Kisah Si Naga Langit 10
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
"Hemm, kalau ada kesempatan, aku siap untuk membantumu,
Nio-cu," kata Thian Liong.
Pek Hong Nio-cu menatap wajah Thian Liong, seolah ingin
menjenguk isi hati pemuda itu. "Akan tetapi, Thian Liong, engkau
seorang pemuda berbangsa Han!"
"Hemm, kalau begitu, kenapa Nio-cu?"
"Bagaimana engkau akan membela kepentingan kerajaan Kin"
Bukankah kerajaan Kin telah menyebabkan kerajaan Sung
mengungsi ke selatan" Apakah engkau tidak mendendam
629 kepada bangsa Nuchen yang mendirikan kerajaan Kin yang
menjajah tanah airmu?"
Thian Liong merasa heran. Bagaimana puteri raja Kin dapat
berkata begitu ke-padanya" Ini tentu pengaruh ibu puteri itu,
yang juga seorang wanita berbangsa pribumi Han.
"Suhu mengajarkan kepadaku agar aku tidak mencampuri
urusan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung. Menurut suhu,
yang terpenting adalah menyejahterakan kehidupan rakyat,
melenyapkan kejahatan dan kebodohan. Karena kalau rakyat
hidup sejahtera dan kejahatan dapat dlbasmi atau setidaknya
dikurangi, maka negara akan menjadi kuat. Kalau para pejabat
melakukan tugasnya dengan jujur dan setia, mementingkan
kebutuhan rakyat jelata, maka rakyat pasti akan mendukung
pemerintah dan pemerintah menjadi kuat. Kalau terjadi
sebaliknya, yaitu kalau para pejabat saling berebutan kekuasaan
dan harta benda, tanpa memperdulikan rakyat bahkan menindas
rakyat, pasti pemerintah yang tidak didukung rakyat akan
menjadi lemah dan mudah dikalahkan musuh, seperti halnya
kerajaan Sung dahulu. Mengingat akan ajaran suhu itu, aku tidak
mau mendendam kepada kerajaan Kin, bahkan aku siap
membantu selama kerajaan Kin mempunyai pemeritahan yang
baik dan yang memperhatikan kepentingan rakyat jelata."
"Bagus! Akupun berpendirian seperti engkau, Thian Liong.
Apalagi aku mempunyai darah campuran, ayahku orang Nuchen
dan ibuku orang Han. Kalau engkau mau membantu aku
menentang pemberontak di kerajaan Kin, kelak aku pasti akan
membantumu untuk menentang kekuasaan Chin Kui yang
berkhianat terhadap kerajaan Sung."
630 Tiba-tiba terdengar suara derap kaki banyak kuda. Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu duduk dengan tetap tenang dan
memandang ke arah rombongan berkuda yang mengakibatkan
debu mengepul itu. Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di
dekat mereka, terdengar seruan nyaring.
"Berhenti !!" Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong masih duduk dengan tenang
walaupun kini mereka memandang kepada rombongan itu
dengan penuh perhatian. Mereka melihat bahwa mereka semua
terdiri dari sekitar tigapuluh orang akan tetapi tidak dapat dilihat
jelas wajah mereka karena debu mengepul dan banyak di antara
mereka yang wajahnya tertutup debu seperti dibedaki.
Akan tetapi melihat pakaian seragam pasukan itu, Pek Hong
Nio-cu mengenal mereka sebagai pasukan kerajaan Kin. Maka
ia cepat bangkit dan melangkah maju menghadapi mereka.
Kembali terdengar aba-aba dan semua perajurit berlompatan
turun dari atas kuda mereka. Beberapa orang di antara mereka
yang bertugas mengatur kuda segera mengumpulkan kuda-kuda
itu agak menjauh dan menambatkannya pada pohon pohon.
Lima orang jagoan yang memimpin pasukan itu cepat maju dan
berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu. Tentu saja puteri ini
segera mengenal mereka karena dahulu, ketika ia masih remaja
dan lima orang itu masih menjadi pengawal-pengawal pribadi
Raja Kin, ia pernah juga menerima pelajaran silat dari mereka.
Akan tetapi kemudian lima orang ini melakukan pelanggaran dan
dikeluarkan dari istana. Maka, tentu saja Pek Hong Nio?cu tidak
631 lagi menganggap mereka sebagai guru, bahkan memandang
mereka sebagai orang-orang yang jahat dan khianat.
Dengan alis berkerut Pek Hong Nio-cu memandang lima orang
yang berdiri dengan sikap sungkan itu, lalu ia menegur mereka.
"Mau apa kalian datang ke sini" Hayo pergi dan jangan
mengganggu aku!" Bagaimanapun juga, Puteri Moguhai amat terkenal dan disegani
segenap orang di kerajaan Kin. Ia memiliki wibawa yang amat
kuat sehingga ketika puteri itu membentak mereka, lima orang
jagoan itu menjadi gentar dan mereka saling pandang, menjadi
salah tingkah. Con Gu mewakili rekan-rekannya berkata kepada Pek Hong Niocu setelah membungkuk dalam-dalam. "Harap paduka maafkan
kami kalau kami mengganggu.
Kami melaksanakan perintah Sri baginda Kaisar untuk mengajak
paduka pulang ke kotaraja."
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. "Kenapa aku harus
pulang" Apa yang terjadi di istana?" terkandung kekhawatiran
dalam suaranya. "Kami tidak tahu, tugas kami hanya mengajak paduka segera
kembali ke kota raja," kata Con Gu.
Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis yang cerdik. Ia berpikir,
kalau ayahnya memanggilnya puIang, tidak mungkin ayahnya
mengutus lima orang ini. Apa lagi pasukan itu bukan pasukan
632 pengawal istana karena ia tidak mengenal mereka. Ada sesuatu
yang ganjil di sini, sesuatu yang agaknya tidak beres.
"Kalau Sribaginda memanggil aku pulang dan memerintahkan
kalian menjemputku, perlihatkan padaku surat perintahnya!"
katanya sambil menatap tajam wajah Con Gu.
Con Gu menjadi salah tingkah dan kembali dia saling pandang
dengan empat orang rekannya dan tampak
bingung. "Akan tetapi
" Dia berkata gagap.
"Tidak ada tapi, cepat keluarkan surat perintah Sribaginda
Kaisar!" bentak Pek Hong Nio-cu sambil menghunus pedang
bengkok dari emas yang menjadi tanda kekuasaannya sebagai
wakil Kaisar itu. Con Gu menjadi semakin bingung. Akan tetapi tiba-tiba Koi Cu,
orang kedua dari lima jagoan itu, yang lebih tabah, berkata,
"Surat perintahnya berada di tangan Pangeran Hiu Kit Bong dan
kami menerima perintah dari beliau. Harap paduka menurut dan
ikut saja dengan kami!"
Wajah Pek Hong Nio-cu yang putih itu kini berubah kemerahan,
sinar matanya menyambar penuh kemarahan. "Keparat! Kalian
tidak melihat pedang kekuasaan ini" Aku tidak mau pulang
bersama kalian, habis kalian mau apa?"
Melihat keberanian Koi Cu tadi, kini Con Gu pulih kembali
ketabahannya dan dia berkata, "Kalau paduka menolak,
terpaksa kami menggunakan kekerasan."
633 "Berani kalian melawan aku yang membawa pedang kekuasaan
ini" Berarti kalian berani melawan Sribaginda Kaisar, berarti
kalian pengkhianat dan pemberontak!"
"Kami hanya melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong!"
kata Con Gu. "Kalau begitu paman Pangeran Hiu Kit Bong itu yang hendak
memberontak! Aku tetap tidak mau ikut kalian pulang. Hendak
kulihat kalian dapat berbuat apa terhadapku!" Pek Hong Nio-cu
membentak marah. "Kalau begitu, terpaksa kami akan menangkap paduka!" Con Gu
berkata dan dia memberi isyarat.
Dua losin perajurit itu lalu bergerak mengepung kanan kiri dan
depan Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong yang masih duduk. Di
belakang kedua orang muda ini adalah sungai sehingga mereka
tidak mendapatkan jalan keluar, sudah terkepung rapat. Thian
Liong lalu melompat dan berdiri di sisi Pek Hong Nio-cu. Tadi dia
diam saja karena tidak ingin mencampuri Pek Hong Nio-cu yang
bicara dengan pimpinan pasukan kerajaan Kin dan dia
merupakan orang luar. Akan tetapi melihat perkembangannya,
mau tidak mau harus mencampurinya.
"Hei, apakah kalian berlima ini tidak malu" Yang hendak kalian
lawan ini adalah puteri Sri Baginda Kaisar kerajaan Kin,
junjungan kalian sendiri! Berarti kalian ini terang-terangan
menjadi pengkhianat dan pemberontak!" kata Thian Liong sambil
memandang tajam mereka berlima.
634 Tiba-tiba dari belakang pasukan itu menerobos seorang pemuda
yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia bukan anggauta
pasukan. "Souw Thian Liong, engkau harus kutangkap untuk menerima
pengadilan di depan para ketua Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!"
bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Song yang tadi
memang bersembunyi di belakang pasukan.
Melihat pemuda itu, Thian Liong terbelalak kaget dan heran
bukan main. "Cia-suheng (kakak seperguruan Cia)! Engkau di sini, bersama
pasukan pengkhianat ini" Apa artinya ini, suheng?"
"Tak usah engkau mengurus hal itu. Menyerahlah engkau untuk
kubawa menghadap para ketua Siauw-lim?pai dan Kun lun-pai
untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"
"Perbuatan apakah itu, Cia-suheng?" Thian Liong bertanya,
heran dan penasaran. "Jangan pura-pura bertanya! Menyerah saja dan engkau akan
diadili!" Pek Hong Nio-cu berseru keras, "Ah, sekarang aku tahu, Thian
Liong. Orang yang kausebut suhengmu ini tentulah utusan
Perdana Menteri Chin Kui untuk menghubungi pengkhianat
Pangeran Hiu Kit Bong itu!"
Thian Liong terbelalak memandang kepada Cia Song. "Ah!
Benarkah engkau menjadi anak buah Perdana Menteri Chin Kui
635 dan bersekutu dengan pangeran yang memberontak di kerajaan
Kin" Ciasuheng, bagaimana engkau bisa "
"Tangkap mereka! Keroyok pemuda itu, biar aku yang
menangkap Pek Hong Nio-cu!" kata Cia Song dan dia sudah
menerjang maju, menyerang Pek Hong Nio-cu dengan pedang
beronce merah yang dia cabut dari punggungnya.
"Tranggg !" Pek Hong Nio-cu menangkis dan
keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar, menunjukkan
bahwa mereka memiliki tenaga sin-kang yang tidak berselisih
jauh kekuatannya. Sementara itu, lima orang jagoan Kin itu sudah membentuk Ngoheng Kiam-tin mengeroyok Thian Liong. Melihat hebatnya
barisan pedang itu, yang masing masing anggautanya
menggerakkan pedang samurai dengan dahsyat sekali, Thian
Liong juga mencabut Thian-liong-kiam dan memutar pedangnya
untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya
bertubi-tubi dari lima jurusan itu.
Thian Liong maklum bahwa dia menghadapi orang-orangnya
para pengkhianat, baik pengkhianat kerajaan Sung maupun
pengkhianat kerajaan Kin dan pasti mereka itu tidak mempunyai
niat baik terhadap Pek Hong Nio-cu. Akan tetapi dia merasa
heran sekali mengapa Cia Song yang sama sekali tidak
diduganya telah menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol
dangan pengkhianat kerajaan Kin kini hendak menangkapnya
untuk dihadapkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun636
lun-pai untuk diadili! Apa yang terjadi" Dia tidak melakukan
sesuatu kesalahan terhadap dua perkumpulan besar itu! Karena
merasa penasaran, Thian Liong lalu mengamuk.
Thian-liong-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulunggulung sehingga Ngo-heng Kiam tin itupun tidak mampu
mendesaknya dan serangan mereka selalu terpental apabila
bertemu dengan sinar pedang itu. Akan tetapi Thian Liong juga
mendapat kenyataan bahwa barisan pedang yang terdiri dari
lima orang itu tak boleh dipandang ringan. Kerja sama mereka
rapi sekali, saling melindungi dan saling memperkuat daya
serang sehingga dia harus berhati-hati.
Sementara itu, Pek Hong Nio-cu menjadi marah sekali ketika Cia
Song berkata dengan suara merayu, "Ah, puteri jelita, sebaiknya
engkau menyerah saja daripada kulitmu yang putih mulus itu
menjadi lecet. Sayang kalau engkau sampai terluka, manis."
"Singgg !" Itulah jawaban Pek Hong Nio-cu.
Pedangnya menyambar dahsyat sehingga Cia Song menjadi
terkejut sekali dan dia harus cepat mengelak sambil
menggerakkan pedangnya menangkis.
"Cringgg !" Akan tetapi begitu tertangkis, pedang
di tangan Pek Hong Nio cu itu telah menyambar lagi, sekali ini
dengan babatan seperti kilat menyambar ke arah leher lawan!
Cia Song kembali harus melompat ke belakang untuk
menghindarkan diri, kemudian mau tidak mau dia membalas
dengan serangannya karena tak mungkin melawan gadis ini
637 hanya dengan bertahan saja. Pek Hong Nio-cu terlalu tangguh
untuk dilawan dengan seenaknya. Dia harus mengerahkan
seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk dapat
mengimbangi gadis bangsawan itu. Bahkan ketika dia mencoba
untuk mempergunakan ilmu sihirnya, mengeluarkan bentakan
dengan suara yang mengandung sihir dan dayanya
melumpuhkan, Pek Hong Nio-cu sama sekali tidak terpengaruh.
Hal ini adalah karena dara itu juga telah menghimpun tenaga
sakti yang kuat sehingga dapat menolak pengaruh sihir lawan.
Melihat betapa tidak mudah baginya untuk mengalahkan Pek
Hong Nio-cu, apalagi menangkapnya, dan melihat pula
sekelebatan betapa keadaan Ngo-heng Kiam-tin juga tidak lebih
baik karena mereka itu agaknya bahkan kewalahan menghadapi
gulungan sinar pedang Thian Liong, Cia Song lalu berseru
kepada pasukan yang terdiri dari dua losin perajurit itu.
"Pasukan bergerak, serbu !!"
Dua losin perajurit itu bergerak, terpecah menjadi dua bagian.
Selosin perajurit mengeroyok Thian Liong dan yang selosin lagi
mengeroyok Pek Hong Nio-cu.
Pek Hong Nio-cu yang mendapatkan lawan seimbang, bahkan
merasa betapa Cia Song merupakan lawan yang amat tangguh,
menjadi marah sekali ketika selosin orang perajurit itu membantu
Cia Song mengeroyoknya. Ia berseru melengking dan
pedangnya yang membentuk sinar keemasan itu menyambarnyambar.
Dua orang perajurit mengaduh dan terpelanting roboh. Melihat
ini, Cia Song memperhebat desakannya dan para perajurit yang
638 mengeroyok mulai khawatir. Mereka adalah perajurit pilihan,
namun dalam beberapa jurus saja gadis itu telah mampu
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merobohkan dua orang! Thian Liong juga mempercepat gerakan pedangnya setelah
selosin orang perajurit ikut mengeroyok. Menghadapi Ngo heng
Kiam-tin dia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi
sebelum dapat merobohkan lima orang samurai itu, kini maju
selosin perajurit mengeroyoknya. Maka dia segera menerjang
dan tiga orang perajurit roboh oleh sambaran sinar pedangnya.
Tiba-tiba Cia Song mengeluarkan aba aba. Memang dialah
sebenarnya yang menjadi pemimpin pasukan itu dan Ngo heng
Kiam-tin hanya menjadi pembantu-pembantunya. Setelah dia
mengeluarkan aba-aba, sisa perajurit yang masih sembilanbelas
orang itu segera mengeluarkan jaring yang memang sudah
dlpersiapkan dan mereka adalah perajurit-perajurit yang terlatih
menggunakan senjata istimewa ini. Begitu mereka menyerang
maka jaring-jaring ditebarkan ke arah Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu! Dua orang muda itu mengelak ke sana-sini dan
menggunakan pedang untuk menangkis dan merobek jaring
yang menyambar. Akan tetapi mereka terkejut karena ternyata
jaring-jaring itu terbuat dari tali istimewa yang tidak mudah
dirusak senjata tajam! Akhirnya tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu tertangkap
jaring! Thian Liong mengerahkan tenaga saktinya, meronta dan
menggerakkan pedangnya. Dua orang yang berhasil
menangkapnya dengan jaring dan memegangi tali jaring itu,
disambar sinar pedangnya yang mencuat keluar dari jaring. Dua
639 orang ftu terpelanting roboh. Thian Liong meronta keluar dari
selimutan jaring-jaring itu.
Dia melihat betapa Pek Hong Nio-cu juga tertangkap oleh dua
jaring dan dara itu meronta-ronta, mengamuk dengan
pedangnya namun tidak dapat melepaskan dirinya. Melihat ini,
Thian Liong mengeluarkan pekik melengking dan getaran suara
pekik yang amat lantang ini membuat pengeroyok mundur
beberapa langkah. Dia lalu melompat mendekati Pek Hong Niocu. Pedangnya digerakkan menangkis sambaran pedang Cia
Song. 'Tranggg !" Bunga api berpijar dan Cia Song
terpental mundur beberapa langkah. Biarpun tubuhnya sudah
diselimuti jaring, namun Pek Hong Nio-cu masih dapat
melindungi dirinya dengan pedangnya yang dapat keluar dari
sela-sela tali jaring. Thian Liong mendesak maju dan begitu
pedangnya berkelebat, dua orang perejurit yang menangkap Pek
Hong Nio-cu dengan jaring mereka terpelanting roboh. Thian
Liong cepat membuka tali jaring dan menyambar tangan Pek
Hong Nio-cu. Keadaannya terlalu berbahaya setelah para
perajurit mempergunakan senjata jaring itu.
"Kita pergi!" katanya dan dia mengajak Pek Hong Niocu
melompat ke tepi sungai lalu sekali menggerakkan kaki, mereka
berdua melompat ke atas perahu di mana kakek tadi masih
memegang tangkai pancingnya dengan tenang seolah tidak
mendengar atau melihat adanya pertandingan di dekat sungai.
Dengan ginkangnya yang tinggi, Thian Liong dan Pek Hong Nio-
640 cu dapat hinggap di atas perahu pengail ikan itu tanpa
mengakibatkan perahu itu oleng terlalu kuat.
"Maafkan, paman. Kami menumpang di
perahumu " kata Thian Liong. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pengail ikan yang tua itu
tiba-tiba saja menggerakkan kedua tangannya mendorong ke
depan, ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dorongan itu
mendatangkan angin yang dahsyat. Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu berusaha menangkis, namun karena mereka berdiri di
atas perahu yang kecil, maka tak dapat dihindarkan lagi tubuh
mereka terdorong dan keduanya terjengkang dan terjatuh ke
dalam air! Mereka memang tidak sampai terluka oleh serangan pukulan
jarak jauh, akan tetapi mereka terjatuh ke dalam air yang dalam.
Keduanya hanya dapat berenang sekadar tidak tenggelam saja.
Akan tetapi ketika mereka berusaha berenang, para perajurit
berloncatan ke dalam air dan tak lama kemudian, Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu merasa betapa kaki mereka dipegang
orang dari bawah dan tubuh mereka diseret ke dalam air!
Tentu saja mereka terkejut bukan main dan berusaha
melepaskan kaki mereka yang dipegang orang. Akan tetapi, kini
yang memegangi kaki mereka bertambah banyak. Di darat boleh
jadi mereka merupakan orang-orang yang amat lihai. Akan tetapi
dalam air, mereka tak mampu berbuat banyak karena melawan
air agar tidak tenggelam saja sudah membutuhkan sebagian
besar tenaga mereka. Karena itu, ketika kaki mereka dipegang
banyak orang yang memang merupakan pakar dalam air,
641 mereka tidak berdaya. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
berusaha untuk menahan napas, namun mereka menjadi lemas
dan akhirnya tak dapat meronta lagi dan mereka berdua dibelitbelit tali yang kuat lalu dinaikkan ke darat dalam keadaan
setengah pingsan! Karena Cia Song tidak menghendaki mereka mati, maka dia lalu
memerintahkan para perajurit yang ahli dalam menolong orang
yang hanyut dalam air untuk menyelamatkan dua orang tawanan
itu. Tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ditelungkupkan dan
banyak air yang tertelan dapat dikeluarkan melalui mulut.
Akhirnya kedua orang tawanan itu sadar betul.
Thian Liong melihat bahwa dia dan Pek Hong Nio-cu sudah
terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan tubuh mereka tidak
dapat digerakkan karena agaknya telah ditotok secara lihai
sekali. Dia menduga bahwa yang menotok jalan darah mereka
tentulah Cia Song. Dia tidak berkata apa-apa hanya memandang
mereka yang berdiri menghadapinya. Dia melihat lima orang
yang membentuk Ngo-heng Kilam-tin yang tadi mengeroyoknya
dan di samping mereka berdiri Cia Song yang memandang
kepada Pek Hong Nio-cu dengan mulut menyeringai.
Dan di sebelah murid Siauw-lim-pai yang menjadi antek Chin Kui
dan bersekongkol dengan para pengkhianat kerajaan Kin itu
berdiri seorang kakek yang bukan lain adalah tukang pancing
tadi! Kiranya kakek tukang pancing itu merupakan seorang di
antara mereka, bahkan yang mengejutkan hati Thian Liong
adalah ketika Cia Song bicara kepada kakek itu dan
menyebutnya suhu. Jadi, di samping menjadi murid Siauw-lim642
pai, diam-diam Cia Song telah berguru kepada kakek ini yang
belum dia ketahui siapa orangnya.
"Suhu, sungguh kebetulan sekali suhu berada di sini. Teecu
(murid) tadi sama sekali tidak mengenal suhu yang teecu kira
seorang pemancing ikan biasa. Maafkan teecu dan terima kasih
atas bantuan suhu sehingga mereka berdua ini dapat
ditangkap," kata Cia Song yang membuat Thian Liong
keheranan dan kini dia mengamati kakek itu.
Kakek yang memakai caping lebar itu sudah tua, kurang lebih
delapanpuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi kurus dan
sikapnya lemah lembut. Dia memegang sebatang tongkat
bambu. Kakek itu tertawa lirih. "Heh-heh, memang akhir-akhir ini aku
sedang suka hidup di atas perahu dan setiap hari memancing
ikan. Cia Song, aku dengar tadi semua pembicaraan. Jadi Pek
Hong Nio-cu yang namanya terkenal itu adalah puteri Kaisar
kerajaan Kin" Bukan main! Dan pemuda ini, ilmu silatnya hebat
sekali. Murid siapakah dia?"
"Suhu, dia itu Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cin?jin,"jawab
Cia Song. "Eh" Murid Tiong Lee Cin-jin" Kalau begitu mengapa tidak kau
bunuh saja dia" Kalau dibiarkan hidup, kelak akan menjadi
bahaya besar bagimu. Ilmu kepandaiannya lihai sekali, engkau
tidak akan menang melawannya. Kalau tidak dibantu air sungai
ini, mustahil engkau dapat menangkapnya." Kakek itu
menggunakan tangan kiri mengelus jenggotnya yang tebal dan
sudah berwarna putih. 643 "Tidak, suhu. Teecu akan membawanya menghadap para
pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang akan mengadili
dan menghukumnya." "Lalu apa yang hendak kaulakukan dengan puteri ini?" tanya
pula kakek itu. "Ia akan kami bawa kepada Pangeran Hiu Kit Bong untuk
dijadikan sandera. Suhu, kalau suhu tidak ada urusan sesuatu,
marilah suhu ikut dengan teecu. Sebaiknya kalau suhu
membantu Pangeran Hiu Kit Bong agar kelak di hari tua suhu
akan mendapatkan kemuliaan dan kehormatan."
"Ha-ha, baiklah, Cia Song. Akupun sudah mulai bosan
memancing ikan setiap hari. Aku ikut denganmu," kata kakek itu
lalu dia membuang pancing dan capingnya. Ternyata di bawah
capingnya itu dia memakai sebuah sorban berwarna putih.
Pada saat itu Pek Hong Nio-cu baru sadar betul dan begitu ia
sadar, ia lalu mencaci maki. "Jahanam keparat kalian para
pengkhianat! Kalau Sribaginda mendengar, kalian tentu akan
mendapatkan hukuman siksa sampai mati! Dan kamu, tua
bangka keparat, aku tahu siapa kamu! Kamu adalah Ali Ahmed,
datuk bangsa Hui yang sudah terkenal jahat dan kejam. Engkau
manusia terkutuk, sudah tua bangka mau mati masih tidak
mencari jalan terang. Matimu tentu akan tersiksa dan engkau
akan masuk neraka jahanam!"
Cia Song memerintah anak buahnya. "Bawa kereta itu ke sini!"
Ternyata rombongan itu sudah mempersiapkan sebuah kereta
untuk mengangkut kedua tawanan mereka. Setelah kereta yang
644 ditarik dua ekor kuda itu datang, Cia Song berkata kepada Con
Gu. "Paman Con Gu, kau angkat Thian Liong dan aku yang
mengangkat sang puteri, kita masukkan mereka dalam kereta.
Dan suhu, teecu harap suka duduk dalam kereta agar tidak lelah
dalam perjalanan dan sekalian suhu menjaga dua orang
tawanan ini agar tidak sampai lolos."
"Hu-hu-ha-ha, baik, baik. Aku senang naik kereta," kata kakek itu
yang bukan lain adalah Ali Ahmed yang sepuluh tahun lebih
yang lalu pernah mencoba untuk merampok kitab-kitab dari
Tiong Lee Cin-jin. Dia memang menjadi guru dari Cia Song
selama beberapa tahun. Thian Liong diangkut oleh Con Gu, dibantu oleh Koi Cu, dan
memasukkan pemuda itu ke dalam kereta. Cia Song sendiri
memondong tubuh Pek Hong Nio-cu dan dia sengaja mendekap
tubuh yang lunak hangat itu kuat-kuat ke dadanya, membuat
jantungnya berdebar keras dibakar gairah berahinya.
Pek Hong Nio-cu tidak dapat meronta karena seluruh tubuhnya,
dari kaki sampai ke dada, dibelit tali dan kaki tangannya diborgol
kuat-kuat. Hanya matanya yang memandang kepada Cia Song
dengan kebencian yang meluap-luap. Melihat sinar mata ini,
kuncup juga hati Cia Song dan dia mencoba mengambil hati.
"Pek Hong Nio-cu, kalau engkau bersikap manis kepadaku, aku
jamin engkau akan diperlakukan dengan baik dan tidak akan ada
yang berani mengganggumu."
"Siapa sudi mendengar ocehanmu!" kata sang puteri dengan
marah. 645 Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu didudukan di dalam kereta,
berdampingan menghadap ke belakang sedangkan Ali Ahmed
duduk di bangku di depan mereka. Begitu duduk dan bersandar,
kakek tua renta itu segera tertidur sambil memegang tongkat
bambunya. Akan tetapi baik Thian Liong maupun Pek Hong Nio
cu maklum bahwa kakek itu tidak kehilangan kewaspadaannya
dan selalu memperhatikan gerak gerik mereka berdua.
