Pencarian

Tangan Geledek 12

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


orang-orang gagah dari hutan dan gunung bermunculan,
orang-orang tidak merasa heran dan aneh lagi melihat
orang-orang kang-ouw yang ganjil, baik roman muka,
pakaian maupun sikap mereka. Akan tetapi apa yang dilihat
orang pada pagi hari itu di dalam sebuab restoran terbesar
di kota Si-yang, benar-benar membuat para tamu restoran
lari cerai. berai dan para pelayan restoran berdiri melongo
dengan muka pucat dan kaki gametar ketakutan.
Mula-mula orang ini tidak mendatangkan rasa takut
sama se kali bahkan banyak mata diarahkan kepadanya
dengan kagum dan penuh gairah. Dia seorang gadis muda
yang cantik sekali, cantik manis wajahnya, dengan bentuk
tubuh yang indah tercetak oleh pakaiannya yang ketat.
Lekuk lengkung tubuh yang me nunjukkan kedewasaan,
bagaikan se tangkai bunga cilan yang baru mulai mekar.
Namun tak seorangpun berani mempe rlihatkan sikap atau
mengeluarkan kata-kata sembrono oleh karena sikap si
12 cantik ini amat gagcah, apalagi gagang pedang yang
tersembul di balik bajunya membis ikkan bahwa gadis jel ita
ini-pun adalah seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa
dan berbahaya. Mula-mula gadis ini hanya duduk dan minta
pesanan arak dan bakmi serta beberapa macam kueh basah.
Akan tetapi, keti ka arak dihidangkan dan ia mulai
minum, sedangkan se mua mata di kerlingkan ke arahnya,
tiba-tiba muncul ular-ular berbisa yang galak dan
mengerikan, keluar merayap dari dalam baju gadis itu.
Makin lama makin banyak ular ke luar, ada yang merayap
dan mengalungi leher si cantik, ada yang membelit-belit
kaki, ada yang membelit tangan dan ular-ular itu menjilat-
jilat arak dari cawan yang dipegang olehnya! Ular-ular itu
biarpun nampat jinak, akan tetapi maras mendesis -desis
dan kelihatan galak sekali ketika melihat orang lain.
Mclihat ini, para tamu merasa ngeri dan larilah mereka
keluar dan restoran itu, berbisik pada orang-orang yang
berada di luar restoran. "Ada siluman ular ..... !"
Para pelayan tidak berani mendekat, karena ular-ular itu
nampaknya siap menyerang siapa saja yang mendekati gadis
itu dan semua orang dapat melihat bahwa ular-ular itu
adalah binatang-binatang berbisa yang paling berbahaya.
Pada saat itu, dari luar restoran terdengar suara laki-laki
yang tenang dan lembut, "Aah, kalian me ngingau. Mana ada siluman muncul di pagi hari?" Tak lama kemudian dari luar
masuklah seorang pemuda dengan langkah tenang. Begitu ia
memandang dan melihat gadis itu, ia mengeluarkan seruan
girang, "Aah, kiranya kau, nona W anyen ......!"
Pemuda itu bukan lain adalah Tiang Bu. Tadi ketika ia
sedang berjalan, ia me ndengar bisikan-bisikan mereka yang
lari keluar dari restoran. Tentu saja ia merasa tertarik sekali mendengar ada "siluman ular" di dalam restoran, maka
cepat ia memasuki restoran itu dan melihat bahwa ying
13 disebut "siluman ular" itu bukan lain adalah Wan Bi Li.
Maka dengan girang ia mene gur dan dalam
kesederhanaannya tanpa banyak sungkan lagi Tiang Bu lalu
menyeret sebuah bangku duduk menghadapi nona itu.
Melihat pemuda ini duduk menghadapi nona aneh itu dan
sama sekali tidak kelihatan takut akan empat ekor ular yang
kini semua mengulurkan kepala kepadanya dengan garang,
para tamu yang tadinya masih ragu-ragu sekarang pergi
semua, Bahkan para pelayan j uga menjauhkan diri, berdiri
berkelompok sambil berbis ik-bisik.
Dengan tenang Bi Li memandang kepada Tiang Bu,
cawan arak masih di tangan kirinya, dan ia berkata dingin.
"Aku bukan nona Wanyen!"
"Aah, harap jangan main-main nona Wan-yen. Aku
mengenalmu, bahkan dulu di Omni-san kita sudah pernah
berte mu. Aku Tiang Bu dan....... dan sesungguhnya diantara
kita masih ada tali persaudaraan. Kita ini masih saudara tiri nona satu ibu lain ayah."
"Sudah kukatakan, aku bukan keluarga Winyen. Ayahku
Kwan Kok Sun yang berjuIuk Tee-tok (Racun Bumi),
kongkongku yang berjuluk See-thian Tok-ong ( Raja Racun
dari barat ). Apa kau tidak l ekas lari minggir ketakutan
seperti orang-orang itu ?" Bi Li bersikap angker, hendak mematut diri dengan sebutan-sebutan menyeramkan dari
ayah dan kongkongnya itu.
Biarpun Tiang Bu merasa heran mendengar ini namun ia
tidak takut. Ia bahkan tersenyum. "Bctulkah itu?" tanyanya ragu-ragu.
"Siapa membohong padamu" Wanyen Ci Lun dan
isterinya bukan orang tuaku, hanya semenjak kccil ayah
menitipkan aku kepada mereka?".. eh, kau ini orang
apakah yang mengajakku bercakap-cakap" Setan, pergi kau
!" 14 Tiang Bu tersenyum, nampak girang dan geli melihat
sikap nona ini. Nona yang cantik jel ita, tak pernah ia
be rtemu dengan yang secantik ini, akan tetapi yang
berusaha sekerasnya supaya kelihatan menyeramkan.
"Kalau kita bukan saudara, lebih baik lagi, nona Kwan. Kau memang dari keluarga yang cukup menakutkan. Akan tetapi
jangan kira bahwa akupun dari keluarga biasa saja. Siapa
yang tidak mengenal ayahku, Liok Kong Ji yang dijuluki
manusia manusia iblis karena jahat, keji dan kejamnya "
Akulah puteranya! Nah, bukankah kita sama-sama
keturunan orang-orang jahat belaka?"
Akan tetapi, mendengar kelakar ini, Bi Li tidak tertawa.
bahkan membanting cawan araknya di atas mejat sampai
ambles ke dalam lalu me lompat berdiri dan pe dangnya
sudah berada di tangan. Empat ekor ular itu otomatis sudah
melingkar di kedua tangannya, s iap untuk membantunya.
Nona ini benar-benar kelihatan menyeramkan sekarang,
dengan senjata pedang dan ular-ularnya itu. Bau semerbak
harum yang keluar dari tubuhnya makin keras menyengat
hidung. Akan tetapi Tiang Bu tetap duduk memeluk lutut,
menggoyang-goyangkan kaki dan tersenyum, seakan-akan
meli hat pemandangan yang lucu sekali.
"Bagus, anak dari bangsat keji Liok Kong Ji" Dengar aku
hendak membunuh keparat Liok Kong Ji dan kau ini
anaknya, boleh sekarang juga membela ayahmu !"
Senyum Tiang Bu melebar. "Baik sekali kalau begitu, kita setujuan. Akupun hendak membunuhnya kalau bertemu
dengan Liok Kong Ji."
Bi Li kelihatan kaget dan terheran-heran. "Kau....... "
Kalau kau anaknya....... kau hendak membunuh ayahmu
sendiri ...... ?" ia nampak tidak percaya dan pedannya masih
siap di tangan. 15 "Biar dia ayahku namun aku tak shdi mengakunya. Dia
telah berdosa besar kepada ibuku Gak Soan Li yang menjadi
Nyonya W anyen Ci Lun. Aku sudah bersumpab di depan
jenazah ibuku untuk membunuhnya."
Padang itu menurun, lalu kembali ke tempat di punggung
gadis itu. Bi Li duduk lagi, kini pandang matanya kepada
Tiang Bu agak ramah. Garis garis duka membayang di
jidatnya. "Ibu ...... eh, Nyonya Wanyen sudah....... sudah tewas
.......?" tanyanya, jelas sekali ia menahan isak tangisnya.
Tiang Bu menelan ludah menekan keharuan hati. "Betul,
juga Pangeran Wanyen Ci Lun, mereka tewas sebagai orang-
orang gagah. Aku hanya sempat merawat dan mengubur
jenazah ibuku, terpaksa meninggalkan jenazah Pangetan
Wanyen di istananya. Nona Wanyen....... oh, nonae
Kwan....... " "Namaku Bi Li !"
"Baiklah, Bi Li, mana kakakmu, Wan Sun" Dia itulah
saudara tiriku yang satu-satunya, aku ingin sekali bertemu
dengan saudaraku itu."
"Entahlah, aku pergi meninggaIkannya. Dia bukan
kakakku lagi, kami adalah orang lain yang secara kebetulan
saja sejak kecil mengaku saudara kandung. Aku kini seorang
yatim piatu sebatang kara di dunia ini, hanya dengan ular-
ularku yang setia." "Sama dengan aku. Biarpun ayahku, mas ih hidup, aku
sudah menganggapnya tidak ada. Akupun yattm piatu
seperti kau. Bi Li, kau sekarang hendak ke manakah ?"
"Mencari Liok Kong Ji untuk kubunuh, karena dia sudah
terlalu banyak membikin susah orang-orang yang
kusayang." "Kau tahu ke mana harus mencarinya?"
"Ke mana saja. Biar ke neraka sekalipun akan kususul."
16 "Tidak usah bergitu jauh. Aku tahu te mpat sembunyinya,
dan akupun hendak ke sana. Mau kau ikut" Dia bukan
orang sembarangan, kaki tangannya banyak, kedudukannya
amat kuat. Kau bergerak seorang diri amat berbahaya, kalau
kita me nyerbu bersama, baru ada harapan. Bagaimana?"
"Di mina tempatnya ?"
"Di tempat berbahaya yang dinamai Un-tiok-lim, tempat
yang penuh rahasia dan kabarnya tak seorangpun,
bagaimana gagahnya mampu masuk ke sana. Di sana Liok
Kong Ji tinggal bersama kaki tangannya. Bagaimana kau
suka?" "Boleh sekali ! Kau orang baik, Tiang Bu."
Pemuda itu tertawa girang. Gadis ini be nar-benar
berwatak polos dan jujur, dan ini, me nggirangkan hatinya,
sesungguhnya baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang
menarik hati dan menyenangkan hatinya, di samping Ceng
Ceng dan Pek Lian. "Kalau begitu, sesudah kita menjadi sahabat, mengapa
kau tidak menawarkan minum?" Bi Li tersenyum dan hati
Tiang Bu berdebar keras. Hebat sekali. Bukan main
manisnya gadis ini kalau tersenyum, pikirnya. Kalah Ceng
Ceng. "Agaknya watak nenek moyangku yang bu ruk s udah
menurun padaku. Duduklah di sini menghadapi meja dan
mari minum arak bersamaku, Tiang Bu."
"Terima kasih, Bi Li. Heei, pelayan, tambah araknya
seguci lagi. Dan bakmi semangkok besar, bakpauw sepiring.
Cepat....... !!" "Ba ...... baik, siauwya .......!" Seorang pelayan cepat mengerjakan pesanan ini, akan tetapi setelah siap dan
hendak mengantarkan, ia berdiri ketakutan di tempat agak
jauh, me megangi mangkok dan piring itu, tidak berani
mendekat. 17 "Kenapa kau?" tanya Tiang Bu.
"Maaf, siauwya .......maaf, siocia?".. itu?". itu ular-
ular?" Bi Li tersenyum dan mengel uarkan suara mendesis
perlahan dengan bibirnya yang me rah. Cepat sekali empat
ekor ular itu manyelinap dan le nyap ke dalam saku bajunya
setelah mendengar desis perintah ini.
"Nah, mereka sudah sembunyi, takut apa lagi?" kata
Tiang Bu dan pelayan itu dengan masih takut-takut
sekarang berani mendekat untuk menaruh bakmi, arak dan
bakpauw di atas meja. Ia hendak berlaku hormat den
membuka tutup guci menuangkan arak untuk Tiang Bu ke
dalam cawan. Akan tetapi ketika hendak menuangkan arak
untuk Bi Li dan melihat cawan melesak ke dalam meja,
menjadi pucat. "Tuangkan arak untuk siocia," kata Tiang Bu sambil
menekan meja dan....... seperti tercabut oleh tangan yang
tidak kelihatan tahu-tahu cawan yang tadinya melesak ke
dalam meja itu mumbul kembali. Melihat ini, pelayan itu
makin kaget dan kagum, di dalam hatinya menduga bahwa
hari ini restorannya betul-betul kedatangan siluman-siluman
yang pandai ilmu sihir ! Setelah menuangkan arak untuk Bi
Li, ia cepat mengundurkan diri dengan sikap hormat. Akan
tetapi begitu ia masuk ke dalam ia cepat lari ke luar dari
pintu belakang. Di kota Si-yang terdapat tikoan the Thio. Dia adalah
tikoan baru. yang diangkat semenjak perang selesai. Tikoan
she Thio ini se betulnya adalah bekas guru silat yang
sombong. Setelah perang selesai, entah bagaimana Thio-
kauwsu ini menjadi kaya raya. Padahal menurut
pengakuannya sendiri, ketika terjadi penyerbuan orang-
orang Mongol ia bcrjuang di kota raja dan berjasa besar
dalam "memukul mundur" bala tentara Mongol! Dia kembali ke Si-yang dengan harta benda banyak dan membual akan
jasa-jasanya. Dengan alasan jasa-jasa terhadap negara inilah
18 terutama sekali dengan pengaruh sogokan-sogokan yang
secara royal ia sebarkan kepada pembesar. pembesar tinggi,
akhirnya ia berhasil merebut kedudukan pembesar tikoan di
kota Si-yang. Memang sudah lajim di dunia ini, sesudah
perjuangan selesai, cecunguk-cecunguk rendah
bermunculan dan berebut penonjolan jasa-jasa.
Contohnya Thio-kauwsu ini. Ketika perang berkobar dan
orang-orang gagah berjuang untuk membela negara, dia
menyelundup ke kota raja, bukan untuk berjuang melawan
musuh melainkan untuk "berjuang" mengumpulkan harta
yang ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang bangsawan,
bekerja sebagai maling atau rampok. Kemudian, di Si-yang,
ia menonjolkan jasa-jasanya sebagai pejuang dan
menggunakan harta curiannya untuk menyuap dan
menyogok sana-sini sehingga akhirnya ia dapat menduduki
tempat sebagai pembesar. Dapat dibayangkan betapa
bobroknya keadaan masyarakat dengan "pe mbesar-
pembesar" macam ini sebagai orang-orang berkuasa yang
"memimpin" rakyat !
Cara Thio-kauwsu, atau sekarang disebut Thio-tikoan,
mempertahankan dan membela kedudukannya adalah cata
lama yaitu mengumpulkan tukang-tukang pukul yang
merupakan pasukan istimewa, pada lahirnya disebut
pasukan pengawal keselamatan tikoan, pada hal sebetulnya
adalah pasukan yang harus mempertahankan isi gudang
kekayaannya dan mempertahankan pangkatnya. Selain ini,
Thio-tikoan juga berusaha mengambil hati rakyat. Dengan
jalan melidungi rakyat dari gangguan orang jahat. Tentu saja
sebutan rakyat dalam mata tikoan ini berbeda dengan rakyat
dalam pandangan mata kita.
Bukan rakyat kalau orang itu tidak dapat memberi "apa-
apa" kepadanya ! Yang dimaksudkan rakyat olehnya, rakyat yang perlu dilindungi dan dibela, adalah orang yang dapat
memberi "apa-apa" untuk menambah penuh isi gedungnya.


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petani -petani miskin " Ooo, mereka itu bukan rakyat,
19 melainkan tenaga-tenaga yang harus tunduk kepada
"rakyat", pemil ik tanah seperti kerbau-kerbau bermuka
manusia. Si jembel" Apalagi. Mereka itu bukan rakyat
melainkan penjahat pe njahat yang perlu diawasi.
