, tiba-tiba saja mereka
mendengar suara seorang perempuan tertawa. Suaranya
melengking tinggi. Sementara itu, dua orang perempuan yang
berpakaian asing itu telah keluar dari sebuah kedai yang
terletak tidak jauh dari pintu gerbang pasar itu.
"Siapa yang kalian cari?" bertanya salah seorang dari kedua orang perempuan itu.
Keempat orang berkuda itu termangu-mangu sejenak.
Namun seorang di antara merekapun meloncat turun sambil
menjawab, "Kalian perempuan-perempuan Goa Lampin?"
"Ya," jawab salah seorang perempuan itu.
"Siapakah di antara kalian yang telah melukai adikku?"
"Bukan kami. Tetapi saudara kami. Bukankah kalian datang
dari Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga?"
"Ya." "Saudara kami telah melukainya karena adik
seperguruanmu itu tidak mau mendengarkannya. Seharusnya
adikmu tidak berkeliaran di tempat ini. Daerah ini tertutup
bagi orang asing, karena daerah ini menjadi daerah perburuan
kami. Meskipun demikian, kami tidak akan mengelakkan
tanggung jawab. Meskipun yang melukai saudaramu itu bukan
kami, tetapi kami akan mempertanggungjawabkannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus," berkata orang yang telah turun dari kudanya.
"Kami ingin orang yang melukai adik seperguruanku itu
menyerahkan diri. Kami akan membawanya ke hutan Tegal
Arang di pinggir Kali Praga."
Kedua orang perempuan itu tertawa. Seorang di antara
mereka berkata, "Kau kira kami gila" Kau kira kami tidak tahu apa yang akan terjadi jika salah seorang di antara kami
berada di lingkunganmu?"
"Bukankah kau katakan bahwa kalian akan bertanggung
jawab?" "Maksudku, kami akan bertanggung jawab jika kalian
menuntut. Seharusnya kalian berterima kasih karena
saudaraku itu tidak membunuh adikmu. Seandainya wajah
adikmu tidak terlalu kotor, mungkin adikmu akan mendapat
kehormatan menjadi penghuni Goa Lampin bersama beberapa
orang laki-laki tampan yang lain."
Orang yang sudah turun dari kudanya itu tersinggung.
Katanya, "Kami adalah laki-laki yang mempunyai harga diri.
Kami sudah tahu apa yang dilakukan oleh perempuan-
perempuan Goa Lampin. Sebenarnya kami lebih senang
menjauhi kalian, bahkan lebih baik bahwa seumur hidup kami
tidak bertemu dengan perempuan Goa Lampin. Namun kali ini
kami ingin membalas sakit hati adikku itu."
"Jangan sesali. Jika adikmu mau mendengar peringatan
kami, maka tidak akan terjadi bencana itu."
"Kalian tidak berhak mengusir adikku dari tempat ini. Apa hakmu menyebut daerah ini sebagai daerah perburuan. Aku
tahu, yang kalian maksud tentu perburuan atas ndaru yang
jatuh di tempat ini, yang mungkin sekali adalah cincin yang
hilang itu, karena sinar ndaru itu memang agak berbeda dari
ndaru yang lain. Ada tiga pancaran sinar yang nampak,
sehingga orang menduga bahwa tiga sinar itu mengisyaratkan
tiga butir mata batu akik."
"Ya. Kami adalah orang yang pertama datang ke tempat
ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Omong kosong. Kau kira daerah ini sama sekali tidak
berpenghuni atau kau kira bahwa tidak ada orang lain yang
sedang melakukan samadi di sekitar tempat ini termasuk
adikku itu?" Tetapi perempuan itu tertawa. Katanya, "Jangan mengigau.
Berterima kasihlah bahwa adikmu hanya menjadi cacat. Tidak
mati. Itu sudah cukup."
Sementara itu seorang lagi dari orang-orang berkuda itu
meloncat turun. Dengan geram orang itu berkata, "Kita tidak perlu terlalu banyak bicara. Kita minta yang melukai saudara
kita itu untuk menyerah. Jika tidak maka mereka berdua akan
kita bawa." Kedua perempuan itu tertawa. Seorang di antara mereka
berkata, "Kalian berempat. Karena itu, jangan hanya
membawa dua orang. Aku masih mempunyai dua orang
kawan lagi, sehingga kita masing-masing berempat."
Laki-laki yang turun kemudian dari kudanya itu
menggeram. Katanya, "Cukup. Panggil semua kawan-kawanmu.
Semakin banyak semakin baik. Kalian akan berguna di
perguruan kami." Salah seorang dari kedua orang perempuan itu meletakkan
jari-jarinya di mulutnya. Kemudian terdengar suitan nyaring.
Getarannya merambat sampai ke telinga dua orang
kawannya yang berada di sebuah kedai yang lain.
Beberapa saat kemudian, maka kedua orang perempuan
dengan ciri-ciri pakaian yang serupa, ikat kepala hitam dengan pertanda merah, telah keluar dari kedai itu dan melangkah
mendekati kedua kawannya yang telah lebih dahulu
berhadapan dengan orang-orang berkuda itu.
Demikian kedua orang perempuan itu mendekat, maka dua
orang penunggang kuda yang lainpun telah meloncat turun
pula. Mereka kemudian mengikat kuda-kuda mereka pada
sebatang pohon waru yang tumbuh di seberang jalan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mereka juga berempat," desis salah seorang dari orangorang berkuda itu.
"Kita hanya membutuhkan orang yang melukai saudara
kita," geram orang yang tertua di antara mereka.
Tetapi perempuan-perempuan itu sama sekali tidak
menjadi gentar. Bahkan seorang di antara mereka yang baru
saja keluar dari kedai itu berkata, "Inikah mereka yang sedang mencari saudara kita?"
"Ya," jawab kawannya.
Perempuan itu meredupkan matanya. Kemudian katanya,
"Urungkan saja niatmu. Jika kalian tidak meninggalkan tempat ini dengan segera, maka kalian pun akan menjadi cacat
seumur hidup atau bahkan mati di sini."
Paksi yang menyaksikan pembicaraan itu menarik nafas
panjang. Ternyata perempuan-perempuan dari Goa Lampin itu
benar-benar perempuan yang garang.
"Berapa orang kekuatan perempuan-perempuan dari
Perguruan Goa Lampin itu?" bertanya Paksi di dalam dirinya.
Laki-laki tertua di antara keempat orang berkuda itu
berkata, "Sebenarnya kami tidak ingin bermusuhan dengan
Perguruan Goa Lampin. Tetapi kamipun tidak dapat
membiarkan saudara kami mengalami nasib buruk tanpa
menuntut balas." Perempuan-perempuan itu tertawa. Suaranya melengking-
lengking tinggi. Tiba-tiba saja tengkuk Paksi terasa meremang. Suara
tertawa perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin
itu terdengar seperti ringkik hantu perempuan yang bangkit
dari balik kubur. Namun kedua belah pihakpun telah bersiap. Mereka mulai
memencar. Seorang akan bertempur melawan seorang.
Sejenak kemudian, maka kedua belah pihak telah mulai
bergeser. Nampaknya kedua belah tidak ingin kehilangan
kesempatan. Karena itu, maka orang-orang yang terlibat
dalam pertempuran itu telah menggenggam senjata mereka
masing-masing. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keempat orang perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu
telah memegang pedang mereka masing-masing. Sementara
itu, dua di antara orang-orang berkuda itu bersenjata golok
yang besar dan panjang, seorang bersenjata kapak dan
seorang lagi bersenjata bindi yang bergerigi seperti buah
blimbing lingir. Perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu
sama sekali tidak bergetar melihat jenis-jenis senjata yang
khusus itu. Seorang perempuan yang bertubuh tinggi tegap
sengaja menghadapi orang yang bersenjata kapak itu sambil
berkata, "Senjatamu bagus, Ki Sanak. Mungkin kau memang
seorang blandong kayu yang setiap hari bergaul dengan
kapak." "Ya," jawab orang yang bersenjata kapak itu, "aku memang seorang blandong kayu. Tetapi aku sanggup untuk membelah
bukan saja balok-balok kayu. Tetapi tubuh orang-orang yang
telah menghina aku atau perguruanku."
Perempuan yang bertubuh tinggi tegap itu tertawa.
Katanya, "Sudahlah, jangan membual. Bersiaplah. Kalian akan mengalami nasib yang sama seperti saudaramu itu. Bahkan
siapapun yang berani mengganggu tugas kami di sini mencari
cincin pusaka yang hilang itu, akan kami singkirkan."
"Tidak seorangpun yang pantas mendapat hak seperti itu.
Jika kau sedang mencarinya, lakukanlah. Tetapi biarlah orang
lain juga melakukan."
"Tidak. Aku peringatkan sekali lagi. Tidak ada orang lain yang dapat melakukannya di sini."
Laki-laki yang lain ternyata tidak sabar lagi. Dengan geram
seorang berkata, "Kita akan menyelesaikan mereka
secepatnya." Perempuan-perempuan itu tertawa. Namun suara tertawa
merekapun segera terputus ketika seorang di antara laki-laki
berkuda itu mulai memutar senjata dan bergeser maju.
Bahkan seorang yang lain telah menjulurkan senjatanya pula
menggapai tubuh perempuan yang sangat menjengkelkannya
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi perempuan-perempuan dari Goa Lampin itupun
dengan cepat mengelak. Bahkan merekapun segera bergeser
saling menjauh. Dengan demikian, maka sejenak kemudian,
pertempuranpun telah terjadi antara orang-orang dari
Perguruan Goa Lampin dan orang-orang yang datang dari Alas
Tegal Arang. Paksi yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang
agak jauh menjadi berdebar-debar. Ternyata orang-orang dari
berbagai perguruan telah terlibat dalam usaha pencarian
cincin yang bermata tiga butir batu akik itu.
"Semakin lama tentu akan menjadi semakin banyak,"
berkata Paksi di dalam hatinya.
Namun Paksi justru yakin, bahwa cincin itu tidak akan jatuh
dari langit. Seandainya cincin itu ada di sekitar tempat itu,
keberadaannya tentu bukan bersamaan dengan jatuhnya
ndaru yang dilihat oleh beberapa orang itu. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa ndaru itu bercahaya dalam tiga warna.
Namun benturan-benturan itu telah benar-benar terjadi.
Orang yang berjongkok di samping Paksi menyaksikan
pertempuran itu dengan tubuh gemetar. Bahkan kemudian
iapun beringsut sambil berkata perlahan, "Aku akan pergi saja.
Aku takut." Paksi tidak dapat menghalanginya jika orang itu memang
takut melihat pertempuran yang menjadi semakin sengit.
Senjatapun mulai beradu. Bunga apipun telah memercik di
setiap benturan senjata yang terjadi.
Namun ternyata masih juga ada beberapa orang yang
bertahan untuk menyaksikan pertempuran itu.
Paksipun kemudian memperhatikan orang-orang yang
bertempur itu dengan saksama. Namun ternyata Paksi yang
mampu menilai ilmu dari orang-orang yang bertempur itu
masih dapat menengadahkan dadanya. Paksi masih meyakini,
bahwa ilmu dan kemampuannya masih jauh lebih tinggi dari
orang-orang Goa Lampin maupun dari Alas Tegal Arang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Paksipun menyadari, bahwa ia tidak boleh
menyombongkan dirinya. Karena betapapun tinggi ilmu
seseorang, tetapi orang itu tentu masih mempunyai
kelemahan. Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit.
Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka
sampai ke puncak. Namun beberapa saat kemudian, maka Paksipun melihat
bahwa orang-orang dari Alas Tegal Arang itu memiliki
kekuatan yang pada dasarnya lebih besar dari orang-orang
Goa Lampin. Karena itu, maka perlahan-lahan orang-orang
Goa Lampinpun mulai terdesak. Meskipun mereka mampu
bergerak cepat, namun ternyata sulit bagi mereka untuk
mengatasi kemampuan orang-orang dari Alas Tegal Arang.
Orang dari Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga yang
bersenjata kapak itupun telah mendesak lawannya pula. Sulit
bagi lawannya untuk menahan ayunan kapak yang besar itu.
Jika perempuan dari Goa Lampin itu mencoba membentur
ayunan kapak lawannya, maka ia harus mengerahkan
tenaganya untuk menahan agar senjatanya tidak terlepas.
Kawan-kawannya yang lainpun harus mengerahkan
segenap kekuatan dan kemampuan mereka untuk menahan
arus serangan lawannya. Paksi yang menyaksikan pertempuran itu mengerutkan
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dahinya. Orang-orang dari Alas Tegal Arang itu semakin
mendesak lawannya. Bahkan tiba-tiba saja seorang di antara
perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu menjerit. Namun
kemudian perempuan itu berteriak marah, "Aku bunuh kau."
Ternyata senjata lawannya mampu menggapai kulitnya,
sehingga segores luka telah menganga di lengannya.
