Pencarian

Anak Pendekar 16

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 16


mengalah lagi, terpaksa Beng Hoa mengembangkan kemahirannya.
"Tang" tusukan pedang yang lurus mendadak dia ubah menjadi
ketukan membentur pedang lawan. Orang yang melibat dirinya di
sebelah depan ini adalah Pek Ing-ki, kepandaiannya paling tinggi di
antara ketiga orang ini, karena ketukan pedang itu, terasa
pergelangan tangan kesemutan. Sebat sekali, "sret, sret" kembali
Beng Hoa mengerjakan pedangnya, bergerak belakangan namun
serangan mengancam lebih dulu, ke kiri menusuk Ho Ing-yang, ke
kanan menusuk Han Ing-hoa.
Ho Ing-yang dan Han Ing-hoa belum pernah menyaksikan kiamhoat
selihay ini. Saking kagetnya dcngan gugup mereka melompat
mundur tiga langkah, padahal de-ngan bekal kepandaian mereka,
kalau mau menangkis atau melawan masih cukup mampu. Soalnya
kejadian amat mendadak dan tak terduga maka mereka berhasil
digertak mundur oleh Beng Hoa, namun lawan tidak mengejar,
karuan mereka malu hingga merah mukanya.
Lekas Beng Hoa berkata lantang, "Wanpwe hanya mohon
bertemu dengan ciangbun atau Ciong-tianglo kalian, tiada maksud
Iain." "Pek-susiok," teriak Cu Kian-bing dari kejauhan, "bocah ini adalah
mata-mata kerajaan, dia meiukai Jik-sute."
Pek Ing-ki, Ho Ing-yang dan Han Ing-hoa adalah jago-jago yang
menonjoi di antara murid generasi kedua dari Thian-san-pay, kaum
persilatan biasa menjuluki mereka sebagai Thian-san-sam-ing.
Terutama Pek Ing-ki paling pongah dan jumawa, sekarang hanya
satu gebrak sudah dirugikan oleh Beng Hoa, umpama tiada
peristiwa di bawah hingga Jik Kian-sin terluka, betapapun mereka
tak mau mengalah dan menyerah.
"Beginikah cara Thian-san-pay menyambut kedatangan
tamunya?" jengek Beng Hoa saking tak tahan emosi.
Pek Ing-ki membentak," Aku belum menuduhmu mata-mata
sudah mending. Berani kau bertingkah sebagai tamu minta dilayani
segala, memangnya kau ini barang apa" Baiklah kau menyerah atau
kami hams turun tangan membekukmu?"
Beng Hoa gusar, "Buat apa aku bicara dengan kalian?" Mendadak
dia menerjang, pedang Ho Ing-yang dan Han Ing-hoa bergerak
bersama, menusuk Jian-kin-hiat di kanan kiri pundak. Sementara
Pek Ing-ki de-ngan jurus Li-kong Memanah Batu menusuk ke ulu
hati. Kali ini mereka sudah siaga, gabungan mereka amat rapi, Beng
Hoa pasti takkan mampu membobol pertahanan mereka.
Beng Hoa dengan jurus Hian-ciau-hoat-soa lalu disusul jurus
Tiap-jui-hu-cong, dua jurus pedang dari Bu-beng-kiam-hoat. Hianciau-
hoat-soa bersumber dari Ceng-seng-pay, sementara Tiap-jurhu-
ceng bersumber dari Go-bi-pay, tapi kedua jurus ini dilancarkan
oleh Beng Hoa hanya bentuknya saja yang kelihatan mirip, padahal
isinya berbeda. Tampak cahaya pedang cemerlang di angkasa hingga Thian-sansam-
ing merasakan jalur-jalur sinar pedang dingin yang berkilauan
berkelebatan di depan mata, seperti puluhan batang pedang
panjang sekaligus menusuk dari berbagai penjuru.
WaJau belum tentu Thian-san-sam-ing dapat dikalahkan oleh
kedua jurus permainan pedang Beng Hoa, namun mereka terdesak
hanya mampu menangkis dan membela diri saja tak mampu balas
menyerang. Tiga pedang mereka saling isi dan bahu membahu
hingga merupakan benteng pertahanan yang kokoh, betapapun
gencar serangan Beng Hoa temyata tak mampu menjebol
pertahanan mereka, paling hanya mendesak mundur dua langkah.
Berhasil mendesak mundur ketiga lawannya dua langkah, lega
hati Beng Hoa, mendadak dia terbahak-bahak.
"Kehapa kau tertawa?" bentak Pek Ing-ki gusar.
"Aku geli melihat kalian," sahut Beng Hoa.
Ho Ing-yang dan Han Ing-hoa menyerang bersama dari kiri
kanan, bentak mereka, "Apa yang membuatmu geli?"
Beng Hoa menghela napas katanya, "Bukan saja geli, aku pun
merasa sayang." "Bocah ini membual jangan hiraukan," sentak Pek Ing-ki.
Lekas Beng Hoa melancarkan pedang kilat balas menindih
mereka, sehingga rangsakan ketiga lawannya tertekan. Baru dengan
santai dia berkata, "Thian-san-pay merupakan perguruan yang
terpandang dalam Bulim, siapa tahu murid-muridnya temyata tidak
tahu aturan, kalian merusak nama perguruan kalian sendiri, bagi
kalian sungguh menggelikan, untuk perguruan bukankah harus
disayangkan?" Sudah tentu Thian-san-sam-ing naik pitam diolok dan dicemooh
begitu rupa, serempak pedang panjang mereka menusuk bersama.
Di luar tahu mereka, ini memang dikehendaki oleh Beng Hoa.
Kepandaian Thian-san-sam-ing cukup tinggi, bila mereka hanya
bertahan tak mau balas menyerang, bukan gampang bagi Beng Hoa
untuk mengalahkan mereka, apalagi menerobos lewat. Kini mereka
justru terpancing oleh akal Beng Hoa, hingga Beng Hoa memperoleh
kesempatan. Ketiga orang ini balas menyerang dengan Tui-hongkiam-
hoat, bahwa ilmu pedang dinamakan "Tui-Hong" (Mengejar
angin), namun gerak pedang mereka masih tak secepat permainan
pedang Beng Hoa. Terdengar Beng Hoa membentak, "Lepas pedang!" Kejadian
berlangsung secepat kilat, "Sret" pedangnya menuding pergeiangan
tangan Han Ing-hoa. Di antara Sam-ing, kepandaian Ing-hoa paling
rendah, tusukan pedang lawan teramat mendadak dan tak terduga,
sementera gerak pedangnya sudah terlanjur, untuk ditarik balik
menolong diri sudah tidak keburu, terpaksa dia menarik tangan
mengundurkan diri. "Tang" pedang panjangnya terpukul jaruh. Di
luar tahunya bahwa tusukan pedang Beng Hoa tadi hanya gertakan
belaka. Begitu pertahanan bobol, Beng Hoa lantas menerobos masuk.
Merah bola mata Pek Ing-ki, bentaknya, "Lekas kejar!"
Cu Kian-bing dan murid-murid generasi ketiga lainnya sudah tiba
dan mengepung di luar kalangan, meski tahu diri sendiri bukan
tandingan terpaksa harus berani tampil ke depan mencegat musuh.
Lekas Han Ing-hoa jemput pedangnya, mengikuti langkah kedua
suheng-nya dia pun mengejar.
Beng Hoa membentak, "Kalian jangan khawatir, aku tidak akan
melarikan diri, kedatanganku memang ingin bertemu dengan Ciongtianglo
kalian, kalau mau urusan kita selesaikan di hadapan beliau,
kalian justru merintangi, memangnya memaksa aku turun tangan
keji?" Ginkang Thian-san-sam-ing setingkat di bawahnya, Beng Hoa
bergerak lebih dulu maka jarak mereka cukup jauh. Di saat Beng
Hoa berpikir apakah perlu dia memukul jatuh senjata lawan
mumpung mereka belum mengurung dirinya, sekonyong-konyong
suara serak tua membentak, "Semua berhenti." Bentakan ini
membuat telinga Beng Hoa pekak padahal bayangan orang yang
membentak belum kelihatan, karuan Beng Hoa kager, dia yakin
Iwekang orang lebih tinggi dari dirinya, pasti dia seorang tianglo
dari Thian-san-pay. Betul juga dilihatnya seorang laki-laki tua
berwajah bersih dengan tiga baris jenggot di dagunya sudah muncul
di depannya. Pek Ing-ki lekas memburu maju serta memberi laporan, "Lapor
Ciong-supek, tecu berdua tak mampu mencegah bocah ini
menerobos ke atas gunung hingga membuat kaget kau orang tua."
Kakek ini seperti tidak sabar mendengar laporannya, dia goyang
tangan sambil berkata, "Nanti boleh kau jelaskan, jangan sampai
orang luar mentertawakan kita tidak tahu aturan." Lalu dia menoleh
mengawasi Beng Hoa, hatinya heran bahwa pemuda ini mampu
memboboi penjagaan Pek Ing-ki beramai. Maka dia berkata, "Aku
inilah Ciong Jan, mohon tanya untuk keperluan apa mencari aku.
Kenapa pula secara kekerasan main terjang ke atas gunung?"
Bahwa Ciong Jan akhirnya dipancingnya keluar, Beng Hoa amat
girang, lekas dia menjura hormat. Tak nyana sebelum dia
menyembah, mendadak terasa serangkum tenaga yang tidak
kelihatan telah membimbingnya berdiri pula. Beng Hoa memberi
hormat dalam jarak lima langkah di depan Ciong Jan, namun tenaga
yang di lancarkan Ciong Jan mampu membuatnya tegak berdiri lagi.
Mau tidak mau Beng Hoa terperanjat, untung dia masih mampu
menjura setengah hormat baru tegak berdiri Melihat Beng Hoa kuat
menahan seluruh tenaganya, diam-diam Ciong Jan juga merasa
kaget dan heran. "Mana berani aku terima penghormatanmu," ucap Ciong Jan
tawar. "Urusan belum dibikin jelas, apakah sikapmu yang sungkan
ini tidak terlalu pagi?"
Beng Hoa berkata, "Wanpwe datang dari Jit-tat-bok, ayah
Wan-pwe bemama Beng Goan-cau."
Belum selesai bicara Cu Kian-bing sudah menukas dari pinggir,
"Mata-mata tidak tahu malu, ayahmu jelas Nyo Bok, berani kau
mengakui Beng tayhiap sebagai ayah, tidak tahu malu ya?"
Beng Hoa berkata kalem, "Aku bukan mata-mata, tentang
riwayatku, panjang ceritanya."
"Jangan percaya obrolannya, " tukas Cu Kian-bing pula, "entah
cerita bohong apa lagi yang akan dikisahkan" Yang terang dia
melukai Jik-sute." Ciong Jan goyang tangan katanya, "Jangan ribut, urusan pasti
bisa dibereskan. Katakan satu per satu, mana Jik Kian-sin?"
"Di sini," seru Cu Kian-bing. Dua murid Thian-san segera
memapah Jik Kian-sin ke depan.
Melihat hawa hitam menjalar di tengah kedua alisnya, diam-diam
Ciong Jan kaget, tanyanya, "Kau terluka apa?"
Jik Kian-sin berkata, "Lapor tay-supek, aku tersambit senjata
rahasia beracun bangsat cilik ini."
"Aku bukan mata-mata, Jik-su-heng ini juga bukan aku yang
melukai," dengan sabar Beng Hoa membela diri Jik Kian-sin naik
pitam, serunya, "Aku terkena sambitan senjata rahasia di waktu
bergebrak denganmu, masih berani mungkir. Hm, kalau Cu-suheng
tidak memberi Bik-ling-tan kita, mungkin jiwaku sudah melayang
sejaktadi." Beng Hoa berkata, "Bila di pergelangan tangannya ada bekas
luka, itu tergores oleh ujung pedangku. Kalau luka-luka di tempat
lain, tiada sangkut pautnya dengan aku. Aku tidak pernah bawa
senjata rahasia, apalagi beracun, kalau tidak percaya tianglo boleh
menggeledah tubuhku."
Pek Ing-ki mendengus, katanya, "Apa kau tidak bisa membuang
seluruh amgi-mu?" Sebagai seorang tianglo sudah tentu Ciong Jan segan turun
tangan menggeledah badan Beng Hoa, tanyanya, "Sudahkah kalian
memeriksa, adakah daerah sekitarnya ada jejak orang lain?"
Dua murid yang disuruh memeriksa tadi segera tampil bicara,
"Kami sudah memeriksa, tiada jejak orang di sini."
Beng Hoa berkata, "Mungkin setelah manusia rendah itu
menyambitkan senjatanya terus lari mumpung keadaan sedang ribut
tadi." Cu Kian-bing berseru gusar, "Memangnya kau anggap kami
semua buta" Hehe, penimpuk amgi itu pasti dalam jarak dekat,
mereka segera mencari ke sekeliling, namun tidak menemukan
bayangan orang lain. Kalau hal itu memang demikian, berarti
ginkang orang itu amat tinggi, atau katakanlah kita orang-orang
Thian-san-pay tidak becus semua."
"Bukan itu maksudku. Tapi menurut apa yang kuketahui,
manusia siluman yang menyelundup ke Thian-san itu mempunyai
kepandaian yang luar biasa."
"Manusia siluman siapa yang kau curigai?" tanya Ciong Jan.
"Tay-cui-pi-jiu Lau Cau-pek. Istri Teng-siauciangbun kalian
terpukul luka parah oleh orang ini," Beng Hoa menjelaskan.
Ciong Jan terperanjat, katanya, "Apa, istri Teng Ka-gwan dipukul
luka parah?" "Toa-supek, bukankah bocah ini membual" Sudah setahun lebih
Teng-susiok meningggalkan Thian-san, umpama pulang juga pasti
suami istri bersama. Apalagi dengan bekal kepandaiannya, manusia
siluman macam apa mampu melukai mereka?"
"Ini kenyataan," kata Beng Hoa pula. "Teng tayhiap berangkat ke
Jik-tat-bok, yang kembali hanya istrinya saja. Memang ada
sebabnya sehingga Lau Cau-pek dapat melukai Teng-hujin"."
Ciong Jan setengah percaya setengah curiga, segera dia angkat
tangan menghentikan penjelasan Beng Hoa, tanyanya, "Ini soal lain,
boleh nanti kau memberi tahu kepadaku. Tapi menurut apa yang
kutahu, walau kepandaian Lau Cau-pek tidak lemah, senjata rahasia
bukan keahliannya, ginkang juga belum tentu lebih unggul
dibanding murid generasi ketiga perguruan kita."
Pek Ing-ki menimbrung, "Makanya aku bilang bocah ini hendak
memfitnah orang lain. Nah, sekarang kelihatan belangnya." Muridmurid
Thian-san-pay generasi ketiga memang tiada yang tahu siapa
Lau Cau-pek dan bagaimana taraf kepan-daiannya. Tapi Ciong Jan
dan Pek Ing-ki tahu jelas.
Beng Hoa jadi gugup, katanya, "Umpama penimpuk senjata
rahasia beracun itu bukan Lau Cau-pek, tapi jarum beracun itu jelas
bukan aku yang menyambit. Mohon Ciong-locianpwe periksa
adanya." Ciong Jan sadar, katanya, "Baik-lah, biar aku periksa secara
seksama." Segera dia panggil Jik Kian-sin supaya dibimbing ke
depannya, tanyanya, "Di mana lukanya?"
"Sam-li-hiat di bawah lutut," sahut Jik Kian-sin.
"Jarumnya sudah dikeluarkan belum?"
"Belum." Ciong Jan ulur tangan meraba-raba di bawah lututnya sekian
lama-nya, dengan kedua jari dia menjepit, sebatang jarum berbisa
yang lebih kecil dari jarum jahit telah dicabutnya. Biasanya jarum
yang menancap di dalam kulit daging disedot keluar dengan besi
semberani, tapi Ciong Jan mampu menyedot keluar jarum kecil itu
dengan tenaga dalamnya, betapa tinggi lwekang-nya, Beng Hoa
kagum dibuatnya. Sekian lama Ciong Jan mengamati jarum itu, wajahnya
menampilkan rasa heran dan kaget. Temyata dia tahu jarum
beracun itu adalah senjata rahasia tunggal buatan keluarga Tong di
Sujwan. Senjata rahasia keluarga Tong terkenal di dunia dan tiada
bandingannya. Gin-kang juga merupakan keahlian anak murid
keluarga Tong. Pek Ing-ki bertanya, "Ciong-supek, apakah kau sudah tahu seluk
beluk amgi bocah ini?"
