Pencarian

Tangan Geledek 4

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


"Tentusaja, kalau kita dapat menggembirakan hati para
pemimpm pasukan bukankah mereka akan makin
bersemangat?" jawab Kong Ji.
"Tentu saja diberikan kepada mereka setelah dipilih dan
diambil yang paling baik untuk pengisi taman bungamu
sendiri. Bukankah begitu, Saudara Liok?" kata Temu Cin
menggoda. Liok Kong Ji tersenyum dan mengangguk. "Dengan seijin
Paduka tentu saja akan terjadi demikian, karena bukankah
panglima mendapat hak lebih dulu dari anak buahnya,
bukan?" Temu Cin tidak menjawab hanya tertawa bergelak
18 lalu menyuruh Giam-lo-ong Ci Kui melanjutkan
penuturannya. "Sayangnya hamba tidak berhasil karena di luar dugaan
hamba bertiga di sana sudah muncul Wan Sin Hong!
Temu Cin dan Liok Kong Ji tertarik sekali dan mendesak
supaya Ci Kui segera melan)utkan laporannya. "Lalu
bagaimana selanjutnya?"
"Hamba sudah mengerahkan kawan-kawan dan
bertempur mati-matian, akan tetapi Wan Sin Hong benar-
benar lihai sekali. Akhirnya karena anak; buah hamba
semuanya binasa terpaksa hamba melari-kan diri."
Terdengar Temu Cin menggebrak meja. Raja ini marah
sekali. mendengar sepasukan orang-orangnya telah binasa
oleh Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa. Juga Liok Kong Ji
menjadi kecewa sekali. "Bawa pasukan yang lebih besar dan tangkap anjing Wan
Sin Hong dan Siok Li Hwa itu!" seru Kong Ji lupa diri saking marahnya. Ia benci sekali kepada Sin Hong dan ini sudah
sewajarnya karena ia sampai lari dari pedalaman dan tinggal
di Mongol hanya karena takut menghadapi kejaran Sin
Hong. Akan tetapi Temu Cin mengangkat tangan dan
memandang kepadanya dengan mata tajam.
"Saudara Liok, tenanglah. Seorang yang dapat melawan
Pak-kek Sam-kui dan tidak saja mengalahkan mereka
bahkan membinasakan sepasukan tentara pilihan, tidak
seharusnya dibunuh. Pak-kek Sam-kui, sekarang kalian
kuberi tugas, usahakan sedapat mungkin agar supaya Wan
Sin Hong bisa menghadap ke sini dan membantu aku.
Persidangan selesai!"
Dengan hati masih panas Liok Kong Ji terpaksa menjura
dengan hormat bersama yang lain-lain, lalu mengundurkan
diri keluar dari ruangan itu. Sesampainya di luar, Kong Ji
19 minta kepada Pak-kek Sain-kui supaya menceritakan lagi
sejelas-jelasnya tentang pertempuran di Go-bi-san itu. Ci Kui menuturkan dengan jelas, bahkan menceritakan pula betapa
nama Liok Kong Ji masih dihormati dl selatan. Hal ini
menggirangkan hciti Kong Ji dan diam-diam ia merasa rindu
untuk pulang ke pedalaman hanya ia masih gentar
menghadapi Wan Sin Hong. Ketika mereka tiba di tempat peristirahatan dan melihat
seorang bocah dikerumuni para perwira, Kong Ji laki
bertanya. "Siapakah bocah ini?" Ia merasa heran melihat seorang bocah bangsa Han berada di tempat itu.
"Taihiap, dia ini murid Pak-kek. Sam-kui, apa kau belum
tahu?" Kong Ji menatap wajah bocah itu, wajah yang buruk dan
tidak menyenangkan hatinya, kemudian ia berpaling kepada
Ci Kui, "Apakah kau mendapatkan murid ini di selatan?"
Ci Kui tertawa. "Bocah ini bukan sembarangan bocah,
karena dia sudah diperebutkan antara Wan Sin Hong dan
Siok Li Hwa!" Kemudian ia menuturkan tentang keadaan
Hui-eng-pai ketika Tiang Bu diperebutkan oleh Sin Hong dan
Siok Li Hwa. Kong Ji merasa heran sekali mendengar ini.
Kalau sampai Sin Hong dan Li Hwa memperebutkan bocah
ini, tentu ada hal yang luar biasa pada anak ini. Ia menjadi
tertarik dan memanggil bocah itu mendekat.
Melihat seorang panglima gagah memanggilnya dengan
suara dan bahasa Han, Tiang Bu segera maju menghadap
dan berdiri di depan Liok Kong Ji. Setelah dekat, Kong Ji
melihat bahwa di balik kulit muka yang kotor dan pakaian
yang compangcamping itu ia melihat sinar mata yang tajam
sekali, wajah yang tidak tampan namun membayangkan
ketabahan luar biasa dan gerakan bocah itu ketika berjalan
membayangkan bakat ilmu silat yang besar.
"Siapa namamu?" tanyanya.
20 "Nama saya Tiang Bu," jawab anak itu tegas, dan sedikit pun tidak kikuk atau takut-takut.
"Siapa ayah bundamu?" tanya pula Kong Ji yang tertarik hatinya bukan karena bocah ini sendiri, melainkan oleh
kehyataan bahwa bocah itu diperebutkan oleh Sin Hong dan
Li Hwa. "Saya tidak punya ayah bunda, entah siapa mereka saya
tidak tahu." "Kau yatim piatu dan sebatangkara?"
"Tiang Bu mengangguk dan membalas tatapan sinar mata
Kong Ji tanpa takut. "Mengapa kau diperebutkan oleh Wan
Sin Hong dan Siok Li Hwa?"
"Hui-eng Niocu ingin mengambil murid padaku, lalu
datang laki-laki itu yang hendak merampasku. Entah apa
sebabnya saya sendiri pun tidak tahu."
Jawaban-jawaban ini tidak menarik hati Kong Ji dan ia
beranggapan bahwa tentu dua orang itu melihat bakat baik
dalam diri anak ini dan berebutan hendak menjadi gurunya.
Tidak aneh dan tidak menarik. Ia menoleh kepada Ci Kui.
Giam-lo-ong Ci Kui tersenyum. "Tadinya kami
merampasnya hanya untuk membalas dendam kepada Wan
Sin Hong dan Hui-eng Niocu. Kemudian kami tertarik
melihat bakat pada bocah ini dan melihat ketabahannya.
Oleh karena itulah maka kami lalu mengambil keputusan
untuk mengambilnya sebagai murid."
Kong Ji tidak berkata apa-apa lagi dan meninggalkan
ruangan itu untuk kembali ke gedungnya sendiri.
Mendengar penuturan Pak-kek Sam-kui tentang pedalaman
Tiongkok, ia menjadi rindu sekali akan tanah airnya. Ini
bukan berarti bahwa dalam dada Liok Kong Ji ada sedikit
semangat patriotik, melainkan ia ingin menikmati segala
kesenangan yang bisa didapatkan di selatan dan yang sukar
dicari di daerah utara yang dingin itu.
21 Adapun Pak-kek Sam-kui lalu mengajak Tiang Bu ke
sebuah dusun tak jauh dari benteng itu di mana memang
biasanya Pak-kek Sam-kui tinggal kalau mereka tak sedang
menjalankan tugas. Dusun ini merupakan dusun istimewa
yang boleh dibilang paling baik keadaannya di antara semua
dusun di sekitar pegunungan itu, di sinilah sebagian besar
perwira tinggal bersama anak isteri mereka. Juga didusun ini
berdiri gedung tempat tinggal Liok Kong Ji bersama lima
belas orang selir, dua orang anak angkat dan sejumlah besar
pelayan, Di gedung yang terbuat dari kayu ini Liok Kong Ji
tinggal seperti seorang raja muda.
Pak-kek Sam-kui tinggal di sebuah rumah besar dan
mereka mempunyai banyak pelayan laki-laki dan wanita.
Tiang Bu mendapat sebuah kamar sendiri dan bocah ini
merasa lega dan senang karena. ternyata tiga orang suhunya
tidak tinggal bersama banyak orang yang dijumpainya tadi.
Dengan amat tekun Tiang Bu berlatih ilmu silat di bawah
pimpinan Pak-kek Samkui. Biarpun bocah ini tidak suka
dengan ilmu-ilmu silat mereka yang dianggapnya kasar dan
penuh gerakan-gerakan curang, namun harus ia akui bahwa
ilmu silat mereka itu hebat sekali, lagi sukar dipelajari.
Dengan sabar dan rajin ia berlatih terus, dan kini ia
mendapat kesempatan untuk mulai melatih diri dengan
gerakan-gerakan Ilmu Silat Pat -hong-hong-i yang sudah
dihafal teorinya. Tiap malam ia berlatih di dalam kamarnya
dengan amat tekun sehingga dalam waktu setahun saja
Tiang Bu telah memperoieh kemajuan pesat. Ilmu silat yang
ia dapat dari kitab dari Omei-san itu benar-benar hebat.
Gerakan-gerakan kaki tangan dalam Ilmu Silat Pat -hong-
hong-i ini mengandung kekuatan yang mendorong
kemampuannya dalam berlatih Iweekang menurut petunjuk
Pak-kek Sam-kui . Tiga orang kakek ini sampai terheran-heran melihat
kemajuan yang luar biasa dari murid mereka. Mereka hanya
merasa heran dan gembira, sama sekali tidak mengira bahwa
22 kemajuan Tiang Bu itu sebagian besar berkat latihan-
latihannya di waktu malam di dalam kamarnya!
Tiang Bu merasa menyesal sekali bahwa kamarnya tidak
cukup luas untuk berlatih Pat-hong-hong-i, karena pukulan-
pukulan dari ilmu silat ini mengandung hawa pukulan yang
menderu sehingga kalau ia berlatih terlalu cepat dan terlalu
mengerahkan tenaga, suara hawa pukulan itu akan terdengar
oleh ketiga suhunya. Alangkah senangnya kalau ia dapat
berlatih di luar, di udara terbuka, pikirnya.
Akhirnya kesempatan itu tiba. Pak-kek Sam-kui mulai
melakukan tugas-tugas baru, membantu pasukan-pasukan
menggempur suku-suku bangsa yang belum mau taluk di
daerah perbatasan selatan dan barat.
Pengaruh bala tentara Mongol mulai berkembang dan
membesar. Temu Cin mulai memperluas wilayahnya ke barat
menyerbu daerah Sin-kiang dan ke selatan menalukkan
suku-suku bangsa perantau, memaksa mereka menggabung
dengan bala tentaranya. Bahkan ia mulai mendesak
kedudukan orang-orang bermata biru di utara!
Kesempatan selagi guru-gurunya tidak ada, dipergunakan
oleh Tiang Bu sebaikbaiknya. Biarpun para pelayan memper-
lakukannya dengan baik dan hormat mengingat bahwa anak
ini murid dari Pak-kek Sam-kui, namun Tiang Bu tidak
berani berlatih silat di dekat rumah itu. Ia sengaja keluar
dari rumah, bahkan keluar dari perkampungan dan berlatih
silat di dalam sebuah hutan yang sunyi. Di dalam hutan ini ia boleh berlatih sesuka hatinya. Ia bersilat Sam-hoan Sam-bu
sehingga ketangkasannya yang dulu kembali setelah ia
latihan beberapa kali. Juga Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang dilatihnya makin
maju saja. Ia merasa tubuhnya ringan dan kedua tangannya
mengeluarkan angin pukulan kalau ia mainkan Pat-hong-
hong-i. Sampai sehari penuh ia melatih di dalam hutan ini,
bahkan kadang-kadang ia datang di situ pada malam hari
secara diam-diam kalau para pelayan sudah tidur pulas.
23 Kalau ia lelah, ia duduk di atas batu karang dan melamun.
Di samping keg;irangannya melihat kemajuannya sendiri,
kadang-kadang ia juga merasa sedih. Ia tidak kerasan tinggal
di daerah utara yang amat dingin ini. Dan celakanya tiga
orang gurunya sama sekali tidak mau mempedulikannya
sehingga pakaiannya tak pernah diganti, masih tetap
compang-camping. Bahkan baju yang dipakainya itu kini sudah tidak
berlengan lagi, atau hanya berlengan setengah. Terpaksa ia
potong sebatas Siku dan potongannya dipergunakan untuk
menambali bagian-bagian yang sudah robek dan berlubang.
akan tetapi kepada siapa ia harus mengeluh" Tiga orang
gurunya memang manusia-manusia aneh. Mereka
menduduki pangkat-pangkat besar, kaya raya dan hidupnya
mewah, namun pakaian ketiga orang gurunya itu pun
hampir tak perhah diganti!
Biarlah, pikirnya menghibur hati sendiri. Aku mendapat
makan cukup, ini saja sudah baik sekali. Kelak kalau ada
kekuatan, aku harus segera minggat dari tempat ini. Dengan
pikiran seperti ini Tiang Bu dapat menahan hidup di.utara
sampai dua tahun lebih. Ia masih belum berani melarikan
diri oleh karena maklum akan luasnya pengaruh bangsa
Mongol dan bahwa Temu Cin mempunyai banyak sekali kaki
tangan di mana-mana. Kalau ia harus pergi, pergi ke
manakah", Pergi ke selatan tentu akan dapat dikejar oleh
tiga orang gurunya, karena kepandaiannya sendiri masih
jauh untuk dapat dipergunakan menjaga diri dalam tempat
berbahaya itu. Ketika itu Pak-kek Sam-kui melakukan tugas penting
sampai dua bulan lebih. Tiang Bu menjadi senang sekali dan
waktu yang dua bulan lebih itu ia pergunakan untuk melatih
Pat-hong-hong-i dan Sam-hoan Sam-bu sebaik-baiknya,
sehingga boleh dibilang siang malam ia berada di dalam
hutan itu. Memang ia memiliki bakat yang baik sekali, pula
24 otaknya memang cerdas maka ia kici telah dapat memainkan
dua macam ilmu silat tinggi ini secara cukup baik.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejak ia datang, kurang
lebih dua bulan kemudian, Panglima Besar Thian-te Bu-tek
Taihiap Liok Kong Ji telah berangkat ke selatan, sesuai
dengan siasat Temu Cin, yaitu mengumpulkan bala bantuan
di selatan dan kalau mungkin menghancurkan kekuatan-
kekuatan yang menentangnya di daerah Cin. Semenjak
pertemuan pertama itu, Tiang Bu sudah lupa lagi akan
panglima itu. Kalau saja ia tahu bahwa orang itu bukan lain
adalah ayah-nya sendiri! Akan tetapi ia tidak tahu, tak
seorang pun tahu. Juga Kong Ji sendiri tidak tahu. Di dalam
dunia ini kiranya hanya tiga orang yang tahu betul akan hal
itu, mereka adalah Wan Sin Hong, Go Hui Lian dan Coa
Hong Kin. Pada hari itu seperti biasa Tiang Bu pagi-pagi sudah pergi
ke hutan dan di tempat biasa ia mulai berlatih Ilmu Silat Pathong-hong-i. Angin pukulan yang ke-luar dari kedua
tangannya menderu-deru mengeluarkan suara. Benar-benar
luar biasa ilmu silat ini dan lebih luar biasa lagi adalah anak itu yang dalam usia sembilan tahun sudah dapat bersilat
seperti itu baiknya. Saking asyiknya Tiang Bu berlatih ia
sama sekali tidak tahu bahwa Pak-kek Sam-kui sudah
berdiri tak jauh dari situ, memandang dengan mata bersinar
marah sekali! "Setan cilik! Kau telah menipu dan menghina kami! Kau
harus mampus!" seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw dengan marah
sekali. Tiang Bu menjadi pucat ketika ia menghentikan gerakan
kaki tangannya dan menoleh kepada mereka. Akan tetapi ia
dapat menetapkan hatinya dan menanti dengan tenang apa
yang akan terjadi selanjutnya.
"Bangsat rendah, ilmu silat apa yang kau latih tadi?"
tanya Giam-lo-ong Ci Kui dengan suara menggeledek.
25

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiang Bu maklum bahwa membohong takkan ada
gunanya setelah mereka itu menyaksikan dengan mata
sendiri. Ia berlutut sambil berkata, "Teecu berlatih Ilmu Silat Pat-hong-hong-i."
