Pencarian

Tangan Geledek 13

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


benar-benar aku masih merasa malu. Dia itulah laki-laki
sejati dan kita harus mengaku bahwa tanpa bantuan katak
hijau kiranya tak mungkin kita dapat menjatuhkannya.
Kalau aku tahu Cui Kong akan menyia-nyiakan kita dan
menyiksa seperti ini, lebih baik aku dulu turut dan
membantu Tiang Bu. Dia laki-laki gagah betilmu tinggi......"
"Hush, adik Kim, bagaimana kau bisa me lamun yang
tidak-tidak" Cui Kong sudah menipu kita dan melempar kita
ke tempat ini. Kita sudah tertotok hi at-to kita sehingga tidak berdaya keluar dari tempat ini. Kalau ayah tidak lekas-lekas
mencari kita dan Cui Kong mendiamkan saja apakah kita
29 tidak akan mati kelaparan......?" Kedua orang gadis ini lalu
menangis terisak-isak. Sementara itu, di balik dinding batu itu, Tiang Bu
memegang tangan Bi Li dengan hati girang. "Bi Li,
kesempatan baik untuk lolos dari sini, bahkan untuk
menyerbu masuk mencari manusia Liok Kong Ji." Tanpa
menanti Bi Li menjawab, Tiang Bu mengetuk- ngetuk
dinding batu itu dan berkata dengan suara nyaring.
"Cui Lin dan Cui Kim. Aku Tiang Bu berada di sini,
terjebak oleh Cong Lung. Kalau kalian bisa menolongku
keluar, tentu akupun dapat menolong kalian !"
Suara tangis di sebelah terhenti seketika dan agaknya
dua orang gadis itu terheran dan kaget. "Kau di situ. Tiang Bu " terdengar Cui Lin berkata, hati-hati sekali. "Bagaimana kau bisa menotong kami yang pernah mencelakaimu?"
"Tolonglah aku keluar dari sini, tentu aku akan
melupakan perbuatan kalian yang dulu dan aku akan
berusaha menolongmu ke luar pula serta membebaskan
hiat-totmu yang tertotok."
Beberapa lama tidak terdengar jawaban, agaknya emci
dan adik itu berunding. Kemudian terdengar lagi suara Cui
Lin melalui celah-celah kecil di tembok batu karang itu.
"Tiang Bu kau cari se buah batu berbentuk tengkorak di
ujung kanan bagian ini, putar hulu tengkorak itu tiga kali ke kiri, akan terbuka pintu rahasia."
Bukan main girangaya hati Tiang Bu mende ngar ini.
Cepat tangannya meraba-raba akhirnya ia mendapatkan
batu tengkorak itu. Hatinya berdebar tegang ketika
tangannya mengerahkan tenaga memutar batu tengkorak ke
kiri. "Kriiittt ....... !" Perlahan-lahan terbukalah pintu rahasia yang tidak kelihatan di ujung itu. Tiang Bu dan Bi Li
menerohos ke luar. Baiknya Tiang Bu selalu waspada dan
sudah curi ga kepada Bi Li yang sejak tadit diam saja. Begitu 30
melihat pedang berkelebat ia menangkap pergelangan tangan
Bi Li. "Bi Li, demi Thian....... kau hendak berbuat apa ?"
"Tiang Bu, dua ekor siluman seperti dia patut dibunuh !
Apa kau hendak melindungi mereka ini, due ekor siluman
jahat bekas...... bekas...... kekasihmu.... ?"
Ruangan di mana Cui Lin dan Cui Kim berada ini cukup
te rang sehingga mereka dapat saling melihat wajah masing-
masing. Dua orang gadis itu menggeletak dalam keadaan
setengah lumpuh dan tidak berdaya karena sudah tertotok
hiat -to (jalan darah) mereka. Bi Li nampak marah sekali,
sepasang matanya me ngeluarkan sinar berapi-api ke tika ia
memandang kepada dua orang gadis itu.
"Sabarlah, Bi Li. bukan perbuatan gagah untuk menarik
kembali janji kita. Aku tadi telah berjanji akan balas
menolong mereka ini yang sudah menolong kita."
"Kau yang berjanji, akan tetapi aku tidak !" Bi Li
membantah. "Akan tetapi aku sudah berjanji akan bebaskan mereka."
sambil berkata demikian, Tiang Bu cepat melepaskan
pegangannya, lalu dengan gerakan yang luar biasa cepatnya
ia menepuk punggung Cu Lin dan Cui Kim yang segera
menjadi bebas kembali. "Tiang Bu, kau mau bertemu dengan ayah" mari
kuantar," kata Cui Lin tanpa banyak cakap lagi, juga tidak mau memandang kepada Bi Li yang galak.
Tiang Bu mengangguk, lalu dengan ramah menggandeng
tangan Bi Li yang masih marah, karena mendengar bahwa
dua orang gadis itu hendak mengantarnya ke tempat Liok
Koug Ji, maka Bl Li menurut dan tidak banyak cakap. Tentu
saja berhadapan dengan Kong Ji lebih penting dari pada
mengurus dua orang gadis yang amat dibencinya itu.
31 Segera setelah empat orang ini melompat ke luar dari
sumur dangkal di mana Cui Lin dun Cui Kim berada tadi,
kelihatan sebuah Hutan Bambu Kuning di depan.
Nampaknya seperti hutan biasa, dengan bambu kuning yang
amat indah berkelompok di sana sini. Akan tetapi
sesungguhnya kelompok-ketompok bambu kuning itu
teratur menurut kedudukan bintang dan amat sulit
dimasuki orang. Kali ini Cui Lin dan Cui Kim tidak berani
be rlaku curang lagi. Memang mereka ingin membalas
dendam, terutama kepada Cui Kong, maka dengen sengaja
mereka mengantar Tiang Bu memasuki sarang Ui-tiok-lim
ini. Di dalam gedungnya yang indah seperti Istana, Liok Kong
Ji dan saudara angkatnya sedang duduk menghadapi meja
perjamuan. Mereka sedang mendengarkan penututan Cong
Lung tentang Tiang Bu dan seorang gadis jelita yang telah
dije baknya masuk ke dalam s umur maut.
"Siauwte tidak berani lancang membunuh karena harus
menanti keputusan Liok-toako tentang puteranya it u. Harus
diakui bahwa pemuda itu lihai bukan main dan agaknya
tidak menaruh hormat sama sekal i terhadap Liok toako."
Cong Lung mengakhiri penuturannya.
Pada saat mereka sedang bercakap-cakap muncullah
orang yang menjadi bahan percakapan mereka. Tiang Bu
memasuki pintu ruangan yang luas itu bersama Bi Li
sedangkan dua orang gadis yang mengantarnya tentu saja
tidak berani masuk den sudah dari tadi pergi.
"Tiang Bu, akhirnya kau datang juga di sini!" Liok Kong
Ji melompat berdiri dari bangkunya de ngan wajah
tersenyum girang sekali, padahal dadanya berdebar keras.
Memang pandai sekali Kong Ji menyembunyikan
perasaannya. "Ayahmu telah amat mengharapkan
kedatanganmu, syukur kau datang, nak ! Dan ini siapakah"
Calon istetimu" Bagus, Kau boleh tinggal di sini sebagai
32 puteraku bersama isterimu yang jelita ini. Mari, mari
duduklah di sini, kuperkenalkan dengan susiok-susiokmu."
Tiang Bu memandang de ngan hati tidak keruan rasa. Ia
berhadapan dengan orang yang sejahat-jahatnya, akan tetapi
orang ini adalah ayahnya sendiri, hal ini sekarang ia tidak
dapat membantah atau menyangkal pula. Inilah Liok Kong
Ji, ayahnya yang dengan keji melebihi binatang telah
merusak hi dup ibunya. Gak Soan Li sehingga terlahirlah ia,
anak yang tidak diakui ibunya sendiri!
Tiang Bu memandang penuh perhatian dan harus ia akui
bahwa Liok K ong Ji tidak patut menjadi ayahnya. Liok Kong
Ji yang sudah berusia e mpat puluh tahun lebih itu
kelihatannya masih muda, pakaiannya terbuat dari pada
sutera yang halus dan mahal, wajahnya tampan berseri-seri
dan terawat baik, rambulnya yang masih hi tam itu
mengkilap oleh minyak, digelung ke atas dan diikat dengan
sutera halus pula. Pedang yang indah gagangnya te rgantung
di punggung, kelihatan tanpan dan gagah sekali.
"Liok Kong Ji manusia iblis ! Jangan kau bicara tak
karuan. Siapa itu puteramu ! Aku, Tiang Bu datang untuk
mengambil kepalamu agar rohmu dapat menebus dosamu
yang sudah bertumpuk," kata Tiang Bu, s uaranya terang
saja namun mengandung ancaman hebat.
Terdengar suara tertawa bergelak dan empat orang
saudara angkat Kong Ji bangkit dari kursi mereka. Cong
Lung dan Cui Kong yang berada di situ tidak berani
sembarang berkutik karena dua orang ini sudah mengenal
kelihaian Tiang Bu, akan tetapi empat orang jagoan yang
lain merasa amat lucu melihat se orang pemuda se derhana
tanpa memegang senjaia apa-apa berani datang di Ui tiok-
lim dan mengancam he ndak mengambil kepala Thian te Bu-
tek Taihiap Liok Kong Ji begitu saja. Ini benar-benar
keterlaluan sekali. "Bocah ingusan jangan kau kurang ajar! Twa-ko, kalau
kau memberi ijin, biar siauwte menangkap puteramu yang
33 puthauw (tidak berbakti ) ini !" kata Koat -jiu Sin-touw Lee-Bok-Wi Si Malaikat Copet.
Kong Ji yang menjadi merah mukanya mendengar
dampratan Tiang Bu tadi, menganguk sambil berkata,
"Bocah ini me mang me ndapat pelajaran dari orang-orang
tidak benar. Perlu digembleng di sini. Kautangkaplah, akan
tetapi hati-hati, Lee.sute."
Begitu mendapat perkenan Kong Ji, Lee Bok Wi
melompat dan bukan main cepatnya gerakannya ket ika
melompat karena tahu-tahu ia sudah berada di depan Tiang
Bu, terus kedua tangannya dipukulkan ke depan bertubi-
tubi. Melihat gerakan orang kate yang amat cepal ini, diam-
diam Tiang Bu kagum dan tahu bahwa ia berhadapan
dengan orang pandai yang ahti dalam ilmu ginkang. Akan
tetapi karena tujuan ke datangannya ini untuk membunuh
Liok Kong Ji, ia tidak mau me mbuang banyak waktu.
Pukulan Lee Bok Wi ia hadapi dengan pukulan pula sambil
mengerahkan s in-kangnya. Akan tetapi Si Malaikat Copet
ternyata cepat sekali. Dari sambaran angin pukulan Tiang
Bu, dengan kaget sekali ia dapat menge tahui bahwa pemuda
sederhana ini ternyata memiliki tenaga yang luar biasa,
cepat ia menarik kembali tangannya dan sekali
menggerakkan kaki, tubuhnya sudah berkelebat ke belakang
Tiang Bu dan mengirim totokan dari belakang ke arah
punggung pemuda itu. Akan tetapi bukan Tiang Bu yang
roboh, melainkan dia sendiri yang mencelat dan me mbentur
tembok. Tanpa menoleh Tiang Bu tadi sudah menggerakkan
tangan ke belakang dan sekali dorong ia telah dapat
membuat tubuh si kate itu terlempar.
"Dia lihai , mari beramai tangkap!" se ru Cui Kong tak
sabar. Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian Tiang Bu,
maka begitu tubuh Lee Bok Wi terlempar, ia menjadi
khawatir dan menganjurkan supaya dilakukan
pengeroyokan. 34 "Betul , mari keroyok!" seru Cong Lung yang sudah tahu
pula bahwa maju seorang de mi seorang takkan ada
gunanya. Demikianlah, Twa-in Ma It Sun memutar golok
besarnya, It-ci-sian Kwa Lo juga melompat maju dan
mengirim serangan totokannya yang lihai , Hok Lun Hosiang
juga memutar toyanya. Ditambah lagi de ngan Cong Lung
dan Cui Kong serta Lee Bok Wi yang sudab maju lagi,
sebentar saja Tiang Bu dikeroyok oleh enam orang ahli silat
tinggi yang mempunyai kepandaian lihai.
"Majulah. majul ah semua kalau sudah bosan hidup!"
Tiang Bu membentak garang, sedikitpun tidak takut. Kaki
tangannya be rgerak cepat dan semua serangan lawan dapat
digagalkannya. dielak atau ditangkis. Pemuda ini benar-
benar mengagetkan para lawannya, karena hanya dengan
sentilan jari tangan ia berani menangkis serangan se njata
tajam. Sementara itu, melihat betapa Tiang Bu dikeroyok, Bi Li
menjadi marah sekali. Ia menggerakkan pe dangnya dan
menyerang Liok Kong Ji sambil membentak marah.
"Manusia keji Liok Kong Ji, rasakan pembalasanku!" Pedang itu menyambar ke arah leher Liok Kong Ji sedangkan ular di
tangan kirinya juga ia gerakkan dalam serangan susulan.
"Hem, kau cantik sekali akan tetapi ganas !" seru Liok
Kong Ji sambil tersenyum mengejek. Akan te tapi senyum
ejekannya segera lenyap ketika hampir saja lehernya tergigit
oleh ular kecil yang melingkar di pergelangan tangan Bi Li
karena gadis ini menggerakkan tangan kirinya dengan cepat
bukan main, Inilah ilmu serangan yang khusus dengan
senjata ular hidup. yang ia pelajari dari ayahnya, Kwan K ok
Sun. "Keji sekali !" seru Liok Kong Ji dan pedangnya sudah
tercabut pula. Dengan mainkan pedangnya secara tenang
dan lambat, Kong Ji dapat mempertahankan diri de ngan
mudah. Me mang kalau dibandingkan, ilmu kepandaian Liok
Kong Ji jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Bi Li, maka
35 dengan mudah saja Kong Ji mempermainkanrya. Kadang-
kadang pedangnya mengancam dada Bi Li, akan tetapi tidak
te rus ditusukkannya, melainkan sedikit colekannya
membuat baju gadis itu bolong se dikit !
"Kau jeli ta sekali, kau cantik dan gagah. Ahh ..... . kalau belum menjadi milik dia, hemm....... kau akan membikin
gedungku lebih menyenangkan lagi.... !" dengan kata- kata
yang kotor Kong Ji memuji-muji kecantikan Bi Li, setengah
mempermainkan dan setengah kagum betul-betul karena
memang gadis ini memiliki kecantikan yang luar bias a.
Bahkan di antara belasan orang selirnya yang cantik-cantik,
di antaranya terdapat pula puteri-puteri dari istana hasil
rampasan, tidak ada yang memiliki kecantikan asli seperti Bi
Li. Mendengar ini dan melihat betapa i a dipermainkan, Bi Li
menjadi makin marah bertempur dengan nekat.
Sementara itu, dengan kegagahannya yang luar biasa
Tiang Bu mengamuk. Apa lagi melihat Bi Li bertempur
dengan Kong Ji ia me rasa khawatir karena ia sudah
mendengar akan kepandaian Kong Ji yang tinggi dan
wataknya yang kejam. Karena ingin cepat cepat membantu
Bi Li, Tiang Bu segera mengeluarkan kepaundaiannya yang
istimewa. Tubuhnya seakan-akan lenyap dari pandangan
mata orang-orang pengeroyoknya dan dalam segebrak saja
tubuh Cui Kong sudah terlempur berikut huncwenya, juga
Ban-kin-liong Cong Lung bergulingan roboh tak dapat
bangun pula. Cui Kong terkena tendangan kilat sehingga
menderita luka di dalam perut, sedangkan Cong Lung
terkena pukulan hawa lweekangnya yang membalik ketika
tadi i a memukul punggung pemuda itu, didiamkan saja ole h
Tiang Bu akan terapi sinkangnya bekerja sehingga tangan
yang memukulnya itu terpukul sendiri oleh tenaga lweekang
yang membalik, membuat Cong Lung merasa tangannya
seperti dibakar dan ditusuk-tusuk dan ia bergulingan seperti
cacing terkena abu panas .
