Pencarian

Anak Pendekar 7

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 7


menjelaskan. Seorang lain berkata, "Seorang kacung cilik" Bukankah
mengherankan malah" Coba jelaskan kenapa Siang Thi-hong curiga
kepada-nya?" Setelah Ung Tiong-ai jelaskan kejadian yang dialami Siang Thihong,
agaknya Lau-toako terpekur sejenak, katanya, "Kacung itu
memang patut dicurigai, namun sukar dipercaya bahwa dia mampu
membokong Siang Thi-hong, bagaimana pendapatmu?"
Orang she Yap itu berpikir sebentar, katanya, "Aku sebaliknya
agak percaya." Ting Tiong-ai mendukung, katanya, "Aku juga curiga kepada
kacung cilik ini, paling tidak dia lebih patut dicurigai dari pada Sama
Hoatsu." Tiba-tiba Lau-toako seperti teringat sesuatu, katanya, "Lo-ting,
kabarnya kalian Ngo-koan, Si-to dan Si-ceng pernah kecundang di
Siau-kim-jwan, bangsat cilik itu menyamar perwira Gi-lim-kun
menyelundup ke Siau-kim-jwan. Apakah kejadian itu benar?"
Merah muka Ting Tiong-ai, katanya, ?"Ilmu pedang bangsat cilik
itu memang teramat lihay, susah dijaga dan dilawan. Selama
hidupku belum pernah aku melihat orang yang dapat memainkan
ilmu pedang sebagus itu. Tapi waktu itu dia dibantu seorang
pemuda lain yang bersenjata ruyung lemas, kepandaiannya agak
setingkat lebih rendah, namun lihay luar biasa. Sungguh
memalukan, kami tigabelas orang ternyata dikalahkan oleh kedua
keparat cilik" Lau-toako berkata, "Waktu kudengar kabar ini kukira sengaja
dibumbui, ternyata memang kenyataan. Kabarnya Hay-jongling
sudah mengutus Ma Gun dan Ciu Jan ke Siau-kim-jwan untuk
mengusut perkara ini, entah sudah diperoleh keterangan?"
"Hasilnya nihil," sahut Ting Tiong-ai, "mereka juga sudah
meninggalkan Siau-kim-jwan."
Lau-toako berkata, "Mereka mengantar kado untuk Dalai Lama di
Lhasa, alasannya mengantar kado, tugas sebenarnya adalah
mengejar sisa gerombolan pemberontak yang kabur dari Siau-kimjwan,
sekalian mengadakan kontak dengan tuan-tuan tanah
setempat untuk membicarakan penumpasan tuntas terhadap kaum
pemberontak itu. Konon gerombolan itu sudah memasuki Jinghay
dan berpangkalan di Jik-tat-bok, kalau tidak diganyang sampai
habis, kelak tentu mendatangkan bencana pula."
"O, pantas waktu meninggalkan Siau-kim-jwan, Ma Gun pernah
tanya kepadaku ingin pergi ke Tibet, dia akan bantu aku naik
pangkat sebagai pengawal istana guberauran di Tibet, ternyata
maksudnya supaya aku bantu dia menunaikan tugas juga."
Lau-toako tertawa, katanya, "Ma Gun tahu kemampuanmu. Haytay-
jin juga menghargaimu, maka kau dimutasikan ke Tibet. Hehe
agaknya Hay-tayjin ada maksud menarikmu menjadi orang
kepercayaannya." Lekas Ting Tiong-ai merendah, katanya, "Ya, berkat bantuan Satayjin,
Lau-toako dan Yap-toako."
Lau-toako tertawa, katanya, "Hay-tayjin sudah jadi tulang
punggungmu, memangnya kau masih belum puas?"
"Memang tulang punggungku belum kokoh. Apalagi meski Haytayjin
sebagai komandan tertinggi di Gi-lim-kun, tapi bicara tentang
kepercayaan di hadapan sri baginda, kurasa Hay-tayjin tidak lebih
terpandang dari Sa-tayjin."
Lau-toako bergelak tawa, katanya, "Kau berada jauh di Siau-kimjwan,
ternyata seluk beluk di istana juga kau ketahui dengan jelas.
Terus terang Sa-tayjin memang amat marah setelah mendengar
kejadian itu." Ting Tiong-ai kaget, serunya, "Urusan sekecil itu, masakah
menarik perhatian Sa-tayjin, Apakah, apakah Sa-tayjin tidak puas
kepada"." Lau-toako tertawa, katanya, "Tidak usah gugup. Sa-tayjin marah
bukan lantaran engkau."
Lega hati Ting Tiong-ai, katanya, "Ya, ya, aku memang teledor.
Betapa banyak persoalan penting yang harus dibereskan Sa-tayjin,
buat apa dia marah terhadap aku yang keroco ini."
"Biarlah kujelaskan," ucap Lau-toako. "Dia marah kepada Haytayjin.
Kenapa urusan sebesar ini tidak dirundingkan dulu dengan
Sa-tayjin, tahu-tahu Hay-tayjin telah bertindak di luar tahunya. Tapi
persoalan diselesaikan secara rahasia, namun diketahui juga oleh
Sa-tayjin. Namun beliau berhari lapang berjiwa besar, bukan saja
dia tidak mengadukan persoalan ini kepada baginda, malah dia
menjanjikan bantuan kepada Hay-tayjin."
Orang she Yap selanjutnya bicara, "Lo-ting, persahabatanku
dengan kau sudah terjalin cukup lama dan erat, maka tidak perlu
aku main sembunyi-sembunyi dengan kau. Bersama Lo-lau aku
mendapat perintah dari Sa-tayjih untuk menyusul Ma Gun dan Ciu
Jan berdua, terhadap mereka kami harus bicara terus terang,
supaya ada nasi dimakan bersama, mendapat pahala dibagi rata.
Kita kan sama-sama bekerja demi kerajaan, harus bersatu padu
mencapai tujuan, jadi tidak perlu membedakan antara kau dan aku."
Nyo Hoa mendekam di tanah mencuri dengar pembicaraan
mereka, kini sudah jelas tentang asal-usul kedua orang ini, maka dia
berpikir, "Sa-tayjin yang dimaksud pasti adalah Sa Hok-ting,
pemimpin pasukan bayangkari yang berkuasa di dalam istana,
ternyata mereka saling cakar-cakaran dengan komando Gi-lim-kun."
Lebih lanjut Lau-toako berkata, "Setiba di Giok-jiu-san baru kami
tahu adanya salju gugur di sana, untung bertemu dengan kau yang
tahu jalan, kalau tidak, mungkin kami terkurung di atas gunung.
Tapi ada satu yang membuatku heran." "Soal apa?" tanya Ting
Tiong-ai. "Menurut ceritamu, waktu Siang Thi-hong merampas
barang di kuil Lama itu, Ma Gun dan Ciu Jan juga berada di sana?"
"Betul. Waktu itu Ma Gun dan Ciu Jan berdua berpeluk tangan,
sebetulnya dia sudah membantu Siang Thi-hong, karena"."
"Aku tahu mereka mau membantu Siang Thi-hong, yang tidak
kumengerti adalah bahwa mereka sudah tahu rahasia barang
kawalan Han Wi-bu, menempuh perjalanan bersama Han Wi-bu,
kenapa aku hanya melihat rombongan Han Wi-bu, tidak melihat
bayangan Ma Gun dan Ciu Jan?"
"Tak bisa menjelaskan hal ini," ujar Ting Tiong-ai. "Siang Thihong
pulang ke Ni-ma-jwan mengundang temannya untuk
merampas barang kawalan itu. Di jalan kami hanya bicara beberapa
kejap lantas berpisah, dia pun tidak menyinggung tentang Ma Gun
dan Ciu Jan." Lau-toako geleng kepala katanya, "Tidak mungkin. Mereka bilang
mengantar kado ke Lhasa hanya alasan belaka, bahwa mereka
sudah tahu rahasia barang kawalan Han Wi-bu, mungkinkah tidak
menguntitnya" Memangnya mereka berani berpeluk tangan
membiarkan bahan obat-obatan itu diserahkan kepada kaum
pemberontak?" Orang she Yap berkata, "Untung Han Wi-bu tidak kenal kami, dia
pun tidak tahu kecuali Siang Thi-hong dan Bun Seng-liong, kami pun
tahu rahasianya. Ma Gun dan Ciu Jan memang menghilang secara
aneh, sementara tak usah kita mencarinya Bila kita punya cara
untuk menghadapi Han Wi-bu, bukankah lebih baik?"
Lau-toako berkata, "Betul, mari kita bicarakan soal ini. Tapi
sampai di mana?" Orang she Yap menjawab, "Bicara tentang bangsat cilik yang
merugikan Lo-ting itu."
Lau-toako tertawa katanya "Lo-ting, apakah kau curiga kacung
cilik yang membokong Siang Thi-hong itu adalah bangsat cilik yang
bentrok dengan kalian di Siau-kim-jwan."
"Betul. Hal ini memang ingin kuberitahukan kepada kalian. Aku
pernah tanya kepada Siang Thi-hong, wajah dan perawakan kacung
cilik itu, yang dia gambarkan memang persis dan cocok dengan
bangsat cilik itu." Sesaat Lau-toako melenggong, gumamnya, "Pemuda tanggung
berusia delapan belas tahun ternyata mampu membokong Siang
Thi-hong yang mahir menggunakan senjata rahasia, sungguh sulit
dipercaya, kecuali" kecuali"."
Orang she Yap itu berkata, "Kalau Ngo-koan, Si-to dan Si-ceng
pernah kecundang di tangan bocah itu, kalau Siang Thi-hong juga
terjungkal di tangannya tidak perlu dibuat heran."
Tergerak hati Ting Tiong-ai, katanya, "Lau-toako, kau bilang
kecuali apa?" Lau-toako bertanya "Bagaimana asal-usul bangsat cilik itu kalian
tidak tahu, tapi siapa she dan namanya ternyata kalian sudah tahu?"
Ting Tiong-ai berkata "Waktu dia menyelundup ke Siau-kim-jwan
pernah memperkenalkan diri kepada penjaga pos dia she Nyo siapa
namanya tidak dikatakan. Karena dia membawa tanda kebesaran
Gi-lim-kun, maka penjaga itu tidak berani banyak tanya"
"Orang she Nyo?" Lau-toako menggumam. "Kukira tidak benar."
Orang she Yap berkata "Sudah tentu dia tidak akan mengatakan
nama aslinya Lau-toako apakah kau sudah tanya dia she apa?"
"Betul. Kukira dia bukan she Nyo, tapi she"."
Sampai di sini Ting Tiong-ai membarengi mengatakan, "She
Kim." Lau-toako tertawa katanya "Lo-ting, ternyata kau juga menduga
akan dirinya?" "Maksud kalian"." Orang she Yap masih bingung.
Tanpa berjanji, Lau-toako dan Ting Tiong-ai mengatakan, "Putra
KimTiok-liu." Nyo Hoa yang mencuri dengar menjadi geli dan kesal pula,
pikirnya "Aku jelas she Nyo, mereka justru anggap Kim Tiok-liu
adalah ayahku. Aih, masakah sebesar itu rejekiku?"
Ting Tiong-ai berkata, "Kim Tiok-liu adalah jago pedang nomor
satu di seluruh jagat, kabarnya dia saling tukar anak didik dengan
suheng-nya Kang Hay-thian, ilmu pedang Kang Hay-thian setengah
lebih rendah dari sute-nya, namun lwekang-nya lebih tinggi.
Bangsat cilik itu berilmu pedang tinggi menakjubkan, lwekang-nya
juga hebat. Kecuali anak Kira Tiok-liu, siapa lagi yang bisa memiliki
kepandaian setinggi itu?"
Lau-toako terpekur sejenak, katanya kemudian, "Analisamu
memang benar, namun apakah dugaan itu betul, kurasa masih
menyangkut suatu persoalan lain."
"Menyangkut persoalan apa?" tanya Ting Tiong-ai.
"Kapan kau berhadapan dengan bangsat cilik itu di Si au-ki m-j
wan?" tanya Lau-toako.
"Kira-kira dua bulan yang lalu." "Aku ingin tanggal yang pasti."
Ting Tiong-ai menghitung-hitung, lalu menjawab, "Kalau tidak salah
tanggal enam bulan delapan."
Lau-toako geleng kepala, katanya, "Kalau begitu tidak benar."
"Apanya yang tidak benar?" tanya Ting Tiong-ai.
"Tanggal tigabelas bulan tujuh, putera Kim Tiok-liu pernah
muncul di Khong-goan di wilayah utara Su-jwan. Atas perintah Kang
Hay-thian dia bertandang ke rumah suheng-nya Yap Bok-hoa.
Seorang kenalanku pernah melihatnya di rumah keluarga Yap, lalu
dilaporkan secara rahasia kepada Sa-tayjin. Berita ini yakin dapat
dipercaya." Ting Tiong-ai baru mengerti, katanya, "Dari Khong-goan pergi ke
Siau-kim-jwan memakan waktu sebulan perjalanan. Umpama
tanggal tigabelas bulan tujuh itu putera Kim Tiok-liu segera
menempuh perjalanan, juga tidak mungkin tanggal enam bulan
delapan tiba di Siau-kim-jwan."
"Dia tinggal lima hari di rumah keluarga Yap, suatu hari di
hadapan para tamu yang hadir bersama suheng-nya
mendemonstrasikan ilmu pedang. Menurut yang menyaksikan
katanya amat menakjubkan."
"Bangsat cilik di Siau-kim-jwan itu pasti bukan putera Kim Tiokliu,
tapi kacung cilik yang membokong Siang Thi-hong kemungkinan
adalah satu orang yang sama."
"Bila muncul pula seorang pemuda yang memiliki ilmu pedang
yang lebih unggul dari putera Kim Tiok-liu, maka urusan bakal
banyak menyulitkan kita."
Orang she Yap itu tiba-tiba me-nyeletuk, "Aneh kalau begitu."
"Apanya yang aneh?" tanya Tuig Tiong-ai.
Orang she Yap berkata, "Sebelum aku meninggalkan kota raja,
pangcu dari Thi-san-pang di Sungai Kuning menemui aku. Dia
memberi tahu kepadaku, bahwa putera Kim Hok-liu pernah muncul
di Tang-koan. Mereka, pangcu dari Thi-san-pang dan Ui-ho-sam-pa
terluka oleh ruyung lemasnya."
Ting Tiong-ai heran, katanya, "Putera Kim Tiok-liu bersenjata
ruyung lemas?" "Betul, bersenjata ruyung lemas. Ciu-pangcu dari Thi-san-pang
terkenal dengan kipas besinya, namun hanya tiga jurus bertarung,
kipasnya sudah terampas oleh ruyung lemasnya."
"Kim Tiok-liu diakui sebagai jago pedang nomor satu di jagat ini,
ternyata puteranya bersenjata ruyung lemas, hal ini perlu
disangsikan." Orang she Yap bicara lebih lanjut, "Murid ketiga Kang Hay-thian,
Li Kong-he, adalah hu-thocu dari Thian-te-hwe, waktu itu kebetulan
berada di markas cabang Tang-koan. Mendapat berita, segera dia
mencari sute-nya itu. Ketemu atau tidak, tidak tahu. Bahwa dia
sudah tahu pemuda itu mengalahkan pangcu Thi-san-pang dan Uiho-
sam-pa dengan ruyung lemas, namun buru-buru ingin
menemuinya, serta menyatakan pemuda itu adalah sute-nya, maka
dapat diduga bahwa bocah itu memang benar putera Kim Tiok-liu."
"Kapan kejadian itu?" tanya Lau-toako.
"Tepat pada hari raya Tiongciu." " Lau-toako mengerut alis,
katanya, "Aneh juga. Dari Khong-goan ke Tang-koan, perjalanan
harus melewati pegunungan yang jelek dan susah ditempuh,
jaraknya juga lebih jauh dari Siau-kim-jwan. Mereka pasti bukan
seorang yang sama Bangsat cilik yang kepergok Lo-ting itu masih
mungkin dalam jangka sepuluh hari pergi ke Tang-koan dari Siaukim-
jwan." Orang she Yap berkata, "Bangsat cilik itu boleh dikesampingkan,
dua putera Kim Tiok-liu muncul bersama di dua tempat yang
berbeda, lalu yang mana yang tulen?"
