Pencarian

Anak Pendekar 9

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 9


tapi lebih hebat, sekali bergerak secara aneh mematahkan
serangan lawan. Maka dalam pertarungan kali isi, Nyo Hoa
menggunakan Bu-beng-kiam-hoat sebaliknya Kang Siang-hun
melancarkan Thian-san-kiam-hoat. Bagi Nyo Hoa tahu kekuatan
sendiri untuk mengukur kemampuan lawan, sebaliknya Kang Sianghun
tahu kemampuan sendiri tak tahu sampai di mana taraf
kepandaian lawan. Untung Thian-san-kiam-hoat yang dimainkan Kang Siang-hun ini
sudah disempurnakan oleh Kim Si-ih dan Kim Tiok-liu ayah beranak,
kalau tidak mana kuat menghadapi Bu-beng-kiam-hoat, meski hebat
kepandaian Kang Siang-hun pasti juga akhirnya kalah.
Serangannya terbendung, perubahan permainan pedangnya
mendadak sukar dilancarkan, namun Kang Siang-hun adalah murid
didikan Kim Tiok-liu, sebagai murid jago pedang nomor satu, dalam
gebrakan permulaan ini dia pun sudah menampilkan kemahirannya.
Tampak bagai angin lesus tubuhnya berputar, dia biarkan ujung
pedang Nyo Hoa menembus lewat di bawah ketiak kirinya. Sebat
sekali pedang panjangnya sudah memutar balik dengan jurus Liongli-
jeng-ciam (Puteri naga menyusup benang) pedangnya menyodok
ke bawah lambung Nyo Hoa. Melihat lawan menggunakan serangan
yang keji, berkerut alis Nyo Hoa, kalau dia mengalah tentu akhirnya
celaka sendiri. Lekas dia menarik dada mengempeskan perut, begitu
pundak bergerak, dengan enteng tubuhnya ber-gontai mengikuti
sambaran pedang lawan. Mendadak dia mendesak maju, di mana
pedangnya bergerak, beruntun dia melancarakan jurus Pek-wanjong-
ci (Lutung putih menerobos ranting), Kim-ke-toh-siok (Ayam
emas merebut padi), Bing-hou-thio-cian (Macan galak melompati
selokan) dan Ciam-liong-seng-thian (Naga sembunyi menjulang ke
langit). Empat jurus serangan ini adalah rangsakan yang gencari
Dan hebatnya, beberapa jurus ini sebetulnya merupakan permainan
pedang biasa dari berbagai perguruan silat, namun di bawah
permainan Nyo Hoa, perbawanya jauh berbeda dengan beberapa
perguruan pedang itu. Kang Siang-hun coba mematahkan
rangsakan pedangnya ini menurut aturan permainan pedang lurus,
maka terlihat nyata betapa jauh beda dan ketinggalannya.
Menyadari posisi sendiri mendadak tidak menguntungkan, masih
untung Kang Siang-hun dapat bertindak cepat, dikembangkan Si-mikim-
hoat ajaran Thian-san-pay untuk bertahan melindungi badan.
Si-mi-kiam-hoat bersumber ajaran Budha, tidak bisa untuk melukai
orang, namun untuk menyelamatkan jiwa justru merupakan
permainan pedang yang paling manjur. Namun demikian, tak urung
dia tercecar mundur berulang-ulang.
Semula Teng Bing-cu masih tega dan senang bahwa permainan
sandiwaranya mengobarkan rasa cemburu di hati orang, namun
kedua pemuda uli berhantam makin seni, lama kelamaan dia amat
kaget dan ngeri. Maklum kedua pemuda ini pernah menanam budi
pada dirinya Walau hatinya dendam kepada Kang Siang-hun karena
jodohnya ditolak, namun dia tidak tega juga kalau sampai kalah dan
terluka. "Kalian mau tidak memberi muka kepadaku, kalian adalah
temanku, sudah jangan berkelahi. Pedang kalian tidak bermata,
kalau terluka bagaimana" Aduh Nyo-toako-, kau, kau" wah untung
tidak terluka. Sudah berhenti, jangan berkelahi." Ternyata di waktu
dia berteriak-teriak, pedang Nyo Hoa kebetulan menusuk, mata
pedangnya menempel pundak Kang Siang-hun menye-lonong lewat,
sudah tentu Teng Bing-cu yang menonton dari tempat jauh tidak
melihat jelas, dia kira Kang Siang-hun tertusuk luka maka dia
menjerit khawatir. Meski Kang Siang-hun terdesak di bawah angin, tapi pertahanan
Si-mi-kiam-hoat-nya teramat kokoh dan tangguh, sekuatnya dia
masih mampu melawan, apalagi Nyo Hoa tidak bermaksud melukai
dia, tapi kalau dia tidak menyerang dengan pedang lalat, mungkin
Kang Siang-hun akan memperoleh peluang balas menyerang.
Jeritan khawatir Teng Bing-cu secara tidak langsung telah
melimpahkan perasaan hatinya, betapa khawatir hatinya bila Kang
Siang-hun terluka. Tapi bagi pendengaran Kang Siang-hun justru
amat menusuk perasaannya. Maklum sebagai murid didik jago
pedang nomor satu, menghadapi Nyo Hoa yang tidak ternama
ternyata dirinya hanya mampu bertahan saja, terdesak secara
runyam tidak mampu balas menyerang, jelas di samping malu
terasa juga gengsinya diruntuhkan. Kini Teng Bing-cu harus merasa
khawatir akan keselamatannya lagi, betapa hatinya tidak amat malu,
marah dan kesal" "Nona Teng, jangan turut campur.. Sebelum ada yang kalah dan
menang, pertarungan ini tidak boleh berhenti," demikian teriak Kang
Siang-hun. Seman Teng Bing-cu mengobarkan semangat
tempurnya, rasa ingin menang berkobar dalam dadanya, dia merasa
malu di depan si nona, dia harus didesak mundur berulang kali.
Maka mendadak dia mengubah permainan, meski tahu
menyerempet bahaya, juga tidak dihiraukan lagi, dari bertahan
mendadak dia balas menyerang. Dalam hati dia bertekad, "Meski
harus teriuka oleh pedangnya, aku tak boleh hanya bertahan saja."
Pertarungan ini terjadi lantaran gara-gara Kang Siang-hun
sendiri, namun dirinya yang disalahkan, karuan Nyo Hoa naik pitam,
maka dia pun berseru, "Nona Teng, kau jangan maju. Terima kasih
kau sudi anggap aku sebagai teman, tapi dengan Kang-siauhiap ini,
maaf, aku tak berani bersahabat dengan dia."
Dalam beberapa gebrak ini, otak Nyo Hoa bekerja secepat kilat,
semula dia bertekad karena Kang Siang-hun memandang hina
dirinya, umpama tidak melukai juga biar dia merasakan kelibayanku.
Namun setelah Kang Siang-hun makin beringas, emosinya makin
tenang malah. Pikirnya, "Demi Bik-ki kenapa aku harus mencari
permusuhan dengan dia" Di hadapan nona Teng memang tidak
pantas aku mengalahkan dia, biar dia unjuk kegagahan-nya saja
Bukankah akan bermanfaat bagi berbagai pihak. Bila aku mengalah,
maka tugas melindungi nona Teng akan menjadi tanggung
jawabnya." Di saat bertarung sengit, mana boleh perhatian terpencar,
perasaan Nyo Hoa bergolak, maka Siang-hun berhasil merebut
posisi yang lebih baik, kini dia mulai balas menyerang, jurus tipuan
pedangnya amat berbahaya. Kini giliran Teng Bing-cu berkhawatir
bagi Nyo Hoa. Baru saja mulut Teng Bing-cu bergerak, mendadak dilihatnya
Kang Siang-hun melancarkan jurus Sing-hcng-to-coan (Bintang
melintang berputar balik), bagian tajam pedangnya menuding
tenggorokan Nyo Hoa. Dalam waktu yang sama pedang Nyo Hoa
diselingi gerakan telapak tangannya tepat membelah dada Kang
Siang-hun. Keduanya menyerang secara nekad, jelas bakal teriuka
dan gugur bersama. Namun dalam detik yang menentukan itu mendadak tampak
bayangan kedua orang berpencar, Nyo Hoa melesat jauh beberapa
tombak seraya menjerit, serunya, "Kang-siauhiap, ilmu pedangmu
jauh lebih unggul dari aku, terima kasih kau menaruh belas kasihan
tidak menamatkan jiwaku." Sambil bicara kakinya melangkah cepat,
dalam sekejap dia sudah lari ratusan langkah jauhnya.
Agaknya Kang Siang-hun tidak menyangka Nyo Hoa melarikan
diri. Sekilas dia melenggong, segera dia mengejar seraya membentak,
"Bocah keparat, kalau berani kembalilah, pertempuran belum
berakhir." Teng Bing-cu kira Nyo Hoa sudah terluka, namun Kang Siang-hun
masih tidak mau melepaskannya, dia menjadi kaget, lekas dia
berteriak, "Kang-kongcu, dia sudah mengaku kalah, biarkan dia
pergi." Sambil berteriak dia memburu ke arah kuda terus
menggablok pantatnya sehingga kuda itu melonjak kaget terus lari.
Agaknya dia khawatir Kang Siang-hun tidak mau mendengar
bujukannya, dan terus mengejar Nyo Hoa dengan menunggang
kuda, bila Nyo Hoa juga menunggang kuda pasti dapat melarikan
diri. Kuda merah yang baru dibeli Nyo Hoa ini agaknya setia kepada
majikannya, seperti tahu majikannya ingin lekas lari, sebelum
dipanggil Nyo Hoa sudah lari menyusul ke sana Nyo Hoa berkata,
"Nona Teng, kuda ini sebetulnya kutinggalkan antuk kau." .
"Lekas kau lari, aku sudah menerima kebaikanmu. Kang-kongcu,
he, kenapa kau?" Dia khawatir Kang Siang-hun mengejar, baru saja
dia menoleh, mendadak dilihatnya Kang Siang-hun menghentikan
langkahnya seperti mendadak menemukan sesuatu yang aneh. dan
mengejutkan, seketika dia berdiri terdiam.
Ternyata setelah Kang Siang-hun mengejar beberapa langkah,
mendadak terasa lengan kanannya sedikit linu, waktu dia menunduk
dilihatnya lima senti di bawah Jian-kin-hiat di pundaknya terdapat
tiga lubang kecil yang berjajar rata, lebih besar sedikit dari lubang
jarum. Sebagai seorang ahli pedang, sekali pandang dia lantas tahu
bahwa lubang itu hasil tusukan ujung pedang, Ternyata jurus
terakhir permainan kombinasi pedang dan telapak tangan Nyo Hoa,
gerak telapak tangannya hanya untuk mengaburkan pandangan
Kang Siang-hun, dengan gerak kilat pedangnya telah menusuk tiga
tempat di baju bawah pundaknya. Setelah melenggong sejenak,
Kang Siang-hun lantas membayangkan kejadian tadi, segera dia
maklumi di mana letak kehebatan permainan pedang lawan, tanpa
merasa keringat dingin membasahi sekujur badan.
Jikalau Nyo Hoa berniat membunuhnya, sedikit pedang
dinaikkan, tulang pundaknya tentu tertusuk, kalau tidak mati berarti
ilmu pedangnya akan punah seketika, "Betulkah ada ilmu pedang
seajaib ini di dunia ini?" Baru sekarang Kang Siang-hun kaget,
pikirnya, "Kenapa kau menaruh belas kasihan kepadaku" Mungkin
lantaran Bik-ki sengaja dia memberi muka dan kelonggaran
kepadaku?" Teng Bing-cu kira bujukannya berhasil, segera dia memburu
maju, katanya, "Nah, kan begitu, kalau bisa mengampuni orang,
ampunilah. Kau mau mendengar saranku membebaskan dia, aku
amat senang." Sudah tentu Kang Siang-hun hanya menyengir kuda
mendengar ucapannya. Kalau Kang Siang-hun hanya menyengir saja, perasaan Nyo Hoa
amat tertekan. Kuda merahnya dibiarkan lari di padang rumput, sementara hati
Nyo Hoa tidak karuan. Gejolak hatinya seperti derap kuda yang lari
kencang, dalam sekejap ini beberapa pikiran telah menyelinap
dalam benaknya. "Yang Maha Kuasa memang tidak adil. Kenapa Kang Siang-hun
boleh lahir dalam keluarga ternama, aku justru ditakdirkan sebagai
anak Nyo Bok" Aku punya ayah pengkhianat, jelas orang akan
memandang rendah diriku. Ai, lebih baik aku kembali ke Ciok-lin
saja. Tidak bergaul dengan orang, tanpa peduli segala urusan di
dunia ini, hidup di alam bebas, aku dapat mengecap ketenteraman
sampai hari tua." Namun mendadak dia teringat akan anjuran Kim Bik-ki yang
mendorongnya untuk bangkit memperjuangkan hidup, rasa pusing
kepalanya makin berkurang, dengan kertak gigi dia membatin pula,
"Pikiranku ini jelas keliru. Karena aku dilahirkan dari keluarga bejat
maka Kang Siang-hun curiga kepadaku, malah menganggap aku
sebagai musuh. Tapi masih ada juga orang-orang dalam dunia ini
yang percaya kepadaku, sekali bertemu lantas bersahabat dan
percaya padaku. "Bukankah semula Bik-ki juga curiga kepadaku. Karena aku
pernah bekerja demi kepentingan laskar gerilya, maka dia tidak
pernah tanya asal-usulku, bukan saja menganggap aku sebagai
teman, isi hatinya pun dia limpahkan kepadaku.
"Leng Thiat-jiau, Siau Ci-wan dan Han Wi-bu bukankah mereka
percaya kepadaku. Walau mereka mungkin belum tahu kalau aku
anak Nyo Bok. Tapi umpama mereka akhirnya tahu, yakin mereka
tidak akan bersikap sekasar Kang Siang-hun kepadaku.
"Kenapa aku harus lari dari kenyataan ini" Kembang teratai pun
berani tumbuh di lumpur, dan teratai dipandang sebagai kembang
yang suci dan bersih pleh manusia. Yang bersih tetap bersih, yang
kotor akan selalu kotor, jikalau aku tidak tertular kotor, siapa
ayahku, kejahatan apa yang pernah dia lakukan, apa sangkut
pautnya dengan aku" "Tidak, bukan saja aku tidak boleh menyingkir dan bersembunyi,
aku harus segera bertemu dengan Bik-ki. Kang Siang-hun melarang
aku menemui dia, aku justru akan mencarinya Seorang laki-laki
harus bertindak secara terang-terangan, umpama demi
kebahagiaannya kelak aku harus berpisah dengan dia, aku harus
menjelaskan asal-usulku, riwayat hidupku kepadanya, tiada yang
harus kusembunyikan. Ingin aku tahu apakah dia akan membenci
dan mencampakkan aku karenanya?"
Setelah mengalami pukulan batin, pikiran Nyo Hoa menjadi
kacau, perasaannya tertusuk, dan tusukan ini justru membangkitkan
rasa angkuh, jiwa ksatrianya.
"Tugas Han Wi-bu sudah selesai, tidak perlu aku mengiringi dia.
Sekembali di Cau-hoat aku akan minta diri kepadanya, tentang
undangan Pek-kau Hoat-ong segala, biarkan saja."
Setelah pikirannya jernih, hanya ada satu persoalan yang terpikir
oleh Nyo Hoa yaitu ingin selekasnya bertemu dengan Kim Bik-ki.
Maka dia keprak kudanya supaya lekas tiba di Cau-hoat dan mohon
diri kepada Han Wi-bu. Tanpa terasa hari sudah menjelang
kentongan kelima, Cau-hoat masih belasan li di sebelah depan.
Mendadak didengarnya derap lari kuda di sebelah depan, seekor
kuda putih lari ke arahnya. Nyo Hoa kaget, kuda putih ini adalah
milik Teng Bing-cu. Yang naik kuda juga seorang hwesio.
Tapi hwesio di punggung kuda ini bukan hwesio yang merebut
kuda tadi. Hwesio tadi adalah begundal Kiat Hong, kepala gede,
telinga lebar, sekali pandang orang tahu bahwa dia hwesio murtad,
hwesio yang tidak patuh ajaran agama. Sebaliknya hwesio yang ini
bermuka putih bersih, sikapnya alim, kelihatannya adalah paderi
yang berilmu tinggi. Walau dua hwesio yang berbeda tapi jelas kuda
itu adalah milik Teng Bing-cu.
