Pencarian

Anak Pendekar 13

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 13


Karena adanya perubahan yang tak terduga ini, hati Lomana
terguncang, dia tidak tahu apakah dia mendengar ucapan Toan
Kiam-ceng, yang jelas perasaannya hambar.
Dua pria dalam permainan "kejar nona" sekaligus mengejar
seorang gadis, hal ini bukan tidak pernah terjadi, namun jarang
sekali. Apalagi sampai berkelahi, boleh dikata tidak pernah ada.
Karena dalam permainan "kejar nona" ini, yang lelaki menyatakan
cinta yang perempuan bebas menentukan pilihannya, dia boleh
menerima pernyataan cinta, tapi juga boleh mcnolak. Bila
pemujanya lebih dari satu, putusan terakhir terletak di tangan si
gadis. Cara yang diperlihatkan Toan Kiam-ceng menyampuk cambuk
Santala adalah perbuatan kasar yang tidak menghargai pihak
percmpuan. Bila hal itu sudah terjadi, umpama akhirnya Lomana
memilih Toan Kiam-ceng, Santala masih punya hak menuntut Toan
Kiam-ceng untuk berduel. Lomana memang pernah menyinggung adanya perayaan Jagal
Kambing pada malam ini kepada Toan Kiam-ceng, waktu itu Toan
Kiam-ceng menyatakan ingin menghadiri keramaian itu, dia
mengharap bisa menjadi tamu Lomana. Sesuai adat istiadat suku
bangsa Uigior yang suka menerima kedatangan tamu, sudah tentu
Lomana menerima permintaannya. Mungkin waktu itu Lomana
bersikap seperti merasa simpati kepadanya, tapi bicara
sesungguhnya, pertemuan mereka belum boleh diartikan sebagai
janji pertemuan. Namun perasaan Lomana memang sedang kalut, maka tak
terpikir lagi apakah pertemuan atau kencan. Benaknya berpikir,
"Santala berjiwa keras dan ketus, bila dia berduel dengan Toan
Kiam-ceng, pasti dia akan terbunuh oleh Toan Kiam-ceng."
Bahwasanya dia tidak ingin menjadi istri Santala, namun betapapun
dia tidak senang bila Santala harus berkorban lantaran dirinya.
Mendadak timbul suatu pikiran dalam benaknya, "Bila aku menerima
uluran cinta orang ketiga, Santala pasti akan sedih, tapi dapat
membatalkan duel Toan Kiam-ceng dengan Santala." Orang ketiga
dalam benaknya adalah Beng Hoa. Tapi apakah Beng Hoa mau
menge-jar dirinya" Dia tidak tahu. Hatinya bimbang dan risau, maka
dia biarkan saja kudanya lari tanpa tujuan.
Melihat Lomana tidak mengejar ke arah Toan Kiam-ceng, legallah
hati Beng Hoa, maka dia keprak kudanya menyusul Santala yang
sudah lesu dan patah semangat.
Karena getaran tenaga dalam, pergelangan tangan Santala
terasa kesemutan. Semula tidak dirasakan, tapi tak lama kemudian,
seluruh lengannya temyata makin kebai dan tak leluasa, malah
tenaga naik kuda juga semakin lemah.
"Beng-toako, lekas kau kejar Lomana, aku rela kau
mempersunting dia daripada dia jatuh di tangan pemuda itu,"
demikian ujar Santala. Setelah dekat, Beng Hoa larikan kudanya sejajar dengan Santala.
Mendadak dia tarik tangannya, tangan yang lain menekan
pundaknya. Santala kaget, katanya, "Beng-toako, apa yang kau
lakukan?" Belum habis dia bicara, terasa segulung hawa hangat
merembes ke dalam ubuhnya, badan yang lesu seketika menjadi
segar. Pundaknya diremas dan diurut beberapa kali oleh Beng Hoa,
rasa linu seketika lenyap. Ternyata dengan tenaga murninya, Beng
Hoa mengurut serta melancarkan jalan darahnya sehingga urat
nadinya bekerja normal pula.
"San-toako, jangan kau menduga yang tidak benar. Lomana akan
tetap menjadi milikmu, siapa pun tak boleh merebutnya."
Santala melenggong, serunya, "Kenapa, kau tidak mencintainya?"
"Aku memang menyukainya, seperti aku pun menyukai kau.
Kalian adalah sahabat baikku, memangnya aku hams membenci
kalian?" "Ah, bukan begitu maksudku."
"Nah begitulah maksud sebenarnya dari pernyataan "suka" yang
kukatakan tadi, maka orang yang hams perhatikan bukan diriku."
Santala kegirangan, serunya terharu, "Beng-toako, kau memang
orang baik, agaknya aku salah menduga terhadapmu. Aku tahu aku
harus perhatikan bocah itu. Beng-toako, lekas kau tolong
mengejarnya, aku khawatir Lomana"."
"Baiklah, aku akan berangkat le-bih dulu, kau harus segera
menyusul. Seperti juga kau, aku tidak rela Lomana jatuh di tangan
pemuda Setelah disembuhkan oleh Beng Hoa, tapi tenaga Santala belum
pulih seluruhnya, maka dia belum bisa melarikan kudanya secepat
Beng Hoa. Maka dia berteriak, "Baiklah, aku patuhi petunjukmu.
Lekas kau pergi, jangan biarkan Lomana tertipu dan jatuh di tangan
pemuda itu." Beng Hoa membedal kudanya, karena ketinggalan beberapa
kejap, maka pengejarannya memakan setengah sulutan dupa baru
berhasil melihat bayangan Lomana di sebelah depan. Beng Hoa
memanggil, "Lomana."
Lomana menoleh, serunya, "Ah, kau yang datang." Tanpa terasa
dia menghentikan kudanya, namun jantungnya berdebar makin
keras, hatinya pun terguncang.
Pada saat itulah mendadak seseorang berteriak pula, "Lomana,
aku datang." Seekor kuda menerobos keluar sekencang angin dari
dalam lembah sana, siapa lagi kalau bukan Toan Kiam-ceng.
Temyata karena Lomana tidak. mengejar dirinya, maka dia putar
balik mencarinya. Dua ekor kuda dicongk lang kencang hampir
bersamaan tiba di depan Lomana. Toan Kiam-ceng tiba selangkah
lebih cepat, tapi cambuk tidak d iangkatnya, entah dia sedang
menunggu Beng Hoa atau sedang bimbang untuk menerima
pernyataan cinta Toan Kiam-ceng yang diragukan.
Beng Hoa justru khawatir, ia angkat cambuknya seakan
melawan, lalu cambuknya memukui badan Toan Kiam-ceng,
mumpung cam-buk Lomana belum terangkat, kuda-nya sudah
memburu tiba. "Tar", cambuknya terayun menyapu dan
menggulung, dengan telak dia membelit cambuk Toan Kiam-ceng.
Keduanya saling menarik, ma-sing-masing ingin menyeret jatuh
lawan dari punggung kuda. Tercekat hati Beng Hoa, "Berpisah baru
setahun lebih, kungfunya temyata mencapai kemajuan seperti ini,
memangnya mendapat rejeki nomplok?"
Semula dia kira dengan mudah akan menyeret jatuh Toan Kiamceng
dari punggung kudanya, ternyata mendapat perlawanan keras.
Bukan Beng Hoa tak mampu men-jatuhkan lawannya, tapi dia
khawatir Toan Kiam-ceng terluka dalam. Bila dengan mudah Toan
Kiam-ceng dapat diseretnya jatuh, keadaan tidak akan menjadi
parah. Bila terjadi adu tenagadalam, maka bahayanya lebih besar
dan keselamatan jiwanya terancam. Memang lwekang Toan Kiamceng
jauh lebih maju dari dulu, tapi dibanding Beng Hoa betapapun
dia masih tertinggal jauh.
Beng Hoa berpikir, "Perbuatan Toan Kiam-ceng memang tidak
baik, tapi jelek-jelek dia adalah keponakan ji-suhu, bila aku
melukainya tentu merikuhkan suhu," karena itu lekas digunakannya
tenaga menempel, untuk memunahkan daya perlawanan, menyusul
cambuk panjangnya disendal hingga terlepas dengan segera.
Pergelangan tangan Toan Kiam-ceng terasa sakit dan linu, dada
juga terasa sesak, baru dia sadar gelagat tidak menguntungkan. Tak
terasa tenaga dalam .lawan yang kuat itu mendadak sirnatak
berbekas. Padahal tenaga dalam sendiri belum. kuasa dikendalikan,
cambuk sendiri masih tergenggam kencang, terus ditariknya sekuat
tenaga ke belakang. Begitu cambuk yang saling belit mendadak
lepas, karuan Toan Kiam-ceng kehilangan keseimbangan badan,
kontan dia terjungkal jatuh dari punggung kuda.
Gerak-gerik Toan Kiam-ceng temyata cukup lincah dan tangkas,
di saat dia hampir terjungkal jatuh, sebelah tangannya mendadak
menekan sanggurdi, tubuhnya segera melejit ke atas, kembali
duduk di punggung kudanya, Walau tidak sampai terbanting jatuh
hingga kepala pusing tujuh keliling, betapapun gerak-geriknya
sudah kelihatan runyam. Karuan gusamya bukan main, bentaknya,
"Bedebah, kau main curang, kalau punya kepandaian, hayo
bertanding dengan aku."
Tawar suara Beng Hoa, katanya, "Latihan kungfumu terhitung
sudah mencapai taraf yang lumayan, bagaimana keadaan barusan
tentu kau sendiri sudah paham, masih berani kau bilang aku berlaku
curang?" Toan Kiam-ceng memang maklum, lawan menyebabkan dirinya
terjungkal jatuh, hal itu sudah menandakan bahwa lawan menaruh
belas kasihan kepadanya. Tapi di hadapan Lomana, betapapun malu
menerima kekalahan begitu saja, mengingat belakangan ini dirinya
meyakinkan beberapa jenis kungfu baru, belum tentu dirinya kalah
me lawan lawan, maka dia keraskan kepala menantang, "Bedebah,
kalau berani besok jangan kau minggat. Besok tengah hari kita
berducl di lembah gunung sana. Lomana mari ikut aku." Permainan
"kejar nona" belum usai, dia pikir setelah dia mempersunting Lomana
belum terlambat berduel dengan Beng Hoa. Waktu itu dirinya sudah
calon menantu kepala suku, Lomana dan ayahnya pasti akan
mencegah ada-nya duel ini. Bila duel tetap dilang-sungkan, yakin
dengan beberapa ilmu yang baru dipelajarinya itu, paling tidak
dirinya tidak akan dikalahkan secara runyam. Kalau Lomana tidak
tega melihat dirinya terluka, akhirnya pasti memaksa ayahnya untuk
menghentikan duel itu. Perhitungannya memang terlalu muluk, tapi
Lomana ternyata tidak keprak kudanya mengikuti dia.
Legal ah hati Beng Hoa, katanya tawar, "Kenapa harus tunggu
besok tengah hari, sekarang pergilah ke tempat itu, sebentar lagi
aku datang." Melihat Lomana tidak mengikuti dirinya, malah Beng Hoa
menerima tantangannya, karuan Toan Kiam-ceng amat kecewa dan
dongkol. Tapi dia takut dan malu bila di depan Lomana dirinya
bukan tandingan Beng Hoa, maka segera dia larikan kudanya lebih
dulu. Dalam hati dia merancang rencana, bagaimana supaya dirinya
tidak dirugikan dalam duel nanti.
Semula Beng Hoa hendak menunggu kedatangan Santala, lalu
menjelaskan duduk persoalannya kepada Lomana. Tak nyana waktu
dia menoleh dilihatnya Lomana keprak kudanya mengejar ke arah
nya. Permainan ini dinamakan "kejar nona", tapi pada babak terakhir
justru sebaliknya, sang nona mengejar sang perjaka. Tadi Beng Hoa
tidak mengejar Lomana, kini sebaliknya Lomana mengejar dirinya
malah. Walau hal ini bukan larangan, tapi dengan kedudukannya,
sepantasnya dia mematuhi peraturan dan tradisi sukunya. Beng Hoa
jadi was-was dan bimbang, entah orang ingin bicara dengan dirinya
atau hendak memukulkan cambuk ke badannya.
Lomana sendiri juga bingung, cambuk ingin diangkat namun
hatinya gundah, ternyata dia sedang berpikir, "Kenapa dia tidak
berpa-ling mengejarku, memangnya dia tidak menyukai aku" Entah
bagai-mana ayah bicara dengan dia" Mungkin keterangan ayah
kurang jelas, atau dia sendiri memang tidak paham tentang
peraturan permainan?"
Beng Hoa akhirnya menghentikan kuda serta berkata, "Lomana,
aku ingin bicara dengan engkau."
Lomana turunkan cambuk yang sudah diangkatnya, lalu berjalan
berjajar, katanya, "Beng-toako, aku pun ingin bicara dengan kau."
"Baiklah, silakan kau bicara lebih dulu."
"Aku tidak ingin kau berkelahi dengan orang itu."
"Kenapa?" "Perbuatannya terhadapmu malam ini memang kurang sopan,
tapi aku tidak ingin kau melukainya, demikian pula aku tidak ingin
dia melukai kau." "O, apa kau menyukai dia?"
"Bukan begitu maksudku, tapi dia bersikap baik kepadaku, kurasa
dia masih boleh dianggap orang baik."
"Bagaimana dia bersikap baik terhadapmu?" Melihat sikap
Lomana kikuk, lekas dia menyambung, "Oh, maaf, tidak pantas aku
ber-tanya begini, kalau kau tidak mau menjelaskan, aku tidak akan
memaksa" Lomana membetulkan rambut-nya yang tertiup angin, katanya
dengan keputusan bulat, "Kalau aku membuat terhadapmu, tentu
rasa curigamu bertambah tebal. Aku akan menceritakan seluruhnya
kepadamu." Beng Hoa tahu Lomana agak salah paham terhadap dirinya, tapi
dia ingin tahu persoalan Toan Kiam-ceng, maka dia tidak mencegah
si nona bicara Maka Lomana bercerita bagaimana dia berkenalan
dengan Toan Kiam-ceng. Kejadiannya kira-kira setahun yang lalu, suatu hari di musim semi
nan permai. Hari itu Lomana ikut berburu bersama Santala. Begitu asyik
mereka berburu sambil tamasya di padang rumput nan
luas?ehingga tanpa terasa mereka menjelajah pegunungan yang
lebih jauh dari biasanya. Di bawah sebuah bukit, terlihat oleh
Lomana di atas tebing yang curam terdapat sekuntum kem-bang
mekar, lebih besar dari mulut mangkok yang biasa mereka guna-kan
untuk minum susu kuda, kem-bang itu berwama kombinasi merah
dan putih, bergoyang dan melambai ditiup angin, sungguh indah
dan menarik. Itulah kembang Mantolo yang jarang terlihat di
padang rumput. Lomana terpesona mengawasi kembang di atas
tebing itu, mulut-nya mendesis, "Oh, indahnya kembang itu."
Tumpukan salju di padang rumput memang sudah turner, namun
di puncak gunung sana masih dilapisi warna perak mengkilap, untuk
me-manjat dan merambat di tebing yang masih dilapisi salju, orang
hutan pun sukar memanjat ke sana Santala berkata, "Sayang aku
tidak mampu memet iknya untukmu. Bagaimana kalau kubidik
dengan panah?" Bidikan panahnya teramat lihay, kalau kebetulan
tepat mema-nah dahannya, kembang itu akan melayang jatuh ke
bawah, tapi apakah panahnya mampu membidik dalam jarak
setinggi itu, dia sendiri tidak yakin."
"Ah, jangan, umpama bidikan panahmu tidak merusak kembang
itu, waktu melayang jatuh bukan mustahil sudah hancur berkepingkeping,
bukankah amat sayang?"
Santala menghela napas, katanya, "Lomana, pertama kali inilah
aku tidak mampu memberikan se-suatu yang kau ingin kan."
