Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 7

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 7


senjatamu. Tetapi itu sama sekali tidak menggetarkan aku.
Sekarang kau boleh pilih. Kau jawab pertanyaanku, atau kau
tidak akan pernah keluar dari halaman rumahku."
"Aku tidak akan memilih, Ki Pananggungan," jawab Paksi.
"Tetapi sudah tentu aku tidak akan melepaskan nyawaku
begitu saja. Seandainya aku harus mati di sini, biarlah aku
mati dalam mempertahankan hidupku ini."
"Bagus," sahut Ki Pananggungan, "bersiaplah. Pakailah tongkatmu. Aku akan memakai senjataku."
Paksi menjadi berdebar-debar. Ia tidak pasti, apakah yang
telah terjadi. Tetapi sudah tentu ia tidak akan membiarkan
dirinya diperlakukan tidak adil.
Dalam pada itu, Ki Pananggunganpun telah mengurai
senjatanya pula. Sebuah cambuk yang berjuntai panjang,
yang nampaknya selalu dikenakannya sebagai ikat
pinggangnya. Bahkan ketika ia tidur sekalipun.
Nyi Pananggungan, Nyi Permati dan Kemuningpun telah
berdiri di pendapa pula. Mereka menjadi sangat tegang. Lebih-
lebih Nyi Permati. Ia tahu benar bahwa Paksi tidak bersalah.
Tetapi ia harus menghadapi Ki Pananggungan, seorang yang
diketahui memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Mereka hanya
dapat menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan jantung
yang berdebar-debar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah, maka sejenak kemudian, cambuk Ki
Pananggunganpun mulai bergetar. Satu ledakan yang tidak
terlalu keras telah terdengar. Sementara itu, Ki Pananggungan
itupun berkata, "Aku tidak ingin membangunkan tetangga-
tetanggaku karena ledakan cambukku ini."
Namun telinga Paksi yang mendengar ledakan itu, serta
jantung Paksi yang tersentuh getarannya, merasakan bahwa
ledakan yang lunak itu justru mengandung tenaga yang
sangat tinggi. Karena itu, maka iapun berkata, "Kau tidak usah mengelabuhi aku, Ki Pananggungan."
"Mengelabuhi apa?" bertanya Ki Pananggungan.
"Ledakan cambuk Ki Pananggungan bukan sekedar agar
tidak membangunkan tetangga-tetangga."
Wajah Ki Pananggungan berkerut. Hampir di luar sadarnya
ia berdesis, "Jadi kau dapat menangkap getar ilmu
cambukku?" Paksi tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi Ki
Pananggungan betapapun tinggi ilmu orang itu.
Ki Pananggunganpun kemudian telah mulai menyerang
dengan cambuk itu tetapi tidak menggapainya. Bahkan
Paksipun sempat meloncat maju pula sambil menjulurkan
tongkatnya. Ki Pananggungan seakan-akan memang menunggu.
Dengan cepat, Ki Pananggungan telah menghentakkan
cambuknya sehingga juntainya telah membelit tongkat Paksi.
Dengan sertamerta Ki Pananggungan menarik cambuknya
untuk merenggut tongkat anak muda itu.
Tetapi Ki Pananggungan terkejut. Tongkat itu tidak terlepas
dari tangan Paksi. Anak muda itupun seakan-akan tidak goyah
oleh tarikannya. Untuk beberapa saat mereka mengadu tenaga.
Keduanyapun telah mulai mengerahkan kekuatan mereka,
bahkan mulai merambah ke tenaga dalam mereka masing-
masing. Ki Pananggungan benar-benar menjadi heran. Anak muda
itu mempunyai kekuatan dan tenaga dalam yang sangat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
besar. Ki Pananggungan tidak mampu merenggut tongkat di
tangan Paksi, meskipun Paksi yang berusaha untuk
menghentakkan cambuk Ki Pananggungan juga tidak berhasil.
Namun Ki Pananggungan dengan kemampuan ilmu
cambuknya terpaksa mengurai belitan ujung cambuknya pada
tongkat Paksi, karena Ki Pananggungan tidak yakin bahwa ia
akan dapat merampas tongkat itu.
Selanjutnya, Ki Pananggunganpun telah menyerang Paksi
dengan hentakan-hentakan cambuk sendal pancing. Namun
kemudian juntai cambuk itu telah menebas mendatar dengan
derasnya. Bahkan kemudian juntai cambuk itu mampu terjulur
lurus menikam seperti ujung sebatang tombak.
Paksipun menyadari, Ki Pananggungan adalah seorang
yang berilmu tinggi. Tidak seperti Bahu Langlang yang garang
tetapi tidak mempunyai landasan yang cukup meyakinkan.
Karena itulah, maka perkelahian itu menjadi semakin seru.
Tongkat Paksi berputaran dengan cepat. Namun sekali-sekali
tongkat itu juga terjulur menyerang ke arah jantung.
Ujung cambuk Ki Pananggungan rasa-rasanya bergerak
semakin cepat pula. Tetapi tongkat Paksipun menjadi semakin
berbahaya pula bagi lawannya.
Dalam pada itu, Paksi dengan serta-merta telah meloncat
mengambil jarak ketika terasa lengannya menjadi panas.
Ternyata ujung cambuk Ki Pananggungan itu telah menyengat
kulitnya. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi Paksi sudah
terluka karenanya. Paksi memandang Ki Pananggungan dengan sorot mata
yang membara. Di dalam hatinya iapun berkata, "Apa
sebenarnya yang dikehendaki orang ini" Tetapi ia sudah
benar-benar melukai lenganku. Aku tidak peduli lagi, apa yang
sebenarnya dikehendaki."
Dengan demikian, maka Paksipun telah menghentakkan
kemampuannya pula. Sementara itu, terasa seakan-akan
ujung cambuk Ki Pananggungan terdengar berdesing di
telinganya. Namun tongkatnyapun sekali-sekali telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyentuh pakaian Ki Pananggungan pula. Bahkan ketika
ujung cambuk Ki Pananggungan menggapai lambungnya, Paksi sempat
meloncat menyamping. Tetapi demikian ujung cambuk itu
terayun lewat, maka Paksipun segera meloncat dengan
cepatnya sambil menjulurkan tongkatnya.
Ki Pananggungan berusaha untuk menghindar dengan
memiringkan tubuhnya. Tetapi Ki Pananggungan ternyata
telah terlambat. Meskipun ujung tongkat Paksi tidak mengenai
dadanya, tetapi ujung tongkat itu telah mendorong bahunya.
Ki Pananggungan berdesah tertahan. Selangkah ia
terdorong surut. Namun Ki Pananggungan justru telah
meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Tetapi Paksi tidak memberinya kesempatan. Dengan
tangkasnya ia meloncat memburu. Tongkatnya sesekali
berputar. Namun kemudian terjulur mengarah lambung.
Pertempuran berikutnya menjadi semakin sengit. Keduanya
telah menapak pada tataran ilmu tertinggi mereka. Cambuk Ki
Pananggungan menggeliat dengan cepat, sementara tongkat
Paksi berputar seperti baling-baling. Namun Ki Pananggungan
tidak pernah berhasil merampas tongkat Paksi itu.
Namun pengalaman dan kematangan sikap Ki
Pananggungan ternyata ikut menentukan keseimbangan dari
pertempuran itu. Ketika mereka benar-benar sudah sampai ke
puncak, maka ternyata bahwa Paksi kadang-kadang masih
terhambat oleh kelambatannya mengambil sikap. Dalam
pertempuran yang keras dan cepat itu, setiap kejap dapat
menentukan kelanjutannya. Kelambatan Paksi mengambil
sikap dalam perkelahian itu, kadang-kadang sangat
merugikannya. Lawannya memanfaatkan setiap keadaan
sebaik-baiknya untuk mendesaknya. Bahkan kemudian sekali
lagi ujung cambuk Ki Pananggungan telah menggores
pundaknya. Paksi yang menjadi sangat marah itu masih sempat
membuat pertimbangan. Ia yakin bahwa sulit baginya untuk
dapat mengalahkan lawannya. Ternyata Ki Pananggungan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memiliki ilmu lebih tinggi dari ilmu yang dimilikinya meskipun hanya selapis tipis.
Tetapi Paksi tidak akan menyerah. Ia akan dapat
mengalami nasib yang sangat buruk di tangan Ki
Pananggungan yang mencurigainya bahwa ia adalah pengikut
Bahu Langlang. Karena itu, maka Paksi tidak mempunyai pilihan lain. Dalam
keadaan yang terdesak, maka Paksi telah meloncat mengambil
jarak. Diangkatnya tongkat tinggi-tinggi. Sekali berputar,
kemudian tongkat itu melekat di sisi tubuhnya, lurus mendatar
menghadap ke arah lawannya. Tangan kirinya yang menyilang
dadanya menggenggam tongkatnya pada sisi kanan tubuhnya,
sementara tangan kanannya menggenggam tongkatnya lebih
ke depan. Paksi memang belum pernah mengetrapkan ilmu puncak
yang disalurkan lewat tongkatnya. Tetapi ia pernah
mendapatkan petunjuk dari Ki Marta Brewok yang kemudian
dikembangkannya menurut ketajaman penalarannya. Dalam
keadaan yang rumit dan mendesak itu, unsur gerak yang siap
mengungkapkan ilmunya itu seakan-akan telah hadir dengan
sendirinya, seakan-akan tangan dan kakinya yang sedikit
merendah pada lututnya itu, tiba-tiba saja telah bergerak
sesuai dengan seharusnya yang dilakukan.
Tetapi satu hal yang dalam keadaan gawat itu tidak sempat
diingatnya, Paksi memang pernah melihat lukisan di dinding
gua itu, unsur geraknya sebagaimana dilakukannya itu.
Ki Pananggungan yang melihat sikap Paksi itu terkejut.
Tiba-tiba iapun meloncat surut untuk mengambil jarak.
Sebelum Paksi melepaskan serangan yang dilandasi dengan
ilmu pamungkasnya, maka Ki Pananggungan itupun berkata,
"Tahan anak muda. Berhentilah. Jangan kau lanjutkan
ungkapan ilmumu itu."
Paksi yang sudah siap untuk meloncat menyerang,
memang menjadi tertegun karenanya. Tetapi ia tetap bersiap
untuk meloncat menyerang dengan landasan ilmu puncaknya
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa Ki Pananggungan mencegah aku" Apakah Ki
Pananggungan menganggap bahwa tidak sepantasnya aku
mempergunakan ilmu puncak yang aku miliki meskipun aku
sudah terdesak dan tidak mungkin lagi bertahan tanpa
landasan ilmu puncak ini?"
"Sabarlah, anak muda," suara Ki Pananggungan telah
berubah. "Kau memang anak muda yang luar biasa. Aku sama
sekali tidak mengira bahwa kau telah berdiri di atas tataran
ilmu yang demikian dahsyatnya. Bahkan kau telah mampu
melandasi ilmumu dengan puncak ilmu yang sangat
berbahaya. Tetapi puncak ilmumu itu tidak hanya berbahaya
bagi lawanmu. Landasan puncak ilmumu itu masih dapat
membahayakan dirimu sendiri."
"Kenapa?" "Kau telah mempelajarinya dengan tuntas. Bahkan hampir
sempurna. Tetapi pada saat terakhir, kau masih berkesan
sangat tergesa-gesa. Kemapanan bagian dalam tubuhmu,
nampaknya masih lamban dari gejolak kemarahanmu,
sehingga saatnya untuk melepaskan ilmumu masih belum
tepat. Seranganmu akan menjadi sangat berbahaya bagi
lawanmu. Tetapi dengan perlawanan yang mapan, maka
jantungmu sendiri akan terluka. Apalagi jika lawanmu memiliki
kekuatan yang seimbang dengan kekuatan ilmu puncakmu,
tetapi karena pengalaman dan kematangan sikapnya lebih
tinggi, maka kau mengalami kesulitan."
"Kenapa Ki Pananggungan menghiraukan keadaanku. Jika
Ki Pananggungan memiliki pengalaman dan kematangan ilmu
lebih tinggi dari aku, kenapa Ki Pananggungan tidak
mengetrapkannya dan tidak perlu mempedulikan aku, apakah
aku akan menjadi debu atau adeg pengamun-amun."
Ki Pananggungan tersenyum. Katanya, "Kau masih marah."
Paksi mengerutkan dahinya. Tetapi ia menjawab, "Ki
Pananggungan telah melukai aku."
Ki Pananggungan tertawa. Katanya, "Bukankah luka itu
tidak berbahaya. Kau juga sudah menyakiti aku. Pundakku
rasa-rasanya telah pecah oleh ujung tongkatmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku tidak mengerti. Apa maksud Ki Pananggungan
sebenarnya. Apakah Ki Pananggungan sekedar
mempermainkan aku. Tetapi karena Ki Pananggungan melihat
kemungkinan buruk, maka Ki Pananggungan lalu bersikap
lain." "Aku mengerti bahwa kau akan marah. Tetapi jangan mulai
menyombongkan diri. Itu sama berbahayanya dengan
ketidakmapananmu untuk melepaskan ilmu pamungkasmu."
Paksi tertegun sejenak. Peringatan Ki Pananggungan itu di
telinganya terdengar seolah-olah gurunya, Ki Marta Brewoklah
yang mengucapkannya. Jika ia terperosok ke dalam sikap
sombong, maka jalannya menuju ke masa depannya akan
menjadi suram. "Paksi," berkata Ki Pananggungan, "aku memang curiga, bahwa kau benar benar mampu mengalahkan Bahu Langlang.
Bukan karena kau adalah salah seorang pengikutnya, tetapi
aku menduga kau telah mengambil Kemuning dan bibinya
dengan cara yang licik. Karena itu, aku mengujimu, apakah
kau benar-benar memiliki ilmu yang pantas untuk
mengalahkan Bahu Langlang. Namun ternyata ilmumu jauh
lebih tinggi dari ilmu yang diperlukan untuk mengalahkan
Bahu Langlang, karena aku tahu tataran kemampuannya
meskipun aku belum pernah berhadapan dengan orang itu.
Bahkan aku sempat menjadi jengkel, karena kau ternyata
mampu mengimbangi ilmuku sendiri. Tetapi ketika kau akan
melepaskan ilmu pamungkasmu, aku melihat kelemahanmu.
Jika aku terpaksa bertahan akan terjadi benturan, maka aku
mencemaskan bagian dalam tubuhmu. Nampaknya kau masih
memerlukan pengalaman dan kemapanan. Meskipun
demikian, aku sudah sangat mengagumimu. Aku belum
pernah bertemu ataupun mendengar, bahwa anak muda
seumurmu, sudah memiliki tataran ilmu sebagaimana kau
miliki." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, ketiga
orang perempuan yang menyaksikan pertempuran itu
berhenti, menjadi sedikit lega. Tetapi mereka tidak mengerti,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Pananggungan.
Pembicaraan pendek itu memang sedikit membuka hati
mereka, namun mereka masih memerlukan penjelasan.
"Marilah, Paksi," berkata Ki Pananggungan. "Jika kau sudah tidak marah lagi, naiklah. Kita kembali duduk di ruang dalam.
Barangkali ada yang perlu kita bicarakan."