Hwesio gendut yang(merampas kuda, kenapa sekarang berada di
tangan hwesio. kurus" Dalam waktu sesingkat ini, Nyo Hoa tidak
sempat banyak pikir, tak peduli sopan atau tidak, dia kira hwesio
kurus ini juga komplotan Kiat Hong. Maka dia bertekad merebut
balik kuda putih milik Teng Bing-cu ini. Apalagi dia tahu kuda putih
ini lebih cepat dari kuda merah miliknya. Kalau kesempatan
diabaikan, untuk mengejarnya juga tidak keburu.
Lekas sekali kuda putih sudah lari di depannya Tanpa pikir, dari
punggung kudanya Nyo Hoa melejit ke atas, di udara bersalto satu
kali terus menubruk ke arah hwesio kurus di punggung kuda putih
Dia menggunakan Tay-kim-na-jiu-hoat, dengan tubuh menukik
dia menubruk, betapa keras daya luncur dan serangannya ini, dia
yakin tulang pundak si hwesio pasti dapat dicengkeramnya. Tak
nyana kungfu hwesio ternyata amat tinggi, dalam waktu yang
mendesak itu mendadak dia manggutkan kepala berbareng tangan
menelikung balas menang- kap pergelangan tangan Nyo Hoa.
Itulah Siau-kim-na-jiu-hoat, tenaganya memang tidak sekuat
yang dilancarkan Nyo Hoa, tapi lebih cocok untuk bertempur dalam
jarak dekat. Nyo Hoa tahu kelihayan gerak tangan lawan, sigap
sekali dia mengubah gerakan menjadi golok kilat, telapak tangannya
tegak miring seperti golok membelah turun. Hwesio itu menurunkan
pundak menyodok dengan siku, lalu dengan sej urus Hud-hun-jiu


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia mendorong perlahan mematahkan serangan Nyo Hoa. Nyo Hoa
menukik di tengah udara, serangan harus berhasil, kalau gagal,
karena tubuh terapung di udara, tenaga susulan jelas sukar
dikerahkan, namun dia tidak kehabisan akal, kakinya sempat
menutul di atas pelana, tubuhnya lantas jumpalitan beberapa
tombak dan turun di atas tanah.
Hwesio kurus itu memuji, "Kepandaian bagus." Dia pun
melompat turun, katanya dengan tertawa, "Bukankah kau mau
merebut kuda putih itu?"
Nyo Hoa bimbang, katanya, "Kuda ini bukan milikmu."
"Betul," ujar Hwesio tertawa. "Karena bukan milikku, maka boleh
kuserahkan kepada kau. Tapi kau harus keluarkan milikmu untuk
barter dengan aku." "Apa yang kau minta?" "Kabarnya ilmu pedangmu amat bagus,
aku ingin berkenalan dengan kau. Kau tak perlu dapat mengalahkan
aku, asal kau mampu melawan seratus jurus seranganku, kuda
putih kuserahkan kepadamu."
"Memangnya kau lebih lihay dari engkoh Kim Bik-ki dan Kang
Siang-nun," demikian batin Nyo Hoa. Katanya, "Baik, kau tidak perlu
mengalah, kalau tidak bisa mengalahkan engkau, kuda putih ini pun
tidak akan kuterima. Keluarkan senjatamu."
"Maaf, sudah sekian tahun aku tidak pernah pakai senjata. Kau
boleh serang saja dengan pedangmu."
Amarah Nyo Hoa terpancing, "Sret" tanpa banyak bicara dia
langsung menusuk. "Bagus," puji hwesio kurus. Mendadak badannya melayang,
merangkap kedua jari dia mencolok kedua mata Nyo Hoa. Sudah
tentu tidak mudah mata Nyo Hoa dicolok, dengan gerakan Boanliong-
yau-pau (Naga melingkar menggeser langkah), pedangnya
melingkar balik. Hwesio itu tertawa, katanya, "Kau, kau tidak bermusuhan dengan
aku, memangnya aku bakal mencolok matamu" Kau tertipu."
Sembari bicara gerakan tangannya mendadak menurun dari atas,
seperti golok tajam yang bergulung membabat kedua kaki Nyo Hoa.
Ternyata serangan di atas hanya gertakan, serangan yang menyapu
kedua kaki itulah yang benar-benar lihay.
Tercekat hati Nyo Hoa. Pikirnya, "Aneh dan lucu permainan
pukulan hwesio kurus ini. Isi kosong, kosong isi susah diraba."
Padahal banyak ragam ilmu yang pernah dipelajari Nyo Hoa, tapi
ilmu pukulan hwesio yang satu ini jelas berbeda dengan pukulan
yang ada di Tionggoan. Nyo Hoa bingung, meski dapat melayani
mengikuti gerak perubahan lawan namun karena sukar mengukur
kepandaian lawan, sudah tentu dia jauh lebih payah daripada waktu
menghadapi Kang Siang-hun tadi.
Di tengah pertarungan sengit itu, mendadak hwesio kurus
menggapai tangan, mengalihkan pandangan Nyo Hoa, telapak
tangan mendadak menepuk dari posisi yang tak terduga. Hampir
saja Nyo Hoa kena dihantamnya. Hwesio itu tertawa katanya, "Ilmu
pedangmu memang hebat tapi kau harus hati-hati melayani
seranganku.. Sekarang baru duapuluh empat jurus lho."
Selanjurnya dia tidak hiraukan permainan si hwesio,
bagaimanapun lawan berubah dengan ragam serangannya,
mendadak dia menusuk dengan jurus Tiap-jui-hu-ceng. Jurus ini
berasal dari Siong-san-kiam-hoat, tapi dilancarkan oleh Nyo Hoa
dengan gaya Bu-beng-kiam-hoat hasil penemuannya sendiri. Jadi
bila dibanding dengan jurus asli dari Siong-san-kiam-hoat, bukan
saja lebih lihay, juga di dalamnya diselipi jurus Ko-pek-som-som dari
Siau-lim-kiam-hoat yang kokoh dan lincah. Dan yang lebih
membingungkan adalah jurus pedang ini hanya mirip gerakan
Siong-san-kiam-hoat, umpama seorang tokoh lihay juga sukar
dalam waktu sesingkat ini membedakan perbedaannya
Hwesio itu bersuara heran, agaknya kaget, namun tidak gugup.
Dengan tangkas dia berkelit, ujung pedang Nyo Hoa menyerempet
lewat di pinggir tulang iganya Cepat sekali si hwesio kurus berputar,
mendadak telapak tangannya berubah meninju ke dada Nyo Hoa, di
mana angin pukulannya yang menderu menyibak pedang Nyo Hoa
ke samping. Nyo Hoa melambung, sambil berkelit dia balas menyerang, jengeknya,
"Hati-hatilah kau." Pedang melintang miring Si hwesio kira
jurus yang dia lancarkan adalah Heng-kang-hwi-toh (Menyeberang
sungai secara melintang), segera di menginjak kedudukan "Kan"
berputar ke posisi "Le", sehingga rang-sakan kedua pihak samasama
mengenai tempat kosong. Nyo Hoa berebut kesempatan untuk mendahului menyerang,
setiap jurus setiap gerakan tidak pernah kendor, terpaut serambut
pun berusaha direbutnya, maka permainan ilmu pedang dan ilmu
pukulan mereka semakin lihay, berbobot dan menakjubkan.
Kepandaian kedua orang itu sama tinggi, tapi Nyo Hoa bersenjata
pedang, maka dia lebih unggul. Saking seru pertarungan ini,
sengaja si hwesio bergoyang sekali terus melompat ke luar
kalangan, katanya, "Sudah limapuluh jurus. Hm, di antara jago-jago
pedang yang pernah kuhadapi, mungkin kau masih bukan tandingan
Kim Tiok-liii atau Kang Hay-thian, tapi kalau hanya bicara tentang
ilmu pedang, kemungkinan kau sudah boleh diagulkan nomor satu
di dunia. Sisa limapuluh jurus selanjutnya, terpaksa aku harus
melawan dengan senjata,"
Nyo Hoa curiga dan bimbang, pikirnya, "Dari nada bicaranya,
gelagatnya dia kenal baik dengan Kang Hay-thian dan Kim Tiok-Iiu.
Apakah dia bukan komplotan Kiat Hong" Lalu dari mana dia peroleh
kuda putih ini?" Seperti orang bermain catur, bagi seorang persilatan yang
memiliki kungfu tinggi, memperoleh lawan yang tangguh dan
setingkat dengan dirinya, rasa ingin menang selalu muncul, katanya
sambil memegang pedang, "Memangnya kau tidak perlu mengalah,
keluarkan senjatamu."
"Bagus anak muda, kau memang pemberani dan gagah. Tapi
senjataku tidak perlu dilolos."
Mendadak Nyo Hoa melihat gumpalan merah berkembang di
depan matanya. Ternyata hwesio kurus ini mencopot kasa longgar
yang merah itu sebagai senjata, kasa itu menggulung ke
mukanya. "Sret" kontan Nyo Hoa balas menusuk, namun sekali
sendai kasa merah itu membalik terus membelit. Pedang Nyo Hoa
ternyata disampok pergi. Nyo Hoa merasakan ujung pedangnya
sudah mengiris kasa lawan, namun tergelincir tak mampu menusuk
hingga berlubang. Tenaga besar lawan laksana arus yang
bergelombang, pedang Nyo Hoa tersampok pergi, hampir saja tak
kuat dia memegangnya. Tapi Bu-beng-kiam-hoat Nyo Hoa justru serba bisa, makin kuat
perlawanan perbawanya pun makin besar, umpama lwekang sendiri
bukan tandingan lawan, tetap dia bisa mencari peluang untuk
menyerang lawan sehingga permainan pedangnya tetap merupakan
ancaman bagi lawan. Kasa diputar, menderu-deru suaranya, bayangan pedang
berputar laksana naga yang sedang menerjang mutiara. Seumpama
cahaya pelangi yang disoroti cahaya mentari, bergulung-gulung di
padang rumput, keduanya terus berhantam, serang menyerang
dengan sengit dan sama tangguhnya.
Diam-diam Nyo Hoa mengeluh dalam hati, pikirnya, "Tak heran
sam-suhu selalu berpesan, di atas langit ada langit, orang pandai
ada yang lebih pandai. Kasa adalah kain lemas dan enteng, tapi di
tangan hwesio kurus ini ternyata lebih kokoh dari tameng, malah
lebih kuat dari dinding baja, bagaimana aku harus mengalahkan
dia?" Sekarang Nyo Hoa tidak berani mengharap dapat mengalahkan
lawan, kalah menang tidak terpikir lagi olehnya. "Untung dia hanya
membatasi seratus jurus, yakin aku masih mampu melawannya
seratus jurus." Karena tidak pikirkan kalah menang, ternyata
permainan pedangnya semakin hebat, perbawa Bu-beng-kiam-hoat
juga berlipat ganda. Entah berapa jurus pula, Nyo Hoa melancarkan jurus Pck-hongkoan-
jit, tenaga tersalur di ujung pedang terus menusuk "Cret"
tahu-tahu pedangnya sudah terbelit oleh kasa lawan. Nyo Hoa
hendak menariknya sudah tidak bisa, menyusul pedangnya jatuh
berkerontang di atas tanah.
Nyo Hoa berdiri lesu, si hwesio .kurus justru bergefak tawa,
katanya, "Anak muda, sungguh hebat. Bukan saja kau setanding
dengan aku, kau pun telah mengalahkan aku."
Nyo Hoa gusar, semprotnya, "Kepandaianmu jauh lebih tinggi,
aku mengaku kalah, kenapa kau menggoda dan mengejekku."
"Tak usah kau menyesal dan anggap kemampuan sendiri tidak
becus. Kau tahu berapa jurus kau sudah bergebrak dengan aku?"
Nyo Hoa melenggong, sahutnya, "Entahlah." Dalam dahulu
mendahului menyerang tadi, permainan pedangnya secepat kilat,
telapak tangan pun menderu keras, bahwasanya tidak sempat lagi
dia perhatikan berapa jurus mereka sudah bertarung. Tapi dia yakin
batas seratus jurus sudah tercapai, malah mungkin sudah lebih.
Hwesio itu bergelak tawa, katanya, "Seluruhnya sudah bergebrak
tigaratus duabelas jurus."
Bahwa hwesio ini dapat menghitung secara tepat, karuan Nyo
Hoa kaget dan melongo. Tapi dalam hati dia tetap berpikir, "Meski
kelewat batasnya, kenyataan aku toh dikalahkan."
Si Hwesio seperti tahu isi hatinya, katanya lebih lanjut, "Memang
aku berhasil menggulung pedangmu, tapi kau pun menusuk
berlubang kasaku, kalau dinilai kita seri. Tapi usiaku jauh lebih tua,
sebetulnya Iwekang-ku lebih tinggi sedikit Hanya dengan permainan
pedang kau menusuk kasaku hingga berlubang, sebaliknya aku
harus mengerahkan tenagaku baru berhasil menjatuhkan
senjatamu, umpama benar pertempuran ini berakhir seri, kalau
dinilai secara keseluruhan, tetap kau yang berada di pihak menang.
Baiklah, kuda ini kuserahkan, boleh kau ambil."
Maksud Nyo Hoa memang mau merampas kuda, kini orang
menyerahkan, dia jadi bingung sendiri.
Hwcsio itu tersenyum, katanya, "Apakah kau masih ingin bicara
denganku?" Nyo Hoa bimbang dan curiga, tanyanya, "Siapa kau?"
"Kau tidak kenal aku, aku sudah kenal kau malah. Bukankah kau
ini Nyo-siauhiap yang datang bersama Han-cong-piauthau di Cauhoat?"
"Mana berani aku disebut siau-hiap. Tapi siapa diriku kau
memang benar, aku adalah Nyo Hoa. Kau, kau adalah?"
Si hwesio kenakan kasanya katanya perlahan, "Semalam Hancong-
piauthau menjadi tamuku. Malam ini aku siap menyambut
kedatanganmu, sudah tentu kalau kau sudi menjadi tamuku.
Tentang undanganku, tentu sudah ada orang yang menyampaikan
kepadamu bukan?" Nyo Hoa terperanjat, katanya, "Kau adalah Pek-kau Hdat-ong?"
Pek-kau Hoat-ong tertawa ramah, katanya, "Tak usah rikuh, kita
bersahabat dengan bertanding silat sehingga persahabatan ini
terasa lebih erat Kau sudah banyak membantu kami, aku belum
sempat menyatakan terima kasih kepadamu."
"Ah, mana berani," ujar Nyo Hoa serba bimbang. "Sungguh tak
nyana bahwa Hoat-ong berada di sini, untuk kelancanganku tadi,
mohon maaf." Hoat-ong berkata, "Aku tidak menduga kau meninggalkan Cauhoat,
semula aku kira kau tidak sudi menjadi temanku."
Sudah tentu rikuh dan kikuk pula sikap Nyo Hoa, katanya
tergagap, "Tidak, bukan begitu. Aku sedang mencari seorang
teman." Hoat-ong tidak tanya siapa yang dia cari, katanya dengan
tertawa, "Kau tidak mengira bahwa aku menunggang kuda putih ini,
benar tidak?" Nyo Hoa mengangguk, katanya, "Mohon Hoat-ong menjelaskan."
"Aku merebutnya dari tangan seorang hwesio. Hwesio itu semula
adalah murid Ko-gwat Siansu dari Jian-hud-si di Tun-hong, karena
tidak mematuhi-ajaran agama, dia dihukum kuning di gunung
belakang. Entah kenapa mendadak dia mengamuk, melukai seorang
su-heng-nya yang menjaga dia lalu lari ke Tionggoan. Kabarnya dia
berkomplot dengan Kiat Hong, murid murtad Siau-lim-pay,
melakukan kejahatan. "Ko-gwat Siansu adalah sahabat baikku. Thong-sian Siangjin
Hong-tiang Siau-lim-si aku memang belum pernah bertemu, namun
beliau adalah paderi agung yang kukagumi. Kemarin aku mendapat
kabar bahwa Kiat Hong berada di Cau-hoat bersama Pek-san, maka
kusuruh orangku memperhatikan gerak-gerik mereka. Sayang
karena aku sibuk, mereka juga terus melanjutkan perjalanan, maka
tak sempat aku membekuk mereka. Siapa tahu, entah karena apa,
Pek-san sendirian putar balik. Kebetulan kepergok olehku, ternyata
dia tidak tunduk pada seruanku, masih ingin lari sambil keprak
kudanya, maka kusambit dia dengan mata uang tembaga, hiattonya
tertotok, dia terjungkal jatuh dan menjadi tawananku."
