Pencarian

Suling Naga 7

Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


"Dan sekarang bersiaplah engkau untuk mam-pus!" bentak Bi Lan sambil mengangkat pedangnya.
Hong Beng tersenyum mengejek. "Hemm, benar saja. Aku telah keliru menolong anak setan yang amat jahat."
Bi Lan menahan pedangnya. "Siapa yang jahat?"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
181 "Huh, siapa lagi kalau bukan engkau" Aku telah menyelamatkanmu, menolongmu, akan tetapi engkau hendak membalasnya dengan membunuhku. Apa namanya itu kalau tidak jahat seperti iblis?"
"Engkau yang jahat seperti iblis! Memang kau telah menolongku, akan tetapi pertolonganmu itu berpamrih keji. Kebaikanmu itu belum cukup untuk menghapus kekejian dan
kekurangajaranmu terhadap aku. Dibunuh sepuluh kalipun masih belum dapat menghapus dosamu!".
Hong Beng membelalakkan kedua matanya. "Ehh.... ehhh.... engkau tidak hanya jahat dan kejam, akan tetapi bahkan licik dan pandai mem-balik-balikan kenyataan. Sungguh tak kusangka. Kau bilang aku jahat dan keji dan kurang ajar" Co-ba, di bagian mana aku jahat dan keji dan kurang ajar?" Hong Beng benar-benar merasa penasaran sekali. Ingin dia merenggut lepas tali-tali itu dan menghajar gadis yang keterlaluan ini, akan tetapi dia masih ingin mendengarkan terus karena diam-diam dia merasa terheran-heran bagaimana ada gadis yang begini berani mati dan tanpa malu-malu memutar balikkan kenyataan.
Akan tetapi, sikap Hong Beng itu bahkan mem-buat Bi Lan menjadi semakin marah. "Heh, kau la-ki-laki yang sombong dan engkaulah yang pura-pura suci. Apa yang kaulakukan tadi sewaktu aku ping-san" Engkau telah menciumku...."
"Ehhh...." Bohong seribu kali bohong! Aku tidak pernah menciummu!" bantahnya dan ada suara berbisik menyambung dalam hatinya,
"....walaupun aku ingin sekali kalau mung-kin....!"
Heran sekali dia, mengapa ada mulut dapat nam-pak begitu manis biarpun mulut itu sedang cemberut dalam kemarahan! Dan lebih heran lagi dia, meng-apa ada wajah yang begitu jelita memiliki mata yang demikian jahat dan kejam!
Sepasang mata itu mencorong seperti mengeluar-kan sinar berapi. "Apa! Kau yang bohong, penge-cut yang tidak berani mengakui perbuatannya sen-diri. Ketika aku sadar dari pingsan, engkau menem-pelkan mulut dan hidungmu di pundakku. Apa lagi itu namanya kalau bukan mencium" Apa kau mau bilang bahwa kau hendak menggigit dan memakan daging
pundakku" Dan ketika aku siuman untuk ke dua kalinya, engkau.... engkau membelai dan meraba-raba pundakku. Keparat!"
Tiba-tiba Hong Beng tertawa sehingga Bi Lan yang sedang marah itu tertegun heran. Gilakah orang ini" Diancam mau dibunuh malah ketawa-tawa.
"Ha-ha-ha, jadi itukah sebabnya mengapa engkau jatuh pingsan lagi, dan kemudian kau menyerangku secara semena-mena?" Hatinya lega bukan main. Kalau begitu, gadis ini sama sekali tidak jahat! Ga-dis ini bersikap kejam karena marah dan merasa di-hina, mengira dia seorang pria kurang ajar yang mempergunakan kesempatan selagi gadis itu pingsan, telah berani mencium pundaknya lalu meraba-raba pundak dan mungkin lain tempat lagi! Itulah se-babnya gadis itu menjadi marah dan kejam! Bukan karena memang wataknya jahat. "Ha-ha, nona, eng-kau salah kira. Aku tidak mencium pundakmu, juga tidak ingin makan daging pundakmu biarpun perutku memang lapar sekali."
"Jangan coba menyangkal atau berkelakar. Aku tidak ketawa dan tidak merasa lucu! Kalau Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
182 tidak mencium, lalu mau apa kau....?"
"Nona, aku memang menempelkan mulutku di pundakmu, akan tetapi bukan mencium,
melainkan menyedot darah yang sudah tercampur racun dari luka di pundakmu."
Bi Lan terkejut dan baru ia teringat bahwa ketika berkelahi, pundaknya terkena jarum beracun sucinya dan menjadi lumpuh lengan kiri itu. "Luka....?" Di pundak....?" ia tergagap.
"Terkena jarum beracun. Aku terpaksa menye-dot darah yang keracunan itu, sekalian mengeluar-kan jarumnya, kemudian kupergunakan sin-kang un-tuk membantumu
memulihkan jalan darahmu, dan menempelkan tanganku di pundak yang terluka itu...."
"Ahh....!" Bi Lan kini menggunakan ta-ngan kirinya meraba-raba pundak dan memang masih ada lukanya di situ, luka kecil karena jarum, akan tetapi menjadi agak besar karena disedot dan kini sudah kering dan sudah tidak terasa nyeri sama sekali.
"Ahhh....!" kembali ia berseru bingung. Pedang yang dipegang oleh tangan kanan itu kini menurun. "Ahhh....!" Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Menyesal, malu, dan ditambah perasaan nyeri di pahanya.
Melihat betapa gadis itu hanya dapat berah-ah-uh-uh dengan canggung, Hong Beng merasa kasihan. "Luka di pahamu itu perlu dirawat, nona. Perlu di-cuci bersih dan aku membawa obat luka yang man-jur, yang tadipun sudah kukenakan pada luka di pundakmu. Aku belum berani merawat luka di pa-hamu karena khawatir kau...."
Bi Lan menarik napas panjang. Pengalamannya dengan Sam Kwi, kemudian dengan Bhok Gun, membuat ia bercuriga kepada setiap pria dan ia tadinya menduga bahwa pemuda inipun tiada bedanya dengan yang lain. Akan tetapi ternyata ia salah duga, salah sekali.
"Aih, aku telah keliru.... kukira engkau.... kiranya tidak demikian...."
Hong Beng tersenyum. "Tidak aneh, nona. Memang di dunia ini lebih banyak orang jahat dari pada yang benar. Akan tetapi, tentu engkau seka-rang sudah percaya kepadaku, bukan?"
Melihat betapa pemuda itu memandang ke arah pedang Ban-tok-kiam yang masih
dipegangnya de-ngan tangan kanan, Bi Lan cepat menyimpan pedang-nya itu dengan muka merah.
"Tentu saja, aku telah salah sangka. Biar kulepaskan ikatan dan totokanmu...."
Akan tetapi gadis itu terkejut bukan main ketika ia hendak membuka totokan dan ikatan kaki tangan, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan kaki tangannya dan semua ikatan itupun putus dan pemuda itu bangkit duduk sambil tersenyum.
"Ah, kau.... kau...." Bi Lan tak melanjutkan kata-katanya dan memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi semakin merah. "Tadi.... kau kutotok dan kuikat...."
"Baik sekali itu, nona, demi keamanan karena kalau seorang yang dicurigai dibiarkan terlepas, ten-tu berbahaya."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
183 "Dan tadi.... kuhantam dadamu, keras seka-li. Kau tidak apa-apa....?"
"Aku roboh pingsan. Memang hebat sekali pukulanmu tadi."
"Maksudku, kau tidak terluka parah....?" Ucapan Bi Lan kini terdengar penuh dengan nada penyesalan dan makin gembiralah hati Hong Beng karena dia kini merasa yakin bahwa dia tidak salah mengira ketika pertama kali bertemu dengan gadis ini di restoran. Gadis ini lain dengan sucinya itu. Gadis ini polos dan murni, hanya agak liar dan pe-nuh curiga.
Dia menggeleng kepala, tidak tega menggoda dan menambah penyesalan dalam hati gadis itu. "Pu-kulanmu tadi cepat sekali datangnya, dan untung aku masih sempat melindungi dadaku. Kalau tidak, tentu sudah berantakan isi dadaku tadi."
"Ah, aku menyesal sekali. Sungguh aku jahat sekali, engkau sudah membantuku,
menyelamatkan aku, akan tetapi aku sejak pertama mencurigaimu. Kuanggap engkau kurang ajar ketika memondongku dan melarikan aku, kemudian engkau untuk kedua kalinya
menyelamatkan aku dengan mengobati lukaku, akan tetapi aku malah makin curiga dan menyangka buruk. Ah, betapa jahatnya aku...."
"Sudahlah, nona. Salah sangka merupakan ke-lemahan semua orang. Dan mungkin karena engkau kurang pengalaman, dan kita belum saling mengenal, maka terjadi kesalahpahaman itu. Lebih baik kau rawat dulu luka di pahamu, ini obat luka yang man-jur. Pakailah. Ketika lari ke sini, di bawah itu ter-dapat sumber air. Mari kuantar...."
Bi Lan bangkit dan ketika Hong Beng mengulur-kan tangan, tanpa ragu-ragu ia lalu memegang lengan pemuda itu dan sambil terpincang-pincang, dibantu oleh Hong Beng, mereka menuruni lereng itu dan benar saja, tak jauh dari situ terdapat mata air yang mengeluarkan air jernih dari celah-celah batu dan menjadi anak sungai.
"Cucilah lukamu, aku menanti di sana." Hong Beng lalu pergi meninggalkan gadis itu lalu duduk di atas sebuah batu, di tempat yang agak tinggi sehing-ga nampak oleh Bi Lan betapa pemuda itu duduk bersila di atas batu datar, membelakanginya. Kem-bali wajahnya terasa panas karena malu. Pemuda itu demikian sopan, akan tetapi tadi hampir dibu-nuhnya karena dianggapnya kurang ajar! Lain kali ia harus berhati-hati menilai orang dan tidak bertin-dak secara sembrono.
Dengan hati-hati ia lalu merobek celananya lebih lebar sehingga luka di pahanya nampak nyata. Luka itu sebetulnya tidak berapa lebar, hanya terluka oleh tusukan pedang, akan tetapi agak membengkak dan merah sekali. Biarpun terasa amat perih ketika disentuh air, ia menggigit bibir dan tidak mau meng-aduh, khawatir terdengar oleh pemuda itu. Dicuci-nya luka itu sampai bersih, kemudian ia menaruh obat bubuk putih itu di atas luka itu sampai penuh dan tertutup, kemudian dibalutnya pahanya dengan kain putih dari ikat pinggangnya.
Terasa dingin dan nyaman sekarang. Akan tetapi dengan sedih ia me-lihat celananya yang kini robek dan tidak dapat me-nutupi lagi seluruh kakinya, juga bajunya di bagian pundak kiri sudah robek sehingga nampak kulit leher dan sebagian pundaknya.
Ia melihat bahwa pemuda itu masih duduk ber-sila di atas batu, menghadap matahari pagi yang su-dah mulai muncul dengan sinarnya yang kuning kee-masan, cerah sekali. Sedapat mungkin Bi Lan menu-tupi paha dan pundak yang nampak ketika ia meng-hampiri pemuda itu.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
184 "Sudah kuobati luka di kakiku," katanya sambil mengembalikan bungkusan obat luka.
Hong Beng memandang dan melihat betapa gadis itu dengan canggungnya mencoba untuk menutupi robekan celana dan baju, ia segera mengambil bungkusannya dan mengeluarkan satu stel pakaiannya.
"Nona, pakaianmu robek-robek, kaupakailah pa-kaian ini untuk sementara sebelum engkau mendapat-kan pengganti yang pantas."
Bi Lan menggeleng kepala. "Pakaianmu tentu terlalu besar untukku, juga, aku tidak suka memakai pakaian pria." Ia melihat pakaiannya dan menarik napas panjang. "Kalau saja aku dapat menambal dan menjahit bagian yang robek, untuk sementara dapat dipakai sebelum mendapatkan yang baru...."
"Aku punya jarum dan benang! Dan untuk me-nambal, kaupergunakan ini." Tanpa ragu-ragu lagi Hong Beng merobek kain ikat pinggang yang panjang, berwarna putih, dan menyerahkan robekan kain itu bersama jarum dan benangnya kepada Bi Lan. "Akan tetapi, untuk menjahit pakaianmu, sementara engkau harus berganti dulu, nona. Kaupakailah dulu pakaian ini sebelum pakaianmu dijahit. Maukah kau kubantu" Aku pandai menjahit, dan aku akan men-jahit pakaianmu yang robek...."
"Tidak!" kata Bi Lan cepat-cepat. "Aku akan menjahitnya sendiri!"
Hong Beng tersenyum. "Baiklah, kau berganti pakaian dan jahit pakaianmu yang robek. Aku mau mencari bahan makanan untuk kita." Setelah berkata demikian, Hong Beng meloncat dan lari memasuki sebuah hutan lebat yang berada di dekat puncak, tak jauh dari lereng itu.
Bi Lan cepat membawa satu stel pakaian Hong Beng dan masuk ke belakang semak-semak belukar. Ia menanggalkan pakaiannya sendiri dan memakai pakaian Hong Beng yang tentu saja terlalu besar un-tuknya itu sehingga ia harus menggulung kele-bihan kaki celana dan lengan baju. Ia nampak lucu setelah keluar dari balik semak-semak, membawa pa-kaiannya sendiri kembali ke batu besar tadi dan mu-lai menjahit dan menambal baju dan celananya sendi-ri yang robek-robek. Ia sudah biasa menggunakan jarum benang, maka sebentar saja baju dan celananya yang robek-robek itu telah dijahitnya dengan rapi dan rapat. Setelah Hong Beng kembali ia sudah berganti dalam pakaiannya sendiri dan pakaian Hong Beng yang tadi dipakainya telah dilipatnya lagi de-ngan rapi dan dikembalikan ke dalam buntalan pe-muda itu.
Hong Beng dengan wajah berseri memperlihat-kan dua ekor ayam hutan yang gemuk, yang diro-bohkannya dengan sambitan jarum-jarumnya. "Li-hat, ini bahan makanan untuk kita.
Aku sudah lapar sekali."
"Mari kubantu membersihkan bulu-bulu dan isi perutnya. Berikan padaku, akan kucuci di sumber air itu."
"Dan aku mempersiapkan api dan menanak nasi, juga mempersiapkan bumbu-bumbunya."
"Nasi" Bumbu?"
Hong Beng tertawa dan mengeluarkan beras, panci, garam dan bumbu-bumbu sederhana dari Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
185 dalam buntalannya, seperti bermain sulap saja. Bi Lan ter-senyum dan ia sudah pulih kembali kesehatannya se-hingga kegembiraannya juga timbul karena pada ha-kekatnya gadis itu berwatak periang dan jenaka.