Ting Tiong-ai berkata, "Kukira yang bersenjata pedang itu yang
tulen." "Tapi hu-pangcu Thi-san-pang bicara sendiri dengan aku, aku
percaya ceritanya bukan bualan belaka," demikian ujar orang she
Yap. Tiba-tiba Lau-toako teringat, katanya, "Lo-ting, agaknya kau
pernah bilang bangsat cilik itu bergabung dengan pemuda
bersenjata ruyung mengalahkan Ngo-koan, Si-to dan Si-ceng?"
Ting Tiong-ai sadar seketika, katanya, "Betul, kepandaian
pemuda itu juga amat tinggi, hanya setingkat lebih bawah dari
pemuda berpedang itu. Lau-toako, apa kau curiga"."
"Betul; aku curiga pemuda itu pernah muncul di Tang-koan, yaitu
putera Kim Tiok-liu yang mengalahkan Thi-san pangcu dengan
ruyung lemas. Tapi aku tidak yakin kalau dia putera Kim Tiok-Hu."
Nyo Hoa yang mencuri dengar justru membatin, "Kau tidak
percaya, aku malah percaya." Sikap dan tingkah laku Kim Bik-ki
selama beberapa hari ini menerangkan hal-hal itu, hatinya
berkesimpulan. Pertama, dia bilang orang yang paling dikagumi
adalah Kim Tiok-liu, Kim Bik-ki tampak senang. Kedua, dalam setiap
pembicaraan, nada Kim Bik-ki juga seorang yang mahir


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan pedang, walau dia bersenjata ruyung lemas. Ketiga,
hari ini tanggal duabelas bulan sepuluh, putera Kim Tiok-liu yang
bersenjata ruyung lemas muncul di Tang-koan tanggal limabelas
bulan delapan, waktu cukup panjang untuk datang ke Tang-koan
dari Siau-kim-jwan, asai dia naik kuda dilarikan kencang, dalam
sepuluh hari juga sudah bisa mencapai tujuan. Ya, kemungkinan
setelah tanggal enam bulan delapan dia membantu aku di Siau-ldmjwan
langsung pergi ke Tang-koan, selewat hari raya Tiongciu, dari
Tang-koan menuju ke Giok-jiu-san," demikian batin Nyo Hoa.
Tapi malah ada satu persoalan pelik susah dipecahkan, yaitu Kim
Tiok-liu hanya punya seorang anak lelaki. Kalau yang muncul di
Khong-goan itu betul adalah pute-ranya, maka Kim Bik-ki tidak
mungkin puteranya Nyo Hoa berpikir, "Dari berbagai petunjuk,
gelagatnya Kim Bik-ki memang betul putera Kim Tiok-liu, walau aku
tidak pernah melihat pemuda yang muncul di Khong-goan itu."
Maka didengarnya Lau-toako tertawa, katanya, "Mana yang tulen
mana yang palsu sementara tidak usah kita risaukan. Bukan
mustahil pemuda yang bersenjata ruyung dan bangsat yang
bersenjata pedang, malam ini bisa kita pergoki."
Nyo Hoa kaget, pikirnya, "Agaknya dia sudah tahu bahwa kami
berada di sini?" Ting Tiong-ai juga melengak, tanyanya "Mana mungkin bisa
kebetulan?" Lau-toako berkata, "Kau tahu kenapa aku ajak kau ke tempat
belukar ini?" "Bukankah melihat situasi untuk mempersiapkan aksi kita besok
pagi?" "Itu salah satu sebab. Dan yang penting adalah mencari jejak
dua orang yang patut dicurigai, kemungkinan besar adalah kedua
bangsat cilik yang kepergok kau di Siau-kim-jwan tempo hari."
Ting Tiong-ai kaget, serunya, "Dari mana kau tahu?"
"Di balai kota aku sudah mencari tahu kepada kepala opas.
Kepala opas yang sudah tua itu ternyata masih cekatan dan pandai
bekerja Sejak sisa gerombolan pemberontak Siau-kim-jwan
memasuki Wilayah Jinghay, setiap hari dia sebar anak buahnya yang
terpercaya, entah menyamar pengemis, orang desa atau pedagang,
memperhatikan orang-orang yang pergi datang. Menurut
laporannya, tengah hari tadi ada dua orang pemuda menunggang
kuda menuju ke barat. Kuda mereka dilarikan kencang, tapi setelah
dia kembali menyelidiki setiap hotel dan rumah makan tiada orang
asing yang menginap, maka dapat diduga sebelum magrib mereka
sudah melewati kota kabupaten. Mereka tidak singgah di kota,
kemungkinan malam ini akan bermalam di tanah tegalan atau dalam
hutan ini." Ting Tiong-ai paham, katanya "Tak heran kalian mengabaikan
perjamuan yang dipersiapkan bupati, tidak mau menginap di balai
kota malam-malam menempuh perjalanan. Tapi kenapa tidak sejak
tadi kalian jelaskan kepadaku?"
"Ingin kubuat kejutan kepadamu. Lo-ting, bila betul dugaanku,
kau takut tidak menghadapi kedua bangsat cilik itu?" Ternyata dia
khawatir nyali Ting Tiong-ai sudah pecah terhadap kedua bocah itu,
bila sebelumnya diberi tahu tentu tidak mau ikut kemari.
"Lau-toako, kau terlalu meremehkan aku, meski kepandaianku
tidak becus, pernah dikalahkan Oleh kedua bangsat itu, namun sakit
hatiku harus dibalas. Apalagiada kalian dua jago kosen dari istana
menyertai aku, apa pula yang harus kutakuti?" Lau-toako tertawa,
katanya, "Aku hanya berkelakar saja, jangan kau ambil di hati.
Sebenarnya kepandaian ilmu totokan dengan sepasang pot lot besi
itu belum tentu kalah melawan kedua bocah itu. Kukira lantaran
baru bergebrak pertama kali, kau belum dapat menyelami
permainan pedangnya sehingga kau tercecar oleh serangan
pedangnya yang gencar, sedikit lena lantas cidera"
Terhibur hati Ting Tiong-ai mendengar umpakan Lau-toako,
katanya "Lau-toako memang berpandangan luas, keadaan waktu itu
memang demikian. Semoga mereka memang betul berada di
pegunungan liar ini. Tapi gunung sedemikian besar dan luas,
bagaimana kita tahu dia sembunyi di mana" Malam begini pekat kita
harus hati-hati, kalau tidak berbalik kita yang disergap mereka"
Lau-toako berkata "Lo-ting, tidak usah khawatir, aku punya akal
untuk mencari tahu tempat persembunyian mereka Kuyakin mereka
tidak menduga bahwa di pegunungan belukar ini mereka bakal
digre-bek, maka hanya kita yang menyergap mereka bukan mereka
yang menyergap kita"
Ting Tiong-ai kegirangan, katanya, "Lau-toako, kau punya akal
baik apa?" "Nah kau dengarkan," ucap Lau-toako. Mendadak dia
mengeluarkan suara auman harimau.
Auman harimau berat dan keras menggetar pegunungan
menggon-cang lembah, suaranya tidak kalah dibanding auman
harimau tulen yang mencari mangsa. Nyo Hoa tahu bahwa auman
itu tiruan, tak urung dia terkejut juga, pikirnya, "Lwckang orang ini
amat tangguh, tidak boleh diremehkan."
Terdengar Ting Tiong-ai tertawa, katanya, "Ternyata Lau-toako
mahir menirukan suara binatang."
Harimau adalah rajanya hutan, auman yang keras itu ternyata
mengejutkan seluruh penghuni hutan, maka dalam sekejap, orang
hutan, menjangan, serigala, babi hutan dan binatang-binatang liar
lainnya berlari serabutan mencari tempat sembunyi, cukup lama
baru keributan mereda Lau-toako berkata, "Kau dengar tidak, di atas dataran di balik
peng-kolan gunung sana, terdengar ringkik kuda, jaraknya dari sini
agaknya tidak terlalu jauh."
"Akalmu ini memang manjur, kalau ada kuda di sana,
penunggangnya tentu juga di sana."
"Kedua ekor kuda itu jelas adalah kuda perang yang sudah
terlatih." "Dari mana kau tahu?"
"Mereka hanya meringkik dua kali lalu berdiam diri. Malah tidak
terdengar suara meronta hingga tali kekang yang terikat di pohon
terlepas atau derap langkahnya yang melarikan diri, hanya kuda
perang yang terlatih baik saja tetap tenang menghadapi mara
bahaya sekalipun. Ringkik mereka hanya memperingatkan kepada
majikannya saja." Bahwa dari suara ribut berbagai binatang liar
yang lari serabutan itu orang she Lau ini mampu membedakan
suaranya secara cermat, meski Nyo Hoa mahir mendekam
mendengarkan suara juga masih kalah jauh dibanding dirinya.
Didengarnya Lau-toako berkata pula, "Aku curiga kedua kuda
perang itu pasti milik Ma Gun dan Ciu Jan."
Orang she Yap kaget, katanya, "Kalau demikian berarti mereka
sudah terbunuh?" "Sekarang belum bisa dipastikan. Tapi kalau benar mereka sudah
terbunuh, maka kedua buronan ini boleh dipastikan mereka adalah
kedua bangsat cilik yang kepergok Lo-ting di Siau-kim-jwan itu."
"Apakah sekarang kita boleh mencari kedua bangsat cilik itu?"
tanya Ting Tiong-ai. "Tunggu lagi sejenak. Kedua bocah itu pasti terjaga oleh auman
harimauku tadi, setelah mereka mengira harimau sudah pergi jauh,
meski berjaga secara giliran juga tidak akan siaga seketat semula."
"Betul, sekarang mereka di tempat terang, kita df tempat gelap,
bila suasana tidak tegang lagi baru kita bertindak."
Nyo Hoa berpikir, "Sekarang tak usah mengejutkan Kim-heng,
yakin aku seorang diri masih mampu menghadapi ketiga cakar alapalap
ini. Umpama terdesak Kim-heng pasti akan segera
membantuku." Kebetulan didengarnya Lau-toako berkata, "Sekarang sudah tiba
saatnya, mari kita cari kedua bangsat itu."
Nyo Hoa segera melompat berdiri beberapa kali lompatan, dia
sudah sampai ke tempat tiga orang itu, bentaknya dingin, "Tidak
usah ber-susah payah, nah aku di sini."
Ting Tiong-ai mendengus, bentaknya, "Ya, betul, memang
bangsat ini." Lau-toko mendengus, bentaknya, "Bangsat cilik bernyali besar!"
"Sret", golok terlolos terus membacok, ayunan goloknya ternyata
mengeluarkan desingan suara yang menusuk telinga. Agaknya dia
sengaja hendak pamer kepandaian, di waktu mencabut golok
mengerahkan tenaga, hingga goloknya bergesekan dengan sarung
goloknya, dengan gertakan suara dia hendak menciutkan nyali
lawan lebih dulu. Nyo Hoa memang memuji tenaga dalam lawan, namun sikapnya
tetap wajar, jengeknya, "Kau pamer tenaga hendak menggertak aku
ya?" Bacokan golok Lau-toako sederhana, namun golok di tangannya
bagai bianglala di angkasa. Perba-wanya memang mampu
membelah gunung menghancurkan batu. Nyo Hoa miringkan tubuh
menusukkan pedang dari samping, geraknya serba
membingungkan, seperti jurus Sik-li-to-so tapi juga mirip Li-khongsia-
eiok. Si-lik-to-so dalam permainan pedang termasuk gerakan
lembut, gemulai, sebaliknya Li-khong-sia-eiok adalah gerakan kasar.
Lau-toako tidak pernah melihat Bu-beng-kiam-hoat, melibat gaya
pedangnya, dia tertegun heran. Maklum keras dan lunak dilancarkan
sekaligus memang merupakan taraf tertinggi dari ilmu pedang yang
dikejar oleh setiap pesilat, namun untuk melancarkan tenaga keras
dan lunak dalam satu jurus yang sama jelas sukar dipraktekkan dan
belum pernah ada aliran silat yang memperagakan.
Wisu she Lau dari raja ini berpengalaman dalam berbagai
pertempuran, walau merasa heran namun dia tidak gugup.
Beruntun dia lancarkan tiga bacokan golok, ketiganya merupakan
jurus golok yang lihay. Sejak Nyo Hoa menyelami Bu-beng-kiamhoat,
pengetahuannya tentang ilmu silat sudah dapat disejajarkan
dengan mahaguru silat paling top jaman ini, begitu bergebrak dia
lantas perhatikan permainan lawan serta memikirkan cara untk
mematahkan serangan lawan, lapi ilmu golok orang she Lau ini
umpama sungai yang ditahan rantai raksasa yang melintang di
tengah sungai, laksana serbuan laksaan tentara di medan perang,
umpama berhasil ditemukan sedikit titik kelemahan, juga sukar
dipatahkan. Nyo Hoa bergerak lincah, dengan tabah dia hadapi rangsakan
lawan beberapa jurus, mendadak pedangnya menusuk Tusukan
pedangnya seperti tidak karuan, yang ditusuk adalah dada orang
she Lau, namun mendadak pedangnya berputar, di luar dugaan
ketiga lawannya, secepat lalat pedangnya tahu-tahu menusuk
pundak kanan wisu she Yapiru.
Perang gerilya yang digunakan Nyo Hoa untuk menggempur satu
persatu, karena dia tahu ketiga lawannya akan bergabung
mengeroyok dirinya, maka dia bermaksud membikin lumpuh kedua
tangan orang ini baru selanjutnya membereskan yang lain. Tusukan
yang tidak karuan itu justru merupakan permainan silat dari ilmu
golok keluarga Beng dikombinasikan dengan Bu-beng-kiam-hoat.
Nyo Hoa mengira di bawah serangan pedang kilatnya, kalau tidak
mampus pasti orang she Yap ini ter-luka parah, di luar tahunya
kungfu orang she Yap ini ternyata lihay luar biasa, dalam detik yang
kritis itu bukan saja dia mampu menyelamatkan diri malah mampu
balas menyerang. Sebelah tangannya menepis miring, tangan yang
lain mencengkeram dari jarak jauh, cengkeraman jarak jauh ini
sekaligus mengincar tujuh hiatto di tubuh Nyo Hoa. Ujung pedang
Nyo Hoa tergetar miring oleh tenaga pukulannya, terpaksa dia
menarik pedang melindungi badan. Dengan jurus Giok-tay-wi-yau,
sinar pedangnya berderai ke empat penjuru. Karuan orang she Yap
itu tersirap darahnya tak berani maju, lekas dia melompat mundur.
Setelah mendengus, orang she Yap berseru, "Bocah ini bernyali
besar, kurang ajar lagi, sebetulnya tidak ingin aku mengeroyoknya,
tapi kau sengaja mencari perkara dengan aku, maka jangan
salahkan aku berlaku keji."
Nyo Hoa dikeroyok dari depan dan belakang, golok dan telapak
tangan menyerang bersama. Walau Nyo Hoa tidak terdesak dan
tidak bakal kalah dalam waktu singkat, namun permainannya cukup
terhalang sehingga tidak mampu merobohkannya satu per satu.
Maklum kedua lawannya ini jago-jago tangguh, permainan golok
dan ilmu pukulan mereka meski menunjukkan sedikit kelemahan,
namun karena kerja sama mereka cukup baik, saling mengisi, maka
kelemahan itu tidak menjadi unsur yang fatal bagi mereka. Bahwa
Nyo Hoa harus pusatkan perhatian menghadapi serangan kedua
lawannya, terpaksa dia tidak bisa mencari peluang lain lagi. Perlu
diketahui, kedua wisu ini memang jago yang punya asal-usul. Wisu
yang bertugas di dalam istana ada limapuluhan orang, kedua orang
ini termasuk delapan jago kosen.
Lau-toako bernama Lau Ting-ci, sute dari ciangbunj in Ngo-houtoan-
bun-to yang bernama Lau Cou-pek. Permainan Ngo-hou-toanbun-
to serba sempurna dalam menyerang dan mempertahankan
diri, mengutamakan ketabahan dan keuletan, mes- -ki berhadapan
dengan lawan yang berkepandaian lebih tinggi juga tidak mudah
dikalahkan. Lau Ting-ci adalah jago kosen nomor satu dalam Ngohou-
toan-bun-to, taraf kepandaiannya masih di atas sang suheng
yang menjabat sebagai ciangbunj in.
