Pencarian

Tangan Geledek 6

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


perjalanan menuju ke Omei-san ia bermuram durja dan
nampak marah-marah dan berduka selalu. Setelah me reka
tiba di kaki Gunung Omei-san, barulah nampak bocah itu
agak gembira. "Suhu, di manakah adanya subo?" tanyanya sambit
menudingkan telunjuknya ke arah puncak.
Sin Hong mengangguk. "Mari kita lari, suhu. Teccu sudah ingin sekali melihat
subo selamat di puncak sana kata Lee Goat yang mendahului gurunya berlari naik.
"Hati-hati, Lee Goat. Jalan di s ini sukar, jangan kau
gergesa-gesa dan meninggalkan kewaspadaan !"
19 "Baik, suhu! jawab Lee Goat, akan tetapi tetap saja gadis cilik ini berlari-lari mendahui suhunya. Karena maklum
bahwa ginkan dari muridnya sudah cukup tinggi, Sin Hong
tidak khawalir dan ia menyusul dari belakang pelahan-
lahan. Waktunya masih dua hari lagi mengapa harus
tergesa-ges u" Sambil tersenyum Sin Hong memandang
muirdnya yang kini me ncabut pedang membabati alang-
alang dan pohon-pohon ke cil yang merintangi jalan.
"Bocah itu besar sekali semangatnya seperti Hui Lien di
waktu muda," pikir Sin Hong.
Setelah tiba di lereng gunung, tiba-tiba Sin Hong melihat
berkelebatnya beberapa bayangan orang yang cepat naik ke
gunung melalui jalan lain di sebelah kiri. Hatinya menjadi
curiga juga tertarik. Cepat bagaikan bayangan burung
terbang, Sin Hong melompat kekiri dau mengintai dari balik
batang pohon ia melihat orang-oranganeh
yang tak dikenalnya naik ke gunung dengan ilmu lari cepat yang
mendadakan bahwa me reka adalah Orang-orang berilmu.
Bahkan di lain bagian gunung itu terdapat pula orang orang
naik ke puncak. Samar-samar Sin Hong melihat Le Thong
Hosiang, Nam Kong Hosiang, Nam Siong Hosiang. dan
Hengtuagan Lojin, empat orang hwesio yang pernah datang
mengunjunginya di Luliang san beberapa tahun yang lalu. Tokoh-tokoh
selatan pada naik ke Omei-san, ada apakah gerangan" Apa
yang hendak dilakukan oleh Liok Kong Ji" Sin Hong
menduga bahwa semua ini tentulah gara-gara Liok Kong Ji
yang selalu pandai menimbulkan keonaran di mana-mana.
Sementara itu, Lee Goat sudah berlari lari meninggalkan
suhunya sampai di tempat Tiang Bu tertidur di bawah
pohon. Pedangnya masih membabat-babat rumput dan
pohon kecil yang melintang di jalan, seakan-akan ia jalan
sedang berperang dengan tetumbuhan itu. Memang dalam
hatinya Lee Goat mengumpamakan rumput dan pohon kecil
20 itu seperti Liok Kong Ji yang sudah menculik subonya maka
ia membabat dan membacok dengan penuh semangat!
"Ular ..... !" serunya geli dan ngeri melihat seekor ular hijau mengangkat kepala dan lidahnya mendesis-desis
ketika Lee Goat membabat alang-alang yang tadinya menjadi
tempat sembunyi ular itu. Akan tetapi ia sebentar Lee Goat
terkejut. Secepat kilat pedangnya me nyambar dan tubuh
ular itu terbabat putus menjadi dua! Sambil menggerak-
gerakkan kedua pundak kegelian Lee Goat menggunakan
ujung pedangnya untuk mencokel potongan-potongan tubuh
ular itu ke dalam semak-semak.
"Setan berhati jahat!" Tiba-tiba mendengar makian dari dalam semak-semakitu
dan muncullah seorangbocah
perempuan yang sebaya dengan Lee Goat. Bocah ini juga
membawa pedang dan dengan marah sekali ia lalu
menerjang Lee Goat dengan bacokan pedang . Tentu saja Lee
Goat menjadi heran dan cepat menangkis sambil berkata.
"Aku tidak sengaja melemparkan bangkai ular. Kalau
kebetulan mengenaimu mengapa kau marah- marah" Apa
kau mau bunuh orang?"
Gadis cilik yang berwajah jelita itu dengan alis berkerut
memakinya. "Orang dengan hati keji se perti kau harus dibunuh!
Kenapa kau membacok ular yang tidak bersalah apa-apa"
Kau benar kejam." Setelah berkata demikian, kembali ia
menyerang Lee Goat dengan hebat. Lee Goat menjadi marah
sekali. Me mbunuh ular dianggap kejam. Orang macam apa
ini! Setelah menangkis serangan lawan, iapun membalas
dengan bacokan-bacokan sehingga dua orang gadis cilik itu
saling serang dengan ramai. Pedang yang mereka gunakan
adalah pedang biasa yang kelihatan terlalu panjang bagi
mereka, akan tetapi ternyata bahwa keduanya dapat
memainkannya dengan baik, tanda bahwa mereka adalah
murid-murid dari guru yang pandai dalam ilmu pedang. Bagi
Lee Goat mainkan senjata pedang bukan hal yang aneh
21 karena gurunya aalah Wan Sin Hong, seorang ahli pedang
yang lihai sekali. Akan tetapi gadis cilik yang marah-marah
karena ada ular dibunuh Lee Goat yang juga lihai sekali ilmu
pedangnya, siapakah dia ini"
Bocah perempuan yang lihai dan marah-marah melihat
see kor ular dibunuh ini adalah Wan Bi Li yang datang ke
te mpat itu bersama Wan Sun kakaknya dan Ang jiu Mo-li
gurunya. Seperti diketahui, W an Sun dan Wan Bi Li menjadi
murid Ang jiu Mo-li tokoh utara yang amat lihai itu dan kini
Ang jiu Moli mengunjungi Omei-san membawa dua orang
muridnya. Baik Sin Hong maupun Ang jiu Mo-li merasa heran
melihat kehadiran masing masing di tempat ini. Ang-jiu Moli
yang menegurnya lebih dulu.
'Wan-bengcu, agaknya murid - murid kita saling mewakili
gurunya untuk mencoba kepandaian masing-masing. Bi Li,
apakah kau kalah oleh murid Wan-bengcu ini?" tanya Ang-
jiu Mo-li kepada Bi Li. Gadis cilik itu menje bikan bibirnva
yang manis . "Mana teecu bisa kalah oleh orang keji itu" Bertempur
lagi sampai seribu jurus teecu masih berani !"
Lee Goat memandang dengan mata tajam dan marah.
"Sombong, kaukira aku takut menghadapimu?"
Sin Hong tersenyum, lalu menegur muridnya dengan
suara keren. "Lee Goat, jaagan mudah naik darah. Mengapa kau bertempur dengan orang lain ?"
"Teecu tidak apa-apa diserang oleh bocah gila itu, suhu,"
Lee Goat membela diri. "Tidak aps-apa katamu" Pandai membohong. Dia telah
membunuh see kor ular yang tak berdosa !" kata Bi Li,
sepasang matanya memancarkan sinar bercahaya yang
mengejutkan hati Sin Hong. Bocah yang menjadi murid Ang-
jiu Mo-li itu hebat sekali sinar matanya, pikir Sin Hong
22 kagum, juga khawatir karena bocah seperti itu dapat
menjadi seorang yang berbahaya kelak.
`Wan-bengcu, kaulihat bahwa muridmu yang bersalah
dan bahwa muri dku memiliki sifat pendekar, suka menolong
yang lemah." Ang jiu Mo-li menyindir sambil tersenyum
mengejek. "Baik sekalu. Sayangnya yang ditolong adalah seekor ular yang jahat," jawab Sin Hong. "Betapapun juga, muridku telah
salah karena berani melanggar pantanganku bertempur, Lee Goat. hayo kau minta maaf kepala Ang-jiu
Mo-li dan dua muriidya!"
Lee Goat mengerutkan alisnya dan ragu-ragu. Apalagi
ketika ia mendengar Wan Sun mengomeli adiknya. "Se harusnya kau tidak datang.datang menye rang orang lain, Bi Li. Kau mencari gara gara saja !" Mendengar omelan Wan Sun ini, Lee Goat marasa dimenangkan dan i a merasa
penasaran mendengar perintah suhunya agar supaya ia
minta maaf. Akan tetapi ke tika ia melirik dan melibat
gurunya memandang kepadanya dengan sen)um penuh arti
dan pandang mata harapan ia lalu mengangkat kedua
tangan membungkuk dengan hormat ke arah Ang-jiu Mo-li
bertiga murid-muridnya sambil berkata. "Harap maafkan
semua kesalahanku!" Ang-jiu Mo li menjadi merah mukanya. "Wan-bengcu,
be nar-benar kau lebihpandai mendidik murid. Dan kebetulan sekali kita bertemu di sini. Ketahuilah, Wan-
bengcu bahwa aku masih angin sekali mengukur sampai di
mana kehehatan ilmu pedangmu yang be gitu disohorkan
orang. Setelah murid kira bermain-main, marilah kita
mencoba-caba sebentar.' Akan tetapi Sin Hong yang sedang menderita batin
karena kehilangan isterinya, tidak ada nafsu untuk mengadu
kepandaian. Ia menggeleng kepala dan menjawab,
23 "Ang jiu Mo-li, bukan sekali -kali aku tidak menghargai
ajakanmu. Akan tetapi sekarang bukanlah saatnya yang
tepat untuk mencoba kepandaian. Ingatlah bahwa kita,
berada di daerah orang lain dan menurut patut kita harus
menghormati tuan rumah di 0mei-san dan jangan memamerkan kepandaian di sini. Nanti saja kalau urusanku
di sini sudah beres, te ntu aku takkan manolak ajakanmu
itu." Kembali Ang-jiu Mo-li tersenyurn. Ia masih nampak
manis sekali kalau tersenyum.
"Agaknya kau juga segan terhadap kedua couwsu dari
Omei-s an ! Baiklah, aku setuju dengan pendapatmu. Akan
tetapi, kau datang di tempat ini ada urusan apakah?"
Sin Hong merasa segan untuk mengaku terus terang.
Kemudian ia teringat akan pemandangan di lereng bukit tadi
di mana ia melihat banyak sekali orang kangouw mendaki
gunung. "Aku tertarik karena melihat banyak orang gagah
mendaki Gunung Omei.san. Hendak kulihat mereka itu akan
berbuat apa. Dan mengapa pula kau jauh-jauh datang dari
utara ke tempat ini, Ang jiu Mo-li?" Diam-diam Sin Hong
terkejut sendiri ketika timbul dugaan di dalam hatinya
apakah wanita lihai ini bukan sekutu Kong Ji pula " Kalau
betul sekutu Kong Ji, ia benar-benar akan menghadapi
lawan yang amat tangguh. Ang-jiu Mo li tersenyum, agaknya tidak percaya akan
keterangan Sin Hong tadi. "Aku pun tadinya hanya ingin
melancong saja. Kebetulan bertemu dengan kau di sini dan
kalau benar banyak orang naik ke puncak Omei-san benar
benar akan ada pesta hebat yang menggembirakan. Nah,
sampai berternu kelak di kaki gunung ini, Wan-bengcu.
Ataukah ..... di puncak kita berjumpa
"Kita sama lihat saja nanti. Ang-liu Mo-li," jawab Sin Hong.
24 Sejak tadi Wan Sun memandang kepada Sin Hong
de ngan pandang mata penuh gairah. Beberapa kali ia
menggerakkan bibir he ndak mengeluarkan suara, akan
tetapi ditahan-tahannya dan akhirnya
ketika gurunya mengajak dia dan adiknya pergi, i a menurut saja tanpa
mendapat kesempatan lagi untuk bicara dengan Sin Hong.
Dapat dibayanglan betapa inginnya puteta pangeran ini
bicara dengan Sin Hong setelah ketahui bahwa inilah Wa
bengcu atau Wan Sin Hong yang masih terhitung pamannya
sandiri. Sejak kecil ayahnya sudab sering kali menuturkan
kepadanya tentang Wan Sin Hong yang gagah perkasa dan
yang memiliki wajah serupa benar dengan ayahnya, Wanyen
Ci Lun. Sekarang setelah berhadapan muka. tentu saja ia
ingin sekali bicara dengan pamannya i ni. Akan tetapi ia tidak berani oleh krena gurunya sudah memes an dengan keras
agar supaya di dalam perantauan. dua orang muridnya ini
jangan mengaku bahwa mereka adalah putera Pange ran
Wanyen Ci Lun dari Kerajaan Kin.
Juga Sin Hong meninggalkan lereng itu dan mengajak
Lee Goat melarjutkan perjalanan me nuju ke puncak gunung.
Lee Goat menengok ke sana ke mari mencari-cari dengan
matanya. "Kau mencari siapa?" tanya Sin Hong. "Suhu, t adi ketika teecu bertempur dengan anak ......... . setan itu ........."
"Hush. jangan menggunakan kata-kata makian! Lee Goat,
bukankah tadi kau sudah minta maaf" Baru k sekali
watakmu." Lee Goat menjadi merah mukanya. "Ampun, suhu. Teecu
tidak bermaksud memaki, karena di dalam hati teecu tidat
ada kebencian terhadapnya."
"Lanjutkan penuturanmu tadi."
"Ketika tadi tee cu bertempur, di antara kami berdua
be lum ada yang kalah atau menang. Biarpun teecu sudah
25 menggunakan Ilmu Pedang Soan-bong-kiam-hoatt (Ilmu
Pedang Angin Puyuh), namun teecu tak dapat mendesaknya.
ilmu pedangnya juga istimewa sekali, akan tetapi teecu tak
mau kalah dan kami berdua masih seimbang. Tiba-tiba
muncul seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan
kakak lawan teecu tadi, ia mendorongkan tongkatnya di
tengah-te ngah, di antara kami. Pedang teecu menghantam
torgkat itu dan ......... pedang kami berdua terlempar!"
Sin Hong mengelus-elus dagunya yang mulai ditumbuhi
je nggot. Hati kecilnya menduga-duga dan ia merasa heran
apakah bocah yang dimaksudkan ini bukan Tiang Bu!
"Bagaimana rupanya?" tanyanya.
"Rupanya jelek, pakaiannya tambal-tambal an. Melihat
rupanya, dia itu seperti anak kampung biasa s aja, suhu.
Akan terapi ane hnya, begitu dia muncul dia llu menyebut
nama teecu! Inilah yang membikin teecu bingung dan heran
sekali."

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berdebar hati Sin Hong. Tak salah lagi, tentu Tiang Bu
yang mengenal wajah adiknya! "Apa katanya?" ia mendesak muridnya.
"Dia hanya bertanya bukankah teecu ini Lee Goat dan
ketika teecu jawab bukan, dia terheran dan menyatakan
bahwa wajah teecu serupa benar dengan wajah Lee Goat !"
Sin Hong mengangpuk-angguk. Kini iapun menengok ke
kanan kiri, memandang tajam untuk melihat apakah Tiang
Bu masih berada di sekitar tempat itu. Akan temtapi Tiang
Bu sudah pergi. karena anak inipun melihat datangnya
banyak sekali orang orang aneh yang naik ke puncak, maka
diam-diam iapun mendahului pulang ke puncak untuk
memberi tahu gurunya. "Ke mana dia pergi" Mengapa tadi aku tidak melihat dia?"
'Entahlah, tadi dia terus pergi lagi, suhu. Siapakah dia,
suhu........" tanya Lee Goat.
26 "Kau tidak tahu. Dia itulah kakakmu se ndiri yang pergi
dari rumah ketika kau masih berusia dua tahun."
Lee Goat membelalak......... matanya yang lebar. "Kakak
Tiang Bu yang diculik orang" Akan tetapi......... kenapa
dia......... dia begitu buruk dan pakaiannya penuh tambalan
seperti penggembala kerbau ?"
"Dia itu kakakmu. Hemm, jangan kau melihat pakaian.
Bukankah tongkatnya sekali gerak saja sudah membikin
teelepas pe dangmu?"
