Pencarian

Tangan Geledek 3

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


duduk termenung. Di dalam surat itu Wan Sin Hong
menceritakan tentang keadaan bahaya dari Pemerintah Cin
berhubung dengan makin kuatnya bangsa Mongol dan betapa
ia telah didatangi oleh tokoh-tokoh utusan Temu Cin. Sin
Hong selanjutnya menyatakan bahwa apabila kelak terjadi
perang kalau tentara Mongol menyerang Kerajaan Cin,
sukarlah diharapkan bantuan orang-orang gagah di dunia
kang-ouw, karena selain orang-orang gagah itu sebagian
besar tidak suka kepada Kerajaan Cin, juga bahwa mereka
sekarang tahu bahwa bengcu mereka juga keturunan bangsa
Cin dan agaknya hendak memberontak! Selanjutnya Sin
Hong memberi nasihat kepada saudara misannya itu agar
supaya mengundurkan diri saja di tempat yang aman dan,
tenteram. Demikianlah, Wanyen Ci Lun merasa bingung dan
gelisah. Dengan nasihatnya itu, Sin Hong seakan-akan
memberi tahu lebih dulu bahwa kalau sampai terjadi perang,
Sin Hong sendiri pun takkan mau membantu Kerajaan Cin
untuk memukul mundur musuh. Hal ini dapat dimaklumi
oleh Pangeran Wanyen Ci Lun. Biarpun keturunan
bangsawan Cin, akan tetapi seperti mendiang ayahnya, Wan
Sin Hong lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan
kebangsawanannya. Akan tetapi bagi dia sendiri, sampai mati Wanyen Ci Lun
tidak nanti mau rnembelakangi Kerajaan Cin begitu saja. I a
40 bukan seorang pengecut, ia telah mengecap kebahagiaan
dengan berdirinya Kerajaan Cin, tak mungkin ia sudi me-
ninggalkan lari begitu saja setelah kini menghadapi bahaya!
Akan tetapi kalau ia memikirkan dua orang anak-anaknya
....... ia menjadi gelisah sekali.
Coa Hong Kin tinggal sampai satu bulan di istana
Pangeran Wanyen Ci Lun. Pangeran itu tidak menyimpan
rahasia tentang anak pungutnya dan menceritakan tentang
Bi Li kepada Hong Kin. Tentu saja Hong Kin menjadi
terheran-heran dan ia pun tidak dapat menduga siapa
orangnya yang telah meninggalkan anak itu di dalam taman,
dan anak siapa pula gerangan bocah itu.
Ketika Hong Kin hendak pulang, Wan-yen Ci Lun
memberi banyak barang hadiah dan Gak Soan Li juga minta
disampaikan pesannya kepada sumoinya, Go Hui Lian,
bahwa dia sudah merasa rindu sekali dan sewaktu-waktu
hendak pergi menengok ke Kim-bun-to.
"Hong Kin, kalau sudah tiba masanya, harap kau bersiap
menerima kedua anakku bersama ibu mereka untuk tinggal
di Kim-bun-to, mengungsi apabila keadaan sudah amat
mendesak," katanya. Hong Kin yang diberitahu juga tentang isi surat dari Sin
Hong, mengerti akan maksud hati Wanyen Ci Lun. Ia sudah
kenal baik akan watak Wanyen Ci Lun yang setia kepada
negara dan bangsanya. Ia tahu bahwa kalau sampai terjadi
perang, Wanyen Ci Lun tak mungkin mau lari seperti yang
diusulkan oleh Sin Hong, dan akan membela Kerajaan Cin
sampai mati. Dan agaknya pangeran itu sudah bersiapsiap,
kalau terjadi sesuatu, tentu Gak Soan Li dan dua orang anak
itu disuruh mengungsi ke Kim-bun-to. Oleh karena itu Hong
Kin mengangguk dan menjawab.
"Harap jangan khawatir, tentu kami akan menerima
dengan segala senang hati." Maka berangkat pulanglah Hong Kin, diantar oleh pangeran itu sampai keluar istana.
41 (Bersambung Jilid ke IV) 42 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid IV Mari kita ikuti perjalanan Tiang Bu, anak yang nasibnya
amat luar biasa itu sehingga semenjak kecil sudah
mengalami hal-hal yang hebat dan dia sendiri berganti -ganti
jatuh ke dalam tangan orang-orang aneh berkepandaian
tinggi. Telah diceritakan di bagian depan betapa nasib telah
melemparkannya ke dalam tangan Bu Hok Lokai, seorang
jembel tua perantau yang berilmu tinggi dan jalannya
terpincang-pincang. Sampai setahun ia ikut merantau dengan
Bu Hok Lokai ini, naik turun gunung, keluar masuk kota dan
dusun dan telah menyeberangi entah berapa banyak sungai.
Pekerjaan Bu Hok Lokai tak lain hanya mengemis dan
kadang-kadang kalau bertemu dengan orang-orang pandai
bermain catur, ia sampai lupa diri.
Kakek pengemis pincang ini kuat ber-main catur sampai
tiga hari tiga malam tanpa beristirahat sejenak pun, bergantiganti lawan. Kegemarannya bermain catur luar biasa sekali
dan kalau di suatu kota terdapat banyak ahli catur, ia
kadang-kadang lupa untuk melanjutkan perjalanannya.
1 Oleh karena gurunya setiap hari hanya mengemis, sebagai
muridnya Tiang Bu tak berdaya dan tidak bisa berbuat lain
kecuali mengemis. Sebetulnya anak ini tidak sudi mengemis
dan sebagai seorang yang pernah hidup bersama dengan
Pak-kek Sam-kui, ia pernah melakukan pencurian makanan
untuk dia sendiri dan terutama untuk menyenangkan hati
Bu Hok Lokai gurunya. Akan tetapi tak disangka-sangkanya Bu Hok Lokai
menjadi marah sekali, memaki makinya dan mengancam
hendak meninggalkannya, bahkan hendak turun tangan
membunuhnya! "Tidak sudi aku mempunyai murid maling! Jangan
menjadi muridku, dekat saja aku tidak sudi dengan segala
maling dan pencuri. Lebih baik tidak makan dan kelaparan
daripada mencuri," kata kakek ini marah-marah. "Selama kau berada di sampingku, sekali lagi kau melakukan pencurian
aku takkan segan-segan turun tangan membunuhmu!"
Semenjak itu, Tiang Bu merasa jera dan tidak berani lagi
untuk melakukan pencurian. Ia rela menderita, bahkan
kadang-kadang beberapa hari tidak makan! Ia sama sekali
tidak tahu karena masih terlalu kecil, bahwa gurunya ini
kadang-kadang sengaja membawa muridnya menderita,
sengaja membiarkan muridnya kelaparan dan sengsara
untuk menambah benih-benih ksatria, agar muridnya ini
tahu dan merasa betapa sengsaranya orang yang miskin dan
kelak suka mempergunakan kepandaian untuk menolong
orang yang sengsara. Di samping hidup yang serba kurang dan sengsara ini,
dengan amat tekunnya Tiang Bu berlatih silat dibawah
pimpinan Bu Hok Lokai. Atas nasihat Bu Hok Lokai, Tiang Bu
menghafal isi kitab dari Omei-san itu di luar kepala,
kemudian kitab itu dibakar! Tiang Bu memang memiliki
kecerdikan luar biasa maka tidak sukar baginya untuk
menghafal. Dalam waktu setengah tahun, semua dasar dan
2 teori Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang termuat dalam kitab
itu telah hafal olehnya. Setahunsetengah telah lewat semenjak ia ikut dengan Bu
Hok Lokai dan pada suatu hari ia dan gurunya tiba di kota
raja. Girang sekali hati Tiang Bu ketika ia melihat dinding
tinggi yang mengelilingi kota raja. Sudah lama sekali ia
mendengar orang bicara tentang kota raja yang besar, indah
dan ramai. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa di tempat
ini ia dan gurunya akan mengalami penstiwa hebat.
"Tiang Bu, kita berhenti di sini saja. Hari sudah hampir gelap dan tidak enak memasuki kota raja di waktu pintu-pintu gerbang sudah mau ditutup, akan dicurigai. Besok
pagi-pagi saja kita masuk ke kota. Lagi pula, apanya sih
yang bagus dilihat di waktu malam" Kita mengaso di bawah
jembatan sana itu. Dulu aku pernah meneduh di sana."
Tiang Bu merasa kecewa karena ia ingin sekali cepat-
cepat memasuki kota kaisar. Akan tetapi ia tidak berani
membantah kehendak gurunya. Sambil menggandeng
tangan gurunya, ia menuruni jalan kecil menurun di tepi
jalan raya. Jalan ini menuju ke kolong jembatan besar yang
berada di situ. Ketika mereka tiba di kolong jembatan, baru
Tiang Bu melihat bahwa tempat itu amat luas dan memang
enak dipakai mengaso. Panas tidak kepanasan, hujan tidak
kehujanan lagi pula, hawanya hangat di situ.
Di sudut seberang terdapat seorang laki-laki yang duduk
dengan muka tersembunyi di antara lututnya yang diangkat.
Orang ini pakaiannya compang-camping dan kotor seperti
seorang jembel yang sudah melarat betul-betul. Akan tetapi
kepala yang mukanya disembunyikan itu gundul peslontos.
Sukar menaksir berapa usia orang ini. Ia tidak bergerak, akan tetapi terdengar ia menggumam dengan kata-kata tak jelas.
"Dia cantik ....... aduh dia cantik mungil ....... seperti
Ibunya ....... anakku ....... cantik seperti Siu Lan ....... ah Siu Lan.... kalau saja kau bisa melihatnya ....... cantik ....... " lalu 3
orang itu mengeluarkan suara ham-hem-ham-hem tidak
karuan. Selagi Tiang Bu memandang kepada orang gundul itu
dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia mendengar Bu Hok
Lokai menarik napas panjang dan berkata.
"Perempuan ....... di mana-mana terdapat korbanmu .......
" Tiang Bu memandang suhunya dengan mata bertanya. "Apa
Suhu mengenal dia?" tanyanya.
Gurunya menghempaskan diri di atas rumput yang
tumbuh di situ, lalu menarik napas panjang dan menggeleng
kepala. "Aku tidak mengenalnya, akan tetapi aku dapat
menduga bahwa dia tentu menjadi korban wanita pula,
seperti aku." Mendengar ini, seketika perhatian Tiang Bu kepada orang
itu lenyap, dan pindah kepada gurunya. Ia pun duduk di
dekat suhunya dan bertanya.
"Kau, Suhu" Korban wanita?"
Bu Hok Lokai mengangguk-angguk dan matanya menatap
air di bawah jembatan. Ia termenung dan terbayanglah
peristiwa lama yang kadang-kadang membikin perih hatinya,
perih hati yang selalu ditahan-tahan. Sekarang, mendapat
kawan seorang murid yang disayangnya, ia mendapat
kesempatan membuka isi hatinya, melempar ke luar semua
penasaran yang meluap di dalam lubuk hati.
"Tiang Bu, sebetulnya kau masih kecil untuk mendengar
penuturanku ini. Akan tetapi apa boleh buat, harus
kuceritakan kepadamu karena aku tidak tahan lagi. Pula,
baik sekali bagimu agar menjadi peringatan bahwa kau
harus selalu berhatihati dan waspada kalau kelak
berhadapan dengan wanita, apabila wanita cantik yang
menarik hatimu nanti. Aku sudah tua dan siapa tahu aku
akan mati sebelum menceritakan hal ini kepadamu, maka
biarlah sekarang saja kuceritakan kepadamu. Kau lihat
keadaanku. Seorang tua bangka sudah mau mampus, tidak
4 berada di rumah anak cucunya melainkan merantau
sebatang kara, menjadi pengemis dengan kaki terpincang-
pincang. Ini semua gara-gara wanita cantik."
Tiang Bu melongo. Sama sekali tidak pernah disangkanya
gurunya akan bicara begini. Akan tetapi karena ia diam-
diam ingin sekali mengetahui riwayat suhunya, ia diam saja,
memandang penuh perhatian dan membuka telinga baik-
baik. Secara singkat, diselingi oleh tarikan napas dalam
berkali-kali, Bu Hok Lokai menceritakan riwayatnya seperti
berikut. Dahulu Bu Hok Lokai bukan seorang pengemis. Dia
adalah seorang keturunan bangsawan yang pandai ilmu silat
dan ahli sastra sehingga ia terkenal sebagai seorang bun-bu-
cwan-jai. Hanya sedikit sayang bahwa Lai Cin, demikian
nama aselinya, mempunyai wajah yang tak dapat dibilang
menarik atau tampan di waktu mudanya. Sebagai seorang
bangsawan muda yang pandai dan beruang ia selalu
menolak kehendak orang tuanya apabila hendak dijodohkan
dengan alasan bahwa calon isteri itu kurang menarik, tidak
memenuhi idam-idaman hatinya. Akhirnya ia meni kah juga
dengan seorang gadis tercantik di kotanya, dan pernikahan
itu dirayakan dengan ramai dan meriah. Ia mencinta isterinya
itu dengan sepenuh hati bahkan boleh dlbilang bahwa Lai
Cin jatuh berlutut di bawah pengaruh isterinya yang cantik
jelita itu sehingga banyak orang mentertawakannya diam-
diam dan mengabarkan bahwa Lai Cin mempergunakan
sepatu isterinya untuk tempat ia makan dan minum!
Ini semua kiranya takkan mengurangi kebahagiaan
hidup Lai Cin kalau saja isterinya itu mempuriyai kesetiaan.
Lai Cin sejak kecil mempunyai seorang sahabat baik yang
kemudian menjadi suhengnya (kakak seperguruannya).
Suheng-nya ini bernama Lauw Tek In, seorang pemuda gagah
dan ganteng, terkenal sebagai seorang pemuda perantau dan
pemogoran. Seringkali Lauw Tek In datang berkunjung ke
rumah Lai Cin dan bermalam sampai beberapa pekan di
5 rumah sutenya yang besar dan bagus itu. Semua takkan
mengganggu kebahagiaan rumah tangga Lai Cin kalau saja
isterinya bukan seorang yang lemah iman dan sahabatnya
bukan orang yang berhati anjing. Pada suatu hari Lai Cin
mendapatkan isterinya itu bermain gila dengan suhengnya!
Tidak ada peristiwa hebat di dunia ini yang akan dapat
menghancurkan hati Lai Cin seperti keadaan hati dan
perasaannya ketika ia menyaksikan perbuatan isterinya
yang tercinta dan sahabatnya yang boleh dikata menjadi juga
saudara tuanya yang ia sayang dan hormati itu. Ia menjadi
mata gelap dan menyerang suheng-nya itu mati-matian.
Sebagai suhengnya, tentu saja kepandaian Lauw Tek In lebih
tinggi daripada kepandaian Lai Cin. Akan tetapi, pada waktu
itu Lai Cin adalah seorang patah hati yang nekad dan
menyerang seperti orang gila, sebaliknya Lauw Tek In yang
merasa berdosa, telah menjadi gentar dan gugup sehingga
akhir pertempuran di dalam kamar itu, Lauw Tek In tewas
dan sebaliknya Lai Cin terkena pukulan lihai dari suhengnya
sehingga tulang kakinya rusak dan tak dapat diperbaiki lagi
membuat ia terpincang-pincang selama hidup. Lai Cin yang
sudah hampir gila saking marah dan terpukul batinnya itu
lalu mencekik sampai mati isterinya sendiri.
Dalam keadaan terluka dan tak dapat berjalan, ia
terpaksa menyerah ketika ditangkap oleh yang berwajib.
Akan tetapi dalam pemeriksaan, ia sama sekali tidak mau
menceritakan keadaan sebenarnya, hanya menceritakan
bahwa ia bertengkar mulut dengan isterinya, kemudian


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang suhengnya yang bermalam di situ untuk melerai.
