Pencarian

Suling Mas 15

Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


Matahari sudah naik tinggi dan kedua orang ini masih saja berkelahi mati-matian. Akhirnya setelah jelas bagi Lu Sian bahwa betapapun juga ia takkan berhasil mengalahkan Kim-mo Taisu, timbul rasa jemu di dalam hatinya. Mereka sudah bertanding sejak tengah malam sampai matahari naik tinggi masih belum ada yang betul-betul kalah atau menang. Ia
sudah merasa lelah sekali. Akan tetapi bukanlah watak Lu Sian untuk mengaku kalah. Maka ia lalu mengerahkan semua
tenaga dalamnya dan menerjang dengan pukulan maut yang
dilakukan dengan kedua tangan terbuka didorongkan ke
depan. Mendengar deru angin pukulan dan merasai hawa panas
yang hebat, Kim-mo Taisu terkejut. Karena ia pun sudah amat lelah, gerakannya kurang lincah lagi dan ia tahu bahwa
pukulan ini tak mungkin dapat ia elakkan, maka ia cepat mengangkat pula kedua tangannya, menerima pukulan itu
dengan pengerahan tenaga sakti.
"Plakkkk...!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat. Karena keduanya mempergunakan tenaga sakti,
maka kedua tenaga yang hampir sama kuatnya itu saling
membuyarkan. Kini karena kelelahan, mereka tidak mengadu tenaga sakti lagi dan kedua tangan mereka saling menempel itu terdorong oleh kelelahan mereka, seakan-akan dengan
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
begitu mereka dapat beristirahat, karena dengan kedua
telapak tangan menempel, mereka untuk sementara tidak
dapat saling menyerang lagi. Peluh sudah membasahi seluruh tubuh.
"Kwee Seng aku... aku lelah..." Lu Sian terengah-engah, kedua tangannya yang bertempelan dengan kedua tangan
Kim-mo Taisu itu seakan-akan bergantung.
"Aku pun lelah kau hebat sekali..." kata Kim-mo Taisu itu perlahan dan sejujurnya.
Mereka saling pandang. Kelelahan hebat membuat mereka
mengantuk. Untuk sejenak agaknya mereka lupa bahwa
mereka saling berusaha mengalahkan bahkan saling membunuh. Kini mereka bicara berbisik-bisik seperti sepasang kekasih yang kelelahan dan mabok buaian asmara!
"Kwee Seng... aku sudah jemu, tak dapat mengalahkanmu, lebih baik kita hentikan saja..."
"Mana bisa kuhentikan kalau kau memang telah menyuruh bunuh isteriku?"
"Kwee Seng..." Lu Sian terdiam dan mengatur napas, tangannya masih menempel pada telapak tangan Kim-mo
Taisu. "Hemm...?"" Juga Kim-mo Taisu mengatur napas untuk memulihkan tenaganya.
"Cantik sekalikah isterimu?" "Tidak secantik engkau... akan tetapi bagiku dia itu penuh cinta kasih, penuh kesetiaan dan luhur budi pekertinya...."
"Uuhhh...!" Lu Sian merajuk dan marah. Jawaban ini baginya merupakan tamparan, seakan-akan ia dimaki bahwa dia tidak tahu akan cinta kasih, tidak setia dan rendah budinya. Ia mengerahkan tenaga dan mendorong sekuatnya
sehingga lekatan tangan mereka terlepas dan keduanya
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
terdorong mundur karena Kim-mo Taisu juga cepat mengimbagi dorongan lawan.
Sambil memekik marah Lu Sian kembali menyerang,
seakan-akan lupa bahwa ia sudah amat lelah. Kim-mo Taisu juga mempertahankan diri dan balas menyerang. Sebuah
tendangan Kim-mo Taisu menyerempet lutut membuat Lu Sian terguling roboh. Ia tidak mempertahankan diri saking lelahnya dan begitu punggung dan kepalanya mencium tanah, terus
saja ia berbaring, malas untuk bangun lagi karena rasa kantuk hampir tak tertahankan lagi!
"Hayo katakan sesungguhnya! Siapakah yang menyuruh bunuh isteriku?" Kim-mo Taisu membentak, siap mengirim pukulan terakhir.
"Kalau aku yang menyuruh kau mau apa" Andaikata
isterimu masih hidup, akan kubunuh juga dia?" jawaban ini terdorong hati gemas, akan tetapi juga amat menggemaskan hati Kim-mo Taisu yang menubruk sambil mengirim pukulan ke arah kepala Lu Sian. Wanita ini cepat menggulingkan
tubuhnya, lalu meloncat dan mengirim tendangan kilat ke dada Kim-mo Taisu. Kagum sekali Kim-mo Taisu. Gerakan
bergulingan lalu meloncat dan menendang ini selain lihai juga amat indah. Namun ia cepat dapat mengelak dan mereka
bertanding lagi dengan seru.
Kembali Lu Sian mengirim serangan mati-matian dengan
dorongan kedua tangan sambil mengerahkan ilmunya Tangan Api. Kim-mo Taisu menyambutnya dengan gempuran tangan
pula sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dahsyat di udara. Hebat sekali pertemuan tenaga ini dan Lu Sian terhuyung-huyung, mukanya pucat sekali. Ternyata ia kalah tenaga dan karenanya ia menderita luka dalam. Namun ia
tidak mengeluh, dan setelah terhuyung-huyung ia roboh
miring. Kim-mo Taisu yang sudah mabok perkelahian ini
dengan tubuh lemas menubruk maju pula dan mengirim
pukulan dengan kedua tangan pula. Siapa kira, Lu Sian masih
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
sempat mengangkat kedua tangan menyambut dan kembali
kedua pasang tangan mereka bertemu dan melekat seperti
tadi. Hanya bedanya, Lu Sian berbaring dan Kim-mo Taisu berlutut!
"Kwee Seng..." suaranya berbisik terengah-engah. "...aku
...aku belum mau mati... aku tidak ingin mati sebelum
bertemu anakku... Bu Song..."
Tergetar hati Kim-mo Taisu dan teringatlah ia akan
kesemuanya itu. wanita ini bukan hanya bekas kekasihnya, bekas wanita yang paling ia cinta di dunia ini, bukan hanya itu saja, melainkan ibu dari muridnya, ibu dari Bu Song calon mantunya! Bagaimana ia dapat membunuh bekas kekasihnya
yang kini menjadi calon besannya.
"Lu Sian, apakah kau yang menyuruh bunuh isteriku?"
tanyanya berdesis di antara katupan giginya.
Lu Sian tersenyum mendengar nama kecilnya disebut.
"Kalau tadi-tadi engkau bertanya begini, tentu aku akan bicara terus terang," jawabnya lirih. "Aku tidak tahu bahwa kau masih hidup, tidak tahu bahwa kau punya isteri, bagaimana bisa menyuruh orang membunuh isterimu" Tidak, aku tidak menyuruh bunuh siapapun juga. Kalau ada yang hendak
kubunuh, tentu kugunakan tanganku sendiri, mengapa
menyuruh orang?" Kim-mo Taisu melepaskan tangannya dan melompat ke
belakang. "Mengapa tidak kaukatakan demikian sejak malam tadi?" Ia mengomel sambil menghapus peluh yang memenuhi mukanya.
Lu Sian tertawa. "Aku ingin melihat sampai bagaimana jauh aku dapat melayanimu. Ternyata kau... kau makin hebat..."
Tiba-tiba wanita ini terhuyung-huyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat-cepat disambar lengannya oleh Kim-mo
Taisu. Sekali melihat tahulah Kim-mo Taisu bahwa Lu Sian
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
menderita luka di dalam yang cukup parah, maka cepat-cepat ia menarik wanita itu duduk bersila di atas rumput.
"Kau terluka. Biar kubantu kau memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam," katanya lirih sambil duduk bersila meramkan mata mengatur pernapasan yang sesak. Kim-mo
Taisu memusatkan semangat dan mengerahkan tenaga sakti, menempelkan telapak tangan pada punggung Lu Sian
sehingga hawa sakti dari tubuhnya menjalar melalui tangan memasuki tubuh Lu Sian.
Ketika Lu Sian merasa betap hawa yang hangat memasuki
tubuh melalui telapak tangan yang menempel di punggungnya, ia tersenyum puas dan wajahnya berseri, akan tetapi ia tidak membuka mata dan tetap mengatur
pernapasan. Kedua orang yang setengah malam dan setengah hari saling gempur mati-matian itu kini duduk bersila, diam seperti arca. Setelah hampir dua jam, Lu Sian tidak merasakan lagi sesak dan nyeri di dadanya. Bahkan rasa lelah hampir lenyap.
"Cukup, Kwee-twako.." katanya lirih. Kim-mo Taisu melepaskan tangannya. Lu Sian memutar tubuh dan kini
mereka duduk bersila, berhadapan. Mereka masih mengaso
memulihkan tenaga sambil bercakap-cakap perlahan.
"Kwee-twako, sungguh mati aku tidak mengira bahwa kau masih hidup di dunia ini. Kusangka telah tewas ketika
terjerumus ke dalam jurang. Siapa kira, kau hidup, malah sudah beristeri. Bagaimanakah isterimu sampai mati terbunuh orang dan kau menyangka aku yang menyuruhnya?"
Sejenak Kim-mo Taisu tak dapat menjawab. Terbayang
kembali semua peristiwa sejak terjerumus ke dalam jurang dan hanyut sampai ke Neraka Bumi. Seakan-akan baru terjadi kemarin. "Panjang ceritanya..." ia berkata setengah mengeluh.
Tak suka ia menceritakan semua peristiwa itu kepada Lu Sian, oleh karena sesungguhnya Lu Sian inilah yang menjadi sebab daripada semua pengalamannya itu. ia sudah menerima
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
keadaan, tidak mendendam kepada wanita ini, maka ia lalu bertanya. "Dan engkau sendiri... bagaimana sampai menjadi penghuni istana Hou-han" Banyak sudah aku mendengar
tentang dirimu, tentang Tok-siauw-kwi. mengapa kau yang kabarnya menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, meninggalkan suamimu dan merantau seorang diri?"
Lu Sian menarik napas panjang dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya. Baru saat ini, setelah ia duduk berhadapan dengan Kwee Seng, bercakap-cakap seperti kepada orang dalam, kepada orang yang
dipercaya sepenuhnya, baru sekarang ia merasa menyesal
akan semua sepak terjangnya. Ia merasa betapa kini ia amat haus dan rindu akan rumah tangga bahagia, akan hidup
tenteram di samping suami yang mencinta dan putera yang berbakti. Ia kehilangan kesemuanya itu. Teringat akan
puteranya, ia tak dapat menahan air matanya, lalu menggigit bibir dan menggeleng kepala. "Panjang ceritanya..." Ia pun segan menceritakan semua pengalamannya kepada pria yang pernah mencintainya ini.
Tiba-tiba keduanya terdiam. Ada suara mencurigakan dan
mereka waspada. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras. "Tok-siauw-kwi, hendak lari ke mana kau sekarang?"
Berturut-turut muncullah belasan orang dari sekeliling
tempat itu. ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula sebagai tosu, dan rata-rata mereka adalah orang-orang yang berusia lanjut dan gerakan-gerakan mereka membayangkan
kepandaian yang tinggi. Kim-mo Taisu diam-diam juga
terkejut melihat bahwa di antara belasan orang itu ia
mengenal dua orang tokoh hwesio Go-bi-pai, dan beberapa orang tosu Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai. Mereka semua adalah rokoh-tokoh yang berilmu tinggi!
Adapun Lu Sian setelah melihat bahwa yang bermunculan
ini adalah para musuh-musuhnya yang selama ini selalu
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
mencari kesempatan untuk menyerangnya dan selama ini
hanya tertahan oleh kekuatan penjagaan istana Hou-han tidak membuang waktu lagi. Menghadapi mereka ini, kata-kata
tidak ada gunanya, maka ia lalu meloncat, menyambar
pedangnya yang menancap di atas tanah kemudian
menantang dengan pedang melintang di depan dada. "Tikus-tikus busuk! Aku berada di sini, siapa bosan hidup boleh maju!"
Agaknya dendam yang sudah bertahun-tahun disimpan di
hati membuat belasan orang itupun tidak suka bicara banyak.
Mereka terdiri dari tujuh belas orang dan kini serentak mereka menyerbu dan mengurung Lu Sian dengan bermacam-macam
senjata di tangan. Segera terjadi pertempuran hiruk pikuk yang kacau balau dan sebentar saja Lu Sian sudah terkurung dan terdesak hebat sehingga wanita ini hanya mampu
memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya.
Kim-mo Taisu maklum bahwa biarpun para pengeroyok itu
rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu masih belum mampu menandingi Lu Sian yang luar biasa lihainya.
Akan tetapi, pada saat itu Lu Sian baru saja sembuh daripada luka dalam, tenaganya belum pulih semua dan juga masih
amat lelah, maka pengeroyokan banyak tokoh ternama itu
tentu saja merupakan bahaya besar. Bukan ini saja yang
mengkhawatirkan hati Kim-mo Taisu. Selain bahaya besar di pihak Lu Sian, juga bahaya maut mengancam keadaan para
pengeroyok itu. ia maklum bahwa andaikata akhirnya Lu Sian kalah karena lelah dan masih lemah, namun tentu akan
banyak sekali di antara lawan yang tewas di ujung pedang Lu Sian sebelum wanita itu roboh.
Benar saja apa yang dikhawatirkan Kim-mo Taisu. Dalam
waktu beberapa menit kemudian, tiga orang pengeroyok telah roboh mandi darah oleh ujung pedang Lu Sian, akan tetapi wajah Lu Sian menjadi makin pucat, napasnya terengah-engah dan langkah kakinya mulai terhuyung-huyung. Para
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
pengeroyok mendesak makin kuat dan mereka sudah merasa
girang bahwa biarpun kembali mereka mengorbankan nyawa
beberapa saudara, agaknya kali ini Tok-siauw-kwi musuh
besar yang mereka benci itu takkan dapat meloloskan diri.
Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata mereka terpental ke belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang ternyata Lu Sian yang mereka keroyok itu telah duduk bersila meramkan mata, dan sebagai penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila telah berdiri dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci arak!
Di antara mereka ada yang mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran, seorang hwesio Siauw-lim-pai menegur,
"Bukankah Sicu ini Kim-mo Taisu" Mengapa mencampuri urusan kami?"
"Kim-mo Taisu! Kau terkenal sebagai seorang pendekar yang menjujung tinggi kebenaran. Apakah sekarang kau
hendak membela seorang iblis betina macam Tok-siauw-kwi"
Pinto menerima perintah Suhu ketua Kong-thong-pai untuk membunuh siluman ini, apakah kau hendak merintangi Kong-thong-pai?" kata seorang tosu.
"Kami dari Hoa-san-pai kehilangan lima orang murid yang tewas oleh siluman ini!" kata pula seorang tosu lain.
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan sepak terjang Lu
Sian yang hebat dan menggemparkan dunia kang-ouw dan di dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat memebenarkan
tindakan Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya kalau orang-
orang gagah sedunia memusuhinya dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin hatinya tega melihat bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan dibunuh di depan matanya"
Dengan sikap tenang wibawa ia berkata sambil menyapu
mereka semua dengan pandang matanya, lalu berkata, "Cu-wi (Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu menjunjung
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
tinggi kebenaran dan kegagahan. Adalah tidak benar belasan orang mengeroyok seorang saja terjadi pertandingan yang tak berimbang. Di manakah sifat kegagahan kalian?"
Seorang hwesio Siauw-lim-pai
meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya. "Biarkan pinceng (aku) maju sendiri
melawannya! Pinceng rela berkorban untuk membalaskan kematian empat orang saudaraku! " "Benar!
Pinto pun berani melawannya seorang diri!" kata seorang tosu.
"Kim-mo Taisu menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang melawan iblis betina itu! Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi seorang!"
kata yang lain. Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terjadi pertandingan
satu lawan satu semua orang ini tentu akan tewas, tak
seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi kehebatan Lu Sian. Akan tetapi ia pun tidak menghendaki hal ini terjadi, maka katanya.
"Pertandingan mencari kemenangan karena urusan pribadi harus dilakukan seadil-adilnya. Pada saat ini, Tok-siaw-kwi telah terluka olehku. Dalam pertandingan antara orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil sama sekali. Karena itu, kuharap kalian suka tinggalkan kami dan lain kali kalian boleh menemuinya kalau dia sudah sembuh dari lukanya."
Semua orang itu menjadi marah sekali. Hwesio Siauw-lim-
pai yang bermuka merah itu meloncat maju dengan toya
melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu sambil membentak, "Kim-mo Taisu! Bicaramu sungguh
menyimpang daripada kebenaran! Sungguh mengherankan
sekali seorang terkenal seperti Kim-mo Taisu hendak
melindungi seorang siluman betina!"
Kim-mo Taisu mendengus melalui hidungnya. "Hemm,
setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri!"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Akan tetapi kebenaranmu sendiri itu menyeleweng
daripada kebenaran umum. Kami bertindak atas dasar
kebenaran umum. Tok-siauw-kwi jahat sekali, dia berhutang nyawa kepada kami, kalau kami kini datang membalas,
bukankah itu sudah benar?" bantah Si Hwesio Siuw-lim-pai, dan
semua temannya membenarkan, sikap mereka mengancam. Kim-mo Taisu menggeleng kepalanya. "Aku sama sekali tidak
melindungi Tok-siauw-kwi, juga tidak hendak mengatakan bahwa dia benar dalam urusannya menghadapi
kalian. Akan tetapi pendirianku ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan antara dia dan kalian. Pendirianku ini mengenai saat sekarang, dan aku tetap menyatakan tidak
benar kalau kalian sebagai orang-orang gagah menantang
yang sedang terluka!"
"Tidak peduli! Dia jahat, kalau dilepas, bila dapat mencarinya lagi?" bentak mereka.
"Oho, begitukah" Kalian tidak memandang mukaku"
Dengarlah, kalian boleh saja melakukan segala perbuatan pengecut dan curang terhadap siapa saja, akan tetapi di luar tahuku. Jika masih ada aku di sini, jangan harap kalian dapat melakukan kecurangan, menyerang seorang yang sedang
terluka. Nah, aku punya peraturan sendiri, punya kebenaran sendiri, dan aku sudah bicara!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu berdiri tegak lalu menenggak araknya tanpa
mempedulikan mereka. "Heh-heh-heh! Kim-mo Taisu bicara seperti pokrol bamboo!
Saudara-saudara hendak membasmi siluman, masih menanti
apalagi" Kim-mo Taisu membela penjahat, dia menyeleweng juga. Kita ganyang saja dia lebih dulu, biar kami bantu!" Suara ini keluar dari seorang di antara tiga kakek pengemis yang tahu-tahu muncul di tempat itu. kim-mo Taisu tidak mengenal mereka, akan tetapi melihat cara mereka memegang dan
menggerakkan tongkat merah di tangan, ia dapat menduga
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh pengemis yang lihai.
Ia teringat akan Pouw Kee Lui yang amat terkenal di dunia pengemis dan dijuluki Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata. "Apakah kalian ini anak buah Si Raja Pengemis Pouw?"
Tiga orang pengemis itu tidak menjawab, melainkan
menggerakkan tongkat mereka menerjang maju. Hebat
memang gerakan mereka dan cepat-cepat Kim-mo Taisu
mengibaskan kipas di tangannya menangkis sambi membuat
gerakan memutar sehingga terbebas daripada lingkungan
sinar merah tongkat-tongkat mereka. Akan tetapi tokoh-tokoh lain yang terpengaruh oleh kata-kata si pengemis tua, sudah maju pula mengeroyoknya, bahkan ada sebagian yang
langsung menerjang Lu Sian yang masih duduk bersila
meramkan mata! Kim-mo Taisu marah sekali. Ia mengeluarkan pekik
menggetarkan dan tubuhnya lalu
menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menerjang sekelompok babi
hutan. Pertama-tama dia menerjang mereka yang mengancam keselamatan Lu Sian dan sekali terjang tiga orang pengeroyok roboh bergulingan seperti dilanda angin taufan. Setelah berhasil menghalau mereka yang mengancam Lu Sian, Kim-mo Taisu lalu melindungi wanita ini dan memutar kedua
senjatanya yang berubah menjadi gulungan sinar melindungi tubuh mereka berdua.
Hebat sekali pertandingan ini, jauh lebih hebat daripada tadi ketika mereka mengeroyok Lu Sian. Amukan Kim-mo
Taisu benar-benar menggiriskan hati. Beberapa orang telah roboh lagi oleh sambaran angin kebutan kipas. Selama satu jam lebih belum juga para pengeroyok mampu merobohkan
Kim-mo Taisu, juga tidak ada yang mampu menyentuh tubuh Lu Sian yang masih duduk bersila memulihkan tenaga. Namun keadaan Kim-mo Taisu makin lama makin payah. Pendekar ini sudah terlalu lama tadi mengerahkan tenaga melawan Lu
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sian. Ia amat lelah dan tenaganya sudah banyak berkurang, bahkan kini ia merasa dadanya sesak karena terlampau
banyak mengerahkan tenaga sakti, jauh melampaui daya
tahan tubuhnya. Namun ia bertekad melawan terus sampai
napas terakhir untuk melindungi Lu Sian, mempertahankan kebenaran. Ia maklum bahwa Lu Sian telah menyeleweng dan telah berdosa kepada mereka ini, akan tetapi ia pun tidak senang menyaksikan kecurangan mereka hendak mengeroyok
yang telah terluka. Apalagi setelah perjumpaannya dengan Lu Sian ini, ia tidak tega untuk membiarkan bekas kekasihnya dibunuh orang begitu saja di depan matanya.
Para pengeroyok itu terdiri dari orang-orang pilihan dalam partai-partai persilatan besar, dan tiga orang kakek pengemis itupun lihai sekali. Andaikata Kim-mo Taisu tidak sudah kehabisan tenaga dalam menghadapi Lu Sian selama itu,
agaknya pendekar besar ini masih sanggup mengalahkan


Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Akan tetapi kini biarpun ia masih berhasil
merobohkan beberapa orang pengeroyok, namun ia sendiri
makin parah keadaannya, tenaganya makin habis dan
dadanya terasa makin sesak dan sakit.
Dua jam kemudian, dengan gerakan terakhir yang amat
dahsyat, Kim-mo Taisu yang marah kepada tiga orang
pengemis itu, berhasil merobohkan dua orang pengemis
dengan hantaman kipas dan guci araknya. Seorang pengemis, yang bicara tadi, roboh dan tewas seketika tertotok jalan darah maut oleh ujung kipas, sedangkan orang ke dua patah tulang iganya terpukul guci arak. Akan tetapi pada saat itu juga Kim-mo Taisu menerima sodokan toya baja yang
ditusukkan oleh hwesio Siauw-lim-pai. Hebat bukan main
sodokan yang mengenai lambungnya ini. Andaikata orang lain yang terkena agaknya tentu akan pecah lambungnya, akan
tetapi Kim-mo Taisu yang sudah mengerahkan lweekangnya
ke arah lambung, hanya terlempar saja dan pendekar ini
merasa betapa lambungnya sakit sekali. Betapapun juga, ia masih mampu melompat berdiri dan sambil menggigit
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
bibirnya, ia menerjang maju lagi dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
Pada saat itu, Lu Sian sudah dapat memulihkan tenaga. Ia membuka mata dan melihat betapa Kim-mo Taisu terdesak
hebat dan gerakan bekas kekasihnya ini mulai lambat dan lemah, Lu Sian mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya mencelat ke udara. Sekali ia menggerakkan kepala, rambutnya merupakan selimut hitam menyambar ke depan
dan sekaligus rambutnya telah merampas empat buah senjata para pengeroyok memekik ngeri dan roboh dengan baju di
bagian dada hangus, kulit dadanya pun terdapat tanda tapak tangan menghitam dan dua orang itu roboh tewas seketika.
Kacaulah para pengeroyok kini. Mereka terdesak mundur,
kemudian terdengar hwesio Siauw-lim-pai berteriak keras dan mereka semua menyambar tubuh teman-teman yang tewas
atau terluka, lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.
Kim-mo Taisu masih berdiri tegak dengan kipas dan guci
arak di tangan sedangkan Lu Sian berdiri di sebelahnya, rambutnya terurai dan pedang Toa-hong-kiam di tangan.
Sunyi sekali di situ, hanya tampak bekas-bekas darah
membasahi rumput-rumput yang rebah terinjak-injak dan
daun-daun yang rontok dari pohon karena sambaran angin-
angin pukulan dahsyat tadi.
Lu Sian menengok ke arah Kim-mo Taisu dan seketika
wanita ini melompat mendekati, cepat menerima tubuh Kim-mo Taisu yang tiba-tiba terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Lu Sian! Kiranya pendekar ini telah menderita luka hebat di lambungnya, dan tadi ia masih mampu bergerak
melawan adalah bukti daripada keuletannya yang luar biasa.
Lu Sian memeluk dan mendukung tubuh Kim-mo Taisu seperti seorang ibu mendukung anaknya. Setelah mengumpulkan
kipas, guci arak dan pedangnya, ia lalu memanggul tubuh Kim-mo Taisu dan dibawanya lari memasuki hutan yang lebat.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Air matanya bercucuran di sepanjang pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum dan wajahnya berseri.
"Eng-moi....! Eng-moi...!!" Bu Song berteriak-teriak memanggil dan mencari-cari Eng Eng. Pondok sunyi dan
kosong. Ia lari ke pinggir anak sungai di mana biasanya Eng Eng suka pergi bermain, akan tetapi di sana pun kosong.
"Eng-moi...! Di mana kau...?"" Ia memanggil-manggil lagi dan mencari terus sambil berlarian ke sana ke mari. Akhirnya ia berhenti di belakang pondok, mengerutkan keningnya. Aneh benar, pikirnya. Biasanya kalau ia pergi disuruh suhunya turun puncak,
gadis itu selalu tentu menjemput atau menyongsongnya di tengah jalan, atau menantinya dan begitu ia datang tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan.
Mengapa sekarang gadis itu tidak tampak" Ia tahu bahwa
suhunya telah pergi. Eng Eng hanya seorang diri di puncak, mengapa sekarang tidak ada"
"Eng-moi...!!" Ia melindungi kanan kiri mulutnya dengan kedua tangan lalu berteriak-teriak memanggil-manggil lagi ke empat penjuru. Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari jauh. Bu Song makin gelisah akan tetapi juga
mendongkol, lalu mengingat-ingat. Pernah gadis itu mempermainkannya. Pernah ketika Suhunya menyuruh ia
memanggil Eng Eng, gadis itu sengaja bersembunyi,
membiarkan ia mencari-cari sampai lelah. Ia teringat. Dahulu, ketika gadis itu mempermainkannya dan bersembunyi, Eng
Eng pergi ke hutan penuh bunga di sebelah timur puncak.
Memang hutan itu indah sekali, merupakan sebuah taman
bunga dan pohon-pohon cemara bermacam-macam bentuknya. Juga lereng bukit itu tanahnya tertutup rumput-rumput hijau gemuk. Wajah Bu Song berseri lagi, timbul
harapan baru. Tentu di sana sembunyinya. Akan tetapi ia mengerutkan kening. Tidak mudah mencari Eng Eng di sana.
