Pencarian

Pedang Kiri 7

Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Bagian 7


berusia 25-an, pakaiannya ketat, warna biru tua, mengenakan
caping bambu, pedang besi terselip di pinggang, alisnya tebal,
wajahnya kelam mengkilap. tulang pipinya agak menonjol,
mulutnya yang lebar terkancing rapat, sepasang matanya besar
dan memancarkan sinar terang lagi mendelik pada Ban Jin-cun
tanpa berkedip. jelassikapnyayanggaranginitidakbermaksudbaik.
"Saudaracarisiapa?"tanyaBanJin-cun, menghentikanmakan
"Kau" sahut pemuda baju biru tua, suaranya kaku dingin.
Merasa belum pernah kenal, Ban Jin-cun merasa heran,
tanyanya: "Ada petunjuk apa saudara mencariku?"
"Kau murid golongan Ui-san?"tanyapemudabaju biru tua.
Setiap murid Ui-san semua menggunakan hiasan ronce pedang
warna kuning, soalnya tiga puluh tahun yang lalu keluarga Ban dari Ui-san ber-turut2 pernah menjabat tiga kali Bulim-bengcu, maka
ronce kuning menjadi simbol kebesaran margaban dari Ui-san-dan
ini sudahdiakuioleh kaumpersilatanumumnya.
"Betul," sahut Ban Jin-cun, "cayhe Ban Jin-cun, entah saudara darialiran mana"Adakah ber-musuhan denganpihak Ui-san kami?"
Pemuda baju biru tua menyeringai,jengeksnya: ."Aku datang
dari Ciok-bun, aku bernama Kho Keh-hoa."
Mendengar orang datang dari Ciok-bun, berubah hebat air muka
Ban Jin-cun, tanyanya dengan suara berat: "Pernah apa kau
dengan Liok-hap-kiam Kho cin-hoan?"
"Beliau ayahku almarhum," sahut Kho Keh-hoa.
Mendadak Ban Jin-cun ter-gelak2 katanya: "Ha ha, kebetulan sekali, orang she Ban memang-nya mau meluruk ke Ciok-bun."
Keluarga Kho dari Ciok-bun adalah marga terkemuka dari Liok-
hap-bun yang sudah termashur di seluruh pelosok dunia, Liok-hapkiam Kho cin-hoan terkenal dengan ilmu pedangnya yang menjagoi
Bu-lim, konon tiada seorang musuh yang pernah melawannya
lewat tujuh jurus, oleh karena itu umum lantas memberi julukan
Liok-hapkiam (pedang enam jurus) kepadanya.
Kho Keh-hoa terkekeh, ejeknya: "Akupun dalam perjalanan ke Uisan untuk mencarimu."
Gemeratak gigi Ban Jin-Cun, desisnya: "Bagus sekali, hari ini kita bertemu di sini, marilah kita cari tempat untuk menyelesaikan pertikaian kita ini."
"Boleh kau pilih tempatnya," tentang Kho Keh-hoa.
"Lapangan latihan di pintu selatan, bagaimana?" kata Ban Jin cun setelah berpikir sejenak.
"Boleh saja, cayhe akan berangkat lebih dulu, kalian boleh makan minum sekenyangnya dulu," dingin dan congkak sekali
kata2 Kho Keh-hoa. Agaknya dia salah kira bahwa Cu Jing adalah
teman Ban Jin-cun, sembari bicara, dengan hina iapun melirik Cu Jing lalu melangkah pergi.
Saking gusar muka Ban Jin-cun membesi hijau, ingin dia
menjelaskan bahwa Cu Jing bukan temannya, tapi Kho Keh-hoa
sudah melangkah turun loteng. Ia menjadi kikuk. katanya
menyesal: "Dia kira Cu-heng adalah temanku, harap saudara cu tidak berkecil hati."
Selamanya belum pernah Cu Jing kelana di Kangouw, tapi dia
merasakan sikap dan pembicaraan kedua orang tadi penuh
dendam, keduanya berjanji duel dilapangan latihan di pintu
selatan-Sudah tentu dia tidak tahu pertikaian apa di antara kedua orang ini" Tapi dari sikap masing2 ia yakin bahwa permusuhan
kedua orang ini tentu amat mendalam. Maka dengan sikap tak
acuh ia berkata: "Dia telah mengundangku juga, sudah tentu aku harus memenuhi undangannya."
"Ini. ..... ai," sikap Ban Jin-cun tampak serba salah, "soal ini tiada sangkut pautnya dengan Cu-heng."
Cu Jing tertawa dingin: "Enteng saja saudara Ban bicara, "dia sudah mengundangku, kalau aku tidak hadir berarti nyaliku kecil"
Ketahuilahselamanyatakpernahaku mengalahterhadapsiapapun."
Ban Jin-cun melenggong, katanya tertawa: "Cu-heng memang
belum tahu duduk persoalannya, keluargaku bermusuhan sedalam
lautan dengan keluarga Kho, hari ini kalau bukan dia yang mati
biarlah aku yang gugur, pertikaian balas membalas di kalangan
Kangouw ini, apalagi saudara cu orang luar, lebih baik engkau
jangan ikut campur."
Ia rogoh uang receh serta panggil pelayan, katanya: "Rekening saudara cu ini sekalian kubayar." Lalu ia berpaling ke arah Cu Jing serta menjura, katanya: "Ber-hati2lah Cu-heng dalam perjalanan, kalau aku tidak mati, kelak semoga bertemu lagi." Segera dia panggul buntalannya terus turun loteng.
Lama Cu Jing melongo mengawasi Ban Jin-cun yang menghilang
di bawah tangga, ia berpikir: "Ban Jin-cun adalah anak didik keturunan keluarga Ban di Ui san, sedang Kho Keh-hoa adalah
keturunan keluarga Kho di cioksbun, keduanya bukan kaum jahat,
memangnya ada permusuhan mendalam apakah di antara kedua
keluarga besar ini ?"
Bergegas dia berdiri serta menjemput pedang terus memburu
turun ke bawah loteng. Sementara kuda ia titipkan kepada pelayan restoran serta tanya di mana letak lapangan latihan di pintu selatan itu, lalu dia cepat2 menuju tempat yang ditunjuk.
Setiba di pintu selatan dia belok menyusuri sebuah gang dan
tibalah dia di sebuah tanah lapang berumput hijau, itulah alun2
yang cukup besar dan luas, sayang tempat ini tidak terawat,
banyak rumput liar tumbuh subur setinggi pinggang.
Tepat di tengah lapangan sana, berdiri berhadapan dua
pemuda, mereka adalah Kho Keh-hoa dan Ban Jin-cun. Karena
ingin tahu sebab musabah permusuhan kedua pemuda ini, diam2
Cu Jing merunduk lebih dekat, lalu sembunyi di belakang serumpun pohon bambu yanglebihdekatdaritengah lapangan.
" Kenapa kau tidak menungguku?"
"Nona mau ke mana"
"Kau menyamar lagi bukankah ka hendak menemuka pengejaranmu?" , u n "Betul, kenapa?"
"Aku ikut, boleh tidak?"
Kun-gi tertegun, sahutnya menggeleng: "Jangan,
non cant dan suci, mana boleh seperjalanan ber-samaku?"
a ik Terdengar Kho Keh-hoa tengah mengejek: "Kau hanya datang
Mengira jejaknya diketahui Kho Keh-hoa, dengan dongkol
segera Cu Jing melompat keluar, dengusnya: "Kau mengundangku kemari, memang-nya salah bila aku hadir?"
Kurang senang tampaknya Ban Jin-cun, katanya: "Cu-heng,
kenapa kau-pun ikut kemari?"
"Apa katamu" Ikut kemari?" jawab Cu Jing, "kenapa aku harus ikut orang" orang she Kho tadi menantangku juga, sudah tentu
aku harus kemari." Kho Keh-hoe ter-gelak2, serunya: "Baik sekali kau berada di sini, anggota keluarga Ban tiada seorangpun yang akan kulepaskan-"
Mencorong benci sorot mata Ban Jin-cun, teriaknya bengis: "Apa yang kau katakan memang cocok dengan maksud hatiku, setiap
insan marga Kho takkan seorangpun kuampuni jiwanya, cuma
saudara cu ini bukan sanak keluarga Ban kami, kebetulan tadi kami bertemu di loteng restoran, jadi tiada sangkut pautnya dengan duel kita ini."
"Baiklah, asal dia tidak ikut turun tangan, aku tidak akan pandang dia sebagai musuh," ujar Kho Keh-hoa. "Sreng" tiba2 dia melolos pedang besi yang terselip dipinggang, bentaknya:
"Sekarang kita mulai"
"Bagus sekali," seru Ban Jin-cun, pelan2 ia pun keluarkan pedang dari buntalannya.
Sambil angkat pedangnya, berkata Kho Keh-hoa dengan
mengertak gigi: "orang she Ban dengarlah, Dengan pedang besi di tanganku ini Kho Keh-hoa akan menagih 28 jiwa besar kecil
keluarga kho terhadap marga Ban kalian, setiap insan she Ban
merupakan musuh bebuyutan keluarga kami, kau boleh tumplek
seluruh kemampuan yang terang takkan kulepas kau pergi dengan
selamat." Menunjuk sorot gusar pada sinar mata Ban Jin-cun, bentaknya
beringas: "Tutup bacotmu, bapakmu Kho cin-hoan yang memimpin segerombolan bangsat berkedok. malam2 menggerebek
perkampungan keluarga Ban kami, ayah bundaku dan 19 jiwa
lainnya dibantai habis2an, aku bersumpah menuntut balas atas
kematian keluargaku itu, kini kalau tidak kuhancur leburkan
tubuhmu, tidakterlampiasdendamkesumatku."
"Keparat kau," damprat Kho Keh-hoa, "yang terang bapakmulah yang membawa gerombolan bandit menyerbu ke rumah kami, 28
jiwa tua muda dicacah hancur luluh, berani kau memfitnah pihak
kami malah." Kaget dan heran Cu Jing mendengar caci-maki dan saling tuduh
ini, ia membatin: "Kedua-nya bilang ayah mereka membawa
gerombolan dan main sergap di malam hari, bukan mustahil dalam
persoalan ini ada latar belakangnya?"
Terdengar Ban Jin-cun berjingkrak gusar, makinya: "Kau
kunyuk. kau yang main tuduh dan memfitnah."
"Perang mulut tiada gunanya, lihat pedangku" bentak Kho Kehhoa. "Sret", pedangnya yang pan-jang segera menusuk.
"Serangan bagus." seru Ban Jin-cun, segera ia balas menyerang.
Musuh besar berhadapan, mata sama membara, maka serangan
kedua pihak sama2 ganas tanpa kenal ampun lagi, terdengar
rentetan bunyi benturan nyaring, keduanya sama mengembangkan
ilmu pedang warisan keluarga masing2 dan saling labrak dengan
sengit. Menyaksikan pertarungan sengit ini, berkerut kening Cu Jing,
teriaknya keras: "Hai, kalian lekas berhenti, dengarkan
omonganku." Tapi kedua pemuda ini sama berdarah panas, sudah kesetanan
lagi oleh dendam keluarga yang tidak terlampias, mereka tidak
hiraukan seruan Cu Jing, malah gerakan pedang mereka semakin
gencar untuk merobohkan musuh.
Melihat seruannya diremehkan, Cu Jing naik pitam, dengusnya:
"Patut mampus, kalian tidak mau dengar nasihatku, boleh silakan saling ganyang, mati hidup kalian memangnya tiada sangkut
pautnya dengan aku" Karena marah, dia putar badan hendak
tinggal pergi. Tiba2 seseorang seperti berbisik di pinggir telinganya: "Kau kemarisebagai penengah, belummemisah kenapaditinggalpergi"
Cu Jing tertegun, dia berpaling dan Celingukan, tapi tiada
bayangan orang lain, keruan ia bingung dan heran-Kalau kuping
sendiri salah dengar, tapi jelas ada orang berbisik di pinggir
telinganya, takmungkinsalah lagi.
Tengah dia celingukan dengan bingung, suara itu berkata pula
"Hai, Buyung, kenapa melongo saja" Tidak lekas kau maju
memisah, satudiantara mereka mungkin bisa mati konyol."
Kali ini Cu Jing mendengar jelas, orang di belakangnya. Dengan
sigap dia membalik badan, tapi tetap tidak melihat bayangan
seorangpun, keruan ia terkejut, jelas orang itu bicara di
belakangnya, kenapa tidak kelihatan, dengan merinding dia
bertanya: "Siapakah kau?"
"Aku ya aku," suara itu berbisik pula.
"Masa kau tidak punya she dan nama?" ta-nya Cu Jing.
"Betul, aku orang tua memang tidak punya she dan nama,"
sahut suara itu dengan tertawa.
Di kala orang bicara, dengan gerakan cepat Cu Jing membalik
badan, tapi tetap tidak melihat bayangan orang. Malah suara orang berkumandang di telinganya: "Kau tidak usah berpaling, umpama kau putar2 sampai pusing tujuh keliling juga tidak akan bisa
melihat aku orang tua."
"Memangnya kau setan" seru Cu Jing. Tanpa terasa dia
merinding. "Di siang hari bolong mana ada setan" seru suara itu. "Aku orang tua ini adalah dewa hidup sungguhan, kau percaya tidak?"
CuJinggeleng kepala, katanya:"Akutidakpercaya."
"Tidakpercayatidak jadisoal, lekas melerai mereka."
"Mereka lagi berhantam sengit, bagaimana aku bisa
memisahnya?" "Kau tidak usah kuatir, loloslah pedangmu, gunakan jurus
Thianto-tiong-ho terus terjang ke tengah mereka, aku akan
membantumu secara diam2."
Segera bisikan suara itupun menerangkan lebih lanjut:
"Thian-totiang-ho adalah sejurus ilmu pedang dari Bu-tong-pay, kau bisa mainkan tidak" Yaitu pedang tusuk lurus ke depan, lalu ujung pedang mendongak keatasterusdi sendalsajabegitu."
"segampang itu?" seru Cu Jing tidak percaya.
"Kan maksudmu memisah" sudah tentu semakin gampang
semakin bermanfaat. Ai, buyung, jangan banyak bertanya, cukup
asalkaubergayadanberpura2saja, biarakuyang membantumu. "
"Umpama berhasil memisah mereka, apakah mereka mau di
lerai?" tanya Cu Jing.
"Setelah mereka kau pisah, bekerjalah lebih lanjut menurut petunjukku."
Dengan seksama Cu Jing dengarkan suara orang, terasa serak
dan rendah berat, ia tahu pasti seorang cianpwe kosen yang aneh tabiatnya, maka dia manggut2, katanya: "Baiklah, aku akan
bekerja menurut petunjukmu " Setelah berpikir lalu dia bertanya pula "Apakahnanti kautidakakan unjukkan dirimu?"
"Kau Buyung ini mewakilkan aku bekerja kan sudah cukup,
muncul atau tidak bagiku sama saja. Nah, lekas maju, ingat jangan pedulikan jurus serangan apapun yang tengah mereka lancarkan,
kau tetap gunakan jurus Thian-to-tiong-ho saja."
Dengan heran dan penuh tanda tanya Cu Jing keluarkan pedang
terus mendekati gelanggang.
Waktu itu pertempuran Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa sudah
mencapai babak genting menentukan, pedang mereka dengan
berlomba kecepatan merobohkan lawan, lingkaran sinar pedang
laksana kelebat kilat menyamber.
