Pencarian

Anak Pendekar 15

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 15


dataran tinggi, naik turun bergelombang dan panjang.
Kuda Beng Hoa berlari cepat, namun sudah tiga hari lamanya dia
masih berada di dataran tinggi yang turun naik berkepanjangan,
selama itu tak pernah dia berjumpa atau melihat bayangan manusia
Tapi dia tidak merasa kesepian, di udara banyak terbang melintas
burung rajawali dan elang raksasa, burung-burung yang bersiul
dengan nyanyiannya yang merdu, tak sedikit pula kuda-kuda
bergerombol yang dipergoki, juga menjangan, serigala dan sejenis
banteng raksasa yang hampir setinggi unta. Banyak lagi binatang
besar kecil dan buas yang belum pemah dilihat Beng Hoa.
Hari itu Beng Hoa bedal kudanya ke atas lereng, di saat lewat
sebuah selat sempit yang menj urus ke atas, mendadak
dirasakannya ada kesiur angin menindih kepalanya Ternyata
seseorang mendadak muncul menubruk ke arah dirinya dari pucuk
sebuah pohon. Selama beberapa hari menempuh perjalanan di padang rumput,
Beng Hoa tidak pemah ketemu orang, tak pemah terpikir olehnya
bahwa di sini ada musuh yang bakal menyergap dirinya, apalagi
penyergap ini berpakaian hi tarn tidur mel in tang di dahan pohon
hingga mirip dahan pohon juga, kalau tidak diteliti dari jarak dekat,
sukar mengenali bahwa dia seorang manusia. Maka Beng Hoa
berlaku lena dan kecundang.
Saat disergap, Beng Hoa tidak merasakan adanya firasat jelek,
un-tung bekal kungfunya tinggi meski belum mcncapai taraf paling
top namun reaksinya menghadapi perubahan mendadak cukup
meya-kinkan. Begitu kepalanya diancam pukulan lekas ia menunduk
sambil miring angkat lengan dengan jurus Pek-ho-liang-ji, hingga
pukulan orang itu menyelonong ke pinggir.
Di luar dugaan, tenaga pukulan orang ini teramat besar, Beng
Hoa mengerahkan kungfu tingkat tinggi dengan Su-nio-phoat-jianhun
ternyata dia tak berhasil memunahkan seluruh tenaga serangan
musuh, tubuhnya bergetar, dia tak kuasa duduk lagi di atas pelana,
dengan kelincahan tubuhnya dia bersalto turun ke tanah.
Penyergap itu bergelak tawa katanya, "Kuda ini bagus, berikan
padaku saja." Tak nyana belum habis dia bicara, mendadak dia pun
terjungkal roboh dari punggung kuda.
Ternyata Beng Hoa hanya mampu memunahkan tujuh bagian
tenaga pukulan lawan, jurus Pek-ho-liang-ji yang dilakukan tadi kelihatan
lunak padahal membawa tenaga kuat, orang itu kena diakali
dengan pinjam tenaga memukul balik, dengan enteng dia menarik
dan mendorong orang hingga terseret jatuh ke bawah.
"Siapa kau, kenapa membokong-ku dengan keji?" bentak Beng
Hoa. Karena terjungkal jatuh orang itu gusar dan malu, tanpa
menjawab segera dia menubruk maju. Sudah berulang kali Beng
Hoa mengalami kejadian serupa, kecuali kecundang oleh sergapan
Lama dari Tibet tempo hari, beberapa kali dia pun pernah disergap
orang-orang Han. "Apakah tujuan orang ini seperti Kwi-hwe-thio dulu, tujuannya
menggoda aku dengan merebut kudaku ini" Atau seperti Teng
tayhiap sengaja menguji kepandaianku?" demikian batin Beng Hoa.
Ternyata orang ini tidak kenal belas kasihan, tubrukannya disertai
serangan kuat dan keji. Setelah dua jurus melawan pukulan lawan ini, terasa oleh Beng
Hoa permainan telapak tangan orang ini seperti sudah dikenalnya,
tenaga pukulan keras dan ganas pun seperti pernah dihadapi
sebelum ini. Mendadak Beng Hoa tersentak sadar, bentaknya,
"Apakah kau ini ciangbunjin Hay-cui-pi sekte utara Lau Cau-pek"
Ternyata Lau Cau-pek ini adalah ciangbun suheng salah satu dari
tiga jago kosen dari istana Yap Kok-wi, dari ayahnya Beng Hoa
pemah dengar namanya, Lau Cau-pek adalah tokoh nomor satu
yang memiliki il-mu Tay-cui-pi-jiu jaman ini. Beberapa tahun yang
lalu dia kuat mengalahkan orang ini.
Tiga hari yang lalu Beng Hoa melabrak Yap Kok-wi, maka dalam
dua gebrak permainan tadi dia lantas tahu dan membongkar asalusul
orang ini. Lau Cau-pek melenggong sejenak lalu bergelak tawa katanya,
"Bagus, anggaplah kau bocah muda berpandangan tajam. Setelah
tahu nama besarku, lekas kau menyerah saja?"
Beng Hoa menyeringai dingin, pedang dicabutnya, bentaknya,
"Agaknya kau ingin menuntut balas bagi sutemu, memang aku ingin
tahu berapa banyak kau lebih unggul dari sute-mu?"
"Bocah sombong, jangan kira kau dapat mengalahkan sute-ku
lalu anggap kau lihay, marilah biar kau rasakan betapa lihay Taycui-
pi-jiu yang tulen." Habis bicara pukulan pun dilontarkan,
pukulannya mem-bundar laksana gelang, kelihatannya pukulannya
kalem dan lunak, padahal Tay-cui-pi-jiu merupakan pukulan keras
yang menghancurkan, pukulannya ini juga beda dengan kebiasaan
permainan telapak tangan. Tak nyana setelah disambut baru
dirasakan betapa tangguh tenaga dalamnya. Kedua tangan
bergulung-gulung tanpa membawa deru angin. Tapi Beng Hoa yang
secara langsung diancam pukulan ini merasakan tenaga terpendam
yang menggebu ke arah dirinya.
Di tengah adu kekuatan terdengar letupan-letupan nyaring, ternyata
Tay-cui-pi-jiu yang dilancar-kan Lau Cau-pek memang tidak
membawa deru angin, namun rumput pasir dan kerikil di bawah
kaki-nya tersapu minggir dan bersih.
Kuda Beng Hoa cukup cerdik, tanpa disuruh dia lari sudah lari ke
atas lereng dan tak berani mendekat, tapi juga tidak pergi jauh.
Mendadak kuda ini berjingkrak berdiri dengan kaki belakang sambil
meringkik panjang seolah-olah berkhawatir bagi keselamatan
majikannya. Setelah bertarung beberapa kejap lamanya terasa oleh Beng Hoa
tenaga lawan seperti arus yang menyembur dari sumbemya, tak
kunjung habis, sehingga permainan pedang-nya yang lihay seperti
terpengaruh dan berat, lambat laun terasa keinginan tidak
terlaksana karena faktor tenaga yang makin menyusut, sehingga
permainannya tak sewajar semula. Diam-diam dia mengeluh,
mendadak dia ubah permainan pe-dangnya, deru pedangnya yang
melengking dengan tajam hawa pedang yang simpang siur
menggubat seluruh tubuh dengan jalur-jalur sinar pedang yang
ratusan banyaknya sehingga Lau Cau-pek silau dibuat-nya
Sekaligus Beng Hoa melancarkan tigapuluh jurus tusukan
pedang, namun setiap jurus serangan hanya gertak sambal belaka,
tujuannya hanya untuk mengaburkan pandangan dan perhatian
lawan. Sebagai ahli silat, di saat permainan pedang lawan berubah tak
urung Lau Cau-pek dibuat kaget juga. Tapi lambat laun terasakan
juga olehnya bahwa permainan pedang lawan hanya untuk mengelabui
pandangan dan pendengaran orang.
Segera Lau Cau-pek terkekeh dingin, jengeknya," Anak muda kau
bermain pedang dengan kembangan yang elok dipandang tapi tak
ber-guna, memangnya begini saja kemampuanmu" Hehe, orang
bilang kau sudah mewarisi ilmu pedang Thio Tan-hong, ternyata
cuma begini saja, kalau kau tidak segera mengeluarkan
kemampuanmu, akan kubuat kau tahu kelihayanku."
Beng Hoa balas mencemooh, "Menurut penilaianku, kelihayanmu
juga begini saja." Sret, sret, dua kali dia incar kedua ketiak Lau Caupek
dengan tusukan pedang. Melihat serangan lawan lagi-lagi hanya gertakan belaka, Lau Caupek
terpancing amarahnya, bentaknya, "Keparat, kau ingin
mampus." Kedua telapak tangannya berpencar dengan gerak
bundar melawan arah jam, tenaga pukulan dilontarkan sepenuhnya,
sebat sekali gerakan membelah diubah meraih terus mencengkeram
ke tulang pundak Beng Hoa
Hoan-sing-ciang (Pukulan ben-tuk gelang) yang dimainkan ini
merupakan ciptaannya yang terakhir setelah dia berhasil
memperkokoh latihan Tay-cui-pi-jiu selama puluh-an tahun.
Dilandasi kekuatan Iwe-kang-nya yang ampuh, bila tenaga pukulan
dilancarkan, pihak yang diserang akan merasa seluruh tubuh seperti
dibelenggu oleh gelang-gelang baja yang berkekuatan besar
sehingga dirinya tak mampu melo-loskan diri. Dia kira tusukan
pedang Beng Hoa hanya serangan gertak sambal belaka, maka
cengkeraman ini pasti dapat meremas hancur tulang pundak Beng
Hoa Tak nyana dalam sekejap seperti kilat menyambar itu, di mana
sinar pedang Beng Hoa berkelebat, tusukan yang semula dianggap
gertak sambal mendadak berubah menjadi jurus Pek-ho-ih-hap
(Bangau putih menyisir bulu), ujung pedang menu-suk langsung ke
dada Lau Cau-pek Tapi kepandaian Lau Cau-pek juga cukup hebat,
begitu sadar adanya ancaman bahaya segera dia pun mengubah
gerakan mencengkeram pergelangan tangannya Tak nyana jurus
ilmu pedang yang dilancarkan Beng Hoa justru berbeda dengan jurus
Pek-ho-in-yap yang biasa dilihat Lau Cau-pek, pedangnya seperti
di kiri tapi kenyataan di kanan, mendadak menusuk dari posisi yang
tidak terduga Begitu cengkeraman-nya hiput lekas Lau Cau-pek men
u-runkan pundak menekuk siku me-lancarkan sejurus Siang-jongciang,
saat mana kedua pihak sudah ber-tempur secara ketat dalam
jarak dekat. Siang-jong-ciang yang dilontarkan Lau Cau-pek
menggempur dada Beng Hoa Dengan kekuatan tenaga pukulannya
umpama tidak tcrpukul Beng Hoa terluka parah.
Hebat kepandaian Beng Hoa, dalam dciik yang menentukan itu,
dia memperlihatkan kelihayan kungfunya. Mendadak tubuhnya
melompat tinggi, di tengah udara tu-buhnya jumpalitan. pedang
panjang lantas menusuk turun dari udara. Sejurus tiga gerakan,
masing-ma-sing mengincar sasaran yang berbeda.
Tusukannya mengincar tempat mematikan, sehingga lawan
dipaksa untuk menyelamatkan jiwa sendiri duhulu. Jikalau pukulan
sepasang tangan Lau Cau-pek tetap dilontarkan, berarti dia
menyerahkan badan untuk ditusuk, sudah tentu Lau Cau-pek tak
berani mempertaruhkan jiwa sendiri, lekas dia tarik tenaga pukulan
untuk melindungi badan menyelamatkanjiwa.
"Cret" meski Lau Cau-pek cukup ketat menutup dirinya, tak
urung lengan bajunya tertusuk, untung landasan tenaganya cukup
kuat, begitu hawa pedang terasa menyentuh kulit badan, segera dia
menarik dada mcngempiskan perut Ujung pedang hanya melubangi
pakaian, namun dia terhindar dari dada berlubang, isi perut
berhamburan. Pertempuran jago kosen hanya terpaut serambut saja. Tusukan
Beng Hoa tidak berhasil melukai musuh, sungguh menyesal dirinya,
namun tak berani dia menempuh bahaya lagi. Sebat sekali di udara
dia bersalto lagi ke belakang turun tiga tombak jauhnya.
Kuda itu memang sudah terlatih baik, melihat majikannya lolos
dari bahaya segera dia berlari mendekati. Bila Lau Cau-pek hilang
rasa kaget-nya dan membalik badan, Beng Hoa sudah naik ke
kudanya dan lari jauh. Mendekam di punggung kuda, Beng Hoa merasakan sekujur
badan tak bertenaga, untung kudanya ini tidak perlu dikendalikan,
bisa memilih jalan, dan mencongklang dengan kencang. Setelah
beberapa li baru Beng Hoa mulai merasa pulih tenaga dan
semangatnya. Terbayang pertempuran barusan yang berbahaya,
jantungnya masih berdegup keras. Ternyata sejurus tiga gerakan
dari permainan pedang Beng Hoa tadi dinamakan Hum-mo-sam-but
(Mega bergulung menari tiga kali) adalah ajaran ayahnya yang
diciptakan dari ilmu golok dalam praktek pedang, semula
merupakan salah satu jurus dari ilmu golok keluarga Beng yang
khusus untuk mcngubah posisi terdesak untuk mencapai
kemenangan. Bahwa puluhan jurus permainan gertak sambal itu
memang sengaja.untuk mengelabui lawan sehingga dalam waktu
singkat lawan tidak mampu membedakan apakah jurus serangannya
itu gertak sambal atau serangan sungguhan.
Di luar tahunya, Beng Hoa kaget dan ngeri Lau Cau-pek sendiri
juga tidak kurang kaget dan herannya. Dalam hati dia bcrsyukur
bahwa Beng Hoa tergertak lari, bila pertempuran dilanjutkan siapa
kalah dan mcnang masih sukar diramalkan.
Beng Hoa melanjutkan perjalanan, sepanjang jalan di padang
rumput, dia tetap tak pemah bertemu dengan manusia. Dalam
perjalanan, hatinya menimang-nimang, "Untuk apa Lau Cau-pek
mendadak muncul di tempat terpencil yang tiada manusia ini, arah
jalan ini bukan menjuws ke Tay-hiong, lalu apa maksud tujuannya
muncul di sini?" Beruntun dua hari telah berselang pula, cuaca selama ini tidak
baik, kalau tidak mendung tentu gerimis, hari ketiga baru cuaca
cerah ceria. Tanah di padang rumput menjadi lunak dan basah, kudanya
sudah menempuh perjalanan jauh selama beberapa hari, di samping
itu tanah-nya becek, maka hari ini jarak yang ditempuh tidak begitu
jauh. Namun laju larinya tetap lebih cepat dibanding kuda biasa.
Hari itu waktu dia tiba di sebuah lereng, mendadak dilihatnya seorang
paderi duduk bersimpuh di tengah jalan, mata terpejam,
kepala menunduk tak bergerak seperti sedang semadi. Setelah
dekat, dilihatnya dari atas kepala si paderi menge-pulkan uap putih
yang bergulung turun naik, hatinya heran, pikimya, "Entah lwekang
aneh dari aliran apa yang diyakinkan?"
Mungkin karena terjaga oleh derap lari kuda, paderi yang semadi
itu mendadak membuka mata, biji matanya memancarkan cahaya
terang. Sambil memandang kepada Beng Hoa, dia membuka
mulutnya yang lebar, tertawa menyengir.
Di tempat terpencil yang jauh dari keramaian dunia, mendadak
bertemu dengan manusia sebetulnya merupakan kejadian yang
patut dibuat girang, namun bentuk paderi ini agak aneh, hidung
tinggi mata cekung, mukanya hitam seperti pantat kuali, sekali
pandang bisa diketahui bahwa dia bukan orang Han, juga pasti
bukan orang Uigior setempat, mau tidak mau Beng Hoa yang curiga
berwaspada. Pengalaman sergapan Lau Cau-pek membuat Beng Hoa siaga,
maka dia tidak berani mengganggu paderi asing ini, daripada kena
perkara lebih baik menyingkir saja Tak nyana paderi asing itu justru
berbalik mengganggu dia, mau menyingkir juga tidak keburu lagi.