36 It-ci-sian Kwa Lo menjadi kaget dan penasaran sekali. Ia
mengerjakan jari-jari tangannya berganti-ganti untuk


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengirim totokan sehingga tulang-tul angnya berkerotokan
tanda bahwa seti ap totokannya dilakukan dengan
pengerahan tenaga dalam dan sekali saja mengenai sasaran
tentu tak perlu diulang pula. Namun Tiang Bu yang sudah
marah itu mengangkat tangannya, membuka telapak tangan
menerima sebuah totokan jari satu de ngan telunjuk kanan.
Kwa Lo sudah girang sekali. Pemuda ini goblok, pikirnya,
mengira bahwa totokanku seperti totokan bias a yang dapat
dipunahkan dengan telapak tangan yang penuh tenaga
sinkang. Dia tidak tahu bahwa aku sudah melatih jari jariku
dengan bubuk baja putih, jangankan telapak tangan dari
kulit daging, biarpun besi akan dapat tembus oleh jari
telunjukku, demikian Kwa Lo berpikir dan me lanjutkan
totokannya dengan sepenuh te naga.
"Trakk.......!!" Jari telunjuk menotok tengah tengah
telapak tangan kiri Tiang Bu dan akibatnya tubuh Tiang Bu
tergetar sedikit akan tetapi Dewa Jari Satu itu menjerit
kesakitan sambi l me lompat mundur terus memegangi
tangan kanannya. Jari telunjuknya sudah bongkak bengkok
tidak karuan karena tulang jarinya sudah patah-patah.
Melihat ini, Twa-to Ma It Sun yang melihat gelagat buruk
cepat berseru. "Liok-twako, lekas bereskan bocah itu dan bantu kami!"
Liok Kong Ji sudah tahu bahwa dengan mudah Tiang Bu
sudah merobohkan tiga orang dan tinggal tiga orang l agi
yang mengeroyoknya. I a mendapatkan akal. Cepat ia
manggerakkan tangan kiri, dengan Ilmu Lokoai-sin-kiam
(Iblis Tua Menyambut Pedang) ia be rhasil menggunakan jari-
jari tangannya menjepit pedang Bi Li dan pada saat gadis itu
berkutetan hendak mencabut pedaog, pedang Kong Ji
menyambar bagaikan kilat.
"Capp ....!" Bi Li mengeluh, darah me nyembur dan gndis
itu roboh pingsan dengan lengan kiri terbabat putus oleh
37 pedang Kong Ji ! Ular putih yang masih melingkar di
pergelangan tangan kiri ini misih menggeliat-geliat di tangan yang kini menggetetak di atas terpisah dari tubuh Bi Li.
"Bi Li...!" Ti ang Bu memekik nyaring sekali dan berdiri bagai patung mel ihat ke arah gadis yang sudah buntung
lengan kirinya itu. Ia tidak perdulikan lagi Iawan-lawannya,
mukanya pucat matanya terbelalak.
"Bi Li ...... . ! Tiang Bu malompat dan me nubruk gadis itu
yang masih pingsan dan darah bercucuran keluar dari
pangkal lengan yang buntung. Dipondongnya tubuh gadis
itu, sama sekali tidak perduli akan Twa-to Ma It un yang
mempergunakan saat baik itu untuk mengerakkan goloknya
dari belakang menyambar kepala Tiang Bu !
Namun kepandaian Tiang Bu sudah mencapai tingkat
yang sukar diukur tingkatnya, biarpun perhatiannya
tercurah kepada Bi Li dan pikirannya bingung sekali melihat
gadis ini buntung tangannya, namun perasaannya yang
sudah otomatis dalam menghadapi serangan lawan dapat
menangkap adanya gol ok yang me nyambar dari be lakang.
Secara otomatis pula tubuhnya miring dan kakinya
menyambar. Terdengar pekik kesakitan, golok terlepas dan
tubuh Ma It Sun yang tinggi besar itu terjengkang mengukur
tanah. Tiang Bu memandang kepada Kong Ji, pandang matanya
be ringas pe nuh ancaman.
"Kau....... kau ....... manusia keji.......!" Cepat laksana kilat, dengan Bi Li masih dalam pondongannya. Tiang Bu
menyerang ke depan, tangan kanan memondong Bi Li,
tangan kiri melakukan pukulan dengan pangerahan tenaga
sinking sepenuhnya ke arah dada Liok Kong Ji. Pukulan ini
hebat sekali karena mengandung hawa sinkang yang sakti.
Inilah pukulan berdasarkan gerakan sajak yang berkepala
"Ya tertembut mene mbus yang terkeras di kolong langit"
yaitu sebait sajak dari kitab To-tikkeng yang termuat dalam
kitab pelajaran Thian-te Si-kong dan di dalam pukulan
38 "terlembut " ini berse mbunyi kekuatan maha dahsyat yang sudah dapat ia kumpulkan berdasarkan latihan dari kitab
Seng thian to. Seperti diketahui. Liok Kong Ji adalah se orang ahli silat
yang sakti yang memiliki i lmu-ilmu sakti seperti Hek tok
ciang (Tangan Racun Hitam ), Tin-san-kang (Tenaga
Mandorong Gunung) dan lain-lain ilmu silat tinggi yang
serba lihai. Kepandaiannya pada waktu itu sudah amat
jarang tandingannya maka ia berani memakai julukan
Thian-te Bu-tek. (di Dunia Tidak Ada Lawannya) !
Menghadapi serangan anaknya yang sesungguhnya ini, ia
cepat menggerakkan dua tangan menangkis, mengerahkan
tenaga untuk melumpuhkan Tiang Bu dan me nawannya.
Betapapun juga hasrat hati Kong Ji terhadap Tiang Bu
hanya untuk menaklukkan pemuda itu, untuk menarik
Tiang Bu sebagai anaknya yang tidak memusuhinya untuk
memberi penghidupan mulia dan bahagia kepadanya. Sama
sekali tidak ingin melihat Tiang Bu tewas, maka ia sengaja
menangkis dengan pengerahan tenaga untuk kemudian
menangkap anaknya ini. Akan tetapi belum juga ia dapat manangkap lengan Tiang
Bu, hawa pukulan pemuda ini sudah menyambar,
mendobrak hawa tangan Kong Ji dan terus memukul ke
arah dada. Bukan main kaget nya hati Kong It. Sungguh di
luar dugaannya bahwa pukulan pemuda akan sedemikian
hebatnya, pukulan yang selama dia hidup belum pernah
mengalaminya. Cepat i a merendahkan tubuhnya dan dengan
kedua tangan ia mendorong, melakukan pukulan Tin san
kang sehebat-hebatnya karena maklum bahwa pukulan
pemuda itu merupakan pukul an maut.
Dua tenaga tidak kelihatan bertemu di udara, dan.......
Liok Kong Ji terlempar kebel akang sepeti rumput kering
ditiup angin me nubruk dinding sehingga dinding itu jebol!
Untung baginya, tubuhnya sudah kebal dan se tidaknya
hawa pukulan Tin-san-kang tadi sudah mengurangi atau
39 menghambat daya se rangan pukulan Tiang Bu sehingga ia
tidak terluka hebat, hanya muntahkan darah segar karena
getaran yang amat he bat. Dengan se pasang mata terbelalak
le bar saking kagum, kaget, heran, dan takut Kong Ji berdiri
lagi, siap- siap menghadapi pemuda yang lihai ini.
Tiang Bu sudah mendesak maju lagi dengan muka
beringas, sedangkan Hok Lun Hosiang sudah mendekati
Kong Ji untuk membantu "twako" ini. Juga para jagoan yang tidak terluka berat seperti Lee Bok Wi dan Ma It Sun sudah
bangkit lagi dan bersiap-siap membantu Kong Ji.
Akan tetapi Kong Ji yang maklum bahwa biarpun
dtkeroyok kiranya mere ka takkan mampu menahan amukan
pemuda yang memiliki kepandaian luar biasa ini, cepat ia
berkata. "Tiang Bu, kalau tidak lekas diobati, gadis itu akan mati kehabisan darah!"
Memang Kong Ji cerdik bukan main. Sekilas pandang
saja ia sudah dapat menduga bahwa Tiang Bu mencinta
gadis itu sepenuh hatinya, maka ia sengaja berkata
demikian untuk menahan amukan pemuda itu. Dan kata-
katanya ini memang tidak bohong. Tiang Bu kaget
mendengar ini dan baru ia sadar dan melihat betapa darah
te rus menerus mengucur dari pangkal lengan Bi Li.
"Bi Li...........!" serunya tercampur isak. Cepat ia menekan jalan darah Bi Li di pundak dan untuk menghentikan darah
yang mengucur ini perhatiannya tercurah kembali kepada Bi
Li dan ia tahu, bahwa yang terpenting di antara segalanya
adalah merawat Bi Li lebih dulu. Cepat is melompat pergi
dari tempat itu me lalui para penjaga yang sudah datang
mengepung sambil berseru, *Bangsat Liok Kong Ji, lain kali
aku datang mengambil kepalamu!"
Beberapa orang penjaga roboh dan kocar-kacir ketika
mencoba untuk menghadang larinya. "Biarkan dia pergi?"
seru Kong Ji kepada para penjaga, maklum bahwa mereka
ini sama sekali bukan tandingan Tiang Bu dan ia masih
40 mengharapkan untuk dapat menawan pemuda perkasa itu
mengandalkan alat- alat rahasia di dalam Ui-tiok-lim.
Siapakah yang dapat ke luar dari Ui-tiok-lim" Hutan
Bambu Kuning ini sudah terkenal sebagai tempat yang tak
mungkin dimasuki orang kalau toh orang itu dapat masuk,
tak mungki n akan dapat ke luar. Lebih sulit dan berbahaya
dari pada Kuil Siauw-lim-si yang te rmasyhur.
Tanpa mendapat rintangan lagi dari kaki tangan Liok
Kong Ji, Tiang Bu berlari cepat ke luar ruangan itu dengan
maksud ke luar dari istana besar dan membawa Bi Li ke
tempat aman. Begitu melompat ke luar ruangan itu, lebih
dulu ia mengeluarkan obat dari saku bajunya, yaitu obat
tempel yang ia tempelkan pada luka atau ujung lengan yang
buntung dan dibalutnya ujung itu depan robekan bajunya
sendiri. Kemudian ia menotok beberapa jalan darah penting,
selain untuk menghentikan darah yang mengalir ke bagian
yang buntung, juga untuk mematikan ras a nyeri yang tentu
akan menyiksa gadis itu apabila siuman.
(Bersambung jilid ke XIX)
41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid XIX DILIHATNYA wajah Bi Li pucat se kali seperti mayat.
Tiang Bu makin bingung. Inilah tanda bahwa gadis itu telah
ke hilangan banyak sekali darah maka perlu cepat-cepat
diberi obat dan makanan penambah darah. I a perlu cepat-
cepat pergi dari tempat ini. Segera ia memondong lagi tubuh
Bi Li dan be rlari ke luar. Akan tetapi, manakah jalan ke
luar" Tadi ket ika ia memasuki gedung ini, jalan masuk
mudah saja, dari pekarangan depan melalui ruangan depan
dan gang kecil panjang sampai di ruangan belakang di mana
Liok Kong Ji dan kawan-kawannya berada.
Akan tetapi sekarang keadaannya lain sekali. Setelah
mecari-cari, akhirnya dengan hati lega Tiang Bu
mendapatkan lorong atau ruang kecil tadi yang cepat
dimasukinya. Akan tetapi, setelah lari beberapa lama. ia
menjadi makin bingung. Lorong kee il ini ternyata bercabang-
cabang banyak sekali dan sudah lebih dari sepuluh cabang
ia masuki akan tetapi se laln tiba di jalan buntu.
Celaka, pikirnya, ini tentu bukan yang tadi. Ia lari
kembali akan tetapi anehnya, ia sudah tidak bisa sampai ke
tempat semula. Lorong ini mati di sebuah, kamar buntu,
1 lorong itupun demikian, benar-benar membingungkan
sekali. Setelah lebih dari tiga jam ia berputar di lorong-lorong
yang tidak ada jalan keluarnya dan ruwet seperti benang ini,
tiba-tiba terdengar suara orang ketawa. suara ketawa Liok
Kong Ji yang tidak kelihatan orangnya.
"Ha ha-ha, Tiang Bu. Baru mengenal kel ihaian ayahmu!
Inilah yang disebut Gua Seribu Lorong. Menyesatkan. Kau
takkan bisa ke luar dari ini. Kau menakluklah, anakku. Aku
takkan mencelakaimu, aku ........ aku ayahmu dan sayang
kepadamu. Lihat, gadis itu sudah amat payah, banyak
kehilangan darah dia akan mati lemas. Kau menaluklah dan
akan menyuruh orang merawatnya sampai sembuh.
Kauterimalah menjadi anakku yang terkasih dan kalau
perlu, gadis itu boleh menjadi mantuku."
"Lionk Kong Ji manusia Iblis. Siapa percaya omonganmu
yang berbisa" Kau sendiri baru saja membuntungkan
le ngannya !" "Karena terpaksa, puteraku. Karena terpaksa, kalau tidak kulakukan siasat itu, bagaimana dapat mengundurkan kau
yang begitu gagah perkasa" Oo anakku, aku bangga bukan
main melihat pureraku demikian sakti ....... !
Tiang Bu, sebetulnya permusuhan apakah yang ada
antara anak dan ayah, antara kau dan aku" Bisa jadi
banyak orang yang merasa menjadi musuhku, akan tetapi
mengapa kau" Aku tak pernah mengganggumu....... "
"Kau, setan! Kau telah menghina ibuku, kau telah
mencelakai banyak orang baik baik !"
"Tiang Bu, kau keliru. Kapankah aku menghina ibumu?""
"Jahanam, kau masih hendak me nyangkal?" Tiang Bu
membentak ke arah suara yang bersembunyi di balik
dinding itu. "Kau telah mempermainkan ibuku,
menghinanya ketika dia masih gadis."
2 Liok Kong Ji yang bicara dari balik pintu rahasia itu
tertawa bergelak. "Ha ha ha, Tiang Bu, kau bi cara apa ini" Ingatkah kau
kalau tidak ada aku yang kau bilang me nghina Soan Li,
bagaimana bisa terlahir kau " Kau adalah putera Soan Li
dan aku, bagaimana kau bisa bilang begitu?"
Tiang Bu merasa sepe ti ditampar mukanya. Ia menjadi
pucat sekali ketika ia meletakkan tubuh Bi Li di alas lantai
dan ia berlari mengepal tinju ke arah suara itu. "Memang, aku memang anak haram ! Aku anak hina dina yang terlahir
dari perbuatanmu yang keji terkutuk! Akulah bukt i hidup
tentang kejahatanmu yang tak berampun. D an bukan orang
lain aku sendiri yang akan mencabut nyawamu. Hampir ia
menangis saking sakit hatinya kalau teringat akan keadaan
dirinya yang berayah sedmikian jahat dan hinanya.
"Hemmm, kau terlalu terpengaruh oleh hasutan manusia
macam Wan Sin Hong. Mana ada anak bijaks ana melawan
ayah sendiri. Kau belum insyaf Tiang Bu belum insyaf. ....."
Setelah mengeluarkan ucapan dengan nada sedih ini, Liok
Kong Ji menghilang. Tiang Bu kembali me mperhatikan Bi Li. Gadis itu
mengeluh dan bergerak perlahan. Ia cepat berlutut dan
menyangga leher Bi Li. "Uuhhh. lenganku....... ah, Tiang Bu....... aduuuhhh......" Setelah membuka mata sebentar, Bi
Li pingsan lagi, lemas dalam pelukan Tiang Bu. Tentu saja
pemuda ini menjadi makin bingung. Ia mencoba lagi untuk
mencari jalan ke luar, berlari-larian di sepanjang lorong yang panjang berputar-putar itu. Se lagi ia kebingungan, tiba-tiba terdengar suara perlahan dari jauh, suara wanita.
"Dari Gu-seng (Bintang Kerbau) membelok ujung tanduk
melalui Liu-seng (Bintang Pohon Cemara) ada pintu ke luar!"
Tiang Bu girang sekali. Tidak perduli itu suara siapa ia
lalu berlari terus, membelok menurutkan gambar Bintang
Kerbau. Pantas saja tadi ia berputaran tak dapat ke luar.