Ui-san kiam-hoat mengutamakan ketenangan dan
kemantapan-Sebaliknya Liok-hap-kiam dari keluarga Kho yang
tersohor mengutamakan tusukan dan menutuk. oleh karena itu
murid didiknya semua menggunakan batang pedang yang tipis dan
panjang, begitu ilmu pedang dikembangkan, bagai bintik2 sinar
perak bertaburan. Konon kalau Liok-hap-kiam-hoat diyakinkan
sampai taraf tertinggi, sejurus gerakan pedang sekaligus dapat
menusuk telak 36 Hiat-to musuh, maka dapatlah dibayangkan
betapa cepat gerak serangannya.
Kira2 tujuh kaki di luar gelanggang pertempuran Cu Jing sudah
merasa silau dan tersampuk oleh angin kencang yang
membendung langkahnya, bayangan orang dan sinar pedang sukar
dia bedakan, sesaat ia berdiri melongo tak tahu apa yang harus dia kerjakan"
Baru saja ia merandek, suara tadi lantas mendesaknya: "Sudah kubilang jangan kau pedulikan mereka. Nah, bersiaplah, angkat
pedangmu dan cungkil." -Begitu suara orang masuk telinga, tanpa kuasa tangan kanan Cu Jing yang memegang pedang tiba2
bergerak terusmenyongkelke depan-
Kalau dituturkan memang aneh, dengan serampangan
pedangnya menyongkel, tapi justru menimbulkan kejadian aneh.
Terdengar "trang-tring" dua kali, kedua batang pedang Ban Jin cun dan Kho Keh-hoa yang sedang saling labrak dengan sengit itu
lengket seperi tersedot oleh besi sembrani, semuanya menindih
pada ujung pedang Cu Jing tanpa bisa bergeming lagi.
Keruan kedua orang sama terbelalak kaget, mereka kerahkan
tenaga dan menarik sekuatnya, tapi pedang mereka seperti
melengketdiujungpedangCu Jing, takkuasa mereka menariknya.
Merah mata Ban Jin-cun, serunya: "Cu-heng, aku takkan hidup berjajardengandia, lebihbaikjangan kau turutcampur."
Kho Keh-hoa juga menggerung murka, teriaknya:. "Apa2an
maksud saudara ini?"
Pada saat itulah, suara tadi mengiang pula di telinga Cu Jing:
"Buyung, sekarang beritahu mereka bahwa atas perintah gurumu, kaudisuruhmeleraiperkelahian mereka."
Cu Jing merasa heran, batinnya: "Masa kedua orang ini juga tidak melihat bahwa di belakangku ada orang?" Maka sambil
menuding pedangnya ia berkata: "Kalian harap berhenti dulu, atas perintah guru cayhe sengaja kemari untuk melerai permusuhan
keluarga kalian." "Cu-heng," kata Ban Jin-cun, "Sakit hati kematian orang tua setinggi langit, ini bukan permusuhan biasa, buat apa Cu-heng
mencampuri urusan ini"
"Betul,"jengek Kho Keh-hoa, "aku pantang berdiri sejajar di dunia ini dengan dia, kalau bukan aku yang gugur, biar dia yang mampus, tak usah orang lain melerai segala."
Cu Jing tersenyum, katanya: "Kalian sama2 menuduh ayah
lawan menyerbu rumah kalian serta membunuh segenap anggota
keluarganya, kukira dalamperistiwa ini adalatarbelakang....."
Tiba2 suara tadi terkekeh dipinggir telinganya, katanya: "Tepat sekali ucapanmu Buyung."
"Memang betul omongan Cu-heng, ayahku almarhum sudah
meninggal setahun yang lalu karena sakit, mana mungkin
memimpin orang menyerbu ke Ciok-bun segala, keparat ini hanya
membual belaka." "Kaulah yang membuat," maki Kho Keh-hoa, "Sudah terang bapakmu membawa gerombolan penjahat menyergap rumah kami,
seluruh keluargaku tiada yang ketinggalan hidup, ayahku jelas
meninggal di bawah pedang bangsat she Ban, mana mungkin
membawa orangnya menyerbu ke Ui-san, jelas kau memfitnah dan
cari alasan belaka untuk menista pihak kami, aku bersumpah
takkan hidup berdampingan dengan keluarga Ban kalian-Keparat,
lihat pukulan" Karena pedang mereka lengket dengan pedang Cu Jing dan tak
kuat ditarik kembali, saking murka Kho Keh-hoa lantas ayun
kepalan menggenjot ke muka Ban Jin-cun, Sudah tentu Ban
Jin-cun tak mau kalah, jengeknya: "Memangnya aku takut
padamu?" iapun ayun tangan kiri balas menyerang.
Jarak kedua orang cukup dekat, maka kedua pihak lantas
beradu pukulan-Tapi begitu kepalan saling sentuh, seketika mereka merasakan sesuatu yang ganjil, hakekatnya kepalan sendiri tidak bersentuhan dengan kepalan lawan, di tengah antara mereka seolah2 ada lapisan lunak yang tidak kelihatan membendung pukulan mereka, musuh jelas terlihat di depan mata, tapi pukulan sukar
mencapai sasaran. Hati mereka sama2 mencelos, pikirnya: "Entah siapa orang she cu ini" Usianya masih begini muda, tapi membekal Lwekang begini tinggi. "
Sudah tentu Cu Jing juga menyaksikan dengan jelas, dia tahu
bahwa tokoh di belakang dirinya yang memisah pukulan kedua


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang, dan anehnya mereka berdiri di samping dirinya, kenapa
tidak melihat tokoh yang ada dibelakangnya.
Maka didengarnya suara tadi berkata pula: "Nah, sekarang
boleh kau turunkan pedangmu, katakan urusan ada pangkal
ujungnya, utang bisa ditagih, kalau mau berkelahi juga boleh
setelah terang persoalannya,"
"Harap kalian berhenti dulu," kata Cu Jing menurut petunjuk itu,
"utang jiwa bayar jiwa, utang uang harus ditagih, kalau mau berkelahi boleh juga, tapi urusan harus dibikin terang lebih dulu."
Lalu pelan2 dia turunkan pedangnya.
Begitu pedangnya ia tarik, kedua orang segera merasa longgar,
cepat mundur seraya menurunkan pedang .
Kata Ban Jin-cun-"cara bagaimana Cu-heng hendak membikin
terang urusan kami?"
Belum Cu Jing menjawab, suara tadi sudah berkata: "Suruh
mereka menceritakan kejadian yang menimpa keluarga mereka
masing2?" Cu Jing lantas berkata: "Siaute kemari atas perintah guru, soalnya urusan kalian terlalu janggal, banyak liku2 yang
mencurigakan, sudikah kalian menuturkan dulu peristiwa yang
menimpa keluarga kalian masing2?"
Terpaksa kedua orang memasukkan pedang kedalam sarung
sertamundur lagiselangkah.
Ban Jin-cun lantas berkata: "Boleh cu-heng suruh dia men-
jelaskan lebih dulu."
Kho Keh-hoa menyeringai dingin: "Boleh saja, kenyataan
terpampangdidepanmata, memangnyakaudapatmungkir?"
"Marilahkitadudukdisini," ajakCuJing.
Ban Jin-Cun dan Kho Keh-hoa menurut, mereka bersimpuh di
atas rumput tanpa bicara. Terdengar suara tadi membisiki pula:
"Suruhlah bocah she Kho tuturkan pengalamannya."
"Kho-heng," kata Cu Jing segera, "boleh kau bercerita lebih dulu."
Terpancar sinar beringas dari mata Kho Keh-hoa menatap Ban
Jin-cun, katanya penuh kebencian.
"Pada suatu malam kira2 setengah bulan yang lalu, baru
kentongan pertama, tanpa sengaja pamanku kedua melihat
bayangan puluhan orang bergerak di bawah gunung dan berlari2
naik ke puncak, waktu itu jaraknya masih beberapa li dari rumah kami, paman tidak tahu pendatang kawan atau lawan" cepat ia
memberitahukan kepada ayah disamping memberi peringatan
kepada semua orang untuk bersiaga. Di bawah pimpinan paman
sendiri bersama beberapa centeng sembunyi di depan rumah, kami
ingin tahu siapakah pendatang itu ....." sekaligus bicara sampai disini baru ia berganti napas: "malam itu kebetulan tanggal 14, bulan terang benderang, baru saja aku bersama paman dan lain
menyembunyikan diri, puluhan orang itupun sudah tiba, tampak
yang berlari paling depan adalah seorang laki2 tegap bermuka
merah berjambang hitam, mengenakan baju hijau, menenteng
pedang beronce kuning, begitu melihat orang ini paman lantas
bersuara heran, cepat dia melompat keluar menyongsong,
serunya: Ban bengcu malam2 berkunjung, Siaute Kho cin-sing
terlambat menyambut, harap dimaafkan-Dari seruan paman itu aku
baru tahu bahwa pendatang adalah Thok-tah-thian-ong Ban
Tin-gak. yang dulu pernah menjabat Bu-lim Bengcu, maka akupun
melompat keluar ikut menyambut"
Belum orang selesai bicara tiba2 Ban Jin-cun menyengek:
"Kukira tidak benar, ayahku sudah meninggal setahun yang lalu, mana mungkin orang yang sudah mati setahun lamanya muncul di
cioksbun?" "Apa yang kututurkan adalah kejadian yang nyata," teriak Kho Keh-hoa gusar. "Memangnya aku mengarang cerita bohong?"
Terdengar suara tadi berkata: "Suruhlah bo-cah she Ban itu tidak menyela lagi, dengarkan dulu ceritabocahshe Kho
sampaiselesai." Cu Jing lantas berkata: "Kalian tidak usah ribut, di sinilah kejanggalan yang kumaksud tadi, sementara harap saudara Ban
bersabar, dengarkan dulu cerita saudara Kho sampai habis."
Kho Keh-hoa meneruskan ceritanya: "Melihat pamanku, Ban
Tingak manggut2 sambil balas hormat, tanyanya: Kho ji-heng
jangan sungkan, apakah kakakmu di rumah" Paman mengangguk
sambil berpesan padaku: Keh-hoa, lekas lapor pada Toa-ko,
katakan Banbengcu dari Ui-san datang. Belum lagi aku sempat
mengiakan Ban Tin-gak telah berkata pula dengan nada berat: Tak usahlah. Belum habis dia bicara, mendadak ia melolos pedang
terus menusuk paman, karena sedikitpun tidak bersiaga dan tidak menduga, kontan paman tertusuk mati . . . . " "Waktu itu saudara Kho kan berdiri di belakang pamanmu, kau tidaksempat turun
tangan?"tanya Cu Jing.
"Waktu paman bicara padaku, aku sudah melangkah setindak.
jadi berdiri di samping paman, tapi tusukan Ban Tin-gak memang
amat cepat, apalagi kejadian teramat mendadak dan di luar
dugaan, baru saja aku mendengar suara pedang terlolos, sinar
pedang sudah berkelebat laksana kilat, tahu2 pamanpun roboh
mandi darah, keruan kagetku bukan main, waktu aku mendelik ke
arah Ban Tingak, bangsat tua itu menyeringai, kata-nya: Lohu
mengampuni jiwamu, supaya keluarga Kho kalian tidak putus
turunan-Menyusul telapak tangan terayun ke arahku . . . . "
"Tanpa membalassaudaraKbo lantasterluka?"tanyaCuJing.
Gemeretak gigi Kho Keh-hoa. "Entah gerakan apa yang
digunakan bangsat tua itu" Hanya terasa dadaku sepeiti dipukul
godam, badan lantas mencelat tiga tombak jauhnya, pikiran masih sadar, tapi tenaga habis badan lunglai, Lwekang dan kepandaianku telah punah dalam sekali pukul tadi, maka dengan mata terbelalak aku hanya bisa mengawasi bangsat tua itu pimpin anak buahnya
menerjang ke dalam rumah, keadaan menjadi kacau-balau, suara
benturan senjata berkumandang, sungguh mengenaskan 28 jiwa
penghuni perkampungan kami itu tiada satupun yang ketinggalan
hidup oleh sergapan mendadak ini, ayah-bunda mati tertusuk
pedang... " Terdengar suara tadi berkata: "Suruhlah dia berpikir cermat, adakah bagian ceritanya yang ketinggalan?"
Cu Jing segera menurut, tanyanya, "coba saudara Kho pikir lagi lebih seksama, adakah kejadian lain yang terlepas dari ceritamu tadi."
Kho Keh-hoa berpikir sejenak. katanya: "Tiada lagi, kerja
gerombolan itu cukup rapi, di antara 28 korban yang meninggal,
kecuali ayah bundaku yang terbunuh oleh pedang, yang lain
terluka oleh berbagai macam senjata. ada senjata rahasia beracun lagi, tapi tiada satupun senjata rahasia yang kutemukan, tiada pula tanda2 lain yang mencurigakan. "
Sampai di sini, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran,
katanya sambil menuding Ban Jin-cun-"Dendam kesumat sedalam lautan ini, kaulah yang harus melunasinya . "
Kuatir kedua orang timbul keributan lagi, lekas Cu Jing
membujuk: "Harap Kho-heng bersabar sebentar, sekarang giliran Ban-heng menceritakan pengalamannya."
"Akhir musim semi tahun yang lalu," demikian Ban Jin-cun mengawali ceritanya, "ayahku keluar menyambangi sahabat, kira2
setengah bulan kemudian beliau pulang diantar seorang paman
angkatku, katanya dibokong orang, waktu pulang sampai rumah
sudah tak mampu bicara, akhirnya beliau meninggal karena tidak
terobati." Terdengar suara tadi berkata kepada Cu Jing "Tanyakan
Tok-tahthian-ong dibokong oleh siapa, di mana letak luka2nya?"
Cu Jing lantas bertanya: "Entah siapakah yang melukai ayahmu, di bagian mana letak luka2nya?"
"Setiba di rumah ayah sudah tak bisa bicara," demikian tutur Ban Jin-cun lebih lanjut," menurut paman, ayah dibokong orang pada suatu pegunungan, setelah beliau terluka dan lukanya cukup parah, tak mungkin buru2 pulang ke rumah, maka beliau ber-lari
ke Kimkeh-ce, tempat kediaman pamanku itu, dia hanya bilang
terkena pukulan Bu-sing-ciang, jiwanya pasti mangkat dalam tujuh hari, beliau minta paman suka melindungi keluarganya ........."
"Siapa paman angkat yang Ban-heng maksudkan?" tanya Cu Jing.
"Pamanku she cek bernama Seng-jiang, kenalan turun temurun, sejak kecil pamanku itu sudah angkat kakekku sebagai ayah
angkat, pernah dia menjabat suatu pangkat dalam pemerintahan,
sekarang diasudahpensiundan menikmatiharituanyadirumah."
Terdengar suara orang tadi tidak sabar lagi, dia mendesak:
"Suruh dia lekas tuturkan persoalannya, aku masih ada urusan lain-"
"Kapankah keluar Ban-heng mengalami sergapan musuh?"
tanya Cu Jing segera. "Padatanggal16 malam,"sahut BanJin-cun.
Kho Keh hoa segera menjengek: " Keluargaku mengalami
petaka pada tanggal 14 malam, Jadi ayahku sudah meninggal dua
hari lamanya, bagaimana mungkin beliau membawa orang
menyerbu ke Ui-san membunuh keluargamu?"
Ban Jin-cun tidak hiraukan ucapan, orang tuturnya lebih lanjut:
"Sejak ayah meninggal, ibu sangat sedih dan menangis terus menerus, akhirnya beliau jatuh sakit dan tak bangun lagi, malam itu kira2 baru lewat kentongan pertama, baru saja aku keluar dari kamar ibu hendak kembali ke kamarku, mendadak kudangar suara
ribut dan bentakan orang ramai serta benturan senjata, waktu aku memburu keluar, tampak puluhan laki2 berkerudung sedang lari
kian kemari, melihat orang lantas bunuh, banyak korban sudah
berguguran, gerombolan itu semua berkepandaian tinggi, cara
turun tangannya juga amat kejam.
