Pencarian

Anak Pendekar 14

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 14


Auwyang Tiong melengak, tanyanya, "Apa obat penawar dari
obat penawar?" "Aku ditipu bocah keparat itu, aku dipaksa menelan obat
penawar yang dicampur Hap-kut-san itu."
Tak tertahan amarah Auwyang Tiong, dampratnya, "Obat
penawar itu mestinya akan kuberikan kepada dia, dia malah
memaksa kau meminumnya, sungguh bedebah."
"Percakapan kita malam itu ternyata dicuri dengar olehnya Kukira
dia lelap dalam mimpi, temyata yang mimpi malah aku sendiri.
Karena tidak menduga dan tidak siaga, sudah tentu dengan mudah
aku terjebak olehnya. Suhu, mohon kau ampuni aku sekali ini, lekas
berikan obat penawarnya."
Mau tak mau Auwyang Tiong kaget, perhitungannya temyata
meleset. Tahu dirinya juga berbuat salah, maka tak enak dia
jatuhkan kesalahan kepada Toan Kiam-ceng saja. Tapi wibawa
seorang guru betapapun harus dipertahankan, katanya dingin,
"Kenapa tergesa" Bagaimana kau tertipu oleh bocah itu" Coba
ceritakan." Setelah mendengar cerita Toan Kiam-ceng, Auwyang Twng
menghela napas, katanya, "Dia bisa menotok hiatto-mu, mungkin
tenaganya sudah pulih satu dua persen. Tapi hanya bisa
membokong, tak mampu bergebrak secara terang-terangan, ini
menandakan bahwa kekuatannya masih di bawahmu. Hm,
memangnya siapa yang terluka oleh Lui-sin-ciang-ku, meski
Iwekangnya tinggi, dalam waktu lima hari mana mampu
memulihkan tenaga seperti semula Gunung ini jalannya licin dan
terjal, yakin dia takkan bisa turun gunung."
"Makanya, urusan amat genting, lekas berikan aku obat
penawarnya, aku akan bantu mencarinya"
Auwyang Tiong menyeringai dingin, jengeknya, "Jadi aku
sebaliknya yang harus membantumu" Setelah minum obat penawar,
sedikitnya beberapa jam baru tenagamu akan pulih." Di tengah
tawa dinginnya, dia lempar obat penawarnya kepada Toan Kiamceng.
Toan Kiam-ceng berseri tawa, katanya, "Ya, dengan kepandaian
suhu cukup untuk membekuk bocah itu, biarlah murid menunggu di
sini, menunggu kabar baik saja"
Auwyang Tiong teringat sesuatu, katanya, "Asal bocah ini belum
turun gunung, kapan saja aku pasti dapat membekuknya. Ada satu
hal belum kau jelaskan kepadaku. Teori ajaran kiamhoat dan
lwekang Thio Tan-hong, apakah bocah itu sudah memberjkan
kepadamu?" "Sudah kucatat dua lembar teori Iwekang tapi"."
"Tapi apa?" "Entah yang kucatat itu asli atau palsu?" Sengaja dia membeber
persoalannya lebih dulu supaya tidak menarik kecurigaan sang guru.
"Coba keluarkan biar kuperiksa, aku pasti dapat membedakan."
Auwyang Tiong hanya membacanya sekali lalu disimpannya,
katanya, "Kelihatannya bukan palsu. Sayang kau hanya mencatat
dua lembar." Toan Kiam-ceng tampak senang, dia kira teori yang dibacakan
Beng Hoa dan sekarang dia simpan dalam catatan kertas lain try,
betul-betul ajaran asli, karuan hatinya bersorak gembira.
"Baiklah," ucap Auwyang Tiong. "Sekarang aku akan memburu
bocah itu, otakmu memang punya banyak akal, nanti carilah akal
untuk menipunya lagi."
Mendekam di tengah batu yang berserakan, jantung Beng Hoa
ke-bat-kebit, pedang digenggamnya kencang, siap mengadu jiwa.
Tak kira Auwyang Tiong hanya melewati serakan batu besar itu, tapi
dia tidak memeriksanya. Temyata Auwyang Tiong yakin Beng Hoa
pasti sembunyi di tempat jauh, di luar tahunya bahwa nyali Beng
Hoa besar, dia hanya sembunyi di belakang rumah.
Waktu Auwyang Tiong lewat terdengar oleh Beng Hoa dia bicara
seorang diri, "Sungguh menyebalkan, tak menemukan Santala
malah aku dibuat kaget dan jeri. Pulang dihadapkan kejadian yang
menjengkelkan, bakpau sudah di depan mulut ternyata tak mampu
ditelannya. Untung kungfu bocah itu belum pulih, tumbuh sayap
juga takkan bisa terbang, biar kubekuk dulu, beberapa hari lagi
belum terlambat aku membunuh Santala."
Senang dan lega hari Beng Hoa mendengar berita ini. Beberapa
hari ini hatinya memang khawatir Santala terbunuh oleh si rambut
merah yang jahat ini. Lalu apakah dirinya mampu meloloskan diri"
Berapa lama dia bisa sembunyi di sini" Terpaksa Beng Hoa tidak
hiraukan lagi mati hidupnya.
BELUM ADA setengah sulutan dupa didengarnya langkah orang
mendatangi dari kejauhan. Kembali dia mendekam di tanah, siap
bertindak bila manusia siluman itu mencari ke tempat sembunyinya,
secara tak terduga akan disergapnya dengan tusukan pedang.
Dia kira kali ini manusia siluman itu takkan berjalan secara
ceroboh seperti perginya tadi. Tak nyana langkah itu makin dekat
dan lewat dari serakan batu dan tidak berhenti. Didengarnya
langkah orang ini agak berbeda, tidak mirip langkah suara manusia
siluman tadi. Beng Hoa berdiri lalu mengintip dari celah batu, sesaat
dia berdiri melongo. Yang dilihatnya adalah bayangan belakang
seorang gadis, bayangan-nya seperti sudah dikenal. Sayang dia
tidak melihat wajahnya, siapakah gadis ini" Sesaat tak teringat
olehnya. Hanya sekejap bayangan gadis itu sudah masuk ke dalam
gubuk. Setelah minum obat penawarnya, Toan Kiam-ceng sudah bisa
bergerak, tapi badannya masih lumpuh, Jemas lunglai tak mampu
bergerak. "Suhu, kenapa secepat ini kau kembali" Bocah itu, apakah sudah
kau tangkap" Haya?" Belum habis dia bicara, gadis itu sudah
muncul di depannya. Begitu melihat wajah gadis ini, Toan Kiamceng
seperti melihat setan, badan gemetar, mulut pun temganga
tak bersuara. "Toan Kiam-ceng, kau baik-baik saja" Kau sudah tidak
mengenalku lagi?" jengek gadis itu.
"Ping" Ping-moay, temyata kau. Kau"."
"Aku kenapa" Kau heran kenapa aku belum mampus ya" Siapa
itu Ping-moay-mu. Leng Ping-ji yang dahulu sudah kau bunuh."
Mendengar percakapan mereka, Beng Hoa yang sembunyi di
belakang batu baru tahu bahwa gadis ini bukan lain adaiah Leng
Ping-ji yang ingin dia ketahui jejaknya.
Semula dia khawatir Leng Ping-ji sudah dibunuh oleh Toan Kiamceng,
sungguh tak nyana pada detik yang gen ting ini mendadak dia
muncul. Apa yang dia khawatirkan memang tidak berlebihan,
mendengar percakapan mereka, dia yakin Toan Kiam-ceng pasti
pernah berbuat jahat, turun tangan keji hendak membunuhnya. Di
samping lega, syukur, senang juga hati Beng Hoa Lega dan syukur
karena Leng Ping-ji tidak mati, kaget lantaran kedatangannya di
saat situasi yang begini genting. Kalau Beng Hoa boleh tak hiraukan
mati hidupnya lagi tapi betapapun dia harus memikirkan
keselamatan gadis ini. "Entah, tindakan apa yang akan dia lakukan
terhadap Toan Kiam-ceng?" demikian batin Beng Hoa
Didengarnya Leng Ping-ji tertawa dingin katanya, "Toan Kiamceng
perbuatanmu memang teramat jahat Kau mencekok Bonghan-
yok lalu membuangku kedanau es, kau kira aku pasti
tenggelam menjadi makanan ikan, tiada orang tahu kalau kau yang
membunuhku. Siapa kira aku masih hidup dan menuntut balas,
mungkin mimpi pun tak kau duga"
Bicara tentang menuntut balas, "sreeet" Leng Ping-ji mencabut
pedang, lalu menuding tenggorokan-nya. Toan Kiam-ceng berteriakteriak
gemetar, "Ping-moay, aku tahu salah, aku bertobat. Sudikah
kau pandang hubungan lama, ampun" ampun"."
"Tidak malu kau minta ampun kepadaku?"
"Aku berbuat salah, menyesal juga terlambat, selama ini aku tak
pernah hidup tenang. Berikan kesempatan aku bertobat Ai, kau
tidak tahu selama setahun ini, aku, aku"."
"Kau bagaimana?" jengek Leng Ping-ji tawar, "Hehe, kau kira aku
tidak tahu" Biar aku perjelas, selama setahun ini aku pun tidak
pernah meninggalkan tempat ini, segala perbuatanmu kuketahui
dengan jelas." "Maka kau harus tahu, selama setahun ini aku menetap di sini
sendirian, aku juga tidak mendekati Lomana, sekarang Lomana
sudah punya suami." "Pada malam perayaan Jagal Kambing, aku pun hadir, masih berani
kau membual di depanku. Hm, kalau malam ini aku tidak
membu-nuhmu, mungkin kau masih ingin membunuh Santala"
Makin bicara makin gusar, ujung pedangnya sudah menempel di
leher Toan Kiam-ceng. "Jangan kau membunuhku," teriak Toan Kiam-ceng, "ketahuilah,
aku bukan mohon ampun kepadamu, tapi demi kebaikanmu."
"Memangnya kau baik hati memikirkan diriku" Baik, coba
katakan, kenapa aku tidak boleh membunuhmu?"
"Di sini masih ada guruku, Auwyang Tiong, belum lama baru
pulang, kapan saja dia akan datang. Kau pasti bukan tandingannya,
jikalau dia tahu kau yang membunuhku."
"Maka dia akan membumih aku, begitu?"
"Ya, tak jadi soal aku mati, tapi kau pun harus ikut mati. Di aiam
baka aku pun takkan bisa meram."
"Cis, kau menggertak aku dengan manusia siluman itu,
kelihatannya kau anggap dirimu berwelas asih, semula aku masih
mengharap kau betul-betul bertobat dan menyesal, kini baru aku
sadar, kau durjana yang tak bisa diobati lagi. Aku tak gentar
menghadapi gurumu, kau pasti harus kubunuh."
Detik-detik yang menentukan mati hidup, mendadak Toan Kiamceng
berlaku nekat, sambil merendahkan badan, kedua jarinya
meno-tok ke Ih-khi-hiat di bawah ketiak. Kungfunya sekarang sudah
berbeda dengan dulu, walau tenaganya belum pulih, kesempatan
turun tangan masih ada. Maka dia gunakan cara Beng Hoa
merobohkan dirinya, dia harap tipu dayanya berhasil.
Diluar tahunya kepandaian Leng Ping-ji sekarang juga sudah
berbeda jauh dibanding dulu. "Bluk" terdengar seseorang jatuh.
Tapi yang roboh adalah Toan Kiam-ceng, Ternyata gerakan Leng
Ping-ji lebih cepat, baru saja dia bergerak, Leng Ping-ji mendahului
menotok hiatto-nya. Sungguh gusar dan sedih hati Leng Ping-ji, sambil angkat pedang
dia sudah akan menabas. Kali ini sudah memutuskan untuk membunuh
Toan Kiam-ceng. Sedetik sebelum pedangnya terayun ke bawah, mendadak
didengarnya seseorang berteriak, "Nona Leng, tahan!" suaranya
seperti pernah dia dengar, karuan Leng Ping-ji tertegun kaget,
waktu dia meno-leh, pedangnya tinggal tiga dim di atas kepala Toan
Kiam-ceng. Beng Hoa berlari masuk, katanya, "Nona Leng, sudilah
memandang mukaku, ampunilah dia kali ini"
Leng Ping-ji terbelalak kaget dan senang, katanya, "Bukankah
kau tuan penolongku waktu di Ciok-lin dulu?"
"Tuan penolong apa, memang hari itu aku pernah melompat
turun dari Kiam-hong. Aku bernama Beng Hoa, belum lama
berselang di Jik-tat-bok aku pemah ketemu paman-mu Leng Thiatjiau
Leng tayhiap." Hari itu Leng Ping-ji diseret lari oleh Toan Kiam-ceng, tapi dia
sempat menoleh dan melihat jelas wajah Beng Hoa, maka sampai
sekarang dia tak melupakan budi pertolongannya, padahal kejadian
sudah tiga tahun berseiang, "Beng-toako, di Jagal Kambing malam
itu, bukankah kau yang bersama Santala?"
"Ya, memang aku. Aku sudah tahu waktu itu kau pun hadir."
"Malam itu aku sudah curiga bahwa orang itu adalah kau,
ternyata dugaanku benar," ujar Leng Ping-ji. "Beng-toako. kenapa
kau pun berada di sini?"
"Aku sedang mencari dia," sahut Beng Hoa.
"Lho, Beng-toako, kau, agaknya kau terluka, benar tidak?"
sekarang dia mulai perhatikan air mukanya yang pucat.
" Ya, aku dipukul luka parah oleh guru silumannya."
"Bagaimana kau sampai terpukul oleh Auwyang Tiong" Oh, ya,
pasti keparat ini sekongkol dengan guru-nya menjebakmu?"
"Dugaanmu tepat. Beruntun dia sudah membokongku dua kali."
"Kenapa kau masih mengampuni jiwanya?"
"Pamannya adalah guruku, aku pemah berjanji untuk tidak
membunuhnya. Karena itu kumohon kau pun tidak membunuhnya
sekarang." Leng Ping-ji menggelengkan ke-palanya, agaknya dia masih
penasaran, tapi akhirnya dia berkata, "Beng-toako, kau pemah
menolong jiwaku, budi kebaikanmu tak bisa kubalas, maka
kupandang mukamu, terpaksa aku harus mengampuni jiwa bangsat
rendah ini." Lega hati Beng Hoa, katanya, "Nona Leng, terima kasih, sekarang
lekas kau menyingkir."
"Kenapa?" "Apa yang dikatakannya tadi memang benar, si rambut merah
guru-nya itu sedang mencariku di luar, setiap saat dia akan
kembali." "Kau mengampuni jiwanya, lalu bagaimana dengan jiwamu
sendiri?" "Mati hidupku sudah tidak kupikir, apalagi aku sudah terluka, aku
tak bisa lari dengan engkau."
"Kau terluka oleh pukulan Lui-sin-ciang?"
"Betul. Sekarang aku tahu bukan tandingan manusia siluman itu,
maka tak perlu kau membuang jiwa percuma."
Leng Ping-ji mengeluarkan dua botol porselin kecil, mengambil
dua butir pil yang berbeda warnanya, katanya, "Pil yang bira ini
adalah Bik-ling-tan yang terbuat dari Thian-san-soat-lian, kasiatnya
dapat memunahkan racun. Yang warna kuning adalah Siau-hoan-tan
buatan Siau-lim-si, khasiatnya memulihkan tenaga dan semangat.
Lekas kau telan kedua pil ini, besok juga tenagamu pasti sudah
pulih." "Sudah tak keburu lagi. Sebentar manusia siluman itu sudah
kembali, mana bisa menunggu sampai besok" Nona Leng, lekas kau
pergi saja, jangan hiraukan aku."
"Telan saja dulu. Bila manusia siluman itu kembali, aku punya
akal menghadapinya" "Akal apa" Kalau tidak kau jclaskan aku tak bisa terima usulmu."
"Kau jujur dan polos, tapi juga terburu nafsu. Kenapa tidak kau
pikir, aku bisa menyandera keparat ini?"
