Pencarian

Suling Naga 8

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


"Hemmm, tua bangka tak tahu diri. Siapakah engkau" Dari perguruan mana" Dari pertapaan mana?" Sai-cu Lama bertanya, teringat bahwa ka-kek itu tadi telah memperlihatkan kesaktiannya.
"Omitohud...." Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang, merasa bahwa agaknya tidak mungkin baginya mengingatkan orang seperti Sai-cu Lama ini. "Pinceng hanyalah seorang perantau biasa, tanpa per-guruan bahkan tidak mempunyai pertapaan, nama pinceng Tiong Khi Hwesio. Pinceng mendengar ten-tang gerakan dari kelompok Lama Jubah Merah dan mendengar ratapan rakyat, maka terpaksa pinceng datang ke sini untuk berusaha
menyadarkan kalian. Muka yang seperti singa itu nampak beringas dan bengis. "Tiong Khi Hwesio, engkau ini sudah tua bangka, umurmu sudah tidak berapa lama lagi akan tetapi tindakanmu masih jahil dan mulutmu masih usil! Tindakan-tindakan kami sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan tetapi engkau berani tidak memandang mata kepadaku dan berani
mem-peringatkan aku. Dengarlah. Aku mau mendengar-kan nasihatmu itu dan mau
membubarkan kelompok kami ini kalau engkau mampu mengalahkan aku!"
Terdengar suara di sana-sini mentertawakan Tiong Khi Hwesio. Hwesio ini menarik napas panjang. "Siancai...., pinceng datang bukan untuk mempergunakan kekerasan."
"Mau mempergunakan kekerasan atau tidak, ma-sukmu ke perkampungan kami sudah
merupakan tin-dak kekerasan, yang melanggar dan untuk itu, engkau sebagai orang luar sudah dapat dijatuhi hukuman mati. Nah, majulah, kalau engkau tidak mau mati konyol. Aku sendiri tidak suka membunuh orang yang tidak mau melawan.
Tiong Khi Hwesio kini memandang dan sepasang matanya mencorong penuh teguran. "Sai-cu Lama, belum tentu pinceng dapat mengalahkanmu dalam il-mu silat, akan tetapi ketahuilah bahwa di atas puncak Gunung Thai-san yang tertinggi sekalipun masih ada awan. Bersikap tinggi hati mengandalkan kepandai-an sendiri akan mempercepat kejatuhannya...."
"Sudah, tak perlu banyak kuliah lagi, sambutlah ini!" Sai-cu Lama sudah menerjang ke depan, ju-bahnya berkembang karena gerakan ini mendatang-kan angin dan tangan kirinya Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
214 yang besar itu menyam-bar ketika dia menggerakkan lengan. Tangan itu de-ngan jari-jari tangan terbuka mencengkeram ke arah kepala Tiong Khi Hwesio, sedangkan tangan
kanan-nya menyusul dengan dorongan telapak tangan ter-buka ke arah dada lawan.
"Wuuuuuttt....!"
Bukan main dahsyatnya serangan yang dilakukan Sai-cu Lama itu. Cepat seperti kilat menyambar dan mengandung kekuatan yang mengerikan. Entah ma-na yang lebih berbahaya, cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu ataukah hantaman ke arah dada. Ke-pala dapar hancur berantakan dan dada dapat pecah kalau terkena serangan itu! Tiong Khi Hwesio me-ngenal pukulan-pukulan ampuh, maka sambil menge-luarkan seruan diapun
menggerakkan tubuhnya ke belakang. Cepat dan ringan tubuhnya itu bergerak ke belakang, seolah-olah terdorong oleh angin pukul-an lawan dan Sai-cu Lama juga menahan seruan kagetnya. Dia merasa seperti menyerang sehelai bulu saja yang melayang pergi sebelum serangannya me-ngenai sasaran! Maklumlah dia bahwa lawannya ini, biarpun sudah tua sekali, namun memiliki gin-kang yang istimewa dan sukarlah menyerang orang dengan gin-kang seperti ini kalau tidak mempergunakan pukulan jarak jauh dan kecepatan kilat.
"Haiiiiittt....!" Diapun membentak nya-ring dan kedua tangannya didorongkan ke depan dan kini Sai-cu Lama menyerang dengan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya. Pukulannya ini, yang dilakukan dengan kedua tangan terbuka, tidak
membutuhkan kontak langsung dengan tubuh lawan. Angin pukulannya saja sanggup untuk merobohkan lawan dengan guncangan yang akan da-pat merusak jantung!
"Omitohud...., keji sekali pukulan ini!" Tiong Khi Hwesio berseru dan diapun cepat mema-sang kuda-kuda, bukannya mundur, bahkan dia me-langkah maju dan kedua tangannya juga didorongkan ke depan, menyambut langsung kedua telapak tangan lawan.
"Desss....!" Dua pasang telapak tangan sa-ling bertemu, nampaknya saja empat buah tangan itu memiliki telapak tangan yang lunak, akan tetapi ternyata mengandung tenaga sin-kang yang hebat. Per-temuan tenaga sin-kang melalui dua pasang tangan itu hebat bukan main, sampai terasa oleh semua pendeta Lama yang berada di situ karena udara di sekitar tempat itu seolah-olah tergetar, seperti bertemunya dua tenaga Im dan Yang di musim hujan yang men-ciptakan kilat dan guntur.
Akibat dari pada pertemuan tenaga dahsyat itu, dua orang pendeta itu terdorong ke belakang, ma-sing-masing lima langkah. Keduanya tidak sampai jatuh, akan tetapi berdiri dengan muka berubah agak pucat. Sejenak keduanya memejamkan mata dan me-ngumpulkan hawa murni untuk melindungi isi dada dari pengaruh guncangan hebat itu. Hal ini saja mem-buktikan bahwa keduanya memiliki tenaga sin-kang yang seimbang.
Terkejutlah keduanya. Tiong Khi Hweiso sendi-ripun terkejut bukan main. Belum pernah dia, kecu-ali di waktu muda dahulu, bertemu dengan lawan yang sekuat ini, maka diapun bersikap hati-hati, maklum bahwa dia harus berjaga dengan sepenuh tenaga dan kepandaian. Juga Sai-cu Lama terkejut sekali. Dia memang tadinya sudah menduga bahwa lawannya ini lihai, akan tetapi tak pernah disangka-nya akan selihai itu, kuat menahan pukulannya tadi yang dilakukan sepenuh tenaga, bahkan tangkisan itu membuat dia terdorong ke belakang sampai lima langkah dengan dada terasa sesak dan panas. Akan tetapi di samping rasa kagetnya, timbul pula perasa-an marah yang berapi-api. Inilah kesalahan Sai-cu Lama. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat dan tenaga, dia tidak kalah oleh lawan, hanya dalam satu hal dia kalah, yaitu dalam Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
215 kekuatan batin. Kalau Tiong Khi Hwesio menghadapi kenyataan akan kekuatan lawan itu dengan sikap hati-hati, sebaliknya Sai-cu Lama menjadi marah menghadapi kenyataan itu.
Dan ke-marahan merupakan kelemahan yang mengurangi ke-waspadaan, bahkan kemarahan menghamburkan te-naga dalam.
Dengan suara menggeram seperti seekor singa. Sai-cu Lama kini sudah meryerang lagi, disambut tangkisan oleh Tiong Khi Hwesio yang segera membalas pula. Tiong Khi Hwesio sudah tidak mempu-nyai nafsu untuk meraih kemenangan, apa lagi men-celakai lawan, namun menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama yang menyerang dengan pukul-an-pukulan maut, kalau hanya melindungi diri sendi-ri saja akhirnya dia tentu akan terkena pukulan dan roboh. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri hanyalah mengalahkan Sai-cu Lama dan untuk dapat mengalahkannya dia harus membalas serangan lawan yang tangguh itu.
Terjadilah perkelahian yang sengit dan hebat. Saling menyerang dengan jurus-jurus pilihan yang aneh dan dahsyat. Demikian cepatnya mereka bergerak sehingga pandang mata para anggauta Lama Jubah Merah menjadi kabur. Mereka tidak dapat mengikuti gerakan kedua orang kakek itu, hanya melihat ba-yangan kuning dan bayangan kemerahan dari jubah mereka berdua itu berkelebatan dan berloncatan ke sana-sini. Andaikata para pendeta Lama itu disuruh membantu pemimpin mereka pada saat itu, mereka tentu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, ka-rena sukarlah menyerang lawan yang tidak nampak dan yang bayangannya seringkali menjadi satu dengan bayangan merah. Juga, saking dahsyatnya gerakan dua orang kakek itu, pukulan-pukulan mereka men-datangkan hawa pukulan yang menyambar-nyambar ke segala penjuru, membuat para pendeta yang non-ton perkelahian itu terpaksa mundur sampai pada jarak yang cukup jauh dan aman.
Diam-diam Tiong Khi Hwesio merasa kagum bu-kan main setelah seratus jurus lewat mereka berke-lahi belum juga dia mampu menundukkan lawan itu. Jarang dia bertemu dengan lawan yang demikian tangguhnya, yang membalasnya pukulan dengan pu-kulan, tendangan dengan tendangan, yang menan-dingi kecepatan gerak dengan gin-kangnya, mengim-bangi kekuatan dahsyat tenaga sin-kangnya. Sejak mudanya memang hwesio tua ini suka sekali akan ilmu silat dan selalu menghargai orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi. Hanya keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir sajalah yang benar-be-nar memiliki kesaktian yang mengagumkan hatinya. Akan tetapi sekali ini, dia bertemu tanding yang benar-benar hebat!
Diam-diam dia merasa kagum, juga penasaran dan timbul kegembiraannya, timbul kem-bali kegemarannya mengadu dan menguji ilmu silat tinggi.
Segala kepandaiannya telah dia kerahkan. Dari ilmu-ilmu silat tinggi Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis), Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) dan penggabungan kedua ilmu itu, ilmu-ilmu dari Pulau Neraka peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang diwarisinya, sampai ilmu-ilmu yang amat lihai dengan tenaga Inti Bumi, semua dikeluarkannya, namun semua ilmu itu hanya dapat mengimbangi kehebatan ilmu-ilmu Sai-cu Lama yang juga merasa penasaran sekali.
Sai-cu Lama sama sekali tidak mempunyai rasa kagum terhadap lawannya. Yang ada
hanyalah rasa penasaran dan kemarahan yang makin menjadi-jadi. Berkelahi sampai ratusan jurus melawan seorang kakek tua renta dan dia masih belum juga mampu memperoleh kemenangan, bahkan seringkali terdesak hebat oleh ilmu-ilmu yang aneh dari hwesio itu, apalagi di depan para anak buahnya, merupakan penghinaan baginya. Dia merasa direndahkan karena selama ini dia tidak pernah kalah sehingga para murid dan anak buahnya menganggap bahwa dia adalah orang yang paling pandai di dunia ini. Makin lama, dia semakin merasa Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
216 penasaran dan karena akhirnya dia maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan hwesio itu melalui ilmu silat, maka timbullah akal liciknya. Bagaimanapun juga, lawannya itu tentu sudah tua sekali, mungkin belasan tahun lebih tua darinya dan hal ini akan menjadi sebab kemenangannya. Kalau saja dia mampu bertahan, tentu akhirnya lawan itu akan kehabisan napas dan tenaga. Dia yang lebih muda tentu akan lebih tahan dibandinglan dengan lawan yang jauh lebih tua itu.
Akan tetapi, ternyata kelicikan Sai-cu Lama yang ingin mengadu daya tahan dan napas ini tidak memperoleh hasil, bahkan dia menjadi semakin penasaran. Mereka telah berkelahi sampai ratusan jurus, entah berapa jam lamanya. Tadi ketika mereka mulai saling serang dipekarangan lebar perkampungan itu, hari telah menjelang senjadan kini telah jauh malam.
Para murid yang nonton dari jarak yang cukup jauhdan aman, telah menerangi pekarangan itu dengan obor-obor dan lampu-lampu yang cukup terang. Dan perkelahian itu terus berlangsung tanpa pernah beristirahat sejenakpun! Kini kedua orang kakek itu sudah nampak lelah, keringat sudah membasahi semua pakaian dan muka, juga pernapasan mereka mulai
memburu. Dari kepala mereka keluar uap putih yang aneh. Diam-diam, Sai-cu Lama yang tadinya merasa penasaran, ada pula rasa kagum dan gentar. Kiranya kakek ini memang hebat luar biasa! Agaknya memiliki napas melebihi napas kuda dan tenaganya juga tak pernah mengendur, bahkan bagi dia yang mulai lelah, tenaga kakek itu makin lama makin kuat saja agaknya. Dia merasa kagum dan gentar. Seorang kakek yang hebat! Biarpun kini hwesio tua itu mulai nampak kelelahan, akan tetapi dia sendiripun tiada bedanya, mulai lelah dan kehabisan tenaga. Kalau tadi Sai-cu Lama memiliki pikiran untuk menyuruh anak buahnya maju mengeroyok, kini dia menahan pikiran itu. Pertama, menyuruh mereka maju sama saja dengan menyuruh mereka membunuh diri. Mereka bukanlah lawan hwesio tua itu. Dan kedua, melihat kehebatan hwesio itu, dia merasa malu kepada diri sendiri kalau harus mengandalkan pengeroyokan yang hanya tipis harapannya untuk menang itu.
Tiba-tiba Sai-cu Lama mengambil ancang-ancang dan sambil mengeluarkan suara
melengking nyaring, dia menerjang ke depan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya! Dia hendak mengadu tenaga terakhir, kalau perlu nyawanya! Melihat lawannya menerjang dengan kedua tangan mendorong dan kedua lengan itu bergerak-gerak sehingga menimbulkan gelombang hawa pukulan dahsyat, Tiong Khi Hwesio terkejut.
"Omitohud....!" Dia mengeluh, maklum bahwa lawannya yang sudah penasaran itu agaknya hendak mengadu nyawa! Apa boleh buat, diapun terpaksa harus melindungi dirinya dan cepat diapun memasang kuda-kuda, menyambut dengan kedua ta-ngan terbuka, didorongkan ke depan menyambut kedua telapak tangan lawan. Untuk kedua kalinya, dua orang kakek ini mengadu tenaga sin-kang mereka. Akan tetapi berbeda dengan bentrokan tenaga sin-kang melalui telapak tangan yang pertama, bentrok-an sekali ini dilakukan dengan mati-matian dan da-lam keadaan tenaga mereka sudah mulai mengendur, sehingga tentu saja daya tahan merekapun berkurang dan dalam keadaan seperti itu, bahaya untuk mende-rita luka dalam atau bahkan kematian lebih besar lagi.