3 Tidak tahunya yang dimaksudkan dengan ujung tanduk
kanan itu bukanlah lorong, hanya sebuah lobang yang
hanya dapat dilalui dengan merangkak. Sambil memeluk
tubuh Bi Li, ia memasuki lubang ini, merangkak ke depan
dan tak lama kemudian betul saja ia tiba di sebuah lorong


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain, dari sini ia berlari terus mengambil tikungan sesuai
dengan kedudukan bintang Liu-seng. Di dalam ilmu silat
memang terdapat langkah- langkah kaki menurutkan
beutuk bintang yang dua puluh tujuh buah banyaknya.
Setiap bintang mempunyai bentuk-bentuk tertentu, dari
dua titik sampai tujuh titik banyaknya. Ini merupakan
bentuk langkah-langkah ilmu silat tinggi yang tentu saja
dikenal oleh setiap orang ahli silat ke las tinggi. Tiang Bu
juga sudah mempelajari titik ini, maka begitu mendengar
seruan dari luar tadi. ia dapat menurut dan membuat
belokan sesuai dengan gambar atau titik Gu-seng dan Liu-
seng. Alangkah girangnya ketika ia mendapatkan lorong
terakhir itu membawanya ke luar ke sebuah hutan bambu
kuning. Akan tetapi baru saja ia berlari belasan langkah,
kaki kirinya, sudah terje blos ke dalam lumpur yang tertutup
pasir dan rumput ! Baiknya Tiang Bu selalu waspada dan
cepat ia dapat menahan keseimbangan tubuhnya sehingga
yang terjeblos hanya kaki kirinya, sedangkan kaki kanan
masih di atas tanah keras. Dengan mencabut kaki kirinya
yang sudah me lesak ke dalam lumpur selutut lebih
dalamnya. Ia bergidik. Kalau kaki kanannya tadi juga terjeblos,
kiranya sukar baginya untuk menyelamatkan diri.
Pengalaman mendebarkan ini membuat pe muda itu ragu
ragu untuk berlari terus. Tempat ini benar- benar luar biasa
sekali, penuh bahaya yang tak disangka-sangka. Baru keluar
dari gedung saja tadi sudah sukar bukan main, sekarang
masih harus keluar dari Ui tiok-lim, hutan Bambu Kuning
yan agaknya bahkan lebih sukar dari pada jalan rahasia di
4 gedung besar itu. Padahal Bi Li perlu cepat-cepat dibawa ke
luar untuk diobati. "Tiang Bu ....., kau di situ ............. Lekas ke sini.......
turutkan jalan itu, akan tetapi jangan menginjak jaln, ambil
jalan di sebelah kiri deretan bambu di atas rumput!" Ke mbali terdengar suara wanita yang tadi memberitahukan rahasia
loronig, kini suara itu te rdengar lemah dan Tiang Bu
mengenal suara Cui Lin ! Tiang Bu menurut petunjuk ini. Segera ia melangkah dari
jalan itu ke sebelah kiri di mana tumbuh rumput liar.
Kemudian ia me langkah maju menurut sepanjang lorong
yang pinggirnya ditumbuhi bambu-bambu kuning. Benar
saja, di bawah rumput itu terdapat tanah keras dan sama
sekali tidak dipasangi perangkap. Memang siapakah
orangnya akan mengambil jalan ini kalau di sampingnya
terdapat jalan yang bersih rata dan baik "
Serelah berjalan hati-hati beberapa puluh tindak, jalanan
terhalang serumpun bambu kuning muda yang tumbuh di
tanah yang bundar. "Hati-hati, jangan terlalu dekat rumpun bambu muda !"
kembali terdengar suara Cui Lin di depan, tak jauh lagi.
Tiang Bu kaget dan cepat melompat ke kiri menjauhi. Akan
tetapi karena ingin tahu ia mengambil batu dan
melemparkannya ke dekat rumpun bambu dan "........
sssshhh ....... ssssttt....... !" Tujuh ekor ular berbisa yang mokrok lehernya menyambar ke sekeliling rumpun. Ular-ular ini ternyata e kornya diikat pada rumpun dan selalu
bersembunyi. Hanya pada saat ada korban melewat dekat,
ular-ular kelaparan ini tentu serentak menyerangnya. Tentu
saja Tiang Bu tidak takut menghadapi serangan binatang-
binatang ini, akan tetapi kalau dia tadi amat dekat tentu ia
akan kaget dan mungkin melompat ke kanan di mana
dipasangi macam-macam alat rahasia jebakan.
Tergesa-gesa Tiang Bu maju terus ke arah suara tadi..
Tak lama kemudian ia melihat pemandangan yang membuat
5 jantungnya serasa berhenti berdet ak! I a melihal Cui Lin dan Cui Kim terbenam di lumpur maut, terhisap lumpur sampai
ke Ieher. Bahkan Cui Kim sudah tak bergerak lagi, hanya
matanya yang besar dan indah itu terbelalak ketakutan,
tidak bers inar lagi seperti mata orang yang kehilangan
ingatannya. Agaknya saking takutnya menghadapi kematian
mengerikan ini, Cui Kim telah hilang ingatannya. Cui Lin
dengan air mata bercucuran memandang ke arah Tiang Bu.
Pemuda ini bingung bukan main. Dua orang gadis itu
berada di tengah-tengah kolam lumpur jauhnya ada empat
tombak dari tempat ia berdiri. Tanpa membuang waktu lagi,
Tiang Bu meletakkan tubuh Bi Li di atas rumput dengan
cekatan menggunakan kekuatan tangannya mencabut dua
batang bambu kuning. "Jangan, Tiang Bu ...... tak ada gunanya ..........kami .......
kami....... " Akan tetapi mana Tiang Bu mau mendengarkannya"
Seorang berjiwa kesatriya seperti dia tentu saja tidak bisa
tinggal berpeluk tangan melihat dua orang gadis terancam
bahaya maut seperti itu. Cepat ia memasang dua batang bambu itu sampai dekat
mereka, lalu berjalan di atas bambu-bambu yang melintang
mendekati Cui Lin dan Cui Kim. Dengan cepat ia menyambar
tangan Cui Lin dan menariknya. Akan tetapi ia melepaskan
kembali karena Cui Lin menjerit kesakitan.
"Jangan, Tiang Bu........ kau hanya akan menyiksaku
....... ketahuilah, tadi kami berusaha menolongmu ketahuan
oleh ..... . oleh si keji Liok Kong Ji dan Cui Kong ...... kedua kaki kami dihancurkan tulang-tul angnya, kami diloloh
racun....... kemudian dilempar ke sini. Tempat ini akan
menjadi kuburan kami...... aduuh ...... percuma saja kau
menolong kami, tak mungkin lagi, mana bisa kau menolong
nyawa kami"! Lihat........ aduh, adikku dia sudah .......
sudah....... " Cui Lin menangis dan gerakannya ini membuat 6
tubuhnya makin melesak ke bawah. Hanya dagu yang
bertahi lalat keeil itu kelihatan.
Tiang Bu terharu bukan main. Dalam keadaan hampir
mati gadis ini masih berusaha menolongnya. Teringat ia
akan ke nang-kenangan lama, dahulu ia menganggap tahi
lalat di dagu ini manis bukan main.
"Cui Lin....... " katanya bingung. "Apa yang harus kulakukan untuk menolong kal ian. Lekas katakan !"
Cui Lin tersenyum di antara tangisan "Kau harus ke luar
dari sini dengan selamat. Dengar baik-baik, dari sini kau
mengambil jalan di antara rumpun-rumpun bambu itu
dengan hati-hati menurutkan letak titik bintang Pin-seng
(Bintang Purnama). lalu Ni-seng (Bintang Wanita),
selanjutnya Bi-seng (Bintang Ekor) kemudian yang terakhir
Sin-se ng (Bintang Hati). Nah, dengan demikian kau akan
tiba di bukit batu- bats karang di mana kau bertemu dengan
aku ....... aduuhh ...... Tiang Bu, kalau kau mau menolong
aku dan adikku....... kelak balaskan sakit hati kami kepada
mereka berdua ....... aaahh, pergilah ...... "
"Tidak, aku harus menankmu ke luar dari sini !" Tiang Bu berseru, marah dan penuh keharuan. Marah kepada
Kong Ji dan Cui Kong, terharu melihat keadaan dua gadis
yang mengenaskan ini. "Aduuhhh, jangan ! Aku akan mati karena nyeri ! Kakiku
sudah patah patah, rusak sakit sekali. Enak begini, hangat-
hangat d dalam lumpur....... selamat jalan, Tiang Bu ......
Pergilah, kalau mereka datang mengejar, sukar bagimu
untuk ke luar." Tiang Bu ragu-ragu, akan tetapi tiba-tiba terdengar
keluhan Bi Li, "Tiang Bu ...... kau di mana ..... ." Apakah aku sudah mati.......?" ternyata Bi Li siuman dan mendapatkan
dirinya rebah di atas rumput, ia segera memangil-manggil
Tiang Bu. Untuk bangun berdiri tidak ada tenaga lagi.
7 Terpaksa Tiang Bu berdiri. Sekali lagi ia memandang
kepada Cui Lin den Cui Kim. "Selamat tinggal......." katanya, suaranya tersendat di tenggorokan.
"Pergilah....... eh, nanti dulu ...... Tiang Bu, coba kau
....... kaupeluk kepalaku untuk penghabisan kali ...... kaulah orang termulia ....... bayanganmu hendak kubawa ke sana
..... " Dengan isak tertahan Tiang Bu berlutut di atas batang-
batang bambu, mendekap kepala yang hampir terbenam itu
lalu mencium jidat Cui Lin. Juga ia mencium jidat Cui Kim
yang segera menangis meraung-raung,
"Aku harus menolong kalian....... . harus......!" kata Tiang
Bau setengah berteriak. "Tiang Bu.......!" terdengar pula suara Bi Li memanggil
lemah, "Terima kasih, Tiang Bu, selamat berpisah....... " kata Cui Lin ketika Tiang Bu menoleh ke belakang untuk melihat Bi
Li. Ketika pemuda ini memandang lagi ke lumpur, ia hanya
melihat hawa keluar dari dua tempat menerbitkan suara
perlahan. Dua kepala gadis itu sudah tidak kelihatan lagi,
ternyata Cui Lin telah menggerakkan tubuhnya sekerasnya
agar kepalanya lekas terbenam dan kematian lekas
menyambut nyawanya. Cui Kim yang menangis menggerung-
gerung juga segera terhisap oleh lumpur karena tubuhnya
bergerak-gerak. Sunyi di situ....... .sunyi mengerikan.
Tiang Bu memutar tubuh, memandang arah hutan
bambu kuning yang ditinggalkan di belakang. Gunung itu
tidak kelihatan lagi. Ia mengepal tinju dan terdengar giginya ke rot-ke rotan. Memang tadinya ia membenci dua orang gadis
ini yang sudah pernah memperdayainya. Akan tetapi melihat
betapa dua orang gadis ini tersiksa sedemikian hebat apa
pula dua orang gadis itu akhir-akhir ini berdaya
menolongnya, ia menjadi sakit hati sekali terhadap Kong Ji
dan Cui Kong. 8 Akan tetapl ketika Bi Li memanggil lagi ia tersadar dan
cepat lari menghampiri Bi Li. Melihat pemuda ini, gadis yang
rebah terlentang itu tersenyum lembut.
?"Tiang Bu, apakah kita sudah berada sorga....... ?"
Tiang Bu membungkuk, mengangkat dan memondoug
tubuh Bi Li dengan hati hati. Bisiknya di dekat telinga gadis itu. "Belum, Bi Li. Kita sedang berusaha keluar dari neraka ini.......!" Copat Tiang Bu maju ke depan, mengambil jalan
menurut petunjuk Cui Lin. Setelah berbelok-belok
menurutkan titik empat bintang yang kesemuanya ada dua
puluh satu titik atau dua puluh tikungau, benar saja tiba di
bukit batu-batu karang di mana ia pernah bertemu dengan
dua orang gadis yang sekarang telah tewas itu. Makin
terharu hati Tiang Bu. Sampai dekat kematiannya, Cui Lin
masih menolongnya. Lunaslah sudah kedosaan gadis itu
terhadapnya. Akan tetapi, ketika hendak melanjutkan perjalanannya,
ia menjadi bingung sekali. ketika dulu di tempat ini, ia
mengikuti Cong Lung yang menjadi petunjuk jalan. Kini ia
tidak tahu lagi mana jalan itu dan maklum bahwa tempat ini
amat berbahaya, sekali keliru melangkah kaki....... terje blos ke dalam perangkap.
Bi Li yang masih setengah pingsan itu berbisik, "Tiang
Bu, mengapa berhenti ?"
"Aku ...... lupa lagi jalannya, Bi Li."
"Kaucari saja....... dulu aku sudah memberi tanda.......
ketika mengikuti Cong Lung kupotong-potong sabuk merah,
kusebar di sepanjang jalan ....... " BI Li terlalu banyak bicara, napasnya memburu dan ia memejamkan lagi
matanya untuk mengaso. I a merasa tubuhnya lemas bukan
main, demikian lemasnya sampai -sampai ia lupa agaknya
bahwa lengannya sudah buntung.
Tiang Bu girang mendengar ucapan gadis itu. Ketika
matanya mencari-cari, benar s aja melihat sepotong kain
9 merah di sebelah sana. Ia menghampiri kain merah itu dan
selanjutnya ia mencari jalan dengan bantuan potongan-
potongan kain me rah yang disebar di atas tanah setiap
sepuluh langkah. Diam-diam Tiang Bu memuji kecerdikan Bi
Li, gadis ya dikasihinya itu. Akan tetapi kalau ia teringat
akan lengan Bi Li, ia menjadi berduka sekali. Cepat ia lari
lagi ke luar dari bukit batu karang dan akhirnya terlepaslah
mereka dari daerah Ui- tiok-lim yang amat berbahaya. Akn
tetapi se karang Tiang Bu sudah mengingat baik- baik semua
jalan yang dilaluinya tadi, baik jalan masuk maupun jalan
ke luarnya. Hari telah menjelang senja, Bi Li rebah telentang di atas
rumput, Mukanya pucat, matanya yang seperti mata burung
Hong itu menatap wajah Tiang Bu yang duduk di sisinya.
Tiang Bu sudah merawat Bi Li, memberi pencegah
keracunan juga obat penambab darah. Sekarang keadaan
gadis itu tidak menghawatirkan lagi. Juga pundak yang
sudah tak be rlengan lagi itu telah dibalutnya baik-baik.
"Tidurlah, Bi Li, agar enak badanmu. Biar aku
menjagamu di sini. Kubuatkan api unggun, ya?" kata Tiang
Bu sengaja bersikap gembira karena pandang mata Bi Li tadi
seperti pandang menikam hatinya karena ia tak tahan
menyembunyi kan rasa iba dan harunya.
Bi Li tidak menjawab, menggigit bibir menahan tangis,
lalu menggerakkan kepala mengangguk. Setelah itu
membuang muka ke sisi agar jangan melihat lagi pemuda
itu, karena se kali saja ia beradu pandang dengan Tiang Bu
yang sinar matanya penuh haru dan iba itu, ia dapat
menangis menjerit-jerit. Tiang Bu mengumpulkan kayu kering lalu membuat api
unggun agar hawa malam yang dingin dan nyamuk dapat
terusir pergi dan Bi Li dapat tidur nyenyak. Setelah selesai
membuat api unggun, ia mendengar isak tangis dan ketika
ditengoknya ternyata Bi Li telah bangkit duduk dan
menangis sedih. Tangan kanannya menutupi muka, air mata
10 menetes turun melalui celah-celah jari tangan, pundak yang
buntung sebelah kiri itu bergoyang.goyang.
Tiang Bu maklum akan kesedihan hati gadis itu. Akan
tetapi ia pura-pura tidak tahu dan duduk di dekatnya,
menyentuh lengannya sambil berkata lembut. "Bi Li,
mengapa kau menangis. Kita sudah terlepas dari bahaya
maut....... " "Tiang Bu ...... ah....... lenganku........."