"Seorang lelaki harus berlaku jantan, aku tidak sudi berbuat
serendah itu." "Kau memang seorang lelaki jantan, tapi aku bukan. Kalau kau
tidak sudi melakukan, biar aku yang bertindak."
Tapi ini amat berbahaya bagimu. Umpama siluman beracun itu
pergi dari sini, akhirnya juga dia akan kembali."
"Aku akan turun gunung dengan mereka, besok baru akan
kuserahkan keparat ini kepadanya. Besok lwekang-mu sudah pulih,
apakah tak bisa lari?"
"Cara bagaimana kau akan meloloskan diri dari tangan siluman
itu?" "Itu adaiah urusanku, kau tidak perlu menguatirkan diriku."
"Aku tidak lega, tak bisa, tak boleh"."
Khawatir urusan berlarut-larut, keburu manusia siluman itu


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulang, maka Leng Ping-ji menukas dengan suara tegas, "Kalau kau
tidak me-nerima saranku, biar kubunuh saja keparat ini. Sekarang
kau telan obat ini dan kembali ke tempat persembunyianmu.
Sekarang serahkan urusan di sini kepadaku."
Beng Hoa takut bila dia benar-benar membunuh Toan Kiam-ceng,
apa boleh buat, terpaksa dia terima obat orang serta ditelannya
terus keluar rumah. Setelah Beng Hoa pergi, Toan Kiam-ceng seperti kehilangan
pelindung, katanya gemetar, "Ping-moay"."
"Aku bukan adikmu. Tadi sudah aku bilang Leng Ping-ji sudah
mati setahun yang lalu, berani memanggil "Ping-moay" sekali lagi,
biar kupotong lidahmu dan kulempar kau ke dasar danau."
Terpaksa Toan Kiam-ceng meng-ubah panggilan, "Ya, nona Leng,
kau" apa yang harus kulakukan" Kau sudah berjanji kepada Beng
Hoa, ampunilah aku."
Leng Ping-ji tertawa, katanya, "Kalau kau patuh kepadaku, aku
ampuni jiwamu. Kalau membangkang, hm, peduli Beng Hoa seorang
kuncu, aku akan segera penggal kepalamu."
"Singkirkan ujung pedangmu dari tenggorokanku, sedikit lena
ieherku bisa berlubang. Baiklah, apa petunjukmu pasti kulakukan."
Auwyang Tiong sudah menjelajah seluruh puncak itu, tapi tidak
menemukan jejak Beng Hoa, akhirnya dengan lesu dia putar balik
ke rumah, tapi sebelum melangkah masuk. dia tahu di dalam rumah
ada dua orang, dengan kaget dia memburu maju sambil bersiap,
bentaknya, "Bocah keparat, mumpung aku tidak di rumah kembali
kau menganiaya muridku?"
Leng Ping-ji menyambutnya dingin, "Harapanku justru terbalik,
semoga kalian tidak menganiaya aku, mana berani aku menepuk
laiat di kepala harimau" Tapi setiap urusan tidak lepas dari keadilan,
bila kau mendesakku, yah, biar aku mengadu jiwa saja."
Melihat Leng Ping-ji, kaget Auwyang Tiong lebih besar bila dia
melihat Beng Hoa. Temyata obat bius yang digunakan Toan Kiamceng
untuk mencelakai Leng Ping-ji dulu adaiah pemberiannya
Bahwa Toan Kiam-ceng menenggelamkan Leng Ping-ji ke dasar
danau juga diketahui olehnya
Auwyang Tiong menenangkan hati, katanya, "Kiam-ceng
memang berdosa kepadamu, tapi urusannya tiada sangkut pautnya
dengan aku Persoalan bisa diselesaikan secara damai, tak usah kau
marah-marah terhadapku."
"Baik, urusan anggaplah tiada sangkut pautnya dengan kau. Sakit
hatiku tetap akan kutuntut kepadanya."
"Permusuhan lebih baik didamaikan saja, marilah bicarakan saja
secara damai. Nona Leng, apa kehendakmu, coba jelaskan, jikalau
bisa kuterima, pasti akan kululuskan."
"Kau harus segera enyah dari sini."
Auwyang Tiong tertawa getir, "Nona Leng, kau suruh aku pergi,
bagaimana Kiam-ceng?"
"Besok juga akan kuserahkan dia kepadamu."
"Di mana?" "Setelah turun gunung, di padang rumput"
"Akan kugusur dia ikut kau turun gunung."
Auwyang Tiong adalah serigala tua, sampai di sini segera dia
paham duduk persoalannya, katanya tertawa dingin, "O, kau
menggunakan akal memancing harimau meninggalkan gunung,
supaya Beng Hoa keparat itu melarikan diri. Nona Leng, kuduga kau
sudah bertemu dengan keparat itu ya?"
"Mau atau tidak terserah, mengampuni jiwanya terserah
kepadaku, tak usah menyeret orang ketiga"
"Kiam-ceng, katakan, Beng Hoa keparat itu apakah tadi sudah
kemari?" "Ti"tidak," sahut Toan Kiam-ceng menggeleng.
Auwyang Tiong tahu maksud jawaban itu sebaliknya, dia juga
menduga budak ini sudah berunding dengan Beng Hoa, tapi dia
tidak tahu bahwa Beng Hoa yakin besok pasti dapat turun gunung.
"Enak saja kau mengatur rencana kau kira aku mau membuang
kesempatan baik ini untuk membekuk Beng Hoa?" Di tengah tawa
dingin-nya Auwyang Tiong melangkah setindak.
"Selangkah lagi kau maju, biar kugorok leher murid mestikamu."
"Bagus, berani kau mengancam aku. Tahukah kau selamanya aku
tak gentar diancam?"
"Kau bilang diancam, bagiku satu jiwa tukar satu jiwa, kurasa
barter ini cukup adil. Oi samping itu kau pun harus bersumpah di
hadapanku baru barter ini boleh dilakukan."
"Bersumpah apa?"
"Muridmu boleh kuampuni, jikalau kau masih ingin membunuh
Beng Hoa, kelak kau akan mampus karena cau-hwe-jip-mo."
Lui-sin-ciang adalah salah satu dari dua ilmu sakti dari aliran
sesat. Cau-hwe-jip-mo merupakan pan-tangan utama bagi setiap
pesilat yang meyakinkan ilmu sesat itu. Leng Ping-ji tahu orang
takkan memandang sumpah sebagai sesuatu yang berarti, tapi
kalau dia bersumpah berat seperti yang dikatakan, secara langsung
dia melancarkan perang urat syaraf.
Auwyang Tiong berubah air mukanya, kedua matanya mendelik
bulat, bentaknya, "Budak busuk macammu juga berani
menghinaku." Leng Ping-ji menatap sorot matanya, jengeknya, "Barter secara
adil kau rela aku mau, kalau kau tidak mau, batal juga tak jadi soal."
Pedangnya mengancam leher Toan Kiam-ceng, sedikit kerahkan
tenaga tajam pedangnya mengiris kulit leher hingga lecet berdarah,
karuan Toan Kiam-ceng ketakutan teriaknya gemetar, "Suhu, tolong
murid-mu." Di tengah jeritan Toan Kiam-ceng itulah mendadak Auwyang
Tiong terbahak-bahak malah.
"Kau kira aku tidak berani membunuh murid mustika ini?"
"Aku tahu kau amat membencinya, tapi aku juga tahu kau tidak
akan membunuhnya karena bila kau membunuhnya, barter itu pun
gagal." "Jadi kau mau barter dengan aku?"
"Sudah tentu, kalau kau tidak tega bila bocah she Beng itu mampus,
memangnya aku tega kalau muridku kau bunuh. Hehe, nona
Leng cara kerjamu memang tegas dan culas, anggaplah aku
menyerah dan kalah. Hayolah berangkat."
Sesuai dugaan Leng Ping-ji, bukan Auwyang Tiong tidak tega
melihat muridnya terbunuh, tapi Toan Kiam-ceng masih berguna
bagi dia, dia masih ingin memperalat Toan Kiam-ceng untuk
mengambll buku kuno peninggalan ncgeri Persia di rumah Lohay,
untuk ini Toan Kiam-ceng harus bisa mempersunting Lomana
sebagai istrinya. Leng Ping-ji menggusur Toan Kiam-ceng di belakang Auwyang
Tiong. Mereka langsung turun gunung. Tenaga Toan Kiam-ceng belum
pulih seluruhnya, maka jalan-nya lambat dan kepayahan.
Lahirnya Auwyang Tiong menyerah kepada Leng Ping-ji, padahal
dalam hati dia tertawa geli, karena dia anggap orang adalah orang
pintar yang bodoh. Karena Leng Ping-ji berjanji besok akan
menyerahkan kembali Toan Kiam-ceng kepadanya.
"Setelah besok, coba kau bisa lolos dari tanganku" Tanpa obat
penawar sepuluh hari juga bocah she Beng itu takkan bisa
memulihkan tenaga, jikalau tak bisa turun gunung, kapan saja aku
bisa balik kemari membereskan dia."
Apa yang dipikir Auwyang Tiong sudah tentu juga terpikir oleh
Beng Hoa. Setelah Leng Ping-ji pergi, hatinya senang tapi juga
masgul. Senang karena sementara dirinya tidak tcrancam, masgul
karena Leng Ping-ji berada dengan harimau buas, setelah besok
entah apa pula yang akan dialaminya"
Sudah setengah jam setelah dia minum Bik-ling-tan dan Siauhoan-
tan, khasiat obat sudah mulai tersalur ke seluruh badan,
sekujur badan terasa hangat. Lekas dia buang segala pikiran, duduk
semadi melancarkan hawa murni sehingga tenaga murni terkumpul
dalam pusar. Entah berapa lamanya, akhimya dia merasa semangat menyala,
badan segar. Beng Hoa melompat bangun, sekenanya dia ayun
sebelah tangan, batu di sampingnya ditabasnya terbelah seperti
dipapas golok tajam. Karuan girangnya bukan main, meski belum
pulih seluruhnya sedikitnya dia mampu mengerahkan delapanpuluh
persen tenaganya. Leng Ping-ji memperhitungkan dalam sehari baru
tenaganya akan pulih, agaknya dia hanya memperhitungkan khasiat
obat tanpa memikirkan kemujijatan hvekang ciptaan Thio Tan-hong,
ternyata kombinasi ilmu dan obat mujarab hasilnya memang luar
biasa. Waktu Beng Hoa mendongak, mentari tepat di tengah cakrawala,
tepat siang hari, itu berarti belum genap dua jam Leng Ping-ji
berangkat. Lekas Beng Hoa mengembangkan ginkang, secepat
angin turun gunung. Sebelah tangan mencengkeram Toan Kiam-ceng, tangan yang
lain memegang pedang, langkah mereka terlalu lambat, maka saat
itu mereka baru tiba di pinggang gunung.
Setelah minum obat, kini sudah hampir dua jam, tenaga Toan
Kiam-ceng sudah pulih. Sebetulnya dia bisa berjalan lebih cepat tapi
dia pandai berpura-pura supaya tidak diketahui Leng Ping-ji, diamdiam
dia menghimpun tenaga serta men-cari akal, bagaimana
supaya dia lolos dari cengkeraman Leng Ping-ji
"Nona Leng, jangan menggusurku macam begini, seperti
pesakitan saja, kalau dilihat orang malu rasanya. Aku toh tidak bisa
lari, berilah aku kebebasan berjalan sendiri," demikian pinta Toan
Kiam-ceng. "Di sini tiada orang, kenapa takut dilihat orang" Hm, kalau bukan
pesakitan, memangnya kau ini "siau-ongya?" Apa perlu panggil tandu
untuk menggotongmu turun gunung?" ejek Leng Ping-ji.
Toan Kiam-ceng tersengal, katanya, "Bukan aku jaga gengsi
kalau kau mengancamku begini, aku tak bisa berjalan leluasa."
Auwyang Tiong sepuluh tombak di depan, dasar perempuan,
Leng Ping-ji jadi kasihan terhadap bekas kekasihnya ini, dia pikir
orang takkan bisa lolos dari ancaman pedangnya, maka hanya
pedang saja yang mengancam punggung. Katanya, "Baik, kau boleh
jalan sendiri, jangan berusaha lari, sedikit bergerak, pedangku tidak
kenal ampun." "Nona Leng terlalu khawatir, aku toh tak mampu lari," ujar Toan
Kiam-ceng tertawa getir, dia pura-pura lelah, dua tiga langkah
berhenti ganti napas. Setiap Kiam-ceng berhenti, Leng Ping-ji menghajarnya dengan
sarung pedang. "Hayo jalan, jangan malas."
Toan Kiam-ceng menjerit kesakitan, teriaknya, "Kenapa kau
begini galak, aku kan sudah menyerah."
"Terhadap manusia macammu harus pakai kekerasan, kalau tidak
memandang muka Beng-toako, sudah kutusuk mampus kau ini."
Tengah mereka ribut-ribut, Auwyang Tiong di sebelah depan
mendadak menoleh sambil berseru kaget, "He, siapa itu yang
datang" Ha, bagus ternyata bocah keparat itu."
Leng Ping-ji juga mendengar suara langkah di belakang, tanpa
sadar dia menoleh. Tampak di belokan gunung sana muncul
bayangan seseorang, siapa lagi kalau bukan Beng Hoa" Karuan
kejutnya bukan main, dia tidak tahu kalau tenaga Beng Hoa sudah
pulih, lekas berteriak, "Beng-toako, untuk apa kau kemari" Lekas
kembali." Cepat sekali, di saat Leng Ping-ji kaget dan bicara, mendadak
Auwyang Tiong melompat jauh dengan gaya macan yang
menerkam, tangannya memukul ke badan Toan Kiam-ceng. Dia
menggunakan pukulan Kek-bu-thoan-kang. Karena di antara dia
dengan Leng Ping-ji terhalang Toan Kiam-ceng, maka dia tidak bisa
langsung menyerang Leng Ping-ji, tapi dia memang tidak berani
menyerang langsung, pukulannya mendarat di tubuh Toan Kiamceng
tapi tenaga pukulannya tersalur ke tubuh Leng Ping-ji. Karuan
pergelangan tangan Leng Ping-ji tergetar sakit kesemutan.
Pada saat yang sama, setelah pukulan gurunya mendarat di
tubuhnya, Toan Kiam-ceng sekalian men-jatuhkan diri terus
menggelinding sambil mencengkeram kaki Leng Ping-ji. Sementara
Auwyang Tiong melompat di atas Toan Kiam-ceng langsung
memukul Leng Ping-ji. Kepandaian Leng Ping-ji sekarang ternyata hebat juga, meski
keadaan gawat dia tetap tenang. Kakinya melayang, dia tendang
Toan Kiam-ceng hingga terlempar jungkir balik, pedangnya ternyata
mcnggaris di udara dengan jurus Hian-ciau-hoat-soa, menabas
pergelangan tangan Auwyang Tiong.
Auwyang Tiong kira setelah memukul dengan Kek-bu-thoan-kang
dia dapat menggetar lepas pedang Leng Ping-ji, tak nyana bukan
saja pedangnya tidak jatuh, malah masih mampu balas menyerang.
Di sam-ping di luar dugaan, hatinya pun kaget. Betapapun
kungfunya lebih tinggi dari Leng Ping-ji, pukulannya itu membawa
deru angin yang panas, seketika Leng Ping-ji merasa napasnya
sesak, ujung pedangnya pun tersampuk miring.
Leng Ping-ji menggigit bibir, "sret, sret, sret" beruntun tiga kali
dia menyerang dengan permainan pedang yang lihay dan
menakjub-kan, kembali Auwyang Tiong dibuat melengak. Dari mulut
Toan Kiam-ceng, dia tahu bahwa Leng Ping-ji murid didik Cengseng-
pay. Ilmu pedang Ceng-seng-pay dia pemah melihat, tapi
permainan pedang Leng Ping-ji sekarang bukan ilmu pedang Cengseng-
pay. Setelah tiga jurus serangan pedang dilancarkan,
mendadak Auwyang Tiong teringat kiamhoat yang dilancarkan ini
adalah suatu aliran pedang yang khusus untuk melawan dan
menga-ahkan Lui-sin-ciang.
