Pencarian

Tangan Geledek 16

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


kepandaian tinggi. Tadinya ia masih terhibur, karena pandainya Cui Kong bicara. Akan tetapi melihat betapa ayah bundanya dikeroyok, dan kini melihat sepasang burung rajawaii tewas dan mendengar kata-kata ayah bundanya, kemarahan dan
sakit hatinya meluap-luap. Ia menyerang Cui Kong makin
nekat lagi. mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
"Niocu, jangan..... ni ocu, jangan......!" Cui Kong mengeluh sambil mudur terus. Karena ia tidak mambalas dan karena
kemarahan membuat Ceng Ceng menjadi ganas, pundaknya
terserempet ujung pedang dan mengeluarkan darah.
Pada saat itu menyambar sinar-sinar hitam ke arah dada
dan tenggorokan Ceng Ceng. Nyonya muda ini me njerit dan
6 roboh, tewas di saat itu juga. Sebatang Hek-tok ciam
menancap di tenggorokan dan sebatang lagi di dada.
"Niocu ......!" Cui Kong menubruk dan memeluk mayat
isterinya, sedih sekali akan tapi tak dapat marah karena
yang membunuh isterinya adalah Liok Kong Ji. Kong Ji tadi
sudah menyiapkan Hek-tok ciam. Melihat sikap Ceng Ceng,
ia maklum bahwa kalau mantunya itu tidak dibunuh, kelak
tentu se lalu akan menimbulkan keributan.
Setelah menyambitkan Hek-tok ciam ke arah Ceng Cen
iapun mempergunakan kesempatan selagi Lie Kong dan
Souw Cui Eng terkejut me lihat puteri mereka roboh, ce pat
Kong Ji membidik dan menyambitkan enam buah Hek-tok-
ciam dengan kedua tangannya. Dua batang menyambar Cui
Eng, yang empat batang menyambar Lie Kong.
Cut Eng tak dapat mengelak, sebatang Hek tok ciam
menancap di lambungnya. Nyonya ini menjerit, limbung
akan tetapi masih sempat melompat ke dekat Cui Kong dan
menusuk orang muda itu dengan pedangnya. Cui Kong
mendengar sambaran angin mengelak ke samping,
melepaskan tubuh iste rinya. Souw Cui Eng menubruk dan
memeluk mayat puterinya, terguling dan roboh tewas dengan
memeluk Ceng Ceng ! Lie Kong lebih lihai. Dengan pedangnya ia berhasil
menangkis empat batang Jarum Racun Hitam itu, akan
tetapi biarpun berhasil menyelamatkan diri dari ancaman
empat jarum hek-tok-ciam, saat itu tongkat Lo-thian-tung
Sun Gi Tosu sudah menyambar. Ilmu tongkat tosu ini hebat
sekali dan tadipun dengan susah payah Lie Kong dapat
melawan. Sekarang dalam keadaan te rdesak oleh serangan
jarum-jarum berbahaya, ia kurang dapat me mpertahankan
diri. Ia masih mencoba untuk mengelak, akan tetapi
sambaran ke dua mengenai kepalanya.
"Tak!" Tongkat terpental, seakan-akan mengenai besi.
Ke pala Lie Kong ke lihatan tidak apa-apa, akan tetapi jago
pantai timur ini terhuyung-huyung. Dengan mata melotot ia
7 masih dapat melontarkan pedangnya yang meluncur cepat
seperti pedang terbang ke arah Liok Kong Ji, akan tetapi
sekali mengebutkan lengan baju pedang itu tergulung lengan
baju dan jatuh ke bawah. Lie Kong terhuyung dan roboh tak
berkutik. Napasnya putus setelah melontarkan pedang.
Biarpun kepalanya dari luar tidak kelihatan luka, akan
tetapi sebelah dalam sudah tergoncang hebat pukulan
tongkat yang mengandung tenaga lweekang itu.
Habislah riwayat Pek-thouw-tiauw ong Lie Kong dengan
isteri dan anaknya ! Sungguh amat sayang dan menyedihkan
kematian keluarga ini dibasmi oleh Liok Kong Ji dan kaki
tangannya, "Bibi.......... ! Bibi .......... ! Siupa yang membunuh
bibi......... ah, bibi jangan.......... tinggalkan Leng Leng..........
!" Bocah perempuan berusia lima tahun itu datang berlarilari menubruk mayat Ceng Ceng. Akan tetapi se kali tangkap
Liok Kong Ji mencegahnya.
"Jangan pegang !" bentaknya. Ia merasa sebal sekali
melihat bocah yang semenjak kecil dipelihara dengan kasih
sayang itu sekarang berbalik mencurahkan kasih sayang
kepada pihak lawan. "Bibi"... !" Leng Lung menangis dan me ronta dalam
pegangan Kong Ji. "Manusia jahat mana yang
membunuhmu. ...... ." Akan kupukul kepalanya !"
"Anak setan !" Kong Ji menggerakkan tangan dan tubuh Leng Leng terlempar sampai empat tombak lebih jatuh
terguling- guling dan anak itu menangis kesakitan.
"Le ng Leng, kau pulanglah, jangan turut campur urusan
orang tua !" Can Gi Tosu membentak bocah itu. Akan tetapi
Leng Leng tetap berdiri di situ, memandang ke arah mayat
Ceng Ceng sambil menangis terisak-isak. "Totiang, bocah ini kelak tentu akan menimbulkan bencana saja. Pohon buruk
lebih baik di cabut selagi masih kecil," kata Liok Kong Ji,
8 mengerutkan kening. Ia memang jengkel dan sebal melihat
Cui Kong masih menangisi kematian isterinya,
"Taihiap, dia masih kecil . Kalau dididik sepatutnya, kelak dapat menjunjung tinggi nama kita," bantah Cun Gi Tosu
yang masih merasa sayang kepada bocah itu. Sebetulnya
kesayangan ini bukan merupakan sebab utama mengapa ia
hendak melindungi Leng Leng. Yang utama sekali, ia diam
diam menganggap Leng-Leng sebagai jimat pelindungnva.
Tosu kaki buntung ini sebetulnya merasa gentar juga
terhadap Sin Hong dan kalau Leng Le ng masih berada di
tangannya. Sin Hong tentu takkan berani mengganggunya.
Kalau keadaan mendesak, ia dapat menukarkan nyawanya
dengan anak ini kelak. Liok Kong Ji merasa tidak baik pada saat seperti itu
meributkan hal bocah ke cil. "Hemm, harus mulai sekarang dipimpin baik-baik," katanya, dan dengan langkah lebar ia
menghampiri Leng Leng. "Leng-ji, jangan menangis. Bibimu itu jahat, hendak
membunuh kit a, maka dia harus mati. Kalau tidak dibunuh
dia tentu membunuh kita semua. kaupun akan dibunuhnya
"Tidak, tidak bisa! Bibi tidak jahat!" bantah Leng Leng de ngan berani.
Kong Ji mengerutkan kening. "Bocah tolol ! Kau tidak
menurut kata orang tua" Dia jahat! Hayo kaubilang bibi mu
itu jahat!" "Tidak !" Leng Leng berkukuh sambil menggeleng gele ng
ke pala dan membanting-bant ing kakinya yang kecil. "Bibi tidak jahat !"
"Plak" Kong Ji menampar pipi bocah cilik itu sehingga
tubuh Leng Leng tergelimpang. Akan tet api anak itu merayap
bangun. Pipi kirinya bengkak. Namun tanpa memperdulikan
rasa sakit pada pipinya ia memandang Kong Ji tanpa kenal
takut. 9 "Bilang dia jahat !" bentak Kong Ji makin marah.
"Tidak, tidak! Bibi tidak jahat!" Leng Leng tetap
menggeleng kepala. "Plakk!" Kembali tubuh kecil itu terpe lanting. Kini agak sukar Leng Leng me rayap bangun dan pipi kanannya juga
bengkak, kepalanya serasa berputar putar. Anehnya, bocah
ini tadi menangisi kematian Ceng Ceng. Sekarang dipukul
sampai bengkak-bengkak mukanya ia tidak mau menangis,
malah memandang kepada Kong Ji dengan mata bersinar
marah. Kong Ji sudah melangkah maju, akan tetapi melihat
sepasang mata bocah itu, ia bergidik teringat ia akan
sepasang mata Sin Hong dan menahan tangannya yang
sudah diangkat hendak memukul. Sementara itu Cun Gi
Tosu yang khawatir kalau-kalau Kong Ji membunuh bocah
itu, sudah me ndekati dan memondong Leng Leng sambil
be rkata, "Le ng Leng, kau tidak bole h melawan. Harus menurut
kata-kata orang tua." Kemudian kakek buntung ini menjura kepada Liok Kong Ji.
"Harap Liok-taihiap bersabar. Serahkan saja pendidikan
bocah ini kepada pinto." Setelah berkata de mikian, Cun Gi
Tosu melompat-lompat dengan kakinya yang tinggal sebuah
itu, pergi dari situ. Juga Kong Ji pulang ke rumahnya dengan hati mengkal,
baiknya selir-selirnya yang cantik-cantik dan muda
menyambut dan menghiburnya dengan sikap dan kata- kata
manis sehingga tak lama kemudian Liok Kong Ji sudah tidur
mendengkur di kamarnya, dipijit dan dikipasi oleh selir-
selirnya. Sementara itu, dengan hati sedih Cui Kong mengurus
pemakaman Ceng Ceng dan jenazah Lie Kong dan isterinya
serta bangkai dua ekor burung itu diurus baik-baik dan
10 dimakamkan. Pekerjaan ini dibantu oleh Lam-thian-chit-ong
dan para anak buah. -oo(mch)oo- Tanpa me ngenal lelah, Tiang Bu melaksanakan
perjalanan ke se latan. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, Tiang Bu yang mengobrak-abrikt Ui tiok-lim hanya
be rhasil membasmi Ui tiok-lim dan menewaskan kaki tangan
Liok Kong Ji, akan tetapi Liok Kong Ji se ndiri bersama Liok
Cui Kong dapat me larikan diri. Ketika berjumpa dengan Lai
Fei pute ri penebang kayu yang lihai itu menrengur bahwa
ayah Fei Lan terbunuh oleh Lo-thian tung Cun Gi Tosu dan
dari gadis ini ia mendengar bahwa kakek buntung itu pergi
ke laut selatan. Tentu Kong Ji dan Cui Kong juga ke sana, pikir Tiang Bu.
Kakek buntung itu se orang sahabat baik dan komplotan
Kong Ji kalau dua orang keparat itu hendak bersembunyi,
tentu tempat kakek buntung itu yang paling aman. Oleh
katena sangkaan inilah tanpa mengenal letih Tiang Bu
menuju ke selatan. Pada suatu senja ia memasuki sebuah dusun. Saatet itu
keadaan sunyi sekali dan yang kelihatan hanya beberapa
orang pe tani sedang pulang memanggul pacul, ada yang
menggiring kerbau. Ket ika pemuda ini tengah berjalan
memasuki dusun, ia melihat be rkelebatnya dua bayangan
orang di sebelah depan. Tahu bahwa dua orang it u tentu
ahli-ahli silat yang mempe rgunakan ilmu lari cepat, Tiang Bu tertarik dan iapun lalu menggunakan ginkangnya, meloncat
dan berlari mengejar. Ilmu lari cepat dua orang itu ternyata hebat juga.
Sebentar saja mereka sudah keluar dari dusun. Tiang Bu
makin tertarik dan terus mengejar sampai tiba di sebuah
hutan. D ua orang itu le nyap di dalam hutan. Tiang Bu
penasaran dan mempercepat larinya. Sebent ar saja ia sudah
11 memasuki hutan itu dan melihat seorang wanita setengah
tua namun masih cantik sekali sedang duduk bersila di
bawah s ebatang pohon besar.
Kaget hati Tiang Bu ketika mengenal wanita ini.
Andaikata ia lupa lagi akan wajah wanita ini, ia takkan
melupakan sepasang tangan yang kecil mungil akan tetapi
berwarna me rah itu. Ang-jiu Mo-li Si Iblis Wanita Tangan
Merah! Akan tetapi di samping ke kagetannya, ia juga
menjadi girang oleh karena ia teringat bahwa wanita ini
dahulu juga membawa lari sebuah kitab dari Omei-san.
Sementara itu, Ang jiu Mo Li sudah me mandang
kepadanya dan bertanya, suara nyaring galak, "Orang muda,
sejak tadi kau mengejarku, kau mau apakah?"
Tiang Bu memang biasa jujur dan sederhana dalam kata-
katanya. Melihat sikap wanita tengah tua ini dan tahu
bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh besar di dunia
kang-ouw, ia segera menjura dan menjawab,
"Tadi di luar dusun aku melihat dua orang berlari-lari.
Karena tertarik maka aku segera mengejar sampai ke sini.
Tidak tahunya orang di antaranya adalah locianpwe,
sungguh kebetulan sekali karena memang aku masih
mempunyai sebuah urusan untuk dibereskan dengan
locianpwe." Ang-jiu Mo-li mengangkat muka memandang tajam.
Bocah seperti ini mempunyai urusan dengan dia"
"Eh, orang muda. Kau ini siapakah" Jangan kau lancang
membuka mulut. Orang seperti kau ini ada urusan apakah
dengan aku ?" Tiang Bu tersenyum, maklum bahwa orang dengan
tingkat setinggi Ang-jiu Mo-li tentu saja bersikap tinggi dan sombong terhadap seorang pemuda biasa seperti dia. Akan
tetapi biarpun ia me ndongkol, pemuda ini masih mengingat
bahwa Ang-jiu Mo li adalah guru Bi Li, maka ia tetap
bersikap hormat. "Tentu saja l ocianpwe lupa lagi kepadaku.
12 Akan tetapi pernah satu kali kita saling be rtemu di Omei-
san." Ang-jiu Mo li memandang lagi penuh perhatian ke arah
wajah yang tidak tampan namun membayangkan kegagahan
dan kejujuran itu. Tiba-tiba ia teringat akan bocah murid
dua orang kakek Omei-san yang dulu pernah bertempur
melawan Toat-beng Kui bo. Terkejutlah Ang-jiu Mo li dan ia
serentak melompat berdiri. Tak disangkanya sama sekali
bahwa pemuda yang mengejarnya tadi ini adalah bocah
murrid Omei-san itu. "Hemm, kaukah ini" Sekarang katakan apa urusan itu,"
tanya Ang jiu Mo-li, hatinya mulai terasa tidak nyaman.
"Sebelum suhuku menghembuskan nafas terakhir, beliau
meninggalkan pesan kepadaku agar supaya aku pergi
mencari kitab-kitab Omei-s an yang dilarikan orang dan
mengambilnya kembali. Ole h karena cianpwe termasuk
orang di antara mereka yang membawa pergi kitab Ome i-
san, kalau tidak salah kitab pelajaran Ilmu Silat Kwan-im
cam-mo, maka bukankah pertemuan ini kebetulan sekali"
Kuharap saja cianpwe sudah merasa cukup puas meminjam
kitab itu selama bertahun-tahun dan sudi
mengembalikannya kepadaku."
Ang-jiu Mo-li tersenyum mengejek. Alangkah besarnya
nyali pemuda ini. pikirnya. berani minta kembali kitab
begitu saja ! "Orang muda bernyali naga, siapakah namamu ?"
"Namaku Tiang Bu?"?"
Ang-jiu Mo-li hilang senyumnya, nampak tercengang.
"Aha, kaukah yang bernama Tiang Bu" Kau anak keluarga
Coa di Kim bun-to ?"
Kini Tiang Bu yang tercengang. Bagaimana wanita sakti
ini dapat tahu akan hal ini" Padahal ia tidak pernah
bercerita kepada siapapun juga, kecuali kepada Bi Li, tentu.
13 Apakah Bi Li pernah bercerita kepada gurunya ini" Akan


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi belum lama ia berkumpul dengan Bi Li dan baru saja
berpisah, apa Bi Li sudah berjumpa dengan Ang jiu Mo-li
semenjak buntung lengannya" Betapapun juga, pertanyaan
itu harus dijawabnya. "Aku hanya .......... anak angkat mereka..."
