Pencarian

Anak Pendekar 6

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 6


Apalagi situasi dan kondisi tidak menguntungkan dirinya.
Penonton sudah mundur mepet dinding, tapi ruang pemujaan
kuil Lama ini memang sempit, maka gelanggang pertempuran cukup
terbatas. Gerak lincah tubuh Ciok Kian-ciang sukar dikembangkan,
menghadapi serbuan kedua tangan lawan yang lincah memerlukan
kegesitan pula, maka keadaan jelas lebih memojokkan dirinya di
bawah angin. Setelah menyaksikan belasan jurus, diam-diam Nyo Hoa berpikir,
"Kim-kong-liok-yang-jiu yang dimainkan Bun Seng-liong sudah jauh
lebih lihay dibanding dulu. Sebetulnya Ciok piauthau mampu
menandinginya, sayang bertempur dalam ruang sesempit ini, sukar
dia mengembangkan keampuhan Pukulan Kapas-nya, bila
bertempur lebih lama jelas akhirnya dia yang kalah."
Terbayang dalam benak Nyo Hoa kejadian sepuluh tahun yang
lampau di kala ayahnya mati. Waktu itu sepulangnya dari kota raja
Bun Seng-liong lantas berlutut dan menyembah sesambatan sambil
menangis menggerung-gerung di depan layon gurunya, dia
menuduh Hun Ci-lo yang membunuh gurunya. Terbayang akan
kejadian itu, terbakar amarah Nyo Hoa. "Kalau perbuatannya tidak
benar dan akhirnya dipecat dari piaukiok aku masih boleh
mengampuninya. Kini dia sudah menjadi antek kerajaan, demi
pribadi dan untuk umum adalah patut kalau aku melampiaskan
penasaran ibu sepuluh tahun yang lalu. Walau pertarungan Ciokpiauthau
dengan dia ini tidak akan menentukan situasi mendatang,
betapapun aku tidak boleh berpeluk tangan sehingga Ciok-piauthau
dikalahkan dia" Tapi cara bagaimana dia membantu Ciok Kian-ciang secara diamdiam
di hadapan banyak orang" Terpaksa Nyo Hoa harus memeras
otak untuk mencari akal. Secara kebetulan, dalam pertempuran
sengit itu Ciok Kian-ciang terdesak mundur berulang-ulang, saking
jengkel dan gemasnya, mendadak dia memukul dengan sepenuh
tenaga Di mana damparan angin pukulan melanda ternyata
mengeluarkan deru kencang dan terdengarlah suara barang jatuh
pecah bcrantakan di atas lantai. Ternyata seorang penuntun keledai
yang sedang memegang cawan telah disambar pukulan hingga
terlepas. Dalam saaatsesingkat inilah otak Nyo Hoa yang cerdik telah
bekerja-seketika dia pura-pura keserempet angin pukulan juga
hingga mangkok di tangannya ikut mencelat Sikap kagetnya
sungguh menyerupai kenyataan, sementara cawan di tangannya
mencelat ke arah Bun Seng-liong dan jatuh di depan kakinya.
Pecahan cawan berantakan di atas lantai, salah satu pecahan cawan
kebetulan terinjak oleh kaki Bun Seng-liong, sepatu sobek dan
tembus hingga melukai daging telapak kakinya. Seketika Bun Sengliong
menjerit kesakitan. Perubahan yang tak terduga ini
berlangsung amat cepat, kontan Ciok Kian-ciang menggenjotnya
roboh. Tersipu Siang Thi-hong memapahnya, telapak tangan menekan
punggung orang, segera dia punahkan sisa tenaga pukulan Ciok
Kian-ciang yang lunak tapi mengandung kekuatan bergelombang.
Syukur Bun Seng-liong tidak sampai terluka dalam, namun pukulan
Ciok Kian"ang yang jengkel ini memang tidak ngan, dua giginya
lepas dan mulutnya penuh darah.
Siang Thi-hong gusar, dampratnya, "Han Wi-bu, orang pihak
plau-kiok kalian kenapa main bokong, menyerang secara gelap?"
Han Wi-bu menjengek, katanya, "Apakah ucapan Siang-thocu
tidak keliru?" "Kenapa keliru?" damprat Siang Thi-hong, "memangnya
perbuatan kotor kalian harus dihalalkan?"
"Berdasar apa dan apa buktinya kau berani menuduh pihak kami
membokong?" "Jikalau bocah itu tidak menjatuhkan mangkoknya hingga pecah
sehingga Bun Seng-liong terpeleset hampir jatuh, memangnya Ciok
Kian-ciang mampu mengalahkan dia?""
Ciok Kian-ciang balas mendamprat, "Buka matamu, aku sendiri
pun terluka oleh pecahan cawan. Ini hanya luka-luka di luar dugaan,
kenapa kau memfitnah orang lain" Jikalau Bun-hiangcu kalian tidak
terima, boleh diulang lagi satu babak." Sembari bicara dia angkat
kaki kanannya di hadapan orang banyak, ternyata punggung
kakinya juga tergores berdarah oleh pecahan cawan.
Ternyata pecahan cawan itu sengaja dilempar oleh Nyo Hoa
dengan landasan lwekang-nya yang lihay, tenaganya bisa diatur
menurut ukuran, gerakannya juga lincah dan sempurna. Maka kalau
Bun Seng-liong terluka di Yong-coan-hiat di telapak kaki, sebaliknya
Ciok Kian-ciang hanya terluka lecet sedikit saja. Akan tetapi Ciok
Kian-ciang sendiri tidak tahu bahwa Nyo Hoa diam-diam
membantunya. Han Wi-bu tergelak-gelak, katanya, "Jadi begitulah duduk
persoalannya, yang kalian tuduhkan kepada kami dengan istilah
"membokong". Saudara cilik ini memang penunjuk jalan yang kami
sewa dalam perjalanan ini, hakekatnya dia tidak pandai silat, karena
kaget hingga cawannya terlepas jatuh. Bun-hiangcu kalian.adalah
murid tertua Nyo Bok guru silat terbesar yang terkenal di lima
propinsi utara, bahwa seorang pemuda tanggung yang tidak
sengaja melakukan kesalahan ternyata juga boleh dianggap
"membokong", apakah hal ini tidak menggelikan?"
Walau curiga tapi Bun Seng-liong paling pandang gengsi dan
harga diri, setelah dibantah Han Wi-bu maka dia pun tidak mau
meruntuhkan wibawa sendiri, membenarkan bahwa pemuda
tanggung yang keroco ini telah membokong dirinya, Maka dia purapura
sebal dan penasaran, teriaknya, "Sudah, sudahlah anggap saja
aku yang sial!" Ma Gun, wakil komandan Gi-lim-kun juga sedang bingung dan
sedikit curiga, tapi dia pun tidak yakin bahwa Nyo Hoa memiliki
kungfu yang lihay. Batinnya, "Kepandaian bian-ciang Ciok Kian-ciang
memang lebih unggul dari Bun Seng-liong, bila kedua pihak samasama
ketimpa bencana di luar dugaan, wajar kalau Bun Seng-liong
terluka lebih parah."
Tiada orang yang mendukung tuduhannya sementara Bun Sengliong
sendiri juga tidak memprotes, Siang Thi-hong juga tidak enak
meributkan soal ini. Setelah mendengus dia berkata, "Han-congpiau-
thaii, silakan keluar saja, biar- aku mohon petunjuk beberapa
jurus kepadamu." Di luar ada belasan pembantunya secara langsung
dapat bantu mengawasi gerak-gerik para piausu. Han Wi-bu
berkata, "Boleh, tuan rumah mengiringi kehendak tamu, apa pun
kehendakmu orang she Han tetap mengiringi."
Beramai-ramai orang keluar pintu dan berdiri di tengah pelataran
dalam sebuah lingkaran besar, semua siap menyaksikan adu
kekuatan antara Siang Thi-hong kontra Han Wi-bu. Supaya tidak
dicurigai, para piausu tiada yang membawa sesuatu, sementara
cawan arak juga sudah dibawa masuk seluruhnya oleh Lama kecil
pembantu Sama Hoatsu. Siang Thi-hong berkata, "Han-cong-piauthau, adu pukul sudah
tiada artinya, marilah kita adu senjata saja. Cuma senjata
tidak>punya mata, mati hidup kita terserah pada nasib."
Han Wi-bu mengeluarkan golok panjang berpunggung tebal yang
selalu dibawanya, katanya, "Boleh, silakan Siang-thocu keluarkan
senjatamu dan boleh mulai."
Seorang lelaki perawakan sedang tampil ke depan sambil
memeluk sebuah kotak panjang persegi langsung dihaturkan kepada
Siang Thi-hong, katanya, "Thocu. milah senjatamu."
Siang Thi-hong tidak ulur tangan menyambut, mendadak jari
tengahnya menjentik "tak" jentikan jarinya tidak menimbulkan suara
keras, tapi tutup kotak persegi itu seketika terbuka Kotak itu terbuat
dari kayu cendana yang tebal, hanya menggunakan kekuatan
jentikan jari tangannya ternyata Siang Thi-hong mampu
membukanya, karuan orang banyak terkejut, "Lwekang sehebat ini
memang luar biasa." Setelah tutup kotak terbuka, Siang Thi-hong ulur tangan
menjemput sebuah gitar besi, katanya dingin, "Tamu tidak
mendahului tuan rumah. Han-cong-piauthau, silakan kau memberi
petunjuk lebih dulu."
Berubah buruk air muka HanWi-bu, katanya, "Ternyata Siangthocu
adalah pewaris dari gitar besi Hari ini orang she Han dapat
menghadapi ilmu tunggal Bulim yang telah lenyap tigaratus tahun
lamanya, sungguh merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan
besar." Siang Thi-hong tergelak-gefak, ujarnya, "Ilmu tunggal Bulim
segala, sungguh tak berani kuterima. Han-cong-piauthau, ternyata
kau luas pengetahuan dan banyak pengalaman, sungguh
mengagumkan dan patut dipuji."
Seperti diketahui Thi-bi-ba-bun (Aliran Gitar Besi) diciptakan atau
didirikan oleh seorang jago kosen Bulim yang berwatak setengah
sesat setengah lurus di jaman dinasti Beng mulai bertahta. Cikal
bakalnya bernama Siang Ho-yang. Gitar besi adalah senjata tunggal
perguruannya, selama malang melintang di Kangouw belum pernah
menghadapi musuh. Hingga masa tuanya baru dia terkalahkan oleh
jago pedang nomor satu pada jaman itu, yaitu Thio Tan-hong Thio
tayhiap, sejak dikalahkan beliau mengasingkan diri dan tak karuan
jejaknya. Maka kepandaian tunggal Bulim seperti gitar besi itu pun
selanjurnya putus turunan di kalangan Kang-ouw.
Bahwa Siang Thi-hong bersenjata gitar, juga she Siang, Han Wibu
menduga bahwa orang yang satu ini pasti ada hubungan erat
dengan Ho-yang, dugaannya memang benar karena dia memang
keturunan lurus dari tokoh besar itu.
Kalau kepandaian gitar besi sudah putus turunan sekian puluh
atau ratus tahun, maka Han Wi-bu tidak jelas tentang seluk beluk
perguruan silat yang memiliki ilmu tunggal ini, pikirnya, "Menurut
cerita orang tua, letak kelihayan dari gitar besi ini adalah di
perutnya yang kosong, di dalamnya dipasangi senjata rahasia.
Maka aku harus berhati-hati terhadap amgi-nya yang lihay."
Siang Thi-hong tertawa, katanya, "Basa-basi sudah cukup. Nah
cong-piauthau, boleh turun tangan lebih dulu."
"Maaf," ucap Han Wi-bu, goloknya bergerak menciptakan cahaya
kemilau, perlahan-lahan membacok ke arah Siang Thi-hong. Bila
goloknya sudah mengancam di depan orang, mendadak "sret"
goloknya membacok secara main-main. Hai ini dilakukan Han Wi-bu
demi menjaga gengsi sebagai cong-piauthau, dia tidak mau turun
tangan lebih dulu. "Senjata tak bermata, awas sambut seranganku!" Siang Thi-hong
membentak, gitar besinya melintang di udara terus disapukan
seperti martil raksasa. Gempuran gitar ini ternyata hebat luar biasa,
penonton yang berjarak agak dekat merasa tersampuk angin
kencang mukanya, tanpa kuasa mereka menyurut mundur beberapa
langkah. "Tang" kembang api berpijar. Han Wi-bu memutar balik
punggung golok mengetuk gitar lawan dengan delapan bagian
tenaganya. Gitar besi itu terpental balik ke pinggir, golok besar Han
Wi-bu juga tertolak balik. "Kepandaian bagus!" Han Wi-bu bersorak
memuji sambil menurunkan pundak menekuk siku, memunahkan
tenaga tolakan keras dari benturan kedua senjata, sebat sekali
bacokan kedua pon sudah dilancarkan.
Penonton hanya melihat goloknya terayun, jurus kedua pun
dilancarkan, orang lain tidak tahu bahwa Han Wi-bu sedikit
terpengaruh oleh daya pental benturan tadi, yang jelas dalam
segebrak Han Wi-bu sudah menempatkan diri pada posisi yang lebih
baik hingga lawan dicecar dengan gencar, maka bersoraklah orangorang
piaukiok. Hanya Nyo Hoa yang diam-diam kaget, pikirnya, "Lwekang kedua
orang ini agaknya setanding, tapi di mana letak keistimewaan
permainan gitar lawan, mungkin Han-cong-piauthau belum tahu."
Siapa bakal menang memang sulit diramalkan, maklum kepandaian
Siang Thi-hong jelas tak bisa dibandingkan Bun Seng-liong, kalau
Nyo Hoa ingin membantu dengan cara yang telah dilaksanakan
terhadap Ciok Kian-ciang tanpa diketahui lawan, jelas bukan soal
gampang. Apalagi sekarang Ma Gun dan Ciu Jan sudah menaruh
perhatian terhadap dirinya, maka dia menonton dengan hati kebatkebit.
"Han-cong-piauthau terlalu memuji," ucap Siang Thi-hong
tertawa, "tapi lebih baik kita tentukan kalah menang dengan adu
kekuatan, supaya tidak ditertawakan orang bahwa kita hanya pandai
saling meng-agulkan diri." Sembari bicara dia sudah menyerang
dengan jurus Hing-sau-jian-kun, mematahkan serangan balas
menyerang, yang diserang bagian bawah Han Wi-bu.
Han Wi-bu menegakkan goloknya, menggunakan cara meminjam
tenaga melawan tenaga Siang Thi-hong menggempur dengan
punggung gitarnya, di tengah jalan mendadak berputar, kelima jari
tangan kiri berbareng bergerak, maka ber-deringlah suara yang
menusuk telinga, para pendengarnya seketika merasa hati risau,
gundah, dan tidak tenteram. Para penuntun keledai dari piaukiok
seketika tidak tahan, beramai-ramai mereka mendekap telinga
Dalam hati Han Wi-bu tertawa dingin, "Dengan suara gitarmu
yang jelek, kau hendak membuyarkan perhatian dan mengacau
pikiranku, apakah tidak terlalu meremehkan diriku?" Dia tunggu bila
gitar lawan memukul tiba ke depannya, sekali bacok dan iris, yakin
kelima senar gitarnya itu pasti dapat diputuskan.
Siang Thi-hong tahu maksud dan tujuan lawan, namun dia tidak
mengubah gerakannya Jurus H ing-sau-jian-kun tetap disapukan
dengan tenaga keras. Begitu golok Han Wi"bu menyontek dan
mengiris, gitar besi Siang Thi-hong tertarik minggirdan melayang
miring. Lima senar gitar yang kencang itu ternyata mengiris ke urat
nadidi pergelangan tangan Han Wi-bu. Walau tidak tahu di mana
letak keistimewaan senar gitar besi Siang Thi-hong, namun Han Wibu
sudah melihatnya bahwa kelima senar gitar itu pasti merupakan
semata pula, jikalau urat nadi sampai teriris, umpama kelima senar
gitar lawan berhasil dibikin putus diri sendiri juga terluka.
