Pencarian

Suling Naga 2

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


"Tapi, apakah tidak berbahaya kalau engkau pergi sendiri" Malam-malam begini ke kuburan yang begitu sunyi?" Suaminya meragu.
"Jangankan ke kuburan, biar ke neraka aku bersedia kalau untuk menyelamatkan anakku!"
Terpaksa Gu Hok membiarkan isterinya pergi sendiri dan dia menanti di rumah dengan hati tidak karuan rasanya. Melarang isterinya pergi, berarti dia menaruh nyawa anak tunggalnya dalam baha-ya, sedangkan membiarkan isterinya pergi, mem-buat hatinya merasa khawatir dan tidak enak sekali. Juga dia tidak berani secara diam-diam membayangi isterinya karena dia mengerti bahwa penjahat-penjahat itu amat berbahaya dan tentu akan tahu kalau dia mengintai. Hal ini bukan hanya dapat membahayakan keselamatan anaknya yang berada dalam cengkeraman penjahat, melainkan juga membahayakan isterinya karena mereka merasa dikhianati.
Dengan perasaan serem ketika memasuki ku-buran yang gelap itu, nyonya Gu Hok
memberani-kan hatinya demi anaknya, dan ia menoleh ke kanan kiri di tempat yang amat sunyi itu. Tiba-tiba ia terkejut dan hampir menjerit ketika tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang tinggi kurus dari belakang sebuah batu kuburan. Kalau saja ia tidak tahu sebelumnya bahwa tentu ada orangnya gerombolan penjahat yang menyambutnya, tentu ia sudah menjerit ketakutan dan menyangka setan.
"Apakah engkau nyonya Gu Hok?" tanya laki-laki tinggi kurus itu.
"Be.... benar.... aku ibu dari anakku Hong Beng.... aku.... aku mohon kepada-mu, di mana anakku?"
"Engkau datang sendirian saja?" tanya suara itu dengan galak.
"Benar...." "Membawa uang itu?"
"Ampunkan aku kami tidak mampu mengumpulkan uang seratus tail dan hanya berhasil terkumpul duapuluh tail saja...."
"Hemm, mana bisa....?"
Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan dirinya ber-lutut. "Ampunkan kami, ampunkan anak kami, aku mohon kepadamu, bebaskanlah anakku dan aku berjanji bahwa kekurangannya kuanggap hu-tang dan kelak akan kubayar dengan cicilan...."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
31 "Wah, mana bisa?"
"Aku mohon kepadamu, kasihanilah kami...."
"Begini, nyonya. Kalau pembayarannya kurang, aku tidak dapat memutuskan. Engkau harus minta sendiri kepada pimpinan kami."
"Mana dia" Aku akan mohon kepadanya, dan mana anakku?"
"Anakmu dalam keadaan sehat, bersama pimpi-nan kami. Mari kita ke sana dan kau boleh bicara sendiri dengan dia dan mengambil anakmu.
Tentu saja nyonya itu merasa girang sekali dan dengan penuh harapan disertai kecemasan, iapun mengikuti laki-laki tinggi kurus itu pergi ke sebu-ah rumah yang agak terpencil, sebuah rumah pondok kecil. Ia terus mengikuti ketika laki-laki tinggi kurus itu memasuki rumah dari pintu bela-kang dan hatinya gentar bukan main melihat belasan orang laki-laki yang bersenjata tajam berada di sekitar rumah pondok itu. Setahunya, pondok ini adalah rumah milik pembesar yang jarang di-pakai, dan ia tidak mengerti mengapa ia dibawa ke pondok milik pembesar.
Dan ketika ia bersama orang tinggi kurus itu memasuki sebuah kamar yang besar, dan pene-rangan yang besar menerangi seluruh kamar itu, membuat ia dengan jelas dapat melihat laki-laki tinggi besar yang duduk di situ sambil menyeringai, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Laki-laki itu bukan lain adalah Bong-ciangkun, laki-laki muka hitam berperut gendut yang matanya besar itu, yang pagi tadi mengganggunya di tengah pasar!
"Ibuuu...." "Hong Beng, anakku....!" Ibu itu berteriak girang melihat anaknya berada pula di sudut ka-mar. Akan tetapi ketika ia hendak lari mengham-piri, pergelangan tangannya dicengkeram oleh si tinggi kurus.
"Jangan bergerak....!"
"Ibu....!" Hong Beng meloncat dan berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dan si tinggi kurus tidak mampu mencegah ibu dan anak itu saling rangkul. Wanita itu berlutut dan berangkulan dengan anaknya, si ibu menangis akan tetapi Hong Beng tidak menangis, melainkan me-mandang ke arah si tinggi kurus dan perwira bre-wokan itu dengan sirar mata berapi-api.
"Kalian telah meculikku, sekarang membawa ibuku ke sini. Sebetulnya kalian ini orang-orang jahat mau apakah?" Tadi ketika ibunya belum dibawa ke situ, Hong Beng
memperlihatkan sikap takut-takut, akan tetapi kini melihat ibunya juga diculik, kemarahannya meluap dan dia melupakan rasa takutnya.
"Plakkk...." Sebuah tamparan dari si tinggi kurus membuat Hong Beng terpelanting dan ibunya menjerit.
"Anak lancang, apa kau bosan hidup?" Si ting-gi kurus membentak anak yang kini
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
32 merangkak bangun dengan pipi kiri merah membiru dan agak membengkak itu. Akan tetapi sebelum anak itu dapat bergerak, si tinggi kurus sudah meloncat dan sekali pegang sudah mencengkeram tengkuk anak itu sehingga tidak mampu bergerak lagi.
"Jangan.... jangan pukul anakku.... ah, jangan bunuh anakku.... ini, tai-ciangkun, aku sudah membawa uangnya, tetapi kurang.... kami hanya mampu mengumpulkan duapuluh tail saja....
ampunkanlah kami dan anakku, ke-kurangannya akan kucicil...." Wanita itu bicara dengan air mata bercucuran dan mengeluarkan buntalan berisi uang duapuluh tail perak. Ia ber-lutut di depan kaki perwira Bong yang tersenyum menyeringai karena setelah berdekatan, ternyata-lah olehnya bahwa wanita ini memang mulus dan manis sekali.
"Nyonya, kalau saja sikapmu di pasar tadi tidak kasar dan lunak seperti sekarang ini, tentu aku ti-dak perlu membawa anakmu ke sini. Sekarang, bagaimana" Engkau pilih anakmu mati di depan-mu ataukah melayani aku dan menyenangkan ha-tiku?" Perwira brewok itu
mengajukan pertanyaan ini tanpa malu-malu, di depan Hong Beng yang belum mengerti apa yang dimaksudkan laki-laki buruk rupa itu dan didepan si tinggi kurus Coa Pit Hu yang hanya menyeringai. Kedua lengan Hong Beng masih ditelikungnya ke belakang sehingga anak ini tidak mampu meronta.
Dapat dibayangkan betapa kaget, takut dan bingungnya hati ibu Hong Beng mendengar ucapan itu. Tak disangkanya samsa sekali bahwa ke situ-lah tujuan perwira ini menculik anaknya, yaitu untuk memaksanya melayani perjinaan dengan penwira itu. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi melihat puteranya dalam cengkeraman si tinggi kurus, ia tidak berani menolak secara kasar dan hendak mencari jalan lain.
"Tai-ciangkun, ampunkanlah aku, ampunkan anakku...." Ia berlutut sambil menangis. "Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk me-menuhi tuntutan seratus tail itu.... asal anakku dibebaskan.... aku mau bekerja keras, aku mau melakukan apa saja demi keselamataan anakku.... akan tetapi.... jangan itu...." "Setan!" Si perwira brewok membentak. Ha-tinya tersinggung sekali, harga dirinya runtuh mendengar ada wanita berani menolaknya men-tah-mentah. "Coa-sicu, bunuh anak itu sekarang juga di depan matanya!" Si perwira brewok me-ngedipkan matanya dan Coa Pit Hu terkekeh, lalu meloloskan, sebatang golok besar yang tajam meng-kilat. Golok itu ditempelkannya ke leher Hong Beng. Melihat ini, tentu saja ibu anak itu menjadi pucat, matanya terbelalak lebar dan saking takut-nya ia hanya menggeleng-geleng kepalanya dan -memegang lehernya sendiri seolah-olah ia dapat merasakan bagaimana leher anaknya itu dipenggal.
"Tidak.... tidak.... jangan....!"
"Mau kau melayaniku?" Kembali perwira itu. membentak dengan senyum mengejek.
Ibu muda itu mengangguk-angguk, akan tetapi, matanya masih terus memandang anaknya sambil bercucuran air mata. Ia tidak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat memilih lain. Yang terpenting bagi-nya adalah keselamatan anak tunggalnya. Biar harus mengorbankan nyawa sekalipun ia rela asal anaknya selamat.
"Ha-ha-ha!" Perwira itu tertawa penuh kemenangan. "Coa-sicu, jangan bunuh anak itu dan ajaklah keluar kamar.
Coa Pit Hu menyeringai dan memandang wanita itu. "Tapi.... ciangkun berjanji akan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
33 memberi bagian kepadaku...."
"Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Kalau, aku suka, aku tidak akan membaginya kepada siapapun, juga dan engkau akan kuberi hadiah barang lain, akan tetapi kalau aku tidak suka, boleh saja kube-rikan padamu!
Coa Pit Hu tertawa dan menyeret Hong Beng keluar dari dalam kamar itu. Hong Beng berusaha meronta akan tetapi karena kedua tangannya dite-likung ke belakang, tubuhnya tak dapat diputarnya dan dia hanya dapat memutar lehernya untuk me-mandang ibunya. Dan sebelum daun pintu ditu-tup oleh orang yang menyeretnya, dia melihat betapa perwira brewok itu menubruk dan merangkul ibunya, lalu ibunya yang lemas dan pucat dan bercucuran air mata itu dipondongnya ke arah pembaringan. Dia masih belum tahu apa yang terjadi, bahkan hatinya agak lega karena ibu-nya tidak dipukuli atau disiksa.
Tidak terdengar suara tangis dari dalam kamar itu. Ibu Hong Beng tidak berani mengeluarkan rintihan atau tangisan karena maklum bahwa se-kali saja perwira laknat ini memberi perintah, anaknya tentu akan dibunuh di luar kamar! Akan tetapi batinnya merintih dan tangis batinnya membubung tinggi ke angkasa, seperti jerit tangis wanita-wanita lain yang pernah menjadi korban perwira ini di dalam kamar itu.
Biarpun tidak terdengar suara apapun di dalam kamar itu, Hong Beng yang berada di luar dan duduk di atas lantai, merasa tidak enak sekali ha-tinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi. Melihat betapa Coa Pit Hu, laki-laki ting-gi kurus itu tersenyum-senyum sendiri, dia tidak dapat lagi menahan hatinya.
"Di mana ibuku" Apa yang terjadi dengan ibuku?"
Coa Pit Hu tertawa mengejek. "Ha-ha, ibumu sedang bersenang-senang dengan Bong-
ciangkun. "Kau diam sajalah di sini dan jangan pergi ke manapun." Mengenangkan apa yang dilakukan pem-besar itu terhadap si wanita mulus, Coa Pit Hu menjilat bibirnya dan dia hampir tidak sabar lagi menanti gilirannya. Waktu terasa seperti merayap perlahan sekali oleh pria ini.
Akhirnya, karena lelah menanti, Coa Pit Hu mengantuk di atas kursinya. Hong Beng sendiri tidak dapat tidur, hanya duduk bersandar dinding dengan hati diliputi kecemasan. Tengah malam telah lewat dan tiba-tiba terdengar bentakan Bong-ciangkun.
"Coa-sicu, masuklah!"
Coa Pit Hu yang sedang terkantuk-kantuk itu terkejut. akan tetapi tersenyum gembira dan diapun membuka daun pintu.
"Nih, untukmu! Perempuan sialan, melayani seperti sepotong mayat saja!"
Hong Beng juga menjenguk dan karena daun pintu terbuka, dia dapat melihat ibunya didorong terhuyung dan disambut oleh Coa Pit Hu dengan rangkulan. Ibunya berwajah pucat dan menangis, pakaiannya tidak karuan. Akan tetapi daun pintu sudah ditutup lagi. Dia hanya mendengar suara tangis ibunya diseling suara ketawa Coa Pit Hu dan Bong-ciangkun. Melihat kesempatan baik ini, Hong Beng lalu melarikan diri keluar dari tempat itu. Di pintu gerbang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
34 depan terdapat perajurit-perajurit yang berjaga, akan tetapi karena dari dalam tidak terdengar perintah apa-apa, mereka mengira bahwa anak itu memang dilepaskan oleh Bong-ciangkun dan merekapun hanya memandang sambil tertawa melihat anak itu berlari keluar sambil menangis.
Hong Beng terus berlari menuju pulang. Ayah-nya terkejut bukan main ketika melihat puteranya memasuki rumah sambil menangis. Ada rasa girang melihat puteranya dalam keadaan selamat, akan tetapi melihat anak itu menangis dan pulang tanpa ibunya, dia terkejut.
"Hong Beng....!"
"Ayah.... ayah....!" Anak itu menu-bruk ayahnya dan menangis.
"Kenapa, Hong Beng" Kenapa" Mana ibumu....?" Hati Gu Hok merasa tidak enak sekali.
"Ibu.... tolonglah ibu, ayah Ibu.... ibu ditahan oleh Bong-ciangkun!"
"Eh" Bong-ciangkun" Kenapa....?" Tentu saja Gu Hok menjadi bingung karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa hilangnya pu-teranya itu adalah akibat perbuatan seorang pem-besar yang berpengaruh itu. Siapa tidak mengenal Bong-ciangkun, komandan pasukan keamanan kota Siang-nam, yang seolah-olah menjadi raja kecil itu"
"Aku.... aku ditangkap orang-orang Bong-ciangkun dan ditahan di sana, malam ini ibu datang bersama penjahat tinggi kurus, lalu ibu ditahan di dalam kamar Bong-ciangkun.... dan kulihat.... ibu setengah telanjang, ibu menangis dan aku lalu lari...."
