Pencarian

Tangan Geledek 5

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


goyangkan tongkatnya dengan lagak sombong.
"Tikus cilik, kau sudah hampir mampus masih berani
membuka mulut besar" Bocah itu aku yang bawa, dia
muridku dan aku hendak membunuh dia atau tidak ada
sangkut paut apakah dengan kau?"
Li Hwa dengan suara marah sekali berkata, "Kau pendeta
busuk! Biar soal itu kami tidak mencampuri dan kami
anggap kau berhak membunuhnya, akan tetapi bagaimana
kau secara tak tahu malu dan tebal muka tadi telah
mengalahkan orang dengan bantuan ilmu iblis" Apa itu
perbuatan orang gagah?"
Muka Thai Gu Cinjin yang biasanya berwarna ungu itu
berubah menjadi kehijauan. Ini adalah tanda bahwa ia
39 merasa malu dan juga marah. I a menudingkan tongkatnya
yang panjang sambil membentak.
"Bocah ini roboh karena dia bodoh dan memang kalah
olehku! Kalian ini dua tikus kecil yang sudah kalah tak usah
banyak cakap lagi. Tinggalkan dua batang pedang kalian dan
minggat dari sini!" .Sambil berkata demikian ia menggerakkan tongkatnya mengancam hendak menghancurkan kepalanya dua orang muda itu. "Wan-
sioksiok (Paman Wan), kau sudah terluka. Biarlah aku saja
mengadu nyawa dengan Kakek jahat ini!" Tiba-tiba Tiang Bu berseru dan melompat hendak menyerang Thai Gu Cinjin
lagi. "Tiang Bu, mundur kau!" kata Sin Hong dengan suara
keren, akan tetapi pandang matanya kepada bocah itu
penuh kekaguman dan senang. Kemudian ia menghadapi
Thai Gu Cinjin, pedang di tangan kirinya melintang di depan
dada. "Thai Gu Cinjin, ketahuilah bahwa aku Wan Sin Hong
bukan seorang yang takut menghadapi kematian. Kita bukan
anak kecil, juga kita adalah orang-orang kawakan di dunia
kangouw yang tahu akan peraturan-peraturan kangouw.
Memang tadi aku telah kalah olehmu karenakau mempergunakan hoatsut dan aku kurang waspada sehingga
kena tertipu olehmu, maka luka di dadaku sudah sewajarnya, hukuman bagi kelalaianku. Akan tetapi aku
belum menerima kalah. Tanganku masih sebelah lagi dan
pedangku belum pernah terlepas dari tangan. Mari kita
bertempur secara jantan, mengandalkan kepandaian silat.
Kalau aku kalah olehmu, tidak hanya pedang kuberikan,
juga kepalaku!" Sejak tadi mendengar pemuda itu memperkenalkan nama
sikap Thai Gu Cinjin sudah berubah. I a memandang penuh
perhatian lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi kau inikah bengcu baru yang muda dan bijaksana
menurut kata orang" Pantas kau lihai. Akan tetapi
40 ketahuilah bahwa daerahku
di Tibet tidak termasuk wilayahmu, maka bagiku kau bukan bengcu. Kau masih
berani menantangku dengan sebelah tanganmu lumpuh"
Benar-benar aku harus memuji ketabahanmu. Orang she
Wan, setelah sekarang aku mengerti bahwa kau adalah
Wanbengcu, biarlah memandang muka orang-orang kangouw aku habiskan perkara sampai di sini saja. Kau dan
Nona ini boleh pergi membawa pedang kalian!"
Biarpun amat mendongkol melihat orang sudah melukai
kekasihnya sampai hampir saja tewas itu sekarang bicara
tentang perdamaian, namun Li Hwa yang merasa amat
gelisah melihat keadaan Sin Hong lalu menarik tangan
pemuda itu sambil membujuk untuk pergi saja.
"Kau terluka, tak baik bertempur lagi," katanya.
Akan tetapi Sin Hong menggeleng-geleng kepalanya
sambil memandang ke arah Tiang Bu. Tak mungkin ia mau
pergi meninggalkan Tiang Bu terancam bahaya maut hanya
untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Li Hwa juga seorang
yang berjiwa gagah, pada saat lain kiranya ia pun akan
berpendirian sama, yaitu tidak sudi menyelamatkan diri dan
membiarkan orang lain dalam ancaman maut, Akan tetapi,
pada saat itu seluruh perhatian Li Hwa tercurah kepada Sin
Hong dan ia tidak dapat memikirkan lain kecuali keselamatan Sin Hong. "Tenang, Li Hwa. Aku tahu baik apa yang kulakukan.
Aku kuat menghadapinya. Jangan kau gelisah," kata Sin
Hong, kemudian ia berkata kepada Thai Gu Cinjin.
"Thai Gu Cinjin, sukur kau menghendaki dihabiskannya
urusan ini. Akan tetapi Tiang Bu harus ikut aku. Aku
memang diminta oleh dua orang tuanya untuk mencari dan
membawa pulang anak ini. Harap dapat mempertimbang-
kannya." (Bersambung jilid VII) 41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid VII "Tidak mungkin! Kau baru boleh membawanya kalau dia
sudah menjadi mayat'." bentak Thai Gu Cinjin.
"Hemm, kalau begitu terpaksa kita melanjutkan pertempuran untuk melihat siapa yang berhak membawa
pergi anak itu." Thai Gu Cinjin menjadi marah sekali. "Wan Sin Hong,
kau terlalu sekali. Kalau tadi aku hendak menghabiskan
urusan adalah karena aku mengingat akan orang- orang
kangouw, bukan sekali-kali karena aku takut kepadamu!
Masih lengkap kedua tanganmu saja aku tidak takut dan
dapat mengalahkanmu, apalagi sekarang. Akan tetapi kau
memaksaku dan menantang karena bocah ini. Benar-benar
kau sudah bosan hidup. "Terserah apa yang kaupikir, Thai Gu Cinjin. Aku tetap
mempertahankan bocah ini yang harus pulang ke rumah
orang tuanya." "Keparat, kaukira aku takut menghadapi pembalasan
orang-orangmu" Siaplah untuk mampus!" Setelah berkata
1 demikian, Thai Gu Cinjin memutar tongkatnya
dan menyerang hebat. "Pendeta bau! Kalau kau bukan banci kau tentu melawan
Wanbengcu dengan kepandaian silat, bukan dengan ilmu
iblis!" Li Hwa berteriak-teriak dengan hati gelisah.
"Pendeta murid iblis jahat berhati keji macam dia mana
becus main silat" Kalau tidak mengandalkan ilmu iblisnya
jangankan oleh Wan-sioksiok, aku sendiri pun mampu
menghajar kepala gundulnya sampai benjol-benjol!" Tiang
Bu berseru keras-keras. Bocah yang amat cerdik ini tahu ke
mana tujuan seruan Li Hwa tadi, maka ia serta merta
membantu. Mendengar teriakan-teriakan ini muka Thai Gu Cinjin
menjadi merah kehitaman. Tadi
boleh jadi ia jerih menghadapi Sin Hong tanpa mempergunakan ilmu hitamnya. Akan tetapi sekarang setelah, Sin Hong terluka
berat di dalam dadanya dan tidak mampu lagi menggerakkan pundak dan lengan kanan, ia takut apakah"
"Tikus-tikus. cilik kalian lihat saja. Setelah manusia she Wan ini roboh, kalian akan kukubur hidup-hidup!"
"Asal saja menguburnya jangan menggunakan ilmu
setan!" teriak Tiang Bu. "Thai Gu Cinjin, kalau kau memang jantan tulen bukan banci, kau harus berani menyatakan
bahwa kau tidak akan menggunakan ilmu hitam!"
"Baik lihatlah, aku tidak menggunakan Hoatsut!" teriak Thai Gu Cinjin marah dan dengan perut panas. Hoatsut
adalah ilmu sihir yang banyak dipelajari tokoh-tokoh
kangouw di daerah utara dan barat. Tibet adalah sebuah di
antara pusat-pusat ilmu hitam itu.
Dengan tongkatnya yang panjang dan berat Thai Gu
Cinjin mulai menghujani Sin Hong dengan serangan-
serangan dahsyat. Pikirnya, seorang lawan yang sudah
menderita luka dalam seperti orang muda ini, tentu dalam
beberapa jurus saja akan mudah ia robohkan. Akan tetapi
2 Sin Hong bukanlah orang biasa. Ilmu kepandaiannya sudah
mencapai tingkat yang tinggi, apalagi ilmu pedangnya.
Biarpun ia hanya bermain pedang dengan tangan kiri
sedangkan lengan kanannya tak dapat ia gerakkan untuk
menjadi imbangan, namun kehebatan pedangnya masih luar
biasa sekali. Pedang di tangan kirinya setelah ia mainkan
berubah menjadi sinar seperti kilat menyambar-nyambar
dan selalu dapat menangkis serbuan tongkat lawan, bahkan
dengan secara tak terduga-duga sama sekali masih dapat
melakukan tekanan dan serangan balasan yang tak kalah
dahsyatnya! Dengan gerakan dahsyat seperti gerak tipu Hai-ti-lauw-
liong (Menyelam Laut Mengejar Naga), tongkat Thai Gu
Cinjin digerakkan secara melengkung, menyambar ke arah
pinggang Sin Hong. Angin dingin berbunyi bersiutan ketika
tongkat itu mengancam pinggang Sin Hong yang akan remuk
bersama tulangnya kalau terkena pukulan maut ini.
Sin Hong terlalu tenang. Dengan gerakan Pak-hong-phu-
liu (Angin Meniup Cemara) dari Ilmu Pedang Sam-hong
kiamsut (Ilmu Pedang Angin Puyuh) yang dulu ia pelajari
dari Luliang Samlojin, tubuhnya meniarap hampir rata
dengan bumi dan pedangnya bergerak di atas tubuh
melindungi diri sehingga sabetan tongkat lawannya melewat
di atas kemudian disentil oleh pedangnya untuk mencegah
tongkat itu bergerak ke bawah. Setelah meluputkan diri dari
serangan dahsyat lawannya, Sin Hong melompat berdiri
terus membalas kontan dengan gerak tipu Sian-jin Sia-ciok
(Dewa Memanah Batu) dari ilmu pedangnya Pak-kek
Kiamsut yang hebat. Serangannya tidak berhenti sampai di
sini saja, melainkan disambung dengan serangan-serangan
lain Hui-in-ci-tiam (Awan Mengeluarkan Kilat) dan Hui-po-
liu-hong (Air Mancur Pelangi Melengkung).
Menghadapi serangan bertubi-tubi dari tipuan Pak-kek
Kiamsut ini, biarpun hanya dilakukan dengan tangan kiri,
Thai Gu Cinjin menjadi silau matanya dan kabur 3 pandangannya. Kepalanya pening dan ia tidak tahu lagi ke
mana meluncurnya sinar pedang lawan. Tahun-tahu ia
merasa lengan kanannya perih dan tongkatnya terlepas,
kemudian pundak kirinya sakit sekali menyebabkan lengan
kirinya lumpuh dan di lain saat ia telah terjungkal dan roboh dalam keadaan duduk! Ternyata bahwa rentetan serangan
hebat itu telah membuat lengan kanan Thai Gu Cinjin
terobek kulit dan dagingnya, pundak kirinya putus tulang
sambungannya dan dadanya tertendang kaki Sin Hong!
Di lain fihak, Sin Hong yang tertalu banyak mengerahkan
tenaga dalam keadaan terluka hebat di dada kanannya,
terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau tidak cepat-cepat
dipeluk oleh Li Hwa. Menyaksikan sepak terjang Sin Hong
yang gagah perkasa, yang dalam keadaan terluka hebat dan
terancam nyawanya masih tidak sudi melarikan diri
meninggalkan Tiang Bu, kemudian betapa dalam keadaan
terluka parah masih berhasil mengalahkan lawan berat
dengan pedang di tangan kiri Li Hwa menjadi kagum bukan
main dan cinta kasihnya sekaligus naik sampai tak dapat
diukur lagi. Ia memeluk kekasihnya itu dengan bangga dan


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga cemas karena wajah Sin Hong dan juga cemas karena
wajah Sin Hong tampak pucat sekali! "Sin Hong, kau..... kau tidak apa-apa.....?"" tanyanya khawatir. Sin Hong menggigit bibir dan memejamkan sebentar matanya, menahan rasa
sakit di dalam dada. Ketika ia membuka mata, ia nampak
terkejut dan berkata. "Aku tidak apa-apa..... akan tetapi..... Tiang Bu..... dia terancam bahaya. Aku tak dapai menolongnya, tenagaku
habis...." ia menjadi lemas sekali. Li Hwa menengok dan
melihat betapa dengan buas sekali Thai Gu Cinjin yang
sudah terluka hebat itu kini menggunakan tangan kanannya
yang sudah mandi darah untuk menyerang Tiang Bu! Ia
nampak menyeramkan sekali dan tangan yang beberapa kali
hendak mencengkeram kepala Tiang Bu itu penuh dengan
darah yang mengucur dari kulit yang tergores dan terluka
pedang di dekat siku. 4 "Sudah kalah tak tahu malu.....'" berkali-kali Tiang Bu menyindir sambil berlompatan dan menari-nari ke sana
kemari untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. la
mainkan Samhoan Sambu (Tiga Kali Lingkaran Tiga Kali
Menari) untuk menyelamatkan diri dan sekarang setelah
Thai Gu Cinjin menyerangnya hanya dengan tangan kanan,
bocah ini dapat mempertahankan diri dengan baik sekali.
Gerakannya gesit sekali dan tubrukan atau pukulan Thian
Gu Cinjin selalu mengenai angin. Kakek itu menjadi makin
marah, apalagi Tiang Bu mengelak sambil tertawa-tawa,
meringis dan mengejeknya.
Thai Gu Cinjin memang sudah menerima kalah dan tahu
bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Sin Hong.
Akan tetapi sebelum ia pergi, ia hendak membunuh Tiang
Bu dulu. Selain untuk melampiaskan kemendongkolan
hatirya, juga ia tidak ingin bocah yang telah mewarisi kitab
yang ia curi dari Omeisan itu terjatuh ke dalam tangan orang
lain. Tak seorang pun tahu bahwa ia mencuri kitab itu, atau
lebih tepat lagi, tak seorang pun dapat membuktikan
andaikata ada yang menuduhnya.
Hanya Tiang Bu satu-satunya orang yang menjadi saksi
utama akan kesalahannya. Oleh karena itu Tiang Bu harus
ikut dia kalau masih hidup, atau boleh berpisah dari
sampingnya asal tak bernyawa lagi. Kalau Sampai orang lain
mendengar bahwa dia telah menjadi pencuri kitab Omeisan,
hal itu masih belum ada artinya. Akan tetapi kalau sampai
kakek-kakek sakti di Omeisan mengetahuinya, ah.....
mengingat hal ini Thai Gu Cinjin merasa bulu tengkuknya
berdiri dan ia menjadi makin bernafsu menyerang Tiang Bu.
Tiba-tiba Thai Gu Cinjln menghentikan serangannya
karena tahu takkan ada hasilnya. Ia berdiri tegak,
menudingkan telunjuknya ke arah Tiang Bu, lalu ia berseru.
"Roboh kau, Tiang Bu! Tiang Bu maklum bahwa kakek itu
mempergunakan sihir. Ia hendak mempertahankan, namun
tentu saja ia kalah kuat. Tanpa dapat dicegah lagi ia roboh
5 terguling! Thai Gu Cinjin mendekatinya dengan langkah
lebar. Kakek ini hanya terluka pundak kiri dan lengan
kanannya, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak
terluka dan gerakan kakinya masih cepat sekali. Setelah
dekat dengan Tiang Bu yang masih rebah miring, ia
mengangkat tangan kanannya hendak memukul. Akan tetapi
ia menurunkan lagi tangan, itu sambil meringis kesakitan.
Kiranya darah terlalu banyak keluar dari lengan itu,
membuat tubuhnya terasa lemas dan tangan kanannya sakit
sekali. ta tidak jadi memukul, lalu mengambil tongkatnya,
mengayun tongkat itu ke arah kepala Tiang Bu, dan...