Reaksi Han Wi-bu ternyata juga amat sigap, dengan menekuk
pinggang seperti bercocok tanam, badan bergerak mengikuti
putaran golok, "ering, ering" dua kali, dua senar gitar lawan putus
tapi urat nadinya tidak terluka sedikit pun.
Ma Gun agak kecewa, pikirnya, "Gitar Besi adalah ilmu tunggal
dalam Bulim ternyata hanya bernama besar dan tidak selihay yang
diberitakan." Siang Thi-hong mendengus sekali, katanya, "Pusaka warisan
keluargaku kau rusak, kau harus mengganti."
"Kenapa Siang-thocu berkelakar dengan aku, dari mana orang
she Han bisa mendapatkan gitar macam ini untuk menggantinya?"
Siang Thi-hong menarik muka, bentaknya, "Kau harus ganti
dengan jiwamu!" Dua senar gitar yang putus itu semula menjuntai
turun, begitu Siang Thi-hong mengayun gitarnya, kedua senar putus
tadi mendadak tegak lurus laksana kawat, menusuk kedua mata
Han Wi-bu. Betapa lihay cara dia menggunakan tenaga dalamnya,
sungguh mengejutkan. Han Wi-bu juga bermuka masam, bentaknya pula menyeringai
dingin, "Kau mau mengambil jiwa orang she Han, memangnya
segampang yang kau duga?"
Dua utas senar yang tegak lurus menusuk mata itu, begitu tiba di
depan matanya mendadak lemas dan terdorong ke samping terus
menjuntai ke bawah pula. Ternyata Han Wi-bu meniupnya. Meniup
dua utas senar yang lemas sebetulnya bukan kerja yang sulit,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sulitnya justru kedua senar itu sedang menusuk dengan pengerahan
tenaga dalam Siang Thi-hong yang tangguh, bahwa Han Wi-bu
mampu mematahkan tusukan kedua senar itu hanya dengan tiupan
mulutnya, jelas bahwa lwekang-nya masih lebih tinggi dari Siang
Thi-hong. "Jangan pongah, masih ada yang enak rasanya boleh kau cicipi!"
bentak Siang Thi-hong. Ujung gitar besinya mendadak mengetuk ke
Hoan-tiau-hiat di lutut Han Wi-bu. Ternyata gitar besi yang besar ini
juga bisa digunakan menotok seperti boan-koan-pit. Han Wi-bu
mundur selangkah, goloknya bergerak dengan jurus Thi-li-keng-te
(Cangkul besi meluku sawah) menutup rapat pertahanannya. Cepat
sekali gitar Siang Thi-hong memukul miring mengincar pahanya. Kali
ini gitar besi itu dipakai menyerang seperti sebatang gada raksasa,
permainannya menggunakan Thay-co-gun-hoat. Dalam beberapa
jurus permainannya, ternyata dia berganti gerakan dengan aneka
variasi yang lihay. Kepandaian Han Wi-bu memang sedikit unggul,
tetapi menghadapi serangan bertubi yang beraneka ragam ini,
kebat-kebit juga hatinya Tapi yang terlihay adalah kedua senar
putus itu, mengikuti gerak ayunan gitar besi, senar itu bergerak
selincah ular berbisa, setiap ada peluang pasti mematuk ke hiatto di
tubuh lawan, kalau tadi menusuk mata dan kena ditiup pergi oleh
Han Wi-bu, kini yang ditusuk adalah hiatto di bawah pusar dan di
atas lutut. Betapapun tinggi lwekang Han Wi-bu takkan mungkin
meniupnya pergi. Hebat memang kepandaian Han Wi-bu, golok di tangan kanan
ternyata diputar di sekeliling tubuhnya, setiap serangan gitar besi
ditangkis atau dipatahkan, sementara jari tengah dan ibu jari tangan
kirinya selalu siap dengan ilmu Tan-ci-sin-thong, datang dari kanan
dijentik ke kanan, menyerang dari kiri disentil ke kiri, hingga suara
berdering terus berbunyi. Padahal senar gitar itu kecil dan lemas
sedang dimainkan lagi dengan ayunan tangan dan dilandasi lwekang
yang tinggi, bagi yang memiliki pandangan tajam juga takkan bisa
melihatnya tapi kenyataan Han Wi-bu selalu menjentiknya pergi.
Tapi karena dia harus memecah perhatian melayani tusukan
hiatto ketubuhnya, sehingga Siang Thi-hong mendapat kesempatan
merangsak-nya dengan gencar. Di tengah pertempuran sengit
itulah, mendadak Siang -Thi-hong cabut seluruh kelima senar
gitarnya terus disendai mengencang lurus, setiap jurus serangan
sekaligus mengincar lima hiatto di tubuh Han Wi-bu.
Karena kewalahan dan serangan lawan susah dijaga, mendadak
Han Wi-bu melejit ke atas terus bersalto ke belakang sejauh dua
tombak. Siang Thi-hong membentak, "Kalah menang belum ada
ketentuan, kenapa lari?"
Han Wi-bu membentak sekeras geledek, Mwutn sebelah tangan
membalik terus menggempur, bentaknya, "Jangan takabur, mari
buktikan siapa lebih lihay dan siapa yang lari?"
Tenaga pukulan telapak tangannya bagaikan badai, walau kuat
bertahan tak urung dia mundur sempoyongan juga, sudah tentu
serangan gencarnya pun terhenti. Agaknya Han Wi-bu sudah
perhitungkan, bila pertempuran ini berjalan lama, kemungkinan
dirinya bisa kalah oleh permainan lawan yang aneh dan sukar
diraba, maka dia merasa perlu mengubah cara bertempur, maka kini
dia lawan dengan serangan gencar dan keras. Beberapa langkah
mundur tadi adalah untuk melontarkan Bik-khong-ciang. Permainan
golok diselingi pukulan telapak tangan, tenaganya besar lagi
memang cukup hebat, begitu permainan golok berubah, selanjurnya
Siang Thi-hong tidak mampu mendekati dirinya.
Karena tak bisa bertempur dalam jarak dekat, maka
keistimewaan gitar besinya tak mampu dikembangkan, dengan
sendirinya permainannya menurun beberapa bagian, maka
pertempuran selanjutnya lebih sering dikuasai oleh Han Wi-bu.
Legalah orang-orang piaukiok, Ciok Kian-ciang segera bersorak
serunya, "Bagus, biar bajingan itu tahu kelihayan Han-congpiauthau
kita." Siang Thi-hong tertawa melengking, katanya, "Memang aku ingin
tahu sampai di mana kelihayan Han-cong-piauthau kalian." Di
tengah suara tawanya itu mendadak tubuhnya menubruk ke arah
Han Wi-bu. Di antara hadirin ada juga ahli silat, semua merasa
heran, pikirnya, "Pukulan tangan Han Wi-bu amat hebat, pantasnya
Siang Thi-hong mencari keuntungan dalam adu senjata, dengan
main tubruk begitu bukankah malah lebih menguntungkan lawan?"
Maka terdengarlah suara "Cret, cret" dari sambaran-sambaran
amgi, ternyata Siang Thi-hong telah melancarkan jurus pembunuh
terakhir yang paling ganas, yaitu amgi yang tersembunyi di dalam
perut gitar telah disambitkan seluruhnya.
Jarak teramat dekat, amgi menyerang mendadak dengan
kencang, bila orang lain pasti tubuhnya sudah penuh ditaburi
senjata rahasia Untung Han Wi-bu sudah siaga, dalam detik yang
kritis itu sebat sekali dia menyingkir sambil berjongkok, berbareng
sinar goloknya berputar sekencang baling-baling pesawat terbang.
Jurus ini dinamakan Kong-ciok-kay-ping (Burung merak
mengembang bulu), merupakan salah satu jurus lihay dari ilmu
golok warisan keluarga Han yang khusus untuk menangkis dan
mematahkan serangan amgi.
Suara "tang ting" berdering nyaring seperti bunyi musik, dalam
sekejap Han Wi-bu sudah memukul jatuh tiga batang toh-ku-ting,
dua batang ou-tiap-piau, empat panah pendek, berbareng kedua
tangannya menggentak, serumpun bwe-hoa-ciam telah dikebutnya
kembali. Ternyata bwe-hoa-ciam berbobot ringan, tak mungkin
dipukul rontok oleh golok besar, terpaksa Han Wi-bu
menggulungnya dengan lengan baju, hingga lengan bajunya penuh
lubang. "Kepandaian bagus," bentak Siang Thi-hong, "tapi belum tentu
kau mampu bertahan." Di tengah bentakannya, gitar besinya
dipukulkan. Han Wi-bu sedang menumpahkan perhatian
menghadapi serangan amgi, dalam keadaan terdesak tak mungkin
melontarkan Bik-khong-ciang pula. Kini lawan berinisiatif menyerang
hingga dia terdesak mundur beberapa kali.
Han Wi-bu belum sempat ganti napas dan menempatkan diri
pada posisi yang lebih baik, kembali Siang Thi-hong menekan
tombol, amgi di dalam perut gitar besinya kembali melesat keluar.
Serangan amgi kedua kali ini jauh lebih banyak dari yang pertama,
jenisnya juga aneka ragam, senjata rahasia yang dipakai menyerang
seperti tak habis-habisnya.
Betapapun tinggi kungfu Han Wi-bu, setelah diserang bertubi-tubi
begitu mau tidak mau dia kerepotan juga.
Orang-orang piaukiok berkeringat telapak tangannya, demikian
pula Ma Gun dan Ciu Jan ikut terpesona, pikirnya, "Ilmu tunggal dari
Thi-bi-ba-bun ternyata memang tidak bernama kosong."
Di tengah sambaran sinar golok dan hamburan senjata rahasia,
mendadak terdengar suara sobek Ternyata sebatang ou-tiap-piau
menyerempet pundak Han Wi-bu hingga pakaiannya sobek dan
terlihat dagingnya Bila ou-tiap-piau ini menyambar sedikit rendah
lagi, tulang pundak Han Wi-bu tentu patah dan pundaknya
berlubang. Siang Thi-hong bergelak tawa, bentaknya, "Nah tahu
kelihayanku" Jikalau tidak lekas menyerah, masih ada yang lebih
nikmat. Hahaha, aduh, aduh"." Gelak tawanya terhenti berganti
jerit kesakitan, badan sempoyongan terus roboh.
Perubahan yang terjadi mendadak ini sungguh mempesona
kedua pihak. Siapa pun tidak menduga di kala Siang Thi-hong sudah
di pihak yang unggul mendadak bisa terjadi perubahan ini, tidak ada
yang tahu apa sebab Siang Thi-hong mendadak jatuh.
Pada saat itu Han Wi-bu sedang melontarkan sejurus Bik-khongciang,
dalam hati dia maklum dengan Iwekang dan kepandaian
Siang Thi-hong, pukulan Bik-khong-ciang pasti belum mampu
memukulnya jatuh. "Siapa yang membantuku" Meski Sama Hoatsu
salah satu dari delapan murid terbesar Pek-kau, kepandaiannya juga
belum setaraf itu." Kalau dalam hati sendiri tahu, tapi penonton tiada yang mengerti.
Hadirin masih berdiri melongo, mereka kira Siang Thi-hong terpukul
oleh Bik-khong-ciang Han Wi-bu.
Giok Kian-ciang gelak-gelak, serunya, "Sekarang kau yang sudah
merasakan kelihayan cong-piauthau kami bukan?"
Taraf kepandaian Ma Gun jauh lebih tinggi dibanding Ciok Kianciang,
namun dia pun tidak tahu siapa yang turun tangan secara
sembunyi, pikirnya, "Apa betul kungfu Han Wi-bu tinggi sekali, pada
detik yang menentukan baru dia mengeluarkan ilmunya yang
mengejutkan?" Hatinya masih bimbang, khawatir Han Wi-bu maju
dan membunuh lawannya lekas dia tampil ke depan sambil
membuka kedua tangan, katanya, "Permusuhan lebih baik dihapus
sampai di sini daripada dipertajam, anggap kalian hanya bertanding
sambil mengukur kepandaian saja, selanjutnya juga tidak perlu
saling dendam. Bagaimana pendapat Han-cong-piauthau?" Kedua
tangan yang terpentang ini sengaja hendak mencoba Iwekang
orang. Begitu tangan bersentuhan, Ma Gun rasakan Iwekang orang
memang kokoh dan tangguh, seketika ia tergeliat dua kali namun
tidak sampai terjatuh, pikirnya, "Kungfu Han Wi-bu tinggi, namun
belum tentu mampu merobohkan Siang Thi-hong dengan Bikkhong-
ciang. Lalu siapa yang memiliki kungfu setinggi itu" Kecuali
Tong Keng-thian ciangbunjin Thian-san-pay, ciang-bunjin Bu-tongpay
Lui-tin-cu dan hongtiang Siau-lim Tay-pi Siansu."
Han Wi-bu berkata perlahan, "Ma-tayjin sebagai penengah,
baiklah aku tidak menarik panjang persoalan ini. Sebenarnya kungfu
Siang-thocu tidak rendah, aku hanya menang secara kebetulan saja.
Selanjutnya asal Siang-thocu tidak mencari permusuhan dengan
aku, kejadian hari ini boleh anggap tidak pernah terjadi. Siangthocu,
silakan, maaf aku tidak mengantar."
Siang Thi-hong sudah berdiri, badannya tiada terluka sedikit pun.
Ternyata dalam pertarungan itu mendadak Hoan-tiau-hiat di
lututnya linu kesemutan, tanpa sebab dia tersungkur jatuh. Tapi
lwekang-nya memang cukup tinggi, begitu dia kerahkan hawa
mumi, hiatto yang tertotok seketika bebas dan lancar.
Sudah tentu Siang Thi-hong jauh lebih angkuh dan tahan gengsi
dibanding Bun Seng-liong, meski hati curiga, tapi malu kalau mau
bilang ada orang membokong dirinya, padahal siapa pembokong
juga dia tidak tahu" Apalagi dia juga tahu pembokong itu memiliki
kungfu lebih tinggi, bila dia membongkar perbuatan orang,
kemungkinan tidak menguntungkan dirinya.
Pernyataan Han Wi-bu memang cukup adil, di samping
mempertahankan nama baik Siang Thi-hong, secara halus pula
mengusir dirinya. Betapapun gusar dan penasaran Siang Thi-hong,
kalau lawan bersikap ramah dan sopan, terpaksa dia harus segera
menyingkir dari tempat itu. Tapi sebelum berlalu pandangannya
menyapu sekitarnya, tiba-tiba dilihatnya Sama Hoatsu sedang sibuk
mencari biji tasbihnya yang terjatuh.
Tergerak hati Siang Thi-hong, "Mungkin hwesio ini yang
membuat gara-gara?" Ma Gun juga sudah melihat, tanyanya, "Sama Hoatsu, apa yang
sedang kau cari?" "Dua biji tasbihku jatuh," sahut Sama Hoatsu.
"Rentengan tasbih tergantung di lehermu, bagaimana bisa jatuh
dua butir?" Sama Hoatsu tertawa nyengir, katanya, "Kalian bertarung begitu
sengit, aku ikut menjadi tegang. Sambil menghitung tasbih tanpa
terasa tenagaku terlalu keras hingga benangnya putus. Untung
seketika aku sadar dan lekas kusambar, tapi ada dua butir telah
jatuh." "O, masa kejadian begitu kebetulan?" tanya Siang Thi-hong.
Lekas Ma Gun memberi isyarat kepadanya, katanya, "Hal ini tidak
boleh menyalahkan Sama Hoatsu, pertarungan kalian tadi memang
amat seru, tak usah gelisah akan ku-bantu kau mencarinya"
Seorang Lama kecil tiba-tiba berseru, "Suhu, kutemukan sebutir.
Nih di pinggir kakimu."
Diam-diam Ma Gun berpikir, "Konon Pek-kau lama memiliki
kungfu aneh dari aliran tersendiri. Tapi kalau dia yang dituduh
membokong Siang Thi-hong, aku tidak mau percaya." Segera dia
jemput biji tasbih itu terus diletakkan di telapak tangan Sama
Hoatsu, ujung jari sengaja menyentuh Lau-kiong-hiat di pusat
telapak tangannya. Lau-kiong-hiat memang bukan jalan darah
mematikan, namun merupakan perpaduan dua jalur Siau-yang-kingmeh,,
jikalau hiatto ini tertotok dengan Jong-jiu-hoat, hawa murni
bisa ludes, tidak mati juga terluka parah.