"Nio-cu aku menyesal sekali bahwa engkau sampai menjadi
tawanan seperti ini. Semua ini gara-gara orang yang selama ini
kuanggap sebagai suhengku (kakak seperguruanku). Tidak
tahunya dia seorang murid Siauw?lim-pai yang berkhianat, tidak
saja terhadap Siauw-lim?pai, akan tetapi bahkan terhadap
bangsa dan negara." "Tidak usah menyesal, Thian Liong. Kalau ada yang menyesal,
maka akulah orangnya. Kalau engkau tidak melakukan
perjalanan bersama aku, engkau tentu tidak akan mengalami
seperti sekarang ini."
"Hemm, aku masih tidak mengerti mengapa jahanam
itu menangkap aku. Engkau
tidak takut, Nio-cu?"
Dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan tidak berdaya
seperti puteri yang gagah perkasa itu masih dapat tersenyum
manis sekali. "Takut" Bukankah engkau pernah rnengatakan
bahwa hidup atau matinya seseorang itu berada di tangan Yang
Maha Kuasa" 646 Mengapa mesti takut" Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki
kita mati, siapa yang akan mampu mencegahnya, dan kalau Dia
menghendaki kita hidup, siapa yang akan mampu membunuh
kita?" "Bagus! Engkau benar, Nio-cu. Akan tetapi, apakah engkau tidak
putus harapan?" "Mengapa putus harapan" Selama masih hidup, kita masih
dapat berusaha untuk mengatasinya. Putus harapan berarti
sudah menyerah sebelum berusaha. Aku tidak akan pernah
putus harapan selagi masih hidup."
Thian Liong merasa kagum akan tetapi diam-diam dia merasa
khawatir bukan main. Bukan khawatir kalau puteri itu akan
dibunuh, melainkan khawatir akan bahaya yang lebih
mengerikan daripada kematian itu sendiri. Cara Cia Song
memandang sang puteri tadi, cara dia memondong dan
mendekapnya yang sempat dilihatnya, membuat dia merasa
khawatir sekali. Dia dapat merasakan betapa pemuda sesat itu
memandang Pek Hong Nio-cu seperti seekor serigala
memandang seekor kelinci!
Setelah rombongan itu berjalan sekitar dua jam mereka
memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Akan tetapi terdapat
sebuah jalan yang cukup lebar dalam hutan itu, jalan yang dibuat
oleh pasukan kerajaan Kin untuk membuat hubungan dari
daerah perbatasan sampai ke kota raja menjadi lancar. Juga
para pedagang yang suka melakukan perjalanan dalam
rombongan besar, yaitu dalam kafilah, membawa barang-barang
dagangan dari timur ke barat dan sebaliknya, amat memerlukan
647 jalan raya ini sehingga merekapun turun tangan mengeluarkan
biaya untuk memperbaiki jalan itu sehingga kini jalan itu
merupakan jalan yang cukup lebar dan nyaman.
Akan tetapi, baru kurang lebih satu lie (mil) rombongan pasukan
yang dipimpin Cia Song itu memasuki hutan, tiba tiba saja
terdengar suara berisik di depan dan mereka segera menahan
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda masing-masing. Kereta yang berada di tengah-tengah
rombongan itupun dihentikan karena mereka semua melihat
sebatang pohon besar tumbang menimbulkan suara berisik dan
jatuh berdembum melintang dan menghalangi jalan!
Semua orang merasa heran dan mendekati pohon yang
tumbang itu. Pohon itu besar dan cabangnya malang melintang
memenuhi jalan. Bagi kuda-kuda tentu dapat mengambil jalan
melalui pohon-pohon di tepi jalan, akan tetapi karena pohonpohon itu berdekatan dan lebat sekali, juga banyak semak
belukar, maka tidak mungkin bagi kereta untuk mendapatkan
jalan lain kecuali jalan yang terhalang pohon roboh itu,
"Cepat singkirkan pohon itu!" Cia Song memberi perintah.
Para perajurit segera turun tangan dan beramai-ramai mereka
memotongi batang pohon dan menariknya ke tepi jalan.
Pekerjaan itu memakan waktu satu jam lebih, barulah kereta
dapat lewat. Akan tetapi, baru saja kereta bergerak, belum ada
duapuluh tombak jauhnya, kembali sebatang pohon di depan
mereka roboh melintang di jalan!
Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin mulai curiga.
Robohnya pohon pertama mereka anggap sebagai hal yang
kebetulan saja karena mungkin batang pohon itu sudah keropos.
648 Akan tetapi robohnya pohon kedua ini tak mungkin hanya
kebetulan saja. Mereka berenam, juga para perajurit,
memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak tampak bayangan
seorangpun manusia lain di sekitar tempat itu.
Karena tidak dapat ditemukan orang lain yang mungkin menjadi
penyebab tumbangnya pohon itu, terpaksa Cia Song kembali
memerintahkan para perajurit untuk menyingkirkan pohon kedua
yang roboh itu. Dia kini melihat hal yang membuat dia bergidik
dan merasa seram. Kalau pohon pertama itu tumbang dan patah
batangnya, pohon kedua ini tumbang dan jebol berikut akarakarnya! Tenaga apa yang mampu merobohkan pohon sebesar
itu sampai jebol berikut akarnya" Seekor gajahpun belum tentu
mampu melakukannya! Kembali waktu lebih dari satu jam dipergunakan untuk
menyingkirkan pohon kedua. Akan tetapi baru saja pohon itu
disingkirkan, terdengar lagi bunyi berisik dan pohon berikutnya di
depan yang lebih besar lagi tumbang melintang di pinggir jalan!
Sekali ini Cia Song tidak merasa ragu lagi. Pasti ada yang
merobohkan pohon pohon itu! Akan tetapi, kiranya tidak mungkin
ada manusia yang sanggup merobohkannya. Dia cepat
menghampiri kereta di mana gurunya masih duduk dan agaknya
Ali Ahmed tidak begitu perduli akan robohnya dua batang pohon
tadi. Sementara itu, Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong
Nio-cu dan pemuda itu tersenyum, juga sang puteri tersenyum
karena mereka berdua merasa yakin bahwa robohnya pohonpohon secara berturut-turut itu bukan hal kebetulan dan jelas
649 merupakan halangan bagi pasukan itu. Halangan bagi pasukan
yang menawan mereka berarti harapan pertolongan bagi
mereka. "Suhu, pasti ada yang merobohkan pohon-pohon itu! Harap suhu
suka keluar dan melakukan pemeriksaan," katanya.
Ali Ahmed yang tua lalu turun dan keluar dari kereta sambil
ditopang oleh tongkat bambunya. Dia menggeleng kepalanya
yang bersorban lalu berkata, "Memang aneh. Kiranya sukar
mencari orang yang kuat merobohkan pohon-pohon itu, dengan
tenaga lahir maupun batin, kecuali " "Kecuali siapa, suhu?" "Hemm, kecuali setan itu."
Mendengar ucapan datuk Hui ini, Cia Song dan lima orang Ngoheng Kiam-tin merinding. Mereka adalah orang-orang yang
percaya sekali akan setan-setan dan ketahyulan semacam itu
seperti hampir semua orang pada umumnya di jaman itu.
Mendengar ini, Cia Song segera menghadap ke arah depan, ke
arah pohon yang tumbang lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Paduka yang menjaga dan menguasai hutan, harap maafkan
kami kalau melanggar wilayah paduka. Hamba berjanji akan
mengirim orang untuk membakar dupa dan bersembahyang di
sini kelak. Ijinkanlah kami melewati jalan ini!"
Lima orang Ngo-heng Kiam-tin, bahkan semua perajurit yang
juga tahyul ikut pula berlutut di belakang Cia Song. Juga kusir
kereta sudah turun dan berlutut menghadap ke arah pohon ke
650 tiga yang tumbang. Hanya Ali Ahmed yang tidak berlutut. Dia
berdiri, bertopang pada tongkat bambunya dan sepasang
matanya yang masih tajam itu mencari-cari ke depan, kanan dan
kiri. Ketika menyebut setan tadi, dia sama sekali tidak
maksudkan hantu. Akan tetapi dia membiarkan saja muridnya
dan para perajurit itu keliru menafsirkannya dan menyangka
bahwa yang menumbangkan pohon-pohon benar-benar setan
atau mahluk halus. Setelah berlutut dan mengucapkan kata-kata minta maaf dan
berjanji akan mengirim orang untuk menghormati "penguasa
hutan" itu, Cia Song kembali menyuruh orang-orangnya untuk
menyingkirkan pohon ketiga itu.
Akan tetapi tiba-tiba saja, mereka terkejut mendengar suara Pek
Hong Nio-cu. "Pengkhianat-pengkhianat jahanam!"
Cia Song dan teman-temannya memutar tubuh mereka dan
alangkah kaget dan heran hati mereka melihat Thian Liong dan
Pek Hong Nio-cu sudah berdiri di atas tanah dan telah bebas
dari semua belenggu. Bahkan yang membuat Cia Song terkejut
sekali adalah ketika melihat betapa dua orang tawanan itu sudah
memegang pedang masing-masing! Padahal, dia sudah
merampas kedua pedang mereka itu dan menaruhnya di atas
punggung kudanya, menyelipkan di sela kuda. Otomatis dia
menoleh ke arah kudanya yang ditambatkan di tepi jalan dan
melihat betapa pedang-pedang itu sudah tidak berada di sela
kudanya! 651 Bukan hanya Cia Song dan semua temannya yang merasa
heran. Bahkan Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sendiri merasa
terheran-heran. Tadi, ketika Ali Ahmed turun dari kereta, tiba-tiba
saja mereka melihat sinar berkelebat menyambar ke dalam
kereta dan tahu-tahu ikatan tangan mereka telah putus dan
pedang mereka dilempar ke atas pangkuan mereka! Tentu saja
dengan tangan bebas dan pedang di pangkuan mereka, dengan
mudah mereka lalu membikin putus semua tali yang mengikat
tubuh dan kaki mereka. Kemudian mereka turun dari kereta
dengan pedang masing-masing di tangan, lalu Pek Hong Nio-cu
mengeluarkan bentakan marah itu.
Dapat dibayangkan kagetnya hati Cia Song melihat betapa dua
orang tawanan itu telah lolos bahkan telah memegang pedang
mereka kembali. Dia segera berkata dengan gurunya. "Suhu,
harap suhu cepat robohkan mereka!"
Tadi ketika semua orang memutar tubuh, kakek itupun ikut
memutar tubuh dan diapun merasa terkejut melihat dua orang
tawanan itu sudah bebas dari belenggu. Diam-diam dia merasa
gentar juga karena sejak pohon pertama tadi dia sudah
mempunyai dugaan yang membuat hatinya merasa jerih. Kini,
mendengar permintaan muridnya, dan juga untuk menyelamatkan diri sendiri mengandalkan bantuan banyak
orang, dia lalu menudingkan tongkatnya ke arah dua orang
muda itu. Tongkatnya terbuat dari Bambu Sisik Naga, semacam
bambu yang bentuk kulitnya mirip sisik ikan atau naga. Mulutnya
berkemak-kemik membaca mantra dan dia mengerahkan ilmu
sihirnya. 652 "Bummm !" Tampak asap hitam mengepul dan tiba-tiba saja
tongkat itu terlepas dari tangannya, dan dalam pandangan
semua orang, tongkat itu telah berubah menjadi seekor naga
yang terbang melayang ke arah Thian Liong dan Pek Hong Niocu. Mengerikan sekali naga jadi-jadian itu. Matanya mencorong
dan moncongnya terbuka lebar, lidahnya terjulur keluar dan
mahluk itu menyemburkan api!
Akan tetapi tiba-tiba dari arah kiri, meluncur sebuah bola api
sebesar tangan. Bola api itu tepat menghantam kepala naga
jadi-jadian itu. "Darrr !" Naga itu terpental dan asap hitam
mengepul tebal. Naga lenyap dan tongkat bambu sisik naga itu
terlempar ke dekat Ali Ahmed.
Semua orang menengok ke kiri dan tampaklah seorang laki-laki
berusia enampuluh tahun lebih, tubuhnya sedang, mengenakan
pakaian yang hanya terdiri dari kain kuning dilibatkan di
tubuhnya, memakai sepatu dari kain yang berlapis besi dan
rambutnya diikat pita kuning. Matanya tajam, hidung mancung
dan mulut penuh kesabaran. Wajah yang masih tampak tampan
itu bulat telur dengan dagu agak runcing, bersih tanpa kumis
atau jenggot. Melihat laki-laki ini, Ali Ahmed marah sekali. Dia lalu berkemakkemik membaca mantra lalu kedua tangannya didorongkan ke
depan. Asap hitam bergulung-gulung menyambar ke arah laki
laki itu, membawa angin pukulan yang dahsyat sekali dan
berhawa panas. 653 "Siancai !" Laki-laki itu berkata lirih dan tangan
kirinya didorongkan seperti hendak menahan serangan jarak
jauh yang dahsyat dan berbahaya dari Ali Ahmed.
"Blarrrr !" Hawa pukulan berasap hitam yang
dahsyat itu seolah bertemu perisai yang amat kuat dan
membalik. Tubuh Ali Ahmed terjengkang roboh dan dia tidak
bergerak lagi. Cia Song melompat, menghampiri gurunya dan alangkah
kagetnya melihat gurunya telah tewas! Agaknya kakek yang
sudah delapanpuluh lebih usianya itu dan sudah lemah daya
tahannya, tidak kuat menerima tenaganya sendiri yang
membalik. "Suhu !" Thian Long berseru ketika melihat lakilaki berpakaian kuning itu.
"Paman Sie !" Pek Hong Nio-cu juga berseru.
Laki-laki yang bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin itu
memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, lalu
mengangguk dan tersenyum lebar, tampaknya bahagia sekali,
kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari sana.
Melihat dua orang tawanan itu lolos, Ngo-heng Kiam?tin segera
mengerahkan semua perajurit untuk menerjang dan
mengeroyok. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mengamuk
dengan pedang mereka. 654 Lima orang jagoan dari Pangeran Hiu Kit Bong itu mencari-cari,
akan tetapi Cia Song sudah tidak tampak batang hidungnya lagi.
Diam-diam pemuda ini sudah melarikan diri ketika melihat
gurunya tewas dan Thian Liong menyebut "suhu" kepada lakilaki setengah tua yang tadi merobohkan gurunya. Tahulah dia
bahwa kakek yang amat lihai itu tentulah Tiong Lee Cin-jin dan
dia menjadi ketakutan, diam-diam terus kabur dari situ!
Demikianlah memang watak seorang yang berbudi rendah.
Paling penting menyelamatkan diri sendiri dan tidak perduli
kepada orang-orang yang menjadi sahabat, rekan dan
sekutunya. Bahkan dia tidak perduli kepada gurunya yang
tewas! Setelah tahu bahwa Cia Song yang mereka andalkan, bahkan
yang menjadi pemimpin mereka itu tidak muncul dan jelas sudah
melarikan diri, lima orang Ngo-heng Kiam-tin menjadi panik dan
gentar. Tentu saja mereka menjadi "makanan lunak" bagi Pek
Hong Nio-cu dan Thian Liong, walaupun lima orang itu dibantu
sembilanbelas orang perajurit berikut seorang perajurit yang tadi
menjadi kusir kereta. "Jangan bunuh mereka, Nio-cu. Kita tawan mereka hidup-hidup
untuk dijadikan saksi akan pemberontakan Pangeran Hiu Kit
Bong!" Tentu saja Thian Liong berseru begini terutama sekali
untuk mencegah puteri itu menyebar maut.
Pek Hong Nio-cu dapat memaklumi kebenaran ucapan Thian
Liong, maka ketika ia mengamuk, pedangnya merobohkan para
pengeroyok tanpa membunuhnya. Thian Liong juga merobohkan
banyak orang dan tak lama kemudian, Ngo-heng Kiam-tin dan
655 duapuluh orang perajurit itu roboh semua oleh tamparan,
tendangan, atau terluka oleh pedang.
Thian Liong mempergunakan tali-tali yang dibawa oleh pasukan
itu untuk mengikat kedua tangan mereka semua di belakang
tubuh. Mereka menurut saja karena sudah terluka dan merasa
sudah tidak mungkin dapat melawan dua orang muda sakti itu.
Terutama terhadap Pek Hong Nio-cu mereka merasa takut
sekali. Dari sikap puteri itu mereka maklum bahwa kalau tidak
dicegah Thian Liong, mereka semua pasti akan dibunuh oleh
Puteri Moguhai yang amat marah dan benci kepada mereka
yang menjadi kaki tangan pemberontak.
Setelah tangan mereka semua diikat, Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu membawa mereka ke markas pasukan penjaga tapal
batas yang dipimpin oleh Pangeran Kuang sebagai
komandannya. Benteng pasukan itu tidak berapa jauh lagi dari
situ sehingga setelah melakukan perjalanan cepat, pada sore
harinya mereka tiba di benteng itu.
"Thian Liong, benarkah penolong kita tadi itu suhumu?" tanya
Pek Hong Nio-cu dalam perjalanan menggiring para tawanan itu
menuju markas pasukan penjaga perbatasan.
"Tidak salah lagi, Nio-cu. Masa aku dapat lupa kepada guruku
sendiri" Akan tetapi, mengapa engkau menyebutnya paman
Sie" Benarkah itu Paman Sie seperti yang pernah keuceritakan
kepadaku itu?" "Benar, Thian Liong. Biarpun dulu ketika aku melihatnya dia
berpakaian biasa, akan tetapi aku tidak melupakan wajahnya.
Dialah orangnya yang oleh ibu diakui sebagai sahabat baik dan
656 yang disebut Paman Sie. Dia yang memberi perhiasan kepala
yang kupakai ini dan memberi tiga buah kitab pelajaran ilmu
silat. Akan tetapi mengapa setelah menolong kita, dia pergi
begitu saja tanpa memberi kesempatan kepada kita untuk
bertemu dan bicara dengannya?"
"Entahlah, Nio-cu. Akan tetapi, suhu adalah seorang yang arif
bijaksana. Mungkin belum saatnya kita dapat berbicara dengan
beliau. Kita tunggu saja, kalau sudah tiba saatnya, tentu aku
dapat bertemu dengan guruku dan engkau dapat bertemu
dengan pamanmu itu. Akan tetapi sungguh aku heran,
bagaimana guruku itu menjadi sahabat ibumu dan dikenal
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai Paman Sie" Sungguh aku tidak mengerti."
"Apakah engkau tidak mengetahui she (Marga) gurumu itu?"
tanya Pek Hong Nio-cu. Thian Liong menggeleng kepalanya.
"Suhu tidak pernah memperkenalkan nama aselinya. Yang aku
tahu, beliau disebut Tiong Lee Cin-jin dan berjuluk Yok-sian
(Dewa Obat atau Tabib Dewa). Beliau juga tidak pernah
menceritakan tentang masa lalunya."
"Akan kutanyakan nanti kepada ibuku. Aku merasa heran sekali,
bagaimana gurumu yang namanya juga sudah sering kudengar
itu, Tong Lee Cin-jin, ternyata adalah seorang yang oleh ibuku
diaku sebagai sahabatnya dan mengharuskan aku memanggilnya Paman Sie yang juga menjadi guruku."
657 "Sudahlah Nio-cu. Kalau tiba saatnya, Suhu pasti akan mau
menceritakan tentang hal itu. Sekarang, engkau hendak
membawa orang-orang ini ke mana?"
"Akan kuserahkan kepada Paman Kuang yang bentengnya tidak
jauh lagi dari sini. Engkau benar, orang-orang ini dapat menjadi
saksi penting bagi pengkhianatan Pangeran Hiu Kit Bong yang
memberontak. Aku akan minta Paman Kuang secepatnya
kembali ke kota raja membawa pasukannya untuk menumpas
para pemberontak." Setelah mereka tiba di benteng, Pangeran Kuang yang menjadi
komandan pasukan penjaga tapal batas menyambut mereka
dengan gembira akan tetapi juga heran.
"Moguhai. Lagi-lagi engkau, melakukan perjalanan begitu jauh!
Dan sekarang engkau membawa tawanan
begini banyak! Apa artinya ini dan siapa pula
pemuda ini?" Pangeran Kuang yang berusia empatpuluh tahun
lebih, berpakaian sebagai seorang panglima dan berwajah
tampan, bertubuh tinggi besar.
Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tersenyum. "Paman,
apakah paman tidak menyuruh kami duduk dulu dan
memerintahkan orang-orangmu menahan orang orang yang
kutawan itu" Kami lelah sekali, paman."
Pangeran Kuang baru menyadari kelalaiannya. "Ah, sampai lupa
aku karena kunjunganmu yang tiba-tiba ini sungguh
mengejutkan aku. Mari, silakan duduk di dalam dan engkau juga,
658 orang muda." Dia menyuruh para pengawal untuk mengurus
tawanan. Mereka lalu memasuki ruangan dan duduk berhadapan. Pek
Hong Nio-cu segera bercerita karena ia tahu bahwa waktunya
mendesak sekali. "Paman, orang yang kutawan itu oya, aku lupa, ini
adalah Souw Thian Liong, sahabat baikku yang membantuku
menghadapi para pengkhianat itu! Ketahuilah, paman. Orangorang yang kami tawan itu adalah anak buah Paman Pangeran
Hiu Kit Bong yang berkhianat dan merencanakan
pemberontakan!" Pangeran Kuang membelalakkan matanya. "Apa"
Pangeran Hiu Kit Bong memberontak?"
Kanda "Benar, paman. Hal ini memang sudah kucurigai dan kuduga.
Akan tetapi sekarang sudah terbukti. Mereka ini diutus oleh
Pangeran Hiu Kit Bong untuk menangkap aku, untuk dijadikan
sandera dan memaksa sri baginda untuk menyerahkan tahta
kepadanya. Orang-orang ini dapat dijadikan saksi. Kalau tidak
ada bantuan Souw Thian Liong ini, tentu aku telah tertawan oleh
mereka. Cepat, paman. Hanya Paman Kuang saja yang dapat
menyelamatkan kerajaan dan membasmi para pemberontak.
Cepat paman kerahkan pasukan dan kembali ke kota raja
bersama kami. Aku khawatir kalau-kalau kita terlambat. Aku
khawatir akan keselamatan ayah."
Mendengar ini, Pangeran Kuang terkejut dan marah bukan main.
Pangeran Hiu Kit Bong adalah kakak tirinya, seayah berlainan
659 ibu. Dia diangkat menjadi panglima oleh kaisar, juga kakak
tirinya, sesuai dengan kepandaiannya, juga Pangeran Hiu Kit
Bong sudah diberi kedudukan sebagai Menteri Kebudayaan
merangkap penasihat kaisar. Kalau sekarang Pangeran Hiu Kit
Bong hendak memberontak, sungguh dia merupakan seorang
yang tidak tahu diri, tidak mengenal budi, angkara murka dan
pengkhianat! "Hemm, sungguh tidak disangka Kanda Pangeran Hiu Kit Bong
akan melakukan tindakan terkutuk seperti itu!" kata Pangeran
Kuang. "Baiklah, aku akan mempersiapkan pasukan dan kita
berangkat sekarang juga!"
Demikianlah, Pangeran Kuang lalu mempersiapkan sebagian
dari pasukannya berjumlah limaribu orang dan pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali dia memimpin pasukan itu berangkat
menuju ke Kota raja. Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong
mendahului pasukan, membalapkan kuda pilihan yang diberikan
Pangeran Kuang kepada mereka berdua.
*** Cia Song berhasil melarikan diri sebelum Thian Liong dan Pek
Hong Niocu mengamuk. Nyalinya sudah terbang begitu dia
melihat munculnya kakek sakti yang membuat gurunya tewas
terpukul tenaganya sendiri yang membalik. Datuk Hui itu saja
yang menjadi gurunya, sekali menyerang Tiong Lee Cin-jin
roboh sendiri. Apalagi dia. Baru menghadapi Thian Liong dan
Pek Hong Nio-cu saja dia akan sukar mendapatkan
kemenangan, apalagi di sana ada manusia setengah dewa yang
sakti itu! 660 Cia Song berlari cepat menuju ke kota raja kerajaan Kin dan
menghadap Pangeran Hiu Kit Bong. Melihat malam-malam Cia
Song datang menghadapnya dengan muka pucat dan basah
keringat, Pengeran Hiu Kit Bong menjadi kaget dan heran. Lalu
dia menggebrak meja dengan marah sekali.
"Sialan! Ternyata kepercayaanku kepadamu salah tempat, Ciasicu! Melakukan tugas begitu saja engkau gagal sama sekali,
malah semua anak buahmu terancam bencana. Celaka!"
"Akan tetapi saya sama sekali tidak menduga bahwa di sana
akan muncul Tiong Lee Cin-jin, Pangeran! Tadinya kami sudah
berhasil menangkap Souw Thian Liong dun Puteri Moguhai,
sudah kami belenggu dan hendak kami bawa pulang ke sini.
Siapa kira di tengah jalan muncul Tiong Lee Cin-jin yang
memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Bahkan Ali Ahmed, guru
saya sendiri, tewas ketika menyerangnya!
Pangeran Hiu Kit Bong berteriak memanggil pengawal dan
memerintahkan pengawal mengundang para panglima
sekutunya untuk malam itu juga datang berkumpul. Mereka itu
datang satu demi satu. Setelah semua berkumpul lengkap,
Pangeran Hiu Kit Bong berkata.
"Saudara-saudara semua, Puteri Moguhai telah pergi ke
perbatasan barat mengunjungi Pangeran Kuang. Tentu ia
bermaksud mengadu dan minta bantuan pasukan yang berjaga
di perbatasan. Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Malam
ini juga kita mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi kita
serbu istana, kita tangkap Kaisar. Jangan sampai kita terlambat.
Kalau kaisar sudah kita sandera, biarpun Pangeran Kuang
661 datang bersama pasukannya, dia tidak akan dapat berbuat apaapa demi keselamatan Kaisar."
Pangeran Hiu Kit Bong tidak menceritakan kegagalan orangorangnya menangkap Puteri Moguhai karena hal itu akan
membuat sekutunya gentar dan patah semangat.
Setelah berunding bagaimana caranya melakukan pengepungan
terhadap istana, para Panglima yang dipimpin Panglima Kiat
Kon itu lalu meninggalkan gedung Pangeran Hiu Kit Bong untuk
mempersiapkan pasukan masing-masing. Mereka terdiri dari
empat orang perwira, dikepalai Panglima Kiat Kon.
Sementara itu, Cia Song sendiri bertugas sebagai pengawal
pribadi Pangeran Hiu Kit Bong. Sebetulnya Cia Song segan
menjadi pengawal pribadi pangeran itu dan dia sudah ingin
pulang saja ke selatan untuk melapor kepada Perdana Menteri
Chin Kui. Akan tetapi dia merasa sungkan juga karena dia telah
gagal menangkap Puteri Moguhai, malah semua anak buahnya
mungkin tertawan dan hal itu tentu saja membahayakan karena
rahasia Pangeran Hiu Kit Bong akan terbongkar. Karena itulah
maka Pangeran Hiu Kit Bong hendak melakukan serangan
mendadak sebelum terlambat.
Akan tetapi, ketika persekutuan pemberontak itu mengumpulkan
pasukan mereka, ada perajurit yang diam-diam masih setia
kepada Kaisar dan malam itu juga dia meloloskan diri dari
kesatuannya dan pergi melaporkan persiapan pemberontakan
Pangeran Hiu Kit Bong itu kepada Panglima Muda Ceng yang
setia kepada Kaisar kerajaan Kin.