Dalam kemarahannya ia malah mengeluarkan kata-kata
menghina kepada suhengnya, terjadi pertempuran sampai
suhengnya tewas. Kemudian, menyesal karena suhengnya
mati dan menganggap isterinya yang menjadi gara-gara, ia
membunuh isterinya itu. Alasan ini sebetulnya tak dapat diterima dan orang-orang
sudah dapat mendugaduga sendiri akan peristiwa di kamar
6 itu. Akan tetapi siapakah berani banyak membuka mulut.
Juga para pembesar tidak berani berlaku keras, karena
orang tua Lai Cin mempergunakan semua harta mereka
untuk menolong putera tunggal ini, Lai Cin tidak dihukum
mati, melainkan dihukum buang. Di dalam penjara, lambat
laun kakinya menjadi sembuh biarpun pincang, setelah sehat
benar ia lalu melarikan diri dari penjara dan hidup di dunia
kang-ouw sebagai seorang pendekar pincang yang berwatak
aneh. Kemudian, melihat betapa bebas hidup para pengemis, ia
pun menjadi jembel . sampai di hari tuanya. Hatinya sudah
menjadi dingin terhadap kemewahan dunia, perasaannya
sudah mati terhadap kecantikan wanita. Kegembiraan
hidupnya lenyap terbawa oleh isterinya yang sebenarnya
amat dikasihinya itu. "Demikianlah, muridku. Hidupku selama ini hampa dan
kaulah satu-satunya orang yang kuharapkan akan dapat
hidup sempurna, kuharapkan dapat menjadi seorang gagah
dan budiman. Dan aku merasa khawatir kalau aku teringat
akan nasibku, jangan-jangan kau pun akan menjadi korban.
Banyak sekali orang gagah yang akhirnya rusak binasa
hanya oleh senyum manis dan kerling memikat. Banyak
sekali contohnya, termasuk orang gundul itu. Maka kau
kelak harus berhati-hati, Tiang Bu. Jangan kauukur hati
wanita dari senyum dan kerlingnya. Jangan seperti aku .......
sampai sekarang aku tidak dapat melupakan dia .......
biarpun dia telah menipuku, telah menghinaku ....... "
Tiang Bu merasa kasihan melihat kakek tua pincang ini,
yang menunduk dan kelihatan seperti orang mau menangis.
Tentu saja Tiang Bu yang baru berusia tujuh tahun lebih itu
merasa asing mendengar kata-kata gurunya seperti itu. Akan
tetapi ia cukup cerdik untuk menangkap isinya, dan ia
merasa kasihan kepada gurunya yang bernasib malang itu.
"Kata-kata, bohong dan berbisa, jahat sekali." Tiba-tiha orang gundul yang tadi duduk sambil menyembunyikan
7 muka di antara lututnya, berteriak marah sambil
mengangkat muka memandang. "Kakek sial, tidak semua
wanita seperti binimu yang berjalan serong. Tidak semua
wanita suka berzina dan menipu suaminya. Tidak semua
wanita cantik berhati palsu seperti binimu. Isteriku yang
manis, isteriku yang cantik jelita melebihi binimu, isteriku
Sui Lan cantik lahir batin. Dia pun mati muda, dia pun tidak
cinta kepadaku seperti binimu yang tidak mencintamu. Akan
tetapi dia tidak berjalan serong seperti binimu. Untuk
mengakhiri ketidak-cintanya kepadaku, dia bukan berzina
dengan orang lain, melainkan berzina dengan maut sampai
maut merenggut nyawanya, meninggalkan seorang bayi!
Jangan bilang wanita cantik berhati palsu kakek sialan.
Isteriku Sui Lan seorang bidadari, seorang dewi berhati
mulia!" Setelah melontarkan kata-kata penuh kemarahan
ini, orang gundul ini lalu menyembunyikan lagi mukanya di
antara kedua lututnya dan melihat betapa tubuh dan
pundaknya bergerak-gerak dapat diduga bahwa dia tentu
sedang menangis. Tiang Bu melongo ketika melihat orang itu. Muka orang
itu seperti muka kanakkanak, tentu saja tidak bisa dikata
tampan karena orangnya sudah dewasa, tiga puluh lima atau
empat puluh tahun usianya akan tetapi berwajah kekanak-
kanakan, kepalanya gundul dan matanya liar.
Terdengar Bu Hok Lokai menarik napas panjang.
"Dia lebih menderita daripada aku. Kesedihanku karena
kehilangan dia dapat kuhibur dengan anggapan bahwa dia
seorang palsu dan jahat, akan tetapi orang itu, kasihan sekali
....... dia selalu akan terkenang kepada isterinya yang berhati mulia. Ah, sudahlah. Tak perlu membangkit-bangkitkan
urusan lama yang menyebalkan hati,. Hayo, Tiang Bu. Kau
berlatih, Pat-hong-hong-i dapat kau sempurnakan kelak
kalau lweekangmu sudah baik. Sekarang kau harus melatih
Sam-hoan Sam-bu sampai baik betul, untuk bekal penjagaan
diri sebelum kau dapat menguasai Pat-hong-hong-i."
8 Tiang Bu segera melakukan perintah suhunya dengan
senang hati. Ia selalu merasa girang kalau berlatih, karena
setiap kali berlatih, di bawah pengawasan suhunya, ia tentu
mendapat kemajuan setingkat. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Ilmu Silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru
Angin) adalah ilmu silat yang terdapat dalam kitab yang
secara kebetulan terjatuh ke dalam tangan Tiang Bu dan
oleh karena ilmu silat tinggi ini tidak mudah dipelajari Tiang Bu, atas nasihat gurunya, menghafal isi kitab di luar kepala
sebelum melatih prakteknya. Adapun Ilmu Silat Sam-hoan
Sam-bu adalah ilmu silat istimewa, ilmu penjagaan diri yang
didapatkan oleh Bu Hok Lokai dari seorang sakti dari Omei-
san, yakni orang sakti ke dua di Omei-san yang bernama
Tiong Jin Hwesio sebagai hadiah ketika ia diajak bermain
catur oleh dua orang sakti di Omei-san.
Dengan penuh semangat Tiang Bu berlatih Ilmu Silat
Sam-hoan Sam-bu, tubuhnya berputaran seperti orang
menari, nampak gesit sekali dan kedua kaki kecil yang
bergerak-gerak di atas tanah itu seakan-akan tidak
menyentuh tanah saking cepat dan ringan gerakannya.
Dalam bersilat ini, berbunyi perut Tiang Bu. Telah sehari
semalam ia tidak makan apa-apa, perutnya kosong dan
cacing perutnya menggeliat-geliat. Cepat anak yang sudah
mengikuti banyak orang pandai dan sudah melatih diri
dengan dasar-dasar ilmu silat dan lweekang tinggi ini
menggunakan tenaga perut untuk menekan bunyi di
perutnya sehingga tidak terdengar terlalu keras.
"Anak kecil kelaparan disuruh berlatih silat. Benar-benar keterlaluan jembel tua sialan ini." Kata-kata ini membuat Tiang Bu tertegun dan otomatis ia menghentikan latihannya.
Kalau gurunya yang mendengar suara yang keluar dari
perutnya tadi, masih tidak mengherankan karena selain
gurunya duduk tak jauh dari tempat ia berlatih, juga ia
sudah tahu akan kelihaian kakek pincang ini. Akan tetapi
9 yang bicara itu adalah orang gundul yang duduknya jauh di
sudut sebelah sana jembatan!
Ketika Tiang Bu menengok ke arah orang gundul itu tiba-
tiba ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang gundul itu
masih duduk seperti tadi, akan tetapi tidak lagi
menyembunyikan muka dan menangis, melainkan sedang
makan ular! Ular yang masih hidup nampak menggeliat-
geliat, ekor ular dipegang oleh tangan kiri sedang kepala ular sudah masuk ke dalam mulut dan dikunyah-kunyah!
Ketika Tiang Bu melirik kepada suhunya, ia melihat
kakek ini pun memandang ke arah orang gundul itu dengan
pandang mata aneh dan mukanya merah. Tiang Bu mengira
bahwa suhunya merasa dibikin malu oleh kata-kata Si
Gundul itu, maka ia hendak membela gurunya dan berkata
lantang. "Gundul Pemakan Ular! Jangan menghina guruku, siapa
bilang aku lapar?" Orang gundul itu memandang kepadanya dengan mulut
tersenyum sehingga kelihatan lidahnya yang merah karena
darah ular. Ia menggigit putus tubuh ular itu tinggal ekornya saja, lalu berkata, "Bocah bernyali beruang, kau lapar dan perlu makan. Terimalah hadiahku ini!" Tangannya bergerak dan ekor ular itu melayang cepat ke arah muka Tiang Bu.
Tidak percuma Tiang Bu berlatih Sam-hoan Sam-bu
selama setahun lebih. Setiap datang serangan, tubuhnya
otomatis bergerak mengelak. Demikian pula, biarpun
sambitan itu cepat sekali datangnya, ia menuruti gerak
otomatis ini, kakinya bergeser, tubuhnya miring dan ekor
ular itu lewat tepat di pinggir telinganya.
"Jangan menolak hadiah, Tiang Bul" kata Bu Hok Lokai
yang cepat mengulurkan tangan menangkap ekor ular itu.
Caranya menangkap luar biasa sekali karena begitu ia
mengulur tangan, seakan-akan ekor ular itu terbang ke arah
tangannya. Kakek itu memandang ekor ular di tangannya,
10 lalu memberikan benda menjijikkan itu kepada muridnya
sambil berkata, "Sahabat itu betul. Perutmu memang lapar dan hadiah ini berharga sekali, hayo lekas makan ini dan
menyatakan terima kasih!"
Tiang Bu menerima buntut ular itu dengan muka
berubah pucat. Apakah gurunya sudah menjadi gila,
menyuruh ia makan buntut ular, dan bahkan menghaturkan
terima kasih" Akan tetapi, melihat wajah gurunya begitu
sungguh-sungguh dan dia memang seorang anak yang taat,
Tiang Bu tidak membantah. Cepat ia menjura ke arah orang
gundul yang masih memandang padanya sambil mulutnya
bergerak-gerak mengunyah daging di mulutnya.
"Sahabat aneh, terima
kasih atas pemberianmu,"
katanya lalu dengan mata dipejamkan ia memasukkan ekor ular ke mulutnya, dikunyah beberapa kali lidah dan mulutnya merasa betapa ekor ular itu seakan-akan
bergerak dan rtienggeliat-
geliat kesakitan ketika ia
menggigitnya. Dapat dibayangkan betapa jijik dan muak rasa tenggorokan dan perutnya, namun Tiang Bu tidak ingin membikin malu suhunya di depan orang lain. I a mengerahkan tenaga dalam menolak rasa hendak muntah dan menelan bulat-
bulat ekor ular itu ke dalam perutnya. Aneh, begitu buntut
ular itu memasuki perut, ia mendengar perutnya berbunyi
berkeruyukan tak dapat dicegah lagi. Ia berusaha
11 mengerahkan tenaga dalam perutnya, namun luar biasa
sekali, semua tenaga di dalam perutnya telah lenyap,
tubuhnya terasa ringan dan hangat enak dan nyaman!
Orang gundul itu makin kagum memandang kepada
Tiang Bu. Bocah yang dapat berlatih silat demikian tahan uji, sehingga dalam keadaan kelaparan masih demikian tekun
berlatih mentaati kehendak guru, kemudian berani membela
nama baik gurunya di depan orang lain yang dianggap
menghina gurunya, yang dapat niengelak dari sambitan
dengan amat cekatan, lalu mentaati perintah guru rela
berkorban perasaan dan rela makan buntut ular mentah,
kemudian kalau gurunya menyuruh dia makan lalu
menghaturkan terima kasih bocah itu malah menghaturkan
terima kasih dulu baru makan".
Benar-benar bocah yang sukar dicari bandingannya dan
patut menjadi murid! "Jembel tua sialan, kautinggalkan bocah itu untuk
menjadi muridku kau tidak becus mengatur murid, memberi
makan saja tidak mampu, apalagi mengajar silat yang baik.
Mulai saat ini dia menjadi muridku!"
Bu Hok Lokai tersenyum dan matanya berkedip-kedip
memandang orang gundul itu.
"Sahabat Gundul Pemakan Ular, kau ini siapakah yang
begini lihai dapat menangkap dan makan ular hijau dari
daerah barat". "Kau mengenal ular hijau tadi" Bagus matamu awas betul.
Aku siapa kau tak perlu tahu, segala macam jembel tua
sialan, mana harga mengenal aku" Lebih baik kau pergi dan
tinggalkan bocah ini habis perkara. Daripada timbul
marahku dan kau mampus di bawah jembatan ini."
Bukan main mendongkolnya hati Tiang Bu mendengar
kata-kata orang gundul aneh yang ternyata berwatak
sombong dan jahat ini. Juga Bu Hok Lokai, seorang tua yang
12 sudah banyak makan garam dunia dan biasanya amat
penyabar, sekarang menjadi merah mukanya.
"Sahabat Gundul Pemakan Ular, biar-pun hanya seorang
jembel tua sialan, aku Bu Hok Lokai tidak biasa lari seperti
anjing dipukul menghadapi siapapun juga. Apa kaukira
setelah kau memberi hadiah ular yang benar-benar berharga
dan menjadi obat istimewa untuk muridku, kau lalu boleh
berbuat sekehendak hatimu terhadap kami?"
Tiang Bu merasa puas sekali melihat sikap gurunya dan
mendengar dampratan ini, maka ia pun memandang kepada
orang gundul itu dengan muka mengejek. Orang gundul itu
mengeluarkan suara di hidungnya, memandang kepada Bu
Hok Lokai dan berkata menggeleng-geleng kepala, "Sayang, membunuh orang sialan seperti engkau memang tidak ada
harganya, akan tetapi kau mencari mampus sendiri."
Kata-katanya dikeluarkan dengan lambat-lambat dan
muka yang kekanak-kanakan itu tidak memperlihatkan
perubahan apa-apa, namun hebat sekali gerakan kedua
tangannya. Dua tangan itu bertubi-tubi melakukan gerakan
memukul ke depan dan saking cepatnya gerakan ini sampai
dua buah lengan itu seakan-akan berubah menjadi delapan.
Gerakan ini mendatangkan hawa pukulan hebat yang
menyerang Bu Hok Lokai, disusul oleh gerakan tubuhnya
yang tiba-tiba melayang ke arah kakek pincang dengan kedua
tangan terus melakukan gerakan memukul.
"Hebat ....... " Bu Hok Lokai berseru kaget dan cepat
bagaikan belut kakek ini menggerak-gerakkan tubuhnya
melenggang-lenggok. Dalam saat yang amat berbahaya itu ia
sudah berhasil mainkan Sam-hoan Sam-bu yang paling sukar
akan tetapi ia berhasil membebaskan diri dari serentetan
serangan hawa pukulan yang amat luar biasa.
Bu Hok Lokai tidak mau membiarkan lawan terus
mendesaknya. Tahu bahwa lawannya yang kelihatan masih
sepe rti kanak-kanak mukanya ini ternyata memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa dan jahat karena pukulan tadi
13 saja sudah mengandung hawa maut, ia pun lalu cepat maju
membalas dengan serangan-serangan kilat. Bu Hok Lokai
mempergunakan tongkat bututnya dengan cara istimewa.
Sayang kakinya sudah pincang, kalau saja ia belum bercacat


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti dulu, kiranya orang gundul itu akan dapat ia
kalahkan. Di lain fihak Si Gundul itu benar-benar lihai sekali dan
memiliki ilmu silat yang mengerikan. Ketika pertempuran
sudah berlangsung puluhan jurus, kedua lengan orang
gundul itu perlahan-lahan berubah menghitam seperti
dibakar dan pukulanpukulan yang ia lancarkan juga
semakin hebat, kini mengandung hawa pukulan yang keluar
dari sepasang lengan hitamnya.