"Bagus sekali permintaanmu! Kau betul- betul hendak
merampas kembali kitab Kwan-im-cam- mo itu dari
tanganku " Lihat, memang kitab ini masih kubawa. Kau
mau me rampasnya ?" Ang-jiu Mo-li mengeluarkan sebuah
kitab dari saku bajunya. "Mana berani aku berlaku kurang ajar " Aku hanya
mengharapkan kebijaksanaan untuk mengembalikan barang
orang lain." "Betul-betul kau hendak minta kembali?"
"Aku adalah seorang murid yang harus mentaati pesan
suhu sampai di manapun juga."
"Kitab-kitab Omei-san terjatuh ke dalam tangan orang-
orang pandai yang sama sekali bukan lawanmu. Amat
berbahaya kalau kau menghendaki semua orang itu
mengembalikan kitab. Mengapa kau be rsusah payah, toh
gurumu sudah meninggal dunia" Kalau kau tidak memenuhi
pesan gurumu yang sudah tidak ada lagi itu, tidak ada orang
tahu." Tiang Bu mengerutkan alisnya yang tebal. "Kali ini
cianpwe khilaf! Cianpwe menyatakan tidak ada orang tahu,
bukankah aku sendiri dan cianpwe mengetahui kalau aku
menjadi murid tidak setia " Apakah cianpwe dan aku bukan
orang" Biarpun aku akan menghadapi orang orang sakti dan
akhirnya aku harus be rkorban nyawa, tetap aku akan
memenuhi pesan suhu."
14 Diam-diam Ang-jiu Mo-li makin kagum kepada pemuda
yang setia dan berbakti ini. Tadipun ia hanya menguji hati
Tiang Bu. "Betul-bet ul kau akan memaksaku menyerahkan kitab
ini?" "Kalau cianpwe tidak suka mengembalikan dengan s uka
rela, terpaksa aku yang muda akan berlaku kurang ajar dan
mencoba kebodohan sendiri." jawab Tiang Bu, sikapnya
menantang. Ang-jiu Mo-li masih hendak mencoba se kali lagi. Ia
menoleh ke belakang dan berseru ke ras lalu berkata,
"Muridku, kau keluarlah !"
Dari balik ge rombolan pohon berkelebat suatu bayangan
dan di saat lain, se oring gadis telah berdiri di samping Angjiu Mo-li. Wajahnya menjadi pucat ketika ia memandang
kepada pemuda itu. "Tiang Bu" ..... "
Tiang Bu girang bukan main. Ia melangkah maju dan
mengulurkan kedua tengannya. "Bi Li...... kau di sini .........."
Payah aku mencari carimu ........!" Akan tetapi ia segera
teringat bahwa di situ ada Ang-jiu Mo-li, maka dengan muka
sebentar merah sebentar pucat, Tiang Bu menarik kembali
tangannya memandang kepada gadis buntung lenganya itu
dengan wajah diliputi keharuan, kedukaan juga kasih
sayang besar. Juga Bi Li memandang pemuda itu, dan dua
titik air mata membasahi sepasang pipi Bi Li yang pucat.
Gadis ini menggigit bibirnya, seakan-akan menahan isak
tangis dan menahan agar mulutnya tidak mengeluarkan
kata-kata. Mata Ang-jiu Mo-li yang tajam melihat keadaan dua
orang ini, wajahnya berseri. Kemudian ia berkata,
"Bi Li, kawanmu Tiang Bu ini datang hendak memaksa
aku mengembalikan kitab Kwan-im-cam mo. Karena dia
15 kawanmu, aku tidak tega menjatuhkan tangan
mencelakainya. Akan tetapi dia berkepala batu dan hendak
menggunakan kekerasan. Kausuruh dia membatalkan
maksudnya itu." Bi Li cukup mengenal watak gurunya yang keras hati dan
tidak mau mengalah, Ia tahu bahwa kalau Tiang Bu
berkeras minta kembali kitab, pasti akan terjadi
pe rtempuran hebat sampai salah seorang menderita luka.
Dan ia sayang keduanya, tidak menghe ndaki seorang di
antara mereka terluka. "Tiang Bu, aku minta kau suka mengalah dan jangan
memaksa guruku mengembalikan kitab Omei san." kata Bi
Li dengan suara lemah sambil menundukkan muka tidak
mau me lihat Tiang Bu karena ia sendiri merasa fihaknya
yang bocengli (tidak pakai aturan),
Tiang Bu menggelengkan kepala perlahan. Mengapa Bi Li
begitu tak adil" "Bi Li, kitab itu milik mendiang suhu yang sudah
memesan supaya aku mengambil semua kitab yang
dirampas orang dari Omei-san. Siapapun orangnya yang
mengambil kitab itu, harus kuminta kembali. Dalam hal lain
aku boleh me ngalah terhadap gurumu, akan tetapi dalam
hal ini ...... tak mungkin."
Ang-jiu Mo li segera berkata, "Bi Li, mulai saat ini aku memberikan kitab ini kepadamu, akan tetapi dengan pesan
jangan kau berikan kepada sianapun juga!"
Bi Li maklum akan maksud gurunya ini. Dia sudah
mence ritakan tentang keadaaannya dan hubungannya
dengan Tiang Bu, maka kini gurunya hendak
mempergunakan cint a kasih Tiang Bu terhadapnya untuk
mengalahkan pemuda itu. "Tiang Bu, mengapa untuk kitab yang satu ini kau tidak
dapat mengadakan penge cualian. Kuharap sekali lagi kau
suka mengalah demi .......... mengingat akan .....
16 persahabatan kita ?".." Kata-kata terakhir ini dikeluarkan
perlahan sekali dan kini air matanya, tak dapat dibendung
lagi, me ngucur dari kedua matanya. Gadis ini sebe narnya
amat cinta kepada Tiang Bu yang sudah berkali-kali
membuktikan kegagahan, kecintaan, dan kesetiaannya.
Tiang Bu menjadi pucat mendengar kata-kata ini. Untuk
sejenak ia memandang Bi Li. Ah, alangkah inginnya ia
mendekati, menghi bur gadis yang buntung lengannya akan
tetapi baginya malah mempe rtebal kasih sayangnya karena
kasih sayang itu ditambah oleh rasa kasihan besar sekali.
Jangankan baru sebuah kitab, biar seribu buah kitab tentu
akan ia relakan demi mengingat Bi Li. Akan tetapi bukan
kitab ini, kitab yang harus ia ambil kembali, biarpun ia
harus menukar dengan nyawanya.
"Bi Li." katanya mengeraskan hati biarpun suaranya
gemetar. "Seorang laki-laki harus dapat mengesampingkan
perasaan hati dan urusan sendiri. Mana bisa aku
mengkhianati mendiang suhu hanya untuk urusan
pribadiku sendiri " Kebaktian dan kesetiaan murid terhadap
gurunya adalah suci, dan harus berjalan di atas jalan
kebenaran. Andaikata mendiang suhu meninggalkan pesan supaya
aku merampas kitab yang bukan menjadi milik dan haknya,
tentu dengan senang hati aku melanggar pasan yang tidak
benar ini. Akan tetapi pesan suhu ini berlandaskan kebenaran.
Kitab ini adalah kitab dari Omei-san yang diambil oleh
gurumu. Suhu berpesan agar aku mengambil kembali semua
kitab yang hilang, oleh karena kalau kitab-kitab itu terjatuh ke tangan orang jahat, hanya akan menambah kacau dan
kotornya dunia. Sekarang aku sudah bertemu dengan
gurumu, dan kitab itu sudah bertahun tahun berada di
tangan gurumu, tentu isinya sudah hafal olehnya. Mengapa
masih harus me ngukuhi kitab yang bukan menjadi miliknya
?" 17 Bi Li tak dapat menjawab. Dalam hatinya, tentu saja ia
membenarkan pendirian Tiang Bu, akan tetapi di depan
gurunya ia tidak berani berkata apa-apa.
Adapun Ang-jiu Mo-li yang sengaja bersikap keterlaluan
itu hanya untuk menguji hati Tiang Bu, makin lama makin
kagum. Belum pernah ia berte mu dengan seorang muda
yang demikian te guh hatinya, demikian tebal rasa bakti dan
setianya. Seorang pemuda gagah perkasa, hanya t inggal
menguji kepandaiannya saja.
Ang-jiu Mo li telah mendapatkan murid yang ia sayang
itu di dalam hutan. Bi Li hendak memhunuh diri dengan
jalan menggant ung leher pada angkinnya di sebuah pohon
besar. Setelah Ang ji u Mo-li menolongnya Bi Li dengan air
mata bercucuran menceritakan nasibnya yang malang,
ke hilangan sebuah lengannya yang ditabas buntung oleh
Liok Kong Ji. Kemudian diakuinya betapa Tiang Bu amat
mereintanya dan bahwa sesungguhnya iapun suka kepada
pemuda itu. Hanya karena lengannya sudah buntung ia
meras a tidak berharga menjadi jodoh pe muda itu, maka
diam-diam me ninggalkan Tiang Bu dan mencoba membunuh
diri di situ. Ang-jiu Mo-li marah bukan main, menghibur muridnya
dan berjanji hendak mencari Liok Kong Ji untuk
membalaskan sakit hati muridnya. Kebetulan di tengah jalan
bertemu dengan Tiang Bu, Ang-jiu Mo-li sengaja hendak
menguji batin pemuda yang dipili h muridnya dan ia makin
kagum saja menyaksikan sikap Tiang Bu. Seorang ksatria
tulen, dan kini ia hendak mencoba kepandaian Tiang Bu.
"Orang muda, kau pandai bi cara. Kalau kau bertekad
mengambil kembali kitab-kitab Omei-san, tentu kau sudah
mempunyai kepandaian. Kitab ini dulu kudapat tidak
dengan jalan mudah, bukan diberi hadiah, hanya diambil
dengan mempergunakan kepandaian. Kalau kau hendak
minta kembali, kau juga harus me mpergunakan kepandaian.
Coba kaulayani aku beberapa jurus, kalau kau bisa
18 menangkan aku, tentu saja kitab ini boleh kau ambil
kembal i." Inilah sebuah tantangan dan Tiang Bu memang sudah
bertekat takkan mundur setapak dalam usaha memenuhi
pesan s uhunya. Hatinya amat tidak enak terhadap Bi Li,
akan tetapi apa boleh buat. Demi kebenaran, ia bersedia
mengorbankan segala, baik nyawanya ataupun
kebahagiaannya. Ia melirik ke arah Bi Li dan berkata lirih.
"Bi Li, maafkan kalau aku melawan gurumu. Kau tahu
aku melakukannya karena terpaksa ole h kewajiban." Lalu ia menghadapi Ang-jiu Mo-li dan menjura sambil berkata,
"Aku yang muda bersedia."
Ang-jiu Mo li masih memandang rendah pemuda itu. Ia
hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Tiang Bu,
biarpun pemuda itu takkan dapat memenangkannya, tetap
saja ia akan mengembalikan kitab karena ia pikir lebih baik
muridnya yang sudah buntung itu menikah de ngan pemuda
pilihan ini. Ia mengangkat ki tab Kwan-im Cam-mo itu tinggi
di atas kepala sambil berkata,
"Kau sudah siap se dia" Nah, le kas rampas kitab ini!"
Diam-diam Tiang Bu mendongkol. Ia tahu bahwa
pendekar wanita ini memandang rendah kepadanya, maka
iapun tidak mau sungkan-sungkan lagi.
"Maafkan aku yang bodoh," katanya tahu-tahu tubuhnya
sudah melesat ke de pan tangan kiri me nampar pundak,
tangan kann menyambar untuk merampas kitab.
Ang jiu Mo-li masih memandang rendah. Tangan
kanannya menyampok tamparan pe muda itu dengan
pengerahan te naga. Menulut perhitungannya, tangkisan
sudah cukup kuat untuk membuat pemuda itu terpelanting
dan tentu usahanya merampas kitab akan gagal.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika
tangan kanannya bertemu de ngan lengan pemuda itu, ia
19 merasa lengannya kesemutan dan seperti lumpuh, tanda
bahwa ia tadi kurang mengerahkan tenaga sehingga
te naganya tertindih dan kalah kuat, dan sebelum ia dapat
menguasai diri, tahu-tahu kitab di tangan kirinya telah
terambil oleh pemuda itu yang sudah melompat mundur
ke mbali. Dalam segebrakan saja kitab sudah dirampas! Ini tak
boleh jadi, pikir Ang-jiu Mo-li. Cepat laksana kilat
menyambar, tubuh Ang-jiu Mo-li sudah berkelebat maju
mengejar Tiang Bu, kedua tangannya bergantian mengirim
Pukulan Ang-jiu-kang ke arah dada dan perut Tiang Bu!
Harus diketahui bahwa pukulan Ang-jiu-kang dari Ang-
jiu Mo-li ini hebatnya bukan main. Pernah ia bertemu Liok
Kung Ji dan bertanding dan ternyata Ang jiu kang malah
lebih hebat dari pada Hek-tok ciang dari Liok Kong Ji.
Karena kelihaian tangan merahnya inilah maka Ang Jiu Mo-
li menjadi terkenal sekali dan ia ditakuti orang di wilayah
utara. Tangan itu belum sampai, hawa pukulannya sudah
terasa. panas dan kuat sekali. Tiang Bu berlaku waspada,
maklum bahwa menghadapi pukulan macam ini ia tidak
boleh sembrono. Juga ginkang dari Ang jiu Mo-li hat bleu
"dell, gerstannya eepat perti kilat luar biasa sekali,
gerakannya cepat seperti kilat menyambar.
Pemuda itu mengerahkan tenaga untuk menjaga diri.
Sinkangnya berputar-putar dan berkumpul di bagian dada
dan perut untuk melawan hawa pukulan itu, sedangkan ia
sendiri lalu miringkan tubuh agar jangan tersentuh kedua
tangan yang me mukul. Akan tetapi, karena perhatiannya
dicurahkan ke arah pukulan-pukulan yang dapat
mengancam nyawanya meninggalkan badan itu, ia tidak
mengira sama sekali bahwa Ang jiu Mo li hanya menggertak
dan tahu-tahu tubuh nyonya sakti aku melejit ke atas dan
..... kitab itu sudah terampas kembali oleh Ang jiu Mo-li
20 Wajah yang tadinya pucat dari Ang-jiu Mo li menjadi
merah kembali. Wanita sakti ini tadinya sudah pucat karena
sekali gebrakan saja kitab di tangannya sudah terampas oleh
seorang pemuda. Hal ini benar-benar langka dan luar biasa
sekali. Akan tetapi dalam gerakan kedua ia dapat merampas
kembali kitab itu, berarti ia sudan dapat membela mukanya.
Akan robohlah namanya kalau terdengar orang betapa
dalam satu jurus ia dikalahkan oleh seorang bocah yang
masih ingusan ! Setelah sekarang ia dapat merampas
kembali kitab itu juga dalam satu gebrakan berarti keadaan
mereka masih seri. "Bi Li, kaubawa dulu kitab ini" katanya dan kitab itu di lemparkan ke arah Bi Li yang menyambutnya dengan
sebelah tangan dan memegangnya.


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, sekarang majulah, orang muda. Aku ingin sekali
melihat sampai di mana lihainya murid Ome i-san," kata Ang jiu Mo-li menantang.
Tiang Bu maklum bahwa menghadapi seorang wanita
sombong seperti Ang-jiu Mo-li, kalau ia tidak
memperlihatkan kepandaiannya tentu sukar untuk
mengambil kembali kitab itu. Juga ia maklum akan
kelihaian wanita ini yang tadi sudah memperlihatkan
pukulan Ang-jiu-kang yang berbahaya dan kecepatan
gerakan yang amat mengagumkan. Maka ia berlaku hati-hati
sekali. Sebaliknya, tahu bahwa bocah i ni be nar-benar lihai,
timbul kegembiraan hati Ang-jiu Mo-li. Seperti sebagian
besar tokoh kang-ouw, dia juga termasuk orang yang gila
silat. Be rtemu dengan lawan tangguh, hilanglah sikapnya
tadi dan lupalah wanita ini bahwa dia berniat me nguji
kepandaian calon jodoh muridnya. Ia menjadi bersungguh-
sungguh dan mabok ke menangan. Oleh karena itu, setelah
melihat Tiang Bu siap, Ang-jiu Mo-li berseru nyaring dan
maju menyerang dengan ganas dan dahsyat !