"Liok-siok (paman keenam) Lui-kong (aki petir) Ban Liok-jay tampak sedang berhantam dengan seorang laki2 berjambang dan
berpedang, kudengar paman mencaci dengan murka: Kho
cin-hoan, keluarga Ban kami ada permusuhan apa dengan
Liok-hap-bun kalian" Tanpa hiraukan peraturan Kangouw malam2
kau bawa gerombolan penjahat menyerbu kemari, membantai
keluarga kami ......"
"Mungkin dia sedang berhantam dengan setan," ejek Kho Kehhoa.
Terdengar suara tadi berkata: "Tanyakan, apakah hanya Liok-hap-kiam Kho cin-hoan saja yang tidak berkerudung?"
Cu Jing lantas tanya: "Ban-heng melihat jelas, di antara sekian banyak : gerombolan berbaju hitam itu, hanya Liok-hap-kiam Kho
cin-hoan saja yang tidakberkedok?"
"Ya, dia tidak memakai kerudung."
"Suruhdia melanjutkan,"pintasuaratadi.
"Akhirnya bagaimana?" tanya Cu Jing segera,
"Sudah tentu aku amat murka," tutur Ban Jin-cun, "waktu aku melolos pedang, mendadak kudengar seorang membentak
disampingku, robohlah kau." Batok kepalaku seperti ditempeleng sekali, kontan aku jatuh semaput, waktu aku siuman kembali hari sudah terang tanah, kawanan penjahat sudah tak kelihatan
bayangannya, tapi anehnya setelah semaput setengah malaman,
waktu siuman, aku tidak kurang suatu apa2, sampai sekarang aku
masih tak habis mengerti, kenapa orang itu tidak membunuhku"
Sedang seluruh penghuni rumahku semuanya mati dalam keadaan
yang mengenaskan. cepat aku lari ke kamar ibu, kedua pelayan
pribadi ibu terbunuh dengan senjata rahasia beracun dan ibuku . . .
." Menyinggung ibunya, tak tertahan air mata bercucuran saking
sedih, tuturnya lebih lanjut. "Beliaupun rebah kaku di atas ranjang, darah hitam meleleh dari pundak kirinya, jelas beliaupun terbunuh oleh senjata beracun, tapi tak kutemukan senjata rahasia apapun .
. . . akhirnya setelah pikiran agak tenang baru kudapati jari tangan kanan ibu menggenggam kencang, ternyata dalam telapak
tangannya menggenggamsebuah senjata rahasia."
Tak tahan Kho Keh-hoa menyela: " Liok-hap-kiam selamanya
tak pernah memakai senjata rahasia, apalagi beracun, entah
senjata rahasia macam apakah itu?"
"Suatu benda berbentuk bintang sebesar biji melinjo, berwarna hitam legam."
Suara tadi berbunyi pula di telinga Cu Jing: "Tanyakan apa dia membawa senjata rahasia itu, suruh dia keluarkan supaya kulihat."
"Entah senjata rahasia itu Ban-heng bawa atau tidak sekarang?"
tanya Cu Jing. "Selalu kubawa ke manapunaku pergi,"sahut BanJin-cun.
"Bolehkah Ban-heng perlihatkan padaku?" tanya Cu Jing.
"Sudah tentu boleh," ujar Ban Jin-cun-Lalu di merogoh kantong mengeluarkan sebuah buntalan kecil.
Pada saat itulah, mendadak bayangan seseorang laksana
burung elang menukik dari angkasa meluncur turun cepat dan
hinggap di depan Ban Jin cun, di mana sinar berkelebat, sebatang pedang tipis panjang tahu2 menyongkel ke depan, maka buntalan
kain di tangan Ban Jin-cun seketika mencelat ke atas, sekali
samber orang itu menangkapnya dengan tangan lain, berbareng
kedua kaki menjejak tanah, tubuhnya mencelat pula ke udara.
Kejadian ini terlalu mendadak, gerakan orang-pun teramat cepat
dan tangkas lagi, hakikatnya tiga anak muda itu tidak melihat jelas bayangan siapa orang tadi dan tahu2 buntalan ditangan Ban
Jin-cun sudah direbut orang.
Sudah tentu Ban Jin cun yang paling kaget, cepat ia membentak
seraya berdiri, baru saja dia hendak mengudak. tiba2 dilihatnya bayangan orang yang sudah melambung ke udara itu
berjumpalitan beberapa kali di atas terus melayang turun pula dan
"bluk",jatuh dengan keras di tanah.
Baru sekarang mereka bertiga sempat melihat jelas orang itu
berpakaian hitam, bertubuh tinggi kurus, wajahnya kuning, gerak-geriknya gesit, dengan tangkas dia melejit bangun terus hendak
melarikan diri pula, tapi baru saja dia lari beberapa tindak,
mendadak badannya bergetar terus berhenti dan mematung kaku
di tempatnya. Sudah tentu Cu Jing bertiga menyaksikan dengan melongo
keheranan. Mendadak terdengar suara serak tua bergelak tertawa.
katanya: "Dihadapan aku orang tua, dengan sedikit kepandaianmu ini berani kau bertingkah?" -Suara ini bergema seperti
berkumandang dari angkasa, tapi seperti juga bicara di samping
mereka bertiga, keruan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa melongo
kaget. tanpa janji mereka celingukan kian kemari, tapi mana ada bayangan orang"
Cu Jing maklum Hiat-to laki2 kurus baju hitam ini terang ditutuk oleh orang tua yang sejak tadi bicara dengan dirinya itu, diam2 ia kaget dan kagum luar biasa, bayangan orang tua ini tidak
kelihatan, entah dengan cara apa dia menundukkan orang berbaju
hitam ini" . Terdengar orang berbaju hitam mencaci maki dengan beringas:
"Bangsat tua, siapa kau" Main sembunyi, terhitung orang gagah macam apa" Memangnya kau tidak cari tahu siapa tuan besarmu
ini" Suara serak tua itu tergelak2, ujarnya: "Kau bocah ini belum setimpal tanya siapa aku orang tua ini. Tapi berani kau kurang ajar padaku, maka kau harus kuhukum. Nah, sekarang gamparlah
mulutmu sendiri" Sungguh aneh, mendadak si baju hitam angkat kedua tangan
sendiri, "Plak-plok," berulang kali ia benar2 menggampar mukanya sendiri.
Cu Jing bertiga yakin si baju hitam terang tak rela menggampar
muka sendiri, sorot matanya tampak menampilkan rasa kebencian,
tapi juga jeri dan tak berani bersuara lagi. Keruan ketiga anak muda yang menyaksikan itu sama tertegun.
Terdengar suara serak itu berkata "Nah, urusan kedua keluarga kalian akupun tidak perlu banyak mulut, kalian tidak perlu saling bunuh pula, sebab musabab peristiwa yang menimpa keluarga
kalian boleh tanyakan pada kunyuk hitam ini, aku orang tua
hendak pergi." Ban Jin cun dan Kho Keh-hoa menengadah ke atas, tanyanya
dengan hormat: "Terima kasih atas petunjuk Locianpwe, mohon tanya siapakah gelaran engkau orang tua yang mulia?"
Tapi sekelilingnya sunyi senyap. kiranya cian-pwe kosen yang
terdengar suara tapi tak terlihat bayangannya itu sudah pergi
entah ke mana. Ban Jin-cun lantas menjura kepada Kho Keh-hoa, katanya:
"Khoheng, perihal permusuhan keluarga kita, berkat petunjuk Locianpwe itu, bukan saja telah menghimpas kesalah pahaman kita berdua, beliaupun telah menawan seorang musuh, pada dirinyalah
kita harus menuntut balas dan menyelidiki siapa gerangan biang
keladi darisemuapetakayang menimpa keluarga kita ini."
"Apa yang dikatakan Ban-heng memang benar," ujar Kho Kehhoa.
Mereka lantas menghampiri si baju hitam, Ban Jin-cun merogoh
kantong orang mengambil balik buntalan kainnya tadi dan dibuka, isinya memang bendahitamberbentukbintangsebesarbiji melinjo."
Haru dan pedih hati Ban Jin-cun, katanya berlinang air mata:
"Silakan periksa Kho-heng, inilah senjata rahasia yang kuperoleh daritangan ibuku.."
"Simpanlah dulu saudara Ban," kata Kho Keh-hoa, "tawanan hidup ada di depan mata, memang-nya berani dia tidak mengaku."
Ban Jin-cun segera bungkus lagi senjata rahasia itu dan
disimpan dalam baju. Dengan ujung pedangnya Kho Keh hoa ancam tenggorokan
orang berbaju hitam, desisnya dengan penuh dendam: "Kau sudah berada di tangan kami, mau hidup atau ingin mati, terserah
padamu mau tidak menjawab pertanyaan kami."
Waktu mereka mendekat, orang kurus berbaju hitam lantas
pejamkan mata tanpa bersuara sekecap-pun
Dingin suara Ban Jin cun-"Apa yang dikatakan saudara Kho
sudah kau dengar bukan" Yang ingin kami cari adalah biang
keladinya, asaikan kau terangkan siapa perencana peristiwa ini, kamiakan ampunijiwamu."
Orang itu tetap berdiri tegak, bibirnya tetap terkancing rapat, seolah2 buta dan tuli, anggap tidak dengar semua pertanyaan
mereka.. . Kho Keh-hoa naik pitam, ujung pedangnya yang mengancam
tenggorokannya bergetar, bentaknya: "Keparat, dengar tidak pertanyaan kami?" Betapa runcing ujung pedangnya itu, sedikit menggunakan tenaga saja kulit daging teng gorokan si baju hitam sudahterluka, tampakdarahhitammembasahi dada.
Manusia umumnya berdarah merah, tapi laki2 kurus berbaju
hitam ternyata mengeluarkan darah warna hitam, darah hitam
kental seperti tinta. Tergerak hati Ban Jin-cun, katanya gugup: "Kho-heng, agak
ganjil keadaannya" Kho Keh-hoa melongo, tanyanya: "Apanya yang ganjil?"
Hanya beberapa patah kata bicara, tertampak darah kental
hitam yang mengucur dari tenggorokan laki2 baju hitam itu
semakin deras membasahi sekujur badan, segera hidung mereka
mengendus bau busuk. Sebetulnya tenggorokannya hanya tertusuk
sedikit, tapi dalam sekejap luka itu sudah melebar dan membusuk.
darah yang meleleh keluar semakin banyak, bau busuk semakin
keras dan menjalar ke sekujur badan. Ban Jin-cun jadi curiga,
tanyanya: "Khoheng, pedangmu kau lumuriracun?"
Kho Keh-hoa sendiri terkesima sahutnya gugup: "Belum pernah kulumuri racun pedangku ini ..... " sembari bicara dia angkat pedangnya, ternyata ujung pedangnya telah berwarna hitam
legam. seketika ia bersuara kaget dan heran-
Sudah tentu Ban Jin-cun juga kaget dan heran pula, mendadak
tergerak pikirannya, tanpa bicara dia angkat pedang dan
menggores pundak serta lengan laki2 baju hitam, kembali darah
hitam meleleh keluar. Ternyata ujung pedang Ban Jin-cun juga segera berubah hitam
legam, mirip dengan ujung pedang Kho Keh-hoa, seperti pernah


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

direndam dalam racun-Tak kepalang kagetnya, serunya: "Racun yang jahat sekali"
"Memangnya dia sudah mampus?" tanya Kho Keh-hoa.
"Ya, mungkin tahu tiada harapan hidup, dia telan racun yang keras sekali bekerjanya."
Kho Keh-hoa menghela napas, katanya: "Dia sudah mati, tak
mungkin dimintai keterangan lagi."
"Dia meninggalkan sebatang pedang," ujar Ban Jin-cun, "tidak sukar mencari tahu asal usul-nya dari senjatanya ini." Tiba2
mulutnya bersuara seperti ingat apa2, katanya pula: "Saudara cu kemari atas perintah gurunya untuk melerai permusuhan kita,
kukira gurunyapastitahusiapa musuh kitabersama?"
Kho Keh-hoa membenarkan, berbareng mereka menoleh ke
sana. Selama beberapa saat itu Cu Jing tidak ikut kemari, dikiranya dia sudah pergi, tak tahunya dia sedang berdiri menengadah sambil
melamun, entah apa yang sedang dipikirkan. Tempat di mana dia
berdiri jaraknya hanya dua tombak dengan Ban dan Kho berdua,
jadi badan laki2 kurus berbaju .hitam yang mulai membusuk itupun tidak dilihatnya.
Memang dalam sekejap ini kulit daging si baju hitam bagian atas sudah mulai jadi cairan darah dan membusuk dengan cepat sekali, tulangnya
====================================
Jilid 10 Halaman 55/58 Hilang
====================================
--rangan tangan-Soalnya gerakan Jiau-kau-sek ini terlalu
gampang, sekali belajar siapapun pasti bisa, selanjutnya dia ulangi jurus kedua Bak-kau-sek. tangan kiri pelan2 terayun ringan ke
belakang, sudah tentu gerakan ini dia sudah mahir sekali.
Setelah beberapa kali dia ulangi kedua jurus ini, terasa tiada
sesuatu yang istimewa dalam ke-dua tipu silat ini" Ia heran kenapa si orang tua berpesan sedemikian serius padanya, nadanya malah
seolah2 bila dirinya berhasil meyakinkan kedua jurus ini takkan mendapatkan tandingan di kolong langit ini.
Tapi Cu Jing yakin si orang tua tak mungkin berdusta, bisa jadi kedua jurus yang kelihatan sangat sederhana ini mengandang
intisari ilmu silat kelas tinggi yang tersembunyi" Mengingat hal ini, tak tertahan dia ulangi berlatih sekali lagi kedua jurus Jiau-kau-sek dan Bak-kau-sektadi.
Aneh juga, semakin merasa gerakannya sederhana, semakin
lancar dan enak dilatih, tapi setelah diselami, kenyataan tidak segampang dugaan semula. Tapi hanya sampai taraf sekian saja,
yang kalau ditanya di mana letak gampangnya gerakan jurus2
pemukul anjing itu ia sendiripun tak mampu memberi penjelasan-
Cu Jing memang bukan orang bodoh, otaknya encer, dari kedua
gerakan sederhana yang sebenarnya sukar diselami ini dia semakin yakin dugaannya pasti tidak meleset, bahwa di dalam kedua jurus ilmu silat yang sederhana ini tersembunyi ilmu silat taraf tinggi.
Sesaatdia menengadah, melongo mengawasilangit.
Begitulah, waktu Cu Jing memburu kesana, sementara itu yang
berbaju hitam sudah tinggal tulang yang berwarna hitam, berdiri tegak dan seram kelihatannya, keruan dia bergidik serunya kaget:
"kenapa dia?" "Mati minum racun," kata Kho Keh-hoa.
Ban Jin-cun sedang ambil pedang milik laki2 berbaju hitam tadi
katanya: "Pedang inipun dilumuri racun, racunnya bukan
sembarang racun, belum banyak orang2 Kangouw ya memakai
racun, seperti ini, makatidaksulituntuk menyelidikiasal-usulnya."
"Waktu ibunda saudara Ban meninggal, tangannya
menggengam senjata rahasia yang dilumuri racun juga, dalam
Bu-lim yang terkenal suka memakai racun hanya keluarga Tong di
Sujwan, marilah kita meluruk ke Sujwansaja,"ajak Kho Keh-hoa.