Bu Hok Lokai bukan main kagetnya. I a pernah mendengar
cerita orang tentang ilmu silat jahat yang disebut Hek-tok-
ciang (Tangan Racun Hitam) yang kabarnya diciptakan oleh
seorang manusia iblis dari barat berjuluk See-thian Tok-ong
(Raja Racun dari Barat). Inilah gerangan ilmu silat keji itu"
Namun ia tidak sempat menduga-duga dan menghadapi
lawan yang begini berbahayanya, Bu Hok Lokai mengubah
gerakan-gerakannya. Kedua kakinya tetap mainkan langkah-
langkah Sam-hoan Sam-bu untuk melindungi tubuh dari
serangan lawan, karena dengan langkah-langkah ini ia
demikian gesit sehingga sukar diserang lawan, akan tetapi
kedua tangannya melakukan serangan-serangan balasan
yang dahsyat. Ilmu Samhoan Sam-bu sifatnya tidak
menyerang, melainkan menghindarkan diri dari serangan
lawan, maka pemegang peran utama hanya kedua kaki. Bu
Hok Lokai yang sudah menguasai ilmu ini dengan sempurna,
kini mencampurnya dengan ilmu serangan dari ilmu silatnya
sendiri. Tangan kanan yang menyerang dengan tongkat, tangan
kiri menyusul dengan totokan atau tonjokan, juga kadang-
kadang dengan gerakan yang amat cepat, tongkat itu telah
berada di tangan kiri, menyerang diikuti tonjokan tangan
14 kanan. Tanpa dapat diduga-duga oleh lawan, tongkat ini
berpindah-pindah sehingga lawan gundul itu benar-benar
menjadi pening dibuatnya dan telah dua kali tongkat Bu Hok
Lokai mengenai sasaran, sekali di pundak dan kedua kali di
dada. Akan tetapi, lawan itu ternyata lihai sekali. Totokan di pundak hanya merobek baju dan merusak kulit sedikit,
sedangkan gebukan di dada hanya membuat ia terhuyung-
huyung dan batuk-batuk beberapa kali, akan tetapi belum
cukup kuat untuk merobohkannya.
Tiang Bu girang sekali melihat suhunya dapat melukai
lawan dan ia merasa pasti bahwa suhunya akan menang.
Akan tetapi sebaliknya, Bu Hok Lokai merasa khawatir
sekali. Lain orang pasti akan roboh binasa atau sedikitnya
terluka berat terkena dua kali serangannya tadi. Akan tetapi
orang ini biarpun terluka oleh tongkatnya, luka itu agaknya
tidak terlampau berat sehingga ia masih dapat terus
melakukan serangan. Akan tetapi sebetulnya, gebukan tong-kat Bu Hok Lokai
pada dada tadi sudah mendatangkan luka hebat di dalam
dada Si Gundul. Hanya karena orang ini memang memiliki
kekuatan yang jauh melebihi orang lain, dan pula karena dia
seorang nekad, maka dia masih belum roboh. Begitu terkena
gebukan tongkat, Si Gundul ini lalu mengeluarkan seruan
ganas dan di lain saat tangan kanan dan kiri merogoh saku
mengeluarkan dua ekor ular merah, seekor di tangan kanan
dan seekor di tangan kiri!
Tiang Bu mengeluarkan seruan tertahan melihat dua
ekor ular ini dan merasa ngeri. Juga Bu Hok Lokai nampak
terkejut sehingga kakek ini melompat mundur dua tombak.
"Masih ada hubungan apa kau dengan See-thian Tok-
ong?" tanyanya. Si Gundul aneh itu tertawa terbahak-bahak melihat
kakek jembel pincang itu melompat mundur ketakutan.
Tanpa menjawab ia melangkah maju dan menyerang dengan
ular merah di tangan kiri. Ular itu kecil saja dan panjangnya 15
tiga kaki, berada di tangan Si Gundul ini merupakan senjata
istimewa, pedang hidup yang gigitannya melebihi sepuluh
kali tikaman pedang lihainya. Ang-coa (Ular merah) macam
ini memiliki bisa yang tidak ada obat penawarnya di dunia,
artinya siapa pun juga yang terkena gigitannya pasti akan
menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut).
Bu Hok Lokai terkejut bukan main melihat permainan
ilmu silat yang mempergunakan ular demikian hebatnya. Ia
maklum bahwa pertandingan ini adalah pertandingan mati
hidup, maka ia pun tidak mau mengalah lagi. Cepat ia
mengeluarkan suara seperti harimau mengaum dan kakek
pincang ini berubah menjadi seorang yang amat tangkas dan
ganas, Tongkatnya berputaran menyambar mengeluarkan
angin, penuh dengan tenaga lweekang. Ia sengaja mengarah
kepada dua ekor ular yang meluncur pergi datang bagaikan
beterbangan itu dan akhirnya ia berhasil menangkis seekor
ular di tangan kiri lawannya.
Si Gundul memekik marah ketika darah dan otak
muncrat dari kepala ular merahnya yang remuk kepalanya.
Cepat bagaikan kilat ia melemparkan tubuh ular ke arah
lawannya. Bu Hok Lokai mengelak ke kiri dan tongkatnya
menyambar kini mengarah lambung lawannya dengan
dorongan keras. Si Gundul yang nampaknya marah sekali, seakan-akan
tidak melihat dorongan tongkat, bahkan ia membarengi
gerakan lawan dengan melemparkan ular merah di tangan
kanannya ke arah kakek itu!
Akibat dari adu tenaga ini hebat sekali. Tongkat di
tangan Bu Hok Lokai berhasil "memasuki" lambung dan mendorong sedemikian kerasnya sehingga tubuh Si Gundul
itu terlempar dibarengi pekik kesakitan, terjerumus ke
dalam air di bawah jembatan dan hebatnya, bagaikan seekor
ikan orang gundul itu berenang ke seberang, mendarat dan
lari terhuyung-huyung menghilang dari situ. Bu Hok Lokai
tidak mengeluarkan suara apa-apa, akan tetapi tarikan
16 mukanya seperti orang menghadapi Raja Maut di depannya.
Memang, sesungguhnya kakek ini menghadapi maut karena
ular merah di tangan orang gundul tadi kini telah menyantel
di pundaknya. Gigi ular yang kecil runcing berbisa itu telah
menancap ke dalam daging pundaknya dan seketika itu juga
Bu Hok Lokai merasa betapa hawa racun ular telah terbawa
oleh aliran darah ke seluruh anggauta tubuhnya!
"Suhu ....... !" Tiang Bu berseru kaget dan melangkah maju. Dengan berani anak ini hendak membetot ular yang
meng-gigit pundak gurunya. Akan tetapi dengan tangannya
Bu Hok Lokai memberi tanda supaya Tiang Bu jangan
bergerak. Kemudian tangan kanannya menangkap ekor ular
yang menggeliat-geliat dan memasukkan ekor ular yang
masih menggigit pundaknya itu ke dalam mulut, terus
menggigit dan menyedot darahnya! Hebat sekali tenaga
sedotan dari kakek ini karena sebentar saja ular itu menjadi
lemas, gigitannya terlepas dari pundak dan tubuhnya
terlepas jatuh di atas tanah lalu mati tanpa dapat menggeliat lagi karena darahnya sudah terhisap habis oleh Bu Hok
Lokai! Akan tetapi bersama dengan matinya ular, tubuh
kakek itu pun roboh pingsan.
Tiang Bu menubruk dan memeluk gurunya, diguncang-
guncangnya sambil memanggil-manggil.
"Suhu ....... ! Suhu ....... "' ;
Tak lama kemudian Bu Hok Lokai siuman kembali. Nyata
ia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
membantu "obat" yang disedotnya dari tubuh ular tadi.
Mukanya sebentar pucat. Racun yang amat kuat dan
bertentangan berperang tanding di dalam tubuhnya, saling
memperebutkan kedudukan dan kemenangan untuk
menguasai nyawa kakek itu"
"Tiang Bu, aku takkan tertolong lagi. Tanpa darah ular
tadi, sekarang tentu aku sudah mampus. Racun ang-coa
memang tidak ada obatnya. Paling lama sehari semalam
....... " dan Kakek itu roboh pingsan tak dapat siuman
17 kembali selama satu malam di bawah jembatan itu. Tiang Bu
menjadi bingung, tak dapat berbuat sesuatu memeluki tubuh
gurunya. Se-malam itu Tiang Bu tidak tidur, terus menjaga
gurunya. Ia mencetak wajah orang gundul itu di dalam
ingatannya dan bersumpah di dalam hati bahwa kelak ia
pasti akan dapat membalaskan sakit hati gurunya ini.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Hok Lokai
siuman, membikin girang hati Tiang Bu. Kini kakek itu
nampak lebih sehat daripada tadi malam sehingga anak itu
mempunyai harapan besar bahwa gurunya kiranya akan
dapat sembuh. "Tiang Bu, mari kita ke kota raja. Aku harus membawa
kau ke sana dan memperlihatkan keadaan kota raja yang
sudah ingin sekali kaulihat. Marilah, selagi masih ada
kesempatan terakhir bagiku." Kakek itu bangun berdiri
bersandarkan tongkatnya. "Suhu, kau masih belum sehat benar. Biarlah tidak
melihat kota raja juga tidak apa asal Suhu sembuh kembali.
Lebih baik Suhu beristirahat di sini, biar teecu mencari
makanan untuk Suhu-"
"Hush, dalam saat seperti sekarang aku tidak boleh
dibantah. Hayo ikut aku ke kota raja, di sana banyak
makanan, perutmu juga sudah lapar!" kata Bu Hok Lokai
dengan suara gembira seakan-akan nyawanya tidak
terancam maut. Dengan terpincang-pincang, dibantu oleh muridnya, Bu
Hok Lokai mengajak Tiang Bu memasuki pintu gerbang
istana yang terjaga oleh tentara bertombak. banyak sekali
orang keluar masuk melalui pintu gerbang ini. Bu Hok Lokai
dan muridnya sama sekali tidak menarik perhatian orang
karena mereka ini tidak lebih hanya seorang jembel tua
bersama seorang pengemis muda yang pakaiannya sudah
compang-camping dan penuh tambalan. Yang tua
terpincang-pincang dan yang muda menggandeng tangannya
dengan muka memperlihatkan kekhawatiran besar.
18 Dengan muka yang gembira Bu Hok Lokai membawa
muridnya mengelilingi kota raja, memperlihatkan bagian-
bagian yang menarik, bahkan menunjukkan gedunggedung
besar tempat tinggal para orang berpangkat. Tiang Bu sama
sekali tidak memperlihatkan muka gembira juga tidak
tertarik melihat rumah-rumah besar itu bahkan merasa
benci melihat betapa di luar pekarangan gedung-gedung itu
banyak sekali terdapat jembel-jembel setengah kelaparan
berkeliaran ke sana ke mari. Perbedaan keadaan yang amat
menyolok. Keadaan Bu Hok Lokai sebetulnya sudah payah sekali.
Makin lama makin payahlah kakek ini dan tadi pun hanya
karena pengerahan tenaga yang luar biasa saja maka masih
berjalan-jalan. Dengan pengerahan tenaga dalamnya, maka
racun ular yang bekerja di tubuhnya makin ganas.
Menjelang senja ia tak dapat menahan lagi, jalannya
terhuyung-huyung dan napasnya terengah-engah.
"Suhu ....... !" Tiang Bu yang merasa betapa tangan suhunya panas seperti terbakar itu cepat -cepat membawa
kakek itu ke pinggir jalan. Bu Hok Lokai sudah kehabisan
tenaga dan kakek ini menjatuhkan diri di atas rumput.
"Tiang Bu, saatnya sudah hampir tiba. Kau ....... kau
terpaksa harus hidup seorang diri ....... kasihan ....... yang baik-baik menjaga diri sendiri, muridku ....... " Wajah kakek itu membayangkan keharuan ketika ia memandang kepada
Tiang Bu. "Suhu ......" Tiang Bu hanya dapat memegangi tangan
suhunya, matanya yang lebar itu nampak sedih sekali akan
tetapi ia tidak menangis. Melihat suhunya terengah-engah
dan bibirnya kering sekali, ia lalu berdiri dan berkata.
"Suhu, teecu hendak mencarikan Suhu . minum."
"Ya ....... minum ....... arak, enak sekali ....... " Kakek itu menjulurkan lidah untuk membasahi bibirnya nampaknya
ingin sekali minum. Tiang Bu menjadi ngeri hatinya melihat
19 lidah gurunya sudah menjadi hitam sekali. Cepat ia
melompat pergi dan berlari-lari menuju ke rumah makan
yang tadi ia lewati bersama gurunya. Ia tahu bahwa
mengemis arak adalah hal yang langka dan tak mungkin ia
akan bisa mendapatkan arak dengan jalan mengemis.
Mencuri" Ia ter-ingat akan laranganlarangan suhunya. Akan
tetapi dalam keadaan seperti itu, tak perlu banyak ragu. Ia
mempergunakan kepandaian dan kecepatannya, selagi
orang-orang di dalam rumah makan sibuk dengan makan
minum atau memesan masakan, ia menyelinap dan dari
meja seorang tamu yang sudah setengah mabuk ia berhasil
menyambar secawan arak penuh. Tiang Bu berlari-lari ke
tempat gurunya dan hatinya perih melihat gurunya sudah
melenggut seperti orang mengantuk, mukanya merah sekali,
tanda bahwa racun ular ang-coa sudah me-nguasai
keadaan. "Suhu, minumlah ....... " katanya sambili berjongkok dan memberikan cawan arak itu kepada gurunya. Melihat tangan
kakek itu menggigil dan matanya sudah setengah tertutup,
Tiang Bu lalu membawa cawan itu ke mulut gurunya. Bu
Hok Lokai minum arak itu dengan lahap, nampaknya enak
dan segar sekali. "Arak enak ....... kau anak baik ....... hati-hati ....... " Dan lemaslah seluruh tubuh Bu Hok Lokai, tubuhnya terkulai
dan nyawanya melayang! "Suhu ....... !" Tiang Bu melempar cawan yang masih di tangannya, kemudian ia lalu menubruk dan me meluk mayat
suhu-nya sambil menangis. Anak ini memang hanya dapat
menangis untuk orang lain, anehnya betapapun hebat
penderitaan yang ia alami, ia takkan mau menangis.
Tangisnya menarik perhatian orang dan tak lama
kemudian jalan raya itu penuh orang yang merubung untuk
melihat apa yang telah terjadi di situ. Sudah lajim bahwa
orang-orang lebih banyak tertarik dan ingin tahu daripada
20 ingin menolong. Di antara sekian banyaknya orang, tak
seorang pun mau turun tangan menolong.
Paling banyak mereka itu hanya menggeleng-gelengkan
kepala menyatakan kasihan. Ini masih mending bahkan ada
beberapa orang di antara mereka yang begitu melihat seorang
jembel mati di pinggir jalan, lalu meludah dan berkata
menyesal. "Dasar tak tahu diri! Ketika hidup menyusahkan orang,
mengganggu orang makan dan mengotorkan pemandangan.
Sesudah mati masih membuat susah orang membikin jijik.
Mengapa kalau mau mampus saja memilih tempat di jalan
raya dan tidak pergi saja ke kuburan dan menggali tanah
sebelumnya?" Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan. "Minggir!
Pangerah Wanyen sekeluarga dalam keretanya lewat!"
Betul saja, dari tikungan jalan muncul sebuah kendaraan


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ditarik oleh empat ekor kuda. Kendaraan ini cukup
besar maka para penjaga berteriak-teriak me nyuruh orang
untuk minggir. Ketika kendaraan itu lewat di tempat itu, dari dalam kendaraan terdengar perintah, "Berhenti!"
