Eng Djiauw Ong 3
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bagian 3
"Suheng keliru dengar," Cu In bilang. "Dia bukan sebut Cio kee ouw hanya Cap jie Lian hoan ouw. Apa suheng
kenal nama itu di Kanglam" Buat di lamsay, aku tahu pasti, tidak ada. Dan tidak ada juga dilima Piopinsi Utara?"
"Oh, dia sebut Cap jie Lian hoan ouw?" mengulangi Eng Jiauw Ong. "Terang sekali kawanan itu memusuhi kita.
Lian hoan ouw berada di Kanglam. Sejak aku
mengasingkan diri di Hoay siang, aku gelap mengenai
Hong Bwee Pang, rupanya dari Eng Yu San di Kang souw, pusat itu telah dipindahkan ketempat tersebut. Menurut apa yang aku dengar, Hong Bwee Pang telali dibangunkan pula oleh ketua dari Lwee sam tong atau ketua Liong Tauw To cu turunan yang ke empat, yang gabungkan juga
rombongan Cui Auw Pang dari hulu Tiang Kang. Untuk
kepalai Thian Hong Tong, Ceng Loan Tong dan Kim
Tiauw Tong, yalah Lwee sam tong, mereka pilih anggauta yang paling liehay ilmu silatnya, sedang mereka yang
tergolong tua, yang tidak usah bertugas sesuatu lagi, dihormati didalam Hok Siu Tong dimana mereka hidup
merdeka seperti terpuja, malah musuh besarku kabarnya sudah masuk dalam Hok Siu Tong itu."
(Hok Siu Tong berarti gedung dari rejeki besar dan usia panjang, bahagia, Thian Hong Tong gedung dari burung
Hong, Ceng Loan Tong gedung dari burung Loan Hijau,
dan Kim Tiauw Tong gedung Garuda Emas )
-odwo- XI "Dimana kiranya letaknya Cap jie Lian hoan houw itu?"
Cu In tanya. "Tempat itu ada sangat rahasia, mungkin ada didaerah
___ Tong San di Ciat kang __" sahut Eng Jiauw Ong
"Setelah mendirikan tentera sukarela di Hoay siang, aku tak punya kesempatan untuk merantau lagi.
Aku percaya, lawan kita tadi ada salah satu orang kosen dari Hong Hwee Pang."
Sembari kata begitu, Eng Jiauw Ong mengeluarkan dua
senjata rahasia, See bun Cit poocu, ia serahkan itu pada Cu In, sedangkan panah tangan ia periksa sendiri.
"Am cu, panah ini aneh macamnya," kata ia kemudian,
"Aku percaya ini adalah panah Coa Tauw Pek ie cian dari rombongannya Soat San Jie Siu itu."
Coa Tauw Pek ie cian berarti panah berbulu putih
berkepala Ular. Cu In juga keluarkan sebatang panah dari sakunya, yang panjangnya empat dim, bedanya daripada panah biasa,
ialah kepala nya lebih lebar sedikit dan ekornya
ditambahkan bulu putih, tapi panah yang dipungut Eng
Jiauw Ong, ujung panahnya bercagak, cagaknya tiga dim dan tajam bagaikan jarum.
"Am cu," kata Eng Jiauw Ong akhirnya, "tidak perduli
orang yang punya panah ini benci kita secara macam apa, karena senjata ini, dia ada sangat jahat. Aku sumpah, aku mesti singkirkan dia untuk kebahagiaannya dunya kang
ouw, dan aku belum mau sudah sebelum dia dapat
kusingkirkan dari dunya."
Panah tangan itu, panah istimewa dari Soat San Jie Siu.
Dua si jelek dari gunung Soat San, ada lebih besar sedikit dari panah biasa, perlengkapannya adalah dua cagak
sebagai jarum, yang dikeram didalam lobangnya, bisa
digerakkan dengan semacam pesawat, diwaktu digunai, dua cagak itu lantas melesat ke luar, apabila mengenai tubuh, panah itu tak dapat dicabut, daging si
korban mesti dipotong atau dibelek, maka siapa terkena itu, dia mesti terbinasa atau bercacat, jadi jahatnya mirip dengan panah beracun. Inilah yang membuat Eng Jiauw Ong sangat usar.
Oleh karena mereka dapat menciptakan panah liehay itu, dua saudara dari Soat San itu dibuat iri oleh sesama orang kang ouw, tetapi mereka biasa bekerja di perbatasan Su coan saja, mereka tidak pergi kepedalaman, dan bila bukan terancam bahaya, atau tidak ketemu musuh, mereka tidak gunakan senjatanya itu. Ada dibilang, kepandaian itu tidak diwariskan pada murid atau sesama kaumnya, tetapi
sekarang terbukti, di Tong kwan ada orang menggunakan itu.
"Jangan gusar, suheng!" kata Cu Ih sambil tertawa. "Di dunya kang ouw ini masih ada orang2 yang terlebih jahat daripada Soat San Jie Siu. Mana kita sanggup mengurus mereka semua" Untuk memusuhi orang2 sebangsa mereka,
kitapun harus waspada. Mungkin dia adalah Thian kong
chiu Bin Tie seperti katanya Toan Bie Cio Loo yauw. Kalau benar, dia memang liehay, dia melebihi Cio Tongtay dan sedereknya. Apabila kita ketemu pula padanya, tak boleh kita gampang2 biarkan dia lolos. Nah. simpanlah panah ini, kita anggap ini sebagai surat undangan saja!"
Eng Jiauw Ong simpan panah itu.
"Kita sudah sia2kan tempo di sini, mari kita berangkat,"
kata ia. "Tak dapat orang jahat mendahului kita."
Cu In manggut. "Benar," kata ia.
Keduanya lantas berangkat, menuju ke Siauw kee tay.
Cu In jalan didepan, karena ia lebih kenal keadaan disini.
Sesudah melaui tujuh atau delapan lie, diarah Barat daya terdengar anjing menyalak.
"Itulah Siauw kee tay, suheng," kata sipendeta wanita.
"Diwaktu malam gelap gelita dan sunyi senyap. kecuali peronda, tidak ada orang lain lalu lintas disana, sekarang ada suara anjing rupanya Tiat Hu cian sudah sampai
disana. Selewatnya Siau kee tay, orang mulai memasuki daerah berbahaya, selanyutnya di sepanjang jalan, dalam dua tiga lie, rumah penduduk terpencil jauh satu dengan lain. Maka kita lekasan pergi kesana."
Eng Jiauw Ony, menurut turut bertindak lebih pesat.
Lagi setengah lie, mereka lihat suatu dusun dimana
tampak cahaya api, dan ketika mendekati lebih jauh,
mereka mendengar tindakan kaki kuda dan terputarnya
roda2 kererta yang berisik. Jadi benar rombongan nya Tiat Hu ciang sudah sampai didusun itu. Itupun menyatakan
keberaniannya si opsir, yang sekalipun dijalan raya, toh jalan nya cepat sekali.
Cu In Am cu sudah langsung memasuki dusun dari
depan, ia hanya mengajak Engg Jiauw Ong jalan memutar ke selatan, dengan begitu, kawannya ini jadi mengetahui, bahwa dusun itu besar, sebab sesudah jaiui satu lie, baharu mereka sampai dimulut Selatan itu.
Lewatnya tentera negeri menyebabkan anjing menyalak
memecah kesunyian sang malam yang gelap juga jadi
terang dengan banyak obor. Selewatnya barisan itu
kesunyian datang pula. Sekarang, dimulut dusun ada
muncul belasan chungteng, suatu tanda disitu ada barisan sukarela. Jadi Eng Jiauw Ong percaya penjahat tidak nanti berani turun tangan disitu.
dari sini Cu In berdua menguntit barisan Tiat Hu ciang.
Mereka berkumpul diantara semak belukar yang sunyi,
_____gak kebaca dewi kz________
sampai kesana. Tempat ini pada seratus tahun yang lalu melupakan lembah cabang sungai Wie Sui, karena musim
kering hebat, aliran digeser ke Selatan, maka itu, tempat ini jadi kering, penuh pasir, tanahnya kurus. Maka selanjutnya, ini adalah tempat selulup timbulnya orang2 jahat. "Mari kita lombai pasukan tentera, supaya kita bisa lihat disebelah depan."
Cu In melesat, kawannya mengikuti.
"Nah, itulah dia Lok hun tee, suheng!" kata sipendeta, sesudah mereka lari sekian lama seraya ia menunjuk
kedepan. Eng Jiauw Ong mengawasi Kedepan, benar2 ia melihat
suatu tempat yang seram. Rumput tingginya empat lima
kaki. Waktu itu musim kering, kalau dimusim hujan, pasti rumput jadi lebih tebal, tanah berlumpur dalam, dan kuda kereta akan sukar lewat disitu.
"Tempat yang surup dengan namanya," kata Eng Jiauw
Ong. Lok hun berarti "roh runtuh". "Pantas ini jadi tempat ngeramnya kawanan penjahat. Berapa jauh akan sampai
dijalan besar" Apa disebelah depan ada rawa atau empang dimana orang bisa umpatkan diri?"
"Tanpa kau tanya, aku memang hendak menerangkan,
suheng," sahut nikow itu. "Gili2 Lok hun tee ini
panjangnya seratus lie lebih, terus sampai di tepi yang baharu dari sungai Wie Hoo. Diujung, sepanahan lebar
nya, terdapat tempat berlumpur dalam, siapa kejeblos
disitu, dia tak akan bisa meloloskan diri, kecuali ada yang menol.onginya Maka harap suheng awas, itu ada jebakan alam yang berbahaya sekali?"
"Terima kasih, am cu," kata Eng Jiauw Ong. "Mari kita maju?"
"St!" Cu In memotong, selagi kawannya belum bicara
habis. Disebelah depan kelihatan rumput ber goyang2, lalu dua atau tiga bayangan tertampak melesat kearah Barat laut.
"Ong Suheng, nyata tidak sia2 perjalanan kita ini," Cu In berbisik. "Benar2 orang telah menguntit. Mari kita lindungi kereta."
Eng Jiauw Ong manggut, lantas ia ikuti pendeta itu,
yang sudah mulai lari. Dalam tempo pendek mereka lihat tegas rombongannya
Tiat Hu ciang yang berjalan dengan pelahan2. Mereka ini tidak berani jalan cepat2, walaupun mereka menggunai
obor, maklum diwaktu malam.
Eng Jiauw Ong mengasih tanda pada Cu In Am cu, lalu
ia mendahului pergi kesemak sebelah Timur untuk melihat tempat. Ia pun periksa gili2 sebelah Barat, yang tempatnya lebih berbahaya lagi, ada pohon2 merambat yang bisa bikin kaki terserimpat.
Disini keadaan ada tenang, itulah tanda bahwa disitu
tidak ada orang jahat. Tapi selagi Eng Jiauw Ong
memasang kuping, tiba2 ia mendengar suara sedikit nyaring diatasan kepalanya, lalu dua buah uang tang chie hijau jatuh didekatnya. Ia kenali itu adalah "Chee hu toan sin,"
yalan isyarat dari See Gak Pay. Cara melepas tangchie itu memakai ilmu melepas Wan yho piauw, hingga ditengah
udara kedua tangchie benterok satu pada lain dan
menerbitkan suara dan diyatuh. Itulah berarti, bahwa si nikow telah menyusul dan melihat sipenjahat itu.
Cepat sekali Eng Jiauw Ong berdongko. Dibelakang ia,
dua tiga tumbak jauhnya, ia lihat berkelebatnya dua
bayangan, gerakannya sangat gesit, sekejab saja mereka sudah pergi belasan tumbak jauh nya.
Dengan gerakan seekor burung hoo menyerbu langit,
Eng Jiauw Ong coba menyusul, tetapi Cu In disebelah
Barat memanggil ia, maka ia menggabungkan diri dengan nikow itu.
"Dua penjahat datang kemari, aku kuatir kita bentrok
diluar keinginan kita, maka itu aku beri tanda padamu, suheng," kata pendeta itu. "Kita mesti jaga agar mereka tidak lihat kita dan nanti menyingkir karenanya.
Kelihatannya jumlah mereka ada lima atau enam orang,
dari itu, kita jangan alpa. Kitapun mesti jaga supaya mereka tak sampai berhasil. Lihat, Tiat Hu ciang sedang
mendatangi, mari kita sembunyi!"
Eng Jiauw Ong manggut, ia terus ikuti nikow itu buat
mengumpat. Rombongannya Tiat Hu ciang mendatangi bagaikan
naga api, tindakan kaki kuda, bunyinya roda2 kereta,
kedengaran nyata. Dari tempat sedikit jauh, serdadu
pengiring tidak kelihatan nyata, karena mengepulnya debu.
Dari tempat sembunyinya, Cu In dan Eng Jiauw Ong bisa mengawasi dengan merdeka.
Enam buah kereta diiringi dua pasukan depan dan
belakang, dan Tiat Hu ciang, diatas kudanya, jalan
disebelah belakang. Setelah rombongan lewat, Eng Jiauw Ong berdua lantas
menguntit. Orang berjalan dengan tenang, ketika separuhnya Lok
hun tee telah dilewati, tiba2 terdengar suitan disebelah depan. Dua bayangan lompat melesat kearah gili2, disusul dua kali suitan lain, yang kembali diikuti oleh melayangnya lagi dua bayangan dari arah Timur.
"Am cu, saatnya sudah tiba." Eng Jiauw Ong
menyerukan Cu In, sambil ia sendiri segera keluar dari tempat sernbunyinya dengan satu loncataan tinggi dan jauh, maka dilain saat, ia sudah berada diatasnya kereta yang pertama.
Cu In, yang tidak kurang sebatnya, sudah loncat naik ke kereta ke empat, disaat dua penjahat sedang mendekati kereta tersebut.
Disebelah Timur, dua penjahat telah perdengarkan suara tekebur, katanya "Kamu tahulah diri dan menyingkir dari sini! Kita cuma mencari Keluarga Yo untuk membikin
perhitungan! Jikalau kau sayang jiwa, lekas pergi!"
Sesaat itu bukan main kaget nya, serdadu pengiring.
Dua penjahat, masing2 dengan sebatang golok tebal dan tumbak tiga belas buku, maju dari kiri dan kanan,
menghampiri kereta ke empat.
Diatas setiap kereta ada dua serdadu. Dua serdadu dari kereta ke empat itu melihat orang datang, mereka segera menghunus golok. Ketika tumbak menikam, satu serdadu
berkelit, seraya membarengi membacok. Penyerang itu
berkelit kekanan, dengan tangan kiri ia balas membarengi menyamber lengan orang untuk terus dibetot keras sambil ia berseru "Pergilah kau!
Lengan serdadu itu kena ditarik, tanpa berdaya tubuhnya terjatuh kebawah.
Disebelah kanan kereta, penjahat yang satunya juga
mulai menyerang. Goloknya dapat ditangkis, sampai lelatu apinya meletik, kemudian batang lehernya kesamber,
sampai ia kaget bukan main, hampir ia rubuh sebagai
korban. Ia tidak sangka yang ia sudah berhadapan dengan Cu In Am cu.
Penjahat yang sebelah kiri, yang sudah maju pula, segera serang nikow itu dengan tumbak nya, ia menikam perut.
Cu In bersenyum ewa, dengan pedangnya, dari bawah Ia
menyamber pula keatas, akan babat kutung gegaman
musuh. Penjahat itu liehay, ia cepat tarik tumbaknya, yang ia tidak mau adu dengan pedang, sebaliknya, ia hendak menikam pula.
"Binatang!" berseru nikow tua itu Berbareng dengan itu, keledai terdengar meringkik keras, lalu kereta mengusruk kedepan, semua rodanya berhenti memutar dengan tiba2.
Cu In menoleh kedepan, ke situ ia segera berlompat.
Nyata penjahat yang bersenjatakan golok, yang tadi
ditangkis si nikow, sudah maju untuk membacok keledai, hingga keledai roboh dan keretanya mengusruk. Saking
gusar. Cu In serang penjahat ini.
Nyata penjahat ini licik. Ia lihat ujung pedang
mengancam iga kirinya, ia loncat berkelit kekanan, untuk terus lari. Selagi serangannya gagal, kaki kiri Cu In sudah menginjak tanah, karena itu, sambil berseru "Kau hendak lari kemana?" ia loncat pula sambil menyamber dengan
pedangnya. Penjahat itu kaget, ia menjerit, tubuhnya rubuh disemak, percuma saja ia berkelit, kopiahnya kena dipapas, mengenai
rambut nya dan sedikit kulit kepalanya. yang terus
mengucurkan darah. Ketika itu, penjahat yang bertumbak sudah lompat maju, akan membarengi menusuk si orang suci. Ia menyerang
sambil menolongi kawannya.
Sambil lompat kesamping kereta, Cu In egosi tubuhnya
dari tikaman, tetapi dari samping ia membabat lengan
kanan musuh. Penjahat itu gesit, ia tarik lengannya sambil loncat
menyingkir. Tapi si pendeta desak ia dengan satu tikaman pada pinggangnya. Ia repot, ia kempeskan perutnya,
tubuhnya sedikit melengkung, terus ia berlompat mundur, tetapi tidak urung ujung pedang telah merobek bajunya, hingga saking kaget, ia jatuh terlentang.
Ketika Cu In Am cu tarik pedangnya, ujung senjata itu berlepotan darah.
Waktu itu, semua kereta telah berhenti berjalan, para serdadu menjadi kaget dan menerbitkan suara berisik.
Tiat Hu ciang berada dibelakang, karena jalanan sempit, ia sukar maju, dari itu, ber ulang2 ia serukan "Minggir!
Minggir!" Dengan putar goloknya, ia maju.
Cu In Am cu sudah loncat naik pula keatas kereta, ia
menoleh kearah Eng Jiauw Ong, hingga ia dapati kawan
itu, dengan sebelah kanan mengempit satu tubuh orang, sedang berlompat naik keatas sebuah kereta untuk
menghampirkan. Tadinya Cu In hendak tanya kawan itu, tetapi Eng Jiauw Ong mendahului berseru "Tiat Tayjin, awas belakangmu."
Kemudian, setelah sampai dikereta ke tiga, ia lempar tubuh yang ia kempit kekereta ke empat sambil ia serukan
kawannya "Am cu, lindungi kereta, aku nanti singkirkan jahanam itu!" Dan segera ia loncat kebelakang.
Cu In berpaling dengan cepat, dari itu ia melihat satu tubuh mencelat dari tempat gelap itulah tubuh yang
membuat Eng Jiauw Ong berseru.
Rombongan serdadu menduga pada orang jahat,
beruntun mereka melepaskan panah.
Gerakannya penjahat itu terlambat, karena ia mesti
menyingkir dari panah, karena ini, Tiat Hu ciang keburu geser kudanya. Karena ini juga, Eng Jiauw Ong keburu
mendekati melihat orang itu berusia tigapuluh lebih,
tubuhnya kecil dan jangkung, senjatanya sebatang toya Hong liong lang, romannya bengis.
________________ maju, ia _____ dengan totokan pada
hu ciang itu. Melihat gerakan orang itu Eng Jiauw Ong tahu, musuh
ini ada liehay, dari itu, jadi kuatir buat Tiat Hu ciang. Ia lompat kearah kiri orang itu, sembari membentak. "Awas!"
Tangan kirinya menyamber lengan kanannya orang itu.
Penjahat itu berkelit kekiri tubuhnya sedikit berdongko, lalu dengan toyanya ia menyerung kaki kiri musuhnya. Ia benar2 ada gesit sekali.
Eng Jiauw Ong berkelit sampai mengasih toya lewat,
setelah itu merangsek. Tangan kananya di majukan dengan dua jari ia mengancam sepasang mata musuh, tapi sambil lompat jumpalitan, musuh itu mundur dengan cepat, untuk kemudian, dengan menyerang kebawah, bagaikan angin
musim rontok ____ daun kering, ia menyapu kakinya Eng Jiauw Ong.
Eng Jiauw Ong enjot tubuh nya akan lompat nyamping
selagi lawan itu membarengi ____ juga, maju kedepan.
untuk memutar tubuhnya, guna terus menghajar punggungnya Eng Jiauw Ong.
Itu ada gerakan gesit dan berbahaya, Eng Jiauw Ong bisa duga itu, maka ia lekas berbalik seraya egosi sedikit tubuhnya. Ia menggunai gerakan _____ soan cauw" atau
"Burung ___ memutari sarang." membabat demikian, iapun _____ Tiat Hu ciang " _____ Disini ada Cu In Am cu
membantui kau melindungi kereta, pergi kau lihat lain bagian!" Kemudian, bergerak terus, ia majukan sebelah kaki, tangannya menyamber dada. Ia menggunai tipu
serangan "Kim pa louw jiauw" atau "Macan tutul emas
memperlihatkan kuku."
Penjahat itu mencoba berkelit kekanan, akan tetapi
serangan angin dari tangan itu sudah mendahului sampai.
Memang biasa nya, angin dari serangannya satu ahli, sudah terasa dimuka lima dim sebelum sampainya tangan pada
sasaran. Karena ini, cepat2 dia mengangkat toyanya akan menghajar lengan kanan orang.
Eng Jiauw Ong tarik pulang tangan kanannya, sebagai
ganti nya ia majukan tangan kiri, dengan dua jari telunjuk dan tengah, ia mencari jalan darah "Kwan goan hiat"
Dalam kalangan Siauw Lim Pay, ilmu pukulan ini
dinamakan "Sut pay chiu" atau "Membuang tugu," sedang dalam Hoay Yang Pay disebut "Tok coa sim hiat chiu" atau
"Ular berbisa mencari lobang."
Penjahat itu tidak berani menangkis, ia berkelit sambil lompat mundur. Dengan demikian, mereka berdua jadi
bertempur seru. Tiat Hu ciang sudah lantas hampiri Cu In Am cu untuk
memberi hormat, buat minta keterangan perihal nikow ini dan kawannya yang sedang melawan penjahat. Kapan ia
diberitahukan siapa adanya mereka, ia jadi girang berbareng
bersukur sekali. Setelah itu ia bertanya apa yang harus dilakukan.
Menuruti Cu In, kereta yang rubuh lantas diangkat
dengan keledainya yang terluka ditukar. Penjahat yang rubuh ditangan nya Eng Jiauw Ong, yang kena ditotok,
diangkat naik kedalam kereta. Kemudian, dengan Cu In
yang melindungi, mereka terus melanjutkan perjaianan ke Wie Hoo.
Eng Jiauw Ong lihat bagaimana rombongan sudah
berangkat, ia berhati lega, maka itu dengan pikiran terpusat ia terus melayani musuhnya, siapa sebaliknya jadi malu sendirinya, karena usahanya sudah gagal. Ia rupanya malu pulang untuk menemui ketuanya dengan tangan kosong,
dari itu, dalam murka ia berkelahi dengan sengit. Ia
merangsek dengan tipu tipu pukulan "Pek Wan Chio" atau
"Tumbak Lutung Putih," yang terdiri dari tiga puluh enam jurus, hingga samberan angin toyanya jadi men deru2.
Untuk melayani rangsekan itu, Eng Jiauw Ong
menggunai "Co Kut Hun Kin Chiu" atau ilmu pukulan
"Memecah tulang membagi urat," yang terdiri dari tujuh puluh dua jalan dan antaranya, tiga puluh enam untuk
menotok jalan darah, hingga, tak perduli Hong liong pang bagaimana berbahaya, musuh tidak bisa berbuat banyak, malah di jurus dua puluh lebih dia mulai kewalahan,
permainan toyanya makin lambat.
Ketika Eng Jiauw Ong menyerang dengan "Kim hong
hie lui" atau "Tawon ceking permainkan pusuh bunga,"
tangan kanannya mencari jalan darah dipundak, penjahat itu dengan bengis membarengi menghajar kepala musuh,
bagian pilingan sebelah kanan.
Melihat serangan pembalasan itu, Eng Jiauw Ong
berkelit seraya tarik pulang tangan kanannya, dilain pihak
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan kirinya membarengi maju, akan menabas pundak
kiri musuh itu. Dia ini tidak menangkis, sebaliknya, dengan tarik pulang toyanya ia terus menyodok perut. Atas ini, jago Hoay siang lompat tinggi, mencelat mundur satu tumbak lebih.
Menampak demikian, musuhpun luncat mundur,
jauhnya dua tiga tumbak, setelah mana, ia putar tubuh untuk terus lari ke arah Selatan. Rupanya ini adalah ketika baik untuk mundur teratur.
"Tikus, kau hendak lari?" Eng Jiauw Ong berseru seraya ia enjot tubuhnya lompat maju, untuk mengejar.
Sekejap saja Eng Jiauw Ong telah dekati, musuh tinggal lagi setumbak lebih, diwaktu mana, dengan se konyong2
musuh itu balik tubuhnya dan sebelah tangannya terayun, disusul dengan menyambernya sebuah benda yang
berkeredepan. "Ha, kau berani menggunai kepandaianmu semacam
ini?" berseru pula Eng Jiauw Ong, yang sambil miringkan kepalanya, sodorkan tangannya yang kiri, hingga senjata rahasia musuh, sebatang piauw, kena ia sambuti.
"Nah, kau rasakan ini!" tertawa simusuh secara
menghina, membarengi mana, lima biji sinar terang
menyamber dari tangannya, dalam bentuk lukisan bunga
Kwee. Eng Jiauw Ong segera kenali, itu adalah lima batang
jarum beracun "Bwee hoa Toat beng ciam," dari itu,
menggunakan kegesitan tubuhnya, ia pentang ke dua
tangannya dan lompat nyamping lima tumbak. Ia
menggunai tipu "Kauw yan hoan in" atau "Walet cerdik
membaliki awan." Tapi begitu kedua kakinya menginjak
tanah, ia teruskan mencelat ke arah musuh itu. Ia gusar sekali, sebab musuhnya menggunai senjata beracun, yang
panjangnya tiga dim dan bercagak. Semua lima batang
jarum tadi jatuh ketanah. Jarum ini lebih berbahaya
daripada panah "Coa tauw Pek ie cian" dari Soat San Jie Siu, disimpannya dalam bumbung yang berlobang lima,
menyamber nya ketiga jurusan atas, tengah dan bawah dua kesamping, kiri dan kanan, hingga sulit untuk dielakkan.
Senjata rahasia biasa bisa dielakkan dengan "Tiat poan kio," gerakan rebah melintang bagaikan jembatan besi, tapi jarum ini meminta kepesatan dan lompatan jauh.
Pemiliknya jarum ini mestinya sebat, tetapi guna mencegah dia keburu mengisi bumbungnya, Eng Jiauw Ong segera
merangsek dengan loncatan "Pat pouw kan siam" atau
"Delapan tindak mengejar tonggeret."
Penjahat itu kaget benar2 apabila menyaksikan musuh
tak dapat dirubuhkan dengan jarumnya, karena ia tidak sempat mengisinya pula, ia segera putar tubuhnya dan
berlari. "Sisa Hian Touw Koan!" Eng Jiauw Ong menyerukan.
"Kau masih mengganas, kau hendak lari kemana?"
Dengan loncatannya, yang pesat dan jauh. Eng Jiauw
Ong dapat menyandak, setelah datang dekat, ia ulur sebelah tangannya dalam gerakan "Kim liong tam jiauw" atau
"Naga emas mengulur cengkeramannya." menyengkeram
bebokong. Cepat sekali ujung jarinya telah menyentu baju.
Pukulan dari Hoay Yang Pay mirip dengan kata2 "Tidak
penuh, tidak luber, sekali luber, tentu meluap," jadi seperti pukulan "Siauw thian chee" atau "Bintang kecil" dari
Siauw Lim Pay. Dalam saat yang genting itu, mendadak ada senjata
rahasia menyamber dari samping.
"Bagus!" berseru jago dari Hoay siang sambil berkelit seraya tangan kanannya diulurkan untuk dengan dua
jarinya menjepit senjata rahasia itu sebatang panah sedang tangan kirinya melanjutkan serangannya pada bebokong
musuh. Musuh ini coba membuang diri nya, tapi tidak urung ia seloyongan kasamping kiri sampai beberapa tindak.
Menyusul itu, dari arah Barat, terdengar dua kali suara suitan, atas mana, penjahat ini segera berlari kejurusan itu.
Eng Jiauw Ong sangat mendongkol. Serangan gelap itu
mengganggu ia, karena gerakan nya sedikit lambat, musuh luput dari bahaya. Dalam murkanya, ia loncat lebih jauh, untuk mengejar. Justeru itu dari dalam semak2 ia
mendengar tertawa menghina dibarangi dengan kata2 "Ong Too Liong, jangan jumawa. Malam ini aku ada urusan, aku tak dapat melayani terus pada mu! Tapi Cap jie Lian hoan ouw ada tempat kuburanmu, kau ingatlah ini, tua bangka!
Inilah perjanjian dari kematian, apabila itu tak ditepati, tak hapus!"
Menyusul itu terdengar berisik nya suara pepohonan
rumput terlanggar, lalu sunyi senyap.
Eng Jiauw Ong tertawa menghina seraya terus berkata
"Kawanan tikus! Belum pernah Eng Jiauw Ong melanggar
janji! Percuma aku menjadi ketua Hoay Yang Pang jikalau tak mampu aku membasmi sarangmu! Kawanan jahanam,
baiklah, kau boleh hidup lagi lebih lama beberapa hari!"
Sehabis berkata demikian, jago Hoay Yang ini lalu ambil jalannya untuk menyusul rombongan Tiat Hu ciang, akan tetapi belum ia sempat bertindak, dengan satu loncatan, Cu In Am cu telah sampai didepannya, hingga ia terkejut.
"Bagaimana, am cu?" tanya ia. "Apakah ada terjadi
sesuatu" " Ia heran karena pendeta ini kembali cepat sekali.
-odwo- XII "Tak kurang suatu apa, suheng," jawabannya nikow itu.
"Rombongannya Tiat Hu ciang sudah menyeberangi sungai Wie Hoo dimana mereka disambut oleh dua cham ciang
serta dua ratus serdadu berkuda, yang dikirim oleh To Ciangkun untuk menjemput sedang dengan titahnya
jenderal itu, tertera disepanjang jalan diwajibkan bantu melindungi. Siupie dari Jie lim ek juga sudah menyambut bersama barisannya dan ajak Tiat Hu ciang singgah
diposnya, hingga disana rombongan itu dapat beristirahat.
Aku anggap mereka sudah selamat, dari itu, aku lekas
kembali akan tengok suheng. Apa disini sudah beres?"
"Terima kasih, am cu. Aku tak punya guna, aku bikin
kawanan kurcaci itu lolos," Eng Jiauw Ong akui. "Am cu, kita sedang menghadapi musuh2 tanggu, entah berapa
jumlahnya. Di luar sangkaanku, Hong Bwee Pang telah
bangkit dengan kekuatan baru. Kecuali murid2nya Soat San Jie Siu, diantara merekapun ada sisa2 muridnya Sin heng Ie su Sian Siu, itu ok too, imam busuk, dari kuil Hian Touw Koan digunung Houw Gee San."
"Suheng, bukankah Sian Siu itu telah terbinasa diujung pedang Sam cay kiam dari Thian Lam Kiam kek?" Cu In
tanya. "Murid2nya sudah buyar, kawanan Hian Touw
Koan sudah tak disebut2 lagi dalam dunya kang ouw, cara bagaimana suheng bisa sebut2 pula dia itu?"