Karena badan sudah luluh menjadi cairan darah hitam. maka
sarung pedang si baju hitam yang semula tergantung di
pinggangnya ini terjatuh di tanah dan berlumuran darah kotor, Ban Jin-cun tidak berani mengambilnya, maka dia tetap genggam
pedang milik si baju hitam, katanya sambil memberi hormat pada
Cu Jing, "Berkat usaha saudara cu yang mulia dan bijaksana sehingga permusuhan keluarga kami berdua tidak sampai berlarut2
menimbulkan korban pula, bangsat inipun sudah mati minum
racun, tiada keterangan yang dapat kita peroleh, oleh karena itu, kumohon Cu-heng suka menjelaskan satu hal"
"Ban-heng mau tanya soal apa?" jawah Cu Jing.
"Cu-heng kemari atas perintah guru untuk melerai permusuhan kedua keluarga kami, jadi mestinya tahu siapa sebetulnya musuh
keluarga kamibukan?"
"Wah, maaf, aku justeru tidak tahu apa2," ucap Cu Jing sambil menggeleng,
"Cu-heng mungkin tidak tahu, tapi gurumu pasti tahu, entah siapakah gelaran nama gurumu?"
Merah muka Cu Jing, karena tidak biasa berbohong, terpaksa ia
berterus terang apa yang terjadi sebenarnya.
"Jadi Cu-heng juga tidak tahu siapa gerangan cianpwe kosen itu?"tanyaKhoKeh-hoa.CuJing mengiakansambilmenggeleng.
"Aku yakin beliau pasti tahu siapa musuh keluarga kami, tapi tiada harapan lagi untuk menemukan jejak orang tua ini," demikian keluh Kho Keh-hoa.
"Menurut apa yang kutahu," ujar Ban Jin-cun sesaat kemudian setelah merenung, "banyak sekali tokoh2 kosen yang lihay dalam Bu-lim, tapi yang memiliki kepandaian sakti seperti orang tua itu hanya ada seorang saja, malah dari cara beliau campur tangan
tadi, tak ubahnya seperti sepak terjang cianpwe kosen yang suka mengembara itu .... ..".
"Siapakah cianpwe kosen yang saudara Ban maksudkan?" tanya Kho Keh-hoa.
"Hoanjiuji lay,"sahutBanJin-cun.
"Betul," tukas Kho Keh-hoa, "cuma orang tua ini mirip naga yang hanya kelihatan eklornya dan menyembunyikan kepala, entah
kemana saja dia pergi, cara bagaimana kita menemukan beliau?"
Cu Jing jarang berkelana di Kangouw, dia tidak tahu siapa Hoan
jiuji-lay yangdibicarakanini, tapidia maluuntukbertanya.
"Di atas Pak-siam-san ada bersemayam seorang kosen bergetar Cu-ki-cu, dia amat apal terhadap segala peristiwa yang terjadi di Bulim, kejadian masa silam dan apa yang bakal terjadi pada masa yang akan datangpun dapat dia ramal dengan tepat, dari sini ke
Pak-siam-san tidak jauh lagi, marilah kita ke sana dan tanya
padanya, mungkin dari mulutnya kita bisa mendapat keterangan
asal-usul racun dan senjata rahasia seperti bintang itu. Bagaimana pendapat Kho-heng?"
"Akupun pernah dengar nama Cu-ki-cu ini" ujar Kho Keh-hoa,
"konon sangat luas pengetahuannya dan tinggi ilmunya, mahir memecahkan segala kesulitan di dunia ini, tiada jeleknya kita
mengadu untung dan tanya padanya."
Ban Jin-cun melirik ke arah Cu Jing, tanya-nya: "Apakah Cuheng, ada minat ikut bersama kami ke Pak siam-san?"
"Aku masih punya urusan lain, maaf tak dapat mengiringi
perjalanan kalian," sahut Cu Jing.
"Baiklah kita berpisah di sini saja, semoga jaga diri baik2 dan selamat bertemu pula," ujar Ban Jin-cun.
Kho Keh-hoe juga menjura, katanya: "Ber-hati2lah saudara cu."
Maka merekapun berpisah, Cu Jing sendiri tidak punya tujuan
pasti, dia ingat si orang tua pernah bilang "kalau sempat pulang, nanti malam kita bertemu di Lam-pak-ho," maka dia berkeputusan untuk menemui si orang tua misterius itu nanti malam di restoran Lam-pak ho.
Waktu itu sudah magrib, Cu Jing langsung kembali ke Lam-pak-
ho mengambil kuda terus cari penginapan, dia memilih kamar yang terletakdiujungbelakang, tempatnyanyaman dansepi.
Setelah membersihkan badan, untuk membuang waktu, Cu Jing
tutup pintu, seorang diri dia ulangi latihan kedua jurus Jiau kau-sek dan Bak-kau-sek itu, sekarang dia betul2 yakin, walau kedua jurus itu namanya aneh dan lucu, ternyata mengandung ilmu silat
tingkat tinggi yang tiada tara-nya, maka kali ini dia betul2 tumplek seluruh perhatian untuk mengulang kembali, gerakannya kini jauh lebih lamban dan mantap.
Tak terduga setelah sekian lama ia mengulang beberapa kali,
meski diketahui bahwa di balik gerakan sederhana itu mengandang intisari yang mendalam, tapi semakin dianggap tinggi dan
mendalam kenyataan berbalik terasa sepele dan biasa saja, tiada tanda2 mukjijat yang dia temukan-Begitulah setelah dia latihan
beberapa kali, keringat sudah gemerobyos baru dia menemukan
letak rahasia sebenarnya dari kunci kesederhanaannya.
Yaitu jangan kau pandang kedua jurus sederhana ini begitu
tinggi dan mujijat, semakin mujijat yang kau tafsirkan, maka kau akan mengerahkan hawa murni dan mengerahkan tenaga,
gerakanpun jadi lamban, itu berarti permainanmu menjadi kaku
dan kurang wajar, kurang variasi dan tiada perubahan-Tapi
sebaliknya jika kau pandang kedua gerakan sederhana ini sebagai sangat gampang dan sepele saja, maka dengan mudah pula kau
akan menguasai setiap gerak tipunya.
Dengan penemuannya ini, tidak kepalang senang hati Cu Jing,
pikirnya: "Setengah harian aku bersusah-payah, meraba sana sini, taktahunyabe-gini mudahdipecahkannya."
Hari sudah gelap. pelayan datang membawakan makan malam,
tapi Cu Jing menolaknya dengan alasan sudah janji makan di
restoran dengan seorang kenalan-Cu Jing lantas bawa cit-sing-kiam dan keluar.
Sinar lampu sudah menerangi segenap pelosok kota, orang
yang lalu lalang dijalan raya semakin ramai, lebih berjejal dari siang hari, banyak muda mudi yang pelesir dan berbelanja di
toko2, tapi Cu Jing tiada minat melihat keramaian kota, langsung ia menuju ke Lam-pak-ho terus naik ke loteng tingkat dua
Pelayan yang siang tadi melayani Cu Jing memilih meja dekat
jendela, kali ini Cu Jing tidak mau banyak bicara, setelah memesan beberapa masakan dan melongok pemandangan jalan raya di
bawah sana. Pada saat dia melihat2 itulah mendadak didepan sebuah toko
kain sana berdiri seorang berbaju hitam, orang itu tengah
menengadah mengawasi ke arah dirinya. Semula dia tidak ambil
perhatian dan melengos kejurusan lain, tapi pikirannya tiba2
tergerak, dandanan dan muka si baju hitam ini mirip benar laki2
kurus, berbaju hitam yang mati ditanah lapang tadi siang itu, lekas dia melongok ke sana pula, tapi bayangan orang berbaju bitam itu sudah tiada lagi, entah ke mana"
Kebetulan pelayan menyuguhkan hidengan yang dia
pesan-Dengan pejam mata Cu Jing coba menghirup seteguk arak.
Kiranya diabelumpernah minumarak. baruhariini akancoba2
seorangdiri. Tiba2 terdengar seorang bersenandang dengan suara seperti
bambu pecah: "Hwesio kere (miskin), kere Hwesio, tak punya batok tiada pondok. Tidak sembahyang, tidak menabuh genta,
Telanjang kaki, kelana ke-mana2. jubah koyak untuk menahan
angin kencang, demi membangun kelenteng bobrok. cari sedekah
di rumah arak, bertemu dengan orang berjodoh (dermawan),
daging arak harap menyuguh"
Menyusul di ujung tangga loteng lantas muncul pula seorang
Hwesio kelilingan- Hwesio ini mengenakan kopiah rombeng, jubah kelabu yang
dipakainyapun sudah bertambal sulam, tapi badannya gemuk
putih, alisnya nan uban menjuntai panjang ke samping, kedua
tangan terang kap didepan dada dengan cengar-cengir dia
mondar-mandir di antara tetamu yang memenuhi meja makan, lalu
katanya dengan suara lantang: "Silakan, silakan, Hwesio kere berkelana di dunia fana, sebelum pulang ke alam baka, entah tuan dermawan mana yang berjodoh dengan sang Buddha, semoga
dapat rejeki besar dan bernasib baik. Siancay, Siancay, omitohud"
sembari mengoceh kakinya melangkah ke sana-sini, dan sepasang
matanya berjelilatan kian-kemari.
Pada suatu meja, kebetulan dua orang tamu sedang saling
dorong menyodorkan cangkir arak, Hwesio keretiba2 berhenti di
sana, dengan kedua tangan dia jemput kedua cangkir arak itu
sembari berkata dengan tawa lebar: "Kalian tidak perlu sungkan, kedua cangkir arak ini biar aku Hwesio kere yang minum saja" Satu tangan satu cangkir-ganti berganti dia tenggak habis isi kedua
cangkir arak. Sudah tentu kedua tamu itu gusar, orang disebelah kiri
menghardik murka: "Hwesio jembel, apa2an kau ini?"
Si Hwesio kere tertawa lucu, katanya: "Demi secangkir arak kalian tolak sana dan dorong sini hingga muka merah padam,
Hwesio kere orang beribadah dan suka menolong sesama manusia,
biarlah aku mewakili kalian minum arak ini, kan beres?" sembari bicara tahu2 tangannya, mencomot sepotong daging terus dijejal
ke mulut. Tamu di sebelah kanan menggebrak gusar, bentaknya: "Kenapa kau ambil makanan dengan tangan telanjang?"
"Setelah minum arak harus didorong dengan daging baru arak bisa turun ke perut." demikian kata Hwesio itu. "Sedekah sepotong daging ini akan Hwesio kere bawa kedunia akhirat, sebagai sangu untuk menghadap sang Buddha, bukankah berarti kau telah
berdarma bagi sesamanya, budi kebaikanmu akan dikenang
sepanjang masa." Habis berkata, dia terus melangkah pergi
Kedua tamu itu hanya mencaci maki tanpa bisa berbuat apa2.
Hwesio itu tidak hiraukan kedua tamu yang mencak2 itu,
kembali mulutnya tarik suara bersenandung pula: "Daging harus dipanggang, arak harus dimasak, makan daging minum arak di
dunia fana. biar sepatu butut, jubah koyak ditertawakan orang,
memangnya aku bukan manusia gede atau orang kaya"
Tenggorokannya mengeluarkan suara serak aneh dan sumbang
seperti bambu pecah, tapi dia justeru bersenandung dengan
gembira sambilberjoget segala.
Sembari jalan matapun jelatatan, ia longok sana toleh sini yang diperhatikan hanya meja para tamu, akhirnya dia menuju ke meja
yang ditempati Cu Jing, mendadak ia berhenti serta ter-gelak2
riang, katanya:"Memangdisini lebihsunyi danbersih"
Kepada Cu Jing dia memberi salam lalu berkata: "Sicu duduk sendirian di sini, agaknya ada jodoh dengan sang Budha, hidangan untuk Hwesio kere hari ini agaknya tidak. . menjadi kapiran-" ..
Tanpa tunggu jawaban Cu Jing, dia tarik kursi terus duduk
dihadapannya. Tingkah laku Hwesio miskin ini kelihatan sinting, tapi kata2
senandungnya tadi memang tepat, mau tidak mau timbul rasa
hormat Cu Jing terhadap Hwesio ini, lekas Cu Jing menjura, ka-
tanya: "Silakan duduk. Toasuhu."
Hwesio kere menyengir, katanya manggut2: "siausicu memang
berbakat sejak kecil, kau memang berjodoh dengan ajaran Budha,
terpaksa aku Hwesio miskin mengganggumu saja." Habis berkata dia lantas menggebrak meja, serta menggembor keras2: "Pelayan-.
. . pelayan....." Seorang pelayan berlari datang, serunya sambil mengerut
kening: "Hwesio, kenapa berkaok2?"
Berdiri alis panjang si Hwesio, katanya dengan mendelik:
"Pelayan, restoran ini kan melayani orang ,makan minum" Bahwa Hwesio kere sudah datang kemari juga berarti tamu, kenapa
seenak perutmu main panggil Hwesio segala?"
"Habis haruskupanggilapa?"tanyasipelayanbingung..
"Lain kali kalau ada Hwesio kemari, kau harus memanggilnya bapak Taysu, kalau yang datang Hwesio setua diriku ini, maka kau harus memangilnya kakek Taysu."
"Sering kudengar orang hanya memanggil Tay-su saja, mana
ada yang memanggil bapak Taysu atau kakek Taysu?" sipelayan menggerundel.
"Hai jadi kau sudah tahu, lalu apa bedanya Taysu dan bapak Taysu" Memangnya ayahmu bukan bapakmu?"
Sipelayan tidak sabar lagi, serunya: "Sudahlah, kau makan
apa?" "Kau tidak memanggilku kakek Taysu, kalau sang Buddha
marah, kau akan dihukumnya terperosot jatuh."
"Sudah puluhan, tahun aku jadi pelayan di sini, belum pernah terpeleset jatuh, lekaslah kau pesan apa", cuma di sini tidak sedia hidangan ciacay (vegetarian)."
"Ya, ya Hwesio kere memang tidak pernah membaca mantra,
sudah tentu tak perlu ciacay segala"
"Baiklah, lalu kau pesan apa?" tanya sipelayan, dia tetap tak mau panggil Taysu.
"Nah, dengarkan, seporsi daging empal, satu porsi sayap bebek.
dua kati arak. tapi suruh koki masak dulu seporsi paha ayam
panggang, semangkok besar kuah ikan, udang, jamur dan daging
babi,." seorang diri tapi santapan yang dipesan ternyata sangat banyak.
pelayan mangiakan saja terus putar tubuh menuju ke belakang.
Tak lama kemudian dia sudah balik dengan tangan kosong. Tapi
sebelum dia datang ke depan si Hwesio, tiba2 kakinya keserimpet, kontan tubuhnya terbanting jatuh. Untung dia tidak membawa
nampan hidangan,jatuhnya amat keras, dengan menyengir
kesakitan pelayan itu merangkak bangun, tangan meraba2 pantat
serta menghampiri dengan ter-pincang2.
Hwesio tadi tergelak2, serunya: "Nah, tadi Hwesio kere sudah bilang, kau tidak mau panggil kakek Taysu. padaku, sang Buddha
kini betul2 marah serta menghukummu." Tiba2 dia bersuara kaget dan tanya: "He, mana pesananku, kenapa tidak kau bawa kemari?"
Diam2 tergerak hati Cu Jing, dia duduk di depan si Hwesio,
hakikatnya dia tidak melihat Hwesio itu menunjuk gerak apa2. Tapi sipelayan di-buatnya jatuh bangun.