Hutan kembang itu luas sekali dan banyak terdapat pohon-pohon besar sehingga kalau gadis itu bersembunyi, sukar
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
baginya untuk dapat mencarinya, ia teringat dahulupun ia tidak dapat mencarinya. Terbayang semua kejadian yang lalu, Bu Song tersenyum lalu lari ke dalam pondok, mengambil
sebatang suling bamboo dari kamarnya lalu berlari-lari lagi keluar dan menuju ke timur.
Memang luar biasa sekali ketahanan tubuh Bu Song. Tanpa diketahui sendiri oleh pemuda ini, ia benar-benar memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya dan hal ini hanya diketahui oleh suhunya Kim-mo Taisu saja. Jangankan seorang pemuda yang tak pernah belajar ilmu silat. Seorang ahli silat yang lumayan sekalipun kiranya belum tentu dapat bertahan seperti Bu Song yang sehari ini telah melakukan perjalanan jauh naik turun gunung tanpa mengenal lelah. Sekarang pun, baru saja tiba di pondok ia sudah pergi lagi mencari Eng Eng dengan
perjalanan sejam lebih naik turun puncak!
Ketika tiba di hutan itu, tak dapat ia cegah lagi ia
memandang ke timur, ke arah puncak yang kemerahan. Selalu ia tidak dapat menahan hatinya memandang puncak yang
kemerahan itu dan diam-diam ia bergidik. Suhunya telah
berulang kali melarang dia dan Eng Eng untuk pergi ke puncak itu. yang oleh suhunya disebut Puncak Api. Pernah suhunya bercerita bahwa puncak itu adalah tempat yang amat
berbahaya, selain sukar sekali didaki, juga di sana terdapat binatang buas, jurang-jurang curam dan tanah-tanah yang dapat longsor apabila terinjak, di samping rumput berbisa pula. Alangkah jauh bedanya dengan hutan penuh bunga yang indah ini.
Benar seperti dugaannya, hutan bunga itupun sunyi, tidak tampak bayangan Eng Eng. Akan tetapi ia yakin bahwa gadis itu tentu bersembunyi di suatu tempat dalam hutan itu dan terkekeh-kekeh
ketawa di tahan melihat ia datang mencarinya. Ia maklum pula bahwa percuma ia berteriak
memanggil. Biar sampai serak suaranya, Eng Eng takkan
muncul, bahkan akan mentertawakannya. Maka ia pun lalu
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
duduk di atas batu hitam lebar yang halus, tempat yang biasa ia gunakan untuk duduk dan bercakap-cakap dengan Eng Eng.
Di dekat batu ini mengalir anak sungai yang jernih sekali sehingga batu-batu putih merah dan hijau tampak di
dasarnya. Bu Song duduk dan mengeluarkan sulingnya tadi. Ia pandai bersuling. Gurunya, Kim-mo Taisu adalah seorang ahli meniup suling, dan karena bermain musik adalah sebuah di antara kegemaran dan kesopanan para sastrawan, gurunya
mengajarnya bertiup suling. Ternyata bakatnya amat baik, bahkan diam-diam Kim-mo Taisu dengan heran mendapatkan
kenyataan bahwa bakat muridnya lebih baik daripada
bakatnya sendiri dalam hal meniup suling. Maka ia lalu diajar dan sekarang sudah pandai mainkan lagu-lagu merdu. Selain bertiup suling, gurunya mengajarkannya pula bermain tioki (catur), membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis.
Pendeknya, suhunya ingin menurunkan semua kepandaian
bun (sastra) kepadanya. Semua kepandaian seorang sastrawan dimiliki Bu Song!
Begitu lubang suling menempel di bibir, meluncurlah bunyi merdu yang mengalun, melengking dan menari-nari di
angkasa, menyelinap di antara daun-daun dan bunga,
menyentuh kuncup-kuncup bunga dan bermain-main dengan
ujung rumput hijau. Angin yang bertiup perlahan membuat pohon-pohon bunga bergerak perlahan dan pohon-pohon
cemara bergoyang-goyang seperti puteri-puteri kahyangan menari-nari diiringi suara suling yang merdu. Jengkerik dan belalang yang biasanya hanya berdendang di waktu malam, kini agaknya tidak dapat menahan hasrat hati ikut bernyanyi seirama dengan suara suling.
Bu Song yang tahu akan lagu kesukaan Eng Eng, segera
mainkan lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu ini
tentang keluh-kesah setangkai kembang yang kekeringan,
mengeluh menangis menanti datangnya hujan yang tak
kunjung tiba, menanti tetesnya embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Karena kini Bu Song mempunyai
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
pandangan lain terhadap diri gadis itu, maka permainan
sulingnya penuh perasaan, sehingga menggetarkan rasa
dalam hatinya terhadap gadis itu.
Bu Song tidak usah menanti lama. Menjelang berakhirnya
lagu yang ia mainkan dengan tiupan suling, tampak berkelebat bayangan putih, bayangan Eng Eng yang kini selalu memakai pakaian putih tanda berkabung. Dengan hati-hati Bu Song menyelesaikan lagunya, kemudian menghentikan tiupan suling yang meninggalkan kelengangan yang mengesankan, seolah-olah suara suling masih menggema di angkasa. Ia segera
menoleh dan melihat Eng Eng sudah berdiri di dekat anak sungai, akan tetapi gadis itu berdiri membelakanginya,
menundukkan muka seakan-akan gadis itu tidak melihatnya, tidak tahu bahwa ia berada di situ, seakan-akan sedang
menikmati pemandangan batu beraneka warna di dasar air
jernih. Bu Song tersenyum dan merasa heran mengapa jantungnya berdenyar-denyar seperti itu. Benar-benar pengertian bahwa gadis ini menjadi tunangannya, menjadi calon isterinya, telah merubah suasana menjadi sama sekali berbeda dengan biasanya. Dengan hati berdebar ia melangkah perlahan menghampiri Eng Eng dari belakang, lalu berhenti dekat punggung gadis itu.
"Eng-moi..." panggilnya lirih. Kedua pundaknya bergoyang sedikit seperti menggigil, akan tetapi gadis itu tidak
menjawab, juga tidak menoleh, mukanya makin tunduk, kini tidak lagi memandang air jernih, melainkan memandang ujung kakinya sendiri.
"Eng-moi..." Bu Song mengulang panggilannya dan kini menyentuh pundak gadis itu lalu tertawa karena mengira
gadis itu masih saja mempermainkannya. Akan tetapi Eng Eng kini mengangkat kedua tangan ditutupkan pada mukanya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Bu Song terheran. Ada apalagi gadis ini" Seperti orang
malu-malu! Heran benar! Selamanya belum pernah Eng Eng
bersikap seperti ini. "Eng-moi, kau kenapa...?" Ia bertanya kini memegang kedua pundak itu perlahan lalu membalikkan tubuh gadis itu supaya menghadapinya. Eng Eng menurut saja dan tubuhnya, membalik, akan tetapi kedua tangannya masih ditutupkan di depan mukanya yang menunduk.
Bu Song makin terheran-heran. Kedua tangannya yang
memegang pundak tadi mendapatkan pundak yang gemetar
seperti seekor kelinci ketakutan! Dari celah-celah jari tangan yang menutupi muka, ia melihat kulit muka yang merah sekali, merah sampai ke telinga dan leher. Alangkah bagus jari-jari tangan Eng Eng, tiba-tiba ia berpikir. Selama ini belum pernah ia memperhatikan jari tangan gadis itu dan baru sekarang ternyata olehnya betapa indahnya bentuk jari-jari itu halus meruncing dan kuku jarinya bersih mengkilap. Gadis itu tidak menangis, akan tetapi mengapa menutupi muka seperti orang malu-malu" "Eng-moi, sepulangku dari dusun, setengah mati aku mencarimu. Setelah kudapatkan kau di sini, mengapa kau menutupi mukamu" Eng-moi, kaupandanglah aku..."
Perlahan Bu Song memegang kedua lengan gadis itu dan
menurunkannya. Muka itu kini tampak, masih menunduk dan merah sekali, bibirnya gemetar menahan senyum. "Moi-moi kaupandanglah
aku, mengapa kau tidak berani memandangku?" "Kau... kenapa, Moi-moi...?" tanyanya, heran dan mulai gelisah. Eng Eng dapat menangkap kegelisahan dari suara Bu Song, jawabnya tanpa mengangkat muka, "... aku... malu, Song-ko..." "Malu" Malu kepada siapa dan karena siapa dan karena apa?"
Perlahan Eng Eng kembali mengangkat mukanya, kini
memandang wajah Bu Song, dan menggigit bibir, lalu berkata setelah menekan rasa malu di hatinya, "Tadi Ayah telah
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
berangkat pergi dan dia bilang... dia bilang... bahwa aku dan engkau... ahh...!" Eng Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya, terlampau malu hatinya dan ia kembali menunduk.
Bu Song memegang lagi kedua tangan Eng Eng, tertawa
dan berkata, "Tentang perjodohan kita...?"
Eng Eng mengangguk, lalu berkata lirih, "Sejak keberangkatan Ayah, aku bingung. Aku malu menanti
kedatanganmu, aku... aku takut bertemu denganmu, maka
aku lari sembunyi..."
"Ha-ha, lucu engkau! Mengapa kau malu, Moi-moi?" Makin erat Bu Song memegang tangan Eng Eng. Jari-jari mereka
saling cengkeram dan jari tangan Bu Song mencegah jari
tangan Eng Eng yang hendak melepaskan diri, akan tetapi usaha melepaskan diri itu tidaklah terlalu sungguh-sungguh.
"Mengapa malu?" Bu Song mengulang. Eng Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar, bibir tersenyum malu, lalu cemberut dan berkata galak, "Ahh... malu ya malu....!" Lalu membuang muka.
"Eng-moi, setelah oleh Suhu kita dijodohkan, tidak... tidak senangkah hatimu" Tidak bahagiakah perasaanmu seperti
yang kurasakan?" Mendengar suara Bu Song menggetar penuh perasaan,
sejenak jari tangan Eng Eng mencengkeram tangan Bu Song.
Gadis itu memandang lagi. Dua pasang mata bertemu
pandang, seakan-akan saling menjenguk isi hati masing-
masing, dari jari tangan mereka terasa getaran aneh yang mewakili suara hati, kemudian Eng Eng menunduk perlahan, mengangguk tegas, terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bu Song yang bidang!
Bu Song mendekap kepala itu ke dadanya, seakan-akan
ingin ia memasukkan kepala yang dicintanya itu ke dalam dada untuk selamanya. Kedua kakinya menggigil, entah
mengapa ia hampir tidak kuat berdiri, demikian pula Eng Eng.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Bu Song lalu menarik tubuh Eng Eng ke bawah, duduk di atas rumput tebal. Mereka tidak bicara lagi, terayun dalam
gelombang asmara yang membuat mereka seakan-akan
terayun di angkasa, dibuai mimpi indah. Mereka tidak bicara, tidak bergerak. Eng Eng meletakkan kepala di atas dada yang bidang, rambut kepalanya yang halus dibelai jari-jari tangan Bu Song penuh kasih sayang dan dalam keadaan seperti itu mereka saling pandang penuh kemesraan.
"Eng-moi..." akhirnya terdengar Bu Song berkata, suaranya terdengar oleh telinga Eng Eng berbeda dari biasanya. Kini suara pemuda itu terdengar amat merdu dan mesra,
terbungkus kasih sayang yang membuat hatinya sendiri
menjadi terharu dan membuat ia ingin terisak menangis
sepuasnya. "Eng-moi, semenjak kecil, kita sudah saling mencinta, seperti kakak dan adik. Akan tetapi karena kita bukanlah kakak beradik, maka tidak mungkin cinta kasih kita dapat berlangsung selamanya. Kalau aku memikirkan betapa kelak kita harus berpisah, hatiku serasa ditikam pisau. Akan tetapi, dengan kebijaksanaan Suhu, kita dijodohkan! Alangkah bahagia hatiku, Eng-moi, dan aku menjadi lebih beruntung lagi karena melihat kau pun merasakan kebahagiaan seperti yang kurasakan."
Eng Eng tersenyum penuh kebahagiaan. "Kalau Suhu sudah pulang, aku akan pergi menempuh ujian, Moi-moi! Doakan
saja aku berhasil agar aku dapat bekerja dan setelah aku lulus ujian, kita... kita..." "Bagaimana...?" Eng Eng mendesak tak sabar. "Kita lalu kawin!"
"Ihh...!" Eng Eng membalikkan muka, bersembunyi di dada, tak kuasa menentang pandang mata yang nakal. Bu Song
hanya tertawa dan menciumi rambut yang harum.
"Song-koko, kemarin dulu itu..." "Ya...?" "Ketika kau.. kau menciumku..." "Ya, mengapa...?" "Kau sudah tahu tentang...
tentang perjodohan kita?"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Bu Song tertawa menggoda. "Tentu saja sudah. Ayahmu telah memberi tahu. Mengapa" Kau marah-marah karena
kucium hidungmu, sekarang pun aku akan..."
"Tidak! Jangan...!" Eng Eng meronta ketika Bu Song menundukkan muka, lalu meloncat bangun dan memegang
tangan Bu Song sambil tertawa-tawa. "Tidak boleh, Song-koko!"
"Mengapa tidak boleh?" Bu Song bertanya heran, kagum melihat wajah yang tertawa-tawa dan berseri-seri segar
bagaikan sekuntum bunga tersiram embun pagi. "Bukankah sejak kecil sering engkau kucium?"
"Lain dulu lain sekarang! Dulu kita seakan-akan kakak beradik, sekarang..."
"Sekarang bagaimana?"