Namun justru karena darah telah mulai menitik dari
lukanya, maka lawannya berusaha untuk semakin
menekannya. Ternyata orang-orang Goa Lampin itu semakin mengalami
kesulitan. Sementara itu, Paksi yang menyaksikan
pertempuran itu dari kejauhan menduga, bahwa dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keadaan yang rumit, perempuan yang pernah dilihatnya
dengan mengenakan baju coklat itu akan datang lagi
menolong murid-muridnya. Tetapi Paksi salah duga. Dalam keadaan yang sulit, salah
seorang perempuan dari Goa Lampin itu telah membunyikan
isyarat. Suitan nyaring telah terdengar lagi dengan irama yang berbeda.
Namun dalam pada itu, seorang lagi dari antara mereka
telah berteriak kesakitan. Namun kemudian mengumpat kasar
meskipun ia seorang perempuan. Ternyata ujung senjata
lawannya telah menyentuh pundaknya.
Tetapi lawannya tidak membiarkannya mengambil jarak.
Ketika perempuan itu meloncat menjauh, lawannya telah
memburunya. Sekali lagi senjatanya terjulur lurus menggapai
lambung. Perempuan itu terdorong surut. Darah mengalir dengan
derasnya dari luka di lambungnya. Sementara itu, lawannya
menjadi semakin garang. Sambil menggeram ia siap untuk
meloncat dengan senjata terayun.
Namun orang itulah yang kemudian berteriak. Sebuah pisau
belati tiba-tiba saja telah menancap di punggungnya.
Orang itu masih sempat berpaling. Dilihatnya seorang
perempuan berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Orang yang di punggungnya tertancap pisau belati itu
masih sempat mengumpat, "Pengecut kau. Kenapa kau serang
aku dari belakang" Apakah kau tidak berani bertempur
berhadapan?" Tetapi perempuan yang melempar pisau belati itu tertawa.
Ia masih menggenggam sebilah pisau lagi di tangan kirinya.
Namun pisau itu tidak dilemparkannya. Laki-laki dari Alas
Tegal Arang yang sudah terluka itu tidak lagi dapat berbicara
lagi. Lawannya, perempuan yang sudah dilukainya, justru
dengan dendam yang membara telah mengayunkan
senjatanya dengan sisa tenaganya menebas lambung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Laki-laki yang sudah terluka itu berteriak. Kemarahan dan
dendam meledak di dadanya. Tetapi ia tidak dapat berbuat
banyak. Tubuhnyapun kemudian terhuyung-huyung sejenak.
Perempuan yang melemparkan pisau belati itu tertawa
semakin keras. Ia menyaksikan orang Alas Tegal Arang itu
jatuh tersungkur dan sama sekali tidak bergerak lagi.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan menyaksikan
pertempuran itu ia dapat mengenali watak perempuan-
perempuan dari Goa Lampin lebih banyak lagi. Ternyata
mereka sangat licik di medan.
Dalam pada itu, beberapa orang perempuan dari Goa
Lampin telah muncul. Ternyata mereka tidak hanya berempat.
Tetapi agaknya mereka ingin menjajagi kemampuan orang-
orang Alas Tegal Arang, sehingga mereka telah turun ke
medan, seorang melawan seorang. Tetapi dalam keadaan
yang terdesak, maka hadirlah cara-cara yang terbiasa mereka
lakukan. Tiga orang dari Alas Tegal Arang harus melihat kenyataan
itu. Karena itu, maka seorang di antaranya telah memberikan
isyarat, sehingga ketiga orang itu berusaha untuk
meninggalkan arena. Mereka tidak dapat mengingkari
kenyataan, bahwa lawan mereka yang menjadi terlalu banyak
itu tidak dapat mereka imbangi lagi.
Sejenak kemudian, maka ketiga orang dari Alas Tegal
Arang itu berusaha untuk melarikan diri dari pertempuran.
Orang-orang dari Goa Lampin itu memang berusaha untuk
mengejar mereka. Tetapi ketiga orang itu berlari demikian
cepatnya meninggalkan arena. Dengan tangkasnya mereka
meloncat ke punggung kuda mereka yang tertambat pada
pohon waru. Namun dengan satu hentakkan, maka tambang
yang memang tidak terlalu kuat itu telah terlepas.
Sejenak kemudian maka tiga orang penunggang kuda itu
memacu kudanya meninggalkan pasar itu. Tetapi seorang
perempuan dari Goa Lampin yang sudah hampir berhasil
memburu seorang di antara ketiga orang itu tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melepaskannya begitu saja. Demikian kuda itu berlari,
perempuan dari Goa Lampin itu telah melemparkan pisaunya.
Pisau itu tidak menancap di punggung orang berkuda itu.
Tetapi pisau itu sempat menggores pundaknya.
Laki-laki di punggung kuda itu mengumpat. Namun ia tidak
berhenti. Dipacunya kudanya semakin cepat.
Sejenak kemudian, pertempuranpun sudah selesai.
Perempuan-perempuan dari Goa Lampin yang jumlahnya
ternyata tujuh orang itu telah berkumpul. Tiga orang di antara mereka terluka. Seorang mengalami luka yang agak parah.
"Kita tidak akan tinggal diam," berkata salah seorang dari mereka. "Guru akan menentukan, apa yang harus kita lakukan kemudian menghadapi orang-orang dari Alas Tegal Arang."
"Marilah kita kembali ke penginapan," desis yang lain.
Beberapa di antara mereka sempat berpaling memandang
tubuh orang Alas Tegal Arang yang terkapar di tanah. Namun
seorang dari mereka berkata, "Jangan hiraukan tubuh itu.
Biarlah orang-orang pasar itu mengurusnya."
Sejenak kemudian, maka perempuan-perempuan itupun
telah meninggalkan pasar itu.
Beberapa saat kemudian, pasar itu benar-benar menjadi
sepi. Beberapa orang yang melihat pertempuran itu dari
kejauhan masih tetap bersembunyi di tempatnya. Belum
seorangpun yang berani keluar dari persembunyiannya.
Paksipun masih berada di belakang pohon. Sebenarnya
Paksi ingin segera mendekati bekas arena pertempuran itu.
Tetapi ia tidak ingin menarik perhatian banyak orang.
Baru kemudian, ketika sudah ada satu dua orang yang
keluar dari persembunyian mereka, Paksipun telah keluar pula
dan melangkah mendekat. Beberapa orang mengerumuni tubuh yang terbujur diam.
Darah mengalir membasah tanah di seputarnya.
Ketika seorang akan menyentuhnya, seorang yang lain
berkata, "Nanti kawan-kawannya menyangka, kita yang
melakukannya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu tidak," jawab yang lain. "Kawan-kawannya mengetahui dengan pasti, siapakah yang telah membunuhnya.
Kita akan menguburkannya meskipun kita tidak mengenal
orang ini sebelumnya."
"Ya," sahut yang lain lagi. "Kita tidak dapat membiarkannya terbujur di situ."
Beberapa orangpun kemudian telah menghubungi orang-
orang yang tinggal di sekitar pasar itu. Merekapun kemudian
sepakat membawa tubuh itu akan dikubur di sebuah kuburan
yang terletak di ujung padukuhan.
"Kita akan menyelenggarakan dengan sewajarnya," berkata seorang bebahu padukuhan itu.
Namun dalam pada itu, paksi sendiri diam-diam sibuk
mencari sesuatu yang dapat memberikan arti padanya. Ketika
ia menemukan sebuah pisau belati yang menggores salah
seorang dari orang-orang berkuda itu, maka dengan diam-
diam pisau itu disembunyikannya di bawah bajunya.
Beberapa saat kemudian, maka tubuh salah seorang korban
dari pertempuran itupun telah diusung dibawa ke banjar
sebelum dikuburkan secara wajar.
Ketika Paksi kemudian beringsut meninggalkan pasar itu,
maka ia masih melihat dua orang yang dikenalnya dari
Perguruan Sad. Mereka mengenakan ciri-ciri mereka
sebagaimana pernah dilihat oleh Paksi sebelumnya.
Tetapi kedua orang itu tidak berbuat sesuatu. Bahkan
ketika keduanya lewat di sebelah Paksi yang berdiri termangu-
mangu, Paksi mendengar salah seorang dari mereka berdesis,
"Perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu
memang keterlaluan. Mereka merasa terlalu kuat, sehingga
mereka berbuat sesuka hati mereka tanpa menghormati
perguruan-perguruan yang lain."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya orang-orang
dari Perguruan Sad juga menganggap orang-orang dari
Perguruan Goa Lampin itu berbuat tanpa menghiraukan dan
apalagi menghormati kehadiran perguruan yang lain. Bahkan
sejak semula sudah menunjukkan sikap bermusuhan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Paksi tidak menunggui perkembangan keadaan di
pasar itu lebih jauh. Menurut pendapatnya tidak ada lagi yang
penting yang bakal terjadi. Sehingga karena itu, maka Paksi
itupun segera meninggalkan pasar itu dan kembali ke gubuk
kecilnya. Di gubuknya Paksi sempat merenungi pisau belati yang
dibawanya itu. Pada daun pisau itu masih nampak membekas
darah yang sudah mengering.
Ternyata pada senjata orang-orang dari Goa Lampinpun
tidak terdapat ciri-ciri perguruan itu. Tidak ada lingkaran yang dibelah dengan garis tegak berwarna merah.
Tetapi Paksi memakluminya. Jika sesuatu terjadi sehingga
senjata itu diketemukan oleh orang lain, maka mereka tidak
segera menghubungkannya dengan Perguruan Goa Lampin.
"Tetapi mereka berbangga dengan ciri-ciri perguruan
mereka," berkata Paksi di dalam hatinya. "Sehingga karena itu, maka ciri-ciri perguruan mereka itu selalu melekat pada
setiap orang dari Perguruan Goa Lampin itu."
Selagi Paksi merenungi senjata itu, maka sebuah
pertanyaan telah terbersit di dalam hatinya, "Untuk apa
sebenarnya orang-orang Goa Lampin itu mencari cincin
bermata tiga butir batu akik itu" Apakah salah seorang di
antara mereka akan memakainya dan berharap untuk dapat
menurunkan penguasa di atas bumi ini?"
Namun Paksipun kemudian berdesis, "Semakin banyak
orang yang mencarinya, maka harganyapun tentu menjadi
semakin mahal. Mungkin seseorang, sekelompok orang atau
sebuah perguruan mencari cincin itu untuk dapat dijualnya
dengan harga mahal. Atau seseorang telah mengupah mereka
untuk mendapatkan cincin itu."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya adalah salah
seorang yang ingin mendapatkan cincin itu. Bahkan ayahnya
juga telah memerintahkan beberapa orang mencarinya selain
Paksi itu sendiri. Tetapi apa yang dapat dilakukan Paksi setahun yang lalu.
Sementara orang-orang berilmu tinggi, bahkan sekelompok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang dan perguruan-perguruan menurunkan orang-orangnya
untuk melakukannya pula. Seandainya Paksi tidak bertemu dengan Ki Marta Brewok,
maka Paksi tidak akan lebih beruntung dari seekor serangga
yang menyurukkan diri ke dalam api.
"Kenapa ayah telah memerintahkan aku untuk
mencarinya?" bertanya Paksi di dalam hatinya sebagaimana
pertanyaan yang sudah muncul setahun yang lalu di
kepalanya. Bahkan ibunyapun pernah berkata, mungkin di luar
sadarnya, bahwa ayahnya sengaja mengusirnya dari rumah.
"Kenapa ayah berbuat seperti itu?"
Tetapi Paksi mencoba menenteramkan hatinya sendiri,
"Mungkin waktu itu ayah benar-benar kebingungan. Ayah
ingin segera mendapatkan cincin itu mendahului yang lain."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Diselipkannya pisau itu
di dinding gubuk kecilnya. Kemudian Paksipun melangkah
keluar untuk melihat tanaman jagungnya.
Hari itu Paksi lebih banyak merenungi ciri-ciri dari beberapa
perguruan yang telah dikenalnya. Bukan saja ciri-ciri ujudnya.
Tetapi juga ciri-ciri sifat dan wataknya. Paksi juga mencoba
untuk mengenali unsur-unsur gerak yang khusus nampak
pada setiap perguruan itu. Perguruan Goa Lampin, Perguruan
Sad dan perguruan di Alas Tegal Arang.
Namun yang pernah dikenalnya hanyalah murid-murid dari
perguruan itu. Ia belum pernah melihat kemampuan para
pemimpin dari perguruan perguruan itu. Apalagi pemimpin
tertinggi mereka. Jika perempuan berbaju lurik coklat itu
adalah pemimpin tertinggi dari perguruan Goa Lampin, maka
ia baru melihat orangnya. Belum kemampuannya.
Namun dengan demikian, maka Paksipun telah terdorong
untuk lebih mematangkan ilmunya. Ia harus meyakinkan
dirinya, bahwa ia pantas untuk turun ke gelanggang
perburuan cincin bermata tiga butir batu akik itu.