Beng Hoa membelokkan kudanya mendaki lereng dari arah lain
sambil keprak kudanya. Mendadak terasa angin berkesiur dari
samping-nya, sesosok bayangan orang telah melesat mencegat di
depan kuda. Siapa lagi kalau bukan paderi yang bertampang aneh
itu. Karena tanah pegunungan becek dan licin, kuda tidak bisa lari
kencang, tapi larinya jelas masih lebih kencang dari kuda biasa,
bahwa paderi asing ini ternyata mampu mengejar lari kudanya, mau
tidak mau Beng Hoa kaget dibuatnya.
Kuda sedang berlari kencang, mendadak sescorang menghadang
di depanhya, kontan dia melambung tinggi hendak melompati
paderi asing itu. Ternyata paderi asing itu angkat tongkat bambu di
tangannya menyangga telapak kaki dcpan sang kuda. Kalau
diceritakan memang susah dipercaya, padahal betapa berat seekor
kuda, ternyata mampu ditahan oleh sebatang bambu kecil serta
didesaknya mundur. Dalam sekejap itu sebetulnya Beng Hoa
khawatir bila kudanya mclukai si paderi, tak nyana justru kuda dan
penunggangnya disengkelit roboh ke belakang. Karuan Beng Hoa
naik pitarn, dengan gaya Ikan Gabus Meletik dia melompat berdiri,
bentaknya gusar, "Apa yang kau laku-kan?"


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paderi asing itu tertawa aneh dan keras, katanya, "Tidak apaapa,
aku hanya ingin memberi kesempumaan hidup kepada siausicu."
Yang diucapkan bahasa Han yang berlogat kaku, namun Beng
Hoa bisa mengerti. Kuda itu hanya berguling sekali, lalu berjingkrak berdiri. Agaknya
dia cerdik, tahu betapa lihay paderi asing itu, meski marah namun
juga hanya meringkik dan melonjak-lonjak tidak berani mendekat.
Melihat kudanya tidak terluka, lega hati Beng Hoa.
"Kesempumaan hidup apa?" bentak Beng Hoa.
Paderi asing itu tertawa, katanya pula, "Lo-ceng sudah kelaparan
dua hari, sebetulnya ingin minta sedekah kepada sicu supaya
menyerahkan kuda ini untuk tangsal perutku, tapi kulihat kuda ini
cukup jempol. sekarang aku tidak ingin menyantap-nya."
"O, jadi perutmu lapar, aku membawa ransum, boleh kuberikan
kc-padamu. Kau berani makan daging kuda, memangnya kau tidak
mematuhi ajaran agama?"
Dalam kantongnya Beng Hoa masih membekal daging dan
makanan lainnya, setelah paderi asing makan pemberiannya, dia
tertawa dan berkata, Terus terang, aku tidak khawatir kelaparan,
sedikitnya aku kuat kelaparan sepuluh hari dan takkan mati. Aku
hanya kekurangan seorang teman perjalanan hingga kesepian."
"Wah, aku tidak bisa menemani-mu, aku harus melanjutkan
perjalanan." "Kau mau ke mana?"
"Aku mau ke Thian-san."
"Nah, kebetulan sekali."
"Apanya yang kebetulan?"
"Aku pun hendak ke Thian-san."
"Tapi aku tidak bisa seperjalanan dengan kau."
"Tidak bisa apa," jengek paderi asing, tiba-tiba sikapnya dingin,
"bukankah aku akan memberi kesempumaan hidup kepadamu."
"Kau ini paderi sontoloyo, bukankah aku sudah memberi makan
kepadamu." "Kau betul, sesuatu yang ku-inginkan sebelum kuperoleh aku
tidak akan berhenti."
"Bagus, memangnya apa kc-hendakmu?"
"Serahkan kudamu ini, walau tidak akan kumakan, tapi untuk
tungganganku melanjutkan perjalanan."
"Enak saja kau bicara, kuda hanya satu mana boleh kuberikan
kepadamu." "E, e, aku belum habis bicara, dengarkan, bukan saja aku minta
kudamu, kau pun harus menjadi milikku."
Beng Hoa jadi geli dan gemas, katanya, "Untuk apa kau memiliki
aku?" "Kau harus ikut aku menjadi hwesio cilik, meladeni aku hwesio
tua ini. Haha, selanjutnya aku punya kuda, ada orang yang
meladeni lagi, sepanjang jalan ini pasti takkan kesepian, bukankah
sempuma?" "Agaknya kau mimpi di siang hari oolong. Lekas enyah!" bentak
Beng Hoa gusar. "Kau menjadi hwesio cilik dan ikut aku, tanggung tidak akan rugi.
Hwesio tua ini punya banyak kepandaian, sembarang ilmu yang
kuajarkan sedikit saja kepadamu, cukup untuk bekal hidupmu
sampai tua. Kulihat kau menyandang pedang, tentu pandai juga
main kungfu bukan" Kebetulan kau ikut aku, akan kuangkat kau
menjadi murid angkatku."
Orang seperti sengaja mencari gara-gara, Beng Hoa tahu kalau
tidak menggunakan kekerasan, salah-salah dirinya tidak bisa melanjutkan
perjalanan. Maka dia menca-but pedang serta membentak,
"Biarlah kusaksikan dulu bagaimana kungfumu."
Paderi asing itu angkat tongkat bambunya menyampuk pedang,
katanya, "Agaknya kau punya isi juga, baiklah begini saja jikalau kau
kukalahkan, maka kau haras angkat aku menjadi guru."
Beng Hoa malas memberi tanggapan, "Sret" beruntun sekaligus
dia lancarkan tiga kali serangan berantai, maksudnya supaya
memukul mundur paderi asing secepatnya, maka tiga jurus
serangan yang dilancarkan betul-betul lihay dan keji, tapi serangan
diperhitungkan baik, ujung pedang hanya mengincar tempat
mematikan di tubuh lawan, jadi bukan serangan telak yang
mematikan. "Ting", beruntun tiga kali, tiga jurus serangan pedang Beng Hoa
tersampuk oleh tongkat bambu lawan dengan gerakan seenaknya
yang sederhana, tongkat bainbunya itu ternyata lain daripada yang
lain, wamanya hitam mengkilap, keras-nya seperti batu, pedang
pusaka Beng Hoa ternyata tak mampu menebas putus.
Bila seorang ahli turun gelanggang, sekali gebrak lantas tahu
apakah lawan berisi atau kosong, setelah tiga jurus scrangannya
dipatahkan lawan, baru Beng Hoa insyaf bahwa paderi yang
bertampang aneh ini ternyata memiliki kepandaian yang
mengejutkan, agaknya masih lebih lihay dibanding Lau Cau-pek.
Setelah mematahkan tiga jurus serangan Beng Hoa, kelihatannya
dia merasa heran, tapi berkata, "Bagus, memang betul ilmu pedangmu
adalah yang terbaik sebelum aku belajar silat. Tapi kau belum
mengembangkan seluruh kemampuan-mu, hal ini membuatku
kecewa. Ketahuilah, meski kiamhoat-mu lihay, untuk melukai aku
jelas tidak akan mampu. Nah, silakan kau mainkan ilmu pedangmu."
Beng Hoa sudah tahu bahwa ilmu lawan masih lebih tinggi dari
Lau Cau-pek, maka serangan selanjumya tidak kenal kasihan lagi.
Maka dia lancarkan seluruh kemampuan yang pernah diyakinkan.
Seperti orang yang melihat mustika yang jarang ditemukan,
paderi asing itu mencak-mencak kegirangan, berulang kali dia
memuji, "Betul, betul, memang bagus. Aku boleh mcnerima kau
sebagai murid resmi. Jadi bukan murid angkat lagi." Kelihatan kaki
tangan menari-nari, padahal gerakannya tidak pernah kendor atau
kacau. Bu-beng-kiam-hoat Beng Hoa sebetulnya sukar dijajaki
pcrubahannya, ditambah permainan golok kilat keluarganya yang
dimainkan dengan pedang, gerakannya sung-guh laksana sambaran
kilat. Sinar pedang menyam bar kian kemari di sekitar tubuh paderi
asing. Tapi betapapun cepat serangan pedang Beng Hoa, sikap
paderi asing itu tetap wajar dan santai, seolah-olah tidak membuang
tenaga, seluruh serangan lihay pedangnya dengan mudah
dipunahkan seluruhnya. Dengan mengertak gigi mendadak Beng Hoa melancarkan jurus
Sin-liong-pay-bwe (Naga sakti mengibas ekor) ajaran ayahnya.
Mendadak tubuhnya mencelat tinggi sambil menyerang dengan
gerak tangan terbalik, terbalik dari teori ilmu pedang umumnya,
padahal dalam jurus pedang ini dia sudah mengembangkan intisari
Bu-beng-kiam-hoat yang paling tangguh dalam permainan ilmu
golok. Jurus ini menusuk secara mendadak dari arah yang tak terduga,
karuan paderi itu amat terperanjat.
Sebelah tangan paderi asing ini memegang tongkat bambu,
tangan yang lain memegang tempurung emas, selama melayani
serangan pedang Beng Hoa dia menggunakan tongkat bambu di
tangan kanan, baru sekarang dia mengangkat tempurung emas di
tangan kiri. "Tang" pedang Beng Hoa menusuk ke dalam tempurung
emasnya. Pedang Beng Hoa seperti disedot oleh suatu tenaga kuat,
kecuali Beng Hoa melepas pedangnya, ditarik ternyata tidak
bergerak. Paderi itu membentak, "Kau menyerah tidak" Mau menjadi
muridku tidak?" "Kalau tidak bisa mengalahkan kau lebih baik aku mati,
memangnya siapa sudi menjadi muridmu."
Pedang sudah akan dilepaskan dan melabrak musuh dengan
sepa-sang tinjunya saja. Mendadak paderi itu bergelak tawa, tenaga
sedotan juga sirna hingga pedangnya terlepas.
Di saat Beng Hoa melenggong, didengarnya paderi itu berkata,
"Jangan kau kira aku ini paderi siluman, kau kira aku mengalahkan
kau dengan ilmu siluman" Hm, kau tidak tahu betapa tinggi dan
hebat ilmu silat dari Thian-tiok kami, kau asal ngomong saja, aku
tidak akan menyalahkan kau, sebetulnya aku tidak akan
mengalahkan kau secepat ini. Hayolah diulang lagi."
Sebetulnya Beng Hoa tidak bermaksud memaki orang paderi
siluman, soalnya dia lihat tindak-tanduk orang aneh, jadi bukan
ilmu-nya yang dimaksud. "Kau tak mampu menjeiaskan kebenarannya, jangan harap aku
mengaku kalah kepadamu," demi-kian semprot Beng Hoa. "Sret"
kembali pedangnya menusuk.
"Siapa bilang aku tidak bisa menjeiaskan. Ilmu pedangmu memang
bagus, kungfuku jelas lebih tinggi dari kau. Bila kau menjadi
muridku, guru dan murid beriatih, kedua pihak sama mendapat
untung, bukankah cukup bermanfaat?" Mulut bicara tangan tidak
menganggur, tongkat bambu bergerak, setiap jurus pedang Beng
Hoa selalu dipatah-kan. Karena dilihat tidak karuan, sudah tentu Beng Hoa mendongkol
dan risau, dia kehabisan akal, bagaimana membebaskan diri dari
makh-luk aneh yang merecoki dirinya.
Beberapa jurus kemudian kembali Beng Hoa melancarkan jurus
tunggal, lawan dipaksa berbuat seperti tadi, bila tongkat di tangan
kanan tak mampu menangkis dia gunakan tempurung emas di
tangan kiri, kembali pedang panjang Beng Hoa disedotnya.
Beberapa kali hal ini terjadi, akhimya Beng Hoa sudah mendapat
pelajaran, dengan jurus Hun-liong-sam-sian (Mega muncul tiga kali)
di tengah udara dia bersalto, pedangnya berkembang menjadi tiga
kuntum sinar kemiiau menusuk tiga sa-saran di tubuh lawan, sambil
menghindar benturan dengan tempurung emas orang. Tak nyana
paderi aneh ini mendadak melemparkan tempurung emasnya,
"Tang" pedang pusakanya kembali terbentur tempurung lawan. Tapi
kali ini tempurung itu tidak diputar dengan tangan kiri, maka
pedang Beng Hoa tidak tersedot oleh lawan.
Lwekang padri asing ini memang lebih tinggi dari Beng Hoa,
karena benturan keras itu telapak tangannya bergetar 1inu,
beruntun dia menyurut sempoyongan, hampir jatuh terjungkal.
Paderi itu sudah menangkap tempurungnya yang melayang
turun, katanya, "Tenagamu sudah hampir habis, kuberi kesempatan
kau makan dan istirahat secukupnya." Melihat permainan pedang
Beng Hoa bukan saja lihay juga aneh, entah masih berapa banyak
jurus-jurus pedang yang belum dikeluarkan, karena tertarik dia ingin
menyaksikan seluruhnya secara lengkap.
Beng Hoa bukan bodoh, setelah bertempur sekian lama, akhirnya
dia maklum akan tujuan orang. Celakanya dia justru kehabisan akal,
tak tahu bagaimana caranya untuk membebaskan diri.
Paderi itu menunggu di sampingnya, setelah dia habis makan
lantas berkata, "Apa kau masih belum mau takluk kepadaku?"
"Memangnya aku harus menyerah?" bantah Beng Hoa gusar.
Akhirnya nekat dan memutuskan untuk melawan sampai tittk tenaga
terakhir, asal paderi asing ini tidak bcmiat mencelakai dirinya, dia
yakin suatu ketika dirinya pasti dapat membebaskan diri.
Paderi asing tertawa, katanya, "Untung kau tidak kepergok
suheng-ku, tabiat suheng-ku lebih jelek dari aku, beruntun kau
sudah kalah tapi tidak tunduk dan tak mau menyerah, kalau dia
lawanmu pasti kau sudah dibunuhnya. Baiklah, kalau kau belum
menyerah boleh diulang sekali lagi."
Kali ini setelah beberapa jurus, paderi asing itu tampak kaget dan
heran pula. Mungkin khawatir Beng Hoa kehabisan tenaga maka dia
suruh istirahat dan makan, supaya bisa bergebrak lagi, dapat
melancarkan jurus-jurus lihay secara lengkap. Umumnya seseorang
yang kehabisan tenaga, walau sudah beristirahat, untuk
memulihkan tenaga seperti semula dalam waktu dekat jelas tidak
mungkin. Tak nyana dalam gebrakan ulang ini jauh di luar
dugaannya. Permainan pedang bukan saja wajar dan tangkas,
tenaganya juga seperti tidak pemah terkuras, permainan pedang
dan tenaga yang disalurkan malah berlipat.
Ternyata setelah beberapa kali, kedua pihak telah memperoleh
manfaat yang tidak kecil. Cuma satu pihak ada maksud tertentu
pihak lain hanya kebetulan saja. Beng Hoa sudah memperoleh
ajaran murni Thio Tan-hong, sayang tanpa bimbingan langsung dari
seorang guru, hanya mengandalkan kecerdikan otaknya saja. Walau
Iwekang-nya belakangan ini mencapai kemajuan, namun di dalam
penggunaannya masih belum sempuma, sehingga taraf latihannya
belum mencapai puncaknya.
Bagi seorang pesilat yang sudah mencapai taraf latihan setingkat
Beng Hoa sekarang, untuk memperoleh kemajuan berlipat hanya
ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama yaitu memperoleh
petunjuk langsung dari seorang ahli. Kedua adalah bergebrak
dengan seorang lawan yang berkepandaian jauh lebih tinggi. Dan
lagi lawannya ini harus mempunyai latihan lwekang yang hampir
sama dan satu sumber dengan yang dilatihnya sendiri. Dasar latihan
sama, praktek meng-gunakannya tentu hampir mirip, maka pihak
yang agak lemah pasti akan mendapat manfaat lebih besar. Pendek
kata, Beng Hoa harus bisa menyatukan teori dan praktek sekaligus.