Bagai terbang Beng Hoa sudah memburu tiba, bentaknya, "Auwyang
Tiong, bukankah kau ingin mencariku" Nah, sekarang aku datang
sendiri. Kalau berani lawanlah aku."
Walau kesakitan tertendang, tapi Toan Kiam-ceng tidak terluka,
setelah berdiri giginya mengertak penuh kebencian, sudah ada niat
mencabut pedang, namun melihat permainan pedang Leng Ping-ji
selihay itu, kuat menandingi pukulan gurunya, apa-lagi Beng Hoa
sudah memburu tiba, mana berani dia tampil ke depan. "Aneh,
hanya setahun berpisah, dari mana Ping-ji mempelajari ilmu pedang
selihay ini?" demikian batin-nya.
Kalau Toan Kiam-ceng tidak kenal permainan pedang Leng Pingji,
Beng Hoa malah tahu. Dia pemah menyaksikan Ting Tiau-bing
tokoh pedang dari Thian-san-pay bertanding dengan ayahnya, golok
kilat ayahnya tiada bandingan, namun cuma menang tipis dari Ting
Tiau-bing. Kiamhoat yang dimainkan Leng Ping-ji sekarang, adalah
Thian-san-kiam-hoat yang pemah dilihatnya itu.
Thian-san-kiam-hoat memang penakluk Lui-sin-ciang, tapi Leng
Ping-ji hanya belajar setahun, Iwe-kang-nya kalah jauh dibanding
Auwyang Tiong, lawan ingin membekuknya sebagai sandera, kalau
tidak dia takkan kuat melawan sepuluh jurus.
Melihat Beng Hoa sudah hampir tiba, maksud hendak membekuk
Leng Ping-ji sebagai sandera dia batalkan, sorot matanya diliputi hawa
membunuh, bentaknya, "Budak busuk, kau ingin mampus,
jangan salahkan aku." Mendadak dia pergencar pukulannya, Leng
Ping-ji juga tengah melancarkan tipu mematikan, "Cret" lengan baju
Auwyang Tiong tertabas sebagian, Leng Ping-ji terhuyung beberapa
langkah, "Huuaaah." darah menyembur dari mulutnya.
Pada saat itulah sinar hijau berkelebat, Beng Hoa tiba tepat
saatnya, langsung dia melancarkan serangan mematikan, Awyang
Tiong tak sempat hiraukan Leng Ping-ji pula


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berdiri tegak Leng Ping-ji menyeka mulutnya sambil
celingukan mencari Toan Kiam-ceng. Melihat Beng Hoa memburu
tiba, Toan Kiam-ceng sudah lari ketakutan. Walau Leng Ping-ji
terluka, namun pedangnya mampu menabas lengan baju Auwyang
Tiong, mana Toan Kiam-ceng berani melawannya" Melihat Leng
Ping-ji membalik tubuh, khawatir dirinya terjatuh ketangan orang,
jiwa tak bisa dipertahankan, segera dia menjatuhkan diri terus
menggelinding ke lereng bawah yang dilapisi salju tanpa
menghiraukan batu runcing atau semak berduri.
Walau tidak sampai tergetar luka dalam, Leng Ping-ji juga sudah
keielahan, kalau Toan Kiam-ceng nekad melabraknya siapa bakal
kalah susah diramalkan, bukan mustahil bahaya lebih besar
mengancam jiwa Leng Ping-ji.
Melihat orang menggelinding ke bawah gunung, Leng Ping-ji
enggan mengejamya, namun juga menghela napas lega. Lekas dia
telan sebutir Siau-hoan-tan lalu berdiri menyaksikan pertarungan
Beng Hoa lawan Auwyang Tiong.
Memangnya hati amat penasaran, baru sekarang Beng Hoa dapat
melampiaskan kedongkolan hatinya. Ilmu golok keluarganya dia
praktekkan dalam permainan pedang, cepatnya sungguh laksana
kilat, mengejutkan bagai bunyi geledek. Dalam sekejap dia sudah
menyerang tigapuluh enam jurus, setiap jurus pedangnya
mengancam hiatto penting di tubuh lawan.
Auwyang Tiong mengira setelah terluka parah, meski minum obat
juga harus istirahat sepuluh hari atau setengah bulan baru pulih
kese-hatannya Tak nyana sejak tiba dirinya sudah dilabrak sesengit
ini, kcadaan orang berbeda dengan waktu datangnya, seperti sudah
tidak terluka lagi, karuan makin bertempur Auwyang Hong makin
terkejut. Auwyang Hong jago kosen kelas wahid di kalangan Kangouw,
walau terkejut tapi tidak gugup, kakinya bergerak dengan posisi
Ngo-heng-pat-kwa, setiap mundur selangkah mengempur sekali,
pertahanannya amat rapat, dia bermaksud menguras tenaga Beng
Hoa Angin pukulannya menderu dan berderai ke empat penjuru,
tenaga Beng Hoa sudah pulih delapan bagian, kuat melawan angin
panas, namun bibir kering tenggorokan gatal, seperti berada di
dalam tungku. Leng Ping-ji berdiri serta maju dua tindak, katanya, "Menghadapi
manusia siluman, kenapa harus mematuhi aturan Bulim."
Maksudnya dia hendak membantu Beng Hoa mengeroyok.
Auwyang Tiong tidak tahu kalau Leng Ping-ji hanya menggertak,
karuan dia terkejut, segera dia mengambil. keputusan untuk
melarikan diri, mendadak dia maju dengan pukulan gencar beberapa
jurus, bila lawan terdesak siap melarikan diri.
Beng Hoa orang jujur, dia kira Leng Ping-ji tanpa hiraukan
keselamatan hendak membantu dirinya Lekas dia mencegah, "Nona
Leng, tak usah kau maju, seorang diri aku mampu mengalahkan
manusia siluman ini." Mendadak sinar pedangnya menggulung balik,
gerakan pedangnya laksana gelang membundar, sehingga bayangan
Auwyang Tiong terkurung dalam lingkaran sinar pedangnya. Untuk
mencegah Leng Ping-ji menempuh bahaya, maka dia pergencar
serangan untuk mengakhiri pertempuran secepatnya. Serangan
pedangnya ini teramat ganas, sayang dilancarkan terburu nafsu,
serangannya kurang ketat sehingga Auwyang Tiong memperoleh
kesempatan melarikan diri.
Di tengah berkelebatnya sinar pedang menggubat bayangan
telapak tangan, mendadak Auwyang Tiong menjerit aneh, tubuhnya
mencelat balik keluar dari lingkaran sinar pedang. Di mana sinar
pedang menyambar, rambut kepalanya yang awut-awutan telah
tertabas rontok berhamburan. Begitu lolos dari ancaman sinar
pedang, langsung dia lari turun gunung.
Beng Hoa tidak tahu bagaimana luka-luka Leng Ping-ji, maka dia
tak berani mengejar, pedang disarungkan lalu berkata, "Nona Leng,
kau tidak apa-apa?" "Untung tidak terpukul, hanya terserempet angin pukulannya,
tidak apa apa. Aku sudah minum sebutir Siau-hoan-tan, sekarang
masih kuat turun gunung. Beng-toako, kenapa kau sembuh begini
cepat" Jangan karena ingin buru-buru menolongku, mengganggu
kesehatanmu malah." "Aku pun tak menduga bisa sembuh secepat ini, berkat obatmu
yang mujarab itulah. Untung siluman itu kau gertak takut, kalau
bertempur setengah jam lagi, aku pasti tak kuat mengalahkan dia."
Setiba di bawah gunung mereka tetap tidak menemukan jejak
Toan Kiam-ceng, mungkin lukanya tidak parah, ditolong oleh sang
guru lalu kabur bersama. Baru sekarang mereka ada kesempatan menceritakan
pengalaman masing-masing.
Leng Ping-ji berkata, "Setelah meninggalkan Ciok-lin, dia tak mau
kuajak ke Siau-kim-jwan, aku sudah mendapat firasat akhirnya kami
pasti harus berpisah. Soalnya Siau-kim-jwan waktu itu sudah
dikepung tentara kerajaan, situasi amat genting, maka dia tak mau
menyerempet bahaya, aku pun tak memaksanya Malah dia mau
dengar nasihatku tidak akan pulang ke rumahnya, supaya tidak
diperalat oleh kerajaan. Aku pun mengharap dengan kehadiranku di
sampingnya, aku bisa memberi petunjuk dan menuntunnya ke jalan
benar. Maka aku ikut dia tiba di sini. Tak nyana, ai"." Sampai di sini
dia menghela napas. "Tak lama setelah menetap dia berkenalan dengan orang aneh
rambut merah, akhirnya dia malah angkat guru kepadanya Semula
aku tidak tahu Auyang Tiong orang baik atau jahat. Tapi melihat
tampang, sikap dan rutur katanya aku sudah menduga dia bukan
orang baik-baik. Pemah aku menasihati Kiam-ceng, mau belajar
kungfu boleh minta petunjuk kepada paman sendiri, kenapa harus
berguru kepada manusia jelek itu" Dia bilang pamannya tak karuan
rimbanya, agak sirik pula kepadanya, dulu waktu pamannya di
rumah, dia tidak mau mendidiknya secara baik. Dikatakan pula
setelah tamat belajar, bagaimana dia akan menggunakan ilmunya
adaiah urusannya Kenapa harus dihiraukan gurunya baik atau jelek.
Karena dia tetap membandel, aku jadi segan banyak omong. Ai,
baru sekarang aku tahu, dia bcrguru kepada orang jahat itu bukan
saja untuk mem-perdaiam ilmu silat, temyata masih punya ambisi
besar. "Setelah dia belajar dengan manusia siluman itu, sikapnya
temyata tambah baik terhadapku. Sungguh mimpi pun tak pemah
kuduga, lan-tar an hendak menipu aku maka dia bersikap baik
kepadaku. Karena itu aku terlena dan tertipu olehnya Dia
membiusku sehingga lumpuh lalu melemparku ke dalam danau es."
"Siapa yang menolongmu?" tanya Beng Hoa.
"Mungkin ajalku belum tiba Waktu itu musim dingin, biasanya
jarang hujan, kebetulan hari itu turun hujan lebat. Air meluap
sehingga aku terbawa arus dan tersangkut di atas batu karang.
Setelah minum banyak air, aku malah sadar. Obat bius yang
kuminum berkadar panas, setelah air danau mencuci bersih perutku,
racun malah menjadi tawar.
"Kebetulan tak jauh di pinggir danau menetap sepasang suami
istri gembel yang tak punya anak, bila musim dingin tiba, mereka
mengail ikan sebagai bekal kehidupan, dia menemukan aku serta
membawanya ke rumah. Jiwaku secara kebetulan telah tertoiong
tapi aku jatuh sakit cukup lama Syukurlah Thian Yang Maha Kuasa
berbelas kasihan kepadaku, suatu hari aku kedatangan penolong
pula Kau kenal Thian-san-kiam-khek Teng Ka-gwan tidak?"
"Aku hanya kenal Teng Keng-thian, ciangbunjin Thian-san-pay."
"Teng Ka-gwan adalah putera Teng Keng-thian. Mereka suami
istri kebetulan lewat tempat ini, malam itu mereka minta bermalam
di rumah suami istri tua yang menolong-ku serta melihat aku dalam
keadaan payah, setelah bicara baru kuketahui mereka juga amat
mengagumi paman ku. Teng tayhiap segera memberi Bik-ling-tan
dan Siau-hoan-tan untuk memunahkan racun dalam badan ku,
malah untuk mengasuhku nyonya Teng tinggal sementara waktu di
sana, mengajar Thian-san-kiam-hoat kepadaku. Baru dua bulan
yang lalu mereka meninggalkan tempat ini.
"Selama setahun ini aku selalu mengawasi gerak gerik Kiamceng,
aku tahu semakin lama dia semakin bejat, tapi tak tcrpikir
olehku bahwa dia sudah sedemikian buruknya. Sayang dia sempat
meloloskan diri." "Biarlah kelak dia memperoleh ganjaran setimpal akan
perbuatannya sendiri. Semoga setelah mengalami kejadian tadi, dia
bertobat dan menyesal. Kalau masih berbuat kejahatan, kelak pasti
ada orang yang akan menghukumnya. Nona Leng, ingin aku tanya,
selanjutnya kau hendak ke mana?"
"Teng tayhiap sudah berjanji dengan istrinya, dalam beberapa
hari lagi akan kembali. Kupikir akan menunggunya baru ambil
putusan. Dan kau?" "Aku akan mencari Utti tayhiap, lalu menuju ke Thian-san."
"Teng tayhiap suami istri juga akan pulang ke Thian-san. Tempat
tinggalku tidak jauh dari sini, dengan kira-kira setengah hari
perjalanan saja Bagaimana kalau kau menetap beberapa hari"
Paman gembala itu orang baik, suka menerima tamu. Bila Teng
tayhiap datang, kalian bisa seperjalanan ke Thian-san. Kalau tidak
ke Jik-tat-bok, mungkin aku bisa ikut ke Thian-san untuk main
beberapa hari." "Sepantasnya aku harus bertemu dengan Teng tayhiap, tapi
waktunya sudah tidak keburu lagi. Di sini aku sudah tertunda lima
hari, kalau terlambat lagi mungkin tak bisa menyusul Utti tayhiap."
"Betul, setengah bulan yang lalu Utti tayhiap pemah lewat sini.
Sayang aku tak bertemu. Dia menjadi kurir laskar gerilya untuk
mengikat perserikatan dengan suku-suku bangsa minoritas di Wikiang
bukan?" "Ya. Berapa lama dia akan tinggal di setiap suku yang dihu-bungi
sudah kuperhitungkan. Kalau hanya sepuluh hari dia lebih, dini di
depanku, aku yakin masih bisa mengejar dia, tapi di sini aku
ketinggalan lima hari lagi, aku khawatir sudah jauh di belakang."
"Kau punya urusan penting apa hingga ingin mengejamya?"
"Ya, penting sekali, demi kepentingan laskar gerilya juga."
"Kalau demikian, aku tak menahanmu lagi. Tapi kau baru
sembuh, harus menempuh perjalanan jauh, kesehatanmu harus
kaujaga." "Terima kasih atas perhatianmu. Kelak kita bisa bertemu lagi,
silakan kau kembali Bila ketemu pamanmu tolong sampaikan
salamku." Lalu dia mencibir bibir bersuit panjang dan tinggi. Sesaat
kemudian, keadaan tetap sunyi hanya gema sui tannya yang
terdengar berkumandang di tengah udara.
Leng Ping-ji heran, "Beng-toako, kau memanggil siapa?"
"Waktu kau datang, apa tidak melihat seekor kuda di kaki gunung?"
"Tidak, apakah kuda tunggang-anmu?"
"Ya, seekor kuda bagus pemberian Lohay. Kuda itu terlatih baik
dan setia kepada majikan, boleh dilepas bebas mencari makan,
sekali suitan cukup memanggilnya kembali."
"Kudamu mungkin direbut Toan Kiam-ceng. Bagaimana baiknya"
Apakah harus pulang ke tempat Lohay untuk pinjam seekor kuda
lagi?" "Dari sini ke tempat kediaman Lohay, harus berjalan kaki tiga
hari. Apakah tidak membuang waktu secara percuma?"
Leng Ping-ji berpikir, katanya, "Kira-kira duaratus li dari sini ke
arah barat laut ada sebuah pasar, di sana banyak kuda
diperjualbelikan. Berangkatlah lewat Sana,pasti kau bisa beli seekor
kuda di sana." Duaratus li dapat ditempuh satu hari, besok siang sudah akan
tiba di pasar itu. Maka Beng Hoa berkata, "Syukurlah. Nona Leng,
selamat berpisah dan sampai bertemu." Mendadak dia teringat satu
hal, "Eh, ya, titip kabar, tolong kau sampaikan, si rambut merah ada
maksud membunuh Santala, kau juga sudah tahu. Tolong kau
sampaikan kepada Lohay dan Santala, suruh mereka hati-hati."