Sama Hoatsu seperti tidak menyadari maksud jahat orang,
telapak tangannya tetap terpentang lebar, dia terima biji tasbih itu
dengan tersenyum, katanya, "Terima kasih."
Bagi pesilat yang memiliki kungfu tinggi, membela diri dan selalu
siaga adalah merupakan kewajiban dan hal itu bisa terjadi secara
otomatis. Terutama dalam keadaan yang cukup menegangkan ini,
demi keselamatan jiwa raga, tidak mungkin tidak berusaha
menyelamatkan diri dengan kerahkan lwekang.
Ma Gun bimbang, pikirnya, "Mungkinkah taraf kepandaian hwesio
tua ini belum mencapai tingkatan itu" Bahwasanya dia tidak tahu
kalau ada Lau-kiong-hiat di telapak tangannya?" Ternyata di waktu
ujung jari tangannya hampir mengenai hiatto orang baru dia mengendorkan
tenaga. Tapi juga hanya dia sendiri yang maklum.
Jikalau kungfu Sama Hoatsu memang tinggi, berarti dia
mempertaruhkan jiwa raga sendiri. Ma Gun yakin orang tidak akan
berani menempuh bahaya ini. Pihak kerajaan sedang berusaha
merangkul Pek-kau Hoat-ong, sudah tentu Ma Gun tidak berani
melukai Sama Hoatsu. Agaknya Siang Thi-hong juga tahu akan titik ini, apalagi Ma Gun
sudah mencoba kungfu Sama Hoatsu, maka dia segan membuat
onar lagi. Dengan membekal rasa curiga dan bimbang, setelah
basa-basi ala kadarnya, segera dia tinggalkan tempat itu.
Kalau Siang Thi-hong pergi dengan hati tetap dirundung tanda
tanya, adalah Nyo Hoa tertawa geli dalam hati. Dia menyingkir di
samping sana di antara para penuntun keledai, siapa pun takkan
pernah menyangka bahwa orang yang membokong Siang Thi-hong
adalah bocah ingusan yang masih berbau bawang ini.
Di saat Siang Thi-hong menghamburkan amgi-nya ke arah Han
Wi-bu tadi, diam-diam Nyo Hoa membuat butiran tanah kecil,
dengan cara sentilan dia gunakan butir tanah itu sebagai amgi
mengincar Hoan-tiau-hiatdi lutut orang. Begitu menyentuh badan
orang, tanah itu lantas hancur, maka amgi istimewa ini jelas takkan
bisa ditemukan. Waktu itu pertarungan berjalan sengit dan tegang, pasir dan
debu juga beterbangan ditambah amgi berseliweran, hingga
pandangan orang banyak menjadi kabur, lalu siapa bisa
memperhatikan luncuran sebutir tanah kecil" Apalagi dalam benak
Ma Gun mengira hanya beberapa tokoh besar saja yang mampu
melakukan pembokongan selihay ini, mana mungkin mencurigai Nyo
Hoa yang dianggapnya masih kero-coini"
Pertarungan usai, keadaan pun tenang kembali, orang banyak
balik ke dalam ruang pemujaan. Pihak piaukiok segera merayakan
kemenangan ini dengan minum arak sepuasnya. Ma Gun sendiri
amat kecewa, namun lahirnya dia melayani suguhan arak dan ajak
Han Wi-bu bicara.

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Wi-bu berkata, "Terima kasih Ma-tayjin telah memberikan
keadilan, orang she Han menang secara kebetulan juga, tak berani
aku menerima pujian."
Ma Gun merah muka, katanya, "Sejak lama kutahu kepandaian
Han-cong-piauthau memang lihay, cukup berkelebihan untuk
menghadapi kawanan begal itu, jikalau aku bantu turun tangan
tentu menjatuhkan pamor cong-piauthau. Kenyataan memang Hancong-
piauthau yang menang, untuk ini harap cong-piauthau maklum
akan maksudku." "Tayjin terlalu memuji. Bukan saja tayjin telah menegakkan
keadilan, kau pun menjadi penengah, untuk ini perlu aku sampaikan
banyak terima kasih."
Ma Gun tahu arti terbalik dari ucapan orang maka dia bergelak
tawa untuk menutupi mimik dan sikapnya, katanya pula, "Tadi
permusuhan lebih baik dihabiskan daripada saling dendam, maka
aku mau menjadi penengah. Tapi sekarang aku tidak berpendapat
begitu pula, jikalau terjadi pula hal seperti ini, kupikir aku takkan
berpeluk tangan saja"
"Terima kasih akan maksud baik tayjin. Dalam beberapa hari ini,
yakin rombongan Bun Seng-liong dan Siang Thi-hong takkan berani
putar balik lagi." "Beberapa hari ini mungkin tidak, tapi beberapa hari kemudian
kukira sukar diramalkan. Dan lagi bukan mustahil ada rombongan
begal lain yang juga mengincar barang kawalanmu. Dengan bekal
kungfumu mungkin mampu bertahan, tapi kalau musuh terlalu
banyak, betapapun kau harus berhati-hati. Walau aku tidak bisa
membantu kau, tapi tambah satu tenaga juga lebih baik, karena itu
bersama Ciu Jan, kami bermaksud seperjalanan dengan kalian
hingga di Jik-tat-bok."
Han Wi-bu kaget, katanya, "Mana berani aku menunda
perjalanan kedua tayjin?"
"Obat-obatan ini akan diserahkan ke pihak Ok-khek-co-beng
bukan?" "Betul, Pek-kau Hoat-ong titip padaku supaya mengawal sendiri
barang-barang ini, untung Sama Hoatsu ada di sini bisa menjadi
saksi"." "Hari-cong-piauthau, jangan salah paham," ucap Ma Gun tertawa
lebar. "Bukan aku tidak percaya keteranganmu, maksudku bahwa
kau akari pergi ke Ok-khek-co-beng dan pasti lewat Jik-tat-bok,
kebetulan kita akan seperjalanan. Tujuan kami Lhasa, juga harus
lewat Jik-tat-bok, boleh nanti kita berpisah di Jik-tat-bok. Perjalanan
dari Jik-tat-bok ke Ok-khek-co-beng jauh lebih aman."
"Obat-obatan yang kami bawa ini terlalu berat, menuntun keledai
sehari paling harus menempuh Hma-puluhan li. Kalian punya urusan
dinas penting, mana boleh seperjalanan dengan kami?"
"Demi kawan berkorban sedikit juga tidak jadi soal, urusan
dinasku tidak mendesak. Kecuali kau tidak pandang aku sebagai
teman." "Ma-tayjin sudi bersahabat dengan aku, sungguh patut aku berbangga.
Tapi hubungan pribadi mana boleh mengabaikan urusan
dinas" Kuda kalian bisa berlari cepat, kalau berjalan dengan kami
lambat-lambat, kalau urusan dinas sampai terbengkalai, terus
terang tak berani aku memikul dosanya."
"Terus terang, kami hanya akan mengantar kado saja ke Lhasa.
Hay-tayjin juga tidak menentukan batas waktunya kapan kami harus
serahkan kado itu. Jadi kalau dibandingkan, keselamatan barang
kawalan kalian jauh lebih penting daripada urusan dinasku, bila hal
ini kulapor-kan kepada Hay-tayjin, bukan saja tidak salah, pasti
mendapat anugerah dan bukan mustahil pangkatku bisa dinaikkan
tiga tingkat malah."
Dalam hati, Han Wi-bu amat gelisah, sikapnya juga kelihatan
bingung, katanya, "Ma-tayjin, aku jadi tidak mengerti, aku
mengawal barang mana mungkin lebih penting dari urusan dinas
kalian malah?" Ma Gun tiba-tiba merendahkan suara berbisik, "Komplotan
pemberontak dari Siau-kim-jwan itu konon sekarang sembunyi di
daerah Jik-tat-bok, masa kau tidak tahu?"
"Aku tinggal di kota raja dan jarang keluar pintu, mana mungkin
bisa tahu rahasia ini" lapi, ya untung kami hanya lewat Jik-tat-bok,
kan tidak usah memasuki pegunungan."
"Memangnya mereka tidak bisa turun gunting melakukan
pembegalan" Obat-obatan ini bila terjatuh ke tangan mereka,
manfaatnya tentu amat besar."
"Kalau sampai terjadi peristiwa begitu, mana berani aku
membuat tayjin berdua tersangkut?"
"Bekerja demi baginda, mati pun tidak menyesal. Apalagi
membantu sahabat seperti dirimu, sesama kawan kan pantas kalau
saling bantu." . Han Wi-bu adalah orang yang amat teliti dari cerdik,
mana dia tidak tahu maksud orang" Dalam hati dia berpikir,
"Bantuan itu jelas palsu atau pura-pura belaka, yang benar adalah
hendak mengawasi diriku. Sayang sebelum ini. aku sudah berjanji
dengan Leng Thiat-jiau untuk menyerahkan obat-obatan ini di Suatu
tempat, umpama sekarang sempat kukirim kabar supaya dia turun
gunung membegal obat-obatan ini juga tidak keburu lagi.
Bagaimana baiknya?" "Bagaimana cong-piauthau" Kau khawatir kepandaian kami
rendah, tidak bisa membantu malah menjadi beban kalian saja?"
Tercekat hati Han Wi-bu, "Dia sudah curiga kepadaku, kalau kau
tetap menolak kehendaknya urusan pasti runyam" Terpaksa dia
berkata, "Ma-tayjin, harap jangan kecil hati, aku hanya khawatir
mengganggu urusan dinas kalian. Bahwa tayjin .judi membantu
kami, wah sungguh terima kasih sekali."
"Bila menghadapi kesulitan, kita kan keluarga sepenanggungan.
Han-vcorig-piauthau, kenapa kau begini sungkan" Baiklah demi
menambah rejekimu dan aku bisa naik pangkat, nah mari kita
habiskan secawan arak Sengaja Han Wi-bu habiskan secawan arak besar lalu pura-pura
sinting, katanya sambil melecetkan lidah, "Sayang di sini tidak ada
ikan bandeng, kalau ada semangkok kuah bandeng sayur asin, wah
sungguh nikmat Seingatku tahun lalu hampir saja lidahku kaku
waktu minum-minum kuah bandeng sayur asin sambil minum arak."
"Han-cong-piauthau, silakan istirahat," ucap Ma Gun.
Sama Hoatsu menimbrung, "Han-cong-piauthau, kau teramat
lelah, tidur di lantai mungkin mengganggu kesehatanmu, silakan
tidur di kamarku saja."
Han Wi-bu berkata, "Kalian tidak usah repot. Hwesio tua, kau ini
tuan rumah, mana boleh aku merebut sarang tidurmu. Oh, Ciokheng
di mana kau simpan peti yang berisi jinsom?"
"Ada di kamar tamu," sahut Ciok Kian-ciang.
"Memangnya Tio-toasiok terluka, sepantasnya aku menengok
keadaannya," demikian gerutu Han Wi-bu. Buru-buru Ciok Kianciang
hendak memapahnya, Han Wi-bu mengibaskan tangan,
katanya gusar, "Kau kira aku tidak berguna" Kau adalah wakilku,
sepantasnya kau melayani kedua tayjin ini." Sembari bicara diamdiam
dia memberi tanda lirikan kepada Nyo Hoa.
Nyo Hoa tertegun, lekas dia mengerti, katanya, Tio-toasiok amat
baik terhadapku, biar aku pun ikut menengoknya." Lalu dia
mengikuti Han Wi-bu ke dalam, ternyata Han Wi-bu tidak
merintanginya. Bahwa Han Wi-bu melarang Ciok Kian-ciang mengantarnya,
khawatir menimbulkan rasa curiga Ma Gun, dikira diam-diam
mereka berunding untuk menghadapi perkembangan selanjutnya,
kalau masuk bersama Nyo Hoa, yakin Ma Gun tidak akan banyak
curiga terhadap anak tanggung. Tak nyana, dugaannya justru
meleset. Mahal sejak tadi Ma Gun memperhatikan Nyo Hoa, tidak percaya
bahwa Nyo Hoa anak miskin biasa.
Kini Han Wi-bu diam saja Nyo Hoa ikut masuk, meski diam saja,
tapi Ma Gun merasa curiga, pikirnya, "Entah intrik apa yang
dilakukan Han Wi-bu dengan bocah ini, mungkin hendak mengerjai
aku" Tapi sebagai seorang yang punya kedudukan tak enak aku cari
alasan untuk ikut masuk atau berusaha mencuri dengar
pembicaraan mereka." Maklum Ma Gun adalah wakil komandan Gilim-
kun, yang terluka hanyalah seorang penuntun keledai Adalah
wajar kalau Han Wi-bu memperhatikan kesehatannya karena dia
bekerja untuk Tin-wan Piau-kiok.
Nyo Hoa masuk di belakang Han Wi-bu, ternyata penuntun
keledai itu sudah tidur pulas dan menggeros keras. Nyo Hoa
tertawa, katanya, "Di luar terjadi keributan segaduh itu, ternyata dia
bisa tidur sepulas ini."
Han Wi-bu berkata perlahan, "Jangan mengusiknya, ada
persoalan penting ingin kubicarakan dengan kau."
Mencelos hati Nyo Hoa, katanya, "Silakan cong-piauthau
memberi pesan." "Jangan sungkan. Nama baik Tin-wan Piaukiok bisa
dipertahankan adalah berkat bantuanmu, aku belum sempat
mengucap terima kasih kepadamu."
Nyo Hoa kaget, pikirnya, "Han Wi-bu ternyata seorang ahli,
pandangannya pun tajam. Kukira tiada orang yang tahu
perbuatanku, ternyata tidak luput dari matanya"
Bahwa bantuannya secara rahasia terbongkar oleh Han Wi-bu,
sesaat lamanya Nyo Hoa kebingungan, harus mengaku atau
mungkir, sebelum dia buka suara, Han Wi-bu sudah herkata pula di
samping telinganya perlahan, "Adik cilik, hari ini kau membantu
kami. Tak perlu aku berpura-pura terhadapmu lagi. Ada sebuah
persoalan penting, kuharap kau suka membantu."
Membara jiwa ksatria Nyo Hoa, katanya, "Terima kasih, congpiauthau
sudi anggap aku sebagai teman, ada tugas apa, bila
mampu melakukan pasti tidak kutolak, silakan cong-piauthau
katakan saja." "Terus terang, separo dari bahan obat itu akan kuserahkan
kepada laskar rakyat. Kedua perwira itu bilang mau ikut aku pergi
ke Jik-tat-bok, tujuannya jelas hendak mengawasi gerak-gerikku.
Kuharap kau bantu aku menghadapi mereka."
"Tidak sukar menghadapi mereka, aku khawatir kau akan terlibat
dalam persoalannya."
"Kau boleh berusaha memancing mereka pergi dan hajar saja
biar babak belur, asal tidak di hadapanku. Walau mungkin mereka
curiga bahwa aku biang keladinya, tapi urusan sudah terlanjur
sejauh ini, aku juga tidak perlu takut menghadapi urus-
Nyo Hoa berpikir sejenak segera dia maklum duduk
persoalannya, katanya, "Betul. Akal bagus. Mereka adalah perwira
tinggi Gi-lim-kun, kalau sampai dihajar oleh anak miskin macamku
ini demi gengsi dan kedudukan jelas takut diketahui orang,
seumpama orang bisu minum obat baik tidak bisa mengeluh. Cuma
dengan cara apa aku harus memancing mereka?"
"Terserah kepadamu, sepanjang jalan boleh kau bekerja menurut
situasi, yakin pasti ada cara dan kesempatan." Tengah bicara tibatiba
terdengar suara ringkik kuda di luar, dua ekor kuda kedengaran
berjingkrak-jingkrak. Ma Gun sedang bingung dan mencari akal dan alasan, bagaimana
supaya tidak merendahkan derajat mengawasi gerak-gerik mereka.