Restoran-restoran pada waktu menghasilkan untung
besar, maka menjadi "langganan" baik Thio-tikoan dan terlindung. Maka ketika pelayan itu dengan terengah
melaporkan bahwa restorannya didatangi dua "siluman"
aneh yang mencurigakan. Thio-tikoan lalu memberi perintah
kepada serombongan tukang puk ulnya untuk
"membereskan" perkara ini.
Demikianlah, ketika Tiang Bu dan Bi Li sedang enak-
enak makan bakmi dan bakpauw sambil minum arak, tiba-
tiba serombongan orang terdiri dari tujuh orang yang
kelihatan kuat-kuat dan galak memasuki restoran itu.
Tadinya Tiang Bu dan Bi Li tidak ambil perduli, akan tetapi
ketika melihat betapa mata ke tujuh orang itu diarahkan
kepada mereka, Bi Li berkata nyaring.
"Kaulihat restoran ini jorok sekali, lalat hijau yang kotor dibiarkan masuk. Mari kita habiskan arak dan lekas pergi ! "
Sambil berkata demikian, Bi Li mengangkat hidungnya yang
kecil mancung dengan sikap menghina.
Tujuh orang tukang pukul itu saling pandang, lalu
pe mimpinnya seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan
dengan kedua lengan baju disingsingkan ke atas sehingpa
nampak otot-otot melingkar di sepasang lengannya berkata
kepada pelayan yang kepalanya menongol dari balik daun
pintu di belakang restoran, "Memang cantik jelita, akan
tetapi mana ularnya" Jangan-jangan kau yang khilaf,
bidadari disangka siluman. Ha ha ha !"
Pelayan itu diam saja karena ia takut. Akan tetapi
pemimpin rombongan yang mempunyai tahi lalat di ujung
hidungnya ini, dengan langkah lebar menghampiri Bi Li dan
Tiang Bu, lalu berkata sambil menunjuk hidungnya sendiri.
20 "Nona manis, kau memaki lalat hijau padaku, memang
aku lalat yang ingin sekali hinggap di pipimu yang licin. Ha
ha ha. Kalian tidak tahu, aku adalah Ban-Ek Si Ke palan
Besi, komandan polisi kota ini . Apa kalian masih berani
kurang hormat ?" Ban-Ek SiKepalan Besi itu mengamangkan
tinjunya untuk memperkuat julukannya: "Kepalan Besi"
Tiang Bu yang tidak ingin mencari perkara mendahului
Bi Li yang sudah me rah padam pipinya. Pemuda ini
mengedipkan mata kepada gadis lalu menengok kepada Ban
Ek. "Kau datang-datang kok ribut-ribut, mau apa sih?"
Dada Ban Ek hampir meledak s aking marahnya.
Biasanya nama bes ar Ban Ek Si Kepalan Besi sudah cukup
untuk membikin seorang liok-lim bertekuk lutut ketakutan,
atau se tidaknya seorang kang ouw bersikap lebih hormat
dan bersahabat. Akan tetapi pemuda yang sederhana ini
sama sekali tidak mengacuhkannya.
"Pemuda tahu ! Kau dan nona ini mencurigakan, harus
kami pe riksa. Kalian berani makan di restoran, hayo
keluarkan uang pembayarannya di depan kami !"
"Apa kau yang tadi mengaku komandan polisi sudah
merangkap pekerjaan pelayan restoran" Kami tentu akan
bayar makanan, akan tetapi hanya kepada pelayan restoran.
Siapa tahu kalau kau bukan perampok yang Ingin membawa
lari uang kami ?" "Setan alas kelaparan! Kau berani menghina Ban Ek Si
Kepalan Besi " Jangan menantang kesabaranku. Hayo lekas
perlihatkan bahwa kau bukan tukang tipu makanan dan
bahwa kau memang betul akan membayar. Kalau tidak,
sebelum makananmu habis, mukamu akan lebih dulu habis
oleh kepalan besiku !"
Kini Tiang Bu yang tedinya sabar menjadi marah. Terlalu
sekali, pikirnya. Biasanya orang-orang yang menamakan
dirinya penjaga-penjaga keamanan kota atau polisi itu
adalah orang-orang terpelajar, orang-orang sopan yang
21 betul-betul menj adi pelindung menjadi pe negak keadilan,
menjadi bapak-rakyat yang mendatangkan rasa cinta dan
terima kasih rakyat atas jasa-jasa mereka. Akan tetapi, sikap yang diperlihatkan oleh Ban Ek Si KepaIan Besi ini s ama
sekali bukan sikap penjaga keamanan, bahkan sebaliknya,
sikap pengacau keamanan, bukan sikap bapak atau
palindung rakyat, sebaliknya sikap musuh rakyat yang
harus diganyang habis-habisan.
"Bi Li, ke luarkan uangmu dan perlihatkan kepada
monyet ini," katanya menahan marah. Memang Tiang Bu
tidak punya uang. Kalau tadi ia berani masuk dan makan,
adalah karena ia percaya bahwa Bi Li tentu punya uang. Bi
Li semenjak kecil hidup di dalam gedung pangeran, mustahil
kalau gadis itu tidak bawa uang...... "
Memang betul dugaannya. Gadis seperti Br Li puteri
pangeran, tak mungkin berkantong kosong. Biarpun
uangnya yang tadinya berada di saku sudah habis, namun
gadis ini sudah menjual perhiasannya satu demi satu dan
selalu ia membawa uang. Akan tetapi sejak tadi Bi Li sudah
naik darah dan kalau tidak ada Tiang Bu di situ yang se lalu
main sabar, tentu dia sudah memberi hajaran kepada orang
yang mengaku diri komandan polisi itu. Sekarang
mendengar kata-kata Tiang Bu, ia sengaja berkata.
"Aku tidak punya uang, yang ada hanya sepas ang
ke palan tahu. Kau ini anjing kudisan minta bayaran. Nah,
terimalah kepalan tahu i ni untuk kawan kepalan besimu!"
Setelah berkata demikian, t iba-tiba tubuh yang tadinya
duduk di kursi itu tahu-tahu telah berkelebat di depan Ban
Ek dan....... "plak! plak !" Dua kali te lapak tangan gadis
"mampir" di sepasang pipi Ban Ek. Pukulan itu kelihatannya tidak keras, juga terasa sendiri oleh Ban Ek sendiri tidak
ke ras. Maka komandan ini bertolak pinggang dan tertawa
bergelak. "Ha ha haaaeeekkk !" Suara ketawanya berubah secara
mengagetkan karena tiba-tiba ia munt ah darah segar diikuti
22 gigi- giginya yang ternyata sudah copot semua seperti
dicabuti. Ternyata bahwa tamparan Bi Li tadi hanya
kelihatannya saja perlahan, namun dilakukan dengan
pengerahan lwekang tinggi sehingga melukai jantung dan
mencopotkan se mua gigi. Ban Ek terhuyung-huyung. baru terasa mulutnya sakit-
sakit dan dadanya sesak. Ia he ndak marah-marah, akan
tetapi dadanya menjadi sesak dan di lain saat ia roboh
te rlentang dalam keadaan pingsan.
Gegerlah di situ. Enam orang tukang pukul yang lain
menjadi marah dan mencabut golok mereka, akan tetapi
hanya tiga orang yang berani menyerbu. Yang tiga takut-
takut dan hanya berdiri dengan golok di tangan. Begitu
menyerbu tiga orang ini menjerit dan roboh tak bernyawa
lagi. Masing-masing tergigit oleh tiga ekor ular yang tahu-
tahu s udah menyambar ke luar. dan kini merayap masuk
lagi ke dalam saku baju Bi Li.
"Tahan....... ! Tahan ........ ! Celaka dua belas dia itu adalah Wanyen Si ocia ! Apa mata kalian sudah buta ?"" Dari
luar datang Thio-tikoan berlari-lari dan pe mbesar itu serta
merta menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li.
Melihat lagak pembes ar yang berlutut itu kemarahan Bi
Li seperti api disiram minyak. Ia sudah memegang seekor
ularnya untuk me nyerang pembesar itu, akan tetapi Tiang
Bu yang sejak tadi sudah mengerutkan kening tak senang
melihat gadis itu menyebar maut cepat melangkah maju dan
menendang. Sekali tendang saja tubuh Thio-tikoan
terlempar keluar dari rumah makan, bergulingan seperti
bola. "Pergilah ! dan jangan mengganggu kami !" Tiang Bu
berseru dengan suara keras berpengaruh.
Thio-tikoan kaget sekali. Di dalam hati ia marah sekali
dan kalau tidak melihat bahwa gadis itu adalah puteri
Pangeran Wanyen Ci Lun yang te rkenal di kota raja, tentu ia
23 akan mengerahkan tukang pukul nya untuk mengeroyok dan
mencelakai dua orang muda itu. Apa lagi karena sebagai ahli
silat ia tahu bahwa pemuda yang menendangnya tidak
memiliki kepandaian hanya bertenaga kuat, buktinya ia yang
ditendang sampai mencelat jauh itu tidak menderita luka
dalam tubuh. Tentu saja sebetulnya ia tidak terluka karena
memang Tiang Bu sengaja tidak mau melukainya.
Bi Li sudah mengeluarkan uangnya dan membayar harga
makanan dan minuman kepada pelayan yang berdiri
gemetaran saking takutnya. Kemudian orang muda itu pergi
meninggalkan tumah makan.
"Bi Li, kenapa kau begitu kejam" Memang tukang-tukang
pukul itu menjemukan sekali, akan tetapi kurasa belum
patut dibunuh," di tengah jalan Tiang Bu mencela gadis itu.
Celaan ini tidak memarahkan Bi Li, bahkan ia tersenyum
meras a dipuji. "Aku sudah cukup kejam, Tiang Bu" Bagus, aku sudah
takut kalau-kalau kelihatan tarlampau lemah. Ingat, aku
keturunan See-thian Tok ong dan Tee-tok, dua orang yang
sudab amat terkenal sebagai manusia-manusia paling kejam
di dunia ini. Me ngapa aku tak boleh kejam dan jahat" Hai,
aku orang yang kejam di dunia ini, patut menjadi cucu See
thian Tok-ong. Awas, Tiang Bu, kalau datang se leraku
kaupun dapat kubunuh!"
Tiang Bu tersenyum pahit. Ia maklum akan gejolak hati
gadis cantik ini. Agaknya kenyataan bahwa ia adalah puteri
Tee-tok Kwan Kok Sun, menghancurkan hatinya dan ia
menjadi nekad, sengaja berlaku jahat dan kejam karena
tentu orang-orang akan memandang rendah dan hina
kepada keturunan See thian Tok ong yang jahat. Dari pada
disangka kejam dan jahat, lebih baik sekalian menjadi orang
jahat dan kejam agar cocok menjadi keturunan orang yang
terkenal paling jahat di dunia. Tentu demikian jalan pikiran
gadis ini . Diam-diam Tiang Bu berpikir dan ke tidaksenangan
hatinya menipis, terganti oleh perasaan kasihan yang besar.
24 "Ingat, Bi Li. Bukan kau saja keturunan orang jahat.
Orang tuaku jauh lebih jahat dart pada orang tuamu. Kalau
tidak percaya kau boleh tanya-tanya di dunia kang-ouw,
siapa yang lebih jahat antara Kwan Kok Sun dan Liok Kong
Ji. Tidak ada orang lebih jahat dari Liok Kong Ji yang
disebut manusia iblis. Tapi, apa kaukira kalau keturunan
orang jahat itupun harus jahat pula " Kau keliru! Pohonnya
boleh bongkrek batangnya, akan tetapi belum tentu kalau
buahnya buruk." Bi Li tertawa mendengar perumpamaan ini. Memang
pada dasarnya Bi Li seorang gadis lincah gembira mudah
tertawa. Hanya semenlak ia mendengar bahwa dia anak
orang jahat membuat wajahnya diliputi kebengisan
mengerikan. "Kau bicara seperti kakek-kakek. Nenek-moyang kita
jahat, siapa yang akan percaya kita baik" Nenek moyang kita
jahat, kalau ki ta lebih jahat dari mereka, bukankah itu
artinya melanjutkan garis hidup mereka" Katanya seorang
anak harus berbakti. kalau kita pura-pura menjadi orang
baik, selain tak seorangpun di dunia ini percaya, juga
saolah-olah kita mengejek dan merendahkan orang tua
sendiri, manyele weng dari jalan hidup mereka. Aku tidak
sudi menjadi anak orang jahat yang pura-pura baik,
ditertawai oleh orang kang-ouw dan dikutuk ol eh arwah
nenek moyang se ndiri !"
Hebat, pikir Tiang Bu. Celakalah kalau jalan pikiran
macam ini tidak dirubah. "Bi Li ! Kau keliru! D iumpamakan ayah kita itu sebatang pobon yang bongkrek dan buruk tiada
guna, akan tetapi kita sebagai buah-buah pohon bongtkrek
itu ternyata manis dan berguna, tentu pohonnya akan
dihargai orang dan tidak dirusak. Sebaliknya, kalau
pohonnya buruk buahnya masam, dua-duanya tiada guna
bukankah pohonnya akan ditebang dan dijadikan umpan
api. Nama buruk orang tua kita hanya dapat dicuci dan
dibersihkan oleh perbuatan baik kita, bukan makin
25 dicemarkan dan dikotori oleh perbuatan jahat kita. Kau tahu
betapa sakit dan hancur hatiku memusuhi ayah sendiri,
akan tetapi biarpun harus meramkan mata, kalau bertemu
dengan Liok Kong Ji yang di luar ke hendakku ternyata
adalah ayahku itu, pasti akan kubunuh !"
Bt Li memandang dengan matanya yang indah seperti
mata burung Hong. Kemudian tertawa geli sambil menutupi
mulutnya yang berbibir merah segar dan bergigi putih
seperti mutiara itu. "Kau....... kau orang lucu benar! Kau bilang mau berbuat baik menebus kedosaan ayah, akan
tetapi kau bermaksud membunuh ayah sendiri! Hei, Tiang
Bu, tidak tahukah kau bahwa tidak ada kejahatan yang
lebih besar dari pada membunuh ayah sendiri" Andaikata
aku dapat membunuh seratus orang tidak berdosa, aku
masih kalah hebat olehmu yang membunuh ayah sendiri !"
Mendengar ucapan ini, Tiang Bu melongo dan untuk
sesaat tak dapat menjawab. Akhirnya i a hanya dapat berkata
liri h, terputus-putus, "Dia j ahat ...... dia jahat sekali ..... aku harus bunuh dia......" Bimbang hatinya me ndengar ucapan
Bi Li yang langsung menusuk hatinya itu. Ucapan sederhana
namun mengandung sari filsafat hidup tentang "hauw" atau berbakti. Sari pelajaran dari Guru Besar Khong Hu Cu
tentang hauw ini banyak disalahgunakan orang. khususnya
para pengikut atau para penganut pelajaran-pelajaran guru
besar yang tiada keduanya di dunia itu. Sebagian besar
orang tua mempergunakan ujar-ujar Khong Hu Cu tentang
hauw ini demi kepentingan dan keuntungan diri sendiri.
Anak-anak diajar atau bahkan hampir dapat dikatakan
dipaksa untuk berbakti secara membuta, untuk menurut
apa yang dikehendaki oleh orang tua bukan demi
kepentingan anak itu sendiri melainkan demi keuntungan si
orang tua. Anak-anak hendak dijadikan alat-alat untuk
menyenangkan hat i orang tua dan agar anak-anak itu
melakukannya dengan senang hati den membuta, maka si
orang tua menyalahgunakan hauw, pelajaran yang suci dari
Guru Besar Khong Hu Cu! Karena penyalah gunakan
26 pelajaran tentang hauw inilah maka di Tiongkok dahulu
banyak terjadi hal-hal yang tidak adil, hanya karena orang
hendak mengikuti pelajaran tentang hauw secara membabi
buta. Mtsalnya, anak harus menikah dengan orang yang tak
disukainya karena orang tuanya sudah suka, dan anak itu
dihadiahi sebutan u-hauw (berbakti) . Anak harus membantu
orang tuanya biarpun orang tuannya melakukan pekerjaan


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jahat dan biarpun si anak di dalam hati tidak menyetujui
pekerjaan itu dan anak itu juga anak u-hauw ! Masih
banyak hal-hal yang rendah terjadi akibat orang tua
menyalahgunakan sari pelajaran ini demi kesenangan dan
kepentingan sendiri. "Kau keliru, Bi Li," kata Tiang Bu dengan suara tegas.