Sudah satu jam lebih Beng Hoa bertarung dengan paderi asing
ini, tanpa terasa dia banyak menyelami bagaimana lawan
menggunakan lwekang-nya. Lwekang murni aliran Thian-tiok yang
diyakinkan paderi asing ini, ternyata satu sumber dengan kungfu
Siau-lim-si yang diwariskan oleh Tatmo Cosu.
Lwekang Thio Tan-hong agak berbeda dengan ajaran Siau-limpay,
namun sesumber dengan ajaran lwekang murni di banyak
tempat satu sama lain terdapat persamaan. Beng Hoa belajar tanpa
guru dari Hian-kang-pwe-coat peninggalan Thio Tan-hong, banyak
segi-segi yang tidak difahaminya selama ini, setelah bertarung
dengan paderi asing ini, tanpa terasa seluruh kesulitan yang
menghambat kemajuan-nya selama ini telah berhasil diselami secara
menyeluruh Pengetahuan dan latihan kungfu paderi asing ini tinggi
dan luas, di samping merasa heran, lama kelamaan dia pun tahu
akan liku-liku ini, akhirnya dia sendiri yang terkejut, pikimya, "Belum
berhasil aku mencuri ilmu pedangnya, dia malah sudah mencuri
ajaran lwekang-ku, wah aku rugi. Kalau dia tidak mau jadi muridku,
terpaksa kubuat dia cacat saja supaya kelak tidak menjadi lawan
tangguh." Maka gebrakan selanjutnya dia tidak pilih kasih lagi,
serangannya mulai gencar dan keji.
Namun Beng Hoa sudah terlanjur berhasil dalam teori dan
praktek, pengetahuannya sekarang mungkin sudah lebih unggul dari
lawannya. Di saat pertarungan mencapai puncaknya, terpaksa dia
pun melancarkan serangan yang berbahaya. Begitu tubuh terapung
di udara, dengan jurus Ban-li-hwi-siang (Salju terbang ribuan li) di
tengah jalan diubah pula dengan tipu Jian-san-loh-yap (Daun rontok
di ribuan gunung). Kali ini lompatannya lebih tinggi, dia sendiri
sampai merasa heran. Hawa pedang mendesir laksana halimun tebal membungkus
sekujur badan paderi asing. Lekas tempurung emas dia timpukkan
ke atas, "Trang" kali ini tempurung emas itu berhasil diketuk pergi
oleh pedang panjang Beng Hoa, namun tongkat bambu orang
berhasil menindih pedang panjang Beng Hoa. Tempurung emasnya
tidak sempat ditangkap, mendadak jari tangan kiri itu
mencengkeram ke tulang pundak Beng Hoa.
"Ha, kiranya kau sudah mulai takut tcrhadapku?" bentak Beng
Hoa. Paderi asing melenggong, bentaknya, "Omong kosong, kenapa


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku takut kepadamu?"
"Tadi kau membual, katanya suruh aku mengcmbangkan seluruh
kemampuanku. Hchc, sekarang kau sudah mulai gentar, tahu bila
pertempuran dilanjutkan kau pasti bukan tandinganku, maka kau
tidak berani bergebrak dengan aku, betul tidak?"
Merah muka paderi asing karena isi hatinya ketahuan, katanya,
"Ku-rasa hanya begini saja kemampuanmu, masih punya simpanan
apa yang bisa kau keluarkan?"
Beng Hoa berkata, "Masih ada sejurus ilmu pedang yang sakti
mandraguna belum lagi kupamerkan, apa kau berani menyambut
sejurus ilmu pedangku lagi?"
Paderi asing ini memang sangat suka belajar silat, sudah tentu
dia terpancing oleh ucapan Beng Hoa," katanya, "Baik, kau punya
simpanan apa, boleh kau keluarkan. Jangan-kan sejurus, scpuluh
jurus juga ku lawan."
Beruntun Beng Hoa melancarkan serangan gertak sambal sambil
mundur memancing lawan ke atas lereng. Karuan paderi itu gusar,
bentaknya, "Kenapa jurus barumu tidak kau lancarkan" Aku tiada
tempo melayanimu lebih lama lagi."
Beng Hoa tertawa dan mcnggoda, "Lho, aku kan perlu
mengumpulkan tenaga, kenapa terburu-buru?" Setelah memilih dan
mendapatkan posisi yang menguntungkan, mendadak dia
membentak, "Nah, lihatlah jurus saktiku ini!" Sembari bicara dia
mclontarkan serangan sembari melompat, jurus yang dilancarkan"
adalah Hun-mo-sam-but, jurus ini harus dilancarkan dari tengah
udara dengan bersalto tiga kali.
Paderi asing ini memang lihay, dia tahu bahwa setelah lawan bersalto
tiga kali tusukan pedang akan menusuk tiga hiatto besar di
dada-nya, namun dia yakin dirinya masih mampu mematahkan
serangan lawan. Di saat dia mencurahkan seluruh perhatian, siap
menyapu tusukan Beng Hoa, mendadak dilihat-nya salto ketiga
Beng Hoa berputar arah secara terbalik.
Ternyata Beng Hoa sudah mengincar sepucuk pohon tak jauh di
pinggir si paderi, di saat salto ketiga, belum lagi tubuhnya berputar,
ujung kakinya sudah menendang ke pucuk pohon meminjam daya
pantul dahan pohon dia melompat balik. Tubuh masih terapung di
udara mulut sudah bersiul, kudanya kebetulan lari keluar dari hutan,
secara tepat Beng Hoahinggap di punggung kudanya.
Karuan paderi asing gusar, maki-nya, "Bocah setan, berani kau
menipu aku." Dengan kencang dia mengejar, tapi kuda Beng Hoa
sudah cukup beristirahat, larinya turun lereng lagi, sementara paderi
asing ini sudah bertarung sejam lebih dengan Beng Hoa, sedikit
banyak tenaganya melemah, mana mampu dia mengejar"
Bentaknya sambil mengejar, "Omonganmu boleh dipercaya tidak"
Pertama bila kalah kau harus angkat guru kepadaku, kedua, jurus
sakti ilmu pedangmu belum lagi kau lancarkan."
Beng Hoa tertawa besar, serunya, "Kau sendiri yang ngomong
seenakmu, kapan aku menyetujui" Kalau berani hayo kejar aku ke
Thian-san." Karena tidak mampu mengejar, paderi asing itu membanting kaki
sambil mencaci maki Melihat ginkang orang sehebat itu, terkejut
juga hati Beng Hoa. Sekaligus dia keprak kudanya beberapa saat lamanya, waktu dia
menoleh selayang mata memandang tidak kelihatan bayangan si
paderi, baru lega hati Beng Hoa. segera dia memperlambat
kudanya. Membayangkan pertempuran tadi, di samping kaget Beng Hoa
merasa lega dan senang pula Kaget karena kepandaian paderi itu
memang teramat tinggi, lega karena dirinya sudah lolos dan bebas,
senang karena dari pengalaman tem-pur itu tidak sedikit manfaat
yang diperolehnya. Namun satu hal masih mengganjal dalam
benaknya, "Di daerah yang sepijauh dari keramaian dunia ini,
kenapa muncul dua jagoan silat yang lihay?"
BERUNTUN enam hari Beng Hoa menempuh perjalanan tanpa
ketemu manusia, padang rumput yang semula disangkanya tidak
berujung pangkal ini akhirnya dicapai ujung-nya. Tapi yang
terbentang di depan matanya sekarang adalah gunung-gunung yang
seperti gajah berbaris, Ternyata dia mulai memasuki pegunungan
Thian-san yang ribuan li panjangnya.
Kini dia memasuki hutan belantara yang sejak jaman dulu tidak
pernah diinjak manusia, di atas gunung tumbuh banyak pohonpohon
besar yang kuno dan tua. Panorama yang disaksikan
sckarang bcrbcda lagi dengan apt yang pernah dilihatnya sepanjang
jalan, umumnya di Kang-lam bungi mekar di musim semi, lain pula
di pegunungan Thian-san, bunga mekar di musim rontok, bila
musim panas sudah menjelang baru talju mulai lumer.
Saat Beng Hoa takjub melihat pemandangan alam ini, tiba-tiba
didengarnya suara gemuruh yang menggetarkan bumi, seperti ada
laksaan kuda berlari kencang. Waktu dia menoleh kearah datangnya
suara, seketika dia terpaku kaget di punggung kuda.
Tampak serombongan kerbau liar sedang merterjang turun dari
atas gunung, scolah-olah berlomba mengejar mangsa, kerbaukerbau
itu mengcluarkaa suara aneh, larinya kencang, main terjang
lagi, pohon-pohon kecil ditcrjangnya tumbang, scmak-semak rumput
menjadi tercabut, debu pasir membumbung ke udara
Kerbau-kerbau liar ini kokoh kuat, lebih besar dari unta, kulit
kasar dagingnya tebal, sepasang tanduknya yang panjang
melengkung runcing, adalah senjata yang hebat, singa atau harimau
pun bukan tandingannya Dari ccrita Santala, Beng Hoa tahu bahwa
kaum pem-buru paling takut bertemu dengan rombongan kerbau
liar, bukan saja tidak boleh mengutik, malah harus lekas menyingkir,
karena kerbau liar ini senang hid up bergerombol, bila salah seekor
tcrluka mcreka akan ramai-ramai mcngcroyok. Maka, pemburu
bcrani mcmburu singa atau macan, tapi tidak bcrani mcmburu
kerbau liar. Untung rombongan kerbau liar itu bukan menerjang ke arah
Beng Hot, tapi Beng Hoa khawatir bila jejaknya ketahuan bukan
mustahil dirinya menjadi sasaran, maka dia mclompat turun serta
mendekam di semak, bila rombongan kerbau ini sudah lewat, baru
dia akan melanjutkan pcrjalanan ke arah lain.
Tiba-tiba rombongan kerbau itu berkumpul di bawah sebatang
pohon besar dan bcrputar-putar, jarak-nya cukup jauh dari tempat
sembunyi Beng Hoa, tapi dia masih bisa melihatnya jelas.
Seperti pasukan bcrani mati saja, rombongan kerbau itu, lima
enam ekor sccara bergantian menanduk pohon besar itu dengan
tanduk mereka, pohon itu tingginya ada puluh-an tombak, besar
dahannya sepelukan tiga orang. Setelah diterjang secara bergilir
akhirnya bcrguncarg makin keras, dahan-dahan patah, daun rontok.
Hanya sekejap pohon besar dan tua itu menjadi gundul tinggal
dahan-dahan besamya saja, agaknya bila kawanan kerbau itu masih
terus menanduk tanpa ber-henti, pohon besar itu pun akhirnya
roboh. Setelah dahan-dahan patah dan daun rontok, Beng Hoa yang
menyaksikan dari kejauhan melihat di atas pohon ternyata terdapat
bayangan manusia, agaknya sese-orang mcmanjat ke atas pohon
mcnyelamatkan diri dari amukan kawanan kerbau itu. Semula Beng
Hoa mengira pandangannya salah, namun segera dia mendengar
teriakan minta tolong orang itu.
Sekarang Beng Hoa sadar kenapa kawanan kerbau itu
merobohkan pohon besar itu, ternyata buruan mereka adalah orang
yang sembunyi di atas pohon itu. Santala pernah bilang, walau
kerbau ini buas dan liar, selamanya tak makan manusia, kecuali kau
melukainya, bila kepergok cukup asal kau pura-pura mati, mungkin
jiwamu bisa selamat, asal tidak terinjak-injak. Cara lain untuk
mcnyelamatkan diri ialah naik ke atas pohon.
Tapi orang itu sudah naik ke pohon, kawanan kerbau itu masih
tidak mcngampuninya. Beng Hoa menduga orang itu tidak tahu
tabiat kerbau lalu melukainya, maka kawanan kerbau itu menuntut
balas Beng Hoa bertanya-tanya dalam hati, "Kejadian ini mcnyangkut
ke-selamatan jiwa manusia, apakah perlu dia menolong orang ini?"
Sebagai anak muda berjiwa ksatria, sudah tentu Beng Hoa harus
menolongnya, tidak tcga dia melihat manusia menjadi mangsa
kawanan kerbau liar itu. Tapi persoalannya justru bukan pada
pertolongan itu, namun mampukah dia menolong Bctapapun lihay
ilmu pedang dan tinggi lwekang-nya, hanya seorang diri mana
mampu dia menempur kawanan kerbau liar. Celaka bila tak mampu
menolong orang, jiwa sendiri malah melayang secara percuma.
Segera dia melengos tak berani mcmandang ke sana serta naik ke
punggung kudanya. Di saat dia keprak kudanya hendak tinggal pcrgi itulah mendadak
didengarnya orang itu berteriak-teriak, "Tolong, tolong."
Teriakan kali ini lebih jelas suaranya, seketika Beng Hoa kaget
dan menghentikan kudanya, sesaat dia terpaku seperti kena
hipnotis. Suara itu berkumandang dari jarak jauh, namun masih
memekakkan telinganya. Jelas orang itu menggunakan ilmu Thoanim-
jip-bit, Iwekang tingkat tinggi Tapi yang lebih mengejutkan
adalah karena suara orang ini sudah amat dikenalnya. Sesaat
hampir dia tidak percaya akan pendengarannya, tapi tak bisa tidak
dia harus memburu ke sana melihat jelas siapakah orang di atas
pohon itu. Ternyata memang benar orang yang sudah dikenalnya, malah
bukan teman sembarang teman, tapi seorang yang akan
mempunyai hubungan erat dengan dirinya.
Siapakah orang yang berada di atas pohon, bukan lain adalah
Kim Bik-hong, engkoh Kim Bik-ki, putera Kim Tiok-liu. Tegakah dia
berpeluk tangan tidak menolong jiwa Kim Bik-hong" Waktu amat
mendesak tiada tempo berpikir, segera dia putar kudanya terus
dilarikan ke arah gerombolan kerbau liar itu.
"Kim-toako, jangan gugup, naiklah lebih tinggi, biar kupancing
rombongan kerbau liar ini ke tempat lain." Beng Hoa juga
melontarkan suaranya dengan Thoan-im-jip-bit. Tak nyana
mendengar teriakannya, bukan Kim Bik-hong naik lebih tinggi, dia
malah melayang jatuh. Ternyata jarak cukup jauh, hingga dia tidak melihat jelas
penunggang kuda itu adalah Beng Hoa. Semula dia tidak punya
harapan untuk mendapat pertolongan orang di tempat terpencil ini,
teriakan minta tolong itu juga tindakan otomatis dari manusia yang
menghadapi elmaut, dia pun tahu, tiada orang mampu menolong
dirinya dari gerombolan kerbau liar yang sedang mengamuk ini.
Tak nyana yang datang ternyata adalah Beng Hoa. Beng Hoa
yang pernah penasaran karena dirinya memusuhinya, Beng Hoa
yang berulang kali dicemooh dan dihina olehnya hingga malu dan
rikuh. Dia pun kaget luar biasa.
Kebetulan saat itu tujuh ekor kerbau serentak menanduk pohon
hingga tergetar keras, dalam keadaan tegang mana boleh memecah
perhatian, karena tangan gemetar, pegangan terlepas hingga
tubuhnya terjungkal jatuh.
Agaknya jiwanya belum saat ajal. Pohon itu ada puluhan tombak
tingginya, di saat tubuhnya melayang sekitar beberapa tombak di
atas tanah, kebetulan berhasil diraihnya sebatang dahan yang
melintang. Pada saat itulah dia merasakan lututnya kesakitan,
ternyata tertusuk dan terbentur dahan pohon. Seekor kerbau
kebetulan menerjang tiba dan menanduk dengan kedua tanduknya
yang runcing, untung masih terpaut lima senti di bawah kaki.