Timbul rasa curiga Ciong Jan, "Kepandaian keluarga Tong
selamanya tidak diajarkan kepada marga lain kecuali keturunan
sendiri, tapi bukan mustahil orang ini samaran anak murid keluarga
Tong" Tapi kiamhoat yang dimainkan tadi jelas bukan kepandaian
keluarga Tong, mungkinkah keturunan keluarga Tong berguru
kepada orang lain" Tapi bila dugaanku ini meleset, maka apa yang
dikatakannya tadi jujur dan benar."
Maka dia berkata, "Baik, anak muda, sementara biar aku percaya
bahwa amgi ini bukan kau yang menyambitkan. Sekarang coba kau
tuturkan bagaimana Lau Cau-pek melukai Teng-hujin. Apa kau
menyaksikan sendiri?"
"Aku tidak menyaksikan sendiri. Tapi semalam aku bergebrak
dengan Lau Cau-pek."
"Kau hanya bergebrak dengan dia, dari mana kau tahu sebelum


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertemu dengan kau, dia sudah melukai Teng-hujin?"
"Seorang temanku juga terluka oleh pukulan Lau Cau-pek, dia
datang bersama Teng-hujin."
"Siapa dia?" "Keponakan perempuan pemimpin laskar gerilya di Jik-tat-bok
Leng Thiat-jiau, namanya Leng Ping-ji."
"Bicaramu makin ngelantur," tukas Pek Ing-ki. "Memangnya suso
kami tidak pulang bersama suaminya, malah bersama orang lain."
"Nona Leng ini sudah bukan orang luar bagi kalian. Teng-hujin
sudah mengangkatnya sebagai murid angkat. Yang datang bersama
mereka ada pula puteri kepala suku Wana dan Santala, pemuda
paling gagah dari suku itu."
Pek Ing-ki bertanya, "Bagaimana mungkin suso menerima murid
di Wi-kiang" Dari mana kau tahu sejelas ini?"
"Panjang ceritanya. Kalau kalian tidak percaya, boleh kuajak
kalian ke sana mencari mereka. Tapi menurut pendapatku, lekas
cari Teng-hujin saja."
"Kalau ceritanya panjang, biarlah kau ceritakan dulu bagaimana
Teng-hujin terluka."
Walau Beng Hoa bicara dengan lancar dan wajar, temyata Ciong
Jan masih belum mau percaya, dia berpikir, "Tay-cui-pi-jiu Lau Caupek
meski terunggul di dunia, tapi ilmu pedang istri Ka-gwan
terhitung yang paling bagus di antara murid generasi kedua,
umpama tak mampu mengaiahkan musuh juga tak mungkin
terpukul luka parah."
Beng Hoa tidak mau membuang waktu, supaya mereka percaya
dirinya bukan mata-mata, supaya mereka lekas mencari Teng-hujin,
maka dia berceritera secara ringkas.
Tak nyana baru setengah dia bercerita mendadak Pek Ing-ki
mendebatnya, "Tadi kau bilang hanya Lau Cau-pek seorang, kenapa
sekarang menjadi dua orang" Siapa pula bangsat she Toan itu?"
"Memang aku mohon tanya kepada Ciong-locianpwe, adakah
perguruan kalian belakangan ini menerima murid baru she Toan?"
"Betul," sahut Ciong Jan, "orang she Toan yang kau katakan tadi
siapa namanya?" "Dia bemama Toan Kiam-ceng" sahut Beng Hoa.
Berubah air muka Ciong Jan, tanyanya gugup, "Kelahiran mana?"
"Kelahiran Tayli."
"Apa kedudukannya?"
"Siau-ongya dari istana keluarga Toan."
Tanya jawab berlangsung cepat dan tegas, murid-murid Thiansan-
pay menjadi gempar. "Bukankah Toan-sute kita yang dimaksudkan?"
"Bualan belaka, mana mungkin Toan-sute sekongkol dengan
manusia jahat dari luar melukai orang kita sendiri?"
Dengan menyeringai dingin Pek Ing-ki berkata, "Ciong-supek,
coba dengar apa yang diterangkan bocah ini" Toan-sute adalah
keponakan Toan tayhiap, hal ini kau orang tua tahu betul. Kukira
asal-usul Toan-sute tidak mungkin dipalsukan."
Ciong Jan manggut-manggut, katanya, "Betul, aku sudah
menyelidikinya dengan jelas. Pernah juga kuuji kepandaian ajaran
keluarganya, pasti tidak salah."
Temyata Toan Kiam-ceng tahu, setelah kedok kejahatannya
terbongkar dia takkan bisa menyembunyikan diri di Tionggoan lagi,
maka dia pikir lebih baik menyingkir ke tempat jauh. Akhirnya dia
berunding dengan guru silumannya, Auwyang Tiong. Auwyang
Tiong memberikan akal yang terlalu berani yaitu masuk ke
perguruan Thian-san. Letak Thian-san jauh di ujung barat laut, tiada
hubungan dengan kaum persilatan di Tionggoan. Menurut
perhitungan mereka, mengingat hubungan guru dan murid dengan
sang paman, bila Toan Kiam-ceng tidak muncul di Tionggoan, Beng
Hoa pasti tidak akan membongkar kedok dan muslihatnya, umpama
berita itu akhirnya sampai ke telinga pihak Thian-san-pay, mungkin
Toan Kiam-ceng sudah banyak belajar. Apalagi untuk menguasai
Wi-kiang, pihak kerajaan juga ada rencana untuk mencaplok Thiansan-
pay, bila rencana akhirnya harus dilaksanakan lebih dini, dalam
jangka setahun pasti Kiam-ceng sudah dipanggil keluar.
Setiba di Thian-san, temyata dengan leluasa Toan Kiam-ceng
diterima oleh Teng King-thian dan diangkat menjadi murid Thiansan-
pay. Teng King-thian menunjuk sute-nya, salah satu tianglo
Thian-san-pay juga yaitu Bu Seng-thay sebagai gurunya. Pek Ing-ki
adalah murid tertua Bu Seng-thay, selama dua bulan ini, kepandaian
yang diajarkan kepada Toan Kiam-ceng masih di bawah
bimbingannya Toan Kiam-ceng serba bisa dan pandai, menguasai silat dan
sastra, pandai bicara bermulut manis lagi, dari keturunan
bangsawan yang lurus, setiba di Thian-san hanya beberapa hari dia
sudah bergaul akrab dan menarik banyak simpati sesama saudara
seperguruan, Ciong Jan sendiri juga amat sayang kepadanya Pek
Ing-ki termasuk suheng-nya yang mengajar silat, sudah tentu dia
membela sang sute mati-matian.
Karena seluruh orang-orang Thian-san tiada yang mencurigai
Toan Kiam-ceng, maka orang ba-nyak lebih yakin bahwa cerita Beng
Hoa hanya bualan belaka. Apalagi sekarang Beng Hoa menuduh
Toan Kiam-ceng sebagai mata-mata, orang banyak menganggap
Beng Hoa justru maling teriak maling. Karuan gusar Pek Ing-ki
bukan main, maklum bila Toan Kiam-ceng betul adalah mata-mata,
ke mana dia harus taruh mukanya"
"Anak kurcaci, kau mengaku sebagai putera Beng Goan-cau Beng
tayhiap, sayang kau tidak mencari tahu siapakah paman Toan Kiamceng"
Beliau adalah teman baik Beng tayhiap tahu!"
"Sudah tentu aku tahu," sahut Beng Hoa. "Pamannya, Toan
tayhiap, adalah teman baik ayahku, justru kalian tidak tahu bahwa
Toan tayhiap juga adalah guruku yang berbudi."
Sudah tentu Pek Ing-ki tidak percaya, jengeknya, "Bohong, kalau
dilanjutkan, mungkin kau berani bilang bahwa cosu Thian-san-pay
kami juga punya hubungan dengan kau."
"Mana berani aku mengagulkan diri, tapi bila dibicarakan secara
teliti, boleh dibilang aku pernah mendapat budi petunjuk ciangbun
kalian." Berkerut alis Ciong Jan, tanya-nya, "Bagaimana mungkin?"
"Teng-lociangbun dahulu pernah berdiskusi petunjuk kepada Kim
Si-ih Kim tayhiap. Kim tayhiap punya dua ahli waris. Yang tertua
adalah Kang Hay-thian Kang tayhiap, murid tunggalnya, seorang
lagi adalah puteranya Kim Tiok-liu Kim tay-hiap. Aku pernah
mendapat petunjuk berharga dari Kim tayhiap, minum air tidak lupa
pada sumbernya berarti perguruan kalian juga ada budi
terhadapku." Pek Ing-ki tertawa dingin, je-ngeknya, "Wan, maaf, kami kurang
hormat, temyata kau ini juga termasuk murid Kim Tiok-liu Kim
tay-hiap." "Aku tak punya rejeki untuk menjadi murid Kim tayhiap, aku
hanya mendapat sedikit petunjuknya saja, mana berani aku
mengaku muridnya." "Jika aku memberi petunjuk kepadamu paling tidak kau pasti
anggap aku sebagai orang terdekat. Haha, kalau kau adalah murid
Toan tayhiap, seorang angkatan muda yang dekat dengan Kim
tayhiap pula, kenapa kau justru memfitnah keponakan Toan tayhiap
sebagai mata-mata musuh" Umpama aku percaya obrolanmu, maka
kau juga terhitung manusia yang tidak kenal budi."
"Budi perguruan mana berani kulupakan. Tapi Toan Kiam-ceng
jelas adalah mata-mata, aku tak berani karena hubungan pribadi
mengabaikan kepentingan umum."
Seluruh murid-murid Thian-san-pay tiada yang percaya omongan
Beng Hoa, hanya Ciong Jan saja yang serba curiga, "Dari tusukan
pedangnya yang hanya sedikit melukai pergelangan tangan Jik Kiansin
permainan pedangnya memang mirip ilmu pedang keluarga Kim,
tapi tidak seluruhnya murid dari ajaran keluarga Kim Biarlah kucoba
saja." Jurus pedang itu kombinasi antara Bu-beng-kiam-hoat, Bengkeh-
to-hoat dan Kim-ke-kiam-hoat, merupakan ciptaan Beng Hoa
sendiri. Kim-ke-kiam-hoat mengambil keunggulan Tui-hong-kiamhoat
dari Thian-san-kiam-hoat, maka jurus yang dilancarkan itu
hanya boleh dihitung mengandung seperenam dari Thian-san-kiamhoat
yang asli, tapi betapa tajam pandangan Ciong Jan, dari bekas
luka tusukan di tangan itu dia sudah menarik kesimpulan.
Sebetulnya Beng Hoa masih ingin menjelaskan seluk beluk Toan
Kiam-ceng, tapi Ciong Jan sudah mengulap tangan, katanya,
"Mungkin kelahiranmu mempunyai rahasia yang tak boleh diketahui
orang luar. Tapi kami tak sempat mendengar penjelasanmu,
sekarang aku ingin tahu kau memfitnah Toan Kiam-ceng sebagai
mata-mata kau berani bicara berhadapan dengan dia?"
"Kebetulan kalau dia berani tampil di depanku."
"Kian-bing, pergi kau panggil Kiam-ceng kemari."
"Ciong-supek," sera Pek Ing-ki, "omongan bocah ini mana boleh
dipercaya" Umpama Toan-sute ada di sini, dia juga membual
bukan." "Membual bisa saja, tapi kenyataan akan tetap kenyataan. Aku
bisa bertindak, lekas panggil Kiam-ceng kemari."
Pek Ing-ki tidak berani membantah, sambil mengiakan dia pergi
mencari Toan Kiam-ceng. Mendadak Han Ing-hoa, berkata, "Coba lihat, bukankah itu Toansute
sudah datang?" Beng Hoa menoleh ke arah sana, memang dilihatnya Toan Kiamceng
sedang berlari menghampiri. Di belakangnya ada seorang
bocah laki-laki berusia duabelas tahun, ginkang bocah ini sudah
lumayan, Toan Kiam-ceng berlari cukup kencang, temyata dia tidak
ketinggalan jauh. Agaknya Pek Ing-ki senang dan sayang kepada bocah itu, segera
dia menyongsong, katanya sambil menggandeng tangan bocah itu,
"Nyo-sute, kau ikut datang melihat keramaian" Kebetulan kau mau
datang." Kelihatannya bocah itu amat senang, tanpa menghentikan
langkah, mulutnya sudah bertanya, "Kabar-nya ada mata-mata
kemari, Toan-toako mengajakku melihat keramaian, apakah matamata
itu sudah ter-tangkap?"
Dalam waktu yang sama Toan Kiam-ceng juga berseru, "Ada
apa?" . "Ciong-supek ingin bertanya kepadamu," sahut Pek Ing-ki.
Toan Kiam-ceng iangsung ke depan Ciong Jan, melihat Beng Hoa
dia pura-pura kaget, teriaknya, "Lho, kenapa bocah ini juga di sini.
Dia bernama Nyo Hoa, mata-mata kerajaan."
"Kau inilah mata-mata," damprat Beng Hoa, "semalam bagus ya
perbuatanmu" Berani kau bicara sejujumya kepada Ciong-supekmu?"
"Kurang ajar, malah kau tanya aku. Ciong-supek, bocah ini, dia,
dia"." Bocah itu juga berteriak heran, "Jadi dia inilah mata-mata,
kenapa kalian tidak membekuknya?"
"Kiam-ceng jangan marah, urusan harus dibikin jelas. Semalam
kau di mana" Pernahkah kau keluar?"
"Semalam aku mengajar Yan-te membaca, setelah dia
mengantuk aku menemaninya tidur, aku tak per-nah keluar. Boleh
kau tanya kepada Yan-te," sikapnya penasaran.
Melihat bocah itu jantung Beng Hoa sudah berdebar, mendengar
Pek Ing-ki memanggil Nyo-sute sementara Toan Kiam-ceng
memanggil Yan-te, hatinya terkejut dan girang pula. Kim Bik-hong
bilang adiknya itu bemama Nyo Yan jadi bocah ini adiknya.
Dengan seksama dia mengawasi bocah itu, wajahnya bersih
cakap. Waktu berusia tujuh tahun dia berpisah dengan ibunya,
dalam benaknya masih terkesan wajah ibunya, terasa bocah ini
mirip wajah ibunya dulu. Karuan hatinya senang sekali, namun juga
merasa khawatir bagi adiknya ini.
Ciong Jan mengelus kepala Nyo Yan, tanyanya lembut, "Yan-ji,
semalam pelajaran apakah yang kau selesaikan?"
"Toan-toako menyuruh aku membaca syair ciptaan Li Tay-pek."
"Coba kau baca satu bait di antaranya."
Nyo Yan lantas tarik suara bersenandung dengan suaranya yang
melengking. Ciong Jan mendengarkan sambil mengawasi Toan Kiam-ceng.
"Coba kau ingat-ingat. Selama kau membuat tulisan sebelum
tidur bukankah harus latihan pedang di pekarangan" Semalam ada
rembulan, rembulannya di timur atau di barat?"
Nyo Yan teringat, sahutnya, "Tidak di timur juga tidak di barat,
tepat di atas kepalaku."
Agaknya Ciong Jan amat puas atas jawaban ini, katanya dengan
tersenyum, "Itu berarti sudah menjelang tengah malam. Kiam-ceng,
kau membantu Miao tayhiap mengajar baca kepada Yan-ji harus
melihat waktu, jangan terlalu berat. Anak-anak perlu tidur yang
cukup, selanjutnya dia harus tidur lebih pagi."