Nyo Hoa kegirangan, tanyanya, "Mana hwesio bangsat itu?"
"Semalam aku keluar bersama dua muridku. Hwesio jahat itu
sudah kuserahkan kepada kedua muridku untuk dibawa pulang,
besok akan kusuruh orang menggelandangnya ke Jian-hud-si biar
gurunya yang menjatuhkan hukuman. Sayang Kiat Hong tidak
kepergok olehku." "Aku malah sudah bersua dengan Kiat Hong dan Pek-san."
"Kapan kau bertemu mereka?"
"Dua jam yang lalu, aku malah melabrak mereka."
"Lho, kau pun bermusuhan dengan mereka."
"Bermusuhan sih tidak, soalnya mereka mempermainkan seorang
gadis, maka aku menghajarnya."
Hoat-ong kaget, tanyanya, "Siapa nona itu?"
"Puteri Teng-lopiauthau dari Liong Ih Piaukiok di Hok-ciu."
Lega hati Hoat-ong, katanya, "Ya, kemarin Han Wi-bu juga
membicarakan kejahatan Kiat Hong yang membegal barang kawalan
Liong Ih Piaukiok, ternyata puterinya berada di sini."
"Agaknya kedatangan Kiat Hong dan Pek-san di sini juga mencari
jejak nona Teng itu. Mereka bermusuhan dengan Teng-lopiauthau,
tapi puterinya yang tidak berdosa juga akan digagahi, sungguh
jahat perbuatan mereka."
"Kuda putih ini adalah milik nona Teng itu."
"O, jadi kau mau merebut kuda ini untuk di kembalikan kepada
nona Teng. Entah di mana dia sekarang?"
"Dua jam yang lalu dia berada di padang rumput yang jauhnya
seratus li dari sini "Dia bersama putera kedua Kang Tayhiap, entah sekarang
mereka pergi ke mana?"
Hoat-ong tampak kaget, serunya, "Ah, putera Kang Tayhiap juga
datang" Aku malah tidak tahu. Baik juga nona Teng sudah
mendapat pengawal, legalah hatiku." Sampai di sini dengan nada
bimbang dia bertanya, "Waktu kau bertemu dengan nona Teng,
apakah mereka sudah berduaan?"
"Kang-jikongcu datang setelah Kiat Hong dan Pek-san melarikan
diri. Bila dia sudah bersama nona Teng sebelumnya, tak perlu aku
membantu dia." Hoat-ong manggut-manggut. Ternyata tentang penolakan
perjodohan dari keluarga Kang itu Hoat-ong juga sudah tahu dari
berita Utti Keng. Hari sudah terang tanah. Nyo Hoa berkata, "Mereka pasti sudah
meninggalkan tempat itu, tapi menurut apa yang kutahu, nona Teng


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan ke Thian-san, kemungkinan Kang-jikongcu akan mengawalnya
ke sana." Hoat-ong mengerut alis, katanya, "Apakah kau mau naik kuda
putih ini mengejar mereka" Kalau benar, aku mau titip pesan untuk
mereka." "Titip pesan apa?"
"Suruhlah Kang-jikongcu segera kembali ke Cau-hoat menemui
aku." Nyo Hoa ragu-ragu, dan sukar memberi keputusan.
"Nyo-siauhiap, apakah kau punya kesulitan?"
"Sepantasnya aku membantu, tapi semalam suntuk aku tidak
pulang, mungkin Han-cong-piauthau menunggu aku."
Tidak jadi soal, aku bisa menjelaskan kepadanya."
"Aku baru kenal dengan Kang-jikongcu, entah dia mau tidak
percaya kepadaku. Begini saja, aku punya akal."
Hoat-ong cukup pengalaman, pandai meraba mimik orang,
melihat dia mencari alasan, meski tidak tahu duduk persoalannya,
dalam hati juga sudah menerka. Nyo Hoa mungkin punya ganjalan
hati, maka dia tidak berani memaksa, katanya, "Ada akal apa, coba
jelaskan." "Kuda ini larinya cepat, Hoat-ong boleh suruh muridmu mengirim
pesanmu itu, dalam jangka dua tiga hari pasti berhasil menyusul
mereka." "Betul, kenapa aku tidak mengejar Kang Siang-hun saja"
Sekaligus aku bisa membantu nona Teng itu," demikian batin Hoatong.
Setelah memutuskan dia berkata, "Baiklah, aku ingin mohon
bantuanmu untuk urusan lain."
"Boleh Hoat-ong katakan."
"Kau tahu kenapa malam-malam aku keluar?"
"Bukankah untuk membekuk Kiat Hong?"
"Bukan. Hanya kepergok secara kebetulan saja Aku sedang
mencari seseorang. Kau mencari teman tapi aku mencari puteri
kenalan baikku." Nyo Hoa melenggong, tanyanya dengan jantung berdebar, "Ayah
nona itu menjadi sahabat baik Hoat-ong, pasti dia seorang Bulim
yang punya asal-usul besar."
"Betul. Ayahnya adalah jago pedang nomor satu Kim Tiok-liu Kim
tayhiap." Nyo Hoa sudah bersusah payah semalam suntuk, kembali dengan
tangan hampa, tak nyana dari mulut Hoat-ong dia memperoleh
berita Kim Bik-ki, karuan dia melenggong.
Hoat-ong bergelak tawa, katanya, "Teman yang sedang kau cari,
apakah juga nona Kim?"
Debar jantung Nyo Hoa makin keras. Untung Hoat-ong berkata
lebih lanjut, "Han-cong-piauthau sudah menjelaskan kepadaku, dia
bilang kemarin dia hendak ajak kau ke tempatku, kau tidak datang
karena ingin membantu dia mencari kabar nona Kim. Apakah kau
sudah mendapat sesuatu berita maka kau meninggalkan Cau-hoat
secara tergesa-gesa?"
Lega hati Nyo Hoa, katanya, "Aku tahu nona Kim juga
menunggang seekor kuda putih, waktu aku memilih kuda di pasar
hewan, kebetulan nona Teng lewat menunggang kuda putih, maka
bergegas aku mengejarnya, siapa tahu ternyata keliru."
"Tapi justru kebetulan, kalau tidak nona Teng tentu sudah
mengalami nasib buruk di tangan Kiat Hong. Kim tayhiap sedang
mencari puterinya tentu kau juga sudah tahu."
"Ya, waktu di Jik-tat-bok, Leng Thiat-j iau dan Siau Ci-wan
thauling pernah bicara dengan aku."
"Kau pernah bertemu dengan nona Kim bukan?"
"Ya, pernah bertemu dua kali," sahut Nyo Hoa, dalam hati dia
membatin, "Kepada Leng Thiat-j iau dan lain-lain, aku tidak
menyatakan kenal Bik-ki. Bila hal ini kelak diketahui mereka,
mungkin bisa menimbulkan salah paham lagi."
Sudah tentu Hoat-ong tidak tahu hubungannya dengan Kim Bikki.
Tahu bahwa dia kenal Kim Bik-ki, dia amat senang, katanya,
"Kalau begitu kau dan aku bertukar tugas.
Kuda ini akan kukembalikan kepada nona Teng, kau bantu aku
menemukan nona Kim."
"Apakah Hoat-ong sudah tahu di mana jejaknya sekarang?"
"Alamatnya yang tepat belum terang, tapi kau pasti dapat
menemukan dia." "Lho, bagaimana bisa menemukan dia?"
"Dia sudah pernah mampir ke tempatku,"
"Kenapa Hoat-ong tidak menahannya?"
"Dia memang datang, tapi aku tidak diberi kesempatan menemui
dia Waktu dia datang, tepat di saat Han Wi-bu minta bantuanku
untuk mencarinya," demikian tutur Hoat-ong. "Orangku tidak
melihat, hanya melihat kartu nama ayahnya yang dia antar ke
tempatku." Nyo Hoa maklum, pikirnya, "Kedudukan Hoat-ong teramat agung,
sahabat baik ayahnya lagi, kebetulan dia lewat Cau-hoat, jikalau
tidak bertandang juga harus menyampaikan salam kepadanya, kalau
tidak kelak ayahnya pasti menegur dia tidak tahu aturan. Bila dia
menghadap sendiri khawatir Hoat-ong menahannya, maka dia
hanya mengirim salam dengan kartu nama ayahnya Mumpung Hoatong
kedatangan tamu, diam-diam dia mengirim kartu namanya itu."
Tutur Hoat-ong lebih lanjut, . "Setelah tamu pulang aku kembali ke
kamar, baru kutemukan kartu namanya itu. Aku tidak tahu kenapa
dia tergesa-gesa, tapi Kim tayhiap menyuruhnya pulang, maka aku
harus membantu sahabat lama mencarinya, terpaksa malam-malam
aku keluyuran di luar. Tapi Kang tayhiap juga teman baikku, tidak
bisa tidak aku harus mengurus pute" ranya. Semoga kita berhasil
menunaikan tugas masing-masing, kita bertemu lagi di Cau-hoat."
Lalu dia menambahkan, "Mereka berdua adalah saudara
seperguruan, menurut yang kutahu kelak mungkin menjadi
pasangan setimpal. Kupikir bila nona Kim tahu suheng-nyajuga
berada di sini, pasti hatinya amat senang. Boleh kau beri tahu
kepadanya." Sabat Nyo Hoa dengan suara getir, "Aku sudah tahu" Dalam hati
dia berpikir, "Kalau Bik-ki tahu Kang Siang-hun juga berada di sini,
mungkin dia malah tidak mau pulang."
"Dari barat menuju ke barat cuma ada dua jalan. Kau mengejar
nona Teng sejauh ratusan li tapi tidak menemukan jejak, nona Kim
pasti menempuh jalan yang lain, pergilah kau mencarinya dari jalan
yang lain itu." NyoHoa cemplak kudanya, katanya, "Hoat-ong, aku ingin titip
pesan juga padamu." "Soal apa, boleh kau katakan."
Menahan rasa getir hatinya, Nyo Hoa berkata, "Bila aku bertemu
dengan nona Kim, pasti akan kuanjurkan dia pulang. Tapi aku
ketemu atau tidak dengan dia, selanjurnya tidak akan kembali kc
Cau-hoat Tolong kau sampaikan pesanku ini kepada Han-congpiauthau.
Tadi aku akan pulang mohon diri kepadanya."
"Kukira kau akan ke Jik-tat-bok bersama Han Wi-bu, kenapa
buru-buru hendak berpisah" Aku belum sempat menjamu kau."
"Ada sedikit urusan pribadiku yang harus kuselesaikan di tempat
lain, semestinya aku akan menunggu tiga hari di Cau-hoat, untung
tujuanku juga ke barat semoga dapat berte-" mu dengan nona Kim,
tapi tak bisa aku mengiringi dia balik. Tentang maksud baik Hoatong,
sementara biar ditunda dulu. Kelak ada kesempatan, pasti aku
mampir lagi." Karena Nyo Hoa bilang ada urusan pribadi, Hoat-ong tidak enak
menahannya, katanya, "Baiklah setelah kupanggil Kang Siang-hun,
akan kusampaikan beritamu kepada Han Wi-bu. Bila urusanmu
sudah selesai, pulangnya harus mampir lho."
Kedua orang ini lantas berpisah. Mereka mencongklang kudanya
ke arah masing-masing. Perasaan Nyo Hoa timbul tenggelam, "Bila
ketemu Bik-ki, haruskah aku membujuknya pulang?"
Saat mana Kim Bik-ki juga sedang mencongklang kudanya di
padang rumput Pagi hari di padang rumput hawanya amat segar dan sejuk,
selepas mata memandang, permadani hijau terbentang luas beradu
dengan ufuk langit. Siapa pun yang berada di tengah padang
rumput yang penuh diliputi kehidupan semarak ini, hatinya pasti
akan merasa lega dan lapang. Tapi tidak demikian perasaan Kim
Bik-ki sekarang, seperti Nyo Hoa hatinya pun sedang gundah.
Besar harapannya bertemu dengan Nyo Hoa. Tapi rasa
kangennya kali ini berbeda dengan rasa rindunya waktu pertama
kali dia berpisah dengan Nyo Hoa di Siau-kim-jwan dulu, karena
sekarang dia sudah tahu sedikit tentang rahasia pribadi Nyo Hoa.
Bahwa sekarang dia ingin lekas bertemu dengan Nyo Hoa bukan
lantaran cinta saja, tapi untuk mencegah Nyo Hoa melakukan
tindakan salah. Mendongak memandang udara nan cerah, pikirannya melayang
kembali ke Jik-tat-bok, kejadian kira-kira setengah bulan yang lalu.
Setiba di markas pusat laskar gerilya, langsung memberi laporan
tugasnya kepada Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan, kecuali
menyembunyikan kejadian di kemah dengan Nyo Hoa, seluruh
pengalamannya dia tuturkan kepada mereka. Lalu dia berbohong
besok akan langsung pulang ke rumah.
Waktu di pangkalan laskar gerilya, biasanya Kim Bik-ki suka
bergaul dengan istri Song Theng-siau, Meski sudah berusia
tigapuluhan tapi watak Lu Su-bi tetap lincah dan lembut. Kebetulan
Kim Bik-ki cocok bergaul sama dia, maka hubungan mereka amat
akrab. Waktu Kim Bik-ki tiba di Jik-tat-bok, Beng Goan-cau dan Utti
Keng sudah berangkat dua han lamanya Song Theng-siau
mengantar mereka, sekaligus mengadakan inspeksi ke daerah
sekitarnya, maka waktu itu belum kembali. Maka malam itu Kim Bikki
tidur sekamar dengan Lu Su-bi.
Song Theng-siau adalah teman baik Beng Goan-cau, hal ini Kim
Bik-ki tahu jelas. Kenapa Nyo Hoa mau membunuh Beng Goan-cau"
Dia ingin mengorek keterangan dan mulut Song Theng-siau suanwistn
Banyak persoalan yang tidak enak dia kemukakan di hadapan
Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan, tapi terhadap Lu Su-bi dia bisa
bicara dengan bebas. Maka Lu Su-bi menanyakan pengalamannya selama di Siau-kimjwan.
. Maka Kim Bik-ki lantas bercerita, "Sebetulnya tiada sesuatu yang
menarik dalam perjalanan ini, tapi di tengah jalan aku bertemu
dengan seorang pemuda yang gerak-gerik-nya agak aneh."
"Pemuda yang bagaimana" Kau sudah tahu siapa dia?"
"Pemuda itu bernama Nyo Hoa." Lu Su-bi kaget, teriaknya, "Nyo
Hoa?" Ternyata dia tidak pandai menyembunyikan perasaan
hatinya, sesaat dia kelihatan kaget dan senang, hal ini terunjuk
pada mimik mukanya,"
"Bibi Song," tanya Kim Bik-ki, "kau kenal pemuda ini?"
"Tidak. Tapi mendengar gerak-geriknya aneh, aku jadi ketarik."
Pertama kali ini Lu Su-bi berbohong kepada Kini Bik-ki, hatinya
mendelu dan menyesal Tapi karena urusan menyangkut rahasia
pribadi orang, terpaksa dia tidak berani terus terang kepada Kim
Bik-ki..Lu Su-bi belum pernah melihat Nyo Hoa, tapi dia tahu jelas
asal-usulnya Kim Bik-ki cerdik, melihat wajah meraba perasaan, dia tahu
bahwa Lu Su-bi sengaja mengelabui dirinya, namun dia pura-pura
tidak tahu, katanya tertawa, "Bibi Song, kau ingin tahu betapa
anehnya pemuda ini bukan" Di Siau-kim-jwan dia pernah membantu
pihak kita, menolong Ho Thi-cu suami istri dari cengkeraman tentara
Ceng, Tapi dia pun membebaskan satu orang, orang ini adalah
musuh kita." "Siapa dia?" "Nyo Bok yang menjadi antek kerajaan."
Lu Su-bi melenggong, "Apa betul?" tanyanya. "Teledor juga
pemuda itu." Dia kira Toan Siu-Si sudah memberi tahu Nyo Hoa
tentang seluk beluk hidupnya.