"Desss....!" Bentrokaran tenaga itu hebat bukan main dan akibatnya, dua orang kakek itu ter-lempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah! Melihat betapa pemimpin mereka roboh terbanting, akan tetapi juga lawannya terlempar dan terbanting jatuh, empat orang pendeta Lama segera menubruk ke arah Tiong Khi Hwesio dengan maksud untuk menghabiskan
nyawa lawan yang tangguh itu selagi lawan itu terbanting dan nampaknya kehabisan tena-ga dan tidak berdaya.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
217 "Tahan....!" Sai-cu Lama yang masih mera-sa lemah dan pening itu mencoba untuk
mencegah, namun suaranya yang lemah itu agaknya tidak mem-pengaruhi empat orang anak buahnya yang sudah menyerang Tiong Khi Hwesio dengan ganas. Mereka menyerang dengan berbareng dan terdengarlah teriak-an-teriakan mereka disusul terlemparnya tubuh me-reka sampai jauh, terpental seperti dilempar oleh tenaga raksasa dan mereka itu terbanting tak sadarkan diri! Kiranya, biarpun sudah terbanting roboh, Tiong Khi Hwesio berada di pihak lebih kuat sehing-ga tenaga sin-kang yang masih besar sekali terhimpun di tubuhnya. Ketika empat orang itu menerjangnya, Tiong Khi Hwesio tidak melihat jalan lain kecuali menggerakkan kedua tangannya mendorong dan akibatnya, empat orang itu terlempar seperti daun-daun kering tersapu angin.
"Anjing-anjing busuk, jangan serang dia!" bentak Sai-cu Lama, bentakan yang bukan di-lakukan karena mengkhawatirkan anak buahnya, me-lainkan karena dia merasa malu kalau dalam keadaan seperti itu dia harus menggunakan tenaga anak buah-nya. Para pendeta Lama itupun tidak ada yang bera-ni maju lagi. Empat orang teman mereka masih ping-san, dan tentu saja mereka tidak berani maju untuk bunuh diri!
Dua orang kakek itu kini sudah bangkit duduk bersila, masing-masing mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.
"Omitohud....! Engkau sungguh merupa-kan lawan yang amat tangguh dan hebat, Sai-cu La-ma. Pinceng merasa kagum sekali.... ah, sung-guh sayang bahwa kita berdua berada di dua tempat yang bertentangan. Kalau saja engkau suka sadar dan kembali ke jalan benar, betapa akan senang hati pin-ceng untuk menjadi temanmu bicara tentang ilmu si-lat."
Pujian yang diucapkan dengan hati yang tulus itu diterima sebagai ejekan oleh Sai-cu Lama.
Bagaima-napun juga, dia merasa bahwa dalam bentrokan tena-ga sin-kang terakhir tadi, dia telah terbukti kalah kuat. Kalau saja latihannya belum matang benar, bentrokan tadi saja cukup untuk membuat nyawanya putus! Dan untuk dapat memulihkan tenaga, dia
membutuhkan waktu lama, sedikitnya sampai besok pagi barulah dia akan dapat memulihkan tenaganya dan mampu untuk bertanding lagi. Sedangkan lawan-nya baru saja membuktikan kehebatannya dengan merobohkan empat orang anak buahnya yang melakukan penyerangan serentak.
"Tiong Khi Hwesio, tak perlu berusaha bicara manis kepadaku. Bagaimanapun, aku masih hidup dan ini berarti bahwa aku belum kalah. Aku hanya kelelahan dan kehabisan tenaga, akan tetapi engkau pun jelas kehabisan tenaga. Biarlah kita beristirahat malam ini, dan besok pagi-pagi kita lanjutkan pertan-dingan ini sampai seorang di antara kita benar-benar kalah."
"Omitohud.... Sai-cu Lama, apakah engkau belum juga mau menyadari bahwa semua
kekerasan ini tidak ada gunanya?"
"Sudah, tak perlu banyak cakap lagi. Sampai be-sok pagi!" kata Sai-cu Lama dan diapun memberi perintah kepada anak buahnya untuk tetap mengu-rung kakek hwesio itu dan jangan mengganggunya. Kemudian dia memejamkan mata sambil duduk ber-sila dan mengatur
pernapasan, tanpa memperdulikan lagi kepada lawannya.
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja bicara dengan Sai-cu Lama. Orang seperti itu hanya dapat diajak berunding melalui kepalan, dan hanya akan mau bicara kalau benar-benar sudah dikalahkannya. Tidak ada lain jalan baginya kecuali Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
218 memejamkan mata dan mengatur pernapasan pula karena dia tidak ingin besok pagi menjadi bulan-bulan kekerasan Sai-cu Lama. Diam-diam diapun merasa bingung. Tadi dia telah mengeluarkan semua ilmunya, namun semua itu hanya mampu mengimbangi kepandaian
lawan. Hanya ada satu ilmu tidak dikeluarkan, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Ilmu ini dianggap-nya amat ganas dan dahulu pernah mengangkat na-manya
sehingga dia dijuluki Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Apakah dia terpaksa harus mempergunakan ilmu itu besok untuk mengalahkan Sai-cu Lama"
Malam itu lewat dalam keadaan yang amat menegangkan. Para pendeta Lama itu tidak ada yang berani mengeluarkan suara karena mereka takut kalau kalau akan mengganggu
pemimpin mereka yang se-dang istirahat. Empat orang yang tadi roboh ping-san, mereka bawa pergi untuk dirawat dan mereka itu hanya berani bicara di tempat yang agak jauh dari situ. Semua orang merasa tegang karena mereka belum tahu bagaimana keadaan pemimpin mereka da-lam perkelahian tadi, yaitu menang ataukah kalah.
Setidaknya, pemimpin mereka itu agaknya terdesak, buktinya Sai-cu Lama minta waktu untuk beristirahat. Mulailah mereka bertanya-tanya siapa gerangan hwesio tua yang demikian sakti itu.
Pada keesokan harinya, ketika dari jauh terdengar kokok ayam hutan jantan dan sinar matahari pagi mu-lai bercahaya di ufuk timur, Sai-cu Lama sudah mem-buka kedua matanya memandang kepada lawannya. Tiong Khi Hwesio sejak tadi sudah bangun dari sa-madhinya dan kini keduanya saling pandang. Ada kekaguman pada pandang mata masing-masing.
"Hei, Tiong Khi Hwesio. Bagaimana kalau kita menyudahi saja perkelahian yang tidak ada gunanya ini?" tiba-tiba terdengar Sai-cu Lama berkata.
Wajah tua itu berseri gembira. "Siancai....! Agaknya Sang Buddha telah mendatangkan penerang-an yang menyadarkan batinmu, saudaraku yang baik! Tentu saja pinceng berterima kasih sekali dan girang kalau perkelahian yang tidak ada gunanya ini dihen-tikan."
"Bagus, kita hentikan perkelahian ini dan menjadi sahabat. Bahkan bukan hanya sahabat, akan tetapi aku akan mengangkatmu menjadi wakilku, wakil pe-mimpin kelompok Lama Jubah Merah. Bagaimana, sahabatku?"
Tentu saja Tiong Khi Hwesio terkejut dan mengerutkan alisnya. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Kiranya lawan itu mengajak berhenti berkelahi karena ingin menarik dirinya sebagai seku-tu dan pembantu! Dia menarik napas panjang, me-rasa menyesal sekali sebagai pengganti kegirangannya karena tadi mengira bahwa orang itu telah sadar.
"Omitohud, Sai-cu Lama, kiranya engkau belum juga sadar bahkan ingin menyeret pinceng ke dalam kelompokmu. Betapa sesatnya keinginanmu itu. Pin-ceng sengaja datang untuk menyadarkan kalian dari pada jalan yang sesat, bukan untuk membantu kalian merajalela dengan kejahatan kalian."
Sai-cu Lama tersenyum menyeringai. "Heh-heh, Tiong Khi Hwesio, jadi engkau
menghendaki diteruskannya perkelahian ini" Hemm, kaukira percuma saja aku beristirahat semalam" Engkau takkan me-nang kali ini!"
"Terserah kepadamu, Sai-cu Lama. Dalam pertandingan ilmu silat memang hanya ada dua Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
219 kemungkinan, menang atau kalah, jadi tak perlu diributkan be-nar." Diam-diam Tiong Khi Hwesio merasa kecewa dan marah, akan tetapi sikapnya masih biasa, halus dan ramah, dan tenang sekali.
Tiba-tiba Sai-cu Lama meloncat berdiri dan ternyata gerakannya sigap bukan main, tanda bahwa dia telah memulihkan kembali tenaganya dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan dia telah memegang se-batang pedang tipis yang berkilauan. Pedang ini di-am-diam diterimanya dari seorang muridnya setelah dia memberi isyarat malam tadi. Kiranya, Sai-cu La-ma yang merasa betapa lihainya orang yang menjadi lawannya, diam-diam telah mempersiapkan diri dan kini hendak mencapai kemenangan dengan bantuan sebatang pedang tipis!
Tiong Khi Hwesio juga sudah bangkit berdiri dan dia tetap tenang saja melihat lawannya kini meme-gang sebatang pedang. Bagi seorang ahli silat tinggi yang memiliki kesaktian seperti dia, menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama, tiada bedanya apakah lawan itu bersenjata ataukah tidak. Kedua tangan dan kaki lawan itupun takkalah ampuhnya dengan pedang yang kini dipegangnya.
"Hwesio tua bangka, makanlah pedang ini!" bentak Sai-cu Lama yang sudah menerjang dengan dahsyatnya. Tempat itu masih seperti semalam, pe-nuh dengan para pendeta Lama yang menjadi penon-ton dari jarak yang cukup jauh, kini mereka meng-harapkan bahwa ketua mereka akan dapat membunuh hwesio tua yang tangguh itu.
Pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar terang yang meluncur dan ketika Tiong Khi Hwesio dapat mengelak dengan lompatan ke kiri, si-nar pedang berkelebatan dan bergulung-gulung menyambar ke arah tubuh Tiong Khi Hwesio dari de-lapan penjuru angin!
Tahulah Tiong Khi Hwesio bahwa ilmu pedang yang dimainkan lawan adalah se-macam Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin atau Pat-hong Kiam-sut yang telah diubah dan diberi ba-nyak perkembangan. Dia sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan keringanan tubuhnya dia berkelebat-an menghindarkan diri, kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi melengking yang menggetarkan semua orang dan Sai-cu Lama sendiri mengeluarkan seruan kaget.
Kiranya kini Tiong Khi Hwesio telah memainkan ilmu silatnya yang semalam tidak
dikeluarkannya, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci. Jari-jari kedua tangannya seperti hidup, melakukan totokan-totokan dan cengkeraman-cengkeraman dan setiap jari itu mengandung ancaman maut! Itulah sebabnya maka dinamakan Jari Pencabut Nyawa! Dan he-batnya, jari-jari tangan itu diperkuat oleh tenaga yang membuat jari-jari tangan itu demikian kerasnya se-hingga dengan tangan kosong Tiong Khi Hwesio be-rani menangkis pedang lawan!
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sai-cu Lama menghadapi ilmu silat yang luar biasa itu dan permainan pedangnya menjadi kacau. Tak disangka-nya bahwa lawannya masih mempunyai simpanan il-mu yang demikian hebatnya, padahal tadinya dia sudah merasa yakin bahwa dia akan dapat menangkan perkelahian itu kalau dia mempergunakan pedangnya.
Karena kekacauan permainan pedangnya, maka dia menjadi kurang waspada.
"Tring-tring-crangg.... aughhh....!" tubuh Sai-cu Lama terpelanting dan darah mengucur keluar dari luka di pundak kanannya, sedangkan pedangnya terlempar dan patah menjadi dua potong! Kalau saja Sai-cu Lama tidak memiliki tubuh yang sudah dilindungi kekebalan, mungkin lukanya akan lebih parah lagi. Dua jari tangan Tiong Khi Hwesio mengenai pundaknya dan biarpun pundak itu telah dilindungi ilmu kekebalan, tetap saja terobek sampai dagingnya. Masih untung tulang pundaknya tidak patah dan urat besarnya tidak putus. Akan tetapi, dengan luka di pundaknya itu, untuk sementara lengan kanan Sai-cu Lama tidak dapat Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
220 digerakkann dan kalau pada saat itu Tiong Khi Hwesio mendesaknya, tentu akan mudah sekali bagi hwesio itu untuk menghabisi nyawanya. Namun, Tiong Khi Hwesio merasa tidak tega! Perasaan tidak tega ini timbul sejak malam tadi, setelah dia merasa kagum terhadap ilmu kepand-aian Sai-cu Lama yang sanggup menandinginya sam-pai selama itu. Kalau saja Sai-cu Lama tadi tidak kacau permainan pedangnya, mungkin perkelahian inipun akan makan waktu yang lebih lama lagi. Dia merasa sayang untuk membunuh Sai-cu Lama dan mengharapkan bahwa kekalahannya itu akan memb-uat Sai-cu Lama sadar dan kembali ke jalan yang benar.
Sai-cu Lama juga bukan seorang bodoh. Sama sek-ali bukan, bahkan dia cerdik sekali. Dia tahu bahw-a sekali ini dia harus mengakui keunggulan lawan, bahwa dia telah bertemu dengan orang yang lebih lihai darinya. Percuma saja melanjutkan perkelahian itu. Biarpun dia dapat mengerahkan anak buahnya, namun melanjutkan perkelahian sama saja dengan
membunuh diri sendiri dan membunuh anak buahnya. Ia sudah tak mampu melanjutkan perkelahian. Untu-k sementara, jalan terbaik adalah menakluk, tanpa malu-malu lagi, demi keselamatan dirinya.
Sai-cu Lama bangkit berdiri terhuyung-huyung, menggunakan tangan kiri untuk menekan luka di pun-dak kanan, mukanya pucat dan keringatnya memba-sahi mukanya. Diapun menghadapi Tiong Khi Hwe-sio yang masih berdiri tegak memandangnya.
"Tiong Khi Hwesio, aku mengaku kalah pada-mu."
"Omitohud, engkau sungguh lihai bukan main, Sai-cu Lama. Tidak, pinceng tidak merasa menang, hanya kebetulan saja yang membuat engkau terpaksa mengalah. Biarlah kita lupakan saja pertandingan tadi dan sekali lagi pinceng minta kepadamu untuk kembali ke jalan benar dan meninggalkan jalan sesat penuh perbuatan maksiat."