"Bagus, akan makan enak kita hari ini! Perutku sudah lapar bukan main!" Dan iapun lalu berla-ri-lari kecil menuju ke sumber air. Ketika rasa nye-ri pahanya membuatnya menjerit kecil, barulah ia ingat akan kakinya yang sakit dan iapun melanjut-kan lari terpincang-pincang.
Hong Beng memandang sampai gadis itu lenyap di balik pohon-pohon. Lucu dan menarik, menye-nangkan sekali gadis itu, pikirnya. Seorang gadis yang amat baik, yang mungkin selama ini mempero-leh pergaulan dengan orang-orang yang tidak patut. Baru dia teringat bahwa dia belum tahu siapa gadis itu, dari perguruan mana dan bagaimana riwayatnya, mereka belum saling berkenalan, padahal sebentar lagi mereka sudah akan makan bersama.
Akan teta-pi dia tidak berani bertanya-tanya tentang diri gadis itu. Wataknya demikian aneh, jangan-jangan kalau ditanya nama lalu timbul lagi kecurigaannya.
Matahari telah naik tinggi ketika keduanya du-duk menghadapi nasi dan panggang daging ayam yang gemuk sambil berteduh di bawah pohon besar. De-ngan lahap mereka lalu makan nasi dan daging ayam. Ketika Hong Beng mengeluarkan seguci arak, Bi Lan mengerutkan alisnya dan ia menggeleng kepala de-ngan keras ketika pemuda itu menawarkan arak pa-danya.
"Tidak, tidak....! Sampai matipun aku tidak akan minum lagi minuman setan itu!" kata-nya dan ia lalu minum sedikit air jernih yang sejak tadi sudah ia siapkan di dalam panci.
"Nona, arak amat berguna seperti api. Kalau dipergunakan menurut aturan, dia akan baik sekali bagi kesehatan. Akan tetapi kalau dibiarkan mengu-asai kita dan kita minum tanpa aturan, tentu akan mencelakakan dan merusak kesehatan. Arak ini bu-kan arak yang keras, sudah dicampur dengan air, ka-lau diminum setelah perut terisi makanan, akan men-jadi penghangat tubuh." Pemuda itu lalu menuang-kan sedikit arak ke dalam cangkir dan meminumnya sedikit demi sedikit dan kelihatan memang enak se-kali. Apa lagi bau arak itu sedap. Tiba-tiba ia meng-ulurkan tangan.
"Coba beri aku sedikit saja," katanya dan jantungnya berdebar khawatir. Kenapa ia begitu per-caya kepada pemuda ini" Bagaimana kalau pemuda ini seperti Sam Kwi atau seperti Bhok Gun dan me-lolohnya dengan arak sampai mabok" Akan tetapi, ketika Hong Beng
mengulurkan tangan memberikan cangkir yang sudah diisi sedikit arak, ia menerima tanpa ragu, kemudian meminumnya sedikit demi se-dikit, dikecupnya sedikit saja. Dan memang enak! Selain rasanya mengandung sedikit manis dan berbau sedap, juga kalau diminum sedikit tidak mencekik leher dan juga ada hawa panas yang enak memasuki perutnya.
Enak bukan main makan seperti itu. Hanya nasi dengan daging ayam dipanggang sederhana, dengan bumbu sederhana sekali, garam dan bawang dan ke-cap, dimakan panas-panas sambil duduk di atas rum-put di tempat teduh, tanpa sumpit atau sendok atau pisau, hanya dengan lima jari tangan saja. Enak! Perut sudah lapar, tubuh lelah dan baru saja terle-pas dari ancaman maut dan mengalami hal-hal yang menegangkan, itulah yang membuat hidangan seder-hana menjadi lezat bukan main.
Berbahagialah orang yang sehat tubuh dan hati-nya, sehat badan dan batinnya, di manapun Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
186 juga dia berada. Bagi orang yang sehat badannya, segalanya terasa nikmat. Panca indera yang sehat dapat me-nikmati segala yang dilihat, didengar, dicium, dima-kan dan dirasakan.
Tinggal menikmatinya saja! Se-gala sudah berlimpahan di sekelilingnya. Akan teta-pi, badan sehat harus pula dilengkapi dengan batin sehat. Kalau tidak, maka badan sehat itupun tidak akan dapat menikmati segala yang ada, karena batin-nya mencari dan mengharapkan keadaan yang lain dari pada yang dihadapinya, keadaan lain yang diha-rapkan dan dibayangkan lebih hebat, lebih baik, lebih menyenangkan dari pada yang telah ada. Penca-rian ini, harapan ini otomatis melenyapkan kein-dahan dari keadaan yang diharapkannya itu. Dan timbullah kekecewaan, tidak puas, penyesalan dan kedukaan. Keadaan Hong Beng dan Bi Lan itu dapat dijadikan contoh suatu keadaan. Karena tubuh me-reka sehat, lelah dan lapar, maka sudah sepatutnya kalau mereka dapat menikmati hidangan sederhana itu. Dan keadaan batin merekapun pada saat itu se-hat. Andaikata tidak demikian dan mereka itu mem-bandingkan dengan keadaan lain yang mereka harap-kan, makan dengan hidangan yang lebih lengkap, duduk di kursi dan menggunakan sumpit, dilayani dan segala macam keenakan lain yang tidak ada pada saat itu, dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan dapat makan selahap dan selezat itu!
Jelaslah bahwa segala macam keindahan dan kee-nakan bukan terletak pada benda di luar diri kita, melainkan tergantung sepenuhnya kepada batin dan badan kita sendiri. Sarana untuk dapat menikmati hidup ini bukanlah kekayaan, kedudukan, kepandai-an, ataupun kekuasaan.
Sarana yang mutlak hanya-lah kesehatan badan dan batin. Tawa bukan hanya milik orang kaya dan tangis bukan hanya bagian orang miskin. Tawa sebagai cermin suka dan tangis sebagai cermin duka akan selalu silih berganti meng-ombang-ambingkan manusia yang belum sehat badan dan batinnya. Orang yang memiliki segala-galanya dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, yang mampu menikmati setiap tarikan napas, mampu menikmati setiap teguk air, mampu melihat dan mendengar ke-indahan segala sesuatu yang nampak dan terdengar, adalah orang bijaksana. Orang bijaksana tidak ter-sentuh dalam arti kata terseret suka duka. Orang bijaksana adalah orang yang sehat badan dan batin-nya.
"Tidak tambah lagi" Ini nasinya masih, daging-nya juga masih." Hong Beng menawarkan.
Bi Lan menggeleng kepala dan minum air jernih. "Cukup, aku sudah kenyang sekali."
"Araknya lagi" Sedikit lagipun tidak apa-apa."
Kembali Bi Lan menggeleng kepala. "Teruskan-lah makanmu sampai kenyang. Aku sudah cukup, lebih dari cukup." Ia lalu menggunakan air untuk mencuci kedua tangannya yang masih berlepotan mi-nyak gajih ayam yang gemuk tadi. Hong Beng me-lanjutkan makannya, nampak enak sekali dan Bi Lan menatap dan mengamati wajah pemuda itu. Seorang pemuda yang mukanya bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Akan tetapi, seorang pemuda yang sederhana. Sederhana lahir batinnya. Bukan hanya pakaian yang berwarna biru dengan sabuk pu-tih itu yang sederhana, juga sepatunya yang sudah hampir butut, melainkan juga muka yang bersih itu tidak pesolek. Rambut yang hitam gemuk itu tidak berbekas minyak seperti rambut Bhok Gun yang mengkilap dan berbau wangi. Tidak, pemuda ini tidak pesolek walaupun dalam ketampanan tidak kalah oleh Bhok Gun. Sikapnya membayangkan ba-tin yang sederhana. Selalu nampak rendah hati, pa-dahal, dengan ilmu kepandaian seperti itu, biasanya orang akan menjadi sombong dan besar kepala, tinggi hati. Seorang pemuda yang terlalu sederhana, akan tetapi justeru di situlah letak daya tariknya.
"Sekarang aku yakin benar bahwa engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap diriku...."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
187 "Terima kasih, legalah hatiku kalau tidak dicurigai lagi," kata Hong Beng memotong.
"Tapi...." Sepasang mata yang jeli itu me-natap tajam, seolah-olah sinarnya ingin menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. ".... lalu kenapa engkau bersusah payah menolongku ketika aku dikepung, dan mengobatiku ketika aku terluka jarum beracun" Kalau tidak ada pamrihmu, untuk apa engkau menolongku" Kita bukan sahabat, bah-kan bukan kenalan, kenapa engkau membantu aku dan menentang mereka?"
Hong Beng menyuapkan segenggam nasi ke mulutnya dan mengunyahnya perlahan-lahan sambil mengamati wajah yang manis itu. Seorang dara can-tik sekali, cantik manis walaupun kulit muka yang putih mulus itu tidak berbau bedak dan gincu. Ma-nis, terutama sekali mulut yang kecil mungil itu, de-ngan lesung pipit di kanan kirinya, nampak memba-yang kalau bicara, nampak mengintai kalau cembe-rut, dan nampak cerah dan jelas kalau tersenyum.
Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh gairah dan semangat hidup, penuh kegembiraan.
Seorang gadis yang manis.
"Kenapa" Kenapa kaulakukan semua itu" Ja-wablah agar aku tidak merasa penasaran."
Hong Beng menelan makanan dalam mulutnya. Sebelum menjawab, dia menghabiskan sisa arak da-lam cangkirnya. "Nona, sejenak aku tak mampu menjawab. Pertanyaanmu itu amat aneh terdengar olehku. Kenapa seseorang menolong orang lain" Kenapa seseorang melakukan gangguan kepada orang lain" Kenapa orang selalu melakukan kebaikan atau keburukan kepada orang lain" Nona, kalau menurut pendapatmu, anehkah kalau orang menolong orang lain tanpa pamrih?"
"Tentu saja aneh, bahkan tak masuk akal! Se-gala perbuatan kita tentu terdorong oleh sesuatu pa-mrih, untuk mencapai sesuatu, atau memiliki tujuan tertentu. Kalau tadi aku memukulmu, hendak mem-bunuhmu, tentu ada sebabnya, bukan" Sebabnya, karena engkau kuanggap jahat.
Dan kalau sekarang aku mau makan minum bersamamu, duduk bercakap-cakap, tentu ada sebabnya pula, karena kini aku per-caya padamu sebagai seorang yang baik. Nah, tentu ketika kau menolongku tadi, ada pamrihnya."Hong Beng bengong. Alasan-alasan itu sungguh mengandung kebenaran bagi manusia pada umumnya. Akan tetapi sekaligus membuka mata betapa kotor-nya kalau setiap perbuatan itu mengandung pamrih. Katakanlah pertolongannya terhadap Bi Lan berpa-mrih, maka pamrihnya itu tentu kotor. Apa yang kiranya dapat diharapkannya dari gadis ini" Satu-sa-tunya tentu karena gadis ini manis, dan pamrihnya tentu dikuasai nafsu berahi. Tidak! Sama sekali tidak demikian yang mendorongnya menolong gadis itu.
"Nona, bagiku, apa yang kulakukan terhadap di-rimu tadi bukanlah perbuatan yang didorong oleh pamrih, melainkan didorong oleh perasaan iba terha-dap yang tertindas, dan perasaan menentang terha-dap segala macam kejahatan. Perbuatan tadi kuang-gap sebagai suatu keharusan, suatu kewajiban. An-daikata bukan engkau yang tadi terancam maut, an-daikata seorang laki-laki pun, atau seorang nenek tua buruk sekalipun, tetap saja aku akan turun tangan dan berusaha menyelamatkannya."
Bi Lan mengerutkan alisnya dan nampak kepala-nya sedikit bergoyang. Agaknya sukar baginya me-nerima alasan ini. Di dalam dunia Sam Kwi yang dikenalnya sejak ia masih kecil, segala perbuatan tentu ada pamrihnya, pamrih untuk kepentingan diri sendiri, untuk keuntungan dan kesenangan diri sen-diri. Akan tetapi ia teringat bahwa suhu dan subo-nya Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
188 dari Istana Gurun Pasir pernah mengatakan bahwa seorang yang berjiwa pendekar harus selalu siap mengulurkan tangan untuk menolong orang-orang yang lemah tertindas, dan menggelung lengan baju menentang arang-orang yang kuat dan jahat.
"Engkau seorang pendekar?" tiba-tiba ia berta-nya sambil menatap wajah itu. Hong Beng sudah selesai makan dan sedang mencuci kedua tangannya seperti yang dilakukan Bi Lan tadi.
Hong Beng menggeleng kepala. "Pendekar bu-kanlah suatu kedudukan atau pangkat, nona.
Peni-laiannya terserah kepada si penilai, tergantung dari sepak terjangnya dalam kehidupannya. Aku seorang manusia biasa saja yang kebetulan bertemu denganmu di rumah makan itu, dan merasa curiga terhadap orang-orang berpakaian merah itu karena aku sudah mendengar tentang adanya Ang-i Mo-pang yang kabarnya merajalela di Kun-ming. Karena itulah aku diam-diam membayangimu. Ketua Ang-i Mo-pang itu lihai sekali dan juga jahat.
Melihat kau dikepung dan terancam bahaya, dengan melupakan kebodohan sendiri akupun lalu terjun ke dalam perkelahian dan untung dapat melarikanmu."
Bi Lan mengangguk-angguk. "Kalau begitu eng-kau seorang pendekar! Siapakah namamu?"
Girang hati Hong Beng. Sejak tadi dia ingin se-kali berkenalan dengan nona ini, akan tetapi tidak berani bertanya nama. Sekarang gadis itu menanya-kan namanya, berarti mereka menjadi kenalan dan dia tentu akan mendengar tentang keadaan nona yang menarik hatinya ini.
"Namaku Gu Hong Beng, nona. Dan siapa kau, nona?"
Aku Can Bi Lan, tapi guru-guruku dan suciku menyebut aku Siauw-kwi."
Hong Beng tertawa. "Aihh, guru-gurumu dan sucimu tentu hanya berkelakar. Masa orang seperti nona ini disebut Iblis Cilik?"
"Benar, aku disebut Siauw-kwi. Kami semua memakai sebutan Iblis. Aku Iblis Cilik, suciku dise-but Iblis Cantik, dan tiga orang guru kami dikenal sebagai Tiga Iblis...."
"Kaumaksudkan.... Sam Kwi....?"