"Keparat.... !" Gu Hok tentu saja dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya Bong-ciangkun yang mengatur semua itu untuk memaksa dan menggagahi isterinya!
Tukang kayu itu marah sekali dan lupa siapa adanya Bong-ciangkun. Dia mengambil sebuah kapak besar yang biasa untuk menebang pohon, lalu berlari keluar.
"Ayah....!" Hong Beng berteriak dan me-ngejar ayahnya.
Ayah dan anak berlarian menuju ke gedung keluarga Bong-ciangkun. Karena hari sudah lewat tengah malam, keadaan sunyi sekali dan agaknya tidak ada seorangpun melihat ayah dan anak iniberlari-larian . Akan tetapi, mereka ber-dua itu tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali membayang mereka.
Setelah tiba di depan pintu gerbang gedung Bong-ciangkun, Gu Hok yang diikuti puteranya itu lari masuk. Tentu saja para pengawal segera menghadangnya.
"Heii, berhenti! Mau apa kau?" bentak seo-rang pengawal sambil melintangkan tombaknya.
"Minggir! Aku mau bertemu Bong-ciangkun!"
Gu Hok membentak dan mengobat-abitkan ka-paknya yang besar dan tajam! Pengawal itu ter-kejut dan melompat-mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gu Hok untuk menerobos masuk diikuti Hong Beng.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
35 "Heii! Berhenti kau....!" Para pengawal itu mengejar ayah dan anak ini. Akan tetapi Gu Hok yang sudah nekat itu sudah tiba di depan pintu kamar Bong-ciangkun atas petunjuk anaknya dan segera dia mengayun kapaknya menjebol daun pintu. Dengan suara keras dan pintu itu jebol dihantam kapak dan terbuka. Orang-orang yang berada di dalam kamar itu terkejut dan apa yang dilihat oleh Gu Hok membuat tukang kayu ini menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak.
Isterinya menjerit, meronta dan terlepas dari rangkulan orang tinggi kurus itu, lalu lari ke arah suaminya dalam keadaan telanjang bulat! Ia me-nangis sesenggukan menjatuhkan dirinya berlutut di depan, suami dan puteranya. Melihat keadaan isterinya, Gu Hok marah bukan main dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju kearah Bong-ciangkun.
Akan tetapi, dari samping si tinggi kurus itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras yang membuat tubuh Gu Hok terdorong mundur keluar dari dalam kamar itu. Sekali lagi Coa Pit Hu menendang dan kini tubuh Hong Beng terlempar keluar.
"Ha-ha-ha, bunuh para pengacau itu!" kata Bong-ciangkun kepada para pengawalnya.
Isteri Gu Hok menjerit melihat suami dan anaknya ditendang keluar, dan iapun bangkit, lupa bahwa ia berada dalam keadaan telanjang dan ba-gaikan seekor harimau betina yang marah, ia menerjang keluar pula untuk melindungi suami dan anaknya. Akan tetapi, seorang pengawal menggerakkan tombaknya.
"Ceppp....!" Tombak itu menusuk perut menembus punggung wanita yang mengeluarkan suara jerit mengerikan. Tombak disahut dan wanita itupun roboh terkulai. Melihat ini, Gu Hok me-loncat bangun.
"Isteriku....!" teriaknya dan diapun meng-amuk dengan kapaknya. Akan tetapi karena dia hanya seorang tukang kayu biasa saja yang tidak pandai ilmu silat, hanya memiliki tenaga besar saja, mana mungkin dia dapat melawan pengeroyokan para pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat dan mereka itu memegang senjata tombak yang panjang" Dalam beberapa gebrakan saja, tubuh-nya tertembus tombak pula dan dia roboh tewas di dekat mayat isterinya.
"Ayahhh....! Ibuuuu.... !" Hong Beng menjerit dan menangis. Anak ini lalu nekat me-nyerang para pengawal itu dengan kedua tangan dan kakinya, memukul menendang asal kena saja.
Para pengawal itu tertawa, tidak mempergunakan senjata lagi melainkan menghadapi amukan anak kecil itu dengan tamparan-tamparan yang mem-buat tubuh Hong Beng terpelanting dan terlempar ke sana-sini. Akan tetapi anak itu bangkit lagi, menyerang lagi untuk disambut tamparan yang membuatnya terpelanting lagi. Dia dipermainkan oleh para pengawal seperti seekor tikus diperma-inkan beberapa ekor kucing saja.
Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu kini sudah ke-luar dari dalam kamar. Melihat betapa belasan orang pengawal itu mempermainkan anak laki-laki yang mengamuk seperti gila dan nekat itu, Bong-ciangkun berseru, "Bunuh saja dia dan lempar tiga mayat mereka!"
Seorang pengawal yang berkumis tebal dan berwatak kejam lalu mengangkat goloknya dan membacok ke arah leher Hong Beng yang kembali sudah terpelanting ke atas lantai.
"Singgg.... tranggg.... aughhhh....!"
Bukan leher Hong Beng yang terpental putus, melainkan golok itu terpental dan
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
36 pemegangnya roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Semua orang terkejut bukan main dan ketika mereka me-mandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang amat gagah perkasa. Laki-laki ini-lah bayangan yang tadi membayangi Gu Hok dan
puteranya. Dia seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bentuk mukanya bulat dengan sepasang matanya yang mencorong tajam. Wajah yang tampan itu berkulit agak gelap.
Pakaiannya serba indah dan rapi, rambutnya tersisir rapi pula, seo-rang laki-laki pesolek.
Ketika laki-laki ini me-mandang ke arah dua buah mayat suami isteri Gu Hok, dan melihat keadaan mayat wanita itu yang telanjang bulat, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat. Pandang mata mencorong itu kini ditujukan kepada Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang berdiri di depan pintu kamar, kemudian beralih kepada Hong Beng yang sudah bangkit lagi dengan muka matang biru dan hidung berdarah.
"Anak baik, apakah mereka itu ayah ibumu?"
"Benar, dan mereka.... mereka dibunuh.... dua orang jahanam itu dan anak buahnya."
Laki-laki gagah itu mengangguk-angguk. "Tidak aneh kalau terjadi pemberontakan di ma-na-mana. Pejahat-pejahat pemerintah bertindak sewenang-wenang dan berkomplot dengan para penjahat. Manusia-manusia macam ini memang harus dibasmi!"
Coa Pit Hu sudah dapat menenangkan hatinya yang terkejut melihat munculnya orang yang membunuh seorang pengawal itu. Dan menudingkan telunjuknya ke arah muka laki-laki itu dan mem-bentak, "Kurang ajar! Siapakah engkau berani mengantar nyawa di sini" Hayo mengaku sebelum kupenggal kepalamu!"
Laki-laki itu tersenyum, senyumnya dingin se-kali. "Tidak ada gunanya engkau mengenal namaku karena kalian semua akan mati malam ini!"
"Kurang ajar!" Coa Pit Hu marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok lalu menyerang dengan amat ganas. Agaknya dia hendak meme-nuhi ancamannya tadi, yaitu hendak memenggal kepala orang yang berani menentang dia dan Bong-ciangkun.
"Singgg....!" Goloknya menyambar ke arah leher laki-laki gagah itu. Laki-laki itu hanya menggerakkan tangan, telapak tangannya sudah menampar dada Coa Pit Hu sebelah kanan.
"Plakkk!" Coa Pit Hu mengeluarkan teriakan dan tubuhnya terpelanting, roboh dan matanya mendelik, dari mulut dan hidungnya mengalir da-rah dan dia sudah tidak berkutik lagi karena telah tewas seketika. Jantungnya pecah karena getaran pukulan telapak tangan yang amat dahsyat itu!
Melihat ini, Bong-ciangkun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi dia masih ingat untuk memberi aba-aba, "Serbu dan bunuh penjahat ini!" Lalu dia sendiri membalikkan tubuhnya hendak lari bersembunyi ke dalam ru-mahnya.
"Hemm, pembesar lalim jangan harap dapat lolos dari tanganku!" Laki-laki gagah itu me-nyambar golok yang tadi terlepas dari tangan Coa Pit Hu dan sekali menyambit, golok itu terbang meluncur.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
37 "Cappp....!" Pambesar Bong-ciangkun menjerit ketika golok itu menembus punggungnya sampai dada, dan diapun roboh tersungkur, menelungkup di atas lantai. Darah membanjir keluar dari punggung dan dadanya, dan tubuhnya hanya sebentar saja berkelojotan lalu tak bergerak lagi.
Belasan, orang pengawal menjadi terkejut dan merekapun lalu mengeroyok kalang kabut.
Namun, tubuh pria yang gagah itu berkelebatan ke sana-sini dan setiap kali tangannya bergerak tentu seorang pengeroyok roboh dan tewas. Sebentar saja sepuluh orang telah roboh.
Sisanya hendak lari, akan tetapi laki-laki itu tidak mau memberi am-pun dan dengan lemparan-lemparan tombak atau golok yang berserakan, dia merobohkan mereka yang melarikan diri sehingga tak seorangpun ketinggalan! Tempat itu berobah menjadi tempat mengerikan di mana mayat berserakan dan lantai banjir darah!
Hong Beng sendiri merasa sakit hati dan men-dendam terhadap Bong-ciangkun, kini terbelalak dengan muka pucat menyaksikan pembunuhan yang lebih tepat dinamakan
pembantaian yang dilakukan laki-laki gagah perkasa itu.
Laki-laki itu lalu berkata kepada Hong Beng yang berdiri di sudut dengan tubuh menggigil dan muka pucat. "Anak baik, mari kita pergi dari sini."
"Tapi.... tapi.... aku ingin mengubur jenazah ayah ibuku...."
Laki-laki itu menarik napas panjang. "Hemm, baiklah!" Dia lalu mengambil sebatang golok dan dengan golok itu dia memenggal leher Bong--ciangkun dan Coa Pit Hu. Rambut dari dua buah kepala itu dia ikat menjadi satu lalu dia menye-rahkan dua kepala itu kepada Hong Beng. "Kau bawalah dua kepala ini dan aku akan membawa jenazah ayah ibumu."
Tentu saja Hong Beng terbelalak ngeri. Meli-hat orang mati saja belum pernah, sekarang sete-lah menyaksikan belasan orang berserakan menjadi mayat dalam keadaan mandi darah, dia harus membawa dua buah kepala orang! Akan tetapi, karena mendengar bahwa laki-laki perkasa itu akan membawakan dua jenazah ayah ibunya, ter-paksa dengan gemetaran dia menerima dua kepala itu, dipegang pada rambut yang diikat menjadi satu dan dibawanya kepala yang lehernya masih meneteskan darah itu.
Laki-laki itu merenggut beberapa helai tirai sutera dari tempat itu, menyelimuti tubuh isteri Gu Hok yang telanjang, kemudian dia mengambil dua mayat itu dengan ringan dan mudah.
"Mari kita pergi," katanya lagi dan dia membawa dua mayat itu berjalan keluar, diikuti oleh Hong Beng yang membawa dua buah kepala orang! Setelah dua orang ini pergi, barulah para pelayan rumah pondok yang biasanya dipergunakan Bong-ciangkun untuk menjagal wanita-wanita yang menjadi korbannya itu berani keluar. Melihat betapa mayat-mayat berserakan, diantaranya adalah mayat Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang sudah tidak berkepala lagi, tentu saja para pelayan itu menjerit-jerit ketakutan,, bahkan ada yang roboh pingsan. Tempat itu segera ramai di datangi orang dan gegerlah kota Siang-nam. Pasukan keamanan datang dan para pembesar di kota ribut-ribut mencari siapa yang telah membunuh Bong-ciangkun dan belasan orang itu. Akan tetapi semua orang yang menjadi saksi telah tewas, sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan siapa pembunuhnya.
Kegemparan itu makin menghebat ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang berdatangan ke pasar menjadi terkejut melihat adanya dua buah kepala digantung di atas pintu gerbang pasar. Itulah kepala Bong-cioangkun dan Coa Pit Hu! Dan di atas tembok pintu Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
38 gerbang itu terdapat tulisannya, tulisan yang bergaya kuat dan berbentuk indah, ditulis dengan darah yang telah menghitam.
"BONG CIANGKUN BERSEKONGKOL DENGAN PARA PENJAHAT MENINDAS
RAKYAT. INILAH HUKUMANNYA AGAR MENJADI CONTOH BAGI PARA
PEJABAT LAIN." Tentu saja kota Siang-nam menjadi gempar dan semua orang menduga-duga siapa gerangan orang yang begitu berani membunuh seorang komandan pasukan keamanan, bahkan
membunuh Coa Pit Hu yang terkenal sebagai pimpinan penjahat di sekitar tempat itu, lalu menggantungkan kepala mereka di atas pintu gerbang pasar tanpa diketahui seorangpun.
Kepala daerah, dengan hati kecut dan ketakutan, segera memerintahkan pasukan keamanan untuk menjaga rumahnya dan sebagian ditugaskan untuk mencari pembunuh itu.
Sementara itu, si pembunuh pada keesokan harinya telah berjalan seenaknya di luar kota Yang-nam sambil menggandeng tangan Hong Beng. Dia telah membantu anak itu mengubur jenazah ayah ibu anak itu di luar kota Siang-nam, di sebuah lereng bukit yang sunyi, kemudian mengajak anak itu pergi dari situ.
Siapakah laki-laki gagah perkasa itu" Kalau saja ada yang mengenalnya, tentu kegemparan di Siang-nam bertambah dengan rasa takut dan ka-gum. Laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti yang namanya telah menggemparkan dunia kang--ouw beberapa tahun yang lalu. Dia bernama Suma Ciang Bun. Para pembaca kisah-kisah yang me-nyangkut keluarga Pulau Es tentu sudah mengenal nama ini. Suma Ciang Bun adalah cucu dari men-diang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, majikan Pulau Es. Ayahnya, bernama Suma Kian Lee, putera majikan Pulau Es itu, seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan ibunya bernama Kim Hwee Li, juga seorang wanita yang sakti. Ayah ibunya kini sudah tua, sudah sekitar enampuluhan tahun usianya dan mereka bertempat tinggal di Thian-cin, sebuah kota di sebelah sela-tan kota raja. Suma Ciang Bun yang kini berusia tigapuluh tahun ini belum menikah. Sejak muda remaja, dia memiliki suatu kelainan, yang pernah menyiksa batinnya dengan hebat sekali. Kelainan ini amat aneh, akan tetapi banyak dialami pria di dunia ini, yaitu bahwa gairah kelaminnya tidak seperti pria umumnya, tidak ditujukan terhadap wanita melainkan terhadap sejenis kelaminnya sendiri. Gairahnya timbul bukan terhadap wanita melainkan terhadap pria! Tentu saja kelainan itu menimbulkan peristiwa-peristiwa yang aneh dan yang menyeretnya ke lembah kesengsaraan batin yang hebat.