Wisu she Yap itu Kok-wij semula begal kuda dari Koan-tang.
Dengan Toa-cui-pi-jiu malang melintang di Kangouw, selama hidup
belum pernah ketemu tandingan. Tenaga pukulannya mampu
menghancurkan batu pilar, dia pun mahir menggunakan tujuhpuluh
dua jurus Tay-kim-na-jiu.
Kepandaian kedua orang ini cukup mampu menghadapi Nyo Hoa,
apalagi sekarang mereka bergabung, jelas kemampuan mereka di
atas Nyo Hoa. Tapi permainan pedang Nyo Hoa memang teramat
tinggi dan susah dijajaki, bahwasanya kedua lawan tidak.tahu ilmu
pedang aliran mana dan jurus apa yang dilancarkan. Karena ilmu
pedangnya mirip ajaran Ceng-seng, Go-bi. Siau-lim, Bu-tong, namun
sukar diraba tepatnya dari aliran mana. Bahwa di dunia ini ada
permainan pedang seaneh yang dikembangkan Nyo Hoa sungguh
kedua orang itu keheranan dan takjub.
Melihat Lau Ting-ci dan Yap Kok-wi mampu mengatasi permainan
pedang Nyo Hoa, makin tabah hati Ting Tiong-ai, serunya, "Toako,
aku punya dendam dengan keparat ini, bukan maksudku merebut
pahala dengan kalian, tapi dendamku itu harus kubalas sekarang
juga." Nyo Hoa tertawa dingin, katanya, "Apa salahnya kau maju
sekalian. Hehehe, main keroyok memang sudah menjaadi modal
kalian, hayo maju, kenapa cari alasan?"
"Keparat, kematian di depan mata masih berani "bertingkah!"
Sambil membentak Ting Tiong-ai menggerakan kedua potlot
besinya, ke kiri menotok Ki-bun-hiat yang kanan menusuk Pek-hwehiat
Sebagai jago ilmu totok, dia percaya permainan pedang Nyo
Hoa sedikit banyak sudah diselaminya, mumpung Nyo Hoa sedang
mematahkan serangan golok Lau Ting-ci, begitu terjun ke arena
segera dia lancarkan serangan mematikan.
Mendadak pedang Nyo Hoa berputar, bergerak belakangan tapi
tiba lebih dulu, Ting Tiong-ai dipaksa menarik serangannya.
Menyusul dia bergerak dengan jurus yang mirip Tiap-jui-hu-certg.
Tusukan Tiap-jui-hu-ceng adalah jurus ilmu pedang Siong-san-kiamhoat
yang kenamaan, gerakannya lincah dan enteng.
TingTiong-ai pernah merasakan kelihayan jurus pedang mirip
permainan Siong-san-kiam-hoat ini. Dia melihat Nyo Hoa


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melancarkan jurus serangan ini pula, karuan dia naik pitam,
jengeknya, "Kau menggunakan permainan yang mirip Siong-sankiam-
hoat untuk mengelabui mata orang, kau kira orang she Ting
dapat kau tipu" Hehe agaknya begini saja bekal ilmu pedangmu."
Sembari bicara kedua pot lotnya bergerak dengan tipu Moh-ja-tamhay,
kaki merebut selangkah, dia mengunci gerakan pedang Nyo
Hoa. Jurus perlawanan yang dilancarkan sekarang adalah hasil jerih
payahnya selama ini setelah tempo hari dia kecundang oleh jurus
pedang yang satu ini, dia kira dirinya membekal persiapan matang,
kali ini Nyo Hoa pasti dapat dikalahkan. Tak nyana, "sref",
mendadak pedang Nyo Hoa menusuk dari arah yang tidak terduga,
perubahan serangan kali ini tidak lagi mirip Siong-san-kiam-hoat,
namun lebih mirip jurus Ko-pek-som-som dari Tay-san-kiam-hoat.
Gaya permainan Tiap-jui-hu-ceng memangnya sudah enteng dan
lincah, maka permainan jurus Ko-pek-som-som ternyata deras ketat
berhimpitan. "Cret" terdengar suara sambaran lirih, seketika Ting Tiong-ai
rasakan batok kepalanya silir dingin. Ternyata sambaran pedang
Nyo.Hoa sudah mencukur botak separo rambut di tengah kepalanya,
rambut yang tercukur itu seketika berhamburan disambar angin.
Untung dalam detik yang kritis itu, Lau Ting-ci dan Yap Kok-wi
menubruk maju sambil melancarkan bacokan dan pukulan, sehingga
gerakan Nyo Hoa sedikit tertunda, sekaligus telah menyelamatkan
jiwa Ting Tiong-ai. Nyo Hoa tertawa, katanya, "Pengetahuanmu masih dangkal,
memangnya setimpal kau memberi komentar atas permainan
pedangku?" Sudah malu karena rambut tercukur masih diolok-olok lagi,
karuan Ting Tiong-ai naik pitam, bentaknya, "Keparat, hari ini kalau
bukan kau yang mampus, biar aku yang mati."
Melihat betapa lucu keadaan Ting Tiong-ai setelah tercukur
kepalanya, sungguh Lau Ting-ci merasa geli dan kasihan. Segera dia
kembangkan Ngo-hou-toan-bun-to, ke kiri membacok tiga kali, ke
kanan tiga kali, dari depan dia sambut beberapa jurus serangan Nyo
Hoa, serunya, "Ting-heng tak usah marah, bocah ini sudah laksana
ikan dalam jaring, yakinlah dia tidak akan lolos dari tangan kita.
Nanti setelah berhasil kita bekuk dia, boleh terserah bagaimana kau
akan menghukum dia" Nyo Hoa menjengek dingin, "Kentutmu busuk, buktikan saja
siapa bakal kalah." Mendadak pedangnya bergerak ke timur
memukul barat, menusuk ke utara menahas ke selatan, sekejap di
depan tahu-tahu sudah berada di belakang. Walau Ting Tiong-ai,
Lau Ting-ci dan Yap Kok-wi mengeroyoknya, namun menghadapi
perlawanan ilmu pedangnya yang menakjubkan, mereka tak mampu
berbuat banyak. Pertempuran sudah berjalan sekian lama, diam-diam Nyo Hoa
keheranan kenapa sejauh ini bayangan Kim Bik-ki tidak kelihatan
muncul" Bagi seorang yang memiliki kungfu, meski tidur nyenyak
namun pendengarannya jauh lebih tajam dari orang biasa, auman
harimau disusul keributan dari binatang liar yang melarikan diri
cukup mengejutkan siapa pun meski tidur sepulas babi, apalagi Kim
Bik-ki seorang yang mahir silat" Jikalau Kim Bik-ki sudah
bangun,"jarak pertempuran di sini tidak terlalu jauh, tentu sudah
didengarnya juga Segera Nyo Hoa bersiul panjang, siulannya
dikerahkan dengan lwe-kang, sehingga menimbulkan gema yang
cukup lama di pegunungan, dalam jarak tiga li orang akan
mendengar siulannya ini, tapi ditunggu beberapa kejap lagi, Kim
Bik-ki tidak muncul juga tidak memberi reaksi atau jawaban akan
siulannya itu. Ting Tiong-ai berteriak, "Keparat ini mengundang bantuan, lekas
kita ganyang dia." Lau Ting-ci membentak, "Keparat busuk, tak keburu lagi,"
Cahaya golok berkelebat, Nyo Hoa ternyata dicegah dengan ketat,
sementara dengan kekuatan pukulan Toa-ciu-pi-jiu Yap Kok-wi
menggetar miring setiap serangan pedang Nyo Hoa Sepasang pot
lot Ting Tiong-ai juga bersilang menotok hiatto Nyo Hoa Di bawah
keroyokan tiga jago lihay keadaan Nyo Hoa semakin terjepit Tanpa
terasa belasan jurus telah lalu, Kim Bik-ki tetap tidak kelihatan
keluar. Ting Tiong-ai berkata "Aneh, mungkin bocah ini tidak
bersama dia?" Lau Ting-ci tertawa, katanya, "Kukira bocah ini sudah ketakutan
menghadapi kita tak hiraukan keselamatan teman, dia sudah
menyelamatkan diri."
"Bik-ki jelas bukan orang yang berbudi rendah, waktu dia
membantu memukul Ngo-koan, Si-to dan SU ceng padahal tidak
mengenal aku, Ketiga lawan ini meski berkepandaian tinggi juga
belum lebih unggul dibanding Si-ceng atau Si-to, kenapa Bik-ki
harus takut terhadap mereka?" demikian batin Nyo Hoa
Tapi kenyataan tetap kenyataan, rembulan sudah bercokol di
tengah langit, Nyo Hoa masih bertempur dengan sengit hingga
mencapai tigaratusan jurus, namun Kim Bik-ki tetap tidak kunjung
datang. "Mungkin seperti diriku, dia pun sedang menghadapi perkara?"
akhirnya Nyo Hoa menduga-duga. Kembali dia melancarkan sejurus
serangan yang mirip Tiap-jut-hu-ceng, pedangnya menusuk kepada
Ting Tiong-ai. Beruntun dua kali Tmg Tiong-ai kecundang oleh jurus
yang satu ini, kali ini muslihat apa pula yang dilancarkan Nyo Hoa,
maka tanpa pikir lekas dia miringkan tubuh serta berkelit kepungan
musuh jebol, ujung pedang Nyo Hoa bergetar, segera dia
kembangkan golok kilat keluarga Beng menjadi tabir cahaya kemilau
secepat lalat menotok beruntun belasan kali Seketika Lau Ting-ci
dan Yap Kok-wi rasakan matanya silau, seolah-olah ujung pedang
Nyo Hoa sekaligus mengancam tenggo-rokan, lekas Lau Ting-ci
angkat golok menahas melintang, dengan gaya Palang Pintu Besi
melindungi badan. Demikian pula Yap Kok-wi lontarkan Bik-khongciang
menggetar pergi ujung pedang Nyo Hoa, kaki pun menyurut
dua langkah. Di luar dugaan, serangan Nyo Hoa hanya gertakan
belaka, hanya sekejap Nyo Hoa sudah bebas dari kepungan mereka.
Untuk mengalahkan ketiga lawannya sekaligus memang sukar, tapi
untuk lari bagi Nyo Hoa bukan persoalan.
Delapan tahun Nyo Hoa hidup di Ciok-lin, seluk beluk Ciok-lin
yang rumit dan menyesatkan sudah tergambar jelas dalam
benaknya, dengan mata meram pun dia bisa mondar-mandir
dengan leluasa, maka meski taraf ginkang-nya sekarang kira-kira
setanding Lau Ting-ci, namun bergerak di atas pegunungan dia lebih
gesit dan tangkas dari ketiga musuhnya.
Ginkang Ting Tiong-ai juga tinggi, namun masih kalah setingkat
dari Nyo Hoa. Sementara Yap Kok-wi terlalu tekun meyakinkan Taycui-
pi-jiu. Lwekang-nya juga sudah tinggi tapi ginkang-nya paling
lemah di antara mereka bertiga, jelas dia pun tak mampu mengejar
Nyo Hoa. Lau Ting-ci tahu diri, seorang diri dia bukan tandingan Nyo Hoa,
mengeroyoknya juga belum tentu bisa menang, maka mereka harus
bertiga berdampingan. Yap Kok-wi ketinggalan di belakang, dua
orang yang lain harus menunggu. Maka beberapa kejap kemudian
Nyo Hoa sudah lari semakin jauh dan tidak kelihatan lagi.
Tidak lama Nyo Hoa mengayun langkah, tempat di mana Kim
Bik-ki mendirikan kemahnya sudah kelihatan. Nyo Hoa menoleh ke
belakang, melihat ketiga lawannya tidak mengejar lega hatinya,
segera dia memanggil, "Kim-heng, Kim-heng."
Tidak mendapat jawaban Kim Bik-ki, mendadak didengarnya
suitan panjang dari kejauhan, suaranya berisi laksana pekikan naga.
Nyo Hoa kaget, pikirnya, "Orang ini jelas bukan Kim Bik-ki tapi
lwekang-nya jelas lebih tinggi dari Bik-ki.
Suitan itu semakin dekat, Nyo Hoa pasang telinga, lapat-lapat dia
mendengar orang yang bersuit ini juga menggerutu, apa yang
dikatakan tidak jelas, tapi dua patah kata terakhir dapat
didengarnya dengan jelas, orang itu membentak "minggir"
Disusul suara Lau Ting-ci meng-iakan, lalu terdengar langkah
mereka turun gunung. Nyo Hoa keheranan, entah siapa orang itu
ternyata mampu memukul mundur dua Wisu kosen dan Ting Tiongai
yang menjadi kepala dari Ngo-koan.
Sementara itu Nyo Hoa sudah berada di perkemahan di mana
Kim Bik-ki tidur, pikirnya, "Biar kutemui Bik-ki lebih dulu." Kemah
sutera milik Kim Bik-ki masih tergantung di pohon menutupi batu
bundar di bawah pohon, namun kuda yang tertambat di bawah
pohon sana tinggal seekor.
Berdebar jantung Nyo Hoa, teriaknya, "Kim-heng, Kim-heng."
Angin gunung menghembus lewat, kemah sutera itu melambai,
namun di dalamnya tiada jawaban. Tanpa hiraukan pantangan dan
tidak takut diomeli Kim Bik-ki, segera Nyo Hoa melompat ke dalam
seraya menyingkap kemah. Di dalam kosong, tiada bayangan
seorang pun. Kemah Kim Bik-ki ini terbuat dari benang sutera alam dari Thiansan,
bila dilipat menjadi kecil dan ringan, di pasaran susah dibeli dan
harganya juga tidak ternilai, ternyata oleh Kim Bik-ki tinggal pergi
begitu saja, jelas dia pergi secara tergesa-gesa dan tidak sempat
membawa barang-barang miliknya
"Aneh, soal apa yang dia takuti" Mau lari kenapa tidak memberi
tahu kepadaku?" Tengah dia berpikir tiba-tiba terasa angin berkesiur
di belakang, lekas Nyo Hoa menoleh. Tampak di atas batu bundar
sudah berdiri seorang pemuda berusia dua-puluhan, beralis tegak
bermata terang, sikapnya gagah dan berwibawa. Wajahnya
kelihatan gusar menatap galak kepada Nyo Hoa.
Nyo Hoa keheranan, lekas dia memberi hormat, sapanya,
"Terima kasih, saudara telah menggebah ketiga cakar alap-alap"."
"Siapa kau?" tiba-tiba pemuda itu membentak kepadanya
Sudah tentu Nyo Hoa bingung, namun dia bersikap sopan,
sahutnya, "Siaute Nyo Hoa. Mohon tanya siapakah she dan nama
besar saudara?" Pemuda itu mendengus, jengek-nya, "O, kau bernama Nyo Hoa?"
Agaknya dia belum pernah dengar nama yang masih asing bagi
dirinya maka merasa heran. Segera dia bertanya, "Apakah Kim Bikki
bersama engkau?" "Betul Apa kaukenal dia" Kalau demikian kita terhitung orang
sendiri." "Orang sendiri." Perkataaan Nyo Hoa menusuk pendengarannya,
seketika masam mukanya. "Di mana dia?"
"Tadi dia tidur di sini, tapi sekarang entah ke mana."
"Kau tidak tahu, aku tahu. Jelas dia tidak berani menemui aku,
lalu sembunyi, rim, tidak tahu malu."
Akhirnya Nyo Hoa tidak sabar, katanya, "Aku tidak tahu kau
pernah apa dengan dia, entah benar dia takut kepadamu maka
menyembunyikan diri. Tapi dia adalah sahabat baikku, tidak boleh
kau sembarang-an menghina temanku."
"Memangnya aku juga akan mencacimu, kalian berdua memang
tidak tahu malu." "Kenapa aku tidak tahu malu" Jangan kau sembarangan memaki
orang. Kalau tidak kaujelaskan, aku" aku"."
"Kalau kukatakan hanya mengotori mulut saja, aku ingin tanya,
apa kehendakmu?" "Aku tidak ingin apa-apa, tapi jangan kau memaki orang
seenakmu sendiri, cukup asal kau minta maaf saja."
Ternyata pemuda itu makin marah, "Sret" dia melolos pedang
malah, bentaknya, "Kau pemuda bergajul, berani kau menuntut aku
minta maaf malah" Lekas cabut pedangmu."