662 Panglima Muda Ceng terkejut sekali dan malam hari itu juga dia
mengumpulkan teman-teman yang masih setia kepada Kaisar
lalu mengerahkan pasukan seadanya untuk ditarik menjaga
istana! Juga diam-diam Panglima Muda Ceng melaporkan
kepada kaisar yang tentu saja menjadi terkejut, khawatir dan
marah sekali. JILID 18 Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang tinggal di
kota raja menjadi geger. Banyak sekali tentara mengepung
istana kaisar. Akan tetapi, dari tembok istana muncul pasukan
lain yang menghadang. Terjadilah pertempuran hebat di
sekeliling luar istana. Pangeran Hiu Kit Bong terkejut dan marah
sekali melihat betapa istana dijaga banyak perajurit. Dia
memerintahkan pasukannya bergerak dan menyerbu. Pertempuran hebat terjadi dan rakyat yang menjadi penduduk
kota raja berserabutan melarikan diri mengungsi keluar dari kota
raja! Karena merasa penasaran, Pangeran Hiu Kit Bong keluar dan
memimpin sendiri pasukannya, yang dipimpin Panglima Kiat Kon
dan para perwira sekutunya. Cia Song yang ingin menebus
kegagalannya memperlihatkan kepandaiannya. Di depan mata
Pangeran Hiu Kit Bong dia mengamuk dengan pedangnya dan
banyak tentara pihak pasukan pembela kaisar roboh dan tewas
di tangannya. Biarpun jumlah pasukan pemberontak dua kali lebih banyak
dibandingkan pasukan pembela kaisar, namun pasukan yang
dipimpin Panglima Muda Ceng dan rekan-rekannya itu
663 melakukan perlawanan mati-matian! Maka, setelah pertempuran
berlangsung sampai satu hari lamanya, pasukan pemberontak
belum juga dapat menduduki istana.
Pasukan pembela kaisar menutup pintu benteng istana dan
biarpun banyak perajurit mereka yang tewas, semangat mereka
masih besar dan mereka memperkuat benteng istana dengan
balok-balok yang kokoh. Malam itu mereka melakukan
penjagaan ketat dengan bergiliran, memberi kesempatan
kepada pasukan untuk beristirahat dan merawat luka-luka
mereka. Kaisar dan keluarganya sudah merasa khawatir sekali. Mereka
tahu bahwa pasukan yang melindungi mereka kalah besar
jumlahnya dibandingkan pasukan para pemberontak. Mereka
mendengar pula bahwa kalau siang tadi pertempuran masih
terjadi di luar istana, maka sekarang semua perajurit pembela
kaisar sudah mundur memasuki benteng istana dan pintu
gerbang sudah ditutup. Mereka hanya akan mempertahankan
benteng istana. Kalau sampai benteng istana bobol, berarti
pasukan pembela kaisar kalah dan pasukan pemberontak tentu
akan menyerbu istana! *** Malam itu gelap sekali, bahkan bintang-bintang di langit juga tak
tampak, tertutup mendung tebal. Hawa udaranya dingin.
Pasukan kedua pihak mempergunakan kesempatan itu untuk
melepas lelah setelah sehari tadi bertempur mati matian.
Benteng istana dijaga ketat oleh pasukan pembela kaisar.
664 Ronda berjalan sepanjang malam dan para penjaga itu
bergiliran. Akan tetapi di malam yang gelap dan dingin itu, tampak dua
bayangan berkelebat cepat sekali. Ilmu meringankan tubuh
mereka sungguh amat hebat karena saking cepatnya mereka
bergerak, tidak ada penjaga dalam benteng yang sempat melihat
mereka. Tubuh kedua bayangan itu melayang ke atas tembok
benteng lalu meluncur turun ke sebelah dalam. Mereka
menyelinap di antara kegelapan yang pekat dan tak lama
kemudian tubuh mereka sudah melayang naik ke atas
wuwungan istana! Dua orang itu adalah Cia Song dan Panglima Kiat Kon sendiri!
Mereka berdua menerima tugas istimewa dari Pangeran Hiu Kit
Bong. Melihat betapa pasukan pembela kaisar melawan mati matian,
Pangeran Hiu Kit Bong menjadi tidak sabar. Dia memanggil Cia
Song dan mengingatkan pemuda ini akan kegagalannya
menangkap Puteri Moguhai.
"Aku mempunyai tugas penting dan kuharap sekali ini engkau
akan melaksanakan dengan baik dan berhasil, Cia-sicu, untuk
menebus kegagalanmu menangkap Puteri Moguhai," kata
Pangeran itu. Diam-diam Cia Song mendongkol. Siang tadi dia sudah
memperlihatkan jasanya dengan merobohkan banyak perajurit
pembela kaisar, namun tetap saja pangeran ini masih penasaran
karena kegagalannya menangkap Puteri Moguhai.
665 "Tugas apa yang harus saya lakukan, pangeran?"
"Malam ini mereka tentu sedang beristirahat dan lengah. Karena
itu, aku perintahkan engkau dan Panglima Kiat Kon untuk
menggunakan kepandaian kalian, menyusup masuk istana dan
menawan Sri Baginda dan membawanya ke sini. Kalau kalian
berhasil, berarti kita tidak perlu bertempur lagi besok. Juga kalau
pasukan Pangeran Kuang datang mereka juga tidak dapat
berbuat apa-apa dan tidak berani menyerang kita yang sudah
menyandera Sri Baginda Kaisar."
"Saya siap melaksanakan perintah itu, pangeran!" kata Panglima
Kiat Kon dengan tegas. "Kalau Cia-sicu menemani saya, tugas
itu pasti akan dapat kami lakukan dengan berhasil baik!"
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana dengan engkau, Cia-sicu?" tanya Pangeran Hiu Kit
Bong sambil menatap wajah pemuda itu dengan tajam.
Biarpun di dalam hatinya dia mendongkol sekali, akan tetapi Cia
Song tidak dapat menolak. Dia mengangguk dan menjawab,
"Saya sanggup, hanya tidak berani memastikan hasilnya karena
di istana tentu diadakan penjagaan kuat."
Demikianlah, malam gelap dingin itu ditempuh Cia Song dan
Panglima Kiat Kon. Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
mereka yang tinggi, mereka berhasil melompati benteng tanpa
diketahui perajurit pembela kaisar dan mereka berdua berhasil
tiba di wuwungan istana! Akan tetapi selagi mereka berdua, dengan petunjuk Panglima
Kiat Kon yang mengenal daerah itu, meneliti di mana kiranya
kamar kaisar berada, tiba-tiba begitu mereka melangkah, kaki
666 mereka terpeleset genteng wuwungan istana yang agaknya
bergerak sendiri! Mereka terkejut dan merasa aneh. Akan tetapi
ketika mereka memandang ke sekeliling yang gelap, mereka
tidak mendengar apapun. Mereka melangkah lagi. Akan tetapi baru beberapa langkah,
kembali genteng yang mereka injak bergerak dan mereka
terpeleset, hampir jatuh. Mereka masih mampu bertahan agar
tidak terjatuh. "Eh, apa ini, sicu?"
Cia Song merasa bulu tengkuknya meremang.
"Entahlah, ciang-kun, mungkin kebetulan saja "
Akan tetapi mereka berdua merasa betapa ada benda kecil
menyambar ke arah mereka. Mereka cepat mengelak, akan
tetapi sungguh luar biasa, benda kecil itu tetap saja mengenai
pundak mereka seolah benda hidup yang terbang mengejar
ketika mereka mengelak. Mereka menahan seruan kaget karena pundak yang terkena
benda itu terasa nyeri dan lengan di pundak itu untuk beberapa
detik lamanya menjadi kesemutan dan lumpuh. Ketika dua buah
benda kecil itu terjatuh ke atas genteng, terdengar suara
berketikan seperti batu kerikil yang jatuh ke atas genteng.
Mereka terkejut bukan main. Penyambit batu kerikil itu pasti
memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga mereka tidak
mampu mengelak. Maklumlah keduanya bahwa ada orang sakti
yang sengaja mengganggu mereka dan kalau tadi dua kali kaki
667 mereka terpeleset, tentu mengganggu mereka itu. juga akibat ulah orang yang "Ciang-kun, kita pergi. Cepat!" kata Cia Song yang menjadi
ketakutan. Kalau sampai orang sakti itu muncul dan mereka
berdua ketahuan lalu dikepung ribuan orang perajurit, akan
celakalah mereka! Keduanya lalu cepat meninggalkan
wuwungan istana dan dengan gin-kang mereka yang tinggi,
mereka berlompatan dan keluar dari benteng istana itu. Akan
tetapi setibanya di luar benteng, dalam kegelapan malam itu
Panglima Kiat kon tidak dapat menemukan Cia Song.
Dia memanggil-manggil, akan tetapi Cia Song tidak menjawab.
Tahulah panglima itu bahwa Cia Song diam-diam telah
meninggalkannya. Dia merasa dongkol sekali. Tentu Cia Song
takut bertemu Pangeran Hiu Kit Bong karena lagi-lagi gagal
melaksanakan tugasnya malam ini.
Kiat Kon kembali kepada Pangeran Hiu Kit Bong, menceritakan
tentang kegagalannya. "Entah siapa yang mengganggu kami
berdua, akan tetapi jelas bahwa dia
658 seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Terpaksa
kami tidak dapat melanjutkan rencana itu, Pangeran, karena
dengan adanya orang yang demikian saktinya, tentu usaha kami
akan gagal, bahkan tidak mustahil kalau kami akan tertangkap
atau terbunuh. Maka kami segera meninggalkan wuwungan
istana." 668 Pangeran Hiu Kit Bong mengepal tinju. "Sialan, gagal lagi! Mana
orang she Cia itu?" "Ketika saya melompat keluar dari benteng istana, Cia-sicu tidak
ada, Pangeran. Saya kira dia sengaja pergi meninggalkan kota
raja karena tidak berani bertemu dengan paduka."
Pangeran Hiu Kit Bong marah sekali, lalu memerintahkan
sekutunya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi pagi
melakukan penyerangan besar-besaran. Dia berpendapat
bahwa besok benteng istana harus dapat dibobolkan dan kaisar
harus dapat ditangkap. Kalau tidak, dia khawatir pasukan
Pangeran Kuang keburu datang dan menyerang mereka.
Akan tetapi Pangeran Hiu Kit Bong masih punya rencana jahat
lain yang belum dilaksanakan, akan tetapi yang besar sekali
harapannya akan lebih berhasil daripada tugas yang gagal
dilaksanakan oleh Cia Song dan Kiat Kon tadi. Diam-diam
pangeran yang licik ini telah berhasil memperalat dua orang
pengawal pribadi kaisar. Dengan menyandera keluarga dua
orang pengawal pribadi kaisar dan mengancam akan membunuh
isteri dan anak-anak mereka, pangeran itu memerintahkan
mereka untuk membunuh kaisar malam itu. Kalau hal ini tidak
dilakukan, seluruh keluarga mereka yang disandera akan
dibunuh! Malam itu, Kaisar kerajaan Kin berkumpul dengan semua isteri
dan anak anaknya di ruangan dalam. Mereka tidak berani tidur di
kamar sendiri-sendiri seperti biasa. Mereka semua duduk di
dalam ruangan itu dengan wajah membayangkan ketakutan,
bahkan di antara para isteri dan puteri istana ada yang terisak
669 perlahan. Mereka semua maklum bahwa kalau pasukan yang
melindungi mereka kalah, mereka akan terjatuh ke tangan
pemberontak. Kaisar sendiri berdiri dengan tegar dan sama sekali tidak tampak
ketakutan. Hanya penasaran dan kemarahan yang tampak
membayang di wajahnya yang gagah dan keren. Dia merasa
penasaran sekali mendengar bahwa Pangeran Hiu Kit Bong,
kakak tirinya, orang yang telah diberikan kedudukan tinggi,
memimpin pemberontakan itu. Sama sekali tidak pernah
disangkanya. Dia kini merasa menyesal mengapa dia tidak
mendengarkan peringatan Moguhai, puterinya yang kini tidak
berada di istana. Puteri Moguhai pernah memperingatkan agar dia berhati-hati
terhadap kakak tirinya itu dan jangan terlalu percaya kepadanya.
Akan tetapi dia malah menertawakan puterinya itu yang dia
anggap terlalu berprasangka buruk. Sekarang, peringatan
puterinya itu menjadi kenyataan! Dia menghela napas panjang
dan ketika dia melayangkan pandang matanya kepada belasan
orang selir-selirnya, dia melihat Tan Siang Lin, ibu kandung
Moguhai, duduk tak jauh darinya dan hanya selir keturunan
pribumi Han ini sajalah yang kelihatan tabah dan tidak
membayangkan ketakutan. Ia tetap tenang dan anggun
sehingga kaisar teringat kembali kepada puteri mereka.
"Dinda Siang Lin, sayang sekali Moguhai tidak berada di sini.
Tahukah engkau ke mana ia pergi?" tanya kaisar dengan suara
lembut kepada selirnya tercinta ini.
670 Tan Siang Lin memandang kepada kaisar. Sejak tadi wanita ini
seringkali menengok dan memandang kepada suaminya. Dalam
hati ia merasa kagum dan juga bangga melihat pria yang
menjadi suaminya itu sama sekali tidak tampak khawatir atau
takut menghadapi keadaan yang amat gawat dan berbahaya itu.
"Hamba tidak tahu, Sri Baginda. Paduka mengetahui sendiri
betapa puteri kita itu suka sekali berkelana."
Kaisar mengangguk-angguk. "Aku percaya bahwa Moguhai pasti
mendengar akan peristiwa di kota raja ini dan ia pasti akan
datang untuk menyelamatkan kita semua."
"Semoga saja demikian, Sri Baginda," kata Tan Siang Lin.
Dalam ruangan yang luas itu terdapat belasan orang perajurit
pengawal pribadi kaisar yang melindungi keluarga istana itu.
Mereka berdiri dengan pedang di tangan, menjaga di pintu dan
jendela jendela yang terbuka. Wajah mereka ini rata-rata tegang,
karena mereka maklum bahwa kalau pertahanan pasukan
pembela kaisar bobol, mereka harus melindungi keluarga kaisar
dengan taruhan nyawa. Tiba-tiba, dua orang perajurit pengawal pribadi itu, yang berdiri
menjaga di sebelah belakang kaisar, dalam jarak lima meter,
bergerak maju sambil mengangkat pedang menyerbu ke arah
Kaisar! "Ampunkan hamba, Sri Baginda!" seru yang seorang.
"Ampunkan hamba, hamba
terpaksa membunuh paduka!" seru orang kedua.
671 Semua orang terkejut dan tertegun. Para perajurit pengawal
lainnya juga terpukau, tidak sempat mencegah karena dua orang
itu sudah menyerang kaisar.
Seorang membacokkan pedang dari atas, orang kedua
menusukkan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba dua sinar hijau
kecil meluncur dari arah jendela dan dua sinar hijau ini
menyambar ke arah tangan dua orang perajurit pengawal yang
memegang pedang. Mereka berdua berteriak mengaduh dan
pedang mereka terlepas dari pegangan, jatuh berdenting ke atas
lantai dan dengan tangan kiri mereka memegangi lengan kanan
masing masing di mana menancap sehelai daun hijau! Para
perajurit segera berlompatan dan meringkus dua orang perajurit
pengawal yang tiba-tiba menyerang kaisar itu.
Tan Siang Lin bangkit berdiri dari kursinya, memandang ke arah
jendela dari mana sinar hijau tadi meluncur masuk. Wajahnya
berseri, kedua matanya bersinar dan ia berseru girang.
"Sie-ko (kanda Sie) !" Akan tetapi ia sadar dan
menahan seruannya sehingga tidak terdengar jelas.
"Jangan bunuh. Seret mereka ke depanku!" kata kaisar dengan
tegas, sama sekali tidak menjadi panik oleh peristiwa itu. Dua
orang itu lalu didorong berlutut di depan kaisar di mana mereka
menyembah-nyembah dan menangis!
"Ampun, Yang Mulia yang terpaksa ! Ampunkan hamba berdua " mereka mengeluh dalam tangisan
mereka. 672 "Hemm, siapa yang memaksa kalian melakukan pengkhianatan
hendak membunuh kami?" bentak kaisar.
Seorang dari mereka menyembah dan berkata ketakutan,
"Hamba berdua terpaksa melaksanakan perintah Pangeran Hiu
Kit Bong untuk membunuh paduka karena kalau hamba tidak
mau, seluruh keluarga hamba berdua yang sudah disandera
akan dibunuh." Kaisar dan semua orang melihat jelas betapa sehelai daun
menancap di pergelangan kedua orang itu dan lengan mereka
berdarah. Semua orang merasa takjub. Bagaimana mungkin
sehelai daun dapat menancap pada lengan tangan dua orang itu
sehingga mereka gagal membunuh kaisar" Pada hal daun hijau
basah itu lunak dan lentur!
"Jebloskan mereka dalam tahanan, jangan bunuh," kata kaisar
kepada para pengawalnya. Dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai menghaturkan
terima kasih kepada kaisar. Akan tetapi dua orang perajurit
memegang lengan mereka dan menarik mereka keluar dari
ruangan itu. Kaisar menoleh kepada Tan Siang Lin, "Dinda Siang Lin, tadi
engkau memandang ke arah jendela dan memanggil seseorang.
Siapakah yang kau panggil itu" Apakah engkau melihat
seseorang?" Wajah Siang Lin berubah kemerahan. "Hamba tidak melihat
seseorang, Sri Baginda, akan tetapi hamba dapat menduga
siapa yang telah menyelamatkan paduka. Dia pasti guru puteri
673 kita Moguhai, karena hanya dialah kiranya yang mampu melukai
dua orang tadi hanya dengan menggunakan sehelai daun."
"Luar biasa! Siapakah nama guru Moguhai itu?" tanya kaisar dan
sedikit banyak kehadiran seorang manusia sesakti itu
membesarkan hatinya dan dia merasa terlindung oleh suatu
kekuatan yang hebat. Jantung dalam dada Siang Lin berdebar. Ia merasa serba salah,
akan tetapi harus menjawab pertanyaan kaisar yang menjadi
suaminya itu. "Hamba hanya mendengar bahwa guru Moguhai itu bermarga
Sie, Sri baginda." "Hemm, mengapa dia melindungiku secara diam-diam" Kalau
saja dia mau muncul, mungkin dia dapat memberi tahu kami di
mana adanya Moguhai sekarang ini."
Tiba-tiba tampak benda putih melayang masuk dari jendela.
Seorang perajurit pengawal cepat menangkapnya dan ternyata
benda itu sehelai kertas putih.
"Apa itu?" tanya kaisar.
"Sehelai kertas putih tertulis, Yang Mulia," kata pengawal itu.
"Cepat bawa ke sini!" perintah Sri Baginda dan perajurit itu
segera menyerahkan kertas itu kepada kaisar.
Kaisar membacanya dan seketika wajahnya berseri. Dia
menengok ke arah jendela dan berkata dengan suara lantang.
674 "Siapapun adanya engkau, orang gagah, kami berterima kasih
sekali padamu!" Dengan wajah berseri Kaisar lalu menyerahkan surat itu kepada
Siang Lin yang segera membacanya. Sepasang mata selir
kaisar ini menjadi basah saking bahagia dan terharunya
membaca isi kertas bertulis itu.
"Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja
dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka
datang." Surat itu lalu berpindah-pindah tangan, mula-mula Siang Lin
memberikannya kepada permaisuri yang setelah membacanya
menyerahkan kepada para selir. Mereka bergantian membaca
dan semua wajah menjadi berseri gembira. Timbul harapan
dalam hati mereka. Pasukan penolong yang dipimpin pangeran
Kuang dan Pureri Moguhai akan menolong mereka!
"Biar aku sendiri yang memimpin pertahanan istana!" Kaisar
timbul semangatnya dan diapun keluar dari ruangan itu menemui
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
para perwira yang setia kepadanya
untuk mengawasi sendiri pasukan
yang mempertahankan istana. Dengan munculnya kaisar sendiri ke
tengah-tengah mereka, para perajurit yang membela kaisar
bersorak gembira dan semangat mereka berkobar, apalagi
ketika mereka mendengar bahwa bala bantuan segera datang!
675 Pada keesokan harinya, diiringi sorak yang gegap gempita dan
bunyi terompet, tambur dan canang, pasukan pemberontak
menyerbu dan berusaha mendobrak pintu gerbang tebal yang
terbuat dari baja itu. Ada pula yang mempergunakan tangga
untuk naik ke atas tembok benteng istana. Pasukan pembela
kaisar menyambut dari dalam dan terjadilah pertempuran yang
seru dan mati-matian. Anak panah meluncur dari luar dan dari dalam seperti hujan.
Bunyi denting beradunya senjata bercampur sorak-sorai dan
teriakan-teriakan marah, jerit-jerit kesakitan membubung
bersama debu yang mengepul tebal. Darah mulai berceceran
membasahi bumi. Perang! Puncak ulah nafsu yang menguasai
hati dan pikiran manusia, membuat manusia bahkan lebih ganas
daripada binatang. Karena jumlah pasukan pemberontak hampir tiga kali lebih
banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, maka tentu saja
pihak pembela kaisar mulai kewalahan dan terdesak hebat.
Bahkan pihak penyerang sudah banyak yang dapat naik ke atas
tembok benteng dan di sana sudah terjadi pertempuran seru.
Pintu gerbang mulai didekati pasukan pemberontak dan mereka
mempergunakan kayu balok besar yang digotong beramai-ramai
untuk mendobrak pintu gerbang baja. Suaranya nyaring
menggelegar setiap kali ujung balok itu menghantam pintu
gerbang. Para perajurit pembela kaisar menggunakan segala daya untuk
mempertahankan pintu gerbang itu dengan mengandalkan
benda-benda berat. Namun, mereka kalah kuat karena kalah
banyak dan akhirnya, pintu gerbang yang tebal dan besar itu
676 jebol dan roboh ke dalam mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan
belasan orang perajurit di sebelah dalam yang tadi
mempertahankan pintu itu, tertimpa pintu besi yang amat berat
itu sehingga tewas terhimpit.
Para perajurit pemberontak menyerbu melalui pintu gerbang
yang sudah terbuka itu bagaikan air bah mengamuk. Perajurit
pembela kaisar yang berada di sebelah dalam menyambut dan
terjadilah pertempuran seru. Karena lubang pintu itu tidak terlalu
besar, hanya sekitar tiga tombak lebarnya, maka para penyerbu
itu tidak dapat masuk terlalu banyak dan hal ini membuat
pertahanan sebelah dalam masih kuat. Puluhan orang perajurit
penyerbu yang berhasil masuk disambut oleh ratusan orang
perajurit pembela kaisar dan yang di luar terhalang oleh yang
berada di depan. Karena itu untuk sementara pertahanan masih kuat. Betapapun
juga keadaan sudah sangat gawat karena dapat diramalkan
bahwa tidak lama lagi pasti pasukan pemberontak akan dapat
menyerbu ke dalam bangunan istana.
Kaisar memimpin sendiri para perajurit yang setia kepadanya.
Dia memberi komando. Ada yang menyambut serbuan lewat
pintu gapura atau gerbang yang sudah roboh daun pintunya, ada
yang diperintahkan tetap menjaga di atas tembok benteng untuk
menghalau musuh yang memasuki benteng lewat tembok.
Pada saat yang amat gawat itu, tiba tiba terdengar sorak-sorai
bercampur suara terompet, genderang dan canang. Para
perajurit pemberontak terkejut sekali dan tiba-tiba mereka
menjadi kacau-balau ketika diserang oleh pasukan yang baru
677 datang, pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Kuang dan Puteri
Moguhai bersama Thian Liong!
Puteri Moguhai didampingi Thian Liong mengamuk, membuka
jalan berdarah memasuki kerumunan perajurit-perajurit
pemberontak, merobohkan siapa saja yang menghalangi
mereka. Melihat betapa pintu gerbang yang sudah terbuka itu
penuh orang, mereka berdua lalu melompat ke atas tembok
benteng. Para perajurit pembela kaisar yang bertempur di atas tembok
benteng melihat datangnya pasukan penolong itu. Ketika mereka
melihat dua orang melompat ke atas benteng dan mengenal
seorang di antara mereka adalah Puteri Moguhai, mereka
bersorak dan semangat mereka berkobar. Apalagi ketika Puteri
Moguhai dan Thian Liong mengamuk, merobohkan banyak
perajurit pemberontak yang berhasil naik ke atas benteng,
mereka pun bersorak sambil mengamuk.
Puteri Moguhai dan Thian Liong segera melompat ke dalam dan
Thian Liong mengikuti Pek Hong Nio-cu atau Moguhai itu
memasuki istana. Para perajurit pengawal kaisar yang melihat
sang puteri, juga bersorak gembira. Mereka semua telah
mendengar bahwa pasukan Pangeran Kuang sudah berada di
luar dan sedang menyerang pasukan pemberontak.
Moguhai dan Thian Liong memasuki ruangan di mana keluarga
istana berkumpul. Melihat puterinya, Tan Siang Lin lari
menyambut. "Moguhai !" 678 "Ibu !" Mereka berangkulan. "Semua keluarga
selamat, bukan?" Tan Siang Lin mengangguk dan tersenyum, gembira sekali
melihat puterinya datang bersama pasukan Pangeran Kuang.
Ternyata isi surat yang melayang masuk tadi benar. Dan ia tahu
siapa yang menulis surat itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang
tadi merobohkan dua orang penyerang suaminya dengan
sambitan daun" "Di mana Sri Baginda?" tanya Moguhai ketika tidak melihat
ayahnya, di antara mereka.
Permaisuri yang juga menghampiri dan merangkul Moguhai
karena lega dan gembira hatinya, berkata, "Moguhai, ayahmu
sedang memimpin sendiri pasukan melawan serbuan
pemberontak." "Ah, mari ikut aku keluar, Thian Liong!" kata Puteri Moguhai
kepada pemuda itu. Mereka berdua lalu cepat keluar dan benar saja, gadis itu
melihat kaisar sendiri sedang memberi perintah kepada para
perwira pasukan yang mempertahankan benteng. Serbuan
Pasukan yang datang membuat kaum pemberontak panik dan
yang sedang menyerbu ke dalam juga sudah mendengar akan
datangnya pasukan Pangeran Kuang itu. Hal ini melemahkan
semangat mereka dan mereka didesak keluar oleh pasukan
yang berada di dalam benteng istana.
"Sri Baginda !" seru Puteri Moguhai dengan hati
679 bangga melihat betapa ayahnya sendiri maju memberi dorongan
semangat kepada para perajurit.
Kaisar menengok dan wajahnya yang berkeringat itu berseri
melihat puterinya. "Ah, Moguhai! Kedatanganmu bersama
Pangeran Kuang membawa pasukan sungguh tepat pada
waktunya! Kami semua merasa gembira sekali!"
"Biarlah pasukan Paman Pangeran Kuang menghancurkan
pasukan pemberontak, tidak. perlu paduka sendiri bersusah
payah. Harap paduka mengaso dan saya bersama sahabat saya
Souw Thian Liong ini yang akan membantu pasukan menyerbu
keluar!" Kaisar mengangguk-angguk ketika Thian Liong memberi hormat
dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan
membungkuk sampai dalam. "Baiklah, kukira kini bahaya sudah lewat," kata Kaisar dan dia
lalu kembali ke dalam istana, diikuti lima orang pengawal pribadi
yang sejak tadi tidak pernah meninggalkannya dan selalu
mengikuti dari jarak dekat ke manapun kaisar pergi.