Paksi menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika ia memandang
wajah Ki Pananggungan di bawah cahaya suram lampu


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minyak pendapa, rasa-rasanya Paksi dapat mempercayainya.
Karena itu, maka Paksipun tidak menolak. Iapun kemudian
naik ke pendapa dan berjalan lewat pintu pringgitan masuk ke
ruang dalam. Seperti ketika Paksi bersama Nyi Permati dan
Kemuning baru datang, maka merekapun duduk di ruang
tengah itu. Suasana memang masih agak tegang. Paksi belum dapat
melepaskan gejolak perasaannya. Apalagi lukanya masih
terasa pedih. Namun Ki Pananggungan itupun berkata, "Biarkan Nyi
Permati mengobati lukamu, Paksi. Barangkali kau belum
mengetahui, bahwa Bibi Permati adalah seorang yang sangat
menguasai ilmu obat-obatan."
"Ah, tidak seperti itu. Tetapi barangkali aku dapat
membantu membersihkan luka-lukamu itu," sahut Nyi Permati.
Sementara Nyi Permati mengobati luka yang tidak terlalu
dalam pada tubuh paksi, maka Nyi Pananggunganpun telah
berada di dapur. Kemuning ikut pula membantunya.
Nyi Pananggungan telah menghidangkan minuman hangat
dan makanan seadanya. Sayur yang dingin telah dihangatkan.
Sementara itu, beberapa butir telur di petarangan, telah
digoreng pula. Setelah makan, Ki Pananggungan telah mempersilahkan
tamu-tamunya untuk beristirahat. Kepada Paksi, Ki
Pananggungan itupun berkata, "Besok sajalah kau bercerita tentang macam-macam hal. Sekarang beristirahatlah. Kau
dapat tidur di gandok."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi kemudian telah diantar sendiri oleh Ki Pananggungan
ke gandok, setelah membersihkan dirinya di pakiwan.
Tetapi malam tinggal sejengkal. Demikian Paksi berbaring,
maka terdengar suara ayam jantan berkokok menyambut
fajar. Paksi tidak sempat tidur malam itu. Beberapa saat
kemudian, iapun harus bangkit dari pembaringannya pula.
Ketika matahari terbit, Ki Pananggungan telah menyiapkan
sepasang lembu dan bajaknya. Pagi itu ia akan pergi ke sawah
untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa sedikit
kemarin. Seterusnya ia tinggal meratakan sawahnya dengan
garu esok pagi sebelum lusa mulai ditanami padi.
Paksi yang juga sudah berbenah diri mendekati Ki
Pananggungan sambil bertanya, "Ki Pananggungan melakukan
kerja di sawah itu sendiri?"
"Aku mengerjakan sawah yang sekeping di luar padukuhan
ini. Sementara sawahku yang ada di sebelah tanggul sungai
itu dikerjakan oleh orang-orang kepercayaanku. Mereka
adalah pekerja-pekerja yang baik, teliti dan jujur."
"Apakah aku diperkenankan ikut ke sawah?" bertanya
Paksi. "Aku tidak lama berada di sawah. Aku tinggal
menyelesaikan pekerjaanku kemarin yang tersisa, nanti aku
segera kembali dan kita mempunyai banyak waktu untuk
berbicara. Kecuali itu, apakah kau yakin bahwa Bahu Langlang
benar-benar melepaskan Kemuning?"
Wajah Paksi berkerut. Tetapi menurut perhitungannya Bahu
Langlang tidak akan berani lagi mengejarnya, karena apapun
yang dilakukan oleh Bahu Langlang, namun ia akan dapat
mengalahkannya. Namun Ki Pananggungan itupun kemudian berkata, "Ingat
Paksi, Bahu Langlang tidak sendiri. Ia mempunyai sebuah
kelompok yang merasa terikat menjadi satu. Kecuali itu, Bahu
Langlang juga mempunyai banyak kawan. Mungkin ia masih
berniat untuk mengambil Kemuning. Karena itu, aku atau kau
sebaiknya tinggal di rumah."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi mengerti maksud Ki Pananggungan. Karena itu, maka
katanya, "Baiklah, Ki Pananggungan. Aku akan berada di
rumah." Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki
Pananggunganpun telah meninggalkan halaman rumahnya
sambil membawa bajak dan sepasang lembu. Sementara
Paksipun telah naik ke serambi gandok.
Paksipun kemudian duduk di atas sebuah amben yang
panjang. Dalam kesendiriannya, Paksi sempat merenungi
sikap Ki Pananggungan. Ternyata Ki Pananggungan adalah
seorang yang berilmu tinggi. Tetapi dalam ujudnya sehari-hari
sama sekali tidak ditampakkannya. Pada saat ia memanggul
bajak dan menggiring sepasang lembu, Ki Pananggungan
benar-benar nampak sebagai seorang petani kebanyakan.
"Apakah orang di sekitar tempat ini tidak tahu bahwa Ki
Pananggungan adalah seorang yang berilmu tinggi" Padahal Ki
Pananggungan sudah tinggal di sini bertahun-tahun," bertanya Paksi dalam hatinya.
Tetapi Paksi tidak ingin duduk merenung di serambi gandok
itu. Iapun kemudian pergi ke pakiwan. Menimba air untuk
mengisi jambangan. Seorang pembantu laki-laki di rumah Ki
Pananggungan itu mendekatinya sambil berkata, "Sudahlah,
anak muda. Biarlah nanti aku yang melakukannya."
Tetapi Paksi tersenyum sambil berkata, "Tidak apa-apa, Ki Sanak. Aku sudah terbiasa melakukannya."
Pembantu laki-laki itu tidak dapat mencegahnya. Bahkan
ketika kemudian Paksi melihatnya membelah kayu, setelah
Paksi selesai mengisi jambangan di pakiwan, telah
mendekatinya pula. Katanya, "Apakah masih ada kapak
sebuah lagi?" Orang itu termangu-mangu. Sementara itu sambil
tersenyum Paksi mengambil kapak di tangan orang itu, "Kau cari
kapak yang lain." Orang itu tidak sempat mencegahnya. Ketika kemudian
Paksi mengayunkan kapak itu untuk membelah kayu, maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang itu memang harus mencari kapak yang lain. Ia tidak
sekedar menonton Paksi membelah kayu bakar itu sendiri.
Paksi membelah kayu bakar itu sendiri, sementara kayu itu
masih seonggok. Namun ketika mereka bersama-sama membelah balok-
balok kayu sebatang pohon kayu yang tumbuh di sudut kebun
belakang yang ditebang dua hari sebelumnya, orang itu
menjadi heran. Orang itu tidak menyangka, bahwa Paksi dapat
melakukan jauh lebih baik dan lebih cepat dari yang
dilakukannya. "Kau nampak sudah terbiasa membelah kayu balok, anak
muda," berkata orang itu.
"Pamanku seorang belandong kayu, Ki Sanak. Meskipun
tidak selalu, aku sering membantunya jika satu dua orang
membantunya berhalangan."
Orang itu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Pantas
hasil kerjamu dua kali lipat dari hasil kerjaku, anak muda."
Paksi tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Tangannya
sajalah yang bergerak mengangkat kapak itu tinggi-tinggi.
Kemudian terayun deras. Tajam kapaknya itu menghunjam ke
tengah-tengah balok kayu dan kemudian membelahnya.
Di tengah hari, keduanya berhenti. Pembantu di rumah Ki
Pananggungan itu berkata, "Tidak baik bekerja saat matahari tepat di atas kepala kita. Kita harus beristirahat barang
sebentar." Paksi memang beristirahat. Keduanya duduk di bawah
rumpun bambu yang rimbun. Sambil menyodorkan sebuah
gendi berisi air dingin yang sejuk orang itu bertanya, "Kau haus?"
Paksi menerima gendi itu dan meneguk air dari dalamnya.
Betapa segarnya. Sambil menarik nafas panjang Paksipun
menyerahkan gendi itu sambil berdesis, "Aku memang haus
sekali." Paksi kemudian duduk bersandar sebatang pohon. Angin
yang semilir lembut membuatnya agak mengantuk, justru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena semalam Paksi hampir tidak memejamkan matanya
sama sekali. Tetapi ketika matanya menjadi redup, ia mendengar suara
memanggilnya, "Kakang Paksi."
Paksi berpaling. Dilihatnya Kemuning berdiri termangu-
mangu beberapa langkah daripadanya.
"O," desah Paksi sambil bangkit dengan tergesa-gesa.
"Paman sudah pulang dari sawah. Paman memanggil
Kakang." Paksi mengangguk kecil. Katanya, "Baik Kemuning. Aku
akan menemuinya." "Paman ada di pringgitan."
Ketika Kemuning kemudian meninggalkannya, maka
Paksipun membenahi baju dan kainnya, keringatnya sudah
mulai kering. "Aku dipanggil Ki Pananggungan," berkata Paksi kepada pembantu rumah itu.
Orang itu mengangguk. Katanya, "Biasanya Ki
Pananggungan belum pulang pada saat seperti ini. Jika sudah
terlanjur berada di sawah, meskipun kerja sudah selesai, Ki
Pananggungan terbiasa menunggui sawahnya sampai
matahari turun." "Panasnya hari ini," desis Paksi, "agaknya Ki Pananggungan sudah merencanakan sejak berangkat untuk pulang agak lebih
cepat dari biasanya."
"Ya," berkata orang itu. "Tidak ada orang yang membawa makan dan minum ke sawah."
Paksi tidak berbicara lagi. Iapun kemudian melangkah
menuju ke pakiwan. Setelah mencuci kaki dan tangannya,
maka Paksipun langsung pergi ke pringgitan menemui Ki
Pananggungan yang telah duduk lebih dahulu. Dua buah
mangkuk minuman ternyata sudah terhidang. Bahkan
beberapa potong makanan. "Aku sengaja pulang lebih awal," berkata Ki Pananggungan.
"Sisa kerja kemarin itu sudah selesai. Bahkan aku sempat
memandikan sepasang lembu itu di sungai."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Pananggungan melakukan semuanya itu sendiri?"
"Ya. Aku memang anak petani."
"Tetapi bukan petani kebanyakan," sahut Paksi.
Ki Pananggungan tertawa. Katanya, "Satu kebetulan bahwa
aku tinggal bersama kakek. Juga bersama ayah Kemuning. Di
samping mengajari kami bertani, kakek juga mempunyai
kelebihan lain. Kami adalah murid-murid kakek."
"Apakah sekedar kebetulan?" bertanya Paksi.
Ki Pananggungan tertawa berkepanjangan. Katanya,
"Tetapi ada unsur kebetulan. Namun kemudian kami menjadi
bersungguh-sungguh. Kami bekerja keras bersama kakek
bertahun-tahun, sehingga akhirnya kami masing-masing
berumah tangga sendiri. Meskipun demikian, kami masih
selalu datang ke rumah kakek untuk mematangkan ilmu yang
kami warisi dari kakek itu, sehingga saatnya wadag kakek
tidak mengijinkan lagi bermain-main di dalam sanggar. Tetapi
dalam keadaan wadagnya yang semakin lemah, kakek masih
tetap membimbing kami."
Paksi mengangguk-angguk. Dengan kerja keras Ki
Pananggungan akhirnya menjadi seorang yang berilmu tinggi,
meskipun penampilannya sehari-hari masih tetap sederhana
dan tidak lebih dari seorang petani biasa.
Namun sekilas terngiang di telinganya kata-kata orang yang
datang mencari ndaru yang dianggapnya jatuh di sekitar
rumah kecilnya, hubungan antara ilmu dan amal.
"Apakah ilmu Ki Pananggungan itu memberikan arti kepada
sesamanya, jika ia tidak pernah mengamalkannya?" bertanya Paksi di dalam hatinya, namun yang kemudian dijawabnya
sendiri, "Tetapi setidak-tidaknya ilmu Ki Pananggungan yang tinggi itu tidak mengganggu orang lain atau bahkan
dipergunakannya untuk niat buruk."
Demikianlah, maka Ki Pananggunganpun kemudian telah
mempersilahkan Paksi menghirup minuman hangat dan
mencicipi makanan yang dihidangkan.
"Bibimu telah membuatnya sendiri," berkata Ki
Pananggungan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil makan makanan yang dihidangkan, maka Ki
Pananggungan masih ingin mendengarkan ceritera Paksi
tentang dirinya. Namun Paksi masih tetap menyembunyikan
jatidirinya yang sebenarnya. Ia tidak menyebut siapakah ayah
dan ibunya. Paksi tidak mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang
penjabat tinggi istana. Tetapi di luar sadarnya Paksi telah memperbandingkan
kemampuan ayahnya dengan Ki Pananggungan. Meskipun Ki
Pananggungan tetap seorang petani yang setiap hari bekerja
di sawah, namun orang itu tentu memiliki ilmu yang lebih
tinggi dari ayahnya. Namun tiba-tiba saja Paksi bertanya kepada diri sendiri,
"Tetapi apakah ilmuku sudah lebih tinggi dari ilmu ayah?"
Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mau mencari
jawab atas pertanyaannya itu.
Dalam pada itu, maka dalam pembicaraan selanjutnya, Ki
Pananggungan tahu, bahwa pengalaman Paksi masih terlalu
sempit. Ia masih belum mengenal nama-nama orang yang
disegani dalam dunia olah kanuragan.
"Paksi," berkata Ki Pananggungan selanjutnya, "aku yakin, bahwa sengaja atau tidak, jika pada suatu saat kau memasuki
dunia olah kanuragan, maka kau tentu berada di lapisan
teratas. Dalam satu dua tahun, jika ilmumu benar-benar
matang, maka aku tidak akan mampu mengatasimu. Aku
sudah melihat, bahwa kau sudah menyimpan ilmu andalan
yang berbahaya yang akan dapat melepaskanmu dari
kesulitan dalam keadaan terpaksa. Aku tidak mengatakan
bahwa kau tidak dapat dikalahkan. Semua orang tentu dapat
dikalahkan pada suatu saat. Aku pun tidak mengatakan bahwa
tidak ada orang yang memiliki ilmu pada tataran yang sama
dengan ilmumu." Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Apa yang aku
miliki adalah jauh dari tataran yang pantas."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggungan tersenyum. Katanya, "Semula aku
mengira bahwa kau adalah seorang anak muda yang berilmu
tinggi dan agak sombong. Tetapi ternyata aku keliru."
"Aku tidak mempunyai maksud apa-apa dengan sikapku, Ki
Pananggungan." "Aku mengerti. Karena itu, aku justru mempercayaimu,"
berkata Ki Pananggungan kemudian. Lalu katanya pula,
"Karena itu, aku justru ingin memperkenalkan kau dengan
beberapa orang yang namanya mencuat di atas rata-rata
dalam dunia olah kanuragan, agar kau dapat berhati-hati jika
kau bertemu dengan mereka. Seperti yang kau ceriterakan,
kau pernah melihat orang-orang dari Perguruan Goa Lampin
dengan ciri-cirinya dan kau pun pernah melihat pemimpinnya
yang juga dianggap mahagurunya. Kau juga pernah bertemu


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan orang-orang dari Perguruan Sad dan orang-orang dari
Perguruan Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga. Tetapi kau
belum pernah bertemu atau melihat kedua orang pemimpin
tertinggi dari kedua perguruan yang terakhir itu. Juga orang
lain yang nama dan ciri-cirinya pantas kau kenal."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan sangat
berterima kasih, Ki Pananggungan. Mungkin dalam
perjalananku mendatang, aku bertemu dengan mereka,
sehingga aku dapat menghindar."