"Aku tidak kenal kawanan itu, aku hanya dapatkan
barang buktinya saja," sahut Eng Jiauw Ong. "Mari, am cu, coba lihat, ini ada buktinya atau bukan?"
Eng Jiauw Ong bertindak ke arah Utara, tempat
pertempuran tadi, disitu ia membungkukkan tubuhnya akan memungut sebatang jarum Bwee hoa Toat beng ciam.
"Lihat ini, am cu. Apakah senjata ini ada dua di Selatan dan Utara sungai besar?"
Cu In menyambuti dan periksa jarum itu dibawah sinar
puteri malam. "Benar2 suheng berpandangan luas," memuji ia.
"Memang senjata ini kepunyaan kawanan dari Hian Touw
Koan. Tetapi suheng barangkali lupa kepada penjahat besar yang malang melintang di Utara, yalah Ya eng cu Touw
Eng si burung malam. Dia pernah menggunai jarum ini,
hingga dia dibekuk oleh To Cie Taysu, supehku dari See Gak Pay. Ketika itu dia dipaksa keluarkan senjata
rahasianya, dia dipaksa bersumpah tidak akan menggunai pula senjatanya yang liehay itu, sesudah mana dia
diampunkan dan dibebaskan. Saking malu, Touw Eng
menyingkir dari dunya kang ouw, dia pergi ke Liauw tong sampai sekarang sudah lebih sepuluh tahun, dia belum
pernah pulang, maka itu, aku sangsi apa bukannya dia yang telah kembali. Hanya diantara jarum kedua kaum itu ada sedikit perbedaannya. Ini bukan jarumnya Touw Eng.
Jarumnya si Burung Malam lebih indah buatannya. Karena kawanan dari Hian Touw Koan muncul pula, mungkin
Touw Eng pun turut serta dengan mereka itu."
"Am cu luas pengetahuan nya, aku malu karenanya,"
berkata Eng Jiauw Ong. "Suheng cuma puji aku," Cu In bilang. "Sekarang mari
kita bicara tentang murid2 kita, entah bagaimana nasibnya.
Aku tidak percaya mereka ditakdirkan usia pendek, tapi beda dengan In Hong, yang ada seorang anak lelaki, aku kuatirkan Hong Bwee, seorang gadis remaja dan dari
keluarga terhormat. Aku malu bertemu dengan keluarga Yo apabila terjadi suatu apa atas diri nya. Aku ingin tolong muridku itu, bagaimana pikiran suheng sekarang?"
"Nampaknya urusan ini sulit," Eng Jiauw Ong akui.
"Disini tidak lagi ada urusan perseorangan hanya mengenai permusuhan Hong Bwee Pang dengan Hoay Yang Pang.
Teranglah sudah, dengan mengguna! murid2 kita, orang
hendak pancing aku memasuki Cap jie Lian hoan ouw,
sarang nya itu. Aku percaya, In Hong dan Hong Bwee
sudah diculik dan dibawa lari ke Kanglam, hingga kita perlu menyusul ke sana. Sekarang mari kita pergi ke Jie lim ek, sebelum Tiat Hu ciang berangkat, kita mesti bisa korek keterangan dari mulutnya penjahat yang terbekuk, untuk mengetahui dimana adanya murid kita sekarang. Aku
percaya, dengan mengingat budi kita, Tiat Hu ciang akan mengijinkan kita periksa penjahat itu."
Cu In Am cu setujui pikiran ini, ia lalu ikuti Eng Jiauw Ong berangkat ke Jie lim ek. Mereka sampai dengan lekas.
Lantas mereka menyeberang. Baharu mereka turun
kejembatan, tiba2 Cu In Am cu merandek, "Dengar,
suheng," ia berbisik. "Apa mungkin perahu berlayar
dimalam seperti ini?"
Eng Jiauw Ong hentikan tindakannya dan pasang
kuping. Ia dengar suara air tergayu, jauhnya dari mereka beberap tumbak disebelah Barat jembatan. Ketika ia
mengawasi, samar ia tampak dua buah perahu kecil sedang memutari tikungan dan dikepala perahu, yang madap ke
Utara, ada beberapa titik api mirip dengan bintang kecil.
Tanpa merasa, ia keluarkan seman tertahan.
"Suheng, mereka pasti bukan orang2 baik." Cu In
berkata. "Malah mereka adalah satru kita!" Eng Jiauw Ong
tambah kan. "Jikalau mataku tidak lamur, itulah kendaraan airnya Hong Bwee Pang. Lihat, dikepala perahunya ada api hio yang dinamai Hio tin. Entah siapa yang jadi
pemimpinnya. Am cu, mari kita kuntit mereka!"
"Tunggu, suheng," Cu In mencegah. "Lihat arah Jie lim ek! Kenapa ada asap mengepul disana dan suara riuh juga?"
Ong Too Liong memandang ke Utara, ia lihat asap yang
disebutkan. "Itulah asap," ia bilang. "Kalau itu asap kebakaran,
apinya mesti terlihat. Kenapa melainkan asaypnya saja yang terlihat?"
"Aku berkuatir buat Jie lim ek," Cu In menyatakan.
"Perahunya Hong Bwee Pang ada dimana saja, jangan kita sia2kan tempo, mari kita lihat keperhentian disana!"
Eng Jiauw Ong menyatakan akur, maka itu, urunglah
mereka menguntit perahu tadi, keduanya ber lari2 kearah perhentian Jie lim ek. Baharu saja mereka sampai dimulut dusun, dari tempat gelap muncul sebarisan serdadu, yang menegor "Siapa?"
Eng Jiauw Ong dan Cu In berhenti berlari, mereka
perkenalkan diri. Barisan itu dikepalai oleh satu siauw khoa atau letnan sebawahannya Tiat Hu ciang.
"Oh, jiewie tayhiap," kata letnan itu. "Tayjin kita
memang sedang mengharap jiewie. Kalau jiewie ada disini, penjahat niscaya tidak akan peroleh hasil! Silahkan jiewie itu kami."
"Apakah penjahat telah menyerbu pula?" tanya Cu In.
"Benar," sahut letnan itu. "Mereka menolongi kawannya yang telah terbekuk. Mereka menggunai tipu bersuara di Timur dan menyerang di Barat. Mulanya mereka melepas
api dibelakang, ketika kami pergi untuk memadamkan,
mereka menyerang tempat tahanan, setelah melukai dua
serdadu jaga, mereka melarikan konconya. Tiat Tayjin
sangat gusar hingga dia mestikan semua barisan menanggung jawab"."
Eng Jiauw Ong mendongkol dan menyesal bukan main,
jadi sia2 jeri payahnya untuk mengorek keterangannya
kedua penjahat itu. "Aku tidak sangka penjahat mendahului kita," kata ia
pada Cu In. "Terang sekali mereka menguntit kita dan
turun tangan selagi kita tidak bersiap sedia. Am cu, musuh tangguh, tak dapat tidak kita mesti segera menuju ke Cap jie Lian hoan ouw akan mencari ketua mereka!"
"Sabar, suheng." Cu In berkata. "Looya ini bilang, Tiat Tayjin ingin menemui kita, mari kita menghadap dahulu padanya. Kita boleh sekalian melihat keadaan disana."
Eng Jiauw Ong tidak ingin tentangi pendeta ini, maka
letnan itu lantas pimpin mereka masuk kedalam dusun Jie lim ek besar, dijalan besar ada banyak tokonya, tetapi ketika itu orang sudah pada tidur, cuma orang2nya Tiat Hu ciang yang jalan meronda. Pesanggerahan sendiri terang
benderang dengan banyak lentera dan obor.
Sesampainya dipintu gedung, letnan itu permisi akan
masuk lebih dahulu, untuk memberi kabar, kemudian ia
kembali dengan cepat seraya bilang Tiat Hu ciang
mengundang kedua tetamu ini.
Didalam, Tiat Hu ciang sambut tetamunya dengan
hormat dan mengundang duduk, iapun terus tanya alamat mereka, katanya sesampainya di Tiang an, ia hendak
melaporkan pada To Ciangkun, agar mereka ini diberi
tanda jasa. "Terima kasih tayjin, itulah kami tidak harap," Eng
Jiauw Ong bilang. Ia kata ia ada seorang merdeka dan Cu In seorang suci. "Kami tidak punya rejeki untuk menerima
jasa dari negara. Apa yang kita harap adalah agar Tayjin tolong bikin terang penasarannya Yo Bun Koan sekeluarga agar nama baiknya dapat dipulihkan, dengan begitu mereka akan bersyukur."
Tiat Hu ciang lalu menanyakan, penjahat ada dari
golongan mana, dan kenapa mereka memusuhi Yo Bun
Hoan. "Diantara penjahat dan Yo Bun Hoan tidak ada
permusuhan. Disini hanya menyelip tangan busuk dari
manusia rendah," menerangkan Eng Jiauw Ong. "Ini
adalah apa yang dinamakan balas membalas. Tentang
sebabnya, sulit untuk Tayjin mengetahui jelas, tapi
terangnya, murid kami masing2 sudah terjatuh kedalam
tanga kawanan itu, kami hendak menolonginya. Entah
bagaimana kesudahannya nanti. Kami datang kemari
dengan niat mengorek keterangan dari mulut penjahat yang terbekuk, aku tidak sangka, penjahat itu telah dapat
ditolong konconya. Tayjin, untuk pergi ke Tiang an, apa tayjin masih membutuhkan kami?"
"Kalau murid jiewie berada ditangan penjahat, paling
benar adalah jiewie tolongi dahulu mereka," kata Tiat Hu ciang. "Untuk tugasku, aku akan menjaga dengan hati2.
Aku malu karena lolosnya orang2 tawanan itu. Mengenai Gouw Ko pie, aku percaya dia tidak akan bisa berbuat
suatu apa andai kata dia tak puas."
Mendengar jawaban itu, Eng Jiauw Ong lantas
berpamitan. Tapi Cu In Am cu minta ijin akan ketemui
keluarga Yo. Tiat Hu ciang tidak berkeberatan, malah ia sendiri yang antar dua orang itu pergi ketempat tahanan di kamar samping. Dengan kebaikannya hu ciang itu, semua orang tawanan dapat rawatan baik.
Eng Jiauw Ong hiburi saudara angkat itu. Ia pesan,
umpama di Tiang an saudara ini peroleh kemerdekaannya, jangan dia terus pulang ke Hoa im, hanya baik menantikan di Tiang an, sampai ia datang menyambut, untuk ber sama2
pergi ke Hoay siang. Bun Hoan mengucap terima kasih kepada jago Hoay
siang ini, Cu In Am cu sendiri menemui Nyonya Yo
dengan merasa malu, ia menghibur dan bersumpah akan
menolongi Hong Bwee. Mereka berdua tidak banyak bicara pula, hanya mereka
lantas pamitan. Kepada Tiat Hu ciang diminta bantuan
akan merawat dan memperlakukan dengan baik keluarga
Yo itu, atas mana, panglima itu memberikan kesanggupan nya. Kemudian mereka berpisahan.
Tempo Eng Jiauw Ong dan Cu In keluar dari gedung
perhentian, hari sudah mulai terang, dari itu lekas2 mereka berlalu dari Jie lim ek, untuk menyeberangi pula sungai Wie Sui.
"Bagaimana, suheng?" tanya Cu In ditengah jalan.
"Tak dapat kita bertambat pula," sahut Ong Too Liong.
"Sekarang aku hendak kembali ke Tek Seng Gay, buat
ambil buntalanku, lalu aku hendak pergi ke Bun hiang, Hoolam, dan Han Kok kwan, untuk cari suteeku dan satu muridku, agar mereka memberitahukan para anggauta
Hoay Yang Pay, untuk mereka semua berkumpul di Lek
Tiok Tong, Ceng hong po, Hoay siang. Maksudku adalah
akan dalam satu rombongan menuju ke Cap jie Lian hoan ouw, untuk melakukan pertempuran yang memutuskan
dengan orang2 Hong Bwee Pang. Am cu, walaupun murid2
kita tidak tewas jiwanya, asal mereka terluka sedikit saja, tidak nanti aku mau mengerti. Apakah Am cu bersedia
untuk berangkat ber sama2 aku?"
"Dalam keadaan seperti sekarang, sudah pasti aku akan membantu kau, suheng," sahut nikow itu "Jangankan
mengenai murid See Gak Pay, walaupun tidak, aku pasti akan membantu juga. Malah aku pikir akan menolong
mereka sebelum mereka keburu dibawa masuk kedalam
sarang mereka. Kita memang mesti penuhi undangan
mereka. Hanya sekarang, kupun perlu pulang dahulu ke
Pek Tiok Am. Suheng, apakah suteemu itu Siok beng Sin Ie Ban Liu Tong dari Kwie in pe dikaki bukit Kian San di Han ok kwan?"
"Benar, am cu," Eng Jiauw Ong manggut. " Apakah am
cu kenal dia?" "Tidak saja aku kenal, malah kami bersanak," sahut
pendeta perempuan itu. "Muridku Yang ke enam adalah
anak angkatnya Ban Liu Tong. Mengenai ini, nanti saja aku terangkan padamu, atau kalau nanti kau ketemu suteemu, dia akan menjelaskannya. Sekarang begini Suheng hendak pergi ke Han kok kwan, pergilah. Aku hendak pulang ke Pek Tiok Am, dari sana aku akan menyusul langsung
ketempat suteemu itu. Umpama aku terlambat, suheng
boleh berangkat duluan, aku akan usul kau di Ceng hong po."
"Kau sudi bantu aku, am cu, terima kasih!" menyatakan Eng Jiauw Ong. "Baik am cu berangkat hari ini juga, aku mengharap sangat bantuanmu."
"Jangan kuatir, suheng, aku tak akan bikin gagal."
Keduanya lalu berlari, menuju kekaki gunung Hoa San
See Gak. "Kita sudah ber lari2 seantero malam, apa tidak baik am cu singgah sebentar di Tek Seng Gay?"
"Aku tidak letih, melainkan hatiku tidak tenteram, aku kuatir dikuilku ada terjadi apa," sahut Cu In. "Mari kita ambil jalan puncak Tiat Pit Hong, yang terlebih dekat."
"Tak pernah am cu beristirahat , memang mungkin
hatimu tidak tenteram," Ong Too Liong menghibur. "Baik am cu jangan curiga, mustahil ada orang berani main gila di Pek Tiok Am?"
"Siapa tahu" Kadang2 bisa terjadi segala apa?"
Mereka ber lari2 ber sama2, memotong jalan. Diwaktu
pagi demikian, dengan angin halus, pemandangan alam ada menarik hati. Dengan melewati Eng Ciu Nia, keduanya
menuju ke Tek Seng Gay. Begitu lekas memasuki rumah
guhanya, tampangnya si Kuku Garuda menjadi berubah.
"Lihat, am cu, kemanapun si penjahat telah datang juga"
Memang, diatas meja ada selembar kertas, yang bisa
diduga dari siapa datangnya.
Eng Jiauw Ong membaca ber sama2 "Cu In Am cu.
Surat itu berbunyi : "Orang tua dari Hoay siang, Pendeta perempuan dari
See Gak! Lekas kau berdua berangkat, untuk pertemuan kita,
untuk kau membereskan perhitungan, supaya tak usah aku menjemput lagi!"
Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan, cuma ditandai
dengan tanda merah (kamkie) serta lukisan seekor garuda bundar.
"Lihat, mereka begini mendesak dan memandang hina
kepadaku!" kata Eng Jiauw Ong dalam mendongkolnya.
"Walau Cap jie Lian hoan ouw itu gunung golok dan
rimba2 pedang, akupun akan satroni juga! Am cu, silahkan kembali kekuilmu, aku hendak berangkat sekarang juga!"
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, suheng, silahkan kau pergi!" sahut Cu In Am cu, yang sendirinya berkuatir untuk kuilnya. Ia percaya, semua muridnya akan taati pesanannya, tidak terkecuali adik seperguruan nya, Leng Hong Hiap lie Liok Tiauw Cin yang tabeatnya keras, walaupun dia sudah mensucikan diri dua belas tahun lamanya, dia tetap paling benci akan kejahatan.
Begitu ia pamitan dari Ong Too Liong yang antar ia sampai dibawah Tek Seng Gay, lalu dengan ambil jalan Tiat Pit Hong, ia menuju pulang. Eng Jiauw Ong sendiri lekas
kembali kerumah guhanya, akan merapihkan buntalannya, sesudah itu, ia berangkat meninggalkan Tek Seng Gay.
Tujuan dari Eng Jiauw Ong ialah distrik Bun hiang
dipropinsi Hoolam dimana ada sebuah dusun Tiat gu
chung. Namanya saja desa, tetapi disana hidup dua ribu lebih keluarga, yang semua mengutamakan pertenunan,
hingga tidak ada bebuah rumahpun dimana tidak ada
pesawat pemintal. Karena itu, sering datang saudagar dari lain tempat, yang memborong kain tenun buatan Tiat gu chung ini.
Penduduk terutama dari Tiat gu chung adalah dua
keluarga Su touw dan To mereka datang mengungsi dari
Kanglam karena gangguan huru hara, seterusnya turun
temurun mereka bertinggal didesa ini, bertani sambil
menenun. Daerah belukar luasnya lima ratus bauw, mereka buka menjadi perkebunan murbei. Disitu ada kedapatan
orang dari beberapa she lain, tetapi semua mereka ini ada sanak saudara dari dua keluarga tersebut.
Sampai pada masa terakhir ini, chungcu atau ketua
dusun itu ialah Su touw Kun, dan hu chungcu, ketua muda, ialah To Bouw Cian, ke dua2nya sudah berusia lanjut.
Dimasa mudanya, Su touw Kun pernah belajar silat, dari bahagian keras, Ngekang. Ilmu itu bisa merusak tubuh
apabila keliru diyakinkannya, maka itu, Su touw Kun tidak wariskan itu, tidak pada anaknya, juga tidak pada lain orang. Ia mempunyai dua anak lelaki, Kiong dan Kiam.
Kiong rajin belajar surat dan bercocok tanam, ia membantui kedua chungcu Kiam dikirim kepada Eng Jiauw Ong, untuk belajar silat bahagian dalam, Lwee kang. Ia sangat rajin, selama dua belas tahun, ia telah peroleh kemajuan, hingga gurunya sangat sayang padanya dan didik ia sungguh2.
Saudarasnya seperguruan pun menghormati ia. Setelah
pulang kedusunnya, dengan tentu2 setiap tahun ia kunjungi gurunya beberapa kali.
Su touw Kun tahu Eng Jiauw Ong liehay dan budiman,
ia mengerti, yang anaknya di sayang guru itu, saking
menghargai, ia juga pernah kunjungi jago Hoay siang itu kepada siapa ia menjanjikan bantuan uang tak berbatas, asalkan itu untuk kebaikan umum. Karena ini, Eng Jiauw Ong jadi suka bersahabat kepada petani hartawan dan
mulia itu, hingga asal ia pergi ke Utara, sudah tentu ia mampir di Tiat gu chung. Demikian juga kali ini, untuk mati hidupnya Hoay Yang Pay, ia datang untuk tengok
muridnya, Su touw Kiam, agar murid ini suka membantu
ia. Begitu memasuki dusun, kupingnya Eng Jiauw Ong
lantas mendengar suara ramai dari pesawat tenun, karena penduduk yang rajin dan damai itu, seperti biasanya,
bekerja dengan giat dan tenang, walaupun negara sedang hadapi pemberontakan.
Su touw Chungcu berada didalam rumah, ketika ia
diwartakan kedatangannya Eng Jiauw Ong. Segera ia
keluar menyambut dan mengundang tetamunya berduduk
diruang tetamu, setelah perintah orang menyuguhkan air teh, iapun perintah bujang panggil puteranya.
"Loo suhu sedang pimpin pasukan sukarela di Hoay
siang, bagaimana loo suhu sekarang punya kesempatan
berkunjung kemari?" tanya tuan rumah. "Apa mungkin ada urusan penting lain?"
"Sejak keamanan terganggu, memang aku tidak punya
kesempatan lagi untuk pesiar," sahut Eng Jiauw Ong,
"tetapi sekarang ada satu urusan yang memaksa aku
meninggalkan kampung halamanku." Ia tuturkan peristiwa keluarga Yo.
"Kami kenal Yo Jie looya itu," kata Su touw Kun. "Dia memang jujur dan mulia hatinya, malah beberapa tahun
yang lampau dia pernah menolong kami dengan uangnya,
selagi kami diserang musim kemarau. Kenapa dermawan
sebagai ia bisa alami kecelakaan itu?"
"Itulah sebab dia terfitnah," menerangkan Eng D yiauw Ong "Loo chungcu jangan kuatir, aku percaya dia akan
dapat pulang kemerdekaannya."
Eng Jiauw Ong tuturkan ikhtiarnya bersama Cu In Am
cu, untuk tolong hartawan yang dermawan itu.
"Gouw Ko pie ada ____ jahatnya, kekuasaannyapun
semakian besarnya, apa loo suhu tidak pikir untuk
singkirkan dia ?" tanya tuan rumah.
Eng Jiauw Ong tidak sampai hati mendengar pertanyaan
itu, ia mengerti inilah disebabkan chungcu itu sangat
membenci kejahatan. "Untuk sementara ini tak dapat kita bersikap keras
kepada nya," ia menerangkan perkaranya saudara Yo
masih __ apabila ia terbinasa. Masalahpun akan bertambah.
Sekarang pun negara membutuhkan tenaga orang peperangan yang pandai, tenaganya teetok itu masih perlu untuk meng _____ pemberontak. Terpaksa_____ sikap
lemah, harap chungcu tidak mentertawai aku."
"Tetapi loo suhu benar," kata Su touw Kun. "Dalam
keadaan sulit seperti sekarang, kita harus sabar. Harap loo suhu tidak berkecil hati atas katakku tadi."
Eng Jiauw Ong bersenyum. Justeru itu Su touw Kiam datang untuk segera kasih
hormat pada gurunya. "Oh, suhu datang!" katanya Eng Jiauw Ong girang
melihat murid itu sehat walafiat.
"Jangan pakai banyak adat peradatan," kata guru ini.
"Kau bikin apa saja sekarang?"
"Apakah ayah belum omong pada suhu?"
"Ayahmu bicarakan saja urusanku, sehingga ia belum
sempat bicarakan tentang kau."
"Sebenarnya, dengan pengunjukannya To Pe hu, aku
sedang melatih barisan penduduk," Su touw Kiam
menerangkan. "Sukur, sampai sebegitu jauh kami tak
kurang suatu apa. Dan suhu, ada urusan apa suhu datang ke Utara ini untuk mengunjungi sahabat atau ada urusan lain?"
"Ada urusan, muridku," sahut Eng Jiauw Ong, yang
kembali tuturkan halnya keluarga Yo. "Sampai sekarang, toa suheng mu masih berada dalam tangan musuh."
Su touw Kiam kaget berbareng gusar.
"Kita kaum Hoay Yang Pay berlaku jujur, tetapi Hong
Bwee Pang memusuhi kita secara begini, jikalau kita tidak lakukan pertempuran yang memutuskan, dia pasti akan
terus menghinakan kita!" kata ia. "Suhu, aku bersedia akan ikut suhu untuk menolongi toa suheng."
"Aku memang sudah mengambil putusan akan
menempur Hong Bwee Pang sampai diakhirnya!" Eng
Jiauw Ong beritahukan murid nya. "Setelah kejadian ini, tak dapat kedua golongan hidup ber sama2, Hong Bwee
Pang tangguh, banyak cabang dari Rimba Hijau masuk
dalam rombongannya, dari itu, kita mesti mengumpul
tenaga, aku ingin kaum kita semua berkumpul di Ceng
hong po. Kita akan dibantu oleh See Gak Pay. Kaum kita terpencar luas, ada sukar untuk lekas mengumpulkan
mereka, dari itu, apa kau bersedia akan iringi aku pergi kepada Susiok mu, Ban Liu Tong di Kwie in po" Aku ingin ber sama2 susiokmu itu menghadapi musuh. Biarlah
susiokmu membantu mengirim surat kepada sekalian kaum kita."
Sebelum Su touw Kiam menyahuti, ayahnya sudah
mendahului. "Aku harap loo suhu jangan berlaku sungkan!" kata
ketua Tiat gu chung. "Anakku adalah muridmu, ia telah menerima budi besar, sudah selayaknya ia membantu loo suhu, tidak perduli badan nya mesti hancur lebur. Pergi lu suhu ajak si Kiam! Umpama Ban Loosu kekurangan orang, untuk dikirim keberbagai tempat, disini aku punya banyak anak2 yang bisa membantu."
"Kau baik sekali, chungcu, terima kasih," kata Eng
Jiauw Ong yang bersukur sekali. "Biar lain kali saja aku terima bantuanmu terlebih jauh. Sekarang adalah cukup asal Kiam turut aku?"
Selagi mereka bicara sampai disitu, datang laporan
bahwa To Siauw chungcu datang untuk suatu urusan
penting. -odwo- XIII "Nanti aku ketemui padanya," kata Su touw Kiam
sambil berbangkit. "Tentu ada urusan penting mengenai dusun kita."
"To Yong bukan orang lain, baik silahkan dia masuk
saja," sang ayah berkata.
Anak itu menurut, ia lantas keluar, akan sebentar
kemudian balik bersama satu pemuda umur kurang lebih
dua puluh tahun, romannya cakap dan gagah, siapa lantas memberi hormat pada tuan rumah, baharu pada tetamunya.
Eng Jiauw Ong membalas hormat seraya mengundang
"To Lauwtee, silahkan duduk!"
"Duduk, hiantit, Ong Loosu ada orang sendiri," Su touw Kun berkata. "Ada urusan apa sampai hiantit perlukan
datang kemari?" "Barusan saja kami terima laporan dari saudara kami
yang menjaga disungai sebelah utara dusun kita ini," sahut To Yong, putera dari To Bouw Cian. "Saudari itu bilang, tadi pagi kira2 jam lima, dari arah Hong leng louw ada datang dua buah perahu nelayan dari Kanglam, yang minta berlabuh dipelabuhan pedalaman, tetapi karena tidak ada orang yang ladeni mereka, kesudahannya mereka singgah diselat Teng ji wan, tempat belukar dan sunyi, setengah lie dari sungai kita. Disana, jangankan kendaraan air berlabuh, orang yang lalu lintas juga tidak ada. Peronda kita heran, ia mendekati untuk melihat, akan tetapi anak2 kedua perahu itu sudah tolak perahunya kepinggir seraya antara nya ada yang memberitahukan, katanya diperahu mereka ada orang sakit, karena pelabuhan ramai, mereka terpaksa berhenti
disitu, ditempat sunyi. Mereka pun menjauhkan perahu
mereka agar tidak kebentur lain perahu, kuatir sisakit kaget.
Saudaraku Tiong, walaupun adanya keterangan ini, masih ingin tahu, ia terus mendekati sampai empat atau lima tumbak. Atas itu, kedua perahu itu tidak berdiam lebih lama lagi, setelah memasang empat atau lima batang hio, mereka angkat jangkar. Anak buah mereka ada lebih
daripada sepuluh orang. Mereka tidak menggayu cepat,
mereka hanya berlayar pelahan2. Perahu kita terus
mengikuti. Toako pikir, asal kedua perahu itu sudah keluar dari daerah kita, ia tak mau memperdulikannya lagi. Toako tidak kuatir mereka itu lakukan apa2 yang melanggar
undang2, kalau perlu bantuan, dia bisa segera bunyikan gembreng dan lepas panah nyaring. Disekitar kita ada
orang2 ronda, yang bisa segera datang atas tanda bahaya.
Luas sungai kita cuma dua tiga lie, akan tetapi jalannya berbelit2, hingga jauhnya ada tujuh atau delapan lie, maka itu, sampai terang tanah, baharu kedua perahu itu sampai diselat Toh lim wan. Sesampainya disitu, dari hulu
kelihatan tiga buah perahu kecil mendatangi, lalu kedua perahu itu dengan pesat menghampirinya, hingga mereka bertemu ditengah2 kali. Kelihatannya kedua pihak bicara satu dengan lain, setelah mana, api hio di kedua perahu disingkirkan, dibuang kedalam kali. Sesudah itu, dua buah perahu kecil ikuti kedua perahu nelayan, jalannya pelahan, tetapi perahu kecil yang ketiga, yang empat orang
penggapunya, digayu pesat sekali kearah perahu kita.
Setelah datang dekat, nampaknya perahu itu berniat kurang baik, rupanya dia hendak terjang perahu kita, maka Toako lantas suruh anak buahnya siapkan gala. Benar benar
perahu kecil itu datang menerjang, dan terjangan tak dapat dielakkan. Perahu kita terbalik, Toako dan dua kawannya kecebur keair. Mereka bisa berenang, mereka lantas
berenang ke gili2. Perahu kecil itu juga terbalik, anak
buahnya lenyap, entah mati kelelap atau mereka lari sambil berenang selulup Dua perahu nelayan berlabuh ditempat setengah lie jauhnya, disana ada sebuah kereta kuda,
rupanya untuk menyambut. karena dari kedua perahu
digotong naik dua rupa barang berat dinaikkan kekereta, sesudah mana kereta itu di jalankan, ada lima atau enam penunggang kuda yang mengiringi menuju kearah Sam
Siauw San. Toako perintah orang jagai perahu yang kelebu itu, ia sendiri pulang kerumah perkumpulan kita untuk salin pakaian. Ayah tidak ada dirumah, ia belum kembali dari Teng kee chung sebab aku tidak berani bertindak sendiri, dari itu aku mohon pertimbangan loope. Apa perlu kita kejar dua perahu nelayan itu untuk tahan mereka, guna dengar keterangannya kenapa mereka terjang perahu kita?"
Su touw Kun hendak jawab keponakan itu, tetapi Eng
Jiauw Ong mendului memotong ia dengan menanya, "kali
di Utara Tiat gu chung itu, yang mengalir dari Hong leng touw, apa bukan aliran dari sungai Hong Hoo?"
"Benar," sahut tuan rumah. "Aliran itu menuju langsung ke Shoatang."
"Jadinya, dan Bun hiang untuk menuju ke An hui,
dengan jalan air, apa bukan orang mesti ikuti sungai Hong Hoo?" Eng Jiauw Ong tanya pula.
"Itu benar, hanya terlalu memutar dan jauh," terangkan tian, orang akan menghemat dua ambil jalan air dan darat bergantian, orang akan hematkan dua atau tiga ratus lie.
Apa Ong Loosu ketahui kendaraan air siapa itu?"
"Menurut dugaanku, itu mesti ada siorang jahat. Baiklah chungcu tidak sia2kan tenaga dan tempo akan kejar
mereka. Umpama dapat disusul, kedua perahu itu mesti ada perahu2 kosong, tidak ada buktinya untuk menahan
mereka. Umpama tadi nya mereka tidak didekati, tidak
nanti mereka bentur perahu di sini?"
"Menurut sangkaan Loosu itu. mereka jadinya ada
orang2 Hong Bwee Pang dari Gan Tong San?" Su touw
Kun bertanya pula. "Aku menduga demikian. Dikepala perahu ada
dipasangi hio, adalah isyarat kawanan itu. Itulah hio tin, yang mesti dipasang setiap dilakukan perjalanan malam, dengan begitu mereka saling mengenali dan ketahui juga perahu berada dibawahan tong atau to yang mana. Orang luar
melainkan mengetahui nya, tapi tak dapat membedakannya. Aku percaya betul, dalam perjalanan ini, disetiap tempat, mereka mesti dan pasti dapat sambutan sesama kawan, dan benda yang mereka angkut mestinya
ada kedua murid kita untuk dibawa ke Ciatkang Selatan.