"Benar. Aku dan suci adalah murid-murid Sam Kwi yang terdiri dari Raja Iblis Hitam, Iblis A-khirat, dan Iblis Mayat Hidup...."
"Ahh....! Ohhh.... Hong Beng terbelalak.
"Kenapa kau berah-oh seperti gagu?"
"Aku pernah mendengar bahwa Sam Kwi adalah tiga datuk kaum sesat yang namanya pernah mengge-gerkan dunia persilatan di barat dan selatan."
"Benar, habis mengapa?"
"Nona...." Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
189 "Nanti dulu! Jemu aku mendengar engkau me-nyebutku nona-nona segala macam. Namaku Bi Lan dan engkau boleh menyebutku Bi Lan atau Siauw-kwi, terserah, akan tetapi jangan nona-nonaan!"
Hong Beng mengangguk-angguk. Kini sikap Bi Lan itu tidak dianggapnya lucu lagi. Pantas sikapnya demikian liar, kiranya gadis ini murid Sam Kwi. "Bi Lan, kalau sucimu itu murid Sam Kwi, memang te-pat. Akan tetapi siapa mau percaya bahwa engkau murid Sam Kwi"
Engkau begini.... begini.... polos, jujur dan baik. Sukar dipercaya bahwa kau murid Tiga Iblis itu."
"Percaya atau tidak terserah. Dan bagaimana-pun juga, Sam Kwi adalah tiga orang tua yang me-nyelamatkan aku, menjadi pengganti orang tuaku, guru-guruku, dan amat sayang kepadaku."
Hong Beng menggeleng kepala perlahan. Sung-guh luar biasa. "Menurut pendengaranku, Sam Kwi adalah tiga orang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat. Dan engkau, yang menjadi muridnya, be-gini baik dan menganggap mereka sebagai orang-orang yang demikian baiknya. Luar biasa. Apakah kau sejak kecil menjadi murid mereka, Bi Lan?"
Gadis itu mengangguk. Wataknya memang po-los dan kasar, walaupun kekasaran yang tadinya liar itu sudah menjadi jinak dan tahu aturan semenjak ia digembleng oleh suami isteri sakti Kao Kok Cu dan Wan Ceng.
"Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku bersama ayah dan ibu melarikan diri dari selatan karena di sana ada perang pemberontakan yang dibantu pasu-kan-pasukan Birma. Di tengah perjalanan kami diha-dang pasukan Birma yang jahat dan ayah ibu tewas oleh mereka. Aku diselamatkan oleh Sam Kwi dan sejak itu aku diambil murid mereka yang ke dua."
Menceritakan ini, Bi Lan teringat akan kematian orang tuanya dan wajahnya diselimuti awan keduka-an.
"Ah, nasibmu sungguh buruk, Bi Lan. Engkau kehilangan orang tuamu sejak kecil dan terjatuh ke dalam tangan tiga orang datuk sesat yang jahat."
"Nona, bagiku, apa yang kulakukan terhadap di-rimu tadi bukanlah perbuatan yang didorong oleh pamrih, melainkan didorong oleh perasaan iba terha-dap yang tertindas, dan perasaan menentang terha-dap segala macam kejahatan. Perbuatan tadi kuang-gap sebagai suatu keharusan, suatu kewajiban. An-daikata bukan engkau yang tadi terancam maut, an-daikata seorang laki-laki pun, atau seorang nenek tua buruk sekalipun, tetap saja aku akan turun tangan dan berusaha menyelamatkannya."
Bi Lan mengerutkan alisnya dan nampak kepala-nya sedikit bergoyang. Agaknya sukar baginya me-nerima alasan ini. Di dalam dunia Sam Kwi yang dikenalnya sejak ia masih kecil, segala perbuatan tentu ada pamrihnya, pamrih untuk kepentingan diri sendiri, untuk keuntungan dan kesenangan diri sen-diri. Akan tetapi ia teringat bahwa suhu dan subo-nya dari Istana Gurun Pasir pernah mengatakan bahwa seorang yang berjiwa pendekar harus selalu siap mengulurkan tangan untuk menolong orang-orang yang lemah tertindas, dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
190 menggelung lengan baju menentang arang-orang yang kuat dan jahat.
"Engkau seorang pendekar?" tiba-tiba ia berta-nya sambil menatap wajah itu. Hong Beng sudah selesai makan dan sedang mencuci kedua tangannya seperti yang dilakukan Bi Lan tadi.
Hong Beng menggeleng kepala. "Pendekar bu-kanlah suatu kedudukan atau pangkat, nona.
Peni-laiannya terserah kepada si penilai, tergantung dari sepak terjangnya dalam kehidupannya. Aku seorang manusia biasa saja yang kebetulan bertemu denganmu di rumah makan itu, dan merasa curiga terhadap orang-orang berpakaian merah itu karena aku sudah mendengar tentang adanya Ang-i Mo-pang yang kabarnya merajalela di Kun-ming. Karena itulah aku diam-diam membayangimu. Ketua Ang-i Mo-pang itu lihai sekali dan juga jahat.
Melihat kau dikepung dan terancam bahaya, dengan melupakan kebodohan sendiri akupun lalu terjun ke dalam perkelahian dan untung dapat melarikanmu."
Bi Lan mengangguk-angguk. "Kalau begitu eng-kau seorang pendekar! Siapakah namamu?"
Girang hati Hong Beng. Sejak tadi dia ingin se-kali berkenalan dengan nona ini, akan tetapi tidak berani bertanya nama. Sekarang gadis itu menanya-kan namanya, berarti mereka menjadi kenalan dan dia tentu akan mendengar tentang keadaan nona yang menarik hatinya ini.
"Namaku Gu Hong Beng, nona. Dan siapa kau, nona?"
Aku Can Bi Lan, tapi guru-guruku dan suciku menyebut aku Siauw-kwi."
Hong Beng tertawa. "Aihh, guru-gurumu dan sucimu tentu hanya berkelakar. Masa orang seperti nona ini disebut Iblis Cilik?"
"Benar, aku disebut Siauw-kwi. Kami semua memakai sebutan Iblis. Aku Iblis Cilik, suciku dise-but Iblis Cantik, dan tiga orang guru kami dikenal sebagai Tiga Iblis...."
"Kaumaksudkan.... Sam Kwi....?"
"Benar. Aku dan suci adalah murid-murid Sam Kwi yang terdiri dari Raja Iblis Hitam, Iblis A-khirat, dan Iblis Mayat Hidup...."
"Ahh....! Ohhh.... Hong Beng terbelalak.
"Kenapa kau berah-oh seperti gagu?"
"Aku pernah mendengar bahwa Sam Kwi adalah tiga datuk kaum sesat yang namanya pernah mengge-gerkan dunia persilatan di barat dan selatan."
"Benar, habis mengapa?"
"Nona...." "Nanti dulu! Jemu aku mendengar engkau me-nyebutku nona-nona segala macam. Namaku Bi Lan dan engkau boleh menyebutku Bi Lan atau Siauw-kwi, terserah, akan tetapi jangan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
191 nona-nonaan!" Hong Beng mengangguk-angguk. Kini sikap Bi Lan itu tidak dianggapnya lucu lagi. Pantas sikapnya demikian liar, kiranya gadis ini murid Sam Kwi. "Bi Lan, kalau sucimu itu murid Sam Kwi, memang te-pat. Akan tetapi siapa mau percaya bahwa engkau murid Sam Kwi"
Engkau begini.... begini.... polos, jujur dan baik. Sukar dipercaya bahwa kau murid Tiga Iblis itu."
"Percaya atau tidak terserah. Dan bagaimana-pun juga, Sam Kwi adalah tiga orang tua yang me-nyelamatkan aku, menjadi pengganti orang tuaku, guru-guruku, dan amat sayang kepadaku."
Hong Beng menggeleng kepala perlahan. Sung-guh luar biasa. "Menurut pendengaranku, Sam Kwi adalah tiga orang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat. Dan engkau, yang menjadi muridnya, be-gini baik dan menganggap mereka sebagai orang-orang yang demikian baiknya. Luar biasa. Apakah kau sejak kecil menjadi murid mereka, Bi Lan?"
Gadis itu mengangguk. Wataknya memang po-los dan kasar, walaupun kekasaran yang tadinya liar itu sudah menjadi jinak dan tahu aturan semenjak ia digembleng oleh suami isteri sakti Kao Kok Cu dan Wan Ceng.
"Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku bersama ayah dan ibu melarikan diri dari selatan karena di sana ada perang pemberontakan yang dibantu pasu-kan-pasukan Birma. Di tengah perjalanan kami diha-dang pasukan Birma yang jahat dan ayah ibu tewas oleh mereka. Aku diselamatkan oleh Sam Kwi dan sejak itu aku diambil murid mereka yang ke dua."
Menceritakan ini, Bi Lan teringat akan kematian orang tuanya dan wajahnya diselimuti awan keduka-an.
"Ah, nasibmu sungguh buruk, Bi Lan. Engkau kehilangan orang tuamu sejak kecil dan terjatuh ke dalam tangan tiga orang datuk sesat yang jahat."
Betapapun jahatnya Sam Kwi, Bi Lan tidak menganggap mereka jahat, apa lagi karena ia tahu betapa besar rasa sayang mereka kepadanya dan be-tapa ia telah diselamatkan oleh mereka. Karena itu, mendengar celaan ini, ia merasa tidak senang dan seketika kedukaannya hilang. Bagi murid Sam Kwi memang tidak boleh tenggelam ke dalam kedukaan, demikian ajaran mereka.
"Ketiga suhuku tidak jahat!" bantahnya. "Su-dahlah, Hong Beng. Engkau minta aku bicara ten-tang diriku saja, sedangkan engkau belum bercerita tentang dirimu. Engkau tentu seorang pendekar, bukan?"
Hong Beng menggeleng kepala dan alisnya ber-kerut. "Tidak banyak perbedaan antara nasibmu dan nasibku, Bi Lan. Ketika aku berusia sebelas ta-hun, terjadi malapetaka menimpa ayah ibuku. Mere-ka tewas di tangan pembesar di Siang-nam. Aku sen-diri hampir mereka bunuh, akan tetapi muncul seo-rang pendekar sakti yang menyelamatkan aku dan kemudian aku diambil sebagai murid. Guruku itu bernama Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es
"Ihhh....!" Bi Lan meloncat bangkit ke belakang dan memandang tajam. Melihat sikap gadis itu, Hong Beng terkejut dan diapun bangkit berdiri.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
192 "Kenapa, Bi Lan?" Hong Beng bertanya heran dan khawatir.
"Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dia adalah musuh besar tiga orang guruku! Bahkan dahulu suci diutus oleh mereka untuk mencari pendekar itu dan untuk membalaskan sakit hati mereka karena mereka pernah dikalahkan oleh pendekar itu. Akan tetapi sayang, pendekar itu telah meninggal dunia. Jadi engkau termasuk murid Pulau Es?"
"Suhuku adalah cucu dari Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Han, akan tetapi menurut suhu, Pulau Es sudah lenyap bersama kakek itu. Aku be-lum pernah melihat Pulau Es. Bi Lan, kuharap eng-kau sebagai murid Sam Kwi tidak akan memusuhi anak murid Pulau Es yang tidak tahu menahu ten-tang permusuhan antara tiga orang suhumu dengan mendiang Pendekar Super Sakti."
Bi Lan menggeleng kepala. "Aku tidak pernah berjanji kepada mereka untuk memusuhi keturunan Pulau Es. Akan tetapi suci yang pernah berkata bah-wa ia akan membasmi semua keturunan Pulau Es untuk membalaskan kekalahan Sam Kwi. Hemm, kiranya engkau masih murid dari cucu pendekar itu, pantas engkau lihai dan engkaupun berwatak pende-kar. Hong Beng, aku tidak memusuhimu, hanya ter-kejut mendengar engkau murid keluarga Pulau Es.
Belum kauceritakan, engkau dari mana dan hendak pergi ke mana."
"Aku diutus oleh suhu untuk suatu tugas penting di kota raja, akan tetapi aku lebih dulu pergi ke se-latan untuk mengunjungi makam ayah ibuku. Ma-lam tadi aku bermalam di makam itu dan pagi tadi kebetulan bertemu dengan engkau dengan sucimu. Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?"
"Aku dan suci juga menerima tugas dari Sam Kwi untuk mencari dan merampas kembali sebuah pusaka. Sebetulnya, suci yang melaksanakan tugas-tugas itu, dan aku sudah berjanji untuk membantu suci."
"Satu lagi pertanyaanku, Bi Lan. Pedangmu itu....! Sungguh mati aku merasa ngeri melihat pedang itu. Sebuah pedang pusaka yang luar biasa, mengandung hawa yang menyeramkan.
Apakah pe-dang itu pemberian Sam Kwi kepadamu?"
Bi Lan meraba gagang pedang di balik bajunya dan tersenyum. Manisnya kalau ia
tersenyum! "Bu-kan, Hong Beng. Ini pemberian atau lebih tepat lagi, dipinjamkan oleh subo kepadaku."
"Subomu" Ah, maksudmu tentu isteri seorang di antara Sam Kwi."
"Bukan! Belum kuceritakan tadi kepadamu bahwa selain Sam Kwi, aku masih mempu-nyai seorang suhu dan subo lain yang sama sekali tak boleh disamakan dengan Sam Kwi. Mereka ada-lah penolong-penolongku dan juga guru-guruku yang sangat kuhormati. Ketahuilah, ketika aku menjadi murid Sam Kwi, yang melatih aku dalam ilmu silat bukan Sam Kwi sendiri melainkan suciku, Bi-kwi. Dan suci telah sengaja melatih aku secara keliru, menyelewengkan latihan-latihan itu sehingga aku hampir menjadi gila karena keliru latihan.
Untung aku bertemu dengan suhu dan subo itu yang meng-obatiku, dan melatihku selama setengah tahun. Dan ketika kami saling berpisah, subo memberi pinjam pedangnya ini dan kelak aku akan mengembalikannya kepada mereka di Istana Gurun Pasir."
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
193 Kini Hong Beng melonjak kaget, matanya terbelalak memandang wajah gadis itu.
"Apa kaubilang tadi" Istana Gurun Pasir" Gurumu itu....?"
"Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya."
"Ahhh....! Aku telah bersikap kurang hormat....!"Hong Beng lalu menjura kepada Bi Lan.
Gadis itu tertawa. "Hi-hik, apa-apaan kau ini Hong Beng" Apakah penghormatan itu dilakukan karena sebuah nama?"