Sai-cu Lama menarik napas panjang. "Baiklah, aku sudah bertemu dengan orang yang lebih pandai dan akan kucoba untuk mengubah jalan hidupku. Katakan, apa yang harus
kulakukan?" Tiong Khi Hwesio tersenyum, girang bukan main bahwa dia telah berhasil melaksanakan tugasnya de-ngan baik. Dia tidak girang atas kemenangannya, melainkan girang sekali melihat Sai-cu Lama mau mengubah jalan hidupnya.
"Saudaralah yang baik, kita adalah orang-orang tua yang sudah menggunduli kepala dan mengenakan jubah pendeta. Tentu engkau sudah tahu apa yang sepatutnya kita lakukan sebagai pendeta. Tentu saja pertama-tama menghentikan dan menjauhkan semua perbuatan yang ditunggangi nafsu. Sebaiknya kalau engkau membubarkan saja kelompok Lama Jubah Merah, dan menghentikan semua perbuatan seperti merampok, mengganggu wanita, mengejar kesenang-an duniawi dengan merugikan orang lain."
"Baiklah, Tiong Khi Hwesio. Sekarang juga akan kububarkan kelompok ini." Sai-cu Lama lalu men-hadapi semua pendeta yang telah berkumpul di situ.
"Kalian telah melihat sendiri, juga mendengar sendiri percakapan antara aku dan Tiong Khi Hwesio. Mulai saat ini, perkumpulan kita kububarkan! Kalian boleh membagi-bagi harta yang ada dengan adil, ke-mudian pergilah dari sini. Kuperingatkan agar kalian tidak lagi melakukan perbuatan seperti yang sudah-sudah. Kalau aku mendengar ada seorang Lama Jubah Merah melanggar, aku sendiri yang akan mencari dan menghukumnya. Nah, lakukan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
221 perintahku dan bubarlah!"
Dengan hati girang dan terharu Tiong Khi Hwe-sio melihat sendiri betapa para pendeta itu mentaati perintah ini. Para wanita dibebaskan dan diberi pembagian harta, dan setelah membagi-bagi harta yang berada di perkampungan itu, atas perintah Sai-cu La-ma, perkampungan itu dibakar dan para pendeta ju-bah merah lalu berpamit dan pergi dari situ.
"Sai-cu Lama, percayalah bahwa perbuatanmu hari ini merupakan permulaan yang amat baik bagi dirimu. Sayang ilmu kepandaianmu yang tinggi kalau kaupergunakan untuk
mengeruhkan dunia. Alangkah baiknya kalau kepandaian itu kaupergunakan untuk
menjernihkan dunia, menenteramkan kehidupan umat manusia. Dan maafkan kalau pinceng telah datang dan pernah mempergunakan kekerasan kepadamu!" Demikian kata-kata
perpisahan Tiong Khi Hwesio yang dibalas oleh Sai-cu Lama dengan ramah pula.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa besar ra-sa penyesalan di hati Tiong Khi Hwesio ketika bebe-rapa bulan kemudian dia mendengar bahwa biarpun Sai-cu Lama telah
membubarkan kelompok Lama Ju-bah Merah, namun dia sama sekali belum sadar atau
kembali ke jalan benar. Bahkan dia telah membuat kekacauan di antara para pimpinan Lama, dan Sai-cu Lama bahkan melakukan hubungan persekutuan de-ngan pembesar-pembesar yang mempunyai niat khia-nat terhadap pemerintah Ceng! Ketika para pemim-pin pendeta Lama mencoba untuk memperingatkan-nya, Sai-cu Lama bahkan turun tangan membunuh dua
orang pemimpin pendeta lama, kemudian melari-kan diri!
Mendengar berita ini, Tiong Khi Hwesio merasa menyesal sekali. Dia merasa
bertanggungjawab ter-hadap peristiwa itu. Kalau saja dia tidak mengam-puni Sai-cu Lama, melainkan membasmi dan membu-nuhnya, atau setidaknya mencabut ilmu silatnya de-ngan jalan membuat kaki tangannya cidera berat, tentu Sai-cu Lama tidak mampu melakukan kejahatan lagi. Membunuh dua orang pimpinan pendeta Lama! Dan lebih hebat lagi, melakukan hubungan perseku-tuan dengan para pengkhianat di kota raja. Dia dapat menduga bahwa tentu Sai-cu Lama kini melarikan diri ke kota raja, bukan hanya untuk
menyembunyi-kan dirinya, melainkan juga untuk mengejar kedu-dukan dan kemuliaan di sana, bersekutu dengan para pembesar khianat dan pemberontak. Dan hal itu amatlah berbahaya, bukan hanya membahayakan kedudukan kaisar dan pemerintah, melainkan juga mem-bahayakan keamanan hidup rakyat.
Demikianlah, dia lalu cepat melakukanpengejaran sampai dia bertemu dengan Hong Beng dan Bi Lan. Tentu saja dia merasa khawatir sekali mende-ngar bahwa Sai-cu Lama telah merampas pedang Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan. Dengan pedang yang dahsyat itu di tangan, Sai-cu Lama benar-benar merupakan seorang yang amat berbahaya dan sukar di-kalahkan. Setelah meninggalkan Hong Beng dan Bi Lan, Tiong Khi Hwesio lalu
melakukan perjalanan cepat melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama menuju ke kota raja.
*** Dusun kecil itu tidak seperti biasanya, nampak meriah dan gembira. Dusun itu biasanya amat sunyi di waktu sepagi itu. Orang-orang sudah pergi ke sa-wah ladang dan yang tinggal di rumah hanyalah orang-orang jompo, anak-anak dan wanita-wanita yang sibuk bekerja di dalam rumah. Jalan-jalan bia-sanya sunyi. Akan tetapi pagi itu, suasana meriah dan gembira sekali, karena ada perayaan di rumah sebuah keluarga dusun itu. Ada pesta pengantin! Dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
222 seperti lajimnya di dusun-dusun, penduduknya memiliki keakraban dan penduduk dusun selalu hi-dup bergotong royong. Tidak seperti kehidupan rak-yat di kota-kota besar, di mana keakraban sudah menipis dan kegotong royongan hampir tak terasa lagi. Makin besar kota itu, makin ramai dan makin maju, makin banyak kesenangan dikejar orang dan orang--orang semakin hidup menyendiri, acuh terhadap orang lain, mengurung diri dalam sangkar ke-akuan yang selalu mementingkan diri sendiri, keluarga sendiri atau kelompok sendiri. Orang-orang dari dusun kalau sudah pindah ke kota, sudah maju dan berhasil me-ngumpulkan harta benda, segera terseret pula dan tidak memperdulikan orang lain. Memang demikian-lah keadaan masyarakat kita di bagian manapun di dunia ini. Manusia, kalau sedang menderita, kalau sedang kekurangan, akan dapat bersatu dan bergotong-royong. Akan tetapi kalau sudah hidup senang dan mulia, serba kecukupan, lenyaplah rasa persatuan dan sifat kegotong-royongan, terganti oleh rasa saling mengiri dan saling bersaing. Hal ini nampak jelas dalam kehidupan masyarakat di dusun-dusun yang biasanya akrab dan bergotong royong, dan dalam kehidupan masyarakat di kota-kota yang acuh dan sela-lu mementingkan diri sendiri.
Di dalam dusun kecil di mana sedang diadakan pesta pernikahan itu, penduduknya juga tidak berbe-da dengan dusun-dusun lain, bergotong royong. Tanpa diminta, mereka pagi-pagi sudah mendatangi keluarga yang hendak merayakan pesta pernikahan anak me-reka, untuk
mengulurkan tangan membantu. Ada yang membantu menghias ruangan, membuat bangunan darurat untuk menerima tamu, ada pula yang si-buk membantu di dapur yang sedang mempersiapkan hidangan yang akan disuguhkan siang nanti. Sejak pagi, ada pula yang bermain musik untuk memeriah-kan suasana. Semua ini mereka kerjakan dengan ikhlas, tanpa mengharapkan balas jasa dan upah.
Suasana menjadi semakin meriah ketika matahari mulai naik tinggi. Para tetangga yang tadi pagi membantu, kini sudah berganti pakaian dan mereka kini datang sebagai tamu. Akan tetapi masih banyak di antara mereka yang sibuk di dapur, dan orang-orang mudanya sibuk pula menjadi pelayan-pelayan tanpa bayaran. Para tamu mulai berdatangan dan suasana menjadi meriah sekali walaupun pesta itu amat sederhana dengan hidangan-hidangan sederhana pula, dengan musik yang dimainkan olen seniman-seniman dusun itu sendiri.
Bangku-bangku mulai dipenuhi para tamu.
Kemeriahan memuncak ketika mempelai pria da-tang untuk menjemput mempelai wanita.
Semua orang menjulurkan leher, ada yang berkerumun, un-tuk menyaksikan pertemuan sepasang pengantin itu. Pengantin perempuannya manis sekali, berusia enam-belas tahun paling banyak dan pengantin prianya juga masih muda, belum duapuluh tahun, bertubuh tegap karena biasa bekerja di sawah ladang. Melihat pan-dang mata kedua mempelai ini, yang nampak bersinar-sinar dan wajah mereka berseri, mulut mereka tersenyum dikulum, mudah diduga bahwa keduanya ti-dak asing satu sama lain dan bahwa pernikahan ini bukan pernikahan paksaan yang sering kali terjadi di dusun pada jaman itu. Tidak, sepasang mempelai ini adalah muda mudi yang sudah saling mengenal, bah-kan saling mencinta walaupun tak pernah ada kata cinta keluar dari mulut masing-masing. Bagi pendu-duk dusun cinta kasih mereka cukup diwakili oleh kerling mata dan senyum bibir saja.
Akan tetapi, sebelum orang-orang tua yang berwenang memimpin upacara pertemuan
pengantin, tiba-tiba terjadi keributan di luar. Seorang laki-laki berusia tigapuluhan tahun, bertubuh gemuk dengan perut gendut, pakaiannya mewah, mukanya dicukur licin dan pakaiannya menghamburkan bau minyak yang amat wangi, masuk diiringkan belasan orang yang bertubuh tegap dan berpakaian ringkas dengan sikap congkak dan jagoan. Semua orang mengenal laki-laki itu karena dia adalah Phoa Wan-gwe (Har-tawan Phoa) yang tinggal di Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
223 sebuah dusun yang lebih besar, tak jauh dari dusun itu. Phoa Wan-gwe adalah orang yang paling kaya dan paling berkuasa di sedikit-nya lima buah dusun di sekeliling tempat itu.
Dialah raja kecil di dusun-dusun itu karena hampir semua tanah di tempat-tempat itu telah menjadi miliknya! Dialah tuan tanahnya dan sebagai tuan tanah yang berhak atas tanah miliknya, dia dapat menentukan per-aturan-peraturan tersendiri di atas tanah yang menja-di hak miliknya. Dan untuk memperkuat peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri itu, dia memelihara puluhan orang tukang pukul yang bertugas untuk men-jamin dilaksanakannya peraturan-peraturan itu dan menghukum siapa saja yang berani menentangnya. Pa-ra petani miskin yang tidak mempunyai tanah, bekerja sebagai buruh tani kepada Phoa Wan-gwe dan ka-rena seluruh kehidupan keluarga para petani itu tergantung dari pemberian si hartawan, maka me-rekapun semua merasa takut dan tunduk, memandang Phoa Wan-gwe seperti raja mereka. Dan memanglah, hartawan ini, seperti para hartawan yang men-jadi tuan-tuan tanah di dusun-dusun, merupakan raja yang sesungguhnya bagi para petani miskin. Kaisar yang dianggap sebagai raja dari negara itu de-mikian jauh dan tak mungkin dihubungi, dan yang je-las terasa kekuasaannya adalah raja kecil di dusun yang menjadi tuan tanah seperti Phoa Wan-gwe itulah!
Sebagai seorang tuan tanah, Phoa Wan-gwe pandai mengemudikan pemerintahan kecilnya.
Dia maklum bahwa tanpa tenaga petani miskin, biarpun memiliki tanah yang amat luas, tidak akan ada arti-nya. Dia sendiri tak mungkin mengerjakan semua ta-nah itu. Hasilnya yang didapatkannya secara berlim-pah dari tanahnya yang luas, lebih dari cukup dan diapun tidak dapat dikata pelit dalam hal memberi upah kepada para buruh tani. Tidak, dia bahkan kadang-kadang merasa gembira sekali untuk mem-perlihatkan kedermawanannya kepada para
penduduk dusun, dan merasa senang sekali dipuji-puji dan disanjung-sanjung sebagai majikan yang baik hati dan murah hati. Tentu saja, semua yang dibagikannya ke-pada para petani itu hanya beberapa bagian kecil saja dari hasil yang diperolehnya dari tanahnya berkat cucuran keringat para petani.
Betapapun juga, karena dia amat memperha-tikan kebutuhan para petani sehingga para penduduk di lima dusun itu semua dapat makan kenyang se-tiap hari dan tidak sampai kehabisan pengganti pakaian, maka Phoa Wan-gwe dianggap orang baik dan tidak dibenci oleh para buruhnya. Namun, ada satu hal yang membuat orang-orang takut kepada Phoa Wan-gwe, juga kadang-kadang menimbulkan rasa iri dan benci kepada banyak orang. Pertama, karena dia dapat bersikap kejam, menghukum berat para pe-langgar peraturan. Hal ini memang ada baiknya, me-rupakan cambuk bagi para buruh tani sehingga mereka itu rajin bekerja, dengan pengetahuan bahwa kalau bermalas-malasan mereka berarti melanggar peraturan dan dihukum cambuk, akan tetapi kalau rajin mereka-pun akan berkecukupan, bukan sekedar makan kenyang dan dapat bertukar baju setiap hari, melainkan juga mungkin bisa mengumpulkan uang simpanan. Hal ke dua yang merupakan cacat dan kelemahan Phoa Wan-gwe adalah sifatnya yang mata keranjang, gila perempuan dan dia tidak pernah mau melepaskan wanita cantik yang sudah diincarnya. Dia berkeluarga, mempunyai isteri dan beberapa orang anak, bahkan telah memiliki tidak kurang dari lima orang isteri mu-da. Akan tetapi, matanya yang tajam seperti burung elang itu masih selalu mengincar anak-anak ayam.