Tubuhnya saja pria, akan tetapi seleranya se-perti wanita. Maka, pernah beberapa kali dia patah hati, mencinta seorang pria, bahkan pernah dia tergila-gila seorang pria, yang ternyata adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Hal ini menghancurkan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia benar-benar men-cinta orang itu, tak perduli orang itu pria maupun wanita. Namun segalanya sudah terlambat. Orang itu telah pergi
meninggalkannya karena merasa dihina dan disakitkan hatinya. Hal ini dapat dibaca dalamKISAH PENDEKAR PULAU ES.
Akan tetapi, pengalaman pahit yang bertubi-tubi dirasakannya, kemudian nasihat-nasihat ter-utama dari adik misannya sendiri yang bernama Suma Ceng Liong, dan dari kakak Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
39 perempuannya yang bernama Suma Hui, dia akhirnya dapat mengetahui dirinya sendiri dan dapat melihat bah-wa tidak mungkin dia menuruti seleranya yang tidak lumrah itu. Suma Ciang Bun kini telah sem-buh! Tidak lagi timbul gairah berahinya melihat pria tampan, walaupun sampai kini dia belum juga dapat menimbulkan gairah berahinya terhadap wanita.
Biarpun sudah sembuh, namun Ciang Bun masih belum dapat melenyapkan sifat-sifatnya yang seperti wanita, yaitu pesolek, rapi dan suka akan kelembutan!
Sudah bertahun-tahun lamanya Suma Ciang Bun meninggalkan rumah orang tuanya di
Thian-cin, hidup sebagai seorang pendekar perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Di manapun dia berada, pendekar ini selalu mengulurkan tangan-nya untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dengan gigih. Berkat ilmu kepandaian-nya yang hebat, yang membuat dia dapat disebut orang sakti, maka jarang dia menemui lawan yang mampu menandinginya, dan karenanya, namanya amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan.
Banyak orang pernah melihat sepak terjangnya yang amat hebat, akau tetapi karena dia tidak pernah meninggalkan nama, maka orang-orang yang belum pernah melihatnya dan hanya mende-ngar saja penuturan orang, tidak dapat menduga siapa sebenarnya pendekar sakti itu.
Sepasang pe-dang dengan ronce-ronce biru selalu tersembunyi di balik jubahnya, dari siang-kiam (sepasang pedang) ini jarang sekali dipergunakannya, karena dengan kaki tangannya saja dia sudah sukar dikalahkan lawan.
Setelah matahari naik tinggi, Suma Ciang Bun mengajak Hong Beng berhenti mengaso di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan yang sunyi. Anak itu sejak pagi tadi, sejak meninggalkan ma-kam ayah ibunya, tidak pernah bicara, hanya menurut saja ketika tangannya digandang oleh Ciang Bun dan diajak pergi. Tak pernah bertanya hendak ke mana, tak pernah mengeluh walaupun keringatnya sudah membasahi seluruh pakaiannya dan nampaknya lelah sekali. Maklumlah, semalam suntuk anak itu tidak pernah tidur, apa lagi meng-alami hal-hal yang amat menegangkan dan mene-kan hatinnya. Melihat betapa dirinya dikurung, lalu muncullnya ibunya, kemudian melihat betapa ayah ibunya tewas di depan matanya, dan dia sendiri dihajar babak belur dan bengkak-bengkak oleh para pengawal yang terdiri dari anak buah penjahat itu, kemudian melihat pula betapa semua orang itu dibantai oleh penolongnyya ini. Ditambah lagi sejak kemarin dia tidak mau makan, perutnya lapar, badannya sakit-sakit, hatinya berduka, na-mun anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh! Hal ini memang sejak semalam telah diketahui oleh Suma Ciang Bun. Dia datang agak terlambat, yaitu setelah Gu Hok dan isterinya tewas. Dia melihat betapa anak kecil itu mengamuk, nekat dan tidak pernah mengeluh walaupun dijadikan bola oleh para pengawal ini. Dan kini, setelah mengubur jenazah ayah ibu Hong Beng, dan mengajak anak itu berjalan tcrus sampai siang, melihat betapa anak itu sebenarnya menderita lahir batin akan tetapi sama sekali tidak mengeluh, Cian Bun merasa semakin kagum. Inilah seorang bocah yang amat hebat, dan pantas menjadi mu-ridnya.-
"Kita beristirahat dulu di sini. Duduklah," katanya dan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. Hong Beng juga de-ngan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput.
"Kau lelah sekali?" tanya Ciang Bun sambil memandang wajah anak itu. Seorang anak laki-laki yang berkulit kuning berwajah jernih dan
tampan. Anak itu mengangguk tanpa menjawab.
"Muka dan tubuhmu sakit-sakit?" tanya lagi Ciang Bun, menatap muka yang bengkak-bengkak dan matang biru itu. Kembali Hong Beng meng-angguk tanpa menjawab.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
40 "Perutmu lapar?" Kembali anak itu mengang-guk.
"Hemm, akupun lapar sekali. Tapi di tempat sunyi seperti ini, dari mana kita bisa mendapatkan makanan?"
"Di rumahku ada telur, ada banyak ayam, dan masih ada beras."
"Rumahmu" Di Siang-nam itu?" Hong Beng mengangguk.
"Katakan di mana rumahmu."
"Di jalan kecil belakang pasar, sebelah kiri toko yang berdagang mangkok piring, rumahku bercat kuning."
"Baik, kau tunggu saja di sini. Aku yang akan mengambil bahan makanan. Kalau kau ikut ke sana, tentu akan timbul keributan karena semua orang mengenalmu." Dan sebelum Hong Beng menjawab, sekali berkelebat tubuh Suma Ciang Bun telah berada jauh sekali dari situ, seperti ter-bang saja dan tak lama kemudianpun lenyap. Tentu saja Hong Beng memandang dengan melongo. Ta-dipun ketika melihat laki-laki itu mengamuk dan membantai semua orang, dia sudah terheran-heran dan amat kagum. Akan tetapi karena kedukaan oleh kematian ayah ibunya, dia kurang memperha-tikan hal itu. Kini, melihat betapa orang itu se-perti terbang saja pergi dari situ, baru dia meng-kirik. Ibliskah orang itu" Dia pernah mendengar tentang orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan orang yang pandai terbang! Yang pernah dilihat-nya hanya orang-orang penjual obat di pasar yang suka bermain silat dan memamerkan kekuatannya, mengangkat besi berat atau bahkan ada yang memukuli dadanya dengan benda keras memamerkan kekebalannya. Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang demikian lihainya seperti penolongnya itu.
Mulailah dia memperha-tikan dan diam-diam dia khawatir sekali. Jangan-jangan orang itu pergi meninggalkannya dan tidak akan kembali lagi.
Setelah ditinggal seorang diri, baru Hong Beng teringat bahwa dia sekarang sebatangkara.
Dan bahwa keselamatannya terancam di Siang-nam. Dia harus pergi dari tempat tinggalnya.
Akan te-tapi ke mana" Dan apa yang harus dilakukannya" Satu-satunya harapan baginya adalah ikut bersa-ma orang yang menolongnya tadi. Ah, kenapa ti-dak" Kalau penolongnya itu mau, dia suka menjadi muridnya, atau jadi pelayannya sekalipun.
Dengan cepat sekali, terlalu cepat bagi Hong Beng sehingga sukar dipercaya, tiba-tiba saja orang itu telah berkelebat dan tahu-tahu telah berada di dekatnya, membawa buntalan yang cu-kup besar. Ketika Suma Ciang Bun menurunkan buntalan itu ke atas tanah, isi buntalan bergerak dan terdengar suara ayam!
"Nah, ini kubawakan semua keperluan dari rumahmu," kata Suma Ciang Bun yang sudah duduk kembali.
Hong Beng membuka buntalan itu dan ternyata di dalamnya, selain terdapat belasan butir telur dan dua ayam paling gemuk, juga terdapat beras yang cukup dan juga beberapa potong pakaiannya yang paling baik. Melihat pakaiannya itu, Hong Beng memandang kepada Suma Ciang Bun dengan sinar mata bertanya.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
41 "Kau tentu membutuhkan pakaian pengganti," kata Ciang Bun. "Apakah kau dapat masak?"
Hong Beng mengangguk. "Akan tetapi tidak ada tungku dan tidak ada api...."
Ciang Bun tersenyum. Dia sudah berpengalaman hidup merantau di gunung-gunung dan sebentar saja dia sudah dapat membuat api dan membuat tungku dari batu-batu. Hong Beng segera mena-nak nasi dari panci yang berada dalam buntalan, dan dua ekor ayam itupun dipotong dan dipanggang. Tak lama kemudian, dua orang ini makan nasi dan panggang ayam dengan lahapnya, wa-laupun bumbunya hanya hanya garam dan bawang yang dibawa oleh Ciang Bnn dari rumah kecil keluarga Gu.
"Nah, sekarang kita bicara," kata Ciang Bun telah mereka makan kenyang. "Siapakah nama-mu dan apa yang telah terjadi maka ayah ibumu tewas di sana?"
Hong Beng memandang Ciang Bun dengan ta-jam untuk beberapa saat lamanya, kemudian men-ceritakan segala peristiwa yang menimpa keluarga orang tuanya, dimulai dari peristiwa di pasar ketika ibunya diganggu oleh Bong-ciangkun sampai dia diculik dan ibu berdua ayahnya kemu-dian tewas.
Setelah anak itu selesai bercerita, Ciang Bun mengangguk-angguk. "Hemm, sudah kuduga tentu demikian. Aku sudah banyak mendengar akan ke-jahatan orang she Bong itu dan aku girang bahwa aku telah berbasil membasmi dia bersama kom-plotannya. Hong Beng,
sekarang ayah ibumu telah tiada, lalu apa rencanamu selanjutnya" Apakah engkau memiliki sanak keluarga?"
Hong Beng menggeleng kepala.
"Jadi engkau sebatangkara saja?" Anak itu mengangguk.
"Hemmm, engkau sebatangkara dan engkau tak mungkin kembali ke Sang-nam. Di sana sudah geger dan orang-orang mulai mencari keluarga-mu yang lenyap. Lalu apa yang akan kaulakkukan sekarang"
"Kalau paman suka, aku akan ikut dengan pa-man...."
"Ikut aku?" "Ya, menjadi.... murid atau pelayan...."
Ciang Bun tertawa. Dia semakin kagum kepada anak ini. Tidak banyak cakap, dan cukup sopan.
"Aku suka kepadamu, Hong Beng. Kalau engkaumau, akupun suka sekali mengambil engkau sebagai muridku."
Mendengar ucapan ini, segera Hong Beng menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Ciang Bun. "Suhu, mulai saat ini, teecu akan mentaati segala perintah suhu dan teecu berjanji akan menjadi seorang murid yang baik."
Ciang Bun menyentuh kedua pundak anak itu dan menyuruhnya bangkit duduk. Ditatapnya Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
42 wajah anak itu dan dia merasa senang sekali. "Berapa usiamu Hong Beng?"
"Sebelas tahun, suhu."
"Ah, engkau pantas menjadi anakku, keponakanku, atau muridku. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, aku seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya, kadang-kadang bermalam di dalam hutan, di puncak gunung atau di tepi sungai. Hidupmu akan serba kekurangan dan bahkan kadang-kadang harus berani menahan kehausan dan kelapaan kalau ikut aku. Beranikah engkau menghadapi semua kesukaran itu?"
Hong Beng mengangguk. "Teecu berani dan apapun yang akan suhu perintahka, teecu akan mentaati tanpa membantah."
Ciang Bun lalu bangkit dan menarik tangan Hong Beng agar berdiri dan merangkul anak itu sambil tertawa. "Ha-ha, jangan khawatir, muridku. Aku belum begitu gila untuk membuat engkau sengsara. Mari kita pergi naik ke puncak bukit di depan itu.Besok, di puncak itu, akan mulai kuajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadamu. Engkau tidak akan menyesal menjadi muridku. Ketahuilah bahwa saat ini, engkau merupakan anak murid keluarga Pulau Es dan kalau engkau tekun belajar, kelak akan sukar orang menandingimu."
Demikianlah, Suma Cian Bun yang selama bertahun-tahun hidup dalam kesunyian dan kesepian, kini memperoleh seorang murid yang seolah-olah membuat hidupnya berarti dan dia berguna bagi seseorang .
Kesepian atau kesendirian merupakan suatu hal yang amat ditakuti oleh kebanyakan orang.
Sendirian sama artinya dengan mati atau lenyapnya bayangan tentang diri sendiri yang kita bentuk sendiri. Timbulnya sang aku adalah karena ada hubungan dengan manusia lain, dengan benda maupun dengan gagasan-gagasan. Kalau sudah berada sendirian maka sang akupun tidak dapat bergerak lagi, atau kalaupun bergerak, tentu hanya karena dorongan ingin mempertahankan hidup.
Itulah sebabnya kita selalu haus akan perhatian orang lain, selalu haus akan kasih sayang orang lain. Orang yang merasa bahwa dia tidak diperha-tikan orang, tidak disukai orang, akan merasa sengsara dan hidupnya seolah-olah kosong, dapat mendatangkan penyakit hampa atau frustrasi, ka-nena sang aku yang sudah digambarkan dan di-pupuk semenjak kecil menjadi tidak berarti lagi, menjadi diremehkan.
Takut akan kesepian atau sendirian ini pula yang mendorong kita untuk mengingatkan diri dengan apa saja yang menyenangkan lahir dan batin. Kalau sudah terikat, kita merasa aman, me-rasa terjamin. Padahal, ikatan-ikatan inilah yang membuat kita hidup seperti robot.