Ki Pananggungan tersenyum. Menilik ilmu yang dimilikinya,
Paksi tidak perlu menghindari mereka. Tetapi Ki
Pananggungan tidak mengatakannya. Bagi Ki Pananggungan
sendiri, menghindar bila masih mungkin, memang lebih baik
dari benturan yang harus terjadi.
Demikianlah, maka Ki Pananggunganpun kemudian telah
menyebut beberapa nama dan ciri-cirinya.
Paksi mendengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi
sampai nama yang terakhir yang disebutnya beserta ciri-
cirinya, Ki Pananggungan tidak menyebut Ki Marta Brewok
serta ciri-cirinya. Seandainya ia dikenal dengan nama yang
lain, namun ciri-ciri yang menonjol akan disebutkannya.
Demikian pula orang yang telah datang kepadanya untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencari cincin yang dikatakannya jatuh dari langit itu. Ciri-ciri orang itu juga tidak disebut sama sekali. Ki Pananggungan
yang mengenal orang berilmu tinggi yang tersebar luas di
tanah ini juga tidak menyebut seorang pengemis yang telah
memberikan tongkat itu kepadanya, meskipun Ki
Pananggungan sempat menyebut nama Kebo Lorog.
Dengan demikian, Paksi menganggap bahwa setidak-
tidaknya Ki Marta Brewok bukan orang yang mengagungkan
kemampuan serta namanya. Demikian pula pengemis yang
berilmu tinggi yang telah memberinya tongkat itu. Bagi Paksi
orang yang datang mencari cincin itu juga mengherankannya.
Jika saja saat itu Ki Marta Brewok tidak datang pada saat yang bersamaan, maka Paksi akan dapat mengira bahwa orang itu
adalah Ki Marta Brewok. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berbincang. Ki
Pananggungan memberikan banyak petunjuk melengkapi
petunjuk-petunjuk Ki Marta Brewok. Meskipun Paksi yakin
bahwa ilmu Ki Marta Brewok tentu lebih tinggi dari Ki
Pananggungan, namun Ki Marta Brewok nampaknya tidak
sempat memberikan banyak petunjuk tentang dunia
kanuragan serta orang-orang yang menghuninya.
Ki Marta Brewok tidak pernah menyebut nama-nama serta
ciri-ciri orang yang dapat membahayakan dirinya.
Namun pembicaraan itu terhenti. Kemuning yang keluar
dari pintu pringgitan memberitahukan kepada pamannya,
bahwa makan siang telah tersedia.
Sejenak kemudian, maka Ki Pananggungan itupun telah
berada di ruang dalam bersama Paksi. Tetapi agaknya mereka
akan makan siang berdua saja.
Demikian mereka selesai makan siang, maka Paksipun telah
menyatakan niatnya untuk melanjutkan perjalanannya.
Dengan nada dalam Paksi itupun berkata, "Aku sudah cukup
lama berada di rumah ini, Ki Pananggungan. Aku
mengucapkan terima kasih atas segala petunjuk Ki
Pananggungan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Ki Pananggungan itu menggeleng. Katanya, "Kau
tidak boleh segera pergi. Kau akan tinggal di sini. Sedikitnya sepekan. Baru kita yakin, bahwa Bahu Langlang tidak akan
menyusul Kemuning. Bukankah kau sudah menolong dan
menyelamatkan Kemuning dari tangan Bahu Langlang. Nah,
jika demikian, maka lakukanlah sampai tuntas."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata ia tidak
dapat memaksa untuk meninggalkan tempat itu.
Karena itulah, maka Paksi masih harus tetap tinggal sampai
batas waktu yang diberikan oleh Ki Pananggungan sehingga
kerjanya dapat disebutnya tuntas.
Di hari berikutnya, Ki Pananggunganpun telah pergi ke
sawah pula. Sementara Paksi telah melakukan pekerjaan
sehari-hari bersama pembantu laki-laki di rumah itu.
Dari pintu butulan Kemuning sering mengamati apa yang
dilakukan oleh Paksi. Kepada bibinya Kemuning sudah
memberitahukan, bahwa Paksi melakukan pekerjaan yang
seharusnya tidak dilakukannya karena ia seorang tamu di
rumah itu. Tetapi baik Nyi Pananggungan maupun Nyi Permati telah
memberikan jawaban yang sama, "Paksi memang
menghendakinya, Kemuning. Ia tidak dapat tinggal diam."
Ketika panas matahari menjadi terik, maka Kemuning yang
melihat keringat Paksi bagaikan terperas dari tubuhnya di saat ia membelah balok-balok kayu dengan kapak, bahkan Paksi
telah menanggalkan bajunya pula, seolah-olah merasakan
betapa kering tenggorokannya. Meskipun Paksi itu dapat pergi
ke sumur mengambil air jika ia tidak tahan lagi atau air gendi yang terletak tidak jauh dari onggokan kayu-kayu gelondong
yang dibelahnya, jika gendi itu belum menjadi kosong, namun
Kemuning telah terdorong untuk membawa bukan hanya
semangkok, tetapi sebuah teko yang agak besar berisi wedang
sere. "Minumlah, Kakang. Wedang sere dengan gula kelapa.
Sudah dingin," Kemuning mempersilahkan sambil tersenyum.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terima kasih, Kemuning," sahut Paksi sambil meletakkan kapaknya. Untuk memuaskan Kemuning, maka Paksipun
kemudian telah menuang wedang sere itu ke dalam mangkuk
dan kemudian menghirupnya sampai mangkuknya kering.
"Segar sekali, Kemuning. Terima kasih."
Kemuning masih tersenyum. Namun kemudian iapun
beranjak pergi dan kembali ke dapur.
Sepeninggal Kemuning Paksi justru memungut gendi yang
berisi air yang dingin sambil berkata, "Wedang sere membuat keringatku semakin banyak mengalir."
Pembantu rumah yang bersama Paksi membelah kayu itu
tertawa. Katanya, "Tentu lebih segar air dingin di dalam gendi itu."
Tetapi Paksi tidak ingin mengecewakan Kemuning. Karena
itu, maka ia sudah menuang lagi wedang sere itu ke dalam
mangkuknya. Namun ketika ia yakin Kemuning tidak
melihatnya, maka dituangnyalah wedang sere itu di tanah.
Seperti yang diminta oleh Ki Pananggungan, maka Paksi
masih tetap tinggal di rumah itu di hari berikutnya. Namun
Paksi sendiri tidak menyadari, bahwa ia telah menjadi kerasan
tinggal di rumah itu. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa
Kemuning adalah gadis yang ramah. Yang menyapanya sambil
tersenyum. Mempersilahkannya dengan kata-kata yang manis.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Kadang-kadang Paksi
harus memperingatkan dirinya sendiri, "Umurmu baru delapan belas."
Namun pada umur-umur itu, seorang anak muda memang
sudah dapat mengenali kecantikan seorang gadis.
Di hari berikutnya, maka Ki Pananggungan tidak pergi ke
sawah seperti hari-hari berikutnya. Pekerjaannya sudah
selesai. Sawahnya sudah diratakan dengan garu, sehingga
sudah siap untuk ditanami. Karena itu, maka Nyi
Pananggunganlah yang pergi ke sawah bersama beberapa
orang perempuan yang akan menanam padi. Sementara
pembantunya akan mempersiapkan bibit padi yang akan
ditanam. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hari itu, Ki Pananggungan dapat lebih banyak berbincang
dengan Paksi. Ketika Paksi akan melakukan pekerjaan sebagai
dilakukannya di hari-hari sebelumnya, Ki Pananggungan telah
mencegahnya. Katanya, "Duduk sajalah di serambi gandok,
Paksi. Aku ingin menikmati hari istirahatku setelah membajak
dan meratakan sawahku beberapa hari ini."
Keduanyapun kemudian telah duduk di serambi. Mereka
berbincang tentang berbagai macam hal. Dari cara menanam
padi dan palawija di sawah sampai dengan dunia olah
kanuragan. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut. Mereka melihat dua
orang laki-laki dan perempuan memasuki halaman. Mereka
berjalan tertatih-tatih. Agaknya laki-laki itu tidak dapat
berjalan dengan baik, sehingga isterinya harus menolongnya.
Paksi yang kemudian bangkit berdiri berdesis, "Bahu
Langlang." Ki Pananggunganpun bangkit pula. Di luar sadarnya iapun
mengulang, "Bahu Langlang."
Keduanyapun turun ke halaman dengan hati-hati. Namun
mereka melihat Bahu Langlang tidak sebagai seorang laki-laki
yang perkasa. Tetapi orang itu lebih mirip dengan laki-laki
yang cacat, yang berjalan dengan bantuan orang lain.
"Apa maksudmu datang kemari, Ki Bahu Langlang. Apakah
kau akan mengambil Kemuning?" bertanya Paksi.
"Tidak. Tidak, Ngger. Aku sama sekali tidak akan berani
menyebut nama gadis kecil itu lagi."
"Jadi, apa maksudmu?" bertanya Paksi.
"Aku hanya ingin berceritera sedikit tentang keadaanku
sepeninggalmu." "Dari mana kau tahu, bahwa kami berada di rumah ini?"
"Bukankah kau mengatakan bahwa kau akan pergi ke
Padukuhan Kembang Arum. Aku menyusulmu ke Kembang
Arum dengan harapan bahwa kau masih berada di sini."
"Tetapi dari siapa kau tahu bahwa kami berada di rumah ini dan bukan rumah yang lain di Padukuhan Kembang Arum
yang cukup luas ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami bertanya-tanya sepanjang jalan, tempat tinggal
orang-orang yang baru saja datang di padukuhan ini."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang
Kembang Arum sudah mengetahui, bahwa di rumah Ki
Pananggungan telah tinggal orang-orang baru yang datang
dari jauh. Tetapi itu tidak aneh, karena Kemuning dan Nyi Permati
memang sering ikut pergi ke pasar bersama Nyi
Pananggungan. "Marilah, duduklah," Ki Pananggungan mempersilahkan
mereka naik ke pendapa. Bahu Langlang memandang orang itu dengan kerut di dahi.
Sementara Paksipun berkata, "Ki Pananggungan ini adalah
pemilik rumah ini. Paman Kemuning yang dicarinya itu."
"O," Bahu Langlang mengangguk hormat. "Kami mohon maaf, bahwa kami telah menyulitkan Kemuning dan Ny
Permati. Tetapi kami sudah berjanji bahwa kami tidak akan
mengganggunya lagi. Apalagi setelah kami mengalami
malapetaka seperti sekarang ini."
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Paksi.
Namun Ki Pananggunganpun berkata, "Marilah. Silahkan
naik." Mereka berempatpun kemudian telah naik ke pendapa.
Dengan nada penyesalan, Bahu Langlang masih mengulangi
permohonan maafnya karena tingkah lakunya terhadap
Kemuning. Namun kemudian Paksipun bertanya, "Tetapi apa yang
terjadi kemudian atas diri Ki Bahu Langlang?"
"Peringatan yang telah kau berikan itu benar-benar terjadi, anak muda. Dua orang perempuan telah datang. Mereka
mengaku dari Perguruan Goa Lampin. Tetapi karena
peringatanmu, maka ketika mereka mencari Bahu Langlang,
maka aku katakan bahwa Bahu Langlang tidak ada. Bahu
Langlang telah pergi. Kedua orang perempuan itu telah
memasuki rumahku dan melihat-lihat keadaan di dalamnya.
Namun kemudian merekapun pergi sambil berpesan, agar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahu Langlang lain kali bersedia menemui mereka." Bahu
Langlang itupun berhenti sejenak. Namun kemudian katanya
selanjutnya, "Tetapi di hari berikutnya telah datang seorang laki-laki yang mengaku dari perguruan di hutan Tegal Arang,
di pinggir Kali Praga. Aku juga mengatakan kepadanya, bahwa
Bahu Langlang sedang pergi. Semula semua orang-orang di
rumahku mengiakannya. Tetapi tiba-tiba di luar dugaan,
perempuan yang aku sakiti di saat kau datang itulah yang
mengatakan kepada laki-laki dari Tegal Arang itu, bahwa
akulah sebenarnya Bahu Langlang. Aku memang tidak dapat
menghindar lagi. Bagaimanapun juga aku merasa bahwa aku
adalah seorang laki-laki. Karena itu, aku mencoba untuk
melawannya. Tetapi perlawananku sama sekali tidak berarti.
Aku justru berada dalam keadaan seperti ini."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Kau tentu tidak akan
dapat melawan mereka. Nah, sekarang, apakah kau
bermaksud mengungsi kemari?"
"Tidak, Ngger. Aku hanya lewat. Aku justru ingin
memperingatkanmu, bahwa orang-orang yang pernah kau
sebut itu berkeliaran sampai kemana-mana. Bahkan mungkin
akan ampai ke Kembang Arum ini."
"Tidak, Ki Bahu Langlang," jawab Paksi. "Mereka tidak akan sampai ke Kembang Arum. Orang-orang itu mengira bahwa
ndaru yang mereka duga akan membawa keberuntungan itu
jatuh di sekitar lingkunganmu dan bahkan sedikit ke utara."
"Ya. Nampaknya mereka memang mencari sesuatu," sahut Bahu Langlang.
"Kemudian apa yang terjadi alas dirimu?" bertanya Paksi kemudian.
"Aku hampir mati, Ngger. Perempuan yang mengkhianati
aku itupun kemudian ikut pergi dengan laki-laki itu." Bahu Langlang berhenti sejenak.
Sementara itu isterinya berkata, "Perempuan itu
mendendam Kakang Bahu Langlang."
"Aku dapat mengerti," jawab Paksi. "Kau telah
menyakitinya dengan sewenang-wenang, Ki Bahu Langlang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Bahu Langlang mengangguk-angguk. Katanya, "Ya.
Perempuan itu telah membalas dendam. Ia merasa gembira
melihat aku terbaring di halaman hampir mati. Tetapi itu
bukan salahnya." "Sudahlah," berkata Paksi. "Ki Bahu Langlang sudah selamat. Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Aku hanya ingin singgah, Ngger. Aku ingin mengungsi ke
rumah salah seorang kawan baikku. Mudah-mudahan ia
bersedia menerima aku."
"Ki Sanak tidak usah tergesa-gesa," berkata Ki
Pananggungan. "Aku sudah banyak mendengar tentang Ki
Sanak dari Paksi. Nampaknya Ki Sanak benar-benar sudah
berubah. Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku dapat
menawarkan tempat bermalam bagi Ki Sanak sebelum Ki
Sanak meneruskan perjalanan."
"Terima kasih, Ki Pananggungan. Bahwa Ki Pananggungan
sudah memaafkan aku, aku sudah berbesar hati. Dengan
demikian aku akan pergi tanpa membawa beban."
"Tetapi Ki Bahu Langlang masih nampak sulit untuk
berjalan. Apalagi perjalanan jauh."
