Pencarian

Eng Djiauw Ong 4

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bagian 4


"Apa benar kau tinggal seorang diri" Kau harus ingat sakit hatimu, inilah tanggung jawabmu yang berat. Jangan
bersikap sebagai nona yang lemah Keraskanlah hatimu!"
Nona itu seka air matanya lalu ia berbangkit.
"Terima kasih," kata ia setelah ia memberi hormat pada penolongnya dan tuan rumah, she dan nama siapa ia terus tanyakan.
"Jangan pakai adat peradatan, nona," sahut Ban Liu
Tong, yang perkenalkan dirinya. "Aku datang kemari untuk mengobati puteranya Kan Loosianseng ini, kebetulan aku melihat kau terancam bahaya, aku lantas menolongi.
Semua penjahat itu adalah orang Rimba Hijau dari Kang lam, maka itu, tak dapat kau berdiam lama disini, kau mesti menyingkir kerumah
sanak atau sahabatmu, agar dikemudian hari bisa berdaya untuk menuntut balas."
Nona itu menangis. "Aku tidak tahu kemana aku mesti menyingkir," kata ia.
"Ayah dan ibuku, encie dan adikku lelaki, juga tiga murid ayah, telah terbinasa di tangan musuh. Satu paman
angkatku telah terluka hebat, ia rupanya bisa juga
meloloskan diri, tapi entah sesampainya dia diluar,
mungkin ia mati karena lukanya itu. Kami bukan penduduk asal tempat ini, di Cio khaw ek ini kami tinggal
menumpang. Kampung halaman kami ada di Chongciu,
Titlee. Kami semua sudah dua puluh tahun lebih belum
pernah pulang ke kampung asal kami, dari itu sukar untuk aku ketahui sanak disana masih ada atau tidak. Maka itu, loope, aku sangat berterima kasih karena pertolonganmu ini. Ayah dan ibu semua, yang sudah menutup mata, pasti akan bersyukur juga pada loope. Aku bisa mencuri hidup untuk menuntut balas, tetapi dengan kepandaianku ini, apa aku bisa bikin"
Hal pembalasan ini baik di bicarakan
belakangan saja, sekarang aku hendak mohon loope tolong urus tulang2 ayah ku semua, sesudah penguburan, aku
ingin mencari sebuah kuil, dimana aku bisa cukuri
rambutku untuk menjadi nikow. Asal Thian menaruh belas
kasihan padaku, mesti ada satu hari dimana akan mampu menuntut balas!"
Setelah berkata begitu, nona Liap ini menangis tersedu.
Dua2 tuan rumah dan tetamu nya jadi sangat terharu.
"Nona, kau jangan terlalu bersedih," kata Kan Hong.
"Mendengar katamu, kau jadinya batang kara dan tak
punya tempat untuk berlindung, oleh sebab itu, apabila kau tidak buat celaan, aku si orang tani baik kau tinggal disini saja, meski aku tidak berharta besar, namun untuk
penambahan satu mulut, bagiku tidak ada artinya. Sudikah kau tinggal disini" "
Nona Ce In hendak jawab tuan rumah itu, tetapi Ban Liu Tong mendului ia.
"Kau baik hati, tuan, tetapi kau tidak dapat menolong nona ini menurut kehendakmu itu," kata ia "Kau tidak tahu siapa musuh2 nya keluarga Liap! Mereka itu adalah Heng San Ngo ok. Benar sekarang mereka dari lima tinggal
berdua, akan tetapi mereka punya banyak kawan sesama
kaum kang ouw, yang ke banyakkan adalah penjahat besar.
Mereka itupun telah bertekad akan membabat rumput
sambil menyabut akarnya, apamau mereka telah ketemu
aku, maka bisalah dimengerti, yang mereka tidak puas.
Jikalau si nona tinggal disini, tidak saja dia tak dapat dilindungi, bahkan kau sendiri akan turut juga ke rembet2!"
Kan Hong ternganga. "Ban Loope benar," kata Cie In seraya kerutkan dahi.
"Aku sebatang kara, terbinasapun tidak apa, tapi aku tidak ingin loope sampai celaka karena aku. Baiklah aku
bertindak seperti apa yang telah kupikir."
"Sabar nona," Liu Tong berkata "Tidak biasanya aku
bekerja ada kepala tanpa ekor! Mustahil aku bisa
membiarkan kau terjatuh pula kedalam tangannya orang2
jahat itu" Kalau itu sampai terjadi, kecewa aku hidup
didunya ini! Sekarang mari kuobati dahulu lukamu, baharu nanti kita bermupakatan pula."
Kan Hong mupakat, si nona pun manggut, maka Liu
Tong segera mengambil obat bubuk untuk obati lukanya si nona, sesudah mana, luka itupun dibalutlah dengan rapi.
"Kau lihat, nona, aku bukan seorang muda lagi, dari itu, kau harus percaya aku," kata si tabib kemudian. "Kau
masih terancam bahaya, kau perlu lekas menyingkir dari sini, malah perihal tulangnya ayah dan ibumu semua, baik kau minta pertolongan Kan Loope ini. Mari kau turut aku pergi ke Kwie in po. Aku tidak punya anak lelaki atau perempuan, apabila kau setuju, aku suka ambil kau sebagai anakku. Umpama kawanan penjahat tidak puas, aku nanti lindungi kau, aku hendak lihat, apa mereka bisa bikin!"
Cie In ada seorang cerdik, segera ia berlutut didepan tabib itu.
"Aku telah ditolong dari mulut harimau, sekarang aku
hendak dipungut sebagai anak, oh, aku tidak mampu
membalas budimu ini. Mudah2an dilain penitisan aku
dapat melakukan itu!" kata ia seraya menjurah terus.
"Bagus, anak!" kata Ban Liu Tong dengan gembira.
"Aku nanti lakukan segala apa, untuk meladeni orang2
jahat guna melindungi dikau! Sekarang bangunlah, kita perlu bicara terlebih jauh."
Cie In bcrbangkit, ia berdiri dipinggiran.
"Cie In, kau puterinya satu piauwsu, aku juga dari
kalangan persilatan, karena itu, tak seharusnya kita
memakai terlalu banyak adat peradatan," kata Liu Tong.
"Nah, kau duduklah."
Nona itu menurut, ia memberi hormat dan lantas duduk.
"Sekarang coba kau tuturkan tentang permusuhan
ayahmu dengan Heng San Ngo ok," kemudian si tabib
meminta. Cie in tuturkan duduknya hal, menurut seperti
keterangannya Siang Cun Yang.
"Kalau demikian, bisa dimengerti yang ayahmu tak
puas," kata Liu Tong. "Sekarang aku sudah menolong kau, Siang Cun Yang pasti mendendam sakit hati, malah
tentulah, sebelum kau sempat mencari padanya, dia akan mendahului mencari aku dan kau. Kau jangan takut, aku nanti lindungi padamu. Ancaman musuh itu yang membuat aku tidak setuju kau berdiam sama Kan Loope disini. Tidak apa apabila Kan Loope cuma urus tulang2 nya ayah ibumu sekalian. Dengan turut aku ke Kwie in po, kau akan terjaga baik. Disana, semua orangku tidak punya anggauta
keluarga. Tapi kau tidak bisa tinggal selamanya denganku, aku akan kirim kau pada Cu In Am cu dikuil Pek Tiok Am dibukit Chong Liong Nia di See Gak, dipuncak Siang thian tee. Aku nanti dayakan supaya kau diterima sebagai murid.
Cu In Am cu ada ketua dari See Gak Pay, dia liehay asal kau belajar rajin, kau pasti akan berhasil menuntut balas.
Selama kau belajar silat, andai kata penjahat tahu
alamatmu, tidak nanti dia berani datangi Pek Tiok Am
untuk main gila. Tidakkah ini sempurna" "
Cie In bisa berpikir, ia setujui saran itu. Ia baharu belajar enam atau tujuh tahun dari ayahnya, apabila ia bisa
mengikuti Cu In, ia tentu akan peroleh kemajuan.
Demikian ia berikan persetujuannya.
"Baik, anak," kata Ban Liu Tong, yang terus meminta
Kan Hong pesan agar semua orang suka simpan rahasia,
kalau hal bocor, keluarga Kan akan terancam bahaya.
Setelah itu, Liu Tong pergi melihat puteranya tuan
rumah. "Bagus, jangan kuatir," kata ia. "Lagi tiga hari dia akan bisa jalan. Selanjutnya, ia cuma mesti rawat diri."
Siok beng Sin Ie lalu memberikan obat pula, untuk
dimakan dihari2 berikutnya.
Paling akhir, Liu Tong melongok ke Barat dimana api
sudah mulai kurangan berkobarnya, sedang di Timur, sang fajar mulai menyingsing.
"Tolong berikan si nona satu kamar dimana ia bisa
beristirahat," Liu Tong minta pada tuan rumah. "Besok sore aku nanti mengajak dia perg!"
Kan Hong menurut, ia sediakan kamar untuk Nona Liap
itu. Baharu keesoknya pagi banyak orang berani datang
dekat rumahnya Liap Piauwsu, akan melihat bekas
kebakaran dan padamkan sisa api, dan Kan Hong segera
menghadap pada pembesar negeri, buat nyatakan ia suka urus semua kurban. Pembesar negeri cuma bikin
pemeriksaan dan dengar beberapa tetangga, lantas perkara ditinggal diam. Pendakwa pun tidak ada. Pengakuan
tetangga bahwa itu adalah perbuatan musuh mencari balas.
Kan Hong suka berbuat amal dengan alasan ia berkaul,
karena anaknya sembuh dari sakitnya yang lama dan hebat.
Setelah sang sore datang, Siok beng Sin Ie, si Tabib
Penyambung Jiwa, pamitan dari keluarga Kan, dengan ajak Cie In ia pulang ke Kwie in po.
Adalah dugaan dari Ban Liu Tong, musuh bakal datang
mencari balas, apa yang ia tidak sangka adalah musuh
datangnya secara luar biasa cepat, adalah baharu dimalam ketiga sejak ia pulang!
-o0dw0o- XVI Musuh yang datang terdiri dari tiga orang kepalanya
adalah Siang Cun Yang. Dua yang lain ada Moa tauw kwie Sie Cin Kepala Hantu, dan Tok pa Sam Siang Khouw Goat Beng, jago Tunggal, bajak dari Lam ciong. Mereka semua pandai lompat tinggi dan lari keras, tetapi setelah memasuki Kwie in po, mereka kelabakan. Kalau wuwungan rumah
ditanami rumput dan pohon bunga, dibawah ada lubang2
jebakan dan pesawat2 rahasia, panah dan gaetan.
Beruntung Khouw Goat Beng itu seorang ulung,
pengalamannya menyebabkan ia mengerti sedikit tentang Pat kwa, ketika mereka memasuki pintu "Mati" ia yang
mencoba mengajak keluar dua kawannya itu. Setelah dua putaran, dia dapat mencari pintu "Hidup" tetapi Sie Cin ketinggalan, dengan terpaksa, ia
ajak Cun Yang menyingkir. Tanpa pertempuran. Ban Liu Tong dapat bekuk Sie Cin,
kapan ia ketahui musuh liehay, ia perintah coba mengejar, tetapi Goat Beng dan Cun Yang dapat lolos juga setelah beberapa kali mereka diserang orang tersembunyi, hingga mereka kabur terus dengan terpaksa tinggalkan kawan.
Ban Liu Tong tidak kompes Sie Cin, dia ini cuma dihina, lalu dilepaskan.
Hatinya Cie In tenteram ketika ia dapat tahu musuh tak dapat serbu Kwie in po, ia bersyukur kepada ayah
angkatnya itu. Kemudian, setelah lukanya sembuh, ia
belajar silat dibawah pimpinan ayah pungut itu. Ini terjadi
terutama karena keinginan dari Liu Tong, agar nanti Cu In Am cu tidak terlalu memandang enteng.
Selang sebulan lebih. Ban Liu Tong pergi ke Cio khauw ek pada Kan Hong, dari siapa ia peroleh keterangan,
jenazah Liap Piauwsu semua sudah dirawat dan dikubur
dengan baik, hingga hatinya menjadi lega, sepulangnya ia lantas memberi keterangan pada Cie In agar hatinya si anak tenteram. Selang beberapa hari, ia antar anak pungut itu ke Pek Tiok Am.
Apabila Cu In sudah ketahui jelas siapa si nona, ia
nyatakan suka terima ketitipan si nona, yang ia ambil sebagai muridnya, hanya ia mencegah keinginannya Cie In akan mencukuri rambut untuk jadi pendeta perempuan.
"Biarlah kau tetap jadi muridku orang biasa," kata ia, yang terus berikan ia nama Siu Yan.
Cie In mempunyai bakat baik, ia belajar dengan rajin, hingga ia disayang gurunya dan diberikan pimpinan
sungguh2. Cu In sering memberi nasihat pada muridnya ini tentang karma, Cie In insaf itu, akan tetapi ia tak dapat cegah kalau diam2 ia suka menangis sendirian, kapan ia teringat
malapetaka keluarganya, sedang budinya Ban Liu Tong, si ayah angkat, ia tidak bisa melupai, hingga sering terjadi setiap tiga atau lima bulan, ia mohon perkenan pergi
kunjungi ayah angkat itu di Kwie in po.
Kapan Ban Liu Tong ketahui sifat anak pungut itu,
untuk cegah Cie In datang pula padanya, dia melarang anak itu datang lagi, sebaliknya dia sendiri yang setiap tiga atau lima bulan datang berkunjung ke Pek Tiok Am. Dengan ini ia ingin cegah anak itu pecah perhatiannya dan menjadi abaikan ilmu silatnya, sedang ia berkehendak agar anak ini lekas pandai. Dengan Cie In liehay, tidak saja ia tak dapat
dibokong musuhnya, bahkan sembarang waktu ia bisa
menuntut balas. Kalau tadinya Ban Liu Tong bebas sepenuh penuhnya,
setelah mempunyai anak angkat, pikirannya sering tertarik kepada anak itu.
"Demikianlah halnya Siu Yan," begitu ia akhirkan
ceriteranya kepada suhengnya mengenai Siu Yan menjadi anak angkatnya. "Aku memang tidak bisa lepaskan dia,
tetapi untuk menuntut balasnya ia mesti mengandal pada dirinya sendiri. Aku percaya, am cu juga tidak akan biarkan ia bertindak sendiri sebelumnya ia sempurnakan ilmu
silatnya." Eng Jiauw Ong kagum, tetapi karena itu waktu mereka
sudah dahar cukup, perjamuan ditutup, mereka kembali
keruang tetamu dimana mereka duduk sambil hadapi teh.
"Kau datang ke Tiong ciu bersama am cu, suheng,
apakah ada urusan penting" " Liu Tong tanya saudaranya.
"Ya," suheng itu membenarkan.
"Urusan sering istimewa dan bencana tak dapat di
duga2, begitulah aku telah bikin runtuh pamornya Hoay Yang Pay!..."
Ban Liu Tong terperanjat, ia heran. Ia mengawasi
suheng itu. Tidak tunggu sampai sutee itu mengajukan pertanyaan,
Eng Jiauw Ong lantas tuturkan duduknya hal serta utarakan maksud kedatangannya bersama Cu In Am cu itu. Ia mulai dari ia niat tolong Yo Bun Hoan, sampai muridnya bikin hilang surat, hingga mereka itu ditangkap, sampai akhirnya mereka bentrok kepada Hong Bwee Pang, sebab In Hong
dan Hong Bwee diculik. "Suheng, am cu, itulah terlalu," kata Siok beng Sin Ie dengan gusar. "Hong Bwee Pang demikian menantang, tak per duli Cap jie Lian hoan ouw ada gunung golok dan
rimba pedang, kita mesti datangi untuk mencobanya! Cuma kita harus waspada. Aku dengar, sejak di bangunkannya pula, rombongan itu sudah menjadi kuat sekali, sarangnya berbahaya, anggautanya banyak penjahat lihay dari hulu dan hilir Sugai Besar. Kita mesti jaga agar nama kedua kaum kita tidak sampai runtuh. Sekarang bagaimana am cu niat bertindak" "
"Pin nie pun sudah ambil ketetapan akan tempur
rombongan itu," sahut Cu In Am cu. "Sebenarnya, dalam usiaku yang lanjut ini, aku ingin utamakan kitab suci dan lewatkan saat2 senggang
dengan murid2ku, tetapi kenyataan menentang cita2 ku itu. Adalah satu hinaan
untuk See Gak Pay, yang muridku kena diculik, namun
untuk sementara ini, aku belum pikir suatu apa. Barangkali suheng dapat menolong aku untuk memikirkannya."