"Kalau sampai aku membunuh Liok Kong Ji, aku
membunuhnya sebagai orang pembela keadilan membunuh
seorang penjahat besar, seorang pcngkhianat bangsa dan
seorang pengganggu keamanan rakyat. Bukan sekali-kali
sebagai seorang anak membunuh ayahnya."
Untuk beberapa detik sinar mata gadis menatap wajah
Tiang Bu penuh kekaguman akan tetapi hanya sebentar
karena gadis segera tertawa lagi dengan nada mengejek
kemudian berkata, "Kau tadi telah bilang sudah tahu tempat tinggal
ayahmu....... eh, jahanam she Liok itu. Jauhkah dari sini ?"
"Tidak begitu jauh. Ui-tiok-lim berada di lembah Sungai
Luan-ho, di luar tembok Kota Raja Kin di utara. Di sanalah
Liok Kong Ji tinggal, menyembunyikan diri dengan anak-
anak angkat dan kaki tangannya semenjak dia
mengundurkan diri dari bala tentara Mongol."
"Judi dia tidak membantu Jengis Khan lagi?"
"Sepanjang yang kudengar tidak. Bala tentara Mongol
menyerhu ke barat dan hampir semua orang Han yang
tadinya membantu, merasa enggan untuk menyerbu ke
negara orang lain dan meninggalkan bala tentara Mongol.
27 Akan tetapi mereka ini agaknya meras a malu kepada bangsa
sendiri, juga Liok Kong Ji menyembunyikan diri di Ui-tiok-
lim, tak pernah muncul lagi di dunia, kang-ouw. Yang
muncul hanya anak-anak angkat nya yang dalam kejahatan
kiranya tidak kalah oleh Liok Kong Ji." Tiang Bu menarik
napas panjang, teringat akan Liok Cui Lin dan Liok Cui Kim,
dan tiba-tiba mukanya menjadi merah.
"Kalau begitu mari kita segera berangkat ke sana!" ajak Bi Li dengan nada gembira.
"Baiklah, hanya pesanku jangan kau semberono. Aku
mendengar s udah ada beberapa orang gagah mencoba
memasuki Ui-tiok-lim, akan tetapi mereka itu gagal di tengab
jalan dan dan tewas sebelum mereka dapat bertemu muka
dengan Liok Kong Ji atau anak-anak angkatnya."
"Mengapa begitu" Demikian berbahayakah Hutan Bambu
Kuning" itu?" Tiang Bu mengantguk-angguk "K abarnya begitu. Bambu-
bambu di hutan itu sengaja di tanam merupalan barisan-
barisan dalam bentuk yang ganjil, dipasangi alat-alat rahasia yang berbahaya. Kubarnya memas uki Ui-tiok-lim tempat
tinggal Liok Kong Ji itu bahkan lebih sulit dari pada
memasukt Kuil Siauw-Lim si yang te rkenal kuat."
DIam-diam Bt Li kaget sekali. ia pernah mendengar dari
gurunya, Ang jiu Mo-li bahw Kuil Siauw-lim-si amat
kuatnya. Bahkan gurunya itu, Ang-Jiu Mo li yang lihai,
pernah mencoba-coba memasuki Siauw lim-si untuk
memcuri kitab, akan tetapi te rpaksa keluar lagi dan hampir
saja tewas ! Kalau Siauw-lim-si saja sudah begitu lihat dan
tempat ini katanya lebih li hai lagi. dapat dibayangkan betapa sukarnya memasuki Ui tok-lim.
Tanpa kenal lelah, Bi Li dan Tiang Bu melakukan
perjalanan bersama menuju ke utara melalui tembok besar.
Di sepanjang perjalanan tiada hentinya Tiang Bu
mengulurkan tangan menolong rakyat jelata yang
28 keadaannya amat menyedihkan. Bekas tangan bala tentara
Mongol kelihatan nyata, mendirikan bulu roma, mengerikan
sekali. tumpukan puing menghitam sisa api, bau busuk dari
mayat manusia yang lambat dikubur dan darah-darah
manusia yang berceceran di atas tanah, ditambah pula
dengan manusia-manusia hidup setengah mati, kurus kering
sepetti rangka hidup terhuyung-huyung atau berjongkok
dan bergelimpangan di antara tumpukan puing, suara anak-
anak menangis minta makan, semua ini menggugah hati
Tiang Bu untuk bertindak, didatanginya rumah-rumah
pembes ar setempat, digunakannya kekerasan agar para
pembes ar lalim ini suka menggulung lengan baju dan
melakukan tugasnya sebagai bapak rakyat, menolong
mereka yang pat ut ditolong dan mengatur mana yang patut
diatur. Berkat kekerasan tangan Tiang Bu, banyak orang
desa tertolcong, tidak s aja yang kelaparan mundapat
makanan, juga yang kepanasan mendapat tempat berteduh
dan yang menganggur mendapat pekerjaan. Semua dijamin
oleh para pembesar yang dipaksa oleh tangan keras Tiang
Bu. Mula-mula Bi Li tidak sabar bahkan mendongkol melihat
betapa pemuda itu melakukan usaha ini. Dianggapnya
membuang waktu dan tenaga, hanya memperlambat
pe rjalanan. Akan tetapi ketika ia melihat betapa rakyat yang sengsara itu berterima kasih, betapa anak-anak yang
menangis menjadi tertawa, tergugah pula batin gadis yang
memang bukan pada dasarnya jahat ini. Bi Li sengaja
be rlaku jahat dan kejam untuk "menyesuaikan diri" dengan darah keturunannya yang mengalir di tubuhnya. Setelah
rakyat memberi julukan PEK LUl ENG (Ksatria Iangan
Geledeg.) kepada Tiang Bu. Bi Li juga mulai aktip membantu
pemuda itu. Tiang Bu diberi julukan demikian karena selalu
ia bertindak tanpa mempergunakan senjata, hanya
mengandalkan kedua tangannya yang cepat dan ban bahaya
seperti geledek menyambar. Setelah Bi Li turun tangan pula.
mempergunakbn pedangnya untuk menabas buntung
29 hidung atau batang telinga pembesar lalim dan korup,
mempergunakan ular-ularnya untuk menakut nakuti
mereka yang menindas rakyat, maktn berhasil lah usaha
Tiang Bu. Makin banyak pulae desa-desa tertolong dari
kelaparan dan kebinasaan. Akan tetapi perjalanan dua orang
muda itu menjadi makin lambat sehingga tiga bulan lewat
tak terasa ketika mereka akhirnya tiba di daerah lembab
Sungai Luan-ho. Mereka terus menyusur tepi sungai yang
mengalir dari utara, Pada pekan ke dua terpaksa bermalam di sebuah hutan.
Belasan li di sekeliling tempat ini tidak ada pedusunan
sehingga mereka terpaksa bermal am di bawah pohon. Malam
itu bulan bersinar terang sekali, mendatangkan suasana
romantis di dalam butan itu. Mereka me milih sebuah tempat
yang bersih, dibayangi pohon-pobon yangliu yang tinggi dan
be rbatang ramping seperti pinggang gadis-gadis ayu. Di atas
pohon, langit bersih, biru putih kekuning-kuningan penuh
sinar bulan yang mendatangkan hawa dingin sejuk
menyegarkan. Bi Li sepera menjatuhkan diri. duduk di atas rumput
lunak menyandarkan tubuh pada sebatang pohon sambil
menarik napas penuh nikmat melemaskan anggauta tubuh
yang kaku-kaku kelelahan.
"Aaahhh, enaknya di sini ....... nyaman sekali .......!"
katanya perlahan, senyumnya menambah cemerlang sinar
bulan. Tiang Bu juga merebahkan tubuhnya yang lel ab di dekat
batang pohon yang sudah tumbang melintang tak jauh dari
tempat Bi Li duduk. Mendengar ucapan gadis itu, Tiang Bu
memandang dan hatinya berdebar aneh. Bukan main
indahnya pe mandangan itu. Seorang bidadari mandi cahaya
bulan. Alangkah cantik jelitanya Bi Li ketika bersandar pada
pohon dengan muka sepenuhnya disinari cahaya bulan
purnama. Matanya tertutup dan bulu matanya yang lentik
30 panjang itu menimbulkan bayang-bayang di bawah matanya,
manis sekali. Bi Li membuka matanya, "Kau di mana, Tiang Bu ?"
tanyanya tanpa menoleh, dengan mata berkedip-kedip
jarang. "Di sini - ..... !" jawab pemuda itu. "Lebih enak di sini, dapat tidur."
Mendengar jawaban ini, Bi Li menengadah dan
memandang. Ia melihat Tiang Bu melonjorkan kakinya ke
depan, pungaung dan ke palanya disandarkan pada batang
pohon melint ang, seperti memakai bantal. Nampaknya
memang enak sekali, tidak seperti bersandar pada batang
pohon berdiri, terlalu lurus dan hanya dapat duduk, tak
dapat berbaring. "Minggirlah, akupun ingin t idur ! Jangan borong semus
tempat itu !" Bi Li meloncat lincah jenaka.
Tiang Bu mengguling-gulingkan tubuhnya sampai ia
berada di ujung batang pohon lalu berbaring miring sambil
tersenyum memandang kawannya yang jenaka itu. Bi Li
merebahkan diri terlentang di ujung batang pohon yang lain,
kurang lebih lima belas kaki jauhnya dari Tiang Bu sehingga
pemuda ini dapat melihat dengan nyata. Bahkan ia dapat
mencium bau harum yang selalu selalu semerbak
menghambur dari tubuh gadis itu, bau harum yang ganjil
sekali. Makin berdebar hati Tiang Bu melihat keindahan
wajah dan tubuh gadis re maja yang kini berbaring tak jauh
dari tempatnya. Teringat ia akan semua pengalamannya
dengan Cui Lin dan Cui Kim dan tiba tiba ingin ia menampar
mukanya sendiri. Bi Li seorang gadis terhormat, tak patut
seorang rendah budi dan hina dina semacam dia
memikirkan dan merindukannya ! Cepat ia membuang muka
ke lain jurusan agar jangan matanya manatapi mahluk
indah di depannya itu dan agar jangan sampai hatinya
tergoda. Akan tetapi makin dijauhi makin menggoda. Ke
manapun juga ia melempar pandang, bayangan gadis
31 telentang dengan, dada dan kepala terganjal batang pohon
sehingga dada itu membusung padat dan leher yang putih
kekuningan itu berlawanan sekali dengan batang pohon
yang berwarna coklat, selalu nampak di depan mata.
Seakan-akan bayangan gadis itu berpindah-pindah selalu ke
depan matanya, atau seakan-akan sepasang matanya yang
pindah ke belakang keplanya, tidak mau meninggalkan
pemandangan yang indah itu
Akhirnya Tiang Bu berbaring miring lagi menghadapi Bi
Li! Aku tidak berhak mengganggunya. aku ti dak berharga
mcncintainya. tidak patut mengenangkannya, s ama sekali
tidak boleh mendekatinya. Akan tetapi kalau hanya pandang
mata saja apa salahnya" Aku tidak akan merugikannya
dengan hanya pandang mata. Dengan pikiran ini, Tiang Bu
memuaskan rindunya dengan sepasang matanya. Bi Li
agaknya le lah sekali karena gadis itu s udah tertidur,
napasnya lambat dan halus, bibirnya agak terbuka se hingga
gigi yang berdere t rata dan putih itu terkena cahaya bul an
bersinar-sinar seperti mutiara. Oleh karena gadis itu sudah
tidur, Tiang Bu dapat leluasa memandangnya. Dengan sinar
mutanya ia me ncumbu rayu Bi Li dibelai-belainya rambut
yang agak kusut itu, penuh kasih sayang. Heran sekali,
terhadap Bi Li ia tidak mengalami rangsangan seperti ketika
ia digoda oleh kakak beradik Cui Lin dan Cui Kim. Tidak
timbul nafsu binatangnya, yang ada hanya kasih sayang,
kasihan dan ingin melindunginya, ingin berkorban untuknya
dan ingin hidup berdua yang lain-lain tidak ada artinya lagi
baginya. "Bi Li mengapa perasaanku terhadap kamu seperti ini
...... . ?" Tiang Bu menge luh di dalam hatinya dan tak terasa ia merasa berduka sekali. Teringat ia akan keadaannya yang
sama sekali tidak patut dijejerkan dengan gadis itu. Bi Li
cantik jelita. lebih cantik daripada Ceng Ceng, lebih cantik
dari pada Cui Lin dan Cui Kim, lebih cant ik dari pada Lai
Fei, pendeknya lebih cantik dari pada semua wanita yang
pernah ia jumpai. Dan dia sendiri, ah, Tiang Bu cukup
32 maklum dan insaf akan keburukan rupanya. Ia tahu bahwa
dia tidak boleh dibilang tampan, apa lagi ganteng. Olok-olok
dan ejekan yang dulu dilontarkan ke mukanya oleh Ceng
Ceng, sudah cukup jelas. Hidungnya pesek, bibitnya tebal,
mukanya ke hitaman, gerak-geriknya canggung. Selain itu, i a
seorang yatim pialu, seorang pemuda terlantar yang miskin,
tidak punya apa-apa. Dia sama sekali tidak memikirkan Bi
Li, apalagi me ngharapkan dapat mencintai gadis itu.
Bermalam di tempat seperti ini bersama saja se betulnya dia
sudah tidak berhak! Apa lagi kalau diingat akan
perbuatannya yang terkutuk dengan Cui Lin dan Cui Kim.
Auhh, dia seorang bermoral bejat. seorang rendah budi. Tak
terasa pula dua titik air mata turun dari sepasang matanya.
Cepat-cepat Tiang Bu menghapusnya dengan tangan.
Mengapa putus asa " Aku sudah cukup menyesal akan
penyelewengan itu. bahkan sudah cukup terhukum di dalam
jurang, sudah cutup terhina karena perbuatan kotor itu.
Aku sudah bertobat dan takkan mengulangi perbuatan keji
itu. Ia akan mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk
melawan rangsangan nafsu jahat yang agaknya sudah
mengalir ke dalam darahnya. Aku harus kuat. Aku seorang
jantan. "Tiang Bu kau melamun apa........ ?"
Tiang Bu kaget sekali. Begitu jauh ia melamun sehingga
tidak tahu bahwa gadis itu sudah bergerak dalam tidurya,
kini juga miring menghadapinva dan membuka mata
perlahan. Pertanyaan itu biarpun diucapkaa dengnan
perlahan dan lembut, tetap saja membuat Tiang Bu kaget
dan hampir pemuda int melompat. Baiknya ia dapat
menekan perasaannya dan hanya bangkit lalu duduk
menyandarkan punggung di batang pohon.
"Aku....... aku hanya memtkirkan nasib kita yang
buruk.....," akhirnya dapat juga ia menjawab.
"Mengapa kau bilang buruk?" Kini suara Bi Li
menyatakan bahwa ia sudah sadar betul dan sepasang
33 matanya juga terbuka lebih lebar. Ia nampak ingin tahu
sekali. "Betapa tidak buruk " Nasibmu sudah tak usah ditanya
lagi. Dari seorang puteri bangsawan yang semenjak kecil
hidup se rba mewah dan mulia, sekarang kau berada di
tempat sepeti ini, di udara terbuka, bertilam rumput beratap
langit berkelambu hutan berlampu bulan......."
Bi Li tertawa geli. "Kau seperti bersajak ! Tiang Bu, di
tengah malam buta kau bersajak. Benat-benar lucu!"
Tiang Bu menarik napas panjang sehingga terdergar ole h
gadis itu. Bi Li juga bangkit dan duduk se perti Tiang Bu.