"Jangan khawatir, aku akan membantu mereka. Umpama aku
tidak becus, Teng tayhiap suami istri pasti ikut membantu. Bila Teng
tayhiap tiba akan kuminta dia mencari si rambut merah itu serta
mengganyangnya." Setelah berpisah dengan Leng Ping-ji, Beng Hoa menempuh
perjalanan dengan langkah cepat. Sayang cuaca buruk, hujan salju
cukup iebat sehingga perjalanan makin susah. Tengah hari itu dia
masih berada di atas gunung, setelah meiewati gunung ini baru dia
akan tiba di pasar yang dimaksud.
Tengah dia mengayun langkah, mendadak didengarnya suara
ringkik kuda Waktu Beng Hoa angkat kepala tampak di pengkolan
gunung yang lebih rendah di depan sana seorang laki-laki baju
putih, seperti seorang jenderal yang berkuasa di atas benteng,
berdiri ber-tolak pinggang di sana Tak jauh di sampingnya terdapat
seekor kuda yang diikat di bawah pohon. Kuda itu bukan lain milik
Beng Hoa pemberian Lohay. Melihat majikannya datang, maka dia
meringkik sebagai tanda menyapa
Beng Hoa kaget, lekas dia memburu maju, serta bertanya kepada
lelaki itu, "Bagaimana kau memperoleh kuda ini?"
Tidak menjawab pertanyaan, lelaki itu malah balas bertanya
"Apakah kau bernama Beng Hoa?"
"Betul, aku memang Beng Hoa. Inilah kudaku, tolong tanya,
bagaimana bisa jatuh ke tanganmu?"
Laki-laki itu tetap tidak menjawab, malah bergelak tawa, lalu
menarik muka, jengeknya, "Temyata memang kau inilah Beng Hoa.
Hehe, anak muda, tidak kecil nyalimu, kabarnya kau berani
bermusuhan dengan Auwyang Tiong?"
"Memang Auwyang Tiong orang macam apa" Orang jahat yang
berkepandaian lebih tinggi pun aku berani melabraknya."
"Takabur. Hehe, melihat lagak-mu, agaknya Auwyang Tiong memang
sudah kau kalahkan."
"Siapa kau?" tanya Beng Hoa heran.
"Tak usah tahu siapa aku, kau mampu mengalahkan Auwyang
Tiong, aku jadi ingin mencoba kiam-hoat-mu, hayolah maju," tan
tang laki-laki baju putih.
"Kuda ini kau rebut dari tangan Toan Kiam-ceng bukan" Atau dia
berikan kepadamu supaya kau bisa menyusulku?"
"Aku ingin mengukur kepandaianmu. Kalau kau bisa
mengalahkan aku, kuda ini kukembalikan, kalau sebaliknya, hehehe,
jangan harap kau bisa lewat sini."
Beng Hoa ingin merebut kuda dan lekas menempuh perjalanan,
maka dia tidak peduli akibatnya, katanya, "Baik, kau ingin mengukur
kepandaianku, terpaksa aku melayani. Sambutlah."
"Sret" pedangnya langsung menusuk.
Jurus pertama Beng Hoa meng-gunakan ilmu golok kilat ajaran
ayahnya, dimainkan dengan pedang, cepatnya luar biasa. "Bagus,"
puji lelaki baju putih. Ujung pedangnya bergetar, dia balas
mengancam Hoan-tiau-hiat di lutut Beng Hoa. Serangan balasan ini
memaksa lawan membebaskan diri lebih dulu dari ancaman
pedangnya. Beng Hoa dipaksa mcnarik pedang dan mengubah tipu,
kini dia menggunakan Hian-ciau-hoat-sa dari Bu-bcng-kiam-hoat.
Laki-laki baju putih membalas dengan jurus Heng-hun-toanhong,
pertahanannya cukup kerat, jurus yang setimpal untuk
mcnghadapi tipu Hian-ciau-hoat-sa. Tapi pedang Beng Hoa
mendadak menusuk dari posisi yang tak terduga. "Trang" kedua
pedang beradu.

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semula Beng Hoa mengira jurus serangannya pasti berhasil, di
luar dugaan berhasil dipunahkan lawan dengan saat terakhir, malah
terasa gerak pedang lawan mengandung serangan balik, karuan
hatinya kaget Temyata waktu kedua pedang beradu, tenaga laki-laki baju putih
lebih lemah sehingga pedangnya tersampuk pergi oleh pedang Beng
Hoa, sebetulnya dia mampu balas menyerang pada detik itu juga.
Perubahan lawan sama sekali di luar dugaan, jikalau Beng Hoa kalah
cepat dan lawan merebut serangan lebih dulu, maka dia harus
memeras banyak tenaga baru bisa bertahan sama kuat.
Beng Hoa ingin lekas menang, maka gerakan selanjutnya lebih
cepat lagi, beruntun melancarkan tiga serangan bcrantai. Jurus
ketiga, laki-laki baju putih tak sempat menyingkir, terpaksa
menangkis "Trang" kembali pedang mereka beradu, tapi benturan
kali ini berbeda dengan benturan pertama kali. Terasa pergelangan
tangan kaku kesemutan, karuan Beng Hoa kaget, dalam sekejap
kenapa tenaga lawan bisa bcrtambah sehebat ini"
"Awas, sambut seranganku," bentak orang itu, saat dia bergerak,
pakaiannya mclambai, pedangnya menggulung balik, gerak-geriknya
santai dan lincah, gaya pedangnya juga amat lincah dan ganas.
Beng Hoa sukar mengukur taraf kepan-daian lawan, terpaksa dia
melintang-kan pedang di depan dada, sambil menahan serangan
dengan rapat, beruntun dia balas menyerang dengan jurus Samcoan-
hoat-lun. Jurus sambutan ini memang tepat dan persis, lakilaki
baju putih memuji, "Bagus." Dalam sekejap dia pun balas
menyerang tiga jurus, pedang kedua pihak kembali beradu keras
dan nyaring, menimbulkan percikan kembang api.
Anehnya, setelah saling bentur kedua pedang mereka temyata
ke-kuatan berimbang. Beng Hoa tidak merasa sakit lagi tangannya
tapi pedang lawan pun tak berhasil disam-puknya pergi, hanya
cukup untuk mematahkan serangan masing-masing. Walau Beng
Hoa kalah pengalaman, namun dia cerdik dan tidak ceroboh,
sekarang dia sudah mengerti, Iwekang lawan lebih tinggi dari
dirinya, tapi karena belum berhasil mengukur taraf kepandaiannya,
setelah bergebrak beberapa jurus, baru dapat memanfaatkan
tenaga yang dikerahkan di atas pedangnya secara tepat dan persis
menurut kebutuhan. Kini Beng Hoa sudah mulai meraba, siapa
sebetulnya laki-laki baju putih.
"Jangan khawatir, kembangkan kemampuanmu. Dengan cara
begin! kau takkan mampu mengalahkan aku," seru laki-laki baju
putih, sem-bari bicara tangannya bergerak lebih kencang, tenaga
pun ditambah, serangan pedangnya semakin telengas.
Karena dicecar serangan ganas, meski tahu siapa gerangan lakilaki
ini, terpaksa dia harus mencurahkan seluruh perhatian, tipu
dilawan tipu, jurus dipunahkan dengan jurus, seluruh kemampuan
yang pemah dipelajarinya dia kembangkan dalam adu pedang ini.
Lambat laun dia berhasil merebut posisi semula, seimbang sama
kuat. Setelah tahu kekuatan kedua pihak setanding, baru sekarang
mereka betul-betul bertanding pedang secara terbuka dan bebas.
Beberapa kejap kemudian, dari berkutat, me-lompat mundur, lalu
melancarkan serangan, lawan dipaksa menolong diri sendiri sebelum
sempat melukai musuh. Kesempatan mengadu senjata makin
jarang, namun permainan kiamhoat mereka justru makin iihay
dengan perubahan dan variasi yang lebih rumit dan lihay.
Tanpa terasa mereka sudah saling labrak tiga ratus jurus.
Beruntun Beng Hoa melancarkan tiga jurus Bu-beng-kiam-hoat,
gaya pedangnya kosong enteng, setiap jurus per-mainannya selalu
bertolak belakang. Laki-laki baju putih mengembang-kan kelincahan
tubuhnya, berputar mengelilingi Beng Hoa, menggeser langkah
mengubah bentuk, pakaiannya melambai, badan bergerak mengikuti
perubahan pedang, sa-king cepat dia berputar seperti se-gumpal
bayangan putih yang menari mengikuti pusaran angin pedang yang
deras. Serangan Beng Hoa jurus terakhir temyata menimbulkan
suara "Cret", laki-laki baju putih melompat tiga tombak jauhnya, tapi
pergelangan tangan Beng Hoa juga kaku kesemutan, pedang
panjang tak terpegang lagi, kali ini betul-betul jatuh ke tanah.
Laki-laki baju putih bergelak tawa, katanya, "Kiamhoat-mu memang
cepat aku kalah satu jurus." Dalam jurus terakhir tadi, lengan
bajunya tertabas oleh pedang Beng Hoa, dengan lwekang-nya yang
tinggi, pedang panjang Beng Hoa dikebasnya jatuh.
Lekas Beng Hoa jemput pedangnya, katanya menjura, "Terima
kasih belas kasihan cianpwe. Bukankah cianpwe adalah Thian-sankiam-
khek Teng Ka-gwan Teng tayhiap?"
Laki-laki baju putih mclcngak, katanya tertawa, "Kiranya Bengsiauhiap
sudah tahu Thian-san-kiam-hoat-ku. Betul, aku memang
Teng Ka-gwan. Sengaja aku mencarimu untuk bertanding. kuharap
kau tidak berkecil hati."
"Ah, mana berani. Locianpwe sudi memberi petunjuk, tidak
sedikit yang telah wanpwe serap dalam adu pedang barusan."
"Jangan sungkan, usiaku memang lebih tua, tapi menilai
angkatan, kau adaiah murid Thio Tan-hong Thio tayhiap, sebetulnya
beberapa tingkat lebih tinggi. Kita sesuaikan aturan Buiim saja.
Beng-siauhiap, sudah lama kudengar kiamhoat-mu nomor satu dari
generasi muda, sekarang telah kubuktikan sendiri. Bicara soal
manfaat, yang kuperolwh malah lebih banyak dari kau."
Teng tayhiap terlalu memuji. Wanpwe tidak berani terima. Mungkin
Teng tayhiap sudah bertemu nona Leng bukan?"
"Kemarin malam Leng Ping-ji pulang ke rumah gembala tua itu.
Aku sehari tiba lebih dulu, untung sebelum dia pulang aku sudah
merebut kuda ini, maka dapat aku menyusulmu."
"Kuda ini kau rebut dari Toan Kiam-ceng?"
"Sayang waktu itu aku tidak tahu siapa bocah itu. Setelah
bertemu dengan Ping-ji baru aku tahu. Kalau tahu bocah itu sudah
bejat, tentu tidak kuberi ampun."
Teng Ka-gwan tidak kenal Toan Kiam-ceng, tapi dia kenal baik
kuda itu. Kuda itu milik Lohay, selama setahun bcrada di sini, bukan
sekali dua dia menyaksikan Lohay me-nunggang kuda ini. Waktu dia
melihat Toan Kiam-ceng menunggang kuda ini, segera dia
kembangkan ginkang mengejar dan mencegat serta tanya dari
mana dia mendapat-kan kuda itu. Tahu dirinya bukan tandingan
lawan, maka Kiam-ceng mcngarang cerita, bahwa dirinya hanya
mating kuda, dia tela menye-rahkan kembali asal Teng Ka-gwan
mengampuninya. Maka Teng Ka-gwan merampas kuda itu serta
membiarkan dia pergi. Selanjutnya Teng Ka-gwan berkata, "Santala dan si rambut
merah juga sudah pemah kulihat. Kabaruya kau menguatirkan
keselamatan Santala, selanjutnya kau boleh lega."
Beng Hoa kegirangan, katanya, "Kapan kau bertemu Santala"
Kenapa tak usah khawatir?"
"Aku pulang kemarin siang. Santala kebetulan di rumah gembala
tua itu. Sorenya aku memergoki si rambut merah yang bernama
Auwyang Tiong." "Manusia siluman itu hendak mencelakai jiwa Santala. Mungkin
dia tahu jejak Santala, maka dia menguntitnya ke sana?"
"Waktu itu aku tidak tahu untuk apa dia datang. Aku hanya tahu
dia manusia siluman. Walau sebelum ini belum pemah ketemu,
namun tampangnya yang luar biasa sekali pandang aku lantas tahu
siapa dia" "Dia tahu siapa kau?"
"Aku pura-pura tidak melihat-nya, dengan santai aku berlatih pedang
di lereng gunung. Aku tahu dia sembunyi di tempat gelap
mengintip aku, setelah menyaksikan permainan pedangku yakin dia
sudah tahu siapa aku."
"Dia tidak berani keluar?"
"Melihat aku latihan sejenis ilmu pedang, dia lantas lari
ketakutan." Temyata Teng Ka-gwan sengaja menunjukkan permainan Tuihong-
kiam-hoat dari Thian-san-pay. Hanya sekejap dia mencukur
sebatang pohon hingga gundul daun-daun-nya, tentu saja Auwyang
Tiong lari ketakutan, dalam hati dia bersyukur Teng Ka-gwan tidak
melihat dirinya. "Ping-ji sudah ceritakan pengalamannya kepadaku. Kuduga setelah
melihat diriku, maka dia lari pulang ingin lekas mendapatkan
teori ajaran Iwekang Thio Tan-hong lalu mencari suatu tempat
untuk latihan, setelah berhasil dan tak gentar lagi terhadapku baru
akan turun gunung." "Tapi dia tidak menduga tenaga-mu pulih secepat itu, akhirnya
berhasil kau kalahkan. Setelah gagal dan tahu aku berada di sini,
aku yakin dia pasti meninggalkan tempat ini."
"Kalau demikian, untuk semen-tara kita memang tidak perlu menguatirkan
keselamatan Santala"
"Ping-ji bilang, kau akan pergi ke Thian-san, apa benar?"
"Ya, setelah bertemu dengan Utti tayhiap, segera aku berangkat
ke sana" "Ada urusan apa?"
"Aku ke Thian-san untuk mencari seseorang."
"Mencari siapa?"
"Sepuluh tahun yang lalu, Miao Tiang-hong tayhiap membawa
seorang bocah ke Thian-san, kabaruya sekarang dia sudah menjadi
murid ayahmu" "O, kau mencari sute-ku" Dia?"
"Dia adaiah adikku."
Teng Ka-gwan melengak, "Adik-mu?"
Perlahan suara Beng Hoa, "Ya, adikku dari satu ibu lain ayah."
Tahu dalam persoalan ini ada latar belakangnya, Teng Ka-gwan
juga tidak banyak tanya, katanya, "Adikmu amat pandai. Sejak lima
tahun dia mulai belajar, biasanya aku yang selalu memberi petunjuk
kepadanya Hanya tiga tahun dia sudah berhasil meyakinkan kepandaian
dasar, malah lebih matang dari orang lain yang harus berlatih
lima tahun. Tahun lalu dia baru berusia sebelas, Tui-hong-kiam-hoat
sudah dilatihnya dengan baik Kelak pasti akan menjadi tunas
harapan perguruan kami."
"Berkat bimbingan Teng tayhiap dan asuhan ayahmu."
"Kira-kira kapan kau bisa bertemu dengan Utti tayhiap?"
"Kuharap dalam sepuluh hari ini, bila di tengah jalan terjadi
perubahan, susah kuramalkan."
"Setelah bertemu dengan Utti tayhiap, segera kau berangkat ke
Thian-san?" Beng Hoa mengiakan. "Baiklah aku titip kabar kepadamu,
mungkin aku agak terlambat pulang ke Thian-san. Beberapa bulan
yang lalu di wilayah Jwan-say aku bertemu dengan ciangbunjin
Kong-tong-pay Tong-cin-cu, dia titip sebuah kotak sutera kepadaku
supaya diserahkan kepada ayah, tolong kau bawakan?"