Untung Beng Hoa sudah menyiapkan sebutir batu runcing, kuda
dikaburkan kencang, dalam jarak tigapuluh tombak sekuat tenaga
dia timpukkan batu itu, kerbau yang menerjang dengan amukan itu
terkena telak kepalanya. Dalam beberapa hari ini lwekang Beng Hoa memperoleh
kemajuan pesat, batu itu ditimpukkan dengan kekuatan tenaga
dalamnya yang dahsyat, kekuatannya tidak kalah dari bacokan
sebatang kampak besar. Meski kulit kerbau tebal dan tulangnya
keras, tak urung kepalanya berlubang oleh timpukan batu runcing
itu. Saking kesakitan kerbau itu bergulingan dengan suaranya yang
menggiriskan, dua kerbau liar di sampingnya kena diterjangnya
jungkir balik. Lega hati Kim Bik-hong, lekas dia tenangkan hati sambil
mengertak gigi menahan sakit, dia pegang kencang dahan pohon itu
lalu merambat naik pula. Kalau Kim Bik-hong yang di atas pohon
merasa lega, Beng Hoa yang di bawah pohon justru mengalami
bahaya yang belum pernah dialaminya selama hidup. Serombongan
kerbau liar segera menerjang ke arahnya.
Di saat jiwa terancam ternyata dia tidak pikirkan melarikan diri,
namun menggoda dan memancing kemarahan kerbau-kerbau liar itu
supaya mereka mengalihkan sasarannya kepada dirinya.
Beng Hoa tahu gerombolan kerbau ini pasti ada pimpinannya,
dilihatnya seekor kerbau yang berperawakan lebih tinggi kekar,
tampangnya lebih beringas, mendongak sambil melenguh dua kali
ke arahnya lalu menoleh pula ke arah pohon. Maka separo di antara
kerbau liar itu segera memburu ke arah Beng Hoa, sisa yang separo
tetap menanduk pohon. Kerbau besar ini seakan jenderal perang
yang memimpin pasukannya, maka Beng Hoa lebih yakin bahwa
kerbau besar ini adalah kepala gerombolannya.
Mendadak Beng Hoa meninggalkan pelana kuda, tubuhnya
melesat lurus dari punggung kuda, dengan jurus Pek-hong-koan-jit
pedangnya meluncur laksana kilat, cepat lagi telak, "Sret" di mana
pedangnya berkelebat dengan telak dia tusuk buta sebuah mata
kerbau itu. Kim Bik-hong yang di atas pohon mcnyaksikan dengan
pandangan kaget. Ginkang Beng Hoa cukup mengejutkan, lebih
mengagumkan lagi bahwa Beng Hoa mampu melukai kerbau besar
itu, namun dia khawatir apakah Beng Hoa bisa meloloskan diri"
Betapapun tinggi ginkang seseorang, takkan mampu terbang seperti
burung, melesat datang lalu melejit balik pula Padahal Beng Hoa
tidak boleh terjun di tengah gerombolan kerbau liar.
Hebat kepandaian Beng Hoa, di dalam keadaan berbahaya dan
genting itu sedikit pun tidak gugup, di tengah udara dia bersalto
satu kali, ujung pedang digunakan sebagai tongkat menutul ke
bawah, tepat menyentuh ujung tanduk seekor kerbau, meminjam
daya pantulan itu tubuhnya jumpalitan kembali.
Kudanya memang takut terhadap kerbau hingga tidak berani
mendekat, namun tidak melarikan diri. Di tengah udara Beng Hoa
bersiul sekali, kuda itu tahu maksudnya, segera dia menyongsong
majikannya. Dengan enteng, sekali jumpalitan Beng Hoa hinggap di
punggung kudanya. Pimpinan kerbau liar itu tertusuk buta scbelah matanya, saking
kesakitan sifat liamya muncul, tanpa menghiraukan Kim Bik-hong di
atas pohon, sambil melenguh gusar segera dia menyeruduk Beng
Hoa. Sudah tcntu anak buahnya mcniru perbuatannya, kini Beng
Hoa yang menjadi buruan mereka.
Di punggung kuda Beng Hoa tidak pcrlu takut, sambil bergelak
tawa dia berseru, "Bagus, hayolah kejar. Cobabuktikan kalian
mampu lari kencang atau kudaku lebih pesat."
Kerbau liar berperawakan besar dan berat, sudah tentu takkan
mampu menyusul lari seekor kuda jempolan. Beng Hoa sengaja
memancing amarah gerombolan kerbau liar ini, sesaat dia
mengcndorkan lari kuda, bila jarak sudah dekat lalu dia bedal


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kudanya, jaraknya tetap seratusan langkah dari kepala kerbau yang
memburu paling depan. Puluhan li kemudian baru Beng Hoa keprak kudanya masuk
hutan dan putar kayun kian kcmari meng-hilangkan jejak, setelah
gerombolan kerbau itu kehilangan arah baru dia putar balik
menolong Kim Bik-hong. Bila dia tiba di bawah pohon besar itu tampak Kim Bik-hong
berpegangan pada dahan yang melintang, tubuhnya bcrgantung di
atas pohon, tak mampu merambat naik, tak kuasa melompat turun.
Ternyata kecuali pahanya tergores luka, lutut pun keseleo.
Dahan melintang itu setinggi lima enam tombak dari tanah, Kim
Bik-hong bergantung di tengah udara, Beng Hoa harus naik ke
pohon untuk membopongnya turun, namun dahan itu mungkin tidak
kuat menahan berat badan dua orang. Untung Beng Hoa banyak
akal, segera dia lolos pedang memapas kulit pohon untuk membuat
tali panjang, teriaknya, "Kim-toako, pegang kencang ujung tali ini."
Dia kerahkan tenaga mengayun tali hingga melun-cur lurus ke arah
Kim Bik-hong. Meski kakihya teriuka, namun tenaga Kim Bik-hong
masih ada, setelah menangkap ujung tali, Beng Hoa lantas
mengereknya turun. Kim Bik-hong menghela napas, katanya, "Beng-heng, terima
kasih akan pertolonganmu, aku bcrhutang budi kepadamu."
"Kim toako, jangan kau bilang demikian, saling tolong di rantau
adalah hal biasa, apalagi menghadapi bahaya dan kesulitan,
bukankah di Lhasa kau pernah mcmbantu aku?"
"Tapi budimu lebih besar. Di istana Putala kau pernah menolong
aku juga." "Dalam menghadapi kesulitan, kita harus bahu membahu bukan"
Kim-toako, jangan kau bicara sesungkan ini mari kubantu mengobati
lukamu." Dari sam-suhu-nya Tan Khu-seng Beng Hoa pernah belajar
pengobatan dan cara menyambung tulang, segera dia pegang kaki
Kim Bik-hong yang terluka, katanya, "Kim-toako, tahanlah rasa
sakit." "Krak" mendadak dia betot hingga tulang yang keseleo
kembali pada asalnya. "Aku membawa Kun-jong-yok" kata Kim Bik-hong seraya
mengeluarkan obat, Beng Hoa segera bantu membalutnya.
Kim Bik-hong masih belum bisa berjalan, maka Beng Hoa duduk
di depannya, katanya, "Kim-toako, kenapa kau berada di sini?"
"Beng-heng," ueap Kim Bik-hong, "aku tahu kau sudah bertemu
dengan ayah." "Betul waktu aku berpisah dengan ayahmu, beliau bilang akan
menyusul kalian ke Lhasa. Tentu kau dan Kang-heng sudah bertemu
dengan beliau." "Ya, ayah suruh aku berangkat ke Thian-san. Tanggal limabelas
bulan tiga tahun depan adalah hari wafat keseratus tahun Lu Si-nio,
Bin-san-pay akan mengadakan upa-cara pcringatan besar-besaran,
maka ayahku mewakili Bin-san-pay mengundang Teng tayhiap dari
Thian-san-pay." Kikuk sikap Kim Bik-hong, katanya kemudian, "Semula dia mau
ikut aku ke Thian-san, kukatakan seorang diri aku mampu
menunaikan tugas ini, maka dia ikut ayah pulang." Ternyata Kim
Bik-hong sudah tahu bila ayahnya sudah menemukan adiknya dan
sedang menunggu di Jik-tat-bok untuk pulang bersama ayahnya,
maka dia menyuruh Kang Siang-hun ikut ayahnya pulang supaya
seperjalanan dengan sang adik, maksudnya supaya hubungan
mereka lebih erat. Sudah tentu Beng Hoa tahu seluk beluk persoalannya, tapi
karena Kim Bik-hong tidak menyinggung, tak enak dia tanya tentang
Bik-ki, agar kedua pihak tidak kikuk dan risi.
Kim Bik-hong berkata lebih lanjut, "Ayah pernah membicarakan
kau dengan kami, beliau amat memuji dirimu. Baru aku sadar
betapa parah salah pahamku terhadapmu. Aih, kalau dibicarakan
sungguh" sungguh harus disesalkan"."
Dengan tersenyum Beng Hoa menukas, "Urusan yang sudah lalu
buat apa dibicarakan lagi" Aku sedang dalam perjalanan ke Thiansan
Apakah Teng tayhiap baik-baik saja?"
"Sayang aku tidak bertemu dengan beliau."
"Lho, kenapa tidak bertemu?"
"Kebetulan waktu aku tiba di Thian-san, Teng tayhiap sedang
tetirah. Mungkin setengah bulan lagi baru akan keluar kamar. Bila
kau tiba di sana mungkin tepat pada saat-nya."
"Aku ingin tanya seseorang padamu."
"Siapa?" "Kabarnya Miao tayhiap Miao Tiang-hong juga berada di Thian
san, kau pernah melihatnya?"
"Juga tidak pernah kulihat dia."
"Apakah Miao tayhiap juga sedang tetirah?"
"Tetirah sih tidak. Kebetulan sedang keluar, tapi aku tidak
bertanya tentang dia, entah dia pergi ke mana."
Beng Hoa agak kecewa, katanya, "Miao tayhiap membawa
seorang bocah ke Thian-san. Bocah itu she Nyo, kabarnya bocah itu
sudah menjadi murid Teng tayhiap, apa Kim-toako tahu akan hal
ini?" "O, bocah yang kau maksud mungkin murid penutup ciangbun-jin
Thian-san-pay Teng King-thian Teng tayhiap yang bernama Nyo
Yan?" Beng Hoa tidak tahu siapa nama adiknya, demikian pula Beng
Goan-cau. Tapi dari mulut Miao Tiang-hong waktu sembahyarig di
depan pusara ibunya, Beng Hoa pernah dengar bahwa adiknya itu
sudah diangkat sebagai murid penutup ciangbunjin Thian-san-pay
Teng King-thian. Maka dia mengangguk dan berkata, " Ya, benar. Di Thian-san
apa kau pemah melihat bocah itu?"
"Sayang sekali, aku pun tidak pemah melihatnya. Tapi aku tahu
akan hal ini karena Giong tayhiap, Ciong Jan, memberi tahu kepadaku."
Ciong Jan adalah suheng Teng King-thian, salah satu dari
sesepuh Thian-san-pay. "Lho, kenapa tidak melihatnya. Usianya masih kecil, tahun ini
kira-kira berusia duabelas tahun. Mungkin dia keluar ikut Miao
Tiang-hong?" "Kukira tidak, katanya dia akrab dengan seorang suheng yang
baru datang, waktu aku tiba di Thian-san, kebetulan dia ikut suheng
yang baru datang itu ke belakang gunung me-metik daun obat.
Thian-san begitu besar dan luas, meski hanya terpaut depan dan
belakang, para murid yang keluar memetik obat juga memakan
waktu tiga lima hari lamanya. Karena tak bisa menemui Teng tayhiap,
aku hahya menginap dua hari lantas pamitan pulang."
"Siapakah suheng yang baru datang itu?"
"Aku lupa tanya kepada Ciong tayhiap. Ciong tayhiap menaruh
harapan besar kepada sutit-nya ini, katanya dalam usia duabelas
tahun ternyata sudah menguasai Tui-hong-kiam-hoat ajaran Thiansan-
pay yang paling ruwet, bakatnya luar biasa dan jarang ada
bandingan, karena dia terlalu asyik memuji sang sutit hingga aku
lupa tanya siapa murid baru yang diterima belakangan itu, tapi
kurasa tak penting aku tahu persoalan ini."
Mendengar adiknya memperoleh kemajuan, Beng Hoa ikut
senang, katanya, "Kalau dia keluar ikut sang suheng memetik obat
aku tak perlu khawatir. Aku justru merasa heran dan tertarik pada
suheng yang baru datang seperti yang dikatakan Ciong tayhiap itu."
"Eh ya, ucapanmu menarik perhatianku juga. Menurut apa yang
kutahu, Thian-san-pay tidak semba-rangan mencrima murid,
mungkin orang ini punya asal-usul, sayang watakku tidak senang
mencampuri urusan orang lain, waktu itu lupa kutanyakan. Tapi kau
akan pergi ke sana, boleh nanti kau mencari tahu secara langsung."
Lalu ditambahkan, "Beng-heng, begitu besar perhatianmu terhadap
bocah itu, memangnya kau kenal ayah bunda bocah itu?"
"Bocah itu adalah adikku lain ayah."
Kim Bik-hong seketika paham, sikapnya jadi kikuk, Beng Hoa justru
bersikap wajar dan tak acuh, katanya lebih lanjut, "Dulu aku
anggap riwayat hidup sebagai noda yang memalukan, sekarang
pikiranku sudah terbuka. Ayah bunda seseorang tidak bisa dipilih,
tapi jalan apa yang akan kau tempuh, kau sendiri yang menentukan.
Umpama betul Nyo Bok adalah ayah kandungku, asal aku tidak
meniru dia melakukan kejahatan apa pula sangkut pautnya dengan
aku" Adikku itu memang putera Nyo Bok, namun bukan salahnya
dilahirkan sebagai anak kandung Nyo Bok. Kini aku sudah tahu siapa
ayah kandungku, ayahku pun rela dan memandang adikku itu
sebagai anak kandung sendiri. Kedatangan ku ke Thian-san kali ini
adalah untuk membawa adik pulang."
Merah muka Kim Bik-hong, katanya, "Beng-heng, bukan saja
kungfumu lebih tinggi dari aku, jiwamu besar, pengetahuan luas,
bajik dan cinta kasih terhadap sesama, jelas dalam hal ini aku bukan
apa-apa dibanding kau. Aih, aku". kenapa dulu aku bersikap
demikian terhadapmu."
"Soal masa lalu tidak usah diungkit lagi, dulu sikapku pun kasar,
banyak juga kesalahanku."
Malu dan menyesal Kim Bik-hong, katanya, "Urusan yang lalu
boleh tak usah dibicarakan lagi, tapi satu hal perlu kuberi tahu
kepadamu." "Hal apa?" "Murid-murid Thian-san-pay agaknya merasa sirik dan dengki
kepadamu, mereka pemah memberi tabu tentang dirimu kepadaku."
Beng Hoa melengak katanya, "Mereka mencari tahu tentang diriku
kepadamu, mungkin juga lantaran riwayat hidupku."
"Bukan hanya karena asal-usul-mu mereka menaruh curiga dan
salah paham, entah dari mana mereka mendapat kabar katanya kau
adalah mata-mata kerajaan namun secara licik dengan berbagai
muslihat, aktif di kalangan orang-orang gagah. Bicara soal ini
sungguh harus membela dirimu, malah aku memberi tahu apa yang
kuketahui tentang dirimu kepada mereka." Maklum apa yang
diketahui Kim Bik-hong tentang asal-usul Beng Hoa memang tidak
banyak, apalagi sebelum berangkat ke Thian-san ada permusuhan
dengan Beng Hoa, mendengar orang lain menjelek-jelekkan Beng
Hoa dia pun percaya bahwa hal itu benar.
Beng Hoa tertawa katanya, "Bukan salahmu Kim-toako. Miao
tayhiap pun salah paham terhadapku. Bahwa kau sudi membela
diriku sungguh aku amat berterima kasih kepadamu."
