Pencarian

Tanah Semenanjung 2

Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Bagian 2


Dentuman meriam makin jelas terdengar oleh
Danureja di pesanggrahannya. Sesaat kemudian ia
menjadi gelisah. Apalagi waktu seorang perwira laut
menghadap dan mengabarkan tentang gugurnya Siung
Laut. Degup jantung Sri Prabu mengencang. Namun ia
belum pasti. Ia percaya orang perkasa seperti Siung Laut
tak pernah kalah dalam peperangan. Karena itu ia
segera melompat ke atas kudanya. Ke pantai.
"Menteri Muka!" teriaknya ketika melihat Arya
Bendung. "Benarkah Siung Laut gugur?"
"Hamba, Sri Prabu."
"Mana mungkin pemberontak sekuat itu?" Kini kepala
Sri Prabu berdenyut-denyut. Matanya memandang laut.
Kerjapan sinar api yang keluar dari moncong cetbang
nampak jelas. Bahkan terkadang mampu menerangi
kegelapan malam. Tidak sedikit yang nyasar ke pantai
Blambangan. Api mulai merambat ke rumput-rumput
kering di pantai itu. Dan menjalar. Menjalar terus sampai
ke pedalaman. Lagi, ia berjumpa seorang nakhoda kapal pemburu
yang kepalanya berdarah menghadap
Arya Bendung dan Baginda, maka Baginda tak kuat
lagi menahan marahnya. "Benarkah Siung Laut gugur?"
"Benar, Yang Maha Mulia. Bersama dengan kapal
bendera." "Dewa Bathara! Kita sambut mereka di darat!" Kaki,
tubuh, hati, semuanya yang ada pada Danureja bergetar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Singamaya juga menggeram. Namun ia sadar, semua itu
bukan hanya mimpi. Danureja terus mengumpat waktu memeriksa pasukan
penjaga pantai. Mereka juga sudah sehari semalam
menembak terus tanpa henti. Laras cetbang mereka
sudah banyak yang melengkung. Dan Singamaya yang
mengawalnya sejak di Sumberwangi melihat betapa
kecewa Sri Prabu. Bukan cuma itu. Marah. Kepala
semakin pusing, semakin berat. Pandangannya
berkunang. Meriam lawan tak mau berhenti menyalak. Putus asa.
Marah lagi. Dan tanpa maunya ia terjatuh dari punggung
kudanya. Singamaya terkejut. Memburu. "Baginda..."
Namun Sri Prabu tak bergerak. Tak menjawab.
Singamaya bekerja cepat. Tubuh Sri Prabu
digendongnya. Mundur ke Lateng.
Laskar Lumajang masih bergerak ke utara. Kendati
Adipati Agung telah menerima laporan bahwa Sri Prabu
mangkat. Ia merasa perlu menyembunyikan hal itu pada
Sirna. Yang memang belum tahu sama sekali akan hal
ini. Satu-satunya orang yang diberi tahu oleh Adipati
Agung adalah Andita. Orang ini adalah perwira andalan
Lumajang. Masih muda. Namun cakap memimpin anak
buahnya. Hidungnya mancung, kulitnya kuning langsat,
dadanya bidang. Ototnya kekar, menunjukkan ia orang
yang rajin menempa diri. Dalam perjalanan mereka tak bersua musuh. Sebab
mereka telah dirontokkan oleh laskar Blambangan
dengan tembakan meriam dan cetbang dari laut.
"Andita!" panggil Adipati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba, Yang Mulia." Andita mendekatkan kudanya
dan merapat pada kuda Adipati Agung.
"Kita hanya menemukan bangkai. Tapi aku khawatir
mereka berbelok ke Lumajang," ujar Adipati sambil
memperhatikan mayat-mayat yang sebagian besar sudah
hangus bersama rumput-rumput, ilalang, dan pepohonan
lain di hutan dekat pantai itu. Bangkai kuda, kerbau,
kereta bahkan mungkin monyet jadi satu di hutan itu. Bau
daging hangus masih merangsang.
"Hamba juga*" "Dapatkah aku mempercayakan Pangeran Mas Sirna
ke atas pundakmu?" "Nyawa hamba akan hamba persembahkan."
"Baiklah kalau begitu kita akan membagi tugas.
Karena itu pula kita akan membagi dua pasukan ini.
Sebagian ikut aku kembali ke Lumajang. Sebagian lagi
ikut kamu menyusuri pantai ini terus ke utara dan
berbeloklah ke barat. Jangan pulang ke Lumajang atau
Blambangan sebelum ada panggilan."
"Hamba, Gusti."
"Hyang Maha Dewa akan memberikan imbalan atas
pengabdianmu ini." "Jadi sebenarnya hamba bertugas mengawal
Pangeran?" "Ya. Hanya kau yang dapat melindungi dia."
"Ampun, Yang Mulia. Hamba debu semata. Semua
terletak di tangan Hyang Maha Ciwa."
"Tapi aku lihat kau orangnya, Andita. Mengerti kau
maksudku?" Adipati Agung memandang dalam-dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pada Andita. Orang itu menjawab dengan berhamba-
hamba saja. "Harus kau ingat. Jangan sampai Sirna mendengar
bahwa Sri Prabu tewas. Ingat-ingat ini, Andita. Kita
sekarang harus memisahkan diri. Sanggup?"
Sekali lagi Andita berhamba.
Kemudian Adipati Agung mendekati Sirna.
Sebenarnya ia tak sampai hati melepas anak itu. Setelah
kudanya berjajar dengan kuda Sirna maka ia menyapa.
Anak itu masih memperhatikan mayat-mayat yang
dilangkahi oleh kudanya. "Sirna..." "Ya." Anak itu menoleh.
"Kita sudah terlalu jauh dari Lateng. Sedang yang kita
cari lebih banyak yang menjadi bangkai. Nah..."
"Kita harus kembali?"
"Oh... tentu tidak! Kau adalah seorang pangeran. Jadi
kau harus mulai belajar memimpin laskarmu sendiri."
"Tak ada prajurit, perwira, dan bintara yang tunduk
pada seorang yang belum dewasa."
"Kau putra raja" Ksatria?"
"Ya." "Karena itu belajarlah, Nak. Andita akan
menyertaimu." "Haii... jadi maksud Paman?" Sirna menajamkan
matanya, untuk lebih memperhatikan wajah pamannya.
Keduanya masih di atas punggung kuda. Bangkai-
bangkai tiada lagi. Udara segar menerobos pepohonan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuk membelai tubuh mereka. Kuda mereka berlari tidak
terlalu cepat. Adipati Agung menjadi ragu. Namun untuk
kesekian kalinya ia harus melindas perasaannya sendiri.
"Paman akan-berbelok ke barat. Sedang kau dan Andita
ke utara. Andita akan menunjukkan padamu di mana kau
juga akan berbelok ke barat. Dan kita akan bertemu di
suatu tempat. Kita akan berbagi pasukan."
"Perlunya?" "Barangkali kita menemukan sisa-sisa musuh, maka
kita akan menghancurkannya. Dan di tempat yang akan
ditunjukkan Andita itu, kita akan mengepung musuh yang
mungkin tersembunyi. Setuju?"
"Baik." "Andita, bersedialah!" Adipati Agung berteriak sambil menoleh ke belakang. Di tengah hutan sunyi itu, iring-iringan pasukan berkuda berhenti. Mereka tidak
diperintahkan turun dari kuda mereka. Namun Andita
memisahkan seratus di antara mereka yang semuanya
masih bujang. Mereka juga berbagi persediaan makanan
kering. Tanpa ada yang mengerti apa maksud pimpinan
mereka. Mereka hanya dilatih mengiakan perintah
pimpinan. Bahkan Sirna sendiri tidak mengerti apa yang
akan dikerjakannya. Setelah semua persiapan selesai,
"Andita, selamat jalan!" Adipati berteriak. "Hyang Durga akan menyertai kalian."
"Dirgahayu, Paman," Sirna menyatakan
perpisahannya. Dibalas oleh lambaian tangan Adipati
Agung. Kuda Andita dan Sirna bergerak pelan-pelan. Diikuti
oleh seratus kuda lainnya, meninggalkan Adipati Agung
dan teman-teman mereka. Tangan Adipati belum juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berhenti melambai, kala debu mulai membungkus
rombongan Mas Sirna. Hatinya berdebar. Ia sendiri tak
tahu apa yang harus ia kerjakan untuk Sirna. Sedang Sri
Prabu sudah mangkat. Ia mulai gelisah.
Ia tahu persis pemberontakan timbul karena
kesalahan Sri Prabu sendiri. Kini kawula yang harus
menanggungkan akibat kesalahan itu. Sekali lagi ia
melihat. Keonaran tidak timbul dari kawula. Namun istana
sendiri yang meniupkan api pemberontakan itu.
Kini kepulan debu sudah tiada lagi. Hilang ditelan
gerumbul pepohonan dan semak belukar.
Adipati telah habis menimbang-nimbang. Ia rasa tak
perlu lagi menyesali nasib Sri Prabu, nasib Blambangan.
Tentang Sirna itu urusan Hyang Maha ?iwa.
"Kita kembali ke Lumajang!" teriaknya kemudian pada
laskarnya. "Karena kita tak mau Lumajang diusik tangan
Gajah Binarong!" Segera mereka memacu kuda mereka. Bersyukur
mereka dalam hati masing-masing. Semua berlari
kencang di belakang Adipati Agung. Debu tidak lagi
dapat ditahan oleh batang-batang perdu. Dahan dan
pohon di sekitar jalan itu harus menampung mereka.
Juga orang-orang terbelakang. Namun tiada waktu untuk
mengibaskannya. Berpacu terus. Dalam hati telah timbul
tekad, mempertahankan setiap jengkal tanah kelahiran
mereka. Lumajang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
III. RAUNG Andita memutar otak, sambil selalu memandangi Sirna. Ia tahu anak itu bakal mempunyai otak cerdas.
Banyaknya pertanyaan merupakan tanda nyata. Apalagi setelah melihat panorama indah sepanjang perjalanan.
Namun gejala yang lebih mengagumkan bagi Andita adalah perhatian Sirna. Lebih tertarik pada manusia dengan nasibnya daripada panorama yang seolah tiada habisnya itu.
"Aku belum pernah melihat Jember. Jauhkah itu, Paman?" Sirna menanya untuk kesekian kalinya. Andita tak ingat lagi itu pertanyaan yang keberapa.
"Jauh. Dengan melewati hutan belantara seperti sekarang ini, maka dua hari baru kita akan sampai."
"Betapa lamanya. Kalau kita ke sana, kita akan kehabisan cadangan makanan."
"Ya. Tapi kita akan bisa mencari lagi di perjalanan.
Hutan sekitar ini banyak menjangan atau rusa besar-besar yang dapat kita buru."
"Menyenangkan. Laskar kita tidak akan kelaparan."
"Pangeran mau ke Jember?"
"Ingin sekali. Siapa tahu musuh ada di sana?"
"Kalau begitu kita perlu istirahat dahulu."
"Kenapa?" "Menghilangkan kelelahan kuda kita. Dan tentu saja mencari makanan segar bagi kita semua. Babi atau
rusa" Mana Pangeran suka" Ah... hamba pikir mana
yang dulu saja." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sirna menoleh ke belakang. Kemudian pada Andita.
Andita memandangnya tajam-tajam.
"Kalau kita bersantai-santai, musuh akan dengan
mudah melintas ke Blambangan."
Andita tersenyum. Ia bertambah yakin akan apa yang
ia perkirakan. "Jika demikian halnya mereka akan segera ditahan
oleh Yang Mulia Tumenggung Singamaya yang perkasa
itu." "Baiklah. Kita istirahat?"
"Ya. Di gerumbul hutan depan itu."
Mereka berpacu terus. Sampai di hutan yang ditunjuk
Andita. Sesaat kemudian Sirna melihat laskar Lumajang
yang mengawalnya itu berlompatan dari punggung kuda.
Turun. Dengan cepat kudanya juga diurus oleh seorang
prajurit, ditempatkan di daerah yang berumput.
Sedang Sirna dan Andita mengambil tempat duduk di
bawah pohon rindang. Berhadap-hadapan. Kebetulan
tidak ditumbuhi oleh rumput. Mungkin karena tanahnya
tak pernah dijamah sinar mentari, atau mungkin hal
lainnya. Sebagai kursinya akar besar yang muncul di
atas tanah dan menjalar seperti ranting-rantingnya.
Sedang sebagian dari para prajurit langsung menyiapkan
makanan. Ada juga yang meminumi kuda.
"Kenapa Paman tidak makan?" tanya Sirna.
"Belum lapar." Sirna diam lagi. Andita lebih banyak termangu-mangu.
Tidak seorang pun tahu apa yang sedang ia pikirkan.
Andita lebih banyak terbenam dalam rencananya sendiri.
Pergumulan sedang terjadi dalam dadanya. Berapa lama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ia bisa menyimpan rahasia kematian Danureja terhadap
Sirna. Toh sepanjang-panjang jalan raya masih panjang
lidah manusia" "Paman letih?" tanya Sirna mengejutkannya lagi.
"Ya... Ya... mereka juga," gugup, sambil menunjuk
orang lain. Laskarnya. Bukan. Ia tidak sedang letih. Tapi
sedang bertimbang. Mereka diam lagi.
Dan beberapa saat Sirna membuka pertanyaan lagi.
Lebih mengganggu. "Kita akan ke barat terus?"
"Ya. Kita sudah tidak akan menuju ke utara lagi."
"Tapi kita akan mendaki gunung itu?" Sirna menunjuk
ke arah gunung Raung. "Siapa tahu musuh sembunyi di sana?" Andita
menjawab cepat. "Apa nama gunung itu?"
"Gunung Raung."
"Yang sana itu?" Sirna menunjuk ke arah lain di dekat Gunung Raung.
"Oh... itu... Gunung Merapi."
"Apakah semuanya termasuk wilayah Blambangan?"
"Ya. Blambangan."
"Berbahagianya daku bisa melihat bumi semenanjung
yang elok ini. Lalu mengapa kita terlalu lama tinggal di
istana" Yang aku lihat di istana cuma batu
perbentengan, bunga, dan wanita."
"Tapi semua kehidupan di Blambangan diatur di dan


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari istana. Lateng. Bukan dari gunung-gunung. Nanti
Pangeran akan tahu pentingnya istana."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Angin bertiup-tiup tiada. Menyegarkan mereka yang
berteduh. Mentari sudah tegak di atas kepala. Beberapa
kisaran lagi akan condong ke barat. Lama kemudian Mas
Sirna terlena. Letih berkuda. Letih bicara. Letih berpikir.
Andita tersenyum melihat itu. Ia juga merebahkan diri.
cuma sekadarnya, karena ia lebih banyak menggunakan
waktu untuk menata rencananya. Beberapa bentar
kemudian rencananya telah matang. Ia gembira. Sampai
mentari telah benar-benar condong ke barat. Sirna
membangunkannya, yang II cuma pura-pura tidur.
"Hari sudah sore, Paman."
"Oh... ya?" "Kita lanjutkan perjalanan?"
"Ya... ya..." Kemudian Andita memberi aba-aba pada
anak buahnya, yang sebenarnya sudah siap sejak tadi.
Mereka berlompatan ke atas punggung kuda dengan
sigapnya. Bergerak ke barat. Belukar makin lebat.
Mengurangi kecepatan kuda mereka. Tidak jarang
mereka harus melompati kali-kali kecil. Atau juga
menuruni jurang dan naik tebing. Sungguh kuda mereka
telah terlatih dengan baik sekali.
"Tidak ingin pulang?" pancing Andita tiba-tiba.
"Blambangan belum menang."
"Benarkah tekad itu?"
"Setiap putra raja adalah satria."
"Tapi tidak semua dapat melaksanakan
kekesatriaannya." "Maksud Paman tidak semua mematuhi ajaran-ajaran
leluhur?" "Betul." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku belum pernah menerima ajaran-ajaran itu. Dan Wena masih terlalu sayang pada Kanda Mas Nuwong."
Andita mengangguk-angguk. Namun ia percaya tiga empat tahun kemudian anak ini akan melebihi kakaknya.