"Sekarang kita... sudahlah, pendeknya aku tidak mau sebelum kita... sebelum kita menikah!"
Bu Song juga tertawa dan mengangguk-angguk mengangkat tangan Eng Eng ke depan hidung dan menciumi
tangan itu. "Engkau benar, Moi-moi. Aku tadipun hanya bersenda-gurau. Jangan khawatir! Betapapun besar cinta
kasihku kepadamu, aku akan menahan diri. Aku cukup
menghormatmu, aku menghargaimu dan aku tidak akan
merusak kepercayaanmu kepadaku. Asal kau suka menegur
saja kalau aku lupa..."
"Ihh, dasar! Kalau lupa berarti kau sengaja. Song-koko, sudahlah, sekarang kau ceritakan apa yang kaulakukan di dusun tadi."
Mereka duduk di atas batu, saling berpegang tangan dan
dengan hati gembira Bu Song bercerita tentang burung
rajawali hitam yang diserbu penduduk dusun. Ia ceritakan betapa ia telah berhasil menolong anak burung itu dan
memuji-muji burung besar, gagah dan indah itu.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Eng Eng girang sekali mendengar ini, matanya bersinar-
sinar dan ia bertepuk tangan gembira. "Wah burung yang hebat! Ingin sekali aku dapat melihatnya, Koko. Hei i ! Di sana itu, bukankah itu hektiauw (rajawali hitam)?" Tiba-tiba Eng Eng berseru sambil menudingkan telunjuknya ke atas.
Bu Song cepat memandang dan betul saja. Tinggi di
angkasa sebelah timur tampak burung rajawali hitam itu
terbang melayang-layang amat gagahnya, biarpun karena
jauhnya kelihatan amat kecil, namun jelas berbeda dengan burung-burung lain. Eng Eng saking gembira dan tertarik mendengar cerita Bu Song tadi, kini sudah meloncat berdiri dan berkata, "Song-ko, aku mau melihatnya ke sana kalau ia turun!" Dan larilah gadis ini dengan cepat sekali.
"Eh, Eng-moi, tunggu...!" Bu Song juga meloncat dan lari mengejar akan tetapi ternyata gadis itu larinya cepat bukan main. Bu Song yang tidak pernah belajar ilmu gin-kang dan tidak pernah belajar ilmu lari cepat, segera tertinggal jauh.
Melihat betapa kekasihnya lari ke jurusan puncak terlarang, yaitu Puncak Api, ia menjadi khawatir sekali dan berteriak-teriak, "Eng-moi...! Jangan ke sana...! Puncak itu terlarang bagi kita..."
Akan tetapi Eng Eng yang melihat bahwa burung rajawali
yang amat ia kagumi itu kini menyambar turun ke arah
puncak, menjadi makin gembira dan lupa akan pesan ayahnya bahwa puncak itu tidak boleh dikunjungi karena amat
berbahaya. Teriakan Bu Song ini memang mengingatkannya, akan tetapi setelah dekat dengan puncak, ia tidak melihat sesuatu yang boleh dianggap bahaya. Selain itu, andaikata benar-benar ada bahaya, ia takut apa" Kepandaiannya sudah cukup untuk dipergunakan menjaga diri. Burung itu amat
indah! Maka tanpa mempedulikan peringatan Bu Song ia lari terus, hanya menoleh dan memberi isarat dengan tangan
supaya pemuda itu mengikutinya dan jangan berteriak-teriak karena bisa membikin kaget burung.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Hati Bu Song penuh kekhawatiran. Ia seorang yang amat
patuh kepada suhunya, dan ia tahu pula bahwa tidaklah
percuma suhunya melarang mereka bermain-main ke Puncak
Api. Suhunya seorang sakti yang bijaksana, kalau melarang tentulah ada sebab-sebabnya yang kuat. Kini larangan ini dilanggar oleh Eng Eng dan ia menjadi khawatir sekali. Akan tetapi ia maklum dan mengenal baik watak Eng Eng.
Bagaimana ia dapat mencegah dan melarang gadis itu yang begitu gembira" Dengan hati berdebar terpaksa Bu Song lari terus mengikuti Eng Eng yang amat cepat larinya itu. Mereka kini sudah tiba di lereng puncak, memasuki sebuah hutan yang pohonnya besar-besar menjulang tinggi, daunnya
berwarna coklat membuat keadaan hutan agak gelap.


Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eng-moi, tunggu...!" Bu Song berteriak lagi, hatinya tidak enak ketika ia melihat bayangan Eng Eng lenyap ke dalam hutan. "Song-ko, mari cepat...!" terdengar suara gadis itu menggema di dalam hutan.
Bu Song sudah lelah sekali sekarang, namun ia memaksa
kedua kakinya untuk berlari memasuki hutan agar jangan
sampai kehilangan jejak kekasihnya. Akan tetapi terpaksa ia berhenti dan memandang ke kanan kiri dengan bingung.
Hutan itu selain besar dan agak gelap, juga amat
membingungkan keadaannya karena pohon-pohon besar itu
berbaris rapi dan serupa benar keadaannya. Tak tampak
bayangan Eng Eng! "Eng-moi, di mana kau...?"" teriaknya keras. Segera ia dibikin bingung oleh gema suaranya sendiri yang menjawab dari semua penjuru! Tiba-tiba ia mendengar desis dan ketika ia berdongak, seakan-akan copot jantungnya saking kaget dan ngeri melihat seekor ular yang besarnya melebihi pahanya dan panjang sekali bergantungan di atas pohon, kepala ular itu bergantung ke bawah dan mendesis-desis, matanya yang
merah memandang ke arahnya dengan bengis. Agaknya
binatang ini terkejut dari tidurnya ketika ia berteriak keras
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
tadi. Dengan tubuh menggigil Bu Song lari meninggalkan
tempat itu, memasuki hutan lebih dalam lagi.
"Eng-moi...!!" Ia berteriak lagi beberapa kali karena ia benar-benar tidak tahu ke jurusan mana gadis itu lari.
"Song-ko...!!" Tiba-tiba terdengar gema suara Eng Eng dari jauh sekali, dari arah timur sebelah dalam hutan itu. Bu Song terkejut, dan juga girang. Cepat ia lari mendaki bagian yang tinggi dari hutan itu, tidak peduli lagi akan kelelahan kakinya sambil memanggil-manggil nama Eng Eng. Akan tetapi gadis itu tidak terdengar menjawabnya lagi dan selagi hatinya mulai gelisah ketika ia berlari memandang ke kanan kiri dan depan, mendadak terdengar jerit suara Eng Eng. Jerit gadis itu membayangkan ketakutan hebat, maka Bu Song cepat lari ke jurusan itu, ke pinggir hutan yang dekat dengan pendakian ke puncak yang merupakan batu-batu karang yang runcing dan bertumpuk-tumpuk.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu Song ketika
melihat kekasihnya itu sedang bertempur melawan seekor
binatang mirip monyet yang besar dan kuat. Rambut Eng Eng awut-awutan, sebagian pakaiannya ada yang robek, bahkan lengan kirinya berdarah, agaknya kena cakar kuku binatang itu yang panjang-panjang. Gadis itu kelihatan lemah dan lelah.
Melihat betapa dua ekor binatang semacam itu telah
menggeletak di atas tanah, Bu Song dapat menduga bahwa
tentu tadinya Eng Eng dikeroyok tiga. Gadis kekasihnya yang perkasa itu agaknya telah merobohkan dua di antara mereka, akan tetapi kini yang paling besar dan kuat menandinginya dan Eng Eng terdesak. Bukan main kuatnya binatang itu,
karena beberapa kali tendangan kaki Eng Eng seakan-akan tidak dirasainya.
"Eng-moi....!" Bu Song berseru keras dan dengan mata terbelalak ia menyerbu, lupa bahwa ia sama sekali tidak pernah berkelahi dan tidak tahu cara menggunakan kaki
tangan yang baik dalam pertandingan. Pada saat itu, Eng Eng
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
sudah terhuyung ke belakang ketika binatang itu menerjang hendak mencengkeram dan menggigit. Sial baginya, kakinya menginjak lubang tersembunyi di bawah rumput. Tubuhnya
terguling roboh! Bu Song melompat dan memukul binatang itu ketika
melihat betapa binatang itu hendak menubruk Eng Eng. Akan tetapi pukulannya mengenai tempat kosong. Ternyata
binatang itu lincah sekali dan dapat mengelak dengan mudah sehingga Bu Song yang memukul dengan seluruh tenaganya, terhuyung ke depan dan pada saat itu tengkuknya dipukul keras sekali oleh tangan binatang itu, tangan yang berbulu dan besar serta berat. Bu Song merasa pandang matanya
gelap dan ia roboh tertelungkup. Ia mendengar jerit Eng Eng, dan cepat ia melompat lagi sambil membalikkan tubuh.
Kiranya Eng Eng kini sudah tertawan binatang itu, dipanggul di pundak kiri dan melihat keadaan tubuh Eng Eng yang lemas itu ia dapat menduga bahwa saking merasa ngeri dan takut, gadis itu telah pingsan.
"Binatang jahat, lepaskan dia!" Bu Song dengan marah dan nekat mengejar dan menyerbu dari belakang, berniat hendak merampas tubuh Eng Eng. Biarpun gerakan Bu Song kaku,
namun pemuda ini pada dasarnya memiliki tenaga yang besar dan kuat. Sayang ia tak pernah belajar silat maka
terjangannya itupun kurang cepat dan biasa saja sehingga kembali binatang yang gesit itu mudah saja mengelak, bahkan kaki kanannya yang berkuku panjang itu berhasil mendupak dada Bu Song. Kuku jari kaki yang panjang itu merobek baju dan tendangannya cukup keras membuat tubuh Bu Song
terguling-guling ke belakang. Namun Bu Song bertubuh kuat dan cepat ia sudah bangkit lagi meloncat ke depan dan
menubruk dengan nekat. Ia berhasil menangkap pundak
kanan monyet besar itu dan langsung menjempit lehernya
dalam usahanya mencegah Si Monyet melarikan Eng Eng.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Monyet itu menggereng, meronta, namun aneh sekali,
tanpa disadari oleh Bu Song sendiri, tenaganya terlalu besar untuk monyet itu yang tak mampu bergerak dalam jepitannya.
Di luar kesadarannya, dalam keadaan penuh kekhawatiran dan kemarahan itu, tenaga sakti dalam tubuhnya yang memang
telah terkumpul berkat latihan pernapasan dan siulian, kini bergerak tersalur ke lengannya sehingga jepitannya amat kuat.
Sayang sekali bahwa Bu Song tak pernah mempelajari teori ilmu
berkelahi maka ia tidak dapat melanjutkan perkembangannya. Kalau ia dapat sedikit saja bermain silat, tentu ia telah berhasil merobohkan binatang itu dan
merampas Eng Eng. Kini dengan bingung ia hanya menarik-
narik lengan Eng Eng dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya tetap menjepit leher monyet besar.
Sebaliknya binatang itu adalah binatang yang mengandalkan hidupnya dengan kekerasan dan perkelahian.
Maklum ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan yang amat kuat dan maklum pula bahwa lawannya ingin merampas
wanita dalam panggulannya, ia sengaja melepaskan tubuh
Eng Eng. Bu Song terkejut karena tiba-tiba tubuh Eng Eng dapat ia tarik sehingga hampir terbanting jatuh. Terpaksa ia melepaskan jepitan pada leher dan menerima tubuh Eng Eng.
Siapa kira, monyet itu cerdik dan cepat sekali. Begitu lehernya dilepaskan, monyet itu membalik dan tiba-tiba Bu Song
terpelanting karena perutnya dihantam sekerasnya dan di lain saat ketika tubuhnya terpelanting, Eng Eng telah berhasil diserobot kembali dan dipanggul terus dibawa lari.
"Binatang jahat, hendak lari ke mana kau?" Bu Song sudah bangkit lagi dan mengejar. Monyet itu ketakutan. Agaknya ia tahu bahwa lawannya amat kuat, dihantam sedemikian
kerasnya tidak mampus bahkan mengejar lagi. Cepat monyet itu melompat-lompat dari batu ke batu naik ke puncak. Puncak Api yang menakutkan. Sebagai seorang manusia, Bu Song
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
yang tidak terlatih tentu saja payah mengejar seekor monyet yang mengambil jalan pendakian yang amat sukar itu. namun Bu Song tidak gentar dan terus mengejar, walaupun ia mulai tertinggal jauh. Bukan main sukarnya perjalanan ke puncak, amat curam dan sekali saja kaki terpeleset, tentu tubuhnya akan melayang ke bawah ratusan meter dalamnya dan akan
terbanting hancur di atas batu-batu karang di sebelah bawah.
Kalau saja ia tidak sedang marah dan gelisah memikirkan nasib Eng Eng, agaknya biar Bu Song seorang pemberani pun akan ngeri kalau melihat ke bawah. Ia mengejar terus dan hanya beberapa belas meter lagi monyet itu tentu akan
mencapai puncak. "Binatang jahat, lepaskan dia...!" berkali-kali Bu Song berseru marah dan mempercepat pengejarannya.
Tiba-tiba terdengar kelepak sayap dan tampaklah tubuh
burung rajawali hitam yang besar itu menyambar turun.
Melihat burung itu, Bu Song cepat berseru, "Hek-tiauw-ko (Saudara Rajawali Hitam), tolonglah Eng Eng. Hajar monyet busuk itu!"
Aneh sekali. burung itu agaknya mengenal Bu Song yang
telah menolong anaknya dan agaknya mengerti pula bahwa
monyet itu musuh Bu Song. Ia menyambar ke bawah dan
dengan kuku-kuku yang runcing mengerikan ia mencengkeram ke arah kepala monyet yang memanggul
tubuh Eng Eng! Namun monyet itupun bukan binatang
sembarangan. Dengan geram marah monyet itu menggerakkan tangan kanannya menghantam.