Puteri Moguhai dan Thian Liong lalu membantu pasukan dan
dengan mudah mereka mendesak para pemberontak keluar dari
benteng. Kini para pemberontak dihimpit dari dalam dan luar.
Mereka menjadi panik dan banyak di antara mereka terluka atau
tewas. Panglima Kiat Kon yang tinggi besar, gagah dan mukanya penuh
brewok itu mengamuk seperti seekor harimau terluka. Dia sudah
merasa kepalang tanggung. Ambisinya adalah umntuk menjadi
680 panglima besar kalau Pangeran Hiu Kit Bong berhasil
menduduki singgasana. Tadi penyerbuan mereka sudah hampir
berhasil. Akan tetapi tiba-tiba muncul pasukan yang dipimpin
Pangeran Kuang sehingga kini pasukannya terjepit antara
pasukan dari luar dan dalam. Dia sendiri mengamuk di tengahtengah pertempuran dekat benteng istana, tidak mungkin keluar
dari pertempuran. Juga dia tidak ingin melarikan diri. Sudah
kepalang karena andaikata dia dapat melarikan diri, keluarganya
tentu tidak luput dari hukuman. Maka dia mengamuk dengan
pedangnya yang besar dan berat dan sudah banyak perajurit
pembela kaisar yang roboh dan tewas terkena babatan
pedangnya. Tiba-tiba pedangnya tertangkis ketika dia membabatkan ke arah
seorang perajurit musuh berikutnya.
"Trangggg !" bunga api berpijar dan Kiat Kon
merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Telapak
tangannya yang memegang pedang terasa panas sekali
sehingga hampir dia melepaskan pedangnya. Akan tetapi dia
masih sempat mempertahankan pedangnya dan cepat
memandang ke kanan untuk melihat siapa yang menangkis
pedangnya itu. Ketika dia melihat siapa orang yang memegang
pedang bengkok menangkis serangannya, mukanya berubah
pucat. Kiranya Puteri Moguhai yang berdiri di depannya dengan
mata bersinar penuh kemarahan.
"Puteri Moguhai !" dia berseru gagap.
"Panglima Kiat Kon, pengkhianat tak mengenal budi!" bentak
Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai. "Sri Baginda telah
681 memberi kedudukan tinggi kepadamu, akan tetapi apa
balasanmu" Engkau malah menjadi pengkhianat dan pembantu
pemberontak! Aku tidak dapat mengampunimu lagi?" Setelah
berkata demikian, Pek Hong Nio-cu lalu menerjang dengan
dahsyat. Panglima Kiat Kon sudah tahu akan kelihaian puteri ini, maka dia
menjadi gugup dan gentar. Akan tetapi tidak ada jalan keluar lagi
baginya. Pasukan pembela kaisar sudah berada di mana-mana
dan kiranya tidak mungkin melarikan diri dari Puteri Moguhai.
Puteri itu memang pernah belajar ilmu silat dari dia sendiri. Akan
tetapi itu dulu ketika Puteri Moguhai masih remaja. Sekarang ia
telah memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi tingkatnya
daripada kepandaiannya sendiri. Maka Kiat Kon lalu melawan
mati-matian. Sementara itu, Thian Liong melihat betapa tak jauh dari situ,
seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang bertubuh
tinggi kurus, berjenggot panjang dan berkumis pendek,
pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan tinggi,
sedang berdiri dengan pedang di tangan. Lima orang pengawal
melindunginya, melawan para perajurit istana yang mengepung
bangsawan tinggi itu. ternyata lima orang pengawal itu cukup
lihai dan banyak perajurit istana yang roboh oleh amukan lima
orang yang memegang golok besar itu.
Ketika melihat bangsawan itu, Thian Liong teringat akan
Pangeran Hiu Kit Bong seperti yang pernah digambarkan oleh
Pek Hong Nio-cu. Tinggi kurus berjenggot panjang berkumis
pendek. Tentu inilah pangeran yang menjadi biang keladi
pemberontakan itu. Dia cepat melompat ke arah orang itu. Dua
682 orang pengawal menyambutnya dengan golok mereka. Akan
tetapi dua kali tangan Thian Liong menampar dan dua orang itu
terpelanting roboh. Kemudian Thian Liong menerjang ke depan.
Pangeran Hiu Kit Bong mencoba untuk membacoknya dengan
pedangnya. Akan tetapi sekali menampar dengan tangan kirinya,
pedang itu terlepas dari pegangan sang pangeran dan secepat
kitat Thian Liong menotoknya sehingga Pangeran Hiu Kit Bong
tidak mampu bergerak lagi. Thian Liong lalu membawa tubuh
Pangeran itu melompat ke atas tembok benteng dan dari tempat
tinggi itu dia berseru sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga
suaranya terdengar lantang sampai jauh.
"Haiii! Para perajurit pemberontak! Lihatlah ke sini! Pemimpin
kalian sudah ditawan, kalian yang tidak ingin mati cepat lempar
senjata dan menyerah!!"
Suara itu lantang sekali dan terdengar oleh semua orang. Akan
tetapi karena semua perajurit pemberontak tidak mengenal
pemuda di atas tembok benteng yang menawan Pangeran Hiu
Kit Bong, maka mereka menjadi ragu. Pada saat itu, sesosok
bayangan berkelebat, melompat ke atas tembok benteng dan
ternyata ia adalah Pek Hong Nio-cu. Puteri ini telah berhasil
merobohkan Panglima Kiat Kon dengan sebuah tusukan yang
menewaskan panglima pemberontak itu. Setelah berdiri di dekat
Thian Liong, yang merangkul Pangeran Hiu Kit Bong yang sudah
tidak mampu bergerak, puteri itu berteriak melengking.
"Semua perajurit pengikut Pangeran Hiu Kit Bong, lepaskan
senjata kalian dan menyerahlah. Kalau tidak, kalian akan
dibasmi habis! Lihat pemimpin pemberontak telah kami tawan
dan Panglima Kiat Kon juga sudah tewas!"
683 Semua perajurit pemberontak tentu saja mengenal Puteri
Moguhai dan melihat betapa Pangeran Hiu Kit Bong benar-benar
telah ditawan, mereka menjadi putus asa. Tanpa ragu lagi
mereka membuang senjata mereka dan menjatuhkan diri
berlutut tanda menyerah. Melalui para perwira pembantunya, Pangeran Kuang lalu
menyerukan agar para perajurit pemberontak tidak dibunuh.
Mereka lalu ditawan dan digiring ke benteng pasukan yang tadi
membela kaisar. Pertempuran berhenti. Para tawanan dibawa ke dalam benteng.
Para perajurit melakukan penangkapan-penangkapan teradap
mereka yang menjadi kaki tangan Pangeran Hiu Kit Bong, di
bawah pimpinan para panglima yang setia kepada kaisar. Ada
pula yang bertugas membersihkan benteng istana, merawat
yang terluka dan mengurus penguburan mereka yang tewas.
Pangeran Hiu Kit Bong dan beberapa orang pembesar yang
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi anak buah dan sekutunya, dengan kedua tangan
diborgol, dihadapkan kepada kaisar, diikuti oleh Pangeran
Kuang, Puteri Moguhai dan Thian Liong. Semula Thian Liong
tidak ingin menghadap kaisar karena dia tidak mengharapkan
imbalan jasa untuk bantuannya. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu
memaksanya. Sambil menarik tangan Thian Liong Puteri
Moguhai berkata. "Hayolah, Thian Liong. Kau ikut denganku menghadap ayahku.
Engkau telah membantu kami, sudah sepantasnya kalau ayah
bertemu dan mengenalmu. Pula, sekali ini engkau yang
684 membantu aku, nanti aku akan membantumu mencari gadis
berpakaian merah yang telah mencuri kitab itu. Marilah!"
Thian Liong merasa tidak enak kalau menolak, maka diapun ikut
Puteri Moguhai dan Pangeran Kuang menggiring tawanan yang
jumlahnya tujuh orang itu menghadap kaisar kerajaan Kin. Dia
merasa janggal. Dia memasuki istana Kaisar Kin yang
merupakan kerajaan yang telah mengusir Kerajaan Sung,
menjajah tanah air bangsanya. Akan tetapi Thian Liong tidak
merasa bersalah. Dia pasti tidak akan membantu Kerajaan Kin
sekiranya kerajaan ini berperang melawan kerajaan Sung. Kalau
sekarang dia membantu kerajaan Kin adalah karena dia
memihak yang benar dan menentang para pemberontak yang
tentu saja merupakan pihak yang tidak benar karena
memberontak. Apalagi kalau diingat bahwa, Pangeran Hiu Kit
Bong, pengkhianat dan pemberontak itu bersekongkol dengan
Perdana Menteri Chin Kui yang harus ditentangnya karena
pembesar itu hendak menguasai dan menanamkan pengaruh
buruk kepada Kaisar kerajaan Sung.
Ketika mereka semua memasuki ruangan di mana Kaisar
menerima mereka, Puteri Moguhai lalu berlari menghampiri
ibunya dan duduk di dekat ibunya. Pangeran Kuang memberi
hormat kepada kakak tirinya dengan sikap gagah sebagai
seorang panglima. Para tawanan segera didorong dan
menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar.
Thian Liong meragu. Kalau berhadapan dengan kaisar
bangsanya sendiri, kaisar kerajaan Sung, dia tidak akan raguragu untuk menjatuhkan diri berlutut sebagai penghorrmatan.
Akan tetapi dia berhadapan dengan kaisar kerajaan Kin,
685 kerajaan bangsa Nuchen yang menjajah. Maka dia hanya
mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk
sebagai penghormatan. Moguhai sudah mendekati kaisar dan
berkata lirih. "Sri Baginda, pemuda itu adalah Souw Thian Liong yang
membantu kita dan dia pula yang menangkap Pangeran Hiu Kit
Bong sehingga perlawanan pasukan pemberontak dapat
dihentikan." Kaisar telah mendengar akan bantuan seorang pendekar
bangsa Han itu. Dia tersenyum dan memandang kepada Thian
Liong lalu mengangguk-angguk. "Souw sicu, silakan duduk di
kursi itu. Engkau juga, Pangeran Kuang!"
Kemudian Kaisar menjatuhkan hukuman kepada para pimpinan
pemberontak. Kaisar kerajaan Kin ini setelah mengambil Tan
Siang Lin sebagai selir terkasih banyak mengalami perubahan.
Kalau dahulu dia terkenal keras, kini dia berubah menjadi lebih
lunak. Banyak nasihat dia terima dari Tan Siang Lin sehingga dia
menjadi seorang penguasa yang bijaksana tidak lalim. Semua
orang tentu mengira bahwa kaisar akan menghukum mati
pimpinan pemberontak itu Akan tetapi kenyataannya tidak. Seperti yang diharapkan Siang
Lin, Pangeran Hiu Kit Bong dan para sekutunya tidak dijatuhi
hukuman mati, melainkan dihukum buang bersama keluarga
mereka di daerah utara, hidup dalam pengasingan dengan sukusuku yang masih terbelakang di sana sehingga tidak ada
kemungkinan bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak
baik. 686 Setelah tawanan itu dibawa pergi, Pangeran Kuang melaporkan
gerakannya menumpas pemberontak, dimulai dari kunjungan
Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang membawa tawanan,
yaitu Ngo-heng Kiam-tin dan belasan orang perajurit yang diutus
Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh Moguhai, sampai
pengerahan pasukan yang dia pimpin ke kota raja dan berhasil
membasmi para pemberontak pada saat yang tepat.
Setelah Pangeran Kuang selesai bercerita, tiba giliran Puteri
Moguhai untuk menceritakan pengalamannya bersama Souw
Thian Liong. Cerita Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai
menarik perhatian semua keluarga istana yang hadir di situ.
Mereka merasa kagum sekali. Setelah mendengar betapa Souw
Thian Liong, seorang pemuda pribumi Han menolong kerajaan
Kin dan berjasa besar, Kaisar segera berkata sambil
memandang kepada Thian Liong dengan senyum ramah.
"Souw-sicu, jasamu besar sekali dan kami mengucapkan banyak
terima kasih kepadamu. Katakan, apa yang kau inginkan dari
kami" Permintaanmu pasti akan kami penuhi demi membalas
budi dan jasamu." Thian Liong cepat memberi hormat. "Maafkan hamba, Sri
Baginda. Harap Paduka tidak salah paham. Hamba sama sekali
tidak menginginkan sesuatu. Apa yang hamba lakukan itu sama
sekali bukan perbuatan jasa atau pelepasan budi, apalagi
berpamrih mendapatkan imbalan, melainkan sudah menjadi
kewajiban hamba untuk melakukannya. Bukan sekali-kali hamba
menolak anugerah dari Paduka, hanya hamba tidak
mengharapkan imbalan apa pun."
687 "Sri Baginda harap jangan menghadiahkan apa-apa kepada
Souw Thian Liong. Dia seorang pendekar sejati, dan memberi
hadiah kepadanya sama saja dengan merendahkan, bahkan
menghinanya. Hamba mempunyai cara yang terbaik untuk
membalas budinya. Dia sedang mencari seorang gadis
berpakaian merah yang telah mencuri sebuah kitab darinya, dan
dia juga bertugas untuk menentang Perdana Menteri Chin Kui di
kerajaan Sung. Untuk kedua hal itu, hamba akan membantunya,
dengan demikian hamba dapat membalas budi kebaikannya,"
kata Puteri Moguhai kepada kaisar.
Kaisar mengerutkan alisnya mendengar nama Perdana Menteri
Chin Kui dlisebut. Bagaimanapun juga, Chin Kui dahulu
merupakan orang yang berjasa bagi kerajaan Kin. Chin Kui yang
mencegah balatentara Sung yang dipimpin Jenderal Gak Hui,
jenderal yang amat pandai dan ditakuti kerajaan Kin,
melanjutkan gerakannya menyerang ke utara untuk menghalau
kerajaan Kin yang menguasai setengah dari daratan Cina bagian
utara. Chin Kui yang berhasil membujuk Kaisar Sung untuk
berdamai dengan kerajaan Kin, bahkan kerajaan Sung mengirim
upeti tahunan kepada kerajaan Kin. Akan tetapi akhir-akhir ini
dia melihat kecurangan Perdana Menteri Chin Kui yang
mengurangi sebagian dari upeti kerajaan Sung itu untuk dirinya
sendiri. Hal ini membuat hubungan mereka merenggang.
"Kenapa Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung hendak
ditentang?" tanyanya sambil memandang kepada puterinya.
Puteri Moguhai mengerti jalan pikiran ayahnya. "Sri Baginda,
Souw Thian Liong hendak menentangnya karena Chin Kui
terkenal sebagai seorang pembesar yang korup dan khianat
688 terhadap kerajaan Sung. Selain itu, ternyata dia juga menjadi
sekutu Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak
kepada paduka." Kaisar mengerutkan alisnya. "Bersekutu dengan pemberontak?"
Dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh keheranan.
"Apa buktinya kalau dia bersekutu dengan pemberontak?"
"Buktinya sudah jelas, Sri Baginda," kata Puteri Moguhai. "Cin
Kui memang diam-diam menjalin persekutuan dengan Pangeran
Hiu Kit Bong dan yang paling jelas buktinya, dia mengirim
seorang utusan yang bernama Cia Song untuk menangkap
hamba. Hamba hendak ditangkap dan dijadikan sandera untuk
memaksa paduka menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran
Hiu Kit Bong." Kaisar mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Hemm,
aku memang sudah tahu bahwa Chin Kui adalah seorang yang
licik dan curang, sama sekali tidak boleh dipercaya. Pernah dia
minta kepada kami agar kami mengirim pasukan untuk
membantu dan merebut tahta kerajaan Sung dari tangan Kaisar
Kao Tsu, akan tetapi aku tidak mau mengkhianati perdamaian
yang sudah diadakan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung."
"Kakanda Kaisar, bagaimana kalau hamba membawa pasukan
untuk menghukum Chin Kui yang bersekongkol dengan
pemberontak itu?" tiba-tiba Pangeran Kuang mengusulkan.
Kaisar menggeleng kepala. "Tidak boleh, adinda pangeran.
Kalau engkau membawa pasukan ke selatan, hal itu akan dapat
menimbulkan salah paham dengan kerajaan Sung. Kalau di
sana Chin Kui hendak mengadakan pemberontakan, biarlah
689 Kaisar Sung Kao Tsu sendiri menghadapinya. Itu adalah urusan
dalam negeri kerajaan Sung dan kita tidak berhak
mencampurinya." "Benar sekali, Sri Baginda. Akan tetapi kalau hamba seorang diri
yang pergi membantu Souw Thian Liong, hamba tidak mewakili
kerajaan kita, melainkan sebagai tindakan pribadi hamba.
Hamba ingin membalas budi kebaikan Souw Thian Liong dan
harap paduka tidak melarang hamba."
"Ha-ha-ha, siapakah yang dapat melarangmu, Moguhai" Apakah
ayahmu ini pernah melarangmu selama ini" Engkau merantau
ke sana sini sehingga mendapat julukan Pek Hong Nio-cu, dan
aku tidak pernah melarangnya. Baiklah, engkau pergilah
membantu Souw-sicu, akan tetapi jangan lupa untuk segera
pulang. Engkau harus ingat bahwa engkau kini sudah dewasa,
usiamu sudah hampir duapuluh tahun dan sudah tiba masanya
bagimu untuk menikah!"
"Aihh paduka ! Hamba belum ingin menikah," kata Pek Hong Nio-cu tersipu dan tergagap sehingga
ditertawakan semua anggauta keluarga istana.
Atas permintaan Pek Hong Nio-cu, Souw Thian Liong terpaksa
tinggal di istana selama beberapa hari karena gadis itu ingin
melepaskan kerinduannya kepada keluarganya lebih dulu
sebelum meninggalkan mereka untuk melakukan perjalanan
dengan Souw Thian Liong menuju ke selatan.
Pada malam hari itu, Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan
ibunya di dalam kamarnya. Ibunya, Tan Siang Lin, merasa berat
690 dan khawatir mendengar puterinya akan pergi ke selatan
membantu Thian Liong menentang Perdana Menteri Chin Kui.
"Moguhai, anakku, aku benar-benar merasa gelisah sekali
mendengar engkau akan pergi ke selatan. Kalau orang-orang
kerajaan Sung mendengar bahwa engkau adalah puteri Kaisar
Kin, tentu engkau akan dimusuhi dan amatlah berbahaya
bagimu." Moguhai merangkul ibunya. "Jangan khawatir, ibu. Di dalam
istana ini, aku adalah Puteri Moguhai. Akan tetapi di luar sana,
aku dikenal sebagai Pek Hong Nio-cu. Di selatan nanti orangorang akan mengenal aku sebagai Pek Hong Nio-cu dan tak
seorangpun akan mengetahui bahwa aku adalah Puteri
Moguhai." "Akan tetapi pemuda she Souw itu mengetahuinya. Bagaimana
kalau dia memberitahukan kepada orang-orang lain?"
"Tidak mungkin, ibu. Dia seorang sahabat yang baik dan setia.
Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah tertimpa malapetaka.
Dia boleh dipercaya, ibu."
Tan Siang Lin menghela napas panjang. "Bagaimana pun juga,
aku tetap merasa khawatir. Biarpun engkau telah memiliki ilmu
silat yang tinggi dan tangguh, namun di selatan sana banyak
terdapat penjahat yang sakti."
Moguhai tersenyum. "Ibu tidak perlu khawatir. Selain aku sendiri
mampu membela dan menjaga diri, juga ada Souw Thian Liong
yang memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku. Dia lihai
sekali, ibu. Lihai dan bijaksana. Dan tahukah ibu siapa gurunya"
691 Gurunya adalah seorang sakti yang amat terkenal, yaitu bukan
lain adalah Tiong Lee Cin-jin!"
Wajah Tan Siang Lin berubah. Matanya terbelalak
dan mulutnya mengeluarkan seruan, "Ahh
mendengar disebutnya nama itu. Akan
menundukkan mukanya dan diam saja.
!" ketika ia tetapi ia lalu Moguhai memperhatikan sikap ibunya. "Ibu, ada satu hal yang
merupakan kejutan besar."
"Hemm, apakah itu, anakku?"
"Aku telah bertemu dengan paman Sie!"
"Eh" Benarkah" Bagaimana engkau mengetahui bahwa yang
kautemukan itu Paman Sie?"
"Aku tidak lupa akan wajahnya, ibu. Aku pernah melihat dia
ketika dia datang menemui ibu di taman beberapa tahun yang
lalu itu. Dia benar-benar paman Sie yang telah memberi kitabkitab dan perhiasan rambut ini kepadaku melalui ibu. Dan dialah
yang menyelamatkan kami ketika aku dan Thian Liong tertawan
kaki tangan pemberontak."
"Ah !" Selir kaisar itu memandang wajah puterinya.
"Dan dia menemuimu, bicara denganmu?"
"Sayang sekali tidak, ibu. Aku hanya melihat dia di kejahuan, lalu
dia menghilang setelah menolong aku dan Thian Liong." Kini
692 gadis itu memandang wajah ibunya dengan tajam. "Dan ada
satu lagi kejutan besar, ibu."
Tan Siang Lin agaknya telah dapat menguasai perasaannya. Ia
memandang puterinya sambil tersenyum dan berkata, "Ah,
engkau ini penuh dengan kejutan. Apa lagi yang hendak
kauceritakan, Moguhai?"
"Paman Sie itu ternyata adalah Tiong Lee Cin-jin, guru Souw
Thian Liong!" Moguhai melihat betapa kini tidak ada perubahan pada wajah
ibunya. Ia tahu bahwa hal ini jelas menunjukkan bahwa ibunya
pasti telah tahu bahwa paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Dan
Tan Siang Lin masih tersenyum ketika bertanya kepada
puterinya. "Bagaimana engkau dapat memastikan bahwa paman Sie itu
Tiong Lee Cin-jin?" "Ketika dia muncul setelah menyelamatkan Thian Liong dan aku,
Thian Liong berseru memanggilnya dengan sebutan suhu.
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suhunya adalah Tiong Lee Cin-jin, maka jelaslah bahwa paman
Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Benarkah itu, ibu" Ibu tentu lebih
mengenal dan mengetahui, bukan?"
Tan Siang Lin menghela napas dan diam saja tidak menjawab
dan hanya menundukkan mukanya, kemudian malah melamun
dan kedua matanya menjadi basah! Puteri Moguhai merangkul
ibunya. Ia biasanya manja kepada ibunya, akan tetapi melihat
ibunya seperti orang yang berduka, ia merasa gelisah dan ingin
sekali menghiburnya. Ia amat menyayang ibunya.
693 "Ibu, ada apakah, ibu" Ibu agaknya menyimpan rahasia!
Ceritakanlah kepadaku, ibu."
Tan Siang Lin menggeleng kepalanya. "Tidak, tidak ada apaapa, anakku. Hanya aku merasa terharu mendengar sahabat
baikku itu, Paman Sie itu, telah menyelamatkan engkau. Diapun
sudah menyelamatkan ayahmu ketika ayahmu terancam oleh
dua orang pengawal yang agaknya menjadi kaki tangan
Pangeran Hiu Kit Bong."
"Ah, benarkah ibu" Kenapa Sri Baginda tidak bercerita tentang
hal itu!" kata Moguhai, ikut gembira karena bagaimanapun juga,
ia merasa dekat dengan "Paman Sie" yang telah memberi tiga
kitab pelajaran ilmu silat tinggi dan perhiasan rambut, dan
menganggap dia sebagai gurunya walaupun ia belum pernah
bertemu dan bercakap-cakap.
"Mungkin ayahmu belum sempat bercerita karena masih banyak
persoalan yang harus diurus ayahmu berhubung dengan
pemberontakan itu." "Ibu saja yang bercerita! Bagaimana terjadinya peristiwa itu,
Ibu?" "Malam kemarin, ketika kami berkumpul di ruangan dalam,
dalam keadaan tegang karena pada siang harinya terjadi
pertempuran dan pasukan kita terdesak mundur sehingga hanya
menjaga di dalam benteng istana dan pintu gerbang ditutup
rapat. Malam itu tidak terjadi pertempuran akan tetapi kami
semua dapat menduga bahwa besok paginya para pemberontak
tentu akan menyerang lagi.
694 Tiba-tiba dua orang pengawal pribadi ayahmu, dengan golok di
tangan, menyerang ayahmu. Mereka telah menjadi antek
Pangeran Hiu Kit Bong. Karena serangan itu dilakukan tiba-tiba
maka agaknya tidak ada yang akan dapat menyelamatkan
ayahmu, akan tetapi tiba tiba dari luar jendela ada dua sinar
hijau meluncur masuk dan mengenai dua orang penyerang itu
yang senjata mereka terlepas dan mereka sendiri lalu
terpelanting. Mereka ditangkap para pengawal lainnya dan
ternyata yang menancap di tangan mereka hanyalah dua helai
daun hijau!" Moguhai memandang ibunya dengan sinar mata kagum. "Hebat!
Bukan main! Daun basah dapat dipergunakan sebagai senjata
rahasia! Alangkah saktinya!"
"Aku tahu bahwa hanya paman Sie saja yang mampu
melakukan hal itu. Aku memandang keluar jendela dan aku
yakin melihat bayangannya berkelebat di luar jendela.
Kemudian, selagi ayahmu bertanya-tanya di mana adanya
engkau, tiba-tiba dari luar jendela melayang sehelai kertas
bersurat." Tan Siang Lin lalu mengambil sebuah lipatan kertas
dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Moguhai.
"Inilah suratnya, masih kusimpan."
Moguhai yang sudah merasa kagum sekali cepat menerima
surat itu dan membuka lipatan lalu membacanya.
"Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja
dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka
datang." 695 "Ibu yakin bahwa surat inipun dilayangkan oleh Paman Sie?"
tanya puteri itu. Ibunya mengangguk. "Aku
tulisannya yang indah itu."
yakin sekaIi. Aku mengenal Diam-diam Moguhai menduga bahwa tentu hubungan antara
ibunya dan Paman Sie amat akrab, kalau tidak begitu tentu
ibunya tidak akan dapat mengenal tulisan Paman Sie! Apakah
mereka itu pernah saling bersurat?suratan" Moguhai tidak
berani menanyakan ini karena takut menyinggung perasaan
ibunya dengan dugaan yang terlalu jauh itu.
"Ibu menurut cerita Thian Liong, Tiong Lee Cin-jin itu melakukan
perantauan jauh ke barat sampai belasan tahun dan ketika dia
kembali, dia membawa banyak kitab milik aliran-aliran persilatan
yang dulunya hilang. Dia mengembaIikan kitab-kitab itu kepada
pemilik aselinya. Paman Sie juga telah memberi tiga jilid kitab
pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadaku. Juga ilmu kepandaian
mereka berdua itu amat tinggi. Aku kira mereka berdua itu hanya
satu orang saja. Benarkah bahwa paman Sie itu adalah Tiong
Lee Cin-jin?" Tan Siang Lin menghela napas. "Mungkin sekali demikian,
Moguhai. Dia tidak pernah mengatakan kepadaku bahwa dia
juga disebut Tiong Lee Cin-jin
walaupun eh, dia juga telah pergi selama belasan
tahun lamanya dan kami tidak pernah saling berjumpa."
696 "Hemm, dan ibu baru berjumpa padanya di taman itu setelah
belasan tahun saling berpisah?"
