Pencarian

Tanah Semenanjung 4

Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Bagian 4


Wilis menoleh pada Yistyani. Gadis itu cepat
menjawab dengan hormat, "Cadangan makanan kita
berlebih, Pangeran."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik, kita akan kirim cadangan makanan itu. Tapi
jangan ada satu meriam pun keluar dari perkubuan!" ujar
Wilis yang segera mendapat persetujuan dari Sardola.
Umbul Songo memaklumi. Namun ia cukup puas.
Sebelum pertemuan ditutup Wilis terlebih dahulu
meninggalkan tempat itu. Begitu pula Resi Wuni Pati.
Mereka akan bersemadi. Atau mungkin Wilis akan
membaca lontar. Sementara itu Umbul Songo
mengusulkan pada Baswi dan Andita, supaya laskar
yang dikirim nanti menggunakan gelang akar hitam pada
lengan kirinya. Jika tidak ada maka mereka boleh
memakai lawe hitam sebagai gelang.
"Kami bukan orang Budha!" Baswi terkejut.
"Tidak apa," jawab Umbul Songo. "Dan jika kalian sampai, maka pertanyaan pertama adalah, 'Jingga" Maka
kalian harus jawab dengan kata 'Bayu"(bisa berarti angin.
Tapi di sini punya arti rakyat kecil atau kawula (sudra))."
"Yang lain?" "Tidak ada. Nah, aku sudah cukup puas. Terima kasih,
Andita, Baswi, dan Sardola, juga
kau, Yistyani. Aku harus berangkat. Karena itu
sampaikan hormatku pada Pangeran dan Resi."
"Hari sudah gelap," Andita mencegah.
"Kudaku tidak akan terantuk."
Seseorang diperintah oleh Baswi untuk menjemput
Abrit. Mereka semua saling berdiri, kemudian mengiringi
Umbul Songo sampai di gerbang perkubuan.
Hari-hari merangkak lamban. Rasanya seperti enggan
menjangkau esok. Namun sebenarnya tidaklah demikian
yang terjadi. Waktu berlalu seperti melompat dari hari ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sehari. Akibatnya apa yang terjadi pada tahun silam
masih seperti kemarin saja. Bahkan kelahiran demi
kelahiran telah banyak terjadi di Raung. Melalui
perkawinan demi perkawinan. Dan kian hari suasana
kian menjadi baru. Demikianlah Tumpak sekarang bukan hanya berani
mengintip Yistyani pada waktu mandi saja. Keinginan
yang besar untuk memetik kembang terindah di Raung
itu mendorongnya untuk berani berkunjung ke rumah
Yistyani. Tapi yang sering bersua dengannya justru
bukan Yistyani. Karena gadis itu sering tidak ada di
tempat. Kali ini pun ia bergegas ke tempat Yistyani. Dalam hati
ia telah menyiapkan beribu kata sanjungan dan rayuan
untuk menyampaikan hasrat hatinya. Namun ia terpaksa'
harus puas kala sampai di sana Janean yang membuka
pintu bahkan menemaninya berbincang serta makan
sirih. Mulanya ia tidak berani menanyakan tentang
Yistyani pada Jenean. Tapi akhirnya ia coba memancing
karena takut gadis itu tersinggung.
"Sering sekali ia dipanggil Pangeran," Jenean
menerangkan. "Untuk apa?" "Membaca lontar."
"Ha?" Tumpak terkejut. Namun segera ia menutupinya
dengan menoleh pada perapian, di sebelah kanan balai-
balai yang mereka pakai sebagai tempat pertemuan itu.
Kemudian matanya merambat keliling ruangan. Padahal
ruangan itu tak pernah berubah. Setiap kali ia datang
selalu saja ada kendi di pojok ruangan. Kayu palang
pintu selalu juga tergeletak di samping pintu. Ada dua
pelita yang ditaruh di sudut kiri dan kanan ruangan untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membantu menerangi ruangan itu. Dinding kayu dikapur
putih bersih, membedakan tempat itu dengan rumah-
rumah lain di Raung. Mereka biasa tidur di tempat bersih
kala tinggal di Lateng. Maka mereka selalu
membersihkan tempat mereka.
"Ya. Pangeran belum mahir Sanskerta."
"Yistyani?" "Bahkan ia dapat bicara Sanskerta."
Tumpak tak habis mengerti. Gadis yang tak ia ketahui
asal-usulnya itu bisa berbahasa milik dewa-dewa.
"Apakah kau juga bisa?" Ia menutupi kekagumannya.
"Yistyani memberikan pelajaran. Tapi belum bisa."
Janean malu. "Ah, aku sendiri tidak bisa, kok." Tumpak setengah
mengeluh. "Menyesal, kenapa segala pengetahuan
ditulis dalam bahasa yang tidak kukenal."
"Ya, aku juga tidak mengerti kenapa begitu."
"Apa kira-kira tidak ada hal lain, eh... maksudku antara
Yistyani dengan Pangeran?"
"Kurang mengerti, Kakang." Jenean tersenyum sambil
menatap wajah Tumpak. Angin sayup meniup ke dalam ruangan. Membuat api
pelita bergoyang seperti perawan menari.
"Tak pernah ia bicara apa-apa?" Tumpak tak bisa
menahan perasaan. "Tidak." Jenean masih tetap tersenyum. Tumpak
menghela napas panjang. Jenean menjadi iba. Ia
mengerti Tumpak kecewa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau sering ke Lateng. Apa kabar di sana" Jenean
mengalihkan persoalan. "Tidak baik untuk diceritakan. Kau ingin kembali?"
"Tidak." Jenean menunduk sambil memain-mainkan
jari kakinya. Tumpak memperhatikan betis wanita yang
bersimpuh di hadapannya itu. Mereka duduk sebalai-
balai. Nampak oleh Tumpak kuku Jenean tidak lagi
berwarna merah jambu seperti waktu pertama kali
datang. Sekarang kuning bercampur hitam. Namun itu
tak membuat Jenean menjadi malu. Memang pada
awalnya ada perasaan risi. Juga warna kakinya yang
dulu kuning langsat, kini menjadi agak coklat dan
mengkilat. Lumpur yang membuatnya begitu.
"Adakah kau merasa pahit di Lateng?"
"Tidak mesti. Kadang pahit kadang manis," Jenean
menjawab cepat. "Itu pun tak baik untuk diceritakan."
Tumpak tertegun. Gadis itu berusaha menutup diri.
Seperti dia menutup masalahnya pribadi. Mereka diam
lagi. Seolah kehabisan bahan pembicaraan. Namun
dalam diam di angan Tumpak muncul bayangan tentang
apa yang ia harapkan. Harapan yang sedang goyah.
Tumpak mencurigai Yistyani. Wanita itu bukan
sembarangan. Bukan sudra! Ah... ia berdesah dalam
hati. Jenean membiarkannya sibuk menebak-nebak. Ia
mengunyah kinang. Membuat bibirnya merah seperti
delima. Semerah itu pula warna ludahnya yang ia
ludahkan ke dalam tempolong yang ia sediakan untuk
keperluan itu. "Yistyani pernah bercerita tentang asal-usulnya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rupanya Kakang menaruh perhatian padanya?"
Jenean membuat Tumpak kelabakan. Dan merasa
menyesal agak kurang mampu menguasai diri.
"Ah, tidak...," ia menutupi. Jenean menjadi tersenyum.
"Biasanya lelaki tak pintar menyembunyikan hatinya."
"Aku... hem... tidak sembunyi."
"Kau hanya pintar berkelahi. Tak pintar membaca hati
wanita." "Apa maksudmu?"
"Wanita lebih pintar melihat hati lelaki." Jenean masih tersenyum. Dan ia sama sekali tak mau dibelokkan oleh
pertanyaan. "Aku semakin bingung."
"Aku mengerti hatimu. Juga Yistyani. Tapi tidak
sebaliknya." "Jadi kalian pernah memperbincangkan tentang aku?"
Cuma senyuman yang menjawab. Dan itu membuat
muka Tumpak terasa panas. Wanita selalu
memperbincangkan lelaki bila sedang berkerumun.
"Lalu apa kata Yistyani tentang aku?"
"Wanita tak biasa membuka rahasia wanita lainnya
pada lelaki." Kini Tumpak makin sadar, ia berhadapan dengan
wanita-wanita yang tidak sama dengan wanita
kebanyakannya. Tapi ia heran mereka mau bekerja
seperti petani lainnya. "Ya. Itu memang kehidupan. Jadi kalau aku boleh
katakan di Raung ini kami merasa bahagia," Jenean
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menerangkan lagi. "Di sini harga wanita lebih baik
daripada di rumah Kuwara Yana. Sekalipun kami di sini
harus mencebur lumpur setiap hari. Kaulihat wanita istri
kawula Raung ini. Mereka berbagi suka dan duka
dengan suaminya. Dengan anak di punggungnya,
mereka membantu suami di ladang ataupun di sawah.
Tapi di sana wanita tak lebih dari pemuas nafsu belaka."
"Maksudmu" Kaum satria itu tak tahu harga wanita?"
Malam kian merayap. Angin makin dingin. Jenean
bangkit untuk menambah minyak kelapa pada pelita yang
nyalanya tampak surut. Tumpak melihat lenggang
Jenean. Gemulai juga. Wajahnya juga ayu. Tak sempat
lama ia perhatikan, beberapa kutu busuk menyembul dari
dalam tikar dan mengisap darahnya.
"Pengetahuan mereka bukan untuk menghargai
wanita. Bukan pula untuk kebaikan. Karena sebenarnya
mereka memang tak pernah berbuat sesuatu yang baik.
Tapi segala yang baik dan segala yang benar harus
dipersembahkan untuk mereka," Jenean berkata lagi
sambil masih menuang minyak.
"Tapi kenapa banyak wanita yang senang dengan
cuma diberi emas" Atau cuma ditinggali benih satria atau
brahmana dalam perut mereka?"
"Barang siapa terlena dalam ketidaktahuan, ia akan
bahagia dalam ketidaktahuannya." Jenean kembali
bersimpuh di depan Tumpak yang juga bersila.
"Siapa yang mengajar kau bicara seperti itu?"
"Pengalaman hidup."
"Pengalaman hidup?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pengalaman hidup adalah mahaguru yang paling
tinggi. Pengalaman hidup dianugerahkan pada tiap
pribadi oleh Hyang Maha Dewa secara tidak sama."
"Pengalaman hidup?" Tumpak masih belum
memahami. "Siapa yang mampu memanfaatkan pengalaman
hidup, kemudian mengendapkannya dalam ingatan maka
ia kan mudah menentukan pegangan bagi masa
mendatangnya." "Jagat Dewa! Kau bicara seperti Yistyani?"
"Tidak. Suaranya merdu, ia bicara seperti bidadari.
Wajahnya juga cantik. Berbeda sekali dengan aku. Ia
brahmani yang menjadi idaman setiap pria."
Hati lelaki muda itu tersentuh. Sesaat ia tercenung
dalam keibaan. "Wajah membawa harga tersendiri," tambah Jenean.
Seperti menyesali diri kenapa tidak secantik Yistyani.
Perasaan Tumpak seperti diiris-iris.
"Tapi lelaki di sini kan tidak sama dengan satria di
Lateng," dia berusaha menghibur.
"Itu disebabkan lingkungan kalian yang sempit saat ini.
Coba kalian menginjakkan kaki kembali di Ibukota"
Belum tentu. Yang cantik di sini akan memuakkan di
Lateng. Mereka yang kawin di sini akan mencampakkan
perempuan mereka begitu mereka melihat perempuan-
perempuan Lateng." "Ah, perasaanmu yang bicara!"
"Justru ini keluar dari akal. Perasaan wanita selalu
ingin dipuja. Ingin tiap lelaki menyanjungnya. Lebih dari
itu tak ingin lakinya jatuh ke pelukan perempuan lain."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yistyani juga berpendapat begitu?"
"Ia sudah punya sikap yang tegas. Ia tidak akan
mencinta dan dicinta lagi!"
"Jagat Dewa!" Tumpak menjadi pucat. "Walau ada
yang menginginkannya?"
Jenean tersenyum kembali. "Kau kecewa?"
"Tidak. Tapi keputusannya yang sepihak itu..."
"Ia telah menggunakan haknya sebagai pribadi.
Karena itu keputusan diambilnya secara pribadi. Dengan
pertimbangan pribadi pula."
"Kalian punya jagat yang lain rupanya." Tumpak
menghela napas panjang. Dan dengan membawa
beberapa butir kekecewaan ia pulang. Jenean
mengiringinya di ambang pintu. Selang beberapa bentar
kemudian Yistyani mengetuk pintu. Jenean
menyambutnya dengan senyuman.
"Kau makin cantik, Yis. Tubuhmu makin padat."
"Kau merajuk." Yistyani melepaskan beberapa
perhiasannya. Wajahnya kelihatan mendung. Namun
sinar pelita membuatnya tetap cantik.
"Yis, tadi si..." Jenean mendekati temannya itu.
"Tumpak kemari?"
"Kau tahu?" "Cuma kira-kira." Yistyani tersenyum sedikit.
"Kau kelihatan sedih" Ada apa, Wong ayu"
Tanpa jawaban. Yistyani masuk biliknya. Jenean
mengikut di belakangnya. Sejenak ia ingat, Wilis pernah
juga masuk bilik itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah... kau tak tahu, Manis." Yistyani mengelus pipi
Jenean seperti pada seorang adik.
"Rupanya ada sesuatu dengan Pangeran?"
"Waktu aku datang, Tuan Andita minta aku menunggu


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di luar. Karena Pangeran sedang berdoa. Lain dari
biasanya. Kali ini berdoa istimewa, memperingati
gugurnya pahlawan-pahlawan. Terutama Yang Mulia
Jangrana serta Adipati Ngabehi Sawunggaling."
"Lalu?" Jenean memperhatikan Yistyani. Makin
mendung. Setitik demi setitik air matanya meleleh.
"Kenapa kau menangis?"
Yistyani terdiam. Beberapa saat kemudian dia
menghempaskan dirinya di balai-balai. Jenean juga
duduk di sebelahnya. "Kau tidak menangis untuk kedua pahlawan itu
tentunya. Tapi untuk Pangeran," Jenean memancing.
"Hai..." Yistyani terkejut.
"Kenapa kaget" Karena aku meraba secara tepat?"
"Tidak. Kau menebak-nebak."
Jenean tertawa lirih. Tapi ia memang mau
mengungkap apa yang tersimpan di hati temannya itu.
"Apa maksudmu selalu menghubungkan aku dengan
Pangeran?" "Bukankah Pangeran Mas Nuwong dulu berjanji
hendak membawamu ke istana?"
"Lalu apa hubungannya dengan Wilis?"
"Kau mengharapkan dia menggantikan kakaknya."
Jenean tertawa lirih. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan mengada-ada." Yistyani tersenyum.
"Bukankah kakaknya dulu berumur baru lima belas
tahun sudah berani meniduri kau?"
"Ah..." Yistyani malu mengingat kejadian itu.
"Kau samakan dia dengan kakaknya?"
"Setidaknya kau berharap begitu."
Napas Yistyani terasa agak sesak. Air mata yang tidak
keluar melalui jalan semestinya, mengganggu
pernapasannya. "Kenyataan memang sering tak seindah harapan."
Suara Yistyani pilu. "Terlalu pahit untuk dirasakan."
Jenean mengerti benar arti kata-kata itu. Namun kini
hatinya makin menebak-nebak. Yistyani ditolak" Atau
yang lain" Makin lama Yistyani makin terbenam dalam
kemasygulannya. Bahkan air matanya bertambah deras.
"Kau sendiri yang mengajar padaku, kesulitan bukan
untuk ditangisi, tapi diatasi. Kenapa kau sekarang
menangis" Mari ceritakanlah padaku. Kita berbagi suka,
dan mari kita juga bagi derita yang kauhadapi itu."
Yistyani tersadar. Ia menghapus air matanya. Ia
pandang Jenean. Mata wanita itu juga berkaca-kaca.
"Terima kasih, Jenean. Pergilah tidur!" kemudian ia
menunduk lagi, dalam-dalam.