Tak lama kemudian, beberapa orang pengawal mengusir
orang-orang yang merubung jenazah Bu Hok Lokai yang di-
tangisi oleh Tiang Bu. "Minggir, minggir ....... ! Ongya hendak memeriksa
kejadian ini!" Orang-orang yang berada di situ segera mengundurkan
diri dan menonton dari jarak jauh.
"Untung sekali, pengemis itu." Terdengar orang berkata.
Memang, semua orang di kota raja sudah mendengar akan
kebaikan hati keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun yang jauh
berbeda dengan bangsawan-bangsawan lain. Bangsawan dan
hartawan atau orang berpangkat lainnya mana sudi
berdekatan dengan bangsa pengemis.
21 Jangan kata dengan kaum jembel, dengan rakyat kecil
saja mereka tidak mau mempedulikan dan tidak sudi
berhubungan. Akan tetapi sebaliknya Pangeran Wanyen Ci
Lun dan keluarganya terkenal sebagai keluarga bangsawan
yang berbudi mulia, yang tak pernah menolak permintaan
tolong rakyat sengsara, yang tidak sombong bahkan
mendekati rakyat jelata. Inilah sebabnya maka para
penonton menganggap bahwa pengemis yang kematian
kakeknya itu beruntung karena bertemu dengan kendaraan
keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun pada saat kesengsaraan.
Pintu kendaraan terbuka dan turunlah seorang laki-laki
bangsawan yang berwajah tampan peramah, berusia tiga
puluh tahun lebih dan sikapnya agung. Inilah Pangeran
Wanyeh Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat
terkenal di kalangan rakyat, namun juga amat berpengaruh
di dalam istana oleh karena ia terkenal cerdik dan
merupakan penasehat kaisar dalam banyak persoalan.
"Ah, kasihan sekali ....... " suara ini terdengar dari dalam kereta, suara halus seorang wanita dan tak lama kernudian
dari atas kereta turun pula seorang wanita cantik jelita dan
bersikap gagah, di belakang Pangeran Wanyen Ci Lun. Dia ini
adalah isteri terkasih dari pangeran itu, bukan lain adalah
Gak Soan Li, pendekar wanita yang perkasa itu. Di belakang
ibunya ini turun pula Wan Sun yang berusia enam tahun
lebih dan Wan Bi Li yang berusia empat -lima tahun
digandeng oleh kakaknya. Kalau orang tua-tua lain tentu akan melarang anak-anak
mereka turur dari kendaraan melihat jenazah seorang Kakek
jembel, akan tetapi Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li tidak
melarang dua orang anaknya itu turun, bahkan tidak
melarang ketika Wan Bi Li mendekati jenazah Bu Hok Lokai
dan bocah berumur lima tahun itu berseru.
"Dia mati digigit ular!"
Wanyen Ci Lun mendekati Tiang Bu dan bertanya dengan
suara ramah menghibur. "Anak sengsara, dia apamukah?"
22 "Dia adalah ....... guruku ....... "
Wan Sun tertarik sekali. Anak ini wataknya agak keras
dan tidak mau kalah, mendengar disebutnya guru, ia segera
bertanya kepada Tiang Bu yang sudah mengeringkan air
matanya karena malu melihat banyak orang, "Guru apa ....."
Guru silatkah, atau menulis?"
Tiang Bu tidak mau membuka rahasianya, karena
urusan persilatan mendatangkan bencana saja. Buktinya,
gurunya juga tewas karena ada orang hendak mengambilnya
sebagai murid. Ia menggeleng-gelengkan kepala tanpa
menjawab. Akan tetapi Wan Sun tidak puas.
"Kalau bukan guru silat atau surat, habis ia guru apa,
dan kau belajar apa?"
"Guru ....... mengemis!" jawab Tiang Bu dan Wan Sun tersentak ke belakang oleh jawaban ini. Wajahnya yang
tampan seketika itu juga memperlihatkan perasaan kasihan.
"Di mana rumahmu?" tanya Pangeran Wanyen Ci Lun
kepada Tiang Bu. "Aku tidak punya rumah, kata guruku, tanah ini lantaiku
dan langit atapku," jawab Tiang Bu, jawabannya yang kasar itu tidak membikin marah Wanyen Ci Lun, sebaliknya ia
menarik napas panjang karena merasa kasihan. Anak jembel
tidak terpelajar, sampai-sampai membawa diri bersopan
santun saja tidak bisa. "Anak, jangan kau bersedih. Jenazah gurumu ini
serahkan saja kepada kami untuk mengurus penguburannya
dengan baik-baik. Tentang kau sendiri, kalau kau suka, kau
boleh ikut dengan kami menjadi pelayan dan bekerja di
rumah kami." Biarpun hatinya sedang berduka dan Tiang Bu berjiwa
sederhana, namun ia masih tahu akan terima kasih, dan
diam-diam merasa heran dan kagum mengapa di dunia yang
didiami penuh orang-orang jahat ini terdapat seorang
23 bangsawan tinggi seperti ini. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan Wanyen Ci Lun sambil berkata dan
mendongakkan kepalanya menatap wajah pangeran itu.
"Tai-ya sungguh mulia dan hamba selamanya akan ingat
kepada Tai-ya sebagai seorang muliawan. Hamba berjanji
akan berusaha membalas kebaikan Tai-ya, dan andaikata
hamba tak dapat memenuhi janji ini, biarlah Thian yang akan
membalas budi Tai-ya. Mohon tanya siapakah nama Tai-ya
agar selama hidup hamba takkan lupa?"
Kalau Pangeran Wanyen Ci Lun bukan seorang pangeran
yang sudah banyak melakukan perantauan di dunia kang-
ouw dan menyaksikan keanehan-keanehan, tentu ia akan
menganggap bocah itu lancang dan kurang ajar. Akan tetapi
ia tahu bahwa bocah ini bukanlah bocah biasa, maka sambil
tersenyum ramah ia menjawab.
"Aku bernama Wanyen Ci Lun dan kau tak perlu
mengingat tentang budi. Asal kau mau bekerja kepada kami,
sudah cukup baik dan ....... "
Kata-kata Wanyen Ci Lun terhenti karena pada saat itu
terdengar suara ketawa aneh sekali, suara ketawa
bermacam-macam ada yang seperti ringkik kuda, ada seperti
burung hantu dan ada yang seperti auman harimau.
Kemudian tiba-tiba berkelebat bayangan orang orang dan
tahu-tahu tiga orang kakek yang mengerikan telah berdiri di
tengah-tengah tempat yang dikelilingi orang itu! Tiang Bu
terkejut sekali ketika mengenal mereka, karena mereka itu
bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui. Tiga Iblis Kutub Utara!
"Bocah gila, kiranya kau minggat sampai di sini!" seru Giam-lo-ong Ci Kui Si Jangkung Gundul dan sepasang matanya berputaran mengerikan.
"Dia menipu kita!" Seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw Si Muka Burung dengan mata di pejam-pejamkan, alisnya berkerut-kerut.
24 Terdengar auman keras menggetarkan dan Sin-saikong
Ang Louw Si Muka Singa melompat maju. "Bocah jahanam
harus mampus saja!" Ia mengangkat tangan hendak
memukul kepala Tiang Bu, akan tetapi tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring. "Siluman-siluman tak tahu sopan. Mundurlah!" Bentakan ini dibarengi dengan sinar pedang yang dengan amat
cepatnya menyabet ke depan tubuh Ang Louw sehingga kalau
Si Muka Singa itu melanjutkan pukulannya kepada Tiang Bu,
tentu lengannya akan terbabat pedang. Cepat sekali Ang
Louw menarik tangannya dan menggerakkan jari tangannya
menyentil pedang itu. "Cringgg ....... !" Pedang terpental akan tetapi tidak terlepas dari tangan Gak Soan Li. Namun nyonya ini kaget
setengah mati karena sentilan pada pedangnya itu membuat
tangannya hampir lumpuh. "Bagus, Toanio lihai juga..." Ang Louw memuji. Memang ia merasa kagum melihat seorang wanita bangsawan yang
cantik dan masih muda ternyata memiliki kepandaian tinggi
sehingga pedang yang dipegangnya tidak terlepas oleh
sentilan jarinya. "Kami berurusan dengan murid sendiri,
apakah Toanio mau mencampuri?"
Pangeran Wanyen Ci Lun membentak para pengawalnya
yang sudah mencabut senjata dan mengurung tiga orang
aneh itu. Dari sentilan tadi dan melihat wajah isterinya,
pangeran ini maklum bahwa tiga orang kakek aneh yang
muncul secara tiba-tiba itu tentulah bukan orang-orang
biasa. Ia cepat menjura kepada mereka dan berkata.
"Sam-wi Lo-enghiong harap suka memaafkan kami dan
kiranya urusan ini perlu dibuat terang agar jangan terjadi
hal yang tidak diinginkan. Tentu saja isteriku tidak akan
mencampuri urusan orang lain, hanya tadi isteriku melihat
seorang bocah mau dipukul mati, tentu saja merasa kasihan
dan bermaksud menolong. Tidak tahu siapakah Sam-wi Lo-
25 cianpwe dan ada hubungan apa dengan bocah yang
kematian gurunya ini."
"Kematian gurunya" Hah, kami gurunya. Siapa yang mati,
dan siapakah kau ini, bangsawan muda?" tanya Giam-lo-ong Ci Kui.
"Kami tadi mendapatkan anak ini menangisi jenazah
seorang kakek tua di tempat ini dan menurut pengakuannya,
kakek itu adalah gurunya."
"Guru mengemis!"
Wan Sun cepat menyambung kata-kata ayahnya. Bocah ini pun cerdik. Dari sikap dan kata-kata tiga orangkakek
aneh itu, Wan Sun menduga bahwa Tiang Bu tentulah telah lari dan bertukar guru, maka ia cepat-cepat menyambung kata-kata ayahnya untuk menolong Tiang Bu. Tiga orang kakek itu saling pandang dengan heran, lalu Ang Bouw bertanya kepada Tiang Bu yang masih berlutut. "He, setan cilik. Benarkah kau menjadi murid orang lain untuk belajar
mengemis?" "Betul, Sam-suhu."
Tiga orang kakek itu tertawa bergelak dan banyak
penonton menjadi ketakutan, bahkan ada yang menggigil
kaki mereka mendengar suara ketawa ini. Kemudian mereka
26 memandang kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dan
bertanyalah Giam-lo-ong Ci Kui dengan nada terharu.
"Bagaimana seorang bangsawan besar seperti kau ini mau
mengurus perkara para jembel" Siapakah kau?"
Wanyen Ci Lun tersenyum mendengar ini, "Aku adalah
Wanyen Ci Lun ....... "
"Pangeran Wanyen Ci Lun?" Tiga orang kakek itu
menegaskan dengan suara hampir berbareng.
"Betul, apakah Sam-wi Locianpwe sudah mendengar
namaku yang tidak berharga?" Kembali tiga orang kakek
aneh itu tertawa bergelak-gelak. .
"Mungkin namamu tidak berharga, akan tetapi, kepala
Pangeran Wanyen Ci Lun berharga sekali'." kata-kata ini
dikeluarkan oleh Ci Kui dan serentak mereka maju
menyerang pangeran itu! Namun Gak Soan Li sudah waspada. Sejak tadi ia sudah
siap sedia dan curiga terhadap tiga orang kakek ini maka
diam-diam ia sudah memberi isarat kepada para pengawal.
Begitu tiga orang kakek itu bergerak, Soan Li sudah
memutar pedangnya menerjang Giam-lo-ong Ci Kui
sedangkan sepuluh orang pengawal yang berkepandaian
lumayan telah menyerang pula sambil memutar senjata
melindungi Pangeran Wanyen Ci Lun.
Pertempuran hebat segera terjadi di jalan raya itu. Para
penonton bubar dan lari ke sana ke mari panik. Para
pengawal itu ternyata sama sekali bukan tandingan Pakkek
Sam-kui yang bertempur sambil tertawa-tawa. Sebentar saja
empat orang pengawal roboh binasa dengan kepala pecah,
terkena pukulan-pukulan Liok-te Moko Ang Bouw dan Sin-
saikong Ang Louw. Yang lain-lain menjadi gentar juga
menghadapi dua orang kakek yang lihai sekali ini.
Sementara itu, biarpun Giam-lo-ong Ci Kui paling lihai di
antara tiga orang kakek ini, namun ia menemui tandingan
27 yang tidak begitu empuk seperti dua orang adiknya. Gak
Soan Li adalah pendekar wanita yang ilmu pedangnya kuat
dan ganas. Sungguhpun tingkat kepandaiannya masih kalah
jauh kalau dibandingkan dengan Giam-lo-ong Ci Kui, namun
kakek gundul ini tidak dapat cepat-cepat mengalahkan
nyonya pangeran ini. Gak Soan Li terkurung dan terdesak
hebat oleh Giam-lo-ong Ci Kui yang mempergunakan kain
selendangnya sebagai senjata. Nyonya ini menjadi nekad dan
pedangnya menyambar-nyambar seperti naga mengamuk.
Pangeran Wanyen Ci Lun maklum bahwa isterinya berada
dalam bahaya. Ia menjadi gelisah sekali. Untuk membantu
isterinya, ia tahu bahwa hal itu hanya akan mengacaukan
pertahanan Soan Li, karena kepandaiannya sendiri masih
belum ada artinya kalau dipergunakan untuk menghadapi
seorang selihai kakek gundul ini. Ia lalu mengeluarkan alat
memanggil dan melengkinglah suitan berkali-kali dari mulut
pangeran ini, sebagai tanda kepada seluruh pengawal di
istana bahwa ada bahaya mengancam. Tanda bahaya seperti
ini akan mendatangkan seribu orang pengawal bersama
puluhan orang panglima yang berkepandaian tinggi yang
tersebar di seluruh kota raja, terutama sekali di lingkungan
istana! Hanya orang-orang besar seperti Pangeran Wanyen Ci
Lun yang memiliki hak membunyikan tanda bahaya ini.
Akan tetapi terlambat. Pada saat ia meniup alat itu Giam-
lo-ong Ci Kui telah berhasil melibat pedang di tangan Soan Li dengan kain selendangnya dan sekali betot saja pedang itu
telah berpindah tangan. Kemudian sambil tertawa-tawa
mengejek Ci Kui menggunakan pedang rampasannya untuk
membabat batang leher Wanyen Ci Lun sambil berseru.
"Wanyen Ci Lun, ke sinikan kepalamu untuk kubawa!"
Akan tetapi Gak Soan Li sudah kena dirampas pedangnya,
melihat bahaya besar mengancam jiwa suaminya, cepat
meloncat bagaikan seekor kucing, menubruk kakek itu
sambil membentak. "Jangan bunuh suamiku!"
28 Giam-lo-ong Ci Kui terkejut sekali. Gerakan nyonya ini
demikian cepat dan nekad sehingga tak dapat disangsikan
lagi bahwa pedang di tangannya tentu akan membabat putus


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lengan kanan nyonya yang berusaha menyelamatkan
suaminya itu juga Wanyen Ci Lun menjadi pucat sekali, lalu
meramkan matanya agar jangan menyaksikan betapa
isterinya terbabat oleh pedang sendiri.
"Traaangngng..;. .Pedang di tangan Giam-lo-ong Ci Kui
terbentur oleh sebuah sinar terang dan aneh sekali, kakek
yang tinggi kepandaiannya ini sampai terhuyunghuyung ke
belakang dan pedang itu patah menjadi dua! Melihat bahwa
yang membentur pedang di tangannya itu adalah sebutir
pat-kwa-ci (biji segi delapan), berubah muka Ci Kui dan ia
berseru kepada adik-adiknya.