Tan Siang Lin mengangguk dan kembali menghela napas.
"Sudahlah, Moguhai. Jangan banyak membicarakan dia, tidak
enak kalau didengar orang lain,
disangkanya nanti ada apa-apa
" "Jangan khawatir, ibu. Aku selalu merahasiakan Paman Sie
seperti yang ibu pesan dulu."
"Baik sekali kalau begitu, anakku. Ingat saja bahwa Paman Sie
itu adalah gurumu dan dulu, dulu sekali dia adalah sahabat baik
ibumu." Moguhai amat menyayang ibunya. Setelah ibunya berkata
demikian iapun membelokkan percakapan tentang hal lain dan
tidak menyinggung nama Paman Sie lagi. Setelah melepaskan
kerinduannya kepada keluarga istana selama tiga hari, Moguhai
lalu ikut Thian Liong melakukan perjalanan ke Selatan.
*** Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu, lebih tepat kita sebut Pek
Hong Nio-cu karena selama melakukan perjalanan bersama
Thian Liong ia tidak pernah mengaku sebagai Puteri Moguhai,
menunggang kuda di sebelah Thian Liong. Mereka telah
melakukan perjalanan jauh dan kini sudah mulai memasuki
wilayah kerajaan Sung setelah kemarin mereka menyeberangi
Sungat Yang-ce. 697 Selama perjalanan mereka di wilayah kerajaan Kin, yaitu di
seberang utara Sungai Yang-ce, mereka tidak menemui banyak
kesulitan. Pek Hong Nio-cu selalu disambut dengan penuh
kehormatan setelah para pembesar setempat mengetahui, dari
pedang kekuasaannya, bahwa ia adalah puteri kaisar. Dan
perjalanan itu dipergunakan pula oleh Pek Hong Nio-cu
menyelidiki para pembesar. Kalau menemukan pembesar yang
sewenang-wenang terhadap rakyat, jahat dan korup, seperti raja
kecil yang lalim, ia segera turun tangan memberi hajaran dan
memperingatkan mereka dengan keras.
Pada suatu pagi mereka memasuki Kota Ciu-siang, kota
pertama wilayah kerajaan Sung yang berada di daerah barat.
Mereka tidak langsung memasuki wilayah Kerajaan Sung dari
timur yang sebetulnya lebih dekat dan mereka dapat langsung
tiba di Lin-an (Hang-chouw) yaitu kota raja Sung karena daerah
timur itu merupakan tempat yang gawat, perbatasan dijaga
kedua pihak sehingga melakukan perjalanan lewat daerah itu
akan mengalami banyak gangguan dan bahaya.
Karena malam tadi mereka berdua melakukan perjalanan
setengah malam di bawah sinar bulan purnama, mereka dan
juga kuda mereka telah lelah. Pek Hong Nio-cu mengajak Thian
Liong yang kini menjadi penunjuk jalan di daerah Sung yang
lebih dikenalnya, untuk mencari rumah penginapan agar mereka
dapat beristirahat. Sebelum memasuki daerah kerajaan Sung,
atas nasihat Thian Liong, Pek Hong Nio-cu mengganti
pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai para gadis
pribumi Han. Hal ini amat penting karena kalau ia mengenakan
pakaian gadis bangsawan bangsa Nu chen (Yuchen), hal itu
698 akan menimbulkan banyak masalah dan mungkin saja ia akan
dimusuhi oleh rakyat pribumi.
Pek Hong Nio-cu yang memang sudah mempersiapkan pakaian
pengganti, memakai pakaian gadis Han, akan tetapi tetap saja
pakaian itu dari sutera putih dan perhiasan burung Hong di
kepalanya masih dipakainya, hanya gelung rambutnya
disesuaikan dengan bentuk gelung rambut gadis pribumi Han.
Penampilannya tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali
karena wajah puteri itu memang lebih mirip gadis pribumi Han
daripada bangsa Nuchen. Hanya saja, karena ia memang amat
cantik jelita, maka di mana saja, orang-orang, terutama para
pria, yang melihatnya akan memandang dengan kagum.
Mereka berdua turun dari atas punggung kuda mereka di
pelataran sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan segera
menyambut dan mengurus kuda mereka.
Mereka lalu berjalan memasuki ruangan depan rumah
penginapan itu dan minta kamar kepada pengurus penginapan
yang duduk di belakang meja penerima tamu.
Agaknya memang menjadi peraturan di kota dekat perbatasan
itu bahwa para tamu harus memperkenalkan namanya. Ketika
ditanya, Thian Liong menjawab tenang. "Namaku Souw Thian
Liong dan nona ini adalah adikku, Souw-siocia (Nona Souw).
Kami hendak pergi ke kota raja.
Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Mereka
lalu memasuki kamar masing-masing untuk tidur karena merasa
lelah dan mengantuk. Setelah matahari naik tinggi, keduanya
terbangun dengan tubuh terasa segar kembali. Setelah mandi
699 dan menukar pakaian, mereka berdua pergi ke rumah makan
yang berada di samping rumah penginapan dan memesan
makanan. Se!agi mereka minum air teh sehabis makan, tiba?tiba mereka
dan semua orang yang sedang makan dalam rumah makan itu
dikejutkan oleh masuknya serombongan orang yang ternyata
adalah perajurit-perajurit berpakaian seragam dan jumlah
mereka ada belasan orang, dipimpin oleh seorang perwira yang
bertubuh tinggi besar. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bersikap tenang dan
memandang kepada perwira yang memimpin pasukan kecil itu.
Mereka melihat pula pengurus rumah penginapan yang juga
tampak memasuki rumah makan dan orang ini mendekati sang
perwira dan menudingkan telunjuknya ke arah Thian Liong dan
Pek Hong Nio-cu. Mengikuti petunjuk pengurus rumah penginapan, perwira itu
segera melangkah lebar menghampiri Thian Liong, diikuti
belasan orang anak buahnya.
Para tamu rumah makan menjadi ketakutan dan mereka
bergegas meninggalkan rumah makan itu setelah cepat-oepat
menghentikan makan mereka dan membayar harga makanan di
meja pengurus rumah makan. Berdasarkan pengalaman, kalau
pasukan datang, tentu terjadi keributan dan mereka tidak ingin
tersangkut. Tak lama kemudian, hanya tinggal Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu yang masih tinggal di rumah makan itu. Para pelayan
700 rumah makan juga sudah keluar dan berkumpul di pelataran,
menonton dari kejauhan. Biarpun maklum bahwa perwira yang diikuti serombongan
perajurit itu menghampiri meja mereka, Thian Liong dan Pek
Hong Nio-cu masih tenang saja. Bahkan Pek Hong Nio-cu
dengan sikap acuh mengangkat cangkir air tehnya dan minum.
Setelah tiba dekat meja, Thian Liong, perwira yang berusia
kurang lebih empatpuluh tahun, tinggi besar dan mukanya
brewok, matanya lebar itu memandang kepada Thian Liong lalu
bertanya dengan suara parau dan sikapnya kasar.
"Hei, apakah kamu yang bernama Souw Thian Liong?"
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnys dan merasa tak senang,
akan tetapi Thian Liong memberi isyarat kepadanya agar diam,
lalu dia sendiri dengan sikap tenang menjawab. "Benar, aku
bernama Souw Thian Liong. Ada apakah, ciang-kun (perwira)?"
"Bagus!" Perwira itu mencabut pedangnya, diikuti belasan orang
anak buahnya yang juga mencabut golok mereka.
"Souw Thian Liong, menyerahlah, kami harus menangkapmu.
Jangan melawan agar kami tidak perlu menggunakan
kekerasan!" Thian Liong masih tetap duduk tenang. Pek Hong Nio-cu bahkan
lebih tenang lagi. Tanpa memperdulikan pasukan kecil itu yang
mengepung dan semua mata ditujukan kepadanya dengan mata
penuh marah dan mulut menyeringai kurang ajar, ia
menuangkan air teh dari poci memenuhi cangkirnya.
701 "Aku tidak mempunyai kesalahan apapun, ciangkun. Kenapa
engkau hendak menangkap aku" Katakan dulu apa
kesalahanku, kalau aku memang bersalah, tentu aku menyerah
dengan senang hati untuk kautangkap," kata Thian Liong, tidak
menunjukkan rasa penasaran di hatinya dalam ucapan atau
Kitab Pusaka 5 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Pedang Ular Mas 2
"Hemm, kalau ada kesempatan, aku siap untuk membantumu,
Nio-cu," kata Thian Liong.
Pek Hong Nio-cu menatap wajah Thian Liong, seolah ingin
menjenguk isi hati pemuda itu. "Akan tetapi, Thian Liong, engkau
seorang pemuda berbangsa Han!"
"Hemm, kalau begitu, kenapa Nio-cu?"
"Bagaimana engkau akan membela kepentingan kerajaan Kin"
Bukankah kerajaan Kin telah menyebabkan kerajaan Sung
mengungsi ke selatan" Apakah engkau tidak mendendam
629 kepada bangsa Nuchen yang mendirikan kerajaan Kin yang
menjajah tanah airmu?"
Thian Liong merasa heran. Bagaimana puteri raja Kin dapat
berkata begitu ke-padanya" Ini tentu pengaruh ibu puteri itu,
yang juga seorang wanita berbangsa pribumi Han.
"Suhu mengajarkan kepadaku agar aku tidak mencampuri
urusan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung. Menurut suhu,
yang terpenting adalah menyejahterakan kehidupan rakyat,
melenyapkan kejahatan dan kebodohan. Karena kalau rakyat
hidup sejahtera dan kejahatan dapat dlbasmi atau setidaknya
dikurangi, maka negara akan menjadi kuat. Kalau para pejabat
melakukan tugasnya dengan jujur dan setia, mementingkan
kebutuhan rakyat jelata, maka rakyat pasti akan mendukung
pemerintah dan pemerintah menjadi kuat. Kalau terjadi
sebaliknya, yaitu kalau para pejabat saling berebutan kekuasaan
dan harta benda, tanpa memperdulikan rakyat bahkan menindas
rakyat, pasti pemerintah yang tidak didukung rakyat akan
menjadi lemah dan mudah dikalahkan musuh, seperti halnya
kerajaan Sung dahulu. Mengingat akan ajaran suhu itu, aku tidak
mau mendendam kepada kerajaan Kin, bahkan aku siap
membantu selama kerajaan Kin mempunyai pemeritahan yang
baik dan yang memperhatikan kepentingan rakyat jelata."
"Bagus! Akupun berpendirian seperti engkau, Thian Liong.
Apalagi aku mempunyai darah campuran, ayahku orang Nuchen
dan ibuku orang Han. Kalau engkau mau membantu aku
menentang pemberontak di kerajaan Kin, kelak aku pasti akan
membantumu untuk menentang kekuasaan Chin Kui yang
berkhianat terhadap kerajaan Sung."
630 Tiba-tiba terdengar suara derap kaki banyak kuda. Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu duduk dengan tetap tenang dan
memandang ke arah rombongan berkuda yang mengakibatkan
debu mengepul itu. Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di
dekat mereka, terdengar seruan nyaring.
"Berhenti !!" Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong masih duduk dengan tenang
walaupun kini mereka memandang kepada rombongan itu
dengan penuh perhatian. Mereka melihat bahwa mereka semua
terdiri dari sekitar tigapuluh orang akan tetapi tidak dapat dilihat
jelas wajah mereka karena debu mengepul dan banyak di antara
mereka yang wajahnya tertutup debu seperti dibedaki.
Akan tetapi melihat pakaian seragam pasukan itu, Pek Hong
Nio-cu mengenal mereka sebagai pasukan kerajaan Kin. Maka
ia cepat bangkit dan melangkah maju menghadapi mereka.
Kembali terdengar aba-aba dan semua perajurit berlompatan
turun dari atas kuda mereka. Beberapa orang di antara mereka
yang bertugas mengatur kuda segera mengumpulkan kuda-kuda
itu agak menjauh dan menambatkannya pada pohon pohon.
Lima orang jagoan yang memimpin pasukan itu cepat maju dan
berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu. Tentu saja puteri ini
segera mengenal mereka karena dahulu, ketika ia masih remaja
dan lima orang itu masih menjadi pengawal-pengawal pribadi
Raja Kin, ia pernah juga menerima pelajaran silat dari mereka.
Akan tetapi kemudian lima orang ini melakukan pelanggaran dan
dikeluarkan dari istana. Maka, tentu saja Pek Hong Nio?cu tidak
631 lagi menganggap mereka sebagai guru, bahkan memandang
mereka sebagai orang-orang yang jahat dan khianat.
Dengan alis berkerut Pek Hong Nio-cu memandang lima orang
yang berdiri dengan sikap sungkan itu, lalu ia menegur mereka.
"Mau apa kalian datang ke sini" Hayo pergi dan jangan
mengganggu aku!" Bagaimanapun juga, Puteri Moguhai amat terkenal dan disegani
segenap orang di kerajaan Kin. Ia memiliki wibawa yang amat
kuat sehingga ketika puteri itu membentak mereka, lima orang
jagoan itu menjadi gentar dan mereka saling pandang, menjadi
salah tingkah. Con Gu mewakili rekan-rekannya berkata kepada Pek Hong Niocu setelah membungkuk dalam-dalam. "Harap paduka maafkan
kami kalau kami mengganggu.
Kami melaksanakan perintah Sri baginda Kaisar untuk mengajak
paduka pulang ke kotaraja."
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. "Kenapa aku harus
pulang" Apa yang terjadi di istana?" terkandung kekhawatiran
dalam suaranya. "Kami tidak tahu, tugas kami hanya mengajak paduka segera
kembali ke kota raja," kata Con Gu.
Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis yang cerdik. Ia berpikir,
kalau ayahnya memanggilnya puIang, tidak mungkin ayahnya
mengutus lima orang ini. Apa lagi pasukan itu bukan pasukan
632 pengawal istana karena ia tidak mengenal mereka. Ada sesuatu
yang ganjil di sini, sesuatu yang agaknya tidak beres.
"Kalau Sribaginda memanggil aku pulang dan memerintahkan
kalian menjemputku, perlihatkan padaku surat perintahnya!"
katanya sambil menatap tajam wajah Con Gu.
Con Gu menjadi salah tingkah dan kembali dia saling pandang
dengan empat orang rekannya dan tampak
bingung. "Akan tetapi
" Dia berkata gagap.
"Tidak ada tapi, cepat keluarkan surat perintah Sribaginda
Kaisar!" bentak Pek Hong Nio-cu sambil menghunus pedang
bengkok dari emas yang menjadi tanda kekuasaannya sebagai
wakil Kaisar itu. Con Gu menjadi semakin bingung. Akan tetapi tiba-tiba Koi Cu,
orang kedua dari lima jagoan itu, yang lebih tabah, berkata,
"Surat perintahnya berada di tangan Pangeran Hiu Kit Bong dan
kami menerima perintah dari beliau. Harap paduka menurut dan
ikut saja dengan kami!"
Wajah Pek Hong Nio-cu yang putih itu kini berubah kemerahan,
sinar matanya menyambar penuh kemarahan. "Keparat! Kalian
tidak melihat pedang kekuasaan ini" Aku tidak mau pulang
bersama kalian, habis kalian mau apa?"
Melihat keberanian Koi Cu tadi, kini Con Gu pulih kembali
ketabahannya dan dia berkata, "Kalau paduka menolak,
terpaksa kami menggunakan kekerasan."
633 "Berani kalian melawan aku yang membawa pedang kekuasaan
ini" Berarti kalian berani melawan Sribaginda Kaisar, berarti
kalian pengkhianat dan pemberontak!"
"Kami hanya melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong!"
kata Con Gu. "Kalau begitu paman Pangeran Hiu Kit Bong itu yang hendak
memberontak! Aku tetap tidak mau ikut kalian pulang. Hendak
kulihat kalian dapat berbuat apa terhadapku!" Pek Hong Nio-cu
membentak marah. "Kalau begitu, terpaksa kami akan menangkap paduka!" Con Gu
berkata dan dia memberi isyarat.
Dua losin perajurit itu lalu bergerak mengepung kanan kiri dan
depan Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong yang masih duduk. Di
belakang kedua orang muda ini adalah sungai sehingga mereka
tidak mendapatkan jalan keluar, sudah terkepung rapat. Thian
Liong lalu melompat dan berdiri di sisi Pek Hong Nio-cu. Tadi dia
diam saja karena tidak ingin mencampuri Pek Hong Nio-cu yang
bicara dengan pimpinan pasukan kerajaan Kin dan dia
merupakan orang luar. Akan tetapi melihat perkembangannya,
mau tidak mau harus mencampurinya.
"Hei, apakah kalian berlima ini tidak malu" Yang hendak kalian
lawan ini adalah puteri Sri Baginda Kaisar kerajaan Kin,
junjungan kalian sendiri! Berarti kalian ini terang-terangan
menjadi pengkhianat dan pemberontak!" kata Thian Liong sambil
memandang tajam mereka berlima.
634 Tiba-tiba dari belakang pasukan itu menerobos seorang pemuda
yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia bukan anggauta
pasukan. "Souw Thian Liong, engkau harus kutangkap untuk menerima
pengadilan di depan para ketua Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!"
bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Song yang tadi
memang bersembunyi di belakang pasukan.
Melihat pemuda itu, Thian Liong terbelalak kaget dan heran
bukan main. "Cia-suheng (kakak seperguruan Cia)! Engkau di sini, bersama
pasukan pengkhianat ini" Apa artinya ini, suheng?"
"Tak usah engkau mengurus hal itu. Menyerahlah engkau untuk
kubawa menghadap para ketua Siauw-lim?pai dan Kun lun-pai
untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"
"Perbuatan apakah itu, Cia-suheng?" Thian Liong bertanya,
heran dan penasaran. "Jangan pura-pura bertanya! Menyerah saja dan engkau akan
diadili!" Pek Hong Nio-cu berseru keras, "Ah, sekarang aku tahu, Thian
Liong. Orang yang kausebut suhengmu ini tentulah utusan
Perdana Menteri Chin Kui untuk menghubungi pengkhianat
Pangeran Hiu Kit Bong itu!"
Thian Liong terbelalak memandang kepada Cia Song. "Ah!
Benarkah engkau menjadi anak buah Perdana Menteri Chin Kui
635 dan bersekutu dengan pangeran yang memberontak di kerajaan
Kin" Ciasuheng, bagaimana engkau bisa "
"Tangkap mereka! Keroyok pemuda itu, biar aku yang
menangkap Pek Hong Nio-cu!" kata Cia Song dan dia sudah
menerjang maju, menyerang Pek Hong Nio-cu dengan pedang
beronce merah yang dia cabut dari punggungnya.
"Tranggg !" Pek Hong Nio-cu menangkis dan
keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar, menunjukkan
bahwa mereka memiliki tenaga sin-kang yang tidak berselisih
jauh kekuatannya. Sementara itu, lima orang jagoan Kin itu sudah membentuk Ngoheng Kiam-tin mengeroyok Thian Liong. Melihat hebatnya
barisan pedang itu, yang masing masing anggautanya
menggerakkan pedang samurai dengan dahsyat sekali, Thian
Liong juga mencabut Thian-liong-kiam dan memutar pedangnya
untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya
bertubi-tubi dari lima jurusan itu.
Thian Liong maklum bahwa dia menghadapi orang-orangnya
para pengkhianat, baik pengkhianat kerajaan Sung maupun
pengkhianat kerajaan Kin dan pasti mereka itu tidak mempunyai
niat baik terhadap Pek Hong Nio-cu. Akan tetapi dia merasa
heran sekali mengapa Cia Song yang sama sekali tidak
diduganya telah menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol
dangan pengkhianat kerajaan Kin kini hendak menangkapnya
untuk dihadapkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun636
lun-pai untuk diadili! Apa yang terjadi" Dia tidak melakukan
sesuatu kesalahan terhadap dua perkumpulan besar itu! Karena
merasa penasaran, Thian Liong lalu mengamuk.
Thian-liong-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulunggulung sehingga Ngo-heng Kiam tin itupun tidak mampu
mendesaknya dan serangan mereka selalu terpental apabila
bertemu dengan sinar pedang itu. Akan tetapi Thian Liong juga
mendapat kenyataan bahwa barisan pedang yang terdiri dari
lima orang itu tak boleh dipandang ringan. Kerja sama mereka
rapi sekali, saling melindungi dan saling memperkuat daya
serang sehingga dia harus berhati-hati.
Sementara itu, Pek Hong Nio-cu menjadi marah sekali ketika Cia
Song berkata dengan suara merayu, "Ah, puteri jelita, sebaiknya
engkau menyerah saja daripada kulitmu yang putih mulus itu
menjadi lecet. Sayang kalau engkau sampai terluka, manis."
"Singgg !" Itulah jawaban Pek Hong Nio-cu.
Pedangnya menyambar dahsyat sehingga Cia Song menjadi
terkejut sekali dan dia harus cepat mengelak sambil
menggerakkan pedangnya menangkis.
"Cringgg !" Akan tetapi begitu tertangkis, pedang
di tangan Pek Hong Nio cu itu telah menyambar lagi, sekali ini
dengan babatan seperti kilat menyambar ke arah leher lawan!
Cia Song kembali harus melompat ke belakang untuk
menghindarkan diri, kemudian mau tidak mau dia membalas
dengan serangannya karena tak mungkin melawan gadis ini
637 hanya dengan bertahan saja. Pek Hong Nio-cu terlalu tangguh
untuk dilawan dengan seenaknya. Dia harus mengerahkan
seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk dapat
mengimbangi gadis bangsawan itu. Bahkan ketika dia mencoba
untuk mempergunakan ilmu sihirnya, mengeluarkan bentakan
dengan suara yang mengandung sihir dan dayanya
melumpuhkan, Pek Hong Nio-cu sama sekali tidak terpengaruh.
Hal ini adalah karena dara itu juga telah menghimpun tenaga
sakti yang kuat sehingga dapat menolak pengaruh sihir lawan.
Melihat betapa tidak mudah baginya untuk mengalahkan Pek
Hong Nio-cu, apalagi menangkapnya, dan melihat pula
sekelebatan betapa keadaan Ngo-heng Kiam-tin juga tidak lebih
baik karena mereka itu agaknya bahkan kewalahan menghadapi
gulungan sinar pedang Thian Liong, Cia Song lalu berseru
kepada pasukan yang terdiri dari dua losin perajurit itu.
"Pasukan bergerak, serbu !!"
Dua losin perajurit itu bergerak, terpecah menjadi dua bagian.
Selosin perajurit mengeroyok Thian Liong dan yang selosin lagi
mengeroyok Pek Hong Nio-cu.
Pek Hong Nio-cu yang mendapatkan lawan seimbang, bahkan
merasa betapa Cia Song merupakan lawan yang amat tangguh,
menjadi marah sekali ketika selosin orang perajurit itu membantu
Cia Song mengeroyoknya. Ia berseru melengking dan
pedangnya yang membentuk sinar keemasan itu menyambarnyambar.
Dua orang perajurit mengaduh dan terpelanting roboh. Melihat
ini, Cia Song memperhebat desakannya dan para perajurit yang
638 mengeroyok mulai khawatir. Mereka adalah perajurit pilihan,
namun dalam beberapa jurus saja gadis itu telah mampu
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merobohkan dua orang! Thian Liong juga mempercepat gerakan pedangnya setelah
selosin orang perajurit ikut mengeroyok. Menghadapi Ngo heng
Kiam-tin dia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi
sebelum dapat merobohkan lima orang samurai itu, kini maju
selosin perajurit mengeroyoknya. Maka dia segera menerjang
dan tiga orang perajurit roboh oleh sambaran sinar pedangnya.
Tiba-tiba Cia Song mengeluarkan aba aba. Memang dialah
sebenarnya yang menjadi pemimpin pasukan itu dan Ngo heng
Kiam-tin hanya menjadi pembantu-pembantunya. Setelah dia
mengeluarkan aba-aba, sisa perajurit yang masih sembilanbelas
orang itu segera mengeluarkan jaring yang memang sudah
dlpersiapkan dan mereka adalah perajurit-perajurit yang terlatih
menggunakan senjata istimewa ini. Begitu mereka menyerang
maka jaring-jaring ditebarkan ke arah Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu! Dua orang muda itu mengelak ke sana-sini dan
menggunakan pedang untuk menangkis dan merobek jaring
yang menyambar. Akan tetapi mereka terkejut karena ternyata
jaring-jaring itu terbuat dari tali istimewa yang tidak mudah
dirusak senjata tajam! Akhirnya tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu tertangkap
jaring! Thian Liong mengerahkan tenaga saktinya, meronta dan
menggerakkan pedangnya. Dua orang yang berhasil
menangkapnya dengan jaring dan memegangi tali jaring itu,
disambar sinar pedangnya yang mencuat keluar dari jaring. Dua
639 orang ftu terpelanting roboh. Thian Liong meronta keluar dari
selimutan jaring-jaring itu.
Dia melihat betapa Pek Hong Nio-cu juga tertangkap oleh dua
jaring dan dara itu meronta-ronta, mengamuk dengan
pedangnya namun tidak dapat melepaskan dirinya. Melihat ini,
Thian Liong mengeluarkan pekik melengking dan getaran suara
pekik yang amat lantang ini membuat pengeroyok mundur
beberapa langkah. Dia lalu melompat mendekati Pek Hong Niocu. Pedangnya digerakkan menangkis sambaran pedang Cia
Song. 'Tranggg !" Bunga api berpijar dan Cia Song
terpental mundur beberapa langkah. Biarpun tubuhnya sudah
diselimuti jaring, namun Pek Hong Nio-cu masih dapat
melindungi dirinya dengan pedangnya yang dapat keluar dari
sela-sela tali jaring. Thian Liong mendesak maju dan begitu
pedangnya berkelebat, dua orang perejurit yang menangkap Pek
Hong Nio-cu dengan jaring mereka terpelanting roboh. Thian
Liong cepat membuka tali jaring dan menyambar tangan Pek
Hong Nio-cu. Keadaannya terlalu berbahaya setelah para
perajurit mempergunakan senjata jaring itu.
"Kita pergi!" katanya dan dia mengajak Pek Hong Niocu
melompat ke tepi sungai lalu sekali menggerakkan kaki, mereka
berdua melompat ke atas perahu di mana kakek tadi masih
memegang tangkai pancingnya dengan tenang seolah tidak
mendengar atau melihat adanya pertandingan di dekat sungai.
Dengan ginkangnya yang tinggi, Thian Liong dan Pek Hong Nio-
640 cu dapat hinggap di atas perahu pengail ikan itu tanpa
mengakibatkan perahu itu oleng terlalu kuat.
"Maafkan, paman. Kami menumpang di
perahumu " kata Thian Liong. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pengail ikan yang tua itu
tiba-tiba saja menggerakkan kedua tangannya mendorong ke
depan, ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dorongan itu
mendatangkan angin yang dahsyat. Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu berusaha menangkis, namun karena mereka berdiri di
atas perahu yang kecil, maka tak dapat dihindarkan lagi tubuh
mereka terdorong dan keduanya terjengkang dan terjatuh ke
dalam air! Mereka memang tidak sampai terluka oleh serangan pukulan
jarak jauh, akan tetapi mereka terjatuh ke dalam air yang dalam.
Keduanya hanya dapat berenang sekadar tidak tenggelam saja.