"Miao Tayhiap juga pernah ber-gebrak dengan kau, tentu
kejadian itu pernah dia ceritakan juga kepada murid-murid Thiansan-
pay. Bila kau tiba di Thian-san, kau?"
"Tak usah khawatir Kim-toako, bila aku bertemu Miao tayhiap
lagi, dan berkelahi lagi dengan dia, pasti dia akan segera tahu siapa
diriku, tidak akan curiga lagi kepadaku." Bila dia melancarkan golok
kilat warisan keluarganya, Miao Tiang-hong pasti tahu siapa dia dan
percaya pada omongannya. "Tapi belum tentu Miao tayhiap sudah pulang setiba kau di
Thian-san." "Kupikir salah benar akhirnya bisa dibedakan. Thian-san-pay adalah
perguruan lurus yang ternama, mereka pasti bicara menurut
aturan. Apalagi aku membawa titipan Teng Ka-gwan Tengsiauciangbun
untuk ayahnya." "O, jadi sudah bertemu dengan Teng Ka-gwan. Waktu di Thiansan,
Ciong Jan pernah membicarakan dia kepadaku. Hampir setahun
mereka suami istri turun gunung, belum pernah pulang. Ciong
tayhiap tanya kepadaku apakah pernah mendengar beritanya. Di
mana kau bertemu dengan dia" Apakah dia menulis surat pribadi
untuk ayahnya?" "Aku bertemu di kediaman suku Wana. Ciangbunjin Kong-tongpay
titip sebuah barang supaya diserahkan kepada ayahnya. Karena
dia masih ada urusan lain, maka dia titip pula kepadaku. Tapi dia
tidak menulis surat."
"Tapi Teng ciangbun sedang tetirah mereka tiada yang kenal
kau." "Umpama Teng ciangbun masih tetirah toh masih ada Ciong
tayhiap, Pang tayhiap dan beberapa sesepuh mereka, kurasa
mereka tidak akan bertindak secara gegabah dan ber-peluk tangan
bila anak didik mereka mempersulit diriku."
"Sayang aku tidak bisa menemani kau balik ke Thian-san."
"Bagaimana lututmu" Sudah sembuh belum?"
"Terima kasih akan bantuanmu, tulang lututku sudah
tersambung, Irini sudah lebih baik. Kukira berjalan tidak jadi soal,
namun untuk memanjat puncak selatan Thian-san, mungkin belum
mampu." "Tapi dalam perjalanan ini kau harus lewat pegunungan yang
turun naik." "Aku tahu. Tapt tidak setinggi puncak Thian-san Selatan yang
menembus mega, aku akan berjalan pelan sambil menyembuhkan
luka ini, biar agak lama tiba di rumah asal bisa sampai."
"Begini saja, kuda ini kau bawa pulang saja."
Kim Bik-hong melongo, katanya, "Kau hanya membawa seekor
kuda, kau berikan padaku, lalu kau bagaimana?"
"Kakiku tidak luka, bukan soal aku naik ke Thian-san. Kalau tidak
menunggang kuda, bahaya akan selalu mengancam dirimu
sepanjang jalan ini."
Terharu dan berterima kasih Kim Bik-hong, katanya, "Terlalu
banyak aku menerima budi kebaikanmu, kali ini aku tak bisa
menerima kuda ini." Berkerut alis Beng Hoa, katanya, "Kim-toako, kenapa kau bilang
demikian, memangnya kau tidak sudi anggap aku sebagai sahabat.
Kau tak bisa mengembangkan ginkang, bila ketemu rombongan
binatang liar lagi bagaimana" Dan lagi dalam perjalanan pulang
nanti kau harus waspada terhadap dua orang, mungkin kedua orang
ini akan mempersulit dirimu."
"Dua orang siapa?"
"Seorang bernama Lau Cau-pek, seorang lagi paderi dari Thiantiok."
"Lau Cau-pek aku tahu, dia tokoh kosen nomor satu dalam Taycui-
pi-jiu, siapakah paderi Thian-tiok itu?"
"Aku pun kurang jelas akan asal-usul nya, tapi kepandaiannya
jauh lebih lihay dari Lau Cau-pek tabiat-nya aneh lagi, bila ketemu
dia mungkin kau akan direcokinya." Lalu dia ceritakan
pengalamannya. "O, dia bersenjata tempurung emas dan tongkat bambu hijau?"
"Benar. Kim-heng luas pengetahuan, apa kau tahu asal-usulnya?"
Kim Bik-hong berpikir sejenak, katanya, "Ayah pernah bercerita
padaku, dunia Thian-tiok ada seorang guru besar yang menjadi
ketua Lau-tho-si Liong-yap Siangjin. Kakekku pernah berdiskusi
tentang ilmu silat dengan dia, bekal ilmunya kabarya teramat dalam
dan tinggi. Konon Liong-yap Siangjin punya dua murid, paderi asing
yang kau temui itu mungkin salah satu muridnya."
"Paderi aneh itu agaknya gila belajar silat, gelagatnya dia hendak
mendapatkan kelebihan dari ilmu silat Tionggoan untuk
menyempurnakan ilmunya sendiri, bila kau ketemu dia, pasti dia
akan melihat dirimu dan memaksamu menjadi muridnya."
"Omong kosong, mana boleh aku angkat guru kepadanya."
"Maka kau harus menyingkir jangan sampai kepergok dengan
dia. Ginkang paderi aneh ini amat tinggi, tapi dia tak mampu
mengejar kecepatan lari kudaku ini. Kim-toako, jangan kau sungkan.
lekaslah kau naik saja."
Lutut Kim Bik-hong masih sakit, menempuh perjalanan sejauh ini,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya memang agak takut, namun apa boleh buat, kini Beng Hoa
mau memberikan kudanya, menolakjuga tidak bisa, terpaksa dia
menerimanya. Sebelum berpisah Kim Bik-hong ceritakan di mana letak puncak
Thian-san Selatan serta menjelaskan secara terperinci, lalu mereka
pun berpisah. Setelah mengawasi bayangan Kim Bik-hong pergi
jauh, baru Beng Hoa seperti lega tapi juga hambar dan khawatir.
Senang karena kesalahpahaman Kim Bik-hong telah tuntas,
selanjutnya mereka akan menjadi sahabat karib. Umpama Kang
Siang-hun tetap bermusuhan terhadapnya juga tidak jadi soal lagi.
Hambar dan khawatir karena menarut cerita Kim Bik-hong, muridmurid
Thian-san-pay yang bersikap memusuhinya itu membuatnya
heran dan tak menger-ti. Dari mana orang-orang Thian-san-pay
mendapat berita secepat ini" Padahal dirinya bocah hijau yang baru
keluar rumah, namun orang-orang Thian-san yang menetap jauh di
Thian-san sudah tahu tentang dirinya" Apalagi apa yang diketahui
mereka adalah kabar angin yang merusak nama baiknya.
Beng Hoa curiga, akhirnya dia menduga, "Mungkin seorang
musuhku lari ke Thian-san lalu menjelekkan nama baikku serta
menghasut orang-orang Thian-san-pay memusuhi aku?"
Walau banyak hal patut dicurigai, namun adiknya tetap harus
ditemui. Karena rasa curiga itu maka dia bertekad untuk menyelidiki
hal ini. Maka dia mempercepat langkah, menerjang hawa dingin
melangkahi salju langsung menuju ke puncak Thian-san.
TIGA HARI lamanya Beng Hoa baru tiba di lamping gunung,
hawa di atas gunung sudah berubah dingin, untuk bernapas sudah
mulai berat. Namun lwekang Beng Hoa punya dasar yang kuat dan
murni, setelah beberapa hari dia sudah biasa dengan kondisi
setempat. Bukan saja hawa makin dingin, memanjat makin tinggi juga
makin sukar. Tapi pemandangan serba aneh juga makin banyak.
Dilihatnya banyak binatang-binatang yang sebelum ini belum pemah
dilihatnya. Panda kecil yang bergulingan di atas salju mirip orok kecil
yang belajar merangkak. Burung goak kuning berceloteh di atas
kepala orang, bison raksasa seperti perahu di tengah lautan salju,
kambing kuning yang larinya melebihi angin. Binatang-binatang itu
semua jinak, mungkin belum pernah melihat manusia, maka tiada
yang menyingkir meski Beng Hoa lewat di depannya
Hari kelima menjelang magrib, sudah sehari suntuk Beng Hoa
menempuh perjalanan, badan terasa letih, dia pikir mau mencari
gua atau suatu tempat aman untuk istirahat, maka dia menyusuri
aliran sungai yang menjurus ke arah barat.
Sambil jalan Beng Hoa melihat keadaan sekitarnya, lalu
diduganya puncak di sebelah depan itu pasti puncak tertinggi dari
Thian-san Selatan, lega dan senang hatinya, semangatnya pun
menyala lagi. Akhirnya ditemukannya sebuah tempat yang terletak di bawah
apitan batu salju, baru saja dia merebahkan diri ingin tidur,
mendadak sayup-sayup seperti didengarnya suara rintihan di
kejauhan. Segera dia pasang telinga mendengarkan. Memang itu
rintihan manusia yang kesakitan, bukan suara binatang.
Rasa capai dan kantuk Beng Hoa seketika hilang, kebetulan angin
gunung menghembus lewat, dengan cermat Beng Hoa
mendengarkan sayup-sayup seseorang berkata, "Jangan kau takut,
luka-lukaku tidak jadi soal, istirahat sejenak pasti sembuh."
Suaranya lirih dan nyaring, agaknya suara perempuan, malahan
seperti suara yang pernah dikenalnya. Beng Hoa kaget, hampir dia
tidak percaya pada apa yang didengarnya, batinnya, "Ah, tak mungkin.
Bagaimana dia bisa berada di sini?" Namun setelah angin lalu,
suara orang itu tak terdengar lagi.
Lekas Beng Hoa berlari ke arah datangnya suara, baru saja dia
hendak memanggil, mendadak didengarnya suara dua orang yang
bicara, kali ini suara laki-laki.
Seorang berkata, "Kau dengar tidak, pasti budak itu."
Seorang lagi berkata, "Budak itu sudah terluka oleh pukulan kau
orang tua. Memangnya dia mampu lari ke mana. Yang kukuatirkan
hanya Teng Ka-gwan, bila dia pulang sekarang, urusan bisa celaka."
Suara semula yang agak serak berkata, "Lote, jangan kau
khawatir. Perempuan busuk itu sudah terpukul oleh Tay-cui-pi-ciuku,
di tanah pegunungan bersalju, kuyakin dia takkan kuat bertahan
sampai besok pagi" Suara yang muda berkata pula, ?"Khawatimya dia ditemukan
murid-murid Thian-san-pay di tengah jalan. Tapi hari sudah gelap,
orang-orang Thian-san-pay tentu takkan berkeliaran. Aku tahu
kebiasaan mereka, mereka hanya keluar latihan pagi hari, apalagi
tempat ini cukup jauh."
Yang tua tertawa, katanya, "Besok mereka akan menemukan
mayat perempuan busuk itu. Jangan khawatir tanggung mereka
takkan curiga terhadap dirimu."
Yang muda berkata, "Untung semua orang-orang Thian-san-pay
percaya kepadaku, kalau tidak mana bisa aku bercokol di Thian-san"
Marilah lekas kita cari budak itu."
Kedua orang ini berada di lekuk gunung sebelah sana, Beng Hoa
mendengar jelas pembicaraan mereka, terkejutnya bukan kepalang.
Siapakah kedua orang ini" Ternyata yang tua adalah Lau Cau-pek
yang muda ternyata Toan Kiam-ceng. Mereka berada di depan Beng
Hoa, kini sudah melampaui lekuk gunung di depan. Beng Hoa hanya
mendengar suaranya, belum melihat bayangan mereka.
Beng Hoa menarik napas lalu menyusul ke depan. Sejak
bertarung dengan paderi Thian-tiok tempo hari, Iwekang-nya sudah
lebih maju, dengan sendirinya ginkang-nya ikut memperoleh
kemajuan pula. Beiiari kencang di permukaan salju ternyata tidak
meninggalkan bekas di permukaan salju, tanpa mengeluarkan suara
lagi Meski kepandaian Lau Cau-pek tinggi, ternyata tidak sadar
bahwa di belakang ada orang menguntit. Tapi jarak kedua pihak
memang masih jauh, dalam waktu singkat Beng Hoa belum
menyusul mereka. Di hulu sungai ternyata ada sebuah panggung batu besar yang
ditunjang oleh salju yang sudah mengeras, hingga bentuknya mirip
jamur. Di atas panggung batu seperti jamur itulah bersembunyi tiga
orang. Cuaca sudah gelap, dinding salju itu menyerupai selembar kaca
bening, bayangan tiga orang bisa terlihat jelas dari kejauhan.
Melihat bayangan tiga orang yang amat dikenalnya ini, serasa
tenggelam perasaan Beng Hoa, mimpi pun tak pernah terbayang
olehnya bahwa ketiga orang ini akan berada di Thian-san,
mungkinkah mereka bisa lolos dari cakar iblis Lau Cau-pek"
Di tengah pekik tawa Toan Kiam-ceng yang mendirikan bulu
roma, Lau Cau-pek sudah menerjang masuk ke panggung jamur itu.
Yang sembunyi di atas panggung jamur ada satu laki dua
perempuan, mereka adalah Santala, Lomana dan Leng Ping-ji.
Toan Kiam-ceng memang mengejar Leng Ping-ji, Leng Ping-ji
sudah teriuka oleh pukulan Lau Cau-pek. Tapi tujuan utama Kiamceng
bukan Leng Ping-ji. Baru saja Leng Ping-ji membubuhi obat di lukanya, lantas
mendengar tawa Kiam-ceng, ternyata dia tidak begitu kaget karena
dia sudah tidak pikirkan mati hidupnya. Cepat dia suruh Santala dan
Lomana bersembunyi ke belakang "Lekas kalian cari murid-murid
Thian-san-pay, kedua bangsat ini biar kulayani."
Tapi Santala tidak mau pergi. Di tengah gelak tawa, Lau Cau-pek
sudah muncul di depan mereka. Kontan Santala ayun tangan,
segulung tambang besar dan panjang melingkar-lingkar seperti tali
laso menjirat ke arah Lau Cau-pek. Santala adalah pemburu terbaik
dari suku Wana, kepandaian bermain laso adalah kebanggaannya,
selama berburu binatang tak pernah dia gagal.
Celakanya Lau Cau-pek seratus persen lebih galak, liar dan kuat
dari binatang buas. Tali laso Santala memang mampu menangkap
binatang, tapi mana mampu menghadapi manusia yang satu ini"
"Cras", dua jari tangannya menggunting, tali laso itu putus seketika.
Sambil menahan sakit Leng Ping-ji mencabut pedang terus
menerjang, mendadak bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Toan
Kiam-ceng sudah menghadang di depan-nya. "Tang", pedang
beradu, Leng Ping-ji tertolak mundur tiga langkah.
Kara Toan Kiam-ceng sambil tertawa, "Nona Leng agaknya dunia
ini tidak besar, kembali bertemu di sini. Tidak kau duga bukan"
Untuk membunuhku jelas tidak mudah bagimu. Lebih balk damai
saja membicarakan urusan dagang, bagaimana?"
Di saat dia bicara itu Lau Cau-pek sudah menggunting putus tambang
Santala, telapak tangan sudah terangkat hendak menepuk
kepalanya. Lekas Toan Kiam-ceng berteriak, "Jangan bunuh dia,
biarkan dia hidup." Tiba-tiba lengan bajunya mengebas menahan
Lomana yang memburu ke arah Santala
Dari menepuk Lau Cau-pek mengubah menjadi cengkeraman,
dengan mudah Santala telah ditangkapnya. Padahal tenaga Santala
mampu menundukkan singa dan harimau, tapi karena tulang
pundak tercengkeram, sedikit tenaga pun tak mampu dikerahkan.
Mengawasi Lomana, Toan Kiam-ceng berkata lembut, "Lomana
kau tahu aku amat sayang kepadamu, ikutlah aku saja, aku tidak
akan menyakiti kau."