Mendadak muncul seorang pemuda, entah muncul dari mana,
tahu-tahu sudah berada di depan mereka "Nona yang manis,
apakah kau ingin memiliki kembang itu?" tanyanya
"Memangnya kau mampu me-metiknya?" Santala bertanya
dengan uring-uringan. Pemuda itu mengangguk, katanya, "Asal dia suka, boleh aku memetiknya"
Lomana geleng kepala, katanya, "Yang kuinginkan adalah
sekuntum kembang mekar yang masih utuh segar, kalau kelopak
kembangnya sampai rontok, lebih baik dia tetap di atas sana untuk
dinikmati siapa saja."
Pemuda itu tertawa, katanya, "Yang kuberikan kepadamu pasti
adalah sekuntum kembang mekar yang masih utuh segar."
"Kau tidak pakai panah?" tanya Lomana heran.
Pemuda itu tertawa, katanya, "Memetik sekuntum kembang
kenapa harus pakai panah. Kembang bukan binatang liar, kenapa
harus membidikkan panah?" habis bicara mendadak dia melompat
naik ke atas tebing. Pucat muka Lomana, teriaknya gugup, "Hai lekas turun, kau bisa
jatuh hancur lebur."


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Asal hatimu senang, jatuh hancur lebur juga tidak jadi soal. Hm,
hanya gadis secantik kau yang se-timpal memiliki sekuntum
kembang ini." Gerak-geriknya lebih lincah dari kera, hanya sekejap
dia sudah memetik kembang itu.
Pemuda itu sudah tentu adalah Toan Kiam-ceng. Tapi Lomana
tidak menjelaskan siapa nama pemuda itu.
"Akhirnya bagaimana?" tanya Beng Hoa.
"Setelah pulang, kurasa pemuda itu rela berkorban menempuh
baha-ya memetik sekuntum bunga untuk-ku, maka sepantasnya aku
juga memberikan imbalan kepadanya. Maka aku buatkan dia sebuah
jubah kulit rase, beberapa had kemudian aku pergi ke tempat itu
mencarinya. Aku khawatir Santala kurang senang, hari itu aku pergi
seorang diri." Istirahat sejenak, Lomana melan-jutkan ceritanya, "Sejak
kejadian itu, kami sering berjumpa Kira-kira setiap bulan aku pasti
bertemu satu dua kali dengan dia."
"Dia mengajar bahasa Han, mengajar cara bagaimana membaca
sajak orang Han kalian. Sajak-sajak tulisan orang Han memang
amat indah dan bagus, aku senang membacanya."
Beng Hoa berpikir, "Sajak-sajak yang diajarkan kepadamu itu
memang bagus, sayang hatinya justru kotor."
"Kepandaiannya amat baik, sikapnya pun sopan santun, tak
nyana malam ini dia bersikap sekasar itu. Tapi, betapapun dia orang
baik bukan" Aku tidak ingin lan tar an diriku kau lantas berduel
dengan dia" "Baiklah, aku berjanji kepadamu. Tapi dia"."
"Dia bagaimana?" tanya Lomana tertegun.
"Mungkin dia bukan terhitung orang jahat, tapi satu hal jelas dia
tidak berterus terang kepada kau."
Lomana kaget, tanyanya, "Tentang apa?"
"Bukankah dia bernama Toan Kiam-ceng?"
"Betul, kau kenal dia?"
"Ya, aku mengenalnya. Tapi mungkin dia belum tahu siapa aku."
Lalu dia bertanya pula, "Setiap kali kau bertemu dengan dia, apakah
dia seorang diri?" " Ya, seorang diri dia tinggal di tempat itu. Pernah aku tanya dia
kenapa seorang diri tinggal di tempat terpencil itu" Dia bilang, dia
senang tempat kami ini, senang bersahabat dengan orang-orang
seperti kami. Di kampung halamannya ada orang mempersulit
dirinya, di sini kami semua bersikap baik terhadapnya. Tapi untuk
apa kau tanya hal ini" Kau kira ada seseorang yang ber-tempat
tinggal di sana dengan dia?"
"Ya, seorang nona Han, kekasihnya. Maka sepantasnya dia tidak
ikut permainan Jagal Kambing tadi, tidak pantas dia mempersulit
Santala" Lomana melenggong, desisnya, "Dia.. mereka saling cinta
mencintai?" "Ya, nona itu amat mencintainya Menurut apa yang kutahu,
sedikit-nya dua tahun yang lalu dia pun amat mencintai nona itu."
Lomana menunduk, hatinya amat sedih, bukan sedih karena
Toan Kiam-ceng sudah pernah punya kekasih, dia sedih karena
Toan Kiam-ceng menipu dirinya Dia percaya Toan Kiam-ceng adalah
pemuda baik hati, siapa nyana orang yang dianggapnya "baik" ini
temyata hendak menipu cintanya. "Untung aku tidak tertipu,"
demikian batin Lomana Beng Hoa menghela napas, katanya "Lomana kau dibesarkan
dipadang rumput, seperti embun yang masih mumi dan bersih, kau
harus tahu dunia luar tidak sebersih seperti yang kau bayangkan,
ketulusan hati manusia tidak bisa diukur dengan romannya yang
cakap atau ganteng. Penilaian seseorang berdasarkan lahiriah sering
meleset dan di luar dugaan orang. Selanjutnya kau harus lebih hatihati."
Waktu Lomana angkat kepala-nya, airmata berkaca-kaca di pelupuk
matanya, tapi dengan senyum mekar dia berkata, "Beng-toako,
terima kasih akan pujianmu, lebih terima kasih akan peringatanmu."
Beng Hoa berkata lirih, "Sebetulnya aku pun tidak pantas ikut
perayaan Jagal Kambing segala."
Lomana terkejut, tanyanya, "Kenapa?"
Perlahan suara Beng Hoa, "Karena aku pun punya seorang nona
yang kucintai." Sedih, menyesal dan malu pula Lomana dibuatnya "Syukur aku
tidak memukulnya dengan cambuk." Sesaat kemudian baru dia bertanya,
"Kekasihmu tentu seorang nona yang cantik."
"Lomana, kau adalah ratu di antara nona-nona cantik, belum
pernah aku melihat nona yang lebih cantik dari kau. Tapi nona itu
adalah teman seperjuanganku, kami saling. mencinta"
"Dalam dunia ini justru sukar dicari pasangan yang benar-benar
saling cinta. Beng-toako, aku akan mohon kepada Tuhan untuk
melindungi kalian, semoga kalian hidup bahagia sampai hari tua."
"Banyak terima kasih, tapi Lomana, pintu kebahagiaan juga
sudah terbuka untukmu."
"Aku mana mungkin aku punya kebahagiaan seperti itu?"
Lirih suara Beng Hoa, "Santala adalah pemuda yang amat
mencintaimu, memangnya kau tidak tahu?"
"Aku tahu. Nah, itu dia datang."
"Santoako, kemarilah lekas," teriak Beng Hoa, "Lomana sedang
menunggu." "Beng-toako, kau mau ke mana?" teriak Santala
Ternyata Beng Hoa sudah keprak kudanya, katanya tertawa,
"Untuk apa aku berada di sini" Kalian boleh bersenang-senang,
maaf aku tidak mengganggu."
---ooo0dw0ooo--- TOAN Kiam-ceng sedang mencari akal, bagaimana dia akan
menghadapi Beng Hoa, ternyata Beng Hoa sudah menyusul datang.
Toan Kiam-ceng mengertak gigi, bentaknya, "Bedebah, apa
kehendakmu, sebutkan saja." Keduanya melompat turun bersama,
seperti jago yang siap tempur di gelang-gang, Toan Kiam-ceng
menatapnya Melihat wajah orang bersenyum simpul seperti tidak
bermaksud jahat, Toan Kiam-ceng bingung, bentaknya, "Apa yang
kau tertawakan?" Beng Hoa bersikap serius, katanya, "Cara apa yang kau inginkan,
aku akan mengiringi, kau sendiri yang bilang demikian, betul tidak?"
Tercekat hati Toan Kiam-ceng, tapi dia keraskan kepala, katanya,
"Betul, hari ini bukan kau mampus, biar aku yang gugur."
Beng Hoa bergelak tawa, katanya, "Kurasa tidak usah adu jiwa.
Aku hanya ingin tanya satu soal, kau pun boleh tanya kepadaku.
Kau harus menjawab, aku pun pasti menjawab. Nah itulah cara
pertama yang kuaj ukan."
Sudah tentu Toan Kiam-ceng makin bingung dan was-was,
sesaat dia melongo, katanya, "Baiklah, kau boleh tanya lebih dulu."
Perlahan Beng Hoa bertanya, "Mana nona Leng" Di mana dia?"
Pertanyaan biasa namun bagi pendengaran Toan Kiam-ceng seperti
bunyi guntur dipinggir telinganya.
Bergetar hati Toan Kiam-ceng, katanya gemetar, "Kau" siapa
kau?" "Kau lupa aturan pertandingan, kau belum menjawab
pertanyaan-ku." "Kau dulu yang menjawab."
"Baiklah, walau kau suruh aku menyebutkan caranya, tapi aku
boleh mengalah sejurus kepadamu. Kau ingin tahu siapa aku bukan"
Aku adalah orang yang pernah memberi dua ekor kuda kepadamu
dan nona Leng." Bukan kepalang rasa kaget Toan Kiam-ceng, sekian lama dia
terte-gun, katanya kemudian, "Kau, jadi kau adalah pemuda dalam
Ciok-lin itu?" "Pertanyaan kedua, baiklah aku pun boleh menjawab dua
pertanyaanmu. Agaknya kau bukan pelupa. Aku memang pemuda
yang melompat turun dari Kiam-hong menolong kalian itu. Tapi
bukan aku ingin kau membalas kebaikan, aku hanya ingin tahu
kenapa kau mencampakkan nona Leng?"
Cukup keras guncangan perasaan Toan Kiam-ceng, sesaat dia tak
mampu bersuara Dalam hati dia membatin, "Tong-bing-cu dan Ban
Ciok-sing ternyata tidak mampu membekuk bocah ini, mana mungkin
aku kuat melawannya?"
Beng Hoa membentak, "Nah sekarang giliranku bertanya, bagaimana
keadaan nona Leng?" Membesi hijau muka Toan Kiam-ceng, sikapnya ragu dan takuttakut,
sekian lama tak mampu bicara.
Timbul rasa curiga Beng Hoa, bentaknya, "Apa yang telah kau
lakukan terhadap nona Leng itu?"
Toan Kiam-ceng tersentak kaget, katanya tergagap, "Jangan
sernbarangan menduga, memangnya aku membunuh nona Leng?"
Sedikit lega hati Beng Hoa, katanya, "Lalu di mana dia"*
"Dia tidak mau ikut aku ke Wi-kiang, mungkin sudah pulang ke
rumah pamannya" "Bohong, tiga bulan yang lalu, aku bertemu dengan pamannya.
Pamannya juga belum tahu di mana dia berada."*
"Buat apa kau bersikap segarang ini" Aku hanya menduga. Kalau
belum pulang ke rumah pamannya, mungkin mampir ke tempat
lain." "Tempat lain" Ke mana?"
"Mana aku tahu. Bukankah tadi sudah kukatakan, aku sudah
berpisah dengan dia?"
"Begitu baik nona Leng terhadapmu, kenapa kau harus berpisah
dengan dia?" "Itu urusan pribadiku, memang-nya kau juga mau campur?"
"Aku justru ingin campur. Kenapa kau tinggalkan nona Leng dan
lari ke Wi-kiang seorang diri" Apa tujuanmu" Muslihat apa pula yang
terkandung dalam hatimu" Kata-kan!"
"Sejak lama aku sudah tidak bisa pulang ke rumahku di Tayli,
memangnya kau tidak tahu?"
"Aku tahu. Tapi yang ingin kuke-tahui kenapa seorang diri kau
lari kemari" Kenapa kau campakkan nona Leng" Jangan kau
ngelantur ke persoalan lain,"
"Kau memang terlalu suka mengurusi urusan orang. Baiklah, kau
ingin tahu apa?" "Pertanyaan sudah kuajukan, kau harus menjawabnya."
"Baiklah, kalau kau ingin tahu biar kujelaskan kepadamu. Tapi
ceritanya panjang." Sambil bicara dia mendekati Beng Hoa, Beng
Hoa kira orang akan bercerita kepadanya, tak nyana mendadak
Toan Kiam-ceng ayun tangannya memukul Hong-hu-hiat di
punggungnya Beng Hoa tidak punya niat melukai orang, maka dia tidak
bersiaga, pukulan itu kena dengan telak. Untung Iwekang Beng Hoa
sudah tinggi, reaksinya pun timbul secara otomatis. Makin keras
Toan Kiam-ceng memukul, pantulan yang timbul dari badan Beng
Hoa pun makin keras, dia tergentak mundur beberapa langkah,
hampir saja terjungkal roboh.
Beng Hoa pernah menolong jiwa Toan Kiam-ceng, sudah tentu
mimpi pun tak terpikir bahwa orang mem-balas budi dengan
kejahatan, maka pukulan telak itu membuamya kaget dan gusar,
bentaknya, "Apa yang kau lakukan?"
Pukulannya telak mengenai sasaran, Toan Kiam-ceng kira kalau
tidak mati Beng Hoa akan terluka parah, tak nyana dia sendiri
terjungkal hampir roboh oleh pantulan tenaga lawan, karuan
terkejutnya bukan kepalang, serasa pecah pula nyalinya Sebelum
Beng Hoa memburu, dia sudah melompat kepunggung kuda terus
lari. Beng Hoa menarik napas lalu mcngeluarkan bentakan, darah
segar menyembur dari mulutnya, baru sckarang dia rasakan
punggungnya pedas dan panas.
Kalau Beng Hoa mau adu jiwa, meski sudah terluka parah, dia
masih bisa mengejar Toan Kiam-ceng serta membunuhnya. Tapi
mengingat gurunya, apalagi dirinya sedang mengemban tugas
berat, bila sampai terluka parah, tentu menunda perjalanan, tugas
akan terbeng-kelai. Menimbang tugas lebih penting maka Beng Hoa
biarkan Toan Kiam-ceng melarikan diri.
Untung Beng Hoa sudah memperoleh warisan Iwekang ajaran
Thio Tan-hong, segera dia duduk bersemadi mengatur napas, lekas
sekali rasa sakit sudah hilang, semangat pun pulih. Waktu dia
angkat kepala, rembulan sudah bercokol di tengah langit.
Dalam pada itu, sambil melarikan kudanya Toan Kiam-ceng merasa
amat menyesal, dia menyergap Beng Hoa tujuannya yang
utama adalah untuk merebut Lomana, kedua sudah tentu ingin
merebut kiamboh peninggalan Thio Tan-hong dan usahanya
temyata gagal, maka dalam hati dia merasa amat menyesal, "Bila
tahu dia punya kekuatan melawan pukulan Lui-sin-ciang, lebih baik
tadi aku tusuk hiatto-nya menggunakan Toh-kut-ting yang
kurendam di racun. Kini dia tidak mati, kelak pasti menuntut balas
kepadaku, terpaksa aku harus menyingkir sementara, biar aku cari
dulu orang itu mohon pengajaran lebih tinggi."
Siapa orang yang hendak dicari Toan Kiam-ceng, biarlah kita
kesampingkan dulu. Mari kita ikuti keadaan Beng Hoa, bam saja
timbul keinginan hendak mencari Santala dan Lomana, kedua orang
itu temyata sudah datang mencarinya.
Melihat wajah Santala yang berseri dan cerah, maka dia tahu
bahwa perjodohan mereka sudah pasti. Tapi melihat wajahnya
pucat, rasa girang Santala menjadi kaget, serunya, "Beng-toako,
kenapa kau?" Santala dan Lomana bertanya bersama.
Sekuatnya Beng Hoa menahan diri supaya mereka tidak melihat
dirinya terluka parah, katanya, "Tidak apa-apa, aku sudah bertemu
dengan Toan Kiam-ceng."
Lomana kaget, tanyanya, "Kau sudah berkelahi dengan dia?"
Beng Hoa tertawa, "Aku kan sudah janji dengan kau, mana boleh
memukulnya?" "Ah, maksudmu pemuda bangsa Han yang malam tadi memusuhi
aku itu?" tanya Santala
Dengan kikuk Lomana tertawa sambil mengangguk.