21 Tiang Bu mengimbangi kecepatan lawannya dan tidak
hanya menghindarkan dari serangan, bahkan membalas
dengan sarangan yang tak kalah dahsyalnya. Ang jiu Mo-li
kaget sekali melihat betapa tiga kali pukulan yang
dilancarkan secara bertubi-tubi itu dielakkan dengan amat
mudah oleh Tiang Bu bahkan pemuda itu membalas dengan
tamparan yang kuat. Melihat Tiang Bu menamnpar ke arah pundaknya, diam-
diam Ang-jiu Mo-li memuji lagi sikap pemuda ini yang selalu
menjaga agar jangan melanggar susila, maka tamparan yang
menurut teori silat harus ditujukan ke arah kepala itu
dlturunkan menjadi tamparan arah pundak ! Ang-jiu Mo-li
melihat datangnya tamparan perlahan saja namun
membawa hawa pukulan yang kuat sekali, cepat me nyambut
dengan tangkisan Ang-iiu-kang. Ia hendak capat-cepat
mengalahkan Tiang Bu kalau sampai pemuda ini terluka
oleh tangan merahnya. hal itu tidak apa karena ia selalu
membekal obat penawarnya.
"Prakk !" Sepasang lengan bertemu dan kesudahannya,
Ang-jiu Mo-li terdorong mundur sedangkan tangan Tiang Bu
tidak apa, hanya kuda-kudanya kena gempur sedikit.
Ang-jiu Mo-li penasaran sekali, juga kaget bukan main.
Mungkinkah pemuda ini memang le bih lihai darinya dalam
hal lweekang" Sukar diperca ya ! Sekali lagi Ang-jiu Mo-li
menyerang dengan dorongan kedua tangannya, ki ni
dilakukan dengan pengerahan lweekang repenuhnya. Tiang
Bu cerdik, tahu akan maksud lawan mengadu kekuatan,
maka iapun ce pat menge rahkan sinkangnya, dan mendorong
pula dengan kedua tangannya. Sebelum empat buah tangan
itu bertemu di udara, hawa pukulan masing-mesing sudah
saling dorong dan akibatnya sekali lagi Ang-jiu Mo-li
terdorong mundur sampai empat langkah! Sedangkan kali
ini Tiang Bu tetap tidak bergeming, tanda bahwa memang
pemuda ini masih jauh lebih menang.
22 Ang-jiu Mo-li menjadi pucat. Sudah jelas bahwa ia kalah
dalam hal tenaga lwee kang. Ia makin penasaran dan masih
berkeras kepala. Kalau dalam lweekang aku kalah, belum
tentu ginkang pemuda ini dapat menangkan aku, pikirnya.
Memang Ang jiu Mo-li selain terkenal karena Ang-jiu-kang,
juga terkenal sebagai seorang wanita yang tinggi ilmu gin-
kangnya, "Lihat serangan serunya dan tiba-tiba tubuh Ang-jiu Mo
li berkelebat dan menyambar-nyambar. Bi Li yang menonton
pertandingan itu sampai menjadi silau matanya. Gurunya
lenyap berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti
pandangan mata, gerak-geriknya cepat dan ringan sekali.
Kali ini Tiang Bu akan kalah, pikir Bi Li, hat inya tidak enak karena ia mengenal gurunya sebagai seorang yang telengas
sekali kalau sudab marah.
Melihat ginkang sehebat ini, diam-diam Tiang Bu kagum
sekali. Ia pernah bertempur mengtadapi orang-orang lihai,
termasuk. Wan Sin Hong. Akan te tapi harus ia akui bahwa
dalam hal ginkang, baru sekarang ia bertemu dengan lawan
yang benar-benar hebat, mengatasi ginkang dari orang-orang
gagah lainnya bahkan Sin Hong sendiri kiranya masih kalah
sedikit. Akan tetapi, Tiang Bu adalah seorang muda yang sudah
mewarisi kepandaian sakti dari dua orang kakek Omei-san
dan terutama sekali semenjak mempelajari isi kitab Sen
thian-to, di dalam tubuh pemuda ini mengandung sinking
atau hawa sakti yang hebat, tak dapat diukur lagi betapa
tingginya. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya Bi Li
ketika tubuh Tiang Bu tiba-tiba lenyap, bayangan sekalipun
tidak kelihatan lagi. Ke mana perginya pemuda itu "
Dilihat begitu saja tubuh Tiang Bu se perti sudah lenyap
dan tidak berada pula di tempat itu, akan tetapi melihat
gurunya masih seperti orang bertempur, menjadi bukti
bahwa sebenarnya Tiang Bu masih berada di situ,
bertanding melawan Ang-jiu Mo-li ! Bi Li sampai bengong
23 te rlongong melihat gurunya seakan-akan bertanding
melawan setan yang tidak kelihatan.
Kalau Bi Li menjadi bengong terheran-heran adalah Ang-
jiu Mo-li yang menjadi kaget setengah mati dan kagum
bukan main. Ia telah mengerahkan ginkangnya, hendak
mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menangkan
pe muda itu. Akan tetapi perkiraannya me leset sekali karena
ke manapun juga ia bergerak, ia telah didahului oleh Tiang
Bu. Kecepatan ditambah dengan Ang-jiu-kang yang ia
andalkan itu seperti mati kutunya menghadapi Tiang Bu.
Ia tadinya bergerak dan memutar ce pat untuk membikin
lawannya pening, kiranya sekarang Tiang Bu bergerak lebih
cepat lagi sehingga akibatnya Ang-jiu Mo-li sendiri yang
menjadi pusing! Tadinya Ang-jiu Mo-li berniat mendesak
pemuda itu mempergunakan kece patannya agar Tiang Bu
menyerah, kiranya sekarang malah dia yang didesak hebat,
setiap pukulan Ang jiu kang didahului oleh totokan-totokan
lihai pemuda itu ke arah pergelangan tangan atau siku dan
pundak se hingga selalu Ang jiu Mo-li harus membatalkan
serangannya. Karena ilmu silatnya sendiri terang takkan dapat
menguntungkan, Ang-jiu Mo-li tidak merasa malu-malu lagi,
terus saja mainkan Ilmu Silat Kwan-im cam mo yang ia
dapat dari kitab Omei-san ! Ilmu silat ini hebat sekali,
gerakannya lembut dan lambat, sesuai dengan sifat Kwan lm
Pouwsat dewi welas asih itu, namun di dalam kelemah-
lembutan mengandung unsur kekuatan yang hebat, di
dalam kelambatan me ngandung unsur kecekatan yang luar
biasa. Juga Ang-jiu Mo-li yang memang cantik nampak
agung ketika melakukan ilmu silat ini, seperti se orang dewi
baru turun dari kahyangan sambil menari -nari.
Bi Li mengeluarkan seruan kagum. Juga Tiang Bu kaget
sekali. Ia mengenal dasar-dasar ilmu silat gurunya, akan
tetapi sebagai seorang pria ia belum pernah me mpelajari
ilmu silat yang khusus dici ptakan untuk murid-murid
24 wanita ini. Tiang Bu berlaku hati-hati tidak berani
sembarangan menye rang. Baru sekarang setelah Ang-jiu Mo-
li mainkan ilmu Silat Kwan im cam-mo, keadaan mereka
seimbang. Untuk mengimbangi ilmu silat se cabang ini, Tiang
Bu mainkan gerakan -gerakan dari kitab sajak Thian-te-si-
ke ng, berpangkal pada gerakan lawan.
Pertempuran berjalan lambat namun angin pukulan
menyambar-nyambar di sekeliling dua orang ini, membuat
daun-daun pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin
besar, bahkan Bi Li yang berdiri dalam jarak lima tombak
dari gelanggang pertempuran, merasai sambaran-sambaran
angin yang mengiris kulit. Dari ini saja dapat dbayangkan
betapa lihainya dua orang itu.
Seratus jurus telah lewat dan pertempuran masih
berlangsung ramai. Sebetulnya adalah karena Tiang Bu
te rlampau sungkan sungkan terhadap guru kekasihnya ini
maka pertempuran tidak segera berakhir. Kalau pemuda ini
berlaku kejam dan mencari kemenangan, kiranya
pertempuran takkan berlangsung selama itu.
Ang-jiu Mo-li merasa penasaran di samping
ke kagumannya dan keheranannya. Selama hidup, belum
pernah ia be rte mu dengan lawan sehebat ini. Memang
pernah ia berhadapan dengan orang-orang lihai, bahkan
dahulu Toat-beng Kui-bo pernah membuat ia kewalahan dan
harus mengakui bahwa kepandainnya masih kalah setingkat
kalau dibandingkan dengan kepandaian Toat -beng Kui-bo.
Akan tet api, tak seorangpun di dunia ini pernah
menghadapinya dengan cara yang demikian mudah dan
banyak mengalah seperti pemuda ini.
Karena penasaran, Ang jiu Mo-li me ngeluarkan jurus
yang paling ampuh dari ilmu silat Kwan-im cam-mo yaitu
gerakan yang di sebut Kwan-im lauw ci (Kwan lm Mencari
Mustika). Jurus ini terdiri dari gerakan serangan beruntun
dengan kedua tangan yang ke lihatannya seperti maraba atau
menangkis ke depan, akan tetapi sesungguhnya merupakan
25 pukulan-pukulan Ang jiu-kang disus ul totokan-totokan ke
arah jalan darah penting di tubuh lawan. Kehebatan
serangan ini adalah apabila dielakkan, serangan susulan
menyambar sehingga kedudukan lawan makin lama makin
buruk sampai tak mungkin dapat dielakkan lagi.
Untuk menangkis juga amat berbahaya karena kedua
tangan Ang-jiu Mo-li sudah menjadi me rah darah, tanda
bahwa seluruh tenaga Ang-jiu kang telah terkumpul ke
dalam seluruh jari tangannya. Bau amis dan hawa panas
menyelimuti setiap gerak tangan, semua merupakan
ancaman maut yang mengerikan. Ang jiu Mo-li dalam
penasarannya telah me ngerahkan seluruh kepandaian dan
tenaganya ! Tiang Bu kaget bukan main. Ia sekarang merasa yakin
bahwa menghadapi wanita ganas ini percuma saja ia berlaku
halus, percuma saja menyuruhnya mundur hanya dengan
demonstrasi kepandaian yang lebih tinggi. Wanita seperti ini
harus dikalahkan, biarpun terpaksa ia harus melukainya.
Cepat ia menggerakkan kedua tangan pula. Tidak ada
jalan lain untuk melawan jurus Kwan-im lauw-cu yang
dilakukan de ngan Ang-jiu-kang sepenuhnya ini kecuali
melawannya keras dengan keras. Berturut-turut ia
manerima serangan Ang-jiu Mo-li dengan kedua tangannya
dan di lain saat dua pasang tangan telah saling tempel pada
telapak tangan, tak dapat dipisahkan lagi !
Ang jiu Mo-li terkejut. Tak disangkanya pemuda ini
berani menerima serangan Ang-jiu-kang dengan cara
demikian. Akan tetapi diam-diam ia girang karena sekarang
ia mendapat kesempatan untuk menang. Ang-jiu-kang ia
kerahkan untuk menyerang Tiang Bu melalui telapak
tangan. Kedua tangan Ang-jiu Mo-li mengeluarkan hawa
panas sampai mengepulkan asap putih. Kalau tangan orang
biasa yang terkena tempel tentu akan menjadi hangus dan
orangnya akan mati seketika itu juga, akan tetapi Tiang Bu
yang maklum bahwa keadaan sekarang bukan main-main
26 lagi melainkan pertandi ngan adu sinkang yang dapat
mengakibatkan maut, mengumpulkan seluruh tenaga dalam
yang ia dapatkan dengan berlatih Seng-thian-to,
menggerakkan hawa sinkang itu untuk melawan pengaruh
Ang-jiu-kang yang mendesak.
Ang-jiu Mo-li merasa betapa telapak tangan pemuda itu
dingin seperti salju, makin lama makin dingin. Sebaliknya
telapak tangan Ang-jiu Mo-li makin lama makin panas.
Ternyata bahwa kalau Ang jiu Mo-li mempergunakan sari
hawa Yang-kang untuk merobohkan lawannya, Tiang Bu
menghadapi de ngan sari tenaga Im-kang. Panas lawan
dingin atau keras lawan lembut !
Bi Li berdiri terpukau. Biarpun tingkat kepandaiannya
belum mencapai setinggi ini namun gadis ini maklum apa
artinya orang yang ia kasihi berdiri tegak dengan dua tangan
ke depan saling menempel. Ia melihat kini tidak hanya
kedua tangan gurunya yang mengepulkan uap, bahkan dari
ke pala Ang jiu Mo-li juga mengepulkan uap putih. Anehnya,
Tiang Bu nampak tenang-tenang saja, hanya matanya
memandang lawan tanpa berkedip. Dari sepasang mata
pemuda yang biasanya memang tajam dan aneh ini keluar
cahaya yang membuat jantung Bi Li berdebar.
Juga Ang-jiu Mo-li tidak kuat menghadapi sinar mata
pe muda ini, seakan akan kepalanya tembus oleh sinar mata
itu. Ia tahu bahwa ilmu batin pemuda ini sudah mencapai
tingkat tinggi sekali sehingga tenaga sakti itu dapat
menembus melalui sinar mata.
Setelah tidak kuat menahan sinar mata Tiang Bu,
kedudukan Ang-jiu Mo li makin lemah. Hawa panasnya
makin be rkurang dan sepeminum teh lagi , ia merasa dingin.
Sinar merah pada kedua tangannya mulai buyar, bahkan
membiru! Ang jiu Mo-li masih berusaha mempertahankan, namun
ia tidak kuat lagi. Uap yang mengebul dari kepalanya makin
tebal mukanya mulai be rpeluh.
27 "Cianpwe , belum cukupkah?" terdengar Tiang Bu
bertanya. Bukan main kagumnya Ang-jiu Mo-li. Kini takluk betul -
betul. Karena Tiang Bu masih s anggup bertanding tenaga
sambil mengeluarkan kata-kata, it u saja sudah menjadi
bukti nyata bahwa pemuda ini masih jauh berada di
atasnya. Tanpa malu-malu lagi Mo-li mengerahkan tenaga terakhir
dan menarik kedua tangannya sambil melompat mundur.
Kalau Tiang Bu menghendaki, tentu saja perbuatan ini dapat
berarti matinya Ang-jiu Mo.li. Dalam pe rtandingan dengan
musuh tentu saja Ang-jiu Mo-li tidak mau melompat mundur
dan mati konyol, lebih baik mati dalam pertandingan dari
pada mati melompat mundur dan terpukul oleh tenaganya
sendiri. Akan tetapi Tiang Bu juga membarengi gerakan
lawan dan menarik kembali tenaga sinkangnya.


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ang-jiu Mo-li te rhuyung-huyung akan tetapi tidak sampai
jatuh. Cepat ia duduk bersila mengatur pernapasannya dan
menenteramkan jantungnya yang sudah terguncang hebat.
Mukanya pucat sekali, namun setelah berlalu beberapa
lama, mukanya menjadi merah kembali. Ia lalu membuka
mata, berdiri perlahan dan berkata ke pada Bi Li,
"Bi Li, anak bodoh. Kalau kau tetap me njauhkan diri
menolak cinta kasih pemuda ini berarti kau menyiksa hati
sendiri dan menyia-nyiakan hidupmu. Tiang Bu inilah jodoh
yang paling tepat dan baik, di atas dunia kau tak mungkin
berjumpa dengan orang se perti ini. Bi Li, mulai sekarang
kauikutlah Tiang Bu calon jodohmu ini mencari musuh yang
telah membuntungi lenganmu. Kita bertemu di Pek houw-to
dan kelak kalau sudah selesai membasmi orang jahat, aku
sendiri akan mengat ur pernikahanmu dengan pemuda sakti
ini !" Sete lah berkata demikian, Ang-jiu Mo-li lalu berkelebat
dan lenyap dari tempat itu meninggalkan Bi Li yang masih
berdiri bengong menyaksikan periempuran hebat yang
28 mendebarkan hatinya itu. Ketika ia mengangkat kepala
memandang, ia melihat Tiang Bu sedang memandang
kepadanya dengan mata penuh perasaan cinta kasih dan
keharuan. "Tiang Bu.......... !" Tak teresa lagi Bi Li menutupi muka dengan tangannya yang tinggal sebelah dan menangis
terisak-isak. Air mata mengucur turun melalui celah-celah
jari tangannya, pundaknya berguncang.