Baru saja dia dapat akal, "kamar mandi tentu terletak di belakang
kuil, aku pura-pura buang air kecil dan cuci tangan, pasti akan ada
kesempatan mencuri dengar pembicaraan mereka." Tapi sebelum
dia buka suara, didengarnya kuda meringkik dan berjingkrak di luar.
Karuan Ma Gun kaget, kedua ekor kuda mereka dilepas bebas
makan rumput di luar kuil. Dia kenal betul suara ringkik kuda
mereka, juga maklum akan tabiat tunggangannya, dari suara ringkik
dan kakinya seperti ada seorang asing duduk di atas punggungnya,
kuda itu tidak menurut perintah.
Tergerak hati Ma Gun dan Ciu Jan, tanpa berjanji keduanya
lantas berlomba lari ke luar, tampak seorang pemuda menunggang
seekor kuda serta menuntun kuda yang lain.
Karuan Ma Gun gusar kontan dia menyambit dengan sebatang
kong-piau seraya membentak, "Maling cilik dari mana berani
beroperasi di depan mata tuan besar, mencuri kuda tunggangan Gikim-
kun kami?" Pemuda itu memegang seutas cambuk lemas, memang itulah
senjata yang selalu dibawanya, kini dia gunakan sebagai cambuk
kuda. Bila kong-piau itu meluncur tiba, si pemuda ayun cambuknya
menggulung, kong-piau itu tergulung lalu ditimpuk balik. Karuan Ma
Gun terkejut, batinnya, "Kungfu bangsat cilik ini ternyata tidak
lemah." Pemuda itu bergelak tawa katanya "Memang betul aku ini maling
kecil. Kalian begal besar merampok barang kawalan piaukiok, aku
maling cilik tidak berani merampok, terpaksa jadi maling cilik
mencuri koda kalian pembesar yang banyak duit ini."
Senjata rahasia Ma Gun memang tidak mengenai si pemuda, tapi
untuk mematahkan serangan kong-piau itu si pemuda dipaksa
menggerakkan sebelah tangannya maka seekor kuda lain yang
dituntunnya terpaksa harus dilepas, mendengar panggilan sang
majikan, kuda itu segera putar balik.
Kuda tunggangan Ma Gun dan Ciu Jan adalah kuda pilihan dari
barat yang banyak terdapat dalam pasukan Gi-lim-kun, setiap orang
harus bertanggung jawab kepada kuda tunggangan sendiri dan
tidak boleh hilang. Karuan kedua orang ini gusar dan gugup, dan
dua orang satu kuda mengejar dengan kencang. Sambil mengejar
tidak henti-hentinya mereka menimpukkan senjata rahasia, walau
tahu serangan mereka takkan mampu melukai pemuda itu,
sedikitnya dapat menghambat larinya kuda.
---ooodwooo--- Mendengar ringkik kuda di luar, Nyo Hoa yang masih berada di
kamar amat girang di samping kaget Dari suara orang di luar dia
tahu pencuri kuda itu bukan lain adalah pemuda cakap yang pernah
menolong dirinya mengalahkan Si-ceng, Si-to dan Ngo-koan waktu
masih di Siau-kim-jwan dulu.
"Agaknya Thian memang maha adil. Han-cong-piauthau, kini tak
usah aku mencari akal lagi. Temanku sudah memancing pergi
mereka. Sekarang juga aku akan susul ke sana membantunya. Tapi
selanjutnya mungkin aku tidak akan kembali, harap cong-piauthau
maafkan dan terima kasih." Secepat angin dia lari keluar.
Nyo Hoa kembangkan ginkang, berlari pesat di permukaan salju.
Untung tapak kuda meninggalkan bekas yang jelas di permukaan
salju. Nyo Hoa terus mengejar menurut jejak kuda. Kedua ekor kuda
itu adalah kuda pilihan yang dapat berlari kencang, walau ginkangnya
tinggi mana mampu Nyo Hoa mengejarnya" Tapi besar
harapannya menemui pemuda cakap itu, meski tahu takkan mampu
mengejar, dia tetap genjot langkahnya.
Kejar punya kejar, mereka sudah berlari sekian lama dan
jauhnya, Ma Gun berdua masih terus menyerang dengan senjata
rahasia hingga akhirnya amgi mereka habis. Kekuatan lari kedua
ekor kuda itu berimbang, pemuda itu menunggang seorang diri,
jelas bebannya lebih ringan maka larinya lebih pesat. Lama
kelamaan Ma Gun menjadi patah semangat, bentaknya, "Maling
cilik, kalau berani sebutkan namamu!"
Dia kira setelah berhasil mencuri kuda pemuda itu tentu segera
lari menyembunyikan diri. Tanya siapa namanya hanya untuk
melampiaskan penasaran hatinya. Tak nyana mendadak pemuda itu


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperlambat lari kudanya malah, katanya tertawa dingin sambil
menoleh, "Kalau berani boleh kalian kejar kemari, kalian tidak
setimpal jadi temanku, kenapa harus memperkenalkan nama
segala?" "Bagus," bentak Ma Gun, "kalau berani jangan lari. Mari kita
tentukan siapa jantan atau betina."
"Di sini bukan tempat untuk berkelahi, kalau berani boleh kejar
aku, entah kapan bila hatiku merasa senang, saat itulah aku akan
bermain-main dengan kalian. Sekarang aku sih masih ingin lari
saja." Ma Gun murka, peduli apa yang dikatakan benar atau tidak, dia
terus mengejar kencang. Ternyata pemuda itu memang bermainmain
menggodanya, tiba-tiba diperlambat, bila jarak sudah agak
dekat dia pecut kudanya hingga kabur lebih cepat dan
meninggalkan mereka jauh di belakang.
Tanpa terasa pemuda itu tujukan kudanya ke tempat yang
berbahaya, kedua samping diapit dua bukit yang menjulang tinggi,
timbunan salju tinggi mencegat jalan, di sebelah samping kiri adalah
lembah yang dalam sekali. Ma Gun sudah kegirangan, "Kau sendiri membawa
kami ke jalan buntu, mau lari ke mana pula kau?"
Ternyata si pemuda juga menghentikan kuda, melompat turun,
katanya dengan tertawa, "Tempat ini kurasa cukup baik untuk
berkelahi, kalian boleh maju bersama" Ciu Jan berkata,
"Menyembelih ayam masa perlu pakai golok besar. Ma-toako, biar
aku bekuk maling cilik ini." Maklum Ma Gun adalah wakil komandan
Gi-lim-kun, atasan Ciu Jan, demi mempertahankan kedudukan dan
gengsinya, maka Ciu Jan merasa berkewajiban menampilkan
dirinya. "Bagus, kau harus hati-hati," ujar Ma Gun. Taraf kepandaiannya"
lebih tinggi, tadi dia melihat pemuda ini seperti memiliki kungfu
tinggi, dalam hati sudah waspada khawatir Ciu Jan bukan
tandingannya Tapi Ciu Jan orangnya kasar, berangasan lagi, dia merasa jengkel
karena merasa dianggap rendah oleh Ma Gun, "Sret" dia cabut golok
serta berseru, "Ma-toako tak usah khawatir, maling kecil seperti ini
memangnya aku tidak mampu membekuknya"
Pemuda cakap itu tertawa, katanya, "Kau sendirian tidak akan
mampu menyentuh aku, majulah bersama supaya aku tidak
membuang waktu." Ciu Jan gusar, bentaknya, "Maling pongah, kalau tidak kusembelih
kau, aku bersumpah takkan mau jadi manusia." Sekali
serang beruntun tiga bacokan mematikan. Ciu Jan adalah jago
kosen yang mewarisi Ban-liong-to, serangannya itu dinamakan Hunmo-
sam-ba, satu jurus tiga gerakan, setiap gerakan mengandung
tiga pembahan pula, setiap menghadapi musuh perubahan boleh
dilakukan menurut situasi. Musuh yang bertaraf rendah pasti takkan
mampu meloloskan diri dari serangan tiga jurus golok selebat hujan
badai ini. Ternyata si pemuda cakap berdiri santai, katanya tertawa, "Oho,
hanya kepandaian cakar kucing begini saja." Sembari bicara seperti
tak acuh cambuknya disapukan ke luar.
Golok Ciu Jan membacok miring, dari gerakan kosong menjadi
serangan sungguhan, yang dibabat adalah pinggang, ujung golok
mengancam Ih-gi-hiat di bawah ketiak pula. Satu jurus tiga gerakan
ternyata isi kosong mengandung perubahan yang tak teraba,
memang sukar dilayani Tak nyana permainan pecut dari pemuda
cakap itu ternyata jauh lebih aneh dibanding permainan goloknya, di
saat sinar golok menyambar dan bayangan cambuk bergerak,
tampak dia menggunakan Koay-bong-hoan-sin (Ular sanca
membalik badan) "Sret" cambuk lemasnya melingkar mcmbundar
laksana naga menari di udara, seperti
angin lesus saja menyapu, pundak kanan Ciu Jan telah
dipatahkan. Karuan Ciu Jan kaget, baru sekarang dia insyaf pemuda yang
dihadapi ternyata adalah lawan yang tangguh. Tapi dia
berpengalaman menghadapi musuh tangguh, meski kaget dia tidak
gugup hebat sekali dia membungkukkan tubuh memperkokoh
kedudukan, goloknya segera diubah menjadi jurus Ki-hwe-liau-thian,
sinar golok laksana rangkaian rantai perak menggubat di atas
kepalanya sehingga cambuk kecil pemuda cakap itu tak mampu
melukai dirinya. Gerak tubuh pemuda itu teramat cepat, cambuk lemas membalik
terbang, kakinya bergerak dengan To-jay-jit-sing-po, tubuhnya
seringan angin menghembus, orang dan cambuknya mendadak
berkisar ke belakang Ciu Jan.
"Awas, belakangmu Ciu-toako!" lekas Ma Gun berseru memberi
peringatan. Untung mendapat peringatan Ma Gun begitu merasa sambaran
angin di belakang, lekas Ciu Jan gunakan Hu-te-liong (Naga
mendekam di tanah) sekuatnya dia tarik diri menekuk pinggang
merebahkan badan, cambuk lawan menyambar lewat di atas
punggungnya, tapi gerak dan keadaanya sudah runyam.
Cepat sekali pemuda cakap juga sudah membalik tubuh
mengembangkan Jay-hong-sian-ou disusul
Hun-liong-tiau-bwe dan Kim-beng-jan-ji, tiga jurus serangan
cambuk beruntun. Sekaligus pemuda cakap mengembangkan
kesehatan gerak tubuh disertai serangan cambuk yang lihay, jadi
tiga kali putar tiga jurus serangan lihay, membelit kepala, menyabet
pinggang dan berkisar dengan kedua langkah sejurus lebih gencar
dari jurus yang lain, sehingga Ciu Jan dicecarnya mencak-mencak
seperti kera mencium terasi.
Melihat Ciu Jan bukan tandingan si pemuda, Ma Gun berteriak,
"Ciu-toako, mundurlah kau biar aku bekuk?" belum habis dia bicara,
"Cret" punggung Ciu Jan sudah termakan cambuk, robekan baju Ciu
Jan tampak beterbangan, punggung pun tampak merah sejalur.
Untung kulit punggung Ciu Jan keras dan tebal, namun cambuk itu
pun cukup membuatnya menjerit kesakitan.
"Robohlah kau," bentak pemuda cakap. Cambuk lemasnya tibatiba
diturunkan terus menyapu datar dari bawah, tiba-tiba terdengar
"Cring" di kala cambuknya hampir menyapu roboh Ciu Jan ternyata
Ma Gun memburu tiba menjentik ujung cambuknya. Kecepatan
gerak tubuh Ma Gun ternyata tidak kalah dibanding pemuda cakap.
"Ciu-toako," seru Ma Gun, "minggirlah istirahat, biar kubekuk
bocah ini." Melihat kepandaian si pemuda cukup tinggi, dia juga
tidak yakin dirinya pasti menang, maka nada suaranya sedikit
bimbang tidak segalak tadi.
Pemuda cakap tertawa, katanya, "Sudah, kalian maju bersama,
kenapa tidak mau dengar nasehatku, sehingga temanmu kena
kuhajar, tapi sekarang juga belum terlambat."
"Kalau kau mampu mengalahkan sepasang tangan kosongku,
boleh nanti kau membual lagi," demikian damprat Ma Gun. Dengan
tangan kosong ternyata dia layani serangan cambuk si pemuda.
Sebagai wakil komandan Gi-Iim-kun, kepandaian Ma Gun jelas
lebih tinggi dari Ciu Jan. Pemuda cakap bergerak lincah mengelilingi
gelanggang, dengan jurus Sin-liong-jip-hay, ujung cambuknya
menegang terus melingkar, menyapu dari tiga arah kepada Ma Gun,
ujung cambuk dapat digunakan menotok hiatto, juga dapat berubah
setiap saat untuk melilit leher Ma Gun, bila leher terjirat napas putus
tentu jiwa melayang. Ma Gun mendengus, serunya, "Permainan cambukmu amat keji,
memangnya kau dapat berbuat apa terhadap orang she Ma." Sekali
raih dia sambar cambuk lawan.
Cambuk lemas yang menyapu ini bergerak laju. Ternyata Ma Gun
tidak kalah cepat, sebelum cambuk menyentuh badannya, kedua
pundaknya tampak bergerak, ujung kaki menjorok ke depan secepat
angin lesus tubuhnya berputar keluar menempel cambuk orang.
Serangan cambuk si pemuda yang aneh dan keji ini ternyata tidak
mengenai sasaran, ujung cambuknya masih beberapa dim di
samping badannya tapi jari tangannya juga mencengkeram tempat
kosong, cambuk lawan tak mampu direbutnya."
Begitu cambuknya luput mengenai sasaran, sebat sekali pemuda
cakap sudah pindah posisi, selebat hujan kembali dia menyerang
dengan Wi-hong-sau-yap, "ser, ser, ser" ujung cambuknya mendesis
keras, bayangan cambuknya berkelebat di empat penjuru seperti
membungkus badan Ma Gun. Melihat serangan cukup deras, tak berani Ma Gun merebut
cambuk orang secara kasar, lekas dia kerahkan tenaga pingggang,
dengan Yan-cu-coan-hun (Burung walet menyelinap mega)
tubuhnya melambung setombak ke udara turun di belakang si
pemuda cakap, telapak tangan kanan sekalian membelah turun.
Bahwa cambuknya mengenai tempat kosong, pemuda cakap juga
sudah berhati-hati pada bagian belakang, mendengar angin
menentukan arah, seolah-olah tumbuh mata di belakang kepalanya,
secara tepat cambuknya menyambar ke tempat Ma Gun berpijak.
Cepat laksana kilat, peluang tiada, cambuk panjang lengan
pendek, jikalau Ma Gun tidak segera mengubah permainan dan
tetap menubruk turun, kemungkinan sebelum telapak tangannya
mendarat di tubuh lawan, tubuhnya sudah terbelit cambuk lebih
dulu. Padahal dalam saat genting dan terjepit demikian jelas dia
tidak akan sempat berkelit, sekali dia mundur, pemuda cakap itu
berbalik punya peluang balas menyerang, jelas Ma Gun tidak
mampu mendekati lawan sementara senjata musuh panjang, bila
kesempatan lenyap maka tenaganya akan sia-sia dan terbuang
percuma. Kungfu Ma Gun memang luar biasa, pengalaman tempurnya juga
amat luas, dalam detik yang kritis itu dia dapat mengambil
keputusan menurut situasi. Mendadak dia memberatkan badan terus
menggunakan Thi-pan-kio, gerakan tubuh membungkuk sehingga
tubuhnya hampir menyentuh bumi. Maka cambuk melesat lewat
menyerempet baju punggungnya, namun sedikit pun dia tidak
kurang suatu apa. Sigap sekali, sebelum lawan menarik cambuk lemasnya, Ma Gun
sudah menerobos maju sambil badan membungkuk, sementara
punggung telapak tangannya menyangga cambuk, telapak
tangannya menepis tegak membelah masuk, seperti hujan badai
laksana amukan gelombang, ternyata dia sudah kembangkan
serangan terbuka yang mematikan.