"Adalah kenyataan, panglima perang mesti cerdik,
bukan sela manya harus gagah, dan tentera mesti terdidik, bukan mesti jumlahnya saja yang besar," berkata Ban Liu Tong. "Bicara hal tenaga, tenaga kita sudah cukup. Pedang am cu Tin hay Hok po kiam dan senjata rahasia See bun Cit poo cu tidak ada tandingannya dan Ong Suheng punya Cit cap jie sie Co kut Hun kin ciang serta Eng jiauwlat sukar dapat lawannya, tetapi semua itu tak dapat digunakan
secara sembrono disarang musuh di Hun cui kwan,
pegunungan Gan Tong San, Ciatkang Selatan. Maka untuk sementara ini, harus kita kumpulkan semua anggauta kaum kita. Am cu ada punya beberapa cian pwee yang liehay, kenapa am cu tidak hendak undang mereka untuk minta
bantuannya" " Cu In tidak puas mendengar hal kekuatannya Hong
Bwee Pang, tetapi ia hargai kejujurannya tabib ini.
"Ban Loosu benar juga," kata ia. "Siapa jumawa, dia
mesti rubuh. Apa Ban Loosu ketahui siapakah pemimpin
utama dari Hong Bwee Pang dan sebenarnya ada berapa
pemimpin besarnya" "
"Buat di Kang lam, Hong Bwee Pang telah tancap
pengaruh untuk banyak tahun," Ban Liu Tong menerangkan. "Asal mulanya, gerakan mereka di Hokkian, baharu pe lahan2 meluas ke Tiang Kang, atas dan bawah.
Pusat pertama berada di Tay wan, lalu diadakan pula di Eng Yu San, Kang souw. Ketuanya, Liong tauw Loo
tauwcu, adalah Siauw Hio cu yang sekarang mengepalai
Gwa Sam Tong, tiga rombongan luar. Dia adalah Sui siang Gin Liong Siauw Cun si Naga Perak. Dulu, rombongan di Kanglam itu telah diubrak abrik oleh Liang Kang Congtok yang pakai tenaga tergabung dari tentera darat dan air serta sebelas piauwsu dari Kanglam, hingga mereka buyar.
Kemudian salah satu ketua dari Hokkian, yalah Thian Lam It souw Bu Wie Yang, si Orang Tua dari Selatan, telah datang
ke Kanglam dimana ia bangunkan pula rombongannnya itu, ia hidupkan Lwee Sam Tong, tiga
rombongan dalam, dengan Siauw Cun diangkat jadi hio cu dari Gwa Sam Tong. Bu Wie Yang itu, asal Rimba hijau, cabang atas kenamaan dari Selatan, tubuhnya sangat enteng dan gesit bagaikan burung walet, katanya ia bisa
berloncatan diantara tihang2 layar diatas puluhan perahu, sedang senjatanya ada sebatang tumbak Kiu hap Bu sie So cu chio yang katanya dia dapatkan dari seorang berilmu tetapi ia jadikan sebagai ilmu kepandaiannya sendiri yang istimewa. Di sebelahnya gagah, ia sangat yerdik. dari itu, ia bisa mempengaruhi banyak orang. Dibawah asuhannya Bu
Wie Yang ini, Hong Bwee Pang menjadi maju, sampai
anggauta2nya meluas ke Utara, terutama diair, mesti ada konconya. Semua orang Rimba Hijau, yang tidak mampu
berdiri sendiri, masuk partai ini. Pusatnya sendiri, Cap jie Lian hoan ouw, ada satu tempat luar biasa. Mulanya itu ada satu muara dikaki gunung Gan Tong San, setelah
diduduki, Bu Wie Yang perbaiki itu, hingga sekarang
merupakan sarang yang terahasia dan berbahaya. Hal ini aku ketahui dari satu sahabat piauwsu dari Ciatkang
Selatan, yang sekarang ini sudah mengundurkan diri,
dendengarnyapun secara kebetulan. Maka itu, amcu, perlu kita mengundang beberapa sahabat untuk bantu kita.
"Oh mie to hud! Siancay, siancay!" Cu In memuji.
"Jadinya Thian Lam it souw Bu Wie Yang yang menjadi
kepala, pantaslah Hong Bwee Pang sangat kurang ajar! Ban Loosu, kita tak harus terlalu berkuatir. Namanya tua
bangka itu sudah lama pin nie dengar, tumbaknya memang liehay, dengan itu ia menjagoi di Selatan. Sebenarnnya dia tidak punya hubungan dengan daerah kita, aku tidak sangka dia sekarang pimpin Hong Bwee Pang. Ban Loosu benar
juga, kita tidak boleh terlalu berbesar hati, dari itu aku pikir, baiklah kita undang Keng Tim Su thay dari kuil Ceng Lian Am di Kong Seng San serta To Cie Taysu dari gereja Tiat Hud Sie di Hong tek kwan diperbatasan Hoolam dan
Shoasay. Umpama kedua su heng itu tidak sanggup datang sendiri, biar mereka utus beberapa muridnya. Untuk ini melainkan aku ingin minta Ban Loosu kirim orang untuk menyampaikan surat kita."
"Itulah perkara gampang, am cu boleh serahkan
padaku," sahut Ban Liu Tong yang nyatakan setuju.
Ketika itu kere disingkap, lalu muncul tiga anak muda.
yang pertama umur kurang lebih dua puluh tahun,
tubuhnya langsing, parasnya cakap dan keren, gerakannya gesit, yang ke dua kurus, kecil dan kate, umurnya kira dua
puluh juga, dan yang ke tiga, yang jalan paling belakang, tubuhnya kate dampak, mukanya hitam, alisnya gomplok
dan matanya besar, pundaknya lebar, pinggangnya kekar, dadanya berotot, benar ia gemuk tetapi dagingnya pasak, air mukanya nampak mesem saja, Yang jangkung terus
mengasi hormat pada tuan rumah seraya berkata "Suhu,
kita sudah bereskan urusan di Louw kee kauw, Su gan
kauw Gu Cit sudah angkat kaki, ia telah berjanji tak akan kembali ke Louw kee kauw. Kami tidak bersikap
keterlaluan padanya, melainkan sebelah kupingnya dipapas setengah, untuk tanda mata bagi penduduk Louw kee kauw.
Penduduk telah berjanji, asal dia datang pula, mereka akan memberi kabar pada kita."
Ban Liu Tong manggut. "Baik," kata ia. "Sekarang uiyak dua saudaramu
mengasi hormat kepada supemu ini dan su thay!"
Eng Jiauw Ong kenali murid pada suteenya, Ciok Bin
Ciam, dan murid kedua, Kee Pin, tetapi ia tidak kenal pemuda muka hitmu itu, yang ia belum pernah lihat.
Dengan dikepalai oleh Bin Ciam, tiga murid itu maju
untuk jalankan kehormatan seraya si murid kepala kata
"Supe, sudah berapa tahun supe tak pernah datang kemari.
Supe tentu kenal Kee Sutee itu, tetapi tidak demikian sutee Coh Heng ini, yang belajar belum cukup tiga tahun."
Kemudian ia teruskan pada sutee gemuk itu "Sutee, inilah untuk pertama kali kau bertemu dengan supe, hayo kau
berlutut!" Dengan matanya yang besar dan bundar, Coh Heng
mengawasi Eng Jiauw Ong, kemudian ia berpaling pada
gurunya sambil berkata "Suhu, apa benar aku mesti
berlutut" Aku kuatir su heng permainkan aku?"
Ban Liu Tong tertawa. "Mustahil supemu ini supe yang palsu" " menyahut guru ini.
"Lekas beri hormatmu, nanti su pemu gusar?"


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar mana Coh Heng segera jatuhkan diri, ketika
ia manggut2, kepalanya sampai bentur batu dengan keras hinggaia rabah dengan tangannya terus ia bangun pula.
Menampak demikian, semua orang tertawa.
Coh Heng sendiri nampak jengah, tetapi suhenguya
berkata, "mengapa kau tidak jalankan adat peradatan
kepada su thay?" "Sudah, tak usah!" Cu In Am cu mencegah.
Bin Ciam dan Kee Pin memberi hormat kepada nikow
tua itu, mereka memberi hormat juga kepada muridnya Eng Jiauw Ong dan murid2 nya pendeta perempuan itu.
"Suheng, am cu, harap tidak pandang dia sebagai murid biasa saja," kata Ban Liu Tong kemudian sambil menunjuk si sembrono itu. "Dia adalah murid yang disayang dari Hui Sian Siansu dari Siauw Lim Sie. Siansu telah mendapat tugas dikirim ke Hokkian, akan kepalai ruangan Lo Han Tong dari Siauw Lim Sie disana, karena itu, ia tidak bisa bawa muridnya ini, maka ia antar kemari dititipkan padaku, hingga dia menjadi murid angkatku. Dia tidak mencukur rambutnya, sedang aturan Siauw Lim Sie ada keras, dengan diantap tinggal di Siauw Lim Sie, dia menjadi tidak ada yang mengurus. Maka itu, aku mesti merawat dia. Ia
sembrono tetapi ia jujur dan tenaga nya besar sekali. Siansu ingin berikan ia pelajaran, tetapi badannya terlalu berat, terpaksa ia diberikan saja pelajaran melatih tubuh Ie Kin Keng dan Pat Toan Kim. Ia tak bisa melompat tinggi dan jauh. Aku sendiri melanjutkan berikan ia pelajaran
kekuatan saja." Cu In awasi anak muda itu, lalu sambil tertawa ia kata pada Ban Liu Tong "Ban Loosu, kau mesti didik anak ini baik2. Jangan menganggap dia kurang kecerdikan, dia
sebenarnya berbakat baik dan rejekinya besar, dalam hal mana, lain2 muridmu tak dapat menyamainya."
"Memang juga, siapa jujur dan tolol, ia besar rejekinya,"
kata Eng Jiauw Ong, yang terus menanya Liu Tong,
dimana berdiamnya berbagai murid dari Hoay Yang Pay, ia minta daftarnya dan supaya sutee itu lekas kirimkan surat pada mereka, agar mereka segera berkumpul di Ceng hong po.
Ban Liu Tong mengambil kertas, akan mencatat
namaanya, ketika ia serahkan itu pada Eng Jiauw Ong,
alamat ada sebelas. Suheng ini lalu tambahkan empat nama lagi. Dari semua alamat itu, kecuali tiga orang, yang lainnya adalah murid2 dari angkatan kedua dan ketiga.
"Sutee," sang suheng kata kemudian, "Yan tiauw Siang
Hiap serta Thiat So Toojin, ketiga suheng itu, ada bagaikan burung2 hoo liar, dan usianyapun sudah lanjut, aku rasa mereka tidak nanti suka munculkan diri lagi. Tidakkah kaupun menganggap demikian" "
"Memang aku percaya mereka belum tentu suka muncul
pula," sahut Ban Liu Tong, "akan tetapi urusan ada begini besar, mereka harus diberitahukan juga, karena merekapun berusia lebih tinggi, kalau tidak, kita nanti bisa
dipersalahkan dan ditegur. Tak usah kita mengharap
mereka membantu kita, cukup asal mereka ketahui saja."
Eng Jiauw Ong anggap itu benar.
"Baiklah, pergi sutee tulis suratnya," ia kata.
Ban Liu Tong sendiri menulis untuk ketiga suheng itu, buat yang lainnya ia perintah Bin Ciam dan saudara2nya
saja. Semua surat itu dibubuhi tanda tangannya Eng Jiauw Ong, sebagai ciang bun jin, ahliwaris Hoay Yang Pay, yang memegang pimpinan. Cap pun terbuat dari emas dan
merupakan seekor garuda yang pentang sayap. Siapa
menerima surat itu, tak perduli mereka berada ditempat bagaimana jauh, mereka mesti datang, atau mereka akan melanggar aturan dan akan dipersalahkan sudah tidak
hormati ketuanya. Demikian lima belas pucuk surat telah disiapkan, lalu bersama dua suratnya Cu In Am cu untuk Keng Tim Su
thay di Ceng Lian Am dan To Cie Taysu di Tiat Hud Sie, semua itu dikumpul oleh Ban Liu Tong, siapa sebaliknya segera kirim dua muridnya, yalan Ciok Bin Ciam dan Kee Pin, untuk disampaikan kepada alamatnya masing2.
Mereka ini mesti berangkat dengan menunggang kuda, dan Bin Ciam diwajibkan membawa dua belas diantaranya.
Paling dulu surat di antar ke Hoolam, dari sana akan
diminta pertolongan lain2 saudara. Kee Pin terutama untuk mengirim surat2nya Cu In An cu. Untuk Yan tiauw Siang Hiap, sepasang jago dari Yan Tiauw, dan Tiat Toojin, surat mesti disampaikan sendiri oleh Ciok Bin Ciam. Setelah selesaikan tugasnya, kedua murid itu mesti menuju
langsung ke Ceng hong po.
Demikian dua murid itu, yang berangkat dengan lantas.
Seberangkatnya dua murid itu, Ban Liu Tong hendak
perintah menyiapkan kamar untuk sekalian tamu, agar
besok fajar mereka ini bisa berangkat juga, justeru itu, kere disingkap dan seorang umur kurang lebih tiga puluh tahun bertindak masuk. Dia ini dandan dengan ringkas,
dibelakangnya masih tergendol satu buntalan kuning, dan muka nya masih kotor dengan debu.
Eng Jiauw Ong dan Cu In lantas kenali orang ini, ialah Thio Hie, murid ketiga dari Ban Liu Tong. Dia berumur
lebih tua satu dua tahun daripada Ciok Bin Ciam, tetapi dia menjadi sutee, itulah disebabkan dia datang belajar
belakangan, sesudah dia belajar pada lain guru. Dikalangan persilatan, runtunan murid ada menurut siapa datang
terlebih dahulu. Ber sama2 Ciok Bin Ciam, Thio Hie ini adalah tangan kanan dari guru mereka, Namanya Ban Liu Tong sudah mengundurkan diri, namun diam2 ia suka
melepas murid2nya merantau untuk berbuat kebaikan. Dan Thio Hie ini, dimatanya Eng Jiauw Ong dan Cu In, pasti baharu saja melakukan suatu tugas, hanya mengenal hal ini, mereka tutup mulut.
Thio Hie memberi hormat pada nya, lalu ia kata "Tee cu telah berhasil menemui Siang ciang Tin Kwan see Sin Loo piauwsu di Hoo kee ouw, Ceng liong tin, setelah membaca surat suhu, tanpa sangsi lagi ia berjanji akan bertindak menuruti suhu. Katanya, sedang tiga hari pasti ia akan memberi kabar balasan."
Ban Liu Tong manggut. "Bagus," kata ia. "Aku percaya, Sien Loo piauwsu pasti akan membantu kita. Ia mengawasi muridnya itu, terus ia tanya "Melihat romanmu, kau agaknya ada hadapi sesuatu diluar dugaan, benarkah" "
"Suhu," kata sang murid, yang balas tanya, "See Gak
Pay didaerah Hoolam dan Siamsay, apa benar berada
dibawah pimpinan Am cu dari Pek Tiok Am di Hoa San" "
"Apa" " kata sang guru, dengan air muka muram. "Aku
menanya kau menghadapi sesuatu apa, kenapa kau tanya
halnya pimpinan Am cu" Kau berbuat tidak hormat!"