"Traangg......!"
Tongkat itu terpental hampir memukul kepala Thai Gu
Cinjin sendiri sedangkan kedua kaki kakek ini terhuyung-
huyung mundur saking kerasnya tangkisan pada tongkatnya
tadi. Ia kaget dan memandang ke kiri, lalu..... lari dengan
langkah lebar seperti orang melihat setan yang menakutkan!
"Celaka....." dengusnya
di sepanjang jalan, "selalu bertemu dengan Angjiu Moli..... sialan betul.....!"
Memang betul, yang menangkis tongkat Thian Gu Cinjin
dan karenanya telah menyelamatkan nyawa Tiang Bu bukan
lain adalah Ang-jiu Mo-li, tokoh wanita utara yang berwajah
cantik manis dan gagah perkasa! Dengan tangan kosong,
tangannya yang kemerahan dan berbentuk mungil bagus itu,
ia telah menangkis pukulan tongkat tadi dan membuat Thai
Gu Cinjin lari ketakutan.
Kini wanita gagah itu memandang ke sekelilingnya,
menyapu dengan ujung matanya yang tajam dan bening.
Melihat Li Hwa duduk di atas tanah sambil menaruh tangan
di pundak seorang pemuda tampan yang duduk bersila
sambil meramkan mata dalam samadhi, ia mengerutkan
kening. Lalu ia menoleh kembali kepada Tiang Bu yang
sudah bangun dan duduk. "Apa saja yang dilakukan oleh
Thai Gu Cinjin di sini?" tanyanya. Pertanyaan ini ia tujukan kepada dua orang dewasa yang duduk di atas tanah itu
6 sungguhpun matanya memandang kepada Tiang Bu. Ang-jiu
Mo-li biarpun usianya sudah empat puluh tahun dan ia
cantik jelita dan kelihatan masih muda, akan tetapi ia
adalah seorang gadis yang selama hidup-nya belum pernah
berdekatan dengan pria. Maka melihat pemandangan yang
mesra, melihat cinta kasih demikian nyata tercurah dari
pandang mata Li Hwa yang cemas, ia menjadi jengah dan
tidak berani memandang terlalu lama!
Biarpun Li Hwa mendengar jelas dan ia pun sudah
menengok memandang, akan tetapi ia tidak berani mengeluarkan suara menjawab. la melihat kekasihnya
sedang bersamadhi mengerahkan hawa murni di dalam
tubuh untuk mengobati luka di dalam dada dan semenjak
tadi ia tidak berani berkutik. Menurunkan tangannya yang
memegang pundak Sin Hong saja ia tidak berani, bernapas
pun hati-hati sekali agar jangan sampai Sin Hong terganggu
dalam pengerahan lwee-kangnya. Apalagi harus mengeluarkan suara keras untuk menjawab pertanyaan
wanita aneh itu. Ia takut kalau-kalau Sin Hong akan
terganggu dan keadaannya menjadi makin hebat.
Juga Tiang Bu diam saja. Anak yang cerdik ini tidak
berani sembarangan membuka mulut. Ia tidak tahu siapa
adanya wanita cantik yang sikapnya gagah tapi angkuh ini.
Kawan ataukah lawan. Oleh. karena itu ia pilih tutup mulut
saja agar jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak pada
tempatnya. Setelah menanti jawaban tak kunjung tiba,
Angjiu Moli menjadi marah.
"Apa kalian ini orang-orang tuli!" Ataukah gagu?"
bentaknya, kini lupa akan rasa jengahnya yang tadi dan ia
menoleh ke arah Li hwa dah Sin hong.
Sin Hong membuka matanya dan rnelihat ini. Li Hwa
cepat-cepat menurunkan tangannya dari pundak pemuda
itu. Memang tidak selayaknya di depan orang lain ia
memperlihatkan cinta kasihnya kepada pemuda itu. Pandang mata Sin Hong tajam luar biasa. Sekilas pandang
7 saja ia dapat menduga siapa gerangan wanita di depannya
ini. Tangan yang merah seperti itu tak mungkin dimiliki
orang kedua kecuali Ang-jiu Mo-li, tokoh utara yang pernah
ia dengar kehebatannya. "Ang-jiu Mo-li, kau telah menyelamatkan nyawa keponakanku Tiang Bu dari tongkat maut Thai Gu Cinjin.
Terima kasih!" kata Sin Hong sambil mengangkat kedua
tangan memberi hormat sambil tetap bersila di atas tanah.
Mendengar disebutnya nama Ang-jiu Mo-li, mata Li Hwa
terbuka lebar-lebar peruh kekaguman dan juga keheranan.
Tak disangkanya, Ang-jiu Mo-li yang dulu pernah disebut -
sebut oleh mendiang gurunya, Pat-jiu Nio-nio, sebagai
seorang wanita yang memiliki kepandaian luar biasa
tingginya, ternyata hanyalah seorang wanita yang belum tua
dan cantik sekali! Di lain fihak mendengar kata-kata Sin Hong, biarpun
pada wajahnya yang cantik itu tidak ada perubahan dan
keangkuhan masih membayang jelas dari pandang matanya,
namun di dalam hatinya Ang jiu Mo-li merasa kaget dan
heran. Kalau orang mengenal namanya, itu dianggapnya
jamak saja, karena memang ia seorang yang amat terkenal,
apalagi tangannya yang berkulit merah halus itu mudah
dikenal orang. Yang amat mengejutkan dan mengherankan
hatinya adalah cara bagaimana pemuda yang pucat dan
terluka berat di dalam dadanya itu bisa tahu bahwa tadi ia
telah menolong bocah itu dan mengusir Thai Gu Cinjin"
Padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu sejak tadi
meramkan mata dan mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan pengaruh luka di dada. Mungkinkah orang ini
sudah memiliki sinkang demikian tinggi sehingga dalam
siulian (samadhi) tadi dapat memecah panca inderanya"
Juga Li Hwa yang tadi tahu bahwa Ang-jiu Mo-li
menolong mereka mengusir Thai Gu Cinjin, lalu berdiri dan
memberi hormat. 8 "Sudah lama siauwmoi mendengar nama besar Toanio.
Terima kasih atas pertolongan Toanio kepada kami."
Ang-jiu Mo-li menjebikan bibirnya dan diam-diam Li Hwa
harus mengakui bahwa wanita yang berdiri di depannya ini
cantik dan menarik sekali, terutama bentuk tubuhnya yang
bagus dan padat. Di lain fihak Ang-jiu
Mo-li juga memandang Li Hwa penuh perhatian, agaknya seperti
hendak membanding-bandingkan kecantikan muka dan
keindahan bentuk tubuh Li Hwa dengan dirinya sendiri!
"Kau siapa?" tanyanya dengan lagak seperti seorang kota yang sombong bertanya kepada seorang dusun yang
dianggapnya rendah dan tolol.
Kalau dulu diperlakukan begini, biar-pun tahu orang
yang menghinanya itu berkepandaian tinggi tentu Li Hwa
akan mencak-mencak dan marah sekali. Akan tetapi
semenjak ia dekat dengan Sin Hong, ia sudah banyak
berubah. Pandangannya makin jauh, pertimbangannya
makin masak dan ia dapat menguasai wataknya yang
mudah marah. Sambil tersenyum manis sekali, senyum Li
Hwa memang luar biasa manisnya, ia menjawab. ; "Siauw-
moi bernama Siok Li Hwa, guruku adalah mendiang Pat-jiu
Nio-nio di Go-bi-san."
Ang-jiu Mo-li tersenyum lebar, matanya jelas kelihatan
bahwa ia memandang rendah. "Hemm, Pat-jiu Nio-nio dari
Hui-eng-pai" Aku dulu kenal gurumu itu, kepandaiapnya
tidak jelek." Bukan main mendongkolnya hati Li Hwa melihat lagak
yang amat sombong dari wanita bertangan merah itu, akan
tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi hanya mengalihkan
pandang matanya, kini ia menengok ke arah Sin Hong yang
masih duduk bersila dan telah meramkan mata kembali.
Hati Li Hwa menjadi lega melihat betapa kedua pipi Sin Hong
yang tadinya pucat kehijauan sekarang sudah menjadi
merah. Tiang Bu ternyata sudah mendekati Sin Hong pula
9 dan anak itu memandang kepada Sin Hong penuh kekaguman dan perhatian. "Laki-laki itu siapa?" terdengar Ang jiu Moli bertanya pula. Suaranya seperti orang bertanya sambil lalu saja, acuh
tak acuh karena ia tidak mau kalau disangka terlalu
"menaruh perhatian" kepada seorang pria! Bahkan ketika Li Hwa menengok untuk menjawabnya, cepat sekali Angjiu Moli
memutar leher mengalihkan pandang matanya yang tadinya
menatap wajah Sin Hong! "Dia ini adalah Wan-bengcu,
namanya Wan Sin Hong." jawab Li Hwa sengaja memperkenalkan kedudukan Sin Hong untuk sedikit mengurangi kesombongan wanita itu, karena harus diakui
bahwa nama Wan-bengcu bukanlah nama kecil saja, dikenal
oleh hampir seluruh orang gagah di dunia persilatan.
Akan tetapi ia kecele kalau mengira demikian. Biarpun
agak tertegun mendengar nama ini, namun Angjiu Moli tidak
berkurang sombongnya. "Jadi dia ini Wan- bengcu" Siapa yang melukainya sampai demikian parah?"

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Thai Gu Cinjin yang
melukainya..... Li Hwa tak dapat melanjutkan kata- katanya karena tiba-tiba Angjiu Molitertawa terkekeh-kekeh, nadanya menghina sekali. "Hihihihi.....! Kiraku Wan-bengcu adalah seorang yang berkepala tiga berlengan enam, sampai-sampai setiap malam aku mimpi karena 10 ingin sekali bertemu dan mencoba kesaktiannya. Tidak
tahunya hanya seorang muda bodoh yang oleh Thai Gu
Cinjin saja sudah kalah! Orang she Wan, sung'guh tak patut
kau menjadi bengcu dan kecewa hatiku. Kalau kau tidak
terluka oleh Thai Gu Cinjin tentu aku dapat mengajakmu
mengadu kepandaian dan kau akan terluka bukan oleh
pendeta Lama tolol itu, melainkan oleh tanganku! Sayang
sekali!" Mendengar kekasihnya dipermainkan orang, Li Hwa tak
dapat menahan kemarahannya. Semangatnya yang dulu,
semangat burung garuda yang tak kenal takut, bangkit
kembali. Ia memandang kepada Angjiu Moli dengan sepasang mata bersinar, lalu berkata keras.
"Toanio, kau sombong sekali! Wan Sin Hong tidak
kalah....." Tiba-tiba Sin Hong membetot lengannya dan terdengar
pemuda ini berkata kepada Angjiu Moli.
"Angjiu Moli, mana orang seperti aku ada harga untuk
berpibu dengan kau" Memang aku kalah oleh Thai Gu
Cinjin, apalagi dengan kau, kepandaianku tidak ada artinya
bagimu." Tadinya Angjiu Moli sudah marah sekali melihat Li Hwa
yang berani menentangnya. Biasanya, siapapun juga yang
berani menentang Angjiu Moli, pasti akan menjadi korban
pukulan tangan merahnya dan dapat dipastikan orang itu
akan tewas! Tadi dia sudah mulai marah, wajah yang cantik
itu sudah mulai merah, bulu matanya sudah bergerak-gerak
seperti ditiup angin. Akan tetapi sikap dan kata-kata Sin
Hong yang merendah itu mengurangi kemarahannya dan
membuat hatinya senang. Wan-bengcu yang disohorkan
orang jarang tandingannya itu kini merendahkan diri di
hadapannya, nampak jerih dan takut! Kembali ia tertawa,
kini bunyi tawanya merdu, tanda keriangan hati, bukan
seperti tadi ketika mengejek.
11 "Kau tidak cantik tapi genit sekali!" bentaknya dan tangan kanannya melayang ke arah kepala Li Hwa. Li Hwa
terkejut dan tidak tinggal diam. Cepat ia mengerahkan
tenaga dan menggunakan tangan menangkis. Tangannya
bertemu dengan lengan yang halus dan panas sekali yang
begitu bertemu telah menempel tangannya tak dapat ditarik
kembali. Pada saat itu juga tahu-tahu tangan kiri Angjiu Moli
sudah bergerak dan...., "plak.?" pipi kanan Li Hwa kena tamparan, rasanya pedas, perih dan panas!
"Wan-bengcu, lain kali kalau kau s udah sembuh aku
ingin mencoba kepandaianmu!" Angjiu Moli berseru keras
dan tubuhnya berkelebat cepat sekali ke arah Sin Hong. Li
Hwa tak kuasa menghalanginya karena gerakan wanita
tangan merah itu memang seperti sambaran kilat saja
cepatnya. Tahu-tahu Angjiu Moli sudah menggunakan
tangan kanannya yang merah sekali itu untuk menepuk
punggung Sin Hong. Tepukannya keras dan terdengar suara
"plak!" yang jauh lebih keras daripada ketika menampar pipi Li Hwa. "Jangan pukul Sin Hong.....!" Li Hwa menjerit dan melompat untuk menyerang Angjiu Moli, akan tetapi hanya
terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dara di lain saat
bayangan wanita bertangan merah itu sudah lenyap dari
situ. Li Hwa tak pedulikan lagi wanita itu dan cepat
menghampiri Sin Hong. Dan ia melihat pernuda itu masih
bersila, kini sudah membuka mata dan memandang
kepadanya dengan senyum lebar. Wajahnya kelihatan segar
dan cahaya matanya berseri, agaknya jauh lebih sehat
daripada tadi! "Sin Hong.....! Kau tadi dipukul oleh... .. iblis..... siluman wani....."
"Hush, tenang dan duduklah, Li Hwa." Sin Hong
menyambar pergelangan tangan Li Hwa dan menarik gadis
ini duduk berhadapan dengannya. Tiang Bu juga 12 memandang kepada Li Hwa dengan bengong melihat ke arah
pipi kanan gadis itu. "Li Hwa, jangan memakinya. Dia tadi memukulku bukan
dengan maksud buruk. Ang-jiu Mo-li memang ganas dan
nakal seperti siluman, akan tetapi hatinya baik".
"Apa....." Kau bilang dia itu baik" Dia menampar pipiku, dia memukul punggungmu. Sin Hong, jangan-jangan kau
sudah terkena sihir lagi. Siapa tahu kalau-kalau siluman itu
pun ahli ilmu hitam seperti Thai Gu Cinjin?"
"Ssst, jangan menuduh sembarangan saja, Li Hwa.
Ketahuilah bahwa tadi dia telah menotok pusat jalan darah
di punggungku dan rnemasukkan hawa Iweekang untuk
mernbantuku sehingga dalam sedetik saja tenaga di dalam
tubuhku menjadi berlipat ganda dan dapat menyembuhkan
luka di dada kananku."
Li Hwa melongo. "Oohh, begitukah" Tapi..... tapi tadi ia menampar pipiku, sampai sekarang masih terasa panas dan
sakit. Apakah itu pun dengan maksud baik untuk menolongku?" katanya sambil meraba-raba pipi kanannya
yang terasa panas. "Niocu, pipi kananmu merah sekali. Ada gambar lima jari
merah di situ!" kata Tiang Bu sambil menuding ke arah pipi kanan Li Hwa.
"Apa.....?"?" Li Hwa membelalakkan matanya lalu cepat lari memasuki hutan kecil mencari air. Tak lama kemudian
ia berlari kembali, berdiri di depan Sin Hong sambil
membanting-banting kaki! I a telah menangis dan dengan
suara megap-megap ia berkata.
"Sin Hong kau harus balaskan hinaan ini! Harus!"
katanya sambil menangis dan mengusap-usap pipinya yang
sebelah kanan Sin Hong bersikap tenang. "Duduklah, Li
Hwa. Aku akan memeriksa pipimu yang ditampar."