Temyata Nyo Yan belajar silat siang hari, malam hari belajar
sastra. Kungfunya langsung diajari Teng King-thian, ciangbunjin
Thian-san-pay, sementara pelajaran sastra diserahkan kepada Miao
Tiang-hong. Sejak Teng King-thian tetirah dan Miao Tiang-hong
turun gunung, maka Ciong Jan mengajar kungfu, Toan Kiam-ceng
mengajar sastra, karena di antara murid-murid Thian-san-pay hanya
Toan Kiam-ceng se-orang yang Bun-bu-coan-jay, pandai bersi lat
mahir membaca. Toan Kiam-ceng mengiakan, katanya, "Yan-te amat rajin belajar,
semalam tanpa sadar aku mengulur waktu hingga agak
kemalaman." "Baik, kau tak perlu ikut campur." Lalu dia menoleh ke arah
Beng Hoa, dengan wajah dingin membesi, katanya sinis, "Anak
muda, ilmu pedangmu memang lihay, kenapa kau justru tidak
berbuat baik?" Beng Hoa berjingkrak kaget, serunya, "Dalam hal apa wanpwe
berbuat salah?" "Aku paling benci bila anak muda berbohong. Bukan saja kau
membual, kau memfitnah anak murid perguruanku. Sebetulnya tak
boleh kuampuni orang jahat seperti dirimu, mengingat tidak mudah
kau belajar sebaik ini, lekas kau enyah saja."
Beng Hoa gugup, katanya tergagap, "Tapi apa yang kukatakan
se-mua kenyataan." "Masih berdebat!" sentak Ciong Jan gusar. "Kau bilang semalam
bergebrak dengan Lau Cau-pek, walau tidak tepat waktunya, tapi di
malam hari, bukan hari ini?"
"Betul, memang kejadian mungkin setelah lewat tengah malam,"
debat Beng Hoa. "Sebelum kau bergebrak dengan Lau Cau-pek, dia sudah melukai
Teng-hujin?" Karena pikirannya ruwet hingga Beng Hoa tidak menyadari faktor
waktu yang cukup penting untuk memecahkan persoalan ini, tapi
karena didesak Ciong Jan terpaksa dia menjawab dulu, "Betul,
sayang aku tidak tanya temanku, kapan kira-kira Teng-hujin
dilukai." Makin besar amarah Ciong Jan, bentaknya, "Jadi menurut
anggapanmu, Teng-hujin terluka sebelum tengah malam. Saat itu
Toan Kiam-ceng masih mengajar membaca, ka-lau kau tidak
berbohong, memang-nya anak ini yang membual" Tidak lekas kau
enyah, memangnya ingin kugebah kau?"
Dari empat tianglo Thian-san-pay, Ciong Jan adalah yang tertua,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orangnya bajik, welas asih dan berwibawa, terhadap siapa pun dia
ramah dan sopan, sekian banyak murid Thian-san-pay selamanya
belum pernah melihat dia marah. Kali ini dia marah-marah, karuan
seluruh murid-murid Thian-san berdegup keras jantungnya.
Anehnya Beng Hoa yang dibentak dan dimaki supaya enyah
seperti tidak mendengar atau melihat, dia tetap berdiri di depan
Ciong Jan dengan kaku. Temyata hatinya amat khawatir akan nasib
adiknya yang masih hijau ini.
Mimpi pun tak pernah disangka bahwa adiknya membual untuk
membela Toan Kiam-ceng. Seperti juga ayahnya, terhadap adik
yang belum pernah dilihatnya ini dia menaruh harapan besar.
Harapan terbe-sar bukan ingin kelak dia berhasil mempelajari
kungfu tinggi Thian-san-pay namun menaruh harapan supaya dia
mendapat didikan dan gemblengan dari guru teladan sehingga kelak
menjadi manusia yang berguna, manusia jujur, baik dan berguna
bagi sesamanya tidak menjadi orang jahat, munafik seperti ayah
kandungnya. Tapi sekarang, harapan yang dikandungnya itu berubah menjadi
tusukan batin yang membuatnya patah semangat, "Tak boleh aku
membiarkan Kiam-ceng merusak pikiran adik sehingga dia fersesat
jalan, aku harus membongkar kebe-naran kejadian ini." Dalam
keadaan diburu emosi Beng Hoa mengertak gigi dan tak bisa banyak
pikir lagi, mendadak dia meraih ke arah Nyo Yan, teriaknya, "Yan-te,
tahukah kau aku adalah engkoh-mu?"
Sebetulnya Beng Hoa tahu, Nyo Yan pasti tidak mau percaya.
Tapi dia pikir dalam keadaan terjepit begini, lebih penting dia
merebut adiknya dari tangan Toan Kiam-ceng baru membuka tabir
persoalan-nya. Karena masih ada satu hal yang membuatnya
khawatir bila Toan Kiam-ceng terbongkar kedoknya, bukan mustahil
adiknya dijadikan sandera untuk meloloskan diri.
Saat itu Nyo Yan berada di samping Toan Kiam-ceng, sementara
Toan Kiam-ceng berdiri berjajar dengan Pek Ing-ki, sebelah tangan
Beng Hoa meraih adiknya, semen-tara tangan yang lain mendorong
Toan Kiam-ceng. "Bluk" Toan Kiam-ceng jatuh celentang, tapi Beng Hoa tidak
berhasil menarik adiknya.
Pek Ing-ki yang berdiri di samping melancarkan serangan pedang
cepat luar biasa, sinar kilat menyam-bar, pergelangan tangannya
ditabas, Beng Hoa dipaksa untuk melayani tabasan pedang ini,
menyusul "Tring" pedang panjang Pek Ing-ki terjentik lepas terbang
ke udara oleh Tan-ci-sin-heng Beng Hoa. Karena tergesa-gesa
melancarkan serangan balasan, maka kali ini dia tidak kenal belas
kasihan lagi. Maksud Beng Hoa hendak merebut kembali adiknya, tapi
anggapan mereka justru dianggap menyergap. Hal ini bukan saja
membuat orang-orang Thian-san-pay kaget, Ciong Jan pun
melengak. Karuan orang-orang Thian-san-pay menjadi gempar.
"Wah awas, dia hendak membunuh Nyo-sute."
"Keparat keji, anak kecil pun akan kau bunuh."
Ciong Jan gusar, "Wut" kontan telapak tangannya memukul ke
punggung Beng Hoa. Bagi setiap insan persilatan, bila jiwanya terancam akan timbul
gerakan otomatis untuk menyelamatkan diri. Merasa angin tajam
mengancam punggung, tak sempat ba-nyak pikir lekas dia gunakan
Ih-sing-hoan-wi dengan jurus Hong-hun-to-gwat dia sampuk tenaga
pukulan Ciong Jan serong ke pinggir.
Walau marah Ciong Jan masih bisa menjaga diri, pukulannya itu
hanya sebagai pukulan darurat saja, paling hanya melukai
sekedarnya, bukan bermaksud membunuh Beng Hoa.
Bahwa Beng Hoa mampu memunahkann pukulannya, membuat
Ciong Jan kaget dan serba susah. "Lwekang bocah ini temyata amat
tinggi, usianya paling baru duapuluh sungguh bakatnya cukup
menonjol sayang tidak belajar baik, perlukah aku merenggut
jiwanya?" Maklum tadi Ciong Jan hanya menggunakan setengah
tenaga, tokoh-tokoh silat dunia yang mampu mematahkan tenaga
pukulannya mungkin hanya belasan orang saja.
Pek Ing-ki seperti meraba pikiran sang supek, teriaknya, "Bocah
ini tadi bilang Beng tayhiap adalah ayahnya sekarang bilang pula
Yan-ji adiknya. Supek, coba kau pikir, perlukah kita tanya lagi
kepadanya?" Karena kaget Nyo Yan menangis dan berteriak, "Dia ini matamata,
mana mungkin dia engkohku. Supek, bunuh dia, lekas kau
bunuh dia saja." Toan Kiam-ceng senang, teriak-nya, "betul dia itu mata-mata,
sekarang dia tahu kedoknya terbongkar maka mengamuk. Tak usah
kita adu mulut lagi dengan dia."
Tiada seorang pun tahu riwayat hidup Nyo Yan, tapi Ciong Jan
dan Pek Ing-ki tahu rahasianya. Bahwa Beng Hoa bilang Nyo Yan
adiknya secara tidak langsung dia sudah mengaku bahwa Nyo Bok
pun ayahnya. Memang anak Nyo Bok belum pasti mata-mata, tapi Toan Kiamceng
menggunakan alasan yang masuk akal, di dalam suasana
sekalut ini, mau tidak mau Ciong Jan dipaksa untuk percaya bahwa
Beng Hoa memang patut dicurigai sebagai mata-mata.
Maklum dalam pandangan Ciong Jan, umpama kedua kakak
beradik ini betul adalah anak Nyo Bok, tapi Beng Hoa jelas berbeda
dengan Nyo Yan. Karena Nyo Yan dibawa ke Thian-san oleh Miao
Tiang-hong, waktu itu dia baru anak kecil yang berusia setahun.
Karena memberi muka kepada Miao Tiang-hong, apalagi dia tahu
ibu bocah ini Hun Ci-lo adalah pejuang perem-puan yang gugur di
medan laga, baru Teng King-thian mau meneri-manya sebagai
murid. Bocah yang dididik dan diasuh oleh Thian-san ciangbun dan
Miao Tiang-hong sejak umur setahun, betapapun keja-hatan
ayahnya jelas takkan ada sangkut pautnya dengan bocah ini. Tapi
Beng Hoa, terlebih dulu Toan Kiam-ceng sudah memberi kesan jelek
ke-pada orang-orang Thian-san, apa-lagi Ciong Jan menyangka
Beng Hoa tumbuh dewasa ikut Nyo Bok, kalau dia dituduh sebagai
mata-mata, Ciong Jan lebih cenderung untuk percaya tuduhan Toan
Kiam-ceng itu. Di tengah caci maki dan keributan orang banyak, bahwasanya
Beng Hoa tidak diberi kesempatan membela diri.
"Kiam-ceng," kata Ciong Jan, "bawa pulang Yan-ji. Ada beberapa
persoalan, setelah Miao tayhiap pulang boleh kau bicarakan
kepadanya." Maksudnya supaya Toan Kiam-ceng bertindak sendiri,
membongkar riwayat hidup Nyo Yan.
"Tecu mengerti," Toan Kiam-ceng mengiakan, segera dia tarik
Nyo Yan terus pergi. Pelan-pelan Ciong Jan menggaris bundar dengan kedua
tangannya, siap menyerang, bentaknya, "Anak muda, cabut
pedangmu, berani kau memandang rendah diriku?"
"Ciong tayhiap, mohon dengarkan dulu penjelasan wanpwe"."
baru sekian Beng Hoa bicara, tenaga pukulan Ciong Jan sudah
membuat darah di otaknya mendidih. Tak sempat bicara, terpaksa
dia selamatkan dulu jiwanya, dengan bersalto dia mencabut pedang,
balas menyerang untuk membela diri, setiap pukulan Cong Jan dia
punahkan dengan baik. Jurus yang dilancarkan adalah Tiap-jiu-hu-ceng, hawa pedangnya
simpang siur, isi kosong, kosong isi, perubahannya rumit dan sukar
diraba, Ciong Jan yang sudah memiliki taraf kepandaian tinggi tak
langsung memuji dalam hati, "Jurus Tiap-jiu-hu-ceng ini perubahan
dari Siong-san-kiam-hoat. Empatpuluh tahun yang lalu, Kim Si-ih
tayhiap menciptakannya dengan memetik intisari kelebihan dari
perguruan lain. Jurus Tiap-jiu-hu-ceng ini pernah mengalami
pcrbaikan dan revisi akhirnya dilebur di dalam Kim-keh-kiam-hoat.
Waktu aku mulai belajar dalam perguruan, pernah aku saksikan Kim
tayhiap melancarkan jurus ini, tak nyana empatpuluh tahun
kemudian, dari tangan seorang anak muda aku melihat jurus ini
pula. Jurus yang dilancarkan pemuda ini, tenaganya memang tidak
sekokoh Kim tayhiap dulu, tapi keajaiban perubahannya justru
setingkat lebih sempurna. Pepatah bilang, patah tumbuh hilang
berganti memang tidak salah."
Entah dari mana datangnya semangat tempur, apalagi setelah
belasan jurus, dia sudah merasakan permainan pedang Beng Hoa
memang betul pernah mendapat petunjuk Kim Tiok-liu yaitu putera
Kim Si-ih pencipta jurus ini, kalau diberi petunjuk langsung oleh Kim
Tiok-liu, usia Beng Hoa semuda ini mana mungkin berhasil
menguasai Kim-keh-kiam-hoat sesempurna ini, sampaipun
perubahannya yang rumit dan paling mendalam pun jauh lebih
unggul dari Kim-keh-kiam-hoat.
Padahal Ciong Jan tidak tahu bahwa dugaannya hanya benar
separo. Beng Hoa memang betul pernah mendapat petunjuk dari Kim
Tiok-liu, namun taraf kepandaian ilmu pedangnya mencapai
puncaknya juga sebetulnya berbeda dengan Kim-keh-kiam-hoat
yang asli, ini memang ada sebab lainnya. Pembaca tentu tahu cikal
bakal Thian-san-pay Ho Thian-tok adalah murid Thio Tan-hong,
sebagai ahli silat dia memang mendapat ajaran sempurna dari
gurunya, namun di Thian-san tidak sedikit puia yang berhasil
diciptakan sendiri, hingga akhirnya menegakkan suatu aliran
tersendiri. Tapi ajaran silatnya tak pernah meninggalkan keaslian
ajaran gurunya. Kim-keh-kiam-hoat menggunakan Thian-san-kiamhoat
sebagai dasar, maka bila mau diteliti sebetulnya berbagai
cabang aliran itu hakekat-nya dari satu sumber yang sama. Justru
permainan kiamhoat Beng Hoa sekarang dinilai kerumitan, kelihayan
dan kesempurnaannya justru masih lebih tinggi dari ilmu pedang
yang diciptakan Ho Thian-tok. Walau demikian, antara Bu-bengkiam-
hoat, Kim-keh-kiam-hoat dan Thian-san-kiam-hoat satu sama
lain masih mempunyai titik persamaannya. Tapi kalau bukan tokoh
setaraf Ciong Jan, sesepuh Thian-san-pay, orang lain juga tak-kan
bisa melihat titik persamaan ini.
Setelah puluhan jurus, makin kaget dan tertarik Ciong Jan
dibuatnya, amarah pun makin padam, pikirnya, "Kim tayhiap pasti
tidak menurunkan Kim-keh-kiam-hoat kepada pemuda yang tak
dikenal asal-usulnya dan dicurigai sebagai mata-mata. Mungkinkah
pemuda ini memang punya latar belakang yang tak boleh diketahui
orang lain" Jadi tidak seperti yang kuperkirakan" Tapi tuduhannya
terhadap Kiam-ceng tadi jelas bualan belaka, lalu siapakah yang
betul?" Melihat Beng Hoa mampu bergebrak puluhan jurus dengan tertua
tianglo mereka, karuan murid-murid Thian-san-pay merasa kaget
dan terkesiap. Hanya Pek Ing-ki saja yang tahu bahwa Ciong Jan
tidak menyerang sungguhan.
Lama kelamaan Pek Ing-ki menjadi gugup, beberapa kali dia
ingin mendesak Ciong Jan lekas membereskan bocah ini, namun dia
tidak berani buka suara, di pinggir dia hanya mengepal tinju dan
membanting kaki saja. Tapi dia yakin meski sang supek tidak ingin
membunuh bocah ini, akhirnya juga pasti akan mem-bekuknya
hidup-hidup. Bila kenyataan bocah ini memang betul mata-mata
musuh, belum terlambat untuk membunuhnya. Di luar tahunya
bahwa sikap Ciong Jan terhadap Beng Hoa sudah berubah, dia
sudah curiga akan kebenaran tuduhan kepada Beng Hoa.
Tigapuluh jurus kemudian, mendadak Ciong Jan mendapat satu
akal, "Apakah dia mata-mata, biar kucoba sekali lagi."