Burung rajawali menggerakkan sayapnya dan tubuhnya mumbul
sedikit, mengelak hantaman monyet, kemudian mencengkeram lengan kanan monyet itu.
"Ceppp... kraakkkk!" Sekali kedua kaki rajawali bergerak, lengan monyet itu hancur, daging kulitnya robek-robek,
tulangnya patah-patah! Monyet itu memekik keras dan karena ia menggunakan tangan kirinya untuk menghadapi lawan yang
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
kuat itu, tanpa terasa lagi ia melemparkan tubuh Eng Eng dari pundaknya. Untung Bu Song sudah tiba di situ dan cepat
pemuda ini menubruk Eng Eng dan mencegah tubuh gadis itu terguling ke dalam jurang. Karena tempat di situ amat
berbahaya dan satu-satunya tempat yang agaknya dapat
dipakai merawat Eng Eng yang masih pingsan hanya di
puncak yang tinggal beberapa meter lagi, Bu Song
memanggul tubuh Eng Eng dan merayap naik sambil jalan
memutar, menjauhi tempat pertempuran.
Agaknya pekik monyet tadi telah menarik datang kawan-
kawannya karena dari atas puncak itu berloncatan banyak sekali monyet besar-besar seperti yang menculik Eng Eng.
Namun monyet pertama begitu memekik, kepalanya sudah
hancur dicengkeram rajawali hitam, dan begitu monyet-
monyet itu datang menyerbu, terjadilah pertandingan yang amat hebat dan menarik. Monyet-monyet itu liar dan ganas dan agaknya andaikata rajawali hitam tidak pandai terbang, tentu ia takkan sanggup menghadapi monyet yang puluhan
banyaknya itu. Namun rajawali hitam adalah seekor burung raksasa, dikeroyok puluhan ekor monyet itu ia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan kelihatan gembira sekali. sambil mengeluarkan suara menantang-nantang, burung itu terbang mengitari tempat itu dan sekali-kali menyambar ke bawah merobohkan seekor monyet. Monyet-monyet itu memekik-mekik marah, berjingkrakan dan ada pula yang menyambitnya dengan batu. Hiruk-pikuk di bawah puncak itu, ramai sekali pertandingan antara rajawali hitam yang dikeroyok banyak monyet.
Sementara itu, Bu Song mencapai puncak. Bukan main
indahnya pemandangan di puncak itu. Puncak penuh dengan hutan pohon yang besar-besar dan berdaun merah. Inilah
agaknya yang menjadi sebab mengapa puncak ini tampak
kemerahan seperti api menyala dari jauh. Namun pada saat itu, perhatian Bu Song seluruhnya ditujukan kepada Eng Eng sehingga ia tidak mempedulikan keindahan pemandangan,
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
melainkan cepat-cepat ia menurunkan tubuh Eng Eng di atas tanah.
"Eng-moi... Eng-moi..." Bu Song mengguncang-guncang pundak Eng Eng dan merasa gelisah sekali melihat gadis itu meramkan mata dengan muka pucat.
Eng Eng merintih lirih, menggerakkan kepala ke kanan kiri dan membuka matanya perlahan. Pemandangan pertama
ketika ia membuka mata adalah hutan kemerah-merahan di
depannya. Gadis ini kaget, bangkit dan merangkul Bu Song, katanya, "Song-ko... apakah kita berada di sorga?"
Bu Song mendekap kepala itu, memeluknya dengan hati
sebesar bukit. Ia mencium rambut di kepala itu dan berbisik,
"Tidak, Moi-moi. Kita masih hidup, kita diselamatkan burung hek-tiauw yang kini masih bertanding dikeroyok banyak
monyet jahat. Bagaimana, Moi-moi" Kau tidak apa-apakah"
Tidak sakit-sakit tubuhmu?"
Mendengar suara penuh getaran ini terharulah hati Eng
Eng. Perasaan wanitanya dapat menangkap rasa kasih sayang yang amat besar dari pemuda ini kepadanya. Ia mengangkat muka, menggelengnya kemudian merangkul leher Bu Song.
Baru saja terlepas dari bahaya maut membuat hati kedua
orang muda ini makin dekat dan saling menyayang. Kali ini Eng Eng tidak marah ketika Bu Song menciumnya penuh kasih sayang, ciuman yang dilakukan saking girangnya hati melihat kekasihnya selamat. Eng Eng tidak marah, malah tanpa
sengaja ia mempererat rangkulannya.
Tiba-tiba Bu Song mendorong tubuh Eng Eng ke samping
sambil berkata kaget, "Moi-moi, awas...!!" Matanya terbelalak memandang ke depan. Eng Eng terkejut sekali, cepat
memutar tubuh sambil melompat berdiri di samping Bu Song yang sudah berdiri pula. Dan ia pun terbelalak kaget ketika melihat bahwa di depan mereka telah berdiri seekor monyet berbulu merah yang besar sekali, lebih besar dari manusia!
Bulu monyet ini halus dan merah, matanya juga merah dan
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
taringnya putih mengkilat tampak jelas karena monyet ini meringis dan matanya memandang penuh ancaman.
Mengingat bahwa kekasihnya tidak pandai silat, Eng Eng
segera maju dan berkata perlahan, "Koko, kau sembunyilah!"
Kemudian gadis ini dengan gerakan gesit sekali menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada binatang itu sedangkan kakinya membuat gerakan menyapu kaki. Cepat sekali
gerakan ini, namun monyet merah itu ternyata tidak kalah gesitnya. Anehnya, gerakan monyet itu seperti gerakan orang bersilat pula ketika ia melangkah mundur dan meloncat
menghindarkan diri daripada sapuan kaki Eng Eng, bahkan sebelum kakinya turun ke tanah, monyet itu sudah membalas dengan
cengkeraman tangan yang berkuku panjang meruncing ke arah pundak Eng Eng. Gadis ini cepat miringkan tubuhnya dan dari samping ia menendang. Puteri Kim-mo
Taisu tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang lumayan
sungguhpun ayahnya diam-diam mengakui bahwa puterinya
ini tidak begitu besar bakatnya. Tendangannya menyamping cepat sekali dan sebelum binatang yang amat gesit itu sempat mengelak, kaki gadis itu sudah mengenai lambungnya.
"Bukkk!!" Eng Eng mengeluarkan seruan kaget. Tendangannya tadi dilakukan dengan pengerahan tenaga
cukup keras, akan tetapi ia merasa seakan-akan menendang sebuah batu besar, kakinya membalik dan terasa sakit sekali.
akan tetapi monyet besar itupun agaknya kesakitan karena ia memekik dan menjadi makin marah. Dengan gerakan cepat
dan dahsyat ia menubruk dengan kedua tangan dan kakinya seperti seekor harimau menerkam. Kembali Eng Eng mengelak dengan menggulingkan tubuh ke atas tanah. Tubrukan luput, akan tetapi binatang itu sudah dapat berjungkir balik dan kini menyerang dan menerjang lagi.
Tiba-tiba gerakan binatang itu terhenti karena Bu Song
yang tidak tega melihat begitu saja kekasihnya berkelahi melawan binatang liar ini, sudah melompat maju dan karena
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Si Monyet membelakanginya, ia telah menerkam pundak dan leher binatang itu, terus menggumulnya dan menjepit leher binatang dengan lengan kanannya, sedangkan lengan kirinya menjepit perut.
Binatang itu kaget dan meronta-ronta, menggereng dan
kedua tangannya menangkap lengan Bu Song. Namun ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan tangan Bu Song yang amat kuat. Binatang itu menggulingkan diri, mereka bergumul, namun seperti seekor lintah menempel di kaki kerbau, Bu Song tidak dapat dilepaskan oleh monyet raksasa yang
memekik-mekik marah. Celaka bagi Bu Song adalah kuku-kuku panjang dari tangan monyet itu yang mencengkeram
lengannya. Biarpun Bu Song amat kuat, namun ia terlambat mengerahkan tenaga dalam yang di luar pengetahuannya
telah memenuhi tubuhnya itu ke arah lengan. Masih baik
baginya begitu kuku-kuku itu menancap lengan, ia mengerahkan tenaga sehingga lengannya tidak sampai
terobek. Kuat sekali monyet itu, tenaganya liar dan ganas, mereka bergulingan mendekati jurang!
"Koko, lepaskan dia...!" Eng Eng berteriak penuh kengerian melihat betapa kekasihnya bersama monyet itu bergulingan dekat jurang yang curam. Gadis ini meloncat dekat dan
mengerahkan tenaga memukul kepala monyet raksasa.
Namun kembali ia terkejut karena kepalan tangannya tidak sanggup meremukkan kepala, bahkan terasa sakit. Namun
bukan tidak ada pengaruhnya pukulan ini karena si Monyet kembali memekik kesakitan dan kedua tangannya yang
mencengkeram lengan Bu Song terlepas. Pemuda ini maklum pula akan bahayanya bergumul dekat jurang, maka ia
melepaskan jepitannya dan mendorong punggung monyet itu sambil melompat ke belakang.
Monyet itu marah sekali kepada Eng Eng yang dua kali
telah memukulnya. Kini ia meloncat dan menerjang Eng Eng dengan
pukulan-pukulan dan cengkeraman dahsyat, Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
gerakannya tidak berbeda dengan ahli silat tinggi yang ahli dalam ilmu jiauw-kang (ilmu mencengkeram). Eng Eng
berusaha mengelak, akan tetapi malang baginya, rambutnya yang tadi terlepas dan terurai panjang itu dapat tertangkap oleh tangan monyet yang terus menarik dan mengayunnya.
Tubuh Eng Eng terbawa oleh ayunan ini. Monyet itu memekik dan mengerahkan tenaga melontarkan dan... tubuh Eng Eng tanpa dapat dicegah lagi melayang ke arah jurang yang amat curam!
"Eng-moi...!!" Bu Song menjerit penuh kengerian dan kegelisahan melihat tubuh kekasihnya melayang masuk
jurang. Ia lari ke pinggir jurang dan ketika monyet itu menerkamnya, sekali menggerakkan tangan kirinya Bu Song berhasil membuat monyet itu terlempar! Dalam keadaan
gelisah ini, secara tidak sadar Bu Song telah mempergunakan sin-kang yang sudah mengeram dalam tubuhnya sehingga
sekali sampok tangan kirinya sanggup melemparkan monyet yang begitu kuat. Tanpa ingat akan bahaya lagi Bu Song lalu ikut meloncat ke dalam jurang dengan tangan diulurkan untuk menolong Eng Eng. Tentu saja tubuhnya ikut pula melayang turun dengan kecepatan seperti burung terbang.
"Eng-moi...!" Ia berseru keras sekali, seluruh perhatiannya tercekam oleh kekhawatiran akan keselamatan Eng Eng,
seujung rambut pun ia tidak ingat bahwa dia sendiri
melayang-layang turun menghadapi maut yang mengerikan.
"Koko...!" Eng Eng berteriak, merupakan jeritan lemah karena gadis yang sadar akan maut yang mengancam ini telah pingsan! Barulah kini Bu Song sadar pula akan keadaan
mereka. Namun seluruh hasratnya hanya tercurah untuk
menolong dan menyelamatkan nyawa kekasihnya, maka ia
lalu berteriak keras sekali, sekuat paru-parunya mengeluarkan suara itu.
"Hek-tiauw-ko...! Tolonggg...!!" Karena tubuh Bu Song jauh lebih berat daripada tubuh Eng Eng, maka dalam luncuran ke
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
bawah ini ia lebih cepat menyusul tubuh Eng Eng. Dengan kemauan keras, Bu Song mengulur tangan dan berhasil
memegang lengan Eng Eng. Akan tetapi kini karena kedua
tubuh mereka menjadi satu maka berat badan menjadi
bertambah dan mereka meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mengerikan. melihat ke bawah Bu Song merasa seakan-akan buka mereka yang meluncur ke bawah, melainkan batu-batu karang di bawah yang melayang ke atas menuju mereka!
"Hek-tiauw-ko...!" Ia menjerit lagi dan terdengarlah bunyi kelepak sayap ketika burung rajawali hitam yang besar itu menyambar ke arah mereka. Karena burung ini hanya
mengenal Bu Song, maka agaknya hanya kepada pemuda
inilah ia mau menolong. Cepat sekali kakinya duah
menyambar pundak Bu Song. Pemuda itu merasa pundaknya
tertusuk kuku, akan tetapi maklum bahwa hanya burung ini yang akan mampu menolong mereka berdua, ia cepat
menggunakan tangan kirinya merangkul ke atas dan berhasil memeluk leher burung rajawali hitam, sedangkan tangan
kanannya tetap memegang lengan Eng Eng.
Berat tubuh mereka berdua terlalu berat bagi burung
rajawali yang sudah lelah dan terluka karena dikeroyok
monyet-monyet tadi. Maka betapapun ia menggerakkan
sayapnya, ia tidak kuasa menahan luncuran ke bawah dan
melayang-layanglah mereka bertiga, biarpun tidak begitu pesat seperti tadi karena tertahan gerakan sayap burung yang berusaha mengangkat mereka, namun masih terus meluncur, tak tertahankan lagi! Burung itu mengeluarkan suara seperti orang merintih ketika mereka telah dekat sekali dengan dasar jurang, lalu burung itu mengerahkan kaki mengangkat tubuh Bu Song ke atas sambil membalikkan tubuh sehingga
tubuhyalah yang berada di bawah.
"Brukkkk...!!" Mereka terhempas ke bawah dan dunia menjadi gelap gulita bagi Bu Song yang roboh pingsan oleh bantingan yang hebat itu.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Lama sekali Bu Song pingsan. Tubuh kedua manusia dan
seekor burung itu tak bergerak sama sekali. Hanya bulu
burung yang kehitaman, ujung pakaian Bu Song dan rambut Eng Eng saja yang bergerak-gerak tertiup angin.