Tiang Bu makin terharu dan kakinya melangkah maju
sampai ia berdiri di depan gadis buntung itu.
"Bi Li ...... , mengapa kau lari meninggalkan aku.......... ?"
tanyanya, suaranya tergetar.
Bi Li tak dapat menjawab, hanya isak tangisnya makin
menjadi, sampai te rde ngar ia sesenggrukan.
"Bi Li, mengapa kau meni nggalkan aku?" Setelah
menahan isaknya dengan mengeraskan hatinya, Bi Li
mencoba untuk bicara, akan tetapi sukar sekali sehingga
setelah beberapa kali mengulang, baru ia dapat
mengeluarkun kata-kata, "Tiang Bu, apa perlu kau bertanya lagi....." Kau sudah
tahu isi hat iku........."
"Tidak, Bi Li. Justeru aku sama sekali tidak tahu
bagaimana maksud hatimu. Kalau kau membenciku dan
pe rgi, aku hanya bisa menerima dengan segala kesadaran
bahwa aku orang yang buruk dan t ak berharga. Akan
tapi.......... kau cinta padaku sepertt aku mencintaimu,
mengapa kau.......... pergi meninggalkan aku?".." Apakah
kau sengaja hendak membikin aku mati merana" Bi Li,
bagaimana kau bisa begitu kejam dan tega?".?"
Bi Li meramkan mata dan menggigit bibir, jantungnya
terasa perih seperti tertus uk duri. Air mata mengucur keluar dari bulu-bulu matanya.
29 "Tiang Bu.......... jus teru karena cintaku padamu maka
aku sengaja pergI meninggalkanmu. Aku.......... aku telah
menjadi seorang gadis buntung, bercacad selama hidup, tak
berharga lagi.......... hanya akan membikin kau malu. Itulah
mengapa aku mengambil keputusan pergi. biar hatiku
merana asal kau tidak menjadi buah tertawaan orang ......"
"Bi Li!! Suara Tiang Bu menggeledek. "Orang
mentertawakan aku masi h tidak mengapa, akan tet api siapa
berani mentertawakan kau, akan kuhancurkan mulutnya !
Jangan kau memandang begitu rendah kepadaku. Kaukira
aku akan lupa kepadamu setelah kau bercacad " Tidak,
sebaliknya cintaku kepadamu makin kekal, makin
mendalam. Aku tidak mau be rpisah lagi darimu Bi Li. Kita
sama-sama sebatang kara, kau hanya punya aku dan aku
hanya punya kau seorang. Bi Li. buntungnya lenganmu
tidak mengurangi cintaku, karena bukan tanganmu yang
kucinta, melainkan kau, pribadimu. Bi Li, jangan kau
khawatir, biarpun lenganmu tinggal sebelah saja. dengan
mempelajari ilmu dariku, kau takan kalah oleh orang-orang
berlengan dua yang manapun juga!"
"Tiang Bu ......!" Bi Li menj atuhkan badannya ke dalam
pelukan Tiang Bu dan menangis sepuasnya. Hatinya diliputi
keharuan dan juga kebahagiaan besar. "Tidak, Tiang Bu.
Aku takkan meninggalkan kau, kecuali kalau aku mati....... "
"Hush, gadis bodoh, jangan bicara soal mati. Kau akan
hidup seribu tahun lagi! Tunggu kalau kita sudah
membasmi habis orang-orang jahat yang menjadi musuh
kita, bukankan gurumu sudah berjanji hendak menikahkan
kita"* Merah wajah Bi Li dan gadis ini merenggutkan kepalanya
dari dada kekasihnya. "Hih, tak tahu malu, Bicara s oal
kawin ! Aku tak sudi mendengar." Dengan air mata masih
mene tes turun, Bi Li terse yum. Tiang Bu juga tersenyum,
wajahnya berseri-seri. Bi Li masih seperti dulu, lincah dan
menarik hati. 30 -oo(mch)oo- Dari Bi Li yang sudah diberi tahu oleh Ang-jiu Mo-li,
Tiang Bu mendengar bahwa Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong
telah pindah ke Pulau Pek-houw to di selatan, memboyongi
semua selirnya dan membawa harta bendanya, juga bahwa
di pulau itu berdiam Lo-thian tung Cun Gi Tosu yang lihai.
Dengan penuh kebahagiaan oleh karena Bi Li sudah
berada di sampingnya, Tiang Bu mengajak kekasihnya itu
melakukan perjalanan ke selatan dengan cepat. Lengan yang
buntung itu sudah sembuh sama sekali berkat rawatan Ang-
jiu Mo-li. Buntungnya di bawah pundak ditutup dengan
lengan baju yang pendek. Juga gadis ini karena terhibur oleh
sikap Tiang Bu yang amat mencint a, se akan-akan lupa
bahwa lengan kirinya buntung dan ia melakukan perjalanan
dengan gembira. Sementara itu, semeniak penyerbuan Sin Hong kemudian
disusul oleh penyerbuan Pek thouw tiauw ong Lie Kong dan
isterinya, Liok Kong Ji berlaku hati-hati sekali. Ia
mempergunakan hartanya, menyebar mata-mata di sekitar
daerah pantai untuk mengetahui kalau kalau ada musuh
datang menyerang lagi agar ia dapat bersiap-siap.
Oleh karena itu, kedatangan Tiang Bu dan Bi Li ke pantai
laut telah diketahui oleh Liok Kong Ji. Di dunia hanya ada
dua orang yang mendatangkan debar ketakutan dalam hati
Kong Ji. Pertama adalah puteranya sendiri, Tiang Bu, yang
ia tahu takkan mau memberi ampun kepadanya dan yang
kepandaiannya amat luar biasa, lebih lihai dari pada tokoh
manapun juga biarpun usianya masih sangat muda. Orang
ke dua adalah Wan Sin Hong musuh besarnya semenjak
muda dulu, ia takut terhadap kepandaian dan kecerdikan
Wan Sin Hong. Pada hari itu, Liok Kong Ji menerima berita dari mata-
matanya, berita yang amat mengejutkan dan
31 menggelisahkan hatinya. Tidak saja Tiang Bu dan Bi Li telah
berada di pantai, juga ia mendengar bahwa Wan Sin Hong
dan kawan-kawannya sudah menuju ke pulaunya, dan akan
datang tak lama legi. Inilah hebat, pikirnya. Kalau dua orang ini datang berbareng di Pulau Pek-houw-to, hal ini
merupakaa bahaya hebat! "Lebih baik mereka dipisahkan. Selagi Sin Hong belum
datang dan masih akan makan waktu satu dua hari baru
tiba di pantai kita harus memancing Tiang Bu agar dapat
cepat datang ke sini untuk kita sambut. Mustahil kalau
dengan keroyokan tak dapat merobohkan bocah itu. Kalau
dia sudah roboh, soal Sin Hong tak perlu dikhawatirkan lagi.
Pokoknya ssal dua setan itu jangan muncul dalam saat yang
sama." Demikian Liok Kong Ji berunding, dengan anak
angkatnya Liok Cui Kong. "Mudah," jawab Cui Kong. "Biar kita me ngirim surat
tantangan kepada Tiang Bu agar panas hat inya dan ia segera
datang ke sini mebdahului Wan Sin Hong."
Demikianlah. ketika Tiang Bu dan Bi Li tiba di pantai dan
sedang mencari perahu di tempat yang sunyi sekali itu, tiba-
tiba mata Bi Li yang tajam melihat sesuatu di atas batu
karang. "Tiang Bu lihat.......... Seperti kertas; bertulis yang
sengaja dipasang orang di sana!"
Tiang Bu, menoleh. Benar saja, di atas batu karang
terdapat sehetai kertas kuning muda yang ada tulisannya,
dite mpel di batu karang. Ketika dua muda-mudi ini
mendekat i, ternyata tulisan itu memang ditujukan kepada
Tiang Bu. Merah muka Tiang Bu ketika membaca tulisan itu
yang berbunyi seperti berikut:
"TIANG BU, ANAK PUTHAUW! KAU DATANG MINTA
AMPUN ATAU MINTA MATI , AYAHMU MENANTI
LIOK KONG JI. 32 "Manusia Iblis !" Tiang Bu me maki gemas "Sombong,
kaukira aku takut padamu ?"
"Lihat, di sana ada perahu datang!" teriak Bi Li yang
sudah menoleh ke arah laut karena ia meli hat ancaman
maut di dalam surat Liok Kong Ji. Gadis ini amat khawati r
akan keselamatan kekasihnya karena ia cukup maklum
betapa lihai nya manusia iblis itu bersama kaki tangannya.
Tiang Bu menengok, dan betul saja, dari arah laut datang
sebuah perahu yang layarnya terkembang. Anehnya, perahu
itu kosong tidak ada penumpangnya. "Mereka telah mengirim perahu untukmu!" kata Bi Li,
suaranya agak geme tar. Tiang Bu tidak menjawab melainkan menyambut perahu yang sudah sampai di pantai itu. Benar-benar orang telah mengirim perahu kosong untuknya, perahu yang layarnya dikembangkan dan kemudinya diatur sedemikian rupa sehingga dengan adanya angin yang mengbembus ke arah pantai, perahu itu bisa berlayar sendiri ke pantai. "Musuh bersikap sombong sekali," kata Tiang Bu. "Aku harus ke sana sekarang juga agar jangan dianggap takut. Bi
Li, kau tunggu saja di sini. Biarkan aku sendiri Pergi
memberi hajaran pada manusia-manusia iblis itu untuk
membalaskan sakit hatimu."
33 "Tidak, Tiang Bu. Aku ikut dengan kau !"
"Bi Li," Pemuda itu memegang tangan Bi Li, "jangan salah sangka. Untuk melindungimu dari mereka aku masih
sanggup dan dengan aku di sampingmu mereka tak
mungkin berani mengganggumu. Akan tetapi, kau tahu
sendiri betapa licik dan curangnya mereka itu, dan inilah
yang kukhawatirkan. Menghadapi ke curanpan mereka lebih
berat dari pada menghadapi kepandaian mereka. Lebih
leluasa bagiku pergi seorang diri. Kau tinggallah saja di sini, Li-moi, percayalah, aku meninggaikanmu hanya sebentar
saja dan aku meninggalkanmu ini adalah karena s ayangku
kepadamu." "Akan tetapi .......... aku ingin sekali membalas sendiri
kepada manusia jahanam Liok Kong Ji !"
Tiang Bu mengangg uk. "Jangan kau khawatir, aku akan
menyeretnya ke sini sehingga kau dapat membalas sakit
hatimu." "Betulkah, Tiang Bu !" tanya Bi Li penuh harap.
"Mana aku mau membohongimu. Nah, kau baik baik
menjaga dirimu, tunggu aku di pantai," kata Tiang Bu
sambil melompat ke perahu.
"Tiang Bu, kau jagalah dirimu baik-baik. Kau tahu
semangat dan hatiku ikut bersamamu .......... " kata Bi Li, hatinya tidak karuan rasanya melihat kekasihnya pergi
menempuh bahaya seorang diri.
Tiang Bu tersenyum. "Jangan khawatir, Bi Li. Doa
restumu menjadi jimat pelindungku. Kita akan bertemu
kembali, Bi Li." Ketika perahu mulai me njauhi pantai dan Bi Li berdiri seperti patung di tepinya, Tiang Bu berseru dari
jauh, "Bi Li, aku cinta kepadamu.......... !"
Bi Li mengangguk-angguk, tersenyum dan matanya
menjadi basah. Setelah perahu itu sudah jauh sekali
merupakan titik hitam, gadis itu menjatuhkan di ri berlutut,
34 mukanya diangkat ke atas, matanya meram, bibirnya
bergerak-gerak se perti orang bardoa mohon berkat
perlindungan dari Thian untuk pemuda yang dikasihinya.
Tiang Bu sudah mendengar dari Bi Li bahwa Pulau Pek-
houw to dapat dikenal di antara pulau pulau itu sebagai
pulau yang dari jauh tampak keputih-putihan dan
bentuknya seperti seekor macan mende kam. Dan pulau ini
memang tidak sukar dikenal dari jauh. Setelah perahunya
didayung cepat menuju ke kumpulan pulau-pulau itu, ia
melihat Pulau Pek-houw-to. Hatinya berdebar girang.
Sekarang ia tidak mau bekerja kepalang tanggung.
Ia harus dapat membasmi Liok Kong Ji dan semua kaki
tangannya dan me rampas kembali kitab-kitab Ome i-san
yang sekarang sudah terkumpul ke dalam tangan Liok Kong
Ji dan Cun Gi Tosu. Pemuda ini maklum bahwa ia
menghadapi orang-orang pandai. Lawan-lawan berat yang
tak boleh dipandang ringan akan tetapi ia tidak takut. Ia
percaya penuh akan kekuatan sendiri, dan percaya penuh
akan dapat mengalahkan mereka semua.
Tiba-tiba ia mendengar suitan keras beberapa batang
anak panah menyambar cepat ke arah perahunya,
menancap di atap perahunya melihat anak-anak panah itu
tidak di arahkan kapadanya, melainkan kepada atap
perahunya, Tiang Bu seolah-olah tidak melihat kejadian ini
dan bersikap tenang-tenang saja. Didayungnya perahu
layarnya dengan ce pat. Akan tetapi se gera muncul lima buah perahu kecil
dengan atap melengkung dari balik-balik batu karang yang
menonjol di permukaan laut. Perahu-perahu ini ditumpangi
oleh Lam-thian-chit-ong dan belasan anak buahnya,
berjumlah dua puluh orang lebih, setiap perahu ditumpangi


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lima orang. Dengan cepat perahu-perahu ini sudah malang
melintang menghadang kedatangan perahu Tiang Bu.
Pe muda itu tetap tenang maklum bahwa Liok Kong Ji sudah
35 mengirim rintangan pertama untuk menggagalkan
pendaratannya ke Pek-houw-to.
Aku harus hati -hat i, pikir Tiang Bu. Di darat aku tak
perlu memusingkan dua puluh orang lawan ini, akan tetapi
di air, hmm, berat juga. "He, pemuda yang sudah bosan hidup. Ke datanganmu ini
dengan keperluan apakah ?" Teriak si baju marah, ketua
dari Lam-thian-cit-ong. Melihat tujuh orang yang pakaiannya t ujuh macam ini,
diam-diam Tiang Bu sudah dapat menduga bahwa mereka
tentulah merupakau kelumpok kaki tangan Kong Ji yang
terdiri dari saudara-saudara sepe rguruan, dan tentu
kepandaiannya tidak le mah.
"Badut merah, kau mau tahu maksud. kedatanganku ?"
jawabnya. "De ngarlah baik-baik. Aku datang untuk
membasmi manusia-manusia iblis seperti Liok Kong Ji, Liok
Cui dan kaki tangannya seperti kalian. Sudah jelaskah ?"
Lam-thian-chit ong memang mendapat tugas dari Liok
Kong Ji untuk mencegat perahu pemuda itu. Liok Kong Ji
masih belum tahu apakah kedatangan Tiang Bu dengan
maksud baik ataukah buruk, maka ia menyuruh Lam-thian-
chit-ong mewakilinya dan menyelidiki.
Mendengar jawaban Tiang Bu yang tegas itu, Lam-thian
chit ong lalu memerintahkan anak buahnya dan di lain saat
puluhan batang anak panah menyambar ke arah Tiang Bu.
Akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak perduli, hanya
menggerakkan dayung mendayung perahunya. Aneh bukan
main, perahu itu seperti bernyawa, bergerak-gerak cepat tak
sebatangpun anak panah mengenai tubuhnya, hanya
menancap di tubuh perahu dan masuk ke laut. Inilah
demons trasi kecelian mata dan kehebatan tenaga
menggerakkan perahu yang amat luar biasa.