"Teng tayhiap percaya kepadaku, wanpe pasti akan
menyampaikan-nya." "Kenapa kau begini sungkan, adikmu adaiah sute-ku, biarlah kita
anggap sejajar saja."
Setelah menerima kotak sutera itu tiba-tiba Beng Hoa bertanya,
"Bagaimana martabat ciangbunjin Kong-tong-pay itu?"
Teng Ka-gwan berpikir sejenak, "Menghadapi urusan kecil Tongcin-
cu teramat gegabah, kalau urusan besar dia masih bisa berlaku
cermat dan lurus. Kenapa kau tanya hal ini?"
"Aku pemah melihat Tong-hian-cu dan Tong-bing-cu dari Kongtong-
pay, kurasa kedua orang itu bukan manusia baik-baik."
"Kenapa kau bilang demikian?"
"Dahulu sam-suhuku Tan Khu-seng juga murid Kong-tong-pay"."
"Ya, benar, konon Tan Khu-seng akhirnya dipecat dan diusir dari
perguruan, dalam hal ini Tong-hian-cu dan Tong-bing-cu yang
mengusulkan. Kau penasaran?"
"Bukan begitu saja, mereka masih ingin mencelakai guruku. Aku
pemah berkelahi dengan Tong-bing-cu."
Tong-bing-cu pasti bukan tandinganmu. Thay-susiok dikalahkan
oleh cucu muridnya, ha, kejadian aneh yang menggelikan. Aku memang
dengar kedua tianglo Kong-tong-pay ini berwatak kukuh,
keras kepala dan kolot, tapi walau ciang-bun suheng mereka
ceroboh, memangnya dia tidak bisa membedakan salah dan benar.
Aku tidak tahu benda apa yang ingin dia serahkan kepada ayahku,
mumpung ada kesempatan, boleh kau jeiaskan persoalan ini kepada
ayah, mungkin dia bisa melerai dan mendamaikan persoalan
gurumu." Beng Hoa nyatakan terima kasih, katanya setelah melihat cuaca,
"Maaf aku harus melanjutkan perjalanan, mohon pamit."
Tahu orang menjalankan tugas penting, perlu lekas menempuh
perjalanan, maka Teng Ka-gwan berkata, "Baiklah, semoga kita bisa
bertemu di Thian-san." Maka mereka pun berpisah.
Kuda itu seperti rindu kepada majikannya, kepalanya diusapkan
ke dada Beng Hoa serta mcringkik perlahan. Mendapat kembali kuda
tunggangannya, lega hati Beng Hoa, dia yakin dalam waktu sepuluh
hari pasti dapat menyusul Utti Keng.
Hujan salju sudah berhenti, cuaca cerah, Beng Hoa cemplak
kudanya terns dibedal ke arah barat Waktu fajar menyingsing hari
kedua, dia sudah ratusan li mening-galkan tempat semula Kuda
pembe-rian Lohay ini kecuali larinya cepat, dia kuat menempuh
perjalanan jauh, semalam suntuk berlari tanpa lelah, larinya pun
lebih cepat dibanding biasanya "Dengan kecepatan lari kuda ini,
semoga sebelum petang aku sudah berhasil mengejar Utti tayhiap,"
demikian batin Beng Hoa. Tapi waktu dia menuruni sebuah lereng, mendadak kaki depan
kudanya terperosok ke dalam lubang, kontan kuda dan
penunggangnya tersungkur ke depan.
Temyata orang menggali lubang jebakan di kaki bukit, di atasnya
ditutupi kayu kering serta ditaburi tanah dan daun-daun kering, panjang
lubang ada tiga tombak, lcbar-nya setombak lebih. Kuda itu
berlari kencang dari atas gunung, maka begitu terperosok badannya
pun tersungkur ke bawah, dalam waktu yang sama terjadi hujan
panah. Temyata beberapa musuh ber-sembunyi di semak belukar
membidikkan panahnya. Di sinilah Beng Hoa menunjukkan
kelihayannya, di saat jiwa terancam bahaya dia mendemonstrasikan
kepandaiannya yang luar biasa Begitu kudanya terperosok, segera
dia menjejak punggung kuda terus meluncur ke depan menerobos
hujan panah. Sebelum kaki menyentuh tanah, pedang sudah
terlolos, di mana sinar bcrki-lauan berkelebat, anak panah rontok
berserakan. Di tengah udara dia bersalto dua kali lalu meluncur turun dengan
enteng, kebetulan melampaui panjang lubang. Begitu berdiri tegak,
Beng Hoa angkat kepala Tampak sembilan Lama berlompatan keluar
dari semak mengurung dirinya.
"Anak bagus, ke surga ada jalan kau tidak mau pergi, neraka
tiada pintu kau datangi. Belum puas kau membuat onar di Siau-kimjwan,
sekarang mau membuat geger lagi di Wi-kiang," terdengar
Lama yang jadi pimpinan membentak. Suara-nya serak menusuk
telinga, bahasa Han-nya pun kaku. Temyata dia bukan lain adalah
Thian-thay Siangjin yang pemah dikalahkan Beng Hoa di Siau-kimjwan
dulu. Seperti diketahui Thian-thay Siangjin semula adaiah ketua dari Siceng
(empat paderi) yang pemah dikalahkan Beng Hoa. Kini termasuk
dirinya semua ada scmbilan Lama, jadi kecuaii Si-ceng ditambah
lima Lama lainnya, jumlahnya sekali lipat lebih banyak daripada


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu mereka mengeroyok Beng Hoa di Siau-kim-jwan dulu.
Sembilan Lama berdandan sama dengan senjata yang sama pula,
tongkat timah bergelang sembilan, sembilan kali sembilan jadi
seluruhnya ada delapanpuluh satu gelang yang berkerontang tak
bcrhenti hingga telinga Beng Hoa pekak dan hati menjadi tak karuan
rasanya. Beng Hoa sudah punya penga-laman waktu bertempur melawan
mereka di Siau-kim-jwan, maka dia tahu bila dirinya terkcpung
dalam barisan mereka, dia tidak yakin dapat membobol kepungan
musuh. Waktu di Siau-kim-jwan Beng Hoa mendapat bantuan Kim
Bik-ki baru dia berhasil menghancurkan Si-ceng, Si-to dan Ngokoan,
walau pihak lawan sekarang tiada Si-to dan Ngo-koan, tapi Siceng
yang semula empat kini bertambah lima jadi sembilan. Para
Lama ini belajar dalam satu perguruan, maka mereka sudah terlatih
dan mahir main keroyok. Beng Hoa tiada pembantu maka dia tidak
yakin bahwa dirinya dapat mengalahkan lawan, mumpung mereka
belum memperkokoh posisinya, maka dia bertekad mengakhiri
pertempuran dengan permainan golok kilat.
Setelah tekad bulat, mendadak Beng Hoa membentak keras,
segera dia melancarkan serangan ganas mematikan.
Sembilan Lama mengambil dela-pan posisi dari Pat-kwa,
scmcntara Thian-thay Siangjin yang berkepan-daian paling tinggi
menempati ke-dudukan tengah. Beng Hoa langsung melabrak Lama
yang mendu-duki buntut barisan, menurut perubahan, barisan
kanan kiri dua Lama yang bcrada di scbelahnya akan angkat tongkat
gelangnya menangkis serta memancing masuk lebih ke dalam
barisan. Kiamhoat Beng Hoa amat cepat, jelas pedangnya menyerang
Lama yang dibuntut, namun tiga Lama yang berdiri sejajar ini
scketika merasa pandangannya kabur, permainan pedang Beng Hoa
temyata putar arah menusuk ke Lama yang menduduki urutan
kelima, Lama yang satu ini belum pemah bergebrak dengan Beng
Hoa. Barisan belum terbentuk secara kokoh, Lama ini belum punya pengalaman
bertamng dengan Beng Hoa, begitu melihat sinar pedang
menusuk tiba, lekas dia melintangkan tongkat timahnya menangkis,
hingga memperlihatkan kelemahan di bawah ketiak kiri, maka
terdengar "cret" disusul suara "trang" yang nyaring. Lama ini kena
sekali tusukan, darah membanjir keluar membasahi kasa merahnya.
Untung Thian-thay Siangjin yang menduduki pusat barisan lekas
mcnyapu dengan tong-katnya hingga pedang Beng Hoa terketuk
minggir, kalau terlambat sedikit, jiwa Lama ini pasti sudah amblas.
Telapak tangan Beng Hoa juga kesemutan oleh ketukan tongkat
Thian-thay Siangjin, jengeknya, "Jago yang sudah keok masih
berani unjuk tampang di medan laga?" Di tengah tawa dinginnya,
mendadak tubuhnya mencelat tinggi, maka tongkat Thian-thay
Siangjin menyapu lewat di bawah kakinya, cepat sekali pedangnya
sudah menukik dari atas menutul ke kiri kanan menusuk scpasang
mata Thian-thay Siangjin.
Waktu mengetuk pedang Beng Hoa, Thian-thay Siangjin juga
merasakan dadanya bcrgctar, karuan hatinya kaget karena
merasakan kemajuan pesat yang dicapai Beng Hoa, melihat betapa
keji tusukan pedangnya yang menukik turun, karuan dia gugup,
lekas dia menekan pundak mcrendahkan tubuh hingga tubuhnya
turun setengah badan, berbareng tongkat dia putar untuk
melindungi kepala. Tak tahunya jurus pedang Beng Hoa menghindar yang kuat
melumpuhkan yang lemah, di tengah udara mendadak dia bersalto,
menuding timur menggempur barat, menyerang selatan bersuara di
utara, hampir dalam waktu yang sama, dalam satu jurus, beruntun
dia menyerang dua Lama yang menduduki urutan kedua dan tiga.
Thian-thay Siangjin sendiri sedang sibuk mempertahankan diri,
dalam waktu sesingkat ini mana sempat dia menempatkan dirinya
memimpin barisan di pusat"
Dengan golok kilat warisan keluarga yang dipraktekkan dalam
permainan pedang, setelah Beng Hoa melukai kedua Lama ini, dengan
jurus Delapan Penjuru Bertempur Malam, di mana sinar pedangnya
bergerak kecepatan dan kchebatannya sungguh laksana
kilat menyambar guntur menggelegar, hanya sekejap tiga Lama
yang lain kembali terluka oleh pedangnya, hakekatnya Thian-thay
Siangjin tak sempat dan tak mampu membentuk barisannya lagi.
Di antara sembilan Lama ini yang belum terluka hanya Thian-thay
Siangjin dan dua Lama lagi yang memiliki kepandaian lebih tinggi,
meski dikatakan lebih tinggi, paling juga karena untuk semen tara
mereka masih mampu menangkis dan menyelamatkan diri saja
Enam Lama yang sudah berdiri siap adu jiwa, serempak mereka
berteriak terus lari sipat kuping. Dengan mcmutar tongkat di tangan
kanan kasa di tangan kiri, Thian-thay Siangjin melindungi orangorangnya
mengundurkan diri. Lwekang-nya memang cukup hebat,
kasa yang lemas itu dapat dia putar menderu laksana segumpal
mega untuk membendung sinar pedang Beng Hoa.
"Kalau berani jangan lari," bentak Beng Hoa. Mendadak sinar
pedangnya berderai laksana bintang berkelap-kelip di tengah
kegelapan, beribu, berlaksa banyaknya membe-rondong jatuh
seluruhnya. Jurus ini dinamakan Seng-han-hu-jay, salah satu jurus
Tui-hong-kiam dari Thian-san-kiam-hoat yang baru-baru ini berhasil
dia tint, namun dia lancarkan jurus pedang ini dengan golok kilat
keluarganya! Sudah cepat ditambah cepat umpama Kim Tiok-liu
atau Teng Ka-gwan yang melancarkan jurus yang sama, juga pasti
takkan seganas dan selihay yang dilancarkan Beng Hoa.
Hanya sekejap gumpalan mega merah lenyap, kasa Thian-thay
Siangjin sudah berlubang-lubang seperti sarang tawon tertusuk pedang
Beng Hoa. Sudah tentu kedua Lama yang belum terluka juga
sudah lari. Sambil menyendal dan menim-pukkan kasa di tangannya Thianthay
Siangjin membentak, "Bocah bagus, hari ini kuakui
kegagahanmu, kalau berani hayo kejar kami."
Bila Beng Hoa menyampuk jatuh kasa merah itu, sementara
Thian-thay Siangjin sudah lari ratusan langkah, dia berlari ke arah
berlawanan dengan kedua Lama itu.
Dengan ginkang Beng Hoa sekarang dia yakin dapat mengejar
Thian-thay Siangjin, tapi juga memerlukan waktu setengah jam.
Pertama khawatir mereka sudah mengatur perangkap, kedua Beng
Hoa masih punya tugas penting dan harus memburu waktu maka
dia tidak punya minat mengejar musuh.
Kudanya yang terperosok ke dalam lubang itu tampak
menungging tak bergerak dengan buih putih keluar dari mulut,
kepalanya terkena sebatang panah, napasnya sudah empas-empis,
agaknya panah itu beracun. Terbayang keadaan dirinya yang
berbahaya tadi, Beng Hoa mengucurkan keringat dingin. Tak tega
melihat derita sang kuda yang sekian lama ini menemani perjalanan
dirinya terpaksa ia memejamkan mata menusuk tenggorokannya
supaya lekas mati. Setelah kehilangan kuda terpaksa Beng Hoa jalan kaki. Semula
dia mengira sebelum mentari turun, dia sudah bisa menyusul Utti
Keng, kini dia merasa was-was dan gelisah.
Maklum berita yang diperoleh dari Ting Tiau-bing mengatakan,
bahwa di antara tigabelas kepala suku minoritas yang akan
dihubungi Utti Keng, dua suku terakhir ber-sekongkol dengan pihak
kerajaan, bukan mustahil mereka akan mencelakai dan membunuh
Utti Keng. Sekarang Beng Hoa sudah mampir sepuluh suku di
antaranya, termasuk suku Lohay jadi sebelas.
Dari suku kesepuluh menuju ke suku sebelas, menunggang kuda
biasa perlu tiga hari perjalanan. Menurut perhitungan Beng Hoa
sebelum petang hari ini atau paling lambat esok pagi sudah akan
menyusul Utti Keng, itu berarti Utti Keng akan tertolong dan
selama!. Sekarang kudanya mati, betapapun tinggi ginkang-nya
juga harus makan waktu dua hari baru bisa tiba di tempat tujuan.
Setengah hari ini jarak yang di-tempuh Beng Hoa belum ada
sepertiga dari seluruh jarak yang harus ditempuhnya, lekas sekali
hari sudah menjelang petang. Mendadak didengarnya suara
kelinting, waktu Beng Hoa angkat kepala tampak dari depan
mendatangi seorang gembala tua menunggang kuda
Karuan Beng Hoa seperti mendapat mustika, lekas dia memapak
maju mencegat di depan kuda Sejak bertempur tadi pakaiannya
kusut dan kotor oleh pasir dan debu maka keadaannya tampak
jorok. Karuan gembala tua itu kaget dan membentak, "Kau mau
apa, aku ini orang miskin yang tidak punya uang."
Lekas Beng Hoa memberi penjelasan dengan bahasa Uigior yang
baru saja dipelajarinya, meski logat dan perkataannya masih plegakpleguk,
"Aku bukan rampok, aku ingin membeii kudamu ini." Lalu
dia merogoh sekeping uang emas sebesar telur ayam dijejalkan ke
tangan gembala tua Propinsi Sinkiartg merupakan gudangnya emas, tambang emas
terdapat di banyak tempat Walau gembala tua ini keluarga miskin,
namun emas sering dilihatnya, sekali pandang dia tahu bahwa emas
ini tulen dan murni, maka dia makin kaget dan curiga Di Sinkiang,
emas memang tidak berharga seperti di Tionggoan, namun
kepingan emas yang diterimanya ini memang lebih dari cukup untuk
membeli seekor kuda yang paling jempoI di daerah ini. Dia tahu
kuda tunggangannya ini tidak bernilai setinggi ini.