"Tiang Bu, susah benarkah hatimu" Kenapa?"
"Aku menghela napas bukan menyusahkan nasib sendiri


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melainkan ...... aku kasihan kepadamu kalau kukenang
perubahan nasib hi dupmu, Bi Li."
"Aaah, aku yang mengalami sendiri tidak apa-apa kok
kau yang susah ! Lebih baik kau cerit akan mengapa kau
melamun tentang nasibmu. Buruk benarkah nasibmu?"
"Semenjak kecil ketika berada dengan keluarga Coa. aku
memang merasa bahagia, akan tetapi selalu timbul keraguan
dan keheranan kalau meIihat sikap para pelayan yang aneh
terhadapku. Kemudian aku terculik dan semenjak itu tak
pernah kembali ke Kim-bun-to, dan mengalami hal -hal yang
selalu tidak menyenangkan hati. Makin tua nasibku menjadi
semakin buruk jua?""
Kembali Bi Li tertawa geli, mengangkat muka ke atas
memandang bulan lalu berkata. "Bulan, kaudengarlah
keluh-kesah kakek ini! Sudah tua nasibnya buruk. Bulan,
tak dapatkah kau monol ong kakek ini?"
Kebetulan tegumpal awan putih lewat di bawah bulan,
untuk sajenak menutupi ratu malam itu.
"Tiang Bu, kauli hat. Kesusahan hatimu membuat bulan
sendiri ikut meras a se dih dan bermuram muka."
34 Tiang Bu menghadapi kejenakaan gadis ini dan hatinya
terbuka, ia menjadi ikut gembira. "Bi Li, kukatakan tadi
bahwa nasibku sejak dulu sampai sekarang sialan, akan
tetapi hanya berhent i sampai sekarang., Mulai aku berjumpa
dengan kau sinar terang mengusir semua kegelapan dan.......
" "Apa maksudmu ! ?" Bi Li tersentak dari duduk te gak, sepasang matanya memandang penuh selidik dan tajam
sekali. Tiang Bu sadar bahwa ia mengeluarkan ucapan yang
janggal dan patut menimbulkan curiga. "Aku tidak
bermaksud buruk, Bi Li. Kumaksudkan bahwa semenjak
bertemu de ngan kau, aku mendapat seorang kawan baru
yang kiranya akan dapat bekerja sama dengan aku
membasmi orang-orang jahat. Bukankah hal ini
menggirangkan hati benar dan mengusir semua kesunyian"
Aku... aku tidak bermaksud kurang ajar. Bi Li,... jangan kau
marah....." Sikap terang yang diperlihatkan Bi Li menjadi kendur
kembali dan gadi s itu kembali merebahkan diri seperti tadi
sebelum terjaga berbaring terlentang berbantal batang pohon
ia mengeluarkan seekor ularnya yang berkulit putih lalu
main-main dengan ular ini yang melingkar-lingkar diantara
jari-jari tangannya. "Siapa marah " Hanya kau yang canggung dan bodoh,
ucapanmu kadang kadang membingungkan orang."
"Me mang aku bodoh, Bi Li. Bodoh dan dungu." kata
Tiang Bu perlahan, hatinya gondok. Kalau ia masih kecil,
tentu ia akan menangis. "Pemuda yang merasa seperti kakek-kakek padahal
masih hijau, orang berilmu tinggi tapi lemah, yang mau
pura-pura jadi orang baik memang kau bodoh ! Pe k Coa
(Ular Putih) ini lebih pint ar dari padamu....... !"
35 Tiang Bu makin mendongkol, akan tetapi tidak
membantah atau menjawab, takut kalau-kalau jawabannya
akan lebih menonjolkan kecanggungan dan kebodohannya.
Padahal ia sendiri tidak tahu dalam hal apakah ia disebut
bodoh, sedangkan dalam persoalan apapun juga ia merasa
tidak kalah pintar oleh dara ini. Ia hanya mengerling tanpa
menoleh, berbuat se olah-olah tidak mengindahkan dan tidak
memperdulikan Bi Li, pada hal matanya sampai terasa
hampir juling karena selalu mengerling ke kanan ! Dari
sudut matanya ia melihat gadis itu makin lama makin lemas
dan napasnya makin lembut tak lama kamudian Bi Li
kembali tidur pulas. Ular putih itu merayap-rayap di antara
jari-jari tangan Bi Li dan diam-diam Tiang Bu menyumpahi
ular itu. "Bedebah kau ! Masa macammu lebih pintar dari pada
aku " Ular setan, ular siluman! Dan kau boleh sesuka
hatimu merayap-rayap membelai-belai dia, disayang dan
dicintai!" Dengan hati gemas dan kepala penuh cemburu dan iri
hati ia melihat betapa ular putih merayap-rayap terus di
antara dada Bi Li, kepalanya yang berlidah merah itu
dijulur-julurkan, merayap melalui leher yang berkulit putih
kekuningan itu, beberapa kali terpeleset di atas rambut
hitam halus yang j atuh di pundak. Beberapa kali Tiang Bu
mene lan ludah memaki-maki ular itu dengan mata penuh
kebencian. Tangannya sudah gatal-gatal untuk meraih ul ar
itu dan membantingnya hancur di atas batu untuk
melampiaskan rasa marah, cemburu dan iri hatinya.
Kemudian gangguan ular itu sampai pada puncaknya ketika
ular itu merayap melalui dagu Bi Li dan Iidahnya menjilat-
jilat pipi dan bibir gadis itu.
"Jahanam jangan menghina dia.....!" bentaknya dan
sekali tangannya bergerak sebuah batu kecil menyambar
dan di lain saat ular itu Sudah menggeletak di dekat tubuh
36 Bi Li dengan kepala remuk dilanggar batu tadi, mati tak
berkuti k lagi ! Bi Li ters entak kaget. Ketika matanya yang tajam itu
melihat Pe k Coa sudah menggeletak dengan kepala hancur
di dekat, ia melompat bangun dan sudah mencabut
pedangnya. "Siapa berani me mbunuh Pek coa ?" bentaknya marah.
Melihat sikap Bi Li ini, baru Tiang Bu sadar akan
perbuatannya tadi dan merasa menyesal. Iapun bangkit
berditi dan berkata dengan suara lemah.
"Maaf, Bi Li. Akulah yang membunuhnya."
Pedang itu dengan perlahan me masuki kembali
sarangnya. Untuk sebentar mata Bi Li terbelalak heran,
kemudian membayangkan kekhawatiran ketIka ia
melangkah menghampiri Tiang Bu untuk menatap wajah
pemuda itu lebih dekat. "Kau ...... " Kau membunuh Pek Coa......?" Aneh sekali,
Tiang Bu, kau kenapakah dan mengapa Pek Coa yang kau
tahu menjadi kesayanganku itu kaubunuh ?"
"Aku....... aku tidak sengaja?""
"Tadinya akupun tidak ada niat itu, akan tetapi ......
melihat dia menjalar ke atas dada-mu, me rayap ke leher dan
dagumu ...... melihat dia secara kurang ajar sekali
menjilat..... pipimu ...... bibirmu ....."
"Lalu timbul bencimu?" Heran sekali hati Tiang Bu.
Bagaimana gadis itu tahu belaka akan perasaannya"
"Ya.... eh, aku takut kalau kalau ........ kau digigitnya, dia ular berbisa dan kau sedang tidur pulas ....... aku lalu.......
lalu lupa diri dan...... membunuhnya.! Bi Li, maafkan aku.
Kelak aku akan mencarikan ular putih berapa hanyak kau
suka untuk menjadi penggantinya."
37 Kalau saja ia tidak bicara sambil menundukkan muka,
tentu Tiang Bu akan melihat perobahan luar biasa pada
wajah gadis itu. Seluruh muka Bi Li menjadi merah sekali
dan gadis ini membuang muka, lalu duduk di tempatnya
yang tadi. Sekali cokel ia telah membuang bangkai ular putih
itu. "Dia toh hanya seekor binatang ular ...." katanya
perlahan. "Tiang Bu, kau memang laki-laki bodoh. Jangan
ganggu, aku ingin tidur, besok harus melanjutkan
perjalanan jauh ....." Gadis itu membaringkan tubuhnya,
miring membelakangi Tiang Bu dan tak lama ke mudian ia
sudah pulas lagi. Tinggal Tiang Bu yang gulak-gulik tak
dapat pulas, hatirqa tidak karuan rasanya, merasa berdosa
terhadap Bi Li. Ularnya kubunuh dan dia tidak marah !
Bagaimana dia tahu bahwa aku menjadi benci melihat ular
itu menciummya" Heran, sampai berapa jauh dia
mengetahui isi hatiku "
Menjelang pagi, ketika Tiang Bu baru layap-layap
tertidur, ia mendengar suara orang. Seperti kebiasaan.
seorang ahli silat tinggi, Tiang Bu segera sadar dan
menengok. Dilihat nya Bi Li tersenyum-senyum dalam
tidurnya dan mengigau dengan suara yang belum pernah ia
dengar keluar dari mulut gadis itu, demikian merdu bagikan
lagu indah memasuki telinganya. "Tiang Bu ....... kau.......
baik se kali?".."
Dengan wajah berseri Tiang Bu pulas lagi, hatinya girang
bukan main, Alangkah lucu dan bodohnya manusia kalau
lagi diamuk asmara ! -oo(mch)oo- Beberapa pekan kemudian tibalah Tiang Bui dan Bi Li di
daerah lembah Sungai Luan ho yang menikung. Daerah ini
terdapat banyak pegunungan dan kaya akan hutan.
Tanahnya subur sekali akan tetapi sayangnya, di sana-sani
38 terdapat rawa yang amat berhahaya. Bahkan ada bagian lain
yang disebut rawa-rawa maut, karena di sini terdapat rawa
yang tertutup rumput-rumput hijau tebal. Padahal di bawah
rumput tebal ini bukanlah tanah keras, me lainkan lumpur
yang amat dalam dan yang me mpunyai hawa menyedot.
Sekali orang terpeleset ke dalamnya, kalau tidak mendapat
pertolongan orang lain. akan sukarlah ia menolong diri
sendiri, karena begitu kedua kaki terperosok ke dalam
lumpur yang sembunyi di bawah rumput, kaki itu akan
terhisap dan sukar dibetot keluar l agi. Makin lama makin
dalam sampai akhirnya seluruh tubuh dihisap mas uk.
Kebetulan sekali ketika Tiang Bu dan Bi Li tiba di daerah
ini, mereka menjadi saksi akan kengerian ini. Mul a-mula
mereka mendengar suara binat ang menguak keras berkali-
kali. Mereka merasa tertarik dan berlari ce pat ke arah suara itu.
Mula-mula mereka tidak tahu mengapa kijang besar it u
meronta-ronta di tengah padang rumput hij au itu sambil
menguak-nguak ketakutan. Seakan-akan binatang itu patah
kakinya dan tidak bisa lari lagi, atau seakan-akan kedua
kakinya terikat sesuatu. Jangan-jangan ia dimangsa ular !" kata Tiang Bu.
Bi Li mengerutkan kening, bidungnya yang mancung
kecil itu berkembang-kempis.
"Tidak ada ular di sini. Akan tetapi kasihan sekali kijang
itu, agaknya ketakutan. Coba kulihat dekat !" Sebelum Tiang
Bu sempat mencegah karena pemuda ini sudah merasa
curiga melihat padang rumput yang nampaknya mtin sunyi
dan menyeramkan itu. Bi Li sudah melompat dan berlari
mendekati tempat binatang itu yang meronta-ronta dan
momekik-mekik ketakutan. Tiba-tiba Bi Li me njerit dan
kedua kakinya amblas ke dalam lumpur yang tertutup
rumput hijau. Baiknya gadis ini telah memiliki kepandaian
tinggi sehingga tubuhnya tak sampai roboh. Ia mengerahkan
ginkangnya untuk menahan keseimbangan badan, tetapt
39 ketika ia me ncoba untuk mencabut kedua kakinya, makin
dalam ia terjerumus ! Baru sekarang Bi Li me ngerti apa yang
menyebabkan binatang itu meronta-ronta dan memekik-
mekik ketakutan. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hidup,
yang amat kuat menghisap kedua kakinya, terasa dingin-
dingin dan betapapun kuat ia bertahan. tubuhnya makin
tersedot ke bawah. Tiba-tiba ia menjadi pucat dan baru kali
ini selama hidupnya Bi Li ketakutan dan ...... menjerit !
"Tiang Bu?" tolong.......!"
Tiang Bu sudah tiba di situ. Pemuda yang cerdik ini
sebentar saja dapat menduga apa yang telah terjedi. Dengan
hati-hati ia melangkahkan kakinya mcnjaga jangan sampai
terjerumus pula. Kalau demikian halnya mereka takkan
tertolong lagi. "Tenang, Bi Li. Kau tertangkap oleh apa yang dinamai
lumpur maut atau rawa maut. Jangan banyak bergerak,
tunggu aku membetotmu keluar. Diam jangan bergerak, Bi
Li......." Benar saja, setelah Bi Li berhenti bergerak sedotan yang
terasa pada kedua kakinya berhenti pula, akan tetapi
lumpur itu sudah me nghisapnya sampai ia amblas sebatas
paha ! Ia mandi keringat dingin saking ngeri dan takutnya,
dan kini dengan penuh harapan ia me lihat betapa Tiang Bu
menghampirinya dengan kedua kaki diraba-rabakan ke
depan, sambil tangannya mencabuti rumput untuk memilih
tanah ke ras. Akan tetapi, tanah yang tadinya kelihatan
keras, begitu diinjaknya lalu Iongsor dan di bawahnya tanah
ke ras itu hanya tipis s aja, dan di bawahnya adalah lumpur
belaka. Celaka, pikir Tiang Bu dengan jantung terhenti
berdenyut. Kalau begini, tak mungkin Bi Li dapat tertolong.
Begitu ia menarik tubuh gadis itu, tentu tanah yang
diinjaknya amblas pula dan mereka berdua akan te rjerumus
dimakan lautan lumpur! 40 "Tiang Bu, mengapa kau be rhenti.... Apakah ?". apakah
aku tak dapat ditolong lagi?".!" Sebagai jawaban, terdengar
kijang itu menguak penuh kengerian. Terpaksa Bi Li
menengok ke belakang, ke arah kijang yang hanya terpisah
lima enam meter dari padanya dan me lihat keadaan itu, Bi
Li menjerit, "Tiang Bu ...... !"
Pemuda itupun menengok" dan menjadi pucat. Kijang itu
kini telah terhisap s ampai melewati lehernya, yang kelihatan hanya sapasang mata yang terbelalak ketakutan lebar,
hidung yang mendengus -dengus mengeluarkan uap putih
dan mulut yang menguak-nguak panjang dan nyaring.
Binatang itu tidak merasa sakit hanya takut....... takut luar biasa melihat maut berjoge t di depan mukanya. Dan Bi Li
yang merasa ngeri lupa diri dan bergerak membuat ia
amblas lagi sampai sebatas pinggang.
"Tiang Bu....... demi Thian ....... tolonglah aku ...... aku tidak mau mati begini, t idak mau!" teriak Bi l,i ketakutan
dan sepasang matanya melebar seperti mata kijang itu.
Nguak terdengar terus, makin lama makin lemah dan yang
terakhir suara itu terdengar aneh seperti parau kemudian
be rhenti tiba-tiba seperti tercekik. Mulut atau moncong
kijang itu tidak kelihatan lagi, hanya rumput di mana tadi i a be rada bergcrak-gerak, se perti ada ular besar lewat di
bawahnya. "Bi Li. kautunggu se bentar. Kau tenanglah jangan
bergerak. Ingat ini . jangan be rgerak kalau kau ingin
tertolong. Demi Thian, aku akan me nolongmu, biarpun aku
harus berkorban nyawa. Akan tetapi kau tenanglah,
pergunakan lweekang untuk mematikan semua pergerakan
tubuh. Hanya kalau kau diam seperti barang mati lumpur


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu takkan dapat menyedotmu. Aku akan mencari bambu
untuk menolongmu. Tenang..... !"