Tidak salah tidak berdosa berulang kali dirinya dicaci maki,
karuan Nyo Hoa naik pitam, serunya, "Aku tidak pernah
mengenalmu, bagaimana kau tahu kalau aku bergajul?"
"Tidak usah cerewet, hayo cabut pedangmu."
"Untuk apa mencabut pedang?"
"Akan kuhajar kau bocah tidak tahu adat ini."
Berkerut alis Nyo Hoa, katanya, "Tanpa sebab kenapa aku
harus"." Tiba-tiba didengarnya angin menyambar, itulah gerakan
pedang yang menusuk, ternyata ujung pedang orang sudah
menuding mukanya. Berapa cepat dan lihay gerakan pedang orang,
Nyo Hoa tidak duga gerakan pedang orang secepat itu, jelas dia
tidak sempat berkelit, terpaksa dia cabut pedangnya menangkis.
Tiba-tiba pedang lawan serong ke pinggir, bila Nyo Hoa sudah
mencabut pedangnya, mendadak pedangnya melingkar balik
"Trang" dua pedang beradu menerbitkan per-cikan kembang api,
keduanya sama tergeliat Karuan Nyo Hoa melenggong, maklum gerak mencabut pedang
menangkis pedang lawan sudah terlambat serambut. Kalau orang
itu menusuk langsung, sebelum dirinya sempat mencabut pedang
matanya sudah tertusuk. Tapi dia sengaja miringkan dulu
pedangnya baru menyerang secara sungguhan, jelas tujuannya
hanya memaksa Nyo Hoa beradu pedang, bukan mau melukainya
Cepat sekali "Sret, sret, sret" beruntun orang itu menyerang pula
tiga jurus, bentaknya, "Marilah kita bertanding." Setelah pedang Nyo
Hoa terlolos, serangannya ternyata tidak kenal kasihan.
Beruntun Nyo Hoa mundur tiga langkah, setiap langkah mundur
mematahkan sejurus serangan lawan, setelah mundur tiga langkah
baru dia memperkokoh kedudukannya bertahan sama kuat dengan
lawan. Tapi serangan orang itu tidak ken-dor, setelah dia
kembangkan permainan pedangnya, laksana dampar-an gelombang
sungai yang bergulung-gulung Nyo Hoa didesaknya kerepotan,
hanya mampu bertahan tak sempat memberi penjelasan tentang
kesalahpahaman ini. Padahal Nyo Hoa juga belum tahu kenapa
lawan salah paham terhadap dirinya"
Setelah puluhan jurus baru Nyo Hoa tersirap kaget, batinnya,
"Kecuali lwekang-nya bukan tandingan Miao Tiang-hong, permainan
pedangnya agaknya lebih unggul dari Miao Tiang-hong." Sejak
keluar kandang, dalam permainan pedang boleh dikata Nyo Hoa
belum pernah ketemu tandingan, walau pernah dikalahkan Miao
Tiang-hong, namun bukan kalah dalam permainan pedang, tapi
setelah dia berhadapan dengan pemuda ini, dia benar-benar
bertemu lawan tangguh. Lawan lebih untung menyerang lebih dulu, setelah puluhan jurus
baru Nyo Hoa berhasil memperbaiki posisinya, kini dia sudah
berhasil menarik sedikit keuntungan. Mendadak orang itu
mendengus lalu berkata, "Sayang, sayang."
"Apanya yang sayang?" tanya Nyo Hoa.
Orang itu berkata, "Ilmu pedangmu cukup lumayan, sayang kau
ini bergajul yang tidak tahu malu."
Beruntun dirinya dimaki pemuda bergajul, karuan Nyo Hoa naik
darah, bentaknya, "Kau tidak tahu aturan" Coba jelaskan, di mana
aku"." Belum habis dia bicara mendadak lawan menyelinap maju,
pedangnya menyerang dengan jurus Menusuk Lubang Langit Cerah,
ujung pedang menusuk dada.
Dengan Ih-sing-hoan-wi Nyo Hoa menghindar, beruntun dia
melancarkan dua gerakan ilmu pedang yamg menakjubkan baru
berhasil mematahkan sejurus serangan pedang lawan. Tapi mulut
orang bicara kaki tangannya sedikit pun tidak kendor. Karena
dicecar laksana hujan badai, Nyo Hoa tak bisa buka suara, seluruh
perhatian harus ditumpahkan untuk menghadapi serangan lawan.
Akhirnya Nyo Hoa sadar, pikirnya, "Aku harus anggap dia sebagai
musuh baru dapat menandingi dia" Segera dia buang jauh pikiran
yang merisaukan hati, matanya menatap gerakan pedang lawan,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setiap jurus serangan dipunahkan, tipu dilawan tipu.
Ilmu pedang pemuda ini berkembang secara terbuka seperti
seorang jenderal yang memimpin pasukan di medan laga
menggempur musuh secara terbuka tidak pakai tipu muslihat atau
jebakan. Tapi dari gerakan yang sederhana dan kelihatan biasa itu
justru dapat dinilai kehebatan permainannya. Nyo Hoa harus
melawannya sampai seratus jurus lebih, namun sejauh ini dia tak
mampu menemukan kelemahan lawan. Mau tidak mau di samping
memuji hatinya amat kagum pula. "Ilmu pedang pemuda ini sudah
mencapai taraf sederhana kembali ke mumi, angkat berat bagai
ringan, gerakan kaku mengatasi kelincahan, walau latihannya belum
matang, tapi permainannya jelas lurus, agaknya dia lebih menyelami
intisari ilmu pedang tingkat tinggi dari aku" Lalu terbayang olehnya
waktu Kim Bik-ki memberi komentar tentang permainan pedangnya
yang masih belum sempurna tempo hari, sekarang benar-benar
diresapinya kekurangannya setelah menghadapi lawan yang satu ini.
Sekaligus terasakan pula olehnya bahwa kepandaian pemuda ini
pasti satu sumber dengan Kim Bik-ki, walau Kim Bik-ki tidak
bersenjata pedang. Karena pikiran sedikit terpecah, pedang orang itu menjungkit
naik dengan jurus Li-Khong-sia-ciok, lengan baju Nyo Hoa
ditusuknya berlubang, syukur Nyo Hoa bergerak secara cepat seraya
berputar, begitu dekat lantas menyingkir, sekali tutul lantas mundur,
kalau tidak pedang lawan tentu sudah melukai perge-langan
tangannya. Menghadapi lawan tangguh yang setaraf, makin menyala
semangat tempur pemuda itu, setelah menje-ngek dia berkata
"Coba saja berapa jurus kau mampu melawanku lagi." Mendadak
sinar pedang bergulung-gulung, hawa pedang menyambar kian
kemari, sekujur badan Nyo Hoa seperti terbungkus di dalam gerakan
pedangnya. Lekas Nyo Hoa konsentrasikan pikiran, bila pertempuran
mencapai puncaknya, keadaannya boleh dika-ta sudah melupakan
antara aku dan kau. Yang tampak dalam pandangannya hanyalah
gerak pedang lawan belaka
Dalam ilmu pedang tingkat tinggi walau gerakan kaku dapat
mengalahkan kelincahan, namun bagi dua lawan yang bertanding
bila kepandaian belum mencapai taraf yang paling tinggi, satu lurus
yang lain aneh, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan,
hingga susah dibedakan mana yang lebih unggul. Padahal bukan
Nyo Hoa tidak memahami arti dari intisari ilmu pedang, soalnya
lawan memang lebih mendalam dan memperoleh didikan yang
murni dan petunjuk lurus, ketimbang dirinya yang mahir tanpa guru.
Tapi Nyo Hoa sudah meresapi kesaktian Bu-beng-kiam-hoat,
reaksinya menghadapi segala perubahan jelas lebih unggul dari
lawannya Gerakan Bu-beng-kiam-hoat seperti tidak teratur dan tidak
pasti mengikuti teori, kelihatannya kacau balau, namun memiliki
gerakan khusus yang benar-benar dapat diandalkan. Setelah seratus
jurus, gerakan Nyo Hoa makin leluasa dan lancar serta mantap,
menyerang atau bertahan sudah mencapai tingkatan yang
sempurna. Tiba-tiba Nyo Hoa teringat akan teori yang berbunyi "aku sebagai
poros halang, daripada lawan memegang peranan lebih baik aku
sebagai poros mengikuti gerakan lawan". Selanjutnya dia mainkan
golok kilat keluarga Beng dalam permainan ilmu pedang, titik
beratnya tetap pada arti ilmu pedang yang sesungguhnya, seperti
tanpa aturan asal pedangnya terayun dan menyerang, namun
gerakannya melebihi kilat. Kalau titik kelemahan lawan tidak
diketemukan, biarlah diri sendiri menciptakan kelemahan lawan itu.
Keduanya menumpahkan perhatian dalam bertanding pedang,
entah berapa lama mereka berhantam, keadaan tetap seimbang,
susah dibedakan mana yang menang atau kalah. Namun setelah
diserang oleh berbagai permainan pedang Nyo Hoa yang beratus
ragam itu, mau tidak mau makin goyah keyakinan pemuda itu.
Dalam suatu kesempatan, pedang orang itu ke kiri menyerang
dengan jurus Thian-san-soat-beng (Salju gugur di puncak Thiansan)
ke kanan menyerang dengan Gin-han-hu-jay (Lelaki perak
memanggul kayu), jurus pertama keras dan deras, jurus kedua
cepat lagi cekatan, serangan pedangnya amat ganas dan keji. Tapi
dalam melancarkan kedua jurus ini, tanpa merasa dia menunjukkan
sedikit lubang. Kontan Nyo Hoa bergerak dengan Kim-ciam-to-coat
(Jarum emas membebaskan malapetaka), pedangnya menusuk
seraya membentak, "Lepas pedang."
Jurus Kim-ciam-to-coat yang dilancarkan Nyo Hoa menyelinap
tepat di saat lawan memperlihatkan kelemahan, tepat pada
waktunya melumpuhkan kelemahan itu, sungguh hebat dan
menakjubkan sekali. Jikalau lawan tidak segera membuang pedang,
pergelangan tangan pasti tertusuk berlubang atau putus.
Tak nyana perubahan memang sukar dijajaki, pedang lawan
memang dibuang, tapi pedang itu meluncur lurus bagai anak panah.
Itulah jurus lemparan pedang yang lihay dari Thian-san-kiam-hoat
untuk memperbaiki posisi yang terdesak, namanya Hwi-liong-caythian
(Naga terbang di udara). Tujuan Nyo Hoa hanya memaksa lawan melempar pedang; tidak
bermaksud melukainya maka dia tidak menduga bahwa lawan
melempar pedang menyerang dirinya dengan maksud mengadu
jiwa. Jarak teramat dekat, begitu pedang lawan ditimpukkan, daya
luncurnya kencang lagi, Nyo Hoa tidak mungkin berkelit, menangkis
dengan pedang juga tidak sempat atau tak mampu melawan
luncuran kuat pedang itu, secara reflek dia menjatuhkan badan ke
belakang hingga badan sejajar dengan tanah. Pedang lawan
menyambar lewat di depan hidungnya. Nyo Hoa gunakan jurus Kihwe-
liau-thian (Angkat obor menerangi langit), ujung pedangnya
menyampuk ke aras Tiang" pedang panjang yang meluncur tiba itu
membelok arah meluncur jatuh ke pinggir.
Untung reaksi Nyo Hoa cepat dan gerakannya pun lincah, hingga
timpukan pedang lawan dapat dihindarkan, pedang lawan pun
disam-poknya jatuh ke jurang, kelihatannya gerakannya sederhana,
padahal sudah memeras seluruh tenaga dan kemampuannya.
Waktu Nyo Hoa meletik berdiri pula, baru terdengar suara
pedang jatuh di dasar jurang, sudut matanya menangkap gerakan
orang itu yang lari ke belakang batu besar di mana kuda Nyo Hoa
ditambat Langsung dia melompat ke punggung kuda seraya
memaki, "Bocah bagus, persoalanku dengan kau belum habis,
tunggu saja perhitunganku. Kalau pedangku yang terebut ini tidak
ku-balas, aku bersumpah tidak jadi manusia."
Baru sekarang Nyo Hoa sadar, merebut senjata lawan dianggap
penghinaan yang terbesar bagi kaum persilatan, tidak heran kalau
pemuda itu amat gusar. Tapi dirinya terdesak keadaan, dalam
keadaan seperti tadi, kalau dirinya tidak memukul jatuh pedang
lawan, bagaimana dirinya bisa menyelamatkan diri"
Lekas Nyo Hoa berteriak, "Saudara kembalilah, aku" aku minta
maaf kepadamu." Tapi kuda itu sudah dilarikan kencang ke arah timur, sekejap saja
sudah lari jauh mana bisa memanggilnya kembali"
Nyo Hoa menghela napas, lalu geleng-geleng kepala.
Rembulan sudah merambat ke barat, tidak lama lagi bakal terang
tanah. Kim Bik-ki pergi naik kuda, jelas takkan kembali lagi, terpaksa
Nyo Hoa menurunkan kemah serta menggulungnya dalam buntalan,
dengan mengembangkan ginkang dia turun gunung. Harinya
mengharap Kim Bik-ki menunggu dirinya di bawah gunung. Setelah
bertemu dengan Kim Bik-ki baru dia akan tahu asal-usul pemuda
yang melabrak dirinya. Di bawah gunung dia tidak menemukan Kim Bik-ki, tapi samarsamar
melihat tiga bayangan orang yang berjalan di sebelah depan.
Ketiga orang ini bukan lain adalah Lau Ting-ci, Yap Kok-wi dan Ting
Tiong-ai. Seorang diri, habis bertempur sengit lagi, sudah tentu Nyo
Hoa tidak berani melabrak mereka pula, namun dia ingin mencuri
dengar pembicaraan mereka, terpaksa dia sembunyi di semaksemak
rumput mencuri dengar percakapan mereka."
Yap Kok-wi sedang berkata, "Kalian dengar derap lari kuda
tidak?" "Dua kali beruntun kudengar semua," Ting Tiong-ai berkata,
"kalau tidak salah yang satu ke timur yang lain ke barat Untung
tidak lari ke arah kita. Aneh, kenapa mereka tidak searah lagi?"
"Kenapa dibuat heran," ucap Yap Kok-wi, "kedua bocah itu
sebelumnya tidak berjanji, waktu bocah di atas gunung itu
melarikan diri, bangsat cilik itu lagi berhantam dengan kita. Bangsat
cilik yang lari belakangan tentu mengira temannya itu pulang ke
Giok-jiu-san." Mereka kira dua orang yang lari naik kuda itu adalah
Nyo Hoa dan Kim Bik-ki, di luar tahunya bahwa Nyo Hoa masih
berada di belakang mereka.
Yap Kok-wi berkata dengan mas-gul, "Sungguh tak nyana
perjalanan kita kali ini sia-sia"
Lau Ting-ci mendengus, katanya, "Siapa bakal menyangka bocah
yang satu itu pun muncul, kita masih untung, bila ketiga bocah itu
bergabung, mungkin kita sudah kecundang."Ting Tiong-ai berkata,
"Bocah yang datang belakangan itu apa benar putera Kim Tiok-liu?"
"Memangnya tiruan?" jengek Lau Ting-ci, "Jikalau aku tidak yakin
bahwa dia putera Kim Tiok-liu, memangnya aku sudi membungkukbungkuk
kepadanya, dia suruh kita enyah aku lantas menyingkir"
Hehe, agaknya kau mentertawakan nyaliku yang kecil tadi?"
Ting Tiong-ai tersipu-sipu; katanya, "Ah tidak, mana aku berani
bersikap demikian. Lau-toako, kau justru pandai melihat gelagat."
"Kalau seorang putera Kim Tiok-liu saja kita tidak perlu takut,
tapi ilmu pedangnya pasti lebih tinggi dari bocah she Nyo itu, bila
mereka bergabung, mana bisa kita melawannya. Apalagi kita tak
berani berbuat salah kepada Kim Tiok-liu. Laki-laki sejati tidak mau
rugi di depan, lari adalah jalan utama."