Akan tetapi ketika mereka berusaha berenang, para perajurit
berloncatan ke dalam air dan tak lama kemudian, Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu merasa betapa kaki mereka dipegang
orang dari bawah dan tubuh mereka diseret ke dalam air!
Tentu saja mereka terkejut bukan main dan berusaha
melepaskan kaki mereka yang dipegang orang. Akan tetapi, kini
yang memegangi kaki mereka bertambah banyak. Di darat boleh
jadi mereka merupakan orang-orang yang amat lihai. Akan tetapi
dalam air, mereka tak mampu berbuat banyak karena melawan
air agar tidak tenggelam saja sudah membutuhkan sebagian
besar tenaga mereka. Karena itu, ketika kaki mereka dipegang
banyak orang yang memang merupakan pakar dalam air,
641 mereka tidak berdaya. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
berusaha untuk menahan napas, namun mereka menjadi lemas
dan akhirnya tak dapat meronta lagi dan mereka berdua dibelitbelit tali yang kuat lalu dinaikkan ke darat dalam keadaan
setengah pingsan! Karena Cia Song tidak menghendaki mereka mati, maka dia lalu
memerintahkan para perajurit yang ahli dalam menolong orang
yang hanyut dalam air untuk menyelamatkan dua orang tawanan
itu. Tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ditelungkupkan dan
banyak air yang tertelan dapat dikeluarkan melalui mulut.
Akhirnya kedua orang tawanan itu sadar betul.
Thian Liong melihat bahwa dia dan Pek Hong Nio-cu sudah
terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan tubuh mereka tidak
dapat digerakkan karena agaknya telah ditotok secara lihai
sekali. Dia menduga bahwa yang menotok jalan darah mereka
tentulah Cia Song. Dia tidak berkata apa-apa hanya memandang
mereka yang berdiri menghadapinya. Dia melihat lima orang
yang membentuk Ngo-heng Kilam-tin yang tadi mengeroyoknya
dan di samping mereka berdiri Cia Song yang memandang
kepada Pek Hong Nio-cu dengan mulut menyeringai.
Dan di sebelah murid Siauw-lim-pai yang menjadi antek Chin Kui
dan bersekongkol dengan para pengkhianat kerajaan Kin itu
berdiri seorang kakek yang bukan lain adalah tukang pancing
tadi! Kiranya kakek tukang pancing itu merupakan seorang di
antara mereka, bahkan yang mengejutkan hati Thian Liong
adalah ketika Cia Song bicara kepada kakek itu dan
menyebutnya suhu. Jadi, di samping menjadi murid Siauw-lim642
pai, diam-diam Cia Song telah berguru kepada kakek ini yang
belum dia ketahui siapa orangnya.
"Suhu, sungguh kebetulan sekali suhu berada di sini. Teecu
(murid) tadi sama sekali tidak mengenal suhu yang teecu kira
seorang pemancing ikan biasa. Maafkan teecu dan terima kasih
atas bantuan suhu sehingga mereka berdua ini dapat
ditangkap," kata Cia Song yang membuat Thian Liong
keheranan dan kini dia mengamati kakek itu.
Kakek yang memakai caping lebar itu sudah tua, kurang lebih
delapanpuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi kurus dan
sikapnya lemah lembut. Dia memegang sebatang tongkat
bambu. Kakek itu tertawa lirih. "Heh-heh, memang akhir-akhir ini aku
sedang suka hidup di atas perahu dan setiap hari memancing
ikan. Cia Song, aku dengar tadi semua pembicaraan. Jadi Pek
Hong Nio-cu yang namanya terkenal itu adalah puteri Kaisar
kerajaan Kin" Bukan main! Dan pemuda ini, ilmu silatnya hebat
sekali. Murid siapakah dia?"
"Suhu, dia itu Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cin?jin,"jawab
Cia Song. "Eh" Murid Tiong Lee Cin-jin" Kalau begitu mengapa tidak kau
bunuh saja dia" Kalau dibiarkan hidup, kelak akan menjadi
bahaya besar bagimu. Ilmu kepandaiannya lihai sekali, engkau
tidak akan menang melawannya. Kalau tidak dibantu air sungai
ini, mustahil engkau dapat menangkapnya." Kakek itu
menggunakan tangan kiri mengelus jenggotnya yang tebal dan
sudah berwarna putih. 643 "Tidak, suhu. Teecu akan membawanya menghadap para
pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang akan mengadili
dan menghukumnya." "Lalu apa yang hendak kaulakukan dengan puteri ini?" tanya
pula kakek itu. "Ia akan kami bawa kepada Pangeran Hiu Kit Bong untuk
dijadikan sandera. Suhu, kalau suhu tidak ada urusan sesuatu,
marilah suhu ikut dengan teecu. Sebaiknya kalau suhu
membantu Pangeran Hiu Kit Bong agar kelak di hari tua suhu
akan mendapatkan kemuliaan dan kehormatan."
"Ha-ha, baiklah, Cia Song. Akupun sudah mulai bosan
memancing ikan setiap hari. Aku ikut denganmu," kata kakek itu
lalu dia membuang pancing dan capingnya. Ternyata di bawah
capingnya itu dia memakai sebuah sorban berwarna putih.
Pada saat itu Pek Hong Nio-cu baru sadar betul dan begitu ia
sadar, ia lalu mencaci maki. "Jahanam keparat kalian para
pengkhianat! Kalau Sribaginda mendengar, kalian tentu akan
mendapatkan hukuman siksa sampai mati! Dan kamu, tua
bangka keparat, aku tahu siapa kamu! Kamu adalah Ali Ahmed,
datuk bangsa Hui yang sudah terkenal jahat dan kejam. Engkau
manusia terkutuk, sudah tua bangka mau mati masih tidak
mencari jalan terang. Matimu tentu akan tersiksa dan engkau
akan masuk neraka jahanam!"
Cia Song memerintah anak buahnya. "Bawa kereta itu ke sini!"
Ternyata rombongan itu sudah mempersiapkan sebuah kereta
untuk mengangkut kedua tawanan mereka. Setelah kereta yang
644 ditarik dua ekor kuda itu datang, Cia Song berkata kepada Con
Gu. "Paman Con Gu, kau angkat Thian Liong dan aku yang
mengangkat sang puteri, kita masukkan mereka dalam kereta.
Dan suhu, teecu harap suka duduk dalam kereta agar tidak lelah
dalam perjalanan dan sekalian suhu menjaga dua orang
tawanan ini agar tidak sampai lolos."
"Hu-hu-ha-ha, baik, baik. Aku senang naik kereta," kata kakek itu
yang bukan lain adalah Ali Ahmed yang sepuluh tahun lebih
yang lalu pernah mencoba untuk merampok kitab-kitab dari
Tiong Lee Cin-jin. Dia memang menjadi guru dari Cia Song
selama beberapa tahun. Thian Liong diangkut oleh Con Gu, dibantu oleh Koi Cu, dan
memasukkan pemuda itu ke dalam kereta. Cia Song sendiri
memondong tubuh Pek Hong Nio-cu dan dia sengaja mendekap
tubuh yang lunak hangat itu kuat-kuat ke dadanya, membuat
jantungnya berdebar keras dibakar gairah berahinya.
Pek Hong Nio-cu tidak dapat meronta karena seluruh tubuhnya,
dari kaki sampai ke dada, dibelit tali dan kaki tangannya diborgol
kuat-kuat. Hanya matanya yang memandang kepada Cia Song
dengan kebencian yang meluap-luap. Melihat sinar mata ini,
kuncup juga hati Cia Song dan dia mencoba mengambil hati.
"Pek Hong Nio-cu, kalau engkau bersikap manis kepadaku, aku
jamin engkau akan diperlakukan dengan baik dan tidak akan ada
yang berani mengganggumu."
"Siapa sudi mendengar ocehanmu!" kata sang puteri dengan
marah. 645 Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu didudukan di dalam kereta,
berdampingan menghadap ke belakang sedangkan Ali Ahmed
duduk di bangku di depan mereka. Begitu duduk dan bersandar,
kakek tua renta itu segera tertidur sambil memegang tongkat
bambunya. Akan tetapi baik Thian Liong maupun Pek Hong Nio
cu maklum bahwa kakek itu tidak kehilangan kewaspadaannya
dan selalu memperhatikan gerak gerik mereka berdua.
"Nio-cu aku menyesal sekali bahwa engkau sampai menjadi
tawanan seperti ini. Semua ini gara-gara orang yang selama ini
kuanggap sebagai suhengku (kakak seperguruanku). Tidak
tahunya dia seorang murid Siauw?lim-pai yang berkhianat, tidak
saja terhadap Siauw-lim?pai, akan tetapi bahkan terhadap
bangsa dan negara." "Tidak usah menyesal, Thian Liong. Kalau ada yang menyesal,
maka akulah orangnya. Kalau engkau tidak melakukan
perjalanan bersama aku, engkau tentu tidak akan mengalami
seperti sekarang ini."
"Hemm, aku masih tidak mengerti mengapa jahanam
itu menangkap aku. Engkau
tidak takut, Nio-cu?"
Dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan tidak berdaya
seperti puteri yang gagah perkasa itu masih dapat tersenyum
manis sekali. "Takut" Bukankah engkau pernah rnengatakan
bahwa hidup atau matinya seseorang itu berada di tangan Yang
Maha Kuasa" 646 Mengapa mesti takut" Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki
kita mati, siapa yang akan mampu mencegahnya, dan kalau Dia
menghendaki kita hidup, siapa yang akan mampu membunuh
kita?" "Bagus! Engkau benar, Nio-cu. Akan tetapi, apakah engkau tidak
putus harapan?" "Mengapa putus harapan" Selama masih hidup, kita masih
dapat berusaha untuk mengatasinya. Putus harapan berarti
sudah menyerah sebelum berusaha. Aku tidak akan pernah
putus harapan selagi masih hidup."
Thian Liong merasa kagum akan tetapi diam-diam dia merasa
khawatir bukan main. Bukan khawatir kalau puteri itu akan
dibunuh, melainkan khawatir akan bahaya yang lebih
mengerikan daripada kematian itu sendiri. Cara Cia Song
memandang sang puteri tadi, cara dia memondong dan
mendekapnya yang sempat dilihatnya, membuat dia merasa
khawatir sekali. Dia dapat merasakan betapa pemuda sesat itu
memandang Pek Hong Nio-cu seperti seekor serigala
memandang seekor kelinci!
Setelah rombongan itu berjalan sekitar dua jam mereka
memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Akan tetapi terdapat
sebuah jalan yang cukup lebar dalam hutan itu, jalan yang dibuat
oleh pasukan kerajaan Kin untuk membuat hubungan dari
daerah perbatasan sampai ke kota raja menjadi lancar. Juga
para pedagang yang suka melakukan perjalanan dalam
rombongan besar, yaitu dalam kafilah, membawa barang-barang
dagangan dari timur ke barat dan sebaliknya, amat memerlukan
647 jalan raya ini sehingga merekapun turun tangan mengeluarkan
biaya untuk memperbaiki jalan itu sehingga kini jalan itu
merupakan jalan yang cukup lebar dan nyaman.
Akan tetapi, baru kurang lebih satu lie (mil) rombongan pasukan
yang dipimpin Cia Song itu memasuki hutan, tiba tiba saja
terdengar suara berisik di depan dan mereka segera menahan
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda masing-masing. Kereta yang berada di tengah-tengah
rombongan itupun dihentikan karena mereka semua melihat
sebatang pohon besar tumbang menimbulkan suara berisik dan
jatuh berdembum melintang dan menghalangi jalan!
Semua orang merasa heran dan mendekati pohon yang
tumbang itu. Pohon itu besar dan cabangnya malang melintang
memenuhi jalan. Bagi kuda-kuda tentu dapat mengambil jalan
melalui pohon-pohon di tepi jalan, akan tetapi karena pohonpohon itu berdekatan dan lebat sekali, juga banyak semak
belukar, maka tidak mungkin bagi kereta untuk mendapatkan
jalan lain kecuali jalan yang terhalang pohon roboh itu,
"Cepat singkirkan pohon itu!" Cia Song memberi perintah.
Para perajurit segera turun tangan dan beramai-ramai mereka
memotongi batang pohon dan menariknya ke tepi jalan.
Pekerjaan itu memakan waktu satu jam lebih, barulah kereta
dapat lewat. Akan tetapi, baru saja kereta bergerak, belum ada
duapuluh tombak jauhnya, kembali sebatang pohon di depan
mereka roboh melintang di jalan!
Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin mulai curiga.
Robohnya pohon pertama mereka anggap sebagai hal yang
kebetulan saja karena mungkin batang pohon itu sudah keropos.
648 Akan tetapi robohnya pohon kedua ini tak mungkin hanya
kebetulan saja. Mereka berenam, juga para perajurit,
memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak tampak bayangan
seorangpun manusia lain di sekitar tempat itu.
Karena tidak dapat ditemukan orang lain yang mungkin menjadi
penyebab tumbangnya pohon itu, terpaksa Cia Song kembali
memerintahkan para perajurit untuk menyingkirkan pohon kedua
yang roboh itu. Dia kini melihat hal yang membuat dia bergidik
dan merasa seram. Kalau pohon pertama itu tumbang dan patah
batangnya, pohon kedua ini tumbang dan jebol berikut akarakarnya! Tenaga apa yang mampu merobohkan pohon sebesar
itu sampai jebol berikut akarnya" Seekor gajahpun belum tentu
mampu melakukannya! Kembali waktu lebih dari satu jam dipergunakan untuk
menyingkirkan pohon kedua. Akan tetapi baru saja pohon itu
disingkirkan, terdengar lagi bunyi berisik dan pohon berikutnya di
depan yang lebih besar lagi tumbang melintang di pinggir jalan!
Sekali ini Cia Song tidak merasa ragu lagi. Pasti ada yang
merobohkan pohon pohon itu! Akan tetapi, kiranya tidak mungkin
ada manusia yang sanggup merobohkannya. Dia cepat
menghampiri kereta di mana gurunya masih duduk dan agaknya
Ali Ahmed tidak begitu perduli akan robohnya dua batang pohon
tadi. Sementara itu, Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong
Nio-cu dan pemuda itu tersenyum, juga sang puteri tersenyum
karena mereka berdua merasa yakin bahwa robohnya pohonpohon secara berturut-turut itu bukan hal kebetulan dan jelas
649 merupakan halangan bagi pasukan itu. Halangan bagi pasukan
yang menawan mereka berarti harapan pertolongan bagi
mereka. "Suhu, pasti ada yang merobohkan pohon-pohon itu! Harap suhu
suka keluar dan melakukan pemeriksaan," katanya.
Ali Ahmed yang tua lalu turun dan keluar dari kereta sambil
ditopang oleh tongkat bambunya. Dia menggeleng kepalanya
yang bersorban lalu berkata, "Memang aneh. Kiranya sukar
mencari orang yang kuat merobohkan pohon-pohon itu, dengan
tenaga lahir maupun batin, kecuali " "Kecuali siapa, suhu?" "Hemm, kecuali setan itu."
Mendengar ucapan datuk Hui ini, Cia Song dan lima orang Ngoheng Kiam-tin merinding. Mereka adalah orang-orang yang
percaya sekali akan setan-setan dan ketahyulan semacam itu
seperti hampir semua orang pada umumnya di jaman itu.
Mendengar ini, Cia Song segera menghadap ke arah depan, ke
arah pohon yang tumbang lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Paduka yang menjaga dan menguasai hutan, harap maafkan
kami kalau melanggar wilayah paduka. Hamba berjanji akan
mengirim orang untuk membakar dupa dan bersembahyang di
sini kelak. Ijinkanlah kami melewati jalan ini!"
Lima orang Ngo-heng Kiam-tin, bahkan semua perajurit yang
juga tahyul ikut pula berlutut di belakang Cia Song. Juga kusir
kereta sudah turun dan berlutut menghadap ke arah pohon ke
650 tiga yang tumbang. Hanya Ali Ahmed yang tidak berlutut. Dia
berdiri, bertopang pada tongkat bambunya dan sepasang
matanya yang masih tajam itu mencari-cari ke depan, kanan dan
kiri. Ketika menyebut setan tadi, dia sama sekali tidak
maksudkan hantu. Akan tetapi dia membiarkan saja muridnya
dan para perajurit itu keliru menafsirkannya dan menyangka
bahwa yang menumbangkan pohon-pohon benar-benar setan
atau mahluk halus. Setelah berlutut dan mengucapkan kata-kata minta maaf dan
berjanji akan mengirim orang untuk menghormati "penguasa
hutan" itu, Cia Song kembali menyuruh orang-orangnya untuk
menyingkirkan pohon ketiga itu.
Akan tetapi tiba-tiba saja, mereka terkejut mendengar suara Pek
Hong Nio-cu. "Pengkhianat-pengkhianat jahanam!"
Cia Song dan teman-temannya memutar tubuh mereka dan
alangkah kaget dan heran hati mereka melihat Thian Liong dan
Pek Hong Nio-cu sudah berdiri di atas tanah dan telah bebas
dari semua belenggu. Bahkan yang membuat Cia Song terkejut
sekali adalah ketika melihat betapa dua orang tawanan itu sudah
memegang pedang masing-masing! Padahal, dia sudah
merampas kedua pedang mereka itu dan menaruhnya di atas
punggung kudanya, menyelipkan di sela kuda. Otomatis dia
menoleh ke arah kudanya yang ditambatkan di tepi jalan dan
melihat betapa pedang-pedang itu sudah tidak berada di sela
kudanya! 651 Bukan hanya Cia Song dan semua temannya yang merasa
heran. Bahkan Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sendiri merasa
terheran-heran. Tadi, ketika Ali Ahmed turun dari kereta, tiba-tiba
saja mereka melihat sinar berkelebat menyambar ke dalam
kereta dan tahu-tahu ikatan tangan mereka telah putus dan
pedang mereka dilempar ke atas pangkuan mereka! Tentu saja
dengan tangan bebas dan pedang di pangkuan mereka, dengan
mudah mereka lalu membikin putus semua tali yang mengikat
tubuh dan kaki mereka. Kemudian mereka turun dari kereta
dengan pedang masing-masing di tangan, lalu Pek Hong Nio-cu
mengeluarkan bentakan marah itu.
Dapat dibayangkan kagetnya hati Cia Song melihat betapa dua
orang tawanan itu telah lolos bahkan telah memegang pedang
mereka kembali. Dia segera berkata dengan gurunya. "Suhu,
harap suhu cepat robohkan mereka!"
Tadi ketika semua orang memutar tubuh, kakek itupun ikut
memutar tubuh dan diapun merasa terkejut melihat dua orang
tawanan itu sudah bebas dari belenggu. Diam-diam dia merasa
gentar juga karena sejak pohon pertama tadi dia sudah
mempunyai dugaan yang membuat hatinya merasa jerih. Kini,
mendengar permintaan muridnya, dan juga untuk menyelamatkan diri sendiri mengandalkan bantuan banyak
orang, dia lalu menudingkan tongkatnya ke arah dua orang
muda itu. Tongkatnya terbuat dari Bambu Sisik Naga, semacam
bambu yang bentuk kulitnya mirip sisik ikan atau naga. Mulutnya
berkemak-kemik membaca mantra dan dia mengerahkan ilmu
sihirnya. 652 "Bummm !" Tampak asap hitam mengepul dan tiba-tiba saja
tongkat itu terlepas dari tangannya, dan dalam pandangan
semua orang, tongkat itu telah berubah menjadi seekor naga
yang terbang melayang ke arah Thian Liong dan Pek Hong Niocu. Mengerikan sekali naga jadi-jadian itu. Matanya mencorong
dan moncongnya terbuka lebar, lidahnya terjulur keluar dan
mahluk itu menyemburkan api!
Akan tetapi tiba-tiba dari arah kiri, meluncur sebuah bola api
sebesar tangan. Bola api itu tepat menghantam kepala naga
jadi-jadian itu. "Darrr !" Naga itu terpental dan asap hitam
mengepul tebal. Naga lenyap dan tongkat bambu sisik naga itu
terlempar ke dekat Ali Ahmed.
Semua orang menengok ke kiri dan tampaklah seorang laki-laki
berusia enampuluh tahun lebih, tubuhnya sedang, mengenakan
pakaian yang hanya terdiri dari kain kuning dilibatkan di
tubuhnya, memakai sepatu dari kain yang berlapis besi dan
rambutnya diikat pita kuning. Matanya tajam, hidung mancung
dan mulut penuh kesabaran. Wajah yang masih tampak tampan
itu bulat telur dengan dagu agak runcing, bersih tanpa kumis
atau jenggot. Melihat laki-laki ini, Ali Ahmed marah sekali. Dia lalu berkemakkemik membaca mantra lalu kedua tangannya didorongkan ke
depan. Asap hitam bergulung-gulung menyambar ke arah laki
laki itu, membawa angin pukulan yang dahsyat sekali dan
berhawa panas. 653 "Siancai !" Laki-laki itu berkata lirih dan tangan
kirinya didorongkan seperti hendak menahan serangan jarak
jauh yang dahsyat dan berbahaya dari Ali Ahmed.
"Blarrrr !" Hawa pukulan berasap hitam yang
dahsyat itu seolah bertemu perisai yang amat kuat dan
membalik. Tubuh Ali Ahmed terjengkang roboh dan dia tidak
bergerak lagi. Cia Song melompat, menghampiri gurunya dan alangkah
kagetnya melihat gurunya telah tewas! Agaknya kakek yang
sudah delapanpuluh lebih usianya itu dan sudah lemah daya
tahannya, tidak kuat menerima tenaganya sendiri yang
membalik. "Suhu !" Thian Long berseru ketika melihat lakilaki berpakaian kuning itu.
"Paman Sie !" Pek Hong Nio-cu juga berseru.
Laki-laki yang bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin itu
memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, lalu
mengangguk dan tersenyum lebar, tampaknya bahagia sekali,
kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari sana.
Melihat dua orang tawanan itu lolos, Ngo-heng Kiam?tin segera
mengerahkan semua perajurit untuk menerjang dan
mengeroyok. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mengamuk
dengan pedang mereka. 654 Lima orang jagoan dari Pangeran Hiu Kit Bong itu mencari-cari,
akan tetapi Cia Song sudah tidak tampak batang hidungnya lagi.
Diam-diam pemuda ini sudah melarikan diri ketika melihat
gurunya tewas dan Thian Liong menyebut "suhu" kepada lakilaki setengah tua yang tadi merobohkan gurunya. Tahulah dia
bahwa kakek yang amat lihai itu tentulah Tiong Lee Cin-jin dan
dia menjadi ketakutan, diam-diam terus kabur dari situ!
Demikianlah memang watak seorang yang berbudi rendah.
Paling penting menyelamatkan diri sendiri dan tidak perduli
kepada orang-orang yang menjadi sahabat, rekan dan
sekutunya. Bahkan dia tidak perduli kepada gurunya yang
tewas! Setelah tahu bahwa Cia Song yang mereka andalkan, bahkan
yang menjadi pemimpin mereka itu tidak muncul dan jelas sudah
melarikan diri, lima orang Ngo-heng Kiam-tin menjadi panik dan
gentar. Tentu saja mereka menjadi "makanan lunak" bagi Pek
Hong Nio-cu dan Thian Liong, walaupun lima orang itu dibantu
sembilanbelas orang perajurit berikut seorang perajurit yang tadi
menjadi kusir kereta. "Jangan bunuh mereka, Nio-cu. Kita tawan mereka hidup-hidup
untuk dijadikan saksi akan pemberontakan Pangeran Hiu Kit
Bong!" Tentu saja Thian Liong berseru begini terutama sekali
untuk mencegah puteri itu menyebar maut.
Pek Hong Nio-cu dapat memaklumi kebenaran ucapan Thian
Liong, maka ketika ia mengamuk, pedangnya merobohkan para
pengeroyok tanpa membunuhnya. Thian Liong juga merobohkan
banyak orang dan tak lama kemudian, Ngo-heng Kiam-tin dan
655 duapuluh orang perajurit itu roboh semua oleh tamparan,
tendangan, atau terluka oleh pedang.
Thian Liong mempergunakan tali-tali yang dibawa oleh pasukan
itu untuk mengikat kedua tangan mereka semua di belakang
tubuh. Mereka menurut saja karena sudah terluka dan merasa
sudah tidak mungkin dapat melawan dua orang muda sakti itu.
Terutama terhadap Pek Hong Nio-cu mereka merasa takut
sekali. Dari sikap puteri itu mereka maklum bahwa kalau tidak
dicegah Thian Liong, mereka semua pasti akan dibunuh oleh
Puteri Moguhai yang amat marah dan benci kepada mereka
yang menjadi kaki tangan pemberontak.
Setelah tangan mereka semua diikat, Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu membawa mereka ke markas pasukan penjaga tapal
batas yang dipimpin oleh Pangeran Kuang sebagai
komandannya. Benteng pasukan itu tidak berapa jauh lagi dari
situ sehingga setelah melakukan perjalanan cepat, pada sore
harinya mereka tiba di benteng itu.
"Thian Liong, benarkah penolong kita tadi itu suhumu?" tanya
Pek Hong Nio-cu dalam perjalanan menggiring para tawanan itu
menuju markas pasukan penjaga perbatasan.
"Tidak salah lagi, Nio-cu. Masa aku dapat lupa kepada guruku
sendiri" Akan tetapi, mengapa engkau menyebutnya paman
Sie" Benarkah itu Paman Sie seperti yang pernah keuceritakan
kepadaku itu?" "Benar, Thian Liong. Biarpun dulu ketika aku melihatnya dia
berpakaian biasa, akan tetapi aku tidak melupakan wajahnya.
Dialah orangnya yang oleh ibu diakui sebagai sahabat baik dan
656 yang disebut Paman Sie. Dia yang memberi perhiasan kepala
yang kupakai ini dan memberi tiga buah kitab pelajaran ilmu
silat. Akan tetapi mengapa setelah menolong kita, dia pergi
begitu saja tanpa memberi kesempatan kepada kita untuk
bertemu dan bicara dengannya?"
"Entahlah, Nio-cu. Akan tetapi, suhu adalah seorang yang arif
bijaksana. Mungkin belum saatnya kita dapat berbicara dengan
beliau. Kita tunggu saja, kalau sudah tiba saatnya, tentu aku
dapat bertemu dengan guruku dan engkau dapat bertemu
dengan pamanmu itu. Akan tetapi sungguh aku heran,
bagaimana guruku itu menjadi sahabat ibumu dan dikenal
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai Paman Sie" Sungguh aku tidak mengerti."
"Apakah engkau tidak mengetahui she (Marga) gurumu itu?"
tanya Pek Hong Nio-cu. Thian Liong menggeleng kepalanya.
"Suhu tidak pernah memperkenalkan nama aselinya. Yang aku
tahu, beliau disebut Tiong Lee Cin-jin dan berjuluk Yok-sian
(Dewa Obat atau Tabib Dewa). Beliau juga tidak pernah
menceritakan tentang masa lalunya."
"Akan kutanyakan nanti kepada ibuku. Aku merasa heran sekali,
bagaimana gurumu yang namanya juga sudah sering kudengar
itu, Tong Lee Cin-jin, ternyata adalah seorang yang oleh ibuku
diaku sebagai sahabatnya dan mengharuskan aku memanggilnya Paman Sie yang juga menjadi guruku."
657 "Sudahlah Nio-cu. Kalau tiba saatnya, Suhu pasti akan mau
menceritakan tentang hal itu. Sekarang, engkau hendak
membawa orang-orang ini ke mana?"