"Dari siapa kau belajar ilmu setan itu?" tanya pula Ci Kui, agak tertegur melihat muridnya bicara demikian terus
terang. "Dari ....... dari sebuah kitab di bawah petunjuk
mendiang Bu Hok Lokai."
Kembali tiga orang kakek itu melengak. Jadi orang jembel
yang mati di pinggir jalan itu adalah Bu Hok Lokai dan
menjadi guru Tiang Bu" Benar-benar mereka tidak pernah
menyangkanya. "Apalagi yang kaupelajari dari jembel itu selain ilmu tadi dan mengemis?" Ci Kui bertanya, suaranya mengandung
ejekan. "Teecu diberi pelajaran ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu .......
" Baru saja ia bicara sampai di sini, Liok-te Mo-ko Ang
Bouw sudah tak dapat menahan sabar lagi.
"Bagus, coba kita lihat sampai di mana lihainya dua ilmu silat itu!" Sambil berkata demikian ia melompat maju
menerkam Tiang Bu dengan buasnya!
Tiang Bu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia berada
dalam bahaya besar karena ia sudah mengenal baik watak
tiga orang gurunya ini. Cepat ia menggerakkan kakinya,
melesat ke belakang dan di lain saat ia telah dapat mengelak
beberapa serangan Ang Bouw yang bertubi-tubi dengan
mempergunakan gerakan Pat-honghong-i yang tadi
dilatihnya. "Setan alas! Dia dapat mengelak!" seru Sin-saikong Ang Louw yang segera maju pula menyerbu. "Biar aku yang
membunuh setan ini!"
26 "Tidak, aku yang harus merobohkannya," kata Ci Kui yang maju pula menyerang. Di lain saat Tiang Bu sedang diserbu
oleh tiga orang suhunya! "Celaka ....... " anak ini mengeluh, menghadapi seorang saja ia tahu bahwa akhirnya akan terpukul binasa, apalagi
ketiga-tiganya maju bersama. Namun ia tidak putus asa dan
cepat mainkan Pat-hong hong-i sebaik-baiknya. Untung
baginya bahwa karena memandang rendah, tiga orang kakek
itu tidak mempergunakan ilmu silat lain dan menggunakan
Ilmu Silat Hui-houw-tong-te untuk menyerangnya. Mungkin
Pak-kek Sam-kui merasa malu kalau mengghinakan ilmu
silat lain yang belum dikenal Tiang Bu. Hui-houw? tong-te
sudah dipelajari oleh Tiang Bu secara baik-baik, maka sudah
cukup adil kiranya kalau mereka juga menggunakan ilmu ini
untuk menyerang. Sama sekali mereka lupa bahwa tiga
orang kakek yang sudah kenamaan di dunia kang-ouw
mengeroyok seorang bocah berusia sembilan-sepuluh tahun,
benar-benar merupakan hal yang menggelikan dan
menjemukan. Akan tetapi Pak-kek Sam-kui bukanlah orang-
orang biasa, mereka berwatak jahat dan aneh dan segala niat
di dalam hati mereka lakukan tanpa mempedulikan anggapan
orang lain. Melihat datangnya serangan dari tiga jurusan Tiang Bu
yang cerdik lalu mengubah gerakannya dan mainkan ilmu
mengelak Sam-hoan Sam-bu. Ilmu ini lebih tepat untuk
menghadapi keroyokan tiga orang, apalagi karena dengan
ilmu ini perhatiannya seluruhnya dipusatkan untuk
menghindarkan diri dari serangan, sama sekali tidak ada
jurus menyerang. Pak-kek Sam-kui benar-benar merasa penasaran sekali.
Bocah itu gerakannya lincah melebihi burung walet, gesit
melebih kera. Dipukul sana melesat ke sini, dicegat sini
menerobos sana, benar-benar sukar ditangkap atau dipukul.
Gerakan kaki yang juga langkah berubah dan tangannya
yang bergerak ke sana ke mari seperti menari itu benar-
27 benar sukar di-ikuti. Sampai dua puluh jurus Tiang Bu
selalu dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi ia mulai lelah
dan langkah-langkahnya mulai dikenal oleh Pak-kek Sam-
kui. Sekali bergerak, Pak-kek Sam-kui sudah mengambil
kedudukan yang mencegat dan mematikan tiga langkah-nya,
Tiang Bu terjepit dan sekali pukul ia akan mati.
"Pak-kek Sam-kui tak tahu malu! Pergi kalian!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang tongkat panjang
dengan ukiran kepala naga berkelebat menyambar ke arah
tiga orang itu dengan hebat sekali. Sambaran tongkat ini
benar hebat, menyambarnya ke arah kepala Pak-kek Sam-kui
jadi melewati atas kepala Tiang Bu. Tongkat itu sekaligus
menyerang tiga orang pengurung Tiang Bu tanpa
membahayakan bocah itu sendiri.
Pak-kek Sam-kui kaget sekali dan tidak berani
menangkis sambaran tongkat yang angin pukulannya panas
ini. Mereka cepat melompat mundur dan ketika mereka
memandang, ternyata yang berdiri di depan mereka adalah
seorang hwesio gundul tinggi besar dengan jubah merah dan
tongkat kepala naga yang panjang. Pendeta Lama baju
merah dari Tibet. "Thai Gu Cinjin ....... !" Giam-lo-ong Ci Kui berseru kaget.
Tak disangkanya sama sekali pendeta Lama ini bisa
berkeliaran sampai di sini! "Kau datang ke Mongol ada
keperluan apakah?" Seperti diketahui, Thai Gu Cinjin ini adalah hwesio Lama
dari Tibet yang telah berhasil mencuri sebuah kitab dari
Gunung Omei-san. Di bagian depan telah diceritakan bahwa
karena takut dirampas oleh Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin ini
menitipkan kitab curiannya kepada Tiang Bu dan kemudian
setelah Ang-jiu Mo-li gagal mendapatkan kitab di tangannya,
ia pun gagal mendapatkan bocah yang dititipi kitab itu!
Kemudian setelah mencari sekian lama tanpa hasil, ia
mendengar bahwa bocah itu adalah murid Pak-kek Sam-kui,
maka bergegas ia pergi ke Mongol untuk mencari Pak-kek
28 Sam-kui. Kebetulan sekali ia mendengarkan percakapan
antara Pak-kek Sam-kui dah Tiang Bu, dan melihat betapa
bocah itu terancam bahaya maut.
Kalau saja ia sudah mendapatkan kitabnya kembali,
kiranya ia takkan peduli apakah Pak-kek Sam-kui hendak
memecah dada atau kepala bocah itu? Akan tetapi ia harus
mendapatkan kitabnya lebih dulu, maka cepat ia mencegah,
Pak-kek Samkui membunuh Tiang Bu.
"Pak-kek Sam-kui, kalau tidak ada urusan penting untuk
apa pinceng jauh-jauh datang ke tempat buruk ini . Seperti
kalian ketahui, pinceng kehilangan kitab pelajaran ilmu silat yang dulu pin-ceng titipkan kepada Setan Cilik ini. Setelah
pinceng mendapatkan kembali kitab itu, kalian mau bunuh
dia boleh bunuh, pinceng tidak ada urusan lagi." Kemudian tanpa menghiraukan Pak-kek Sann-kui lagi, Thai Gu Cinjin
melangkah maju menghadapi Tiang Bu dan membentak.
"Anak setan, mana kitab yang kutitipkan padamu dulu?"
Diam-diam Tiang Bu mengeluh akan nasibnya yang
benar-benar buruk. Baru saja terlepas dari tangan Pak-kek
Sam-kui, ternyata yang menolongnya adalah hwesio yang ia
bawa lari kitabnya dan yang tentu marah sekali kepadanya.
Ini sama halnya dengan terlepas dari mulut harimau jatuh di
mulut naga Akan tetapi sudah kepalang.I a maklum takkan
dapat hidup lebih lama lagi, maka timbul keberaniannya
yang luar biasa. "Losuhu, kitab itu sudah teecu bakar'."
Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu itu berubah
hijau. Tongkat kepala naga di tangannya menggigil, agaknya
hendak dijatuhkan ke atas kepala Tiang Bu. Kalau hal ini
terjadi, tentu kepala bocah itu akan remuk seperti telur
ayam dipukul dengan batu.
"Anak setan! Jangan kau membohong. Tadi pinceng lihat
ilmu silatmu Pat-honghong-i dari kitab itu cukup baik. Dari
29 mana kau belajar kalau tidak dari, kitab itu" Mana sekarang
kitabnya?" "Teecu katakan sudah teecu bakar. Tentu saja teecu
belajar dari kitab itu. Setelah isinya teecu pindahkan ke
dalam otak, lalu kitab itu teecu bakar."
"Jadi kau hafal semua isi kitab itu?" tanya Thai Gu Cinjin terheran.
Tiang Bu mengangguk. "Hafal di luar kepala segala teori
dan gerakannya." Sengaja Tiang Bu menyombong karena melihat lubang jarum untuk lolos. Barangkali hal ini yang akan menyambung nyawaku pikirnya. Betul saja dugaan bocah cerdik ini. Sekali menggerakkan tangan kiri, Thai Gu Cinjin sudah menyambar tubuhnya dan dikempitnya demikian kuat sehingga Tiang Bu khawatir dadanya akan pecah. "Pak-kek Sam-kui, bocah ini kubawa. Setelah isi kitab kuperas keluar dari kepalanya, pinceng akan mewakili kalian mencabut nyawanya."
Pak-kek Sam-kui tak beram membantah. Mereka maklum
bahwa pendeta Lama ini kepandaiannya lebih tinggi daripada
mereka sehingga kalau terjadi pertempuran, kiranya mereka
akan kalah. Dan lagi apa sih gunanya bertempur"
30 Mereka tidak sudi menjadi guru-guru Tiang Bu lagi dan
akan lebih baik kalau anak itu dibawa dan juga kaiau
mereka yang membunuh, mereka takut kelak dibunuh oleh
Thai Gu Cinjin. Betapapun juga akan pembalasan yang
mungkin datang dari fihak Wan Sin Hong!
"Sesukamulah, Thai Gu Cinjin. Kami tidak membutuhkan
bocah ini. Sebaiknya kalau bocah ini dibunuh karena kelak
ia hanya akan mendatangkan malapetaka saja." kata Ci Kui.
Thai Gu Cin Jin hanya tersenyum dan mengeluarkan
suara ketawa menghina seakanakan mentertawakan nasihat
Ci Kui ini, kemudian dengan gerakan yang amat cepat ia
berlari keluar daii hutan menpju ke selatan. Untuk kesekian
kali-nya; Tiang Bu terjatuh ke dalam tangan seorang sakti
lain lagi yang akan mengubah seluruh keadaan hidupnya
selanjutnya. -oo(mch)oo- Mari kita menengok keadaan Wan Sin Hong dan Siok Li
Hwa yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Telah
diceritakan betapa tulang paha dari Hui-eng Niocu Siok Li
Hwa parah terkena ledakan senjata rahasia dari serdadu-
serdadu Mongol, kemudian Sin Hong terpaksa sekali
menolong dan merawatnya karena kalau ia tidak mau, gadis
itu pun tidak mau dirawat orang lain dan rela mati terlantar
di dalam hutan! Wan Sin Hong yang dapat mengenal watak orang maklum
bahwa gadis seperti Li Hwa ini tidak takut mati dan akan
membuktikan apa yang di katakannya. Oleh karena itu, juga
karena ia memang kasihan dan suka kepada dara liar ini, ia
memondong tubuh Li Hwa yang terluka, membawanya ke
dalam sebuah goa yang menjadi tempat tinggal sementara
karena Li Hwa tidak boleh kembali ke Hui-engpai kalau
membawa laki-laki. Ia merawat paha yang pecah tulangnya
itu sehingga Li Hwa yang mencinta Sin Hong dengan seluruh
31 jiwa raganya merasa amat bahagia! Memang lucu sekali.
Alangkah mudahnya bahagia datang bagi orang yang
dimabuk cinta! Setelah berbulan-bulan hidup di dekat Siok Li Hwa, Sin
Hong mendapat kenyataan bahwa gadis yang nampaknya liar
dan keras ini, sesungguhnya mempunyai watak yang baik
sekali dan berhati emas. Selain Li Hwa amat mencintanya,
juga gerakgerik gadis itu makin meresap mencocoki
seleranya, kelihatan manis, menarik dan menawan hati.
Heran dia! Mungkinkah dia mencinta Li Hwa" Atau
mungkinkah cinta kasih gadis itu kepadanya yang amat
mendalam membawa pengaruh dan "menular" kepadanya"
Sin Hong menjadi bingung kaiau perasaan cinta kasih
terhadap Li Hwa merangsang di hatinya. ia berpikir-pikir.
Dulu aku mencinta Gak Soan Li, lalu aku merasa bahwa
yang kucinta Go Hui Lian. Sekarang ....... aku mencinta Siok
Li Hwa! Begini mudah berubahkah hatiku" Begini murah
dan palsukah cintaku" Aku tak boleh tergesa-gesa. Harus
kubuktikan lebih dulu apakah perasaanku kali ini betul--
betul murni. Sudah dua kali aku mecinta orang dan selalu
gagal merangkai cinta kasih menjadi sebuah pernikahan yang
membahagiakan. Kali ini aku tak boleh gagal lagi dan tidak
boleh sembarangan mengaku cinta sebelum aku tahu pasti
bahwa perasaan yang timbul ini murni!
Selagi ia melamun itu, dari dalam goa keluarlah Siok Li
Hwa, jalannya masih perlahan akan tetapi tidak terasa sakit
lagi. "Sin Hong, sepagi ini kau sudah melamun. Memikirkan
apa sih?" Tegur dara itu dengan suara manis.
Sin Hong terkejut mendengar suara orang yang sedang
menjadi buah lamunannya itu. Ia berpaling dan matanya
bersinar melihat Li Hwa keluar dari goa. Pakaiannya kumal,
rambutnya awut-awutan dan matanya masih mengantuk
Akan tetapi nampak cantik dalam pandang matanya,
32 kecantikan aseli. Sin Hong menekan kekaguman hatinya dan
membelokkan perhatian gadis itu dengan tegurannya.
"Kau sudah tidak pincang lagi, Li Hwa. Akan tetapi hati -
hati, jangan terlalu cepat berjalan! Dan kau bangun terlalu
siang. Makin pagi makin baik merendam pahamu di telaga.
Hayo kuantar ke sana cepat-cepat, jangan sampai matahari
keburu keluar!" Li Hwa nnemandang kepada. pemuda itu dengan mata
bersinar dan wajahnya yang sayu berseri. Ia menjura dan
mengangkat kedua tangan ke dada dengan sikap
menghormat sekali, lalu berkata nadanya menggoda.
"Baiklah, Tuan Perawat. Hamba akan mentaati segala
perintah Tuan." Setelah berkata demikian gadis ini hendak lari ke telaga yang tak jauh dari situ letaknya.
"Bandel ....... !" Sin Hong mendamprat dan di lain saat gadis itu sudah dipondongnya dan dibawanya lari ke telaga
seperti yang setiap hari ia lakukan sebelum Li Hwa kuat
berjalan. Li Hwa menyandarkan kepalanya di dada Sin Hong sambil
memejamkan matanya. Terasa enak dan nyaman dalam


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pondongan tangan yang kuat itu, seperti anak kecil
dipondong ibunya, terayun-ayun dan penuh perasaan aman.
"Sin Hong, sudah seminggu lebih kau tidak
memondongku. Aku sengaja keluar agak siang supaya kau
khawatir aku terlambat merendam kakiku ....... " , '
"Hemmmmm, kau memang bengal sekali. Jadi kau
sengaja bangun siang dan memperlambat pergi merendam
kaki ke telaga hanya agar aku memondongmu ke sini?"
"Habis, aku rindu akan pondonganmu sih!" jawabnya
manja dan genit. Sin Hong menurunkan Li Hwa di pinggir telaga di atas
sebuah batu yang berada di pinggir telaga sehingga dengan
duduk di atas batu itu Li Hwa dapat merendam kakinya dan
33 dapat pula mandi seperti yang biasa ia lakukan apabila pada
pagi hari merendam kaki. "Mandilah, aku hendak pulang dulu," kata Sin Hong.