13 Li Hwa menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan Sin
Hong memeriksa pipinya, jari-jari Sin Hong yang meraba-
raba pipinya mendatangkan rasa dingin dan sejuk, menghilangkan rasa panas. Dan dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba terasa oleh Li Hwa betapa beda sikap Sin Hong
sekarang terhadapnya. Betapa dalam pandangan mata Sin
Hong kepadanya nampak sesuatu yang aneh namun mesra,
sesuatu yang membuat hatinya berdebar ganjil. Seakan-
akan ia melihat titik api di dalam manik mata pemuda itu,
titik api yang hanya timbul apabila mata itu memandang
kepadanya. Sin Hong tersenyum. "Tidak apa-apa, Li Hwa, Angjiu Moli
hanya main-main. Dalam waktu satu bulan paling lama,
tanda merah itu akan lenyap sendiri."
"Tidak apa-apa katamu"
Itu penghinaan namanya! Penghinaan besar yang harus dibalas" Sin Hong, apa kau
tidak ikut terhina karena perbuatannya ini" Apa kau tidak
malu melihat aku dihina seperti ini.....?" Air matanya
mengucur makin deras, hatinya sakit sekali, jauh lebih sakit
daripada rasa panas di pipinya.
Sin Hong tersenyum. "Mengapa malu, Li Hwa. Dengan
warna merah itu pipimu, kau nampak makin..... cantik
menarik. Bukankah begitu, Tiang Bu?"
Bocah itu tidak tahu tentang cinta kasih. Juga ia tidak
tahu harus berkata apa. Baginya, gambar lima jari di atas
pipi Li Hwa mana bisa disebut menambah cantik, kelihatannya lucu baginya. Akan tetapi karena ia cerdik dan
dapat menduga bahwa Sin Hong bermaksud menghibur dan
mengurangi kemarahan dan sakit hati Li Hwa, ia mengangguk-angguk. Isak tangis yang agak keras itu tiba-tiba terhenti dan
gadis itu menatap wajah Sin Hong dengan bengong, mata
terbuka lebar dan mulut agak terbuka kelihatan giginya yang
putih. Air mata masih mengalir di atas pipinya. Baru
sekarang ia mendengar Sin Hong menyebutnya..... cantik
14 menarik! Pujian ini sekaligus melenyapkan semua kemarahannya, ia terlalu girang untuk dapat marah lagi,
biar kepada Angjiu Moli sekalipun. Wajahnya perlahan-lahan
menjadi merah dari akar-akar rambul di keningnya sampai
ke leher dan telinganya. Cap jari merah di pipinya tidak kelihatan lagi karena
sekarang semua wajahnya menjadi kemerahan dan berseri-
seri. "Be..... betulkah itu, Sin Hong?" kata lirih dan gagap.
"Apakah yang betul, Li Hwa?" tanya Sin Hong yang benarbenar tidak dapat menangkap arti pertanyaan gadis ini.
Bibir Li Hwa yang merah bergerak-gerak akan tetapi tidak
ada suara keluar. Ia memandang dengan ragu ke arah Tiang
Bu, lalu terlompat kata-kata jawabannya, "Betulkah bahwa..... Angjiu Moli tidak menghinaku?" Kegagapannya
dan keragu-raguan dalam kata-katanya ini dapat ditangkap
oleh Sin Hong yang dapat menduga pula bahwa Li Hwa
sengaja menyimpangkan pertanyaannya karena di situ hadir
orang ke tiga, Tiang Bu. "Dia memang tidak menghinamu dan tak perlu hal ini
kaujadikan dendam. Akan tetapi, memang harus diakui
bahwa perbuatannya itu nakal dan keterlaluan, timbul dari
wataknya yang sombong. Aku berjanji bahwa kelak kalau
ada kesempatan, aku akan berusaha supaya kau dapat
membalas tamparan itu. Puaskah kau sekarang?"
Kegirangan hati Li Hwa bukan kepalang. Kalau di situ
tidak ada Tiang Bu tentu ia akan..... mencubit kekasihnya
itu. Hanya wajahnya saja makin berseri dan sekarang Sin
Hong yang diam-diam memaki diri sendiri bermata buta. Li
Hwa begini cantik jelita, begini manis, begini setia penuh
cinta kasih dan begini mulia hatinya. Mengapa baru
sekarang !a melihatnya seperti itu" Mengapa baru sekarang
hatinya bicara" "Disamping janjiku untuk mernberi kesempatan kepadamu membalas tamparan itu, aku pun
15 berjanji akan membalas budinya ketika ia menolongku tadi."
kata pula Sin Hong. Li Hwa diam saja, masih terlampau
girang hatinya untuk timbul rasa cemburunya yang biasanya
amat besar itu. Adapun Tiang Bu makin kagum akan
kepribadian Sin Hong yang dianggapnya seorang gagah
perkasa yang patut dicontoh, baik kelihaiannya, kecerdikannya, maupun kehalusan budinya.
Sin Hong bangkit berdiri perlahan, menggerak-gerakkan
lengan kanannya, mula-mula hati-hati dan perlahan, makin
lama makin cepat dan ia girang sekali mendapat kenyataan
bahwa luka di dalam dadanya telah sembuh.
"Angjiu Moli memiliki Iweekang yang tinggi," katanya perlahan, kagum dan juga ingin sekali tahu apakah ia tidak


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat menandingi tokoh wanita utara yang amat terkenal
itu. "Akan tetapi wataknya buruk, sombong bukan main." Li Hwa mencela, kini agak merasa "tidak enak" karena Sin Hong memuji seorang wanita, walaupuri pujian itu bukan
kosong belaka. "Wan-sioksiok apakah dia itu lebih lihai darimu?" tanya Tiang Bu, masih terheran-heran karena ia telah bertemu
orang-orang yang amat pandai. Kalau tadinya ia menganggap Thai Gu Cinjin sebagai orang terpandai, tak
tahunya muncul Wan Sin Hong yang lebih hebat, dan kini
Wan Sin Hong memuji-muji Angjiu Moli. Begitu banyaknya
orang pandai, setiap bertemu yang baru lebih pandai lagi.
Siapa gerangan orang yang memiliki kepandaian tinggi"
Mendengar pertanyaan Tiang Bu, Sin Hong memandang
bocah itu dan tersenyum. Ia suka kepada Tiang Bu setelah.
menyaksikan keberanian dan kecerdikan anak ini, dan ia
berbareng merasa heran sekali mengapa wajah Tiang Bu
tidak tampan. Padahal ayahnya, Liok Kong Ji, biarpun
berwatak jahat namun memiliki wajah yang tampan sekali
dan ibunya Gak Soan Li, adalah seorang wanita gagah yang
cantik. Tiba-tiba Sin Hong teringat akan hal yang 16 menakjubkan hatinya tadi ketika ia melihat bocah ini
berhasil memukul Thai Gu Cinjin!
"Tiang Bu, tak perlu kita ketahui siapa yang lebih lihai.
Betapa pun tinggi kepandaian seorang manusia, tentu ada
orang lain yang melebihinya dan setiap orang mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tadi pun kau
telah dapat memukul Thai Gu Cinjin, bukankah itu aneh
sekali?" Wajah Tiang Bu membayangkan kekecewaan hati. "Sayang aku bodoh dan tidak bertenaga. Kalau ada sedikit saja tenagaku, tentu akan dapat membantumu melawan
Thai Gu Cinjin. Pukulan- pukulanku tidak terasa olehnya,
bahkan telapak tanganku sendiri terasa sakit dan panas-
panas." Sin Hong tersenyum dan maklum, bahwa tentu saja
pukulan seorang anak kecil ini tidak ada artinya bagi tubuh
Thai Gu Cinjin yang sudah kebal. Yang mengherankan
hatinya hanyalah cara Tiang Bu melakukan serangan
sehingga berhasil tadi. "Tiang Bu, coba kau menyerang aku dengan pukulan-
pukulan seperti yang telah kau lakukan terhadap Thai Gu
Cinjin tadi. "Aah, Wan siokhu (Paman Wan), jangan mentertawakan
kebodohanku!" "Anak bodoh, orang mau memberi petunjuk disangka
mentertawakan. Apa yang harus ditertawakan dalam ilmu
silat?" Li Hwa mencela Tiang Bu. Mendengar ini, merah
wajah Tiang Bu, matanya berseri dan ia memandang kepada
Sin Hong. "Sioksiok, kau benar-benar mau memberi petunjuk
padaku?" tanyanya girang.
17 "Kita lihat saja nanti. Aku hanya ingin melihat pukulan-
pukulanmu yang tadi telah berhasil mengenai tubuh Thai
Gu Cinjin. Mulailah!"
Tadinya memang Tiang Bu merasa ragu-ragu untuk
menyerang Sin Hong biarpun hal itu adalah atas kehendak
Sin Hong sendiri, akan tetapi setelah mendengar bahwa ia
akan diberi petunjuk, dengan penuh semangat ia lalu mulai
menyerang dengan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang sudah ia
pelajari dari kitab pusaka Omeisan.
Sin Hong melihat kedua lengan bocah itu bergerak-gerak
secara aneh dan cepat sekali juga kedudukan kakinya
berpindah-pindah merupakan segi delapan. la merasa
terkejut sekali, bukan saja karena sifat-sifat yang amat luar biasa dan lihai dari ilmu silat ini, akan tetapi terutama sekali karena ia tidak mengenalnya! Inilah hebat. Sebagai seorang
bengcu, tentu saja Sin Hong mengenal hampir semua ilmu
silat, akan tetapi yang sekarang di mainkan oleh Tiang Bu
ini sama sekali belum pernah ia melihatnya. Hampir mirip
dengan Pak kwa kun-hwat akan tetapi lebih hebat, apalagi
serangan-serangan dengan dua tangan itu berubah menjadi
banyak! Sin Hong menangkis perlahan dan mengelak akan tetapi
segera ia mengeluarkan seruan tertahan karena sebentar
saja ia terpaksa main mundur karena terdesak hebat! Kedua
tangan bocah itu seakan-akan bergerak otomatis, apabila
yang kiri ditangkis atau dihindarkan, yang kanan tentu
melakukan serangan berikutnya, demikian seterusnya kedua
tangan itu menghujankan serangan-serangan yang luar
biasa dan tak terduga-duga. Demikian hebat serangan Tiang
Bu sampai-sampai Sin Hong yang lihai terpaksa menggunakan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri
jangan sampai terpukul seperti Thai Gu Cinjin tadi.
"Hebat sekali ilmu silatnya ini," pikir Sin Hong kagum,
"kalau ia sudah dewasa dan besar tenaga, sukar menahan
serangan-serangannya. Ilmu silat apakah dan dari manakah
18 ini yang demikian hebat mengatasi semua ilmu silat yang
pernah kupelajari dan kukenal?"
Kemudian Sin Hong teringat betapa bocah ini dengan
amat lihainya meloloskan diri dari serangan-serangan maut
Thai Gu Cinjin sehingga kakek itu terpaksa merobohkannya
dengan ilmu hitam. Teringat akan ini ia cepat berkata,
"Cukup seranganmu ini. Sekarang jagalah baik-baik dan
kelit semua seranganku!"
Tiang Bu mentaati perintah "Pamanya Wan" yang lihai dan mengagumkan hatinya itu. Ia menghentikan serangan-serangannya dengan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i mulai
menjaga diri dengan Ilmu Kelit Sam-hoan Sam-bu.
Serangan Sin Hong dimulai dengan tubrukan yang
dahsyat. Ia bermaksud menubruk dan menangkap bocah itu
dari dua jurusan kanan kiri dengan kedua lengan dipentang.
Akan tetapi, bagaikan belut saja, bocah itu membuat
gerakan lemas dan aneh seperti orang menari dan..... Sin
Hong menubruk angin! la mengelak dan cepat mengirim
serangan susulan yang makin lama makin dahsyat. Namun
dengan cara yang luar biasa sekali Tiang Bu selalu dapat
menyelamatkan diri sampai sepuluh jurus berturut-turut.
Inilah hebat! Seorang bocah cilik dapat mengelak selama
sepuluh jurus berturut-turut dari serangan Wan Sin Hong,
benar-benar hebat. Jago silat tingkat menengah saja belum
tentu mampu menahan sampai lima jurus. Yang mengagumkan hati Sin Hong sesungguhnya bukan bocah itu
yang sudah terlalu lihai, melainkan ilmu silat yang agaknya
khusus untuk berkelit itulah yang terlalu hebat. limu kelit
ini seperti gerakan menari, namun membuka banyak jalan
untuk melepaskan diri dari bahaya ancaman serangan lawan
secara aneh dan cepat. Untuk kedua kalinya Sin Hong merasa terpukul. Juga
ilmu silat atau ilmu kelit ini ia tidak kenal dan tak pernah
meli hatnya. Benar-benar membuat ia tertegun dan melompatlah ia ke belakang.
19 "Cukup! Tiang Bu anak baik, dari mana kau memperoleh
dua ilmu silat yang luar biasa ini" Atau pernahkah kau
mempelajari ilmu silat lain selama kau meninggalkan
rumah?" Dasar anak kecil. Biasanya ia hanya menghadapi celaan
dan kebencian, sekarang melihat sikap Sin Hong yang amat
ramah dan mendengar pujiannya, Tiang Bu menjadi girang
sekali dan cepat menjawab untuk memamerkan.
"Masih ada satu lagi, Wan-sioksiokl"
"Coba kau perlihatkan dan kau gunakan untuk menyerangku." Dalam kegembiraannya untuk memamerkan ilmu silatnya yang ketiga," Tiang Bu cepat membuka pasangannya dan cepat mainkan Ilmu Silat Hui houw tongte yang ia
pelajari dari Pak kek Samkui, jari-jari tangannya dibuka
merupakan cengkeraman dan ia mengeluarkan gerengan-
gerengan kecil seperti seekor harimau cilik berlagak. Dengan
dahsyat ia menyerang Sin Hong. Akan tetapi alangkah kaget
dan kecewanya ketika baru saja dua gebrakan ia menyerang,
ia telah ditangkap lengannya dan didorong mundur, dibarengi suara Sin Hong yang penuh teguran.
"Ilmu silat apa yang kau perlihatkan ini" Ilmu silat jahat
dan kotor seperti ini harap jangan kau mainkan lagi selama
hidupmu!" Tiang Bu melangkah mundur dengan muka merah.
"Maaf, Sioksiok. Aku hanya dipaksa belajar ilmu silat ini oleh Pak-kek Samkui....." katanya lambat
"Yang dua pertama tadi, dari siapa kau belajar dan apa
namanya, ilmu silat menyerang dan mempertahankan tadi?"
"Yang ke dua adalah Ilmu Kelit Sam-hoan Sam-bu yang
kupelajari dari Suhu Bu Hok Lokai, dan yang pertama....."
Tiang Bu ragu-ragu. Menurut Bu Hok Lokai, kitab yang
mengandung Ilmu Silat Pat hong hong i itu adalah kitab
20 curian yang diperebutkan oleh orang-orang kangouw. Kitab
itu terjatuh ke dalam tangannya secara kebetulan sekali.
Haruslah ia ceritakan ini" Selagi ia ragu-ragu, tiba-tiba
angin menyambar-nyambar, daun-daun pohon pada rontok
dan beterbangan ke bawah.
"Ayaaa....." terdengar Li Hwa menjerit.
"Gunakan tenaga khikang menangkis daun-daun itu.....!!"
teriak Sin Hong kepada Li Hwa dan ia menubruk ke depan
untuk memeluk Tiang Bu dan melindunginya, akan tetapi
alangkah kagetnya karena ia tidak dapat menemukan Tiang
Bu. Sementara itu, daun-daun masih rontok sepertl hujan
dan anehnya, daun-daun ini melayang cepat dan kalau
mengenai tubuh terasa sakit-sakit seperti jarum-jarum
disambitkan saja! Li Hwa dan Sin Hong menggunakan kedua
tangan untuk mengebut ke kanan kiri sehingga daun-daun
yang mendekati mereka pada runtuh ke bawah. Kemudian
tidak hanya daun-daun yang beterbangan hingga sukar
untuk melihat ke depan, bahkan pasir dan tanah debu
berhamburan ke atas menyerang mata mereka.
"Keluar dari tempat ini!" Seru Sin Hong Sambil menarik lengan Li Hwa dan mengajaknya melompat jauh keluar dari
bawah pohonpohon itu. "Mana Tiang Bu.....?" tanya Li Hwa.