Ketika malam turun, Paksi duduk di atas sebuah batu yang
besar memandang ke arah yang jauh. Langit bersih dan
bintang-bintangpun menghambur sampai ke ujung cakrawala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di sejuknya semilirnya angin, maka Paksi telah mengambil
satu keputusan untuk menempuh satu perjalanan pendek di
kaki Gunung Merapi itu. Ia dapat menempuh perjalanan dua
atau tiga hari untuk melihat-lihat keadaan yang lebih luas dari sekedar menyusuri jalan singkat dari gubuknya ke pasar dan
sebaliknya. Namun Paksipun menyadari, bahwa di sekitar tempat itu
sudah bertebaran orang-orang yang sedang mencari cincin
bermata tiga butir batu akik. Mereka merasa dituntun oleh
cahaya ndaru yang turun dari langit di sekitar tempat itu.
Malam itu paksi telah mempersiapkan dirinya. Ia sudah
membenahi gubuk kecilnya yang akan ditinggalkannya untuk
beberapa hari. Paksi sudah mencuci alat-alat dapurnya dan
menumpuknya di sudut. Selebihnya, rumah itu tidak berisi
apa-apa lagi. Malam itu Paksi tidak membuat perapian. Ia tidak
menyiapkan makannya buat esok, karena esok ia tidak akan
berada di gubuknya. Ketika malam beredar sampai menjelang fajar, maka
Paksipun telah bangun. Berbenah diri dan bersiap untuk
menempuh perjalanan untuk dua atau tiga hari.
Ketika Paksi sudah siap untuk berangkat, maka rasa-
rasanya sesuatu telah bergayut di hatinya. Ia sudah lama
tinggal di gubuk itu. Ketika ia akan meninggalkannya,
meskipun hanya untuk dua tiga hari, hatinya menjadi berat.
Gubuk itu tentu akan menjadi kesepian. Tidak akan terdengar
derit pintu. Tidak ada asap mengepul di malam hari. Tidak
akan ada lampu dlupak kecil menyala di dalamnya.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
kakinya telah melangkah meninggalkan gubuknya itu.
Tangannya menjinjing tongkat yang diberikan oleh pengemis
tua itu kepadanya. Paksi menyentuh kampil berisi bekal uang yang dibawanya
dari rumahnya. Masih cukup banyak. Selama tinggal di
gubuknya, Paksi seakan-akan telah mencukupi kebutuhannya.
Hanya bahan-bahan pokoknya sajalah yang dibelinya di pasar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika jagung, ketika pohon dan tanaman-tanamannya mulai
berbuah, maka Paksi dapat lebih banyak menghemat. Apalagi
Paksi dapat berburu binatang di hutan atau mencari ikan di
kedung atau dengan kemampuan bidiknya mencari burung-
burung liar yang berterbangan di antara pepohonan.
Agar kampil itu tidak banyak dilihat orang, maka Paksi telah
mengikat kampil di bawah bajunya. Ia hanya menyiapkan
uang secukupnya di kantong ikat pinggangnya.
Pagi-pagi sekali Paksi sudah berada di pasar. Penjual nasi
tumpang yang juga sudah berada di pasar itupun bertanya,
"Kau datang lebih awal dari kebiasaanmu, anak muda?"
Paksi tertawa. Dengan berbisik ia berkata, "Aku lapar sekali semalam. Karena itu, pagi-pagi aku sudah berangkat ke
pasar." Penjual nasi tumpang itu tertawa. Katanya, "Jadi kau akan membeli nasi tumpang sekarang?"
Paksi mengangguk sambil tersenyum.
Sambil duduk di sebelah penjual nasi tumpang itu Paksi
makan sepincuk nasi tumpang yang masih hangat. Namun
Paksi sempat juga bertanya, "Apakah Kinong belum nampak?"
"Belum," jawab penjual nasi tumpang itu. "Sebentar lagi."
Paksi mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ketika ia
sudah selesai dan membayar harga nasi yang dimakannya,
Paksi berkata, "Biarlah aku titip kembalinya. Jika Kinong datang, berikan saja kepadanya."
"Semuanya?" bertanya penjual nasi itu.
"Tidak sekaligus. Mungkin untuk dua atau tiga hari."
Penjual nasi itu mengerutkan dahinya. Sementara Paksipun
bangkit sambil berkata, "Sudahlah. Aku sudah kenyang."
"Kau akan pergi ke mana?"
"Aku akan pergi ke rumah paman."
"O, jadi bukan sekedar kelaparan?"
Paksi tertawa. Katanya, "Aku akan berada di rumah paman
dua atau tiga hari."
Paksipun kemudian meninggalkan penjual nasi tumpang
itu. Ketika di depan regol pasar ia berpapasan dengan penjual
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dawet yang baru datang, maka penjual dawet itupun
menyapanya, "He, masih sepagi ini kau sudah berada di sini.
Bukankah biasanya kau datang setelah matahari
sepenggalah?" Paksi tersenyum. Katanya, "Aku hanya singgah. Aku akan
pergi ke rumah paman."
"Kau tidak minum dawet?"
"Masih terlalu pagi," jawab Paksi sambil tertawa.
Beberapa orang yang sudah dikenalnya di pasar itu telah
menyapanya pula. Dan Paksipun menjawab sebagaimana
dikatakan sebelumnya, "Aku pergi ke rumah paman."
Demikianlah, Paksi sudah mulai menempuh sebuah
perjalanan untuk melihat keadaan di sekitar tempat
tinggalnya. Sebelum ia benar-benar melanjutkan usahanya
untuk mencari cincin yang hilang dalam sebuah
pengembaraan yang panjang dan keras.
Paksi memilih jalan ke arah selatan, melingkari kaki Gunung
Merapi. Paksi tidak saja berjalan melalui jalan yang sudah
banyak dilalui orang. Tetapi sesekali Paksi berjalan menyusuri jalan di pinggir hutan, menuruni lembah dan melintasi padang
perdu yang berbatu-batu padas.
Lewat tengah hari Paksi memasuki sebuah padukuhan yang
tidak terlalu besar. Padukuhan yang agak terpencil di kaki
gunung. Ketika Paksi lewat di jalan induk padukuhan itu, maka
orang-orang yang kebetulan berpapasan atau sedang berada
di halaman, memandanginya seperti memandang sesuatu
yang sangat asing bagi mereka.
Tetapi Paksi berjalan saja terus. Agaknya jarang sekali
padukuhan itu dilewati oleh orang lain, sehingga jika
seseorang yang tidak mereka kenal lewat, maka orang itu
akan sangat menarik perhatian.
Dari padukuhan yang terpencil itu Paksi berjalan terus.
Jalan masih saja terasa menurun. Namun hamparan-
hamparan sawah menjadi semakin luas. Meskipun demikian, di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
wajah cakrawala masih nampak hijaunya hutan yang
menyelimuti kaki Gunung Merapi.
Ketika matahari mulai turun, Paksi melewati sebuah
padukuhan yang agak besar. Di ujung padukuhan terdapat
sebuah pasar sudah sepi. Pasar itu memang tidak terlalu besar
yang agaknya hanya menjadi ramai di setiap hari pasaran.
Di sekitar pasar itu tidak terdapat sebuah kedaipun.
Sedangkan pagarnya yang terbuat dari bambu sudah rusak di
sana-sini. Paksi berhenti di dekat regol pasar. Agaknya memang
sudah tidak ada orang lagi di pasar itu kecuali satu dua orang yang agaknya bertugas membersihkan sampah yang
tertinggal. Namun Paksi masih melihat sebuah pedati berhenti di depan pasar
itu. Dua orang masih sibuk memuat kelapa ke atas pedati.
Nampaknya mereka adalah pedagang kelapa yang membeli
kelapa di pasar itu dan membawanya ke pasar yang lain atau
kepada orang-orang yang membuat minyak kelapa.
Tetapi selain mereka, ternyata Paksi masih melihat seorang
perempuan yang duduk di atas sebuah batu tidak jauh dari
pedati itu. Seorang perempuan yang menundukkan kepalanya
sambil sekali-sekali mengusap matanya.
Perempuan itu ternyata telah menarik perhatian Paksi.
Karena itu, seakan-akan di luar sadarnya, Paksi telah
melangkah mendekati perempuan itu.
Perempuan yang sudah separo baya itu menengadahkan
wajahnya. Ketika ia melihat Paksi, tiba-tiba saja wajahnya
memancarkan harapan. Dengan serta-merta perempuan itu
bangkit mendekati Paksi sambil berkata, "Anak muda. Kau
tentu memerlukan selembar kain lurik. Aku menjual sehelai
kain lurik. Bukan kain yang baru. Tetapi jenisnya termasuk
kain yang baik." Paksi mengerutkan dahinya. Sebelum ia menjawab,
perempuan itu berkata pula dengan nada meminta, "Tolong
aku, anak muda. Pedagang kelapa itu tidak mau membelinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang-orang yang lain juga tidak mau. Sedangkan aku sangat
membutuhkan uang." Paksi tidak dapat menolak ketika perempuan itu
menyorongkan sehelai kain lurik kepadanya.
"Belilah, Ngger."
Paksi masih berdiri termangu-mangu. Sementara itu wajah
perempuan yang semula memancarkan harapan itupun
kembali menjadi suram. "Bagaimana, Ngger?" bertanya perempuan itu.
Sementara itu, kedua orang yang menaikkan kelapa ke
dalam pedatinya itupun sudah selesai. Terdengar cambuk
meledak. Dan pedati itupun mulai bergerak.
"Kenapa Bibi menjual kain ini?" bertanya Paksi.
"Kami memerlukan uang, Ngger."
"Untuk apa?" bertanya Paksi.
Perempuan itu mengerutkan dahinya. Kemudian dengan
nada berat iapun menjawab, "Bukankah kami memerlukan
makan." "Selama ini, apakah yang Bibi makan bersama keluarga"
Hasil sawah atau apa?"
Perempuan itu memandang Paksi dengan mata yang mulai
berkaca-kaca. Paksi menjadi heran melihat sikap perempuan itu. Tetapi
dengan demikian, maka ia menjadi semakin tertarik. Karena
itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Duduklah, Bibi.
Mungkin kita akan berbincang agak panjang."
Perempuan itupun kemudian duduk kembali di atas batu,
sementara Paksipun duduk pula di sebelahnya.
"Keadaan Bibi menimbulkan beberapa pertanyaan di
hatiku." Perempuan itu menunduk dalam-dalam. Namun kemudian
iapun mulai terisak. "Apa yang terjadi, Bibi?" bertanya Paksi.
Perempuan itu mencoba untuk menahan perasaannya.
Sambil mengusap matanya ia berkata, "Kami telah terjerumus ke dalam kesulitan yang besar, Ngger."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maksud Bibi?" bertanya Paksi.
Perempuan itu memandang berkeliling, seakan-akan takut
ada orang lain yang melihatnya. Sikap perempuan itu tidak
luput dari pengamatan Paksi pula.
"Ngger," berkata perempuan itu, "aku belum mengenal Angger sebelumnya. Tetapi entahlah, tiba-tiba saja timbul
kepercayaanku kepadamu."
Paksi menarik nafas panjang. Sambil mengusap matanya
perempuan itu berkata, "Kami telah tersesat, Ngger.
Sebenarnya kami akan pergi ke Kembang Arum. Tetapi kami
tidak tahu, di mana kami sekarang berada."
"O, jadi Bibi telah tersesat. Siapa sajakah yang Bibi maksud dengan kami" Bibi dan siapa lagi?"
"Aku dan kemenakanku, Ngger. Seorang gadis. Setelah
ayah dan ibunya hilang beberapa saat yang lalu, maka anak
itu berniat mencari pamannya, kakak kandung ayahnya yang
tinggal di Kembang Arum. Tetapi sampai di sini kami tidak
tahu, ke mana kami harus pergi."
Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya dengan suara
lembut, "Bibi. Jika hanya karena itu, maka Bibi tidak
terjerumus ke dalam kesulitan yang besar. Aku akan bersedia
mengantar Bibi mencari padukuhan yang bernama Kembang
Arum." "Menurut keterangan, Kembang Arum terletak di sisi
selatan kaki Gunung Merapi, Ngger."
"Jika demikian, kita sudah tidak terlalu jauh lagi dari
tujuan." "Tetapi persoalannya tidak hanya sampai di situ, Ngger."
"Maksud Bibi?" "Ketika kami berdua kebingungan dan kehilangan jalan,
kami telah bertanya kepada seorang laki-laki yang kebetulan
lewat. Laki-laki itu dengan manis menjawab pertanyaan-
pertanyaan kami. Namun menurut laki-laki itu, Kembang Arum
masih sangat jauh. Karena itu, dengan ramah laki-laki itu
mempersilahkan kami singgah dan beristirahat di rumahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Laki-laki itu bahkan bersedia untuk mengantar kami di
keesokan harinya ke Kembang Arum."
"Ada soal apa lagi yang timbul, Bibi?"
"Ternyata laki-laki itu bukan seorang yang berhati manis
sebagaimana wajahnya. Ia telah menahan kami di rumahnya.
Bahkan orang itu memaksa kemenakanku untuk bersedia
menjadi isterinya meskipun kemenakanku itu masih terlalu
muda untuk menikah."
"Bukankah kemenakan Bibi itu dapat menolak?"
"Ya. Kemenakanku memang menolak. Tetapi ia sudah
berada di tangan laki-laki yang ternyata adalah laki-laki yang garang. Bahkan isterinya juga seorang perempuan yang keras
dan kasar. Isterinya juga ikut memaksa agar kemenakanku itu
bersedia menjadi isteri suaminya yang garang itu."