Lee Goat membungkam. Dalam hatinya memang ada rasa
bangga akan kepandaian kakaknya yang lebih tinggi darinya,
akan tetapi ia merasa kecewa karena kakaknya itu menurut
anggapannya berwajah jele k, tidak tampan gagah seperti
kakak Bi Li tadi. Juga, mengapa kakaknya tidak membantunya dan memberi hajaran kepada Bi Li " Akan
tetapi terus saja ia tidak berani membicarakan hal ini di
depan suhunya dan tanpa banyak cakap ia mengikuti
gurunya naik ke puncak. Apa lagi sekarang perjaIanan amat
sukar, melalui batu-batu karang yang tajam dan runcing,
harus mempergunakan ginkang dan perhatian sepenuhnya.
Di bagian yang paling berbahaya, Sin Hong memegang
tangan muridnya. Jauh di depan ia melihat Ang-jiu Mo-li
juga manggandeng kedua muridnya di kanan kiri untuk
melalui tebing yang curam dan berbahaya.
Sementara itu, Tiang Bu berlari cepat naik ke puncak
dan dengan wajah agak berubah ia memasuki pondok, ia
melihat kedua orang kakek sakti itu sedang duduk
berhadapan menghadapi papan catur. Melihat kedua orang
gurunya yang sudah amat tua dan akhir-akhir ini kelihatan
lemah dan sering kali mengeluh karena tubuh sudah mulai
digerogoti usia tua. Tiang Bu me njadi mak in gelisah. Tiong
Sin hwesio sudah berusia hampir sembilan puluh tahun dan
Tiong Jin Hwesio hanya lebih muda sepuluh tahun. Sering
kali Tiong Sin Hwesio mengeluh bahwa tulang tulangnya
sudah terlalu lapuk, tubuhnya sudah terlalu tua sehingga
27 "tidak enak" lagi dijadikan tempat tinggil jiwanya! Dan
sekarang dua orang hwesio tua ini masih enak-enak bermain
catur, padahal dari bawah gunung naik banyak orang yang
kelihatannya aneh-aneh dan gagah-gagah !
Kalau mereka itu naik dengan maksud jahat, bukankah
kedua orang suhunya akan ce laka" Selama lima tahun di
Omei -san, Tiang Bu belum pernah manyaks ikan kelihaian
kedua orang gurunya. Biarpun ia telah menerima banyak
pelajaran ilmu yang t inggi tinggi, namun kedua orang kakek
itu tak pernah mendemontrasikan kepandaian mereka,
apalagi Tiong Sin Hwesio yang kerjanya hanya bersarnadhi
dan main catur belaka. Tiong Jin Hwesio masih mendingan karena di waktu
melatih ginkang dan lweekang atau ilmu sil at yang sulit-
sulit, masih terlihat kelihaiannya. Oleh karena inilah maka
tidak mengherankan apabil a Tiang Bu mengkhawatirkan
keselamatan dua orang kakek itu.
'Tiang Bu, kau sudah pulang. Apakah pekerjaamu
mengisi tempat air sudah selesai ?" Ti ong Jin Hwesio
bertanya tanpa menoleh dari papan catur yang dihadapinya.
'Belum suhu. Akan tetapi......."
"Kalau begitu keluarlah dan selesaikan dulu pekerjaanmu baru nanti bicara!" Tiong Jin Hwesto memotong kata-katanya. Suara keren dan berpengaruh sehingga Tiang
Bu tidak berani berlaku lambat.
"Baik, suhu ..... .." Ia bangkit dari lantai di mina ia tadi berlutut lalu berjalan perlahan menuju ke pintu.
"Tsang Bu. ....!" Panggilan hal us dari Tiong Sin Hwesio membuatnya menghentikan tindakan kakinya. Ia membalik
dan menjatuhkan diri berlutut di ambang pintu, menanti
kelanjutan bicara suhunya.
"Melihat apa.apa, bersikaplah tenang. Hanya ketenangan
yang mempertajam kewaspadaan. Jangan
mencampuri 28 urusan orang lain dan jangan bertindak sembrono. Dua
orang gurumu masih hidup dan masih berada di sini,
mengapa kau gelisah" Bekerjalah dan tunggu saja perintah
kami!" *Baik, suhu dan terima kasih atas nasehat suhu," kata
Tiang Bu. Kini kedua kakinya terasa ringan seperti hatinya.
Kata-kata Tiong Sin Hwesio seperti memberi semingat
kepadanya oleh karena kata-kata itu seakan akan hendak
membayangkan bahwa dua orang suhunya itu sudah tahu
akan naiknya banyak orang ke puncak dan tentu sudah
siap-siaga. Dengan hati lega Tiang Bu membawa pikulan dan
tempat air, lalu berlari -lari turun dari puncak menuju ke
lereng di mana terdapat pancuran air.
Akan tetapi baru saja ia memenuhi dua kaleng tempat air
itu dengan air gunung yang jernih dan sejuk, tiba-tiba
terde ngar orang tertawa dan berkata,
"Bagus kau datang menghantarkan diri!"
Ketika Tiang Bu membalikkan tubuh, ia melihat Thai Gu
Cinjin sudah berdiri di hadapannya dan di samping Thai Gu
Cinjin berdiri pula seorang laki-laki gundul setengah tua
yang matanya berputar liar. Melihat laki-laki gundul ini,
Tiang Bu menjadi makin terkejut karena ia mengenal laki-
laki ini sebagai pembunuh gurunya, Ba Hok Lokai ! Itulah
laki-laki gundul berpakaian compang-camping yang senjatanya istimewa, yaitu dua ekor ular merah.
Karena maklum bahwa dua orang yang berdiri di
hadapannya itu tentu tidak mengandung maksud baik.
Tiang Bu lalu me mbalikkan tubuhnya dan melarikan diri.
Akan tetapi, ia merasa ada sambaran ongin dari belakang.
Cepat bocah ini menjatuhkan diri ke kiri dan tongkat
panjang dari Thai G u Cinjin yang tadi menyambarnya itu
lewat cepat di atas kepalanya.
'Tiang Bu, jangan lari ! Kalau kau lari berarti kau akan
mampus. Kami tidak akan mengganggu, hanya minta
29 bantuanmu mengantar kita ke puncak, ke tempat dua orang
kakek itu menyimpan kitab-kitabnyal" kata Thai Cu Cinjin.
Tiang Bu yang sudah melompat bangun tentu saja tidak
memperdulikan kata-kata ini dan sekali lagi ia melompat
hendak melarikan diri. Tiba tiba terdengar desir angin dan
tahu-tahu Thai Gu Cinjin dan orang gundul itu sudah
melompat dan berada di depannya, menghadang dengan
wajah mengandung ancaman.
"Jiwi mau apakah! Aku tidak mau berurusan dengan jiwi,
biarkan aku lewat!" kata Tiang Bu sedikitpun tidak takut.
"Tiang Bu, sudah lama aku tahu bahwa kau sekarang
menjadi murid di Omei -san. Aku hanya minta kau mengantar kami ke tempat simpanan kitab."
Orang gundul itu tertawa bergelak dan terdengar
suaranya yang menyeramkan. "Anak baik, aku masih mau
mengambilrnu se bagai murid. Kau cocok dengan aku. Akan
tetapi lebih dulu kau harus mengantar kami naik ke atas
puncak!" "Tidak, aku tidak sudi mengantar maling-maling kitab!"
Jawab Tiang Bu yang segera hcndak lari lagi. Akan tetapi
orang itu menubruknya dengan gerakan cepat lalu me ngirim
totokan ke arah pundaknya. Sudah jelas maksud si gundul
itu hendak menangkapnya. Akan tetapi ia sama sekali tidak
tahu bahwa biarpun bocah di depannya ini baru berusia tiga
belas tahun, ses ungguhnya telah memiliki kepandaian yang
amat tinggi. Melihat datangnya serangan Tiang Bu menjadi marah. Ia
selalu ingat akan nasehat dua orang suhunya bahwa apabila
tidak diserang jangan sekali-kali ia mendahului menyerang
orang. Apabila ia membela diri, kal au terpuksa sekali juga
tidak beleh ia melukai atau merobohkan orang. Kini
menghadapi tubrukan orang gundul itu yang cukup be rbahaya, ia miringkan tubuh, mengerahkan tenaga dan
secepat kilat tangannyabe rgerak menangkis terus 30 menangkap tangan orang dan melemparkan tubuh orang
gundul itu dengan meminjam tenaga tubrukan lawan !
Gerakan Tiang Bu ini cepat , otomatis dan tidak terduga
sama sekali. Kalau orang lain yang tadi menyerangnya tentu
kini akan terlernpar. Akan tetapi yang menyerangnya adalah
Kwan Kok Sun yang berjuluk Tee-tok (Racun Bumi), seorang
kang-ouw yang sudah terkenal (baca Si n-kiam Hok-mo).
Biarpun amat terkejut karena bocah itu tidak saja dapat
menangkis tubrukannya bahkan dapat pula membalas
dengan hebat namun Kwan Kok Sun si orang gundul yang
lihai itu masih dapat menguasai dirinya. Begitu lengan
kanannya ditangkap, tangan kirinya lalu mengirim pukulan
ke arah kepala Tiang Bu dan kali ini ia mengirim pukulan
yang dahsyat yang bukan main- main lagi, melainkan
pukulan maut yang dapat mematikan. Inilah pukulan Hek-
tok-ciang (Pukulan Racun Hitam) yang luar biasa dahsyat
dan berbahaya ! Tiong Bu sudah mewarisi kepandaian luar biasa dari
kedua orang suhunya yang sakti. Panca-inderanya tajam
dan perasa sekali, terutama matanya amat awas. Pukulan
Hek-tok-ciang yang amat be rbahaya dan dilakukan dari
jarak dekat ini sudah lebih dulu dirasainya, maka secepat
kilat ia menangkis dengan hawa pukulan dari atas ke
bawah, me nggunakan dua tangan mendorong ke bawah
menggunakan tenaga khikang sedangkan kedua kakinya
menotol tanah sehingga tubuhnya mencel at ke atas melalui
kepala Kwan Kok Sun! "Lihai sekali.......... !" Kwan Kok Sun s ampai berseru kagum
dan juga kaget melihat cara bocah itu menyelamatkan diri. Akan tetapi Thai Gu Cinjin sudah siap se dia. Ia tidak
mau melepaskan Tiang Bu begitu saja karena memang ia
amat membutuhkan bocah itu, Thai Gu Cinjin selain lihai
ilmu silatnya juga ia terkenal amat cerdik.
31 'Tiang Bu jangan lari !"
Tongkatnya diputar menghadang di depan Tiang Bu yang menjadi bingung juga. Kalau dua orang itu mcnyerangnya dengan sungguh-sungguh yaitu denganmaksud membunuh, kiranya akan sukar baginya untuk membebaskan diri. Biarpun ia sudahlima tahun belajar ilmu silat tinggi di Omei-san, namun kalau dibanding- kan dengan tingkat ke pandaian

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thai Gu Cinjin masih tak mungkin dapat menang. "Thai Gu Cinjin, kalau
kau memaksa aku membantumu mencuri kitab lebih baik
aku mengadu nyawa denganmu," katanya gagah sedikitpun
tidak merasa gentar biarpun tahu ia berada dalam bahaya
maut. Thai Gu Cinjin menahan tongkatnya dan berkata manis,
"Tiang Bu. kepandaianmu sudah hebat sekarang ! Kau
bawalah aku menghadap Tiong Jin Hwesio.Untuk menghadap sendiri pasti ia tidak mau mencrimaku. Maka
kau bisa membawa kami menghadap orang tua itu,
cukuplah." Memang Thai Gu Cinjin cerdik. Ia pikir tidak ada
gunanya membunuh anak ini karena kalau sampai terjadi
demikian tentu dua orang kakek Omei-san akan menjadi
marah se kali dan ini amat berbahaya. Sebaliknya kalau anak
ini mau mengantarkannya, ia akan dapat naik ke puncak
32 dengan mudah, juga i a takkan dicurigai dan banyak
kesempatan baginya untuk melakukan niatnya, yaitu mencuri kitab-kitab pelajaran di Omie-tan. Karena biarpun
ia pernah naik ke puncak ini untuk bermain catur dengan
kedua kakek itu, namun sekarang i a mengambil jalan lain
dan ia belum mengenal jalan ini.
Salahnya Thai Gu Cinjin tidak memperhitungkan bahwa
di dunia ini bukan dia seorang saja yang mempunyai akal.
Juga Tiang Bu orang bocah yang cerdik dan mudah
menangkap maksud hati orang yang dtsembunyi kan di balik
senyum dan kepalsuan. Ia maklum bahwa kepandaiannya
masih belum cukup untuk dapat dipergunakan mengimbangi ke lihaian dua orang ini.
"Baiklah, Thai Gu Cinjin. Kalau hanya membawa kau
menghadap saja, aku tidak melakukan sesuatu yang salah.
Akupun tidak takut kau berlaku curang dan membunuhku
karena selain aku dapat menjaga diri, andai kata aku mati di
tanganmu, aku takkan penasaran. Kedua orang suhuku
pasti akan menghukummu dan membalaskan penasaran."
Setelah melepas ancaman ini. Tiang Bu lalu mendahuiui
dua orang itu naik ke puncak sambil memikul dua kaleng
airnya. Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun mengikutinya dari
belakang. Tiang Bu bersikap acuh tak acuh, padahal ia
maklum bahwa nyawanya berada di dalam tangan dua orang
di belakangnya itu. Sementara itu, Sin Hong yang menggandeng muridnya
meloncati batu karang dan jurang menuju ke puncak,
akhirnya dapat melewati daerah batu karang yang sukar itu
dan tiba di daerah datar yang ditumbuhi rumput semak
hijau. "Suhu, banyak sekali orang di sana!' kata Lee Goat, akan tetapi Sin
Hong menarik muridnya ke bawah dan mengajaknya bersembunyi di balik rumput yang tinggi.
33 Di sebe lah sana memang terdapat beberapa belas orang
yang berjalan perlahan naik ke puncak. Dari balik rumput
hijau Sin Hong mengintai dan ia melihat Kong Ji berjalan
dengan beberapa orang yang telah dilihat nya, yailu orang-
orang Mongol dan tokoh-tokoh utara seperti Pak-kak Sam-
kui, Bu-tek Sin-ciang Bouw Gin dan masih banyak lagi
orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi.
Diam-diam Sin Hong menghitung dan memperhatikan calon
lawannya seorang demi seorang. Termasuk Kong It, mereka
semua ada e mpat belas orang. Akan tetapi di mana Li Hwa"
Ia tidak melihat adanya Li Hwa di dalam rombongan itu dan
hatinya amat tidak enak. Kong Ji memiliki banyak tipu
muslihat, maka ia harus berhati-hati.
Setelah rombongan Kong Ji ini lewat, keadaan menjadi
sunyi. Akan tetapi Sin Hong masih belum keluar dari tempat
sembunyinya karena telinganya dapat me nangkap gerakan
orang yang naik dari bawah puncak. Tak lama kemudian,
benar saja ia mel ihat rombongan ke dua yang juga terdiri
dari banyak orang, bahkan ada dua puluh orang. Mereka ini
adalah rombongan orang -orang dari dunia kang-ouw di
daerah selatan, karena antara mereka terdapat Le Thong
Hosiang, Hengtuangsan Lojin dan kedua orang hwesio
Koalikungsan yang selalu membawa bawa tombak, yaitu
Nam Kong Hosiang dan Nam Siang Hosiang. Di antara
mereka itu tardapat orang-orang yang berpakaian seperti
pangemis, seperti siucai (sasterawan), tosu, hwesio, dan lain-lain.