Bahwa Lomana sudah menjadi kekasihnya, maka perasaan
Santala amat riang, katanya, "Beng-toako, jangan kau salah paham
bahwa aku memandang hina orang Han, soal-nya aku sebal melihat
tingkah laku bocah itu. Sekarang aku sudah tahu, orang Han juga
ada orang baik mcski ada pula yang jahat Demikian pula dalam suku
bangsa kami juga ada yang jahat dan baik. Mungkin aku keliru
memaki bocah itu. Tapi dalam kalangan bangsa kami ada pepatah
yang mengatakan cinta seumpama mata, pan tang terkena sebutir
pasir pun." Merah muka Lomana, katanya "Memangnya kau suka menduga
yang tidak-tidak, jadi orang harus berjiwa besar, berlapang dada."
Beng Hoa tersenyum, katanya, "San-toako, tidak keliru memaki
bocah itu, memang dia pantas dimaki."
Sudah tentu Lomana tidak tahu bahwa Beng Hoa menepati
janjinya tidak menghajar Toan Kiam-ceng, tapi keparat itu justru
membokong dirinya. Katanya tertawa, "Kenapa kau pulang secepat
ini" Memangnya kau hanya mencaci maki saja lalu kembali?"
"Betul, aku hanya memakinya terus kembali. Tapi sekarang aku
jadi menyesal" Santala heran, katanya, "Kau bilang bocah itu patut dimaki, kenapa
menyesal?" "Bukan menyesal karena memaki dia, aku menyesal karena
kembali terlalu cepat, lupa bertanya di mana


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia tinggal. Sudahlah, dia orang yang kukenal juga, di sini dia
tidak punya kerja, maka akan kubujuk dia supaya pulang."
"Aku tahu di mana dia tinggal, mari kujelaskan." Sambil
menerang-kan lalu dia menggores di atas pasir dengan ujung
cambuknya. "Kau akan lewat daerah tempat tinggal kepala suku
Wana kami bukan?" tanya Lomana.
"Ya, aku akan mampir di tiga belas suku bangsa yang ada di Wikiang.
Wana adalah salah satu di antaranya," ujar Beng Hoa.
"Toan Kiam-ceng sering bertamu di rumah kepala suku kami, bila
kau tidak menemukan dia, boleh kau mencari tahu jejaknya kepada
kepala suku kami." Tatkala itu rembulan sudah hampir terbenam, tetabuhan sudah
ber-henti, suara nyanyian masih berku-mandang di padang rumput,
pasang-an demi pasangan muda-mudi kembali setelah bersenangsenang,
setelah hubungan mereka terhitung resmi, sambil
bernyanyi-nyanyi mereka pulang ke tempat masing-masing.
Waktu Beng Hoa, Lomana dan Santala kembali ke perkemahan,
pimpinan suku Lohay semalam sun-tuk tidak t idur, dia menunggu
puteri-nya kembali. Tapi melihat ketiga orang ini pulang bersama
seketika dia berdiri melongo.
Tampak puterinya mengenakan kalung bunga, dengan seri tawa
melangkah ke dalam kemah, Beng Hoa dan Santala berada di kiri
kanannya. Saat Lohay melenggong, tak tahu yang mana pilihan
puterinya, didengarnya puterinya berkata, "Pemuda pikun, tidak
lekas kau memberi sembah sujud kepada ayah."Perkataan
diucapkan dengan bahasa Uigior.
Lekas Santala terima cambuk dari tangan Lomana, diangkat
tinggi terus maju berlutut di depan Lohay serta memanggil, "Ayah."
Cambuk dia serahkan kepada Lohay. Acara terakhir dari permainan
"kejar nona", bagi setiap pemuda yang sudah berhasil
mempersunttng kekasih-nya, cambuk yang pernah memukul dirinya
dianggap sebagai tanda kepercayaan lalu dipersembahkan kepada
ayah atau ibunya. Lohay melongo, katanya, "Jadi kalung kembang itu kau yang
buat dan kau serahkan kepadanya?"
Senang, puas dan malu juga Santala dibuatnya, katanya dengan
muka merah, "Terima kasih pada Lomana karena sudi menerima
cintaku, cambuknya sudah memukul badanku."
Calon menantu dalam angan-angan Lohay sebetulnya adalah
Beng Hoa, bahwa puterinya dipersunting oleh Santala betul-betul di
luar dugaannya. Tapi dia seorang dengan pikiran terbuka, sekilas
pikir, lega dan bersyukur juga hatinya. Beng Hoa baru dikenal dan
orang Han lagi, bila puterinya menikah dengan Beng Hoa, puterinya
akan dibawa pulang ke Tionggoan, lebih baik puterinya menikah
dengan Santala, mereka akan selalu mendampingi dirinya hingga
hari tua. Walau Santala kalah di banding Beng Hoa, jelek-jelek dia
pemuda tergagah di dalam sukunya, cukup setimpal untuk menjadi
suami puterinya, maka dia pun ikut senang dan gembira.
Sesuai adat Islam yang sudah menjadi kebiasaan di daerah itu,
setelah dia memberi restu perjodohan puteri dan calon menantunya,
Lohay berkata, "Beng-siauhiap, kuharap kau tinggal dua hari lagi di
sini, tunggulah setelah kau minum arak bahagia mereka berdua."
"Sepantasnya aku harus minum arak. bahagia, tapi aku ingin
sece-patnya menyusui Utti tayhiap, mungkin aku tak boleh tertunda
lagi." . Sebelum Lohay berkata, Santala sudah menyeletuk, "Begitu pun
baik, sekarang kami baru meresmikan ikatan, bila kau kembali
mungkin kebetulan kau akan hadir dalam perayaan nikah kami dan
saat itu boleh kau minum arak bahagia sepuasnya."
"Ya, semoga demikian," ucap Beng Hoa.
"Kau harus kembali untuk minum arak bahagia kami itu. Oh, ya,
kami boleh menunggu kau pulang baru kami melakukan upacara
nikah. Ayah, kau belum tahu, Beng-toako bukan saja sahabat kita
dia pula yang menjadi comblang kami."
Lohay melenggong pula, mak-lum menurut adat istiadat
setempat, dalam permainan "kejar nona", se-pasang muda-mudi
yang terangkap menjadi jodoh diharuskan tahu sama tahu dan tiada
paksaan, hakekarnya tidak perlu memakai comblang se-gala
"Lho, bagaimana dia bisa menjadi comblang kalian?" tanya Lohay
Santala berkata "Sebetulnya aku tidak berani menyatakan cinta
kepada Lomana, diamemuji dan mengajarkan untuk dipersunting
olehku" Lohay manggut-manggut, katanya, "Tugasmu memang amat
pen-ting, maka aku tidak berani memaksa. Tapi semalam kau tidak
tidur, sedikitnya harus istirahat sehari."
"Tidak usahlah," ucap Beng Hoa. "Aku tidak tidur dua hari atau
tiga hari tidak menjadi seal. Terima kasih akan pelayanan kalian,
aku mohon diri." Lohay sudah siapkan seekor kuda gagah, sekantong ransum dan
sekantong air. Santala mengantamya sampaijauh. Lomana pun
menguntit dari kejauhan. "Jangan lupa lekas kembali, kami menunggu,"seru Santala
sebelum berpisah. "Aku tidak akan lupa," scru Beng Hoa tertawa, "aku pasti kembali
mi-num arak bahagia kalian, sampaikan salamku kepada Lomana"
Dengan perasaan penuh simpati dan persahabatan, dia
melanjutkan perjalanan, hatinya tenteram tapi juga masgul, dengan
bangsa lain dia bersahabat baik, bangsa sendiri seperti Toan Kiamceng
justru bcrbuat jahat terhadapnya. Tapi jelek-jelek Toan Kiamceng
adalah keponakan gurunya, maka dia harus memberi muka
kepada gurunya itu. "Semoga dia mau mendengar nasehatku," kata
Beng Hoa dalam hati dengan penuh harapan. Segera dia keprak
kudanya menempuh perjalanan dengan cepat.
Sayang penilaiannya terhadap Toan Kiam-ceng kelim sama sekali.
Demikian pula penilaiannya terhadap kungfu atau lwekang-nya.
Kalau dalam keadaan biasa, bagi Beng Hoa yang meyakinkan
Iwekang tingkat tinggi, tidak tidur tiga hari tidak jadi soal, tidak
akan ber-pengaruh bagi kesehatannya. Tapi setelah dia terluka
parah lalu menempuh perjalanan, setelah menempuh perjalanan
cukup jauh, luka-lukanya terasa mulai sakit. Malah sekujur
badannya panas seperti terkumng di dalam kurungan panas.
Perasaan panas ini keluar dari dalam, jauh bcrbeda dengan orang
sakit panas atau bagi penempuh perjalanan yang badannya panas
karena keringat menguap. "Aneh, entah kungfu apa yang diyakinkan Toan Kiam-ceng, lwekang-
nya jauh lebih tinggi dibanding dulu, tapi rasanya Iwekang dari
aliran scsat. Untung aku masih kuat bertahan."
Walau masih kuat bertahan, tapi untuk menghilangkan rasa
panas itu, dia harus turun dari kuda dan men-cari tempat sepi mulai
semadi baru semangatnyapulih kembali. Setelah menempuh
perjalanan cukup jauh harus beristirahat, beberapa kali hal itu dia
lakukan hingga hari menje-lang pctang, baru dia menemukan
tempat yang ditunjukkan oleh Lomana
Waktu dia angkat kepala, dilihat-nya sebuah gubuk di pinggang
gunung, menurut ceritera Lomana gubuk itu adalah tempat tinggal
Toan Kiam-ceng. Mau tidak mau Beng Hoa agak curiga, pikimya, "Sebagai
pangeran dia sudah biasa hidup mewah, kenapa dia mau menetap
di gubuk reyot itu, hidup serba kekurangan" Memangnya hanya
karena kepincut oleh kecant ikan Lomana?"
Sudah tentu Beng Hoa juga men-duga setelah gagal melukai
dirinya, Tong Kiam-ceng pasti sudah siaga menunggu
kedatangannya. "Ke-mungkinan besar dia sudah tidak berada di
dalam gubuk itu," demikian batinnya. Tapi dia tetap meng-hampiri
gubuk itu. Gunung ini tidak tinggi, tidak curam dan berbahaya seperti Kiamhong
di dalam Ciok-Iin itu, tapi karena badan masih terluka setelah
merangkak ke pinggang gunung, tak urung napasnya pun sudah
terse-ngal-sengal. Dengan susah payah akhimya dia mendekati
gubuk itu. "Adakah orang di dalam rumah?" Beng Hoa berseru lantang.
Didengarnya suara rintihan tertahan di dalam, sesaat lagi
seorang berkata lemah, "Siapa?" kedengarannya napasnya sesak
hingga sukar bicara Tapi Beng Hoa jelas membedakan suara lemah
itu adalah jawaban dari Toan Kiam-ceng.
Semula dia datang tanpa mengharap ketemu dengan Toan Kiamceng,
temyata orang yang dicari berada dalam rumah, tentu saja hal
ini di luar dugaan. "Aku datang," dengan girang Beng Hoa bersuara,
langkahnya diperingan mendekati rumah.
Dilihatnya Toan Kiam-ceng rebah di atas dipan, wajahnya
kelihatan sayu karena sakit, saat itu tangannya menutup mulut
terbatuk-batuk kecil. Begitu Beng Hoa melangkah masuk, batuk Toan Kiam-ceng
seketika berhenti, berganti jeritan kaget, namun badannya tak
kuasa bergerak hanya meronta sekali lantas roboh celentang,
kelihatannya tidak ringan sakit yang diidapnya
"Aku bukan ingin menuntut balas kepadamu," lekas Beng Hoa
berkata. "Untuk apa kau kemari?" tanya Toan-Kiam-ceng dengan napas
memburu. "Kukira kau belum tahu siapa aku sebenarnya?"
Sikap Toan Kiam-ceng tampak bingung dan hambar, tanyanya
mendesis, "Siapa kau?"
"Aku bernama Beng Hoa, pamanmu adalah guruku."
Kelihatan Toan Kiam-ceng seperti agak lega, namun masih
merasa was-was, tanyanya, "Untuk apa kau kemari?"
"Manusia mana tidak pernah salah, tahu salah segera bertobat,
bukankah suatu hal yang menggirangkan. Aku kemari ingin
menasihati kau. Sudah tentu ada beberapa persoalan yang ingin
kuketahui dari penjelasanmu."
Terima kasih akan perhatianmu, sayang aku sedang sakit, tidak
bisa meiayanimu. Di sana ada air teh, silakan kau ambil dan minum
sendiri." "Kau tak perlu gugup, setelah sakitmu sembuh, belum terlambat
kita bicara. Toan-heng kau sakit apa?"
"Setelah pulang hari itu, hatiku amat menyesal, mungkin karena
terlalu lelah, terkena angin malam lagi, maka aku tak bisa bangun
lagi." Beng Hoa tidak paham ilmu pengobatan, maka dia tidak mampu
memberi bantuan, katanya, "Toan-heng, bagaimana kalau
kuundang tabib kemari untuk memeriksa dirimu" Tahukah kau di
daerah sekitar sini di mana ada tabib?"
Toan Kiam-ceng tertawa getir, katanya, "Daerah seluas limapuluh
li di sekitar sini, hanya aku seorang yang menetap di sini."
"Aku punya kuda yang bisa lari kencang, lari lebih jauh tidak
soal." Toan Kiam-ceng geleng kepala, katanya, "Di tempat kediaman
kepala suku Wana sana memang ada seorang tabib, tapi letaknya
ada stratus limapuluh li dari sini, untuk pulang pergi naik kuda lari
cepat juga harus makan waktu dua hari. Apalagi tabib yang hanya
pandai memberi obat rerumputan itu, kepandaiannya belum tentu
lebih unggul dari aku. Beng-toako, terima kasih akan maksud
baikmu, kau tak usah repot memikirkan diriku."
"O, kau juga pandai ilmu pengobatan?" tanya Beng Hoa
"Di rumahku ada dua tabib, sejak kecil aku sering ikut mereka
mencari obat, sedikit banyak tahu tentang pengobatan. Kemarin
waktu penya-kitku mulai kumat, mumpung masih punya tenaga aku
sudah mencari beberapa jenis rumput obat. Nah, lihatlah itu. Di
dalam kaleng obat di pojok sana, sekarang sedang digodok obat
racikanku sendiri." Lega hati Beng Hoa, katanya, "Baiklah, aku akan tinggal di sini
meladeni kau. Sudah berapa lama kau menggodok obat ini, apa
perlu ditambah kayu bakar?"
"Tidak usah, aku masih mampu bcrtahan. Biar aku periksa
sendiri," Lalu dia pura-pura meronta bangun, keringat bercucuran,
napas pun ter-sengal-sengal.
Lekas Beng Hoa memapahnya rcbah lagi, katanya, "Jangan kata
pamanmu adalah guruku, terhadap orang tidak kukenal pun patut
saling tolong di rantau. Toan-heng tak usah kausungkan."
Maka Toan Kiam-ceng berkata, "Racikan obat itu sudah kugodok
satu jam mungkin sudah hampir masak. Tolong kau buka tutupnya
dan enduslah baunya, bau obat ini agak pedas, jikalau bau obatnya
cukup kental kukira sudah cukup. Tolong kau tuang ke dalam
mangkok biar kuminum."
"Baiklah, "sahut Beng Hoa, lalu dia mengambil sebuah mangkok
kosong, dan bekerja sesuai permintaan.
Toan Kiam-ceng berkata, "Kau menempuh perjalanan jauh, tentu
sudah lelah, minumlah dulu barang secangkir baru kau menuang
obat untukku. Dalam gentong di pojok sana berisi air jernih untuk
minum." Setelah memanjat gunung dan memasuki rumah ini, belum
sempat Beng Hoa semadi menahan menjalarnya racun, memang dia
sudah merasa bibir kering tenggorokan gatal, maka dia buka
kantong airnya sendiri lalu minum seteguk, katanya "Membawa air
ke atas gunung tidak gampang, air dalam gentong itu biar kau
minum sendiri." Beng Hoa ber-tulus hati dan bicara baik, tapi Toan
Kiam-ceng kira Beng Hoa berlaku waspada, diam-diam tercekat hatinya.