"Entahlah. Biar aku mencarinya!" kata Sin Hong dan
baru ia sadar betapa dalam bahaya ini, baginya yang
terpenting lebih dahulu adalah menyelamatkan Li Hwa dari
bahaya! "Lihat itu.....'." jerit Li Hwa sarnbil menudingkan telunjuknya ke arah sebuah pohon besar yang berdiri. Sin
Hong menengok dan melihat pemandangan yang aneh dan
membuat bulu tengkuknya berdiri.
21 Di puncak pohon itu, di antara daun-daun dan ranking-
ranting seperti seekor burung besar, duduk bersila seorang
kakek gundul botak yang tubuhnya kurus dan jangkung
sekali. Kakek itu tangan kirinya mengempit tubuh Tiang Bu
yang entah kapan telah ditangkapnya, sedangkan tangan
kanannyu melakukan gerakan mendorong, menarik, dan
memutar-mutar ke arah pohon-pohon dan tanah di mana
tadi mereka berdiri. Dan dari tangan kanannya itu seakan-
akan keluar angin puyuh yang membuat daun-daun hijau
rontok dan pasir serta debu di tanah membubung naik!
Tenaga seperti ini selama hidupnya belum pernah disaksikan oleh Sin Hong, apalagi oleh Li Hwa.
Melihat dua orang muda itu melompat jauh, kakek
gundul itu menghentikan gerakan-gerakan tangannya dan
seketika angin puyuh berhenti. Kakek itu laki menibuka
mulut sambil menengadah dan keluarlah suara nyanyian
yang parau dan serak, sama sekali tidak sedap didengar
telinga. Akan tetapi kata-kata dalam nyanyian itu

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sin Hong dan Li
Hwa. "Di antara Ciunglai dan Tailiang
Barang simpanan dicuri orang,
Lam thian Heng te buta dan tuli.
Dua cacing tua menunggu mati
Tak ingin mati seperti macan.
Lebih baik tak diketahui kaw an l aw an.
Akan tetapi, Thian Maha K uas a
DiturunkanNya calon Naga!
Cacing tua berubah pikiran.
Berkenan tinggalkan sedikit w aris an."
Kata-kata dalam nyanyian ini amat menarik hati Sin
Hong. Akan tetapi selagi ia hendak mengajukan pertanyaan,
tiba-tiba sinar terang berkelebat di puncak pohon tinggi itu
dan di lain saat kakek gundul itu lenyap bersama Tiang Bu!
22 "Celaka! Kembali Tiang Bu diculik orang!" kata Li Hwa mendongkol.
"Beruntung sekali anak itu....." kata Sin Hong perlahan sambil menarik napas panjang, hatinya masih tegang
menyaksikan kehebatan kakek tadi.
"Beruntung" Apa maksudmu, Sin Hong?" tanya Li Hwa.
"Li Hwa, apakah kau tidak memperhatikan nyanyian
kakek tadi?" "Aku mendengar, akan tetapi apa sih artinya nyanyian
tidak karuan itu?" "Apakali kau belum pernah mendengar tentang dua orang
kakek sakti setengah dewa yang bertapa di Omeisan dan
yang tidak mau mempedulikan urusan duniawi, akan tetapi
ditakuti semua orang karena luar biasa lihainya?"
"Tentu saja aku pernah mendengar tentang dua orang
kakek itu. Bukankah mereka itu berada di daerah selatan?"
Sin Hong mengangguk. "Tahukah kau, di antara Ciunglat
dan Tailiangsan dua pegunungan yang disebut dalam
nyanyiannya tadi terdapat apa?"
Li Hwa mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan
rapi. Sepasang matanya yang jeli dipejam-pejamkan, akan
tetapi karena ia belum terlalu jauh merantau dan tidak
mengenal daerah selatan, ia tak dapat menjawab, hanya
menggelengkan kepala setelah lama berpikir.
"Eh, kiraku kau akan menyebut nama tempat itu, alisnya
berkerut-kerut dan matamu berkedap-kedip, tak tahunya
jawabanmu hanya menggeleng kepala!" Sin Hong menggoda
dan Li Hwa tertawa manis.
"Ketahuilah, di antara dua pegunungan di sebelah barat
Propinsi Secuan itu terdapat Gunung Omeisan. Dia tadi
bilang dalam nyanyiannya bahwa barang simpanan dicuri
orang. Tentu ada sesuatu yang hilang sehingga kakek itu
sampai keluar dari tempat pertapaan dan berada di sini.
23 Kalau tidak amat penting, tak mungkin seorang sakti yang
sudah menjauhkan segala keduniawian mau pergi sebegitu
jauhnya." "Selanjutnya dia bilang Lamthian Hengte buta dan tuli,
dua cacing tua menunggu mati. Tak ingin mati seperti
macan, lebih baik tak diketahui kawan dan lawan. Apa
artinya itu?" tanya Li Hwa.
"Aha, kiranya ingatanmu pun kuat sekali Li Hwa. Kau
sudah hafal nyanyian itu di luar kepala!" teriak Sin Hong dengan muka berseri.
"Habis, apa kaukira aku sebodoh kerbau" Sin Hong,
jangan kau menggoda orang saja, aku menjadi gemas
melihamu!" kata Li Hwa cemberut, marah dibuat -buat. Sin Hong tersenyum lebar. "Dan aku jadi senang melihatmu
marah-marah dan gemas. Kau makin manis kalau cemberut,
Li Hwa." Wajah Li Hwa menjadi merah sekali sehingga cap tangan
di pipinya tidak kelihatan. Untuk ke dua kalinya dalam hari
ini ia merasa hatinya berdetak tidak karuan karena
girangnya mendengar Sin Hong yang selama ini "alim" sekali, berturut-turut menyebutnya "cantik menarik" dan sekarang
"manis"! "Betulkah itu, Sin Hong?" tanyanya pula lirih, pertanyaan yang sama ketika ia disebut cantik menarik.
"Apanya yang betul, Li Hwa?" Sin Hong balas bertanya.
Sebetulnya pemuda ini sudah dapat menduga betapa
girangpya gadis ini karena pujian-pujiannya, akan tetapi ia
sengaja berpura-pura bodoh untuk menggoda.
"Betulkah bahwa aku..... bahwa kauanggap aku.....
manis?" Li Hwa kini menundukkan mukanya, suaranya
perlahan sikapnya malu-malu. Sin Hong berdebar penuh
bahagia hatinya, juga ia merasa heran. Biasanya Li Hwa
bersikap terus terang dan dalam menyatakan cinta kasihnya
tidak malu-malu" Mengapa setelah ia mulai menyatakan
24 bahwa ia pun membalas cinta kasih itu, Li Hwa nampak
malu-malu dan tidak berani memandangnya" Aneh sekali
kaum wanita, pikir Sin Hong.
"Li Hwa, terus terang saja. Baru sekarang hatiku
terbuka, baru sekarang mataku terbuka. Kaulah wanita yang
paling cantik dan manis di dunia ini!"
Li Hwa meramkan mata menahan air mata yang hendak
mengucur keluar kedua kakinya lemas sehingga ia menjatuhkan diri berlutut. Cepat-cepat ia menutupi mukanya dengan kedua tangan agar Sin Hong tidak melihat
ia mengucurkan air mata! "Eh, kau kenapakah?" Sin Hong bertanya sambil
menyentuh pundaknya. Li Hwa menggoyang kepala dan pundak,
diam-diam menghapus air matanya, lalu berdiri dan tersenyum lebar.
Matanya masih basah akan tetapi tidak ada air mata yang
keluar lagi. "Tidak apa-apa, hayo jelaskan keteranganmu tentang
nyanyian tadi!" katanya, sikapnya biasa seperti sediakala.
Kembali Sin Hong terheran-heran.
Memang Li Hwa seorang wanita luar biasa, pikirnya.
Akan tetapi ia tidak mau menggoda terus dan melanjutkan
penjelasannya untuk menerangkan arti nyanyian kakek tadi.
"Dia bilang Lamthian Hengte buta dan tuli. Lamthian
Hengte berarti kakak beradik dari dunia selatan, siapa lagi
kalau bukan dua orang kakek sakti di Omeisan" Dengan
pengakuan buta tuli, dimaksudkan bahwa dua orang kakek
itu seperti dua ekor cacing tua menunggu mati. Ucapan ini
untuk menyatakan kerendahan hati mereka yang menyamakan diri sendiri seperti cacing. Memang orang-
orang sakti selalu menuruti jalan merendah, makin tinggi
kepandaiannya makin ia merendahkan diri.
25 Ada peribahasa yang menyatakan bahwa macan mati
meninggalkan kulitnya dan manusia mati meninggalkan
nama baiknya. Akan tetapi dua orang kakek Omeisan tidak
mau mencari nama atau meninggalkan nama tersohor,
malah merasa lebih baik tidak berhubungan dengan orang
luar sehingga tidak punya kawan juga tidak punya lawan!"
"Ah, jelaslah sekarang kuberi keterangan Sin Hong.
Benar-benar dia telah merendahkan diri secara berlebihan!", kata Li Hwa, memandang kepada Sin Hong dengan kagum.
Biarpun mulutnya berkata demikian, seakan-akan memuji
dan kagum kepada kakek sakti itu namun matanya jelas
menyatakan bahwa sebenarnya Sin Honglah orangnya yang
ia kagumi! "Kemudian ia bilang bahwa thian telah menurunkan
seorang calon Naga yang berarti seorang calon pendekar
besar. Tak salah lagi tentu yang ia maksudkan Si Tiang Bu!
Memang anak itu luar biasa sekali. Kau melihat sendiri
betapa sekecil itu ia telah menguasai dua macam ilmu silat
yang amat luar biasa, yang selama hidupku baru sekali itu
kulihat. Kemudian setelah melihat Tiang Bu, agaknya
hatinya tergerak dan pendiriannya untuk mati dan meninggalkan nama berubah. I a berniat akan meninggalkan
sedikit warisan, tentu sebagai seorang sakti warisannya
adalah ilmu kesaktian yang akan ditinggalkan kepada Tiang
Bu." "Jadi dia mengambil Tiang Bu sebagai muridnya?" kata Li Hwa sambil mengangguk-angguk. "Pantas saja kaubilang
bahwa Tiang Bu beruntung sekali."
Sin Hong mengerutkan keningnya. "Betapapun juga,
kalau teringat riwayat ayahnya, kadang-kadang aku menjadi
ragu-ragu. Kalau betul dugaanku tadi bahwa Tiang Bu akan
menjadi murid orang pandai sehingga dia sendiri kelak
memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari ayahnya sendiri,
kemudian kalau dia... dia menuruni watak ayahnya,
bukanlah itu hebat sekali?"
26 Li Hwa maklum akan kegelisahan hati Sin Hong karena
ia pun tahu betapa jahat ayah anak itu, yakni Liok Kong Ji
manusia iblis yang tiada taranya dalam hal kejahatan.
Keduanya, termenung dan perlahan Li Hwa berkata,
"Mudah-mudahan tidak begitu jahat....."
Kemudian dua orang muda itu melanjutkan perjalanan
sambil bergandengan tangan.
-oo(mch)oo- Gunung Omeisan adalah sebuah gunung yang tinggi dan
indah dipandang dari jauh namun sukar didaki orang.
Banyak jurang-jurang yang amat curam, lereng yang terjal
penuh gunung- gunungan batu karang yang tinggi meruncing seperti menara-menara alam yang penuh rahasia.
Karena keadaan di Gunung Omeisan ini amat sukar dan
berbahaya sekali, maka hampir tidak ada orang pernah
mendaki. Kalau ada juga, maka hanya sampai di lereng.
Mereka ini adalah pemburu-pemburu ahli -ahli silat atau
penduduk-penduduk di daerah itu yang datang untuk
berburu, mencari daun-daun obat, mencari kayu-kayu
berharga dan lain-lain. Akan tetapi tak ada yang berani
mencoba naik melalui lereng batu-batu karang yang amat
terjal itu. Bukan saja tidak berani karena berbahaya,
terutama sekali karena mereka tahu bahwa di puncak
karang itu tinggal dua orang kakek sakti yang mereka
anggap sebagai dewa dan tak berani mereka mengganggu
dua orang kakek itu. Pada suatu pagi yang amat dingin, dari atas puncak
gunung Omeisan itu nampak dua titik hitam-hitam bergerak-gerak ke sana kemari, cepat dan gesit. Dilihat dari
jauh, orang akan rnengira bahwa itu adalah dua ekor
burung besar dan kecil. Akan tetapi setelah dua titik itu
makin turun, akan nampaklah bahwa mereka itu adalah
seorang kakek gundul jangkung kurus dan seorang pemuda
27 tanggung yang berlompatan ke sana kemari di atas ujung
batu-batu yang runcing! Pemuda tanggung itu adalah Tiang Bu! Dan kakek itu
adalah kakek gundul jangkung yang dulu membawanya
pergi dari depan Sin Hong dan Li Hwa. Siapakah gerangan
kakek lihai ini" Tepat seperti dugaan Sin Hong dahulu,
kakek ini adalah seorang di antara dua kakek sakti dari
Omei-san. Dia adalah Tiong Jin Hwesio, dan yang seorang
lagi adalah seorang kakek yang sudah lebih tua dari Tiong
Jin hwesio yang berusia tujuh puluh tahun, yaitu suhengnya
yang bernama Tiong Sin Hwesio berusia delapan puluh
tahun dan rambutnya panjang sudah putih semua.
Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio adalah dua orang
pertapa yang sudah puluhan tahun menyembunyikan diri
tidak mau berurusan dengan dunia luar.Kepandaian
mereka luar biasa tingginya. Hal ini tidak mengherankan
kalau diingat bahwa Tiong Sin Hwesio adalah pewaris dari
ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Tat Mo Couwsu sedangkan
Tiong Jin Hwesio mewarisi ilmu-ilmu dari Hoan Hian
Couwsu! Dua orang kakek tua ini hidup sebagai pertapa di
puncak Omeisan di mana mereka bangun sebuah pondok
berbentuk kelenteng yang cukup besar dan indah. Tiong Jin
Hwesio mempunyai kepandaian mengukir, maka semua
tiang-iang dan payon-payon pondok itu diukirnya, sehingga
merupakan bangunan yang akan mengagumkan hati orang-
orang kota. Kesenangan dua orang pertapa ini hanya bersamadhi dan
melatih ilmu-ilmu yang mereka pelajari. Memang aneh sekali
kalau dipikir. Hidup sebagai pertapa dan bermaksud tinggal
di situ sampai mati, akan tetapi keduanya amat tekun
memperdalam ilmu kepandaian mereka. Di samping ini,
mereka paling suka main catur sehingga dahulu Bu Hok
Lokai sampai dibawa ke situ hanya untuk diajak bermain
catur! Bukan hanya Bu Hok Lokai, sudah banyak orang-
orang yang terkenal ahli main catur, biarpun tinggalnya di
28 kota raja atau jauh sekali dari situ, tetap akan diculik dan
mereka bawa ke puncak Omeisan untuk diajak main catur!
Karena

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesenangan bermain catur inilah yang memungkinkan Thai Gu Cinjin yang amat licin dan banyak
tipu muslihat itu untuk mencuri sebuah kitab dari kedua
kakek itu. Dengan mengajak dua orang ahli catur dari Tibet,
Thai Gu Cinjin mendaki Gunung Omeisan. Tentu saja
diterima dengan girang sekali oleh dua orang kakek itu
karena ia membawa dua orang ahli catur itu. Kalau saja ia
tidak membawa dua orang ahli catur itu, sudah tentu dia
tidak diperbolehkan naik ke puncak. Segera Tiong Hwesio
dan Tiong Jin Hwesio tenggelam dalam permainan catur
menghadapi dua orang ahli dari Tibet yang dibawa oleh Thai
Gu Cinjin itu. Dan bukan main permainan ini. Sampai tiga
hari tiga malam! Waktu itulah yang memungkinkan Thai Gu
Cinjin menyelinap ke dalam pondok dan akhirnya ia berhasil
mencuri sebuah kitab yang berisi pelajaran Ilmu Silat Pat
hong hong i. Sampai lama sekali setelah Thai Gu Cinjin dan dua orang
ahli catur itu pergi turun dan Omeisan baru dua orang
kakek ini tahu akan kehilangan sebuah kitab pusaka. Tiong
Jin Hwesio menjadi marah dan turun gunung untuk
mencari. Karena turunnya ini yang menyebabkah beberapa
orang lihai di dunia kahgouw tahu bahwa kitab Omeisan
dicuri Thai Gu Cinjin sehingga di mana-mana pendeta Lama
jubah merah ini dihadang orang untuk dirampas kitabnya.