Setelah rombongan ke dua ini lewat, baru saja Sin Hong
hendak be rdiri. Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan,
membuat dia kaget setengah mati dan cepat ia berjongkok
kembali di balik rumput tinggi. Siapakah orangnya yang
kedatangannya sampai tak terdengar olehnya" Tentu orang
yang lihai luar biasa pikirnya. Akan tetapi biarpun suara
ketawanya sudah terdengar, orangnya masih juga be lum
kelihatan. 34 Kemudian muncul titik-titik hitam di udara. Titik-titik ini
melayang tinggi, lalu menukik ke bawah dan tak lama
kemudian terdengar suara me mukul- mukul. Ternyata
bahwa tiga buah titik hitam itu setelah dekat adalah tiga
ekor kelelawar yang amat besar dan warnanya hitam
berbintik-bintik kuning. Ketika tiga ekor kelelawar ini lewat di atas kepala, Sin Hong mencium bau amis dan ia menjadi
terkejut sekali. "Kelelawar berbisa dari Lam-hai (Laut Selatan) ." katanya di dalam hati. Sebagai seorang ahli waris pengobatan dari
Raja Tabib Kwa Siucai, Sin Hong mengenal kelelawar ini
yang gigitannya sama bahayanya dengan gigitan ular yang
paling berbisa! Tak lama kemudian, kembali te rdengar suara ketawa
cekikikan dan muncullah orangnya. Pundak Lee Goat di
bawah telapak tangan Sin Hong menggigil tanda bahwa
bocah ini merasa ngeri dan ketakutan. Memang, manusia
yang sekarang berjalan lewat, berbongkok-bongkok dibantu
oleh tongkat panjang, hampir tidak menyerupai manusia dan
lebih pantas disebut iblis atau siluman!
Orang ini adalah seorang nenek tua yang wajahnya
menyeramkan. Rambutnya berwarna putih kelabu, kasar
dan tebal, lengket menjadi satu tak pernah tercium sisir,
panjang riap-riapan menutupi pundak dan sebagian mukanya. Pakaiannya hitam, hanya semacam selendang
kuning melambai di pundak dan pinggangnya. Tangan yang
memegang tongkat itu dihiasi jari.jari yang kukunya seperti
kuku setan, runcing melengkung mengerikan. Kedua kakinya yang besar itu telanjang, jari-jari kakinya merenggang dan melebar seperti kaki bebek. Akan tetapi
yang paling mengerikan adalah mukanya. Matanya kccil,
nampak kejam karena kerut-merut pada dahi pinggir dan
bawah matanya. Htdungnya pesek dan dari samping tidak
kelihatan sedangkan mulutnya bisa membikin orang 35 mengkirik. Mulut ini terisi gigi yang jarang-jarang meruncing seperti gigi ular.
Sambil berjalan tersaruk-saruk nenek ini menge luarkan
suara cekikikan, tertawa seorang diri. Tiba-tiba ia mengacungkan tongkatnya ke atas dan dari mulutnya keluar
suara mendesis atau lebih tepat siulan yang amat tinggi,
demikian tingginya sehingga yang terdengar suara desis yang
menyakitkan anak telinga. Inilah suara yang di kel uarkan
dengan khikang tinggi. Lebih tinggi dan lebih hebat dari
pada pe kik Hui-eng Niocu yang terkenal. Dan kemudian
ternyata bahwa suara ini adalah suara panggilan, karena
seekor diantara tiga ekor kelelawar itu lalu menukik ke
bawah dan hinggap di ujung tongkat nenek itu, lalu
menggantung dengan kepala di bawah mengeluarkan suara
mencicit seperti suara tikus.
"Anak nakal, biar kawan-kawanmu terbang dulu, kau
harus mengawani aku di sini. Kau tahu aku kesepian, hi hi
hihi.......!" Setelah nenek menyeramkan itu lewat dan lenyap dari
pardangan mata, baru Sin Hong berani berdiri dan
mengusap-usap kepala Lee Goat yang nampak pucat sekali.
Tiba-tiba Sin Hong tertawa melihat bahwa tak jauh dari situ,
di sebelah kanannya terdapat seorang kakek yang juga
bersembunyi dan mengintai seperti dia tadi. Agaknya orang
itu lebih dulu berada di situ, katena ia tidak me lihat
kedatangannya. Kebetulan kakek itu menengok dan terkejutlah Sin Hong
ketika mengenal bahwa kakek itu bukan lain adalah hwesio
gemuk bulat seperti bal yang pernah ia lihat dahulu di
sebuah kelenteng dekat kota raja. Di sebelah selatan kota
raja terdapat sebuah Kelenteng Kwan-te-bio dan di situ yang
menjadi ketua adalah Hoan Ki Hosiang. Ia kenal baik dengan
hwesio tua ini. Kemudian datarg seorang hwesio baru yang
pekerjaannya menjadi tukang dapur. Hwe sio itu bernama
36 Hwa Thian Hwesio, biarpun hanya tukang dapur akan tetapi
memiliki ilmu pedang tinggi.
Ketika Sin Hong mengunjungi kuil itu, dahulu ia melihat
hwesio tukang dapur ini memindah-mindahkan patung yang
be ratnya seribu kati dengan mudahnya, maka tahulah ia
bahwa Hwa Thian Hwesio memiliki kepandaian lihay. Dan
sekarang tahu-tahu hwesio gemuk bundar itu berada di situ
bertiarap di antara rumput tinggi, presis see kor babi gemuk!
Hwesso berusia lima puluh tahun ini memiliki waj ah yang
lucu dan orangnya selalu gembira.
"Eh, e h, kiranya Wan-sicu ada di sini pula! Pinceng
sampai kaget setengah mati, kukira nenek siluman tadi
muncul di sini. Hi...!" Ia menggerak-gerakkan kedua pundak
bergidik kengerian. Sin Hong tersenyum lebar.Tidak ada orang yang takkan
tersenyum apabila bertemu dan bicara dengan hwcsio gemuk
ini karena segala gerak-geriknya serba lucu. Kepalanya bulat
matanya, hidungnya, bibirnya serba tebal dan bentuknya
bundar, demikian perutnya. Benar-be nar menyerupai patung
Ji-lai -hud yang banyak terdapat di ke lenteng. Seperti patung pula, hwcsio ini mulutnya selalu terbuka dengan senyum
ge mbira, seakan-akan ia me lihat dunia ini seperti panggung
di mana orang-orangnya menjadi pe lawak-pelawak meng-
gelikan. "Hwa Thian Suhu, angin apa yang meniupmu sampai ke
sini?" tanya Sin Hong, terbawa gembira oleh kelucuan
hwesio itu. Hwa Thian Hweio merengut akan tetapi mulutnya tidak
scperti orang bersungut-sungut, tetap saja seperti orang
tersenyum gembira, "Kalau pinceng terbawa angin, tentulah angin busuk
yang meniup pinceng sampai di sini!" Ia menggunakan ujung bajunya untuk mengipasi dadanya yang tel anjang. Inilah
kebebatannya. Di dekat puncak 0mie-san yang begitu sejuk
37 dan dingin, tetap ia berkeringat. "Kalau saja bukan Wanyen Siauw ongya yang memerintah, biar kaisar sekalipun
menyuruh pinceng, pinceng takkan sudi datang di sini
bertemu dengan segala macam siluman yang mengerikan.
Hii i." Kembali ia be rgidik dan Lee Goat tak dapat menahan ketawanya meli hat pundak yang gemuk itu bergerak seperti
menari- nari. Sin Hong mendekati hwesio itu dan memegang lengannya, penuh perhatian ia bertanya, "Jadi kau mcnjadi utusan Pangeran Wanyen Ci Lun" Ada urusan pent ing
apakah gerangan maka kau diutus ke sini" Atau ini rahasia
yang tak boleh diketahui orang lain?"
Kepala bundar tak berleher itu bergerak-gerak ke depan
membuat gerakan mengangguk.
"Memang rahasia karena tugas pinceng menyelidik. Akan
te tapi baiknya pinceng mengenal siapa W an-sicu. Terhadap
Wan-sicu pinceng tak perlu merahasiakan sesuatu, bahkan
pinceng banyak mengharapkan bantuan Wan-sicu."
"Coba ceritakan !" kata Sin Hong.


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hwa Thian Hwesio lalu menceritakan pengalaman-
pengalamannya. Wanyen Ci-Lun yang amat memperhatikan
pe rkembangan keadaan, tahu dari para penyelidiknya bahwa
raja bangsa Mongol mengirim banyak orang gagah ke selatan
untuk mengajak orang-orang kang-ouw di daerah itu supaya
ke lak suka membantu pergerakan bangsa Mangol. Juga ia
mendengar tentang perubahan yang terjadi di dunia orang
kang-ouw bagian utara bahwa Wan-bengcu telah dibebaskan
dari pada tugas dan orang orang itu kabarnya hendak
memilih bengcu baru di selatan.
"Yang dicalonkan mereka adalah dua orang kake k sakti
di 0mei-san ini," Hwa Thian Hwesio melanjutkan ceritanya.
"Oleh karena itulah maka pince ng diutus ke se latan untuk menyelidiki hal ini, bahkan kalau mungkin pinceng harus
38 dapat menarik bantuan mereka untuk membantu Kerajaan
Kin menghadapi serbuan orang orang Mongol."
Kemudian Imam itu melanjutkan penuturannya. Ketika
ia mulai naik Bukit Omei-san, ia sudah lebih dulu
menyelidiki keadaan orang-orang yang hendak naik ke
puncak. Banyak sekali yang naik dan dalam panyelidikannya, hwesio yang cerdik ini mendapat kenyataan bahwa mereka itu semua datang dengan maksud
hati yang berbeda-beda. Ketika i a melalui lereng sebelah
timur, ia melihat seorang laki-laki tampan sedang menarik
le ngan seorang wanita cantik memasuki sebuah kuil tua
yang berada di pinggir jurang. Melihat cara wanita ini
diseret, Hwa Thian menjadi curiga. Cepat ia mengejar dan
membentak ke arah kuil. "Sobat yang berada di dalam keluarlah dulu, pinceng
mau bicara !" Tak lama kemudian dari dalam kuil itu melompat keluar
laki-laki tadi, nampak gagah dengan pedang di punggung.
Laki laki itu tersenyum mengejek ketika bertanya.
"Hwesio gemuk, kau memanggil aku Tung Nam Bengcu
ada keperluan apakah?"
"Hemm, pinceng tidak kenal segala Tung Nam Bengcu.
Hanya melihat kau seorang laki-laki maye ret-nyeret wanita
tadi dengan maksud apakah " Siapa dia?"
"Dia adalah tawananku dan kau tak perlu mencampuri
urusanku. Ketahuilah bahwa aku adalah Thian-te Bu tek
Taihiap Liok Kong Ji. Lebih baik kau hwesio gemuk pergi
dari sini dan jangan menggangguku !"
Hwa Thian Hwesio pernah mendengar namae Liok Kong
Ji, maka biarpun ia sudah mengerti bahwa orang di
depannya ini lihai sekali ia segera menyerang.
"Kau jahanam tak tahu malu !" bentaknya sambil
mengirim serangan dengan tendangan kaki kiri.
39 Namun Liok Kong Ji dengan mudah saja dapat mengelak
lalu membalas dengan serangan serangan he bat yang
membuat Hwa Thian Hwesio sebentar saja sibuk sekali.
Hwesio gemuk ini kalah jauh ilmu silatnya. Baiknya ia
memiliki ilmu kelit yaag baik se kali sehingga begitu jauh
Kong Ji belum dapat me njatuhkannya, biarpun hwesio itu
sudah mandi peluh dan napasnya memburu. Tak dapat
diragukan ligi, dalam waktu cepat tentu Koug Ji akan dapat
merobohkannya. Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba muncul bintang
penolong. Terdeagar bentakan nyaring."Li ok Kong Ji manusia busuk, jangan menghina orang !"
Mendengar bantakan ini, Kong Ji mecelat ke belakang
dan mcncabut peclangnya. "Ang-jiu Mo-li ...... !" serunya kaget. Adapun Thian Hwesio girang bukan main melihat
kedatangan wanita sakti ini. Baiknya Ang-jiu Mo-li sudah
mengenalnya dan hwesio itupun menge nal guru dan putera-
putera majikannya. Bahkan Wan Sun dan Wan Bi Li juga
muncul dan tertawa-tawa melihat betapa Hwa Thian Hwesio
mandi keringat dan napasnya megap-me gap.
"Toanio, tolong kauhukum jahanam kurang ajar itu...... !"
akhirnya hwesio gemuk ini dapat mengeluarkan suara
sambil mewek-mewek. "Dia menculik wanita, disembunyikan
di dalam kuil itu !"
Ang-jiu Mo li memandang kepada Kong Ji dengan
senyum menghina. "Memang itulah kepandaian tunggal dari Liok Kong Ji.
Cih, tak tahu malu !' "Ang-jiu Mo-li, jangan kau percaya omongan badut terlalu banyak makan ini. Wanita itu adalah tawananku, dia adalah
Hui eng Niocu Siok Li Hwa, isteri dari Wan Sin Hong. Aku
menawannya karena aku ada urusan dengan Wan Sin Hong.
Siapa bilang aku hendak mengganggunya ?"
40 Mendengar bahwa wanita itu isteri Wan Sin Hong, Hwa
Thian Hwesio menjadi makin marah. Juga Ang-jiu Mo-li
kaget karena tidak mengira bahwa Wan Sin Hong ternyata
menikah dengan Siok Li Hwa yang pernah dilihatnya sekali.
Yang paling kaget adalah Wan Sun. Pemuda cilik
itu mendengar bahwa isteri Wan Sin Hong diculik dan
disernbunyikan dalam kuil, segera melompat memasuki kuil
dengan niat menolongnya. Wan Bi Li melompat pula
menyusul kakaknya. Akan tetapi, di lain saat terdengar dua orang bocah itu
menjerit dan tubuh mereka bergulingan keluar pintu kuil!
Ang-jin Mo-li terkejut sekali, namun hatinya lega kembali
ketika melihat bahwa kedua orang muridnya itu bergulingan
keluar karena me nggunakan Ilmu Kelit Trenggiling Turun
Gunung untuk menghindarkan diri dari serangan gelap yang
berbahaya. (Bersambung jilid ke IX )
41 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid IX BENAR saja, setelah tiba di luar pintu, kedua anak itu
lalu me lompat dan cepat lari menghampiri guru mereka.
Wajah mereka nampak pucat din nyata sekali mereka itu
meras a ngeri dan takut. Hal ini mengherankan hati Ang-jiu
Mo-li karena tidak biasanya murid-muridnya, apa lagi Bi Li,
berhati penakut. "Ada apakah?" tegurnya, alisnya berkerut tak senang melihat dua orang muridnya memperlihatkan sikap
ketakutan. "Suthai .... di dalam ada......... ada siluman menakutkan sekali !" kata Wan Sun, agak malu-malu akan tetapi masih
ketakutan. "Siluman" Biar pinceng me nangkapnya, untuk menjaga
Kelenteng Kwan-te-bio !" se ru Hwa Thian Hwesio dengan
sikap gagah. Ia berjalan memasuki kuil dengan langkah
tegap, kedua kaki agak dibongkokkan, kedua tangan
terkepal dan perut serta dadanya me le ngkung seperti katak
marah. 1 Terdengar suara hiruk-pikuk di se belah dalam kuil tua
itu, suara bak-bik-buk orang bertempur, kemudian disusul
pekik Hwa Thian Hwesio seperti babi disembelih dan orang-
orang di luar kuil melihat tubuhnya yang bulat se perti bola
itu mengge linding keluar!
Sete lah melompat berdiri, ia meraba-raba gundulnya
sambil bertanya kepada Wan Sun. "Kongcu, tolong kaulihat kepalaku ini bonyok tidak"'
Wan Sun din Bi Li tertawa geli melihat tingkah laku
hwesio ini dan Wan Sun memeriksa kepala yang bulat itu.
Ternyata tidak ada yang luka.
"Tidak ada yang bonyok, Iosuhu," katanya.
"Juga tidak pecab-pecah" Sukurlah ...... Omitohud ...... !
Toanio, yang di dalam bukan siluman, melainkan manusia
betina setengah si luman. Toat -beng Kui-bo dari Lam-hai
(Laut Selatan) !" Baik Kong Ji maupun Ang jiu Mo-li yang selama ini
hanya merantau di daerah utara dan selatan tidak sampai di
pantai Laut Selatan, tidak mengenal nama ini. Berbeda
dengan Hwa Thian Hwesio yang memang berasal dari kota
kecil di dekat pantai selatan. Oleh karena tidak mengenal
nama mendengar laporan ini, Kong Ji dan Ang.jiu Mo-li
berkelebat me masuki kuil itu. Akan tetapi mereka berseru
kaget dan melompat mundur lagi karena tiba-tiba di ambang
pintu kuit itu muncul seorang nenek yang amat
menakutkan. Toat -bong Kui-bo (Biang Iblis Pencabut
Nyawa). Nenek ini tertawa cekikikan dan di bawah lengan
kirinya terkempit tubuh Li Hwa yang tak berdaya karena
nyonya ini masih berada dalam keadaan tertotok.