Ketika akhirnya Bu Song membuka matanya, ia nanar dan
tidak ingat apa yang telah terjadi. Tubuhnya tak dapat
bergerak. Akan tetapi perlahan-lahan ingatannya kembali dan ia bergidik. Kiranya yang membuat ia tak dapat bergerak adalah tubuh Eng Eng yang melintang di atas dadanya.
Perlahan ia bangkit duduk, mengeluh karena seluruh tubuhnya sakit-sakit. Akan tetapi ia tidak mempedulikan dirinya, cepat ia mengangkat tubuh atas Eng Eng. Gadis itu tidak kelihatan terluka di luar, akan tetapi mulut, hidung dan telinganya mengucurkan darah!
"Eng-moi...!" Bu Song berseru lemah dan mengusap darah dari muka gadis itu. diguncangnya perlahan pundak Eng Eng, namun tubuh itu lemas dan mata itu tidak terbuka. "Moi-moi...,
Eng-moi...!" Bu Song
memanggil-manggil dan mengguncang-guncang, namun sia-sia. Eng Eng tetap tidak bergerak dan tidak membuka matanya.
Dia pingsan, pikir Bu Song. Harapannya timbul. Dada gadis itu yang menempel di dadanya masih berdetak biarpun lemah, dahinya yang ia ciumi masih hangat. Eng Eng tidak mati, hanya pingsan. Tidak bisa dia mati! Ia ingat bahwa paling baik adalah mencari air untuk mencuci darah dan untuk
membasahi muka dan kepala Eng Eng agar sadar kembali.
Perlahan dan hati-hati ia meletakkan tubuh yang dipangkunya itu kembali ia bangkit berdiri, terhuyung-huyung akan jatuh.


Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi ia menguatkan diri dan tiba-tiba tampaklah
olehnya tubuh rajawali hitam menggeletak. Kepala burung itu pecah, otaknya berhamburan dan binatang itu tidak bernyawa lagi! Kiranya ketika jatuh tadi, burung itu sengaja memasang tubuhnya di bawah dan malang baginya, kepalanya terbanting pada batu sehingga hancur seketika. Bu Song berlutut dan
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
mengelus-ngelus burung itu, dan titik air mata membasahi pipi. Kemudian ia teringat kepada Eng Eng, terus berdiri lagi dan mencari air. Kebetulan tak jauh dari situ terdapat air mancur dari lubang dalam batu karang. Segera ia menuju ke air dan karena tidak ada tempat untuk mengambil air, ia hanya menggunakan kedua tangannya, lalu cepat-cepat
berjalan menghampiri Eng Eng dengan hanya sedikit sisa air di mangkuk tangannya.
Setelah muka yang pucat itu terkena air, Eng Eng bergerak lemah dan dengan mata masih meram, bibir gadis ini bergerak membisikkan kata-kata yang cukup jelas bagi Bu Song, "Song-koko..., Koko... aku cinta padamu..."
Bu Song merasa seakan-akan jantungnya diremas. Ia
mendekap kepala gadis itu dan berbisik di telinganya. "Eng Eng... aku berada di sini...., mati hidup aku bersamamu, Eng-moi..." Ia melihat mulut itu tersenyum, akan tetapi matanya tetap tidak terbuka.
"Eng-moi... Eng-moi..." Namun gadis itu tidak menjawab dan Bu Song berlari lagi menuju ke air mancur. Kali ini ia mendapatkan beberapa helai daun yang ia jadikan satu dan dengan daun-daun ini ia dapat membawa air ke dalamnya.
Gadis itu menelan air dan mengeluh perlahan, lalu membuka mata. Mereka saling pandang, mata yang sayu dari Eng Eng bertemu pandang mata penuh harap-harap cemas dari Bu
Song. "Song-ko..." Eng Eng berkata lemah, berusaha untuk tersenyum. Bu Song segera memangku gadis itu dan gerakan ini membuat Eng Eng merintih kesakitan.
"Bagaimana, Moi-moi" Apamu yang sakit" Kau tidak apa-apa, bukan?" pertanyaan penuh kecemasan dilontarkan bertubi-tubi.
Eng Eng meramkan mata, keningnya berkerut-kerut. Jelas
bahwa ia menderita nyeri hebat yang ditahan-tahannya,
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
kemudian ia membuka lagi matanya dan kini bulu matanya
basah. "koko... tiada harapan lagi..."
Seakan-akan terhenti detik jantung Bu Song dan ia mereka-reka arti yang lain untuk kalimat itu. "... apa... apa maksudmu...?"
Kembali Eng Eng meramkan mata dan ketika membukanya
lagi, kini beberapa butir air mata mengalir turun. Ia
menggeleng kepala. "Sakit semua rasa tubuhku... Song-ko.
Kepalaku... ah, serasa dipukul-pukul dari dalam... dadaku...
serasa terbakar dan akan pecah... oh..."
"Eng-moi...!" Bu Song mendekap kepala itu, mengelus-elusnya seakan-akan ia hendak mengusir rasa nyeri di kepala dengan usapan dan hendak mengoper rasa panas di dadanya sendiri. "Eng-moi, kau tentu akan selamat. Jangan khawatir, Moi-moi... aku akan membawamu pulang, aku akan..."
"Ssttt, diamlah... jangan bergerak, Koko... biarkan aku menikmati pelukanmu seperti ini untuk terakhir kali...! Song-koko, kau... kau... girangkah dijodohkan dengan aku...?"
Makin perih hati Bu Song, seakan-akan kini ditusuk-tusuk jarum. Ia menahan air mata yang hendak runtuh, lalu
menundukkan muka menempelkan pipinya pada pipi Eng Eng, berbisik di telinganya, "Tentu saja, kekasihku, tentu saja aku girang sekali..., karena itu kau harus sembuh, kau harus sembuh, kau harus selamat, kelak kita... menikah..."
Naik sedu sedan di dada Eng Eng dan hal ini agaknya amat menimbulkan nyeri sehingga ia meramkan matanya kembali.
Ketika ia membuka matanya, air matanya makin deras
mengalir akan tetapi mulutnya tersenyum. "Song-ko..."
Tangannya diangkat lemah, meraba-raba dan membelai dagu Bu Song yang agak berlekuk, "... mengapa kau... girang berjodoh denganku" Apakah kau... cinta padaku...?"
"Eng-moi...!" Bu Song teringat akan bisikan gadis itu ketika dalam keadaan setengah sadar tadi, bisikan pengakuan cinta.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Kau masih bertanya lagi" Aku cinta kepadamu, Eng-moi. Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku..."
"Koko..., kasihan kau..." Eng Eng merangkul leher itu dan mereka bertangisan. Bu Song tak dapat menahan diri lagi, air matanya bercucuran, bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang ia coba mengeringkannya dengan
ciumannya. Air mata yang bercampur dengan air mata Eng
Eng di pipi gadis itu yang ia coba mengeringkannya dengan ciumannya. Air mata yang bercampur darah yang masih
mengalir keluar dari hidung. Bu Song tidak peduli, ia
menghisap air mata dan darah itu.
"Kasihan kau, Koko..., karena aku... aku tidak akan hidup lagi..." "Eng-moi...! Jangan berkata begitu.... Moi-moi, kau tidak... kau tidak akan... ah, kau akan hidup bersamaku..."
Jari-jari tangan Eng Eng menjelajahi muka pemuda itu,
mengelus rambutnya seakan-akan ia hendak menggunakan
saat terakhir untuk mengenal lebih dekat wajah pemuda yang sejak dahulu telah menguasai rasa kasihnya, yang dahulu hanya dapat ia pandang dan kenang saja.
"Aku tahu, Koko... aku terluka dalam hebat sekali... dalam dada... darah mengalir di dadaku, juga di kepalaku... tiada guna..., aku akan mati... dalam pelukanmu."
"Moi-moi!" Kini Bu Song menangis tersedu-sedu sambil mendekap gadis itu. "kau tidak akan mati! Kalau kau mati, aku pun ingin mati di sampingmu! " Eng Eng tersenyum mendengar ini dan kini air mata Bu Song yang membanjir turun itu
memasuki bibirnya yang terbuka, menimbulkan rasa segar
pada kerongkongannya yang serasa panas terbakar. Tiba-tiba Eng Eng mendapatkan tenaganya kembali dan ia menolak
muka Bu Song, lalu ia bangkit duduk.
Bu Song tentu saja menjadi girang sekali. "Moi-moi, kau sembuh! Kuambilkan air, ya" Biar kumasak air agar air
hangat-hangat dapat menyegarkan tubuhmu. Lalu kita
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
mencari jalan naik, jangan khawatir, aku masih sanggup
menggendongmu ke atas. Kita pulang!"
Eng Eng tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya, lalu tangannya menepuk tanah di dekatnya memberi isyarat
kepada Bu Song untuk duduk di dekatnya.
"Kau.. kau sanggulkan rambutku....," katanya. Biarpun kelihatannya gadis ini bertenaga kembali, namun suaranya tersendat-sendat dan sukar keluarnya, Bu Song cepat
melakukan perintah ini. Jari-jari tangannya menggetarkan kasih sayang mesra ketika ia berusaha menyanggul rambut panjang halus itu sedapat mungkin. Akan tetapi pekerjaan ini sukar sekali ia laksanakan. Jari-jari tangannya menggigil.
Tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit, ditambah rasa haru dan khawatir membuat air matanya bercucuran. Matanya menjadi kabur dan beberapa kali ia mendekap dan menciumi gadis itu dengan hati hancur.
Eng Eng balas memeluk dan bahkan gadis inilah yang
mengeluarkan kata-kata hiburan, kata-kata lemah yang
berbisik-bisik hampir tak terdengar.
"Diamlah... Koko, diamlah... kausanggulkan rambutku... biar rapi..."
Bu Song berusaha membesarkan hatinya, akan tetapi
bagaimana ia dapat menahan isak tangisnya ketika ia
menyanggul rambut itu melihat betapa kepala Eng Eng penuh darah yang mulai membeku" Namun akhirnya berhasil juga ia menyanggul rambut gadis itu.
"Koko... aku... aku ingin..." Ia berhenti sukar sekali melanjutkan kata-katanya. Bu Song menempelkan telinga di dekat bibir yang sudah pucat itu. "Apa, Moi-moi kau ingin apa?"
"Ah, aku... aku malu... hik..." Bu Song memeluknya.
"Katakanlah, kau mau apa, Moi-moi..."
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"...hemmm..." ... aku... aku ingin... sekarang menikah denganmu." Lalu disambungnya perlahan sekali, "aku ingin...
mati sebagai istrimu..."
"Eng-moi...!" Bu Song tak kuat menahan tangisnya. "Koko, jangan menangis. Maukah kau..." Maukah kau...?"
Bu Song tak dapat menjawab, hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya dan air matanya bercucuran membasahi mukanya. Hampir pemuda ini pingsan saking perih dan sakit rasa hatinya.
"Mari kita bersumpah, Koko, marilah..."
Terpaksa Bu Song menuruti permintaan Eng Eng. Dengan
susah payah ia menggandeng gadis itu, diajak berlutut sambil berpegang tangan, berlutut seperti sepasang pengantin
bersembahyang! Untuk menyenangkan hati gadis itu Bu Song berkata keras-keras,
"Langit dan bumi menjadi saksi! Saat ini kami, Kam Bu Song dan Kwee Eng, menjadi suami isteri, sehidup semati...!"
Eng Eng tertawa, tertawa malu-malu dan ketika Bu Song
menolehnya, gadis itu merangkulnya dengan wajah penuh
bahagia. Eng Eng menyembunyikan mukanya di dada Bu
Song, akan tetapi pada saat itu pula nyawanya telah melayang meninggalkan raganya! Tadinya Bu Song tidak tahu, baru
setelah ia merasa betapa tubuh gadis itu lemas sekali, ia mengangkat dan tahu bahwa kekasihnya itu tak bernyawa
lagi. "Eng-moi...!!" Ia menjerit, mendekap dan roboh pingsan sambil memeluk Eng Eng.
Pukulan batin yang diderita Kim-mo Taisu ketika ia
mendapatkan muridnya pingsan di samping puterinya,
membuat pendekar ini seketika menjadi seorang yang seperti hilang semangat. Rambutnya seketika menjadi putih semua, wajahnya kerut-merut dan pandang matanya sayu seperti
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
lampu kehabisan minyak. Ketika ia mendengar cerita Bu Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng,
wajah pendekar itu menjadi beringas, kemudian ia lari dan mengamuk. Sehari itu terdengar suara Kim-mo Taisu
memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh bukit dan akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang
monyet tinggal hidup lagi di situ. Ratusan bahkan mungkin ribuan ekor monyet berikut yang masih kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan pembunuhan
besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap.
Setelah mengubur jenazah puterinya di dekat kuburan
isterinya, Kim-mo Taisu memandang Bu Song dengan
pandang mata layu, kemudian bertanya.
"Bu Song, semua bahan kepandaian yang ada padaku telah kaumiliki, namun agaknya engkau tidak merasakan hal itu.
Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu. Kepandaian silat ternyata
hanya mendatangkan malapetaka dan kau berangkatlah ke Kerajaan Cou Muda. Di sana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda yang
pandai. Setelah sampi di kota raja, kaucarilah seorang
sahabatku bernama Ciu Tang yang bekerja sebagai pengurus rumah gadai, tinggalnya di sebelah kiri rumah penginapan Lok-an. Kauberikan suratku ini dan selanjutnya dialah yang akan mengatur agar kau dapat mengikuti ujian."