Percakapan selanjutnya tidak jelas lagi. Waktu Nyo Hoa berdiri
dan melongok ke bawah, bayangan ketiga orang itu sudah tidak
kelihatan. Kejut dan girang hati Nyo Hoa, pikirnya dengan tertawa getir,
"Kalau aku tahu dia putera Kim Tiok-liu, aku tak berkelahi dengan
dia. Ah, tiada hujan tiada angin, tahu-tahu bermusuhan dengan
Kim-siauhiap. Tapi Kim Tiok-liu hanya punya satu anak lelaki, jelas
Kim Bik-ki bukan anaknya, lapi mereka sama marga Kim, mungkin
dia anak pamannya, maka dia pun kembali mencari Bik-ki. lapi
kenapa dia memaki aku pemuda bergajul?" Nyo Hoa bukan pemuda
dungu, tapi satu kemungkinan itu tak berani dia memikirkannya.
Maka dengan perasaan tak karuan dia melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan selamat tak terjadi apa-apa, hari itu dia sudah
memasuki wilayah Jik-tat-bok. Di pinggir pegunungan ada sebuah
kota kecil tapi merupakan urat nadi bagi kehidupan orang-orang
yang hidup di pegunungan, kota kecil yang subur dan makmur ini
membawa kesejahteraan dan sentosa bagi hidup mereka di atas
gunung. Setiap hari kelima, orang-orang gunung turun ke kota
menjual hasil cocok tanamnya, barter dengan garam, beras serta
sandang dan peralatan rumah tangga. Maka kota kecil ini berpenduduk
ratusan keluarga, ada puluhan toko dan sebuah hotel. Di
tengah jalan Nyo Hoa sudah mencari tahu, maju lebih jauh setelah
melewati Ping-an-kip ini adalah daerah pegunungan yang jarang
dijelajahi manusia, maka di kota itu dia harus beli ransum atau
perbekalan lainnya. Dianjurkan kepadanya bila orang asing dan
belum jelas seluk beluk pegunungan di sini, supaya mencari
penunjuk jalan, kalau tersasar di atas gunung salah-salah bisa mati
kelaparan atau dimakan binatang buas.
Tahu betapa sulitnya menempuh perjalanan selanjutnya, Nyo
Hoa jadi rindu kepada Kim Bik-ki, "Bila seperjalanan dengan dia
tentu lebih leluasa. Kedatanganku ini hendak nnenuntut balas
kepada Beng Goan-cau, kalau cari penunjuk jalan bisa membuat dia
celaka, terpaksa aku menempuh perjalanan seorang diri."
Hari itu bukan hari pasaran, maka kota kecil ini sepi-sepi saja.
Nyo Hoa menyiapkan ransum dan perbekalan yang diperlukan.
Malam itu dia bermalam di hotel satu-satunya yang ada di kota kecil
itu. Waktu itu hari sudah petang, di luar hotel terdapat sebuah istal
yang terbuat dari papan, seorang kacung sedang keluar dari istal
dan menutup rapat pintunya.
Tiba-tiba Nyo Hoa mendengar ringkik kuda yang sepertinya
sudah dikenal baik, tergerak hatinya, segera dia menoleh ke dalam
istal, dilihatnya seekor kuda berbulu putih sedang makan rumput.
Sayang tabir malam sudah menyelimuti jagat raya, hingga susah dia
melihat jelas. Karena kacung itu sudah keburu menutup pintu istal.
Kuda tunggangan Kim Bik-ki kebetulan seekor kuda putih, namun
karena tidak melihat jelas Nyo Hoa tidak berani memastikan. Karena
curiga ia menghampiri kacung itu mengajaknya ngobrol.
Kacung itu bertanya, "Tuan apa kau mau menginap?"
"Betul. Apakah penginapan ini penuh?"
"Beberapa hari ini sepi-sepi saja, hari ini baru ada dua tamu.
Untuk apa kau cari tahu?"
"Ah, tidak. Aku khawatir tidak ada kamar kosong lagi."
Kacung itu tertawa, katanya, "Mau sepuluh kamar juga ada.
Silakan masuk." "Berapa usia kedua tamu itu" Apakah seperti diriku datang dari
luar daerah?" Kacung itu menatap Nyo Hoa sikapnya dingin, "Selamanya aku
tidak suka turut campur urusan orang lain, tidak kutanya mereka
datang dari mana. Berapa usia mereka aku juga tidak bisa menaksir,
jelasnya satu berjenggot, yang lain tidak, usianya mungkin lebih tua
dari aku. Untuk apa kau tanya usia mereka?"
Nyo Hoa tertawa kikuk, katanya "Hanya tanya sambil lalu saja."
Pemilik hotel mengamati Nyo
Hoa penuh perhatian, katanya, "Tuan kau she apa?"
"Aku she Nyo." "Nyo-toaya kau mau ke mana?"
"Mau cari kerjaan di Ok-khek-cau-beng."
Pemilik hotel melenggong, katanya "Mau pergi ke Ok-khek-caubeng,
kenapa tidak lewat jalan datar?"
"Lewat pegunungan lebih dekat, di sana memerlukan banyak
tenaga" "Tapi daerah pegunungan belakangan ini tidak aman, apa kau
sudah tahu?" "Aku tidak punya apa-apa takut apa?"
"Baiklah, kuberi satu kamar, kau sudah makan malam belum?"
"Sudah makan di pasar tadi."
"Nyo-toaya, kau baru minum arak bukan?"
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Aku mengendus bau arak yang wangi, dalam kantong kulitmu
kau membawa arak anggur bukan?"
Nyo Hoa tertawa katanya "Betul, kau memang lihay, arak apa
pun dapat kau tebak dari bau wanginya"
Pemilik hotel berkata "Dalam kota kecil ini tidak pernah menjual
arak anggur seperti yang kau bawa itu."
"Betul arak auggur ini kubeli di perjalanan lima hari yang lalu."
Pemilik hotel manggut, namun sikapnya menunjukkan sikap
kurang percaya. Tapi dia tidak banyak bicara, katanya" "Maaf ya
tuan, hotel kami serba sederhana, kelambu pun tiada. Untung sudah
tiba musim dingin, jadi tidak banyak nyamuk."
"Tidak jadi soal. Aku sudah biasa tidur di hutan."


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Silakan tuan istirahat" Setelah pemilik hotel pamitan, Nyo Hoa
menutup pintu kamarnya. Ternyata jendela kamar juga sudah
ambrol, meski tidak ada nyamuk, tapi angin malam yang dingin
cukup menyiksa juga. Untung dia membawa kain tenda Kim Bik-ki,
maka sambil menggelar tenda sutera itu dia menggumam, Tenda
sutera sebagus ini, ditinggal pergi begitu saja, untung aku
memungutnya," Perkataannya ini diucapkan dengan tekanan lwekang Thong-imjip-
bit tujuannya supaya didengar oleh Kim Bik-ki, walau suaranya
rendah, namun dia yakin beberapa kamar di sekitarnya bila dihuni
orang pasti mendengar jelas.
Tapi setengah jam kemudian, keadaan tetap tenang-tenang. Nyo
Hoa agak kecewa, segera dia turunkan kantong kulitnya mulai
minum arak anggurnya sambil ketuk meja bersenandung.
Tiba-tiba sebuah suara serak tua di kamar sebelah mendengus
sekali lalu mengomel, "Sialan, tengah malam buta rata masih
mengomel melulu, kau tidak tidur orang lain sudah mengantuk."
Maka Nyo Hoa tahu kamar sebelah ada orang tapi sayang bukan
Kim Bik-ki, agaknya seorang lelaki tua. Nyo Hoa tahu diri, segera dia
buka baju, tanpa bersuara lagi dia naik ke ranjang. Lampu minyak di
atas meja dibiarkan tetap menyala Tidur di dalam tenda sutera yang
berbau wangi, pikiran Nyo Hoa gundah gulana tidak bisa pulas.
Mendadak didengarnya suara menggeros yang keras di kamar
sebelah, karuan Nyo Hoa agak heran,- batinnya, "Orang tua
biasanya susah tidur, baru saja mengomel, masa sekejap ini sudah
menggeros." Bau wangi dalam tenda sutera itu ternyata makin menyejukkan
perasaan. Nyo Hoa sudah mulai layap-layap, hampir saja dia sudah
terlena, mendadak hatinya berontak, pikirnya, "Tidak beres.
Bagaimana mungkin tenda ini mengeluarkan bau harum" Apakah
bukan bau wangi yang memabukkan?" Lekas dia kerahkan lwekang
supaya dirinya tidak terbius oleh bau harum itu.
Nyo Hoa masih ragu-ragu, segera dia bangkit mengenakan
pakaiannya pula, duduk di depan jendela mengawasi bulan sabit
yang bercokol di angkasa. Tengah dia ter-longong, sukar
memutuskan apakah harus keluar memeriksa keadaan sekitarnya,
mendadak didengarnya pintu kamarnya diketuk orang.
Nyo Hoa merendahkan suara bertanya, "Siapa?"
Orang di luar tertawa cekikikan, katanya, "Kau tidak kenal
suaraku?" Nyo Hoa berjingkrak girang, lekas dia membuka pintu. Siapa lagi
yang datang kalau bukan Kim Bik-ki" Nyo Hoa berteriak tertahan,
"Ternyata memang kau di sini."
"Di empat penjuru lautan adalah saudara, di ujung langit
seumpama bertetangga. Kamarku berada di seberang, bukankah
boleh terhitung bertetangga?"
Riang hati Nyo Hoa, tiba-tiba dia teringat orang tua di sebelah,
katanya merendahkan suara, "Kita cari tempat di luar saja, jangan
mengganggu orang di kamar sebelah."
Kim Bik-ki tertawa katanya, "Tak usah khawatir, sebelum terang
tanah dia tidak akan bangun."
Segera Nyo Hoa mengerti katanya, Tak heran aku pun mencium
bau wangi, jadi kau menggunakan bius harum?"
"Aku gunakan "Wangi Tenteram" dari Persia. Umumnya bius
wangi merusak kesehatan badan, hanya Wangi Tenteram ini dapat
untuk menenangkan pikiran dan membuyarkan tekanan batin, orang
akan tidur sepanjang hari tanpa mengganggu kondisi orang."
"Kalau tahu kau menggunakan "Wangi Tenteram", tadi aku tidak
usah kerahkan lwekang untuk melawan khasiatnya."
"Ya, untung kau mengerahkan lwekang kalau tidak sekarang
tentu kau sudah tidur pulas. Orang tua disebelah agaknya juga
kaum persilatan, namun sebelum kita mengetahui asal-usulnya,
biarlah dia tidur nyenyak saja"
Mendengar orang menekankan suara "kita" tergerak hati Nyo
Hoa namun segera dia paham katanya, "Pemilik hotel ini apakah
orang kalian?" "Betul, dia salah seorang thaubak dari laskar gerilya, begitu kau
masuk dia sudah menaruh curiga kepadamu. Lalu aku bisa beri tahu
kepadanya, kau adalah temanku, baru dia berani pergi tidur."
"Sungguh aku tidak duga di sini aku bisa bertemu pula dengan
kau." "Aku kan sudah berjanji akan menunjukkan jalan, janji harus
ditepati." Sesaat lamanya Nyo Hoa bungkam, tak tahu bagaimana dia
harus bicara lebih lanjut Melihat orang mengawasi tenda sutera, Nyo
Hoa berkata, Tenda sutera ini milikmu, sekarang kukembalikan
kepada pemiliknya." Merah muka Kim Bik-ki, katanya, "Untung kau, kalau orang lain
yang pernah memakai tendaku ini, selanjutnya akan kubuang saja"
Nyo Hoa tidak mengerti kenapa muka orang mendadak merah,
katanya, "Barang sebagus ini kenapa sembarang dibuang" Malam
itu?" "Malam itu aku terpaksa harus pergi. Aku tahu bila orang tiba,
ketiga cakar alap-alap itu pasti mencawat ekor. Akhirnya kau bersua
dengan dia?". "Bukan bersua saja, tidak hujan tidak angin kami malah
berkelahi. Siapakah dia?"
"Bagaimana ilmu pedangnya?"
"Hebat sekali, sebetulnya aku bukan tandingannya, belakangan
syukur aku menang satu jurus, dia marah-marah kepadaku terus
pergi membawa kudaku."
"Kalau begitu kau tentu sudah tahu siapa dia?"
"Ketiga cakar alap-alap bilang dia adalah putera Kim Tiok-liu itu,
tapi entah benar?" "Kalau ilmu pedangnya tulen, memangnya orangnya tiruan" Dia
bernama Kim Bik-san, putera Kim tayhiap yang kau kagumi, murid
Kang Hay-thian yang tersayang."
Nyo Hoa terbelalak kaget dan senang. Kaget lantaran Kim Tiokliu
adalah orang yang paling dia kagumi, namun tanpa sebab dirinya
telah mengikat pertikaian dengan dia. Girang karena dirinya mampu
mengalahkan putera seorang jago pedang nomor satu di seluruh
jagat ini, jauh di luar dugaan dan lebih menyenangkan daripada
setelah dia mengalahkan Tong-hian-cu yang menjadi thaysusioknya."
"Eh, kenapa kau" Ketakutan sampai linglung?" goda Kim Bik-ki.
"Kejadian ini sungguh di luar dugaanku. Aku tidak tahu kenapa
kau takut kepadanya" Dia bernama Kim Bik-san, kau bernama Kim
Bik-ki, agaknya kalian"."
Perlahan suara Kim Bik-ki, "Sekarang aku pun tidak perlu
membohongimu lagi. Dugaanmu memang benar, kami adalah
saudara sekandung." Nyo Hoa terperanjat, serunya, "Kalian saudara sekandung?"
Semula dia kira salah satu adalah anak paman, karena Kim Tiok-liu
hanya punya seorang putera
"Tolong" tolong kau menghadap ke sana"
"Kenapa?" Nyo Hoa heran dan bingung.
Kim Bik-ki bersungut, "Kau sudah janji akan patuh kepadaku,
jangan banyak tanya."
Nyo Hoa sudah menduga namun dia tidak berani percaya
dugaannya betul. Segera dia membalik badan, ingin dia tahu apa
yang akan dilakukan Kim Bik-ki.
Sesaat kemudian dengan suara lembut Kim Bik-ki bersuara, "Nah,
sekarang boleh kau membalik kemari."
Bila Nyo Hoa membalik, dilihatnya Kim Bik-ki sudah
menanggalkan topi mencopot jtibah luarnya bagian dalam ternyata
pakaian perempuan bersulam kembang. Rambut yang panjang
terurai mayang menyentuh pundak, gaun panjang yang berwarna
merah muda mulus, tampak senyumannya begitu elok bak bunga
mekar. Kim Bik-ki bukan lagi seorang pemuda cakap tapi seorang
gadis jelita yang rupawan. Meski sudah menduga sebelumnya tak
urung Nyo Hoa menjublek saking kaget.
Senyum Kim Bik-ki secerah sinar mentari di pagi hari, pipinya
merah, katanya perlahan, "Kau sudah paham sekarang" Dia
engkoh-ku, aku adalah adik perempuannya"
Berbagai persoalan yang semula membingungkan, seketika jelas
duduk persoalannya Sekarang dimaklumi kenapa kadang-kadang dia
melihat Kim Bik-ki merah mukanya tanpa sebab, bermalam di hotel
minta dua kamar, di hutan juga suruh dirinya tidur ke tempat yang
jauh, maklum lantaran dia seorang gadis. Kini dia pun mengerti
kenapa waktu berhadapan dengan dirinya Kim Bik-san marah-marah
dan memakinya bergajul. Karena dia adalah engkoh Kim Bik-ki.
"Apa saja yang pernah dikatakan engkoh-ku kepadamu?" tanya
Kim Bik-ki. Nyo Hoa hanya menjawab samar-samar, "Tidak banyak yang dia
katakan. Setelah menggebah ketiga cakar alap-alap itu, mungkin dia
belum tahu asal-usulku, maka dia agak salah paham terhadapku."
Lega hati Kim Bik-ki, katanya "Apakah seperti aku salah paham
terhadapmu waktu di Siau-kim-j wan dulu?"