"Tentu saja. Nama besar dan nama baik menda-tangkan perasaan menghormat. Kiranya engkau menjadi murid pula dari locianpwe Kao Kok Cu yang sakti! Luar biasa sekali! Suhuku pernah bercerita kepadaku tentang pendekar sakti itu yang membuat hatiku kagum bukan main. Bahkan suhu memesan kepadaku agar aku pergi mencari puteranya yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi bagai-mana pedang milik isteri pendekar sakti itu begitu....
begitu.... mengerikan?"
"Subo juga mengatakan bahwa pedang ini bukan pedang sembarangan dan memiliki hawa yang me-ngerikan, namanya Ban-tok-kiam dan subo mela-rang aku menggunakan pedang ini sembarangan saja, hanya boleh dipergunakan untuk membela diri. Me-mang hebat dan kurasa umurnya sudah amat tua. Lihat, bukankah pedang ini hebat bukan main?" Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam itu dari sarungnya dan Hong Beng merasa bulu tengkuknya meremang melihat sinar pedang yang hijau kehitaman dan mengandung hawa menyeramkan itu. Dengan ngeri dia membayangkan entah sudah berapa banyak darah manusia diminum pedang ini, dan entah berapa ba-nyak nyawa diantar ke alam baka.
"Omitohud....! Pedang yang hebat!" Tiba-tiba saja terdengar suara orang dan tahu-tahu di depan Bi Lan sudah berdiri seorang kakek bertu-buh tinggi besar gendut, berkepala gundul dan me-ngenakan jubah yang biasa dipakai oleh pendeta La-ma dari Tibet, yaitu jubah yang berkotak-kotak ku-ning dan merah. Sukar menaksir berapa usia kakek ini. Selain tubuhnya yang tinggi besar dengan perut gendut itu amat menarik perhatian, juga wajahnya seperti seekor singa, penuh cambang bauk dan brewok, amat berlawanan dengan kepalanya yang dicukur kelimis. Muka itu benar-benar mirip muka si-nga, dan yang lebih mengerikan lagi, bulu atau ram-but di mukanya itu, yang sebenarnya adalah cambang, kumis dan jenggot, berwarna agak kuning dan meng-kilap seperti benang sutera emas. Sepasang matanya mencorong dan mulutnya lebar tersenyum penuh ejekan.
Hong Beng merasa terkejut bukan main. Kakek yang melihat pakaiannya tentu seorang pendeta Lama dari Tibet ini dapat muncul begitu saja tanpa diketa-huinya, bahkan Bi Lan agaknya juga tidak tahu. Ti-ba-tiba saja kakek itu muncul di dekat mereka. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali.
"Omitohud.... pusaka yang bagus sekali...." kembali kakek itu berkata dan kakinya melangkah ke arah Bi Lan.
"Bi Lan, hati-hati....! "Hong Beng berse-ru dan menerjang ke depan ketika dia melihat pen-deta itu membuat gerakan aneh. Namun terlambat. Nampak bayangan merah dan tahu-tahu jubah lebar kakek itu sudah meluncur dan seperti sebuah jala, jubah itu menerkam ke arah Bi Lan. Gadis ini gela-gapan karena tidak dapat melihat apa-apa dan tiba-tiba saja ada Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
194 sebuah tangan yang amat kuat, dengan jari-jari besar panjang, telah mencengkeram tangan kanannya yang memegang gagang pedang. Seperti akan patah-patah semua jari tangannya ketika diceng-keram tangan itu.
Pada saat itu, Hong Beng yang sudah menaruh curiga namun karena gerakan kakek itu amat cepat sehingga dia kalah dulu, sudah menyerang dengan tamparan yang kuat ke arah leher kakek itu. Kakek itu menggunakan tangan kiri mencengkeram tangan Bi Lan, sedangkan lengan kanannya digerakkan untuk menangkis tamparan Hong Beng.
"Dukk....!" Tubuh Hong Beng terpelanting dan dia hampir roboh. Pemuda itu terkejut bukan main dan meloncat ke samping. Sementara itu, Bi Lan tak mampu mempertahankan
pedangnya yang sudah berpindah tangan. Ketika kakek itu menarik kembali jubahnya sedangkan pedang sudah berpindah ke tangan kirinya, Bi Lan menyerang dengan marah, menggunakan pukulan Sin-liong Ciang-hwat. Kakek itu, sambil mengamati pedang dengan melut menyeringai, hanya mengangkat lengan kanan menangkis.
"Dukk....!"Akibatnya, tubuh Bi Lan ter-dorong ke belakang, akan tetapi juga kakek itu ter-huyung.
"Omitohud....! Kalian ini orang-orang mu-da yang hebat. Dan pedang ini hebat pula. Apa namanya tadi" Ban-tok-kiam" Pedang yang ba-gus!" Dia mengamati pedang itu dengan wajah gembira sekali. Hong Beng dan Bi Lan sudah memasang kuda-kuda, menghadang kakek itu dari kanan dan kiri.
"Orang tua, kembalikan pedangku!" Bi Lan membentak dan memandang marah.
"Locianpwe, harap suka mengembalikan pusaka itu kepada pemiliknya." Hong Beng juga membujuk, bicara dengan sopan karena dia dapat menduga bah-wa pendeta ini tentu seorang sakti yang agaknya kagum dan tertarik melihat Ban-tok-kiam.
"Ha-ha-ha.....!"Kakek itu tertawa dan dua orang muda itu terkejut dan cepat mengerahkan sin-kangnya. Suara ketawa kakek itu mengandung ge-taran hebat seperti auman seekor singa marah!" Ban-tok-kiam ini hanya pantas berada di tangan Sai-cu Lama, ha-ha-ha....!" Suara ketawanya yang terakhir semakin hebat dan kuat getarannya sehing-ga dua orang muda itu sampai menahan napas mem-perkuat pengerahan sin-kang mereka.
"Wuutt.... singg-singg....!" Nampak sinar hitam berkelebatan ketika kakek itu mengge-rakkan Ban-tok-kiam ke kanan kiri. Hong Beng dan Bi Lan terpaksa meloncat mundur karena Ban-tok-kiam memang hebat sekali, apa lagi digerakkan de-ngan tenaga yang demikian besarnya.
Mereka siap siaga untuk merampas kembali pedang itu, namun mereka berhati-hati karena maklum bahwa kakek itu lihai bukan main. Dan kakek itu sambil tertawa-tawa agaknya memandang rendah mereka dan mengobat-abitkan pedang itu ke kanan kiri seperti orang yang menakut-nakuti anak kecil.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melen-king panjang, datangnya dari jauh sekali, akan teta-pi suara lengkingan itu terdengar begitu jelas dan mendadak saja wajah pendeta Lama yang mengaku bernama atau berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama Singa) itu nampak terkejut dan pandang matanya liar diarahkan ke bawah lereng bukit dari mana suara itu datang.
"Demi iblis neraka! Dia sudah datang lagi!" katanya lirih dan tiba-tiba saja dia melompat ke Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
195 belakang. "Hei, kembalikan pedangku!" Bi Lan mengejar, akan tetapi tiba-tiba kakek itu
menyambutnya de-ngan serangan Ban-tok-kiam yang ditusukkan ke arah perut gadis itu. Bi Lan cepat mengelak, akan tetapi kakek itu sudah melompat dan berlari cepat sekali, menghilang ke dalam hutan di sebelah barat lereng itu. Bi Lan bersama Hong Beng melakukan penge-jaran, akan tetapi biarpun mereka sudah mencari-cari sampai lama, kakek yang merampas Ban-tok-kiam itu tak nampak lagi bayangannya.
"Celaka....!"Bi Lan hampir menangis, marah sekali dan membanting-banting kaki kanannya sampai tanah di depannya itu melesak ke bawah. "Pusaka pinjaman dari subo itu telah dirampas iblis tua bangka tadi. Celaka....!"
"Tenanglah, Bi Lan. Setidaknya kita sudah me-ngenal nama julukannya. Sai-cu Lama, nama yang asing bagiku. Dan dia adalah seorang pendeta, agaknya dia tidak bermaksud buruk, hanya meminjam pusaka itu karena tertarik, dan tidak akan merampas-nya begitu saja. Aku percaya bahwa sebagai seorang pendeta, dia akan mengembalikan pusaka itu. Tadi dia pergi karena terkejut mendengar suara meleng-king itu, entah siapa yang membuatnya begitu kaget dan ketakutan."
"Kalau aku tidak percaya! Aku tidak percaya kepada segala macam pendeta. Biasanya, jubah pen-deta itu hanya untuk kedok agar kejahatannya tidak nampak." Gadis itu cemberut.
"Buktinya, begitu jumpa dia sudah merampas pedangku. Kalau dia ti-dak ingin merampas, mengapa tadi dia menyerang, kita" Bahkan tusukannya yang terakhir tadi amat berbahaya dan kalau aku tidak cepat mengelak, tentu aku sudah mati. Tidak, dia bukan manusia baik-baik."
Hong Beng tidak mau membantah karena dia tahu bahwa gadis itu sedang jengkel dan marah.
"Aku akan membantumu mencari pendeta itu dan minta kembali pusakamu. Biarpun aku belum me-ngenal nama Sai-cu Lama, akan tetapi seorang de-ngan ilmu kepandaian setinggi itu tentu dikenal di dunia kang-ouw dan aku akan menyelidiki di mana aku dapat
mencarinya." "Aku harus cepat melapor kepada subo kalau aku tidak mampu merampasnya kembali. Ah, subo tentu akan kecewa dan marah kepadaku...." Dengan cemberut Bi Lan dan Hong Beng lalu keluar dari dalam hutan itu.
"Sstttt!" Tiba-tiba Hong Beng berbisik dan menuding ke depan. Dari tempat mereka berdiri, di luar hutan itu, mereka melihat seorang kakek ber-kepala gundul sedang berjalan perlahan-lahan menu-runi lereng.
"Keparat, tentu dia orangnya....!" Bi Lan berteriak dan cepat gadis ini melompat ke depan dan melakukan pengejaran.
"Bi Lan, nanti dulu....!" Hong Beng berse-ru dan terpaksa mengejar pula dengan cepat karena dia tidak ingin gadis itu salah tangan. Dari jauh dia sudah melihat bahwa biarpun orang yang baru berja-lan menuruni lereng itu juga berkepala gundul, akan tetapi jubahnya yang lebar itu berwarna kuning, bukan kotak-kotak merah kuning seperti yang dipakai oleh Sai-cu Lama tadi.
Kini Bi Lan sudah tiba di dekat kakek gundul itu dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
196 mengirim pu-kulan dari samping. Hebat sekali pukulan gadis ini, karena saking marahnya, ia sudah mengeluarkan satu di antara pukulan yang oleh subonya sudah dipesan agar tidak sembarangan mempergunakannya, seperti juga pedangnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun). Itulah sebuah pukulan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang tertentu, tidak terlalu keras nampaknya, akan tetapi pukulan ini mengandung hawa beracun yang sudah merendam tangan Bi Lan ketika dilatih oleh subonya!
"Wuuuttt....!" Nampaknya kakek gundul itu hanya bergerak sedikit saja, akan tetapi, nyatanya pukulan Bi Lan itu hanya mengenai tempat kosong.
"Bi Lan, tahan dulu....!" Hong Beng yang sudah tiba di situ cepat memegang lengan gadis itu. "Lihat, dia bukanlah pendeta tadi!"
Bi Lan juga sudah tahu bahwa orang itu bukanlah Sai-cu Lama. Dia seorang kakek berkepala gun-dul, bertubuh sedang dan masih tegap walaupun usia-nya tentu sekitar tujuhpuluh tahun.
Jubahnya ber-warna kuning, melibat-libat tubuh yang memakai pa-kaian serba putih dari kain kasar. Seorang pendeta yang sederhana, matanya tajam dan mulutnya seperti tersenyum mengejek. Dia berdiri dan memandang dua orang muda di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik.
"Dia juga seorang yang berjubah pendeta, tentu lihai seperti tadi. Mungkin sekutunya! Para pen-deta itu memang bersekutu dan saling bantu dalam melakukan kejahatan. Orang tua jahat, kembalikan pedangku!" Bi Lan kembali menyerang dan melihat sepasang mata pendeta itu demikian tajam dan mulutnya tersenyum mengejek, timbul juga kesan buruk dalam hati Hong Beng dan diapun membantu Bi Lan menyerang. Kalau Bi Lan kini menggunakan pukulan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat, Hong Beng yang dapat menduga akan kelihaian pendeta ini, juga su-dah menggunakan tenaganya dan menyerang dengan ilmu ampuh dari Pulau Es, yaitu Hong-in Bun-hoat! Ilmu ini adalah ilmu silat yang amat halus dan indah gerakannya, sesuai dengan namanya, Silat Sastera A-wan dan Angin! Tubuhnya bergerak perlahan, ke-dua tangannya membuat coretan-coretan di udara seperti menulis huruf, akan tetapi jari-jari tangan itu merupakan alat menyerang yang amat ampuh. Ka-kek pendeta itu nampak kaget juga menghadapi serangan gadis dan pemuda itu.
"Dari mana bocah-bocah tolol ini menguasai ilmu-ilmu ini!" bentaknya dan diapun cepat berge-rak ke belakang untuk mengelak, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang, jari-jari tangannya bergerak seperti ujung-ujung pedang mem-balas serangan dua orang muda itu sehingga Bi Lan dan Hong Beng terkejut dan cepat berloncatan ke belakang karena serangan balasan pendeta itu benar-benar hebat. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hati mereka adalah suara melengking tadi karena me-reka teringat bahwa Sai-cu Lama tadipun seperti orang lari terbirit-birit karena terkejut dan takut mendengar suara melengking ini.
Melihat dua orang muda itu tertegun, kakek itu lalu mengangkat tangan kanan ke atas.
"Omitohud, kalian ini bocah-bocah sungguh lancang, mempergunakan ilmu-ilmu yang demikian tinggi dan pilihan hanya untuk menyerang seorang tua tanpa sebab. Sungguh keji!"
Wajah Hong Beng sudah menjadi merah sekali karena malu dan menyesal. Memang sungguh tidak patut menyerang seorang kakek tua renta, berpakai-an pendeta pula, tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi Bi Lan memandang kakek itu dengan mata melotot, marah sekali.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
197 "Engkau ini kakek berpakaian pendeta, tentu ja-hat seperti yang lain! Kepala gundul dan jubahmu itu hanya sebagai kedok untuk menutupi kejahatan-mu!" Bi Lan berkata dengan suara lantang.