Kepandaian kedua pihak setan-ding sama kuat Ma Gun
mengembangkan Khong-jiu-jip-pck-to mc-rangsak dengan
kecepatan dan lan-dasan tenaga hebat sehingga angin menderu
kencang menggebu ke arah musuh. Ternyata kepandaian pemuda
cakap juga bukan main lihaynya, cambuk lemas itu dapat dibuat
kaku dan lurus seperti sebatang tongkat, gerakan cambuknya juga
mengundang damparan angin kencang. Begitu mundur sigap sekali
sudah menerjang maju pula, dia pun melancarkan permainan
cambuknya yang aneh, maka seperti berlomba mengadu kecepatan
serang menyerang ini berlangsung dengan sengit.
Seratus jurus telah tercapai, mau tidak mau kedua orang sama
kaget. Pemuda cakap berpikir, "Agaknya aku terlalu pandang enteng
musuh. Setelah Pakkiong Bong mampus, dalam kalangan Gi-lim-kun
masih ada juga jago sekosen ini. Kalau tahu begini seharusnya aku
mengajak teman untuk membantu."
Demikian pula Ma Gun juga terkejut, pikirnya, "Betapapun aku ini
adalah wakil komandan Gi-lim-kun, kalau seorang maling cilik pun
aku tidak mampu mengalahkan, bila tersiar di luar bukankah bakal
ditertawakan orang" Untung Ciu Jan sudah kecundang oleh bocah
ini, kejadian yang memalukan jelas takkan diceritakan kepada orang
lain. Tapi sejak hari ini, bagaimana juga dia pasti akan memandang
rendah diriku." Ciu Jan sudah beristirahat dan sedikit pulih
tenaganya, katanya setelah menjemput goloknya pula, "Waktu
sudah mendesak, kita harus lekas bereskan bocah ini."
"Baiklah," sahut Ma Gun tawar. Pemuda cakap tertawa besar,
katanya, "Kan sudah kusuruh kalian maju bersama, kenapa harus
pakai alasan segala." Lahirnya dia bersikap tak acuh, padahal dalam
hati mengeluh, maklum kepandaian Ciu Jan memang lebih rendah
namun juga terhitung jago lihay. Sekarang dia hanya setanding
dengan Ma Gun, bila lawan ditambah satu musuh, jelas dirinya
berada di pihak yang dirugikan.
Merah muka Ma Gun, bentaknya, "Bangsat kecil, kemarian di
depan mata, masih berani bertingkah." Tenaga dikerahkan,
pukulannya semakin gencar lagi. Ciu Jan bantu menggempur dari
pinggir, goloknya diputar sekencang baling-baling, yang dicari setiap
lubang kelemahan musuh. Bertempur beberapa kejap, pemuda itu
sudah mulai kendor gerakannya, tenaganya sudah berkurang, gerak
dan permainan cambuknya sudah tidak selincah tadi.
Tengah dia terjepit, tiba-tiba didengarnya seorang tertawa
dingin, "Dua mengeroyok satu, huh, tidak tahu malu, apalagi kalian
kan perwira tinggi dari Gi-lim-kun."
Ma Gun berpaling, dilihatnya kacung cilik Tin-wan Piaukiok itu
menggendong sebuah kantong kulit dan menjinjing sebuah buntalan
tengah berlari bagai terbang di tanah pegunungan yang tidak rata.
Ma Gun kaget pikirnya, "Memangnya aku sudah curiga bocah ini
bukan orang biasa, ternyata memang dia memiliki kepandaian yang
tinggi, kali ini aku betul-betul terkelabui."
Ciu Jan membentak, "Bocah busuk, kau tidak terima, boleh maju
sekalian." Nyo Hoa tergelak-gelak, katanya, "Memangnya, kalau tidak ingin
berkelahi dengan kalian, buat apa jauh-jauh aku menyusul kemari,
tapi aku sih tidak ingin memungut keuntungan percuma. Saudara ini
silakan minggir dan istirahat. Aku punya permusuhan dengan kedua
cakar alap-alap ini, jikalau mereka kau bunuh, selanjutnya aku
takkan bisa membuat perhitungan dengan mereka." Sembari bicara
sekenanya dia raih dua butir batu terus dijentik-nya. Ma Gun dan
Ciu Jan sedang melabrak pemuda cakap, jelas tak sempat
menghadapi serangannya, terpaksa mereka melompat menyingkir.
Ada kesempatan, segera pemuda cakap menarik cambuk melompat
ke luar kalangan. Cepat sekali Nyo Hoa sudah menggantikan
kedudukannya menghadapi kedua perwira Gi-lim-kun ini
Ma Gun membentak, "Kau menantang kami berdua?" Lahirnya
dia membentak menjaga gengsi, padahal dalam hati dia sudah
keder dan mengharap Nyo Hoa menantang mereka berdua maju
bersama. "Betul," ucap Nyo Hoa, "kalian sudah bertempur satu babak, bila
satu lawan satu bukankah aku mengambil keuntungan?"
Khawatir pemuda cakap itu tiba-tiba membokong di kala mereka
bertarung, Ma Gun berpikir biarlah Ciu Jan bersiaga di pinggir arena
mengawasi orang, kepandaian kacung ini kelihatannya tidak rendah,
namun dia yakin kepandaiannya juga tidak banyak berbeda dengan
pemuda cakap, betapapun dirinya masih kuat menghadapinya. Tapi
dia juga khawatir Ciu Jan bukan tandingan pemuda cakap. Walau
tenaga pemuda itu sudah banyak terkuras, khawatir yang ini
berpikir yang itu, berpikir yang itu khawatir yang ini, sesaat dia
bimbang. Nyo Hoa seperti tahu pikiran orang, mendadak dia menurunkan
kantong kulitnya dilempar ke arah pemuda cakap, katanya,
"Sekantong arak anggur ini, sengaja kubawa untuk kau minum.?"
Pemuda cakap menerima kantong itu, katanya, "Tidak usah
tergesa-gesa, setelah kau bereskan kedua cakar alap-alap ini, nanti
kita rayakan bersama dengan menikmati arak ini." Seolah-olah dia


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah memastikan bahwa Ma Gun dan Ciu Jan pasti kalah, lapi
secara langsung dia pun telah memberi pernyataan bahwa dirinya
tidak akan ikut campur. Nyo Hoa tergelak-gelak, katanya, "Nah sudah dengar kalian,
temanku ini tidak akan bertindak seperti kalian yang tidak tahu
malu. Kalau sudah bilang tidak akan memungut keuntungan ya
tidak. Tuan pembesar, di tengah jalan kemarin bukankah kalian
hendak menghajar aku" Kenapa sekarang berpura-pura" Hayolah
tak usah sungkan, silakan maju."
Ma Gun membentak, "Baik, kau sendiri yang ingin mampus!"
Tangan kanan menjaga badan, dua jari tangan kiri menotok hiatto
Nyo Hoa. Nyo Hoa menekuk sebelah lutut menggeser langkah, berkelit
sambil balas menyerang. Dua telapak tangan beradu, "Biang", Nyo
Hoa tergeliat Ma Gun mundur dua langkah. Tapi ujung jari Ma Gun
menyerempet walau tidak menotok hiatto, tapi menggores sobek
bajunya. Sebetulnya lwekang Ma Gun setanding dengan Nyo Hoa,
tapi setelah dia bertarung satu babak, tenaganya sudah berkurang,
namun pengalaman tempurnya jauh lebih luas, demikian pula dalam
permainan pukulan dia juga masih lebih unggul dari Nyo Hoa.
Sebelum lawan berdiri tegak, Nyo Hoa sudah bergerak dengan
jurus Cap-ji-pay-lian, orangnya belum maju tapi kakinya sudah tiba
lebih dulu, yang ditendang adalah selangkangan Ma Gun. Diamdiam
Ma Gun girang, pikirnya, "Pengalaman tempur bocah ini masih
cetek, rangsakan yang terburu nafsu begini, kapan kau takkan
kukalah-kan?" Sigap dia miringkan rubuh, telapak tangannya
menebas lutut Nyo Hoa. Di luar dugaan tendangan Nyo Hoa
ternyata serangan gertak sambal belaka, mendadak tubuhnya
mencelat ke atas kedua telapak tangannya sudah memukul ke muka
Ma Gun, sudah tentu Ma Gun tidak berani menangkis, dia berkelit
pula. "Bret" kali ini Nyo Hoa berhasil merobek pakaiannya.
Nyo Hoa membentak, "Masih ada satu, kenapa tidak maju
sekalian" Takut kubunuh ya" Jangan takut, aku tidak akan
mencelakai jiwamu." Ciu Jan tidak tahu kalau Nyo Hoa amat lihay, dia kira dalam tiga
empat gebrak Ma Gun pasti sudah berhasil merobohkan dia, jadi
yang diawasi justru pemuda cakap. Kenyataan Ma Gun tidak mampu
membereskan kacung cilik ini, dirinya ditantang pula, memangnya
dia be-rangasan, mana tahan sabar segera dia ayun golok seraya
membentak, "Bocah bagus, kau ingin lekas menghadap Giam-loong,
biarlah tuan besarmu kirim kau ke sana."
"Baik," ujar Nyo Hoa tertawa, "buktikan saja surat undangan
Giam-lo-ong bakal dikirim kepada siapa?"
Ciu Jan menubruk sambil ayun golok dengan jurus Hun-mo-sambu,
sinar goloknya berkilauan membungkus seluruh rubuh Nyo Hoa,
sekaligus mengincar atas, tengah dan bawah tubuhnya. Hun-mosam-
bu adalah jurus golok perguruannya yang terlihay, serba
lengkap dan mumi, banyak variasinya pula, jurus serangan yang
paling cocok untuk mengatasi kepandaian lawan. Seperti yang telah
dilaksanakan terhadap pemuda cakap tadi, terhadap Nyo Hoa
kembali dia gunakan jurus ini dalam gebrakan pertama.
"Bagus, mau adu tangan atau bertarung senjata juga boleh, aku
iringi kehendakmu," seru Nyo Hoa. Perlu diketahui, kiam-sut atau
ilmu pedang Nyo Hoa memang sudah teramat tinggi, namun
permainan pukulan tangannya justru masih cetek. Ma Gun
menyerang dengan tangan kosong maka dia tidak enak keluarkan
senjata, padahal dalam hati dia mengharap Ciu Jan lekas bergabung
dengan Ma Gun menyerangnya.
Belum lenyap suaranya, mendadak muncul cahaya kemilau
menyilaukan mata, dari dalam buntalannya Nyo Hoa sudah
mengeluarkan pedang, hanya dalam segebrak di mana golok
menyambar pedang bergerak, kontan Ciu Jan menjerit keras sambil
melompat mundur tiga langkah. Pakaian bagian atas tampak berlepotan
darah, ternyata tangan kirinya tergores luku sepanjang tiga
dim. Pemuda cakap yang menyaksikan dari luar arena diam-diam
amat kagum "Dengan sejurus yang mirip lay-bok-hou-yan, seketika
dia mematahkan jurus Hun-mo-sam-bu Ciu Jan, dapat melukainya
pula, cara yang digunakan jelas lebih unggul dan lihay dari cara
yang kugunakan untuk mematahkan serangan yang sama. Sungguh
tak nyana di dunia ini ada ilmu pedang seaneh ini." Maklum
kepandaian Ciu Jan juga tidak rendah, walau pemuda cakap tadi
mengalahkan dia, tapi juga duapuluh jurus kemudian.
Ma Gun kaget, telapak tangannya digerakkan sekencang angin,
dia mencecar Nyo Hoa supaya tidak menggempur Ciu Jan lebih
lanjut. Kepandaiannya memang berbeda dengan Ciu Jan, begitu
tenaga dikerahkan, tenaga pukulannya memang bergulung-gulung
laksana gelombang sungai, dengan sendirinya pertahanan tubuhnya
juga rapat dan kokoh, dalam waktu singkat jelas sulit bagi Nyo Hoa
untuk mengalahkan dia Nyo Hoa tertawa manis, katanya, "E, e, apa sih yang kau buat
gugup, menerima tamu juga harus ada aturannya, setelah temanmu
ini berangkat belum terlambat aku kembali melayani kau."
"Sret, sret", secepat kilat dia menyerang tiga jurus, setiap jurus
menyerang dari sudut yang tidak terduga oleh Ma Gun, kini Ma Gun
harus sibuk menyelamatkan diri sendiri, mana mampu mencegat
lawan pula" Sebat sekali Nyo Hoa mendadak melompat ke luar
kalangan, sinar pedangnya mencorong putih memanjang laksana
rantai menggulung datar ke arah Ciu Jan.
Ciu Jan mainkan goloknya putaran demi putaran, dengan Banliong-
to-hoat dia bertahan melindungi badan, jurusnya ini
dinamakan Sam-coan-hoat-lun (Tiga kali memutar roda). Ciu Jan
kembangkan jurus ini dengan kencang, sehingga tubuhnya
terbungkus rapat, seumpama disiram air juga tidak tembus, yang
diharap hanya bisa bertahan beberapa kejap, hingga Ma Gun
sempat memburu datang menolongnya, sekaligus membokong
pemuda dekil ini dari belakang.
"Robohlah kau," Nyo Hoa membentak. "Sret" tahu-tahu
pedangnya menyelonong ke dalam tabir cahaya golok Ciu Jan.
"Trang", pertahanan Sam-coan-hoat-lun yang dikembangkan Ciu
Jan ternyata tidak mampu menahan sejurus serangan pedang Nyo
Hoa. Golok bajanya mencelat terbang ke udara, Nyo Hoa layangkan
kaki menendang lututnya, seperti bola yang tertendang, tubuh Ciu
Jan mencelat jatuh menggelinding ke bawah lereng. Kejadian
teramat cepat, setelah Nyo Hoa berhasil menendang Ciu Jan baru
Ma Gun menubruk tiba di belakang.
Kontan Nyo Hoa balikkan pedang seraya berkata dingin, "Jangan
gugup dan gelisah, sekarang giliranmu." Seperti tak acuh,
seenaknya dia menggerakkan pedangnya, gaya pedangnya biasa
dan lamban, padahal di dalam gerakan sederhana ini terkandung
gerakan lihay yang tiada taranya, umpama jarum yang tersembunyi
di dalam kapas. Diartikan secara sederhana ialah mengalahkan
kekerasan dengan tenaga lunak, bila sebatang jarum tersembunyi di
dalam kapas, bila orang memukul kepada kapas itu, semakin besar
tenaga yang digunakan, luka-lukanya pasti , makin parah. Sebagai
seorang ahli silat Ma Gun tahu kelihayan jurus ini, lekas dia tarik
tangan mengubah gerakan. Tapi cepat sekali Nyo Hoa sudah
berputar, ser, ser, ser, beruntun tiga kali pula dia menyerang dalam
sekali tarikan napas, kali ini dia menggunakan tenaga besar, gaya
pedangnya bergerak laksana panah yang terbang di angkasa. Ma
Gun dicecamya mundur berulang kali.
Nyo Hoa tertawa, katanya, "Sekarang boleh kau tahu anak miskin
juga tidak boleh dihina dan dianiaya bukan" Setelah begini
keadaanmu, apa tidak lekas kau menyerah" Lekas berlutut dan
sembah tiga kali kepadaku, nanti kuampuni jiwamu."
"Bangsat cilik," damprat Ma Gun kalap, "biar aku adu jiwa."
Mendadak dia ubah permainan pukulan, tangan kanan melintang
membabat laksana golok, dua jari tangan kiri terangkap tegak, di
tengah sambaran pukulan tangan dan sinar golok, dia mencari
peluang untuk mengincar hiatto Nyo Hoa. Dia bertangan kosong,
kini kedua telapak tangannya dia gunakan sebagai senjata. Tangan
kanan bergerak menurut permainan Kim-na-jiu, ternyata dapat
bergerak laksana sebatang Bcng-gak-to yang terulur, tangan kiri
seperti sebatang potlot baja, saban-saban menotok hiatto
mematikan, jadi sekaligus dia mainkan dua jurus ilmu silat yang
berbeda dengan kedua tangan, serangannya gencar dan nekad
seperti ingin adu jiwa. Keadaan sementara bertahan sama kuat, Nyo
Hoa belum mampu mengalahkan lawannya dalam waktu singkat ini.