Saat mana Beng Hoa sedang mematahkan serangan Ciong Jan
dengan jurus Hian-ciau-hoat-soa. Ciong Jan sengaja menunjukkan
lubang kelemahannya, mendesak maju sambil memukul hingga
bagian tengahnya terbuka lebar. Pertempuran jago kosen mana
boleh menunjukkan lubang kelemahan semudah ini" Lawan yang
melihat lubang kelemahan ini pasti tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan. Apalagi saat mana pertahanan Ciong Jan di bagian
muka kosong sama sekali, lawan akan mudah menusukkan pedang
ke dadanya. Sudah tentu murid-murid Thian-san tidak tahu maksud Ciong
Jan, semua menjerit kaget dan khawatir, Pek Ing-ki juga tidak
ketinggalan. Pertahanan di depan dada yang terbuka itu secara mendadak, di
saat bertempur secara seru lagi, Beng Hoa sendiri pun tidak
menduga. Maklum kepandaian Ciong Jan jauh di atasnya, dia
maklum betapapun dia kembangkan kemampuannya juga takkan
mampu melukai tianglo Thian-san-pay ini, maka dia berani
menyerang tanpa khawatir kesalahan tangan melukai lawan. Tak
nyana mendadak Ciong Jan menunjukkan kelemahan pertahanan
yang terbuka ini. Dengan jurus Hian-ciau-hoat-soa itu, bila ujung
pedangnya menggaris miring, maka dada dan perut Ciong Jan akan
terbelah, isi perut pun pasti tercecer keluar.
Untung kiamhoat Beng Hoa sudah mencapai taraf yang dapat
dikuasainya sesuai jalan pikirannya. Dalam detik-detik yang
menentukan itu, lekas dia tekan pedangnya miring ke samping,
perubahan ini berlangsung cepat, tak urung ujung pedangnya masih
menggores pakaian Ciong Jan. Beng Hoa tak kuasa mengendalikan
diri hingga dia terhuyung mundur beberapa langkah.
Pedang yang dipegang Beng Hoa itu mustika yang tajam, walau
sudah mengubah gerakan, tanpa pakai tenaga juga bisa merobek
pakaian Ciong Jan. Anehnya, pakaian Ciong Jan robek sedikit pun
tidak. Temyata dia gunakan Can-ih-cap-pwe-tiat ilmu lwekang
tingkat tinggi, menurut perhitungannya dia tidak akan terluka oleh
tusukan pedang lawan sekali pun. Kini Ciong Jan tidak perlu ragu
lagi, dia percaya bahwa Beng Hoa memang bukan mata-mata.
Belum hilang rasa kaget dan heran Beng Hoa, Cong Jan
membalik tangan menjentik, "Creng" pedang mustika Beng Hoa
dijentiknya lepas dan terbang. Tapi jentikannya ini pun tidak
memakai tenaga sepenuhnya.
Gebrakan ini berlangsung amat cepat hingga susah diikuti oleh
pandangan murid-murid Thian-san-pay termasuk Pek Ing-ki, Ho
Ing-yang dan Iain-lain. Tampak pedang Beng Hoa jatuh di tanah,
sementara Ciong Jan berdiri memeluk tangan, wajahnya penuh
senyum lebar. Perubahan yang tak terduga ini membuat seluruh murid-murid
Thian-san berdiri melongo. Tapi walau mereka tidak melihat jelas,
tapi mereka tahu bahwa tianglo mereka pada detik yang
menentukan telah merebut kemenangan, hanya sejenak mereka
melongo, maka terdengarlah sorak-sorai mereka.: Pek Ing-ki dan Ho
Ing-yang memburu maju bersama, bentaknya, "Anak busuk,
menyerah lah!" Cu Kian-bing sudah menyiapkan sebuah tambang langsung
diangsurkan kepada Pek Ing-ki, maksudnya untuk membelenggu
Beng Hoa. Tak nyana mendadak Ciong Jan membentak, "Jangan sentuh
dial" Sudah tentu perintah Ciong Jan menimbulkan rasa kaget bagi
semua murid Thian-san. Maklum membelenggu tawanan sepatutnya
dilakukan oleh para murid yang tingkatannya lebih rendah,
memangnya tianglo sendiri akan turun tangan" Apalagi tawanan ini
adalah mata-mata yang sudah terbukti.
Di tengah keraguan para murid Thian-san itulah, Ciong Jan
berkata ramah, "Beng-siauhiap jemput pedang mestikamu. "
Bahwa Ciong Jan ganti memang-gil Beng-siauhiap kepada Beng
Hoa, karuan yang hadir lebih kaget dan tak percaya apa yang
didengamya. Bukan saja sebutan siauhiap itu di luar dugaan, malah
she Beng yang disebut itu pun menimbulkan kecurigaan mereka.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng Hoa tadi bilang bahwa Nyo Yan adalah adik kandungnya,
maka orang banyak lebih percaya bahwa tuduhan Toan Kiam-ceng
terbukti kebenarannya, tapi sekarang Ciong Jan menyebutnya Bengsiauhiap.
. "Apakah Ciong-tianglo percaya bahwa bocah ini betul adalah
putera Beng Goan-cau tayhiap?"
Beng Hoa sendiri juga kebingungan, dia menjemput pedang
untuk mengulangi pertandingan, lekas dia berkata, "Terima kasih
cianpwe berbelas kasihan kepada wanpwe, baiklah wanpwe
menyerah dan dibelenggu saja. Tapi mohon cianpwe memberi
kesempatan supaya aku menjelaskan duduk persoalannya."
Temyata dengan Tam-ci-sin-thong Ciong Jan menjentik jatuh
pedangnya, tenaga yang digunakan bukan lwekang mumi tingkat
tinggi, kalau tidak Siau-yang-king-meh di tubuhnya tentu sudah
tergetar luka. Dengan tersenyum Ciong Jan berkata, "Kau mengalah lebih dulu
sejurus, aku pun harus berterima kasih kepadamu. Siapa mau
membekuk kau" Ambillah pedangmu dan jadi lah tamuku. Ada
persoalan apa boleh nanti kau bicarakan dengan aku."
Saking gugup Pek Ing-ki tidak hiraukan adat kesopanan,
teriaknya, "Supek, kenapa kau percaya obrolan bocah ini" Jikalau
dia bukan mata-mata, memangnya Toan-sute dan Nyo-sute"."
"Betul," ujar Ciong Jan kalem. "Yan-ji baru berusia duabelas,
pantasnya dia tak berani berbohong. Tapi kurasa persoalan ini pasti
ada sebab musababnya, aku pasti dapat menyelesaikan soal ini
dengan baik." DI SAAT Pek Ing-ki masih ingin mendebat, sementara Beng Hoa
juga ingin memberi penjelasan, mendadak suara genta bergema
secara gencar. Mendengar suara genta segencar itu, semua orang menjadi
gempar, Ciong Jan pun berubah air mukanya. "Tidak lekas kalian
kembali," bentak Ciong Jan mengebas lengan baju. Semula Pek Ingki
masih ingin mengajukan pertanyaan kepada Beng Hoa, kini dia
yang berlari lebih dulu. Itulah suara genta tanda bahaya bagi Thian-san-pay, bila genta
ber-gema berarti ada musuh tangguh menyerbu ke dalam Pingkiong
(Istana Es), maka murid-murid yang tersebar di luar harus
segera pulang membendung musuh.
"Beng-siauhiap," ucap Ciong Jan menoleh, "ada musuh menyerbu
ke tempat kami, urusanmu terpaksa ditunda dulu. Setelah urusan di
sini beres, boleh nanti kau mencariku lagi."
Beng Hoa menyusul, katanya, "Walau aku bukan murid Thiansan,
aku pun tak perlu memberi bantuanku. Tapi kebetulan aku di
sini, kalian menghadapi serbuan musuh, aku tak boleh berpeluk
tangan. Mohon Ciong-locianpwe mengizinkan wanpwe sekedar
membantu." Ciong Jan tak sempat basa-basi, mulutnya mengucap, "Baiklah."
Lantas dia mempercepat langkah.
Ginkang murid-murid lain ketinggalan jauh di belakang, yang tiba
lebih dulu di Istana Es, tempat tinggal orang-orang Thian-san-pay,
hanya Ciong Jan, Beng Hoa, Pek Ing-ki dan Ho Ing-yang berempat.
Pek Ing-ki dan Ho Ing-yang berangkat lebih dulu, namun Ciong Jan
memerlukan bantuan orang-orang yang dapat diandalkan
tenaganya, maka di tengah jalan dia agak memperlambat langkah
menunggu mereka hingga mereka tiba bersama di tempat tujuan.
Melihat Istana Es, pandangan Beng Hoa terbeliak. Tampak di
atas gunung dibangun sebuah Istana Es tak kalah indahnya dengan
istana raja, seluruh gedung yang terbangun di sini semua terdiri dari
balok es, pilar, dinding dan seluruh perabot dalam istana terbuat
dari es melulu, di bawah pancaran cahaya matahari menjelang
petang kelihatan berkilat menyilaukan mata. Sungguh
pemandangan ajaib yang jarang ada di dunia ini.
Semakin dekat Istana Es, makin jelas terdengar benturan senjata
keras beradu, seperti ada pertempuran sengit yang sedang
berlangsung. Beng Hoa keheranan, pikirnya, "Thian-san-pay adalah puncak
dunia pcrsilatan, entah orang-orang dari mana yang berani
membuat onar di sini."
Sikap Ciong Jan kelihatan lebih kaget, katanya, "Celaka, mereka
sudah menyerbu ke daerah penting di dalam Istana Es."
Daerah penting dalam Istana Es adalah Siang-hoa-kiong.
Menurut tradisi Thian-san-pay, setiap tahun sekali, di bawah
pimpinan ciang-bunjin mengadakan ujian kenaikan tingkat bagi para
muridnya di luar lapangan Siang-hoa-kiong. Setelah ujian usai,
beruntun lima hari diadakan diskusi ilmu silat di dalam Siang-hoakiong
yang dipimpin secara bergilir oleh ciangbunjin dan empat
tianglo. Mertua Teng King-thian, Kui Hoa-sing, dan ibu mertuanya, puteri
raja Nepal Hoa-giok Kongeu, nama kedua mertuanya sama
menggguna-kan huruf "Hoa" maka untuk memperingati kedua
orang tuanya, maka Peng-coan-thian-li menamakan istana yang
dibangun ini sebagai Siang-hoa-kiong.
Di lapangan depan Siang-hoa-kiong, saat itu tengah terjadi
perang tanding yang sengit, sinar pedang dan golok berkilauan,
kedua pihak bertempur dengan seluruh kekuatan. Begitu menyapu
pandang, didapati oleh Ciong Jan bahwa situasi pertempuran betulbetul
di luar dugaannya. Murid-murid Thian-san-pay yang semula bertugas jaga di pintu
gerbang istana saat itu justru berbalik jadi musuh yang akan
menyerbu masuk, Jumlah musuh mereka hanya beberapa orang,
ada paderi, ada preman, jelas semua bukan orang Han. Yang pakai
jubah paderi kemungkinan adalah hwesio dari Thian-tiok. sementara
yang berpakaian busu kelihatan adalah orang-orang asing dari
negeri barat, tapi rombongan orang-orang ini temyata
berkepandaian tinggi, pintu gerbang istana terjaga kuat menahan
murid-murid Thian-san menerjang ke dalam.
Di dalam Siang-hoa-kiong juga terdengar suara ramai, bagi Ciong
Jan yang berpengalaman, sekali dengar lantas dapat membedakan,
dua orang sute-nya sedang bergebrak dengan seorang lawan
tangguh. Gelagatnya pihak penyerbu berbalik menjadi tuan rumah
dan menduduki Siang-hoa-kiong, mereka mencegah murid-murid
Thian-san masuk memberi bantuan.
Dua generasi murid-murid Thian-san-pay jumlahnya ada limapuluh
orang, berada di luar saat itu ada separo, semua belum
bertolak batik. Yang menjaga di istana ada duapuluhan, kecuali
yang mempunyai tugas khusus, boleh dikata se-muanya sudah
berkumpul di depan Siang-hoa-kiong. Tapi walau jumlah mereka
lebih banyak hampir satu lipat, namun tak mampu menerjang
masuk. Yang paling keji adalah seorang hwesio yang berkaki tangan
panjang, dia berjaga di paling belakang, menduduki undakan teratas
di depan pintu gerbang. Ada beberapa murid Thian-san yang
berhasil lolos dari penjagaan bagian depan, namun setiba di
undakan teratas semua disapunya kocar-kacir. Jadi tiada seorang
pun murid Thian-san yang berhasil masuk ke dalam Siang-hoakiong.
Tapi anchnya, mereka hanya mencegah murid-murid Thian-san
menerjang masuk, serangan mereka tiada yang menggunakan tipu
keji yang mematikan. Waktu Ciong Jan tiba, kebetulan dia saksikan
hwesio yang satu ini sedang membanting seorang murid Thian-san.
Murid itu mengira setelah terbanting di lantai paling ringan
kepalanya akan bocor atau patah tulang, tak nyana mendadak
tubuhnya seperti disangga oleh sepasang tangan raksasa, dengan
enteng dan mantap jatuh di lantai tanpa kurang suatu apa, karuan
wa-jahnya menampilkan rasa kaget dan curiga. Kalau orang lain
keheranan, tapi Ciong Jan tahu bahwa paderi itu menggunakan
tenaga lunak. Bukan paderi yang satu ini saja yang berbuat demikian, paderipa-
deri yang lain juga demikian, maka yang menyerbu mati-matian
justru murid-murid Thian-san, kawanan paderi itu hanya mencegah,
agaknya mereka enggan melukai orang.
Lega hati Ciong Jan, namun hati-nya bimbang dan heran. Entah
siapa dan bagaimana asal-usul orang-orang itu" Entah bermaksud
baik atau jahat" Yang menambah terkejut Ciong Jan adalah dua
orang sute-nya yang bergabung melawan seorang musuh di dalam
Siang-hoa-kiong. Dalam waktu sesingkat ini tak ter-pikir olehnya,
tokoh mana yang mempunyai lwekang setinggi itu di dalam jagat
ini" Empat tianglo Thian-san-pay diketuai oleh Ciong Jan. Tiga orang
lain adalah Bu Seng-thay, Kam Kian-khong dan Li Sin-tiau.
"Yang bergabung melawan musuh agaknya Kam-sute dan Lisute.
Entah Bu-sute belum datang atau sudah terluka?" demikian
batin Ciong Jan. Saat itu tak sempat dia banyak pikir lagi.
Melihat Ciong Jan datang sudah tentu murid-murid Thian-san itu
ke-girangan, mereka berebut memberi laporan. Tapi mulut bicara,
kaki tangan mereka tiada yang berhenti.
Dengan logat bahasa yang kaku, paderi yang panjang kaki
tangannya itu berkata, "Peduli kau ini supek atau susiok, siapa pun
dilarang masuk." Orang yang disapu jatuh oleh paderi ini tadi adalah murid
generasi kedua Thian-san-pay, sute Pek Ing-ki. Pek Ing-ki gusar,
bersama Ho Ing-yang mereka sudah menerjang maju, gabungan
sepasang pedang mereka memang hebat perbawanya, tiga
pertahanan di bagian bawah tiada yang mampu membendung
mereka, dalam sekejap mereka sudah tiba di ujung undakan.
Ciong Jan membentak, "Kalian siapa" Berani membuat onar di
Thian-san, semuanya berhenti!" sambil memaki dia menghentikan
aksi orang-orangnya. Sudah tentu murid-murid Thian-san patuh akan perintah sang
tiang-lo, yakin Ciong Jan pasti akan mela-brak kawanan paderi ini,
maka mereka mundur ke kanan kiri.