"Bagaimana hal itu dapat terjadi?" bertanya paksi.
"Kemenakanku tetap menolaknya. Tetapi laki-laki itu
bersama isterinya tetap berkeras. Mereka memberi waktu
sebulan. Sementara itu selama kami berada di rumahnya,
kami harus menyediakan makan dan minum kami sendiri.
Karena itu, maka aku harus menjual apa saja yang ada pada
kami." "Kenapa kalian tidak pergi saja?" bertanya Paksi.
"Kami tidak dapat meninggalkan rumah itu, Ngger. Kami
disekap di dalam rumah itu dengan berbagai macam ancaman.
Mereka berharap jika kami sudah tidak dapat makan dan
minum, maka agar kami tidak menjadi kelaparan,
kemenakanku itu akan bersedia menjadi isteri laki-laki yang
garang itu. Bahkan mungkin menurut sifat dan wataknya, jika
ia tidak lagi dapat menahan nafsunya, sesuatu yang sangat
buruk akan dapat terjadi dengan kemenakanku itu."
"Bibi pernah minta bantuan kepada seseorang?" bertanya Paksi.
"Tidak seorangpun berani menolong kami. Bahkan seorang
yang kami harap bersedia menolong kami telah
memberitahukan kepada orang itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah laki-laki yang telah menyekap kemenakan Bibi di rumahnya itu?"
"Ternyata ia seorang pemimpin sebuah gerombolan
penjahat. Namanya Bahu Langlang. Seorang yang sangat
ditakuti. Kami memang sudah tidak mempunyai harapan untuk
terlepas dari tangannya," suara perempuan itu bergetar.
Matanya menjadi semakin basah. Bahkan isaknya mengeras.
Katanya pula, "Aku bertanggung jawab atas keselamatan
gadis itu. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa."
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tiba-tiba
saja ia bangkit dan mendekati salah seorang yang sedang
membersihkan pasar itu sambil bertanya, "Apakah Ki Sanak
tahu, dimanakah letak Padukuhan Kembang Arum itu?"
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
menjawab, "Ambil jalan ke selatan ini, anak muda. Kau akan sampai pada sebuah gumuk kecil. Kemudian kau berbelok ke
kanan. Jika kau berani menempuh jalan pinggir hutan, maka
Kembang Arum tidak lagi terlalu jauh. Tetapi jika mengambil
jalan melingkar, maka sekitar tengah malam kau baru akan
sampai." "Jadi, Kembang Arum sudah tidak terlalu jauh, Ki Sanak?"
bertanya Paksi lagi. "Tidak terlalu jauh. Tadi, pedagang kelapa yang membawa
pedati itu adalah orang Kembang Arum."
Perempuan separo baya yang mendengar keterangan
itupun tiba-tiba bangkit pula. Namun ia menjadi lemas
kembali. Bagaimanapun juga, kemenakannya telah terkurung
dan tidak dapat meninggalkan rumah Bahu Langlang.
-ooo00dw00ooo- Jilid 06 PAKSIPUN kemudian kembali duduk di sebelah perempuan
yang sedang menahan tangisnya itu. Terdengar perempuan
itu berdesis, "Apa yang dapat aku lakukan" Jika Angger
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersedia membeli kain lurik itu, maka sehari dua hari akan
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat makan. Tetapi sesudah itu, apalagi yang harus kami
jual" Jika saat kelaparan itu datang, maka kemenakanku
akhirnya akan pasrah. Tetapi apakah anak itu harus menjadi
salah seorang dari isteri-isteri Bahu Langlang?"
Selain menjadi isteri Bahu Langlang, maka kemenakannya
itu akan menjadi budak isteri utamanya yang garang dan
sekasar Bahu Langlang sendiri. Ia akan melayaninya seperti
seorang hamba. Mencuci pakaiannya, menyediakan makan
dan minumnya, memijitnya jika perempuan itu merasa letih.
Bayangan-bayangan yang buruk itu telah menghantuinya.
Apalagi perempuan itu telah melihat sendiri apa yang harus
dilakukan oleh salah seorang isteri Bahu Langlang yang juga
tinggal di rumah itu. Ia bukan saja harus bekerja keras, tetapi ia juga sering disakiti oleh isteri utama Bahu Langlang itu.
Sedangkan Bahu Langlang sendiri tidak memperdulikannya
apa yang terjadi atas perempuan malang itu. Baginya, asal
perempuan itu tidak lari dari rumahnya, itu sudah cukup.
"Kemenakanku itu akan mengalami nasib seperti itu pula
nantinya," desis perempuan itu. Seperti air yang mengalir, perempuan itu menumpahkan perasaannya kepada Paksi.
Meskipun Paksi masih muda, tetapi seakan-akan mampu
menampung kegalauan hatinya itu.
Paksi memang mendengarkannya dengan sungguh-
sungguh. Perasaannya tergelitik untuk berbuat sesuatu. Ia
tidak dapat membiarkan gadis itu mendapat malapetaka dan
mengalami penderitaan hidup yang sangat panjang.
Namun Paksi sadar, untuk mengeluarkan gadis itu dari
rumah Bahu Langlang memang harus ditempuh dengan jalan
kekerasan. "Apa boleh buat," berkata Paksi di dalam hatinya. Bahkan kemudian iapun teringat kepada kata-kata orang yang datang
kepadanya untuk mencari benda di langit yang sekiranya jatuh
di sekitar gubuknya, bahwa harus ada hubungan antara ilmu
dan amal. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata kepada
perempuan itu, "Bibi, aku ingin ikut bersama Bibi menemui orang yang bernama Bahu Langlang itu."
Perempuan itu terkejut. Dengan gagap iapun bertanya,
"Untuk apa kau temui Bahu Langlang?"
"Kemenakan Bibi itu harus dibebaskan dari tangan laki-laki itu."
"Bagaimana kau akan membebaskannya?" bertanya
perempuan itu. Dari wajahnya membayang keraguan dan
bahkan ketidakyakinannya atas pendengarannya.
"Bibi," berkata Paksi kemudian, "aku akan berusaha. Aku tidak tahu apakah usahaku akan berhasil atau tidak."
"Apa yang akan kau lakukan, Ngger?" perempuan itu masih bertanya pula.
"Aku akan menemui Bahu Langlang. Aku akan minta agar
kemenakan Bibi itu diijinkan untuk pergi jika gadis itu tidak
mau dijadikan isterinya."
"Tidak akan ada artinya, Ngger. Bahkan mungkin kau akan
membuatnya menjadi marah, sehingga ia akan dapat berbuat
sesuatu yang dapat mencelakaimu."
"Tetapi harus dilakukan sesuatu, Bibi," jawab Paksi. "Tanpa berbuat sesuatu, tidak akan ada perubahan yang terjadi."
"Tetapi aku tidak bermaksud menyeretmu ke dalam
kesulitan, Ngger. Jika segala sesuatunya aku katakan
kepadamu, semata-mata sekedar untuk mengurangi beban
yang menyesak di hatiku."
"Aku mengerti, Bibi. Tetapi perasaanku sendirilah yang
telah mendorongku untuk melakukannya."
Tetapi perempuan itu menggeleng. Katanya, "Jika terjadi
sesuatu atasmu, maka beban di hatiku akan semakin
bertambah. Sementara itu, gadis itu masih akan tetap berada
di tangan Bahu Langlang yang garang itu."
"Kita akan memohon kepada Yang Maha Agung sambil
berusaha, Bibi. Semoga usaha ini akan ada artinya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi perempuan itu menyahut, "Kau masih sangat muda,
Ngger. Hari-harimu masih panjang. Jangan karena keluhanku,
masa depanmu itu akan kau patahkan."
Paksi tersenyum. Katanya, "Satu keyakinan terpahat di
hatiku, bahwa permohonan kita untuk melakukan niat yang
baik akan didengar-Nya."
"Tetapi menurut perhitungan naluriahnya, maka sulit bagi
kita untuk melepaskan diri dari tangan Bahu Langlang. Apalagi
orang itu tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
Selama beberapa hari aku di rumahnya, aku sudah melihat
Bahu Langlang membunuh dua orangnya sendiri yang
dianggapnya berkhianat."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia
bertanya, "Apakah setiap hari di rumah itu terdapat para
pengikutnya?" "Tidak, Ngger. Bahkan jarang-jarang pengikutnya itu
datang. Jika mereka datang tentu sesuatu yang penting.
Bahkan kematian." Tiba-tiba Paksi itupun berkata, "Bibi, antarkan aku
menemui Bahu Langlang."
Perempuan itu menjadi tegang. Katanya, "Jangan, Ngger.
Aku keberatan. Kau masih terlalu muda untuk mengalami
perlakuan bengis Bahu Langlang. Tidak bermaksud
mendahului kehendak Yang Maha Agung, kau masih terlalu
muda untuk mati." Tetapi Paksi seakan-akan tidak mendengarnya. Katanya,
"Mari, Bibi. Supaya aku tidak usah mencari rumah itu sendiri.
Katakan, bahwa Bibi telah bertemu dengan anak Bibi yang
akan mengantarkan Bibi ke padukuhan Kembang Arum."
"Jangan bebani aku dengan penyesalan yang lebih dalam,
Ngger. Jika kau mau membeli kain lurikku itu, aku sudah akan
mengucapkan seribu kali terima kasih. Setidak-tidaknya kau
akan menyelamatkan anakku untuk tiga hari."
Tetapi Paksi yang telah berdiri itu berkata, "Jika Bibi tidak mau menunjukkan rumah Bahu Langlang, aku akan pergi
sendiri. Tentu tidak sulit untuk mencari rumah itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perempuan itu tidak berdaya untuk menolak keinginan
Paksi untuk menemui Bahu Langlang. Penyesalan telah
menggores jantungnya. Seakan-akan dirinyalah yang telah
menjerumuskan Paksi ke dalam neraka, justru karena
perempuan itu sudah beberapa hari tinggal di rumah Bahu
Langlang. Tanpa dapat mengelak lagi, maka perempuan itu telah
berjalan bersama Paksi menuju ke rumah Bahu Langlang.
Sambil berjalan Paksi bertanya, "Bibi, siapakah nama Bibi selengkapnya?"
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara
yang hampir tidak terdengar ia menjawab, "Orang
memanggilku Nyi Permati, Ngger."
"Nama kemenakan Bibi?"
"Namanya Kemuning, Ngger."
"Kemuning," Paksi mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, "Bukankah kemuning itu nama sejenis bunga?"
"Ya, Ngger." Hampir di luar sadarnya Paksipun berdesis, "Bibi, di
halaman rumahku juga terdapat sebatang pohon kemuning.
Jika pohon kemuning itu berbunga, maka aku sering
memandanginya berlama-lama. Warna kuning yang anggun,
bau semerbak, terasa menyentuh hati."
"Tetapi kemuningku berwarna kusam. Baunya sama sekali
tidak harum, apalagi semerbak."
Paksipun tersenyum. Tetapi iapun kemudian terdiam. Ia
mulai membayangkan orang yang bernama Bahu Langlang itu.
Jika kesan yang pertama dapat menimbulkan kepercayaan Nyi
Permati dan Kemuning, maka ujud itu tentu tidak
menyeramkan sebagaimana namanya. Jika kemudian orang
itu menjadi menyeramkan, tentu setelah Nyi Permati
mengenali sifat, watak serta pamrihnya yang buruk.
Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berbelok
mengikuti jalan yang lebih kecil. Dengan suara yang bergetar
penuh dengan ketegangan jiwa, Nyi Permati berkata, "Rumah Bahu Langlang ada di ujung jalan ini, Ngger. Tetapi sekali lagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
aku mohon, urungkan niatmu. Aku mengucapkan beribu
terima kasih atas kesediaanmu menolong kami. Tetapi aku
mohon, jangan kau lakukan."
Paksi tersenyum. Katanya, "Aku sudah sampai di sini, Bibi."
Nyi Permati memandang Paksi itu sekilas. Anak muda itu
bertubuh tegap. Wajahnya yang tampan dan bersih, rasa-
rasanya mencerminkan kepribadiannya, meskipun ia baru saja
terkecoh oleh ujud dan sikap manis Bahu Langlang. Namun
Nyi Permati melihat perbedaan pada keduanya.
Sebenarnyalah bahwa bukan saja jiwa Paksi menjadi
matang setelah ia menempa diri. Tetapi ujud Paksi berubah.
Tubuhnya tidak lagi tinggi, pipih dan kekurus-kurusan. Tetapi
tubuh Paksi berkembang dengan baik. Paksi menjadi anak
muda yang tampan, tegap, dan kekar.
Nyi Permati menjadi semakin tegang ketika kakinya
melangkah semakin dekat dengan pintu regol halaman rumah
Bahu Langlang. "Itulah rumahnya," suara Nyi Permati menjadi gemetar.
Paksi mengangguk-angguk. Rumah itu terhitung rumah
yang besar dan berhalaman luas.
Beberapa langkah dari pintu, Nyi Permati masih berkata,
"Tolong Ngger, jangan masuk halaman rumah itu."