"Sudah kukatakan. Aku tak bisa melihat kau bersedih
sendiri. Kau selalu memberi kegembiraan padaku.
Mengapa kita tak harus bersedih bersama?"
"Kesedihan bukan kegembiraan. Demi Hyang Dewa
Ratu, ini tidak bisa dibagikan."
"Sahabat sejati adalah sahabat dalam suka dan duka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Semboyan memang mudali dicetuskan dengan kata.
Tapi sukar dalam perbuatan."
"Hyang Dewa Ratu! Yistyani?" Jenean setengah
berteriak. Ia terkejut. "Itu berarti kau tidak mempercayai aku" Tak pantas kauucapkan padaku, hai pemimpin
laskar wanita!" Yistyani tersentak dan bangkit. Matanya membelalak,
bersinar kembali seperti bintang timur yang mengerjap-
ngerjap. "Jenean..." Bibirnya gemetar. Jenean sudah berdiri.
Diradang kemarahan. Yistyani segera meraih tangannya.
Jenean merasakan betapa dingin tangan wanita itu.
"Duduk, duduklah kembali, Jenean!"
"Pimpinan yang tidak menggunakan
kepemimpinannya adalah contoh yang paling buruk dari
segala contoh. Juga brahmani yang tidak menggunakan
kebrahmaniannya!" "Maafkan aku, Jenean...."
"Kau tak membutuhkan aku. Biarkan aku pergi!"
"Lebih baik bunuh saja aku daripada mengucap
seperti itu. Ampunkanlah aku, Jenean," Yistyani meratap.
Jenean memandangnya. Beberapa saat mereka saling
berpandangan. Untuk kemudian saling berpelukan. Air
mata mereka sama-sama berderai.
"Mari kita pergi tidur...," bisik Yistyani.
"Cerita dulu..."
"Baiklah. Mari sambil kita berbaring."
Keduanya membasuh kaki masing-masing, di tempat
penyimpanan air. Malam telah larut. Setelahnya mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersama-sama menuju pembaringan dan menggolekkan
diri. Sebelah-menye-belah. Bilik kayu yang sederhana
dan pembaringan yang terbuat dari bambu dan
menimbulkan suara berderit tiap kali mereka bergerak,
tidak membuat mereka mengeluh. Beberapa bentar
kemudian, Yistyani mulai bercerita:
Semua pemuka Raung diundang ke pura. Semua
kelihatan ada kecuali Tumpak. Sore itu memang
panggilan mendadak. Tanpa rencana. Menurut Baswi
mereka akan mengadakan pembacaan doa untuk
menghormat arwah pahlawan besar dari Surabaya.
Putra-putra terbaik Nusantara, yaitu Tumenggung
Jangrana, Arya Jaya Puspita, dan Adipati Ngabehi
Sawunggaling dan satu lagi pahlawan besar Untung
Surapati di Pasuruan. Baswi mengerti benar ke mana Tumpak pergi. Ia
berusaha agar Pangeran dan Andita tidak tahu. Namun
Yistyani lebih mengerti dari Baswi. Ia cuma tersenyum
dalam hati. Mereka yang berada dalam pura itu mengheningkan
cipta. Masuk alam darana (alam konsentrasi dalam
meditasi) Resi Wuni Pati memimpin mereka dalam
berdoa dan melakukan yoga semadi. Sunyi bagai mati
keadaan dalam pura itu. Semua menegang napas. Tiada
suara lain yang terdengar kecuali suara Resi.
Bau dupa, kayu setangi, dan kemenyan yang dibakar
menusuk setiap hidung. Asapnya membuat tiap pasang
mata merasa pedas. Seterusnya asap itu keluar dan
membubung tinggi ke angkasa melalui tiap lubang yang
ada. Sebenarnya mereka melakukan ini sebagai balasan
diam-diam yang terlambat terhadap misa syukur yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diadakan Belanda di gereja Batavia beberapa tahun
silam. Misa syukur yang diadakan oleh gereka Batavia
pada tanggal sepuluh Juli seribu tujuh ratus dua puluh
tiga Masehi adalah atas perintah gubernur jenderal VOC.
Apakah misa itu diterima Tuhan" Kiranya tak ada
Tuhan yang dapat diperintah oleh gubernur jenderal.
Atau mungkin saja Tuhan menerima persembahan
syukur yang atas perintah gubernur jenderal itu" Karena
ia punya kekuasaan mutlak atas bumi jajahan"
Jangankan manusia. Kalau perlu Tuhan pun harus
menuruti kehendaknya. Sejahat apa pun sang gubernur
itu! Berbeda dengan mereka yang sedang membakar
kemenyan itu. Mereka hanya mengenal dewa. Dan
mereka tak pernah mampu memaksa Tuhan mereka
sendiri, seperti tuan gubernur jenderal di Batavia. Mereka
hanya meratap dan memohon. Menyiksa diri dengan
berpuasa. Mereka memang makhluk mengibakan!
Jadi, Tuhan sang gubernur jenderal itu memang
pemurah. Senajis apa pun sang gubernur itu akan selalu
dikabulkan. Tuhan orang Raung ternyata berbeda
dengan Tuhan Belanda di Batavia.
Setelah membaca catatan sedikit tentang gugurnya
Surapati di Bangil oleh pecahan granat, maka Resi
menyerahkan segulungan lontar pada Wilis untuk dibaca.
Isinya sebagai berikut: Melalui caraka sandi dan para pedagang yang sampai
di Wijenan(ibukota Blambangan waktu Macanapura
masih berkuasa) Surabaya mengumumkan gugurnya
Adipati Jangrana oleh suatu pembunuhan khianat di
Kartasura. Pembunuhan terhadap adipati yang telah
renta itu dicatat oleh Belanda sebagai tertanggal dua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
puluh enam Februari tahun seribu tujuh ratus sembilan
Masehi, jam sembilan lima belas menit pagi hari, waktu
Kartasura. Di tubuhnya terdapat sebanyak dua puluh lima
luka tikaman. Antaranya tujuh pada paha kanannya saja.
Dan pembunuhan terjadi di antara gapura pertama dan
kedua keraton Kartasura. Waktu itu Adipati tak
diperkenankan menghadap dengan pengawal dan
senjata, kendatipun itu panggilan dari Susuhunan.
Memang Susuhunan sendiri bersama Panglima Knoll
yang telah merencanakan pembunuhan atas putra
terbaik Surabaya itu. Karenanya, Adipati Ngabehi Jangrana III dan Arya
Jaya Puspita yang menggantikannya, menolak
mempersembahkan upeti bahkan juga menolak
menghadap pada penghadapan agung Grebeg Maulud.
Setelannya, atau lebih jelasnya lima tahun kemudian,
Nusantara dikejutkan oleh perang besar yang
diumumkan oleh Adipati Ngabehi Sawunggaling. Nama
yang tak pernah dikenal sebelumnya. Namun perang
lima tahun yang dipimpinnya, sungguh menggeletarkan
bumi Jawa. Sampai di sini Resi memerintahkan Wilis
menghentikan pembacaannya. Waktu sudah larut
malam. Dan kemudian mereka berdoa agar seluruh
laskar Raung tetap terjaga semangatnya. Setelannya
mereka diperintahkan kembali ke pesanggrahan masing-
masing. Namun sesampainya di depan pertapaan, sebuah
tangan menggamit tangan Yistyani. Terkejut. Namun
ternyata Wilis yang melakukannya. Tersenyum. Juga
Wilis. Berdua meniti naik ke pendapa. Langkah Yistyani
menimbulkan suara seperti kain sobek. Gontainya
meruntuhkan iman. Beberapa bentar keduanya duduk di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kursi batu yang tersedia di sudut pendapa. Masih
membisu. Dalam keremangan sinar damar mereka masih
beradu mata dan senyum. "Di mana kesalahanku pada waktu membaca kidung
Wijaya Krama, kemarin?"
Yistyani mengerutkan kening. Mengingat-ingat. Sesaat
kemudian baru menjawab, "Tidak ada, pangeran."
"Benar?" "Betul." Keduanya tersenyum lagi. Manis sekali.
"Kalau aku menanyakan sesuatu di luar pelajaran
boleh?" Hati Yistyani berdebar tiba-tiba. Namun mengangguk
juga. "Aku sudah dewasa?" Pertanyaan yang kian
membingungkan. . Semestinya ia ingin mengatakan bahwa Pangeran
belum dewasa. Namun itu tidak mungkin ia katakan. Dan
ia mencoba memandang dalam-dalam ke mata pangeran
itu. Ingin tahu ke mana arah pertanyaan itu menuju. Tapi
sukar juga. Maka sambil tetap senyum ia menjawab,
"Pangeran sudah dewasa dalam arti kehidupan. Tapi
belum dalam usia." "Dengan kata lain aku cukup mempunyai pengetahuan
dan pengertian" Bukankah pengertian itu sendiri berarti
hidup?" "Ya," sambil mengangguk. Bau harum membelai
hidung Wilis dengan lembut. Angin malam membelai
mereka berdua dengan leluasa. Sekitar mereka hanya
kegelapan. Pelita juga dipermainkan oleh api.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah seorang pemimpin bisa menentukan sikap
berdasarkan pikirannya sendiri" Juga mengatur segala
atas pikirannya sendiri?"
"Bukankah Pangeran di sini tidak pernah diharuskan
menentukan sikap atas dasar pikiran orang lain?"
"Tapi aku tak bisa menyangkal keputusan kalian."
"Seorang pemimpin yang biiak adalah pimpinan yang
mendengar suara kawula. Itu berarti tidak membutakan
diri pada kenyataan dan kebenaran."
"Ya, tapi dalam..."
"Dalam keadaan tertentu saja, Pangeran."
"Nah, itulah! Sudah pantaskah seandainya aku
menentukan sesuatu dengan pikiranku sendiri" Artinya
dalam keadaan tertentu?"
"Sudah." "Jika demikian tentunya kau juga akan mematuhi
daku?" "Bukankah hamba belum pernah membantah?"
"Bagus." Wilis tersenyum. Lega. Sedang Yistyani
belum mengerti. Untuk kesekian kalinya mata mereka
beradu. "Sekarang ajarkan padaku, hal lain lagi. Yaitu tentang
hidup yang sebenarnya. Aku membaca banyak lontar
yang mengatakan bahwa hidup sukar dipisahkan dari
cinta. Betulkah itu?"
"Cinta adalah sebagian dari hidup."
"Itulah sebabnya hidup tak bisa dipisah dari cinta?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Cinta adalah impian yang indah dari setiap
kehidupan! Dan kehidupan _selalu memburu impian.
Apalagi impian yang indah."
"Setiap kehidupan?"
"Ya! Sebab itu adalah kodrat!"
"Jagat pramudita! Seindah sorgawikah cinta itu?"
"Ya." Wilis berhenti bertanya. Seorang murid Resi Wuni Pati


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lewat untuk menambah minyak pada pelita. Wilis
memandangi orang itu. Yang dipandangi jadi segan.
Pergi dengan tanpa menoleh.
"Cinta memang sesuatu yang indah. Dan selalu
diperindahkan oleh setiap orang yang sedang mabuk
asmara. Biasanya, ia berlari bila diburu. Datang bila
ditinggal. Bila menemukan saling pengertian bersama,
barulah manusia memperoleh cinta yang seindah-
indahnya." "Kalau begitu masih memerlukan pengertian?"
"Hidup berisikan pengertian itu sendiri. Pengertian
tentang kehidupan. Sedang kasih berisikan mencintai
dan dicintai." "Dalam cinta ada kerumitan?"
"Hakikatnya hidup adalah pahit dan manis. Suka dan
duka. Karena itulah hidup berarti usaha untuk mengisi
kehidupannya. Dan tiap kehidupan dibangunkan oleh
dua hal yang berlainan. Itulah kuasa Hyang Maha Dewa,
yang tak mungkin disamai oleh manusia."
"Ah... hebatnya kau! Aku ternyata terlalu bodoh untuk
mengenal arti kasih. Bahkan untuk bercinta," Wilis
berkata datar. Kemudian dia memandang ke luar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kegelapan merajai alam. Tiada lagi terdengar suara
anak-anak kecil bermain-main. Yang terdengar cuma
suara jangkrik dan walang serta suara-suara binatang
malam. Sementara itu Yistyani masih saja berusaha menebak
apa yang menjadi jalan pikiran Wilis. Namun agak lama
mereka membisu. Masing-masing terbenam dalam
alamnya sendiri. Yistyani tak sabar karena kegelapan
malam makin mencekam. Maka ia memecah kesunyian
lebih dahulu. "Asmara adalah salah satu, yah... salah satu saja dari
perwujudan kasih. Asmara yang sudah berkecamuk
dalam jiwa manusia akan dapat menghentikan semua
dan segala. Karena asmara tidak pandang usia, wajah,
dan kasta. Karena asmara adalah anugerah yang suci
dari Hyang Maha Dewa."
"Jagat Dewa! Hanya brahmana yang boleh bicara
seperti itu," Wilis menyebut.
"Walau begitu, satria sering menyalahgunakan.
Mereka tidak pernah mengenal arti asmara. Karena
mereka hanya mampu merampas dan mem-perkosa.
Juga memperkosa anugerah dari Hyang Maha Dewa.
Dalam asmara tidak boleh ada paksaan. Tidak boleh ada
jual-beli. Sebab itu melanggar kesucian asmara itu
sendiri. Yang berarti menentang kehendak Hyang Maha
Dewa." "Jagat Dewa!" Wilis terkejut. "Kau bicara dengan perasaan" Jengkel pada satria?"
"Tidak! Biarlah yang berlalu bagi hamba. Tapi hamba
akan lanjutkan pembicaraan ini. Walau asmara tak
memandang usia, tapi asmara memerlukan kematangan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kekurangmatangan bisa menimbulkan
kekurangmampuan memahami pengertian asmara itu."
Kini Wilis mengangguk-angguk. Ia pandang tajam-
tajam wanita itu. Sampai terdengar lagi olehnya,
"Dan kematangan seseorang bukan ditentukan oleh
usia. Tapi oleh pesangonnya."
"Betapa benarnya katamu itu," Wilis makin
mengagumi. Tapi beberapa bentar mereka kembali diam.
Dan untuk kesekian kalinya Wilis menghembuskan napas
panjang. Itu sebabnya Yistyani hampir yakin, Wilis
sedang menyimpan persoalan. Tiba-tiba Wilis
mendapatkan ketenangannya kembali. Dan katanya,
"Tentunya tiap manusia membutuhkan asmara,
bukan" Memerlukan cinta?" Wilis hati-hati memandang
wajah Yistyani. Mendadak muka Yistyani merona.
Andaikan siang hari maka barangkali Wilis akan melihat
wajahnya menjadi seperti kembang kapas yang masih
muda. "Termasuk kau!" Wilis menambahkan debar jantung
Yistyani. "Sebagai murid aku menghormatimu," Wilis
meneruskan tanpa mempedulikan debar jantung Yistyani.
"Tapi aku juga satria yang mewarisi kebusukan
moyangku. Aku sadar ini. Sewaktu-waktu di saat aku
suka, maka aku bisa paksa kau untuk menjadi istriku.
Dan kali lain aku bisa menjadikan kau budak yang hina-
dina. Namun kali ini tidak! Tidak untuk kedua-duanya."
Berhenti sebentar untuk memandang wajah Yistyani.
Gadis itu tertunduk. "Aku tahu banyak lelaki perkasa
yang dengan hati tulus ingin mempersuntingmu.
Termasuk Tumpak dan Andita! Tapi keduanya tak berani
melamarmu karena aku. Ya, aku!" Wilis diam sebentar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menata napasnya. Menelan ludahnya. Sedang Yistyani
masih menunduk. Beberapa saat lagi,
"Aku tidak tahu bagaimana membalas jasamu.
Sungguh aku berutang terlalu banyak. Karena itu
sebagai imbalan atas semua jasamu, aku anugerahkan
padamu seorang suami. Suami perkasa dan tampan,
putra seorang brahmana, Paman Andita!"