"Salah paham" yang satu ini berbeda dengan "salah paham" yang
dulu itu, namun Nyo Hoa hanya tertawa getir dalam hati, mana dia
berani menjelaskan" Agaknya Kim Bik-ki juga segan tanya soal itu, katanya tertawa,
"Kenapa aku takut terhadap engkoh-ku, tentu kau merasa heran
bukan?" "Saudara tua bagai orang tua, biasanya engkoh-mu tentu amat
keras kepadamu?" "Kau keliru. Engkoh-ku berbeda dengan ayah, wataknya mirip
gurunya malah. Yang kumaksud sudah tentu adalah tabiatnya
Bukan aku takut kepadanya tapi aku tidak mau ribut dengan dia Kau
tidak tahu, dia paling suka menasehati orang."
Nyo Hoa membatin, "Siapa bilang aku tidak tahu, aku sudah
merasakan sendiri." Tiba-tiba Kim Bik-ki tertawa cekikikan, katanya lebih lanjut,
"Bicara soal ini agaknya engkoh-ku lebih menonjol dari gurunya dia
bukan lagi keren atau berwibawa lebih tepat kalau dikatakan terlalu
brengsek. Ada kalanya aku malah merasa kesal dan benci padanya.
Tapi kalau gurunya memang patut disegani, tanpa marah juga
sudah menunjukkan wibawanya walaupun dalam pandanganku dia
juga sedikit brengsek, namun siapa pun yang berhadapan dengan
dia pasti menaruh hormat dan segan. Oh, ya belum kujelaskan siapa
guru engkoh-ku." Maka Kim Bik-ki berkata pula, "Supek-ku adalah Kang Hay-thian,
puluhan tahun dia lebih ternama dari ayahku, tentunya kau juga
sudah tahu?" "Lwekang supek-mu nomor satu di kolong langit, sedang ilmu
pedang ayahmu nomor satu. Kaum persilatan mana yang tidak tahu
akan hal ini"*"
"Nomor satu di kolong langit, kukira belum tentu," kata Kim Bikki,
"kan masih ada cosu-ku. Tapi beliau sudah lama mengasingkan
diri di luar lautan, kaum Buhm mengira beliau sudah meninggal
sebenarnya masih panjang umur. Apalagi kecuali kakekku kan
masih.ada kau." Nyo Hoa menyengir, katanya, "Mana aku setimpal disejajarkan
dengan ayahmu?" "Sekarang kau memang bukan tandingan mereka, namun bicara
soal ilmu pedang, belum tentu kau bukan tandingan ayah. Baiklah
sekarang kita lanjutkan ceritaku tadi. Sampai di mana ceritaku tadi?"
"Sampai supek-mu Kang Hay-thian tayhiap."
"Kang-supek punya dua anak. Yang tua bernama Kang Siangbong,
anak kedua bernama Kang Siang-hun. Usia Kang-toako jauh
lebih tua daripada kami bersaudara, tahun ini hampir genap
tigapuluh tahun, sejak lama sudah menonjol-kan nama di kalangan
Kangouw, sekarang berada di rumah ciangbun suheng-nya yaitu
Yap Bok-hoa. Yap Bok-hoa adalah murid tertua Kang-supek,
pemimpin laskar gerilya yang berpangkalan di Sujwan barat.
Kebetulan usia Kang-jiko sepantaran dengan engkoh-ku, dilahirkan
pada bulan dan tahun yang. sama, tahun ini berusia duapuluh.
Sejak kecil mereka bermain bersama seperti saudara kandung
sendiri. "Kang-supek dan ayah meniru cara orang kuno mendidik anak.
Kang-jiko berguru kepada ayahku, sedang engkoh-ku menjadi murid
penutupnya. Istri Kang-supek bernama Kok Tiong-lian anak pungut
Kok Ci-hoa mantan ciangbunjin Bin-san-pay. Puluhan tahun yang
lalu Kok Ci-hoa sudah meninggal, murid-murid Bin-san-pay mau
angkat bibi Kang menjadi ciangbun, namun ditolak, ternyata dia
juga yang menjabat akhirnya.
"Kedua keluarga kami sebetulnya hidup bertetangga, belakangan
setelah bibi Kang menjabat ciangbunjin Bin-san-pay, keluarga Kangsupek
lantas pindah ke Bin-san, hanya Kang-jiko saja yang tetap
tinggal di rumahku. Sementara engkoh-ku ikut gurunya tinggal di
Bin-san, belum tentu setahun pulang sekali. Maka tabiatnya lama
kelamaan meniru gurunya, tidak mirip ayahku lagi."
Nyo Hoa tertawa, katanya, "Kan wajar, dekat arang menjadi
hitam, dekat kapur menjadi putih, tabiat seseorang kadangkala
memang bukan pembawaan. Kang tayhiap berbudi luhur dan
disegani, merupakan simbol kebesaran kaum persilatan, engkoh-mu
bisa meniru dia, kan bagus."
"Tapi lain pula tabiatku, dia baru 20 tahun sudah mirip kakek.
Terus terang, aku amat patuh dan hormat kepada Kang-supek, tapi
aku lebih suka ayahku. Bila ibu kewalahan terhadapku, sering dia
menggodaku, katanya aku betul-betul puteri sejati ayahku, engkohku
menjadi anak kandung Kang-supek." Sampai di sini mendadak
dia tertawa geli, "Nyo-toako, ada beberapa bagian kau mirip ayahku
malah." Merah muka Nyo Hoa, katanya, "Apa betul" Bagaimana tabiat
ayahmu?" "Kang-supek amat keras dengan aturan-aturannya, jarang
berkelakar. Sikap ayah justru supel, siapa pun bisa menjadi
temannya. Dia pun suka humor, terhadap segala persoalan seperti
tidak acuh tapi bukan berarti tidak ambil perhatian, sering kali dalam
suasana senda gurau tahu-tahu persoalan dibereskan dengan baik."
"Senda gurau membereskan persoalan, wah, mana aku punya
kemampuan seperti ayahmu. Mungkin aku memang bersikap
terbuka, sayang aku ini lugu, tak tahu cara bagaimana harus
berkelakar baru bisa menyelesaikan urusan."
"Bukan maksudku bilang kau seluruhnya mirip ayah, kau supel
dan terhadap siapa pun sopan dan ramah, siapa pun akan merasa
intim dan suka bersahabat dengan kau, hal inilah yang agak mirip
ayah. Satu hal lagi, kau suka minum arak, ayahku juga gemar
minum, terus terang saja, sebetulnya aku juga berani minum
sedikit, meski takarannya sedikit saja."
Nyo Hoa pura-pura kesal, katanya sambil menarik muka, "Jadi
kau bilang tidak bisa minum sengaja membohongi aku. Baik,
sekarang kuhukum kau minum."
"Lho, sudah kau minum beberapa hari arak anggur dalam
kantong ini belum juga habis?"
"Hari itu kau bilang tidak mau minum, padahal kau sudah ketagihan,
aku sudah melihat lidahmu yang berontak, maka sengaja
sisanya ini kusimpan untuk kau."
"Bohong. Bagaimana kau tahu bakal bertemu dengan aku?"
"Aku punya firasat, betapa rinduku kepadamu, memangnya kau


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ingin bertemu dengan aku?"
"Tak usah ya Ternyata kau juga brengsek. Baiklah bawa kemari"
"Apa yang bawa kemari?"
"Araknya" Segera Nyo Hoa angsurkan kantong kulit itu, katanya, "Kau
memang lucu, disuguhi tidak mau minum, malah suka dihukum
minum," "Kau berbohong untuk menyenangkan orang, juga harus
dihukum." Setelah bicara baru sadar, secara tidak sadar telah
membocorkan rahasia hati sendiri, padahal arak belum diminum,
namun mukanya sudah merah jengah.
Jantung "Nyo Hoajuga berdebar, pikirnya, Ternyata setelah tahu
aku merindukan dia, hatinya juga amat senang."
Sesaat lamanya keduanya jadi kikuk dan risih, akhirnya Nyo Hoa
memecah kesunyian, "Baiklah, mari kita minum bersama."
Setelah minum beberapa teguk, sikap keduanya kembali wajar.
Kim Bik-ki berkata, "Hari itu aku tak berani minum arakmu,
sekarang boleh aku minum dengan lega."
"Kenapa?" "Karena aku tahu kau adalah laki-laki sejati."
"Engkoh-mu justru laki-laki sejati, laki-laki tulen, kenapa kau
tidak suka terhadapnya?"
"Laki-laki tulen kan juga bermacam ragamnya. Umpamanya
ayahku, dia suka berkelana dan hidup bebas, namun dia betul-betul
seorang laki-laki sejati. Bukan aku tidak suka kepada engkoh-ku,
aku justru khawatir dia terlalu sejati."
"Lalu mirip siapa tabiat Kang-suheng-mu?"
Kim Bik-ki berpikir sejenak, "Sukar dikatakan. Tabiat Kang"
suheng setengah mirip ayahnya, setengah lagi mirip ayahku, aku
amat menghargai dia, waktu kecil aku senang bermain dengan dia,
jarang aku kumpul dengan engkoh-ku, maka sering dia menemani
aku, maka dalam sanubariku dia lebih mirip engkoh-ku sendiri."
"Ayahmu pasti juga amat suka padanya?"
"Ilmu pedang ayah diturunkan kepadanya, aku tidak pernah
diajarkan malah, ada kalanya aku jadi iri terhadap ayah karena
berat sebelah." Mendengar penjelasan orang, Nyo Hoa terpekur diam.
Kim Bik-ki tertawa geli, katanya "Lho memangnya kau juga
cemburu terhadapnya?" Ucapannya ini dilontarkan secara spontan,
seketika merah jengah mukanya, cepat dia menambahkan,
"Sebetulnya ilmu pedangmu sudah teramat tinggi, terhadap ahli
pedang mana saja tidak perlu kau gentar menghadapinya."
Nyo Hoa berkata tawar, "Kenapa kau kira aku ini berpikiran
sempit" Lebih banyak kaum ksatria yang berkepandaian tinggi kan
lebih baik. Apalagi suheng-mu adalah putera Kang tayhiap, ilmu
pedangnya lebih unggul dari aku, aku juga senang."
Kim Bik-ki merengut, katanya "Masih berani kau bilang tidak
berpikiran sempit, aku hanya bergurau, sikapmu sudah segarang
ini" Hmm, kalau tahu kau ini tidak suka berkelakar, tutup mulut
saja" Karena Kim Bik-ki merengut, terpaksa Nyo Hoa minta maaf.
Terpaksa Kim Bik-ki melanjutkan, "Aku tidak pakai pedang,
sebetulnya bukan ayah sengaja berat sebelah tidak mau
mengajarkan kepadaku. Soalnya di antara berbagai senjata belajar
pedang paling sukar, bakat dan lwekang-ku belum setaraf untuk
meyakinkan ilmu pedang tingkat tinggi. Maka ayah mendidik kami
sesuai bakat dan kondisinya maka aku belajar menggunakan ruyung
kepada ibu." Perlu diketahui, istri Kim Tiok-liu adalah Su Ang-ing, mahir
menggunakan ruyung lemas, orang memberi julukan Sin-pian Lihiap
padanya Duapuluh tahun yang lalu, istri Koan-tang Tayhiap Utti Keng yaitu
Jian-jiu-koan-im Ji Seng-in terkenal dengan tiga kepandaian
tunggalnya yaitu amgi, ginkang dan ruyung lemas. Sudah lama
mereka malang melintang di Kangouw, waktu itu Su Ang-ing belum
lama berkelana pernah suatu ketika bertanding ilmu ruyung lemas,
ternyata setelah ratusan jurus masih tetap seimbang. Maka
duapuluh tahun kemudian, sekarang kaum persilatan sudah anggap
ilmu ruyungnya tiada bandingan di kolong langit
"Bila kungfu diyakinkan mencapai taraf yang tertinggi, daun
kembang terbang juga dapat melukai atau membunuh orang,
demikian pula latihan ruyung atau pedang."
"Biar kuberi tahu satu rahasia pada kau. Ilmu myungku
sebetulnya belum tamat, ayah dan ibu sebetulnya melarang aku
keluar pintu, kali ini aku meninggalkan rumah secara diam-diam."
Nyo Hoa berkata "Tak heran kau takut melihat engkoh-mu."
"Untung aku tidak keluyuran ke mana-mana aku menggabungkan
diri dengan para ksatria di dalam laskar gerilya yakin ayah tidak
akan marah kepadaku. Nyo-toako, kau tidak usah khawatir, salah
paham engkoh terhadapmu akan kubantu menjelaskan. Ilmu
pedangmu sebagus itu, bila ayah melihatmu tentu amat suka
padamu." Sampai di sini percakapan mereka tiba-tiba terdengar seorang
tertawa dingin tiga kali, katanya, "Gadis ini ternyata diam-diam
bermain cinta dengan kekasih gelap di sini, celaka aku orang tua
yang terbius lelap. Hmm, bila berhadapan dengan Kim Tiok-liu pasti
akan kuma-ki sepuas hati, kenapa tidak mendidik puterinya dengan
baik." Merah muka Kim Bik-ki, makinya "Tua bangka, bersihkan
mulutmu, jangan salahkan bila aku berlaku kurang ajar kepadamu."
Lelaki itu bergelak tawa katanya "Gendukayu, kupandang muka
ayahmu maka tidak kubikin perhitungan dengan kau, beberapa
patah kataku tadi hanya mewakili ayahmu saja kau justru tidak tahu
di untung malah marah-marah kepadaku. Hmm, coba jawab, apa
aku salah omong" Hehe, aku malah senang bila aku keliru omong,
tahukah kau, aku malah ingin jadi mak comblangmu?"
Malu dan gusar Kim Bik-ki dibuatnya, serunya membanting kaki,
"Nyo-toako, kau terima mendengar ocehannya" Lekas beri hajaran
setimpal kepadanya, memangnya kau biarkan dia menghina aku?"
Nyo Hoa melirihkan suara, "Kedengarannya dia seperti kenalan
ayahmu?" "Kenapa kau mudah percaya ocehannya, jikalau benar dia
sahabat ayahku, memangnya aku tidak mengenalnya" Hm, dia pasti
orang sinting, kau segan menghadapinya, biar aku yang
membunuhnya." "Jangan marah, biar aku keluar mengusirnya pergi."
Kakek tua di luar itu tertawa ter-gelak-gelak, serunya, "Satu ingin
membunuhku yang lain akan mengusirku. Ha,ha, ha, kalian anakanak
muda memang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi. Tapi
aku tua bangka ini juga tidak akan cari perkara dengan kalian.
Bocah busuk, keluarlah kau, biar kunilai betapa tinggi
kepandaianmu. Kenapa puteri keluarga Kim jauh-jauh kemari
mencarimu, padahal perjaka yang mencintainya sudah di depan
mata." Nyo Hoa juga tidak tahan lagi, segera dia mendorong pintu
melangkah keluar, tampak di tengah pekarangan berdiri seorang
lelaki brewok, wajahnya merah, tampangnya kasar, matanya
bercahaya, usianya sekitar enampuluhan, namun tampak gagah.
Nyo Hoa berkata, "Lo-siansing, jangan kau sembarangan
mengoceh, aku" aku dengan nona Kim blak-blakan"."
Kakek brewok itu tertawa terbahak-bahak, "Blak-blakan apa,
kulihat kau bocah ini seperti katak buduk ingin makan daging
bangau, tahu gadis ini puteri Kim tayhiap entah dengan cara apa
engkau me-meletnya" Tertusuk perasaan Nyo Hoa mendengar tuduhan semena-mena
ini, segera dia cabut pedang katanya, "Berani mengoceh lagi,
aku"." Sekenanya tangannya terayun, di mana sinar pedang
menyambar, dalam pekarangan ada sepucuk pohon kecil dengan
delapan dahan-dahannya yang bercabang, seluruhnya ditabasnya
roboh sekaligus. Walau amat marah, namun dia berusaha
menggertak takut si kakek supaya mundur teratur.
Kakek brewok itu bersuara heran, katanya, Ternyata kau bocah
ini pandai main pedang, jurus Sian-tian-kiam-hoat barusan memang
lumayan, entah bagaimana kepandaianmu yang sejati" Baiklah, bila
kau mampu melawan tiga jurus setanganku, aku tidak akan
memakimu katak buduk lagi," Di saat mengucapkan katak buduk
lagi mendadak sinar kemilau menyilaukan mata, golok cepatnya
ternyata sudah membelah wajah Nyo Hoa.