Pengulangan-pengulangan, kebiasaan-kebiasaan, menurut "umum", dan menonjolkan sang aku sama saja dengan hidup di atas awan angan-angan dan karenanya seringkali menemui kekecewaan dan kedukaan karena kenyataan sama sekali berbeda dengan angan-angan dan harapan-harapan. Siapa yang berani meninggalkan hidup dalam dunia angan-angan dan harapan ini, dan berani mem-buka mata menghadapi segala macam kenyataan hidup,
menerima sebagaimana adanya, barulah dia itu benar-benar hidup dan tidak terkecoh oleh harapan-harapan yang pada dasarnya hanyalah sang aku yang ingin senang.
*** Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
43 Pemuda itu berjalan seorang diri menyusuri tepi Sungai Wu-kiang, sebuah sungai yang mengalir ke utara untuk kemudian terjun ke sungai besar Yang-ce-kiang. Sungai Wu-kiang ini mengalir di antara bukit-bukit pegunungan yang amat luas, sunyi dan penuh dengan hutan liar.
Dia tidak sangat muda lagi. Usianya sekitar duapuluh enam tahun, bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya sederhana seperti pakaiannya, hanya sapasang mata yang mengandung sinar pe-nuh ketajaman itu yang menarik perhatian. Dilihat sepintas lalu, dia mirip seorang petani atau mung-kin seorang pemburu karena berjalan seenaknya di tempat yang amat sunyi dan liar itu. Padahal, tempat itu amat berhahaya dan kalau tidak de-ngan rombongan yang bersenjata lengkap, jarang ada orang berani memasuki daerah ini. Akan tetapi, orang muda itu berlenggang seenaknya dan me-mandang ke kanan kiri, kadang-kadang tersenyum sendiri kalau melihat kupu-kupu, atau burung, atau kelinci berkejaran.
Di tempat yang amat sunyi itu, di mana tidak terdapat manusialain kecuali diri sendiri, membuat mata menjadi waspada sekali. Pikiran menjadi hening, tidak terisi berbagai masalah seperti kalau berada di tempat ramai yang penuh orang. pikiran tidak mengada-ada, tidak dipenuhi keinginan-keinginan, karena kosong dan hening inilah maka panca indera bekerja dengan amat baiknya, setiap anggauta tubuh menjadi amat pekanya. Dan da-lam keadaan hening dan waspada ini, maka segala keindahanpun nampak! Biasanya, panca indera kita seperti menjadi tumpul karena dipenuhi oleh keinginan batin yang berupa nafsu sehingga per-hatian hanyalah ditujukan kepada hal-hal yang belum ada yang sedang dikejar atau diinginkan. Akan tetapi, berada di tempat sunyi itu, barulah terasa betapa indahnya segala hal yang ada, betapa bersilirnya angin membawa suara indah melebihi alunan musik yang manapun juga, bahkan gugurnya setangkai daun kering yang menari-nari ke bawah nampak sedemikian indahnya seperti tarian yang menakjubkan. Diri menjadi lenyap, seperti lebur menjadi suatu kenyataan yang ada, bukan lagi boneka yang dipermainkan oleh nafsu dan keinginan.
Pemuda itu amat sederhana, hanya menggendong sebuah buntalan pakaian dan di
pinggangnya terselip sebuah benda kecil yang panjangnya kira-kira tiga kaki, terbungkus oleh sarung dari kain kuning. Bagi orang yang tidak mengenalnya tentu mengira bahwa dia itu hanya seorang petani biasa, atau seorang pemburu dan paling hebat tentu seorang perantau yang biasa melakukan per-jalauan seorang diri dengan bekal sedikit kepan-daian silat untuk mdindungi dirinya. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda ini bu-kan orang sembarangan, melainkan seorang pende-kar yang amat lihai, bahkan yang baru-baru ini memperoleh julukan Pendekar Suling Naga!
Bagi para pembacaKISAH PARA PENDEKAR PULAU ES , pemuda ini pasti dapat
diduga siapa orangnya, karena dia merupakan seorang di antara para to-koh dalam kisah itu.
Pemuda ini adalah Sim Houw. seorang pemuda gemblengan yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari dua aliran yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas). Ilmu yang pertama dia peroleh dari men-diang ayahnya sendiri, yaitu Sim Hong Bu yang mewarisinya dari keluarga isterinya, keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Pe-gunungan Himalaya. Adapun ilmu yang ke dua itu diperolehnya dari pendekar sakti Kam Hong yang pernah menjadi calon mertuanya akan tetapi per-jodohannya dengan puteri gurunya ini gagal karena gadis itu mencinta orang lain.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
44 Ayahnya, pendekar sakti Sim Hong Bu telah gugur dalam pertempuran antara para pendekar yang melawan pasukan tentara pemerintah. Juga ibunya telah tewas sehingga dia hidup sebatang-kara. Memang masih ada keluarga dari pihak ibunya, yaitu keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, akan tetapi karena ayahnya telah bercerai dari ibunya dan terjadi pertentangan antara men-diang ayahnya dan keluarga Cu, dia tidak mau lagi kembali ke lembah itu.
Demikianlah sedikit riwayat pendekar yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga itu. Baru kurang lebih tiga tahun dia diberi julukan itu se-telah beberapa kali dia menghadapi datuk-datuk sesat yang lihai dan terpaksa dia menggunakan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang suling yang dapat dipergunakan sebagai pedang pula. Suling ini terbuat dari kayu yang diukir berbentuk seekor naga dan kayu yang sudah ribuan tahun usianya dan direndam ramuan obat itu menjadi keras se-perti baja, dan selain dapat ditiup sebagai suling yang suaranya merdu, juga dapat dipergunakan sebagai pedang.
Kurang lebih tiga tahun yang lalu, timbul dalam pikiran Sim Houw untuk menjenguk kelu-arga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman. Dia teringat bahwa yang tadinya
bertentangan dengan ayahnya adalah ayah dari ibunya bersama seorang paman, juga ibunya sendiri. Keluarga Cu terdiri dari tiga orang kakak beradik, yang pertama adalah Cu Han Bu, yaitu ayah ibunya, ke dua adalah Cu Seng Bu dan ke tiga adalah Cu Kang Bu. Yang me-nentang ayahnya hanyalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang sekarang telah meninggal dunia, sedang-kan Cu Kang Bu tidak menentang ayahnya. Dan sekarang, yang tinggal di lembah itu hanya tinggal Cu Kang Bu dan isterinya. Teringat akan paman kakeknya ini, seorang pendekar berjuluk Ban-kin-sian yang gagah perkasa, juga isteri pendekar ini seorang wanita bernama Yu Hwi yang memiliki kepandaian tinggi pula, Sim Houw menjadi rindu.
Tidak ada lagi keluarganya di dunia ini kecuali paman kakek Cu Kang Bu itu, maka diapun ber-angkatlah ke Pegunungan Himalaya.
Akan tetapi, ketika pada suatu pagi dia tiba di lembah itu, menyeberangi jembatan tambang yang direntang dari lembah oleh seorang murid keluarga Cu, Sim Houw menjadi terkejut bukan main melihat betapa paman kakek berdua isteri-nya itu berada dalam keadaan luka parah! Cu Kun Tek, putera yang baru berusia dua belas tahun menjaga mereka dengan sikap murung dan berduka.
Lembah Gunung Naga Siluman itu merupakan tempat yang selain amat indah juga
tersembunyi dan tidak mungkin dapat dikunjungi orang kecuali kalau penghuni lembah itu menghendaki. Lembah itu dikurung oleh jurang yang amat curam, dan jalan masuk satu-satunya hanyalah melalui jem-batan tambang yang direntang dari lembah dan selalu dijaga oleh murid-murid penghuni lembah itu. Pada waktu itu, Cu Kang Bu yang hanya mempunyai seorang putera memiliki belasan orang murid, selain untuk menjadi teman puteranya, juga untuk melayani segala keperluan keluarganya dan menjaga kebersihan tempat tinggal mereka.
Murid-murid ini yang melakukan penjagaan jembatan tambang itu. Ketika Sim Houw muncul dan mem-perkenalkan namanya, di antara murid-murid itu ada yang sudah pernah
mengenalnya, maka tam-bang yang tadinya tergantung ke dalam jurang lalu ditarik dan direntang. Sim Houw mempergu-nakan ilmunya untuk menyeberang melalui atas tambang yang besar itu. Kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak memiliki keberanian besar, siapa berani menyeberang melalui jembatan yang terbuat dari sehelai tambang itu" Sekali jatuh, nyawa akan melayang dan tubuh akan hancur le-bur.
Melihat keadaan paman kakeknya suami isteri yang rebah dengan muka pucat, Sim Houw Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
45 terke-jut dan cepat menjatuhkan diri berlutut. Suami yang nampak lemah tubuhnya itu memandang pe-nuh perhatian, lalu terdengar Cu Kang Bu ber-tanya, "Orang muda, siapakah engkau dan ada keperluan apakah engkau mendatangi tempat kami ini?"
Mendengar pertanyaan kakek itu, Sim Houw merasa terharu sekali. "Cek-kong (paman kakek), saya adalah Sim Houw...."
"Sim Houw....?" Isteri kakek itu bangkit duduk dan memandang dengan penuh perhatian.
Juga kakek itu bangkit duduk.
"Engkau Sim Houw putera mendiang Pek In?" tanya kakek yang kini usianya sudah
limapuluh tiga tahun itu.
Disebutnya nama mendiang ibunya, Sim Houw menjadi semakin terharu. "Benar dan saya menghaturkan hormat kepada cek-kong berdua."
Suami isteri yang sedang menderita luka itu nampak gembira sekali. "Kun Tek, lihat, pemuda perkasa ini adalah keponakanmu sendiri, putera tunggal mendiang encimu Cu Pek In! Sim Houw, ini adalah anak tunggal kami, bernama Cu Kun Tek."
Sim Houw memandang kepada anak laki-laki itu. Dia hanya pernah mendengar bahwa suami isteri itu mempunyai seorang anak laki-laki dan baru sekarang dia bertemu dengan anak laki-laki itu, seorang anak laki-laki berusia kurang lebih duabelas tahun yang menjadi pamannya!
Dia me-rasa canggung, akan tetapi Sim Houw segera bangkit berdiri dan menjura kepada anak itu.
"Paman kecil, harap engkau baik-baik saja dan banyak memperoleh kemajuan."
Cu Kun Tek juga sudah banyak mendengar dari ayah bundanya tentang Sim Houw, maka diapun membalas penghormatan itu. "Harap kau tidak terlalu sungkan, karena walaupun aku terhitung pamanmu, akan tetapi aku jauh lebih muda dan banyak mengharapkan petunjuk darimu."
Diam-diam Sim Houw kagum dan dapat melihat bahwa paman cilik ini adalah seorang anak laki-laki yang cerdas dan ada pembawaan yang gagah perkasa seperti paman kakeknya.
"Selama ini engkau ke mana sajakah, anak Houw?" tanya Yu Hwi, isteri Cu Kang Bu itu.
"Saya merantau memperluas pengalaman dan tiba-tiba saya merasa rindu kepada keluarga di sini, juga tempat ini di mana saya dibesarkan, maka hari ini saya datang menghadap. Harap cek-kong berdua sudi memaafkan bahwa baru sekarang saya sempat singgah. Akan tetapi betapa kaget hati saya melihat bahwa cek-kong berdua agaknya dalam keadaan sakit.... kalau tidak salah, menderita luka dalam. Apakah cek-kong berdua berkelahi dengan seorang lawan yang amat lihai?"
Mendengar pertanyaan ini, suami isteri itu sa-ling pandang dan seperti diingatkan akan sesuatu yang membuat mereka penasaran. Cu Kang Bu menarik napas panjang dan
menjawab, "Kalau diceritakan, sungguh membuat orang menjadi jengkel dan penasaran sekali. Seperti kauketahui, Sim Houw, keluarga Cu selalu menjauhkan diri dari keributan, bahkan menempati lembah yang terpencil dan terasing ini, karena tidak ingin terlibat dalam Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
46 permusuhan. Akan tetapi, kalau memang perkelahian akan terjadi, ke manapun kita bersembunyi, ada saja yang datang mencari per-kara. Dan sekali ini yang datang mencari keributan adalah seorang kakek tua renta yang gila...."
Sim Houw terkejut dan merasa heran sekali. Seorang kakek tua renta yang gila" Dan seorang kakek gila demikian lihainya sehingga cek-kong-nya yang lihai ini, bersama isterinya yang juga amat lihai, kalah dan menderita luka dalam "Cek-kong, apakah yang telah terjadi?"
Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang. "Dua pekan yang lalu, pada suatu siang muncul seorang kakek di seberang jurang dan dia berteriak dengan mempergunakan khi-kang, minta bertemu denganku. Karena maklum bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian tinggi maka aku menyuruh para murid merentangkan jembatan tambang. Ka-kek itu
menyeberang dan ternyata dia sudah sa-ngat tua, dan dia datang mengajukan usul yang aneh."
"Bagaimana usulnya itu?" Sim Houw bertanya dengan hati tertarik sekali melihat Cu Kang Bu menghentikan ceritanya.
"Ahh, sungguh aneh dan memalukan. Dia me-ngatakan bahwa dia memiliki sebuah benda pusaka yang akan diwariskan kepada seorang pendekar yang mampu mengalahkannya.
Karena dia bertapa di Pegunungan Himalaya dan dia mendengar bah-wa di lembah ini tinggal pendekar-pendekar sakti, dia lalu datang untuk minta dikalahkan agar dia dapat mewariskan pusaka itu kepada kami. Tentu saja aku yang tidak butuh pusakanya, menolak.
Akan tetapi dia malah marah-marah dan mengatakan bahwa kalau aku tidak mau
melayaninya, dia akan membunuh aku dan seluruh penghuni lembah ini...."
"Gila...." Sim Houw berseru heran dan penasaran. Mana di dunia ini ada aturan seperti itu"


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hendak mewariskan pusaka saja dengan sya-rat harus mengalahkannya, dan kalau orang tidak mau menyambut usulnya yang aneh itu, akan dibasmi seluruh keluarganya!