"Pangeran!" Hati Yistyani tersibak. Namun Wilis tak
memberinya kesempatan. "Kalian serasi sekali! Guru, pergilah! Aku tidak
sanggup berbantah denganmu. Tapi ini perintahku!
Perintah seorang yang kalian angkat menjadi pimpinan."
"Ampun, Pangeran...," Yistyani mengiba.
"Pergilah! Bukankah aku seorang pimpinan" Lidahmu
sendiri mengatakan, aku layak memutuskan sesuatu
dalam keadaan tertentu. Dan ingat, aku satria!"
Badan dan kaki Yistyani gemetar. Juga hatinya.
Hampir saja ia tidak kuat beranjak dari tempat duduknya.
Namun ia kuatkan juga berdiri. Ia menahan air mata yang
hendak membeludak keluar. Wilis membantu menarik
tangannya. Bahkan memapahnya sampai di gerbang
pertapaan. Dirasakan oleh Yistyani, tangan itu dingin.
Bergetar. Menahan getaran jiwa. Harapan selama ini
telah menjadi pudar sama sekali.
Di gerbang mata mereka saling bertemu. Kendati
gelap. Namun mata mereka saling bicara dalam bahasa
yang tak dimengerti oleh orang lain. Lama sekali.
"Maafkan aku, Yis..."
Kata-kata Wilis terputus. Yistyani seperti mendapat
kekuatan baru. Membalikkan tubuh tanpa bersembah.
Beberapa helai rambutnya berjuntai menyentuh muka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wilis. Seperti patung Wilis cuma terpatri di atas bumi kala
Yistyani melangkah pergi. Untuk kemudian hilang di
kegelapan malam, bersama cintanya.
Jenean mendengar semua penuturan itu dengan
sangat terharu. Tidak bisa lain, kecuali ia pun turut
menangis. Jangankan membantu, nasihat pun tidak
mampu. Perkawinan Andita dan Ratna Ayu Yistyani tidak
terhindarkan. Wilis menggunakan haknya sebagai
penguasa di Raung. Maka tak seorang pun berani
membantah. Namun demikian upacara perkawinan
dilangsungkan dengan sangat sederhana. Perkawinan
Sardola dengan Ni Ayu Sitra atau perkawinan Baswi
dengan Sedah Lati jauh lebih meriah. Hal itu memang
atas permintaan Yistyani sendiri. Dan terjadi jugalah
kehendaknya. Meskipun begitu kegembiraan kawula Raung tidak
surut karenanya. Betapa tidak" Andita adalah putra Resi
Wuni Pati. Guru sekaligus pengayom mereka. Sekarang
ini punya menantu cantik jelita.
Tapi setiap sesuatu tentu ada yang berlawanan. Jika
sebahagian besar kawula Raung bersuka-suka maka
Tumpak tidak ada di tengah mereka. Bahkan
mengucapkan selamat pada mempelai pun tidak. Hal itu
membuat Baswi curiga. Ia khawatir anak muda itu akan
berbuat yang dapat merugikan kelompok pelarian secara
keseluruhan. Maka ia memutuskan untuk segera
mencarinya ke pesanggrahannya. Tidak ada. Baswi
berdebar. Sendiri ia mencari. Jangan sampai Pangeran atau
Andita mengetahuinya. Bahkan kalau bisa jangan ada
satu kawula Raung pun yang tahu. Pesanggrahan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tumpak tertutup rapat-rapat. Tiada suara apa pun di
dalam. Ah, barangkali ia ke rumah Yistyani. Aku lihat
beberapa bulan lalu ia bercakap-cakap dengan Jenean,
kata Baswi dalam hati. Maka ia segera mengendap-
endap mendekati rumah Jenean. Kosong. Jenean tentu
menemani Yistyani malam ini. Sementara Andita masih
berbincang dengan kawula Raung yang sengaja datang
mengucapkan selamat. Lalu ke mana anak ini" Ia suka
melamun di pancuran sambil mengintip Yistyani mandi.
Tapi itu kan pagi atau sore hari. Apa yang dibuatnya
malam-malam begini" Tapi siapa tahu ia di sana
menghibur diri. Ah, bagaimana menghibur diri dengan
menyerahkan darah dihisap nyamuk" Sungguh tidak
masuk akal. Tapi Baswi melangkah juga ke pancuran itu.
Purnama menerangi jalan-jalan di Raung, memudahkan
Baswi menjangkau tempat pemandian umum itu.
Dengan hati-hati ia mendekati pemuda yang sedang
melamun di atas sebuah batu besar itu. Begitu asyik
Tumpak memandangi rembulan.
Dan barangkali hatinya sedang bercakap-cakap
dengan sang dewi malam itu. Menumpahkan segala
kepahitan hati. Dalam beberapa jarak yang sudah cukup
dekat Baswi menyapa, "Tumpak, pahlawan perkasa! Apa kerjamu di sini"
Tumpak melompat dalam kejutnya. Kemudian
menghadapi Baswi. "Ha... ha... ha... sungguh tangkas kau! Tapi sayang
terlambat. Jika ada orang yang akan membunuhmu,
maka kau sudah jadi bangkai. Ha... ha... ha...."
Tumpak menjadi malu diejek oleh Baswi sebegitu
rupa. Tapi ia tidak marah. Karena memang ia sedang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lengah. Barangkali saja pemimpinnya itu sudah
mengintipnya sejak tadi. "Kucari kau ke marta-mana. Ke rumahmu, juga ke
rumah Jenean. Tapi rupanya kau sedang merenungi
nasibmu di sini. Tak baik seorang prajurit pilihan berbuat
seperti ini." "Ampunkan hamba, Tuan. Tapi memang dua hari ini
hamba cari kesempatan untuk mencari Tuan," Tumpak
pun tak berbasa-basi. Memang hanya pada Baswi ia
berani menumpahkan isi hatinya.
"Tentu ada sesuatu yang penting. Dan itu tentu soal
Yistyani atau mungkin soal Pangeran," Baswi terus
mengarahkan. "Ya." "Mari kita pulang. Jangan bicara di sini. Yang tidak
mengerti akan menuduh kau dan aku merencanakan
kebusukan." Mereka berjalan pulang. Ke rumah Tumpak. Sambil
berjalan di antara pohon-pohon cemara pegunungan
mereka meneruskan pembicaraan.
"Ya, yang mana" Yang terdahulu atau yang kedua?"
"Kedua-duanya," Tumpak menjawab lagi. Kadang
mereka harus melangkahi batu-batu yang agak besar.
Tapi kerikil-kerikil tidak lagi mempengaruhi kaki mereka.
Karena memang mereka sudah terlatih sejak masa
kecilnya, tanpa kasut kaki.
"Kau mencintai Yistyani" Dan tidak menyetujui
keputusan itu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tumpak terdiam beberapa saat. Kemudian ia
menumpahkan kejengkelannya, "Keputusan yang tidak
bijak! Ia mulai sombong, tidak mau tahu hati kawulanya!"
"Kau mengumpat, Tumpak." Baswi tersenyum. "Bukan menyatakan kesalahan Pangeran."
"Tuan ingin mengatakan bahwa ia benar" Tidak! Ia
tidak pantas menjadi junjungan kita!" Tumpak berapi-api.
"Hati-hati kau bicara!" Baswi memperingatkan dengan
sabar. Tumpak mengerutkan dahi.
"Demi kawula ia berlaku sangat bijak," Baswi
meneruskan. "Ia selalu minta pertimbangan semua."
"Tapi kali ini" Ia tidak tahu..." Tumpak terhenti
menahan perasaannya. "Teruskan, Tumpak! Katakan ia tidak tahu isi hatimu?"
Tumpak terdiam lagi. Baswi juga tersenyum kembali.
"Bukannya ia tidak tahu hatimu. Bukan! Ia pernah
bicara padaku. Tapi ada pertimbangan yang tidak pernah
kauperkirakan barangkali, yang membuatnya tidak
menganugerahkan Yistyani padamu. Kau tahu Yistyani
seorang brahmani yang jelita. Untuk menyuntingnya
kamu harus membayar mahal sekali. Menurut Pangeran
daripada Tumpak dan Yistyani masing-masing tidak
bahagia di belakang hari maka lebih baik dari sekarang
kau merasakan sakit. Pangeran tidak mengecilkan kau.
Tidak! Tapi justru mengasihi kamu. Yistyani mengetahui
banyak tentang apa yang tidak pernah kaupikirkan. Nah,
kalau jadi maka kalian akan merupakan pasangan yang
tidak imbang. Dan itu membahayakan bagi suatu
perkawinan." Tumpak tersudut. Mengakui kebenaran itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang lain, yang merupakan pertimbangannya, ialah
karena kau tidak pernah melamar secara terang-
terangan pada Yistyani atau melalui perantara lain.
Tidak! Pangeran khawatir, kau akan menjadi suami yang
tidak bertanggung jawab di kemudian hari. Andita,
setidaknya memang menyatakan isi hatinya pada
Pangeran. Bahkan ia berani terang-terangan


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyatakan kekagumannya pada Yistyani. Nah, maka ia
lebih beruntung dari kau."
Tumpak menyesal. Mengeluh dalam hati. Mereka
masih saja melangkahi jalan yang naik-turun. Beberapa
bentar lagi memasuki pertapaan.
"Tapi..." Kemudian Tumpak menemukan bahan,
"apakah menurut pengamatan Tuan, Yistyani mencintai
Tuan Andita?" "Tidak. Ia mencintai Pangeran. Tapi, sekali lagi.
Yistyani seorang cerdik. Ia sadar tak mungkin menjadi
istri Pangeran. Bukan karena kurang cantik. Tapi usia!
Baginya Tuan Andita sekadar teman hidup untuk
melaksanakan kodrat Dewata."
"Hyang Bathara! Begitu kejam?"
"Ada kalanya wanita lebih kejam dari lelaki.
Tergantung. Ya, tergantung keadaannya. Karena itu
siapa yang tidak menghargai wanita, ia meremehkan
Dewa." Tumpak tertunduk lagi. Seperti sedang menghitung
langkahnya. Kemudian bertanya lagi, "Apakah Pangeran
juga cinta dia?" "Pangeran mencintai dia sebagai guru, juga sebagai
kekasih." "Padahal... dia lebih muda...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pangeran sedang kembang dalam kepemudaannya.
Dan dia tidak pernah dekat dengan gadis lain kecuali
Yistyani." Tumpak kini menghempaskan napas dalam. Beberapa
langkah lagi mereka sampai di rumah Tumpak. Baswi
masih saja bicara. "Sebenarnya bukan cuma kau yang sakit. Pangeran
lebih sakit darimu. Menyerahkan seorang kekasih pada
orang lain. Apakah ini kurang bijak" Nah, kau tadi hampir
kehilangan pertimbanganmu yang bening sebagai
prajurit. Jangan melihat sesuatu dari diri sendiri."
"Memang membingungkan."
"Hidup memang membingungkan.. Namun manusia
harus mengatasinya. Karena itu manusia perlu melatih
keseimbangan tubuh dan ingatannya. Sebenarnya
seorang berani adalah seorang yang juga berani
memerangi diri sendiri. Mengalahkan hatinya sendiri. Dan
itu kulihat ada dalam tubuh Wilis saat ini. Bagaimana
dengan kau, Tumpak?"
Tiada jawaban. Namun Tumpak kini menjadi iba pada
Pangeran. "Jangan langsung masuk rumah, Tumpak. Mari ke
pura. Untuk mendapatkan keyakinan. Biar Hyang Maha
Dewa sendiri memberimu keten-traman dan kedamaian."
Tumpak membenarkan. Maka ia mengikuti langkah
Baswi. Tak bisa tidak! Ia harus menerima kepahitan
sebagai kenyataan dalam hidupnya.
0oo0 Perang saudara di Lumajang tak terelakkan. Beritanya
merambat ke mana-mana. Sampai di lereng Gunung
Raung. Sedang saat itu laskar Blambangan belum
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menguasai keadaan. Laskar Raditya sudah di atas angin.
Seluruh keluarga istana Lumajang diungsikan. Sukar
diketahui di mana Adipati Agung berada. Tembak-
menembak berlangsung terus setiap hari. Semua laporan
yang masuk membuat Andita sulit menentukan sikap.
Akhirnya Andita menyimpulkan bahwa ia sendiri harus
berangkat untuk mengadakan penyelidikan langsung.
Wilis juga akan berangkat bersama seratus laskar
Lumajang yang semula mengawalnya.
"Kanda akan serta?" tanya Yistyani pada suaminya.
"Ya." Andita tersenyum.
"Bukankah Pangeran akan berangkat sendiri"
Bukankah sudah ada seratus pengawal dari Lumajang
itu?" "Tapi Pangeran belum berpengalaman, Adinda,"
jawab Andita lagi sambil memandang wajah istrinya.
"Kanda..." suara Yistyani mesra.
"Aku akan menyiapkan laskar."
Yistyani maju. Mencium pipi suaminya. Sebagai tanda
kesetiaan. Andita meriap gembira dalam hatinya. Walau
ia tahu Yistyani tidak pernah mencintainya secara tulus.
Namun perempuan itu tidak pernah melawan. Bahwa
sejak upacara pernikahan sampai sekarang selalu
menyajikan wajah yang manis.
"Pangeran juga akan berangkat sekarang?" Yistyani
bertanya dalam bisik dekat telinga Andita.
"Ya." Andita tahu persis, Yistyani ingin minta izin
mengucapkan perpisahan pada Wilis. Dan ia tidak akan
bisa mencegah. Seperti jika wanita itu sedang pergi
mengajar dalam bilik Pangeran. Maka dengan senyum ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melepaskan pelukannya. Dan pergi meninggalkan bilik
istrinya. Setelahnya, dengan gontai Yistyani bergesa ke bilik
lain. Setidaknya ia memang merasa berkewajiban
mengucapkan selamat jalan pada Pangeran. Sementara
itu Wilis sudah sejak tadi menyiapkan diri. Bahkan
kudanya sudah menunggu di pelataran. Ketika melihat
kuda hitam yang gagah itu, hati Yistyani menjadi
berdebar. Namun ia melangkah terus ke bilik Pangeran.
Ketika ia masuk, Pangeran sedang menyelipkan keris
ke pinggang. Dan mengenakan juga pending serta
binggal emasnya. Wilis telah menjadi satria yang
berkilau-kilau busananya. Yistyani tercengang buat
sesaat. Pangeran begitu tampan. Sempat dilihatnya
Pangeran memasukkan beberapa gulungan lontar ke
dalam sebuah bumbung. Ia maju perlahan. Dan...
"Pangeran..." Suaranya merdu berbisik di punggung
Pangeran. "Inilah hamba."
Wilis memutar tubuhnya. Tapi Yistyani sudah terlalu
dekat sehingga buah dada wanita itu menyentuh
dadanya. "Kau...?" desis Wilis. Hatinya terguncang.
Dipandangnya wanita itu tajam-tajam.
"Akan pergi?" Yistyani tidak memberi kesempatan.
"Ya. Lumajang memerlukan kita."
"Di sana ada perang." Yistyani bicara Sanskerta.
"Aku ingin melihatnya." Wilis membalas dalam bahasa
yang sama. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa membawa laskar?" Yistyani mulai memeluk Wilis. Pemuda itu merona. Tergagap. Tapi Yistyani mengelus dadanya.
"Untuk menghentikannya, Guru."
"Panggil namaku! Aku bukan guru lagi!" pinta Yistyani.
Dan Wilis makin bingung. Kembali ia dikejutkan. Yistyani menjatuhkan kepalanya ke atas dadanya. Sambil berkata lirih,
"Perundingan adalah jalan yang lebih baik dari perang."
"Betul, Gu..." Sebelum kata-kata itu habis Yistyani segera menutupkan telunjuknya ke mulut Wilis:
"Pangeran bukan anak kecil! Jangan sampai Yistyani mengulangi permintaannya."
Wilis menjadi salah tingkah terus. Namun segera ia menemukan dirinya kembali.
"Baik, Yistyani, aku mau berangkat." Ia pegang pundak wanita itu. "Aku memang bukan anak kecil lagi!