"Omitohud....!" Kakek pendeta itu berkata lirih dan tersenyum geli. "Betapa cocok penda-patmu itu dengan pendapatku ketika aku masih mu-da dahulu. Akan tetapi engkau keliru, nona, seperti kelirunya kebanyakan orang. Ada yang beranggapan bahwa semua pendeta adalah manusia-manusia baik karena mereka itu beribadat dan mentaati agama, sebagian pula menyatakan bahwa mereka hanyalah munafik-munafik. Ada yang beranggapan bahwa go-longan ini baik dan golongan itu tidak baik. Semua anggapan itu tidak benar sama sekali. Baik tidaknya seorang manusia tergantung dari diri manusia itu sendiri, bukan dari agamanya, golongannya, bangsanya, kedudukannya dan sebagainya. Kalau ada seorang beragama yang menyeleweng, bukan agamanya me-lainkan manusianya itulah yang
menyeleweng. Agama, kepandaian, kedudukan, golongan, bangsa, semua itu hanya
merupakan pelengkap saja, pelengkap ke-butuhan hidup bermasyarakat. Baik buruknya segala-nya itu adalah si manusia itu sendiri yang menentu-kan. Jadi, mungkin saja ada seorang pendeta yang menyeleweng, akan tetapi juga tidak kurang yang be-nar-benar hidup saleh. Jangan menyamaratakan saja karena setiap orang manusia itu memiliki tingkat kesadarannya masing-masing walaupun kedudukannya mungkin sama."
Hong Beng sudah dapat menduga bahwa pendeta ini tidak sama dengan yang tadi, bahkan melihat si-kap Sai-cu Lama tadi, yang kelihatan ketakutan mend-engar suara melengking yang jelas dikeluarkan oleh hwesio ini, mungkin di antara mereka terdapat suatu pertentangan. Maka diapun cepat menyentuh lengan Bi Lan dan dia memberi hormat kepada kakek itu.
"Harap locianpwe sudi memaafkan kami orang-orang muda yang kurang pengalaman dan bertindak lancang terhadap locianpwe. Hendaknya locianpwe ketahui bahwa sikap kami itu adalah karena baru saja kami bertemu dengan seorang pendeta seperti locianpwe yang telah merampas pedang pusaka milik sahahat saya ini. Karena itu tadi kami mengira bah-wa locianpwe adalah sahahat pendeta itu."
Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek. Kiranya senyum khas ini adalah kebiasa-annya, bukan karena dia memang hendak mengejek. "Seorang pendeta Lama yang mukanya seperti si-nga?"


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar dia!" Bi Lan berseru. "Dia mengaku bernama Sai-cu Lama!"
"Omitohud....! Sungguh masih beruntung bagi kalian, telah bertemu dengan dia akan tetapi hanya kehilangan pedang saja. Biasanya dia tidak mau bekerja kepalang tanggung, dan jarang ada orang dapat lolos dari tangan mautnya."
"Tadipun kami didesaknya dengan pukulan-pu-kulan maut dan entah apa yang akan terjadi dengan kami kalau dia tidak tiba-tiba melarikan diri setelah mendengar suara melengking yang agaknya dikeluar-kan oleh locianpwe." kata Hong Beng dengan jujur.
*** "Locianpwe, di mana kami dapat mencari si muka singa itu" Aku harus bisa menemukannya dan me-rampas kembali pedangku yang diambilnya tadi," kata Bi Lan, kini tidak lagi Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
198 memaki-maki kakek itu karena iapun sadar bahwa kakek ini bukan sahahat Sai-cu Lama tadi.
"Omitohud.... ! tidak mudah mengejarnya. Pinceng sendiri sudah mengejarnya sejak dari Tibet sampai di sini dan belum juga berhasil me-nangkapnya. Kalau kalian ingin
menemukannya, ka-lian harus pergi ke kota raja karena ke sanalah dia pergi"
"Kota raja" Wah, perjalanan yang jauh sekali dan kebetulan akupun hendak ke sana, Bi Lan.
Mari kita kejar dia dan kita bersama pergi ke kota raja."
"Biarpun dia lari ke neraka sekalipun akan kukejar. Aku harus dapat merebut kembali pedang pusa-ka itu, Hong Beng. Kalau tidak, bagaimana aku akan dapat menghadap subo?"
"Omitohud, muda-mudi yang malang, bertemu dengan manusia iblis Sai-cu Lama. Kalau kalian tidak membawa senjata pusaka yang menarik hatinya, biasanya diapun tidak mau gatal tangan mengganggu orang tanpa sebab. Pinceng melihat pukulan-pukul-an yang luar biasa ketika kalian menyerang pinceng tadi. Orang muda, apakah engkau masih ada hubung-an dengan keluarga Pulau Es?"
Hong Beng terkejut dan makin yakinlah hatinya bahwa dia berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi, yang demikian tajam pandang matanya sehing-ga baru satu jurus dia tadi memainkan Hong-in Bun-hoat, kakek ini sudah dapat "mencium" ilmu dari keluarga Pulau Es! Maka diapun cepat memberi hormat lagi.
"Sesungguhnya, guru saya adalah seorang anggauta keluarga Pulau Es, locianpwe."
"Aha! Siapakah gurumu itu, orang muda?"
"Suhu bernama Suma Ciang Bun,"
"She Suma" Ha-ha, benar sekali. Dia tentu putera Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu."
Girang sekali hati Hong Beng. Kiranya kakek ini malah mengenal keluarga Pulau Es!
"Suhu adalah putera sukong Suma Kian Lee."
"Omitohud....! Benar kiranya bahwa du-nia ini tidak begitu besar kalau orang mempunyai banyak kenalan. Berpisah dari Suma Kian Lee sejak muda, sekarang tahu-tahu bertemu dengan murid da-ri puteranya. Dan kau, nona muda" Dua kali pu-kulanmu tadi mengingatkan pinceng akan ilmu muji-jat dari Gurun Pasir...."
"Mereka adalah suhu dan subo!" Bi Lan berseru. "Suhu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!"
"Omitohud....! Engkau yang begini muda menjadi murid Kao Kok Cu dan Wan Ceng" Luar biasa sekali! Ha-ha-ha-ha, makin sempit saja dunia ini. Akan tetapi, nona muda. Kalau engkau benar murid mereka, bagaimana sampai pedang dari tangan-mu dapat terampas oleh Sai-cu Lama" Walaupun dia memang lihai sekali, akan tetapi agaknya tidak akan mudah
mengalahkan murid suami isteri dari Istana Gurun Pasir!"
Wajah Bi Lan berubah merah karena ucapan itu merupakan celaan kepadanya dan harus Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
199 diakuinya bahwa ia menjadi murid suami isteri sakti itu hanya selama setengah tahun saja. Ia seorang yang jujur dan ia tidak mau menurunkan harga diri dari suami isteri yang amat baik kepadanya itu, maka iapun ce-pat berkata,
"Andaikata aku belajar ilmu dari suhu dan subo sejak kecil, tentu sekali tonjok saja si muka singa itu akan mampus di tanganku!" Timbul kembali sifat kasar dan liarnya berkat ajaran Sam Kwi sehingga kakek itu memandang dengan mata lebar. "Akan tetapi sayang, hanya setengah tahun saja aku dilatih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan sebelum itu aku menjadi murid Sam Kwi selama tujuh tahun."
Kembali kakek itu terbelalak. "Kaumaksudkan Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hi-dup itu?"
"Eh, locianpwe, agaknya locianpwe mengenal semua orang!" Bi Lan kini bertanya kaget dan he-ran. "Memang benar mereka itu guru-guruku."
Kakek itu menggaruk-garuk kepalanya yang gun-dul bersih. "Omitohud....!" Dia cepat merang-kap kedua tangan untuk menghentikan kebiasaannya di waktu muda yang sampai tua masih sukar dile-nyapkan itu. "Bagaimana mungkin orang menjadi murid Sam Kwi dan murid pendekar lengan tunggal Kao Kok Cu" Dan kau tadi bicara tentang pedang pusaka" Jangan-jangan pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng pula yang kau bicarakan itu."
Kini Bi Lan terbelalak. "Wah, Locianpwe ini orang apa sih" Bagaimana bisa tahu segala hal"
Memang benar pedang yang dirampas muka singa itu adalah Ban-tok-kiam milik subo yang dipinjamkan kepadaku!"
"Siancai, siancai, siancai....! Bagaimana Wan Ceng begitu bodoh untuk meminjamkan pedang itu kepada muridnya yang masih begini hijau"
"Locianpwe, jangan menghina orang!"
"Siapa menghina orang" Pinceng bicara benar. Kau tahu, malapetaka hebat telah terjadi.
Kalau ti-dak memiliki pusaka ampuh, Sai-cu Lama masih tidak begitu membahayakan. Akan tetapi kini Ban-tok-kiam berada di tangannya! Sama saja dengan seekor singa buas tumhuh sayap. Celaka. celaka!"
"Locianpwe, kami mohon petunjuk." Hong Beng cepat berkata untuk menengahi karena juga agaknya dia tidak menghendaki Bi Lan bersikap kasar terha-dap kakek yang ternyata selain sakti, juga mengenal banyak tokoh di dunia kang-ouw itu.
"Karena pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng yang dirampasnya, pincengpun berkewajiban untuk merebutnya kembali. Nona muda, kalau bertemu subomu, katakan bahwa pinceng kelak akan mengan-tarkan Ban-tok-kiam ke Istana Gurun Pasir kalau berhasil merampasnya dari tangan Sai-cu!" Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ dengan kecepatan yang mentakjubkan!
"Locianpwe, siapa engkau" Bagaimana aku harus melapor kepada subo?" teriak Bi Lan penasaran sambil melihat ke bawah lereng di mana nampak ba-yangan kakek itu kecil sekali, tanda dia sudah pergi jauh.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
200 "Katakan Tiong Khi Hwesio yang bicara. Ha-ha-ha!"Terdengar suara lapat-lapat disusul suara me-lengking tinggi nyaring seperti tadi.
Sejenak dua orang itu diam saja, masih terpesona oleh kehadiran kakek pendeta aneh itu.
Akhirnya Hong Beng menarik napas panjang."Sungguh hebat! Dalam sekejap mata saja kita bertemu dengan dua orang kakek yang demikian lihainya. Aku yakin bah-wa kalau Sai-cu Lama seorang tokoh jahat sekali, sebaliknya Tiong Khi Hwesio itu tentu seorang tokoh tua di dunia persilatan yang agaknya tidak asing dengan keluarga Pulau Es dan dengan penghuni Istana Gurun Pasir. Bahkan agaknya dia mengenal baik subomu dan juga sukongku. Sungguh aneh."
"Kalau saja dia menepati janjinya dan dapat berhasil merebut Ban-tok-kiam. Kalau tidak, bagaimana aku berani menghadap subo?"
"Jangan khawatir, Bi Lan. Bukankah locianpwe tadi mengatakan bahwa untuk bisa
menjumpai Sai-cu Lama, kita harus pergi ke kota raja" Mari kita pergi ke sana, sekalian aku harus menunaikan tugas yang diberikan suhu kepadaku di sana."
"Tugas apakah itu" kenapa harus ke kota raja?" Bi Lan bertanya.
Karena dia tidak begitu percaya lagi akan kelihaian pendengarannya, yang terbukti dengan munculnya Sai-cu Lama yang tidak diketahuinya, maka Hong Beng menoleh ke kanan kiri sebelum menjawab. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada lain orang, dia berkata lirih,
"Ini merupakan rahasia, Bi Lan, akan tetapi aku percaya kepadamu. Aku ditugaskan ke kota raja untuk melakukan penyelidikan atas diri seorang pembesar tinggi yang dikabarkan kini mempunyai pengaruh yang amat luasdi istana dan bahkan mempengaruhi kekuasaan kaisar, mempengaruhi jalannya pemerintahan. Kabarnya pembesar itu memunyai niat buruk. Aku harus berhati-hati karena pembesar tiu dibantu orang-orang pandai. Bahkan suhu memesan kepadaku agar aku lebih dahulu minta keterangan dari bekas Panglima Kao Cin Liong, yaitu putera tunggal gurumu, Kao Kok Cu, dan juga minta bantuan dari susiok Suma Ceng Liong, adik dari suhu. Nah, karena aku pergi ke kota raja dan engkaupun agaknya harus ke sana untuk mendapatkan kembali pedang subomu, maka sebaiknya kita pergi bersama. Dengan berdua, kita akan lebig kuat dalam menghadapi kesukaran di perjalanan, bukan?"
Bi Lan mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak tahu akan pergi kemana setelah aku lari dari suci. Aku hanya mempunyai satu tugas, yaitu mencari pusaka yang sudah kujanjikan kepada suci."
"Pusaka lagi" Pusaka apakah itu?"
"Pusaka itupun sebuah pedang, akan tetapi pedang pusaka yang menurut Sam Kwi amat penting artinya. Namanya Liong-siauw-kiam, yang usianya sudah ribuan tahun, terbuat dari pada kayu yang diukir menjadi suling berbentuk naga yang indah, keras seperti baja karena direndam obat-obatan rahasia jaman dahulu. Pusaka itu bisa ditiup seperti suling, akan tetapi juga dapat dipergunakan sebagai pedang. Dan sepasang mata naga itu terbuat dari batu permata yang tak ternilai harganya. Pusaka itu dahulu pernah menjadi lambang raja-raja Bangsa Khitan, dan kemudian jatuh ke tangan Kaisar Jengis Khan dan menjadi pusaka kerajaan. Akan tetapi kemudian jatuh ke tangan susiok dari Sam Kwi yang bernama Pek-bin Lo-sian. Pusaka itu turun-temurun berada di tangan perguruan Sam Kwi, akan tetapi celakanya, Pek-bin Lo-sian tidak mau menyerahkan pusaka itu kepada Sam Kwi malah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
201 memberikannya kepada seorang pendekar!"
"Eh, aneh sekali!" kata Hong Beng.
"Karena itu, Sam Kwi mengutus suci dan aku untuk mencari pusaka itu dan merampasnya kembali dari tangan pendekar itu."
"Dan siapakah pendekar itu?"
"Menurut suci, julukannya adalah Suling Naga, mungkin karena dia kini memiliki senjata Liong-siauw-kiam itu, dan katanya dia lihai bukan main. Aku harus mencari Pendekar Suling Naga itu dan merampas pusaka itu seperti sudah kujanjikan kepada suci!"
"Biarpun sucimu telah mengkhianatimu dan bahkan hampir membunuhmu dengan jarum
beracun?" "Janji tetap janji. Ia pernah menolongku dan aku sudah berjanji kepadanya, harus kupenuhi!"