Kata-kata "pulang" ini memang sudah biasa mereka katakan kalau mereka bermaksud kembali ke dalam goa besar yang
seakan-akan sudah menjadi rumah tinggal mereka. Setelah
berkata demikian, Sin Hong membalikkan tubuh hendak
meninggalkan tempat itu agar Li Hwa dapat mandi dan
merendah kaki dengan leluasa.
"Sin Hong, jangan tinggalkan aku ....... !"
"Eh, eh, kau seperti anak kecil saja, Li Hwa. Bukankah
sudah beberapa hari ini kau berendam seorang diri?"
"Dulu kau selalu membantuku me-rendam kaki ....... "
cela Li Hwa manja. Sin Hong memandang dan tersenyum gemas. "Dulu.
tulang pahamu masih belum tersambung benar, kau tidak
bisa turun seorang diri. Sudah tentu aku membantumu.
Akan tetapi sekarang ....... kau sudah kuat, tidak saja dapat merendam kaki, akan tetapi juga dapat turun mandi. Apa
kau ini anak kecil yang harus kumandikan?" Tiba-tiba muka Sin Hong menjadi merah oleh kata-kata terakhir yang
terlanjur ia ucapkan itu.
"Mengapa tidak ....... ?" Li Hwa menjawab, senyum dan pandang matanya menantang sehingga muka Sin Hong
menjadi makin merah. "Sudahlah Li Hwa. Jangan main-main. Lekas kau mandi
dan aku menunggu di depan goa."
"Sin Hong, kalau aku terjeblos ke dalam lubang di telaga
lagi, aku sekarang takkan menjerit kalau kau pergi'"
Sin Hong teringat ketika beberapa hari yang lalu ia
meninggalkan Li Hwa mandi seorang diri, tiba-tiba ia
mendengar gadis itu menjerit. Cepat bagaikan terbang ia lari
dari depan goa menuju ke telaga itu dan melihat gadjis itu
34 tenggelam dan hanya kelihatan dua tangannya saja di
permukaan air. Dapat dibayangkan betapa kagetnya. Tanpa
ingat apa-apa lagi ia lalu melompat ke dalam air dan
menolong gadis itu yang setelah ia tarik tangannya ternyata
bahwa gadis itu telah terjeblos ke dalam sebuah lubang yang
dalam. Setelah Li Hwa selamat baru ia insaf, bahwa ia berada
dalam keadaan yang amat tidak pantas berdekatan dengan
gadis yang baru mandi! Cepat ia melepaskan Li Hwa yang
sudah selamat dan melompat ke pinggir, dengan muka
membelakangi Li Hwa ia mengomeli gadis itu yang tertawa-
tawa! Teringat akan ini, terpaksa Sin Hong tidak berani
meninggalkan tempat itu dan ia me narik napas panjang
merasa kalah oleh gadis yang pintar menggoda dan keras
kepala itu. "Baiklah, aku akan menunggu di sini, akan tetapi jangan
kau ke tengah. Mandi di pinggir juga cukup, mengapa mesti
ke tengah di mana banyak lubangnya yang tak tersangka-
sangka?" Li Hwa tersenyum penuh kemenangan dan dia kini tanpa
sungkan-sungkan lagi lalu menanggalkan pakaian dan
merendam paha sekalian mandi. Ia bermain-main dengan air
bahkan sambil tertawa-tawa beberapa kali menggunakan air
untuk dipercikkan ke pinggir ke arah Sin Hong. Tiada
hentinya ia menggoda pemuda itu dan mengajaknya
bercakap-cakap. Akan tetapi Sin Hong selalu menjawab
tanpa menoleh. Diam-diam Li Hwa makin suka melihat sikap
Sin Hong yang sopan ini, makin suka dan juga geli hatinya.
Perasaan wanitanya dapat meraba betapa sangat inginnya
hati pemuda itu menoleh dan melihatnya namun, ditahan-
tahannya. Ini semua hanya karena Wan Sin Hong adalah
seorang pemuda yang hebat, seorang pemuda yang berhati
kuat, beriman teguh. Pemuda pilihan dan karenanya Li Hwa
menjadi makin cinta saja.
35 Sebetulnya, berkat perawatan Sin Hong yang amat
telaten dan penuh perhatian, juga karena pengobatan Sin
Hong yang luar biasa, tulang paha yang patah itu sudah
tersambung baik dan kaki Li Hwa sudah sembuh sama
sekali. Akan tetapi karena gadis itu takut kalau-kalau Sin
Hong akan meninggalkannya, maka ia berlaku purapura
masih sakit! Gadis ini amat berkhawatir kalau-kalau Sin
Hong akan pergi dari sampingnya dan hal ini akan
merupakan siksaan batin baginya. I a tidak kuat lagi kalau
harus berpisah dari dekat pemuda itu.
Setelah selesai merendam kakinya dan mandi, Li Hwa
cepat mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian lagi.
Rambutnya yang hltam panjang itu dikepang dan
diperasnya. "Mari kita pulang, Sin Hong," katanya setelah selesai.
Baru Sin Hong mau menoleh dan memandang gadis itu
yang nampak segar dan cantik, biarpun kini rambutnya
menjadi tidak karuan karena basah.
"Marilah, aku hendak bicara sesuatu dengan kau, Li
Hwa," jawab Sin Hong.
Mereka berjalan kaki berdampingan. Telaga itu terletak di
sebelah barat goa sehingga ketika mereka "pulang" mereka menyongsong terbitnya matahari. Pagi yang cerah dan indah.
Musim semi telah tiba sehingga hutan itu penuh bunga dan
daun. Burung-burung menyambut matahari, bunga-bunga
tersenyum kepada mereka. Pagi nan indah, Li Hwa berjalan
perlahan di samping Sin Hong sambil bernyanyi -nyanyi kecil.
Sesungguhnya gadis ini merasa amat gelisah karena kata--
kata Sin Hong tadi. Ia takut ditinggalkan, Akan tetapi ia menahan hatinya
dan mengobati kegelisahannya dengan bernyanyi-nyanyi, Di
antara anak buah Hui-eng-pai terdapat banyak wanita yang
pandai bernyanyi dan Li Hwa yang mempunyai suara merdu
mempelajari banyak macam nyanyian. Sin Hong berjalan
36 dengan pikiran penuh pertanyaan dan kesangsian. Gadis di
sampingnya ini memang aneh sekali.
Ia sampai merasa heran memikirkan mengapa Li Hwa
demikian, mencintanya. Belum pernah seingatnya ada
wanita yang mencintanya sebesar cinta Li Hwa kepadanya.
Sudah beberapa kali para ketua Hui-eng-pai datang dan
membujuk Ll Hwa untuk kembali seorang diri di Hui-eng-
pai, menduduki kembali kedudukan ketua. Akan tetapi tetap
Li Hwa menolak. "Tempatku adalah di dekat Wan-bengcu. Kalian
kembalilah. Kalau perlu, bubarkan saja Hui-eng-pai. Aku
tidak mau lagi memimpln dan aku akan hidup membantu
Wan-bengcu." Adapun Li Hwa yang bernyanyi-nyanyi kecil itu juga
melamun. Selama beberapa bulan ini Sin Hong hidup di
dekatnya siang malam. Belum pernah satu kali pun Sin
Hong memperlihatkan bahwa pemuda itu membalas cinta
kasihnya dan pemuda ini selalu bersikap penuh sopan
santun. Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa Sin
Hong selalu menjaganya, selalu merawatnya dan wajah yang
tampan dan tenang Itu nampak berseri gembira setiap kali
mendapat kenyataan bahwa kakinya berangsur sembuh.
Apakah benar-benar pemuda ini tega meninggalkannya"
Tidak, ia akan menolak untuk ditinggalkan! Oleh karena itu
dapat dibayangkan betapa dadanya berdebar gelisah ketika
mendengar kata-kata Sin Hong yang menyatakan hendak
bicara sesuatu dengan dia. Karena kegelisahan inilah maka
Li Hwa untuk sementara lupa akan peranannya sebagai
seorang gadis yang "tak pernah sembuh kakinya". Biasanya ia selalu berpura-pura kakinya masih sakit dan belum
sembuh betul sehingga jalannya tak begitu cepat. Akan
tetapi sekarang, saking tegangnya perasaan, ia berjalan cepat dan terus mengikuti Sin Hong yang sengaja mempercepat
langkahnya. 37 Setelah mereka tiba di depan goa, Sin Hong berhenti dan
memutar tubuh menghadapi Li Hwa sambil berkata. "Li Hwa, kakimu sudah sembuh. Jalanmu sudah kuat dan cepat!" Li
Hwa kaget sekali. Baru ia
sadar bahwa ia tadi telah
berjalan cepat sekali, terlalu cepat bagi seorang
yang kakinya masih sakit!
"Tidak ....... tidak .......
!" ia tak dapat melanjutkan kata- katanya karena tahu bahwa kali ini ia tidak dapat membohong lagi. Ia hanya berdiri bingung dan
mukanya berubah pucat, matanya terbelalak lebar seperti orang ketakutan. Melihat keadaan gadis ini, Sin Hong menghela napas dan
berkata perlahan setelah dua kali menelan ludah, sukar
baginya untuk mengeluarkan suara pada saat itu.
"Li Hwa, setiap pertemuan tentu akan berakhir dengan
perpisahan. Kini sudah tiba masanya kita harus berpisah."
"Tidak ....... Sin Hong, kau tidak boleh meninggalkan aku
....... !" Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada menjerit akan tetapi keluarnya perlahan sekali seperti bisikan yang serak
terhalang isak. Mata yang terbelalak itu mulai membasah,
bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah itu mulai
menggigil dan digigit-gigitnya menahan tangis. "Sin Hong
....... jangan tinggalkan aku!!" Dan tiba-tiba gadis ini menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Hong,
38 menundukkan kepala. Pundaknya bergoyang-goyang dan
isaknya ditahan-tahannya. "Sin Hong ....... kau boleh
tinggalkan aku setelah kaubunuh dulu aku ....... "
Melihat ini, kembali Sin Hong merasa ada debar aneh di
dalam dadanya. Ia cepat memegang kedua pundak gadis itu
dan mengangkat bangun. Mereka berdiri berhadapan. kedua
tangan Sin Hong masih menyentuh pundak Li Hwa.
"Li Hwa, angkat muka dan berlakulah gagah! Tidak
semestinya kau berlutut di depanku. Li Hwa, kau melarang
aku pergi, apakah selama hidupku aku harus berdiam di sini
di goa ini seperti ....... mahluk jaman purba" Aku telah
ditugaskan sebagai seorang bengcu dan pekerjaanku banyak.
Apa akan kata orang di dunia kalau Wan-bengcu
menyembunyikah diri saja di sini bersamamu?"
"Sin Hong," Li Hwa berkata dengan air mata masih
menetes turun di kedua pipinya. "Kau boleh pergi dari sini, akan tetapi aku ikut! Kalau kau pergi meninggalkan aku
dengan paksa ....... aku ....... aku akan membunuh diri!"
Sin Hong menarik napas panjang. Hal ini sudah ia duga,
bahkan ia sudah mengerti bahwa dara ini pasti akan berkata
demikian. "Li Hwa, apa kau sudah pikirkan masak-masak apa
artinya ucapanmu" Kau adalah seorang ketua perkumpulan
yang besar. Hidupmu di sini sudah senang dan mewah. Kau
ikut aku" Aku ini orang apakah" Tidak karuan tempat
tinggalku, lagi pula, kau sendiri tidak tahu bahwa kini
kedudukanku terancam, tokoh-tokoh selatan memusuhiku,
orang-orang dari utara mengarah nyawaku, dan agaknya
tokoh-tokoh di daerah Cin juga sudah mulai tak percaya
kepadaku karena aku keturunan pangeran bangsa Cin. Kau
mau ikut aku" Kau tahu bahaya setiap waktu mengancam
diriku dan kalau kau ikut, berarti kau pun terancam bahaya
pula." 39 Mendengar ini, Li Hwa memandang kepada Sin Hong
dengan marah. Matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan
api. "Sin Hong, kaukira aku ini gadis macam apakah" Kau
pemberani, apa kaukira aku pun takut mati" Apalagi hanya
menghadapi bahaya, biarpun harus menyerbu lautan api,
kalau bersamamu aku rela dan berani! Sin Hong harus
berapa kalikah aku menyatakan bahwa hidupku hanya
untukmu seorang" Tanpa kau disampingku lebih baik aku
mati!" "Li Hwa ....... Li Hwa ....... ! Tentu saja aku tahu akan cinta kasihmu kepadaku dan aku percaya sepenuhnya akan
perasaanmu yang murni itu. Aku merasa amat berbahagia
bahwa seorang serendah aku mendapat penghormatan
sebesar ini, mendapat cinta kasih seorang gadis sepertimu.
Baiklah, Li Hwa. Hal ini memang sudah kupertimbangkan
masak-masak. Kau boleh ikut dengan aku, selamanya
sampai kau bosan." "Kau gila ....... !" Li Hwa bersorak seperti anak kecil lalu memandang kepada Sin Hong dengan bibir cemberut. "Sin
Hong, kau benar-benar gila kalau mengira aku akan menjadi
bosan." Sin Hong tersenyum, diam-diam terharu sekali melihat
gadis ini. "Li Hwa, dengarlah baik-baik. Kita sudah sama-sama dewasa, bukan orang-orang muda yang masih hijau.
Kita sama tahu apa artinya dan apa bahayanya apabila kita
berdua selalu berkumpul dan melakukan perjalanan
bersama. Li Hwa, marilah kita duduk dan mari kita bicara
sebagai seorang laki-laki dan seorang perempuan dewasa
yang penuh pengertian dan berpandangan luas. Aku perlu
membuka isi hatiku sebelum melakukan perjalanan berdua
bersamamu." Dengan wajah berseri dan muka kemerahan karena kata-
kata yang baru diucapkan oleh Sin Hong itu Li Hwa
mengangguk dan me reka memilih tempat duduk di atas
40 batu-batu hitam yang banyak terdapat di tempat itu, di
bawah lindungan bayangan pohon yang teduh.
"Li Hwa, mari kita selidiki keadaan kita masing-masing.
Dan mari kita membuka isi hati secara jujur." Sin Hong


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memulai dan wajahnya yang nampak sungguh-sungguh
membuat Li Hwa berdebar dan gadis ini tidak berani main-
main dan berjenaka seperti biasanya. "Lebih dulu aku akan bicara tentang dirimu. Kau seorang gadis yang menjadi
ketua Hui-eng-pai, kau telah rela menghadapi kekurangan
dan kesengsaraan karena kau mencinta kepada seorang
seperti aku dan sudah sewajarnyalah kalau kau menjadi
seorang isteri yang berbudi dan membahagiakan hati
suamimu. (Bersambung jilid ke VI) 41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid VI Li Hwa yang biasanya paling berani bicara terus terang
seperti ini dan yang biasanya dia menjadi pihak penyerang
dalam percakapan seperti ini, sekarang mendengar kata-kata
Sin Hong mukanya menjadi merah sekali sampai ke
telinganya dan ia hanya menundukkan muka seperti seorang
gadis dusun yang malu-malu!
"Untuk dirimu tidak ada yang perlu ditinjau lagi. Kau
sudah jelas seorang gadis yang berhati murni dan cinta
kasihmu tulus ikhlas dan suci. Sekarang marilah kauperhatikan diriku." Suara Sin Hong yang bersungguh-
sungguh itu menarik perhatian Li Hwa sepenuhnya sehingga
gadls ini mengangkat mukanya dan menatap wajah pria
yang menjadi pilihan hatinya ini.
"Dahulu aku pemah merasa jatuh cinta. Akan tetapi oleh
karena aku masih hijau sekali, aku sendiri tidak tahu pasti
siapakah yang kucintai itu."
"Kau mencinta Go Hui Lian." Li Hwa memotong, suaranya tenang saja tanpa rasa cemburu.