"Melihat muka Ang-jiu Mo-li, kita ampunkan Wanyen Ci
Lun dan mari kita pergi'"
Ang Bouw dan Ang Louw juga terkejut sekali apalagi
mendengar seruan suheng mereka itu, cepat mereka
melompat pergi melalui kepala banyak orang. Akan tetapi Ci
Kui tidak mau pergi begitu saja, tangan kirinya menyambar
dan di lain saat tubuh Tiang Bu telah dikempitnya dan
dibawa lari pergi bersama dua orang sutenya.
Tak seorang pun berani mengejar mereka yang cepat
lenyap dari pandangan mata. Wanyen Ci Lun memeluk
isterinya dengan hati penuh rasa sukur bahwa isterinya
terbebas dari kematian. Juga Soan Li mengucurkan air mata
melihat suaminya selamat. Wan Sun dan Wan Bi Li
mendekap baju ibu mereka karena dua orang anak ini masih
merasa ketakutan. "Sungguh beruntung ada seorang sakti menolong." bisik Soan Li kepada suaminya. Ia lalu menjura ke empat penjuru
dan berkata dengan suara nyaring, mengerahkan khikangnya
agar suaranya terdengar dari tempat jauh.
29 "Locianpwe yang telah menolong nyawa keluarga Wanyen
dari bahaya maut, harap sudi memperlihatkan diri agar kami
dapat menghaturkan terima kasih!"
Semua orang yang mendengar kata-kata nyonya
pangeran ini menjadi terheran-heran akan tetapi mereka
melongo ketika tiba-tiba terdengar suara perlahan akan tetapi jelas sekali sehingga seperti orang berbisik di dekat telinga.
"Kalian pulanglah, pinni (aku) menanti kalian di rumah."
Pangeran Wanyen Ci Lun terheran dan tidak mengerti,
akan tetapi istennya lalu menarik tangannya dan mengajak
dua orang anaknya cepat meninggalkan tempat itu dan
kembali ke istana mereka. Kereta dijalankan lagi, jenazah
empat orang pengawal diurus oleh kawan-kawannya dan
ramailah orang berbicara tentang peristiwa aneh tadi.
Banyak yang memuji akan kegagahan nyonya pangeran.
Di dalam kendaraannya, Wanyen Ci Lun berkata kepada
isterinya. "Apakah yang terjadi dengan bocah yang kematian gurunya itu, dan mengapa tiga orang iblis itu membawanya?"
Soan Li mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya.
"Entahlah, akan tetapi jangan kita pedulikan anak itu.
Semenjak melihatnya aku sudah merasa tidak suka
kepadanya." "Eh, mengapakah kau ada perasaan demikian" Kita baru
melihat dia untuk pertama kali dan apa salahnya?"
"Aku tidak tahu. Begitu melihatnya, aku mendapat
perasaan seakan-akan bocah itu hanya mendatangkan
malapetaka belaka. Dan tepat sekali perasaan itu, baru saja
ia kita ajak bicara, muncul malapetaka berupa tiga orang
lihai. Apalagi kalau diingat bahwa tiga orang iblis itu
mengakuinya sebagai murid. Ah, anak itu tentu bukan
manusia baik, dan entah siapa pula kakek jembel yang
sudah menjadi mayat itu."
30 Wanyen Ci Lun menarik napas panjang. "Memang dunia
kang-ouw banyak sekali manusia aneh, dan makin lama
makin banyak kita melihat orang-orang pandai luar biasa.
Aku kira bahwa kakek jembel yang sudah mati itu pun orang
luar biasa." Pangeran ini teringat akan ucapan puterinya ketika mereka baru turun dari kendaraan. "Bi Li, kau tadi bilang dia mati digigit ular. Betulkah itu?"
"Betul Ayah," jawab Bi Li dengan kepala. tunduk dan anak ini rupanya masih kaget karena peristiwa hebat tadi.
"Siapapun juga adanya kakek jembel itu, aku sudah
menyuruh pengawal merawat jenazahnya baik-baik. Yang
kuherankan adalah tiga orang iblis tadi. Mereka itu belum
pernah kukenal, akan tetapi mengapa begitu mendengar
namaku mereka lalu berusaha membunuhku?"
Gak Soan Li nampak bergidik ngeri. "Mereka itu lihai
sekali. Seorang saja di antara mereka memiliki kepandaian
yang jauh lebih tinggi daripada kepandaianku. Kiranya
kepandaian mereka sudah setingkat dengan kepandaian
mendiang Suhu Hwa l Enghiong Go Ciang Le! Aku pun tidak
dapat menduga siapa adanya mereka itu. Mereka memang
lihai luar biasa. Akan tetapi kalau aku mengingat akan
penolong kita yang dengan satu lemparan pat-kwa-ci telah
berhasil menolong nyawa kita dan mengusir tiga orang iblis
itu, sukar membayangkan betapa tingginya ilmu kepandaian
penolong kita itu." Diam-diam Wanyen Ci Lun menduga bahwa orang yang
menolong mereka itu bukan lain tentulah Wan Sin Hong
adanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau menyebut-
nyebut nama orang ini di depan isterinya dan pula ia juga
masih meragukan kebenaran dugaannya. Andaikata benar
Wan Sin Hong yang menolong tadi, mengapa pendekar itu
tidak mau terang-terangan, bahkan mengapa pula
menyuruh mereka pulang dan suaranya berbeda dengan
suara Wan Sin Hong. 31 Begitu kereta berhenti di depan pekarangan istananya
Soan Li melompat turun dan bertanya kepada para penjaga
di depan apakah tadi ada tamu datang. Para penjaga
menjawab tak melihat seorang pun tamu datang di situ.
Wanyen Ci Lun tahu bahwa isterinya tentu mengira penolong
itu mendahului datang di situ. I a merasa kasihan melihat
isterinya! nampak kecewa mendengar jawaban para penjaga.
Diam-diam makin tebal dugaan Wanyen Ci Lun bahwa
penolong mereka tentulah Wan Sin Hong yang tidak mau
menemui secara berterang dan agaknya malam nanti baru
akan muncul di kamarnya sendiri.
Akan tetapi, alangkah kaget dan heran hatinya ketika
mereka semua tiba di ruangan dalam, di situ mereka melihat
seorang wanita berpakaian seperti seorang pertapa,
berwarna putih semua. Mukanya cantik sekali dan kemerah-
merahan, rambutnya hitam panjang terurai di punggung dan
pundak sehingga biarpun rambut itu mendatangkan
keindahan namun agak menyeramkan. Sebuah pedang
menempel di pundak dan wanita ini berdiri dengan mata
bersinar-sinar, memandang ke arah Wan Sun dan Wan Bi Li.
Gak Soan Li menjadi kaget dan kagum sekali. Tidak saja
wanita ini dapat mendahului mereka, bahkan dapat
memasuki istana tanpa terlihat oleh seorang pun penjaga dan
pengawal! Ini saja sudah membuktikan betapa tinggi
kepandaian wanita ini. Soan Li merasa pasti bahwa inilah
orangnya yang telah menolongnya tadi, biarpun ia kaget
sekali karena tidak mengira bahwa penolongnya seorang
wanita demikian cantiknya.
Baginya mudah saja menentukan bahwa inilah orangnya,
karena tadi ia mendengar iblis jangkung gundul menyebut
nama Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)
sedangkan wanita cantik di depannya ini mempunyai dua
buah tangan yang merah seperti diwarnai gin-cu! Karena
sudah yakin bahwa inilah penolongnya, Soan Li tanpa ragu-
32 ragu lagi lalu menggandeng tangan dua orang anaknya
menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu sekeluarga menghaturkan terima kasih atas
pertolongan Locianpwe sehingga nyawa kami sekeluarga
terpelihara," kata Soan Li dengan sikap merendahsekali.
Adapun Wanyen Ci Lun yang menjadi tertegun karena sama
sekali tak disangkanya bahwa wanita cantik ini yang tadi
menolongnya, hanya menjura. Sebagai seorang pangeran
tentu saja ia tidak bisa berlutut di depan siapapun juga. Ia
memberi hormat dengan menjura dan berkata.
"Siankouw, selamat datang di rumah kami dan maafkan
kalau kami terlalu lama di jalan membuat Siankouw terlalu
lama menanti." Wanita itu menggerak-gerakkan tangan kirinya dan
terdengar ia berkata, suaranya halus akan tetapi tajam
rnenusuk telinga. "Tidak apa, tidak apa! Kalian ini keluarga bangsawan agung, mengapa memberi hormat kepada orang
rendah seperti aku" Hujin, bangunlah!" Sekali ia
mengibaskan tangan, Soan Li merasa seperti tubuhnya
diangkat oleh tangan yang kuat sekali sehingga ia bangkit
berdiri dengan tiba-tiba. Anehnya, dua orang anaknya tidak
ikut berdiri, jelas bahwa wanita aneh ini tidak menyuruh
dua orang bocah itu berdiri.
"Locianpwe, silakan duduk ....... " kata pula Soan Li.
"Tak usah, aku tidak lama di sini. Hanya ada sedikit
urusan hendak disampaikan kepada kalian suami isteri."
Wanyen Ci Lun dan Soan Li merasa tidak enak sekali.
Kalau seorang aneh dan sakti seperti wanita ini bilang ada
urusan, betapapun kecilnya urusan itu pasti amat
pentingnya. "Bolehkan kami mengetahui lebih dulu siapakah
sebetulnya Siankouw ini" Sungguh tidak enak bagi kami
kalau belum mengetahui nama besar penolong kami." kata
Wanyen Ci Lun karena pangeran ini tidak berani berlaku
33 sembrono dan lancang sebelum mengenal siapa wanita ini.
Kalau kawan tidak apa, akan tetapi kalau lawan ia dapat
bersiap-siap mendatangkan bala bantuan.
"Lihat saja kedua tanganku yang merah dan kalian akan
tahu siapa aku ini," jawab wanita itu dengan suara dingin seakan-akan mengejek.
"Kalau teecu tidak salah duga, Locianpwe ini tentulah
Ang-jiu Nio-nio (Dewi Bertangan Merah), bukan?" kata Soan Li cepat, khawatir kalau-kalau suaminya salah bicara.
Wanita itu tertawa, wajahnya manis sekali kalau tertawa
akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, hanya patut
terdengar di tengah malam di dalam kuburan yang sunyi.
Suara ketawa siluman! "Hujin terlalu sungkan. Di dunia ini, tidak ada orang yang menyebut aku dengan sebutan Nio-nio. Panggil saja
sebutanku yang sesungguhnya, yaitu Ang-jiu Mo-li (Iblis
Wanita Bertangan Merah)."
"Mana berani teecu berlaku kurang ajar" Seorang sakti
seperti Locianpwe patutnya menjadi seorang dewi. Hanya
orang kurang ajar dan buta saja yang berani menyebut iblis
wanita," kata Soan Li penasaran. Ia merasa amat kagum
terhadap penolongnya ini, maka tentu saja hatinya tidak
mengijinkan orang menyebutkan iblis wanita.
"Sudahlah, kau boleh menyebutku apa saja." Ang-jiu Mo-li berkata dengan wajah ramah dan senyum manis. Biarpun
dia ganas dan liar seperti iblis, tetap saja dia seorang wanita yang memiliki sifat-sifat kewanitaan pula, yakni paling suka
akan pujian! "Sekarang baik kuberi-tahukan tentang
maksud kunjunganku. Aku melihat dua orang anakmu ini
bertulang baik sekali dan kebetulan sekali memang aku
hendak mencari murid. Pendeknya aku datang untuk
membawa mereka bersama-sama dan menjadi murid-
muridku." 34 Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Wanyen Ci Lun
mendengar ini. Ia cepat memandang kepada isterinya untuk
melihat reaksi isterinya akan maksud wanita aneh itu, dan
untuk mempersiapkan segala kemungkinan kalau saja
isterinya sependapat dengan dia yaitu tidak setuju anak
mereka dibawa pergi. Akan tetapi kekagetannya menjadi
kekhawatiran juga keheranan ketika isterinya dengan wajah
berseri lalu berkata kepada dua orang anaknya.
"Sun-ji dan Bi Li, hayo kalian lekas memberi hormat
kepada Nio-nio!" Dua orang anak itu mentaati perintah
ibunya dan mereka cepat memberi hormat sampai jidat
mereka membentur lantai. Ada-pun Soan Li sendiri tanpa
menanti suaminya menyatakan sesuatu yang tidak sesuai
dengan rencananya, cepat berkata menjawab Ang-jiu Mo-li.
"Terima kasih hanyak atas perhatian Nio-nio terhadap
dua orang anakku yang bodoh. Sungguh mereka mendapat
anugerah besar sekali dari Thian bahwa Nio-nio telah sudi
mengambil mereka sebagai murid. Aku akan segera
menyuruh pelayan menyediakan sebuah kamar bersih dan
tenang untuk Nio-nio dan menyediakan tiga orang pelayan
untuk melayani segala keperluan Nio-nio di sini."
Baru lega hati Wanyen Ci Lun mendengar kata-kata
isterinya ini dan ia mengharap wanita aneh itu akan
menerima usul ini. Bagi Wanyen Ci Lun, dua orang anaknya
mendapat guru pandai tentu saja merupakan hal yang
menggembirakan karena pangeran ini dapat merasai
pentingnya ilmu silat. Yang membuat ia menjadi merasa
khawatir hanya kalau kedua anaknya dibawa pergi oleh
wanita itu. Hal ini ia merasa berat sekali, apalagi dalam
suasana seperti sekarang di waktu kerajaan menghadapi
ancaman musuh-musuhnya dan ia mempunyai rencana
untuk menyuruh anak isterinya mengungsi. Kalau dua
orang anaknya di bawa pergi, habis Soan Li bagaimana, dan
dia sendiri akan selalu mengkhawatirkan keadaan anak
isterinya. Beda soalnya kalau anak isterinya mengungsi ke
35 Kim-bun-to di rumah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, ia
merasa yakin bahwa anak isterinya berada di tempat yang
aman dan di tangan kawan-kawan sendiri yang boleh
dipercaya. Ang-jiu Mo-li tersenyum dan diam-diam ia kagum atas
kecerdikan nyonya pangeran itu, yang telah mendahuluinya
dengan usul supaya ia tinggal di situ dalam mengajar dua
bocah itu. "Mereka takkan maju kalau belajar di sini saja. Mereka
harus melakukan perantauan, harus mengalami betapa
sulitnya hidup di luar istana yang serba ada. Pinni
bermaksud mengajak mereka merantau di dunia kang-ouw
dan pinni bermaksud menjadikan mereka dua orang yang
kelak akan menjagoi kolong langit!"
Wanyen Ci Lun menjadi pucat, akan tetapi Soan Li dengan
wajah tenang tidak berubah menjawab.
"Nio-nio, biarpun aku tidak mempunyai kepandaian yang
berartl, namun dahulu aku adalah murid Hwa l Enghiong,
maka aku pun maklum akan kebenaran kata-kata Nio-nio
tadi. Memang tentu saja kami tidak akan berkeberatan kalau
sewaktuwaktu Nio-nio mengajak mereka merantau. Akan
tetapi tentu saja jangan sekarang di waktu mereka masih
kanak-kanak, selain membutuhkan kasih sayang ayah ibu,


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga mereka perlu mempelajari ilmu surat. Tentu saja Nio-
nio tidak akan suka kalau kelak ada orang-orang kang-ouw
bilang bahwa kedua orang murid Nio-nio hanyalah orang-
orang kasar yang tidak mengenal mata surat bukan" Oleh
karena itulah, Nio-nio, kami mengharap dengan sangat,
memohon kepadamu sudikah membagi anak-anak ini di
antara kita. Maksudku, di waktu kecil Nio-nio mengajar
mereka di sini dan kami berjanji takkan mengganggu Nio-nio,
dan kelak kalau sudah besar, kadang-kadang boleh saja Nio-
nio ajak mereka merantau. Bukankah jalan ini paling baik
dan adil dan Nio-nio tidak mengecewakan menjadi pujaan
kami keluarga Wanyen?"