Tiang Bu melompat dan berlari ke arah hutan kecil di
mana ia me lihat batang batang bambu berkelompok dengan
daun daunnya yang indah. Setelah tiba di tempat itu,
41 pemuda yang tidak mcmbekal senjata tajam ini lalu
menggunakan kedua tangan, mencabuti bambu yang amat
kuat itu sampai terlcpas akarnya.
Tak lama kemudian ia sudah menyeret tiga batang
bambu yang sudah ia pat ah-patahkan cabang-cabangnya.
Dengan bambu ini dipasang melintang, dapat
menghampiti Bi Li yang betul saja tidak be rge rak sama
sekali sehingga ia terbenam hanya sampai di pinggang, tidak
le bih. Akan tetapi matanya berlinang air mata, mukanta
pucat dan bibirnya gemetar. Berdiri di atas tiga batang
bambu itu, Tiang Bu dapat berjalan dengan mudahnya,
karena bambu-bambu yang panjang itu tidak tenggelam,
seperti se buah perahu rakit.
(Bersambung jilid XVIII.)
42 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid XVIII ALANGKAH girang hati Tiang Bu dan juga Bi Li ketika
mereka dapat bertemu tangan. Tiang Bu membetot,
mengerahkan tenaganya dan....... terangkatlah Bi Li dari
dalam lumpur maut yang hampir saja menjadikan gadis ini
mangsanya. Saking girangnya Tiang Bu lupa diri dan
memeluk gadis itu, tidak perduli pakaiannya sendiri menjadi
kotor terkena lumpur yang menyelimut i tubuh dari pakaian
Bi Li sebatas pinggang kebawah, Juga Bi Li yang baru saja
terlepas dari ce ngkeraman maut, yang amat mengerikan dan
menakutkan, saking terharunya tidak merasa lagi akan
pelukan pemuda itu, bahkan ia menyandarkan kepalanya di
atas dada Tiang Bu sambil terisak-isak. Bi Li bukan seorang
gadis penakut, jauh dari pada itu. Sebaliknya, dia memiliki
kepandaian tinggi dan nyalinya besar sekali. Menghadapi
kematian dalam pertempuran kiranya akan dilakukan
dengan senyum di bibir. Akan tetapi ancaman maut yang
baru saja dialaminya tadi terlalu mengerikan. Dihisap oleh
lumpur perlahan-lahan, sama sekali tidak berdaya seakan-
akan maut merenggut nyawa sekerat demi sekerat, ditambah
lagi pandangan mengerikan dari kijang yang di hisap sampai
lenyap perlahan-lahan tadi, benar-benar luar biasa sekali.
1 Orang yang paling tabah juga akan merasa ngeri. Jauh
bedanya dengan menghadapi lawan, biarpun lawan itu kuat
bagaimanapun juga, kita dapat melawan dapat berdaya
upaya mempertahankan diri.
Sementara itu, biarpun tadinya ia memeluk tubuh Bi Li
karena terharu dan girang dalam usahanya yang berhasil
menolong gadis itu terlepas dari cengkeraman maut, setelan
pikirannya tenang kembali dan merasa betapa kepala
dengan rambut yang hitam halus dan harum itu terletak di
dadanya, ketika melihat kulit leher putih kekuningan yang
hangat itu demikian dekat dengan mukanya. Tiang Bu
teringat akan pengalaman membunuh Pek Coa malam itu.
Tiba-tiba dadanva tergetar, berdebar-debar tidak karuan,
kedua lengan yang meme luk juga menggigil dan tubuhnya
menjadi panas dingin. Bi Li agaknya juga tersadar atau terjalar oleh rangsang
yang mulai menguasai Tiang Bu, karena ia tersentak kaget
dan tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dari pelukan Tiang
Bu. Pemuda itu sendiri menundukkan mukanya, kedua
pipinya merah sekali dan wajahnva nampak sedih,
keningnya berkerut. Tiba-tiba tangan kanannya diangkat
dan "plakl plak !!" ditamparnya pipinya sendiri dengan
kerasnya sampai bibirnya se belah kanan pecah dan
berdarah. "Tiang Bu, kau kenapakah "!" Bi Li bertanya, terheran-
heran dan lupa akan perasaan malu dan jengah yang tadi
membuat ia merenggutkan tubuhnya dan menjauhi pemuda
itu. "Aku seorang jahat.... aku telah menggunakan
kesempatan selagi kau terharu untuk ...... untuk
memelukmu. Sebenarnya tidak boleh ....... aku memang
amat jabat. Bi Li....... !"
Bi Li melangkah maju, sepasang matanya kini bersinar
dan wajahnya barseri. Dipegangnya kedua tangan Tiang Bu
dan ia berkata, "Tidak, Tiang Bu. Kau seorang yang baik
2 sekali, amat baik aku berterima kasih kepadamu. Kalau saja
kau tidak capat mendapatkan akal dengan bambu-bambu
itu, aahh ......" Bi Li melepaskan kedua tangan Tiang Bu dan
menengok memandang ke arah rawa lumpur itu dan
bergidik. Sikap dan kata-kata gadis ini mengusir kesedihan Tiang
Bu yang tadi merasa betapa kembali ia dikuasai oleh
rangsang yang jahat dan berbahaya, yang timbul dari dalam
tubuhnya. Rangsang yang amat kuat dan kalau kurang
waspada, akan dapat manguasai seluruh hati dan
pikirannya. akan melumpuhkan pertimbangannya dan
melenyapkan sifat kegagahannya seperti dulu dengan Cui
Lin dan Cui Kim. Karena itulah ia bersedih. Akan tetapi
kata-kala Bi Li menghiburnya, dan pula bukankah tadi
iapun belum dikuasai benar-benar dan masih ingat,
buktinya ia masih dapat merasa bersedih dan marah kepada
diri sendiri" "Bi Li, kita harus mencari air untuk mencuci lumpur-
lumpur ini. Lihat. pakaianmu sudah tidak karuan
macamnya, kotor semua."
Bi Li memandang. "Apa kau juga bersih" Lihat saja,
lumpur sudah mengotori muka dan rambutmu," Gadis ini
tertawa geli, agaknya baru sekarang ia melihat betapa pipi
dan kepala pemuda itu penuh lumpur hitam.
Dengan gembira kembali dua orang muda ini berlari-lari
menjauhi rawa itu dan mncari air. Untuk ini mudah saja.
karena Sungai Luan-ho mangalir dekat saja dan mereka
segera turun ke dalam sungai. Bi Li berganti pakaian kering
dari buntalan yang tadi digendongnya. Akan tetapi Tiang Bu
yang tidak mempunyai bekal pakaian, terpaksa, hanya
mencuci bagian yang terkena lumpur dan masih terus
memakainya. Tentu saja mereka mencuci pakaian di tempat
terpisah yang tidak kelihatan dari tempat masing-masing.
Tak lama kemudian mereka sudah melanjutkan
perjalanan, menjelajah daerah pegunungan itu, mencari-cari
3 di mana Hutan Bambu Kuning. Biarpun Tiang Bu sudah
menyelidiki dan mendengar bahwa tempat tanggal Liok Kong
Ji berada di sekitar tempat ini, namun ia sendiri belum
pernah mendatangi tempat ini dan belum tahu di mana
sebetulnya letak Hutan Bambu Kuning yang menjadi sarang
Liok Kong Ji. Mereka berputaran sampai beberapa hari di
tempat ini, naik turun gunung. masuk keluar hutan hutan
besar. namun belum juga mereka melihat Hutan Bambu
Kuning. Bi Li sudah mulai hilang sabar ketika pada hari ke tujuh,
pada pagi hari selagi dua orang muda ini berada di sebuah
daerah berbatu karang, tiba-tiba mereka mendengar suara
orang. Suara ini adalah suara laki laki dan wanita yang
agaknya bertengkar, karena suara mereka keras dan
terdengar marab-marah. Bi Li dan Tiang Bu menuju ke
tempat itu, dan dari balik pohon-pobon dan batu karang
mereka mengintai. Bi Li melihat seorang pemuda tampan berhadapan
dengan dua orang gadis cantik. Melihat pemuda itu,
teringatlah Bi Li bahwa itulah pemuda yang dulu ikut
menyerbu ke kota raja, pemuda yang tadinya datang
bersama tosu kaki buntung sebagai utusan Kaisar Mongol,
pemuda lihai yang pernah ia keroyok dengan Wan Sun
dahulu di tepi Sungai Hoan ho, pemuda kurang ajar dan
ceriwis, Liok Cui Kong. Akan tetapi dua orang gadis cantik
itu belum pernah dilihatnya. Tidak demikian dengan Tiang
Bu. Begitu melihat dua orang gadis itu, wajahnya berubah
sebentar pucat sebentar merah, matanya menyinarkan
cahaya aneh, seperti marah dan malu. Ini tidak
mengherankan oleh karena dua orang gadis itu bukan lain
adalah Cui Lin den Cui Kim! Dua orang kakak beradik ini
masih secantik dulu, tahi lalat kecil di dagu Cui Lin masih
amat manis menarik hati, sepasang mata yang genit dan
berbentuk indah itu masih membuat Cui Kim seorang gadis
cantik yang jarang ada keduanya. Akan tetapi kecantikan
mereka sekarang menjadi racun bagi mata Tiang Bu,
4 bagaikan duri menusuk hatinya, membangkitkan marah dan
sakit hatinya. Akan tetapi ia tidak mau rahasianya diketahui
Bi Li dan ia dapat mengendalikan perasaannya dan tinggal
diam, mengintai di samping Bi Li. Ular-ular yang berada di
dalam saku baju Bi Li mulai keluar, tanda bahwa gadis itu
bersiap-siap manghadapi pertempuran. Dua orang muda ini
masih tidak mau bergerak lebih dulu, hanya mendengarkan
pertengkaran antara Cui Kong dan dua orang gadis itu.
"Kalian masih kukuh tidak mau memberikan katak itu
kepadaku?" Cui Kong berkata marah. "Kalian ini orang-orang perempuan sungguh tak tahu malu. Untuk apa kalian
menyimpan katak itu" Binatang ajaib itu hanya untuk laki-
laki, tidak ada artinya kalian membawanya. Lekas berikan
kepadaku !" "Kong ko, bukan kami yang tidak tahu malu, sebaliknya
engkau yang keterlaluan," bantah Cui Lin berani. "Binatang ajaib katak pembangkit asmara ini kami dapatkan dari Tiang
Bu dan kami simpan sebagai kenang-kenangan. Kami yang
berhak memilikinya, setidaknya menjadi hadiah kami
sebagai balas jasa kami ketika kita merobohkan Tiang Bu.
Mengapa kau mau memaksa kami minta katak ini" Aku tahu
kau hendak main gila, kau akan menjadi makin binal dan
mata keranjang. Sudah cukup kau menyakiti hati kami !"
"Setan! Kau bilang apa" Cui Lin, kau dan adikmu ini
menjadi berbeda benar sikap kalian setelah menjadi kekasih-
kekasih Tiang Bu. Agaknya kalian sudah jatuh cinta benar-
boner kepadanya, he" Cinta kepada monyet busuk itu,
bukan " Ha-ha ha, sungguh menggelikan !"
"Cui Kong, kau bicara apa !?" Cui Kim membentak marah sampai lupa menyebut Cui Kong dengan kakak. "Jangan
terlalu menghina kami !"
"Cui Kim, di mana kesopananmu "! Aku adalah
kakakmu, lupakah kau" Atau kau sudah tidak mau
mengaku aku sebagai kakakmu lagi ?" bentak Cui Kong
marah. 5 "Kakak macam apa kau ini "!" Cui Kim berkata dengan nada mengejek. `Mana di dunia ini ada kakak yang
memperlakukan kami seperti yang kaulakukan" Kami!
menurut saja karena kami memang bukan adik-adik
kandungmu, kita masing-masing adalah orang lain, dan
kami melayani segala kehendakmu membantu dalam segala
hal yang kaulakukan. Attie tetapi mana terima kasihmu "
Sekarang malah hendak merampas barang yang menjadi hak
milik kami. Cuh, tak tahu malu !"
"Bedebah !" Cui Kong memukul dada Cui Kim. Gadis ini mengelak cepat, akan tetapi sebuah tendangan mengenai
perutnya, membuat ia terlempar dan roboh. Sambil meringis
kesakitan Cui Kim duduk dan menekan perutnya yang
tertendang. "Cui Kong, kau terlalu sekali !" seru Cui Lin marah.
"Untuk kepentinganmu kami sering kali berkorban. Untuk
kemenanganmu dan membalasmu kami sampai rela menjadi
kekasih Tiang Bu. Sampai sebulan lebih, rela meterima
hinaan dari padanya. Sekararg kau bertindak sewenang-
wenang melukai adikku. Kau dan kami sama-saina anak
angkat dari ayah, adakah apa kau bersikap sebagai atasan
kami ?" Cui Kong tertawa mengejek. "Hak tingkat kepandaian,
bodoh ! Pula, jangan kira ayah akan terlalu membela kalian
kalau kalian tidak menurut perintahku. Ayah masih belum
tahu bahwa anak-anak angkatnya yang manis-manis, calon-
calon penghiburnya yang dirawat sejak kecil sampai menjadi
gadis-gadis jelita, ternyata telah menjadi kekasih Tiang Bu.
Ha ha ha...... !" Pada saat it u, sebelum dua orang yang sodah siap
bertempur ini saling se rang, terdengar seruan orang dan dari balik gunung batu karang muncul dua orang, satu dari
kanan kedua dari kiri. "Hayaa, kami mencari kalian di mana?"!" teriak seorang di antara mereka. Meli hat kedatangan dua orang ini,
6 otomatis Cui Kong dan Cui Lin merubah sikap menjadi biasa
tidak seperti orarg mau be rtempur. Bahkan Cui Kim sudah
berdiri lagi me nahan sakit.
Sementara itu, mendengar percakapan itu, muka Bi Li
juga berubah merah sekali. Ia merasa muak mendengar isi
percakapan yang kotor itu, dan be berapa kali ia mengerling
ke arah Tiang Bu, bibirnya yang manis ditarik se demikian
rupa untuk mengejek pe muda itu.
"Aha, kiranya kau mempunyai banyak kekasih ! Sekali
bertemu saja sudah ada dua orang. Mengapa kau tidak lekas
keluar menemui dua orang kekasihmu itu ?" katanya
perlahan. "Ssstt!, diamlah, Bi Li." kata Tiang sambil menyentuh tangin gadis itu, akan te tapi Bi Li menarik tangannya sambil be rkata ketus.
"Jangan pegang tanganku !"
Tiang Bu kaget dan khawatir. Belum pernah gadis itu
bersikap segalak ini, dan agaknya seperti orang marah-
marah. Heran ! Akan tetapi ia tidak berkata-kata lagi,
sebaliknya memperhatikan ke depan seperti Bi Li yang juga
sudah memandang ke depan penuh perhatian.
Yang baru datang adalah seorang laki-laki tinggi besar
bermuka hitam, kelihatannya kuat sekali, usianya setara
empat puluh tahun. Orang ke dua sebaliknya adalah seorang
yang kecil pendek, mukanya kuning pucat seperti
berpenyakitan. Akan tetapi baik Bi Li maupun Tiang Bu
maklum bahwa orang berpenyakitan ini adalah se orang ahli
lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.
"Liok-kongcu, kau membuat beberapa orang kawan sibuk


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencarimu ke sana ke mari. Tidak tahunya sedang
bersenang-senang dengan jiwi siocia ini di sini," kata si muka hitam.
7 "Jiwi-siokhu (kedua paman) menyusul ke sini ada
keperluan apakah gerangan ?" tanya Cui Kong,
menyembunyikan kemendongkolannya.
"Kami disuruh menyusulmu karena ayahmu yang mulia
bendak membicarakan urusan penting denganmu. Agaknya
Ui-tiok-lim akan kedatangan tamu tamu penting."
Mende ngar bahwa ia dipanggil ayahnya, Cui Kong tidak
berani membant ah. Setelah melempar karling penuh
ancaman kepada Cui Lin, ia lalu menyatakan baik dan
be rlari ce pat meninggalkan tempat itu, berlari ke balik
Pegunungan Batu Karang Putih. Si muka hitam juga lari di
belakang Cui Kong. Akan tetapi orang yang kurus kering dan
pucat itu tersenyum-senyum di depan Cui Lin lalu berkata.