Tapi setelah melihat Beng Hoa habis minum terus membuka
tutup obat yang sedang digodoknya, diam-diam lega hatinya, malah
dia hampir bersorak girang.
Bau obat yang kental pedas merangsanghidung, baru saja Beng
Hoa meletakkan tutup kaleng, mendadak terasa kepala pusing mata
berkunang, tubuhnya limbung akan jatuh tapi sebelum dia roboh,
kaleng yang dipegangnya sudah terlepas jatuh dan habislah obat di
dalamnya Pada detik itulah, didengamya Toan Kiam-ceng memckik
keras dan panjang, mendadak dia meloncat berdiri dari atas
ranjang, terus menubruk dengan, pukulan telapak tangan menderu
ke arah Beng Hoa Ternyata yang digodok dalam kaleng bukan
racikan obat, justru sebaliknya adalah obat bius untuk mencelakai
orang. Karena racikan daun dan rumput itu untuk membuat obat
bius, khasiat kepulan uap sama dengan obat bius yang disulut.
Sebetulnya tak usah bergebrak dengan Beng Hoa, sebentar lagi
Beng Hoa pasti akan roboh terkapar tak sadarkan diri. Tapi Toan
Kiam-ceng khawatir sebelum jatuh pingsan Beng Hoa turun tangan
keji lebih dulu kepadanya, maka mumpung orang melenggong dan
sebelum tahu duduk persoalannya, segera dia melompat maju
dengan sergapan mematikan.
Di luar tahunya perhitungan ini justru meleset, bagi seorang
pesilat yang memiliki kungfu tinggi, bila mendadak disergap akan
timbul reaksinya secara otomatis. Memang Beng Hoa belum tahu
apa yang dialaminya, namun begitu merasa angin kencang
mengancam dirinya, kontan dia menepukkan telapak tangannya ke
belakang. Meski tenaga Beng Hoa sekarang sudah banyak
berkurang, Toan Kiam-ceng tetap bukan tandingannya. Begitu
telapak tangan mereka beradu, "Blang" Toan Kiam-ceng terlempar
setombak lebih, dalam waktu dekat sukar dia melompat bangun.
Kejut dan gusar Beng Hoa, bentaknya sambil membalik, "Kau"
kau" temyata kau pura-pura sakit untuk menipu aku."
Baru saja maju hendak mencengkeram Toan Kiam-ceng,
mendadak terasa angin tajam menyambar pula dari belakang, lekas


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng Hoa ber-gerak dengan Ban-liong-yau-pou, berkelit sambil
balas menyerang. Gerakan Kim-na-jiu terbalik adalah jurus
permainan tangan kosong ajaran sam-suhu-nya, Tan Khu-seng,
yang berlandaskan Hun-kin-joh-kut-jiu, khusus untuk bcrkeiahi
dalam jarak dekat, lihaynya bukan main.
Tak nyana kungfu pembokong yang satu ini ternyata berbeda
jauh dibanding Toan Kiam-ceng, terdengar suara sobek, jari Beng
Hoa hanya mampu mencengkeram pakaiannya, sementara pundak
kanan sendiri juga tergores oleh kukujarinya, seketika terasa kulit
dagingnya seperti tergesek besi panas, rasanya sakit pedas.
Ccpat sekali, sambil menahan sakit Beng Hoa sudah mencabut
pedang, bentaknya, "Masih berapa banyak komplotan kalian,
hayolah keluar semua."
Yang bergebrak dengan dia ternyata seorang laki-laki berusia
lima-puluhan, wajahnya tidak istimewa, namun rambut kepalanya
yang tidak normal, awut-awutan tidak karuan seperti sarang
burung, warnanya merah darah. Orang aneh rambut merah
terkekeh-kekeh, katanya, "Keparat yang jumawa, apa sih
kemampuanmu, berani membual di sini" Kalau kau mampu
bertahan sepuluh jurus seranganku, anggap-lah kau memang
pandai." Dengan Bik-khong-ciang orang aneh rambut merah memukul
pergi pedang Beng Hoa, katanya, "Kianv hoat Thio Tan-hong paling
cuma begini saja, coba Iihat gurumu. Belum habis dia bicara, Beng
Hoa sudah membalikkan badan melancarkan serangan pedang,
gaya pedangnya secepat kilat menyambar, seperti menikam ke
kanan tapi juga seperti menusuk ke kiri meng-incar tenggorokan.
Karuan orang aneh rambut merah terkejut, pikir-nya, "Bocah ini
sudah terluka, terbius lagi, namun masih punya kekuatan sehebat
ini?" Beng Hoa sudah menutup pernapasan sambil mengerahkan
tenaga saktjnya, pikimya sebelum dia jatuh pingsan, musuh harus
dia tundukkan lebih dulu.
Dicecar oleh serangan kilat pedang, orang aneh rambut merah
terdesak mundur beberapa langkah. Tapi kedua telapak tangannya
juga bergerak bebas turun naik, di sam-ping membela diri dia tetap
leluasa balas menyerang. Terbatas oleh umur, maka kiam-hoat yang pernah diyakinkan
Beng Hoa sukar dikembangkan mencapai puncaknya, tapi bicara
tentang kehebatan dan variasi permainannya, dalam dunia jaman ini
yakin tiada orang kedua yang mampu menan-dingi dirinya. Si
rambut merah sudah terlanjur omong besar dalam sepuluh jurus
mampu merobohkan dia, tak nyana hanya sekejap tiga-puluh jurus
telah lewat, bukan saja tak mampu merobohkan lawan, malah dia
sering mengalami ancaman pedang lawan, karuan bergidik ngeri
hatinya. Kalau si rambut merah makin ciut nyalinya, Beng Hoa sendiri pun
mengeluh dalam hati. Dia tahu dirinya takkan kuat bertahan lama,
pertempuran harus diselesaikan secepat mungkin, sayang keinginan
tidak bisa terlaksana. Perlu diketahui si rambut merah temyata meyakinkan sejenis ilmu
pukulan sesat beracun dari aliran sesat yang dinamakan Lui-sinciang.
Pukulannya menderu keras seperti pompa angin yang
menghembus angin ke dalam tungku, hembusan angin tungku yang
panas dan gerah. Beng Hoa merasa tersiksa oleh hembusan angin
panas dari pukulan telapak tangan lawan. Maka dia merangsak
dengan kecepatan gerak pedangnya, tigapuluh jurus hanya sekejap,
namun dalam sekejap ini badannya sudah basah kuyup oleh
keringar, badannya panas seperti dipanggang di atas perapian,
napas mulai sesak. Pada saat gawat itu, kasiat obat bius temyata mulai bekerja
Bukan saja sekujur badan panas, kepala pusing, walau gerak
pedangnya cukup lihay dan ampuh, namun tenaga sudah teramat
lemah, padahal beberapa kali pedangnya sebetulnya bisa menusuk
badan si rambut merah, namun selalu lawan berhasil meloloskan diri
karena terpaut serambut saja
Lebih lama lagi, akhirnya Beng Hoa tak tahan lagi. Jurus terakhir
menggunakan sisa kekuatannya, begitu tusukan luput, pandangan
berkunang-kunang, bumi seperti berputar, kontan dia tersungkur
jatuh tak sadarkan diri lagi.
Si rambut merah menghela napas lega, katanya, "Kau terlalu
cepat bertindak, hingga aku harus banyak membuang tenaga.
Syukurlah tidak terjadi apa-apa, bocah ini pun sudah kita bekuk.
Kemarilah kau geledah dia"
Kejut dan girang menggejolak sanubari Toan Kiam-ceng, katanya
"Setelah terluka bocah ini masih selihay itu. Setelah menyedot obat
buis, temyata masih kuat bertahan sekian lamanya"
Temyata Toan Kiam-ceng sekongkol dengan gurunya, Toan
Kiam-ceng pura-pura sakit dalam gubuk, sementara si rambut
merah sembunyi di belakang rumah. Bila Beng Hoa tidak tertipu, si
rambut merah akan menerjang masuk menolong muridnya. Tapi kali
ini Beng Hoa betul-betul tertipu, hampir saja si rambut merah gugur
bersama, hal ini pun tidak diduga sebelumnya " Entah berapa lama
kemudian, baru Beng Hoa mulai sadar. Melihat dia bergerak sedikit,
lekas Toan Kiam-ceng maju memenksa, Beng Hoa memejamkan
kedua mata, dengan napas berat, dia pura-pura kembang kempis
dan setengah sadar seperti orang terluka parah.
Si rambut merah berkata, "Dia tidak akan siuman secepat itu,
aku sudah memukul Leng-gan-hiat dengan Lui-sin-ciang-ku,
umpama sejak lahir dari rahim ibunya dia sudah meyakinkan silat,
paling cepat tiga jam baru dia akan siuman pula."
Mana dia tahu. Beng Hoa bukan sejak lahir sudah lantas belajar
kungfu, tapi dia pernah mempelajah Hian-kang-pwe-coat, ilmu
Iwekang tingkat tinggi yang riada taranya, cukup setahun dia
latihan dapat menandingi orang lain berlatih sepuluh tahun.
Dalam pembicaraannya si rambut merah mengatakan ilmu
pukulan yang diyakinkan itu adalah ilmu sesat beracun dari aliran
sesat, karuan Beng Hoa tercekat. Dalam hati dia membatin, "Di
jaman ini, yang meyakinkan Lui-sin-ciang hanyalah keluarga Auyang
saja, kemungkinan orang ini anak atau keponakan Auyang Kian,
entah pernah apa orang ini, dengan Auyang Ya. Tapi latihan Lui-sinciang
orang ini jelas lebih tinggi dari Auyang Ya yang kini menjabat
wakil komandan pasukan Gi-lim-kun. Kabamya Lui-sin-ciang yang
diyakinkan Auyang Ya hanya mencapai tingkat kelima, taraf
kepandaian Lui-sin-ciang orang ini mungkin sudah hampir mencapai
tingkat kesembilan."
Perlu diketahui Lui-sin-ciang berasal dari Thian-tiok sejenis ilmu
sesat yang kira-kira sejajar dengan Siu-lo-im-sat-kang, kedua ilmu
sesat ini terhitung paling sakti dari sekian ilmu lihay dari golongan
sesat. Duapuluhan tahun yang lalu gembong iblis besar Auyang Kian
dengan bekal ilmu jahatnya itu pernah malang melintang di dunia,
akhimya perang tanding dan hampir gugur bersama dengan
Kaypang pangcu sekte utara Tiong Tiang-jong, sejak itu dia
menycmbunyikan diri dan tak pernah muncul pula di kalangan
Kangouw. Ada orang bi-lang dia dipaksa untuk mengundurkan diri
dari percaturan dunia per-silatan maka waktu itu dia terpaksa
bersumpah untuk menukar jiwanya hingga tidak terbunuh. Karena
akhir dari duel sengit itu, keduanya terluka parah, namun luka-Iuka
Tiong Tiang-jong jauh lebih ringan, orang masih mampu
menamatkan jiwanya Bukan pertama kali ini Beng Hoa menghadapi
Lui-sin-ciang. Empat tahuh yang lalu waktu Tong-hian-cu, tianglo
dari Kong-tong-pay membawa dua kawan meluruk ke Ciok-lin
membuat perhitungan dengan sam-suhu-nya Tan Khu-seng, Beng
Hoa pernah merasakan sendiri kehebatan Lui-sin-ciang itu. Kedua
kawan Tong-hian-cu itu adalah Yang Kek-beng yang meyakinkan
Siu-lo-im-sat-kang sampai tingkat kedelapan, seorang lagi adalah
putera Auwyang Kian yang bemama Auwyang Ya Waktu itu
kepandaian Beng Hoa masih rendah, hampir saja tewas di bawah
Lui-sin-ciang Auwyang Ya untung Tan Khu-seng menyerempet
bahaya menolong jiwanya, dalam waktu yang tepat Auwyang Ya
dipukulnya luka parah hingga jiwanya diselamatkan, Belakangan
baru diketahui bahwa Auwyang Ya adalah wakil komandan Gi-limkun,
padahal latihan Lui-sin-ciang Auwyang Ya waktu itu baru
mencapai tingkat kelima Kali ini dia dibokong lebih dulu oleh Toan Kiam-ceng, lalu
terpukul pingsan lagi oleh orang aneh rambut merah. Kedua orang
ini mengguna-kan Lui-sin-ciang, tapi Lui-sin-ciang kedua orang ini
jauh bedanya dengan Auwyang Ya sungguh dia tidak habis mcngerti
dari mana Toan Kiam-ceng dapat meyakinkan Lui-sin-ciang.
Sementara kekuatan Lui-sin-ciang si rambut merah ini jauh di atas
kemampuan Auwyang Ya dulu. Kini dia baru saja mulai sadar, dalam
waktu singkat jelas tidak terpikir olehnya, tapi umpama si rambut
merah tidak mengatakan, beberapa kejap lagi tentu dia sudah
menduga akan Lui-sin-ciang lawan.
Sementara itu si rambut merah sedang mengagulkan kepandaian
Lui-sin-ciang, Toan Kiam-ceng mendapat kesempatan menjilat
gurunya katanya "Suhu, Lui-sin-ciang yang kau yakinkan begitu
lihay, aku jadi khawatir malah."
"Apa yang kau khawatirkan?"
"Aku khawatir bocah ini takkan siuman lagi."
"Kau khawatir aku memukulnya mampus, kiamhoat peninggalan
Thio Tan-hong takkan bisa kau miliki, begitu?"
"Iya, seluruh badannya sudah kugeledah, pakaian sudah
kubelejeti, sepatu pun sudah kuperiksa, secuil kertas pun tak
kutemukan, terpaksa harus mengorek keterangan dari mulutnya."
"Ya, bocah ini keras kepala, mengancamnya dengan kematian
belum tentu dia takut, terpaksa ditipu supaya dia menulisnya sendiri.
Tapi kau sudah dua kali membokong dia, apa dia mau percaya?"
"Bocah ini teramat jujur, aku tahu wataknya, harus diberi umpan
secara halus, dia akan melawan kalau pakai kekerasan. Pamanku
adalah gurunya, kurasa dengan ke-mahiran diplomasiku, akan
kubujuk dia, apalagi dia harus memberi muka kepada pamanku,
pasti dia masih mau percaya kepadaku."
"Mulutmu memang manis, pandai membual, burung di atas
pohon pun bisa kau tipu, bicara tentang membual aku sih percaya
kepadamu." "Walau Lui-sin-ciang-ku amat lihay, tapi kau tidak. usah khawatir
akan keselamatan bocah ini. Lwe-kang bocah ini amat kuat, takkan
gampang mati. Kuduga dalam tiga jam lagi baru dia akan siuman,
luka-luka pukulan Lui-sin-ciang hanya aku saja yang bisa
menyembuhkan, bila aku tidak mengobatinya, mungkin dia masih
kuat bertahan sepuluh hari baru hilang nyawa."
"Suhu, adakah kau punya obat yang dapat memperingan
penderitaannya?" "Ada, untuk apa kau ingin tahu obat itu?"
"Kau harus memberi sedikit kebaikan baru bisa menipu dia untuk
percaya kepadaku. Tapi kadar obat itu harus diperhitungkan supaya
dia tidak pulih tenaganya, yang pasti aku seorang diri harus mampu
mengatasinya." "Itu mudah, di dalam obat akan kutambah sedikit Hap-kut-san,
seekor ayam kecil pun tak mampu dia memegangnya."
"Syukurlah kalau begitu." Mendadak si rambut merah bertanya,
"Waktu kau masuk ke Ciok-lin bersama Leng Ping-ji dulu, bukankah
kebetulan bertemu dengan Tong-bing-cu, tianglo Kong-tong-pay?"
"Aku memang bertemu dengan seorang tosu tua, tapi aku tidak
tahu apakah dia tianglo dari Kong-tong-pay."