Tetapi Paksi seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan
iapun berkata, "Katakan, bahwa Bibi telah bertemu dengan
aku, anak Bibi. Jika Kemuning ternyata tidak mengenal aku,
katakan bahwa aku sejak kecil ikut dengan paman di Kembang
Arum." Nyi Permati memang tidak ingin berbuat apa-apa lagi.
Justru Paksilah yang lebih dahulu melangkah memasuki
halaman rumah itu. Namun langkah Paksi tertegun. Demikian ia memasuki
halaman rumah itu, maka ia melihat peristiwa yang membakar
jantungnya. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap sedang
mencambuk perempuan yang tidak berdaya. Perempuan itu
menggeliat dan berguling-guling kesakitan. Meskipun ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berteriak dan minta ampun, tetapi laki-laki itu masih saja
mencambuknya. "Siapakah perempuan itu, Bibi?"
Nyi Permati sudah menjadi gemetar. Tetapi ia menjawab,
"Salah seorang isterinya."
Perempuan yang terguling kesakitan itu memang masih
muda. Agaknya ia terhitung perempuan cantik jika rambutnya
tidak terurai. Berkas-berkas darah di bibir dan baju yang
sudah terkoyak. "Kenapa perempuan itu dicambuk, Bibi?" bertanya Paksi.
"Entahlah, Ngger. Tetapi kekasaran seperti itu sering
dilakukan oleh Bahu Langlang. Sudah aku katakan, bahwa
selama beberapa hari aku di rumahnya, sudah dua orang
pengikutnya yang dibunuhnya. Pembunuhan itu sendiri sama
sekali tidak berkesan apapun pada Bahu Langlang. Seakan-
akan tidak ada sesuatu yang pernah terjadi."
"Perbuatan itu harus dihentikan," desis Paksi.
"Tetapi bukan kau, Ngger. Biarlah orang lain yang
melakukan," suara Nyi Permati bergetar.
Namun segala sesuatunya sudah terlambat. Orang yang
mencambuk perempuan yang tidak berdaya itu melihat Nyi
Permati datang bersama seorang anak muda.
Tiba-tiba wajah laki-laki itu berubah. Wajahnya yang
nampak bengis itu larut dalam senyumnya yang menghiasi
bibirnya. "Marilah, Bibi. Nampaknya Bibi baru saja datang dari
berpergian. Kemana saja Bibi pergi?"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa melihat
bagaimana ia mencambuk seorang perempuan yang tidak
berdaya, maka Paksi tentu menyangka bahwa laki-laki itu
adalah laki-laki yang ramah. Wajahnya pun tidak nampak
segarang orang-orang yang dianggap sebagai orang-orang
jahat. "Marilah, Bibi," orang itu mempersilahkan tanpa
menghiraukan perempuan yang masih saja merintih kesakitan
sambil merangkak menggapai tangga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyi Permati tidak menjawab. Sementara laki-laki itu
berkata, "Apakah Kemuning ikut dengan Bibi?"
"Tidak, Ngger," jawab Nyi Permati dengan suara gemetar.
"O, jadi di mana anak itu?" Bahu Langlang itu justru bertanya.
Seorang perempuan lain yang kemudian berdiri di tangga
menyahut, "Anak itu ada di dapur. Aku mengajarinya masak.
Nampaknya anak itu akan menjadi juru masak yang pandai."
"O, aku kira ia ikut bersama Bibi. Sejak pagi aku belum
melihatnya." Namun Bahu Langlang itupun kemudian memandang Paksi
dengan tajamnya. Namun laki-laki itu tersenyum pula sambil
bertanya, "Siapakah anak ini, Bibi?"
Paksi menjadi berdebar-debar. Ia berharap Nyi Permati
menjawab sebagaimana dikehendakinya.
Namun ternyata Nyi Permati itu menjawab, "Ia anakku,
Ngger." "Anak Bibi?" Bahu Langlang terkejut.
Sementara Nyi Permati berkata selanjutnya, "Ia anakku
yang sejak kecil dipelihara pamannya di Kembang Arum.
Bukankah Angger ingat, bahwa aku akan pergi ke Kembang
Arum" Nah, adalah kebetulan bahwa anakku itu berada di
pasar ikut dengan pamannya membawa dagangan kelapa."
Wajah Bahu Langlang menjadi merah. Namun kemudian
dengan cepat ia berusaha untuk menghapuskan kesan bahwa
hatinya bergejolak mendengar pengakuan Nyi Permati itu.
Bahkan kemudian iapun tersenyum pula sambil berkata, "Jika demikian, marilah, bawa anak itu naik ke pendapa, Bibi."
Nyi Permatipun kemudian mengajak Paksi untuk naik ke
pendapa dan duduk di atas tikar pandan yang putih di
pringgitan. Sementara itu, Bahu Langlang berkata kepada perempuan
yang berdiri di tangga, "Biarlah perempuan keparat itu diseret ke kandang. Suruhlah orang-orang yang menjemur padi itu
membawanya pergi." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Paksi sempat berdesis, "Siapakah
perempuan yang berdiri di tangga itu?"
"Isterinya. Isteri utamanya. Ia adalah penguasa kedua di
rumah ini. Sikap dan tabiatnya tidak berbeda dengan Bahu
Langlang. Keras dan bengis," jawab Nyi Permati berbisik.
Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Doakan saja,
Bibi. Perbuatan mereka tidak dapat dibiarkan terus."
Tetapi Paksi tidak dapat bertanya lebih banyak. Laki-laki
yang baru saja mencambuk isterinya itu telah naik pula dan
duduk di pringgitan menemui Nyi Permati dan Paksi.
"Siapa namamu, anak muda?" bertanya Bahu Langlang.
"Orang memanggilku, Paksi."
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paksi," Bahu Langlang mengulangi, "nama yang bagus.
Sejak kapan kau tinggal di Kembang Arum?" bertanya Bahu
Langlang. "Sejak kecil. Sekitar enam atau tujuh tahun."
"Sekarang berapa umurmu?" bertanya Bahu Langlang.
"Delapan belas tahun."
"Kalian telah berpisah sepuluh tahun lebih. Apakah
demikian kalian bertemu, kalian langsung dapat saling
mengenal?" "Nampaknya Ibu agak lupa kepadaku," jawab Paksi. "Tetapi aku tidak akan pernah dapat melupakannya."
Bahu Langlang mengangguk-angguk. Namun kemudian
iapun bertanya, "Apakah kau akan membawa ibumu
bersamamu?" "Ya. Aku akan membawa Ibu ke rumah paman. Bukankah
Ibu memang sedang mencari rumah Paman?"
Bahu Langlang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Sayang
sekali. Sebenarnya aku ingin mohon Bibi tinggal di sini. Aku
sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Bibi dapat menjadi
pengganti orang tuaku. Menjadi pepunden di sini. Tetapi
apaboleh buat. Jika Bibi ingin pergi, aku hanya ingin mohon
agar Bibi sering datang untuk menengok Kemuning. Ia tentu
sekali-sekali merasa rindu kepada bibinya. Meskipun ia merasa
kerasan di sini dan tidak ingin meninggalkan rumah ini, tetapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bibi akan tetap selalu dikenangnya, karena Bibilah yang telah
membawanya kemari sehingga Kemuning menemukan satu
ujud kehidupan yang didambakannya."
Wajah Nyi Permati menjadi tegang. Ia tentu tidak akan
dapat meninggalkan Kemuning di rumah itu meskipun
seandainya ia akan menemukan kehidupan yang jauh lebih
baik. Paksi melihat ketegangan itu membayang di wajah Nyi
Permati. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Ki Bahu Langlang, Ibu tentu tidak akan meninggalkan Kemuning di
sini. Ibu tentu akan membawa Kemuning bersamanya."
Wajah Bahu Langlang berkerut. Namun kemudian iapun
tersenyum, "Jangan merusak masa depan kanak-kanak.
Kemuning sudah kerasan di sini. Ia sudah seolah-olah menjadi
anak kandung kami sendiri. Isteriku mengasihinya dengan
sepenuh hati." "Baiklah, Ki Bahu Langlang," berkata Paksi. "Jika Kemuning memang sudah merasa kerasan di sini, biarlah kelak Ibu
mengantarkannya kemari. Ibu hanya ingin membawa
Kemuning kepada Paman agar Paman sempat melihatnya.
Paman sudah terlalu tua. Ia akan sangat menyesal bahwa jika
sampai hari akhirnya ia tidak sempat melihat Kemuning."
"Tentu. Pamanmu tentu akan sempat melihatnya. Aku
dapat membawa Kemuning ke Kembang Arum kapan saja."
"Jika demikian, kenapa kami tidak membawa Kemuning
sekarang saja, dan kemudian membawanya kembali sehari
dua hari kemudian" Jika Ibu tidak sempat, akulah yang akan
mengantarkannya kemari, karena setiap kali aku pergi ke
pasar itu untuk membeli kelapa yang akan kami jual lagi di
tempat lain. Terutama kepada mereka yang membuat minyak
kelapa." "Sudahlah. Jangan pikirkan Kemuning. Aku dan isteriku
akan mengurusnya. Tinggalkan Kemuning dengan tenang di
sini. Bibi tidak perlu menjadi gelisah. Keadaannya akan baik-
baik saja." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maaf, Ki Bahu Langlang." berkata Paksi. "Kami mohon kemurahan hati keluarga Ki Bahu Langlang. Yakinlah, bahwa
aku akan membawanya kembali kemari jika ia memang sudah
kerasan tinggal di sini."
Tetapi Bahu Langlang tersenyum sambil berkata, "Jangan
menyakiti hati anak itu. Kasihan. Ketenangannya akan
terganggu." "Ki Bahu Langlang," berkata Paksi kemudian, "biarlah ibuku berbicara sendiri dengan Kemuning. Jika Kemuning memang
berkeberatan, apaboleh buat. Kami akan meninggalkannya di
sini. Tetapi jika Kemuning ingin bertemu dan tinggal bersama
pamannya barang satu dua hari, biarlah ia kami bawa serta."
Wajah Bahu Langlangpun berkerut. Sambil menggeleng ia
berkata, "Aku minta jangan ganggu Kemuning. Itu saja."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Bahu
Langlangpun berkata kepada Nyi Permati, "Bibi, sebaiknya Bibi memberitahukan kepada anak Bibi itu, agar ia tidak usah ikut
mencampuri persoalan Kemuning. Aku tidak berkeberatan ia
singgah di sini. Tetapi jangan membuat kegelisahan seisi
rumahku termasuk Kemuning."
Nyi Permati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata, "Sudahlah, Ngger. Biarlah besok atau lusa aku ajak Kemuning ke rumah pamanmu."
"Tidak Ibu. Aku akan mengajak Kemuning sekarang.
Alangkah senangnya hati Paman jika Kemuning tiba-tiba
datang mengunjunginya. Rasa-rasanya aku tidak sabar lagi
melihat, bagaimana Paman di saat-saat yang gawat itu
tersenyum melihat kehadiran Kemuning."
Agaknya Bahu Langlang telah kehabisan kesabaran. Pada
dasarnya ia memang bukan orang yang sabar. Tetapi ia
mencoba untuk memberikan kesan yang baik kepada anak Nyi
Permati. Tetapi anak muda itu ternyata sangat
menjengkelkannya. Karena itu, maka dengan suara yang mulai bergetar Bahu
Langlang itu berkata, "Anak muda, untuk terakhir kalinya aku memperingatkanmu, jangan ganggu Kemuning."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Niatku sudah tetap, Ki Bahu Langlang," jawab Paksi
mantap. Bahu Langlang benar-benar tidak dapat menahan diri.
Karena itu, maka iapun membentak, "Cukup, anak muda. Aku
minta kau meninggalkan rumahku ini. Bibi, aku mohon,
sebelum aku bertindak menurut caraku."
Nyi Permati menjadi semakin bingung. Dengan gelisah ia
berkata, "Sudahlah. Tinggalkan rumah ini."
Tetapi Paksi tetap bersikeras Katanya, "Tidak. Aku akan
membawa Kemuning." Bahu Langlang benar-benar tidak lagi dapat mengekang
diri. Sudah sejak semula ia berpura-pura menjadi penyabar.
Tetapi ia tidak dapat bertahan terlalu lama.
Karena itu, maka Bahu Langlang itupun kemudian berkata,
"Aku sudah cukup memberimu kesempatan berbicara di sini.
Sekarang, kau harus pergi. Jangan berbicara apapun lagi."
Tetapi hati Paksipun keras seperti baja. Karena itu, maka
iapun menjawab, "Aku akan pergi bersama Kemuning."
"Cukup," mata Bahu Langlang mulai menyala. Sementara Nyi Permati mulai menjadi ketakutan. "Apakah aku harus
memperlakukanmu seperti perempuan itu?"
"Seperti itulah yang pada suatu saat akan terjadi pada
Kemuning. Pada saatnya kau menjadi jemu, maka kau akan
menyakitinya setiap hari."