Dengan mendongkol si pelayan tertawa dingin: "Masakan yang kau pesan semua berharga dua tahil, bayar dulu."
Mendelik si Hwesio, teriaknya marah: "Memangnya kau kira
Hwesio kere makan tak membayar?"
"Sudah sering orang gegares gratis di sini, kau seorang diri, tapi pesan hidangan terlalu banyak. terang sengaja . . . . "
Si Hwesioberjingkrak marah, dia cengkeramdada bajusipelayan,
teriaknya gusar: "Kau kira aku mau makan gratis" Hwesio kere memang miskin, tapi kebetulan aku bertemu dengan seorang
dermawan yang ada jodoh, tanpa tanya kau lantas pandang orang
rendah dengan mata anjing, kalau aku masih muda seperti dulu,
sudah kulempar kau keluar jendela, tahu?" Sembari bicara, seperti menjinjingseekor ayamdiaangkattubuhpelayanterusdiulur keluar
jendela sehingga kontal-kantil di udara.
Sudah tentu sipelayan menjerit ketakutan setengah mati,
ratapnya: "Kakek Taysu, ampunilah jiwaku, hamba ada mata tidak melihat gunung, kau. . . . .jangan kau lepaskan peganganmu.."
Sudah tentu semua tamu yang ada di atas loteng sama kaget
dan melongo heran melihat Hwesio ini memiliki tenaga begitu
besar serta mempermainkan sipelayan-.
Hwesio itu cekakakan, dia tarik tangannya dan turunkan
sipelayan di lantai, katanya: "Sejak tadi kau panggil kakek Taysu kan beres?" Lalu dia tuding Cu Jing dan katanya pula: " Kau tanya Sicu ini, maukah dia membayar semua rekeningku nanti?" saking ketakutan, begituditurunkansegerasipelayan mendeprokdi lantai.
Lekas Cu Jing berkata: "Ucapan Taysu ini memang tidak salah, apa yang dimintanya boleh kau sediakan, rekeningnya aku yang
bayar." Sudah tentu si pelayan jadi kapok betul2, lekas dia kerjakan apa yang dipesan. Agaknya memang tidak sabar lagi, begitu arak
diantar, Hwesio itu lantas angkat poci terus tuang arak langsung kemulut sampai habis, katanya sambil seka mulut dengan lengan
bajunya yang kotor: "Sedap. Segar Hayolah Siausicu jangan
sungkan, mari, mari" pakai sumpit atau sendok segala, kedua tangannya bekerja bergantian mencomot daging dan menggaruk
ikan ke dalam mulut, begitu lahap dia makan sambil mulut kecap2
keras sepertiindukbabi. Diam2 Cu Jing mengerut kening melihat cara makan seperti
orang kelaparan itu, mulut Hwesio itu terus bekerja, belum lagi paha ayam dilalap habis, arak sudah dituang ke mulut lagi, lalu menyeruput semangkok kuah ikan pula, begitu sibuk dia sikat
semua hidangan dihadapannya tanpa rikuh sedikitpun-.
Memang saatnya orang makan malam, maka restoran ini penuh
sesak. keadaan menjadi ribut dan gaduh, Cu Jing tidak hiraukan si Hwesio yang sibuk makan seadiri, dia Celingukan kian kemari,
matanya sibuk mencari si orang tua misterius yang ternyata tidak kunjung tiba.
Sementara hidangan si Hwesio sudak dilalapnya habis satu
persatu, sambil tertawa dia memicing mata si Hwesio tepuk2
perutnya yang gendut, katanya sambil ngakak: "Hari ini kau sudah kenyang dan puas bukan" Semua ini berkat kebaikan Siau-sicu. ini yang berjodoh dengan sang Buddha, memberi sedekah dan
membayar rekening, tak terbalaslah luhur budinya, omitohud" Lalu
dia rangkap kedua tangan sambil mundur tiga langkah, setelah
memberisalamterustinggal pergi dengan langkahsempoyongan..
Tapi, baru tiga langkah mendadak dia berpaling katanya, sambil
pandang Cu Jing dengan sikap lucu seperti mabuk:." Siausicu tidak perlu menunggu pula, orang yang kau tunggu malam ini tidak akan datang lagi." .
Cu Jing melengak. tanyanya "Darimana Taysu tahu ". ."
Hwesio jembel tertawa lebar, ujarnya: "Yang kau tahu sudah tentu Hwesio juga tahu, apa yang kau tidak tahu Hwesio tetap
tahu, kalau Hwesio kere tidak tahu, memangnya siapa yang tahu?"
-Sembari bicara dengan sempoyongan dia melangkah ke arah


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangga. Melihat tingkah orang yang angin2an itu, tiba2 tergerak hati, Cu Jing, dia ingat apa yang pernah dikatakan Ban Jin-cun bahwa
orang tua misterius itu mungkin adalah Hoan-jiu-ji-lay, walau dia tidak tahu siapa itu Hoan jiu ji-lay, tapi kalau dia berjuluk "Ji-lay"
tentu dia seorang Hwesio mungkinkah Hwesio kere inilah
Hoan-jiu-ji-lay". "Tak salah lagi, kalau tidak bagaimana dia tahu aku ada janji dengan orang, iapun tahu orang tua itu tidak akan datang lagi"
Setelah datang dan pergi dengan kenyang dan mabuk, sudah tentu
dia tidak akan datang pula, maka diriku disuruh jangan menunggu lagi." cepat Cu Jing berdiri, teriaknya: "Pelayan, berapa rekeningnya."Dia rogohsekeping uangperakterusditaruhdi meja.
"Sisanya buat kau" habis berkata dengan setengah berlari dia terus turun loteng.
Hanya beberapa detik saja jarak antara si Hwesio pergi dan dia
berlari menyusul ke bawah, tapi waktu dia tiba di bawah sana,
bayangansiHwesio sudahtidak kelihatanlagi"
Pasar malam masih ramai di luar, orang berlalu lalang berjejal, ke mana lagi dia akan mencari si Hwesio. Pula orang sengaja tidak mau bicara lebih lanjut, umpama dikejar juga orang tidak mau
menemuinya. Sekian lama Cu Jing berdiri melongo mengawasi orang2 yang
bersimpang siur dijalan raya, sesaat kemudian baru dia beranjak ke ujung jalan sana langsung kembali ke tempat penginapannya .
Malam sudah larut, para tamu yang lain sudah masuk kamar
dan tidur, maka Cu Jing langsung menuju ke kamarnya, waktu dia
membuka pintu kamar dan hampir melangkah masuk, tiba2 dia
tertegun dan berdiri mematung.. Dilihatnya seseorang duduk
dikursi didekat jendela sana. Lampu memang tidak dinyalakan tapi sinar rembulan di luar jendela cukup menerangi keadaan kamar
sehingga tertampakremang2. .
Terlihat jelas oleh Cu Jing orang yang berada dikamarnya ini
berpakaian hitam, bermuka kuning, orang ini adalah orang yang
dilihatnya berdiri di depan toko kain tadi, diam2 Cu Jing
mengumpat dalam hati, batinnya: "Kiranya dia memang
hendak-cari perkara padaku."
Si baju hitam angkat kepala, katanya tersenuyum: "Kau hanya berdiridiluarpintu, memang-nyatidakberanimasuk?"
Dingin suara Cu Jing: "Rasanya aku kesasar, salah masuk ke kamar orang lain."
Pelan2 si baju hitam berbangkit, katanya: "Kau tidak kesasar."
Cu Jing beranjak masuk-katanya sambil menatap orang: "Jadi saudara yang kesasar ke kamarku?"
"Akupun tidak kesasar," ujar si baju hitam, "Sebab aku sedang menunggumu."
"Ada urusan apa kau menungguku" tanya Cu Jing.
Berkedip2 mata si baju hitam, katanya setelah menatap lekat2
sebentar: "Aku ingin bicara dengan kau."
Mendadak si baju hitam tertawa lebar, katanya: "Agaknya kau curiga bahwa aku bermaksud tidak baik, terhadapmu?" Tawanya manis sehingga kelihatan baris giginya nan putih rata dan amat
kontras dengan kulit mukanya yang kuning. "Kalau dia seorang perempuan, mestinya dia perempuan cantik, molek. sayang giginya yang rajin dan putih itu tumbuh di mulut laki2 yang bermuka jelek dan memuakkan-Tapi Cu Jing tidak perhatikan senyuman yang kaku, iapun tak
pedulikan gigi orang yang putih indah, sikapnya tetap dingin,
dengusnya: "Umpama betul kau bermaksud jahat, memangnya
kenapa?" Agaknya si baju hitam memang tidak bermaksud jahat, kembali
ia memandang Cu Jing, katanya:"ini kamarmu, aku kemari sebagai tamu, sikapmu
begini kaku, apa begini layaknya kau melayani tamu?"
Cu Jing habis sabar, katanya sambil berkerut alis: "Ada
omongan apa lekas katakan saja."
"Kukira kau tidak asing lagi dengan dandananku ini bukan2" ujar si baju hitam: "Kutahu ke dua, temanmu sudah berangkat ke Pak-siam san-"
Cu Jing mendengus sambil mengawasi muka orang yang kuning
kaku itu: "Hm, agaknya kau serba tahu."
"Apa yang kutahu, belum tentu kaupun tahu," ujar si baju hitam.
"Apa pula yang kau ketahui?" tanya Cu Jing.
Kata si Baju hitam sungguh2: "Kedua temanmu itu mungkin
takkan kembali lagi."
"Apa katamu?" Cu Jing mendelik :"Ban Jin-cun. . . mereka mengalami bahaya?"
Mendadak dia maju selangkah, berbareng ta-ngan kiri
mencengkeram pergelangan tangan si baju hitam, sekenanya dia
menggentak mundur ke belakang sembari lepas kelima jarinya,
dalam keadaan tidak siaga dan tak terduga2 si baju hitam kena
disengkelitnya jatuh di lantai.
Karena, gugup, tanpa sadar Cu Jing melancarkan gerakan Jiau-
kau-sek. dan hasilnya betul2 di luar dugaannya. Tapi dia tidak
pedulikan keadaan si korban, "sret" dia melolos pedang serta mengancam tenggorokan orang, bentaknya: "Lekas katakan, kalian mengatur muslihat apa ....."
Tak tahunya bahwa kepandaian silat si baju hitam ternyata juga
cukup lihay, walau pecundang dalam keadaan tidak siaga, waktu
ujung pedang Cu Jing mengancam, cepat dia mengkeret mundur.
Selicin belut tiba2 badannya meluncur di lantai dan mundur
beberapa kaki jauhnya. Dengan tangkas dia melompat berdiri, "s reng", iapun cabut sebatang pedang panjang, katanya dongkol:
"Kau tidak tahu diri, kalau aku mau mencelakai kau, sejak tadi jiwamu sudah melayang, tahu2 Seperti tidak mendengar apa yang
dikatakan orang, Cu Jing malah tertawa dingin, jengeknya: "Aku tidak akan membunuhmu, katakan muslihat apa yang kalian
rencanakanuntuk mencelakaijiwaBan Jin-cun berdua"
Si baju hitam acungkan pedangnya, katanya dingin: "Tidak
sukar jika kau ingin tahu, pertama kau harus kalahkan dulu
pedangku, hal kedua umpama aku yang menang, aku akan tetap
menerangkan padamu,"
Agaknya, dia penasaran karena barusan kena disengkelit jatuh
oleh Cu Jing, maka setelah menang baru dia mau menerangkan
maksud kedatangannya. Tapi Cu Jing berwatak keras, Tak mau kalah, "kalau aku kalah, kaupun tidakperlu jelaskan-"
"Jadikau tidak ingintahu beritatentangtemanmu itu?"
Menyinggung Ban Jin cun, entah kenapa Cu Jing jadi naik pitam,
katanya dengan mata mendelik: "Kau kira aku tidak bisa
mengalahkan kau?" tiba2 pedangnya bergetar terus, menusuk ke depan.
Sibaju hitam miringkan badantidak mundurdia malah mendesak
maju, sinar pedang berkelebat, menghindari tusukan sembari balas menyerang. Sasarannyaadalahpundak kiriCuJing.
Terkesiap hati Cu Jing melihat gerakan lawan yang aneh dan
cekatan, badan setengah berputar, gerakan dipercepat, dalam
sekejap dia berturut menikam tiga kali. Ternyata permainan
pedang si baju hitam juga lincah dan gesit, tiga kali tikaman Cu Jing meleset semua di samping tubuhnya, ujung bajupun tidak
kena. Kini berbalik sinar pedang lawan berkelebat cepat dan ganas serangannya, HiattomematikanditubuhCuJing menjadisasaran-Namun setiap serangan ganas selalu ditarik lagi di tengah jalan, jelas lawan sengaja mengalah..
Cu Jing jadi marah, segera ia kembangkan ilmu pedangnya,
gerakannya semakin gencar dan sengit, ingin rasanya sekali tikam dia bikin mampus lawannya, begitulah mereka serang menyerang,
maju mundur silih berganti, belasan gebrak telah berlangsung di dalam kamar yang sempit itu.
Keringat sudah membasahi badan Cu Jing, dia sudah keluarkan
seluruh kemahiran ilmu pedang-nya, tapi si baju hitam tetap tak dapat dirobohkan, keruan ia gemas dan gelisah. Mendadak
tergerak pikirannya, sengaja dia melakukan gerakan lambat dan
menunjukkan lubang ... . Perlu diketahui pedang yang digunakan si baju hitam lebih
pendek daripada Cit-sing-kiam Cu Jing yang panjangnya tiga kaki lebih itu, oleh karena itu baik maju mundur, menyerang atau
membela drii, gerakannya selalu berpadu dengan gemulai
tubuhnya yang lincah dan licin itu, setiap ada kesempatau tentu diterobosnya.
Kini melihat Cu Jing ada lubang kelemahan, cepat ia menyelinap
maju, pedangnya dari menabas berubah menjadi mengetuk.
dengan batang pedang dia mengetuk Hiat-to pergelangan tangan
Cu Jing yang memegang pedang.
Kalau serangannya berhasil mengenai sasaran, maka pedang
cu-Jing pasti terketuk jatuh. Tak ter-duga2 tiba2 ia merasakan
pergelangan tangan kanan sendiri kesemutan kaku, entah
" Kenapa kau tidak menungguku?"
"Nona mau ke mana"
"Kau menyamar lagi bukankah ka hendak menemuka pengejaranmu?" u n bagaimana Cu Jing telah menangkap urat nadinya, berbareng
ujung pedang mengancam tenggorokannya. Terdengar Cu Jing
berkata melancarkan gerakan Jiau-kau-sek, betul juga dengan mudah dia
berhasil membekuk si baju hitam. ....
Berkedip mata si baju hitam yang besar dan jeli itu, pancaran
sinarnya marah, tapi juga kagum dan memuji, namun mulutnya
menjengek:"Hanyagerakanbeginisaja kemampuanmu. ."
"cukup Asal bisa membekukmu" jawab Cu Jing "Lempar pedangmu dan bicaralah terus terang."
Si baju hitam sedikit meronta, katanya: "Lekas lepaskan, baiklah akan kukatakan, memangnya Aku kemari hendak memberi kabar
padamu,kalautidakbuatapaaku menunggumudisini?"
"Kau hendak memberi kabar padaku?" Cu Jing menegas. .-. . .
Terpancar rasa masgul pada sorot mata si baju hitam, katanya:
"Kau masihtidakpercaya?"
"Mengapa tingkah lakunya seperti anak perempuan,?" demikian batin Cu Jing. Segera ia turunkan pedangnya, katanya: "Asal kau bicara terus terang, kulepas kau pergi."
"Baiklah, lepaskan dulu tanganmu."