"Karena Kakanda adalah Pangeran Pati."
"Apakah pengetahuan cuma milik Pangeran Pati"
Bukankah aku juga seorang pangeran?"
"Tiga tahun kemudian Pangeran baru akan
mendapatkannya. Itu pun tidak akan sama dengan yang didapat Pangeran Pati."
"Betapa tidak adilnya?"
"Itulah kehidupan. Tapi Pangeran tidak perlu khawatir.
Pengetahuan tidak hanya didapat dari Yang Tersuci.
Tidak!" "Maksud Paman aku dapat belajar dari brahmana lain?"
"Betul. Masih banyak brahmana yang lebih pandai dari Yang Tersuci Wena. Cuma mereka tidak tinggal di istana Blambangan. Tidak juga di istana para adipati. Tidak..."
"Hemm, aku ingin mendapatkannya," Sirna memotong cepat.
"Untuk itu Pangeran harus berpisah dengan Rama dan Bunda. Dengan kakak dan adik. Juga dengan segala yang ramai di Blambangan. Lebih dari itu harus rela tinggal di luar istana sampai ilmu itu Angger dapatkan."
"Apa beratnya berpisah dengan semua-mua itu?"
"Benar?" "Belum percaya" Bukankah itu sementara?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Syukurlah! Semoga Hyang Maha Dewa akan segera
mempertemukan Pangeran dengan seorang brahmana."
"Pertemukan aku! Akan kuisap semua ilmunya."
Warna merah bercampur kuning semburat di ufuk
barat. Sinar mentari meremang. Sebentar lagi tenggelam
di balik Gunung Raung yang tinggi besar dan kokoh. Dan
bayang-bayang pun akan lenyap. Namun mereka masih
saja memacu kuda. Kini mereka menemukan jalan
setapak di tengah belantara. Kuda Andita maju
mendahului kuda Sirna. Berendeng dalam jarak rapat.
"Kita tidak bisa bergerak malam, Pangeran."
"Kenapa" Kuda-kuda lelah?"
"Kita harus menghemat tenaga prajurit kita yang cuma
seratus orang ini." "Perintahkan mereka berhenti."
"Tidak. Sekarang Pangeran yang memimpin kami."
"Tak seorang kan mendengar daku."
"Bukankah Pangeran putra raja?"
"Di mana kita berhenti" Di sini tak ada
perkampungan." "Prajurit bisa bergerak dalam segala keadaan. Juga
harus bisa istirahat di segala tempat. Dan harus bisa
makan segala yang bisa dimakan."
"Begitu?" "Ya." "Aku juga mau jadi prajurit." Maka kemudian ia
meneriakkan aba-aba. Semua menjadi agak geli. Namun
ditahan oleh sorot mata Andita. Semua berhenti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebelum mentari benar-benar tiada mereka
mengambil kesempatan mandi dan mempersiapkan api
unggun. Bersama Andita Sirna juga mencari air bersih.
Bukan cuma untuk mandi. Tentu juga mengisi bumbung
persediaan air minum mereka.
"Apa tidak berbahaya kita menyulut api unggun?"
"Ya. Tapi kita perlu mengatasi udara dingin dan
nyamuk hutan ini. Dan siapa tahu di sini banyak ular
besar?" Sirna diam. Kemudian ia mulai belajar makan bersama
laskarnya. Tidur juga bersama. Mengitari api unggun.
Lelap oleh kepekatan malam. Sampai-sampai gigitan
nyamuk tak terasa lagi. Kabut telah terusir mentari. Kuda-kuda telah segar
kembali. Mereka lari kencang sesuai kehendak
penumpangnya. Kini mereka telah -sampai di kaki
Gunung Raung. Dan terus mendaki. Mendaki lerengnya.
Berbelok-belok, mencari kemudahan. Kuda terengah-
engah. Kembali menerobos semak. Kadang menelusuri
jurang padas. "Kenapa kita kemari?" Sirna agak mengeluh.
"Kita mencari musuh ke mana saja."
"Perjalanan makin sulit, Paman."
"Setiap prajurit harus membiasakan diri mengatasi
kesulitan. Juga setiap satria!"
0oo0 Sementara itu di Raung, Baswi dan kawan-kawannya
sedang sibuk membangun rumah-rumah baru. Memang
ada beberapa orang yang terpaksa istirahat karena
belum terbiasa dengan udara dingin. Namun sebagian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
besar dari mereka malah giat bekerja untuk mengatasi
kedinginan. Juga Sedah Lati dan teman-teman
wanitanya. Bekerja sambil bercanda. Untuk melupakan
kenangan lama. Sardola gembira melihat semua itu.
"Tumpak, kulihat pandanganmu tak pernah lepas dari
pinggul Yistyani," Baswi menggoda pemuda di
sampingnya. "Ah... Tuan, ada-ada saja." Tumpak tersipu.
"Ya. Aku juga senang bila kau sedang mendekati dan
bercakap dengannya." '
"Jadi... Tuan memperhatikan?" Tumpak tambah malu.
"Ya. Tapi sayang kau terlalu sering menunduk
menerima pandang matanya."
"Yah... baru kali ini berhadapan dengan orang cantik."
"Hati-hati kau, Tumpak. Bukan untuk wanita cantik kau
datang kemari. Aku tidak melarang. Tapi hati-hatilah!"
"Ya, Tuan, terima kasih. Ini dia datang. Tuan Sardola."
Baswi menoleh kemudian membalas senyuman
mereka yang masih berjalan mendaki.
"Semua pesanggrahan hampir selesai didirikan,"
Baswi memberi tahu. "Ladang jagung pun sudah dibuka," Sardola juga
melapor. "Yistyani dan Sedah baru saja menengok
ladang." Kini pohon cemara di sekitar mereka berjuntai-juntai
ditiup angin. Awan-awan putih di kejauhan tampaknya
berjalan di bawah mereka. Sedah dan Yistyani nampak
sangat gembira menikmati ciptaan Hyang Maha Dewa
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tuan memilih tempat yang luar biasa bagus," Yistyani memuji. "Di samping itu prajurit Tuan juga rajin-rajin."
"Kami menyadari, bahwa kami tak mungkin hidup tanpa kawula. Kehadiran kami disambut dengan baik oleh Resi Wuni Pati dan kawula di sini. Karenanya kami harus memberikan imbalan. Dan inilah salah satu darma kami, bekerja bersama mereka. Bukan menjadi beban mereka," Baswi menerangkan sambil mengajak mereka berjalan naik untuk kembali ke pesanggrahannya. "Ya.
Kami merasa juga. Resi Wuni Pati berbeda dengan kebanyakan brahmana."
Pesanggrahan Baswi tak ubahnya sebuah gubuk besar. Atapnya juga ilalang. Cuma yang istimewa, ukuran gubuk ini dua kali lipat lebih besar. Dindingnya terbuat dari papan pohon cemara. Demikian juga langit-langitnya. Ini membuat hangatnya hawa di rumah itu.
Lumayan dibanding dengan dinding bambu. Lima kali sepuluh depa. Bukan ringan meratakan tanah pegunungan seluas itu. Lebih banyak tanah miring dari yang rata.
"Tumpak, sekarang kau harus menerangkan pada mereka apa yang kita ikrarkan sebagai prasetya kita,"
kata Baswi pada Tumpak, setelah mereka memasuki pesanggrahan Baswi. Semua orang menoleh padanya.
"Ah, Tuan... sebaiknya..." Tumpak agak gugup diberi kesempatan yang mendadak seperti itu, "prasetya kita itu dibicarakan ulang. Supaya kawan-kawan yang baru ini bisa memberikan pendapatnya."
"Anda betul...," Yistyani menyokong. Memberi kesegaran bagi jiwa Tumpak.
"Kenapa begitu?" Sardola bertanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Supaya kita tidak hanya menjadi pendengar," Yistyani menjawab segera.
Belum sempat yang lain mengeluarkan pendapat, tiba-
tiba mereka dikejutkan oleh masuknya pangantilan,
pengintai yang ditugaskan oleh Sardola. Gopah-gopoh.
"Pangantilan?" "Sekelompok pasukan berkuda, bersenjata lengkap,
datang kemari." "Apa kauhilang?" Sardola tersentak.
"Tenanglah, Sardola!" Baswi memperingatkan.
"Sekelompok pasukan..." pangantilan terengah-engah.
"Orang Blambangan menyusul kemari."
"Mereka akan kita biarkan masuk. Dengan begitu
mereka tidak akan bisa menembak," Baswi
menerangkan. "Mengapa kau memakai siasat setolol itu?" Sardola
heran. "Banyakkah jumlah mereka?" tanyanya kemudian
pada pangantilan. "Belum kelihatan jumlahnya. Tapi kami perkirakan
cukup banyak." "Tumpak!" Baswi memerintah. "Naiklah ke menara
pengawas. Lihat siapa mereka!"
Tumpak melaksanakan tugas. Kemudian dengan
tenang Baswi memerintahkan pangantilan bersiap-siap.
"Ingat! Jangan menembak atau memanah sebelum
ada perintah!" kata Baswi lagi.
Yistyani dan Sedah Lati belum pernah mengerti jajar
perang. Mereka hanya menunggu kebijaksanaan Baswi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sardola, jangan gegabah. Pergilah menghadap Resi.
Biar aku menghadapi mereka." Baswi berusaha
menjauhkan temannya itu. "Ingat meriam kita hanya
untuk menghancurkan musuh. Bukan orang-orang yang
belum jelas. Nah, pergilah, Sardola!"
Tumpak datang melapor. "Tak ada meriam mereka bawa. Tak jelas apakah
mereka orang Lateng atau Wijenan atau mungkin
Panarukan." "Siapkan laskar kita."
"Beri aku senjata," Yistyani meminta.
"Ikut Tumpak. Ingat-ingat pesanku! Nah, berangkat!"
Baswi berusaha agar semua orang terbebas dari
ketegangan. Namun mendadak perkampungan baru itu
menjadi amat sunyi. Semua orang menyusup belukar.
Bergerak rapi. Mengawasi musuh yang baru datang.
Sementara itu pasukan berkuda semakin mendekat.
Semula Andita tak curiga sama sekali pada
perkampungan baru di depannya.
"Paman, ada perkampungan. Baru pula rupa-nya."
ujar Sirna. "Ya." "Naik terus?" "Ya. Naik terus."
"Ini jalan baru. Lihat! Apa tidak perlu siap?"
"Betul. Kita harus selalu siap. Prajurit harus siap
segala waktu. Harus waspada."
Sirna memerintahkan pengawalnya untuk siap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan mereka berhenti sebelum masuk perkampungan.
"Ingat-ingat pesan ini!" Andita berkata keras. Suaranya menggema di lereng-lereng perbukitan. Dan didengar
oleh mereka yang sedang bersembunyi dalam belukar.
"Jangan sehelai rambut pun milik kawula dirampas!
Berbuatlah baik pada kawula. Di mana dan kapan saja!!"
Sirna mengangguk-angguk tanda setuju. Kemudian
pasukannya ia perintahkan bergerak kembali tanpa jajar
perang. Tapi nampak jelas mereka sedang
merenggangkan jarak dalam maju mereka. Kian maju
kian renggang. Sehingga dengan demikian sewaktu-
waktu mereka akan bisa bergerak dengan jajar perang
Garuda Nglayang (menyusun gelar seperti burung yang
terbang. Ada yang menempati sayap, paruh, cakar,
namun mereka harus bergerak lincah, untuk dapat
mengobrak abrik musuh dari segala arah)
Menurut Baswi, betapa gagah-gagahnya mereka itu.
Terutama pemimpin mereka, Sirna dan Andita. Sirna
sangat menjadi perhatian mereka. Dengan gelang,
pending, bara-bara, dan binggal yang semua berkilau
tertimpa sinar mentari. Menandakan semua itu terbuat
dari emas. "Itu Tuan Andita!" desis Yistyani tertahan. "Perwira handal Lumajang."
Baswi terkejut, begitu juga Tumpak.
"Anda mengenalnya?"
"Seluruh kawula Lumajang mengenalnya."
"Mereka tak memperlihatkan permusuhan. Bahkan
perintah Tuan Andita, sangat mengesankan sekali."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi jangan kehilangan kewaspadaan," Sedah Lati
memperingatkan. "Ya. Lihat, Pangeran Mas Sirna di antara mereka,"
Tumpak menambahkan. Laskar Andita menjadi curiga demi memasuki
perkampungan yang amat lengang. Tiada seorang pun
yang nampak. Firasat Andita membuat dahinya berkerut.
"Kita berhenti!" Mas Sirna memerintah atas
permintaan Andita. "Kita dalam kepungan," sambungnya.
Begitu kata-kata itu selesai, kecuali Sirna dan Andita,
semua turun dari kudanya. Bersiap sebegitu rupa untuk


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan gerakan kilat jajar Garuda Nglayang tanpa
kuda. Lagi, semua orang dalam belukar itu mengagumi
Andita dan Mas Sirna. Dan dengan tanpa menunggu
lama kini Andita berteriak, "Aku Andita! Datang untuk
menghadap Resi Wuni Pati. Kami tak berniat bertempur
dengan siapa pun." Seperti terhenti darah Baswi mendengar itu. Tapi ia
belum menjawab. Sibuk membunuh semut merah yang
merubung kakinya. Banyak anak buahnya juga yang
dengan sangat terpaksa menahan diri dari gigitan semut
merah yang pedas itu untuk menjaga agar tidak
menimbulkan gerakan yang bisa membuat laskar Andita
memuntahkan peluru. Diam tapi meringis. Mengumpat
pun cuma dalam hati. Sampai suara Andita kembali
bergema, "Hai, segala orang yang di balik semak!
Kenapa semua laras bedil, panah, dan tombak tertuju ke
dada kami?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baswi dan Tumpak saling pandang. Juga Sedah dan
Yistyani. Namun Baswi segera memutuskan. Menjawab,
"Karena kalian terkepung, maka tidak dapat merampok."
"Tutup mulutmu!!" teriak Sirna nyaring. "Kalian kira kami tidak bisa lolos" Coba tembak!"
Kini sesaat suasana bisu lagi.
"Tak ada perampok menyasar gunung!" Andita
menambahkan lagi. "Jangan menduga yang bukan-
bukan! Kami pun siap bila kalian memaksa!"
Baswi muncul dari balik belukar. Diikuti Tumpak,
Sedah, dan Yistyani. Keempatnya lega. Terbebas aniaya
dalam semak. Tinggal yang lain. Andita masih waspada.
Walau senjata Baswi tidak diarahkan ke dadanya.
Berempat jalan lambat-lambat.
Sebab otak mereka juga masih berpikir. Sirna dan
Andita juga. Tanpa janji sorot mereka tajam mengawasi
keempatnya. "Selamat datang, Pangeran, selamat Yang Mulia."
Kini Andita mengernyitkan dahi. Baswi memberikan
salam penyambutan dengan tanpa menyembah terlebih
dahulu. Tidak pada Sirna. Juga tidak padanya. Bukan
kebiasaan kawula Raung. Maka ia semakin waspada.
"Aku belum mengenal Anda," suara Andita dingin.
"Tentu... karena memang kami bukan orang ternama,"
Baswi menjawab sambil tersenyum.
"Hemh..." Andita mendengus.
"Blambangan atau pemberontak?" Sirna kehilangan
sabar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Blambangan! Kami adalah kawula Blambangan,"
Baswi menjawab cepat. "Kenapa kami dikepung?" Andita meneruskan.
"Oh... bukan maksud kami mengepung. Tapi kedatangan Pangeran amat mengejutkan kami.
Maafkan." "Untuk apa kita kemari, Paman?" Kini Sirna memandang Andita. "Di sini tak ada laskar Gajah Binarong."
"Hamba hendak menghadap Resi Wuni Pati," Andita berusaha memecahkan kesulitan. "Bersabarlah!
Kemenangan tak bisa didapat hanya dengan jalan kekerasan saja. Tapi juga dengan akal dan kesabaran."
Sirna semakin tidak mengerti. Untuk kesekian kalinya ia mendengar perkataan yang asing untuk bisa ia terima.