Bacokan golok ini cepat lagi keras, sedikit lebih cepat dari pedang
kilat Nyo Hoa sendiri. Karuan Nyo Hoa tercekat hatinya, dia tahu
malam ini dirinya berhadapan dengan lawan tangguh.
"Trang", gema suaranya mendengung cukup lama di udara.
Telapak tangan Nyo Hoa kesemutan, hampir saja pedang terlepas.
Sebat sekali dia gunakan Ih-sing-hoan-wi, meminjam daya pental
dari benturan tadi, tajam pedangnya mendadak berputar, balik dia
lancarkan jurus serangan yang mirip Tiap-jiu-hu-ceng.
Kakek tua ini seorang ahli, walau belum tahu di mana letak
kehebatan Bu-beng-kiam-hoat, namun dia sudah tahu bahwa jurus
ini mengandung gertakan yang berisi, ternyata dia tidak mudah
ditipu, tangkas sekali dia sudah membacok miring membabat
pundak kiri Nyo Hoa. Bila dia menangkis atau balas menyerang
berhadapan, pasti terjebak oleh gerakan Nyo Hoa, namun sergapan
ke titik lemah di badan lawan justru memaksa lawan
menyelamatkan diri sendiri sebelum melukai dirinya, Nyo Hoa
memang mengubah serangan. "Sret" kembali pedangnya menusuk
dari arah yang tidak terduga oleh si kakek, serangan dibalas
serangan untuk mematahkan serangan lawan. Kakek itu berseru
memuji. Selama puluhan tahun golok cepatnya belum pernah
ketemu tandingan kini mendadak berhadapan dengan Nyo Hoa yang
memiliki kepandaian setaraf, maka berkobar semangatnya, segera
dia lawan Nyo Hoa dengan serangan kilat, golok diputar sekencang
baling-baling, rangsakannya seperti hujan badai yang bergelombang
besar, begitu bernafsu sehingga lupa akan ucapannya sendiri.
Lwekang kakek ini lebih unggul, ilmu goloknya lebih cepat,
namun permainan pedang Nyo Hoa banyak ragamnya, menakjubkan
dan membuat pandangan kabur. Dalam hal ini lawan jelas bukan
tandingannya Kedua pihak punya kelebihan, si kakek sedikit lebih
unggul, namun sukar mengalahkan Nyo Hoa.
Dalam pada itu si kakek sedang melancarkan jurus Meh-jan-pathong,
cahaya goloknya berpencar ke empat penjuru hingga Nyo
Hoa didesaknya mundur dua langkah, bentaknya, "Apakah kau ini
murid Beng Goan-cau?"
Nyo Hoa berteriak gusar, "Beng Goan-cau barang apa,
memangnya setimpal jadi guruku, hmm, aku"," beruntun dia
lontarkan tiga jurus serangan pedang.
Kakek brewok menyeringai.
"Kau bocah ini memang takabur."
Entah sejak kapan, Kim Bik-ki juga sudah berada di luar,
mendadak dia menjengek, "Tidak tahu malu, sebagai angkatan tua
bicara tidak menepati janji. Katanya cukup tiga jurus serangan,
mungkin sudah lebih tigaratus jurus."
Kakek brewok sadar seketika, katanya, "Bocah bagus, nah
sambutlah tiga jurus terakhir." Tiga jurus serangan dilancarkan
secara berantai, seperti geledek menyambar hebatnya, mau tidak
mau Kim Bik-ki yang menonton juga berkeringat dingin.
Didengarnya benturan keras dari senjata mereka, bayangan pedang
sinar golok mendadak sirna bersama.
Dengan gerakan Ui-hoa-tiong-siau (Burung bangau melambung
ke udara) Nyo Hoa melejit Setinggi setombak lebih, di tengah udara
dia bersalto lalu melayang turun dengan enteng. Sementara kakek
brewok sudah melayang keluar tembok pagar sambil menghela
napas, katanya, "Gelombang belakang sungai mendorong yang di
depan, patah tumbuh hilang berganti, tunas-tunas muda memang
sudah saatnya bersemi. Hehehe, kau bukan katak buduk, malah aku
ini katak dalam perigi. Ai, habislah sudah urusan kalian anak-anak
muda, malas aku mengurusnya lagi. Hadiah arak dari keluarga Kang
sebagai comblang juga tidak akan kuterima."
Wajah merah jantung berdebar, Kim Bik-ki membatin, "Agaknya
lo-cianpwe ini memang diutus keluarga Kang-supek untuk menjadi
comblang?" Sementara itu perasaan Nyo Hoa masih bergolak, setelah
napasnya tenang dia meleletkan lidah, katanya, "Lihay sekali.
Untung dia menyatakan tiga jurus terakhir, bila tiga jurus lagi,
mungkin aku sudah terjungkal dan pulang dengan timpang."
Tiba-tiba terasa telapak kakinya kurang beres, lekas Nyo Hoa
angkat kakinya, ternyata lapisan paling bawah alas sepatunya
terpanas. Bahwa sepasang sepatunya tinggi rendah berbeda baru
sekarang dia sadari. Bila tabasan goloknya itu terangkat naik satu
senti, tapak kaki Nyo Hoa pasti terkena tabasan golok lawan. Sekian
saat Nyo Hoa terlongong, katanya menghela napas, "Kukira dapat
se tanding melawannya, ternyata dia memberi kelonggaran
kepadaku." Pada jurus terakhir, Nyo Hoa insyaf dirinya takkan kuat melawan
lagi, maka dia menempuh bahaya melambung tinggi ke udara,
dengan menukik dia menusuk sekaligus mematahkan serangan
golok lawan. Kedua pihak bergerak secara kilat, hanya terasa rajam
golok lawan menyambar lewat di bawah kakinya, di luar tahunya
bahwa lapisan terbawah alas kakinya sudah terpapas hilang, tapi
satu hal di luar tahu Nyo Hoa pula, tusukan pedangnya di waktu
menukik dari udara tadi juga telah menusuk lengan baju kakek
brewok. Maka dia pun menduga " Nyo Hoa memberi kelonggaran
kepadanya, maka sebelum berlalu dia menghela napas panjang.
Merah muka Kim Bik-ki, katanya mendekat, "Nyo-toako, jangan
kau ambil hati ocehan kakek itu."
Nyo Hoa tertawa getir, katanya, "Aku pantas diberi peringatan,
aku memang tidak tahu diri. Padahal cianpwe itu berilmu tinggi, dia
bilang adalah teman ayahmu, kukira tidak bohong. Tapi entah siapa
dia sebenarnya?" Pemilik hotel juga mendengar keributan, sambil kucek-kucek
mata dia berlari keluar, katanya, "Nona Kim, aku teringat, melihat
tampang dan permainan goloknya mungkin dia itulah Utti Keng."
"Siapa itu Utti Keng?" tanya Nyo Hoa.
"Masa Koan-tang Tayhiap Uttti Keng kau tidak tahu?"
"Li-toasiok, kembalilah tidur. Biar aku yang jelaskan kepadanya."
Setiba di kamar, Kim Bik-ki meneguk arak, katanya dengan
tertawa kecut, "Kali ini benar-benar bersalah, kukira dia hanya
membual, siapa nyana dia betul-betul angkatan tuaku, lapi salahnya
sendiri tua-tua cerewet memancing amarahku."
"Utti Keng berjuluk Koan-tang
Tayhiap, pastilah dia pendekar besar dari golongan ksatria?"
"Semula Utti Keng adalah berandal kuda di Koan-tang, waktu
muda malang melintang di Kangou w, khusus beroperasi terhadap
para pembesar jahat dan korup. Belakangan dia kenal Kang-supek,
sejak itu mereka jadi sahabat baik, selanjutnya dia pun tidak
melakukan kejahatan lagi, terkenal sebagai pendekar besar yang
sejati." "Ayahku, Beng Goan-cau dan lain-lain usianya lebih muda
dibanding Utti Keng, belakangan mereka pun jadi sahabat baik
Belasan tahun yang lalu pernah mereka membuat gempar kota raja,
karena mencuri kado ulang tahun Sat hok-ting, kepala pasukan


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayangkari yang paling berkuasa di istana, sayang waktu itu aku
baru berusia lima tahun, tidak bisa ikut dalam gerakan besar itu,
betapa gagah perwira perjuangan mereka dahulu, aku hanya bisa
mendengar dari cerita ayah. Setelah peristiwa itu Utti Keng kembali
ke Koan-tang, selama belasan tahun tidak datang ke Tionggoan,
maka selamanya belum pernah aku bertemu dengan paman Utti
Keng ini." "Istri Utti Keng adalah pendekar perempuan yang kenamaan juga
di Kangouw, dia bernama Ji Seng-in bergelar Jian-jiu-koan-un.
Konon kepandaian amgi-nya dapat menandingi keluarga Tong dari
Sujwan, bukan mustahil sekarang nomor satu juga di jagat Kecuali
amgi, ilmu ruyungnya juga hebat sekali. Ibuku pernah bertanding
beberapa kali dengan dia, saling ukur sehingga ilmu ruyung kedua
pihak makin sempurna. Ilmu ruyung yang diajarkan ibu kepadaku,
tidak sedikit di antaranya diperoleh dari meniru permainan ruyung Ji
Seng-in itu." Sampai di sini dia tertawa getir, "Maka kalau diurutkan,
walau aku belum pernah bertemu dengan paman Utti ini, dia masih
terhitung setengah guruku."
"Kalau dibicarakan, lagi-lagi aku yang sial. Beberapa hari yang
lalu, tanpa sebab aku terpaksa harus berkelahi dengan engkoh-mu,
malam ini berkelahi pula dengan locianpwe ini. Dua kati aku dicaci
mereka tanpa alasan."
Kim Bik-ki tunduk, katanya perlahan, "Ya, akulah yang menjadi
gara-gara." "Untung locianpwe itu tidak banyak rewel, sebelum pergi
bukankah dia telah bilang tidak mau mencampuri urusan kita?"
Merah muka Kim Bik-ki, katanya, "Walau dia tidak mencampuri
urusan kita, tapi aku tidak bisa menemani kau naik gunung."
"Kenapa?" tanya Nyo Hoa heran.
Merah lagi muka Kim Bik-ki, katanya, "Utti Keng muncul di sini,
jelas pasti akan bergabung dengan laskar gerilya, di sana banyak
sahabatnya. Memangnya hal ini tidak bisa kau pahami?"
Nyo Hoa memang kurang pergaulan namun tidak goblok, bahwa
engkoh-nya sudah salah paham, kini Utti Keng juga salah paham,
mereka menyangka dirinya juga main cinta dengan Kim Bik-ki, apa
pun susah dia membela diri. Kini Kim Bik-ki tidak mau seperjalanan,
jelas untuk menghindari omongan iseng orang-orang yang suka Usil
mulut, di samping rikuh berhadapan dengan Utti Keng. Maklum
akan maksud hati Kim Bik-ki, Nyo Hoa merasa rikuh juga.
"Nyo toako," kata Kim Bik-ki lembut. "Kau tidak salahkan aku
bukan?" "Kenapa aku salahkan kau, kau sudi anggap aku sebagai teman,
banyak memberi tahu persoalan yang belum pernah kutahu, aku
harus berterima kasih kepadamu. Baiklah aku akan menempuh
perjalanan sendiri."
"Bagaimana menurut pendapat-mu tentang ilmu golok Utti
Keng?" Nyo Hoa melengak, selekas ini dia membelokkan pembicaraan,
katanya sesaat kemudian, "Bukankah tadi sudah kujelaskan, ilmu
goloknya teramat lihay, jikalau tidak memberi kelonggaran
kepadaku, sekarang aku sudah timpang."
"Kenapa kau malah sungkan kepadanya menurut pendapatku
ilmu pedangmu tidak kalah dibanding ilmu goloknya. Tapi lwekangnya
lebih tinggi, untuk mengalahkan dia yakin kau masih mampu.
Apakah adil uraianku?"
"Kurang adil, kau agak membela aku. Mana aku mampu
mengalahkan dia bila diteruskan jelas aku pasti kalah."
"Biarlah kuberi tahu satu kejadian kepadamu. Duapuluh tahun
yang lalu ilmu golok Utti Keng diagulkan tiada tandingan di seluruh
dunia. Belakangan Beng Goan-cau Beng tayhiap angkat nama
dengan ilmu golok cepatnya Kemudian di Kangouw nama besarnya
sejajar dengan Utti Keng. Tapi sekarang usia Utti Keng sudah lebih
enam-puluh, sementara Beng Goan-cau di saat-saat gagahnya,
permainan goloknya tentu lebih cepat dari Utti Keng. Pernah suatu
ketika ayah berbincang-bincang tentang orang-orang gagah di
seluruh kolong langit ini dengan Le-pangcu, mereka beranggapan
untuk gelar "raja golok" jaman ini, kemungkinan besar harus
diserahkan Utti Keng pada Beng Goan-cau."
Nyo Hoa diam saja. Kim Bik-ki tidak tahan sabar, akhirnya dia
bicara biak- biakan, "Kau sudah membuktikan kehebatan ilmu golok
Utti Keng, Beng Goan-cau lebih lihay dari Utti Keng, apakah kau
masih tetap mau menuntut balas kepada Beng Goan-cau?"
Nyo Hoa kertak gigi, katanya "Permusuhanku dengan Beng Goancau
tak mungkin didamaikan.. Meski bukan tandingannya, tetap
akan kulabrak dia" Kim Bik-ki mengerut alis, katanya "Sungguh aku tidak habis
mengerti, kau tidak mengenalnya, kenapa bisa bermusuhan dan
membencinya sedemikian rupa?"
"Maaf, urusan pribadiku sekarang belum bisa kujelaskan,
mungkin kelak akan kututurkan kepadamu. Bukan maksudku harus
membunuhnya tapi ada satu persoalan, harus ku bikin terang duduk
perkaranya Rasa penasaranku juga harus kulampiaskan pada
dirinya. Meski aku harus menjadi korban golok cepatnya"
Melihat betapa teguh tekad Nyo Hoa Kim Bik-ki tidak enak terlalu
mendesak, katanya "Baiklah, aku tidak akan merintangimu tapi aku
akan berangkat lebih dulu."
"Baiklah, kau berangkat dulu."
"Kau tak usah terburu nafsu, ini kuberikan kepadamu." Dia
menyerahkan selembar peta. "Nyo-toako. aku berjanji menjadi
penunjuk jalanmu, sekarang aku tak bisa temani kau, maka
kubuatkan peta ini sebagai gantiku. Kau berjalan sesuai petunjuk
dalam peta ini pasti dapat menemukan laskar gerilya"
Nyo Hoa ulur tangan menerima batinnya "Ternyata sudah
dipersiapkan sebelumnya umpama tidak terjadi salah paham dengan
Utti Keng dia juga tidak akan temani aku ke atas gunung."
Kim Bik-ki berkata pula, "Satu hal lagi perlu aku minta maaf
kepadamu. Kuda putih itu sepantasnya kuberikan kepadamu, tapi
aku ingin bertemu lebih dulu dengan Leng-pcpek dan Siau-pepek
sebelum Utti Keng tiba di sana, terpaksa kupin-jam dulu. Li-toasiok
akan kusuruh menyiapkan kuda lain untukmu."
"Aku tidak perlu naik kuda. Kuda itu hasil rampasan kita bersama,
kenapa harus menggunakan istilah pinjam segala."
Kim Bik-ki sudah beranjak keluar, di ambang pintu dia berhenti
dan menoleh, tanyanya, "Nyo-toako apa betul kau tidak marah
padaku?" "Persahabatan sejari mengutamakan tahu sama tahu, aku sudah
tahu kau betul-betul anggap aku sebagai sahabatmu, bagaimanapun
sikapmu terhadapku, aku tidak akan marah. Aku hanya ingin tahu,
beberapa hari lagi apakah aku bisa bertemu lagi dengan kau?"
"Aku tidak ingin bertemu dengan Utti Keng, setelah aku memberi
laporan tugasku ke Siau-kim-jwan kepada Leng-pepek, aku akan
segera meninggalkan tempat ini Semoga kita masih ada kesempatan
bertemu." "Kau pulang ke rumah tidak?" tanya Nyo Hoa.
"Aku juga tidak tahu ke mana aku akan pergi. Pulang ke rumah
sudah pasti, tapi bukan sekarang."
"Kalau demikian mungkin tiada kesempatan kita berkumpul lagi."