36 "Kami menantimu di darat !` terlak si baju merah dan dia bersama enam orang saudaranya lalu menumpang sebuah
perahu dan mendayungnya ke daratan Pulau Pek houw-to.
Empat buah perabu anak buahnya dengan delapan belas
orang masih mancogat di situ. Malah mereka mendayung
perahu mendekati perabu Tiang Bu dan mengurung dari
empat jurus an. Harus diketahui babwa Lam-thian-chit ong seperti juga
Tiang Bu, tidak mengert i ilmu dalam air maka siang-siang
mereka meninggalkan Tiang Bu untuk melakukan cegatan-
cegatan di darat, tidak seperti delapan belas orang itu yang
memang kesemuanya bekas bajak laut. Delapan belas orang
ini semua pandai berenang dan pandai bermain di dalam air,
merupakan ahl i-ahli dan penyelam penyelam. Oleh karena
itulah maka tugas pertama untuk monyerang Tiang Bu
diserahkan kepada delapan belas orang bajak laut ini. Liok
Kong Ji memang sudah siap untuk segalanya dan
kedudukannya ini kuat sekali.
Melibat gerakan empat perahu yang mengurungnya,
Tiang Bu bersiap sedia. Kini ia tidak duduk di dalam
perahunya, melainkan berdiri di kepalanya perahu dengan
dayung di tangan, sepasang matanya awas memandang
gerak-gerik empat perahu lawan yang mengeli lingi. Adapun
tujuh orang yang berbeda-beda warna pakaiannya itu kini
telah mendarat, berdiri di tepi pantai dan menonton
bagaimana para anak buah bajak laut itu hendak
mengalahkan pemuda itu. Terdengar pemimpin bajak laut itu memberi aba-aba
dengan suitan dan kembali empat perahu itu mereka
menghujankan panah ke arah Tiang Bu. Berbeda dengan
tadi, kini anak panah datang menyerang empat jurusan,
depan belakang dan kiri kanan. Kalau tadi semua anak
panah datang dari depan maka masih dapat Tiang Bu
menggunakan kepandaian menggerakkan perahu untuk
mengelak dari sambaran anak panah-anak panah. Akan
37 tetapi sekarang ia tidak dapat be rbuat seperti tadi. Cepat ia menggerakkan dayungnya dan....... alangkah terkejut hati
semua bajak laut ketika mereka menyaksikan demontrasi
kepandaian yang luar biasa.
Begitu dayung diputar menangkis anakpanah itu tidak
runtuh ke bawah, melainkan meleset dan terus me nyambar.
Anak-anak panah dari depan melesat dan menyambar arah
perabu sebelah kanan, yang dari kiri me nyambar ke arah
perahu di belakang. dari kiri monyambar ke depan. Jadi
dengan dayungnya itu, Tiang Bu "mengoperkan" anak
panah-anak panah itu ke arah perahu perahu bajak,
seakan-akan para bajak itu saling se rang sendiri dengan
anak panah-anak panah mereka !
Terdengar mereka berseru kaget dan cepat -cepat
menangkis. Akan tetapi dalam kegugupan karena serangan
istimewa yang tak pernah disangka-s angka itu, seorang anak
buah bajak yang kurang cepat menangkis dan pundaknya
te rtancap anak panah kawan sendiri. Anehnya, buah bajak
itu terus roboh berkelojotan di dalam perahunya dan tewas
seketika itu juga, mukanya berubah hitam !
Melihat hal ini dari atas perahunya, Tiang Bu diam-diam
mengutuk Liok Kong Ji. Ia sekarang tahu bahwa sebelum
menyerangnya, semua anak panah yang dibawa oleh anak
buah bajak ini telah dilumuri racun hitam oleh Liok Kong Ji.
Alangkah kejinya orang berhati iblis itu !
Melihat betapa dengan dayungnya Tiang Bu dapat
menangkis dan malah mengoper semua anak panah, para
bajak tidak berani me nyerang dengan anak panah. Serangan
pertama tadi saja sudah mengorbankan nyawa seorang
kawan sendiri dan mereka kini berputar-putar mengelilingi
perahu, menanti saat datangnya aba-aba dari pemimpin
mereka yang sedang memutar otak untuk mengatur
serangan- se rangan barikutnya.
Tiang Bu tetap berdiri di kepala perahu, dengan
dayungnya disentuhkan ke air ia menjaga supaya perahunya
38 tetap di tangah-tengah. Ia keli hatan gagah dan tegap, tenang dan waspada, me mbuat para bajak memandang je rih.
Mereka semua tahu bahwa kali ini biarpun mere ka terdiri
dari belasan orang mengepung hanya seorang pemuda,
namun tugas mereka jauh le bih berat dari pada kalau
mereka ditugaskan membajak sebuah kapal yang dijaga olek
sepasukan tentara. Kembali pemimpin bajak bersuit. Suitan-suitan yang
berbeda-beda sudah merupakan tanda tersendiri.
Mendengar suitan ini, semua anak buah bajak
mengeluarkan dua macam senjata. Di tangan kiri memegang
sebuah galah ujungnya dipasangi kaitan besi sedangkan di
tangan kanan memegang se buah tombak yang runcing. Baik
tombak maupun gala kaitan itu panjangnya ada tiga tombak.
Melihat ini, Tiang Bu maklum bahwa mereka hendak
menyerangnya dengan tombak dan me ncoba untuk mengait
dan menggulingkan perahunya. Ia pikir bahwa kalau mereka
berani menyerangnya dengan dua macam senjata itu, ia
sama sekali perlu takut karena dengan mudah dapat
merampas semua senjata mereka dan menggunakan senjata-
senjata panjang i tu untuk menghajar mereka.
Perahu-perahu itu mulai mendekat sampai pada jarak
delapan tombak. Tiba-tiba dari mas ing-masing perahu, dua
orang bajak loncat ke dalam air membawa dua macam
senjata itu terus menyelam. Tiang Bu kaget sekali. Celaka,
pikirnya. Kalau mereka menyerangnya dari bawah dan
menggulingkan perahu, ia bisa tewas !
Cepat Tiang Bu mendayung perahunya mendekati perahu
sebelah kiri. Benar saja dugaannya. Tiba-tiba perahunya
be rgoyang-goyang dan ternyata telah dikait dari bawah oleh
delapan penye lam itu. Perahunya dibotot-betot dan akhirnya
menjadi miring. Air mulai masuk. Tiang Bu mempergunalean
Chian-kin-kang (Tenaga Seribu Kati) untuk membuat perahu
jangan sampai te rguling, akan tetapi karena air sudah
39 mengalir masuk, ilmunya ini hanya membikin perahu
ambles dan air masuk makin banyak.
Para bajak dari e mpat perahu itu bersorak-sorak melihat
pemuda ini dengan susah payah mempertahankan diri dan
perahunya. Tak lama kemudian perahu Tiang Bu sudah
hampir tenggelam, air sudah mulai membasahi se patu
pemuda itu. Saking gembiranya, para bajak itu kurang waspada dan
tidak dapat menduga apa yang dilakukan Tiang Bu. Tahu-
tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak dapat diikuti
pandangan mata dan pemuda itu sudah meninggalkan
perahunya yang tenggelam, kini sudah berada di perahu
bajak yang berada di sebelah kini. Jarak kurang lebih enam
tombak itu dilompati oleh Tiang Bu dengan amat mudah dan
demikian cepatnya hingga seperti burung walet terbang saja.
Panik terjadi di dalam perahu yang diserbu Tiang Bu.
Untuk me nyerang pemuda yang sudah berada di perahu
mereka ini, tak mungkin menggunakan dua macam senjata
panjang itu. Selagi mereka bingung hendak mencabut golok
dan pedang, Tiang Bu tidak memberi waktu lagi. Pemuda ini
menggerakkan kaki tangannya dan suara berteriak
mengaduh susul- menyusul. Tiga orang anak buah bajak
yang berada di perahu itu terlempar ke dalam air untuk
te rus tenggelam dan te was!
Kembali delapan orang penyelam menyerang perahu
bajak yang kini terampas oleh Tiang Bu. P erahu menjadi
miring dan sebentar saja tanggelam, Tiang Bu
mempergunakan ginkangnya, melompat ke perahu ke dua
dan seperti tadi ia mengamuk merobohkan tiga orang anak
buah bajak yang sama sekali tidak berdaya menghadapi
pemuda sakti ini. Akan tetapi penyelam- penyelam itu tidak
mau memberi kesempatan kepada Tiang Bu untuk
menyelamatkan diri. Mereka menyerbu dari bawah air dan
terpaksa Tiang Bu meninggalkan perahunya lagi, melompat
ke perahu ke tiga. Sekarang tanpa ia turun tangan, dua
40 orang bajak yang berada di perahu itu masing-masing sudah
melompat ke dalam air. Bajak-bajak itu menggunakan s iasat baru. Mereka
be rtekad hendak me nenggelamkan semua perahu agar
pemuda itu tidak mendapat tempat berpijak lagi. Kemball
perahu diserbu dan untuk yang ketiga kalinya Tiang Bu
melompat ke perahu bajak yang ke empat ! Perahu ini
ditumpangi oleh pemimpin bajak bersama dua orang anak
buahnya. Mereka sudah siap-siap dengan golok di tangan
dan pada saat tubuh Tiang Bu melayang, mereka
mamapakinya dengan golok yang dibacokkan kuat-kuat.
Namun bacokan tiga orang ini seperti orang membacok
bayangan saja. Dengan ilmu loncat loh-he (gerakan
membalik) yang disebut Sinliong hoan-Sin (Naga Sakti
Membalikkan Tubuh), tubuhnya membuat salto di udara
dan selagi tiga batang golok itu menyambar, ia sudah
melewati atas kepala mereka dan mendarat di atas perahu.
Tiga orang bajak itu cepat membalikkan tubuh akan tetapi
hanya untuk melihat pemuda itu menggerakkan kedua
tangannya dan.......... mereka terlempar ke dalam air.
Tiang Bu maklum bahwa kalau perahu terakhir ini
tenggelam, ia tidak mempunyai tempat untuk melompat lagi.
Maka cepat ia menggerakkan dayung dan mendayung
perahu itu ke arah daratan. Namun kepandaian berenang
para bajak laut itu benar-benar lihai . Secepat ikan ikan hiu berenang, mereka telah mengejar dan sebelum mencapai
darat, masih ada dua puluh tombak lagi, mereka telah dapat
mengait perahu dari bawah dengan senjata- senjata kaitan
mereka dan cepat membuat perahu itu miring !
(Bersambung jilid ke XXIV.)
41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid XXIV TIANG BU marah sekali. Ia melihat bayangan-bayangan
tak jelas bergerak di dalam air. Dengan tenaga luar biasa
pemuda ini me luncurkan dayungnya ke dalam air
menghantam bayangan itu, di antara para penyelam itu
terkena pukulan dayung yang disambitkan, ke palanya pecah
dan tak lama kemudian mayatnya terapung di permukaan
laut, sebentar tenggelam dipermainkan ombak bersama
dengan mayat-mayat kawannya yang s udah te was ke tika
Tiang Bu melompat-lompat dari perahu ke perahu tadi.
Perahu tetakhir makin miring dan akhirnya tak dapat
ditahan lagi perahu itu tenggelam! Tiang Bu mengerahkan
tenaga. menjejak perahu yang hampir lenyap dari
permukaan air itu dan melompat ke arah darat. Akan tetapi
hanya dapat mencapai jarak sepuluh tombak lagi dari
daratan tubuhnya jatuh ke dalam air.
"Byuuurr......!" Air memercik tinggi dan tubuh Tiang Bu
tidak kelihatan lagi. Hanya kelihatan para anak buah bajak
dengan tombak di tangan kanan dan kaitan di langan kiri
cepat berenang ke arah tempat pemuda itu tenggelam !
1 -oo(mch)oo- Untungnya Bi Li tidak melihat keadaan kekasihnya itu.
Kalau ia menyaksikan betapa kekasihnya terjun ke dalam
laut dan dikejar oleh ahli-ahli penyelam yang bermaksud
membunuhnya, dapat dibayangkan betapa akan hancur dan
bingungnya hati Bi Li. Pada saat Tiang Bu terancam nyawanya Bi Li masih
berlutut di pinggir laut. Sudah lama titik hitam perahu Tiang Bu lenyap dari pandangan matanya dan gadis ini masih
tetap berlutut, hatinya penuh doa untuk keselamatan Tiang
Bu, orang satu-satunya yang ia miliki di dunia ini.
"Bi Li, kau sedang apa di s ini?" terdengar pertanyaan halus yang membuat Bi Li terke jut. Seakan-akan gadis ini
ditarik turun dari angkasa lamunannya. Ia melompat berdiri
dan me mbalikkan tubuh. Ternyata gurunya Ang jiu Mo-li
telah berada di de pannya !
"Bi Li, kau sudah sampai di sini mengapa berlutut dan
seorang diri" Mana Tiang Bu ?" tanya pula Ang-jiu Mo-li
sambil menoleh ke sana ke mari, seakan-akan


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengharapkan akan melihat Tiang Bu berada di sekitar
tempat itu. "Dia sudah berangkat ke Pek-houw to, me ninggalkan
teecu seorang diri di sini ."
"Lho, mengapa begitu" Mengapa kau tidak ikut serta ?"
"Teecu disuruh menanti di sini karena katanya..........
amat berbahaya kalau teecu me nyerbu. Musuh amat lihai
dan dia hendak turun tangan sendiri agar lebih leluasa.
Dia.......... dia melakukan ini untuk menjaga agar teecu tidak terancam bahaya." Bi Li membe la dan melindungi
kekasihnya agar tidak dipersalahkan oleh Ang- jiu Mo-li.
"Hemm, dasar anak muda. Bodoh sekali ! Mati hidup
siapakah yang kuasa mengatur kecuali Thian" Mengapa
2 takut mati kalau sudah berani hidup" Bi Li, calon jodohmu
itu keliru dalam hal ini. Dia hendak me njauhkan kau dari
bahaya, akan tetapi sebaliknya dia membuat kau berada
dalam kegelisahan dan penderitaan batin. Bukankah kau
menderita se kali ditinggalkan tidak tahu bagaimana dengan
nasibnya, bukan ?" Bi Li menundukkan mukanya. "Memang betul.........."
"Dan kau akan suka sekali, rela mati bersama kalau kau
berada di sampingnya, ikut membantunya dalam
penyerbuan ke Pek-hou to, bukan ?"
Kimbali Bi Li mengangguk akan tetapi t idak ada kata-
kata keluar dari mulutoya untuk me mbela Tiang Bu.
"Baik kita susul dia. Kau ikutlah dengan aku."
"Akan tetapi ...... dia sudah pesan supaya teecu menanti
di sini?"" Ang-jiu Mo-li membelalakkan matanya yang masih bagus.
"Hemm..... belum jadi isterinya kau sudah begitu setia dan taat, lebih taat dari pada kepada gurumu.......?"
Bi Li merasa jengah dan malu, hendak berlutut meminta
maaf, akan tetapi tidak jadi ia lakukan ketika mendengar
kata-kata Ang-jiu Mo-li. " Bagus begitu, muridku! seorang wanita harus setia dan taat ke pada suaminya dalam hal
yang sewajarnya. Memang Tiang Bu melarangmu ikut adalah
demi menjaga bese lamatanmu, dan memang ia akan dapat
bergerak lebih leluasa tampa kau di sampingnya yang hanya
akan merupakan gangguan. Kepandaianmu masih jauh kalau harus berhadapan
dangan musuh- musuh itu. Akan tetapi sekarang ada aku di
sampingmu, aku dapat menjagamu baik-baik. Bahkan kita
berdua akan dapat membantu Tiang Bu, kalau-kalau ia
kewalahan menghadapi lawan-lawannya yang memang
be rat." 3 Bi Li lalu menceritakan tent ang tantangan yang ditulis
oleh Liok Kong Ji dan tentang perahu yang dikirim untuk
menjemput Tiang Bu. Ang-jiu Mo-li mengerutkan kening,
"Tiang Bu gegabah sekali. Kalau musuh sudah
mengetahui kedatangannya, itu berarti musuh sudah
bersiap sedia menyambut dengan se gala macam daya. Liok
Kong Ji terkenal jahat dan keji, penuh tipu daya dan
muslihat busuk. Lebih baik menyerbu ke Pek-houw-to
dengan diam-diam. Akan tetapi ini dapat dimengerti. Tiang
Bu seorang pemuda, tentu saja ia tidak tahan menghadapi
tantangan. Mari kita mencari perahu dan segera menyusul."