"Memang tidak bisa membedakan baik buruk, memang dia
teledor, lapi mereka sama-sama marga Nyo, bukan mustahil Nyo
Bok adalah familinya."
"Ah, mana mungkin Nyo Bok punya anak demikian baik?"
Jawaban ini di luar dugaan Kim Bik-ki, maklum Kim Bik-ki adalah
perempuan yang cerdik, sejak mula dia sudah curiga kemungkinan
Nyo Hoa dan Nyo Bok punya hubungan ayah dan anak, namun
mendengar jawaban Lu Su-bi nada-nadanya bukan, maka Kim Bik-ki
menduga persoalan pasti ada latar belakang yang dirahasiakan.
Setelah menceritakan pengalamannya di Siau-kim-jwan, akhirnya
Kim Bik-ki bertanya, "Bibi Song apakah Beng Goan-cau bermusuhan
dengan Nyo Bok?" Kembali Lu Su-bi melenggong, sesaat baru dia menjawab, "Nyo
Bok adalah cakar alap-alap, setiap ksatria wajib membunuhnya
bukan?" "Tidak, maksudku bermusuhan pribadi."
"Kenapa kau menduga demikian?"
"Waktu di Siau-kim-jwan, setiap musim semi dan rontok
bukankah paman Beng pasti berziarah di pusara Hu Ci-Io lihiap"
Kabarnya Hun lihiap ini adalah istri Nyo Bok."
Hal ini memang sudah menjadi rahasia umum, maka Lu Su-bi
berkata, "Benar, soalnya Hun lihiap dulu pernah menolong jiwa
Beng Goan-cau, maka setiap tahun dia merasa wajib
bersembahyang di depan pusaranya."
"Kukira bukan lantaran itu saja bukan" Bibi Song, jangan kau kira
aku suka mencampuri urusan orang lain, seperti juga kau, aku ingin
sekali tahu persoalannya."
"Apa saja yang sudah kau ketahui, kenapa kau bilang demikian?"
Kim Bik-ki cekikikan, lalu berbisik di pinggir telinga Lu Su-bi, "Aku
sudah tahu Hun Ci-lo sebetulnya adalah kekasih Bcng-sioksiok, betul
tidak?" Lu Su-bi kaget, tanyanya, "Siapa yang memberitahukan kau?"
Mendengar pertanyaan ini, Kim Bik-ki yakin dugaannya tidak
keliru, diam-diam dia geli karena bibi Song terpancing olehnya,
katanya, "Paman Beng sendiri yang bilang kepadaku."
"Bohong, mana mungkin paman Beng mau bicara soal beginian
terhadap bocah seperti kau."
"Hari raya Cengbeng tahun yang lalu, kulihat paman Beng
menangis sedih di depan pusara Hun lihiap, sambil menangis dia
meratap minta maaf akan kesalahannya terhadap Hun lihiap, dia
bilang menyia-nyia-kan cintanya sehingga dia hidup merana
sepanjang hidup, hari itu kebetulan .aku bermain tak jauh dari
pusara itu, melihat paman Beng datang dari kejauhan aku lantas
sembunyi di dalam hutan, dia tidak melihat aku, meski bukan secara
langsung dia memberi tahu kepadaku, tapi aku mencuri dengar
doanya kan sama saja."
Kini Bik-ki memang pernah melihat Beng Goan-cau meratap di
depan kuburan Hun Ci-lo, tapi ceritanya yang belakang adalah
karangannya sendiri. Tapi Lu Su-bi sudah percaya, katanya,
"Baiklah, setelah kau tahu biar kujelaskan sekalian. Memang dulu
mereka adalah sepasang kekasih yang sudah bersumpah setia
sehidup semati. Mereka sudah bertunangan jauh sebelum Hun Ci-lo
menikah dengan Nyo Bok, maka jangan kau berprasangka bahwa
paman Beng adalah pemuda mata keranjang, merayu istri orang
lain." .

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau mereka sudah sumpah setia, kenapa akhirnya berpisah?"
"Kejadian tidak bisa menyalahkan paman Beng-mu, yang salah
adalah situasi waktu itu, kenapa mereka harus hidup di jaman yang
selalu geger ini. Nasib memang mempermainkan orang." Lalu dia
ceritakan sebab musabab kenapa Beng Goan-cau harus berpisah
dengan Hun Ci-lo. Satu bal yang paling penting sudah tentu tidak
leluasa dia ceritakan kepada Kim Bik-ki, yaitu waktu Beng Goan-cau
berpisah dengan kekasihnya," Hun Ci-lo sudah mengandung
keturunannya. "Kau sudah paham bukan Karena menyangka paman Beng sudah
meninggal, maka terpaksa dia menikah dengan Nyo Bok."
Mendengar kisah yang menyedihkan ini, Kini Bik-ki menghela
napas panjang, tiba-tiba tergerak pikirannya, tanyanya, "Lalu Nyo
Hoa yang kuketemukan di Siau-kim-jwan itu. apakah dia punya
hubungan luar biasa dengan paman Beng?"
Lu Su-bi kaget, tanyanya, "Siapa bilang kepada kau?"
"Nyo Hoa sendiri yang memberi tahu kepadaku"
Lu Su-bi setengah percaya, katanya, "Setelah dia membebaskan
Nyo Bok, apakah dia lantas membicarakan asal-usulnya dengan
kau?" "Bukan Belakangan setelah aku bertemu dengan dia. aku
salahkan dia kenapa membebaskan Nyo Bok, waktu itu saking
marah aku menamparnya sekali Padahal ilmu pedangnya amat lihay,
tapi dia tidak melawan, hanya menghela napas. Maka dia lantas
bercerita." "Apa yang diceritakan?" Lu Su-bi bertanya.
"Dia tahu kalau aku berpihak kepada laskar gerilya, lalu dia tanya
di mana letak markas gerilya. Kutanya untuk apa dia mencari laskar
gerilya" Baru dia bercerita dia mau mencari paman Beng, maka aku
tanya dia, apa hubungannya degan paman Beng?"
"Maka dia menjelaskan kepadamu" Begitu?"
"Tidak, waktu itu dia tidak langsung menjawab, cukup lama dia
plc-gak-pleguk seperti menyembunyikan sesuatu. Akhirnya setelah
kude-sak baru dia menjawab samar-samar. Dikatakan di dunia ini
dia sudah tidak punya sanak kadang, hanya Bcng-sioksiok adalah
sahabat baik gurunya, maka beliau dipandangnya sebagai familinya.
Keinginannya yang terbesar adalah selekasnya dapat bertemu
dengan paman Beng, omong punya omong, eh tahu-tahu
airmatanya meleleh. Dari sikap dan tutur katanya aku menduga
hubungannya dengan paman Beng pasti luar biasa, jadi bukan
lantaran hubungan dekat antar perguruannya."
Ceritanya ini setengah benar setengah bohong. Padahal Nyo Hoa
bilang hendak menuntut balas kepada Beng Goan-cau, tapi
ceritanya kepada Lu Su-bi dari musuh menjadi famili, ini memang
spekulasinya lantaran dia merasa omongan Lu Su-bi kurang dapat
dipercaya juga, dalam hati dia sudah menduga beberapa bagian
maka dia berani mengubah pernyataan Nyo Hoa untuk mengorek
keterangan Lu Su-bi lebih lanjut
Bagi Lu Su-bi cerita bohong Kim Bik-ki ini justru lumrah dan
masuk akal. Maka dia berpikir, "Agaknya Nyo Hoa memang sudah
menjelaskan asal-usulnya, dia membebaskan Nyo Bok mungkin
merasa hutang budi kepadanya karena dia mengasuhnya beberapa
tahun?" Karena rekaannya ini, maka belakangan waktu mereka
suami istri bertemu dengan Nyo Hoa, mereka anggap Nyo Hoa
sudah tahu riwayat pribadinya maka sengaja menghindari
pembicaraan tentang ini. "Bibi Song, kenapa kau diam saja" Sebagai sumoay paman Beng,
tentu kau tahu banyak persoalannya Lalu Nyo Hoa sebetulnya anak
paman Beng atau anak Nyo Bok?"
"Kenapa kau amat memperhatikan Nyo Hoa?"
Merah muka Kim Bik-ki, katanya, "Jikalau dia anak paman Beng,
sepantasnya kita membantu dia, betul tidak" Tapi jikalau sebaliknya
anak Nyo Bok, kelak bila aku bertemu dengan dia akan kubunuh
dia" Karena digertak Lu Su-bi akhirnya bicara terus terang, "Aku
sendiri belum pernah melihat Nyo Hoa, tapi mendengar ceritamu
tadi aku berani memastikan malah."
"Memastikan apa?"
"Dia pasti anak paman Beng."
---ooo0dw0ooo--- CUKUP lama Kim Bik-ki men-congklang kudanya di padang
rumput sang surya seperti sudah melompat keluar dari gumpalan
mega, di mana angin berhembus lalu, rumput bergoyang dengan
tariannya yang lembut seperti lautan teduh yang berwarna
kehijauan. Pikirannya kusut, "Kenapa belum juga kutemukan Nyo Hoa" Ai,
sungguh kasihan, siapa ayah kandungnya dia masih belum tahu.
Aku akan memberi tahu kepadanya, supaya jangan melakukan
tindakan yang bodoh."
Kim Bik-ki tiba di Cau-hoat dua hari lebih dulu dari Nyo Hoa. tapi
dia menyamar laki-laki. setiba di Cau-hoat lantas menyembunyikan
diri dalam perkemahan. siang hari tidak pernah muncul di depan
umum. Waktu dia datang hari ini, kebetulan Beng Goan-cau dan Utti
Keng juga baru saja meninggalkan tempat itu. Dua hari kemudian
baru rombongan Han Wi-bu pun tiba. Dia tidak ingin ada orang
ketiga melihat pertemuannya dengan Nyo Hoa, padahal Nyo Hoa
tinggal di satu tempat dengan Han Wi-bu, sudah tentu tidak leluasa
dia unjuk diri menemuinya.
Dia tahu Nyo Hoa benekad menuntut balas kepada Beng Goancau,
hal ini sudah dia duga, waktu berada di Jik-tat-bok tentu Nyo
Hoa sudah mencari tahu kepada Leng Thiat-jiau, kini dia sudah tahu
ke mana arah pergi Beng Goan-cau. Maka dia harus menunggu bila
seorang diri Nyo Hoa pergi mencari Beng Goan-cau, baru dia akan
menguntitnya. Perkemahan di mana dia tinggal letaknya tidak jauh dari pasar
hewan. Hari itu dia pun mendengar orang-orang di luar memuji lari
kuda yang bagus, waktu dia memburu ke luar, kuda putih Teng
Bing-cu sudah lari jauh, tak kelihatan lagi, yang dilihatnya hanya
kuda merah yang ditunggangi Nyo Hoa. Karena mengandung
maksud maka dia tidak berani mencari tahu kepada orang, dia kira
bila Nyo Hoa tiba di Cau-hoan, tahu ke mana tujuan Beng Goan-cau,
pasti akan memohon diri kepada Han Wi-bu, langsung mengejar
Beng Goan-cau. Maklum siang hari dia tidak berani muncul di depan umum,
kedua, Pek-kau Hoat-ong adalah sahabat baik ayahnya, sebelum
pergi kurang pantas kalau tidak mengirim salam dengan kartu nama
ayahnya, supaya kelak dia tidak-dimarahi ayahnya sebagai gadis
yang tidak tahu sopan santun. Karena itu dia baru berangkat waktu
malam sudah amat larut Dia percaya tenaga kuda putihnya ini
masih lebih kuat dan cepat dari kuda merah yang dibeli Nyo Hoa,
dalam setengah hari pasti dirinya sudah akan menyusulnya.
Dia tahu tujuan Utti Keng adalah Sinkiang, sementara Beng
Goan-cau ke Tibet. Begitu keluar dari Cau-hoat mereka lantas
berpencar menuju ke arah masing-masing. Nyo Hoa mengejar Beng
Goan-cau, menuju ke Tibet. Di luar tahunya, Nyo Hoa mengejar
Teng Bing-cu yang disangka Kim Bik-ki, padahal tujuan Teng Bingcu
ke Thian-san, arahnya sama dengan yang ditempuh Utti Keng,
sudah tentu mereka tidak bertemu.
Matahari merambat semakin tinggi, kini sudah menjelang lohor,
hati Kim Bik-ki makin gelisah, kenapa sejauh ini belum juga melihat
bayangan Nyo Hoa. Dengan seksama dia memeriksa sepanjang
jalan yang dilalui, di padang rumput tiada jejak pernah dilewati
kuda. "Mungkin dia lewat jalan lain?" akhirnya Kim Bik-ki curiga, lalu
menimang-nimang, "Untung hanya ada dua jalan, kudaku berlari
cepat, aku masih bisa putar balik mengejarnya." Maka dia putar
kudanya dibedal menuju ke arah Sinkiang. Dua jam kemudian, dia
lewat di bawah sebuah bukit rendah, mendadak didengarnya
seorang bersuara heran, lalu seorang memanggilnya, "Sumoay,
sumoay." Kim Bik-ki kaget, waktu dia menoleh, dari hutan sana di lihatnya
berlari keluar seseorang, siapa lagi kalau bukan suheng-nya Kang
Siang-hun. Karuan dia tertegun di atas kuda.
Kim Bik-ki hanya tahu engkoh-nya hendak mencari dirinya, tak
terpikir olehnya bahwa sang suheng malah lebih cepat menemukan
dia, di tengah jalan mereka bersua, mau sembunyi juga tidak
sempat lagi. Apa lagi orang adalah suheng-nya yang dibesarkan bersama
sejak kecil. Walau Kim Bik-ki tidak mau menemuinya, sekarang
setelah ke-pergok terpaksa Kim Bik-ki harus berhenti ajak bicara
dengan dia. "Suheng, kenapa kau pun berada di sini?"
"Sudah lama kau meninggalkan rumah, suhu khawatir akan
dirimu, sengaja aku disuruh menyusulmu, kau disuruh pulang, oh
ya, bukankah kau bilang kepada Leng Thiat-jiau mau pulang.
Kenapa berada di sini malah?"
Kim Bik-ki gelagapan, tak tahu bagaimana dia harus menjawab
pertanyaan Kang Siang-hun, katanya kemudian, tidak menjawab
pertanyaan orang, "Kau sudah bertemu dengan Leng Thiat-jiau?"
"Belum. Beberapa hari yang lalu aku lewat Jik-tat-bok, dari mulut
seorang thaubak aku tahu dirimu di sini, waktu kau pamit dengan
Leng Thiat-jiau, thaubak itu kebetulan hadir, maka aku percaya dia
tidak membohongi aku."
"Setelah tahu beritaku, kenapa kau tidak pulang menunggu aku
di rumah, untuk apa pula kau kemari?"
"Thaubak itu memberitahu kepadaku, katanya ada orang melihat
kau ke utara, jelas tidak akan pulang ke rumah."
Kim Bik-ki cemberut, katanya, "Aku senang berada di sini, pulang
agak terlambat apa tidak boleh?"
"Bukan tidak boleh, tapi"."
"Tapi apa" Terus terang saja."
"Dunia persilatan penuh liku-liku, usiamu masih muda. Suhu dan
sunio khawatir kau bisa tertipu orang."
"Bukan ayah ibu yang mengua-tirkan diriku bukan" Hm,
memangnya ulahmu aku tidak tahu" Kau sengaja menggertak aku
meminjam pengaruh ayah dan ibu."
Kang Siang-hun tertawa kecut, katanya, "Aku ini suheng-mu,
memangnya aku harus berpeluk tangan, kenapa kau bicara
demikian?" "Memangnya aku masih anak kecil" Tak usah kau menguatirkan
diriku." Kang Siang-hun nekad. katanya, "Sumoay, aku kemari bukan
untuk perang mulut dengan kau. Aku hanya ingin tanya, apakah kau
kenal seorang bernama Nyo Hoa?"
"Kalau kenal kenapa" Tidak kenal mau apa?"
"Syukur kalau kau tidak kenal. Jikalau kau kenal, selanjutnya kau
harus hati-hati. Dia adalah putera Nyo Bok, Nyo Bok tentu kau juga
tahu." Kim Bik-ki menarik muka, katanya, "Dia putera siapa, apa
sangkut pautnya dengan aku?"