Dengan muka pucat dan mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan lagi ia
menubruk kaki gurunya dan menangis.
"Ah, Suhu... malapetaka telah menimpa kehidupan Suhu... teecu sama
sekali belum mampu membalas kebaikan Suhu akan tetapi
Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu..."
Kim-mo Taisu menghela napas panjang. "Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh. Kau tidak menyukai ilmu silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia daripada
hidupku. Mungkin engkau lebih benar, Bu Song."
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Dengan hati terharu dan penuh duka pemuda itu lalu
mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya. Ia
makin terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah pemberian suhunya. Maka ia lalu teringatlah akan miliknya sendiri, yaitu obat sarang burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera diambilnya obat itu dan
diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata.
"Teecu tidak dapat berbuat sesuatu untuk membalas
kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk diberikan.
Sarang rajawali hitam ini mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap Suhu sudi menerimanya."
Terbelalak kakek itu memandang benda ini. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" Tanyanya penuh keheranan.
Bu Song lalu menceritakan pengalamannya ketika ia
menolong anak rajawali yang jatuh kemudian ia melihat benda ini yang segera diambilnya. Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Benar-benar kehendak Thian! Sungguh aneh dan luar biasa" Seluruh orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu Song. Biarpun aku sendiri diberi waktu seribu tahun, belum tentu aku bisa mendapatkan benda ini.
Ah, sungguh lucu kalau nasib mau mempermainkan orang.
Kau memiliki semua bakat dan dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan tetapi kau mendapatkan mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini baik-baik, dan setiap kali kau merasa lapar, kau boleh masak ini dan makan. Obat ini akan menguatkan tubuhmu dan mencegah segala macam
racun mengganggumu."
"Teecu serahkan kepada Suhu..." "Ah, aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala macam obat" Kausimpanlah
dan turut nasihatku, kaumakan semua sampai habis!"
Perpisahan ini amat menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhunya sebelum orang tua itu pergi lebih dulu.
Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah Kim-mo Taisu turun dari puncak, di kuti pandang mata muridnya yang
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
berlutut di depan pondok ke arah gurunya pergi. Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi, baru Bu Song menggendong
bantalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri gurunya dan Eng Eng. Ia berlutut dan memberi hormat di depan kuburan ibu gurunya, kemudian dengan kepalan tangannya ia
menghapus air mata, bangkit berdiri dan dengan langkah
lebar ia meninggalkan puncak.
Pada waktu itu, Bu Song sudah berusia dua puluh tahun.
Tubuhnya tinggi besar dan tegap, wajahnya tampan, alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut menjadi seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya suram muram,
sepasang matanya yang tajam itu kehilangan kegembiraan
hidup sedangkan dagunya mengeras tanda bahwa semuda itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah
kehilangan orang-orang yang ia sayang. Akan tetapi, ia harus mentaati perintah suhunya, ia harus tidak mengecawakan
harapan suhunya. Ia akan mengikuti ujian dengan penuh
semangat sehingga berhasil. Dengan demikian berarti ia
menjujung tinggi nama suhunya dan hanya inilah agaknya
satu-satunya pembalasan budi yang akan dapat ia lakukan terhadap suhunya.
Sementara itu, setelah jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke selatan.
Teringat akan semua yang baru saja ia alami, Kim-mo Taisu berkali-kali menghela napas. Nasib mempertemukan dia
dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan dia dengan urusan bekas kekasihnya itu yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua orang kang-ouw. Nasib membuat dia
terpaksa membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian sehingga ia
melakukan pembunuhan terhadap orang kang-ouw yang
mengeroyok Lu Sian. Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu dan dirawat di dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan. Lu
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sian mencintanya! Dan ia masih mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka sangkal pula.
"Lu Sian, tidak baik begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan kasih sayang besar. "Kita sudah tua dan jalan hidup kita bersimpang jauh."
"Mengapa tidak baik, Kwee Seng?" Lu Sian menjawab.
"Memang jalan hidup kita tadinya bersimpang jauh, akan tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah sekarang mataku bahwa sesungguhnya hanya engkaulah laki-laki yang patut kutemani selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng,
akan tetapi setelah kini sadar, tak maukah engkau
memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?"
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin lagi..."
Lu Sian menahan isak. "Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung
musuh. Tidak sanggup rasanya aku harus
menghadapi semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee Seng. Aku sudah rindu hidup tenteram di samping orang yang kucinta!" Lu Sian kini benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu yang terlentang di atas dipan bambu.
"Sudah terlambat, Lu Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan puteramu sendiri?"
"Apa...?" Lu Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata terbelalak.
Kim-mo Taisu tersenyum. Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian yang mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas kekasihnya. Juga ramuan obat simpanan Lu Sian amat manjur untuk menyembuhkan luka di dalam tubuh.
"Lu Sian, kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut denganku dan menjadi muridku.
Malah kini ia akan menjadi mantuku."
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Lu Sian terbelalak, mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik turun membasahi pipinya. Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya. "Ceritakan..."
dia berbisik, "ceritakan tentang dia..."
Dengan singkat Kim-mo Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa Bu Song menjadi
muridnya, kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng Eng.
"Anakmu itu aneh, dan bijaksana tidak seperti kita, Lu Sian.
Dia benci akan ilmu silat dan sama sekali tidak mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat, suatu ilmu yang amat jahat."
"Hee..." Mengapa begitu" Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?"
"Belajar ilmu membaca dan menulis, menggambar dan
menulis indah. Belajar sastera. Malah sekarang ia hendak kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian, kau tentu setuju, bukan, demi kebagaiaan puteramu?"
Lu Sian menundukkan mukanya. "Kalau begitu... dia... dia tentu membenciku..."
"Dia tidak membenci siapapun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi..."
"Aahhh...!" Lu Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati dan pikirannya. Ia meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi putera ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar!" Aku Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian lalu
meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu.
"Lu Sian...!" Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali lagi. Diam-diam ia menarik napas panjang, amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia maklum
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
bahwa ceritanya tentang Bu Song tadi menghancurkan hati Lu Sian dan mendatangkan tekanan batin yang hebat sekali
kepada wanita itu merasa kehilangan segala-galanya. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang wanita seperti Lu Sian itu, oleh perbuatannya sendiri di waktu muda, setelah tua kini dimusuhi semua orang, bahkan tidak dikehendaki oleh
puteranya sendiri" Kim-mo Taisu sendiri sama sekali tidak pernah bermimpi
bahwa nasibnya sendiri juga amat buruk. Ia menyedihkan
keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan
tetapi sama sekali ia tidak tahu bahwa pada saat itu
keluarganya tertimpa bencana hebat. Kwee Eng, puteri
tunggalnya, satu-satunya orang yang menjadi keluarganya di dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat menyedihkan!
Memang banyak sekali hal-hal terjadi di dunia ini yang
amat menyedihkan dan membingungkan manusia. Banyak
terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil.
Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Semua peristiwa
yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan yang mengatur dengan sesempurna-sesempurnanya. Hanya karena semua itu menjadi
rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya dengan akal dan pikiran, sehingga bagi
manusia kadang-kadang kelihatannya aneh dan janggal serta tidak adil. Bagi pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya kalau orang seperti Liu Lu Sian setelah tua hidup menderita oleh karena ia memetik buah daripada semua perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih muda menjadi hamba nafsu, setelah tua timbul sesal dan duka. Akan tetapi
bagaimanakah dengan Kim-mo Taisu" Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara" Bukankah dia seorang pendekar besar, seorang yang berbudi baik" Mengapa ia pun mengalami hidup menderita di waktu tua" Memang sudah semestinya begitulah!
Dunia ini berputar oleh dua sifat yang bertentangan dan saling dorong, saling menghidupkan. Ada terang ada gelap, ada
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
panas ada dingin! Sudah semestinya begitu. Yang menderita karena gelap, yang menderita karena panas atau dingin!
Bahagialah mereka yang tidak menderita karena terang atau gelap, karena panas atau dingin. Mereka inilah sesungguhnya manusia yang sudah sadar dan dapat menyesuaikan diri
dengan segala peristiwa yang menimpa dirinya karena
maklum bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan!
Segala peristiwa yang sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan rencana-Nya dan kehendak-Nya.
Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu mengubahnya.
Peristiwa pun terjadilah. Tidak ada susah atau senang. Susah atau senang merupakan hasil tanggapan si manusia yang
menghadapinya. Manusia bijaksana dan sadar akan menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik peristiwa itu
menguntungkan maupun merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang belum sadar akan menerimanya dengan sorak-sorai
kesenangan atau tangis keluh kedukaan. Penerimaan macam inilah yang akan membentuk akibat-akibat dan perbuatan-perbuatan yang tiada berkeputusan, membentuk lingkaran-
lingkaran. Karma yang makin kuat membelenggu manusia.
Kim-mo Taisu bukanlah seorang bodoh, akan tetapi ia
seorang yang lemah. Peristiwa-peristiwa yang menimpa
dirinya diterimanya dengan perasaan hancur dan menyebabkan ia menanam bibit kebencian dan dendam yang


Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendalam terhadap musuh-musuh keluarga isterinya. Kematian isterinya dan puterinya membuat pendekar ini hanya mempunyai satu cita-cita di dalam hatinya, yaitu membalas dendam dan membasmi musuh-musuh keluarga isterinya.
Mulailah ia merantau dan mulai saat itu, nama Kim-mo Taisu menjadi terkenal sebagai seorang yang sepak terjangnya
menakutkan. Para tokoh yang merasa pernah bermusuhan
dengan Kerajaan Tang, yang pernah bermusuhan dengan
Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong diam-diam
menyembunyikan diri, takut bertemu dengan Kim-mo Taisu
yang amat hebat ilmu kepandaiannya itu
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Bu Song juga terpukul hatinya oleh peristiwa kematian Eng Eng. Akan tetapi ia seorang muda yang kuat menderita.
Agaknya karena banyak menderita semenjak kecil, membuat hatinya menjadi kuat dan kebal. Tidak mudah ia runtuh
semangat. Agaknya karena tubuh sehat batin kuat inilah yang membuat Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat dengan penuh gairah hidup. Matanya yang tadinya redup sayu mulai bersinar-sinar lagi, kedua kakinya melangkah lebar.
Berhari-hari ia melakukan perjalanan naik turun gunung. Ia mentaati pesan gurunya dan mulailah ia makan sarang burung rajawali hitam. Enak rasanya, gurih dan harum. Juga setiap kali makan perutnya terasa kenyang dan tahan sampai sehari tidak makan. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa benda yang dimakannya adalah obat kuat yang amat langka didapat, obat yang membuat darahnya menjadi bersih dan tulang-tulangnya menjadi kuat. Setelah melakukan perjalanan lima belas hari, habislah bekal sarang burung itu dan mulailah ia mencari buah-buahan di sepanjang jalan dan ada kalanya ia membeli masakan di warung sebuah dusun yang dilaluinya.
Bekal yang diberikan gurunya cukup banyak.
Pada suatu hari ketika ia melalui sebuah lereng gunung
yang terjal, ia mendengar suara orang bertempur. Suara itu datangnya dari bawah lereng dan yang membikin Bu Song
tertarik dan kaget adalah suara melengking tinggi yang aneh, seperti orang tertawa akan tetapi juga seperti suara wanita menangis. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara itu.
Benar saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang wanita cantik sedang bertanding melayani dua orang laki-laki tua.
Akan tetapi pertandingan itu amat aneh. Si wanita duduk bersila di bawah pohon, sedangkan dua orang laki-laki itu berdiri di depannya. Yang seorang adalah kakek berkepala gundul bersenjata toya sedangkan yang ke dua seorang kakek
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
tinggi kurus berambut panjang dan berpedang yang
berkilauan cahayanya. Anehnya, kedua orang kakek itu hanya mengancam dengan
senjata mereka sedangkan Si Wanita hanya tertawa-tawa
mengejek, sama sekali tidak bergerak dari tempat ia bersila.
Pada saat Bu Song tiba di tempat itu dan mengintai dari balik sebuah batu besar, wanita itu berkata, suaranya merdu akan tetapi dingin menyeramkan.
"Sekali lagi kuperingatkan kalian. Jangan ganggu aku dan pergilah. Aku tidak memusuhi Siauw-lim-pai, juga tidak
memusuhi Kong-thong-pai. Adalah partai kalian yang selalu memusuhi aku.
Aku sudah bosan bertempur,
bosan membunuh. Pergilah dan jangan ganggu aku!"
"Siluman betina, dendam di antara kita sedalam lautan.
Harus ditebus dengan nyawa!" seru kakek itu sambil menggerakkan pedangnya membacok.
"Omitohud, Tok-siauw-kwi, pinceng juga bukan tukang berkelahi, akan tetapi dosamu terhadap Siauw-lim-pai sudah terlalu banyak. Kewajiban pinceng untuk menghukummu!"
kata Si Hwesio pula sambil melangkah maju.
Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara lengking tinggi dan rambutnya yang panjang itu bergerak ke depan, berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar dahsyat. Dua orang kakek itu terkejut sekali. sia-sia saja mereka
menggerakkan senjata untuk membebaskan diri karena
senjata mereka itu tahu-tahu telah terlibat rambut dan tanpa dapat mereka cegah lagi, senjata toya dan pedang itu sudah terbang pergi dari tangan mereka dan terlempar ke dalam jurang!
"Kalian bukan lawanku. Pergilah, aku beri ampun kalian!"
Wanita itu berkata lagi, tetap masih duduk bersila, bahkan kini meramkan mata seperti orang hendak samadhi.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Akan tetapi dua orang kakek itu kelihatan menjadi makin marah. "Tok-siauw-kwi siluman jahat! Kami tidak takut mati.