"Kuda ini kupakai sendiri, berapa pun kau bayar tetap tidak
kujual," demikian sahut gembala tua
Timbul akal Beng Hoa, katanya, "Eh, apakah kau kenal Lohay
dari pimpinan suku Wana?"
Gembala tua melenggong, katanya, "Lohay adaiah pahlawan tua
bangsa Uigior kami mana mungkin aku tidak mcngenalnya, kau
pemah apa dengan dia?"
Beng Hoa berkata, "Coba kau baca surat pribadi yang ditulisnya
sendiri ini."Apa boleh buat, terpaksa dia perkenalkan Lohay.
Sebetul-nya surat itu ditujukan kepada para kepala suku. Untung
gembala tua ini pemah sekolah pandai membaca.
Setelah membaca surat perkenalan itu, sikap gembala tua tidak
takut lagi kepada Beng Hoa, tapi rasa curiga masih belum lenyap.
"Kau datang dari tempat Lohay kenapa tidak naik kuda?" Tanya
gembala tua. "Aku tahu kau melihat keadaanku yang serba runyam ini pasti
heran dan curiga," demikian kata Beng Hoa. "Terus terang di tengah
jalan aku dicegat gerombolan begal, kudaku mati terpanah."
"Aneh tempat kami ini selamanya aman, belum pemah aku
dengar ada begal di sini. Begal macam apa yang mencegat dirimu?"
Terpaksa Beng Hoa menyabarkan diri memberi penjelasan,
"Kawanan Lama yang datang dari Tibet, mereka membuat
perangkap di jalan yang akan kulewati. Sayang, kudaku itu
pemberian Lohay, terkena panah beracun dan terperosok ke lubang
perangkap hingga mati."
"Lha, pantas kalau kau menunggang kuda pemberian Lohay.
Pasti kuda itu pilihan!"
"Ya, kuda ku milik Lohay, berbulu putih mulus, hanya keempat
kakinya saja yang berbulu merah."
"Betul kuda itu punya nama Soat-li-ang (Merah dalam salju) apa
kau tahu?" "Jadi kau mau menjual kudamu kepadaku?"
"Tidak boleh." Setelah menyabarkan diri dan membuang banyak waktu, orang
tetap tak mau menjual kudanya karuan Beng Hoa kecewa, segera
dia beranjak pergi. Mendadak gembala tua itu bergelak tawa, serunya, "Anak muda,
aku belum habis bicara kenapa ngambek, hai kembalilah."
Beng Hoa putar tubuh, katanya, "Kau mau mengubah sikap?"
"Sikapku tak bcrubah. Kuda tetap tidak kujual, tapi aku boleh
memberikan kepadamu."
Kejut dan girang Beng Hoa dibuatnya, serunya, "Ah, mana boleh
begitu?" Gembala tua berkata, "Kudaku ini memang tidak akan kujual, tapi
kuanggap kau sebagai sahabat maka kuberikan kepadamu, kalau
kau ber-kukuh memberi uang kepadaku, berarti kau tidak pandang
aku sebagai kawan, terpaksa kuda kuambil lagi. Kau tak usah
khawatir, di rumahku masih punya seekor kuda betina yang dalam
waktu dekat akan melahirkan. Hidupku memang serba miskin, tapi
aku masih mampu memberi seekor kuda kepada teman."
Melihat orang tulus ikhlas, terpaksa Beng Hoa tak bisa menolak
maksud baiknya, dengan rasa ham dan terima kasih dia terima kuda
orang. "Anak muda jangan terburu-buru, kau ingin bertemu dengan kelo
(pemimpin suku) kami, tahukah kau bagaimana kau harus
mencarinya?" Beng Hoa sadar, segera dia mohon petunjuk, "Mohon lotiang
memberi keterangan."
"Kutunjukkan sebuah jalan yang dekat," ucapnya. Khawatir Beng
Hoa kurang jelas dengan ujung jari dia mencoret-coret di atas pasir
membuat sebuah gambar. Beng Hoa sudah mendapat penjelasan, dia tahu bagaimana harus
pergi ke Thian-long-kok Lembah Serigala, tapi tak tahu adanya jalan
rahasia yang lebih dekat. Menurut petunjuk gembala tua, sedikitnya
dia bisa menghemat sepertiga perjalanan semula
Dengan girang Beng Hoa lantas menyatakan terima kasih.
"Kau banyak membantu bangsa kami, separutnya aku malah
yang harus berterima kasih kepadamu. Tapi kau harus hati-hati
jangan keburu girang."
Tahu ucapan orang mengandung arti mendalam lekas Beng Hoa
bertanya, "Apakah di depan masih ada bahaya yang mengancam?"
"Apakah bakal terjadi sesuatu di luar dugaan di depan aku tidak
berani pastikan. Tapi setelah kau di tempat kediaman kelo kami, kau
harus lebih hati-hati."
"Memangnya kenapa?" Beng Hoa terkesiap.
Gembala tua menghela napas, katanya "Beberapa tahun yang
lalu, kelo kami ini masih mending, namun dua tahun belakangan ini
dia berubah tamak dan loba, para gembala dipaksa membayar pajak
yang lebih tinggi. Bila kuda melahirkan dua ekor, satu untuk dia
pasir emas yang berhasil didulang dia menuntut tujuhpuluh persen
dari setiap pendapatan bersih.
"Itu belum apa-apa, tempatnya sering dikunjungi orang-orang
yang tidak dikenal yang bertindak se-wenang-wenang, bila pergi
selalu membawa banyak hadiah dari jerih payah rakyat jeiata Ada
orang bilang bahwa orang-orang itu adalah utusan raja Boanciu
yang berkuasa di Pakkhia sekarang."
Tergerak hati Beng Hoa, tanya-nya, "Belakangan ini adakah
orang-orang yang tak dikenal datang ke sana?"
"Makanya aku perlu memberi tahu kepadamu. Sembilan Lama
yang kau pergoki itu semua adalah tamu agung kelo, mereka
datang sepuluh hari yang lalu. Dua hari yang lalu kabaruya pulang,
kami baru merasa senang dan lega tak nyana dia masih beroperasi
di daerah kami ini. Kemarin ada orang melihat mereka menggali
tanah di bawah gunung, entah apa maksud tujuannya. Ternyata
membuat perangkap untuk mencelakai jiwa orang."
"Kecuali sembilan Lama itu, adakah orang-orang yang patut
dicurigai masih berada di kediaman kelo?"
"Ada saja masih ada dua orang lain yang datang bersama
sembilan Lama itu, sikap kelo kelihatan lebih ramah dan hormat


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada kedua orang Han ini. Sekarang mereka masih tinggal di
sana." "Terima kasih atas banyak keteranganmu, aku pasti berlaku hatihati."
Setelah mehgucap terima kasih, Beng Hoa berpisah dengan
gembala tua yang baik hati ini. Walau dia lewat jalan tembus yang
lebih dekat, sayang kuda ini jauh lebih lambat dibanding kuda
tunggangannya semula. Hari kedua menjelang petang baru dia tiba
di Thian-long-kok. Dalam keremangan cuaca tampak puncak gunung di depan memang
mirip serigala yang mende-kam, bagian kepalanya agak datar,
bagian kanan kiri melebar seperti sepasang sayap, seperti serigala
menyeringai hendak menerkam mangsanya. Di atas gunung lapatlapat
kelihatan dinding tembok yang mengitari sebuah benteng.
Kuda Beng Hoa sudah berbuih, lelahnya bukan main, lereng ini
cukup terjal, pasti takkan kuat naik ke gunung. Terpaksa Beng Hoa
melepaskan kuda itu, lalu naik gunung seorang diri.
Ringkik kuda yang kelelahan itu ternyata mengejutkan
serombongan ronda yang sedang bertugas. Baru saja Beng Hoa
menginjak ke dalam Thian-long-kok, dari semak-semak di pinggir
jalan mendadak menero-bos keluar empat orang Uigior serta
membentak, "Siapa kau, untuk apa datang kemari?"
Beng Hoa tidak sempat memberi penjelasan, dengan gerakan
kilat dia totok hiatto keempat orang ini. Ke-empat orang ini
sebetulnya pengawal kepala suku yang berkuasa di Thian-long-kok
ini, namun berhadapan dengan jago selihay Beng Hoa, mana
mampu mereka melawan, sebelum sempat mengeluarkan senjata
satu persatu sudah tertotok roboh.
Beng Hoa berkata tertawa, "Maaf, kalian boleh istirahat dua jam
lamanya." Untung hanya empat orang saja yang meronda dalam
lembah, orang lain tidak tahu adanya kejadian di sini.
Dengan mengembangkan gin-kang Beng Hoa terus menyelundup
lebih jauh menuju ke sarang serigala. Daerah-daerah berbahaya di
atas gunung memang diawasi oleh petugas jaga, dengan kecepatan
ginkang Beng Hoa, puluhan pos jaga telah dilewati tanpa ketahuan.
TABIR malam sudah menyelimuti jagat raya. Cuaca malam ini
ternyata cukup cerah tiada rembulan tanpa bintang,
menguntungkan orang yang menyelundup ke dalam benteng. Tapi
setelah Beng Hoa, berhasil menyelundup ke dalam dengan leluasa,
hatinya malah tidak tenang, "Entah bagaimana keadaan Utti tayhiap
sekarang, semoga aku belum terlambat."
Bagaimana keadaan Utti Keng"
Saat itu dia sedang makan minum dengan kelo yang berkuasa di
Thian-long-kok, untuk menyambut kedatangannya. Agaknya
pembicaraan amat cocok, sikap kelo yang ramah dan bicara blakblakan,
dia berjanji akan membantu pihak laskar gerilya melawan
pasukan kerajaan. Utti Keng sudah mampir di sepuluh tempat kediaman para kepala
suku, apa yang diucapkan dan jawaban mereka hampir sama satu
dengan yang lain. Kalau mau di-bedakan secara teliti, jawaban kelo
dari Thian-long-kok ini lebih tegas, agak muluk dan enak didengar.
Utti Keng seorang cermat dan sudah berpengalaman, sayang
jawaban itu dianggapnya sebagai hal yang biasa, dia mengira kelo
dari Thian-long-kok ini seperti juga pe-mimpin suku bangsa yang
lain, sedikit pun dia tidak sadar bahwa dirinya sudah terperangkap
dalam muslihat orang. Begitu kelo bertepuk tangan, dua pembantunya segera masuk
memba-wa nampan, nampan satu berisi arak dan cangkir, nampan
yaug lain berisi kain merah yang dilipat rapi dan te-bal, di sebelah
atasnya ditaruh sebilah pisau runcing.
Kata kelo Thian-long-kok sambil berdiri, "Utti tayhiap datang dari
tempat ribuan li untuk membantu kami melawan kerajaan. Silakan
habiskan secangkir arak darah ini sebagai tanda perserikatan kita."
Minum arak dicampur darah kedua pihak adalah sebagai tanda
sumpah setia yang amat besar artinya, setelah arak darah itu
diminum. maka perserikatan pun sudah terjalin. Pihak mana
mengingkari sumpah akan dihukum oleh Yang Kuasa. Oleh karena
itu Utti Keng harus minum arak darah itu. Jelasnya Utti Keng
menerima perserikatan dengan cara yang sudah lazim ini dengan
rasa gembira. Kelo ambil pisau lalu menusuk jari tengah sendiri lalu
meneteskan darahnya ke dalam poci, Utti Keng juga berbuat
demikian. Sang kacung segera menuang dua cangkir arak
dipersembahkan kepada kelo dan Utti Keng. Kelo angkat cangkimya
terus ditenggaknya habis lebih dulu.
Utti Keng juga angkat cangkir araknya hendak langsung ditenggaknya
habis. Terasa bau arak yang wangi merangsang hidung,
namun dalam bau wangi tercampurjuga bau anyimya darah.
Padahal hanya beberapa tetes darah yang dicampur dalam arak,
bau amis itu sebetulnya teramat tipis, malah hampir tidak terasa.
Tapi kelo sudah menenggaknya habis lebih dulu, setiap kali
mengikat perserikatan dengan para kepala suku bangsa yang lain
Utti Keng juga menggunakan cara yang sama, mimpi pun tak
terpikir olehnya bahwa kepala suku yang satu ini mempunyai
maksud jahat, karena itu meski dia mengendus bau amis, tapi
sedikit pun dia tidak ambil perhatian.
"Scmoga kedua pihak selalu ber-pegang teguh pada perserikatan
ini, bersatu padu melawan pcnjajah," demikian ucap Utti Keng terus
angkat cangkimya. Di saat dia hampir minum arak-nya itu, tiba-tiba terdengar
keributan. Kelo mengerutkan kening, bentaknya, "Siapa membuat
keributan di luar?" "Kenapa tidak boleh masuk" Kurang ajar!" terdengar suara seseorang
kasar membentak. Seorang wisu berlari masuk memberi laporan, "So Ha berkeras
hendak menerjang masuk."
So Ha adalah seorang perwira tua yang punya wibawa paling
besar dalam Thian-long-kok. Walau dia sudah pensiun, namun kelo
masih menghormati dan sering memberi muka kepadanya.
Kelo mengerutkan alis, katanya, "Sudah kau jelaskan
perintahku?" "Sudah kujelaskan. Kukatakan kelo sedang menjamu tamu
agung, supaya dia besok datang lagi. Tapi dia berkeras ingin
masuk." Keributan di luar semakin gaduh.
"Baiklah," ucap kelo jengkel, "suruh dia menunggu sebentar, segera
aku keluar menemuinya. Suruhlah dia menunggu dan jangan
membuat ribut." Lalu katanya menoleh dengan tertawa, "Mungkin
aku kurang disiplin pada anak buah, sungguh tidak enak adanya
keributan ini, marilah jangan urusan kita terbengkalai, Utti tayhiap,
silakan minum." Utti Keng memang kcheranan atas keributan di luar, namun dia
bukan orang yang suka turut campur urusan orang lain, mendengar
anjuran kelo segera dia angkat pula cangkimya. Baru saja cangkir
menyentuh bibir, mendadak dirasakannya kesiur angin tajam
menyambar, sekeping mata uang melesat ke arahnya.
Utti Keng sudah berpengalaman di medan laga, mana gampang
dibokong orang" Begitu terasa diserang secara gelap, jari kirinya
segera menjentik "Cring", mata uang itu dijentiknya jatuh. Tapi
karena adanya gangguan ini dia tidak sempat minum araknya. Apa
lagi setelah menjentik jatuh mata uang itu, hati-nya pun heran,
terasa bahwa penyambit senjata rahasia ini menggunakan cara yang
ganjil. "Sambitannya memang lihay, Iwekang-nya juga tinggi, tapi
kenapa mata uang itu tidak diarahkan ke hiatto di tubuhku, tapi
seperti hendak memukul jatuh cangkir di tanganku." Maklum Utti
Keng adalah ahli silat, begitu jarinya menjentik jatuh mata uang,
segera dia dapat mengukur lwekang penyambitnya, ke mana pula
arah yang diincar senjata rahasia itu.
Tengah dia menimang-nimang, mata uang kedua sudah melesat
tiba pula secepat kilat, kali ini Utti Keng sengaja pura-pura tidak
keburu mcenangkis, "prak" cangkir di tangannya scketika hancur.
Sesuai dugaannya, tujuan pcnyambit senjata rahasia adalah
memukul hancur cangkir di tangannya.
Tak perlu dijelaskan tentu pembaca juga sudah maklum bahwa
penyambit mata uang yang menghancurkan cangkir di tangan Utti
Keng ini adalah Beng Hoa. Dia tiba tepat pada saatnya.
Dengan gaya kera bergantung, Beng Hoa sudah jumpalitan dan
"Blang" daun jendela dipukulnya hancur terus menerjang masuk.
"Utti tayhiap, itu arak racun, jangan kau minum," begitu kaki
menyentuh lantai Beng Hoa lantas berteriak. Sebat sekali, dia sudah
menotok roboh dua orang yang menubruk datang.
Kalau orang lain yang bicara mungkin Utti Keng tidak percaya,
tapi Beng Hoa pemah membantu pihak laskar gerilya, maka
peringatannya tidak bisa tidak harus dipercaya.