Didarat mereka ambil jalan perbatasan kedua gunung Lam Siauw San dan Kian San__ Eng leng hu mereka akan
seberangi sungai Lok Sui, akan lintasi kaki gunung Barat dari Hong San, untuk mengikuti aliran sungai Bun Hoo dan Hoay __ memasuki daerah An hui. Sekarang silahkan
chungcu pesan untuk jaga saja keselamatan desa, jangan usil urusan lain. Kawanan itu punya orang orang disegala tempat, mereka berpengaruh, maka itu paling benar orang menyingkirkan perselisihan terhadap mereka."
Mendengar demikian, Su touw Kun lantas minta To
Yong pulang akan menitahkan To Tiong se__ pulang
perahu mereka yang karam, dan perahu penyerbupun di
simpan, supaya kemudian penjagan diperkeras.
"Kalau nanti ayahmu pulang, beritahukan hal datangnya Ong lusu dan minta ayahmu suka datang kemari," ketua
Tiat gu Chung menambahkan.
To Yong menurut, ia memberi hormat untuk mengundurkan diri. Setelah itu, Su touw Kun menjamu tetamunya.
"Sebentar siapkan pauwhok," Eng Jiauw Ong pesan
muridnya, "supaya besok fajar kita bisa lantas berangkat ke Kwie in po kepada susiokmu, untuk segera berangkat ke Kanglam. Aku percaya penjahat ambil jalan air,
disepanjang jalan mesti ada kawan2 nya untuk ber jaga2, kalau2 kita melakukan perampasan ditengah jalan. Cu In Am cu pun akan menyamper ke Kwie in po untuk bekerja
sama dengan kita." Su touw Kiam memberitahukan gurunya, bahwa ia bisa
berangkat sembarang waktu, ia harap guru itu tak usah kuatir.
"Adalah niatku akan minta loosu berdiam disini sedikit nya buat beberapa hari," kata Su touw Kun kemudian.
"Tetapi urusan demikian mendesaknya, biarlah lain kali saja, apabila loosu datang pula ke Tiongciu, kita nanti berkumpul lebih lama?"
"Chungcu manis budi, lain kali pasti aku akan mampir
pula," Eng Jiauw Ong memberikan kepastian.
Perjamuan dilanjutkan dalam kegembiraan, dan Eng
Jiauw Ong tenggak arak hingga ia agak sinting. Su touw Kiam heran melihat sikap gurunya itu, yang biasanya paling keras perbataskan diri. Didalam Hoay Yang Pay, arak tidak dilarang, tetapi siguru menasihatkan murid nya akan ingat diri. Pernah satu kali di Ceng hong po, murid ini melihat gurunya sinting, tapi belum pernah melihat kedua kalinya, sampai malam ini. Ia insyaf keruwetan pikiran sang guru, hingga sekali ini, arak hendak dipakai untuk menghiburkan diri. Ia jadi sangsi. Ia niat cegah gurunya, agar besok tidak
sampai gagal, tetapi ia kuatir guru itu balik tegur ia. Ia berdiam karena kesangsiannya.
Untuk kesekian kalinya, Eng Jiauw Ong mengangkat
cawannya, tetapi segera ia tercengang, karena diluar dengan tiba2, ia mendengar suara seperti uang tangchie jatuh ditanah.
"Apakah chungcu dengar?" tanya ia sambil berbangkit.
"Itulah chee hu toan sin. Pasti Cu In Taysu dari Pek Tiok Am sudah sampai. Nanti siauwtee sambut dia."
Su touw Kun dan puteranya juga mendengar suara itu,
maka itu, sambil manggut mereka berbangkit, terus mereka ikuti jago Hoay siang itu bertindak keluar. Tuan rumah yang tua lalu mendahului tetamunya.
"Tayhiap dari See Gak suka hinakan diri dengan datang ke gubukku ini, tak pantas untuk aku tak menyambutnya, maka, Ong Loosu, pelahan sedikit, kasilah aku sendiri yang sambut padanya, agar aku tidak berlaku kurang hormat,"
kata ia. Sesampainya dimuka pintu, cuma dengan pentang
sedikit daun pintu, Su touw Kun sudah lantas mencelat keluar.
Eng Jiauw Ong lihat itu, ia terperanjat, ia kuatir orang diluar nanti salah mengerti, maka ia segera menyusul.
Diluar, dibawah payon, tuan rumah hendak loncat
kegenteng, tapi ia segera mencegah.
"Sesama orang sendiri, tak usah chungcu pakai banyak
adat peradatan," kata ia. "Pasti sekali Cu In Taysu tidak berani terima kehormatanmu ini."
Mendengar cegahan itu, Su touw Kun merandek, atas
mana, dari atas genteng, mereka dengar perkataan "Tee cu adalah Siu Hui, yang bersama guruku malam2 berkunjung
kemari, ke satu akan tengok Ong Loosu dari Hoay siang, ke dua untuk menghormat Su touw Chung cu. Guruku
sekarang ada di pintu luar, aku sendiri diperintah untuk mengabarkan lebih dahulu."
Begitu suara berhenti, lalu disusul dengan berkelebatan turun satu bayangan manusia.
Tuan rumah tertawa. "Benar2 See Gak Taysu kenal adat
sopan santun!" kata ia. " Mari kita menyambut!"
Eng Jiauw Ong manggut, ia mengikuti dengan hati lega.
Tadinya ia kuatir tuan rumah ini hendak coba2 Cu In Am cu, yang dianggap berlaku kurang hormat sudah memasuki rumah orang secara diam2. Iapun kagumi tuan rumah, yang sudah lanjut usianya, tetapi semangatnya masih ber kobar2.
Sebegitu jauh tuan rumah berlaku sa ngat manis budi
kepadanya, itu menandakan bagaimana besar orang hargai ia.
Su touw Kiam pun perintah empat bujang lantas
nnenyalakan tanglung (tengloleng) untuk mengiringi
mereka, yang menuju pintu pekarangan, dan ketika pintu dipentang, ialah yang mendahului keluar.
Tepat dimuka pintu ada berdiri satu pendeta perempuan, yang sudah berusia lanjut, dengan jubanya yang
gerombongan, di lehernya ada bergantung kalung dari
seratus delapan biji tasbe "pou tee liam cu" dan
dibebokongnya menggemblok sebang pedang yang runcenya warna kuning, heng uy atau __nye turun ke
pundaknya, romannya alim dan tenang, dikiri dan
kanannya berdiri empat muridnya, jubanya serupa,
seseorangnya masing2 ada menggentol sebuah pauwhok.
Satu dari dua yang berdiri didepan, usianya kira2 lima atau enam belas tahun, ia membawa permadani rumput untuk
duduk bersamedhi, dan yang satunya, umur kurang lebih
duapuluh tahun, memegang sebatang hong pian san,
senjatanya sang guru. Dua yang dibelakang, umurnya lebih kurang tiga puluh tahun, juga masing2 ada membekal
pedang. Dengan cepat Su touw Kiam maju memberi hormat
sambil memperkenalkan diri sebagai wakil ayah dan
gurunya, kemudian ia bertindak kepinggir.
"Jangan pakai banyak adat peradatan, siauw chungcu,"
kata Cu In yang balas hormat itu.
Eng Jiauw Ong dan Su touw Kun sudah lantas sampai,
yang pertama mendahului maju didepan, sembari memberi hormat ia kata "Am cu datang luar biasa lekas. Aku tadinya sangka kita akan bertemu di Kwie in po. Ini dan Su touw Chungcu __pangeni am cu, ia merasa beruntung dengan
pertemuan ini." Ia menunjuk Su touw Kun.
Tuan rumah maju, akan hunjuk hormatnya.
"am cu. bukan kepalang girangku atas kunjungan am cu
ini," kata tuan rumah itu. "Am cu ada pendeta suci, tertua dari Rimba Persilatan, dan pedang Tin hay Hok po kiam telah menggetarkan See Gak, itulah sebab yang bikin aku ingin lebih siang menemuinya, beruntung sekali malam ini am cu telah berkunjung kemari!"
Cu In Taysu membalas hormat.
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap loo chungcu tidak terlalu memuji pin nie," kata ia. "Namaku terangkat karena kebaikan budinya para tertua Rimba Persilatan, sebaliknya kegagahan loo chungcu
sendiri sudah termasyhur tetapi loo chungcu bisa
kendalikan diri, menjauhi segala kerewelan, sebaliknya pin nie walaupun jadi pengikut sang Buddha, pin nie tidak bisa menyamainya, pin nie malu sendiri. Pin nie pun mohon
maaf yang pin nie telah datang mengganggu malam ini."
"Am cu terlalu sungkan," kata tuan rumah. "Tak dapat
kita bicara sambil berdiri saja, silahkan am cu masuk kedalam gubukku."
"Sama2 orang Rimba Persilatan, tidak usah kita terlalu sungkan," kata Eng Jiauw Ong "Am cu, silahkan Semua
murid mudapun kusilahkan masuk."
Keduanya tuan rumuh, ayah dan anak, serta Eng Jiauw
Ong minggir, untuk persalahkan kelima tetamu masuk,
empat bujang membawa tengloleng jalan dikiri dan kanan.
Mereka pergi ke thia (ruangan) dimana sisa makanan telah dibersihkan. Dua batang lilin yang besar menerangi
ruangan itu. Atas undangan tuan rumah, Cu In Am cu lalu berduduk
dan empat muridnya berdiri disampingnya, karena mereka ini tidak berani berduduk, walaupun tuan rumah telah
mengundangnya. Kapan Su touw Kun sebagai tuan rumah sudah duduk,
Cu In perintah empat muridnya hunjuk hormat mereka,
juga terhadap Eng Jiauw Ong. Murid yang termuda adalah Siu Seng, murid nomor tujuh.
Segera juga orang telah mulai pasang omong, sesudah
mana, tuan rumah baharulah kagumi nikow tua itu, yang manis budi. Eng Jiauw Ong pun tanya, kenapa nikow itu bisa menyusul demikian cepatnya
"Inilah karena kawanan kurcaci itu sangat menjemukan," sahut Cu In dengan sengit "Selagi aku tidak ada dikuil, orang2 mereka sudah datang dengan diam2 dan melepas api, terang mereka ingin bakar musna tempat
bernaungku itu. Syukur suteeku Ham Cin Taysu, yang
menjaga ruangan Koan Im Tong, siang2 telah mengetahui itu, sembari ia perintah murid2ku padamkan api, ia sendiri kejar orang orang jahat itu. dua antaranya kena dilukai. Api
berhasil dipadamkan setelah ruangan kitab dibelakang jadi kurban. Demikianpun lima kamar makan. Beruntung api
belum sempat memusnakan ruangan suci Sian tong. Ham
Cin Sutee sangat gusar hingga ia sumpah hendak
membasmi kawanan itu. Aku pulang terlambat, dari itu aku sendiri tidak dapat susul lagi orang2 jahat itu. Belum pernah ada orang berani ganggu Pek Tiok Am, karena itu, aku
sumpah akan membalas sakit hati. Dengan menyerahkan
pembetulan kuil kepada Ham Cin Sutee, aku bisa lantas ajak murid ku menyusul kemari, karena aku percaya, kau masih berada disini. Ditengah jalan tadi, pin nie telah bertemu dengan Kim too Thong Cin Wie, piauwsu
kenamaan dari Utara. Menurut Thong Piauwsu ini, ketika ia sampai di perhentian Hoa louw ek, disebelah Barat
penyeberangan Hong leng touw, ia telah lihat serombongan orang yang mencurigai, ia perintah orangnya pasang mata, kemudian ternyata mereka itu bukan membuntuti Thong
Piauwsu, hanya mereka bawa dua "daging hidup." Katanya, dimana saja mereka sampai, mereka itu disambut oleh
konco2 mereka. Mereka itu menuju Eng leng hu. Thong
Piauwsu tidak hendak mencari permusuhan, ia biarkan
mereka itu. Aku duga rombongan itu adalah musuh2 kita yang melarikan murid2 kita. Aku pikir mereka mesti dicegat sebelum mereka keburu sampai kesarangnya, dari itu,
umpama suheng sudah tidak punya urusan apa2 lagi, mari kita lekas pergi ke Kwie in po, untuk mengatur orang2
kita." Dengan "daging hidup" diartikan orang2 culikan.
Eng Jiauw Ong jadi sangat gusar, hingga ia mencelat
bangun. "Sabar," tuan rumah mencegah. "Biar bagaimana,
baiklah besok pagi baharu loosu beramai berangkat."
Tuan rumah perintah lekas sajikan barang makanan
ciacay, untuk kelima tetamunya yang baru, dan Eng Jiauw Ong diminta turut menemani bersantap, ia bersama
anaknya pun turut dahar juga.
Karena ini, orang bersantap sampai fajar menyingsing.
Setelah itu, Eng Jiauw Ong bersama Cu In dan murid2nya duduk bersemedhi, akan tunggui sang waktu, dan tuan
rumah serta orang2nya pada rebahkan diri. Selang dua jam, sesudah semua cuci muka dan dandan, minum teh dan
makan kue2, kedua pihak lantas ambil selamat berpisah. Su touw Kiam pun pamitan dari ayahnya.
Demikian tujuh orang itu melakukan perjalanan dengan
cepat, apa lagi matahari mulai doyong ke barat, mereka sudah sampai di kaki gunung Kian San, yang bagus
pemandangan alamnya, dan sepepanjang jalan tertampak
pohon2 murbei, jie, liu dan cemara. Untuk naik, ada sebuah jalanan untuk orang atau orang berkuda, tapi kereta tak dapat naik sama sekali. Diatas itu ada tanah datar luas kira2
setengah lie. Itulah mulut jalanan untuk memasuki sie in po, dimana ada tembok yang tingginya setumbak setengah atau lebih.
Semua rumah dibuat dari batu, wuwungannya hijau
dengan rumput halus, hingga dari kejauhan
kelihatannya tak mirip dengan rumah, sedang diwaktu
lohor, awan atau kabutpun seperti menutupi desa itu. Hati orang gembira apabila sudah melihat tempat yang indah itu.
"Apakah Am cu pernah datang ke Kwie in po?" tanya
Eng Jiauw Ong selagi mereka mendaki kaki gunung.
"Inilah untuk pertama kalinya," sahut Cu In. "Tapi
sudah sejak lama pin nie dengar Kwie in po ada sebuah tempat indah dari Kian San dan sejak Siok beng Sin Ie bertempat disini, kabarnya segala apa telah diperbaiki
hingga mirip dengan See gwa Toh Wan, itu dunya
bertaman bunga toh menurut dongengan. Kwie in po
seperti juga Tiat gu chung ada tempat2 yang sudah sekian lama pin nie niat kunjungi, sayang sampai sebegitu jauh belum ada ketikanya."
"Am cu," Eng Jiauw Ong menerangkan, "Kwie in po ini
memang terjadi, separuh wajar dan separuh buatan
manusia. Suteeku Ban Liu Tong lah yang dapat pikiran, untuk memperbaikinya. Kecuali ilmu silat, Liu Tong juga mempelajari ilmu obat2an dan nujum, dan karena otaknya yang cerdik, ia mengerti segala macam senjata rahasia.
Kwie in po ini, siang orang bisa lihat tegas, tetapi kapan sang malam sampai, bagi orang, asing, sulit untuk
memasukinya, atau orang akan tersesat didalam dusun atau dilembah atau selat, sukar untuk mencari rumahnya suteeku itu. Inilah sebabnya, kenapa selama berdiam disini, Ban Sutee belum pernah mengalami gangguan."
Selagi bicara, mereka sampai dimuka jalanan, untuk
hampirkan pintu dusun, jalanan naik ada dari batu dan lebar. Dari sini, memandang keatas, kearah pintu, tidak kelihatan orang atau orang yang menjaga pintu itu.
"Lihat, am cu, pintu yang dipentang lebar2 itu," kata Eng Jiauw Ong pada kawan sejalannya. "Tidakkah ini
mirip dengan pintu masuk dari kebanyakan dusun" Selama kita berdiri disini, mengawasi saja keatas, penduduk desa tidak akan perdulikan kita, akan tetapi begitu lekas kita mendakinya, segera kita akan hadapi penjaga yang
bersenjatakan panah peluru."
"Apakah mereka bisa lihat tegas atau bedakan umpama
yang datang ada orang sendiri?" Cu In tanya. "Jaraknya ada cukup jauh. Apakah itu tidak membahayakan kawan
sendiri?" "Am cu tanyakan hal yang sewajarnya," sahut Eng
Jiauw Ong. "Untuk itu Ban Sutee sudah siap. Dia
mempunyai pesawat Bong wan tong, keker buatan orang
Biauw, yang ia telah perbaiki, hingga dengan itu ia bisa lihat tegas orang ditempat yang jauh nya satu lie. Dengan pesawat itu, ia tak pernah keliru melihat orang. Harap am cu tunggu sebentar, aku hendak memanggil orang."
Eng Jiauw Ong bertindak di tangga. Ia baharu naik lima tindak, segera dari atas terdengar mengaungnya panah
nyaring, disusul oleh munculnya lima penjaga dimuka pintu sekali, antara siapa lantas ada yang menegur. "Siapa itu dibawah" Untuk naik keatas, harus kau perkenalkan diri, atau kami nanti melepas anak panah!"
"Tolong kau beritahukan Ban Po cu, Ong Too Liong
dari Lek Tiok Tong, Ceng hong po, datang berkunjung,"
Eng Jiauw Ong menjawab dengan cepat.
"Silahkan tuan menantikan, kami akan segera menyampaikan kabar!" demikian suara diatas, yang
berubah sikapnya, kemudian satu diantara mereka segera mengundurkan diri. Setelah itu, seekor burung dara putih kelihatan terbang naik, menuju kepedalaman dusun itu.
"Lihat, am cu," kata Eng Jiauw Ong. "Penjagaan ada
demikian rupa, orang luar tak dapat sembarang masuk
kemari. Burung dara itu adalah pembawa berita. Rumahnya ketua dusun ini masih ada setengah lie dari pintu ini.
Dengan perantaraan burung, warta bisa dikirim dan
diterima dengan cepat."
Perkataannya Eng Jiauw Ong ternyata benar, karena
cepat sekali seekor burung dara abu2 telah terbang datang, akan turun dimuka pintu, menyusul itu penjaga2 pintu itu lantas bertindak turun. Sesampainya didepan Eng Jiauw Ong, mereka memberi hormat sambil mengatakan
"Maafkan kami, orang2 yang mempunyai mata tetapi tidak kenali tetamu yang mulia. Po cu kami mengundang loosu masuk, po cu akan segera keluar sendiri untuk
menyambut." "Kita ada diantara orang sendiri, jangan seejie," kata Eng Jiauw Ong sambil manggut, setelah mana, ia
mengundang Cu In Am cu mengikuti ia.
Chungteng itu segera jalan didepan, untuk memimpin.
Begitu lekas sudah sampai di atas, Cu In segera melihat suatu tanah datar yang lebar serta rumah penduduknya
yang bikin ia kagum, karena barisan rumah itu merupakan sebagai Pat tin touw, barisan atau tin nya Cu kat Liang.
Semua rumah dibuat dari batu, tinggi dan besar, teratur rapi, itulah Pat kwa, atau Pat mui, yang bisa berubah menjadi enam puluh empat kwa atau mui (pintu).
Mereka berjalan belum lama, lalu dari sebelah depan,
dari tikungan jalanan, muncul serombongan orang, melihat siapa Eng Jiauw Ong segera menunjuk seraya berkata pada sipendeta perempuan tua "Lihat, amcu, orang dengan baju kuning itu adalah Ban Sutee."
Cu In segera kenali orang yang ditunjuk itu, yang
tubuhnya berimbang dengan tubuhnya Eng Jiauw Ong,
melainkan sedikit kurus, sepasang alisnya yang gomplok menaungi sepasang mata yang tajam seperti mata burung hong, dahinya lebar, kumis nya hitam, kepalanya rada
gundul, thungshanya yang kuning ada memakai kancing
tembaga, kaos kakinya putih, sepatunya biru. Dia menyekal sebatang kipas bambu, nampaknya agung. Dia diiringi oleh dua chungteng serta dua pemuda, yang masing2 berusia
kurang lebih sembilanbelas dan empat belas tahun.
Sebentar saja Ban Liu Tong sudah datang dekat, segera ia memberi hormat pada Eng Jiauw Ong seraya berkata
"Suheng, harap maaf kan aku, yang lambat menyambut.
Dengan sebenarnya aku tidak ketahui kedatangan suheng ini."
"Jangan seejie, sutee," Eng Jiauw Ong membalas
hormat. "Mari aku perkenalkan kau kepada See Gak Lie
hiap Cu In Am cu dari Pek Tiok Ain di bukit Chong Liong Nia dari pegunungan See Gak Hoa San. Dan ini adalah ke empat muridnya.
Siok beng Sin Ie Ban Liu Tong, si Tabib Malaikat, pun sudah lantas memberi hormat pada nikow tua itu seraya berkata dengan merendah "See Gak Tay hiap, selamat
datang! Kunjunganmu ini membuat gunungku Kian San
menjadi bercahaya! Silahkan am cu memasuki gubukku,
disana aku nanti memberi hormat pula kepadamu."
Dengan merangkapkan kedua tangannya, Cu In
membalas hormat. "Ban Po cu, justeru pin nie adalah yang kagumi kau
untuk bugeemu yang liehay dan kepandaian ketabibanmu
yang luhur hingga kau sangat ternama, terutama untuk
kebaikan budimu terhadap umum. Sudah lama pin nie niat mengunjungi, maka sekarang pin nie girang sekali Ong Tay hiap telah pimpin aku datang kemari. Memang pin nie ingin sekali saksikan dusunmu ini. Nah, silahkan, po cu!"
Selagi tuan rumah merendahkan diri, Su touw Kiam dan
empat muridnya Cu In maju untuk memberi hormat pada
mereka. "Sutee," kemudian Eng Jiauw Ong kata pada adiknya
seperguruan, "walaupun am cu seorang suci tetapi ia gagah dan mulia, tentang ini, sutee pasti sudah ketahui, karena itu tak usah sutee pakai terlalu banyak adat peradatan. Mari kita berlaku seperti biasa saja."
Ban Liu Tong bersenyum. Setelah pesan orangnya akan
tutup pintu dan jangan ijinkan orang luar sembarang
masuk, ia terus undang tetamu2nya berjalan menuju
kerumahnya. Ketika itu, Kwie in po telah terbenam dalam cuaca
magrib Tidak jauh dari situ, mereka menghadapi empat
buah jalan besar, yang rupanya mirip satu dengan lain.
Disini Ban Liu Tong mengambil jalan yang paling kiri. Dari tikungan lantas muncul dua chungteng dengan masing2
membawa sebuah lentera besar dengan tiga huruf "Kwie In Po." Mereka berdiri dengan tegak bagaikan patung2.
Cu In Am cu melihat jalanan tidak lempang, karena ia
sedang bertindak kearah Barat laut, atau garis Kian kwa dari Pat kwa. Ia berjalan terus tanpa ber kata2.
Selagi jagat remeng2, rombongan ini sampai dimuka
sederetan rumah batu yang besar dengan pintu pekarangan dari kayu hitam. Jalanan disinipun terbagi empat. Rumah2
semua serupa, tapi semua pintunya tertutup, hingga suasana sunyi senyap.
Ban Liu Tong menuju ke arah yang Cu In Am cu kenali
sebagai arah "kham kiong" atau "khay mui," pintu buka."
Baharu mereka memasuki pintu, entah dari sebelah mana datang nya, tahu2 muncul dua chungteng lain, yang
masing2 membawa lentera juga. Lewat tidak jauh dari situ, kembali ada jalan perapatan. Dari sini mereka berjalan sebentar ke Timur sebentar ke Barat. Eng Jiauw Ong pernah datang kemari, ia tidak kagum dan Cu In, yang mengerti Pat kwa, pun sewajarnya saja. Sembari jalan mereka bicara sambil ter tawa"
Sebentar lagi sampailah mereka kepusat Kwie in po,
sekeluarnya dari sebuah jalan atau gang, mereka segera melihat suatu pekarangan yang luas, didelapan penjuru
mana masing2 ada dua chungteng serta masing2 juga
lenteranya. Diantara cahaya lentera, kelihatan nyata rumahnya Ban Liu Tong, yang letaknya ditanah lebarnya beberapa bauw, yang terkurung dengan tembok besar, berpintu diempat
penjurunya, disetiap pintu dipasangi lentera khie su hong dan terjaga oleh empat chungteng. Bentuknya rumah itu luar biasa, apapula dipandang di waktu malam.
Tuan rumah segera mengundang para tetamunya
berduduk diruangan tamu, yang perabotannya sangat
sederhana tetapi bersih. Satu chungteng sudah lantas
muncul dengan membawa air teh.
Segera juga murid ke enam dari Cu In Am cu yalah Siu
Yan hampirkan tuan rumah untuk memberi hormat sambil
berlutut, seraya berkata "Sudah lama anak tidak datang menjenguk, sekarang anak lihat gie hu sehat walafiat, hatiku girang sekali."
Eng Jiauw Ong heran melihat muridnya nikow tua dari
See Gak itu memanggil suteenya dengan sebutan "gie hu,"
ayah angkat. Benar Cu In pernah me nyebut2 hal itu, akan tetapi duduk nya hal yang benar ia belum ketahui.
-o0dw0o- XIV "Cie In, bangun," berkata Ban Liu Tong. "Kau telah
mengikut am cu, yang memimpin kau kepada Pou sat dan
sang Buddha, dengan am cu yang berilmu tinggi dan
menjadi pemimpin dari See Gak Pay, kau harus bisa
membawa diri, agar dibelakang hari kau memperoleh
kemajuan, supaya setelah insaf, kau bisa bebaskan dirimu, hidup merdeka dan tenteram. Dengan kau bisa berdiri
sendiri, aku siorang tua pasti akan merasa lega hati. Jangan kau lihat saja tubuhku yang kurus, aku sebenarnya masih akan hidup untuk sekian tahun pula. Oleh karena itu, tak usah kau pikirkan aku. Sekarang kau tengah mengikut su pe dan su humu, ini adalah diluar garis, maka dilain kali, cukup setahun sekali kau menyambangi aku disini. Setiap waktu aku kangan kepadamu, aku sendiri bisa tengok kau di Pek Tiok Am. Aku melarang kau mengabaikan
pelajaranmu melulu karena kau ingin menyambangi aku.
Kau ingat ini?" Liap Cie In berbangkit, kedua matanya merah kemudian
ia tunduk ketika ia berkata "Anak akan turut pesan gie hu, tidak nanti anak melanggar ajaran suhu. Malah anak
bersukur kepada suhu, yang sudah merawat dan mendidik padaku. Melainkan anak tetap tak bisa melupai gie hu, lari itu, apabila ada ketikanya, anak harap sudilah gie hu melihat aku"."
Mendengar itu, Ban Liu Tom menunjukkan roman
masgul, suatu tanda ia sangat terharu.
Eng Jiauw Ong pun turut terharu melihat kecintaan
diantara ayah dan anak itu, sedang mereka adalah ayah dan anak angkat saja.
"Oh mie to hud! Siancay siancay!" Cu In memuji.
"Amcu," kata Liu Tong kemudian, "aku bersukur yang Am cu sudah sudi menerima anak ini dan merawat serta
mendidiknya. Kasihan Cie In, ia ini seorang anak yatim piatu. Aku nanti ingat baik2 budi am cu ini."
"Po cu, kenapa kau berlaku begini seejie?" berkata
pendeta itu. "Persahabatan kita bukannya persahabatan orang biasa saja Siu Yan mempunyai bakat baik ilmu
silatnya juga sudah mempunyai dasar, dengan sedikit
menunjukan dia telah berhasil. Aku harapkan dia kelak
dapat memajukan See Gak Pay, supaya dia menjadi
akhliwaris dari Pek Tiok Am."
"Semua itu mengandal kepada belas kasihan am cu saja, Liu Tong bilang. Kemudian ia menoleh pada saudara nya seperguruan, ia berniat menanyakan suheng itu datang ber sama2 Cu In Am cu, mungkin ada suatu urusan, tapi
justeru itu datang satu orangnya yang memberitahukan
barang santapan sudah disajikan dikamar Timur, maka ia batallah menanyakan, ia terus mengundang tetamunya
untuk bersantap. "Marilah!" kata ia, yang terus pimpin Cu In dan Eng
Jiauw Ong, yang lalu berbangkit mengikuti dengan diturut oleh murid2 mereka.
Kamar Timur, kamar tetamu, besar, tetapi perabotannya sederhana. Disitu telah diatur empat buah meja, dua
antaranya menghadapi pintu. Satu meja untuk barang
santapan biasa, satu meja pula untuk makanan cia cay. Cu In Taysu pantang tetapi Eng Jiauw Ong tidak. Tapi
pemisahan ini tidak mengurangkan kegembiraan mereka.
"Sutee," tanya Eng Jiauw Ong tengah berminum,
"waktu kapan kau ambil anak angkat ini, kenapa aku tidak tahu?"
Eng Jiauw Ong tanya tentang Siu Yan atau Cie In.
"Sudah lama suheng asingkan diri di Ceng hong po,
sudah pasti suheng tak tahu apa yang terjadi denganku disini," sahut sang adik seperguruan. "Enam atau tujuh tahun sejak aku tinggal di Kwie in po ini, aku berhasil membikin tempatku ini jadi seperti adanya sekarang.
Adalah niatku akan tinggal dengan tenteram sambil
mendidik murid, untuk tidak campur lagi urusan umum
yang memusingkan kepala, sayang ada muridku, yang
bocorkan hal aku mengerti ilmu ketabiban, hingga tempatku
ini jadi tidak tenteram pula, selalu ada orang orang sakit yang datang minta pertolongan. Selain tolong periksa
penyakit, apabila orang itu miskin, aku suka mengamal obat juga, aku suka menderma, hanya dari hartawan2 kikir dan kejam, aku suka minta jumlah yang besar. Kalau orang
jahat, aku tidak suka tolongi sama sekali. Pada tiga tahun yang lalu aku telah menolong seorang hartawan she Kan didustai Cio khauw ek, enam puluh lie dari sini. Dia
bernama Kan Hong, berharta sejak tiga turunan. Dalam
usia kira lima puluh tahun, ia baharu dapati satu anak lelaki yang berpenyakitan sampai umur lima belas tahun, boca itu tak dapat berdiri, karena kakinya sangat lemah. Kan Hong sudah pakai banyak tabib dan obat, semua itu tidak
menolong. Ia jadi sangat berduka, karena itu bisa
memutuskan turunannya, sehingga ia lepas kata ia suka serahkan semua hartanya asal anaknya itu sembuh.