"Bukan begitu, suhu," terangkan sang murid. "Apa yang aku alami ada aneh sekali. Apakah murid Am cu ada yang pakai nama Hong" "
"Benar," Eng Jiauw Ong dului suteenya menjawab. "Dia
bernama Hong Bwee, tetapi ini ada namanya sendiri, nama dikuil adalah Siu Beng. Apakah kau ketemu dia" "
"Oh, kiranya murid ke lima Am cu, Siu Beng Suheng
bernama Hong Bwee!" berkata Thio Hie. "Kalau begitu,
pasti suheng sedang terancam bahaya. Teecu ada punya
serupa barang, silahkan suhu dan Am cu periksa."
Thio Hie rogo sakunya, akan keluarkan sepotong kertas, yang sudah lecak tak keruan, panjang dan lebarnya enam atau tujuh dim pesegi, itu bukannya kertas tulis yang biasa.
Ban Liu Tong menyambuti kertas itu, ia dapati tidak ada huruf nya, karena itu ada kertas bungkus, tetapi ia ada seorang berpengalaman, ia membawa kertas itu ke depan api, segera ia mengawasi dengan tajam. Maka sekarang ia dapatkan, kertas itu penuh dengan tusukan jarum, apabila sudah di perdatai, kelihatan petaan huruf. Ia terus
pahamkan berbagai peta itu hingga akhirnya ia dapat baca, sebagai berikut "Untuk suhu di See Gak. Kawanan penculik menuju ke Kanglam, mereka ambil jalan darat dan air
bergantian, penjagaannya sangat keras. Kadang2 mereka gunai obat tidur. Murid dan saudara In tak dapat
meloloskan diri. Harap suhu lekas menolong. Hong Bwee."
Setelah membaca habis, Liu Tong keluarkan seruan
tertahan. "Am cu, suheng, inilah surat rahasia dari Hong Bwee,
surat yang terjatuh kedalam tangan muridku," kata ia
kepada tetamu dan suhengnya. "Coba lihat ini."
Cu In biasanya tenang, tetapi kali ini air mukanya
berubah, ber sama2 Eng Jiauw Ong ia menghampiri meja
akan membaca surat rahasia itu, yang ia beber dihadapan api.
"Cara bagaimana kau men dapatkannya surat ini" "
kemudian nikow tua itu tanya Thio Hie. "Apa kau dapat itu dari Hong Bwee sendiri"
Apakah kau dapat melihat Suhengmu In Hong" Omong terus terang, jangan ada yang kau sembunyikan!"
Thio Hie insaf pentingnya urusan, ia tidak berani
sembunyikan suatu apa. Ia lantas memberikan keterangannya. Untuk satu urusan kepada Sien Wie Pang, piauwsu
terkenal di Kwan see, yang mendapat gelaran Siang ciang Tin Kwan see, yang tinggal di Ho kee ouw, Ceng liong tin.
Ban Liu Tong titahkan muridnya membawa sepucuk surat.
Dulunya, piauwsu itu ada tersohor tetapi belakangan, ia telah mengundurkan diri. Ketika urusan selesai, waktu itu sudah jam dua lewat Sien Piauwsu meminta Thio Hie
menginap satu malam dirumahnya, agar perjalanan pulang bisa dilakukan besok pagi, tetapi Thio Hie tidak berani abaikan tugasnya, ia pamitan dan berangkat pulang malam juga.
Malam itu sunyi, bulanpun sudah doyong ke Barat,
bintang bintang banyak, tetapi Thio Hie justeru gembira dengan suasana itu, ia melakukan perjalanan dengan gunai ya heng sut. Dari Ceng liong tin, ditempat terbuka, ia menuju ke Yo kee chung, Walaupun ia lari keras,
tindakannya tidak menerbitkan suara. Ketiga ia sampai dimuka tikungan dari gunung Siauw San, tiba2 ia dengar berisiknya tindakan kaki disebelah depan. Ia heran. Ia menduga, kalau bukannya rombongan piauwsu, itu mesti
ada orang kang ouw juga. Ia berhenti berlari, ia sembunyi disebuah pohon, matanya mengawasi.
Sebentar saja antara suara tindakan ramai, kelihatan
serombongan dari tujuh orang, yang mengiringi sebuah
kereta. Dijalanan sukar seperti itu, kereta jalan pelahan
sekali. Enam orang berpakaian ringkas serta membawa
golok dipinggang mansing2. Orang ke tujuh, yang berkumis berewokan dan bajunya thungsha jalan paling belakang.
Dua orang, yang berjalan didepan, bicara satu sama lain, tetapi suara nya rupanya tidak terdengar oleh pemimpinnya dibelakang itu.
"Hio cu terlalu berhati2, dia jadi bikin kita susah,"
demikian yang satu, dengan suara menggerutu. "Dengan
terus jalan diair, jalanan ada lebih ringan. Mustahil dengan adanya kita beramai, si bibit bisa lolos" Justeru dengan berjalan cara ini, aku kuatir, sebelum sampai dipusat, bisa terbit onar?"
"Jangan kau menggerutu," kata yang ke dua. "Aku
percaya, bukannya tanpa alasan yang Hio cu berlaku
demikian hati2. Selama sebelum keluar dari Hoolam, tiga kali kita telah menerima pemberitaan dari pusat Barat, katanya sejak kita mulai berangkat, orang telah mulai susul kita, bahwa jumlahnya mereka tidak sedikit. Liong Tauw Pang cu sendiri, dengan surat cepat telah titahkan setiap to cu di tempat2 yang dilalui untuk bantu melindungi. Bila tidak penting, tidak nanti dikirim segala pemberitaan dan pesan itu. Biar bagaimana, dua bibit ini tak dapat dibikin lolos. Asal kita sudah lewati gunung Siauw San ini, Hong To cu akan menyambut kita dengan perahunya".."
Karena orang lewat didekatnya, Thio Hie dengar
pembicaraan itu, tetapi ia antap orang lewati ia. Ia hanya heran dengan kata itu. Kata "bibit" membuat ia menduga pada orang culikan. Maka, untuk mencari tahu, ia lalu menguntit.
-o0dw0o- XVII Rombongan itu menuju kesebuah dusun kecil, mereka
berhenti didepan satu rumah penginapan. Thio Hie terus mengikuti, ia melihat orang ribut mulut kepada jongos, sampai si pemimpin datang sama tengah, katanya "Kami
bukan mau merampas, buat apa banyak mulut"
Kami dahar, kami sewa kamar, kami membayar! Jangan main
gila terhadap kami!"
Lalu muncul tuan rumah, yang memberi tahu bahwa
sebenarnya kamar habis, tinggal dua, disebelah depan, tentu tak cukup untuk mereka beramai.
"Kalau kamar penuh, bilang penuh!" kata si pemimpin.
"Biar kami pakai dua kamar itu, seadanya saja!"
Tuan rumah perintah pentang pintu pekarangan, akan
memberi kereta masuk. Begitu pintu ditutup, Thio Hie memutar kebelakang
dimana ia naik keatas genteng. Ia masih sempat melihat orang kerumuni kereta dari mana mereka keluarkan dua
bungkusan panjang, yang mereka gotong masuk. Jongos
nampaknya heran tetapi ia ditegur "Kau jangan heran, kami sedang jalankan tugas! Jangan banyak omong, jangan usil!"
Jongos itu berdiam, ia melayani seperti biasa, tetapi ia sudah menduga mereka ini mestinya orang jahat atau
saudagar busuk. Thio Hie melihat kamar cuma sepuluh, enam di Timur.
Dua yang dipakai rombongan itu berada di Utara, dua2
kamarnya kecil dan kate, belakangnya tidak ada jendelanya.
Ia merasa sulit. Diam2 ia meringkaskan pakaiannya. Ia menunggu sampai orang duduk bersantap, ia meloncat
turun. Ia menghampiri jendela, ia mengintai antara lobang jendela, hingga ia bisa melihat nyata.
Lima orang duduk memutari meja, si pemimpin duduk
madap kedepan, dia cuma mengicipi arak, tetapi yang
lainnya menenggak dengan rakus. Dipembaringan ada dua orang, yang rebah nyender separuh duduk. Mereka
terbelenggu kaki tangan, terang mereka ada satu lelaki dan satu perempuan, tetapi mukanya tidak tertampak nyata, rambut mereka awut2an. Dua orang dengan golok ditangan menjaga mereka itu. Thio Hie segera dengar, satu orang berkata "Sahabat, kapan kau ingin dahar atau minum,
bilang saja, kami tak dapat layani terus padamu. Kau
berdua juga mesti tahu diri, supaya kau tidak sampai
tersiksa!" Salah seorang tawanan mengangkat kepalanya, ia kata
dengan berani "Jikalau kau hendak bunuh Hoa Jie thayya, segera lakukan itu, tetapi jangan menghinakan kami, itu ada perbuatan satu pithu! Atau kita nanti damprat padamu!"
"Kau sudah terjatuh kedalam tangannya tuan2 besar,
jangan kau banyak tingkah!" kata orang ke dua, yang lebih muda. "Ingat, mati atau hidup, kau ada ditangan kita! Apa kau ingin tahu rasa" "
"Jangan berisik," kata si orang yang terlebih tua yang muncul sambil singkap muilie, kemudian ia teruskan pada dua orang tawanannya "Kau ada murid2nya ahli2 silat,
pasti kau mengerti bahwa siapa berhutang, dia mesti
membayar, maka itu, jangan sesalkan kami, karena sebagai orang2 titahan, kami mesti berlaku begini rupa kepada kau berdua. Asal kau jangan memikir yang tidak tidak, tidak nanti kami ganggu kau berdua. Umpama kau berniat juga, tidak nanti kau mampu loloskan diri, maka janganlah
mencari!" Kemudian, ia menoleh pada dua kawannya
"Bawa barang makanan kemari!"
Salah satu dari dua penjaga itu, yang tubuhnya tinggi, lantas pergi keluar, akan sebentar kemudian dia kembali
membawa barang makanan dan air minum, sedang
kawannya diperintah kendorkan belengguannya kedua
orang tawanan itu. "Kau daharlah," kata sipemimpin dengan manis budi
"Mengapa kau tidak hendak lekas habiskan saja jiwa kami"
" tanya siorang tawanan lelaki, dengan sengit. "Apa ini bukan berarti kau akan tinggalkan bibit bencana" Satu kali kami lolos, kita tidak akan kenal kasihan2 lagi!"
Thio Hie percaya, omongan itu ada untuk bikin orang
gusar, tetapi pemimpin itu tetap tenang, ia hanya kata pada dua penjaga itu "Sekarang pergi kau dahar, dan mewakili kau menjaga mereka ini. Jangan kau minum banyak2."
"Cee To cu, baik kau dahar dahulu, biar kami yang terus jagai mereka," kata dua orang itu.
Tetapi orang yang dipanggil Cee cu itu menggeleng
gelengkan kepala. "Kita berada ditengah jalan, aturan kita perlu tetap
diperhatikan," kata dia. "Pergi kau dahar! Sebentar kau boleh bergiliran."
Dua orang itu tidak berkata apa2 pula, mereka berlalu.
Thio Hie telah menantikan sekian lama, ia ibuk
sendirinya. Ia pun belum lihat tegas romannya dua orang tawanan itu. Ia bisa bongkar jendela, tetapi orang berjumlah besar, ia tidak mau berlaku sembrono. Tiba tiba ia dengar tindakan kaki, lantas ia bersembunyi ditempat gelap. Ia lantas lihat satu jongos datang bawa air matang, untuk kamar Timur. Ketika jongos itu keluar pula, selagi ia tundak hampiri jendela pula, mendadak ada suara diatas genteng, lalu satu bayangan berkelebat. Ia sembunyi terus, ia pasang mata.
Bayangan itu, diatas kamar Barat, celingukan kebawah, lalu dia meloncat turun akan menghampiri pintu kamar si orang2 jahat, kemana dia lantas masuk. Lekas2 Thio Hie mengikuti, untuk mengintai di celah2 pintu.
Orang yang baharu datang itu berumur kurang lebih tiga puluh tahun, romannya sangat licin dan kejam, pakaiannya ya heng ie biru, di bebokongnya tergendol golok,
dipinggangnya ada tergantung sebuah kantong. Dia bicara kepada orang2 jahat itu, yang rupanya tidak kenal baik padanya, karena semua siap sedia dengan senjatanya.
"Saudara2, aku datang atas titah Hong To cu," kata ia itu.
"Dari See louw Cong to, Pusat Barat, kami terima warta bahwa Cee To cu sedang antar dua biji bibit, maka itu"."
Dia belum bicara habis, atau tiba2 si pemimpin muncul.
"Oh, Cio Sutee!" kata dia.
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu. Aku percaya kau banyak senang mengikuti Hong To cu. Silahkan duduk."
"To cu, kita bukannya sahabat2 baharu, jangan seejie"
kata orang baru itu. "Aku datang untuk menyambut. Hong To cu telah menerima kabar dari pusat bahwa musuh sudah mengumpulkan kawan untuk tempur kita, bahwa mereka
sedang menyusul, maka kita diperintah menyambut. Aku
adalah juruwarta. Hong To cu sudah atur dua puluh orang untuk menyambut diperbatasan."
Thio Hie cerdik, dengan datangnya Cee To cu ini, ia
tahu bahwa kamar tahanan kosong, maka lekas2 ia menuju kesana. Dari jendela ia melihat si anak muda sedang
minum dan si nona sedang tunduk. Ia angkat daun jendela atas untuk melongok kedalam tetapi orang didalam dengar suara, walaupun pelahan, kedua nya angkat kepala dan
mengawasi. Ia seperti mengenali pemuda itu, tetapi ia melihat kurang tegas, maka ia lekas gerak geraki tangan kanannya akan menanya, mereka itu bisa lolos atau tidak.
Ia belum dapat d yawaban, atau ia dengar suaranya si
penjahat "Jangan alpa, pergi tengok!"
Thio Hie niat undurkan diri atau ia tampak, si nona
menimpuk kearah dia, dengan sebuah bola putih kecil,
ketika ia kelit, benda itu jatuh keluar jendela. Lekas ia turunkan daun jendela, ia jemput bola itu, terus ia
menyingkir, karena ia dengar tindakan kaki. Untuk periksa bola kertas itu, ia keluar dari pondokan, ia pergi ketempat sepi dimana ia nyalakan api cian lie hwee. Ia tidak lihat huruf2 kapan ia beber gulungan kertas itu, adalah setelah ia membulak balik didepan api, ia terperanjat akan melihat titik2 lobang yang merupakan surat, terutama alamatnya, untuk See Gak Pay. Segera ia membaca, sampai ia mengerti bunyinya surat rahasia itu.
"Aku tak dapat menolong mereka, tetapi baik aku coba
mencari keterangan lebih jauh," pikir ia kemudian. Karena ini, ia kembali kepondokan. Ia hampirkan tembok Timur, ia berloncat naik keatas genteng, benar waktu ia hendak
berloncat turun kedalam pekarangan, ia mendengar
samberan angin dari samping kiri, golok dan orang datang dengan berbareng. Dalam kaget ia berkelit, ia terus totok orang punya jalan darah sam lie hiat dari tangan kanan yang menyekal golok.
Penyerang itu berkelit, atas mana Thio Hie segera hunus pedangnya, tetapi, belum sampai pedang tercabut semua, dari belakang kembali datang serangan, dengan ruyung
lemas cit ciatpian. Sambil kelit kekanan, Thio Hie teruskan mencabut pedangnya, dengan apa ia balas menikam iga kiri musuh. Ia bisa bergerak gesit sekali.