Diam-diam Hong Beng kagum bukan main. Jarang ada orang yang berhati teguh seperti gadis ini. "Baiklah, akupun akan membantumu mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam. Wah, dengan begini kita harus merampas dua batang pedang pusaka, Ban-tok kiam dan Liong-siauw-kiam!"
"Kalau kau keberatan, jangan membantu. Aku pun tidak minta bantuanmu, Hong Beng!" kat gadis itu dengan ketus.
"Eh, eh, mengapa marah" Tentu saja aku suka sekali membantumu, Bi Lan. Nasib kita sama.
Kita sama-sama yatim piatu, tiada sanak saudara. Dan nasib pula yang mempertemukan kita di sini, sejak di warung nasi itu. Marilah kita bekerja sama dan saling bantu, karena perjalanan ke kota raja bukanlah perjalanan yang dekat."
Mereka berdua lalu menuruni lereng itu dan hati Bi Lan yang tadinya kecewa dan murung karena kehilangan Ban-tok-kiam, mulai terhibur sehingga dalam waktu beberapa hari saja, sudah pulih kembali sikapnya yang gembira dan jenaka.
Kalau saja dua orang muda itu mengenal siapa adanya Tiong Khi Hwesio, tentu mereka akan terkejut dan tidak merasa aneh lagi mengapa hwesio itu mengenal tokoh-tokoh keluarga Pulau Es, bahkan mengenal baik kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng.
Tiong Khi Hwesio bukanlah orang sembarangan. Di waktu mudanya, dia pernah menjadi seorang pen-dekar yang bersama-sama keturunan keluarga Pulau Es pernah menggegerkan dunia persilatan. Di waktu dia muda dahulu, nama Wan Tek Hoat dengan ju-lukannya Si Jari Maut amat terkenal, bahkan meng-guncangkan dunia persilatan dengan wataknya yang keras dan kadang-kadang aneh. Dan diapun bukan keturunan sembarangan. Ayahnya yang bernama Wan Keng In adalah putera nenek Lulu yang kemudian menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Jadi, pendekar sakti itu adalah ayah tirinya. Ilmu kepandaian Wan Tek Hoat ini hebat sekali, sejajar dengan kepandaian para keluarga Pulau Es. Dia pernah digembleng oleh Sai-cu Lo-mo, seorang kakek sakti, kemudian ilmu kepandaiannya
me-ningkat dengan amat hebatnya ketika dia mewarisi kitab-kitab dari Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin dari Pulau Neraka! Para pembaca seri ceritaJODOH RAJAWALI dan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
202 selanjutnya dapat mengikuti ri-wayat Wan Tek Hoat yang amat hebat itu.
Kemudian, setelah mengalami kepahitan-kepahit-an cinta asmara yang gagal, akhirnya dia berhasil juga menjadi suami wanita yang sejak semula telah dicintanya, yaitu Puteri Syanti Dewi, puteri negeri Bhutan. Bahkan sebagai mantu raja, Wan Tek Hoat terkenal sekali di Bhutan, membantu kerajaan itu dengan ilmu kepandaiannya, melatih para perwira, bahkan dia pernah berjasa sebagai panglima kerajaan menumpas kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di ne-gara itu. Dia hidup penuh kasih sayang dengan iste-rinya, dan suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Tentu saja suami isteri ini amat sayang kepa-da puteri mereka karena mereka itu dikurniai seorang anak setelah usia mereka mendekati limapuluh ta-hun. Dan mengenai Wan Hong Bwee atau Gangga Dewi ini, dapat diikuti riwayatnya di dalam kisah Para Pendekar Pulau Es. Di dalam perantauannya, Gangga Dewi bertemu dengan Suma Ciang Bun yang jatuh cinta kepadanya, akan tetapi Gangga Dewi ti-dak membalas cintanya, bahkan melarikan diri kem-bali ke Bhutan.
Kemudian, Wan Hong Bwee meni-kah dengan seorang pemuda perkasa di Bhutan yang
menjadi murid ayahnya sendiri dan mereka hidup ber-bahagia karena pemuda itupun menjadi seorang pa-nglima Bhutan yang terkenal.
Ketika Wan Tek Hoat berusia hampir tujuhpu-luh tahun, dan isterinya hanya dua tahun lebih muda darinya, Syanti Dewi, isteri tercinta itu, meninggal dunia. Hal ini merupakan pukulan batin yang amat hebat bagi Wan Tek Hoat. Biarpun mereka mempu-nyai seorang puteri yang sudah mempunyai dua orang anak pula, namun kedukaan Wan Tek Hoat tak ter-tahankan oleh pendekar ini, membuatnya seperti orang gila. Dia tidak mau lagi kembali ke istana, dan hidup seperti orang gila di dekat makam isteri-nya! Sampai satu tahun lamanya dia bertapa di de-kat makam isterinya, mengharapkan kematian akan segera menjemputnya agar dia dapat bersatu kembali dengan isteri tercinta. Namun, agaknya kematian belum juga mau menyentuhnya dan dia tetap segar bugar setelah setahun hidup di dekat makam. Semua bujukan dan hiburan Gangga Dewi dan suaminya tidak dapat mencairkan kedukaannya. Bahkan dia marah-marah dan tidak ada orang lain kecuali anak-nya dan mantunya itu yang berani mendekati ma-kam itu, apa lagi membujuk Wan Tek Hoat yang telah menjadi seorang kakek berusia hampir tujuhpuluh tahun itu. Salah-salah orang yang berani lancang membujuknya akan diserangnya dan celakalah kalau ada orang diserang oleh kakek yang sakti ini.
Akan tetapi pada suatu pagi yang cerah, selagi Wan Tek Hoat seperti biasa duduk termenung di depan makam isterinya, membayangkan segala peng-alamannya bersama Syanti Dewi di waktu mereka masih muda, tiba-tiba saja terdengar suara nyanyian seorang laki-laki, suara nyanyian lembut sekali. Men-dengar ada suara orang di dekat situ, muka Wan Tek Hoat sudah menjadi merah dan matanya melo-tot. Kemarahan sudah menguasai hatinya yang setiap hari tenggelam ke dalam duka itu. Akan tetapi, pen-dengarannya tak dapat melepaskan kata-kata yang terkandung di dalam nyanyian itu. Menurut dorong-an hatinya yang sudah rusak direndam racun duka selama satu tahun, ingin dia menghampiri orang yang berani bernyanyi-nyanyi di dekat makam itu dan seketika membunuhnya. Akan tetapi, kata-kata dalam nyanyian itu membuat dia tetap duduk terpukau dan mendengarkan.
"Mana lebih baik siang atau malam"
Mana lebih baik hidup atau mati"
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
203 Siapa tahu" Siapa bilang siang lebih indah daripada malam"
Siapa bilang hidup lebih enak dari pada mati"
Tanpa malam takkan ada siang,
tanpa mati takkan ada hidup.
Hidup dan mati tak terpisahkan.
Mati adalah lanjutan hidup,
dan hidup kelanjutan mati.
Mungkinkah meniadakan kematian"
Seperti meniadakan matahari tenggelam!
Bebas dari segala ikatan lahir batin
berarti hidup dalam mati dan mati dalam hidup
selalu senyum bahagia tidak perduli
dalam hidup maupun dalam mati
demikianlah seorang bijaksana sejati!"
Setelah mendengar semua kata-kata dalam nya-nyian itu, Wan Tek Hoat mengerutkan alisnya dan diapun meloncat. Sekali tubuhnya melayang, dia sudah tiba di luar tanah kuburan itu dan berhadapan dengan seorang kakek yang berkepala gundul, me-makai jubah hwesio, tangan kiri memegang tongkat, lengan kirinya digantungi sebuah keranjang dan tangan kanannya asyik memetik daun-daun obat yang dikumpulkannya di dalam keranjang.
Sekali mengulur tangan, Wan Tek Hoat sudah mencengkeram jubah pendeta itu pada
dadanya dan dengan mudah dia mengangkat tubuh pendeta itu ke atas, siap untuk memukul atau membantingnya. A-kan tetapi, wajah pendeta yang usianya lebih tua darinya itu nampak tersenyum demikian lembutnya, pandang matanya sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget atau takut sehingga timbul keheranan dan kekaguman di hati Wan Tek Hoat.
"Kau bilang hidup dan mati tidak ada bedanya" Bagaimana kalau sekarang kubanting hancur tubuh-mu dan nyawamu melayang ke akhirat?" bentaknya dengan suara mengejek.
"Siancai....! Orang lemah batin dan hanya kuat lahir, kaukira kau akan mampu melenyapkan kehidupan" Omitohud, semoga penerangan meng-usir kegelapan dalam batinmu. Tubuh ini dapat kau-hancurkan, tanpa kauhancurkanpun pada saatnya akan rusak sendiri. Mati hidup Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
204 bukan urusan kita, akan tetapi mengisi kehidupan dengan kesadaran itu-lah kewajiban kita.
Wahai saudara yang lemah batin, kalau kauanggap bahwa dengan jalan menghancur-kan tubuhku ini engkau akan dapat terbebas daripada duka, silahkan. Aku tidak pernah terikat oleh apapun, tidak terikat pula oleh tubuh yang sudah tua dan rapuh ini. Silahkan!"
Mendengar ucapan itu, dan melihat betapa be-nar-benar kakek yang tua renta ini sama sekali tidak gentar menghadapi ancamannya, seketika kedua le-ngan Wan Tek Hoat gemetar dan diapun menurun-kan kakek itu kembali, lalu dia menutupi muka de-ngan kedua tangannya.
"Saudara yang kuat lahir namun lemah batin, apa manfaatnya bagimu sendiri atau bagi orang lain atau bagi alam ini kalau engkau menenggelamkan di-rimu di dalam lembah duka seperti ini" Mengapa kaubiarkan racun kedukaan yang melahirkan keben-cian itu menguasai batinmu?"
Air mata menetes-netes turun melalui celah-celah jari tangan Wan Tek Hoat. Dia menangis seseng-gukan!
Peristiwa ini merupakan hal yang amat luar biasa. Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar yang berha-ti baja. Biasanya, tangis merupakan pantangan besar baginya. Hatinya tak pernah menyerah dan tidak pernah memperlihatkan kelemahan. Di depan orang lain, sampai matipun dia tentu merasa malu untuk menangis. Akan tetapi kini, mendengar ucapan ka-kek itu, dia menangis sesenggukan, tak tertahankannya lagi karena air matanya itu seperti air bah yang tadinya terbendung oleh bendungan yang amat kuat. Akan tetapi kini bendungan itu jebol dan air bah menerjang keluar tak dapat ditahannya lagi. Wan Tek Hoat, pendekar yang pernah dijuluki Si Jari Maut itu kini menangis seperti seorang anak kecil, menutupi muka dengan kedua tangan, terisak-isak, kedua pundaknya terguncang-guncang dan air mata menitik turun melalui celah-celah jari tangannya.
Pendeta berkepala gundul itu membiarkan Wan Tek Hoat menangis seperti anak kecil, memandang sambil tersenyum dan mengangguk-angguk. Kakek yang arif bijaksana ini seolah-olah melihat getaran kekuatan duka ikut terseret keluar melalui banjir air mata itu dan maklumlah dia bahwa tangis yang men-dalam ini sedikit banyak akan membebaskan dada si penderita ini dari pada tekanan duka. Tangis akan membebaskan orang dari tekanan duka yang dapat mendatangkan penyakit berat pada tubuh.
Setelah diserang oleh dorongan tangis yang hebat itu, Wan Tek Hoat akhirnya sadar akan keadaan di-rinya. Hal ini membuat dia merasa terkejut dan malu, dan cepat dia mengangkat mukanya meman-dang, karena kemarahan sudah timbul kembali ke dalam hatinya yang keras.
Ketika dia mengangkat muka, pandang matanya yang agak kabur oleh air mata, bertemu dengan wajah yang demikian lembut dan mengandung kasih demikian mendalam, pancar-an sinar mata yang demikian halus dan penuh penger-tian, dan seketika luluh rasa hati Wan Tek Hoat. Semua kemarahannya lenyap bagaikan api disiram air. Dan pendekar tua yang selamanya tak pernah mau tunduk kepada orang lain itupun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki yang bersandal rumput itu.
"Suhu yang budiman, saya mohon petunjuk dan berkah...."
Melihat ini, kakek yang usianya tentu sudah delapanpuluh tahun lebih itu tersenyum, senyum yang tidak bersuara akan tetapi seolah-olah keadaan sekeliling tempat itu ikut terseret dalam senyum bahagia itu.
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
205 "Omitohud...., saudaraku yang baik, marilah kita duduk dan bicara dengan baik-baik."
Diapun lalu duduk di atas rumput, di depan Wan Tek Hoat yang juga sudah duduk bersila.
Dengan tenang dan sabar kakek itu meletakkan tongkat dan keranjangnya di kanan kiri tubuhnya, membereskan jubah-nya dan duduk bersila dengan rubuh tegak lurus dengan enak sekali, tanda bahwa duduk bersila dengan baik merupakan pekerjaan yang sudah dikuasainya dengan sempurna.
Sejenak mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan. Bagi orang-orang yang sudah waspa-da atau setengah waspada, terdapat suatu hubungan antar manusia tanpa kata. Pandang mata yang dida-sari sari perasaan yang tercurah sudah cukup mengadakan komunikasi yang mendalam, dan di sini memang ka-ta-kata tidak diperlukan lagi. Akan tetapi, kakek itu melihat betapa batin Wan Tek Hoat masih penuh dengan uap beracun yang dinamakan duka, maka dia menarik napas panjang lagi.
"Omitohud, saudaraku yang baik. Jangan minta petunjuk dari pinceng. Petunjuk sudah ada seleng-kapnya dan sebijaksana mungkin di sekitar dirimu, di luar dirimu, di dalam dirimu.
Engkau hanya tinggal membuka mata, baik mata badan maupun mata batin, membuka dan memandang, mengamati, dan engkau sudah mendapatkan segala macam pe-tunjuk yang
kaubutuhkan dalam kehidupan ini. Eng-kau tidak lagi perlu meminta berkah karena kalau engkau mau membuka mata batinmu, akan nampak-lah bahwa berkah itu sudah mengalir berlimpahan sejak kita lahir sampai kita mati, tiada putus-putus-nya berkah mengalir kepada kita. Kita tinggal meng-ulur tangan dan meraih saja. Sayang, betapa banyaknya mata manusia seolah-olah buta, tidak melihat akan limpahan berkah, merengek dan meminta-minta selalu tanpa melihat yang sudah ada. Lihat! Na-pasku adalah berkah, denyut darahku adalah berkah, kehidupanku adalah berkah, alam semesta adalah berkah. Lalu apa lagi yang harus kita minta"
Kita tidak mau melihat itu semua, melainkan merendam diri ke dalam duka, kehilangan, kekecewaan, kesengsaraan. Betapapun bodohnya kita ini!"