Baharulah kemudian ada orang pujikan aku kepadanya dan ia lantas mengundang aku. Aku telah obati anak hartawan itu, setelah aku selidiki si hartawan adalah seorang berhati murah. Anak itu jadi lemah tubuhnya sejak dalam
kandungan, karena bibit tua dan kurang penjagaan diri dari ibu nya dan kemudian, setelah terlahir, dapat pertolongan tabib2 tak tepat. Untuk menolong anak itu, aku mesti
menggunakan tempo dan apa yang aku bisa. Justeru karena aku menolong keluarga ini, aku jadi bertemu dengan
anakku Cie Im. Untuk setengah bulan, aku berdiam di Cio khauw ek, di hari ke enam belas, malamnya, aku mesti mengobati
dengan tusukan jarum. Untuk itu aku minta sebuah kamar tersendiri, lengkap dengan persediaannya, dan beberapa bujang mesti menanti diluar kamar, siap sedia bagi segala titahku. Terutama aku larang orang terbitkan suara berisik, untuk tidak mengganggu pemusatan perhatianku orang
mesti tunggu aku panggil atau ijinkam baharu orang boleh
bicara denganku. Juga tak seorangpun boleh masuk
kedalam kamar kecuali dengan perkenanku."
Kan Hong demikian ceritanya Ban Liu Tong terlebih
jauh, taati segala permintaan dan larangan itu. Cuma dua bujang membantui Liu Tong, akan memegangi kedua
lengan dan kakinya sisakit, untuk bikin sisakit tak mampu bergerak, andaikata dia berontak sebab kesakitan.
Cara pengobatan istimewa itu telah, berhasil dilakukan, boleh dibilang si sakit bisa lantas mengaraki kedua kaki dan tangannya, tetapi selagi Ban Liu Tong pesan kedua bujang, bagaimana mereka harus menjaga dan merawat selanjutnya pada majikan muda itu, tiba2 terdengarlah suara berisik disebelah Barat dan suara genteng pecah terdengar nyata.
Liu Tong kerutkan alisnya. Disaat itu, ia masih belum boleh segera tinggal pergi si sakit itu. Ia sekarang
mendengar dampratan dan bentakan, seperti orang saling maki dibarengi dengan suara pertempuran. Ia ingin melihat tetapi tidak bisa.
"Suara apa itu?" ia tanya kedua pembantunya.
"Rupanya kejadian dekat sekali. Apa itu perampokan atau polisi sedang mengepung penjahat?"
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bujang Kan Hok hendak menjawab, atau majikan nya
segera bertindak masuk kedalam kamar. Kan Hong
semenjak tadi berdiri menantikan diluar jendela, ia hendak masuk, ia kuatir mengganggu si tabib, hatinya sendiri tegang bukan main, ia berlega hati kapan ia lihat anaknya bisa geeraki kaki tangannya.
"Ayah, kakiku telah bisa digeraki!" kata sang anak, yang mendahului ayahnya. "Cuma aku merasakan sangat
sakit"." "Tahan saja, anak," ayah itu menghibur. "Ban Loosu
adalah penolongmu, dia pasti akan menolong terus
padamu. Sabarlah." "Jangan kuatir, puteramu akan sembuh," Ban Liu Tong
berkata. "Biar dia tahan sakit sedikit, sebentar darahnya akan jalan dengan rapi. Suara berisik apa itu di Barat"
Hampir pikiranku terganggu oleh karenanya, itulah pasti pertempuran hebat. Apa tak ada orang yang mencampur
tahu?" Kan Hong menggelengkan kepala, ia batuk batuk.
"Harap jangan tanyakan itu, loosu," ia menjawab.
"Itulah lelakon balas membalas dikalangan kang ouw,
sangat kejam dan hebat, bulu roma bisa berdiri oleh
karenanya?" Selagi Ban Liu Tong hendak bertanya pula, ia lihat
cahaya api dari jendela, hingga ia jadi kaget sekali.
"Itulah api!" kata ia. "Kebakaran!"
Kan Hong pun kaget, hingga ia banting kaki.
"Celaka!" ia berseru. "Inilah yang aku kualirkan dan
sekarang benar2 kejadian! Rumahnya Liap Piauwsu
kebakaran?" Tapi tiba2 ia berhenti, karena segera ia ingat anaknya.
yang tak boleh kaget. Lekas2 ia tambahkan "Tapi tidak apa dengan rumah kita, api itu terpisahnya sebuah gang, api tak akan merembet kemari"." Kemudian ia teruskan pada si
tabib "Loosu, berapa lama lagi kau baharu boleh keluar"
Nanti aku temani kau me lihat2 kesebelah"."
Walaupun ia bicara dengan sabar, Kan Hong sebenarnya
bingung. "Sekarang sudah boleh," Liu Tong jawab. "Mari kita
lihat." Ia pesan pula Kan Hok berdua, lantas ia ajak tuan rumah pergi kepekarangan dari mana tertampak api sudah
berkobar besar, asapnya mengepul naik, suara senjata
beradu masih terdengar ber ulang2.
"Kalau api tidak segera padam, rumahku bisa kerembet,"
kata Kan Hong. "Nampaknya nama besar dari Liap
Piauwsu akan runtuh"."
"Jangan kuatir, tuan," kata Liu Tong, sesudah ia
perhatikan api. "Angin meniup dari arah Barat daya, tidak mudah api menyamber kemari. Kau sebut Liap Piauwsu,
apakah dia Seng chiu Pek Wan Liap Kun, piauwsu tua
kenamaan disungai Tiang Kang Selatan dan Utara, dijalan darat dan air, yang benderanya berlukiskan lutung putih?"
"Benar, Liap Kun Loopiauw su si Lutung Putih," Kan
Hong menjawab. "Apakah loosu kenal padanya?"
"Aku cuma pernah ketemu satu kali," Liu Tong
menjawab, "tetapi dengan salah seorang saudara seperguruanku, dia ada bersahabat rapat. Aku ingin ketahui duduknya hal, tak dapat dia dibiarkan dicelakai orang."
Kan Hong terperanjat. "Itulah berbahaya, loosu," kata ia, dengan maksud
mencegah. "Aku ada tetangganya Liap Piauwsu, mengenai halnya ini aku tahu juga. Sudah sekian lama Liap Piauwsu mengundurkan diri, ia hidup dengan damai di rumahnya, tapi katanya dahulu ia pernah bermusuhan dengan Heng
San Ngo ok. Karena permusuhan itu, ia mengundurkan
diri. Sebenarnya ia senantiasa ber jaga2, ia kuatirkan pembalasan sakit hati, tapi sekarang, selang tiga tahun, kekuatirannya itu terbukti. Inilah pasti Heng San Ngo ok
yang datang. Buat apa loosu campur urusan mereka"
Permusuhan dikalangan kang ouw memang tak habis2nya.
Bagaimana dengan anakku" Biar rumahku terbakar habis, asalkan anakku ketolongan?"
Ketika itu api berkobar semakin besar dan luas.
"Tuan, jangan kuatirkan anakmu," Liu Tong menghibur.
"Sekarang pergi kau titahkan semua orangmu berkumpul, akan menyiapkan gala dan air guna menjaga api, jangan kau campur tahu urusan disebelah itu, aku percaya
penjahatpun tidak nanti mengganggu kau. Kau sendiri
baiklah kawani anakmu."
Setelah mengucap demikian, dengan tidak membuka lagi
bajunya yang panjang, tabib ini loncat keatas genteng sebelah Barat, dari situ ia melihat nyata rumahnya Liap Piauwsu, yang sedang dimakan api didua penjuru, sama
sekali tidak ada orang yang menolongi, hingga ayam jago merah bisa bekerja dengan leluasa. Cuma dibagian lengah, yang masih utuh, tetapi toh sedang terancam bahaya.
Untuk menyaksikan terlebih jauh, Ban Liu Tong loncat
ke tembok pekarangan. Disini, amarahnya naik. Karena ia lihat, dikiri dan kanan, orang mulai membakar pula.
Dengan begitu jadi yelaslah, diempat penjuru ada orang2
jahat, antara siapa pun ada yang siap sambil menyembunyikan diri. Dengan lompatan "It hoo ciong thian" - "Burung ho
menyerbu langit," Ban Liu Tong melompat ke sebelah
Timur, menyusul mana, tiga atau empat batang panah
menyamber ia, tetapi sambil tertawa ia bisa elakkan itu. Ia sampai
disebagian wuwungan dimana ia segera menyaksikan pemandangan yang hebat.
Diluar pintu angin ada dua tubuh rebah, yang satu sudah jadi mayat, yang satu lagi sedang mencoba merayap
bangun. Disitu darah berlumuran. Disebelah dalam, lagi satu tubuh rebah tak berkutik. Dan dipekarangan dalam, yang lebar, empat orang dengan pakaian malam tengah
mengurung seorang perempuan muda, siapa nampaknya
sudah lelah, permainan goloknya kendor, sudah terdesak.
"Sahabat2, dengar!" ia berseru, dengan hati tak puas.
"Orang2 kang ouw yang kosen mengepung satu wanita,
sungguh bukan perbuatan terhormat! Sahabat2, tunggu
dulu, aku si orang she Ban yang bodoh ingin mendamaikan kamu
kedua fihak. Maukah kamu mengabulkan permintaanku?" Salah satu pengurung meloncat keluar seraya mendongak untuk melihat dan berkata "Siapa berhutang, dia mesti membayar, inilah urusan kami, orang luar tak dapat mencampurinya! Sahabat, silahkan minggir! Atau
kapan kau ingin mendapat bagian, silahkan turun!"
"Sahabat2, aku Ban Liu Tong dari Kwie in po, dari
gunung Kian San!" tabib itu perkenalkan diri. "Walaupun di antara kau ada permusuhan hebat, tetapi keluarga Liap Piauw su telah banyak terbinasa, aku harap kau tidak
membasmi sampai di akar2nya! Lagipun bukan perbuatan
gagah akan main ke royok2an terhadap satu nona! Dengar sahabat2, berhentilah bertempur. Umpama kata kau tak
sudi mengindahkan padaku, harap kau jangan menganggap aku tidak memakai aturan lagi!"
Selagi mereka berbicara, sinona telah kehabisan tenaga, goloknya satu penjahat, yang mendesak ber ulang2, sudah mampir dipundaknya, akan tetapi sukur, sambil menjerit, ia sempat juga berlompat, hingga ia terluka tak parah.
Menampak demikian, Ban Liu Tong enjot tubuhnya,
akan meloncat turun. Ia jatuh didepan si nona, siapa sudah membalik tubuh, karena penyerangnya susul ia untuk
diserang terlebih jauh. Maka itu, sambil putar tubuh, tabib ini sampok lengannya orang itu, berbareng mana, tangan kiri nya, dengan dua jari, menotok kearah pundak kanan. Ia menggunai tipu pukulan "Sian jin cie louw" atau "Dewa menunjukkan jalan," dan sasarannya adalah jalan darah Coan sim hiat.
Penjahat itu mencoba mengegosi diri, tidak urung ia
kena tertotok juga, berbareng merasa gatal, goloknya
terlepas dari cekalan, tubuhnya sempoyongan, kearah satu kawannya, yang lantas menyanggapinya.
"Ie Seng, Ngo tee, tahan!" berseru penjahat yang
pertama kapan ia saksikan kejadian itu. Lalu ia bersiap dengan sepasang tumbak Kee jiauw piauw, ia hadapi orang asing itu kepada siapa ia terus menegur "Orang she Ban, apakah kau sanak atau sahabatnya siorang she Liap" Kau malang ditengah, apakah kau tahu duduknya permusuhan
kita" Orang she Ban, kau orang kang ouw, kau pasti
mengerti aturan. Permusuhan kami tak dapat dihabiskan dengan cara lain kecuali ini, dari itu, baiklah kau mundur!
Kecewa kalau kau tetap mau mencampurinya!"
Ban Liu Tong bersenyum ewa mendengar nasihat itu.
-o0dw0o- XV "Perhatikan, jangan berkisar jauh dari aku!" kata tabib dari Kwie in po pada sinona, sesudah mana, ia mengawasi penjahat itu, yang bicara dengan lidah Kang lam. Ia kata
"Kau benar, sahabat, aku memang belum tahu duduknya
persengketaan kau kedua pihak. Apakah kau sudi
perkenalkan diri terlebih dahulu?"
"Aku adalah Co tee Giam Ong Siang Cun Yang dari
Heng San," sahut penjahat itu, yang mau perkenalkan diri.
"Kami terdiri dari lima saudara, aku yang bodoh menjadi yang tertua. Sahabat, kau toh punyakan pendengaran,
bukan?" "Kiranya kau Siang To cu dari Keng San Ngo gie,
maafkan aku!" berkata Ban Liu Tong. "Sebagai murid
Hoay Yang Pay, selama berdiam di Ceng hong po, Hoay
siang, sudah lama aku mendengar nama besar dari Heng
San Ngo gie, yang kenal persahabatan, hanya sejak keluar dari perguruan dan tinggal di Tiong ciu belasan tahun, aku tak pernah mendengar pula tentang kamu berlima. Siang To cu, bagaimana duduknya hal"
Kau sekarang bersikap membasmi, itu bukan biasanya perbuatanmu dulu2.
Sudikah kau memberikan keterangan padaku"
Tentang nona ini," ia tambahkan, seraya menunjuk nona itu, "dia bukan sanak, bukan sahabatku, malah she dan namanya
pun aku tidak tahu, baharu tadi saja satu sahabatku
memberitahukannya. Jangan kuatir sahabat, aku yang
berani campur tahu, berani juga menanggung jawab nya.
Tidak nanti nona ini kabur dan menghilang, atau aku nanti memikul tanggungan!"
Penjahat itu tertawa dingin.
"Pantas kau berani campur tahu urusannya siorang she
Liap, kiranya kau Tay hiap Ban Liu Tong dari Hoay Yang Pay!" berkata ia yang menyebut orang dengan tay hiap atau pendekar. "Benar kita belum pernah ketemu satu dengan lain, tetapi aku sudah mendengar akan namamu. Aku
berlima saudara biasa disebut Ngo ok, akan tetapi Ban Tay hiap sebut kami Ngo gie, kami tak berani terima itu. Benar kita dipanggil Ngo ok, akan tetapi apabila perbuatan kami tak kenal peri kemanusiaan, sudah pasti kami tak mampu tancap kaki di Kanglam, oleh karena itu, kami tidak
perdulikan tentang sebutan kaum kang ouw itu terhadap kami. Mengenai piauwsu she Liap ini, aku bisa terangkan, tidak biasanya ia ambil jalan Kang lam, tetapi satu kali ia mencobanya, ia sudah melanggar kebiasaan kami. Dia
lewat tanpa lebih dahulu berkunjung kepada kami, juga tanpa mengirim karcis nama. Tak berduli orang kenamaan bagaimana besar nya, caranya itu tak dapat kami terima.
Ban Tay hiap, kita kaum kang ouw tak boleh jatuh merek, biarpun orang berkepala tiga dan bertangan enam, kita tak jerih padanya. Maka jikalau kami takut melanggar iring2an piauwnya, sudah pasti dari siang2 kami sudah mesti
mengundurkan diri. Demikian kami sudah turun tangan.
Ketika itu, si orang she Liap sendiri tidak mengantar piauw, ia hanya tugaskan kepada tiga orangnya. Pada kedua pihak ada orang2 yang terluka. Sebab bukan siorang she Liap sendiri yang mengantar piauw, kami sudah pikir untuk
memberikan muka, asalkan dia datang sendiri memintanya, kami suka kembalikan piauw rampasan itu, untuk lindungi namanya kejadiannya justeru diluar dugaan kami. Dihari ketiga, orang she Liap itu datang ke Heng San, bukan
meminta pulang piauw secara aturan, sebaliknya dia
hendak pengaruhi kami. Dia bilang dia tidak mengantar piauw sendiri itu hari, kebetulan dia sakit, sebba piauw mesti sampai pada hari yang dijanjikan, dia membiarkan tiga wakilnya berangkat terus, ia sendiri singgah ditengah jalan, tetapi dia sudah merencanakan, dia nanti menyusul akan berkunjung ke Heng San untuk meminjam jalanan.
Dia persalahkan kami turun tangan melulu untuk rubuhkan dia. Dia nyatakan, apabila kami ingin perbaiki kesalahan kami, kami berlima mesti mengantar sendiri piauw itu ke tempat tujuan, supaya nama baik nya dipulihkan, agar
selanjutnya kedua pihak menjadi sahabat2, tetapi dia
mengancam, kalau tidak, peraduan kepandaian saja lah
yang mesti memberi putusan. Coba pikir Ban Tay hiap,
mana kami bisa terima baik syarat itu" Nama kami di Heng San bukan namanya boca cilik, yang boleh tidak usah
diperdulikan. Begitulah kami berbentrok. Orang she Liap itu benar liehay, aku punya Jie tee Cin Thong dan Sha tee Touw Liong binasa dibawah senjata rahasianya, piauw
beruntun. Adikku ke empat, Siauw Cee Coan, rubuh
dengan bercacat. Karena kami kalah, kami tak membutuhkan lagi sarang kami, kami melepas api dan
mengangkat kaki. Bersama adik yang kelima, Hwee kap cu Kim Kay Tay, serta lain2 saudara, dengan membawa
adikku ke empat yang kakinya bercacat, kami lari
bersembunyi di rumah sahabat dikaki gunung. Disana
adikku sekalian berobat. Kami telah bersumpah untuk
membalas sakit hati. Kemudian kami mendengar kabar,
karena piauwnya musnah terbakar, orang she Liap itu mesti mengganti delapan ribu tail lebih, hingga ia rudin dan perusahaannya ditutup, ia menyingkir ke Utara. Tetapi kami berhasil mencari dia, maka malam ini kami datang untuk
melaksanakan pembalasan. Didepan rohnya saudara2ku aku sudah sumpah, sebelum keluarga Liap
terbasmi habis, kami tidak mau sudah, dari itu, Ban Tay hiap niscaya bisa menganggap kami bukan nya terlalu
kejam!" Ban Liu Tong manggut untuk keterangan itu. Ia mengerti yang orang pun tidak sudi disebut "Ngo gie,"-lima orang gagah yang berbudi, sebab julukan mereka "Ngo ok" berarti
"Lima orang jahat," dan julukan ini, mereka terima dengan baik.
"Siang To cu, tindakanmu menuntut balas ini adalah
tindakannya orang kang ouw sejati," kata ia, "tetapi
sekarang keluarga Liap telah terbinasa dan musna, itu artinya maksudmu sudah tercapai, sudah cukup pokok dan bunganya, dari Itu, buat apa to cu masih maui jiwanya
nona lemah ini" Aku anggap kau keterlaluan. Aku minta, sukalah kiranya kau mengampuni nona ini, dengan begitu, aku jadi terima budimu?"
Siang Cun Yang belum menjawab, atau saudaranya yang
kelima, Hwee kap cu Kim Kay Tay si Burung Dara Api,
sudah maju kedepannya, akan membentak tabib itu "Siapa membunuh, dia mesti membayar dengan jiwa! Siapa
berhutang uang, dia mesti melunaskannya! Maka itu, orang she Ban, kenapa kau usilan! Aku nasihatkan padamu, lekas kau ambil jalanmu sendiri, jikalau kau tidak sudi meladeni, janganlah kau sesalkan aku bahwa aku tidak kenal
sahabat!" Kemudian, tanpa tunggu jawaban, adik ini
berkata pada saudaranya yang tuaan "Toako, api telah di lepas sempurna, kita jangan ayal2an pula disini!"
Ban Liu Tong memandang orang yang berbicara secara
jumawa itu yang tubuhnya kate dan kecil, mukanya kuning, hidungnya bengkok bagaikan paruh burung elang, matanya bagaikan mata alap2 romannya sangat licik, pakaian
malamnya biru, tangan kirinya menyekal golok berujung lancip. Yang paling menarik perhatian adalah bebokongnya dimana ada tergendol sebuah bumbung hitam sebesar
mangkok dan panjangnya dua kaki lebih. Tapi Liu Tong
kenali, itu adalah "Ouw yan Pun hwee tong" atau bumbung api, semacam senjata rahasia yang liehay. Jika orang
mengegosi tubuh dan tangan dipakai menarik tali
pesawatnya bumbugan itu akan menyemprotkan api dan
asap sejauh dua tumbak lebih, hingga sulit akan orang menyelamatkan diri, karena pakaiannya pasti akan
kesamber dan terbakar, hingga tubuhnya bisa ke tambus.
Maka itu, pastilah dia ini yang sudah membakar rumahnya Liap Kun itu. Meskipun orang memiliki senjata yang liehay itu, tetapi Liu Tong toh tidak jerih.
"Kim To cu, jangan kau terlalu galak!" kata tabib ini sambil tertawa dingin. "Baik kau ketahui, selama hidup, aku Ban Liu Tong paling gemar mencampuri urusan se
wenang2, karena urusan dikolong langit wajiblah manusia yang mengurusnya! Kini To cu, oleh karena aku sudah
muncul disini, aku minta sukalah kau dan para saudaramu memberi sedikit muka kepadaku, setelah itu, dengan segera akan ku undurkan dirimu dari sini Liap Piauwtauw telah menyalakan api dengan apa ia membakar dirinya, ia
mencari bencana sendiri, sekarang ia terima bagiannya.
Dari kau berlima saudara, telah terbinasa dan terluka tiga orang, sekarang kau telah bakar rumah nya Liap Piauwsu, kau telah bunuh piauwsu itu dan sekeluarga nya, kecuali ini satu nona yang lemah, bagaimana kau tega akan binasakan juga padanya"
Aku anggap, itu adalah perbuatan
keterlaluan! Kim To cu, jangan menganggap, dengan
membinasakan nona ini, tak nanti ada orang lagi yang
menuntut balas kepadamu, itulah neliru! Dia masih
mempunyai keluarga, sanak saudaranya! Kim cu, aku
sudah bicara cukup, sekarang tinggal terserah kepadamu, apabila kau tetap tidak sudi melepas budi, nah, aku terpaksa hendak berlalu saja"."
Kim Kay Tay jadi sangat rusar, ia berlompat maju sambil berdongko sedikit, lalu ia menarik tali pesawat bumbung rahasia dengan tangan kirinya, atas mana, dengan satu suara "ser! ser!" api dan asap melesat keluar dari dalam bumbungnya, menyamber kepada si tabib dari Kwie in po.
Ban Liu Tong memang waspada, begitu ia melihat orang
mengayakkan tubuh, ia tolak tubuhnya sinona, yang berada disamping, sambil berbuat demikian, ia sendiri dengan pesat berlompat ke samping si Burung Dara Api. Begitu kaki kanannya menginjak tanah dan kaki kirinya menyusul, ke dua tangannya dibuka dalam gerakan "Kim tiauw thian
cie" atau "Garuda emas pentang sayap." Tangan kanannya, dengan terbuka, menyerang iga kanan manusia ganas itu.
Kim Kay Tay kaget melihat serangan apinya tak berhasil, ia insaf musuh benar liehay, selagi ia bersiap untuk
menyerang buat ke dua kalinya, Ban Liu Tong sudah
mendesak ia, terpaksa ia berkelit dan dengan goloknya menabas tangan musuh. Ia telah menggunakan ilmu "Tauw ta kim ciong" atau "Merubuhkan lonceng emas"
Ban Liu Tong kelit tangannya hingga lolos dari tabasan, akan tetapi ia tidak menarik pulang, dengan sebat ia
membaliki, hingga tak ampun lagi dua jarinya lantas
menotok kena nadi musuh, dijalan darah "kiok tie hiat hingga berbareng tangannya beku, goloknya Kim Kay Tay terlepas sendiri dari cekalannya. Saking kagetnya, si Burung Darah Api berlompat untuk menyingkir.
"Kau hendak lari kemana" " Ban Liu Tong membentak
sambil lompat mengejar, tangan kirinya turut menyamber.
Kim Kay Tay terlambat, atau ia kalah gesit, tangannya Ban Liu Tong mengenai punggungnya tepat pada bumbung,
yang ternyata bukan terbuat dari bambu, hanya dari besi, dengan begitu bumbung api itu tidak menjadi rusak, tetapi Kim Kay Tay sendiri rubuh mengusruk empat lima tindak, mukanya "menciurn" tanah, hingga muka itu berlumuran
darah. Cu tee Giam Ong Siang Cun Yang, si Raja Akherat
Setempat, berlompat maju, akan menolong adik angkatnya itu, disebelah ia, kawan dan orang nya hendak serbu Ban Liu Tong. Ia lihat ini, lekas ia, serukan "Kawan kawan, tahan! Aku hendak bersahabat dengan sahabat she Ban ini!"
Ia insaf bahwa musuh tak dapat dilawan lagi, walaupun dia bersendirian dan bertangan kosong. Kemudian, sambil
manggut pada musuh itu, ia berkata "Orang she Ban, aku
Siang Cun Yang ingin berbuat kebaikan, supaya kau puas.
Nah, pergilah kau bawa orang itu!
Dalam tempo tiga tahun, aku dan saudaraku ini akan
kembali ke Heng San, untuk tancap kaki pula disana,
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan begitu, apa bila turunan ini hendak menuntut balas, segala waktu kami bersedia untuk menantikan! Nah,
persilakanlah!" Siok beng Sin Ie tertawa terbahak .
"Bagus!" kata ia. "Kau sudi mengalah, aku berterima
kasih. Baiklah Siang To cu ketahui, setelah nona Liap ini lolos dari malapetaka, tak tentu dalam tempo tiga atau lima tahun, pasti dia akan menuntut balas untuk seluruh
keluarganya ini! Ini ada janji kita, jangan kita buat menyesal! Aku telah mencampuri urusan ini, aku tahu
bahwa aku telah membakar diri, tetapi sebagai laki2, aku berani bertanggung jawab, maka jikalau kau niat mencari aku di Ceng hong po, kau akan kecewa, sebab sekarang aku bertempat di Kwie in po dikaki gunung Kian San. Disana, To cu aku menantikan dengan hormat atas kedatanganmu
sekalian?" Setelah berkata begitu, Ban Liu Tong lompat kesamping si nona, pundak siapa berlumuran darah, walaupun nona itu mengkerutkan alis, tangan kirinya tetap memegang
goloknya, kedua baris giginya dirapatkan keras satu dengan lain, rupanya dia menahan sakit berbareng menahan juga amarahnya.
"Nona, mari ikut aku!" kata tabib she Ban ini.
"In jin, pundakku terluka, tak dapat aku ikut kau," nona itu menyahut, dengan suara sedih. "Aku berterima kasih kepadamu,
yang sudah mencegah orang jahat membinasakan aku. Sudah cukup pertolongan in jin, maka
selanjutnya, baik in jin biarkan aku.." Dengan sebutan "in jin."-tuan penolong-nyata si nona ingat budi orang.
Ban Liu Tong menduga nona ini hendak berbuat nekat,
akan terjun kedalam api yang masih ber kobar2. Pasti ia tak mengijinkan itu. Maka dengan sikap sungguh ia mengawasi nona itu, akan dengan sungguh2 juga ia berkata "Anak, kau ada turunan se mengga2nya dari keluarga Liap, jangan kau lupa akan sakit hatimu ini, yang mesti dibalas! Aku telah berusia lanjut, apakah kau likat" Mari, aku gendong kau, untuk berlalu dari lautan api ini! Untuk mati atau hidupmu, nanti kita damaikan pula!"
Setelah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban,
Ban Liu Tong samber tubuhnya si nona untuk digendong, kemudian Liu Tong berpaling pada Siang Cun Yang.
"Sahabat2, maafkan aku, tak dapat aku menemani
lama!" kata ia, yang terus saja putar tubuhnya, untuk meloncat naik ke atas rumah. Di Timur, api berkobar
sangat hebatnya, dari itu, ia menuju ke Timur laut,
menjauhkan diri dari api. Untuk sampai ditempat selamat, ia mesti menunjukkan kegesitan dan kecelian matanya,
karena beberapa kali orang2 jahat menyerang ia dengan anak panah secara menggelap, tapi sebaliknya, ia tak sudi meladeni mereka itu.
Sesampainya keluar daerah berbahaya, Ban Liu Tong
tidak langsung menuju kerumah keluarga Kan, hanya
dengan sengaja ia berlari jauh dengan jalan memutar. Ia mengerti, apabila ia pulang langsung dan penjahat
menguntitnya, itu bisa mendatangkan ancaman bencana
bagi keluarga itu. Hanya ia bikin orang kaget ketika tahu2 ia loncat turun dari atas genteng diantara orang nya keluarga itu, yang sedang bersiap2 akan mencegah menjalarnya api.
"Jangan kaget, jangan berisik!" ia kata pada semua orang itu. "Mustahil kau tidak kenali aku tabib yang menolongi majikan mudamu" "
Segera semua orang kenali tabib ini, baharu mereka
hendak menanyakan atau tabib itu sudah mendahului, lari kedalam rumah, hingga ia mengejutkan berbareng
menggirangkan pada Kan Hong, yang tengah meng harap2
kembalinya. Ia sebetulnya hendak minta keterangan, akan tetapi Liu Tong menegah ia dengan berkata "Jangan berisik, mari kita bicara didalam!"
Ban Liu Tong lalu masuk ke kamar, dimana ia turunkan
si nona diatas sebuah kursi. Segera ia periksa lukanya sinona. Si nona sendiri tak ingat akan dirinya, matanya rapat, mulutnya terkancing, wajahnya biru pucat. Karena ia terluka dan harus lompat turun naik dan ber lari2an, tidak heran apabila ia pingsan.
"Loosu, siapa nona ini" " akhirnya Kan Hong menanya.
"Apa dia yang dapat ditolong dari tangan orang jahat" "
"Sebentar kita bicara," sahut Liu Tong sambil goyang
kepala. "Tolong kau perintah orang lekas mengambil air panas!"
Kan Hong lantas suruh bujangnya mengambil air yang
diminta. Liu Tong sendiri terus meloloskan golok dari cekalannya si nona., dan dari sakunya ia keluarkan sebotol obat, yalan pil Cit po hoan hun tan, ia ambil tiga butir obat itu.
"Kau bantui aku," ia kata pada tuan rumah, sedang
tubuhnya si nona ia benarkan supaya bisa berduduk dengan betul. "Sebagai orang tua, kita jangan pantang lagi. Anak ini harus dikasihani, dia mesti ditolong. Kau pegangi kedua tangannya, aku hendak menusuk ia,"
Kan Hong menurut, tak lagi ia perdulikan "lam lie siu siu put cin" yalah larangan perempuan dan lelaki
berpegangan tangan. Begitulah ia cekal kedua tangan
sinona menurut ajarannya tabib itu.
Ban Liu Tong letakkan obatnya diatas meja, ia ambil dua batang jarum dari tempat obatnya, dengan itu ia tusuk bergantian jari telunjuk dan tengah dari si nona. Ia bekerja secara sehat dan gapah. Dengan siap tiga butir obat
ditangannya, ia awasi muka nona itu, ketika dengan tiba si nona menjerit "Aduh!" ia membarengi menyuapi pil itu
kedalam mulut orang. "Nona, telan obat ini!" ia berkata. Lantas ia bawa
cangkir air kemulutnya nona itu.
Dengan jeritannya itu, si nona telah sedar, ketika ia geraki ke dua tangannya, ia tidak bisa angkat itu apabila ia melihat, ia dapat kedua tangan nya sedang dipegangi.
"Nona, telan obat itu!" Liu Tong kata pula.
Tanpa kata apa si nona cegluk air, dengan apa ia telan tiga butir pil itu dengan sekaligus.
"Bagus, tuan," kata Liu Tong pada tuan rumah. "Aku
percaya obatku akan berhasil!"
Selagi tabib ini berkata, si nona menggeraki tubuhnya, ia enak, kemudian ia memuntahkan lendir, sesudah mana,
kembali ia mengeluh "Aduh!" Ketika ia mengangkat kepala dan membuka mata nya. Tiba2 ia menangis.
"Jangan bersusah hati nona." San Liu Tong menghibur.