Kawanan paderi itu hanya mencegah mereka masuk, kalau
murid-murid Thian-san tidak bergerak mereka pun takkan turun
tangan. Ciong Jan tak sempat menghentikan aksi Pek Ing-ki dan Ho Ingyang,
mereka sudah menerjang ke atas undakan, baru saja Ciong
Jan hendak bersuara kedua orang ini sudah melancarkan serangan
gabung-an mereka dengan jurus Heng-hun-toan-hong, paderi
Thian-tiok itu dibabat pinggangnya dari kanan kiri. Agaknya paderi
Thian-tiok itu tahu kelihayan serangan kedua pedang, tak berani
melawan dengan tangan kosong, tangan kiri pegang tongkat bambu
hijau tangan kanan memegang sebuah tempurung emas Beng Hoa
berada di bawah undakan, melihat aksi paderi Thian-tiok ini
tergerak pikirannya. Cepat sekali terdengar "Tang", kedua pedang Pek Ing-ki dan Ho
Ing-yang temyata masuk ke dalam tempurung, seperti ada daya
sedot yang kuat, hingga ujung pedang mereka lengket di dalam
tempurung. Di mana paderi Thian-tiok itu menyerampang, Pek Ingki
dan Ho Ing-yang dipaksa melepas pedang, melompat menyingkir
tiga langkah dengan sempoyongan, hampir saja mereka terguling ke
bawah undakan. Untung ginkang mereka terhitung baik, ujung kaki
menutul di undakan terakhir, maka tubuhnya hanya ber-goyang
saja. Ciong Jan sudah terlanjur mengembangkan ketangkasannya
laksana burung menerobos hutan, atau burung camar yang
melawan gelombang, berapa kali lompatan dia sudah melesat ke
undakan terakhir. Orang-orang di bawah undakan temyata tiada
seorang pun yang berani merintariginya. Paderi Thian-tiok yang
berjaga di ambang pintu itu kembali menyerampang kedua kakinya
dengan tongkat bambu hijau, Ciong Jan tidak berkelit tidak mundur,
dia tetap melangkah lebar ke depan, di saat tongkat lawan ham-pir
memukul kakinya, mendadak dia mengebas dengan ujung lengan
baju. "Tang." tongkat bambu paderi Thian-tiok itu terampas oleh
gulungan lengan baju. Temyata tongkat bambu ini berbeda dengan
tong-kat bambu biasanya, jatuh di tanah tapi mengeluarkan suara
keras seperti benda logam.
Melihat orang hanya terhuyung dua kali lantas berdiri tegak,
Ciong Jan agak heran. "Tak heran mereka mampu menduduki
Siang-hoa-kiong, entah siapa yang bergebrak dengan kedua sute,
mengukur ke-pandaian, paderi penjaga pintu ini mungkin hanya
muridnya saja, namun murid generasi kedua kami kecuali Teng Kagwan,
mungkin tia-da orang lagi yang mampu mengalahkan dia."
Tadi Ciong Jan bermaksud menyengkelit orang supaya terbanting
jatuh, tak nyana lawan hanya terhuyung dua langkah.
Tapi hanya segebrak tongkatnya terampas, tak urung paderi
Thian-tiok itu kaget sekali. Tempurung emas diangkat hendak
merintangi lagi, namun orang di dalam sudah bersuara, "Yang
datang mungkin tianglo dari Thian-san-pay. Tay Kiat sutit, jangan
kurang ajar, silakan Ciong-tianglo masuk."
Yang bicara di dalam adalah supek paderi yang panjang kaki
tangannya, kebetulan bagi dirinya, segera dia melompat minggir
serta bilang, "Silakan."
Ciong Jan mendongkol, batin-nya, "Seolah-olah mereka menjadi
majikan dalam Siang-hoa-kiong malah" Aneh, entah siapa orang
didalam yang tahu diriku?" Tak sem-pat banyak mereka-reka dalam
hati, cepat dia melangkah masuk ke istana
Menyusul yang tiba adalah Beng Hoa. Paderi Thian-tiok itu tak
berani mengijinkan dia masuk. Tapi melihat gerakan Beng Hoa, dia
terperan-jat. Ternyata dengan mudah Beng Hoa menerobos tiga
pertahanan di depannya dan tiba di depannya.
Walau Beng Hoa tidak melukai seorang pun di waktu menerobos
tiga pertahanan di bawah, setiap jurus ilmu pedang kilatnya
sekaligus membuat orang-orang yang merin-tanginya merasa ujung
pedang lawan mengancam hiatto penting di tubuhnya, tanpa sadar
beramai me-reka lompat menyingkir ke pinggir.
Paderi yang berjaga di depan pintu segera membentak, "Jangan
takabur, berhasil menerobos penjagaanku ini, baru terhitung kau
punya kepandaian." Sementara itu tongkat bambu sudah
dipungutnya, siap menunggu lawan.
Melihat senjata yang dipegang lawan, Beng Hoa sudah punya
pegangan, "Sret" pedangnya langsung menusuk ke dalam
tempurung orang, "Tang" pedang membalik-balik terus menabas
tongkat bambu. Melihat permainan pedang lawan begini aneh, tahu
dirinya tak mampu melawan. Tapi walau Beng Hoa unggul seurat
dia pun belum di-rugikan.
Supek paderi Thian-tiok kembali bersuara di dalam, "Temyata
Thian-san-pay masih ada tianglo kelima, agaknya tidak kuketahui.
Silakan masuk." Dia mengira Beng Hoa adalah tokoh kosen Thiansan-
pay sungguh tak terduga bahwa usianya masih begitu muda.
Waktu Beng Hoa angkat kepala, hanya dua paderi Thian-tiok
yang berusia lanjut ada di dalam Siang-hoa-kiong. Yang seorang
kepala besar telinga lebar, tubuhnya gemuk, sikapnya lamban,
seorang lagi justru kurus kering tinggi seperti galah.
Paderi kurus itu sedang berta-rung sengit dengan dua tianglo
Thian-san-pay. Yang bicara adalah hwesio gendut yang berjubah
lebar itu. Dia menggendong tangan menonton dengan santai,
seolah-olah tidak ambil perhatian atau khawatir akan nasib sang
sute yang berlaga di tengah arena.
Yang gendut ini Beng Hoa tidak kenal, yang kurus itu bukan Iain
adalah paderi Thian-tiok yang pernah mencegat dan memaksa dia


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi muridnya itu. Dugaan Ciong Jan memang tepat, yang melawan paderi India ini
adalah Kam Kian-khong dan Li Sin-tiau, dua sute-nya. Sementara jisu-
te-nya Bu Seng-thay duduk bersimpuh di pinggir, uap putih
tampak mengepu! di atas kepalanya, agak-nya berusaha
menyembuhkan luka dalamnya dengan lwekang sim-hoat
perguruannya. Paderi India ini bersenjata tongkat bambu dan tempurung emas.
Kelihatannya kedua tianglo Thian-san-pay itu di atas angin, tapi
kedua pedang mereka selalu tertahan oleh tempurung emas lawan,
untuk mencapai kemenangan jelas tidak mudah.
Bu Seng-thay bersemadi di lantai, seolah-olah dia percaya lawan
tidak akan membunuhnya di saat dia bersemadi, keadaan
sekelilingnya seperti tidak dilihat atau didengar-nya. Paderi gendut
itu menonton sambil menggendong tangan tak pernah
menghiraukan dia. Ciong Jan tahu kedua sute-nya takkan kalah. Segera dia ulur
tangan kanan menekan punggung Bu Seng-thay, dengan hawa
murni sendiri dia bantu mempercepat proses pcnyem-buhan luka
dalamnya. Tak lama kemudian Bu Seng-thay memuntahkan
sekumur darah kental, semangatnya tampak lebih segar, begitu
membuka mata lantas berkata, "Suko mereka mencari ciangbunjin
menantang berduel, kepandaian siaute tidak becus, jatuh di tangan
mereka." "Kalah menang kan biasa, kenapa dibuat kecil hati" Biar aku
menghadapi kedua paderi kosen ini."
Baru sekarang paderi gendut itu berkata, "Ciangbunjin Thian-sanpay
kalian jual mahal tak sudi keluar menerima kedatangan kami,
syukur akhirnya Ciong-tianglo sudi tampil di hadapan kami. Si Lo
sute, jangan kau bermain serampangan lagi." Temyata dia fasih
berbahasa Han, dengan logat yang lancar lagi.
Setelah memberi pesan kepada sute-nya, baru paderi gendut ini
menoleh ke arah Beng Hoa, sorot matanya menampiikan rasa heran
dan kagum, baru dia mengalihkan pandangannya ke arah Ciong Jan,
katanya dengan tertawa lebar, "Ciong tayhiap, syukurlah selama
berpisah temyata kau sehat walafiat, apa kau masih kenal kepada
lolap?" Ciong Jan melengak sadar, kata-nya, "Guru toa-hwesio kiranya
Liong-yap Siangjin yang pernah mampir ke tempat kami empatpuluh
tahun yang lalu." Hwesio gendut tertawa, katanya, "Temyata Ciong tayhiap masih
ingat, aku memang murid kecil yang dulu ikut suhu menjadi tamu
lo-ciangbun Teng Hiau-lan Teng-Iocianpwe. Tanpa terasa sang
waktu sudah berselang empatpuluh tahun. Dulu kalian belum
membangun Istana Es ini, aku juga belum punya sute yang satu
ini." Setelah tahu siapa mereka, Ciong Jan kaget dan was-was,
pikirnya, "Kabarnya dua murid Liong-yap Siangjin sekarang sudah
diagulkan sebagai dua paderi sakti di Thian-tiok. Tak disangka
mereka meluruk datang bersama, sulit menghadapi mereka."
Syukur luka-luka Bu Seng-thay tidak parah, setelah mendapat
bantuan Ciong Jan, kini keadaannya sudah tidak berbahaya. Walau
demikian dia perlu istirahat sepuluh hari atau setengah bulan baru
boleh latihan kungfu lagi. Setelah berdiri dia mendelik mengawasi
paderi gendut itu, agaknya paderi gendut ini yang memukulnya
luka. Ciong Jan menarik pundaknya. katanya kepada paderi gendut,
"Kiranya Yu-tan Hoatsu, puluhan tahun berpisah syukurlah hari ini
hoatsu sudah berkunjung pula kemari. Maaf orang she Ciong
terlambat menyambut, tapi ada satu hal orang she Ciong belum
mengerti, tolong diberi penjelasan."
Yu-tan Hoatsu bergelak tawa, katanya, "Penjelasan akan
kuberikan nanti. Sute dan para sutit-ku kalian belum pernah lihat,
biar kuperkenalkan mereka."
Setelah Yu-tan memperkenalkan sute dan para sutit-nya, baru
Beng Hoa tahu paderi yang berjaga di ambang pintu adalah murid
Si-lo bernama Tay Kiat. Si-lo tertawa lebar, katanya, "Aku pernah bertemu dengan
pemuda ini, tak usah kalian perkenalkan. Hehe, kau ini murid Teng
King-thian bukan" Tak heran tak mau menjadi muridku. Tapi
menurut pendapatku, kepandaian para susiok-mu ini biasa saja,
kepandaian gurumu kuduga juga tidak seberapa. Lebih baik kau
angkat guru kepadaku saja."
Memang Beng Hoa ingin adanya kesalahpahaman ini, tanpa
menyangkal dia berkata tawar, "Kau ingin mengangkat aku sebagai
murid, tidak sulit, akan kuminta Ciong-tianglo menjadi saksi, boleh
kau suruh suheng-mu menjadi saksi pula."
"Saksi apa?" tanya Si-lo heran.
"Bukankah kalian ingin bertanding, baiklah, kau dulu yang
bertanding dengan aku. Bila kau dapat mengalahkan aku, segera
aku berlutut dan menyembah kepadamu. Memang kau baru saja
bergebrak, mungkin aku lebih untung. Tapi kau ingin menjadi
guruku, jikalau sedikit keuntungan ini pun tak sudi kau berikan
kepadaku, anggaplah sebagai pertandingan sama tingkat,
memangnya kau tidak malu menjadi guruku?"
Ucapan Beng Hoa agak takabur, maklum dia sudah mengukur
kemampuan sendiri dan tahu sampai di mana kemampuan lawan.
Lwekang Sim-hoat peninggalan Thio Tan-hong temyata punya cara
prak-tis untuk menaklukkan permainan silat paderi Thian-tiok ini.
Walau kata "praktis" ini baru belasan hari yang lalu berhasil
dipahami, namun dia yakin sedikitnya mampu melawan seratus
jurus. Apalagi Si-lo sudah sekian lama dikeroyok Kam Kian-khong
dan Li Sin-tiau, tampak olehnya tenaga Si-lo sudah terkuras
sebagian. Maka menurut perhitungan, dia kuat melawan tigaratus
jurus. Padahal Si-lo diagulkan sebagai paderi sakti, bila tigaratus
jurus kemudian baru bisa menang, gengsinya juga pasti runtuh.
Maka Beng Hoa duga orang takkan berani melawannya.
Tak nyana Si-lo memang keranjingan silat, dia pikir kiamhoat
bocah ini memang lebih kuat dari kedua tianglo Thian-san-pay yang
barusan melawan dirinya, setelah berpisah setengah bulan ini entah
kemajuan apa yang telah dicapainya" Maka dia ingin mengukur
kepandaiannya pula, sebetulnya dia pun sudah memikirkan apa
yang dipikirkan Beng Hoa maka dia men oleh ke arah sang suheng.
tidak berani langsung menerima tantangan Beng Hoa.
Berkerut alis Yu-tan Hoatsu, katanya, "Sute, kenapa kau" Kau
biarkan saja orang memandang rendah dirimu" Kalau Teng Kingthian
punya murid bagus memangnya kau tidak punya murid lihay?"
"Betul," Si-lo sadar, "kami ingin bertanding dengan jago-jago
kosen Thian-san-pay. Mungkin kau boleh terhitung kosen, tapi
tingkatanmu lebih rendah, tak boleh bertanding dengan aku. Begini
saja, nanti bila para tianglo kalian sudah setuju cara yang kami
ajukan, kau boleh mewa-kili Thian-san.-pay bertanding dengan
muridku, jikalau kau dikalahkan muridku, sudah tentu aku lebih dari
setimpal menjadi gurumu."
Yu-tan berkata tak sabar, "Sute tak usah banyak komentar,
sudah tiba saatnya kita bicara pcrsoalan penting. Ciong-tianglo, apa
yang ingin kau katakan silakan."
"Ada pcrsoalan yang belum mengerti, aku mohon petunjuk."
"Soal apa, coba katakan."
"Dari nada pcmbicaraan kalian, seperti ingin bertanding silat
dengan kami, apa betul?"
"Ya, tidak salah."
"Sesama kauni persilatan bertanding silat adalah kejadian biasa.
Tapi bertanding silat berbeda dengan menuntut balas atau mencari
permusuhan, tentunya ada aturan dan tata tertibnya. Toiong tanya
kenapa kalian main terjang dan menduduki tempat kami secara
kasar dan tak kenal aturan" Malah kau melukai sute-ku?"
Yu-tan Hoatsu bicara kalem, "Dengan aturan kami sudah mohon
bertemu dengan ciangbun kalian, yang tidak aturan justru sute-mu,
bukan saja tidak melaporkan kedatangan kami, malah kami dimaki
sebagai manusia siluman dan mengusir kami keluar."
Si-lo Hoatsu segera menimbrung, "Ciangbunjin kalian memang
terlalu jual mahal. Bicara soal aturan, sepantasnya dia keluar
mcnyambut kedatangan kami. Tapi urusan sudah terlanjur sejauh
ini, dia tctap tidak mau unjuk diri. Apa boleh buat, terpaksa kami
tuntut kalian menunjukkan kepandaian dengan harapan dapat
mengundang ciang-bun kalian keluar."
Yu-tan berkata lebih lanjut, "Ketiga sute-mu ini begitu maju
lantas menyerang sute-ku, kukira hal ini tidak adil, apa boleh buat
terpaksa kupaksa seorang sute-mu ini menyingkir ke pinggir
istirahat. Tentu kau juga tahu aku tidak menyerangnya secara keji.
Sute-ku satu melawan dua, mana boleh kau bilang kami mencari
setori kepada kalian."
Bu Seng-thay beramai memang tidak kenal mereka, begitu
datang mereka lantas minta bertemu dengan ciangbun serta
menantang bertanding silat, sudah wajar kalau mereka salah paham
akan maksud kedatangan mereka. Maklum Teng King-thian sedang
tetirah, mereka mengira kawanan paderi siluman ini telah mendapat
tahu dan sengaja hendak mencari permusuhan dengan Thian-sanpay.
Semula Ciong Jan ingin menjelaskan bahwa Teng King-thian
se-dang tetirah, namun niatnya ini dia urungkan, betapapun mereka
harus waspada walau mereka bilang ingin bertanding saja, bukan
mustahil ada maksud jahat lainnya. Maka Ciong Jan segera berkata,
"Bagaimana maksud hoatsu untuk pertandingan ini, silakan jelaskan.
Orang she Ciong memang tidak becus, biarlah aku mewakili
ciangbunjin menghadapi tantangan kalian."