Bi Li tidak membantah lagi, bahkan diam-diam ia
gembira sekali. Memang sesungguhnya, bagi Bi Li lebih baik
ia ikut dan selalu berada di samping kekasihnya. Lebih baik
mati bersama dari pada hidup terpisah. Se telah pergi
mencari agak jauh dari situ, akhirnya Ang jiu Mo-li dapat
bertemu dengan seorang nelayan miskin yang suka
menyewakan perahu bututnya. Memang semenjak
gerombolan Liok Kong Ji mendiami Pek houw-to, keadaan di
situ sunyi sekali. Para nelayan sama pergi pindah dari situ, kecuali
nelayan nelayan miskin yang hanya mempunyai perahu
butut. Perahu-perahu butut dan nelayan-nelayan miskin
tentu saja tidak ada harganya bagi anak buah Liok Kong Ji
dan karenanya malah tidak akan diganggu.
Tak lama kemudian, Ang-jiu Mo-li dan Bi Li duduk di
dalam perahu butut itu yang mereka dayung perlahan
menuju ke tengah samudera. Ang-jiu Mo li sudah mencari
keterangan sejelasnya tentang letak pulau ini dan sengaja
memutar perahunya dan mendatangi pulau itu dari timur.
`Karena mereka sudah tahu akan kedatangan Taang Bu
dari pantai, tentu penjagaqn mere ka dikerahkan di pantai
pulau sebelah utara. Lebih baik kita ambil jalan dari pantai
timur dan masuk dari pintu belakang," kata Ang-jiu Mo li
yang bersikap hati-hati sekali, tidak se perti biasanya. Ini
4 adalah karena Ang-jiu Mo-li maklum akan kelihayaian
lawan-lawannya yang berada di Palau Pek houw-to, sama
sekali tidak bole h dibandingkan dengan lawan-lawan yang
pernah dia jumpai dan pernah ia tandingi.
Mari kita mengikuti pengalaman Tiang Bu yang sedang
menuju ke Palau Pek-houw-to untuk melakukan
perhitungan dengan musuh-musuh besarnya. Seperti telah
diceritakan bagian depan, perahu yang ditumpangi oleh
Tiang Bu dihadang ol eh bajak-bajak anak buah Liok Kong Ji
dan dikurung. Setelah melakukan pertempuran hebat di atas
perahu, akhirnya bajak-bajak itu menenggelamkan semua
perahu sehingga terpaksa Tiang Bu melompat ke darat.
Namun, betapapun tinggi kepandaian pemuda ini,
lompatannya tidak mencapai darat yang masih amat
jauhnya sehingga ia tercebur ke dalam air. Tubuhnya
tenggelam dan para anak buah bajak itu dengan tombak di
tangan cepat berenang ke arah tempat pemuda itu
tenggelam. Para bajak itu berteriak-teriak girang, tombak di
tangan kiri siap untuk merobek-robek tubuh pemuda itu
untuk mencari pahala. Memang baik sekali tadi Tiang Bu tidak mengajak Bi Li.
Andaikata kekasihnya itu ikut dan sekarang be rsama dia
tercebur ke dalam air, tentu payah keadaan mereka. Kini
Tiang Bu yang merasa tubuhnya tenggelam, ia cspat
mengenjot kakinya ke bawah. Bagaikan didorong oleh tenaga
raksasa tubuhnya mumbul lagi ke permukaan air.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Tiang Bu untuk
menyedot hawa udata. Kemudian ia membiarkan kedua
kakinya lurus sehingga tubuhnya tenggelam lagi ke bawah.
Para bajak melihat ini mengira bahwa Tiang Bu memang tak
be rdaya di air, makin bernafsulah mereka, bere nang
menghampiri. Memang s esungguhnya Tiang Bu tidak pandai berenang.
Akan tetapi ia memiliki lweekang yang sudah mencapai
tingkat yang sukar diukur lagi tingginya. Dengan mengisi
5 paru-paru dengan hawa udara, ia sanggup bertahan tidak
bernapas sampai lama sekali. Ia seorang cerdik yang tabah.
Ia tahu bahwa kalau ia menjadi gugup, ia akan tewas oleh
bajak-bajak itu dan pandai bermain di air. Oleh karena itu ia bersikap tenang, mengisi dada penuh hawa lalu membiarkan
tubuhnya tenggelam. Setelah kedua kakinya mencapai dasar
laut yang sudah tak begitu dalam lagi karena dekat pantai,
Tiang Bu lalu menggerakkan kedua kakinya berjalan menuju
ke daratan ! Sepasang matanya yang terlatih baik itu dapat
melihat ke depan, ia berjalan terus dengan tenang dan, siap
menanti serangan lawan. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya para
bajak itu. Ketika mereka ini mengejar dan menyelam ke
bawah, mereka melihat orang yang dikejarnya itu "berjalanjalan" di atas dasar laut seperti orang berjalan jalan makan angin di taman bunga saja ! Untuk sejenak mereka tidak
tahu apa yang harus mereka lakukan. Akan tetapi yakin
akan kepandaian sendiri bermain di dalam air para anak
buah bajak itu beramai lalu menyerbu, menyerang Tiang Bu
dengan tombak dan kaitan mereka. Mereka pikir bahwa di
dalam air tidak mungkin pemuda it u masih selihai di darat.
Akan tetapi perhitungan mere ka jauh meleset. Memang
tak dapat disangkal lagi bahwa kalau ia disuruh berenang
atau menyelam bermain seperti ikan di dalam air, Tiang Bu
akan angkat tangan tidak sanggup.
Akan tetapi sekarang soalnya lain lagi. Pemuda itu bukan
berenang atau menyelam, melainkan tenggelam begitu saja
dan berdiri di atas dasar air laut yang sudah berada di tepi, agak dangkal dan tidak besar ombaknya. Berkat khikang
dan lweekangnya yang sudah sempurna, Tiang Bu dapat
menahan napas dan dapat memberatkan tubuh sehingga
dapat be rgerak lebih leluasa dari pada penyelam atau ahli
berenang yang manapun juga !
Melihat datangnya serangan tombak dan kaitan, Tiang
Bu tidak gentar sama sekali. Dengan kedua tangannya ia
6 menyambar, menangkapi ujung tombak dan sekali ge ntak
saja orang-orang itu sudah terdorong jauh sekali. Sedanglan
di darat saja mereka itu bukan apa-apa bagi Tiang Bu, apa
lagi di dalam air. Tubuh dan berat badan mereka itu tidak
seberapa, tentu saja dengan mudah mereka dapt dibikin
kocar-kacir. Bahkan ada yang terkena pukulan dan turukan
tombak se ndiri, membuat mereka terapung ke permukaan
air dalam keadaan terluka berat.
Para bajak Itu menjadi gentar dan tidak berani lagi
menyerang, membiarkan pemuda "berjalan.jalan" menuju ke
pantai. Air makin lama makin dangkal sampai akhirnya
Tiang Bu tiba di pinggir daratan yang dalamnya hanya
sampai ke le her. Dengan girang ia melihat daratan di depan
mata, dapat ia mengambil pernapasan. Hatinya lega. Se telah
tiba di darat, ia tak usah khawatir lagi akan keroyokan
musuh. Tadipun ia masih untung karena yang
mengerojoknya di dalam air hanya baj ak bajak dengan
kepandaian biasa saja. Kalau ia bertemu dengan orang
pandai di dalam air, tentu ia tak dapat melakukan
perlawanan sebagai mana mestinya.
Akan tetapi, begitu ia melompat ke darat ia telah
dihadang oleh seorang pesuruh Liok Kong Ji yang
memegangi sebuah perahu. Pesuruh itu menjura di depan
Tiang Bu lalu berkata. "Hamba diutus oleh Liok-taihiap untuk mengganti perahu
kongcu yang sudah tenggelam. Kalau kongcu hendak
bertemu de ngan Liok taihiap, kongcu dinanti di ujung pulau
ini. Karena perjalanan melalui darat amat sukar dan
khawatir kongcu, sesat jalan, maka perahu ini sengaja
disediakan untuk kongcu. Dengan me ndayung perahu ini
sepanjang pantai terus ke sana, dalam waktu satu jam
kongcu akan tiba di tempat Liok tai hiap. Demikianlah pesan
taihiap, kecuali kalau kongcu sudah kapok dan takut naik
perahu, kongcu persilahkan mengambil jalan darat yang
le bih jauh dan sukar."
7 Tiang Bu mendongkol sekali. Ia tak beleh percaya
omongan seorang utusan Liok Kong Ji, akan tetapi e mbe l
embel dalam ucapan tadi yang menyatakan bahwa kalau ia
takut naik perahu ia dipersilahkan melalui darat,
memanaskan perutnya. Mengapa ia harus takut"
Ia tersenyum mengejek. "Siapa sih yang takut
menghadapi segala bajak tiada guna" Kalau menantangku
naik ke perahu, baik. Aku akan naik perahu ini."
Setelah berkata demikian, Tiang Bu melompat ke dalam
perabu itu dan mendayung agak ke tengah. Perahu itu
mungil dan enak dayungannya, maka Tiang Bu tidak
mengkhawatirkan sesuatu. Dengan hati-hati akan tetapi
cepat ia mendayung perahu itu. Pantai pulau selalu berada
di sebelah kirinya dan ia menuju ke ujung pulau yang tadi
ditunjukan oleh pesuruh yang membawa perahu.
Pantai yang tadinya berpasir berganti pantai yang terhias
tetumbuhan, pohon-pehon dan batu karang. Batu-batu
karang dan pohon-pohon besar berdiri di tepi pantai, tempat
ini amat baiknya untuk orang bersembunyi memasang
barisan pendam. Tiang Bu melirik dan ia berlaku makin
hati-hati. Ia maklum sekali bahwa kalau fihak musuh
hendak membokongnya, tempat inilah kiranya yang paling
baik dan tepat. Ia sengaja mendekatkan perahu agak ke
pinggir untuk menjaga agar ia mudah mendarat kalau
sampai terjadi apa-apa. Tiang Bu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi,
sepasang mata yang tajam bersinar aneh mengi ntainya
dengan penuh kebencian. Inilah mata Liok Cui Kong yang
sejak tadi sudah me ngamat-amati gerak- ge rik musuh
besarnya. Akan tetapi hatinya terlalu pengecut untuk
muncul begitu saja, maklum bahwa terhadap Tiang Bu ia
tidak berdaya sedikitpun juga. Di belakangnya juga
sembunyi banyak kawannya, di antaranya Lam-thian-chit-
ong akan tetapi mereka inipun tidak mau berge rak sebelum
menerima tugas. 8 Ketika Cui Kong sedang memutar otak bagaimana harus
menyerang musuhnya itu, tiba-tiba ia melihat Tiang Bu
mendekatkan perahunya ke pantai. Girang sekali hati Cui
Kong ia mendapat jalan untuk menyerang lawannya. Dengan
pengerahan tenaga sepenuhnya, pemuda jahat ini
mengangkat sebuah batu karang besar sekali dan beratnya
ada lima ratus kati lebih. Ia memasang kuda-kuda,
menggerakkan tangan dan tubuh dan.......... sekali lontar
batu itu melayang jauh menuju ke depan perahu yang
ditumpangi Tiang Bu ! Memang Cui Kong pintar sekali. Ia tahu bahwa perahu
itu bergerak ke depan dan Tiang Bu memiliki tenaga yang
luar biasa, sehingga kalau ia melontarkan batu ke arah
perahu, tipis sekali kemungkinan akan mengenai perahu
dengan tepat. Oleh karena itu ia sengaja membidik ke depan
perahu dan memang perhitungannya tepat sekali. Batu itu
besar dan berat, dilontarkan dengan tenaga lweekang yang
sudah terlatih, maka luncurannya tidak kalah lajunya
dengan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya !
Kalau diserang seperti ini di darat, tentu Tiang Bu akan
memandang ringan saja, akan tetapi sekarang ia berada di
atas perahu yang sedang me luncur di atas air ! Namun,
karena dia memang sudah siap dan waspada, ia tidak
sampai kena bokong, tidak menjadi gugup. Melihat
datangnya batu besar itu hendak menimpanya, Tiang Bu
mendahului dengan gerakan melompat yang indah dan cepat
sekali, bahkan kecepatannya melebihi ke cepatan batu.
Memang hampir tak dapat di percaya oleh Cui Kong
ketika pemuda ini melihat betapa Tiang Bn melesat ke atas
sebelum batu itu menimpa perahu dan Tiang Bu malah


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menginjakkan kaki ke atas batu itu dan dipergunakan
sebagai batu loncatan ke daratan ! Hampir bersamaan
waktunya, ketika batu besar itu menimpa perahu sampai
hancur lebur, Tiang Bu juga sudah tiba di darat dengan
selamat ! 9 "Hebat......!" para anggauta Lam-thian-chit-ong berseru
memuji, lupa bahwa yang mereka puji adalah musuh.
Memang, kepandaian yang sudah diperlihatkan oleh Tiang
Bu tadi benar-benar hebat dan mengagumkan.
Sementara itu, melihat Cui Kong, sudah gatal-gatal
tlangan Tiang Bu hendak menyerang. "Cui Kong, manusia
iblis! Sekarang kita sudah berhadapan satu dengan yang
lain, kalau kau benar jantan jungan main curang, mari kita
mengadu tenaga sampai seorang di antara kita menggeletak
tak bernyawa. Ucapan ini dikelurkan oleh Tiang Bu dengan
sikap tenang, akan tetapi mengandung tantangan dan
ancaman yang membuat nyali Cui Kong mengecil. Biarpun
begitu, Cui Kong yang cerdik dan penuh akal bulus ini
segera me nyambut tantangan Tiang Bu dengan ketawa
mengejek, "Ha-ha ha, Tiang Bu manusia sombong. Kau datang hanya untuk mengantar kematianmu di sini. Kaulihat tujuh orang gagah ini " Mereka
adalah paman-pamanku, Lam-thian-chit-ong yang terkenal dengan Chit- seng-tin mereka ! Apa kau
berani menerjang barisan mereka" Ha.ha-ha, Tiang
Bu. Kau takkan dapat keluar dari kurungan Chit-seng-tin dengan tubuh bernyawa !" Memang Cui Kong patut menjadi pute ra angkat Liok Kong Ji. Pemuda ini memi liki siasat yang lihai dan otaknya dapat
10 dengan cepat mengatur tipu daya. Kegagalannya menyerang
Tiang Bu dengan batu tadi membuat ia makin insyaf bahwa
menghadapi Tiang Bu bukanlah pekerjaan ringan. Maka ia
cepat mengajukan Lam thian-chit-ong untuk dapat menahan
musuh itu untuk sementara sedan Ian dia dapat
mendatangkan bala bantuan.
Oleh karena memang ia tadi mengajukan Lam-thian-chit-
ong hanya untuk dapat mele paskan diri dari ancaman Tiang
Bu, begitu melihat tujuh orang pembantu ayahnya itu
be rge rak membentuk barisan dan menghampiri Tiang Bu,
Cui Kong diam diam menyelinap pergi untuk memberi
laporan kepada ayah dan gurunya. Akan tetapi ia
mendapatkan ayahnya dan gurunya juga sedang dalam
keadaan panik. Semua tenaga di atas pulau dikerahkan
untuk melakukan penjagaan dan Liok Kong Ji berdua Lo
thian-tung Cun Ga Tosu sudah dalam keadaan bersiaga
dengan sejata di tangan, wajah mereka tegang!
Setelah Cui Kong menyelidiki, baru dia tahu bahwa ada
penjaga melapor akan datangnya serbuan Wan Sin Hong dan
kawan-kawannya ke pulau itu mereka masih dalam
perjalanan akan tetapi tak lama lagi, mungkin pada hari itu
atau besok hari, akan tiba di pulau ini. Cui Kong mengetuh.