Hina Kelana 14 Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis 14
"Suheng keliru dengar," Cu In bilang. "Dia bukan sebut Cio kee ouw hanya Cap jie Lian hoan ouw. Apa suheng
kenal nama itu di Kanglam" Buat di lamsay, aku tahu pasti, tidak ada. Dan tidak ada juga dilima Piopinsi Utara?"
"Oh, dia sebut Cap jie Lian hoan ouw?" mengulangi Eng Jiauw Ong. "Terang sekali kawanan itu memusuhi kita.
Lian hoan ouw berada di Kanglam. Sejak aku
mengasingkan diri di Hoay siang, aku gelap mengenai
Hong Bwee Pang, rupanya dari Eng Yu San di Kang souw, pusat itu telah dipindahkan ketempat tersebut. Menurut apa yang aku dengar, Hong Bwee Pang telali dibangunkan pula oleh ketua dari Lwee sam tong atau ketua Liong Tauw To cu turunan yang ke empat, yang gabungkan juga
rombongan Cui Auw Pang dari hulu Tiang Kang. Untuk
kepalai Thian Hong Tong, Ceng Loan Tong dan Kim
Tiauw Tong, yalah Lwee sam tong, mereka pilih anggauta yang paling liehay ilmu silatnya, sedang mereka yang
tergolong tua, yang tidak usah bertugas sesuatu lagi, dihormati didalam Hok Siu Tong dimana mereka hidup
merdeka seperti terpuja, malah musuh besarku kabarnya sudah masuk dalam Hok Siu Tong itu."
(Hok Siu Tong berarti gedung dari rejeki besar dan usia panjang, bahagia, Thian Hong Tong gedung dari burung
Hong, Ceng Loan Tong gedung dari burung Loan Hijau,
dan Kim Tiauw Tong gedung Garuda Emas )
-odwo- XI "Dimana kiranya letaknya Cap jie Lian hoan houw itu?"
Cu In tanya. "Tempat itu ada sangat rahasia, mungkin ada didaerah
___ Tong San di Ciat kang __" sahut Eng Jiauw Ong
"Setelah mendirikan tentera sukarela di Hoay siang, aku tak punya kesempatan untuk merantau lagi.
Aku percaya, lawan kita tadi ada salah satu orang kosen dari Hong Hwee Pang."
Sembari kata begitu, Eng Jiauw Ong mengeluarkan dua
senjata rahasia, See bun Cit poocu, ia serahkan itu pada Cu In, sedangkan panah tangan ia periksa sendiri.
"Am cu, panah ini aneh macamnya," kata ia kemudian,
"Aku percaya ini adalah panah Coa Tauw Pek ie cian dari rombongannya Soat San Jie Siu itu."
Coa Tauw Pek ie cian berarti panah berbulu putih
berkepala Ular. Cu In juga keluarkan sebatang panah dari sakunya, yang panjangnya empat dim, bedanya daripada panah biasa,
ialah kepala nya lebih lebar sedikit dan ekornya
ditambahkan bulu putih, tapi panah yang dipungut Eng
Jiauw Ong, ujung panahnya bercagak, cagaknya tiga dim dan tajam bagaikan jarum.
"Am cu," kata Eng Jiauw Ong akhirnya, "tidak perduli
orang yang punya panah ini benci kita secara macam apa, karena senjata ini, dia ada sangat jahat. Aku sumpah, aku mesti singkirkan dia untuk kebahagiaannya dunya kang
ouw, dan aku belum mau sudah sebelum dia dapat
kusingkirkan dari dunya."
Panah tangan itu, panah istimewa dari Soat San Jie Siu.
Dua si jelek dari gunung Soat San, ada lebih besar sedikit dari panah biasa, perlengkapannya adalah dua cagak
sebagai jarum, yang dikeram didalam lobangnya, bisa
digerakkan dengan semacam pesawat, diwaktu digunai, dua cagak itu lantas melesat ke luar, apabila mengenai tubuh, panah itu tak dapat dicabut, daging si
korban mesti dipotong atau dibelek, maka siapa terkena itu, dia mesti terbinasa atau bercacat, jadi jahatnya mirip dengan panah beracun. Inilah yang membuat Eng Jiauw Ong sangat usar.
Oleh karena mereka dapat menciptakan panah liehay itu, dua saudara dari Soat San itu dibuat iri oleh sesama orang kang ouw, tetapi mereka biasa bekerja di perbatasan Su coan saja, mereka tidak pergi kepedalaman, dan bila bukan terancam bahaya, atau tidak ketemu musuh, mereka tidak gunakan senjatanya itu. Ada dibilang, kepandaian itu tidak diwariskan pada murid atau sesama kaumnya, tetapi
sekarang terbukti, di Tong kwan ada orang menggunakan itu.
"Jangan gusar, suheng!" kata Cu Ih sambil tertawa. "Di dunya kang ouw ini masih ada orang2 yang terlebih jahat daripada Soat San Jie Siu. Mana kita sanggup mengurus mereka semua" Untuk memusuhi orang2 sebangsa mereka,
kitapun harus waspada. Mungkin dia adalah Thian kong
chiu Bin Tie seperti katanya Toan Bie Cio Loo yauw. Kalau benar, dia memang liehay, dia melebihi Cio Tongtay dan sedereknya. Apabila kita ketemu pula padanya, tak boleh kita gampang2 biarkan dia lolos. Nah. simpanlah panah ini, kita anggap ini sebagai surat undangan saja!"
Eng Jiauw Ong simpan panah itu.
"Kita sudah sia2kan tempo di sini, mari kita berangkat,"
kata ia. "Tak dapat orang jahat mendahului kita."
Cu In manggut. "Benar," kata ia.
Keduanya lantas berangkat, menuju ke Siauw kee tay.
Cu In jalan didepan, karena ia lebih kenal keadaan disini.
Sesudah melaui tujuh atau delapan lie, diarah Barat daya terdengar anjing menyalak.
"Itulah Siauw kee tay, suheng," kata sipendeta wanita.
"Diwaktu malam gelap gelita dan sunyi senyap. kecuali peronda, tidak ada orang lain lalu lintas disana, sekarang ada suara anjing rupanya Tiat Hu cian sudah sampai
disana. Selewatnya Siau kee tay, orang mulai memasuki daerah berbahaya, selanyutnya di sepanjang jalan, dalam dua tiga lie, rumah penduduk terpencil jauh satu dengan lain. Maka kita lekasan pergi kesana."
Eng Jiauw Ony, menurut turut bertindak lebih pesat.
Lagi setengah lie, mereka lihat suatu dusun dimana
tampak cahaya api, dan ketika mendekati lebih jauh,
mereka mendengar tindakan kaki kuda dan terputarnya
roda2 kererta yang berisik. Jadi benar rombongan nya Tiat Hu ciang sudah sampai didusun itu. Itupun menyatakan
keberaniannya si opsir, yang sekalipun dijalan raya, toh jalan nya cepat sekali.
Cu In Am cu sudah langsung memasuki dusun dari
depan, ia hanya mengajak Engg Jiauw Ong jalan memutar ke selatan, dengan begitu, kawannya ini jadi mengetahui, bahwa dusun itu besar, sebab sesudah jaiui satu lie, baharu mereka sampai dimulut Selatan itu.
Lewatnya tentera negeri menyebabkan anjing menyalak
memecah kesunyian sang malam yang gelap juga jadi
terang dengan banyak obor. Selewatnya barisan itu
kesunyian datang pula. Sekarang, dimulut dusun ada
muncul belasan chungteng, suatu tanda disitu ada barisan sukarela. Jadi Eng Jiauw Ong percaya penjahat tidak nanti berani turun tangan disitu.
dari sini Cu In berdua menguntit barisan Tiat Hu ciang.
Mereka berkumpul diantara semak belukar yang sunyi,
_____gak kebaca dewi kz________
sampai kesana. Tempat ini pada seratus tahun yang lalu melupakan lembah cabang sungai Wie Sui, karena musim
kering hebat, aliran digeser ke Selatan, maka itu, tempat ini jadi kering, penuh pasir, tanahnya kurus. Maka selanjutnya, ini adalah tempat selulup timbulnya orang2 jahat. "Mari kita lombai pasukan tentera, supaya kita bisa lihat disebelah depan."
Cu In melesat, kawannya mengikuti.
"Nah, itulah dia Lok hun tee, suheng!" kata sipendeta, sesudah mereka lari sekian lama seraya ia menunjuk
kedepan. Eng Jiauw Ong mengawasi Kedepan, benar2 ia melihat
suatu tempat yang seram. Rumput tingginya empat lima
kaki. Waktu itu musim kering, kalau dimusim hujan, pasti rumput jadi lebih tebal, tanah berlumpur dalam, dan kuda kereta akan sukar lewat disitu.
"Tempat yang surup dengan namanya," kata Eng Jiauw
Ong. Lok hun berarti "roh runtuh". "Pantas ini jadi tempat ngeramnya kawanan penjahat. Berapa jauh akan sampai
dijalan besar" Apa disebelah depan ada rawa atau empang dimana orang bisa umpatkan diri?"
"Tanpa kau tanya, aku memang hendak menerangkan,
suheng," sahut nikow itu. "Gili2 Lok hun tee ini
panjangnya seratus lie lebih, terus sampai di tepi yang baharu dari sungai Wie Hoo. Diujung, sepanahan lebar
nya, terdapat tempat berlumpur dalam, siapa kejeblos
disitu, dia tak akan bisa meloloskan diri, kecuali ada yang menol.onginya Maka harap suheng awas, itu ada jebakan alam yang berbahaya sekali?"
"Terima kasih, am cu," kata Eng Jiauw Ong. "Mari kita maju?"
"St!" Cu In memotong, selagi kawannya belum bicara
habis. Disebelah depan kelihatan rumput ber goyang2, lalu dua atau tiga bayangan tertampak melesat kearah Barat laut.
"Ong Suheng, nyata tidak sia2 perjalanan kita ini," Cu In berbisik. "Benar2 orang telah menguntit. Mari kita lindungi kereta."
Eng Jiauw Ong manggut, lantas ia ikuti pendeta itu,
yang sudah mulai lari. Dalam tempo pendek mereka lihat tegas rombongannya
Tiat Hu ciang yang berjalan dengan pelahan2. Mereka ini tidak berani jalan cepat2, walaupun mereka menggunai
obor, maklum diwaktu malam.
Eng Jiauw Ong mengasih tanda pada Cu In Am cu, lalu
ia mendahului pergi kesemak sebelah Timur untuk melihat tempat. Ia pun periksa gili2 sebelah Barat, yang tempatnya lebih berbahaya lagi, ada pohon2 merambat yang bisa bikin kaki terserimpat.
Disini keadaan ada tenang, itulah tanda bahwa disitu
tidak ada orang jahat. Tapi selagi Eng Jiauw Ong
memasang kuping, tiba2 ia mendengar suara sedikit nyaring diatasan kepalanya, lalu dua buah uang tang chie hijau jatuh didekatnya. Ia kenali itu adalah "Chee hu toan sin,"
yalan isyarat dari See Gak Pay. Cara melepas tangchie itu memakai ilmu melepas Wan yho piauw, hingga ditengah
udara kedua tangchie benterok satu pada lain dan
menerbitkan suara dan diyatuh. Itulah berarti, bahwa si nikow telah menyusul dan melihat sipenjahat itu.
Cepat sekali Eng Jiauw Ong berdongko. Dibelakang ia,
dua tiga tumbak jauhnya, ia lihat berkelebatnya dua
bayangan, gerakannya sangat gesit, sekejab saja mereka sudah pergi belasan tumbak jauh nya.
Dengan gerakan seekor burung hoo menyerbu langit,
Eng Jiauw Ong coba menyusul, tetapi Cu In disebelah
Barat memanggil ia, maka ia menggabungkan diri dengan nikow itu.
"Dua penjahat datang kemari, aku kuatir kita bentrok
diluar keinginan kita, maka itu aku beri tanda padamu, suheng," kata pendeta itu. "Kita mesti jaga agar mereka tidak lihat kita dan nanti menyingkir karenanya.
Kelihatannya jumlah mereka ada lima atau enam orang,
dari itu, kita jangan alpa. Kitapun mesti jaga supaya mereka tak sampai berhasil. Lihat, Tiat Hu ciang sedang
mendatangi, mari kita sembunyi!"
Eng Jiauw Ong manggut, ia terus ikuti nikow itu buat
mengumpat. Rombongannya Tiat Hu ciang mendatangi bagaikan
naga api, tindakan kaki kuda, bunyinya roda2 kereta,
kedengaran nyata. Dari tempat sedikit jauh, serdadu
pengiring tidak kelihatan nyata, karena mengepulnya debu.
Dari tempat sembunyinya, Cu In dan Eng Jiauw Ong bisa mengawasi dengan merdeka.
Enam buah kereta diiringi dua pasukan depan dan
belakang, dan Tiat Hu ciang, diatas kudanya, jalan
disebelah belakang. Setelah rombongan lewat, Eng Jiauw Ong berdua lantas
menguntit. Orang berjalan dengan tenang, ketika separuhnya Lok
hun tee telah dilewati, tiba2 terdengar suitan disebelah depan. Dua bayangan lompat melesat kearah gili2, disusul dua kali suitan lain, yang kembali diikuti oleh melayangnya lagi dua bayangan dari arah Timur.
"Am cu, saatnya sudah tiba." Eng Jiauw Ong
menyerukan Cu In, sambil ia sendiri segera keluar dari tempat sernbunyinya dengan satu loncataan tinggi dan jauh, maka dilain saat, ia sudah berada diatasnya kereta yang pertama.
Cu In, yang tidak kurang sebatnya, sudah loncat naik ke kereta ke empat, disaat dua penjahat sedang mendekati kereta tersebut.
Disebelah Timur, dua penjahat telah perdengarkan suara tekebur, katanya "Kamu tahulah diri dan menyingkir dari sini! Kita cuma mencari Keluarga Yo untuk membikin
perhitungan! Jikalau kau sayang jiwa, lekas pergi!"
Sesaat itu bukan main kaget nya, serdadu pengiring.
Dua penjahat, masing2 dengan sebatang golok tebal dan tumbak tiga belas buku, maju dari kiri dan kanan,
menghampiri kereta ke empat.
Diatas setiap kereta ada dua serdadu. Dua serdadu dari kereta ke empat itu melihat orang datang, mereka segera menghunus golok. Ketika tumbak menikam, satu serdadu
berkelit, seraya membarengi membacok. Penyerang itu
berkelit kekanan, dengan tangan kiri ia balas membarengi menyamber lengan orang untuk terus dibetot keras sambil ia berseru "Pergilah kau!
Lengan serdadu itu kena ditarik, tanpa berdaya tubuhnya terjatuh kebawah.
Disebelah kanan kereta, penjahat yang satunya juga
mulai menyerang. Goloknya dapat ditangkis, sampai lelatu apinya meletik, kemudian batang lehernya kesamber,
sampai ia kaget bukan main, hampir ia rubuh sebagai
korban. Ia tidak sangka yang ia sudah berhadapan dengan Cu In Am cu.
Penjahat yang sebelah kiri, yang sudah maju pula, segera serang nikow itu dengan tumbak nya, ia menikam perut.
Cu In bersenyum ewa, dengan pedangnya, dari bawah Ia
menyamber pula keatas, akan babat kutung gegaman
musuh. Penjahat itu liehay, ia cepat tarik tumbaknya, yang ia tidak mau adu dengan pedang, sebaliknya, ia hendak menikam pula.
"Binatang!" berseru nikow tua itu Berbareng dengan itu, keledai terdengar meringkik keras, lalu kereta mengusruk kedepan, semua rodanya berhenti memutar dengan tiba2.
Cu In menoleh kedepan, ke situ ia segera berlompat.
Nyata penjahat yang bersenjatakan golok, yang tadi
ditangkis si nikow, sudah maju untuk membacok keledai, hingga keledai roboh dan keretanya mengusruk. Saking
gusar. Cu In serang penjahat ini.
Nyata penjahat ini licik. Ia lihat ujung pedang
mengancam iga kirinya, ia loncat berkelit kekanan, untuk terus lari. Selagi serangannya gagal, kaki kiri Cu In sudah menginjak tanah, karena itu, sambil berseru "Kau hendak lari kemana?" ia loncat pula sambil menyamber dengan
pedangnya. Penjahat itu kaget, ia menjerit, tubuhnya rubuh disemak, percuma saja ia berkelit, kopiahnya kena dipapas, mengenai
rambut nya dan sedikit kulit kepalanya. yang terus
mengucurkan darah. Ketika itu, penjahat yang bertumbak sudah lompat maju, akan membarengi menusuk si orang suci. Ia menyerang
sambil menolongi kawannya.
Sambil lompat kesamping kereta, Cu In egosi tubuhnya
dari tikaman, tetapi dari samping ia membabat lengan
kanan musuh. Penjahat itu gesit, ia tarik lengannya sambil loncat
menyingkir. Tapi si pendeta desak ia dengan satu tikaman pada pinggangnya. Ia repot, ia kempeskan perutnya,
tubuhnya sedikit melengkung, terus ia berlompat mundur, tetapi tidak urung ujung pedang telah merobek bajunya, hingga saking kaget, ia jatuh terlentang.
Ketika Cu In Am cu tarik pedangnya, ujung senjata itu berlepotan darah.
Waktu itu, semua kereta telah berhenti berjalan, para serdadu menjadi kaget dan menerbitkan suara berisik.
Tiat Hu ciang berada dibelakang, karena jalanan sempit, ia sukar maju, dari itu, ber ulang2 ia serukan "Minggir!
Minggir!" Dengan putar goloknya, ia maju.
Cu In Am cu sudah loncat naik pula keatas kereta, ia
menoleh kearah Eng Jiauw Ong, hingga ia dapati kawan
itu, dengan sebelah kanan mengempit satu tubuh orang, sedang berlompat naik keatas sebuah kereta untuk
menghampirkan. Tadinya Cu In hendak tanya kawan itu, tetapi Eng Jiauw Ong mendahului berseru "Tiat Tayjin, awas belakangmu."
Kemudian, setelah sampai dikereta ke tiga, ia lempar tubuh yang ia kempit kekereta ke empat sambil ia serukan
kawannya "Am cu, lindungi kereta, aku nanti singkirkan jahanam itu!" Dan segera ia loncat kebelakang.
Cu In berpaling dengan cepat, dari itu ia melihat satu tubuh mencelat dari tempat gelap itulah tubuh yang
membuat Eng Jiauw Ong berseru.
Rombongan serdadu menduga pada orang jahat,
beruntun mereka melepaskan panah.
Gerakannya penjahat itu terlambat, karena ia mesti
menyingkir dari panah, karena ini, Tiat Hu ciang keburu geser kudanya. Karena ini juga, Eng Jiauw Ong keburu
mendekati melihat orang itu berusia tigapuluh lebih,
tubuhnya kecil dan jangkung, senjatanya sebatang toya Hong liong lang, romannya bengis.
________________ maju, ia _____ dengan totokan pada
hu ciang itu. Melihat gerakan orang itu Eng Jiauw Ong tahu, musuh
ini ada liehay, dari itu, jadi kuatir buat Tiat Hu ciang. Ia lompat kearah kiri orang itu, sembari membentak. "Awas!"
Tangan kirinya menyamber lengan kanannya orang itu.
Penjahat itu berkelit kekiri tubuhnya sedikit berdongko, lalu dengan toyanya ia menyerung kaki kiri musuhnya. Ia benar2 ada gesit sekali.
Eng Jiauw Ong berkelit sampai mengasih toya lewat,
setelah itu merangsek. Tangan kananya di majukan dengan dua jari ia mengancam sepasang mata musuh, tapi sambil lompat jumpalitan, musuh itu mundur dengan cepat, untuk kemudian, dengan menyerang kebawah, bagaikan angin
musim rontok ____ daun kering, ia menyapu kakinya Eng Jiauw Ong.
Eng Jiauw Ong enjot tubuh nya akan lompat nyamping
selagi lawan itu membarengi ____ juga, maju kedepan.
untuk memutar tubuhnya, guna terus menghajar punggungnya Eng Jiauw Ong.
Itu ada gerakan gesit dan berbahaya, Eng Jiauw Ong bisa duga itu, maka ia lekas berbalik seraya egosi sedikit tubuhnya. Ia menggunai gerakan _____ soan cauw" atau
"Burung ___ memutari sarang." membabat demikian, iapun _____ Tiat Hu ciang " _____ Disini ada Cu In Am cu
membantui kau melindungi kereta, pergi kau lihat lain bagian!" Kemudian, bergerak terus, ia majukan sebelah kaki, tangannya menyamber dada. Ia menggunai tipu
serangan "Kim pa louw jiauw" atau "Macan tutul emas
memperlihatkan kuku."
Penjahat itu mencoba berkelit kekanan, akan tetapi
serangan angin dari tangan itu sudah mendahului sampai.
Memang biasa nya, angin dari serangannya satu ahli, sudah terasa dimuka lima dim sebelum sampainya tangan pada
sasaran. Karena ini, cepat2 dia mengangkat toyanya akan menghajar lengan kanan orang.
Eng Jiauw Ong tarik pulang tangan kanannya, sebagai
ganti nya ia majukan tangan kiri, dengan dua jari telunjuk dan tengah, ia mencari jalan darah "Kwan goan hiat"
Dalam kalangan Siauw Lim Pay, ilmu pukulan ini
dinamakan "Sut pay chiu" atau "Membuang tugu," sedang dalam Hoay Yang Pay disebut "Tok coa sim hiat chiu" atau
"Ular berbisa mencari lobang."
Penjahat itu tidak berani menangkis, ia berkelit sambil lompat mundur. Dengan demikian, mereka berdua jadi
bertempur seru. Tiat Hu ciang sudah lantas hampiri Cu In Am cu untuk
memberi hormat, buat minta keterangan perihal nikow ini dan kawannya yang sedang melawan penjahat. Kapan ia
diberitahukan siapa adanya mereka, ia jadi girang berbareng
bersukur sekali. Setelah itu ia bertanya apa yang harus dilakukan.
Menuruti Cu In, kereta yang rubuh lantas diangkat
dengan keledainya yang terluka ditukar. Penjahat yang rubuh ditangan nya Eng Jiauw Ong, yang kena ditotok,
diangkat naik kedalam kereta. Kemudian, dengan Cu In
yang melindungi, mereka terus melanjutkan perjaianan ke Wie Hoo.
Eng Jiauw Ong lihat bagaimana rombongan sudah
berangkat, ia berhati lega, maka itu dengan pikiran terpusat ia terus melayani musuhnya, siapa sebaliknya jadi malu sendirinya, karena usahanya sudah gagal. Ia rupanya malu pulang untuk menemui ketuanya dengan tangan kosong,
dari itu, dalam murka ia berkelahi dengan sengit. Ia
merangsek dengan tipu tipu pukulan "Pek Wan Chio" atau
"Tumbak Lutung Putih," yang terdiri dari tiga puluh enam jurus, hingga samberan angin toyanya jadi men deru2.
Untuk melayani rangsekan itu, Eng Jiauw Ong
menggunai "Co Kut Hun Kin Chiu" atau ilmu pukulan
"Memecah tulang membagi urat," yang terdiri dari tujuh puluh dua jalan dan antaranya, tiga puluh enam untuk
menotok jalan darah, hingga, tak perduli Hong liong pang bagaimana berbahaya, musuh tidak bisa berbuat banyak, malah di jurus dua puluh lebih dia mulai kewalahan,
permainan toyanya makin lambat.
Ketika Eng Jiauw Ong menyerang dengan "Kim hong
hie lui" atau "Tawon ceking permainkan pusuh bunga,"
tangan kanannya mencari jalan darah dipundak, penjahat itu dengan bengis membarengi menghajar kepala musuh,
bagian pilingan sebelah kanan.
Melihat serangan pembalasan itu, Eng Jiauw Ong
berkelit seraya tarik pulang tangan kanannya, dilain pihak
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan kirinya membarengi maju, akan menabas pundak
kiri musuh itu. Dia ini tidak menangkis, sebaliknya, dengan tarik pulang toyanya ia terus menyodok perut. Atas ini, jago Hoay siang lompat tinggi, mencelat mundur satu tumbak lebih.
Menampak demikian, musuhpun luncat mundur,
jauhnya dua tiga tumbak, setelah mana, ia putar tubuh untuk terus lari ke arah Selatan. Rupanya ini adalah ketika baik untuk mundur teratur.
"Tikus, kau hendak lari?" Eng Jiauw Ong berseru seraya ia enjot tubuhnya lompat maju, untuk mengejar.
Sekejap saja Eng Jiauw Ong telah dekati, musuh tinggal lagi setumbak lebih, diwaktu mana, dengan se konyong2
musuh itu balik tubuhnya dan sebelah tangannya terayun, disusul dengan menyambernya sebuah benda yang
berkeredepan. "Ha, kau berani menggunai kepandaianmu semacam
ini?" berseru pula Eng Jiauw Ong, yang sambil miringkan kepalanya, sodorkan tangannya yang kiri, hingga senjata rahasia musuh, sebatang piauw, kena ia sambuti.
"Nah, kau rasakan ini!" tertawa simusuh secara
menghina, membarengi mana, lima biji sinar terang
menyamber dari tangannya, dalam bentuk lukisan bunga
Kwee. Eng Jiauw Ong segera kenali, itu adalah lima batang
jarum beracun "Bwee hoa Toat beng ciam," dari itu,
menggunakan kegesitan tubuhnya, ia pentang ke dua
tangannya dan lompat nyamping lima tumbak. Ia
menggunai tipu "Kauw yan hoan in" atau "Walet cerdik
membaliki awan." Tapi begitu kedua kakinya menginjak
tanah, ia teruskan mencelat ke arah musuh itu. Ia gusar sekali, sebab musuhnya menggunai senjata beracun, yang
panjangnya tiga dim dan bercagak. Semua lima batang
jarum tadi jatuh ketanah. Jarum ini lebih berbahaya
daripada panah "Coa tauw Pek ie cian" dari Soat San Jie Siu, disimpannya dalam bumbung yang berlobang lima,
menyamber nya ketiga jurusan atas, tengah dan bawah dua kesamping, kiri dan kanan, hingga sulit untuk dielakkan.
Senjata rahasia biasa bisa dielakkan dengan "Tiat poan kio," gerakan rebah melintang bagaikan jembatan besi, tapi jarum ini meminta kepesatan dan lompatan jauh.
Pemiliknya jarum ini mestinya sebat, tetapi guna mencegah dia keburu mengisi bumbungnya, Eng Jiauw Ong segera
merangsek dengan loncatan "Pat pouw kan siam" atau
"Delapan tindak mengejar tonggeret."
Penjahat itu kaget benar2 apabila menyaksikan musuh
tak dapat dirubuhkan dengan jarumnya, karena ia tidak sempat mengisinya pula, ia segera putar tubuhnya dan
berlari. "Sisa Hian Touw Koan!" Eng Jiauw Ong menyerukan.
"Kau masih mengganas, kau hendak lari kemana?"
Dengan loncatannya, yang pesat dan jauh. Eng Jiauw
Ong dapat menyandak, setelah datang dekat, ia ulur sebelah tangannya dalam gerakan "Kim liong tam jiauw" atau
"Naga emas mengulur cengkeramannya." menyengkeram
bebokong. Cepat sekali ujung jarinya telah menyentu baju.
Pukulan dari Hoay Yang Pay mirip dengan kata2 "Tidak
penuh, tidak luber, sekali luber, tentu meluap," jadi seperti pukulan "Siauw thian chee" atau "Bintang kecil" dari
Siauw Lim Pay. Dalam saat yang genting itu, mendadak ada senjata
rahasia menyamber dari samping.
"Bagus!" berseru jago dari Hoay siang sambil berkelit seraya tangan kanannya diulurkan untuk dengan dua
jarinya menjepit senjata rahasia itu sebatang panah sedang tangan kirinya melanjutkan serangannya pada bebokong
musuh. Musuh ini coba membuang diri nya, tapi tidak urung ia seloyongan kasamping kiri sampai beberapa tindak.
Menyusul itu, dari arah Barat, terdengar dua kali suara suitan, atas mana, penjahat ini segera berlari kejurusan itu.
Eng Jiauw Ong sangat mendongkol. Serangan gelap itu
mengganggu ia, karena gerakan nya sedikit lambat, musuh luput dari bahaya. Dalam murkanya, ia loncat lebih jauh, untuk mengejar. Justeru itu dari dalam semak2 ia
mendengar tertawa menghina dibarangi dengan kata2 "Ong Too Liong, jangan jumawa. Malam ini aku ada urusan, aku tak dapat melayani terus pada mu! Tapi Cap jie Lian hoan ouw ada tempat kuburanmu, kau ingatlah ini, tua bangka!
Inilah perjanjian dari kematian, apabila itu tak ditepati, tak hapus!"
Menyusul itu terdengar berisik nya suara pepohonan
rumput terlanggar, lalu sunyi senyap.
Eng Jiauw Ong tertawa menghina seraya terus berkata
"Kawanan tikus! Belum pernah Eng Jiauw Ong melanggar
janji! Percuma aku menjadi ketua Hoay Yang Pang jikalau tak mampu aku membasmi sarangmu! Kawanan jahanam,
baiklah, kau boleh hidup lagi lebih lama beberapa hari!"
Sehabis berkata demikian, jago Hoay Yang ini lalu ambil jalannya untuk menyusul rombongan Tiat Hu ciang, akan tetapi belum ia sempat bertindak, dengan satu loncatan, Cu In Am cu telah sampai didepannya, hingga ia terkejut.
"Bagaimana, am cu?" tanya ia. "Apakah ada terjadi
sesuatu" " Ia heran karena pendeta ini kembali cepat sekali.
-odwo- XII "Tak kurang suatu apa, suheng," jawabannya nikow itu.
"Rombongannya Tiat Hu ciang sudah menyeberangi sungai Wie Hoo dimana mereka disambut oleh dua cham ciang
serta dua ratus serdadu berkuda, yang dikirim oleh To Ciangkun untuk menjemput sedang dengan titahnya
jenderal itu, tertera disepanjang jalan diwajibkan bantu melindungi. Siupie dari Jie lim ek juga sudah menyambut bersama barisannya dan ajak Tiat Hu ciang singgah
diposnya, hingga disana rombongan itu dapat beristirahat.
Aku anggap mereka sudah selamat, dari itu, aku lekas
kembali akan tengok suheng. Apa disini sudah beres?"
"Terima kasih, am cu. Aku tak punya guna, aku bikin
kawanan kurcaci itu lolos," Eng Jiauw Ong akui. "Am cu, kita sedang menghadapi musuh2 tanggu, entah berapa
jumlahnya. Di luar sangkaanku, Hong Bwee Pang telah
bangkit dengan kekuatan baru. Kecuali murid2nya Soat San Jie Siu, diantara merekapun ada sisa2 muridnya Sin heng Ie su Sian Siu, itu ok too, imam busuk, dari kuil Hian Touw Koan digunung Houw Gee San."
"Suheng, bukankah Sian Siu itu telah terbinasa diujung pedang Sam cay kiam dari Thian Lam Kiam kek?" Cu In
tanya. "Murid2nya sudah buyar, kawanan Hian Touw
Koan sudah tak disebut2 lagi dalam dunya kang ouw, cara bagaimana suheng bisa sebut2 pula dia itu?"