Juga bagi Baswi dan teman-temannya. Betapa sabar dan ramah kata-kata yang keluar dari bibir Andita. Namun betapa keras pandangan mata perwira muda andalan Lumajang itu.
"Baiklah, aku akan dengar setiap kata-katamu."
"Nah..." Kini Andita menajamkan matanya pada Baswi.
"Kami tidak berkepentingan dengan kalian. Biarlah kami naik," katanya.
"Silakan! Tapi sebaiknya dengan tanpa pasukan."
"Apa kata kalian?" Andita terbelalak. "Kalian tahan kami" Laskar Lumajang yang saat ini mewakili Blambangan" Kalian tak lihat Pangeran" "
"Maafkan. Bukankah maksud Yang Mulia hanya akan menghadap Resi" Bukan untuk menangkapnya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah," Andita mulai membara, "katakan pada Resi, aku, Andita, bersama Pangeran Mas Sirna telah datang.
Suruh ia menghadap!"
Baswi membeliakkan matanya. Kemudian
mengerutkan dahi. Orang ini belum melihat kenyataan
bahwa yang mereka hadapi adalah laskar pelarian. Yang
telah melepaskan diri dari induk pasukan di Blambangan.
Sementara itu laskar kedua belah pihak sudah tak sabar
lagi. Tangan mereka mulai mengeluarkan keringat dingin.
Apalagi yang di balik semak, bersama semut dan
nyamuk. "Resi adalah sesembahan kami," Baswi bertahan.
"Apa?" Sirna dan Andita berteriak berbareng. "Kalian tak menyembah junjungan Blambangan?" Sirna
meneruskan sambil mendepak perut kudanya dengan
tumit, sehingga kuda itu melangkah maju. Semua
menjadi terkejut. Karena itu mengakibatkan juga laskar
Lumajang berlompatan ke samping kiri dan kanan
masing-masing mencari tempat berlindung. Begitu
cepatnya gerakan itu sehingga menutup ruang tembak
laskar Baswi. "Sabar... Pangeran," Andita mendinginkan.
"Aku Pangeran Blambangan. Kalian tak dengar daku?"
Sirna tak menghiraukan dalam marahnya. Dan seperti
kilat saja gerakan Sirna, tiba-tiba senapan yang
menempel di sebelah kanan sanggurdi sudah berpindah
ke tangannya. Dan kini terarah ke dada Baswi.
"Oh... jangan marah, Pangeran," Baswi berkata.
"Saudara Baswi, jangan bersitegang!" Yistyani maju.
Semua orang memandangnya kecuali Sirna yang tak
mau melepas sasarannya. Baswi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adakah jalan lain?" tanya Baswi.
"Kita harus tanyakan pada Resi. Apakah Pangeran
kita sambut di sini. Ataukah beliau yang datang
menghadap?" "Tumpak!" Baswi berseru sambil masih memandang
Pangeran. Ia tak mau Pangeran menjadi curiga dan
menarik pelatuknya. "Naiklah menghadap Resi."
Baik Andita maupun Baswi menarik napas panjang.
Keduanya tahu persis tak akan dapat memaksakan
kehendak masing-masing. Mereka harus melihat
kenyataan itu. Ia toleh anak buahnya yang siaga. Siap
untuk menang atau mati. "Jangan marah, Pangeran," kini Yistyani berkata
lembut. "Paman!" Sirna tak menghiraukan. "Kenapa tak kita tangkap mereka?"
"Dari balik gerumbul, telah terarah laras senapan ke
dada kita." "Drubiksa! Aku akan menarik pelatukku begitu ada
letusan terdengar. Kita akan tumbang berbareng!"
"Jangan tergesa, Pangeran." Yistyani berusaha lagi.
Semakin maju. "Berhenti kau!" Andita yang memerintah. "Siapa ini?"
"Hamba Yistyani." Yistyani menghentikan langkah. Ia
tahu, Pangeran dan Andita tidak main-main.
"Yistyani?" ulang Andita.
"Ya... Ratna Ayu Yistyani."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau bukan orang sini..." Andita berkata lirih, seperti pada diri sendiri. Namun siang itu terlalu lengang. Selirih
apa pun suara Andita sampai juga ke telinga Yistyani.
"Yang Mulia benar. Hamba kawula Lumajang."
"Dewa Bathara! Kenapa sampai kemari?"
Sebelum Yistyani menjawab, seorang berjubah
kuning, berambut panjang tanpa destar tiba di tempat itu
dalam kawalan Sardola dan Tumpak. Matanya nampak
jernih. Mengesankan kejernihan kepalanya. Tidak begitu
tinggi, dan juga tidak begitu gemuk. Hidungnya mancung,
kumis dan jenggotnya tidak pernah dipotong. Angin
pegunungan membuat rambut dan jubahnya berjuntai
seperti cemara di tepian jalanan yang ia lalui.
"Hyang Bathara Widi Wasa, Jagat Pramudita. Anakku,
Andita." "Sembah untuk Ramanda Resi." Ucapan pembukaan
Andita mengejutkan hatinya. Bahkan menghentikan
langkahnya. Tidak biasa Andita berbuat seperti itu.
Andita tetap tidak turun dari kudanya. Sedang kini
laskarnya tersusun rapi dalam gelar peperangan.
"Karena tanda-tanda pangkatkah maka kau tak suka
menginjakkan kakimu di atas bumi kelahiranmu" Atau
karena begitu lama kau tinggal di istana?" tanya Resi
Wuni Pati dengan penuh kesabaran.
"Karena Raung telah berubah." Suara Andita tetap
datar. Sirna kini memperhatikan dengan penuh
keheranan. Andita anak Resi Wuni Pati" Maka dia bicara
seperti brahmana. Tanpa sadar ia menyimpan kembali
bedilnya yang berlaras panjang itu ke tempat semula.
Sedang yang lain pun terpana pada pembicaraan kedua
brahmana itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Zaman juga berubah, Anakku. Tidakkah kau ingin
menerimanya?" "Ayahanda telah menjadi sesembahan. Adakah Raung
telah terpisah dari Blambangan?"
Resi Wuni Pati melepas napas satu-satu sambil
tersenyum. Tenang sekali. "Jagat Dewa, ya jagat
Pramudita!" Orang tua itu menyebut. "Aku tak pernah
menghendakinya." "Tapi Ayahanda dalam kawalan, Apakah ini kawalan
dalam arti lain?" Andita tetap menindas.
"Tentunya mereka melakukan bukan dalam arti lain.
Untuk jelasnya, aku terangkan padamu, dia Baswi... kau
dengar" Baswi perwira muda Blambangan yang..."
katanya sambil menuding Baswi. Dan itu membuat
Andita tertegun sesaat. Resi berhenti menerangkan
untuk memperhatikan wajah anaknya. Sedang Mas Sirna
tak kurang-kurang terkejutnya. Baswi yang sering
disebut-sebut dalam persidangan istana.
"Dan yang di belakangku ini, Sardola. Sardola! Perwira
muda yang gagah berani pula," lanjut Resi. "Mereka
membutuhkan pengayoman. Di sini mereka merasa
tentram dan damai." "Ayahanda bermaksud mensejajari Sri Prabu?"
"Tidak. Tapi Blambangan dalam kemelut sekarang ini.
Apalagi Sri Prabu telah gugur tiga hari lalu. Tidak dengar
kau" Ya... belum dengar?"
"Apa kau bilang?" Sirna memekik. "Ramanda gugur?"
Andita mendadak pucat dalam bingungnya. Namun
Resi tak mengerti apa yang ada dalam kepala anaknya.
Maka, "Ya...." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cepat sekali Sirna menarik tali lesnya. Sehingga kaki
depan kudanya terangkat tinggi dalam kejutnya. Berputar
untuk kemudian lari. "Pangeran!" panggil Andita.
"Demi Hyang Maha Dewa! Blambangan atau mati!"
Kuda Sirna tidak berhenti.
Dengan ketangkasan luar biasa, Andita melompat dari
punggung kudanya, menubruk Sirna. Dan keduanya
terjatuh dari punggung kuda, untuk kemudian bergulung-
gulung di tanah. Bersamaan dengan itu terdengar jerit
tertahan dua wanita yang sejak tadi mematung.
"Sabar... sabar... hendak ke mana?" Napas Andita
memburu. "Membela kejayaan Blambangan."
"Perang tak mungkin dimenangkan oleh Pangeran
seorang. Orang Blambangan belum bersatu."
Sirna meronta. Napasnya berkejaran. Resi Wuni Pati
mendekat. Dengan kasihnya ia membersihkan debu yang
menempel di tubuh Sirna, yang masih dipeluk erat-erat
oleh Andita. Yang lain pun mendekat. Sirna dalam
kerumunan. "Paman akan membiarkan Blambangan dalam
genggaman musuh?" "Tidak!" Resi Wuni Pati yang menjawab. "Tak seorang pun rela menyerahkan tanah airnya ke tangan drubiksa.
Tapi bila seorang menuruti kata hatinya sendiri, maka ia
akan menyerahkan diri pada kematian. Kematian yang
sia-sia." "Dubriksa!" Sirna mengumpat. "Aku tidak takut mati.
Tidak! Aku tidak takut mati! Lepaskan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Keberanian yang tidak disertai akal budi adalah kesia-
siaan," Resi masih berusaha.
"Pangeran..." Andita sudah menata napasnya, "Kita akan sanggup menghancurkan musuh-musuh
Blambangan. Tapi bukan sekarang."
"Kapan" Kapan?" sahut Sirna keras. "Bila
Blambangan sudah menemukan putranya yang terbaik."
"Demi Hyang Maha Dewa aku bersumpah!"
"Tapi Blambangan sekarang belum siap. Blambangan
masih tertidur. Dan ini adalah kesempatan sebaik-
baiknya bagi putra Blambangan itu untuk belajar. Sedang
Dang Hyang Wena bukanlah guru yang baik. Ingat, untuk
menjadi putra terbaik tak cukup bermodalkan keberanian
semata. Tapi memerlukan pengetahuan dan
kebijaksanaan. Blambangan tidak kalah. Apa yang
dirisaukan?" Sirna sudah tak meronta lagi. Lambat laun pikirannya
jadi tenang. "Baiklah... lepaskan aku."
"Menyenangkan sekali..." Andita gembira. Sambil
memeluk makin erat ia berbisik, . "Pangeran akan
menjadi orang paling bijak."
Sirna tidak berkata-kata buat sesaat. Tiba-tiba air
mata meleleh dari kedua kelopak matanya.
"Ramanda... Ah... bagaimana dengan Ibunda?"
"Segalanya sudah diatur oleh Hyang Tersuci dan
Pamanda Bagus Tuwi."
Diam lagi. Namun tangisnya belum reda waktu mereka
berjalan ke pondok Resi Wuni Pati. Menggugah
keharuan di hati Sedah dan Yistyani.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Seorang satria tak pernah menyesali suatu kematian.
Apalagi menangisinya," Andita menasihatinya lagi.
"Aku bukan lagi satri..."
"Pangeran tetap putra raja Blambangan."
"Apalagikah bedanya aku dengan sudra" Aku juga
menangis seperti mereka yang ditinggal mati bapa-
ibunya. Aku tak dapat membela Ramanda anumerta. Tak


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi mampu membela semuanya____" Sirna sangat
sedih. "Tiada beda aku dengan anak luar istana, Paman."
Sampai di sebuah pondok besar tak seorang pun yang
berkata-kata kecuali Andita dan Sirna. Beberapa jenak
Sirna sempat memperhatikan bangunan itu. Atapnya
terbuat dari ijuk, bukan sirap seperti istananya. Lantainya
tanah pegunungan yang hampir seperti padas.
Dindingnya dari belahan kayu cemara. Pondok ini
memiliki pendapa yang cukup lebar untuk ukuran rumah-
rumah pegunungan. "Sementara kita akan beristirahat dan menenangkan
pikiran di sini." "Terserah." "Jangan putus asa____" Resi Wuni Pati kini berusaha
lagi. "Untuk memulihkan wibawa Blambangan diperlukan
waktu, karya, dan darma. Tentu saja juga Hyang Maha
Dewa." "Betul itu" Bisa Hyang Maha Dewa mengabulkan?"
"Selama ada karya di sana ada anugerah."
"Sebaiknya kita istirahat dulu," Andita memotong
pembicaraan ayahnya, setelah ia selesai memberi tahu
laskarnya di luar. pendapa. "Perjalanan yang jauh ini
meletihkan raga dan akal kita."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baswi kemudian mengatur tempat peristirahatan bagi
laskar Andita. Sedang untuk Sirna disediakan bilik terbaik
di seluruh Raung. Bila hari telah malam maka dalam
ruangan itu diberi penerangan lampu minyak kelapa.
Betapa jauhnya bila dibanding dengan istana. Namun
kini Sirna mulai belajar menyadari keadaan. Ia dengan
sadar melepas semua perhiasannya. Termasuk pending
emas tanda kepangeranannya. Firasat mengatakan
bahwa ia harus menyimpannya selama tinggal di Raung.
Ia mengerti betul, kenyataan terlalu pahit untuk
dikunyahnya. Namun ia berusaha menyimak apa yang
dikatakan Resi Wuni Pati tadi. Juga dari Andita.
Tatkala bangun pagi, Andita segera menengok
Pangeran. Ternyata Pangeran tidak tidur. Memang tidak
mampu tidur semalam-malaman. Ia sedang duduk
bersemadi. Andita geleng kepala. Sejak kecil Sirna sudah
terlatih semadi semacam itu. Ibunya yang melatih. Bila
sedang sedih ia selalu pasrahkan dirinya pada Hyang
Durga. Dan mohon syaktinya untuk dapat keluar dari
kesulitan yang sedang ia hadapi.
Itu membuat Resi tertarik padanya. Terlebih Resi
melihat kecerdasannya. Waktu Sirna bangun dari
semadinya, Resi segera menyambutnya.
"Mari, semua orang menunggu Pangeran " katanya
sambil memandangi Sirna yang menyelipkan keris ke
pinggangnya. "Kabut masih mengurung padepokan, Bapa Resi."
"Cuaca pegunungan memang begini."
"Mana Paman Andita?"
"Sudah menunggu di pendapa. Karena kita akan
membicarakan sesuatu yang penting," Resi menjawab
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sambil memandangi Sirna. Yang memang sudah
kelihatan agak berbeda dengan waktu datang kemarin.
Kemudian mereka berjalan sebelah-menyebelah.
"Apa artinya daku mengikuti pembicaraan itu?"
"Setiap langkah yang dipikirkan lebih dahulu, pasti ada
gunanya." Semua yang sudah duduk di pendapa juga heran kala
Sirna masuk ruangan itu tanpa destar. Rambutnya yang
ikal terurai sampai ke pundak, agak kemerahan. Terlebih
lagi Sirna juga tidak mengenakan perhiasan sama sekali.
Kini Sirna membalas memandangi mereka.
Andita duduk berderet dengan Baswi dan Sardola. Di
belakangnya Tumpak, pangantilan, dan beberapa
pemimpin laskar pelarian. Semua berpakaian sederhana.
Sedang laskar Lumajang masih berpakaian lengkap
seperti kemarin. Dan di deretan lain adalah Ni Ayu Sitra,
Sedah Lati, Yistyani, Ni Ayu Jenean, berjajar di sebelah
kiri tempat duduk yang disediakan untuk Sirna. Dan
sebelah kanan Sirna duduk Resi Wuni Pati. Semua
memberi .penghormatan waktu mereka sudah akan
duduk. Sederhana sekali. Tidak seperti di istana
Blambangan. "Bersabdalah, Pangeran," ujar Resi pada Sirna waktu
sudah duduk. Sirna terheran-heran. Ia pandang tajam-
tajam Resi itu. "Apa-apaan ini" Apa yang harus
kukatakan pada mereka?"
"Raung untuk Pangeran."
"Dewa Bathara! Aku harus tinggal di Raung" Tidak di
Blambangan?" Sirna terkejut bukan main.
Resi Wuni Pati tidak bisa menjawab. Ia menoleh
Andita. Lalu katanya, "Bersembahlah, Anakku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita akan kembali ke Blambangan bila Pangeran
sudah matang." "Hai, kenapa begitu?"