"Celaka benar, mengapa mereka bisa datang dalam
waktu yang sama" Ayah, sekarang Tiang Bu juga sudah
mendarat, untuk sementara dilayani oleh Lam-thian-chit-
ong. Aku cepat pulang untuk melapor bahwa usahaku
membikin dia mampus dalam perahu sia-sia belaka."
Liok Kong Ji mengerutkan alisnya. "Kalau anak setan itu
tak dapat dibinasakan cepat -ce pat dan Sin Hong keburu
datang, kita bisa me nghadapi lawan yang sangat berat. Mari
kita gempur dulu bocah murtad itu, baru kita himpun
tenaga untuk menghadapi Wan Sin Hong yang kabarnya
datang bersama tokoh-tokok kang-ouw."
Cepat Kong Ji mengajak Cun Gi Tosu dan Cui Kong ke
tempat di mana Tiang Bu tadi dikeroyok oleh barisan Lam-
11 thian-chit-ong. Mereka melakukan perjalanan cepat sekali
karena khawatir kalau-kalau Lam-thian-chit -ong tidak kuat
menanggulangi amukan Tiang Bu yang mereka semua sudah
kenal kelihaiannya. Ke khawatiran mereka memang tidak berlebihan. Tiang
Bu yang menghadapi tujuh orang berpakaian aneh itu
be rlaku teneng sekali bahkan sekali li rik ke arah kedudukan mereka saja, tahulah pemuda ini bahwa barisan Chit-seng-tin (Barisan Tujuh Bintang, mereka itu mudah saja
pemecahannya. Namun, ia maklum pula bahwa s iapa yang
belum pernah mempelajari kitab-kitab seperti Sen thian-to
dan Thian-te Si-keng, memang akan mengorbankan waktu
berpuluh tahun untuk me nciptakan barisan seperti yang
sekarang diatur ole h tujuh orang berpakaian aneh ini. Maka
ia menghela napas panjang. Orang orang ini sudah bersusah
payah menciptakan barisan, yang dalam kalangan kang-ouw
tentu me rupakan barisan istimewa yang sukar dilawa.
Sebetulnya sayang juga kalau usahanya sedemikian sukar
dan lamanya kini dilenyapkan begitu saja.
"Chit-wi loenghiong (tujuh orang tua gagah),
sesungguhnya di antara aku dan chit-wi tidak ada
perhitungan apa-apa yang patut diperhitungkan dengan
pertempuran, tidak pernah ada permusuhan. Melihat
barisan chit-wi ini, berpusat pada Li-se ng (Bintang Wanita)
dan Nam-seng (Bintang Pria) dan bersumber pada
pertukaran te rtentu dari pada Im Yang. Cambuk di tangan
kanan cu-wi (saudara sekalian) itu mewakili Im-kang (tenaga
le mas) dan pisau pendek itu mewakili Yang-kang (tenaga
kasar). Ditilik demikian, barisan cu-wi ini di ciptakan oleh
seorang yang sudah tahu akan hukum alam, tahu pula akan
pekerjaan Im Yang. Tidak amat sayangkah kulau sekarang
dipergunakan untuk membantu manusia jahat se perti Liok
Kong Ji dan untuk mengeroyok orang yang sama sekal i tidak
ada hubungan atau permusuhan dengan cu-wi" Ingat, lebih
12 baik pikir masak-masak sebelum bertindak dari pada
menyesal setelah terl ambat !"
Dua orang di antara mereka, yang berpakaian putih dan
hitam me lengak dan saling pandang. Mereka kagum dan
heran bukan kepalang mendengar ucapan pemuda ini yang
sekali lirik saja sudah dapat menge nal inti dari pada Chit
seng-tin mereka ! Akan tetapi lima orang yang lain lebih
merasa marah dari pada kagum. Mereka marah dan
mendongkol sekali, apa lagi yang berpakaian merah. Dengan
keras ia membentak s ambil menudingkan pisaunya,
"Bocah sombong ! Kami tidak minta petuah darimu.
Kalau kau takut menghadapi Chit-seng-tin kami, lebih baik
te rus terang saja dan lekas kau minggat dari sini, tak usah
banyak mengoceh seperti burung mau mati."
Dalam hal me ngendalikan perasaan, tentu saj a Tiang Bu
menang jauh. Pemuda ini setelah memperdalam
kepandaiannya dari kitab Seng thian-to, me moperoleh
kemajuan hebat se kali lahir batinnya. Ia tersenyum saja
mendengar bentakan si baju merah dan kembali menarik
napas panjang. "Memang tepat sekalt kalian mengatur pembagian warna.
Warna merah itu bersifat penuh semangat, panas dan
menjadi sifat dari pada api. Dan orang yang memakai warna
ini memang cocok, telinganya mudah me rah, otak mudah
sinting." Si baju merah menjadi makin marah. Dia memang
merupakan pimpinan barisan itu, maka segera ia memberi
tanda kepada kawan-kawannya dengan gerakan cambuknya
ke atas sambil memaki, "Setan cilik, kau sudah bosan hidup !"
Melihat isyarat yang diberikan oleh saudara tua it u,
semua anggauta Chit-seng-tin bersiap s iaga dengan se njata
mereka dan mulai mengurung Tiang Bu. Akan tetapi si baju
13 putih dan si baju hitam nampak ragu-ragu. Si baju putih
berkata, "Ang-ko ( kakak merah ), bocah ini t ahu akan sifat tin
kita, jangan jangan kita memukul orang segolongan !"
"Be tul, Ang-ko, dia begitu tepat bicara tentang keadaan
tin kita. Apakah tidak lebih baik berunding saja ?" kata si
hitam. "Tutup mulut, dia musuh Liok-taihiap. Kewajiban kita
untuk membasminya. Serbuuu!" kata si baju me rah.
Tin itu mulai be rgerak dan menurut isyarat si baju
merah, tin itu membentuk gerakan Tujuh Bintang Berpindah
Tempat. Barisan ini bergerak cepat dan melenggang-lenggok
seperti naga berjalan, sukar sekali diduga le bih dulu ke
mana seorang-seorang hendak bergerak. Tahu-tahu cambuk
panjang mereka berbunyi dan susul menyusul menyambar
ke arah kepala Tiang Bu ! Ini masih ditanjutkan dengan
sambitan pisau yang dipergunakan sebagai senjata rahasia.
Tujuh batang pisau kecil runcing melayang ke arah tuhuh
pemuda yang masih tenang-tenang itu sebagai penyerangan
susulan dari tujuh ujung cambuk yang menyambar dari
segala jurusan mengarah jalan darah.
Tiang Bu dalam menghadapi serangan hebat ini, masih
dapat membedakan dan dapat melihat bahwa ujung cambuk
kedua orang berpakaian putih dan hitam itu hanya
meyambar ke arah jalan darah di pundaknya, bagian yang
tidak berbahaya bagi kese lamatan nyawanya. Juga pisau-
pisau me reka itu hanya melayang ke arah kedua pahanya,
tidak seperti lima orang yang lain. Lima orang lawan yang
lain ini mengirim senjata-senjata mereka, baik cambuk
maupun pisau, ke arah bagian yang me matikan.
Menghadapi serangan berantai yang berbahaya ini, Tiang
Bu berlaku tenang sekali akan tetapi tubuhnya segera
bergerak dan empat kaki tangannya bekerja dengan tepat
sekali. Tujuh orang lawannya menjadi te rheran heran karena
14 sebelum cambuk mereka mengenai tubuh pemuda it u,
sudah lebih dulu tertolak kembali oleh semacam hawa
pukulan sakti yang keluar dari kaki tangan itu. Sedangkan
tujuh batang pis au itupun runtuh semua di atas tanah
tanpa melukai kulit atau merobe k baju. Sambil terus
menggerak-ge rakkan kaki tangannya, Tiang Bu berkata
seperti orang bernyanyi. "Bintang-bintang di langit sudah mempunyai jalan
sendiri maka dapat bergerak menurut jalannya dan
terhindar dari kehancuran. Hanya bintang yang
menyeleweng dari jalannya akan hancur. Masih ada
kesempatan bagi kalian, mati hidup ditentukan oleh Thian
akan tetapi sebab-sebabnya ditentukan oleh manusia sendiri
sebagai akibat perbuatannya!"
Setelah berkata demikian, iapun sudah selesai
menangkis semua pakulan cambuk dan Tiang Bu
malangkah mundur tiga tindak, berdiri tegak dan
memandang ke arah musuh-musuhnya dengan mata tajam.
Tidak terdesak, tapi mundur tiga tindak itu hanya boleh
diartikan sebagai gerak mengalah dalam pertandingan silat,
mengalah bukan karena terdesak atau kalah, melainkan
karena pemuda ini enggan menurunkan tangan kepada
orang orang yang tidak ada permusuhan dengannya.
Kalau si baju merah dengan kawan-kawannya itu orang
baik-baik, tentu mereka tahu diri ! Melihat betapa pisau
pisau mereka tadi runtuh dan cambuk mereka terpental
kembali se belum menyentuh kulit tubuh Tiang Bu,
seharusnya mereka maklum bahwa tingkat mereka masih
jauh di bawah tingkat pemuda luar biasa ini. Akan tetapi
Lam thian chit-ong ini semenjak dahulu terkenal sebagai
pe rampok-perampok jahat yang tidak tahu artinya takut,
tidak mau pula mengenal kesalahan sendiri, maunya
menang saja, benar ataupun salah. Mendengar ucapan Tiang
Bu itu si baju merah tidak mau insyaf, malah mengira
bahwa Tiang Bu merasa jerih menghadapi pengeroyokan tin
15 mereka. Ia ke mbali memberi isyarat dan majulah barisan itu,
kini berbentuk lingkaran yang mengurung Tiang Bu.
Hanya si baju hitam dan si baju putih yang masih ragu-
ragu. Mereka bergerak lambat dan tidak segera menyerang.
Yang lain-lain sudah mulai mengayun cambuk dan
mengerahkan seluruh tenaga lweekang untuk melakukan
serangan. Tidak seperti tadi, kini semua cambuk diarahkan
ke bagian kepala Tiang Bu dengan pukulan maut ! Hanya si
baju hitam dan si baju putih yang tidak mau menyerang
ke pala hanya menyabet ke arah pundak.
"Kalian sudah memilih jalan hidup dan mati, jangan
salahkan aku !" bentak Tiang Bu tanpa menggerakkan kaki
atau tangannya. Akan tetapi setiap kali ada cambuk
menghantam kepalanya, tangannya bergerak cepat sekali
dan aneh sekali.....! Cambuk yang menyambarnya itu
bagaikan bisa bergerak sendiri, ujungnya membalik secepat
kilat dan menyerang si pemegang tepat nada bagian yang
tadi hendak dtserangnya. Si baju merah yang gerakan
cambuknya paling cepat dan paling dulu, menjadi korban
pertama. Cambuk si baju merah tadi menyambar ke arah ubun-
uban kepala Tiang Bu dan ketika ujung cambuk bertemu
dengan jari tangan pemuda itu, secepat kilat cambuk ini
membatik dan ujungnya menghantam ubun-ubun kepala si
baju merah sendiri dengan tenaga yang jauh lebih hebat dari
pada tadi. Hal ini kare na tenaga si baju merah me mbalik,
ditambah oleh tenaga sentilan j ari tangan Tiang Bu. Tanpa
dapat mengeluarkan suara lagi, si baju merah terguling
roboh dengan ubun-ubun kepala pecah oleh cambuknya
sendiri dan ia menggeletak tak bernyawa lagi.
Oleh karena gerakan tujuh orang ini hampir berbareng,
yang lain-lain tak sempat mel ihat akibat yang hebat ini
karena mereka sendiripun secara susul menyusul dan


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir berbareng mengalami akibat itu dari cara pukulan
masing-mas ing. Si baju hijau juga roboh dengan ubun-ubun
16 bolong, si baju biru roboh dengan jidat remuk demikian pula
yang lain lain, roboh tak bernyawa pula. Hanya si baju hitam
dan si baju putih yang roboh tanpa kehilangan nyawa
karena mereka ini hanya terserang oleh cambuk sendiri di
bagian pundak saja, membuut tulang pundak mereka remuk
namun tidak sampai mengakibatkan kematian.
Tiang Bu menarik napas panjang melihat lima orang
lawannya tewas dan dua yang lain merintih-rintih kesakitan.
"Kal ian masih ditakdirkan hidup. Kalau tadinya kalian
berdua merupakan Hek-pek-mo (Iblis Hitam dan Putih),
kuharap sungguh agar kelak kalian bisa menjadi Hek-pek-
cinjin (Budiman Hitam Putih). Pergil ah sebelum kalian
mengalami bencana lebih besar." Tiang Bu memberi dua
bungkus obat ke pada mereka dan dua orang saudara hitam
dan putih ini segera pergi dengan muka pucat. Mereka
maklum bahwi kalau Liok Kong Ji melihat mereka masih
hidup, tentu akan timbul kecurigaan dan bukan hal aneh
kalau mereka juga akan dibunuh sekalian oleh Liok Kong Ji.
Demikianlah, ketika Liok Kong Ji, Cun Gi Tosu, dan Liok
Cui Kong tiba di tempat mereka hanya melihat lima orang
anggaota chit ong yang sudah menjadi mayat. Dua orang lagi
yang berpakaian hitam dan putih tidak kelihatan, juga Tiang
Bu tidak berada di situ. "Hemm, agaknya mereka ini bukan lawan Tiang Bu," kata Liok Kong Ji, suaranya terdengar tenang akan te tapi
sebetulnya jantungnya sudah be rdebar tidak karuan. Cui
Kong menjadi pucat sekali.
"Ke mana Hok-pek-hu (paman Hitam) dan Pek-pet-hu
(paman Putih)?" tanyanya dan suaranya jelas menggigil
ke takutan. "Penakut!" Kong Ji me mbentak sambil meludah. Hatinya mendongkol sekali mendengar suara Cui Kong yang
menggigil, "Mereka tentu sudah lari. Mengapa kau begitu
ketakutan?" 17 "Ayah.......... Tiang Bu begitu.......... begitu keji dan kuat........."
"Pengecut! Kaukira aku tidak dapat melawannya" Lihat
saja nanti aku akan mencabut isi perut anak durhaka ini!"
Memang Liok Kong Ji tidak hanya menyombong dan bicara
untuk membesarkan hati. Semenjak tinggal di pulau ini, ia
telah melatih diri dengan tekun sekali. Apa lagi ia telah
mempelajari ilmu dari kitab DELAPAN JALAN UTAMA yang
didapatkannya dari Toat-beng Kui-bo. Dari kitab ini ia
memperoleh kemajuan ilmu lwee-kang yang luar biasa, juga
ilmu pedangnya me njadi makin kuat, maka ia menaruh
kepere ayaan bahwa ini kali ia akan dapat mengalahkan
musuh-musuhnya, baik Wan Sin Hong maupun Tiang Bu.
"Cun Gi totiang kedatangan Wan Sin Hong tentu untuk
minta kembali puterinya. Kalau mereka bergabung dengan
Tiang Bu, keadaan musuh akan menjadi lebih kuat. Oleh
karena Leng ji merupakan senjata terakhir kita, dia itu
penting sekali dan jangan sampai terampas oleh musuh.
Harap totiang segera mengambil anak itu lebih dulu sebelum
kita menghadapi musuh. Kalau keadaan musuh terlampau
kuat, mungkin bocah itu akan dapat menyelamatkan kita."
Cun GI Tosu juga percaya akan kepandaian sendiri. Dia
tidak takut berhadapan dengan musuh, akan tetapi i a pikir
ucapan Liok Kong Ji ini memang tepat, mengandung
kecerdikan luar biasa. Maka ia mengangguk dan berkelebat
pergi. Mengagumkan sekali kalau me lihat kakek yang
kakinya tinggal sebelah itu "berlari" se cepat itu, seperti orang yang tidak cacad saja, bahkan melebihi ahli ginkang yang
kakinya masih utuh. Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong juga pergi dari situ untuk
mengatur penjagaan dengan mengerahkan semua penjaga
yang berada di pulau itu. Akan tetapi dapat dibayangkan
betapa kekagetan dan kegelisahan hati mereka ketika
melihat di sana-sini para penjaga menggeletak dalam
keadaan tertotok atau terluka .