Dan akhirnya, seperti telah diceritakan semula, kitab itu
terjatuh ke tangan Tiang Bu secara kebetulan sekali dan
karena bocah ini mempelajari Pat hong hong i, maka Tiong
Jin Hwesio dapat mengenal ilmu silat itu dan membawa
bocah ini ke Omeisan. Juga Tiong Sin Hweslo suka sekali
rnelihat Tiang Bu, yang memiliki bakat luar biasa, maka ia
pun setuju dengan niat sutenya untuk me ngangkat Tiang Bu
menjadi ahli waris Omeisan!
29 Memang pada dasarnya Tiang Bu berbakat dan suka
sekali akan ilmu silat. Tak dapat disangkal bahwa hatinya
amat rindu akan pulang, rindu kepada ayah bundanya,
terutama sekali rindu kepada Lee Goat. Akan tetapi,
kesukaannya belajar silat mengatasi kerinduannya sehingga
rindunya terobati ketika ia mulai belajar ilmu sitat di puncak Omeisan
la tekun sekali dan ditambah kecerdikannya, dua orang
kakek sakti di Omeisan menjadi makin sayang kepadanya.
Akan tetapi dua orang sakti itu tidak memperlihatkan kasih
sayang mereka, bahkan mereka bersikap keras dan lidak
saja Tiang Bu harus berlatih berat sekali, juga anak ini
harus bekerja keras. Setiap hari Tiang Bu harus membersihkan pondok, mencari kayu, menimba air, mencuci
daun-daun, dan lain-lain.
Namun bocah yang tahu diri ini melakukan semua
pekerjaannya tanpa mengeluh. Ia menerima semua pekerjaan berat itu sebagai biaya pelajarannya. Ia tidak tahu bahwa
pekerjaan-pekerjaan itu sebetulnya termasuk "latihan" pula,
latihan untuk menguatkan tubuhnya sehingga tubuh dan pikirannya menjadi biasa akan penderitaan lahir. Seorang gagah harus kuat menahan
penderitaan lahir. Baru saja lima tahun Tiang Bu belajar ilmu di Omeisan,
ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali. Pada
pagi hari itu, ia dilatih oleh Tiong Jin Hwesio dalam ilmu
yang disebut Liap tinsut (Ilmu Mengejar Awan)! Itulah
semacam ilmu laricepat atau ilmu melompat yang berdasarkan ginkang yang sempurna.
Akan tetapi pemuda tanggung ini sudah pandai sekali
melompati jurang yang sepuluh tombak lebarnya, berlompatan dari ujung batu karang ke ujung lain yang amat
runcing sehingga menuruni lereng yang terjal serta melalui
daerah jurang yang curam itu baginya bukan apa-apa lagi
30 Tiong Jin Hwesio yang melatih ginkang
padanya, membawanya ke tempat berbahaya di daerah gunung itu.
Makin lama kakek ini membawa Tiang Bu ke tempat yang
makin sukar sehingga beberapa bulan kemudian tidak ada
sebuah pun tempat yang tak dapat didatangi Tiang Bu.
Tentu saja kakek ini merasa puas sekali.
Juga dalam ilmu-ilmu yang lain Tiang Bu memperlihatkan kemajuannya. Biarpun dua orang suhunya
menghujaninya dengan pelajaran-pelajaran berat, namun ia
dapat mengatur waktunya dan dapat menerima semua itu
dengan baik. "Pinceng dan Jisuhumu (Gurumu yang ke Dua) tak
pernah mempergunakan senjata. Thian sudah mengaruniai
kita dengan tangan kaki, panca indera dan akal budi.
Mengapa pula kita harus mengandalkan bantuan senjata
seperti pedang atau golok" Tidak, biarpun hanya dengan
tangan dan kaki, asal dilatih baik tidak akan kalah
menghadapi senjata yang bagaimanapun juga," kata Tiong
Sin Hwesio kepada muridnya.
Memang keistimewaan inilah yang membuat Tiong Sin
Hwesio dan Tiong Jin Hwesio terkenal sebagai orang-orang
sakti yang berilmu tinggi. Mere ka tak pernah mempergunakan senjata, akan tetapi selama ini, tak seorang
pun yang berani mencoba-coba dapat mengalahkan mereka.
Banyak sudah ahli-ahli pedang, ahli-ahli tombak dan ahli-
ahli senjata lainnya sengaja datang untuk mencoba-coba
karena mereka ini sebagai ahli senjata tentu saja tidak suka
dicela. Akan tetapi mereka semua roboh dengan mudah saja
oleh Tiong Sin Hwesip dan Tiong Jin Hwesio.
"Thian melengkapi kita dengan akal budi. Untuk apakah
ke mana-mana rnembawa senjata tajam seperti jagal" Kalau
memang perlu, setiap benda di depan kita, baik benda itu
berupa setangkai kembang, sebatang ranting, atau sehe lai
daun, dapat kita pergunakan untuk membela diri. Bukan
senjata yang istimewa, melainkan orangnya yang berada di
31 belakang senjata. Golok pusaka, pedang mustika, segala
yang runcing-runcing dari yang tajam-tajam takkan ada
artinya apabila orang yang memegangnya tolol.
Sebaliknya, sehelai daun akan lebih berguna daripada
sebatang pedang apabila orang yang mempergunakannya
mengerti bagaimana harus mempergunakannya," demikian
Tiong Sin Hwesio melanjutkan nasihatnya kepada Tiang Bu
yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan
mencatatnya baik-baik di hati dan ingatannya.
Dilihat dari semua nasihat ini, sama sekali tidak
mengherankan apabila Tiang Bu tak pernah mendapat
pelajaran bersilat dengan senjata apa pun juga. I a hanya
menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong, ini pun tidak
begitu dipentingkan oleh dua orang kakek itu. Yang lebih
dipentingkan adalah penggemblengan dalam memperkuat
hawa sinkang di dalam tubuh, mengumpulkan tenaga-
tenaga tersembunyi sehingga dapat dipergunakan dengan
baik-baik. Dapat dimengerti apabila tanpa disadarinya, Tiang Bu
telah memiliki tenaga lweekang yang hebat dan memiliki
ilmu khikang dan ginkang yang istimewa. Dengan sinkang
orang dapat memiliki tubuh yang kuat dan kebal, dengan
lweekang orang dapat mengatur tenaga sehingga tenaga
seratus kati menjadi seribu kati, dengan khikang orang
dapat mengatur pernapasan sehingga tidak saja isi dadanya
bersih, juga terutama sekali napasnya panjang dan kuat.
Dengan ginkang orang dapat mengatur gerakan yang
lincah, ringan dan cepat. Kalau semua ini sudah terpenuhi,
berarti orang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi!
Dengan dasar-dasar ini, orang sudah menjadi kuat dan
sukar dikalahkan. Beberapa bulan kemudian pada suatu hari Tiang Bu
duduk mengaso di bawah sebatang pohon. Ia tidak lelah,
karena tubuhnya sudah kuat sekali, dan mengerjakan
pekerjaan mengangkut air dari lereng ke puncak sudah
32 rnenjadi kebiasaan sehari-hari. Yang membuat ia ingin
beristirahat di bawah pohon adalah panas terik matahari
yang membakar kulit. Musim panas sedang hebat-hebatnya,
sehingga di lereng Omeisan yang biasanya dingin itu pun
tidak luput dari serangan hawa panas matahari.
Hawa panas, bayangan pohon, ditambah silirnya angin
gunung membuat Tiang Bu duduk melenggut bersandarkan
tongkat pikulannya. Tempat ia berhenti mengaso itu adalah
di lereng selatan di mana terdapat sebuah kelenteng kuno
yang sudah mulai rusak karena tidak dipakai lagi. Di depan
kelenteng itu terdapat pagar terbuat daripada kayu besi yang
berukir indah. Di luar pagar inilah Tiang Bu duduk
mengaso, melenggut dan mengantuk karena malam tadi ia
terlalu malam berlatih teori ilmu silat sampai lupa waktu.
Tiba-tiba ia mendengar suara senjata beradu nyaring
sekali, seakan-akan berada di dekat telinganya. Tiang Bu
membuka matanya dan dengan terheran-heran ia melihat
dua orang gadis cilik sedang bertempur. Keduanya mempergunakan sebatang pedang dan gerakan mereka
lincah dan indah. "Cringg.....!" pedang berkali-kali bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata.
Kantuk yang tadi menguasaii mata Tiang Bu seketika
lenyap, terganti oleh perhatian dan keheranan. Ia melihat
gadis cilik itu kedua-duanya sama pandai dan usia mereka
pun sebaya, paling banyak sepuluh tahunan. Akan tetapi
keduanya telah memiiiki kepandaian ilmu pedang yang
hebat. Ketika Tiang Bu memandang penuh perhatian kepada
seorang di antara dua anak perempuan itu, hatinya berdebar
aneh. Ia seperti sudah kenal baik bocah itu, kenal baik
sekali. Hidung yang kecil meruncing, bibir itu, mata itu.....!
"Lee Goat.....!" tak terasa lagi Tiang Bu menyebut nama ini dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah melompat seperti
melayang ke tempat pertempuran dan di lain saat ia telah
menyodorkan tongkat pikulan yang sejak tadi dipegangnya
33 itu di tengah-tengah antara dua orang gadis cilik yang masih
bertempur. "Tranggg.....! Tranggg.....!" Dua buah pedang terpental dan terlepas dan pegangan. Padahal Tiang Bu
tidak melakukan pukulan, bahkan dua pedang yangtadi menghantam tongkat pikulannya, namun karena tenaga
sinkang yang luar biasa dari Tiang Bu, dua batang pedang
itu telah terpental . Dua orang gadis cilik itu memandang
dengan kaget, cepat memungut pedang masing-masing
kemudian mereka menghadapi Tiang Bu dari dua jurusan
yang berlawanan. Akan tetapi, Tiang Bu hanya memperhatikan gadis cilik adiknya yang ditinggal ketika
baru berusia dua tiga tahun itu. Telah delapan tahun lebih
ia meninggalkan rumah berpisah dari adiknya.
"Kau..... bukankah kau..... Lee Goat.....?" tanya Tiang Bu, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar, penuh
harapan.

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis cilik itu memandang kepadanya dengan mata
jernih dan kosong. Sama sekali tidak mengenal, lalu
mengerutkan kening dan berkata.
"Bukan. Aku tidak bernama Lee Goat
"Betulkah" Kau..... kau serupa betul dengan dia....." kata pula Tiang Bu, dadanya penuh kekecewaan.
"Hemm, kau ini siapakah berani menggangguku?" tanya gadis cilik itu tiba-tiba dengan marah.
Tiang Bu mendengar sambarah angin ketika punggungnya hendak ditusuk oleh dara cilik yang berada. di
belakangnya. Dengan gerakan enak saja Tiang Bu miringkan
tubuhnya, perasaan dan pendengarannya sudah sedemikian
tajamnya sehingga punggungnya seperti bermata maka
kelitan ini membuat pedang gadis cilik itu menusuk angin.
Dan sebelum ia dapat menyerang lagi, Tiang Bu menggunakan jari tangannya menyentil tengah-tengah pedang sambil berseru. 34 "Bocah cilik jangan main-main dengan pedang!"
Sentilan jari tangannya dengan tepat mengenai pedang
dan gadis itu berseru kaget, pedangnya seperti direnggut
oleh tenaga yang kuat dan tahu-tahu telah terlepas dari
pegangannya, meluncur kebawah dan menancap di atas
tanah! "Bi Li, jangan berkelahi.....!!" terdengar seruan orang dan seorang pemuda tanggung yang sebaya dengan Tiang Bu
tampan dan gagah dengan pakaian indah, datang berlari-lari
ke tempat itu. Jauh di belakang pemuda ini nampak pula
beberapa orang tua datang dari jurusan yang berlainan.
Melihat ini Tiang Bu yang merasa kecewa karena gadis
cilik yang disangka Lee Goat itu ternyata bukan adiknya,
segera menyeret pikulannya dan pergi dari tempat itu. Ia
tidak melihat betapa gadis cilik yang disangka adiknya tadi
memandang kepadanya dengan mata penuh pertanyaan dan
keheranan. Sementara itu, bocah perempuan yang seorang
lagi memandang kepadanya dengan pandang mata kagum
dan tertarik sekali. Setelah melihat munculnya banyak orang, keheranannya
bertambah dan hati Tiang Bu menjadi tidak enak, Tidak
biasanya di lereng ini terdapat begitu banyak orang. Ia tidak kembali ke puncak, melainkan bersembunyi di dalam
rumpun tebal sambil mengintai keluar. Dilihatnya dua orang
gadis cilik yang tadi bertempur itu sudah saling menjauhi,
gadis yang menyerangnya bersama pemuda tanggung tadi
menengok ke arah seorang wanita yang datang seperti
terbang cepatnya ke arah mereka. Adapun gadis yang
wajahnya seperti Lee Goat juga menanti datangnya seorang
laki-laki. Melihat orang laki-laki ini, Tiang Bu berdebar
jantungnya. Laki-laki ini bukan laln adalah Wan Sin Hong!
Bagaimana Sin Hong bisa sampai disitu dan siapakah
mereka semua itu" Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti
pengalaman Wan Sin Hong dan Li Hwa. Seperti telah
35 dituturkan, Sin Hong dan Li Hwa melanjutkan perjalanan
mereka. "Sin Hong, sekarang kita ke mana?" tanya Li Hwa sambil mengerling ke wajah Sin Hong di sebelah kanannya.
"Aku akan pergi ke Kim-bun-to. Harus kuberitakan
tentang keadaan Tiang Bu kepada Hui Lian dan Hong Kin.
Selain itu, aku sudah terlalu lama meninggalkan Luliangsan.
Aku harus menengok tempat itu kalau-kalau ada orang
mencari aku." Demikianlah, Sin Hong dan Li Hwa lalu menuju ke
Luliangsan, tempat di mana Sin Hong tinggal selama ia
menjadi bengcu. Ketika tiba di lereng Luliangsan, mereka
melihat bahwa puncak Luliangsan telah kedatangan banyak
tamu dari dunia kangouw. Mereka itu adalah tokoh-tokoh
besar atau wakil-wakil partai besar yang dahulu telah
rnemilih Sin Hong rnenjadi bengcu.
Bu Kek Siansu, ketua Butongpai yang nampak paling tua
di antara para tokoh itu, maju menyambut kedatangan Sin
Hong sambil mernbungkuk. Sin Hong buru-buru memberi
hormat dan berkata. "Ah, kiranya Bu Kek Siansu Locianpwe dan para
Locianpwe yang terhormat. Sungguh menyesal sekali baru
sekarang siauwte datang, membikin Cuwi sekalian terlalu
lama menanti." "Kami baru sepekan menanti disini. Pinto sekarang
mewakili kami semua karena Tai Wi Siansu sudah meninggal
dunia setahun yang lalu," kata Bu kek Siansu.
Sin Hong mengerutkan alisnya. "Sayang sekali belum
sempat aku bertemu dengan Tai Wi Siansu Locianpwe di
Kun lun san. Semoga arwahnya mendapat tempat yang
mulia." Melihat sikap mereka yang dingin, Sln Hong diam-diam
dapat menduga bahwa kedatangan mereka ini tentulah
36 untuk urusan kedudukan bengcu. Tentu semua orang ini
sudah mendengar bahwa dia adalah keturunan bangsa Kin
dan karenanya mereka tidak sudi mempunyai bengcu
keluarga Kaisar bangsa yang dianggap musuh! Akan tetapi ia
berlaku tenang, lalu bertanya
"Tidak tahu urusan penting apakah yang membawa Cuwi
sekalian rnendaki Luliangsan" Apa kiranya yang dapat
kulakukan untuk Cuwi sekalian?"