"Tosu tua itu bersenjata kebutan di tangan kanan, pedang di
tangan kiri." "Ya, betul." "Betul Tong-bing-cu kalau begitu. Kabarnya dia pernah dirugikan
di tangan bocah ini, apa kau me* nyaksikan mereka bergebrak?"
"Waktu itu, tosu tua datang bersama seorang Biau, mereka
bersikap kasar dan mengancam aku, orang Biau itu meiabrak aku,
aku bukan lawannya, terpaksa melarikan diri. Kebetulan bocah ini
melompat turun dari Kiam-hong, lalu meiabrak tosu tua itu. Kejadian
selanjutnya aku tidak tahu. Tapi kenyataan dia selamat, mungkin
tosu tua itu memang dirugikan olehnya"
Si rambut merah manggut-mang-gut, lalu bergelak tawa.
"Kenapa suhu tertawa, apakah murid salah omong?"
"Bukan, aku terlalu gembira, biar kuberi tahu kepadamu. Setahun
sebelum masuk ke Ciok-lin, ada tiga orang pergi ke Ciok-lin.
Seorang adalah ahli waris seorang cianpwe tokoh aneh di Buiim
masa lalu, Beng Sin-thong, bernama Yang Kek-beng, nama Beng
Sin-thong tentu kau pernah mendengarnya?"
"Kabarnya dia tokoh besar yang sejajar dengan Kim Si-ih pada
empatpuluhan tahun yang lalu. Kim Si-ih adalah jago pedang nomor
satu pada jaman itu, sementara Beng Sin-thong adalah iblis nomor
satu di seluruh jagat, akhirnya dia tewas di tangan puteri musuhnya
yang bernama Le Seng-lam."
"Betul, Yang Kek-beng adalah ahli waris generasi ketiga,
sekarang jago satu-satunya yang mampu me-yakinkan Siu-lo-imsat-
kang sampai tingkat kedelapan. "Orang kedua adalah Tonghian-
cu, tianglo Kong-tong-pay juga, Tong-hian-cu adalah engkoh
Tong-bing-cu. Bicara tentang Iwekang, Tong-hian-cu memang lebih
tinggi, tapi bicara tentang ilmu pedang, Tong-bing-cu lebih unggul.
Tosu tua yang kau lihat di Ciok-lin dulu adalah Tong-bing-cu yang
lihay ilmu pedangnya"
"Kedua orang ini punya hubungan erat dengan aku. Tapi
hubungan orang ketiga dengan aku lebih dekat lagi, dia adalah
adikku Auwyang Ya" Dugaan Beng Hoa tidak meleset, maka dia membatin, "Laki-laki
siluman ini ternyata engkoh Auyang Ya, tak heran kepandaian Luisin-
ciang yang dikuasai jauh lebih tinggi dari Auwyang Ya"
Si rambut merah bercerita lebih lanjut, "Adikku itu kemaruk
pangkat dan pandang tinggi harta, namun malas berlatih kungfu,
maka Lui-sin-ciang dia hanya mencapai tingkat kelima. Dengan
bekal kepandaian yang tidak seberapa itu, selama sepuluh tahun
berkecimpung dalam Kangouw, ternyata berhasil dia merebut
jabatan wakil komandan Gi-lim-kun."
Kembali Toan Kiam-ceng mengumpak gurunya, "Suhu, Lui-sinciang
yang kau yakinkan adalah ilmu tunggal dalam Bulim, kalau
susiok dengan bekal Lui-sin-ciang tingkat kelima dapat menjadi
wakil komandan Gi-lim-kun, mengalah-kan banyak jago-jago kosen
di istana raja; engkau sudah mencapai tingkat kesembilan,
komandan Gi-lim-kun mungkin hanya setimpal menjadi muridmu
saja. Pada jaman ini tiada orang yang mampu mengalahkan kau
lagi." Si rambut merah gelengkan kepala, katanya, "Tidak demikian.
Pertama Lui-sin-ciang-ku baru saja menginjak ke tingkat sembilan,
latihan belum matang. Kedua, komandan Gi-lim-kun Hay-tayjin
adalah jago nomor satu di Kwan-gwa dia memiliki ilmu tunggal, kemampuannya
belum tentu kalah dari aku. Bahwa dia memberikan
jabatan wakilnya kepada adikku mungkin juga memberi muka
kepadaku. Ketiga?" sampai di sini dia menghela napas panjang.
"Cita-citaku berbeda dengan adikku. Dia ingin naik pangkat, hidup
mewah dan kaya raya, sebal iknya cita-citaku adalah menjadi
jago Bulim nomor satu, sayang sejauh ini belum terlaksana. Dalam
jaman ini, sedikimya ada tiga orang yang memiliki kungfu lebih
tinggi dari aku."

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapakah ketiga orang itu?"
"Pertama adalah ciangbunjin Thian-san-pay Teng King-thian,
kedua adalah murid terbesar Kim Si -ih yaitu Kang Hay-thian, ketiga
adalah putera Kim Si-ih yang bemama Kim Tiok-liu. Aku tahu bahwa
kemampuanku belum dapat mengalahkan ketiga orang ini. Kecuali
itu masih ada Miao Tiang-hong, Le Lam-sing, LengThiat-jiau, SiauCiwan,
Beng Goan-cau dan Iain-Iain, umpama orang-orang itu belum
pasti dapat mengalahkan aku, paling tidak setanding. Hm, demikian
pula bocah ini, kalau dia bisa menyelamatkan jiwanya, dia pun
termasuk lawan tangguh."
"Jiwa bocah ini tergenggam di tangan kita, meski tumbuh sayap
juga takkan bisa terbang. Bila suhu berhasil meyakinkan Lui-sinciang
tingkat sembilan, beberapa tahun lagi"."
Si rambut merah tahu apa yang akan diucapkan muridnya,
segera dia tertawa terbahak-bahak, tukas-nya, "Umpama berhasil
merampungkan latihan Lui-sin-ciang tingkat sembilan juga belum
tentu dapat mengalahkan ketiga orang itu. Tapi beberapa tahun lagi
bukan mustahil kungfu yang kuyakinkan dapat merebut jago nomor
satu di jagat ini. Harapan ini terletak pada bocah ini."
Toan Kiam-ceng pura-pura heran, katanya, "Harapanmu terletak
pada bocah ini?" "Coba kau pikir, dulu dia bukan tandingan adikku, setahun
kemudian Tong-bing-cu yang berkepandaian pedang paling tinggi
dari Kong-tong-pay pun dikalahkan dia. Hari ini bila dia tidak terluka
lebih dulu, Lui-sin-ciang tingkat kedelapanku pun belum tentu dapat
membekuknya Dalam waktu sependek ini, kungfunya maju sepesat
itu, hal ini belum pernah terjadi selama ini, bahwa bocah ini sudah
memperoleh ajaran ilmu pedang Thio Tan-hong, kurasa tidak perlu
disangsikan lagi. Bukan saja ilmu pedang, ajaran Iwekang-nya pun
sudah didapat oiehnya. Sejak dulu, Hian-kang-pwe-coat ciptaan
Thio Tan-hong adalah ilmu Iwekang yang tiada taranya"
Toan Kiam-ceng membatin, "Tak heran suhu kesenangan,
agaknya mula pertama dia tidak percaya bahwa bocah ini sudah
memperoleh warisan ajaran Thio Tan-hong."
Si rambut merah berkata lebih jauh, "Berhasil atau tidak kau
mendapat kiamhoat dan ajaran Iwekang dari bocah ini, tergantung
dari kemahiranmu. Maka kau harus bekerja dengan hati-hati, jangan
dia tahu muslihatmu."
"Sudah tentu. Tecu akan bekerja sepenuh tenaga"
"Jangan kau anggap aku cerewet. Bukan saja tugasmu ini akan
membawa manfaat besar, secara langsung juga menyangkut mati
hidup kita selanjutnya."
Toan Kiam-ceng bergidik, tanyanya "Apa betul segawat itu?"
Wajah si rambut merah tampak serius, katanya pula "Kau tidak
tahu, bila Lui-sin-ciang sudah dilatih pada tingkat kesembilan,
sembarang waktu bisa mengalami cau-hwe-jip-mo, bila hal itu
terjadi, hidup sekarat, setengah mati."
Toan Kiam-ceng terperanjat, serunya, "Jadi besar juga
bahayanya bagi orang yang meyakinkan Lui-sin-ciang."
"Setelah aku mencapai latihan tingkat kedelapan baru menyadari
adanya bahaya ini. Semula rambut-ku juga hitarn, karena kadar
racun panas kumat sehingga lama kelama-an berubah merah,
Latihanmu masih rendah, tapi sekali kau sudah mulai berlatih, kau
buang juga takkan bisa hilang. Kalau latihan dihentikan, bahaya
cau-hwe-jip-mo mungkin bisa dihindari, tapi bahaya selingan entah
besar atau kecii tetap takkan bisa dihindari."
Toan Kiam-ceng semakin panik, katanya, "Lalu bagaimana baiknya?"
"Kau tidak usah takut, untuk menghindari cau-hwe-jip-mo sudah
ada setitik harapan. Harapan itu terletak di atas bocah ini."
Toan Kiam-ceng segera sadar, katanya "Bukan saja kita harus
mendapatkan kiamhoat dari mulut. bocah ini secara sukarela juga
harus mendapatkan ajaran Iwekang ciptaan Thio Tan-hong."
"Betul. Dengan ajaran Iwekang Thio Tan-hong, meyakinkan Luisin-
ciang tidak akan khawatir mengalami bencana apa pun."
"Baiklah, tecu akan bekerja se-kuat tenaga, aku harus
memperoleh ajaran itu."
"Masih ada satu hal yang amat penting, dalam dua hari ini harus
segera diselesaikan."
"Persoalan apa?"
"Kau masih ingin mempersunting Lomana?"
"Sebetulnya dengan mudah aku dapat memilikinya, sayang bocah
ini menjadi gara-gara. Sekarang gadis itu jatuh ke tangan Santala."
"Urusan sudah terjadi, menyesal pun tak berguna. Yang penting
bagaimana harus bertindak, bila sudah menikah dengan Santala,
sudah tiada harapan lagi."
"Sekarang tecu tak bisa memisah diri, urusan harus diselesaikan
satu per satu. Setelah tugasku di sini berhasil, baru akan
kuselesaikan persoalan di sana, bagaimana?"
Si rambut merah gelengkan kepala, katanya, "Mungkin sudah
terlambat. Begini saja, di sini kau boleh menghadapi bocah ini, aku
bisa membantu kau menghadapi Santala Akan kubuat dia mati
secara aneh tanpa ada luka-luka di badan-nya sehingga orang Iain
anggap dia terserang penyakit aneh dan mati mendadak"
Dia bicara seenaknya sendiri, namun rencana busuk ini betulbetul
mengejutkan Beng Hoa Sekuatnya dia menahan diri sehingga
badan tak bergerak, suara pun tidak keluar dari mulutnya.
"Kau hendak membunuh Santala?"
"Cara yang paling mudah dan bersih, apa kau tidak setuju?"
"Sebetulnya Lomana lebih mencintai aku daripada Santala,
mumpung mereka belum menikah, bila Santala mati, aku yakin
dapat merebut cintanya, suhu sudi membantu sudah tentu amat
baik, tapi"." "Tapi apa?" "Sekarang padang rumput sudah terbuka, kelompok suku di
mana Santala berada sekarang, para pemudanya mungkin sudah
berbondong keluar memburu binatang, mereka takkan berada di
rumah." Si rambut merah tertawa besar, "Padang rumput memang luas,
memangnya dia akan berburu ke ujung langit" Kau khawatir aku tak
dapat menemukan dia?"
"Suhu, dengan kemampuanmu memang mudah membekuk
bocah itu. Tapi jikalau tidak kebetulan dapat menemukan dia,
mungkin harus makan beberapa hari."
"O, jadi kau khawatir dalam beberapa hari ini, seorang diri kau
tidak mampu melayani bocah ini, khawatir terjadi sesuatu di luar
dugaan, begitu?" "Betul, bocah ini memang sudah lumpuh, tapi bukan mustahil
kalau dia punya komplotan?"
"Kecuali tahu dia murid paman-mu, kau tahu tentang asalusulnya?"
"Dari nada bicaranya, dia sedang menunaikan tugas dari Leng
Thiat-jiau dari Jik-tat-bok. Belasan hari yang lalu, dari Jik-tat-bok
ada utusan bernama Utti Keng, lalu bocah ini muncul, aku jadi
khawatir bukan mustahil ada orang ketiga akan muncul lagi. Bila
kepandaian orang ketiga ini setaraf dengan Utti Keng dan bocah ini,
jelas aku bukan tandingannya"
"Tempat ini amat terpencil, orang luar pasti tidak tahu, kecuali
secara kebetulan bertemu dengan Lomana, Lomana pun percaya
padanya seperti dia percaya dengan bocah ini, baru dia akan
menjelaskan letak tempat ini. Tapi mungkinkah ada kejadian
kebetulan ini?" "Sesepuh suku Wana ada kontak dengan Jik-tat-bok, Lohay ayah
Lomana juga bertemu dengan Utti Keng. Kalau orang ketiga tiba di
Wi-kiang, bukan mustahil dia bertan-dang ke tempat Lohay."
Berkerut alis si rambut merah, katanya "Baiklah, aku membatasi
waktu lima hari, bila lima hari aku tak berhasil menemukan Santala,
aku akan pulang. Kau ini di depan takut harimau, di belakang jeri
terhadap serigala, bagaimana mampu melakukan urusan besar."
Toan Kiam-ceng tidak berani banyak omong. Si rambut merah
berkata pula, "Perlu kuberi tahu satu hal kepadamu, belakangan ini
aku mempcroleh berita, bahwa sesepuh Wana akan mewariskan
kedudukan-nya kepada Lohay."
"Waktu pertama kali aku tiba di Wi-kiang pernah kudengar berita
ini, tapi aku kurang percaya Lohay hanya kepala suku kelompok
kecil dari bangsa Uigior, mana mungkin melonjak ke jabatan
setinggi itu, menjadi pemimpin besar seluruh bangsa Uigior di sini."
"Ada yang tidak kau ketahui, per-tarungan orang-orang Uigior
berbeda dengan suku bangsa minoritas lainnya, ahli waris tidak
diturunkan kepada keluarga, tapi harus memiJih seorang pimpinan
yang betul-betul mampu. Lohay adalah pemanah sakti, nama baik
wibawa besar, usia-nya juga baru limapuluh, maka dia mendapat
penghargaan dari pelba-gai pihak, tidak heran kalau hanya dia
seorang saja calon ahli warisnya Berita ini bukan kabar angin, tapi
kenyataan. Bulan depan mereka akan mengadakan rapat umum di
kalangan para pimpinan dan sesepuh untuk mengumumkan pilihan
ini secara ramai." "Kalau demikian, aku harus ber-usaha supaya Lomana lekas
kurebut." "Memang, calon menantu pemimpin besar bangsa Uigior sudah
terbentang di depan mata, memangnya kau rela serahkan kepada
orang lain?" "Aku sih bukan tamak menjadi menantu pemimpin besar bangsa
Uigior, tapi kejadian ini memang merupakan kesempatan baik bagi
aku, kemungkinart besar kelak aku bisa berdiri sendiri menjadi raja
di Wi-kiang." Beng Hoa terkejut, batinnya, "Temyata dia punya ambisi sebesar
itu, tak heran dia mencampakkan Leng Ping-ji, sepenuh hati
mengejar Lomana." Terdengar Toan Kiam-ceng berkata lebih lanjut, "Suhu, tentu kau
sudah tahu, kakek moyangku dulu pernah jadi raja di negeri Tayli,
sampai sekarang rakyat Tayli masih memanggil aku "siau-ongya".
Tapi aku terlunta-lunta di luar gara-gara perbuatan paman,
sekarang aku tak bisa bercokol di negeriku sendiri."
"Kalau ingin menjadi siau-ongya di negerimu, bukan soal sukar.
Cukup asal aku bicara dengan Hay-congling, sedikit banyak dia pasti
memberi muka kepadaku. Kau bisa pulang dan menetap di
istanamu, orang takkan berani mengganggumu lagi."