Si-lo kurang senang, katanya setengah mendengug, "Teng Kingthian
memang takabur." Beng Hoa naik pitam, dia balas mengejek, "Dengan bekal
kepandaianmu yang tidak seberapa itu memangnya setimpal
bertanding dengan ciangbunjin Thian-san-pay" Hm, bila aku yang
maju pada babak pertama, kau masih setimpal jadi lawanku. Bila
kau mampu mengalahkan aku baru kau hadapi Ciong-tianglo, bila
Ciong-tianglo kalah, baru boleh kau menantang Teng tayhiap."
"Beng hiantit," kata Ciong Jan, "jangan kurang sopan terhadap
tamu." Yu-tan lebih cermat, mendengar percakapan mereka dia tahu ada
hal kurang beres di antara mereka, maka dia heran, batinnya,
"Kenapa bocah ini menyebut ciangbunjin perguruan sendiri sebagai
Teng tayhiap" Ciong Jan menyebutnya hiantit" Memang-nya dia
bukan murid Thian-san-pay?" Urusan sudah mendesak tak sempat
dia mencari tahu asal-usul Beng Hoa, katanya, "Ciong-tianglo, suteku
tidak pandai bicara, maaf kalau dia bersalah, harap tidak kecil
hati." "Suheng," seru Si-lo penasaran, "kenapa aku tidak pandai
bicara?" Yu-tan Hoatsu berkata, "Ciong-tianglo ini adalah suheng Teng
King-thian, tertua dari empat tianglo Thian-san-pay, dia sudah
berjanji akan memimpin pertemuan ini, ter-hitung memberi muka
kepada kita." Lahimya dia memuji Ciong Jan, padahal kata-katanya
menyindir. Maka Si-lo menyingkir sambil menggerutu, "Betapa tinggi
kemampuan tianglo Thian-san-pay sudah kucoba, memangnya dia
lebih lihay dari para sute-nya. Hm, kalau dia ingin tampil seorang
diri, biarkan saja kalau kena batunya."
Sudah tentu Bu Seng-thay, Kam Kian-khong dan Li Sin-tiau,
ketiga tianglo, mendengar ocehan Si-lo, namun kenyataan mereka
bertiga bukan tandingan orang. terutama Bu Seng-thay, hanya
sekali dorong oleh suheng orang, dirinya sudah terjung-kal luka
parah, terpaksa mereka hanya melotot gusar anggap tidak
mendengar ocehannya. Ciong Jan juga mendongkol, na-mun sebagai tianglo dia tidak
sepicik lawannya, katanya dingin, "Yu-tan Hoatsu, kalian meluruk
kemari ingin bertanding silat,. atau ingin perang mulut?"
Yu-tan Hoatsu bergeiak tawa, katanya, "Ciong-tianglo tak usah
gelisah, kita harus bicarakan dulu tata tertib pertandingan. Ciongtianglo,
bagaimana pendapatmu?"
"Sebagai tuan rumah terserah kehendakmu saja."
"Aku usul pertandingan dilakukan tiga babak. Babak pertama biar
dilakukan para murid, kuharap kau memilih seorang murid terpandai
dari generasi kedua kalian. Untuk babak kedua dan ketiga, kami
suheng-te ingin mohon petunjuk dari jago-jago kosen kalian."
Begitu cara pertandingan diusulkan, Ciong Jan lantas
menghadapi persoalan pelik. Murid generasi kedua yang
berkepandaian paling ting-gi adalah Pek Ing-ki (Teng Ka-gwan
belum pulang), dia menduga murid lawan yang akan ditampilkan
pasti Tay Kiat yang tadi menjaga pintu. Bergabung dengan Ho Inyang,
tadi Pek Ing-ki disengkelit jatuh oleh lawan, jelas dia bukan
tandingan musuh. Yu-tan Hoatsu bergelak tawa, katanya, "Ciong-tianglo sudah
setuju usul yang kuajukan, baiklah per-tandingan harap segera
dimulai. Babak pertama kalian pasti menurunkan Beng-lote ini, dia
murid ciang-bun suheng kalian bukan?"
Sebagai tianglo sudah tentu Ciong Jan membela nama baik
perguruan, maka dia bicara dengan se-jujurnya, "Tidak, Beng-lote
adalah" adalah"."
Berubah air muka Yu-tan Hoatsu, serunya, "Apa, jadi dia bukan
murid Thian-san-pay?"
Si-lo adalah manusia jujur dan cerewet, segera dia berteriak,
"Mana mungkin dia bukan murid Thian-san kalian, tadi jelas yang
dimainkan adalah Thian-san-kiam-hoat, sudah dua kali aku
bergebrak dengan dia, jangan kira aku mudah dikelabui. Terus
terang saja, permainannya justru jauh lebih bagus dari para tianglo
kalian.". Ciong Jan siap memberi penjelasan, temyata Beng Hoa sudah
mendahului bicara, "Ciong-tianglo tidak berbohong, mana aku punya
rejeki untuk jadi murid Thian-san-pay" Kalau diungkap
persoalannya, aku hanya boleh dianggap sebagai murid sampingan
Thian-san-pay saja Teng Ka-gwan Teng tayhiap, putera ciangbunjin
Thian-san-pay pernah memberi petunjuk kepadaku."
"Murid tetap murid, mana ada istilah sampingan segala," seru
Si-lo uring-uringan. Yu-tan Hoatsu berkata, "Baiklah kalau mengaku murid sampingan
Thian-san-pay boleh kau turun gelanggang. Sebetulnya aku
mengharap murid keponakanku ini bertanding dengan murid
angkatan kedua Thian-san-pay kalian, mcngingat sute-ku terlalu
memuji kau, peduli kau murid angkatan ketiga, murid sampingan
juga boleh, tidak jadi soal."
Diam-diam lega hati Ciong Jan, hatinya menyesal tapi juga
senang, katanya, "Sebelum pertandingan dimulai, ingin aku
mengajukan sebuah pertanyaan."
"Ada persoalan apa, boleh Ciong-tianglo kemukakan saja," sahut
Yu-tan Hoatsu. "Bagaimana dengan orang-orang yang kau bawa itu?"
"Mereka sebagai penonton, asal murid kalian tidak menantang
mereka, aku yakin mereka tidak akan membikin onar."
"Nah, pertandingan harus berjalan sesuai tata tertib, maka orang
kalian tidak pantas merintangi murid-murid kami masuk kemari."
"Sebetulnya kalian boleh menonton, tapi aku khawatir kalau yang
masuk terlalu banyak akan mengganggu jalannya pertandingan.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begini saja, orang-orang kedua pi-hak hanya boleh menonton dari
undakan di luar pintu, semua dilarang masuk."
Maka Ciong Jan dan Yu-tan tampil ke luar memberi penjelasan
kepa-da orang-orang mereka, sementara itu murid-murid Thian-sanpay
yang bertugas di luar juga sudah pulang. Untung penjelasan
tepat pada waktunya, kalau tidak tentu terjadi keributan.
Ciong Jan tahu, tiga babak pertandingan pasti pihaknya yang
kalah. Babak pertama Beng Hoa turun gelanggang, kalah menang
sukar diramalkan (Ciong Jan belum mampu menilai taraf kepandaian
Beng Hoa). Babak kedua, dirinya yakin dapat menandingi Si-lo. Tapi
babak ketiga, siapa yang bakal bertanding dengan Yu-tan Hoatsu"
Kecuali ciangbunjin Thian-san-pay Teng King-thian, hakekatnya
tiada orang lain yang mampu menandingi lawan. Maka besar
harapannya pihak sendiri dapat beruntung menang dua babak,
babak ketiga boleh pakai alasan untuk menolak pertandingan.
Celakanya jikalau pihak musuh tahu Teng King-thian sedang
semadi, babak kedua Yu-tan Hoatsu sendiri yang turun gelanggang,
umpama Beng Hoa menang di babak pertama, pihak Thian-san-pay
pasti kalah akhirnya. Ciong Jan tahu watak ji-sute-nya yang angkuh dan tinggi hati,
kali ini dia terjungkal di tangan musuh, hatinya pasti penasaran.
Khawatir orang tak kuat menahan malu bila pihak mereka kalah
dalam tiga babak pertandingan, maka dia membujuknya supaya
masuk beristirahat. Sebelum pertandingan dimulai dia memanggil
Pek Ing-ki dan menyuruhnya memapah sang guru kembali
kekamamya. Melihat gurunya terluka, Pek Ing-ki kaget dan gusar, melihat
Beng Hoa sudah beranjak turun gelanggang hendak bertanding
dengan hwesio yang menyengkelit jatuh dirinya di luar pintu tadi, di
samping mendelu dia pun heran dan bingung. Maka Ciong Jan
berbisik memberi penjelasan, "Beng-siauhiap mewakili kau, peduli
dia kalah atau menang, setelah kejadian ini usai, kau patut
berterima kasih kepadanya." Sudah tentu makin malu Pek Ing-ki
dibuatnya, terpaksa dia manggut sambil menyimpan perasaannya,
lekas dia papah gurunya ke dalam.
Tapi dia masih penasaran dan mcrasa enggan meninggalkan
gelanggang pertandingan, setelah keluar dari Siang-hoa-kiong,
segera dia menyerahkan gurunya yang terluka kepada sute-nya Ho
Ing-yang dan Han Ing-hoa, menyuruh mereka mengantar gurunya
kembali ke kamamya. "Ingin aku menyaksikan bocah keparat yang
mewakili aku ini punya kemampuan apa, berani melawan jago
kosen musuh yang tadi mengalahkan aku," demikian batin Pek Ingki.
Semula dia ingin menonton pertandingan Ciong Jan melawan Silo,
kini dia justru berebut maju ingin menyaksikan pertandingan
Beng Hoa yang mewakili dirinya. Sifat Pek Ing-ki seperti gurunya,
hormat dan gengsi, sungguh tak karuan perasaannya, entah ingin
Beng Hoa menang atau kalah.
Beng Hoa sudah meloloskan pedang, berdiri berhadapan dengan
Tay Kiat. "Kau harus memberi muka kepada gurumu, kalau menang harus
secara tuntas, jangan sampai calon sute-mu ini kelak menertawakan
dirimu." Tay Kiat mendengus, "Kukira dia tidak setimpal menjadi suteku,
baiklah biar kucoba berapa tinggi kemampuannya."
Resminya Tay Kiat adalah murid Si-lo, namun pelajaran
kungfunya justru diperoleh dari gurunya dan Yu-tan berdua. Tadi
dia dirugikan oleh jurus aneh yang dilancarkan Beng Hoa, walau hati
merasa kaget, namun hatinya belum mau mcngaku kalah. Tapi dia
juga tahu Beng Hoa tidak gampang dilayani maka dia berkctetapan
melancarkan jurus mematikan yang diajarkan sang supek.
Beng Hoa tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Bukankah kau ingin
bertanding silat dengan aku?"
Tay Kiat melengak, katanya, "Kalau ya kenapa" Kalau tidak
bagaimana?" "Kalau ingin bertanding cukup saling tutul atau jamah saja. Aku
pun mengharap kau tahu diri, tak perlu kau harus berlutut dan
menyembah kepadaku."
Karuan Tay Kiat gusar, bentaknya, "Bocah bagus, tak perlu aku
perang mulut dengan kau, lihat serangan!" Tongkat bambu hijau di
tangannya menyambar miring, berbareng tempurung emasnya
mengarah kepala. Sekali bergerak pedang Beng Hoa menciptakan tiga lingkaran.
Pek Ing-ki yang mcnonton di luar pintu mcmbatin, "Jurus Sam-coanhoat-
lun yang dilancarkan itu memang kelihatannya menyerap
intisari ilmu pedang kami, tak heran dia berani menyaru sebagai
murid kami, namun perubahan jurus ini tidak lebih lihay dari
kemampuanku sendiri." Sudah tentu dia tidak tahu bahwa
perubahan permainan Beng Hoa justru terselubung di balik
kelincahan permainan pedangnya, seumpama gunung es di tengah
lautan, yang terlihat hanya sebagian yang tcrapung di permukaan
air, tapi inti permainannya yang paling lihay justru tersembunyi
dalam penggunaan tenaga dalamnya.
Bambu hijau yang menggaris melintang itu laksana lembayung
hijau yang menggaris udara, gerakan Tay Kiat memang cukup kuat
sehingga selintas pandang, bambu itu seperti sebatang pedang
yang memancarkan cahaya kcmilau. Jurus itu memang dinamakan
Hcng-hun-toan-hong, gaya permainannya memang mirip ilmu
pedang. Sigap sekali Beng Hoa menciptakan lingkaran sinar pedang
pertama, lembayung hijau lawan seketika terbungkus di dalamnya
Bentuk bambu hijau lay Kiat seketika pulih pada asalnya,
selanjutnya takkan mampu mengembangkan kelincahan dengan
perubahannya lagi. Celakanya bambu hijau di tangannya justru
tersedot miring ke kanan, tersendal pula ke kiri, bila lingkaran
pedang kedua menggencet, bambu hijau itu pasti akan terlepas dari
cekalan. Namun pada saat gawat itulah tempurung emas Tay Kiat sudah
menyerang Beng Hoa, segulung tenaga sedot yang tidak kelihatan
berhasil membendung gerakan pedang Beng Hoa hingga
gerakannya serong ke pinggir.
Dari pengalaman bertanding dengan Si-lo, sebetulnya Beng Hoa
sudah mcmikirkan akal bagus untuk mengalahkan musuh, dia kira
lwekang Tay Kiat pasti lebih rendah dari gurunya, cukup asal dia
mainkan gerakan pedang yang mengandung perubahan isi kosong
untuk menyerangnya, sebelum daya sedot tempu-rung emas
dilancarkan, yakin dia sudah berhasil melucuti senjata lawan. Tak
nyana, hasilnya justru di luar dugaan.
Daya sedot tempurung emas Tay Kiat rasanya lebih kuat dari
gurunya malah. Apalagi tak usah berputar kencang seperti yang
dilakukan gurunya. Pertempuran jago kosen hanya ditentukan dalam merebut
kesempatan. Karena salah perhitungan, mendadak sinar hijau
berkelebat tahu-tahu ujung bambu lawan sudah mengancam dada
Beng Hoa. Terpaksa Beng Hoa menahan napas menarik dada,
dalam detik-detik yang bcrbahaya itu, kaki tidak bergerak, namun
tubuhnya menggeser mundur lima dim ke belakang Anehnya, Tay
Kiat cukup mengerahkan sedikit tenaga tambahan mendorong
bambu menusuk ke depan, dada Beng Hoa pasti terluka tertusuk
runcing bambunya, namun dia justru tidak menggempur musuh saat
posisi menguntungkan dirinya, malah melompat mundur tiga
langkah. Dalam gerak singkat ini, jago-jago kosen dua pihak yang
berada dalam istana sama mendengar suara "Cret" yang lirih.
Mendadak kedua pihak melompat bcrpencar. Pek Ing-ki yang
menonton di luar pintu melihat jelas, baju di depan dada Beng Hoa
terdapat tiga titik kotoran, jelas itu bekas tutulan ujung bambu
lawan yang mengenai bajunya.
Pek Ing-ki menjadi gemas, pikirnya, "Ciong-tianglo menyuruh
bocah ini mewakili aku, sungguh membuatku malu saja. Hanya satu
gebrak lawan sudah meninggalkan tanda di tubuhnya, hm, masih
tidak malu dia tcrus melawan?" Dalam anggapannya Beng Hoa jelas
sudah kalah, maka Pek Ing-ki merasa khawatir bagi nama besar
perguruan-nya. Di luar dugaannya, wajah Ciong Jan justru menampilkan
senyuman riang, sebaliknya Yu-tan Hoatsu dan Si-lo mengunjuk
rasa malu sambil mengerutkan alis. Tak malu sebagai paderi sakti
dari negeri Thian-tiok, lekas Yu-tan Hoatsu tertawa sambil berseru
memuji, katanya, "Kuhaturkan sclamat kepadamu Ciong-tiang-lo,
perguruan kalian punya seorang tunas muda selihay ini, dalam usia
yang begini muda sudah memiliki kungfu setinggi ini. Hidup setua
ini, lolap baru pertama kali ini melihatnya."