Melihat manusia luar biasa yang mengeri kan ini, Ang-jiu
Mo-li sendiri yang sudah dijuluki Mo-li (Iblis Betina), masih menjadi kaget setengah mati. Juga Kong Ji yang mempunyai
watak seperti iblis , melihat nene k ini berdiri bulu
tengkuknya. Hampir berbareng, se perti sudah janji lebih
2 dulu, dari tangan Ang jiu Mo-li menyambar sinar putih dan
dari tangan Kong Ji mcnyambar sinar hitam yang
kesemuanya menuju ke arah jalan darah di tubuh nenek itu.
Tiga buah Pat-kwa-ci (Biji Segi De lapan) yang lihai dari Angjiu Mo-li dan lima batang Hek-tok.ci am (Jarum Racun Hitam)
dari Kong Ji menyerang cepat.
Akan tetapi, sekali nenek itu menggerakkan tangan
kanan yang memegang tongkat panjang, ujung lengan
bajunya melambai. Dari lambaian ini ke luar angin yang
menyapu delapan buah senjata rahasia itu runtuh semua.
Ang-jiu Mo-li dan Liok Kong Ji terkejut. Mereka bersiap
untuk mengge mpur nenek itu.
Akan tetapi Toat-beng kui -bo tertawa cekikikan dan
berkata. "Manusia-manusia tak kenal malu. Di rumah orang
jangan membikin rusuh. Ataukah kalian berani me nghina
dua kakek tua bangka dari Omei-san?"
Mendengar bentakan ini, dua orang itu tertegun. Tentu
saja mereka tidak berani menghina dua orang kakek sakti di
Ome i san. Toatbeng Kui-bo sambil tertawa-tawa lalu berjalan
terbongkok-bongkok pergi dari situ.
'Lepaskan dia......... Kong Ji barseru sambil rnencabut
Cheng-liong-kiam, pedang rampasan dari Li Hwa. Melihat
pedang itu, Toat-beng Kui-bo menyeringai dan tiba-tiba
tubuhnya melayang cepat menyambar ke arah Kong Ji.
Tangannya terayun dan dengan gerakan hebat menghantam
kepala Kong Ji. Baru kali ini Kong Ji menghadapi serangan
yang demikian berbahayanya. Ce pat ia mengelak, akan
tetapi tahu-tahu pedangnya terpukul tongkat dan terlepas
dari pegangan. Pedang itu mencelat ke atas dan tubuh nenek
itu bagaikan seekor burung hantu yang besar, melayang
pula ke atas dan di lain saat pedang itu telah berada di
tangannya! 3 "Hi-hi -hi. Cheng-liong kiam, Kenapa berada di tangan
bocah ini?" katanya dengan suara ketawa meringkik seperti kuda.
"Itu pedangku, dirampas olehnya," kata Li Hwa perlahan.
Nyonya ini tertotok dan tubuhnya lumpuh, namun masih
dapat membuka suara. Mendengar ini, Toat-beng Kui -bo mel anjutkan
perjalanannya, sama se kali tidak memperdulikan Kong Ji
yang berdiri melongo. Kong Ji menjadi marah dan penasaran
sekali. Sambil mengeluarkan seruan keras ia hendak
mengejar. Tak mungkin ia dikalahkan begitu saja. Juga Ang
jio Mo-li yang kini melihat bahwa wanita yang dibawa Toat-
beng Kui-bo itu adalah wanita yang dulu ia lihat bersama
Wan Sin Hong lalu me ndahului Kong Ji dan melompat
melakukan pukulan dengan tangan merahnya, menampar
muka yang seperti iblis itul
Menghadapi pukulan ini, Toat-beng Kui bo kaget dan
tidak berani memandang rendah. Ia rnelompat mundur dan
tiba-tiba dari mulutnya keluar suara mendesis dan dari atas
menyambar turun lima ekor kelelawar raksasa! Binatang-
binatang aneh ini menyambar-nyambar di atas kepala Ang-
jiu Mo-li dan Liok Kong Ji yang hendak menyerang Toat-beng
Kui bo, seakan-akan hendak melindungi nenek itu.
"Kelelawar berbisa ..... !" Hwa Thian Hwesio yang
mengenal kelelawar yang hidup di dalam gua-gua di pantai
laut selatan itu cepat menyeret Wan Sun dan Wan Bi Li dan
membawa mereka lari memasuki kuil untuk bersembunyi.
Setelah Ang-jiu Mo-li memanggilnya dari luar baru hwes io
gundul gemuk ini berani mengajak mereka keluar. Ternyata
kelelawar-kelelawar itu sudah lenyap bersama Toat beng Kui
bo. Juga Liok Kong Ji tidak kelihatan lagi.
"Ke mana siluman itu" Mana pula Liok Kong Ji?" tanya Thian Hwesio sambi l celingukan.
"Mareka sudah pergi," jawab Ang-jiu Mo-li singkat.
4 Demikianlah penuturan Hwe Thian Hwesio kepada Wan
Sin Hong. Sebagai penutup penuturannya, Hwa Thian
Hwesio berkata, "Nah, Ang-jiu Mo-li dan dua orang muridnya
melanjutkan perjalanan ke puncak dan pinceng mengambil
jalan lain. Di sini pinceng melihat orang-orang itu naik,
maka pinceng bersembunyi di dalam rumput-rurnput. Tak
tahunya bertemu dengan s icu di sini." Ia lalu tersenyum lebar.
Sin Hong tertarik sekali oleh penuturan ini. Terutama
sekali tentang Li Hwa. Isterinya itu telah be bas dari tangan Kong Ji dan kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo. Akan
tetapi mengapa tadi ia tidak melihat Li Hwa bersama nenek
itu" Di mana adanya Li Hwa" Juga penuturan bahwa dua
orang bocah yang menjadi murid Ang-jiu Mo-li itu ternyata
putera-puteri Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li membuatnya


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tercengang. Akan tetapi karena tahu bahwa Ang-jiu Mo-li
memiliki kepandaian tinggi, diam.diam ia merasa bersyukur
bahwa anak-anak Wanyen Ci Lun mendapat kan guru yang
pandai. Biarpun ia sudah tidak ada urusan dengan Liok Kong Ji
dan berarti tidak ads urusan dengan Omei-san, akan tetapi
oleh karena isterinya kini berada di t angan Toat-beng Kui-bo yang naik ke puncak, terpaksa Sin Hong melanjutkan
perjalanan ke puncak Omei-san untuk mengejar Toat-beng
Kui-bo dan menuntut dikembalikannya isterinya. Sambil
menyambar tubuh Lee Goat yang dipondongnya. Sin Hong
berlari cepat sekali sehingga sebentar saja Hwa Thian Hwesio
tertinggal jauh. -oo(mch)oo- Sementara itu, di lain bagian dari Gunung Omei-san di
dekat puncak, seorang pemuda tanggung diserang hebat
oleh dua ekor burung Pek.thouw-tiauw, semacam burung
rajawali yang besar sekali dengan kepala putih. Dua ekor
burung raksasa itu sambil mengeluarkan suara cecowetan
5 menyambar-nyambar ke arah pemuda tanggung itu. Pemuda
itu bukan lain adalah Tiang Bu. Menghadapi serbuan dua
ekor burung yang berbahaya ini, Tiang Bu menyambar
sebatang ranting pohon. Dengan senjata istimewa ini ia
melindungi diri sedapat mungkin. Burung raksasa itu
beratnya sedikitnya ada lima ratus kati, maka sambarannya
dapat dibayangkan betapa hebatnya. Mungkin ada seribu
kati. Dua burung sehebat ini hendak menjadikan bocah itu
sebagai mangsanya. Biarpun amat kewalahan menghadapi
serbuan dua ekor binatang raksasa ini, namun Tiang Bu tak
pernah minta tolong. Ia mainkan ranting kayu itu dengan
gerakan cepat, sambil mengatur langkah dan mengelak
setiap kali burung raksasa itu menyambar dengan paruh
besar dan cakar mengerikan di depan. Beberapa kali Tiang
Bu sudah dapat menusuk tubuh binatang-binatang itu
dengan rantingnya akan tetapi seakan-akan tidak terasa
oleh Pek-thouw-tiauw itu.
Bagaimana Tiang Bu bisa berada dalam keadaan
demikian berbahaya" Bukankah tadi ia berjalan diikuti oleh
Thai Gu Cinjin dan Kwa Kok Sun, dua orang yang amat
berbahaya dan mengancam keselamatannya "
Memang demikian. Tadinya Tiang Bu memikul pikulan
airnya, berlari naik ke puncak diikuti oleh Thai Gu Cinjin
dan Teetok Kwan Kok Sun. makin lama Tiang Bu makin
mempercepat larinya dan ia sengaja membawa dua orang itu
melalui jalan yang paling sukar, yaitu di daerah yang yang
paling liar di mana ia biasa berlatih Ilmu Lari Liap-In-sut
de ngan gurunya. Setelah tiba di daerah ini, ia lalu
mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, berlompatan
dengan lincah sekali. Lebih dulu ia mele mpar pikulannya
agar tidak menghalangi getakan-gerakannya.
"Hai, tungau......... !" seru Thai Gu Cinjin, kaget melihat betapa bocah itu tiba-tiba demikian gesit gerakannya. Ia
mengerahkan tenaga untuk mengejar.
6 Juga Tee-tok Kwan Kok Sun segera tertinggal oleh Tiang
Bu. Dalam hal ilmu silat, sangat boleh jadi Tiang Bu belum
dapat mengimbangi mereka, akan tetapi Ilmu Lari dan
Lompat Liap in-sut adalah ilmu ginkang yang s angat tinggi.
Maka begitu Tiang Bu tiba di daerah ini dan
mempergunakan ilmunya, dua orang pengejarnya itu
tcrtinggal jauh. 'Tiang Bu, berhenti! Kalau tIdak, kuhancurkan
kepalamu!" Thai Gu Cinjin memaki-maki dan menyumpah-
nyumpah, akan tetapi Tiang Bu bukan anak bodoh dan
berlari terus dengan cepatnya.
Tiba-tiba Tiang Bu mendengar suara angin dari belakang.
Cepat ia mengelak dan bebe rapa butir batu kecil yang
disambitkan oleh Thai Gu Cinjin lewat di dekat tubuhnya.
Kembali terdengar suara senjata rahasia dan secepat
mungkin Tiang Bu mengelak ke kiri. Beberapa sinar hitam
lewat cepat sekali. Inilah senjata rahasia jarum-jarum
berbisa yang berwarna hitam. yang dilepas oleh Tee-tok
Kwan Kok Sun. Jarum-jarum berbisa ini disebut Hek-tok-
ciam (Jarum Racun Hitam) yang dulu merupakan
kepandaian istimewa dari mendiang ayahnya. See-thian Tok-
ong. Juga Liok Kong Ji mewarisi kepandaian ini dari See -
thian Tok-ong. Senjata-senjata ini berbahaya sekali, sedikit
saja mengenai kulit, racunnya akan bekerja, ikut bersama
darah dan meracuni seluruh tubuh!
Didesak oleh senjata rahasia-rahasia yang dilepaskan
bertubi-tubi dari belakang oleh orang-orang yang memiliki
tenaga besar ini Thing Bu menjadi sibuk juga. Untuk
berhenti dan melawan, ia maklum takkan dapat menang.
Lebih baik berlari terus sambil mengelak dari setiap
serangan amgi (senjata gelap atau senjata rahasia), pikirnya.
Maka dipercepat larinya. Ia tidak dapat cepat-cepat terbebas
dari kejaran dua orang itu karena baik kedua pe ngejarnya,
terutama sekali Thai Gu Cinjin, memiliki kepandaian tinggi
dan dapat berlari cepat pula.
7 Pada saat itulah tiba-tiba dari angkasa raya terdengar
pekik nyaring dan dua ekor burung rajawali kepala putih itu
menyambac turun, langsung menyerang Thai Gu Cinjin dan
Tee-tok Kwan Kok Sun. Thai Gu Cinjin mengayun
tongkatnya dan Kwan Kok Sun mengirim pukulan.
Terdengar suara berdebuk dan dua ekor burung itu terpental
ke udara. Akan tetapi tubuh mereka kuat sekali karena
mereka tidak tewas, melainkan terkejut dan be terbangan di
atas s ambil cecowetan. "Siapa berani memukul Pek thouw-tiauw kami ?"
terdengar suara halus dan tiba-tiba muncul seorang laki-
kaki gagah bersama seorang wanita cantik. Usia mereka
kurang lebih empat puluh tahun dan sikap mereka gagah
sekali. Inilah jago dari Pantai Timur, Pekthouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya yang bernama Souw Cui Eng, Lie Kong
selamanya merantau ke luar lautan bersama isterinya,
menjelajah pulau-pulau terdekat dengan Tiongkok dan
karena itu, ia sama sekali tidak dikenal oleh orang-orang
dari lain daerah. Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun yang
datang jauh dari barat juga tidak mengenalnya. Maka Thai
Gu Cinjin membentak marah !"
"Jadi kau yang punya burung liar itu " Bagus! Burung
liarmu datang-datang menyerang orang dan kau bilang kami
memukulnya" Benar-benar kurang ajar sekali !"
Lie Kong tersenyum dan berkata tenang. "Burung-burung
kami sudah terlatih baik, tak mungkin mau menyerang
orang yang tak berdos a. Kalian tentu melakukan sesuatu
yang tidak benar kalau sampai diserang oleh burung-burung
kami." Melihat sikap yang tegas dan tenang dari Lie Kong, juga
melihat sikap wanita di sebelahnya yang nampak gagah.
Thai Gu Cinjin menahan kemarahan hatinya.
"Enak saja kau menuduh orang. Kami se dang mengejar
seorang bocah setan. yang menipu kami dan tahu-tahu dua
ekor burungmu telah menyerang kami."
8 "Nah, itulah ! Kalian mengejar seorang bocah. tentu saja burung kami menganggap kalian berlaku keterlaluan dan
ingin membela bocah itu. Salah kalian sendiri !" kata Li Kong mentertawai.
Kesabaran orang ada batas nya. Tee-tok Kwan Kok Sun
tidak biasa dihina orang, maka melihat sikap pemilik burung
itu darahnya sudah meluap. Dengan geraman menyeramkan
ia lalu menubruk maju dan mengerjakan kedua tangan
mengirim pukulan Hek-tok-ciang sambil berseru,
'Burungnya jahat, pemiliknya gila. Minggirlah !"
Pukulan Hek-tok.ciang atau pukulan Racun Hitam bukan
main he batnya. Jarang ada orang dapat menahan pukulan
ini. Juga tidak berani menangkis karena perte muan tangan
saja dapat melekat. Orang lain tentu akan me ngelak kalau
menghadapi pukulan maut ini.
Akan tetapi, Lie Kong yang berkepandaian tinggi dan
sudah banyak mengalami hal-hal aneh di luar lautan,
bersikap tenang sekali. D ari warna tangan yang berubah
hitam itu maklumlah ia bahwa lawannya mempergunakan
tangan "berisi"' yaitu tangan yang sudah dilatih lebih dulu untuk mclakukan pukulan istimewa yang berbisa.
Dengan gerakan lambat ia mengulur tangan dan
menyentil dengan kuku jarinya, tepat ke arah jalan darah di
dekat pergelangan tangan. Akibatnya, bukan Lie Kong yang
mengelak, bahkan Kwan Kok Sun yang me nahan
pukulannya karena kalau dilanjutkan, mungkin ia akan
tertotok! Racun Bumi ini merubah scrangan, akan tetapi
tiba-tiba terdengar desir angin dari kiri dan isteri Lie Kong sudah menyambutnya dengan sebuah tendangan kilat.
"Manusia tak tahu malu, mampuslah!"
Kwan Kok Sun lagi-lagi harus melompat dan mengelak
karena dari hawa tendangan saja maklumlah ia bahwa ia
tidak akan dapat menahan tendangan sang amat kuat ini.