Bahu Langlang itupun bangkit berdiri sambil menggeram,
"Kau memang tidak tahu diri. Jika kau terlambat keluar dari halaman rumahku, maka untuk selamanya kau tidak akan
pernah dapat keluar lagi, karena tubuhmu akan terkubur di
bawah rumpun bambu di kebun belakang rumah ini."
"Tentu banyak tubuh yang kau kuburkan di bawah rumpun
bambu itu," jawab Paksi sambil bangkit berdiri pula.
Wajah Bahu Langlang menjadi merah. Dengan garang ia
berkata, "Sekarang aku tahu apa yang kau maui anak muda.
Kau datang dengan sengaja untuk merebut Kemuning dari
tanganku. Baik. Jika kau memang sudah bersiap
melakukannya, lakukan. Halaman rumahku cukup luas."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahu Langlang tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun
segera turun ke halaman. Ketika Paksi melangkah, Nyi Permati menggamitnya sambil
berdesis, "Sudahlah, anak muda. Aku mengucapkan terima
kasih atas perhatianmu. Tetapi jangan korbankan dirimu."
Paksi tidak menghiraukannya. Iapun segera melangkah
menuruni tangga. Sejenak kemudian, Paksipun telah berdiri berhadapan
dengan Bahu Langlang di halaman.
Beberapa orang yang ada di halaman Bahu Langlang
menjadi heran melihat anak muda yang dengan beraninya
menantang Bahu Langlang. "Apakah anak muda itu belum pernah mendengar nama
Bahu Langlang?" Dalam pada itu, Paksi yang sudah berdiri berhadapan
dengan Bahu Langlang itupun berkata, "Bahu Langlang, aku
yakin bahwa kau adalah seorang laki-laki yang kata-katamu
adalah kehormatan dan harga dirimu. Marilah kita membuat
janji. Kita akan berkelahi sekarang ini. Jika aku kalah, maka
aku sadari, bahwa aku akan terkubur di bawah rumpun
bambumu. Aku sudah pernah mendengar namamu dan
akupun tahu tabiatmu. Ketika aku memasuki halaman rumah
ini, kau sedang menghakimi salah seorang isterimu. Tetapi jika aku menang, maka kau harus melepaskan Kemuning dan
ibuku. Aku akan membawa mereka dan menyelamatkan
mereka dari keganasanmu."
"Iblis kau. Aku hormati kau yang berani menantangku. Aku
hormati kau yang mencintai ibu dan saudara sepupunya
sehingga berani mempertaruhkan nyawamu. Tetapi kau akan
segera ditelan oleh kesombonganmu sendiri."
"Katakanlah bahwa kau berjanji."
"Baik. Aku terima syaratmu. Aku janji."
Demikianlah keduanyapun kemudian telah berhadapan.
Paksi telah menyandarkan tongkatnya, karena ia melihat Bahu
Langlang tidak bersenjata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Mata Bahu
Langlang bagaikan memancarkan nyala api oleh kemarahan
yang membakar dadanya. Bahwa seorang anak muda berani
menantangnya itu sudah merupakan satu penghinaan atas
dirinya. Sejenak kemudian, maka Bahu Langlang itupun mulai
bergerak. Tangannya terayun menggapai tubuh Paksi. Tetapi
Bahu Langlang belum benar-benar menyerangnya.
Namun ketika Paksi bergeser menghindari, Bahu Langlang
telah mempersiapkan serangan yang sebenarnya. Ia ingin
menghancurkan dan benar-benar membunuh anak itu dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya untuk menutup
ketersinggungannya, bahwa seorang anak telah berani
menantangnya. Dengan mengakhiri perlawanan anak itu secepatnya, maka
penilaian orang-orangnya yang melihat peristiwa itu terhadap
dirinya tidak akan terguncang oleh kesombongan anak itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, serangan Bahu
Langlang itupun datang bagaikan angin prahara.
Paksi memang terkejut. Ia tidak menduga sebelumnya
bahwa serangan Bahu Langlang akan datang demikian
cepatnya langsung dalam tataran ilmu yang tinggi.
Paksi memang terdesak surut. Tetapi kemudian Paksipun
telah menemukan keseimbangannya, sehingga Paksipun
segera menempatkan diri pada batas kemampuan lawannya.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi
seimbang. Paksi yang muda, namun yang telah menempa
dirinya itu, tidak banyak mengalami kesulitan menghadapi
orang yang namanya ditakuti oleh lingkungannya, Bahu
Langlang. Ketika dengan hentakannya Bahu Langlang mampu
mendesak lawannya, maka ia sudah memastikan akan dapat
dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi ternyata dugaannya keliru. Anak muda itu semakin
lama justru menjadi semakin mapan. Bahu Langlang tidak lagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendesaknya. Apa yang dilakukannya, lawannya itu mampu
mengimbanginya. Karena itu, sambil menggeram marah Bahu Langlang
mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak. Sebagai
seorang yang mempunyai pengalaman yang luas dalam
petualangannya di dunia olah kanuragan, maka Bahu
Langlang tidak segera tenggelam dalam kecemasan
menghadapi lawannya. Dengan hentakan-hentakan yang kuat,
Bahu Langlang ingin mengguncang pertahanan Paksi.
Tetapi Paksi tidak segera dapat didesaknya. Semakin lama
Paksi justru nampak menjadi semakin tegar. Serangan-
serangannya menjadi semakin cepat sementara kakinya
berloncatan semakin tangkas.
Bahu Langlang mulai menyadari, bahwa lawannya
bukannya anak-anak muda kebanyakan. Sejak semula ia
memang sudah curiga, bahwa anak muda itu bukan anak Nyi
Permati. Bukan pula sepupu Kemuning.
Karena itu, maka Bahu Langlangpun tidak mau
menanggung akibat yang paling buruk. Dengan tangkasnya ia
meloncat surut sambil berteriak, "Berikan senjataku."
Beberapa orang termangu-mangu. Namun isteri
utamanyalah yang dengan cepat tanggap. Iapun segera
meraih sebuah kapak yang tergantung di tiang di atas tangga
pendapa. Dengan cepat kapak yang besar itupun telah dilemparkan
kepada Bahu Langlang yang telah mengambil jarak dari
lawannya. Bahu Langlang menangkup kapak besarnya itu. Kemudian
terdengar orang itu tertawa. Keramah-tamahannya sama
sekali tidak nampak lagi. Tidak ada lagi senyum di bibirnya.
Yang nampak adalah pandangan matanya yang bengis.
Demikian Bahu Langlang memegang kapaknya, maka
Paksipun telah menggapai tongkatnya pula. Meskipun ternyata
ilmu Bahu Langlang yang garang itu tidak setinggi
sebagaimana dibayangkannya, namun kapaknya itu
nampaknya sangat berbahaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika orang-orang dari Goa Lampin atau orang-orang dari
Perguruan Sad itu datang kemari, maka Bahu Langlang akan
sulit untuk dapat mengatasinya," berkata Paksi di dalam
hatinya. Ternyata Bahu Langlang tidak lebih dari seorang
pemimpin perampok yang garang. Tetapi kegarangannya tidak
dilandasi dengan ilmu yang tinggi.
Sejenak kemudian, maka Bahu Langlang telah menyerang
dengan kapaknya yang besar. Menilik ayunan kapaknya itu,
maka tenaga Bahu Langlang memang sangat besar. Agaknya
dengan tenaganya yang besar serta kegarangan sikap dan
keberaniannya, Bahu Langlang menjadi seorang yang ditakuti
oleh lingkungannya. Tetapi nampaknya orang-orang dari perguruan-
perguruan yang namanya banyak dikenal, Bahu Langlang
sama sekali tidak menarik perhatian.
Demikianlah, maka dengan tongkatnya Paksi telah melawan
ayunan kapak Bahu Langlang yang garang itu. Getaran angin
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menampar tubuh Paksi karena ayunan kapak lawannya,
memberikan peringatan kepada Paksi, bahwa tenaga
lawannya memang sangat besar.
Tetapi jantung Paksi sama sekali tidak tergetar oleh ayunan
senjata lawannya itu. Sehingga dengan demikian, maka
perlawanan Paksi sama sekali tidak menjadi goyah.
Bahkan dengan tongkat kayunya, Paksi dapat menangkis
serangan kapak lawannya dengan benturan langsung. Paksi
memang yakin bahwa tongkatnya tidak akan patah. Meskipun
ujud tongkatnya adalah tongkat kayu, tetapi tongkat itu sudah
teruji kekuatannya, sehingga dalam benturan seperti apapun
dengan jenis logam apapun, tongkatnya tidak akan patah.
Bahu Langlang menjadi semakin heran. Anak itu benar-
benar anak ajaib. Pada umurnya yang masih sangat muda,
sebagaimana dikatakannya sendiri bahwa umurnya baru
delapanbelas tahun, ia sudah memiliki ilmu yang tinggi, yang
tidak terjangkau oleh ilmu Bahu Langlang yang namanya
ditakuti oleh lingkungannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, kapak Bahu Langlang hampir tidak berdaya
sama sekali. Bahkan tongkat Paksi sekali-sekali sudah mulai
menggapai tubuh lawannya. Ketika tongkat Paksi berhasil
mendorong pundak Bahu Langlang, maka Bahu Langlang itu
terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja Bahu Langlang
kehilangan keseimbangannya. Namun dengan susah payah
Bahu Langlang dapat menguasai dirinya sehingga ia tidak
jatuh terjerembab. Dalam pada itu, isteri utama Bahu Langlang yang melihat
keadaan suaminya telah menjadi marah pula. Ternyata
isterinya bukan saja seorang yang garang. Tetapi ia juga
seorang yang mampu turun ke medan.
Karena itu, ketika Bahu Langlang mengalami kesulitan,
isterinya yang garang itu telah meloncat ke gelanggang. Di
tangannya digenggamnya sebilah pedang.
"Kita akan membunuhnya bersama-sama," geram
perempuan itu. Paksi meloncat selangkah surut. Dengan nada tinggi ia
berkata, "Kita sudah membuat janji, Bahu Langlang."
Bahu Langlang memang menjadi bimbang. Tetapi isterinya
telah memutar pedangnya sambil berkata, "Jangan ragu-ragu.
Janji dengan anak-anak tidak perlu ditepati."
Bahu Langlang masih saja bimbang ketika kemudian
isterinya itu meloncat menyerang Paksi.
Paksi meloncat menghindar sambil berkata, "Bahu
Langlang. Apa katamu jika kau tidak menepati janji, maka aku
tidak akan hiraukan pula."
"Persetan dengan janji itu," teriak isterinya. Tetapi sebelum mulutnya terkatup rapat, tongkat Paksi telah terayun
menyambar pedang perempuan itu. Tanpa dapat berbuat apa-
apa, pedangnya telah terlempar beberapa langkah
daripadanya. "Bahu Langlang," berkata Paksi kemudian, "jika kau ingkar janji, maka aku akan membunuh isterimu, membunuhmu dan
membunuh siapa saja yang akan menghalangi aku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahu Langlang termangu-mangu sejenak. Tetapi ujung
tongkat Paksi seakan-akan melekat di dada isterinya.
Dengan satu gerakan sederhana, isterinya itu memang
akan dapat diselesaikan oleh anak muda itu. Tongkat itu dapat
mendorong isterinya, tetapi mengingat kemampuan anak itu,
maka tongkat itu akan dapat menghunjam di dada isterinya
itu. Isteri utama Bahu Langlang yang sudah kehilangan
pedangnya itu baru yakin, bahwa anak muda itu memang
tidak mungkin dilawannya meskipun ia bertempur bersama
suaminya, seorang yang memiliki nama besar di
lingkungannya dan ditakuti banyak orang.
Dalam pada itu, Paksipun berkata, "Bahu Langlang, aku
ingin memberimu peringatan. Jika kau mencoba berpijak pada
nama besarmu, maka dalam waktu yang singkat kau akan
binasa. Aku beritahukan kepadamu, bahwa di kaki Gunung
Merapi ini sekarang berkumpul orang-orang dari perguruan
besar yang berilmu tinggi. Bukan sekedar seorang pemimpin
perampok yang merasa dirinya tidak terkalahkan karena dapat
membunuh orang-orang tua dan anak-anak yang ketakutan.
Atau mencegat penjual dawet atau blantik kuda yang pulang
dari pasar. Di daerah ini berkeliaran orang-orang dari
Perguruan Goa Lampin, orang-orang dari Perguruan Sad dan
orang-orang perguruan di Alas Tegal Arang. Itu yang sudah
aku lihat. Aku tidak tahu, apakah masih ada orang lain yang
belum aku ketahui. Nah, camkan itu. Lihat wajahmu di
permukaan kolam ikanmu. Kau tidak lebih dari seekor tikus
kecil di antara sekelompok serigala yang buas."
Bahu Langlang termangu-mangu mendengar kata-kata
Paksi itu. Sementara Paksi itupun berkata, "Ketika aku
mendengar namamu, aku kira kau juga seorang yang berilmu
tinggi. Tetapi ternyata kau bukan apa-apa. Nah, sekarang
tempatkan dirimu di antara segerombolan serigala yang
berkeliaran di kaki Gunung Merapi ini. Menurut pendapatku,
dalam waktu yang dekat, tentu ada di antara mereka yang
datang kepadamu untuk menguji kebesaran namamu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah kau tidak berbohong, anak muda?" bertanya Bahu Langlang.