Wan Tek Hoat bukanlah seorang anak bodoh, melainkan seorang kakek yang sudah banyak belajar, dan banyak pula mempelajari filsafat dan kitab-kitab suci kuno. Akan tetapi, baru kini dia mendengar ucapan yang begitu sederhana namun menembus batinnya, dan hatinyapun tunduk. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang arif bijaksana, seorang yang patut dijadikan tempat bertanya, seo-rang yang tidak lagi diperhambakan oleh nafsu-nafsu-nya dan perasaan-perasaan hatinya.
"Akan tetapi, suhu yang mulia. Saya menderita duka karena kematian isteri saya tercinta.
Bukankah hal itupun wajar saja" Saya seorang manusia yang berperasaan, tidak lepas dari pada suka duka, dan saya amat mencinta isteri saya, yang lebih saya cin-tai dari pada apapun juga di dunia ini. Dan sekarang ia.... ia.... telah meninggal dunia...."
Duka menyesak dadanya sehingga kalimat terakhir itu tersendat-sendat. Kakek itu masih tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu mengangkat muka me-mandang ke arah awan
berarak dan kembali dia bernyanyi.
"Anak isteri ini milik saya,
harta benda itu milik saya,
Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
206 dengan pikiran ini si dungu selalu tersiksa,
dirinya sendiripun bukan miliknya,
apa lagi anak isteri dan harta benda?"
Wan Tek Hoat membantah, "Suhu yang mulia, duka ini datang tanpa saya sengaja,
bagaimana akan dapat menghilangkan duka selagi hidup di dunia?"
"Omitohud, perlukah hal ini saudara tanyakan lagi?" kata kakek itu dengan ramah.
"Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah orang bijaksana yang tidak akan tersentuh duka."
"Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, bagai-mana pula ini, suhu" Bukankah mempunyai sama dengan memiliki?"
"Mempunyai lahiriah, hal itu terikat oleh hukum-hukum lahiriah buatan manusia.
Mempunyai ba-daniah tidak perlu menjadi memiliki batiniah. Kelu-argaku dengan segala hak dan kewajibannya, hal itu adalah urusan lahiriah yang diperlukan untuk kehi-dupan bermasyarakat. Akan tetapi, batin tidak perlu memiliki karena sekali batin memiliki, maka akan terjadi ikatan batin dan inilah sumber segala keseng-saraan, sumber segala duka! Harta bendaku hanya kepunyaan badan karena harta benda hanya diperlu-kan oleh badan. Namun, sekali batin memiliki pula harta benda itu, akan terjadilah kehilangan yang akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan. Ingat, hanya dia yang memiliki sajalah yang akan kehilangan. Ba-tin yang tidak memiliki apa-apa, batin yang bebas dan tidak terikat oleh apapun juga, tidak terikat oleh isteri, oleh anak, keluarga, harta benda dan sebagai-nya, batin seperti itu bebas dan murni dan takkan tersentuh duka. Lihat, saudaraku yang baik. Badan ini memang punya saya, dan adalah kewajiban saya untuk menjaganya, memeliharanya,
membersihkannya, melindunginya. Akan tetapi badan, ini punya saya lahiriah saja. Batin tidak harus memiliki dan terikat karena kewaspadaan bahwa segalanya itu akan berakhir dan ikatan itu hanya menimbulkan duka karena kehilangan dan iba diri. Ikatan batin
menum-buhkan akar dan jika tiba saatnya perpisahan, maka akar itu akan tercabut dengan kekerasan sehingga menimbulkan luka berdarah."
"Akan tetapi, suhu yang mulia, bukankah kalau batin tidak memiliki lalu kita bersikap acuh dan ti-dak perduli akan segalanya itu" Bagaimana mung-kin saya mengacuhkan isteri saya yang amat saya cinta?"
Diserang demikian, kakek itu tersenyum lebar penuh kesabaran seperti seorang guru yang baik hati menghadapi seorang murid yang masih bodoh. Dan memang sesungguhnyalah, menghadapi alam yang menjadi guru, kita manusia ini hanyalah murid-murid yang bodoh, anak-anak kecil yang tubuhnya besar.
"Saudaraku yang baik, justeru karena tidak ada-nya ikatan batin, maka batin menjadi bebas dan ha-nya batin yang bebas sajalah yang penuh dengan cin-ta kasih. Sinar cinta kasih itu akan hidup terus dan dengan adanya sinar cinta kasih, bagaimana mungkin orang menjadi acuh" Sebaliknya, cinta kasih mem-buat orang penuh perhatian dan waspada terhadap segala-Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
207 galanya, baik yang terjadi di dalam maupun di luar dirinya."
"Saya dapat melihat kebenaran dalam semua ucapan suhu. Akan tetapi, saya memang terikat lahir batin dengan isteri saya, dan karena itulah saya men-derita dan kehilangan karena kematiannya. Kalau saya tidak mencinta isteri saya, mana mungkin tidak terikat lahir batin saya, suhu?"
"Siancai.... di siniiah letak persimpangan yang membingungkan semua orang. Tentang cinta dan ikatan! Saudaraku, cinta kasih itu hanya ada kalau di situ terdapat kebebasan. Cinta kasih itu kebebasan. Ikatan bahkan meniadakan cinta kasih. Ikatan itu hanya menciptakan duka, dan ikatan itu terjadi karena nafsu, saudaraku! Cinta tidak menimbulkan ikatan, akan tetapi nafsulah yang menimbul-kan ikatan. Nafsu timbul karena adanya aku. Cinta kasih yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu yang memakai nama cinta. Dan naf-su itu berarti mencinta diri sendiri. Saudaraku yang baik, apakah saudara mencinta mendiang isteri saudara?"
Mendengar pertanyaan ini, terkejutlah hati Wan Tek Hoat, matanya terbelalak dan sejenak hatinya terasa panas. Ah, betapa tangannya akan bergerak menyerang, mungkin membunuh orang yang berani meragukan cintanya terhadap isterinya! Akan tetapi pertanyaan dari mulut kakek itu dikeluarkan demiki-an halus dan wajar, sama sekali tidak mengandung ejekan, keraguan atau celaan, bahkan dia merasa se-olah-olah batinnya sendiri yang tadi mengajukan pertanyaan.
"Apa.... apa maksud pertanyaan suhu ini?" dia tergagap.
"Maksudku agar engkau melihat sendiri, meng-amati sendiri, menjenguk isi hatimu apakah engkau mencinta isterimu, ataukah hanya mencinta diri sen-diri,"
"Suhu, tentu saja saya mencinta isteri saya! Ah, suhu tidak tahu betapa besar cinta kasih saya kepada mendiang isteri saya!" Wan Tek Hoat mengemu-kakan semua pengalamannya
bersama isterinya yang dicintanya.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Begitulah ang-gapan semua orang tentang cinta. Akan tetapi, sau-daraku yang baik, marilah kita bersama menyelidiki tentang cinta ini. Kalau benar bahwa engkau mencinta mendiang isterimu, lalu mengapa sekarang eng-kau menangisi kematiannya, berduka karena kemati-annya" Mengapa....?"
Pertanyaan ini mengejutkan hati Wan Tek Hoat dan membuatnya tercengang, sejenak tak mampu menjawab. "Mengapa" Tentu saja saya menangisi kematiannya karena saya cinta kepadanya, karena sa-ya kehilangan...."
"Nah, berhenti!" Kakek itu mengangkat ta-ngannya menghentikan ucapan Wan Tek Hoat yang belum selasai. "Itulah, lihat baik-baik dan engkau akan menemukannya. Karena kehilangan! Karena kehilangan isterimu maka engkau berduka, menangis, merasa iba kepada diri sendiri."
"Tapi.... tapi saya merasa kasihan kepadanya...."
"Saudaraku yang baik. Benarkah itu" Benarkah engkau merasa kasihan kepada isterimu dan karena kasihan itu engkau menangisi kematiannya" Kalau benar demikian, mengapa engkau Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
208 merasa iba kepadanya" Karena dia mati" Bagaimana mungkin kauapat mengasihani seseorang yang mati kalau kau sendiri tidak tahu bagaimana keadaan orang setelah mati" Yang jelas, ia telah kehilangan badannya yang menua dan rapuh, tidak merasakan lagi gangguan usia tua, bebas dari penanggungan badannya. Tidak, kalau kita mau jujur, akan nampaklah oleh kita bahwa yang kita tangisi dalam kematian seseorang bukanlah si mati, melainkan diri sendiri.
Kita menangis karena kita ditinggal, karena kita kehilangan sesuatu yang menyenangkan yang kita peroleh dari orang yang kita cinta itu. Cinta tidak mengandung ikatan, dan karena tidak ada ikatan inilah, maka tidak akan ada duka pada saat perpisahan. Dalam kedukaan saudara ini, yang ada bukanlah cinta, melainkan nafsu dan terputusnya ikatan yang mengakar dalam batin. Duka saudara bukan karena cinta kepada yang mati, melainkan karena iba diri sendiri yang ditinggalkan.
Wan Tek Hoat merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin yang membuatnya
gelagapan, akan tetapi juga membuat dia sadar. Hatinya tersentuh keharuan dan diapun menjatuhkan diri berlutut.
"Suhu.... saya dapat melihatnya sekarang. Saya harap suhu sudi memberi bimbingan kepada saya untuk selanjutnya. Saya akan belajar mencari kebebasan...."
"Omitohud, omonganmu itu keliru, saudara. Ja-ngan katakan mencari kebebasan, karena kebebasan tidak mungkin dapat dicari. Yang penting, patahkan semua belenggu dari batin.
Kalau sudah tidak ada ikatan, dengan sendirinya sudah bebas, bukan" Dalam keadaan terbelenggu mencari kebebasan, mana mungkin" Berada di dalam kurungan nafsu keakuan, tak mungkin mencari kebebasan. Kebebasan yang ditemukan di dalam kurungan itu bukanlah kebebas-an yang sejati. Hanya kalau kita mampu menjebol kurungan itu dan berada di luar, barulah kita boleh bicara tentang kebebasan."
"Saya ingin mempelajari tentang kehidupan dari suhu, harap suhu suka menerima saya sebagai murid."
Kakek itu tersenyum dan mengajak pergi Wan Tek Hoat. Semenjak hari itu, tidak ada seorangpun di Bhutan yang pernah melihat lagi bekas panglima itu. Oleh kakek yang arif bijaksana itu, Wan Tek Hoat diajak merantau ke Tibet, diperkenalkan dengan para pendeta Lama dan para pertapa, memper-dalam kewaspadaan dan kebijaksanaan, mempelajari tentang kehidupan, tentang alam. Wan Tek Hoat mencukur rambut kepalanya, mengenakan jubah pendeta sederhana dan memakai nama Tiong Khi Hwe-sio.
Akan tetapi di Tibet terdapat hanyak aliran keagamaan. Banyak orang-orang pandai di kalangan pendeta itu yang saling memperebutkan kekuasaan sehingga terjadi perpecahan dan ada pula pemberon-takan ditujukan kepada Kerajaan Ceng. Hal ini me-nyedihkan hati Tiong Khi Hwesio. Tak disangkanya bahwa biarpun manusia ada yang sudah berjubah pendeta, namun tetap saja jarang yang benar-henar sudah bebas, dan nafsu masih mencengkeram dalam berbagai bentuk, dengan umpan-umpan yang berbe-da pula dengan yang dikejar orang di dunia ramai. Kalau di dunia ramai orang berebutan mengejar harta dan kemuliaan atau kesenangan-kesenangan lainnya, di tempat sunyi itu, para pendeta itu saling mempere-butkan kedudukan, yaitu nama dan kehormatan!
Akhirnya, pemberontakan-pemherontakan itu da-pat dipadamkan oleh balatentara yang dikirim Kaisar Kian Liong. Keadaan di Tibet menjadi aman kemba-li. Akan tetapi, ada satu golongan yang selalu mem-berontak dan mengeruhkan keamanan di Tibet. Go-longan ini Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
209 menamakan dirinya golongan Lama Jubah Merah dan dipimpin oleh Sai-cu Lama yang sakti.
Karena para pendeta Lama di Tibet merasa kehabis-an akal untuk dapat menundukkan Sai-cu Lama dan anak buahnya, akhirnya Tiong Khi Hwesio yang di-kenal oleh para pendeta sebagai seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, dimintai tolong oleh para pen-deta itu.
Mula-mula Tiong Khi Hwesio menolak permin-taan bantuan ini. Dia sudah berjanii kepada diri sen-diri untuk tidak melibatkan diri dalam urusan dunia, apa lagi dia mendapatkan banyak pelajaran dari guru-nya, hwesio perantau yang tak pernah dikenal nama-nya itu yang kini sudah meninggal dunia.
"Aku sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak lagi menggunakan kekerasan untuk menghadapi orang lain," demikian diamenyatakan penolakannya kepada para pendeta Lamma di Tibet. "Kekerasan ha-nya mendatangkan kebencian dan permusuhan, me-nimbulkan dendam. Tidak, aku tidak akan mau mempergunakan kekerasan lagi, para suhu yang baik,"
katanya. Lama tertua di antara para pendeta itu melang-kah maju dan merangkap kedua tangan ke depan dada. "Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi keyakinan hati saudara yang budiman. Memang, kita semua maklum bahwa menggunakan kekerasan bukan-lah perbuatan yang baik. Akan tetapi, saudaraku yang budiman, menjadi kewajiban mutlak bagi kita untuk melindungi diri dari pada ancaman dari luar, terutama sekali melindungi orang lain dari pada an-caman dari luar. Golongan Jubah Merah telah me-nyebar maut, bertindak sewenang-wenang hanya untuk melampiaskan nafsu-nafsu hewani mereka. Kalau kita menentang mereka, bukan berarti kita su-ka akan kekerasan, melainkan kita menggunakan tenaga untuk menghentikan perbuatan yang justeru bersifat kekerasan itu. Apakah saudara hendak membarkan saja golongan itu merajalela, menyiksa dan membunuh, merampok dan
memperkosa, tanpa ada sedikitpun semangat dalam batin saudara untuk menolong mereka yang tertindas itu" Benarkah dan patutkah seorang pencinta kehidupan seperti saudara ini membiarkan orang-orang merusak kehidupan" Apa lagi kalau diingat bahwa saudara memiliki sarana untuk menghentikan perbuatan laknat itu."