"Aku bukan ingin menjadi siau-ongya yang bemama kosong
tanpa punya kekuasaan apa pun. Celaka-nya, bila aku punya ikatan
dengan pihak kerajaan, paman pasti takkan memberi ampun
kepadaku. Lebih baik aku jadi raja suku bangsa minoritas yang
berkuasa tanpa nama di sini. Apalagi Uigior adalah suku bangsa
terbesar di Wi-kiang ini."
"Dengan kecerdikanmu, setelah mengawini Lomana, dalam
waktu singkat pasti dapat mewarisi jabatan ayahnya. Setelah
menjadi pemimpin besar bangsa Uigior, tidak sukar kau menguasai
suku bangsa minoritas lainnya di Wi-kiang ini, bila scluruh wilayah
Wi-kiang sudah kau satu-kan, apa sukarnya kau angkat diri menjadi
raja di sini?" "Bila cita-citaku itu terlaksana pada suatu hari, aku pasti angkat
suhu menjadi koksu, atau kuagungkan menjadi Hwe-hud (Budha
hidup), kedudukanmu akan sejajar dengan Dalai Lama di Tibet"
"Aku malah tidak ingin menjadi hwesio," ujar si rambut merah
tertawa. "Kalau begitu, terserah suhu ingin jadi apa bolehlah. Ada lagi
satu rahasia, aku belum sempat ben tahu kepada kau orang tua."
"Rahasia apa?" "Dari dalam buku catatan lama yang menjadi koleksi
perpustakaan di rumahku, lokasi di mana suku bangsa Uigior
menetap, dahulu kaia pernah menghasilkan batu jade secara besarbesaran.
Mungkin pernah terjadi gempa bumi, atau bencana alam
lainnya, tambang besar batu jade itu entah kenapa temyata sudah
terpendam. Kelak bila aku menjadi pemimpin besar bangsa Uigior,
akan kuteliti catatan lama bangsa mereka. bukan mustahiI aku bisa
menemu-kan tambang itu."
"Aku tidak mau jadi koksu, juga tidak ingin kaya raya, aku hanya
ingin satu saja." "Entah barang apa yang di-inginkan suhu."
"Aku pun punya rahasia, boleh kuberi tahu kepadamu. Di rumah
Lohay ada menyimpan sejilid buku dari kufit kambing dari negeri
Persia, dia kira buku itu hanyalah Al Quran agama Islam, yang
benar adalah buku pelajaran silat lihay."
"O, maksud suhu ingin memiliki buku itu?" seru Toan Kiam-ceng.
Dalam hati dia heran bahwa di rumah Lohay ada sejilid buku, apa
rahasia buku itu Lohay sendiri tidak tahu, bagaimana suhu-nya bisa
tahu" "Pcpatah bilang, di luar langit ada langit, orang pandai ada yang
lebih pandai. Pepatah ini memang tepat, dulu pandangan bangsa
kita kurang luas, hanya tahu di Tiongkok saja ada kungfu, yang
benar kecuali Tiongkok masih ada dua negeri lain yang juga
mcmperdalam ilmu silat, seperti juga di negeri kita, mereka juga
bersumber panjang dan tak boleh dipandang ringan."
"Kedua negara kuno ini adalah Thian-tiok (India) dan Persia (Iran
sekarang)." "Lebih banyak orang mengenal kungfu dari Thian-tiok.
Tatmo Cosu yang mendirikan Siau-lim-pay berasal dari Thian-tiok,
paderi dari negeri sana."
"Tapi jarang ada orang tahu tentang kungfu dari Iran. Yang
benar ilmu silat dari negeri Persia mempunyai ciri tersendiri, belum
tentu lebih rendah di banding kungfu orang-orang India."
"Tapi meski jarang orang tahu bukan berarti tiada yang tahu.
Empatpuluh tahun yang lalu ada seorang Arab bemama Timotato
pernah berkunjung ke Wi-kiang, sebagai jago kosen nomor satu di
negeri Arab, ilmu yang diyakinkan adalah kungfu dari aliran Persia"
"Timotato seperti ada dalam ingaranku. Oh ya, teringat oJehku,
paman pernah bcrbicara padaku ten-tang orang aneh dari bangsa
asing ini. Konon dia pernah bertanding kungfu dengan ciangbunjin
Thian-san-pay yang terdahulu Teng Hiau-lan."
"Betul, mereka bertanding kung-fu bukan seperti biasanya, tapi
ber-lomba mendaki puncak Himalaya, yaitu puncak Cu-mu-long-ma,
siapa dapat mencapai puncak lebih dulu terhitung dia yang
menang." Toan Kiam-ceng tertarik, katanya, "Agaknya yang diketahui paman
tidak lengkap, bagaimana akhir pertandingan itu?"
Orang aneh rambut merah berkata, "Kesudahannya tiada yang
bisa mencapai puncak Cu-mu-long-ma, tapi Timotato terjatuh mati.
Cu-mu-long-ma adalah puncak tertinggi di dunia, sebagai jago
kosen yang memiliki Iwekang tinggi sesampai di atas puncak juga
sukar bernapas, manusia akhirnya akan mati pengapkehabisan
napas. Konon waktu mereka memanjat ke puncak hanya setengah li
lagi akan mencapai puncak tertinggi. Akhirnya yang satu jatuh mati
dan yang lain tahu diri lalu mengundurkan diri. Tapi bahwa Timotato
mampu bertanding dengan Teng Hiau-lan, maka dapat dibayangkan
betapa tinggi tingkat ilmu silatnya."
Setelah istirahat, si rambut merah berkata pula, "Tujuan
Timotato ke Sinkiang dahulu, konon lantaran ingin mencari buku
kuno tulisan negeri Persia itu."
Toan Kiam-ceng bersemangat, katanya, "Jago kosen macam
Timotato pun punya hasrat besar untuk memiliki buku itu meski
harus me-meras banyak keringat dan pikiran menempuh perjalanan
jauh untuk mencari pit-kip itu. Maka dapat di-duga kungfu yang
berada di dalam pit-kip itu pasti tidak kalah dengan ilmu ciptaan


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thio Tan-hong. Entah bagaimana pit-kip itu bisa jatuh ke tangan
keluarga Lohay" Akhirnya apakah Timotato mengetahui rahasia uri?"
Dengan nada bercerita si rambut merah berkata lebih jauh,
"Dahulu kala konon waktu agama Islam tersiar ke Tiongkok daratan,
Ieluhur Lohay adalah orang pertama yang memeluk agama Islam,
belakangan dia menjadi kuasa usaha Jing-cin-si suatu tempat,
menyebarluas-ajaran agama tanpa mengenal lelah.
"Waktu Islam mulai mcmbu-bung, mereka menyebarluaskan
ajaran agama secara keras, tangan kiri menggenggam Al Quran,
tangan kanan memegang pedang, itulah semboyan kerja mereka.
Waktu itu, negara yang memeluk Islam sebagai falsafah negara
adalah negeri Persia, demi memperbesar dan memperlancar
masuknya ajaran Islam ke Tiongkok, mereka mengutus duta besar
serta mengirim duabelas jilid Al Quran, dibagi rata kepada duabelas
kepala agama. Satu di antara duabelas buku Al Quran di dalamnya
terselip ajaran ilmu silat yang ditulis juga dengan bahasa aslinya.
Bila bisa membaca bahasanya, orang akan tahu bahwa tulisan
dalam buku itu sebetulnya adalah buku pelajaran ilmu silat tingkat
tinggi. "Waktu raja Persia mengirim pit-kip itu, dia memberi pesan
kepada duta besarnya untuk memilih seorang yang cocok serta
memberi-kannya, supaya dia mempelajari kungfu tingkat tinggi
negeri Persia mereka, supaya ajaran Islam lebih gemilang dan lebih
luas berkembang di Tiongkok. Duta itu memilih Ieluhur Lohay, tapi
entah lantaran apa, ternyata Ieluhur Lohay tidak menemukan
adanya ajaran ilmu silat tinggi dan tidak tahu adanya rahasia itu
sudah keburu meninggal dunia Pada saat yang sama dalam negeri
Persia sendiri juga terjadi kudeta, hubungan putus dengan para
umat Islam di Tiongkok. Bertahun-tahun kemudian, jangan kata
tiada orang tahu akan rahasia ini, jarang pula ada orang tahu
bagaimana asal mula agama Islam tersebar luas di Tiongkok.
Keturunan keluarga Lohay hanya tahu bahwa mereka menyimpan
warisan sejilid Al Quran dari bahasa Persia, mereka tidak bisa
bahasa Persia, walau memandang buku itu sebagai pusaka, serta
menyimpan-nya secara rahasia, tapi tak pernah dibuka atau dibaca.
"Timotato tahu tentang rahasia ini dari catatan kuno di
perpustakaan negaranya. Setelah tahu akan hal ini maka dia
menyusul ke Wi-kiang. entah bagaimana kejadiannya, selidik punya
selidik akhirnya di ketahui bahwa buku itu disimpan di rumah
keluarga Lohay. Sayang sekali sebelum dia sempat bertemu dengan
kakek Lohay, keburu dia berlomba memanjat puncak Cu-mu-longma
dengan Teng Hiau-lan hingga mati karena jatuh dari puncak.
"Setelah Timotato meninggal, yang tabu rahasia ini hanya
seorang muridnya, kepandaiannya jauh di bawah gurunya. Maka dia
tidak berani bertindak secara semberono. Untuk minta langsung
kepada Lohay, jelas orang takkan mau mcm-berikan Al Quran itu.
Jikalau men-curinya, Lohay mcnyimpannya secara rahasia, jelas
sukar turun tangan. Celakanya bila rahasia ini sampai bocor, bukan
mustahil jiwa-nya bisa terancam bahaya. Karena itu dia menunda
sampai sekarang tidak berani turun tangan, kini usia-nya sudah
lebih enampuluh. "Secara kebetulan aku berkenalan dengan dia lalu menjadi
sahabat baik. Dia hidup di rantau, jauh dari kampung kelahiran, di
sini hidup sebatang kara tanpa sanak tanpa kadang, hanya aku
sajalah teman baik satu-satunya, maka dia pandang aku sebagai
orang kepercayaannya. Tapi setelah kami bersa-habat sepuluh
tahun, yaitu tahun lalu, baru dia memberi tahu rahasia ini kepadaku.
Dia memberi janji kepadaku, bila aku bisa mendapatkan pit-kip itu,
dia mau menyalinnya menjadi bahasa Han serta mempelajari
bersama aku." "Suhu patut diberi selamat, bila kau mendapatkan pit-kip ajaran
Persia, ditambah ajaran lwekang Thio Tan-hong, umpama Teng
Hiau-lan hidup kembali dari Hang kubur-nya, atau Kim Si-ih bangkit
kembali juga tidak perlu gentar lagi. Gelar jago kosen nomor satu
seluruh jagat, pasti takkan bisa mereka rebut dari tangan suhu."
Si rambut merah tergelak-gelak, katanya, "Kau memberi selamat
kepadaku, aku pun harus memberi selamat kepadamu."
Berdetak jantung Toan Kiam-ceng, tapi dia pura-pura tidak tahu,
tanyanya, "Dalam hal apa suhu memberi selamat kepada tecu?"
"Kau adaiah murid satu-satunya, apa yang berhasil kumiliki, memangnya
tidak akan kuturunkan kepadamu" Jikaaku menjadi tokoh
kosen nomor satu di jagat, sepuluh tahun lagi, kau pun akan
mewarisi jabatanku menjadi tokoh kosen nomor satu di dunia ini."
Tersipu-sipu Toan Kiam-ceng berlutut lalu menyembah, katanya,
"Terima kasih atas asuhan suhu."
Si rambut merah rnembtmbing-nya, katanya, "Jangan tergesagesa,
aku masih ingin membuat kau repot Entah di mana Lohay
mnyembu-nyikan AI Quran-nya itu, jikalau aku mencuri atau
merebutnya belum tentu bisa berhasil, setelah kupikir-pikir, kurasa
hanya dengan akal saja dapat kita miliki. Untuk ini aku me-merlukan
tenaga dan kecerdikan-mu."
"Suhu begini sungkan, mana berani murid menerimanya. Ada tugas
sudah wajar sang murid me-ngerjakan, apalagi kita adaiah guru
dan murid yang senasib sepenang-gungan, murid pasti beijmng
sekuat tenaga. Kukira tugas ini tidak terlalu berat bagi diriku, asal
aku memper-sunting Lomana, pit-kip itu akhirnya pasti terjatub ke
Janganku." "Sekarang kau sudah mengerti bukan, bila kau mempersunting
Lomana sebagai istrimu, ada tiga ke-untungan besar bagi dirimu.
Pertama, ada harapan di wilayah Wi-kiang. Kedua, bila kau temukan
tambang batu jade, kau akan menjadi orang terkaya di dunia.
Ketiga, setelah memperoleh pit-kip itu, kau ada harapan menjadi
jago kosen nomor satu di seluruh jagat. Dengan adanya tiga
keuntungan itu, coba katakan, apakah tidak setimpal kau
menyerempet bahaya dalam bebera-pa hari ini?"
"Ya, ya, kau orang tua pergi membunuh Santala. Umpama tcrlam
bat bebcrapa hari juga tidak jadi soal, aku tidak takut. Tapi"."
"Tapi apa lagi?"
"Mendadak aku teringat satu hal, pit-kip itu lebih baik jangan
dibagi rata dengan murid Timotato itu."
Si rambut merah tertawa lebar, katanya, "Agaknya kau punya
pan-dangan jauh dan perhitungan panjang, barang belum diperoleh
bukan" Tanpa kau omong, gurumu sudah punya rencana Aku hanya
minta bantuan untuk menyalin menjadi bahasa Han. Usianya sudah
lanjut, hidupnya mungkin takkan lama lagi. Umpama dia tidak
segera mati, aku punya cara untuk membunuhnya?" Lalu mereka
berpandangan dengan cengar-cengir, akhirnya mereka bcr-dua
berkakakan. Beng Hoa yang mendengar rencana jahat mereka
sampai merinding dibuatnya. Dalam hati dia berdoa supaya Santala
ber-buru ke tempat jauh hingga si rambut merah tidak dapat
menemukan dia Setelah puas tertawa si rambut merah berkata, "Baiklah, gurumu
akan segera berangkat. Bocah ini akan siuman sekitar fajar, bagaimana
kau harus menghadapinya, tergantung kepintaranmu."
Beng Hoa tetap berpura-pura pingsan, diam-diam dia berpikir,
"Ingin aku melihat bagaimana besok dia akan membujuk aku"
Biarlah aku pun bermain sandiwara dengan-nya."
Diam-diam dia pun mengerahkan hawa murninya, setitik demi
setitik dia menghimpun tenaga murninya ke dalam pusar, entah
berapa lama kemudian, terasa hawa panas sudah bergolak di dalam
pusarnya, tenaganya terasa sudah mulai pulih sedikit, rasa panas di
dalam badan seperti dipanggang tadi sudah makin berkurang. Tapi
dia tahu dengan sedikit tenaga yang mulai terh impun ini, berkelahi
melawan orang biasa pun mungkin ia tetap bukan tandingannya.
Apalagi Toan Kiam-ceng, jauh sekali bedanya. Terpaksa harus
bersabar. Aku harus hati-hati supaya dia tidak sadar kalau aku
sudah tahu rahasia mereka,"demikian batin Beng Hoa.
Dia tidak berani bergerak, juga tak berani membuka mata.
Sebelum pergi si rambut merah bilang dia akan siuman sekitar fajar,
padahal dia tidak tahu apakah sekarang malam sudah menjelang,
entah fajar sudah menyingsing"
Suasana hening, yang terdengar hanya langkah Toan Kiam-ceng
yang mondar-mandir dalam rumah. Jelas hatinya gelisah dan risau,
menunggu Beng Hoa siuman.
Untung Toan Kiam-ceng menunggu dengan tidak sabar. Begitu
cahaya terang terpancar di ufuk ti-mur, dia lan tas menggumam
seorang diri, "Hari sudah hampir terang ta-nah, kenapa bocah ini
belum siuman" Ya, mungkin luka-luka pukulan Lui-sin-ciang yang
dideritanya jauh lebih parah dari dugaan suhu."