Kalau dia sedang berjalan-jalan di dusun-dusun yang menjadi wilayah kekuasaannya, banyak orang tua cepat-cepat menyembunyikan anak-anak perempuan me-reka. Akan tetapi, tidak percuma Phoa Wan-gwe me-miliki banyak kaki tangan yang setiap saat datang memberi laporan tentang adanya gadis-gadis cantik, baik di dalam maupun di luar dusun. Dan kalau dia sudah melihat sendiri gadis yang dipuji-puji kaki tangannya dan dia tergila-gila, dengan cara apapun juga akan diusahakannya agar gadis itu menjadi miliknya. Biarpun bukan menjadi Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
224 selir, setidaknya untuk bebe-rapa hari, pekan atau bulan gadis itu harus menjadi miliknya!
Dan dia terkenal royal dan tidak sayang mengeluarkan uang untuk mendapatkan wanita yang membuatnya mengiler.
Ketika Phoa Wan-gwe muncul di dalam pesta itu, semua orang yang mengira bahwa
hartawan itu hendak datang bertamu, menjadi gembira dan juga memu-ji keluarga yang berpesta. Jarang ada keluarga petani yang dipenuhi undangannya oleh Phoa Wan-gwe yang biasanya hanya mengirim wakil dan mengirim pula sekedar sumbangan. Akan tetapi kini hartawan itu datang sendiri! Akan tetapi, ketika melihat belasan orang tukang pukul, melihat pula betapa wajah harta-wan itu keruh dan sikap para tukang pukul itu bengis, semua orang terkejut ketakutan. Mereka bangkit dari duduk mereka, memberi hormat kepada yang lewat dan saling pandang dengan sinar mata bertanya-tanya.
Ketegangan muncul dalam hati para tamu. Meli-hat kekeruhan wajah Phoa Wan-gwe, jelas bahwa har-tawan itu sedang marah, apa lagi dikawal oleh belasan orang tukang pukul. Tentu ada urusan penting. Bi-asanya, semua urusan, terutama yang mengenai pe-langgaran, hartawan itu cukup mengirim jagoan-jago-annya untuk memberi hukuman, menagih hutang dan sebagainya. Mereka yang sudah mengenal cara hidup hartawan ini maklum bahwa hanya satu hal yang men-dorong hartawan itu keluar dan menangani sendiri suatu urusan, yaitu urusan yang menyangkut wanita!
Setelah menerobos di antara para tamu, kini Phoa Wan-gwe dan para jagoannya telah tiba di ruangan tengah di mana sedang sibuk dipersiapkan upacara per-nikahan. Seorang jagoan berteriak lantang,
"Hentikan semua kebisingan musik itu! Lo Cin! Phoa Wan-gwe datang untuk bicara
denganmu. Ma-julah!"
Semua orang menjadi panik dan memandang de-ngan hati penuh ketegangan. Suara musik berhenti dan nampak Lo Cin, tuan rumah, muncul dari bela-kang dan setengah berlari menuju ke ruangan itu, mukanya agak pucat, akan tetapi sambil tersenyum ramah dia segera membungkuk dan memberi hormat di depan Phoa Wan-gwe yang memandang dengan si-kap congkak karena dia sedang marah sekali, tidak se-perti biasanya dia bersikap ramah kepada para pendu-duk.
"Ah, kiranya Phoa Wan-gwe yang datang! Maafkan bahwa karena tidak diberi tahu
sebelumnya, saya tidak keluar menyambut," kata Lo Cin dengan se-nyum lebar dipaksakan karena diapun dapat melihat bahwa hartawan ini sedang marah dan dia sendiri yang tahu mengapa hartawan itu marah-marah. Hal inilah yang mengecutkan hatinya.
Hartawan itu tetap memandang dengan muka ke-ruh, bahkan kini kemarahan berpancar keluar dari sinar matanya. "Lo Cin, kami datang bukan untuk makan hidangan pestamu, melainkan untuk bertanya mengapa engkau berani melanggar peraturan yang te-lah disetujui olehmu sendiri" Puluhan kali engkau datang merengek minta bantuan, dan selalu aku meng-ulurkan tangan membantumu, dengan harapan engkau akan menetapi janji, akan membayar pada waktu yang telah disepakati bersama. Akan tetapi apa kenyataan-nya"
Engkau tidak membayar, hanya mengulur wak-tu terus menerus, dan sekarang, sedangkan hutangpun tidak dibayar, engkau malah menghamburkan uang untuk pesta pora. Uangku yang kauhamburkan itu! Dan engkau berani mengundang aku untuk bersama-s-ama makan uangku sendiri!"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
225 Wajah tuan rumah itu menjadi pucat dan tubuhn-ya gemetar. Dia bukan saja merasa takut sekali, akan tetapi juga merasa malu karena semua tamu berkumpul mendengarkan ucapan itu. Dan diapun tahu bahwa kemarahan hartawan itu sama sekali bukan hanya karena dia belum membayar hutang-hutangnya. Sama sekali tidak. Kalau hanya itu persoalannya, Phoa Wan-gwe tidak akan semarah itu dan juga tentu hanya akan menyuruh orang-orangnya da-tang menagih. Dia teringat akan ucapan seorang di antara jagoan-jagoan hartawan itu yang pernah disampaikan kepadanya bahwa Phoa Wan-gwe menginginkan Cun Si, anak
perempuannya! Hal inilah yang mendorongnya untuk cepat-cepat merayakan pernikahan puterinya itu, yang sudah ditunangkan dengan seorang pemuda tani dari dusun lain. Dia harus cepat-cepat menikahkan puterinya sebelun Phoa Wan-gwe sempat mengajukan pinangan atau minta sendiri kepadanya! Dan itulah agaknya yang menyebabkan Phoa Wan-gwe marah-marah sekarang ini.
"Harap tuan suka memaafkan saya," katanya dengan suara gemetar. "Seperti tuan ketahui, hasil panen kemarin payah, bahkan untuk dimakan keluarga kami sendiripun kurang, panen itu rusak oleh hama, juga oleh air yang terlalu banyak dan karena hasilnya dicuri orang di waktu malam. Adapun pernikahan ini.... kami dapatkan dari hasil pinjaman sana-sini dan bantuan saudara-saudara kami di dusun-dusun lain...."
"Alasan yang dicari-cari!" bentak hartawan itu dan ketika dia menengok dan memandang pengan-tin perempuan yang nampak ketakutan itu kini dipe-luk oleh pengantin pria yang bersikap seperti hendak melindungi, hatinya semakin panas. Gadis itu dalam pakaian pengantin nampak semakin manis dan meng-gairahkan. "Karena engkau bisa memperoleh pin-jaman dari orang lain, lalu memandang rendah kepadaku, ya" Pendeknya, sekarang juga kau harus dapat membayar hutang-hutangmu, kalau tidak, ru-mah ini dan segala isinya akan kami sita dan kau se-keluargamu harus keluar dari sini!"
"Tuan Phoa.... kasihanilah kami.... se-tidaknya tunggulah sampai selesai upacara pernikahan anak kami dan setelah itu...."
"Tidak! Harus sekarang diselesaikan! Kesa-baranku sudah habis!" kata pula hartawan itu.
"Tuan Phoa, kasihanilah kami....!" Isteri Lo Cin meratap dan menjatuhkan diri berlutut di de-pan hartawan itu. Lo Cin juga menjatuhkan diri ber-lutut.
"Persetan dengan bujuk rayumu!" Hartawan itu membentak dan dengan kakinya mendorong tu-buh Lo Cin sampai terjengkang. "Bayarlah atau ka-mi akan melakukan kekerasan!"
Sementara itu, para tamu menjadi pucat dan mereka tidak mau ikut terlibat, maka mereka lalu menjauhkan diri, keluar dari ruangan itu, berkelom-pok di luar rumah, bahkan ada sebagian yang cepat pulang karena mereka inipun merasa masih mempu-nyai hutang kepada Phoa Wan-gwe dan takut kalau-kalau mereka kebagian kemarahan hartawan itu.
Melihat betapa ayah ibunya berlutut di depan hartawan itu dan ayahnya yang kena tendang itu sudah berlutut kembali, pengantin perempuan itupun menangis dan menjatuhkan diri berlutut di belakang ayahnya. Calon suaminya juga berlutut di sampingnya, memandang bingung karena pemuda inipun su-dah mengenal akan kekuasaan Phoa Wan-gwe. Du-sunnya termasuk wilayah hartawan ini pula. Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa hartawan itu menginginkan calon isterinya yang sudah beberapa tahun Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
226 lamanya men-jadi tunangannya.
Sementara itu, kepala pengawal Phoa Wan-gwe yang sudah tahu akan suasana yang
menguntung-kan bagi majikannya, melihat kesempatan terbuka baginya untuk turun tangan dan membuat jasa baik. Dia lalu mendekati Lo Cin, ikut berlutut dan berkata dengan lirih kepada petani itu.
"Lo Cin, kita semua tahu bahwa tuan Phoa ada-lah seorang yang murah hati dan bijaksana.
Beliau marah karena engkau banyak berhutang kepadanya, sebelum melunasi hutang-
hutangmu malah meraya-kan pernikahan puterimu. Hal ini berarti bahwa engkau kini menghadapi kesulitan karena anak pe-rempuanmu. Karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau menyuruh anak perempuanmu membujuk tuan Phoa agar suka mengampunimu. Biarkan
anakmu ikut bersama kami dan akan kuatur agar ia dapat menemui dan membujuk tuan Phoa dan aku yakin pasti akan berhasil. Tentang pernikahan, dapat di-undurkan untuk beberapa pekan atau beberapa bu-lan." Berkata demikian, kepala pengawal ini me-mandang dan mengedipkan matanya kepada tuan rumah dengan arti yang tak mungkin disalahtafsirkan lagi.
"Ahh.... ahhh....!" Lo Cin mengeluh dengan bingung, sebentar menoleh ke arah puterinya yang berlutut di belakangnya, memandang isterinya dan memandang Phoa Wan-gwe yang kelihatannya tidak tahu manahu tentang bisikan kepala pengawal-nya itu. Akan tetapi Cun Si, pengantin wanita yang tadi menangis sambil menundukkan mukanya, ikut memperhatikan ucapan kepala pengawal itu dan ia-pun mengerti. Ia sudah banyak mendengar tentang hartawan itu yang suka mengganggu anak bini orang, maka iapun tahu apa maksudnya kepala pengawal itu, menyuruh ayahnya mengirim ia untuk pergi membu-juk hartawan itu agar suka mengampuni ayahnya. Pernikahan diundur sampai beberapa pekan atau bu-lan! Ini saja sudah cukup baginya untuk dapat membayangkan atau menduga apa yang harus ia la-kukan.
"Tidak....!" Tiba-tiba ia berkata lirih akan tetapi dengan muka pucat, mata terbelalak dan ia memegang lengan calon suaminya. "Tidak, aku tidak mau ke sana....! Ayah, aku tidak mau.
Aku lebih baik mati sekarang juga...." Dan iapun menangis. Calon suaminya segera merangkulnya tan-pa malu-malu lagi dan pemuda inipun maklum meng-apa calon isterinya begitu ketakutan dan berduka.
"Tenanglah, tidak ada seorangpun yang akan da-pat mengganggumu seujung rambut saja selama aku masih hidup!" Sungguh gagah sekali ucapan itu, terdorong oleh tanggung jawab untuk melindungi dan membela isterinya. Akan tetapi ucapan itu mem-buat merah muka si kepala pengawal. Dia meloncat berdiri dan dengan alis berkerut dia menghampiri mempelai pria.
"Apa kaubilang" Engkau menjadi pembela gagah berani, ya" Kalau begitu, hayo keluarkan uang, dan bayar semua hutang mertuamu. Itu baru gagah namanya!" Dan kakinya menendang ke depan. Pemuda itu hanyalah seorang pemuda tani biasa, wa-laupun tubuhnya kuat karena pekerjaannya yang ka-sar, namun dia tidak pandai ilmu silat. Ketika diten-dang, tangannya menangkis begitu saja, akan tetapi tetap saja tendangan itu mengenai punggungnya.
"Bukkk....!" Tubuh mempelai pria itu terguling-guling.
"Jangan....!" Mempelai wanita menjerit dan menubruk tubuh calon suaminya yang kini berusaha untuk bangkit itu. Ada darah keluar dari mu-lut pemuda itu.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
227 "Bocah lancang ini perlu dihajar!" kata pula kepala pengawal yang agaknya mendapatkan pikiran baru. "Atau akan kubunuh sekali di sini! Bagaimana nona" Kubunuh saja dia atau engkau bersedia untuk menolong keluarga ayahmu?" Agaknya dia memperoleh sasaran lain untuk membantu majikan-nya, bukan lagi sekedar janji pembebasan hutang atau ampunan, akan tetapi kini dia mengancam akan membunuh pengantin pria kalau gadis itu tidak mau menuhi kehendak majikannya. "Tidak, aku tidak mau lebih baik kaubunuh- saja kami berdua!" Mempelai perempuan me-ratap sambil memeluk calon suaminya.
"Ya, bunuh saja kami. Kami rela mati bersama dari pada mengalami penghinaan," sambung pemuda itu.
"Jangan bunuh mereka....!" Ayah pengan-tin perempuan meratap dan memohon sambil berlu-tut dan menyembah-nyembah.
"Hemm, tidak mau memenuhi permintaan akan tetapi minta diampuni. Mana bisa!" bentak pula kepala pengawal.
Sejak tadi, di antara para tamu yang kini bergerom-bol di luar sebagai penonton, terdapat seorang gadis bersama seorang pemuda. Mereka itu bukan tamu, melainkan dua orang yang kebetulan lewat di dusun itu, melihat ramai-ramai, tertarik dan mende-kat. Mereka berdua itu adalah Gu Hong Beng dan Can Bi Lan yang seperti kita ketahui, melakukan perjalanan bersama menuju ke kota raja. Mereka sejak tadi diam saja dan merasa kagum kepada sepasang pengantin itu yang demikian berani menentang maut walaupun mereka itu hanya sepasang mu-da mudi dusun yang lemah. Jelas nampak betapa mereka itu saling mencinta dan rela mati bersama Baik Hong Beng maupun Bi Lan belum pernah melihat atau mendengar pernyataan cinta yang demikian mendalam, dan diam-diam mereka merasa terharu sekali.