"Tidak, Ki Pananggungan," jawab Bahu Langlang. "Aku sudah sering mengalami kesulitan yang lebih parah dalam
petualanganku. Seandainya di hari pertama ketika dua orang
perempuan dari Goa Lampin itu datang, perempuan yang
aku sakiti itu membuka rahasiaku, mungkin akibatnya akan


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih parah. Kedua orang perempuan itu agaknya tidak kalah
garangnya dengan orang dari Tegal Arang itu. Sementara itu
orang Tegal Arang itu menjadi agak lunak justru karena
perempuan yang aku sakiti itu bersedia ikut bersamanya.
Dengan demikian, maka laki-laki dari Tegal Arang itupun
segera pergi meninggalkan rumahku. Namun ternyata aku
masih hidup. Tetapi aku sadar, bahwa aku harus melarikan
diri. Namaku agaknya justru menjadi beban yang tidak
terusung di atas pundakku. Karena itu maka aku akan
mempergunakan nama lain seperti yang Angger Paksi katakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan selanjutnya melupakan masa lampauku yang gelap. Aku
harus mengakui, bahwa sebenarnya aku bukan apa-apa
dengan kehadiran orang-orang dari beberapa perguruan yang
telah mempunyai nama itu."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki
Pananggunganpun berkata, "Sukurlah jika peristiwa yang
terjadi pada Ki Sanak itu dapat membuka hati Ki Sanak."
"Yang pertama memaksa aku mengakui bahwa aku tidak
berarti apa-apa adalah Angger Paksi. Selanjutnya, peristiwa itu terjadi, sehingga rasa-rasanya aku memang tidak mempunyai
pilihan lain," berkata Bahu Langlang.
"Ki Sanak, aku masih ingin menawarkan, apakah Ki Sanak
bersedia beristirahat di sini sebelum meneruskan perjalanan,"
berkata Ki Pananggungan kemudian.
Tetapi Bahu Langlang itupun menyahut, "Terima kasih, Ki
Pananggungan. Terima kasih. Aku akan melanjutkan
perjalanan. Aku hanya sekedar singgah dan ingin
mengucapkan terima kasih kepada Angger Paksi atas
peringatan yang telah diberikan kepadaku sebelum ia
meninggalkan rumahku. Jika aku terlalu lama di sini, maka aku
akan menakut-nakuti Kemuning. Ketenangannya akan
terganggu. Adalah kebetulan sekali jika Kemuning tidak tahu
bahwa aku singgah kemari."
"Baiklah," berkata Ki Pananggungan. "Jika Ki Sanak memang akan melanjutkan perjalanan, apa boleh buat, tetapi
Kemuning tidak akan terganggu ketenangannya. Kami dapat
memberitahukan kepadanya, bahwa semuanya sudah
berubah." "Aku mohon diri, Ki Pananggungan. Aku akan melanjutkan
perjalanan, tetapi aku masih ingin menyampaikan pesan
kepada Paksi untuk berhati-hati. Nampaknya orang-orang
yang berkeliaran itu memang mencari sesuatu yang mereka
anggap sangat berharga. Jika mereka melihat ndaru itu jatuh
di sekitar tempat itu, maka mereka tentu akan berusaha untuk
menemukannya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sebenarnya tidak masuk akal jika mereka mencari ndaru
yang jatuh dari langit. Tetapi mereka menganggap bahwa
yang jatuh itu adalah sesuatu yang sangat berharga yang
cahayanya memancar seterang ndaru. Kecemerlangan
cahayanya itu menunjukkan betapa tingginya nilai benda yang
jatuh itu." "Apapun yang terjadi sebenarnya, namun orang-orang
yang berkeliaran itu sangat berbahaya," berkata Bahu
Langlang. "Angger Paksi sendiri dapat melihat sendiri apa yang terjadi pada diriku sekarang, meskipun Anggerlah yang
telah memperingatkan aku lebih dahulu sebelumnya."
"Terima kasih, Ki Bahu Langlang. Mudah-mudahan mereka
memang tidak akan sampai di sini."
Demikianlah, maka Bahu Langlang telah minta diri untuk
meneruskan perjalanannya untuk menemui sahabatnya.
Ki Pananggungan tidak dapat mencegahnya lagi. Bersama
Paksi, Ki Pananggungan mengantar kedua orang suami istri itu
sampai di regol. Bahu Langlang memang agak mengalami kesulitan untuk
berjalan. Tetapi seperti dikatakannya sendiri, ia sudah terbiasa mengalami keadaan seperti itu dalam petualangannya. Bahkan
kadang lebih parah lagi. Ketika Bahu Langlang menjadi semakin jauh, maka
keduanyapun telah duduk. Tidak di pendapa, tetapi di serambi
sebagaimana saat Bahu Langlang belum datang.
Namun baru saja mereka duduk, Nyi Permati telah datang
menemui Ki Pananggungan sambil berdesis, "Kemuning
menjadi ketakutan. Ia tahu bahwa Bahu Langlang telah
datang kemari." "Dari mana ia tahu?" bertanya Paksi. "Bukankah ia berada di belakang?"
"Ketika Bahu Langlang dan isteri utamanya itu datang,
Kemuning sedang berada di pintu seketheng. Dengan
demikian, ia melihat keduanya memasuki pintu regol
halaman." "Anak itu seharusnya sudah tidak boleh ketakutan lagi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Untunglah ia ikut mBokayu Pananggungan ke sawah,"
berkata Nyi Permati. "Kenapa?" bertanya Ki Pananggungan.
"Jika di sawah ia melihat Bahu Langlang lewat, maka anak
itu akan dapat lari tanpa dikendalikan lagi."
Ki Pananggungan kemudian tersenyum sambil bangkit
berdiri. Kepada Paksi iapun berkata, "Marilah kita temui anak itu."
Paksi kemudian berdiri pula mengikut Ki Pananggungan
masuk ke ruang belakang. Kemuning benar-benar menjadi ketakutan. Sambil duduk di
atas amben panjang, tubuh gadis itu menjadi gemetar.
Keringat dinginnya membasahi pakaiannya.
"Kau tidak boleh menjadi ketakutan seperti itu, Kemuning,"
pamannya duduk di sebelahnya sambil tersenyum. "Kau sudah berada di rumah paman. Di sini masih ada Paksi. Apa yang
kau takutkan" Sebenarnyalah Bahu Langlang memang tidak
berniat buruk. Ia hanya ingin sekedar singgah menemui Paksi.
Ia mengucapkan terima kasih, bahwa Paksi telah memberikan
peringatan sebelumnya. Namun ia juga ingin memperingatkan
Paksi apa yang dicemaskan itu benar-benar terjadi, sehingga
Paksi harus berhati-hati. Hanya itu. Kemudian Bahu Langlang
itu minta diri untuk meneruskan perjalanannya ke rumah
sahabatnya. Aku bahkan menawarkan kepadanya untuk
beristirahat di sini. Tetapi Bahu Langlang itu menolaknya, ia
tahu bahwa kau akan menjadi ketakutan."
Kemuning tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk
dalam-dalam. "Nah, untuk selanjutnya jangan lagi dibayangi oleh tingkah laku dan sikap Bahu Langlang. Ia sudah berubah dan bahkan
telah meninggalkan rumahnya. Ia tidak akan berani
mengganggumu lagi." "Tetapi orang itu justru sudah mengetahui rumah ini,
Paman." "Itu tidak apa-apa. Ia tidak akan berbuat apa-apa lagi."
"Kau dengar, Kemuning?" bertanya Nyi Permati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, Bibi." "Percayalah kepada pamanmu," berkata Nyi Permati
kemudian. Kemuning tidak menjawab, tetapi ia mengangguk
kecil. "Sudahlah. Beristirahatlah. Hari ini aku tidak pergi ke
sawah. Mungkin besok aku akan melihat seberapa banyak
tanah yang sudah ditanami oleh bibimu. Kalau kau mau, kau
boleh ikut pergi ke sawah. Aku akan mengajak Paksi. Agaknya
Paksi juga tidak akan berkeberatan."
Paksi tidak menjawab lain kecuali mengangguk sambil
mengiakan. Kemuningpun kemudian menjadi tenang. Ia tahu bahwa
pamannya dan Paksi benar-benar akan dapat melindunginya.
Karena itu, maka tubuhnya tidak akan menjadi gemetar
dan keringat dinginnya tidak mengalir lebih banyak lagi.
Sedikit lewat tengah hari, Nyi Pananggunganpun telah
pulang. Wajahnya menjadi kehitam-hitaman oleh teriknya
matahari. Tetapi Nyi Pananggungan kelihatan tetap segar setelah
mencuci kaki, tangannya dan wajahnya di sungai.
Nyi Permatilah yang bercerita kepadanya, bahwa Bahu
Langlang telah datang ke rumah itu.
"Apa yang dilakukannya?" bertanya Nyi Pananggungan.
"Ia tidak berbuat apa-apa. Tubuhnya nampaknya masih
kesakitan karena Bahu Langlang hampir mati berkelahi dengan
orang dari Perguruan Tegal Arang."
Namun kemudian dari Ki Pananggungan, isterinya
mendengar cerita tentang Bahu Langlang itu lebih jelas.
Di hari berikutnya, seperti yang dikatakan, Ki
Pananggungan yang pergi ke sawah bersama Nyi
Pananggungan telah mengajak Kemuning .
"Kelak kaupun harus dapat turun ke sawah," berkata Ki Pananggungan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku sudah biasa melakukannya, Bibi," jawab Kemuning.
"Aku juga sering pergi ke sawah bersama ibu, sebelum tiba-tiba ibu dan ayah menghilang."
"Bagus," berkata Nyi Pananggungan, "kau akan menjadi gadis yang terampil."
Kemuning tidak menjawab. Ia berjalan saja di depan, di
sebelah Nyi Pananggungan Sementara itu, Ki Pananggunganpun telah mengajak Paksi
pula pergi ke sawah. Karena Kemuning tidak ada di rumah,
maka Paksipun tidak perlu menunggui rumahnya. Apalagi Nyi
Permati tidak menyatakan keberatan untuk berada di rumah
hanya dengan para pembantu yang tinggal di rumah itu.
Udara terasa segar di bulak yang luas. Matahari yang mulai
memanjat langit melontarkan sinarnya yang lembut. Titik-titik
embun masih menyangkut di ujung daun-daun padi yang hijau
subur. Di langit sekawanan burung terbang melintas ke
selatan. Segarnya udara pagi, hijaunya daun padi yang menyelimuti
bulak, telah menyentuh hati Paksi. Tiba-tiba saja ia teringat
gubuknya yang ditinggalkannya. Jagung dan kacang
panjangnya yang tentu mendekati masanya dipetik. Paksi juga
teringat pada beberapa batang pohon kelapa yang diambil
niranya untuk dibuatnya menjadi gula. Jika terlalu lama pohon
kelapa itu tidak dideresnya, maka ia harus mulai dari
permulaan. Niranya akan menjadi sendat untuk beberapa
pekan. Hari itu, untuk beberapa lama Paksi berada di sawah.
Bersama Ki Pananggungan ia duduk di halaman gubuk kecil
yang dibuatnya di belakang tanggul parit yang selalu mengalir
di segala musim. Hampir di luar sadarnya, maka Paksipun kemudian berkata,
"Aku sudah terlalu lama pergi, Ki Pananggungan."
Ki Pananggungan yang sedang memperhatikan Kemuning
ikut menanam benih padi berpaling. Dengan nada dalam Ki
Pananggungan itu berkata, "Maksudmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya,
"Ki Pananggungan, sudah saatnya aku mohon diri. Aku sudah sepekan berada di rumah Ki Pananggungan."
Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Kemudian
katanya, "Kau akan pergi ke mana Paksi?"
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya,
"Aku seorang pengembara. Karena itu, maka aku ingin
melanjutkan pengembaraanku."
"Kemana?" bertanya Ki Pananggungan.
"Aku belum dapat mengatakan. Aku akan lebih banyak
menganut langkah kakiku, karena ke manapun aku pergi,
agaknya tidak akan ada bedanya."
"Paksi," berkata Ki Pananggungan kemudian, "bahwa kau dapat memberikan beberapa peringatan kepada Bahu
Langlang tentang kehadiran banyak orang di kaki Gunung
Merapi itu tentu karena kau memperhatikan mereka. Jika
mereka datang untuk mencari sesuatu, maka agaknya kau
menaruh perhatian pula terhadap yang mereka cari."
Paksi memandang Ki Pananggungan dengan tajamnya.
Namun kemudian Paksi menggeleng. Katanya, "Tidak Ki
Pananggungan. Jika banyak orang datang ke kaki Gunung
Merapi untuk mencari sesuatu, maka aku justru akan pergi
meninggalkan kaki gunung ini. Aku akan pergi ke barat, entah
sampai kemana." Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Suaranya
hampir tidak terdengar ketika ia bertanya, "Kau mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu?"
Wajah Paksi terasa menjadi panas. Tetapi ia tidak dapat
menggelengkan kepalanya meskipun ia tidak ingin
mengiakannya. Karena itu, maka akhirnya Paksi hanya
menundukkan kepalanya saja. Terasa ada ketegangan di
dalam dadanya. "Paksi," berkata Ki Pananggungan, "meskipun kau tidak mengiakannya, tetapi aku menangkap getar perasaanmu.
Baiklah. Jika kau tidak berkeberatan, aku ingin mengatakan
sesuatu kepadamu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi memandang Ki Pananggungan dengan tajamnya.
Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, "Aku
akan mendengarkannya, Ki Pananggungan."
Ki Pananggungan itu terdiam sejenak. Namun kemudian
iapun mulai berceritera, "Paksi, justru karena aku percaya kepadamu, aku ingin mengatakan kepadamu bahwa sebelum
pergi meninggalkan rumahnya, ayah Kemuning pernah datang
kepadaku. Ia berceritera tentang cincin istana yang hilang.
Iapun berceritera bahwa siapa yang memiliki cincin itu,
keturunannya akan dapat memegang kendali kekuasaan di
tanah ini apapun sebabnya. Mungkin karena perkawinan
dengan para bangsawan, mungkin karena sebuah perjuangan
yang gigih dan tidak mengenal menyerah, mungkin karena
keajaiban dan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Karena
itu, maka cincin itu seakan-akan telah menjadi rebutan.
Banyak orang yang mencarinya, termasuk kau, Paksi."
Paksi mengerutkan dahinya. Tetapi Ki Pananggungan
itupun dengan serta-merta menyambung, "Tetapi aku tahu
bahwa kau mencari cincin itu bukan karena ketamakanmu."
Paksi menarik nafas panjang, hampir saja ia mengatakan,
bahwa ia mendapat perintah untuk mencari cincin itu. Tetapi
niatnya diurungkannya. Sementara itu, Ki Pananggungan berkata, "Aku yakin
bahwa ayah dan ibu Kemuning tentu juga sedang mencari
cincin itu." "Tetapi kenapa mereka sampai hati meninggalkan
Kemuning sendiri." "Tidak sendiri. Tetapi bersama Nyi Permati."
"Namun yang terjadi kemudian, hampir sebuah
malapetaka," berkata Paksi.