"Aku tidak kenal kawanan itu, aku hanya dapatkan
barang buktinya saja," sahut Eng Jiauw Ong. "Mari, am cu, coba lihat, ini ada buktinya atau bukan?"
Eng Jiauw Ong bertindak ke arah Utara, tempat
pertempuran tadi, disitu ia membungkukkan tubuhnya akan memungut sebatang jarum Bwee hoa Toat beng ciam.
"Lihat ini, am cu. Apakah senjata ini ada dua di Selatan dan Utara sungai besar?"
Cu In menyambuti dan periksa jarum itu dibawah sinar
puteri malam. "Benar2 suheng berpandangan luas," memuji ia.
"Memang senjata ini kepunyaan kawanan dari Hian Touw
Koan. Tetapi suheng barangkali lupa kepada penjahat besar yang malang melintang di Utara, yalah Ya eng cu Touw
Eng si burung malam. Dia pernah menggunai jarum ini,
hingga dia dibekuk oleh To Cie Taysu, supehku dari See Gak Pay. Ketika itu dia dipaksa keluarkan senjata
rahasianya, dia dipaksa bersumpah tidak akan menggunai pula senjatanya yang liehay itu, sesudah mana dia
diampunkan dan dibebaskan. Saking malu, Touw Eng
menyingkir dari dunya kang ouw, dia pergi ke Liauw tong sampai sekarang sudah lebih sepuluh tahun, dia belum
pernah pulang, maka itu, aku sangsi apa bukannya dia yang telah kembali. Hanya diantara jarum kedua kaum itu ada sedikit perbedaannya. Ini bukan jarumnya Touw Eng.
Jarumnya si Burung Malam lebih indah buatannya. Karena kawanan dari Hian Touw Koan muncul pula, mungkin
Touw Eng pun turut serta dengan mereka itu."
"Am cu luas pengetahuan nya, aku malu karenanya,"
berkata Eng Jiauw Ong. "Suheng cuma puji aku," Cu In bilang. "Sekarang mari
kita bicara tentang murid2 kita, entah bagaimana nasibnya.
Aku tidak percaya mereka ditakdirkan usia pendek, tapi beda dengan In Hong, yang ada seorang anak lelaki, aku kuatirkan Hong Bwee, seorang gadis remaja dan dari
keluarga terhormat. Aku malu bertemu dengan keluarga Yo apabila terjadi suatu apa atas diri nya. Aku ingin tolong muridku itu, bagaimana pikiran suheng sekarang?"
"Nampaknya urusan ini sulit," Eng Jiauw Ong akui.
"Disini tidak lagi ada urusan perseorangan hanya mengenai permusuhan Hong Bwee Pang dengan Hoay Yang Pang.
Teranglah sudah, dengan mengguna! murid2 kita, orang
hendak pancing aku memasuki Cap jie Lian hoan ouw,
sarang nya itu. Aku percaya, In Hong dan Hong Bwee
sudah diculik dan dibawa lari ke Kanglam, hingga kita perlu menyusul ke sana. Sekarang mari kita pergi ke Jie lim ek, sebelum Tiat Hu ciang berangkat, kita mesti bisa korek keterangan dari mulutnya penjahat yang terbekuk, untuk mengetahui dimana adanya murid kita sekarang. Aku
percaya, dengan mengingat budi kita, Tiat Hu ciang akan mengijinkan kita periksa penjahat itu."
Cu In Am cu setujui pikiran ini, ia lalu ikuti Eng Jiauw Ong berangkat ke Jie lim ek. Mereka sampai dengan lekas.
Lantas mereka menyeberang. Baharu mereka turun
kejembatan, tiba2 Cu In Am cu merandek, "Dengar,
suheng," ia berbisik. "Apa mungkin perahu berlayar
dimalam seperti ini?"
Eng Jiauw Ong hentikan tindakannya dan pasang
kuping. Ia dengar suara air tergayu, jauhnya dari mereka beberap tumbak disebelah Barat jembatan. Ketika ia
mengawasi, samar ia tampak dua buah perahu kecil sedang memutari tikungan dan dikepala perahu, yang madap ke
Utara, ada beberapa titik api mirip dengan bintang kecil.
Tanpa merasa, ia keluarkan seman tertahan.
"Suheng, mereka pasti bukan orang2 baik." Cu In
berkata. "Malah mereka adalah satru kita!" Eng Jiauw Ong
tambah kan. "Jikalau mataku tidak lamur, itulah kendaraan airnya Hong Bwee Pang. Lihat, dikepala perahunya ada api hio yang dinamai Hio tin. Entah siapa yang jadi
pemimpinnya. Am cu, mari kita kuntit mereka!"
"Tunggu, suheng," Cu In mencegah. "Lihat arah Jie lim ek! Kenapa ada asap mengepul disana dan suara riuh juga?"
Ong Too Liong memandang ke Utara, ia lihat asap yang
disebutkan. "Itulah asap," ia bilang. "Kalau itu asap kebakaran,
apinya mesti terlihat. Kenapa melainkan asaypnya saja yang terlihat?"
"Aku berkuatir buat Jie lim ek," Cu In menyatakan.
"Perahunya Hong Bwee Pang ada dimana saja, jangan kita sia2kan tempo, mari kita lihat keperhentian disana!"
Eng Jiauw Ong menyatakan akur, maka itu, urunglah
mereka menguntit perahu tadi, keduanya ber lari2 kearah perhentian Jie lim ek. Baharu saja mereka sampai dimulut dusun, dari tempat gelap muncul sebarisan serdadu, yang menegor "Siapa?"
Eng Jiauw Ong dan Cu In berhenti berlari, mereka
perkenalkan diri. Barisan itu dikepalai oleh satu siauw khoa atau letnan sebawahannya Tiat Hu ciang.
"Oh, jiewie tayhiap," kata letnan itu. "Tayjin kita
memang sedang mengharap jiewie. Kalau jiewie ada disini, penjahat niscaya tidak akan peroleh hasil! Silahkan jiewie itu kami."
"Apakah penjahat telah menyerbu pula?" tanya Cu In.
"Benar," sahut letnan itu. "Mereka menolongi kawannya yang telah terbekuk. Mereka menggunai tipu bersuara di Timur dan menyerang di Barat. Mulanya mereka melepas
api dibelakang, ketika kami pergi untuk memadamkan,
mereka menyerang tempat tahanan, setelah melukai dua
serdadu jaga, mereka melarikan konconya. Tiat Tayjin
sangat gusar hingga dia mestikan semua barisan menanggung jawab"."
Eng Jiauw Ong mendongkol dan menyesal bukan main,
jadi sia2 jeri payahnya untuk mengorek keterangannya
kedua penjahat itu. "Aku tidak sangka penjahat mendahului kita," kata ia
pada Cu In. "Terang sekali mereka menguntit kita dan
turun tangan selagi kita tidak bersiap sedia. Am cu, musuh tangguh, tak dapat tidak kita mesti segera menuju ke Cap jie Lian hoan ouw akan mencari ketua mereka!"
"Sabar, suheng." Cu In berkata. "Looya ini bilang, Tiat Tayjin ingin menemui kita, mari kita menghadap dahulu padanya. Kita boleh sekalian melihat keadaan disana."
Eng Jiauw Ong tidak ingin tentangi pendeta ini, maka
letnan itu lantas pimpin mereka masuk kedalam dusun Jie lim ek besar, dijalan besar ada banyak tokonya, tetapi ketika itu orang sudah pada tidur, cuma orang2nya Tiat Hu ciang yang jalan meronda. Pesanggerahan sendiri terang
benderang dengan banyak lentera dan obor.
Sesampainya dipintu gedung, letnan itu permisi akan
masuk lebih dahulu, untuk memberi kabar, kemudian ia
kembali dengan cepat seraya bilang Tiat Hu ciang
mengundang kedua tetamu ini.
Didalam, Tiat Hu ciang sambut tetamunya dengan
hormat dan mengundang duduk, iapun terus tanya alamat mereka, katanya sesampainya di Tiang an, ia hendak
melaporkan pada To Ciangkun, agar mereka ini diberi
tanda jasa. "Terima kasih tayjin, itulah kami tidak harap," Eng
Jiauw Ong bilang. Ia kata ia ada seorang merdeka dan Cu In seorang suci. "Kami tidak punya rejeki untuk menerima
jasa dari negara. Apa yang kita harap adalah agar Tayjin tolong bikin terang penasarannya Yo Bun Koan sekeluarga agar nama baiknya dapat dipulihkan, dengan begitu mereka akan bersyukur."
Tiat Hu ciang lalu menanyakan, penjahat ada dari
golongan mana, dan kenapa mereka memusuhi Yo Bun
Hoan. "Diantara penjahat dan Yo Bun Hoan tidak ada
permusuhan. Disini hanya menyelip tangan busuk dari
manusia rendah," menerangkan Eng Jiauw Ong. "Ini
adalah apa yang dinamakan balas membalas. Tentang
sebabnya, sulit untuk Tayjin mengetahui jelas, tapi
terangnya, murid kami masing2 sudah terjatuh kedalam
tanga kawanan itu, kami hendak menolonginya. Entah
bagaimana kesudahannya nanti. Kami datang kemari
dengan niat mengorek keterangan dari mulut penjahat yang terbekuk, aku tidak sangka, penjahat itu telah dapat
ditolong konconya. Tayjin, untuk pergi ke Tiang an, apa tayjin masih membutuhkan kami?"
"Kalau murid jiewie berada ditangan penjahat, paling
benar adalah jiewie tolongi dahulu mereka," kata Tiat Hu ciang. "Untuk tugasku, aku akan menjaga dengan hati2.
Aku malu karena lolosnya orang2 tawanan itu. Mengenai Gouw Ko pie, aku percaya dia tidak akan bisa berbuat
suatu apa andai kata dia tak puas."
Mendengar jawaban itu, Eng Jiauw Ong lantas
berpamitan. Tapi Cu In Am cu minta ijin akan ketemui
keluarga Yo. Tiat Hu ciang tidak berkeberatan, malah ia sendiri yang antar dua orang itu pergi ketempat tahanan di kamar samping. Dengan kebaikannya hu ciang itu, semua orang tawanan dapat rawatan baik.
Eng Jiauw Ong hiburi saudara angkat itu. Ia pesan,
umpama di Tiang an saudara ini peroleh kemerdekaannya, jangan dia terus pulang ke Hoa im, hanya baik menantikan di Tiang an, sampai ia datang menyambut, untuk ber sama2
pergi ke Hoay siang. Bun Hoan mengucap terima kasih kepada jago Hoay
siang ini, Cu In Am cu sendiri menemui Nyonya Yo
dengan merasa malu, ia menghibur dan bersumpah akan
menolongi Hong Bwee. Mereka berdua tidak banyak bicara pula, hanya mereka
lantas pamitan. Kepada Tiat Hu ciang diminta bantuan
akan merawat dan memperlakukan dengan baik keluarga
Yo itu, atas mana, panglima itu memberikan kesanggupan nya. Kemudian mereka berpisahan.
Tempo Eng Jiauw Ong dan Cu In keluar dari gedung
perhentian, hari sudah mulai terang, dari itu lekas2 mereka berlalu dari Jie lim ek, untuk menyeberangi pula sungai Wie Sui.
"Bagaimana, suheng?" tanya Cu In ditengah jalan.
"Tak dapat kita bertambat pula," sahut Ong Too Liong.
"Sekarang aku hendak kembali ke Tek Seng Gay, buat
ambil buntalanku, lalu aku hendak pergi ke Bun hiang, Hoolam, dan Han Kok kwan, untuk cari suteeku dan satu muridku, agar mereka memberitahukan para anggauta
Hoay Yang Pay, untuk mereka semua berkumpul di Lek
Tiok Tong, Ceng hong po, Hoay siang. Maksudku adalah
akan dalam satu rombongan menuju ke Cap jie Lian hoan ouw, untuk melakukan pertempuran yang memutuskan
dengan orang2 Hong Bwee Pang. Am cu, walaupun murid2
kita tidak tewas jiwanya, asal mereka terluka sedikit saja, tidak nanti aku mau mengerti. Apakah Am cu bersedia
untuk berangkat ber sama2 aku?"
"Dalam keadaan seperti sekarang, sudah pasti aku akan membantu kau, suheng," sahut nikow itu "Jangankan
mengenai murid See Gak Pay, walaupun tidak, aku pasti akan membantu juga. Malah aku pikir akan menolong
mereka sebelum mereka keburu dibawa masuk kedalam
sarang mereka. Kita memang mesti penuhi undangan
mereka. Hanya sekarang, kupun perlu pulang dahulu ke
Pek Tiok Am. Suheng, apakah suteemu itu Siok beng Sin Ie Ban Liu Tong dari Kwie in pe dikaki bukit Kian San di Han ok kwan?"
"Benar, am cu," Eng Jiauw Ong manggut. " Apakah am
cu kenal dia?" "Tidak saja aku kenal, malah kami bersanak," sahut
pendeta perempuan itu. "Muridku Yang ke enam adalah
anak angkatnya Ban Liu Tong. Mengenai ini, nanti saja aku terangkan padamu, atau kalau nanti kau ketemu suteemu, dia akan menjelaskannya. Sekarang begini Suheng hendak pergi ke Han kok kwan, pergilah. Aku hendak pulang ke Pek Tiok Am, dari sana aku akan menyusul langsung
ketempat suteemu itu. Umpama aku terlambat, suheng
boleh berangkat duluan, aku akan usul kau di Ceng hong po."
"Kau sudi bantu aku, am cu, terima kasih!" menyatakan Eng Jiauw Ong. "Baik am cu berangkat hari ini juga, aku mengharap sangat bantuanmu."
"Jangan kuatir, suheng, aku tak akan bikin gagal."
Keduanya lalu berlari, menuju kekaki gunung Hoa San
See Gak. "Kita sudah ber lari2 seantero malam, apa tidak baik am cu singgah sebentar di Tek Seng Gay?"
"Aku tidak letih, melainkan hatiku tidak tenteram, aku kuatir dikuilku ada terjadi apa," sahut Cu In. "Mari kita ambil jalan puncak Tiat Pit Hong, yang terlebih dekat."
"Tak pernah am cu beristirahat , memang mungkin
hatimu tidak tenteram," Ong Too Liong menghibur. "Baik am cu jangan curiga, mustahil ada orang berani main gila di Pek Tiok Am?"
"Siapa tahu" Kadang2 bisa terjadi segala apa?"
Mereka ber lari2 ber sama2, memotong jalan. Diwaktu
pagi demikian, dengan angin halus, pemandangan alam ada menarik hati. Dengan melewati Eng Ciu Nia, keduanya
menuju ke Tek Seng Gay. Begitu lekas memasuki rumah
guhanya, tampangnya si Kuku Garuda menjadi berubah.
"Lihat, am cu, kemanapun si penjahat telah datang juga"
Memang, diatas meja ada selembar kertas, yang bisa
diduga dari siapa datangnya.
Eng Jiauw Ong membaca ber sama2 "Cu In Am cu.
Surat itu berbunyi : "Orang tua dari Hoay siang, Pendeta perempuan dari
See Gak! Lekas kau berdua berangkat, untuk pertemuan kita,
untuk kau membereskan perhitungan, supaya tak usah aku menjemput lagi!"
Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan, cuma ditandai
dengan tanda merah (kamkie) serta lukisan seekor garuda bundar.
"Lihat, mereka begini mendesak dan memandang hina
kepadaku!" kata Eng Jiauw Ong dalam mendongkolnya.
"Walau Cap jie Lian hoan ouw itu gunung golok dan
rimba2 pedang, akupun akan satroni juga! Am cu, silahkan kembali kekuilmu, aku hendak berangkat sekarang juga!"
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, suheng, silahkan kau pergi!" sahut Cu In Am cu, yang sendirinya berkuatir untuk kuilnya. Ia percaya, semua muridnya akan taati pesanannya, tidak terkecuali adik seperguruan nya, Leng Hong Hiap lie Liok Tiauw Cin yang tabeatnya keras, walaupun dia sudah mensucikan diri dua belas tahun lamanya, dia tetap paling benci akan kejahatan.
Begitu ia pamitan dari Ong Too Liong yang antar ia sampai dibawah Tek Seng Gay, lalu dengan ambil jalan Tiat Pit Hong, ia menuju pulang. Eng Jiauw Ong sendiri lekas
kembali kerumah guhanya, akan merapihkan buntalannya, sesudah itu, ia berangkat meninggalkan Tek Seng Gay.
Tujuan dari Eng Jiauw Ong ialah distrik Bun hiang
dipropinsi Hoolam dimana ada sebuah dusun Tiat gu
chung. Namanya saja desa, tetapi disana hidup dua ribu lebih keluarga, yang semua mengutamakan pertenunan,
hingga tidak ada bebuah rumahpun dimana tidak ada
pesawat pemintal. Karena itu, sering datang saudagar dari lain tempat, yang memborong kain tenun buatan Tiat gu chung ini.
Penduduk terutama dari Tiat gu chung adalah dua
keluarga Su touw dan To mereka datang mengungsi dari
Kanglam karena gangguan huru hara, seterusnya turun
temurun mereka bertinggal didesa ini, bertani sambil
menenun. Daerah belukar luasnya lima ratus bauw, mereka buka menjadi perkebunan murbei. Disitu ada kedapatan
orang dari beberapa she lain, tetapi semua mereka ini ada sanak saudara dari dua keluarga tersebut.
Sampai pada masa terakhir ini, chungcu atau ketua
dusun itu ialah Su touw Kun, dan hu chungcu, ketua muda, ialah To Bouw Cian, ke dua2nya sudah berusia lanjut.
Dimasa mudanya, Su touw Kun pernah belajar silat, dari bahagian keras, Ngekang. Ilmu itu bisa merusak tubuh
apabila keliru diyakinkannya, maka itu, Su touw Kun tidak wariskan itu, tidak pada anaknya, juga tidak pada lain orang. Ia mempunyai dua anak lelaki, Kiong dan Kiam.
Kiong rajin belajar surat dan bercocok tanam, ia membantui kedua chungcu Kiam dikirim kepada Eng Jiauw Ong, untuk belajar silat bahagian dalam, Lwee kang. Ia sangat rajin, selama dua belas tahun, ia telah peroleh kemajuan, hingga gurunya sangat sayang padanya dan didik ia sungguh2.
Saudarasnya seperguruan pun menghormati ia. Setelah
pulang kedusunnya, dengan tentu2 setiap tahun ia kunjungi gurunya beberapa kali.
Su touw Kun tahu Eng Jiauw Ong liehay dan budiman,
ia mengerti, yang anaknya di sayang guru itu, saking
menghargai, ia juga pernah kunjungi jago Hoay siang itu kepada siapa ia menjanjikan bantuan uang tak berbatas, asalkan itu untuk kebaikan umum. Karena ini, Eng Jiauw Ong jadi suka bersahabat kepada petani hartawan dan
mulia itu, hingga asal ia pergi ke Utara, sudah tentu ia mampir di Tiat gu chung. Demikian juga kali ini, untuk mati hidupnya Hoay Yang Pay, ia datang untuk tengok
muridnya, Su touw Kiam, agar murid ini suka membantu
ia. Begitu memasuki dusun, kupingnya Eng Jiauw Ong
lantas mendengar suara ramai dari pesawat tenun, karena penduduk yang rajin dan damai itu, seperti biasanya,
bekerja dengan giat dan tenang, walaupun negara sedang hadapi pemberontakan.
Su touw Chungcu berada didalam rumah, ketika ia
diwartakan kedatangannya Eng Jiauw Ong. Segera ia
keluar menyambut dan mengundang tetamunya berduduk
diruang tetamu, setelah perintah orang menyuguhkan air teh, iapun perintah bujang panggil puteranya.
"Loo suhu sedang pimpin pasukan sukarela di Hoay
siang, bagaimana loo suhu sekarang punya kesempatan
berkunjung kemari?" tanya tuan rumah. "Apa mungkin ada urusan penting lain?"
"Sejak keamanan terganggu, memang aku tidak punya
kesempatan lagi untuk pesiar," sahut Eng Jiauw Ong,
"tetapi sekarang ada satu urusan yang memaksa aku
meninggalkan kampung halamanku." Ia tuturkan peristiwa keluarga Yo.
"Kami kenal Yo Jie looya itu," kata Su touw Kun. "Dia memang jujur dan mulia hatinya, malah beberapa tahun
yang lampau dia pernah menolong kami dengan uangnya,
selagi kami diserang musim kemarau. Kenapa dermawan
sebagai ia bisa alami kecelakaan itu?"
"Itulah sebab dia terfitnah," menerangkan Eng D yiauw Ong "Loo chungcu jangan kuatir, aku percaya dia akan
dapat pulang kemerdekaannya."
Eng Jiauw Ong tuturkan ikhtiarnya bersama Cu In Am
cu, untuk tolong hartawan yang dermawan itu.
"Gouw Ko pie ada ____ jahatnya, kekuasaannyapun
semakian besarnya, apa loo suhu tidak pikir untuk
singkirkan dia ?" tanya tuan rumah.
Eng Jiauw Ong tidak sampai hati mendengar pertanyaan
itu, ia mengerti inilah disebabkan chungcu itu sangat
membenci kejahatan. "Untuk sementara ini tak dapat kita bersikap keras
kepada nya," ia menerangkan perkaranya saudara Yo
masih __ apabila ia terbinasa. Masalahpun akan bertambah.
Sekarang pun negara membutuhkan tenaga orang peperangan yang pandai, tenaganya teetok itu masih perlu untuk meng _____ pemberontak. Terpaksa_____ sikap
lemah, harap chungcu tidak mentertawai aku."
"Tetapi loo suhu benar," kata Su touw Kun. "Dalam
keadaan sulit seperti sekarang, kita harus sabar. Harap loo suhu tidak berkecil hati atas katakku tadi."
Eng Jiauw Ong bersenyum. Justeru itu Su touw Kiam datang untuk segera kasih
hormat pada gurunya. "Oh, suhu datang!" katanya Eng Jiauw Ong girang
melihat murid itu sehat walafiat.
"Jangan pakai banyak adat peradatan," kata guru ini.
"Kau bikin apa saja sekarang?"
"Apakah ayah belum omong pada suhu?"
"Ayahmu bicarakan saja urusanku, sehingga ia belum
sempat bicarakan tentang kau."
"Sebenarnya, dengan pengunjukannya To Pe hu, aku
sedang melatih barisan penduduk," Su touw Kiam
menerangkan. "Sukur, sampai sebegitu jauh kami tak
kurang suatu apa. Dan suhu, ada urusan apa suhu datang ke Utara ini untuk mengunjungi sahabat atau ada urusan lain?"
"Ada urusan, muridku," sahut Eng Jiauw Ong, yang
kembali tuturkan halnya keluarga Yo. "Sampai sekarang, toa suheng mu masih berada dalam tangan musuh."
Su touw Kiam kaget berbareng gusar.
"Kita kaum Hoay Yang Pay berlaku jujur, tetapi Hong
Bwee Pang memusuhi kita secara begini, jikalau kita tidak lakukan pertempuran yang memutuskan, dia pasti akan
terus menghinakan kita!" kata ia. "Suhu, aku bersedia akan ikut suhu untuk menolongi toa suheng."
"Aku memang sudah mengambil putusan akan
menempur Hong Bwee Pang sampai diakhirnya!" Eng
Jiauw Ong beritahukan murid nya. "Setelah kejadian ini, tak dapat kedua golongan hidup ber sama2, Hong Bwee
Pang tangguh, banyak cabang dari Rimba Hijau masuk
dalam rombongannya, dari itu, kita mesti mengumpul
tenaga, aku ingin kaum kita semua berkumpul di Ceng
hong po. Kita akan dibantu oleh See Gak Pay. Kaum kita terpencar luas, ada sukar untuk lekas mengumpulkan
mereka, dari itu, apa kau bersedia akan iringi aku pergi kepada Susiok mu, Ban Liu Tong di Kwie in po" Aku ingin ber sama2 susiokmu itu menghadapi musuh. Biarlah
susiokmu membantu mengirim surat kepada sekalian kaum kita."
Sebelum Su touw Kiam menyahuti, ayahnya sudah
mendahului. "Aku harap loo suhu jangan berlaku sungkan!" kata
ketua Tiat gu chung. "Anakku adalah muridmu, ia telah menerima budi besar, sudah selayaknya ia membantu loo suhu, tidak perduli badan nya mesti hancur lebur. Pergi lu suhu ajak si Kiam! Umpama Ban Loosu kekurangan orang, untuk dikirim keberbagai tempat, disini aku punya banyak anak2 yang bisa membantu."
"Kau baik sekali, chungcu, terima kasih," kata Eng
Jiauw Ong yang bersukur sekali. "Biar lain kali saja aku terima bantuanmu terlebih jauh. Sekarang adalah cukup asal Kiam turut aku?"
Selagi mereka bicara sampai disitu, datang laporan
bahwa To Siauw chungcu datang untuk suatu urusan
penting. -odwo- XIII "Nanti aku ketemui padanya," kata Su touw Kiam
sambil berbangkit. "Tentu ada urusan penting mengenai dusun kita."
"To Yong bukan orang lain, baik silahkan dia masuk
saja," sang ayah berkata.
Anak itu menurut, ia lantas keluar, akan sebentar
kemudian balik bersama satu pemuda umur kurang lebih
dua puluh tahun, romannya cakap dan gagah, siapa lantas memberi hormat pada tuan rumah, baharu pada tetamunya.
Eng Jiauw Ong membalas hormat seraya mengundang
"To Lauwtee, silahkan duduk!"
"Duduk, hiantit, Ong Loosu ada orang sendiri," Su touw Kun berkata. "Ada urusan apa sampai hiantit perlukan
datang kemari?" "Barusan saja kami terima laporan dari saudara kami
yang menjaga disungai sebelah utara dusun kita ini," sahut To Yong, putera dari To Bouw Cian. "Saudari itu bilang, tadi pagi kira2 jam lima, dari arah Hong leng louw ada datang dua buah perahu nelayan dari Kanglam, yang minta berlabuh dipelabuhan pedalaman, tetapi karena tidak ada orang yang ladeni mereka, kesudahannya mereka singgah diselat Teng ji wan, tempat belukar dan sunyi, setengah lie dari sungai kita. Disana, jangankan kendaraan air berlabuh, orang yang lalu lintas juga tidak ada. Peronda kita heran, ia mendekati untuk melihat, akan tetapi anak2 kedua perahu itu sudah tolak perahunya kepinggir seraya antara nya ada yang memberitahukan, katanya diperahu mereka ada orang sakit, karena pelabuhan ramai, mereka terpaksa berhenti
disitu, ditempat sunyi. Mereka pun menjauhkan perahu
mereka agar tidak kebentur lain perahu, kuatir sisakit kaget.
Saudaraku Tiong, walaupun adanya keterangan ini, masih ingin tahu, ia terus mendekati sampai empat atau lima tumbak. Atas itu, kedua perahu itu tidak berdiam lebih lama lagi, setelah memasang empat atau lima batang hio, mereka angkat jangkar. Anak buah mereka ada lebih
daripada sepuluh orang. Mereka tidak menggayu cepat,
mereka hanya berlayar pelahan2. Perahu kita terus
mengikuti. Toako pikir, asal kedua perahu itu sudah keluar dari daerah kita, ia tak mau memperdulikannya lagi. Toako tidak kuatir mereka itu lakukan apa2 yang melanggar
undang2, kalau perlu bantuan, dia bisa segera bunyikan gembreng dan lepas panah nyaring. Disekitar kita ada
orang2 ronda, yang bisa segera datang atas tanda bahaya.
Luas sungai kita cuma dua tiga lie, akan tetapi jalannya berbelit2, hingga jauhnya ada tujuh atau delapan lie, maka itu, sampai terang tanah, baharu kedua perahu itu sampai diselat Toh lim wan. Sesampainya disitu, dari hulu
kelihatan tiga buah perahu kecil mendatangi, lalu kedua perahu itu dengan pesat menghampirinya, hingga mereka bertemu ditengah2 kali. Kelihatannya kedua pihak bicara satu dengan lain, setelah mana, api hio di kedua perahu disingkirkan, dibuang kedalam kali. Sesudah itu, dua buah perahu kecil ikuti kedua perahu nelayan, jalannya pelahan, tetapi perahu kecil yang ketiga, yang empat orang
penggapunya, digayu pesat sekali kearah perahu kita.
Setelah datang dekat, nampaknya perahu itu berniat kurang baik, rupanya dia hendak terjang perahu kita, maka Toako lantas suruh anak buahnya siapkan gala. Benar benar
perahu kecil itu datang menerjang, dan terjangan tak dapat dielakkan. Perahu kita terbalik, Toako dan dua kawannya kecebur keair. Mereka bisa berenang, mereka lantas
berenang ke gili2. Perahu kecil itu juga terbalik, anak
buahnya lenyap, entah mati kelelap atau mereka lari sambil berenang selulup Dua perahu nelayan berlabuh ditempat setengah lie jauhnya, disana ada sebuah kereta kuda,
rupanya untuk menyambut. karena dari kedua perahu
digotong naik dua rupa barang berat dinaikkan kekereta, sesudah mana kereta itu di jalankan, ada lima atau enam penunggang kuda yang mengiringi menuju kearah Sam
Siauw San. Toako perintah orang jagai perahu yang kelebu itu, ia sendiri pulang kerumah perkumpulan kita untuk salin pakaian. Ayah tidak ada dirumah, ia belum kembali dari Teng kee chung sebab aku tidak berani bertindak sendiri, dari itu aku mohon pertimbangan loope. Apa perlu kita kejar dua perahu nelayan itu untuk tahan mereka, guna dengar keterangannya kenapa mereka terjang perahu kita?"
Su touw Kun hendak jawab keponakan itu, tetapi Eng
Jiauw Ong mendului memotong ia dengan menanya, "kali
di Utara Tiat gu chung itu, yang mengalir dari Hong leng touw, apa bukan aliran dari sungai Hong Hoo?"
"Benar," sahut tuan rumah. "Aliran itu menuju langsung ke Shoatang."
"Jadinya, dan Bun hiang untuk menuju ke An hui,
dengan jalan air, apa bukan orang mesti ikuti sungai Hong Hoo?" Eng Jiauw Ong tanya pula.
"Itu benar, hanya terlalu memutar dan jauh," terangkan tian, orang akan menghemat dua ambil jalan air dan darat bergantian, orang akan hematkan dua atau tiga ratus lie.
Apa Ong Loosu ketahui kendaraan air siapa itu?"
"Menurut dugaanku, itu mesti ada siorang jahat. Baiklah chungcu tidak sia2kan tenaga dan tempo akan kejar
mereka. Umpama dapat disusul, kedua perahu itu mesti ada perahu2 kosong, tidak ada buktinya untuk menahan
mereka. Umpama tadi nya mereka tidak didekati, tidak
nanti mereka bentur perahu di sini?"
"Menurut sangkaan Loosu itu. mereka jadinya ada
orang2 Hong Bwee Pang dari Gan Tong San?" Su touw
Kun bertanya pula. "Aku menduga demikian. Dikepala perahu ada
dipasangi hio, adalah isyarat kawanan itu. Itulah hio tin, yang mesti dipasang setiap dilakukan perjalanan malam, dengan begitu mereka saling mengenali dan ketahui juga perahu berada dibawahan tong atau to yang mana. Orang luar
melainkan mengetahui nya, tapi tak dapat membedakannya. Aku percaya betul, dalam perjalanan ini, disetiap tempat, mereka mesti dan pasti dapat sambutan sesama kawan, dan benda yang mereka angkut mestinya
ada kedua murid kita untuk dibawa ke Ciatkang Selatan.