Bi Li tak dapat melanjutkan kata-kata karena tangisnya
makin sedih. Tiang Bu memegang e rat e rat tangan kanan gadis itu IaIu
berkata menggi git gigi. "Aku tahu, Bi Li aku tahu ....... aku bersumpah untuk
membalas dendam ini, tunggulah saja....... !"
Akan tetapi Bi Li rupanya tidak me mikir tentang sakit
hati. yang lebih dipikir adalah keadaan pundak kirinya yang
buntung. "Aku menjadi orang..... buntung... aduh Tiang Bu ......
aku menjadi seorang jelek penderita cacat selama hidup.......
menjadi buah tertawaan orang ....... aku akan terhina
selama-lamanya....... "
Tiang Bu maklum apa yang dipikirkan gadis ini. Sebagai
seorang gadis muda, cantik jelita, tentu saja cacat ini amat
menghancurkan hati. "Tidak, Bi Li. Siapa yang berani mentertawakanmu akan


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kutampar mulutnya s ampai copot-copot giginya, siapa berani
menghina akan kubuntungi lengannya. Tidak ! Dalam
pandanganku kau tidak menjadi buruk, aku.. tetap sayang
kepadamu, Bi Li. Jangankan baru hilang sebelah lengamu
yang tidak ada artinya karena kau masih tetap cantik dan
baik bagiku, andaikata kau menjadi bercacad lebih hebat
lagi, pada mukamu atau di mana saja aku tetap akan.......
akan....... mencintaimu seperti biasa, bahkan lebih lagi. Bi
11 Li, kaulah satu-satunya wanita yang telah me rampas hatiku
..." Rupanya terkejut Bi Li mendengar ini. Jari tangan yang
menutupi mukanya diturunan dan muka yang pucat dan
basah air mata ini menghadapi muka Tiang Bu, sepasang
mata yang gelap indah tetapi penuh linangan air mata itu
menatap mata Tiang Bu. Sejenak mereka berpandangan tak
bergerak. Kemudian Bi Li menundukkan mukanya,
menangis makin sedih. Sambil terisak ia berkata terputus.
"Tak mungkin ...... tak mungkin, aku orang cacat ....... kau
akan ditertawai orang...... ah, lebih baik aku mati saja, Tiang Bu......"
Tiang Bu merangkul pundaknya, menghiburnya sedapat
mungkln, bahkan menjanjikan untuk kelak memberi
pe lajaran ilmu silat tinggi sehingga biarpun lengannya
buntung sebelah tidak akan kalah menghadapi musuh
bagaimana tangguhpun. Akhirnya Bi Li terhibur dan sambil merebahkan
tubuhnya yang lemas itu terlentang di atas rumput ia
mendengarkan kata-kata hiburan Tiang Bu yang muluk-
muluk. Pemuda ini berusaha sedapat mungkin menghibur
hati Bi Li, bahkan bersumpah dengan kesungguhan hat i. Bi
Li mendengarkan sambil meramkan mata, akhirnya gadis itu
jatuh pulas. Baru legalab hati Tiang Bu. Tadinya amat berkhawatir Bi
Li tak dapat menahan kesedi hannya dan melakukan
perbuatan nekad membunuh diri. Baru setelab melihat gadis
itu tertidur dan pipinya menjadi agak kemerahan, pemuda
ini merasa betapa tubuhnya lelah bukan main. Ia telah
melakukan pertempuran hebat, dan menderita goncangan
batin yang berat, baru sekarang terasa tubuhnya seakan -
akan tidak bertenapa lagi. Ia menyadarkan tubuh di batang
pohon dekat api unggun dan tak lama kemudian iapun
tertidur. 12 Menjelang pagi Tiang Bu terkejut mendengar suara ayam
hutan berkokok nyaring. melompat bangun dan baru ia tahu
bahwa tanpa terasa ia telah jatuh pulas di luar
ke hendaknya. Bagaimana i a bisa jatuh pulas selagi menjaga
Bi Li. Cepat ia menengok dan jantungnya berhenti berdetak
ketika ia melihat tempat yang tadinya ditiduri Bi Li sekarang telah kosong. Ia menengok ke sana ke mari, sinar matanya
cemas mencari-cari, namun orang yang dicari tidak
kelihatan lagi. Bi Li telah pergi dari situ tanpa memberi tahu padanya.
"Bi Li......!" Tiang Bu berseru memanggil mengerahkan
tenaga lweekangnya sehingga auarnya bergema di hutan itu
dan terdengar sampai jauh sekali......." Bi Li! Kau di mana
...... ?" Namun tidak ada jawaban kecuali kokok ayam hutan
yang terkejut ketakutan dan gema suaranya sendiri. Tiang
Bu menjadi gelisah sekali. Sekali melompat ia telah berada di bekas tanah berumput yang tadinya ditiduri Bi Li untuk
meli hat kalau-kalau di situ terdapat tanda-tanda
mencurigakan. Benar saja, di atas tanah yang rumputnya
sudah dicabuti, ia melihat huruf-huruf yang halus
bentuknya tanda tertulis seorang wanita terpelajar. Memang
Bi Li semenjak kecil hidup di istana pangeran, tentu saja is
mahir sekali menulis huruf-huruf indah. Huruf-huruf itu
be rbunyi demikian. "Ada waktu suka, ada w aktu duka.
Sekali bertemu pasti akan berpis ah,
Badan cacat, tidak patut menerima cinta.
Tak perlu menyeret enghiong ( orang gagah ) ke lembah
hina)." "Bi Li kau terlalu merendahkan diri...." Tiang Bu
mengeluh setelah membaca "surat" di atas tanah itu berkali -
kali dengan hati ter-haru. "Biarpun lengan kirimu buntung, Kau masih seratus kali lebih berharga dari pada aku."
13 Ia bangkit bardiri, teringat akan keadaan Bi Li yang
masih belum se mbuh lukanya dan badannya masih lemah,
teringat betapa akan sengsaranya gadis i tu merantau
seorang di ri dalam keadaan bercacat tanpa kawan yang
menghibur dan melindunginya, ia memekik "Bi Li ..... !
Jangan tinggalkan aku....... !"
Seperti orang gila Tiang Bu memanggil- manggil nama
gadis itu sambil berlari cepat sekali keluar masuk hutan.
Namun jangan orangnya, bayangannya sekalipun tidak
nampak seakan-akan Bi Li sudah lenyap ditelan bumi.
Akhirnya setelah setengah hari berlari-larian ke sana ke
mari tanpa tujuan, kembali ke tempat semula dan pemuda
menjatuhkan dirinya di atas rumput bekas tempat tidur Bi
Li. "Bi Li....... Bi Li....... aku cinta padamu. Walaupun
le nganmu buntung..........."
Tiba-tiba ia bangkit berdiri, wajahnya menye ramkan.
kedua tangannya terkepal dan ia memandang ke arah Ui-
tiok-lim lalu mengacung-acungkan tinju sambil berseru
keras "Liok Kong Ji, jahanam besar! Akan kubunuh kau.......
kubunuh kau dan kaki tanganmu .....!" Larilah pemuda ini
ke arah s arang ayahnya itu dengan hati panas. Sekarang ia
telah tahu jalan ke Ui tiok-lim didorongnya batu karang
basar dan ia melompat ke bawah ketika tanah tiba-tiba
terbuka, melompat ke dalam sumur di mana ia pada
kemarin harinya terjerumus bersama Bi Li. Melalui
terowongan yang ke. marin, ia terus merayap sampai di
tempat tahanan Cui Lin dan Cui Kim. Dari sini ia sampai di
sumur dangkal, di tengah-tengah hutan bambu.
Dengan hati-hati Tiang Bu melompat naik dan duduk di
pinggir s umur, matanya memandang ke sekelilingnya, penuh
selidik. Kedatangannya kali ini berbesa dengan ke marin.
Selain ia telah tahu betul akan jalan rahasia di s ini, juga ia datang dengan nafsu membunuh terbayang pada matanya
yang tajam slnarnya, pada mulutnya yang cemberut, pada
14 gerak tangannya yang tangkas dan kuat. Tiang Bu datang ke
Ui-tiok-lim untuk mengamuk, untuk membunuh.
Kebenciannya terhadap ayahnya yang ganas itu meluap-
luap. Berkat petunjuk Cui Lin tentang rahasia memasuki Ui-
tiok lim, dan karena kepandaianya yang tinggi, tanpa banyak
susah Tiang Bu berhasil memasuki gedung besar Liok Kong
Ji, ayahnya yang amat dibencinya. terutama sekali karena
orang itu ayahnya! Memang ke bencian Tiang Bu te rhadap
Liok Kong Ji adalah terutama sekali karena orang itu
ayahnya yang sejati. Sekiranva Liok Kong Ji bukan ayahnya,
kebencian Tiang Bu takkan demikian hebat. Dalam hati
pemuda ini timbul penasaran dan kekecewaan besar sekali.
Alangkah akan bahagia hatinya bertemu dengan ayahnya
kalau saja ayahnya bukan seorang demikian jahat dan keji.
Sebagai protes mengapa berayah sedemikian jahat maka
Tiang Bu membenci ayahnya.
Liok Kong Ji sedang berkumpul dengan saudara-saudara
angkatnya. Sebagian pada mereka telah merasai kelihaian
Tiang Bu dan bekas tangan pemuda lihai ini masih terasa.
Biarpun dengan kepandaian mereka yang tinggi mereka
sudah dapat menguasai diri dan menyembuhtan luka-
lukanya, namun mas ih terasa sakit, terutama sekali It-ci-s an Kwa Lo yang telunjuknya patah-patah masih nampak pucat.
Telunjuk kanannya dibalut dan membengkak, akan tetapi
tulang-tulangnya sudah disambung kembali.
"Sungguh tidak mengira dua setan betina itu
mengkhi anatiku!" Demikian ucapan terakhir Liok Kong Ji
yang nampak bersungut-sungut. Mere ka baru saja
membicarakan tentang Cui Lin dan Cui Kim yang di hukum
secara keji. Ketika mengetahui bahwa dua orang gadis itu
yang membawa datang Tiang Bu ke mudian bahkan
menolongnya keluar dari Ui ti ok-lim, Kong Ji marah bukan
main. Bersama Cui Kong ia menangkap dua orang gadis itu
menyiksa mereka, memukul hancur tulang-tulang kaki
15 mereka dan melemparkan mereka ke dalam rawa lumpur
maut. Kini mereka membicarakan kehebatan sepak terjang
Tiang Bu. Di dalam hatinya Kong Ji me rasa keperihan hebat.
Sebetulnya ia amat bangga bahwa putera satu-satunya
ternyata demikian lihai. lebih pandai dari pada Wan Sin
Hong yang ditakutinya. Ah, kalau saja Tiang Bu puteranya
itu mau berbaik dengan dia. mau mengakuinya sebagai ayah
dan be rada di sampingnya, ia takkan takut kepada Wan Sin
Hong, takkan takut kepada siapa-pun juga dan tidak perlu
bersembunyi di tempat seperti Ui tiok-lim. Ia akan dapat
merajai dunia! Ia merasa kecewa sekali. Putera tunggalnya
bahkan memusuhinya, agaknya amat membencinva.
Sekarang tentu akan makin benci lagi setelah ia
membuntungi lengan gadis cantik it u. Sayang! Ia terpaksa
membuntungi le ngan gadis itu, kalau tidak, kiranya tidak
ada jalan lain untuk menahan amukan Tiang Bu kemarin.
Apa boleh buat, keadaan sudah demikian. dan terpaksa i a
harus menghadapi permusuhan dengan puteranya sendiri.
"Kita harus memperkuat penjagaan. Siapa tahu kalau-
kalau anak bengal itu datang mengacau lagi. Kalau perlu,
Lo-thian-tung Cun Gi Tosu akan kupanggil untuk
memperkuat kedudukan kita," katanya dengan muka
murung. "Benar-benar aku tidak mengerti bagaimana ia
memperoleh kepandaian sehebat itu dan....... "
Kata-katanya terhenti oleh pekik me ngerikan. Kong Ji
dan kawan-kawannya tersentak kaget. Memang hati mereka
selalu dag-dig dug, sekarang mendengar pekik ini tentu saja
wajah mereka menjadi pucat. Apa lagi ket ika pekik itu
disusul oleh melayangnya tubuh seorang penjaga pintu yang
dile mparkan orang ke arah Kong Ji. Cepat Kong Ji
menggunakan tangan kiri menyampok dan....... penjaga
pintu itu terlempar ke atas lantai di pojok ruangan. Telah
te was tanpa kelihatan te rluka.
16 Menyusul ini, tubuh Tiang Bu berkete bat dan tahu-tahu
ia sudah berdiri di depan pintu ruanpan. Dengan langkah
tenang perlahan berjalan masuk, matanya menyapu orang-
orang di dalam ruangan itu bagaikan petir menyambar-
nyambar. Kong Ji menjadi maka pucat, akan tetapi karena ia
bersama banyak kawan, ia memberanikan hati dan berkata
lantang, "Tiang Bu, anakku yang baik. Bagus sekali kau datang
kembali. Akhirnya seorang anak pasti akan kembali kepada
ayahnya." Berkata demiktan. Korg Ji melangkah maju dengan
kedua tangan terjulur ke depan, seakan-akan se orang ayah
hendak memeluk puteranya. Melihat sambutan seperti ini,
biarpun hatinya amat panas dan marah, ingin hatinya
segera menyerang orang ini, namun Tiang Bu meras a tidak
enak kalau terus menyerang tanpa bicara dulu. Akan tetapi,
sebelum ia se mpat membuka mulut, tiba-tiba ia merasa
be tapa dari dua tangan Liok Kong Ji yang diulur ke depan
itu, menyambar tenaga pukulan yang amat dahsyat. Sekali
lirik melihat kedudukan tubuh Kong Ji agak merendah,
terkejutlah Tiang Bu. Itulah pukulan Tin san-kang yang
maha hebat. Memang bukan Liok Kong Ji si manusia iblis kalau tidak
securang dan selicik itu. Kong Ji pandai membaca sinar
mata dan wajah orang. Begitu melihat Tiang Bu, ia maklum
bahwa perbuda ini datang untuk membalas dendam, bahkan
tak ada gunanya berunding secara damai dengan pemuda
yang sedang marah. Oleh karena itu, pada luarnya ia
kelihatan ramah tamah dan baik, namun diam-diam ia telah
mengerahkan tenaga, bersiap untuk menyerang secara tiba-
tiba dengan ilmu pukulan Tin-san-kang yang lihai. Inilah
serangan gelap yang sama sekal i tidak diduga oleh Tiang Bu,
biarpun pemuda ini sudah maklum akan kejahatan orang
yang mengaku menjadi ayahnya.
17 Cepat Tiang Bu mengerahkan tenaga sinkang pada
dadanya karena untuk mengelak sudah tidak mungkin.
Semacam tenaga dorong yang luar biasa kuatnya
menyambarn ya dan dadanya tentu akan remuk kalau saja
te naga sinkangnya tidak hebat. Dada itu sekarang terisi
hawa, menjadi seperti bola karet padat dengan angin,
pukulan itu terpental da membuat tubuhnya terlempar ke
belakang namun tidak terluka. Bagaikan dilempar oleh
tenaga raksasa, Tiang Bu terlempar membentur dinding.
Baiknya ia sudah bersiap-siap sehingga cepat dapat
mengerahkaa ginkagnya dan tubuhnya tertahan dinding lalu
jatuh dalam keadaan berdi ri. Orang lain tent u akan
membuat tembok itu bobol dan me nderita luka-luka.
Bagaikan harimau terluka Tiang Bu membalikkan tubuh,
akan tetapi lagi-lagi ia dihadapi serangan gelap dari Kong Ji.
Beberapa sinar menyambar ke arah jalan darahnya, tidak
kurang dari tujuh bagian ! Sinar hitam itu adalah Hek-tok
ciam (Jarum Racun Hitam) yang amat lembut dan datangnya
tanpa mengeluarkan suara. Tiang Bu tidak menjadi gugup.
Ia telah menggerak-gerakkan kedua tangannya memancing
ke luar tenaga lwee -kangnya dan begitu kedua tangannya
menyambar ke depan, tanpa mengelak ia telah dapat
menghindarkan se rangan gelap ini.