"Itu agaknya tidak terpikirkan oleh orang tua Kemuning.
Namun akupun tidak ingin menyalahkan Nyi Permati. Ia
sangat mencintai Kemuning. Karena itu, maka ia ingin
membawa Kemuning kemari sepeninggal ayah dan ibunya."
Paksi mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki
Pananggunganpun berkata, "Sebenarnyalah Kemuning bukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak kedua orang yang dikenalnya sebagai ayah dan ibunya
itu." Paksi mengerutkan dahinya. Dengan serta-merta iapun
bertanya, "Jadi, anak siapa?"
"Anak Nyi Permati itu sendiri."
"O," Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia justru tidak dapat mengatakan sesuatu.
"Anak itu tidak pernah melihat ayahnya yang sebenarnya,
yang meninggal sebelum Kemuning dilahirkan."
Paksi masih saja mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu
ia bertanya, "Apakah Ki Pananggungan tahu, siapa ayah
Kemuning yang sebenarnya?"
"Ya, aku tahu. Ayahnya seorang perwira prajurit. Tetapi ia gugur dalam tugasnya bersama-sama dengan orang yang
harus diburunya. Seorang yang berilmu tinggi namun yang
telah menyalahgunakan kemampuannya itu. Sedangkan ayah
Kemuning juga seorang prajurit yang mumpuni, sehingga
keduanya sampyuh, mati bersama-sama. Bedanya, tubuh
ayah Kemuning mendapat perlakukan baik dan terhormat,
sedangkan lawannya tidak."
-ooo00dw00ooo- Jilid 07 PAKSI mendengarkan keterangan Ki Pananggungan dengan
sungguh-sungguh. Sementara Ki Pananggungan berkata
seterusnya, "Kau tentu tahu, kenapa aku menceriterakan hal ini kepadamu. Kau adalah seorang yang telah membebaskan
Kemuning dari kemungkinan yang paling buruk yang hampir
saja dialaminya. Selebihnya aku percaya kepadamu, bahwa
kau tidak akan mengatakan hal ini kepada Kemuning itu
sendiri. Ia tidak mengenal susunan keluarga yang lain kecuali
sebagaimana diketahuinya sekarang."
Paksipun menjawab dengan sungguh-sungguh, "Tentu Ki
Pananggungan, aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aku tahu bahwa hal itu akan dapat membuatnya menjadi
gelisah. Tidak hanya untuk satu bulan, tetapi tentu untuk
waktu yang sangat panjang, sepanjang umur Kemuning
sendiri." "Nah, sebenarnyalah aku masih mempunyai maksud lain
bahwa aku berceritera tentang Kemuning. Jika pada suatu
saat kau bertemu dengan tidak sengaja dengan kedua orang
tua Kemuning, sementara kedua orang itu melakukan tindakan
yang tidak terpuji, Kemuning jangan kau kaitkan dengan
tingkah laku kedua orang yang dianggapnya orang tuanya itu.
Karena sebenarnyalah aku tahu bahwa kedua orang tua
Kemuning itu, kadang-kadang memang terdorong untuk
melakukan apa yang tidak dilakukan orang lain."
"Tetapi aku belum pernah melihat orang tua itu, Ki
Pananggungan." "Kau mungkin akan melihatnya."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia
mengangguk-angguk pula sambil berkata, "Aku akan
mengingatnya jika aku bertemu sengaja atau tidak sengaja.
Tetapi aku belum mengenal ciri-ciri kedua orang tua Kemuning
itu." Ki Pananggunganpun kemudian telah menceriterakan ciri-
ciri dari kedua orang suami isteri itu, sehingga jika Paksi
bertemu dengan mereka, maka setidak-tidaknya ia akan dapat
menduga, bahwa keduanya adalah orang yang disebut
sebagai orang tua Kemuning.
Namun Paksi itupun bertanya pula, "Tetapi Ki
Pananggungan, apakah Kemuning mengetahui bahwa kedua
orang yang dianggap orang tuanya itu sering melakukan
tindakan-tindakan yang menurut tatanan kehidupan dianggap
tidak baik?" "Aku kira tidak, Paksi."
"Bagaimana dengan Nyi Permati?"
"Aku kira Nyi Permati sudah mengetahuinya. Tetapi sikap
kedua orang yang dianggap orang tua Kemuning itu di rumah
cukup pantas. Di rumah mereka tidak menunjukkan sifat-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sifatnya yang kurang baik. Ia mengajari Kemuning untuk
menjadi orang yang baik, melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang baik. Sehingga sifat-sifatnya yang tercela itu tidak
nampak sama sekali. Tetapi jika keduanya sudah keluar dari
rumah mereka dan apalagi menempuh petualangan panjang
seperti sekarang ini, maka sifat-sifat itu akan nampak dimana-
mana." "Tetapi apakah orang tua Kemuning itu berilmu tinggi?"
"Ya. Tetapi aku yakin, bahwa kemampuan mereka tidak
akan dapat mengimbangi ilmumu, Ngger. Apalagi jika gejolak
jiwamu sudah mapan dan dapat kau kendalikan, sehingga
tidak akan terjadi bahwa ilmu itu sudah kau lontarkan pada
saatnya kesiapan wadagmu belum sampai ke puncak."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih
atas peringatan ini, Ki Pananggungan."
"Jika pada suatu saat kau bertemu dengan gurumu,
cobalah kau perbincangkan hal itu. Namun agaknya tanpa
orang lain kau akan mampu melakukannya, membuat
keseimbangan itu." Sementara itu, mataharipun menjadi semakin tinggi. Paksi
mengulangi menyampaikan niatnya untuk mohon diri.
"Berhati-hatilah. Besok kau akan merambah jalan yang
terjal, berbatu-batu runcing, dan beronak duri-duri dengan
kaki telanjang. Mungkin kau akan menginjak tajamnya batu
padas, atau menginjak ujung eri kemarung atau tunggak
bambu yang patah." "Aku mohon doa restu, Ki Pananggungan."
"Tetapi aku tidak akan mencemaskanmu. Ilmumu dapat
dipercaya, apalagi bagi anak muda seumurmu. Dalam waktu
singkat ilmumu akan berkembang semakin tinggi, sehingga
orang-orang setua aku ini akan segera kau tinggalkan. Bahkan
pada suatu saat kau akan menjadi orang yang sulit untuk
dicari duanya." "Ki Pananggungan memuji aku. Tetapi jika aku tidak kuat
menyangga pujian, maka aku justru akan runtuh."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku tidak memuji. Aku mengatakan apa yang sebenarnya.
Tetapi kau tidak boleh memberi arti yang salah. Kau tidak
boleh menjadi sombong dan besar kepala. Jika hal itu terjadi,
maka kau benar-benar akan runtuh."
Paksi mengangguk. Ia sama sekali tidak merasa
tersinggung. Ki Pananggungan berkata dengan jujur
kepadanya. Karena itu, Paksi itu justru menjawab, "Aku akan selalu mengingatnya, Ki Pananggungan."
"Nah, aku tidak akan menahanmu lagi. Orang lain justru
datang ke kaki Gunung Merapi, namun akupun yakin, bahwa
yang mereka cari itu tidak berada di sini. Kaupun jangan
berharap untuk dapat menemukan cincin itu. Bukankah kau
dapat memperhitungkan kemungkinan seperti itu" Bagaimana
seseorang dapat menemukan cincin yang kecil itu di luasnya
tanah ini" Mungkin memang terjadi satu kebetulan. Tetapi kau
tidak perlu terlalu berharap. Menurunkan penguasa tanah ini
bukannya satu-satunya kebahagiaan yang dapat menyertai
hidup kita." Paksi mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Ki
Pananggungan, bahwa masih terdapat banyak kemungkinan
untuk menemukan kebahagiaan lahir dan batin.
Hari itu adalah hari terakhir Paksi berada di rumah Ki
Pananggungan. Menjelang malam, Paksi duduk bersama
seluruh keluarga Ki Pananggungan, termasuk Nyi Permati dan
Kemuning. Kepada mereka Paksi minta diri, bahwa esok pagi
ia akan meninggalkan rumah itu.
Terasa sesuatu bergetar di jantung Kemuning. Serasa
sesuatu akan terlepas dari ikatannya. Tetapi Kemuning masih
terlalu muda untuk dapat mengatakannya.
Dalam pada itu, dengan suara yang berat Nyi Permatipun
berkata, "Aku tidak dapat membalas kebaikan hatimu, Ngger.
Demikian pula Kemuning. "Hanya Yang Maha Agunglah
yang akan memberikan imbalan sepantasnya kepadamu."
"Apa yang aku lakukan tidak lebih dari apa yang
seharusnya aku lakukan, Bibi," jawab Paksi. "Karena itu, lupakan saja."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau juga akan melupakan kami?" bertanya Nyi Permati.
"Tidak," jawab Paksi dengan serta-merta. "Aku akan selalu ingat kepada keluarga disini. Bukankah aku pernah tinggal
disini meskipun hanya beberapa hari?"
"Sukurlah jika demikian," berkata Ki Pananggungan. "Aku harap pada suatu saat kau akan menginjak halaman rumah ini
lagi, Paksi." "Aku akan berusaha untuk datang lagi ke rumah ini, Ki
Pananggungan." "Terima kasih. Kami akan selalu menunggu kehadiranmu."
Rasa-rasanya Kemuningpun akan berpesan agar Paksi
sering datang untuk menengok rumah itu. Tetapi ia tidak
dapat mengucapkannya dengan bibirnya. Tetapi ketika Paksi
sekilas memandang matanya, rasa-rasanya harapan Kemuning
itu sudah terucapkan. Malam itu Paksi berbaring di dalam biliknya, di gandok
rumah Ki Pananggungan dengan gelisah. Ada dua dorongan
yang kuat yang saling bertentangan menggetar di hatinya.
Ada kerinduan terhadap gubuk kecilnya serta lingkungannya.
Tetapi rumah Ki Pananggungan rasa-rasanya mempunyai jari-
jari yang mencengkamnya. "Mata Kemuning itu demikian jernihnya," berkata Paksi di dalam hatinya. Namun kemudian ia berkata kepada dirinya
sendiri, "Umurku baru delapan belas. Sedangkan gadis kecil itu umurnya tentu baru sekitar lima belas."
Karena itu, maka Paksipun berusaha untuk menghapus
perasaannya itu. Ia masih terlalu muda untuk menambatkan
hatinya di pelabuhan cinta.
Lewat tengah malam Paksi baru dapat tidur. Tetapi juga
tidak terlalu lama. Ayam jantan yang berkokok di dini hari
telah membangunkannya. Paksipun kemudian pergi ke pakiwan. Mandi dan berbenah
diri. Ia benar-benar akan meninggalkan rumah itu di saat
matahari terbit nanti. Sebelum Paksi berangkat, Nyi Pananggungan masih sempat
menyediakan minuman hangat dan makan pagi seadanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekali lagi seisi rumah itu berharap agar Paksi sering datang
mengunjungi rumah itu. Menjelang matahari terbit, Paksi sudah siap untuk
berangkat. Sambil menjinjing tongkat kayunya, Paksi berdiri di pintu regol. Ki Pananggungan, Nyi Pananggungan, Nyi Permati
dan Kemuning berdiri berjajar untuk melepasnya.
Adalah di luar dugaan, bahwa Kemuning tiba-tiba berdesis
lirih, "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
tersenyum, "Itu adalah kewajibanku bagi sesama, Kemuning."
Kemuning sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun
lagi. Kepalanya menunduk dan bibirnya terkatup rapat.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Paksipun telah
meninggalkan rumah itu. Ia menempuh perjalanan yang
sebaliknya dari yang pernah dilakukannya untuk mengantar
Kemuning ke Padukuhan Kembang Arum.
Sebagai seorang pengembara, maka Paksi dapat mengenali
dengan baik jalan yang telah ditempuhnya, meskipun
dilakukan di malam hari. Dengan langkah-langkah langkah panjang Paksi menyusuri
bulak-bulak yang masih basah oleh embun. Di ujung daun
padi, butir-butir air yang menggantung berkilat-kilat
memantulkan cahaya matahari pagi.
Paksi mengayunkan tongkat kayunya. Di pepohonan
burung-burung bernyanyi tumpang tindih berebut nada tinggi.
Perjalanan Paksi memang menjadi jauh lebih cepat dari
perjalanannya bersama Kemuning dan Nyi Permati. Kecuali
kedua orang perempuan itu menjadi letih dan kakinya terasa
pedih, gelapnya malam semakin menghambat langkah
mereka. Namun, sendiri, Paksi rasa-rasanya dapat
berlenggang tanpa beban apapun.
Bulak demi bulak sudah dilaluinya. Sungai yang harus
diseberangi dan jalan menyusur pinggir hutan. Tidak ada yang
menghambat perjalanan Paksi.
Di perjalanan kembali itupun Paksi telah memilih jalan
melewati rumah Bahu Langlang. Tentu sudah berubah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sepeninggal Bahu Langlang. Ia tidak tahu, siapakah yang
kemudian menguasai atau yang diserahi untuk memelihara
rumah yang terhitung besar itu.
Mataharipun memanjat semakin tinggi. Panasnya mulai
terasa menggatalkan kulit. Semakin lama semakin panas.
Ketika matahari sampai di puncak langit, maka Paksi telah
berada di depan regol halaman rumah Bahu Langlang.
Halaman rumah itu nampak sepi. Lewat pintu regol yang
terbuka, Paksi dapat melihat halaman dan pendapa rumah
yang sepi. Ia tidak melihat seseorang. Tidak pula ada yang
menjemur gabah. Tetapi Paksi masih mendengar lenguh
seekor lembu di dalam lingkungan dinding rumah Bahu
Langlang. Tetapi Paksi tidak ingin singgah. Jika ada orang yang
mengawasi rumah itu dengan diam-diam dan tersembunyi,
maka kehadirannya akan dapat menarik perhatian. Sementara
itu Paksi masih belum ingin bersentuhan dengan orang-orang
yang datang dari beberapa perguruan yang sudah mempunyai
nama. Karena itu, maka Paksipun telah berjalan terus.
Dari rumah Bahu Langlang, Paksi berjalan menuju ke pasar.
Di pasar itulah ia bertemu dengan Nyi Permati yang ingin
menjual kain luriknya untuk memberi makan Kemuning.
Setidak-tidaknya untuk menunda derita yang akan dialami
gadis itu. Tetapi ternyata Yang Maha Agung telah
membebaskannya dari tangan Bahu Langlang dengan lantaran
tangan Paksi. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bersukur,
bahwa Yang Maha Agung telah mempergunakannya
membebaskan gadis yang masih sangat muda itu dari tangan
Bahu Langlang yang garang.
Ketika Paksi sampai di pasar itu, maka pasar telah menjadi
sepi. Tidak lagi ada orang yang berjual beli. Tidak ada pedati yang akan mengangkut kelapa. Yang ada di pasar itu hanya
dua orang yang sedang membersihkan sampah dengan sapu
lidi yang bertangkai panjang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi memandang berkeliling. Sebuah kedai masih separo
terbuka. Dua orang sedang sibuk membenahinya. Namun
ketika Paksi mendekat, pemilik kedai itu bertanya, "Apakah kau akan singgah, anak muda?"