36 Ang-jiu Mo-li menatap wajah Gak Soan Li. Tadinya ia
hendak marah mendengar orang berani membantah
kehendaknya, akan tetapi Ang-jiu Mo-li bukan seorang
bodoh. Ia sudah tahu betapa besar kekuasaan Pangeran
Wanyen Ci Lun dan bahwa kota raja bukanlah tempat di
mana ia boleh sembarangan bergerak. Sekali ia melakukan
pelanggaran dan keluarga ini nekat melakukan perlawanan,
ia tentu akan menghadapi pengawal-pengawal istana yang
pandai-pandai dan terutama sekali yang amat banyak
jumlahnya. I a amat suka melihat dua orang anak itu,
terutama sekali Bi Li. Sinar mata anak ini mendatangkan
rasa sayang dalam hatinya karena ia maklum bahwa kalau
anak ini terdidik baik, kelak akan lebih lihai daripada dirinya sendiri! Pula tempat ini amat indah, dan menyenangkan, apa
salahnya kalau dia tinggal di situ untuk beberapa lamanya.
Kalau sudah bosan, mudah saja baginya untuk pergi. Kalau
perlu, ia dapat juga membawa kedua muridnya minggat.
"Hujin, kau benar-benar seorang ibu yang penuh kasih
sayang kepada anak-anaknya dan seorang wanita yang berani
dan cerdik. Baiklah, pinni menerima usulmu itu dan biarlah
untuk sementara ini pinni tinggal di sini mengajar kedua
anakmu. Dapat dibayangkan betapa girangiiya hati suami isteri
itu. Sibuk mereka menyediakan kamar yang indah dan
bersih untuk Ang-jiu Mo-li, bahkan malamhya Pangeran
Wanyen Ci Lun menjamu makan minum kepada guru anak-
anaknya. Dalam perjamuan ini mereka bertiga bicara dengan
ramah dan berceritalah Ang-jiu Mo-li siapa adanya tiga orang
kakek itu. "Mereka bertiga adalah kaki tangan Raja Mongol yang
bernama Temu Cin. Tentu saja mereka hendak membunuh
Wanyen Ongya, karena kalau hal itu berhasil mereka tentu
akan mendapat hadiah dari raja mereka. Adapun jembel tua
yang mampus di pinggir jalan itu, kalau tidak salah adalah
Bu Hok Lokai, seorang kangouw yang tidak berdosa dan tak
37 pernah bermusuhan dengan orang. Entah siapa yang
membunuhnya. Bocah itu memang murid Pak-kek Sam-kui
karena pinni pernah melihat dia bersama tiga orang Mongol
itu. Pinni juga tidak tahu bagaimana ia bisa bersama Bu Hok
Lokai." Di dalam percakapan itu, setelah banyak minum arak
wangi, Ang-jiu Mo-li dengan bangga menceritakan bahwa dia
adalah murid dari seorang pertapa setengah dewa di Gunung
Himalaya, dan dalam kesombongannya ia menyatakan bahwa
jangankan menghadapi Pak-kek Sam-kui, biarpun orang-
orang seperti See-thian Tok-ong, Ba Mau Hoatsu, atau Giok
Seng Cu, kalau mereka itu masih hidup, mudah ia akan
dapat mengalahkan mereka. Biarpun Gak Soan Li dan
suami-nya masih kurang percaya, namun suami-isteri ini
sudah merasa girang dan beruntung sekali bahwa kedua
anak mereka tidak terpisahkan dari mereka, juga di situ
sekarang tinggal seorang sakti yang selain dapat
menurunkan kepandaian kepada Wan Sun dan Wan Bi Li
juga merupakan pembantu dan penjaga keamanan yang
boleh diandalkan. Tanpa melihat bukti juga mereka sudah percaya, karena
orang yang dapat menundukkan dengan amat mudahnya
orang-orang berkepandaian tinggi seperti Pak-kek Sam-kui,
tak dapat disangsikan lagi tentu memiliki kesaktian istimewa.
Dan kepercayaan mereka ini memang betul-betul tidak sia-
sia. Memang sesungguhnya Ang-jiu Mo-li adalah seorang
sakti, dan kiranya pada masa itu jarang ada orang memiliki
ilmu kepandaian setinggi ilmu yang dimiliki Ang-jiu Mo-li!
Diam-diam Pangeran Wanyen Ci Lun teringat akan sahabat
baik dan saudaranya Wan Sin Hong. Manakah yang lebih
pandai, pikirnya, antara guru anak-anaknya ini dengan
Wan-bengcu" Malam harinya ketika Wanyen Ci Lun berada di dalam
kamar tidur bersama isterinya ia berkata, "Aku makin
mengkhawatirkan nasib bocah yang dibawa pergi oleh Pak-
38 kek Sam-kui. Kalau mereka itu orang-orang Mongol yang
kejam dan jahat, kasihan sekali bocah itu. Entah mengapa,
sebaliknya dari perasaanmu, aku merasa suka dan kasihan
kepada anak itu." "Aah, mengapa mesti memikirkan bocah buruk seperti
dia" Melihat mukanya saja aku sudah tidak suka dan muka
itu membayangkan watak yang jahat. Murid Pakkek Sam-kui
mana bisa baik" Lebih baik kita pikirkan keadaan anak-
anak kita dan mudah-mudahan saja Ang-jiu Nio-nio tidak
hendak membawa mereka merantau sebelum mereka
dewasa. Suamiku harap kau jangan salah sangka. Aku tadi
begitu saja menerima Ang-jiu Nio-nio sebagai guru anak-
anak kita, karena selain dia memang berilmu tinggi, kalau
kita menolak dan dia memaksa, siapakah yang dapat
menahan dia membawa pergi anak-anak kita?"
Wanyen Ci Lun mengangguk-angguk dan merangkul
pundak isterinya yang terkasih.
"Soan Li, kau memang seorang yang pandai sekali. Aku
kagum kepadamu. Tanpa kau di sampingku tadi, entah apa
yang telah terjadi atas diriku. Hanya saja ....... sayang bocah bermuka buruk tadi ....... "
"Ah, ada-ada saja. Mari kita tidur dan lupakan bocah
buruk rupa itu!" jawab Soan Li.
Kalau saja Soan Li tahu bahwa "bocah buruk" itu bukan lain adalah anaknya sendiri! Anaknya sendiri keturunan dari
Liok Kong Ji si manusia jahanam! Seandainya ia tahu, apa
yang akan diperbuatnya" Menerima bocah itu seperti anak
sendiri ataukah menghunus pedang dan membunuhnya"
Entahlah, hati wanita sukar diduga isinya, apalagi isi hati
seorang wanita seperti Gak Soan Li!
-oo0mch0oo- 39 Sekarang kita ikuti perjalanan Tiang Bu. Bocah ini sama
sekali tidak berdaya ketika Giam-lo-ong Ci Kui
mengempitnya dan membawanya lari dengan cepat sekali
karena Ci Kui dan dua orang sutenya takut setengah mati
kalau sampai bertemu dengan Ang-jiu Mo-li! Pak-kek Sam-
kui adalah orang-orang utara, tentu saja mereka sudah tahu
siapa adanya Ang-jiu Mo-li. Bukan tahu saja, bahkan dahulu
ketika Temu Cin mencoba membujuk Ang-jiu Mo-li supaya
membantu barisan Mongol dan wanita itu rnenolak sehingga
terjadi pertempuran, Pak-kek Sam-kui pernah merasai
kelihaian tangan wanita itu. Mereka tentu akan tewas dalam
tangan wanita sakti itu kalau saja Temu Cin tidak
mengerahkan panglima-panglimanya. Setelah para panglima
Mongol, dipimpin oleh Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji
dan Butek Sin-ciang Bouw Gun, yaitu dua orang panglima-
panglima tertinggi dari Temu Cln di waktu itu, baru Ang-jiu
Mo-li melarikan diri, tidak kuat imenghadapi keroyokan
sekian banyaknya orang pandai. Maka tidak mengherankan
apabila tiga kakek seperti iblis ini lari tunggang-langgang
ketika melihat pat-kwa-ci, senjata rahasia Ang-jiu Mo-li yang amat lihai.
Ilmu lari cepat dari Pak-kek Sam-kui memang luar biasa.
Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan tidak pernah
berhenti, tak lama kemudian mereka telah memasuki hutan
besar, puluhan !i jauhnya di sebelah utara kota raja. Giam-loong Ci Kui melemparkan Tiang Bu ke atas tanah dan tiga
orang kakek itu berdiri memandang kepada Tiang Bu.
Menarik sekali kalau mempelajari tarikan suara mereka
bertiga. Ada bayangan orang marah, curiga dan lain
perasaan yang sukar dilukiskan!
"Tiang Bu, mengapa kau lari dari kami. Apa yang terjadi
padamu ketika kita berada di lereng Taihang-san?"
Tiang Bu sudah mengenal watak tiga orang gurunya yang
aneh dan kejam, maka ia maklum pula bahwa ia tidak boleh
berterus terang apalagi tentang belajar ilmu silat dari lain
40 guru. Hal itu tentu akan dianggap sebagai sesuatu yang
amat menghina oleh Pak-kek Sam-kui.
(Bersambung Jilid ke V) 41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid V "Karena dulu Suhu sekalian berlari cepat ke tempat
orang-orang bertempur, teecu tertinggal di belakang. Selagi
teecu kebingungan mencari jalan yang amat sukar itu, tiba-
tiba muncul seorang hwesio besar yang aneh, jubahnya
merah-merah dan ia memegang sebuah tongkat panjang.
Tiba-tiba saja munculnya entah dari mana, dan hwesio galak
itu begitu bertemu dengan teecu, lalu mendorong teecu
masuk ke dalam jurang di pinggir lorong kecil itu."
Pak-kek Sam-kui saling pandang dan tahu bahwa yang
dimaksudkan oleh Tiang Bu tentulah Thai Gu Cinjin, pendeta
Lama dari Tibet yang lihai itu. Mereka juga percaya atas
keterangan Tiang Bu karena dengan menyebut pendeta
Lama itu kiranya bocah ini tidak bohong.
"Kenapa dia mendorongmu masuk jurang?" tanya Liok-te Mo-ko Ang Bouw mata burungnya memandang penuh
selidik. "Mana teecu bisa tahu" Dia seperti orang gila sedang
marah-marah, begitu bertemu di jalan kecil itu, ia berkata,
1 'Minggir, setan cilik' dan teecu didorongnya sampai
terjungkal ke dalam jurang."
"Lalu apa yang terjadi?" tanya Ci Kui tertarik.
"Teecu tidak ingat apa-apa lagi, ketika teecu sadar
ternyata teecu telah dipondong oleh seorang pengemis tua
yang kakinya pincang. Kemudian menurut jembel itu, teecu
terjatuh di dalam jurang dan pingsan. Pengemis itulah yang
menolong teecu dari bahaya maut. Kemudian pengemis itu
membawa teecu merantau sampai ke kota raja. Tadinya
teecu hendak menolak ajakannya merantau dan mengemis,
akan tetapi teecu tidak berdaya karena teecu masih lemah
dan tidak bisa berjalan akibat jatuh itu. Terpaksa teecu ikut dengan pengemis tua itu dan sampai akhirnya bertemu
dengan Suhu bertiga di kota raja."
"Mengapa kau berada di sana dengan Pangeran Wanyen Ci
Lun sekeluarganya, dan apa yang dikatakan oleh pangeran
itu padamu?" "Setibanya di kota raja, kakek jembel itu terserang
penyakit aneh dan meninggal dunia di pinggir jalan. Teecu
yang tinggal seorang diri menjadi ke-bingungan. Lalu
muncul kereta pangeran itu dan pangeran itu sendiri
berjanji hendak mengurus jenazah kakek jembel. Dia tidak
berkata apa-apa, hanya bertanya apa yang terjadi di situ."
Tiang Bu yang melihat peristiwa di kota raja, maklum bahwa
tiga orang kakek ini tidak suka kepada Pangeran Wanyen Ci
Lun maka ia pun tidak mau memuji-mujinya walaupun di
dalam hatinya Tiang Bu amat kagum dan berterima kasih
kepada keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun itu.
"Selama kau ikut jembel busuk itu, apakah kau tidak
belajar silat?" "Jembel tua begitu mana mengerti silat" Teecu hanya
belajar mengemis dan sedikit membaca menulis." Bocah ini memang cerdik. Ia tahu bahwa Bu Hok Lokai bukanlah orang
tidak ternama. Kalau kelak tiga orang gurunya ini tahu
2 bahwa kakek jembel itu Bu Hok Lokal adanya, tentu mereka
akan menaruh curiga apabila ia bilang tidak belajar apa-apa.
Bu Hok Lokai adalah seorang bun-bu-coan-jai, maka orang
seperti itu kalau tidak mengajar ilmu silat, tentu mengajar
ilmu surat. Dan ia mengaku belajar ilmu surat ini agar
jangan membangkitkan amarah tiga orang kakek yang galak-
galak itu. "Bocah bodoh! Lain kali biar dipukul sampai mampus
jangan kau mau secara sembarangan saja dibawa pergi
orang. Kau sudah belajar dari kami, mengapa kau tidak mau
membunuh mati saja jembel tua itu lalu pergi mencari
kami"' kata Sinsaikong. Ang Louw.
"Tangan dan kaki teecu sakit-sakit semua, salah urat
ketika teecu terjatuh, juga kepala amat pening. Bagaimana
teecu bisa rnelawannya" Apalagi ketika teecu siuman, teecu
telah dipondongnya. Jembel tua itu ternyata hatinya baik
sekali maka teecu tidak tega untuk membunuhnya. Pula,
teecu tidak tahu kemana harus mencari Sam-wi Suhu, maka
teecu mau saja ikut dengan dia sambil mencari Suhu dalam
perantauan." "Sudahlah, lain kali kalau kau lari dari kami dan ikut
orang lain, akan kami bunuh. Kau menyia-nyiakan waktu.
Apa kau masih ingat semua pelajaran yang kau terima dari
kami?" Tiang Bu terkejut. Selama ini ia hanya menghafal kitab
dan melatih ilmu silat Samhoan Sam-bu. Ia tidak pernah
melatih dasar-dasar ilmu silat yang ia dulu terima dari Pak-
kek Sam-kui. Cepat otak dan ingatannya bekerja, diperasnya
untuk mengingat-ingat, lalu berkata.
"Teecu masih ingat, Suhu hanya selama ini tidak ada yang memberi petunjuk, tentu saja teecu tidak mendapat
kemajuan." "Haya kauperlihatkan padaku!" kata Ci Kui. "Malu aku kalau orang lain melihat muridku tidak becus apa-apa"
3 Diam-diam Tiang Bu gembira karena dari kata-katanya
ini, Giam-Lo-ong Ci Kui sudah memaafkannya. Dengan muka
riang bocah ini lalu bersilat seperti yang dulu pernah ia latih ketika masih ikut dengan tiga kakek ini.
"Waah ....... waaah ....... celaka! Buruk sekali!" seru Sinsaikong Ang Louw. "Hah, memalukan punya murid semacam
ini" Giam-lo-ong Ci Kui melangkah maju dan berkata dengan
suara sungguh-sungguh kepada Tlang Bu.
"Tiang Bu, ingatlah bahwa kau adalah murid Pak-kek


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sam-kui dan bahwa kau sekarang sudah besar. Sungguh
memalukan hati kami kalau ilmu silatmu seburuk itu. Hayo
kauperhatikan baik-baik dan mulai latihan. Ikuti gerakan-
gerakanku ini dan jangan salah."