Didarat mereka ambil jalan perbatasan kedua gunung Lam Siauw San dan Kian San__ Eng leng hu mereka akan
seberangi sungai Lok Sui, akan lintasi kaki gunung Barat dari Hong San, untuk mengikuti aliran sungai Bun Hoo dan Hoay __ memasuki daerah An hui. Sekarang silahkan
chungcu pesan untuk jaga saja keselamatan desa, jangan usil urusan lain. Kawanan itu punya orang orang disegala tempat, mereka berpengaruh, maka itu paling benar orang menyingkirkan perselisihan terhadap mereka."
Mendengar demikian, Su touw Kun lantas minta To
Yong pulang akan menitahkan To Tiong se__ pulang
perahu mereka yang karam, dan perahu penyerbupun di
simpan, supaya kemudian penjagan diperkeras.
"Kalau nanti ayahmu pulang, beritahukan hal datangnya Ong lusu dan minta ayahmu suka datang kemari," ketua
Tiat gu Chung menambahkan.
To Yong menurut, ia memberi hormat untuk mengundurkan diri. Setelah itu, Su touw Kun menjamu tetamunya.
"Sebentar siapkan pauwhok," Eng Jiauw Ong pesan
muridnya, "supaya besok fajar kita bisa lantas berangkat ke Kwie in po kepada susiokmu, untuk segera berangkat ke Kanglam. Aku percaya penjahat ambil jalan air,
disepanjang jalan mesti ada kawan2 nya untuk ber jaga2, kalau2 kita melakukan perampasan ditengah jalan. Cu In Am cu pun akan menyamper ke Kwie in po untuk bekerja
sama dengan kita." Su touw Kiam memberitahukan gurunya, bahwa ia bisa
berangkat sembarang waktu, ia harap guru itu tak usah kuatir.
"Adalah niatku akan minta loosu berdiam disini sedikit nya buat beberapa hari," kata Su touw Kun kemudian.
"Tetapi urusan demikian mendesaknya, biarlah lain kali saja, apabila loosu datang pula ke Tiongciu, kita nanti berkumpul lebih lama?"
"Chungcu manis budi, lain kali pasti aku akan mampir
pula," Eng Jiauw Ong memberikan kepastian.
Perjamuan dilanjutkan dalam kegembiraan, dan Eng
Jiauw Ong tenggak arak hingga ia agak sinting. Su touw Kiam heran melihat sikap gurunya itu, yang biasanya paling keras perbataskan diri. Didalam Hoay Yang Pay, arak tidak dilarang, tetapi siguru menasihatkan murid nya akan ingat diri. Pernah satu kali di Ceng hong po, murid ini melihat gurunya sinting, tapi belum pernah melihat kedua kalinya, sampai malam ini. Ia insyaf keruwetan pikiran sang guru, hingga sekali ini, arak hendak dipakai untuk menghiburkan diri. Ia jadi sangsi. Ia niat cegah gurunya, agar besok tidak
sampai gagal, tetapi ia kuatir guru itu balik tegur ia. Ia berdiam karena kesangsiannya.
Untuk kesekian kalinya, Eng Jiauw Ong mengangkat
cawannya, tetapi segera ia tercengang, karena diluar dengan tiba2, ia mendengar suara seperti uang tangchie jatuh ditanah.
"Apakah chungcu dengar?" tanya ia sambil berbangkit.
"Itulah chee hu toan sin. Pasti Cu In Taysu dari Pek Tiok Am sudah sampai. Nanti siauwtee sambut dia."
Su touw Kun dan puteranya juga mendengar suara itu,
maka itu, sambil manggut mereka berbangkit, terus mereka ikuti jago Hoay siang itu bertindak keluar. Tuan rumah yang tua lalu mendahului tetamunya.
"Tayhiap dari See Gak suka hinakan diri dengan datang ke gubukku ini, tak pantas untuk aku tak menyambutnya, maka, Ong Loosu, pelahan sedikit, kasilah aku sendiri yang sambut padanya, agar aku tidak berlaku kurang hormat,"
kata ia. Sesampainya dimuka pintu, cuma dengan pentang
sedikit daun pintu, Su touw Kun sudah lantas mencelat keluar.
Eng Jiauw Ong lihat itu, ia terperanjat, ia kuatir orang diluar nanti salah mengerti, maka ia segera menyusul.
Diluar, dibawah payon, tuan rumah hendak loncat
kegenteng, tapi ia segera mencegah.
"Sesama orang sendiri, tak usah chungcu pakai banyak
adat peradatan," kata ia. "Pasti sekali Cu In Taysu tidak berani terima kehormatanmu ini."
Mendengar cegahan itu, Su touw Kun merandek, atas
mana, dari atas genteng, mereka dengar perkataan "Tee cu adalah Siu Hui, yang bersama guruku malam2 berkunjung
kemari, ke satu akan tengok Ong Loosu dari Hoay siang, ke dua untuk menghormat Su touw Chung cu. Guruku
sekarang ada di pintu luar, aku sendiri diperintah untuk mengabarkan lebih dahulu."
Begitu suara berhenti, lalu disusul dengan berkelebatan turun satu bayangan manusia.
Tuan rumah tertawa. "Benar2 See Gak Taysu kenal adat
sopan santun!" kata ia. " Mari kita menyambut!"
Eng Jiauw Ong manggut, ia mengikuti dengan hati lega.
Tadinya ia kuatir tuan rumah ini hendak coba2 Cu In Am cu, yang dianggap berlaku kurang hormat sudah memasuki rumah orang secara diam2. Iapun kagumi tuan rumah, yang sudah lanjut usianya, tetapi semangatnya masih ber kobar2.
Sebegitu jauh tuan rumah berlaku sa ngat manis budi
kepadanya, itu menandakan bagaimana besar orang hargai ia.
Su touw Kiam pun perintah empat bujang lantas
nnenyalakan tanglung (tengloleng) untuk mengiringi
mereka, yang menuju pintu pekarangan, dan ketika pintu dipentang, ialah yang mendahului keluar.
Tepat dimuka pintu ada berdiri satu pendeta perempuan, yang sudah berusia lanjut, dengan jubanya yang
gerombongan, di lehernya ada bergantung kalung dari
seratus delapan biji tasbe "pou tee liam cu" dan
dibebokongnya menggemblok sebang pedang yang runcenya warna kuning, heng uy atau __nye turun ke
pundaknya, romannya alim dan tenang, dikiri dan
kanannya berdiri empat muridnya, jubanya serupa,
seseorangnya masing2 ada menggentol sebuah pauwhok.
Satu dari dua yang berdiri didepan, usianya kira2 lima atau enam belas tahun, ia membawa permadani rumput untuk
duduk bersamedhi, dan yang satunya, umur kurang lebih
duapuluh tahun, memegang sebatang hong pian san,
senjatanya sang guru. Dua yang dibelakang, umurnya lebih kurang tiga puluh tahun, juga masing2 ada membekal
pedang. Dengan cepat Su touw Kiam maju memberi hormat
sambil memperkenalkan diri sebagai wakil ayah dan
gurunya, kemudian ia bertindak kepinggir.
"Jangan pakai banyak adat peradatan, siauw chungcu,"
kata Cu In yang balas hormat itu.
Eng Jiauw Ong dan Su touw Kun sudah lantas sampai,
yang pertama mendahului maju didepan, sembari memberi hormat ia kata "Am cu datang luar biasa lekas. Aku tadinya sangka kita akan bertemu di Kwie in po. Ini dan Su touw Chungcu __pangeni am cu, ia merasa beruntung dengan
pertemuan ini." Ia menunjuk Su touw Kun.
Tuan rumah maju, akan hunjuk hormatnya.
"am cu. bukan kepalang girangku atas kunjungan am cu
ini," kata tuan rumah itu. "Am cu ada pendeta suci, tertua dari Rimba Persilatan, dan pedang Tin hay Hok po kiam telah menggetarkan See Gak, itulah sebab yang bikin aku ingin lebih siang menemuinya, beruntung sekali malam ini am cu telah berkunjung kemari!"
Cu In Taysu membalas hormat.
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap loo chungcu tidak terlalu memuji pin nie," kata ia. "Namaku terangkat karena kebaikan budinya para tertua Rimba Persilatan, sebaliknya kegagahan loo chungcu
sendiri sudah termasyhur tetapi loo chungcu bisa
kendalikan diri, menjauhi segala kerewelan, sebaliknya pin nie walaupun jadi pengikut sang Buddha, pin nie tidak bisa menyamainya, pin nie malu sendiri. Pin nie pun mohon
maaf yang pin nie telah datang mengganggu malam ini."
"Am cu terlalu sungkan," kata tuan rumah. "Tak dapat
kita bicara sambil berdiri saja, silahkan am cu masuk kedalam gubukku."
"Sama2 orang Rimba Persilatan, tidak usah kita terlalu sungkan," kata Eng Jiauw Ong "Am cu, silahkan Semua
murid mudapun kusilahkan masuk."
Keduanya tuan rumuh, ayah dan anak, serta Eng Jiauw
Ong minggir, untuk persalahkan kelima tetamu masuk,
empat bujang membawa tengloleng jalan dikiri dan kanan.
Mereka pergi ke thia (ruangan) dimana sisa makanan telah dibersihkan. Dua batang lilin yang besar menerangi
ruangan itu. Atas undangan tuan rumah, Cu In Am cu lalu berduduk
dan empat muridnya berdiri disampingnya, karena mereka ini tidak berani berduduk, walaupun tuan rumah telah
mengundangnya. Kapan Su touw Kun sebagai tuan rumah sudah duduk,
Cu In perintah empat muridnya hunjuk hormat mereka,
juga terhadap Eng Jiauw Ong. Murid yang termuda adalah Siu Seng, murid nomor tujuh.
Segera juga orang telah mulai pasang omong, sesudah
mana, tuan rumah baharulah kagumi nikow tua itu, yang manis budi. Eng Jiauw Ong pun tanya, kenapa nikow itu bisa menyusul demikian cepatnya
"Inilah karena kawanan kurcaci itu sangat menjemukan," sahut Cu In dengan sengit "Selagi aku tidak ada dikuil, orang2 mereka sudah datang dengan diam2 dan melepas api, terang mereka ingin bakar musna tempat
bernaungku itu. Syukur suteeku Ham Cin Taysu, yang
menjaga ruangan Koan Im Tong, siang2 telah mengetahui itu, sembari ia perintah murid2ku padamkan api, ia sendiri kejar orang orang jahat itu. dua antaranya kena dilukai. Api
berhasil dipadamkan setelah ruangan kitab dibelakang jadi kurban. Demikianpun lima kamar makan. Beruntung api
belum sempat memusnakan ruangan suci Sian tong. Ham
Cin Sutee sangat gusar hingga ia sumpah hendak
membasmi kawanan itu. Aku pulang terlambat, dari itu aku sendiri tidak dapat susul lagi orang2 jahat itu. Belum pernah ada orang berani ganggu Pek Tiok Am, karena itu, aku
sumpah akan membalas sakit hati. Dengan menyerahkan
pembetulan kuil kepada Ham Cin Sutee, aku bisa lantas ajak murid ku menyusul kemari, karena aku percaya, kau masih berada disini. Ditengah jalan tadi, pin nie telah bertemu dengan Kim too Thong Cin Wie, piauwsu
kenamaan dari Utara. Menurut Thong Piauwsu ini, ketika ia sampai di perhentian Hoa louw ek, disebelah Barat
penyeberangan Hong leng touw, ia telah lihat serombongan orang yang mencurigai, ia perintah orangnya pasang mata, kemudian ternyata mereka itu bukan membuntuti Thong
Piauwsu, hanya mereka bawa dua "daging hidup." Katanya, dimana saja mereka sampai, mereka itu disambut oleh
konco2 mereka. Mereka itu menuju Eng leng hu. Thong
Piauwsu tidak hendak mencari permusuhan, ia biarkan
mereka itu. Aku duga rombongan itu adalah musuh2 kita yang melarikan murid2 kita. Aku pikir mereka mesti dicegat sebelum mereka keburu sampai kesarangnya, dari itu,
umpama suheng sudah tidak punya urusan apa2 lagi, mari kita lekas pergi ke Kwie in po, untuk mengatur orang2
kita." Dengan "daging hidup" diartikan orang2 culikan.
Eng Jiauw Ong jadi sangat gusar, hingga ia mencelat
bangun. "Sabar," tuan rumah mencegah. "Biar bagaimana,
baiklah besok pagi baharu loosu beramai berangkat."
Tuan rumah perintah lekas sajikan barang makanan
ciacay, untuk kelima tetamunya yang baru, dan Eng Jiauw Ong diminta turut menemani bersantap, ia bersama
anaknya pun turut dahar juga.
Karena ini, orang bersantap sampai fajar menyingsing.
Setelah itu, Eng Jiauw Ong bersama Cu In dan murid2nya duduk bersemedhi, akan tunggui sang waktu, dan tuan
rumah serta orang2nya pada rebahkan diri. Selang dua jam, sesudah semua cuci muka dan dandan, minum teh dan
makan kue2, kedua pihak lantas ambil selamat berpisah. Su touw Kiam pun pamitan dari ayahnya.
Demikian tujuh orang itu melakukan perjalanan dengan
cepat, apa lagi matahari mulai doyong ke barat, mereka sudah sampai di kaki gunung Kian San, yang bagus
pemandangan alamnya, dan sepepanjang jalan tertampak
pohon2 murbei, jie, liu dan cemara. Untuk naik, ada sebuah jalanan untuk orang atau orang berkuda, tapi kereta tak dapat naik sama sekali. Diatas itu ada tanah datar luas kira2
setengah lie. Itulah mulut jalanan untuk memasuki sie in po, dimana ada tembok yang tingginya setumbak setengah atau lebih.
Semua rumah dibuat dari batu, wuwungannya hijau
dengan rumput halus, hingga dari kejauhan
kelihatannya tak mirip dengan rumah, sedang diwaktu
lohor, awan atau kabutpun seperti menutupi desa itu. Hati orang gembira apabila sudah melihat tempat yang indah itu.
"Apakah Am cu pernah datang ke Kwie in po?" tanya
Eng Jiauw Ong selagi mereka mendaki kaki gunung.
"Inilah untuk pertama kalinya," sahut Cu In. "Tapi
sudah sejak lama pin nie dengar Kwie in po ada sebuah tempat indah dari Kian San dan sejak Siok beng Sin Ie bertempat disini, kabarnya segala apa telah diperbaiki
hingga mirip dengan See gwa Toh Wan, itu dunya
bertaman bunga toh menurut dongengan. Kwie in po
seperti juga Tiat gu chung ada tempat2 yang sudah sekian lama pin nie niat kunjungi, sayang sampai sebegitu jauh belum ada ketikanya."
"Am cu," Eng Jiauw Ong menerangkan, "Kwie in po ini
memang terjadi, separuh wajar dan separuh buatan
manusia. Suteeku Ban Liu Tong lah yang dapat pikiran, untuk memperbaikinya. Kecuali ilmu silat, Liu Tong juga mempelajari ilmu obat2an dan nujum, dan karena otaknya yang cerdik, ia mengerti segala macam senjata rahasia.
Kwie in po ini, siang orang bisa lihat tegas, tetapi kapan sang malam sampai, bagi orang, asing, sulit untuk
memasukinya, atau orang akan tersesat didalam dusun atau dilembah atau selat, sukar untuk mencari rumahnya suteeku itu. Inilah sebabnya, kenapa selama berdiam disini, Ban Sutee belum pernah mengalami gangguan."
Selagi bicara, mereka sampai dimuka jalanan, untuk
hampirkan pintu dusun, jalanan naik ada dari batu dan lebar. Dari sini, memandang keatas, kearah pintu, tidak kelihatan orang atau orang yang menjaga pintu itu.
"Lihat, am cu, pintu yang dipentang lebar2 itu," kata Eng Jiauw Ong pada kawan sejalannya. "Tidakkah ini
mirip dengan pintu masuk dari kebanyakan dusun" Selama kita berdiri disini, mengawasi saja keatas, penduduk desa tidak akan perdulikan kita, akan tetapi begitu lekas kita mendakinya, segera kita akan hadapi penjaga yang
bersenjatakan panah peluru."
"Apakah mereka bisa lihat tegas atau bedakan umpama
yang datang ada orang sendiri?" Cu In tanya. "Jaraknya ada cukup jauh. Apakah itu tidak membahayakan kawan
sendiri?" "Am cu tanyakan hal yang sewajarnya," sahut Eng
Jiauw Ong. "Untuk itu Ban Sutee sudah siap. Dia
mempunyai pesawat Bong wan tong, keker buatan orang
Biauw, yang ia telah perbaiki, hingga dengan itu ia bisa lihat tegas orang ditempat yang jauh nya satu lie. Dengan pesawat itu, ia tak pernah keliru melihat orang. Harap am cu tunggu sebentar, aku hendak memanggil orang."
Eng Jiauw Ong bertindak di tangga. Ia baharu naik lima tindak, segera dari atas terdengar mengaungnya panah
nyaring, disusul oleh munculnya lima penjaga dimuka pintu sekali, antara siapa lantas ada yang menegur. "Siapa itu dibawah" Untuk naik keatas, harus kau perkenalkan diri, atau kami nanti melepas anak panah!"
"Tolong kau beritahukan Ban Po cu, Ong Too Liong
dari Lek Tiok Tong, Ceng hong po, datang berkunjung,"
Eng Jiauw Ong menjawab dengan cepat.
"Silahkan tuan menantikan, kami akan segera menyampaikan kabar!" demikian suara diatas, yang
berubah sikapnya, kemudian satu diantara mereka segera mengundurkan diri. Setelah itu, seekor burung dara putih kelihatan terbang naik, menuju kepedalaman dusun itu.
"Lihat, am cu," kata Eng Jiauw Ong. "Penjagaan ada
demikian rupa, orang luar tak dapat sembarang masuk
kemari. Burung dara itu adalah pembawa berita. Rumahnya ketua dusun ini masih ada setengah lie dari pintu ini.
Dengan perantaraan burung, warta bisa dikirim dan
diterima dengan cepat."
Perkataannya Eng Jiauw Ong ternyata benar, karena
cepat sekali seekor burung dara abu2 telah terbang datang, akan turun dimuka pintu, menyusul itu penjaga2 pintu itu lantas bertindak turun. Sesampainya didepan Eng Jiauw Ong, mereka memberi hormat sambil mengatakan
"Maafkan kami, orang2 yang mempunyai mata tetapi tidak kenali tetamu yang mulia. Po cu kami mengundang loosu masuk, po cu akan segera keluar sendiri untuk
menyambut." "Kita ada diantara orang sendiri, jangan seejie," kata Eng Jiauw Ong sambil manggut, setelah mana, ia
mengundang Cu In Am cu mengikuti ia.
Chungteng itu segera jalan didepan, untuk memimpin.
Begitu lekas sudah sampai di atas, Cu In segera melihat suatu tanah datar yang lebar serta rumah penduduknya
yang bikin ia kagum, karena barisan rumah itu merupakan sebagai Pat tin touw, barisan atau tin nya Cu kat Liang.
Semua rumah dibuat dari batu, tinggi dan besar, teratur rapi, itulah Pat kwa, atau Pat mui, yang bisa berubah menjadi enam puluh empat kwa atau mui (pintu).
Mereka berjalan belum lama, lalu dari sebelah depan,
dari tikungan jalanan, muncul serombongan orang, melihat siapa Eng Jiauw Ong segera menunjuk seraya berkata pada sipendeta perempuan tua "Lihat, amcu, orang dengan baju kuning itu adalah Ban Sutee."
Cu In segera kenali orang yang ditunjuk itu, yang
tubuhnya berimbang dengan tubuhnya Eng Jiauw Ong,
melainkan sedikit kurus, sepasang alisnya yang gomplok menaungi sepasang mata yang tajam seperti mata burung hong, dahinya lebar, kumis nya hitam, kepalanya rada
gundul, thungshanya yang kuning ada memakai kancing
tembaga, kaos kakinya putih, sepatunya biru. Dia menyekal sebatang kipas bambu, nampaknya agung. Dia diiringi oleh dua chungteng serta dua pemuda, yang masing2 berusia
kurang lebih sembilanbelas dan empat belas tahun.
Sebentar saja Ban Liu Tong sudah datang dekat, segera ia memberi hormat pada Eng Jiauw Ong seraya berkata
"Suheng, harap maaf kan aku, yang lambat menyambut.
Dengan sebenarnya aku tidak ketahui kedatangan suheng ini."
"Jangan seejie, sutee," Eng Jiauw Ong membalas
hormat. "Mari aku perkenalkan kau kepada See Gak Lie
hiap Cu In Am cu dari Pek Tiok Ain di bukit Chong Liong Nia dari pegunungan See Gak Hoa San. Dan ini adalah ke empat muridnya.
Siok beng Sin Ie Ban Liu Tong, si Tabib Malaikat, pun sudah lantas memberi hormat pada nikow tua itu seraya berkata dengan merendah "See Gak Tay hiap, selamat
datang! Kunjunganmu ini membuat gunungku Kian San
menjadi bercahaya! Silahkan am cu memasuki gubukku,
disana aku nanti memberi hormat pula kepadamu."
Dengan merangkapkan kedua tangannya, Cu In
membalas hormat. "Ban Po cu, justeru pin nie adalah yang kagumi kau
untuk bugeemu yang liehay dan kepandaian ketabibanmu
yang luhur hingga kau sangat ternama, terutama untuk
kebaikan budimu terhadap umum. Sudah lama pin nie niat mengunjungi, maka sekarang pin nie girang sekali Ong Tay hiap telah pimpin aku datang kemari. Memang pin nie ingin sekali saksikan dusunmu ini. Nah, silahkan, po cu!"
Selagi tuan rumah merendahkan diri, Su touw Kiam dan
empat muridnya Cu In maju untuk memberi hormat pada
mereka. "Sutee," kemudian Eng Jiauw Ong kata pada adiknya
seperguruan, "walaupun am cu seorang suci tetapi ia gagah dan mulia, tentang ini, sutee pasti sudah ketahui, karena itu tak usah sutee pakai terlalu banyak adat peradatan. Mari kita berlaku seperti biasa saja."
Ban Liu Tong bersenyum. Setelah pesan orangnya akan
tutup pintu dan jangan ijinkan orang luar sembarang
masuk, ia terus undang tetamu2nya berjalan menuju
kerumahnya. Ketika itu, Kwie in po telah terbenam dalam cuaca
magrib Tidak jauh dari situ, mereka menghadapi empat
buah jalan besar, yang rupanya mirip satu dengan lain.
Disini Ban Liu Tong mengambil jalan yang paling kiri. Dari tikungan lantas muncul dua chungteng dengan masing2
membawa sebuah lentera besar dengan tiga huruf "Kwie In Po." Mereka berdiri dengan tegak bagaikan patung2.
Cu In Am cu melihat jalanan tidak lempang, karena ia
sedang bertindak kearah Barat laut, atau garis Kian kwa dari Pat kwa. Ia berjalan terus tanpa ber kata2.
Selagi jagat remeng2, rombongan ini sampai dimuka
sederetan rumah batu yang besar dengan pintu pekarangan dari kayu hitam. Jalanan disinipun terbagi empat. Rumah2
semua serupa, tapi semua pintunya tertutup, hingga suasana sunyi senyap.
Ban Liu Tong menuju ke arah yang Cu In Am cu kenali
sebagai arah "kham kiong" atau "khay mui," pintu buka."
Baharu mereka memasuki pintu, entah dari sebelah mana datang nya, tahu2 muncul dua chungteng lain, yang
masing2 membawa lentera juga. Lewat tidak jauh dari situ, kembali ada jalan perapatan. Dari sini mereka berjalan sebentar ke Timur sebentar ke Barat. Eng Jiauw Ong pernah datang kemari, ia tidak kagum dan Cu In, yang mengerti Pat kwa, pun sewajarnya saja. Sembari jalan mereka bicara sambil ter tawa"
Sebentar lagi sampailah mereka kepusat Kwie in po,
sekeluarnya dari sebuah jalan atau gang, mereka segera melihat suatu pekarangan yang luas, didelapan penjuru
mana masing2 ada dua chungteng serta masing2 juga
lenteranya. Diantara cahaya lentera, kelihatan nyata rumahnya Ban Liu Tong, yang letaknya ditanah lebarnya beberapa bauw, yang terkurung dengan tembok besar, berpintu diempat
penjurunya, disetiap pintu dipasangi lentera khie su hong dan terjaga oleh empat chungteng. Bentuknya rumah itu luar biasa, apapula dipandang di waktu malam.
Tuan rumah segera mengundang para tetamunya
berduduk diruangan tamu, yang perabotannya sangat
sederhana tetapi bersih. Satu chungteng sudah lantas
muncul dengan membawa air teh.
Segera juga murid ke enam dari Cu In Am cu yalah Siu
Yan hampirkan tuan rumah untuk memberi hormat sambil
berlutut, seraya berkata "Sudah lama anak tidak datang menjenguk, sekarang anak lihat gie hu sehat walafiat, hatiku girang sekali."
Eng Jiauw Ong heran melihat muridnya nikow tua dari
See Gak itu memanggil suteenya dengan sebutan "gie hu,"
ayah angkat. Benar Cu In pernah me nyebut2 hal itu, akan tetapi duduk nya hal yang benar ia belum ketahui.
-o0dw0o- XIV "Cie In, bangun," berkata Ban Liu Tong. "Kau telah
mengikut am cu, yang memimpin kau kepada Pou sat dan
sang Buddha, dengan am cu yang berilmu tinggi dan
menjadi pemimpin dari See Gak Pay, kau harus bisa
membawa diri, agar dibelakang hari kau memperoleh
kemajuan, supaya setelah insaf, kau bisa bebaskan dirimu, hidup merdeka dan tenteram. Dengan kau bisa berdiri
sendiri, aku siorang tua pasti akan merasa lega hati. Jangan kau lihat saja tubuhku yang kurus, aku sebenarnya masih akan hidup untuk sekian tahun pula. Oleh karena itu, tak usah kau pikirkan aku. Sekarang kau tengah mengikut su pe dan su humu, ini adalah diluar garis, maka dilain kali, cukup setahun sekali kau menyambangi aku disini. Setiap waktu aku kangan kepadamu, aku sendiri bisa tengok kau di Pek Tiok Am. Aku melarang kau mengabaikan
pelajaranmu melulu karena kau ingin menyambangi aku.
Kau ingat ini?" Liap Cie In berbangkit, kedua matanya merah kemudian
ia tunduk ketika ia berkata "Anak akan turut pesan gie hu, tidak nanti anak melanggar ajaran suhu. Malah anak
bersukur kepada suhu, yang sudah merawat dan mendidik padaku. Melainkan anak tetap tak bisa melupai gie hu, lari itu, apabila ada ketikanya, anak harap sudilah gie hu melihat aku"."
Mendengar itu, Ban Liu Tom menunjukkan roman
masgul, suatu tanda ia sangat terharu.
Eng Jiauw Ong pun turut terharu melihat kecintaan
diantara ayah dan anak itu, sedang mereka adalah ayah dan anak angkat saja.
"Oh mie to hud! Siancay siancay!" Cu In memuji.
"Amcu," kata Liu Tong kemudian, "aku bersukur yang Am cu sudah sudi menerima anak ini dan merawat serta
mendidiknya. Kasihan Cie In, ia ini seorang anak yatim piatu. Aku nanti ingat baik2 budi am cu ini."
"Po cu, kenapa kau berlaku begini seejie?" berkata
pendeta itu. "Persahabatan kita bukannya persahabatan orang biasa saja Siu Yan mempunyai bakat baik ilmu
silatnya juga sudah mempunyai dasar, dengan sedikit
menunjukan dia telah berhasil. Aku harapkan dia kelak
dapat memajukan See Gak Pay, supaya dia menjadi
akhliwaris dari Pek Tiok Am."
"Semua itu mengandal kepada belas kasihan am cu saja, Liu Tong bilang. Kemudian ia menoleh pada saudara nya seperguruan, ia berniat menanyakan suheng itu datang ber sama2 Cu In Am cu, mungkin ada suatu urusan, tapi
justeru itu datang satu orangnya yang memberitahukan
barang santapan sudah disajikan dikamar Timur, maka ia batallah menanyakan, ia terus mengundang tetamunya
untuk bersantap. "Marilah!" kata ia, yang terus pimpin Cu In dan Eng
Jiauw Ong, yang lalu berbangkit mengikuti dengan diturut oleh murid2 mereka.
Kamar Timur, kamar tetamu, besar, tetapi perabotannya sederhana. Disitu telah diatur empat buah meja, dua
antaranya menghadapi pintu. Satu meja untuk barang
santapan biasa, satu meja pula untuk makanan cia cay. Cu In Taysu pantang tetapi Eng Jiauw Ong tidak. Tapi
pemisahan ini tidak mengurangkan kegembiraan mereka.
"Sutee," tanya Eng Jiauw Ong tengah berminum,
"waktu kapan kau ambil anak angkat ini, kenapa aku tidak tahu?"
Eng Jiauw Ong tanya tentang Siu Yan atau Cie In.
"Sudah lama suheng asingkan diri di Ceng hong po,
sudah pasti suheng tak tahu apa yang terjadi denganku disini," sahut sang adik seperguruan. "Enam atau tujuh tahun sejak aku tinggal di Kwie in po ini, aku berhasil membikin tempatku ini jadi seperti adanya sekarang.
Adalah niatku akan tinggal dengan tenteram sambil
mendidik murid, untuk tidak campur lagi urusan umum
yang memusingkan kepala, sayang ada muridku, yang
bocorkan hal aku mengerti ilmu ketabiban, hingga tempatku
ini jadi tidak tenteram pula, selalu ada orang orang sakit yang datang minta pertolongan. Selain tolong periksa
penyakit, apabila orang itu miskin, aku suka mengamal obat juga, aku suka menderma, hanya dari hartawan2 kikir dan kejam, aku suka minta jumlah yang besar. Kalau orang
jahat, aku tidak suka tolongi sama sekali. Pada tiga tahun yang lalu aku telah menolong seorang hartawan she Kan didustai Cio khauw ek, enam puluh lie dari sini. Dia
bernama Kan Hong, berharta sejak tiga turunan. Dalam
usia kira lima puluh tahun, ia baharu dapati satu anak lelaki yang berpenyakitan sampai umur lima belas tahun, boca itu tak dapat berdiri, karena kakinya sangat lemah. Kan Hong sudah pakai banyak tabib dan obat, semua itu tidak
menolong. Ia jadi sangat berduka, karena itu bisa
memutuskan turunannya, sehingga ia lepas kata ia suka serahkan semua hartanya asal anaknya itu sembuh.
Baharulah kemudian ada orang pujikan aku kepadanya dan ia lantas mengundang aku. Aku telah obati anak hartawan itu, setelah aku selidiki si hartawan adalah seorang berhati murah. Anak itu jadi lemah tubuhnya sejak dalam
kandungan, karena bibit tua dan kurang penjagaan diri dari ibu nya dan kemudian, setelah terlahir, dapat pertolongan tabib2 tak tepat. Untuk menolong anak itu, aku mesti
menggunakan tempo dan apa yang aku bisa. Justeru karena aku menolong keluarga ini, aku jadi bertemu dengan
anakku Cie Im. Untuk setengah bulan, aku berdiam di Cio khauw ek, di hari ke enam belas, malamnya, aku mesti mengobati
dengan tusukan jarum. Untuk itu aku minta sebuah kamar tersendiri, lengkap dengan persediaannya, dan beberapa bujang mesti menanti diluar kamar, siap sedia bagi segala titahku. Terutama aku larang orang terbitkan suara berisik, untuk tidak mengganggu pemusatan perhatianku orang
mesti tunggu aku panggil atau ijinkam baharu orang boleh
bicara denganku. Juga tak seorangpun boleh masuk
kedalam kamar kecuali dengan perkenanku."