"Memang, agaknya dia telah gila, akan tetapi dia lihai bukan main." Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Karena ancamannya yang gila itu, tentu saja aku menjadi marah dan akhirnya kami bertanding, bukan untuk memenuhi permintaannya, melainkan untuk menentang niatnya yang hendak membasmi kami itu. Akan tetapi, biarpun isteriku telah membantuku, tetap saja setelah lewat seratus jurus, kami berdua terkena pukulannya yang ampuh dan terluka. Akan tetapi dia tidak membunuh kami, hanya
mengata-kan bahwa setelah kami sembuh, dia akan datang lagi, karena dia menganggap bahwa aku cukup pantas menerima warisan dan dia minta agar aku berlatih dan memperkuat diri agar lain kali aku dapat mengalahkannya. Kemudian dia pergi."
"Orang itu agaknya memang gila dan dia bisa berbahaya sekali, kata Yu Hwi. Bayangkan saja, cek-kongmu ini sudah mempergunakan cambuknya, dan akupun sudah melawan mati-matian. Kami hanya mampu mengimbangi saja tanpa mampu mengatasinya sehingga
akhirnya kami ter-luka."
"Siapakah nama kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?" Sim Houw yang merasa amat tertarik dan penasaran bertanya.
"Dia belum sempat memperkenalkan diri dan kamipnn tidak tahu di mana dia tinggal," jawab Cu Kang Bu. "Kami memang tidak tertarik sama sekali untuk berkenalan dengan orang gila Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
47 itu, apa lagi mewarisi pusakanya."
Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara melengking tinggi yang terdengar dekat sekali, seolah-olah suara itu keluar dari mulut seorang yang berada di dalam gedung atau ruangan di mana mereka duduk bercakap-cakap. Lengkingan suara itu disusul kata-kata yang lembut,
"Orang she Cu, rentangkan jembatan tambang, aku da-tang berkunjung!"
"Nah, itu dia orang gila itu datang lagi!" Cu Kang Bu berkata dan dia bersama isterinya nampak pucat. Cu Kun Tek yang masih kecil itu bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. Anak ini kelihatan marah sekali.
"Ayah dan ibu, kalau dia datang lagi, biarlah kita lawan mati-matian. Bukankah di sini ada Sim Houw yang pernah ayah ceritakan sebagai seorang yang amat lihai" Tentu dia akan membantu kita, bukankah demikian, Sim Houw?"
Sim Houw memandang kagum dan tersenyum, lalu mengangguk. "Tentu saja, paman kecil."
Sementara itu, tiga orang murid datang menghadap dengan muka pucat dan jelas nampak be-tapa mereka ini cemas sekali. "Suhu, kakek gila itu datang lagi...." kata mereka.
"Ada tamu datang, rentangkan jembatan, biarkan dia ke sini," kata Cu Kang Bu dengan sikap gagah. Dia maklum bahwa selagi dalam keadaan sehat dan segar saja, dia dan isterinya yang maju mengeroyok kakek itu tidak menang bahkan terluka parah, apa lagi sekarang dalam keadaan masih belum sembuh benar. Maju melawan kakek itu berarti mengundang kematian.
Akan tetapi kalau perlu dia tidak takut mati. Lebih baik mati melawan dari pada memperlihatkan rasa ta-kut dan tidak berani merentangkan jembatan.
"Suhu, biar teecu rentangkan jembatan dan ka-lau Si kakek gila itu sudah menyeberang sampai di tengah-tengah, teecu lepaskan tambang agar dia mampus terbanting ke dalam jurang," kata seo-rang murid yang tinggi besar.
"Brakkkk!" Cu Kang Bu menggebrak dipan-nya dengan mata melotot. "Pengecut! Hayo kau masuk ke dalam Ruangan Bertobat, tiga hari tiga malam tidak boleh keluar mempelajari sikapmu yang pengecut itu sampai dapat kauhapus sama sekali dari batinmu!"
Murid tinggi besar itu berlutut dengan muka pucat, mengangguk-angguk. "Baik, teecu mene-rima perintah dan hukuman." Lalu dengan tubuh lemas dia mengundurkan diri untuk memasuki sebuah ruangan di bawah tanah yang diperguna-khn untuk menghukum murid-murid yang bersa-lah. Di tempat ini dia terpaksa harus bertapa selama tiga hari tiga malam untuk menebus kesa-lahannya karena tadi dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya pengecut dan curang.
"Rentangkan jembatan dan biarkan dia menye-berang!" katanya kepada dua orang murid lain yang cepat mengangguk dan pergi. Kemudian pendekar itu berkata kepada isterinya dan puteranya. "Kalian jangan turut campur. Biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya dan kalau perlu mengadu nyawa dengannya."
"Akan tetapi engkaupun masih belum sembuh!" seru isterinya dengan khawatir.
Sim Houw cepat maju berkata, "Cek-kong berdua harap tenangkan hati. Saya kira, dengan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
48 bujukan yang halus dan dapat diterima, kiranya dia dapat disadarkan dan dapat disuruh pergi tanpa kekerasan. Saya tidak sakit, maka biarlah saya mewakili cek-kong berdua karena bagaimanapun juga, saya adalah anggauta keluarga di lembah ini."
Cu Kang Bu mengangguk. "Akan tetapi, engkau harus berhati-hati benar, Sim Houw. Dia me-miliki ilmu yang luar biasa anehnya."
Saya mengerti, cek-kong. Orang yang mampu mengalahkan cek-kong berdua tentu seorang sak-ti." Setelah berkata demikian, Sim Houw melang-kah keluar, diikuti oleh Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan juga Cu Kun Tek.
Ketika mereka tiba di luar gedung, tak lama kemudian nampak bayangan berkelebat cepat, datang dari depan dan diam-diam Sim Houw terkejut bukan main karena bayangan itu sungguh memiliki gin-kang yang luar biasa sehingga tubuh itu seolah-olah terbang saja ketika berlari ke arah mereka. Segera nampak seorang kakek berdiri di depan mereka.
Kakek itu memang nampak sudah tua sekali, sukar menaksir berapa usianya, akan tetapi tentu mendekati seratus tahun. Rambut di kepalanya tinggal sedikit, tipis panjang dan tak terpelihara membuat kepala itu nampak kecil. Tubuhnya ku-rus dan saking kurusnya, nampak tulang terbungkus kulit belaka. Matanya sipit hampir terpejam, mulutnya kempot dan kedua pipinya cekung ke dalam. Akan tetapi yang luar biasa adalah kulit mukanya, Kulit muka itu putih, bukan pucat melainkan putih seperti dibedaki tebal saja. Jubahnya hitam lebar dan panjang, celananya berwarna kuning.
Begitu berhadapan dengan mereka, mata yang sipit itu menujukan pandangannya ke arah Cu Kang Bu dan isterinya, lalu terdengar kakek itu berkata dengan nada suara penuh sesal, "Aih, ka-lian belum sembuh! Itulah akibatnya kalau tinggi hati, kuberi obat tidak mau. Sekarang, jangankan mengalahkan aku, baru menandingi seratus jurus seperti tempo hari saja kalian akan mati, dan siapa lagi yang dapat kuharapkan mengalahkan aku dan mewarisi pusakaku"
Aihhh.... aku tidak mau pusakaku terjatuh ke tangan mereka, aku tidak mau biar mereka itu murid-murid keponakanku sendiri, aku tdak mau...." Dan suara kakek itu berobah seperti suara orang menangis!
Sim Houw melangkah maju menghadapi kakek itu sambil menjura dengan sikap hormat dan suaranya terdengar halus namun tegas, "Locianpwe, kami para penghuni Lembah Naga Siluman tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga, tidak pernah mencampuri urusan orang lain, harap lo-cianpwe suka mundur dan meninggalkan tempat kami tanpa mengganggu kami lagi. Kalau locian-pwe memaksa, terpaksa sayalah yang akan meng-hadapi dan melawan locianpwe!"
Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dan kini mata yang sipit sekali itu ditujukan kepada Sim Houw, memandang dari atas ke bawah. "Heh-heh, kau gagah juga....! Apakah kau murid mereka?" Jari telunjuknya yang kurus panjang itu menunjuk ke arah Cu Kang Bu dan isterinya.
"Bukan, locianpwe. Saya adalah cucu keponakan mereka yang kebetulan datang
berkun-jung." "Uuh-huh-huh, murid juga bukan, malah hanya cucu keponakan! Dan kau bilang bahwa kau akan melawan aku" Heh-heh-heh, bocah, engkau sombong benar!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
49 "Locianpwe yang sombong, seolah-olah locianpwe pandai mengukur tingginya langit dalam-nya lautan. Akan tetapi, tidak ada pertandingan dilakukan tanpa sebab, apa lagi tanpa saling mengenal. Nama saya adalah Sim Houw, dan sudah jelas bahwa saya mewakili cek-kong saya berdua isterinya, mewakili keluarga dan penghuni Lembah Naga Siluman untuk menandingi locianpwe, Se-baliknya, siapakah locianpwe dan mengapa locian-pwe datang mengacau di lembah kami?"
Kakek kurus kering itu terkekeh. "Heh-heh-heh, kau bocah kemarin sore tapi omonganmu berisi! Agaknya dirimu berisi kepandaian pula. Dengarlah, aku disebut orang Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih), seorang pertapa di puncak bukit sebelah utara yang nampak dari sini itu." Dia menuding ke arah sebuah puncak bukit yang nampak samar-samar dari lembah itu, terhalang kabut mengawan. "Aku sudah tua, sudah mau mati, akan tetapi aku takkan dapat mati dengan mata terpejam sebelum pusaka yang berada padaku kuserahkan kepada orang yang pantas memilikinya. Dan yang pantas memilikinya hanyalah seorang pendekar yang mampu menandingiku. Kalau aku tidak menemukan orang itu, pusaka itu tentu akan terjatuh ke tangan tiga orang murid keponakanku yang seperti setan, dan aku tidak rela, sungguh tidak rela! Karena itulah aku datang ke sini karena aku mendengar bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar yang sakti. Akan tetapi ternyata kepandaian mereka hanya begitu saja, sunnguh mengecewakan hatiku."
"Locianpwe, mengapa bersusah payah mene-tapkan syarat begitu aneh dan berat" Kalau me-mang locianpwe tidak rela memberikan pusaka kepada orang lain, perlu apa mencari-cari"
Ke-pandaian locianpwe begitu tinggi, siapa yang akan sanggup mengalahkannya" Dan kalau memang locianpwe berhasrat mewariskan pusaka itu ke-pada orang lain, berikan saja kepada siapa yang locianpwe sukai, tidak perlu dengan syarat yang aneh-aneh. Pula, kami keluarga Lembah Naga Siluman juga tidak kepingin memperoleh pusaka apapun juga."
Kakek itu menghela napas panjang. "Orang muda, enak saja kau bicara. Kalau aku
memberi-kan kepada sembarang orang, berarti menyuruh dia mampus dan pusaka itu
akhirnya akan teram-pas pula oleh tiga orang murid keponakanku. Me-ngertikah kau" Aku sudah menjatuhkan pilihanku kepada penghuni lembah ini, kalau tidak ada yang mampu mengalahkan aku, berarti mengecewakan hatiku dan karenanya akan kubunuh semua!"
Sim Houw menjadi marah. "Hemm, watak lo-cianpwe begini aneh dan jahat, pantas murid keponakan locianpwe juga jahat seperti setan. Nah, biarlah saya mewakili keluarga Cu untuk mengha-dapi locianpwe!" Sambil berkata demikian, karena maklum bahwa lawannya yang sudah mengalahkan cek-kongnya bersama isterinya tentu amat sakti, dia sudah mencabut keluar sebatang suling dari balik jubahnya. Begitu suling d cabut, nampak sinar emas berkelebat dibarengi suara melengking dari suling itu seolah-olah ditiup. Melihat dan mendengar ini, kakek itu terbelalak.
"Ihhh...." Itu.... itu senjatamu" Sebatang suling emas?" tanyanya kaget dan me-mandang ke arah sebatang suling terbuat dari pada emas yang berada di tangan pemuda itu. Memang suling ini sebuah suling emas, pemberian pende-kar sakti Kam Hong, sebatang suling yang meru-pakan duplikat dari suling emas di tangan pende-kar itu, yang dipergunakan oleh Sim Houw untuk berlatih ketika digembleng oleh bekas calon mer-tuanya itu.
"Aneh....!" Kakek itu berkata, matanya yang sipit itu agak terbelalak lebar dan mulutnya tersenyum, wajahnya yang tadinya keruh nampak berseri penuh harapan. "Lihat seranganku!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
50 Tiba-tiba kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya dan Sim Hoaw merasa betapa ada angin yang amat kuat menyambar ke arahnya dari kanan kiri. Kakek itu telah menyerang dengan pukulan-pukulan yang ampuh, aneh datangnya, melengkung dari kanan kiri dan dari angin se-rangan itu saja dapat diketahui bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang amat kuat!
Akan tetapi, yang diserang oleh Pek-bin Lo-sian adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah matang kepandaiannya. Pemuda inilah me-rupakan satu-satunya orang yang telah mewarisi dua ilmu kesaktian yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Koai-liong Kiam-sut dari keluarga Cu dan juga Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dari pendekar Kam Hong! Kini dua ilmu itu telah mendarah daging pada dirinya. Hanya ada satu orang lagi yang pandai menggabung kedua ilmu itu, ia adalah Kam Bi Eng, bekas tunangannya, puteri tunggal pendekar sakti Kam Hong yang kini menjadi isteri dari Suma Ceng Liong, cucu dari majikan Pulau Es. Memang terdapat perbedaan antara kepandaian yang dikuasai Sim Houw dan yang dikuasai Kam Bi Eng. Sim Houw, mengga-bungkan kedua ilmu itu dengan dasar Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang dipelajarinya pertama kali dari ayahnya, sebaliknya Bi Eng mendasari peng-gabungan itu dengan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisi dari ayahnya. Ketika mereka dipertunangkan, Sim Houw digembleng oleh Kam Hong, lekas calon mertuanya, sebaliknya Bi Eng digembleng oleh Sim Hong Bu, ayah Sim Houw. Kedua-nya kini telah menguasai penggabungan kedua ilmu itu, akan tetapi sayang, karena tidak adanya cinta kasih kedua pihak, maka pertunangan itu putus dan mereka tidak menjadi suami isteri.