"Memang tiada sangkut pautnya, jikalau tidak kenal dia"
Kim Bik-ki jengkel, katanya, "Suheng, agaknya kau memaksa
keteranganku, baiklah kuberi tahu secara terus terang. Bukan saja
aku kenal baik dengan Nyo Hoa, malah aku pun tahu asal-usulnya,
jauh lebih jelas dari apa yang kau ketahui."
Kang Siang-hun melenggong, katanya, "Tapi kau masih
menganggapnya sebagai teman?"
"Dengan siapa aku senang berteman dengan dia aku bersahabat,
tidak perlu kau urus diriku."
"Kau sudah tahu asal-usulnya, tidak pantas kau berkata
demikian. Bukankah dia anak Nyo Bok?"
"Dia bukan anak Nyo Bok," akhirnya Kim Bik-ki menegaskan
dengan nada keras dingin.
Karuan Kang Siang-hun melongo, katanya, "Kalau bukan anak
Nyo Bok anak siapa?"
"Urusan pribadi orang lain, tak bisa kujelaskan kepadamu. Walau
kau adalah suheng-ku."
Kejut dan curiga hati Kang Siang-hun. katanya, "Sumoay, bukan
aku suka turut campur urusan orang lain, tapi urusan ini
menyangkut persoalan besar, tidak boleh tidak harus kuperhatikan.
Coba kau pikir, bila seorang penipu menyelundup ke dalam
kalangan satria, betapa besar bencana yang akan menimpa kita"
Nyo Hoa pasti anak Nyo Bok, aku dengan engkoh-mu sudah
menyelidiki dengan jelas, pasti tidak salah. Engkoh-mu sekarang
pergi ke Jpc-tat-bok menemui Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan, aku
khawatir kau tertipu maka menyusulmu kemari."
"Terima kasih akan perhatianmu, tapi aku tahu lebih jelas lagi,
bahwa dia bukan anak Nyo Bok! Baiklah kita umpamakan saja benar
dia anak Nyo Bok yang bejat dan khianat itu, kejahatan ayahnya
tiada sangkut pautnya dengan dia. Karena aku tahu dia orang baik."
Sekarang bukan merasa khawatir saja, Kang Siang-hun juga
merasa cemburu, katanya, "Sumoay, kau amat percaya kepada Nyo
Hoa, aku tidak akan banyak komentar lagi. Kau datang ke Cau-hoat
tujuanmu hendak mencari dia bukan?"
"Ya, kenapa?" "Tidak apa-apa. Tapi jikalau kau mau mencari dia, aku boleh
membantu kau, kalau kau menempuh jalan raya ini mungkin takkan
bisa bertemu dengan dia."
"Kau tahu di mana dia sekarang?"
Tawar suara Kang Siang-hun, "Semalam aku sudah bertemu
dengan sahabat baikmu itu."
Kejut dan girang hati Kim Bik-ki, serunya, "Ha, kau sudah
bertemu dia" Kau tidak, tidak"."
"Sungguh menyesal, bukan saja aku ribut mulut dengan teman
baikmu itu, kami pun sudah berkelahi. Tapi jangan kau salah
paham, kami berkelahi bukan lantaran engkau."
Kim Bik-ki tampak kurang senang, katanya dingin, "Aku tahu, kau
mau pegang peranan sebagai seorang pendekar besar. Kalau kau
sudah anggap dia anak Nyo Bok, maka dia adalah penjahat yang
harus dibasmi." "Jangan kau menyindirku, aku bukan pemuda yang tidak bisa
membedakan baik buruk, sebelum aku memperoleh bukti nyata
bahwa mereka ayah dan anak sehaluan, aku tidak akan
membunuhnya." Lega juga hati Kim Bik-ki mendengar pernyataan ini, katanya,
"Lalu kenapa kau semalam berkelahi dengan dia?"
"Karena dengan mata kepalaku sendiri kulihat dia berbuat tidak
senonoh. Apalagi dia putera Nyo Bok, maka aku lebih cenderung
untuk membongkar kedoknya, supaya orang lain tidak tertipu."
Kim Bik-ki kaget, tanyanya, "Perbuatannya yang tidak senonoh
bagaimana?" "Tentu kau tahu Teng-lopiauthau dari Liong Ih Piaukiok di Hokciu
punya seorang puteri bukan?"
"Pernah kudengar. Nona itu bernama Teng Bing-cu, cantik
rupawan, serba pintar sastra dan ilmu silat Kudengar di Suj wan
barat kau pernah membantu banyak mereka ayah beranak. Tenglopiauthau
amat mengindahkan dirimu."
Berkerut alis Kang Siang-hun, katanya, "Waktu itu kebetulan aku
memergoki mereka dibegal, maka aku membantunya. Jangan kau


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menarik persoalan lain, sekarang kita sedang membicarakan
persoalan Nyo Hoa." Waktu bermalam di Jik-tai-bok malam itu, Lu Su-bi pernah
menyinggung persoalan Kang Siang-hun yang menolak lamaran
pihak perempuan, malah Lu Su-bi pernah menggoda dia bahwa
Kang Siang-hun menolak lamaran keluarga Teng karena dia penujui
dirinya Kim Bik-ki tidak ingin bicara soal ini, tanyanya, "Apa pula
sangkut paut nona Teng dengan Nyo Hoa?"
Kang Siang-hun bersikap sinis, katanya, "Aku tidak tahu apa
hubungan mereka, tapi kemarin malam waktu aku melihat mereka
berdua, kelihatan mesra sekali?"
Dalam hati Kim Bik-ki membatin, "Nyo Hoa pasti bukan pemuda
hidung belang," tapi sikap dan mimik wajahnya kelihatan kurang
wajar. Kang Siang-hun tampak puas, katanya, "Agaknya temanmu itu
terhadap temannya amat baik, tidak sebaik kau terhadapnya, begitu
terpisah dia sudah melupakan dirimu. Tapi yang membuat jengkel
bukan lantaran perbuatannya yang tidak senonoh, namun aku
berani pastikan bahwa tekadnya tidak baik. Dia menarik
perhatianmu lebih dulu, sekarang dia mendekati nona Teng juga,
bukankah maksudnya hendak menyusup ke dalam kalangan ksatria
kita?" "Kang-suheng," kata Kim Bik-ki gusar, "kuharap kau tidak mcni-.
lainya seburuk itu. Aku dengan dia adalah sahabat yang terangterangan",
perkenalannya dengan nona Teng itu juga belum tentu
seperti apa yang kau duga"
"Baik, agaknya kau amat membela dia, kalau begitu jadi aku
harus minta maaf kepadamu. Karena aku berkelahi dengan teman
baikmu itu.* Kim Bik-ki menahan amarahnya, katanya, "Terlalu berat
ucapanmu suheng, sebaliknya siaumoay yang harus minta maaf
kepadamu." "Kau kan tidak berbuat salah kepadaku, agaknya kau ingin bilang
mewakili temanmu minta maaf kepadaku, begitu?"
Terangkat alis Kim Bik-ki, amarahnya hampir meledak, samun
tetap kuasa dia kendalikan, katanya dingin, "Baik atau buruk kelak
akan menjadi jelas. Tapi, ya untung dia tidak sampai melukai
suheng." Secara tidak langsung dia mau bilang, sudah yakin dalam
perkelahian itu, Nyo Hoa pasti memberi kelongg-garan kepada
suheng-nya. Sudah tentu tak karuan perasaan Kang Siang-hun, tapi sedapat
mungkin dia berlaku sabar, katanya, "Siapa benar mana salah
sementara biar dikesampingkan dulu persoalan ini. Marilah kita
pulang saja" "Tadi kau bilang mau menceritakan kepadaku, kenapa kok tidak
dilanjutkan, bagaimana akhirnya?"
"Kau masih ingin tahu jejak Nyo Hoa?"
Kim Bik-ki menunduk diam, diam berarti membenarkan.
Getir suara Kang Siang-hun, "Ilmu pedang temanmu memang
hebat. Sebetulnya kepandaiannya sejajar denganku, mungkin
karena dia merasa berbuat salah, gerak-geriknya tampak tidak
tenang, setelah kalah sejurus dia lantas melarikan diri." Tanpa
merasa muka sendiri merah seketika.
"Lalu bagaimana nona Teng?" "Karena urusan piaukiok, nona
Teng hendak pergi ke Thian-san mencari susiok-nya, setelah urusan
berakhir maka dia pun melanjutkan perjalanan."
"Dia pergi seorang diri?" Baru sekarang Kang Siang-hun sadar ke
mana kiblat pertanyaan su-moay-nya, katanya tawar, "Jangan
khawatir, temanmu itu tidak seperjalanan dengan dia. Tapi aku
tidak berani tanggung, setelah dia melarikan diri apakah dia akan
putar balik menemui nona Teng lagi."
Kim Bik-ki menyeringai, katanya, "Agaknya kau pun amat
memperhatikan nona Teng itu. Kenapa kau tidak mengawalnya ke
Thian-san?" "Sumoay," kata Kang Siang-hun getir, "kau dibesarkan bersama
aku, memangnya bagaimana isi hatiku terhadapmu kau tidak
mengerti." "Sudah tentu tahu," Kim Bik-ki mendahului. "Aku tahu
selama ini kau anggap aku sebagai adik kandungmu sendiri."
Ingin tertawa getir pun Kang Siang-hun kali ini tidak bisa
tertawa, terpaksa dia mengikuti arah angin, katanya, "Memangnya,
syukur kalau kau tahu. Kita sebagai sesama saudara, mengingat
ayahnya juga kaum ksatria, maka aku memberikan kudaku kepada
dia. Sumoay, sudah tentu aku harus kembali ke Cau-hoat untuk
mencari kau." Dia kira sang sumoay akan berterima kasih akan maksud
baiknya, di luar dugaannya, Kim Bik-ki yang semula sudah turun
dari tunggangannya mendadak mencempiak ke punggung kuda
putihnya itu. Karuan Kang Siang-hun terbeliak kaget, teriaknya, "Sumoay,
kau"." Kuda gagah itu meringkik teras ayun langkah secepat angin. Dari
kejauhan Kim Bik-ki menarik suaranya, "Suheng, maaf sekarang aku
belum bisa pulang bersama kau, tak usah kau tahu aku mau pergi
ke mana. Aku bukan anak-anak, tak usah orang lain menguatirkan
diriku." Sang surya makin doyong ke barat, Kang Siang-hun berdiri terlongong
dengan perasaan hambar, entah bagaimana perasaan
hatinya sekarang. Pandangannya mende-long mengikuti bayangan
sang sumoay yang lenyap ditelan padang rumput. Lama sekali baru
dia menarik napas, katanya, Ternyata dalam hati sanubari sumoay,
Nyo Hoa bocah itu jauh lebih berharga daripada diriku." Tanpa
dijelaskan dia sudah menduga, Kim Bik-ki pasti putar balik mencari
Nyo Hoa. "Aneh, saudara sekandung yang dilahirkan dari satu rahim
ibunya, ternyata watak Bik-ki jauh berbeda dengan engkoh-nya, Biksan.
Padahal aku jarang bergaul dengan Bik-san, tapi dengan dia
dalam segala persoalan aku bisa akur. Yah, memang wataknya
terlalu binal. Nyo Hoa bocah itu entah dengan cara apa menarik
perhatiannya." Dengan langkah lesu terpaksa Kang Siang-hun turun
gunung sendiri. Kebetulan hembusan angin dingin menyentak bangun lamunan
Kang Siang-hun, tiba-tiba timbul suatu pertanyaan yang selama ini
tidak pernah terpikir dalam benaknya, "Orang-orang di rumah
semua mengharap aku dengan sumoay kelak dapat menjadi
pasangan yang setimpal, banyak yang beranggapan pernikahan
kami akan membawa kebahagiaan, aku sendiri juga pernah
berangan-angan demikian. Tapi apa benar bakal memperoleh
kebahagiaan" Tidak, aku harus mengoreksi diriku sendiri, apakah
aku betul* betul mencintai sumoay?"
Kini dia sedang menjelajah rahasia hati sendiri, lalu terpikir lagi,
"Memang aku amat menyukainya. Tapi seperti apa yang
dikatakannya tadi, agaknya aku hanya anggap dia sebagai adik
kecilku belaka. Umpama dia betul-betul menjadi istriku, aih,
mungkin aku tidak akan menyukainya lagi seperti dulu" Tapi, tapi,
tidak pantas dia jauh lebih menghargai Nyo Hoa daripada diriku."
Apakah dia cemburu kepada Nyo Hoa" Mungkin ada sedikit, lapi
cemburu yang terkandung dalam sanubarinya ini adalah cemburu
jenis lain, dia merasa cemburu karena merasa gengsinya terpukul,
bukan lantaran Nyo Hoa merebut cintanya.
Akan tetapi, peduli cemburu jenis apa saja, betapapun hatinya
tidak bisa lapang, seperti jago yang keok di medan laga, dia
berjalan sambil menunduk di tengah padang rumput langkahnya
gontai tanpa arah tujuan tertentu.
Mendadak didengarnya seekor kuda lari mendatangi, Kang Sianghun
tersentak kaget, waktu dia angkat kepala sebelum melihat jelas
orangnya, dia sudah melihat jelas kudanya. Tampak seekor kuda
putih sedang dibedal kencang di padang rumput, kuda putih mirip
kepunyaan Kim Bik-ki. Kang Siang-hun kira sumoay-nya putar balik,
maka tanpa pikir dia segera berteriak, "Sumoay, kau ke?" kini dia
melihat jelas siapa penunggang kuda putih itu, ternyata bukan lain
adalah sahabat ayahnya, Hoat-ong."
Hoat-ong tergelak-katanya setelah melompat turun, "Siang-hun,
kau sudah tumbuh sebesar ini, hampir aku tidak mengenalmu lagi.
Masih kenal lolap bukan?"
Belasan tahun yang lalu pernah Kang Siang-hun ikut ayahnya
menemui Hoat-ong. Lekas Kang Siang-hun memburu maju memberi
hormat, katanya, "Wanpwe lewat di daerahmu, sepantasnya mampir
memberi hormat kepada Hoat-ong, karena ada sedikit urusan"."
"Jangan sungkan," tukas Hoat-ong tertawa, "aku tahu kau
mencari sumoay-mu betul tidak?"
"Benar," Kang Siang-hun mengiakan.
"Kau tahu dia sudah kemari, tapi belum ketemu dia, benar
tidak?" Lalu Hoat-ong menambahkan, katanya, "Tadi kudengar kau
memanggil sumoay, kukira kalian sudah bertemu."
Kang Siang-hun tidak ingin banyak cerita, namun dia coba
menjelaskan, "Soalnya kuda tunggangan Hoat-ong juga putih, mirip
kuda yang ditunggangi sumoay."
"Tidak bisa disalahkan, kemarin Nyo Hoa waktu melihat kuda
putih ini, dia juga mengira nona Teng yang naik kuda ini sebagai
sumoay-mu. Semalam aku bertemu dia, karena kuda ini dia
berkelahi dengan aku."
Kang Siang-hun kaget, katanya, "Nyo Hoa bocah itu sungguh
bernyali besar." "Bukan dia bernyali besar, tapi aku memang sengaja mau
mencoba kepandaiannya. Maka sengaja aku tidak memperkenalkan
diri lebih dulu. Dia menyangka aku komplotan Kiat Hong." Lalu dia
tuturkan kejadian semalam. Akhirnya berkata pula, "Nyo Hoa bilang,
kemarin malam dia sudah bertemu dengan kau."
"Betul. Entah apa saja yang dia katakan?"
"Dia hanya bilang bertemu dengan kau, katanya kau sudah
mengawal nona Teng, maka dia boleh pulang dengan lega hati. Hm,
Nyo-siauhiap ini memang pemuda bagus, hatinya baik ilmu silatnya
bagus. Kau pernah lewat Jik-tat-bok, tentu sudah tahu kali ini dia
banyak membantu kita?"
"Aku buru-buru, lewat Jik-tat-bok tidak berhenti, maka belum
bertemu dengan Leng Thiat-jiau dan Siau Ci-wan thauling."
"O, jadi kau belum tahu," ujar Hoat-ong. Maka dia tuturkan
bagaimana Nyo Hoa membantu Han Wi-bu mengawal obat-obatan
itu ke Jik-tat-bok, lalu kemari pula. Sudah tentu dia banyak memberi
pujian kepada Nyo Hoa. Mendengar betapa Hoat-ong memuji Nyo Hoa, perasaan Kang
Siang-hun tidak tenteram, bimbang dan curiga pula. Bimbang
sebetulnya Nyo Hoa orang baik atau jahat Tidak tenteram, karena
semalam dia melabrak Nyo Hoa.