"Pangeran harus membekali diri. Di sini itu bisa
Pangeran dapatkan. Bahkan hamba percaya akan lebih
banyak dari yang didapat Pangeran Mas Nuwong."
Andita tahu Sirna amat tertarik pada ilmu pengetahuan.
"Pengetahuan bukan hanya didapat di istana. Dan yang
pandai, sekali lagi, yang pandai bukan cuma pandita
istana. Justru dari luar istana Pangeran dapat mengamati
semua dan segala. Sebab belajar itu termasuk
pengamatan pada tiap segi kehidupan."
"Baik, aku percaya sekarang. Kau memang berlidah
brahmana. Katakan apa yang harus kukerjakan."
"Jadilah pemuka di Raung!"
"Itu kehendak kalian bersama?"
Untuk kesekian kalinya, semua tertegun. Pertanyaan
yang ditujukan pada setiap orang. Mereka saling
pandang. Terutama Baswi dan Andita. Keduanya
mempunyai alasan tidak sama mengangkat Sirna. Yang
satu untuk payung bagi pasukannya. Sedang Andita
memang berkeinginan supaya Blambangan bisa
diperintah oleh seorang yang mempunyai sikap
kebrahmanaan. Namun tiba-tiba Resi minta pada Baswi
untuk bersembah. "Kami akan menyerahkan jiwa raga buat Pangeran
dan Blambangan." "Kau, Sardola?" Resi menggilir.
"Segala kemampuan buat Blambangan. Dan
Pangeran Mas Sirna adalah junjungan kami."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau, Yistyani?" Sirna mengikuti gilir demi gilir yang ditunjuk Resi itu dengan pandangan, mata,
"Seluruh jiwa raga buat Pangeran."
"Paman Andita!" Suara Sirna menghentikan semua-
mua. "Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat.
Berbincanglah dengan mereka."
Andita mengerutkan dahi. Sejenak ia pandang Sirna.
Dua jenak kemudian ayahnya. Minta pertimbangan tanpa
kata. Resi mengangguk kecil disertai kerjapan mata
sebagai isyarat persetujuan. Kemudian ia berdiri, dan
menghadap semua hadirin. "Para Saudara..." Andita menyapukan pandang pada
yang hadir. "Pertama aku ingin memberikan perintah
pada laskar Lumajang yang bertugas mengawal
Pangeran, agar semua melepas pakaian keprajuritan,
untuk sementara. Artinya kita dalam penyamaran. Sama
seperti yang telah dikerjakan Pangeran Sirna, begitu pula
kalian harus berbuat. Di sini aku minta prajurit juga
kawula, demikian pun sebaliknya kawula bisa menjadi
prajurit." Semua laskar Lumajang saling pandang. Berunding
dengan tanpa kata. Namun mereka adalah prajurit yang
tidak bisa berbuat lebih kecuali berhamba-hamba.
Apalagi setelah mendengar perintah lanjutan dari Andita,
"Semua laskar Lumajang supaya segera kembali ke
tempat yang telah ditentukan. Laksanakan segera
perintahku. Semua!! Sambil menunggu perintah lanjutan
kalian diperkenankan istirahat."
Satu-satu mereka berdiri dan pergi. Mereka mengerti
benar apa arti pembangkangan terhadap perintah Andita:
terputusnya leher mereka! Pembantahan sedikit saja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan menggusarkan hati Andita. Itu pun berarti
mengundang bahaya. Sekali lagi, mereka hanya mampu
berhamba-hamba. Sirna mengikuti kepergian mereka dengan pandangan
mata. Juga waktu sebagian besar anak buah Baswi juga
diperintahkan pergi. Sehingga dengan demikian yang
tinggal di situ cuma sedikit. Jadi merekalah yang
dianggap para pemimpin laskar pelarian di Raung ini.
"Apa yang harus kita kerjakan sekarang?" Andita
membuka pertanyaan pada mereka yang tinggal itu.
"Kita harus memperkuat kedudukan kita di sini. Karena
ketidakhadiran Pangeran di Lateng akan membuat
heboh. Setidaknya Pangeran Pati akan memerintahkan
orang untuk mencari Pangeran. Padahal kita yang
menyimpannya di sini," Sardola angkat bicara.
"Satu pendapat yang bagus," memuji Resi Wuni Pati.
"Ada yang lain?" Andita masih ingin menerima
pendapat. "Ini adalah kesempatan baik untuk membebaskan
semua teman-teman kita yang dipenjarakan. Terutama
Yang Mulia Umbul Songo dan Laksamana Haryo Dento.
Bukankah Blambangan dalam keadaan kalut?"
Semua yang hadir memandang Baswi yang bicara
dengan menyala. Tak terkecuali Sirna.
"Yang lain lagi?" Andita mengalihkan ketegangan
semua orang. "Barangkali Saudari..." Andita menunjuk Sedah.
"Hamba cuma dapat berhubungan dengan Tegal
Delima. Dari sana kita akan mendapat padi atau bibit apa
pun yang kita butuhkan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus, ada lagi?"
"Hamba?" Yistyani bertanya. Semua mata
menolehnya. "Oh... Silakan!" Andita tersenyum.
"Bukankah semua ini setiawan Blambangan?" Tiba-
tiba suara Yistyani mengherankan hadirin.
"Kenapa Saudari bertanya seperti itu?" Andita
mewakili semuanya. "Perlu untuk kelanjutan kata-kata hamba."
"Demi Hyang Maha Dewa!" Sirna menyabarkan diri.
Yang lain juga mengikut. "Baiklah, Demi Hyang Dewa Ratu, pencipta langit dan
bumi Blambangan, hamba mengusulkan agar Raung ini
dijadikan perkubuan. Sebab pernyataan seorang perwira
seperti Tuan Sardola haruslah diperhatikan. Walau
keinginan Tuan Baswi tak boleh diremehkan. Namun
adalah suatu keharusan membangunkan kekuatan lebih
dulu. Setelah kita kokoh barulah kita mengerjakan
sesuatu yang lebih berbahaya."
"Dewa Bathara! Betapa benarnya pendapat itu," Resi
kagum. "Aku semakin tidak mengerti apa yang menjadi tujuan
kalian sebenarnya berhimpun di sini. Kalau hanya untuk
aku, apa pula perlunya mendirikan perkubuan" Harus
menyerbu penjara-penjara. Sekarang aku menjadi tidak
mengerti juga mengapa kalian menahan aku di sini"
Sebagai ganti Umbul Songo?"
Semua terkejut bukan main mendengar itu. Walau
sebenarnya wajar Sirna punya naluri semacam itu.
Mendadak Andita jadi cemas. Mentari sudah menguak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kabut. Bahkan sinarnya sudah mulai membelai dedaunan
hijau di pegunungan itu. Namun hawa masih juga terasa
dingin bagi mereka yang ada di dalam pendapa pedepo-
kan. Terutama mereka yang dilanda kecemasan. Namun
Yistyani segera membunuh suasana itu. Dengan lincah ia
menjawab, "Tidak! Tentu tidak ada tujuan Tuan Andita membawa
Pangeran kemari untuk ganti Panglima Umbul Songo
maupun Laksamana Haryo Dento. Tidak." Wanita itu
tersenyum pada Sirna. "Kelak Pangeran akan tahu
manfaatnya perkubuan ini. Juga perlunya Pangeran
tinggal di sini." "Sekarang tidak boleh tahu?"
"Akan tahu dengan sendirinya kelak. Tidak perlu
seorang pun memberi tahu."
"Baiklah," Sirna menyerah.
"Aku sependapat dengan Saudari Yistyani," kini Andita berkata sambil menghempaskan napas kelegaan. "Kita
bangun dulu perkubuan di Raung ini. Di samping itu kita
harus menyiapkan bahan makanan secukupnya. Mari
kita bahu-membahu dengan kawula. Kita datang bukan
untuk membebani kawula. Bukan pula untuk membawa
derita. Ingat, kita tidak bersiap untuk menghadapi
Blambangan. Tapi justru musuh Blambangan. Termasuk
Bali atau bahkan yang sedang mengintip saat ini,
kompeni Belanda." "Andita, hati-hatilah, Anakku. Prajurit yang kaubawa
bukanlah kawula Raung." Resi menasehati anaknya.
Andita tersenyum, ia pandang ayahnya.
"Juga Ananda, juga Baswi dan Sardola. Semua adalah
perwira-perwira..." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dewa Bathara! Adakah kau sudah ingkar dari
sumbermu?" "Ayahanda, lingkungan membentuk watak. Lagi pula
kawula Raung tak akan mampu menghadapi semua
persoalan. Bukankah Raung takkan mampu menghadapi
meriam musuh?" "Kami tak pernah berpikir menghadapi perang,"
membantah Baswi.

Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kehadiran kalian di sini, dengan kekuatan seribu atau
mungkin lebih dan bersenjata lengkap. Apa artinya ini"
Adakah nirneyana bisa diampuni"
"Itu bukan berarti mengundang perang."
"Oooo tidak ada perbuatan tanpa akibat." Andita
tersenyum pada Baswi. Yang kemudian juga sadar
bahwa sedang berhadapan dengan perwira handal
Lumajang. Walau kecurigaannya belum lenyap, ia
membenarkan pendapat Andita. Maka ia juga tersenyum.
"Aku sependapat dengan Tuan," Sardola bicara kini.
Sesaat semua mata tertuju padanya Andita kemudian
menunggu yang lain bicara. Namun sunyi.
"Baiklah," katanya kemudian, "kita kerjakan dulu yang kita sepakati sekarang ini. Mari kita memperkokoh
persatuan." Setelah sampai pada perumusan mereka bubar. Hari-
hari berikutnya tampak Andita dan prajurit Lumajang
sudah tidak mengenakan tanda-tanda kebesaran, dan
turun ke ladang-ladang. Bersama-sama laskar pelarian
dan kawula Raung mencipta sawah di tempat-tempat
yang mungkin. Sebagian menebang kayu di hutan untuk kayu bakar
dan bangunan. Sebagian lagi mengangkut batu-batu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang dipersiapkan untuk dinding perkubuan. Mereka
mencontoh perbentengan Untung Surapati di Bangil. Di
gunung seperti itu, tidak terlalu susah bagi mereka
mencari batu-batu. Sirna sendiri tak pernah ketinggalan
dalam pembangunan itu. Walau awalnya memang berat.
Tidak pernah bekerja badan. Di istana tidak mempunyai
tugas selain berlatih perang dan membaca yang sudah
diajarkan Dang Hyang Wena. Setelah itu makan. Tidur
atau mengagumi tamansari.
Kini ia benar-benar belajar. Dan ia terus-menerus
diberi tahu laporan dari para telik yang memata-matai
Blambangan atau mana pun saja yang perlu dimata-
matai. Karenanya ia juga mendengar berita tentang
bundanya yang membakar diri bersama jenazah
ayahandanya. Dan berita itu pula yang menyebabkan ia
lebih sering menyendiri. Menghibur hati atau semadi.
Kalau sudah begitu Andita ataupun Baswi cuma
mengamati dari kejauhan. Sedang Yistyani berusaha
mendekat. Demikian pun hari itu, kala Pangeran sedang
menyendiri di dekat pancuran air yang mereka gunakan
untuk minum ataupun mandi.
Mata Sirna tertuju pada batu-batu hitam besar yang
dilewati aliran air. Lumut-lumut hijau sibuk bergerak-
gerak didorong oleh air yang lincah bergerak. Terus
bergerak turun untuk kemudian melewati jurang-jurang
menuju ke Sungai Setail. Rumput-rumput menjalar di
tepian pancuran yang airnya tidak kunjung habis itu.
Tiba-tiba ia menoleh mendengar suara ranting patah
terinjak kaki. "Ada apa mendekat?" tanyanya dengan suara parau.
"Wajah Pangeran mendung. Kenapa?"
"Panggil aku Sirna!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pangeran adalah junjungan kami."
"Aku tidak tinggal di istana. Jadi sekarang aku sama
dengan siapa saja. Termasuk kau." Suaranya masih
parau. "Dewa-dewa akan merusak seluruh jagat bila manusia
telah ingkar dari agamanya (peraturan hubungan antar
manusia yang diatur oleh Dewa)"
Sirna diam. Perhatiannya kembali tertuju pada air.
Buih berkejaran. Kadang bergandengan satu dengan
lainnya. Bercanda dan mengeluarkan suara gemercik.
Menimbulkan tanya dalam hati Sirna, kapan aku
bercanda kembali" Seperti waktu-waktu lalu" Dengan
bunda dan adik-adiknya" Ah... masa itu tak akan
kembali. Dan muka Sirna tampak mendung lagi.
"Ada yang merisaukan, Pangeran?" kembali suara
Yistyani mengganggu. Bola mata Sirna kembali memandang Yistyani. Ia
menelusur dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Membuat Yistyani menunduk. Hatinya jadi berdebar.
"Yistyani..." Suara parau menandakan tangis yang
ditahan. Yistyani mendekat tanpa sadar. Pelan-pelan.
Seperti kucing yang mendekati tikus.
"Bunda telah tiada..." Hening sesaat. Angin gunung
meniup dedaunan. Juga suara air merajai suasana.
"Bunda meninggalkan daku, mengikut Ramanda ke
jagat Dewata. Alam leluhur."
"Pangeran..." Yistyani terharu. Tak sadar dua butir air mata mengintip di kelopak matanya. Untuk kemudian
mengalir lamban. "Pangeran, mari pulang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pergilah, Yistyani."
"Jangan bersedih sendiri, Pangeran. Mari..."
Yistyani memberanikan diri menggandeng tangan
Pangeran. Sirna tak membantah. Seperti digandeng
kakaknya sendiri. Besoknya seluruh Raung membacakan
mantra-mantra untuk arwah kedua orang tua Sirna. Dan
semua berhenti kerja. Berkabung.
0oo0 Bergumpal-gumpal mendung menyelimuti lereng
Gunung Raung. Senja. Beberapa waktu lagi akan turun
hujan. Susul-semusul guruh dan petir memekakkan
telinga. Sebagaimana biasa dalam keadaan begitu orang
membaca Lokananta. Namun petir itu tak pernah
menggentarkan hati orang-orang Raung. Apalagi Andita
dan Baswi. Yang mendebarkan hati mereka adalah
laporan tentang naiknya seorang yang berkuda.
"Biarlah dia naik," ujar Baswi.
"Kelihatannya amat letih," Andita bergumam. Matanya
tak mau lepas dari pengendara kuda itu. Dan setelah
orang itu mendekat ke pendapa, Andita melompat dari
tempat duduknya. Berlari menjemput. Sedang Sirna
masih berdiri dekat Baswi.
"Gamparan...!" panggil Andita." Rupanya kau tidak istirahat."
"Berita penting, Tuanku."
"Mari! Mari naik!" kata Andita lega.
Gamparan turun dari kudanya. Masih muda. Berbadan
gempal. Kulitnya sawo matang yang agak gelap. Lebih
gelap dari kulit Baswi. Rambutnya lurus tertutup destar.
Dengan mata merah dan kaki tertutup debu ia naik,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengikut Andita bagai bayangan. Di sudut pendapa ia
berhenti sebentar untuk minum air kendi yang memang
selalu tersedia di situ. "Hah..." ia berdesah lega setelah minum. Kemudian
mendekat lagi pada Andita. Sirna tertawa melihat tingkah
orang muda itu. "Malam ini juga hamba harus balik ke Lateng," kata
Gamparan. "Kau bisa bermalam di sini," Andita memutuskan
karena ia tahu persis Gamparan membutuhkan istirahat.
"Tidak Tuan. Ada janji."
"Kau terlalu letih."
"Tidak." "Siapa dia, Paman?" Suara Sirna memotong bantahan
Gamparan. "Pembawa berita untuk kita! Gamparan."
"Persilakan dia duduk. Aku juga mau dengar." Sirna
memandang terus dengan penuh perhatian.
"Bersembahlah, Gamparan!" Dan orang itu kemudian
menghormat pada Sirna. Kemudian pada Baswi.
"Oh... Ya... ini Tuan Baswi?"
"Ya, ada apa?" Baswi tersenyum.