Melihat betapa kini kepala jagoan itu hendak menyiksa bahkan mengancam hendak
membunuh, Bi Lan mengerutkan alisnya. Ia tadi sudah mendengar semuanya dan seperti juga Hong Beng, ia dapat menduga bahwa hartawan itu tentu menginginkan pengantin wanita dan kini mempergunakan kekuasaanya untuk merampas pengantin wanita. Akan tetapi sebelum ia atau Hong Beng meloncat ke dalam untuk membela keluarga pengantin, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Anjing-anjing srigala bermuka manusia sungguh menjemukan sekali!" Dan dari kerumunan orang-orang itu meloncat masuk seorang pemuda yang gagah perkasa. Bi Lan dan Hong Beng memandang dan keduanya kagum. Pemuda itu memang mengagumkan sekali. Tubuhnya
tinggi besar dan gagah perkasa. Mukanya yang berkulit agak gelap nampak jantan dan gagah.
Usianya sebaya dengan Hong Beng, mungkin hanya lebih tua satu dua tahun, akan tetapi karena tubuhnya tinggi besar dia nampak lebih tua. Di punggungnya terdapat buntalan pakaian seperti halnya Bi Lan dan Hong Beng, dan hal inimenunjukkan bahwa dia adalah seorang yang sedang melaku-kan perjalanan jauh sehingga membawa bekal pakai-an. Akan tetapi ada benda sepanjang kurang lebih tiga kaki di dalam buntalan itu, kelihatan menonjol kecil dan Bi Lan dapat menduga bahwa tentu benda itu sebatang pedang dalam gagangnya.
Pemuda gagah perkasa itu memang bukan pe-muda sembarangan. Dia adalah Cu Kun Tek, puteri tunggal pendekar sakti Cu Kang Bu dan isterinya Yu Hwi, pendekar dari Lembah Gunung Naga Siluman di Himalaya! Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, ketika pendekar Sim Houw mengun-jungi paman kakeknya, Cu Kang Bu, di lembah itu, pendekar ini telah menerima pedang pusaka Suling Naga dari kakek Pek-bin Lo-sian dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
228 karena senjata itu sudah cukup ampuh baginya, maka pendekar Sim Houw lalu menyerahkan kembali pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang berasal dari lembah itu kepada paman kakeknya. Bahkan dia juga menyerahk-an sebatang suling emas kepada keluarga Cu. Ketik-a itu, tujuh tahun yang lalu, Cu Kun Tek baru berusia duabelas tahun. Kini dia telah menjadi seorang muda perkasa berusia sembilanbelas tahun, telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayah bundanya! Dia mendapat anjuran dari ayah bundanya untuk turun gunung dan menuju ke dunia ramai di timur, untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman. Sebelum berangkat, ayah ibunya memperke-nalkan nama-nama deretan pendekar yang mereka kenal, terutama sekali keluarga para pendekar Pulau Es dan lain-lain. Juga ayah bundanya memperingatkan dia akan nama-nama beberapa orang tokoh dunia hitam yang mereka kenal.
"Ingatlah selalu, Kun Tek, bahwa kepandaian silat yang kaupelajari selama ini hanya merupakan sekelumit saja dari ilmu-ilmu yang tinggi yang dimiliki tokoh-tokoh dunia persilatan. Oleh karena itu jangan sekali-kali menonjolkan ilmu silatmu, apa lagi menyombongkannya. Engkau masih harus banyak belajar dan engkau hanya akan dapat belajar dan menambah pengetahuanmu kalau engkau bersikap kosong dan tidak memiliki kepandaian apa-apa. Hannya periuk yang selalu kosong dapat menampung tambahan air dari luar, sebaliknya periuk yang selalu penuh takkan mampu menampung apapun dari luar.
Jadilah seperti periuk yang selalu kosong."
"Akan tetapi, kalau engkau melihat peristiwa yang tidak adil, melihat kesewenang-wenangan dilakukan orang terhadap yang lemah, engkau harus turun tangan membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat. Engkau harus berwatak sebagai seorang pendekar budiman yang gagah perkasa dan pantang mundur untuk membela kebenaran dan keadilan!"
kata ibunya. Mendengar nasihat isterinya kepada putera mereka, Cu Kang Bu tersenyum. Memang
isterinya berwatak keras dan gagah perkasa. "Benar kata ibumu, Kun Tek, akan tetapi engkau harus waspada dan kalau tidak perlu sekali, jangan melibatkan diri dalam perkelahian. Ingat, engkau turun gunung untuk mencari pengalaman, bukan mencari permusuhan de-ngan
siapapun juga." Ketika Kun Tek berangkat pada keesokan hari-nya, pagi-pagi sekali, baru saja dia tiba di lereng pertama, ibunya menyusulnya. Ibunya menyerahkan pe-dang Koai-liong Po-kiam kepadanya. "Bawalah pe-dang pusaka ini, anakku. Di dunia ramai banyak sekali orang jahat yang lihai. Pedang ini boleh kauper-gunakan kalau engkau berada dalam ancaman bahaya.
Hanya untuk melindungi dirimu, kalau tidak perlu jangan kaukeluarkan, simpan saja dalam buntalan pa-kaian."
Kun Tek merasa girang sekali. Memang dia amat sayang kepada pedang pusaka pemberian Sim Houw itu, pedang pusaka yang memang berasal dari kelu-arga mereka. Ketika dia mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, pedang pusaka itulah yang dia pakai untuk berlatih sehingga dia dapat memainkan pedang itu dengan baiknya. Kini ibunya memberikannya untuk bekal, tentu saja dia merasa girang sekali. Hati-nya menjadi lebih besar dan tabah kalau membawa pedang pusaka itu.
Setelah dia berangkat meninggalkan ibunya yang berdiri mengikuti bayangan putera tercinta itu dengan mata basah, tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang wanita itu.
"Hemm, kau menyerahkan pedang pusaka itu kepadanya" Sungguh besar sekali resikonya."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
229 Yu Hwi membalikkan tubuhnya dan memandang suaminya. "Dia memerlukan pusaka itu
untuk mem-bela diri. Banyak sekali penjahat-penjahat lihai di sana."
"Tapi pedang itu adalah pusaka keluarga kita se-jak dahulu, sudah seharusnya disimpan dan dipuja oleh Lembah Naga Siluman. Bagaimana kalau sampai pe-dang pusaka itu hilang dirampas orang?"
"Aih, apakah engkau kurang percaya kepada pu-tera sendiri" Kun Tek cukup kuat untuk menjaga pedang itu, dan pedang itupun amat berguna untuk melindunginya dari ancaman bahaya, kalau kaki ta-ngannya sudah tidak mampu lagi melindungi dirinya. Pula, pedang itu adalah pedang pusaka keluarga Cu, dan bukankah Kun Tek merupakan keturunan terakhir dari keluarga Cu" Dia berhak memilikinya."
Cu Kang Bu menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja berbantah dengan isterinya yang keras hati. Pula, perbuatan isterinya itu terdorong rasa cinta dan khawatir terhadap keselamatan Kun Tek. Dengan pedang itu di tangan, memang keadaan putera mereka lebih kuat.
Demikianlah, pada hari itu, seperti juga Bi Lan dan Hong Beng, Kun Tek kebetulan lewat di dusun itu dan melihat peristiwa yang membuat mukanya yang agak kehitaman itu menjadi lebih gelap karena marah. Dia marah sekali dan tidak dapat menahan gejolak hatinya untuk membela keluarga pengantin yang sedang ditekan oleh hartawan dan anak buahnya itu.
Mendengar dirinya dimaki anjing srigala, kepala pengawal itu marah sekali. Dia menoleh dan melihat kegagahan pemuda tinggi besar itu, kepala pengawal ini bersikap hati-hati. Pemuda ini nampak tegap dan kuat, dan kalau sudah berani memaki dia, tentu pe-muda ini memiliki kepandaian yang diandalkan.
"Hemm, orang muda yang lancang, siapakah eng-kau dan dari perguruan mana?" bentaknya, setengah menghardik dan setengah menyelidik.
"Namaku tidak ada sangkut pautnya dengan ka-lian serombongan srigala yang jahat!" bentak Kun Tek marah, lalu dia menoleh kepada Phoa Wan-gwe dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung hartawan itu. "Dan kau, orang kaya yang hendak memeras dan menindas orang miskin, minggatlah dan bawa anjing-anjingmu pergi, kalau tidak, akan kuha-jar kau dan anjing-anjingmu sampai berkuik-kuik minta ampun!"
Sikap pemuda itu benar-benar gagah dan semua ucapannya itu bukan karena
kesombongannya, mela-inkan karena kemarahannya yang memuncak. Me-mang pemuda ini mewarisi kekerasan hati seperti ibunya. Dari ayahnya dia hanya mewarisi tubuh yang tinggi besar dan tenaga raksasa.
Kepala pengawal itu marah bukan main. Dia se-orang yang sudah biasa menggunakan kekerasan me-maksakan kehendaknya atau kehendak majikannya dan tidak malu-malu untuk mengandalkan jumlah banyak. Melihat sikap Kun Tek, dia merasa agak gentar untuk maju sendiri, maka dia lalu berteriak memberi aba-aba kepada anak buahnya yang berjum-lah empatbelas orang bersama dia itu. "Mari kita ha-jar bocah ingusan sombong ini!"
Pekerjaan para jagoan, pengawal atau tukang pu-kul itu adalah untuk memukul dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
230 menganiaya orang. Hanya dengan cara itulah mereka dapat menyenang-kan hati majikan mereka, dan untuk keperluan itu pula mereka dibayar. Kini, mendengar perintah dari pemimpin mereka, belasan orang itu bergerak me-ngepung dan menyerang, didahului oleh dua orang tukang pukul yang berada paling dekat dengan pe-muda itu.
Kun Tek tidak bergerak dari tempat dia berdiri, hanya kedua tangannya bergerak cepat dan dua orang penyerang itu terpelanting dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit lagi karena tulang pundak mereka telah patah ketika bertemu dengan jari-jari tangan Kun Tek! Para pengawal lainnya menjadi marah dan terjadilah pergeroyokan yang kacau dan bising. Para pengawal itu berteriak-teriak, dan memang mereka itu sekumpulan orang yang kejam dan ganas. Bi Lan yang nonton perkelahian itu melihat ketepatan makian pemuda itu tadi yang menamakan mereka itu segerombolan srigala. Memang mereka itu mengero-yok seperti srigala-srigala kelaparan, sambil menggonggong membisingkan. Akan tetapi, pemuda tinggi besar itu sungguh mengagumkan sekali. Sikapnya tenang dan kokoh kuat, gerakannya mantap dan tabah penuh wibawa, seperti seekor naga yang dikero-yok. Dan hebatnya, kalau ada pukulan yang mengenai tubuhnya, pukulan itu seperti tidak dirasakannya dan pemukulnya malah mengaduh menggoyang-go-yang tangan yang dipakai memukul, sedangkan seti-ap kali pemuda itu menampar atau menendang, tentu ada tubuh pengeroyok yang terpental atau terpelan-ting keras.
Perkelahian itu tidak berlangsung lama. Ketika orang terakhir, yaitu kepala pengawal, roboh oleh tendangan kaki Kun Tek, hartawan Phoa sudah ce-pat melarikan diri. Akan tetapi, Kun Tek yang se-jak tadi memperhatikan orang itu, cepat meloncat ke depan dan seperti seekor harimau menerkam kelenci, dia sudah menubruk dan mencengkeram punggung baju orang itu. Ketika dia mengangkat tangan kiri-nya yang mencengkeram, hartawan itu terangkat ke-atas. Dengan muka pucat dan mata terbelalak harta-wan Phoa memandang kepada pemuda itu.
"Ampun.... ampunkan aku...." ratap-nya, dan dia sama sekali tidak ingat betapa seringnya ratapan minta ampun itu keluar dari mulut orang-orang yang pernah ditindasnya.
Kun Tek tersenyum mengejek. "Pernahkah engkau mengampuni orang lain?" Dan sekali dia mem-banting, tubuh hartawan itu jatuh ke atas tanah dan dia tetap rebah tanpa berani bangkit lagi, mukanya menjadi semakin pucat. Para pengawal yang sudah mampu bangkit kembali hanya memandang, tidak berani berkutik. "Diantara mereka ada yang men-derita patah tulang, benjol-benjol dan babak belur.
Pada saat itu, Lo Cin, si petani menghampiri Kun Tek dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan pe-muda itu. "Taihiap, harap taihiap sudi mdepaskan Phoa Wan-gwe. Sesungguhnya, dia tidak bersalah. Sayalah yang bersalah, harap taihiap tidak menjadi salah mengerti dan suka membebaskan dia."
Tentu saja Kun Tek tertegun dan memandang heran. Orang ini bersama keluarganya tadi ditindas dan diancam. Dia turun tangan menghajar para pe-nindas, akan tetapi mengapa orang ini malah memintakan ampun terhadap penindasnya"
"Paman, tidak kelirukah engkau" Bukankah har-tawan ini menindasmu dan hendak
mengganggu pu-terimu" Memeras dan mengancam, bahkan tukang pukulnya tadi telah
memukul mantumu?" Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
231 "Semua itu memang benar, akan tetapi sebabnya adalah karena kesalahan kami, taihiap. Phoa Wan-gwe telah banyak menolong keluarga kami, se-perti juga keluarga semua petani di sini.
Kaiau kami kekurangan makan dan pakaian, selalu dialah yang mengulurkan tangan
menolong kami. Akan tetapi, saya telah berkali-kali melanggar janji, tidak dapat mengembalikan hutang-hutangku yang banyak seperti yang telah saya janjikan. Karena itulah dia marah--marah melihat kami mengadakan pesta sedangkan hu-tang-hutang kami belum terbayar. Dan saya berjanji, asal Phoa Wan-gwe suka memberi kelonggaran hati, dalam beberapa bulan ini, dibantu mantuku, kami pasti akan membayar hutang-hutang itu."
Semua orang yang masih menonton di luar mengangguk-angguk. Tak dapat mereka sangkal bahwa memang Phoa Wan-gwe seorang dermawan bagi mereka. Kalau terjadi keributan tadi, hanya karena kelemahannya, yaitu mudah tergila-gila perempuan can-tik! Kini merekapun mengerti akan sikap Lo Cin yang melindungi hartawan itu dari hajaran dan hu-kuman dari pendekar muda itu.
Orang yang merasa paling terpukul batinnya ada-lah Phoa Wan-gwe sendiri. Tak
disangkanya sama sekali bahwa yang menyelamatkannya atau berusaha menyelamatkannya adalah justeru Lo Cin! Dia me-rasa terharu sekali dan sadarlah dia akan kelemahan-nya dan kesalahannya.