"Wan-sicu, pinto mewakili semua saudara di sini untuk
memberi penjelasan dan pinto akan bicara singkat saja,"
kata Bu Kek Siansu. Mendengar kakek ini menyebutnya
Wansicu dan bukan Wanbengcu, Sin Hong tersenyum
dingin. Tahulah ia karena sudah jelas sekali bahwa orang
tidak memandangnya sebagai bengcu lagi.
"Bicaralah, Bu Kek Siansu," katanya singkat.
"Sebelum kamu datang ke sini, lebih dulu setahun yang
lalu Tai Wi Siansu telah memimpin pertemuan. Dalam
pertemuan itu dibicarakan tentang kedudukan Wansicu.
Oleh karena sudah jelas bahwa Wansicu keturunan Wan
Kan atau pangeran Wanyen Kan, maka terpaksa kami semua
tidak dapat menerima kau menjadl bengcu kami. Akan
tetapi, mengingat kau telah lama membantu kami, kami
menghentikanmu dengan hormat, bahkan kami mengajak
Wansicu untuk bersama kami membujuk calon bengcu yang
hendak kami angkat."
Sin Hong tersenyum lebar. Dadanya
terasa lega, Kedudukan bengcu selama ini merepotkannya, membuat
hidupnya terikat. "Bagus! Aku harus berterima kasih kepada Cuwi yang
membebaskan aku dari tugas bengcu yang maha berat.
Tentu saja aku bersedia membantu membujuknya. Siapakah
calon bengcu itu gerangan?"
"Dia adalah seorang dari kakek sakti di Omeisan," kata Bu Kek Siansu.
37 Kening Sin Hong berkerut. Ia teringat akan sikap orang-
orang gagah di dunia sebelah selatan yang amat kasar ketika
mengunjunginya di Luliangsan beberapa tahun yang lalu.
"Hemm, mengapa Cuwi memilih orang selatan?" tegurnya.
"Kalau mereka yang dipilih, terserah. Akan tetapi aku tidak berani memastikan apakah aku akan ikut membujuk
mereka yang sama sekali tidak kukenal. Betapapun juga,
terima kasih atas pembebasan tugas bengcu.
"Sebagai tanda bahwa aku sama sekali tidak kecil hati
dibebaskan dari tugas bengcu, dan untuk menyatakan
terima kasih, sekarang aku hendak mengumumkan secara
terus terang bahwa biarpun aku memang benar keturunan
bangsawan Wanyen, namun aku tidak dapat membela
Kerajaan Kin! Untuk menyatakan bahwa di dalam tubuhku
masih mengalir darah Han, aku hanya akan membela rakyat
apabila terjadi perang yang datangnya dari utara."
Mendengar kata-kata ini, sebagian besar orang gagah
yang memang menaruh rasa hormat dan suka kepada Sin
Hong bertepuk tangan gembira dan memuji Sin Hong sebagai
orang gagah yang patut dlkagumi.
"Cuwi sekalian!" kata pula Sin Hong dengan suara keras sehingga suara gaduh itu berhenti karena semua orang
rnemperhatikannya. "Aku hendak mohon pertolongan Cuwi
sekalian, terutama para Locianpwe yang terhormat. Oleh
karena sekarang diriku tidak terikat lagi oleh tugas berat
dan telah bebas, maka aku bermaksud melangsungkan
ikatan jodoh dengan Hui eng Niocu Siok Li Hwa di tempat
ini. Untuk keperluan itu, aku
sangat mengharapkan bantuan para Locianpwe untuk menyelenggarakannya, sebagai wali-wali atau pengganti orang-orang tua, oleh
karena baik aku maupun calon isteriku adalah orang-orang
yatim piatu, bahkan guru-guru pun telah meninggal dunia.
Tidak tahu apakah para Lociaripwe sudi menolong kami?"
Kata-kata terakhir itu diucapkan oleh Sin Hong dengan
suara terharu. 38 Ketika Sin Hong bicara, semua orang mendengarkan
dengan tak bersuara, akan tetapi begitu ia habis bicara,
terdengar sorak-sorai gemuruh tanda bahwa orang-orang itu
menyambut berita ini dengan gembira sekali. Para locianpwe
juga maju untuk memberi selamat dan menyatakan bersedia
untuk membantu dua orang muda itu mengesahkan
perjodohan mereka. Para tokoh dunia kangouw berikut para anggauta yang
ikut di puncak Luliangsan itu, jumlahnya ada lima pul uh
orang lebih. Mereka ini la!u sibuk mengatur ini itu, menghias gua tempat tinggal Sin Hong sebaik-baiknya, membangun
pondok atau ruangan darurat untuk tempat berpesta. Ada
pula yang turun gunung cepat-cepat untuk mencari bahan-
bahan guna berpesta berikut tukang-tukang masaknya,
arak, daging dan lain-lain.
Dalam waktu tiga hari saja semua sudah siap dan pada
pagi hari ke empatnya dilangsungkanlah pernikahan antara
Sin Hong dan Li Hwa secara sederhana namun cukup
meriah! Hanya sayangnya bagi Li Hwa, di antara para tamu
tidak ada seorang pun tamu wanita!
Setelah kedua pengantin diberi restu oleh para locianpwe,
lalu diarak menuju makam Pak Kek Siansu dan Pak Hong
Siansu di puncak untuk bersembahyang di depan kedua
makam ini. Kemudian kedua mempelai dengan diantar oleh
para locianpwe turun ke lereng gunung untuk bersembahyang di depan makam Luliang Samlojin.
Setelah upacara ini selesai, berpestalah mereka di
ruangan darurat di depan gua itu. Menjelang senja semua
tamu minta diri dan rneninggalkan puncak Luliangsan, Sin
Hong dan isterinya mengantar mereka sampai di tikungan
sarnbil tiada hentinya menghaturkan terima kasih mereka.
Kemudian sambil bergandengan tangan kedua mempelai ini
dengan hati penuh kebahagiaan kembali ke puncak untuk
beristirahat di dalam gua tempat tinggal Sin Hong yang
sudah dihias seada-adanya oleh para tamu tadi. Ketika
39 melangsungkan perjodohannya Sin Hong berusia tiga puluh
tahun dan Li Hwa berusia lebih muda dua tahun. Sukar
untuk melukiskan kegembiraan kedua mempelai ini, hanya
mereka berdua yang mengalamilah yang dapat merasakan!
Beberapa bulan kemudian Sin Hong mengajak isterinya
pergi ke Pulau Kin bun to untuk memberi kabar kepada Hui
Lian dan Hong Kin tentang Tiang Bu. Hong Kin dan Hui Lian
menyambut kedatangan Sin Hong dengan gembira apalagi
setelah diberi tahu bahwa Sin Hong telah menikah dengan
Hui eng Niocu Siok Li Hwa yang gagah perkasa. Mereka
segera mengucapkan selamat dan Hui Lian menegur.
"Wan-susiok (Paman Guru Wan) mengapa tidak memberi
kabar lebih dulu kepada kami" Kalau diberi tahu, biarpun
jauh kami pasti akan datang untuk menghadiri pesta
pernikahan itu!" Hui Lian menyebut Sin Hong paman guru
karena memang Sin Hong masih terhitung paman gurunya
sendiri. Ayahnya dahulu adalah murid Pak Kek Siansu,
demikian pula Sin Hong. Sin Hong tersenyum. "Perjodohan kami dilangsungkan
secara serentak dan mendadak, mana ada kesempatan
memberi kabar!" Ia lalu menuturkan secara singkat tentang kedatangan orang-orang kangouw di puncak Luliangsan
untuk membebaskannya dari tugas bengcu dan betapa
dalam kesempatan itu ia lalu minta bantuan mereka untuk
merayakan kelangsungan perjodohannya.
Kemudian Sin Hong bercerita tentang Tiang Bu.
"Anak itu memang aneh sekali nasibnya." katanya
mengakhiri ceritanya. "Selalu berpindah ke dalam tangan
orang-orang pandai, bahkan sekarang kurasa ia telah
menjadi murid kakek sakti di Omeisan. Biarlah lain kali kita
menengok ke sana." Hui Lian dan Hong Kin agak kecewa karena Tiang Bu
tidak turut pulang akan tetapi mereka lega mendengar
40 bahwa anak itu selamat, bahkan menjadi muid orang
pandai. "Tadinya kami bermaksud untuk menyerahkan Tiang Bu
kepada Susiok agar dididik dalam ilmu silat, akan tetapi
sekarang dia telah menjadi murid Ji Omeisan biarlah kami
menyerahkan anak kami saja agar diterima sebagai mund
oleh Susiok berdua." kata Hui Lian yang segera nnemanggil anak peiempuannya yang berada di dalam. Tak lama
kemudian muncullah seorang bocah perempuan berusia


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lima enam tahun, cantik manis, dan mungil sekali. Bocah ini
memandang kepada Sin Hong dan Li Hwa dengan mata
bening dan penuh pertanyaan karena ia tidak mengenal
mereka. "Lee Goat, beri hormat kepada Suhu dan Subomu ini!"
kata Hui Lian kepadanya sambil menuding ke arah Sin Hong
dan Li Hwa. Untuk sesaat bocah itu memandang kepada Sin
Hong dan Li Hwa penuh perhatian terutama sekali ke arah
pedang yang tergantung di pinggang Sin Hong dan menempel
di punggung Li Hwa. Kemudian ia maju dan berlutut sambil
berkata hormat. "Suhu.....! Subo.....!"
Sin Hong dan Li Hwa saling pandang sambil tersenyum.
Sekali bertemu pandang saja suami isteri ini maklum bahwa
masing-masing amat tertarik dan suka kepada bocah itu. Sin
Hong tertawa dan mengangkat bangun bocah itu sambil
berkata. (Bersambungjilid ke VIII)
41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid VIII "Anak baik, bangunlah!" Akan tetapi ia merasa betapa tubuh
anak itu kaku seperti batu dan ketika ia mengangkatnya Lee Goat masih dalam keadaan berlutut,
tubuhnya kaku dan keras! Sin Hong tertawa kagum sambil
memandang kepada Hui Lian.
Dengan muka merah akan tetapi mata bangga Hui Lian
membentak anaknya, "Lee Goat, jangan kurang ajar! Hayo
turun!" Setelah Lee Goat menarlk kembali "tenaganya" dan sudah diturunkan oleh Sin Hong, Hui Lian berkata lagi
kepada Sin Hong. "Dia memang sudah mernpelajari sedikit
ilmu silat dan. sedang berlatih Iweekang. Harap Susiok
jangan mentertawai kami."
"Mengapa mentertawai" Anak ini berbakat baik sekali,
kecil-kecil sudah dapat menggunakan tenaga membikin
keras tubuh, benar-benar mengagumkan!" kata Li Hwa
mendahului suaminya sambil mengangkat Lee Goat dan
menciumnya. Demikianlah, semenjak saat itu, Lee Goat menjadi murid
Sin Hong. Rumah di Kim-bun-to anat besar maka Sin Hong
1 dan isterinya merasa suka tinggal di situ. Tidak saja
rumahnya cukup besar sehingga mereka leluasa, juga Lee
Goat merupakan murid yang menggembirakan hati dan juga
mereka dapat bergaul dengan rukun dan baik bersama Hui
Lian dan suaminya. Seringkali Sin Hong bercakap-cakap
atau bermain catur dengan Hong Kin sedangkan Li Hwa dan
Hui Lian kalau sudah mengobrol di dalam kamar berdua
sampai lupa waktu! Mereka benar-benar pasangan-pasangan
yang amat rukun Cara hidup yang menyenangkan membuat orang lupa
akan waktu yang melewat cepat sekali. Tanpa terasa lagi
tahu-tahu Sin Hong dan Li Hwa sudah tinggal selama empat
tahun di Kim bun to! Sebetulnya Sin Hong sudah kerasan
dan senang tinggal di situ. Mengapa tidak" Hui Lian dan
suaminya amat baik seperti saudara sendiri, juga Lee Goat
merupakan murid yang pintar dan cepat maju. Akan tetapi
ada suatu hal yang mengganggu hati Sin Hong dan kadang-
kadang membuatnya sampai jauh malam tak dapat tidur,
bercakap-cakap dengan suara duka dengan isterinya. Mengapa" Bukan lain karena sebegitu lama mereka berdua
belum juga dikaruniai putera. Hal ini mengecewakan hati
mereka dan melenyapkan semua kesenangan, membuat
rnereka menjadi bosan tinggal di Kim bun to.
Hui Lian dan suaminya terkejut juga ketika pada suatu
pagi Sin Hong dan isterinya menyatakan bahwa mereka ingin
pergi merantau dan hendak membawa Lee Gpat bersama.
"Sudah terlalu lama kami menganggur saja sampai-
sampai kami tidak tahu apa yang terjadi di luar. Selain itu,
perlu sekali bagi Lee Goat untuk melihat dunia kangouw
agar pengetahuannya bertambah. Kalian tahu sendiri betapa
pentingnya ini bagi Lee Goat," kata Sin Hong.
Hui Lian dan Hong Kin tentu saja tak dapat menahan
mereka. Juga mereka merasa tidak enak untuk melarang Lee
Goat, karena bukankah mereka sendiri yang menyerahkan
Lee Goat menjadi murid Sin Horg. Dengan mengeraskan hati
2 Hui Lian mengangguk dan menyetujui, bahkan cepat-cepat
menyediakan pakaian-pakaian yang hendak dibawa oleh Lee
Goat yang sudah kegirangan. Akan tetapi setelah Sin Hong
dan Li Hwa berangkat bersama Lee Goat, naik perahu untuk
menyeberang ke daratan, Hui Lian tak dapat menahan
tangisnya! Hong Kin menghiburnya dan menyatakan bahwa
di tangan Sin Hong dan isterinyaj pasti Lee Goat takkan
menemui bahaya sesuatu. Suami Isteri Ini sama sekali tidak tahu bahwa baru
beberapa ratus li Sin Hong dan rombongannya meninggalkan
Kim bun to telah menghadapi bencana hebat.
Sepekan setelah meninggalkan Kim bun to, Sin Hong dan
isterinya serta muridnya tiba di kota Nanpo. Untuk
menyenangkan hati Lee Goat yang baru pertama kali itu
melakukan perjalanan jauh Sin Hong dan isterinya mengajak
Lee Goat bertamasya di taman bunga yang dibuka untuk
umum di kota itu. Waktu itu musim bunga telah lama lewat,
akan tetapi di dalam taman masih penuh dengan tanaman
bunga yang beraneka warna dan macam. Maka tempat itu
amat ramai dikunjungi orang-orang dari dalam kota maupun
dari luar daerah. Selagi suami isteri dan murid mereka ini menikmati
keindahan taman sambil minum teh wangi yang dijual orang
di dalam taman dan duduk di atas bangku-bangku kayu
yang sederhana, tiba-tiba Sin Hong menoleh. Ia merasa ada
orang memandangnya dan betul saja, begitu ia menoleh,
diantara banyak orang ia me lihat seorang laki-laki yang
memandang kepadanya dengan tajam. Jantung Sin Hong
serasa berhenti berdetak ketika ia mengenal siapa adanya
laki-laki itu. Serentak ia bangkit berdiri dan dengan langkah lebar
menghampiri tempat di mana orang itu berdiri. Akan tetapi
orang itu menyelinap di antara orang banyak dan lenyap. Sin
Hong mengejar sambil mendesak orang-orang itu. Dengan
mudah saja kedua lengannya membuka jalan. Akan tetapi
3 tiba-tiba lengannya bertemu dengan lengan tangan orang
lain yang amat kuat sehingga terpaksa Sin Hong berhenti.
Sin Hong mengangkat muka untuk memandang orang
yang lengan tangannya keras dan kuat sekali itu dan ia
bertemu pandang dengan seorang laki-laki tinggi besar
seperti raksasa, bermuka brewok bermata lebar tajam.
Usianya kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi
kelihatan amat kuat dan gagah.