Tak lama kemudian bertempurlah Kwan Kok Sun melawan
9 Souw Cui Eng yang ternyata lihai se kali. Juga wanita ini
sikapnya gagah, karena melihat Kwan Kok Sun tidak
mengeluarkan senjata iapun tidak mau mencabut
pedangnya melainkan menggunakan kaki tangannya untuk
menghadapi Racun Bumi itu.
"Tiauw ko ( Burung Rajawali ) ! Kaujaga anak itu jangan
boleh lari !" kata Lie Kong kepada dua ekor burungnya
sambil menghadang Thai Gu Cinjin.
Hweaio Lama ini sudah mengayun tongkatnya, akan
tetapi Lie Kong menggerakkan tangan dan......... tongkat itu
ditangkis be gitu saja dengan lengannya, akan tetapi cukup
membuat tongkat itu terpental dan tangan Thai Gu Cinjin
gemetar ! Dari tangkisan ini saja sudah dapat dilihat bahwa
ke pandaian Lie Kong benar-benar hebat sehingga Thai Gu
Cinjin menjadi jerih dan mengeluh di dalam hati. Beberapa
kali ia bertemu dengan orang-orang pandai, yang memiliki
kepandaian lebih tinggi dari padanya. Padabal kalau berada
di Tibet, jarang ada orang yang dapat mengimbangi
kepandaiannya! "Kalian ini pendeta-pendeta tak tahu aturan. Di tempat
orang lain berani berlagak, apakah tidak menaruh hormat
kepada tuan rumah?" Lie Kong membentak karena di a
sendiri di tempat ini merasa sungkan untuk bertempur
dengan orang lain. Teguran ini membuat Thai Gu Cinjin makin gentar. Tentu
saja ia tidak berani memandang rendah kepada tuan rumah
yang ia ketahui adalah dua orang yang sakti. Maka
mendengar ani, ia lalu berseru kepada Kwan Kok Sun.
"Tee-tok, mari kita pergi !"
Juga Tee-tok Kwan Kok Sun merasa penasaran sekali
karena dilawan oleh seorang wanita yang bertangan kosong
saja ia tidak mampu mengalahkannya. Apalagi kalau wanita
ini mencabut pedang atau lebih-lebih lagi laki -laki itu!
Baiknya ia tadi belum mengeluarkan senjatanya yang luar
10 biasa, yaitu ular-ular hidup. Kalau ia sudah mengeluarkan
senjata dan mereka sudah bertempur mati-matian, agoknya
sukar untuk menghentikan pertempuran. Kini mendengar
seruan kawannya, i a melompat mundur sambil berkata,
"Toanio benar-benar lihai sekali!" Sambil berkata
demikian, sebelum mundur ia mengadu lengannya dengan
lengan lawan sambil mengerahkan tenaga Hek-tok-ciang
dengan maksud melakukan pukulan gelap. Orang lain kalau
terkena pukulan ini pasti akan kemasukan racun hitam
melalui hawa pukulan yang tetap akan merupakan racun
berbahaya sekali. Akan tetapi ketika lengan tangannya yang
kasar itu beradu dengan lengan tangan lawan, ia merasai
kulit lengan yang halus empuk dan panas bukan main, rasa
panas yang menjalar terus ke kulit lengannya sendiri
sehingga serasa kulit lengannya terbakar ! Ketika ia
melompat mundur dan melihat ke arah lengannya ternyata
di dekat pergelangan lengan terdapat tanda bintik merah
dua buah, tanda bahwa ia telah terkena pukulan rahasia
orang ! Celaka, bukan lawan yang menderita, bahkan dia
yang terluka ! Souw Cui Eng tersenyum. "Sobat beracun kau lihai
sekali. Hadiahmu pukulan beracun tadi baiknya sudah
kulihat Lebih dulu dan dapat membalas budimu." Setelah
berkata demikian, nyonya itu tersenyum manis berpaling
kepada suaminya, Dengan mendongkol sekali Kwan Kok Sun mengikuti Thai
Gu Cinjin melanjutkan perjalanan ke puncak. Di a tidak usah
khawatir akan luka di tangannya karena sebagai ahli racun
tentu saja ia pandai mengobati luka-luka karena pukulan
atau karena racun. Sementara itu, seperti telah dituturkan bagian depan,
Tiang Bu sibuk sekali menjaga diri dari serbuan dua ekor
Pe k thouw yang menyerbunya. Sambil berlari dia
berloncat an ke sana ke mari, Tiang Bu berada jauh dari
tempat pertempuran tadi. Dan dua ekor burung itu dalam
11 usaha mereka mentaati perintah majikan, yaitu untuk
menjaga jangan sampai Tiang Bu lari, lalu menyerang
de ngan maksud me nangkap bocah itu. Akan tetapi sungguh
tak terduga, bocah yang dise rangnya ternyata bukanlah
makanan empuk dan bukan saja melawan serta selalu
menghindarkan diri bahkan juga dapat membalas serangan
mereka dengan sebatang ranting. Hal ini memarahkan dua
ekor binatang itu yang serta menyerang dengan sungsuh-
sungsuh, membuat Tiang Bu sibuk bukan main.
Tiba-tiba dari bawah melayang dua sinar hitam yang
panjang dan bentuknya seperti ular. Dua "ular" ini
menyambar ke arah sepasang Pek thouw-tiauw secara luar
biasa cepatnya dan......... di lain saat dua ekor burung yang ganas itu jauh ke bawah, meronta-ronta sambil cecowetan.
Ternyata bahwa dua buah sinar yang seperti ular itu adalah
dua helai tambang yang dilontarkan orang secara isrimewa
dan secara aneh pula telah dapat menelikung dua ekor
burung itu di udara. Dua ekor Pek-thouw-tiauw itu roboh dalam keadaan
tertelikung bagian leher, sayap dan kakinya sehingga seperti
ayam yang hendak direbus !
Pek-thouw-tiauw ong (Raja Burung Rajawali Put ih) Lie
Kong dan isterinya yang sudah ditinggal lari oleh Thai Gu
Cinjin dan Kwen Kok Sun, kaget bukan main melihat dua
ekor burung mereka roboh di atas tanah, meronta-ronta


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil berteriak kesakitan dan kebingungan. Mereka tak
percaya bahwa bocah itu yang merobohkan dua ekor burung
itu. Akan tetapi ketika mereka berlari-lari menghampiri, tibatiba mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat
mendahului mereka menyambar tubuh Tiang Bu dan di lain
saat bocah itu sudah lenyap! Suami isteri yang
berkepandaian tinggi ini hanya melihat bentuk bayangan
orang yang tinggi kurus, akan tetapi tidak dapat mengenal
orangnya saking cepatnya gerakan itu
12 "Bukan main......!" Lie Kong menggeleng-geleng kepala
ketika melihat dua ekor burungnya telah terikat tambang.
"Salama hidupku belum pernah aku menyaksikan kehebatan
seperti ini. Siapa lagi yang dapat me lakukan semua itu kalau bukan manusia dewa itu?" Ia lalu melepaskan ikatan yang
membuat dua ekor binatang peliharaannya yang istimewa
itu tak berdaya, dibantu oleh isterinya.
Adapun Tiang Bu begitu melihat dua ekor burung itu
roboh dan merasai angin mendesir sudah tahu bahwa
gurunya yang ke dua, Tiong Jin Hwesio yang datang
menolongnya. Benar saja, tak lama kemudian ia melihat
bayangan gurunya ini berkelebat dan di lain saat lengannya
sudah ditarik dan ia dibawa lari seperti terbang cepatnya.
"Pertemuan yang menarik sekali. kau harus menyaksikan
untuk menambah pengalaman!" Hanya demikian kata-kata
Tiong Jin Hwesio, dan tak lama kemudian gurunya ini sudah
tiba di tanah lapang yang terbuka, letaknya di sebelah kiri
tempat tinggal mereka. Lapangan terbuka ini memang
sengaja dibuat oleh dua orang kakek itu untuk tempat
berlatih pernapasan dan menjemur diri menampung
kekuatan dari sinar matahari. Di sini pula Tiang Bu
biasanya berlatih ilmu silat. Ketika Tiang Bu tiba di situ, is melihat gurunya yang pertama, Tiong Sin Hwesio, sudah
duduk bersila di tempat yang biasa. Kakek ini mengangguk
melihat muridnya datang, lalu katanya perlahan,
"Apapun yang kaulihat nanti, jangan mengeluarkan
suara dan jangan bergerak."
"Baik, suhu." kata Tiang Bu memberi hormat l alu ia mengambil tempat duduknya sendiri, yaitu di belakang dua
orang gurunya yang duduk berdampingan di atas batu
hitam. Tiang Bu duduk di atas batu hitam pula. tepat di
belakang Tiong Sin Hwcsio. Iapun be rsila seperti orang
bersamadhi. Akan tetapi dalam keadaan setegang itu, mana
ia mampu bersamadhi mengumpulkan panca indera" Ia
13 bahkan diam-diarn melirik ke kanan kiri, memperhatikan
tempat itu dengan penuh perhatian.
Ke adaan sunyi saja. Suara yang terdengar hanya s uara
daun pohon kembang yang tumbuh dia belakang tempat
mereka duduk. Pohon inilah pohon satu satunya yang
berada di situ dan kembangnya yang herwarna putih itu
memenuhi tangkai dan dahan. Baunya sedap dan sejuk, dan
apabila ada angin bertiup, bunga-bunga itu rontok
berhamburan dan daun-daun bunga yang kecil-kecil
memenuhi tempat itu, bahkan ada yang menjatuhi kepala
Tiang Bu dan dua orang gurunya, akan tetapi mereka diam
saja. Matahari sudah naik tinggi dan sebentar lagi tengah hari
akan tiba. Mulailah terdenger suara dan tak lama ke mudian dari
depan, kanan dan kiri mul ai bermunculanlah orang-orang
yang dinanti-nanti ole h dua orang guru dan seorang
muridnya ini. Biarpun dua orang guru besar itu masih
menundukkan muka dan sedikitpun tidak perduli, namun
Tiang Bu tak dapat tinggal diam tanpa mengacuhkan
mereka. Anak ini diam- diam memasang mata dan melihat
teliti siapa-siapa yang datang.
Pertama-tama, muncullah Toat beng Kui-bo yang berjalan
terbongkok-bongkok dibantu oleh tongkatnya. Benar-benar
mengherankan sekali bagaimana nenek bongkok yang
jalannya lambat-lambat itu bisa tiba di sini paling dulu.
Hampir berbare ng, muncul pula Ang-jiu Mo-li yang kedua
tangannya menggandeng Wan Sun dan Wan Bi Li. Kalau
Toat-beng Kui-bo hanya mengangkat tongkat dan se dikit
membungkuk ke arah Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin
Hwesio sebagai penghormatan yang ane h tanpa
mengeluarkan sepatah kata, adalah Ang-jiu Mo-li bersikap
lain. Wanita cantik ini merangkap kedua tangan di dada,
menghadap ke arah dua orang kakek itu sambil berkata
perlahan. 14 "Jiwi locianpwe, aku yang rendah Ang-jiu-cu (Si Tangan
Merah) datang rnenghadap!"
Tanpa mengangkat muka, dua orang kakek itu
merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk
sedikit selaku penghormatan penganut Agama Buddha,
pertama-tama ke arah Toat-beng Kui-bo, kemudian ke arah
Ang-jiu Mo-li. Samua ini dilakukan tanpa mengangkat muka
! Tiang Bu melihat betapa dua orang murid Ang-jiu Mo-li
memandang kepadanya dengan pandang mata terheran-
heran. Akan tetapi Tiang Bu pura-pura tidak melihat kepada
mereka, hanya mengerling sebentar lalu mengalihkan
pandang dari sudut matanya ke arah orang-orang lain yang
datang. Ia melihat kedatangan W an Sin Hong dengan jantung
berdebar. Juga lagi-lagi ia dibikin kagum dan terguncang
melihat bocah perempuan yang datang bersama Sin Hong.
Benar-benarkah bocah itu bukan adiknya, Lee-Goat" Kini ia
meli hat bocah perempuan itu juga memandang kepadanya
dengan tajam kemudian ia melihat betapa sepasang mata
bccah itu menjadi basah oleh air mata. Tak salah lagi, dia itu Lee Goat Demikian pikir Tiang Bu, akan tetapi ia tidak
berani mengeluatkan suara. Kalau orang-orang lain agak
terheran melihat Tiang Bu duduk bersila di belakang dua
orang kakek itu, hanya Sin Hong yang tidak merasa heran.
Ia sudah menyangka bahwa Tiang Bu tentu diambil
murid oleh dua orang kakek sakti dari Omei.san. Sekarang
melihat betapa betul-betul Tiang Bu menjadi murid orang-
orang sakti, diam-diam ia merasa girang sekali, akan tet api
juga ia merasa gelisah kalau te ringat akan Kong Ji.
Kong Ji sudah tahu bahwa Tiang Bu adalah anaknya,
bagaimana kalau nanti Tiang Bu mengetahui ayahnya yang
sebenarnya" Bagai mana nant i kalau Kong Ji membuat ribut
di sini " Akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan
dengan penuh penghormatan memberi hormat ke arah dua
orang kakek itu. 15 "Boaopwe Wan Sin Hong memberi hormat kepada jiwi
locianpwe yang terhormat."
Tiong Jin Hwesio mengangkat muka dan tersenyum ke
arah Wan Sin Hong. "Wan-bengcu yang terhormat berkenan datang
mengunjungi tempat kami yang buruk. Selamat dat ang.........
selamat datang ...... !"
Berturut-turut datang Liok Kong Ji dan kawan-
kawannya. Se lain Pak-kek Sam-kui dan Bu tek Sin-ciang
Bouw Gun, masih banyak terdapat tokoh-tokoh selatan yang
dike palai oleh Lo Thong Hosiang dan tokoh-tokoh selatan
lain. Juga muncul Pek-thouw. tiauw-ong Lie Kong dan
isterinya, membawa sepasang burung rajawali yang besar.
Jumlah semua orang yang kini berada di tempat itu tidak
kurang dan empat puluh orang !
Diam-diam Tiang Bu mendapat kenyataan bahwa Thai
Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun tidak kelihatan di situ. Hal ini
membuat curiga sekali. Akan tetapi taat akan larangan
suhunya, ia diam saja. Di lain pihak, Sin Hong me rasa heran
juga melihat hadirnya beberapa orang tokoh utara,
diantaranya ia lihat Bu Kek Siansu, Pang Soan Tojin, dan Ci
Lien Tojin. Akan tetapi karena ia tadi sudah mendengar
penuturan Hwa Thian Hwesio, ia tidak begitu heran lagi,
bahkan mengherankan mengapa Hwa Thian Hwesio yang
gemuk itu belum juga muncul di situ.
Setelah melihat para tamunya yang tak diundang datang
memenuhi tempat itu Tiong Jin Hwesio mengangkat muka.
Mata tuanya masih amat tajam dan sekali sapu dan pandang
matanya ia sudah dapat mengetahui siapa-siapa orangnya
yang datang pada saat itu. Tangannya kanan kiri meraup
dua genggam rontokan daun bunga putih, lalu katanya
tenang-tenang. "Cuwi sekalian tanpa diundang telah hadir. Pinceng tak
dapat menyuguh apa-apa kecuali rontokan bunga, siapa
16 yang tidak dapat menerimanya harap segera pergi lagi saja!"
Setelah berkata demikian, hwesio tua ini menggerakkan
kedua tangannya dan ...... daun-daun bunga putih itu
meluncur cepat, setiap he lai menyambar ke arah seorang
tamu. Hanya dua orang murid Ang-jiu Mo-li, seorang murid
Wan Sin Hong, dan dua ekor burung rajawali itu saja yang
terhindar dari sambaran rontokan bunga !
Semua orang tcrkejut dan otomatis mengangkat tangan
menyambut sumbaran bunga itu. Mereka rata-rata adalah
jago-jago silat kenamaan yang berkepandaian tinggi. Baru
mendaki gunung ini dan bisa mencapai puncak saja sudah
menjadi tanda bahwa mereka itu memiliki kepandaian tinggi.
Maka tanpa ragu-ragu semua orang mengangkat tangan
mene rima rontokan bunga putih yang kecil itu.