"Yang Maha Mulia Cokorda Dewa Agung Mengwi
telah menjatuhkan pengampunan terhadap Yang Mulia
Umbul Songo dan Haryo Dento."
"Apa kau bilang?"
"Sungguh! Bahkan perwira dan bintara dan prajurit
yang terlibat dalam perang Surabaya. Para keluarga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyambut. Mereka dalam keadaan kurus-kurus. Tangis
terdengar di mana-mana. Jalan-jalan raya penuh orang
menyambut dan menyaksikan mayat-mayat hidup
berjalan pulang." "Hampir tak dapat dipercaya." Baswi penuh
keheranan. "Apa lagi?" Andita berusaha mengusir keharuan dalam
hati. Di kepalanya terbayang penderitaan mereka selama
disekap. Kekuasaan telah menindas mereka. Negeri
yang mereka bela dengan darah dan air mata telah
menjadi tempat untuk menindas mereka. Dan itu
dikerjakan oleh satria yang memegang kekuasaan.
Kerongkongan Andita menjadi kering.
"Semua diberhentikan dari tugas dengan tanpa
imbalan apa pun. Itu keputusan menteri muka, Arya
Bendung. Khusus untuk Yang Mulia Haryo Dento dan
Umbul Songo tidak dikenakan peraturan itu."
"Keduanya diberi jabatan kembali?"
"Ya. Tapi tanpa kekuasaan atas pasukan."
"Apa kabar Kanda Mas Nuwong?" Sirna
menyempatkan. "Beliau sekarang bergelar Prabu Mangkuningrat.
Diwisuda dengan upacara kebesaran. Tapi... maafkan
hamba, Pangeran. Sri Prabu tak pernah tahu apa-apa.
Semula segalanya diatur oleh Bali. Sebab Mengwi
ternyata campur tangan untuk menumpas Gajah
Binarong. Tapi sekarang, semua pengaturan dilakukan
oleh Yang Mulia Bagus Tuwi dan Arya Bendung dan
Dang Wena serta para menteri."
"Lalu apa kerjanya?"
"Sibuk dengan selir-selir."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Drubiksa! Menyalahi ketataprajaan," Sirna
mengumpat. "Mangkuningrat berarti, memegang seluruh
keadilan. Kekuasan tanpa batas atas bumi. Kenapa
cuma sibuk dengan wanita. Apa tidak lebih baik ia
bergelar Mangku Wanita! Ha... ha... ha..." Sirna tertawa
sendiri. Yang lain juga ikut.
"Tak ada lagi yang penting?" Andita meneruskan.
"Telik dikerahkan ke segala penjuru untuk mencari
Pangeran Mas Sirna. Juga Tumenggung Singamaya
mengerahkan orang-orang kepercayaannya."
"Betapa gelinya. Arya Bendung tahu aku pergi
bersama Paman Adipati Agung. Kini seluruh orang
mencari aku...." "Beban kawula semakin bertambah. Mereka harus
menanggung biaya laskar pendudukan Mengwi yang
membantu mengamankan Blambangan dari
pemberontak Gajah Binarong."
"Itu pasti," Andita mengulas.
"Blambangan dilarang membangunkan laskar laut
baru dan memperkuat laskar daratnya. Penguasaan
bandar tetap Blambangan sendiri."
Baswi mendengus. Sirna menjadi geram. Andita
jengkel. Kemudian Andita mengulas lagi, "Kita semua
harus sadar dan menerima kenyataan ini. Gamparan,
tidak ada lagi?" "Laporan selesai. Hamba ingin kembali ke Lateng
malam ini juga. Memang harus kembali malam ini juga."
"Tunggu, Gamparan. Aku tahu keperluanmu yang
mendesak sekarang ini bukan lain untuk menemui Turah,
janda..." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampun, Tuan. Betul____" Gamparan malu karena pimpinannya tahu persis. Ia kini tersenyum memandang Andita. Hatinya penuh harap agar pimpinannya itu bisa mengizinkan dia pergi malam ini juga. Namun...
"Ada yang lebih mendesak." Andita mengalihkan pandang. Tentu saja itu sangat mengecewakan hati Gamparan. Orang ini tak mengerti hati muda! desisnya dalam hati. Namun diam.
"Keadaan memaksakan kita mengubah nama Pangeran. Untuk mengelabuhi telik Blambangan."
"Aku setuju. Tapi nama apa yang baik?"
Semua berpikir. Beberapa jenak kemudian Baswi tersenyum lebih dulu. Lalu, "Wilis... Ya, Wilis," katanya.
"Wilis berarti hijau." Sirna tersenyum. "Tidak apa, aku tidak keberatan. Apa sih artinya nama" Bunglon juga boleh."
"Akan diumumkan secara beranting!" Andita memberi tahu.
"Nah, Gamparan..." katanya lagi, "jangan kecewa.
Berangkatlah esok pagi. Istirahatlah malam ini. Kau bisa menambahkan waktumu barang dua hari untuk bersua dengan Turahmu."
Kini senyum Gamparan muncul kembali. Merasa berdosa tergesa mengumpat Andita kendati cuma dalam hati. Sampai pergi ke tempat peristirahatannya ia masih tersenyum. Dan seribu bahasa ia susun dalam angannya. Persiapan berjumpa kekasih.
0oo0 Pembangunan perkubuan masih jauh dari selesai.
Namun masa prihatin di Raung sudah ditutup dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
panenan jagung dan padi gogo yang melimpah.
Kegembiraan kawula Raung tertumpah ruah saat
upacara penutupan masa panen itu. Belum pernah
mereka punya pengalaman seperti itu. Apalagi saat itu
Baswi dan Sedah Lati melangsungkan upacara
pernikahannya. Resi Wuni Pati memimpin upacara
pernikahan mereka. Sedang Wilis dan Andita berkenan
menjadi saksi. Upacara meriah di sela dinginnya udara
gunung. Tanpa dihadiri oleh kedua orang tua masing-
masing. Langkah Baswi ternyata mendorong banyak pemuda
atau pemudi gunung itu mengisi sela ruang hidupnya
dengan cinta. Apakah sesama kawula Raung, atau
dengan laskar pelarian. Baik dari Lateng maupun
Lumajang. Sekali lagi, cinta tidak mengenal batasan.
Usia ataukah asal-muasal. Melihat itu, Resi Wuni Pati
mengizinkan orang-orang mendirikan patung Kamajaya-
Kamaratih, lambang percintaan.
Segala itu belum terpikir oleh Yistyani. Ia telah
dibiasakan mengabdi pada waktu di Lateng. Jadi budak
terhormat. Bekas selir Kuwara Yana itu tak terpengaruh
oleh ombak muda-mudi. Walau ia sadar tidak sedikit
pemuda yang mendekatinya.
"Baru mandi?" tanya seseorang waktu ia naik tebing
kali suatu pagi. "Oh, kau, Tumpak" Ya, aku baru mandi." Yistyani tak
mengerti Tumpak menghadangnya sejak tadi. Dan
ketidakmengertian itu membuat Tumpak mengeluh dalam


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati. Ah... Yistyani tidak mengerti isi hatinya.
"Aku juga akan mandi." Tumpak mencari alasan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau tak biasa mandi di Sungai Setail ini, kan"
Bukankah kau sering mandi di pancuran atas sana."
Yistyani tersenyum. Kini Tumpak tambah gugup. Mungkin bicara lain soal
tidak demikian halnya. Bicara soal peperangan lebih
mudah. Tapi soal satu ini, cinta ini, Tumpak sukar untuk
mengutarakan terus terang pada Yistyani.
"Ya... di... sana makin penuh saja." Ia menemukan
kata-kata. Dan balas tersenyum. Namun tak berani
memandang Yistyani. "Oh, ya" Silakan, Tumpak! Silakan!" Yistyani kembali melempar senyum. Mengguncang jiwa Tumpak. Namun
kemudian Yistyani siap hendak berlalu.
"Mengapa tergesa?"
"Sudah terlalu lama."
Kini kaki Yistyani sudah melangkah. Guci tanah liat
berisi air membebani kepalanya. Tumpak menawarkan
diri menolong membawa air itu. Tapi sekali lagi, Yistyani
mengucap terima kasih sambil menampakkan barisan
gigi yang kecil-kecil. Hitam bagai bulu kumbang di sela
bibirnya yang merekah indah.
Ternyata Tumpak tak mampu menghentikan langkah
Yistyani yang kedua, ketiga, dan seterus-nva. Seribu
bahasa yang ia susun sejak dinihari tadi tak satu pun
yang keluar. Kini ia cuma dapat mengawasi langkah
Yistyani dengan menelan ludah semata.
Hampir seratus langkah kemudian Yistyani melihat
Wilis di atas punggung seekor kerbau. Hatinya sempat
menilaikan: Wilis telah kembang menjadi pemuda yang
gagah dan tampan. Matanya menyinarkan wibawa yang
membuat Yistyani membungkuk hormat waktu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpapasan. Ah... desah Yistyani dalam hati. Benar-
benar berbeda dengan kakaknya. Pangeran Pati dalam
usia yang cukup muda sudah doyan perempuan.
Sambil terus berjalan Yistyani mengingat kejadian tiga
tahun lalu. Oleh Kuwara Yana ia pernah dipersembahkan
pada Pangeran Pati. Bukan cuma sekali. Dalam bilik milik
Kuwara Yana, yang terbuat dari kayu ulin tua ia sering
bercanda dengan Pangeran Pati.
"Kau akan kubawa ke istanaku kelak," janji pangeran
itu setelah mencoba kejantanannya yang pertama di atas
tempat tidur Yistyani. "Pangeran berbohong." Yistyani merajuk dalam
senyumnya. "Sungguh! Kau akan menjadi selirku. Turun-temurun,
kau tidak akan terhinakan lagi." Angin surga keluar dari
mulut bangsawan muda itu. Memang cukup membuat
Yistyani melambung. Daripada setiap ada tamu agung
mesti menjadi persembahan. Untung Pangeran memilih
dia waktu melihatnya. Kalau yang lain, ia tak akan pernah
mendengar janji seperti itu. Di istana akan tersedia
segala. Apalagi setelah pertemuan kedua, Mas Nuwong
dengan jelas meminta pada Kuwara supaya Yistyani
hanya untuknya saja. Sekalipun ia masih tinggal di istana
Kuwara Yana. Tidak ada seorang pun boleh menidurinya,
termasuk Kuwara Yana sendiri.
Kini semua itu tak bakal terjadi. Ia lihat Wilis memang
berlebih dari kakaknya. Dan ia diam-diam menjadi
kagum. Bukan cuma ketampanannya. Tapi juga
segalanya. Lamunan membuat ia sama sekali tidak sadar
bahwa sedang berpapasan dengan Andita.
"Siang amat baru pulang mandi," tegur Andita.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Angan Yistyani bubar oleh kejutan. Baru ia ingat
bahwa orang itu selalu mengawasi Wilis dari kejauhan.
Juga Baswi. "Tu... Tuan ada di sini?" Yistyani gugup.
"Apa saja yang dilamun" Sampai akan menubruk jika
tidak buru-buru ditegur tadi."
Wajah Yistyani memerah. Ia tahu Andita manusia
cerdik. "Tak ada apa-apa."
"Kangen pada Kuwara?"
"Ah, jangan ucapkan itu lagi!" Yistyani menunduk.
Mata Andita begitu lahap menelusuri tubuhnya.
Sengaja ia berhenti sejenak di hadapan perwira
Lumajang itu. "Saudari suka tinggal di sini?"
"Udara perkubuan ini lebih segar dari Lumajang"
"Tak adakah pikiran untuk kembali ke Lumajang?"
"Tidak!" "Kenapa?" "Telik Blambangan akan menemukan hamba di sana.
Itu berbahaya, kan" Bukan cuma untuk hamba."
"Kecantikan akan menyelamatkan jiwamu." Secara tak
langsung memujinya. Sekali lagi Yistyani berdebar.
Walau ia terlalu sering mendapat pujian dari lelaki.
"Belum tentu," ia membantah sambil senyum, "kadang kecantikan juga bisa mencelakakan. Baik bagi orang lain
maupun diri sendiri. Sebab manusia lebih banyak yang
cuma tahu memaksa dan merampas. Kiranya hamba kan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merasa lebih berbahagia jika memiliki wajah tak seperti
ini. Dengan begitu hamba tak mungkin berpisah dengan
Bunda. Yang terpaksa menjanda karena ulah lelaki pula."
"Hyang Maha Dewa tak akan salah mencipta manusia,
juga memberi anugerah."
"Karena Tuan bukan wanita maka berkata tanpa
landasan." Andita terkejut mendengar itu. Namun sebelum ia
bertanya lagi, Yistyani sudah permisi. Ia tak mencegah,
karena kepala Yistyani sedang dibebani guci berisi air.
Leher mulus dan jenjang itu terpaksa menyangga beban
berat. Ia tersenyum pada diri sendiri. Padahal ia belum
pernah menyatakan kekaguman pada wanita seperti tadi.
"Aku akan melamarmu! Putus Andita dalam hati.
Tunggu saatnya! Andita sama sekali tidak peduli bahwa
saat itu ada orang lain yang berpikiran sama dengannya.
Bahkan tidak menyadari sama sekali Tumpak lama
mengintai waktu ia bercakap-cakap dengan Yistyani.
"Tuan melamun?" Suara Baswi dari belakang.
Andita tidak menoleh. Tetap saja memandang goyang
pinggul Yistyani. Sampai kemudian tertutup oleh tubuh
Tumpak yang berjalan di belakang gadis itu. Sekali lagi
Baswi bertanya. "Tidak! Cuma sedang mengagumi sesuatu."
"Gadis itu?" "Segala-gala milik gadis itu."
"Ha... ha... ha... ha... Dia bisa membuat Tuan lupa
pada tugas." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mudah-mudahan tidak!" Kini ia memutar badan untuk
menghadap Baswi sambil tersenyum. Tubuh Yistyani
telah benar-benar lenyap ditelan belokan.
Yistyani bukan tidak mengerti apa yang tercermin
dalam wajah Tumpak. Ia sedang bergumul dalam
pertimbangannya. Dan waktu ia berbelok ke halaman
pesanggrahannya, ia melihat Tumpak berlalu. Sengaja ia
pura-pura tidak tahu. Cepat ia mencuci kakinya yang
dipenuhi bunga-bunga rumput. Juga ujung kainnya.
Bahkan basah oleh embun yang menempel di
rerumputan sepanjang perjalanan pulang tadi.
Laskar pelarian telah membangun pura kecil
sederhana di depan pesanggrahan yang disediakan
untuk Yistyani dan teman-teman wanitanya. Dulu juga
Sedah ikut tinggal di situ. Mereka telah menjadi akrab.
Seperti saudara sekandung saja.
"Kalian mandi bersama?" tanya Jenean yang sedang
membersihkan halaman. "Siapa maksudmu?" Yistyani mengerti bahwa sedang
diledek. Karenanya ia tetap tersenyum.
"Kau dan Tumpak."
"Jangan mengada-ada."
"Kulihat ia tertarik padamu," Sitra menimbrung dari
dalam. Yistyani tertawa lirih. Kemudian masuk. Jenean
meletakkan sapunya lalu mengikut. Tak ada pekerjaan
buat mereka hari itu. Jadi mereka akan beristirahat
sampai esok. "Makanan sudah matang, Sitra?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa tidak bercerita tentang kekasih baru itu"
Pura-pura tanya makanan segala."
"Tidak adil!" Yistyani membalas cepat. "Kenapa bila Sitra lagi berdua-dua dengan Tuan Sardola tak
diperbincangkan" Atau bila giliran Sitra mengambil air
pasti Tuan Sardola yang memikul kemari. Kenapa kalian
diam?" Mereka tertawa bersama-sama. Seperti diatur,
berkikik-kikik. "Atau kau tolak dia?" Jenean meneruskan candanya.
"Menunggu Pangeran barang satu-dua tahun lagi?"
Yistyani tahu bahwa teman-temannya
menghubungkan sifat Wilis dengan kakaknya, Mas
Nuwong. Karena dulu kamar mereka cuma dipisahkan
oleh kain putih tebal. Jadi mereka tahu juga ia menerima
tamu Pangeran Pati. "Beruntung kau selalu mendapat perjaka suci. Awet
muda kau, Yis!" Jenean tertawa lagi. Semua juga.