Karena itu aku akan memadamkan perang. Setidaknya aku akan bicara atas nama Blambangan."
"Tapi Raung mencintai Pangeran."
"Kau ingin bicara lainnya. Aku tahu hatimu. Demikian pula hatiku. Aku mencintai semua yang mencintai diriku.
Termasuk kamu." "Pangeran..." Yistyani memeluk lebih erat. " Begitu besar anugerah Hyang Maha Dewa!" Ia merasakan lubang-lubang halus di dada Wilis itu mengeluarkan keringat. Dingin sekali.
"Mari..." Pangeran membimbingnya ke sebuah
bangku. Yistyani merasakan kelembutan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pangeran...," desisnya perlahan. Ia cium pemuda itu.
"Paman Andita sangat mencintaimu!" Wilis memberi
tahu. "Oh..." Yistyani tersentak.
"Aku tak mungkin mengabaikannya. Ialah yang
merenggut aku pada awalnya dari ketidaktahuan."
"Dan aku dianugerahkan padanya" Aku dijadikan
korban?" "Tidak! Ia seorang tulus. Karena itu cintailah dia."
"Pangeran..." Yistyani menahan gejolak jiwanya. Air
mata mengalir lamban di luar sadarnya.
"Tenanglah, Yistyani." Wilis memegang dagu Yistyani.
Didekatkannya dagu itu ke mukanya. "Aku adalah
milikmu, tapi kau adalah milik Andita."
"Pangeran!" "Diamlah, Yis. Masih banyak pekerjaan," Pangeran
berbisik di telinga Yistyani. "Nah, selamatlah."
"Tapi, Pangeran, anak ini?" Yistyani menunjuk
perutnya. "Jagat Dewa! Kau mengandung?" Wilis terkejut.
Yistyani mengangguk lemah. Wilis sadar itu benihnya.
Setidaknya ia ikut menabur. Maka untuk sesaat ia
berguncang. Tapi kemudian jawabnya,
"Anakmu, anak Paman Andita... juga anakku!"
Ia menghela napas panjang. "Kau dengar derap kuda
itu?" Wilis melepas pelukannya. "Tenanglah hatimu!"
sambungnya lagi. "Bacalah Lokananta untukku. Juga
untuk suamimu!" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yistyani mengekor bagai bayangan waktu Wilis
menuju pelataran pertapaan. Sampai di titian ia berhenti
dan melihat Wilis melompat dengan tangkasnya.
"Tak ada yang ketinggalan, Kekasih?" tanyanya.
"Tidak ada." Ketika Andita dan rombongan tiba, air mata Yistyani
sudah kering. Senyumnya merekah kembali.
"Mari, Pangeran," Andita mengajak. "Mari, Paman."
Setelah memeriksa barisan, Wilis memandang kawula
Raung yang berjejal ingin mengucap selamat jalan
padanya. "Berpamitlah pada istrimu!" perintahnya pada Andita.
"Selamat tinggal, Istriku." Laki-laki itu bersuara dari punggung kudanya.
"Selamat jalan, Suamiku."
Baswi melepas mereka bersama seluruh pemuka
Raung. Resi tidak ketinggalan berderet bersama pemuka
Raung lainnya. "Selamat tinggal semua!" seru Wilis.
Semua bersorak. Melambaikan tangan kanan.
"Bapa Guru! Bacakan Lokananta buat kami!" pinta
Wilis. "Hyang Maha Dewa bersama Pangeran!" jawab Resi.
Kemudian Wilis memandang Yistyani penuh arti.
"Selamat tinggal!" teriaknya. "Selamat jalan____"
Aba-aba telah keluar dari mulut Wilis. Tiap kuda mulai
melangkah lamban. Berlari, makin lama makin cepat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepanjang jalan Wilis melambaikan tangan untuk
membalas lambaian tangan seluruh kawula Raung.
Sementara itu Yistyani masih belum beranjak dari
tempatnya. Walau semua orang sudah masuk. Ia masih
terpana oleh kepergian mereka. Kepergian seorang
suami dan seorang lagi, kekasih.
Tiba-tiba saja angannya meloncat pada waktu lalu.
Beberapa hari sebelum ia naik pelaminan bersama
Andita. Saat itu ia merasa hidupnya sudah pupus.
Harapannya untuk bersanding dengan pemuda idaman
ditolak. Sebagai gantinya ia harus melayani seorang
yang tidak dicintainya. Inikah yang dinamakan nasib"
Sungguh kejam nasib itu! Walau keputusan seorang junjungan tidak bisa
dibantah, apa jeleknya bila ia mencoba sekali lagi. Ah,
aku harus jumpai Pangeran sekali lagi. Hatinya bertekad.
Dan pada keesokan harinya, ia tidak pergi mandi. Tidak
mengambil air sehingga bisa berjumpa Wilis atau Andita
dan Baswi, bahkan mungkin juga Tumpak. Teman-
temannya sudah mengerti bahwa Yistyani sedang
gundah mendekati hari perkawinnya. Jadi tidak seorang
pun berani menegur sekalipun ia tidak berangkat bekerja.
Namun begitu rumahnya sudah kosong, Yistyani segera
bersolek. Cantik sekali. Juga menggunakan wewangian.
Ia bersiap menghadap Wilis setelah ia perkirakan anak
muda itu selesai berlatih bersama Andita dan Baswi.
Namun ketidakmunculannya di sungai yang menyimpang
dari kebiasaan itu menjadi perhatian Wilis. Itu sebabnya
Wilis berulang kali memutar kudanya dekat pancuran.
Barangkali Yistyani ada di sana. Baik Andita maupun
Baswi sama sekali tidak mengerti apa yang sedang
berkecamuk di benaknya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wilis bukan tidak mengerti apa yang berkecamuk
dalam hati wanita muda itu. Namun sambil berlatih ia
berputar mengelilingi wilayah perkubuan. Bahkan juga di
sawah-sawah atau hutan sekitar perkubuan. Barangkali
Yistyani ada di sana. Tidak terlihat. Aku harus
mencarinya! Wilis khawatir terjadi sesuatu yang di luar
dugaan atas wanita itu. Siapa tahu ia nekat bunuh diri"
Pikiran itu mendorongnya melangkahkan kaki ke
pesanggrahan Yistyani sesudah ia selesai latihan dan
makan pagi. Waktunya orang bekerja di ladang. Begitu
juga dirinya sendiri, seharusnya pergi ke ladang. Kali ini
tidak. Ia harus menyelesaikan persoalan Yistyani.
Setelah berulang kali mengamati keadaan dan
menoleh kebelakang, takut kalau-kalau ada orang yang
mengikutinya, Wilis melangkah perlahan ke pekarangan
rumah Yistyani. Matahari masih condong ke timur.
Namun suasana nampak lengang benar. Gemerisik
dedaunan yang tertiup angin mengiringi langkahnya.
Pelan sekali ia membuka pintu depan rumah Yistyani
tanpa mengetuknya lebih dulu. Secukupnya saja pintu itu
terbuka dan setelah seluruh tubuhnya masuk, ia menutup
kembali sepelan kala ia membukanya. Berhenti sebentar
di dekat pintu untuk menyesuaikan penglihatannya di
kegelapan. Rumah tanpa jendela. Setelahnya melangkah
lamban ke bilik yang diperkirakan tempat tidur Yistyani.
Semakin dekat dengan bilik itu Wilis semakin
berdebar. Walau ia memang sering berdua dalam satu


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bilik dengan wanita itu, namun ia tidak mengerti mengapa
sekarang ia menjadi berdebar. Keraguan menghambat
langkahnya. Ia menempelkan diri pada dinding bilik. Dari
celah-celah anyaman bambu ia mencoba mengawasi
suasana dalam bilik. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benar juga dugaannya. Yistyani ada dalam biliknya.
Tergolek seperti sebuah boneka. Wilis agak heran juga
kenapa wanita itu berbusana indah. Mungkinkah Yistyani
akan melarikan diri" Dua buah bukit kembar di dada
Yistyani naik-turun seirama dengan jalan napasnya. Dan
hati Wilis kian berdesir kala memperhatikan mata
Yistyani yang menengadah ke langit-langit itu tiada henti-
henti mengalirkan air mata. Rupanya telah sejak tadi ia
menangis. Dan dalam tangisnya Yistyani telah
kehilangan segala pertimbangannya. Pikirannya menjadi
hampa. Yistyani menjadi lupa segala. Sehingga ia tidak
mampu mengamati lingkungannya. Telinganya tidak
mampu menangkap suara apa pun. Ia sedang bergumul
dengan angannya sendiri. Dan Yistyani tidak tahu
bagaimana mulanya tiba-tiba sebuah ? tangan
mengusap air matanya yang mengalir di atas kedua
belah pipinya yang montok halus itu. Hampir saja ia
terpekik karena kaget tahu-tahu Wilis sudah duduk di
pembaringannya. Dalam kejutnya ia bangkit hendak
turun dari pembaringan dan menyembah. Namun tangan
Wilis yang perkasa itu cepat mencegahnya. Kedua
bahunya ditangkap dan didorong kembali ke
pembaringan. "Aku tidak ingin menerima persembahan seorang yang
sedang sakit," Wilis mendahului berkata-kata.
"Ampun, Pangeran," Yistyani berbisik perlahan,
"hamba tidak tahu. Hamba tidak sakit____"
"Engkau tidak kerja. Apa artinya ini?" Wilis
memandangnya tajam. Yistyani tidak mampu menjawab.
Air matanya mengalir bertambah deras. Namun ia
bertahan untuk tidak terisak. Namun isaknya memaksa
keluar. Karena itu ia telungkup dan membenamkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mukanya ke bantal. Beberapa saat Wilis terdiam. Tidak
lama memang. Sebab ia telah bertekad menyelesaikan
setiap persoalan sebelum perkawinan Andita.
"Diamlah, Guru! Semua masalah akan segera dapat
diatasi asalkan kita mau menanah keinginan hati kita di
bawah pikiran yang jernih."
Yistyani masih terisak. Tiada menjawab. Hati Wilis
kian berguncang. "Ampuni aku, Yistyani. Aku salah," suara Wilis pelan.
Guncangan punggung yang menahan isak sebagai
jawabnya. "Dengarlah daku, Yistyani." Tanpa sadar Wilis
mengelus punggung wanita muda itu. Perlahan. Seirama
dengan dorongan perasaan iba. Elusan yang tanpa
sadar, yang dilakukan karena iba, namun tiba-tiba
mampu mengalurkan sesuatu keajaiban antara kedua
manusia muda itu. Namun Yistyani berusaha menahan
hatinya. Isaknya mereda. Wilis bahkan membelai
rambutnya. Dan kesunyian, wewangian dan... macam-
macam lagi alasan telah mengombang-ambingkan Wilis
pada perasaan aneh yang belum pernah ia bayangkan
semula. Apalagi kala Yistyani membalikkan tubuhnya,
kainnya tersingkap dan paha mulusnya menarik
perhatian Wilis. Wilis menarik napas, panjang. Mata
Yistyani masih berkaca-kaca kala berkata,
"Tidak ada yang hamba tangisi memang kecuali
hancurnya sebuah impian. Hamba sudah senang
mempersembahkan segalanya pada Pangeran. Tapi
Pangeran menolak." "Engkau sudah mempersembahkan yang terbaik
bagiku." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Cinta adalah yang terbaik dari semua."
"Ah..." Wilis mengeluh.
"Pangeran juga punya perasaan yang sama dengan hamba. Tapi kenapa Pangeran mengingkari perasaan suci dari nurani sendiri" Apakah Pangeran mampu bertahan dalam kepalsuan ini?"
Wilis menarik napas panjang. Yistyani makin berani menatap matanya. Bahkan wanita itu kini bangkit. Tubuh mereka menjadi dekat sekali. Napas Yistyani berhembus, mengelus muka Wilis.
"Yistyani... kau benar. Tapi inilah memang kehidupan.
Aku sudah belajar banyak tentang liku kehidupan. Dan ternyata tiap liku kehidupan mengandungkan juga kepalsuan. Di mana-mana ada kepalsuan. Rupanya kepalsuan adalah sebagian dari hidup itu sendiri.
Yistyani, sadarlah. Aku tak mungkin menarik keputusanku. Pahit, bukan" Barangkali cuma kepalsuan yang mampu menolong kita." Sehabis kata-kata, dengan tangan bergetar Wilis memberanikan diri memeluk Yistyani.
Yistyani tak mampu berbuat sesuatu. Tapi ia balas memeluk pemuda itu, bahkan merebahkan kepalanya di dada Wilis. Pertemuan antara guru dan murid yang terlalu sering itu telah menyatukan hati mereka.
"Tolonglah aku!" bisik Wilis. "Kawinlah dengan Andita!"
Wilis meminta perlahan, " biarlah aku cuma menjadi seorang kekasih bagimu! Demi kewibawaanku...."
Yistyani mencium Wilis. Air matanya berderai lagi.
Tiba-tiba Yistyani tersentak. Seorang menyentuhnya.
Bahkan membimbingnya masuk pesanggrahan. Ia toleh.
Ternyata Jenean, sahabatnya. Hari memang sudah larut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
malam. Sambil dipapah temannya ia mengelus perutnya.
Anak Wilis atau Andita" Ia sendiri tidak jelas. Sama-
sama mungkin. Bersambung ke Tanah Semenanjung, buku kedua.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
BUKU KE DUA VI. BUNGA DAN BUMI Bumi Blambangan seperti pegunungan kapur yang
tertimpa hujan, kala para kawula mendengar perkawinan
Mangkuningrat. Karena calon istrinya adalah Ni Mas
Nawangsasi atau juga disebut Mas Ayu Chandra.
Seorang putri anugerah Cokorda Dewa Agung dari
Mengwi. Dan itu-memang bukan sekadar berita burung.
Karena dengan segeranya mereka mendengar dan
menyaksikan upacara pernikahan rajanya. Sorak-sorai
ada di mana-mana. Juga tari-tarian pemujaan bagi para
dewa tidak hanya di pura-pura. Tapi di hampir setiap
sudut Blambangan. Menunjukkan kegembiraan mewarnai
kehidupan Blambangan. Banyak harapan yang dibayangkan kawula
Blambangan kala perkawinan itu mulai diumumkan.
Karena rajanya telah menjadi salah satu kerabat Dewa
Agung, tentunya Mengwi akan membebaskan mereka
dari keharusan membayar upeti. Di samping itu antara
Mengwi dan Blambangan akan ada persamaan hak.
Sederajat. Saling menghargai.
Selesai upacara Brahmacarya (upacara penutupan
wadad suci yang dilakukan selama 40 hari. Artinya
mempelai selama itu belum boleh bersetubuh. Dalam
upacara itu mempelai melakukan persetubuhan di atas
sontoh yang disediakan. Dan biasanya di atas permadani
alas pembaringan masih dilapisi kapas untuk
membuktikan apakah mempelai perempuan masih
perawan) Paramesywari mengadakan peninjauan ke
seluruh Lateng. Seluruh kawula, besar-kecil, tua-muda,
berjejal di pinggir-pinggir jalan Lateng untuk menyaksikan
wajah sang Paramesywari. Dan ternyata semua orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengaguminya. Semua melambaikan tangan padanya.
Dibalas dengan senyuman yang luar biasa indahnya.
Kulitnya agak coklat. Matanya bersinar dan bola mata
berwarna hitam. Alisnya cukup tebal membentuk garis
lengkung dan lancip pada dua bagian akhir yang
berlawanan. Bulu mata lentik menambah pesona siapa
saja yang memandangnya. Bibirnya tipis, selalu menyebar senyum. Membentuk
lengkung seperti busur. Di sebelah kanan atasnya dihiasi
tahi lalat kecil hitam. Bicaranya lancar dengan suara
merdu lincah. Lehernya yang jenjang dihiasi berbagai
untaian kalung dan selendang sutra berwarna kuning
tersampir di bahunya. Selendang itu terjulur ke bawah
menutup ujung bukit sebelah kiri. Turun terus menutup
pusarnya. Sedang bukit di dada kanannya dibiarkan
terbuka menjadi tontonan kawula Lateng yang mengelu-
elukannya. Bukit tegak, lambang bahwa Paramesywari
memiliki kesuburan. Patut menjadi lambang kesuburan
bagi kawulanya. Ketika ia membalas lambaian
kawulanya, tampak jari-jemarinya yang runcing.