Kejadian teramat mendadak, kedua kacung yang melayani makan
minum itu pun, mendadak bertindak secara cepat, di luar dugaan
lagi. Sebelum Utri Keng sempat bicara dengan Beng Hoa, kedua
kacung itu sudah turun tangan bersama dari kiri kanan. "Blang" Utti
Keng beradu pukulan dengan kacung di sebelah kiri, kacung itu
dipukulnya mencelat, namun Utti Keng juga tergeliat. Walau Utti
Keng berada di atas angin, namun dia merasa heran dan kaget,
bahwa orang ini kuat menahan pukulannya, maka kacung ini jelas
pasti seorang kosen. Ilmu silat kacung kedua lebih aneh lagi, begitu turun tangan deru
pukulannya membawa hawa dingin yang bisa membekukan tulang
sum-sum, lwekang Utti Keng cukup tinggi tidak urung dia bergidik
kedinginan. Kontan Utti Keng membentak, "Bagus, kiranya kau Yang Kekbeng."
Seperti diketahui Yang Kek-beng adalah tokoh silat sarusatunya
pewaris ilmu Beng Sin-thong yang jahat, Siu-lo-im-sat-kang
sudah dilatihnya sampai tingkat kedelapan. Utti Keng pemah dengar
iblis besar ini pemah bertarung dengan Tan Khu-seng
memperebutkan Ciok-lin, selama ini belum pemah dia bertemu
dengan orang ini, begitu lawan melancarkan Siu-lo-im-sat-kang Utti
Keng lantas kenal siapa dia.
Utti Keng belum punya pengalaman dalam menghadapi Siu-lo-imsat-
kang dan tak tahu cara bagaimana cara menawarkan hawa
dingin itu, sebat sekali dia keluarkan golok "Creng" sekali pukulan
telapak tangan Yang Kek-beng diubah menjadi jentikan jari yang
telak menjentik punggung golok lawan. Siu-lo-im-sat-kang sudah
dilatih ke tingkat delapan, ilmu menyalurkan tenaga melalui benda
sudah jauh lebih maju dibanding dulu, walau Utti Keng masih kuat
menahan angin pukulan lawan, namun dalam waktu sesingkat ini
dia pun kelabakan. Karena kedinginan hingga tabasan goloknya
miring ke pinggir, namun pundak Yang Kek-beng tak urung tergores
luka ringan. Sekali tendang Yang Kek-beng singkirkan meja terus melompat
setombak jauhnya. Kacung yang beradu pukulan dengan Utti Keng
tadi pun sudah berdiri pula, ternyata dia tidak terluka. Tadi dia
menerjang maju, namun tenaganyajustru dilancarkan belakangan
sehingga serangannya bergabung dengan pukulan Siu-lo-im-satkang
Yang Kek-beng. Utti Keng berhasil dibendung sementara
hingga tak mampu melontarkan serangan goloknya yang lihay.
Cepat sekali, setelah merobohkan dua orang, kebetulan Beng
Hoa mencegat kacung yang hendak lari keluar. "Sret" Beng Hoa
kontan menusuk dengan pedang, bentaknya, "Orang she Yap, di
Lhasa aku mengampuni jiwamu, berani kau lari ke-mari
menimbulkan huru-hara." Ternyata kacung yang satu ini bukan lain
adalah Yap Kok-wi satu di anta-ra tiga jago kosen istana. Di Gioksiu-
san dan Putala pemah dia dilabrak Beng Hoa.
Tay-cui-pi-jiu Yap Kok-wi mampu memukul hancur batu, biasanya
dia terlalu mengagulkan kepandaiannya ini, tak nyana sekali
gebrak hari ini kembali dia kecundang oleh Utti Keng. Kini dilihatnya
pemuda yang lihay permainan silatnya ini adalah Beng Hoa, dulu dia
sudah kecundang dua kali, sudah tentu kali ini tak berani
melawannya. Yap Kok-wi lancarkan pukulan dengan kedua tangannya, mundur
untuk maju, sekuat tenaga dia lontarkan satu pukulan. Dari sana
Yang Kek-beng juga melontarkan sebuah pukulan. Sudah tiga tahun
Beng Hoa meyakinkan lwekang sim-hoat ajaran Thio Tan-hong yang
merupakan penakluk Siu-lo-im-sat-kang, begitu damparan hawa
dingin melanda tiba, Utti Keng pun tadi bergidik kedinginan,
temyata Beng Hoa tetap bersikap wajar, permainan pedangnya pun
tak terpengaruh sedikit pun. Dengan jurus Tay-bok-hou-yan, ke kiri
menusuk Yang Kek-beng, ke kanan menabas Yap Kok-wi.
Sayang walau dia mampu bertahan dari pukulan Siu-lo-im-satkang
namun tidak kuat melawan gabungan pukulan Yang Kek-beng
dan Yap Kok-wi, begitu tusukan luput tak urung dia tertolak mundur
ke belakang. Mendadak Utti Keng menghar-dik keras, "Kawanan tikus, kalau
berani hayo lawan seranganku." Sambil menenteng golok dia menubruk
maju. Pada saat itulah terdengar Yap Kok-wi menjerit "aduh",
namun bersama Yang Kek-beng mereka berhasil menerobos keluar
rumah lewat jendcla yang tadi dipukul hancur oleh Beng Hoa.
Kiranya karena buru-buru ingin melarikan diri, dia tertusuk pedang
Beng Hoa di pundaknya, lukanya cukup parah. Tapi Beng Hoa
mcrasa sayang karena tusukannya tidak menusuk putus tulang
pundak orang. Saat itu ruang perjamuan menjadi kacau baiau, orang-orang dari
pihak tuan rumah banyak yang roboh bergelimpangan tersapu
pukulan atau kena tendang dan tertubruk meja kursi. Mereka yang
masih berdiri juga gemetar dengan gigi berkerutuk kedinginan.
Beberapa di antaranya yang berdiri jauh masih bisa berjalan
membuat api unggun. Kelo yang berkuasa di Thian-long-kok ini selalu dikawal oleh
beberapa orang kepercayaannya, pengawal yang tadi mengelilingi
dirinya sekarang sudah roboh semuanya. Kelo sendiri tidak begini
parah terserang hawa dingin, sekuatnya dia masih duduk di kursi,
namun juga masih gemetar.
Utti Keng pandai melihat situasi, lekas dia tarik Beng Hoa,
katanya, "Musuh lari tak perlu dikejar, lebih penting kita bereskan
persoalan di sini. Untung kedua cakar alap-alap itu sudah terluka."
Tapi bagaimana urusan di sini haurs dibereskan" Utti Keng yang
berpengalaman ini juga serba susah dibuatnya. Sekarang dia
memang sudah tahu bahwa kelo Thian-long-kok ini ada intrik
dengan pihak kerajaan, namun persoiaan intrik orang lain tak bisa
din ikut campur. Memang dia boleh menuduh kelo Thian-long-kok
ini ingkar janji, namun kalau anak buahnya tetap melindungi
ketuanya Utti Keng tak bisa berbuat apa-apa, celaka malah kalau dia
main kekerasan, salah-salah dirinya bisa dikeroyok, lalu apa yang
harus dilakukan" Beng Hoa masih muda dan ber-darah panas, pikirannya tidak
secermat Utti Keng, mendengar ucapan Utti Keng, segera dia
memutar tubuh terus mencengkeram kelo, bentaknya, "Kau tidak
mau berserikat dengan laskar gerilya tidak jadi soal. Kenapa kau
berintrik dengan kerajaan hendak menceiakai Utti tayhiap?"
Agaknya kelo seorang yang pandai bersilat lidah, dengan suara
gemetar dia balas membentak, "Jelek-jelek aku ini tuan rumah,
kalau kau ingin tahu sebab musababnya, mintalah keterangan
secara sopan, kenapa kasar dan kurang ajar" Lekas lepaskan!"


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beng Hoa," lekas Utti Keng melerai "jangan bertindak kasar,
dengarlah penjelasan."
Beng Hoa lepas tangan. Maka dengan kalem kelo baru bicara,
"Peristiwa barusan juga tak terduga olehku."
"Kenapa tidak terduga?"
"Kedua kacung itu mengaku datang dari suku lain, minta aku
menerima mereka sebagai pembantu, kulihat mereka memiliki
kepandaian, maka kuangkat mereka sebagai pengikutku.
Hakekatnya aku tidak tahu asal-usul mereka. Utti tayhiap, bukankah
kau sendiri juga tidak tahu kalau mereka orang Han yang
menyamar?" Utti Keng manggut-manggut, tapi Beng Hoa menjengek dingin,
"Arak itu beracun, bagaimana kau memberi penjelasan" Di dalam
situasi seperti ini, di bawah pandangan orang banyak jikalau bukan
kau yang memberi perintah, memangnya mereka berani
menggunakan arak beracun" Apa kau berani bilang mereka sendiri
yang harus bertanggung jawab atas perbuatan kejinya itu?"
Kelo balas bertanya, "Dari mana kau tahu kalau arak ini beracun"
Kalau benar arak ini beracun, tentu aku sudah mati keracunan.
Tidak percaya sekarang biar kuminum secangkir lagi, silakan
saksikan." Kelo memang pandai berdebat, Beng Hoa melenggong
mati kutu. Maklum dia memang hanya mendu-ga saja, waktu dia
tiba tadi tidak melihat kelo sudah minum secangkir lebih dulu. Dia
hanya melihat Utti Keng kebetulan angkat cangkir hendak minum,
sementara dua kacung yang melayani makan minum disamping,
meski mereka menyamar dengan baik, namun Beng Hoa tak bisa
dikelabui, dia tahu kacung ini adalah samaran Yang Kek-beng dan
Yap Kok-wi, apalagi sebelumnya dia sudah tahu bahwa kelo yang
satu ini memang bcrsekongkol dengan kerajaan Ceng, maka dia
bertindak supaya Utti Keng tidak minum arak itu.
Alasan yang dikemukakan kelo masuk akal, maka Utti Keng
menjadi bimbang, katanya, "Betul, tadi memang dia sudah minum
secangkir." Mendapat angin kelo semakin temberang, katanya dengan
bermuka-muka, "Tapi engkoh cilik ini tidak melihat, mungkin dia
tidak percaya. Baiklah biar kuminum secangkir lagi."
Utti Keng mengharap peristiwa ini hanya suatu salah paham,
baru saja dia hendak minta maaf akan keteledoran Beng Hoa, lalu
melanjutkan upacara perserikatan ini, mendadak seseorang
menerobos maju, meraih cangkir arak itu serta ditenggaknya habis.
Pendatang yang tak diundang serta tak terduga ini bukan lain
adalah So Ha yang tadi membuat keributan di luar.
"So Hal" bentak kelo, "kurang ajar. Di sini kau yang jadi kelo atau
aku" Aku sedang berunding dengan Utti tayhiap, kau merebut arak
perserikatan, apa maksudmu?"
So Ha menyeringai dingin, katanya, "Kalau kau masih ingin
minum biar kuisi cangkirmu, nah silakan minum." Sembari bicara dia
angkat poci serta mengisi secangkir penuh, lalu disodorkan ke dekat
kelo hendak memaksanya minum.
Berubah pucat muka kelo. Lekas tangannya menampar hingga
cangkir itu jatuh dan pecah berkeping-keping.
So Ha tertawa dingin, katanya, "Poci arakmu yang pakai alat
rahasia ini dapat mengelabui Utti tayhiap, kau kira bisa mengelabui
aku. Utti tayhiap, silakan periksa."
Temyata poci arak ini terdiri dua lapis, lapis atas berisi arak
beracun, bagian bawahnya berisi anggur biasa, gagang poci
dipasangi tombol, hanya sekali tekan, arak anggur itu akan
tercampur racun. Pucat pias muka kelo, makinya gusar, "So Ha, selama ini aku
bersikap baik terhadapmu, kau justru memberontak, sungguh
kurang ajar." "Betul," seru So Ha lantang, "Aku memang memberontak. Bukan
aku saja tapi juga kawan-kawan lain, coba buka matamu, semua
silakan masuk." Pintu besar sudah dibuka oleh So Ha, maka orang-orang di luar
segera berbondong masuk hingga ruang perjamuan ini penuh sesak.
Di antaranya ada delapan sepuluh orang adalah pengawal pribadi
kelo sendiri. Dengan kalem So Ha lantas berkata, "Suku Uigior kita harus
bersatu padu menahan serbuan musuh, kau justru sekongkol
dengan utusan kerajaan, kaulah yang pantas diganyang." Lalu
menyambung, "Kedua mata-mata musuh tadi, dia sudah tahu asalusul
mereka, dengan. kedua mata-mata kerajaan itu dia
bersekongkol hendak meracun Utti tayhiap, hal ini memang sudah
lama disiapkan." "Kau membual," bantah kelo membandel, "dari mana kau
mendengar berita angin ini?"
"Memang bukan kau yang memberi tahu kepadaku, tapi, orang
lain tidak bisa kau tipu. Beberapa orang ini adalah orang
kepercayaanmu, berani kau mengatakan mereka menyebar kabar
bohong?" Para pengawas kelo yang tadi kedinginan, setelah api unggun
menyala besar kini keadaan mereka sudah agak pulih, orang yang
dituding So Ha sebagai kepercayaan kelo segera berkata, "Kelo,
jangan kau salahkan kami bila memberontak kepadamu,
perbuatanmu belakangan ini memang tidak pantas."
Melihat gelagat tidak mengun-tungkan orang-orang kelo itu
sudah tentu mencari keuntungan sendiri, semua bersuara
menyalahkan sang pimpinan, malah ada yang mengacungkan tinju
serta memaki kelo. Kelo menghela napas panjang, katanya, "Sungguh tak nyana hari
ini aku betul-betul terlepas keluarga besar. So Ha, kuharap kau
ingat betapa baik sikapku terhadapmu selama ini, ampunilah
jiwaku!" "Mengkhianati orang banyak mengingkari keluarga adalah
perbuatanmu sendiri. Bagaimana hukumanmu, terserah kepada
rapat umum nanti." Maka So Ha suruh orang memanggil para sesepuh atau tianglo
dari suku mereka, bersama orang-orang yang hadir segera
mengadakan rapat kilat merundingkan keruntuhan jabatan kelo
serta mencari calon penggantinya dan lain-lain.
Urusan intrik mereka sudah tentu Utti Keng tidak enak hadir,
maka dia ajak Beng Hoa keluar saling bercerita tentang pengalaman
selama perjalanan. Sebelum terang tanah, rapat kilat besar itu sudah berakhir, So Ha
dipilih dan di angkat dengan dukungan penuh sebagai kelo,
sementara kelo yang berbuat salah dihukum kurungan seumur
hidup. Hari kedua kelo yang baru, So Ha, melangsungkan upacara
perserikatan secara simbolis di hadapan orang banyak.
Dari tigabelas suku bangsa yang ada di wilayah Wi-kiang, Utti
Keng sudah mengikat hubungan dengan duabelas kepala suku, kini
tinggal satu lagi suku yang belum dihubungi, letaknya berada di
ujung barat yang lebih jauh lagi.
Dari mulut Ting Tiau-tang, berita yang didengar oleh Beng Hoa
disampaikan kepada Utti Keng, maka Utti Keng bertanya kepada So
Ha, "Konon kelo dari suku Tay-hiong bersekongkol dengan pihak
kerajaan, entah betul atau tidak?"
So Ha berkata, "Menurut apa yang kutahu, kelo dari Tay-hiong
walau pemah menerima kedatangan duta kerajaan, tapi berbeda
dengan kelo kami yang dahulu, dia pandai melihat arah angin, jadi
bukan takluk atau betul-betul sudah menjadi antek kerajaan. Satu
rahasia boleh kuberi tahu kepada Utti tayhiap, beberapa hari yang
lalu dia mengutus seseorang menemui aku, katanya situasi sudah
jelas, ke mana arah tujuan suku bangsa kami yang besar ini, maka
dia bertekad mengikuti langkah para kelo yang lain tidak akan
berkiblat ke pihak kerajaan. Tapi dia masih terhitung tetangga dekat
kami, dia takut kelo kami masih menjadi antek kerajaan, kekuatan
perangnya jelas bukan tandingan kami, beliau takut kalau kami
serang. Maka dia memberi saran bila kelo lama tetap sewenangwenang
dia rela mendukung aku menjatuhkan kelo."