Penyerang dari belakang itu menggeser kaki kiri, disusul geseran kaki kanan, dengan begitu ia bisa tangkis tusukan pedang. Tetapi Thio Hie, yang loncat kekanan, terus
mengangkat kaki kirinya menjejak lutut kiri orang itu. Ia mendapat hasil, hanya jejakan nya tidak mengenai jitu, karena sambil jatuhkan diri kebawah genteng, penjahat itu mengenai tanah seraya berdiri dengan kedua kakinya, cuma sebab sebelah kakinya sakit, ia toh rubuh celentang, hingga ruyungnya mengenai tanah dan menerbitkan suara,
membuat kaget orang2 didalam.
"Siapa" " begitu menanya tiga atau empat suara.
"Ada orang jahat!" ada jawaban penjahat diatas genteng.
Thio Hie ibuk juga, karena segera ia dikurung tiga
musuh. Iapun dituduh sebagai penjahat. Ia tidak mau
bertempur lama, ia menggertak dengan serangan, lalu ia lompat nyeplos, lari keluar pekarangan. Ia dikejar, tetapi ia ada sangat gesit, ia dapat melenyapkan diri, sesudah mana, lekas2 dan terus ia lari pulang ke Kwie in po. Ketika ia akhir nya sampai, penjaga pintu beritahukan ia hal
kedatangannya Eng Jiauw Ong dan Cu In Am cu serta
rombongan, maka ia cepat masuk untuk menemui.
Demikian ia serahkan surat rahasia dan tuturkan
pengalaman nya. Dua2 parasnya Eng Jiauw Ong dan Cu In Am cu jadi
berubah. "Penderitaannya In Hong dan Hong Bwee adalah karena
salahku seorang," nyatakan jago Hoay Siang itu. "Kawanan itu baharu melewati gunung Siauw San, jaraknya dari sini belum ada seratus lie, tak dapat mereka itu dikasi pergi lebih jauh! Biar bagaimana In Hong berdua mesti ditolong! Sutee, baik kau berangkat belakangan ber sama2 Am cu, aku
hendak berangkat sekarang!"
Eng Jiauw Ong segera berbangkit akan menjemput
buntalan nya. "Sabar, suheng!" Ban Liu Tong mencegah. "Kita telah mendapat tahu dimana adanya orang2 jahat itu. memang
tak dapat kita berayal pula, tetapi kalau kita hendak berangkat, marilah ber sama2! Aku lihat, kita bisa
menangguhkan keberangkatan sebentar lagi. Umpama
suheng dapat candak mereka, diwaktu siang hari, tak bisa suheng serta turun tangan. Aku percaya, In Hong berdua tak dalam bahaya langsung. Terang sudah penjahat culik In Hong dan Hong Bwee untuk pancing atau paksa kita
datangi sarang mereka. Aturan dari Hong Bwee Pang ada bengis, dimana telah ada pesan akan lindungi In Hong
berdua, fidak nanti mereka diperlakukan kasar atau kejam.
Atau pasti In Hong dan Hong Bwee akan bela dirinya.
Maka biarlah aku mengatur dulu sebentar disini, sebentar fajar baharu kita berangkat."
Eng Jiauw Ong bisa dibikin sabar, begitu juga Cu In Am cu.
Ban Liu Tong lantas pergi ke thia besar dimana ia
menghimpunkan orang2nya, disatu pihak orang pasang api terang2, dilain pihak, kentongan hong kong in poan telah dipalu hingga suaranya mengaung beberapa lie. Siapa
dengar tanda ini, biar bagaimana repot, orang mesti datang berkumpul.
Dalam tempo yang lekas, kumpullah orang penting dari
Kwie in po, Ban Liu Tong lantas tuturkan kepada mereka itu adanya persengketaan dengan Hong Bwee Pang, hingga sebagai orang Hoay Yang Pay, ia mesti ikut suhengnya, dari itu ia memesan, selama kepergiannya ia minta semua orang menjaga dengan waspada, semua mesti taat pada
wakilnya yaitu Thio Hie, murid nya yang kedua. Ia berjanji akan kembali dalam tempo satu atau setengah bulan.
"Dengan adanya Thio Jie ya sebagai wakil, pocu boleh
pergi dengan hati Yega!" demikian orang banyak
memberikan janji nya. Cukup dengan tindakannya itu. Ban Liu Tong bubarkan
himpunan. Selama itu sudah jam lima. Guru ini pesan pula Thio Hie, setelah itu, ia kembali keruangan Barat. Iapun perintah lekas sediakan barang makanan dan teh, untuk mengisi perut bersama kedua tetamunya.
"Mari kita berangkat," kata Siok beng Sin Ie kemudian, sesudah mereka dahar cukup.
Justeru itu, Coh Heng menghalang didepan gurunya, ia
nyatakan ingin ikut. Ia tidak mau disuruh terdiam dirumah dibawah kendalian jie suhengnya. Ia kata ia mau turut kemana guru nya pergi. Sia2 saja Liu Tong memberi
keterangan dan nasihat. Biasanya ia dengar kata tetapi kali ini, ia membandal. Selagi sang guru kewalahan, Cu In Am cu nyatakan baik murid itu diajak, benar dia tak mengerti ilmu entengi tubuh tetapi dia bertenaga besar, sedikitnya murid ini boleh diperintah bawa buntalan dan disuruh
suruh. "Siapa tahu bila ia ada guna nya" " nyatakan si nikow tua terlebih jauh. Dengan begitu, mereka juga tak usah membuang tempo dengan membujuki si "tolo!" itu.
Diakhirnya Ban Liu Tong mengajak muridnya

Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan Kwie in po, akan turun dari gunung Kian
San. Maka itu, rombongan mereka jadi berjumlah sembilan orang. Mereka memotong jalan menuju ke Siauw San.
Mereka jalan selagi cuaca fajar remang2, pada jam Sin sie, kira2 jam tujuh atau jam delapan, mereka sudah sampai di Tan kee tun, mendekati jalan besar umum. Mereka sudah lalui empat puluh lie lebih.
"Jumlah kita besar juga, untuk singkirkan kecurigaan, baik kita jalan berpencar," Eng Jiauw Ong mengusulkan pada su teenya.
"Suheng benar," setujui Siok beng Sin Ie, "cuma kita tak dapat berpisah terlalu jauh. Kapan sebentar kita sampai diluar batas Siauw San, hari tentu masih siang, Thio Hie bilang, disana ada dua rumah penginapan, kita baik
mengambil satu pondokan saja, asal datangnya saling
susul." Cu In pun setuju, maka antas mereka berpecah dua,
yalah si nikow bersama murid2 nya, dan Eng Jiauw Ong
bersama Ban Liu Tong serta murid nya mereka ini. Cu In jalan lebih dahulu.
Pada jam Sien sie, tiga atau empat lohor, mereka sudah mulai melihat dusun diluar batas gunung Siauw San.
Menurut Thio Hie disebelah Timur ada penginapan Kit
Seng dan di Selatan Hok Goan. Cu In dapat mencari
dengan gampang hotel yang pertama itu kemana ia menuju langsung. Sebelum ia mengambil tempat, ia sengaja tanya dahulu pelayan, disitu ada kamar yang bersih atau tidak, ia minta melihat semua kamar, hingga ia dapat kenyataan, kawanan Hong Bwee Pang masih belum berangkat,
keretanya pun masih ada. Diam2 ia bersyukur, tetapi juga ia kagum untuk nyali besar penjahat itu, yang tidak lekas2
berangkat walaupun tadi malam ada terjadi peristiwa.
Diam2 Cu In titahkan Siu Hui pergi papaki Eng Jiauw
Ong, untuk suruh kawan itu menginap saja dihotel Hok
Goan, supaya mereka itu tak usah ketemu dengan pihak
penjahat, agar mereka tak sampai dapat dikenali.
Selagi pelayan datang dengan air teh, Cu In Am cu
menanya pelayan itu tentang kereta diluar kepunyaan hotel
atau tetamu. Ia kata ia berniat menyewa kereta untuk
lanjutkan perjalanannya. Pelayan itu berikan keterangan bahwa kereta itu adalah kepuyaan tetamu2nya dari kamar Timur.
"Mereka berjumlah enam atau tujuh orang, sebuah
kereta mana cukup" "
"Jumlah mereka memang besar," sahut si pelayan.
"Rupanya mereka ada dari pihak kepolisian, kereta itu ada untuk dua orang diantaranya?"
"Apa dua orang itu ada orang2 sakit" Berapa umur
mereka" " tanya Cu In.
Pelayan itu menggeleng kepala.
"Mereka itu datang tadi malam," sahut ia. "Mereka
sudah berdiam disini satu malam dan satu hari, tetapi sampai sekarang ini, belum pernah aku mendapat lihat dua orang itu. Kami dilarang masuk kedalam kamarnya dua
orang itu"." Pelayan ini tidak dapat berbicara lobih jauh, karena
pihak sana terdengar memanggil padanya. Tetapi apa yang dia katakan sudah cukup akan menguatkan dugaannya Cu
In Am cu bahwa rombongan itu adalah kawanan penjahat
yang dimaksudkan. Tidak lama, Siu Hui telah kembali, akan bawa balasan
kabar dari Eng Jiauw Ong dan Kan Liu Tong dengan siapa ia bertemu sendiri. Mereka itu menjanji akan datang
selewat nya jam dua dan Cu In diminta pasang mata,
dikuati musuh yang licin itu nanti bisa gunai daya untuk meloloskan diri.
Cu In pun pesan murid2nya berlaku waspada pula.
Sorenya, sehabis waktunya dahar, sesudah tak terlalu
banyak orang keluar masuk, Siu Yan bertindak keluar
kamar. Dijalanan kedapur ia melihat pelayan membawa
tehkoan. Dikamar Timur ia melihat bayangan dari banyak orang. Di dua kamar penjahat, yang apinya lemah, keadaan ada sunyi sekali. Ia heran. Selagi ia memandang kepayon, ia melihat selembar kertas ter tiup2 angin. Ia jadi semakin heran. Ia tidak melihat orang disitu, ia segera maju akan menghampirkan, lalu sambil mengenjot tubuh ia jambret kertas itu. Selagi turun, ia sekalian melongok kedalam kamar. Untuk kagetnya, ia mendapati kamar kosong! Tak ayal lagi ia lekas kembali kekamarnya sendiri.
Cu In sedang duduk bersamedhi kapan ia tampak roman
aneh dari muridnya yang keenam itu.
"Ada apa, Siu Yan" " ia mendahului menanya.
"Rupanya orang2 jahat sudah lolos!" sahut Siu Yan
dengan romannya tegang. "Apa" " tanya sang guru. "Bagaimana kau ketahui itu" "
"Kamar mereka kosong! Tee cu dapati surat ini dipayon kamarnya, entah apa bunyinya, karena tee cu belum baca,"
jawab murid itu sambil segera angsurkan sepotong kertas itu.
Cu In menyambuti dengan cepat, hingga ia bisa lantas
membaca "Kepada Nikow tua dari See Gak Pay! Sudah
lama kami menantikan, tetapi tak juga kau datang, maka, selamat tinggal!
Nanti disebelah depan saja kita bertemu pula!"
Bukan main murkanya pendeta wanita ini, hingga ia
lempar surat itu. "Didepan kita, penjahat gunai kelicinannya, aku malu
bertemu dengan Ong dan Ban Supemu!" kata ia pada
murid2nya. "Lekas siap, mari kita susul mereka itu!" Lalu ia tambahkan pada Siu Seng, muridnya yang kedua "Lekas kau pergi kehotel Hok Goan akan beritahukan kedua
supemu untuk mereka segera berangkat! Bilang kita akan bertemu di Liong hoa!"
Siu Seng menurut, ia lantas berangkat.
Cu In panggil pelayan, dengan alasan ada urusan penting ia lakukan pembayaran, lalu ia ajak murid2nya berangkat.
Dijalan besar, dimana memang tak banyak toko atau
warung, semua pintu sudah ditutup, dan yang berlalu lintas tinggal satu atau dua orang. Maka itu, empat orang ini lantas gunai ya heng sut. Sang guru masih gusar, ia sampai melupai muridnya, ia lari demikian pesat hingga tiga
muridnya ketinggalan. Setelah enam lie, Siu Yan dan Siu Hui berada setengah lie dibelakang dan Siu Sian, murid ketiga, dengan susah payah, dapat juga menyandak
gurunya. Nikow ini menduga, penjahat itu tentu menyangka ia
akan lantas menyusul. Ia percaya, mereka pasti akan
mengambil jalan air di Timur Daya kota Eng leng, bahwa jalan pertama yang diambil ada jalan perhentian Ang touw ek. Maka iapun mengambil jurusan ini. Disini jalanan ada belukar atau ladang kaoliang, di ladang, jalanan banyak cabang nya, keadaannya sangat sepi. Maka selagi
perhatikan jurusan, pendeta ini tak berlari lagi.
"Mana mereka" " ia tanya Siu Sian, selagi murid ini
dekati ia. Ia maksudkan dua murid2nya yang lain.
"Kedua sutee ketinggalan," sahut Siu Sian.
Cu In hendak menanya pula ketika dengan tiba2 ia
mengebut tangannya sambil loncat kedalam ladang,
perbuatan mana diturut oleh muridnya, kemudaan mereka melihat, setengah panahan diauhnya disebelah kiri mereka, ada dua bayangan lari melesat. Baharu keduanya hendak munculkan diri, atau Siu Yan berseru dengan tertahan
"Masih ada, suhu!...."
Benar saja, lagi dua bayangan melesat lewat.
"Mari kita kejar!" Cu In kata pada muridnya. sambil ia mendahului meloncat keliri, kejalan yang diambil empat bayangan itu.
Siu Sian susul gurunya. Ia menduga empat orang itu
tentu orang2 dari Rimba Hijau.
Cu In Am cu niat mencegat, dari jalanan kecil itu ia
menuju ke Timur. Empat bayangan itu rupa2nya ada orang2 Rimba Hijau
yang liehay, mereka baharu saja menikung dan lari terus kearah Timur itu.
-o0dw0o- XVIII Orang seperti main kejar2an. Selagi pendeta dari See
Gak Pay mengejar terus, empat bayangan didepan itu,
muncul dan lenyap saling bergantian, lalu lenyap dan
muncul pula. Dibelakang pendeta ini menyusul beruntun ketiga muridnya, Siu Seng dan Siu Yan ketinggalan
dibelakang Siu Sian. Mereka tetap berada ditanah ladang, dimana kadang2
ada gubuk untuk petani meneduh. Selagi Cu In dan Siu
Sian lewati sebuah gubuk, mendadak dari atas itu melesat turun satu bayangan, turun disebelah depan mereka.
Gesit luar biasa, Cu In lompat kesamping kiri, dan Siu Sian, tanpa pengunjukan lagi, melesat kekanan. Inilah kebiasaan orang yang berjalan malam, untuk tidak berada berkumpul. Cu In sudah lantas rogo tiga batang See bun Cit poo cu, muridnya pun bersiap seperti Cu In juga.
"Apakah am cu disana?" tiba terdengar pertanyaan,
selagi kedua pendeta itu hendak geraki tangan mereka
masing2. "Oh, Ban Loo su!" berseru Cu In, yang batal dengan
penyerangannya. Ia kenali suara itu, yang berat.
"Su siok!" memanggil Siu Sian, yang pun sudah lantas
simpan senjata rahasianya.
"Siauw suhu!" berkata Liu Tong kepada murid pendeta
itu. "Am cu!" ia teruskan pada Cun. "Eh, mana lagi dua
murid Am cu?" Cu In kerutkan dahi, agak nya dia likat. Dia bukan jawab tabib itu, ia hanya kata "Sudah ia puluh tahun pin nie andalkan pedangku, belum pernah aku gagal, siapa sangka malam ini aku kena dipermainkan oleh segala tikus!