Akan tetapi akibatnya hebat. Segera terdengar pekik
kesakitan susul-menyusul diikuti rubuhnya banyak orang ke
belakang ! Ternyata bahwa rontokan daun bunga yang kecil
itu kitika mengenai tangan ada yang menancap dan ada pula
yang menggetarkan serta melumpuhkan seluruh tangan.
Bahkan ada yang tidak kuat menahan hawa dorongan yang
luar biasa hingga roboh terguling ke belakang !
Tak usah dibilang lagi betapa kaget dan takut hati
mereka yang tidak kuat menerima timpukan daun bunga
tadi. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka lari turun dari
puncak dan tempat itu sebentar saja menjadi se pi karena
lebih banyak yang lari turun daripada yang tinggal. Yang
masih herdiri di situ karena kuat mererima timpukan tadi
adalah Wan Sin Hong, Ang-jiu Mo-li, Toat -beng Kui bo, Liok
Kong Ji, Bouw Gun, Pak kek Sam-kui, delapan orang tokoh
selatan termasuk Le Thong Hosiang, dan tiga orang tokoh
utara serta suami isreri pemilik burung-burung rajawali,
Pe k-thouw-tiauw ong Lie Kong dan isterinya. Masih ada
beberapa orang lagi dan jumlahnya hanya dua puluh tiga
orang. Yang lain semua lari.
17 Tiong Jin Hwesio tersenyum. Tiong Sin Hwsio masih tetap
duduk sambil meramkan mata, sama sekali tidak
menghiraukan yang terjadi di situ.
"Cuwi sudah dapat menerima suguhan pinceng dengan
baik. bagus sekali! Itu menjadi tanda bahwa cuwi sekalian
cukup berharga untuk merundingkan sesuatu dengan kami.
Kalau pinceng tidak salah sangka, cuwi sekalian para tokoh
kang-ouw dari daerah selatan hendak membujuk kami
supaya suka menjadi bengcu. Bukankah demikian kehendak
cuwi?" "Betul demikian dan kami harap locianpwe berdua
takkan menolak. Bahaya perang sudah di depan mata. Kaum
kang-ouw terpecah belah. Kalau bukan jiwi locianpwe yang
rnemimpin kami, siapa lagi"' jawab Le Thong Hosiang tokoh
Tai yung pal yang mewakili kawan-kawannya.
Kembali Tiong Jin Hwesio tersenyum ramah. "Belum
pernah ada di dunia kang-ouw diangkat dua orang bengcu.
Bukankah sudah ada seorang bengcu yang amat baik di
dunia kangouw dan sekarang bahkan hadir di sini"
Bukankah Wan-bengcu biarpun masih amat muda
merupakan pemimpin yang baik sekali. Pinceng s udah
banyak mendengar kebaikan-kebaikan dan jasa-jasanya."
"Akan tetapi dia adalah keturunan Wanyen keluarga Raja
Kin! Mana bisa kami mempunyai bengcu seorang keturunan
musuh ratyat" Hanya orang-orang utara yang tolol mau
memilih dia!" kata Le Thong Hosiang sambil memandang
kepada semua orang yang hadir, lalu berkata,
'Bukankah di sini terdapat pula saudara-saudara yang
mewakili daerah utera"'
Bu Kek Siansu, ketua Bu-tong-pai yang bertubuh tinggi
kurus dan berjenggot panjang, menjura sambil menjawab.
"Pinto dari Bu-tong-san mewakili sobat-sobat dari utara
untuk mengunjungi jiwi twa-suhu menghaturkan hormat.
Memang betul dahulu kami telah memilih Wan Sin Hong
18 sicu untuk menjadi be ngcu berdasarkan kepandaiannya
yang tinggi dan memang harus kami akui bahwa Wan-sicu
adalah seorang gagah pe rkasa. Akan tetapi setelah kami
ketahui bahwa dia adalah keluarga raja, kami mangambil
keputusan untuk membebaskannya dari tugas bengcu. Kami
yang tidak sudi menjadi kaki tangan kaisar penjajah tentu
saja tidak mau mempunyai bengcu keluarga kaisar.
Kenudian kami mendengar bahwa jiwi twa-suhu berdiam di
0mei-san dan mengingat babwa jiwi adalah ahli waris dari
Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Cawsu, sudah sepatutnya
kalau jiwi memegang pucuk pimpinan para orang gagah
sedunia agar segala pertentangan dapat dilenyapkan dan
semua tenaga dapat dicurahkan untuk melindungi rakyat
jelata dari pada penindasan kaum penjajah dari manapun
juga." Tiong Jin Hwesio menggeleng-geleng kepalanya.
"Omitohud, alangkah se mpitnya pandangan orang sekarang!"
Ia menoleh kepada Sin Hong dan berkata kepada Bu Kek
Siansu. "Binatang boleh dipilih jenisnya untuk membedakan
mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi manusia
tak mungkin dapat dilihat baik buruknya dari keturunan
maupun keadaan lahirnya. Wan-bengcu adalah murid dari
mendiang Pak Kek Siansu yang masih sealiran dan sstingkat
dengan kami. Kalau Wan bengcu dapat melakukan tugasnya
dengan baik, mengapa menggantinya" Kami dua saudara
tidak mau mencampuri urusan dunia mengapa kalian
mendesak" Pulanglah, pulanglah. Biar Wan bengcu,
memimpin kalian, pasti semua beres." Sambil berkata
demikian Tiong Jin Hwesio melambai-lambaikan tangan
mengusir semua orang supaya pergi.
Liok Kong Ji melompat maju. Dia tahu betapa lihainya
dua orang kake k Omei-san itu. Baru sambitan daun bunga
saja tadi ketika ia menyambutnya, telapak tangannya sudah


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa kcsernutan. Ia tahu bahwa kalau daun bunga itu
diganti dengan benda keras biarpun kepandaiannya tinggi, ia
takkan sanggup menerima sambi tan kakek yang lihai itu.
19 Dua orang kakek yang berilmu tinggi ini akan menjadi
pembantu-pembantu yang tak ternilai harganya bagi
pergerakan Temu Cin, akan tetapi juga dapat menjadi lawan
yang amat berat. Oleh karena itu, ia harus berdaya menarik
dua orang kake k ini di pihaknya atau kalau tidak berhasil
membasmi mereka! "Jiwi locianpwe bicara dengan tepat dan bijaksana
sekali," Kong Ji mulai berkata dengan suara lantang.
"Orang-orang yang sudah tua seperti jiwi locianpwe memang
sudah se patutnya tidak diganggu lagi dengan urusan
duniawi sehingga jiwi dapat tekun menenteramkan batin."
Tiong Sin Hwesio yang sejak tadi meramkan matanya,
kini membuka mata dan semua orang mclihat betapa sinar
mata hwesio ini sudah layu dan tak parsemangat se perti
orang yang menderita sakit berat. Memang sesungguhnya
hwesio tua ini sudah lama mende rita sakit, sakit tua yang
membuat semangatnya bosan tinggal di tubuh tua itu.
"Pinceng mendengar lagu indah dinyanyi kan secara
sumbang," katanya sambil menatap wajah Kong Ji "Sicu siapakah?"
Biarpun pandang mata dan suaranva sudah lemah,
namun dalam sikap kake k tua ini membayangkan pengaruh
luar biasa dan membuat orang mau tak mau menaruh segan
dan hormat. Se kelebatan kakek ini sepeti gambar Nabi Locu
yang kecil tubuhnya, tua sekali bongkok dan jenggotnya
sudah putih semua. Berbeda dengan Tiong Jin Hwesio yang
tidak berambut dan tidak berjenggot, adalah Tiong Sin
Hwesio ini kepalanya ditumbuhi beberapa helai rambut-
rambut di pinggirnya, rambut-rambut putih halus seperti
benang sutera. Juga jenggotnya halus dan putih.
Kong Ji cepat memberi hormat kepada kakek itu. "Te ecu
bernama Liok Kong Ji, nama yang tidak terkenal bagi
losuhu. Akan tetapi akan menjadi berarti kalau teecu
memberi tahu bahwa anak muda yang duduk di belakang
jiwi losuhu itu adalah puteraku !"
20 Orang yang merasa paling terkejut mendengar
pengakuan ini adalah Tiang Bu sendiri. Hampir saja ia
menjerit "bohong!' kalau saja ia tidak ingat dan taat akan pesan gurunya. Apa pun yang terjadi, ia tidak boleb
mengeluarkan suara dan tak boleh berbuat sesuatu. Maka
hanya mukanya saja yang berubah pucat. Ia mengenal Liok
Kong Ji sebagai seorang panglima di daerah Mongol. la
pernah berjumpa dengan orang itu ketika dahulu i a dibawa
ke utara oleh Pak kek Sam kui. Dan dahulu Liok Kong Ji
tidak bicara sesuatu tentang pengakuan anak. Mengapa
sekarang orang itu mengaku bahwa dia anaknya" Terbayang
dalam ingatan Tiang Bu ucapan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa
bahwa dia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Go Hui Lian.
Ketika Hui eng Niocu Siok Li Hwa menculiknya dari Kim
bun-to dan me maksanya be rsumpah di depan makam Pat-
jiu Nio-nio untuk menjadi murid Hui-eng pai dalam
marahnya Hui -eng Niocu Siok Li Hwa menyatakan bahwa dia
bukanlah anak Coa Hong Km dan Go Hui Lian, melainkan
anak ayah bunda lain yang pada waktu itu ia tidak
memperhatikan. Dianggapnya Hui-eng Niocu bohong maka
ia tidak ingat lagi nama ayah bunda yang disebut itu.
Sekarang teringatlah ia bahwa dahulu Hui-eng Niocu
menyebut nama Liok Kong Ji ! Jadi inikah ayahoya"
Mengapa begitu " Tiong Jin Hwesio menoleh kepada muridnya dan
bertanya. "Tiang Bu, benarkah kau putera situ ini?"
"Dia berkata bohong, suhu. Setahu teecu, ayah teecu
bernama Coa Hong Kin dan ibu teecu bernama Go Hui Lian
puteri Hwa I Enghiong Go Ciang Le."
Kini Tiong Jin Hwesio berpaling kepada Kong Ji dan
suaranya berubah keren ketika ia berkata, "Liok-sicu,
pinceng tidak kenal padamu namun serasa pernah pinceng
mendengar namamu yang kurang scdap. Kau jangan main-
main di sini. Mengapa kau berani mengaku murid kami
sebagai puteramu?" 21 Liok Kong Ji tertawa. P anahnya mengena sasaran,
pancingannya berhasil baik. "Locianpwa, mana aku berani
membohong atau main-main" Tadinya teecu sendiri juga
tidak tahu akan rahasia ini yang dipegang penuh serta
ditutup rapat oleh Wan Sin Hong. Locianpwe" agaknya dapat
diperdayai sehingga amat memuji dan percaya kepada Wan
Sin Hong. Maka harap locianpwe tanya kepadanya akan hal
ini." "Wan-bengcu, betulkah kata-kata Lie situ ini bahwa
Tiang Bu adalah puteranya?" tanya Tiong Jin Hwesio.
Keadaan menjadi sunyi. Semua orang menaruh perhatian
sepenuhnya akan perkara ini yang biarpun barsifat pribadi
namun cukup menarik karena urusan ini saj a dapat
menimbulkan heboh dan keributan. Semua orang
memandang ke arah Sin Hong, ingin tahu apa jawabannya.
Sin Hong memandang ke arah Tiang Bu yang seakan-
akan hendak menelannya dengan pandang mata yang tajam
itu, ke mudian menoleh ke arah Kong Ji, kemudian be rpaling
kepada Tiong Jin Hwesio din menundukkan kepalanya.
"Memang betul," jawabnya lemah.
"Bohong.... !" Tiang Bu menjerit, lupa akan pesan
gurunya dan ia melompat ke depan Sin Hong, kedua tangan
terkepal, matanya berapi. "Wan-siok-siok, bukankah kau
sudah tahu bahwa ayah bundaku di Kim-bun-to. Dia itu,
muridmu itu, bukankah dia Lee Goat, adikku" Aku tahu
ketika ia masih kecil sekali, masih bayi. Aku yang
menggendongnya, mengajaknya main-main! Mengapa pula
dia pura-pura tak kenal padaku" Siok-siok, katakan
sebenarnya bahwa aku bukan anak orang itu!"
Sin Hong tersenyum pahit, merasa amat kasihan kepada
bocah ini. Salahnya sendiri, pikirnya. Dialah yang berdosa,
membuka rahasia itu kepada Kong Ji katena khawatir akan
keselamatan isterinya yang tertawan oleh Kong Ji, anak ini
harus menelan kenyataan pahit sekali.
22 "Tiang Bu, kau memang puteranya. Semenjak masih bayi
kau dipelihara oleh ayah bundamu di Kim.bun-to ...... "
Wajah Tong Bu menjadi pucat. "Aku masih belum
percaya!" Ia menoleh dan memandang kepada orang yang
mengaku ayahnya itu dengan pandangan mata menantang.
"Wan siok-siok, kauceritakan mengapa semenjak bayi aku
dipelihara oleh ayah bunda di Kim.bun.to. Mengapa kalau
aku memang anak orang lain, orang tuaku yang aseli tidak
memeliharaku sendiri ?"
Muka Sin Hong sebentar pucat sebentar merah.
Keningnya berkerut. Ia berada dalam keadaan yang amat
sukar. Tidak menjawab bagaimana dan kalau ia menjawab
dan meceritakan hal sebenarnya, berarti ia akan
membanting nama bocah itu ke dalam jurang kehinaan !
Mana ia tega untuk merendahkan bocah ini dengan bercerita
di depan orang banyak bahwa bocah ini terlahir dari ibu
yang gila dan yang dipermainkan oleh Kong Ji. Sama saja
dengan membuka rahasia bahwa Tiang Bu adalah anak dari
perhubungan gelap, anak yang tidak karuan ayahnya atau
anak haram! Sin Hong menggeleng geleng kepalanya sambil menarik
napas panjang. "Aku......... aku tak dapat menceritakannya, Tiang Bu?".."
"Wan-siolc.siok, kau harus......... ! Kau harus
menceritakannya kepadaku. Harus......... !" Tiang Bu
mendesak. Sing Hong menggeleng kepalanya dengan sedih dan
memandang kepada bocah itu dengan kasihan. Tidak bisa,
Tiang Bu ?"." "Kalau begitu kau bohong ! Kau pembohong besar di
dunia ini...... atau kau pengecut besar !" Tiang Bu
melangkah maju dan matanya bcrsinar marah dan kedua
tangannya dikepal seakan-akan dia hendak menyerang Sin
Hong. 23 Terdengar Kong Ji tertawa mengejek dan Sin Hong
menjadi pucat sekali. "Tiang Bu...l" bentaknya keras.
"Siapapun tidak boleh menyebut aku pengecut !"
'Mengapa kau menyembunyikan rahasia orang " Mengapa
kau tidak berani bicara terus terang" Hanya seorang
pengecut yang menyimpan rahasia orang dan membuat
orang mendapat malu dan terhina !" kata Tiang Bu makin
berani. "Hayo katakan......... atau harus aku memaksa.........
?"" "Tiang Bu......... !!" Sin Hong hampir tak dapat menahan
kesabarannya lagi. Mukanya sebentar me rah sebentar pucat.
Pada saat itu, Tiong Sin Hwesio membentak. "Tiang Bu,
kau memalukan guru-gurumu. Hayo mundur dan masuk ke
rumah !" Mendengar bentakan ini, terdengar isak naik dari dada
Tiang Bu, mukanya pucat sekali dan dengan kaki limbung
dan maka pucat ditundukan, i a lalu berlari masuk ke dalam
pondok, di mana ia membanting diri di atas lantai dan
menangis! Baru kali ini selama hidupnya Tiang Bu merasa
sakit sekali hatinya. Sementara itu, Le Thong Hosiang berkata mengejek,
"Dasar keturunan pangeran penjajah, tidak lurus
hatinya, berani menghina murid tuan rumah. Dasar
pengecut tetap pengecut!"
Sin Hong menggerakkan lehernya dan menengok ke arah
pembicara. "Le Thong Hosiang, kau memaki siapa?" tanyanya,
suaranya lambat dan agak tergetar.
"Ho ho-ho, mcmaki kau, siapa lagi?"