Kan Hong demikian ceritanya Ban Liu Tong terlebih
jauh, taati segala permintaan dan larangan itu. Cuma dua bujang membantui Liu Tong, akan memegangi kedua
lengan dan kakinya sisakit, untuk bikin sisakit tak mampu bergerak, andaikata dia berontak sebab kesakitan.
Cara pengobatan istimewa itu telah, berhasil dilakukan, boleh dibilang si sakit bisa lantas mengaraki kedua kaki dan tangannya, tetapi selagi Ban Liu Tong pesan kedua bujang, bagaimana mereka harus menjaga dan merawat selanjutnya pada majikan muda itu, tiba2 terdengarlah suara berisik disebelah Barat dan suara genteng pecah terdengar nyata.
Liu Tong kerutkan alisnya. Disaat itu, ia masih belum boleh segera tinggal pergi si sakit itu. Ia sekarang
mendengar dampratan dan bentakan, seperti orang saling maki dibarengi dengan suara pertempuran. Ia ingin melihat tetapi tidak bisa.
"Suara apa itu?" ia tanya kedua pembantunya.
"Rupanya kejadian dekat sekali. Apa itu perampokan atau polisi sedang mengepung penjahat?"
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bujang Kan Hok hendak menjawab, atau majikan nya
segera bertindak masuk kedalam kamar. Kan Hong
semenjak tadi berdiri menantikan diluar jendela, ia hendak masuk, ia kuatir mengganggu si tabib, hatinya sendiri tegang bukan main, ia berlega hati kapan ia lihat anaknya bisa geeraki kaki tangannya.
"Ayah, kakiku telah bisa digeraki!" kata sang anak, yang mendahului ayahnya. "Cuma aku merasakan sangat
sakit"." "Tahan saja, anak," ayah itu menghibur. "Ban Loosu
adalah penolongmu, dia pasti akan menolong terus
padamu. Sabarlah." "Jangan kuatir, puteramu akan sembuh," Ban Liu Tong
berkata. "Biar dia tahan sakit sedikit, sebentar darahnya akan jalan dengan rapi. Suara berisik apa itu di Barat"
Hampir pikiranku terganggu oleh karenanya, itulah pasti pertempuran hebat. Apa tak ada orang yang mencampur
tahu?" Kan Hong menggelengkan kepala, ia batuk batuk.
"Harap jangan tanyakan itu, loosu," ia menjawab.
"Itulah lelakon balas membalas dikalangan kang ouw,
sangat kejam dan hebat, bulu roma bisa berdiri oleh
karenanya?" Selagi Ban Liu Tong hendak bertanya pula, ia lihat
cahaya api dari jendela, hingga ia jadi kaget sekali.
"Itulah api!" kata ia. "Kebakaran!"
Kan Hong pun kaget, hingga ia banting kaki.
"Celaka!" ia berseru. "Inilah yang aku kualirkan dan
sekarang benar2 kejadian! Rumahnya Liap Piauwsu
kebakaran?" Tapi tiba2 ia berhenti, karena segera ia ingat anaknya.
yang tak boleh kaget. Lekas2 ia tambahkan "Tapi tidak apa dengan rumah kita, api itu terpisahnya sebuah gang, api tak akan merembet kemari"." Kemudian ia teruskan pada si
tabib "Loosu, berapa lama lagi kau baharu boleh keluar"
Nanti aku temani kau me lihat2 kesebelah"."
Walaupun ia bicara dengan sabar, Kan Hong sebenarnya
bingung. "Sekarang sudah boleh," Liu Tong jawab. "Mari kita
lihat." Ia pesan pula Kan Hok berdua, lantas ia ajak tuan rumah pergi kepekarangan dari mana tertampak api sudah
berkobar besar, asapnya mengepul naik, suara senjata
beradu masih terdengar ber ulang2.
"Kalau api tidak segera padam, rumahku bisa kerembet,"
kata Kan Hong. "Nampaknya nama besar dari Liap
Piauwsu akan runtuh"."
"Jangan kuatir, tuan," kata Liu Tong, sesudah ia
perhatikan api. "Angin meniup dari arah Barat daya, tidak mudah api menyamber kemari. Kau sebut Liap Piauwsu,
apakah dia Seng chiu Pek Wan Liap Kun, piauwsu tua
kenamaan disungai Tiang Kang Selatan dan Utara, dijalan darat dan air, yang benderanya berlukiskan lutung putih?"
"Benar, Liap Kun Loopiauw su si Lutung Putih," Kan
Hong menjawab. "Apakah loosu kenal padanya?"
"Aku cuma pernah ketemu satu kali," Liu Tong
menjawab, "tetapi dengan salah seorang saudara seperguruanku, dia ada bersahabat rapat. Aku ingin ketahui duduknya hal, tak dapat dia dibiarkan dicelakai orang."
Kan Hong terperanjat. "Itulah berbahaya, loosu," kata ia, dengan maksud
mencegah. "Aku ada tetangganya Liap Piauwsu, mengenai halnya ini aku tahu juga. Sudah sekian lama Liap Piauwsu mengundurkan diri, ia hidup dengan damai di rumahnya, tapi katanya dahulu ia pernah bermusuhan dengan Heng
San Ngo ok. Karena permusuhan itu, ia mengundurkan
diri. Sebenarnya ia senantiasa ber jaga2, ia kuatirkan pembalasan sakit hati, tapi sekarang, selang tiga tahun, kekuatirannya itu terbukti. Inilah pasti Heng San Ngo ok
yang datang. Buat apa loosu campur urusan mereka"
Permusuhan dikalangan kang ouw memang tak habis2nya.
Bagaimana dengan anakku" Biar rumahku terbakar habis, asalkan anakku ketolongan?"
Ketika itu api berkobar semakin besar dan luas.
"Tuan, jangan kuatirkan anakmu," Liu Tong menghibur.
"Sekarang pergi kau titahkan semua orangmu berkumpul, akan menyiapkan gala dan air guna menjaga api, jangan kau campur tahu urusan disebelah itu, aku percaya
penjahatpun tidak nanti mengganggu kau. Kau sendiri
baiklah kawani anakmu."
Setelah mengucap demikian, dengan tidak membuka lagi
bajunya yang panjang, tabib ini loncat keatas genteng sebelah Barat, dari situ ia melihat nyata rumahnya Liap Piauwsu, yang sedang dimakan api didua penjuru, sama
sekali tidak ada orang yang menolongi, hingga ayam jago merah bisa bekerja dengan leluasa. Cuma dibagian lengah, yang masih utuh, tetapi toh sedang terancam bahaya.
Untuk menyaksikan terlebih jauh, Ban Liu Tong loncat
ke tembok pekarangan. Disini, amarahnya naik. Karena ia lihat, dikiri dan kanan, orang mulai membakar pula.
Dengan begitu jadi yelaslah, diempat penjuru ada orang2
jahat, antara siapa pun ada yang siap sambil menyembunyikan diri. Dengan lompatan "It hoo ciong thian" - "Burung ho
menyerbu langit," Ban Liu Tong melompat ke sebelah
Timur, menyusul mana, tiga atau empat batang panah
menyamber ia, tetapi sambil tertawa ia bisa elakkan itu. Ia sampai
disebagian wuwungan dimana ia segera menyaksikan pemandangan yang hebat.
Diluar pintu angin ada dua tubuh rebah, yang satu sudah jadi mayat, yang satu lagi sedang mencoba merayap
bangun. Disitu darah berlumuran. Disebelah dalam, lagi satu tubuh rebah tak berkutik. Dan dipekarangan dalam, yang lebar, empat orang dengan pakaian malam tengah
mengurung seorang perempuan muda, siapa nampaknya
sudah lelah, permainan goloknya kendor, sudah terdesak.
"Sahabat2, dengar!" ia berseru, dengan hati tak puas.
"Orang2 kang ouw yang kosen mengepung satu wanita,
sungguh bukan perbuatan terhormat! Sahabat2, tunggu
dulu, aku si orang she Ban yang bodoh ingin mendamaikan kamu
kedua fihak. Maukah kamu mengabulkan permintaanku?" Salah satu pengurung meloncat keluar seraya mendongak untuk melihat dan berkata "Siapa berhutang, dia mesti membayar, inilah urusan kami, orang luar tak dapat mencampurinya! Sahabat, silahkan minggir! Atau
kapan kau ingin mendapat bagian, silahkan turun!"
"Sahabat2, aku Ban Liu Tong dari Kwie in po, dari
gunung Kian San!" tabib itu perkenalkan diri. "Walaupun di antara kau ada permusuhan hebat, tetapi keluarga Liap Piauw su telah banyak terbinasa, aku harap kau tidak
membasmi sampai di akar2nya! Lagipun bukan perbuatan
gagah akan main ke royok2an terhadap satu nona! Dengar sahabat2, berhentilah bertempur. Umpama kata kau tak
sudi mengindahkan padaku, harap kau jangan menganggap aku tidak memakai aturan lagi!"
Selagi mereka berbicara, sinona telah kehabisan tenaga, goloknya satu penjahat, yang mendesak ber ulang2, sudah mampir dipundaknya, akan tetapi sukur, sambil menjerit, ia sempat juga berlompat, hingga ia terluka tak parah.
Menampak demikian, Ban Liu Tong enjot tubuhnya,
akan meloncat turun. Ia jatuh didepan si nona, siapa sudah membalik tubuh, karena penyerangnya susul ia untuk
diserang terlebih jauh. Maka itu, sambil putar tubuh, tabib ini sampok lengannya orang itu, berbareng mana, tangan kiri nya, dengan dua jari, menotok kearah pundak kanan. Ia menggunai tipu pukulan "Sian jin cie louw" atau "Dewa menunjukkan jalan," dan sasarannya adalah jalan darah Coan sim hiat.
Penjahat itu mencoba mengegosi diri, tidak urung ia
kena tertotok juga, berbareng merasa gatal, goloknya
terlepas dari cekalan, tubuhnya sempoyongan, kearah satu kawannya, yang lantas menyanggapinya.
"Ie Seng, Ngo tee, tahan!" berseru penjahat yang
pertama kapan ia saksikan kejadian itu. Lalu ia bersiap dengan sepasang tumbak Kee jiauw piauw, ia hadapi orang asing itu kepada siapa ia terus menegur "Orang she Ban, apakah kau sanak atau sahabatnya siorang she Liap" Kau malang ditengah, apakah kau tahu duduknya permusuhan
kita" Orang she Ban, kau orang kang ouw, kau pasti
mengerti aturan. Permusuhan kami tak dapat dihabiskan dengan cara lain kecuali ini, dari itu, baiklah kau mundur!
Kecewa kalau kau tetap mau mencampurinya!"
Ban Liu Tong bersenyum ewa mendengar nasihat itu.
-o0dw0o- XV "Perhatikan, jangan berkisar jauh dari aku!" kata tabib dari Kwie in po pada sinona, sesudah mana, ia mengawasi penjahat itu, yang bicara dengan lidah Kang lam. Ia kata
"Kau benar, sahabat, aku memang belum tahu duduknya
persengketaan kau kedua pihak. Apakah kau sudi
perkenalkan diri terlebih dahulu?"
"Aku adalah Co tee Giam Ong Siang Cun Yang dari
Heng San," sahut penjahat itu, yang mau perkenalkan diri.
"Kami terdiri dari lima saudara, aku yang bodoh menjadi yang tertua. Sahabat, kau toh punyakan pendengaran,
bukan?" "Kiranya kau Siang To cu dari Keng San Ngo gie,
maafkan aku!" berkata Ban Liu Tong. "Sebagai murid
Hoay Yang Pay, selama berdiam di Ceng hong po, Hoay
siang, sudah lama aku mendengar nama besar dari Heng
San Ngo gie, yang kenal persahabatan, hanya sejak keluar dari perguruan dan tinggal di Tiong ciu belasan tahun, aku tak pernah mendengar pula tentang kamu berlima. Siang To cu, bagaimana duduknya hal"
Kau sekarang bersikap membasmi, itu bukan biasanya perbuatanmu dulu2.
Sudikah kau memberikan keterangan padaku"
Tentang nona ini," ia tambahkan, seraya menunjuk nona itu, "dia bukan sanak, bukan sahabatku, malah she dan namanya
pun aku tidak tahu, baharu tadi saja satu sahabatku
memberitahukannya. Jangan kuatir sahabat, aku yang
berani campur tahu, berani juga menanggung jawab nya.
Tidak nanti nona ini kabur dan menghilang, atau aku nanti memikul tanggungan!"
Penjahat itu tertawa dingin.
"Pantas kau berani campur tahu urusannya siorang she
Liap, kiranya kau Tay hiap Ban Liu Tong dari Hoay Yang Pay!" berkata ia yang menyebut orang dengan tay hiap atau pendekar. "Benar kita belum pernah ketemu satu dengan lain, tetapi aku sudah mendengar akan namamu. Aku
berlima saudara biasa disebut Ngo ok, akan tetapi Ban Tay hiap sebut kami Ngo gie, kami tak berani terima itu. Benar kita dipanggil Ngo ok, akan tetapi apabila perbuatan kami tak kenal peri kemanusiaan, sudah pasti kami tak mampu tancap kaki di Kanglam, oleh karena itu, kami tidak
perdulikan tentang sebutan kaum kang ouw itu terhadap kami. Mengenai piauwsu she Liap ini, aku bisa terangkan, tidak biasanya ia ambil jalan Kang lam, tetapi satu kali ia mencobanya, ia sudah melanggar kebiasaan kami. Dia
lewat tanpa lebih dahulu berkunjung kepada kami, juga tanpa mengirim karcis nama. Tak berduli orang kenamaan bagaimana besar nya, caranya itu tak dapat kami terima.
Ban Tay hiap, kita kaum kang ouw tak boleh jatuh merek, biarpun orang berkepala tiga dan bertangan enam, kita tak jerih padanya. Maka jikalau kami takut melanggar iring2an piauwnya, sudah pasti dari siang2 kami sudah mesti
mengundurkan diri. Demikian kami sudah turun tangan.
Ketika itu, si orang she Liap sendiri tidak mengantar piauw, ia hanya tugaskan kepada tiga orangnya. Pada kedua pihak ada orang2 yang terluka. Sebab bukan siorang she Liap sendiri yang mengantar piauw, kami sudah pikir untuk
memberikan muka, asalkan dia datang sendiri memintanya, kami suka kembalikan piauw rampasan itu, untuk lindungi namanya kejadiannya justeru diluar dugaan kami. Dihari ketiga, orang she Liap itu datang ke Heng San, bukan
meminta pulang piauw secara aturan, sebaliknya dia
hendak pengaruhi kami. Dia bilang dia tidak mengantar piauw sendiri itu hari, kebetulan dia sakit, sebba piauw mesti sampai pada hari yang dijanjikan, dia membiarkan tiga wakilnya berangkat terus, ia sendiri singgah ditengah jalan, tetapi dia sudah merencanakan, dia nanti menyusul akan berkunjung ke Heng San untuk meminjam jalanan.
Dia persalahkan kami turun tangan melulu untuk rubuhkan dia. Dia nyatakan, apabila kami ingin perbaiki kesalahan kami, kami berlima mesti mengantar sendiri piauw itu ke tempat tujuan, supaya nama baik nya dipulihkan, agar
selanjutnya kedua pihak menjadi sahabat2, tetapi dia
mengancam, kalau tidak, peraduan kepandaian saja lah
yang mesti memberi putusan. Coba pikir Ban Tay hiap,
mana kami bisa terima baik syarat itu" Nama kami di Heng San bukan namanya boca cilik, yang boleh tidak usah
diperdulikan. Begitulah kami berbentrok. Orang she Liap itu benar liehay, aku punya Jie tee Cin Thong dan Sha tee Touw Liong binasa dibawah senjata rahasianya, piauw
beruntun. Adikku ke empat, Siauw Cee Coan, rubuh
dengan bercacat. Karena kami kalah, kami tak membutuhkan lagi sarang kami, kami melepas api dan
mengangkat kaki. Bersama adik yang kelima, Hwee kap cu Kim Kay Tay, serta lain2 saudara, dengan membawa
adikku ke empat yang kakinya bercacat, kami lari
bersembunyi di rumah sahabat dikaki gunung. Disana
adikku sekalian berobat. Kami telah bersumpah untuk
membalas sakit hati. Kemudian kami mendengar kabar,
karena piauwnya musnah terbakar, orang she Liap itu mesti mengganti delapan ribu tail lebih, hingga ia rudin dan perusahaannya ditutup, ia menyingkir ke Utara. Tetapi kami berhasil mencari dia, maka malam ini kami datang untuk
melaksanakan pembalasan. Didepan rohnya saudara2ku aku sudah sumpah, sebelum keluarga Liap
terbasmi habis, kami tidak mau sudah, dari itu, Ban Tay hiap niscaya bisa menganggap kami bukan nya terlalu
kejam!" Ban Liu Tong manggut untuk keterangan itu. Ia mengerti yang orang pun tidak sudi disebut "Ngo gie,"-lima orang gagah yang berbudi, sebab julukan mereka "Ngo ok" berarti
"Lima orang jahat," dan julukan ini, mereka terima dengan baik.
"Siang To cu, tindakanmu menuntut balas ini adalah
tindakannya orang kang ouw sejati," kata ia, "tetapi
sekarang keluarga Liap telah terbinasa dan musna, itu artinya maksudmu sudah tercapai, sudah cukup pokok dan bunganya, dari Itu, buat apa to cu masih maui jiwanya
nona lemah ini" Aku anggap kau keterlaluan. Aku minta, sukalah kiranya kau mengampuni nona ini, dengan begitu, aku jadi terima budimu?"
Siang Cun Yang belum menjawab, atau saudaranya yang
kelima, Hwee kap cu Kim Kay Tay si Burung Dara Api,
sudah maju kedepannya, akan membentak tabib itu "Siapa membunuh, dia mesti membayar dengan jiwa! Siapa
berhutang uang, dia mesti melunaskannya! Maka itu, orang she Ban, kenapa kau usilan! Aku nasihatkan padamu, lekas kau ambil jalanmu sendiri, jikalau kau tidak sudi meladeni, janganlah kau sesalkan aku bahwa aku tidak kenal
sahabat!" Kemudian, tanpa tunggu jawaban, adik ini
berkata pada saudaranya yang tuaan "Toako, api telah di lepas sempurna, kita jangan ayal2an pula disini!"
Ban Liu Tong memandang orang yang berbicara secara
jumawa itu yang tubuhnya kate dan kecil, mukanya kuning, hidungnya bengkok bagaikan paruh burung elang, matanya bagaikan mata alap2 romannya sangat licik, pakaian
malamnya biru, tangan kirinya menyekal golok berujung lancip. Yang paling menarik perhatian adalah bebokongnya dimana ada tergendol sebuah bumbung hitam sebesar
mangkok dan panjangnya dua kaki lebih. Tapi Liu Tong
kenali, itu adalah "Ouw yan Pun hwee tong" atau bumbung api, semacam senjata rahasia yang liehay. Jika orang
mengegosi tubuh dan tangan dipakai menarik tali
pesawatnya bumbugan itu akan menyemprotkan api dan
asap sejauh dua tumbak lebih, hingga sulit akan orang menyelamatkan diri, karena pakaiannya pasti akan
kesamber dan terbakar, hingga tubuhnya bisa ke tambus.
Maka itu, pastilah dia ini yang sudah membakar rumahnya Liap Kun itu. Meskipun orang memiliki senjata yang liehay itu, tetapi Liu Tong toh tidak jerih.
"Kim To cu, jangan kau terlalu galak!" kata tabib ini sambil tertawa dingin. "Baik kau ketahui, selama hidup, aku Ban Liu Tong paling gemar mencampuri urusan se
wenang2, karena urusan dikolong langit wajiblah manusia yang mengurusnya! Kini To cu, oleh karena aku sudah
muncul disini, aku minta sukalah kau dan para saudaramu memberi sedikit muka kepadaku, setelah itu, dengan segera akan ku undurkan dirimu dari sini Liap Piauwtauw telah menyalakan api dengan apa ia membakar dirinya, ia
mencari bencana sendiri, sekarang ia terima bagiannya.
Dari kau berlima saudara, telah terbinasa dan terluka tiga orang, sekarang kau telah bakar rumah nya Liap Piauwsu, kau telah bunuh piauwsu itu dan sekeluarga nya, kecuali ini satu nona yang lemah, bagaimana kau tega akan binasakan juga padanya"
Aku anggap, itu adalah perbuatan
keterlaluan! Kim To cu, jangan menganggap, dengan
membinasakan nona ini, tak nanti ada orang lagi yang
menuntut balas kepadamu, itulah neliru! Dia masih
mempunyai keluarga, sanak saudaranya! Kim cu, aku
sudah bicara cukup, sekarang tinggal terserah kepadamu, apabila kau tetap tidak sudi melepas budi, nah, aku terpaksa hendak berlalu saja"."
Kim Kay Tay jadi sangat rusar, ia berlompat maju sambil berdongko sedikit, lalu ia menarik tali pesawat bumbung rahasia dengan tangan kirinya, atas mana, dengan satu suara "ser! ser!" api dan asap melesat keluar dari dalam bumbungnya, menyamber kepada si tabib dari Kwie in po.
Ban Liu Tong memang waspada, begitu ia melihat orang
mengayakkan tubuh, ia tolak tubuhnya sinona, yang berada disamping, sambil berbuat demikian, ia sendiri dengan pesat berlompat ke samping si Burung Dara Api. Begitu kaki kanannya menginjak tanah dan kaki kirinya menyusul, ke dua tangannya dibuka dalam gerakan "Kim tiauw thian
cie" atau "Garuda emas pentang sayap." Tangan kanannya, dengan terbuka, menyerang iga kanan manusia ganas itu.
Kim Kay Tay kaget melihat serangan apinya tak berhasil, ia insaf musuh benar liehay, selagi ia bersiap untuk
menyerang buat ke dua kalinya, Ban Liu Tong sudah
mendesak ia, terpaksa ia berkelit dan dengan goloknya menabas tangan musuh. Ia telah menggunakan ilmu "Tauw ta kim ciong" atau "Merubuhkan lonceng emas"
Ban Liu Tong kelit tangannya hingga lolos dari tabasan, akan tetapi ia tidak menarik pulang, dengan sebat ia
membaliki, hingga tak ampun lagi dua jarinya lantas
menotok kena nadi musuh, dijalan darah "kiok tie hiat hingga berbareng tangannya beku, goloknya Kim Kay Tay terlepas sendiri dari cekalannya. Saking kagetnya, si Burung Darah Api berlompat untuk menyingkir.
"Kau hendak lari kemana" " Ban Liu Tong membentak
sambil lompat mengejar, tangan kirinya turut menyamber.
Kim Kay Tay terlambat, atau ia kalah gesit, tangannya Ban Liu Tong mengenai punggungnya tepat pada bumbung,
yang ternyata bukan terbuat dari bambu, hanya dari besi, dengan begitu bumbung api itu tidak menjadi rusak, tetapi Kim Kay Tay sendiri rubuh mengusruk empat lima tindak, mukanya "menciurn" tanah, hingga muka itu berlumuran
darah. Cu tee Giam Ong Siang Cun Yang, si Raja Akherat
Setempat, berlompat maju, akan menolong adik angkatnya itu, disebelah ia, kawan dan orang nya hendak serbu Ban Liu Tong. Ia lihat ini, lekas ia, serukan "Kawan kawan, tahan! Aku hendak bersahabat dengan sahabat she Ban ini!"
Ia insaf bahwa musuh tak dapat dilawan lagi, walaupun dia bersendirian dan bertangan kosong. Kemudian, sambil
manggut pada musuh itu, ia berkata "Orang she Ban, aku
Siang Cun Yang ingin berbuat kebaikan, supaya kau puas.
Nah, pergilah kau bawa orang itu!
Dalam tempo tiga tahun, aku dan saudaraku ini akan
kembali ke Heng San, untuk tancap kaki pula disana,
Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan begitu, apa bila turunan ini hendak menuntut balas, segala waktu kami bersedia untuk menantikan! Nah,
persilakanlah!" Siok beng Sin Ie tertawa terbahak .
"Bagus!" kata ia. "Kau sudi mengalah, aku berterima
kasih. Baiklah Siang To cu ketahui, setelah nona Liap ini lolos dari malapetaka, tak tentu dalam tempo tiga atau lima tahun, pasti dia akan menuntut balas untuk seluruh
keluarganya ini! Ini ada janji kita, jangan kita buat menyesal! Aku telah mencampuri urusan ini, aku tahu
bahwa aku telah membakar diri, tetapi sebagai laki2, aku berani bertanggung jawab, maka jikalau kau niat mencari aku di Ceng hong po, kau akan kecewa, sebab sekarang aku bertempat di Kwie in po dikaki gunung Kian San. Disana, To cu aku menantikan dengan hormat atas kedatanganmu
sekalian?" Setelah berkata begitu, Ban Liu Tong lompat kesamping si nona, pundak siapa berlumuran darah, walaupun nona itu mengkerutkan alis, tangan kirinya tetap memegang
goloknya, kedua baris giginya dirapatkan keras satu dengan lain, rupanya dia menahan sakit berbareng menahan juga amarahnya.
"Nona, mari ikut aku!" kata tabib she Ban ini.
"In jin, pundakku terluka, tak dapat aku ikut kau," nona itu menyahut, dengan suara sedih. "Aku berterima kasih kepadamu,
yang sudah mencegah orang jahat membinasakan aku. Sudah cukup pertolongan in jin, maka
selanjutnya, baik in jin biarkan aku.." Dengan sebutan "in jin."-tuan penolong-nyata si nona ingat budi orang.
Ban Liu Tong menduga nona ini hendak berbuat nekat,
akan terjun kedalam api yang masih ber kobar2. Pasti ia tak mengijinkan itu. Maka dengan sikap sungguh ia mengawasi nona itu, akan dengan sungguh2 juga ia berkata "Anak, kau ada turunan se mengga2nya dari keluarga Liap, jangan kau lupa akan sakit hatimu ini, yang mesti dibalas! Aku telah berusia lanjut, apakah kau likat" Mari, aku gendong kau, untuk berlalu dari lautan api ini! Untuk mati atau hidupmu, nanti kita damaikan pula!"
Setelah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban,
Ban Liu Tong samber tubuhnya si nona untuk digendong, kemudian Liu Tong berpaling pada Siang Cun Yang.
"Sahabat2, maafkan aku, tak dapat aku menemani
lama!" kata ia, yang terus saja putar tubuhnya, untuk meloncat naik ke atas rumah. Di Timur, api berkobar
sangat hebatnya, dari itu, ia menuju ke Timur laut,
menjauhkan diri dari api. Untuk sampai ditempat selamat, ia mesti menunjukkan kegesitan dan kecelian matanya,
karena beberapa kali orang2 jahat menyerang ia dengan anak panah secara menggelap, tapi sebaliknya, ia tak sudi meladeni mereka itu.
Sesampainya keluar daerah berbahaya, Ban Liu Tong
tidak langsung menuju kerumah keluarga Kan, hanya
dengan sengaja ia berlari jauh dengan jalan memutar. Ia mengerti, apabila ia pulang langsung dan penjahat
menguntitnya, itu bisa mendatangkan ancaman bencana
bagi keluarga itu. Hanya ia bikin orang kaget ketika tahu2 ia loncat turun dari atas genteng diantara orang nya keluarga itu, yang sedang bersiap2 akan mencegah menjalarnya api.
"Jangan kaget, jangan berisik!" ia kata pada semua orang itu. "Mustahil kau tidak kenali aku tabib yang menolongi majikan mudamu" "
Segera semua orang kenali tabib ini, baharu mereka
hendak menanyakan atau tabib itu sudah mendahului, lari kedalam rumah, hingga ia mengejutkan berbareng
menggirangkan pada Kan Hong, yang tengah meng harap2
kembalinya. Ia sebetulnya hendak minta keterangan, akan tetapi Liu Tong menegah ia dengan berkata "Jangan berisik, mari kita bicara didalam!"
Ban Liu Tong lalu masuk ke kamar, dimana ia turunkan
si nona diatas sebuah kursi. Segera ia periksa lukanya sinona. Si nona sendiri tak ingat akan dirinya, matanya rapat, mulutnya terkancing, wajahnya biru pucat. Karena ia terluka dan harus lompat turun naik dan ber lari2an, tidak heran apabila ia pingsan.
"Loosu, siapa nona ini" " akhirnya Kan Hong menanya.
"Apa dia yang dapat ditolong dari tangan orang jahat" "
"Sebentar kita bicara," sahut Liu Tong sambil goyang
kepala. "Tolong kau perintah orang lekas mengambil air panas!"
Kan Hong lantas suruh bujangnya mengambil air yang
diminta. Liu Tong sendiri terus meloloskan golok dari cekalannya si nona., dan dari sakunya ia keluarkan sebotol obat, yalan pil Cit po hoan hun tan, ia ambil tiga butir obat itu.
"Kau bantui aku," ia kata pada tuan rumah, sedang
tubuhnya si nona ia benarkan supaya bisa berduduk dengan betul. "Sebagai orang tua, kita jangan pantang lagi. Anak ini harus dikasihani, dia mesti ditolong. Kau pegangi kedua tangannya, aku hendak menusuk ia,"
Kan Hong menurut, tak lagi ia perdulikan "lam lie siu siu put cin" yalah larangan perempuan dan lelaki
berpegangan tangan. Begitulah ia cekal kedua tangan
sinona menurut ajarannya tabib itu.
Ban Liu Tong letakkan obatnya diatas meja, ia ambil dua batang jarum dari tempat obatnya, dengan itu ia tusuk bergantian jari telunjuk dan tengah dari si nona. Ia bekerja secara sehat dan gapah. Dengan siap tiga butir obat
ditangannya, ia awasi muka nona itu, ketika dengan tiba si nona menjerit "Aduh!" ia membarengi menyuapi pil itu
kedalam mulut orang. "Nona, telan obat ini!" ia berkata. Lantas ia bawa
cangkir air kemulutnya nona itu.
Dengan jeritannya itu, si nona telah sedar, ketika ia geraki ke dua tangannya, ia tidak bisa angkat itu apabila ia melihat, ia dapat kedua tangan nya sedang dipegangi.
"Nona, telan obat itu!" Liu Tong kata pula.
Tanpa kata apa si nona cegluk air, dengan apa ia telan tiga butir pil itu dengan sekaligus.
"Bagus, tuan," kata Liu Tong pada tuan rumah. "Aku
percaya obatku akan berhasil!"
Selagi tabib ini berkata, si nona menggeraki tubuhnya, ia enak, kemudian ia memuntahkan lendir, sesudah mana,
kembali ia mengeluh "Aduh!" Ketika ia mengangkat kepala dan membuka mata nya. Tiba2 ia menangis.
"Jangan bersusah hati nona." San Liu Tong menghibur.
Hina Kelana 14 Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis 14