Semua jarum hitam tersampok runtuh oleh angin
pukulannya. Tiang Bu marah sekali dan hendak memaki
akan kecurangan orang. akan tetapi lagi-lagi Kong Ji sudah
mendesaknya dengan pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun
Hitam), semacam pukulan warisan See-thian Tok-ong yang
luar biasa jahatnya. Jangankan terkena tangan yang
melakukan pukulan ini baru terkena hawa pukulan saja
lawan akan roboh dengan tubuh menghitam dan nyawa
melayang ! "Setan, kau curang !" bentak Tiang Bu sambil
menggerakkan kedua tangan memukul ke depan. Akibat dari
adu tenaga dari jauh ini, Liok Kong Ji mundur tiga tindak
18

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan muka pucat, sedangkan Tiang Bu hanya me nahan
napas saja. "Bagus. kepandaianmu memang hebat, dan kau cukup
berharga untuk bicara. Kau datang kalau bukan hendak
berbakti kepada ayahmu, habis mau apakah....?" tanya Kong
Ji, biarpun ia juga marah, tak dapat ia menyembunyikan
kekagumannya terhadap pemuda lihai ini.
"Kau masih hendak bertanya lagi " Aku datang untuk
menamatkan riwayatmu, untuk membunuhmu !" jawab
Tiang Bu sambil melangkah maju, tidak perduli betapa Cui
Kong, Ban kin-liong Cong Lung, Twa-to Ma-It Su, It-ci-san
Kwa Lo, Koai-jiu Sin-touw Lee BokWi dan Hok Lun Hosiang
sudah bangkit dan mengeluarkan se njata masing-masing,
mengambil tempat untuk mengeroyoknya.
Liok Kong Ji menyeringai. "Tiang Bu, Tiang Bu ! Di
manakah ada di dunia ini ada seorang anak membunuh
bapaknya" Apa kau tidak takut akan terkutuk oleh Langit
Bumi ?" "Banyak cerewet yang tidak ada gunanya. Aku datang
bukan untuk membunuh ayahku melainkan untuk
membunuh seorang penjahat se keji-kejinya di dunia ini !"
"Lho, aku ini ayahmu, Tiang Bu! Aku Li ok Kong Ji
ayahmu, dan ibumu Gak Soan Li...!"
"Cukup ! Ibuku sudah mati, demikian ayahku sudah mati
dalam hati dan ingatanku. Kau bukan ayahku, kau seorang
iblis yang harus dibasmi dari muka bumi. Kau... kau...
jahanam besar !" Tiang Bu melangkah maju, sinar matanya
mengandung penuh ancaman sehingga Liok Kong Ji yang
biasanya amat pemberani dan keji itu bergidik.
"Ayah, mengapa banyak mengalah terhadap orang
kurang ajar semacam ini" Hantam saja !" kata Cui Kong
mempersiapkan huncwenya. 19 "Saudara-saudara, sekarang aku tidak sayang lagi,
ke royok dan bunuh bedebah ini !"
Kong Ji kini marah betul-betul dan semua kasih
sayangnya sebagai ayah terhadap anak lenyap, terganti oleh
kebencian besar. Tiang Bu bukan dianggap anaknya lagi,
melainkan musuh besar yang berbahaya dan yang harus
dilenyapkan dari muka bumi kalau dia mau hidup aman.
Cepat Kong Ji mencabut pedangnya dan menyerang Tiang
Bu. Pedangnya berputar secara luar biasa, berkembang ke
depan sampai lebar membundar, mengeluarkan s inar putih
berkilau dan mendatangkan hawa dingin menyusup tulang
kepada yang diserangnya. Tiang Bu mengeluarkau teriakan kaget menghadapi
serangan ini. Pernah ia melihat Tiong Jin Hwesio memainkan
ilmu pedang ini maka tahulah i a bahwa yang dimainkan oleh
Liok Kong Ji secara hebat untuk menyerangnya adalah ilmu
pedang warisan Hoat Hian Couwsu yang lihainya bukan
ke palang. "Se tan ! Kau sudah mencuri pula Ilmu Pedang Swat-Tian-
kiam-sut ( Ilmu Pedang Teratai Salju ) dari Omei-s an,"
toriaknya sambil cepat mengelak dan me ngibaskan
tangannya dengan pengerahan te naga lweekang untuk
melawan hawa dingin yang keluar dari se rangan pedang itu.
Merasa betapa pedangnya terdorong ke s amping oleh
kibasan tangan ini, Kong Ji diam-diam terkejut sekali, apa
lagi pemuda itu sekali melihat sudah mengenal ilmu
pedangnya. Memang dahulu ketika beramai-ramai menyerbu
ke Omei-san, Liok Kong Ji sudah berhasil mendapatkan
sebuah kitab ilmu pedang yaitu Swat-lian-kiam-coansi yang
dilatihnya secra rahasia dengan amat tekunnya. Orang lain
tidak ada yang tahu bahwa ia mendapatkan kitab itu dan
mempelajarinya, akan tetapi sekarang baru sejurus saja i a
keluarkan, pemuda ini sudah lantas mengenalnya.
20 "Ha ha, kaukira hanya kau saja yang pandai" Hari ini
kau akan mampus di depan kakiku, boeah jahanam tak
tahu diri!" bentaknya untuk menutupi kekagetannya.
Kembali ia menyerang dengan ilmu pedangnya yang
tinggi tingkatnya digerakkan dengan pengerahan tenaga
sepenuhnya karena nafsu membunuh sudah memenuhi
dirinya. Terpaksa Tiang Bu mengelak. Serangan-serangan
"ayahnya" kali ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dan
benar-benar bukan serangan yang tidak berbahaya. Ia harus
hati-hati. Agaknya Liok Kong Ji kali ini mengeluarkan
kepandaiannya betul-betul untuk menghadapinya.
"Kau memamerkan kepandaianmu " Bagus. Akulah
lawanmu." kata Tiang Bu dengan gerakan indah melakukan
jurus Sam hoan-bu sehingga kembali serangan Kong Ji
mengnai tempat kosong. "Bunuh keparat ini!" Teriak Cui Kong yang cepat
menyerbu membantu ayah angkatnya, menyerang dengan
huncwe nya yang juga amat lihai.
Biarpun tadinya merasa gentar, kini melihat sang twako
Liok Kong Ji sudah bergerak dan agaknya betul-betul
hendak membunuh pemuda itu, lima orang saudara angkat
Kong Ji menjadi besar hati dan berturut-turut mereka
melompat maj u, menyerang dengan keistimewaan
masing.masing. Ban-kin-liong Cong Lung menyerang dengan
tangan kosong, namun pukulan-pukulannya me ndatangkan
angin yang sudah cukup untuk merobohkan lawan karena
dia memang seorang ahli lweekeh yang tanggub tenaga
lweekangnya. Twa-to Ma it Sun memutar-mutar golok
besarnya. It-ci-san Kwa Lo biarpun jari telunjuknya kini
dibungkus dan tak dapat dipergunakan, namun jari-jari
tangannya yang lain masih ampuh. Si jari lihai Kwa Lo ini
adalah ahli totok nomor satu di daerahnya, memiliki
ke pandaian Tiam-hiat -hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) yang
istimewa dilakukan dengan satu jari dan betapa tingi
21 ke pandaian Kwa Lo dapat dilihat dari ke pandaiannya
mempergunakan jari tangan yang manapun juga.
Babkan ibu jari yang besar tumpul dapat pul a ia
pergunakan! Koai-jiu Sin-touw Lee Bok Wi Si Malaikat Copet
juga merangsek maju, kini mengeluarkan senjatanya yang
isti mewa berupa besi kaitan kecil alat yang biasa dibawa
oleh ahli-ahli copet untuk menyambar barang orang. Akan
tetapi kini kaitan besi ini bukan dipergunakan untuk
menyambar benda berharga yang dipakai orang, melainkan
dikerjakan secara hebat untuk menyambar nyawa Tiang Bu.
Akhi rnya Hok Lun Hosisng, orang yang memiliki Ilmu toya
Siauw li m-si, lihai dan amat hati-hati toyanya menyambar-
nyambar mengeluarkan angin.
Untuk kedua kalinya Tiang Bu menghadapi
pengeroyokan tujuh orang yang amat lihai, yang
kesemuanya merupakan jago-jago kelas satu. Akan tetapi
sekarang ia seorang diri, tidak melindungi Bi Li, juga tidak
memondong orang sepertI kemarin. Di samping ini, hatinya
marah dan sakit hati, maka Tiang Bu hebat sekali
gerakannya, seperti seekor naga mengamuk. Dengan
pengerahan sinkang yang ia miliki dari latihan Ilmu Seng
thian-to, jari jari tangannya demikian kuat dan kebal untuk
mengibas dan menangkis setiap sambaran senjata lawan.
Cukup dengan angin pukulannya saja dapat menahan dan
setiap orang lawan ti dak berani datang terlampau dekat,
karena sambaran angin pukulannya cukup membuat lawan
menderita luka dalam yang hebat, tidak kalah berbahayanya
dari pada senjata yang paling tajam.
Namun tujuh orang lawannya juga bukan ahli silat
sembarangan, mereka bertempur dengan hati-hati, maklum
akan kelihatan pemuda sakti itu. Senjata datang menerjang
seperti hujan, semua dilakukan dengan teratur dan hati-
hati. Terutama sekali pedang di tangan Liok Kong Ji benar
benar he bat gerakannya. Kalau saja pemuda itu bukan
murid Ome i-san dan kebetulan sakali pernah melihat Ilmu
22 Padang Soat hoat-kiam-sut dimainkan oleh guru ke dua
Hong Jin Hwesio di Omei-san, te ntu ia akan payah melawan
Ilmu pedang yang mendatangkan hawa dingin ini.
Pertempuran itu hebat sekali, cepat dan seru s ampai-
sampai sukar me mbedakan satu dari yang lain. Di sekeli ling
tempat pertempuran, angin pukulan menyambar-nyambar
membuat meja kursi beterbangan dan suara angin bersiutan
sungguhpun di luar gedung pada saat itu tidak ada angin.
Benar-be nar sebuah pertempuran ahli-ahli silat tingkat
tinggi. Seratus jurus lewat sudah. Belum dapat tujuh orang itu
mendesak Tiang Bu, bahkan sebaliknya perlahan akan te tapi
tentu Tiang Bu mulai dapat mengacau pertahanan mereka.
De ngan pukulan pukulan yang ia mainkan dari Ilmu
Pukulan Sakti Thian-te Si-kong ia me nolak semua serangan
lawan, kemudian dengan ilmu silat bersegi delapan, ia
dengan mudah menghadapi tujuh orang pengeroyoknya dan
dapat secara bergiliran membagi se rangan.
Kong Ji yang merasa penasaran bukan main menggerung
seperti singa. Pedangnya meluncur sepe rti kitat menyambar
ke arah tenggorokan Tiang Bu. Ketika pemuda ini yang
sedang menangkis serangan toya Hok Lun Hosiang dengan
tendangan kaki cepat mengelak ke kiri, Kong Ji
memapakinya dengan pukulan Hek tok ciangnya.
Keadaan Tiang Bu terjepit sekali. Pada saat pukulan Hek-
tok-ciang ini mengancam lambungnya, masih ada dua
serangan lawan yang tidak kalah berbahaya. Pertama-tama
huncwe di tangan Cui Kong melakukan totokan ke arah
jalan darah di punggungnya, sedangk golok besar Ma It Sun
membabat lehernya. Jadi sekaligus tiga macam serangan
yang merupakan tangan-tangan maut mengancam
nyawanya. Baiknya Tiang Bu adalah murid Omni -san dan sudah
memiliki kepandaian, ketenangan dan parhitungan yang
tepat. sekilas pandang tahulah ia bahwa dari tiga serangan
23 ini pukulan Hek-tok-ciang dari Kong Ji ke arah lambungnya
datang paling akhir, juga baginya yang sudah memiliki hawa
sinkang untuk me ngebalkan badan, pukulan Hek-tok-ciang
ini paling kecil artinya. Huncwe yang menotok jalan darah di
Thai-hut-hiat dan golok yang membabat leher lebi h
be rbahaya. Jalan darah Thai-hut-hiat adalah jalan darah paling
lemah bagi ahli-ahli silat dan ahli lwee-ke h, sedangkan
penotokan dilakukan oleh Cui Kong dengan Huncwe
mautnya, bahayanya besar sekali. Adapun babatan golok ke
arah lehernya juga tak boleh dipandang ringan, sebelum
golok tiba angin sudah menyambar, tanda bahwa si tinggi
besar hitam Ma It Sun itu bertenaga besar dan goloknya
sendiripun berat. Tiang Bu membagi tenaga. Sebagian yang mengandung
hawa murni dari sinkang ia salurkan ke arah lambung
untuk menerima pukulan Hek-tok-ciang, sedangkan
sebagian pula ia pergunakan di kedua tangannya yang
be rge rak cepat se kali.
Dengan Ilmu Twi-san-siu-po (Tolak G unung Menyambut
Mustika) ia menggunakan tangan kiri yang dimiringkan
menolak atau menangkis tusukan huncwe berbareng dengan
tangan kanannya sece pat kilat menyambut datangnya golok
dari samping. Betapapun cepatnya golok melayang, tangaa
kanan Tiang Bu le bih cepat lagi me nempel golok dari
tamping dan mendorongnya sekuat tenaga ke belakang.
"Celaka.....!" seru Cui Kong melihat gol ok yang tadinya
menyambar leher Tiang Bu sekarang menyeleweng dan
sebaliknya malah menyambar kepadanya! Twa to Ma It Sun
tentu saja maklum akan hal ini, namun ia tidak dapat
mengendurkan tangannya yang sudah terdorong oleh tenaga
Tiang Bu. Untuk membersihkan diri agar jangan sampai
dianggap menyerang Cui Kong, Si golok besar terpaksa
melepaskan gagang goloknya. Senj ata itu terus meluncur ke
arah Cui Kong. Pemuda ini dapat menggerakkan huncwenya
24 menangkis. Terdengar suara keras, tangannya tergetar
hebat, namun ia selamat, Golok dapat terpukul jatuh hanya
mengalami ke kagetan luar biasa. Sungguh berbahaya
ke adaan tadi. Sebaliknya Ma It Sun lebih sialan. Begitu ia melepaskan
goloknya, baru ia meras a ada angin panas menyambar. Ia
berusaha mengelak namun tidak sempat lagi. Tadi ia
terlampau kaget melihat goloknya hendak minum darah
kawan sendiri maka perhatiannya tarpecah. Pantangan
besar bagi ahli silat ke las tinggi untuk membagi perhatian
selagi menghadapi lawan tangguh. Sedangkan pukulan yang
dilakukan oleh Tiang Bu ini bukan pukulan biasa,
melainkan pukulan tangan miring yang menganduog tenaga
lweekang kuat sekali. "Kekkk!" Seperti disambar petir Ma It Sun meme gangi ke pala dengan perut ditekuk. Perutnya telah kena pukulan,
namun kepalanya yarg terasa panas seperti hendak meledak,
napasnya putus. Ia terjungkal kedepan, tergelimpang dan
roboh telungkup, tak bernapas lagi.
Enam oraug yang lain melihat ini menjadi marah, tetapi
juga gentar. It ci-sian Kwa Lo yang masih merasa penasaran
dan sakit hati karena telunjuknya patah-patah, diam-diam
melakukan serangan gelap dari belakang, sekaligus kedua
tangannya bekerja. Tangan kiri menotok ke arah tulang
belakang sedangkan tangan kanan yang telunjuknya
terbungkus itu menggunakan jari kelingking menotok jalan
darah Siauw-hu hiat, jalan darah terke cil di punggung, akan
tetapi paling be rbahaya kalau sampai terkena.
Yang lain-lain me mbantu Kwa Lo. Si Malaikat Copet Lee
Bok Wi juga mengerjakaa besi kaitannya, dari depan. Ia
dengan bes i kaitannya ke arah muka Tiang Bu, hendak
mengait biji mat a atau hidung. Juga Ban-kin liong Cong
Lung memukul dari samping dibantu oleh Hok Lun Hosiang
yang menyodokkan toyanya ke arah perut lawan. Kong Ji
dan Cui Kong tidak mau ketinggalan. Setelah Kong Ji
25 menendang mayat Ma It Sun sehingga terlempar ke pinggir
dan tidak akan terinjak-injak ia lalu mengerjakan lagi
pedangnya, demikian pula Cui Kong maju, biarpun kini amat
hati-hati karena tadi hampir celaka.