Menghadapi serangan aneh dari Pek-bin Lo--sian, dengan tenang akan tetapi dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan, Sim Houw memutar sulingnya kekanan kiri dan ujung sulingnya itu mengancam kedua lengan lawan dengan totokan-totokan maut ke arah
pergelangan tangan. Kalau dilanjutkan serangan kakek itu, sebelum ke-dua tangannya menyentuh tubuh lawan, maka lebih dulu kedua pergelangan tangannya akan tertotok suling emas!
"Ohh....!" Dia terkejut, akan tetapi juga girang. Tadi dia sengaja mengeluarkan jurus se-rangannya yang ampuh untuk menguji kepandaian pemuda aneh yang bersenjata suling emas itu, dan kini ternyata pemuda itu tidak hanya mampu membuyarkan serangannya, bahkan berbalik mengancam kedua lengannya! Dia cepat menarik kembali kedua tangan itu dan mulailah kakek itu berloncatan dan bergerak cepat, melakukan se-rangan bertubi-tubi kepada Sim Houw.
Sim Houw juga tidak mau berlaku sungkan lagi. Suling emasnya bergerak semakin cepat mengha-dang setiap serangan sehingga kini kakek itu yang berbalik terserang olehnya.
Beberapa kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Suling itu berobah menjadi sinar keemasan bergulung-gulung disertai suara melengking-lengking seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang. Hal ini membuat Pek-bin Lo-sian kagum bukan main. Pernah dia mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, dan sekarang dia merasa seolah-olah
berhadapan de-ngan pendekar yang pernah terkenal di seluruh dunia persilatan itu! Dia tidak tahu bahwa me-mang yang dihadapinya adalah murid dari Pende-kar Suling Emas Kam Hong.
Belum sampai limapuluh jurus, kakek itu sudah terdesak oleh gulungan sinar yang melengking-lengking itu.
Cu Kang Bu dan isterinya yang nonton pertan-dingan itu, menjadi kagum bukan main. Tak me-reka sangka bahwa putera mendiang Sim Hong Bu dan Cu Pek In kini telah menjadi Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
51 seorang pen-dekar yang demikian hebat ilmu silatnya.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan nampak sinar hitam berkelebat, dan tahu-tahu dia telah memegang sebuah pe-dang yang aneh sekali Senjata itu disebut pedang, karena dipegang dan dimainkan seperti orang memainkan pedang, akan tetapi bentuknya adalah seekor naga yang merupakan ukiran indah sekali dan warnanya hitam pekat, akan tetapi tubuh pedang berbentuk naga itu terdapat lubang-lubang seperti pada sebuah suling! Dan ketika kakek itu menggerakkan senjata aneh ini, nampak sinar hitam berkelebat dan terdengar pula suara melengking kacau, sama sekali berbeda dengan lengking suara yang keluar dari suling emas di tangan Sim Houw yang terdengar merdu seperti melagu.
"Cringgg....!" Nampak bunga api berpijar ketika senjata aneh itu bertemu suling emas dan Sim Houw merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Akan tetapi pemuda ini tidak menjadi gentar. Cepat dia memindahkan suling emas di tangan kiri dan begitu tangan ka-nannya bergerak ke bawah jubahnya, nampak sinar berkilat menyeramkan, sinar biru yang menyilau-kan mata dan mendengar suara mengaum seperti seekor singa.
Itulah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) peninggalan ayahnya! Dan kini dia menggerakkan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri. Bukan main hebatnya karena pedangnya itu memainkan jurus-jurus ampuh dari Koai-liong Kiam-sut sedangkan su-ling emasnya memainkan jurus-jurus pilihan dari Kim-siauw Kiam-sut! Menghadapi gabungan dua ilmu yang sakti dan ampuh ini, si kakek kem-bali mengeluarkan suara terkejut bukan main dan dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak hebat.
Kini kakek itu benar-benar kagum bukan main, berkali-kali mengeluarkan seruan memuji, akan tetapi diapun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan pemuda yang amat menarik perhatiannya itu. Dan memang ilmu silat kakek ini aneh sekali.
Beberapa kali hampir saja Sim Houw tertipu dan terpancing, akan tetapi berkat keampuhan dua ilmu silat yang digabung itu, serangan-serangan kakek itu selalu gagal. Sim Houw diam-diam merasa bingung juga. Dia tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan kakek ini, maka tadinya dia hanya ingin menandingi dan kalau mungkin mengalahkan tanpa melukai kakek itu. Akan tetapi, kini ternyata bahwa ilmu kepandaian kakek ini benar-benar hebat sehingga tidak mungkin kiranya tanpa melukai. Bahkan kalau dia terlalu mengalah, jangan-jangan dia sendiri yang akan roboh akhirnya! Maka, terpaksa diapun lalu mengeluarkan jurus-jurus terampuh yang digabung sehingga keadaan kakek itu benar-benar terkurung oleh sinar keemasan dan sinar biru yang dahsyat. Tiba-tiba sinar biru menyambar dahsyat menyambut pedang naga hitam itu, didukung te-naga sin-kang yang amat kuat.
"Krekkk....!" Kini patahlah senjata ampuh kakek itu, terbabat Koai-liong Po-kiam yang ampuh dan pada saat itu juga, suling di tangan kiri pemuda itu sudah menotok ke arah tenggo-rokan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.
"Ahhh....!" Kakek itu terkejut melihat senjatanya patahs sehingga kurang waspada dan tahu-tahu ujung suling sudah meluncur ke arah tenggorokannya. Melihat ini, Sim Houw yang tidak ingin membunuh, cepat mengurangi tenaga pada totokannya. Hanya itulah yang mampu dilakukan, karena menarik kembali tidaklah mungkin melihat kedudukannya, karena tangan kiri kakek itu dapat saja melakukan pukulan kalau ia menarik kembali totokan sulingnya.
Kakek itupun biar terlambat masih dapat membuang tubuh ke samping.
"Tukk....!" Tetap saja ujung suling masih menotok pundak kirinya dan kakek itu mengeluh, lalu terpelanting! Bukan main girang kagumnya rasa hati Cu Kang Bu dan isterinya melihat Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
52 betapa akhirnya cucu keponakan merekaitu berhasil mengalahkan kakek gila yang amat lihai itu.
"Aihh, locianpwe, maafkan saya....!" Sim Houw terkejut dan menyesal, menyimpan sepasang senjatanya dan menjura.
"Sudahlah, aku kalah...." kakek itu mengeluh dan bangkit berdiri, napasnya terengah-engah dan dia menekan pundak kirinya. Jelas bahwa totokan itu telah mendatangkan luka di dalam dadanya. Sampai beberapa lamanya kakek itu menatap wajah Sim Houw, kemudian dia mengangguk-angguk.
"Ah, takkusangka bahwa akhirnya Suling Naga bertemu dengan majikannya. Orang muda, engkaulah orangnya yang patut sekali memiliki Liong-siauw-kiam. Engkau memiliki dua ilmu dengan pedang dan suling, dan kalau engkau mempergunakan Liong-siauw-kiam, berarti engkau dapat memainkannya dengan dua ilmu itu. Engkau telah mengalahkan aku, pusaka itu akan kuserahkan kepadamu."
"Hemmm, kakek jahat. Pusakamu itu telah patah dua, untuk apa diberikan kepada cucu keponakan kami?" Yu Hwi mencela sambil menuding ke arah senjata hitam yang patah terbabat pedang Koai-liong-po-kiam tadi.
Kakek itu tertawa, akan tetapi tiba-tiba menahan ketawanya dan menyeringai kesakitan.
"Locianpwe, engkau telah terluka. Marilah kubantu meringankan penderitaanmu," kata Sim Houw sambil melangkah maju. Akan tetai kakek itu mundur ke belakang.
"Jangan! Aku sudah terluka dan itu adalah resiko pertandingan. Kalau engkau yang kalah, engkau bukan hanya terluka melainkan mampus, orang muda! Dan siapa bilang bahwa pusaka itu benda yang patah itu" Heh-heh, kaukira aku begitu bodoh membawanya ke mana saja"
Memang sama bentuknya, akan tetapi yang ini adalah buatanku sendiri, yang palsu. Yang aseli mana mungkin dapat dipatahkan, dengan senjata pusaka yang bagaimana ampuhpun juga" Mari, orang muda, engkau berhak memiliki Liong-siauw-kiam. Mari kau ikut denganku mengambilnya di tempat persembunyianku."
Sim Houw percaya sepenuhnya kepada kakek aneh yang amat lihai itu, maka diapun
mengangguk dan menjawab, "Baiklah, locianpwe."
"Sim Houw, jangan mudah percaya omongannya!" Tiba-tiba Yu Hwi berseru. "Orang
macam dia ini mana bisa dipercaya" Jangan-jangan engkau dipancing untuk memasuki perangkap!
Kakek itu memandang kepada Yu Hwi dan mengangguk-angguk sambil tersenyum aneh.
"Nyonya ini memiliki kecerdikan yang boleh juga, heh-heh. Terserah kepadamu, orang muda, apakah engkau berani atau tidak ikut bersamaku. Kalau tidak, sungguh aku akan mati dengan mata terbuka karena kecewa dan penasaran."
"Biarlah, cek-kong berdua harap jangan khawatir. Saya dapat menjaga diri," kata Sim Houw dan diapun lalu mengikuti kakek itu yang sudah membalikkan tubuh dan pergi sambil tertawa mengejek. Cu Kang Bu dan isterinya mengikutinya dengan pandang mata khawatir, akan tetapi Cu Kun Tek berkata dengan kagum.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
53 "Hebat sekali Sim Houw itu. Kalau aku menjadi dia, akupun akan pergi mengambil pusaka yang dijanjikan kakek itu."
Dua orang itu lalu menyeberangi tambang dan dengan cepat sekali kakek yang mengaku bernama Pek-bin Lo-sian itu lalu berlari seperti terbang. Agaknya dia masih ingin menguji kepandaian Sim Houw. Akan tetapi, setelah berlari secepatnya dan napasnya mulai memburu dia menoleh ke belakang, dia melihat betapa pemuda itu berada tepat di belakangnya, sedikitpun tidak tertinggal, bahkan tidak nampak letih seperti orang berjalan seenaknya saja.
Kakek itu kagum sekali dan menahan larinya, menjadi langkah biasa untuk mengatur pernapasannya. Wajahnya menjadi semakin pucat.
"Locianpwe, mengapa tergesa-gesa" Tidak baik untuk kesehatan locianpwe yang menderita luka." Sim Houw berkata dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa pengerahan tenaga gin-kang tadi memang amat berbahaya bagi kakek yang sudah menderita luka di dalam tubuhnya.
"Marilah, kita sudah dekat....!" kata kakek itu dengan napas terengah-engah dan dia mendaki bukit itu. Dan karena luka yang diderita oleh Pek-bin Lo-sian semakin parah, kini kakek itu hampir tidak kuat mendaki bukit itu.
Melihat ini, Sim Houw berkata, "Locianpwe terluka, marilah saya membantu locianpwe untuk meringankan penderitaan itu." Pemuda ini bermaksud untuk mengobatinya dengan pengerahan sin-kangnya. Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala.
"Tidak ada gunanya, hanya menghilangkan nyeri sebentar akan tetapi tidak akan mampu menyembuhkan."
Sim Houw juga maklum akan hal ini dan dia merasa menyesal sekali. "Maafkan saya, locianpwe. Bukan maksud saya untuk.... akan tetapi saya terdesak dan terpaksa...."
"Sudahlah, begini lebih baik. Roboh di tangan seorang pemuda seperti engkau tidak membikin hatiku penasaran. Kalau kau mau.... kau gendong saja aku sampai ke puncak, aku khawatir akan putus nyawaku sebelum berhasil menyerah-kan pusaka itu.
Sim Houw tidak ragu-ragu lagi lalu menggen-dong kakek itu di belakang punggungnya. Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba kakek yang tadinya nampak loyo itu menggerakkan ta-ngan mencengkeram ke arah tengkuk Sim Houw.
"Tolol kau! Mencari mampus sendiri!" Akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan kaget karena tengkuk yang dicengkeramnya itu lemas seperti tidak berotot atau bertulang sehingga cengkeramannya meleset dan tenaga yang dipergunakannya seperti tenggelam ke dalam air saja. Tahulah dia bahwa pemuda itu tidak setolol se-perti yang disangkanya karena diam-diam pemuda- itu telah siap melindungi dirinya dengan ilmu I-kiong-hoan-hiat, yaitu Ilmu Memindahkan Jalan Darah yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Dan sebelum dia sempat melakukan hal lain lagi, tahu-tahu tubuhnya sudah tak dapat dige-rakkan karena pemuda itu telah menotoknya dan membuat kaki tangannya lumpuh! Diam-diam dia kagum dan girang sekali.
"Bagus! Baru yakin hatiku bahwa engkau memang paling pantas menjadi pemilik Liong-Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
54 siauw-kiam, karena selain lihai engkaupun cerdik sekali." Dia lalu menunjukkan jalan bagi Sim Houw yang tidak menjawab melainkan berlari dengan cepat mendaki bukit itu sambil menggendong tubuh kakek yang sudah tidak mampu bergerak lagi itu.
Setelah kakek itu menyuruhnya berhenti di depan sebuah guha besar, baru Sim Houw me-nurunkan tubuh kakek itu dari gendongan dan membebaskan totokannya sehingga kakek itu mam-pu bergerak lagi. "Maafkan saya yang terpaksa menotokmu, locianpwe," katanya dengan sikap tetap menghormat.
Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengangguk-angguk. "Kalau engkau tidak cerdik dan tidak me-lindungi tubuhmu, tentu cengkeramanku akan mematikanmu. Dan memang lebih baik engkau mati kalau tidak mampu melindungi diri dari ke curangan seperti itu. Musuh-musuhmu yang akan kauhadapi puluhan kali lebih curang dari pada yang kulakukan tadi. Tadi aku memang mengujimu. Kalau kau gagal, kau mampus, dan karena kau lulus, maka aku merasa lebih yakin kau akan mampu mempertahankan Liong-siauw-kiam." Tiba-tiba kakek itu batuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya.