Baru saja kata-kata ini keluar dari bibir Le Thong
Hosiang tubuh Sin Hong mencelat dan dengan marah ia
menyerang Le Thong Hosiang. Akan tetapi Ketua Tai-yun-pai
memang sengaja mencari percekcokan dengan Sin Hong dan
24 karenanya ia sudah siap sedia. Dua orang sutenya yaitu Lo
Kong Hosiang dan Le Tak Hosiang, sudah menjaga. Begitu
Sin Hong bergerak, dua orang hwesio ini menggerakkan toya
mereka menyerang Sin Hong dari dua jurusan. Juga Le
Thong Hosiang menggerakkan toyanya sambil berkata
kepada Tiong Jin Hwesio, "Jiwi locianpwe, harap maafkan, pinceng hendak
memberi hajaran kepada pangeran kesasar ini!"
Akan tetapi, kata-katanya terhenti karena Sin Hong
dengan gerakan cepat sekali mangeluarkan kepandaiannya.
Bagaikan halilintar menyambar tubuhnya berkelebat di
antara tiga barang toya lawan dan di lain saat Le Tak
Hosiang terlempar ke kanan, Le Kong Hosian, terjungkal dan
Le Thong Hosiang roboh dengan toyanya patah-patah!
Baiknya Sin Hong masih ingat bahwa ia berada di Omei-s an
dan di depan dua orang kakek sakti yang menjadi tuan
rumab. Pula dia ingat bahwa pertempuran hanya urusan
kecil saja. maka ia tidak
sampai menurunkan tangan maut, hanya membuat Le Thong Hosiang patah patah toya berikut tulang lengan kanannya sehingga hwes io menjadi pingsan. Adapun Le Kong Hosiang dan Le Tak Hosiang hanya terlempar mendapat kepala benjol saja. Semua orang menjadi kaget sekali menyaksikan kehebatan Sin Hong. Kong Ji tersenyum masam. Ang.jiu Mo.li 25 memandang kagum penuh gairah kepada Sin Hong. Mulut
Toat-beng Kui-bo bergerak-gerak seperti orang makan
kacang goreng, atau seperti mulut domba menggayem
kembali makanan dari perutnya. Keadaan menjadi sunyi
sekali. Tiba-tiba terdengar. suara Tiong Jin Hwesio, bernada
tak senang. "Wan-bengcu, kau kasar sekali. Apakah di sini kau
hendak memamerkan kepandaianmu ?"
Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu, "Maaf
locianpwe. Bukan sekali-kali boanpwe berani bersikap
kurang ajar, akan tetapi orang-orang itu terlalu mendesak
boanpwe." "Hemmm, memang tIdak keliru kata kata Tiang Bu tadi.
Seorang yang tidak berani berkata terus terang, biarpun
sikapnya itu hendak menolong orang lain misalnya, tetap
saja ia mendekati sikap pengecut. Kau datang ini ada
keperluan apakah?" Merah wajah Sin Hong dan sikapnya menjadi berani. Dia
tidak mau membuka rahasia itu semata-mata untuk
melindungi muka dan nama baik Tiang Bu, akan tetapi
bocah kurang terima itu mengatakannya pengecut dan
kakek ini malah membenarkan bocah itu.
"Locianpwe memang bukan menjadi watakku untuk
membuka rahasia orang lain di depan umum. Oleh karena
itu pulalah maka aku yang muda dan bodoh kali ini juga
tidak membuka rahasia mengapa aku datang ke tempat ini.
Hanya terus terang saja, kedatanganku ke sini sama sekali
tidak ada hubungannya dengan segala keributan urusan
bengcu dan segala tetek-bengek lain tetapi aku datang untuk
mencari isteriku yang diculik orang. Akan tetapi aku belum
begitu kurang ajar untuk mengganggu Iocianpwe sebagai
tuan rumah yang hendak me layani tamu-tamunya, maka
silakan. Biar aku me nanti setelah urusan semua selesai,
barulah aku berurusan dengan pcnculik isteriku!"
26 Tiba-tiba Tiong Sin Hwesio tertawa geli.
"Heh-heh-heh, murid Pak Kek Siansu ini bersemangat


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga. Sayang ia terlalu seeji (s ungkan) dan mengalah
sehingga diinjak-injak orang jahat." Kemudian ia berkata kepada Tiong Jin Hwesio. "Sute, lekas kaubereskan orangorang ini. Pinceng sudah lelah."
Tiong Jin Hwesio dengan muka sebal dan hilang sabar
berkata. "Siapa lagi yang masih ada urusan hayo lekas
katakan, jangan bikin capai hati orang!"
Liok Kong Ji melaugkah maju. Dengan se nyum cerdik
sekali ia berkata, "Jiwi Locianpwe tadi menyatakan tidak hendak mencampuri urusan dunia, itu baik sekali. Biarpun
kita semua tidak berani minta pertolongan jiwi untuk segala
urusan keduniaan. akan te tapi kami sangat mengharapkan
agar kelak jiwie memenuhi janji dan tidak turun gunung
untuk mencampuri urusan kami."
"Eh, lancang! Kauanggap kami ini siapa sudi me langgar
janji dan kau ini punya hak apa bicara seperti itu?" Tiong Jin membentak.
"Bagus, locianpwe. Memang aku percaya penuh bahwa
locianpwe kelak takkaa melanggar janji. Adapun aku
memang hendak mewakili para orang gagah karena
ketahuilah bahwa aku pernah mereka pilih sebagai Tung
Nam Bengcu dan sekarang setelah Wan Sin Hong tidak
berhak menjadi bengcu lagi, aku mewakilkan diri untuk
menjadi calon bengcu. Bagaimana, para sobat yang hadir di
sini. Setujukah mengangkat s iauwte sebagai bengcu?"
tanyanya kepada kawan-kawannya.
Yang hadir di situ sebagian besar adalah kawan-kawan
Kong Ji. Maka tokoh-tokoh selatan seperti La Thong Hosiang
yang sudah siuman, bersama sute-sutenya dan Nam Kong
Hosiang berdua Nam Sion; Hosiang ketua Kaolikung-bio
(kelenteng di Bukit Keolikung-san), Heng.tuan-san Lojin,
27 Pak-kek Sam-kui, Bouw Cun beberapa orang ternama lain.
serentak menyatakan setuju dengan suara gemuruh.
"Tidak, kami tidak setuju." Tiba.tiba Bu Kek Sians u
berseru keras. "Semua tokoh utara tidak setuju kalau Liok-sicu yang menjadi bengcu !"
'Habis kau mau apa"' Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun
naelompat maju di depan Bu Kek Siansu sambil melotot
dengan sikap menantang. Bu Kek S;ansu tidak melayani orang kasar itu, melainkan
menghadap Tiong Jin Hwesio dan berkata, "Harap locianpwe sudi turun tangan. Liok Kong Ji itu seorang manusia jahat,
kalau dia menjadi bengcu, akan celakalah dunia kang-ouw.
......... " "Bu Kek Siansu, tak malukah kau memburukkan orang
lain di depan umum" Laginya kau lupa bahwa dua orang
kakek sakti dari Omei-san sudah berjanji tidak akan
mencampuri urusan kita."
Dengan mendongkol sekali Tiong Jin Hwesio menggerak-
gerakkan tangannya. "Pergilah kalian urus sendiri persoalan ini, jangan mengganggu kami."
Liok Kong Ji tertawa bergelak. Tercapailah maksud
hatinya, berhasillah tipu maslihatnya walaupun ia tak
mungkin dapat mengharapkan bantuan dua orang kakek
itu, tetapi sudah berhasil mengikat mereka dengan janji
takkan mencampuri urusannya. Kelak dalam penyerbuan
tentara Mongol ke selat an, kiranya ia mempunyai se njata
janji ini untuk membuat dua orang sakti ini tak berdaya
andaikata mereka hendak turun tangan.
"Cuwi bengyu sekalian, mari kit a turun dan jangan
mengganggu lagi dewa-dewa Omei-san !" katanya sambil
mengajak kawan-kawannya turun dari puncak.
"Hemm Liok Kong Ji, biarpun akan hancur tubuhku,
kelak akul ah yang akan me njadi lawanmu," kata Wan Sin
28 Hong dengan suara lantang, akan tetapi Kong Ji hanya
tertawa. "Jiwi locianpwe harap ingat bahwa anak itu adalah
puteraku, jadi kelak aku membawanya pulang."
"Tutup mulutmu," Sin Hong membent ak. "Mana buktinya
bahwa dia puteramu?" K ong Ji hanya tertawa me ngejek lal u pergi dari situ.
Tiong Jin Hwes io menghela napas, dongkol sekali,
"Be nar-benar hari ini kami sedang sial, didatangi oleh orangorang dogol, tukang berkelahi. Eh, eh kalian ini masih belum
pergi, mau apa lagikah" Apakah masih ada urusan lain" Ini
nenek tua bukankah Toat beng-Kui -bo dari Laut Selatan"
He mm, kau s udah tua mau mampus seperti kami masih
be rkeliaran di sini, mau apakah?" tegur Tiong Jin Hwesio.
Terdengar suara ketawa cekikikan ketika nenek
mengerikan itu menggerakkan mulutnya. Tiga ekor kele lawar
terbang dari tongkatnya ketika nenek itu tertawa,
be terbangan di atas kepala nenek itu seakan-akan suara
tawa tadi merupakan isarat bagi me reka untuk siap menjaga
keselamatan majikan mereka !
"Hi-hi -hi-hi, Tiong Jin Hwesio dan kau tua bangka Tiong Sin Hwesio tukang tidur ! Dari tadi aku heran apakah kalian
sudah lupa kepadaku. Kiranya kal ian masih ingat. Alangkah
sombongnya kalian, makin tua makin sombong sehingga
sejak tadi kalian berlaku seolah-olah tidak kena! l agi
padaku! Cihh, laki-laki memang selalu berwatak tinggi hati."
Tiong Sin Hwesio tiba-tiba membuka matanya dia
menarik napas panjang. "Kau masih sama saja seperti lima puluh tahun yang lalu sedikitpun tidak berobah !"
Harus diketahui bahwa ketika masih mudanya, Toat-
beng Kui-bo adalah seorang wanita yang cantik jelita, oleh
karena itu, kini mendengar kata-kata Tiong Sin Hwesio, ia
merasa mendapat pujian. Oleh karena itu, kembali
mengeluarkan suara ketawa haha-hihi me nyeramkan sekali.
29 "Hi- hi - hi hi, Tiong Sin Hwesio biarpun sudah tua
bangka, tetap saja seorang laki-laki yang pardai mengambil
hati! Tiong Sin Hwesio biarpun tadinya aku agak gentar
menghadapimu dan berniat mengaj ak pibu sutemu saja,
namun melihat kebaikan hatimu, aku merubah niatku dan
sekarang aku ingin mancoba sampai di mana kelihaianmu
yang amat disohorkan orang. Orang bilang bahwa ilmu silat
warisan Tat Mo Couwsu lebih lihai dari pada warisan Hoat
Hian Couwsu. Akan tetapi aku tetap berpendirian bahwa
selain dua orang couw-su itu, masih ada ilmu silat lain yang
tak kalah hebatnya!"
Tiong Sin Hwesio merem-melekkan matanya, lalu
mengambil napas panjang, "Toat-beng Kui-bo, kata-katamu itu benar belaka.
Memang banyak sekali ilmu silat dunia ini yang Iihai-lihai
dan hebat- hebat akan te tapi sebagian besar adalah ilmu
silat yang sengaja diciptakan orang untuk orang-orang jahat.
Maka kalau dibandingkan dengan peninggalan cauw-su,
ahh, jauh sekali." "Pandai kau bicara, orang tua. Coba kau jelaskan, bagai
mana bedanya!" nenek itu menuntut.
"Sute, nenek ini bawel amat. Coba kau menjelaskannya,
bukan hanya untuk Toat beng Kui-bo, juga untuk orang
yang menyebut diri ahl i ilmu silat di sini agar supaya
membuka matanya " Tiong Jin Hwesio mengangguk, lalu berkata dengan suara
lantang, "Ilmu silat adalah kelaujutan dari pada i lmu batin.
Manusia harus lebih dulu belajar memperkuat batin
membersihkan hati dan pikiran. Kalau pikiran dan hati tidak
bersih, mana bisa mempelajari ilmu batin untuk mencari
Nirwana" Manusia terdiri dari lahir dan batin, keduanya
harus maju bersama, tak boleh pincang sebelah. Batinnya
saja yang kuat tanpa lahir yang kuat takkan selaras,
30 sebaliknya lahirnya kuat batinnya tidak kuat mendatangkan
kekerasan dan penyele wengan.
Setelah mempelajari ilmu batin dan sudah memiliki jiwa
yang kuat dan bersih, sudah semestinya melatih lahir
supaya kuat pula karena sudah menjadi kewajiban setiap
mahluk untuk menjaga dan melindungi tubuh sendiri dari
bahaya yang mengancam dari luar. Inilah mengapa orang-
orang pandai di jaman dahulu menciptakan ilmu silat,
diciptakan penuh kesadaran dan kesucian batin, ditujukan
dalam mencipta untuk memberi perisai dan pelindung
kepada manusia lemah supaya dapat menjaga tubuh.
Komudian oleh orang orang yang bersemangat dan
berjiwa besar, malah ilmu ini dipergunakan untuk
membantu berputarnya keadilan dan mendorong
terlaksananya kebajikan. Akan te tapi, sungguh celaka,
banyak sekali disamping ilmu silat yang bersih ini muncul
ilmu silat yang dipergunakan untuk mengagulkan diri,
untuk menyombongkan diri dan me mamerkan kepandaian,
untuk berkelahi dan mengalahkan orang lain. Alangkah
sesatnya!" Setelah Tiong Jan Hwesio berhenti bicara Tiong Sin
Hwelio berkata, "Nah, kaudengar itu, Toat beng Kui-bo. Pinceng tahu kau
berilmu tinggi. Apakah kau masih hendak menantangku
mengadu ilmu" Itu tandanya ilmumu sesat."
"Kakek tua bangka banyak lagak! Aku belajar ilmu untuk
dipergunakan, bukan seperti kalian ini belajar puluhan
tahun hanya untuk dipakai bekal mampus. Kalau kalian
tidak mau melayani aku pibu, juga tidak apa. Akan tetapi
segala macam ilmu peninggalan Tat Mo Couwsu dan Hoat
Hian Couwsau itu untuk apakah" Lebih baik kalian berikan
kapadaku sebelum kalian mampus agar dapat
kuperkembangkan dan kuturunkan kepada orang baik."
31 Mendengar ini, Tiong Sin Hwesio bergerak dan tahu-tahu
kakek tua yang sejak tadi duduk sudah berdiri ke depan
Toat-beng Kui-bo. Gerakannya tak dapat dibilang cepat
karena ia nampak lambat-lambatan, akan tetapi tak
seorangpun dapat melihat kapan dia bangkit dari duduknya!
"Toat-beng Kui-bo, apakah kau juga seperti orang-orang
yang berwatak maling itu" Kitab-kitab pusaka tak boleh
diganggu oleh siapa-pun juga. Kau sendiripun tidak boleh"
Nenek itu tertawa, memperlihatkan giginya yang jarang
dan runcing seperti gigi tikus atau gigi kelelawar.
"Ini berarti kau mau melayani aku bertanding !"
"Lebih baik main-main sebentar dengan tulang-tulangku
yang sudah lapuk dari pada membiarkan kau mengotori
kitab-kitab kami!' kata Tiong Sin Hwesio.
"Kalau begitu kau terimalah ini !" seru nenek itu dan kedua tangannya yang berkuku panj ang itu mendorong ke
depan. Gerakannya biasa saja akan te tapi ketika kedua
lengan itu menyambar, orang-orang yang berdiri beberapa
tombak jauhnya dari tempat itu masih merasai hawa
dorongan yang dahsyat ! Dan ketika kedua kaki nenek itu
berganti-ganti dibantingkan ke tanah, tempat di sekitar itu
tergetar seperti gempa bumi.