Paramesywari mengerti benar, bahwa jalan-jalan
Ibukota baru saja dibenahi. Pagar-pagar yang runtuh di
sana-sini dipugar kembali. Dan itu baru. Baru. Kenapa"
Itulah pertanyaan. Baginya masih banyak hal yang
mencurigakan. Namun ia menjawab kecurigaan hatinya
dengan sebuah tuduhan bahwa pembantu-pembantu
suaminya tidak becus bekerja. Apalagi melihat sebagian
besar kawula Blambangan kurus-kurus. Dikema-nakan
hasil sawah mereka" Tanah Blambangan begini
suburnya" Nyiur, sawah, semua subur dan menghasilkan
buah. Tapi kenapa kawula kurus"
Sekembali dari peninjauannya keliling Lateng,
Paramesywari disambut oleh seluruh pembesar negeri di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
istana. Mereka diperkenankan menghaturkan
penghormatan. Semua berhadapan dengannya dengan
penilaian dan pengamatan masing-masing, sekalipun
sikap mereka rata-rata hampir sama. Ramah dan hormat.
Begitu pun sebaliknya. Paramesywari juga menilai dan
mengamati mereka. Umbul Songo juga punya penilaian. Betapa hebatnya
wanita ini. Orang ini pasti berpengalaman tinggi, atau
setidaknya terdidik untuk memimpin suatu laskar dalam
peperangan. Mangkuningrat bukan bandingannya.
Sebentar lagi pastilah Blambangan akan berada dalam
genggamannya. "Ia adalah Panglima Umbul Songo," .kata
Mangkuningrat mengenalkan, "dan sekarang sedang
bekerja menumpas kaum perusuh."
Umbul Songo mengangkat sembah.
"Yang Mulia pernah bertempur di Surabaya?"
Paramesywari bertanya sambil tersenyum.
"Hamba," jawab orang tua itu.
"Yang Maha Mulia Cokorda Dewa Agung telah
berkenan membebaskan Yang Mulia dari hukuman mati.
Juga pada Yang Mulia!" kata Paramesywari sambil
menuding Haryo Dento. Sambil menyembah kedua orang itu menatap
Paramesywari. Namun wanita itu tak menunduk atau
memalingkan muka. "Mana yang bernama Mas Sirna, Kanda?"
Pertanyaan yang mengejutkan semua orang. Umbul
Songo berdebar. Ia masih harus menutup sesuai pesan
Wilis sendiri. Tapi Dang Hyang Wena yang segera
memberikan jawaban, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Beliau sedang tak ada, Yang Mulia."
"Aku tak menanyakan pada Yang Suci," tukas
Paramesywari. Wena agak tersinggung. Tapi ia harus
menahan diri, sebab ia tahu persis, di belakang
Paramesywari ada kekuasaan Meng-wi.
"Sedang tidak ada, atau memang tidak ada?"
Tak ada lagi yang memberikan jawaban. Maka
Mangkuningrat yang menjawab,
"Yang Suci benar. Memang sejak lama ia tak ada di
tempat. Dan ini adik Mas Sirna, Mas Alit serta Mas
Anom." Mas Ayu Chandra mengangguk untuk membalas
sembah mereka. Selebihnya ia tak menoleh pada siapa
pun. Bahkan pada Bagus Tuwi juga tidak.
"Bukankah ia calon patih amangkubumi
Blambangan?" "Paman, bersembahlah!" Mangkuningrat menoleh
pada Bagus Tuwi. Orang tua itu berpikir sejenak.
"Tak seorang pun menemukan jejaknya."
"Baiklah! Bila dia hilang, maka bukan Mengwi yang
kehilangan. Tapi Blambangan."
"Yang Mulia Singamaya pun telah berusaha. Tapi
gagal. Sedangkan sekarang, kami tak bisa mengerahkan
banyak tenaga untuk mencarinya. Karena Yang Mulia
Umbul Songo tak ingin usahanya dicampuri Jebih
dahulu." "Kanda memaksudkan Yang Mulia Umbul Songo
membatasi gerak orang-orang berlencana Sriti?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Terkesiap darah Umbul Songo mendengar itu. Mengwi
telah mengetahui tindakannya selama ini"
"Tidak, Adinda! la sedang mengamati semua wilayah
Blambangan. Dan ia telah membuat kaum perusuh tidak
berdaya." "Orang, hebat! Kerusuhan tidak mungkin ditumpas
hanya oleh seorang. Tak masuk akal! Tapi baiklah.
Bagaimana dengan Lumajang" Mereka sedang
bergolak?" Paramesywari mendesak.
"Yang ada perang saudara, Yang Mulia," bantah
Bagus Tuwi. "Betul, Kanda?"
"Aku sanggup menyelesaikan mereka. Jika perlu aku
perintahkan Menteri Muka melindas mereka."
Ayu Chandra tahu Mangkuningrat mulai terbakar. Tapi
ia tersenyum. "Aku tak ingin kekuasaan Kanda pudar
karena pergolakan itu." Lagi ia menambahi senyumnya.
Manis sekali. Mangkuningrat memberikan isyarat pada pra-jangkara
untuk membubarkan pertemuan itu. Kemudian ia
menggandeng tangan Paramesywari masuk bilik agung.
Biti-biti perwara istana mengiringi di belakang mereka.
Sampai di sentong kuning. Berdua bersantap siang.
0oo0 Berita yang terjadi di Lateng segera merambat sampai
ke Pegunungan Raung. Walau dari kejauhan nampaknya
cuma dungkul raksasa biru. Tenang tanpa gerak. Namun
Raung mampu mengetahui semua yang terjadi seluruh
belahan bumi Jawa bagian timur. Dan segera Baswi
mengirim Tumpak untuk melaporkannya pada Wilis.


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah dua hari berkuda maka Tumpak sudah
menyusul mereka di wilayah Lumajang. Tumpak tidak
menemukan banyak kesukaran. Sebab Wilis memang
masih berhenti di sebelah timur kota Lumajang.
Wilis gembira menerima Tumpak. Rasanya ia seperti
berhadapan sendiri dengan Baswi. Apalagi setelah
Tumpak melapor seperti yang diperintahkan Baswi.
"Apa kita dapat mempercayai Umbul Songo?" tanya
Wilis selesai laporan Tumpak.
"Beliau adalah panglima tua. Tua dalam pengalaman
dan tua dalam usia, Pangeran."
"Baiklah, aku percaya. Tapi aku belum pikirkan
Blambangan. Kau boleh balik ke Raung. Tapi sebelum
kau kembali ke pesanggrahan sampaikan dulu pada
Baswi, aku membutuhkan tambahan cadangan
makanan." "Di mana kami harus mengirimnya?"
"Di desa Gending. Atau utara timur kota Lumajang,"
Andita yang menyahut. "Hamba akan kerjakan."
Setelah Tumpak pergi, Andita berunding dengan Wilis.
Ia mengatakan bahwa ia akan masuk kota Lumajang
terlebih dahulu. Maka setelah mendapat persetujuan, ia
berangkat dengan tanpa pengawal.
Suasana kota benar-benar lengang. Sawah dan
ladang banyak yang ditinggal begitu saja oleh
pemiliknya. Rumput dan ilalang tumbuh, bahkan berebut
tinggi di jalan-jalan raya. Karena penghuninya takut.
Takut pada keganasan cetbang, yang sewaktu-waktu
bisa meletus di mana-mana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah puas berkeliling, Andita mendatangi rumah
bekas sahabatnya. Seorang yang dulu hidup dari kulit
harimau di samping bertani. Ternyata Mali, demikian
namanya, tidak meninggalkan rumahnya. Namun yang
mengherankan Andita, rumah itu kelihatan sepi dan lebih tidak
terurus. "Mali...," Andita menyapa sambil mengetuk pintu.
"Siapa itu?" Suara tenang menyahut dari dalam.
"Aku. Sahabatmu, Mali," Andita setengah berbisik.
Terdengar langkah kaki berat diseret. Beberapa bentar
kemudian seorang berambut putih muncul di ambang
pintu. Kumisnya dan jenggotnya juga putih. Badannya
ceking. "Andita... oh, Tuan?" Orang itu terkejut.
"Jagat Bathara... kau Mali ?" Andita tak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Ya." "Tampaknya tua sekali...?"
"Ya... ya... mari, silakan masuk!"
Keduanya duduk di balai-balai lebar beralaskan tikar
mendong. Walau delapan tahun telah berlalu mereka
masih saja tak melupakan persahabatan masa lalu. Dan
kini mereka bersirih bersama-sama
"Tuan masih saja seperti dulu."
"Rupanya keadaan kadipaten membawa pengaruh
banyak bagi hidupmu," Andita tak ingin mengulas kata-
kata temannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Betapa tidak. Letusan terdengar hampir tiap hari.
Juga pembunuhan terjadi setiap saat. Tanpa diketahui
siapa pembunuhnya." "Kenapa kau tidak pindah saja, seperti lainnya?"
"Aku sudah tua. Tak guna lari dari kematian. Walau
sawah, ladang, dan semua milikku sudah dibinasakan
cetbang____" "Ha... ha... ha... ha... kau putus asa, Sahabat?"
"Tidak! Ada banyak orang yang diam di rumah sambil
menunggu kematian. Coba kau intip beberapa rumah.
Aku tak mencari mati. Tapi aku tak pernah takut mati.
Sebab siapakah yang bisa mengelakkan kematian?"
"Benar, kau, Mali. Tapi..." Andita ragu mengatakan.
"Kenapa?" Mali mendesak.
"Kenapa kau kelihatan lebih tua dari usiamu" Itu
berarti... kau menanggung duka besar dan berat."
Mali menghela napas. Ia pandang Andita sepuas-
puasnya. Kini wajahnya kian mendung. Setelah
beberapa bentar ia baru berkata, "Kehidupan memang
semakin pahit," sambil menghela napas panjang lagi.
"Tuan Andita, selama ini tuan tidak pernah muncul di
kadipaten. Juga di rumahku ini. Aku hitung delapan tahun
jalan. Namun tak ada pengumuman apa-apa atas
ketidakmunculanmu itu. Dan memang tidak terjadi apa-
apa di Lumajang. Tahun pun berganti tahun. Suatu
ketika, tiba-tiba saja Adipati Agung menobatkan seorang
putri jelita menjadi putri mahkota. Ayu Sulih, nama putri
itu." "Apa katamu?" Andita terkejut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, tentu kau terkejut. Mendadak saja, seorang putri
remaja menjadi anak Adipati Agung."
"Seingatku, beliau tak pernah berputra."
"Akhir-akhir ini sang Adipati sering memunculkan
seorang selir rupawan. Berkulit putih, rambutnya seperti
rambut jagung sedang matanya berwarna agak biru. Dan
selir itu ternyata adalah ibu Ayu Sulih. Kemudian Menak
Raditya tidak setuju atas penobatan Sulih. Raditya keluar
persidangan dengan membawa serta sebagian laskar
Lumajang. Ia mengumumkan Sulih tidak berhak atas
tahta Lumajang. Dan kini kota sebelah barat ada di
bawah pengawasan Raditya."
"Ke mana sang Adipati?"
"Semestinya masih menguasai daerah ini. Tapi
sekarang tidak tahu."
"Apakah menurut Raditya dia berhak atas Lumajang?"
"Ya. Karena sang Adipati tak berputra."
Andita mengangguk-angguk.
"Yang menderita tetap kawula," Mali meneruskan.
"Hampir tiga tahun kami tak dapat bercocok tanam
dengan baik." Diam sebentar untuk membuang ludahnya
yang merah. Kemudian lanjutnya, "Tanaman selalu
dirusak oleh perang. Belum lagi bila laskar Raditya di
atas angin. Mereka menjarah apa saja milik kami.
Kerbau, sapi, kambing, itik, ayam, bahkan juga wanita."
"Dewa Bathara!"
"Laskar selalu berbuat semau-maunya dalam keadaan
begini. Akibatnya, kawula mengungsi, mencari tempat
yang lebih aman." "Mereka sering kemari?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hampir setiap hari. Dan kau tahu aku tak punya apa-
apa lagi sekarang. Habis dirampok kecuali gubuk ini."
"Istri dan anakmu?"
"Tentu...." "Jagat Bathara!"
"Sudra tak pernah mampu membela dirinya sendiri.
Apalagi miliknya." "Keterlaluan!" Andita mengerutkan gigi.
"Tak ada yang patut diherankan, Tuan."
"Kau ingin memperoleh kembali milikmu" Hakmu?"
"Untuk mempercepat kematianku?" Mali menjawab
tenang. "Kau akan hidup terus bersamaku. Dan kau akan
memperoleh kembali apa yang hilang dari tanganmu."
"Sudra tak berdaya." Suara Mali lemah disertai
gelengan. "Seorang sudra memang tak berarti bagi prajurit. Tapi
seratus sudra bukan tandingan seorang prajurit Raditya."
"Tuan jangan main-main. Adipati Agung tidak mampu.
Blambangan pun diam."
"Mari ikut aku! Kupertemukan kau dengan pemimpinku
yang akan sanggup menghancurkan Raditya."
"Sungguh?" Mali tersentak. Matanya bernyala kembali.
"Percayalah padaku, Mali. Tapi di hadapannya kau
boleh cerita segala, kecuali Sulih. Sementara biarkan dia
mengerti sendiri." "Baik. Aku ikut."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keduanya mengemasi barang-barang yang perlu
dibawa Mali. Dan Mali tak tahu ke mana harus pergi.
Pokoknya mengikut saja tiap langkah Andita. Bila orang
itu sedang menyelinap di antara pepohonan, maka ia
juga menyelinap. Bila Andita mengendap-endap ia juga
ikut mengendap-endap. Jika Andita mengajaknya berlari
ia ikut berlari. Dan betapa terkejutnya Mali kala dibawa
masuk hutan sebelah timur Lumajang, karena di situ ia
melihat banyak kemah yang terbuat dari dedaunan. Dan
bertiang bambu. Lebih kaget lagi ketika melihat banyak
laskar di situ. Namun tak sempat ia bertanya ini-itu, segera dibawa
masuk ke kemah Wilis. Wilis tersenyum menyambut
mereka. "Dirgahayu, Paman. Siapa dia?"
"Dirgahayu, Pangeran. Ini sahabat hamba, Mali."
Kemudian pada Mali ia berkata, "Ini adalah pemimpin
kami." Mali tak habis mengerti. Bagaimana seorang perwira
andalan Lumajang menyebut seorang pemuda sebagai
pemimpinnya. Mungkinkah pemuda ini mampu
menyingkirkan Andita" Tapi dengan hormat ia melihat
Andita melaporkan semua hasil penyelidikannya.
"Jadi nasib sang Adipati belum diketahui?"
"Belum." "Baik, perintahkan pada Mali istirahat. Beri ia
makanan! Aku belum memerlukannya sekarang."
Sore harinya, barulah Mali dipanggil oleh Wilis. Entah
apa sebabnya ia berdebar. Ah, tak sepantasnya aku
berdebar, kata Mali dalam hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maafkan aku," Wilis memulai setelah Mali duduk.
"Tentunya Bapa sudah diberi tahu tentang siapa aku,
bukan" Nah, sekarang aku memerlukan bantuanmu.
Bersedia?" "Bersedia, Pimpinan."
"Terima kasih, Mali. Pertama, pandanglah aku
sebagaimana sudra lainnya."
"Pimpinan tentunya adalah seorang yang dihargakan,
di samping dipercaya."
"Baik. Tapi itu bukan permintaanku. Sekarang, apa
yang kamu ketahui tentang desa Gending?"
"Sekarang menjadi desa kosong. Sejak tiga tahun lalu
tak ditinggali oleh penghuninya. Demikian pun
sekitarnya." "Sudah musnahkah rumah-rumah di sana?"
"Sebagian besar telah dilanda api."
"Mungkinkah kami bersembunyi di sana?"