"Tapi ia sekarang bernama Wilis. Bukan Pangeran
Mas Sirna. Apakah mungkin ia seperti kakaknya?"
"Apa arti perubahan nama itu" Orangnya tetap," Sitra menyahut. "Aku percaya ia tidak selamanya hijau seperti
namanya." Tatkala mentari telah tertutup oleh perbukitan sebelah
barat, dengan tanpa diduga Andita dan Wilis memasuki
pesanggrahan mereka. Tergopoh Jenean mempersilakan
keduanya masuk. Sementara itu Yistyani dan Sitra
sempat saling cubit-cubitan pinggul sebelum ikut
menyambut bersama-sama. Jenean membukakan tikar
pandan untuk duduk Pangeran dan Andita.
"Mari!" Wilis mengajak. "Kita duduk bersama."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bertiga kemudian bersimpuh di depan Wilis dan
Andita. "Seperti mendapat anugerah para Dewa," bertiga
menyembah bersama-sama. "Pangeran ingin mengetahui keadaan kalian," kata
pembukaan Andita. "Perlakukan kami seperti teman
sendiri. Sekali lagi, ingat telik Blambangan ada di mana-
mana." "Adakah yang perlu kami persembahkan?" Yistyani
segera mewakili teman-temannya.
"Ya. Aku memerlukan ketiganya," jawab Wilis.
"Kami telah bersedia, Pangeran."
"Katakan padaku, apa yang kalian ketahui tentang
Kuwara Yana!" "Ampun, Pangeran," Jenean berkata, "tak ada apa pun yang bisa kami persembahkan kecuali pengalaman kami
sendiri." "Ya... katakan saja!" Wilis menajamkan mata. Jenean
tertunduk. Dalam hati ia mengakui kewibawaan Wilis.
Semuda itu memiliki suatu wibawa yang cukup
menggentarkan. Hanya melalui pandangan mata. Tak
heran Yistyani memuji. Ketiganya menceritakan pengalaman masing-masing.
Mulai saat mereka diambil dari rumah masing-masing
oleh tangan penjahat, sampai ke tangan Kuwara Yana.
Andita dan Wilis mendengar dengan seksama. Apalagi
pada giliran Yistyani menceritakan pertemuannya dengan
Mas Nuwong. Hati Wilis tersibak. Tapi ia harus menerima
kenyataan. Itulah kehidupan istana. Wanita, uang, dan
kehormatan. Karena itu pula istana menjadi ajang
pertikaian bangsawan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan Andita kini bebas menikmati tubuh ketiga gadis itu
dengan matanya. Ketiganya masih segar. Segala bentuk
tubuhnya belum susut. Sampai setelah Yistyani selesai
memberi keterangan, barulah Andita menghentikan
pekerjaannya. Kemudian berunding dengan Wilis dalam
bisik. Wilis kelihatan mengangguk-angguk, tanda
menyetujui sesuatu. "Pengetahuan Saudari tentang banyak hal membuat
aku harus bertanya lebih banyak," kata-kata Andita
tertuju pada Yistyani. "Anda selalu membuat pengamatan
terhadap lingkungan. Dengan kata lain kami berani
mengatakan bahwa Anda seorang cerdik. Memang
banyak wanita yang berpengetahuan luas seperti Sri
Maha Ratu Suhita Sorga. Yang lain lagi pada umumnya
bertugas ganda." Yistyani mendongak lamban. Ia tahu apa maksud
Andita. Karena itu ia coba memandang wajahnya. Orang
muda itu mengerutkan dahi. Mata mereka beradu.
"Demi Hyang Dewa Ratu, tiada kebohongan," jawab
Yistyani sambil menghela napas. "Hak seorang perwira
mencurigai setiap orang."
"Tak ada sudra mengetahui segala."
"Arok anumerta juga sudra."
"Jagat Dewa! Kau membaca lontar?" tanya Andita
sambil terus menyimpulkan. Yistyani juga terkejut atas
jawabannya. Ia telah terjebak. Ia mengakui kini kurang
hati-hati berhadapan dengan orang cerdik seperti Andita.
Ia terpaksa harus membuka apa yang selama ini ia
simpan. "Ampunkan hamba. Memang bunda hamba telah
mengajar hamba membaca lontar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa" Ibumu bisa membaca lontar" Kau juga?" Hati
Wilis terlonjak karena terkejut. Dan ia kemudian menjadi
ingat kata-kata Andita, bahwa bukan hanya di istana ada
pengetahuan. Mungkin saja Yistyani bisa berbahasa


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sanskerta. Atau Jawa kuno. Mungkin, dia banyak tahu
apa yang Dang Hyang Wena tidak tahu. Diam-diam ia
merasa bersyukur. "Begitulah, Pangeran...," jawab Yistyani malas.
"Dalam lontar banyak pengetahuan" Juga ajaran para
dewa, bukan" Dan banyak lontar tertulis dalam
Sanskerta. Juga Jawa kuno. Dengan kata lain kau bisa
berbahasa itu," Wilis mengambil alih penyelidikan.
"Hamba tak bermaksud..."
"Aku tak memerlukan bantahan!" potong Wilis.
Wanita itu diam. Juga yang lain. Andita sendiri
terbenam dalam kekaguman. Ia bisa membaca lontar
karena bapanya seorang brahmana. Itu pun tidak
sempurna. Karena ia telah agak lama mensatriakan diri.
"Apa kerjamu tiap hari?" Wilis menguak kesunyian.
"Tidak tentu. Di ladang, sawah, kadang juga
menganyam tikar," Yistyani menjawab sambil tunduk.
Dalam lirikan yang cuma sekilas ia tahu Andita sedang
terbenam dalam angannya sendiri. Sementara, Wilis
sudah hampir pasti menyimpulkan, orang di hadapannya
itu adalah brahmani. Wajahnya, hidungnya, bibirnya,
semuanya, tidak menunjukkan tanda-tanda kesudraan.
"Mulai besok kau akan mendapat tugas baru sebagai
tambahan. Menjadi salah satu guruku pula!" Ucapan
Wilis mengejutkan semua-mua. Tapi semua juga tahu,
kehendak Wilis tidak terbantahkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah sudah ada Resi Wuni Pati, Tuan Andita
juga Tuan Baswi" Apa artinya seorang wanita seperti
hamba?" Yistyani mencoba.
"Keberatan?" Wilis membunuh pertanyaan Yistyani.
Sekali lagi, Yistyani menyadari, itulah kekesatriaan. Yang
berulang kali harus ia hadapi dalam hidupnya sebagai
wanita. Kini ia diam. Mencabuti serabut pandan yang
halus kecil di tikar yang ia duduki, sebagai pelarian dari
ketidakmampuannya. Sementara itu di luar, awan merah kekuning-kuningan
telah ditarik masuk ke dalam perut bumi. Bayang-bayang
telah tiada. Jenean minta permisi untuk menyulut pelita.
Dan bersamaan dengan itu Wilis mengajak Andita pergi.
Tanpa menunggu Yistyani mengiakan atau menolak
perintahnya*. Sebenarnyalah sepercik kegembiraan telah
mengembang di sudut hati Yistyani yang terdalam.
Dengan begitu ia akan selalu dapat berdekatan dengan
orang yang ia kagumi. Dan ia tidak akan perlu lagi
mencuri-curi pandang. Namun sepeninggal mereka
berdua tak urung Yistyani menjadi bahan ledekan teman-
temannya. "Awas, Yis, jaga dirimu agar awet muda!" Jenean
tertawa. "Ah... itu kan anugerah, Jenean."
"Tapi kan tidak ada anugerah tanpa usaha?" Sitra
cekikikan. Wajah Yistyani memerah di bawah sorot pelita. Sambil
menuju tempat pembaringan ia menjawab juga, "Aku
akan menarik dia maksudmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebagai jawaban hanya suara tawa ria yang merdu
dari kedua temannya. Sampai jauh malam mereka masih
bergurau di atas pembaringan. Kadang saling cubit.
Sama-sama bersuka cita. Di pagi hari yang telah ditentukan, Yistyani bersolek
seperti ketika akan menjumpai Mas Nuwong. Tidak
ketinggalan, wewangian bak kasturi.
Ia juga mengenakan semua perhiasan yang selama ini
disisihkan dari kehidupannya. Kakinya berhiaskan
binggal bergiring-giring melengkapi keindahan kain yang
menutupi bagian bawah tubuhnya, mulai pusar sampai
mata kaki. Kain batik berwarna merah soga bersulam
benang-benang emas yang siap memantulkan setiap
sinar apa pun yang menimpanya. Juga gelangnya
menghias kedua tangannya, subang di kedua lubang
telinganya, semua terbuat dari emas.
Sebelum berangkat ia sempatkan bersirih lebih dulu.
Itu membuat bibirnya yang tipis mungil itu nampak merah
menawan seperti warna kulit buah manggis yang dibelah.
Kalung berantai panjang hadiah Kuwara Yana,
melengkapi keindahan lehernya yang jenjang. Kain sutra
putih, tipis dan halus terlilit di leher itu selalu berkibar
ditiup angin. Kadang meriup-riup menutup buah dada
yang dibiarkan terbuka seperti dua buah kates yang
sudah masak. Baik Andita, Baswi, maupun Resi Wuni Pati sendiri
ternganga karena pesona waktu Yistyani naik pendapa.
Mereka seperti melihat bidadari Ratih dari kahyangan
turun ke pendapa itu. Yistyani memang bersinar dalam
pakaiannya begitu. "Silakan naik. Langsung menuju ke bilik Pangeran."
Resi lebih dulu menguasai diri. Yistyani menghormat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka dan tersenyum. Kemudian berjalan ke arah yang
ditunjuk oleh Resi Wuni Pati. Suara kain Yistyani
mengikuti irama lenggangnya. Sekilas Resi
memperhatikan anaknya, yang masih mengawasi
Yistyani dengan tanpa berkedip. Iba.
Wilis belum bangun dari semadinya waktu Yistyani
masuk. Dengan hati-hati ia kemudian ikut duduk
bersimpuh di belakang pemuda itu. Beberapa jenak ia
memperhatikan tubuh Wilis dari belakang. Warna kulit
yang kuning langsat lebih menggambarkan bahwa
pemuda itu bukan sudra. Rambutnya berombak, terurai
sampai ke bawah pundaknya. Tiada bekas cacat pada
kulit itu juga menunjukkan masa kecilnya terjaga rapi
dalam asuhan para inang. Selanjutnya mata Yistyani
menyapu isi ruangan. Tidak berbeda jauh dengan biliknya sendiri. Tentu
lebih luas sedepa barangkali. Keris yang bertahtakan
permata pada tangkainya, tergeletak begitu saja di
pembaringan yang tidak diatur. Juga pending emas,
tergantung di dinding atas tempat tidur seperti tidak
diperlukan lagi. Mungkin masih banyak lagi perhiasan
yang tidak terpakai selama ini. Yistyani menjadi iba.
Satria yang saat ini sedang menyudrakan diri.
Wilis selalu melakukan yoga semadi sejak dini-hari
sampai mentari terbit. Dan kala mentari terbit dia
membuka jendela kamarnya yang kebetulan menghadap
ke timur itu untuk melatih matanya dengan menatap
mentari merah tanpa berkedip. Atau lebih sering ia
melatih dengan menatap bintang timur dinihari.
Pengamatan Yistyani selesai. Bersamaan dengan itu
Wilis juga selesai. Tentu saja Wilis kaget bukan
kepalang. Begitu memutar tubuhnya, melihat bidadari
sedang bersimpuh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau, Yis?" "Hamba, Pangeran."
Perhatian Wilis berpindah-pindah pada seluruh bagian
tubuh Yistyani. Segera ia bunuh debar jantung oleh bau
wangi dan wajah ayu. Yistyani. Sungguh tidak seperti
biasa. Tak heran banyak lelaki tergila-gila pada wanita
satu ini. Termasuk Mas Nuwong, kakaknya. Mungkin
juga ayahnya. Mungkin juga Dang Hyang Wena.
"Sudah lama?" "Sudah," sambil tersenyum.
"Maafkan aku...," Wilis berdesis. Agak gemetar
suaranya. Yistyani tahu itu. Namun ia tidak menjawab.
Tidak juga ingin berkata-kata. Hanya ingin menatapkan
matanya yang bening itu pada mata Wilis. Justru di saat
bersua dengan tanpa saksi. Memang kenikmatan
tersendiri bagi Yistyani.
Naluri yang terlatih cepat memperingatkan Wilis,
bahwa Yistyani sedang berusaha menundukkannya.
Karena itu segera ia tersenyum sambil menajamkan
matanya. "Sudah sedia kau?" Wilis menguasai diri kembali.
"Inilah hamba, Pangeran." Yistyani menghela napas.
Buah dadanya naik-turun. Wilis menyingkap tikar pembaringannya. Beberapa
gulung lontar terlihat di bawahnya. Wilis mengambil
segulung dan memberikannya pada Yistyani, seraya
berkata, "Dalam bahasa apa tulisan ini?"
Yistyani membuka gulungan itu. Dan Wilis
menyodorkan bubuk kapur. Setelah mengolesi lontar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tersebut dengan bubukan kapur ia membaca perlahan.
Kemudian katanya, "Jawa." "Kapan ditulis?"
"Zaman Majapahit," jawabnya cepat.
"Bacalah!" "Satya a Prabu," suara Yistyani merdu, "Tan-satrisna, Gineng Pratidina..."
"Bagus," Wilis memotong. "Kau tahu artinya?"
"Hamba, Pangeran." Yistyani sadar ia sedang diuji.
"Katakan!" "Jujur dan patuh kepada Raja," berhenti sebentar
sambil membuang senyum. "Tidak membeda-bedakan,
berguna setiap hari."
"Apa yang dimaksud tidak membeda-bedakan" Atau
juga berguna setiap hari?"
"Jika Pangeran membaca kelanjutannya, maka kita
akan tahu bahwa yang dimaksud tidak membeda-
bedakan ialah tidak selayaknya manusia dibedakan
kasta-kasta dalam pergaulan sehari-hari. Karena pada
kenyataannya tidak kurang sudra yang memiliki karya
melebihi ksatria maupun brahmana. Bukankah Sri Maha
Patih Gajah Mada sendiri seorang sudra" Tapi siapa
yang dapat membandinginya sampai saat ini" Artinya
kita harus selalu ingat bahwa setiap pribadi memiliki
kemampuannya sendiri^Sedang yang dimaksud berguna
setiap hari, artinya jangan kita membiarkan diri dalam
kesia-siaan. Manusia yang hidup tanpa karya dan darma
sebenarnya tinggal dalam kesia-siaan. Juga manusia
yang selalu memungut persembahan dari sesamanya ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak pernah membuat dirinya berguna. Sebenarnyalah
orang begitu sia-sia hidup di dunia."
"Dewa Bathara! Kau benar-benar brahmani, Yis...."
"Ampun, Pangeran, di tempat ini hamba adalah sudra.
Jika kebetulan hamba bisa bersama dengan Pangeran
dan membaca lontar kembali, maka itu sekadar
mengenang bagian yang terindah dalam hidup ini. Dan
keindahan yang hamba puja itu telah musnah dilanda
kerakusan manusia bermodal. Satria yang memiliki
kekuasaan dan uang. Segala yang terindah di dunia
telah mereka rampok untuk dijadikan milik mereka."
"Kau mengumpat pada satria" Baik kita lupakan saja
semua itu. Tapi siapakah yang menulis lontar ini?"
"Hamba tidak tahu. Tapi jelas itu disunting dari Sesanti
Yang Maha Mulia Sang Praneleng Kadat-wang
Amangkubumi Ri Majapahit, Sri Gajah Mada anumerta."
"Yistyani, apakah yang pantas kuberikan sebagai
imbalan dari semua pengetahuan yang akan kau berikan
padaku itu" Tak sepotong pun emas bisa kuberikan
bagimu." "Tidak apa, Pangeran. Segala pengabdian buat..."
"Terima kasih! Satu lagi Yistyani yang ingin kuminta
padamu untuk kau baca buatku." "Hamba, Pangeran."