1 Sin Hong menggelengkan kepalanya. "Belum tentu, Li
Hwa. Pertama-tama bertemu dengan Gak Soan Li hatiku
tertarik, kemudian bertemu Go Hui Lian aku pun merasa
tertarik. Kalau mau dikata bahwa aku mata keranjang,
buktinya melihat lain-lain wanita aku tidak tertarik. Karena
itu aku merasa bahwa hatiku tidak tetap terhadap wanita
dan bahwa cinta kasihku kepada dua orang yang kusebutkan itu mungkin sekali palsu. Aku merasa menyesal
sekali mengapa hatiku mudah berubah dan merasa betapa
cinta kasihku terlalu murah. Oleh karena inilah, maka
menghadapi kau yang sepenuh jiwa mencintaku, aku menjadi
bingung dan ragu-ragu. Ragu-ragu terhadap hatiku sendiri.
Aku tidak mau main-main dengan cinta lagi sebelum aku
yakin betul apakah benar-benar aku mencinta orang.
"Li Hwa, aku tak dapat menolak permintaanmu untuk
ikut dengan aku. Bukan hanya karena aku takut kau betul-
betul akan membunuh diri, bukan hanya karena aku merasa
bahwa cinta kasih sebesar cinta kasihmu itu sungguh keji
kalau ditolak. Akan tetapi terutama sekali, setelah aku
berkumpul dengan kau selama beberapa bulan ini, aku pun
....... merasa berat untuk berpisah."
Li Hwa tersenyum manis sekali, mukanya ditundukkan
dan matanya mengerling ke wajah Sin Hong. Hatinya girang
bukan main, hanya dia sendiri yang tahu!
"Akan tetapi," Sin Hong buru-buru menyambung kata-
katanya. "Aku tidak berani sembrono dan sembarangan saja menyatakan bahwa aku pun cinta kepadamu, Li. Hwa. Aku
tidak mau membuat kesalahan lagi dalam hal ini. Aku tidak
akan berani menyatakan cintaku sebelum aku yakin betul
karena aku tidak sudi menipumu dengan cinta palsu yang
kelak akan luntur! Biarlah kita melakukan perjalanan
bersama. Biarlah orang lain menganggap bagaimanapun
juga. Paling perlu kita menjaga diri, menjauhkan segala
perbuatan yang tidak patut. Biar kita menguji hati kita
sendiri. Kalau kelak ternyata bahwa
aku betul-betul 2 mencintamu, Li Hwa, aku takkan ragu-ragu lagi meminangmu sebagai isteriku. Kalau bukan demikian halnya
hatiku terhadapmu, biarlah kelak kita menjadi saudara saja.
Bagaimana pendapatmu?"
"Sin Hong aku menurut saja segala kehendak hatimu,
asal saja aku kau bolehkan berada di sampingmu. Kau
sudah bicara secara jujur, aku girang mendengar ini,
sungguhpun aku sudah tahu bahwa kau memang seorang
yang amat menjaga kebersihan hati dan perbuatan dan
memang kau amat jujur. Baiklah dan sekarang kaudengar
pengakuanku tentang cintaku padamu. Tentu saja aku
mencintamu seperti seorang wanita mencinta pria kekasihnya dan ingin menjadi isterimu, ingin menjadi ibu
daripada anak-anakmu. Akan tetapi jangan kira bahwa
cintaku kepadamu hanya karena nafsu muda semata, Sin
Hong. Aku tidak punya orang tua, maka aku
pun mencintamu seperti seorang anak mencinta orang tuanya.
"Aku sudah ingin sekali menjadi ibu maka aku pun
mencintamu seperti seorang ibu mencinta puteranya. Aku
tidak punya saudara maka aku pun mencintamu seperti
seorang saudara kandung. Tentu saja kebahagiaan hidupku
akan sempurna andaikata kau sudi mengambilku sebagai
isterimu, menjadikan aku ibu dari anakanakmu. Akan
tetapi, tanpa itu pun aku dapat hidup asal aku selalu berada
di sampingmu, Sin Hong. Tentu saja aku akan berterima
kasih sekali kalau kau pun membalas cinta kasihku, akan
tetapi andaikata tidak, aku cukup puas asal kau tidak
membenciku!" Bukan main terharunya hati Sin Hong mendengar kata-
kata yang panjang lebar, kata-kata yang sesungguhnya setiap
hari telah berpancaran keluar dari kerling mata gadis itu,
membayang melalui senyum-senyumnya. Sampai basah
kedua mata Sin Hong ketika ia menatap wajah gadis itu dan
tak terasa pula kedua tangannya bergerak maju, ditaruh di
atas pundak gadis itu. Sampai lama mereka berpandangan.
3 "Setidaknya kau ....... kau tentu suka kepadaku, bukan?"
tanya Li Hwa, suaranya sayu, mengibakan.
"Tentu saja, L! Hwa. Kaulah satu-satunya orang yang
paling kusuka di dunia ini." Tiba-tiba Li Hwa bangkit berdiri dan tertawa geli, menutupi mulutnya.
"Kau bohong!" Setelah percakapan serius itu selesai timbul kembali sifatnya yang jenaka dan suka menggoda.
"Tidak, Li Hwa, demi kehormatanku, aku tidak berbohong!
Memang aku suka kepadamu."
Li Hwa mengangkat muka, menegakkan kepala, membusungkan dada dan melangkah maju menantang
sampai dekat sekali dengan Sin Hong. Pandang matanya
penuh ejekan ketika ia berkata, nada suaranya menantang.
"Betulkah kau suka kepadaku" Aku tidak percaya
sebelum kaubuktikan kata-katamu'"
Sewaktu-waktu kalau Li Hwa sudah menggodanya
dengan kebinalan macam ini, hampir saja pertahanan hati
Sin Hong roboh. Masih teringat ia akan godaan-godaan Li
Hwa ketika kakinya belum sembuh. Tentang jerit di telaga
ketika gadis itu "tenggelam" padahal ia tahu hanya purapura saja! Menggodanya dengan segala macam kata-kata
jenaka dan sikap menantang.
Kini menghadapi sikap Li Hwa seperti itu, diam-diam Sin
Hong mengerahkan hawa dan menekan debar jantungnya,,
kemudian kedua tangannya memegang kepala gadis itu,
kedua tangan di bawah telinga kanan kiri, mengangkat
muka yang manis itu lalu ....... diciumnya kening Li Hwa
seperti seorang ayah mencium anaknya atau seorang kakak
mencium adiknya! Namun perbuatan ini sudah membuat seluruh muka Sin
Hong dan Li Hwa menjadi merah seperti udang direbus dan
kedua kaki Sin Hong menggigil seakan-akan ia terserang
demam! 4 "Nah, itulah tandanya bahwa aku suka kepadamu, Li
Hwa." Biarpun sudah mengerahkan tenaga, tetap saja suara Sin Hong terdengar gemetar.
Li Hwa tidak menjawab, melainkan menjatuhkan tubuhnya dengan lemas ke depan, menyandarkan kepala di
dada kekasihnya lalu menangis tersedu-sedu!
Sin Hong mendekap kepala itu sambil melongo, melihat
ke kanan kiri seperti monyet disumpit, tidak tahu harus
berbuat bagaimana. Baru kaliini
ia melihat Li Hwa menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir seakan-
akan air mata itu sudah lama dibendung dan kini pecah
bendungannya, membanjir membasahi baju Sin Hong. Tidak
kepalang Li Hwa menangis, suaranya sampai hampir
menggerung-gerung seperti anak kecil ditinggal pergi ibunya.
"Eh, eh ....... kaukenapa ....... " Li Hwa, kau mengapakah
....... ?" Baru kali ini selama hidupnya Sin Hong mengalami hal yang membuatnya terheran-heran dan juga kebingungan.
Karena Li Hwa tidak menjawab, akhirnya Sin Hong
membiarkannya saja menangis sepuasnya sampai air mata
yang keluar dari mata gadis itu menembusi bajunya dan
membasahi dada dan perutnya. Akhirnya habis juga air
mata yang "dikuras" oleh Li Hwa dan gadis itu menegakkan kepalanya kembali. Matanya menjadi agak kemerahan, juga
seluruh mukanya kemerahan, dan dadanya masih terisak-
isak. Akan tetapi ketika. Sin Hong menatapnya penuh
kekhawatiran, ia menggaruk-garuk kepalanya dan mata
serta mulutnya terbuka heran. Gadis yang terisak-isak itu
tersenyum! Mukanya berseri-seri gembira!
"Li Hwa ....... !" seru Sin Hong setelah akhirnya ia dapat mengeluarkan kata-kata. "Kau atau akukah yang sudah
berubah menjadi gila?""
Senyum Li Hwa melebar sehingga nampak giginya yang
putih mengkilap. "Apa maksudmu, Sin Hong?"
5 "Kau tadi menangis seakan-akan aku telah mampus, dan
sekarang kau tertawa! Apa artinya ini?"
"Aku menangis karena ....... bahagia dan senang hatiku,
Sin Hong." jawab gadis itu sambil menyusuti air mata yang membasahi mukanya. Kemudian ia melihat ke dada dan
perut Sin Hong di mana bajunya sudah basah kuyup.
Meledaklah ketawanya dan Li Hwa menuding-nuding ke arah
perut Sin Hong. ' Sin Hong menggeleng-geleng kepala dan akhirnya ikut
tertawa juga. "Li Hwa, lain kali- kalau bersenang hati, jangan membikin kaget orang. Kalau senang hati kau menangis
seperti itu, apakah kalau bersusah hati lalu tertawa-tawa?"
Li Hwa menghentikan tawanya, lalu berkata dengan
wajah sungguh-sungguh, "Sin Hong, kau marahkah" Maafkan aku kalau aku tadi membikin kaget kau. Biar-lah
lain kali aku tidak akan mengulangi lagi perbuatanku tadi."
Melihat sikap Li Hwa, Sin Hong menjadi menyesal
mengapa tadi ia mencela. Ia lebih suka melihat gadis itu
bersikap sewajarnya. Ia menyukai keadaan Li Hwa yang aseli
seperti tadi, tidak dibuat-buat bersungguh-sungguh seperti
sekarang ini. "Tidak, tidak sekali-kali aku marah. Aku malah ikut
gembira. Jangan kau mengubah perangai dan kebiasaanmu
setiap kali aku menegurmu, Li Hwa. Kalau kau ingin
menangis, menangislah seperti tadi. Aku ....... tidak apa-apa hanya tadi kaget dan ....... dan basah semua dada dan
perutku ....... " Li Hwa tertawa lagi melihat sikap Sin Hong yang
kelihatan tidak karuan, gagapgugup dan lucu ini.
Akhirnya mereka berkemas. Lalu Li Hwa pergi seorang diri
ke Hui-eng-pai, menjumpai tokoh-tokoh Hui -eng-pai untuk
berpamit. 6 "Maafkan, terpaksa aku meninggalkan Hui-eng-pai oleh
karena aku mempergunakan hak hidupku untuk mengejar
kebahagiaan. Terserah kepada kalian untuk membubarkan
Hui-eng-pai ataukah untuk melanjutkannya. Akan tetapi,
kalau diteruskan, hendaknya ingat bahwa aku selalu takkan
mendiamkannya saja apabila Hui-eng-pai dibawa ke jalan
sesat. Biarpun aku bukan menjadi ketua Hui-eng-pai lagi,
namun namaku akan terbawa kalau Hui-eng-pai menyeleweng, dan akulah yang akan menghukum dengan


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua tanganku sendiri!" Dengan kata-kata pesanan ini, Li Hwa lalu berangkat setelah mengambil barang-barangnya
yang berharga untuk dibawa sebagai bekal. Banyak anggauta Hui-eng-pai menangis ketika Li Hwa pergi meninggalkan mereka. Akan tetapi, Li Hwa sudah melupakan mereka lagi
setelah ia menuruni bukit dengan Sin Hong di sampingnya.
Hatinya gembira sekali. Betapa tidak" Menjadi isteri Sin
Hong atau pun tidak kelak, ia akan tetap selalu berada di
dekat Sin Hong dan ini berarti bahwa idam-idaman hatinya
telah terpenuhi. Selama Sin Hong berkumpul dengan Siok Li Hwa di dalam
goa dan mengobati kaki gadis itu, ia telah menceritakan
kepada Li Hwa bahwa bocah yang diculiknya dari Kim-bun-
to itu sesungguhnya bukan putera Go Hui Lian dan Coa
Hong Kin. Tadinya Sin Hong tidak hendak menceritakan atau
membuka rahasia ini, akan tetapi Li Hwa selalu menyatakan
penyesalannya bahwa putera Hui Lian yang diculiknya
hanya untuk memancing Sin Hong datang dan untuk
membalas dendamnya karena Hui Lian telah "merebut" hati Sin Hong, kini telah lenyap dibawa oleh Pak-kek Samkui.
Melihat betapa Li Hwa benar-benar merasa menyesal, dan
tahu pula akan sifat-sifat gadis itu, akhirnya Sin Hong
membuka rahasia Tiang Bu.
7 "Bocah itu," katanya, "diberi nama Coa Tiang Bu dan semenjak masih bayi dipelihara oleh Hui Lian. Dia bukan
anak Hui Lian dan Hong Kin."
"Pantas saja kalau begitu! Aku sering. kali merasa heran mengapa bocah ini mukanya buruk, padahal Hui Lian cantik
dan Hong Kin tidak buruk rupa," kata Li Hwa. "Kalau begitu, dia itu anak siapa-kah" Sungguhpun rupanya tidak tampan
akan tetapi harus kuakui bahwa anak itu mempunyai tulang
dan bakat yang baik sekali. Aku tidak main-main ketika
hendak mengambilnya sebagai murid, karena kulihat dia
memang berbakat sekali."
"Memang demikian dan sayang sekali dia bukan anak dari
Hui Lian dan Hong Kin. Akan tetapi kiraku bagi mereka sama
saja karena diambil anak sejak kecil."
"Dia itu anak siapakah?"
Sin Hong menarik napas panjang, "Kasihan sekali anak
itu. Ia terlahir dari perbuatan yang sejahat-jahatnya, berayah seorang manusia siluman. Li Hwa, sebetulnya rahasia ini
hanya diketahui oleh aku, Hui Lian, dan Hong Kin saja dan
belum pernah diceritakan kepada orang lain."
"Hemm, kalau begitu janganlah di-ceritakan kepadaku,
karena tak baik membuka rahasia orang. Bagiku sih sama
saja, karena aku sudah tahu dia itu anak siapa."
"Kau tahu ....... ?"
"Tentu saja! Bukankah dia itu anak Liok Kong Ji dan Gak
Soan Li?" "Eeeeh ....... bagaimana kau bisa tahu, Li Hwa?"
"Sin Hong, apa kaukira aku ini orang sebodoh-bodohnya"
Dahulu di puncak Ngoheng-san sudah kudengar tentang
Soan Li mempunyai anak yang tidak ada ayahnya. Kemudian
kau tadi menyebut-nyebut manusia siluman, siapa lagi kalau
bukan Liok Kong Ji" Mudah saja menghubung-hubungkan
semua itu bukan?" 8 "Memang tepat sekali dugaanmu, Li Hwa. Tiang Bu
adalah anak Liok Kong Ji dan Gak Soan Li. Akan tetapi,
bocah itu semenjak kecil dipelihara oleh Hui Lian, dan dia
bersama Hong Kin amat mencinta Tiang Bu. Oleh karena
bocah itu hilang dari rumah mereka karena perbuatanmu,
kita harus mencarinya dan membawanya kembali ke Kim-
bun-to." "Baiklah kalau kau menghendaki demikian." hanya ini jawaban Li Hwa ketika itu dengan hati mengkal karena ia
belum yakin apakah kelak Sin Hong mau membawanya.
Setelah kemudian ternyata bahwa Sin Hong mau
menerimanya merantau berdua. Li Hwa mengingatkan soal
Tiang Bu ini. "Sin Hong, ke manakah tujuan perjalanan kita" Apakah
kita akan langsung mencari Tiang Bu di utara" P ak-kek Sam-
kui adalah pembantu-pembantu setia dari Raja Mongol,
maka kalau benar-benar mereka terus membawa Tiang Bu,
bocah itu tentu dibawa ke utara dan sebaiknya ke sanalah
kita menyusul." Akan tetapi Sin Hong tidak menyetujui dan menjawab.