"Nona tadi agaknya ribut mulut dengan Liok kongcu. Di
antara saudara ribut-ribut ada urusan apakah. Aku adalah
saudara angkat Liok-taihiap, aku akan merasa girang se kali
kalau dapat mendamaikan urusan kalian."
Mendengar ini, dua orang gadis itu diam-diam memuji
akan kelihaian si muka pucat ini. Juga Tiang Bu diam-diam
kaget karena hal itu saja membuktikan bahwa si muka
pucat ini benar-benar lihai.
"Ah, Cong-susiok agaknya main-main. Di antara saudara
serdiri, mana kami bertengkar! Hanya sedikit ribut mulut
urusan kecil," kata Cui Lin.
Si muka pucat she Cong itu tertawa bergelak, suaranya
tinggi kecil mengiris telinga rasanya, "Ha ha,ha-ha, nona.
Aku terhitung pamanmu sendiri. mengapa hendak
membohong" Kulihat adikmu ini menderit a luka dalam
akibat tendangan, apakah ketika menendang Liok-kongcu
juga main-main " Lebih baik lekas minum obat ini, agar luka
itu tidak menjalar makin hebat" Setelah berkata demikian, ia
melemparkan sebutir pel merah kepada Cui Kim yang
menerimanya lalu me nelannya.
8 "Teriima kasih, Cong-sustok. Kau baik sekali. Memang
saudaraku Cui Kong itu keterlaluan." kat a Cui Kim, "Coba saja pikir, kami merampas sebuah be nda dari musuh kami
dan benda itu sudah menjadi hak milik kami. Masa Kong-ko
datang-datang hendak merampasnya dari kami" Mena ada
aturan demikian?" "Memang tidak ada aturan seperti itu, apalagi kalau
benda itu sebuah pusaka seperti katak pembangkit asmara."
kata si pucat yang bernama Cong Lung itu.
"Bagaimana kau bisa tahu, Cong-susiok?" Cui Lin
bertanya kaget, juga Cui Kim memandang dengan heran.
"Tentu saja aku tahu. Juga aku tahu bahwa katak di
tanganmu itu tidak ada gunanya bagimu, sebaliknya katak
yang berada di tanganku juga tidak ada gunanya bagiku.
Kaiau kita bertukar katak, barulah ada gunanya."
" ..... Apa maksudmu, Cong-susiok?" tanya Cui Lie.
"Kalian mendapatkan katak betina yang tidak ada
gunanya bagi orang-orang wanita. sebaliknya aku
mendapatkan katak jantan yang sama sekali tidak ada
artinya dan tidak lebih baik dan pada katak mampus bagi
orang laki-laki. Sebaliknya kalau kita bertukar katak,
barulah dua benda ajaib itu akau banyak gunanya bagi
kita." Ia tertawa menyeringai.
"Bagaimana kami bisa me mpercayai omonganmu, Cong-
susiok. ? "Bukankah katakmu itu berwarna hijau " Katakku
berwarna merah dan kalau kalian mau buktinya, mari kita
keluarkan katak masing-mas ing." Sambil berkata demikian, Cong Lung mengeluarkan sebuah kotak yang sama dengan
katak yang dibawa oleh Cui Lin. Ia membuka sedikit kotak
itu dan terdengarlah bunyi nyaring tinggi. "Kok ! Kok I Kok !"
Pada s aat itu, Cui Lin mengeluarkan seruan kaget karena
kotak di dalam saku bajunya bergerak. Cepat ia
9 mengeluarkan kotak itu dan me mbuka sedikit tutupnya.
"Kok- kok-kok !" terdengar suara keras dan besar dari dalam kotak itu dan tutup kotak bergerak-gerak karena binatang
itu meronta-ronta. "Nan, mereka sudah saling mengenal suara. Bagaimana
maukah kau bertukar, nona" Aku bersumpan bahwa aku
tidak menipumu." Cui Lin yang memang tidak mendapat untung apa-apa
dari katak hijau yang ia rampas dari Tiang Bu, segera
menukarkan kotak berisi binatang aneh itu. Dan belum lama
begitu ia memegangi kotak berisi katak jantan, tiba-tiba
mukanya be rubah merah dan tak lama kemudian ia tertawa
cekikikan sambil meme luk adiknya dan membisikkan
sesuatu di telinga adiknya. Juga Cui Kin tertawa cekikikan.
Agaknya dua orang gadis bermoral bejat ini sudah mulai
merasai pengaruh dari katak ajaib itu yang membuat mereka
terkekeh sambi l berpelukan mereka hendak lari pergi dari
situ, akan tetapi Con Lun berkata.
"Nanti dulu, nona-nona manis . Ceritakan dari mana
mendapatkan katak ini ?"
"Dari dalam saku orang bernama Tiang Bu musuh kami.
Karena dia membawa katak itulah kami dapat me robohkan
dia, dan kami merampas kataknya setelah itu tak berdaya
lagi," jawab Cui Kim yang tertawa-tawa genit dengan mata liar dan pipi kemerahan. Kemudian dia dan kakaknya
berlari-larian pergi, kelihatannya girang sekali.
"Perempuan cabul jangan lari ......!" Tiba-tiba Bi Li
melompat keluar dengan marah. Sekarang tahulah Bi Li
bahwa Tiang Bu roboh di bawah kekuasaan dua orang
wanita itu karena pangaruh katak ajaib. Hal ini
menimbulkan kemarahan yang luar biasa padanya, maka
tanpa menanti isyarat dari Tiang Bu lagi ia sudah melompat
ke luar dan beberapa kali lompatan sudah berhadapan
dengan Cui Lin dan Cui Kim yang berhenti dan membalikkan
tubuh dengan heran. Dua orang gadis ini terheran-heran
10 meli hat Tiang Bu yang mereka sangka sudah tewas. Cui
Kong tidak pernah bercerita tertang Tiang Bu kepada
siapapun juga, karena pemuda itu tentu saja malu bahwa
dirinya dibikin seperti bola mati oleh Tiang Bu. Akan tetapi, ketika melihat Bi Li menyerang dengan ular di tangan kiri
dan pedang di tangan kanan, Cui Lin dan Cui Kim kaget.
Cepat merekapun mencabut pedang dan sebentar saja
mereka bertempur ramai. Melihat Bi Li sudah turun tangan, Tiang Bu terpaksa
melompat ke luar pula. Ia memang ingin menawan seorang
di antara mereka untuk menjadi penunjuk jalan. Ia tidak
mengkhawatirkan Bi Li yang kiranya cukup tangguh untuk
menghadapi pengeroyoknya dua orang gadis cabul itu maka
ia segera menghampiri Cong Lun dengan tenang.
Sementara Cong Lun yang melihat munculnya seorang
gadis cantik jelita bersenjata ular dan nampak gagah sekali
kini sudah bertempur dikeroyok oleh Cui Lin dan Cui Kim,
maklum bahwa inilah agaknya dua di antara tamu-tamu
penting" yang dikatakan oleh Liok Kong Ji yaitu musuh-
musuh yang datang menyerbu Ui-tiok lim yang harus
dilawan. Maka melihat munculnya seorang pemuda tangan
kosong bersikap tenang, tanpa banyak cakap lagi ia lalu
memapaki dengan tangan kanan diulur untuk menangkap
Tiang Bu. Justeru pada saat itu, Tiang Bu juga mengul ur
tangan untuk menangkapnya. Dua tangan bertemu, dua
tangan yang dibentangkan sehingga telapak tangan kanan
mereka saling bertumbukan.
"Plakk?"" Tiang Bu merasa betapa ada semacam tenaga
mesedot yang luar biasa sekali keluar dari telapak tangan
lawan dan menjalar ke dalam tangannya sendiri membuat
tangannya terasa pegal -pegal dan kaku. Ia kagum bukan
main, tidak mengira bahwa lawannya memiliki tenaga
kweekang setinggi itu, maka tadi ia tidak mengerahkan
seluruh tenaga karena ia memang tidak berniat membunuh
orang. 11 Baiknya pemuda ini sudah melatih diri secara hebat
sekali di dalam gua yang ia sebut sendiri Gua Siluman di
dalam jurang di daerah lembah Sungai Huang-ho itu. Ia
telah mempelajari semua isi kitab Seng thian-to yang luar
biasa sekali, ilmu keturunan yang hanya menjadi rahasia,
diturunkan oleh Tat Mo Couwsu sendiri dan hanya dua
orang kakek Omei-san yang pernah me lihat dan
mempelajarinya. Bedanya kalau kakek 0mei-san itu terlalu
banyak mempelujari ilmu silat dari kitab kitab itu, adalah
Tiang Bu dapat mempelajari Song-thian-to secara khusus
karena karena terkurung dalam jurang, maka kalau
dibandingkan dengan dua orang gurunya itu. Tiang Bu lebih
sempurna ilmunya yang ia pelajari dari kitab Song-thiau-to.
Hasilnya, ia me miliki sinkang yang luar biaya sekali, bahkan lebih hebat dari pada ketika ia mewarisi sin-kang dari dua
orang gurunya, kemudian tenaga atau hawa sakti dalam
tubuhnya itu lenyap ke tika ia tergoda oleh Cui Lin dan Cui
Kim. Begiitu merasa ada tenaga menyedot luar biasa dari
telapak tangan lawannya, Tiang Bu mengerahkan sedikit
tenaga membetot dan dengan mudah saja ia dapat menarik
kembali tangannya. Cong Lung yang mendapat julukan Ban-
kin liong (Naga Bertenaga Selaksa Kati) di daerah utara
mengeluarkan se ruan kaget. Ia sudah terkenal akan
tenaganya yang hebat luar biasa sehingga diumpamakan
see kor naga yang bertenaga selaksa kati. Se tiap pukulannya
akan menghancurkan batu karang, tiap kali tangannya
menggunakan tenaga menyedot, tak seorangpun di dunia ini
dapat me lepaskan diri dengan mudah. Akan tetapi bocah ini,
yang kelihatannya sederhana dan masih hijau, setelah kena
ditempel telapak tangannya, sekali be tot sudah terlepas !
Apakah dia sudah kehilangan te naganya ataukah bocah ini
yang menggunakan ilmu sihir" Dengan malu dan penasaran
sekali Cong Lung menyerang lagi, kini mengerahkan se luruh
Iweekangnya memberondong dada Tiang Bu dengan pukulan
tangan kanan kiri. Untuk menebus malu tadi Si Naga
12 Bertenaga Selaksa Kati ini rupa-rupanya hendak membunuh
Tiung Bu dalam sekali serangan. Akan tetapi, justeru inilah
kesalahannya, kalau ia mempergunakan ilmu serangan
biasa, dengan ilmu silatnya yang tinggi kiranya mereka
berdua masih akan dapat bertempur ramai untuk beberapa
babak lamanya. Celakanya, dia mengandalkan lweekangnya,
tidak tahu bahwa dalam hal ilmu ini menghadapi Tiang Bu
ia sama dengan berjumpa gurunya! Serangannya yang hebat
dan dilakukan dengan maksud membunuh ini memukul
dirinya sendiri. Tiang Bu menghadapi pukulan dahsyat ini
dengan tenang, hanya melakukan gerakan mendorong
dengan tangan kirinya ke depan untuk menghadapi
gelombang serangan dahsyat itu.
Ketika dua tenaga raksasa ini bertemu tubuh Tiang Bu
hanya bergerak sedikit ke belakang, akan tetapi yang hebat
adalah Cong Lung. Ia menjerit kesakitan, tubuhnya
terjengkang ke belakang dan jatuh telentang tak bergerak
lagi, pingsan. Dari mulutnya keluar darah segar. Masih
untung baginya bahwa Tiang Bu tadi tidak mengerahkan
tenaga untuk menyerangnya, hanya melakukan pertahanan
saja sehingga tenaga serangannya me mbalik dan
memukulnya sendiri. Kalau tenaga yang membalik ini
ditambah oleh tenaga serangan Tiang Bu sedikit saja, Cong
Lung tidak hanya akan roboh pingsan, akan tetapi tentu
akan mati seketi ka itu juga.
Sementara Cui Lin dan Cui Kim yang sedang mengeroyok
Bi Li merasa kewalahan juga. Gadis yang baru datang ini
lihai bukan main ilmu pedangnya, terutama sekali ular di
tangan kirinya itu merupakan senjata yang amat berbahaya
dan sukar dilawan. Tadi nya dua orang gadis ini masih bes ar
hati karena di situ ada Cong Lung, akan tetapi ketika
meli hat bahwa Cong Lung roboh pingsan, mereka kaget
bukan main dan cepat melompat ke belakang terus
melarikan diri. 13 "Siluman-s iluman beti na hendak lari kemana ?" Bi Li
membentak sambil mengejar dua orang lawannya yang
melarikan diri ke arah batu karang putih ke mana tadi Cui
Kong, juga pergi. Sambil mengejar, B Li menggerakkan
tangan dan beberapa buah senjata rahasia pat-kwa-ci
menyambar ke arah dua oran gadis yang melarikan diri itu.
Senjata rahasi yang dipergunakan oleh Bi Li ini adalah
senjata rahasia Ang-jiu Mo-li, hebatnya buka main. Biarpun
Cui Lin dan Cui Kim sudah me miliki kepandaian tinggi juga,
namun merei ka terpaksa membalikkan tubuh dan
menggunakan pedang menyampok semua senjata rahasia
ini, tidak berani mereka berlaku semberono. Sementara
mereka membalik ini Bi Li sudah dekat lagi dan langsung
menyerang. Akan tetapi Cui Lin dan Cui Kim tidak mau
melayaninya, setelah sekali menangkis, mereka kembali lari,
Bi Li hendak melepas senjata rahasia lagi akan tetapi dua
orang lawannya sudah melompat ke belakang batu karang
dan terus lari sehingga untuk sesaat gunung batu karang
menjadi penghalang baginya.
"Bi Li, jangan kejar ...........!" seru Tiang Bu, tahu bahwa
Bi Li bukanlah serang gadis yang mudah tunduk menurut,
ia melompat mencegat. Dapat dibayangkan betapa
mendongkol hati Bi Li ketika tahu tangannya dipegang dan
ditarik dari belakang oleh Tiang Bu.
"Kau ..... kau begitu sayang kepada mereka se hingga
tidak ingin meli hat aku membunuh mereka" Kau membela
ke kasih-kekasihmu itu ...... ?" bentaknya marah sambit
membanting-banting kaki karena ia tidak berdaya
melepaskan pegangan tangan Tiang Bu.
"Bi Li, kau selalu sal ah mengerti. Dua orang wanita itu amat eurang dan licin kau harus ingat bahwa agaknya kita
sudah s ampai di daerah Ui-tiok-lim, siapa tahu mereka itu
sengaja memancingmu untuk mangejar kemudian
menjebakmu! Pula, aku sudah berhasil menangkap yang
seorang itu dia bisa menjadi penunjuk jalan ke Ui tiok-lim.
14 Mendengar ini, dan meli hat bahwa dua orang gadis tadi
sudah lenyap dari situ, Bi Li mengalah. Akan tetapi pandang
matanya kepada Tiang Bu masih membayangkao ke-tidak
senangan hatinya. Tiang Bu merasa hal ini ia tahu pula
bahwa tentu gadis ini memandang rendah kepadanya setelah
mendengar percakapan antara Cui Lin, Cui Kim dan Cong


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lung tadi. Bi Li menghampiri Cong Lung yang masih pingsan. Ia
metihat saku baju orang itu dan teringatlah ia akan katak
ajaib yang berada di dalam peti. Tanpa banyak cakap lalu
mengambil peti kecil itu dari dalam saku baju Cong Lung.
"Bi Li, jangan ...... sentuh binatang itu!" Tiang Bu berseru dan mengulur tangan hendak merampasnya.
Bi Li mengelak dan mengejek, matanya bersinar marah.