"Prajurit Raditya tak mungkin meronda tempat tanpa
penghuni." "Baik sekali! Sekarang apakah sang Adipati berada di
Semeru?" "Tak dapat hamba pastikan. Tapi memang sering ada
pasukan yang menyerbu kedudukan Raditya dari arah
Semeru. Namun tak jarang dari arah selatan."
"Tahukah kau siapa yang salah di antara mereka?"
"Ampun, Pimpinan. Hamba tak tahu semua itu."
Wilis mengangguk-angguk. Entah setelah anggukan
keberapa ia berhenti dan memandang Mali lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus. Kau boleh pergi. Tolong, panggil Paman
Andita kemari!" Hati Wilis tak sabar menunggu masuknya Andita ke
dalam kemahnya. Walau sebenarnya cuma selang
beberapa saat saja dengan perginya Mali.
"Kita harus segera pindah ke Gending, Paman,"
ujarnya. "Ya. Karena besok malam bantuan dari Tuan Baswi
datang," Andita mengingatkan pula.
"Setelahnya kita harus mencari makan sendiri. Sebab
jarak Raung"Lumajang cukup jauh. Kurasa kita akan
agak lama di sini." "Hamba setuju, Pimpinan."
"Jika demikian, aturlah! Kita akan bergerak nanti
malam. Dan pesankan, jangan meninggalkan bekas
sedikit pun di sini."
"Hamba." Wilis juga menyiapkan diri. Menyiapkan kudanya. Dan
keheranan Mali kian bertambah, waktu kegelapan turun,
seratus ekor kuda tiba-tiba telah tersedia. Ditambah
beberapa ekor kuda beban. Di mana tadi menyimpan
kuda sebanyak itu. Ah, mereka begitu rapi. Sebelum ia
banyak pikir, Andita membawa seekor kuda beban
untuknya. "Naiklah! Kita segera berangkat!"
Mali berangkat bersama Wilis. Setelahnya menyusul
yang lain dengan jumlah tiga-tiga, dalam jarak agak jauh.
Sedang Andita bergerak paling akhir bersama dua orang
prajuritnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka semua tegang dalam kehati-hatian. Bergerak tanpa sinar apa pun. Kendati malam gulita karena awan tebal, mereka tetap dilarang menyalakan obor.
"Bayang-bayang pun tak nampak," desis Mali.
"Biar saja!" tukas Wilis. " Kudamu telah terbiasa. Dan kau juga akan terbiasa. Sedikit saja penerangan dari kita, pasti mengundang celaka."
Lamban memang perjalanan mereka. Namun sampai juga di desa Gending. Untung bagi Mali karena ia terbiasa melintasi hutan di malam hari ketika masih suka berburu harimau dulu. Jadi ia masih juga mampu menjadi penunjuk jalan waktu mereka sudah memasuki desa Gending.
Dalam kegelapan mereka menurunkan beban masing-masing. Juga perbekalan yang diangkut kuda-kuda beban. Malam itu juga tiap tiga orang ditempatkan dalam satu rumah. Dan malam itu mereka diperkenankan istirahat sepenuh-penuhnya. Sebab sudah dapat dipastikan bahwa laskar Raditya maupun lawannya pastilah belum mengetahui kehadiran mereka di Gending.
"Hutan di sekitar sini banyak rusanya," Mali memberi keterangan.
"Menyenangkan sekali! Kita akan memahirkan ilmu memanah atau melempar dengan tombak. Dan jangan sekali-kali menggunakan bedil!"
Andita mengiakan dan meneruskan perintah itu pada prajuritnya. Ia juga mengiakan bahwa kini saatnya Wilis yang masuk kota. Di samping Wilis, Andita masih mengirim beberapa orang lagi untuk mencari tahu di mana kekuatan senjata Raditya berpusat. Ada juga yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditugaskan mencari tahu di mana anak dan istri Mali
berada.

Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wilis bergerak tanpa pengawal. Ia juga tak membawa
senjata kecuali sebilah pisau. Kini ia melihat kenyataan.
Apa yang dilaporkan Andita bukan cuma dongeng.
Lumajang porak-poranda. Tak layak lagi disebut kota
kadipaten. Dari utara timur ia menuju ke barat melewati
sebuah pasar. Pasar yang sama sekali tidak bisa
dikatakan ramai. Pertanda bahwa perdagangan macet.
Kawula hidup dalam kemiskinan yang amat sangat.
Kala melewati sebuah gardu penjagaan ia dihentikan.
Ia sadar bahwa telah melintasi wilayah Raditya.
"Dari mana?" seorang penjaga mendekat.
"Dari Blambangan. Hamba hendak mencari kayu
manis dan madu," jawab Wilis tenang.
"Dilarang masuk tanpa izin pemimpin tertinggi kami."
"Hamba tak bisa menghadap beliau untuk mengurus
perizinan. Beliau terlalu sibuk." Wilis makin mendekat.
Dalam gardu itu ada empat orang yang menyanding
senjata panah, tombak, dan pedang.
"Di daerah ini ada perang. Apa kau belum dengar,
Anak muda?" tanya pemimpin mereka dengan suara
serak. "Tak seorang asing pun boleh masuk."
"Walau dengan emas dan perak?" Wilis tersenyum
sambil terus mendekat. "Bukankah dengan emas dan
perak ini Tuan akan dapat bersenang-senang?"
Benda yang berkilau karena tertimpa mentari dan kini
berada di tangan Wilis itu membuat hati mereka ragu-
ragu. Melihat itu Wilis segera mempermainkan emas di
tangannya dengan melempar-lempar sedikit ke atas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mata bengis para penjaga kian pudar. Senyuman
berkembang di bibir mereka. Pemimpinnya mendekat
pada Wilis. "Lima keping cukup?" Wilis mendahului.
"Tambah lagi!" seru kepala pengawal. "Ini uang
Blambangan Tuan. Bukankah uang Lumajang lebih
rendah nilainya?" "Dua lagi, kau boleh masuk."
"Baiklah!" Wilis mengulurkan tangannya. Setelah itu
cepat ia meninggalkan gardu penjagaan. Terus masuk
daerah kekuasaan Raditya. Ia mengumpat kecil dalam
hati tanpa menoleh-noleh lagi.
Ternyata daerah Raditya pun tak lebih ramai. Kedai
juga tak banyak dibuka orang. Di salah satu pasar ia
masuk lagi. Semua mata memperhatikannya. Laki
ataupun wanita. Ia tersenyum pada semuanya.
Kemudian menanyakan kayu manis dan kepada lainnya
ia menanyakan madu. "Oh... Tuan belum dengar?" seorang wanita balik
bertanya. "Tentang apa?" "Madu, kayu manis, dan sarang burung?"
"Belum." Wilis ingin tahu.
"Kawula dilarang memperdagangkannya."
"Lantas, siapa yang boleh?"
"Orang-orang tertentu yang mendapat izin dari Gusti
Patih. Kami tidak bisa."
"Gusti Patih" Siapa itu?"
"Gusti Bagus Wangke."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"O..." Wilis mengangguk-angguk. Kemudian diam
sebentar. "Kulihat juga tak ada kulit macan?" lanjutnya.
"Sekarang tak ada yang menangkap macan lagi,"
jawab wanita itu. "Tuan baru datang dari mana?"
"Blambangan." "Mari singgah dulu."
"Terima kasih. Lain kali saja, karena aku masih akan
mencari kebutuhan lain."
Wilis segera membalikkan badan. Wanita itu
ternganga. Seperti tersadar dari mimpi. Sementara itu
terdengar suara tawa wanita lainnya. Cekikikan. Dan
Wilis mengerti apa yang mereka tertawakan. Walau tidak
lama ia berada di pasar itu, ia cukup tahu bahwa tak ada
wanita muda yang pergi belanja ataupun berjualan.
Memang perempuan-perempuan muda takut keluar
rumah. Sebab tak kurang-kurang dari mereka yang
menjadi umpan atau sasaran nafsu kebinatangan laskar
Raditya. Kemudian Wilis menyusur terus untuk melihat
kekuatan laskar Raditya. Kala mentari condong ke barat
ia kembali ke Gending untuk melapor hasil
penyelidikannya. "Kawula Lumajang sekarang tak punya hak atas
tanaman mereka sendiri. Karena itu, walau mereka
menanam, mereka selalu lapar. Jika ingin kenyang maka
mereka harus mencuri. Mencuri milik mereka sendiri.
Dan kalau ketahuan, maka aniaya adalah ganjaran yang
harus mereka terima."
"Jagat Dewa!" Andita menyebut. "Seperti tidak masuk akal."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Seorang petani bercerita, ia harus menyerahkan separuh dari hasil panennya sebagai pajak."
"Jagat Bathara!" Andita lebih ngeri.
"Tapi mereka tak berani berbuat apa-apa. Bahkan memberitakan pengalaman mereka itu pun tak berani.
Sebab jika sampai terdengar laskar Raditya, maka akan berarti siksaan bagi seluruh keluarganya juga. Jadi sekarang yang harus mereka kerjakan tak lebih dari mengucap syukur. Ya bersyukur atas aniaya itu."
"Lumajang jauh lebih jelek dari Blambangan," keluh Andita.
"Kita harus segera turun tangan. Jika tidak, maka kawula akan kian menderita. Blambangan belum mungkin turun tangan segera," Wilis mengulas lagi.
"Kalau perlu maka kita akan gunakan kekerasan."
"Jika kita sudah berani berbuat seperti itu, maka kita harus siap pula menghadapi Blambangan."
"Bukankah kita memang sudah siap?"
"Tunggu dulu. Jika sejauh itu, maka perlu berunding dengan Tuan Baswi."
Wilis menghela napas panjang. Kali ini pun ia harus menerima nasihat Andita.
Keesokan harinya Wilis pergi lagi. Menyusuri desa-desa setengah bebas. Jauh dari kekuasaan Raditya.
Meskipun kata beberapa orang yang ditanyainya sering juga dironda. Tapi mereka tidak berani menduduki karena di daerah itu laskar Adipati Agung sering mendapat kemenangan.
Sore harinya Wilis tak pulang. Sampai mentari benar-benar lenyap, Wilis tetap tak muncul. Andita menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
resah. Bahkan esok pagi dan sore juga belum muncul.
Hari ketiga pun Wilis tidak ia temukan. Karena itu Andita
menahan orang-orang yang mengirimkan perbekalan dari
Raung, untuk menambah kekuatan mereka. Sementara
itu anak buahnya sendiri masih dikerahkan untuk mencari
Wilis. 0oo0 Desa Pasirihan sudah ia lalui. Desa itu kini menjadi
lebih ramai dari kota Lumajang sendiri. Kalau boleh ia
akan berkata bahwa Lumajang telah berpindah ke
Pasirihan. Walau desa itu kecil saja. Kedai-kedai lebih
ramai dibanding Lumajang yang saat ini dikuasai
Raditya. Dari situ Wilis tahu bahwa di sebelah selatan
Pasirihan masih ada dua desa lagi. Terpencil di pantai
selatan. Seperti ada yang melambaikan tangan saja, ia
meringankan langkah ke sana. Tapi sebelum sampai di
desa itu, suara deburan ombak laut kidul lebih
membuatnya terpesona. Semakin dekat, semakin
dahsyat. "Dewa Bathara! Tiada manusia yang mampu
menyamai kekuasaan Hyang Maha Dewa," de-.sisnya.
Wilis menghentikan gerakan kakinya. Ia pandang laut
kidul yang luas membiru. Pesona mengajaknya duduk di
atas sebuah batu karang. Sejauh mata memandang, biru.
Indah tapi menakutkan. Gulung-gemulung ombak
sebesar-besar gunung menghantam tebing karang. Ah...
belum pernah ia melihat panorama yang begini.
Kemudian perhatiannya tertuju pada dua buah batu
karang di lepas pantai. Muncul-muncul tiada. Seperti dua
manusia yang sedang bercanda dalam air. Terkadang
nampak buih putih memuncrat ke atas. Karena dua batu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karang itu tak mau menyelam waktu ombak datang.
Keduanya seperti bergandengan tangan menantang.
Sekali lagi Wilis menyebut dalam hati.
Betapa kokohnya karang itu. Adakah manusia
sekokoh itu" tanyanya dalam hati. Tak takut ombak yang
gulung-gemulung" Ah... begitulah seharusnya hidup. Tak
boleh surut dari ombak dan gelombang kesukaran. Jagat
Dewa! Karang yang kecil itu lebih kokoh dari ombak.
Panorama membuatnya lupa segala. Pengamatannya
tak ia gunakan untuk memperhatikan angin laut yang
mempermainkan rambutnya sehingga berjuntai-juntai
seperti selendang seorang gadis menari gandrung.
Matanya tetap menatap jauh. Ke cakrawala. Pertemuan
air dan langit. Juga tak diperhatikannya kehadiran
seseorang yang sejak tadi memperhatikannya dari
belakang. "Om Awighnam Astu, Jagat Dewa ya Jagat
Pramudita!" akhirnya orang itu bersuara.
Wilis terkejut. Cepat ia membalikkan badan. Matanya
menangkap seorang brahmana berjubah kuning,
bertongkat kayu hitam. Sehitam kulit brahmana itu
sendiri. Ia menyesal atas kelengahannya. Namun segera
berdiri untuk memberikan penghormatan.
"Siapa kau, Anak muda?"
"Wilis. Dengan siapa hamba berhadapan?"
"Jagat Pramudita. Kau belum mengenal aku. Tentunya
kau bukan anak sini."
"Hamba seorang pedagang dari Blambangan."
"Baik. Aku Resi Nir Wulung." Orang itu melindaskan
pandangannya pada Wilis. Namun mata pemuda itu tak
menunduk. "Untuk apa kau di sini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Untuk melihat kekuasaan Hyang Maha Dewa," Wilis
menjawab sekenanya. "Kau tak cukup membaca Weda" Bukankah di sana
sudah disebut kekuasaan Hyang Maha Dewa itu?"
"Tak ada hak dan kemampuan hamba membaca
Weda." Serentetan kekaguman berbaris di hati Nir Wulung.
Cara bicara dan pandang mata Wilis menarik hatinya. Ia
tahu orang seperti ini sedikitnya pasti pernah belajar
yoga semadi". "Wilis, mari singgah di pondokku. Di sana kita bisa
berbincang banyak. Bukankah tak mungkin kau kembali
ke Lateng sekarang" Hari hampir gelap."
Tanpa pikir panjang Wilis menerima tawaran itu. Ini
penting untuk penyelidikan lebih lanjut, pikirnya. Ia
kemudian berjalan di belakang Nir Wulung, membuatnya
leluasa mengawasi resi itu. Ternyata orang itu cacat
sebelah kakinya. Membuat gerakannya menjadi lamban
dengan kepala sedikit bergoyang ke bawah. Kakinya
kecil sebelah. Tubuhnya pendek, agak kekar. Giginya
menonjol keluar dan besar-besar berwarna agak kuning.
Bagi Wilis tidak berkesan sama sekali jika orang yang
berwajah seperti itu adalah brahmana.
Walaupun demikian kaki itu tak menyulitkan Nir
Wulung untuk menaiki tebing-tebing terjal. Bahkan
melampaui batu-batu karang yang cukup berbahaya.
Ah... kaki timpang itu tak menimbulkan kekurangan bagi
hidupnya. Ketika mentari hampir tenggelam di perut bumi
sampailah mereka di sebuah perkampungan kecil.
Rumahnya berjumlah kira-kira dua belas saja. Semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpagar bambu. Wilis menduga pastilah itu rumah-
rumah baru. Di sebuah pekarangan, yang letaknya paling
tengah di antara rumah-rumah itu mereka berbelok.
Seorang wanita nampak sedang memasukkan kayu
bakar ke bagian belakang rumah itu.
"Di sini kami berempat. Mari... masuk." Resi itu
menyilakan. "Terima kasih, Yang Suci. Oh... siapa dia?" terloncat dari bibir Wilis. Setelah sadar dia menjadi agak malu.
Barangkali itu istri brahmana ini, atau mungkin siapa.