"Untung Hoat-ong tidak tabu, kalau tidak tentu aku serba
runyam," demikian pikir Kang Siang-hun. Bukan dia menyesal
dirinya sudah bergebrak dengan Nyo Hoa, meski dia masih merasa
curiga tapi tidak berani memastikan lagi bahwa Nyo Hoa orang
jahat. Tapi menyesal atau tidak adalah soal lain, bahwa Hoat-ong
memuji Nyo Hoa, maka dia tidak berani menjelaskan Nyo Hoa di
hadapannya. "Nyo Hoa bilang, kuda putih ini adalah milik nona Teng itu, mana
nona Teng?" tanya Hoat-ong.
"Sudah berangkat ke Thian-san, kuda tungganganku kuserahkan
kepadanya." "Nyo Hoa sudah mewakili aku mencari sumoay-mu," tutur Hoatong
lebih lanjut "Kuda ini kurebut dari hwesio keparat itu,
kedatanganku ini hendak mengembalikan kuda ini. Sekarang aku
mendapat akal lain, apa kau mau membantu aku?"
"Silakan Hoat-ong katakan."
"Kau pasti ingin lekas bertemu dengan sumoay-mu, benar tidak?"
Hoat-ong tersenyum. Kang Siang-hun sudah menyatakan kedatangannya mencari sang
sumoay, sudah tentu tidak enak dia menyangkal. Terpaksa dia
mengangguk kepala "Baiklah," kata Hoat-ong lebih lanjut "nona Teng sudah
berangkat ke Thian-san, disusul juga tidak akan terkejar. Han-congpiauthau
hari ini masih berada di Cau-hoat, malam nanti dia ada
janji dengan aku maka kumohon kau membantu."
"Baiklah," sahut Kang Siang-hun, "biar kukembalikan kuda putih
ini kepada nona Teng. Kemudian aku dapat menukar kuda tungganganku
sendiri," "Bukan begitu maksudku," kata Hoat-ong tersenyum, "kuda ini
memang harus dikembalikan ke nona Teng, tapi dia sudah punya
tunggangan, tak perlu buru-buru mengembalikan kepadanya.
Maksudku lekas kau naik kuda ini, carilah Nyo Hoadan sumoay-mu.
Kuda ini larinya cepat, kau pasti dapat menyusul mereka. Kuharap
kau pulang bersama sumoay-mu. Kuda ini kelak akan kusuruh orang
mengembalikan kepada pemiliknya."
"Lalu Nyo Hoa?" tanya Kang Siang-hun.
"Dia bilang ada urusan mau pergi ke tempat lain, kau tidak perlu
memaksa dia kembali bersama kalian," demikian kata Hoat-ong.
Sebagai orang yang sudah kenyang makan asam garam, memang
dia mengharap Kang Siang-hun dapat bersahabat dengan Nyo Hoa,
maka dia memberi tugas ini kepadanya. Tapi kecuali jtu dia pun
sudah memikirkan, suheng-moay yang berpasang-an ini sejak lama
tidak bertemu, tentu tak senang ada orang liga di antara mereka.
Dia kira Kang Siang-hun pasti berterima kasih akan caranya ini, tak
tahunya justru sebaliknya. Diam-diam Kang Siang-hun tertawa getir
dalam hati, pikirnya, "Nyo Hoa mengejar su-moay-ku, sekarang Bikki
juga putar ke sana mengejarnya. Jikalau aku juga mengejar
mereka, apa nanti yang akan terjadi?"
Sudah tentu Kang Siang-hun tidak berani memberi penjelasan
kepada Hoat-ong, terpaksa dia pura-pura mengiakan, mencemplak
kuda putih itu, katanya, ."Semoga aku dapat menemukan sumoay,
secepatnya kuajak ke Cau-hoat untuk bertandang ke tempat kau
orang tua." . Setelah cukup jauh dia melarikan kudanya. Makin dipikir makin
tak karuan rasa hatinya, "Kenapa aku mencari susah sendiri, lebih
baik kususul nona Teng, menukar kudaku itu. Ciangbunjin Thiansan-
pay Tong Keng-thian adalah sahabat lama ayah, bila di tengah
jalan tidak ketemu nona Teng, biar aku langsung ke Thian-san
saja." Dia kira Hoat-ong sudah beranjak ke Cau-hoat, tidak perlu
takut kepergok dia. Maka dia putar haluan melarikan kudanya
menuju ke Thian-san, Meski sudah memutuskan, namun perasaannya masih masgul,
pikirnya, "Mungkin sumoay sudah bertemu dengan Nyo Hoa,
sekarang mungkin sedang membicarakan diriku" Aih, sungguh tak
nyana, aku dibesarkan bersama dengan sumoay, tapi dalam
sanubarinya ternyata bobotku tidak seberat orang luar yang baru
dikenalnya." ---ooo0dw0ooo--- Kim Bik-ki juga belum bertemu dengan Nyo Hoa. Seperti juga
Kang Siang-hun, hatinya juga kusut. Timbul rasa sesal dalam
hatinya, "Aku meninggalkan dia begitu saja, entah bagaimana
keadaan suheng sekarang" Tapi salahnya ingin menang sendiri,
salah pahamnya terlalu mendalam kepada Nyo Hoa, perkataanku
ternyata tidak dipercaya"
"Aku harus buru-buru menemukan Nyo Hoa, supaya mencegah


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia melakukan perbuatan bodoh. Hal ini tidak bisa kujelaskan
kepada suheng. Yah, biar kelak akan kujelaskan serta minta maaf
kepadanya." Kuda putih itu berlari cepat, namun dua hari telah lewat, dia
tetap tidak bertemu dengan Nyo Hoa. Entah mengapa mendadak
dia teringat kepada nona Teng yang diceritakan Kang Siang-hun.
"Apa benar Nyo Hoa bersikap mesra kepadanya" Atau suheng
sengaja mengada-ada untuk memancing kemarahan dan
cemburuku?" Dia belum pernah melihat Teng Bing-cu, tapi pernah mendengar
cerita tentang kecantikannya. "Nyo Hoa seorang jujur, juga lagi tak
mungkin dia kemaruk paras ayu. lapi Kang-suheng berani bilang dia
menyaksikan sendiri sikap mereka amat mesra. Walau adai Kangsuheng
aneh, aku tidak menyenanginya, tapi biasanya dia tidak
pernah bohong. Tapi mungkin untuk membuatku cemburu dia
sengaja membual?" Kuda berlari kencang, hatinya timbul tenggelam. Entah mengapa
timbul sedikit rasa cemburu Kim Bik-ki. Untung hembusan angin silir
di padang rumput menyentak kesadarannya, mendadak dia
menyadari akan rahasia hatinya sendiri, seketika merah dan panas
mukanya, pikirnya, "Kenapa aku harus cemburu kepada nona Teng"
Ah. agaknya aku memang sudah jatuh cinta kepada Nyo-toako.
Masih aku ingat, waktu belum lama dia kenai aku, pernah dia bilang
persahabatan sejati berdasar ketulusan dan tahu sama tahu, walau
dia belum pernah menyatakan isi hatinya, tapi aku tahu dia pun
jatuh cinta padaku, kenapa aku harus mencurigainya?"
Tengah pikiran terombang-ambing, mendadak didengarnya suara
ketinting kuda di belakang, tanpa sadar Kim Bik-ki menoleh. Untung
dia menoleh, saat mana sebatang panah kebetulan meluncur ke
arahnya. Kim Bik-ki meraih panah itu terus ditimpukkan kembali.
Berbareng tubuhnya melorot turun menghindar panah kedua. Waktu
panah ketiga meluncur tiba, sudah jatuh di belakang kudanya.
Kim Bik-ki tertawa, katanya, "Kukira siapa berani membokong
dengan panah, ternyata kalian dua anjing buduk yang belum
mampus ini." Ternyata pembokong itu ada dua orang, yaitu Ma Gun
dan Ciu Jan dua perwira Gi-Iim-kunyang sebulan lebih yang Mu
pernah dihajar olehnya bersama Nyo Hoa di Giok-jiu-san.
Waktu itu mereka dilukai oleh Nyo Hoa dan menggelinding jatuh
ke lereng gunung. Kuda putih yang dinaiki K-im Bik-ki semula adalah
milik mereka. Kedua orang ini mendapat tugas untuk ke Lhasa,
setelah luka-luka sembuh, mereka melanjutkan perjalanan.
Ma Gun gusar, bentaknya, "Bocah jahanam, berani kau mencuri
kudaku, kalau berani jangan lari." " Ciu Jan juga membentak, "Mana
bocah she Nyo itu" Di mana dia sembunyi?"
Kim Bik-ki seorang diri belum tentu kuat melawan mereka, maka
dia tertawa, katanya, "Kalau berani boleh kalian kejar kemari, aku
ada janji dengan Nyo-toako di sebelah depan. Gampang saja kalau
kalian ingin bertemu dia di sana," lalu dia pecut kudanya. Kuda
putih itu meringkik, terus berlari bagai angin. Hanya sekejap kedua
orang ini tertinggal jauh di belakang.
Mendengar Nyo Hoa di sebelah depan, sudah tentu Ma Gun dan
Ciu 1" kaget. Kata Ciu Jan lirih,
"Menghadapi bocah satu ini mungkin kita bukan lawannya. Kalau
benar bocah she Nyo ada di sebelah depan, kita akan mengalami
kerugian. Lebih baik kita putar jalan saja meski dua hari lebih lama
di perjalanan." Sebagai wakil komandan Gi-lim-kun, Ma Gun malu kalau
menerima usulnya demikian saja. Dia pura-pura terpekur, katanya
kemudian, "Baiklah. Bocah itu berani menunggang kudaku yang ada
cap kerajaan, kalau mereka juga ke Lhasa tentu orang kita bisa
menangkapnya." Kata-katanya ini diucapkan dengan suara keras,
dengan maksud menggertak Kim Bik-ki supaya tidak berani pergi ke
Lhasa. Maklum bila Kim Bik-ki dan Nyo Hoa betul-betul pergi ke
Lhasa, walau di sana Ma Gun punya banyak pembantu, juga tetap
jeri terhadap mereka. Setelah Kim Bik-ki pergi jauh, baru M a Gun berkata perlahan,
"Kau tahu siapa dia" Dia bukan pemuda, tapi seorang gadis."
"Aku juga sudah curiga, seperti perempuan yang berpakaian lakilaki,
entah siapa dia?" "Aku sudah cari tahu, dia adalah puteri Kim Tiok-liu. Tadi sengaja
aku pura-pura tidak tahu. Kau harus tahu, walau Kim Tiok-liu
melawan kita, tapi sebagai jago pedang nomor satu di dunia,
kepandaian kita jelas bukan tandingannya. Anggaplah kita sendiri
yang sial, soal menuntut balas, selanjutnya tidak usah kau pikir."
Kim Bik-ki tidak tahu bahwa asal-usulnya sudah diketahui orang,
dalam hati dia masih geli, "Mereka memaki bocah busuk, kalau aku
seorang lelaki, tentu tidak terlalu repot seperti sekarang. H ehehc,
kedua cakar alap-alap ini cukup berpengalaman, dua kali aku
bentrok dengan mereka, tetap tidak tahu penyamaranku, biarlah
selanjurnya aku tetap berdandan lelaki saja."
Bahwa dirinya dapat mengelabui orang lain, hati Bik-ki amat
riangi namun ada juga persoalan yang membuatnya masgul.
"Ternyata kuda ini milik istana yang sudah diberi cap tanda
pengenal. Kalau kedua orang ini sudah berada di sini, pasti Ting Ti
ong-ai, Lau Ting-ci dan Yap Kok-wi sekarang sudah tiba di Lha-. sa.
Aku kepergok mereka seorang diri tentu berabe, tapi kenapa jeri,
semoga di tengah jalan aku bertemu Nyo-toako."
Sudah sejam lebih Kim Bik-ki larikan kudanya, mendadak di
depan mengadang persimpangan, di ujung jalan terdapat kedai
minum. Kim Bik-ki menghentikan kudanya di luar serta
menambatnya di tiang kayu, lalu dia masuk ke dalam kedai. Sambil
minum teh dia ajak ngobrbl pemilik kedai, "Aku akan pergi ke Lhasa,
entah jalan mana yang harus kutempuh?"
Lelaki tua pemilik kedai berkata, "Dua jalan boleh kau tempuh.
Cuma jalan sebelah kiri jalannya lurus, jalan sebelah kanan berputar
agak jauh, dua hari lebih lama dari jalan sebelah kiri kalau naik
kuda." Bik-ki tertawa, katanya, "Masa ada orang mau menempuh jalan
putar?" "Jalan putar itu melewati Kalih dan Lugong dua daerah
peternakan. Penjual dan pembeli ternak banyak yang mondarmandir
ke sana. Engkoh cilik, kelihatannya kau bukan pedagang?"
"Aku hendak mencari kerjaan di Lhasa."
"Kalau begitu tempuh jalan yang kiri saja"
"Ada temanku yang sudah berangkat dua hari lebih dulu, entah
dia pernah lewat sini tidak?" Lain Bik-ki lukiskan tampang Nyo Hoa,
Wajah lelaki tua tampak lucu dan ganjil, katanya, "Betul,
memang ada seorang pemuda kira-kira kemarin tengah hari dia
mampir ke kedaiku minum teh."
"Dia lewat jalan sebelah kiri?"
"Tidak, dia lewat jalan kanan."
"Apa kau tidak jelaskan, jalan kanan itu memutar?"
"Sudah kujelaskan, tapi?"
"Tapi apa?" "Kemarin aku kebentur suatu kejadian yang belum pernah
kulihat, temanmu itu"."
"Dia kenapa?" tanya Kim Bik-ki kaget.
"Waktu temanmu minum teh di kedaiku kemarin, seperti kau dia
juga mencari tahu seseorang."
"O, cari tahu siapa?" Keterangan lelaki tua ini sungguh di luar
dugaannya, "Dia tanya apakah aku melihat seorang lelaki berusia
empatpuiuhan, kepala gede, muka tirus lewat di sini."
Kim Bik-ki mengerutkan alis, katanya, "Lelaki muka tirus
setengah baya, aneh, siapa dia?"
"Masih ada yang lebih aneh, secara kebetulan orang yang dia
tanyakan itu sebelumnya belum pernah aku melihatnya, lapi di
waktu aku tanya lebih jelas, terdengar seekor kuda lewat di depan
kedai, seorang lelaki muka tirus dengan rambut awut-awutan
dengan sepatu bolong tiba-tiba muncul di jalanan."
"Apakah mereka berteman?"
"Kukira bukan. Kudengar lelaki muka tirus itu berkata, "Terima
kasih kau memberi uang kepadaku, bagaimana kalau- kuda
merahmu kau pinjamkan juga kepadaku" He, he, kurasa kudamu ini
cukup lumayan juga.?"
"Kulihat temanmu segera memburu ke luar, gerakannya cepat
luar biasa, aku hanya melihat bayangannya berkelebat melesat dari
depanku, tahu-tahu sudah berada di luar. Dia membentak, "Jangan
kau sentuh kudaku, siapa kau sebenarnya" Lekas kembalikan
barang milikku" Ternyata lelaki itu seorang maling, entah barang apa
yang dia curi dari temanmu. Jelas mereka bukan kenalan lama"
Makin heran Kim Bik-ki, pikirnya, "Seorang maling, mana
mungkin dia mampu mencuri barang Nyo Hoa" Kalau hanya uang
dan barang biasa, Nyo Hoa takkan setegang itu. Barang penting
apakah yang dicuri orang?"
Lalu dia bertanya, "Akhirnya bagaimana?"
Lelaki itu melanjutkan, "Kejadian aneh muncul lagi. Temanmu
berhasil merebut kuda dan mencemplak di pungungnya, lelaki muka
tirus malah menggodanya, "Memangnya kau kira aku ingin memiliki
kuda ini, walau kudamu lumayan, belum tentu dia bisa mengejar
aku, tidak percaya hayo kejar aku, bila mampu menyusul barangmu
kukembalikan.?" Kim Bik-ki keheranan, tanyanya, "Bagaimana selanjurnya?"