"Manusia rendah kau hendak merampasnya dan mengulangi
perbuatan rendah seperti dulu dengan dua orang pelacur
tadi?" Tiang Bu tersentak kaget. Sungguh diluar dugaannya
gadis ini akan begitu marah. Benar-benar sukar dimengerti
watak wanira. "Tidak, Bi Li. Aku....... aku hendak
membunuh binatang berbahaya itu!"
"Bukan kau, akan tetapi aku yang akan membunuhnya.
Binatang menyebalkan, menjijikkan!" Dengan gemas ia
membuka peti kecil itu dan...... katak hijau itu melompat ke
luar cepat bukan main dan di lain saat ular di lengan Bi Li
sudah putus lehernya tergigit oleh kaiak itu! Anehnya, tiga
ekor ular lain yang tadinya bersembunyi di saku baju Bi Li,
kini meruyap ke luar semua, nampak ketakukan dan hendak
melarikan diri. Akan te tapi, cepat seperti bersuyap, katak itu sudah melayang lagi dan dalam sekejap mata saja, dua ekor
ular lain sudah putus lehernya dan mati . Tinggal seekor lagi ular kecil bersisik putih yang dengan ketakutan mencoba
bersembunyi di balik lipatan baju Bi Li. Katak hijau itu
mengejar terus dengan buasnya. Melihat ketiga ekor ularnya
15 mati digigit katak yang dibencinya ini, Bi Li menjadi makin
marah. "Katak siluman mampuslah !" Tangannya mencengkeram
ke arah katak, akan tetapi katak itu bukan main cepat
gerakannya karena sudah dapat mengelak lagi melompat ke
bawah dan cepat menyambar ke belakang tubuh Bi Li untuk
mengejar ular bersembunyi di balik punggung. Dengan
mulut terpentang le bar katak itu menyerang dari luar baju,
tercium olehnya agaknya bau ular yang bersembunyi di balik
pungung. Sebelum Bi Li dapat mengelak, katak itu ternyata
sudah me nempel di punggungnya, menggigit kulit daging
punggungnya dan tidak dapat teelepas lagi. Bi Li menjerit
dan roboh terguling, pingsan. Te rnyata bahwa ketika katak
itu menyambar ke arah ular yang bersembunyi di balik
bajunya, katak ini mencium bau harum luar biasa yang
sumbernya berada di punggung Bi Li, maka mengira kalau
ular tadi berada di situ, ia lalu menggigit sekuat tenaga.
Akan tetapi, begitu menggigit, katak itu bertemu dengan
racun yang dulu dipasang oleh Tee-tok Kwan Kok Sun di
bawah kulit punggung anaknya ini dan gigitan itu tak dapat
terlepas lagi kare na katak ajaib ini telah tewas. Di lain fihak, racun yang keluar dari mulut katak s udah menjalar ke
tubuh Bi Li, bertemu dengan racun penarik ular, terjadi
perang hebat menimbulkan hawa panas membakar tubuh
gadis itu sehingga Bi Li roboh pingsan.
Tiang Bu kaget dan cepat mameluk tubuh gadis itu
sehingga tidak terbanting. Ia lebih kaget lagi merasa betapa
tubuh itu panas membakar. Pertama-tama in melihat katak
itu yang ternyata sudah mati akan tetapi masih lengket pada
punggung Bi Li. Dan ular itu sudah bersembunyi di tempat
aman, di dalam lipatan baju. Tiang Bu menjadi bingung.
Biarpan sudah pernah mempelajari ilmu pengobatal dari
Wan Sin Hong tentang luka-luka dan akibat racun, namun
belum pernah ia mendengar tentang racun katak hijau,
katak pembangkit asmara! Malah baru sekarang ia tahu
bahwa "gil anya" dia dulu ketika ia tergoda oleh Cui Lin dan 16
Cui Kim juga karena hawa beracun dari katak hijau ini.
Berita yang ia dengar dari percakapan tadi tentang khasiat
katak hijau terhadap pria, membuat ia terhibur sedikit.
Setidaknya ia mempunyai alasan kini mengapa ia dahulu
sampai melakukan pe rbuatan rendah itu. Kiranya ia berada
di bawah pengaruh katak pembangkit asmara.
Tiang Bu tidak berani sembarangan mempergunakan
obat-obatnya untuk menolong Bi Li sebelum ia tahu betul
obat apa yang harus diberikannya. Ia menarik bangkai katak
itu, tanpa ragu-ragu lagi merobek baju Bi Li bagian
punggung setelah miringkan tubuh gadis itu. Tampak kulit
punggung yang putih halus dan bekas gigitan katak itu
meninggalkan bekas kehijauan. Anehnya, ia melihat bintik
merah di punggung itu. bintik yang agaknya sudah lama ada
dan yang mengeluarkan bau harum ke ras sekali. Kini bintik
merah itu dilingkari bekas gigitan katak yang berwarna
hijau. Tiang Bu mengambil pedang Bi Li yang terlempar di
atas tanah menggunakan ujung pedang untuk melukai
sedikit pada punggung Bi Li dan melihat darah yang keluar
diri luka. Darah yang keracunan selalu mendatangkan
warna yang akan dapat me mastikan obatnya. Keluarlah
darah merah segar dari luka itu, darah merah biasa seperti
darah orang sehat. Aneh sekali, pikir Tiang Bu. Saking
penasaran ia menusuk lagi di dekat luka gigttan katak itu.
Kembali mengal ir darah merah segar, sama sekali tidak ada
tanda-tanda racun. Tiang Bu menjadi makin bingung. Hanya
dengan melihat warna darah orang yang tergigit binatang
berbisa, ia akan dapat menentukan obat yang mana harus ia
pakai. Akan tetapi darah Bi Li ternyat a darah sehat yang
sama se kali tidak memperlihatkau tanda keracunan.
Tiang Bu mengeluarkan buku catatannya tentang
pengobatan ketika ia belajar dari Wan Sin Hong. ia membaca
dan membalik-balik lembaran catatannya itu namun sia-sta
belaka. Dia masih terlalu hijau dalam hal ini. Kalau Wan Sin
Hong berada di situ pe ndekar ini akan tahu se babnya dan
akan tertawa, karena sesungguhnya, racun dari katak hijau
17 itu lenyap kekuatannya oleh racun me rah yang berada di
tubuh Bi Li, racun merah yang dahulu dimasukkan ke
punggungnya oleh Tee-tok Kwan Kok Sun. Racun merah
inilah yang mengeluarkan bau harum dan yang menarik
semua ular-ular berbisa yang segera menjadi j inak kalau
berdekatan dengan Bi Li. Kini dua macam racun itu saling
serang dan kedua-duanya menjadi habis kekuatannya.
Perlahan-lahan dan racun yang bertawanan itu me njadi
musnah lenyap di dalam darah yang segar, yang mempunyai
daya sendiri untuk melebur dua macam racun yang sudah
tidak ada gunanya itu. Racun katak lenyap juga racun
merah yang me nimbulkan bau harum itu musnah. Bau
harum dari tubuh Bi Li makin lama makin menghilang dan
ia menjadi seorang menusia biasa lagi.
Karena kehabisan akal dan tidak tahu harus
mempergunakan obat apa, Tiang Bu hanya bisa mengambil
obat tempel untuk mengobati luka-luka bekas gigitan katak
dan bekas tusukan ujung pedang, ditempelkau di punggung
gadis itu. Kemudian ia membereskan lagi baju di bagian
punggung yang trrbuka dan mengangkat Bi Li ke tempat
bersih, di atas rumput yang tumbuh di bawah pobon. Baru
saja ia menurunkan Bi Li di atas rumput, gadis itu siuman,
mengeluh perlahan, disambung seruan yang menyenangkan
hati Tiang Bu. "Aduh nyamannya....... .....!" Ketika pemuda itu meraba
jidat Bi Li, ternyata hawa panas tadi sudah hilang dan
keadaan Bi Li sudah normal kembali. Gadis itu bangkit
duduk dan teringatkah dia akan katak hijau yang
menyerangnya tadi. "Mana binatang itu ?" katanya gemas.
"Dia sudah mati sete lah menggigit punggungmu. syukur
kau tidak apa-apa," kata Tiang Bu yang menceritakan
dengan singkat kejadian tadi. Bi Li menyesal bukan main
ke hilangan tiga ekor ularnya. Kini ia hanya tinggal
mempunyai seekor ular kecil bersisik putih itu, akan tetapi
18 ular ini cukup berbahaya. Ia sendiri masih belum insyaf
bahwa sekarang pengaruhnya terhadap ular telah lenyap,
bau harum yang aneh itu telah meninggalkan tubuhnya.
Ular kecil putih yang tinggal satu satunya itu masih jinak
kepadanya karena sudah lama ia peli hara.
Terdengar keluhan orang dan Cong Lung bergerak lalu
duduk sambil meringis kesakitan.
"Kau benar-benar orang lihai, orang muda," katanya
sambil memandang ke arah Tiang Bu dengan kagum,
"Kau sudah mengaku kalah?" desak Tiang Bu.
Cong Lung mengangguk. "Belum pernah aku bertemu
dengan lawan seperti engkau akan tetapi kalau lukaku
sudah sembuh, aku masih ingin minta petunjuk darimu
dalam ilmu silat. Sispakah namamu ?"
"Namaku Tiang Bu dan kalau kau sudah mengaku kalah,
sekarang kau harus menjadi petunjuk jalan kami memaauki
Ui-tok-lim. Mendengar nama itu, Cong Lung agak terkejut. "Kau
bernama Tiang Bu " Aku pernah mende ngar tentang P utera
Liok-taihiap yang bernama Tiang Bu ....."
"Bukan aku ! Aku musuh besar Liok Kong Ji. Bawa aku
ke sana." Tiba-tiba Cong Lung bergelak, kelihatannya geli.
"Kau....... " Kau hendak memasuki Ui-tiok-lim untuk
mencari Liok-taihiap" Benar-benar sukar dipercaya. Akan
tetapi kalau demikian kehendakmu, marilah kuantar kalian
ke Ui tiok-lim!" Ia melompat berdiri dan tiba-tiba ia meraba-
raba saku bajunya, keningnya berkerut.
"Katak hijau yang kotor itu telah mampus, tak porlu
kaucari lagi," kata Tiang Bu s ambil menunjuk ke arah
bangkai katak yang sudah kering.
Cong Lung menarik napas panjang berulang-ulang,
kelihatannya menyesal bukan main. Ia mengerling ke arah
19 wajah Bi Li yang amat jelita itu, lalu berkata, "Sayang....... !"
Akan tetapi ia segera berjalan cepat dan berkata, "Marilah !"
Dengan hati-hati sekali Tiang Bu mengikutinya, memberi
isyarat kepada Bi Li untuk berjalan di belakangnya. Gadi s
itupun bersiap-siap; berjalan di belakang Tiang Bu dengan
pedang di tangan kanan dan ular putih melingkar di
pergelangan tangan kiri. Cong Lung berlarl mengitari Pegunungan Batu Karang
Putih, lalu memnbelok ke kiri menuju ke pegunungan yang
penuh dengan batu karang dan sebatang pohonpun tidak
kelihatan dari bawah. Orang yang hendak mencari Ui tiok
lim *Hutan Bambu Kuning) tidak nanti akan mengambil
jalan ini karena siapakah orangnya mau mencari sebuah
hutan di atas pegunungan yang be gitu kering penuh batu
melulu " Inikah keistimewaan Ui-liok-lim yang amat sukar
dicari orang. Tidak saja letaknya di tempat yang tak
semestinya, yitu di atas pegunungan batu karang, akan
tetapi juga amat sukar mencari j alan di antara batu karang
itu. batu-batu yang berada di situ menj ulang tinggi
menutupi pandangan sehingga orang mudah tersesat tidak
mengenal daerah ini. Cong Lung adalah seorang di antara kaki tangan Liok
Kong Ji. Liok Kong Ji satelah mengundurkan dari bala
tentara Mongol dan berhasil mengumpulkan harta kekayaan
besar sekali dari harta rampas an di istana Kerajaan Kin dan
hadiah hadiah diri Jengis Khan, lalu hidup sebagai raja
muda di Ui tiok lim. Di tengah Rimba Bambu Kuning ini
mendirikan gedung besar seperti istana yang mempunyai
hampir seratus buah kamar. Kini Kong Ji tinggal bersama
selir-selirnya yang jumlahnya ada enam belas orang muda
muda, ayu-ayu, didampingi pula oleh tiga orang "anak
angkatnya" yaitu Liok Cui Kong, Cui Lin dan Cui Kim.
Tadinya Cui Kim juga menjadi calon selirnya akan te tapi
semenjak ia mendengar bahwa dua orang "anak" ini sudah
melayani Tiang Bu, ia tidak mau menganggu mereka. Dasar
20 manusia berwatak bejat biarpun di depan matanya ia
melihat betapa Cui Lin dan Cui Kim dua orang gadis cabul
itu bermain gila dengan "kakaknya" sendiri Cui Kong,
namun Kong Ji sengaja menutup mata. Dapat dibayangkan
betapa rusak dan bejat moral orang-orang yang tinggal di Ui-
tiok- lim. Karena maklum bahwa ia mempunyai banyak musuh,
terutama sekali ia merasa jerih terhadap Wan Sin Hong,
Kong Ji telah me milih lima orang jagoan yang memiliki
kepandaian tinggi. Lima orang ini adalah kawan-kawannya
yang ia kenal di dalam perantauannya, bahkan mereka telah
pula membantu pergerakan tentara Mongol. Dengan lima
orang ini Kong Ji yang cerdik mengangkat saudara dan dia
diangkat menjadi saudara tua. Bukan karena usia,
melai nkan karena kepandaiannya, kedudukannya dan
te rutama sekali kare na hartabendanya. Dua di antara lima
orang "adik angkat" ini adalah si muka pucat Cong Lung ahli
lweekeh itu dan orang tinggi basar muka Imam yang muncul
bernama Cong Lung, bernama Ma It Sun. Seperti juga Cong
Lung, Ma It Sun ini adalah seorang tokoh besar di
perbatasan utara yang sudah lama malang melintang
sebagai seorang penyamun tunggal yang disegani karena
golok besarnya. Maka ia mempunyai julukan Twa-to (Si
Golok Besar). Tiga orang yang lain juga bukab orang-orang
biasa, melainkan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw yang
sudah terkenal memilih kepandaian tinggi. It -ci-san Kwa Lo
It Dewa Jari Tunggal adalah seorang ahl i totok dari barat,
berwajah gagah penuh brewok berusia lima puluh tahun.
Orang ke empat tak lain adatah Lee Bok Wi, seorang kate
kecil, berusia belum empat puluh tahun namun sudah
membuat nama besar karena kepandaian meneopetnya yang
luar biasa sehingga ia mendapat julukan Koai- jiu Sin-touw
(Malaikat Copet). Yang ke lima adalah seorang hwesio
murtad dari Siauw lim-si, ahlit toya bernama Hok Lun
Hosiang. Dengan adanya lima orang ini di sampingnya. Liok
Kong Ji me rasa aman. Dia dan anak-anak angkatnya sudah
21 merupakan barisan yang amat kuat dan sukar terkalahkan,
apa lagi para selirnya juga rata-rata memiliki kepandaian
silat karena ia beri latihan, lalu para pelayan yang puluhan
jumlahnya juga bukan orang-orang sembarangan. Keluarga
besar berikut kaki tangannya ini selain amat kuat, juga
mereka tinggal di Ui-tiok-lim, sebuah hutan rahasia yang
penuh jebakan- jebakan, penuh perangkap- perangkap
berbahaya juga bambu yang tumbuh di situ diatur menurut
tin ( barisan ) tertentu se hingga belum pernah ada musuh


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat masuk. Sekali masuk, orang akan tersesat dan
menghadapi pasangan perangkap yang aneh-aneh dan
menyeramkan dan jaranglah ada orang masuk dapat keluar
ke mbali dalam keadaan hidup !
Akan tetapi sekarang Cong Lung te lah terjatuh ke dalam
tangau Tiang Bu, pendekar muda yang baru muncul dan
memaksanya menjadi petunjuk jalan memasuki Ui-tiok-lim.