"Oh... yang tadi memasukkan kayu?" Mereka terus
masuk. "Dia cucuku," Nir Wulung menerangkan. "Satiari."
Rumah itu beratap ilalang, berdinding dan tiang
bambu. Tidak layak untuk tempat tinggal brahmana.
Walau ukurannya lebih besar dari rumah sudra. Mereka
kemudian duduk di balai-balai.
"Ya... Lumajang ada perang. Jadi tempat ini mungkin
lebih tentram untuk kami." Nir Wulung rupanya mengerti
apa yang sedang dipikirkan Wilis. Ia sendiri memang
berpikir tempat itu tidak layak untuknya.
"Dengan kata lain perang tak pernah sampai kemari?"
Wilis mulai memancing. "Perang ada di mana-mana." Nir Wulung merasa berat
menjawab. "Kedua belah prajurit sampai ke setiap
penjuru Lumajang." Nir Wulung memandang Wilis tajam-
tajam. "Api memang belum sampai ke Kelapa Sawit ini."
Kelapa Sawit" ulang Wilis dalam hati. Namun ia tahu
Nir Wulung mulai curiga. Karena itu ia mengalihkan
pertanyaan pada madu atau barang-barang dagangan.
Tapi jawaban Resi sangat mengejutkan Wilis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Perdagangan selalu membuat dunia ini tak mampu
mempertahankan nilai-nilai kejujuran bagi manusia. Uang
dan emas membuat orang lupa segala. Lupa Yoga,
Yama, dan Gama. Sedang aku seorang brahmana.
Karena itu tak pernah punya sangkut paut dengan
perdagangan." "Brahmana tak membutuhkan uang?"
"Brahmana membutuhkan pengetahuan, ketenangan,
dan kesucian." "Jagat Bathara!" Wilis menyebut. "Jika soalnya
ketidakjujuran, maka itu bukan karena pedagang. Tapi
karena hati manusia. Ketidakjujuran bisa diperbuat oleh
siapa saja, tergantung kepentingannya."
"Hampir semua ketidakjujuran bersumber pada uang."
"Maaf, Yang Suci. Uang dibutuhkan semua. Manusia
tidak cukup hidup dengan cuma ditemani Kitab Suci.
Manusia membutuhkan nasi, uang, dan Kitab Suci."
"Jagat Pramudita! Pengetahuan apa itu, Wilis?"
"Pengetahuan hidup. Kehidupan adalah kenyataan
yang tidak pernah dapat dibantah oleh siapa pun."


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitukah pengetahuan kaum pedagang" Begitu
yakin dengan hanya kenyataan semata" Kau tak pernah
mengenal jagat Nirwana. Sebab itu hanya bisa dilihat
oleh seseorang yang telah matang semadinya."
Wilis terdiam untuk beberapa bentar. Resi ini belum
belajar sepenuhnya. Ah... kasian. Namun kala ia akan
menjawab, seseorang berdiri di ambang pintu. Ketika itu
kegelapan telah benar-benar menguasai ruangan. Wilis
menoleh ke arah pintu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Silakan, Angger," Resi berkata dengan tanpa
beringsut. "Dia pedagang muda dari Lateng." Nir Wulung
memperkenalkan tamunya. Kemudian orang baru itu
duduk di sebelah Nir Wulung. Sementara itu seorang
gadis memasang pelita setelah memberi hormat pada
orang yang duduk di sebelah Nir Wulung. Juga ibu anak
itu. Dalam hati Wilis menyebut, betapa cantiknya kedua
wanita itu. Ah... wanita tanpa cacat. Sampai beberapa
kali ia ternganga karena pesona.
Dalam keremangan sinar pelita Wilis melihat betapa
putih bersih kulit kedua wanita itu. Tidak seperti kulit
wanita Lumajang atau Blambangan. Hidungnya mancung
dan matanya agak biru. Ah... ini putri anugerah dewa-
dewa! Bahasa Blambangannya lancar sekali.
"Sejak tadi ada tamu dari Blambangan. Sudahkah
kalian kenal?" "Ampunkan kami, Kanda. Terlalu sibuk di belakang."
Sehabis ucapan itu mereka menghormat Wilis. Seperti
layaknya wanita Hindu lainnya menghormat lelaki. Wilis
tak habis-habis memuji kecantikan mereka dalam hati.
Dari pembicaraan selanjutnya Wilis tahu bahwa lelaki
itu bernama Sita Pati, ayah Satiari. Dan kala malam telah
larut Wilis dipersilakan istirahat di salah satu bilik. Namun
ia tak mampu memejamkan matanya. Wajah Satiari
mengganggu terus. Di samping itu pendengarannya
menangkap semua suara. Apalagi setelah ia mendengar suara orang membaca
lontar. Sita Pati, istrinya, Satiari, dan Nir Wulung
membaca berganti-ganti. Dan Nir Wulung lebih banyak
memberikan petunjuk. Wilis benar-benar mengagumi
suara mereka. Merdu. Namun bagi Wilis yang lebih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
banyak diperhatikan adalah isi lontar itu. Ia menjadi
semakin tertarik ketika lontar itu menceritakan perjalanan
utusan Blambangan, Sura Samodra. Ia adalah
samodraksa Blambangan yang diutus berlayar ke Malaka
oleh Sri Prabu Pati Udara. Blambangan mencoba
membuka hubungan dengan Laksamana Alfonso
d'Albuquerque sebagai perwakilan Portugis di Malaka.
Di bagian lain diceritakan kekecewaan Sri Maha Prabu
Pati Udara terhadap sikap d'Albuquergue yang tidak
bersahabat. Bantuan diberikannya dengan pamrih.
Sampai di sini Satiari berhenti. Wilis mengatur
pernapasan. Kemudian terdengar suara Satiari lagi,
"Yang ini sulit." Sita Pati juga menyuarakan keluhannya.
Bahkan Nir Wulung pun mengeluh. "Mata hamba pun tak
dapat melihat dengan jelas, Yang Mulia."
Wilis tersentak mendengar sebutan Yang Mulia.
Mendorongnya untuk bersikap lebih hati-hati.
"Baiklah, Yang Suci. Kita tutup dulu pelajaran ini."
Suara Sita Pati lebih lirih dari tadi. Selanjutnya mereka
berbisik-bisik dalam berbincang. Namun itu cukup
menguak sunyi dan menjalar ke telinga Wilis.
"Ada rombongan bergerak ke desa Gending. Diduga
membawa bahan makanan. Rupanya mereka dikawal
oleh laskar yang berpakaian sudra."
"Dari mana?" "Belum ada penyelidikan lanjutan. Untuk siapa dan
dari mana sama sekali belum ada laporan."
"Apakah Lingsang Ireng belum tahu?" Satiari ikut
berbisik. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Belum. Sebab ia bersama tiga puluh anak buahnya sedang menyerbu ke barat. Untuk sekadar mengganggu Raditya."
"Kalau begitu, kita harus segera berunding dengan para perwira kita," usul Satiari.
"Tamu kita?" tanya Nir Wulung.
"Biar diatur oleh Satiari. Kita akan kembali pagi-pagi benar."
Wilis gelisah dalam kamarnya. Ia tahu yang dimaksud adalah laskar Raung. Mereka menjauh. Sementara itu ia mendengar suara langkah mendekat biliknya. Tentu Satiari, pikirnya. Tapi menjauh lagi. Tentu pergi tidur. Ia berpikir harus segera pergi. Tapi tak mungkin tanpa alasan. Siapa tahu rumah-rumah di sekitar ini adalah barak-barak yang berisi laskar" Aku harus cari jalan.
Tiba-tiba hatinya tergoda untuk tahu isi lontar tadi. Ah...
ada bagian yang tak terbaca. Siapa tahu aku bisa.
Keinginannya begitu keras. Dan semakin menarik tubuhnya untuk bangkit. Kemudian berjingkat ia mendekati kamar di mana tadi Satiari membaca lontar.
Ternyata di ruangan depan. Dan gulungan lontar itu masih ada. Damar-damar pun belum dipadamkan.
Jantungnya berdebar. Berkali ia toleh pintu di mana Satiari tadi menghilang. Ah... ia mencoba duduk.
Tangannya gemetar membuka gulungan demi gulungan.
Oh, gulungan pertama, kedua yang dibaca Satiari tadi.
Sampai pada gulungan yang kelima. Wilis tahu Satiari tidak salah baca.
Gulungan keenam yang tadi tak terbaca. Memang sudah buram sekali. Ia mencoba mengambil bubukan kapur yang tersedia dan menaburkannya di atas lontar
itu. Ia mulai tersenyum-senyum. Namun seperti ada yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyuruh, sebelum membaca ia menoleh lagi ke pintu.
Dan... darahnya seperti tersibak. Satiari serta ibunya
berdiri dengan tombak dan pedang terhunus. Wilis
menenangkan hati sambil meletakkan kembali lontar
yang dipegangnya. Kemudian senyum-senyum kecil
yang dibuat-buat. Menggosok-gosok telapak tangan yang
tidak gatal. Sebentar menunduk, sebentar senyum pada
kedua orang itu. "Hendak kau curi?" Suara Satiari bergetar.
Tiba-tiba Wilis ingin mempertemukan pandangnya.
Dalam keremangan sinar damar itu mata mereka
bersuara Tapi Wilis tetap tersenyum.
"Aku bukan pencuri...," Wilis menjawab.
"Hendak kau ambil itu?"
"Eh... ma... maaf, hanya ingin membaca."
"Lontar adalah bacaan brahmana!" Satiari melindas.
"Ampuni hamba." Suara Wilis pelan tapi kini menjadi
mantap. "Itu memang benar zaman sebelum Ken Arok
atau Sri Ranggah Rajasa Negara Sang Amurwa Bhumi.
Sebelum itu bila ada sudra mengucap sepenggal saja
kata-kata yang ada dalam Weda maka lidahnya akan
dipotong. Dan bila mendengar brahmana membaca
maka kupingnya akan dipotong. Bukankah sekarang lain
adanya?" Satiari terdiam. Juga ibunya. Wilis meneruskan,
"Maha Dewa menganugerahkan indra yang sama bagi
manusia. Karenanya pengetahuan bukan hak brahmana
semata. Tapi hak tiap orang yang memburu dan
mengingininya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mata Wilis kian lama kian menajam. Menembus
dinding hati Satiari. Ia tertunduk. Dan, "Ibu...," keluhnya.
"Jika yang punya tak mengizinkan, sebaiknya aku
pergi." Wilis mencoba keluar dari persoalan.
"Jangan coba-coba!" kini ibu Satiari yang bersuara.
"Kami ingin tahu apakah kau benar mampu membaca
atau hendak mencurinya. Jika kau tak mampu membaca
maka kau pasti ingin mencuri!"
Wilis mengambil segulung. Dan membacanya persis
Satiari tadi melagukannya "Jagat Dewa!" Satiari
menyebut. "Jangan yang itu! Kau meniru anakku membaca," Ibu
Satiari mencegah. Tanpa menjawab Wilis mengambil
gulungan yang tak terbaca tadi. Dan ia membaca:
Pupuh pertama menggambarkan penaklukan daerah-
daerah timur termasuk Madura oleh Sultan Trenggono
dari Demak. Sedang pupuh kedua menceritakan adanya
penangkapan besar-besaran oleh Blambangan atas
saudagar-saudagar dari Demak, Gersik di kota-kota
Blambangan misalnya Wijenan, Lumajang,
Sumberwangi, dan Keda-wung. Mereka dituduh
melakukan pekerjaan ganda. Di samping dagang,
mereka dituduh menjadi mata-mata Demak. Tuduhan lain
ialah menghasut kawula Blambangan untuk masuk Islam.
Pupuh berikutnya ditulis oleh Dang Nir Arta. Antara
lain mengungkapkan bahwa sebenarnya Demak semula
adalah pangkalan laskar Cina, yang bertujuan untuk
mengkoyak-koyak kebesaran Majapahit. Dan mereka
berhasil menenggelamkan Nusantara tanpa
mengerahkan laskarnya sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Laksamana besar Cheng Ho atau Ma San Pao yang
juga mendapat julukan Dampu Awang adalah penunjang
masuknya Islam di Nusantara. Karena di balik itu Dampu
Awang berkemauan keras agar Sri Maha Ratu Suhita
mau mengakui kemaharajaan Cina. Diterangkan pula
bahwa Nir Arta melarikan diri dari Majapahit ke Bali. Ia
mendirikan sebuah pura dan kemudian meninggal di
Gelgel. Puranya diberi nama pura Rambut Jiwi.
Pupuh ketujuh memuat tuduhan Sultan Treng-gono
pada Blambangan sebagai melintasi perairan Gersik
tanpa izin. Bahkan tuduhan lebih keras lagi, yaitu
Blambangan dituduh akan merebut kembali bekas
bandar Majapahit itu. Pupuh selanjutnya menceritakan perjanjian keamanan
bersama antara Blambangan dan Buleleng. Dan kedua
negeri ini mendapatkan bantuan persenjataan dari
Portugis di Malaka. Semula Aflonso d'Albuquerque
memang setengah hati menyambut uluran persahabatan
Blambangan itu. Tapi ia tidak suka pada Trenggono yang
dianggap sebagai salah seorang penentang arus
kehadiran Portugis di bumi timur. Dibuktikan dengan
penyerangan yang gagal oleh Pangeran Sabrang Lor,
kakak Trenggono. Setelah itu Blambangan mengerahkan laskar lautnya
secara besar-besaran di Selat Madura. Dan hampir lima
puluh ribu laskar darat berjaga-jaga di Pasuruan.
Sementara itu Trenggono sudah mengumumkan perang.
Dia berangkat dengan dibantu Cirebon serta adipati-
adipati bawahannya. Artinya negara-negara jajahannya.
Puluhan ribu laskar darat dan laut digerakkan ke timur.
Pupuh kesepuluh menyebutkan perang berakhir
dengan kematian Trenggono di daerah Sapit Urang,
Pasuruan. Laskar Demak cerai-berai, laskar lautnya yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kembali tak lebih dari separuh. Orang mencatat bahwa
tahun itu adalah tahun seribu lima ratus empat puluh
enam Masehi. Pembacaan selesai. Satiari dan ibunya termangu-
mangu. Sampai Wilis memberi tahu bahwa ia telah
selesai. Keduanya tergagap. Satiari tersipu-sipu. Malu.
Keduanya menyembah seperti layaknya pada seorang
brahmana. "Berdosalah hamba menerima penghormatan ini." Ia
mengembalikan gulungan lontar dan minta izin istirahat.
0oo0 Kala pagi masih buta, Wilis sudah bangun untuk
mengambil air. Ia cepat menemukan mata air di mana
Satiari biasa mengambil air. Ketika tempat air yang
tersedia semua sudah penuh Satiari serta ibunya
terbangun. Wilis sudah menyiapkan kayu bakar di dekat
dapur. "Dewa Bathara! Itu bukan pekerjaan tamu, Kakang,"
suara Satiari lembut. "Tidak apa-apa. Kali ini tamu yang ingin bersaudara,"
Wilis menjawab sambil memandang tiap lekuk tubuh
Satiari. Pesona kian meradang.
"Matamu dapat melihat dalam gelap?"
"Tidak, hanya mengira-ngira."
Kala Satiari menyiapkan makanan di dalam, mentari
mulai menampakkan diri di ufuk timur. Tersenyum di balik
perbukitan. Seolah menyenyumi Wilis. Hati mudamu
mulai terpaut di sini. Tapi lihat! Laskarmu dimata-matai
ayah Satiari! Wilis seperti tersadar dari mimpi. Sita Pati
dan Nir Wulung pasti memerintahkan orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mematamatai laskarnya. Bahaya! Maka Wilis segera
mengambil keputusan. Minta pamit.
"Bapa Resi akan menanyakan," Satiari berusaha
mencegah. "Hamba ada janji, harus sampai di Lateng hari ini.
Maklum perdagangan membutuhkan waktu cepat," Wilis
menjawab sekenanya. "Kalau begitu lain kali datang lagi! Bawakan oleh-oleh
untuk Satiari!" "Tentu." Ingin Wilis berbincang lebih lama dengan gadis itu.