Menonton di luar arena, pandangan pemuda cakap menjadi
berkunang-kunang, batinnya, "Kalau tadi dia senekad ini melabrak
aku, mungkin aku sudah dikalahkan dia."
Didengarnya Nyo Hoa tertawa, katanya, "Adu jiwa juga tidak
berguna." Mendadak pedangnya putar balik seperti arus air yang
mendadak terbendung dan mengalir balik, tiba-tiba menusuk dari
arah yang tak terduga Ma Gun. Pedang panjang itu seperti benda
yang, berjiwa saja, mendadak bisa lemas dan bergerak sesuka hati,
lincahnya melebihi ular. Terasa oleh Ma Gun mendadak kepalanya
silir dingin, ternyata separo rambutnya sudah tercukur oleh ta-basan
pedang, rambutnya bertaburan di tengah sambaran pedang.
Pemuda cakap bersorak sambil bertepuk tangan, "He, kenapa
kau berbuat senakal ini. Jelek-jelek dia itu seorang pembesar," mana
mau menjadi hwesio. Kenapa kau mencukur rambutnya."
"Memang beralasan," ucap Nyo Hoa. "Baiklah, dia punya mata
tapi seperti buta, biarlah aku mencukur seluruh alis matanya supaya
lebih melek matanya, yakin kau pasti setuju dengan tindakanku."
Kedua tangan Ma Gun sudah melindungi muka, entah kenapa
terasa sinar kemilau menyilaukan mata hingga matanya terpejam.
Karuan kejut Ma Gun tak kepalang, lekas dia menjejak kaki bersalto
ke belakang sejauh beberapa tombak, begitu tangan meraba dan
mata dibuka, telapak tangannya tidak ber-lepotan darah. Tadi Ma
Gun mengira kedua matanya sudah tertusuk buta, kini baru lega
hatinya, tapi rasa kejut selanjutnya sungguh bukan kepalang.
Karena Nyo Hoa dapat mencukur alisnya di bawah pertahanannya
yang ketat, dalam gerakan secepat dan sesukar itu ternyata kulit
mukanya tidak terluka sedikit pun, sungguh susah dibayangkan
bagaimana kedua alisnya bisa tercukur begini kelimis.
Tahu ilmu pedang lawan teramat tinggi dan susah dilawan,
berdiri bulu kuduk Ma Gun, katanya, "Siapa kau sebetulnya" Aku
tidak bermusuhan dengan kau, kenapa menghinaku begini rupa?"
Nyo Hoa menyeringai dingin, je-ngeknya, "Memangnya belum
puas dan cukup kau menindas rakyat jelata" Memangnya ada
permusuhan apa rakyat yang lemah dan tidak tahu apa-apa itu
dengan kau" Kenapa kau menjadi antek penjajah menindas
bangsamu sendiri, hehe, kau ingin mencari tahu asal-usulku, boleh,
tidak sukar." Nyo Hoa gerakkan pedangnya membundar hingga Ma
Gun menyurut mundur ketakutan. "Boleh kau kembali ke Siau-kim-j
wan dan tanya kepada Teng Tiong-ai dan Gun-goan-cu atau kepada
Thian-thay Siangjin, gambarkan wajah dan bentuk tubuhku, tentu
mereka bisa memberi tahu kepadamu siapa aku."
Seketika Ma Gun paham, teriaknya terkesiap, "Kau, jadi kau, jadi
kau bocah inilah yang menyamar perwira tinggi Gi-lim-kun di Siaukim-
jwan itu?" Nyo Hoa tertawa, katanya, "Betul, ternyata kau juga pintar, sekali
tebak kena sasaran. Hehehe, bukan saja aku menyaru jadi perwira
kalian, aku pun menyaru jadi penunjuk jalan untuk Tin-wan
Piaukiok. Kau berhasil kukelabui, demikian juga Han Wi-bu kutipu
mentah-mentah. Hahaha, lucu tidak?"
Ma Gun juga seorang licik dan banyak akal bulusnya seketika dia
paham, batinnya, "Perkataannya ini dengan jelas untuk melindungi
Han Wi-bu supaya tidak tersangkut dalam peristiwa ini. Tapi kenapa
dia khawatir aku mencari perkara dan mengusut Han Wi-bu" Ah, ya,
agaknya tidak sungguh-sungguh dia hendak membunuh aku."
Maklum semalam Ma Gun dan Ciu Jan berada bersama Tin-wan
Piaukiok, Bun Seng-liong melihat mereka bersama, padahal Bun
Seng-liong juga bekerja untuk kerajaan secara sembunyi, jadi agen
rahasia atau intel dalam istilah yang lebih populer sekarang. Jikalau
mereka mendadak hilang, maka Bun Seng-liong pasti melaporkan
kepada atasannya. Kalau perkaranya diusut maka Han Wi-bu tidak
akan lolos dari kecurigaan. Paham akan hal ini maka dia berpikir
pula, "Jika kau mau membunuh aku segampang membalikkan
tangan. Dia sengaja hanya mencukur rambut dan alisku, adalah
untuk memberi muka kepadaku, selanjutnya tidak akan berani
membongkar keburukan sendiri, putar balik mencari perkara ke
pihak Tin-wan Piaukiok H mm, bocah ini masih muda, dari masa dia
dapat memikirkan muslihat sekeji ini" Bukan mustahil Han Wi-bu
yang memberi petunjuk kepadanya."
Sambil berpikir kembali Ma Gun sambut sejurus serangan lawan
terus mundur tiga langkah. Maka didengarnya Nyo Hoa berkata
lebih lanjut, "Kalau kau tidak percaya omonganku, boleh kau
kembali tanya kepada Han Wi-bu. ."Hai, bocah yang mencukur
rambut dan alisku itu siapa?" Han Wi-bu pasti takkan mampu
menerangkan asal-usulku tapi kemungkinan dia akan membawa kau
ke daerah sekitar waktu dia bertemu aku di atas gunung. Tapi aku
khawatir kau menindas dan menyiksa keluarga miskin yang tidak
berdosa, maka, hche, sekarang kucukur rambut dan alismu masih
pula ingin kukorek biji matamu, kupotong lidahmu." Sembari bicara
pedangnya bergerak pula seperti ular galak di depan muka Ma Gun.
Betapapun usia Nyo Hoa memang masih muda, dia hanya pikir
menggertak dan menakuti lawan, tidak disadarinya bahwa
ucapannya yang terakhir justru berkelebihan, seperti orang yang
menggambar ular sengaja ditambahi kaki.
Walau Ma Gun tahu kalau Nyo Hoa membual, tapi dia tidak
berani menggunakan badan sendiri sebagai percobaan melawan
permainan pedang Nyo Hoa. Meski tahu Nyo Hoa tidak berani
membunuh dirinya, tapi tak berani dia meyakini bahwa orang tidak
akan melukai badannya, bukan mustahil kedua biji matanya akan
ditusuk benar-benar. Semula dia kira Nyo Hoa tidak akan mengampuni jiwanya, maka
dia bertekad mengadu jiwa. Kini setelah tahu Nyo Hoa tidak akan
membunuh dirinya, semangat tempurnya sudah luluh, rasa takut
memenuhi hati, dan khawatir Nyo Hoa melukai dirinya pula. Maka
setiap kali pedang Nyo Hoa menusuk dia mundur dan mundur terus
hingga kakinya menginjak tempat kosong, kontan dia pun
terjerumus jatuh ke bawah lereng mengejar Ciu Jan yang telah
mendahuluinya. Pemuda cakap berseru memuji, "Ilmu pedang bagus."
Terdengar suara kuda meringkik, daun pohon berjatuhan.
Ternyata pemuda cakap sudah menjinakkan kedua kuda Ma Gun
dan Ciu Jan, serta mengikatnya di dahan pohon. Kini melihat kedua
majikan mereka menggelinding- ke bawah lereng, mendadak
keduanya berjingkrak-jingkrak dan meronta, ikatan tali kekang di
atas pohon cukup kuat hingga pohon kecil itu tergetar hampir
roboh. Nyo Hoa berkata, "Kau menangkap kuda mereka, aku malah
membiarkan mereka lari, sungguh harus disesalkan, aku, sebetulnya
aku"." "Memang lebih baik membiarkan mereka pergi," tukas pemuda
cakap, "kau tak usah khawatir, salju di dasar lembah cukup tebal,
mereka tidak akan mati jatuh ke bawah."
Nyo Hoa seketika sadar, diam-diam dia mentertawakan dirinya,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia ini orang yang berpihak kepada laskar rakyat, tentu dia lebih
jelas dari aku tentang rahasia Han Wi-bu. Memangnya perlu aku
memberi penjelasan ini kepadanya?"
Tawa pemuda cakap tampak manis seperti kembang mekar, dia
membawa kantong arak yang dilempar Nyo Hoa kepadanya,
katanya, "lak nyana kita akan bertemu pula di sini, kali ini kau
membantu aku, sepantasnya aku menghaturkan terima kasih.
Marilah kita rayakan kemenangan ini dengan minum arak."
"Tidak, justru kau yang membantu aku. Aku sedang bingung
bagaimana memancing kedua cakar alap-alap itu, kebetulan kau
datang. Hm, sejak kita berpisah di Siau-kim-jwan, sepanjang hari ini
aku amat merindukan kau, selalu aku berdoa semoga dapat
bertemu lagi dengan kau. Ternyata keinginanku dikabulkan."
Berhenti sebentar lalu menyambung dengan tertawa, "Sebetulnya
memang aku yang ceroboh, sepantasnya aku sudah menduga, kau
pasti akan ikut kemari."
Merah muka pemuda cakap, seperti marah seperti kesal, dia
melotot sekejap kepada Nyo Hoa, katanya, "Siapa bilang aku
mengikuti kau kemari, tak usah ya?"
Nyo .Hoa melengak, dia tidak mengerti kenapa mendadak muka
pemuda ini jengah, kenapa pula marah. Katanya rikuh, "Han-congpiauthau
hendak mengirim obat-obatan itu kepada laskar rakyat,
kukira kau pasti melindunginya diam-diam. Apakah dugaanku salah"
Hitung-hitung kita sudah menjadi teman, sesama teman mengharap
bisa sering kumpul, kan"."
Baru sekarang pemuda cakap tahu dirinya salah paham, seketika
dia tertawa cekikikan, tukasnya, "Kau tidak salah, aku" akulah yang
salah duga." Mendadak tergerak hatinya, pikirnya, "Sebetulnya aku
bisa meloloskan diri dari kejaran kedua cakar alap-alap itu, kenapa
aku justru memperlambat lari kuda hingga mereka dapat
mengejarku" Mungkin tujuanku bukan menunggu mereka, tapi
menunggu pemuda gagah ini" Sebetulnya aku pun kangen dan ingin
bertemu dengan dia." Mendadak menyadari rahasia hati sendiri,
seketika makin jengah mukanya.
Sudah tentu Nyo Hoa keheranan, terasa kepandaian pemuda ini
memang tinggi tapi tidak punya jiwa seorang lelaki gagah, sedikitsedikit
merah mukanya, sungguh mengherankan. Tapi dia memang
lugu, sesaat sukar dia menemukan kata-kata yang tepat untuk
diucapkan, lalu dia terima kantong arak dari tangan si pemuda serta
membuka tutupnya, setelah meneguk dua teguk arak anggur, dia
angsurkan kepada si pemuda, katanya tertawa, "Minumlah dulu
sebagai hormat, aku tidak membawa cangkir, mari kita minum
bergiliran." Lucu sikap dan mimik si pemuda waktu menerima kantong arak
itu" seperti rikuh, malu dan canggung, wajahnya semakin merah. -
"Arak ini bagus dan enak rasanya, kenapa kau tidak minum?"
tanya Nyo Hoa "Aku tidak biasa minum arak, mungkin seteguk juga sudah
mabuk," sahut si pemuda.
"Jangan khawatir, ini arak anggur bukan arak keras, kutanggung
kau tidak mabuk." Lalu Nyo Hoa menyambung, "Minum arak juga
perlu latihan seperti juga kungfu. Sam-suhuku, Tan Khu-seng; juga
gemar minum arak, beliau sering bilang yang tidak suka minum arak
bukan laki-laki sejati, sudah tentu ucapannya tidak boleh dibuat
ukuran, tapi setelah minum arak memang mungkin bisa
memperlihatkan kegagahan dan keperkasaan jiwa seorang lelaki."
Mendengar Nyo Hoa selalu menyebut "lelaki jantan" segala,
pemuda cakap menjadi gelisah, pikirnya, "Apakah dia sudah melihat
kegan-jilanku?" Nyo Hoa bicara asal bicara saja, pemuda cakap itu justru
menerima dengan rasa was-was, terpaksa dia juga menenggak
seteguk arak. Begitu arak masuk perut, wajahnya seketika makin
merah laksana buah apel yang ranum.
Nyo Hoa membatin, "Ada pemuda setampan ini dalam dunia,
jikalau dia menyamar jadi perempuan pasti sukar diketahui orang."
Tiba-tiba dia sadar pikirannya tidak benar, lekas dia melengos tidak
berani menatap si pemuda. "Kenapa aku punya pikiran ganjil ini?"
demikian Nyo Hoa berpikir pula. "Oh, betul, dia begini cakap,
sikapnya juga mirip gadis yang aleman. Tanpa sengaja aku
menghubungkan dua jenis orang yang sama dalam sifat"
Pemuda itu mengomel, "Kenapa kau menatapku begitu rupa?"
"Agaknya kau memang baru belajar minum arak. Tadi kukira kau
berbohong padaku." "Selamanya tak pernah aku berbohong. Kalau minum lagi
mungkin aku betul-betul bisa mabuk. Silakan kau minum sendiri."
"Di kuil Lama tadi memang aku belum puas minum. Baiklah, aku
tidak sungkan." "Apakah Han Wi-bu sudah menjelaskan seluruh rahasia itu
kepadamu?" "Dia bilang obat-obatan itu sebagian akan diserahkan kepada
laskar rakyat Kedua pembesar itu agaknya sengaja hendak
mengawasinya. Maka dia suruh aku berusaha menghadapi mereka.
Tengah aku mencari akal, kebetulan kau datang."
"Agaknya Han Wi-bu percaya kepadamu."
"Dan kau?" Merah pula muka si pemuda, katanya, "Tindak tandukmu agak
aneh, beberapa kali kau telah membantu laskar rakyat, tapi kau
ingin membunuh salah seorang pemimpin besar mereka, aku jadi
bingung dan tidak habis mengerti siapa kau sebetulnya, lapi kali ini
kau telah banyak membantu aku, paling tidak selanjutnya aku boleh
percaya bahwa kau bukan musuhku."
"Terima kasih kau sudi anggap aku sebagai teman, jadi
selanjutnya kau mau memberi tahu siapa namamu sebetulnya?"
"She-ku tidak umum yaitu she Kim atau emas."
"She dan nama hanyalah simbol belaka, jago pedang nomor satu
pada jaman ini Kim Tiok-liu juga she Kim, ayahnya Kim Si-ih adalah
mahaguru silat yang teragung, konon beliau masih hidup sehat
namun mengasingkan diri jauh di luar lautan, hidupnya sudah
laksana dewa." "Kedengarannya kau amat kagum terhadap mereka ayah
beranak." "Setiap insan persilatan di dunia ini siapa yang tidak mengagumi
mereka" Kalau aku punya kesempatan dapat berhadapan dengan
Kim Tiok-liu, Kim tayhiap, seumur hidupku" ini boleh merasa puas."
Pemuda itu tertawa cekikikan, katanya, "Usia" masih semuda ini
sudah bilang seumur hidup segala" Siapa tahu kelak kau pun akan
memperoleh rejeki besar dalam hidupmu?"
"Terhadap Kim Si-ih locianpwe jelas aku tidak punya harapan
untuk dapat bertemu lagi. Dalam dunia dan jaman ini, Kim Tiok-liu,
Kim tayhiap, adalah orang yang paling kukagumi, asal dapat
bertemu dengan beliau sudah cukup, tak berani aku mengharapkan
penemuan aneh segala"
"Kulihat ilmu pedangmu teramat lihay, mungkin tidak kalah
dibanding Kim tayhiap itu."