Lega hati Utti Keng, katanya tertawa, "Kalau demikian kami boleh
berangkat ke Tay-hiong untuk mengikat perserikatan dengan kelo
mereka, bahaya sudah tersingkir dengan sendirinya."
"Ya," kata So Ha, "kukira takkan ada bahaya lagi."
Beng Hoa yang duduk di samping diam saja, seperti ada sesuatu
yang sedang dipertimbangkan.
"Adik cilik," tanya Utti Keng, "apa yang sedang kau pikir?"
"Utti tayhiap, bila tenagaku tidak kau perlukan untuk ke Tayhiong,
kupikir hari ini juga aku akan berangkat."
"Dari sini ke Tay-hiong jelas tidak akan ada bahaya, seorang diri
kurasa bisa menunaikan tugas ini. Tapi kenapa kau ingin lekas
pergi?" "Atas kehendak ayah aku harus pergi ke Thian-san," Beng Hoa
menjelaskan. Utti Keng tertawa, katanya, "Agaknya kau buru-buru ingin pulang
untuk berkumpul dengan nona Kim bukan?"
Dikorek isi hatinya, merah muka Beng Hoa, katanya, "Ayah baru
sembuh dari sakit, kondisinya belum pulih, kupikir aku harus lekas
menyelesaikan urusanku di Thian-san, lalu pulang selekasnya."
"Baiklah, kalau demikian, boleh kau berangkat menunaikan
tugas-mu." Lalu maksud Beng Hoa"disampaikan kepada So Ha.
So Ha berkata, "Beng-siauhiap, betapa besar arti bantuanmu
kepada suku kami, tiada yang bisa kuhatur-kan kepadamu, harap
kau tunggu sebentar, perjalananmu cukup jauh, kau perlu seekor
kuda yang kuat dan dapat berlari jauh."
Di saat So Ha bicara, seorang petugas mendadak memberi
laporan, "Ada seorang bcrnama Kang Poh yang datang dari Tibet
mohon bertemu." So Ha melenggong,katanya, "Siapakah orang bernama Kang Poh
ini, aku tidak pemah kenal dia, buat apa ribuan li dari Tibet kemari
mencari aku." Beng Hoa terkejut dan girang, belum sempat dia bicara seorang
pengawal pribadi kelo lama sudah angkat bicara, "Aku kenal orang
ini, kedatangannya memang ada maksud tertentu."
"Apa maksudnya?" tanya So Ha.
Pengawal itu menjelaskan, "Kang Poh adalah tuan tanah dan
pemilik peternakan besar di Tibet, kekuasaannya besar. Dengan
kelo kita yang lama ada hubungan rahasia, sering dia menyuruh
orang mengadakan kontak. Hal ini jarang diketahui orang."
Petugas yang lapor juga berkata, "Ya, agaknya dia belum tahu
perubahan yang terjadi di tempat kita ini, maka dia minta bertemu
dengan kelo." So Ha tertawa, katanya, "Jadi dia bukan mencariku, kau belum
memberi tahu tentang pergantian kelo di sini bukan?"
"Aku memang mohon petunjuk kepada kelo, sudah tentu tidak
berani kujelaskan kepadanya," sahut petugas jaga itu.
"Agaknya yang datang bukan Kang Poh seorang saja."
"Ya, dia datang bersama dua Lama."
"Tanpa keperluan tak mungkin dia datang kemari dari jauh, pasti
ada suatu permintaannya, entah apa yang akan dia minta ke
padaku" Oh ya kau bilang tahu persoalannya, coba kau jelaskan."
Pengawal itu berkata, "Beberapa hari yang lalu kudengar
percakapan orang Han she Yap itu bicara tentang Kang Poh ini
dengan kelo yang dahulu, katanya belakangan ini Kang Poh
mcnghadapi kesulitan, kemungkinan akan mengungsi kemari
mencari perlindungan sementara. Aku tidak berani mencuri dengar
lebih jauh, maka kenapa dia mencari perlindungan kemari aku tidak
tahu." "Aku tahu," sela Beng Hoa. Lalu dia ceritakan apa yang dia tahu
tentang Kang Poh. So Ha tertawa katanya, "Jadi dia musuh besar
Beng-lote, sungguh kebetulan kedatangannya malah."
Pengawal itu berkata pula, "Kebetulan pula dengan kedatangan
Kang Poh ini kita tidak usah memilih kuda untuk perjalanan Bengsiauhiap
nanti." "Lho, kenapa?" So Ha menegas. "Kang Poh adalah petemak kuda
yang terbesar di Tibet, selama hidupnya kesukaannya adalah
mengoleksi kuda dan golok pusaka, kupikir kuda yang dia tunggangi
kemari pasti kuda pilihan."
"Betul," petugas itu ikut ber-suara, "tiga ekor kuda yang mereka
naiki memang gagah, besar dan jempolan."
"Bagus sekali, syukur mereka masuk ke dalam kandang, ada
kesempatan aku membalas kebaikan Beng-siauhiap. Eh, apakah dia
pemah bertemu dengan kelo dulu?"
"Belum, mereka belum pernah bertemu," sahut pengawal itu.
"Baiklah, lekas silakan mereka masuk," kata So Ha.
So Ha menyamar sebagai kelo yang lama menyambut
kedatangan Kang Poh dan dua Lama, sementara Utti Keng dan Beng
Hoa sembunyi di belakang pintu angin. Beng Hoa kenal kedua Lama
itu, bukan lain adalah Sekong dan Sekan, dua tokoh lihay dari Bitcong
yang lihay. Setelah duduk Kang Poh angkat kepala, melihat wajah So Ha dia
melenggong. Kang Poh memang belum pernah bertemu atau melihat kelo
yang lama, tapi orang yang diutusnya pemah menjelaskan
kepadanya tentang usia, wajah dan perawakan kelo dari Thian-longkok
ini. Usia, wajah dan perawakan So Ha jelas berbeda dengan
gambaran yang diceriterakan oleh utusannya itu. Maka setelah
berhadapan dengan So Ha dia jadi curiga dan bimbang.
Untung So Ha berperawakan kekar berotot, walau rambut di
kedua pelipisnya sudah memutih, namun masih kelihatan gagah.
Sayang utusannya yang dulu kali ini tidak ikut datang, meski hati
merasa bimbang, namun dia tidak berani mencurigai orang ini palsu.
Setelah mempersilakan para tamunya duduk, So Ha lantas berkata,
"Walau baru pertama kali ini kita bertemu, dua tahun yang lalu
utusanmu pernah datang kemari, kepadanya pernah aku titip pesan
untuk mengundang Kang-siansing kemari, syukurlah setelah
menung-gu dua tahun, hari ini Kang-siansing tiba di sini."
Dua tahun yang lalu Kang Poh mengirim utusannya itu secara
rahasia, maka hatinya agak lega, namun dia masih ingin mencoba
lagi, "Kabarnya Yap Kok-wi tayjin dan Thian-thay Siangjin berada di
tempat kalian, entah betul tidak?"
So Ha berkata, "Betul, sayang mereka sudah pergi kemarin, berangkat
ke Tay-hiong." Kang Poh agak kecewa, katanya tertawa getir, "Wan, tidak
kebetulan, kukira di sini aku dapat bertemu dengan mereka."
"Yap-tayjin pernah menyinggung kesuiitan Kang-siansing
kepadaku?" "Soal apa yang dia singgung?" tanya Kang Poh.
"Katanya Kang-siansing menghadapi kesulitan, bukankah mengikat
permusuhan dengan kawanan pemberontak yang berpangkalan
di Jik-tat-bok itu?"
Lenyap rasa curiga dan bimbang Kang Poh, katanya menghela
napas, "Ya, malah aku bermusuhan dengan dua tokoh lihay."
"Dua tokoh lihay siapa" Di Tibet Kang-siansing punya kekuasaan
besar dan kaya raya, kenapa kau takut terhadap mereka?""
"Yang seorang adalah pentolan pemberontak yang bernama Beng
Goan-cau, seorang lagi adalah Kim Tiok-liu yang mengagulkan diri
sebagai jago pedang nomor satu di seluruh jagat. Memang nasibku
yang sial, tanpa sebab mengikat permusuhan dengan mereka, mana


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani aku berdiam di rumah" Umpama aku sembunyi di kantor
gubemur juga belum tentu selamat, belakangan aku berunding
dengan Wi To-ping tayjin, dia sarankan supaya aku menyingkir dulu
ke tempat jauh, setelah berpikir-pikir, akhirnya kuputuskan untuk
berlindung di tempat kelo saja."
Seperti tertawa tidak tertawa, So Ha berkata, "O, jadi kau
mencari perlindungan kemari."
Kembali Kang Poh melenggong mendengar nada ucapan orang
yang kurang pantas, namun demi kepentingan sendiri terpaksa dia
menahan perasaan, katanya, "Semoga kelo sudi menerima
kehadiranku, ada sedikit oleh-oleh mohon kelo sudi menerimanya."
Dengan kedua tangannya Kang Poh mengangsurkan sebuah
kotak lalu dibuka di depan So Ha, isinya adalah sepasang singa dari
batu jade dan seratus butir mutiara yang bundar dan besarnya
sama. Dengan tawa lebar Kang Poh berkata, "Sekedar oleh-oleh ini
tidak berarti, semoga kelo sudi menerima kedatangan kami. Kedua
taysu ini memiliki kepandaian mungkin mereka juga bisa membantu
kelo bila dipcrlu-kan." Karena sikap So Ha mendadak menjadi
dingin, maka setelah dia menyerahkan kadonya sengaja Kang Poh
memberi penjelasan sekaligus menyatakan secara tidak langsung
bahwa bukan dirinya mohon perlindungan secara percuma.
Ternyata So Ha melirik pun tidak, katanya tawar, "Kalian sudah
terlanjur datang, sudah tentu aku akan menahan kalian di sini. Tapi
kado ini"." "Kalau oleh-oleh ini dirasa cukup pantas mohon kelo sudi menerimanya."
"Banyak terima kasih atas kado-mu yang amat berharga ini, tapi
maaf bila aku ini terlalu tamak, aku ingin minta kau memberi
sesuatu lagi." Kembali Kang Poh melenggong, batinnya, "Agaknya orang ini
tamak dan loba," tanyanya, "Entah apa yang dikehendaki kelo?"
"Benda itu scbetuInya bukan aku yang menginginkan, tapi akan
kuberikan kepada seorang teman.n
"Apakah temanmu itu ada di sini, coba silakan dia keluar untuk
bertemu?" "Ya, betul, biarlah dia keluar bicara langsung dengan kau saja."
Belum habis So Ha bicara, Beng Hoa sudah keluar dari belakang
pintu angin, serunya lantang, "Otakmu itu seperti semangka, aku
ingin memilki batok kepalamu."
Mimpi pun Kang Poh tidak menduga di sini bertemu dengan Beng
Hoa, saking kaget dia tertegun kaku.
Dalam sedetik itulah, kedua pihak bertindak. Secara sigap Beng
Hoa membekuk Kang Poh yang ketakutan, sementara Sekan berdua
menubruk ke arah So Ha. Mendengar percakapan So Ha dengan
Kang Poh, kedua orang ini sudah merasakan gejala yang tidak baik,
maka sejak tadi mereka sudah siaga. Berbareng mereka mencopot
kasa terus disabetkan ke arah So Ha. Mereka kira dengan mudah
pasti dapat menawan So Ha untuk dijadikan sandera.
Tak nyana sebelum mereka berhasii membekuk So Ha,
mendadak tampak sinar kilat menyambar, kedua kasa merah itu
tertabas robek oleh golok kilat Utti Keng. Begitu cepat serangan
golok kilat Utti Keng membacok ke kanan kiri. Padahal dia hanya
seorang namun Sekong dan Sekan merasakan tajam golok bagai
menyerang seluruh badan dari berbagai penjuru, karuan mereka
terdesak mundur kerepotan, dengan kencang memutar kasa untuk
menjaga diri, napas pun serasa sesak.
Orang yang mampu melancarkan golok kilat secepat ini dalam
dunia hanya Utti Keng dan Beng Goan-cau. Mereka kenal Beng
Goan-cau, maka orang ini pasti Utti Keng ada-nya. Setelah tahu
lawan adalah Utti Keng, mana berani mereka melawan" Sekong
tarik kasanya yang sudah koyak-koyak tak karuan terus dilempar,
maka terdengarlah suara membrebet, kasanya itu hancur berkepingkeping
oleh tabasan kilat golok Utti Keng, seperti kupu-kupu
beterbangan di udara, namun Sekong sempat menerjang keluar
pintu besar. Ternyata jurus ini dinamakan Kim-tan-toh-gok,
kepandaian tunggal perguruan untuk meloloskan diri dari ancaman
bahaya. Demikian pula Sekan juga meniru perbuatan sang suheng,
namun iwekang-nya lebih rendah, di samping kasanya koyak-koyak,
lengannya juga tergores luka panjang oleh golok.
Kedua orang ini mampu lotos dari serangan golok kilat, benarbenar
di luar dugaan Utti Keng. Waktu dia mengejar keluar pintu
Sekon dan Sekan sudah melompat ke punggung kuda. Utti Keng
terlambat setindak, mana dia mampu mengejar mereka yang naik
kuda jempolan" Setelah kembali ke ruang tamu, Utti Keng berkata, "Sayang
sekali, kedua kepala gundul itu berhasil lolos, untung kuda Kang Poh
ditinggalkan, masih bisa digunakan."
So Ha tertawa, katanya, "Kuda Kang Poh justru yang terbaik,
Beng-hengte, kuda itu boleh kau ambil dan gunakan dalam
perjalananmu, tapi bagaimana Kang Poh harus dibereskan mohon
Beng-lote memberi usul."
Beng Hoa langsung mencengkeram Kang Poh, kontan Kang Poh
menjerit ngeri, tulang pundaknya teremas hancur. Betapapun tinggi
kungfunya juga menjadi cacat, apa-lagi Kang Poh berkepandaian
rendah. Saking kesakitan dia meratap minta ampun, "Hohan, sudi
lah kau meringankan penderitaanku, bunuhlah aku saja"
Tapi Beng Hoa justru mengobati luka-luka di pundaknya.
Utti Keng berkata, "Permintaannya memang betul, kenapa tidak
kau gorok saja lehernya?"
"Aku memunahkan ilmu sitatnya adalah untuk menuntut balas
sakit hatiku, tapi masih ada orang lain yang pemah disiksa olehnya,
dendamnya sedalam lautan, jauh lebih membenci dia daripada aku.
Maka dia hams hidup dan akan kuserahkan kepada orang itu supaya
dia dapat menuntut balas dengan kedua tangannya sendiri."
"Siapakah orang itu?" tanya Utti Keng.
"Seorang Tibet bernama Kili, beberapa waktu yang lalu aku
bersama ayah bersembunyi di rumahnya." Lalu kisah dan
pengalaman Kili dia ceritakan dengan ringkas kepada Utti Keng.
So Ha berkata, "Keparat sejahat ini memang pantas mendapat
hukuman setimpal. Baiklah, biar aku yang mengurung dia. Bila kau
pulang dari Thian-san boleh kau beri tahu kepada orang Tibet itu,
suruh dia kemari membawa kain berlepotan darah itu untuk
menggorok leher musuhnya ini."
---ooo0dw0ooo--- KUDA milik Kang Poh ternyata lebih bagus dari kuda yang
diberikan Lohay kepada Beng Hoa.
Waktu Beng Hoa membedal kuda ini terasa angin menderu di
pinggir telinga, seperti terbang saja, pepohonan di kedua pinggir
hanya bcrkelebat mundur ke belakang.
Tapi menempuh perjalanan di padang rumput seperti tiada ujung
pangkalnya. Padang rumput di sini termasuk padang rumput di
Misteri Pulau Neraka 13 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Golok Kumala Hijau 3
^