Sekarang Tiang Bu sudah tidak sabar lagi. Kalau tadi


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nafsu membunuhnya hanya ditujukan kepada Kong Ji dan
Cui Kong. sekarang ia mulai marah kepada yang lain-lain
pula. Pengeroyokan ini menghalangi atau setidaknya
memperlambat terlaksananya keinginan hatinys
mene waskan ayah anak yang jahat itu. Tiba-tiba ia
mengeluarkan pekik keras sekali.
Inilah lweekang yang setinggi-tingginya, disalurkan dalam
suara yang mengge tar. Biarpun Tiang Bu tidak pernah
mempelajari Ilmu Sai -ciu Hokang (Ilmu Auman Singa),
namun sinkang dan lweekangnya sudah lebih dari kuat
untuk melakukan pekik yang mengandung tenaga hebat ini.
Kitab Sang thian-to yang sudah dipelajarinya telah
mengumpulkan tenaga sinkang baginya, tenaga yang
sehebat-hebatnya namun masi h kurang ia sadari.
Kini Tiang Bu terserang kemarahan besar ia gemas
melihat pengoroyokan mereka, maka untuk melampiaskan
hawa marah yang mendesak di dada, ia mengeluarkin
pekikan ini. Tadinya ia hanya ingin memuaskan hawa
marah, ingin menantang. Siapa kira pekikannya ini
merupakan serangan yang luar biasa hebatnya.
"Eeeiiiikkk ...... !" Pekik ini lebih menyerupai suara
garuda dari pada suara singa mengaum. Yang paling rendah
Iweekangnya antara para pengeroyok adalah Koai jiu in-touw
Lee Bok Wi Si Malaikat Copet. Begitu mendengar pekik ini
wajahnva menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil.
senjata kaitan terlempar dan kedua tangannya ia
pergunakan menutupi kedua te linganya. Namun tetap saja
ia terguling roboh, muntah-muntah darah, kejang lalu ......
mati! Hawa serangan yang te rkandung dalam pekik itu telah
26 merusak dan menghancurkan seluruh latihan lweekang
dalam dirinya. Lima orang yang lain juga mengalami goncangan hebat
sekali. Bahkan Hok Lun Hosiang hwesio Siauw-lin si yang
murtad itu, telah melempar toyanya dan duduk bersila
mengatur napas, karena ia telah menderita luka dalam yang
tidak ringan. It ci-sian Kwa Lo terhuyung-huyung mundur
dengan wajah pucat seperti mayat, kedua kakinya menggigil.
Cui Kong yang tadi merasa jantungnya seperti copot
mendengar gerengan cepat mengerahkan tenaga lwee kang
melindungi telinga dengan tangan.
"Iblis ...........!" Kong Ji berbisik dengan muka pucat pula.
Hanya dia yang dapat menahan serangan pekik yang
dahsyat ini, biarpun merasa dadanya berdebar-debar dan
telinganya mendengar suara gema mengiang.
Akan tetapi Tiang Bu yang tadinya juga kejut melihat
akibat pekikannya, tidak mau banyak membuang waktu.
Kedua tangannva bergerak ke kanan kiri dan pertama-tama.
Hok Lun Hosiang te rge limpaag tewas, disusul robohnya Ban
kin lions Cong Lung dan yang terakhir It-ci-sian Kwa Lo!
Tewaslah lima orang jago Ui-tiok-lim, saudara-saudara
angkat dan tangan kanan Liok Kong Ji.
Tiang Bu bersiap menghadapi Kong Ji dan Cui Kong.
Akan tetapi, sekali melompat orang itu telah lenyap dari situ!
"Jahanam pengecut Liok Kong Ji kau hendak !ari ke
mana?" Tiang Bu lari meagejar ke depan, akan tetapi ke
mana ia harus mencari. Tempat di situ penuh rahasia dan
perginya Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong tadi saja pun sudah
aneh sekali. Tahu-tahu hilang begitu saja.
Tiang Bu ragu-ragu dan bingung, juga amat penasaran
dan gemas. Biarpun ia sudah berhasil menewaskan lima
orang kaki tangan Kong Ji yang paling diandalkan dan
karena itu berarti sudah menewaskan lima orang jahat yang
27 mengotorkan dunia, namun ia mas ih belum dapat
membunuh Kong Ji. "Liok Kong Ji dan Liok Cui K ong ! Majulah kalau kalian
jantan!!" Kembali Tiang Bu memaki-maki dan bert eriak "
teriak memanggil keluar ayah dan anak itu. Namun keadaan
sunyi saja, tidak terdapat seorangpun manusia. Biarpun
tadinya di dalam gedung itu penuh dengan pelayan dan para
selir Kong Ji, namun sekarang entah bagaimana mereka
sudah pada menghilang semua.
"Percuma......." pikirnya. "Aku mencari-cari tak mungkin dapat menemukan mereka, salah-salah aku bisa terjebak.
Lebih baik kutunggu mere ka di bawah bukit."
Setelah berpikir demikian. Tiang Bu lalu lari
meninggalkan daerah Ui tiok lim, mengikuti jalan yang
pe rnah dilaluinya ketika ia memondong Bi Li keluar.
Akhirnya ia selamat sampai di bawah bukit. Di sini ia
bersembunyi sambil mangaso untuk mencegat keluarnya
Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong.
Sehari ia berjaga di situ, namun tak seorangpun muncul.
Menjelang senja, barulah ia melihat rombongan orang turun
gunung. Hatinya berdebar te gang, tak salah lagi, tentu itulah rombongan Liok Kong Ji, pikirnya. Diam-diam ia
mentertawakan Liok Kong Ji yang dianggap goblok sekali,
mengungsikan keluarganya demikian tergesa-ges a.
Rombongan itu terdiri dari belasan joli yang dipikul oleh
para pelayan, ada pula yang membawa buntalan-buntalan
besar, agaknya membawa harta benda dari Ui-tiok-lim.
Tiang Bu melompat ke luar. "Berhenti!" bentaknya. "Liok Kong Ji, keluarlah untuk t erima binasa !"
Melihat munculnya pemuda ini, para pelayan menjadi
kaget dan ketakutan. Mereka berkumpul, menutunkan jol i
lalu berlutut dengan tubuh gemetar.
28 "Siauw-ya, ampunkan kami....... " yang berani membuka mulut berkata lemah.
"Di mana majikan kalian" Surub Liok Kong Ji ke luar
mene muiku !" "Liok-loya tidak....... tidak ada....... kami tidak tahu......
hanya disuruh pergi meninggalkan gunung ...... " jawab
seorang pelayan. "Bohong......!" Tiang Bu tidak sabar lagi. Dengan
menggerakkan sedikit kaki kirinya, pelayan itu terguling-
guling dan Tiang Bu maju me nghampiri joli-joli itu.
Disingkapnya joli diperiksanya dalam joli. Terdebgar pekik
dan jerit wanita. "Laki-laki kurang ajar !"
"Cih. tak tahu malu !"
"Kau mau apa....... !"
"Hee....... ada pemuda kurang ajar. Jangan buka buka
joli...... !" Tiang Bu kewalahan. Ternyata joli-joli terisi wanita-
wanita muda cantik yang menjadi selir Kong Ji. Sudah
dipe riksa seluruh joli , juga diperiksa semua anggauta
rombongan tidak terdapat Kong Ji maupun Cui Kong.
Saking marahnya Tiang Bu membanting-banting kaki.
Kemudian ia mendapat akal. Dihampirinya sebuah joli,
disingkapnya joli itu tanpa memperdulikan jerit tangis orang
di dalamnya. Bahkan ia lalu mengulurkan tangan ke dalam
joli, me nangkap lengan wanita di dalam joli, dan ditariknya
ke luar. Seorang wanita muda yang cantik akan tetapi
berbedak tebal sekali meronta-ronta dalam pegangannya.
"Hayo kau me ngaku, di mana adanya Liok Kong Ji !"
bentaknya marah. "Kalau tidak mau mengaku, akan
kulempar kau ke dalam jurang itu !" Ia menuding ke arah
sebuah jurang yang curam.
29 "Aaiiihhh, ampun....... taihiap....... . ampun.
Sesungguhnya kami tidak tahu ...... ke mana dia......,"
wanita itu menangis dan meratap. "Kami hanya diberi
perintah supaya pergi mengungsi turun gunung, tidak
diperbolehkan kembali lagi ......"
Tiang Bu membent ak bentak dan menakut-nakuti
sampai wanita itu terkencing-kencing ketakutan dan Tiang
Bu dengan jongah dan me ndongkol melepaskan tangannya.
Dengan pakaian bawah basah wanita itu merayap kembali
ke dalam joli. Tiang Bu menyeret keluar wanita dari jol i ke
dua. Akan tetapi sama saja. biarpun ia sudah mengancam,
wanita itu tidak dapat menceritakan di mana adanya Liok
Kong Ji. Tiba-tiba muncul seorang wanita berpakaian hijau muda,
datang-datang membentak marah, "Begal tak tahu malu!
Kau berani menghina kaum wanita?"
Tiang Bu memutar tubuh dan dua sinar berkilauan
menyambarnya. Cepat ia mengelak dan mengulur tangan
menangkap pergelangan dua tangan gadis baju hijau itu
yang telah menyerangnya dengan sepasang kapak kecil
secara hebat sekali. "Fei Lan,......!" katanya tertegun ketika mengenal gadis puteri penebang kayu yang pernah ditemuinya ketika ia
melakukan perjalanan ke selalan mencari Toat-beng Kui-bo.
Gadis cantik berbaju hijau itu terkejut mendengar
namanya dipanggil, juga ia tidak sanggup menarik kedua
tangannya yang terpegang oleh pemuda itu. ia memandang,
memperhatikan dan mengingat-ingat. Kemudian pecahlah
senyumnya,....... seruannya.
"Tiang Bu koko ..... ..! Akhirnya aku dapat berjumpa
denganmu!" Tiang Bu melepas kan pegangannya dan gadis itu
bertanya, keningnya berkerut penuh curiga dan penasaran.
30 "Tiang Bu koko, hendak berbuat apakah terhadap wanita-
wanita ini ?" Melihat sikap dan pandang mata gadis ini me rah muka
Tiang Bu. Celaka, ia tentu dis angka hendak berbuat yang
tidak patut terhadap rombongan itu.
"Fei Lan, jangan salah sangka. Rombongan ini adalah
keluarga musuh besarku, aku sedang me maksa mereka
mengaku di mana adanya musuh besarku yang
menyembunyikan diri itu."
"Begitukah?" Tiba-tiba sikap Fei Lin berubah cepat sekali.
Ia menghampiri jol i terdekat menendang jol i itu sehingga
wani ta yang ada di dalamnnya menjerit dan terlempar jatuh
bergulingan. "Kau tidak mau mengaku" Hayo katakan di mana adanya
musuh besar tunanganku ini!" "A....... am....... ampun...... aku tidak tahu ......." wanita itu
masih mencoba menjawab dan inilah kesalahannya. Sepasang kapak bergerak dan .......
tubuh wanita itu terpotong menjadi tiga! Putus pada leher dan pinggangnya, "Fei Lan. ...... !" Tiang
Bu berteriak tidak kuasa mencegah pembunuhan yang sama sekali tak pernah disangka-dangka itu. 31 Fe i Lan berpaling kepadanya, tersenyum se manis-
manisnya. "Koko. musuhmu adalah musuhku, anjing-anjing
be tina ini harus di paksa, kalau perlu dibunuh !"
"Tidak, jangan !" tegur Tiang Bu sambil melompat
mendekati Fai Lan untuk mencegah gadis ini menyebar
kematian. Biarpun amat benci kepada Kong Ji dan Cui Kong,
namun Tiang Bu tidak menghendaki rombongan yang terdiri
dari para selir dan pelayan ini dibunuh. Mereka ini adalah
orang-orang biasa yang tidak mempunyai dosa, bahkan
harus dikasihani berada di bawah kekuasaan se orang jahat
macam Kong Ji. "Kalian pergilah dari sini." katanya kepada mereka. Bagaikan dikejar setan, rombongan itu lalu berlari-lari turun dan cepat -cepat pergi dari tempat itu.
"Fei Lan, bagaimana kau bisa berada di sini?" tanya Tiang Bu setelah rombongan itu pergi sambil membawa mayat
wanita yang sudah terpotong menjadi tiga itu.
"Tiang Bu koko, kau benar-benar lelaki yang tidak tahu
kasihan kepada tunangan. Sudah dua tahun aku mencari-
carimu, hidup terlunta-lunta. Baru sekarang kebetulan
sekali kita bertemu dan kau masih tanya bagaimana aku
bisa berada di sini" Kau benar-benar terlalu !" Fe i Lan menyelipkan sepasang kapaknya di pinggang, menutupi
muka dengan kedua tangan, menangis.
Tiang Bu melongo. Untuk beberapa lama ia sampai tidak
dapat mengeluarkan sepatah katapun. Teringat ia akan
peristiwa yang dahulu, ketika ia bertemu dengan Fai Lan
dan ayahnya. Ayah gadis ini secara begitu menetapkan
perjodohan antara dia dan gadis ini dan Fel Lan juga
menerimanya. Tanpa bert anya tentang pendapatnya, ayah
dan anah ini sudah menganggap otomatis perjodohan itu
terikat. Benar-benar gila.
"Fai Lan, di mana ayahmu ?" akhirnya dapat juga
membuka suara. 32 Akan tetapi mendengar pertanyaan ini, Fei Lan
memperhebat tangisnya. Tiang Bu menjadi makin bingung.
ia paling bingung menghadapi wanita menangis. Tak tahu
apa yang harus dilakukan atau diucapkannya, i a banyak
berdiri mematung memandaog gadis yang menangis tersedu-
sedu itu. "Fei Lan, jangan menangis dan bicaralah!" Akhirnya ia
membentak saking tidak sabar lagi. Aneh.
Fel Len tiba tiba saja berhenti menangis dan memandang
kepadanya dengan heran dan mendongkol. "Koko, kau
keterlaluan sekali. Bertahun-tahun tidak muncul, setelah
kucarari sampai dua tahun lebih, sekarang bertemu kau
membentak-bentak." Kembali Tiang Bu yang melengak. Celaka, pikirnya,
sudah bertahun-tahun gadis ini masih belum insyaf dan
belum sembuh, bahkan penyakitnya "mengaku-aku jodoh"
makin menggila. "Katakanlah mengapa kau datang ke sini dan mana
ayahmu. Jangan bi cara tidak karuan, aku tidak ada waktu,
hendak mengejar musuh-musuhku"
"Ayah telah tewas. pembunuhnya kakek buntung. Koko,
sekarang aku sebatang kara. Aku ingat jenjimu. Bukankah
kau menyuruh aku menanti lima tahun" Nah, sekarang
sudah lima tahun, aku mau ikut kau !"
Akan tetapi Tiang Bu tidak memperhatikan kata-kata
terakhir ini, yang ia perhatikan adalah tentang kakek
buntung yang membunuh Lim-bong Lai Fu Fat si penebang


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kayu yang lihai. "Kakek buntung lihai " Kau tahu nemanya?"
"Namanya Lothian tung Cun Gi Tosu, dia membawa
seorang bocah perempuan dan ......"
33 "Dia lari ke mana" Tahukah kau, Fei Lan, Dia lari ke
mana ?" Tiang Bu bertanya s ambil memegang lengan gadis
itu. Fe i Lan memandang heran. Ia tidak mengerti mengapa
"tunangannya" ini demikian memperhatikan Lo-thian-tung
Cun Gi Tosu. "Kakek buntung itu naik peruhu ke selatan. Karena aku
tidak kuat melawannya akan tetapi aku mendendam atas
kematian ayah, aku mengikutinya terus diam-diam. Ternyata
te rus ke laut, menuju ke pulan-pulau selatan. Aku tidak
dapat mengejar te rus. Mengapa kau bertanya, koko ?"