18 "Ki ta harus membantu Cun Gi totiang," kata Liok Kong Ji
sambil mencabut pedang. "Jangan sampai dia roboh oleh
musuh, apa lagi jangan sampai Leng-ji dirampas. Dengan
berkumpul kita bertiga cukup kuat!"
Ayah dan anak ini dengan hati dag-dig-dug berlari-larian
cepat menyusul ke tempat tinggal Cun Gi Tosu karena Leng
Leng memang disembunyikan di situ, dikawani beberapa
orang pe ngasuh. Ketika mereka tiba di de pan pondok tempat
tinggal Cun Gi Tosu, betul saja tosu itu sedang mati-matian
be rtempur melawan Tiang Bu! Cun Gi Tosu mainkan
tongkatnya secara hebat dan dahsyat, dan Tiang Bu
menghadapinya, dengan tangan kosong.
Bagaimana Tiang Bu bisa muncul di situ dan bertempur
dengan Cun Gi Tosu" Tadinya Cun Gi Tosu berlari cepat
menuju ke pondoknya untuk mengambil Le ng Leng, dan di
dalam hatinya ia sudah mempunyai muslihat licik. Ia adalah
guru Leng Leng dan melihat Leng Leng dalam keadaan
selamat, tentu Wan Sin H ong takkan terlalu mendesaknya.
Kalau ia menukarkan Leng Leng dengan keselamatannya,
masa Wan Sin Hong takkan mau menerimanya"
Akan tetapi ketika ia sedang berjalan cepat sampai di
de pan pondoknya, dari balik rumpun bambu berkelebat
bayangan lain yang segera menegurnya, "Cun Gi totiang
perlahan dulu !" Cun Gi Tosu berhenti dan memandang. Di depannya
berdiri seorang pemuda dengan sepasang mat a seperti
bintang pagi, bibir tebal membentuk watak teguh dan iman
kuat. "Siapa kau" Mau apa?" Cun G i Tosu membentak.
"Cun Gi totiang. Se lama hidupku, baru untuk kedua kali
ini aku bertemu dengan totiang yang bercacad, sebetulnya
patut dikasihani. Sayangnya, perbuatan totiang yang tidak
patut menditangkan kebencian yang lebih besar dari pada
rasa kasihan ke pada tubuh totiang."
19 "Eh, bocah lancang. Kau siapakah dan apa artinya semua
ocehanmu tadi?" Cun Gi Tosu membentak marah, namun
hatinya sudah dapat menduga siapa adanya bocah yang
begitu berani mampus, datang-datang mencelanya.
"Aku yang muda dan bodoh bernama Tiang Bu, dahulu
ketika masih kecil pernah melihat totiang ikut menyerbu
Omei-san dan mencuri kitab-kitab dari suhu."
"Ho ho, jadinya kau ini murid Omei san" Dan kau datang
hendak minta kembali kitab kitab Omei-san ?" kali tosu itu membesarkan hatinya.
"Bukan itu saja, totiang. Selain minta kitab juga aku
tidak dapat membiarkan kejahatanmu yang lain-lain. Kau
sudah membantu manusia-manusia jahat macam Liok Kong
Ji dan Liok Cui Kong. Juga kau sudah menculik anak dari
Wan-taihiap ..... " "Bocah keparat, jadi kau anak durhaka dari Liok-tai hiap"
Alangkah memalukan punya anak macam kau. Rasakan
tongkatku !" Dengan marah Cun Gi Tosu mengayun tongkatnya
melakukan serangan kilat dengan tongkatnya ke arah kepala
Tiang Bu. Memang tadinya tosu ini sudah sering mendengar
dari Liok Kong Ji dan Cui Kong tentang kelihaian Tiang Bu,
akan tetapi sekarang melihat bahwa Tiang Bu hanya pemuda
yang tidak lebih usianya dari pada Cui Kong muridnya, ia
memandang ringan. Apa lagi ia melihat pemuda ini
be rtangan kosong dan tongkatnya mendapat julukan Lo-
thian-tung (Tongkat Pengacau Langit), maka serangannya ini
hebat bukan main. Cun Gi Tosu mengira bahwa sekali pukul
ia akan dapat membikin mampus lawan muda ini. Ilmu
tongkatnya memang hebat, pukulannya mengandurg tenaga
lweekang hampir seribu kati dan sukar sekali die lakkan
lawan, apa lagi ditangkis.
Akan tetapi, alangkah heran dan juga gembira hatinya
ketika ia melihat bocah itu mengangkat tangan kanan dan
20 hendak menangkis pukulan tongkat itu dengan telapak
tangan ! "Ha-ha, remuk tulang-tulangmu !" bentak Cun Gi Tosu
sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Tak dapat tidak,
pikirnya, tangan pe muda goblok ini pasti remuk. Jangankan
baru telapak tangan orang lagi masih muda, senjata baja
yang bukan pusaka ampuh tentu akan patah-patah atau
hancur ! Sama sekali Cun Gi Tosu tak pernah mimpi bahwa ia
tidak menghadapi seorang manusia dengan kepandaian silat
biasa, melainkan menghadapi seorang ahli waris langsung
dari Omei-san, murid Tiong Sin Hwesio pewaris Tat Mo
Couwsu dan Tiong Sin Hwesio pewaris Hoat Hian Couwsu!
Bukan hanya mewarisi kepandaian kedua orang tokoh Omei-
san yang tidak ada tandingannya itu, malah sudah pula
mewarisi sinkang dari kedua orang sakti itu. Apa lagi setelah mempelajari kitab Seng-thian-to, tenaga dalam dari pemuda
ini sudah jangan dikata lagi kehebatannya, mendekati
tenaga sakti yang dimiliki oleh para couwsu (guru besar) dari sekalian partai persilatan besar.
"Plak!" Ujung Tongkat Pengacau Langit bertemu di udara dengan telapak tangan Tiang Bu dan.......... Cun Gi Tosu
meloncat-loncat ke belakang dengan se belah kakinya.
Hampir saja ia terjengkang roboh kalau ia tidak cepat-ce pat
melambung tinggi dan berpoksai (berjungkir-balik) sampai
tiga kali, baru ia mampu berdiri tegak dan dapat pula
menggunakan tongkatnya untuk me nyandarkan diri.
Matanya terbuka lebar le bar dan mulutnya melongo. Serasa
mimpi kejadian tadi, hampir tak dapat ia percaya. Apakah
tiba-tiba tenaganya sudah musnah" Tak mungkin! Ia
mengayun tongkatnya ke arah batang pohon besar di
sebelah kirinya. "Brakk ...... !" Batang pohon itu patah dan pohonnya
tumbang mengeluarkan suara berisik. Baru ia mau percaya
bahwa pemuda di depannya ini memang sakti bukan main
21 dan mulai ia percaya bahwa muridnya, Cui Kong dan Liok
Kong Ji tidak berlebih-lebihan ketika memuji kepandaian
Tiang Bu. Akan tetapi dia adalah Lo-thian-tung Cun Gi Tosu
yang terkenal berilmu tinggi. Masa ia harus takut
menghadapi lawan begini muda" Mungkin bocah ini sudah
mewarisi tenaga besar, akan tetapi dalam hal ilmu silat.
tentu belum masak, belum lama terlat ih dan belum banyak
pengalaman. Oleh karena pikiran ini, hati Cun Gi Tosu tetap
besar dan tabah. Ia memutar tongkatnya dan menyerang lagi
sambil membentak, "Bocah, tenagamu bes ar. Akan tetapi jangan kira Lo-
thian tung takut!" Memang benar semua dugaan Cun Gi Tosu tadi. Meli hat
usianya yang baru dua puluhan, tentu saja di banding
dengan Cun Gi Tosu, Tiang Bu sama sekali tak dapat
direndengkan dalam hal kematangan latihan den
pengalaman bertempur. Sebelum Tiang Bu terlahir di dunia.
Cun Gi Tosu sudah menjadi seorang tokoh besar. Akan
tetapi, harus diketahui bahwa Tiang Bu telah mewarisi ilmu
silat yang diciptakan sendiri oleh Tat Mo Couwsu dan Hoat
Hian Couwsu. Mengingat bahwa ilmu ilmu silat yang ada sebagian besar
bersumber pada dua orang guru besar ini, dapat
dibayangkan bahwa ilmu silat yang dipelajari oleh Tiang Bu
memang lebih sempurna dan lebih tinggi tingkatnya dari
pada ilmu silat yang dimiliki oleh Cun Gi Tosu. Memang di a
kalah matang dan kalah pengalaman, andaikata pengalaman
dan kematangan ilmu silatnya se banding dengan tosu itu
kiranya dalam sepuluh jurus saja tosu buntung itu akan
roboh. Terjadilah pertempuran yang be nar benar hebat. Kali ini
Tiang Bu menghadapi lawan yang benar-benar tangguh
sesudah ia dahulu menghadapi Wan Sin Hong. Seperti juga
dahulu ketika menghadapi Wan Sin Hong, Tiang Bu terdesak
oleh ilmu tongkat yang dimainkan oleh Cun Gi Tosu secara
22 dahsyat sekali. Kemahiran dan kematangan Cun G i Tosu
dalam bermain silat tongkat benar-benar sudah mencapai
bat as tinggi sekali dan dalam jurus jurus pertama Tiang Bu
benar terdesak terus. Akan tetapi lambat laun pemuda ini
dapat memahami inti sari ilmu tongkat lawannya itu dan
mengimbanginya. Sudah dua kali ia membiarkan pundak dan pahanya
dipukul, hanya dilawan dengan hawa sinkang di tubuhnya
sehingga pukulan-pukulan itu hanya terasa sakit sedikit
saja. Kemudian setelah tiga puluh jurus lamanya ia
memahami inti sari gerakan lawan, baru Tiang Bu membalas
serangan lawan dengan desakan-desakan ilmu pukulannya
yang lihai. Baru Cun Gi Tosu terkejut bukan kepalang.
Tasdinya, mel ithat pemuda itu terdesak, bahkan dua kali
kena pukulannya ia sudah mulai girang den mangira bahwa
ia tentu akan dapat merobohkan lawan ini. Tidak tahunya,
yang tiga puluh jurus lamanya itu memang sengaja
dipergunakan oleh Tiang Bu untuk me mahami gerakan
lawan dan mengalah, mempertahankan diri terus mene rus
dengan llmu Kelit Sam-hoan-sam-bu.
Kini setiap pukulan tongkat Cun Gi Tosu, ditangkis atau
dikelit dengan balasan serangan pukulan keras. Kasihan
sekali kakek buntung itu yang harus berloncatan ke sana ke
mari menghindarkan pukulan Tiang Bu yang didahului oleh
sambaran angin pukulan yang kadang-kadang panas
kadang-kadang dingin itu. Cun Gi Tosu makin ketakutan
karena maklum bahwa lweekang pemuda ini sudah
sedemikian tingginya sehingga dalam satu serangan dapat
mempergunakan Im-kang dan Yang-kang secara bergantian
atau dicampur campur. Tingkat setinggi ini biar dia
sendiripun masih belum dapat mencapainya !
Berkali-kali tongkat bertemu dengan telapak tangan
Tiang Bu. Makin lama, setiap kali tongkat dan t angan
bertemu, Cun Gi Tosu terhuyung makin jauh ke belakang
dan pada jurus ke lima puluh. ketika tongkat Cun Gi Tosu
23 menghantam kepala, Tiang Bu menangkis lagi, Cun Gi Tosu
berteriak kaget karena kali ini ia seperti tak bertenaga lagi dan tahu-tahu ia merasa dadanya sakit sekali. Kembali ia
menghantam, ditangkis lagi dan ia menjerit, dadanya seperti
dipukul orang. "Toti ang, kejahatanmu sudah memuncak. Kau
menghantam diri sendiri sampai mati," kata Tiang Bu yang


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendesak terus. Memang sesungguhnya, hawa pukulan dari
Tiang Bu adalah hawa bersih yang keluar dari sinkang di
dalam tubuhnya. Pukulan-pukulan Cun Gi Tosu yang
dilakukan dengan pengerahan tenaga lwee kang itu makin
lama makin lemah, se lalu dipultul mundur dan akhirnya
tenaganya itu melukai tubuh sendiri di bagian dalam. Makin
hebat ia memukul, kalau ditangkis maka tenaganya itu
makin hebat menghantam tubuh sendiri tanpa ia sadari.
Kembali tongkatnya melayang, kini malah menyodok ulu hati
Tiang Bu. Pemuda ini mengerahkan tenaga dan menerima
totokan itu dengan telapak tangnnya secara tiba-tiba dan
digentakkan. "Dukk !!" Cun Gi Tosu terpental ke belakang, muntah-
muntah darah dan roboh terlentang tak bernapas lagi.
Jantungnya terkena goncangan hebat oleh tenaga se ndiri
yang membalik dan tewas karena jantungnya rusak.
"Tiang Bu....... tolonglah aku".." tiba-tiba Tiang Bu
merasa seakan-akan tubuhnya kaku mendengar suara ini. Ia
menengok dan..,. apa yang dilihat nya " Bi Li berada dalam
pondongan Cui Kong dalam keadaan lemas tertotok.
Secepat kilat Tiang Bu me lompat bayangannya seperti
lenyap merupakan sambaran hebat ke arah Cui Kong. Akan
tetapi Liok Kong Ji sudah menghadang di depannya dan
berkata keras , "Tiang Bu, kekerasan hanya berarti tewasnya kekasihmu ini?""
Kata-kata ini me mbuat Tiang Bu surut kembali dengan
wajah pucat. "Jangan ....... jangan ganggu dia ...... jangan kalian berani mengganggu calon isteriku ! Lepaskan !"
24 Liok Kong Ji tersenyum dan me mandang ke arah Bi Li
dengan muka berseri "Aha, calon isterimu ya " Bagus, dia
calon mantuku kalau begit u. Bagaimana aku mau
mengganggu calon mantu sendiri" Tidak, tidak, anakku
gagah perkasa. Aku bukan orang kejam, Kau pun tentu
bukan seorang anak yang kejam mau membunuh ayah
sendiri bukan?" Kita tinggalkan dulu Liok Kong Ji yang cerdik dan penuh
tipu muslihat itu mencoba menggunakan lidahnya yang
runcing untuk mempengaruhi Tiang Bu. Bagaimanakah Bi Li
dapat terjatuh ke dalam tangan Cui Kong dan Kong Ji " Mari
kita mundur sedikit. Seperti telah kita ketahui, Bi Li ditinggalkan di pantai
daratan oleh Tiang Bu yang tidak menghendaki kekasihnya
itu terancam bahaya di pulau mus uh musuhnya. Kemudian
datang Ang-jiu Mo li yang mengajak muridnya itu menyusul
ke Pulau Pek-houw-to untuk membalas dendam kepada Liok
Kong Ji yang sudah membuntungi lengan Bi Li.
Tanpa mendapat kesukaran Ang-jiu Mo-li dan Bi Li
mendarat di pulau itu dan cepat berlari-lari dari pantai timur yang benar se perti dugaan Ang jiu Mo-li tidak terjaga kuat
karena penghuninya menyangka bahwa musuh tentu akan
datang dari barat. Di sana-sini Ang-ji u Mo-li dan Bi Li
melihat penjaga-penjaga menggeletak tertotok atau terluka.
Tahulah mereka bahwa Tiang Bu sudah mulai turun tangan.
Bi Li mendesak gurunya supaya memperce pat perjalanan
karena gadis ini mulai mengkhawatirkan keselamatan
kekasihnya, biarpun ia percaya penuh akan kesakitan Tiang
Bu. Ang jiu Mo-li maklum akan isi hati muridnya dan iapun
mengerti bahwa menghadapi lawan-lawan seperti Liok Kong
Ji dan kaki tangannya memang bukan hal yang bole h
dipandang ringan. Mereka berlari lebih cepat lagi.
Tiba-tiba mereka malihat dua orang laki-laki tengah
be rlari cepat dari depan dan setelah dekat ternyata bahwa
dua orang itu bukan lain adalah Liok Kong Ji sendiri
25 be rsama Liok Cui Kong! Tentu saja Ang-tiu Mo-li menjadi
girang sekali dapat bertemu muka dengan mas uh-musuh
besar yang ia cari-cari. Pedang 3 Dimensi 12 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pendekar Elang Salju 3
^