Setelah berkata demlkian, Giam-lo-ong Ci Kui lalu
bersilat tangan kosong, sepuluh jari tangannya dengan kuku
panjang-panjang itu berbentuk cakar harimau dan ia
bersilat secara menyeramkan sekali. Dulu pernah Tiang Bu
menerima pelajaran ini akan tetapi belum berlatih, maka ia
tahu bahwa ia harus belajar ilmu silat yang oleh gurunya
disebut Ilmu Silat Hu-houw-tong-tee (Harimau Terbang
Menggetarkan Bumi). I a memperhatikan gerakan-gerakan
suhunya secara sungguh-sungguh dan penuh perhatian,
kemudian ia mulai meniru gerakan-gerakan suhunya itu.
Tiang Bu bersilat penuh semangat meniru gerakan Giam-lo-
ong Ci Kui. Ang Bouw dan Ang Louw menonton dan kadang-kadang
mereka memberi petunjuk kalau gerakan bocah itu ada yang
keliru. Sampai tiga jam lebih Ci Kui memberi pelajaran
kepada muridnya tanpa mengenal lelah sampai akhirnya
Tiang Bu dapat menguasai gerakan-gerakan yang sukar dan
hati Si Jangkung Gundul ini puas.
"Mulai besok kau harus latlhan memukul pasir dan batu
agar kedua tanganmu dapat cepat menjadi tok-ciang (tangan
4 beracun) seperti kami," kata Glaro-lo-ong dengan puas
sambil menghapus peluh yang memenuhi kepala gundulnya.
Tiang Bu mengucapkan terima kasih sungguhpun di
dalam hati ia tidak suka akan ilmu-ilmu silat yang aneh dan
menyeramkan ini. I a lebih suka mempelajari Samhoan Sam-
bu atau Pat-hong-hong-i dari kitab yang isinya sudah ia
hafalkan itu. Akan tetapi ia tidak dapat memilih dan
terpaksa harus me nerima pelajaran yang diberikan oleh tiga
orang kakek dari utara ini. Tiang Bu yang sudah tahu betul
akan watak aneh dari Pak-kek Sam-kui, sama sekali tidak
berani mencoba melatih Sam- hoan Sim-bu atau Pat-hong-
hong-i dihadapan mereka. Hanya sewaktn ia berada seorang
diri saja, sambil mengingat-ingat tangannya bergerak-gerak
melakukan gerakan-gerakan Pat-hong-hong-i yang s udah ia
hafal di luar kepala. Dari kota raja Pak-kek Sam-kui mengajak Tiang Bu
melakukan perjalanan yang jauh dan lama sekal i tidak tahu
bahwa ia diajak oleh tiga orang kakek itu ke Mongol, di
pusat bangsa Mongol yang mulai berkembang, ke tempat di
mana Raja Besar Temu Cin sedang menghimpun kekuatan
untuk melakukan penyerbuan besar-besaran sesuai dengan
cita-citanya, yaitu menguasai dunia dan memperlihatkan
kekuatan bangsa Mongolia!"
Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan dan makin
lama makin jarang bertemu dengan kota, bahkan mulai
mendaki gunung dan menyeberang laut pasir yang luas dan
ganas, Tiang Bu baru berani bertanya kepada guru-gurunya.
"Suhu, mengapa makin lama makin sunyi, dan makin
jarang kita bertemu manusia" Kita sedang menuju ke mana-
kah?" Giam-lo-ong Ci Kui tertawa bergelak "Kita menuju
pulang" "Pulang ke rumah Sam-wl Suhu?" tanya Tiang Bu, yang cerdik.
5 "Betul, kau akan ikut dengan kami ke sebuah negara yang
besar, sebuah negara yang sebentar lagi akan menjagoi di
dunia ini. Kau akan belajar ilmu kepada kami dan kelak kau
pun akan membantu negara itu menjadi suatu negara yang
jaya dan kuat, ditakuti oleh semua negara lain."
"Suhu, melihat munculnya matahari dari sebelah kanan
kita, teecu tahu bahwa kita sedang menuju ke utara. Akan
tetapi, teecu belum pernah mendengar dari negara manakah
asal Sam-wi, dan negara besar itu negara apakah?"
Ketiga orang kakek itu tertawa bergelak. "Bocah bodoh,
masa kau tidak mendengar tentang Mongol yang jaya dan
kuat, dan tentang raja besar kami yang tiada taranya. Raja
Temu Cin?" Tentu saja Tiang Bu tidak pernah mendengar nama
negara atau raja itu, bahkan ia tidak tahu yang
bagaimanakah bangsa Mongol itu. Melihat wajah ketiga
orang suhunya, bangsa Mongol tentu jelek.
"Jadi di Negara Mongol itu kita akan menjumpai bangsa
Mongol semua, seperti Samwi Suhu?" tanyanya dengan hati
kecewa akan tetapi wajahnya tetap tidak berubah.
"Tentusaja di Negara Mongol kau akan bertemu dengan
bangsa Mongol," jawab Ang Louw, gemas melihat kebodohan
muridnya. Mendengar suara Ang Louw dan tahu bahwa guru ke tiga
ini gemas, Tiang Bu berkata sambil tertawa, "Bukan
demikian maksud teecu. Tentu saja betul seperti kata Sam-wi
Suhu bahwa di Negara Mongol tentu kita akan bertemu
dengan bangsa Mongol. Maksud teecu, apakah di sana tidak
terdapat bangsa lain dan apakah disana tidak ada pula
bangsa Han?" "Kau tidak tahu, bangsa kami sudah menjadi bangsa
besar. Hanya ada beberapa suku bangsa saja yang belum
menaluk dan menyatukan diri di daerah utara, akan tetapi
sebagian besar sudah bersatu di bawah pimpinan Khan kami
6 yang besar dan semua suku bangsa itu kini menjadi bangsa
Mongol. Tentu saja masih ada bangsabangsa lain seperti
orang-orang Tibet dan suku-suku bangsa di pedalaman yang
berada di Mongol. Mereka ini termasuk orang-orang yang
membantu perjuangan kami. Bahkan yang menjadi kepala
dari semua orang gagah pembantu kaisar kami adalah
seorang Han yang berilmu tinggi. Dia itu ber-nama Liok Kong
Ji dan berjuluk Thian-te Bu-tek Taihiap (Pendekar Besar
Tiada Bandingan di Kolong Langit). Kepandaiannya hebat
dan dia menjadi tangan kanan raja besar kami."
Agak terhibur hati Tiang Bu mendengar bahwa di utara
sana terdapat bangsa Han dan yang lain-lain, karena ia
dapat membayangkan bahwa ia akan merasa tidak kerasan
kalau harus tinggal di sebuah negara yang orang-orangnya
macam Pak-kek Sam-kui ini buruknya!
Akan tetapi segera kekhawatirannya ini lenyap. Setelah ia
bertemu dengan beberapa kelompok suku bangsa di antara
pegunungan dan padang pasir, ia melihat suku bangsa yang
orang-orangnya terdiri dari orang-orang yang sempurna baik
bentuk muka maupun bentuk badannya. Ada kelompok
terdiri dari orang-orang berkulit agak coklat kemerahan,
akan tetapi wanita-wanitanya manis-manis dan yang laki-
laki gagah tinggi besar tubuh mereka kokoh kekar.
Ada kelompok yang orang-orangnya mempunyai kulit
putih kuning seperti orang-orang Han biasa, bahkan wanita-
wanitanya memiliki kecantikan yang menyendiri dan para
prianya juga tampan-tampan, dengan tulang pipi menonjol,
hidung mancung dan dagu meruncing kadang-kadang ada
belahan di tengahnya. Ada pula kelompok yang prianya
memelihara kumis panjang semua baik yang tua maupun
yang baru remaja hingga kelihatan lucu sekali. Bahasa
mereka juga bermacam-macam, akan tetapi pada umumnya
para wanitanya tidak berwatak malu-malu seperti wanita
Han, pandang mata dan senyum pada wajah yang manis-
manis itu terbuka dan ramah.
7 Yang nnenyenangkan hati Tiang Bu, setiap kelompok
yang bertemu dengan tiga orang gurunya, bersikap
menghormat. Di mana-mana Pak-kek Sam-kui disambut
seperti rakyat menyambut pembesar tinggi, dijamu dengan
hidangan-hidangan pilihan dan diadakan pesta-pesta tarian
untuk menyenangkan hati Pak-kek Sam-kui. Ketika para
kelompok suku bangsa taklukan itu mendengar bahwa Tiang
Bu menjadi murid Pak-kek Sam-kui, mereka juga
menghormati anak ini sehingga Tiang Bu yang dipuja-puja
merasa sungkan dan malu, akan tetapi perutnya lalu
kenyang. Akhirnya mereka tiba dikaki Gunung Kangai, di mana
pada waktu itu Raja Besar Temu Cin dan bala tentaranya
tinggal. Markas besar ini dikelilingi pagar tembok dan dijaga amat kuat. Di sekeliling markas ini terdapat dusun-dusun
yang ramai. Markas besar itu sendiri merupakan sebuah
kota tentara yang megah dan di dalamnya dilengkapi dengan
tempat-tempat hiburan bagi anggauta pasukan yang bebas
tugas dan beristirahat. Di mana-mana nampak kelompok
pasukan yang amat berdisiplin dan bersikap gagah perkasa
sehingga diam-diam Tiang Bu merasa gentar juga.
Pak-kek Sam-kui di tempat ini pun selalu disambut
dengan hormat oleh para penjaga. Tiga orang kakek itu
membawa Tiang Bu masuk ke dalam markas dan langsung
menuju ke sebuah bangunan besar di mana berkumpul
banyak orang yang aneh-aneh sikapnya. Tiang Bu melihat
orang-orang yang berpakaian seperti hwesio, ada yang seperti
pendeta tosu, ada pula yang compang-camping pakaiannya
seperti pengemis. Bahkan banyak pula terdapat wanita-
wanita tua yang sikapnya menunjukkan bahwa mereka
adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Serdadu-
serdadu Mongol dengan sikap menghormat sekali melayani
orang-orang ini makan minum.
Ketika Pak-kek Sam-kui tiba di tempat itu, mereka
semua menyambut dan menyalam dengan gembira. Ketika
8 Pak-kek Sam-kui yang bercakap-cakap dengan mereka
dengan sikap seperti sahabat-sahabat lama memberi tahu
atau memperkenalkan Tiang Bu sebagai muridnya, orang-
orang itu segera merubung Tiang Bu dan dari sana sini
terdengar pujian-pujian. Sayangnya Tiang Bu tidak mengerti
bahasa mereka karena mereka bicara dalam bahasa Mongol.
Akan tetapi banyak di antara mereka yang pandai bicara
dalam bahasa Han dan segera bocah ini dihujani pertanyaan
tentang nama dan sebagainya.
"Tiang Bu, mereka semua ini adalah sahabat-sahabat
baik kami yang membantu pergerakan bangsa Mongol yang
besar, Mereka ini adalah orang-orang berilmu yang datang
dari segala pelosok, kepala-kepala suku bangsa yang
menyatukan diri dengan pasukan kami. Kalau kau dapat
menyenangkan hati mereka, dan dapat memetik pelajaran-
pelajaran dari mereka, kau akan beruntung sekali. Sekarang
kau tinggal dulu di sini, kami hendak menghadap raja," kata Ci Kui kepada muridnya. Tiang Bu mengangguk dan
menelan ludah. Ia merasa gelisah juga ditinggalkan seorang
diri di antara orang-orang asing yang rata-rata aneh dan
menyeramkan itu. Jumlah mereka kurang lebih dua puluh orang dan
ruangan yang amat luas itu masih terus kedatangan orang
baru. Juga ada yang menihggalkan ruangan itu. Agaknya
tempat ini menjadi tempat istirahat bagi mereka, beristirahat sambil bercakap-cakap dengan kawan yang dijumpainya dan
minum-minum arak. Benar-benar mereka kelihatan hidup
senang. Dari percakapan beberapa orang di antara mereka
yang dilakukan dalam bahasa Han, Tiang Bu mendapat
kenyataan bahwa mereka ini adalah orang-orang gagah yang
membantu Raja Temu Cin. Mereka ini bercerita betapa
mereka sudah berhasil memimpin pasukan menaklukan
suku bangsa ini atau itu sehingga kedudukan bangsa
Mongol bertambah lagi. 9 Tiang Bu masih terlalu kecil untuk mengerti tentang
politik dan tentang keadaan pemerintahan di masa itu. Akan
tetapi karena sudah banyak mendengar dari Pak-kek Sam-
kui, ia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah. orang-
orang berilmu yang datang ke tempat itu untuk membantu
Temu Cin karena berbagai alasan. Ada yang memang
ditaklukkan, ada yang memang suka membantu secara suka
rela, ada pula yang karena mengharapkan hadiah yang
secara royal dikeluarkan oleh Temu Cin. Melihat cara
mereka menyambut Pak-kek Sam-kui seperti sahabat yang
setingkat, diam-diam Tiang Bu kagum sekali.
Kepandaian mereka tentu tinggi seperti kepandaian Pak-
kek Sam-kui maka mereka berani bersikap seperti itu. Dan
dugaan ini memang betul. Pergerakan bangsa Mongol yang
dipimpin Temu Cin dapat berkembang dengan cepat dan
berhasil, bukan saja karena pandainya Temu Cin memimpin
bala tentaranya yang berdisiplin dan gagah, akan tetapi juga
terutama sekali karena di belakang raja ini terdapat banyak
sekali orang pandai yang membantunya.
Pak-kek Sam-kui memasuki bangunan terbesar yang
berada di dalam lingkungan benteng itu. Bangunan ini selain
besar juga terjaga kuat sekali. Di sebelah dalamnya indah
dan megah. Inilah tempat tinggal Raja Besar Temu Cin! Raja
yang berhasil memimpin bangsa yang tadinya awut-awutan
dan terpisah-pisah menjadi satu bangsa kesatuan yang amat
hebat. Pak-kek Sam-kui diterima oleh lapisan penjaga yang
tujuh lapis banyaknya dan diantar dari penjaga pertama ke
pos penjaga ke dua dan selanjutnya sampai ia tiba di pos
penjagaan terakhir. Semua penjaga mengenal mereka maka
mereka dapat langsung ke dalam tanpa banyak halangan.
Dari para penjaga Pak-kek Sam-kui mendapat tahu bahwa
raja sedang berundlng dengan dua orang panglima besarnya.
"Kebetulan sekali, bahwa kami meng-hadap," kata Giam-lo-ong Ci Kui.
10 Setelah seorang penjaga melapor dan mendapat perkenan
dari raja, tiga orang kakek aneh itu lalu diperkenankan
masuk. Ruangan sidang yang mereka masuki besar dan
berlantai mengkilap. Di sudut-sudut delapan penjuru
terlihat pengawal-pengawal berdiri tegak dengan tombak dan
pedang di tangan. Mereka itu tidak bergerak seperti patung,
pandang mata tak pernah terlepas dari raja mereka dan
sekelilingnya. "Pak-kek Sam-kui Suhu datang! Selamat datang, silakan
duduk dan mari minum dulu menghilangkan dahaga!"
sambutan meriah ini adalah kebiasaan dari Raja Temu Cin
setiap kali ia menyambut panglima-panglima atau utusan-
utusannya dari sebuah tugas yang berat. Dan dengan
ramahnya, tangan raja besar ini sendiri yang menuangkan
arak wangi ke dalam cawan untuk tiga orang kakek itu. Pak-
kek Samkui yang tadinya berlutut memberi hormat, lalu
bangkit membungkuk-bungkuk, menghampiri meja besar,


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi hormat lagi sebelum menerima cawan arak dan
menghaturkan terima kasihnya. Kemudian mereka
dipersilakan duduk di bangku agak bawah.