Sudah tentu saja Cong Lung dan kawan-kawanrya dapat
memasuki Ui-tiok-lim melalui jalan satu-satunya, jalan
rahasia yang tidak diketahui orang luar. Cong Lung berlari -
lari di antara batu-batu karang yang sulit untuk dikenal
karena semua hampir sama dan jalan yang dilaluinya ini
benar benar sukar untuk diingat. Tiang Bu sendiri yang
biasanya amat cerdik, menjadi bingung ketika untuk
kesembilan kalinya Cong Lung menikung pada tikungan
yang kelihatannya sama saja dengan yang tadi, seolah-oleh
mereka menikung pada belokan yang itu-itu juga.
Cong Lung tentu ti dakakan termasuk seorang diantara
"lima besar" yang sudah mendapat kehormatan diangkat
saudara oleh Liok Kong Ji kalau dia seorang bodoh. Seperti
juga Liok Kong Ji dan semua kaki tangannya, Cong Lung ini
juga selain lihai ilmu silatnya, lihai pula otaknya. Ia cerdik sekali. Melihat kehebatan ilmu kepandaian pemuda yang
menawannya ini, ia maklum bahwa melawan takkan ada
gunanya. Oleh karena itu ia sengaja mengalah dan takluk,
lalu bersedia mangantar Tiang Bu dan Bi Li ke Ui tiok-lim.
22 Akan tetapi ini hanya pancingan belaka. Hal ini diketahui
oleh Tiang Bu sebelah terlambat.
Ketika menikung untuk kesebelas kalinya tiba-tiba Cong
Lung mendorong sebuah gunung-gunungan di sebelah
kirinya. Batu karang yang berbentuk bukit kecil itu tentu
beratnva laksaan kati, akan tetapi anehnya ketika didorong
oleh Cong Lung lalu bergeser dan terbukalah sebuah lubang
seperti sumur. Cong Lung sudah mendesak masuk dan
tubuhnya terguling ke dalam sumur di balik batu karang itu.
Terdengar ia menjerit ngeri !
Tentu saja Tiang Bu dan Bi Li kaget bukan main dan
sempat menahan kaki tidak mengikuti jejak Cong Lung.
Kalau demikian halnya tentu mereka juga akan terjerumus
ke dalam sumur it u pula. Akan tetapi, ketika mereka
menahan kaki dan beidiri tegak dan ngeri di depan batu
karang itu tiba-tiba saja tanah yang mereka injak nyeplos ke
bawah! Untuk melompat tiada kese mpatan lagi karena kiri
tebing gunung batu karang, di depan menghalang batu
karang yang ada sumur di belakang itu.
"Celaka ......!!" seru Tiang Bu yang cepat menyambar
lengan tangan Bi Li sehingga mereka dapat melayang turun
bersama ke bawah. Ketika kaki mereka menyentuh tanah,
ternyata mereka telah terjerumus ke dalam sumur yang
dalamnya ada lima tombak lebih gelapnya bukan main dan
di sekeliling mereka adalah di nding batu karang yang keras
dan licin belaka. Terdengat suara ketawa dari atas dan
alangkah heran dan mendongkolnya hati Tiang Bu dan Bi Li
ketika mendatpat kenyataan bahwa yang menertawakan
mereka itu alalah Cong Lung yang tadi dikira mati tersuling
ke dalam sumur. Tidak tahunya itu hanya akal belaka dari si
muka pucat yang lihai. "Ha-ha ha, Tiang Bu. Biarpun kau menghadapi kematian
di dalam jurang maut itu, kau tidak penasaran karena di
sampingmu ada bidadari cantik Ha-ha, puaskanlah hatimu
sebelum mampus orang muda!" Kemudian keadaan sunyi
23 sekali karena si muka pucat itu se gera pergi meninggalkan
tempat itu. Tiang Bu berusaha melompat ke atas, akan
tetapi kedua tangannya te rbentur batu karang yang t elah
menutup lagi lubang itu dari atas, agaknya semua itu tadi
digerakkan oleh alat-alat tersembunyi yang sengaja dipasang
di situ untuk menjebak musuh.
"Tidak ada jalan ke luar ?" tanya Bi Li, suaranya tenang saja karena gadis ini tidak takut menghadapi bahaya. Di
dalam gelap Bi Li tidak tinggal diam, iapun meraba-raba
dinding mencari -cari jalan ke luar.
"Tiang Bu, di sini ada lobang besar !" se runya dari arah kiri. Tiang Bu eepat menghampiri ke arah suara gadis ini
dan karena keadaan di situ amat gelap, hampir saja beradu
muka dengan Bi Li. "Hugh, kau gila. Main tubruk saja !" gadis itu menegur.
"Maaf tidak kusengaja, Bi Li. Mana lubang itu ?"
"Ini rabalah. Nah, bukankah ini merupakan jalan
terowongan ?" Tiang Bit meraba-raba. Memang betul, pada dinding
sebelah kiri itu terdapat lubang, antara satu tombak
tingginya dari dasar sumur. Telowongan batu karang yang
cukup besar untuk orang merayap masuk, basah dan licin.
Memang ada bahayanya tempat seperti itu dipergunakan
oleh binatang buas seperti ul ar untuk bersembunyi, akan
tetapni dari pada mat i konyol di dalam sumur, lebih baik
berusaha mencari jalan. keluar.
"Bi Li, mari kau ikut di belakangku. Kita memeriksa
terowongan ini akan membawa kita sampai ke mana."
"Aku di depan, aku yang membawa pedang," kata Bi Li.
"Tidak, kau di belakang. Biar aku yang menghadapi
bahaya lebih dulu" "Kalau begitu, bawalah pedangku, Kalau kau tidak mau,
akupun tidak mau di belakang." Bi Li berkeras. Akhirnya
24 Tiang Bu mengalah dan menerima pedang gadis itu, lalu ia
melompat ke dalam lubang terowongan diikuti oleh Bi Li.
Dua orang muda ini merayap terus. Terowongan itu panjang
sekali dan di dalam gelap itu rasanya ada setengah hari
mereka merangkak sampai kaki tangan terasa s akit akhirnya
mereka tiba di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup
besar seperti sebuah kamar tidur atau sebuah kamar
tahanan. Ini lebih baik, setidaknya lebih lebar dan ada sinar masuk dari atas membuat mereka dapat saling me lihat,
biarpun hanya remang-remang seperti orang melihat
bayangan. Kembali mereka benar-benar terkurung oleh
empat dinding batu karang yang amat kuat.
"Bagaimana Tiang Bu" apakah kita harus mati konyol di
tempat ini?" Tiang Bu tak segera menjawab, hatinya tertus uk. Setelah
memeriksa agak lama, iapun habis harapan. Perjalanan
melalui terowongan tadi sama dengan perjalanan mencari
kuburan me reka sendiri. Tidak ada jalan keluar lagi dan
bicara tentang pertolongin sama dengan mimpi kosong.
"Agaknya begitulah, Bi Li. Bagi aku.... seorang rendah
budi dan kotor. masih tidak apa ..... akan tetapi kau ...... ."
Suaranya tertahan haru. "Akupun tidak lebih baik dari pada kau. Tak perlu kita
bersedih menghadapi saat terakhir. Lebih baik kita saling
menceritakan riwayat masing-masing. Nah, kaumulailah
Tiang Bu." "Keadaanku sudah kuceritakan kepadamu walaupun
singkat. Apa sih yang menarik dari diriku yang tak berharga
ini?" "Belum semua kauceritakan, misalnya tentang.-.......
mengenai....... dua orang gadis kakak beradik itu. Aku ingin
sekali mendengar ceritamu tentang mereka. Manis, benarkah
sikap mereka terhadaprau. Tiang Bu?" Biarpun kata-kata ini diucapkan lemah-lembut, namun terasa oleh Tiang Bu
25 betapa di dalamnya mengandung hawa marah dan tak
senang. Heran ! "Bi Li, tentu kau mendapat kesan buruk sekali setelah
kau mendengar pe rcakapan antara mereka itu. Aku tidak
menyalahkan kau memang sudah sepatutnya kau
memandang hi na kepadaku. Aku orang lemah iman dan
berberwatak kotor dan cabul. Kau mau mendengar
riwayatnya" Baik, dengarlah. Ketika aku bertemu dengan
mereka, Cui Kong dan dua orang gadis itu, Cui Kim dan Cui
Lin, di dalam pertempuran aku dapat mengalahkan mereka.
Akan tetapi mereka membujuk dan mengatakan bahwa
sebapai anak-anak dari Liok Kong Ji tidak selayaknya kita
bermusuhan. Mereka membawaku ke rumah di lembah
Sungai Huang-ho dan di sana mereka mulai meni puku. Dua
orang grdis itu sengaja membujuk rayu. mempergunakan
kecantikan mereka dan di luar tahuku, katak hijau yang
kubawa dan kurampas dari tangan isteri Pek thouw-tiauw-
ong itu membantu usaha keji mereka. Dan aku terjeblos, tak
berdaya di dalam permainan mereka. Akhirnya setelah aku
tidak berdaya lagi, mereka melemparku ke dalam jurang di
mana seharusnya aku mampus sebagai hukuman atas dosa-
dosaku. Akan tetapi agaknya Thian belum menghendaki
orang macam aku ini mampus, agaknya aku harus bertemu
dengan orang-orang agar aku menderita malu. Setelah
terkurung hampir tiga tahun, aku dapat meloloskan diri dari
tempat itu kembali ke dunia ramai. Nah, demiki anlah cerita
tentang dua orang gadis itu. Kau tentu akan makin jemu,
bukan ?" Bi Li tidak menjawab, takut kalau suaranya akan
tergetar. Diam-diam ia merasa terharu, kasihan dan kagum
sekali kepada Tiang Bu yang dianggapnya amat jujur dan
berbudi mulia. Ia dapat mengerti bahwa perbuat an Tiang Bu
itu tentu karena pengaruh hawa racun dari katak hijau yang
dari namanya saja katak pembangkit asmara, sudah dapat
diduga bagaimana pengaruhnya terhadap seorang pria.
Kesalahan Tiang Bu pantas dimaafkan.
26 Sebaliknya Tiang Bu me ngira bahwa gadis itu tentu
muak dan jemu mendengar penuturannya tadi maka diam
saja. Untuk melenyapkan suasana muram ini, ia lalu
bertanya dengan suara dibikin gembira. "Bi Li, tahukah
kamu di mana adanya Wan Sun kakakmu itu" Aku angin
sekali bertemu dengan dia." Sebetulnya ucapan ini kosong.
karena dalam keadaan seperti itu, menghadapi maut karena
tidak ada jalan keluar, bagaimana bicara tentang ingin
bertemu dengan Wan Sun"
"Dia bukan kakakku," bantah Bi Li sambil duduk di
pojok kamar batu itu melepaskan lelah. "Dan aku tidak tahu ke mana perginya. Mungkin pergi bersama Wan Sin Hong
taihiap yang datang menolong kami pada saat kami
terdesak." Lalu gadis ini menceritakan pe ngalamannya pada saat kota raja diserbu bala tentara Mongol dan pada saat itu
ia mendengar pengakuan Kwan Kok Sun sehingga ia pergi
meninggalkan Wan Sun. Tiang Bu menarik napas panjang. "Memang aneh, dia
bukan kakakmu padahal semenjak keci l berdekatan, akan
tetapi dia adalah adik kandungku berlainan ayah, biarpun
kami tak saling mengenal. Aku ingin sekali bertemu dengan
adikku itu. Ingin aku berbuat sesuatu untuknya, berkorban
sesuatu untuknya demi baktiku kepada ibu yang tentu amat
mencintanya....... "
Bi Li menjadi terharu. Mulia benar hati pemuda ini.
"Memang,....... ibu....... eh. Nyonya Wanyen amat sayang kepadanya. juga kepadaku. Dan San-ko sudah ditunangkan
dengan Coa Lee Goat, puteri Coa Hong Kin..."
"Betulkah ?" Tiang Bu berjingkrak sepe rti hendak menari kegirangan. "Dengan Lee Goat adikku" Ha-ha-ha. Lee Goat
adikku manis yang suka menangis ! Ahh, alangkah baiknya
...... alangkah bahagiannya kalau saja aku dapat
menyaksikan pernikahan itu....... !" Tiba-tiba ia berhenti
bicara karena segera teringat akan keadaannya bersama Bi
Li yang agaknya sudah tidak ada harapan lagi itu.
27 "Kau seorang yang baik sekali, Tiang Bu......." kata Bi Li
lirih terharu. "Ah, hanya kau yang memujiku, Bi Li. Kaulah orang bai k, adapun aku....... aku orang lemah ......."
"Tidak, kaulah satu-satunya orang yang mendatangkan
kagum dalam hatiku."
Mendengar kata-kata yang jujur ini Tiang Bu melengak.
"Bi Li..,.. kau tidak berolok-ol ok " Kau ..... betulkah kata-katamu itu ?"
Bi Li mengangguk. "Terima kasih Bi Li, terima kasih." menyentuh tangan
gadis itu. "Sekarang aku bersiap untuk mati dengan hati
senang. Setidaknya ada orang yang...... suka kepadaku. Kau
suka kepadaku, Bi Li" Betulkah ini ?"
"Aku..... aku suka kepadamu, Tiang Bu."
"Luar biasa ! Hampir tak dapat aku percaya ! Bi Li, kau ..
gadis perkasa yang begini cantik jelita, bekas puteri
pangeran....... bisa jadikah kau suka kepada laki-laki
semacam aku ini yang buruk rupa, miskin, dan hina" Bi Li,
jangan kau mempermainkan aku de ngan ini ! Jangan....... .."
Suara Bi Li terdengar ke ras dan marah ketika ia
menjawab, "Tiang Bu. apa kaukira aku me njual hatiku
begitu murah, suka kepada laki-laki hanya oleh wajah
tampan dan budi bahasa halus belaka " Kau memang tidak
tampan, juga tidak pandai mengambil hati akan tetapi,
watakmu gagah perkas a, budimu mulia dan kau benar-
benar seorang jantan sejati. Itulah yang kusuka ....."
Saking girang dan herannya. Tiang Bu hanya berdiri
seperti patung, mengerahkan selurub tenaga urat-urat
matanya untuk menembus kegelapan agar ia dapat menatap
pandang mata gadis itu membaea isi hatinya. Akan tetapi
kegelapan menghalanginya. Bi Li tetap merupakan bayangan
yang duduk tersardar pada dinding batu karang.
28 Tiba-tiba keduanya tersentak kaget ketika mendengar
seruan-seruan tertahan disusul oleh makian dan teri akan
kesakitan, te pat di balik dinding sebelah kanan. Agaknya di
balik dinding sebelah kanan itu terdapat "kamar tahanan"
pula dan baru saja ada orang orang. wanita dilempar masuk,
karena segera ada suara dua orang wanita di balik dinding
itu. Alangkah heran dan kagetnya hati Tiang Bu dan Bi Li
ketika mereka mengenal suara-suara itu sebagai suara Cui
Lin dan Cui Kim ! "Benar-benar manus ia berhati binatang Cui-Kong itu"
terdengar Cui Kim memaki marah. Dahulu dia bemanis
muka, membujuk bujuk kita dan menyatakan cintanya,
semua itu palsu belaka....... !" terdengar gadis ini me nangis.
"Memang hati laki-laki semua palsu, mana yang bis a
dipercaya?" kata Cui Lin, suaranya mengandung kemarahan.
"Apa lagi Cui Kong, dia malah lebih jahat dari se mua lakilaki yang pernah kita jumpai. Kurang apa kita membantu
dia" Sampai-sampai kita mengorbankan diri beberapa kali
kepada musuh yang terlalu berat untuk ditawan dengan
kekerasan, terpaksa kita mempergunakan kecantikan untuk
mengalahkan musuh. Sekarang melupakan kita, malah
memusuhi kita. Benar-benar anjing biadab !"
"Agaknya ini hukuman bagi dosa-dosa kita, enci Lin.


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau aku mengingat akan Tiang Bu yang dulu kita goda,
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 2 Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Pendekar Gelandangan 9
^