"Buat apa aku berbohong kepadamu" Apalagi setelah aku
tahu, siapa sebenarnya kau. Meskipun kau dengan tanpa
berkedip membunuh pengikut-pengikutmu sendiri, dan bahkan
dengan jantung yang sama sekali tidak tergetar mencambuk
seorang perempuan yang tidak berdaya, tetapi kau bukan
orang yang pantas aku perhitungkan. Apalagi dalam putaran
perburuan pusaka sekarang ini."
Bahu Langlang menundukkan kepalanya. Ia harus melihat
kenyataan itu. Betapa kecilnya dirinya di hadapan anak muda
itu, atau di hadapan orang-orang dari perguruan yang telah
disebutnya. Karena itu, maka Bahu Langlang itupun berkata, "Aku akan
menepati janjiku, anak muda. Tetapi aku minta kau
mengatakan apa yang sebaiknya aku lakukan sekarang."
"Bawa Kemuning keluar dan serahkan kepada bibinya."
"Aku tahu. Aku akan menyerahkannya kepada bibinya.
Tetapi setelah itu, apa yang sebaiknya aku lakukan" Apakah
orang-orang dari perguruan besar itu benar-benar akan
datang kemari?" "Menurut dugaanku, mereka akan datang."
"Apa yang harus aku lakukan?" bertanya Bahu Langlang.
"Jangan sebut lagi namamu. Kau harus mengatakan bahwa
Bahu Langlang sudah pergi. Yang ada hanyalah orang-orang
yang menunggui rumahnya. Beritahu pengikut-pengikutmu,
jangan sebut lagi nama Bahu Langlang itu. Kecuali itu,
hentikan tingkah lakumu. Kau belum terlambat untuk
memperbaiki jalan hidupmu."
Bahu Langlang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
diamatinya kedua telapak tangannya sambil berdesis, "Tangan ini telah bernoda darah. Berapa orang yang telah aku bunuh.
Apakah aku masih pantas untuk mencari jalan baru dalam
hidupku." "Selagi kau sempat, lakukan. Tetapi jika kau sudah mati,
maka kesempatan itu tidak akan pernah kau dapatkan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahu Langlang itu mengangguk-angguk. "Baiklah, anak
muda, tetapi wawasanmu telah membuka mataku."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Paksi telah menarik
tongkatnya. Sementara Bahu Langlangpun telah
mempersilahkannya kembali naik ke pendapa.
Sejenak kemudian, maka Bahu Langlang dan isteri
utamanya telah membawa seorang gadis ke pendapa itu pula.
Seorang gadis yang matanya menjadi pengab. Nampaknya
gadis itu tidak berhenti-henti menangis sejak ia berada di
rumah itu. Paksi hanya sempat memandang gadis itu sekilas. Tetapi
yang sekilas itu telah memberi kesan kepadanya, bahwa gadis
itu memang cantik. Kemuning masih saja selalu menunduk. Ia
tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya.
Namun dalam pada itu, dengan suara yang berat, Bahu
Langlang itupun berkata, "Kemuning, aku minta maaf atas
perlakuan yang sudah kau alami selama ini di rumahku.
Sekarang aku akan menyerahkanmu kepada bibimu. Kau akan
bebas. Kami tidak akan menghalangi lagi jika kalian akan pergi ke Kembang Arum."
"Aku akan mengantarkannya," desis Paksi.
"Kau akan aman di bawah perlindungannya, Kemuning."
Kemuning menjadi bingung. Ia merasakan satu suasana
yang jauh berbeda. Sikap Bahu Langlang terasa berbeda
dengan sikapnya sehari-hari. Meskipun Bahu Langlang selalu
bersikap manis kepadanya, tetapi setiap kali Kemuning
mendengar desir langkah kakinya, jantungnya serasa akan
runtuh dari tangkainya. Tetapi saat itu, sikap Bahu Langlang memang berbeda. Ia
merasakan perbedaan sikap itu dan sentuhan yang paling
dalam dari tekanan kata-kata Bahu Langlang itu. Sikap manis
Bahu Langlang rasa-rasanya tidak dibuat-buat seperti biasanya
Kemuning tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika
ia memandang bibinya, maka dilihatnya perempuan itu
berusaha menahan tangisnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun dalam pada itu, Paksipun berkata, "Marilah. Kita
tinggalkan tempat ini. Aku antarkan kalian ke Kembang Arum."
Kemuning termangu-mangu sejenak. Sementara Nyi
Permatipun bertanya, "Apakah kami diperkenankan berbenah
diri." "Tentu, Bibi," sahut Bahu Langlang dengan serta-merta.
"Lakukan apa yang ingin Bibi lakukan. Bibi tahu, bahwa
sekarang aku sudah tidak berdaya."
Nyi Permati masih ragu-ragu. Namun Paksipun kemudian
berkata, "Silahkan berbenah diri. Aku menunggu."
Sejenak kemudian, maka Nyi Permati dan Kemuningpun
telah selesai berbenah diri. Mereka membawa sebuah
bungkusan kecil. Sebungkus barang-barang yang masih
tersisa. Di antaranya adalah kain lurik yang telah ditawarkan
kepada Paksi. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Paksipun telah
meninggalkan rumah Bahu Langlang bersama Nyi Permati dan
Kemuning. Bahu Langlang dan isterinya mengantar mereka
sampai di regol halaman rumahnya.
Demikian mereka meninggalkan halaman rumah itu, maka
Kemuning merasa seakan-akan dirinya baru menapak ke
dalam sebuah mimpi. Ia sudah tidak lagi berpengharapan
untuk dapat keluar dari rumah itu. Kemuning yang masih
terlalu muda itu rasa-rasanya sudah berada di antara kuku-
kuku seekor harimau yang kelaparan.
Namun tiba-tiba ia sudah bergerak meninggalkan rumah
itu. Tetapi Kemuning yang tidak tahu apa yang terjadi masih
belum percaya sepenuhnya bahwa ia akan benar-benar lepas
dari tangan Bahu Langlang. Kemuning masih membayangkan,
bahwa pada suatu saat nanti, Bahu Langlang akan
memburunya dan membawanya kembali ke rumahnya.
Tetapi ketika mereka keluar dari padukuhan itu, Nyi
Permati itupun berkata, "Kita sudah lepas dari tangan hantu yang menakutkan itu, Kemuning. Yang Maha Agung telah
bermurah hati mengirimkan anak muda itu untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membebaskanmu." Di luar sadarnya Kemuning berpaling.
Namun ketika ia menyadari bahwa Paksi juga sedang
memandanginya, maka Kemuningpun segera melemparkan
pandangan matanya ke kejauhan.
Paksi sendiri juga menggeser pandangan matanya. Namun
yang sekilas itu mempertajam kesannya, bahwa Kemuning
memang gadis yang cantik. Itulah sebabnya, maka Bahu
Langlang ingin menjadikan gadis yang masih belum dewasa
penuh itu sebagai isterinya, meskipun landasan keinginan itu
semata-mata karena nafsu.
Demikianlah, maka ketiga orang itu berjalan semakin jauh.
Paksi yang sudah mendapat ancar-ancar arah padukuhan
Kembang Arum tidak terlalu sulit untuk menempuh perjalanan
yang sudah tidak terlalu jauh itu.
Paksi memang mengajak mereka untuk berjalan melewati
jalan pinggir hutan. Paksi sama sekali tidak menjadi takut.
Sudah setahun ia tinggal di tepi hutan. Bahkan setiap kali ia
telah menyusup memasuki hutan itu untuk berburu tanpa
merasa takut mendengar aum harimau sekalipun.
Kemuning dan bibinya memang merasa ngeri untuk
menempuh jalan sempit di pinggir hutan itu. Tetapi karena
Paksi yang berjalan di depan itu sama sekali tidak nampak
ragu, maka merekapun berjalan saja mengikutinya.
Ketika mereka melalui jalan yang rumit, karena lereng yang
menurun agak terjal dan berbatu-batu padas yang tajam,
maka Paksipun berkata, "Jika kita menempuh jalan melingkar, maka jaraknya akan menjadi jauh. Pedagang kelapa itu tentu
membawa pedatinya melewati jalan melingkar itu. Tetapi
jaraknya dapat berlipat."
Kedua orang perempuan itu tidak menyahut. Dengan susah
payah dibantu oleh Paksi, akhirnya keduanya berhasil
melewati jalan yang terjal itu.
Paksi yang mengetahui bahwa kedua orang perempuan itu
menjadi letih, telah mengajak mereka untuk beristirahat
sejenak. Namun kemudian merekapun melanjutkan perjalanan
mereka kembali. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika mereka melewati sebuah sumber air kecil yang
jernih, maka merekapun telah berhenti untuk minum beberapa
teguk untuk melepaskan haus mereka.
Demikianlah, maka Nyi Permati dan Kemuning telah
menempuh sebuah perjalanan yang berat. Tetapi mereka
memang sudah berniat melakukannya. Bahkan sebelumnya mereka
juga sudah menempuh jalan yang panjang pula sebelum
mereka jatuh ke tangan Bahu Langlang.
Namun ketika senja turun, mereka masih belum memasuki
Padukuhan Kembang Arum. Tetapi mereka masih sempat
bertanya kepada seseorang yang pulang dari sawahnya,
tentang letak padukuhan itu.
"Sudah tidak jauh lagi, anak muda. Jika jalan ini nanti
menyilang sebuah sungai kecil, maka berantara dua bulak lagi,
kalian akan sampai."
"Apakah kami akan sampai ke padukuhan itu wayah sepi
bocah atau bahkan sebelumnya?" bertanya Paksi pula.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tergantung sekali kepada kecepatan jalan kalian," petani itu tersenyum.
Paksipun tersenyum pula. Katanya, "Ki Sanak benar."
"Kau berjalan dengan dua orang perempuan yang tentu
tidak akan dapat berjalan secepat jika kau sendiri," berkata petani itu.
"Kau dapat bertanya kepada para peronda. Hampir di
setiap padukuhan terdapat setidak-tidaknya sebuah gardu
ronda di dekat banjar. Mudah-mudahan di Kembang Arum
gardu itu terisi setiap malam. Atau mungkin sekali para
peronda itu berada di banjar itu sendiri."
"Terima kasih, Ki Sanak," Paksi mengulang.
Demikianlah, maka Paksipun telah melanjutkan
perjalanannya bersama Nyi Permati dan Kemuning.
Seperti yang dikatakan oleh petani yang pulang dari
sawahnya itu, maka beberapa saat kemudian mereka bertiga
telah melintasi sebuah sungai. Dengan demikian, maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka tinggal menempuh perjalanan dua bulak lagi untuk
sampai ke Padukuhan Kembang Arum.
"Sebenarnya aku pernah pergi ke Kembang Arum," berkata Nyi Permati, "tetapi sudah terlalu lama. Agaknya aku sudah sulit untuk mengingatnya. Bahkan jalan menuju ke padukuhan
itupun aku sudah lupa, sehingga kami tersesat."
"Jadi Bibi sudah pernah ke Kembang Arum?" bertanya
Paksi. "Ya, Ngger. Tetapi aku memang sulit untuk mengingat
sesuatu. Juga jalan ke Kembang Arum. Ketika aku berangkat
mengantar Kemuning, aku kira aku dapat mengenali jalan-
jalannya kembali. Tetapi ternyata tidak. Bahkan kami telah
tersesat ke sarang serigala itu. Bersukurlah kami, bahwa Yang
Maha Agung masih berbelas kasihan, sehingga aku telah
bertemu dengan Angger di pasar itu."
Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Bertiga mereka berjalan menyusuri bulak di gelapnya
malam. Nyi Permati dan Kemuning memang tidak dapat
berjalan secepat Paksi. Karena itu, maka Paksi harus
menyesuaikan diri. Berjalan lamban sekali.
Namun akhirnya dua bulak itupun telah mereka lampaui.
Tetapi mereka juga sudah melampaui wayah sepi bocah. Pada
wayah sepi uwong, mereka telah memasuki sebuah
padukuhan yang mereka duga adalah Padukuhan Kembang
Arum. Namun tiba-tiba Nyi Permati berkata, "Ya, kita telah
sampai. Aku ingat tugu yang ada di dekat regol itu. Tugu itu
pernah aku lihat ketika aku datang kemari waktu itu. Tugu
yang dibuat dari batu itu memang sangat menarik perhatian,
karena jarang sekali ada padukuhan yang mempunyai ciri
seperti itu." Tiba-tiba saja Kemuningpun bertanya, "Jadi, kita benar-
benar sampai ke Kembang Arum?"
"Ya, Kemuning. Kita sudah sampai di Padukuhan Kembang
Arum. Yang Maha Agung telah menuntun perjalanan kita."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemuning itupun tiba-tiba saja telah memeluk bibinya. Ia
tidak dapat menahan tangisnya. Sambil terisak ia berkata,
"Aku hampir tidak percaya Bibi. Semua harapanku seakan
akan telah pupus." "Sudahlah. Doa kita didengar-Nya. Kita wajib mengucap
sukur bahwa akhirnya kita sampai juga di padukuhan ini."