Tiang Bu memegang lengan gadis itu erat-eral dan
suaranya mengandung kasihan sungguh-sungguh ketika ia
berkata, "Fei Lan, aku tidak bisa menjadi jodohmu. Kau
cantik, gagah, tentu mudah mendapat pasangan. Kau
carilah pemuda lain, jangan mengharapkan aku. Jangan
khawatir, kematian ayahmu kelak aku yang akan
membalaskan kepada kakek buntung itu. Nah, selamat
tinggal dan jangan mencari aku lagi !"
Fei Lan hendak merangkul, akan tetapi Tiang Bu lebih
cepat. Sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari depannya.
Fei Lan bengong terlongong-longong, lal u menangis dan
berkata seorang diri, "Mencari pemuda lain........" Mana ada seperti dia....... "
Ah, ayah....... nasib anakmu buruk sekali...... " Gadis itupun berjalan sambil menangis, pundaknya bergoyang-goyang dan
jalannya limbung. -oo(mch)oo- Wan Sin Hong meninggalkan isterinya, Siok Li Hwa, di
Kim-bun-to dan di a sendiri merantau untuk mencari
puterinya yang diculik oleh tosu buntung Lo-thian-tung Cun
Gi Tosu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, di
34 dalam peperangan hebat di kota raja ketika bala tentara
Mongol menyerbu, Sin Hong berhasil menolong Bi Li dan
Wan Sun dari kepungan tentara musuh. Akan tetapi Bi Li
melarikan diri ketika mendengar dia bukan putera Wanyen
Ci Lun, dan Wan Sun diajak pergi ole h Sin Hong ke Kim
bun-to pula. Di pulau ini, Wan Sun seringkali bertemu
dengan Coa Lee Goat yang menjadi calon isterinya.
Bersemilah cinta kas ih di dalam hati dua orang muda ini,
dan mereka memang merupakan pasangan cocok, sama
muda, sama elok dan sama gagah.
Akan tetapi hati Wan Sun selalu berduka kalau ia
teringat akan Bi Li. Diam-diam ia harus mengaku dalam hati
bahwa cintanya yang pertama jatuh kepala Bi Li, semenjak
ia tahu bahwa dara jelita itu bukanlah adik kandungnya.
Akan tetapi, dia telah dicalonkan menjadi jodoh Lee Goat
dan setelah ia bertemu dengan gadis tunangannya it u,
timbul juga rasa suka. Karena orang tua Wan Sun sudah meninggal dunia dan
walinya yang paling berhak menjadi pengganti orang tuanya
adalah Wan Sin Hong. maka sesuai dengan kehendak
pendekar ini, taklama sesudah tinggal di Kim-bun-to,
dilangsungkanlah pernikahan antara Wan Sun dan Coa Lee
Goat. Pernikahan ini dilangsungkan dengan meriah dan agak
tergesa-gesa karena Wan Sin Hong hendak segera pergi
melakukan perantauannya mencari anaknya yang hilang.
Beberapa bulan setelah menikah. Wan Sun juga
mengajak isterinya pergi untuk menyelidiki perihal Bi Li
yang sekarang setelah menikah, kembali timbul perasaan
cinta saudara terhadap gadis itu. Te ntu saja Coa Lee Goat
tidak keberatan. bahkan merasa gembira pergi merantau
mencari adik iparnya. Anak-anak orang gagah selalu merasa
gembira apabila melakukan perantauan, karena hanya dalam
perantauan inil ah kepandaian silat yang dipelajari semenjak
kecil, kelihatan kegunaannya. Perjalanan sepasang suami
isteri ini tidak menemui banyak rintangan. Siapakah
35 yang berani mati mengganggu mereka " Kepandaian Lee
Goat dalam ilmu silat sudah termasuk tingkat tinggi, dia
adalah puteri dari Go Hui Lian terutama sekali dia murid
Wan Sin Hong! Selain dia, suaminya, Wan Sun juga bukan
seorang biasa saja. Wan Sun adalah murid Ang jiu Mo-li,
tokoh utara yang disegani kawan ditakuti lawan itu.
Dibandingkan dengan isterinya, Wan Sun tidak kalah lihai.
Kasihan bagi sepasang suami isteri yang meninggalkan
Kim-bun-to ini, juga bagi Wan Sin Hong, mereka ini tidak
mengetahui bahwa beberapa bulan semenjak mereka pergi
meninggalkan Kim-bun-to, peristiwa besar terjadi di pulau
itu. Yang kini tinggal di rumah besar Coa Hong Kin adalah
dia sendiri bersama isterinya Go Hui Lien, kemudian Siok Li
Hwa yang merasa agak kecewa tidak diajak pergi bersama
oleh suaminya. Win Sin Hong memberi alasan bahwa
perjalanan kali ini sungguh amat berbahaya. Penculik puteri
mereka adalah Lothi an tung Cun Gi Tosu seorang tokoh
besar yang memiliki kepandaian tinggi sekali.
Wan Sin Hong merasa lebih aman meninggalkan Li Hwa
di Kim-bun-to. Memang pendapat Sin H ong ini ttdak keliru.
Dalam menghadapi Cun G u Tosu, dia lebi h leluasa bergerak
seorang diri, tak usah melindungi isterinya. Dan isterinya
tinggal di Kim bun-to bersama Coa Hong Kin dan Go Hui
Lian, tempat aman dan di antara sahabat -s ahabat baik yang
gagah perkasa pula. Disamping tiga orang pendekar ini, di rumah itu masih
ada lagi dua orang penjaga rumah yang mempunyai
kepandaian lumayan karena mereka sudah mendapat
petunjuk dari Coa Hong Kin. H ong Kin yang maklum bahwa
banyak sekali musuh dan orang jahat selalu berlaku hati-
hati dan menaruh penjaga- penjaga malam yang mempunyai
kepandaian, sehingga dia sekeluarga di waktu malam tak
melakukan penjagaan sendiri dan dapat tidur tanpa
terganggu. 36 Pada suatu hari, ketika Hong Kin, Hui Lian dan Li Hwa
sedang duduk bercakap- cakap di ruang depan, penjaga
memberi tahu bahwa Hwa Thian Hwesio dari Kwan-te-bio
datang ingin bertemu, bersama seorang laki-laki setengah
tua. Girang hati tiga orang ini cepat mereka, menyambut.
Hwa Thian adalah kenalan lama. Hwesio ini adalah tukang
dapur atau tukang masak dari Kuil Kwan-te-bio yang sudah
berusia lima puluh tahun, berkepala gundul pelontos
bertubuh gemuk, lucu dan ilmu silatnya tinggi. Dahulu
hwesio ini banyak membantu Pangeran Wanyen Ci Lun dan
karenanya dia adalah s ahabat karib Coa Hong Kin yang
dahulupun merupakan tangan kanan Wanyen Ci Lun.
Dengan mulut tersenyum-senyum hwesio gemuk itu
memasuki ruangan, di sampingnya berjalan seorang laki laki
setengah tua berkumis panjang yang sikapnya keren dan di
punggung terselip sebatang pedang. Sungguh berbeda sekali
sikap dua orang ini. Hwesio itu mulutnya melengeh
(tersenyum le bar) terus sedang kawannya keren dan
mendekati cemberut. "Hwa Thian suhu, angin apakah yang membawamu ke
sini" Kau makin gemuk dan makin muda saja! " sambut Coa
Hong Kin yang memang sudah biasa berkelakar dengan
hwesio ini. Hwesio itu tertawa terbahak. "Kalau angin tentu angin
Nirwana yang meniup pinceng ke sini. Pinceng makin gemuk
dan muda karena apakah yang harus disusahkan" Hidup di
dunia bukan untuk berduka, melainkan untuk
menghilangkan sengsara. Ha ha-ha, tepat sekali ujar-ujar
kuno bahwa bertemu dengan sahabat kental yang terpisah
jauh benar-benar merupakan yang menggembi rakan. Coa-
sicu, melihat kau dan jiwi hujin ini, pinceng merasa seperti
memasuki sarang harimau dan naga !"
Hui Lian dan Li Hwa memberi hormat dan Hui Lian yang
masih memiliki wataknya yang lincah gambira, berkata,
"Hwa Thian suhu bergurau saja. Kalau hendak bicara
37 tentang naga, kau adalah Kiang Lions (Naga Tangguh)
sedangkan kami hanyalah Tee-couw-coa (Ular Biasa) saja."
Hwa Thian Hwosio tertawa bergelak sambil memegangi
perutnya yang gendut, tongkatnya digoyang-goyangkan,
sampai keluar air matanya ia tertawa.
"Ha-ha-ha-ha. Coa-hujin benar-benar pandai
merendahkan diri. Mana gundul seperti pinceng patut
disebut Kiang Liong ! Kak Ouw-sicu ini kiranya masih
pantas." Berkata demikian, hwesio itu menunjuk kepada
kawannya Kemudian disambungnya. "Inilah Ouw sicu yang
bernama Ouw Beng Sin, berjuluk Huangho kiam sian (Dewa
Pe dang dari Huangho) Ouw Beng Sin cepat cepat menjura kepada Hong Kip
bertiga sambil berkata, "Hwa Thian Losuhu terlalu memuji, aku orang she Ouw
hanya bisa main sejurus dua jurus. Kawan-kawan yang
terlalu mengambil hati memberi julukan Kiam sian, apa
boleh buat, sesungguhnya tidak berani di depan samwi -
enghiong aku menggunakan nama julukan itu."
Sikap orang ini setengah merendah setengah
mengagulkan diri. Dunia persilatan, jarang ada orang yang
menggunakan nama juluka Kiam-s ian (Dewa Pedang) atau
Kiam-ong (Raja Pedang) kalau dia tidak memiliki kepandaian
bahwa ilmu pedangnya tidak ada yang melawan di dunia ini.
Orang ini berani memakai julukan seperti itu, tentu
mempunyai kepandaian berarti.
Di samping dugaan ini, juga timbul perasaan tidak puas
dan penasaran, apa lagi bagi Siok Li Hwa yang memang
wataknya agak keras dan tidak suka mengalah. Nyonya ini
menganggap bahwa di dunia ini tak ada yang melebihi
suaminya. Wan Sin Hoog, dalam permainan pedang.
Masa orang macam ini saja berani memakai gelar Dewa
Pedang " Akan te tapi sebagai seorang wanita, pula sebagai
fihak tuan rumah, ia diam saja hanya mata yang bening itu
38 menyambar laksana kilat. Kebetulan sekali Ouw Beng Sin
juga sedang melirik ke arahnya. Orang berkumis yang
mengaku Dewa Pedang ini terkejut melihat sinar mata ini
dan ia mulai percaya akan kata-kata Hwa Thian Hwesio
bahwa ia telah memasuki gua harimau dan naga.
Sete lah semua dipersilakan duduk dan arak telah
dikeluarkan biarpun menjadi hwesio, Hwa Thian Hwesio
tidak pantang arak Hwa Thian Hwesia mulai menceritakan
maksud kedatangannya. "Selain hendak mene ngok Coa-sicu dan juga Wan sicu
yang sayang sekali tidak berada di rumah. pinceng juga
memenuhi permintaan yang amat sangat dari Ouw sicu ini.
Dia ini adalah kenal an lama, seorang gagah yang malang
melintang di Sungai Huangho dan seperti juga kita semua,
dia amat suka akan ilmu silat, terutama ilmu pedang dan
suka pula mel uaskan pengalaman dan persabatan. Sudah
lama Ouw-sicu mendengar nama besar Wan-taihiap, dan
tahu pula bahwa Kim-bun-to adalah sarang ahli-ahli ilmu
pedang. Sudah bertahun-tahun Ouw-sicu rindu untuk
mencoba ilmu pedangnya di Kim-bun-to, akan tetapi belum
juga dilaksanakan dan sekarang...." Hwa Thian Hwesto
berhenti dan nampaknya sukar untuk me lanj utkan kata-
katanya ketika sinar matanya bertemu dengan pandang
mata Li Hwa yang tajam menusuk.
"Harap Ouw-sicu suka melanjutkan menyampaikan
sendiri maksud hatinya," katanya kemudian dengan tertawa tawa untul menghilangkan kebingungannya.
Orang she Ouw itu bangkit berdiri dari kursinya, menjura
kepada tga orang yang menjadi tuan rumah, lalu batuk-
batuk tiga kali untuk membersihkan kerongkongannya baru
ia berkata, "Apa yang diucapkan oleh Hwa Thian Hwesio yang
terhormat tadi memang betul sekali," ia mulai berkata dan
diam-diam Hong Kin harus mengaku bahwa tamunya ini
pandai mengatur kata-kata, seorang ahli pidato agaknya.
39 "Telah bertahun-tahun siauwte rindu sekali akan
kesempatan berkunjung ke Kim-bun-to dan menerima
sedikit petunjuk dalam hal ilmu pedang, Sampai bermimpi-
mimpi oleh siauwte pertemuan dengan Wan Sin Hong Tai-
kiam-hiap (Pendekar Pedang Bes ar) dan mendapat petunjuk
ilmu pedang barang dua puluh jurus sebelum siauwte
mengakui keunggulannya. Selain Wan-taitiap, kiranya di dunia ini tidak ada lagi
yang dapat memberi petunjuk kepada siauwte. Sekarang
berkat kemurahan hati Hwa Thian Losuhu yang terhormat,
siauwte mendapat kurnia dan kehormatan menginjakan kaki
di Kim-bun-to, akan tetapt sayang seribu kali sayang. Wan-
taihiap tidak berada di sini. Ah, memang nasib siauwte yang
sial, dahulu siauwte mana berani lancang datang ke sini! "
Sekarang ada perantaran. kiranya tidak berjumpa dengan
orangnya .....!" Hong Kin hanya saling pandang dengan isterinya, akan
tetapi Li Hwa mendongkol bukan main. Besar kepala benar
orang ini, pikirnya. Di dalam pidatonya tadi jelas ia
menonjolkan kesombongannya sungguhpun diatur dengan
rangkaian kata yang berliku-liku. Dengan sombong orang
she Ouw ini me mbayangkan bahwa sebelum kalah oleh Wan
Sin Hong, sedikitnya ia sanggup melawan sampai dua puluh
jurus, dan lebih-le bih lagi sombongnya dengan kata-kata
bahwa di dunia ini selain Wan Sin Hong tidak ada yang
dapat memberi petunjuk atau dengan lain kat a-kata, selain
Wan Sin Hong tidak ada orang mampu me nandingi ilmu
pedangnya ! Dengan mata berapi Li Hwa juga bangkit berdiri, lalu
berkata dengan suara nyaring "Sungguh tidak baik
mengecewakan tamu yang sudah payah datang dari tempat
jauh. Menilik dari ucapan saudara Ouw, tentu memiliki
kiamhoat (ilmu pedang) jempolan, apa lagi julukannya Dewa
Pedang. Mana suamiku mampu menandingi " Biarpun
suamiku sedang pergi dan tidak dapat melayani kehendak


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

40 tamu, namun aku isterinya dengan ilmu pedang pasaran
sanggup mewakil i suami sebagai tanda setia. Silakan!"
Setelah berkata demikian tangan kanannya bergerak dan
"srattt...!" pedang Che ng-liong-kiam tercabut, mengeluarkan cahaya hijau menyilaukan mata.
Boleb jadi 0uw Bong Sin agak sombong akin tetapi ia
seorang jujur. Kalau tidak miliki sifat baik di samping
kosombongannya mana orang seperti Hwa Thian Hwesio
mau menjadi sahabatnya" Melihat sikap Li Hwa dan
mendengar bahwa nyonya ini isteri Wan Sin Hong, ia cepat-
cepat menjura dan berkata,
"Ah, kiranya hujin ini Wan-toanio" Maaf seribu kali maaf.
siauwte bermata tak dapat mengenal ! Harap toanio jangan
salah duga dan tidak manjadi marah, maafkanlah kala
siauwte tadi berlancang mulut. Sesungguhnya dari lubuk
hati siauwte tidak ada maksud buruk, siauwte ingin sekali
menerima petunjuk dari Wan-taihiap. Mana siauwte berani
kurang ajar terhadap toanio" Maaf, maaf !" I a menjura
berulang ulang sebingga kemarahan Li Hwa lenyap sebagian
besar. Akan tetapi pedang sudah dicabut, amat tidak enak
kalau harus disimpan kembali sebelum dimainkan.