"Bukankah kedai ini sudah akan ditutup?" bertanya Paksi.
"Aku masih menunggumu. Silahkan. Masih ada nasi, pecel
lele dan ayung-ayung."


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paksi mengangguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan singgah."
Paksipun kemudian telah masuk ke dalam kedai itu.
Pintunya kembali terbuka lebar. Tetapi beberapa jenis
makanan yang tinggal sedikit memang sudah dibenahi,
dimasukkan ke dalam tenong bambu dan siap untuk dibawa
pulang. Namun ketika Paksi duduk di sebuah lincak panjang,
tenong itu telah dibuka kembali dan diletakkan di sebuah
geledeg rendah di depan Paksi duduk.
"Pasar itu sudah sepi," desis Paksi.
"Matahari sudah turun ke barat," jawab pemilik kedai. Paksi mengangguk-angguk. Pembantu di kedai itupun telah
menghidangkan semangkuk minuman.
"Wedang sere," desis pemilik kedai itu.
Paksi mengangguk sambil berdesis, "Terima kasih."
"Anak muda akan makan?" bertanya pemilik kedai itu pula.
"Ya," Paksi mengangguk.
Sambil menghidangkan nasi dan lauk-pauknya, pemilik
kedai itu berkata, "Pasar memang agak sepi hari ini. Bahkan ketika matahari sampai ke puncak, para pedagang sudah
menyimpan dagangannya. Para pedagang kelapa pun
meninggalkan pasar ini lebih awal."
"Kenapa?" bertanya Paksi.
"Ada orang-orang yang kami anggap asing berkeliaran
kemarin. Kija, yang oleh Ki Bekel mendapat tugas untuk
menjaga ketertiban pasar ini hampir mati dianiaya."
"Kenapa?" bertanya Paksi.
"Tidak apa-apa. Kija hanya bertanya, siapakah mereka itu.
Namun tiba-tiba seorang di antara mereka telah memukulnya.
Sebagai seorang yang diserahi tanggung jawab oleh Ki Bekel,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
maka Kija berusaha menangkap orang itu. Tetapi ia justru
menjadi korban." "Kija dikeroyok oleh beberapa orang?"
"Tidak. Ia berkelahi melawan seorang di antara mereka.
Tetapi ternyata Kija sama sekali tidak berdaya."
"Kasihan," desis Paksi. "Lalu bagaimana keadaannya sekarang ini" Apakah ia menjadi berangsur baik atau
sebaliknya?" "Seorang dukun yang pandai tengah mengobatinya. Dukun
itu mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat
dipergunakan untuk mengobati bagian luarnya, tetapi juga
membuat obat-obat yang diminumnya."
Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih
banyak lagi. Jika ia nampak memperhatikan persoalan itu,
maka pemilik kedai itu justru akan merasakan sesuatu yang
lain padanya, sehingga ia akan menjadi semakin ingin lebih
banyak mengetahui tentang dirinya atau bahkan dirinya akan
dihitungnya sebagai orang-orang asing itu pula.
Tetapi di luar dugaan Paksi, pemilik kedai itulah yang
kemudian berceritera atas kehendaknya sendiri, "Tetapi
sebenarnya bukan hanya kemarin saja pasar ini didatangi oleh
orang-orang yang tidak dikenal. Tidak seperti kau, anak muda
Meskipun aku belum pernah melihatmu sebelumnya, tetapi
kau nampak wajar seperti orang lain. Bedanya, kau yang
masih muda itu membawa tongkat. Jarang anak-anak muda
membawa tongkat kemana-mana. Hanya orang-orang tua
yang susah berjalan yang membawa tongkat."
"Tongkat ini tongkat wasiat, Ki Sanak," sahut Paksi sambil tersenyum.
"Tongkat wasiat?" pemilik kedai itu mengerutkan dahinya.
"Maksudku, tongkat ini tongkat kakekku yang karena sudah
terlalu tua, sehingga susah berjalan. Ketika kakekku
meninggal, maka tongkat ini selalu aku bawa kemana-mana.
Kakek adalah orang yang sangat baik kepadaku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku kira
tongkat wasiatmu adalah tongkat yang memiliki kekuatan
yang luar biasa." "Ah, tidak Ki Sanak. Bagiku, dengan membawa tongkat ini,
rasa-rasanya aku selalu dekat dengan kakekku yang sudah
tidak ada lagi itu."
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya,
benda-benda yang khusus memang dapat menjadi lantaran
untuk merasa selalu dekat dengan pemiliknya."
Paksi mengangguk-angguk pula. Namun kemudian
mulutnya sibuk mengunyah sehingga ia tidak berkata apa-apa
lagi. Pemilik kedai itu tidak mengganggunya pula. Dibiarkannya
anak muda itu menikmati makan dan minum di kedainya.
Namun dalam pada itu, apa yang terjadi di pasar itu
merupakan pertanda bagi Paksi, bahwa orang-orang dari
berbagai perguruan itu telah semakin tersebar. Bukan saja
nama Bahu Langlang yang telah memancing mereka, tetapi
mereka memang telah merayap kemana-mana untuk mencari
cincin bermata tiga butir batu akik yang mereka perkirakan
jatuh di sekitar tempat itu setelah terbang mengarungi langit
dengan memancarkan cahayanya yang terang seperti cahaya
ndaru. "Satu pertanda buruk bagi daerah ini," berkata Paksi di dalam hatinya.
Tetapi Paksipun telah teringat pula kepada rumah
gubuknya. Jika orang-orang yang mencari cincin itu
berkeliaran semakin jauh, maka ada kemungkinan satu dua
orang sampai ke gubuknya. Jika demikian, maka mungkin
sekali mereka akan melakukan sesuatu yang dapat
merugikannya. Mungkin gubuknya, perabot-perabot dapurnya
atau mungkin tanamannya akan rusak.
Karena itu, maka rasa-rasanya Paksi ingin segera sampai ke
rumah gubuknya yang masih terhitung jauh.
Demikianlah, maka Paksipun kemudian telah melanjutkan
perjalanannya. Keinginannya untuk segera sampai di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gubuknya, telah mendorongnya untuk berjalan terus,
meskipun kemudian matahari tenggelam ditelan cakrawala.
Paksi yang memiliki ketahanan tubuh yang tinggi itu
melangkah di dalam kegelapan. Ia tidak berjalan terlalu cepat.
Tetapi seakan-akan tidak berhenti sama sekali.
Bulak demi bulak dilewatinya. Ia berusaha untuk
menghindari padukuhan-padukuhan. Dalam keadaan yang
menggelisahkan akan dapat timbul salah paham dengan para
peronda. Karena itu, maka kadang-kadang Paksi berjalan di atas
pematang, tanggul, parit atau menyelusuri sungai-sungai kecil.
Tetapi suatu ketika Paksi memang ingin berjalan lewat
sebuah padukuhan yang besar. Mungkin ada sesuatu yang
menarik perhatiannya. Ia sudah menyiapkan jawaban-jawaban
jika para peronda menghentikannya dan bertanya banyak hal
tentang dirinya. Tetapi ternyata di padukuhan itu tidak terdapat seorangpun
yang meronda. Gardu-gardu nampak sepi. Bahkan oncorpun
tidak dinyalakan. Paksi mencoba untuk mengerti, apa yang telah terjadi.
Agaknya orang-orang asing itupun telah mulai berkeliaran di
padukuhan itu, siang atau malam. Karena itu, maka orang-
orang padukuhan itu, terutama di malam hari, tidak ada yang
berani keluar dari rumahnya. Dengan demikian, maka laki-laki
di padukuhan itu tidak pula berani pergi ke gardu.
"Tentu pernah terjadi sesuatu yang membuat para
penghuni padukuhan ini ketakutan," berkata Paksi di dalam hatinya.
Di malam yang sepi itu Paksi melangkah lewat di depan
regol yang satu ke regol yang lain. Semuanya tertutup rapat.
Dari celah-celah dinding rumah Paksi melihat cahaya lampu
minyak yang suram. Tetapi rumah-rumah di pinggir jalan itu
rasa-rasanya telah membeku. Mungkin satu dua penghuninya
masih belum tidur. Namun padukuhan itu telah benar-benar
dicengkam oleh kesepian. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi berjalan terus. Ia tidak mau mengusik kediaman
padukuhan itu. Ketika ia melewati sebuah gardu, maka ia
melihat kentongan yang tergantung pada emper gardu itu.
Tetapi kentongan itu seakan akan sedang beristirahat panjang
dari tugas-tugas yang harus dipikulnya. Ketika Paksi sempat
meraba kentongan itu, maka jari-jari tangannya merasakan
debu yang tebal melekat pada kentongan itu.
"Sudah beberapa lama kentongan ini tidak dibunyikan?"
bertanya Paksi kepada diri sendiri.
Tetapi Paksi tidak dapat menyalahkan para penghuni
padukuhan itu. Mereka memang tidak akan dapat melawan
orang-orang dari beberapa perguruan yang berkeliaran di
padukuhan itu. Sehingga karena itu, maka jalan yang dapat
mereka tempuh adalah sekedar menghindar, menutup pintu
rumah dan regol halaman. Paksi melangkah terus. Angin malam yang dingin
mengusap wajahnya yang berkerut. Di sebelah menyebelah
jalan, pepohonan berdiri tegak dengan kokohnya. Daun-
daunnya bergerak lembut disentuh angin.
Paksi berjalan terus menapak di atas jalan padukuhan yang
gelap dan sepi. Paksi benar-benar berjalan terus malam itu. Hanya sekali-
sekali ia berhenti sejenak, duduk sambil memandangi langit
yang ditaburi bintang-bintang yang tidak terhitung jumlahnya.
Tetapi Paksi tidak membiarkan angan-angannya menjadi
ngelangut melihat luasnya langit.
Sekali-sekali Paksi melihat bintang yang meluncur
menembus lengkung langit. Kecil saja dan sinarnya tidak
sampai menguak malam seperti ndaru. Seleret, lalu hilang
lagi. "Apa sebenarnya yang ada di balik birunya langit itu?"
bertanya Paksi kepada diri sendiri.
Tetapi Paksi tidak pernah menemukan jawabnya. Yang ia
tahu adalah sifat dari beberapa bintang. Ki Marta Brewok
pernah memberitahukan kepadanya tentang beberapa macam
bintang yang ada di langit. Ada di antara bintang-bintang itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang dapat menunjukkan arah, musim dan bahkan petunjuk
bagi petani untuk mengerjakan sawahnya. Alangkah besarnya
ciptaan Yang Maha Agung. Namun Paksi tidak terlalu lama merenungi langit. Iapun
kemudian bangkit dan melanjutkan perjalanan. Rasa-rasanya
ia ingin segera sampai ke gubuk kecilnya.
Ketahanan tubuh Paksi memang sangat tinggi. Ia berjalan
terus memanjat kaki Gunung Merapi setelah melewati pasar
yang sering dikunjungi. Tetapi pasar itu sepi. Bahkan tempat
pemberhentian pedati dan penginapan dari para pedagang
yang mencari dan menjual dagangannya di pasar itu nampak
sepi pula, meskipun ada juga satu dua pedati di halaman yang
becek berkubangan dan kotor. Para pemilik pedati itu mencuci
pedatinya di halaman itu juga kemudian membersihkan sisa-
sisa kotoran yang ada di dalamnya dan membuangnya di
sembarang tempat. Sementara itu, halaman itu sendiri tidak
terlalu sering dibersihkan.
Meskipun angin malam yang dingin terasa berhembus
semakin deras di kaki gunung, tetapi pakaian Paksi menjadi
basah oleh keringat. Semakin dekat dengan gubuk kecilnya,
Paksi justru berjalan semakin cepat, sementara malam
menjadi semakin dalam. Bahkan telah melampaui
pertengahannya. Dari padukuhan-padukuhan terdengar kokok ayam jantan
bersahutan. Padukuhan-padukuhan yang telah dikenal dengan
baik oleh Paksi. Semakin tinggi Paksi memanjat kaki gunung, maka
udarapun terasa menjadi semakin dingin. Tetapi Paksi sudah
terbiasa dengan dinginnya udara pegunungan. Apalagi malam
itu ia telah berjalan panjang, sehingga keringatnya membuat
tubuhnya menjadi hangat Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia memasuki jalan
setapak. Semakin jauh, jalan itu menjadi semakin sempit dan
berbatu-batu padas yang sekali-sekali terasa menusuk telapak
kaki. Jalan yang jarang sekali disentuh oleh kaki manusia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah melewati gumuk-gumuk kecil, maka Paksipun
menjadi semakin dekat dengan gubuk kecilnya.
Rasa-rasanya malam menjadi sangat gelap. Tetapi
pandangan mata Paksi yang sangat tajam dapat melihat
benda-benda yang ada di sekitarnya meskipun berada di
kegelapan. Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia melangkah
mendekati gubuknya. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun. Ia melihat cahaya di
dalam gubuk kecilnya. Cahaya lampu minyak sebagaimana ia
sering menyalakannya. Paksi berhenti beberapa langkah dari gubuknya. Ia mulai
menduga-duga, siapakah yang telah menyalakan lampu
minyak itu. "Mungkin Guru," desis Paksi di dalam hatinya.
Namun akhirnya Paksipun telah memaksa dirinya untuk
mendekati gubuk itu. Paksi terkejut ketika ia mendengar suara seseorang dari
dalam gubuk itu, "Marilah. Jangan berhenti di situ. Pintunya tidak aku selarak."
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
didorongnya pintu gubuknya sehingga terbuka.
Paksi memang terkejut ketika ia melihat seorang yang
masih terhitung muda duduk di dalam gubuknya. Di atas ajug-
ajug, lampu minyaknya menyala menerangi ruangan yang
tidak terlalu luas itu. "Siapakah kau?" bertanya Paksi kepada orang yang duduk di dalam gubuknya itu.
Orang itu dengan pandangan mata yang tajam memandang
Paksi yang berdiri di depan pintu. Dengan tenangnya iapun
mempersilahkan Paksi, "Masuklah. Duduklah."
"Siapakah kau?" Paksi mengulang.
"Duduklah. Kita akan berbicara."
Suara orang itu mengandung wibawa yang besar, sehingga
Paksi seakan-akan telah dicengkamnya tanpa dapat menolak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perlahan-lahan Paksi melangkah memasuki gubuk itu. Ia
menjadi sangat berhati-hati. Ia belum mengenal orang itu.
Karena itu, Paksipun telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi menilik wajah dan pandangan matanya, orang yang
masih terhitung muda itu bukan orang yang licik. Ketika Paksi
duduk dua langkah di hadapannya orang itu beringsut
setapak. "Siapakah kau, Ki Sanak?" bertanya orang itu.
"Akulah yang berhak bertanya kepadamu. Rumah ini
rumahku."

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O," orang itu mengerutkan dahinya. "Jadi rumah ini rumahmu" Maaf, aku tidak tahu. Dalam pengembaraanku aku
menemukan rumah ini kosong, sementara ada beberapa
macam perkakas dapur yang tertata rapi. Rumah ini sangat
menarik bagiku. Aku menunggu pemiliknya sampai sehari-
semalam. Tetapi tidak ada seorangpun yang datang. Bahkan
sampai dua hari, tiga hari. Karena itu, akulah yang kemudian
merasa diriku menjadi tuan rumah di gubuk ini."