"Hemm, di tempat yang begini penuh orang tak boleh
tergesa-gesa mendocong orang ke kanan kiri," kata orang
brewok itu sambil tersenyum sindir di balik kumis dan
jenggotnya. Sin Hong melirik ke sana ke mari akan tetapi orang yang
dicarinya telah lenyap, maka sambil tersenyum ia menjura
dan menjawab. "Maaf, agaknya aku tadi telah melihat setan di siang
hari." Setelah berkata demikian, ia lalu berjalan kembali ke tempat duduknya semula. Ia sengaja tidak mau berurusan
lebih lanjut dengan orang yang sudah jelas memiliki
kepandaian tinggi itu. Diam-diam ia merasa heran karena ia
tidak kenal orang itu. Tentu seorang tokoh besar dari selatan pikirnya.
"Kau tadi mencari siapakah?" tanya Li Hwa yang
semenjak tadi memperhatikan gerak-gerik suaminya. Sin
Hong menjawab perlahan. "Aku tadi telah rnelihat..... Liok Kong Ji.....!"
Mendengar nama ini, wajah Li Hwa berubah dan alisnya
berkerut, dadanya berdebar penuh kekhawatiran, Li Hwa
cukup tahu bahwa di mana ada manusia siluman itu, pasti
akan terjadi hal yang tidak menyenangkan.
"Mana dia.....?" tanyanya lirih.
4 "Dia sudah menyelinap pergi. Entah dia entah bukan,
akan tetapi matanya..... hanya dialah orangnya yang
mempunyai mata seperti itu. Mari kita pergi dari sini."
Li Hwa maklum akan kekhawatiran suaminya. Kalau Sin
Hong sendiri tentu saja tidak takut menghadapi Liok Kong
Ji, akan tetapi di situ ada Li Hwa dan Lee Goat. Maka tanpa
banyak cakap ia lalu menggandeng tangan Lee Goat dan
mereka bertiga melanjutkan perjalanan keluar dari Nanpo
melalui pintu sebelah barat. Setelah keluar dari kota dan
tiba di jalan sunyi baru Sin Hong bercerita kepada isterinya
tentang pertemuannya dengan orang tinggi besar brewok
yang dapat menahan desakan lengannya.
"Biarpun belum yakin benar, akan tetapi kurasa orang
itu adalah kawan dari Kong Ji. Kalau kita ingat sepakterjang
Kong Ji dahulu, sangat boleh jadi ia mempunyai banyak
sekali kawan-kawan yang pandai. Akan tetapi, dia yang
sudah bersembunyi di utara, ada keperluan apakah muncul
di sini" Apakah aku yang salah lihat orang?"
"Kita harus berhati-hati," kata Li Hwa. "Orang seperti dia itu tak dapat diduga lebih dulu apa yang terkandung dalam
hati iblis itu." Sin Hong mengangguk-angguk. "Kuharap saja dia tidak
mengulangi perbuatannya yang dulu-dulu ketika ia selalu
memusuhiku. Kiraku dia ada keperluan lain karena dengan
aku dia sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Akan
tetapi....." tiba-tiba Sin Hong mengerutkan keningnya.
"Kenapa?" Li Hwa bertanya.
"Asal saja dia tidak menjadi alat dari orang-orang Mongol untuk mengkhianati bangsa sendiri," kata Sin Hong sambil menarik napas panjang. "Kalau kehinaan itu ia lakukan, ia tidak patut lagi menjadi manusia dan aku sendiri akan
berusaha melenyapkan dari muka bumi!"
Tiba-tiba Sin Hong memberi tanda supaya isterinya
jangan melanjutkan langkah dan ia memandang ke arah kiri
5 di mana terdapat segerombolan pohon yang gelap. Tepat
dugaannya bahwa di sana terdapat orang karena setelah
beberapa lama ia berhenti, dari dalam gerombolan pohon itu
melompat keluar seorang lakilakl tinggi besar yang tadi telah beradu lengan dengannya di dalam taman bunga. Melihat
sikap orang tinggi besar itu di tengah jalan menghadang
perjalanan mereka dan sikapnya menantang sekali, Sin Hong
berlaku tenang. Ia mengangkat kedua tangan memberi
hormat sambil berkata. "Eh, kiranya Loenghiong sudah berada di sini. Alangkah
cepatnya! Tidak tahu apakah sengaja Loenghiong menghadang perjalanan kami dan ada keperluan apakah
gerangan?" Laki-laki tinggi besar brewokan itu kini tertawa bergelak
sambil memegangi jenggotnya, lalu bertanya, suaranya kaku
dan jelas terdengar logat utara dalam suaranya, "Kau Wan Sin Hong yang disebut Wan-bengcu?"
Pertanyaan yang diucapkan dengan nada gaya memandang rendah ini dijawab oleh Sin Hfong hanya
dengan anggukan kepala. Tiba-tiba Sin Hong cepat mendorong Lee Goat yang mencelat ke arah Li Hwa! Li Hwa
menerima bocah itu dan melompat ke belakang.
Ternyata bahwa laki-laki tinggi besar itu begitu melihat
Sin Hong mengangguk sebagai pengakuan bahwa dia
memang Wan-bengcu, tanpa banyak
cakap lagi lalu mengirim pukulan yang hebat sekali ke arah Sin Hong,
disusul dengan tendangan kaki yang seperti kilat menyambar. Sin Hong yang sejak tadi sudah berlaku waspada, cepat
menyelamatkan dulu muridnya, kemudian dengan hati-hati
dan cepat ia mengelak dari dua serangan dahsyat itu.
"Sobat, kau siapakah dan mengapa kau menyerangku?"
ia masih menyabarkan diri dan bertanya sambil memasang
kuda-kuda. 6 Melihat betapa Sin Hong dengan mudah mengelak dari
serangan-serangannya, orang tinggi besar itu menjadi
penasaran. "Sudah lama aku ingin mencoba kelihaian Wan-bengcu.
Sambutlah!" Kembali kedua tangannya bergerak dan kini Sin Hong
menghadapi serangan-serangan pukulan yang datangnya bertubi-tubi cepat sekali, datangnya dari tiga


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurusan merupakan serangan yang sukar dijaga! Namun Sin
Hong tidak gentar menghadapi serangan-serangan ini. Ilmu
silatnya Pak-kek Sin-kun cukup kuat untuk menjaga diri
dan kalau perlu membalas serangan lawan. Akan tetapi,
sudah menjadi sifat seorang ahli silat apabila menghadapi
lawan yang tidak terlalu mendesak dan tidak terlalu
membahayakan keselamatannya, tentu lebih dulu ingin
melihat bagaimana macamnya ilmu silatnya apalagi kalau
ilmu silat itu asing. Oleh karena itulah maka Sin Hong hanya menjaga diri
saja. Mengelak atau menangkis sambil memperhatikan ilmu
silat lawan. Ilmu silat yang dimainkan oleh orang tinggi
besar ini seperti Ilmu Silat Sha kak kun hoat (Ilmu Silat Segi Tiga) dari selatan, akan tetapi kedudukan kakinya lain lagi
dan ketika lengan tangannya beradu dengan tangan lawan,
orang itu selalu berusaha menangkap pergelangannya
seperti ilmu gulat bangsa Mongol.
Setelah puas melihat ilmu silat lawan, Sin Hong lalu
mengeluarkan kepandaiannya dan sebentar saja ia dapat
mendesak lawannya. Dalam hal tenaga, orang itu mungkin
tidak kalah oleh Sin Hong. Akan tetapi kalau mau bicara
tentang ilmu silat, ternyata kepandaian Sin Hong masih
menang jauh. Sin Hong menanti sampai pukulan tangan
kanan lawan yang cepat dan kuat sekali menyambar
kepalanya itu datang dekat. Kemudian tiba-tiba ia menyodorkan tangan kiri ke atas dengan dua jari terbuka
menotok urat di dekat siku lengan lawan yang memukulnya
7 sambil merendahkan tubuh dan kepalan tangan kanan
menghantam ke depan menuju dada lawan!
Gerakan Sin Hong ini luar biasa sekali dan jarang ada
lawan yang dapat menyelamatkan diri. Juga orang tinggi
besar itu tak mungkin sekaligus menghindarkan diri dari
serangan-serangan ini. Bahkan agaknya ia tidak menduga
bahwa sambungan sikunya akan ditotok, maka ia cepat
menangkis kepalan tangan Sin Hong yang
memukul dadanya. Memang pukulan inilah yang lebih kentara dan
mudah diduga, padahal yang berbahaya adalah tangan kiri
yang menotok urat siku dengan jari itu.
Sin Hong tidak mengenal orang tinggi besar itu, hanya
menduga bahwa orang ini tentulah seorang tokoh dari utara
seperti halnya Ang-jiu Moli. Oleh karena itu tidak merasa
mempunyai permusuhan dengan orang ini, maka ia tidak
mau melukainya. Kemudian ia melanjutkan totokannya
menjadi cengkeraman dengan lima jari untuk menangkap
lengan lawannya itu. Dengan cara begini pun la sudah
membuktikan keunggulannya. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia mencengkeram lengan yang besar dan
kuat itu tiba-tiba orang itu memutar tubuh
sambil menangkap jari-jari tangan Sin Hong yang mencengkeram
lengan, lalu dengan gerakan
kilat membungkuk dan membanting Sin Hong dari balik pundaknya! Kalau bukan
Sin Hong yang diperlakukan demikian, tentu tubuhnya akan
terbanting atau sedikitnya terlempar jauh. Akan tetapi Sin
Hong cepat mengatur keseimbangan badannya dan ketika
tubuhnya terlempar, ia melayang seperti seekor burung dan
turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri tegak!
Orang tinggi besar itu mengeluarkan suara memuji
ketika Sin Hong sekali lompatan kembali telah berdiri
menghadapinya. Sebaliknya di lain fihak Sin Hong maklum
bahwa lawannya selain memiliki tenaga besar dan ilmu silat
lumayan, juga memiliki ilmu gulat bangsa Mongol yang lihai.
Diam-diam ia menyalahkan diri sendiri karena kalau saja ia
8 tidak berlaku sungkan tentu lawan ini sudah terkena
totokannya dan ia berada di fihak menang.
"Lo-enghiong hebat sekali!" ia memuji untuk merendahkan diri dan memuaskan hati lawannya.
"Kau masih belum kalah!" Si Brewok itu menjawab dan cepat menyerang lagi dengan hebatnya.
"Benar-benar tak tahu diri!" Sin Hong membentak marah ketika ia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri
dari serangan lawan. Kemudian ia membalas dan sekali lagi
Sin Hong mendesak dan mengurung lawannya dengan hujan
serangan. "Saudara-saudara, bantulah aku!" tiba-tiba orang brewokan itu berseru tanpa mengenal malu. Sebetulnya,
kalau menurut tata susila dunia kangouw, dalam pertempuran orang pantang minta tolong apabila terdesak.
Berturut-turut muncul tiga orang dari balik rumpun yang
lebat dan melihat tiga orang yang bukan lain adalah Pak-kek
Samkui ini, tahulah Sin Hong dengan siapa ia berhadapan.
Tak salah lagi bahwa orang tinggi besar ini tentu seorang
tokoh utara yang membantu pergerakan Temu Cin! Maka ia
cepat mencabut pedangnya dan sebentar saja ia dikeroyok
oleh empat orang lawan. Giam-loong Ciu Kui, Liokte Moko
Ang Bouw, dan Sin-saikong Ang Louw adalah tiga orang yang
tak boleh dipandang ringan kalau maju bersama, apalagi di
situ masih ada seorang lawan yang kepandaiannya tidak
rendah, bahkan lebih tinggi daripada tiga orang Setan Utara
itu. Pada saat itu, muncul orang lain dari belakang pohon.
Orang ini cepat sekali gerakannya dan ia menyambut Li Hwa
yang sudah mencabut pedang dan hendak membantu
suaminya. Baik Sin Hong mau pun Li Hwa terkejut sekali
melihat orang ini. "Ha, ha, ha, ha, Wan Sin Hong! Masih kenalkah kau
padaku" Hui eng Niocu Siok Li Hwa, jadi kamu sudah
9 menjadi Nyonya Wan" Ha, ha, kau makin tua makin cantik
saja!" "Kong Ji.....! Kau mau apa?" Sin Hong membentak sambil memutar pedangnya mendesak keempat pengeroyoknya.
"Manusia iblis, tutup mulutmu yang kotor!" Li Hwa
memaki marah dan pedang Cheng-liong-kiam di tangannya
bergerak menyerang Kong Ji. Sambil tertawa mengejek Kong
Ji mengelak cepat lalu mengirim pukulan menyerong dari
samping yang mengejutkan hati Li Hwa karena dari pukulan
ini keluar hawa yang mendorongnya amat kuat! Cepat ia
melompat mundur dan siap menghadapi serangan lawan.
Akan tetapi Kong Ji hanya tertawa dan berkata.
"Hui eng Niocu, takkan ada artinya kau melawan. Kau
akan kalah!" "Subo, serang saja dia!" tiba-tiba Lee, Goat yang marah melihat lagak sombong dari Liok Kong ji. Kemudian dia
melompat dan memukul Kong Ji dengan tangannya.
"Eh, eh, bocah ini gagah perkasa!" Kong Ji berseru
kagum sambil menangkap tangan Lee Goat dan diangkatnya,
ke atas. "Kong Ji jangan ganggu dia. Dia puteri dari Hui Lian.
Sumoimu sendiri!" seru Sin Hong yang merasa khawatir
kalau-kalau manusia iblis itu mencelakai Lee Goat. Biarpun
dikeroyok empat, Sin Hong masih dapat membagi perhatiannya kepada Kong Ji, benar-benar luar biasa sekali
kepandaian Sin Hong. Adapun Li Hwa lain lagi reaksinya.
Melihat Lee Goat diangkat oleh Kong Ji yang tertawa-tawa
dan memandahg kagum, ia cepat menggunakan pedangnya
melakukan serangan hebat. Tubuhnya setengah melayang
dan pedangnya menusuk ke arah lambung dengan gerak
tipu Liongli -coan-ciam (Liong li Menusukkan Jarum). Sebuah
serangan yang amat hebat dan dilakukan dalam keadaan
marah ini mau tidak mau mengagetkan Kong ji juga.
Biappun tingkat kepandaian Kong Ji jauh lebih tinggi
10 daripada tingkat kepandaian Li Hwa, akan tetapi karena
ketika itu Kong Ji sedang mengangkat tubuh Lee Goat, ia
berada dalam keadaan berbahaya. Akan tetapi dengan
enaknya sambil tertawa-tawa Kong Ji malah mengangkat
tubuh Lee Goat untuk menerima tusukan pedang Li Hwa!
"Celaka.....!!" Li Hwa menjerit katena ia tidak keburu lagi menahan tusukah pedangnya yang dilakukan dengan penuh
kemarahan dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya
"Traanggg,..." Pedang Li Hwa terpental dan wanita ini berjungkir balik untuk mengimbangi tubuhnya yang tibatiba terdorong hebat. Ternyata bahwa da!am keadaan
berbahaya sekali bagi Lee Goat itu, Sin Hong telah dapat
melompat cepat dan dapat menangkis pedang Li Hwa yang
sudah mengenai baju Lee Goat!
Sambil menangkis, Sin Hong merampas tubuh muridnya
itu yang kini berada dalam kempitan lengan kirinya. Akan
tetapi empat orang lawannya
tadi sudah maju lagi mengeroyoknya. Adapun ketika ia mengangkat muka,
ternyata isterinya telah tertawan oleh Kong ji.
Kong Ji memang selamanya menjadi orang yang licik dan
curang. juga ia cerdik bukan main. Ketika ia melakukan
perjalanan ke selatan, ia telah berhasil menarik orang-orang
selatan. Oleh karena ia mendengar bahwa di selatan masih
ada tokoh-tokoh yang kiranya akan merupakan bahaya bagi
penyerbuan tentara Mongol kelak, ia lalu mendatangkan
bantuan. Maka datang menyusullah dari utara pembantunya
yang lihai yaitu orang tinggi besar brewok itu yang bukan
lain adalah Butek Sinciang Bouw Gun.