Dalam hati Beng Hoa amat gem-bira, batinnya, "Jikalau tidak
memberi peringatan, aku sendiri tidak tahu kapan aku harus
"siuman"." Maklum waktu siuman, apakah te-pat pada waktunya,
punya sangkut paut erat dengan lakon yang akan diperankan oleh
Beng Hoa, terlalu cepat atau terlambat, sedikit banyak akan
menimbulkan rasa curiga Toau Kiam-ceng.
Sesaat lagi, terdengar Toan Kiam-ceng berkata pula seorang diri,
"Huh menyebalkan, jelek-jelek aku ini seorang pangeran, memangnya
aku sudi berguru kepada laki-laki siluman macam tampangnya
itu" Auwyang Tiong,.. Auwyang Tiong" sekarang demi ketiga keuntungan
itu baru aku sudi memang-gilmu suhu, bahwa kau mau
meneri-ma aku sebagai murid, yakin kau pun mempunyai
tujuanjelek. Hehe, siapa lebih lihay bolehlah kelak dibuktikan."
Baru sekarang Beng Hoa tahu bahwa rambut merah bernama
Auwyang Tiong. Pikimya, "Mereka cakar-cakaran memang pantas,
ada guru pasti ada murid." Diam-diam dia perhitungkan waktunya,
sekarang sudah saatnya terang tanah, maka dia menggeliat sambil
memi-ringkan badan, pelan-pelan membuka mata.
"Ha, Beng-heng, kau sudah ba-ngun, bagaimana perasaanmu?"
Be-gitu melihai dia bangun, Toan Kiam-ceng memburu maju,
menyapa dengan ramah dan bermuka-muka.
"Minggir!" Beng Hoa membentak dengan suara serak. Dia paksa
diri untuk bersandiwara sungguh-sungguh, sepantasnya kalau dia tidak
mau segera memberi maaf, maka dia harus pura-pura kesal,
penasaran serta benci. Akan tetapi dalam permainan sandiwara kali ini, Beng Hoa betulbetul
melimpahkan perasaan hati-nya. Sebelum dirinya terluka oleh
bokongan Toan Kiam-ceng kemarin, dia belum begitu benci
terhadap Toan Kiam-ceng, tapi sekarang, setelah kedok Toan Kiamceng
terbongkar, rasa benci terukir dalam sanubarinya.
Keduanya sama-sama bersandiwara. Toan Kiam-ceng pura-pura
menangis sambil melelehkan ingus dan terisak pilu.
Beng Hoa memakinya, "Bukankah kau ingin aku lekas mati,
jangan pura-pura di depanku, seperti tikus menangisi kucing saja."
"Beng-heng, aku pantas mampus, aku memang salah
terhadapmu. Tapi kau selalu salah paham terha-dapku, sudilah
kiranya kau mende-ngar penjelasanku?"
"Dua kali kau membokong aku, memangnya masih membela diri
lagi" Hmm, mana gurumu yang ja-hat itu" Kalau kau tidak tega
mem-bunuhku, suruhlah gurumu turun tangan." Sengaja dia
bersikap keras dan masih benci, tapi nadanya me-lunak.
Diam-diam Toan Kiam-ceng senang, batinnya, "Bocah ini
memang terlalu jujur dan polos, atau memang bodoh, agaknya dia
kira aku tidak tega membunuhnya. Hehe, untuk menipu bocah
goblok seperti ini, kurasa jauh lebih gampang dari rekaanku
semula." Dengan bersikap serba susah dia berkata sambil
mengertak gigi, "Ucapanmu memang betul, guruku itu memang
siluman jahat, aku jauh lebih membencinya dari kau."
"Kau membencinya?" Beng Hoa mengejek dingin, "memangnya
kalian tidak sekomplotan?"
"Sebetulnya aku tidak rela menjadi muridnya. Dia memaksa aku
menjadi muridnya, melawan aku bukan tandingannya, kalau
menolak jiwa terancam, apa boleh buat terpaksa aku merendahkan
diri." "Jadi kau membokong aku dua kali karena dipaksa oleh dia?"
Toan Kiam-ceng berseri girang, dalam hati dia bersorak, namun
sikapnya sedih. "Ya, betul, jiwaku tergenggam di tangannya,
terpaksa aku harus tunduk akan perintahnya. Tadi walau aku harus
tunduk kepadanya, aku juga harus memikirkan nasibmu."
Beng Hoa pura-pura setengah percaya, tanyanya menyeringai dingin,
"Kenapa kau bilang demikian?"
"Dia pernah bilang, bila aku tidak tunduk perintahnya membantu
dia mengatur muslihat untuk mem-bckukmu hidup-hidup, dia akan
membunuh kau dan aku. Mungkin aku terlalu ceroboh, kupikir Luisin-
ciang yang dia yakinkan begitu lihay, kau pasti bukan
tandingannya, lebih baik aku pura-pura tunduk kepadanya, demi
menyelamatkan jiwamu, bila ada kesempatan kita bisa berunding
mencari akal untuk mengatasi persoalan ini. Beng Hoa, kau harus
percaya kepadaku, semula aku sudah bertekad, biar kau salah
paham terhadapku, daripada kusaksikan kau dibunuh olehnya"
Beng Hoa pura-pura memutar otak tidak segera memberi
jawaban. Maka Toan Kiam-ceng putar lidah-nya, dia bicara panjang
lebar dengan mulut manis. Akhirnya Beng Hoa angkat alis, bersikap
seperti agak percaya, katanya, "Baik aku percaya kepadamu,
bagaimana aku harus bcrtindak menurut pendapatmu?"
"Siluman itu ingin mendapat kiamhoat dan ajaran Iwekang Thio
Tan-hong dari tanganmu. Kau terluka oleh Lui-sin-ciang-nya, kecuali
ada obat penawarnya, tak dapat disembuhkan. Beng-heng, maaf
bila aku berterus terang, setelah tujuh hari sekujur badanmu akan
membusuk hancur lalu mati."
Tujuan dan muslihat busuk orang, sudah dalam perhitungan
Beng Hoa, yang dia perlukan sekarang adaiah mengulur waktu,
sekarang dia mulai menghimpun tenaga dalamnya sedikit demi
sedikit, asal Iwekang pulih tigapuluh persen, berarti dia mempunyai
setitik harapan. Karena itu betapapun risau hatinya, permainan
sandiwara ini harus dilanjutkan.
Tapi dia tidak boleh terlalu cepat memberikan jawaban dan
percaya, supaya Toan Kiam-ceng tidak curiga, maka dia masih purapura
marah, katanya, "Biar aku mati, aku takkan membantu
kejahatan. Jangan mimpi dia ingin memiliki kiamhoat Thio Tan-hong
dan ajaran lwekang-nya"
Sesuai watak dan perangai Beng Hoa, sudah wajar kalau dia
bersikap demikian, jeias sikap ini takkan mencurigakan bagi Toan
Kiam-ceng. Dia memang bergelak tawa tiga kali.
"Apa yang kau tertawakan?"
"Aku geli, kenapa kau terlalu serius dan tidak pakai akal, kita kan
bisa menipunya." "Menipu bagaimana" Kepalaku pusing, aku tak bisa berpikir
mencari akal." Dalam hati Toan Kiam-ceng tertawa geli, katanya dengan
tertawa, "Aku sudah punya akal, Beng-toako tidak usah khawatir,
cukup asal kau bacakan ajaran teori kiamhoat dan Iwekang yang
kau pelajari di dalam Ciok-Jin, aku pasti dapat mencari akal untuk
menipunya." Beng Hoa pura-pura curiga, katanya sesaat kemudian,
"Kubacakan kepadamu?"
Toan Kiam-ceng bersikap tegas dan sungguhan, katanya, "Bengtoako,
apakah kau tidak bisa mempercayai aku?"
Beng Hoa menghela napas, katanya, "Umpama kau menipuku,
aku lebih rela memberi kepadamu, daripada kepada manusia
siluman itu."

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku lebih membenci guru siluman itu dari kau, sekarang kita
berdiri di satu garis, bagaimana aku bisa menipu kau" Kita kan
termasuk orang sendiri?"
Beng Hoa menganggukkan kepala, katanya, "Hubungan tentang
Thio Tan-hong dengan lehihur keluarga Toan kalian juga kuketahui,
bicara terus terang, pernah timbul keinginanku hendak memberikan
ajaran Iwekang di atas Kiam-hong itu kepadamu. Baiklah, lebih dulu
kuucapkan teori ajaran lwekang kepadamu."
Sudah tentu Toan Kiam-ceng kegirangan, lekas dia duduk di samping
Beng Hoa, memasang telinga dan siap mendengarkan.
Mendadak Beng Hoa batuk berulang-ulang, ingin bicara tapi
tenggorokan mendadak tersedak.
Toan Kiam-ceng tahu mengatur strategi, maka dia harus bersikap
menaruh perhatian, katanya, "Beng-toako, kenapa kau" Minumlah
dulu barang seteguk."
Beng Hoa menuding kantong air-nya, memberi tanda supaya
diambilkan. Beng Hoa sudah terkena Lui-sin-ciang, maka Toan
Kiam-ceng tak usah mencampur racun di dalam air minumnya,
supaya tidak menimbul-kan kecurigaannya dia mendahului minum
seteguk air dari dalam kantong kulit itu.
Dengan sikap prihatin Toan Kiam-ceng meladeni Beng Hoa
minum, lalu katanya, "Sudah agak baik bukan" Apa pula yang kau
inginkan?" "Sudah mendingan, tapi tenaga lemah, bernapas pun sesak. Aku
ingin makan. Oh, ya, tolong bakar-kan dua buah ubi untukku."
Toan Kiam-ceng berkata, "Dari manusia siluman itu aku diberi
tahu, bahwa luka-luka pukulan Lui-sin-ciang, pagi, siang dan maiam
akan kumat sekali, setiapkali lebih keras dan berat. Sekarang kau
lapar, mungkin penyakit itu akan kumat."
"Wan, setiap hari harus tersiksa tiga kali, bagaimana baiknya"
Daripada menderita lebih baik aku mati saja."
"Jangan kau berpikiran pendek, tahanlah dan bersabar. Cukup
dua lembar teori ajaran Iwekang, aku akan dapat membarternya
dengan sebungkus obat penawar."
"Teori ajaran lwekang tidak ku-bawa kemari."
"Aku tahu. Maksudku kau bacakan teorinya, aku akan mencatatnya."
"O, baiklah. Aduh, panasnya, bisa mampus aku." Sembari bicara
sekujur badan gemetar, pipinya merah darah, keringat sebesar
kacang bercucuran dari jidatnya.
Diam-diam Toan Kiam-ceng kaget, katanya, "Beng-heng, kau
rebahlah dengan tenang, nanti bicara lagi. Kurasa tidak apa-apa,
inilah kumat yang pertama hari ini, dalam setengah jam juga akan
berangsur hilang." Beng Hoa pura-pura merintih, namun dalam hati dia amat geli.
Rasa panas sekujur badan memang kenyataan, kadar racun Lui-sinciang
dalam badannya mulai kumat juga kenyataan. Tapi derita
yang dia alami sebenamya tidak separah yang dikatakan Toan Kiamceng.
Mumpung ada waktu setengah jam, dia memejamkan mata
memusatkan pikiran, mengerahkan tenaga sakti dalam tubuhnya,
terus menghimpun tenaga sedikit demi sedikit. Waktu mengerahkan
tenaga, mulutnya masih terus pura-pura merintih untuk menipu
Toan Kiam-ceng. Dalam kantong Toan Kiam-ceng sebenamya sudah menyimpan
obat penawar yang dicampur Hap-kut-san, tapi dia bilang obat
penawarnya belum dia terima, terpaksa dia duduk di samping
menunggu Beng Hoa tersiksa setengah jam
Karena mengerahkan tenaga sakti, Beng Hoa mengucurkan
keringat dingin, lambat laun rona mukanya berubah wajar pula,
Toan Kiam-ceng tertawa, "Bagaimana, cocok bukan dengan
ucapanku. Setelah kumat sekali, kau akan bertahan sampai nanti
siang." "Sekarang aku betul-betul kelaparan. Tolong kau bakarkan dua
ubi untukku." Toan Kiam-ceng berpikir, sudah sehari penuh dia belum makan,
wajar kalau perutnya sudah kelaparan, segera dia membuat api
membakar beberapa buah ubi.
Setelah makan kenyang, semangat Beng Hoa bertambah segar,
tenaga yang terhimpun sedikit demi sedikit sudah cukup untuk
berdiri. Tapi dia tidak bergerak atau berdiri, dia tetap rebah di atas
ranjang, pura-pura hanya bisa bergerak sedikit dengan lemah.
Setengah jam kemudian, walau dia harus berusaha menutupi
keadaannya supaya Toan Kiam-ceng tidak tahu bahwa tenaganya
sudah terhimpun, permainannya tidak boleh keterlaluan, karena hal
itu akan menimbulkan rasa curiga, maka terpaksa dia bacakan teori
ajaran lwekang kepada Toan Kiam-ceng. Kali ini Beng Hoa tidak
bersikap terlalu jujur, maka dalam membacakan teori ajaran
lwekang sengaja dia putar balik kata-katanya, diganti dengan huruf
lain yang berbunyi sama, jadi yang dia bacakan hakekatnya adalah
ajaran palsu. Selama hidup dia tidak pemah berbohong, maka untuk
membacakan teori palsu ini cukup memeras keringat dan otaknya.
Setelah membaca dua tiga kalimat, berpikir sekian lama seakan baru
ingat sambungannya, padahal di saat berpikir itu dia memikirkan
perubahan yang palsu itu.
Untung baru saja dia disiksa oleh kumatnya pukulan beracun itu,
Toan Kiam-ceng kira kesadarannya masih terpengaruh, maka dia
merasa hal ini sudah sewajarnya, maka dia tidak curiga.
Temyata cukup lama juga untuk mencatat penuh dua lembar,
tanpa terasa hari sudah menjelang tengah hari pula. Di saat tiba
waktunya pukulan beracun itu kumat, terasa oleh Beng Hoa
badannya panas dingin, derita kali ini memang sedikit berat dari
pertama kali tadi, maka sengaja dia tidak merintih lagi tapi
mengerung-gerung seperti amat tersiksa, maka teori ajaran
Iwekang itu tak dapat diteruskan lagi.
"Tahan dulu beberapa jam, segera kutukar teori ini dengan obat
penawarnya." "Tapi, siluman"." mulutnya megap-megap tak mampu
melanjutkan perkataan. "Manusia siluman itu tidak tinggal di sini, tapi tidak jauh. Dia
berada di belakang gunung Sana, sebentar biar aku ke sana
menemuinya." Semula dia bilang "segera" lalu ber-ubah "sebentar",
tapi setengah jam kemudian baru berangkat.
Dalam setengah jam ini, dia membuat salinan lain dari ajaran
teori lwekang itu, lalu katanya, "Beng-heng tak usah khawatir, sudah
tentu aku tidak akan memberikan yang asli kepadanya." Dari
catatan yang dia tulis dari ajaran teori yang dibacakan Beng Hoa
beberapa bagian ada yang dia ubah kata-katanya, padahal dia tidak
tahu yang dibacakan Beng Hoa tadi hakekatnya juga bukan yang
asli. Dasar jiwanya kotor, untuk melakukan perbuatan licik jelas dia
lebih mahir dari Beng Hoa, maka tidak perlu memeras keringat
seperti Beng Hoa, lekas sekali dia sudah selesai mengubah, teori
Iwekang yang sudah palsu itu dia ubah lagi menjadi lebih palsu.
Mengawasi bayangan punggung orang, Beng Hoa merasa geli
juga khawatir. Geli karena yang palsu disangka asli, namun dia
masih kelihatan kegirangan, menganggap diri sendiri pintar orang
lain bodoh. Khawatir karena dia bingung, bagaimana sikapnya nanti
bila Toan Kiam-ceng pulang membawa obat penawar itu.