Sebenarnya malu aku akan menemui Ban Loo su?"
Selagi Ban Liu Tong merasa heran, pendeta ini tuturkan hal lolosnya kawanan penjahat, hingga ia mesti menyusul dengan segera, hingga dua muridnya ketinggalan jauh
dibelakang. "Pin nie sangka kawanan itu menuju ke Ang touw po,
maka pin nie menyusul kemari, tetapi mereka telah
mendahului lewat," Cu In tambahkan. "Baharu saja mereka itu lenyap didepan kita". Pin nie tidak sangka Ban Loosu telah dapat menyusul kemari. Apakah loosu ada menemui suatu apa ditengah jalan?"
"Dalam hal ini, kekeliruan kita adalah karena kita
pandang enteng kepada musuh," sahut Siok beng Sin Ie, si Tabib Malaikat Penyambung Jiwa. "Diluar sangkaan,
didalam rombongan mereka ada orang yang liehay. Ketika kita terima kabar dari Siu Seng, kita berangkat dengan segera. Baharu kita meninggalkan tempat mondok, atau kita lantas melihat musuh. Dengan cerdik, mereka mencoba
memisah kita berdua, hingga kita masing2 mengejar
sendiri2. Kita sudah pesan Siu Seng untuk ajak Su touw Kiam dan Coh Heng menuju langsung ke Ang touw po, kita larang mereka melayani musuh. Musuh itu menyingkir
kedalam ladang yang lebat. Inilah sebabnya kita jadi
bertemu disini. Menurut penglihatanku, am cu, orang
hendak bikin kita menyasar jalan, orang sengaja hendak perlambat kita. Disini cuma ada jalanan kearah Timur, tidak kearah Selatan. Maju lebih jauh, kita akan sampai di Gie yang, kotanya. Penjahat membawa dua mangsanya,
tidak nanti mereka mengambil jalan raya dimana mereka bisa tarik perhatian umum. Konconya Hong Bwee Pang
tersebar dipelbagai tempat tetapi umumnya lebih banyak dipihak air. Juga diair ada lebih gampang buat mereka memapak atau menyambut. Sekarang mari kita menuju ke
Ang touw po akan gabungkan diri dengan Ong Suheng, dari sana kita pergi ke Liong hoa. Aku pikir kita baik berpecah dua akan ambil jalan darat dan air dengan berbareng.
Bagaimana pikiran am cu?"
"Ban Loo su benar," sahut Cu In. "Barusan kita kena di permainkan, aku tidak puas sekali, maka mari kita maju dahulu akan melihat daerah ladang ini, yang luas. Kalau disini ada jalanan cabang, penjahat mestinya telah ambil itu. Kita mesti ketahui kemana mereka menuju, atau disini mereka mempunyai tempat persinggahan. Aku percaya
mereka menyingkir terus ke Timur. Silahkan Ban Loo su
berangkat lebih dahulu, disana tolong tunggui pin nie. Atau barangkali loo su ingin ikut bersama dulu"."
Melihat sikap orang itu, Ban Liu Tong jadi kagum, ia
tidak berani mencegah. "Baiklah, am cu," kata ia. "Mari kita berangkat!"
Tanpa sungkan lagi Cu In enjot tubuhnya, akan
berloncat, perbuatan mana ditelad oleh Ban Liu Tong.
Maka itu, Siu Sian pun turut ber lari2 akan menyusul, mengikuti.
Sampai kira2 satu lie, mereka tidak melihat jalanan
cagak. Dua lie kemudian, mereka dapati ladang kacang
serta dua tiga bidang tanaman sayur, yang hidup dari air sumur. Disini Cu In kendorkan larinya, untuk bisa melihat kesegala penjuru. Ladang ada sangat luas, melainkan diarak Timur tertampak gundukan tanah tinggi.
"Lihat loosu, tanah ladang yang luas ini," kata Cu In.
"Gundukan tanah di Timur itu rupanya ada gunung Liang Seng San. Selewatnya batas gunung itu ada dusun Han seng tin. Apa bisa jadi mereka sudah pergi kegunung itu" Mari kita pergi ke sana, barangkali di Han seng tin kita tak akan kecele?"
"Mari, am cu!" Ban Liu Tong menyatakan setuju.
"Mungkin penjahat singgah disana."
"Tempat ini rada terbuka, kita harus lekasan," pendeta itu bilang.
Ban Liu Tong manggut, lantas ia mengikuti nikow itu
membuka tindakan pesat. Siu Sian mengikuti terus tanpa ia berani campur bicara.
Mereka menuju ke Timur, selewatnya tiga empat lie
mereka sampai disebuah bukit yang tinggi. Itu adalah
gunung Liang Seng San, dijurusan Barat laut. Mereka
hampirkan kaki bukit. Disini ada rumah2 penduduk tetapi tidak merupakan kampung. Berdampingan dengan lamping
gunung ada belasan rumah, yang terbenam dalam
kesunyiannya ang malam. Rumah itu nampaknya tak
pantas untuk jadi sarang penjahat. Maju lebih jauh, Cu In menghampiri sebuah pekarangan luas yang dilingkungi
tembok yang tingginya setumbak lebih, buatannya kekar, yang kelihatannya tidak surup, sebab letaknya ditempat sedemikian sunyinya.
Untuk mendekati, Liu Tong mengajak Cu In dan
muridnya berpencaran. Tiba2 disudut Barat daya ada satu bayangan berkelebat kearah Selatan. Dijurusan itu ada tanah tinggi, yang sampai pada ladang rata. Liu Tong ingin memberi tanda pada Cu In, akan tetapi pendeta itu sudah mendahului mengumpat didalam semak. Ia pikir akan terbicara dengan Siu Sian, yang sedang menghampiri padanya, tetapi murid nikow ini pun sudah lantas berbisik "Guru minta supe kejar penjahat itu."
Mengerti yang Cu In pun telah melihat bayangan itu, Liu Tong lak ayal lagi loncat menyusul. Dibelakang ia Siu Sian membuntuti.
Orang tadi berlari kearah Barat daya, jauhnya tiga
panahan, ia masuk kedalam ladang lebat, sedetik ia
menerbitkan berisiknya suara dedaunan, lalu sunyi senyap.
"Sudahlah, supe, kita jangan menuysul terus!" terdengar suara nya Siu Sian. "Didaerah ini ada beberapa orang kang ouw, mereka nanti mungkin ketemu musuh kita, maka kita jangan mem buang2 tempo disini. Mari kita kembali ke
Liong hoa ek supaya orang disaana tak usah ibuk
mengharap kita!" Suaranya murid Cu in ini ada keras, lantas ia putar tubuh untuk berlalu, ber sama2 saudaranya Eng Jiauw Ong.
Ketika sudah jalan sedikit jauh dan mendekati sebuah
pohon besar, tiba2 satu orang kelihatan loncat turun sambil melayang, kakinya menginjak tanah dengan tanpa bersuara.
"Siapa?" menegur Liu Tong, yang ber sama2 Siu Sian
berloncat menyamping. "Aku, loosu," sahut suaranya Cu In. "Kita telah terlihat oleh musuh!"
"Apakah am cu tahu dimana sembunyinya musuh?" Liu
Tong bertanya. "Ya," sahut nikow itu. "Penjahat tadi cuma memancing
loosu dan muridku, untuk menyimpangkan sasaran kamu
berdua. Dia sembunyi ditempat belukar, lalu dengan diam2
dia jalan memutar, akan kembali ketembok besar itu. Aku naik ketempat tinggi, dengan begitu aku jadi bisa melihat gerak geriknya. Tembok itu pasti ada sarang mereka. Aku percaya mereka duga kita telah pergi ke Ang touw ek.
Bagaimana bila kita selidiki gedungnya itu?"
"Kitapun telah duga permainan gila dari penjahat ini, maka tadi kita berpura pura balik," menerangkan Liu Tong.
"Kita harus waspada, mereka cerdik sekali. Aku percaya, ini bukanlah pusat mereka, ini sekedar cabang saja"
Cu In manggut, ia menoleh pada muridnya yang ke tiga.
"Kita hendak selidiki sarang penjahat itu, hati2, didepan su pe jangan kau banyak tingkah," ia memesan.
"Jangan kuatir, suhu, didepan supe aku tak berani main gila," sahut Siu Sian.
Kembali guru itu manggut.
"Nah, loosu, mari kita selidiki dahulu sekengnya tembok itu, lalu kita berkumpul dibelakang ia mengajak.
Liu Tong setuju, ia menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, perkenankanlah aku jalan duluan," kata Cu In.
Nikow ini berpengalaman tapi ia beradat keras, maka itu ia mau berjalan lebih dahulu, karena mana, Liu Tong jadi mengambil jalan sebelah Barat.
Tembok itu letaknya dikaki atau lembah Selatan dari
Liang Seng San. Waktu itu rombongannya Cu In berada
disebelah atas, maka untuk menghampiri, mereka mesti
jalan mudun. Ketiganya telah menunjukkan keentengan
dan kegesitan tubuh mereka. Mereka tak menghiraukan
jalanan banyak batu dan pepohonan yang sukar.
"Bagaimana?" tanya Cu In, yang sampat lebih dulu
dibelakang. "Loosu melihat apa2?"
Mereka telah berkumpul pula dalam tempo yang pendek.
"Tidak apa2, am cu. Bagaimana dengan am cu sendiri?"
Liu Tong baliki. "Aku melihat tiga jebakan, yang tak dapat dipakai
mengabui kita," sahut Cu In. "Tapi itupun membuktikan kelicinan mereka."
"Ya, mereka liehay sekali," kata Liu Tong. "Lihat saja carauya mereka mendirikan tempat ini serta diaturnya
berbagai pohon. Dibelakang sana ada pekarangan untuk
berlatih silat. Lihat itu lima rumah disebelah Utara dengan pohon2 siong dan pek serta jalannya yang rapi. Dari kamar kecil di Selatan itu tampak cahaya api tapi kamamya
sunyi?" Cu In Am cu menganggukkan kepala.
"Mari kita coba lihat," kata ia.
"Silahkan, Am cu."
Cu In loncat naik ke tembok akan lompat turun kedalam, akan menghampiri rumah yang mereka persoalkan.
Didalam tembok itu terdapat pekarangan luas serta
beberapa rumah, jadi bukan melainkan sebuah gedung
besar saja. Dari luarnya tembok pekarangan itu kelihatan seperti temboknya sebuah gedung.
Liu Tong dan Siu Sian mengikuti nikow tua itu. Mereka pisahkan diri satu dengan lain jauhnya setumbak lebih.
Mereka melihat nyata satu pekarangan yang luas, tempat yang banyak pepohonan nya dan lapangan latihan silat.
Diujung Barat daya lapangan itu ada sebuah rumah dari mana keluar cahaya api.
Liu Tong menyambit dengan sebuah batu kedalam
kebun, ia tak mendengar sambutan apa2, maka ia terus
loncat turun akan menghampiri rumah itu, sebuah rumah batu kecil tetapi kekar. Jendela kayu, yang kecil, teraling dengan kertas minyak.
Mendekati jendela itu, Liu Tong mendengar suara napas menggerus. Ketika ia tolak pintu angin, yang melainkan dirapatkan, dari dalam semerbak baunya arak. Ia
mengawasi ruangan dalam yang kotor, lantainya pun
teralas rumput. Didepan pintu terdapat dua buah gelang dengan
rantainya masing2, dan didekat gelang ada tergantung
sebuah cambuk kulit. Meja kecil terletak dekat jendela, ditatas meja terdapat sebuah lampu yang apinya menyala.
Disitu pun terdapat sisa makanan berikut piring dan
mengkoknya serta dua poci arak, yang sudah terguling.
Seorang yang rupanya mabuk arak, terlihat berbaring
terlentang dengan sebelah kaki tertekuk.
Liu Tong pentang daun pintu, ia menoleh pada Cu In
sambil memanggut. Nikow itu menghampiri, baharu melongok atau ia sudah
mundur pula. Ia rupanya tak tahan akan baunya arak.
Liu Tong pun merapatkan pintu akan mengikuti nikow
itu. Mereka menyingkir jauh dari kamar tersebut.
"Rupanya itulah tempat tahanan orang," Liu Tong
mengutarakan sangkaannya. "Sayang setan pemabokan itu tak dibereskan"."
"Baik kita lihat kedepan," Cu In bilang. "Kita mesti
belajar kenal dengan orang2 Rimba Hijau disini?"
Liu Tong menyahuti "Ya" lantas ia mengikuti lebih jauh.
Segera mereka mendekati sebuah rumah dengan lima
ruangan, mereka berkumpul didepan pintu pojok. Disini Liu Tong mencoba berkelebat, ia tidak mendapati akibat apa2. Lalu ia menolak daun pintu, akan bertindak masuk.
Tapi segera satu bayangan besar, lompat menubruk
padanya. Itulah seekor anjing galak, yang biasa menyerang tanpa menyalak lagi.
Siok beng Sin Ie tidak kaget atau takut, sambil berkelit ke kanan, ia ulur sebelah tangannya akan menyamber satu
kaki dari anjing itu, sedang tangan yang lain nya menimpa kepalanya anjing itu. Hampir tak bersuara kepala binatang itu hancur, tubuh anjing itu rubuh tanpa bernyawa lagi.


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Justeru itu, diantara suara menyalak yang keras, seekor anjing lain, yang terlebih besar, menubruk dari belakangnya Liu Tong. Tabib ini berlompat kesamping, ia berniat balas menyerang, tetapi Cu In mendahului membabat dengan
pedangnya, hingga tubuh binatang itu kutung dua dalam tempo sekejapan mata!
Setelah itu, mereka loncat akan mengumpatkan diri,
karena kuatir ada penjahat yang keluar dan melihat mereka.
Kemudian ternyata, mereka bersembunyi dengan sia2,
berhubung disitu rupanya tidak ada orang kecuali dua ekor anjing itu. Maka itu, mereka lantas loncat naik kepayon rumah.
Ketika itu, sinar api kelihatan disebelah depan, dibagian Selatan. Mereka menuju kesana. Sambil bersembunyi,
mereka melongok kedalam sebuah pekarangan yang, luas, dimana, antara cahaya api yang terang, mereka melihat sebuah rumah dengan lima ruangan atau kamar, yang
dibuat dari tembok, yang wuwungannya dibuat dari pada batu, buatannya kekar, bentuknya luar biasa. Ruangan
tengah ada tinggi sekali, untuk menghampiri itu orang mesti jalan ditangga batu. Di muka rumah pun ada jalanan
istimewa yang disebarkan batu disitu setiap lima kaki, ada sebatang tiang dengan lenteranya dari kertas. Jalanan itu belasan tumbak panjangnya, batasnya ada sebuah pintu
model bulan. Waktu itu, dua orang kelihatan berjalan dijalanan
istimewa itu. Di tangga rumah besar ada berdiri empat orang lelaki, semua bertubuh tinggi besar, masing2 menyekal sebatang golok, yang mestinya dicekal dengan dua tangan.
Ditangga rumah besar tampak bersatu kate dan satu
jangkung, mengenakan pakaian malam dengan golok
dibebokong masing2. Pada bebokong mereka juga ada satu bungkusan besar. Ketika mereka berbicara dengan empat orang itu rupanya pengawal keempat orang itu lantas
berpencar kedua samping, untuk mengasih mereka lewat, akan bertindak naik dan masuk kedalam.
Ban Liu Tong dan Cu In Am cu dengan berani
menghampiri rumah besar itu, untuk bisa menyaksikan
lebih jauh. Mereka mengintai.
Dimuka thia tergantung sebuah sero, yang sudah
digulung naik, maka disitu kelihatan sebuah meja pat sian toh serta kursi thay su ie. Perabotan lainnya tidak ada. Api datangnya dari lilin atas ciaktay bersusun tiga.