Yakin orang takkan bisa meloloskan diri, Cu Jing lantas lepaskan peganannya. Si baju hitam lantas simpan juga pedangnya, lalu dia meraih kain hitam yang mengikat kepalanya, rambut panjang
hitam kilap seketika terurai di pundaknya. . . Cu Jing berseru
kaget: "Kau perempuan?"
Si baju hitam tertawa lebar, kembali ia menanggalkan kedok
mukanya yang tipis. Wajahnya yang tadi kuning kaku mengkilap
kini berubah seraut wajah molek seorang gadis, tampaknya malu2
dan ingin bicara tapi urung.
Heran Cu Jing mengawasi orang sekian lamanya, tanyanya:
"Siapakah kau sebetulnya?"
"Akubernama Hek-bi-kwi(mawarhitam)."
"Kalian semuanya perempuan"
"Bukan, mereka adalah orang2 Hek-liong-hwe (sindikat naga
hitam)." "Kau sendiri bukan anggota Hek-liong-hwe?"
Hek-bi-kwi atau si mawar hitam menggeleng, katanya
sungguh2: "Terus terang, aku sebetulnya, orang Pek-hoa-pang, tapi bertugas di dalam Hek-liong-hwe, kini tugasku sudah selesai, saatnya aku harus kembali." Tanpa menunggu Cu Jing bertanya, dia menambahkan lagi: "Soalnya kedua temanmu yang pergi ke Peksiam-san sudah diketahui oleh pihak mereka, Hek-liong-hwe
sudah mengirim berita dengan merpati pos, sebelum kedua
temanmu tiba di Pak siam-san mereka sudah pasang jala hendak
menjaringnya, aku tak dapat membantu, terpaksa menyerempet
bahaya mengabarkan hal ini kepadamu, syukur kalau engkau bisa
menyusul mereka serta membujuknya agar membatalkan nitanya
untuk menyelidiki senjata rahasia beracun itu, kalau tidak. orang2
Hek liong-hwe pasti tidak akan berpeluk tangan, demikian pula kau sendiri kuberitahu supaya jangan mencampuri urusan ini .... . "
sembari bicara dengan cekatan ia sudah menggelung rambut serta
membungkusnya dengan kain hitam, katanya pula: "Sudahlah, apa yang ingin kusampaikan sudah kusampaikan, sekarang aku mohon
diri, harap engkau jaga dirimu baik2."
Habis berkata dengan cepat dia melangkah keluar. Tapi di
ambang pintu dia berpaling serta pandang Cu Jing lekat2. Hanya
sekejap ini mukanya sudah kembali menjadi kuning kaku dan
mengkilap. tapi matanya yang bundar besar itu memancarkan
perasaan berat dan kasih mesra, lalu dengan cepat ia berkelebat keluar dan menghilang.
Diam2 Cu Jing tertawa geli, batinnya: "Agaknya bocah ayu ini menaruh hati kepadaku."
Si mawar hitam melompat ke atas genting terus keluar dari
hotel, seringan kapas ia melompat turun dijalan raya yang sepi
terus berlari2 menpuju ke selatan-Setiba di daerah Sam-koan-tiam takjauh di depannya dilihatnya bayangan dua orang mengadang di
kirikanan jalan. Dalam kegelapan darijauh pasti tidak akan melihat dua orang di
depannya ini, untung malam ini ada sinar bulan, maka mawar
hitam segera melihat bayangan kedua orang dari kejauhan..
Betapa cerdik si mawar hitam, melihat dua orang berdiri di
pinggir jalan, karena kawan atau lawan sukar diraba, sudah tentu dia tidak berani mendekat secara gegabah, segera dia berhenti
beberapa jauh dari mereka. Begitu dia berhenti, ke dua bayangan orangitu mulai bergerakdan pelahan2 mendekatidirinya. . .
Mawar hitam tetap berdiri tak bergerak. tapi jari2, tangan
kanannya sudah menggenggam gagang pedangnya. Cepat sekali
seperti bayangan setan kedua orang itu sudah berada
dihadapannya. Kini mawar hitam melihat jelas kedua orang ini
sama mengenakan seragam hitam, mukanya juga kuning seperti
malam, seorang lagi mukanya malah lebih legam sehingga
tertampak menyeramkan- Kini mawar hitamdapat melihatjelaskedua orang ini teman yang
tadi bertugas bersama dirinya, yaitu dengan kode huruf kuning
nomor 27. "Bukankah mereka bertugas menguntit Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa menuju ke Pak-siam-san" Tapi kedua orang itu
mendadak muncul di sini," keruan ia kaget, lekas dia memberi hormat, katanya: "Hamba huruf kuning 29, menyampaikan hormat kepada Sincu"
Ternyata laki2 muka kuning kelabu bernama Sin-cu "sincu
adalah suatu jabatan tertentu didalamHek-liong-hwe.
"Nomor28," desis laki2 muka kelabu, "Kau tahu apa dosamu?"
Bergetar hati mawar hitam, tapi dia memakai kedok, sudah
tentu perubahan air mukanya tidak -kelihatan, tapi sikapnya
kelihatan gugup, sahutnya: "Entah hamba melanggar kesalahan apa?"
"Budak bernyali besar," damperat laki2 muka kelabu,
"dihadapanku masih berani mungkir."
"Harap Sincu periksa yang betul, hamba betul2 tidak tahu
berbuat kesalahan apa" Memangnya melanggar peraturan
organisasi" " si muka kelabu menjengek dingin: "Apa betul kau tidak tahu"
Baiklah, nornor 27 jelaskan padanya."
Laki2 muka legam mengiakan, dengan menyertingai dia
berkata: "Sebelum berangkat menunalkan tugas kali ini hamba menerima perintah rahasia Ji tongcu, beliau merasa nomer 28 agak mencurigakan, maka hamba diperintahkan memperhatikan gerak-geriknya . . . ."
"Aku toh bukan anak buah Ji-tongcu," debat mawar hitam, "dari manadiatahuletakkelemahankusehingga menaruhcurigapadaku"
"Kau adalah anak buah cui tongcu," kata laki2 muka legam,
"sudah tentu perintah Ji tongcu ini juga setahu cui tongcu sendiri."
Lalu dia menambahkan: "Setelah nomor sembilan mati menelan racun, sengaja hamba bilang mau menguntit kedua bocah Ban dan
Ko itu, sebetulnya di Kim-sim-tun pihak kita juga ada orang,
hakikatnya tidak perlu menguntit mereka segala, apa yang hamba
lakukan hanya untuk mengelabui nomor 28 dan mengawasi
tingkah lakunya apakah betul dia melanggar. ..."
"Memangnya aku melanggar aturan apa?" tanya mawar hitam.
"Untuk apa malam ini kau pergi ke hotel Ko-seng-can?" tanya laki2 muka legam. .
"Karena bocah she cu itu tinggal di hotel itu maka ingin aku menyelidiki gerak-geriknya, memangnya maksudku ini salah?"
dengus mawar hitam. "Apa saja yang telah kau bicarakan dengan dia?" tajam pertanyaan laki2 muka legam.
"Jadi kau menguntitku secara diam2, apa yang kulakukan tentu sudah kau sakslkan, kenapa tanya lagi?"
"Akulah yang ingin tanya padamu," sambung laki2 muka kelabu.
. Mawar hitam meliriknya, katanya dengan membungkuk hormat:
"Sin-cu boleh tanya nomor 27 saja, yang terang hamba yakin tidak melakukan kesalahan-"
"Kau tidak usah berdebat lagi, serahkan senjatamu, pulang ikut aku menghadap Cui-tongcu"
Tanpa terasa mawar hitam menyurut mundur selangkah,
semakin kencang jari2nya memegang gagang pedang, katanya:
"Jadi Sincu juga tidak percaya padaku, baiklah aku akan
menghadap cui-tongcu sendiri"
Sorot matanya yang kelabu menatap mawar hitam, tegas suara
si muka kelabu: "28, kau berani melawan perintah?" Dari dalam bajunya dia keluarkan seutas rantai lembut, di ujung rantai terikat sebuah gembok kecil, "trang", dia lempar gembok borgol itu ke tanah, bentaknya bengis: "Belenggu tanganmu sendiri."
Melihat orang keluarkan borgol, rasanya berdebat juga tak
berguna, maka mawar hitam mundur ber-siap2, katanya tertawa
dingin: "Sin-cu sendiri memaksa aku melakukan
pelanggaran-Baiklah, aku akan kembali ke markas saja," Segera dia putar tubuh dan lari.
"Bangsatbernyalibesar"bentaksimukakelabu."Kau maulari?"
Tanpa diperintah laki2 muka legam melolos senjata terus
melompat ke depan menghadang si ma-war hitam, Urusan sudah
kadung begini, terpaksa mawar hitam harus bertindak cepat,
mendadak ia menghardik keras "Minggir"
Begitu pedang terlolos dan bergerak, dengan jurus
jun-seng-hwihoa segera sinar pedang menggulung ke dada laki2
muka legam. Agaknya orang itu tidak menduga di hadapan sincu orang berani
bergerak senekat ini ehingga si mawar hitam sempat
merangsaknya lebih dulu, maka dia tidak berani menyambut ecara
keras, ia melompat mundur beberapa kaki. Begitu kaki turun ke
tanah, pedangnyapun udah terlolos, bentaknya.: "Perempuan
keparat, berani kau melawan?" Tiba2 ujung pedangnya bergetar, dia menubruk ke arah mawar hitam.
Sebelum lawan menubruk tiba, mawar hitam membentak seraya
putar pedang dengan kencang, beruntun dia menusuk dan
menikam delapan kali, Delapan kali serangan ini dilancarkan secara ganas, beberapa kaki sekeliling dirinya bertaburan sinar pedangnya yang kemilau.
Karena di dahului, si muka legam tepaksa hanya membela diri
sambil mundur, ia kaget danjeri, sembari bertahan mulutnya
berkaok2. "Sincu, coba lihat ilmu pedang apakah yang dimainkan keparat ini?"
Tujuan mawar hitam hanya meloloskan diri, sudah tentu
serangannya tak mengenal kasihan, beruntun beberapa kali


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan pedangnya hampir saja menamatkan jiwa si muka legam,
tapi begitu orang mundur, sebat sekali dia tutul kedua kaki terus melambung setombak lebih jauhnya. Namun waktu ia hendak
mengenjot kalinya lagi, mendadak badannya bergetar, "bluk", tanpa kuasa ia jatuh terjerembab.
Terdengar si muka kelabu terkekeh sambil menghampiri,
suaranya sinis: "Perempuan hina, dengan sedikit kemampuanmu ini, memangnya mau lolos dari tangan aku orang she Tin" Lekas
katakan, siapa yang mengutusmu menjadi mata2 di perkumpulan
kita?" diarebutpedangdaritanganlaki2
mukalegam,sekaliujungpedang bergetar, beruntun dia tutuk tujuh
kali Hiat-to di tubuh si mawar hitam.
Karena terjatuh ke tangan musuh, mawar hitam pejamkan mata
saja tanpa bicara, dia pasrah nasib . . .
"Dihadapan orang she Tin jangan kau pura2 mampus, kau akan menderita tanpa bisa berkutik sedikitpun," desis laki2 muka kelabu, mendadak ia putar balik pedangnya, dengan gagang pedang dia
mengetuk ke bawah dada mawar hitam. Ketukannya tidak berat,
tapi sasarannya telak. gerakannya-pun berbeda dengan ilmu tutuk umumnya. Badan mawar hitam seketika mengejang, tanpa kuasa
mulutnya mengerang kesakitan-
Dengan keheranan laki2 muka legam pandang laki2 muka
kelabu, katanya: "Budak keparat ini teramat keras kepala, biar hamba menyiksanya lebih parah . . "
Laki2 muka kelabu menyeringai: "Tak usah kau turun tangan, dalam sepeminum teh, mustahil dia tidak mengaku."
Laki2 muka legam mundur dengan ragu2, tapi dia tidak berani
banyak mulut lagi. "Nah," ujar laki2 muka kelabu, "sekarang tanggalkan kedok mukanya, kini dia sudah bukan orang kita, tak boleh mengenakan
kedok ini, nanti akan kukorek kedua biji matanya."
Laki2 muka legam mengiakan, segera dia mendekat dan
menarik kedoksi mawar hitam.
Dilihatnya wajah si mawar hitam yang molek berubah pucat dan
basah oleh keringat dingin. Dengan hati tak tenteram ia angsurkan kedok itu kepada atasannya.
Laki2 muka kelabu simpan kedok itu ke dalam bajunya, sikapnya
tampak tenang2, ia berjalan ke sana lalu duduk di atas batu besar dipinggir jalan sana.
Sementara itu wajah mawar hitam yang pucat berkerut2 itu
sudah dibasahi keringat dingin, badan mengejang dan bergetar
semakin keras, giginya berkerutuk menahan sakit. Jelas dengan
segala daya dia bertahan akan siksaan yang luar biasa ini. Tidak merintih juga tidak menjerit, hanya giginya yang berkeriut, dia terimasiksaaninidengantabahdanberani. Diatahusetelahrahasia
dirinya ketahuan, dia terima segala akibat yang bakal menimpa
dirinya. Laki2 muka legam sampai merinding menyaksikan perubahan air
muka si mawar hitam, tapi laki2 muka kelabu justeru tetap
ongkang2 duduk di sana dengan sabar, hatinya seperti terbuat dari besitanpaperasaan,seakan2diaamatpuasdansenang melihat
Keadaan si mawar hitam yang begitu menderita. Dengan
terkekeh dingin tiba2 dia berdiri menghampiri, tetap dengan
gagang pedang, kembali dia mengetuk badan si mawar hitam.
Kiranya, ketukankali iniuntuk membuka Hiat-toyang menyiksa
mawarhitam tadi. Si mawar hitam yang sejak tadi duduk bertahan
kini menjadi lunglaidan terkaparditanah.
Dengan terkekeh dingin si muka kelabu mendelik bengis,
katanya: "Nomor 28, kau sudah rasakan, kenikmatannya"
Ketahuilah, ini baru permulaan supaya kau tahu rasa, yang lebih enak masih bisa kau rasakan jika kau tetap membangkang,
ketahuilah kesabaranku juga terbatas."
"Bunuhlah aku," teriak mawar hitam serak.
"Memangnya begini mudah?" jengek muka kelabu. "Sebelum kau mengaku siapa yang mengutusmu kemari" Aku tidak akan
membikinmu mampus," Mawar hitam membuka pula matanya, mulutnya terkancing
rapat2. "Aku tak percaya, memangnya badanmu ini berotot kawat
bertulang besi," demikian ejek si muka kelabu, "Tak mau bicara, jangan sesalkan aku berlaku keji. ......" ia angkat pedang pula dan pelan2 gagang pedang kembali hendak menutuk ke dada si mawar
hitam. Pada saat2 genting itulah, tiba2 dari belakang pohon sebelah
kanan sana orang membentak nyaring: "Berhenti" -Suaranya merdu, terang itulah suara perempuan, malah perempuan yang
masih muda belia. Gagang pedang di tangan si muka kelabu yang sudah teracung
berhenti di tengah jalan, ia melirik ke arah datangnya suara, Pohon di pinggir jalan itu berada beberapa pelukan orang besarnya,
bentuknya menyerupai payung, Tampak dua bayangan orang
melompatkeluardari balikpohonbesar itu.