"Bagaimana akhirnya aku tidak tahu. Tapi waktu itu melihat
temanmu keprak kudanya berlari sekencang angin, tetapi tetap
tidak mampu mengejar lelaki itu. Hanya sekejap bayangan orang
dan kuda sudah tidak kelihatan, bagaimana akhir dari lomba lari itu
aku tidak tahu. Aku hidup setua ini selamanya belum pernah melihat
orang lari secepat kuda. Tapi temanmu memang anak baik, setelah
dia pergi kutemukan sekeping uang perak di atas meja sebagai
pembayaran teh yang dia minum."
Kim Bik-ki bertanya pula, "Lelaki itu lari ke jalan kanan itu?"
"Iya, jika kau hendak menyusul temanmu, tempuhlah jalan kanan
saja." "Terima kasih akan penjelasan lotiang," ucap Kim Bik-ki, dalam
hati dia menggerutu, "Entah barang apa yang dia curi dari Nyotoako,
terpaksa dia harus menempuh jalan lebih jauh."
Tiba-tiba didengarnya lelaki tua berteriak, "Haya, dia, dia, dia
datang lagi." Belum habis dia bicara, mendadak dirasakan
pandangannya kabur, Kim Bik-ki yang duduk di depannya mendadak
telah lenyap. Orang yang mendadak muncul di luar kedai memang
seorang muka tirus setengah baya, sepatunya butut sudah
berlubang di ujung ibu jarinya, tangannya memegang kipas bundar
yang juga sudah berlubang bentuk wajahnya persis apa yang
dilukiskan pemilik kedai. Maka begitu melompat ke luar melihat
orang ini segera dia mengejar. Tapi orang itu bergerak lebih dulu,
orang sudah duduk di punggung kuda putihnya
Lelaki itu bergelak tawa, kalanya, "Kemarin tidak jadi kudapat
kuda merah bocah itu, kuda putih ini lebih bagus lagi, hehe,
agaknya hari ini aku mendapat rejeki."
Orang itu sudah putar haluan dan melarikan kudanya beberapa
tombak Kim Bik-ki ayun tangan, sekaligus dia timpukkan tiga keping
mata uang tembaga mengincar tiga hiatto di punggung lelaki itu,
bentaknya, "Menggelindinglah." Karena tidak membawa amgi
sekenanya dia merogoh mata uang terus ditimpukkan.
Orang itu tertawa, katanya, "Uang tehmu harus kau bayarkan
kepada pemilik kedai, kenapa malah kau berikan padaku?" Kipas
bundarnya tiba-tiba menggapai ke belakang, seketika tiga keping
uang tembaga itu jatuh di atas kipas. Sering Kim Bik-ki mendengar
berbagai kepandaian senjata rahasia dari berbagai aliran, tapi
melihat cara menyambut senjata rahasia yang didemonstrasikan
lelaki ini baru pertama kali ini pernah dia libat
Kemudian lelaki itu mendemonstrasikan pula permainan senjata
rahasianya, kipas bundar itu terayun, tiga keping uang itu melesat
terbang balik Secara reflek Kim Bik-ki menyingkir ke samping, di luar
dugaan tiga keping uang itu bukan menyerang dirinya. Maka
terdengar suara "Tring, Tring" mata uang itu meluncur lewat di atas
kepalanya melesat ke dalam kedai, tepat jatuh di atas meja, baru
Kim Bik-ki sadar uang itu untuk membayar teh.
Lelaki itu tertawa, katanya, "Dibanding temanmu kau jauh lebih
teledor, kemarin dia tidak lupa membayar rekening, tapi kau malah
melupakan. Hehe, kedai minum ini bermodal kecil, untungnya
sedikit, kalau minum tidak bayar, wah kan lekas bangkrut Apa boleh
buat, biarlah aku mendermakan uangmu itu kepadanya"
Meski ginkang Kim Bik-ki cukup tinggi, mana mampu dia
mengejar lari kuda, saking gelisah dia berteriak-teriak, "He, kau
cianpwe dari mana, jangan mempermainkan wanpwe. Ayahku
adalah Kim Tiok-lio." Dia keturunan keluarga ternama dari aliran
silat besar, pengetahuannya cukup luas, dia yakin orang ini tentu
bukan sembarangan orang, bukan mustahil kenal baik ayahnya.
Umpama tidak kenal pasti pernah dengar nama ayahnya.
Tak nyana lelaki itu tertawa malah, katanya, "Cianpwe apa" Aku
ini sudah sembilan turunan jadi maling, siapa mau main-main
dengan kau?" "Baiklah, kalau benar kau ini maling, ingin uang aku boleh
berikan kepadamu, tolong kau kembalikan kudaku."
"Ini namanya kau tidak tahu kelakuan, bagi seorang pekerja
seperti diriku, barang yang sudah tertelan mana boleh dimuntahkan
lagi" Apalagi jarang kuketemukan ada kuda yang bisa lari lebih
cepat dari aku. Syukur kuda putih ini lebih cepat dari aku, maka tak
boleh kukembalikan padamu, Haha, hehe, sebetulnya kuambil
kudamu ini juga demi kebaikanmu, seharusnya kau berterima kasih
kepadaku malah." Kim Bik-ki naik pitam, jengek-nya, "Kau mencuri kuda, malah
bilang demi kebaikanku?"
Lelaki muka tirus berkata, "Seorang jujur tidak boleh berbohong,
dari mana kau peroleh kudamu ini kau sendiri maklum. Kuda ini ada
cap kerajaan, bila kau naik kuda ini ke Lhasa, tanggung kau akan
tertimpa malang. Aku berusaha menyingkirkan kau dari bencana
yang bakal menimpa dirimu, bukankah aku bermaksud baik. He he,
ini pun kupandang muka ayahmu, apa kau pandang tidak pantas
berterima kasih padaku?" Mendadak dia keprak kudanya, dibedal
kencang, hanya sekejap sudah pergi jauh.
Sukar Kim Bik-ki meraba orang ini dari aliran lurus atau sesat"
Kawan atau lawan" Tapi mendengar perkataannya tadi, satu hal
dapat dipastikan, "Mungkin dia kenal baik dengan ayah."
"Sudah pasti Nyo Hoa menempuh jalan ini, biarlah aku pun
menyusulnya dari sini. Kalau tidak ketemu dijalan, sesampai di
Lhasa dapat kucari tahu jejaknya. Ucapan lelaki tadi memang betul,
dengan menunggang kuda yang sudah dicap kerajaan mungkin bisa
menimbulkan kesulitan." Apa boleh buat, terpaksa Kim Bik-ki
menempuh perjalanan dengan jalan kaki.
---oo0dw0oo--- Kim Bik-ki yang jalan kaki tidak dapat mengejar lelaki itu, Nyo
Hoa yang berkuda pun tak mampu mengejarnya. Tapi dia bertekad
menemukan lelaki itu, karena satu barang miliknya yang penting
telah dicurinya. Peristiwa terjadi dua hari yang lalu, jadi sehari sebelum Kim Bikki
bertemu dengan lelaki itu. Nyo Hoa lewat sebuah kota kecil,
seluruh penduduk kota kecil itu adalah bangsa Tibet Tiba-tiba
didengarnya di sebuah kedai arak terjadi keributan.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa hari ini, sepanjang jalan Nyo Hoa hanya makan ransum
kering yang dibawanya. Mumpung masuk kota dia ingin cari kedai
arak untuk makan beberapa macam masakan enak, maka dia
mendesak maju. Tampak delapan lelaki seperti kaum pedagang tengah merubung
seorang lelaki muka tirus setengah baya, mencaci dan memukul.
Nyo Hoa tanya sebab musabab kejadian pada seorang di
sampingnya, ternyata lelaki itu makan minum sepuasnya, namun
tidak mau bayar. Lelaki itu membela diri, "Makananmu sudah masuk ke dalam
perutku, aku tidak bisa menumpahkan keluar, apa boleh buat, boleh
kalian menghajarku lagi."
Pemilik kedai ternyata seorang baik hati, katanya, "Sudahlah," dia
melerai. "Kita sudah menghajarnya, cukup sekian saja biarkan dia
pergi." Seorang lelaki yang seperti kepala rombongan pedagang
berteriak, "Tidak, kalau tidak dihajar tidak kapok, besok juga dia
mengulangi lagi." Maka Nyo Hoa maju melerai, katanya, "Berapa rekeningnya, biar
aku yang membayar." "Engkoh cilik, jangan kau kasihan padanya," ucap lelaki Han
pedagang. "Keparat ini memang parut dihajar, kalau tidak punya
uang boleh dia terus terang minta tolong kepada kami. Tapi dia
sengaja makan minum sekenyangnya baru bilang tidak punya uang,
apakah ini bukan perbuatan bajingan. Sudah beberapa kali dia
melakukan hal serupa. Bikin malu kita bangsa Han saja Kalau hari
ini tidak kuhajar, dia pasti tidak kapok"
Lelaki tirus itu mendadak berkata, "He, kau datang dari Pakkhia
bukan?" Lelaki Han itu melengak, katanya, "Peduli aku datang dari
mana?" Lelaki itu bilang, "Menurut aturan kalangan bajingan di Pakkhia,
bagi yang tidak mampu bayar hutang, boleh dibayar sesuka hati
oleh penagihnya, orang lain tidak boleh membantu, kalau mau
menghukum aku, suruhlah pemilik kedai turun tangan sendiri."
Lelaki Han itu gusar, kataaya, "Siapa sudi bicara tentang aturan
bajingan dengan kau, pemilik kedai ini orang baik, biar aku saja
yang mewakili dia menghajar kau." Telapak tangannya segera
menampar. Lelaki itu menunduk kepala, mukanya tidak kena tapi
dadanya kena digablok sekali.
Lelaki itu batuk berulang-ulang kali, teriaknya, "Aduh, mati aku."
Lelaki Han itu makin bernafsu, makinya, "Tulang kere, harus
ditambah lagi." Tinjunya sudah terangkat hendak menggenjot lagi.
Nyo Hoa kasihan melihat lelaki kurus itu, perlahan dia pegang
tinju orang serta berkata, "Sudahlah, biar aku yang bayar
rekeningnya, kuharap selanjutnya dia tidak mengulangi
perbuatannya." Sedikit terpegang tinju lelaki itu tak bisa berkutik, maka dia tahu
bahwa Nyo Hoa memiliki kungfu tinggi, di samping kaget dan heran,
segera dia unjuk tawa kering, katanya, "Engkoh cilik, apa kau tidak
terlalu sungkan kepadanya, kepada tulang kere seperti dia kenapa
malah "mohon" segala."
Terasa tenaga orang ini cukup kuat, maka Nyo Hoa tahu orang
ini pernah berlatih silat Katanya, "Setiap manusia pasti punya rasa
malu, aku anggap dia sebagai manusia, maka kuharap dia bisa
mengubah kupandang muka engkoh cilik ini, kali ini kuampuni dia.
Engkoh cilik, kau she apa?"
"Aku she Nyo," sahut Nyo Hoa sambil merogoh uang membayar
rekening lelaki tirus. Lelaki tirus melirik ke arah uang perak yang dipegang Nyo Hoa,
katanya, "Kalau kau ingin supaya aku mengubah kelakuan, berilah
modal untuk berdagang kecil-kecilan."
Lelaki Han itu mengejek, "Nah, engkoh cilik, kau dengar bukan"
Kau beri hati dia merogoh jantung, kau menolongnya dia malah
memeras kau," Nyo Hoa tertawa, katanya, "Berbuat baik harus tuntas. Asal dia
mau memperbaiki perbuatannya, tidak jadi soal aku memberi modal
kepadanya." Lalu dia keluarkan sekeping perak seharga sepuluh
tahil. "Nyo-kongcu," kata lelaki tirus setelah terima uang, "terima kasih
akan nasehatmu, kelak pasti akan kubalas kebaikanmu."
Nyo Hoa berkata, "Hidup di rantau menghadapi kesulitan harus
saling bantu, tak usah kau ambil di hati."
Lelaki itu menyembah kepadanya, katanya, "Selama gunung
tetap menghijau, air terus mengalir, pasti ada kesempatan bertemu
lagi. Biarlah siaujin mohon diri."
"Ah, mana berani aku terima penghormatanmu," tersipu-sipu Nyo
Hoa memapahnya. Lelaki Han itu menyeringai, katanya, "Dia bukan terima kasih
akan nasehatmu, tapi terima kasih oleh sepuluh tahil perakmu."
Lelaki tirus berkata, "Kenapa kau selalu marah-marah saja, oh
ya, aku pun harus terima kasih padamu karena tidak menghajarku
sampai mati." Mendadak dia ulur tangan menepuk pundak lelaki
Han, ternyata lelaki Han tidak mampu berkelit, sekilas dia tertegun
lantas membentak, "Mau apa kau?"
"Bajumu kotor, aku membersihkan debu di pundakmu."
"Jangan kau bermuka-muka, enyah, lekas enyah."
"Ya, ya, siaujin mohon diri, segera enyah, enyah, harap kau tidak
marah lagi." "Nyo-heng, sikapmu patut dipuji, beruntung aku bertemu kau di
sini, marilah minum secangkir."
"Terima kasih, saudara she apa?"
"Aku she Ting. Kami pedagang kuda Nyo-heng mau ke mana?"
Tengah mereka minum sambil ngobrol, mendadak seorang
temannya menjerit, heran, katanya, "He, cepat benar keparat itu
menghilang." Tergerak hati orang she Ting, seperti merasakan sesuatu yang
tidak beres, lekas dia merogoh kantong, seketika mukanya berubah,
teriaknya, "Wah celaka, uangku lenyap, masih ada" wah semua
dicurinya." Karena dia menjerit-jerit, maka pedagang lain seperti berlomba
memeriksa barang milik masing-masing, beberapa orang segera
berteriak, "Haya, uangku juga hilang." Mereka adalah orang-orang
yang tadi ikut menghajar lelaki tirus itu.
Lelaki she Ting segera memberi aba-aba, "Kejar!" Agaknya dia
juga kehilangan beberapa dokumen penting, maka tak sempat
bicara lagi dengan Nyo Hoa, rekening minuman mereka pun lupa
dibayar lagi, mereka berebut naik kuda terus mengejar ke luar kota
Seorang kacung kedai memburu keluar berteriak, "He, rekening
kalian siapa yang bayar. Memangnya kalian kehilangan uang
semua?" Meski pecah tenggorokannya juga tidak dihiraukan lagi.
"Celaka tigabelas," gerutu kacung itu, "kalau hanya seorang
makan secara gratis tidak jadi soal, tapi belasan orang tidak bayar,
wah bisa bangkrut kedai ini."
"Biarlah nanti aku yang bayar rekening mereka," ujar Nyo Hoa
Pemilik kedai seorang Tibet, katanya, "Engkoh cilik, coba kau
periksa kantongmu, apakah uangmu tidak dicuri?"
"Umpama benar dia yang mencuri uang mereka, tapi terhadapku
kukira dia tidak akan berani." Namun tangannya sudah merogoh
kantong, seketika bola matanya terbelalak bundar.
"Engkoh cilik, uangmu juga hilang?" tanya pemilik kedai.
Nyo Hoa mengeluh dalam hati, tatanya lesu, "Uang habis tidak
jadi soal, dia juga mencuri barangku."
Barangnya yang tercuri adalah buku ajaran ilmu golok keluarga
Beng yang diserahkan kepadanya oleh ji-suhu-nya.
Buku ilmu golok ini sekarang dia tahu adalah milik musuhnya. Dia
sudah memutuskan, setelah dia mengalahkan Beng Goan-cau, akan
dia kembalikan kepadanya. Tapi buku ini sekarang hilang, padahal
dia tidak sudi menerima pemberian musuh.
Di saat Nyo Hoa duduk melenggong itulah, kacung yang tadi
menggerutu, mendadak berteriak kaget Tapi sikapnya kelihatan
riang. "Ada apa?" tanya pemilik kedai. "Coba lihat," kacung itu
menuding meja kasir. Waktu pemilik kedai menoleh ke sana, tampak
di atas meja bertumpuk beberapa keping uang perak.
Pemilik kedai girang dan kaget, tapi juga heran. "Dari mana
datangnya uang ini?"
"Tadi aku pernah membersihkan meja ini, jelas tiada barang apaapa
Aneh, mungkin Thian tahu kita dirugikan maka menggantinya?"