Dikursi sebelah kiri berduduk seorang perempuan umur
kurang lebih tiga puluh tahun. Kulit mukanya kehitam
hitaman, tetapi romannya manis dan menarik hati. Ia
berpakaian serba hijau dan ringkas, kepalanyapun di
bungkus dengan ikat kepala hijau juga. Melihat rupanya, ia seperti baharu pulang dari suatu perjalanan. Beberapa orang lelaki datang pada nyonya ini akan memberi laporan, suara mereka tidak terdengar nyata, hanya kemudian, yang
terakhir membuka sebuah bungkusan didepan nyonya itu.
Isinya bungkusan adalah rupa2 barang perhiasan permata dan uang, separuh dari itu dipisahkan, dibiarkan didepan si nyonya, yang lainnya dibungkus pula dan dibawa pergi
keluar. Cu In dan Liu Tong segera mengerti, nyonya muda itu
ada kepala penjahat, dan dia sedang terima bagian.
Mestinya nyonya itu liehay, kalau tidak, tidak nanti dia sanggup kendalikan kawanan penjahat lelaki itu. Mereka hanya belum pernah dengar hal penjahat perempuan ini di daerah Hoolam.
Kawanan penjahat itu sama sekali ada belasan. Setelah selesai "upacara" pembagian harta itu dan ia sudah pesan salah satu kawannya, si nyonya menguap, ia bangun
berdiri, atas mana, semua kawan itu pada mengundurkan diri, ada yang ke depan, ada yang keruang Timur dan Barat.
Sesudah berada sendirian, nyonya itu jalan mundar
mandir, kemudian ia mengangkat tangan kepada empat
orang yang menjaga dimuka pintu seraya berkata "Bawa
buah Nirwana itu kekamar Timur dan jaga baik2 dan titik anak itu giring kekamar belakang, aku hendak periksa
padanya!" Empat orang itu masuk kedalam, akan sebentar
kemudian keluar lagi sambil menggiring dua orang, yang diantara terangnya api nyata adalah Siu Seng, murid kedua dari Cu In Am cu, dan Su touw Kiam, muridnya su heng
dari Siok beng Sin Ie Ban Liu Tong. Jadi adalah mereka ini yang dalam kata rahasia kang ouw disebut "buah Nirwana"
dan "titik anak". Keadaannya mereka mirip dengan orang sedang mabok atau layap2, seperti tak sadar akan dirinya.
Dengan separuh dipayang mereka dibawa turan keundakan tangga batu.
Cu In Am cu jadi begitu murka, hingga ia sudah lantas merabah pedangnya.
"Sabar," berbisik Liu Tong, yang melihat kegusaran
kawannya itu. "Kita ada disini, kita kuatirkan apa lagi"
Baik kita lihat dulu, apa yang penjahat perempuan itu hendak berbuat?"
Cu In dapat dibikin sabar, maka bersama ketua dari
Kwie in po ia terus pasang mata.
Nyonya muda itu mengikuti keempat orangnya itu.
"Baiknya mereka mengambil jalan pintu Timur," Liu
Tong berbisik "jikalau mereka mengambil jalan Barat, pasti mereka akan melihat bangkainya dua ekor anjing itu?"
Setelah berkata begitu. Liu Tong gerakkan tubuhnya
akan mulai menguntit. "Tentulah Ciu kwie Laliw Sam si Setan Pemabokan
sudah mabok pula!" tiba2 si nyonya muda berkata pada
keempat orangnya. "Lihat, kenapa sudah begini malam, dia tidak melepaskan Toa Hek dan Jie Hek" Setan itu mau
mencari mampus, dia coba membikin aku gusar, nanti dia tak dapat kuampuni lagi!"
Liu Tong dan Cu In menduga Lauw Sam tentulah orang
yang tadi rebah mabok arak, dan Toa Hek serta Jie Hek adalah namanya kedua anjing besar itu.
Siu Seng telah dimasukkan kedalam sebuah kamar kecil
di pojokan, dua penjahat mengikuti padanya, dan dua
penjahat yang lain, membawa terus Su touw Kiam kekamar atas, yang sekarang sudah terang dengan cahaya lampu.
Dari sini dua penjahat itu keluar pula, dan si nyonya muda terus masuk kedalam.
Dengan mengentengi tubuh, Ban Liu Tong meloncat
turun kedalam pekarangan, ia hampiri jendela. Segera ia mendengar suara air dituang, hingga ia merandek. Ia ada satu laki2, malah ia ada jago Hoay Yang Pay, cara
bagaimana ia bisa mengintip orang perempuan" Maka ia
lekas menggapaikan Cu In, yang bantu memasang mata.
Cu In yang melihat isyarat itu, lalu meloncat turun.
Liu Tong menunjuk ke kamar, nikow itu mengarti, ia
maju ke jendela. Selagi Siok beng Sin Ie hendak loncat naik kegenteng, akan menggantikan si pendeta wanita, ia melihat satu
bayangan berkelebat diatas kamar Barat, maka itu, ia
mencelat kesebelah Timur, hingga ia melihat bayangan itu sedang mendekam dipinggiran wuwungan. Ia menduga
bahwa bayangan itu bukannya musuh, akan tetapi ia ingin dapat kepastian. Ia berlompatan akan mengambil jalan
memutar, sampai ia datang dekat dibelakang bayangan itu.
Disaat ia hendak menerjang, tiba2 bayangan itu berdiri, sambil memutar ia berkata "Su ?"
"St!" Liu Tong memberi tanda sebelum orang itu sempat mengeluarkan kata2 "
pe." Bayangan itu adalah Siu Sian, yang bertindak dengan
hati2 sekali menurut pesan gurunya, dari itu, sampai waktu itu dia baharu sampai disitu.
Liu Tong pesan nona ini memasang mata, ia sendiri terus meloncat turun akan menghampiri Cu In, siapa sudah
mengintai kedalam. Ia menunjuk kekamar. Nikow tua itu goyang
kepala terhadapnya, tapi setelah itu, ia melambaikan tangan dan menunjuk kejendela. Liu Tong
mengarti isyarat itu, ia lalu mendekati jendela itu akan mengintai. Cu In sudah pecahkan kertas jendela dari mana tadi ia melihat kedalam. Baharu. Liu Tong melihat, atau ia jadi sangat gusar, hingga ia menoleh pada si nikow, untuk memberi tanda akan turun tangan. Tapi mendahului ia, Cu In sudah loncat kesebelan Timur dimana ada jalanan gang.
Diam2 Liu Tong kagumi nikow tua itu.
"Terang dia tak hendak membikin malu aku maka dia
menyerahkan tugas ini kepadaku," pikir tabib ini.
"Memang, akulah yang mesti mengurus keponakan
muridku". Apakah yang membuat jago Kwie in po ini
menjadi demikian gusar itu?"
Didalam kamar, perempuan muda tadi telah bersanggul
dengan rapi, mukanya dipupuri, alisnya disipat, bibirnya dimerahi. Dia telah mengenakan baju pendek yang sepan, potongannya ramping, citanya halus. Sepasang kakinya
ditutup dengan kasut yang melengkung. Dengan tubuhnya yang langsing, perempuan itu sesungguh nya dapat
menggiurkan hati orang. Su touw Kiam berduduk dikursi dengan tetap layap2.
Maka dengan air teh dingin yang dimasukkan kedalam
mulutnya, perempuan itu menyembur mukanya, sesudah
mana, selang sekian lama, dengan saputangannya dia
menyekai muka orang yang basah itu.
Tidak heran, menampak demikian, meluaplah amarahnya Siok beng Sin Ie.
-o0dw0o- XIX Disaat si Tabib Malaikat Penyambune Jiwa hendak
menggunakan pedangnya, tiba2 ia teringat, pemuda itu
adalah murid kesayangan dari suhengnya, maka ia pikir, baik ia bersabar, akan melihat sikap mereka itu. Maka ia lantas mengintai terus.
Semburan air tadi membuat Su touw Kiam sadar, kapan
ia melekkan matanya, ia memandang ke sekitarnya, suatu tempat atau kamar yang asing baginya, hingga ia segera kerutkan dahinya. Ia pun lantas mengawasi si juwita.
"Oh, kawanan iblis!" se konyong2 ia membentak.
"Dengan jalan curang kau tawan aku, pasti aku tidak puas!
Kau sesumbar tak mau hidup sama2 Hoay Yang Pay,
apabila itu benar, dan kau punya nyali, hayo habiskan jiwaku! Jikalau kau berani menghina aku, terpaksa aku nanti mengucapkan kata2 kasar!"
Nyonya itu tidak gusar, ia malah cenderungkan
tubuhnya, dengan sebelah tangan menunjang meja, dengan tangan kanan ia memegang pundak si anak muda.
Kelihatan sekali bagaimana kecentilannya perempuan
itu. Ia hendak berbicara tatkala tahu dengan menggerakkan
pundaknya, si anak muda membikin tangannya terpeleset, tak menekan pundaknya lagi"
"Ah!" dia berseru. "Kau begini muda, kenapa kau tak
sabaran" Jangan tidak tahu diri, nanti aku gusar. Aku justeru sayangi kau yang masih muda tetapi sudah punya bugee liehay. Malam ini hampir kau sia2kan jiwamu,
syukur aku keburu sampai" Kau niscaya tidak tahu siapa itu orang yang paling belakang menempur padamu! Dia
adalah Twie hun souw Hong Lun Hong Cit ya yang
namanya telah menggetarkan setengah negara Barat dan
Utara. Kau telah memasuki dunya Rimba Persilatan, kau mestinya ketahui namanya si oranng tua Pengejar Roh itu.
Ada berapa lawannya Twie Hun houw, yang pernah luput
dari tangannya" Rupanya keluargamu itu bijaksana maka aku keburu sampai dan berhasil merampas kau dari mulut harimau! Aku telah tolongi orang, mustahil aku tak lupat pembalasan baik daripada nya" Kau toh orang baik2,
bukan" Jangan kuatir, anak, aku tidak berniat mencelakai dikau, aku cuma ingin menanyakan kau dan kau menjawab secara baik, pastilah nanti akan kumerdekakan kau
berdua?" "Sudah, jangan banyak bacot!" Su touw Kiam
memotong. "Jikalau kau benar berniat menolong aku sejak kau ambil aku dari tangannya si bangsat tua, kau sudah mesti
melepaskan belengguanku ini, dengan berbuat demikian, kau melepas budi kepadaku, tetapi buktinya sekarang kau tidak membunuh aku, kau juga tidak memerdekakan aku!
Apakah maksudmu itu" Kau bawa aku kemari, tempat
apakah ini" Sekarang sudah tengah malam, apa perlunya kau menemui aku" Apakah kau tidak tahu adat istiadat, yang melarang lelaki dan perempuan lancang berpegangan tangan" Seharusnya kau tahu akan harga diri sendiri!
Kaupun pisahkan aku dengan sucieku, kau kandung
maksud apa?" Nona itu tertawa cekikikan.
"Kau jujur sekali!" berkata ia. "Makin kau jujur, makin aku suka padamu! Kau mengerti, kita tidak kenal satu pada lain tetapi aku kasihan kepadamu, itulah sebabnya aku menolongi kau dari tangannya Hong Cit ya. Bugee mu
liehay, tak dapat aku berlaku sembrono, sebelumnya aku merdekakan kamu berdua, lebih dahulu aku mesti ketahui tentang dirimu. Kau she dan nama apa" Apakah gurumu itu bukan Eng Jiauw Ong, ciangbunjin dari Hoay Yang Pay?"
Su touw Kiam bersenyum ewa. Tapi ia sudah pikir, akan ber hati2. Ia sangsikan perempuan ini berhati baik.
"Apabila kau benar bermaksud baik, aku telah sia2kan
kebaikanmu itu," ia kata. "Sebagai laki2 aku tak pernah mengubah nama. Aku Su touw Kiam. Aku bukan muridnya
Eng Jiauw Ong, aku adalah muridnya Siok beng Sin Ie Ban Liu Tong dari Kwie in po. Dan Siu Seng adalah sucie ku, muridnya Cu In Am cu dari See Gak Pay. Kau rupanya
orangnya Hong Bwee Pang. bukan?"
Mendengar keterangan pemuda itu, air mukanya si nona
jadi berubah, tapi lekas juga ia mendapat pulang ketabahan hatinya. Ia meng angguk2 kan kepalanya.
"Tidak kecewa kau jadi muridnya guru silat ternama,
anak," kata ia. "Aku sudah duga kau hukan orang
sembarangan, sekarang terbukti benar dugaanku itu. Kau berani omong terus terang, aku tak ingin mendustakan
dikau. Benar aku anggauta dari Hong Bwee Pang. Aku
adalah pengurus rangsum dari Cap jie cie Cong to bahagian Barat. Kita bermusuhan satu dengan lain, karena Hoay
Yang Pay dan See Gak Pay adalah satru mati hidup daii Hong Bwee Pang. Akupun sudah terima pemberitahuan
rahasia dari ketua, Cong to Liong Tauw Hio cu, bahwa asal kami hadapi musuh, kami mesti binasakan, tak satu boleh ditinggal hidup. Demikian kau, sesudah kau terjatuh
kedalam tanganku, jangan harap kau bisa hidup lebih lama pula. Akan tetapi aku Lie touw hu Liok Cit Nio paling suka pemuda2 jujur dan gagah. Rupanya kau berjodo dengan
aku. Selama ini, bukan sedikit musuh musuhnya Hong
Bwee Pang telah kubinasakan, kalau tidak sebagai seorang perempuan, mana aku bisa peroleh gelaranku" Tapi malam ini aku hendak menyimpang dari tugasku, aku ingin
melindungi jiwa kamu berdua. Sayang bila kau mati
kecewa! Kau tentu ada punya orang tua dirumahmu yang
dengan susah payah pernah rawat kau sampai menjadi
besar. Bagaimana luka hatinya mereka itu" Baik kau
renungkan, apa perlunya aku melanggar bahaya dengan
menolongi dikau" Selama merantau, aku tetap bersendirian saja, tanpa senderan, maka sekarang pertemuan kita ada sebagai pertemuan yang ditakdirkan sejak penitisan
terdahulu. Asal kau suka hidup ber sama2 aku, badai
bagaimana besarpun aku berani hadapinya, kau akan bebas benar2. Asal kau tak ubah hatimu, aku nanti cuci tangan untuk mengikuti dikau! Bagaimana" Sepatah kata dari kau, sudah cukup!"
"Cis!" Su touw Kiam berludah. "Kau seorang
perempuan, kenapa kau begitu tak tahu malu" Aku satu
laki2, bagaimana aku bisa berlaku demikian hina dina" Baik kau lantas habiskan jiwaku, kalau aku mengeluh, aku
bukannya muridnya satu pendekar!"
Liok Cit Nio si Jagal Wanita, sebagaimana itu ada arti nama julukannya Lie touw hu, tidak gusar, malah dia
tertawa haha hihi. "Kalau kau muridnya satu pendekar, jangan kau berlaku kasar," kata ia. "Satu laki2 mesti bersifat laki2, menjadi
seorang terhormat. Kita tidak kenal satu pada lain, aku telah menolong dikau dari mulut harimau, seharusnya kau ingat budi, mesti kau balas itu, maka kenapa sekarang kau begini bo ceng" Jangan kau bikin hatiku tawar, jangan kau bangkitkan hati srigalaku, itu artinya kau sia2kan jiwamu, sayang sekali! Baik kau dengar nasihatku, mari kita bersatu padu, pada saat ini juga aku akan cuci tangan akan kembali kejalan benar, tidak nanti aku tersesat pula. Didepan Tayhiap Siok beng Sin Ie Ban Liu Tong aku nanti
bersumpah, aku akan bakar piauw pouku, sebagai tanda
aku keluar dari Hong Bwee Pang dan selanjutnya
menyerahkan jiwa kepada kau dan gurumu! Kau mengerti
sekarang, anak" Tindakanku ini berarti berkhianat kepada perkumpulan, aku jadinya telah bersalah besar, salah tak berampun, hingga sesuatu anggauta Hong Bwee Pang
adalah musuhku. Lihat, dengan begini, apa bisa berlaku curang kepadamu" Tapi janganlah kau pandang terlalu hina kepadaku, Liok Cit Nio, aku melainkan tersesat satu kali, karena aku tak ketemu orang baik2, apa lacur aku berkawan kepada manusia2 rendah, hingga namaku busuk, tapi
sekarang aku hendak mengubah cara hidupku, aku akan
menyerahkan diri kepadamu, umpama karena ini aku mesti binasa, akupun akan mati dengan mata meram!..."