"Paman Lo Cin, aku minta maaf kepadamu, ke-pada keluargamu.... biarlah hutang-hutang itu dihabiskan saja sampai di sini dan semua urusan di-habiskan, aku memang bersalah," katanya.
Mendengar ini, Kun Tek semakin terheran-heran. Benarkah hartawan ini orang baik-baik, ataukah penindas rakyat miskin" Melihat betapa di luar banyak terdapat orang dusun yang kini nonton keributan itu, dengan suara lantang dia berteriak.
"Saudara-saudara penduduk dusun ini, dengarlah! Karena melihat tindakan sewenang-wenang, aku turun tangan meughajar jagoan-jagoan ini dan menangkap hartawan ini. Akan tetapi, keluarga pengantin malah mintakan ampun. Bagaimana, apakah aku harus melepaskan hartawan ini, ataukah dia harus dihajar sampai tulangnya patah-patah agar dia lain kali tidak akan mengulangi perbuatannya?"
Dan Kun Tek melihat hal yang dianggapnya aneh. Sebagian dari orang-orang itu
menjatuhkan diri berlutut pula dan berseru kepadanya dari jauh, "Taihiap, harap suka melepaskan Phoa Wan-gwe. Dia derma-wan penolong kami."
Kun Tek mengerutkan alisnya dan memandang kepada hartawan itu. "Sungguh aku tidak mengerti. Engkau tadi jelas mengerahkan anjing-anjing ini un-tuk melakukan penganiayaan dan ancaman, akan te-tapi mengapa orang-orang dusun ini membelamu" Hayo katakan, sebenarnya apa yang telah kaulakukan untuk menguasai mereka?"
Hartawan Phoa bangkit duduk dan memberi hor-mat. "Terus terang saja, taihiap. Selamanya saya bersahabat dengan penduduk dusun, membantu me-reka dan kami bekerja sama dengan baik selama pu-luhan tahun, semenjak saya masih kecil dan ayah yang berkuasa di sini. Akan tetapi terus terang saja, saya telah bersalah, terlalu menurutkan nafsu dan mudah tergiur oleh kecantikan wanita. Pengalaman hari ini akan menjadi peringatan bagi saya dan mudah-mudahan Tuhan akan membantu saya dan memberi kekuatan untuk melawan godaan setan."
Hartawan itu lalu berkata kepada Lo Cin, "Paman Lo Cin, mari kita lanjutkan pesta ini.
Biar-lah aku yang membeayai, tambah lagi masakan dan saudara-saudara yang berada di luar, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
232 mari kita raya-kan pernikahan puteri dari paman Lo Cin!"


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja sikap dan ucapan hartawan Phoa itu disambut sorakan gembira dari para penduduk dusun karena mereka kini mengenal lagi hartawan itu se-perti biasanya kalau sedang memberi pertolongan dan derma kepada para penduduk dusun yang mis-kin. Para tukang pukul itu disuruh pulang oleh Phoa Wan-gwe untuk berobat dan merawat luka-luka me-reka.
Ketika Lo Cin sekeluarga yang merasa gembira sekali itu hendak mengundang pemuda perkasa tadi untuk menjadi tamu kehormatan, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ dan agaknya telah pergi tan-pa pamit, menyelinap di antara orang banyak. Hal ini diketahui oleh Bi Lan dan Hong Beng dan mere-ka kagum bukan main, kemudian merekapun diam-diam pergi dari tempat itu.
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua bercakap-cakap, membicarakan peris-tiwa yang baru mereka lihat di dusun tadi.
"Pemuda itu tadi luar biasa, bagaimana penda-patmu tentang dia, Hong Beng?" Bi Lan bertanya.
Sambil melangkah dengan tegap di samping ga-dis itu, Hong Beng memandang ke atas, melihat awan bergerak di hari yang cerah itu. "Dia" Wah, dia memang hebat. Kalau saja ada kesempatan, aku ingin sekali mencoba mengadu kepandaian dengan dia."
"Ehh....?" Bi Lan terkejut dan menahan langkahnya sehingga Hong Beng terpaksa berhenti juga. Dengan alis berkerut gadis itu menatap wajah temannya dan bertanya, "Kenapa engkau mempunyai pikiran seaneh itu, seolah-olah engkau ingin memu-suhinya?"
Ditegur demikian, barulah Hong Beng merasa terkejut dan mukanya berubah kemerahan.
Tanpa disadarinya, dia tadi telah mengeluarkan ucapan yang nadanya keras dan bermusuh terhadap pemuda per-kasa yang tak dikenalnya itu! "Tidak apa-apa, maksudku.... aku kagum sekali dan ingin berkenalan dengan dia dan di kalangan kita yang suka akan ilmu silat, perkenalan akan lebih akrab kalau diawali dengan adu kepandaian silat."
"Hemm, dia merupakan lawan yang tidak ringan untuk dilawan, Hong Beng. Aku tidak yakin apa-kah engkau akan dapat mengalahkan dia," kata Bi Lan sambil melanjutkan perjalanan itu dengan lang-kah seenaknya.
Hong Beng melirik ke kiri. Akan tetapi wajah gadis itu tidak membayangkan sesuatu dan pemuda itu menekan perasaannya yang tidak enak. Alisnya berkerut. Gadis ini agaknya sudah tertarik sekali kepada pemuda tinggi besar itu, pikirnya tak senang.
"Akan tetapi aku yakin akan dapat mengatasinya. Biarpun tidak kusangkal bahwa dia lihai, akan tetapi ilmunya masih belum matang. Buktinya tadi dia membiarkan beberapa pukulan mengenai tubuhnya ketika dia menghadapi pengeroyokan itu."
"Akan tetapi pukulan-pukulan itu sama sekali ti-dak membuatnya tergoyah, sama sekali tidak dirasa-kannya!"
"Memang agaknya begitu. Akan tetapi engkau sendiri tentu tahu bahwa membiarkan tubuh Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
233 terpu-kul lawan dengan melindungi tubuh menggunakan kekebalan bukanlah cara yang baik untuk membela diri. Mengapa dia tidak menggunakan kelincahan dan kecepatan gerakan untuk menghindarkan pukulan-pukulan itu" Hal itu hanya membuktikan bahwa dalam hal kecepatan gerak tubuh, dia belum berapa hebat. Karena itulah aku merasa yakin akan dapat mengalahkannya."
"Hong Beng, dia jelas seorang pendekar budiman yang gagah perkasa, bagaimana engkau berani me-mandang rendah kepadanya, bahkan ingin mencoba kepandaiannya" Apakah
engkau ingin bermusuhan dengan seorang pendekar?"
"Akan tetapi dia agak sombong...."
"Kau keliru! Dia sama sekali tidak sombong, bahkan memperkenalkan namapun tidak. Dia tegas dan gagah perkasa."
Hong Beng merasa betapa perutnya menjadi semakin panas mendengar gadis itu memuji-muji pemu-da tinggi besar itu setinggi langit. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan berkata, "Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan dia lagi. Kau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi orang. Yang lebih me-ngagumkan aku adalah sikap sepasang mempelai itu.
Mereka berani menentang maut, menghadapi ancam-an hartawan dan anak buahnya itu dengan gagah be-rani, padahal mereka berdua adalah orang-orang biasa yang lemah dan tidak berdaya melawan."
"Jangan bilang mereka itu lemah Hong Beng. Mereka berdua itu kuat sekali, lebih kuat dari pada maut...."
"Eh maksudmu Hong Beng terkejut dan heran sampai menghentikan langkahnya,
meman-dang gadis itu dengan mata terbelalak.
Bi Lan tersenyum. "Jangan pandang aku seperti orang melihat setan!" katanya. "Aku katakan bah-wa mereka itu tidak lemah, karena mereka saling memiliki, mereka saling mencinta.
Cinta itulah yang membuat mereka kuat dan berani menghadapi an-caman maut."
Pandang mata Hong Beng menjadi lunak dan sa-yu ketika dia mendengar ucapan ini, jantungnya ber-debar. "Bi Lan.... bagaimana kau tahu tentang semua itu?"
"Tentu saja. Siapapun dapat melihat bahwa se-pasang pengantin itu saling mencinta, dan dengan bersenjatakan cinta kasih, keduanya berani menen-tang maut. Lihat betapa pengantin pria yang lemah itu berani melindungi calon isterinya, dan lihat beta-pa pengantin wanita itu menyandarkan keselamatan-nya kepadanya, nampak dalam pandang mata mereka, sikap mereka."
"Bukan itu, maksudku, bagaimana engkau tahu tentang cinta kasih" Kau mengatakan bahwa cinta kasih membuat mereka kuat dan berani. Apakah.... pernahkah.... kau mengalaminya sendiri?"
Wajah gadis yang biasanya polos dan tidak pema-lu itu kini berubah agak merah dan matanya meman-dang marah. "Iihh, prasangkamu buruk! Kaukira aku ini wanita macam apa"
Aku tidak pernah jatuh cinta dan takkan pernah!" Kemudian sambungnya lirih, "Laginya, siapa sih yang bisa jatuh cinta kepa-da orang macam aku ini?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
234 Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Dengan muka agak pucat kini dia meman-dang gadis yang berdiri di depannya itu. Sinar mata-nya seperti hendak menembus dan menjenguk isi hati Bi Lan. Dia merasa betapa kedua kakinya gemetar. Hatinya gentar untuk bicara, akan tetapi ada dorong-an kuat sekali yang memaksanya membuka mulut dan suaranya terdengar aneh dan ringan, seperti suara lain datang dari jauh ketika akhirnya dia berkata, "Bi Lan.... dengarlah aku...."
Bi Lan membelalakkan matanya. Ia melihat wa-jah pemuda itu menjadi aneh, begitu pucat dan sinar matanya begitu sayu akan tetapi juga ada sinarnya yang tajam penuh sdidik, dan yang paling menghe-rankan hatinya adalah kata-kata itu, dan suaranya yang demikian lembut dan penuh getaran.
"Hong Beng, ada apakah" Sejak tadi aku mendengarkanmu," katanya mengomel karena ia sendiri merasakan sesuatu yang aneh dan membingungkan dari sikap pemuda itu.
"Bi Lan.... tahukah engkau.... bahwa ada seorang yang jatuh cinta kepadamu sejak perta-ma kali melihatmu?"
Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. Bi Lan benar-benar tidak dapat menangkap apa yang dimak-sudkan pemuda itu. "Hong Beng, engkau ini bicara apakah" Jangan main gila kau, siapa yang kaumaksudkan itu?"
"Aku....!" Hong Beng mengaku dan hatinya lega setelah dengan nekat akhirnya dia mampu juga membuat pengakuan yang menggelisahkan dan menegangkan hatinya itu. "Aku telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu, maka jangan mengira bahwa tidak ada orang yang bisa ja-tuh cinta padamu."
Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar de-ngan kacau. Ia tidak tahu apakah ia harus marah atau bagaimana. Ia merasa canggung, tidak malu, hanya canggung dan tidakenak. Ia merasa dibawa ke suatu daerah yang sama sekali asing baginya, dise-ret ke dalam keadaan yang menggelisahkan karena sama sekali tidak dikenal dan diketahuinya. Ia tidak tahu sama sekali tentang cinta kasih, walaupun tadi dengan mudah saja ia dapat bicara tentang cinta yang nampak antara sepasang mempelai di dusun itu. Sete-lah kini ada orang mengaku cinta kepadanya, ia men-jadi bingung! Apa lagi yang membuat pengakuan ini adalah Gu Hong Beng, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengannya, yang dianggapnya sebagai seorang sahahat baru yang amat baik. Akhirnya, ke-adaan yang menegangkan dan membingungkan hati-nya itu menimbulkan kemarahan! Terlalu sekali pe-muda ini, merusak suasana yang begitu baik! Men-datangkan kecanggungan dan perasaan tidak enak saja. Setelah mendengar pengakuan pemuda itu, ma-na mungkin ia dapat berada di dekat pemuda ini se-lanjutnya"
"Bi Lan, maafkan kalau keterusteranganku tadi menyinggung perasaan hatimu," kata Hong Beng dengan halus ketika dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi sebentar pucat dan sebentar merah, dan terbayang kemarahan pada sinar matanya.
"Maaf" Enak saja kau bicara!" Bi Lan mengo-mel, sengaja bersikap biasa untuk mengusir perasaan tidak enak di hatinya dan membuyarkan suasana tegang yang mencekam di antara mereka. "Kau sudah merusak suasana dan aku tidak mungkin lagi melaku-kan perjalanan bersamamu."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
235 "Bi Lan....!" "Biarlah kita kelak berjumpa lagi kalau ada kesempatan, akan tetapi aku tidak mau lagi melakukan perjalanan bersamamu." Gadis itu lalu meloncat.
"Bi Lan, tunggu....! "
"Mau apa lagi?"
Dengan satu kali loncatan, Hong Beng sudah berada di depan gadis itu, wajahnya pucat dan membayangkan kegelisahan dan kekecewaan. "Bi Lan, apakah pernyataan cintaku tadi menyakiti hatimu, menyinggung perasaanmu?"
"Tidak menyakiti, akan tetapi tentu saja menyinggung! Aku tidak suka bicara tentang itu!"
"Akan tetapi apakah kau.... meno-lak cintaku" Bi Lan, berterusteranglah saja agar aku tidak tenggelam ke dalam keraguan dan kegeli-sahan. Apakah tidak ada cinta di hatimu terhadap diriku" Apakah engkau membenciku?"
Bi Lan membanting kakinya dengan gemas. "Aku tidak suka bicara dengan itu, engkau malah menghu-jani aku dengan urusan cinta! Huh, aku tidak men-cinta siapa-siapa, dan tidak membenci siapa-siapa. Sudahlah, selamat tinggal!" Dan iapun melarikan diri dengan cepatnya meninggalkan pemuda itu.
Hong Beng berdiri bengong dengan muka pucat. Ingin dia mengejar dan dia yakin akan dapat me-nyusul gadis itu kalau mengejarnya, akan tetapi dia tidak mau membikin marah gadis itu dengan desak-annya. Dia hanya berdiri sambil mengepal tinju, di-am-diam merasa menyesal kepada diri sendiri yang telah tergesa-gesa menyatakan cinta kasihnya. Tadinya memang dia tidak berniat untuk menyatakan cin-tanya, walaupun sejak pertemuan pertama dia sudah jatuh hati. Bukan hanya perasaan kagum yang terasa olehnya terhadap gadis itu, melainkan perasaan cinta. Hal ini dia rasakan benar walaupun dia juga belum berpengalaman dalam hal itu. Tadinya dia hanya akan merahasiakannya saja sambil menanti kesempatan baik untuk kelak mengakui cintanya. Akan tetapi, perjum-paan mereka dengan sepasang mempelai yang saling mencinta itu, kemudian membicarakan cinta kasih sepasang mempelai itu, ditambah lagi ucapan Bi Lan yang merasa bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta kepadanya, semua itu mendorongnya dan per-nyataan cinta itupun meluncur keluar dari mulutnya sebelum dia sempat menahannya lagi.