"Locianpwe, harap kau beristirahat....!" kata Sim Houw dengan kaget karena muntah da-rah itu menunjukkan bahwa luka yang diderita kakek itu sudah amat berat.
"Heh-heh-heh....!" Pek-bin Lo-sian mengusap darah dari bibirnya sehingga ujung lengan bajunya menjadi merah semua. "Kau.... kau tunggu.... akan kuambil pusaka itu...." Dan terhuyung-huyung dia memasuki guha yang lebar dan dalam itu. Sim Houw menanti di luar dengan hati tegang. Hatinya tidak merasa gembira. Tanpa sebab, tanpa permusuhan apapun dia telah menyebabkan seorang kakek yang memiliki kesak-tian luar biasa menderita luka parah, luka yang dia tahu akan membawa maut bagi kakek itu. Dan sesungguhnya dia sama sekali tidak menginginkan pusaka orang, walaupan sikap dan kata-kata kakek itu tentang pusaka yang disebut Liong-siauw-kiam menarik perhatiannya.
Tiba-tiba dia melihat kakek itu keluar lagi, dan jalannya semakin terhuyung-huyung, bahkan ketika tiba di depan guha, kakek itu terguling ro-boh dan kembali muntahkan darah segar.
"Locianpwe....!" Sim Houw meloncat dan berlutut dekat kakek itu.
Akan tetapi kakek itu sudah bangkit duduk bersila, mengusap darah dari bibirnya dan dia mengangkat tinggi sebuah benda hitam yang ter-nyata sama benar bentuknya dengan senjata kakek itu yang pernah patah oleh pedang Koai-liong Po-kiam.
"Inilah Liong-siauw-kiam, pusaka ampuh itu yang akan kuserahkan kepadamu, Sim Houw."
Pemuda itu memandang dengan sinar mata ragu. Benda itu serupa benar dengan senjata ka-kek tadi, dan tentu saja dia meragukan keampuh-annya. Hanya sebuah benda sepanjang kurang lebih tiga kaki, terbuat dari kayu hitam yang diukir membentuk seekor naga, dengan ekor meruncing dan tepinya tajam seperti pedang, di tengahnya yang tebal terdapat lubang-lubang seperti suling. Sebatang Pedang Suling Naga" Kalau hanya terbuat dari kayu, mana dapat menjadi senjata yang ampuh" Mana mungkin dapat dibandingkan de-ngan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam"
Agaknya Pek-bin Lo-sian dapat menduga apa yang diragukan pemuda itu. "Sim Houw, coba keluarkan pedangmu dan kaubabatlah pusaka ini untuk membuktikan bahwa pusaka ini tidak Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
55 kalah dibandingkan dengan pedangmu itu."
Wajah Sim Houw berobah agak merah karena isi pikirannya ternyata dapat ditebak dengan tepat oleh kakek itu. Dia lalu mengeluarkan Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar biru berkele-bat menyeramkan. Pek-bin Lo-sian sendiri memandang kagum dan mengangguk-angguk. "Pedang itu memang hebat, akan tetapi cobalah diadu dengan pusaka ini." Dia lalu mengacung-kan Liong-Siauw-kiam itu dan memegang dengan kedua tangannya. "Babatlah dan pergunakan te-nagamu. Aku sendiri ingin menguji keampuhan pusaka ini!"
Sim Houw lalu bangkit berdiri, mengerahkan tenaganya dan mengayun pedangnya. Sinar biru berkelebat dan pedang itu membacok Suling Naga itu dengan kuatnya karena didasari tenaga sin-kang.
"Cringggg....!" Bunga api berpijar keras dan Sim Houw merasa betapa pedangnya bertemu dengan benda seperti baja kerasnya sehingga pe-dangnya membalik. Akan tetapi karena tenaganya amat besar dan kakek itu sudah lemah, hampir saja pusaka itu terlepas dari kedua tangannya. Sim Houw memandang dan ternyata benda itu sama sekali tidak rusak, lecetpun tidak! Tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Jangankan hanya kayu, biar baja sekalipun, kalau bukan baja ter-baik, tentu akan patah terbabat Koai-liong Po--kiam. Akan tetapi suling atau pedang kayu hitam itu sama sekali tidak rusak.
"Heh-heh-heh....!" Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengulurkan tangannya. "Nih, terimalah Liong-siauw-kiam, mulai saat ini menjadi milikmu, Sim Houw."
Sim Houw menerima benda itu. "Terima kasih, locianpwe...." Dan ketika menerima pedang dia menyentuh jari-jari tangan kakek itu, dia menjadi terkejut bukan main karena jari-jari ta-ngan itu terasa amat panas seperti api! "Ah, kau.... kenapa locianpwe?"
Kakek itu tidak menjawab dan kembali mun-tah-muntah darah. Wajahnya pucat bukan main dan ketika Sim Houw hendak menolongnya, dia menolak dengan tangannya. "Tak perlu ditolong lagi. Kau pergilah, bawalah pusaka yang memanjadi milikmu itu, pertahankan dengan nyawamu, dan berhati-hatilah. Ada tiga orang murid keponakanku yang amat lihai mengincar pusaka itu.... kau.... kau harus dapat melawan mereka...."
"Siapakah mereka, locianpwe?"
"Sam-kwi.... mereka.... ah, sudahlah, pergilah dan tinggalkan aku sendiri." Pek-bin Lo-sian menggerakkan tangannya mengusir Sim Houw. Terpaksa pemuda itu menjura dan
mengucapkan terima kasih sekali lagi, baru dia pergi dengan berlari cepat sekali turun dari bukit itu sambil membawa Liong-siauw-kiam. Dia adalah seorang pemuda yang berhati-hati sekali karena telah lama merantau di dunia kang-ouw, di mana terdapat banyak sekali kaum sesat yang licik dan curang. Dia dapat menduga bahwa melihat sikap dan perbuatannya, Pek-bin Lo-sian tentulah se-orang datuk sesat pula yang mengasingkan diri, maka tadipun dia tidak sampai kena diserang secara menggelap karena dia sudah siap siaga. Kini- pun dia belum mau menelan begitu saja semua keterangan kakek itu dan dia masih memegang pusaka itu dengan hati-hati. Dia sudah memper-gunakan kepandaiannya untuk meneliti apakah benda itu dilumuri racun dan setelah mendapat kenyataan bahwa benda itu bersih dari racun, dia tetap masih memegangnya dengan hati-hati, khawatir kalau-kalau di situ tersembunyi senjata rahasia yang akan membahayakan dirinya.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
56 Setelah menuruni bukit itu, barulah Sim Houw memeriksa pusaka yang baru saja diterimanya dari Pek-bin Lo-sian. Dia memeriksa dengan teliti dan merasa kagum sekali. Benda itu benar-benar ter-buat dari pada kayu, akan tatapi kayu hitam itu luar biasa keras dan kuatnya, tidak kalah dengan baja aseli! Dan ukirannya demikian indah dan halus. Ketika dia memegang bagian kepala yang menjadi gagang dan mencoba untuk memainkannya, dia terkejut sendiri dan jaga girang. Benda itu enak benar dimainkan sebagai pedang, dengan bobot yang tepat dan ketika dia mencoba satu dua jurus, benda itu mengeluarkan suara merdu, tidak kalah oleh suling emasnya! Lalu dia mencoba untuk meniupnya, ternyata benda itu merupakan sebuah suling yang suaranya amat merdu!
Dengan hati girang luar biasa Sim Houw lalu kembali ke Lembah Naga Siluman. /*Setelah dia menyeberang dan bertemu dengan Cu Kang Bu dan isterinya, dia menceritakan
pengalamannya dan memperlihatkan pusaka itu. Suami isteri itu kagum bukan main dan juga merasa amat gembira.
"Ah, engkau sungguh beruntung, Sim Houw," kata Cu Kang Bu dengan kagum sambil
mengem-balikan pusaka itu. "Ternyata kakek aneh itu tidak membohongimu dan engkau telah mendapatkan sebuah pusaka yang amat hebat"
"Dengan demikian engkau memiliki tiga buah pusaka ampuh, Sim Houw," kata Yu Hwi dengan suara yang jelas mengandung iri. "Sebuah suling emas, sebuah pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dan sekarang pusaka Liong-siauw-kiam!"
Cu Kang Bu dapat mendengar suara mengandung iri dari isterinya, maka dia cepat berkata dengan suara lantang. "Tentu saja dan memang dia berhak memiliki semua itu. Suling emasnya adalah tanda bahwa dia murid Pendekar Suling Emas Kam Hong, pedang Koai-liong-kiam adalah wa-risan ayahnya, sedangkan Pedang Suling Naga ini adalah pemberian Pek-bin Lo-sian setelah Sim Houw berhasil menundukkannya. Semua itu ada-lah haknya!"
Akan tetapi, sebelum menghadap suami isteri itu, dalam perjalanannya meninggalkan kakek itu, setelah mencoba Liong-siauw-kiam dan tahu benar bahwa pusaka itu memang ampuh, Sim Houw sudah mengambil satu keputusan.
"Cek-kong berdua, Long-siauw-kiam ini dapat dipergunakan sebagai suling dan juga seba-gai pedang. Dengan sendirinya, pusaka ini seperti pengganti suling emas dan Koai-kong Po-kiam menjadi satu. Bahkan penggabungan kedua ilmu dapat lebih mantap kalau
dimainkan dengan pu-saka ini, hanya tinggal melatih saja. Karena itu Koai-liong Po-kiam dan suling emas akan saya tinggalkan di sini, saya serahkan kepada cek-kong sekeluarga."
"Ah, apa maksudmu dengan keputusan ini?" Cu Kang Bu yang berwatak keras dan jujur itu bertanya dengan suara lantang dan sinar matanya menatap wajah Sim Houw penuh selidik.
"Cek-kong Cu Kang Bu, harap jangan salah mengerti. Saya sudah mendengar bahwa lembah ini dahulunya bernama Lembah Suling Emas, dan bahwa pusaka suling emas yang terkenal itu ber-asal dari tempat ini. Juga sekarang. lembah ini di ganti dengan nama Lembah Naga Siluman, dan pedang pusaka Naga Siluman juga berasal dari tempat ini. Biarpun suling emas di tangan saya bukan suling emas yang aseli, melainkan hanya tiruan saja, akan tetapi biarlah saya serahkan ke-pada keluarga Cu berikut pedang pusaka Naga Siluman, dengan demikian terhapuslah sudah, se-mua rasa penasaran dan kedua pusaka itu kembali ke tempat asalnya."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
57 "Akan tetapi...." Cu Kang Bu hendak membantah.
"Aih, kenapa engkau hendak menolak niat baik dari Sim Houw" Niatnya itu membuktikan bahwa dia adalah seorang gagah sejati, yang tahu akan jalannya sejarah dan mengenal pula sumbernya.
Keluarga Cu adalah keluarga yang tadinya berhak atas kedua pusaka itu. Dan keluarga Cu masih be-lum habis, masih ada engkau dan sekarang ada pula Cu Kun Tek, puteramu. Tidak pantaskah puteramu kelak mewarisi pusaka-pusaka lembah yang turun-temurun dihuni oleh keluarga Cu ini?" kata Yu Hwi dengan penuh semangat.
Cu Kang Bu masih mengerutkan alisnya yang tebal. "Sim Houw, apakah tidak ada maksud-maksud tersembunyi di balik niatmu ini" Apakah engkau tidak akan menyesal kelak" Ingat, yang menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut adalah engkau seorang, jadi kedua pusaka itu memang sudah menjadi hakmu."
Sini Houw mencabut keluar suling emas dari pinggangnya dan meloloskan sabuk pedang Koai-liong Po-kiam dari punggungnya, kemudian me-nyerahkan kedua pusaka itu kepada Cu Kang Bu dengan sikap hormat dan wajah penuh keramahan.
"Saya menyerahkannya dengan hati ikhlas dan rela, cek kong. Biarlah kedua pusaka ini, walaupun suling emasnya hanya tiruan, menjadi pusaka-pusaka keturunan keluarga Cu."
"Wah, aku senang sekali kalau punya dua senjata itu!" Tiba-tiba si kecil Kun Tek berseru girang. "Kelak aku ingin bisa menjadi seperti Sim Houw!"
"Hemm, enak saja kau bicara!" ayahnya me-negur, "Tanpa memiliki ilmu-ilmu sakti Kim--
siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, mana bisa seperti Sim Houw"
"Jangan khawatir, Kun Tek." Ibunya menghi-bur. "Ayahmu dapat mengajar ilmu dengan suling emas, dan aku akan mengajarkan ilmu pedang padamu."
Nyonya ini bukan hanya membual. Ia adalah seorang ahli pedang, bahkan ia memiliki Ilmu-ilmu Kiam-to Sin-ciang, yaitu ilmu yang membuat lengannya dapat digerakkan dengan ampuh seperti berobah menjadi pedang dan golok. Di samping ini, juga ia ahli ilmu Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Depalan Penjuru) dan ilmu ini dapat pula dimainkan dengan pedang menjadi Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin.
Karena melihat kesungguhan hati dan kerelaan Sim Houw, dan mengingat bahwa memang keliru alasan Sim Houw yang mengatakan bahwa kedua pusaka itu berasal dari lembah mereka akhirnya Cu Kang Bu menerima juga penyerahan dua pusaka itu dengan hati girang.
"Aku akan menyimpan benda-benda ini seba-gai pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman dan mudah-mudahan kami akan mampu menjaganya." katanya dengan hati lega. "Dan banyak terima kasih kepadamu, Sim Houw. Engkaulah yang telah menyatukan kembali keretakan yang pernah terjadi pada mendiang ayah dan ibumu."
Setelah tinggal di lembah itu selama tiga hari, Sim Houw lalu berpamit dan diantar oleh keluarga Cu ayah ibu dan anak itu sampai ke tepi jembatan tambang. Dia lalu meninggalkan lembah itu dan mulai dengan perantauannya. Selama tiga tahun ini, banyak sudah dia lakukan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
58 demi menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar. Karena dia tidak pernah meninggalkan nama, atau jarang sekali memperkenalkan diri, akhirnya yang lebih dikenal di dunia kang-ouw hanyalah senjata barunya itu dan mulailah dia dijuluki orang Pen-dekar Suling Naga.