Mendadak tergerak hati Nyo Hoa pikirnya, "Mendengar aku
memuji Kim tayhiap kelihatan dia amat girang, mungkinkah dia
punya hubungan famili dengan Kim tayhiap?" Lalu berkata, "Kim
tayhiap adalah jago pedang nomor satu yang diakui dunia
persilatan, mana berani aku dibanding beliau" Tapi kau bilang
demikian, tentu kau pernah bertemu dengan Kim tayhiap?"
"Kalau Kim tayhiap mau mengajarkan ilmu pedang kepadaku,
manfaatnya tentu berguna seumur hidup. Tapi walau aku ini tidak
mahir ilmu pedang, tapi menilai bagus tidak permainan pedang
orang aku masih punya sedikit kemampuan. Jurus permainan yang
kau gunakan untuk mendesak Ma Gun jatuh ke jurang tadi, sukar
aku membayangkan ilmu pedang aliran mana yang dapat
dibandingkan kelihayannya Kepandaian Kim tayhiap, mungkin juga
hanya begitu saja" Jawabnya ini agak menyimpang, bukan saja tidak mengatakan
pernah melihat Kim Tiok-liu juga tidak mengatakan tidak pernah
melihat Kim Tiok-liu, khawatir orang anggap dirinya cerewet, maka
tak berani Nyo Hoa banyak tanya, pikirnya, "Senjata yang dipakai
adalah cambuk lemas, kalau dia sanak kadang keluarga Kim tayhiap,
mana mungkin dia tidak belajar ilmu pedang?"
"Baiklah tak usah bicara tentang Kim tayhiap. Selanjutnya
bagaimana tindakanmu" Setelah kau menghajar kedua pembesar
itu, tentu tidak leluasa berkumpul dengan Han Wi-bu."
"Memang aku ingin minta pendapa tmu, tapi siapa namamu
belum kau beri tahukan kepadaku."
"Kau sudah tahu aku she Kim, selanjutnya boleh panggil Kimtoako
saja, kan beres" Hehe, aku bicara blak-blakan, agaknya
usiamu lebih tua, bila perlu biar aku panggil kau Nyo-toako juga
boleh kau panggil aku Kim-lote." Kalau semula sikapnya agak sinis
dan kaku, kini setelah banyak bicara sikapnya kelihatan lebih akrab.
"Kurasa lebih baik aku tahu namamu, kalau orang tanya tentang
dirimu, apakah aku harus bilang Kim-toako saja" Bukankah
menjemukan?" Pemuda itu tertawa geli, katanya, "Aku jadi takut bila kau
cerewet, baiklah kuberi tahu aku bernama Bik-ki." Lalu dia
mengambil ranting kering serta menggores namanya dipermukaan
salju. Nyo Hoa tertawa setelah tahu nama orang, dalam hati dia
membatin, "Tindak tanduknya sudah mirip anak perempuan,
ternyata namanya juga mirip perempuan."
Agaknya Kim Bik-ki tahu kenapa Nyo Hoa tertawa, namun tak
enak dia memberi tanggapan, tak urung merah pula wajahnya,
katanya, "Waktu sudah tidak pagi lagi, hayo-lah kita pergi."
"Nanti dulu, kau belum berunding denganku."
"Berunding soal apa?"
"Kenapa kau lupa tanya kepadaku, selanjutnya bagaimana
tindakanku?" "Lho, kan kau yang ingin ajak aku berunding, bukan aku yang
ingin berunding denganmu, kukira dalam hatimu sudah punya
maksud, katakan saja bagaimana tujuanmu?"
"Memang betul, aku, aku juga sedang berpikir untuk
seperjalanan dengan kau." Untuk kedua kali ini dia mengajukan
permohonan ini, tampak wajah Kim Bik-ki kian canggung, sesaat dia
berpikir, mendadak tertawa, katanya, "Tadi kau bilang kedua
pembesar itu hendak mencari perkara kepada Han Wi-bu serta mau
mengawasi gerak-geriknya, kenapa sekarang kau justru seperti mau
merikuhkan aku saja?"
Khawatir orang menolak, lekas Nyo Hoa menjelaskan, "Sejak
kecil aku sudah kehilangan kedua orang tuaku, tanpa sanak tiada
saudara lagi, seorang teman pun aku tidak punya. Kau adalah
temanku yang pertama, sungguh berat rasanya untuk berpisah
dengan kau seperti tempo hari."
Melihat orang berkata setulus hati, terharu juga hati Kim Bik-ki,
pikirnya, "Wataknya ternyata mirip ayah, kepandaiannya tinggi,
hatinya baik, suka membantu orang dan supel lagi. Em, ya, justru
karena watak ayah itulah hingga ibu kecantol kepada ayah."
Teringat akan hal ini seketika merah dan panas kulit muka-
"Aku bicara sejujurnya, apa kau tidak percaya?"
"Dari mana kau tahu aku mau ke mana?"
"Terserah kau mau ke mana, kalau boleh aku ikut."
"Kalau kau kusesatkan dan ku-jual kepada musuhmu?" Sengaja
dia menarik muka hingga perkataannya perti sesungguhnya. " .stftf
Tercekat hati Nyo Hoa, pikirnya, "Beng Goan-cau adalah orang yang
dia hormati, bukan mustahil dia bisa berbuat begitu." Tapi lantas dia
berpikir pula, "Kenapa aku banyak curiga kepadanya malah. Jangan
kata dia ini seorang pemuda gagah berjiwa satria, umpama Beng
Goan-cau benar adalah lelaki bejat seperti yang dikatakan ayah,
yakin dia tidak akan mau sekongkol dengan orang Untuk menjebak
musuh." Lalu dia berkata tertawa, "Kalau demikian biar aku mati di
tanganmu juga rela."
"Apa-apaan omonganmu ini" Sungguh bualan belaka, siapa
bilang ingin kau mati lantaran aku?" Walau lahirnya kelihatan marah
tapi akhirnya dia mengangguk meluluskan permintaan Nyo Hoa.
"Kim-heng, kau setuju?"
"Kau tahu aku mau pergi ke mana?"
"Tadi sudah kukatakan, ke mana kau pergi, ke mana pula aku
ikut." Kim Bik-ki melotot sejenak, katanya, "Jelas kau tahu kalau aku
akan pergi ke Jik-tat-bok, sengaja kau hendak mengolok aku ya."
"Kalau kita memang setujuan, bukankah lebih baik seperjalanan."
"Tapi setelah sampai di Jit-tat-bok, kenapa pula aku pergi, orang
sembarangan tidak boleh ikut ke sana."
"Aku tahu. Tiada perjamuan yang tak bubar di dunia ini, kapan
kau ingin berpisah dengan aku, boleh kau tentukan sendiri. Aku
hanya mengharap seperjalanan beberapa hari denganmu."
Manis perasaan Kim Bik-ki, tanpa merasa mukanya jengah pula,
katanya, "Ah, apa betul begini tinggi penghargaanmu tentang
persahabatanmu dengan aku?"
"Belum pernah aku membual."
"Baiklah aku boleh seperjalanan dengan kau, tapi kau harus
tunduk padaku, peduli tentang segala persoalan."
Nyo Hoa melengak, pikirnya, "Jikalau dia minta supaya aku tidak
menuntut balas kepada Beng Goan-cau, lalu bagaimana?"
Seperti tahu isi hatinya, KimBik-ki berkata, "Urusan besar kecil di
sepanjangjalan, apa yang kukatakan kau harus patuh, lapi setiba di
Jik-tat-bok aku boleh tidak peduli kepadamu lagi."
Seperti dibebaskan dari beban berat, Nyo Hoa berkata, "Aku ini
umpama anak kambing yang baru keluar kandang, sepanjang jalan
mendapat petunjuk Kim-heng juga baik bagiku."
"Jangan terburu-buru kau menerima syaratku, bukan mustahil
kau harus mempertaruhkan jiwamu. Kau tahu tugasku adalah
melindungi barang kawalan Tin-wan Piaukiok itu."
"Walau aku ini orang luar, tapi Han-cong-piauthau anggap aku
orang sendiri, untuk kepentingan sahabat, meski tersiksa juga aku
rela." "Kau tahu siapa kepala bandit yang bersenjata gitar besi itu?"
"Menurut keterangan Han Wi-bu, orang itu bernama Siang Thihong,
dari perguruan Thi-bi-ba-bun, kemungkinan sekarang sudah
masuk serikat entah apa.?"Benar, tapi dia masih punya kedudukan
lain, mungkin Han Wi-bu sendiri belum tahu. Dia adalah saudara
angkat komandan Gi-lim-kun Han Lan-ting, diam-diam dia bekerja
untuk kepentingan kerajaan. Han Lan-ting sudah menaruh curiga
terhadap Han Wi-bu, soalnya dia belum mendapat bukti kalau Han
Wi-bu ada hubungan dengan laskar rakyat, maka dia tugaskan Bun
Seng-liong menyelidiki soal ini. Kali ini mereka berani membegal
barang kawalan Han Wi-bu, bukan mustahil juga karena anjuran
Han Lan-ting." Nyo Hoa sadar dan mengerti, katanya, "Tak heran sikap kedua
pembesar itu amat simpati dan seperti membela mereka."
"Siang Thi-hong berhasil kau kerjai, walau seketika tidak
dibongkar perbuatanmu, tapi mereka tahu ada orang membantu
Han Wi-bu diam-diam. Dengan jabatannya yang tinggi, setelah
kecundang, kecuali dia yakin menang, kalau tidak pasti takkan
berani meluruk lagi. Tapi bukan mustahil ada orang lain pula yang
akan merampas barang kawalan Tin-wan Piaukiok."
"Baiklah, selanjutnya kita membuka dan melicinkan jalan Han Wibu,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jikalau bertemu dengan orang yang patut dicurigai, tolong kau
beri tahu kepadaku."
"Masih ada satu hal, aku ini berbeda dengan orang lain, hanya
orang lain mengalah kepadaku, aku tak sudi mengalah kepada
orang lain. Setelah seperjalanan beberapa hari dengan aku, mungkin kau
bisa membenciku." Nyo Hoa berpikir, "Usianya masih lebih muda dari aku, bicaranya
ternyata berbelit-belit. .Urusan jiwa pun sudah kupasrahkan kepada
kau, apalagi urusan tetek bengek?" Dengan tertawa dia berkata,
"Terserah apa yang kau inginkan, aku selalu mengikuti maksudmu
saja." "Bila tiba di daerah Jinghay, pihak laskar rakyat pasti sudah
mengutus orang melindungi Han Wi-bu secara diam-diam. Tadi
sengaja kubilang demikian untuk mencoba hatimu. Yang
kukhawatirkan justru dalam urusan kecil kau tidak mau tunduk
kepadaku." Ketika itu fajar sudah menyingsing, Nyo Hoa berkata, "Baiklah,
seluruhnya aku setuju, hayolah kita berangkat."
Kim Bik-ki mencemplak ke punggung kuda, katanya tertawa,
"Kuda kedua cakar alap-alap ini betul-betul tunggangan jempolan,
kita bisa beberapa hari lebih dini tiba di Jik-tat-bok, hayolah naik
kudamu." Mendadak Nyo Hoa teringat sesuatu, serunya, "Wah celaka."
"Apanya celaka?"
"Kemarin terjadi salju gugur, aku sendiri tidak pernah melihat
salju gugur, tapi menurut cerita orang-orang piaukiok, mulut
gunung kemungkinan tertimbun. Apakah mereka-bisa berangkat
atau harus menunggu, apakah cuaca hari ini cerah atau hujan."
"Kau tak usah gelisah, ikutlah aku saja." Lalu dia menjelaskan,
"Salju gugur kemarin itu hanyalah kejadian kecil, mulut gunung
memang tersumbat salju, tapi ada jalan kecil lain yang dapat
ditempuh untuk keluar gunung."
"Han Wi-bu dan Siang Thi-hong tahu tidak akan jalan kecil ini?"
"Penduduk setempat yang memberi tahu aku jalan rahasia itu,
kemungkinan mereka tidak tahu. Tapi Sama Hoatsu yang sudah
lama tinggal di sini tentu tahu."
"Sama Hoatsu pasti memberi tahu kepada Han Wi-bu, syukurlah
Siang Thi-hong tidak tahu. Umpama dia penasaran dan
mengundang bantuan, Han Wi-bu pasti sudah keluar gunung."
Maklum setelah keluar gunung, mereka sudah berada di wilayah
Jinghay, sepanjangjalan pasti dilindungi secara diam-diam oleh
orang-orang laskar rakyat.
Mereka jalankan kuda berendeng, setelah keluar dari
pegunungan mereka baru mempercepat lari kuda, kira-kira
menjelang magrib baru mereka tiba di sebuah kota kecil.
Setelah masuk kota mereka mencari penginapan dan bermalam.
Pemilik hotel berkata, "Kebetulan kedatangan kalian, kami punya
tiga kamar kelas satu yang menghadap ke selatan, terserah kalian
memilih yang mana.1* Perlu diketahui musim dingin di daerah utara
datang lebih dini, bila musim dingin sudah menjelang, para
pedagang sudah malas keluar pintu.
Maka setengah bulan ini hotel sepi, mereka adalah tamu pertama
yang menginap. Kim Bik-ki berkata, "Aku minta dua kamar kelas satu."
Pemilik hotel melengak, katanya, "Bukankah kalian datang
bersama?" "Ya, datang bersama. Tapi aku minta dua kamar, apa tidak
boleh?" Pemilik hotel membatin, "Aku hanya tanya sambil lalu, syukur
kalau kau membayar sepuluh kamar." Dengan tertawa dia berkata,
"Sudah tentu boleh, ada dua kamar yang berdampingan, mau
tidak?" Nyo Hoa ingin membujuknya supaya menghemat uang, dua
orang sekamar bisa ngobrol semalam suntuk, kan lebih baik" lapi
teringat akan janji dirinya harus tunduk dan patuh, Kim Bik-ki sudah
berpesan kepada pemilik hotel pula, maka Nyo Hoa urung bicara.
Khawatir Nyo Hoa curiga, waktu makan malam sengaja Kim Bikki
menjelaskan dengan suara lembut, "Sejak kecil aku sudah biasa
tidur sendirian, jikalau sekamar dengan orang lain, aku sukar tidur."
Nyo Hoa berkata, "Setiap orang punya kebiasaan, kebiasaanmu
juga tidak perlu dibuat heran." Namun dalam hati dia membatin,
"Kelak bila kau sudah kawin memangnya tidak mau tidur sekamar
dengan istrimu" Kalau kebiasaan tidak diubah, setiap malam kau
tidak akan bisa tidur pulas, dan berabe."
Setelah makan malam Kim Bik-ki langsung masuk kamar tutup
pintu tidur seorang diri, tanpa hiraukan Nyo Hoa pula. Sebetulnya
Nyo Hoa belum mengantuk dan ingin ajak dia ngobrol, tapi dia tidak
berani mengetuk pintu kamarnya. Pikirnya, "Mungkin dia terlalu
lelah. Padahal kungfunya tinggi, kenapa harus tidur sepagi ini" H m,
pemuda itu memang luar biasa. Ah, urusan kecil ini, kenapa harus
kurisaukan." Hari kedua mereka melanjutkan perjalanan, kelihatannya Kim
Bik-ki bersikap rikuh maka sengaja dia sering ajak Nyo Hoa ngobrol.
Walau usianya masih muda, tapi tidak sedikit persoalan Kangouw
yang diketahui. Bicara tentang tokoh-tokoh Bulim yang kenamaan,
banyak yang dikenalnya baik. Tapi tidak pernah menyinggung ayah
bunda sendiri, dia juga tidak tanya siapa ayah bunda Nyo Hoa
Nyo Hoa terkesan mendengar ceritanya, katanya tertawa, "Tak
nyana ternyata kau sudah kawakan Kangouw. Mendengar ceritamu
lebih terkesan dari membaca buku sepuluh tahun."
"Itu kan hanya pengetahuan umum, memangnya gurumu tidak
mengajar kepadamu?" "Walau aku punya tiga orang guru, sejak umur delapan aku
hanya dididik oleh sam-suhu. Beliau tetirah di Ciok-lin, dan tidak
mencampuri persoalan di luar."