"Beginilah kehidupan manusia, rembulan pun tidak abadi, marilah
kita doakan saja, kapan ada kesempatan pasti akan bersua
kembali." Akhir katanya diucapkan dengan nada sendu, betapa pilu
hatinya jelas lebih sedih dari Nyo Hoa. Nyo Hoa sendiri pun merasa.
Lama Nyo Hoa berdiri termangu di tempatnya, bayangannya
sudah tidak kelihatan, didengarnya ringkik kuda yang berlari
kencang ke luar kota, entah berapa lama kemudian Nyo Hoa
menarik napas serta menggumam, "Ai, aku pun harus segera
berangkat" ---ooo-dw-ooo--- DUA hari kemudian Nyo Hoa sudah berada di pedalaman Jik-tatbok.
Di atas pegunungan yang hijau permai ini, perasaannya senang
dan hambar. Dua hari dia menjelajahi hutan belantara, beranjak di
pegunungan yang tertutup salju, tiada seorang pun yang pernah
dilihatnya. Diam-diam dia heran, kenapa selama ini tidak pernah
dilihatnya seorang laskar gerilya"
Namun Nyo Hoa tidak putus asa, karena dia yakin dirinya tidak
tersesat karena berjalan sesuai petunjuk peta. Puluhan li telah
ditempuhnya, waktu Nyo Hoa memasuki hutan, ditemukan olehnya
sebuah air terjun yang cukup besar. Nyo Hoa langsung menuju ke
bawah air terjun, segera dia cuci kaki tangan dan membasuh muka
meneguk air dingin, sehingga badan terasa segar. Akhirnya dia
duduk di atas sebuah batu beristirahat.
Tiba-tiba didengarnya alunan irama seruling yang lembut
terbawa angin lalu, semula masih jauh, lama kelamaan makin jelas
dan dekat. Gemuruh air terjun ternyata tidak mampu menelan irama
seruling yang merdu itu. Nyo Hoa kaget, bukan kaget akan I wekang peniup seruling yang
tinggi, namun dia rasa lagu itu seperti pernah didengarnya entah di
mana. Lagu itu memang begitu mengasyikkan sehingga Nyo Hoa
duduk terlongong mengenang masa lalu. Waktu dirinya berusia
tujuh tahun, Song Theng-siau merebut dirinya dari tangan Nyotoakoh,
membawa, dirinya ke Kanglam, katanya mencari ibunya.
Song Theng-siau senang meniup seruling, bukan sekali dua dia
meniup lagu yang merdu ini dengan serulingnya.
Suara seruling makin dekat, didengarnya seorang perempuan
sambil bertepuk bersenandung mengiringi tiupan lagu Song Thengsiau.
Nyo Hoa tidak kenal musik, namun dia dapat merasakan
gejolak perasaan yang terkandung dalam lagu itu.
Suara seruling mendadak berhenti, suara seorang perempuan
berkata, "Siau-ko, apa kau masih merindukan Se-ouw?"
Nyo Hoa sembunyi di belakang batu mengintip ke atas, dilihatnya
yang muncul dua orang laki dan perempuan, setiba di pinggir air
terjun duduk sejajar di atas batu. Lelaki setengah baya itu masih
dikenalnya baik memang betul Song Theng-siau. Nyo Hoa berpikir,
"Perempuan itu tentu istrinya."
Dugaannya memang benar, perempuan itu adalah istri Song
Theng-siau, yaitu Lu Su-bi.
Song Theng-siau menghela napas, katanya, "Ya, hitung-hitung
sudah duabelas tahun aku tidak pulang. Aku jadi rindu kampung
halaman." "Toako, kukira kau bukan rindu kampung halaman, tapi
mengenang sahabat lama."
"Betul juga, bila mengenang kampung halaman, maka terbayang
kejadian duapuluh tahun yang lalu waktu aku bersama Goan-cau
dan Ci-lo bertamasya di Se-ouw, kau tidak marah?"
Melonjak jantung Nyo Hoa, "Ci-lo" Bukankah itu nama ibu?"
Lu Su-bi menghela napas, katanya, "Aku pun selalu terkenang
kepada Hun-cici, ai, pusaranya di Siau-kim-jwan entah tetap utuh
tidak, tahun ini jelas kita tak bisa sembahyang di kuburannya." "Kau
tak usah khawatir, Goan-cau sudah menugaskan orang untuk
merawat kuburan itu. Apalagi tetak kuburan itu juga susah
ditemukan orang." "Aku jadi khawatir kepada Beng-suko, Hun-cici sudah meninggal
sekian tahun, kesedihannya masih belum pudar. Kalau kita tetap
mengenang persahabatan lama, tapi Beng-suko seperti kehilangan
separo hidupnya." "Tak perlu dibuat heran kalau Beng-toako teramat sedih, kau
tidak tahu betapa suci murni cinta mereka dahulu?"
"Siapa bilang aku tidak tahu" Aku sendiri juga ikat sedih bagi
Beng-suko, ai, takdir memang mempermainkan manusia.-"
"Sebenarnya mereka bisa terang-kap menjadi suami istri, namun
waktu Ci-lo tiba di Siau-kim-jwari, sengaja dia tidak memberi tahu
kepada Beng-toako." "Waktu itu Beng-suko sudah didampingi adik Bu-siang. aku
maklum perasaan Hun-cici, dia rela berkorban demi kebahagiaan
orang lain." Sampai di sini dia tertawa paksa, Tapi adik Bu-siang
juga patut dipuji, sejak menikah dengan Beng-suko sebetulnya
hidup mereka cukup bahagia"
Cukup lama mereka berdiam, duduk terlongong mengawasi air
terjun, akhirnya Song Theng-siau meniup serulingnya pula
"Sayang Beng-suko tidak di sini, masih segar dalam ingatanku
waktu kita berada di Siau-kim-jwari, sering dia mendengarkan kau
meniup seruling di bawah pohon." Song Theng-siau menghela
napas, katanya, "Kejadian masa lalu tak perlu dibicarakan lagi.
Justru aku khawatir Beng-toako bersedih, maka tak berani meniup
seruling di depannya."
Nyo Hoa sembunyi di belakang batu di bawah air terjun mencuri
dengar percakapan mereka, hatinya seperti ditusuk sembilu.
Pikirnya, "Apa benar ibu pernah melakukan sesuatu yang
memalukan dengan Beng Goan-cau" Tidak mungkin, yang salah
mungkin Beng Goan-cau, ibu terbujuk oleh mulut manisnya" "
Karena diburu perasaan tanpa sadar Nyo Hoa bergerak
mengeluarkan suara "Siapa di bawah?" mendadak Song Theng-siau membentak.
Nyo Hoa berdiri, mengitari air terjun terus beranjak ke lereng
bukit. Setelah berpisah duabelasan tahun lebih, Song Theng-siau
sekarang sudah setengah baya, raut mukanya tidak banyak
berubah. Tapi bocah berusia tujuh tahun seperti Nyo Hoa sekarang
sudah menjadi remaja berusia delapanbelas tahun, sudah tentu
Song Theng-siau tidak mengenalinya.
Melihat pemuda yang tidak dikenalnya, dandanannya bukan
penduduk setempat, jelas datang dari luar daerah, maka timbul
curiga Song Theng-siau, bentaknya, "Siapa kau" Kenapa berada di
sini?" Perasaan Nyo Hoa ruwet, waktu kecil Song Theng-siau teramat
baik terhadap dirinya, hal ini cukup mengharukan dirinya. Tapi
hasutan Nyo Bok sudah berakar dalam sanubarinya, maka kesannya
terhadap Song Theng-siau agak jelek, maka dia berdiri tegak sambil
balas melotot "Eh, kenapa tidak kau jawab pertanyaanku" Kenapa kau melotot
kepadaku?" "Kau siapa, untuk apa di sini?" dengan nada sama Nyo Hoa balas
bertanya "He, aku yang tanya kau atau kau yang tanya aku?"
"Memangnya kau saja yang bisa tanya kepadaku?"
"Toako, jangan terburu nafsu," segera Lu Su-bi menimbrung.
Lalu dia berpaling, katanya lembut, "Kami suami istri tinggal di sini.
Engkoh cilik, kelihatannya kau datang dari luar daerah, jarang orang
kemari, maka aku ingin tanya kau."
Ternyata Nyo Hoa tetap membisu, tidak menjawab malah
bertanya, "Berapa lama kalian tinggal di sini?"
"Untuk apa kau tanya hal ini?" Song Theng-siau naik pitam.
"Kau memang tinggal di sini, tapi sebetulnya pindah kemari dari
tempat lain, betul?"
"Ya, memang betul, kenapa?"
"Tidak apa-apa. Sama-sama orang luar, kalau kau boleh pindah
kemari, kenapa aku tidak boleh?"
"Coba kau perkenalkan she dan namamu, bolehkan?" tanya Lu
Su-bi. Akhirnya dia merasa curiga juga.
"Aku tidak pingjn berkenalan dengan kalian, kenapa aku harus
beri tahu siapa namaku?"
"Memangnya aku ingin berkenalan dengan siapa?" desak Song


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Theng-siau, air mukanya sudah masam.
Ternyata sikap Nyo Hoa lebih .kasar, jengeknya, "Kau tidak usah
peduli." Mata melirik, kaki maju beberapa langkah.
"Berdiri!" hardik Song Theng-siau.
"Apa kehendakmu?" sinis suara Nyo Hoa
"Kalau tidak kau jawab pertanyaanku, terpaksa aku
memaksamu." "Orang berjalan juga kau urus, apa tidak keterlaluan?"
"Jangan cerewet! Kau keluyuran di sini, apa kerjamu" Lekas
katakan!" "Baiklah, belum pernah aku ketemu orang yang tidak tahu aturan
macammu ini, memangnya aku boleh dipermainkan" Mau berkelahi"
Hayolah maju." Jengkel juga geli hati Song Theng-siau; katanya, "Anak muda,
jadi kau kemari ingin berkelahi dengan orang. Sungguh tidak tahu
diri. Kemarilah." Sekali lompat dia menghadang di depan Nyo Hoa
sambil ulur tangan mencengkeram.
Lekas Lu Su-bi berseru, "Mungkin bocah linglung, toako jangan
kau melukai dia." "Aku tahu," sahut Song Theng-siau. Sembari bicara kelima
jarinya kembali mencengkeram tulang pundak Nyo Hoa maksudnya
mau mencoba apakah anak muda ini pandai silat
Ternyata Nyo Hoa malah mengejeknya, "Kau mau menggaruk
pundakku yang gatal?" Mendadak dia turunkan pundak, menghindar
sambil balas menyerang, jarinya meno-tok urat nadi lawan.
Mimpi pun Song Theng-siau tidak menduga pemuda kampungan
yang kelihatan linglung ini ternyata bergerak lincah dan cekatan.
Lekas dia menarik tangan lalu mendesak maju dengan Siau-kim-najiu,
dalam jarak dekat dia balas mencengkeram pergelangan tangan
Nyo Hoa Tapi Ngo Hoa melintangkan telapak tangan, membabat
miring ke bawah, jurus ini dinamakan Heng-hun-toan-hong,
permainan keras lawan keras.
"Plak" dua telapak tangan beradu, Song Theng-siau menyurut
tiga langkah, Nyo Hoa hanya tergeliat saja. Sebetulnya lwekang
Song Theng-siau lebih unggul, soalnya dia tidak menduga Nyo Hoa
memiliki kungfu tinggi, maka tenaga yang dikerahkan hanya dua
bagian saja, apalagi dia khawatir melukai Nyo Hoa Siapa nyana
dirinya kecundang malah, untung dia tidak bermaksud melukai Nyo
Hoa kalau tidak, tulang pergelangannya pasti tertabas putus oleh
telapak tangan Nyo Hoa Karuan Lu Su-bi terperanjat, teriaknya
"Toako, kau tidak apa-apa" Orang ini memang mencurigakan, tak
usah kau menaruh belas kasihan."
"Memangnya mencurigakan, bocah ini pasti mata-mata kerajaan.
Jangan khawatir, anak muda masih hijau pelonco begini masa aku
tidak mampu menghadapi?"
Karena mengalami kerugian maka Song Theng-siau tidak
sungkan lagi, serangan mulai dilancarkan, dengan telapak tangan
atau totokan jari sekaligus Nyo Hoa dicecarnya belasan jurus.
Nyo Hoa melawan dengan mantap, jari sebagai pedang, telapak
tangan seumpama golok; menusuk, mengiris atau menabas,
membelah atau membacok, gerak-geriknya serba beraneka ragam.
Padahal Song Theng-siau terhitung ahli silat juga namun tak mampu
dia meraba permainan silatnya dari aliran mana karuan hatinya
tercekat. Kini kedua pihak serang menyerang dengan gencar,
ternyata Nyo Hoa tetap dapat melayani.
Nyo Hoa pandai memilih sasaran, menghindar serangan telak
menyerang kekosongan lawan, sengaja dia tidak mengadu tenaga.
Song Theng-siau yakin kemampuan dirinya lebih tinggi, namun
sungguh aneh, ternyata dia menjadi bingung sendiri karena tidak
mampu merobohkan anak muda ini, perasaannya . semakin kacau.
Lekas sekali tujuhpuiuh jurus telah berselang. Song Theng-siau
berwatak angkuh, walau di tempat ini tiada orang lain, hanya
istrinya seorang yang menyaksikan pertempuran ini, namun hampir
seratus jurus tetap tak mampu merobohkan bocah ini, hal ini
dipandangnya sebagai kejadian yang memalukan. Karena diburu
nafsu, tiba-tiba dia gunakan serangan lihay yang berbahaya.
Kedua telapak tangannya menari-nari, dengan suatu putaran
mendadak melompat maju ke dalam lingkaran, jurus ini dinamakan
Sam-hoan-tou-gwat, maksudnya memaksa Nyo Hoa untuk
menyambut serangan ini secara keras. Song Theng-siau kira tenaga
sendiri lebih kuat, di luar tahunya dia justru terjebak oleh Nyo Hoa
"Biang" kali ini Nyo Hoa tergen-tak tiga langkah. Tapi Song
Theng-siau yang masih berdiri di tempatnya, mendadak merasa
lutut lemah, tanpa kuasa tubuhnya ambruk ke depan. Untung dia
cukup sigap, begitu siku menyentuh tanah, badannya sudah
mencelat berdiri lagi, terlambat sedikit pasti dia harus terguling
mencium tanah. Ternyata dalam detik-detik yang menentukan tadi, Nyo Hoa
sudah berhasil menotok Hoan-tiau-hiat di lututnya walau dia sendiri
terpukul mundur oleh kekuatan tangan lawan.
Bahwa Song Theng-siau seketika dapat mencelat berdiri, mau
tidak mau Nyo Hoa kagum juga Maklum totokannya tadi bukan
serangan biasa, orang biasa takkan mudah membebaskan diri
seperti itu. Nyo Hoa sendiri percaya dirinya takkan mampu berbuat
demikian. Mendapat angin Nyo Hoa tidak memberi kelonggaran, segera dia
menjengek dingin, "Tangan kosong jelas kau bukan tandinganku,
keluarkan senjatamu." Dia sengaja memancing kemarahan, di
samping ingin mencoba ilmu pedang Song Theng-siau. Dia tahu
Song Theng-siau sejajar dengan Beng Goan-cau, dari taraf ilmu
pedang Song Theng-siau dia harap dapat mengukur kepandaian
Beng Goan-cau; kelak bila berhadapan sudah punya bekal untuk
mengalahkan. Sudah tentu Song Theng-siau naik pitam, "Sret" dia lolos pedang
sambil membentak, "Bocah sombong, lihat serangan!"
Dalam adu pukulan tadi sebetulnya sama kuat. Tapi sebagai
orang ternama dia segan berdebat dengan Nyo Hoa. Maka rasa
penasarannya ingin dia lampiaskan dalam permainan pedang.
Bila ujung pedang lawan sudah tiba di depan mukanya, baru
mendadak Nyo Hoa balas menyerang. Jurus ini mirip Jun-hun-ka-kacan,
pedangnya terayun keluar, ternyata bergerak belakangan tiba
lebih dulu, menghindar sambil balas menyerang, bukan saja telak,
temponya juga persis, sungguh menakjubkan.
Mutiara Hitam 17 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Hati Budha Tangan Berbisa 2
^