"Ketika ia bertemu dengan Wan Sin Hong, ia segera
mengatur siasat dan menyuruh Bouw
Gun mencoba kekuatan Sin Hong. Kemudian ia mengeluarkan Pak-kek
Sam-kui untuk membantu Bouw Gun. Melihat betapa empat
orang sahabatnya itu tetap saja tak dapat mengalahkan Sin
Hong, bahkan terdesak hebat, dia lalu muncul sendiri
menghadapi Li Hwa. Kini ia melihat betapa Sin Hong masih
11 tetap lihai seperti dulu, bahkan lebih lihai lagi. Kalau dia
ikut menyerbu, kiranya biarpun dikeroyok lima, belum tentu
Sin Hong akan dapat dikalahkan. Tadi ia hendak mencoba-
coba menculik anak itu yang ia kira anak Sin Hong. Akan
tetapi mendengar dari Sin Hong bahwa anak itu adalah anak
dari Hui Lian, ia tidak mau menggunakan anak itu untuk
mencapai kemenangan, sebaliknya ia cepat mengejar Li Hwa.
Selagi Li Hwa masih kaget sekali karena tangkisan Sin
Hong tadi ketika rnenolong Lee Goat, Kong Ji cepat
melakukan totokan-totokan hebat. Li Hwa masih mencoba
untuk mengelak, akan tetapi sebuah totokan mengenai jalan
darah di pundaknya, membuat tubuhnya menjadi lemas dan
kedua kakinya lumpuh. Di lain saat ia telah menangkap
pergelangan tangan Li Hwa yang tidak berdaya lagi dan
merampas pedang Cheng liong kiam!
Melihat isterinya telah tertawan, Sin Hong menjadi marah
bukan main. Tadi dia tidak bermaksud melukai para
lawannya, akan tetapi kini pedang di tangan kanannya
bergerak cepat bagaikan kilat menyambar-nyambar. Biarpun
tangan kirinya memondong Lee Goat, namun kelihaiannya
tidak berkurang karenanya. Dengan gerakan seperti burung
terbang ke atas la!u menukik ke bawah, ia membuat gerakan
jungkir balik dan pedangnya menyambar secara aneh dan
tak terduga semula sehingga Liok te Moko Ang Bouw yang
kurang cepat mengelak, mengeluarkan seruan kaget dan
kalau saja Giam lo ong Ci Kui tidak lekas menendangnya
sampai terlempar jauh, tentu tubuh Ang Bouw yang kurus
kering itu akan terbabat menjadi dua!
Pertolongan Ci Kui itu membuat Ang Bouw hanya
te rgurat sedikit pundaknya dan pantatya yang kena tendang
jaga terasa sakit ! Ia hendak menerjang Kong Ji, akan tetapi
Ci Kui, Ang Louw, data Bouw Gun menghadang dan
mengurungnya. Sin Hong yang sudah naik darah karena
cemas melihat keadaan isterinya, ke mbali mengerjakan
12 pedaagnya dan Sin-sai-kong Ang Louw roboh terjungkal
terkena tendangan kakinya.
Melihat sepak terjang Sin Hong, Kong Ji me njadi gentar.
Ia tahu bahwa dalam kemarahannya, Sin Hong tak dapat
ditahan dan kawan-kawannya pasti akan roboh semua.
*Sin Hong, tahan dan dengarkan kata-kataku, kalau kau
ingin iste rimu selamat !" Mendengar ini, Sin Hong melompat
ke belakang dan melintangkan pedang di depan dada.
Matanya memancarkan cahaya be rapi, mukanya merah dan
sikapnya seperti seekor harimau marah. Dengan sinar mata
penuh ancaman melihat Kong Ji menodongkan ujung Cheng
liong-kiam di leher Li Hwa.
"Kong Ji, kalau kauganggu dia ......... aku bersumpah
akan memenggal batang lehermu ?"!" kata Sin Hong di
balik giginya yang diadu saking marahnya. Kong Ji


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum le bar. Masih tampan dia karena makin tua dia
makin banyak lagak. "Sin Hong. kaulihat isterimu telah berada di ujung
pedang. Jangan kau salah terima. Aku tidak bermaksud
buruk asal saja kau mendengar omonganku, aku takkan
mengganggu Hui-eng Niocu isterimu ini."
Sin Hong sudab cukup mengenal kelici kan watak Kong
Ji. Akan tetapi oleh karena pada saat itu isterinya memang
berada di bawah kekuasaan lawan dan ia tak berdaya
menolong tanpa membabayakan keselamatan iste rinya apa
boleh buat is harus mendengarkan syarat-syarat lawan !
"Kong Ji, kaukatakan apa kehendakmu !" akbirnya ia
bcrkata, Liok Kong Ji yang kini di utara terkenal dengan
sebutan Thian-te Butek Taihiap tertawa bergelak penuh
kemenangan. "Sin Hong, kalau kau hendak menerima kembali istcrimu
dalam ke adaan selamat, pergilah ke Omei-san."
13 "Apa maksudmu " Apa yang barus kulakukan di Omei-
san," tanya Sin Hong agak heran. Kembali Kong Ji tertawa. "Kau tentu masih
ingat babwa aku dahulu telah diangkat menjadi Tung-nam Beng-cu (Ke- tua Timur dan Selatan) oleh karena kawan-kawan masih menghendaki aku me-megang kedudukan itu, kini ternyata dua orang kake k di Omei-san tidak mau mengakui kedudukanku dan tidak mau membantu. Oleh karena aku hendak mengunjungi me reka dan sekiranya aku membu- tuhkan bantuanmu ke- tika berhadapan dengan mere ka, kau harus membantuku, Aku bersumpah kau akan mene rima isterimu
dalam keadaan selamat asal saja kaus uka membantuku.
Bulan depan pada pertengahan bulan kau harus berada
sana. Aku bukan mengancam, akan tetapi kalau kau tidak
dapat membantuku, akupun tidak menanggurg tentang
keselamatan Hui-eng Niocu. Selain itu, akupun menghendaki keterangan dari pedamu. Di mana adanya
puteriku?" Sin Hong memandang tajam. "Nanti dulu Kong Ji. Kita
bicarakan soalnya satu demi satu. Kau hendak menjadikan
isteriku sebagai tawanan sampai aku membantumu pada
bulan depan di Omei -san. Bantuan apa yang kau kehendaki
14 dari aku" Apa yang harus kulakukan terhadap dua orang
kakek sakti di Omei san?"
"Kami hendak membujuk mereka supaya mereka beke rja
sama, dan......... "
"Ha...... ! Bekerja sama dengan balatentara Mongol,
bukan?" "Sin Hong, jangan kau mengejek. Ingat, ini urusan mati
hidupnya isterimu! Pendeknya, pada bulan depan kau harus
berada di Omei.san dan terserah kepadamu kelak apakah
kau menghendaki isterimu selamat dengan jalan membantu
kami, ataukah kau ingin melihat isterimu tewas dalam
tanganku. Dan kau tahu, kalau sekarang kau mengamuk,
isterimu akan kubunun lebih dulu, kemudian kau akan
kami keroyok. Kawan-kawanku ada belasan orang tokoh-
tokoh kang-ouw di daerah setatan yang tak jauh dari sini
menantiku. Kau tinggal pilih!.
Sin Hong berpikir cepat. Memang, ia tidak usah takut
dan sangat boleh jadi ia akan dapat membasmi mereka ini
semua termasuk Kong Ji akan tetapi juga sudah dapat
dipastikan babwa lebih dulu Li Hwa akin tewas di tangan
Kong Ii! ia tidal tega membiarkan isterinya tewas. Waktu
masih satu bulan dan kelak ia dapat melihat gelagat di
puncak Omei-san. Kelau ada harapan menolong Li Hwa dan
membasmi Kong Ji, mengapa harus targesa-gesa dan
menurutkan nafsu hati" Mengapa harus mengorbankan
nyawa isterinya yang tercinta"
"Baik ! Bulan depan kita bertemu lagi di Omei-san. Akan
tetapi kau tentu tahu betul Kong Ji bahua adabila kau
mengganggu isteriku, aku akan me ncarimu biarpun kau
bersembunyi di neraka. Bahkan sampai matipun arwahku
akan selalu mencarimu untuk membalas dendam!" kita Sin
Hong. suaranya penuh semangat dan tersungguh-sungguh
sehingga diam-diam Kong Ji mcrasa ngeri juga.
15 "Sekarang permintaanku yang kedua, Sin Hon". Di mana
adanya keturunanku " Adakah ia laki-laki atau perempuan
dan di mana dia sekarang?"
Mendengar suara ini mengandung keharuan, di am diam
Sin Hong terheran. Manustu iblis seperti ini masih ingat
akan keturunan! "Keturunanmu yang mana " Manusia macam kau ini
mana mempunyai keturunan ?" tanya Sin Hong, tetapi tiba-
tiba hatinya menjadi perih karena teringatlah ia bahwa
dialah orangnya yang tidak mempunyai keturunan biarpun
sudah me nikah hampir lima tahun lamanya.
"Sin Hong, jangan kau pura-pura. Kau tahu dengan betul
anak siapa yang ku maksudkan. Ataukah perlu hal itu kita
bicarakan lagi" Kau tahu. bahwa dia telah melahirkan anak
ke turunanku. Di mana dia sekarang?" Kong Ji mendes ak.
Ttba-tiba Sin Hong mendapat akal. Dia tidak ingin
memberitahukan bahwa enak Kong Ji yaitu Tiang
Bu, berada di Omei san, bukan ia tidak ingin mempertemukan
anak itu dengan ayahnya yang keji dan jahat ini. Akan tetapi
untuk be rbohong diapun tak sanggup.
"Kong Ji, memang benar dia melahirkan anakmu, reorang
anak laki-laki dan ...... "
"Betulkah......... " Sudah kuduga! Aku
mempunyai seorang putera!.. Ha, di manakah dia s ekarang, Si n Hong "
Namanya siapa?" "Di mana adanya dia sekarang lebih baik kau bcrtanya
kepada kawan-kawanmu Pak kek "Sam-kui itu! Merekalah
yang menculik anakmu itu dari tanganku di Go-bi-san,"
Kong Ji menjadi pucat mukanya, "Apa....?" Dia.... ?" Kong Ji lalu menoleh kepada Pak kek Sam kui dan membentak.
"Mengapa tidak memberi tahu bahwa dia itu anakku?"
16 Giam lo-ong Ci Kui menjawab, nampaknya ketakutan,
"Maaf, Taihiap. Mana kami tahu bahwa anak itu putera
Taihiap sendiri ?" "Dimana dia sekarang " Hayo lekas bawa ke mari !
"Harap sudi memaafkan kami. Taihiap. Kalau kami tahu
bahwa anak itu adalah putera Taihiap, tentu akan kami jaga
dengan pertaruhan nyawa kami. Anak itu sudah lama sekali
tidak berada dalam bimbingan kami lagi!. Semenjak di utara
anak itu sudah dirampas oleh Thai Gu Cinjin dan sekarang
entah dibawa ke mana."
"Celaka......... Celaka...... ! Aku berhadapan dengan anak sendiri sampai tidak tahu......... !" Kong Ji membanting-banting kakinya. Saking marah dan kecewanya ia sampai
lupa bertanya siapa nama puteranva itu.
"Sudahlah, mencari Lama gila itu tidak berapa sukar.
Kelak tentu anakku akan kembali kepadaku. Sin Hong,
sampai jumpa pertengahan bulan depan di Omei-san. Aku
tahu kau pasti datang," katanya sambil menari k lengan
tangan Li Hwa yang masih lemas dan tak dapat bicara itu
dan dengan suara tinggi ia memberi isyarat. Dari balik
gerombolan pohon muncul beberapa
orang membawa beberapa ekor kuda. Kong Ji mengangkat Li Hwa dan
mendudukkannya ke atas kuda, scdangkan ia sendiri dan
Pak-kek Sam-kui serta Bou Gun juga melompat ke atas
kuda. "Awas kalau kau mengganggu dia, Kon Ji!" Hanya ini
yang dapat dikatakan oleh Sin Hong yang memandang
tsterinya dibawa pergi dengan hati gelisah.
Biarpun Liok Kong Ji dan kawan-kawannya yang lihai itu
tak dapat mengalahkan ilmu kepandai an Wan Sin Hong yang
tinggi, namun manusia iblis ini dengan kecerdikan dan
kecurangannya dapat menggunakan tipu muslihat dan
membuat Sin Hong tunduk di bawah pengaruhnya.
17 Setelah Li Hwa tertawan dan mati hidupnya berada di
tangan Kong Ji, sudah tentu sekali Sin Hong menjadi seakan
akan tak berdaya dan sedapat mungkin hendak menyelamatkan nyawa isterinya itu. Sin Hong mempunyai
keyakinan bahwa Kong Ji tentu tidak akan berani
mengganggu Li Hwa karena orang jahat itu sebetulnya
merasa jerih kepadanya. Dengan keyakinan inilah maka Sin
Hong menerima syarat Kong Ji untuk datang ke 0mnei-san.
Demikianlah seperti telah dituturkan di bagian depan.
Tiang Bu dari tempat persembunyiannya melihat Sin Hong
berlari-lari menghampiri pere mpuan yang tadinya ia sangka
adalah adiknya, Lee Goat. Siapakah anak perempran itu"
Memang tidak salah sangkaan Tiang Bu tadi. Bocah itu
bukan lain adalah Coa Lee Goat yang telah menjadi murid
Sin Hong. Karena Sin Hong maklum bahwa keluarga
muridnya. tetutama sekali kakek bocah itu, Hwa I Enghiong
Go Ciang Le mempunyai banyak sekali musuh dan pada
waktu itu dunia kang-ouw sedang kacau balau dan banyak
terjadi kerusuhan, maka ia memesan kepada Lee Goat agar
supaya menyembunyikan namanya dan jargan sekali-kali
memperkenalkan diri kepada orang lain.
Inilah yang menjadi sebab, mengapa Lee Goat diam saja
tidak memengaku ketika Tiang Bu menye but namanya,
biarpun bocah perempuab ini terkejut bukan main mendengar orang yang sama sekali tidak dtkenalnya taru
tahu telah menyebut namanya begitu saja. tentu saja sudah
lupa lagi dan tidak mengenal Tian Bu karena ketika Tiang
Bu pergi meninggalkan rumah, Lee Goat baru berusia dua
tahun. Kedatangan Sin Hong di Omei-san memang terutama
untuk menolong isterinya sebagaimana dijadikan syarat
pemerasan oleh Kong Ji, akan tetapi juga ia sekalian hendak
membuktikan apakah benar dugaannya tepat yaitu bahwa
Tiang Bu dibawa oleh kakek sakti di Omei san. Ia merasa
bertanggung jawab atas kehilangan bocah itu.
18 Semenjak Li Hwa di bawa pergi Kong Lee Goat selalu
kelihatan muram dan berduka. Kadang-kadang ia demikian
gemas sehingga di depan gurunya ia berkata,
"Kalau aku besar dan kuat, jahanam Kong Ji tentu akan
kubelek dadanya, kucabut keluair jantungnya!"
Sin Hong mengerutkan kening apabila melihat muridnya
marah-marah seperti ini. "Hush, Lee Goat, jangan kau bicara sembarangan. Tak
baik memperlihatkan isi hati yang meluap-luap dan tidak
baik me nanam kebencian kepada sese orang."
"Suhu. teecu benci sekali kepada orang jahat itu. Kenapa suhu tidak membunuhnya s aja" Bagaimana kalau subo
sampai celaka di tangannya?"
'Tidak, subomu akan selamat dan kita akan hertemu lagi
dengan dia di puncak Omei-san. Lee Goat harus belajar
tenang dan sahar. Jangan sekali - kali menurutkan nafsu
hati dan tangan sekali kali kehilangan ketenanganmu
betapapun hebat pengalaman yang kauhadapi. Kalau aku
turun tangan pada saat subomu ditawan, itu bahkan akan
mencelakakan subomu. Tenanglah,"
Akan tetapi Lee Goat tak dapat di hibur dan dalam
Penelitian Rahasia 2 Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 17
^