Namun keselamatan laskarnya yang terancam membuat
ia kabur seperti awan terbang. Berlari ia masuk hutan.
Tak ia pedulikan kain celananya basah oleh embun yang
hinggap di dedaunan atau rerumputan. Juga bunga-
bunga rumput yang bertempelan di kakinya. Semakin
lama ia melintas, semakin dekat ia dengan desa
Gending. Semakin cepat larinya. Seolah ingin terbang.
Apalagi di daerah yang sudah ia hafal betul.
Andita bernapas lega kala melihat Wilis berlari
mendatanginya. Ia peluk Pangeran dengan penuh kasih
sayang. Seperti pada adiknya sendiri.
"Dari mana saja" Kami kebingungan mencari
Pimpinan," Andita mengutarakan kecemasannya.
"Nanti aku akan memberikan laporan. Sekarang kita
harus pindah dari tempat ini!" Wilis langsung
menjatuhkan perintah sambil mengatur pernapasannya
yang masih memburu. "Ada apa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan tanya dulu. Mana gua yang pernah Paman
ceritakan dulu itu" Kita dalam keadaan bahaya!"
"Mali!" teriak Andita. Yang dipanggil tergopoh-gopoh.
"Tunjukan Gua Singa!" kemudian pada Wilis.
"Kita harus hati-hati, Pimpinan."


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tambahkan regu pengamat, supaya kita bisa
bergerak lebih leluasa."
Andita memanggil kepala-kepala regu untuk
mendengar Wilis menjatuhkan perintah sebelum mereka
berangkat. Kepindahan ini membuat hati mereka menjadi
lebih tegang. Karena jumlah mereka bertambah banyak
dengan tambahan dari Raung yang mengawal
perbekalan dan ditahan oleh Andita. Namun mereka
bergerak dengan sangat hati-hati dan cermat sekali.
Tidak setitik pun bekas mereka tinggalkan. Untuk
menyulitkan pelacakan yang pasti akan dilakukan oleh
laskar Sita Pati. Sesampai di gua yang dituju, dengan sangat cekatan
Wilis memeriksa keadaannya. Bahkan hutan-hutan di
sekitarnya pun ia periksa bersama Andita. Setelah ia
merasa aman barulah ia perintahkan anak buahnya
membongkar perbekalan. Dan langsung
menyembunyikan perbekalan mereka. Semuanya juga
dikerjakan dengan rapi di bawah pengawasan langsung
Andita dan Wilis. Setelah semuanya beres, barulah Wilis dan Andita
berunding. Didahului oleh Andita yang melaporkan
kedatangan bantuan dari Raung, kemudian Wilis
melaporkan pertemuannya dengan Sita Pati. Dan laporan
yang diterima Andita dari anak buahnya menyatakan
bahwa Raditya banyak menerima bantuan dari laskar laut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Blambangan yang membelot. Yang sudah menjelma
menjadi perompak. Karena itu Raditya mempunyai cukup
banyak cetbang. "Dua ratus belum cukup mengimbangi kekuatan
Raditya," desis Wilis. Andita diam. Namun beberapa
bentar ia bertanya, "Sudah siapkah Pimpinan bekerja untuk
Blambangan?" Wilis kaget. Namun kemudian ia merenungi
pertanyaan Andita itu. Pertanyaan yang tepat. Munculnya
Wilis di Lumajang akan menarik perhatian para
pembesar Blambangan. Dan bukankah Blambangan
sedang dalam kemelut" Kenapa ia tidak bertindak untuk
menghapus kemelut negerinya sendiri" Menolong
Lumajang baginya merupakan pekerjaan berat. Dan
kemudian ternyata pekerjaan berat satu menyusul
pekerjaan berat lainnya. Blambangan sekarang dalam
cengkeraman Mengwi. Sanggupkah ia melawan"
Dengan laskar laut yang compang-camping" Tidak
mungkin. Ah, ia menerima warisan dengan beban yang
gunung-gemunung. Blambangan memang sedang
ringkih! Tapi bukankah ia harus menjadi patih" Kepala
pemerintahan di Blambangan" Ia sadar orang yang ingin
besar harus berhadapan dengan soal-soal yang besar
pula. Namun di pihak lain sudut hatinya mulai terukir
sebuah gambar kembang. Kembang Lumajang. Memang hati Wilis sedang
bergelut."Bunga dan bumi. Sehingga, ia tak
memperhatikan Andita yang masih di depannya.
"Hamba curiga, apakah Sita Pati itu bukan Adipati
Agung" Andita tiba-tiba memudarkan lamunan Wilis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya... ya... aku juga. Tapi aku memikirkan
pertanyaanmu tadi. Siapkah aku bekerja untuk
Blambangan." "Kita sudah mulai bekerja untuk Blambangan.
Membebaskan Lumajang ini tentu bukan kepentingan
Raung. Tapi Blambangan."
"Ah... benar juga. Aku sudah melangkah. Baiklah kita
temui Sita Pati sekarang."
"Ya. Hamba ingin sekali bertemu beliau."
Andita memerintahkan seseorang menyiapkan kuda
mereka. Di samping itu juga satu kuda beban yang
membawa beberapa bungkus bahan makanan.
Sementara kepemimpinan diserahkan kepada Carang
Kuning. Dan Mali tetap bertugas sebagai pembantunya.
Kuda mereka berlari kencang melewati sebelah timur
kota dan terus menuju ke selatan.
"Tapi ada yang aneh, Paman. Jika Sita Pati memang
Adipati Agung, kenapa ia punya seorang putri" Jika ia
berputra setelah pulang dari Blambangan dulu tentunya
tidak sebesar itu" Ini semua meragukan."
Keraguan Wilis menyulitkan Andita. Namun dalam
hatinya Andita tersenyum. Mali menepati janjinya. Tak
pernah bercerita tentang Ayu Sulik pada Wilis. Dengan
tanpa membalas pertanyaan Wilis Andita memancing
Wilis untuk berbicara hal lain,
"Perjalanan ini amat berbahaya. Karena kedua pihak
bisa mencurigai kita. Karena itu kita sebisa mungkin
menghindari laskar kedua belah pihak."
"Kalau begitu kita harus menerobos hutan yang sulit."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lebih baik menempuh itu daripada harus tertangkap
sebelum bersua Sita Pati."
"Kita harus berbelok ke kiri. Kita akan melewati
Pasirihan." "Pasirihan?" "Jalan lain tak dapat dilewati kuda. Sebab hutannya
berair. Malah akan memperlambat saja."
Mereka berbelok pada suatu tikungan. Kuda mereka
terpaksa beriring. Kuda Wilis paling depan, disusul kuda
beban, baru Andita paling belakang. Makin lama makin
sempit dan rumit. Andita kagum, Wilis dalam waktu
singkat mampu menemukan jalan-jalan tembus yang
mungkin bagi orang Lumajang sendiri tak pernah
dilaluinya. Hutan lebat penuh dengan onak dan duri,
serta pohon-pohon penjalin yang menjalar merupakan
rintangan pokok. Jurang atau sungai kecil bukan
merupakan rintangan bagi kuda mereka yang memang
sudah terlatih itu. Sementara itu Sita Pati telah tiba kembali di Kelapa
Sawit. Segera ibu Satiari melaporkan keberangkatan
Wilis. Sita Pati amat terkejut.
Maka ia menegur Satiari. Namun gadis itu menjawab
bahwa ia tak mampu menahannya. Sita Pati menyesal
sekali karena tak bisa menahan Wilis. Sebab dalam hati
ia curiga apakah anak muda itu bukan teliknya Raditya"
"Ia juga mampu membaca lontar," ibu Satiari
menambah keterangannya. "Bahkan yang tak terbaca
oleh kita pun ia mampu membacanya."
"Wilis" Mampu membaca lontar" Siapa anak itu, he?"
Sita Pati berkata pada diri sendiri. "Seorang telik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
biasanya selalu berbuat baik dan pastilah bukan orang
pandir." "Hyang Dewa Ratu, apakah ia prajurit?" Satiari terkejut begitu pula ibunya dan Nir Wulung.
"Memang belum pasti begitu. Tapi tak ada jeleknya
kita berhati-hati." Satiari menyesal membiarkan Wilis berlalu damai. Ia
buta karena tertutup oleh kekaguman. Tanpa sadar ia
keluar dari ruangan. Pikirannya beterbangan ke sana
kemari. Kenapa ia tak bunuh saja pemuda itu semalam"
Jika benar Wilis seorang telik maka bahaya mengancam
ayah, ibu, dan dirinya sendiri.
Tiba-tiba dadanya berdesir. Dari kejauhan terdengar
derap kuda. Ia tajamkan pendengarannya. Kian
mendekat. Waktu ia masuk, terlihat olehnya seorang
pengintai sedang melapor pada ayahnya.
"Dua orang?" tanya Sita Pati.
"Ya. Seorang berbadan gempal. Gagah. Seorang lagi
masih muda, semampai, dan rambutnya terurai ke bawah
pundak." "Membawa senjata?"
"Tak terlihat, Yang Mulia."
"Bersiaplah kau! Biarkan dua orang itu masuk! Aku
akan memberikan aba-aba bila ternyata orang itu
membahayakan." Sementara Sita Pati menyiapkan senapannya, Wilis
sudah memasuki halaman. Ia turun dari kudanya,
sementara Andita tetap berjaga di atas kudanya sambil
memegang kendali kuda beban. Satiari menyambut
mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Selamat siang, Satiari," sapa Wilis. "Aku datang."
Diam tanpa jawab. Matanya menatap tajam sambil berdiri kaku, seperti harimau betina yang hendak menerkam mangsanya. Wilis terkejut mendapat penyambutan semacam itu. Apalagi waktu Satiari menghunus kerisnya. Menyerbu. Tak memberi kesempatan pada Wilis untuk bicara dan bertimbang.
Andita terkejut. Tapi Wilis memberi isyarat agar tetap tenang.
"Kau telik sandi!" Napas Satiari memburu.
"Jangan gegabah! Jangan menuduh tanpa bukti." Wilis tersentak.
Sita Pati memperhatikan dari ambang pintu. Wilis cuma menghindar. Beberapa saat kemudian matanya beradu dengan mata Andita. Kira-kira sepuluh saat lamanya, keduanya tercenung. Tapi Andita tersadar lebih dahulu. Ia kemudian berteriak,
"Yang Mulia..." sambil melompat turun dari kudanya.
"Anditakah ini?" tanya Sita Pati.
"Inilah hamba...," Andita menyembah.
Satiari terpatri melihat itu. Apalagi waktu terdengar Wilis juga berteriak, "Pamankah itu?"
"Tak salah, Pangeran," Andita memberi tahu.
"Jagat Dewa!" Wilis menyebut kemudian berlari menyembah.
"Anakku... kau sudah dewasa?"
"Ampunkan hamba. Membiarkan Paman dalam kesulitan."
"Ah... kalian orang-orang gagah. Mari kita masuk!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka masuk. Ibu Satiari dan Nir Wulung menyambut
dengan penuh kekaguman. Dan Wilis segera
menceritakan pengalamannya. Setelah itu Satiari dan
ibunya menyembah. "Inilah hamba, Pangeran."
"Panggil saja aku 'kakang". Enak didengar," kata Wilis,
"Berdirilah, Bibi."
Sita Pati mendapat giliran menceritakan
pengalamannya, "Ketika aku pulang dari Blambangan, semasa
bertempur melawan Gajah Binarong, di perjalanan aku
bersua dengan ribuan pengungsi. Mereka ketakutan."
Sita Pati berhenti sebentar untuk menelan ludahnya.
"Waktu laskarku lelah, aku beristirahat di rumah kepala
desa Puger. Ternyata di desa itu juga banyak
menampung pengungsi. Salah satu di antara mereka
adalah istri Yang Mulia Samodraksa Siung Laut
anumerta. Karena kepala Desa Puger takut kalau Gajah
Binarong menang maka putri itu akan mendatangkan
bencana bagi desanya, maka ia mempersembahkan putri
itu padaku. Aku cuma berpikir, istri orang besar itu harus
selamat. Wunga Sari dan Ayu Sulih kubawa ke istana.
Ketakutan kepala desa itu memang beralasan. Karena
putri itu berkulit putih dan bermata biru. Ia seorang putri
yang berasal dari negeri Atas Angin. Dan bersua dengan
Laksamana Siung Laut waktu kapalnya terdampar di
pantai selatan Blambangan." Sita Pati mengakhiri
ceritanya. Wilis segera mengajak berunding tentang pemulihan
kekuasaan Adipati Agung. Ia tidak ingin kehilangan
waktu hanya untuk sekadar melepas rindu. Sita Pati
menyatakan dengan jujur bahwa saat ini laskarnya belum
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mampu mengalahkan kekuatan Raditya secara
keseluruhan. Karena mereka kalah persenjataan.
Andita mendesak Wilis untuk menambah jumlah
pasukan dan menggempur Raditya secara mendadak.
Wilis menyetujui. Karena ia sudah siap pula bekerja
untuk Blambangan. "Nah, sekarang ini kita harus sadar akan pentingnya
suatu peperangan. Kita tidak bisa mematahkan Raditya
hanya dengan kata-kata." Wilis memandang Sita Pati
dan Nir Wulung. Untuk kesekian kalinya Andita dan Wilis berunding
hanya dengan bahasa mata. Setelahnya Wilis
menerangkan bahwa ia harus segera pulang untuk
mengatur siasat. Dia akan memberi isyarat pada Sita Pati
bila waktunya ia menyerbu Raditya.
"Kenapa harus tergesa pulang?"
"Karena Paman memata-matai laskarku," jawab Wilis
tersenyum. Sita Pati dan Nir Wulung terkejut.
"Kau tahu itu?"
Wilis tertawa ramah. Dan katanya, "Biarlah itu berjalan
terus. Dan biarlah mereka tetap tidak tahu kehadiranku di
tempat ini. Lebih baik mereka mengira aku adalah
pedagang madu." Raditya telah menurunkan perintah pada seluruh
laskarnya untuk bergerak menguasai seluruh kota
Lumajang. Ia merasa pasti bahwa kekuatannya lebih
unggul. Di samping itu perhitungan Bagus Wangke,
orang yang menjadi tulang punggung Raditya selama ini,
memang tepat. Seluruh Lumajang sudah tanpa
pengawalan. Karena itu tidak akan ada perlawanan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berarti. Lumajang sedang mengambang tanpa
pemerintahan. Kekuatan Lingsang Ireng, seorang perwira
kepercayaan Sita Pati yang berada di sebelah barat kota
dapat dipatahkan dengan mudah. Jumlah mereka terlalu
kecil. Sedang penyerbuan Raditya itu di luar dugaan
mereka. Mentari masih tertutup bukit kala Raditya dan putra-
putranya bersama Bagus Wangke melangkahkan kaki ke
halaman istana. Ia ingin segera menikmati
kemenangannya. Namun matanya redup melihat
kenyataan bahwa sebenarnya sudah agak lama istana
ditinggal oleh penghuninya. Rerumputan tumbuh dengan
liar di beberapa bagian istana. Lebih mengecewakan
lagi, dalam penyerbuan yang mendadak itu ia tak dapat
menjumpai Sita Pati. Sehingga tak dapat merampas
selirnya yang jelita atau putrinya. Jika bisa tentunya
mereka akan menjadi istrinya bila ia sudah menjadi


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adipati. "Keindahan istana harus segera dipulihkan, Wangke,"
gumamnya. "Itu bukan soal, Yang Mulia. Tapi kemantapan
keamanan harus diutamakan."
Raditya mengangguk. Mereka melangkah terus
memasuki pendapa. Debu mengotori semua dan segala.
"Istana masih utuh!" Raditya girang. Giginya merah
muncul di sela kedua bibirnya. Dadanya yang bidang dan
dihiasi bulu-bulu itu mengembang.
"Aswina, kau kelak menjadi raja." Ia menoleh pada
anaknya. "Kita harus lepas dari Blambangan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedang lemah ini. Mereka tidur. Dan takkan bangun
Menjenguk Cakrawala 4 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Sejengkal Tanah Sepercik Darah 8
^