"Saudara" Ouw, Kim-bun-to memang tempat orang-orang
yang suka akan ilmu silat. Setelah tiba di sini dan sengaja
hendak main-main ilmu pedang, apa sih susahnya memberi
petunjuk kepada kami" Hitung-hi tung memberi pelajaran
kepada kami yang masih bodoh....."
"Ah, mana berani ...... mana berani ....!"
"Kalau begitu, biarlah. Hitung-hitung kita saling menukar dan menambah ilmu, bagai mana ?" kata pula Li Hwa.
"Bagus sekali !" Hwa Thian Hwesio bertepuk tangan
gembira "Usul Wan-hujin ini memang tepat. Di antara
golongan sendiri, di antara ahli-ahli silat, mengapa banyak
sungkan-sungkan " Ouw-sicu bertanding pedang dengan
Wan-hujin hampir sama dengan berhadapan dengan Wan-
41 taihiap sendiri. Mari beri kesempatan kepada pice ng untuk
melihat keindahan sinar pedang."
Dengan kata katanya yang mengandung kegembiraan ini
Hwa Thian Hwesio sudah mengubah keadaan, dari panas
menjadi dingin dan memancing s uasana baik sehingga kalau
toh terjadi pibu (mengadu kepandaian) akan dilakukan
dengan maksud baik, tidak disertai hati meradang dan
kepala panas. "Baiklah, kalau berdasarkan menukar dan menambah
ilmu tentu saja siauwte tidak keberatan. Maafkan
kelancangan siauwte !" sambil berkata demikian, ia menjura
kepada semua orang dengan tubuh membungkuk, ketika
tubuhnya tegak kembali, kelihatan sinar merah dan
sebatang pedang yang kemerah-merahan telah tercabut,
melintang di depan dadanya.
(Bersambung jilid ke XX) 42 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid XX GERAKANNYA i ni sudah me nunjukkan bahwa
kesombongan orang she Ouw ini memang berisi. Namun Li
Hwa sama sekali tidak gentar. De ngan tenang ia melangkah
ke tengah ruangan yang luas, berdiri melintangkan pedang
di dada sambil berkata, "Saudara Ouw, silakan !"
Ouw Beng Sin melangkah maju menghampiri,
membungkuk-bungkuk dan menjawab, "Wan toanio, siauwte
menanti. Mulailah." "Aku pihak nyonya rumah, kaumulailah dulu." Li Hwa
menjawab, sesuai dengan kesopanan ahl i silat.
"Akan tatapi siauwte seorang pria, tidak patut kurang
ajar. Toanio jangan banyak sungkan, harap membuka
serangan." Memang LI Hwa bukan seorang yang biasa sungkan-
sungkan, maka ia mulai memutar pedangnya dan berkata,
"Saudara Ouw, lihat pedang !" Tangannya menggerakkan
pedang dan sinar hijau manyambar ke arah dada Ouw Beng
Sin. 1 Ouw Beng Sin cepat menangkis sambil mengerahkan
tenaga untuk mengukur sampai di mana tenaga nyonya
pendekar itu. Akan tetapi ia kecele karena bagaikan seekor
belut yang cepat gerakannya, pedang Cheng-liong kiam
sudah ditarik mundur untuk melakukan serangan ke dua
membabat leher. Terkejutlah sekarang Ouw Beng Sin. Dia sudah banyak
berhadapan dengan ahli pedang namun belum pernah
bertemu ilmu pedang secepat ini. Ia berlaku hati-hati,
mengelak dan menangkis sambil mencari lowongan
membalas serangan. Akan tetapi, Li Hwa tidak
memungkinkan adanya lowongan itu. Pedangnya terus
menerjang secara berantai, tidak dapat diselingi sebuah
tusukan maupun bacokan dari lawan. Demikian cepatnya
gerak pedangnya sehingga yang kelihatan hanya sinar hijau
dan Ouw Beng Sin merasa diserang oleh ratusan buah
pedang ! "Hebat .....! Kim-hoat bagus....... ! berkali-kali Ouw Bwng Sin berseru kagum. Baru sekarang ia merasa takluk betul-betul. Baru isteri Wan Sin Hong saja kiam hoatnya sudah
begini luar biasa, apa lagi ilmu pedang pendekar sakti itu !
Sebentar saja sinar pedangnya yang kemerahan sudah
lenyap cahayanya, terbungkus oleh berkelebatnya sinar
hijau, pedang di tangan Li Hwa.
Kalau ia mau, Li Hwa dapat melukai Ouw Beng Sin. Akan
tetapi tentu saja Li Hwa tidak mau membikin malu seorang
tamu yang dibawa datang oleh Hwa Thian Hwesio. Bukannya
karena ilmu kepandaian orang she Ouw itu amat rendah.
Sebetulnya ilmu pedang Ouw Beng Sin juga lihai dan pantas
kalau jarang ada orang kangouw dapat menandinginya.
Kalau hanya Coa Hong Kin atau Go Hui Lian saja kiranya
hanya bisa mengimbangi permainan pedang Ouw Beng Sin
dan tentu akan makan waktu ratusan jurus baru bisa
mangalahkannya. 2 Kepandaian mereka setingkat. Akan tetapi harus
diketahui bahwa sebelumnya Li Hwa memang sudah lebih
tinggi tingkat kepandai annya. Kemudian ditambah lagi ole h
latihan dari Toat be ng Kui-bo dan akhir-akhir ini mendapat
petunjuk dari s uaminya sendiri. Tentu saja kiam-hoatnya
luar biasa sekali. Li Hwa hanya menyerang sampai dua puluh jurus.
Sengaja ia me nanti sampai dua puluh jurus dan pada jurus
terakhir ujung pedangnya menotol bajunya di bagian dada
kiri Ouw Be ng Sin, kemudian ia melompat mundur sambi l
berkata "Saudara Ouw memang memiliki kiam hoat bagus !"
Merah sekali muka Ouw Beng Sin. Gerakan Li Hwa tadi
selain indah juga amat cepat sehingga "tusukannya" tidak terlihat oleh orang lain keceuali Ouw Beng Sin yang cepat
melirik ke arah bajunya yang sudah bolong kecil .
"Wan-toanio benar-benar lihai sekali ihmu pedangnya." ia berkata sambil menjura berkali-kali. Hwa Thian Hwesio
tertawa bergelak dan berkata nyaring.
"Bagus, pinceng telah menyaksikan kiam-hoat indah dan
kali ini Ouw-sicu tidak penasaran. Ha-ha-ha !"
Tiba-tiba terdengar suara keras dan tubuh seorang
penjaga melayang ke dalam ruangan itu. Muka penjaga itu
pucat sekali. Agaknya menderita luka bebat. Dengan susah
payah ia bangun kembali dan Hong Kin cepat menolongnya,
mendudukkannya di atas bangku.
"A Liok, kau kenapakah?" tanyanya.
"Di luar..... ada penjahat ...... Ting twako dibunuh.......
dan....... dan....... uaaah!" Penjaga itu muntahkan darah segar dan tubuhnya menjadi lemas, kepalanya lunglai dan
terbanting ke atas meja. Bagaikan orang tertidur saja ia tak
bergerak. 3 Semua orang menjadi terkejut dan cepat memandang ke
luar. Sunyi saja di luar. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat
bayangan yang gerakannya cepat bukan main sehingga
tahu-tahu kelihatan orangnya di dalam ruangan itu,
tersenyum-senyum mengejek dan matanya menyapu-nyapu
lima orang yang berdiri memandangnya. Dia masih muda,
seorang pemuda tampan yang membawa dua s enjata aneh
sekali. Tangan kanannya memegang sebuah lengan manusia
yang sudah tidak ada dagingnya, tinggal kulit yang
membungkus tulang dan di dekat pergelangan tangan
terdapat seekor ular putih berbisa. Tangan kirinya
memegang sebatang huncwe bambu. Ia memandang sambil
tersenyum, kadang-kadang mengisap ujung huncwe yang
sudah diisi tembakau dan menyala, akan tetapi anehnya,
asap yang diisapnya tak pernah keluar dari mulutnya.
Lima orang yang berada di ruangan itu adalah ahli-ahli
silat tinggi. Melihat cara pemuda tampan ini mengisap
huncwa yang terus disedot ke dalam akan tetapi tidak
dike luarkan lagi, menjadi terkejut. Hanya dengan lweekang
yang amat tinggi orang dapat melakukan hal ini dan secara
diam-diam pemuda ini datang-datang telah
mendemonstrasikan kesaktiannya.
"Kau siapakah dan apakah kau yang membunuh, dan
melukai dua orang panjaga rumah kami?" tanya Coa Hong
Kin yang sudah melangkah maju.
Pemuda itu bukan lain adalah Liok Cui Kong! Senyumnya
melebar dan harus diakui bahwa pemuda ini berwajah
tampan. Dengan sikap kurang ajar ia melirik ke arah Hui
Lian dan Li Hwa, kemudian menjawab.
"Kusangka penjaga-penjaga Kim bun-to lihai, tidak
tahunya hanya gentong-gentong kosong! Ada tamu agung
tidak disambut, bukankah mereka itu kurang ajar dan patut
dibunuh?" 4 Mendengar ucapan ini, Hui Lian naik darah. Ia
melangkah maju dan berdiri dekat suaminya, lalu
menudingkan telunjuknya ke arah pemuda itu.
"Tikus busuk ! Siapa namamu dan dengan maksud apa
kau datang-datang mengacau" Apa kau sudah bosan
hidup?" Sambil berkata demikian Hui Lian sudah mencabut
pedangnya juga Hong Kin meraba gagang pedang karena
maklum bahwa pemuda itu datang bukan dengan maksud
baik. "Hmmm, kalau tidak salah lihat, pernah pinceng melihat
muka orang muda ini, dia bersama bangsat besar Liok Kong
Ji....." Hwa Thian Hwesio menghentikan kata-katanya ketika
sepasang mata pemuda itu memandang dengan tajam penuh
ancaman seperti mata setan.
"Aku bernama Liok Cui Kong dan siapakah di antara
kalian yang bernama Coa Hong Kin dan Go Hui Lian?"
"Kami yang bernama Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Kau
mau apa?" Kini Hong Kin juga sudah mencabut pedang.
Cui Kong tertawa mengejek. "Apakah Tiang Bu itu anak
kalian ?" Mendengar pertanyaan ini, Hong Kin melengak. Akan
tetapi Hui Lian segera menjawab. "Betul, Tiang Bu anak
kami. Kau mau apa ?"
Kembali Cui Kong tertawa dan tiba-tiba menyemburkan
asap putih bergumpal-gumpal ke arah muka Hong Kin dan
Hui Lian. "Bagus! Aku datang hendak membunuh kalian.
Ha-ha ha!" Makin banyak asap ke luar dari mulut pemuda
ini. agaknya asap dari huncwe yang tadi diisapnya dan baru
sekarang ia keluarkan. Hong Kin dan Hui Lian kaget sekali,
hendak mengelak namun tidak keburu,. Mata mereka terasa
pedas tak dapat dibuka dan bau yang amat keras
menyesakkan pernapasan mereka.
5 "Asap beracun, awas !" seru Hwa Thian Hwesio yang
cepat mendekap hidung dan mulutnya, sedangkan tangan
kirinya menggerakkan tongkat. Juga Li Hwa sudah
mencabut pedang sambil mengeluarkan dua butir pil merah.
Sebutir ia masukkan ke dalam mulut, yang sebutir lagi ia
berikan kepada Hwa Thian Hwesio.
"Hwa Thian suhu, simpan ini di mulut dan mari kita
gempur iblis cilik ini !"
Akan tetapi, Cui Kong benar benar hebat. Ia
menyemburkan terus asap putih itu memenuhi ruangan dan
lengan manusia dengan ularnya itu mulai ia gerakkan
menyerang Hwa Thian Hwesio yang berada di mukanya.
Ouw Beng Sin berseru, "Pemuda jahat sekali, kau
mampus di tanganku orang she Ouw." Pedangnya diayun
dan karena kebetulan berdiri di belakang Cui Kong ia
langsung menyabetkan pedang ke arah kepala pemuda itu
sekuat tenaga. Akan tetapi. tanpa menoleh Cui Kong
menyabetkan tangan kering itu ke belakang untuk
menangkis dan ...... Ouw Beng Sin memekik nyaring lalu
roboh, tewas tergigit ular putih yang amat berbisa!
Sementara itu, Hui Lian dan Hong Kin masih terhuyung
huyung dan mundur sambil batuk-batuk. Baiknya ada Hwa
Thian Hwesio dan Li Hwa yang sudah memutar senjata
menyerang Cui Kong sehingga pemuda ini terhambat
gerakannya. Kalau tidak ada pertolongan ini, tentu dengan
mudah Cui Kong dapat menyerang suami isteri yang sedang
repot ini. Asap yang disemburkan oleh Cui Kong memang asap
berbisa yang amat berbahaya. Mata hanya terasa pedas saja
kalau terkena akan tetapi siapa yang menyedot asap ini,
paru-parunya akan keracunan dan keadaannya berbahaya
sekali. Cui Kong seridiri sudah mempergunakan obat
penawar maka ia tidak terpengaruh oleh asap ini. Selain
asapnya yang berbisa, juga huncwe di tangan pemuda itu
6 adalah sebuah senjata yang luar biasa lihainya
dipergunakan untuk menotok jalan darah.
Kepandaian Cui Kong dalam mempergunakan senjata
istimewa ini amat tinggi. Ditambah lagi dengan senjata aneh
berupa lengan manusia dengan ular berbisa, benar-benar
Cui Kong merupakan lawan yang amat tangguh. Bahkan
pengeroyokan Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio tak dapat
mendesaknya. Sebaliknya. Cui Kong tidak mau


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghabiskan seluruh perhatiannya untuk dua orang lihai
ini. Kedatangannya untuk membunuh ayah ibu Tiang Bu
sebagai perbuatan balasan dari serbuan Tiang Bu ke Ui tiok-
lim. la tahu bahwa setelah Tiang Bu tidak mau mengaku
Kong Ji sebagai ayah bahkan memusuhinya, tentu Tiang Bu
amat sayang kepada ayah bunda angkatnya ini. Dan
menghadapi Tiang Bu sendiri adalah berbahaya dan sukar
karena Tiang Bu amat lihai, jalan satu-satunya
yang paling mudah dan terbaik untuk membalas dendam hanyalah mencelakai ayah bunda angkat Tiang Bu yang berada di Kim-bun-to ini.
Oleh karena itulah, ia menangkis serangan- serangan Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio sambil menghambur-hamburkan asap beracun, ke mudian berusaha keras untuk menyerang dan mendesak Hong Kin dap Hui Lian yang masih belum dapat membuka mata dan masih 7 kebigungan di pojok ruangan. Li Hwa maklum akan maksud
ini, demikian pula Hwa Thian Hwesio.
Maka dua orang ini yang merasa amat khawatir akan
keselamatan suami isteri terus mendesak Cui Kong sambil
melindungi mereka, sungguhpun amat sukar bagi mereka
usaha ini karena mata mereka sendiri terasa pedas-pedas
dan sudah mengeluarkan air mata karena pengaruh asap
beracun. Cui Kong mempercepat gerakan lengan manusia
dan huncwenya. Kepandaiannya memang masih lebih tinggi
dari pada kepandaian Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio, maka
sedikit demi sedikit ia mulai dapat me ndekati Hong Kin dan
Hui Lian! Keselamatan suami isteri Kim-bun-to ini benar-
benar terancam bahaya maut!
Asap beracun yang keluar dari huncwe Cui Kong itu
benar-benar amat berbahaya. Karena Hong Kin dan Hui Lian
tadi berdiri di depannya, maka asap yang disemburkan itu
tepat memasuki mata suami-isteri ini dan membuat mereka
sukar membuka mata yang amat pedas rasanya.
Hwa Thian Hwesio sudah mempunyai pengalaman luas.
Ia dapat menduga atau mengira-ngira bahwa tentu Tiang Bu
telah membuat sakit hati Kong Ji dan Cui Kong maka
sekarang pemuda ini datang hendak membalas dendam
kepada ayah bunda Tiang Bu. Maka sambil menggereng
Kampung Setan 4 Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Misteri Pulau Neraka 14
^