Dua bayangan semampai dan ramping, yang di depan berusia
19-an memakai gaun panjang warna hijau pupus dengan baju
panjang putih mulus, wajahnya tampak jelita dan anggun, di
bawah sinar rembulan yang remang2 kelihatannya dia seperti
bidadari yang baru turun dari kahyangan. Agak di belakang adalah seorang gadis pula lebih muda berpakaian serba hijau, kuncir
rambutnya yang hitam menjuntai turun menghias dada,
dandanannya mirip pelayan, tapiwajahnyajugacantik molek.
Melihat yang muncul hanya dua gadis ayu, si muka kelabu
tertawa lebar, katanya: "Agaknya kalian memang sekomplotan, kebetulan kalian akan punya kawan dalam perjalanan ke alam
baka, supayaakutidak membuangwaktudisini"
Menjengkit alis gadis bergaun panjang, bentaknya: "Kau
membual apa" Kebetulan aku lewat di sini, tak senang kumelihat
perbuatan kejammu ini terhadap seorang gadis lemah yang tak
mampu melawan ini." Si muka kelabu memicingkan matanya, desisnya tertawa:
"Memangnya kenapa kalian nona2 cantik ini tidak senang. Aku justru ingin perlihatkan padamu." gagang pedang yang sudah teracung pelan2 bergerak turun pula.
Gadis baju hijau bertolak pinggang, bentaknya: "Kunyuk kurang ajar, dihadapanSiociaberani kau bertingkah"
"Memangnya kenapa tuan besarmu ini tidak berani" jengek si muka kelabu.
"Berani kau menyentuhnya, segera kubuntungi lengan kananmu
. . . . " ancam si nona bergaun panjang dengan gusar..
Si muka kelabu tertawa, katanya: "Budak cilik, kalau tuan
besarmu gampang digertak orang, aku takkan berjuluk Thian-kau
(anjing langit). Nah lihatlah"
Gerak gagang pedangnya lambat2, tapi sudah hampir
menyentuh dada si mawar hitam.
Pada saat itulah jari gadis gaun panjang tiba2 terangkat,
bentaknya: "Betul kau berani ."
Gagang pedang si muka kelabu sudah hampir mengenai
sasarannya, tapi mendadak dia merasa adanya sesuatu yang ganjil, lengan kanannya itu tahu2 kaku dan pati rasa, lemas tidak
menurut perintah lagi. Baru saja ia terkejut, segera pedang yang dipegangnya berkelontangan jatuh ditanah.
Sudah tentu laki2 muka legam kaget, tanyanya lirih sambil
memburu maju: "Kenapa Sincu?"
Pucat dan ketakutan membayang pada wajah muka kelabu:
"Lekas pergi" Dengusnya pelahan, cepat dia mendahului berlari pergi ..
Melihat pemimpinnya lari membawa luka, sudah tentu si muka
legamtakberani tinggal lama2, lekas iapunangkatlangkah seribu.
Gadis baju hijau cekikikan, katanya:. "Tidak berguna, sekali gertak lantas lari mencawat ekor."
Gadis majikannya berkata sungguh2: "Jangan kau pandang
ringan mereka, kepandaian mereka tinggi, kalau bertempur betul2
mungkin aku bukan tandingannya." lalu dia menambahkan-"Lekas kau periksa luka nona itu."
Dengan langkah ringan dia menghampiri lalu berjongkok di
samping si mawar hitam, katanya, "Entah di mana luka nona, apa tertutuk Hiat-to mu. ."
Dengan telentang lemas pelan2 mawar hitam membuka mata,
suaranya lemah tak bertenaga: "Terima kasih atas pertolongan nona, cuma. .... keadaanku sudah payah" matanya berkedip2, tak tertahanduatitikair mataberlinangdikelopakmatanya.
"Di mana lukamu," tanya gadis gaun panjang, "lekas katakan biar kuperiksa?"
Mawar hitam menggeleng, katanya lemah: "Jangan nona
menyentuhku, aku terkena senjata rahasia beracun keparat itu
........" "Terkena senjata rahasia beracun"Jangan kuatir aku membawa obat mujarab, mungkin bisa menawarkan racun dalam tubuhmu."
"Tak berguna," ujar mawar hitam rawan, "racun dibadanku tiada obat pemunahnya di kolong langit ini, bahwa aku tidak
segera mati, karena Thian-kau-sing (anjing langit) tadi menutuk Hiat-toku sehingga kadar racun sementara tidak menjalar ke
jantung . ....." lalu dia pandang gadis penolongnya, "nona baik hati menolongku, ada pesan ingin kutitipkan padamu, entah nona sudi
membantuku lagi tidak?"
"Pesan apa katakan saja, asal bisa kulakukan pasti kubantu kau.". .
"Terima kasih, di dalam bajuku ada sebuah kantong kain
bersulam, barang ini jangan sampai terjatuh ke tangan orang2 Hek liong hwe, oleh karena itu terpaksa kutitipkan pada nona ....."
"Kantong ini tentu penting artinya, entah kepada siapa harus kuserahkan?"
"Penting sih tidak. juga tidak perlu diserahkan kepada siapa2, cuma tolong kau membakarnyasaja, didalamkantong adasekeping
besi tipis, di tengahnya ada ukiran sekuntum bunga mawar, besok pagitolongadikinisukacantolkandi manasajaasaldipojoktembok di
pinggir jalan, harus dicantolkan terbalik ke bawah, lalu dilingkari tinta hitam, cukup di dua-tiga tempat saja, kawan2ku tentu akan tahu bahwa aku sudah gugur."
"Baiklah, akan kulakukan pesanmu ini."
"Soal ini amat rahasia, waktu membuat lingkaran hitam jangan sekali2 dilihat orang."
"Aku dan Siau Yan jarang berkelana di Kangouw," kata gadis gaun panjang, "entah kau dari Pang atau Pay mana?"
"Aku tak berani mengelabui nona, aku orang Pek-hoa-pang,
harap nona tidak ceritakan peristiwa malam ini kepada orang lain-"
"Aku tahu, setiap Pang atau Pay di kalangan Kangouw ada
peraturan dan rahasianya sendiri, aku tidak akan beritahu kepada orang lain-"
"Baiklah, tolong keluarkan kantong kain dalam bajuku, waktuku tak banyak lagi " . .
"Biar kuambil," kata gadis baju hijau, segera ia berjongkok serta merogoh keluar sebuah kantong kecil dari dalam baju si mawar
hitam. Sekilas melihat cuaca, tak tertahan air mata mawar hitam lantas bercucuran, katanya sedih: "Masih ada satu hal hampir kulupakan, di dalam kantong ada sebuah botol kecil warna hitam, setelah aku mangkat, tolong enci siau Yan tuang sedikit bubuk obat dalam
botol itu ke atas mukaku."
Gadis baju hijau membuka kantong kecil dan mengeluarkan
sebuah botol tanyanya, "Apakah ini?" Mawar hitam mengangguk, katanya kepada nona bergaun
panjang: "Apa yang ingin kupesan sudah kukatakan, tolong Siocia membuka Hiat-toku."
Berkerut alis si nona, katanya "Membuka Hiat-to, bukankah
racun akan segera menyerang jantung" "
"Ya, enam Hiat-to didadaku memang tertutup, tapi setengah
jam lagi racun akan merembes pelan2, penderitaan waktu itu luar biasa, lebih baik kau buka Hiat-toku supaya racun lekas menyerang jantung, dengan demikian aku tidak akan menderita. Lekaslah,
harap Siocia tolong diriku."
Si gadis gaun panjang ragu2, katanya:. "Aku belum pernah
membunuh orang, cara bagaimana aku tega turun tangan" . . ."
"Yang membunuh aku adalah Thian-kau-sing. Siocia malah
menolongku, kalau Siocia tidak mem-buka Hiat-toku, karena jalan darahku tersumbat, racun akan bekerja lambat sehingga siksaan
yang kualami akan jauh lebih mengerikan-Siocia, aku orang yang
hampir mati, kalau kau buka hiat-toku, aku tidak akan tersiksa, lebih lama lagi."
Akhirnya gadis gaun panjang manggut2, katanya. "Baiklah,
kutolong kau membuka Hiat-to" lambat2 dia ulur tangan, tapi hatinya tidak tega hingga tanganpun gemetar, tanyanya lagi
dengan sedih: "Kau masih ada pesan apa?" Pilu senyuman mawar hitam, sahutnya: "Terima kasih, tiada lagi. ."
"Aku. .... .ai, aku.. .. ..sungguh tidak tega turun tangan," kata gadis gaun panjang sambil menyeka air mata.
Mendadak badan si mawar hitam bergetar terus mengejang dan
berkelejetan, air mukanya berubah hebat, suaranynya gemetar: "
Racun .....sudah mulai . bekerja Siocia le .. lekas . . ." Melihat penderitaan yang hebat ini, gadis gaun panjang tidak sampai hati, tanpa pikir ulur tangan ke dada mawar hitam, beberapa Hiat-to,
yang tertutuk tadi dibuyarkannya .
Badan mawar hitam tampak berkelejetan, wajahnya yang
semula pucat berkeringat seketika berubah hitam, darah kental
hitampun meleleh dari mulut hidang dan mata kupingnya.
Bergidik seram si gadis gaun panjang, katanya menghela napas:
"Senjata rahasia yang ganas sekali. Ai, Siau Yan, dia minta kau menaburkan bubuk obat itu kemukanya, lekas kau lakukan, kita
harus segera berangkat."
Siau Yan mengiakan, dengan tabahkan hati ia taburkan bubuk
obat di botol kecil itu kemuka si mawar hitam, katanya: "Siocia, marilah lekas pulang ke hotel." wajahnya tampak pucat dan
tangannya gemetar, agaknya iapurt ketakutan-. .
Gadis gaun panjang menggeleng2, katanya: "Tadi. kita sudah menerima pesannya yang terakhir. setelah membakar kantong kain
itu baru kita pulang. ."
"Dibakar di sini juga, Siocia?" tanya siau Yan. "apa jangan di tengah jalan, kalau dilihat orang bisa dicurigai, malah bakar di depan biara bobrok di depan sana"
Pada saat mereka bicara itulah jenazah mawar hitam sementara
itu sudah mulai lumer, kini tinggal cairan darah kuning
menggenangi tanah sekitarnya..
"Siocia memang lebih cermat," ujar Siau Yang, tiba2 ia menjerit kaget melihat cairan darah kuning itu.
Gadis gaun panjang menoleh sekejap lalu melengos pula,
katanya. "Bubuk obat yang kau taburkan di mukanya tadi tentu Hoa-kut-san (puyer pelebur tulang), tujuannya untuk melenyapkan jenazah si korban, agaknya dia tidak ingin orang tahu,
asal-usulnya, maka suruh kita menaburkan puyer pelebur tulang itu pada wajahnya supaya tidak meninggalkan bekas."
Kejap lain kedua nona ini sudah beranjak memasuki kelenteng
bobrok yang sudah lama tidak dihuni dan dirawat, kecuali untuk
bangunan di bagian depan masih kelihatan utuh, bagian belakang
boleh dikatakan sudah runtuh, rumput sudah tumbuh tinggi di
sanasini. Dari tangan si nona baju hijau, gadis gaun panjang terima
kantong kain kecil itu serta mengeluarkan isinya, ada tiga macam barang di dalam kantong, yaitu sekeping besi tipis, bagian depan terukir sekuntunt bunga mawar, sebuah kedok muka yang tipis
halus terbuat dari karet dan sebatang tusuk kundai, di ujung tusuk kundai terdapat hiasan bunga mawar warna ungu. Keping besi itu
diberikannya kepada nona baju hijau, kata si gadis gaun panjang:
"Mungkin inilah tanda pengenal mereka, dia minta kau membuat lingkaran di beberapa tempat di atas tembok di mana saja yang
kau sukai, sekarang kita bakar saja barang peninggalannya ini."
"Dia kan sudah meninggal, buat apa aku harus meninggalkan
tanda rahasia segala?" gerutu gadis baju hijau. "Memangnya siapa akanperhatikan lingkaranhitamdidindingrumah orang?"
"Kukira orang2 Pek-hoa-pang mereka sering mondar-mandir di sini, itulah tanda rahasia untuk melakukan hubungan di antara
mereka, tanda yang kau buat pasti akan menimbulkan perhatian
pihak mereka" sembari bicara dia mendekati Hiolo, lalu katanya pula sambil berpaling: "Siau Yan keluarkan ketikan apimu."
Pada saat itulah, dari kejauhan tiba2 berkumandang derap kaki
kuda ke arah kelenteng ini, tiba2 gadis gaun panjang membalik
badan, katanya lirih: "Ada orang datang"
"Lekas, Siocia bakar saja dan kita kembali ke penginapan," kata si nona baju hijau.
Tak sempat lagi ujar gadis gaun panjang, "agaknya mereka
memang meluruk kemari, lekas sembunyi" ia celingukan, lalu Siau Yan ditariknya menyelinap ke belakang tiga patung besar yang
dipuja di kelenteng ini. Baru saja mereka berjongkok di belakang patung yang penuh
gelaga dan berdebu tebal itu, suara derap kuda sudah berhenti di depan kelenteng, dari suaranya yang ramai kemungkinan ada
empat-lima orang penunggang kuda yang datang, entah untuk apa
mereka datangke kelentengbobrokpada malamgelap begini"
Tampak dua bayangan orang melompat masuk ke dalam
kelenteng, sinar bulan purnama di luar cukup terang, kedua orang ini tampak berperawakan sedang, semua memakai baju dan celana
setelan hijau, masing2 menggendong buntalan panjang di
belakang punggung, kakinya mengenakan sepatu tinggi,
langkahnya ringan cekatan, jelas mereka memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Begitu masuk ke ruang sembayang, sorot mata mereka tampak
bercahaya terang, dengan seksama mereka memeriksa
sekelilingnya, lalu berpencar ke kanan-kiri, masuk ke arah
belakang. Entah apa yang mereka periksa dan cari, sesaat kemudian
mereka sudah putar balik, seorang yang berperawakan lebih tinggi berkata, "Bagaimana, Poa-heng, di sini saja?". .
orang itu manggut2, katanya: "Tempat ini memang agak sepi, boleh saudara Siang istirahat di sini." Sementara temannya itu sedang mengeluarkan ketikan api lalu menyalakan lilin, keadaan
ruang sembahyang menjadi terang.
Lekas gadis gaun panjang tarik ujung baju si nona baju hijau,
mereka mengkeret ke dalam yang lebih gelap. dari situ mengintip keluar.
Sementara itu dua orasg telah masuk pula sambil menggotong
sebuah karung besar, orang di sebelah kiri bertubuh kurus agak
pendek, lagaknya seperti anak sekolahan, sementara orang di
sebelah kanan adalah kacung pembantunya, karung besar yang
mereka gotong tampak agak berat, entah barang apa yang ada di
dalamnya". Pelan2 dan hati2 sekali kedua orang itu gotong karung itu lalu
ditaruh di depan meja sembahyang, pemuda sekolahan itu menarik
napas sambil menggeliat, katanya pada kedua orang yang masuk
duluan. "syukur tiba di sini, setiba di tepi sungai besok pihak atas akan mengutus orang menyambut kita, tugas kalian berdua
menjadi selesai, dua hari ini membikin susah kalian saja."
"Nona terlalu memuji," kata kedua orang yang masuk duluan,
"tugas kami adalah Hou-hoa (pengawal bunga/wanita), ini adalah tugas rutin kami."
Ternyata pemuda sekolahan itu adalah samaran seorang nona.
Sementara kacung itu keluarkan sebatang lilin serta disulutnya
terus ditancapkan diatas meja.
Keruan kedua orang yang sembunyi di belakang patung menjadi
gelisah, pikir mereka: "celaka, agaknya mereka hendak bermalam di sini, kami
sembunyi di tempat sempit dan sekotor ini, bagaimana baiknya?"