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang dan membuka mata memandang kepada semua
pendeta itu. "Aih, tidak bolehkah aku menghabiskan sisa hi-dupku yang tidak seberapa ini dengan penuh keten-teraman dan kedamaian?"
"Bagaimana hati kita dapat tenteram dan damai kalau di sekitar kita terdapat srigala-srigala yang haus darah" Haruskah kita mendiamkan saja sriga-la-srigala itu menyerang, menerkam dan membunuh banyak orang?"
"Sudahlah, sudahlah.... pinceng akan menemui dan membujuk mereka.... " akhirnya dia berkata. Para pendeta Lama itu segera menyatakan terima kasih dan rasa bersyukur mereka.
Dengan penuh perasaan gelisah karena dia lagi-lagi harus menghadapi kekerasan, Tiong Khi Hwesio yang dahulunya bernama Wan Tek Hoat dan berju-luk Si Jari Maut itu, segera mendatangi perkampung-an para Lama Jubah Merah. Dan apa yang didapati-nya di sini membangkitkan jiwa pendekarnya yang sejak lama tidur. Bagaimana dia dapat berdiam diri saja menyaksikan betapa para pendeta Lama ini menjadi budak-budak nafsu mereka yang nampak je-las di dalam perkampungan mereka" Mereka itu berpesta pora atas hasil perampokan-perampokan dan penculikan-penculikan mereka, mengumpulkan harta rampasan, minum-minum sampai mabok dan bahkan ada yang sedang menghina wanita-wanita culikan Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
210 dengan semena-mena. Tentu saja Tiong Khi Hwesio menjadi marah, akan tetapi dia masih berusaha untuk menemui kepala atau pimpinan kelompok Jubah Me-rah itu.
Melihat munculnya seorang hwesio di pintu ger-bang mereka, beberapa orang Lama Jubah Merah menyambutnya dengan mulut menyeringai. "Sobat, apakah engkau datang ingin ikut bersenang-senang dengan kami?"
"Pinceng datang untuk bertemu dan bicara de-ngan pemimpin kalian, Sai-cu Lama."
"Ha-ha-ha, pemimpin kami sedang bersenang-se-nang dengan wanita pilihannya yang baru saja kami dapatkan. Beliau tidak suka diganggu pada saat ini. Kalau ada keperluan, bicara dengan kamipun sama saja, kawan. Ada keperluan apakah?"
Tiong Khi Hwesio mengerutkan alisnya yang masih tebal walaupun warnanya sudah putih.
Hati-ya sedih sekali menyaksikan tingkah polah para pendeta Lama ini, yang sungguh berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan jubah mereka dan kepala gundul mereka.
"Maafkan, pinceng tidak dapat bicara dengan siapapun juga kecuali dengan Sai-cu Lama dan dia ha-rus keluar menyambut pinceng sekarang juga. Kalau tidak ada di antara kalian yang mau memanggilkannya, biarlah pinceng sendiri yang akan mencarinya." Berkata demikian, Tiong Khi Hwesio melanjutkan langkah kakinya memasuki perkampungan itu.
"Heii, tunggu dulu!" Dua orang pendeta Lama cepat menghadang dan muka mereka
menunjukkan kemarahan. Lenyaplah senyum mereka tadi yang ra-mah, terganti pandang mata penuh curiga. Terpaksa Tiong Khi Hwesio berhenti dan menghadapi dua orang itu dengan sikap tenang. "Siapakah kamu, be-rani. hendak mengganggu pimpinan kami" Kamu tidak boleh mengganggu dan pergilah dari sini sebelum kami mempergunakan kekerasan!"
"Omitohud!" Tiong Khi Hwesio menyembah dengan kedua tangan di depan dada. "Pinceng datang bukan untuk mencari pertentangan, melainkan hen-dak bicara dengan pimpinan kalian.
Panggil dia ke luar."
"Tidak! Apakah kamu belum mengenal para Lama Jubah Merah dan datang mencari
penyakit?" Seorang Lama yang bertubuh tinggi besar dan nam-pak bengis wajahnya
membentak dengan sikap meng-ancam. "Pergilah sekarang juga. Kami masih me-mandang kedudukanmu sebagai seorang hwesio, Pergilah atau terpaksa aku akan melemparmu keluar!"
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang."Sian-cai.... sekali lagi pinceng katakan bahwa pinceng tidak mencari permusuhan." Lalu dia mengerahkan khi-kang dan berteriak, suaranya lantang menembus udara dan terdengar sampai jauh di seluruh penjuru perkampungan itu dan mengejutkan semua orang, Sai-cu Lama, keluarlah, pinceng hendak bicara de-nganmu!"
Melihat ini, dua orang pendeta Lama itu menjadi marah dan mereka sudah menubruk dan hendak me-nangkap hwesio tua yang datang membuat kacau itu. Akan tetapi, mereka berdua menangkap angin karena yang ditubruk tahu-tahu sudah lenyap dari depan mereka! Tentu saja mereka kaget bukan main dan para pendeta Lama yang lain kini sudah datang me-ngepung Tiong Khi Hwesio yang tadi dapat menge-lak dengan mudah dari tubrukan dua orang lawan itu.
"Tangkap pengacau! Pukul roboh dia!" Terde-ngar teriakan-teriakan dan kini para pendeta Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
211 yang semua memakai jubah merah itu mengepung dan me-nyerang Tiong Khi Hwesio dari segala jurusan. Me-reka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang amat tinggi, Menghadapi serangan dari semua jurusan ini, Tiong Khi Hwesio sama sekali tidak menjadi gentar. Kalau serangan itu dilakukan terhadap dirinya sepu-luh tahun yang lalu saja, tentu dia akan mengamuk dan merobohkan mereka semua tanpa ampun lagi. Akan tetapi, Tiong Khi Hwesio sekarang ini sama sekali berbeda dengan Wan Tek Hoat atau Si Jari Maut. Selama beberapa tahun ini dia hidup di dekat kakek hwesio yang menyadarkannya, dia telah mampu
mengalahkan kekerasan hatinya. Kini tidak mu-dah hatinya tersinggung kemarahan atau emosi yang lain lagi. Dia selalu tenang dan memandang segala hal yang terjadi dengan sinar mata penuh pengertian sehingga keadaan batinnya seperti air telaga yang dalam dan selalu tenang, sikapnya halus dan wajah-nya selalu tersenyum. Terjangan yang dilakukan de-ngan kemarahan oleh para pendeta Lama berjubah merah itu, hanya disambutnya dengan elakan dan tangkisan. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali dia seperti menghilang saja dari ke-pungan, membuat para pengepung terheran-heran dan keadaan menjadi semakin kacau balau.
"Sai-cu Lama, apakah engkau termasuk orang yang berani berbuat akan tetapi tidak berani bertang-gungjawab?" kembali Tiong Khi Hwesio berteriak dengan pengerahan khi-kangnya ketika dia kembali berhasil meloncat keluar dari kepungan dan membiar-kan para
pengeroyoknya kebingungan mencari-cari-nya.
Mendengar suaranya, kembali para pendeta yang kini jumlahnya tidak kurang dari duapuluh orang itu sudah menerjang dan menubruknya, bahkan sebagian di antara mereka ada pula yang menggunakan sen-jata. Tiong Khi Hwesio sedang berdiri tegak ketika duapuluh orang pendeta itu menerjangnya dari de-pan, belakang dan kanan kiri. Karena tidak mungkin mengelak atau menangkis semua serangan itu satu demi satu, Tiong Khi Hwesio tidak mengelak dan ti-ba-tiba saja dari mulutnya terdengar suara meleng-king, kedua kakinya terpentang dan kedua lengannya juga dikembangkan lalu diputar di sekeliling tubuh-nya.
Akibatnya, para pengeroyok itu terpelantingan seperti diterjang angin puyuh yang amat kuat!
Terkejutlah kini para pengeroyok itu. Tak mere-ka sangka bahwa hwesio yang datang ini memiliki kesaktian yang demikian hebat, dan sebagai orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi, mereka mak-lum bahwa kalau lawan itu menghendaki, tentu me-reka semua sudah roboh dan terluka berat, tidak ha-nya berpelantingan seperti itu. Timbul kekhawatir-an hati mereka. Jangan-jangan orang ini sahabat dari pemimpin mereka yang mempuyai keperluan ingin bertemu dengan Sai-cu Lama. Akan tetapi mereka tidak perlu ragu-ragu lagi karena pada saat itu terde-ngar suara keras dan mengandung getaran parau seperti suara seekor singa mengaum. Mendengar suara ini, para pendeta Lama cepat-cepat menahan napas, bahkan ada yang menutupi kedua telinga karena tidak tahan mendengar suara yang mengandung khi-kang amat kuat dan yang menggetarkan jantung mereka itu.
"Hwesio tolol dari manakah berani main gila di ciepan Sai-cu Lama!" demikian bentakan suara itu dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang kakek bertubuh tinggi besar dan berperut gendut sekali, kepalanya gundul dan jubahnya bukan hanya merah seperti yang dipakai para pendeta di situ, melainkan kotak-kotak berwarna merah kuning. Biarpun kepa-lanya gundul plontos licin, namun mukanya penuh cambang bauk seperti muka singa karena dari cam-bang, sampai semua pipi, kumis dan dagunya penuh rambut yang keriting berwarna agak kekuning-ku-ningan!
Melihat pendeta ini, Tiong Khi Hwesio dengan mudah dapat menduga bahwa tentu inilah Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
212 orangnya yang berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama Muka Si-nga) itu. Diam-diam dia kagum melihat kakek yang masih membayangkan kegagahan itu, walaupun usia-nya tentu sudah enampuluh tahun lebih. Memang muka seperti itu pantas sekali kalau memakai julukan Muka Singa. Sejenak hati kakek ini tertegun. Meli-hat muka pendeta Lama itu, teringatlah dia akan gurunya yang pertama kali ketika dia masih muda. Gurunya yang pertama adalah seorang kakek yang berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Muka Singa) yang memiliki muka seperti Sai-cu Lama ini, penuh cambang bauk yang bagus dan gagah seperti singa. Ha-nya bedanya, gurunya yang memakai julukan Ki-mo (Iblis Tua) itu adalah seorang gagah perkasa sebalik-nya kakek yang memakai julukan Lama (Pendeta Buddha Tibet) ini malah seorang hamba nafsu yang jahat! Jelaslah bahwa manusia tidak dapat diukur dari namanya, julukannya, apa lagi dari pakaiannya.
Setelah merasa yakin bahwa dia berhadapan de-ngan orang yang dicarinya, Tiong Khi Hwesio segera melangkah menghampiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua
tangan di depan dada, menjura ke arah kakek bermuka singa itu.
"Omitohud, kalau tidak keliru pinceng berhadap-an dengan yang terhormat Sai-cu Lama, benarkah itu?"
Sejenak sepasang mata yang lebar dan penuh wi-bawa itu memandang Tiong Khi Hwesio penuh seli-dik. Memang kakek bermuka singa inilah Sai-cu La-ma yang amat terkenal di Tibet itu. Mula-mula ka-kek ini heran mendengar di luar ada orang memang-gil-manggil namanya, akan tetapi karena dia sedang sibuk dengan seorang gadis yang dipilihnya di antara para wanita yang diculik, dia tidak memperdulikan panggilan itu dan menyerahkan kepada anak buahnya untuk menghadapi orang yang berani mengganggu kesenangannya. Akan
tetapi, dia kemudian mende-ngar teriakan-teriakan anak buahnya. Dengan ogah dan marah dia keluar meninggalkan korbannya dan terkejutlah dia melihat betapa seorang kakek hwesio yang tua bergerak dengan amat cepatnya menghindar-kan semua serangan para Pendeta Lama. Bahkan dia dibuat tertegun melihat betapa sekali menggerakkan tubuhnya, pendeta tua itu berhasil membuat duapu-luh orang anak buahnya berpelantingan. Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang berkepan-daian, yang bukan merupakan lawan para anak buah-nya, Sai-cu Lama lalu menghampiri tempat itu. Kini dia memandang Tiong Khi Hwesio dengan teliti, mencoba untuk mengingat-ingat. Akan tetapi dia merasa heran dan penasaran karena dia belum pernah mengenal hwesio tua renta ini.
"Benar, aku adalah Sai-cu Lama. Setelah mengenalku, engkau masih berani membikin kacau di perkampungan kami. Apakah kau sudah bosan hidup?"
Tiong Khi Hwesio tersenyum halus dan ramah. Sai-cu Lama, pinceng datang sebagai seorang saha-bat, bukan hanya karena kita berdua sama-sama murid Sang Buddha, akan tetapi juga terutama sekali karena kita berdua sama-sama manusia yang wajib saling memberi ingat kalau ada yang salah tindak."
"Dan kau datang untuk memberi peringatan itu?" Sai-cu Lama berkata, alisnya yang tebal keriting itu berkerut dan mulutnya menyeringai seperti seekor singa mencium bau kelenci.
Tiong Khi Hwesio mengangguk. "Omitohud, betapa sukarnya bagi kita untuk mengenal diri sen-diri dan melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Selalu harus ada orang lain yang membantu memberi ingat. Sai-cu Lama, tanpa kuberitahu sekalipun, kiranya engkau sudah tahu bahwa saat ini engkau sedang melakukan penyelewengan dari pada jalan kebenaran seperti yang Suling Naga > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
213 sudah sama-sama kita pelajari. Engkau menghimpun kawan-kawanmu ini, terkenal di Tibet sebagai kelompok yang selalu mengganggu ketente-raman kehidupan rakyat. Merampok, mengganggu wanita, membunuh, mengumpulkan kekayaan. Bukankah semua itu merupakan perbuatan yang bahkan harus dipantang oleh orang-orang yang sudah meng-gunduli kepala dan mengenakan jubah pendeta seperti kita" Sai-cu Lama, pinceng datang untuk memberi ingat kepada kalian semua agar kalian sadar dan mengubah kesesatan itu mulai saat ini juga, dan kembali ke jalan kebenaran."
"Keparat!" Sai-cu Lama membentak, lalu dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, siapakah engkau ini yang berani sekali datang untuk memperingatkan dan mengancam aku" Ha-ha, orang yang bosan hidup, apakah nyawamu rangkap?" Mendengar ucapan dan tawa pemimpin mereka, para pendeta Lama yang mengurung tempat itupun tertawa dan mereka me-rasa yakin bahwa sebentar lagi mereka akan melihar hwesio tua itu pasti akan dihajar oleh pemimpin me-reka sampai mampus.
"Pinceng tidak mengancam, melainkan ingin menyadarkan kalian dari pada kesesatan."
Istana Yang Suram 10 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Dendam Iblis Seribu Wajah 13
^