Dan kini semua itu telah terjadi. Dia sudah terlanjur menyatakan cinta dan gadis itu menolaknya, bahkan kini meninggalkannya! Meninggalkannya be-gitu saja! Hong Beng merasa betapa keadaan sekeli-lingnya tiba-tiba saja menjadi amat sunyi, dia merasa ditinggalkan seorang diri, merasa disia-siakan, merasa tidak ada gunanya lagi. Pemuda itu lalu menjatuh-kan diri di atas rumput dan menutupkan kedua ta-ngan di depan mukanya sambil memejamkan kedua matanya. Dia merasa terpukul dan terhimpit batin-nya untuk ke dua kalinya selama hidupnya yang de-lapanbelas tahun ini. Pertama kali ketika dia kehi-langan ayah bundanya. Dan kedua kalinya sekarang Ketika dia ditinggalkan Bi tan. Perasaannya menjadi terapung, hatinya kosong, kedukaan menyelimutinya, seperti gelombang besar menerkamnya, menenggelamkannya.
Betapa hebatnya cinta asmara antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
236 mencengkeram dan mempermainkan manusia seperti badai mempermainkan daun-daun
kering yang tak berdaya. Kalau hati sudah dilanda asmara, maka hati itu ber-arti sudah siap untuk timbul atau tenggelam, siap un-tuk menikmati kesenangan yang sebesar-besarnya atau menderita kesusahan yang sedalam-dalamnya. Tidak ada kesenangan yang lebih besar dari bersatu-nya dua hati yang dilanda asmara, akan tetapi juga tidak ada kedukaan yang lebih mendalam dari pada pecahnya dan putusnya pertalian antara dua hati itu. Tidak ada keresahan dan kesepian yang lebih mencekik daripada ditinggal pergi kekasih hati dan tidak ada keputusasaan yang demikian ringkih dari pada orang yang dikasihi tidak membalas cintanya.
Haruskah demikian" Haruskah seseorang yang gagal dalam cintanya menjadi putus asa dan membiar-kan diri dibenamkan duka nestapa" Cinta asmara antara pria dan wanita hanya dapat terjadi dan ber-hasil kalau keduanya menyambutnya. Cinta asmara tidak mungkin terjadi hanya dari satu pihak saja. Bo-dohlah orang yang membiarkan batin menderita ka-rena orang yang dicintanya tidak menyambut atau membalas cintanya itu. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan pada seseorang. Cinta adalah urusan hati yang amat pribadi.
Cinta kasih yang sejati tidak akan mendatangkan duka. Cinta kasih kepada seseorang berarti rasa be-las kasih dan kasih sayang kepada orang itu, dan yang ada hanya keinginan untuk membahagiakan orang itu, atau melihat orang itu berbahagia, baik orang itu menjadi miliknya atau tidak, dekat atau jauh darinya. Cinta kasih tidak mengenal kepuasan diri sendiri. Yang mengharapkan kepuasan diri sendiri, yang me-ngejar kesenangan hati sendiri, yang ingin memiliki, ingin menguasai, bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu berahi.
Bukan berarti bahwa cinta kasih tidak seharusnya mengandung berahi. Cinta kasih mengandung semua-nya, kecuali keinginan menyenangkan diri sendiri wa-laupun cinta kasih dapat mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Cinta kasih adalah keada-an suatu hati yang penuh dengan sinar Illahi, sedang-kan berahi adalah keadaan suatu tubuh yang normal dan wajar, menurutkan naluri badaniah. Bagi hati yang penuh dengan sinar cinta kasih, berahi merupa-kan sesuatu yang indah dan suci, suatu kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam badan dan batin, suatu gejolak yang digerakkan oleh daya tarik-menarik dari Im dan Yang, suatu sarana untuk penciptaan yang agung karena tanpa itu, tanpa adanya daya tarik Im dan Yang sehingga keduanya saling mendorong, ma-ka alam ini akan berhenti bergerak.
Sebaliknya, ka-lau hati kosong dari cinta, berahi hanya merupakan suatu permainan belaka, kadang-kadang amat kotor dan hanya menjadi sarana untuk memuaskan nafsu di hati.
Hong Beng bukanlah seorang pemuda yang men-jadi hamba nafsu-nafsunya. Tidak, bahkan selamanya dia belum pernah berhubungan dengan wanita. Akan tetapi dia belum sadar akan cinta sejati dan sebagai seorang pemuda biasa, dia tunduk kepada keadaan batinnya yang masih dapat menjadi permainan aku-nya sendiri, di mana nafsu selalu berkuasa dan ke-adaan hati ditentukan oleh berhasil atau gagalnya naf-su. Diombang-ambingkan antara puas kecewa, harap-an dan keputusasaan, senang dan susah. Biarpun dia memperoleh gemblengan yang keras dari gurunya, namun gemblengan itu hanya memperkuat badannya, belum mampu mendatangkan kesadaran kepada batinnya. Karena itu, badannya mungkin tahan pukul-an, namun batinnya masih lemah dan mudah tergun-cang oleh kegagalan dan kekecewaan yang menimbul-kan perasaan sesal dan iba diri yang menyengsarakan.
*** Bi Lan melarikan diri dengan cepat. Gadis ini bagaikan seekor burung yang nyaris kena sambaran anak panah. Terkejut, ngeri dan ketakutan. Ia se-orang gadis yang masih hijau Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
237 dalam hal urusan antara pria dan wanita. Yang ia pernah alami mengenai hal itu hanyalah yang buruk-buruk saja. Pernah ia hampir diperkosa oleh tiga orang gurunya setelah hampir menjadi korban penganiayaan dan perkosaan sekelom-pok orang buas. Kemudian ia bertemu dengan Bhok Gun dan ia melihat sikap yang sama dari Bhok Gun. Sikap laki-laki yang haus dan yang menganggap wa-nita sebagai barang permainan saja. Dan diam-diam timbul kemuakan dalam hatinya, membuat ia tidak percaya akan kejujuran pria dalam urusan kasih sa-yang. Yang pernah dialami dan dilihatnya hanyalah kebengisan nafsu berahi yang diperlihatkan pria ter-hadap wanita. Karena itu ia kagum melihat keme-sraan dan kesetiaan antara sepasang mempelai itu. Akan tetapi ketika urusan cinta itu menyerang diri-nya sendiri, dilontarkan oleh mulut Hong Beng satu-satunya pria yang mendatangkan kagum dan
keper-cayaan dalam dirinya, ia menjadi terkejut, ngeri dan ketakutan. Maka iapun melarikan diri, bukan takut terhadap Hong Beng, melainkan takut akan sikap pe-muda itu, takut akan dirinya sendiri yang merasa nge-ri dan asing dengan urusan hati itu.
Setelah berlari cepat sampai setengah hari lamanya, Bi Lan tiba di sebuah hutan di kaki gunung. Hutan yang penuh dengan pohon cemara, tempat yang indah. Ia merasa lelah dan duduklah ia di ba-wah sebatang pohon besar yang rindang daunnya. Angin bersilir membuat ia mengantuk dan iapun du-duk melamun, memikirkan Hong Beng dari sikap pemuda itu siang tadi. Matahari kini sudah condong ke barat, namun sinarnya yang kemerahan masih menerobos antara celah-celah daun pohon.
Hong Beng seorang pemuda yang amat baik, hal itu tidak diragukannya lagi. Seorang pemuda yang bermuka bersih dan cerah, berkulit kuning dan tam-pan. Sikapnya sederhana dan sopan, sinar matanya juga bersih dan jernih, tidak mengandung kekurang-ajaran seperti pada sinar mata Bhok Gun atau pria-pria lain yang pernah dijumpainya di dalam perja-lanan.
Juga ilmu silatnya hebat, apa lagi kalau dii-ngat bahwa pemuda itu adalah murid keluarga Pulau Es! Selain ilmu silatnya tinggi, juga berwatak pen-dekar, gagah berani dan baik budi.
Tak salah lagi, Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang baik, seorang pemuda pilihan!
Akan tetapi, apakah ia cinta kepada pemuda itu" Ia tidak tahu!
"Aku suka padanya...." demikian ia mengeluh. Memang ia mengakui bahwa ia suka kepada pe-muda itu, suka melakukan perjalanan bersamanya. Suka bercakap-cakap dengannya, suka bersahabat de-ngannya. Hong Beng merupakan kawan seperjalan-an yang tidak
membosankan, tidak banyak cakap, suka mengalah dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, sopan dan ramah. Ia suka menjadi sahabat Hong Beng karena selain menyenangkan, juga Hong Beng merupakan seorang sahabat yang boleh diandal-kan. Ia merasa aman dan tenang dekat pemuda itu dan seolah-olah pemuda itu memulihkan kembali kepercayaannya kepada pria pada umumnya. Akan te-tapi cinta" Ia tidak tahu. Ia tidak dapat memba-yangkan bagaimana cinta itu. Apakah sama dengan suka" Akan tetapi, kalau cinta itu seperti sepasang mempelai yang dijumpainya di dusun itu, ia menjadi ragu-ragu. Tidak ada keinginan di hatinya untuk bermesra-mesraan walaupun ia merasa senang berde-katan dengan pemuda itu.
Hanya rasa suka bersaha-bat, suka berdekatan. Apakah itu cinta" Kiranya bukan! Cinta tentu lebih mendalam lagi, bantahnya dan ia akhirnya menjadi bingung sendiri dengan per-bantahan yang berkecamuk di dalam batinnya.
Ia sendiri tidak yakin apakah benar Hong Beng mencintanya seperti yang diakui pemuda itu.
Mencintanya" Bagaimana sih rasanya dicinta seorang pria" Tiga orang gurunya, Sam Kwi, jelas amat sa-yang kepadanya, pernah menyelamatkannya ketika ia masih kecil, kemudian mendidiknya melalui sucinya dengan penuh ketekunan. Kalau tidak sayang kepada-nya, tak mungkin tiga orang aneh yang kadang-kadang kejam seperti iblis itu mau memperdulikan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
238 dirinya yang yatim piatu. Kemudian, ketika ia dewasa dan hendak berpisah dari tiga orang suhunya, mereka ber-usaha memperkosanya! Itukah cinta" Jelas bukan. Ia masih merasa heran mengapa tiga orang suhunya yang sudah bersusah-payah mendidiknya, setelah ia dewasa begitu tega untuk memperkosanya setelah melolohnya dengan arak sampai ia mabok.
Ia sukar membayangkan apa yang akan dipikirkannya dan ba-gaimana keadaannya sekarang andaikata Sam Kwi berhasil memperkosanya, andaikata tidak ada sucinya yang menolongnya.
Ia dapat menduga bahwa Sam Kwi melakukan hal itu, bukan semata-mata karena ingin memiliki tubuhnya, melainkan lebih condong kepada ingin menguasainya dan memperoleh keyakin-an akan kesetiaannya. Ia hendak dijadikan sebagai Bi-kwi ke dua oleh Sam Kwi.
Bukan, itu bukan cinta seperti yang dimaksudkan Hong Beng. Juga sikap Bhok Gun itupun amat meragukan untuk dinamakan cinta. Dan bagaimana dengan cinta Hong Beng" Be-narkah pemuda itu mencintanya" Akan tetapi ia ti-dak merasakan apa-apa, hanya merasa kasihan kepada Hong Beng karena ia tidak dapat menerima cintanya, Juga marah karena pemuda itu telah merusak hubung-an baik antara mereka. Ia masih ingin sekali melakukan perjalanan dengan pemuda itu, akan tetapi peng-akuan cinta itu membuat ia tidak mungkin lagi dapat mendekati Hong Beng.
Bi Lan bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya karena matahari sudah makin condong ke barat. Ia tidak ingin kemalaman di hutan itu. Perut-nya terasa lapar dan di dalam buntalan pakaiannya hanya tinggal beberapa potong roti kering dan daging kering saja. Biasanya, Hong Beng yang membawa minuman dan kini setelah ia terpisah dari pemuda itu, ia tidak berani makan roti dan daging yang serba kering itu tanpa ada air di dekatnya. Sialan! Baru berpisah sebentar saja sudah terasa kebutuhannya akan bantuan pemuda itu! Ia harus dapat tiba di sebuah dusun sebelum malam tiba karena selain ke-butuhan makan minum, iapun ingin mengaso di da-lam rumah, biarpun gubuk kecil sekalipun, agar aman dan tidak terganggu hawa dingin, hujan atau nyamuk.
Ketika keluar dari hutan kecil itu, Bi Lan naik ke atas bukit dan dari situ memandang ke bawah. Hati-nya girang melihat dari jauh beberapa buah rumah dengan genteng berwarna merah, tanda bahwa gen-teng itu masih belum begitu lama. Tentu sebuah du-sun kecil, pikirnya dan iapun cepat berlari menuruni bukit itu menuju ke arah rumah-rumah bergenteng merah.
Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, ada beberapa pasang mata mengamatinya dan bebe-rapa bayangan orang berkelebatan turun dari bukit lebih dahulu sebelum ia menuju ke dusun itu. Ia sa-ma sekali tidak pernah menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada bahaya besar menantinya. Dengan te-nang ia memasuki perkampungan kecil dengan rumah-rumah yang masih agak baru itu, dan melihat betapa daun-daun pintu dan jendela rumah-rumah itu tertu-tup, ia lalu mengetuk pintu sebuah rumah terbesar.
Seorang kakek berambut putih dengan jenggot dan kumis panjang membuka pintu. Melihat bahwa penghuni rumah itu seorang kakek yang nampaknya di dalam keremangan senja itu sudah amat tua, Bi Lan segera memberi hormat.
"Maafkan aku, kek. Aku adalah seorang pejalan kaki yang kemalaman dan membutuhkan tempat un-tuk mengaso dan melewatkan malam ini. Dapatkah engkau menunjukkan apakah di kampung ini ada tempat penginapan, atau rumah kosong atau orang yang sekiranya mau menolong dan menampungku untuk semalam ini saja?"