Paksilah yang kemudian berkata, "Baiklah. Marilah kita
berjalan terus. Kita baru menemukan Padukuhan Kembang
Arum. Kita masih harus menemukan rumah orang yang Bibi
cari." "Setelah sampai di sini, mudah-mudahan aku dapat
mengingat letak rumah itu, Ngger."
"Marilah kita coba," ajak Paksi.
Merekapun kemudian melangkah memasuki padukuhan.
Gelap malam memang agak membingungkan Nyi Permati.
Namun demikian, perempuan itu masih dapat mengenali
beberapa ciri yang masih ada di padukuhan itu.
Ketika mereka sampai di sebuah simpang empat di dalam
padukuhan itu, Nyi Permatipun berkata, "Aku masih ingat,
pohon beringin yang dipagari ini. Aku ingat benar. Kita harus
berbelok ke kanan." Mereka bertigapun telah berbelok ke kanan. Jalan menjadi
lebih kecil dari jalan yang mereka lalui semula. Namun Nyi
Permati semakin mengenali lingkungan di sekitarnya meskipun
gelap malam rasa-rasanya menjadi semakin pekat di dalam
padukuhan. Tetapi beberapa oncor yang ada di regol-regol
halaman membantu Nyi Permati mengamati jalan yang
dilaluinya itu. Ketika mereka sampai di sebuah regol halaman rumah yang
terhitung besar dan berhalaman cukup luas, Nyi Permati itu
berhenti. Di sebelah regol terdapat sebuah gendi berisi air.
Sebuah siwur tergantung pada sebuah patok di dekat gendi
itu. Ketika ia mengunjungi rumah saudaranya beberapa tahun
yang lalu, ia juga melihat sebuah gentong air di dekat regol
halaman. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa saat ia mengingat-ingat. Namun kemudian
katanya, "Aku yakin, bahwa rumah inilah rumah pamanmu,
Kemuning." "Bibi benar-benar yakin?" bertanya Kemuning.
"Ya. Aku yakin. Rasa-rasanya aku memang mengenali
lingkungan ini, karena aku berada di sini agak lama waktu itu."
Ketika Kemuning nampak ragu-ragu, bibinya berkata,
"Semuanya belum berubah, Kemuning. Aku masih
mengenalinya, karena waktu itu aku berada beberapa pekan
disini." "Jika Bibi yakin, marilah," berkata Paksi kemudian. Ketika Paksi kemudian menyentuh pintu regol, ternyata pintu itu
tidak diselarak dari dalam. Demikian pintu itu terbuka, maka
perlahan-lahan mereka melangkah memasuki halaman itu.
Demikian mereka berada di halaman, maka Nyi Permati
itupun berdesis, "Ya. Aku semakin yakin. Rumah inilah rumah pamanmu, Kemuning. Rumah Kakang Pananggungan."
Kemuning berdiri termangu-mangu di halaman.
Dipandanginya rumah yang terhitung besar itu. Lampu minyak
yang menyala di pendapa bergetar disentuh angin, seolah-
olah menyampaikan selamat datang kepada Kemuning dan
bibinya. Selangkah-selangkah mereka mendekati pendapa yang
sepi. Namun kemudian Paksi telah melihat pintu seketeng.
Ternyata pintu seketeng tertutup dan selarak dari dalam.
Sementara itu gandok kanan dan kiri nampak sepi.
"Jika demikian, Bibi harus mengetuk pintu pringgitan,"
berkata Paksi. Nyi Permati mengangguk kecil. Namun ketika kakinya
menyentuh tangga pendapa, perempuan itu nampak menjadi
ragu. Kemuning berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Namun akhirnya Nyi Permati itu telah memaksa diri naik ke
pendapa dan melangkah ke pringgitan. Perlahan-lahan Nyi
Permati mengetuk pintu pringgitan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak Nyi Permati menunggu. Karena agaknya belum
seorangpun yang mendengarnya, maka Nyi Permati telah
mengulanginya kembali. Baru kemudian terdengar suara seseorang dari dalam,
"Siapa di luar?"
"Aku," jawab Nyi Permati.
"Aku siapa?" "Permati." "Permati?" terdengar suara itu menghentak. Nampaknya orang di dalam rumah itu terkejut mendengar nama Permati.
"Kau benar Permati?" bertanya orang yang di dalam.
Nyi Permatipun mengenali suara itu. Dengan suara bergetar
ia menjawab, "Ya, Kakang. Aku Permati."
Terdengar langkah tergesa-gesa. Tidak hanya seorang.
Tetapi dua orang. Sejenak kemudian, pintupun terbuka. Dua orang suami
isteri berdiri di pintu pringgitan yang terbuka itu. "Permati.
Permati, kenapa kau?"
Nyi Permati hampir tidak dapat mengatakan sesuatu.
Terasa matanya menjadi panas dan tenggorokannya bagaikan
tersumbat. "Mbokayu," desis Nyi Permati.
Nyi Pananggunganpun melangkah mendekatinya. Kedua
orang perempuan yang mendekati usia tuanya itu berpelukan.
Dengan suara sendat Nyi Permati itupun berkata, "Aku
datang dengan kemenakanmu, Kemuning."
"Kemuning" Kau bawa Kemuning kemari?"
Nyi Permati yang melepaskan pelukan Nyi Pananggungan
itupun kemudian berpaling. Sambil melambaikan tangannya ia
berkata, "Kemarilah Kemuning. Ini pamanmu. Ia tidak akan
lupa kepadamu, meskipun ketika paman dan bibimu
mengunjungimu, kau masih kanak-kanak."
"Kaukah itu Kemuning?" bertanya Nyi Pananggungan.
Kemuningpun melangkah naik ke pendapa dan langsung
pergi ke pringgitan. Bibinyapun menyongsongnya pula.
Dalam pelukan bibinya, rasa-rasanya Kemuning
menemukan ketenangan dan kedamaian hati. Karena itu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
maka air matanya yang meleleh dari pelupuknya tidak
terbendung lagi, bagaimanapun juga ia berusaha
menahannya. "Marilah. Masuklah," Ki Pananggungan mempersilahkan.
Namun kemudian iapun bertanya, "Siapakah anak muda itu?"
"Anak itu telah menolong kami, Kakang. Tanpa anak muda
itu, kami tidak akan sampai di sini."
Ki Pananggungan memandang Paksi dengan tajamnya.
Namun kemudian katanya, "Jika demikian, marilah. Naiklah
anak muda." Paksipun naik pula ke pendapa.
Demikianlah, sejenak kemudian mereka sudah duduk di
ruang dalam rumah Ki Pananggungan. Tanpa tertahan-tahan
lagi, Nyi Permati telah menceriterakan apa yang telah dialami
oleh Kemuning di rumahnya dan di perjalanan menuju ke
Kembang Arum. "Apa sebenarnya yang terjadi dengan ayah dan ibu
Kemuning?" bertanya Ki Pananggungan.
"Tidak ada yang tahu, Kakang. Tiba-tiba saja keduanya
telah hilang." "Dan Kemuning jadi sendiri di rumah?" bertanya Nyi
Pananggungan. "Ya. Itulah sebabnya, kenapa aku mempunyai gagasan
untuk membawanya kemari. Namun hampir saja Kemuning
terjerumus ke dalam kenistaan sepanjang umurnya. Jika itu
terjadi, maka aku adalah orang yang paling bersalah."
"Ayah dan ibu Kemuning memang suka bertualang. Tetapi
jika mereka sudah mempunyai seorang anak gadis, maka
mereka tidak boleh memikirkan diri mereka sendiri,"
"Yang aku cemaskan, jika terjadi sesuatu atas mereka.
Mungkin mereka pergi bukan karena niat mereka akan pergi.
Tetapi ada sesuatu yang memaksa mereka. Jika hal itu tidak
membahayakan mereka, sukurlah. Tetapi jika kepergian
mereka itu justru karena mereka tidak dapat mengelakkannya,
maka itu akan sangat memprihatinkannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian Ki Pananggungan itupun kemudian telah berpaling
kepada Paksi sambil berkata, "Jadi kau sudah mengalahkan
Bahu Langlang?" "Mungkin satu kebetulan saja, Ki Pananggungan," jawab Paksi.
Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
sudah mendengar nama Bahu Langlang. Ia seorang pemimpin
perampok yang ditakuti di lingkungan sekitarnya. Apakah kau
yang masih semuda itu mampu mengalahkannya?"
"Sudah aku katakan, Ki Pananggungan, mungkin satu
kebetulan saja." "Anak muda, aku justru menjadi curiga kepadamu."
Paksi terkejut. Nyi Permati dan Kemuningpun terkejut pula.
Hampir di luar sadarnya, Nyi Permati berkata, "Anak muda
itu sudah membebaskan kami dari tangan Bahu Langlang."
"Kau memang melihat seakan-akan peristiwa seperti itu
sudah terjadi. Tetapi ini adalah sebuah permainan. Anak muda
ini adalah salah seorang dari orang-orang Bahu Langlang itu
sendiri." Wajah Permati menjadi berkerut. Namun iapun bertanya,
"Lalu, apakah keuntungannya dengan permainan itu"
Apapun yang mereka lakukan, tetapi kami sudah bebas dari
tangan Bahu Langlang."
"Kita memang tidak tahu, apa maksud yang sebenarnya.
Tetapi aku menjadi tidak percaya kepada anak ini, bahwa ia
telah dapat mengalahkan Bahu Langlang."
Paksi menjadi bingung. Demikian pula Nyi Permati dan
Kemuning. "Anak muda," berkata Ki Pananggungan sambil berdiri dan melangkah ke pintu. Kemudian Ki Pananggungan itupun telah
membuka pintu itu sambil berkata, "Pergilah. Katakan kepada Bahu Langlang, jika ia ingin mengambil Kemuning, maka ia
harus melangkahi mayatku lebih dahulu."
Paksi benar-benar tidak mengerti. Namun demikian iapun
telah bangkit pula sambil berkata, "Ki Pananggungan, aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak berkeberatan sama sekali jika aku harus pergi. Tetapi
aku masih ingin menjelaskan, bahwa aku tidak mempunyai
niat buruk, apalagi merupakan sebuah permainan yang
digerakkan oleh Bahu Langlang itu sendiri."
"Pergilah. Gerak bibirmu membuat darahku menjadi panas.
Bau nafasmu membuat aku mual."
Telinga Paksi menjadi panas. Tetapi ketika ia berpaling
kepada Nyi Permati dan Kemuning, maka iapun menarik nafas
dalam-dalam. Paksi mencoba untuk menenangkan
perasaannya yang bergejolak di dadanya.
Dengan nada rendah, Paksipun kemudian berkata, "Baiklah.
Aku mohon diri, Ki Pananggungan." Lalu katanya, "Aku mohon diri Bibi dan juga kau Kemuning. Aku mohon maaf, jika kalian
juga menganggap aku bersalah."
"Sudahlah, pergilah. Jangan terlalu banyak bicara."
Paksipun kemudian melangkah keluar pintu. Ki
Pananggungan bergeser mundur selangkah. Sementara itu Nyi
Permati dan Kemuning menjadi kebingungan. Bahkan Nyi
Pananggunganpun terheran-heran melihat sikap suaminya.
Tetapi ternyata kemarahan Ki Pananggungan tidak terhenti
sampai sekian. Ketika kemudian Paksi turun ke halaman, Ki
Pananggungan justru telah menyusulnya sambil berkata,
"Anak muda, kau kira kau dapat pergi begitu saja?"
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paksi berhenti melangkah. Ia mundur setapak ketika Ki
Pananggungan itu menyusulnya turun ke halaman.
"Aku tidak tahu maksud ki Pananggungan."
"Kau adalah anak buah Bahu Langlang yang ganas itu. Kau
telah melakukan satu permainan yang tidak aku ketahui
maksudnya. Nah, sekarang, untuk apa kau berpura-pura dapat
mengalahkan Bahu Langlang dan kemudian membawa
Kemuning kemari" Apakah dengan demikian kau mendapat
tugas dari Bahu Langlang untuk mengetahui rumahku,
sehingga pada suatu saat ia akan datang untuk merampok
Kemuning dan seluruh harta bendaku, karena Bahu Langlang
mengetahui bahwa aku adalah seorang yang kaya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Pananggungan," berkata Paksi kemudian, "kenapa Ki Pananggungan berprasangka demikian buruknya kepadaku"
Seandainya saja aku menolong Kemuning, tetapi aku tidak
menyesal. Aku sudah merasa puas bahwa aku telah berhasil
membebaskan gadis itu dari penderitaan yang
berkepanjangan." "Jangan mengigau," potong Ki Pananggungan. "Sekarang katakan, untuk apa sebenarnya kau antarkan Kemuning
kemari?" "Ki Pananggungan," sahut Paksi, "aku tidak akan dapat menjawab pertanyaanmu."
"Setan kau anak muda. Aku tahu bahwa tongkat itu adalah
Hina Kelana 34 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Persekutuan Pedang Sakti 4