Demikianlaih peristiwa tiga tahun yang lalu itu, semua terbayang di dalam benaknya ketika Sim Houw beristirahat ditepi Sungai Wu-kiang duduk di atas rumput hijau tebal yang bersih itu. Alam di sekelilingnya amat indahnya dan setelah Sim Houw menghentikan lamunannya, dia mulai masuk ke dalam keheningan yang penuh dan maha luas itu. Pagi yang indah cerah, sinar matahari kuning emas yang menerobos celah-celah daun dan dahan nampak seperti garis-garis lurus yang amat indah. Sebagian sinar matahari sempat menimpa permukaan air sungai yang membentuk jalan lurus panjang berwarna kuning kemerahan. Dia merasa betapa kulkit pinggul dan belakang pahanya dingin, karena embun yang tadinya menghias ujung rumput yang didudukinya meresap melalui celana dan membasahi kulitnya. Semilir angin pagi yang membuat rambut kepalanya berkibar lembut mendatangkan rasa nyaman seperti membelai-belai leher dan dagunya.
Dengan kesadaran sepenuhnya akan keadaan sekeliling dirinya, Sim Houw melihat
keindahan yang tiada taranya. Sukar untuk dapat diceritakan karena kata-kata amatlah terbatas, kata-kata hanya dapat menceritakan hal-hal yang telah lalu saja, tidak mungkin dapat menggambarkan keadaan SAAT INI. Keindahan dalam keheningan itu hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya pada saat itu juga. Cerita yang dituturkan kemudian sama sekali berbeda denga kenyataan pada saat itu. Kenyataan yang demikian indahnya, yang
menimbulkan rasa bahagia dan keharuan yang mendalam sehingga tak terasa lagi ada air mata membasahi kedua mata Sim Houw. Bukan air mata kesenangan atau air mata kesedihan, melainkan air mata yang muncul ketika batinnya yang paling dalam tersentuh oleh sesuatu yang halus, yang mendekatkan batinnya pada HIDUP yang sejati, bukan kehidupan di dunia fana yang penuh dengan permainan emosi ciptaan sang aku. Sang aku tidak ada pada saat seperti itu, dirinya telah lebur menjadi satu dengan segala sesuatu, dengan alam, dengau keheningan. Berkericiknya air sungai, berkicaunya burung-burung di dalam pohon, semua itu termasuk di dalam keheningan yang maha luas itu. Hening, tapi bukan kesepian. Keheningan yang nyaman karena tidak adanya pikiran, tidak adanya sang aku, namun bukan pula tidur lelap, bukan pula termenung atau tenggelam ke dalam sesuatu. Sadar sesadar-sadarnya, segalanya ter-buka, wajar, tanpa pamrih.
Seperti otomatis, Sim Houw mengeluarkan su-ling naga dari balik jubahnya. Benda ini selalu berada pada dirinya, tersembunyi aman tak nam-pak dari luar diselipkan di ikat pinggang, tertutup baju. Keharuan selalu timbul dalam keadaan se-perti itu, dan selalu mendorongnya untuk meniup suling! Getaran batin dapat disatukan melalui suara suling yang ditiup. Segera melayanglah su-ara merdu dari suling itu ketika Sim Houw mulai meniup sulingnya. Pemuda ini memang telah menguasai ilmu-ilmu dari Kam Hong yang pernah menjadi gurunya dan juga bekas calon ayah mertuanya dan bukan hanya pelajaran ilmu kesaktian Kim-siauw Kiam-sut saja yang dipelajarinya, melainkan juga ilmu meniup suling, baik meniup dengan mulut biasa untuk menciptakan lagu maupun tiupan dengan pengerahan khi-kang untuk menyerang lawan yang tangguh.
Suara suling itu mengalun dan kadang-kadang melengking tinggi sekali sampai tidak tertangkap telinga manusia biasa, kemudian merendah dan menggereng sampai lenyap dari pendengaran pula, merdu dan sesuai sekali dengan suara yang ada, dengan gemersik daun-daun yang terhembus angin pagi, dengan kicau burung, dengan gemer-ciknya air di tepi Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
59 sungai, dengan detak jantungnya sendiri. Getaran hatinya hanyut dalam aliran su-ara suling yang merdu.
Demikian asyiknya Sim Houw meniup suling sehingga seluruh keadaan dirinya lahir batin se-perti masuk ke dalam suara itu, dia seperti mela-yang-layang bersama suara sulingnya.
"Heiiii....! Bising sekali suara sulingmu!" Tiba-tiba terdengar suara orang menegurnya, suaranya berteriak melengking tak kalah nyaringnya menyaingi suara suling.
Sim Houw melihat meluncurnya sebuah perahu di atas air sungai dan di atas perahu itu terdapat seorang wanita muda yang memegang tangkai -pancing. Gadis itulah yang berteriak menegurnya. Akan tetapi Sim Houw bersikap tenang, melanjutkan tiupan sulingnya sampai lagunya habis barulah dia menghentikan tiupan sulingnya. Kini perahu kecil itu sudah berada di tepi sungai di depannya dan seorang gadis yang duduk di dalam perahu sambil memegang tangkai pancing itu memandang kepadanya dengan mata melotot. Lalu gadis itu menuding ke arah Sim Houw dengan tangkai pancingnya sambil berseru marah, "Kebisingan sulingmu itu menggangguku! Ka-lau mau menyuling jangan di sini, mengganggu aku yang sedang
berlatih!" Sim Houw memandang gadis itu penuh perha-tian. Seorang gadis yang menarik sekali, wajahnya manis sekali, kecantikan yang aseli karena gadis itu tidak merias mukanya.
Sikapnya gagah dan rambutnya diikat ke atas dengan pita dan ujungnya digelung secara sederhana. Pakaiannya yang ring-kas membayangkan bentuk tubuhnya yang penuh dan padat, di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce merah muda. Melihat keadaan gadis ini, Sim Houw sudah dapat menduga bahwa nona di atas perahu itu adalah seorang gadis ahli silat. Apalagi ketika gadis itu menuding dengan tangkai pancing dan ketika mengangat tangkai itu, ujungnya hanya terdapat sehelai tali tanpa pancing, diapun dapat menduga bahwa gadis itu sebenarnya bukan memancing, melainkan melakukan semacam latihan dengan bantuan tangkai pancing itu. Dan diapun kagum katika dia menduga bahwa tentu gadis itu sedang berlatih samadhi dengan bantuan tangkai pancing. Banyak macam orang bersamadhi dengan maksud mengumpulkan konsentrasi pada suatu hal saja dan orang mengggunakan bantuan api lilin yang dipandangnya te-rus, atau sebuah gambar lingkaran dengan titik di tengah, atau gambar pat-kwa, ada pula yang menggunakan patung dan sebagainya. Semua itu hanya dipergunakan sebagai alat untuk menujukan seluruh perhatian.
Dan gadis ini agaknya meng-gunakan tangkai pancing dengan tali yang tidak ada pancingnya, melainkan diikatkan ujungnya pada sepotong batu. Dan gadis itu tentu berlatih konsentrasi sambil mencurahkan seluruh perhati-annya pada tangkai pancing yang dipegangnya dan air di mana nampak tali pancing ini tenggelam. Sebuah cara melatih perhatian yang amat aneh akan tetapi juga istimewa. Teringatlah Sim Houw akan sebuah dongeng tentang Sang
Bijaksana Kiang Cu Ge di dalam dongeng Hong-sin-pong, ketika Kiang Cu Ge memancing seperti yang dilakukan gadis itu, dengan sebatang tangkai, sehelai benang dan di ujung benang terdapat pancing yang lurus tanpa umpan! Tentu saja tidak akan mendapatkan ikan!
Cara memancing Kiang Cu Ge itu hanya kiasan saja karena yang dipancing bukan ikan melainkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin rakyat yang bijaksana. Dan tentu saja juga dipergunakan untuk melatih konsentrasi itu-lah karena pencurahan perhatian amat penting dalam ilmu silat.
"Eih, nona, kenapa di ujung tali itu tidak ada mata pancingnya?" Dia pura-pura tidak mengerti dan bertanya heran.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
60 Gadis itu juga tadi memandang ke arah Sim Houw dengan penuh perhatian. Tadinya ia me-nyangka bahwa pria yang dapat meniup suling dengan suara menggetar-getar itu tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi hatinya kecewa melihat betapa pria itu nampak sederhana saja, tidak memperlihatkan sifat gagah seorang pende-kar dan agaknya hanya seorang dusun yang pan-dai meniup suling saja. Juga dari atas perahunya ia tidak melihat sesuatu yang aneh pada suling yang kelihatan hitam itu, hanya sebatang suling yang bentuknya agak aneh, batangnya berlekak-lekuk seperti tubuh ular. Dan pertanyaan pemuda itupun menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang biasa saja yang tidak tahu apa-apa tentang pancingnya.
"Hemm, kuberitahu juga engkau tidak akan mengerti, Sudahlah, engkau jangan meniup suling itu lagi."
" Kenapa, nona?"
"Suaranya tidak sedap didengar dan meng-gangguku! Mengerti" Tidak usah bertanya lagi, sebaiknya kau pergi saja dari sini dan jangan meniup sulingmu karena kalau kaulakukan lagi, aku akan mematahkan sulingmu itu dan membuangnya ke tengah sungai!" Setelah berkata demikian gadis itu menggunakan sebuah dayung dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap memegang tangkai pancing, dan menggerakkan dayung itu. Hanya dengan sebelah tangan saja ia mendayung, akan tetapi hebatnya, perahu itu me-luncur menentang arus dan laju bukan main.
Sim Houw tersenyum seorang diri. Seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa dan agak-nya memiliki kepandaian yang lumayan, seorang gadis yang agaknya suka pula akan keheningan dan berada di tempat sunyi dan liar itu seorang diri saja! Sinar mata gadis itu demikian tajamnya dan suaranya demikian merdu! Sim Houw tersenyum dalam renungannya sendiri. Akan tetapi dia ter-kejut ketika melihat berkelebatnya lima orang kakek di tepi sungai dan lima orang itu agaknya mengejar ke arah perginya perahu gadis itu tadi. Entah apa sebabnya dia menduga bahwa lima orang itu membayangi gadis di dalam perahu akan tetapi hatinya merasa tidak enak dan diapun cepat bangkit dan berdiri membayangi lima orang kakek itu. Perahu gadis itu meluncur dengan amat cepatnya, dan lima orang kakek itupun berlari dengan mempergunakan ilmu berlari cepat se-hingga Sim Houw menjadi semakin curiga. Akan tetapi, karena tidak mengenal lima orang itu, juga tidak mengenal siapa adanya gadis itu, diapun hanya membayangi dari jauh, saja.
Kecurigaan dan kekhawatiran hati yang men-dorong Sim Houw untuk membayangi lima orang kakek itu memang tidak sia-sia. Dia melihat betapa gadis itu mendayung perahunya menepi, di seberang sini dan secara lincah sekali ia meloncat ke darat, menyeret perahunya dan mengikatkan tali perahu pada sabatang pohon. Tepi itu merupakan kaki sebuah bukit kecil dan nun di atas puncak bukit itu nampak sebuah pondok yang terpencil, dikelilingi ladang sayuran dan di sebelah kanan pondok itu tumbuh pohon-pohon buah dengan suburnya.
Dan begitu gadis itu selesai mengikat-kan perahunya, tiba-tiba saja lima orang kakek itu berloncatan keluar dari balik semak-semak dan mengepung si gadis yang memandang dengan ta-jam akan tetapi sikapnya tenang, bahkan senyum-nya mengejek. Sim Houw segera mendekam di balik semak belukar untuk nenonton pertemuan antara lima orang kakek dan gadis itu dengan hati tegang. Nampak jelas olehnya betapa sikap lima orang kakek itu membayangkan niat yang tidak baik terhadap si gadis.
Melihat sikap lima orang kakek itu, si gadis mengerutkan alisnya. Lima orang itu membentuk Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
61 setngah lingkaran menghadapinya, seolah-olah mengurung dan sikap mereka tidak
bersahabat, bahkan alis mereka berkerut dan sinar mata mer-eka mengandung kemarahan dan ancaman.
"Kalian lima orang tua ini siapakah dan menga-pa menghadang perjalananku?"
Seorang di antara lima kakek itu, yang berjenggot panjang berwarna putih dan agaknya menjadi orang paling tua di antara mereka, memandang tajam, tangan kiri mengelus jenggot, tangan kanan kini menunjuk ke arah nona itu dan bertanya, suaranya halus namun tegas dan mengandung kemarahan.
"Apakah nona yang bernama Souw Hui Lan?"
"Benar sekali, dan siapa kalian?" Gadis yang bernama Souw Hui Lan itu menjawab, sikapnya masih angkuh dan seperti orang memandang ren-dah, membuat lima orang kakek itu saling pandang dan mereka menjadi semakin marah.
"Engkau murid dari Beng-san Siang-eng (Se-pasang Garuda Beng-san)?" tanya pula kakek berjenggot.
Kini Hui Lan mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu. "Kalau sudah tahu kenapa kalian berani menghadang perjalananku" Kalian siapa?"
"Kami adalah Bu-tong Ngo-lo (Lima Kakek Bu-tong-pai)."
Mendengar sebutan Beng-san Siang-eng tadi Sim Houw tidak pernah mendengarnya, akan tetapi mendengar sebutan Bu-tong Ngo-lo, dia terkejut, Lima orang kakek Bu-tong-pai itu pernah terke-nal sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi juga terkenal sebagai pemberantas penjahat-pen-jahat, bahkan mereka berlima pernah mengobrak-abrik perkumpulan Hui-to-pang (Perkumulan Golok Terbang) yang berkedok sebagai perkum-pulan para patriot akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan orang-orang jahat yang amat kejam. Karena perbuatannya membongkar
Pendekar Asmara Tangan Iblis 3 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Pedang Ular Mas 10
^