"Tidak sekarang Li Hwa. Aku pun menduga demikian, akan
tetapi memasuki daerah Mongol pada waktu sekarang
bukanlah hal yang mudah. Bahaya besar mengancam kalau
kita memasuki daerah Temu Cin itu. Bukan sekali-kali aku
takut menghadapi bahaya, akan tetapi kalau sampai aku
tewas dalam perjalanan berbahaya itu, bukankah aku akan
mati sebagai seorang bengcu yang mengecewakan" Aku
hendak ke Lu-liang-san lebih dulu, hendak kukumpulkan
para tokoh besar yang dulu mengangkatku sebagai bengcu
dan kukembalikan kedudukan ini. Setelah aku terlepas dari-
pada ikatan tugas sebagai bengcu, barulah aku akan pergi
mencari Tiang Bu." Maka berangkatlah Sin Hong dan Li Hwa menuruni
Gunung Go-bi-san, melakukan perjalanan yang cepat ke
selatan. Sin Hong kelihatan tenang-tenang saja akan tetapi Li 9
Hwa nampak gembira, wajahnya berseri-seri dan alam yang
terbentang luas di depannya kelihatan baru dalam pandangannya, baru dan serba indah menyenangkan.
Larinya cepat sekali dan agaknya kakinya sudah tak sakit
sama sekali. Diam-diam Sin Hong tersenyum di dalam
hatinya kalau ia teringat.betapa baru kemarin gadis ini
masih berpura-pura sakit kakinya dan berjalan perlahan agak
pincang! "Gadis bengal ....... !" di dalam hatinya ia mengomel, akan tetapi ia merasa senang.
-oo(mch)oo- "Bocah setan ....... kau telah berani menipuku ....... !
Kurang ajar kau, sepatutnya dipecahkan kepalamu!" Sambil berlari dengan langkah lebar Thai Gu Cinjin memaki-maki
Tiang Bu yang di kempit di bawah lengan tangan kirinya
sedangkan tongkat kepala naga itu dipukul-pukulkan ke
kanan kiri sehingga pohon-pohon tumbang dan batu-batu
pecah. Ngeri hati Tiang Bu menyaksikan amukan kakek
gundul yang tinggi besar seperti raksasa ini. Tenaga pukulan
tongkat itu benar-benar dahsyat dan mengerikan.
"Berani kau membakar kitab peninggalan Hoat Hian
Couwsu dan menghafal isinya. Hah, kau berani mendahuluiku" Setan alas! Kiranya dalam penjelmaan dulu
rohku pernah berhutang kepada rohmu sehingga dalam
penjelmaan sekarang ini kau membalasku, menagih janji."
Hwesio Lama dari Tibet itu terus-terusan mengomel panjang
pendek tentang hubungan roh-roh dan tentang hukum
karma. Tiang Bu hanya mendengarkan saja penuh perhatian dan
ia mendapat kenyataan bahwa pendeta Lama ini benar-
benar seorang pemuja hukum karma, yakni hukum yang
menyatakan bahwa roh manusia setelah meninggal akan
menjelma pula dalam tubuh lain akan tetapi hubungan-
10 hubungan dengan roh lain di waktu hidup yang lalu akan
terulang kembali. Tagih-menagih hutang, balas-membalas
dendam! "Apa yang harus kulakukan" Apa" Membunuhmu, aku
kehilangan isi kitab. Membiarkan kau hidup juga tak
mungkin karena kau telah menipuku!" demikian omelan
terakhir pendeta Lama itu.
"Losuhu, mengapa bingung" Dalam penjelmaan yang dulu
teecu adalah muridmu, sekarang pun demikian pula."
Kaget hati Thai Gu Cinjin mendengar ini sampai-sampai
ia menghentikan langkahnya dan melepaskan Tiang Bu dari
kempitannya. Bocah itu terguling di atas tanah, tubuhnya
sakit-sakit akah tetapi ia merasa lega telah terlepas dari
himpitan lengan yang berbulu dan kuat itu.
"Apa maksud kata-katamu tadi?" bentaknya dengan mata merah.
"Teecu merasa yakin bahwa dalam penjelmaan yang
dahulu, teecu adalah murid Losuhu. Buktinya begitu
bertemu dengan Suhu, tanpa disengaja Suhu telah menurunkan sebuah pelajaran ilmu silat kepada teecu dan
takut kitab itu terjatuh ke dalam tangan orang lain, teecu
telah menghafalkan di luar kepala semua isinya lalu
membakar kitabnya. Bukanlah itu namanya jodoh" Kemudian, tak tersangka-sangka pula, Suhu telah menolong
nyawa teecu dari ancaman Pak-kek San-kui! Bukankah ini
bukti ke dua dari adanya jodoh" Sekarang mengapa Losuhu
menjadi bingung seorang diri" Bagi teecu tidak ada bedanya,
mau dibunuh atau tidak apa sih perbedaannya?"
"Eh, Setan Cilik. Bagaimana kau bilang tidak ada
bedanya?" "Kalau Losuhu membunuh teecu, tentu Losuhu akan
terbunuh pula oleh teecu. Dalam penjelmaan mendatang,
mungkin teecu menjadi orang yang lebih kuat untuk
membalas kematian teecu di tangan Suhu. Dengan 11 demikian, teecu berhutanglah dan pada penjelmaan berikutnya Suhu yang membunuh teecu lagi dan Suhu yang
berhutang. Kalau Suhu menghendaki permusuhan yang
tiada habisnya antara dua roh kita, sekarang Suhu mau
bunuh teecu, bunuhlah!"
Thai Gu Cinjin terkenal sebagai seorang tokoh besar yang
selain pandai juga senang menipu orang. Banyak sekali
muslihatnya sehingga ia disegani dan ditakuti orang. Akan
tetapi ia mempunyai satu cacad besar, cacad yang ada
hubungannya dengan kedudukannya sebagai seorang pendeta Lama. Sebagaimana telah menjadi tradisi dan
kepercayaan mutlak para Lama, ia amat percaya akan
hukum fumimbal lahir(") (re-incarnation). Oleh karena itu,
kata-kata yang diucapkan Tiang Bu tadi termakan benar-
benar oleh hatinya. "Sebaliknya kalau Suhu tidak menghendaki balas-
membalas selama roh kita belum musnah apa salahnya
kalau Suhu mengambil teecu sebagai murid dan pelayan?"
Thai Gu Cinjin meraba-raba kepalanya yang gundul
pelontos. Keningnya berkerut. Ia berpikir keras.
"Hemm, kau tentu keturunan roh yang sudah maju
sehingga masih kecil sudah bisa bicara seperti itu ....... ! Kau betul juga, kalau kau menjadi muridku berarti kau selalu
berada di samplngku dan tidak akan dapat menggunakan
Pat-hong-hong-i sewenang-wenang
dan sesuka-sukamu sendiri. Di samping itu kau harus tahu bahwa kitab itu
bukan milikku, melainkan milik Tiong Jin Hwesio, seorang di
antara dua kakek sakti di Omei-san. Kalau kau sudah tahu
akan hal ini, kau pun tentu tahu bahwa kalau kakek itu tahu
kitabnya hilang ia tentu akan mencari kita."
"Dan Suhu tidak kuat menghadapi Tiong Jin Hwesio?"
tanya Tiang Bu. "Apa kau sudah gila" Tiong Sio Hwesio dan Tiong Jin
Hwesio adalah orang-orang sakti di masa ini. Merekalah
12 pewaris-pewaris dari kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu
dan Hoat Hian Couwsu. Siapa bisa melebihi mereka"
Barangkali hanya orang-orang yang telah mewarisi kitab-
kitab lain dari Tat Mo Couw-su, seperti mendiang guruku
dan guru Ang-jiu Mo-li, orang-orang seperti itulah yang bisa
menandingi dewa-dewa Omei-san'"
Mendengar ini, hati Tiang Bu tertarik sekali. Telah
berkali-kali ia bertemu dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi. I a sudah bertemu dengan Hui-eng
Niocu yang lebih lihai, lalu Pak-kek Sam-kui yang lebih lihai lagi. Sekarang ini ia menjadi murid Thai Gu Cinjin yang
malah lebih lihai daripada Pak-kek Sam-kui. Akan tetapi
pendeta Lama ini merasa dirinya tidak berarti ketika ia
bicara tentang dua orang hwe-sio yang ia sebut "Dewa"
Omeisan! Alangkah banyaknya orang pandai di dunia ini,
pikir Tiang Bu dan diam-diam ia rnerasa amat girang bahwa
ia telah menghafal sebuah kitab dari Omei-san. Memikirkan
ini kegirangan hatinya karena diterima menjadi murid Thai
Gu Cinjin menjadi berkurang dan ia ingin sekali bisa
menjadi murid 'Omei-san itu.


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi ia tidak dapat melamun lebih lanjut oleh
karena Thai Gu Cinjin sudah melepaskan buntalan itu
kepadanya sambil berkata.
"Mulai sekarang kau ikut aku. Bawalah buntalan ini."
Tiang Bu tidak berani membantah. I a baru saja terlepas
dari bahaya maut lagi. Pendeta Lama ini tidak jadi
membunuhnya bahkan mengambUnya sebagai murid. Akan
tetapi Tiang Bu adalah seorang anak yang cerdik. Ia
maklunn bahwa belum tentu pendeta ini mengampuninya.
Siapa tahu kalau Thai Gu Cinjin hanya ingin menguras isi
kitab itu daripadanya, kemudian setelah dapat mempelajari
Pat-honghong-i lalu membunuhnya. Hal ini mungkin sekali
bagi seorang seperti Thai Gu Cinjin. Tidak ada penjahat yang
hatinya lebih kejam daripada seorang pendeta yang jahat!
Oleh karena itu, ia berlaku amat hati-hati dan waspada.
13 Benar saja seperti yang ia duga, Thai Gu Cinjin mulai
menyuruh ia setiap hari berlatih Pat-hong-hong-i.
"Ilmu silat yang tinggi dan tidak ada Orang lain
mengetahuinya itu bukan ilmu sembarangan, Tiang Bu.
Maka harus kaulatih sampai sempurna betul. Biar aku yang
mengawasi kalau-kalau ada yang keliru."
Tiang Bu di dalam hatinya berpikir. Bagaimana dia bisa
mengetahui mana yang keliru kalau selamanya dia sendiri
belum mempelajari Pat-hong-hong-i" Aku tak boleh terkena
bujukannya. Dengan cerdik sekali Tiang Bu lalu mengubah-
ubah gerakan Pat-hong-hong-i.
Tentu saja di depan seorang ahli silat tinggi seperti Thai
Gu Cinjin ia tidak berani mengawur saja dan bersilat dengan
tidak karuan. I a masih mainkan Pat-hong-hong-i, akan tetapi
selain dengan gerakan tangan kaku tak karuan, juga ia
sengaja mencampur-campur Pat-hong-hong-i dengan Sam-
hoan Sam-bu dan Hui-houwtong-te dalam gerak kakinya.
"Heran sekali, mengapa Pat-hong-hong-i hanya ilmu silat
picisan," kata Thai Gu Cinjin terheran-heran. "Masa Hoat Hian Couwsu meninggalkan ilmu silat macam begini?" Akan
tetapi ia masih mengandung harapan lain. Pikirnya,
barangkali bukan salah Ilmu Silat Pat-hong-hong-i, melainkan bocah ini yang tidak becus. Kemudian ia teringat
bahwa Tiang Bu hanya menghafal di luar kepala dan tentu
saja berlatih sendiri tanpa pimpinan jadinya tidak karuan.
Aku harus sabar, pikirnya perlahan-lahan dan sedikit demi
sedikit ilmu ini tentu pindah kepada aku dan dapat kusaring
serta aku ambil aselinya.
Demikianlah, dengan pikiran seperti ini, sampai berbulan-
bulan Tiang Bu ikut kakek itu merantau, sama sekali ia tidak
tahu bahwa kakek itu mengajaknya ke daerah selatan.
Diam-diam Tiang Bu merasa girang dan juga geli karena akal
bulusnya berhasil menipu Thai Gu Cinjin.
14 Pada suatu sore Thai Gu Cinjin mengajak Tiang Bu
beristirahat di pinggir sebuah kelompok pohon setelah
mereka keluar dari padang tandus yang tanahnya mengandung pasir. Mereka telah rnelaku-kan perjalanan
setengah hari lebih diterik panas. Bagi Thai Gu Cinjin hal ini bukan apa-apa. Kakek ini dapat bertahan untuk berjalan
terus tiga hari tiga malam. Akan tetapi Tiang Bu yang belum
tinggi kepandaiannya, telah kehabisan tenaga dan napas. Ia
amat berterima kasih ketika
kakek itu mengajaknya mengaso. Apalagi tempat itu amat teduh dan nyaman sekali
kalau dibandingkan dengan daerah 'yang dilaluinya setengah
hari tadi. Thai Gu Cinjin sebentar saja mendengkur dan
melenggut di bawah pohon, bersila seperti patung Buddha
Tiang Bu termenung dan pikirannya melayang-layang.
Sudah empat tahun lebih ia meninggalkan rumah orang
tuanya di Kim-bun-to. Ia teringat akan semua keluarganya
dan diam-diam ia menahan tangisnya. Bukan kepalang
rindunya kepada ayah bundanya, terutama sekali kepada
Lee Goat. Tentu sekarang sudah besar, sudah enam tujuh
tahun usianya, pandai bermain-main dan pandai bicara.
Ketika ia pergi, Lee Goat baru berusia dua tahun. Ia tentu
lupa kepadaku, pikir Tiang Bu sedih. Bilakah ia akan dapat
pulang" Kalau saja aku bisa lari dari Thai Gu Cinjin ini,
pikirnya. Akan tetapi lari dari kakek sakti ini tak mungkin.
Biarpun kakek ini melenggut dan mendengkur, tak berani
Tiang Bu meninggalkannya. Bocah ini sudah banyak berkumpul dengan orang-orang pandai sehingga ia tahu
bahwa mereka ini lihai sekali.
Pula, andaikata ia dapat melarikan diri dari Thai Gu
Cinjin, ia harus pergi ke mana" Jalan menuju ke Kim-bun-to
ia tak tahu. Andaikata ia ketahui dari bertanya-tanya, kalau
jauh sekali dan tidak membekal uang bagaimana"
"Aku harus bersabar," pikirnya, "aku harus giat belajar.
Kalau sudah memiliki kepandaian apa sih sukarnya pulang
ke Kim-bun-to" Pula ayah dan ibu yang kabarnya pandai
15 sekali ilmu silat mengapa tak pernah mengajarku" Aku suka
ilmu silat dan kalau aku pulang tidak boleh belajar
bagaimana", Tiang Bu membolak-balik pikiranya demikian asyik ia
termenung sehingga ia tidak melihat adanya dua orang yang
datang ke tempat itu. Mereka ini adalah seorang laki-laki
dan seorang wanita. Tadinya mereka hendak melewati saja
kakek yang melenggut dan bocah jembel yang melamun di
bawah pohon itu, akan tetapi ketika mereka melihat wajah
Tiang Bu, tiba-tiba mereka menahan kaki dan laki-iaki itu
bertanya ragu. "Bukankah bocah itu yang kita cari ..."
Wanita itu menoleh, memandang
penuh perhatian kemudian berseru girang sekali, "Betul dia Tiang Bu ....... !"
Mendengar namanya disebut orang, baru Tiang Bu
mengangkat kepala dan memandang. Ketika ia melihat dua
orang itu dan mengenal wanita yang menyebut namanya,
kagetnya bukan main. Wanita itu bukah lain adalah Hui-eng
Niocu Siok Li Hwa yang ia takuti dan benci! Dan laki-laki itu adalah laki-laki gagah yang dulu pernah merampasnya dari
Li Hwa di Go-bi-san. Laki-laki gagah dan tampan yang
agaknya bermaksud baik menolongnya, akan tetapi yang
tidak dikenalnya sama sekali. Mengapa mereka sekarang
datang bersama" Melihat Li Hwa, Tiang Bu merasa khawatir
sekali. I a takut kalau diculik lagi oleh wanita cantik itu. Ia pernah merasai kegalakan Li Hwia di waktu dulu, maka ia
merasa lebih senarig ikut Thai Gu Cinjin daripada, ikut Li
Hwa. Karena pikiran ini ia lalu menggoyang-goyang lengan
pendeta Lama itu sambil berkata.