Segulung lagi dia serahkan. Dan seperti yang tadi. Kini
Yistyani membaca pula dengan mengkidungkannya
sebagai tembang: Pravrittim cha nivrittim cha
Jana na vidur asurah na saucham na pi cha charo
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
na satyam teshu vidyate Artinya: orang jahat tidak tahu apa yang boleh dikerjakan,
dan apa yang dilarang. Juga tidak ada kesucian dalam mereka
apalagi kelakuan baik dan kebenaran.
"Yang kau baca tadi Sanskerta?"
"Betul, Pangeran."
"Dewa Bathara! Dari mana bacaan itu diambil?"
"Percakapan keenam belas pupuh ketujuh dari
Bhagavadgita. Apa masih ada lagi yang harus dibaca?"
Kembali Yistyani melempar senyum. Membangunkan
Pangeran dari kekagumannya.
"Cukup. Yis, sungguh Maha Dewa tahu pengabdianmu
ini. Aku tidak berdaya untuk membalaskannya. Nah,
saatnya aku berlatih bersama Paman Baswi dan Andita
telah tiba. Pergilah. Lain ketika kita bertemu lagi."
"Hamba, Pangeran."
Wilis membantu Yistyani berdiri dengan menarik
tangan secara lembut. Halus tangan itu. Mengantarnya
sampai pendapa. Setelannya ia cuma mengawasi
lenggang Yistyani dari jauh.
Berbagai perasaan bercampur menjadi satu. Bayang-
bayang Yistyani seperti tidak mau pergi dari hadapannya.
Senyumnya, suaranya, kecerdasannya, kelincahannya.
Terlebih kala Yistyani secara tidak terang-terangan
menyatakan kekecewaan atas apa yang pernah
dialaminya. Dengan apa ia harus mengembalikan
kepercayaan Yistyani pada satria"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu Tumpak telah lama menunggu Yistyani
di belokan jalan. Ia tahu sewaktu tadi Yistyani naik
pendapa dengan busana yang istimewa.
"Dari mana?" ia memberanikan diri bertanya.
"Dari sana!" Yistyani menuding arah padepokan.


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian berjalan seiring. Ia tak perlu tanya dari mana
Tumpak, karena ia tahu waktu begitu-pemuda Raung
pasti baru selesai berlatih keprajuritan. Apalagi melihat
kaki Tumpak berdebu. "Dari bilik Tuan Andita?"
Yistyani tersenyum. Tumpak cemburu. Karena itu ia
berbohong, "Dipanggil Sedah Lati."
"Berbahagia orang yang mendapat anugerah seperti
Tuan Baswi. Adakah kau tak ingin seperti Sedah Lati?"
Langkah mereka pendek-pendek. Seperti ingin
menirukan siput berjalan. Sekali lagi Yistyani tersenyum.
Ia memahami ke mana arah larinya kata-kata Tumpak.
Dan ia mengerti benar bahwa Tumpak sedang
memuaskan matanya, memandangi seluruh bagian
tubuhnya. Seperti tak puas-puasnya.
"Ingin," Yistyani menegaskan.
Dan Tumpak mengalihkan sorot matanya ke depan.
"Hemh... aku juga ingin seperti Tuan Baswi."
"Dalam hal ini keinginan manusia sejagat sama.
Brahmana ataupun satria dan sudra."
"Tapi sudra selamanya tak pernah bahagia. Tidak
seperti brahmana atau satria."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapa bilang" Hyang Maha Ciwa menciptakan
mentari untuk segala makhluk. Juga anugerah. Cuma
takaran orang perorangan tidak sama."
"Tapi satria tak pernah puas dengan satu anugerah
saja. Mereka rakus!"
"Berbahagialah orang yang tak pernah puas dalam
hidupnya. Sebab dengan begitu mereka tak pernah
berhenti melangkah. Barang siapa mandeg tak akan
pernah mendapatkan apa-apa lagi dalam hidupnya."
"Kau membenarkan mereka, karena kebiasaanmu
mengabdi. Kau tak pernah jernih, Yistyani."
Yistyani mengerutkan dahi. Namun gerakan yang
mendekatkan kedua barisan alis itu semakin membuat
wajahnya kelihatan manis. Apalagi ditambah senyuman.
Jiwa Tumpak seperti hanyut dalam lautan.
"Aku biasa membenarkan apa yang memang benar.
Apakah itu dari satria atau dari siapa pun."
Kini pasanggrahan Yistyani tinggal beberapa langkah
lagi. Tumpak merasa kecewa.
"Sebenarnya aku ingin bercakap-cakap lebih lama.
Kau menyenangkan sekali."
"Kalau ada waktu, mampirlah." Yistyani membuka
kesempatan. Namun Tumpak belum punya keberanian
memanfaatkannya. "Lain kali saja, Yis."
"Bukankah hari ini tak ada pekerjaan di sawah?"
"Yang lain menanti. Di sini pekerjaan tak ada
putusnya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka berpisah sambil saling melempar senyum.
Saling melambaikan tangan. Saling bertatap mata.
Keesokan harinya Yistyani dan teman-temannya mandi lebih pagi dari biasanya. Kala Tumpak akan mengambil kesempatan menemui waktu pagi itu Yistyani sudah pulang. Tumpak menunggu dan menunggu di atas tebing. Namun yang dinantikan tiada kunjung muncul.
Ditengoknya di kali. Sepi. Pulang dengan segenggam kekesalan. Sengaja ia melewati depan rumah Yistyani.
Juga sepft Ingin bertamu. Tapi tak pantas bertamu waktu setiap orang Raung mempersiapkan diri berangkat ke pekerjaan masing-masing. Namun ia ingin melihat saja.
Walau sejenak. Wajah yang kemarin itu terus
memburunya semalam. Dan mimpi pun dipenuhi senyum wanita itu. Karenanya ia terus mencari. Dalam
rombongan wanita gunung yang sedang mengerumuni Ni Ayu Sitra, tak ia lihat Yistyani. Sekali lagi ia perhatikan dengan cermat kerumunan wanita yang sedang menganyam tikar. Tetap tiada. Kemudian ia tertarik lewat di depan padepokan. Kalau-kalau Yistyani ada di sana seperti kemarin. Tapi ia cuma melihat Andita, Baswi, dan Sardola sedang bercakap-cakap.
"Tumpak!" panggil Baswi mengejutkannya. Ia menoleh.
Kejengkelan meradang di hatinya kala Baswi melambaikan tangan. Ia ingin berjumpa Yistyani, bukan mereka. Ingin berlari saja. Namun suara Baswi yang berwibawa itu kembali berkumandang. Dan
membelokkan langkahnya ke pendapa.
"Masuklah!" perintah Andita.
"Ada sesuatu?" tanyanya setelah memberi
penghormatan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adakah kau masih setia pada kami?" Suara Baswi
datar. Mendadak wajah Tumpak berubah. Seirama dengan
debar jantungnya yang juga berubah. Namun tetap
menyembunyikan kekesalan. Ia melihat mereka bertiga
mengamatinya. Apa pula maksud mereka saat
ini".Mungkinkah akan mempersoalkan perihalnya
dengan Yistyani" Ia sadar memang Baswi pernah
meraba-raba hatinya. Dan waktu itu ia belum berani
berterus terang. "Apa maksud Tuan?"
"Kau tahu untuk apa kita datang kemari?" Pertanyaan
itu makin membingungkan. Juga mata Andita dan
Sardola makin tajam menusuk pendalaman hatinya. Ia
tertunduk. "Masih adakah keberanianmu?" lagi suara Baswi.
"Benar-benar memusingkan, Tuan. Sebaiknya
kepadaku diberikan tugas untuk mati daripada harus
berpikir seperti ini."
"Berpikir berarti mengasah ketajaman otak. Ketajaman
otak tak bisa dilawan dengan ketajaman pedang," jawab
Baswi. "Aku memang terlalu dungu."
"Baiklah, Tumpak. Masihkah kau memandang aku?"
"Hamba telah mengikut sampai kemari."
"Berani kau melintasi daerah lawan sekarang?"
"Ke Blambangan" Ya... Ke Blambangan maksud
Tuan?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sssstt... jangan keras-keras! Aku tak mau pembicaraan ini didengar orang lain."
"Delapan mata bukan rahasia."
"Bukan rahasia buat kita. Tak boleh lebih."
"Apakah yang harus kukerjakan?"
"Berikan jawaban pada kami! Apakah kami bisa mempercayakan tugas berat padamu?"
"Hyang Maha Dewa!" Tumpak menyebut. "Tuan tidak pernah percaya?"
"Jangan gusar, Tumpak. Kami mempercayaimu. Tapi tidak pada semua soal," Andita kini yang menerangkan.
"Dalam keadaan tertentu tidak tiap soal dapat dipercayakan pada hanya seorang saja."
"Aku berjanji, Tuan." Tumpak menghela napas.
"Nyawamu sebagai taruhan," ujar Baswi.
"Memulai pertempuran?"
"Sabar, Tumpak." Baswi memandang kedua temannya. Mereka mengangguk. Baswi meneruskan.
"Kini tugasmu adalah menghadap Paman Umbul Songo.
Sampaikan salamku." "Tak ada surat-surat" "
"Tidak perlu. Lihat kesehatannya! Dan katakan padanya bahwa aku di sini. Jangan katakan lebih dari itu."
"Kapan harus berangkat?"
"Terserah! Tapi ingat, cuma kau seorang!"
"Demi Hyang Maha Dewa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah! Mari kita ke pura Hyang Durga untuk
mengucapkan janji." Mereka berempat pergi ke pura. Setelah mendengar
Tumpak mengucap janji, mereka berpisah. Sampai di
rumah perasaan kecewa kembali menghimpit dadanya.
Karena ia tak bisa bersua Yistyani.
"Bawalah dua saga emas ini untuk bekal," kata Andita ketika mengantarnya kembali ke rumah.
"Aku tak memerlukannya."
"Di pegunungan ini memang tidak. Tapi di
Blambangan kehidupan lain coraknya. Terimalah!"
"Tapi itu terlalu banyak."
"Tidak. Terimalah saja."
Tumpak mengawasi punggung orang itu waktu
meninggalkannya. Bidang. Dan Andita tak menoleh lagi.
Dan pada sore hari ia sempatkan pergi ke rumah
Yistyani. Yistyani harus tahu aku pergi, kata hatinya.
Namun Jenean yang mempersilakannya masuk.
"Mengejutkan sekali kedatangan Saudara."
"Pernah mendapat perkenan dari Yistyani."
"Kalau begitu kedatangan Saudara hanya untuk
Yistyani?" "Tidak..." Tumpak menjawab cepat untuk menutupi
kegugupan hatinya. "Sesekali aku memang pingin datang
ke sini." * "Yang di rumah cuma aku dan Sitra. Yistyani baru saja
keluar. Dipanggil Pangeran." Jenean tersenyum.
"Untuk apa?" Tumpak terkejut. Namun memaksakan
diri masuk ke ruangan rumah itu. Duduk di tikar pandan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Cuma dia dan Pangeran yang tahu."
"Apa dia tak pernah bercerita?"
"Tidak! Dan kami pun tidak pernah bertanya." Jenean
menemaninya duduk. "Kenapa?" "Tak ada perlunya mengetahui urusan lain orang."
"Dia sahabat Saudari bukan" Kenapa tak diacuhkan?"
"Dia bukan kanak-kanak. Dia mampu bertimbang
sendiri." "Kalau begitu Yistyani bisa tidak jujur di hadapan
Anda. Atau berbuat semau-mau."
"Jagat memang tidak pernah jujur. Buktinya selalu ada
mengalahkan dan dikalahkan. Ketidakadilan merajainya.
Karenanya kami telah memilih jalan sendiri-sendiri."
Tumpak bingung melihat kehidupan bekas selir-selir
Kuwara Yana itu. Yang lebih membingungkannya ialah
kenapa Wilis memanggil Yistyani" Untuk apa" Mungkin
saja sedang berdua-dua dengan Wilis. Dalam bilik yang
sudah menjelang gelap. Tak sempat ia berpikir jauh. Karena Jenean
menyuguhkan sirih. Dan ia bersirih sambil mengulur
waktu menunggu Yistyani. Namun di hari %ang telah
petang benar, gadis itu belum juga muncul. Padahal ia
harus berangkat bersama kegelapan malam yang baru
turun agar tidak menarik perhatian orang. Karena itu ia
segera permisi. Sekalipun sudah berjalan meninggalkan
Raung, hatinya tetap dirayapi kekecewaan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
IV. KEMELUT Tidak bisa tidak. Jalan-jalan rava ibukota Blambangan menjadi tidak terpelihara. Rerumputan dan ilalang tumbuh di mana-mana. Cuma jalan raya utama yang menghubungkan Lateng dengan pelabuhan Sumberwangi saja yang masih kelihatan dirawat. Para kawula terlalu sibuk bekerja untuk mencukupi macam-macam persembahan. Baik untuk para narapraja maupun laskar Mengwi yang masih tinggal. Juga untuk para brahmana di pura-pura.
Semua ini menyebabkan banyak orang yang tidak acuh lagi pada perkembangan negerinya. Istana tak pernah memberi perintah apa pun kecuali pemungutan pajak. Mangkuningrat tak pernah mengurusi pemerintahannya sendiri. Hampir setiap pemunculannya selalu diiringi oleh dayang-dayang terpilih. Ia tak pernah ambil pusing dengan cadangan negara yang kian menipis.
Atas mandat Cokorda Dewa Agung Mengwi, seluruh kendali pemerintahan ditangani oleh Bagus Tuwi. Tentu saja dia kemudian mengangkat menteri-menteri baru untuk mengukuhkan kedudukan. Demikian pun laskar Blambangan. Mereka bukan lagi pengaman bagi negeri sendiri. Kala harta benda kawula dirampas oleh laskar Mengwi, mereka tidak lagi mampu berbuat apa-apa.
Bahkan tidak kurang-kurang yang ikut terbahak-bahak melihat perawan Blambangan diseret untuk diperkosa oleh laskar pendudukan asing ini.
Suatu hari- laskar Bali itu tidak nampak lagi di pasar-pasar atau gardu-gardu penjagaan. Sepercik kegembiraan muncul di hati kawula Blambangan.
Ternyata Dewa Agung memutuskan menarik laskarnya.
Ia merasa pasti Blambangan akan sepenuhnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tergantung pada Bali. Kawula Blambangan memang tak
melihat mata yang lahap melihat perempuan-perempuan
mereka. Para perawan sudah berani keluar rumah lagi.
Seperti anak kecil yang baru lepas dari perasaan takut
pada momok. Kawula menduga keadaan ini akan
membaik. Dan terus lebih baik lagi.
Namun kenyataan tak selamanya sama dengan
harapan. Dan tak seorang pun mampu menyingkir dari
kenyataan. Kenyataan harus diterima, ditelan, dan
dikunyah-kunyah. Pahit atau manis. Tiap sesuatu
memang mempunyai berbagai sisi. Dari sisi yang satu
kawula melihat betapa busuknya laskar Blambangan
sekarang. Mereka telah diberi contoh busuk oleh laskar
Bali. Merampas, memeras, dan memaksa.
Apa daya" Kawula tetap kawula! Prajurit yang telah
mereka lahirkan telah menjadi semacam momok. Telah
menginjak kepala ayah-bundanya sendiri. Sedang dari
sisi lainnya, penguasa Blambangan melihat betapa rajin
laskarnya mengadakan perondaan. Melaksanakan
segala titah Raja. Menarik pajak.
Para penguasa bukannya tak melihat bahwa kawula
telah menjadi miskin. Namun mereka menilai,
penyebabnya kawula sendiri yang telah menjadi malas.
Tapi selalu lapar, rakus, dan pelit bila
mempersembahkan upeti. Begitu penguasanya berpikir,
begitu pula kaum brahmananya berpendapat.