"Jadi, siapakah kau?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat
iapun berkata, "Namaku Wijang. Aku seorang pengembara
yang menjelajahi satu tempat ke tempat yang lain."
"Apakah yang kau cari dalam penjelajahanmu itu?"
Orang yang menyebut dirinya Wijang itu mengerutkan
dahinya. Namun kemudian iapun menggelengkan kepalanya
sambil berkata, "Tidak ada."
Tetapi tiba-tiba saja Paksi menebak, "Kau juga mencari
sebentuk cincin bermata tiga butir batu akik?"
Orang itu nampak terkejut. Dipandanginya Paksi dengan
kerut di dahinya. Tetapi yang meloncat dari mulutnya adalah
sebuah pertanyaan, "Siapa namamu?"
"Namaku Paksi."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi cincin itu
ada padamu sekarang?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku sama sekali tidak tertarik pada cincin itu," jawab Paksi.
"Jangan ingkar," berkata orang yang mengaku bernama
Wijang itu. "Cincin itu tentu ada padamu."
Paksilah yang kemudian memandang wajah orang yang
mengaku bernama Wijang itu. Seorang laki-laki yang bertubuh
tegap. Wajahnya bersih dan bahkan seakan-akan
memancarkan sinar. Kedua matanya yang tajam, tetapi jernih
itu nampak berkilat-kilat di bawah cahaya lampu minyak di
ajug-ajug. "Ada beberapa orang yang berkeliaran di sekitar tempat ini untuk mencari sebuah cincin," berkata Paksi, "tentu termasuk kau, Ki Sanak."
"Namaku Wijang," desis orang itu.
"Ya," Paksi mengangguk-angguk, "tetapi aku sendiri tidak merasa memerlukannya."
"Kau bohong. Menilik lingkungan kecilmu, kau tentu sudah
lama berada di sini. Kau tentu tidak hanya sekali ini saja siap memanen jagung dan bahkan padi gaga. Tanaman-tanaman
yang lain memastikan keyakinanku itu."
"Ya. Aku sudah setahun disini. Tetapi aku sama sekali tidak menginginkan cincin itu. Kehadiranku disini sama sekali tidak
ada hubungannya dengan usaha untuk menemukan cincin itu.
Aku baru mendengar bahwa ada sebuah cincin yang sedang
diburu, justru dari orang-orang yang berdatangan disini."
"Kau dapat berkata apa saja. Tetapi aku yakin, kaulah yang menyimpan cincin itu."
"Terserah kepadamu. Tetapi aku melihat cincin itupun
belum pernah. Apalagi memilikinya."
"Kebetulan sekali kau datang, Paksi," berkata orang itu.
"Kau tidak usah ingkar. Berikan cincin itu kepadaku. Kemudian aku tidak akan mengganggumu lagi."
"Aku katakan sekali lagi Wijang, aku tidak membawa cincin itu."
"Jika kau tidak mau menyerahkan cincin itu, maka aku akan mengambil sendiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dimana akan kau ambil?"
"Aku akan mencarinya. Tentu ada padamu. Mungkin di
kantong ikat pinggangmu, mungkin di kampilmu atau justru
kau sembunyikan di dalam tongkatmu itu. He, kenapa kau
membawa tongkat?" Dahi Paksi itupun berkerut. Menilik ujudnya, orang itu tentu
berbeda dengan orang-orang yang sering berkeliaran untuk
mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu. Seandainya
orang ini juga mencarinya, tentu tidak dengan cara
sebagaimana dilakukan oleh orang-orang dari berbagai
perguruan itu. Dalam pada itu, maka orang itupun kemudian berkata,
"Paksi. Sebaiknya kita berbaik hati, supaya kita tidak usah berselisih. Berikan saja cincin itu kepadaku. Mungkin kau
memerlukan imbalan yang pantas. Aku akan berusaha
memenuhinya." "Wijang," berkata Paksi, "aku tidak perlu mengatakan dua tiga kali lagi. Cincin itu tidak ada padaku."
Tetapi orang yang menyebut dirinya Wijang itu berkata,
"Jangan mempersulit dirimu sendiri."
Paksipun kemudian bangkit berdiri. Ia melangkah
mendekati lampu minyaknya untuk menarik sumbunya yang
sudah hampir terbenam ke dalam minyak sehingga nyalanya
terlalu kecil. Kemudian sambil berdiri di sebelah lampu minyak itu ia berkata, "Aku atau kau yang mempersulit diri."
Wijang memandang Paksi dengan kerut di kening.
Namun dengan demikian, maka Wijang itu telah
menghadap ke arah lampu minyak. Jika semula wajahnya
tidak nampak jelas karena ia tidak menghadap ke arah lampu,
maka kemudian Paksi dapat melihat wajah itu. Apalagi nyala
lampunya telah dibesarkannya.
Sebenarnyalah Paksi terkejut. Ia merasa sudah pernah
mengenal wajah itu meskipun ia belum pernah mengenalnya.
Sebagai anak seorang tumenggung, maka sekali-sekali Paksi
pernah berada di lingkungan istana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika di istana diselenggarakan satu upacara, ia pernah
mendapat kesempatan untuk ikut bersama ayahnya. Beberapa
orang kawannya juga ikut bersama ayah mereka.
Tetapi anak para tumenggung itu tidak diijinkan masuk ke
paseban. Mereka berada di halaman dalam istana sambil
menunggu ayah mereka yang berada di paseban. Anak-anak
itu akan menyaksikan keramaian yang khusus
diselenggarakan. Pada saat itu Paksi melihat seorang anak muda
menunggang kuda lewat di halaman dalam istana tanpa harus
turun dari kudanya. Menurut ingatan Paksi, anak muda yang
naik kuda itulah orang yang berada di dalam gubuknya itu.
Tetapi satu hal yang Paksi tahu, bahwa orang itu tentu tidak
mengenalnya. Meskipun Paksi yakin bahwa ia tidak keliru, namun ia pura-
pura tidak mengenalinya. Karena itu, maka iapun kembali
duduk. Meskipun demikian ia berusaha untuk sedikit
membelakangi lampu minyak, sehingga orang yang ada di
dalam gubuknya itu lebih banyak menghadap ke arah lampu
minyak. Semakin lama Paksi memandanginya, maka iapun menjadi
semakin yakin. Bahwa orang yang berkuda di halaman istana
itulah orang yang sekarang duduk di hadapannya itu.
Untuk beberapa saat Paksi berdiam diri. Orang itulah yang
kemudian berkata, "Paksi. Aku memberimu kesempatan untuk
berpikir. Besok pagi-pagi aku ingin mendengar, apakah kau
mau menyerahkan cincin itu atau tidak."
"Jika tidak," jawab Paksi.
"Sudah aku katakan, aku akan mengambilnya sendiri."
Paksi menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, orang itupun berkata, "Baiklah. Karena
rumah ini rumahmu, maka aku akan keluar. Aku akan tidur di
luar sambil menunggu matahari terbit. Aku akan mendengar
jawabmu tentang cincin itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sebenarnya kau tidak usah menunggu sampai esok.
Sekarang aku sudah dapat memberi jawaban. Cincin itu tidak
ada padaku." Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Kau masih didera
oleh gejolak perasaanmu. Kau masih terlalu muda untuk dapat
menimbang langkah-langkahmu dengan jernih. Karena itu,
aku menunggu sampai esok."
Tetapi ketika orang itu bangkit, Paksipun bertanya, "Kau
akan pergi ke mana?"
"Aku akan tidur di luar," jawab orang itu.
"Udara dingin di sini. Tidur sajalah di dalam. Aku tidak akan membunuhmu selagi kau tidur."
Orang itu tertawa. Katanya, "Aku percaya kepadamu, Paksi.
Tetapi jika aku tidur di dalam, maka gubukmu ini akan terasa
terlalu sempit." "Tidak," jawab Paksi. "Aku akan mengatur perkakas dapur itu, agar ruangan ini dapat kita pergunakan untuk tidur
berdua." "Kau tidak takut bahwa akulah yang membunuhmu?"
bertanya orang yang mengaku bernama Wijang itu.
"Tidak. Kau tidak akan melakukannya."
"Ternyata kau telah membuat satu kesalahan yang besar.
Kau terlalu percaya kepada orang yang sebenarnya belum kau
kenal. Dari mana kau mendapatkan satu keyakinan bahwa aku
tidak akan membunuhmu?"
"Aku mencoba untuk menilai ujud, sikap dan tingkah
lakumu." "Ujud seseorang tidak selalu mencerminkan sikap, tingkah
laku dan wataknya, karena sikap dan tingkah laku itu dapat
dibuat-buat, justru sangat bertentangan dengan wataknya
yang sebenarnya." "Tetapi kenapa kau juga mempercayai aku, sedangkan kau
juga belum mengenal aku yang sebenarnya."
"Menurut nalarku, aku percaya kepadamu. Tetapi aku
sadar, bahwa aku harus berhati-hati. Mungkin kau termasuk
orang yang berpura-pura dapat dipercaya. Karena itu, aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan tidur di luar. Kau tidur di dalam. Pintu harus kau selarak, sehingga aku tidak akan dapat masuk dengan diam-diam."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegah
orang itu lagi ketika ia melangkah keluar pintu gubuknya.
Demikianlah, maka orang yang menyebut dirinya bernama
Wijang itu benar-benar tidur di luar gubuk dalam cuaca yang
dingin. Sedang Paksipun telah menyelarak pintu.
Bagaimanapun juga, ia memang harus berhati-hati. Seperti
yang dikatakan sendiri oleh orang yang datang ke gubuknya
itu, ia memang belum mengenal orang itu seutuhnya.
Meskipun orang itu benar yang dilihatnya berkuda di halaman
istana, namun ia tidak tahu pasti tentang sifat dan wataknya.
Malam itu Paksi tidur dalam gelap. Ia memadamkan lampu
minyaknya, sehingga rasa-rasanya di dalam gubuk itu lebih
gelap daripada di luarnya. Tetapi mata Paksi yang tajam,
apalagi jika ia mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya,
akan mampu melihat dalam kegelapan tidak terlalu jauh
berbeda dengan penglihatannya di dalam terang.
Malam itu Paksi dapat tidur nyenyak. Pendengarannya yang
tajam akan membangunkannya jika orang itu membuka pintu
gubuknya dengan paksa, atau bahkan merusak dindingnya.
Sebenarnyalah malam itu tidak terjadi sesuatu. Orang yang
menyebut dirinya bernama Wijang itu tidak berbuat curang
sebagaimana Paksi juga tetap berada di gubuknya.
Menjelang pagi, seperti biasanya Paksi telah bangun.
Setelah menyalakan lampu minyaknya, maka iapun membuka
pintu gubuknya dan melangkah keluar. Langit masih nampak
hitam. Tetapi suara burung liar telah menggema di hutan-hutan
lereng pegunungan. Seperti biasanya pula Paksipun menyalakan perapian,
menjerang air sebelum langit menjadi terang. Ketika ia melihat simpanan berasnya, ternyata sisanya masih tetap utuh.
Karena itu, maka iapun telah mencuci beras pula dan
menanak nasi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, maka Paksipun telah pergi ke sungai untuk
mandi dan kemudian berbenah diri.
Ketika cahaya fajar nampak di langit, maka Paksipun telah
memadamkan perapiannya. Nasi sudah masak dan airpun
sudah mendidih. Paksi telah membuat wedang jahe yang
dapat menghangatkan tubuhnya di dinginnya udara
pegunungan. Ketika kemudian Paksi keluar lagi dari gubuknya, ia melihat
orang yang menyebut dirinya Wijang itu sudah duduk di atas
sebuah batu yang besar. Di batu itu pulalah, Ki Marta Brewok
sering duduk jika ia mengunjungi Paksi.
"Kau ternyata termasuk anak muda yang rajin. Kau bangun
pagi-pagi sekali. Melakukan segala kewajibanmu dengan baik."
"Dimana kau tidur semalam?" bertanya Paksi.
"Aku tidur di ladang jagungmu. Nampaknya kau hampir
panen. Ketela pohonmu juga sudah cukup umur untuk
dicabut. Kau dapat membuat geplek yang tahan lama
disimpan." Paksi mengangguk. Katanya, "Ya. Dua tiga pekan lagi aku
akan mencabutnya dan menjemurnya setelah dikuliti."
"Nah, sekarang waktu yang aku berikan sudah sampai pada
batasnya. Kau harus menjawab, apakah kau bersedia
memberikan cincin itu kepadaku atau tidak."
"Jangan tergesa-gesa. Aku akan pergi ke sungai untuk
menangkap ikan. Kita akan memanggang ikan itu untuk
makan pagi. Kita akan membicarakan persoalan kita setelah
kita makan pagi. Kau dapat duduk sambil minum wedang jahe
hangat sambil menunggu aku kembali dari sungai."
"Sampai kapan kau akan menangkap ikan?" bertanya
Wijang. "Tidak terlalu lama. Di kedung kecil terdapat cukup banyak ikan yang mudah ditangkap."
Wijang termangu-mangu sejenak. Sementara itu Paksipun
mempersilahkannya, "Masuklah. Kau tahu dimana letaknya
mangkuk. Kau dapat menuang wedang jahe itu sendiri."
"Kau akan pergi ke sungai?" bertanya Wijang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya," jawab Paksi.
"Jika demikian, biarlah aku ikut."
Paksi mengerutkan dahinya. Tetapi iapun kemudian
mengangguk sambil menjawab, "Silahkan jika kau inginkan."
Keduanyapun kemudian telah pergi ke sungai. Di tikungan
sungai itu terdapat sebuah kedung kecil. Di kedung kecil itu
memang terdapat cukup banyak ikan, sehingga Paksi tidak
memerlukan waktu yang lama untuk menangkapnya. Di tebing
kedung kecil itu Paksi menyimpan sebuah lembing kecil yang
panjang. Dengan lembing itu Paksi menangkap beberapa ekor
ikan. "Menyenangkan sekali," berkata Wijang. "Berikan lembing itu. Aku juga akan menangkap ikan seperti kau lakukan."
Paksi memberikan lembing itu. Wijang yang berdiri di bibir
kedung itupun kemudian telah menangkap ikan dengan
lembing sebagaimana dilakukan oleh Paksi.
Namun selagi Wijang sibuk menangkap ikan, maka di luar
sadarnya, seekor ular yang merambat di tebing telah mematuk
kakinya. Wijang terkejut. Paksipun terkejut pula. Ia melihat ular itu
dengan cepat menjalar dan hilang di dalam lebatnya
rerumputan dan ilalang. "Wijang," berkata Paksi dengan cemas, "aku mempunyai obat penawar racun. Kau dapat mengobatinya untuk
menawarkan racun ular itu jika tidak terlambat."
Tetapi Wijang sendiri tersenyum. Sambil membidik seekor
ikan kakap yang besar Wijang berkata, "Jangan hiraukan. Ular itu tidak akan menyakiti aku."