"Suhu ....... Suhu ....... bangunlah. Ada orang-orang
datang ....... !" Tentu saja Thai Gu Cinjin tadi sudah mendengar
kedatangan dua orang itu akan
tetapi karena tidak menyangka buruk, ia tidak peduli dan meramkan terus
16 matanya. Kini setelah Tiang Bu menarik-riariknya, ia
membuka rnata, mengangkat muka memandang. Melihat
dua orang muda yang datang, pendeta Lama ini kembali
menundukkan muka dan memejamkan matanya, sama sekali
ia tidak mau peduli. Pendeta Lama yang berilmu tinggi ini
memang agak sombong. Ia tidak mau berurusan dengan
segala orang muda tak berarti. Orang-orang muda seperti itu
bisa apakah" Biar mereka bicara dengan Tiang Bu kalau
mereka butuh, tak perlu ia melayani mereka!
Melihat sikap gurunya ini, Tiang Bu menjadi gelisah.
Apalagi sekarang dua orang itu bertindak menghampiri. Dari
jauh Li Hwa sudah menegur.
"Tiang Bu, selama ini kau ke mana sajakah" Kami
mencari-carimu sampai payah!" Kedua tangan wanita itu
dijulurkan ke depan seakan-akan hendak menangkap. Tiang
Bu makin ketakutan. "Suhu ....... ! Suhu ....... ! Mereka datang hendak menculik aku!" teriaknya kepada Thai Gu Cinjin sambil mengguncang-guncang lengan kakek ini.
Thai Gu Cinjin membuka lagi matanya dan wajahnya
kelihatan mendongkol ketika ia mengomeli muridnya.
"Kau ini kenapakah ribut-ribut tidak karuan mengganggu
orang mengaso" Ke mana nyalimu" Kau memalukan orang
yang menjadi guru saja. Siapa sih berani menculikmu"
Kalau orang tidak memiliki nyawa cadangan mana berani
mengganggu!" Setelah melempar lirikan memandang rendah
kepada Li Hwa dan Sin Hong, pendeta Lama ini menutupkari
matanya kembali! "Tiang Bu, mengapa kau berada disini dengan ba ....... "
Li Hwa menghentikan kata-katanya, karena tiba-tiba Sin
Hong memegang pundaknya. Ketika ia menengok ia melihat
Sin Hong mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan
kepaia menegurnya dan mencegahnya, mengeluarkan kata-
kata kasar. Memang Li Hwa tidak sesabar Sin Hong.
17 Mendengar ucapan dan melihat sikap pendeta gundul itu, ia
merasa dipadang rendah dan dipandang hina sekali, maka
serta merta darahnya naik. Tadi ia tentu akan melanjutkan
makiannya dengan kata-kata "bangsat tua ! bangka" atau
"bajul" atau badut gundul". Akan tetapi oleh cegahan Sin Hong,
ia cepat membelokkan makiannya ketika disambungnya lagi, "dengan bajut ini?" Makian "bajut"
memang tidak begitu kotor dan menghina.
Tiang Bu mengandalkan Thian Gu Cinjin maka kekhawatirannya berkurang. Ia menjawab dengan lantang.
"Ini adalah Suhuku, harap Jiwi jangan ganggu teecu lagi.
Teecu suka menjadi muridnya."
Li Hwa memandang kepada Sin Hong yang juga ternyata
sedang memandangnya sambil tersenyum.
"Nah, itulah! Seperti juga nasib suka atau tidak disuka
orang tergantung sepenuhnya atas sikap kita. Kau dulu
kiranya tidak bersikap terlalu manis terhadap Tiang Bu
maka dia sekarang begitu ketakutan melihatmu. Li Hwa,
insyaflah kau sekarang akan pentingnya sikap manis budi,
apalagi terhadap seorang bocah?"
Li Hwa menggigit bibirnya yang merah sambil mengangguk-angguk. Memang selama melakukan perjalanan
dengan kekasihnya ini, ia sering kali diperlakukan seperti
seorang murid dan harus mendengarkan "kuliah" dari Sin Hong bukan hanya tentang perangainya, juga tentang ilmu
silat, ilmu berlari cepat dan lain-lain.
Mendengar ucapan Sin Hong ini, tiba-tiba Thai Gu Cinjin
berkata tanpa membuka matanya.
"Orang muda seperti gentong kosong, nyaring bunyinya,
hanya; angin isinya. Sudah tahu nasib tergantung kepada
sikap, mengapa tidak lekas-lekas pergi dan jangan mengganggu orang mengaso?"
18 Sin Hong dan Li Hwa menjadi serba salah. Menurut patut
memang mereka harus segera pergi dari situ.
Tiang Bu sudah menjadi murid orang ini dan tidak suka
mereka bawa dan kakek ini tidak sudi diajak bicara, mau apa
lagi. Sebagai seorang gagah Sin Hong merasa malu untuk
melakukan hal tidak pantas. Kalau Tiang Bu berada di
tangan Pak-kek Samkui, ia boleh menerjang dan merampas
kembali anak ini. Akan tetapi bocah ini kini telah menjadi
murid seorang pendeta Lama yang nampaknya tak boleh
dipandahg ringan. "Tiang Bu, Ibumu di rumah bersedih, menanti kembalimu!" Tiba-tiba Li Hwa berkata. Memang Hui-eng
Niocu amat cerdik dan banyak akal. Ia maklum akan
kehalusan budi Sin Hong yang pasti tidak mau melakukan
kekerasan terhadap pendeta Lama itu seperti yang ia hendak
lakukan, maka satu-satunya jalan ialah membujuk Tiang Bu.
"Kami datang untuk mengantarkan kau pulang ke rumah
Ibumu, Tiang Bu." Hati Tiang Bu tergerak. Akan tetapi ia berlaku hati-hati
dan tidak mudah dibujuk. "Kalau Niocu begitu baik hendak mengantarkan aku
pulang mengapa dahulu menculikku dari

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah?" Bantahnya yang membuat Li Hwa terpukul dan tercengang.
Akan tetapi Li Hwa seorang yang cerdik dan banyak akal.
Cepat ia dapat menguasai kebingungannya dan tersenyum
manis. Sayang Tiang Bu masih kanak-kanak, andaikata ia
sudah dewasa kiranya segala kemarahan akan banyak ber-
kurang menghadapi senyum semanis itu!
"Anak yang baik, kau tidak tahu. Dahulu memang ada
pertikaian antara orang tuamu dan aku, pula aku ingin
mengambilmu sebagai murid. Sekarang aku dan orang
tuamu sudah berbaik kembali. Marilah Nak, kauikut kami
pulang ke Kimbun-to. Ibumu menanti-nanti!"
19 Tiang Bu menggeleng kepala. "Tak mungkin Ibu berduka
karena aku hilang. Buktinya dia tidak mencari aku sampai
bertahun-tahun!" Dalam kata ini terkandung rasa sedih dan sakit hati. Memang kadang-kadang timbul penasaran dan
sakit hati dalam dada Tiang Bu kalau ia terkenang betapa
ayah bundanya yang berkepandaian tinggi seperti yang sering
ia dengar dibicarakan dan dipuji-puji oleh para pelayan,
sama sekali tidak pernal? menyusul dan mencarinya!
Jawaban itu kembaii membuat Li Hwa melengak. Lalu ia
mengira bahwa anak ini tidak begitu sayang atau tidak begitu
disayang oleh ibunya. Mungkin Coa Hong Kin lebih
menyayanginya. Cepat ia berkata.
"Tiang Bu, selain Ibumu bersedih menanti-nantimu, juga
Ayahmu amat mengharapkan kedatanganmu. Marilah ikut
kami pulang!" Kembali Tiang Bu menggeleng kepala. "Kelak kalau aku
sudah kuat, aku dapat pulang sendiri."
Sin Hong yang maklum akan maksud akal yang
diperguriakan oleh Li Hwa, lalu membantu dengan kata-kata
yang ramah. "Tiang Bu, anak baik. Kami cukup mengerti betapa kau
telah menderita bertahun-tahun. Ayah bundamu tiada
hentinya memikirkan kau dan sudah mencari-cari tanpa
hasil, juga adikmu amat mengharapkan dan merindukan
pulangnya kakaknya."
Kata-kata ini seperti pisau menancap di jantung Tiang Bu.
Diingatkan akan adiknya yang katanya rindu kepadanya, tak
tahan pula matanya menjadi basah dan merah. Entah
bohong atau tidak, orang ini, akan tetapi tak dapat
diragukan lagi bahwa adiknya pasti amat merindukannya,
pikirnya. "Siapakah kau ....... ?" tanyanya kepada Sin Hong.
20 "Aku sahabat baik ayah ibumu. Percayalah kepada kami.
Kami betul-betul datang untuk mengajak kau pulang."
"Lee Goat ....... " Tiang Bu menyebut nama adiknya
perlahan, wajah adiknya yang mungil terbayang di depan
matanya. "Sudah besarkah dia" Sudah pandai bicarakah"
Apakah dia nanti masih mengenal aku ....... ?"
Melihat bahwa disebutnya adiknya membuat bocah itu
terpikat, Sin Hong lalu berkata, "Adikmu sudah besar.
Marilah kaulihat sendiri di rumah. Dia tentu akan girang
sekali kalau kau pulang."
"Pulang ....... ?" Tiang Bu menoleh kepada Thai Gu Cinjin dan pada muka anak ini terbayang kekhawatiran. Sin Hong
dan Li Hwa yang bermata awas dan cerdik maklum bahwa
tentu Tiang Bu takut kepada pendeta itu, maka berkatalah
Sin Hong cepat-cepat. "Ya, pulang ke Kim-bun-to, Tiang Bu. Suhumu tentu
akan memberi ijin kepadamu."
Tiba-tiba Thai Gu Cinjin menggerakkan tongkatnya dan
tahu-tahu tongkatnya yang panjang sudah disodorkan ke
depan, melintang di depan Sin Hong dan Li Hwa, merupakan
palang menghalangi mereka maju.
"Tidak, Tiang Bu. Kau muridku dan harus taat kepada
perintahku. Kau takkan ke Kim-bun-to, melainkan ikut ke
mana pun juga aku pergi. Kelak kau akan ikut dengan aku
ke Tibet!" Setelah menyemprot muridnya dengan kata-kata
ini ia lalu menoleh kepada Sin Hong dan Li Hwa, memutar
kedua matanya dengan marah lalu berkata.
"Orang-orang muda tak tahu gelagat! Apa kalian mau
mencari penyakit atau kalian sudah bosan hidup" Tadi
sudah kukatakan jangan mengganggu aku dan lekas pergi!"
"Maafkan kami, Losuhu," kata Sin Hong sambil menjura.
"Sesungguhnya kami datang untuk mengajak pulang anak ini yang dulu dirampas oleh Pak-kek Sam-kui dari tangan kami."
21 Mendengar ini, Thai Gu Cinjin makin memandang rendah.
Kalau terhadap Pak-kek Sam-kui saja mereka ini kalah,
berarti kepandaian mereka ini kalau adapun amat tidak
berarti. Ia tersenyum mengejek.
"Kalian ini sudah terpukul oleh Pak-kek Sam-kui masih
bandel. Apa kaukira mudah saja merebut muridku ini" Lihat
tongkatku ini. Kalau kalian bisa melewati tongkatku, baru
aku bicara." Setelah, berkata demikian, tongkat kepala naga itu dilonjorkan ke depan dengan tangan kanan, melintang
setinggi dua kaki dari tanah.
Sin Hong merasa mendongkol sekali. Kakek ini benar-
benar sombong, pikirnya, Dapat dimengerti bahwa kalau
orang seperti Sin Hong sabarnya bisa mendongkol, apalagi Li
Hwa! Nona ini sudah bercahaya matanya, kemerah-merahan
pipinya dan jari -jari tangannya yang bagus itu sudah
menggetar dikepal-kepal. "Biar aku mencobanya. Masa melewati saja tak mampu?"
kata Li Hwa perlahan kepada Sin Hong dengan mata penuh
permintaan. Sin Hong tidak tega mencegah. Ia mengangguk
dan berkata perlahan. "Berhati-hatilah kau."
Biarpun terang-terangan kakek gundul itu menantang
mereka berdua, namun bukan watak Sin Hong dan Li Hwa
untuk mengeroyok orang begitu saja. Mereka berdua adalah
orang-orang yang berkepandaian tinggi dan sudah percaya
penuh akan kepandaian sendiri, maka amat memalukan
kalau mereka maju berdua sebelum tahu bagaimana
kekuatan lawan. Hui-eng Niocu Siok Li Hwa adalah seorang ahli ilmu
ginkang yang jarang ditemukan bandingannya. Gerakannya
amat cepat dan tangkas, tepat sekali dengan julukannya
Nona Garuda Terbang! Maka ia cepat-cepat mengajukan diri
tadi karena dianggapnya betapa mudahnya melewati halangan berupa tongkat dipalangkan seperti itu! Dengan
22 gaya yang indah ia melangkah tiga tindak ke depan bersiap-
siap lalu berkata nyaring.
"Kakek sombong, aku lewat!" Cepat bagaikan anak panah menyambar tubuhnya meluncur ke depan melompati tongkat
melintang itu dengan kedua lengan dikembangkan ke kanan
kiri seperti seekor burung garuda terbang. Inilah Ilmu
Melompat Hui-eng-coan-in (Burung Garuda Menerjang Awan),
cepat dan indah gerakan ini.
Akan tetapi kali ini Nona Garuda Terbang bertemu dengan batu! Begitu tubuhnya mela- yang, pendeta Lama itu yang kembali sudah tunduk dan meramkan mata dengan sikap memandang rendah sekali, telah menggerak- kan tongkat ke atas dan tepat sekali tongkatnya itu, melakukan totokan ke
arah iga dari tubuh Li Hwa yang masih mela- yang itu. Terdengar teriakan kaget disusul oleh ketawa
terkekeh-kekeh. Li Hwa yang melihat datangnya sodokan tongkat ini, terkejut sekali
sampai menjerit. Cepat ia melakukan gerakan berjungkir
balik di udara, tangan kirinya menyambar ujung tongkat dan
terpaksa ia melompat kembali ke tempat tadi, tidak berhasil
melewati tongkat itu dan ditertawakan oleh Thai Gu Cinjin
yang masih meramkant matanya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa. Ia
telah dihina orang yang menggagalkan lompatannya dengan
23 mudah sambil meramkan mata! Benar-benar ia dianggap
seorang anak kecil yang bodoh! "Heh-heh-heh-heh! Masih
untung ginkangmu lumayan. Kau boleh coba lagi, dengan
pedang di tangan pun boleh kalau masih berani." Kata-kata Thai
Gu Cinjin yang kini membuka matanya dan memandang kepadanya dengan penuh ejekan membuat
darah Li Hwa bergolak. Secepat kilat tangannya bergerak
meraba gagang pedang dan sinar hijau berkeredepan
menyilaukan mata ketika pedang itu di lain saat telah
terhunus. "Pokiam (Pedang Pusaka) bagus! Asal saja kau bisa
mempergunakannya!" Kembali kata-kata dari Thai Gu Cinjin ini merupakan ejekan yang memandang rendah.
"Pendeta sombong, jagalah aku lewat!" teriak Li Hwa dan dengan gerakan cepat sekali ia melompat maju lagi dengan
pedang diputar-putar di depannya. Ia akan membabat putus
tongkat panjang itu apabila pendeta itu menghalanginya lagi
dengan tongkatnya. Betul saja, Thai Gu Cinjin dengan gerakan sembarangan
saja menyodok dengan tongkat menghalangi majunya Li Hwa.
Gadis ini mengayun pedang, mengerahkan tenaga dan
membacok tongkat dengan Cheng-liong-kiam. Terdengar
suara keras,, bunga api berpijar dan Li Hwa terkejut bukan
main. Bukan saja tongkat itu tidak putus oleh sabetan
pedang, bahkan pertemuan antara dua senjata sehingga
mengeluarkan bunga api ini membuat telapak tangannya
perih dan tergetar. Dan di lain saat ujung tongkat itu telah menyerampang
kedua kakinya! Ini terang hanya gerakan untuk mempermainkan dan menggertaknya saja. Sambil menggigit
bibir saking cemas, terpaksa Li Hwa melompat ke atas
menyelamatkan kedua kaki dari sabetan tongkat. Akan tetapi
tongkat itu menyusulnya cepat dan melakukan sodokan dari
bawah mengarah perutnya! 24 Ini keterlaluan sekali! Main-main yang sudah bukan
merupakan main-main lagi melainkan penghinaan yang
tidak pantas. Li Hwa tidak mau menangkis dengan
pedangnya, melainkan kedua kaki yang tadinya ditarik ke
atas, tiba-tiba ia lonjorkan dan dengan tepat ia menyambut
ujung tongkat itu dengan tumit kakinya, kemudian dengan.
meminjam tenaga sodokan tongkat itu tubuhnya mumbul
setinggi tiga atau empat tombak ke atas! Dengan cara ini ia
hendak sekaligus melewati pendeta itu dan menang!