Tiong Sin Hwesio menye but, "0mitohud!" dan dengan
gerakan sederhana pula ia meluruskan kedua lengan
tangannya. Di lain saat dorongan nenek itu sudah
diterimanya dan dua pasang telapak tangan itu saling
menempel. "Omitohud, kau hendak mengadu lweekang. Bagus ......
kau takkan menang, Toat-beng Kui -bo.......!" kata Tiong Sin
Hwesio sambil tersenyum memperlihatkan mulut yang tak
bergigi lagi. Yang masih hadir di tempat itu hanya tinggal Sin Hong,
Ang-jiu Mo-li dan suami isteri Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong
32 berdua. Mereka merasa kagum bukan main terhadap kakek
tua itu. Mengadu tenaga lweekang seperti itu adalah
pertandingan yang amat berbahaya. Seluruh perhatian dan
tenaga dalam harus dikerahkan kepada telapak tangan
untuk mendesak hawa pukulan atau hawa dorong lawan.
Akan tetapi kakek itu masih dapat bicara seenaknya !
Juga Toat-beng Kui-bo terkejut sekali dan menyesal
bukan main mengapa ia datang-datang mengadu tenaga
lweekang dengan kakek tua yang sudah mau mati itu. Begitu
mendengar kakek itu bicara, tahulah ia bahwa tenaga
lweekangnya kalah jauh. Namun nenek ini adalah seorang
yang terkenal keras hati dan tidak mau kalah. Ia
mengerahkan seluruh tenaganya, kedua kakinya berganti-
ganti menjejak tanah, dan dari dalam petutnya keluar suara
gerengan seperti harimau dan tanah di sekitarya bergerak
gerak terkena getaran tenaganya yang dahsyat. Pohon
kembang di belakang dua orang kakek itu tergetar dan
berhamburanlah bunga dan daun s egar ke bawah sehingra
sebentar saja pohon itu telah menjadi gundul sama sekali
tak berbunga atau berdaun lagi.
Melihat orang-orang gagah yang hadir di situ kembali
terkejut. Harus mereka akui bahwa nenek buruk rupa ini
memiliki tenaga lwee kang yang lebih tinggi dan pada mereka
sendiri. Namun, kakek Tiong Sin Hwcsio masih tampak
tenang-tenang saja. "Omitohud, Toat-beng Kui-bo, mengapa kau berlaku
nekad ". Kau tak kan menang. Tariklah tenagamu dan kau
melompat mundur, kita sudahi.saja adu tenaga ini."
Akan tetapi-nenek itu bukannya menurut bahkan makin
hebat ia mengerahkan tenaganya, sampai uap putih
rnengcpul dari kepalanya dan peluh membasahi dadanya.
"Kau tidak mau mundur baik-baik " Terserah, terpaksa
pinceng mcndorongmu mundur. Satu ......... dua..........
tiga........!" Tubuh Toat -beng Kui-bo tiba-tiba terlempar ke belakang seperti disambitkan. Baiknya nenek ini lihai sekali.
33 Ia cepat mengerahkan ginkangnya, berjumpalitan dan hanya
terhuyung-huyung, tidak sampai roboh terlentang. Mukanya
pucat, napasnya memburu dan peluhnya memenuhi tubuh.
Ia berdiri meramkan mata sebentar untuk mengatur napas.
Lega hatinya karena kakek itu ternyata tidak melukainya.
Ke tika ia membuka matanya, ia melihat Tiong Sin Hwesio
masih berdiri. Segera melompat maju dan berkata,
"Kita masih belum main ilmu silat. Hayo, kaul ayani aku
barang sepuluh jurus. Kalau dalam adu tenaga lweekang
aku kalah, kini aku akan menebus kekalahanku !" katanya
menantang. Aneh sekali, tubuh Tiong Sin Hwesio gemetar, kedua
kakinya menggigil dan suaranya terdengar lemah sekali
ketika menjawab, "Aku tidak bisa......... tidak mau mengadu ilmu silat dengan kau, ilmu silat mu jahat dan kotor...."
"Kau takut " Hi-hi hihi, Tiong Sin Hwesio takutkah" Kau
mau atau tidak, harus kau layani aku kalau tidak mau
kusebut pengecut dan penakut yang ngeri menghadapi
kekalahan !" "Pinceng bukan takut, kau takkan menang. Muridku saja
cukup untuk melayanimu. Tiang Bu?"!" Kakek ini menoleh
ke arah pondok memanggil muridnya. Dalam suara
panggilannya itu terdengar getaran yang aneh sehingga
Tiong Jin Hwesio tidak hanya memandang kepada


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suhengnya itu, bahkan kini menghampirinya dan tanpa
berkata sesuatu hwesio jangkung kurus ini menaruh tangan
di punggug suhengnya, lalu keningnya berkerut.
Sementara itu, Tiang Bu berlari keluar. Pada mukanya
masih nampak bekas air mata. biarpun ia merasa sungkan
keluar menemui atau menghadapi orang-orang itu terutama
sekali Sin Hong, namun tentu saja ia tidak berani
membantah panggilan twa-suhunya. Ia menjatuhkan diri
berlutut di depan Tiong Sin Hwesio, siap menanti perintah
selanjutnya. 34 "Tiang Bu, seorang jantan pantang mengalirkan air mata
keluar." Tiong Sin Hwesio menegur muridnya.
"Ampunkan teecu, suhu. Hati teecu terasa sakit dan
perih, air mata keluar tanpa dapat teecu cagah lagi.'
"Kau sakit hati" Bagus, asal saja jangan kau menjadi
buta karena perasaan itu. Tiang Bu, kau akan mewakili
pinceng menyambut tantangan untuk berpibu dengan Toat -
be ng Kui-bo. Beranikah kau?" kata Tiong Sin Hwesio sambil menunjuk ke arah nenek itu. Tiang Bu memandang. Nenek
ini rupanya saja sudah demikian mengerikan dan membuat
semangat lawan terbang setengahnya, apalagi nama
julukannya yang begitu menyeramkan Toat beng Kui-bo
yang berarti Iblis Wanita Pencabut Nyawa!
'Tentu saja teecu akan mentaati perintah suhu, dan teecu
tidak penasaran andaikata locianpwe ini benar-benar akan
mencabut nyawa teecu," jawabnya.
Tiong Sin Hwesio tertawa girang. "Ha, kau seperti anak
itik yang takut air ! Akan tetapi lebih baik seperti anak i tik takut air dari pada menjadi seperti anak ayam te nggelam di
sungai!" Perumpamaan anak itik takut air adalah sikap orang
yang merendah, tidak tahu akan kepandaian sendiri maka
takut-takut seperti anak itik takut air padahal pandai sekali renang ! Sebaliknya anak ayam mati di sungai menyindirkan
sifat seorang sombong yang tidak insaf akan kepandaian
sendiri yang terbatas sehingga ia akan tenggelam dalam
kesombongannya sendiri. "Tiang Bu, se lama aku berada di sini, kau telah
mempelajari ilmu-ilmu yang kalau kau pergunakan benar-
benar akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi
kepandaian Toat-beng Kui-bo. Majulah!"
Tiang Bu merangkak maju dan berlutut di depan kaki
suhunya. 35 "Coba kaulakukan Khai-khi-jiu hiat !"
Sin Hong dan yang lain-lain kagum sekali. Khai-khi-jiu-
hiat (Membuka Hawa Melemaskan Jalan Darah) adalah
semacam ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang
hanya dapat dilkukan oleh orang yang sudah memiliki
sinkang di tubuhnya dan sudah mempelajari dasar ilmu
lweekang yang paling tinggi. Khai -khi-jiu-hiat ini biasanya
dipergunakan dalam keadaan samadhi untuk menerima
sarinya bulan sebagai tenaga Im-kang dan sarinya matahari
sebagai tenaga Yang-kang. Apakah benar- benar bocah ini
dapat melakukannya" Dan kakek itu menyuruhnya
melakukan Khai-khi-jiu-hiat untuk apakah "
Setelah Tiang Bu bersila dan me lakukan Khai-khi-jiu-
hiat, Tiong Sin Hwesio melangkah maju mendekati Tiang Bu,
lalu mengangkat kedua tangan ke atas kepala. Tiba-tiba
Tiong Sin Hwesio melompat maju dan memegang lengan
suhengnya. "Suheng, jangan.........!" Hwesio jangkung kurus ini sudah dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh suhengnya
maka dengan hati ngeri ia hendak mencegah. Tiong Sin
Hwesio tersenyum ramah ke pada sutenya itu.
"Sute, kau sudah dapat me ngerti niatku. Memang jalan
ini yang terbaik. Ke tahuilah bahwa setelah mengadu
lweekang tadi, pert ahananku melawan datangnya Giam lo
ong karena usia tua sudah lumpuh. Kematian sudah di
depan mata, mengapa harus mati sia-s ia. Lebih baik
kuwariskan dia yang kelak harus melanjutkan riwayat kit a.
Toat-beng Kui-bo berkata benar, sayang pelajaran puluhan
tahun dibawa ke lubang kubur begitu saja."
Tiong Jin Hwesio mengangguk-angguk, tak dapat berkata
apa-apa lagi kecuali memandang kepada kakek tua itu
dengan pandang mata terharu.
"Kau mendahului aku, suheng" Terserah sesukamulah
..... " katanya perlahan sekali.
36 "Tiang Bu, bersiaplah kau, buka selebar-lebarnya jalan
darahmu!" Sambil berkata demikian, kembali Tiong Sin Hwesio
mengangkat kedua lengan tangannya ke atas, jari-jari
tangan dibuka sepeti hendak mencengkeram sesuatu dari
udara. Makin lama jari-jari tangan ini makin tergetar mula-
mula hanya jari tangan saja yang berge tar, makin lama
menjalar ke lengan, pundak, tubuh dan tak lama kemudian
seluruh tubuh kakek itu tergetar hebat. Demikian hebat
tenaga getaran sampai-sampai Sin Hong yang sudah tinggi
lweekangnya ikut pula tergetar kedua kakinya, seakan-akan
tenaga itu menjalar melalui tanah dan udara ! Hebat bukan
main kakek tua itu ketika mengerahkan seluruh tenapa
sinkangnya. Mau apakab dia" Sin Hong sendiri t idak dapat menduga
kakek ini mau berbuat apa, ia hanya khawatir kalau-kalau
kakek ini menyerang orang, kiranya biarpun Tiat beng Kui-
bo sendiri takkan mungkin dapat menahan.
"Terimalah!" Teriakan ini keluar bagaikan jerit
mengerikan dari mulut Tiong Sin Hwesio dan tiba-tiba
sepuluh jari tangannya bergerak dan memukul ke arah
ubun-ubun kepala Tiang Bu!
"Celaka......." Sin Hong melompat bagaikan seekor burung walet menyambar ke arah kakek itu untuk menolong Tiang
Bu. Dengan mcngerahkan seluruh lwee kangnya karena
maklum akan kelihaian kakek itu. Sin Hong cepat
menggunakan kedua lengannya untuk menangkis ge rakan
ke dua tangan kakek yang memukul ubun-ubun kepala
Tiang Bu. "Ptak- ..... !" terdengar suara keras dan tubuh Sin Hong terlempar jauh kebelakang s ampai lima tombak lebih !
Baiknya kepandaian Sin Hong sudah tinggi, maka dapat ia
mangatur keseimbangan tuhuhnya dan turun ke bumi
dalam keadaan berdiri. Namun ia merasa tubuhnya lelah
bukan main seperti kehabisan tenaga sama sekali. Seakan
37 akan tenaga sinkangnya terbetot dan terhisap habis ketika
lengannya bertemu dengan lengan kakek itu. Kini ia hanya
dapat be rdiri memandang dengan mata ngeri.
Sete lah teradu dengan lengan Sin Hong lengan tangan
kakek itu seakan-akan ditambah tenaga lagi dan kini
meluncur cepat ke arah ubun-ubun kepala Tiang Bu tanpa
dapat dicegah lagi. "Capp......... !" Orang orang melihat seakan-akan sepuluh buah jari tangan itu me nancap kepala Tiang Bu yang masih
duduk bersila. Tubuh anak itu seperti orang disambar petir,
berkelojotan dan rambut kepal anya berdiri semua! Setelah
be rkelojotan dan matanya mende lik, lalu tubuh Tiang Bu
roboh di atas tanah, tak bergerak lagi. Juga Tiong Sin
Hwesio jatuh duduk di dekat tubuh anak itu bersila dan tak
bergerak seakan-akan tubuh hwesio tua itu sudah menjadi
patung. Hanya jenggotnya yang putih panjang saja berge rak-
gerak tertiup angin. "Suheng......... !" Tiong Jin H wesio mengeluarkan suara seperti mengeluh kemudian ia merangkap kedua tangan ke
dada memberi hormat kepada suhengnya yang duduk tak
bergerak itu. "Eh, apa apaan ini?" Toat.beng Kui-bo berseru tak senang merasa diabaikan oleh kakek Ome i-san.
"Diamlah, Toat bang K ui-bo!" Tiong Jin Hwesio
mernbentaknyn marah. `Tunggu saja sebentar, kalau kau
demikian haus berkelahi, murid kami yang akan mewakili
suheng mengajar adat kepadamu !"
Sementara itu, Sin Hong melompat ke dekat Tiang Bu
yang menggeletak terlentang di dekat Tiong Sin Hwesio.
Akan tetapi ia melompat bal ik lagi dan matanya terbelalak.
Ia tadi hampir saja menyentuh tubuh Tiang Bu akan tetapi
cepat ia menjauhkan diri ketika melihat pemuda cilik itu
menggerak-gerakkan dua tangan seperti orang kepanasan,
mengeluh menoleh ke kanan kiri sepert i orang sakit demam.
38 Dan dari gerakan kedua tangan Tiang Bu itu menyambar
hawa pukulan yang membuat Sin Hong melompat mundur
dengan terkejut sekali. Ia menole h ke arah Tiong Sin Hwesio dan ". ia segera
merangkapkan kedua tangan sebagai tanda penghormatan.
Tahulah kini Sin Hong akan ke anehan kakek tadi, atau
sedikitnya ia dapat menduga apa yang sesungguhnya telah
terjadi. Tentu kakek itu telah menurunkan ilmunya yang
terakhir kepada Tiang Bu, boleh jadi telah mendatangkan
kekuatan hebat pada diri anak itu melalui pukulan tadi. Dan
kakek itu telah mel akukan ini dengan me ngorbankan
nyawanya! Dugaan Sin Hong memang banyak betulnya. Akan te tapi
ia tidak mengetahui hal yang sesungguhnya. Hanya Tiong
Jin Hwesio saja yang tahu sejak tadi apa yang dilakukan
oleh suhengnya. Ternyata bahwa ketika tadi mengadu
lweekang dengan Toat. beng Kui-bo, keadaan Tiong Sin
Hwesio sudah payah sekali. Hwesio ini sudah lama
menderita sakit tua, us ianya sudah terlalu tua dan agaknya
ia hanya "menanti saatnya" saja. Kemudian ia ditantang oleh nenek itu sehingga terpaksa turun tangan.
Tentu saja Toat -beng Kui-bo bukan lawannya dan mudah
ia mengalahkan pertandingaa lweekang itu. Namun,
tubuhnya yang sudah rapuh itu mana kuat menahan
pertandingan lweekang" Segera kakek ini merasa bahwa isi
dadanya te rluka hebat akibat pengerahan te naga lweekang
dan tahulah i a bahwa ia menghadapi kematian yang tak
dapat ditolong lagi. Maka ia lalu mengambil keputusan,
mempergunakan saat terakhir itu untuk me nurunkan
seluruh tenaga sinkangnya kepada muridnya yang terkasih,
Tiang Bu. Anak ini cerdik sekali dan sudah banyak mempelajari
ilmu pukulan yang tinggi-tiuggi. Namun oleh karena
tubuhnya masih amat muda dan belum memiliki sinkang
yang tinggi apabila bertemu dengan lawan tangguh masih
39 belum dapat diandalkan. Oleh karena itu, di saat terakhir itu ia menyuruh muridnya melakukan Khai-khi-jiu-hiat,
kemudian ia melakukan pukulan he bat itu untuk
memindahkan tenaga sinkang ke dalam tubuh muridnya.
Pukulannya tadi adalah semacam pukulan hebat sekali,
tidak dikenal oleh ahli silat lain dan merupakan pukulan
gaib yang disebut Sin-siang-hoan-kang (Tangan Sakti
Memindahkan Tenaga). Pukulan ini kalau dipergunakan
Pendekar Laknat 7 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Panji Sakti 23
^