Tengah gadis gaun panjang menimang2, tiba2 didengarnya,
derap seekor kuda tengah mendatangi pula dari kejauhan, lekas
sekali muncul seorang baju hijau dari luar kedua tangannya
membopong buntalan besar.
"Kau sudah menemui Kang-lotoa?" tanya pemuda sekolahan, memapak kedatangan orang itu.
Pendatang itu meletakan buntalan besar itu di depan pemuda
sekolahan, sahutnya dengan napas memburu: "Sudah kutemui.
Wah, Giokje cici, aku mendengarsebuahberitabesar. . . . "
Pemuda sekolahan itu angkat kepala, katanya:
"Berita apa, kau sampai membedal kudamu begitu cepat?"
Sembari bicara dia buka buntalan besar itu, Ternyata isinya adalah makanan, ada pangsit, bakpau, sayur asin dan makanan lainnya


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang masih mengepul panas.
"Pemuda" bernama Giok-je itu lantas berpaling dan memanggil:
"Marilah kita semua makan bersama"
Kiranya kedua laki2 yang masuk duluan tadi adalah Hou hoa-su-
cia, duta pelindung bunga.
mereka duduk mengelilingi buntalan berisi makanan itu serta
melalapnya dengan lahapnya.
Si baju hijau yang baru datang duduk di samping "pemuda"
sekolahan bernama Giokje itu, katanya: "Kabarnya Coat Sin-san-cengsudahboboldan hancur."
"coat-sin san-ceng hancur" tampak pemuda sekolahan
melengak kaget, "darimana kau dengar kabar ini?"
"Kang-lotoa yang bilang," kata si baju hijau, "berita ini dapat dipercaya, Kang-lotoa sudah mendapat petunjuk dari atas, dia
diperintahkan membantu orang2 kita yang melarikan diri bersama
orang2 warung teh di Hin-liong itu."
"Kau tahu siapa gerangan yang menghancurkan coat-sin-san
Ceng?" "Konon orang Siau-lim-pay bergabung dengan Lohujin keluarga Tong dari Sujwan." . .
"Cek Seng-jiang memang tiada di sana, lalu bagaimana Hian-ih-lo-sat?"
"Melarikan diri, bagaimana keadaan yang sebenarnya, pihak luar belumtahu jelas."
"Lalu keempat tamu agung yang berada di sana?"
"Kabarnya semula Hian-ih-lo-sat hendak gunakan mereka
sebagai sandera, tak tahunya racun pembuyar Lwekang di tubuh
mereka sudah punah, tatkala orang2 keluarga Tong dan para
Hwesio menyerbu tiba, keempat tamu agung itupun mendadak
berontak. melihat gelagat tidak menguntungkan, Hian-ih-lo-sat
lantas lari melalui lorong bawah tanah."
"Beberapa bulan sudah berselang, sejak Lok-san Taysu, Tong Thian-jong dan Un It-hong dikurung di sana tak pernah terjadi
suatu apa, tak nyana setelah Cu-cengcu ini datang, racun
pembuyar Lwekang mereka lantas punah, bukan mustahil semua
itu gara2, Cu-cengcu ini."
Kedua nona yang mencuri dengar dari tempat persembunyian
mereka tergetar hatinya, pikir mereka: "Kiranya ayah diculik mereka."
"Giok-je cici" terdengar seorang berkata dengan suara tertahan:
"katanya orang yang kita tukar itu adalah Cu-cengcu tulen, orang yangkitagusur keluar inihanyalahbarang tiruanbelaka."
"Entah siapa dia?" ujar "pemuda" sekolahan, "dia berhasil memunahkan getah beracun, juga memunahkan racun penawar
Lwekang di tubuh Lok-san Taysu bertiga, jelas kalau diapun
seorang ahlidalambidang racun."
Si baju hijau cekikikan, katanya: "Bukankah kita memang
memerlukantenagaahli sepertidia ini?"
Baru saja dia habis bicara, kelima orang yang duduk berkeliling itu tiba2 sama menggeliat dan menguap kantuk. tubuh merekapun
limbung dan akhirnya rebah di lantai. Gadis gaun panjang berkata:
"Siau Yan, mari turun tangan"
"Siocia, jadi kau yang merobohkan mereka?" tanya si nona baju hijau tertawa.
Gadis gaun panjang melompat turun mendekati karung besar
itu, ujarnya: "Aku akan menolong seseorang."
"Menolong orang" Dimana dia?"
"Di dalam karung ini."
"Siocia tahu siapa yang ada di dalam karung ini?"
"Entahlah, tapi dia pasti orang baik2, kebetulan kita pergoki, mana boleh membiarkan mereka menculiknya pergi?"
"Siocia, apakah lagi pengikat karung ini harus dipotong?"
sembari bicara Siau Yan sudah keluarkan sebatang golok kecil
melengkung. Baru saja dia bergerak hendak memotong tali pengikat karung,
tiba2 didengarnya seorang berkata:
"Nona Siau Yan, jangan kau potong dengan pisau."
Nona baju hijau alias Siau Yan berjingkat kaget, tanyanya
terbelalak: "Kau bisa bicara?"
orang dalam karung tertawa, katanya: "Aku tidak bisu, sudah tentu bisa bicara."
"Siapa kau" Dari mana tahu aku bernama Siau Yan?"
"None Siau Yan, bukalah dulu mulut karung ini supaya aku
keluar, nanti kujelaskan-"
Gadis gaun panjang mengangguk sambil berkata kepada siau
Yan: "Lepaskan tali pengikatnya"
Sambil melepaskan tali pengikat mulut karung Siau Yan,
berkata: "Aku tahu, tadi kau dengar Siocia panggil namaku, betul tidak?" Setelahtaliterlepas, diaterus membuka mulut karung lebar2..
Orangdalamkarungpelan2 merangkakbangundanberdiri.
Perawakan orang ini tinggi, mengenakan jubah hijau pupus
usianya sekitar 45, wajahnya putih cakap. jenggot hitam menjuntai menyentuh dada. cuma kedua alisnya terlalu gombyok, orang akan
merasa wajahnya berwatak kejam dan suka membunuh. sepasang
matanya tampak bersinar, terang seolah2 pandangannya dapat
meraba jalan pikiran orang, dan orang akan jeri beradu pandang
dengan dia. Gadis gaun panjang jarang mengembara di Kangouw, sudah
tentu dia tidak kenal siapa laki2 ini, tapi sekilas melihat sorot mata orang, dia merasa sudah apal dan mengenalnya dengan baik, tak
merasa jantungnya berdebar2.
Laki2 berjenggot hitam memberi hormat, katanya tertawa:
"Sungguh cayhetaksangkadapatbertemudengan nonaUn disini."
Melengak si gadis gaun panjang, matanya terbeliak. lekas dia
balas memberi hormat dan berkata lirih: "Entah dimanakah
cianpwe bisa kenal diriku?"
Laki2 jenggot hitam tersenyum, katanya: "Aku sudah mengubah wajah sudah tentu nona tidak mengenalku lagi."
Siau Yan periksa sini dan pandang sana, sekian lama dia
menatap wajah orang, lalu menyeletuk: "Siapakah kau
sebenarnya?" "cayhe Ling Kun-gi," kata laki2 jenggot hitam.
Seketika merah jengah muka si gadis gaun panjang mendengar
nama yang disebut laki2 jenggot hitam, kaget dan girang pula
hatinya. Ling Kun-gi, memangnya perjaka ini yang selalu menjadi kenangan dan pujaan hatinya". "Kau ini Ling siangkong" teriak Siau Yan tidak percaya, "Kenapa tidak mirip. sejak kapan Ling
siangkong memelihara jenggot?"
Ling Kun-gi tertawa, katanya "Tadi aku sudah bilang, aku telah mengubah wajahku." Lalu dia dia merogoh keluar kantong benang sulam serta diacungkan ke depan Siau Yan, katanya: "Sekarang percaya tidak?"
Semakin jengah muka si gadis gaun panjang, serunya girang:
"Siau Yan, memang betul dia, masakah suara Ling siangkong tidak kau kenali lagi?"
"Hihi, lucu dan menarik sekali, kenapa Ling siangkong
menyamar begini?" seru Siau Yan
"Aku sedang menyamar sebagai ciam-liong Cu Bun-hoa, cengcu dari liong-bin-san-ceng." Lalu Kun-gi berpaling ke arah si gadis bergaun panjang dan katanya pula: "Waktu di Coat Sin-san-ceng, cayhepernahberkumpul tigaharidengan ayahnona. ..."
Ternyata gadis gaun panjang adalah Un Hoan-kun, sebelum
Ling Kun-gi bicara habis, dia sudah menyeletuk: "Bagaimana ayahku?"
"Ayahmu bersama Lok-san Taysu dan Lo-cengcu keluarga Tong
dari sujwan semua berada di Coat Sin-san-ceng, mereka sama2
kena racun pembuyar Lwekang, maka kepandaian silat terganggu
banyak sekali. . . ."
Berkerut alis Un Hoan-kun, teriaknya kuatir: "Lalu bagaimana"
MemangnyasiapapenghuniCoatSin-san-ceng itu?"
"Nona tidak usah kuatir, ayahmu bertiga sudah kusembuhkan, dari pembicaraan orang2 ini tadi, agaknya Coat Sin-san-ceng sudah diserbu dan bobol oleh para Hwesio Siau-lim serta Lohujin dari keluarga Tong, tentunya ayahmu bertiga juga sudah bebas"
"Waktu coat-sin-san-ceng bobol, apakah Ling-siangkong tidak berada di sana?" tanya Un Hoan-kun.
Ling Kun-gi tertawa, katanya: "cayhe sudah diselundupkan
keluar oleh mereka," Melihat bungkusan besar berisi makanan, perutnya seketika keroncongan, katanya pula dengan tertawa:
"Sudah dua hari aku berada di dalam karung, perutku sudah
berontak minta di isi."
"Mereka tidak memberi kau makan?" tanya Siau Yan merasa kasihan
"Mereka membiusku dengan asap wangi, beberapa Hiat-toku
ditutuk pula, seorang yang pingsan selama beberapa hari sudah
tentu tidak perlu makan," sembari bicara Kun-gi mendekati
buntalan makanan terus duduk bersila, tanpa sungkan dia comot
bakpau dan pangsit terus dimakan dengan lahap . .
Un Hoan-kun dan Siau Yan ikut merubung maju seperti ingat
sesuatu, Siau Yan bertanya: "Ling siangkong, kenapa tadi kau melarang aku memotong tali itu?"
"Aku hanya ingin keluar sebentar dan mengisi perut, nanti aku harus meringkuk dalam karung pula, kalau dipotong talinya,
bukankah akan menimbulkan curiga mereka?"
Un Hoan-kun memandangnya penuh rasa mesra, tanyanya:
"Ling siangkong sengaja membiarkan diri di culik mereka,
maksudmu hendak menyelidik ke sarang harimau."
Ling Kun-gi manggut2, katanya: "Betul, sudah beberapa bulan ibuku hilang, dengan menyaru cu cengcu dan menyelundup ke
Coat Sin-san-ceng tujuanku untuk mencari ibundaku."
Prihatin sikap Un Hoan-kun, katanya: "Apa Ling siangkong perlu bantuanku?"
Haru dan terima kasih Ling Kun-gi, katanya: "Tujuanku hanya mencari ibu, tiada niat bentrok dengan mereka, cayhe yakin tidak akan mengalamibahaya, maksud baiknona kuterima di dalamhati."
Menatap orang, lirih suara Un Hoan-kun: "Tapi kau akan dibawa ke markas pusat Pek-hoa-pang, kau seorang diri, bagaimana hatiku takkan-. . . ." sebetulnya dia hendak mengatakan "takkan kuatir", tapi sampai di situ dia berhenti, mukanya merah jengah dan
menunduk. Melihat sikap orang yang malu2, tanpa terasa berdebar juga
jantung Ling Kun-gi, katanya:. "Jing sin-tan pemberian nona selalu kubekal, Pi tok-cu warisan keluargakupun selalu kugembol, aku
tidak takut obat bius, tidak gentar racun, dengan kepandaian
sejati, walau berada di kubangan naga atau sarang harimau, cayhe yakin cukup mampu untuk menyelamatkan diri." Sampai di sini dia tertawa, lalu menambahkan-"Hanya satu kuharapkan bantuan
nona, yaitu setelah aku kenyang nanti, tolong ikat pula mulut
karung ini setelah aku masuk kedalamnya, jangan sampai mereka
curiga." "Aku tahu" ujar Un Hoan-kun manggut2.
"Syukur, malam ini bertemu dengan nona, kalau tidak tentu aku kelaparan entah berapa hari lagi," kata Kun-gi berdiri, dia menghabiskan belasan pangsit dan beberapa biji bakpau. "Nona Un, harap jaga diri baik2, cayhe mohon diri." Lalu dia masuk kembali ke dalam karung. . . .
Siau Yan lantas mengikat kembali mulut karung dengan tali
yang ada. Dengan suara lirih Un Hoan-kun berpesan: "Ling-siangkong
harus hati2 dan waspada, menghadapi setiap persoalan-"
"Kalau nona pergi, tolong padamkan api lilin, lalu berikan obat penawar pada mereka."..
"Jangan kuatir, aku bisa bekerja. tanpa meninggalkan bekas apapun" sahut Un Hoan-kun. Lalu dia berpesan kepada Siau Yan:
"Enduskan obat penawar kepada mereka, kita harus lekas pergi."
Siau Yan mengiakan, lalu berseru: "Ling-siang-kong, kami pergi ya"
"Sampaibertemu lagi." ujarKun-gi di dalamkarung. .
Siau Yan keluarkan obat penawar, dengan kuku jari dia selentik
sedikit bubuk kehidung orang2 itu.. Sementara Un Hoan-kun
meniup padamapi lilin, cepat2 mereka berkelebatpergi dan
menghilang. Sampai sekian lamanya, kelima orang yang rebah di lantai sama
membuka mata. orang she Siang yang bertubuh sedang itu, segera
melompat bangun, dia menyalakan api, dan menyulut lilin, ruang
sembahyang kembali terang.
"Sret" sementara laki2 she Phoa melolos pedang, setangkas kera segera dia melompat ke atas wuwungan, tak kalah sebatnya
orang she Siang segera ikut melompat keluar ke arah lain.
"Pemuda" Giokje, segera berpesan "Liau-hoa, Ping-hoa, lekas kalian periksa apakah mulut karung pernah disentuh orang?"
Kedua orang itu mengiakan, bersama mereka menghampiri
karung serta memeriksa dengan teliti, lalu kata Liau-hoa: "Tidak apa2, karung ini masih terikat kencang, tak pernah disinggung
orang." "Aneh sekali, lalu kenapa tanpa sebab kita jatuh terpulas
bersama." ujar "Pemuda" Giok-je,
"Tadi angin bertiup kencang sehingpa lilin padam, aku hanya merasa keadaan mendadak jadi gelap"
"mana pernah terpulas?"
"Memangnya akupun tetap berada di sini, hanya sekejap api
padamdan Siang suciasegera menyalakanapi." SelaPing-hoa.
"Tidak mungkin-. . ." ujar Giok-je, sementara itu tampak orang she Phoa dan she Siang telah melompat masuk.
"Ada yang aku temukan, Phoa sucia?" tanya Giokje,
Orang she Phoa menggeleng, katanya: "Aku naik ke wuwungan, penduduk di sekitar sini tidak ada, sejauh beberapa li dapat kulihat, tapi tidak ada bayangan orang." orang she Siang juga berkata:
Pendekar Kembar 7 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Romantika Sebilah Pedang 6
^