Temu Cin adalah seorang raja muda berusia tiga puluh
lima atau empat puluh tahun. Tubuhnya tegap. dengan dada
bidang, mukanya berbentuk segi empat dengan daun telinga
lebar panjang, alisnya kecil cocok dengan matanya yang kecil
sipit. Kumisnya dipelihara pendek dan di bawah bibir bawah
juga terdapat rambut pendek, akan tetapi jenggotnya di
bawah dagu dibiarkan panjang. Sinar matanya yang
kelihatan ramah dan lembut itu membayangkan kekerasan
hati yang tiada bandingannya, hati membaja yang tak dapat
dilipat. Inilah Raja Muda Temu Cin calon raja besar di
Mongol, pendiri bangsa Mongol yang kuat sekali. Nama
besarnya kelak sebagai Raja Jengis Khan akan terkenal di
seluruh jagad! Di dekat kaisar ini duduk dua orang laki-laki yang
berpakaian sebagai panglima perang. Yang sebelah kanan
11 adalah seorang laki-laki tampan dan gagah se-kali, kulit dan
bentuk mukanya jelas menunjukkan bahwa dia adalah
seorang Han. Inilah dia Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong
Ji, kenalan lama dari para pembaca cerita "Pedang Penakluk Iblis". Liok Kong Ji yang berjuluk Pendekar Besar Tiada
Bandingan di Kolong Langit ini sekarang telah berhasil
menduduki tempat terhormat di sebelah Raja Muda Temu
Cin. Bagi para pembaca yang tidak mendapat kesempatan
membaca cerita Pedang Penakluk Iblis, baiklah kita
terangkan secara singkat siapa adanya Liok Kong Ji ini.
Liok Kong Ji adalah seorang laki-laki yang sekarang
berusia hampir empat puluh tahun. Semenjak kecilnya, Liok
Kong Ji memiliki kecerdikan yang amat luar biasa. Dia amat
jahat dan berbahaya. Kecerdikannya membuat ia lebih
berbahaya lagi sampai-sampai ia berhasil menipu tokoh-
tokoh besar di dunia kang-ouw, di antaranya Hwa l Enghiong
Go Ciang Le, See -thian Tok-ong, Giok Seng Cu, Ba Mau
Hoatsu dan yang lain-lain sehingga tokoh-tokoh besar ini
telah tertipu oleh, Liok Kong Ji di waktu dia masih kecil dan menurunkan ilmu-ilmu mereka yang tinggi kepada bocah
setan ini! Dengan kecerdikannya yang luar biasa itu
akhirnya Liok Kong Ji berhasil membuat dirinya pandai dan
lihai sekali ilmu silatnya.
Bahkan dengan kepandaiannya dan kecerdikannya ia
telah berhasil mencuri hati semua tokoh besar di selatan
dan timur sehingga ia pernah diangkat oleh mereka ini
sebagai Tung-nam-bengcu (Ketua Persilatan Daerah Selatan
dan Timur). Kejahatannya melebihi iblis. Banyak orang
menderita oleh kejahatannya, dan akhirnya karena tidak
dapat menahan kejaran Wan Sin Hong yang ternyata lebih
pandai daripadanya, Liok Kong Ji melarikan diri ke utara.
Sebelum melarikan diri, ia melakukan penipuan yang hebat
pula dan yang hanya diketahui oleh Wan Sin Hong seorang.
Hal ini terjadi ketika Nyonya Pangeran Wanyen Ci Lun, yaitu
Gak Soan Li yang di waktu masih gadis pernah menjadi
korban kekejian Liok Kong Ji sehingga melahirkan anak di
12 luar kehendaknya, berhasil membunuh Liok Kong Ji! Bagi
semua orang, terutama sekali Gak Soan Li sendiri, yang
dibunuh itu tentu Liok Kong Ji si manusia jahanam.
Akan tetapi pada hakekatnya, dan ini hanya diketahui
oleh Wan Sin Hong, Liok Kong Ji masih hidup dan yang
terbunuh? itu hanya orang lain, yaitu orang yang
dipergunakan oleh Liok Kong Ji untuk melindungi dirinya
karena orang itu kebetulan sekali memiliki bentuk muka dan
tubuh yang serupa dengan dia. Semua ini dapat anda baca
dalam cerita Pedang Penakluk Iblis yang amat menarik.
Demikianlah perkenalan secara singkat dengan tokoh
besar ini, yang sekarang memakai nama julukan Thian-te
Bu-tek Taihiap. Hanya kecerdikannya semata yang dapat
membuat ia diterima dan diangkat sebagai komandan oleh
Raja Temu Cin. Raja orang-orang Mongol ini memang
seorang pemimpin yang amat pandai. Raja Temu Cin-
maklum betul bahwa Liok Kong Ji bukan manusia baik,
berhati palsu, berwatak keji dan dengki dan kalau menjadi
musuh, merupakan lawan yang amat berbahaya. Akan tetapi
Temu Cin tidak membutuhkan wataknya, tidak peduli
apakah orang jahat atau baik, yang penting baginya adalah
tenaga orang itu. Asalkan dapat membantu perjuangannya,
memperkuat bala tentaranya, ia akan menutup mata
terhadap kejahatan orang itu dan akan mengangkatnya
sebagai pembantu. Justeru orang semacam Liok Kong Ji ini amat
dibutuhkan oleh Temu Cin. Ilmu silatnya tinggi, orangnya
kejam, dan memiliki kecerdikan luar biasa dan tipu muslihat
yang hebat-hebat! Oleh karena itu, ia menerima Liok Kong Ji
dengan senang hati, memberi hadiah dan pangkat tinggi, dan
menyenangkan hati orang she Liok ini. Raja orang Mongol ini
maklum akan watak Kong Ji yang mata keranjang, maka
untuk menyenangkan hatinya, sengaja Temu Cin memberi
hadiah puteriputeri dan dara-dara cantik hasil rampasan
dari berbagai suku bangsa yang ditalukkan. Makmur dan
13 senanglah penghidupan Liok Kong Ji dengan belasan orang
selirnya yang cantik-cantik!
Namun kebahagiaan hidup seseorang tak mungkin dapat
diukur dengan keadaan lahir saja, dan biasanya kebahagiaan
hanyalah khayal pandangan orang-orang luar berdasarkan
harta benda dan kedudukan. Akan tetapi, sesungguhnya
bahagiakah hidup Liok Kong Ji" Tidak! I a sudah terlalu
biasa dengan kemewahan dan kecukupan sehingga pangkat
tinggi dan harta benda serta belasan orang selir itu tidak
mendatangkan kebahagiaan, dan semua itu tidak terasa lagi
kesenangannya. Sering kali ia duduk termenung memikirkan
kekecewaan hatinya yang kadang-kadang mengganjal isi
dadanya. Ia sering kali murung kalau sedang demikian dan apabila
selir-selirnya datang hendak menghlburnya, ia mengusir
mereka pergi seperti orang mengusir ayam. Kadang-kadang
ia memaki-maki belasan orang selirnya ini, dimakinya
mereka itu bodoh, tidak sehat, tidak setia dan lain-lain
makian kotor. Semua selirnya tahu belaka mengapa Liok
Kong Ji bersikap seperti ini dan di belakang mereka
mengomel dan berkata. "Dia sendiri yang tidak becus, mengapa marah-marah
kepada orang lain" Kalau hanya seorang isteri saja yang tidak bisa punya anak, bolehlah dipersalahkan isteri itu, akan
tetapi kalau lima belas orang selir tak seorang pun yang bisa punya anak, sudah jelas letak kesalahannya bukan pada
selir-selir itu melainkan kepada suaminya! " Demikian mereka
mengomel. "Memang, ganjalan hati Liok Kong Ji yang sering membuat
ia termenung dan marah-marah adalah karena ia tidak
mempunyai keturunan. Inilah sebabnya mengapa ia sampai
mempunyai demikian banyak selir, di samping lain sebab
bahwa ia memang seorang mata keranjang. Makin tua ia
merasa makin gelisah kalau mengingat bahwa ia tidak
mempunyai keturunan seorang pun! Akhirnya atas nasihat
14 Temu Cin, Liok Kong Ji memungut dua orang anak,
keduanya adalah anak-anak perempuan yang manis-manis
berusia lima dan enam tahun. Mengapa ia memungut anak
perempuan dan bukan laki-laki" Ini tentu ada sebabnya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan. Kong Ji adalah
seorang yang memiliki watak rendah dan jahat. Tak mungkin
ia dapat sayang kepada orang, lain yang bukan anaknya
sendiri, kalau orang itu laki-laki. Kalau perempuan lain lagi karena ia mengandung harapan bahwa kalau kelak anakanak itu menyenangkan hatinya, ia bisa mengambilnya
sebagai ....... bukan sebagai anak, melainkan sebagai selir
muda! Memang dalam batin bejat seperti ini selalu
terkandung maksud-maksud yang kotor dan tidak suci.
Karena maksud hati kotor ini?maka pengangkatan dua
orang anak itu tidak memuaskan hatinya dan sering kali
kalau sedang termenung seorang diri, ia teringat kepada Gak
Soan Li. Sama sekali bukan teringat karena ia amat
mencinca wanita ini, bukan. Orang macam Kong Ji ini mana
mempunyai perasaan cinta kasih yang suci" Ia bersifat mata
keranjang dan suka akan wanita hanya berdasarkan nafsu-
nafsu kotor semata. Ia sering kali termenung kepada Soan Li
oleh karena hanya wanita inilah yang telah melahirkan
seorang anak keturunannya! Ingin sekali ia tahu di mana
adanya anaknya itu, laki-laki atau perempuan"
Lima belas orang selirnya selain muda-muda dan cantik-
cantik, juga kelihatan amat sayang dan cinta kepadanya. Hal
ini tidak aneh oleh karena Kong Ji pernah membunuh
seorang selir yang berani memperlihatkan sikap membenci
kepadanya. I a mencekik selir itu begitu saja sampai mati di
depan semua selirnya sehingga mereka menjadi takut sekali
kalau-kalau mengalami nasib mengerikan seperti itu. Oleh
karena ini maka mereka berlumba mengambil hati Kong Ji.
Hanya seorang saja di antara lima belas orang selir itu yang
bersikap sewajarnya dan tidak mengambil-ambil hati. Namun
Kong Ji pun tidak mengganggunya, oleh karena selir ini
15 memang paling cantik dan paling disayangi, selain itu Kong
Ji pun tidak berani menyiksanya apalagi membunuhnya.
Selir ini adalah bekas isteri seorang panglima besar
Mongol yang masih muda. melihat kecantikan isteri panglima
muda itu, Kong Ji tak dapat menahan nafsunya dan dengan
kepandaiannya yang tinggi ia mendatangi kamar panglima itu
untuk mengganggu isterinya. Panglima itu melihatnya dan
terjadi pertempuran, akan tetapi dia bukan lawan Kong Ji.
Dalam belasan jurus saja panglima itu tewas dan Kong Ji
menculik isteri panglima itu ke rumahnya.
Temu Cin mendengar tentang hal ini. Akan tetapi dia
tidak menghukum Kong Ji, bahkan dengan sah memberikan
wanita itu kepada Kong Ji sebagai selirnya dengan pesan
supaya Kong Ji memperlakukan janda muda itu baik-baik,
kemudian menyuruh orang mengubur jenazah panglima
mudanya. Habis perkara! Temu Cin bukan seorang hakim,
melainkan seorang raja yang sedang membangun
kerajaannya. Oleh karena itu segala keputusannya bukan
berdasarkan keadilan melainkan berdasarkan rugi untung
bagi kemajuan kerajaannya. Kong Ji adalah orang panglima
yang boleh diandalkan, apakah artinya seorang panglima
muda seperti yang telah terbunuh itu" Dan lagi, soalnya
adalah perebutan perempuan. Perkara yang tidak ada
artmya bagi Temu Cin. Cukuplah kiranya tentang Liok Kong Ji panglima besar
yang usianya hampir empat puluh tahun, berwajah tampan,
bersikap halus terpelajar, dan berkepandaian tinggi serta
memilikl kecerdikan luar biasa ini. Kita kembali ke ruangan
sidang di mana Raja Temu Cin sedang menyambut
kedatangan Pak-kek Sam-kui.
Di sebelah kiri Temu Cin duduk seorang berpakaian
panglima pula. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa.
Mukanya penuh brewok dan hampir menutupi hidung dan
mulutnya. Hanya matanya saja yang kelihatan nyata,
sepasang matanya setengah keluar, menakutkan. Inilah
16 panglima besar yang usianya sudah Lima puluh tahun,
bernama Bouw Gun dengan julukan Bu-tek Sin-ciang
(Tangan Sakti Tiada Bandingan). Oleh karena julukan inilah
kiranya maka Liok Kong Ji mengambil julukan yang lebih
unggul, yaitu Thian-te Bu-tek Taihiap (Pendekar Besar
Tanpa Bandingan di Kolong Langit). Dan ia memang berhak
memakai julukan yang lebih hebat dan tinggi daripada Bouw
Gun karena dalam sebuah pertandingan ketika hendak
diterima oleh Temu Cin, ia telah mengalahkan Bouw Gun ini.
Dua orang ini, Liok Kong Ji dan Bouw Gun, pada waktu
itu merupakan pembantupembantu lihai.
Setelah Pak-kek Sam-kui minum arak yang disuguhkan
oleh Temu Cin sendin, mereka lalu membuat laporan tentang
perjalanan mereka melakukan tugas. Mereka melaporkan
bahwa Wan Sin Hong menolak undangan Temu Cin dan
menceritakan pula tentang peristiwa yang mereka alami di
puncak Luliang-san, di mana Sin-saikong Ang Louw telah
mencoba kepandaian Hui-eng Niocu Siok Li Hwa.
"Sayang," kata Liok Kong Ji. "Kepandaian Wan Sin Hong benar-benar tinggi dan kalau kita berhasil menariknya, tentu
ia akan dapat menghadapi orang-orang seperti Ang-jiu Mo-li."
Kemudian Pak-kek Sam-kui melanjutkan pelaporan
mereka. Dengan menarik hati mereka menceritakan bahwa
mereka telah berhasil merebut simpati dari para tokoh kang-
ouw di daerah selatan. Temu Cin girang sekali mendengar ini,
sambil tertawa bergelak ia kembali menuang-kan arak ke
dalam tiga cawan dan mempersilakan Pak-kek Sam-kui
minum. Inilah penghormatan besar sekali bagi tiga orang
utusan ini! "Bagus-bagus! Dan bagaimana penye-lidikan kalian
tentang sikap suku bangsa Shia-shia yang berkepala batu
itu?" tanya Temu Cin kepada Pak-kek Sam-kui.
"Mereka masih tetap hendak berdiri sendiri, merdeka dan
terlepas dari kita maupun dari kerajaan-kerajaan di selatan.
17 Bangsa Shia-shia itu biarpun hanya sekelompok saja namun
merupakan rintangan yang besar dalam cita-cita kita
menyerbu ke selatan. Akan tetapi, hamba bertiga berani
memastikan bahwa mereka pun takkan sudi bersekutu
dengan Kerajaan Cin," kata Giam-lo-ong Ci Kui.
"Biarlah, jumlah mereka besar. Kelak dalam pergerakan
kita, kalau mereka suka membantu sukur, kalau tidak kita
harus mempergunakan kekerasan."
Kemudian Giam-lo-ong Ci Kui men-ceritakan
pengalamannya di Go-bi-san, ketika ia dan dua orang
sutenya membawa pasukan menyerbu Hui-eng-pai.
"Karena hamba mendengar bahwa Hui-eng-pai di bawah
pimpinan Hui-eng Niocu merupakan perkumpulan wanita
yang kuat, maka hamba bermaksud menaklukan mereka dan
menarik mereka membantu kita."
"Bagus sekali! Selain tenaga mereka kita butuhkan, juga
mereka terdiri dari banyak wanita-wanita cantik yang dapat
menggembirakan hati anak buah kita!" kata Liok Kong Ji
gembira mendengar penuturan Ci Kui.
"Liok-taihiap tak pernah ketinggalan kalau mendengar
wanita-wanita cantik," kata Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun
sambil tersenyum. Juga Temu Cin tertawa lebar.


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 11 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Cinta Bernoda Darah 5
^