Su touv Kiam mengkerutkan dahinya.
"Kau boleh mengoce sesukamu, hatiku tak akan
berubah," ia bilang dengan sengit. "Baiklah kau mengambil lain pikiran. Hong Bwee Pang dengan aku tak dapat hidup bersama, satu kali aku dapat pulang kemerdekaanku, aku tak akan punya rasa kasihan lagi! Kau nampaknya ber
sungguh2 kau harus dikasihani, tetapi baiklah kau berlaku cerdik. Bagiku dimerdekakan atau tidak, adalah urusan kecil. Sekarang guruku belum ketahui kejadian atas diriku ini, satu kali ia dapat kabar, pasti ia akan datang menolong,
walaupun kau berjumlah banyak, namun dalam segebrakan saja kau akan habis dibasmi! Perbuatan buruk seperti kau ingin aku lakukan, sayang aku tak dapat dan tak berani lakukan. Kaum Hoay Yang Pay ada punya aturan yang
keras, hukuman kaumku untuk kecabulan adalah kematian, tak sudi aku melanggar aturan yang dijunjung tinggi itu.
Maka, ubahlah maksud hatimu! Batang leherku bisa
dikutungi, semangatku tak dapat ditindas, dari itu,
terserahlah kepada dikau!"
Diam2 Liu Tong manggut2 dengan rasa kagum. Tidak
kecewa Hoay Yang Pay punya murid demikian bersemangat. Iapun kagumi orang punya kecerdikan sudah menyangkal sebagai muridnya Eng Jiauw Ong. Ia mengerti, keponakan murid itu berniat mengelakkan kemurkaannya si manis itu.
"Jangan kau terlalu menghina aku," terdengar si cantik berkata pula. "Memang aku bukan lagi gadis umur belasan tahun, yang suci murni, tetapi aku bukannya tak tahu malu, aku mau berlaku terus terang kepada kau. Aku menyesal atas kesesatanku, sekarang aku ingin perbaiki diri, untuk itu aku butuhkan seorang yang bisa jadi senderan atau
pelindungku. Kau harus mengerti, satu kali aku cuci tangan, bukannya tak ada orang yang maui jiwaku. Aku toh
sebatang kara. Dari itu, ingin aku hidup bersama dikau, supaya kau bisa melindungi aku. Apakah kau niat bikin aku putus asa" Aku telah janji akan merdekakan dikau, pasti aku akan lakukan itu, tapi kau sendiri jangan permainkan aku, sotelah aku bukakan belengguanmu, lantas kau tinggal kabur padaku"
Dengan tinggalkan aku, kau bukannya murid dari satu pendekar."
Su touw Kiam pandang perempuan itu.
"Aku bukannya seorang yang tidak sayang diri," kata ia,
"jikalau kau demikian baik budi, tak bisa aku tak terima itu.
Tapi satu hal harus dijanjikan dahulu. Apabila benar2 kau hendak ubah penghidupanmu, kau mesti turut aku pergi ke Kwie in po akan menemui guruku, kepadanya kau mesti
menyerahkan piauw pou Kong Bwee Pang sambil tuturkan
cita2 mu, apabila guruku ketahui kesungguhan hatimu,
tidak nanti dia tidak bantu kau meluputkan diri dari tangan iblis. Kata nya satu laki2 ada seumpama kaburnya empat ekor kuda yang tak dapat dikekang, demikianpun aku.
Apabila kau tidak percaya aku, jangan melepaskan aku, sebaliknya
kalau kau percaya, tidak nanti aku mencemarkan nama guruku."
Sehabis berkata. Souw tonw Kiam tundukkan kepalanya
Liok Cit Nio mengawasi pemuda itu, ia rapatkan kedua
bibirnya, hingga ia perlihatkan senyuman iblis. Ia bertindak kebelakang orang, untuk bukakan belengguan.
Su touw Kiam berbangkit untuk menggerak gerikkan
kaki dan tangannya, agar darahnya dapat mengalir pula seperti biasa, kemudian ia berduduk pula.
Ban Liu Tong bingung juga menyaksikan sikapnya
keponakan murid itu, ia sekarang mengatakan orang tolol, karena mustahil keponakan murid ini tidak insaf akan
kelicinannya perempuan itu. Siapa bisa percaya perempuan rendah itu benar2 sudah berbalik pikiran"
"Satu kali kau rubuh, kau akun menyeinarkan namauya
Hoay Yang Pang"." pikir ia pula. "Pasti kita akan
dipandang rendah oleh Cu In Am cu"."
Mengintip lebih jauh, Ban Liu Tong melihat Liok Cit
Nio menuang air teh panas dimeja didepan jendela, yang mana ia suguhkan pada si pemuda.
"Pemuda gagah, marilah minum dulu," kata dia dengan
manis. "Sudah setengah malaman kau terbelenggu, hayo
kau segarkan diri, nanti kita bicara pula."
Dengan roman sungguh2, dengan mata tajam. Su touw


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiam awasi perempuan itu.
"Cukup, tidak usah kau layani aku," kata ia seraya
menolak cawan teh diatas meja.
Liok Cit Nio tertawa, ia tolak pula cawan itu didekatkan kepada Su touw Kiam.
"Nampaknya kau belum percaya aku," kata ia. "Apa kau
kuatir teh ini dicampurkan obat tidur" Kau keliru menduga!
Untuk membunuh dikau, apa aku mesti tunggu sampai
sekarang ini" Baiklah aku minum lebih dahulu, untuk
tetapkan hatimu." Ia benar2 angkat cawan itu dan cegluk isinya, sesudah mana, cawan itu ia letakkan kembali diatas meja. Ia berbuat demikian sambil tertawa geli.
Su touw Kiam merasa sangat dahaga, terpaksa ia jemput cawan itu dan minum kering isinya.
Liok Cit Nio bersenyum, lalu dari lemari ia keluarkan buah2an serta arak dan sayur yang sudah dingin.
"Apa artinya ini?" tanya Su louw Kiam sambil
berbangkit, romannya sungguh2. "Bukankah kita sudah
berjanji" Sudah selengah malaman aku keluar, masih aku belum pulang, pasti guruku bakal mencari aku, maka
apabila kau benar hendak mengubah kelakuan, jangan kau tunggu sampai guruku itu atau kawan2nya dapat menyusul kemari, aku bisa celaka, kau juga. Mereka tak puas akan melihat laga lagu kita ini yang tak selayaknya! Mari kita berangkat! Sekarang sebelum fajar ada saatnya untuk kita kita berlalu. Jikalau kau ragu2, maafkan aku, tak dapat aku temani kau lebih lama!"
Cit Nio seperti tidak perdulikan omongan orang, ia terus mensajikan makanan dan atur cawan arak, ia sediakan dua
pasang sumpit, kemudian ia duduk berhadapan dengan
anak muda itu. "Su touw Siauwhiap, kenapa kau tidak sabaran?" kata ia sambil bersenyum. "Hayolah duduk! Umpama kelakuanku
tak selayaknya, kau harus minta keterangan dahulu, kenapa kau seperti hendak menutup jalan" Kau dengar dahulu aku, sesudah itu, umpama kata kau hendak pergi juga, aku tak akan mencegahnya. Jangan kau menghinakan kepadaku.
Jangan kau kuatir, aku niat menolong dikau, mustahil aku hendak mencelakai padamu?"
Su touw Kiam yang didesak, terpaksa ia duduk pula, tapi sambil berpikir. Ia telah mengambil putusan, jikalau orang menggunai kekerasan, ia akan membalas keras. Dari itu, iapun. pikirkan jalan mana ia mesti ambil untuk menyingkir dari rumah itu.
Liok Cit Nio menuang arak dalam dua cawan.
"Aku harap kau jangan curigai aku," kata ia kemudian,
"Jikalau kau sudah dengar aku, kau pasti bisa memberi maaf atau maklum. Kau harus bersabar. Disini, dirumahku, aku tidak takut apa juga. Kampungku ini disebut Liok kee po. Jangan kau pandang rendah padaku, walaupun aku
hidup sebatang kara. Didaerah Liang Seng San ini. semua anggauta Hong Bwee Pang tidak berani main gila terhadap diriku, tidak sekalipun si tua bangka musuhmu itu, Twie hun souw Hong Lun, ketua bahagian Barat, walaupun
kedudukannya terlebih tinggi daripada kedudukanku.
Hanya aku mesti jaga mereka yang masih menyintai Hong Bwee Pang, apabila mereka tahu aku hendak menyuci
tangan, mereka bisa bocorkan rahasiaku atau membokong aku. Dari itu, perlu aku siap sedia, akan mengatur dahulu.
Mengenai pihakmu, tidak aku pandang enteng kepada
mereka. Aku percaya, walaupun aku pernah tersesat, Ban Loosu, umpamanya, pasti sudi memaafkan padaku. Orang2
gagah biasa menolong siapa yang lemah dan kesasar. Coba ada yang tolong angkat, niscaya dari siang aku sudah
mencuci tangan. Sekarang ada ketikanya buat aku
mengangkat diri dari laut pahit getir, aku sangat girang dan bersyukur kepada diriku sendiri! Siauw hiap, jangan kau tertawai aku! Selewatnya malam ini, aku akan berubah
menjadi seorang yang lain! Seharusnya aku cukuri
rambutku akan masuk dalam kelenteng, tetapi aku ingin iringi orang2 gagah buat menolong si lemah dan tindas si jahat, dengan begitu, barangkali aku dapat menebus segala dosaku. Kau mirip dengan Koan Im Taysu, yang menolong mengangkat aku dari pecomberan, dari itu kau harus kasih selamat padaku!"
Biar bagaimana, mulai kuranganlah kebenciannya Su
touw Kiam terhadap si nona.
"Cit Nio, jangan kau mendesak aku," ia bilang.
"Seharusnya aku minum untuk kehormatanmu, tetapi aku
mesti junjung pantangan rumah perguruanku yang
melarang minum arak diluaran, maka itu aku cuma bisa
berbuat begini saja"."
Ia angkat cawan untuk hanya ditempelkan dimulutnya
saja, kemudian dengan cepat ia letakkan pula cawannya diatas meja.
Cit Nio melirik dengan mata nya yang tajam.
"Kau terlalu!" kata ia, dengan aleman. "Bagaimana, satu cawan saja kau tidak sudi keringi! Kau bikin lenyap
kegembiraanku! Apabila kau tidak sanggup minum arak ini, nanti aku tukar dengan yang enteng?"
Liok Cit Nio menyuguhi arak In tin louw, yang
warnanya hijau, sekarang ia tukar itu dengan yang
warnanya merah, dar satu botol yang isinya tinggal
setengah. "Inilah anggur yang manis!" kata ia. "Ini adalah anggur yang disediakan untuk orang yang tak biasa minum arak, baunya wangi, sarinya manis, tenaga mabuk nya tak ada.
Jikalau kau menolak lagi, teranglah kau mendustakan aku, apabila itu benar, baik sekarang siang2 kau bunuh aku, tak usah sampai aku pergi ke Kwie in po untuk mengantarkan jiwa secara sia sia!"
Cit Nio kerutkan alis, nampaknya ia masgul, tetapi ia jemput cawan didepannya Su touw Kiam dan keringkan
isinya, untuk ia tuangkan anggur kedalam cawan kosong itu.
"Siauw hiap, inilah arak tanda nya aku cuci tangan dari Rimba Hijau." kata ia, seraya menyodor kan itu. "Terserah kepadamu, kau hendak minum atau tidak, aku tidak hendak memaksa. Kita tak dapat mensia2kan tempo lagi, mari kita minum satu dua cawan, supaya kita bisa segera angkat kaki dari tempat buruk ini"." Iapun segera mengangkat
cawannya. Su touw Kiam anggap, jikalau ia ayalan, perempuan itu bakal gerecoki ia lebih lama pula, maka ia angkat cawannya sambil tertawa dan kata "Baiklah, Cit Nio. Aku pujikan sejak saat ini kau akan dihormati oleh kaum Rimba
Persilatan!" Lalu ia tenggak habis anggurnya itu.
Liok Cit Nio tertawa, kelihatan ia girang sekali. Tapi ia isikan pula cawannya Su touw Kiam.
"Cit Nio, jam berapa kau hendak berangkat?" Su touw
Kiam tanya "Kita tak dapat ber ayal2an, lak lama lagi segera akan terang tanah!"
"Jangan kesusu, anak muda," tawa si nona. "Kita akan
berangkat sebelumnya terang tanah! Mari minum dulu!"
Su touw Kiam cegluk cawan yang ke dua itu, karena ia
rasakan, cawan yang pertama benar2 tidak punya rasa arak.
Kembali Cit Nio isikan cawan yang ke tiga, setelah
minum ini, baharu Su touw Kiam merasakan hawa panas,
hingga ia jadi curiga. Ia lihat mukanya Cit Nio mulai bersemu merah pada dua belah pipinya, sedang kedua
matanya yang celi, mengawasi ia. Tiba2, diluar
keinginanya, datanglah rasa kasihan terhadap perempuan ini. Kupingnya ia rasakan seperti berbunyi, hatinya ber debar2.
Menampak orang mengawasi ia, dengan sumpit
ditangannya, Cit Nio ketok tangan orang. "Akhirnya kau toh minum juga!" kata ia.
-o0dw0o- XX Mukanya Su touw Kiam menjadi bersemu merah juga,
kedua matanya seperti hendak meram saja. Ia hendak
pedayakan nona didepannya, siapa tahu si nona itu terlebih licin, dia telah memberikan sipemuda itu minum anggur yang mengandung obat. Dia ia berbangkit, tetapi segera ia duduk pula"
Cit Nio letakkan sumpitnya, ia mendekati kesamping si anak muda, sambil me rabah2 pundak orang.
"Kau keras hati anak, tetapi sekarang kau mesti
mendengar apa kataku"." kata ia dengan manis.
Su touw Kiam hendak menggerakkan tubuhnya buat
menyingkirkan tangan dipundaknya, tetapi ternyata ia
sudah tidak punya kekuatan lagi, ia duduk tegak, bagaikah orang lupa ingatan.
Cit Nio menoleh kekamar, lalu ia selusupkan kepalanya keketiak kirinya Su touw Kiam seraya sebelah tangannya dikasi turun, diturunkan, agaknya ia hendak pondong tubuh orang.
Disaat yang genting itu, Ban Liu Tong yang sedari tadi terus memasang mata, tidak berayal lagi, dengan sebelah tangannya ia mendobrak jendela hingga terpentang dengan menerbitkan suara gedubrakan.
"Perempuan cabul!" ia membentak. "Kau berani
permainkan murid Hoay Yang Pay!"
Menyusul serangan pada jendela itu, kamar jadi gelap
dengan tiba2, dan secara enteng kedengaran tindakan kaki yang pesat.
Ban Liu Tong tahu, jalan keluar melainkan jendela
belakang, dimana diatas ada Siu Sian yang menjaga, ia tak kuatir orang bisa meloloskan diri, tapi selagi ia hendak bergerak lebih jauh, tiba tiba berkelebat bayangan diatas kepalanya.
"Siapa?" ia menegur, ia menyangka pada musuh.
"Ban Loosu, inilah aku," itulah ada jawaban dari atas.