Haryo Dento dan Umbul Songo yang keluar dari
penjara mengerti hal itu. Segala yang buruk dari Bali
telah ditumpahkan ke Blambangan. Anehnya,
kebanyakan orang tidak mengerti bahwa itu ampas
kebudayaan Bali. Mereka lebih menyukai barang sisa
pokoknya asing. Meriam yang tidak terpakai lagi di
Mengwi dijual ke Blambangan. Begitupun kapal-kapal.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pakaian dan bahkan bahasa. Bicara juga mesti
dicampur-campur dengan bahasa Bali, supaya kelihatan
terhormat. "Betapa sedihnya, Yang Mulia," ulas Umbul Songo
suatu hari. "Bukan saja menyedihkan. Tapi menyakitkan."
"Apa kiranya yang bisa kita perbuat?"
"Ah... kita dalam pengawasan."
"Sebagian laskar Yang Mulia telah menjadi bajak laut.
Mereka merampas harta benda nelayan. Juga telor
penyu dan sarang burung."
"Mereka terpaksa mengambil jalan yang salah itu.
Juga laskar Yang Mulia. Tak sedikit yang salah jalan."
Umbul Songo menarik napas panjang. Awan
menyelimuti wajahnya. Sehingga nampak semakin tua.
Kemudian dia memandang sekelilingnya. Pohon kelapa
di sebelah kiri-kanan jalan yang mereka lewati itu masih
menunjukkan kesuburan bumi semenanjung
Blambangan. Namun tidak masuk akalnya di atas bumi
sesubur itu kawula Blambangan hidup dalam kemiskinan.
Namun keduanya berjalan terus menyusuri jalan-jalan
raya Blambangan. Sepi. Dan banyak jalan yang sudah
menjadi jalan setapak kembali karena tidak pernah
dilewati pedati ataupun kereta. Banyak yang menjadi
rusak berat karena tidak menjadi jalan manusia lagi.
Lebih banyak digunakan oleh kerbau.
"Lihat Yang Mulia, betapa parahnya jalan-jalan ini.
Lalu apa gunanya setiap waktu brahmana bertambah
banyak yang dihasilkan oleh perguruan-perguruan yang
ada" Keadaan tidak menjadi baik. Jalan yang dulunya
bisa dilewati kereta dan pedati sekarang cuma bisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dilewati kerbau! Belum lagi rusaknya perniagaan. Lalu


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa gunanya Blambangan melahirkan begitu banyak
brahmana yang cerdik pandai itu kalau tidak bisa
memperbaiki keadaan?" Umbul Songo menyesali
sepanjang jalan. "Ini kan memang imbalan dari kekeliruan. Berapa pun
jumlah brahmana cerdik tidak akan berarti di bawah
pemerintahan seorang bocah yang dungu. Kita tidak
pernah bisa mencegah kekeliruan itu. Dulu kita melihat
pun tidak mampu. Justru Baswi keponakan Yang Mulia
itu tahu. Dan ambil sikap."
"Benar... Tapi akan selamanya kita diamkarjr keadaan
ini" Lalu apa kata anak-cucu nanti?"
"Apa daya seorang laksamana tanpa armada"
Panglima tanpa pasukan" Rupanya Mangkuningrat ini
memang lebih dungu dari bapanya."
"Yang Mulia!" Umbul Songo memperingatkan.
"Ya," Haryo Dento meneruskan. Sementara mereka
meneruskan perjalanan mengelilingi kota Lateng di
bagian selatan itu. "Bagus Tuwi dan Dang Hyang Wena
telah menenggelamkan Mangkuningrat ke dalam lumpur
ketidaktahuan. Juga Ar..."
"Yang Mulia!" Umbul Songo memperingatkan lagi.
Haryo Dento tertawa ramah.
"Yang Mulia takut" Lihat tak ada orang lain!"
"Pohon-pohon kelapa ini bisa bicara! Bahkan debu
yang menempel di kaki ini pun bisa melapor."
"Kita sudah tua. Apa pula yang kita takutkan"
Bukankah Mengwi telah membebaskan kita" Dan
melindungi kita?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Mulia keliru! Pembebasan kita ini adalah topeng
indah Dewa Agung untuk membuat laskar pelarian yang
kini di Mengwi tak menjadi duri dalam daging. Tapi sekali
kita dipersalahkan" Dan dianggap membangkang"
Jangan tanya. Kepala kita jatuh ke bumi."
"Topeng indah kata Yang Mulia?"
"Ya. Agar Baswi menjadi jinak bila mendengar hal ini.
Juga untuk menimbulkan kesan bahwa Mengwi adalah
kemaharajaan yang baik dan terbaik."
"Ha... ha... ha... ha..."
"Kenapa Yang Mulia terbahak?"
"Kebiasaan menghirup udara segar di gunung-gunung
membuat Yang Mulia begitu cerah. Hamba belum
berpikir sejauh itu."
"Hamba menilai kekacauan ini bukan dikarenakan
kedunguan para penguasa. Tapi karena para penguasa
Blambangan sudah tak memperhatikan prajagama
(peraturan ketataprajaan). Semua lebih banyak
mengurusi diri sendiri. Sebenarnya mereka tak pantas
lagi mengurusi kerajaan." Umbul Songo membuat
suaranya pelan. Sedang Haryo Dento mendengar sambil
mehgangguk-angguk. Bersamaan dengan itu seorang
punggawa datang dari arah berlawanan. Mereka
memandang tajam ke arah punggawa yang kelihatan
makin bergesa mendatangi mereka. Sekilas debar
jantung kedua orang itu berubah. Namun dengan tanpa
janji mereka memelankan langkah.
Setelah dekat sekali Haryo Dento berdesis, "Caraka?"
Dalam beberapa jarak caraka itu ngelesot di jalan
kemudian menyembah. "Ada sesuatu?" Haryo Dento bertanya lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Para Yang Mulia diminta menghadap istana."
"Aku?" Umbul Songo terkejut. Juga Haryo Dento
menanyakan yang sama. Karena sejak pulang dari
penjara mereka tidak pernah di panggil ke istana.
"Hamba sudah sejak tadi mencari Yang Mulia berdua.
Kian kemari tidak bersua...."
"Ada apa?" selidik Haryo Dento lagi.
"Hamba kurang tahu, Yang Mulia."
"Baik. Kami segera menghadap."
"Hamba pergi, Yang Mulia?"
"Pergilah!" 'Dengan perasaan sebal Umbul Songo mengawasi
punggung caraka yang meninggalkan mereka. Sampai ia
menghilang di belokan jalan.
"Gila! Sungguh keparat telik Blambangan. Mengintai
kita berdua...." "Bukan! Paling-paling kita disuruh mendengar ocehan
Arya Bendung yang itu-itu juga! Kalau tidak Bagus Tuwi,"
Haryo Dento menukas. Dan kemudian mereka melintas
jalan terdekat ke istana. Terpaksa melintasi jalan yang
ramai. Dan ternyata banyak orang yang masih
menjatuhkan diri untuk menyembah waktu berpapasan
jalan. Tak peduli apakah mereka pernah masuk penjara,
mereka tetap perwira-perwira tinggi yang pernah
menggentarkan bumi Blambangan. Keduanya membalas
penghormatan mereka dengan lambaian tangan atau
anggukan dan memberi tanda agar mereka segera
berdiri kembali. Keraguan menyelimuti Haryo Dento. Angan segera
meniti masa lalunya. Dulu, anak buahnya selalu patuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena hormat" Atau karena takut" Segan"
Sebenarnyalah ia tak pernah ingin jadi momok. Tidak! Ia
hanya ingin menunjukkan karya dan darma demi
Blambangan tercinta. "Melamun?" Umbul Songo mengejutkan.
Tergagap! Dan sebelum sempat menjawab mereka
sudah sampai di alun-alun depan istana. Bahkan telah
melewati dua pohon beringin di tengah alun-alun.
Kemudian dengan kebisuan mereka meniti naik ke
pendapa agung. Ternyata telah duduk di situ Bagus
Tuwi, Arya Bendung, para menteri, dan Tumenggung
Singamaya serta para tumenggung lainnya. Setelah
menghormat pada semuanya mereka mengambil tempat
duduk di sebelah kanan Penjalu. Orang itu kini yang
menggantikan Samodraksa Siung Laut. Ah, persidangan
agung, pikir Umbul Songo.
Beberapa bentar kemudian Mangkuningrat keluar.
Dalam iringan Hyang Wena serta dayang-dayang, dan
berpakaian kebesaran terbuat dari emas dan permata.
Bergaya seperti Sri Hayam Wuruk Sorga ia melambaikan
tangan agar pengawal menjauh. Duduk di atas
singgasana sambil menebar pandang.
"Para Yang Mulia," Bagus Tuwi memulai, "kali ini Sang Prabu berkenan memimpin langsung persidangan ini.
Karena itu beliau hendak segera menjatuhkan titah." Ia
menghormat dan dibalas oleh Mangkuningrat.
"Para Yang Mulia, sejak ditariknya laskar Bali, kita
melihat betapa parahnya keadaan Blambangan. Laporan
menunjukkan betapa perampok dan perompak
merampas di mana-mana. Bahkan juga milik kerajaan.
Adakah angkatan perang kita tak cukup kuat menumpas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka?" Kata-kata pembukaan Mangkuningrat
terdengar lancar. Kemudian ia pandang Arya Bendung.
"Ampun, Sri Prabu, pelakunya semua dari laskar yang
sudah dibebaskan," Arya Bendung bersembah. "Dan
yang terbesar, adalah dari bekas anak buah Yang Mulia
Haryo Dento dan Umbul Songo," lanjutnya.
Seperti disambar petir rasanya kedua orang yang
namanya disebut belakangan oleh Arya Bendung itu.
Apalagi Haryo Dento. Giginya terdengar bergeretak.
Matanya menyala. Gila! Apa lagi ulah orang ini" Namun
ia segera menahan hatinya. Kembali membuat sandiwara
untuk memasukkan aku ke penjara. Baik! katanya dalam
hati sambil bersiap pikiran.
"Lalu" Laskar kita tak kuat menghadapi mereka?"
"Setelah ada larangan dari Yang Maha Mulia Dewa
Agung untuk menambah jumlah laskar baru Blambangan,
maka tentu saja kita tak punva kekuatan menindas
mereka," Arya Bendung menandaskan.
"Betulkah itu, Yang Mulia Penjalu?" Ia kemudian
menoleh pada Samodraksa. "Tidak salah, Sri Prabu."
"Yang Tersuci..." Mangkuningrat menoleh ke kanan.
Orang yang berjubah kuning berkembang benang emas,
dan tangannya memegang tongkat hitam bergiring-giring
emas itu maju di dekatnya.
"Para Yang Mulia telah mempersembahkan dengan
penuh kebenaran. Kini Blambangan dalam kemelut kabut
gelap. Namun kita tak boleh lagi mengundang Mengwi.
Sebab itu akan mengundang petaka yang lebih besar."
"Kalau begitu, siapa yang harus mengatasi" Kemelut
ini bukan hanya diderita oleh kawula. Tapi juga aku!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam keadaan begini roh Ramanda akan terus
menuntut aku untuk mencari Mas Sirna calon patih
amangkubumi Blambangan itu. Bukankah sampai
sekarang belum ditemukan?"
Bagus Tuwi mengangguk saja dari tempat duduknya.
Kemudian menunjuk Singamaya agar memberikan
laporan tentang tugas yang dibebankan padanya. Dari
laporan itu Mangkuningrat tahu bahwa usaha pencarian
Mas Sirna sia-sia semata.
"Jagat Dewa! Apakah tak diperintahkan pada kepala
telik untuk melakukan pencarian secara teliti?"
"Ampun, Sri Prabu, sudah," Arya Bendung menjawab
lagi. Mangkuningrat mulai bingung. Bagus Tuwi segera
mengambil langkah. "Semuanya akan dikerjakan satu-satu. Harus juga
dikirim caraka ke Lumajang untuk menanyakan langsung
pada Kanda Adipati Agung. Mungkin selama ini
Pangeran ada di sana.?"
"Tidak mungkin, Yang Mulia," bantah Aiya Bendung.
"Lumajang juga lebih keruh."
"Dari mana Yang Mulia tahu?"
"Kepala Dinas Rahasia telah mempersembahkannya."
"Sekarang bersembahlah. Biar aku mendengar
langsung!" Sri Prabu memerintah langsung. Semua
kepala memaling pada Teposono. Juga Umbul Songo. Ia
merasa heran, betapa bekas wakilnya itu kini mendapat
kedudukan yang begitu tinggi. Seakan lidahnya dapat
mengeluarkan api. Ia telah hidup di atas ketakutan
semua orang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lumajang menghadapi suatu bencana. Perang
saudara akan segera berkobar. Antara Yang Mulia
Adipati Agung melawan Raditya."
"Jagat Dewa! Kenapa baru sekarang
dipersembahkan" Apakah berita ini benar?"
Mangkuningrat terkejut. Bagus Tuwi dan Yang Tersuci
Wena tak kalah terkejutnya.
"Keterlambatan ini disebabkan tiada laporan dari
Lumajang. Juga karena sang Adipati sendiri tidak
meminta bantuan" "Bagaimana, Paman?" Mangkuningrat memandang
Bagus Tuwi lagi. Dan orang itu segera menanya pada
Teposono, "Adakah Yang Mulia bisa mengutarakan sebab-sebab
pertikaian kedua saudara itu?"
"Ampun, Yang Mulia."
"Kenapa tidak?" Bagus Tuwi mengerutkan dahi.
"Telik yang kami kirim belum kembali."
"Pertikaian belum lagi berkembang. Api belum
menyala. Karena itu kita pergunakan kesempatan ini
untuk menyelesaikan persoalan pertama. Kerusuhan
dalam negeri." Mangkuningrat mengangguk. Kemudian ia mulai
menoleh pada Umbul Songo dan Haryo Dento. Berganti-
ganti ia pandangi dua perwira tinggi itu. Namun
kepalanya tambah berdenyut-denyut. Tak biasa ia bicara
begitu panjang di dalam suatu perundingan. Apalagi turut
berpikir. Untung Bagus Tuwi bicara lagi.
"Yang Mulia..." Suaranya kini menjadi datar, "negara sedang rusuh. Bukankah Yang Mulia berdua sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendengar titah Baginda tadi" Maksud kami, Baginda
sudah berkenan membebaskan Yang Mulia berdua. Dan
kini Blambangan membutuhkan imbalan dari Yang
Mulia." Dengan tenang Umbul Songo tersenyum ramah.
Kemudian menjawab, "Hamba memang lebih suka mati
untuk Blambangan." "Bagus...." "Tapi apa yang harus kami kerjakan?"
"Sri Prabu ingin Yang Mulia mempanglimai
pembasmian para perusuh. Dan Yang Mulia Laksamana
menghancurkan para perompak. Kami tahu tak ada
pilihan lain yang mampu."
"Ampun, Yang Mulia!" Haryo Dento membantah. "Apa arti hamba tanpa armada?"
"Laksamana membawahi mereka masa lalu. Sekarang
pun harus bisa." "Tak sebutir pun peluru pada kami." Haryo Dento
membeliakkan mata. "Juga tak ada uang, emas atau
perak semenir pun." "Yang Mulia tak sanggup?" Bagus Tuwi mulai tak
sabar. "Apa arti harimau tanpa taring?"
"Yang Mulia!" Bagus Tuwi tersentak. "Menyindir kami"
Sebenarnya Yang Mulia ingin mengatakan bahwa
Blambangan sekarang telah rapuh?"
"Sejak lama Blambangan rapuh. Kini kita berdiri di
bawah telapak kaki Bali. Kita memang bukan hidup pada
zaman Bhree Wirabhumi anumerta, juga bukan zaman
Yang Maha Mulia Pati Udara Sorga...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dewa Bathara!" Bagus Tuwi dan Dang Hyang Wena
menyebut berbareng. Haryo Dento tetap keras seperti
dulu. Bahkan mungkin lebih keras lagi. Pendengar


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lainnya menjadi gelisah. Udara menjadi gerah. Walau
semua yang hadir kecuali Dang Hyang Wena telanjang
dada. Mungkin karena suasana dalam ruangan terbuka
itu makin panas atau mungkin karena mentari memancar
tepat di atas atap. Tidak tahu alasan yang pasti, namun
Pedang Dan Kitab Suci 14 Pedang Medali Naga Karya Batara Dendam Empu Bharada 2
^