Kakek itu tertawa. "Heh-heh, di tempat sunyi ini siapa mau membuka penginapan, nona"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
239 Kebetul-an aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini, kahu engkau suka, silahkan masuk.
Ada kamar kosong untukmu di dalam rumahku."
Bukan main lega dan girang rasa hati Bi Lan. Penghuni rumah ini hanya seorang saja, biarpun la-ki-laki akan tetapi sudah amat tua sehingga ia tidak akan merasa terganggu. Ia memasuki rumah itu dan hidungnya mencium bau masakan yang masih panas dan sedap.
Tentu saja ia merasa heran sekali. Kakek ini sendirian dalam rumah itu, akan tetapi ia mem-punyai masakan yang demikian sedap baunya. Agak-nya dia seorang ahli masak, pikirnya. Kakek itu agaknya dapat menangkap keheranan pada wajah Bi Lan yang tertimpa sinar lampu yang tergantung di tembok.
"Heh-heh, jangan heran kalau aku mempunyai banyak masakan yang masih panas, nona.
Sore tadi anakku dari kota datang memberi masakan-masakan itu yang dibelinya dari restoran, dan baru saja aku memanaskan masakan-masakan untuk makan malam. Dan engkau datang.
Ha-ha, bukankah ini berarti jo-doh" Masakan itu terlalu banyak untuk aku sendiri.
"Mari, nona, mari kita makan malam, baru nanti kuantar ke kamarmu."
"Bukankah engkau hanya sendirian katamu tadi, kek?"
"Ooh" Kaumaksudkan anakku" Dia sudah pu-lang sore tadi."
Bi Lan mengikuti kakek itu tanpa curiga sedikit-pun menuju ke ruangan dalam di mana terdapat se-buah meja dan empat kursinya dan di atas meja itu-lah berderet mangkok-mangkok besar berisi masakan yang masih mengepulkan uap yang sedap, juga terda-pat seguci arak berikut cawan-cawan kosong bertum-puk.
"Silahkan duduk, nona, silahkan makan. Heh-heh, sungguh girang sekali hatiku mendapatkan seo-rang tamu dan teman makan untuk menghabiskan hidangan yang terlalu banyak untukku ini."
Bi Lan tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia melepaskan buntalan dari punggungnya dan mele-takkannya di atas sebuah kursi kosong, kemudian ia-pun duduk di atas kursi sebelahnya. Kakek itu sudah duduk di depannya dan mendorong sebuah mangkok kosong ke depan Bi Lan, juga sebuah cawan kosong. Melihat kakek itu membuka tutup guci arak, Bi Lan segera berkata,
"Maaf, kek, aku tidak suka minum arak. Kalau ada teh atau air putih sekalipun untuk menghilang-kan haus, aku akan berterima kasih sekali."
"Heh-heh, mana bisa begitu, nona" Mana di dunia ini ada aturan seperti itu" Kalau aku sebagai tuan rumah menyuguhkan teh atau air saja kepada tamuku sedangkan aku sendiri minum arak, wah, aku akan dimaki orang paling tak tahu aturan oleh dunia! Ha-ha, nona, engkau tentu tidak akan mau mengece-wakan seorang tua renta seperti aku, bukan" Nah, terimalah secawan arak dariku sebagai ucapan sela-mat datang di gubukku yang buruk ini!"
Kakek itu sudah menuangkan secawan arak penuh dan bau arak yang harum itu sudah membuat Bi Lan merasa muak. Akan tetapi, bagaimana ia dapat menolak desakan kakek itu"
Kalau ia menolak, ialah yang akan dima-ki dunia sebagai seorang muda yang menjadi tamu dan yang tidak tahu aturan sama sekali. Ia merasa kasihan kepada kakek itu dan iapun menerima cawan itu. Sebelum meminumnya, ia berkata,
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
240 "Baiklah, kuterima suguhan arakmu, kek. Akan tetapi, ingat, hanya satu cawan ini saja.
Kalau engkau kau memaksakan cawan ke dua, biarlah aku tidak minum ini dan aku pergi saja dari rumah ini dan ti-dur di bawah pohon."
"Heh-heh, engkau lucu sekali, nona," kata kakek itu dan dia melihat betapa Bi Lan tersedak ketika minum arak itu. Namun, gadis itu tetap menghabis-kan araknya dan kakek itu sudah siap lagi dengan gucinya untuk memenuhi cawan arak Bi Lan.
"Tidak, sudah kukatakan hanya secawan, kakek yang baik!" kata Bi Lan menolak.
Ketika Bi Lan menggerakkan sumpitnya untuk mengambil masakan ke dalam mangkoknya, kebetul-an ia mengangkat muka dan terkejutlah ia ketika melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong dan mengeluarkan sinar yang aneh. Akan tetapi hanya sebentar karena kakek itu sudah menundukkan pan-dang matanya dan terkekeh seperti tadi. "Silahkan, silahkan...."
katanya. Kakek ini masih sehat dan segar sekali, pikir Bi Lan sambil memasukkan beberapa macam sayur dan daging ke dalam mangkoknya. Sikap dan kata-katannya seperti orang muda saja.
Apakah barangkali kakek ini diam-diam memiliki kepandaian tinggi" Jantungnya berdebar ketika berpikir demikian dan iapun waspada kembali, berhati-hati. Bau arak itu masih membuat ia merasa muak dan dari leher ke perut terasa panas. Ia lalu menjepit sepotong sayur dengan sumpitnya dan membawa potongan sayur itu ke mulutnya.
"Ihhhh....!" Bi Lan meloncat dan menyem-burkan potongan sayur itu dari mulutnya. Perlu di-ketahui bahwa gadis ini pernah menjadi murid nenek Wan Ceng atau yang juga bernama Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu! Dari nenek Wan Ceng, yang pernah men-jadi murid ahli racun Ban-tok Mo-li, selain menerima pinjaman pedang Ban-tok-kiam, juga gadis ini diberi pelajaran tentang racun. Memang tidak banyak yang dapat dipelajarinya dari nenek ahli racun itu dalam waktu setengah tahun, akan tetapi terutama sekali ia telah mewarisi kepandaian mengenal segala macam racun melalui mulut dan hidungnya. Dengan kepandaiannya itu, sukarlah meracuni nona ini tanpa ia
mengetahuinya. Tadi, ketika ia menyuapkan po-tongan sayur ke mulutnya, cepat sekali mulut dan hidungnya bekerja dan ia telah tahu dengan pasti bahwa sayur itu mengandung racun pembius yang amat kuat! Karena terkejut mendapatkan kenyataan yang sama sekali tidak disangkanya ini, Bi Lan me-nyemburkan sayur itu dan meloncat berdiri.
"Siapakah engkau?" bentaknya sambil menyam-bar buntalan pakaiannya, diikatkannya kembali bun-talan itu di punggungnya tanpa mengalihkan pandang matanya kepada kakek itu sekejap matapun.
Kakek itu tersenyum lebar dan kini nampaklah oleh Bi Lan bahwa kakek yang rambutnya sudah pu-tih semua, mukanya yang bagian bawahnya tertutup kumis dan jenggot, mempunyai gigi yang berderet rapi dan putih, gigi orang yang masih muda. Kakek itu bangkit berdiri dan tangan kanannya meraih ke mukanya sendiri. Ketika dia menurunkan tangan, tanggallah rambut putih, kumis dan jenggot dari ke-palanya dan nampaklah wajah seorang laki-laki muda yang tampan dan yang tersenyum menyeringai kepada Bi Lan.
"Kau....! Keparat busuk!" Bi Lan sudah memak, menyambar sebuah mangkok berisi sayur dan melemparkannya ke arah muka laki-laki yang bukan lain adalah Bhok Gun itu! Laki-laki Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
241 ini cepat mengelak, akan tetapi kuah sayur itu masih ada yang terpercik mengenai mukanya.
Bhok Gun tidak marah dan menghapus kuah itu dengan saputangannya. "Tenanglah,
sumoi...." "Cih! Aku bukan sumoimu!" Bi Lan memben-tak, masih marah sekali karena orang yang tadi ber-hasil memaksanya minum secawan arak kemudian berusaha meracuninya bukan lain adalah Bhok Gun yang amat dibencinya itu.
Tenanglah, nona, tenanglah Bi Lan. Kenapa mesti marah-marah" Aku sengaja me-naruh racun dalam sayur itu bukan dengan niat bu-ruk, melainkan hendak menguji kepandaianmu karena menurut keterangan sucimu, Bi-kwi, engkau ahli dan lihai sekali mengenal segala macam racun. Racun yang kupergunakan ini hanya untuk mencoba, sama sekali tidak berbahaya. Buktinya aku sendiripun makan...."
"Cukup! Aku tidak sudi lagi mendengar oceh-anmu!"
"Bi Lan, pertemuan ini merupakan jodoh dan agaknya sudah diatur oleh Tuhan. Pertemuan ini mengguncangkan hatiku, Bi Lan, karena terus terang saja, sejak pertemuan kita itu, siang macam aku selalu teringat kepadamu, makan tak lezat tidur tak nyenyak, kalau tidur selalu penuh dengan mimpi tentang dirimu. Aku cinta padamu, Bi Lan, sungguh mati, belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti kepada dirimu...."
"Tutup mulutmu!" bentak Bi Lan dan iapun menendang kursi yang menghalang di depannya lalu melompat keluar dari ruangan itu, mengambil kepu-tusan untuk pergi saja meninggalkan manusia berba-haya dan jahat ini.
Akan tetapi, ketika dara ini tiba di luar pintu rumah itu, di luar telah menanti belasan orang berpakaian seragam merah dengan senjata di tangan, yaitu anak buah perkumpulan Ang-i Mo-pang! Dan Bhok Gun juga mengejar dari luar sehingga kini Bi Lan telah terkurung di pekarangan depan rumah itu. Orang-orang Ang-i Mo-pang itu menyalakan obor dan keadaan menjadi terang sekali. Dengan matanya Bi Lan menaksir bahwa pengepungnya tidak kurang dari duapuluh orang, semuanya bersenjata lengkap! De-ngan marah ia membalikkan
tubuhnya. "Bhok Gun, kau mau apa" Jangan ganggu aku kalau engkau tidak mau cari penyakit!"
Bhok Gun tersenyum. "Nona manis, kalau ma-rah menjadi semakin cantik! Terus terang kuajak engkau untuk bekerja sama, menjadi isteriku tercinta dan sama-sama mencari kemuliaan di kota raja, akan tetapi engkau menolak. Nah, sekarang kauserahkan pedang pusakamu itu kepadaku....?"
Bhok Gun manusia laknat! Sekali ini kau akan mampus di tanganku!" bentak Bi Lan yang sudah siap hendak menyerang. Akan tetapi para anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang bersama sambil me-ngepungnya sehingga terpaksa Bi Lan menghadapi penyerangan mereka.
Dengan gerakan amat lincah,
Bi Lan mengelak sambil berloncatan ke sana-sini dari sambaran senjata golok, ruyung, tombak dan lain-lain yang datang bagaikan hujan. Karena marah sekali kepada Bhok Gun, Bi Lan bukan hanya mengelak saja melainkan terus membalas. dengan serangan kedua
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
242 tangannya. Akibatnya hebat. Para pengeroyok itu seperti dilanda badai dan empat orang sudah jatuh tersungkur. Dalam kemarahannya, Bi Lan tidak ber-laku sungkan lagi, begitu membalas serangan ia telah memainkan Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Si-lat Selaksa Racun) yang amat ganas. Ilmu ini dipela-jarinya dari nenek Wan Ceng. Tenaga sin-kang yang mendorong serangannya amat ganas dan mengandung hawa beracun sehingga para anggauta Ang-i Mo-pang yang terpelanting itu roboh dengan mata mendelik dan bagian yang terkena pukulan menjadi hijau meng-hitam!
Melihat ini, Bhok Gun segera berteriak, "Kalian semua mundur, kepung saja, jangan ikut menye-rang!" Dia tahu bahwa anak buahnya itu sama se-kali bukan lawan Bi Lan dan kalau dibiarkan maju, mungkin mereka semua akan tewas di tangan Bi Lan. Mendengar seruan ini, para anggauta Ang-i Mo-pang yang memang sudah gentar menghadapi gadis itu, cepat menahan senjata mereka dan berlompatan mun-dur, mengepung pekarangan itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak ada yang berani mencoba untuk menyerang Bi Lan. Gadis ini berdiri tegak di tengah kepungan, sepasang matanya saja yang bergerak ke kanan kiri sedangkan seluruh tubuhnya diam tak bergerak seperti patung, namun setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga.
Melihat gadis ini berdiri dengan kedua tangan telanjang, sama sekali tidak memegang senjata dan juga tidak nampak adanya pedang pusaka mengerikan yang amat diinginkannya itu, Bhok Gun memandung heran. Dia merasa yakin benar bahwa Bi Lan tidak membawa pedang itu, tidak berada di pinggang, punggung, juga tidak berada di dalam buntalan pa-kaian itu.
"Bi Lan sumoi, di mana pedangmu itu" Keluar-kan pedangmu dan lawanlah aku!" katanya menantang, tentu saja dengan maksud agar nona itu mengeluarkan pedang pusaka yang pernah membuatnya terkejut dan gentar itu.
"Manusia jahanam tanpa senjatapun aku masih sanggup mengirimmu ke neraka!" Bi Lan membentak sambil terus menyerang dengan dahsyatnya. Gadis ini tetap mempergunakan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat yang amat dahsyat itu. Melihat gerakan tangan yang mendatangkan hawa yang panas ini, Bhok Gun yang lihai cepat melompat kesamping dan dia sudah mencabut sehelai sapu tangan berwarna merah, lalu mengebutkan saputangan itu ke arah muka lawan.
Debu berwarna merah halus menyambar ke arah muka Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan hanya meniup pergi debu itu dan membiarkan sebagian kecil mengenai mukanya. Dan kembali Bhok Gun terperanjat. Jelas bahwa ada debu yang mengenai muka gadis itu dan tentu telah tersedot, namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh! Padahal, debu pembius yang berada di saputangannya itu amat keras dan ampuh, sedikit saja tersedot, orang akan jatuh pingsan. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah cucu murid Ban-tok Mo-li dan biarpun dara ini hanya setengah tahun mempelajari ilmu dari nenek Wan Ceng, ia sudah memperoleh ilmu tentang racun dan cara untuk men-jaga diri dari serangan racun.
Golok Sakti 7 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Riwayat Lie Bouw Pek 11
^