"Lihai sekali!" teriak Thai Gu Cinjin melihat kehebatan ginkang dari nona itu dan Sin Hong juga diam-diam girang
dan memuji kecerdikan Li Hwa yang dapat mempergunakan
hinaan lawan untuk mencapai kemenangan.
Akan tetapi baik Li Hwa maupun Sin Hong menjadi
terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkat panjang itu "terbang"
dari tangan kakek itu, meluncur ke atas seperti anak panah
terlepas dari busurnya! Serangan ini berbahaya sekali dan
hanya seorang dengan ginkang tinggi seperti Li Hwa yang
dapat menyelamatkan diri. Melihat luncuran tongkat ke
depannya itu, Li Hwa maklum bahwa kalau ia melanjutkan
lompatannya, ia akan termakan oleh tongkat itu. Untuk
mengelak tak mungkin lagi, maka cepat ia memegang
pedangnya dengan kedua tangan, diayun ke bawah memapaki datangnya tongkat dengan seluruh tenaganya.
Terdengar suara keras dan kembali bunga api berpijar.
Tongkat kena dihajar pedang terlempar ke bawah, akan
tetapi juga tubuh Li Hwa terpental ke belakang kembali
sehingga ketika gadis ini melompat turun, ia. masih belum
melewati kakek yang telah memegang tongkatnya lagi!
"Li Hwa, kau mundurlah. Biar aku mencoba-coba," kata Sin Hong, maklum bahwa ia menghadapi seorang sakti yang
tak boleh dipandang ringan sama sekali. Ia menjura kepada
pendeta Lama itu sambil berkata.
"Maaf, Locianpwe. Aku yang muda mohon lewat!" Setelah berkata demikian dengah langkah tenang dan biasa saja Sin
25 Hong berjalan maju. Thai Gu Cinjih biarpun
masih memandang rendah kepada laki-laki muda ini namun
karena ia dapat menduga bahwa lawan kedua ini tentu lebih
lihai daripada wanita tadi, memegang tongkatnya dengan
kedua tangan,

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disodorkan merupakan palang yang mencegah Sin Hong lewat. Kedua tangannya memegang
ujung tongkat kuat-kuat dan matanya memandang orang
yang datang penuh perhatian dan bersiap-siap.
Dengan sekilas pandang, Sin Hong mengukur kedudukan
kakek itu dengan penuh perhitungan, kemudian ia berkata.
"Maaf, Locianpwe. Tongkatmu
menghalangi jalan!" Ia membungkuk dan menangkap tongkat itu dengan kedua
tangan mengerahkan tenaganya untuk menekan tongkat itu
ke bawah. Thai Gu Cinjin kaget sekali. Ia melakukan penjagaan
dengan tongkat untuk mencegah orang lewat dan untuk
menggebuk atau mendorong orang yang hendak melompati
tongkatnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang
muda ini menangkap tongkatnya dan menekannya ke
bawah. Tentu saja untuk mengadu tenaga, ia kalah
kedudukan. Orang muda itu memegang ujung sana tongkatnya dan menekan ke bawah. Kalau ia harus
mempertahankan dan mengangkat tongkat itu dari ujung
sini, berarti tenaganya menjadi satu lawan sepuluh! Akan
tetapi Thai Gu Cinjin memang berwatak sombong.
Ia terlalu percaya akan kepandaiannya sendiri yang
dianggapnya tidak ada bandingnya. Di samping kesombongan ini, juga ia berpikir andaikata ia kalah tenaga,
toh masih belum berarti bahwa pemuda itu dapat lewat.
Begitu tongkatnya dilepaskan oleh lawannya dan lawan itu
hendak melompat lewat, ia masih dapat menggebuk dari
belakang! Karena pikiran inilah maka Thai Gu Cinjin lalu
mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan
tekanan Sin Hong. 26 Akan tetapi kakek inii sama sekali tidak tahu bahwa ia
berhadapan dengan Wan Sin Hong pendekar muda, yang
berilmu tinggi sehingga tujuh delapan tahun yang lalu
sampai memenangkan pemilihan bengcu di Ngo-heng-san!
Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaganya, dengan amat
mudah karena memang menang kedudukan sehingga dengan sepersepuluh tenaganya saja Sin Hong dapat
menangkan tenaga lawan ujung tongkat itu tentu ditekan,
oleh Sin Hong sampai masuk ke dalam tanah! Sin Hong
terus menekan dan ujung tongkat itu amblas dan melesat
terus makin lama makin dalam.
Thai Gu Cinjin terkejut. I a tak menyangka! Memang,
kekalahan adu tenaga ini tidak ia herankan oleh karena
memang kedudukannya yang kalah, akan tetapi ia tidak
pernah memperhitungkan bahwa pemuda itu bukan hanya
menekan sekedar untuk melompati tongkat, melainkan
bermaksud menekan terus sampai tongkat itu melesak ke
dalam tanah sehingga mudah
baginya mengendurkan tenaganya melawan. Biarpun tongkat amblas ke dalam
tanah, pikirnya asal saja masih kukerahkan tenagaku, begitu
dilepaskan olehnya akan dapat tercabut kembali untuk
mengemplang kepalanya dari belakang!
Di samping ilmu silatnya yang tinggi, Sin Hong juga
memiliki otak yang sehat dan cerdik, maka ia sudah dapat
menduga apa yang tersembunyi di balik pengerahan tenaga
sia-sia dari kakek itu. I a menekan terus, kemudian pada
saat yang baik ia melepaskan tongkat sambil berseru.
"Aku lewat!" Tongkat yang tadinya terpendam dalam tanah itu tiba-
tiba tercabut membawa gumpalan-gumpalan tanah. Sedianya tongkat itu dari bawah akan langsung menghantam tubuh Sin Hong yang melewatinya. Akan tetapi
dengan gerakan tenang-tenang saja Sin Hong menunda
langkahnya, hanya untuk beberapa detik saja karena begitu
tongkat itu tercabut dan melayang kuat ke atas, ia
27 menerobos dari bawah tongkat! Ketika Thai Gu Cinjin sadar
bahwa ia kena tipu, orang muda itu sudah lolos dan sudah
berdiri jauh melewatinya, tak dapat dihalanginya atau
dicegah oleh tongkatnya lagi.
Wajah Thai Gu Cinjin menjadi merah sekali. Keringat
berkumpul di dahinya yang kelimis. Ia memandang kepada
Sin Hong dengan mata bersinar-sinar mengeluarkan hawa
panas. "Jahanam, kau telah menipuku! Kau lewat bukan
mengandalkan kepandaian, melainkan mengandalkan tipu
muslihat licik!" bentaknya marah.
Sin Hong tersenyum dan menjura dari tempat ia berdiri.
"Locianpwe, seorang tua seperti Lo-cianpwe ini apa
mungkin menelan kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"
"Setan! Aku tadi berjanji kalau kalian dapat lewat baru
aku mau bicara. Siapa menarik kembali omongan" Dengar
baik-baik, aku berjanji lagi bahwa kalau kau sekarang dapat
menghalangi aku lewat, aku takkan banyak omong lagi dan
kau boleh membawa pergi bocah setan Tiang Bu'"
Sin Hong mengerutkan alisnya. Ia maklum bahwa ia
menghadapi seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi
berbatin rendah. Dengan orang macam ini tak mungkin
dicapai penyelesaian secara damai. Kalau ia tidak memperlihatkan kepandaiannya, kakek itu pasti akan
berlagak terus. Maka ia segera siap menghadapi tantangan
itu. Memang kata-kata tadi sama dengan tantangan, karena
ia dapat menduga bahwa kakek itu pasti akan berusaha
keras untuk dapat melewatinya, biarpun untuk usaha itu ia
harus membunuh lawannya. Ini bukan merupakan peerjanjian atau pertaruhan biasa saja, melainkan menyangkut kehormatan maka tentu akan dipertahankan
mati-matian. Namun, Sin Hong masih memancing untuk
mengetahui pasti isi hati lawan.
28 "Baiklah, Locianpwe. Memang aku dapat menduga bahwa
akhirnya Locianpwe tentu akan mengembalikan bocah itu
kepada kami. Harap Locianpwe jelaskan apakah Locianpwe
hendak lewat dengan tangan kosong, ataukah dengan
bantuan senjata?" Thai Gu Cinjin menjadi mendongkol dan merasa disindir.
Tapi orang muda ini memang telah berhasil "lewat" biarpun dengan cara menipu, dengan mengandalkan tangan kosong
belaka. Akan tetapi ia tidak mau berlaku bodoh s eperti tadi
tidak mau gagal oleh karena memandang rendah lawan.
Orang rnuda yang sikapnya tenang, matanya terang,
bicaranya ramah seperti ini lebih baik jangan dipandang
rendah. "Aku sudah tua dan lemah, kemana-mana harus dibantu
tongkatku ini." Thai Gu Cinjin mengira bahwa orang muda itu tentu
menjadi gentar dan mengajukan alasan supaya ia lewat
dengan tangan kosong. Kalau sampai terjadi demiklan, ia
akan mendapatkan kembali mukanya dan dapat membalas
orang muda itu dengan ejekan bahwa pemuda itu takut.
Akan tetapi ia kecele. Sin Hong menarik napas panjang, tahu
bahwa kakek ini menghendaki pertandingan silat dengan
senjata. Hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya,
bahkan ia merasa lega. Kalau kakek ini menggunakan
tongkat yang berarti bersenjata, ia pun tidak malu-malu
mempergunakan pedangnya. Dan karena tongkat itu pun
senjata ampuh seperti tadi telah terbukti ketika beradu
dengan Cheng liong kiam maka ia tidak malu mempergunakan Pak kek Sin kiam dan takkan disebut
mencapai kemenangan karena mengandalkan senjata pusaka. "Baiklah, Locianpwe. Aku siap sedia. Kau cobalah untuk
lewat!" katanya sambil mencabut pedangnya yang mengeluarkan cahaya lebih cemerlang daripada cahaya hijau
29 dari Cheng liong kiam tadi. Melihat ini Thai Gu Cinjin
tertegun dan kagum sekali.
"Banyak pedang bagus!" katanya. "Kalau aku tak dapat lewat, kalian boleh bawa pergi Tiang Bu. Akan tetapi kalau
sebaliknya, kalian harus meninggalkan pedang-pedang itu!"
Ternyata kakek inl tldak mengenal pedang Pak kek Sin
kiam yang akan dikenal oleh ratusan tokoh-tokoh kangouw
lainnya. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Thai Gu
Cinjin baru sekarang turun gunung meninggalkan Tibet.
Tidak seperti banyak orang sakti yang selalu mengunjungi
Tibet, di waktu dahulu pemilik pedang ini, Pak kek Siansu
belum pernah ke Tibet. Oleh karena inilah maka tokoh-tokoh
besar Tibet ini tidak mengenal Pak kek Sin kiam, baik nama
maupun rupa. "Kalau Locianpwe yang menang apa yang hendak kau
lakukan, baik yang patut maupun yang tidak kami akan
dapat berbuat apakah?" kata Sih Hong yang sudah berdiri
dengan pedang melintang di tangan kanan.
Pemuda ini tenang sekali. Dengan pedang di tangan
memang Sin Hong boleh merasa tenang. Dalam hal ilmu
pedang kiranya Pak-kek Kiamsut sukar dlcari bandingannya,
apatagi kalau ilmu pedang ini dimainkan oleh Sin Hong yang
mempelajarl dengan sempurna, ditambah dengan Pak-kek
Sinkiam di tangannya pula! Andaikata ia menghadapi kakek
itu dalam pertempuran tangan kosong, belum tentu ia akan
setenang dan sepasti itu untuk mencapal kemenangan.
Thai Gu Cinjln tentu saja merasai sindiran Sin Hong ini.
Dengan marah ia mengayun tongkatnya tinggi-tinggi di atas
kepala, memutar-mutarnya sehingga mengeluarkan angin
dan bersuara mengaung seperti kitiran angin.
"Awas aku lewat. Minggir.....!!" bentaknya menerjang maju. Melihat ini, diam-diam L.i Hwa meleletkan lidahnya
yang merah. Kakek itu benar-benar berbahaya sekali,
pikirnya. Dari gerakan tongkat dan angin yang menyambar-
30 nyambar saja gadis ini pun tahu bahwa kakek itu
berkepandaian tinggi dan bertenaga besar. Ia takkan merasa
aneh kalau saja mendengar bahwa kakek ini merampas
Tiang Bu dari tangan Pak kek Samkui, karena dapat diduga
bahwa kepandaian kakek ini memang lebih tinggi daripada
kepandaian Pak-kek Samkui.
Sin Hong menggerakkah pedangnya menangkis. Seperti
juga tadi ketika tongkat bertemu dengan Cheng liong kiam,
terdengar suara keras dan terlihat sinar api berpencaran.
Thai Gu Cinjin merasa tangannya kesemutan. Kagetlah ia
dan cepat-cepat ia menarik kembali tongkatnya untuk
diperiksa apakah tidak rusak. Ia melihat tongkat itu tidak
apa-apa, hanya warna lapisannya lecet-lecet. Ia memandang
kepada Sin Hong yang berdiri tenang-tenang saja. Bukan
main heran hatinya. Akan tetapi keheranannya terganti
kemarahan yang memuncak. Kehormatannya tersinggung.
Masa ia harus kalah oleh seorang bocah seperti ini" Kini ia
menggeram dan melangkah maju. Lenyap sama sekali
keinginan hatinya hendak lewat saja terganti oleh nafsu
merobohkan atau mengalahkan pemuda berpedang pusaka
ini. "Robohlah!" bentaknya dan kini tongkatnya dimainkan dengan gerakan silat yang kuat dan cepat juga amat aneh
gerak-geriknya. Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu kini berubah merah gelap. Sin Hong mengelak cepat dan
membalas dengan serangan pedangnya. Ia harus bertaku
awas karena menghadapi gerakan ilmu tongkat yang amat
aneh. Namun, Pak kek Kiamsut memang bukan ilmu pedang
sembarangan dan di dalam ilmu pedang ini terdapat segala
macam gerakan untuk menghadapi macam-macam lawan.
Sebentar saja pedangnya tenyap berubah menjadi gundukan sinar yang menyilaukan mata, yang membendung
hujan pukulan tongkat dan membalas dengan kecepatan
halilintar menyambar-nyambar membuat Thai Gu Cinjin
terkejut bukan main. Baru sekarang Thai Gu Cinjin
31 mendapat kenyataan dan terbuka matanya bahwa yang
dapat mengalahkannya di dunia ini bukan hanya kakek-
kakek sakti di Omeisan dan Angjiu Moli iblis wanita dari
utara itu. Ilmu pedang orang muda ini hebat sekali, bahkan
kalau ia bandingkan dengan ilmu pedang dari Angjiu Moli
yang pernah ia lihat kiranya tidak kalah lihai.
Sementara itu, Siok Li Hwa mendekati Tiang Bu yang
melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga dan mata
terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan penglihatannya
sendiri menyaksikan pertempuran yang hebat bukan main
itu, Thai Gu Cinjin kelihatan seperti raksasa mengamuk.
Tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang
panjang seperti seekor naga hitam, nampaknya dahsyat dan
mengerikan. Di lain fihak lawannya telah lenyap, hanya
bayangannya saja kadang-kadang nampak di antara gulungan sinar pedang yang berkelebatan cepat. Pemandangan itu mirip dengan hari hujan di mana sinar
tongkat itu merupakan mendung hitam sedangkan sinar
pedang merupakan sinar kilat yang menyambar-nyambar
dan diantara mendung dan kilat itu bertempur seorang
raksasa ganas melawan seorang dewa yang tampan! Yang
amat mengherankan hati Tiang Bu, bagaimana orang muda
itu dapat melawan Thai Gu Cinjin" Selama ini, orang yang
dianggapnya paling lihai hanyalah Thai Gu Cinjin yang
dengan mudah merampasnya dari tangan Pak-kek Samkui
yang begitu jahat dan menakutkan. Akan tetapi sekarang
pertempuran itu berjalan demikian seru dan siapakah di
antara mereka yang lebih unggul.
"Tiang Bu, apakah kau tidak mengenal orang yang
hendak menolongmu supaya kau bisa pulang"
Tidak kenalkah kau akan orang yang sekarang bertempur melawan
pendeta Lama itu?" Pertanyaan dari Li Hwa yang tiba-tiba sudah berada di dekatnya ini mengejutkan hati Tiang Bu.
Ia menggeleng kepalanya, akan tetapi matanya terus
mengincar ke arah dua orang yang tengah bertempur.
32 "Apakah Ayah Bundamu dahulu belum pernah menyebut
nama Wan Sin Hong di depanmu?" tanya pula Li Hwa
terheran-heran. Mendengar disebutnya nama ini, tiba-tiba
Tiang Bu teringat. Pernah sambil lalu ketika Tiang Bu minta
ayah ibunya mengajar ilmu silat, ibunya berkata.
"Kelak saja kau boleh belajar ilmu silat kepada pendekar besar yang menjadi pemimpin semua ahli persilatan, yaitu
Wan bengcu." Ketika ia mendesak dan bertanya siapa adanya Wan
bengcu itu, ibunya menjawab, "Dia adalah sahabat baik ayah bundamu bahkan dia masih terhitung Susiokku (Paman
Guruku). Namanya Wan Sin Hong dan kiranya di dunia ini
tidak ada orang yang dapat menandingi ilmu silatnya."
Demikianlah yang ia ingat tentang nama Wan Sin Hong.
Jadi orang yang lihai inilah Wan Sin Hong yang oleh ayah
bundanya hendak dijadikan gurunya" Tiang Bu memandang
makin tertarik akan tetapi sayang matanya belum begitu
awas untuk dapat mengikuti jalannya pertempuran yang
cepat itu. Melihat ini, Li Hwa menoleh ke arah pertempuran lalu
berkata dengan suara pasti, "Dia pasti akan menang.
Pernahkah Ayah Ibumu menyebut nama Wan Sin Hong?"
Kini Tiang Bu mengangguk dan matanya bersinar
gembira. Li Hwa juga merasa senang karena sekarang anak
itu agaknya percaya kepadanya dan tidak curiga seperti tadi.
"Siapakah Kakek Gundul sombong itu" Apa betul dia
gurumu?" "Dia bernama Thai Gu Cinjin, pendeta Lama dari Tibet,"
jawab Tiang Bu tanpa mengalihkan pandangan matanya dari
medan pertempuran. "Teecu dipaksa menjadi muridnya setelah dia merampas
teecu dari tangan Pak-kek Samkui. Aduuhh..... kenapa
itu.....?"" Tiba-tiba Tiang Bu menuding ke arah pertempuran 33
yang mengalami perubahan. Kini ia melihat Sin Hong,
nampaknya orang muda itu kelelahan atau entah mengapa.
Akan tetapi jelas gerakan Sin Hong tidak seperti tadi,
pedangnya mulai tidak karuan dan tiba-tiba Thai Gu Cinjin
yang kini sudah mengeluarkan sebuah saputangan merah
membentak, "Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!" Aneh sekali! Sin Hong terhuyung-huyung
berusaha menetapkan langkahnya namun tak berhasil
akhirnya ia benar-benar jatuh berlutut, hanya Pak-kek
Sinkiam masih di tangannya. Apakah yang terjadi"
Setelah bertempur selama lima puluh jurus, Thai Gu
Cinjin yang sombong itu harus mengakui keunggulan Wan
Sin Hong. Sudah dua kali dalam lima puluh jurus itu Sin
Hong membuktikan keunggulannya. Dengan ilmu pedangnya
yang luar biasa itu, ia telah berhasil membabat putus ujung
lengan baju dan ujung jubah lawannya. Oleh karena
maklum pemuda yang dihadapinya memiliki ilmu pedang
yang tinggi sekali dan kalau dilanjutkan tentu ia akan kalah, Thai Gu Cinjin lalu mempergunakan ilmu sihirnya. Kaum
Lama di Tibet pada umumnya memuja roh suci, terutama
sekali roh suci dari Buddha yang mereka percaya selalu jutsi
(menjelma) menjadi seseorang yang mereka pilih menjadi
Dalai Lama. Kalau kaum Lama ini memuja roh suci yang
mereka harapkan dapat memimpin mereka ke arah jalan
kebenaran, adalah kaum Lama jubah merah ini memuja
atau mengadakan hubungan dengan roh-roh jahat atau roh-
roh penasaran, bukan untuk memuja guna kebaikan jalan
hidup, melainkan dipuja untuk dipergunakan bantuannya
dalam menjalankan ilmu-ilmu hitam'
Tingkat ilmu silat Wan Sin Hong memang sudah amat
tinggi dan kiranya tidak banyak orang-orang sakti di dunia
ini yang akan dapat mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan
tetapi dia masih muda dan pengalamannya tentu saja masih
belum cukup banyak. Belum pernah ia berhadapan dengan
lawan yang mempergunakan ilmu sihir untuk menyerangnya. Kalau lawannya mempergunakan pukulan
34 atau serangan dengan senjata-senjata berbisa, kiranya
mengandalkan kepandaiannya yang tinggi ia akan dapat
menyelamatkan diri. Akan tetapi kali ini Thai Gu Cinjin
mempergunakan ilmu sihir atau hoat-lek (ilmu gaib) dengan
mempengaruhi dan menguasai semangat Sin Hong melalui
pandangan mata, gerak tangan penuh rahasia, dan suara
perintah yang menyeramkan.
"Orang muda, lepaskan pedangmudan berlututlah!"
bentaknya dan Sin Hong terhuyung-huyung, berusaha
menetapkan langkahnya namun tak berhasil dan akhirnya
menyerah terhadap kekuasaan aneh yang memaksa dan
menguasainya. Ia jatuh berlutut, hanya Pak-kek Sinkiam
masih di tangannya, tergenggam erat-erat. Ini tepat dengan
wataknya, agaknya pedang pusaka di tangan takkan
dilepaskannya! Semboyan "mati hidup dengan pedang di
tangan" menjadi pedoman setiap orang gagah.
Thai Gu Cinjin tertawa bergelak melihat lawannya yang
muda dan lihai itu sudah takluk di bawah pengaruh
sihirnya. "Orang muda sombong, baru kau tahu kelihaian Thai Gu
Cinjin. Kaukira aku tidak bisa melewatimu" Minggirlah!"
Sambil berkata demikian tongkatnya yang panjang itu
meluncur cepat ke arah ulu hati Sin Hong.
Biarpun kedua kakinya seperti lumpuh dan tak berdaya,
menghadapi serangan maut ini, otomatis tenaga dan hawa
sinkang di dalam tubuh Sin Hong bekerja dan seakan-akan
tanpa ia gerakkan lagi tubuhnya sudah miring membuat
gerakan mengelak! Akan tetapi serangan Thai Gu Cinjin
bukan seperti serangan tukang silat sembarangan saja.
Kepandaian kakek ini sudah tinggi dan melihat tubuh itu
mengelak, ia pun mengejar dengan tongkatnya.
"Brukkk.....!!" Dada sebelah kanan dari pemuda itu
terdorong ujung tongkat. Tubuh itu mencelat sampai empat
tombak lebih, terbanting bergulingan lalu rebah tertelungkup di atas tanah tak berkutik.
35 "Sin Hong.....!!" Li Hwa lupa akan segalanya. Gadis ini melompat dan mengejar Sin Hong, lalu menubruk dan
memelukinya. Dipangkunya kepala Sin Hong, didekap ke
dadanya dan ia memperhatikan muka kekasihnya itu. Darah
segar mengalir keluar dari mulut Sin Hong, membuat
bibirnya menjadi merah berlepotan darah. Mukanya pucat
sekali dan matanya terpejam.
"Sin Hong.....! Bangunlah.....! SinHong, jangan kau
mati...... jangan tinggalkan aku, Sin Hong.....!!" Saking kaget dan
khawatirnya kalau-kalau pemuda yang menjadi pujaannya itu mati, Li Hwa lupa akan kegagahannya dan
menangis seperti anak kecil. I a tadi menyaksikan sendiri ,
betapa hebatnya dorongan tongkat dari Thai Gu Cinjin dan
sebagai seorang ahli silat tinggi ia dapat mengerti bahwa
pukulan semacam itu agaknya tidak mungkin dapat ditahan
orang, apalagi kalau yang terkena itu bagian dada. "Sin
Hong, jangan tinggalkan aku....., bawalah aku serta....." Ia menangis dan lupa akan segala, ia mencium muka yang
disangkanya sudah akan ditinggalkan nyawa itu. I a tidak
peduli betapa darah segar yang mengalir keluar dari mulut
Sin Hong itu mengenai pipinya, hidungnya, bahkan bibirnya
terkena darah dan terasa darah pada mulutnya!
"Suhu, kau..... kau kejam sekali! Kau..... kau jahat'!"
Teriakan ini dikeluarkan oleh Tiang Bu yang merasa
amat terharu melihat sikap Li Hwa. Saking marahnya ia lupa
diri dan melompat maju ke depan Thai Gu Cinjin, terus
menyerang kakek itu dengan ilmu silat yang ia pelajari dari
kitab, yaitu Pat hong hongi!
"Plak buk plak buk.....!" Thai Gu Cin mengeluarkan
seruan kaget ketika ia melompat ke belakang. Serangan
bocah tadi sungguh aneh luar biasa sehingga biarpun Thai
Gu Cinjin yang lihai sudah mengelak cepat, tetap saja kaki
tangan bocah itu memberi hadiah dua kali tendangan dan
dua kali pukulan yang datangnya susul menyusul. Baiknya
bocah itu tenaganya tidak seberapa, kalau yang melakukan
36 pukulan tadi orang yang sudah dewasa dan memiliki tenaga
lweekang, tentu ia sudah roboh!
"Murid pengkhianat, kau mau membela musuh?" bentak
Thai Gu Cinjin untuk menutupi malunya dan tongkat
panjangnya menyambar ke arah kepala Tiang Bu dengan
hebatnya. Akan tetapi... pukulan itu mengenai tempat
kosong. Bagaikan seekor monyet yang lincah Tiang Bu
berhasil mengelakkan diri. Thai Gu Cinjin menjadi makin
penasaran. Tongkatnya menyambar lagi, sekali, dua kali,
tiga kali. Tetap saja mengenai angin belaka. Tiang Bu dengan
langkah-langkah aneh selalu dapat rnengelak. Ternyata
bahwa bocah ini telah mempergunakan Ilmu Kelit Sam hoan
Sambu yang ia pelajari dari mendiang Bu Hok Lokai dan
ternyata hasilnya luar biasa. Ahli silat biasa jarang ada yang dapat menyelamatkan diri dari pukulan tongkat satu kali
saja dari Thai Gu Cinjin, apalagi sampai empat kali!
Thai Gu Cinjin menggereng marah, tangan kirinya ikut
bergerak mengeluarkan pukulan khikang. Benar saja,
terkena hawa pukulan ini, tubuh Tiang Bu terhuyung-
huyung seperti didorong dan ia tidak dapat lagi mainkan
Samhoan Sambu dengan baik. Tongkat panjang sudah
bersiutan di atas kepalanya yang agaknya sebentar lagi akan
remuk seperti kepala tikus dihantam dengan batu besar.
"Cringgg.....!" Bunga api berpijar .ketika tongkat itu tertangkis dan terpental. Thai Gu Cinjin makin marah ketika
melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah
pedang di tangan Wan Sin Hong yang memegang pedangnya
dengan tangan kiri. "Thai Gu Cinjin, kau tidak patut disebut orang gagah.
Keji sekali hendak membunuh seorahg bocah kecil!" kata Sin Hong dengan suara halus dan tenang, akan tetapi sepasang
matanya mengeluarkan sinar bercahaya.
Bagaimanakah Sin Hong sudah dapat bangun kembali"
Pertanyaan ini memenuhi pula kepala Thai Gu Cinjin.
37 Sin Hong telah memiliki sinkang yang amat luar biasa di


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam tubuhnya. Pukulan tadi biarpun mendatangkan luka
hebat dalam dada sebelah kanan, akan tetapi tidak sampai
mencabut nyawanya. Pula, kejernihan pikiran dan hati
berkat latihan bertahun-tahun dalam ilmu Imkang dan
Yangkang membuat la sebentar saja pingsan. Ia sadar dan
siuman dalam dekapan Li Hwa yang menjadi girang bukan
main melihat Sin Hong dapat bergerak lagi dan membuka
matanya. "Lepaskan, Li Hwa. Aku tidak apa-apa....." kata Sin Hong, bukan main terharunya melihat budi kecintaan yang
demikian besarnya dari gadis ini terhadap dirinya. Tidak saja ia merasa terharu, akan tetapi juga mulailah bersemi cinta
kasih di dalam hatinya yang tadinya sudah membeku.
Melihat wajah Li Hwa yang berlinang air mata akan tetapi
sekarang bibirnya tersenyum penuh harapan, melihat betapa
pipi dan bibir gadis itu terkena darah merah yang mengalir
dari mulutnya sendiri, tak tertahan lagi Sin Hong mengeluarkan keluhan lirih.
"Li Hwa..... Li Hwa....." dan dua titik air mata keluar tertahan bulu matanya.
Aneh sekali! Pada saat itu hilanglah kekuasaan aneh
yang tadi membuatnya lumpuh! Memang dada kanannya
terasa sakit sekali, akan tetapi adalah akibat dari pukulan
tongkat, dan merupakan luka dalam yang sewajarnya. Tidak
seperti lumpuhnya kedua kaki yang tidak wajar. la tidak
tahu bahwa cinta kasih yang murni dapat mengusir hawa
busuk dari ilmu hitam yang tadi menguasai dirinya. Dengan
cinta kasih murni yang mulai bersemi di dalam dadanya,
ilmu hitam Thai Gu Cinjin menjadi buyar!
Pada saat itu ia mengerling dan melihat Tiang Bu
menyerang Thai Gu Cinjin. juga Li Hwa menoleh dan kedua
orang ini terheran-heran melihat betapa pukulan-pukulan
Tiang Bu bisa mengenai tubuh kakek itu, kemudian betapa
38 pukulan-pukulan dan serangan tongkat itu tidak bisa
mengenai tubuh Tiang Bu. Sin Hong cepat mengeluarkan tiga butir pel merah, putih
dan kuning dari sakunya dan menelan tiga pel itu. Ini adalah
obat mujarab sekali untuk menahan rasa sakit di dalam
dada kanannya. Sebentar saja dada kanannya terasa panas
dan kebal seperti mati tidak begitu terasa lagi sakitnya. Akan tetapi pundak dan lengan kanannya tak dapat digerakkan. Ia
memegang pedang Pak kek Sinkiam dengan tangan kiri lalu
melompat dan tepat sekali dapat menangkis tongkat Thai Gu
Cinjin yang hampir saja meremukkan kepala bocah itu.
"Kau masih belum mampus?". bentak Thai Gu Cinjin
kagum dan heran. Alangkah kuatnya orang muda ini,
pikirnya. Akan tetapi melihat pemuda itu memegang pedang
dengan tangan kiri dan pundak serta lengan kanannya
kelihatan tergantung mati, hati Thai Gu Cinjin menjadi
besar. Ia tidak khawatir terhadap Li Hwa dan setelah
pemuda kosen ini tak dapat lagi menggerakkan pundak dan
lengan kanan, ia takut apakah" Maka mendengar teguran
Sin Hong yang menyebutnya tidak patut disebut orang gagah
dan berwatak keji, ia tertawa bergelak sambil menggoyang-
Legenda Kematian 1 Pendekar Sakti Dari Lembah Liar Karya Liu Can Yang Petualang Asmara 23
^