Engkau atau kami yang harus mati saat ini juga!"
Hwesio itu menyambar sepotong ranting pohon dan
mempergunakannya sebagai tombak yang ia lontarkan
sepenuh tenaga ke arah wanita itu. adapun kakek dari Kong-thong-pai itupun mengeluarkan batang senjata piauw yang ia sambitkan sekuat tenaga ke arah tiga bagian tubuh yang
berbahaya. Melihat ini diam-diam Bu Song merasa ngeri. Jarak antara kedua orang itu dan Si Wanita cantik yang duduk
bersila meramkan mata di bawah pohon tidaklah jauh,
sedangkan serangan itu luar biasa cepat dan kuatnya. Ia membayangkan betapa wanita itu akan tewas dalam keadaan mengerikan dan ada juga rasa penasaran di dalam hatinya yang menganggap perbuatan dua orang laki-laki itu sama
sekali tidak dapat dipuji. Jelas bahwa wanita itu sudah mengalah, akan tetapi dua orang itu nekat saja, bahkan
melakukan penyerangan yang amat curang.
Akan tetapi tiba-tiba mata Bu Song menjadi silau melihat cahaya terang keluar dari kedua tangan wanita itu. Entah apa yang terjadi ia tidak dapat mengikuti dengan jelas, akan tetapi tahu-tahu kedua orang kakek itu menjerit keras dan... dada Si Hwesio sudah tertusuk ranting yang ia lontarkan tadi, adapun Si Kakek mendekap dadanya yang dimakan oleh tiga batang piauwnya sendiri. hebat sekali luka mereka, dengan mata terbelalak mereka berputaran lalu roboh berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah kedua orang itu.
Wanita itu mengeluarkan suara melengking keras seperti
orang menangis. Ketika Bu Song memandang lagi, ternyata wanita itu sudah lenyap, tidak ada lagi di tempat tadi.
Berdebar jantung Bu Song. Peristiwa yang amat hebat dan mengerikan terjadi di depan matanya. Peristiwa pembunuhan, lagi-lagi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu tinggi.
Ia keluar dari tempat sembunyinya, melangkah lebar
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
menghampiri dua orang yang sudah menjadi mayat itu, lalu menarik napas panjang. Dengan hati rasa penasaran ia
berdongak dan berkata dengan suara keras.
"Dendam! Pembunuhan! Bunuh-membunuh! Apakah hanya
untuk ini manusia dilahirkan di dunia?"
Kemudian Bu Song turun tangan, menggulung lengan baju
dan membongkar batu-batu di bawah pohon, menggali lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua jenazah kakek yang
tidak dikenalnya itu. Sambil mengerjakan ini, wajah wanita itu terbayang di depan matanya dan berulang kali Bu Song
menarik napas panjang. Wanita yang patut dikasihani,
pikirnya. Hidup bergelimang dalam gelombang permusuhan
yang tak dapat disingkiri dan yang agaknya mengejar-
ngejarnya terus. Kali ia menang. Apakah lain kali akan dapat menang terus" Kepandaian tidak ada batasnya dan sekali
waktu tentu wanita itu yang menjadi korban, tewas
mengerikan seperti keadaan dua orang kakek ini. Masih baik kedua orang kakek ini tewas di depannya sehingga masih ada yang mengubur jenazah mereka!
Setelah selesai mengubur dua mayat itu, Bu Song
mengebut-ngebutkan pakaiannya dari debu, menyandangkan
bungkusan pakaian yang tadi ia turunkan, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. matahari sudah condong ke barat dan dengan ujung lengan bajunya Bu Song menghapus peluhnya. Tiba-tiba ia berhenti dan memandang penuh
perhatian ke depan. Tadi melihat bayangan berkelebat dan kini tahu-tahu didepannya telah berdiri Si Wanita cantik berambut panjang yang tadi membunuh dua orang kakek itu!
Bu Song memandang jantungnya berdebar. Dilihat sepintas lalu, wanita ini tidak menakutkan sama sekali. Bahkan amat menarik dan cantik, akan tetapi pandang matanya dingin dan kerut
pada mulutnya membayangkan sesuatu yang mengerikan. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Mengapa engkau mengubur mereka?" Wanita itu bertanya, matanya tajam memandang penuh selidik
Bu Song menengok ke belakang, ke arah kuburan kedua
orang kakek itu, lalu ia balas memandang dan menarik napas panjang. Sedikit pun ia tidak takut kepada wanita ini dan teguran wanita itu bahkan mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya. Ia maklum bahwa wanita ini menderita
batinnya dan berusaha menutupi penderitaan batinnya dengan sikap yang dingin dan keras.
"Bibi, pertanyaanmu itu tidak pada tempatnya. Sepatutnya akulah yang bertanya mengapa Bibi membunuh mereka?"
Wanita itu tercengang, agaknya sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban begini. "He, orang muda, jawab pertanyaanku. Jangan engkau main-main. Mengapa engkau
mengubur mereka" Apamukah mereka itu?"
"Bukan apa-apa, hanya sesama manusia. Melihat dua orang manusia terbunuh dan menjadi mayat di jalan, sudah menjadi kewajibanku untuk mengubur mereka. Aku dan juga Bibi
sendiri pun kelak kalau mati membutuhkan bantuan orang lain untuk mengubur mayat kita."
"Apa kau bilang" Orang muda, jaga baik-baik mulutmu.
Tahukah kau bahwa sekali aku turun tangan kau takkan hidup lagi?"
Alangkah herannya hati wanita yang ditakuti di dunia kang-ouw itu ketika melihat Si Pemuda tertawa geli mendengar ucapannya. "Bibi hanya membikin lelucon yang tidak lucu!"
"Apa..., apa maksudmu?" tanyanya, saking herannya sampai memandang dengan mata terbelalak.
"Bibi ini siapakah sampai dapat menguasai hidup matinya orang lain" Bibi tidak merasa memberi hidup kepadaku,
bagaimana Bibi dapat menguasai hidup dan matiku?"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Apa" Kau menantang?" Tok-siauw-kwi lebih heran daripada marah. "Tidak ada yang menantang. Aku hanya mau katakan
bahwa kalau DIA yang memberiku hidup menghendaki aku mati, tanpa Bibi turun tangan pun aku akan mati. Akan tetapi kalau DIA tidak menghendaki aku mati, biar ada seribu orang seperti Bibi turun tangan, aku tidak akan mati! Mati hidup berada di tangan Tuhan. Bibi ini siapakah hendak mengalahkan kekuasaan Tuhan" Padahal mati hidup
Bibi sendiri berada di tangan-Nya! Dapatkah Bibi melawan maut apabila Tuhan menghendaki nyawa Bibi kembali ke
asalnya?" Seketika pucat wajah Tok-siauw-kwi. matanya terbelalak
dan ia meraba pipinya tanpa ia sadari. "Aku... aku tidak akan mati...!"
Bu Song menggeleng-geleng kepalanya, lalu ia melangkahkan kaki pergi dari situ sambil berkata, "Bibi seorang yang patut dikasihani...!"
Angin menyambar keras tahu-tahu wanita itu sudah berdiri menghadang di depannya. "Eh, bocah lancang. Kau bilang apa tadi?"
"Aku bilang kau patut dikasihani sampai-sampai tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan, dan mengingkari kenyataan
bahwa semua manusia mesti mati. Bibi takut mati, itu berarti Bibi kehilangan pegangan dalam hidup, bahwa Bibi kehilangan keperibadian, bahwa Bibi menganggap hidup ini dapat
kaupegang dan kaukuasai. Itulah sebabnya Bibi terlalu mudah membunuh orang mengira bahwa nyawa Bibi berada di
tangan orang lain yang memusuhi Bibi. Ah, betapa sengsara hidup seperti Bibi ini."
Makin pucat muka wanita itu. "Kau bohong! Aku tidak takut siapapun juga!
kaulihat sendiri tadi. Mereka berdua memusuhiku akan tetapi tidak dapat melawanku. Siapa
memusuhiku akan mati!"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Betulkah itu, Bibi" Mengalahkan orang lain bukan hal aneh, mengalahkan nafsu pribadi barulah perbuatan mulia!
Makin banyak Bibi membunuh orang, makin banyak pula
menanam bibit permusuhan dan makin sengsaralah hidup.
Manusia hidup untuk saling bantu, saling tolong, bukan saling bermusuhan dan saling bunuh."
"Habis, kalau dua orang keparat tadi memaksaku, apakah aku harus menyerahkan diri dibunuh begitu saja?"
"Ah, Bibi kurang akal. Bibi sakti, apa sukarnya menjauhkan diri dari mereka yang memusuhi Bibi" Akan tetapi Bibi
memang haus darah, suka membunuh, sungguh keji...!"
Wanita itu marah sekali. Ia mengeluarkan lengking tinggi dan tangannya. Sudah diangkat ke atas. Dari tangan kanan itu keluar hawa yang amat panas, sedangkan bunyi melengking hebat itu sudah hampir merobohkan Bu Song yang tiba-tiba merasa dadanya seperti ditusuk-tusuk. "Keparat bermulut lancang! Siapa kau" Aku takkan membunuh orang tak
bernama!" Bu Song tenang-tenang saja.
Memang ia sendiri memandang hidup ini hampa dan penuh derita kecewa setelah kematian Eng Eng. Sama sekali ia tidak takut akan kematian yang mengancamnya. "Kalau Tuhan menghendaki aku mati dan
Bibi berhasil membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku daripada belenggu hidup. Aku tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu
Song." "Bu Song...?"" Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat. "Kau... kau... murid Kim-mo Taisu...?"
"Beliau adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan
menggunakan nama Guruku untuk perisai nyawaku. Guruku
sendiri tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan mati hidupku!"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Plakkk!" Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song, melainkan mukanya sendiri!
wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan akhirnya
melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya masih terdengar oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu
menggeleng-geleng kepalanya. Kasihan, pikirnya. Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang
sehingga pikirannya tidak waras lagi! Ia lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar.
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak pernah menduga
bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri!
Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang begitu berani menasihati dan menegurnya sudah membuat wanita ini terheran-heran, kemudian, menimbulkan kemarahannya yang luar biasa. Akan tetapi begitu ia
mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera
kandungnya sendiri, ia merasa seakan-akan mukanya
ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia tadi
membunuh anak kandungnya sendiri! Anaknya begitu tampan dan gagah. Ingin ia memeluknya, mendekap kepala itu di
dadanya. Akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal itu
setelah anaknya mengubur dua orang yang dibunuhnya" Ibu yang tersesat, seorang manusia iblis yang oleh anak itu sendiri disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah akan jijik dan bencinya anak itu kepadanya!
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian ia
menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah tempat ia bertemu anaknya tadi. Ia menangis menjambak-jambak
rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang
pohon di depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada saat itu ia hanya ingin mati! Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng yang sudah memberi tahu bahwa puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan menjadi
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu kandung dapat membiarkan putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya" Akan tetapi setelah pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku
sebagai ibunya" Tiba-tiba Lu Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara yang-khim yang
amat merdu bergema di dalam hutan itu. sejenak ia tertegun, timbul
kemarahannya. Siapakah berani mengganggu keasyikannya berduka" Dia sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani membunyikan musik.
Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakanakan mengejeknya yang sedang berduka" Sama artinya
dengan mentertawakan orang sedang menangis. Tok-siauw-
kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melesat ke arah suara, cepat laksana burung terbang.
Pemain yang-khim itu seorang kakek tua renta yang
rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk bersila
memangku sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua
tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan tali-tali yang-khim, mulutnya tersenyum dan pandang matanya melayang
jauh ke depan dan agaknya seperti hendak menjenguk rahasia di balik awan.
Melihat cara kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi dan tak salah lagi tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan memusuhinya.
Lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir. Karena ingin sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah Sian-tok-ciam dan dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melemparkan
jarum-jarum itu ke arah kakek tua renta yang masih enakenak main yang-khim. Dengan jelas Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
dan lenyap memasuki tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu masih saja enak-enak mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya tertahan. Tak lama kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun
kepalanya yang sudah berambut putih, disusul dengan uap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang napas dan... dari dalam mulut kakek itu keluarlah tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yang-khim!
Lu Sian tak pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki kakek itu" Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat! Lu Sian menjadi kaget dan juga gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh, berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa! Dan teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi!
Agaknya kali ini ia takkan menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui tangan kakek yang bermain
yang-khim ini" Tidak, ia tidak boleh menerima kalah begitu saja! Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian melompat dekat dan kini ia menggunakan kedua tangannya berbareng
melakukan pukulan maut ke arah kedua pundak kakek tua
renta itu. Pukulan ini akan menghanguskan jantung dan
menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua
tangan Lu Sian mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan
membara saking panasnya. Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke belakang seperti
orang mabok. Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti disedot ke dalam
samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan
keseimbangan, bahkan akibatnya ia merasa dirinya kosong
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
sama sekali! ia bengong memandang kakek itu yang jelas
mulai tampak terkena akibat pukulannya. Kulit kakek itu dari pundak terus sampai ke leher dan mukanya berubah hitam
sekali, penuh hawa beracun dari pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang
bening seperti mata kanak-kanak memandangnya penuh
perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu
di ringi suara yang-khim.
"Kejahatan yang dilakukan terhadap seorang tak berdosa akan berbalik menimpa si dungu yang melakukannya, bagaikan menebarkan debu melawan arah angin yang akan menimpa dirinya sendiri!"
Lu Sian masih berdiri bengong memandang kakek itu dan
mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan
perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan mendengarkan


Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas
jantungnya. "Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu urusan
kematian telah mendekatimu. Engkau berdiri di ambang pintu kematian apakah persiapanmu Imbauan Pendekar 8 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Kitab Pusaka 17
^