Ciong Jan tertawa, katanya, "Kukira mereka sama-sama baik.
Hoatsu jangan memuji murid sampingan saja, murid keponakanmu
juga lihay dalam permainan tempurung emasnya, terhitung terbuka
mata losiu menyaksikan permainannya tadi."
Si-lo merasa perlu memompa semangat juang muridnya, maka
dia ikut bicara, "Betul, kedua pihak sama dirugikan, maka
pertandingan babak pertama ini boleh terhitung seri, belum ada
yang kalah. Nan, Tay Kiat jangan patah semangat, hayo-lah
teruskan dan jangan lupa mempertahankan gengsi gurumu."
Waktu mendengar percakapan mereka, karuan Pek Ing-ki
melengak heran, "Jelas bocah ini sudah kalah, namun menarik
pembicaraan mereka kelihatannya bocah itu yang menang."
Temyata waktu Beng Hoa menarik dada tadi ujung pedangnya
memang disedot minggir oleh tempurung emas lawan, namun
tenaga dan gerakannya masih terns turun sehingga bambu hijau
lawan tertangkis sckaligus menggores sobek jubah Tay Kiat. Kalau
dia tidak tangkas melompat, yang terluka pasti Tay Kiat bukan Beng
Hoa. Tapi Pek Ing-ki yang menonton di luar pintu jaraknya lebih jauh,
dia tidak melihat dan tidak mendengar ujung pedang Beng Hoa
yang menggores sobek jubah lawan. Yang dilihatnya adalah baju di
depan dada Beng Hoa ternoda di tiga tempat, sebaliknya letak
goresan pedang Beng Hoa tidak begitu menyolok di jubah orang.
Mendapat dukungan gurunya, Tay Kiat maju lagi ke tengah
gelang-gang, katanya dengan suara kering, "Jangan khawatir suhu,
tecu pasti takkan terkalahkan olehnya."
Bila kedua orang ini bergebrak lagi, tampak permainan Beng Hoa
lebih mantap dan tenang, tapi gerak-geriknya sering menyurut
mundur. Seperti jeri menghadapi permainan tempurung emas
lawan, maka sedapat mungkin dia menghindari bentrokan langsung
dengan senjata orang. Tapi setiap kali dia menyurut selangkah
berarti tekanan musuh berhasil dipunahkan sebagian.
Tay Kiat memang lebih banyak menyerang. Maklum kalau Pek
ing-ki berkeringat dingin, jantungnya dag-dig-dug. Di luar tahunya
orang lain, bukan hanya Pek Ing-ki saja yang tidak tenteram
perasaannya, temyata perasaan kedua paderi sakti dari Thian-tiok
itu juga tidak tenang. Yu-tan Hoatsu berkhawatir karena Beng Hoa hanya pernah
mendapat petunjuk beberapa jurus ilmu pedang dari murid generasi
ketiga dari Thian-san-pay, yaitu Teng Ka-gwan, putera ciangbunjin
Teng King-thian, mengukur kepandaian Beng Hoa, dia
membayangkan kepandaian Teng King-thian pasti tiada taranya.
Semula dia yakin dirinya pasti dapat mengalahkan Teng Kingthian,
namun setelah melihat permainan Beng Hoa, keyakinannya
tadi menjadi goyah. Sementara Si-lo membatin, "Kelihatannya bocah ini belum dapat
menyelami inti kelihayan permainan tempurung emas kami, asal Tay
Kiat dapat main secara bebas dan menyesuaikan keadaan, mustahil
dia tidak bisa menang dalam babak per-tama ini."
Memang benar Beng Hoa belum berhasil menyelami keanehan
permainan batok lawan namun dia sudah menaruh curiga, dinilai
dari keberhasilannya menangkis bambu hijau Tay Kiat tadi, jelas
bahwa lwekang Tay Kiat belum setanding dengan gurunya. Tapi
kenapa daya sedot tempurung emasnya justru lebih besar dan kuat
dari gurunya" Umumnya kekuatan daya sedot permainan
tempurung itu bertambah kuat bila lwekang lebih tangguh, bila
lwekang rendah jelas daya sedotnya pun lemah, Beng Hoa tidak
percaya lawan dapat bermain sulap.
Temyata dasar tempurung emas Tay Kiat diberi lapisan besi
sembrani. Dalam pertandingan, setiap jurus jago kosen selalu
diperhitungkan dengan baik, terpaut sedikit saja akibatnya bisa
fatal. Umpama daya sedot besi sembrani dalam tempurung emas
Tay Kiat tak berhasil menyedot pedang Beng Hoa, sedikit banyak
tetap mempengaruhi permainannya. Tadi Ciong Jan memuji
permainan tempurung emas Tay Kiat, sebetulnya sudah memberi
peringatan kepada Beng Hoa. Kalau Ciong Jan sudah tahu letak
keanehan permainan lawan beradadi dalam tempurung emasnya itu,
Beng Hoa belum menyadari, namun tak enak dia memberi tahu.
Untunglah Beng Hoa bukan pemuda bodoh, walau dia tidak tahu
rahasia besi sembrani di dasar tempurung emas lawan, namun dia
berhasil menemukan cara baik untuk mematahkan permainan
tempurung lawan. Dalam pertempuran sengit itu, lay Kiat
menggunakan cara tadi, bambunya bergerak lincah, gerakannya ini
hanya pancingan sementara tempurung emas di tangan kiri dengan
keras mengarah batok kepala Beng Hoa.
Mendadak Beng Hoa mengulur tangan kiri menepuk tempurung
emas lawan. Kalau yang dihadapi sekarang adalah Si-lo yang
memiliki lwekang lebih tinggi, jelas Beng Hoa tidak berani melawan
senjata orang dengan tangan kosong. Tapi meski dia sudah tahu
bahwa lwekang Tay Kiat tidak sctangguh yang diduganya semula,
cara yang ditempuhnya ini pun amat berbahaya.
"Tang" tempurung emas terpukul telak dan jatuh di tanah.
Sementara pedang di tangan Beng Hoa menyelinap terus
menyontek, kontan bambu hijau Tay Kiat mencelat tcrlcpas.
Mungkin tidak kuat menahan tenaga pelintiran pedang Beng Hoa,
bukan saja tongkat bambunya terlepas, Tay Kiat sendiri juga
terjatuh. Tay Kiat menyerang dengan bernafsu, mendadak tempurung
jatuh dan tongkat terpelintir oleh pusaran pedang kilat Beng Hoa,
seperti kereta yang sedang berlari kencang, mendadak kaki depan
sang kuda tersandung jatuh, sementara kereta masih terdorong ke
depan, begitu tubuhnya menyeruduk ke depan tak kuasa lutut pun
tertekuk. Lekas Beng Hoa menyarungkan pedangnya serta
memapahnya berdiri, kata-nya tertawa, "Tidak berani kuterima
penghormatan sebesar ini, tadi sudah kubilang kau tak perlu
menyembah kepadaku."
Karuan merah padam selebar muka Tay Kiat, bergegas dia ambil
tempurung emas dan bambu hijau terus kembali ke belakang
gurunya. Si-lo berkata, "Kalah menang dalam pertempuran sudah jamak,
pertandingan tiga babak baru satu babak kalah masih ada dua
babak, biar gurumu yang menarik kemenangan."
Melihat keponakan muridnya kalah, semula Yu-tan Hoatsu sudah
akan turun gelanggang, tapi dia berpikir, "Untuk mengalahkan Ciong
Jan kuyakin tidak sukar. Tapi kalau Ciong Jan kalah, ciangbunjin
mereka akan turun di babak ketiga, Si-lo sute jelas bukan
tandingannya. Tiga babak kalah dua babak, um-pama aku
mengalahkan Ciong Jan, juga tetap di pihak yang kalah. Biar-lab Silo
sute saja yang turun pada babak kedua, walau kalah menang
sukar diramalkan, tapi dia masih kuat melawan musuh."


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si-lo lebih sederhana, orangnya jujur, dia tidak peduli apa yang
dipi-kir sang suheng, segera dia tampil ke depan serta berkata,
"Tiga di antara empat tianglo Thian-san-pay sudah kurasakan
kelihayannya. Maka babak kedua ini biarlah aku bertanding dengan
Ciong-tianglo. Usiamu lebih lanjut, tenaga jasmani bukan
tandinganku, tapi tadi aku sudah berkelahi, maka jangan ang-gap
aku menarik keuntungan."
Bahwa Si-lo turun gelanggang memang sesuai harapan Ciong
Jan, lega hatinya, katanya, "Apa perlu kau beristirahat lagi?"
"Aku malah khawatir kau anggap aku menarik keuntungan.
Bicara sejujurnya, waktu melawan kedua sute-mu tadi, aku tidak
banyak menggunakan tenaga."
"Bagus, kau ingin pamer kepandaian, terpaksa kuiringi kehendakmu,
bertanding dengan cara apa?"
"Murid sampingan mereka memiliki kiamhoat sebagus itu, maka
kiamhoatmu pasti lebih ampuh, marilah kumohon petunjuk ilmu
pedangmu." "Boleh saja," ujar Ciong Jan. "Tapi tunggu sebentar." Lalu dia
menoleh keluar serta berteriak, "Ing-ki, suruh orang mengambil
pedang-ku." Temyata Ciong Jan tidak selalu menyandang pedang,
waktu melawan pedang Beng Hoa tadi, dia pun bertangan kosong.
Pek Ing-ki menjawab, "Tecu tahu supek akan memakai pedang,
sejak tadi sudah kusuruh Ho-sute mengambilnya."
Waktu mengantar gurunya kembali ke kamarnya tadi, Hong Ingyang
memang sudah mengambil pedang sang supek, segera dia
mengiakan dan tampil ke depan menyerahkan sebilah pedang
kepada Ciong Jan. Pedang masih dalam serangka, bentuknya
temyata kuno dan antik. Setelah menyerahkan pedang. Ho Ing-yang
menjura sesuai tata tertib, lalu dia mengundurkan diri keluar pintu. ,
Melihat sikap hormat ketika menerima pedang antik dan kuno itu,
Si-lo Hoatsu tahu bahwa pedang lawan adalah pusaka jaman
dahulu. Tak nyana setelah Ciong Jan meloloskan pedangnya, hanya
sebilah pedang kayu. Berubah air muka Si-lo Hoatsu, katanya, "Ciong-tianglo, dengan
pedang kayu ini kau hendak menghadapi tempurung emas dan
tongkat bambuku" Aku tidak mau menarik keuntungan. Ketahuilah
tongkat bambu hijauku ini senjata pusaka yang kcrasnya melebihi
besi." Ciong Jan tersenyum ramah, katanya, "Sejakaku berusia
empat-puluh tahun aku sudah mcmakai pedang kayu ini, jadi sudah
dua-puluh tahun lamanya. Senjata yang sudah cocok tentu tak
diganti. Apalagi kita kan hanya bertanding saja; kenapa harus
mcmakai senjata tajam seperti adu jiwa saja" Kau menarik
keuntungan kurasa tidak jadi soal."
Berkerut alis Yu-tan Hoatsu, katanya tawar, "Sute sudah sekian
puluh tahun kau meyakinkan ilmu, kenapa masih ngelantur kalau
bicara" Jangan kau anggap pedang kayu Ciong-tianglo sebagai
mainan, kehebatannya tak kalah dari pedang pusaka orang lain."
Silo tersentak sadar. Maklum bagi seorang kosen, daun atau
kembang cukup untuk melukai atau membunuh jiwa orang. Apalagi
sebatang pedang kayu yang keras dan kuno ini, walau kepandaian
Si-lo Hoatsu belum setaraf itu namun dia tahu akan hal ini. "Baiklah,
biar aku membuka mata. Silakan Ciong-tianglo," sikap congkaknya
lenyap seketika. Ciong Jan berkata, "Tuan rumah mengiringi kehendak tamu.
Taysu datang dari tempat jauh, silakan menyerang lebih dulu."
"Baik, aku tidak sungkan lagi," seru Si-lo. Tongkat hijau
dimainkan sebagai pedang menusuk dada Ciong Jan, Bila tusukan
tongkat lawan hampir mcnycntuh dada, de-ngan gerak kalem Ciong
Jan guna-kan jurus Jun-hun-ka-jan menyanv puk tongkat lawan
dengan pedang kayu. Jurus ini memang bergerak menunggu
serangan lawan. "Tring" tongkat hijau orang berhasil disampuknya
minggir. Gerakan pedang kayu malah tidak berhenti, bergerak ke
depan, "Ser" menusuk lambung lawan. "Tang" temyata tusukan
pedang kayu tertangkis tempurung emas sehingga terpental balik.
Dalam gebrakan pertama ini, Ciong Jan tidak unggul di atas
angin, padahal permainannya lebih unggul dari lawan. Pedang kayu
membentur tempurung emas, temyata pedang tidak patah. Hal ini di
luar dugaan Si-lo Hoatsu, apalagi lawan mampu mematahkan
serangan tongkat hijaunya.
"Lwekang tua bangka ini temya-ta setingkat lebih tinggi dari aku,
unrung dia pakai pedang kayu, masih ada cara untuk mengalahkan
dia. Biarlah aku kuras dulu tenaganya."
Kini permainannya berubah, Ciong Jan juga merasa heran.
Tadi Ciong Jan menyaksikan bagaimana Beng Hoa mengalahkan
Tay Kiat, temyata yang dipakai Si-lo Hoatsu sama dengan muridnya.
Ciong Jan mcngira permainan ilmu guru dan murid ini pasti sama.
Kalau Beng Hoa mampu mengalahkan Tay Kiat, dia yakin dirinya
juga mampu mengalahkan Si-lo. Tak nyana permainan Si-lo Hoatsu
justru jauh berbeda dengan permainan murid-nya tadi.
Si-lo memegang terbalik tempurung emasnya, pantat tempurung
menghadap ke luar, dijadikan tameng. Sementara tongkat hijau di
tangan yang lain digunakan sebagai Boan-koan-pit, serangan
menotok hiatto temyata jauh berbeda dari permainan ilmu totok dari
aliran di Tionggoan, aneh juga lucu. Dengan pantat batok sebagai
tameng, dia tidak perlu khawatir menghadapi serangan pedang
kayu. Perlu diketahui, kemahiran tem-purung emas Si-lo Hoatsu untuk
menyedot pedang lawan hakekatoya adalah permainan lwekang,
tidak seperti Tay Kiat muridnya, daya sedot meminjam besi
sembrani. Tapi Si-lo tahu diri, orang pandai ada yang lebih pandai,
apalagi lwekang Ciong Jan lebih tinggi dari dirinya, khawatir dirinya
malah kalah, maka dia gunakan tempurung emas sebagai tameng
untuk mematikan serangan pedang kayu lawan.
Rencana Ciong Jan menjadi berantakan, terpaksa dia
mengandalkan kemahiran permainan pe-dang. Menghadapi
rangsakan lawan yang menggebu, timbul hasrat untuk menang
demi menjaga gengsi perguruan. "Baiklah, ingin aku mencoba
dengan kemahiran sejati yang pernah kupelajari selama ini, apakah
aku tidak mampu melawan ilmu silat Lan-to-si dari Thian-tiok"
Segera dia memusatkan pikiran menambah semangat, pedang kayu
dimainkan dengan kencang dan kuat, menimbulkan deru angin
keras. Serang menyerang secara sengit dan deras, Si-lo Hoatsu bagai
angin mengamuk, be run tun dia menubruk dan mcnerkam. Dalam
sekejap empat penjuru hanya terlihat bayangan tongkat hijau. Ilmu
tiam-hiat-nya temyata banyak variasinya, gerak-geriknya seperti
elang menyelinap ke hutan, mendadak setangkas kera melompat,
laksana kecapung menutul air, tiba-tiba segarang harimau
melompati selokan, menotok dari depan atau membalik ke
belakang, di samping menotok juga mengetuk, di mana ujung
tongkatnya bergerak hiatto mematikan di tubuh lawan menjadi
sasarannya. Murid-murid Thian-san yang menonton di luar kebat-kebit
hati-nya, tangan berkeringat dingin. Kepandaian Beng Hoa lebih
tinggi dari mereka, hanya dia yang tahu, kelihatannya Ciong Jan
seperti terdesak di bawah angin, padahal di samping bertahan, dia
masih leluasa balas menyerang, mantap dan tenang melawan
rangsakan lawan. Dalam keadaan seperti ini, umpama Ciong Jan tak
mampu mengalahkan lawan juga takkan terjungkal. Namun
demikian, menyaksikan betapa lihay dan gencar serangan tongkat
Si-lo mengincar hiatto, terkejut juga hatinya. "Teng Tiong-ai adalah
jago tiam-hiat lihay yang pernah kulihat, tapi kalau dibanding Si-lo
Hoatsu ini, perbedaannya laksana sinar rem-bulan dan kunangkunang.