Paksi mengerutkan keningnya. Sementara itu, Wijang telah


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melemparkan lembingnya tepat mengenai sasarannya.
Paksi masih berdiri termangu-mangu. Ternyata Wijang itu
sama sekali tidak menghiraukan patukan ular belang yang
racunnya sangat tajam itu.
Namun setelah memungut ikan kakap yang besar itu,
Wijang duduk di atas rerumputan. Dipijitnya luka di kakinya
itu. Darah yang hitam kebiru-biruan mengembun dari lukanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu. Namun kemudian disusul dengan titik-titik darah merah
yang segar. Wijang tersenyum. Diusapkan darahnya yang merah itu.
Katanya, "Racun itu tidak akan menggangguku."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian Wijang
berdiri, Paksipun bertanya, "Kau juga mempunyai obat
penawar racun?" Wijang mengangguk. Katanya, "Aku harus melengkapi
bekal dalam pengembaraanku yang panjang ini."
Paksi mengangguk-angguk pula. Namun tiba-tiba Wijang
itupun berkata, "Bukankah kita sudah mendapat ikan cukup
banyak untuk makan pagi?"
Paksi memandang seonggok ikan di tepi kedung kecil itu.
Jawabnya, "Ya. Marilah kita pulang."
Keduanyapun kemudian kembali ke gubuk Paksi. Wijanglah
yang kemudian membersihkan ikan itu, sementara Paksi
membuat api. "Di siang hari jarang sekali aku membuat api. Jika aku
membuat api untuk memanggang ikan, maka aku
mempergunakan arang agar asapnya tidak terlalu banyak.
Asap akan dapat mengundang perhatian orang atas tempat
ini. Tempat yang selama ini tidak pernah dikunjungi orang lain kecuali kau," berkata Paksi kemudian.
"Jika aku tidak tersesat, maka aku tidak akan sampai
kemari," berkata Wijang kemudian.
Demikianlah, maka keduanyapun kemudian telah asyik
memanggang beberapa ekor ikan yang telah digarami.
Kemudian, selagi ikan itu masih hangat, serta nasinyapun
ternyata masih hangat pula, mereka telah makan pagi.
"Aku belum pernah makan senikmat ini," berkata Wijang.
"Meskipun dihidangkan berbagai macam lauk, namun
semuanya selalu terasa hambar. Baru sekarang aku benar-
benar mendapat lauk yang sesuai dengan seleraku."
Paksi mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba saja ia
bertanya, "Apakah bagimu selalu dihidangkan berbagai macam lauk?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang terkejut. Tetapi dengan serta-merta iapun
menyahut, "Seandainya. Tetapi sekali-sekali aku memang
pernah menghadapi beberapa macam lauk di saat aku
bertamu." Paksi tersenyum. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Beberapa saat keduanya makan sambil berbincang tentang
ikan gurami, kakap, bader dan bahkan wader bang dan wader
pari. Rasa-rasanya mereka lupa, seberapa banyak nasi yang
sudah mereka makan serta wedang jahe yang sudah mereka
hirup. Tiba-tiba saja Wijang menarik nafas dalam-dalam.
Diletakkannya mangkuknya yang telah kosong sambil
berdesah, "Aku terlalu banyak makan pagi ini."
Paksi tertawa. Katanya, "Aku makan lebih banyak. Tetapi
aku tidak merasa terlalu kenyang."
"Kau makan berapa ekor ikan" Aku makan lebih dari tiga
ekor ikan kakap yang besar itu."
"Aku sudah sering makan ikan panggang."
"Kau juga berburu rusa atau kijang di hutan itu?" bertanya Wijang.
"Kadang-kadang," jawab Paksi.
"Menarik sekali. Aku menyenangi cara hidupmu," berkata Wijang kemudian.
"Kau tidak akan dapat bertahan lama."
"Apakah kau sama sekali tidak bergaul dengan orang lain?"
bertanya Wijang. "Tentu. Aku sering pergi ke pasar. Aku mempunyai
beberapa orang sahabat di pasar. Di antaranya seorang anak
kecil. Namanya Kinong."
"Bagaimana kau tetap merahasiakan tempat tinggalmu
terhadap sahabat-sahabatmu itu?"
"Ternyata aku dapat melakukannya. Tidak seorang pun di
antara mereka yang tahu, bahwa aku tinggal disini."
Wijang mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia berkata,
"Aku akan tinggal disini. Aku akan mengusirmu setelah kau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
serahkan cincin itu. Aku akan memiliki rumah ini, kebun
jagung dan padi gaga."
"Masih ada yang lain," Paksi justru menambahkan, "kebun pisang, pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang tepian
sungai, rumpun pring cendani dan pring tutul."
"Kau mempunyai rumpun pring tutul" Kenapa kau tidak
membuat perabot gubukmu ini dengan pring tutul" Lincak
panjang atau geledeg."
"Aku lebih senang tidur dengan ketepe."
"Bagus. Jika demikian, aku akan mengambil alih gubuk ini.
Tetapi aku memberi kesempatan kepadamu sampai kau
memetik jagung yang sudah hampir waktunya itu."
"Kau akan berhenti bertualangan?" bertanya Paksi.
"Aku akan bertualang dari tempat ini. Maksudku, setiap kali aku akan kembali kemari. Beristirahat untuk dua tiga hari, lalu pergi bertualang lagi."
Tetapi jawab Paksi mengejutkan, "Ambillah."
Dahi Wijang berkerut. Dengan ragu ia bertanya, "Kau tidak mempertahankan hakmu?"
"Aku tahu kau tidak akan kerasan tinggal disini sampai
setengah musim. Jika hujan turun, maka segala-galanya akan
berubah." Wijang memandang Paksi dengan tajamnya. Katanya, "Aku
tahu bahwa kau sekedar menakut-nakuti aku, agar aku
mengurungkan niatku."
"Tidak. Aku tidak ingin mengurungkan niatmu. Sudah aku
katakan, kau tidak akan bertahan setengah musim. Kau tentu
merasa lebih senang tinggal di istana."
Wijang terkejut. Dengan serta-merta iapun bertanya,
"Istana yang mana?"
Paksi termangu-mangu sejenak. Bahkan ia bertanya kepada
diri sendiri, "Apakah aku terlalu cepat untuk berterus-terang?"
Paksi memandang Wijang sejenak. Wajahnya nampak
tegang. Sementara Paksi yang sudah terlanjur menyinggung
kenyataan tentang Wijang itupun berkata selanjutnya, "Aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak tahu siapakah kau sebenarnya. Tetapi aku sudah
mengenalmu sebelumnya."
"Dimana?" bertanya Wijang.
"Aku sudah beberapa kali harus berkelahi dengan orang-
orang yang tidak benar-benar ingin berkelahi. Meskipun
dengan perkelahian itu aku selalu mendapat pengalaman baru
serta petunjuk-petunjuk yang berharga. Namun sekarang aku
tidak ingin berkelahi dengan kau. Sekali lagi, aku tidak tahu
siapa sebenarnya kau ini. Tetapi jika aku salah menyebutmu
dan aku keliru mengetrapkan unggah-ungguh, itu bukan
karena aku bersikap deksura. Tetapi karena kebodohanku dan
ketidak-tahuanku." "Kenapa kau tiba-tiba mengigau" Bangkit. Kita akan
berkelahi. Sudah waktunya kau berikan cincin itu kepadaku."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku baru saja
makan. Dan kau merasa terlalu kenyang. Tidak baik untuk
banyak bergerak." "Kau memang iblis kecil," geram Wijang. Tetapi wajahnya tidak menunjukkan gejolak kemarahan di dadanya.
Paksi menggeleng. Katanya, "Aku sedang malas untuk
berkelahi sekarang."
"Baik. Melawan atau tidak melawan, aku akan berkelahi."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia justru
mengumpulkan mangkuk-mangkuknya yang kotor sambil
berkata, "Aku sudah terlalu lama menahan diri untuk
mengatakan, bahwa aku pernah melihat kau di istana. Hanya
orang-orang berkedudukan tinggi atau bahkan hanya keluarga
istana saja yang tetap duduk di punggung kudanya di halaman
istana." Wajah Wijang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia
menjawab, "Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Aku belum pernah pergi ke istana. Bahkan aku belum pernah
memasuki kotaraja. Aku pengembara yang menelusuri jalan-
jalan pegunungan, lembah dan ngarai yang panjang. Berjalan
seurut pantai berpasir, berendam di sungai, kedung dan rawa-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rawa. Menyusup di antara semak-semak berduri di hutan-
hutan yang lebat." "Aku percaya. Tetapi keluarga istana pun ada yang
melakukannya pula. Sebelum naik tahta Pajang, Kangjeng
Sultan juga seorang pengembara."
"Siapa yang mengatakannya kepadamu" Apakah kau
mengenal Kangjeng Sultan?"
"Tidak. Tetapi banyak orang yang mengatakannya."
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Paksi
berkata, "Aku tidak ingin berteka-teki. Aku harus bersikap benar. Karena itu, aku ingin tahu, dengan siapa aku
berhadapan." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata
aku juga terkelabuhi. Aku kira hanya aku sajalah yang telah
mengetahui bahwa aku berhadapan dengan Paksi Pamekas,
putera Ki Tumenggung yang hanya aku kenal dengan gelar
Tumenggung Sarpa Biwada."
Paksilah yang menjadi sangat terkejut. Dengan suara yang
bergetar iapun berkata, "Dari mana kau tahu namaku dan
bahkan keluargaku?" Wijang tersenyum. Katanya, "Seorang pengemis tua
berceritera kepadaku tentang seorang anak muda yang
sedang mengembara. Ia sempat memberikan tongkat
pusakanya kepada anak muda itu. Sementara itu orang yang
wajahnya dikotori oleh rambut, jambang, kumis dan janggut,
juga berceritera tentang Paksi Pamekas, anak seorang
tumenggung yang mengembara karena mendapat perintah
dari ayahnya untuk mencari sebuah cincin bermata tiga butir
batu akik." "Aku tidak pernah berceritera kepada mereka, bahwa aku
adalah anak seorang tumenggung. Aku adalah anak dari
Padukuhan Banyuanyar."
Orang yang menyebut dirinya bernama Wijang itu tertawa.
Katanya, "Mungkin mereka bermimpi bertemu dengan ayahmu
yang berkedudukan tinggi itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi memang menjadi bingung. Namun kemudian, Paksi
itupun bertanya, "Baiklah. Aku tidak ingkar. Nampaknya segala sesuatunya sudah nampak terang di pandanganmu. Sekarang,
siapakah kau sebenarnya, yang tetap duduk di atas punggung
kuda di halaman dalam istana Pajang."
Orang yang masih terhitung muda itu tiba-tiba membuka
kantong ikat pinggangnya. Paksi terkejut bukan kepalang
ketika ia melihat orang yang menyebut dirinya bernama
Wijang itu telah mengeluarkan sebentuk cincin. Cincin mas
dengan tiga butir batu akik.
"Cincin itu," Paksi hampir berteriak.
Orang yang menyebut dirinya Wijang itu tersenyum.
Katanya, "Bukankah kau mendapat perintah untuk mencari
cincin ini?" "Ya," jawab Paksi.
"Ambil cincin ini dari tanganku. Kau yang sudah ditempa
oleh Ki Marta Brewok serta mendapat senjata yang tidak ada
duanya itu tentu akan dapat mengalahkan aku."
Wajah Paksi menjadi tegang. Ketika ia memandang wajah
orang yang menyebut dirinya Wijang itu, ia melihat bibir yang
tersenyum. Sama sekali bukan greget seorang yang sedang
menantang untuk berkelahi.
"Tolong," berkata Paksi, "sebutkan siapakah kau sebenarnya. Aku tidak ingin berteka-teki lebih lama lagi."
Orang itu masih tersenyum. Dengan nada rendah iapun
berkata, "Namaku Benawa."
Paksi terkejut sekali. Rasa-rasanya ia mendengar suara
petir yang meledak di telinganya. Ia pernah mendengar nama
itu. Benawa adalah putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri.
"Ampun, Pangeran," Paksi membungkukkan kepalanya
dalam-dalam, "hamba tidak tahu, bahwa hamba berhadapan
dengan Pangeran Benawa. Yang hamba ketahui, bahwa orang
yang menyebut dirinya Wijang ini adalah tentu keluarga istana
dan berkedudukan tinggi, sehingga dapat tetap duduk di
punggung kudanya di halaman dalam istana. Tetapi hamba
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak mengira bahwa Wijang itu adalah Pangeran Benawa itu
sendiri." Pangeran Benawa tertawa pendek. Katanya, "Jangan
panggil aku pangeran. Panggil aku Wijang. Kau tidak usah
merubah sikapmu. Anggap aku kakakmu sendiri."
"Tetapi Pangeran adalah putera Kangjeng Sultan."
Wijang mengangguk. Tetapi katanya, "Siapapun aku.
Panggil aku Wijang."
"Hamba, Pangeran," Paksi mengangguk hormat.
Namun kemudian Wijang itupun bertanya, "Kau percaya
bahwa akulah Pangeran Benawa" Setiap orang dapat
menyebut dirinya Pangeran Benawa. Apakah hanya karena
kau melihat aku berkuda di halaman dalam istana, dan aku
menyebut namaku Benawa kau langsung mempercayainya?"
"Pangeran membawa cincin yang sedang dicari itu.
Selebihnya hamba mendengarkan kata nurani hamba."
"Baiklah. Tetapi sekali lagi aku minta, panggil aku Wijang.
Aku adalah kakakmu dalam pengembaraan ini. Atau jika kau
tidak berkeberatan, aku akan ikut tinggal di gubuk ini untuk
sementara sebelum aku memutuskan meneruskan
pengembaraan ini." "Tetapi orang-orang yang mencari cincin itu berkeliaran
disini, Pangeran." "Panggil aku Wijang."
Paksi hanya menarik nafas panjang. Tetapi bibirnya tidak
bergerak. Wijanglah yang kemudian berkata, "Aku justru ingin
melihat, apa saja yang mereka lakukan disini."
"Tetapi jika mereka mengetahui bahwa cincin itu ada di
tangan Pangeran, maka mereka akan menempuh segala cara
untuk merebutnya, karena mereka menganggap bahwa cincin
itu memiliki tuah. Siapa yang memiliki dan mengenakan cincin
itu di jarinya, maka ia akan menurunkan penguasa di tanah
ini." "Kau masih belum dapat menyebut namaku Wijang.
Cobalah. Kau akan terbiasa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik," jawab Paksi.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah cincin ini benar-benar merupakan pertanda, bahwa
seseorang akan dapat melahirkan penguasa di tanah ini, aku
tidak akan mengatakan apa-apa. Tetapi jika beberapa orang
keluarga istana memerintahkan orang-orang terpercaya
mencarinya, sebenarnya bukan hanya karena cincin ini. Tetapi
keluarga istana itu juga mencari aku. Mereka tahu bahwa
akulah yang membawa cincin ini. Tetapi di samping itu
ternyata ada juga yang menganggap bahwa petugas-petugas
khusus itu telah memburu cincin yang hilang."
"Kenapa Pangeran meninggalkan istana."
Pendekar Pemetik Harpa 23 Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong Kisah Si Bangau Putih 4
^