Mendengar nama "Ciok-lin" tergerak hati Kim Bik-ki, seperti ingin
tanya kepada Nyo Hoa tapi pertanyaan ditelannya pula sesaat lagi
agaknya Kim Bik-ki tidak tahan lagi, katanya, "Konon Ciok-lin adalah
tempat tetirah mahaguru besar Thio Tan-hong Thio-locianpwe dari
jaman dinasti Beng, entah di sana masih ada peninggalannnya."
Nyo Hoa bercerita, "Di dalam Ciok-lin ada Kiam-hong, di bawah
Kiam-hong ada Kiam-ti, panoramanya amat mempesona Konon
ukiran Kiam-hong adalah buah tulisan Thio Tan-hong. Setiap hari
dia latihan pedang di atas Kiam-hong, mencuci pedang di Kiam-ti."
Kim Bik-ki berkata, "Suatu hari cong-thocu Ang-i ng-hwe, Le
Lam-sing, berbincang-bincang tentang ilmu pedang dengan ayahku,
seluruh ahli pedang di dunia sejak jaman dulu sampai sekarang
mereka bicarakan, terakhir menghela napas bersama sayang sekali
kita terlambat dilahirkan tigaratus tahun, tidak bisa mohon petunjuk
kepada Thio Tan-hong, betapa tulus dan ikhlas kekaguman mereka
terhadap Thio Tan-hong, seperti rasa kagummu terhadap Kim
tayhiap sekarang. Cuma yang satu sudah almarhum yang lain
sekarang masih hidup, mungkin suatu ketika keinginanmu bisa
tercapai, sementara keinginan mereka jelas tak mungkin terlaksana"
Berhenti sejenak lalu melanjutkan dengan tertawa "Cerita yang
tersiar di Bulim mengatakan bahwa kiam-sut Thio Tan-hong
umpama kepandaian dewa namun tiada orang pernah menyaksikan,
kehebatan ilmu pedangnya Entah kenyataan ini sesuai tidak dengan
beritanya?" Dalam hati Nyo Hoa tertawa geli, batinnya "Yang kau saksikan
kemarin memangnya bukan Bu-beng-ki am-hoat ciptaan Thio Tanhong?"
Sudah hampir dia berterus terang bahwa dirinya secara tidak
langsung adalah murid terakhir dari Thio Tan-hong. Tapi sekilas
pikirannya tergerak, bila rahasia ini sampai bocor, pasti bakal
menimbulkan banyak kesulitan. Padahal dirinya pernah bersumpah,
bahwa Bu-beng-kiam-hoat kelak akan dia kembalikan kepada Thiansan-
pay yang didirikan oleh murid tertua Thio Tan-hong. Sejak Toh
Thian-tok sebagai cikal bakal Thian-san-pay sampai sekarang sudah
turun temurun duabelas generasi. Ciangbunjin Thian-san-pay
sekarang adalah Tong King-thian, Nyo Hoa pernah mendengar
nama Tong King-thian dari mulut Miao Tiang-hong.
Waktu Miao Tiang-hong.sembahyang dan berdoa di depan
pusara ibunya, dia pernah bilang, sesuai harapan ibunya dia bawa
orok cilik itu ke Thian-san dan kini sudah diterima murid Tong Kengthian.
Maka Nyo Hoa tahu bahwa dia punya seorang adik lelaki,,
namun seluk beluk persoalan ini banyak yang belum jelas, setelah
berhadapan dengan Tong Keng-thian baru bisa dia tanyakan supaya
jelas. Karena itu Nyo Hoa memutuskan setelah urusannya di Jik-tatbok
selesai, langsung dia akan pergi ke Thian-san mencari adiknya
yang belum pernah ditemui itu. Sekalian mengembalikan Bu-bengkiam-
hoat yang termasuk warisan Thian-san-pay kepada Tong
Keng-thian. Nyo Hoa memang jujur, meski tidak diharuskan, dia mengambil
keputusan mengembalikan pelajaran pedang ciptaan Thio Tan-hong
kepada Thian-san-pay, sebelum keinginan ini terlaksana, dia
beranggapan hal ini tidak baik dibicarakan dengan pihak yang tidak
berkepentingan. Kim Bik-ki tidak langsung tanya tentang rahasia ini,
setelah direnungkan maka Nyo Hoa berkepu-tusan sementara tetap
merahasiakan hal ini. Tapi dari omongan Kim Bik-ki tadi segera dia menyimpulkan
bahwa asal-usul Kim Bik-ki pasti punya latar belakang yang
dirahasiakan juga, diam-diam dia membatin, "Le Lam-sing adalah
ahli pedang yang menggetarkan Kangouw jaman ini, ayahnya
berbicara soal pedang dengan Le Lam-sing, tentunya dia
mempunyai tingkat kepandaian dan kedudukan yang setaraf dengan
Le Lam-sing." Maka dia bertanya, "Siapakah ayahmu" Boleh aku
tahu?" "Cukup kau berkenalan dengan aku saja, jangan peduli siapa
ayahku. Memangnya bila keluargaku tidak baik kau tidak mau
bersahabat dengan aku?"
Nyo Hoa tergagap, katanya, "Aku, bukan begitu maksudku"."
Kim Bik-ki tertawa geli, tukasnya dengan tertawa, "Kalau tidak
bermaksud demikian, maka tidak usah kau tanya lagi. Kau kan
bersahabat dengan aku, bukan kenalan ayahku. Aku juga tidak perlu
tanya seluk beluk keluargamu."
Bercekat hati Nyo Hoa, batinnya, "Iya, bila dia tanya siapa
ayahku, jelas aku pun tidak akan beri tahu kepadanya." Dia kira Kim
Bik-ki juga punya kesulitan untuk menjelaskan asal-usul sendiri
seperti dirinya, maka dia putar haluan membicarakan persoalan lain.
Tanpa terasa mereka bicara juga ilmu silat. Nyo Hoa adalah
pemuda jujur dan polos, Kim Bik-ki mohon petunjuk kepadanya,
tiada persoalan yang tidak dijawabnya secara tuntas, di mana
kekurangannya juga langsung dia memberi koreksi. Dengan tertawa
akhirnya Kim Bik-ki berkata, "Kepandaianku jauh di bawahmu, tapi
dari berbagai ilmu pedang ternama yang pernah kusaksikan, bekal
ilmu pedangmu cukup setimpal untuk menandingi setiap tokoh silat
tinggi mana pun. Tapi sayang dalam ajaran ilmu pedang tingkat
tinggi kau masih ada kekurangannya, latihan belum matang. Bila
kau berhadapan dengan jago seperti Le Lam-sing atau Miao Tianghong,
mungkin kau bisa dikalahkan mereka."
Nyo Hoa girang, katanya, "Memangnya aku ingin mohon
petunjukmu, di manakah letak kekuranganku?"
Kim Bik-ki tertawa, katanya, "Masa aku setimpal memberi
petunjuk kepadamu" Tapi dari orang lain pernah aku dengar
penjelasan sekadarnya. Bila ilmu pedang sudah diyakinkan
mencapai taraf yang sempurna, meski suatu gerakan yang
sederhana juga cukup untuk mengatasi segala perubahan
permainan lawan, seumpama angkat berat sepera" enteng, gerakan
kaku namun lincah, kelihatan besar padahal kecil."
Setelah mendengar penjelasan Kim Bik-ki, Nyo Hoa berpikir,
"Ayahnya pasti seorang ahli pedang. Tapi aneh, kenapa dia sendiri
tidak belajar ilmu pedang?" Nyo Hoa tidak berani bertanya. Tanpa
terasa hari sudah menjelang magrib.
Setelah melihat cuaca Kim Bik-ki berkata, "Celaka, kita asyik
bicara hingga lupa cari penginapan, di atas tegalan seperti ini ke
mana kita harus mencari tempat berteduh."
"Malam ini yakin tidak akan turun salju. Di depan ada hutan, biar
kita. menginap di dalam hutan saja," demikian usul Nyo Hoa.
Kim Bik-ki berpikir sejenak, katanya, "Bukan aku tidak berani
bermalam di tempat terbuka, tapi tidak biasa. Tapi kalau terpaksa,
ya apa boleh buat" Sambil menuntun kuda, mereka memasuki hutan. Pohon-pohon
besar tinggi seperti mencakar langit, batu-batu besar dengan
berbagai coraknya bertebaran di dalam hutan. Nyo Hoa berkata,
"Dalam hutan seluas ini umpama hujan badai juga tidak perlu
khawatir, siapa bilang tidak bisa berteduh di sini?" Mereka
membawa ransum kering, arak anggur dalam kantong kulit itu
belum habis. Setelah meneguk arak, Nyo Hoa membagi ransum,
katanya tertawa, "Kim-heng, kau hanya makan roti kering apa tidak
dahaga, silakan minum seteguk."
Lekas Kim Bik-ki menggoyang tangan sahutnya, "Cukup minum
air saja, air jernih dari sumber gunung lebih nikmat dari arak
anggur." "Ah, masa iya, minum arak bisa menahan hawa dingin nanti."
"Aku tidak merasa dingin." "Minum seteguk kan tidak jadi soal,
bukankah kau pernah bilang mau latihan minum arak?" Karena
minum sendirian kurang selera, maka Nyo Hoa membujuknya
minum bersama, tak nyana Kim Bik-ki menarik muka malah, katanya
aseran, "Sebelum tidur aku tak mau minum arak. Kau suka minum
boleh kau habiskan sendiri." Namun lekas sekali dia sudah
mengubah sikap, katanya pula dengan tertawa, "Aku tahu tabiatku
yang jelek bisa membuat orang benci padaku, maka sebelumnya
aku sudah bicara blak-blakan, jadi bukan aku menuntut kau harus
tunduk kehendakku. Nyo-toako, kau memang orang baik, selama
dua hari ini kau selalu mengalah kepadaku."
Nyo Hoa tertawa getir, katanya, "Syukurlah kalau kau tidak
membenciku." "Malam ini aku ingin tidur lebih dini." Lalu dia keluarkan segulung
kain putih serta ditebar menjadi sebuah tenda, katanya pula, "Kain
ini terbuat dari sutera alam yang tumbuh di Thian-san, kalau dilipat
cukup gampang dibawa ke mana-mana, bila dibuka dapat menjadi
sebuah tenda, air tidak tembus angin tidak masuk. Musim dingin
terasa hangat, musim panas terasa nyaman, pokoknya serba guna."
Nyo Hoa membatin, "Perbekalanmu serba lengkap, memangnya
harus takut tiada tempat berteduh?" Dia sudah tahu betapa jelek
watak Kim Bik-ki, khawatir orang marah, hal ini tak berani dia
utarakan. Setelah memilih tempat, Kim Bik-ki berkata, "Di sini paling baik,
tolong kau bantu aku membuat tenda ini."
Bagian depan tempat itu terhadang sebuah batu besar, kanan
kirinya kebetulan ada dua pohon besar, di dahan pohon tumbuh
akar rotan, maka dengan mudah tali panjang tenda itu bisa diikat di
atas pohon. Di tengah kedua pohon kebetulan terdapat sebuah batu
bundar besar yang rata halus seperti kaca, cocok untuk tidur.
Letak batu bundar itu kebetulan di tengah tenda, maka Kim Bik-ki
amat senang, katanya, "Pilihanku di sini tepat bukan?"
"Ya, memang baik, tapi sayang sekali terlalu baik."
Kim Bik-ki melongo, tanyanya, "Apa maksudmu?"
"Tempat ini amat tersembunyi, tidur di sini seperti berada di


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam gua, apa yang terjadi di luar tidak bisa diketahui."
"Kita kan berdua. Nyo-toako, silakan kau tidur di dalam."
"Aku" Lalu kau?" Seperti tertawa tidak tertawa, Kim Bik-ki
berkata, "Kau lupa akan kebiasaanku lagi" Aku akan jaga malam di
sebelah luar." Nyo Hoa paham, pikirnya, "Kiranya dia tidak takut menginap di
tempat terbuka, takut bermalam bersamaku dalam satu tempat."
Segera dia tertawa, katanya, "Biar aku yang tidur di luar saja.
Jangan kau sungkan kepadaku, aku tahu kau suka tidur nyaman,
aku sebaliknya di tempat mana pun bisa tidur."
"Nyo-toako, kau amat baik. Baiklah aku tidak sungkan kepadamu,
besok kita bertemu."
Nyo Hoa lantas menyingkir kearah luar, dipilihnya sebuah tempat
yang dapat memberi pandangan ke empat penjuru, lalu diambilnya
sebuah batu sebagai bantal untuk tidur. Namun dia tidak bisa tidur
pagi, pikirannya melayang-layang, matanya melamun mengawasi
bulan sabit di angkasa raya, tanpa terasa malam sudah makin larut,
mendekati kentungan kedua. Tiba-tiba dari kejauhan seperti
didengarnya percakapan orang.
Sudah setahun Nyo Hoa meyakinkan lwekang ajaran Thio Tanhong,
pendengarannya amat tajam, bila dia mendekam di tanah
percakapan orang di tempat jauh dapat didengarnya. Dengan
mendekam dia mendengarkan, yang bicara ada tiga orang, satu di
antaranya suaranya seperti sudah dikenal, katanya, "Sebetulnya
tempat ini lebih baik untuk merampas barang kawanan itu. Siang
Thi-hong justru memilih kuil Lama di Giok-jiu-san itu turun tangan,
sudah tentu gagal." Hanya mendengar beberapa patah kata, Nyo Hoa lantas tahu
yang bicara adalah Ting Tiong-ai, ketua dari Ngo-koan yang pernah
dikalahkannya di Siau-kim-jwan. Mencelos hati Nyo Hoa, pikirnya,
"Agaknya mereka juga mau merampas barang kawalan Han Wi-bu.
Hm, sungguh sukar dibayangkan ada pembesar yang merangkap
jadi berandal." "Untung kebentur di tanganku, mana bisa aku berpeluk tangan?"
Maka dia memutuskan untuk membantu Han Wi-bu sekali lagi. "Tak
perlu aku terburu nafsu bertindak terhadap mereka, coba dengar
soal apa yang mereka bicarakan?"
Di dengarnya seorang lain berkata, "Memangnya Lo-ting, aku
memang ingin tanya kepadamu kukira Siang Thi-hong pasti sukses
dengan tugasnya, kenapa dia gagal malah."
Ting Tiong-ai berkata, "Di bawah Giok-jiu-san aku bertemu
dengan mereka, menurut penjelasan Siang Thi-hong, Han Wi-bu
sebetulnya bukan tandingannya, tapi entah kenapa secara di luar
dugaan dia terbokong oleh orang."
Seorang lagi bertanya, "Apakah Siang Thi-hong tahu siapa yang
membokong dia?" "Waktu itu sukar dia menemukan orang yang membokong,
namun dalam hati sudah curiga."
"Siapa yang dia curigai?" tanya kedua orang itu berbareng.
"Orang pertama yang dia curigai adalah Sama Hoatsu
pimpinanAga-ma Putih dari kuil Lama itu, namun belakangan dia
menimang-nimang kejadian waktu itu, rasanya kecurigaannya tidak
masuk akal. lau-toako, kau cukup tahu tentang seluk beluk kungfu
Agama Putih, bagaimana pendapatmu?"
Lau-toako itu berkata, "Pck-kau Hoar-ong boleh terhitung jago
kelas satu. Bila dibanding Siang Thi-hong jelas dia setingkat lebih
tinggi, tapi Sama Hoatsu hanya salah seorang muridnya."
Maksudnya Sama tidak mampu membokong Siang Thi-hong.
"Maka itu, setelah dipikir-pikir Siang Thi-hong tidak yakin yang
membokong curinya adalah Sama Hoatsu."
"Adakah orang lain yang dicurigai?" tanya Lau-toako.
"Orang kedua adalah seorang kacung cilik berusia
delapanbelasan. Katanya seorang pemuda gunung yang diupah Tinwan
Piaukiok untuk menunjukkan jalan," demikian Ting Tiong-ai
Kisah Pedang Di Sungai Es 13 Prabarini Karya Putu Praba Darana Dendam Iblis Seribu Wajah 2
^