"Mungkin aku buta, tak bisa menilai binatang sebagai manusia.
Urusan sudah sejauh ini, kau masih tidak malu mengelabui aku,
jangan harap." Toan Kiam-ceng memang pandai main sandiwara, katanya
menghela napas, "Tak nyana kau membenciku, sungguh
membuatku sedih. Ya, karena hatimu tidak padaku, apa boleh buat
Seorang kuncu harus memberi kesempumaan orang lain biarlah aku
merangkap perjodohan kalian. Kau ingin menolong Santala bukan?"
"Kalau ingin menolong?"
"Cici Lomana," teriak Leng Ping-ji, "jangan kau percaya omongan
manisnya." Toan Kiam-ceng tertawa lebar, katanya, "Aku bicara setulus hati,
bukan membual. Lomana, bila kau ingin menolong dia, serahkan
barang yang kau bawa kepadaku untuk ditukar jiwanya, jikalau kau
menolak biar dia kubunuh di hadapan-mu."
"Barang apa?" tanya Lomana.
"Sudah tentu buku Persia yang kau bawa dari rumahmu itu."
Tercekat hati Lomana, serunya, "Dari mana kau tahu?"
Melihat perubahan rona muka orang, Toan Kiam-ceng yakin
dugaannya tidak meleset, katanya sambil tertawa riang, "Kalau tidak
kau keluarkan, terpaksa kugeledah sendiri."
"Jangan salah duga, buku itu tidak berada di badannya," teriak
Leng Ping-ji. Toan Kiam-ceng sudah menghampiri Lomana, sudah siap
menggerayang tubuhnya, mendengar teriakan Leng Ping-ji dia
berhenti dan menoleh, katanya, "Jadi berada di kantongmu?"
Leng Ping-ji sengaja menarik perhatiannya, mendadak dia maju
serta merebut buku itu dari tangan Lomana. Tahu dirinya tertipu,
Toan Kiam-ceng naik pitam, baru saja dia hendak menubruk, Leng
Ping-ji membentak, "Jangan gegabah, selangkah kau maju, biar
buku ini kuhancurkan."
Membesi muka Toan Kiam-ceng, katanya, "Bagus, anggaplah aku
tertipu, apa kehendakmu?"
"Cici," teriak Lomana, "jangan kau celaka karena aku."
"Adik bodoh, selama gunung tetap menghijau jangan khawatir
kehabisan kayu bakar. Lekas kau tinggalkan tempat ini, bawa
Santala, aku bisa melayani mereka."
"Jangan kira aku mudah kau tipu lagi, serahkan dulu buku itu,
akan kubebaskan mereka."
"Tarifku tidak boleh ditawar, buku ini tulen harganya pas. Kalian
harus menyingkir." Lalu dia buka selembar buku itu lalu
disembunyikan ke belakang, katanya pula, "Sudah kau buktikan aku
tidak menipu bukan" Hm, kau tidak percaya padaku, memangnya
aku harus percaya kepadamu?" Lalu dia pura-pura siap merobek
buku itu. "Nona Leng," cepat Lau Cau-pek menimbrung, "jangan gegabah.
Baiklah, aku bebaskan temanmu."
"Apa betul kau mau menyerahkan buku itu kepadaku?" sera Toan
Kiam-ceng. "Terserah bagaimana tindakanmu, kalau kau baik terhadapku,
baru akan kuserahkan."
Selama ini Toan Kiam-ceng terlalu tinggi hati, angkuh lagi, dia
anggap dirinya lebih menonjol dalam segala bidang dibanding orang
lain, sebagai siau-ongya, gadis mana yang tidak membalas cintanya.
Mendengar ucapan Leng Ping-ji, lega dan senang hatinya, katanya,
"Sebetulnya aku baik terhadapmu, dulu terpaksa berbuat curang
kepadamu. Bila kau serahkan buku itu, selanjutnya kita rujuk
kembali." Lomana berkata, "Cici, tadi kau berpesan kepadaku jangan mendengarkan
occhannya." "Lekas kalian pergi, jangan khawatir atas diriku." Melihat Lomana
masih bimbang, segera Ping-ji menarik muka, "Kau ingin kita mati
bersama" Apa gunanya?"
Apa boleh buat, terpaksa Lomana menarik lengan Santala berlari
ke luar. "Nah, bolehkah kau serahkan sekarang?" sera Toan Kiam-ceng.
"Kenapa terburu-buru, tunggu sejenak lagi."
Secara kebetulan Lau Cau-pek menoleh ke luar, mendadak
dilihatnya di belakang dinding salju di sana seperti ada bayangan
orang, namun begitu dilihat lagi lantas lenyap. Entah bayangan
Santala atau bayangan orang lain, tapi Santala tak mungkin punya
gerakan secepat itu. "Nona Leng," bentak Lau Cau-pek, "kau mengulur-ulur waktu.
Kiam-ceng sabar menunggu, aku tak mau sungkan lagi kepadamu."
"Soal barter ini aku bicara langsung dengan Kiam-ceng. Kalau
mau menyerahkan tidak akan kuserahkan kepadamu."
"Baiklah, lekas kau serahkan kepadanya."
"Baik, Kiam-ceng, kemarilah kau ambil." Mendadak tangannya
terayun, bukan buku yang melayang tapi beberapa bintik sinar yang
melesat. Sejak tadi Ping-ji sudah menggenggam tujuh batang Bwehoa-
ciam. Setelah menyambit jarum, buku sudah dirobeknya sedikit.
Jarak sedekat itu, sebetulnya jiwa Kiam-ceng tidak mudah
diselamatkan, tak dikira Lau Cau-pek sudah siaga sejak tadi,
mendadak dia angkat kaki menendang Kiam-ceng hingga terjungkal
ke pinggir. Tenaga tendangannya diperhitungkan, Kiam-ceng
mencelat tiga tombak jauhnya tapi sedikit pun tidak terluka.
Berbareng dengan tendangan kakinya, lengan baju Lau Cau-pek
mengebas, "Plok" buku itu sudah terobek dua lembar dan
tersampuk jatuh dari tangan Leng Ping-ji. Leng Ping-ji sudah
terluka, tenaganya lemah, mendadak disergap lagi, maka buku itu
tak terlindung dan tak mampu dirobeknya lagi.
Leng Ping-ji mengerahkan sisa tenaganya bersalto ke belakang,
pedang dicabut, mendadak dia angkat pedang menusuk ke dada
sendiri. Dia rela mati daripada jatuh ke tangan musuh.
Dengan gerakan ikan meletik, Toan Kiam-ceng melompat bangun
terus memburu ke arah buku itu. Perhatiannya hanya tertuju ke
arah buku, bahwasanya mati hidup Leng Ping-ji sudah tidak
dihiraukan lagi. Pada saat itulah terdengar "Tang" sebutir kerikil entah dari mana
memukul jatuh pedang di tangan Leng Ping-ji. Batu kedua menyusul
tiba, arahnya ke muka Toan Kiam-ceng.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untung jaraknya agak jauh, Toan Kiam-ceng sempat menangkis
dengan pedang "Tang" telapak tangan Toan Kiam-ceng kesemutan,
untung masih mampu menyelamatkan diri. Kaget Kiam-ceng bukan
main, waktu dia angkat kepala, tampak Beng Hoa sudah berdiri di
depan Leng Ping-ji mencegat Lau Cau-pek yang memburu maju.
Kejut Toan Kiam-ceng bukan main, mana berani dia mengambil
buku itu, lekas dia menyingkir jauh lalu berpeluk tangan menonton
di pinggir. Beng Hoa tidak sempat membereskan Toan Kiam-ceng lekas dia
bertanya, "Bagaimana keadaanmu nona Leng?"
Leng Ping-ji menghela napas lega, sahutnya, "Tidak apa-apa,
gebah dulu bangsat tua ini."
"Bedebah," maki Lau Cau-pek, "kiranya kau bocah ini. Hari itu
kau beruntung dapat melarikan diri, masih berani kau merintangi
usahaku?" Beng Hoa tak mau banyak bicara, "Sret" dia mencabut
pedangnya seraya membentak, "Hari ini akan kutentukan siapa
jantan atau betina, lekas serahkan jiwamu."
"Bocah jumawa, kau pernah keok di tanganku, memangnya aku
takut." Sembari bicara dia mengeluarkan sepasang gelang besi.
Itulah senjata yang dulu mengangkat tinggi namanya di dunia
persilatan, Jit-gwat-siang-hoan (Sepasang gelang matahari
rembulan). Sejak Tay-ciu-pi-jiu berhasil dilatihnya, sepasang gelang
ini sebetulnya tak pernah dipakai lagi. Namun latihannya tak pernah
dilalaikan. Menghadapi kiamhoat Beng Hoa yang teramat lihay, dia tahu
dengan sepasang telapak tangannya jelas takkan mampu
mengalahkan Beng Hoa, khawatir dirugikan terpaksa dia
mengeluarkan senjatanya. "Sret" Beng Hoa menusuk lurus.
"Serangan bagus," seru Lau Cau-pek, gelang matahari disorongkan,
gelang rembulan dituntun balik, pikirnya dia hendak menjerat
pedang panjang Beng Hoa ke dalam kedua gelang besinya.
Jit-gwat-siang-lun termasuk jenis senjata yang jarang ada dalam
kalangan persilatan, namun senjata yang satu ini justru penakluk
senjata yang lain seperti golok dan pedang. Bila pedang Beng Hoa
masuk ke dalam gelang, begitu gelang berputar, pedangnya bisa
tersedot dan terebut oleh lawan. Jadi bicara tentang senjata, jelas
Lau Cau-pek sudah lebih unggul seurat dengan gelang rembulan
saja, apalagi gelang matahari ikut menyerang menambah perbawa
permainan senjatanya. Beng Hoa belum punya pcngalaman menghadapi sepasang
senjata yang aneh ini, namun sedikit banyak dia sudah tahu sifat
dari permainan senjata jenis ini, sudah tentu tak mudah pedangnya
dijerat gelang besi lawan. Sebat sekali tajam pedangnya serong ke
lamping, sigap sekali dia mengubah permainan, kali ini tusukannya
mengincar ketiak Lau Cau-pek.
"Tang" kembang api berpijar. Pedang panjang Beng Hoa melintang,
kebetulan membentur gelang matahari yang disorong ke
depan. Beng Hoa merasakan telapak tangannya kesemutan, lekas dia
melompat tiga langkah. Cepat sekali gelang rembulan Lau Cau-pek
sudah disorong tiba juga. Beng Hoa membelakangi lawan,
mendadak tubuhnya tersuruk miring ke pinggir seperti hendak
jatuh. Karuan Lau Cau-pek kegirangan, baru saja dia hendak
kerahkan tenaga memukul punggung lawan dengan kedua
gelangnya, mendadak dia sadar kemungkinan lawan hendak
memancing dirinya. Untung dia merandek, mendadak hawa pedang mendesir tajam,
tanpa menoleh mendadak Beng Hoa membalikkan pedangnya.
Pedangnya ini bergerak menghindari sepasang gelangnya, saat
pinggangnya tertekuk ke depan, gerakan membalik ini menusuk
Hoan-tiau-hiat di lututnya.
Untung Lau Cau-pek menyadari muslihat lawan, kedua gelang
yang dia dorong ke depan dia ubah menekan turun. Tapi punggung
Beng Hoa seperti bermata, ujung pedang ternyata tidak mencoblos
ke dalam gelang dari menusuk berubah mengetuk, "Trang" pedang
pusaka kembali membentur gelang rembulan.
Reaksi kedua pihak sama cepat, sama-sama cerdik dan cekatan
hingga lawan tak sempat menarik keuntungan. Tapi dalam senjata
Lau Cau-pek jelas lebih unggul. Berun-tun menghadapi bahaya, tak
urung Beng Hoa menjadi gelisah. Di luar tahunya Lau Cau-pek tidak
kalah gugup dan kaget. Maklum berpisah baru belasan hari,
Iwekang Beng Hoa ternyata mencapai kemajuan luar biasa. Dengan
mengeluarkan senjata dia pikir hendak secepatnya mengalahkan
pedang lawan, kini baru dia sadar, dengan kemajuan yang dicapai
Beng Hoa dalam waktu singkat ini, gelagatnya dirinya tetap sukar
mengalahkannya. Di tengah pertarungan sengit itu, terpaksa Lau Cau-pek
menggunakan otaknya mencari akal. Sengaja dia menggeser
langkah mendekati Leng Ping-ji, dilihatnya sorot mata Beng Hoa
seperti merasa ngeri dan takut. Sebagai rase tua Lau Cau-pek lantas
tahu apa yang ditakuti Beng Hoa.
"Biar kubunuh budak ini, baru kubereskan kau keparat ini,"
demikian bentak Lau Cau-pek.
Kaget dan gusar Beng Hoa dibuatnya, bentaknya, "Kau berani"
Akan kupertaruhkan jiwa bila kau berani mencelakai nona Leng."
Pedang segera bergerak dengan serangan segencar hujan deras,
cara bertempurnya memang mirip orang yang ingin mengadu jiwa.
Tujuan Lau Cau-pek memang demikian, dalam hati diam-diam
dia tertawa geli. Maklum dia di saat berhadapan dengan jago kosen
yang berkepandaian setaraf mana sempat dia membunuh orang
lain. Gertakannya ini hanya membuat gundah hati Beng Hoa belaka.
Di samping khawatir pedang panjang sendiri terjerat gelang lawan,
Beng Hoa harus memperhatikan pula keadaan Leng Ping-ji,
tanpa terasa keringat sudah membasahi seluruh badan.
Sebagai penonton Leng Ping-ji berpikir lebih dingin, serunya, "Jangan
hiraukan aku, dia hanya menggertakmu. Apakah kau bisa
memainkan Tui-hong-kiam-hoat" Serang dia secara gencar, jangan
biarkan dia menguras habis tenagamu. Bila kau tak mampu
mengalahkan dia lekas lari saja."
Lau Cau-pek masih bermuka-muka, jengeknya, "Hm, selama hidup
lohu membunuh orang tak pernah mengedipkan mata,
memangnya aku takut membunuh budak macammu ini?"
"Kutanggung kau tak berani membunuh aku, bila kau
membunuhku, maka kau harus"."
Belum habis dia bicara mendadak didengarnya Lau Cau-pek
menggerung keras, kedua gelang didorong bersama menyampuk
pedang panjang Beng Hoa, langkah-nya merebut maju sambil
bergaya hendak memukul kepala Leng Ping-ji dengan kedua
gelangnya. Umpama Beng Hoa tahu lawan hanya menggertak, namun dia
tidak berani berspekulasi, terpaksa dia mencegat musuh sekuat
tenaga. Leng Ping-ji malah berteriak, "Sebetulnya kau tak usah
menguatirkan diriku, bila dia membunuhku, kau pun bisa
membunuhnya. Caramu melawan dia begini pasti bukan
tandingannya, lekas lari saja."
Mendadak Beng Hoa seperti tidak melihat dan tidak mendengar,
agaknya dia sedang memeras otak mencari akal untuk memecahkan
permainan lawan. Dia pemah melihat Tui-hong-kiam-hoat dari
Thian-san-pay, tapi baru diselami bela-kangan ini, belum apal dan
mahir betul. "Ping-ji menyuruh aku menyerang dengan pedang kilat
memang cara yang tepat. Walau Tui-hong-kiam-hoat aku tidak
mahir namun golok kilat ayah bisa kulancarkan dengan pedang,
yakin permainanku tak kalah cepat dari Tui-hong-kiam-hoat.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana menghindari sepasang
gelang lawan yang menjerat pedang itu" Umpama pedang kilat
berhasil juga akhirnya pasti celaka bersama. Bila lukaku lebih parah,
bukankah nona Leng tetap sukar lolos dari elmaut."
Setelah sekian lama Beng Hoa sudah mengambil keputusan. Lau
Cau-pek bergelak tawa, serunya, "Bocah bagus, coba berapa jurus
kau kuat bertahan?" Kedua gelang mendadak berputar kencang,
secara langsung menyambut ujung pedang lawan. Di tengah gelak
tawanya itulah, mendadak dia melihat wajah Beng Hoa mendadak
mengunjuk senyuman lebar.