"Jangan ngigau,"sentak pemilik kedai. "Pasti lelaki kotor tadi yang
di sini. Hm, engkoh kau kehilangan uang, boleh ambil berapa keping
untuk sangu. Jumlah uang ini rekening mereka tidak sebanyak ini."
Belum habis dia bicara, Nyo Hoa yang sudah tenang pikirannya,
mendadak menerobos ke luar. Kacung itu kebetulan keluar
membawa senampan bakpao daging kambing, lekas dia memburu
ke luar, teriaknya, "Uang kau tidak mau, boleh kau bawa bakpao ini
untuk makan di tengah jalan."
Nyo Hoa sudah melesat ke punggung kuda cambuknya terayun,
bakpao senampan itu mencelat terbang ke udara, sekali kebas
lengan baju bakpao itu kena digulungnya semua terus dimasukkan
ke kantong, katanya, "Terima kasih, baiklah kubawa bakpao kalian."
Habis perkataannya, kudanya sudah lari puluhan langkah ke luar
kota. Tidak heran kalau pemilik kedai dan kacungnya kebingungan
akan kejadian itu, Nyo Hoa sendiri juga tidak habis mengerti
bagaimana lelaki tirus itu mencuri barangnya Mendadak dia teringat
cerita sam-suhu-nya tentang maling sakti nomor satu di dunia.
Orang yang dijuluki maling nomor satu di dunia she Thio
bernama Siau-yau. Namanya sesuai orangnya, selama hidup suka
berkelana bebas ke mana saja dia senang pergi. Karena itu orangorang
Kangouw memberi julukan Kwi-hwe-thio kepadanya.
Konon Kwi-hwe-thio yang dijuluki maling nomor satu di dunia
memang tidak bernama kosong, dia pernah mencuri pusaka
kerajaan dan kuda raja. Kabarnya dia pun pernah mencuri Sip-toanhou
obat sakti penyambung tulang patah milik Lau Thian-hou,
ciangbunjin Khong-tong-pay, pernah pula mencuri Soat-lian dari
bibit yang ditanam dalam istana Peng-coan-thian-li, istri Tong Kengthian
ciangbunjin Thian-san-pay. Kedua orang ini termasuk tokoh
paling top di jaman itu, tapi pencuri ulung itu berani mencuri dan
berhasil dengan sukses, kalau Tong Keng-thian suami istri hanya
tertawa saja setelah tahu duduk perkaranya, sebaliknya Lau Thianhou
ciangbunjin Kong-thong-pay, amat marah dan membencinya
setengah mati. "Suhu pernah bercerita pula, kecuali maling nomor satu, masih
ada pula maling nomor dua di kolong langit. Maling nomor dua she
Li, tiada yang tahu nama aslinya, karena mukanya burikan, orang
memanggilnya Li-ma-cu. Konon Kwi-hwe-thio dan Li-ma-cu pernah adu kepandaian,
pertandingan kali itu disertai taruhan, akhirnya karena Kwi-hwe-thio
berhasil mencuri Sip-toan-hou dari Khong-tong-pay, maka dia di
pihak yang menang. Sementara Li-ma-cu terluka patah tulang
tengkuknya oleh pukulan Bik-khong-ciang Lau Thian-hou. Untung
Kwi-hwe-thio berhasil mencuri koyok saktinya, maka patah
tulangnya dapat disembuhkan.
Tapi meski dalam kepandaian mencuri Li-ma-cu kalah dari Kwihwe-
thio namun dia masih memiliki kepandaian yang lain, dalam
kepandaian lain ini Kwi-hwe-thio jelas bukan tandingan Li-ma-cu.
Kepandaian itu adalah tata rias.
Dengan merias dirinya menjadi bentuk lain Li-ma-cu pandai pula
menirukan suara orang atau binatang. Suatu ketika dia pernah
menyamar komandan Gi-lim-kun yang paling berkuasa pada waktu
itu yaitu Pakkiong Bong, dan muncul di hadapan banyak anggota Gilim-
kun, ternyata tiada seorang pun di antara mereka yang tahu
akan penyamarannya Setelah mengalami dua peristiwa, kedua maling sakti ini merasa
cocok dan saling simpati, sejak itu mereka menjadi sahabat, tiada
yang menaruh sirik satu dengan yang lain, tidak berebut nama dan
jasa. Bila maling nomor satu dan maling nomor dua menjadi
sahabat, maka operasi mereka makin bertambah besar seperti
harimau tumbuh sayap. Waktu kecil Nyo Hoa pernah dengar kedua maling sakti itu,
waktu itu dia merasa kisah itu seperti dongeng. Tak nyana hari ini
dia betul-betul kepergok dan menjadi korban malah, maka dia
hanya tertawa getir saja.
"Gelagatnya kalau bukan maling nomor satu, pasti lelaki tirus itu
adalah maling nomor dua. Tidak heran kalau dia mampu menguras
kantong banyak orang dalam sekejap, apalagi kantongku pun
dikuras-nya tanpa kusadari."
Tapi kenapa dia mencuri barangku" Bukan barang orang lain
yang dia curi, kenapa justru buku pelajaran ilmu golok dari keluarga
Behgitu?" Sepak terjang mereka memang parut dipuji, mereka mencuri
untuk amal, dan lagi mereka mempunyai aturan sendiri. Di dalam
kalangan biasa mereka mencuri milik orang kaya untuk menolong
yang miskin, dalam mencuri benda-benda pusaka milik kaum
persilatan, walau ada kalanya mereka hitam makan hitam, namun
selalu mencuri milik orang ternama, barang milik orang kecil tidak
pernah disentuhnya. Meski mereka maling, mereka pun berjiwa ksatria. Memang
pernah mereka sengaja menggoda orang-orang golongan lurus, tapi
tak pernah sengaja mencari permusuhan.
Satu hal yang masih membuat Nyo Hoa tidak habis mengerti
adalah dari mana laki-laki muka tirus ini tahu kalau dirinya
membawa buku pelajaran ilmu golok keluarga Beng. Buku itu dia
terima dari ji-suhu-nya, dia pun tidak tahu ji-suhu-nya terima dari
siapa" Sekarang setelah dia pernah bertemu dengan Song Thcngsiau,
baru dia bisa menduga kemungkinan Beng Goan-cau pernah
titip kepada ji-suhu-nya supaya diserahkan kepadanya. Dia pun
boleh menduga bila hal ini betul adalah kehendak Beng Goan-cau,
Beng Goan-cau pasti tidak akan memberi tahu hal ini kepada orang
lain. Lalu dari mana laki-laki tirus itu tahu rahasia ini" Meskipun dia
maling nomor satu atau nomor dua di dunia ini.
Lalu dia berpikir pula, "Kedua maling itu termasuk maling
pendekar. Kalau betul laki-laki tirus itu pernah makan tanpa bayar di
beberapa kota, tingkah lakunya jelas berbeda dengan kedua tokoh
sakti itu. Apakah masih ada maling nomor tiga yang tidak peduli
lurus atau se-sat, dia bekerja mengikuti kemauan hati?"
Dengan berbagai pertanyaan yang mengganjal di hati, Nyo Hoa
keprak kudanya mengejar laki-laki tirus itu. Kudanya lari lebih cepat,
maka lekas sekali dia sudah menyusul rombongan pedagang.
"He, Nyo-hengte," teriak pedagang she Ting, "apakah barangmu
juga dicurinya" Mari kita berunding, membagi tenaga menjadi
beberapa kelompok untuk mengejarnya. Kau seorang diri mana bisa
menangkapnya." ---ooo0dw0ooo--- Bersambung jilid II Catatan: 1) hal. 1, akhir hidup Thio Tan-hong di Ciok-lin (Hutan Batu)
diceritakan dalam Khong Ling Kiam (Pendekar-Pemetik Harpa), saatsaal
terak Mi dalam hidupnya, Thio Tan-hong menerima murid
penutup bernama lan Ciok-sing.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

2) hal. 7, ilmu Siu-lo-im-sat-kang asalnya adalah ilmu milik Kiauw
Pak Beng (dalam cerita Lian Kiam Hong In - Kisah Pedang Bersatu
Padu) dan ratusan tahun kemudian ditemukan oleh Beng Sin-thong
dalam cerita Perjodohan Busur Kumala. Siu-lo-im-sat-kang adalah
ilmu aliran silat tingkat tinggi, pada masa kejayaan Thio Tan-hong,
Thio Tan-hong hampir kalah di tangan Kiauw Pak Beng.
3) hal. 48, baca Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika)
dan Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan)
4) hal. 51, murid terakhir Thio Tan-hong, Tan Ciok-sing, adalah
satu-satunya murid yang mewarisi ilmu pedang Bu-bing-kiam-hoat
ini. Baca ceritanya di Khong Ling Kiam (Pendekar Pemetik Harpa).
5) hal. 62, cerita ini ada dalam San Hoa Lie Hiap (Pendekar
Wanita Penyebar Bunga) dan Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang
Bersatu Padu). Bok Lin dan Bok Yan adalah murid Thio Tan-hong
selama beberapa bulan saja Bok Yan akhirnya menikah dengan Thi
King-sim (Tiat Keng Sim).
6) hal. 102, urusan Kim Kong-to dengan Bu Toan dan Bu Cheng
yang akhirnya menyebabkan Toan Kiam-ceng kabur dari Tayli,
dapat diikuti dalam cerita Kelana Buana.
7) hal. 132, baca bagian awal Kelana Buana.
8) hal. 218, cerita tentang Siang Ho-yang dan Aliran Gitar Besi
muncul dalam Khong Ling Kiam (Pendekar Pemetik Harpa).
"TIDAK, aku hanya kehilangan beberapa keping perak yang tidak
ada artinya. Aku harus melanjutkan perjalanan, silakan kalian
bekerja sekuat tenaga, maaf aku harus jalan lebih dulu." Lalu dia
keprak kudanya. Hari pertama dia tidak menemukan laki-laki tirus itu. Hari kedua
waktu dia mampir di kedai minum di persimpangan jalan di waktu
dia minum, mendadak laki-laki tirus itu muncul di depannya.
Sebetulnya dia sudah ingin tanya apakah dia Kwi-hwe-thio atau
Li-ma-cu, tapi begitu muncul laki-laki itu lantas merebut kudanya,
maka dia memburunya keluar. Celakanya meski kuda tidak tercuri,
namun dengan menunggang kuda ternyata dia tidak mampu
mengejar orang. Mungkin bila jarak jauh dia mampu mengejarnya,
tapi laki-laki itu membelok dan bersembunyi di dalam hutan,
jejaknya tidak ditemukan lagi.
Nyo Hoa lesu dan patah semangat, pikirnya, Ternyata ada
seorang dalam dunia ini yang memiliki ginkang setinggi itu, mana
aku mampu mengejarnya" Umpama kena kejar, mana mampu aku
merebut buku itu?" "Kini harapan satu-satunya adalah semoga laki-laki ini kalau
bukan Kwi-hwe-thio adalah Li-ma-cu," demikian pikirnya. "Kalau
betul dia salah satu dari maling sakti itu, kukira tidak akan
mempermainkan bocah tanggung seperti aku yang tidak ternama
ini, atau mungkin dia sengaja mau mempermainkan aku saja" Kalau
tidak setelah mencuri bukuku itu, pantasnya lari ke tempat jauh,
kenapa dia justru muncul lagi di depanku" Haya?" Mendadak
hatinya tergerak, "mungkin dia sengaja memancing aku menempuh
jalan-ini?" Tapi jalan putar ini bisa tembus ke Lhasa, biar kehilangan waktu
dua hari tidak jadi soal. Apa boleh buat, terpaksa Nyo Hoa
melanjutkan perjalanan dengan perasaan ingin tahu apa pula yang
bakal terjadi di sebelah depan.
Jalan putar ini sepi dan tiada penduduk di sepanjang jalan, dua
hari lamanya Nyo Hoa menempuh perjalanan sendirian, ransum
yang dibawanya sudah hampir habis, untung di atas gunung banyak
salju untuk menghilangkan dahaga.
Hari ketiga dia tiba di dataran rendah, jalan raya selanjutnya
lapang dan lurus, di sini dia mulai bertemu orang, meskipun
kantongnya kosong tidak enak dia minta sedekah kepada penduduk.
Terpaksa dia mencari akal, "Ransumku masih cukup untuk satu hari,
bila besok tetap tidak menemukan laki-laki itu, biarlah aku bekerja
jadi kuli atau kerja kasar apa saja asal bisa mendapat upah sekedar
untuk bekal." Tengah hari itu, dia temukan di pinggir jalan terdapat sebuah
kedai. kedai yang mirip di persimpangan jalan dua hari yang lalu.
Kedai di pinggir jalan ini memang khusus diperuntukkan pejalan kaki
yang menempuh perjalanan jauh, menjual minuman dan makanan
murah. Karena ransum yang dibawa terbatas, selama dua hari ini Nyo
Hoa tidak makan kenyang, makin mendekati kedai hidungnya
mengendus sate kambing yang sedang dibakar, karuan biji lehernya
turun naik. Sayang kantongnya kosong, terpaksa dia hanya lewat
saja sambil mengawasi paha kambing yang digantung di depan
kedai. Tak nyana waktu dia lewat di depan kedai, pemilik kedai yang
kebetulan duduk di meja kasir segera berteriak serta memburu
keluar, teriaknya dengan bahasa Han yang kaku, "He, he, tuan ini,
apakah kau she Nyo?"
"Betul," sahut Nyo Hoa meleng-gong, "aku memang she Nyo,
dari mana kau tahu?"
Pemilik kedai dari suku Tibet ini berkata, "Syukurlah, sudah lama
aku menunggu kau, silakan.turun, hayo-lah masuk makan dulu."
Sudah tentu Nyo Hoa kebingungan, setelah berada di dalam
kedai, dia bertanya, "Selamanya belum pernah aku kemari, kenapa
kau bisa menunggu aku?"
Pemilik kedai tertawa, katanya, "Aku tahu kau selamanya tidak
pernah kemari, tapi temanmu kemarin mampir ke sini, dia ada titip
barang supaya diserahkan kepadamu."
"Temanku?" seru Nyo Hoa girang dan kaget. "Apakah seorang
lelaki yang berpakaian kotor?"
"Betul. Walau pakaian temanmu itu kotor dan compang-camping,
tapi orangnya baik, kantongnya tebal. Adat kami orang Tibet
berbeda dengan bangsa Han kalian, kalian hanya menilai pakaian
tidak menilai orangnya, kami justru sebaliknya."
Nyo Hoa ingin lekas tahu persoalannya, tanyanya, "Dia
meninggalkan barang apa untukku?"
"Silakan minum secangkir teh susu ini, segera kuambilkan di
dalam." Tak lama kemudian dia keluar pula membawa sebuah
buntalan, katanya, "Aku tidak pernah membukanya, kelihatannya
seperti uang perak."
Waktu Nyo Hoa membuka buntalan itu, isinya memang uang
perak. Kecuali sekeping besar uang perak senilai sepuluh tahil
miliknya, masih banyak lagi uang perak pecahan. Di bawah uang
perak besar ditindih satu carik kertas, ada tulisan kasar seperti
cacing berbunyi, "Pinjaman sepuluh tahil kukembalikan bersama bunganya."
Yang diharapkan Nyo Hoa adalah buku ilmu golok itu, ternyata
hanya uang yang dikembalikan, hatinya sedikit kecewa, tapi setelah
ada uang, sepanjang jalan ini dia tidak khawatir kelaparan.
Pemilik kedai amat ramah dan pandai melayani tamunya. Dia
keluarkan seporsi sate kambing dan gulai kambing dengan nasi
putih, teh susu ditambah juga. Katanya, "Kedaiku ini khusus
menjual sate dan gulai kambing, orang Han kalian mungkin tidak
biasa makan hidangan kasar ini, silakan makan seada-nya."
Memangnya perut lapar, Nyo Hoa tidak hiraukan rasa pedas dan
kecut yang jarang dimakan seperti jahe dan merica segala. Tapi
aneh juga, setelah kenyang dan menghabiskan dua cangkir teh
susu, badannya bertambah segar, semangatnya pulih.
Pemilik kedai tertawa, katanya, "Ternyata kau bisa menyesuaikan
keadaan, selanjurnya kau pasti betah tinggal di Tibet"
"Apakah temanku ada meninggalkan pesan?"
"Ada. Dia akan menunggu kau di Lhasa. Setiba kau di sana dia
Payung Sengkala 11 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Harimau Mendekam Naga Sembunyi 6
^