Beberapa saat kemudian, permainan Ciong Jan semakin lambat,
pedangnya seperti benda berat, menuding ke timur, menggaris ke
barat, meski lambat gerakannya, serangan gencar Si-lo Hoatsu
justru tak kuasa menembus pertahanannya.
Saking gencar serangan Si-lo Hoatsu akhirnya dia kehabisan
tenaga juga, lambat laun serangannya makin kendor, sering kali
terdengar suara benturan, itulah benturan pedang kayu yang
tertangkis tempurung emas. Setelah terjadi benturan, maka gcrakgerik
kedua pihak menjadi lebih lambat lagi dari semula.
Beng Hoa menonton dengan terpesona dan kagum. Baru
sekarang dia meresapi intisari ilmu pedang tingkat tinggi, dari
permainan pedang Ciong Jan tidak sedikit arti ilmu pedang yang
dipelajarinya, sehingga ilmu pedangnya bertambah matang. Tidak
sedikit kesulitan yang dihadapi selama dia mempelajari Bu-bengkiam-
hoat peninggalan Thio Tan-hong, sekarang satu per satu
terpecahkan. Maka taraf ilmu pedangnya melonjak beberapa tingkat
lebih tinggi. Hal ini biarlah kita bicarakan dalam cerita sclanjutnya.
Jago-jago kosen dua pihak yang berada di Siang-hoa-kiong
sudah melihat jelas bahwa Ciong Jan sudah mulai ungggul di atas
angin, hanya murid-murid Thian-san-pay di luar pintu saja yang
masih menonton dengan kebat-kebit.
Melihat Ciong Jan pasti menang, lega hati Beng Hoa, pikimya,
"Sayang senjatanya pedang kayu, kalau pedang pusaka, sejak tadi
dia sudah menang." Beberapa saat kemudian, tampak uap putih
mulai mengepul dari kepala Ciong Jan, keringat juga mulai menetesnetes.
Sekilas dia melirik, dilihataya Kam Kian-khong dan Li Sin-tiau
tianglo mengunjuk rasa khawatir. Seketika Beng Hoa sadar, karuan
dia gugup, "Celaka, gelagatnya Ciong Jan tak kuat bertahan lebih
lama lagi." Walau dengan pedang kayu Ciong Jan berada di atas angin,
namun pedang kayu jelas lebih rugi melawan kedua senjata musuh,
maka dia harus menguras tenaga lebih besar. Bila dia tidak lekas
mengakhiri pertempuran ini, mungkin posisi bisa berbalik dalam
waktu singkat. Semula Beng Hoa sudah merasa lega, kini
jantungnya ikut berdebar kencang.
"Trang" mendadak pedang kayu beradu dengan tempurung
emas, pedang yang memantul itu langsung serong ke pinggir
menusuk ke dada Si-lo Hoatsu. Jurus ini di luar dugaan Si-lo, untuk
menolong diri lekas dia menarik tongkat, seluruh tenaga dia
kerahkan di tongkatnya ini sambil menggunakan jurus Heng-ka-kimliang
(Menyangga melintang penglari emas). Di tengah seruan kaget
orang banyak, tampak tongkat hijau Si-lo dengan pedang kayu
Ciong Jan tergetar lepas dari pegangan.
Tongkat hijau Si-lo adalah pusaka, kerasnya laksana baja,
sementara pedang Ciong Jan hanya kayu biasa. Kedua orang adu
kekuatan, akhirnya senjata sama terpental jatuh, menurut aturan,
Ciong Jan berada di pihak yang menang. Tapi secara suka rela
Ciong Jan memilih senjatanya, sebagai tianglo Thian-san-pay sudah
tentu dia tidak memperhitungkan untung ruginya, maka kejadian ini
hanya boleh dianggap seri. Apalagi tempurung emas lawan masih
terpegang, lawan masih mampu menyerang dengan tempurung itu.
Kalau Ciong Jan mengakhiri pertempuran yang dianggap seri ini,
maka babak ketiga jelas tiada orang di pihaknya yang mampu
melawan Yu-tan Hoatsu, Apalagi Si-lo masih pegang tempurung
emas, kalau dia tidak merebut atau memukulnya jatuh pula, bila
lawan nakal dan mungkir, celaka kalau menuduh pihaknya yang
kalah malah. Ciong Jan mengambil keputusan saat itu juga, begitu pedang
terlepas, kedua tangan segera menyerang.
Si-lo juga membuang tempurung emasnya, teriaknya, "Bagus,
biar aku adu tenaga dalam dengan kau!" Kelihatannya sikapnya ini
patut dipuji sebagai ksatria, padahal hanya ingin unjuk gengsi saja.
Maklum walau tenaga Ciong Jan banyak terkuras, sisa tenaganya
masih cukup membuat lawan keder. Begitu dia melontarkan pukulan
dua telapak tangan, damparan tenaganya laksana gunung gugur,
hanya melawan dengan sebelah tangan mana Si-lo kuat
menandinginya, maka dia membuang tempurung emasnya.
Begitu empat telapak tangan beradu, suaranya seperti guntur
menggelegar, namun mendadak suasana menjadi hening, seluruh
gerakan berhenti, kaki kedua orang seperti terpaku di tanah, telapak
tangan mereka lengket seperti saling dorong tanpa bergerak.
Kelihatannya suasana kembali tenang dan wajar, padahal adu
kekuatan seperti ini justru lebih tegang dari pertandingan senjata,
lebih berbahaya lagi. Yang kuat menang, yang kalah jatuh, tiada
pilihan lain atau untung-untungan. Begitu kalah menang ada
keputusan, pihak yang kalah kalau tidak mati pasti terluka parah.
Seluruh penonton menjadi tegang dan berdebar jantungnya.
Ditengah keheningan itu, mendadak keributan terjadi di luar Sianghoa-
kiong, menyusul terdengar benturan senjata dan teriakanteriakan,
terdengar pula caci maki murid-murid Thian-san-pay.
Ciong Jan masih adu tenaga dengan Si-lo, cuma gayanya
berubah, kalau tadinya berdiri kini mereka duduk bersimpuh, dua
telapak tangan mereka masih terus lengket. Seluruh pcrhatian
ditumpahkan pada lawan, apa yang terjadi di sekitamya seperti
tidak djperhatikan. Dalam pertandingan senjata tadi, tenaga Ciong Jan lebih banyak
terkuras, padahal Iwekang-nya lebih tinggi. Dalam adu tenaga
dalam kali ini, mereka boleh dikata seimbang. Adu kekuatan dalam
seperti ini sangat berbahaya, maka mereka tiada yang berani
memecah perhatian. Pertempuran di luar makin sengit, suaranya gegap gempita,
jeritan bercampur umpatan, agaknya beberapa murid Thian-san ada
yang terluka. Pek Ing-ki sedang berteriak-teriak minta bantuan.
Kecuali Beng Hoa yang menonton pertandingan di dalam Sianghoa-
kiong, masih ada Kam Kian-khong dan Li Sin-tiau. Kam Kiankhong
berwatak lebih kasar, dia kira Yu-tan Hoatsu membawa orang
menyerbu kemari, maka dengan nada menuduh dia bertanya, "Yutan
Hoatsu, sebagai ketua Lan-to-si, guru besar kaum persilatan di
Thian-tiok, tokoh kosen yang diagulkan dan disegani, kenapa kau
tidak dapat dipercaya?"
"Tidak dapat dipercaya bagaimana?" tanya Yu-tan Hoatsu.
"Bukankah kau bilang hanya akan bertanding tiga babak di sini,
kenapa tidak menepati janji?" tuduh Kam Kian-khong.
Berkerut alis Yu-tan Hoatsu, ka-tanya, "Bukankah sekarang
sedang berlangsung babak kedua" Aku tidak turut campur, kenapa
bilang aku tidak menepati janji?"
"Siapa yang bertempur di luar itu?" sent Kam Kian-khong.
"Kau sebagai tuan rumah tidak tahu, memangnya sebagai tamu
aku harus tahu malah?"
Li Sin-tiau lebih cermat, selanya, "Kalau taysu tidak mengambil
keuntungan, lekaslah kau kendalikan orang-orangmu di luar itu."
Yu-tan Hoatsu menggelengkan kepala, katanya, "Maaf aku tak
bisa membantumu, aku pun tak bisa mewakili kalian."
Kam Kian-khong naik pitam, serunya, "Apa maksudmu" Mereka
yang membuat onar di luar kalau bukan orang-orang Lan-to-si, juga
kemari ikut kalian, kenapa kau tak bisa mengendalikan mereka?"
"Jangan salah paham," ujar Yu-tan Hoatsu, "aku berani
tanggung, orang-orangku pasti tiada yang turun tangan, kuanjurkan
kau keluar memeriksa, apakah orang-orangku yang membuat onar."
Kam Kian-khong dan Li Sin-tiau saling pandang, tanpa berjanji
mereka memandang ke arah Ciong Jan yang masih mengadu tenaga
dalam dengan Si-lo. Sesaat mereka berdiri bimbang, sukar
mengambil keputusan. Yu-tan Hoatsu tertawa dingin, katanya, "Kau takut aku
mencelakai suheng kalian" Hm, kalau aku bermaksud jahat, sejak
tadi sudah kubunuh kalian. Memang kalian menghadapi kesulitan,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pantasnya aku membantu. Tapi kalian menuntut aku menepati janji,
terpaksa aku tinggal di sini saja menunggu babak ketiga, Apalagi
ciangbunjin kalian belum juga keluar, kenapa aku harus mewakili
kalian menenteramkan huru-hara ini."
Secara tidak langsung Yu-tan Hoatsu justru memaki Kam Kiankhong
dan Li Sin-tiau tidak tahu aturan. Kam Kian-khong yang
berangasan tidak sempat adu mulut lagi, jeritan-jeritan di luar pintu
lebih menarik perhatiannya, agaknya beberapa murid Thian-san-pay
telah menjadi korban. Kaget dan gusar mengaduk hati Kam Kiankhong,
segera dia berjingkrak seraya berteriak, "Kalau bukan
perbuatan orang kalian, kenapa tidak kau katakan sejak tadi?"
Tawar suara Yu-tan Hoatsu, "Sejak tadi sudah kubilang supaya
kau keluar melihat sendiri, salahmu sendiri tidak menerima
anjuranku. Tapi, lebih baik salah satu di antara kalian tetap di sini
saja, kalau sute-ku mengalahkan suheng kalian, ada saksinya."
Kam Kian-khong merasa anjuran orang memang beralasan,
tanpa terasa dia menoleh ke arah Beng Hoa, saat mana Li Sin-tiau
juga sudah berdiri siap keluar bersama sang suheng.
"Li-tianglo," kata Beng Hoa, "lebih baik kau saja yang tinggal di
sini. Biar wanpwe menemani Kam-tianglo keluar."
Setelah tahu musuh yang menyerbu bukan anak didik Yu-tan
Hoatsu lega perasaannya. Tadi dia dia sudah meyaksikan
kepandaian Beng Hoa, bantuannya jelas amat berarti, maka dia
berkata, "Baiklah." Lalu dia duduk kembali.
Waktu Beng Hoa beranjak keluar dari Siang-hoa-kiong bersama
Kam Kian-khong, orang-orang Yu-tan Hoatsu memang berdiri
mengelompok di atas undakan, mereka menonton sambil berpeluk
tangan. Sikap mereka seperti mencemooh dan menghina, untung
kalau mereka tidak turut campur.
Seluruh murid-murid Thian-san-pay yang ada telah terjun dalam
pertempuran sengit melawan para penyerbu, musuh yang menyerbu
berjumlah sekitar tigapuluhan, dalam jumlah, murid-murid Thiansan-
pay jauh lebih banyak Tapi taraf kepandaian mereka justru
terpaut jauh. Para penyerbu itu rata-rata berkepandaian tinggi,
malah serangan mereka pun keji dan kejam, satu di antaranya yang
berambut merah lebih buas lagi. Waktu Kam Kian-khong melangkah
keluar, kebetulan dia menyaksikan si rambut merah ini memukul Ho
Ing-yang hingga luka parah.
Beng Hoa terkejut, dia kenal si rambut merah ini, dia bukan lain
adalah Auwyang Tiong, guru siluman Toan Kiam-ceng. Dalam
pertempuran gaduh dan acak-acakan ini, sukar baginya menemukan
apakah Toan Kiam-ceng juga ikut menyerbu.
Kini Kam Kian-khong juga melihat seorang jago yang sudah
dikenalnya, orang ini dengan telapak tangannya sedang
merobohkan Pek Ing-ki. Di antara murid-murid Thian-san-pay
generasi kedua, ke-pandaian Pek Ing-ki terhitung paling tinggi,
dengan pedang mustika dia melawan tangan kosong musuh,
temyata dengan mudah dirobohkan.
Karuan Kam Kian-khong naik pitam, bentaknya, "Lau Cau-pek,
Thian-san-pay selamanya tak bermusuhan dengan kau, berani kau
melukai sutit-ku." Beng Hoa berlari turun undakan, teriaknya, "Kam-tianglo, nyonya
siau-ciangbun kalian juga dilukai oleh Lau Cau-pek ini." Hal ini sudah
dibebernya di hadapan Ciong Jan dan Pek Ing-ki beramai namun
Kam Kian-khong belum tahu.
Untung Kam Kian-khong muncul tepat pada waktunya. Pedang
Pek Ing-ki sudah terpukul jatuh oleh Lau Cau-pek, sekali cengkeram
tulang pundak Pek Ing-ki pasti dapat diremasnya remuk. Kam Kiankhong
masih dalam jarak tujuh lang-kah, lekas dia melontarkan Bikkhong-
ciang, gerakan Lau Cau-pek agak tertahan, tubuhnya
limbung kc pinggir hingga cengkeramannya luput.
Lau Cau-pek bergelak tawa, serunya, "Kenapa aku takut" Betul,
istri Teng Ka-gwan memang aku yang membunuh, kemarilah kau
menuntut balas kematiannya. Hehehe, dengan kemampuanku yang
tidak seberapa ini biar jiwamu kurenggut sekalian."
Gusar Kam Kian-khong bukan main, segera dia menubruk maju
seraya melontarkan tiga jurus pu-kulan. Seperti diketahui, Tay-cuipi-
jiu Lau Cau-pek tiada bandingannya di jaman ini, kenyataan
memang lihay luar biasa, beruntun dia menangkis pukulan Kam
Kian-khong. Saat mana Beng Hoa menemukan dua orang yang sudah dikenalnya
di pihak musuh yaitu Teng Tiong-ai dan Wi To-ping.
Temyata Auwyang Tiong semula tinggal di Toa-hiat-nia yang
terletak di perbatasan Tiongkok dengan India, jadi dia punya
hubungan kental dengan kaum persilatan di India. Di antaranya Tay
Kiat, murid Si-lo Hoatsu. Dari mulut Tay Kiat, Auwyang Tiong tahu
bahwa dua paderi sakti Thian-tiok itu akan pergi Thian-san untuk
bertanding kungfu, dari mulut Toan Kiam-ceng dia tahu pula bahwa
ciangbunjin Thian-san-pay yaitu Teng King-thian sedang tetirah
untuk beberapa lama lagi, maka dia mengadakan kontak dengan Wi
To-ping dan Teng Tiong-ai yang saat itu berada di Lhasa, malah
mereka pun mengundang jago-jago kosen dari kalangan sesat
menyusul ke Thian-san, mumpung ada kesempatan mereka akan
menumpas Thian-san-pay dan mengobrak-abriknya, untuk
melicinkan jalan pasukan kerajaan Ceng dalam usahanya menyerbu
Hong Lui Bun 12 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 13
^