Lau Cau-pek melenggong, bentaknya, "Bedebah, kematian di depan
mata, masih bisa kau tertawa" Dia tidak tahu kenapa dalam
saat segenting ini Beng Hoa mendadak tertawa, di luar tahunya
bahwa Beng Hoa sudah mendapat akal untuk memecahkan
permainan gelangnya. Menghadapi pertarungan kencang sepasang gelang Lau Cau-pek,
mendadak terbayang oleh Beng Hoa akan tempurung emas paderi
asing itu. Waktu bertarung dengan paderi itu berulang kali
pedangnya tersedot oleh putaran tempurung lawan.
"Ilmu silat tingkat tinggi memangnya sejalan dalam permainan,
kelihayan sepasang gelang ini dalam merampas senjata lawan pasri
tak berbeda jauh dengan tempurung emas itu saat menyedot
pedangku, padahal lwekang Lau Cau-pek bukan tandingan paderi
asing itu, aku harus berani menyerempet bahaya untuk
mencobanya, bukan mustahil bisa berhasil" Setelah rasa jeri lenyap,
kalau tadi dia selalu menghindar supaya pedangnya tidak terjerat
gelang lawan sekarang justru sengaja dia menyongsongkan pedang
ke dalam bundaran gelang lawan.
Di tengah bentakannya, sinar pedangnya bagai bianglala masuk
ke dalam gelang, serangan bagai kilat menyambar sungguh sukar
dilukiskan kecepatannya. Belum sempat Lau Cau-pek merebut pedangnya, pedang lawan
sudah lebih dulu melukai dirinya Pedang masuk menusuk telapak
tangan Lau Cau-pek. "Klontang" gelang rembulan Lau Cau-pek jatuh di tanah, saking
takut serasa arwah lepas dari raga-nya, seperti binatang terluka
yang takut dibekuk pemburu, seraya menggerung kalap dia lari sipat
kuping. "Beng-toako," seru Leng Ping-ji girang. "Hebat betul serangan
pedangmu, lebih cepat dari Tui-hong-kiam-hoat yang pemah
kupelajari. Wan, sayang"."
"Kejahatan akan mendapat hukuman setimpal tak usah hiraukan
mereka. Nona Leng bagaimana lukamu?"
Tidak jadi soal, tak usah kau khawatirkan diriku, lekas cari muridmurid
Thian-san-pay." Dia bilang tidak jadi soal, padahal Beng Hoa tahu, luka-lukanya
cukup parah. Beng Hoa menggelengkan kepala, katanya, "Aku memang
ingin mencari murid Thian-san-pay, tapi tidak perlu tergesagesa,
besok juga belum terlambat. Sekarang obati dulu lukalukamu."
Dia keluarkan sebutir pil terus dimasukkan ke mulut Leng Ping-ji,
katanya, "Ini lah Siau-hoan-tan pemberian ayah, paling mujarab
untuk menyembuhkan luka dalam, mari kubantu mendorong khasiat
obat dalam badan." Lalu dia pegang tangan Leng Ping-ji
mengerahkan hawa murni ke tubuh orang. Beberapa kejap
kemudian, Leng Ping-ji merasa jauh lebih segar, wajah yang semula
pucat kini bersemu merah.
"Ah, aku sudah lebih baik, Beng-toako terima kasih akan
bantuan-mu," demikian ucap Leng Ping-ji seraya menarik
tangannya. "Nona Leng, kenapa sungkan, tempo hari kau menolong jiwaku,
aku belum sempat menghaturkan terima kasih, apa kau ingin
minum?" "Beng-toako, kau melihat buku itu" Itulah Bu-kang-pit-kip dari
Persia yang diincar guru siluman Toan Kiam-ceng. Lomana sengaja
membawa kemari untuk memberikan kepada kau, lekas kau ambil."
Beng Hoa melenggong, katanya, "Kenapa diberikan kepadaku"
Mana berani aku menerima hadiah sebaik ini."
Leng Ping-ji seperti ingat apa-apa, mendadak dia berteriak,
"Wah, celaka"."
"Apa yang celaka?" Beng Hoa kaget.
"Lomana dan Santala sudah pergi, bila mereka kepergok Toan
Kiam-ceng"." Hal ini tadi sudah terpikir oleh Beng Hoa, tapi bila dia
keluar mencari Lomana dan Santala, siapa yang akan melindungi
Ping-ji yang teriuka di sini"
Di saat dia merasa kebingungan itulah, mendadak Santala dan
Lomana berlari datang. Di luar Santala sudah melihat bayangan
Beng Hoa, maka dia berteriak lebih dulu, "Nah, syukurlah. Ternyata
memang betul. Beng-toako yang datang."
Agaknya Lomana kegirangan, sambil lari mulut berseru, "Bengtoako,
sungguh membuatku rindu. Kukira kau tidak akan datang ke
Thian-san secepat ini. Kedua bangsat itu kau gebah lari bukan?"
"Siapa lagi kalau bukan Beng-toako?" seru Santala, "untung kami
tidak pergi jauh." Mereka bersembunyi di belakang batu tak jauh
dari tempat itu. Menyaksikan Toan Kiam-ceng dan Lau Cau-pek
yang lari terbirit-birit, maka mereka bergegas lari balik mau melihat
keadaan Leng Ping-ji, ternyata Leng Ping-ji tidak kurang suatu apa,
malah Beng Hoa pun di sini, sudah tentu senangnya bukan main.
"Maaf bukumu sempat kurobek dua lembar, untung tidak direbut
kawanan bangsat itu," demikian kata Leng Ping-ji.
Santala segera memungutnya, katanya tertawa, "Betapa senang
hatimu sampai linglung jadinya, nah hadiahmu ini kenapa kau lupa
menyerahkannya kepada Beng-toako. Hayo serahkan langsung
kepadanya." Waktu berlari masuk tadi Lomana hampir saja
menginjak buku ini. Santala sengaja memperlambat langkah supaya Lomana berlari di
depan. Begitu tiba di depan Beng Hoa, Lomana langsung
menubruknya terus dipeluknya. Itulah kehormatan yang ditujukan
kepada seorang teman dekat menurut adat suku mereka. Beng Hoa
tahu akan adat ini, namun tak urung wajahnya merah jengah.
Menyusul Santala pun memeluknya, katanya, "Beng-toako,
terima kasih menolong kami sekali lagi, kau ini seumpama malaikat,
bagaimana kau tahu kami sedang tertimpa bahaya?"
"Kebetulan aku berada di belakang gunung sana, mendengar
suara percakapan kalian. Sayang aku terlambat selangkah hingga
kalian kaget. Hm, sekarang aku ingin tanya, kenapa kalian juga
berada di Thian-san?"
Lomana tertawa, katanya, "Kami memang mencarimu, terima
dulu buku ini." "Mana berani aku menerima kado yang tak ternilai ini,
seharusnya jangan karena ingin menyerahkan buku ini kepadaku
jauh-jauh kalian datang kemari. Padahal jarak jauh-nya ini betapa
besar bahayanya." "Di samping Lomana ingin menyerahkan kado ini kepadamu,
kami juga menyingkir dari bahaya,"demikian Santala menjeiaskan.
Ternyata setelah Teng Ka-gwan menggertak lari Auwyang Tiong,
Leng Ping-ji lantas menemui Santala dan Lomana Dari kisah inilah
baru Lomana tahu bahwa di rumah-nya menyimpan buku yang
berharga itu. Waktu itu Teng Ka-gwan harus pergi ke Jik-tat-bok
untuk suatu urusan penting, maka mereka menghadapi kesulitan.
Manusia siluman Auwyang Tiong memang lari ketakutan, tapi
belum tentu dia pergi jauh. Yang ditakutinya hanya Teng Ka-gwan,
bila dia tahu Teng Ka-gwan pergi ke lain tempat, bukan mustahil
akan putar balik mencelakai jiwa Santala Hasil dari perundingan itu,
Teng-hujin ingin pulang ke Thian-san membawa Leng Ping-ji,
sementara Santala dan Lomana biar ikut Teng Ka-gwan ke Jik-tatbok.
Tapi Teng Ka-gwan tidak setuju, katanya, "Pasukan kerajaan


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang mengepung Jik-tat-bok, bukan mustahil perang sudah
berkecamuk di sana Seorang diri aku bisa ke sana, kalau membawa
mereka aku khawatir tak mampu melindungi mereka,"
Lomana berkata, "Beng-toako pernah bilang kepadaku, dia mau
pergi ke Thian-san. Kukira buku Persia itu biar kubawa dan
menyusul Beng-toako ke Thian-san bersama Santala. Di samping
menyingkir juga dapat bertemu dengan Beng-toako."
Mereka berangkat agak terlambat beberapa hari, namun Beng
Hoa harus mampir ke sana sini, bertemu dengan Kim Bik-hong lagi,
sehingga dia melanjutkan perjalanan jalan kaki maka mereka yang
menunggang kuda tiba di Thian-san lebih dulu.
Setelah menjelaskan duduk persoalannya, Lomana berkata
setelah menghela napas, "Teng-hujin yang melindungi kami dalam
perjalanan ini malah terluka parah dan nasibnya tidak diketahui."
Beng Hoa bertanya, "Kungfu Teng-hujin tidak lemah, bagaimana
dia bisa terluka oleh keparat itu?"
"Karena melindungi aku hingga dia terpukul luka parah oleh
keparat itu, menyusul Leng-cici juga terluka, apa boleh buat,
terpaksa aku menurut anjurannya melarikan diri lebih dulu dengan
Leng-cici. Apakah Teng-hujin hanya terluka atau sudah mati kami
tidak tahu." "Teng-hujin mungkin masih hidup, namun luka-lukanya mungkin
cukup parah," demikian ucap Beng Hoa, lalu dia tuturkan
percakapan Lau Cau-pek dengan Toan Kiam-ceng yang dicuri
dengar tadi. "Marilah sekarang kita mencari-nya," Leng Ping-ji mengusulkan.
Beng Hoa tertawa getir, katanya, "Thian-san sebesar ini, di
tengah malam buta lagi, ke mana kita harus mencarinya. Nona
Leng, aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi luka-lukamu perlu
disembuhkan juga Untuk mencarinya terpaksa harus besok pagi.
Bila fajar menyingsing, murid-murid Thian-san-pay pasti ada yang
muncul di sekitar sini, bangsat tua itu pasti tak berani mengganggu
kalian lagi." Sementara itu fajar sudah menyingsing, karena didesak dan tak
bisa menolak akhirnya Beng Hoa menerima buku Persia itu.
"Sudah terang tanah, lekas kau cari orang-orang Thian-san-pay,"
Leng Ping-ji menganjurkan.
"Marilah kubantu kalian mencari tempat perlindungan lain, siapa
tahu bangsat tua itu datang lagi," demikian ucap Beng Hoa.
"Tempat di mana tadi kami bersembunyi cukup baik, kita pindah
ke sana saja," demikian ujar Santala
SETELAH mengantar Santala ber-tiga menyembunyikan diri, lega
hati Beng Hoa. Seorang diri segera dia memanjat ke atas untuk
mencari murid Thian-san. Tak lama kemudian, kebetulan dilihatnya
empat orang pemuda menyanding pedang mendatangi dari depan,
dia menduga mereka pasti murid-murid Thian-san. Dengan girang
lekas Beng Hoa menyongsong maju. Tapi sebelum dia buka mulut,
salah seorang murid Thian-san itu sudah membentak lebih dulu,
"Siapa kau?" "Aku datang untuk menghadap ctangbunjin kalian Teng tayhiap,
jikalau tetirahnya belum usai aku mohon bertemu dengan tianglo
kalian Ciong Jan Ciong tayhiap."
Keempat orang itu melenggong, lalu saling pandang sekejap,
wajah mereka menampilkan mimik aneh, ternyata dalam hati
mereka menduga, "Bocah ini pasti mata-mata musuh seperti yang
diuraikan Toan-sute itu. Agaknya mereka sudah tahu bahwa
ciangbunjin sedang tetirah, mumpung ada kesempatan hendak
membuat onar di sini."
Sudah tentu Beng Hoa tidak tahu bahwa bencana di depan mata,
dia masih mohon mereka membantu melaporkan kedatangannya
Seorang yang lebih tua agaknya pimpinan keempat orang ini
berkata, "Kau minta kami melaporkan kedatanganmu, lalu siapa she
dan namamu" Datang dari mana?"
Setelah menyebut namanya, Beng Hoa berkata, "Aku datang dari
Jit-tat-bok." Mendengar nama Beng Hoa, serempak keempat murid Thian-san
itu mencabut pedang, tanpa berianji mereka membentak bersama,
"Ternyata betul keparat ini. Besar nyalimu berani menipu orang di
sini, kau kira kami tidak tahu asal-usul-mu"
Beng Hoa bersalto ke belakang tiga tombak jauhnya, tapi
keempat pedang lawan datangnya teramat cepat, berhasil
menghindarkan dari serangan pertama susah menghindar serangan
kedua, terpaksa dia melolos pedang, dengan jurus Meh-can-pathong
keempat pedang lawan diketuknya mental balik, teriaknya,
"Jangan turun tangan, tolong tanya, kalian tahu apa tentang diriku?"
Karena terketuk pergi, telapak tangan murid terbesar itu linu
kesemutan, karuan kagetnya bukan main, bentaknya sambil
melintangkan pedang, "Aku tahu bahwa kau mata-mata kerajaan
Ceng" "Dari mana kau mendengar fitnahan ini?" sera Beng Hoa
Murid tertua itu mendengus, jengeknya, "Berani kau mungkir"
Kau pandai memutar balik kenyataan, berani kau bilang kami
memfitnah." "Siapa bilang aku memutar balik kenyataan?" ban tan Beng Hoa
Murid tertua itu menyeringai, katanya "Seorang laki-laki berani
berbuat berani bertanggung jawab, duduk berdiri tidak ganti nama
Kau semula she Nyo, kenapa mendadak ganti she Beng?"
"Betul, setengah tahun yang lalu aku she Nyo bemama Hoa,
sekarang aku bemama Beng Hoa Sebetulnya aku keturunan manga
Beng bukan she Nyo, sebelum ini tidak kuketahui tentang
perubahan ini." "Kenapa?" tanya keempat murid Thian-san bersama.
Beng Hoa bimbang, untuk membicarakan urusan ini harus
menceritakan asal-usulnya, apalagi banyak persoalan yang tak boleh
dibicarakan dengan orang di luar. Di saat dia bimbang, murid tertua
itu menjengek dingin, "Nyo Bok adalah bapakmu, kau punya bapak
yang bejat kenapa tak berani terus terang kepada kami?"
Seperti tertusuk perasaan Beng Hoa, kontan dia berteriak,
"Tidak, tidak, Nyo Bok bukan ayahku. Kalian" kalian tidak tahu
seluk beluk?" "Perbuatanmu di Siau-kim-jwan sudah kami ketahui seluruhnya.
Kalau Nyo Bok bukan bapakmu, mengapa kau menolongnya" Hm,
kau tidak mengakui orang tua, kau kira dapat mengelabui orang banyak.
Sute, ganyang dia." Tanpa memberi kesempatan Beng Hoa membela diri, empat
pedang sekaligus menusuk. Kali ini mereka sudah siap dengan posisi
yangtangguh. Beng Hoa terkurung di tengah, dia sungkan turun tangan sungguhan,
maka keadaannya cukup berbahaya. Beng Hoa berteriak,
"Kalian menuduhku mata-mata, kenapa tidak dengar dulu
keteranganku. He, kenapa kalian tidak bisa membedakan salah
benar?" Keempat murid Thian-san anggap urusan sudah jelas, buat apa
diterangkan lagi" Serangan justru dipcrgencar. Kiam-hoat Thiansan-
pay bukan olah-olah lihaynya, dibentuk dalam sebuah barisan
lagi, maju mundur bergantian dengan kerja sama yang rapi, Beng
Hoa sibuk melayani serangan mereka hingga tak sempat bersuara
lagi. Di tengah pertarungan sengit itulah mendadak seseorang
membentak, "Siapa berani bertingkah di sini?" Ternyata murid-murid
Thian-san yang lain mendengar di sini ada suara benturan senjata,
beramai mereka meluruk dari berbagai arah. Yang membentak
tanya adalah murid terbesar generasi ketiga Thian-san-pay Cu Kianbing.