Segera Cu In Am cu loncat turun, diikuti oleh Siu Seng.
"Bagus, am cu, kau bisa sekalian membantu aku," kata
Liu Tong. "Aku baharu saja menolongi muridku," kata pendeta itu.
"Loosu belum bekerja?" Ia tidak tunggu jawaban, ia terus titahkan muridnya "Pergi kau gantikan sumoaymu!"
Tanpa berkata apa2 Siu Seng meloncat keatas untuk
memanggil Siu Sian, tempat siapa ia gantikan, sedang adik seperguruan itu loncat turun kepada gurunya.
"Keluarkan liu hong tan (peluru bahan peledak!)" Cu In perintah muridnya ini.
Siu Sian turut titah itu, ia keluarkan serupa barang
bundar sebesar biji toh, yang ia serahkan pada gurunya.
"Ban Loosu. kita jangan kasih orang main gila lagi!" kata nikow tua ini, yang terus menghampiri jendela, yang tadi didobrak Liu Tong, kedalam mana ia menimpuk. Ketika
terdengar suara membeletok, segera terlihat api menyala, ruangan jadi terang. Tapi Cit Nio dan Su touw Kiam telah lenyap dua2nya.
"Ban Loosu, benar2 kau kena dipermainkan!" kata ketua See Gak Pay itu. "Jangan kau percaya muilie itu,
perempuan cabul itu tentunya sudah menghilang dari situ."
Kata2 ini disusul dengan terhunusnya pedang Tin hay
Hok po kiam, dengan pedang mana Cu In Am cu berlompat masuk melalui jendela.
Ban Liu Tong, yang sangat gusar, turut berlompat masuk juga.
Karena liu hong tan mengenai sasarannya, maka apinya
menyala terus. Cu In Am cu yang biasa memperlihatkan wajah welas
asih, sekarang nampaknya keren sekali.
"Waspada, loosu!" kata ia yang terus maju kemuilie,
tetapi ia berlompat kesamping kiri.
Ban Liu Tong mengerti, iapun bertindak kesamping.
Cepat sekali Cu In telah menahas muilie, hingga kain
penutup pintu itu lantas sapat dan jatuh, hingga disitu kelihatan sebuah pintu yang kecil, dimana ada cahaya
terang, dari dalam mana pun menyamber keluar bau wangi semerbak dari pupur dan yancie.
Dengan berani, dengan pedang nya didepan, Cu In
melongok kedalam kamar, yang sudah kosong, disitu
melainkan ketinggalan bau harum itu. Teranglah sudah, itu adalah kamarnya Lie touw hu Liok Cit Nio.
"Lihat, loosu, benar2 dia sudah kabur!" kata pendeta
wanita itu. Ia bertindak masuk dengan diikuti kawannya.
Berbeda dengan diluar, kamar itu diperaboti lengkap dan indah, tepat untuk jadi kamarnya satu nona remaja, hanya yang aneh, tidak ketahuan dari mana si penghuni rumah mengambil jalan untuk menyingkir dari situ. Maka itu, Liu Tong berdua coba melakukan pemeriksaan. Luasnya
kamarpun cuma setumbak lebih persegi.
"Mungkin ada rahasianya dikaca itu," kata Liu Tong
kemudian seraya menunjuk cermin yang tergantung
ditembok, dikiri kanan mana terapit sepasang ciak tay yang dibuat dari kayu yang terukir burungan ho dan menjangan.
Sebatang lilin menyala terang sekali Dibawahan cermin itu terdapat meja kecil, atas mana penuh dengan pupur dan lain alat bersolek.
"Mungkin." sahut Cu In sesudah ia mengawasi dengan
teliti. Ban Liu Tong menghampiri cermin itu, ia tarik meja
untuk digeser kesamping, kemudian ia tekan ciaktays kiri, ia menarik, tapi ciaktay itu tidak bergeming, maka ia tarik yang kanan, yang juga melekat keras, maka ia terus tarik pula yang kiri. Menyusul satu suara menjeblak yang keras, cermin itu, yang besar, lantas berkisar, memperlihatkan dibelakangnya suatu pintu rahasia!
Karena pintu itu gelap, Cu In Am cu mengambil lilin,
untuk dipakai menyuluhi. Dalam kamar itu terdapat beberapa buah koper dan
sebuah pintu tembusan, yang dipalang dengan besi berat.
"Tidak salah, siluman itu tentunya mabur dari sini," kata Cu In.
Siok beng Sin Ie cekal palangan besi itu, ia mesti
menggunakan tenaga untuk menarik itu, sampai pintunya terpentang. Dibawah terangnya lilin, kelihatan ditembok dilukiskan gambar. Tapi, belum mereka sempat masuk,
tiba2 mereka mendengar suara suitan berturut2 dan
dibelakang mereka. Siu Sian pun muncul.
"Ban Susiok, orang jahat sedang bergerak, mereka
rupanya hendak ___ ___!" Berkata si nona.
"Itulah terlebih baik lagi," sahut Ban Liu Tong "Kita jadi tak usah bercapai lelah akan mencari mereka!"
Siu Sian mengarti, perlawanan mesti diberikan, maka ia kembali keluar.
Liu Tong bertindak keluar ber sama2 Cu In, ia ambil
pintu rahasia itu yang menembus ke belakang, kekebun, yang mestinya telah diambil oleh Liok Cit Nio.
Sesampainya diluar, mereka tidak lihat suatu apa, hanya mereka dengar suara berisik didepan.
Dengan loncat naik ketembok, Ban Liu Tong lihat Siu
Sian asyik pasang mata diatas wuwungan.
Cu In pun segera loncat naik kepayon, berbareng dengan mana ia tampak berkelebatnya tiga atau empat bayangan, semua dengan pakaian malam, dan gerakannya gesit.
Diatas genteng, mereka itu saling bersuit akan beri tanda satu pada lain, menyusul mana, dibawah kelihatan kira2
dua puluh kawanan penjahat.
"Am cu, baik kita jangan tunggu waktu lagi!" Liu Tong serukan kawannya.
"Mereka terlalu busuk, pin nie pun tidak bisa berbuat lain," sahut Cu In Am cu. Ia terus loncat kesebelah Barat.
Liu Tong segera loncat kesebelah Timur. Karena musuh2
pun datang dari kedua jurusan itu.
-ooo0dw0ooo- Jilid 3 Cu In melihat dua orang yang tak tertampak jelas
wajahnya, mereka itu masing2 bersenjatakan sebuah golok dan ruyung berbuku tiga belas, ia segera serang orang yang menyekal golok itu, dengan menggunakan tipu "Peh coa
touw sin" atau "Ular putih memuntahkan bisa."
Musuh itu melindungi diri dengan menangkis keatas,
akan tetapi niekouw tua itu menggunakan akal, selagi
pedangnya ditangkis, pedang itu ia teruskan membabat iga kanan musuhnya yang memegang ruyung. Sekali ini, ia
menggunakan tipu "Pek ho liang cie" atau "Burung ho
putih pentang sayap."
Orang yang diserang itu loncat kekiri, sambil meloncat, ruyungnya dipakai menghajar pedang dari atas kebawah, mengenai dengan jitu hingga menerbitkan suara nyaring.
Menyusul mana, kawannya yang bersenjata golokpun turut menyerang. Serangan golok datang dari samping kanan.
Justeru Cu In memang bermaksud supaya pedangnya.
kena dihajar musuh, hingga ia bisa, sambil berloncat
bagaikan ular naga jumpalitan, Koay bong hoan sin,
pedangnya yang terpental diteruskan diputar, kemudian dengan gerakan "Uy liong coan sin" atau "Naga kuning
memutar tubuh" disusul dengan "Hek houw kian bwee"
atau "Harimau hitam melingkari ekor," cepat bagaikan
kilat, pedangnya membacok musuh yang bergegaman golok itu.
Penjahat itu kaget, ia berkelit, tapi tidak urung ikat kepalanya kena juga terbabat, berikut segumpal rambutnya, hingga saking gentar hatinya, ia lantas loncat jauh untuk terus lari menyingkir.
Cu In sedang tarik pulang pedangnya, untuk menghadapi musuh yang ke dua, tatkala tahu2 dua musuh datang
menerjang ia dari belakang, anginnya serangan orang yang pertama, sepasang gaetan, mendahului ujung senjatanya.
Gerakannya itu sangal gesit. Tidak tunggu sampai melihat tegas kepada musuh, ia berkelit dengan gerakannya
tonggeret melepaskan kulit, Kim sian toat kok, pedangnya dipakai menyampok. Kedua senjata segera beradu keras, mengeluarkan lelatu api. Si penyerang jadi kaget, hingga senjatanya, sepasang gaetan cagak, kutung dua2nya!
Musuh yang ke dua, yalah yang memegang golok, sudah
lantas membacok bebokongnya si pendeta perempuan.
Kembali Cu In Am cu berkelit, sambil menggerakkan
tangannya untuk membabat pula musuh ini, akan tetapi
sebelum ia dapat kesempatan, mendadak dibelakang si
penjahat berkelebat satu bayangan yang berseru "Turunlah kau!" yang disusul dengan suara keras mengenai bebokong, atas mana si penjahat mengeluarkan jeritan tertahan,
tubuhnya terpelanting jatuh kebawah.
Apa celaka, goloknya penjahat ini justeru mengenai
kawannya yang bersenjata gaetan cagak, hingga dia inipun rubuh, keduanya terus tergelincir jatuh ketanah.
Segera Cu In dapat kenyataan, bahwa penyerang yang
dari belakang itu adalah Siu Sian.
Dibawah rumah, kawanan penjahat sudah lantas kabur
dengan bawa pergi pemimpin2nya yang terluka, karena
mereka tidak punya semangat lagi untuk membikin
perlawanan lebih jauh. Dipihak lain, Ban Liu Tong yang meloncat kesebelah
Timur, sudah lantas berhadapan dengan seorang yang
bergegaman cit ciat pian, ruyung berbuku tujuh, siapa segera menerjang karena melihat si tabib bertangan kosong.
"Hei tikus, kau, kau berani turun tangan" " Liu Tong
membentak. Tapi sambil membentak ia melejit kesamping, tangan kiri nya diulur, untuk menangkap ruyung musuh itu, tangan kanannya menyusul menyerang pada jalan darah
hoa kay hiat, maka tidak ampun lagi penjahat itu
terpelanting rubuh, dari belakang wuwungan, tubuhnya
tergelincir jatuh ketanah.
Disebelah belakang musuh yang rubuh ini, ada dua
kawannya, mereka itu merandek apabila mereka menyaksikan dalam tempo sekejab kawannya kena
dirubuhkan. Satu diantara mereka ini, yang menyekal
golok, sudah lantas merabah kedalam sebuah kantong, kulit manjangan dipinggangnya.
Liu Tong tidak perdulikan musuh ini, ia terus menerjang kepada musuh yang satunya, yang memegang siang kauw-sepasang gaetan. Dia ini loncat maju juga, sedikit
kesamping, dari mana dengan sepasang gaetannya itu ia menggaet kebawah. Ia bergerak dalam tipu sapuan "Tiat gu keng tee" atau "Kerbau besi meluku tanah."
Dengui gerakan "Coan in ___ goat" atau "Menembus
awan untuk mengambil rembulan," Ban Liu Tong
berlompat, ia mengenjot dengan ujung kaki kanannya
sambil kaki kirinya terangkat, hingga ia dapat melewati kepalanya penyerang itu. Dan dengan begini, segera ia
sampai didepan musuhnya yang bersenjatakan golok, yang telah merogo piauw untuk membokong. Dia ini terperanjat, lantaran dia tidak menyangka, bahwa diatas genteng,
musuhnya berani berloncat demikian tinggi dan jauhnya.
Demikianlah, selagi orang hendak mengayun tangannya,
Liu Tong telah sampai, tangannya diulurkan, telunjuknya segera mengenai lengan kanan musuh itu, hingga
tangannya kesemutan, piauwnya terlepas dan jatuh
kegenteng dengan menerbitkan suara. Bahna takut,
penjahat itu niat berlari, tapi sudah kasip. Kaki kiri jago Kwie in po sudah mendahului terangkat, membentur
kempolan nya, maka tidak ampun lagi dia jatuh mengusruk, terus berguling jatuh ketanah.
Penjahat yang menggunai siang kauw maju menyerang,
ia berani dan menganggap ia dapat mendesak musuh.
Ban Liu Tong tahu satu musuh ini tidak menyingkir, ia hendak menghampirinya, tetapi orang telah mendului
menyerang ia, ia lantas tarik pulang tangannya membarengi menyerang dengan tipu pukulan "In liong san hian" atau
"naga mega memperlihatkan diri tiga kali." Justeru itu, ada orang yang mendahului ia. Dibelakang penjahat itu satu bayangan berkelebat menyamber, gerakannya sangat gesit, baharu si penjahat hendak memutar tubuh, tangannya
orang itu sudah mengenai jalan darah "kinceng hiat" si penjahat, hingga kontan kedua lengannya bergemetar,
kesemutan, kedua gaetannya terlepas sendirinya dan jatuh.
Sesudah itu, dengan gesit bayangan itu samber leher baju bagian belakang si penjahat, tangan kirinya menyamber tubuh, hingga dilain saat, tubuhnya si penjahat sudah terangkat naik"
"Ini satu pula!" bayangan itu berseru, kedua tangannya bergerak, maka tubuh musuh yang besar itu lantas
terlempar empat tumbak jauhnya, jatuh kebawah sekali,
dimana terdapat kawansnya yang sedang mengangkat
konconya yang rubuh untuk dibawa kabur, hingga mereka kena tertimpa!
Ban Liu Tong, begitu juga Cu In Am cu segera dapat
kenyataan, bayangan yang baharu datang ini, yang


Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaganya demikian besar, ada Eng Jiauw Ong sendiri,
siapa dari Ang touw po telah menyusul terus sampai di Liok kee po ini, hingga mereka bertiga jadi berkumpul menjadi satu.
Tentu saja disaat demikian mereka tak sempat untuk
berbicara banyak. "Bagus kau datang, suheng!" berseru Ban Liu Tong.
"Kita memang hendak basmi kawanan kurcaci ini untuk
mencegah mereka jadi ancaman bencana dikemudian hari "
"Sutee, baharu saja aku bicara pada Siu Seng," sahut
Eng Jiauw Ong. "Apa si Kiam masih ditangan musuh" "
"Dia dibawa lari si perempuan cabul, kita sedang
mencarinya," Liu Tong menjawab.
Selagi suheng dan sutee itu berbicara, Cu In Am cu
sudah loncat turun, akan menghampiri sebuah pintu model bulan. Ia tidak mau mendekati suhung dan sutee yang
sedang gusar itu. Ia percaya, dalam keadaan seperti itu, dua saudara itu tak akan berlaku kasihan2 lagi, sedang ia sendiri tak lupa akan cita2 yang berpokok welas asih.
Justeru itu, satu penjahat, dari samping, lari kearah pintu rembulan itu.
"Binatang, kau hendak lari ke mana" " Cu In membentak seraya lompat maju untuk mengejar.
Penjahat itu kaget, ia menoleh, tetapi si niekouw sudah sampai dibelakangnya. Ia lantas balikkan badan untuk
mendahului membacok. Cu In melihat serangan itu, lalu ia pergunakan
pedangnya untuk mengetok golok musuh, hingga golok itu terlepas dari cekalan, jatuh ke tanah. Sesudah itu, ujung pedang terus menyamber kekepala.
Dalam kagetnya, penjahat itu berdongko, terus ia kabur.
Ia tidak duga, bahwa penyerangnya hanya menggunakan
tipu, serangan untuk gertakan belaka. Menyusul gertakan itu, tubuhnya niekouw itu melesat kedepan, sebelah
tangannya diulur, lalu satu totokan "In liong tam jiauw"
Pedang Keadilan 33 Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Naga Dari Selatan 11
^