Setelah terpukul Lui-sin-ciang, setiap hari memang akan kumat
tiga kali, kumat yang kedua temponya akan lebih lama dua kali dari
yang pertama. Karena itu sebelum Toan Kiam-ceng pergi, dia suruh
bersabar satu jam, yaitu diperhitungkan bahwa akan menderita satu
jam lebih lama lagi. Tapi dugaan Toan Kiam-ceng meleset.
Dengan ajaran Iwekang ciptaan Thio Tan-hong, dia menghimpun
hawa murni, mengerahkan tenaga mengusir racun, waktunya hanya
setengah jam lebih, maka kumatnya kali ini lebih singkat,
semangatnya jauh lebih segar. Waktu mengulang catatan atau
membuat salinan teori lwekang tadi, Toan Kiam-ceng hampir
menghabiskan waktu setengah jam, berarti tak lama setelah Toan
Kiam-ceng pergi, maka dia pun sudah melewati siksa derita itu.
Tanpa diawasi maka dia lebih leluasa bersemadi menghimpun
tenaga dan semangat. Walau dia sudah bisa bergerak, namun tenaganya susah
dikerahkan. Luka-luka yang diakibatkan oleh Lui-sin-ciang memang
luar biasa, sedikit demi sedikit dia menghimpun tenaga, mungkin
kuat bertahan sepuluh hari tidak sampai mati, tapi tanpa obat
penawarnya, bukan saja saat itu dia bukan tandingan Toan Kiamceng,
umpama berlarut sepuluh hari lagi juga dirinya bukan tandingannya
Dia tahu paling lama dua jam pasti Toan Kiam-ceng
sudah pulang, lalu bagaimana"
Sebelum dua jam Toan Kiam-ceng memang sudah pulang.
"Beng-heng, kau memang mujur." Begitu melangkah masuk,
berpura-pura riang gembira untuk membohongi Beng Hoa
"Untung manusia siluman itu tidak curiga, kuserahkan teori
ajaran Iwekang yang palsu lalu kusanjung puji kepadanya. Hehehe,
hahaha, temyata dia percaya bahwa kau tertipu olehku, serta
menyerahkan ajaran Iwekang Thio Tan-hong itu dengan suka rela.
Dia percaya, sedikit pun tidak curiga kalau aku menyerahkan teori
palsu. Syukurlah sekarang aku sudah membawa obat penawarnya"
Obat penawar ini sudah bercampur dengan Hap-kut-san. jikalau
Beng Hoa minum obat ini, maka tenaga murni yang sudah
dihimpunnya dengan susah payah, akan sirna tanpa bekas,
keadaannya akan pulih seperti tadi, bergerak pun tidak mampu,
sekujur badan lunglai. Sudah tentu dia pantang makan obat ini.
Tapi kalau tidak mau minum, Toan Kiam-ceng akan segera tahu
bahwa dirinya sudah tahu muslihatnya, maka orang takkan tinggal
diam bila Beng Hoa tidak mau minum obat penawar ini.
Terpaksa Beng Hoa pura-pura tertawa, katanya manis, "Toantoa-
ko, banyak terima kasih, kau sudah bersusah payah untukku,
sungguh aku tidak tahu bagaimana harus ber-terima kasih
kepadamu. Aih, sayang aku tak bisa bangun, tolong kau ambilkan
segelas air untuk aku minum obat." Kembali dia harus bersandiwara
supaya Toan Kiam-ceng percaya bahwa keadaannya memang lemah
karena penyakitnya habis kumat
Toan Kiam-ceng tertawa geli dalam hati, dengan repot dia
meladeni keperluan Beng Hoa, mengambil segelas air, obat penawar
dia taruh di telapak tangan serta diangsurkan ke depan mulut Beng
Hoa. Saat-saat genting yang menentukan, di minum atau tidak obat
penawar itu" Pada detik yang menentukan itulah, mendadak dengan
sebuah jarinya Beng Hoa menotok Toan Kiam-ceng yang sedang
membungkukkan badan sehingga totokan jarinya itu telak mengenai
Hian-ki-hiat di dadanya. Kontan Toan Kiam-ceng tersungkur jatuh,
gelas pun jatuh dan pecah.
Itulah totokan yang berbahaya, sergapan yang menyerempet
maut, sudah tentu merupakan serangan yang menentukan juga.
Padahal Toan Kiam-ceng mengira tenaga untuk minum air dan
menelan obat pun tidak ada, maka dia siap membantu
mencekokkan obat, siapa sangka Beng Hoa mendadak kuat
menotok hiatto-nya Tenaga untuk berkelahi memang Beng Hoa belum ada, tapi
tenaga untuk menotok hiatto jelas lebih dari cukup. Begitu Toan
Kiam-ceng tersungkur jatuh, yang tidak mampu bergerak lagi justru
Beng Hoa sendin. Walau tidak mampu bergerak, Toan Kiam-ceng masih bisa bicara,
"Beng, Beng-toako, apa yang kau lakukan" Dengan maksud baik
aku mengambil obat penawar untukmu, kau"."
Sesaat demikian baru Beng Hoa berdiri, katanya tertawa dingin,
"Aku kenapa" Memangnya aku harus berterima kasih akan maksud
baikmu, begitu" Baiklah, obat penawar ini tidak akan kumakan,
biarlah kau saja yang menelannya."
Tenaga totokan Beng Hoa teramat lemah, dengan bekal Iwekang
Toan Kiam-ceng sekarang, mungkin dalam waktu singkat dia sudah
bisa membebaskan totokan hiatto-nya sendiri. Maka Beng Hoa tidak
kepalang tanggung, dia paksa orang menelan obat penawar itu.
Beng Hoa tertawa dingin pula, katanya, "Toan Kiam-ceng, jangan
kau kira dirimu paling pintar, orang lain bodoh. Ketahuilah,
percakapanmu dengan guru silumanmu tadi kudengar seluruhnya
Dua kali kau membohongi aku dengan maksud jahat, sebetulnya
aku boleh memaaf-kan kau, tapi kau masih akan membunuhku.
Coba katakan, apakah kau ini manusia?"
Serasa terbang arwah Toan Kiam-ceng saking ketakutan,
teriaknya serak, "Ya, ya, aku memang binatang, bukan manusia
Semoga kau sudi pandang muka paman, ampunilah aku."
"Justru kupandang muka guru, kalau tidak kau sudah kubunuh.
Bahwa kau hanya kupaksa minum Hap-kut-san, terhitung terlalu
ringan hukumanmu." Merah, hijau, lalu pucat muka Toan Kiam-ceng, tapi lega hatinya.
Dia tahu Beng Hoa pasti tidak akan membunuhnya Maka harapan
satu-satunya semoga sang guru lekas pulang menolongnya, kelak
masih ada kesempatan membalas sakit hati ini kepada bocah
keparat ini, demikian Toan Kiam-ceng membatin, tapi dia tidak
berani perang mulut lagi dengan Beng Hoa.
Beng Hoa bersemadi menghimpun kekuatan, tanpa terasa hari
sudah petang. Dengan sisa persediaan makanan yang ada dalam
rumah, Beng Hoa menyiapkan makanan malam, katanya dengan
tertawa, "Guru silumanmu itu berjanji dengan kau akan pulang lima
hari kemudian bukan" Laki-laki biasa kuat kelaparan tujuh hari,
dalam lima hari kau tidak makan, yakin takkan mati. Maaf ya, aku
akan menikmati makanan yang kubikin sendiri."
Baru saja Beng Hoa habis makan malam, mendadak terasa
kepala pening, pandangan berkunang, separo badannya panas
membara, temyata magrib telah tiba, saatnya penyakit kumat.
Untung kali ini kumat setengah jam saja, rasanya juga tidak separah
siang tadi. "Lwekang sim-hoat ajaran Thio Tan-hong memang besar
manfaat-nya, tapi dalam lima hari aku harus memulihkan tenaga,
rasanya belum bisa," demikian barin Beng Hoa.
Temyata harapannya memang terlalu muluk, walau hari kedua
dia mampu berjalan juga harus pakai tongkat, hanya beberapa
langkah napas tersengal. Jangan kata turun gunung, kemampuan
mencari makanan pun tiada. Tapi, kemajuan tetap dicapainya dalam
semadi hari itu. Saat penyakitnya kumat juga tidak sampai setengah
jam iamanya, makin pendek dan lekas hilang.
Kejadtan yang dicapai hari ketiga lebih cepat lagi, pagi hari itu
tidak kumat siang malam, saat kumatnya juga rnakin pendek, hari
keempat dia sudah berjalan tegak tanpa bantuan tongkat. Tapi
turun gunung belum mampu. Maklum gunung itu masih dilapisi
salju, jalannya cukup terjal lagi. Schari lagi manusia siluman itu akan
pulang, malah bukan mustahil malam nanti dia sudah tiba di sini,
bagaimana baiknya" Tengah hatinya risau mendadak dilihafnya seekor burung elang
besar terbang melayang di angkasa. Beng Hoa menghela napas,
temyata ransum yang tersedia dalam rumah kemarin malam sudah
habis dimakan-nya. Burung elang itu berputar makin rendah.
Tergerak hati Beng Hoa, segera dia menjatuhkan diri, rebah di
tanah pura-pura mati. Elang raksasa dari gunung salju memang buas dan besar, hari
mau dan singa pun berani dibawanya terbang ke angkasa, apalagi
manusia" Dari angkasa melihat Beng Hoa rebah tak bergerak,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disangkanya hidangan lezat yang mudah disantap, akhirnya dia
menukik ke arah Beng Hoa Beng Hoa sudah bersiap, begitu elang
itu menyambar tiba, pedangnya mendadak berkelebat, elang itu
sedang menukik disongsong oleh pedang, seketika badannya
tertembus pedang. Kekuatan elang ini memang luar biasa, meski sudah jatuh
menggelepar, dia masih berusaha terbang ke udara Lekas Beng Hoa
memburu maju terus naik ke punggungnya, dengan sisa tenaganya
dia tekan kepala elang ke tanah, maka pedang-nya menusuk lebih
dalam, setelah menggelepar dan meronta sekian lamanya baru
elang itu betul-betul mati.
Legalah hati Beng Hoa, dia cabut pedangnya lalu menghela
napas panjang. Maklum sebagai orang yang memiliki kungfu tinggi,
dalam keadaan biasa, meski elang ini amat galak, cukup sekali jentik
dengan sebutir batu pasti dapat membuatnya jatuh, tapi sekarang
dia harus pakai pedang, burung ini pun tidak seketika mati, betapa
hatinya takkan merasa sedih"
Malam ini dia tidak perlu khawatir kelaparan, setelah istirahat
cukup lama baru dia seret bangkai elang itu ke dalam rumah.
Toan Kiam-ceng kaget dan girang, serunya, "Beng-toako, hebat
kau, elang. sebesar itu dapat kau jatuhkan." Sudah tentu dia tidak
tahu kalau Beng Hoa pakai akal menjebak elang itu, dia kira
Iwekang Beng Hoa sudah pulih, kalau tidak mana mampu
menjatuhkan elang" Khawatir Beng Hoa turun gunung
meninggalkan dirinya, jikalau guru-nya tidak pulang, bukankah dia
akan mati kelaparan" Syukur Beng Hoa dapat memburu elang, kalau
tidak, hari ini dia pun akan kelaparan.
Beng Hoa memanggang daging elang, Kiam-ceng diberi potongan
paha elang, katanya, "Makanlah sekali saja, besok belum tentu bisa
mendapat makanan lagi."
Habis melalap sebuah paha elang, Toan Kiam-ceng menyeka
mulut, katanya, "Beng-toako, kau memang orang baik. Sebelum kau
turun gunung, sudikah kau mencari-kan sedikit makanan?"
Geli dan kesal Beng Hoa dibuatnya, katanya, "Boleh, sekarang
juga akan kuberikan makanan yang enak untukmu." Sekali raih dan
pencet dia pegang geraham orang hingga mulutnya terbuka,
kembali dia mencekok sebutir obat penawar ke dalam mulutnya
Sudah empat hari dia menelan Hap-kut-san, khawatir tenaganya
sudah pulih, maka dia harus bersiaga.
Toan Kiam-ceng menyengir kuda, katanya, "Beng-toako, kenapa
kau menyiksaku, kukira besok juga kau akan pergi bukan?"
"Manusia siluman itu kan akan pulang menolongmu, kenapa
takut" Tutup mulutmu, aku tidak suka mendengar kau cerewet"
Toan Kiam-ceng takut menderita, maka dia tidak berani banyak
omong. Sebaliknya Beng Hoa tertawa getir dalam hati, besok
apakah dia mampu turun gunung" Karena khawatir manusia siluman
itu pulang, semalam suntuk dia tidak berani tidur, untung tidak
terjadi apa-apa. Besoknya, pagi-pagi dia sudah keluar. Toan Kiamceng
masih rebah di tanah, mengawasi dia keluar, hatinya kaget
dan gugup, teriaknya, "Beng-toako, kalau mau pergi, tolong
burukan seekor elang lagi untuk makanku."
Beng Hoa gusar, dampratnya, "Sungguh aku tidak habis
mengerti, kenapa suhu punya keponakan seperti tampangmu ini?"
Tapi sisa daging elang yang sudah dipanggang-nya semalam, dia
lempar ke dekatnya Sebetulnya dia ingin bawa daging elang itu
untuk bekal di perjalanan.
Setelah semadi semalam suntuk, tenaganya kini jauh lebih besar,
tapi mengawasi lereng gunung yang masih dilapisi salju, Beng Hoa
hanya geleng kepala sambil tertawa getir. Nasibnya memang lagi
mujur, tak lama kemudian dia berhasil memburu seekor ayam salju
yang dia sambit dengan sebutir batu, temyata dia sudah mampu
membidik dengan batu dalam jarak beberapa tombak jauhnya.
Sambil menjinjing ayam salju itu, tengah dia bimbang apakah dia
harus pulang ke gubuk itu dan sa-rapan pagi baru mernikirkan
langkah selanjutnya, mendadak dari pinggang gunung di kejauhan
sana dilihatnya bayangan seseorang, siapa lagi kalau bukan si
rambut merah yang bemama Auwyang Tiong itu.
Untung Beng Hoa berada di sebelah atas maka Auwyang Tiong
yang di bawah tidak melihatnya. Karena tidak bisa lari, terpaksa
menyingkir dan menyembunyikan diri. Kemarin dia sudah
menjelajah daerah sekitarnya, tak jauh dari gubuk terdapat
beberapa batu gunung besar, di tengahnya terdapat celah-cclah
yang cukup tinggi untuk berscmbunyi. Jikalau tidak diperhatikan dan
dilihat dari atas tidak mudah diketahui adanya tempat
persembunyian itu, Beng Hoa mendekam di tanah mendengarkan suara, tangan
memegang pedang, telapak tangannya sudah berkeringat saking
tegang, didengarnya langkah makin dekat, akhirnya si rambut
merah sudah melangkah ke arah gubuk.
Toan Kiam-ceng kaget dan girang, teriaknya, "Suhu, lekas tolong
aku." "Lho, kenapa kau begini, mana bocah itu?" Auwyang Tiong juga
kaget. "Aku tertipu oleh muslihatnya. Suhu apa kau tidak ketemu dia di
bawah gunung" Mungkin dia belum lari jauh. Belum satu jam dia keluar."
"Plak" terdengar sekali tamparan, Auwyang Tiong memaki, "Kau
keparat yang tak berguna. Bocah yang sudah terluka parah begitu
juga kau tak mampu menjaganya." Agak-nya si rambut merah
persen sekali gamparan di muka Toan Kiam-ceng.
Meski marah dan penasaran, Toan Kiam-ceng tak berani banyak
bercuit. terpaksa dia meratap dengan suara lemah, "Ya, ya. Murid
memang tak berguna, hingga urusan besar suhu terbengkelai.
Tolong suhu berikan obat pemunahnya dan murid akan mengejar
pahala untuk menebus kesalahan ini."
Mengingat tenaganya masih berguna, terpaksa Auwyang Tiong
menahan gusar, tanyanya, "Obat penawar apa?"
Toan Kiam-ceng menycngir getir, katanya, "Yaitu obat penawar
dari obat penawar itu."
Renjana Pendekar 4 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Jodoh Rajawali 30
^