Beng Hoa nekad dan memutuskan, bila tidak lolos dari kepungan
jelas dia tidak akan punya kesempatan membela diri. Mendadak
sinar pedangnya berkilauan, dengan jurus Sam-coan-hoat-lun, dia
putar pedangnya. Terdengar suara gemerin-cing yang keras, empat
di antara tiga pedang lawan dipelintir terlepas dari pegangan, Samcoan-
hoat-lun yang dimainkan dalam permainan pedang ini
sebetulnya perubahan dari permainan golok keluarganya. Beng Hoa
pandai memanfaatkan kesempatan, meski merampas senjata mereka,
tapi sedikit pun tidak melukai lawannya.
Murid tertua yang mempertahan-kan senjatanya juga kelabakan,
lekas dia melompat mundur seraya berteriak, "Cu-suheng, Jiksuheng,
lekas kalian kemari!"
Berbareng Beng Hoa juga berteriak , "Aku datang memberi
kabar, supaya kalian menolong murid Thian-san kalian yang terluka.
Umpama kalian mau membunuhku, juga harus menolong orang
kalian sendiri." Cepat sekali murid-murid Thian-san-pay itu sudah mengurung
Beng Hoa, jumlah seluruhnya ada delapan orang, kebetulan
menempati satu posisi. "Jangan membual, siapa bilang murid Thian-san kami perlu
pertolonganmu." Ada beberapa orang yang baru datang lantas
menyemprot. Maklum di sini adalah daerah Thian-san yang
terlarang bagi orang luar, sudah tentu mereka tidak percaya bahwa
di depan pintu rumah sendiri ada sesama perguruan mereka yang
celaka. "Kalian harus percaya!" teriak Beng Hoa. "Orang kalian telah celaka
di tangan orang, mati hidupnya susah diramalkan. Kalau tidak
lekas mencarinya, bila terlambat pasti tak tertolong lagi."
Cu Kian-bing angkat kedua tangan menenteramkan suasana,
katanya, "Bocah ini takkan bisa lari. Kalian tidak usah ribut, biar aku
tanya dia. Hei, siapakah murid Thian-san kami yang teriuka" Siapa
pula yang melukainya?"
"Istri Teng Ka-gwan Teng tayhiap, siau-ciangbun kalian. Yang
memukulnya sampai luka adalah Lau Cau-pek," demikian Beng Hoa
menjelaskan Orang-orang yang mengepung Beng Hoa ini adalah murid-murid
muda generasi ketiga Thian-san-pay, belum tamat belajar.
Hakekatnya mereka tidak tahu bahwa di kalangan Kangouw ada
seorang bemama Lau Cau-pek, tapi mendengar yang dicelakai
orang adalah Teng-hujin, seketika mereka tertawa geli.
Seorang Thian-san yang berdiri di sebelah kiri Cu Kian-bing membentak,
"Kalau mau membual kau harus mencari tahu lebih dulu,
Teng-susiok suami istri sudah setahun meninggalkan Thian-san,
ternyata kau berani bilang di sini bertemu dengan istri Teng
tayhiap." "Aku sih belum melihatnya, tapi aku tahu pasti bahwa dia sudah
berada di Thian-san." Tak nyana keterangan Beng Hoa kembali menimbulkan
gelak tawa orang-orang itu.
"Toa-suheng," murid tertua dari empat orang yang memergoki
Beng Hoa tadi memberi laporan, "jangan percaya obrolannya, dia
bernama Nyo Hoa, mata-mata yang dikatakan Toan-sute itu."
Seketika murid-murid Thian-san itu gusar, caci maki mereka
seperti berlomba, "Keparat bernyali besar, berani kau menipu dan
mengarang cerita bohong di sini."
Murid yang berdiri di kiri Cu Kian-bing berdarah paling pan as,
segera dia membentak, "Ganyang dulu bocah ini, urusan belakang."
Orang ini bemama Jik Kian-sin, sau-dara seperguruan dengan Cu
Kian-bing, biasanya mereka beriatih pedang bersama, yang
diyakinkan adalah ilmu pedang gabungan.
Mendengar orang yang memfitnah dirinya sebagai mata-mata
kerajaan adalah seorang she Toan, pikiran Beng Hoa tergcrak, baru
saja dia ingin tanya, "Sret" Jik Kian-sin sudah menusukkan
pedangnya mengincar Jian-kin-hiat di pundak kirinya. Cu Kian-bing
orangnya lebih bijaksana dan pandai melihat gelagat, hari-hati bila
menghadapi per-soalan. Semula dia masih ingin tanya Beng Hoa
tapi karena sang sute sudah terlanjur turun tangan, khawatir Jik
Kian-sin bukan tandingan Beng Hoa, maka terpaksa dia pun turun
tangan. Dalam segebrak tadi Beng Hoa berhasil memukul jatuh tiga
pedang saudara mereka, hal ini disaksikan juga oleh Cu Kian-bing
dan Jik Kian-sin, maka begitu turun tangan mereka menyerang
dengan permain-an keji. Jalan pikiran suheng-te ini ternyata terjalin baik, begitu pedang
Jik Kian-sin menusuk pundak kiri, pedang Cu Kian-bing menusuk
pundak kanan, gerak pedang ini sudah mereka yakinkan ratusan
kali, kerja sama mereka cukup rapi dan matang.
Jian-kin-hiat adalah hiarto yang terletak di atas tulang pundak,
bila tertusuk, umpama mempunyai kepandaian setinggi langit juga
akan punah seketika. Beng Hoa naik pitam, bentaknya, "Kalian tahu aturan tidak?"
Karena lawan hendak memunahkan ilmu silatnya, betapapun besar
kesabarannya, kini dia dibakar amarah, mengalah bukan cara yang
tepat mela-yani serangan mereka yang keji, Beng Hoa dipaksa
membela diri maka dia melancarkan permainan pedang yang ganas
juga. "Crat" lengan baju Cu Kian-bing tertusuk robek, menyusul "Ting"
sekali, pedang panjang Jik Kian-sin mencelat terbang ke udara.
Dengan pedang kilat Beng Hoa menusuk urat nadi mereka. Begitu
menghadapi serangan kedua lawan ini, Beng Hoa lantas tahu bahwa
tingkat kepandaian kedua orang ini masih unggul dibanding empat
pengeroyoknya tadi, hanya kekuatan tenaga dalamnya mungkin
takkan mampu mengetuk terbang senjata mereka terpaksa dia
gunakan serangan telak Tapi walau serangan telak, dia masih
menaruh belas kasihan. Begini cepat ujung pedangnya menusuk
urat nadi, namun tenaganya amat ringan. Urat nadi Jik Kian-sin
terkena tusukan, namun rasanya hanya seperti digigit semut, hanya
setetes darah yang keluar di pergelangan tangannya.
Kepandaian Cu Kian-bing lebih tinggi, gerak-geriknya lebih
mantap, begitu merasa geiagat jelek segera melompat pergi. Tapi
lengan baju-nya tertusuk robek, karuan kagetnya bukan main,
kejadian yang lebih mengejutkan lagi ternyata terjadi belakangan.
Pedang Jik Kian-sin mencelat ke tengah udara, tubuhnya tampak
ter-huyung dua kali mendadak "Bluk" dia tersungkur jatuh. Kejadian
ini di luar Beng Hoa sendiri, dia hanya menusuk pergelangan tangan
Jik Kian-sin, sedikit pun tidak meng-gunakan tenaga, tak habis
herannya kenapa Jik Kian-sin bisa roboh"
Buru-buru Cu Kian-bing memapah sute-nya, serunya kaget, "Jiksute,
kau kenapa" Tampak wajahnya loaning, jelas lukanya tidak
ringan. Untung Jik Kian-sin masih bisa bicara, teriaknya gemetar, "Bagus,
bangsat kejam, aku" aku terkena senjata rahasianya yang
beracun." Mendengar orang terkena senjata beracun, meski kaget dan
heran, tapi lega pula hati Beng Hoa, katanya, "Bukan aku yang
melukainya, selamanya aku tak pemah pakai amgi beracun.
Mungkin manusia siluman itu yang membokongnya."
Cu Kian-bing berj ingkrak gusar serunya, "Kalau bukan kau memangnya
siapa, kau kira kami buta?" Dalam hati sebetulnya dia
sedikit curiga. Tak sempat tanya senjata rahasia beracun jenis apa yang
melukai sang sute, lekas Cu Kian-bing mengeluarkan obat terus
dijejalkan ke mulut sang sute, katanya, "Nyo-sute, Wan-sute, kalian
jaga Jik-suheng, Lo-sute, Yap-sute, kalian periksa daerah sekitar
sini, adakah komplotan bangsat cilik ini" Bantahan Beng Hoa tidak
dipercaya, tapi dia juga curiga kalau penyambit senjata rahasia itu
adalah orang lain. Tapi orang lain itu juga pasti komplotan Beng
Hoa. Maka bersama enam saudara seperguruannya mengepung


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng Hoa pula. "Bentuk Jit-sing-tin," bentak Co Kian-bing. Tujuh batang pedang
se-rempak menusuk dari empat penjuru, kiri menembus kanan
menusuk, seolah-olah tubuh Beng Hoa hendak dilubangi seperti
sarang lebah. Kepandaian tujuh orang ini masih lebih tinggi
dibanding empat orang yang mengeroyok Beng Hoa tadi, Jit-sing-tin
(Bansan bintang tujuh) yang terbentukini pun bekerja rapat dan
serasi, semula Beng Hoa khawatir permusuhan makin mendalam
maka permainan pedangnya tidak berani teramat ganas, karena itu
beberapa kali dia mengalami bahaya.
Beng Hoa membentak, "Kalian tahu aturan tidak" Tidak jadi soal
kalian salah paham terhadapku, tapi jangan menyia-nyiakan
kesempatan menolong orang kalian sendiri."
Cu Kian-bing menyeringai, katanya, "Baik, tusuklah dulu tulang
pundakmu, baru aku bicara aturan dengan kau."
Beng Hoa naik pitam, katanya, "Maksudmu aku harus
memunahkan kungfuku sendiri?"
"Betul," sahut Cu Kian-bing, "dengan senjata rahasia berbisa kau
melukai sute-ku, mati hidup Jik-sute-ku sukar diramalkan, memunahkan
kungfu terhitung hukuman ringan bagimu."
Beng Hoa tak dapat menahan sabar lagi, bentaknya, "Baik, kalian
tidak mau melaporkan kedatangan-ku, memangnya aku tidak bisa
naik ke atas, tak usah kalian tunjukkan jalannya." Di tengah
gerungan gu-sarnya, pedang panjang menuding dengan Pek-hongkoan-
jit, laksana kilat menusuk ke tenggorokan Cu Kian-bing.
Saking kagetoya Cu Kian-bing kira lawan hendak turun tangan
keji, lekas dia melintangkan pedang me-nangkis. Beng Hoa
menuntun secara enteng, lalu cepat menarik pedang. Cu Kian-bing
tak kuasa mengendalikan diri, pedangnya tertarik melintang hingga
membentur pedang salah seorang sute-nyayang menyerang Beng
Hoa dari kiri. Dua pedang terlepas jatuh. Beng Hoa mengguna-kan
Iwekang tingkat tinggi meminjam tenaga memukul tenaga, pedang
panjang murid Thian-san itu diketuk jatuh oleh pedang Cu Kianbing,
sementara pedang Cu Kian-bing dipukul jatuh oleh Beng Hoa.
Cara yang sama terus dipraktek-kan oleh Beng Hoa, setelah
memukul jatuh pedang Cu Kian-bing yang berkepandaian paling
tinggi, entah dituntun atau ditarik serta dijentik semuanya
menggunakan akal meminjam tenaga memukul tenaga, dalam
sekejap tujuh pedang lawan telah dilucutinya.
Sejak perguruan mereka berdiri mungkin belum pernah terjadi
murid Thian-san-pay dikalahkan sefatal ini. Karuan murid-murid
Thian-san itu di samping takut dan jeri juga penasaran semua
berdiri menjublek merenungkan nasib yang memalukan ini.
Setelah menghancurkan Jit-sing-tin. Beng Hoa menarik napas lalu
bersuit panjang, suaranya laksana pekik naga hingga berkumandang
jauh. Lalu dia berkata, "Wanpwe Beng Hoa, sengaja datang mohon
menghadap ciangbunjin Thian-san-pay Teng tayhiap. Jikalau Teng
tayhiap tidak sempat menerima kedatanganku, mohon wanpwe bisa
bertemu dengan Ciong Jan Ciong-lo-cianpwe."
Ciong Jan adalah suheng Teng King-thian, walau bukan
ciangbun, namun dalam Bulim dia terkenal sebagai tokoh welas asih
dan besar pamomya, namanya sejajar dengan ciangbun sute-nya.
Beng Hoa ber-pikir, sebagai Thian-san Tianglo, orang tua itu pasti
tidak semberono dan bertindak ngawur seperti para cucu muridnya
ini. Beng Hoa mengembangkan ginkang tinggi, berlari kencang ke
depan. Tak lama kemudian, istana es di atas puncak sudah
kelihatan, menurut perhttungannya jaraknya tinggal tiga atau lima li
saja. Kem-bali Beng Hoa menarik napas lalu memperkenalkan diri
serta mohon bertemu dengan Ciong Jan, suaranya dia Jontarkan
dengan Iwekang tingkat tinggi Thian-im-jip-bit.
Cu Kian-bing dan para sute-nya yang mengejar dan ketinggalan
jauh di belakang segera menimpukkan sebatang panah ular berasap
memberi peringatan adanya bahaya.
Sambil tancap gas, Beng Hoa melewati celah-celah batu salju,
din-ding salju di ujung celah-celah itu ada tempat mendekuk yang
cukup lebar, mendadak muncul kilauan tiga batang pedang,
seseorang mem-bentak, "Bangsat cilik bernyali besar, berani kau
bertingkah di sini."
Karena disergap Beng Hoa tidak mau kepalang tanggung,
kembali dia gunakan cara semula meminjam tenaga memukul
tenaga, pedangnya terayun di udara, melesat sekali menempel
pedang yang berada ditengah, dituntun dan ditarik ke kanan kiri,
maksudnya hendak menyi-bak kedua pedang itu jatuh di tanah. Tak
nyana tuntunan dan tarikan pedang kali ini ternyata tidak mampu
membuat pedang lawan bergerak. Orang yang menyerang dari
depan melancarkan jurus Meh-ja-tam-hay (Kuntilanak melongok
laut) pedang panjangnya didorong ke depan hingga tenaga
menempel dari pedang Beng Hoa dipunahkan. Cepat sekali dua
pedang dari kanan kiri sudah sampai di depannya, sementara orang
di depannya pun sudah ber-putar ikut menyerangnya
Karuan Beng Hoa kaget, "Kepandaian tiga orang ini ternyata
berlipat ganda lebih lihay dari murid-murid Thian-san tadi."
Masing-masing bernama Pek Ing-ki, Hong-yang dan Han Ing-hoa.
Mereka adalah murid generasi kedua Thian-san-pay, setingkat
dengan Teng Ka-gwan. Untung kemampuan mereka tidak setaraf
Teng Ka-gwan, kalau tidak, salah seorang dari ketiga orang ini saja
cukup membuat Beng Hoa kerepotan.
Beng Hoa tidak menduga bahwa permainan pedang mereka
begitu lihay, dalam menghadapi ancaman ini, dia tidak berani
Pedang Hati Suci 5 Pendekar Aneh Dari Kanglam Karya Sin Liong Angrek Tengah Malam 5
^