"Akan kuserahkan kepada Paman Kuang yang bentengnya tidak
jauh lagi dari sini. Engkau benar, orang-orang ini dapat menjadi
saksi penting bagi pengkhianatan Pangeran Hiu Kit Bong yang
memberontak. Aku akan minta Paman Kuang secepatnya
kembali ke kota raja membawa pasukannya untuk menumpas
para pemberontak." Setelah mereka tiba di benteng, Pangeran Kuang yang menjadi
komandan pasukan penjaga tapal batas menyambut mereka
dengan gembira akan tetapi juga heran.
"Moguhai. Lagi-lagi engkau, melakukan perjalanan begitu jauh!
Dan sekarang engkau membawa tawanan
begini banyak! Apa artinya ini dan siapa pula
pemuda ini?" Pangeran Kuang yang berusia empatpuluh tahun
lebih, berpakaian sebagai seorang panglima dan berwajah
tampan, bertubuh tinggi besar.
Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tersenyum. "Paman,
apakah paman tidak menyuruh kami duduk dulu dan
memerintahkan orang-orangmu menahan orang orang yang
kutawan itu" Kami lelah sekali, paman."
Pangeran Kuang baru menyadari kelalaiannya. "Ah, sampai lupa
aku karena kunjunganmu yang tiba-tiba ini sungguh
mengejutkan aku. Mari, silakan duduk di dalam dan engkau juga,
658 orang muda." Dia menyuruh para pengawal untuk mengurus
tawanan. Mereka lalu memasuki ruangan dan duduk berhadapan. Pek
Hong Nio-cu segera bercerita karena ia tahu bahwa waktunya
mendesak sekali. "Paman, orang yang kutawan itu oya, aku lupa, ini
adalah Souw Thian Liong, sahabat baikku yang membantuku
menghadapi para pengkhianat itu! Ketahuilah, paman. Orangorang yang kami tawan itu adalah anak buah Paman Pangeran
Hiu Kit Bong yang berkhianat dan merencanakan
pemberontakan!" Pangeran Kuang membelalakkan matanya. "Apa"
Pangeran Hiu Kit Bong memberontak?"
Kanda "Benar, paman. Hal ini memang sudah kucurigai dan kuduga.
Akan tetapi sekarang sudah terbukti. Mereka ini diutus oleh
Pangeran Hiu Kit Bong untuk menangkap aku, untuk dijadikan
sandera dan memaksa sri baginda untuk menyerahkan tahta
kepadanya. Orang-orang ini dapat dijadikan saksi. Kalau tidak
ada bantuan Souw Thian Liong ini, tentu aku telah tertawan oleh
mereka. Cepat, paman. Hanya Paman Kuang saja yang dapat
menyelamatkan kerajaan dan membasmi para pemberontak.
Cepat paman kerahkan pasukan dan kembali ke kota raja
bersama kami. Aku khawatir kalau-kalau kita terlambat. Aku
khawatir akan keselamatan ayah."
Mendengar ini, Pangeran Kuang terkejut dan marah bukan main.
Pangeran Hiu Kit Bong adalah kakak tirinya, seayah berlainan
659 ibu. Dia diangkat menjadi panglima oleh kaisar, juga kakak
tirinya, sesuai dengan kepandaiannya, juga Pangeran Hiu Kit
Bong sudah diberi kedudukan sebagai Menteri Kebudayaan
merangkap penasihat kaisar. Kalau sekarang Pangeran Hiu Kit
Bong hendak memberontak, sungguh dia merupakan seorang
yang tidak tahu diri, tidak mengenal budi, angkara murka dan
pengkhianat! "Hemm, sungguh tidak disangka Kanda Pangeran Hiu Kit Bong
akan melakukan tindakan terkutuk seperti itu!" kata Pangeran
Kuang. "Baiklah, aku akan mempersiapkan pasukan dan kita
berangkat sekarang juga!"
Demikianlah, Pangeran Kuang lalu mempersiapkan sebagian
dari pasukannya berjumlah limaribu orang dan pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali dia memimpin pasukan itu berangkat
menuju ke Kota raja. Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong
mendahului pasukan, membalapkan kuda pilihan yang diberikan
Pangeran Kuang kepada mereka berdua.
*** Cia Song berhasil melarikan diri sebelum Thian Liong dan Pek
Hong Niocu mengamuk. Nyalinya sudah terbang begitu dia
melihat munculnya kakek sakti yang membuat gurunya tewas
terpukul tenaganya sendiri yang membalik. Datuk Hui itu saja
yang menjadi gurunya, sekali menyerang Tiong Lee Cin-jin
roboh sendiri. Apalagi dia. Baru menghadapi Thian Liong dan
Pek Hong Nio-cu saja dia akan sukar mendapatkan
kemenangan, apalagi di sana ada manusia setengah dewa yang
sakti itu! 660 Cia Song berlari cepat menuju ke kota raja kerajaan Kin dan
menghadap Pangeran Hiu Kit Bong. Melihat malam-malam Cia
Song datang menghadapnya dengan muka pucat dan basah
keringat, Pengeran Hiu Kit Bong menjadi kaget dan heran. Lalu
dia menggebrak meja dengan marah sekali.
"Sialan! Ternyata kepercayaanku kepadamu salah tempat, Ciasicu! Melakukan tugas begitu saja engkau gagal sama sekali,
malah semua anak buahmu terancam bencana. Celaka!"
"Akan tetapi saya sama sekali tidak menduga bahwa di sana
akan muncul Tiong Lee Cin-jin, Pangeran! Tadinya kami sudah
berhasil menangkap Souw Thian Liong dun Puteri Moguhai,
sudah kami belenggu dan hendak kami bawa pulang ke sini.
Siapa kira di tengah jalan muncul Tiong Lee Cin-jin yang
memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Bahkan Ali Ahmed, guru
saya sendiri, tewas ketika menyerangnya!
Pangeran Hiu Kit Bong berteriak memanggil pengawal dan
memerintahkan pengawal mengundang para panglima
sekutunya untuk malam itu juga datang berkumpul. Mereka itu
datang satu demi satu. Setelah semua berkumpul lengkap,
Pangeran Hiu Kit Bong berkata.
"Saudara-saudara semua, Puteri Moguhai telah pergi ke
perbatasan barat mengunjungi Pangeran Kuang. Tentu ia
bermaksud mengadu dan minta bantuan pasukan yang berjaga
di perbatasan. Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Malam
ini juga kita mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi kita
serbu istana, kita tangkap Kaisar. Jangan sampai kita terlambat.
Kalau kaisar sudah kita sandera, biarpun Pangeran Kuang
661 datang bersama pasukannya, dia tidak akan dapat berbuat apaapa demi keselamatan Kaisar."
Pangeran Hiu Kit Bong tidak menceritakan kegagalan orangorangnya menangkap Puteri Moguhai karena hal itu akan
membuat sekutunya gentar dan patah semangat.
Setelah berunding bagaimana caranya melakukan pengepungan
terhadap istana, para Panglima yang dipimpin Panglima Kiat
Kon itu lalu meninggalkan gedung Pangeran Hiu Kit Bong untuk
mempersiapkan pasukan masing-masing. Mereka terdiri dari
empat orang perwira, dikepalai Panglima Kiat Kon.
Sementara itu, Cia Song sendiri bertugas sebagai pengawal
pribadi Pangeran Hiu Kit Bong. Sebetulnya Cia Song segan
menjadi pengawal pribadi pangeran itu dan dia sudah ingin
pulang saja ke selatan untuk melapor kepada Perdana Menteri
Chin Kui. Akan tetapi dia merasa sungkan juga karena dia telah
gagal menangkap Puteri Moguhai, malah semua anak buahnya
mungkin tertawan dan hal itu tentu saja membahayakan karena
rahasia Pangeran Hiu Kit Bong akan terbongkar. Karena itulah
maka Pangeran Hiu Kit Bong hendak melakukan serangan
mendadak sebelum terlambat.
Akan tetapi, ketika persekutuan pemberontak itu mengumpulkan
pasukan mereka, ada perajurit yang diam-diam masih setia
kepada Kaisar dan malam itu juga dia meloloskan diri dari
kesatuannya dan pergi melaporkan persiapan pemberontakan
Pangeran Hiu Kit Bong itu kepada Panglima Muda Ceng yang
setia kepada Kaisar kerajaan Kin.
662 Panglima Muda Ceng terkejut sekali dan malam hari itu juga dia
mengumpulkan teman-teman yang masih setia kepada Kaisar
lalu mengerahkan pasukan seadanya untuk ditarik menjaga
istana! Juga diam-diam Panglima Muda Ceng melaporkan
kepada kaisar yang tentu saja menjadi terkejut, khawatir dan
marah sekali. JILID 18 Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang tinggal di
kota raja menjadi geger. Banyak sekali tentara mengepung
istana kaisar. Akan tetapi, dari tembok istana muncul pasukan
lain yang menghadang. Terjadilah pertempuran hebat di
sekeliling luar istana. Pangeran Hiu Kit Bong terkejut dan marah
sekali melihat betapa istana dijaga banyak perajurit. Dia
memerintahkan pasukannya bergerak dan menyerbu. Pertempuran hebat terjadi dan rakyat yang menjadi penduduk
kota raja berserabutan melarikan diri mengungsi keluar dari kota
raja! Karena merasa penasaran, Pangeran Hiu Kit Bong keluar dan
memimpin sendiri pasukannya, yang dipimpin Panglima Kiat Kon
dan para perwira sekutunya. Cia Song yang ingin menebus
kegagalannya memperlihatkan kepandaiannya. Di depan mata
Pangeran Hiu Kit Bong dia mengamuk dengan pedangnya dan
banyak tentara pihak pasukan pembela kaisar roboh dan tewas
di tangannya. Biarpun jumlah pasukan pemberontak dua kali lebih banyak
dibandingkan pasukan pembela kaisar, namun pasukan yang
dipimpin Panglima Muda Ceng dan rekan-rekannya itu
663 melakukan perlawanan mati-matian! Maka, setelah pertempuran
berlangsung sampai satu hari lamanya, pasukan pemberontak
belum juga dapat menduduki istana.
Pasukan pembela kaisar menutup pintu benteng istana dan
biarpun banyak perajurit mereka yang tewas, semangat mereka
masih besar dan mereka memperkuat benteng istana dengan
balok-balok yang kokoh. Malam itu mereka melakukan
penjagaan ketat dengan bergiliran, memberi kesempatan
kepada pasukan untuk beristirahat dan merawat luka-luka
mereka. Kaisar dan keluarganya sudah merasa khawatir sekali. Mereka
tahu bahwa pasukan yang melindungi mereka kalah besar
jumlahnya dibandingkan pasukan para pemberontak. Mereka
mendengar pula bahwa kalau siang tadi pertempuran masih
terjadi di luar istana, maka sekarang semua perajurit pembela
kaisar sudah mundur memasuki benteng istana dan pintu
gerbang sudah ditutup. Mereka hanya akan mempertahankan
benteng istana. Kalau sampai benteng istana bobol, berarti
pasukan pembela kaisar kalah dan pasukan pemberontak tentu
akan menyerbu istana! *** Malam itu gelap sekali, bahkan bintang-bintang di langit juga tak
tampak, tertutup mendung tebal. Hawa udaranya dingin.
Pasukan kedua pihak mempergunakan kesempatan itu untuk
melepas lelah setelah sehari tadi bertempur mati matian.
Benteng istana dijaga ketat oleh pasukan pembela kaisar.
664 Ronda berjalan sepanjang malam dan para penjaga itu
bergiliran. Akan tetapi di malam yang gelap dan dingin itu, tampak dua
bayangan berkelebat cepat sekali. Ilmu meringankan tubuh
mereka sungguh amat hebat karena saking cepatnya mereka
bergerak, tidak ada penjaga dalam benteng yang sempat melihat
mereka. Tubuh kedua bayangan itu melayang ke atas tembok
benteng lalu meluncur turun ke sebelah dalam. Mereka
menyelinap di antara kegelapan yang pekat dan tak lama
kemudian tubuh mereka sudah melayang naik ke atas
wuwungan istana! Dua orang itu adalah Cia Song dan Panglima Kiat Kon sendiri!
Mereka berdua menerima tugas istimewa dari Pangeran Hiu Kit
Bong. Melihat betapa pasukan pembela kaisar melawan mati matian,
Pangeran Hiu Kit Bong menjadi tidak sabar. Dia memanggil Cia
Song dan mengingatkan pemuda ini akan kegagalannya
menangkap Puteri Moguhai.
"Aku mempunyai tugas penting dan kuharap sekali ini engkau
akan melaksanakan dengan baik dan berhasil, Cia-sicu, untuk
menebus kegagalanmu menangkap Puteri Moguhai," kata
Pangeran itu. Diam-diam Cia Song mendongkol. Siang tadi dia sudah
memperlihatkan jasanya dengan merobohkan banyak perajurit
pembela kaisar, namun tetap saja pangeran ini masih penasaran
karena kegagalannya menangkap Puteri Moguhai.
665 "Tugas apa yang harus saya lakukan, pangeran?"
"Malam ini mereka tentu sedang beristirahat dan lengah. Karena
itu, aku perintahkan engkau dan Panglima Kiat Kon untuk
menggunakan kepandaian kalian, menyusup masuk istana dan
menawan Sri Baginda dan membawanya ke sini. Kalau kalian
berhasil, berarti kita tidak perlu bertempur lagi besok. Juga kalau
pasukan Pangeran Kuang datang mereka juga tidak dapat
berbuat apa-apa dan tidak berani menyerang kita yang sudah
menyandera Sri Baginda Kaisar."
"Saya siap melaksanakan perintah itu, pangeran!" kata Panglima
Kiat Kon dengan tegas. "Kalau Cia-sicu menemani saya, tugas
itu pasti akan dapat kami lakukan dengan berhasil baik!"
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana dengan engkau, Cia-sicu?" tanya Pangeran Hiu Kit
Bong sambil menatap wajah pemuda itu dengan tajam.
Biarpun di dalam hatinya dia mendongkol sekali, akan tetapi Cia
Song tidak dapat menolak. Dia mengangguk dan menjawab,
"Saya sanggup, hanya tidak berani memastikan hasilnya karena
di istana tentu diadakan penjagaan kuat."
Demikianlah, malam gelap dingin itu ditempuh Cia Song dan
Panglima Kiat Kon. Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
mereka yang tinggi, mereka berhasil melompati benteng tanpa
diketahui perajurit pembela kaisar dan mereka berdua berhasil
tiba di wuwungan istana! Akan tetapi selagi mereka berdua, dengan petunjuk Panglima
Kiat Kon yang mengenal daerah itu, meneliti di mana kiranya
kamar kaisar berada, tiba-tiba begitu mereka melangkah, kaki
666 mereka terpeleset genteng wuwungan istana yang agaknya
bergerak sendiri! Mereka terkejut dan merasa aneh. Akan tetapi
ketika mereka memandang ke sekeliling yang gelap, mereka
tidak mendengar apapun. Mereka melangkah lagi. Akan tetapi baru beberapa langkah,
kembali genteng yang mereka injak bergerak dan mereka
terpeleset, hampir jatuh. Mereka masih mampu bertahan agar
tidak terjatuh. "Eh, apa ini, sicu?"
Cia Song merasa bulu tengkuknya meremang.
"Entahlah, ciang-kun, mungkin kebetulan saja "
Akan tetapi mereka berdua merasa betapa ada benda kecil
menyambar ke arah mereka. Mereka cepat mengelak, akan
tetapi sungguh luar biasa, benda kecil itu tetap saja mengenai
pundak mereka seolah benda hidup yang terbang mengejar
ketika mereka mengelak. Mereka menahan seruan kaget karena pundak yang terkena
benda itu terasa nyeri dan lengan di pundak itu untuk beberapa
detik lamanya menjadi kesemutan dan lumpuh. Ketika dua buah
benda kecil itu terjatuh ke atas genteng, terdengar suara
berketikan seperti batu kerikil yang jatuh ke atas genteng.
Mereka terkejut bukan main. Penyambit batu kerikil itu pasti
memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga mereka tidak
mampu mengelak. Maklumlah keduanya bahwa ada orang sakti
yang sengaja mengganggu mereka dan kalau tadi dua kali kaki
667 mereka terpeleset, tentu mengganggu mereka itu. juga akibat ulah orang yang "Ciang-kun, kita pergi. Cepat!" kata Cia Song yang menjadi
ketakutan. Kalau sampai orang sakti itu muncul dan mereka
berdua ketahuan lalu dikepung ribuan orang perajurit, akan
celakalah mereka! Keduanya lalu cepat meninggalkan
wuwungan istana dan dengan gin-kang mereka yang tinggi,
mereka berlompatan dan keluar dari benteng istana itu. Akan
tetapi setibanya di luar benteng, dalam kegelapan malam itu
Panglima Kiat kon tidak dapat menemukan Cia Song.
Dia memanggil-manggil, akan tetapi Cia Song tidak menjawab.
Tahulah panglima itu bahwa Cia Song diam-diam telah
meninggalkannya. Dia merasa dongkol sekali. Tentu Cia Song
takut bertemu Pangeran Hiu Kit Bong karena lagi-lagi gagal
melaksanakan tugasnya malam ini.
Kiat Kon kembali kepada Pangeran Hiu Kit Bong, menceritakan
tentang kegagalannya. "Entah siapa yang mengganggu kami
berdua, akan tetapi jelas bahwa dia
658 seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Terpaksa
kami tidak dapat melanjutkan rencana itu, Pangeran, karena
dengan adanya orang yang demikian saktinya, tentu usaha kami
akan gagal, bahkan tidak mustahil kalau kami akan tertangkap
atau terbunuh. Maka kami segera meninggalkan wuwungan
istana." 668 Pangeran Hiu Kit Bong mengepal tinju. "Sialan, gagal lagi! Mana
orang she Cia itu?" "Ketika saya melompat keluar dari benteng istana, Cia-sicu tidak
ada, Pangeran. Saya kira dia sengaja pergi meninggalkan kota
raja karena tidak berani bertemu dengan paduka."
Pangeran Hiu Kit Bong marah sekali, lalu memerintahkan
sekutunya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi pagi
melakukan penyerangan besar-besaran. Dia berpendapat
bahwa besok benteng istana harus dapat dibobolkan dan kaisar
harus dapat ditangkap. Kalau tidak, dia khawatir pasukan
Pangeran Kuang keburu datang dan menyerang mereka.
Akan tetapi Pangeran Hiu Kit Bong masih punya rencana jahat
lain yang belum dilaksanakan, akan tetapi yang besar sekali
harapannya akan lebih berhasil daripada tugas yang gagal
dilaksanakan oleh Cia Song dan Kiat Kon tadi. Diam-diam
pangeran yang licik ini telah berhasil memperalat dua orang
pengawal pribadi kaisar. Dengan menyandera keluarga dua
orang pengawal pribadi kaisar dan mengancam akan membunuh
isteri dan anak-anak mereka, pangeran itu memerintahkan
mereka untuk membunuh kaisar malam itu. Kalau hal ini tidak
dilakukan, seluruh keluarga mereka yang disandera akan
dibunuh! Malam itu, Kaisar kerajaan Kin berkumpul dengan semua isteri
dan anak anaknya di ruangan dalam. Mereka tidak berani tidur di
kamar sendiri-sendiri seperti biasa. Mereka semua duduk di
dalam ruangan itu dengan wajah membayangkan ketakutan,
bahkan di antara para isteri dan puteri istana ada yang terisak
669 perlahan. Mereka semua maklum bahwa kalau pasukan yang
melindungi mereka kalah, mereka akan terjatuh ke tangan
pemberontak. Kaisar sendiri berdiri dengan tegar dan sama sekali tidak tampak
ketakutan. Hanya penasaran dan kemarahan yang tampak
membayang di wajahnya yang gagah dan keren. Dia merasa
penasaran sekali mendengar bahwa Pangeran Hiu Kit Bong,
kakak tirinya, orang yang telah diberikan kedudukan tinggi,
memimpin pemberontakan itu. Sama sekali tidak pernah
disangkanya. Dia kini merasa menyesal mengapa dia tidak
mendengarkan peringatan Moguhai, puterinya yang kini tidak
berada di istana. Puteri Moguhai pernah memperingatkan agar dia berhati-hati
terhadap kakak tirinya itu dan jangan terlalu percaya kepadanya.
Akan tetapi dia malah menertawakan puterinya itu yang dia
anggap terlalu berprasangka buruk. Sekarang, peringatan
puterinya itu menjadi kenyataan! Dia menghela napas panjang
dan ketika dia melayangkan pandang matanya kepada belasan
orang selir-selirnya, dia melihat Tan Siang Lin, ibu kandung
Moguhai, duduk tak jauh darinya dan hanya selir keturunan
pribumi Han ini sajalah yang kelihatan tabah dan tidak
membayangkan ketakutan. Ia tetap tenang dan anggun
sehingga kaisar teringat kembali kepada puteri mereka.
"Dinda Siang Lin, sayang sekali Moguhai tidak berada di sini.
Tahukah engkau ke mana ia pergi?" tanya kaisar dengan suara
lembut kepada selirnya tercinta ini.
670 Tan Siang Lin memandang kepada kaisar. Sejak tadi wanita ini
seringkali menengok dan memandang kepada suaminya. Dalam
hati ia merasa kagum dan juga bangga melihat pria yang
menjadi suaminya itu sama sekali tidak tampak khawatir atau
takut menghadapi keadaan yang amat gawat dan berbahaya itu.
"Hamba tidak tahu, Sri Baginda. Paduka mengetahui sendiri
betapa puteri kita itu suka sekali berkelana."
Kaisar mengangguk-angguk. "Aku percaya bahwa Moguhai pasti
mendengar akan peristiwa di kota raja ini dan ia pasti akan
datang untuk menyelamatkan kita semua."
"Semoga saja demikian, Sri Baginda," kata Tan Siang Lin.
Dalam ruangan yang luas itu terdapat belasan orang perajurit
pengawal pribadi kaisar yang melindungi keluarga istana itu.
Mereka berdiri dengan pedang di tangan, menjaga di pintu dan
jendela jendela yang terbuka. Wajah mereka ini rata-rata tegang,
karena mereka maklum bahwa kalau pertahanan pasukan
pembela kaisar bobol, mereka harus melindungi keluarga kaisar
dengan taruhan nyawa. Tiba-tiba, dua orang perajurit pengawal pribadi itu, yang berdiri
menjaga di sebelah belakang kaisar, dalam jarak lima meter,
bergerak maju sambil mengangkat pedang menyerbu ke arah
Kaisar! "Ampunkan hamba, Sri Baginda!" seru yang seorang.
"Ampunkan hamba, hamba
terpaksa membunuh paduka!" seru orang kedua.
671 Semua orang terkejut dan tertegun. Para perajurit pengawal
lainnya juga terpukau, tidak sempat mencegah karena dua orang
itu sudah menyerang kaisar.
Seorang membacokkan pedang dari atas, orang kedua
menusukkan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba dua sinar hijau
kecil meluncur dari arah jendela dan dua sinar hijau ini
menyambar ke arah tangan dua orang perajurit pengawal yang
memegang pedang. Mereka berdua berteriak mengaduh dan
pedang mereka terlepas dari pegangan, jatuh berdenting ke atas
lantai dan dengan tangan kiri mereka memegangi lengan kanan
masing masing di mana menancap sehelai daun hijau! Para
perajurit segera berlompatan dan meringkus dua orang perajurit
pengawal yang tiba-tiba menyerang kaisar itu.
Tan Siang Lin bangkit berdiri dari kursinya, memandang ke arah
jendela dari mana sinar hijau tadi meluncur masuk. Wajahnya
berseri, kedua matanya bersinar dan ia berseru girang.
"Sie-ko (kanda Sie) !" Akan tetapi ia sadar dan
menahan seruannya sehingga tidak terdengar jelas.
"Jangan bunuh. Seret mereka ke depanku!" kata kaisar dengan
tegas, sama sekali tidak menjadi panik oleh peristiwa itu. Dua
orang itu lalu didorong berlutut di depan kaisar di mana mereka
menyembah-nyembah dan menangis!
"Ampun, Yang Mulia yang terpaksa ! Ampunkan hamba berdua " mereka mengeluh dalam tangisan
mereka. 672 "Hemm, siapa yang memaksa kalian melakukan pengkhianatan
hendak membunuh kami?" bentak kaisar.
Seorang dari mereka menyembah dan berkata ketakutan,
"Hamba berdua terpaksa melaksanakan perintah Pangeran Hiu
Kit Bong untuk membunuh paduka karena kalau hamba tidak
mau, seluruh keluarga hamba berdua yang sudah disandera
akan dibunuh." Kaisar dan semua orang melihat jelas betapa sehelai daun
menancap di pergelangan kedua orang itu dan lengan mereka
berdarah. Semua orang merasa takjub. Bagaimana mungkin
sehelai daun dapat menancap pada lengan tangan dua orang itu
sehingga mereka gagal membunuh kaisar" Pada hal daun hijau
basah itu lunak dan lentur!
"Jebloskan mereka dalam tahanan, jangan bunuh," kata kaisar
kepada para pengawalnya. Dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai menghaturkan
terima kasih kepada kaisar. Akan tetapi dua orang perajurit
memegang lengan mereka dan menarik mereka keluar dari
ruangan itu. Kaisar menoleh kepada Tan Siang Lin, "Dinda Siang Lin, tadi
engkau memandang ke arah jendela dan memanggil seseorang.
Siapakah yang kau panggil itu" Apakah engkau melihat
seseorang?" Wajah Siang Lin berubah kemerahan. "Hamba tidak melihat
seseorang, Sri Baginda, akan tetapi hamba dapat menduga
siapa yang telah menyelamatkan paduka. Dia pasti guru puteri
673 kita Moguhai, karena hanya dialah kiranya yang mampu melukai
dua orang tadi hanya dengan menggunakan sehelai daun."
"Luar biasa! Siapakah nama guru Moguhai itu?" tanya kaisar dan
sedikit banyak kehadiran seorang manusia sesakti itu
membesarkan hatinya dan dia merasa terlindung oleh suatu
kekuatan yang hebat. Jantung dalam dada Siang Lin berdebar. Ia merasa serba salah,
akan tetapi harus menjawab pertanyaan kaisar yang menjadi
suaminya itu. "Hamba hanya mendengar bahwa guru Moguhai itu bermarga
Sie, Sri baginda." "Hemm, mengapa dia melindungiku secara diam-diam" Kalau
saja dia mau muncul, mungkin dia dapat memberi tahu kami di
mana adanya Moguhai sekarang ini."
Tiba-tiba tampak benda putih melayang masuk dari jendela.
Seorang perajurit pengawal cepat menangkapnya dan ternyata
benda itu sehelai kertas putih.
"Apa itu?" tanya kaisar.
"Sehelai kertas putih tertulis, Yang Mulia," kata pengawal itu.
"Cepat bawa ke sini!" perintah Sri Baginda dan perajurit itu
segera menyerahkan kertas itu kepada kaisar.
Kaisar membacanya dan seketika wajahnya berseri. Dia
menengok ke arah jendela dan berkata dengan suara lantang.
674 "Siapapun adanya engkau, orang gagah, kami berterima kasih
sekali padamu!" Dengan wajah berseri Kaisar lalu menyerahkan surat itu kepada
Siang Lin yang segera membacanya. Sepasang mata selir
kaisar ini menjadi basah saking bahagia dan terharunya
membaca isi kertas bertulis itu.
"Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja
dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka
datang." Surat itu lalu berpindah-pindah tangan, mula-mula Siang Lin
memberikannya kepada permaisuri yang setelah membacanya
menyerahkan kepada para selir. Mereka bergantian membaca
dan semua wajah menjadi berseri gembira. Timbul harapan
dalam hati mereka. Pasukan penolong yang dipimpin pangeran
Kuang dan Pureri Moguhai akan menolong mereka!
"Biar aku sendiri yang memimpin pertahanan istana!" Kaisar
timbul semangatnya dan diapun keluar dari ruangan itu menemui
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
para perwira yang setia kepadanya
untuk mengawasi sendiri pasukan
yang mempertahankan istana. Dengan munculnya kaisar sendiri ke
tengah-tengah mereka, para perajurit yang membela kaisar
bersorak gembira dan semangat mereka berkobar, apalagi
ketika mereka mendengar bahwa bala bantuan segera datang!
675 Pada keesokan harinya, diiringi sorak yang gegap gempita dan
bunyi terompet, tambur dan canang, pasukan pemberontak
menyerbu dan berusaha mendobrak pintu gerbang tebal yang
terbuat dari baja itu. Ada pula yang mempergunakan tangga
untuk naik ke atas tembok benteng istana. Pasukan pembela
kaisar menyambut dari dalam dan terjadilah pertempuran yang
seru dan mati-matian. Anak panah meluncur dari luar dan dari dalam seperti hujan.
Bunyi denting beradunya senjata bercampur sorak-sorai dan
teriakan-teriakan marah, jerit-jerit kesakitan membubung
bersama debu yang mengepul tebal. Darah mulai berceceran
membasahi bumi. Perang! Puncak ulah nafsu yang menguasai
hati dan pikiran manusia, membuat manusia bahkan lebih ganas
daripada binatang. Karena jumlah pasukan pemberontak hampir tiga kali lebih
banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, maka tentu saja
pihak pembela kaisar mulai kewalahan dan terdesak hebat.
Bahkan pihak penyerang sudah banyak yang dapat naik ke atas
tembok benteng dan di sana sudah terjadi pertempuran seru.
Pintu gerbang mulai didekati pasukan pemberontak dan mereka
mempergunakan kayu balok besar yang digotong beramai-ramai
untuk mendobrak pintu gerbang baja. Suaranya nyaring
menggelegar setiap kali ujung balok itu menghantam pintu
gerbang. Para perajurit pembela kaisar menggunakan segala daya untuk
mempertahankan pintu gerbang itu dengan mengandalkan
benda-benda berat. Namun, mereka kalah kuat karena kalah
banyak dan akhirnya, pintu gerbang yang tebal dan besar itu
676 jebol dan roboh ke dalam mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan
belasan orang perajurit di sebelah dalam yang tadi
mempertahankan pintu itu, tertimpa pintu besi yang amat berat
itu sehingga tewas terhimpit.
Para perajurit pemberontak menyerbu melalui pintu gerbang
yang sudah terbuka itu bagaikan air bah mengamuk. Perajurit
pembela kaisar yang berada di sebelah dalam menyambut dan
terjadilah pertempuran seru. Karena lubang pintu itu tidak terlalu
besar, hanya sekitar tiga tombak lebarnya, maka para penyerbu
itu tidak dapat masuk terlalu banyak dan hal ini membuat
pertahanan sebelah dalam masih kuat. Puluhan orang perajurit
penyerbu yang berhasil masuk disambut oleh ratusan orang
perajurit pembela kaisar dan yang di luar terhalang oleh yang
berada di depan. Karena itu untuk sementara pertahanan masih kuat. Betapapun
juga keadaan sudah sangat gawat karena dapat diramalkan
bahwa tidak lama lagi pasti pasukan pemberontak akan dapat
menyerbu ke dalam bangunan istana.
Kaisar memimpin sendiri para perajurit yang setia kepadanya.
Dia memberi komando. Ada yang menyambut serbuan lewat
pintu gapura atau gerbang yang sudah roboh daun pintunya, ada
yang diperintahkan tetap menjaga di atas tembok benteng untuk
menghalau musuh yang memasuki benteng lewat tembok.
Pada saat yang amat gawat itu, tiba tiba terdengar sorak-sorai
bercampur suara terompet, genderang dan canang. Para
perajurit pemberontak terkejut sekali dan tiba-tiba mereka
menjadi kacau-balau ketika diserang oleh pasukan yang baru
677 datang, pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Kuang dan Puteri
Moguhai bersama Thian Liong!
Puteri Moguhai didampingi Thian Liong mengamuk, membuka
jalan berdarah memasuki kerumunan perajurit-perajurit
pemberontak, merobohkan siapa saja yang menghalangi
mereka. Melihat betapa pintu gerbang yang sudah terbuka itu
penuh orang, mereka berdua lalu melompat ke atas tembok
benteng. Para perajurit pembela kaisar yang bertempur di atas tembok
benteng melihat datangnya pasukan penolong itu. Ketika mereka
melihat dua orang melompat ke atas benteng dan mengenal
seorang di antara mereka adalah Puteri Moguhai, mereka
bersorak dan semangat mereka berkobar. Apalagi ketika Puteri
Moguhai dan Thian Liong mengamuk, merobohkan banyak
perajurit pemberontak yang berhasil naik ke atas benteng,
mereka pun bersorak sambil mengamuk.
Puteri Moguhai dan Thian Liong segera melompat ke dalam dan
Thian Liong mengikuti Pek Hong Nio-cu atau Moguhai itu
memasuki istana. Para perajurit pengawal kaisar yang melihat
sang puteri, juga bersorak gembira. Mereka semua telah
mendengar bahwa pasukan Pangeran Kuang sudah berada di
luar dan sedang menyerang pasukan pemberontak.
Moguhai dan Thian Liong memasuki ruangan di mana keluarga
istana berkumpul. Melihat puterinya, Tan Siang Lin lari
menyambut. "Moguhai !" 678 "Ibu !" Mereka berangkulan. "Semua keluarga
selamat, bukan?" Tan Siang Lin mengangguk dan tersenyum, gembira sekali
melihat puterinya datang bersama pasukan Pangeran Kuang.
Ternyata isi surat yang melayang masuk tadi benar. Dan ia tahu
siapa yang menulis surat itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang
tadi merobohkan dua orang penyerang suaminya dengan
sambitan daun" "Di mana Sri Baginda?" tanya Moguhai ketika tidak melihat
ayahnya, di antara mereka.
Permaisuri yang juga menghampiri dan merangkul Moguhai
karena lega dan gembira hatinya, berkata, "Moguhai, ayahmu
sedang memimpin sendiri pasukan melawan serbuan
pemberontak." "Ah, mari ikut aku keluar, Thian Liong!" kata Puteri Moguhai
kepada pemuda itu. Mereka berdua lalu cepat keluar dan benar saja, gadis itu
melihat kaisar sendiri sedang memberi perintah kepada para
perwira pasukan yang mempertahankan benteng. Serbuan
Pasukan yang datang membuat kaum pemberontak panik dan
yang sedang menyerbu ke dalam juga sudah mendengar akan
datangnya pasukan Pangeran Kuang itu. Hal ini melemahkan
semangat mereka dan mereka didesak keluar oleh pasukan
yang berada di dalam benteng istana.
"Sri Baginda !" seru Puteri Moguhai dengan hati
679 bangga melihat betapa ayahnya sendiri maju memberi dorongan
semangat kepada para perajurit.
Kaisar menengok dan wajahnya yang berkeringat itu berseri
melihat puterinya. "Ah, Moguhai! Kedatanganmu bersama
Pangeran Kuang membawa pasukan sungguh tepat pada
waktunya! Kami semua merasa gembira sekali!"
"Biarlah pasukan Paman Pangeran Kuang menghancurkan
pasukan pemberontak, tidak. perlu paduka sendiri bersusah
payah. Harap paduka mengaso dan saya bersama sahabat saya
Souw Thian Liong ini yang akan membantu pasukan menyerbu
keluar!" Kaisar mengangguk-angguk ketika Thian Liong memberi hormat
dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan
membungkuk sampai dalam. "Baiklah, kukira kini bahaya sudah lewat," kata Kaisar dan dia
lalu kembali ke dalam istana, diikuti lima orang pengawal pribadi
yang sejak tadi tidak pernah meninggalkannya dan selalu
mengikuti dari jarak dekat ke manapun kaisar pergi.
Puteri Moguhai dan Thian Liong lalu membantu pasukan dan
dengan mudah mereka mendesak para pemberontak keluar dari
benteng. Kini para pemberontak dihimpit dari dalam dan luar.
Mereka menjadi panik dan banyak di antara mereka terluka atau
tewas. Panglima Kiat Kon yang tinggi besar, gagah dan mukanya penuh
brewok itu mengamuk seperti seekor harimau terluka. Dia sudah
merasa kepalang tanggung. Ambisinya adalah umntuk menjadi
680 panglima besar kalau Pangeran Hiu Kit Bong berhasil
menduduki singgasana. Tadi penyerbuan mereka sudah hampir
berhasil. Akan tetapi tiba-tiba muncul pasukan yang dipimpin
Pangeran Kuang sehingga kini pasukannya terjepit antara
pasukan dari luar dan dalam. Dia sendiri mengamuk di tengahtengah pertempuran dekat benteng istana, tidak mungkin keluar
dari pertempuran. Juga dia tidak ingin melarikan diri. Sudah
kepalang karena andaikata dia dapat melarikan diri, keluarganya
tentu tidak luput dari hukuman. Maka dia mengamuk dengan
pedangnya yang besar dan berat dan sudah banyak perajurit
pembela kaisar yang roboh dan tewas terkena babatan
pedangnya. Tiba-tiba pedangnya tertangkis ketika dia membabatkan ke arah
seorang perajurit musuh berikutnya.
"Trangggg !" bunga api berpijar dan Kiat Kon
merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Telapak
tangannya yang memegang pedang terasa panas sekali
sehingga hampir dia melepaskan pedangnya. Akan tetapi dia
masih sempat mempertahankan pedangnya dan cepat
memandang ke kanan untuk melihat siapa yang menangkis
pedangnya itu. Ketika dia melihat siapa orang yang memegang
pedang bengkok menangkis serangannya, mukanya berubah
pucat. Kiranya Puteri Moguhai yang berdiri di depannya dengan
mata bersinar penuh kemarahan.
"Puteri Moguhai !" dia berseru gagap.
"Panglima Kiat Kon, pengkhianat tak mengenal budi!" bentak
Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai. "Sri Baginda telah
681 memberi kedudukan tinggi kepadamu, akan tetapi apa
balasanmu" Engkau malah menjadi pengkhianat dan pembantu
pemberontak! Aku tidak dapat mengampunimu lagi?" Setelah
berkata demikian, Pek Hong Nio-cu lalu menerjang dengan
dahsyat. Panglima Kiat Kon sudah tahu akan kelihaian puteri ini, maka dia
menjadi gugup dan gentar. Akan tetapi tidak ada jalan keluar lagi
baginya. Pasukan pembela kaisar sudah berada di mana-mana
dan kiranya tidak mungkin melarikan diri dari Puteri Moguhai.
Puteri itu memang pernah belajar ilmu silat dari dia sendiri. Akan
tetapi itu dulu ketika Puteri Moguhai masih remaja. Sekarang ia
telah memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi tingkatnya
daripada kepandaiannya sendiri. Maka Kiat Kon lalu melawan
mati-matian. Sementara itu, Thian Liong melihat betapa tak jauh dari situ,
seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang bertubuh
tinggi kurus, berjenggot panjang dan berkumis pendek,
pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan tinggi,
sedang berdiri dengan pedang di tangan. Lima orang pengawal
melindunginya, melawan para perajurit istana yang mengepung
bangsawan tinggi itu. ternyata lima orang pengawal itu cukup
lihai dan banyak perajurit istana yang roboh oleh amukan lima
orang yang memegang golok besar itu.
Ketika melihat bangsawan itu, Thian Liong teringat akan
Pangeran Hiu Kit Bong seperti yang pernah digambarkan oleh
Pek Hong Nio-cu. Tinggi kurus berjenggot panjang berkumis
pendek. Tentu inilah pangeran yang menjadi biang keladi
pemberontakan itu. Dia cepat melompat ke arah orang itu. Dua
682 orang pengawal menyambutnya dengan golok mereka. Akan
tetapi dua kali tangan Thian Liong menampar dan dua orang itu
terpelanting roboh. Kemudian Thian Liong menerjang ke depan.
Pangeran Hiu Kit Bong mencoba untuk membacoknya dengan
pedangnya. Akan tetapi sekali menampar dengan tangan kirinya,
pedang itu terlepas dari pegangan sang pangeran dan secepat
kitat Thian Liong menotoknya sehingga Pangeran Hiu Kit Bong
tidak mampu bergerak lagi. Thian Liong lalu membawa tubuh
Pangeran itu melompat ke atas tembok benteng dan dari tempat
tinggi itu dia berseru sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga
suaranya terdengar lantang sampai jauh.
"Haiii! Para perajurit pemberontak! Lihatlah ke sini! Pemimpin
kalian sudah ditawan, kalian yang tidak ingin mati cepat lempar
senjata dan menyerah!!"
Suara itu lantang sekali dan terdengar oleh semua orang. Akan
tetapi karena semua perajurit pemberontak tidak mengenal
pemuda di atas tembok benteng yang menawan Pangeran Hiu
Kit Bong, maka mereka menjadi ragu. Pada saat itu, sesosok
bayangan berkelebat, melompat ke atas tembok benteng dan
ternyata ia adalah Pek Hong Nio-cu. Puteri ini telah berhasil
merobohkan Panglima Kiat Kon dengan sebuah tusukan yang
menewaskan panglima pemberontak itu. Setelah berdiri di dekat
Thian Liong, yang merangkul Pangeran Hiu Kit Bong yang sudah
tidak mampu bergerak, puteri itu berteriak melengking.
"Semua perajurit pengikut Pangeran Hiu Kit Bong, lepaskan
senjata kalian dan menyerahlah. Kalau tidak, kalian akan
dibasmi habis! Lihat pemimpin pemberontak telah kami tawan
dan Panglima Kiat Kon juga sudah tewas!"
683 Semua perajurit pemberontak tentu saja mengenal Puteri
Moguhai dan melihat betapa Pangeran Hiu Kit Bong benar-benar
telah ditawan, mereka menjadi putus asa. Tanpa ragu lagi
mereka membuang senjata mereka dan menjatuhkan diri
berlutut tanda menyerah. Melalui para perwira pembantunya, Pangeran Kuang lalu
menyerukan agar para perajurit pemberontak tidak dibunuh.
Mereka lalu ditawan dan digiring ke benteng pasukan yang tadi
membela kaisar. Pertempuran berhenti. Para tawanan dibawa ke dalam benteng.
Para perajurit melakukan penangkapan-penangkapan teradap
mereka yang menjadi kaki tangan Pangeran Hiu Kit Bong, di
bawah pimpinan para panglima yang setia kepada kaisar. Ada
pula yang bertugas membersihkan benteng istana, merawat
yang terluka dan mengurus penguburan mereka yang tewas.
Pangeran Hiu Kit Bong dan beberapa orang pembesar yang
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi anak buah dan sekutunya, dengan kedua tangan
diborgol, dihadapkan kepada kaisar, diikuti oleh Pangeran
Kuang, Puteri Moguhai dan Thian Liong. Semula Thian Liong
tidak ingin menghadap kaisar karena dia tidak mengharapkan
imbalan jasa untuk bantuannya. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu
memaksanya. Sambil menarik tangan Thian Liong Puteri
Moguhai berkata. "Hayolah, Thian Liong. Kau ikut denganku menghadap ayahku.
Engkau telah membantu kami, sudah sepantasnya kalau ayah
bertemu dan mengenalmu. Pula, sekali ini engkau yang
684 membantu aku, nanti aku akan membantumu mencari gadis
berpakaian merah yang telah mencuri kitab itu. Marilah!"
Thian Liong merasa tidak enak kalau menolak, maka diapun ikut
Puteri Moguhai dan Pangeran Kuang menggiring tawanan yang
jumlahnya tujuh orang itu menghadap kaisar kerajaan Kin. Dia
merasa janggal. Dia memasuki istana Kaisar Kin yang
merupakan kerajaan yang telah mengusir Kerajaan Sung,
menjajah tanah air bangsanya. Akan tetapi Thian Liong tidak
merasa bersalah. Dia pasti tidak akan membantu Kerajaan Kin
sekiranya kerajaan ini berperang melawan kerajaan Sung. Kalau
sekarang dia membantu kerajaan Kin adalah karena dia
memihak yang benar dan menentang para pemberontak yang
tentu saja merupakan pihak yang tidak benar karena
memberontak. Apalagi kalau diingat bahwa, Pangeran Hiu Kit
Bong, pengkhianat dan pemberontak itu bersekongkol dengan
Perdana Menteri Chin Kui yang harus ditentangnya karena
pembesar itu hendak menguasai dan menanamkan pengaruh
buruk kepada Kaisar kerajaan Sung.
Ketika mereka semua memasuki ruangan di mana Kaisar
menerima mereka, Puteri Moguhai lalu berlari menghampiri
ibunya dan duduk di dekat ibunya. Pangeran Kuang memberi
hormat kepada kakak tirinya dengan sikap gagah sebagai
seorang panglima. Para tawanan segera didorong dan
menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar.
Thian Liong meragu. Kalau berhadapan dengan kaisar
bangsanya sendiri, kaisar kerajaan Sung, dia tidak akan raguragu untuk menjatuhkan diri berlutut sebagai penghorrmatan.
Akan tetapi dia berhadapan dengan kaisar kerajaan Kin,
685 kerajaan bangsa Nuchen yang menjajah. Maka dia hanya
mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk
sebagai penghormatan. Moguhai sudah mendekati kaisar dan
berkata lirih. "Sri Baginda, pemuda itu adalah Souw Thian Liong yang
membantu kita dan dia pula yang menangkap Pangeran Hiu Kit
Bong sehingga perlawanan pasukan pemberontak dapat
dihentikan." Kaisar telah mendengar akan bantuan seorang pendekar
bangsa Han itu. Dia tersenyum dan memandang kepada Thian
Liong lalu mengangguk-angguk. "Souw sicu, silakan duduk di
kursi itu. Engkau juga, Pangeran Kuang!"
Kemudian Kaisar menjatuhkan hukuman kepada para pimpinan
pemberontak. Kaisar kerajaan Kin ini setelah mengambil Tan
Siang Lin sebagai selir terkasih banyak mengalami perubahan.
Kalau dahulu dia terkenal keras, kini dia berubah menjadi lebih
lunak. Banyak nasihat dia terima dari Tan Siang Lin sehingga dia
menjadi seorang penguasa yang bijaksana tidak lalim. Semua
orang tentu mengira bahwa kaisar akan menghukum mati
pimpinan pemberontak itu Akan tetapi kenyataannya tidak. Seperti yang diharapkan Siang
Lin, Pangeran Hiu Kit Bong dan para sekutunya tidak dijatuhi
hukuman mati, melainkan dihukum buang bersama keluarga
mereka di daerah utara, hidup dalam pengasingan dengan sukusuku yang masih terbelakang di sana sehingga tidak ada
kemungkinan bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak
baik. 686 Setelah tawanan itu dibawa pergi, Pangeran Kuang melaporkan
gerakannya menumpas pemberontak, dimulai dari kunjungan
Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang membawa tawanan,
yaitu Ngo-heng Kiam-tin dan belasan orang perajurit yang diutus
Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh Moguhai, sampai
pengerahan pasukan yang dia pimpin ke kota raja dan berhasil
membasmi para pemberontak pada saat yang tepat.
Setelah Pangeran Kuang selesai bercerita, tiba giliran Puteri
Moguhai untuk menceritakan pengalamannya bersama Souw
Thian Liong. Cerita Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai
menarik perhatian semua keluarga istana yang hadir di situ.
Mereka merasa kagum sekali. Setelah mendengar betapa Souw
Thian Liong, seorang pemuda pribumi Han menolong kerajaan
Kin dan berjasa besar, Kaisar segera berkata sambil
memandang kepada Thian Liong dengan senyum ramah.
"Souw-sicu, jasamu besar sekali dan kami mengucapkan banyak
terima kasih kepadamu. Katakan, apa yang kau inginkan dari
kami" Permintaanmu pasti akan kami penuhi demi membalas
budi dan jasamu." Thian Liong cepat memberi hormat. "Maafkan hamba, Sri
Baginda. Harap Paduka tidak salah paham. Hamba sama sekali
tidak menginginkan sesuatu. Apa yang hamba lakukan itu sama
sekali bukan perbuatan jasa atau pelepasan budi, apalagi
berpamrih mendapatkan imbalan, melainkan sudah menjadi
kewajiban hamba untuk melakukannya. Bukan sekali-kali hamba
menolak anugerah dari Paduka, hanya hamba tidak
mengharapkan imbalan apa pun."
687 "Sri Baginda harap jangan menghadiahkan apa-apa kepada
Souw Thian Liong. Dia seorang pendekar sejati, dan memberi
hadiah kepadanya sama saja dengan merendahkan, bahkan
menghinanya. Hamba mempunyai cara yang terbaik untuk
membalas budinya. Dia sedang mencari seorang gadis
berpakaian merah yang telah mencuri sebuah kitab darinya, dan
dia juga bertugas untuk menentang Perdana Menteri Chin Kui di
kerajaan Sung. Untuk kedua hal itu, hamba akan membantunya,
dengan demikian hamba dapat membalas budi kebaikannya,"
kata Puteri Moguhai kepada kaisar.
Kaisar mengerutkan alisnya mendengar nama Perdana Menteri
Chin Kui dlisebut. Bagaimanapun juga, Chin Kui dahulu
merupakan orang yang berjasa bagi kerajaan Kin. Chin Kui yang
mencegah balatentara Sung yang dipimpin Jenderal Gak Hui,
jenderal yang amat pandai dan ditakuti kerajaan Kin,
melanjutkan gerakannya menyerang ke utara untuk menghalau
kerajaan Kin yang menguasai setengah dari daratan Cina bagian
utara. Chin Kui yang berhasil membujuk Kaisar Sung untuk
berdamai dengan kerajaan Kin, bahkan kerajaan Sung mengirim
upeti tahunan kepada kerajaan Kin. Akan tetapi akhir-akhir ini
dia melihat kecurangan Perdana Menteri Chin Kui yang
mengurangi sebagian dari upeti kerajaan Sung itu untuk dirinya
sendiri. Hal ini membuat hubungan mereka merenggang.
"Kenapa Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung hendak
ditentang?" tanyanya sambil memandang kepada puterinya.
Puteri Moguhai mengerti jalan pikiran ayahnya. "Sri Baginda,
Souw Thian Liong hendak menentangnya karena Chin Kui
terkenal sebagai seorang pembesar yang korup dan khianat
688 terhadap kerajaan Sung. Selain itu, ternyata dia juga menjadi
sekutu Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak
kepada paduka." Kaisar mengerutkan alisnya. "Bersekutu dengan pemberontak?"
Dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh keheranan.
"Apa buktinya kalau dia bersekutu dengan pemberontak?"
"Buktinya sudah jelas, Sri Baginda," kata Puteri Moguhai. "Cin
Kui memang diam-diam menjalin persekutuan dengan Pangeran
Hiu Kit Bong dan yang paling jelas buktinya, dia mengirim
seorang utusan yang bernama Cia Song untuk menangkap
hamba. Hamba hendak ditangkap dan dijadikan sandera untuk
memaksa paduka menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran
Hiu Kit Bong." Kaisar mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Hemm,
aku memang sudah tahu bahwa Chin Kui adalah seorang yang
licik dan curang, sama sekali tidak boleh dipercaya. Pernah dia
minta kepada kami agar kami mengirim pasukan untuk
membantu dan merebut tahta kerajaan Sung dari tangan Kaisar
Kao Tsu, akan tetapi aku tidak mau mengkhianati perdamaian
yang sudah diadakan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung."
"Kakanda Kaisar, bagaimana kalau hamba membawa pasukan
untuk menghukum Chin Kui yang bersekongkol dengan
pemberontak itu?" tiba-tiba Pangeran Kuang mengusulkan.
Kaisar menggeleng kepala. "Tidak boleh, adinda pangeran.
Kalau engkau membawa pasukan ke selatan, hal itu akan dapat
menimbulkan salah paham dengan kerajaan Sung. Kalau di
sana Chin Kui hendak mengadakan pemberontakan, biarlah
689 Kaisar Sung Kao Tsu sendiri menghadapinya. Itu adalah urusan
dalam negeri kerajaan Sung dan kita tidak berhak
mencampurinya." "Benar sekali, Sri Baginda. Akan tetapi kalau hamba seorang diri
yang pergi membantu Souw Thian Liong, hamba tidak mewakili
kerajaan kita, melainkan sebagai tindakan pribadi hamba.
Hamba ingin membalas budi kebaikan Souw Thian Liong dan
harap paduka tidak melarang hamba."
"Ha-ha-ha, siapakah yang dapat melarangmu, Moguhai" Apakah
ayahmu ini pernah melarangmu selama ini" Engkau merantau
ke sana sini sehingga mendapat julukan Pek Hong Nio-cu, dan
aku tidak pernah melarangnya. Baiklah, engkau pergilah
membantu Souw-sicu, akan tetapi jangan lupa untuk segera
pulang. Engkau harus ingat bahwa engkau kini sudah dewasa,
usiamu sudah hampir duapuluh tahun dan sudah tiba masanya
bagimu untuk menikah!"
"Aihh paduka ! Hamba belum ingin menikah," kata Pek Hong Nio-cu tersipu dan tergagap sehingga
ditertawakan semua anggauta keluarga istana.
Atas permintaan Pek Hong Nio-cu, Souw Thian Liong terpaksa
tinggal di istana selama beberapa hari karena gadis itu ingin
melepaskan kerinduannya kepada keluarganya lebih dulu
sebelum meninggalkan mereka untuk melakukan perjalanan
dengan Souw Thian Liong menuju ke selatan.
Pada malam hari itu, Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan
ibunya di dalam kamarnya. Ibunya, Tan Siang Lin, merasa berat
690 dan khawatir mendengar puterinya akan pergi ke selatan
membantu Thian Liong menentang Perdana Menteri Chin Kui.
"Moguhai, anakku, aku benar-benar merasa gelisah sekali
mendengar engkau akan pergi ke selatan. Kalau orang-orang
kerajaan Sung mendengar bahwa engkau adalah puteri Kaisar
Kin, tentu engkau akan dimusuhi dan amatlah berbahaya
bagimu." Moguhai merangkul ibunya. "Jangan khawatir, ibu. Di dalam
istana ini, aku adalah Puteri Moguhai. Akan tetapi di luar sana,
aku dikenal sebagai Pek Hong Nio-cu. Di selatan nanti orangorang akan mengenal aku sebagai Pek Hong Nio-cu dan tak
seorangpun akan mengetahui bahwa aku adalah Puteri
Moguhai." "Akan tetapi pemuda she Souw itu mengetahuinya. Bagaimana
kalau dia memberitahukan kepada orang-orang lain?"
"Tidak mungkin, ibu. Dia seorang sahabat yang baik dan setia.
Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah tertimpa malapetaka.
Dia boleh dipercaya, ibu."
Tan Siang Lin menghela napas panjang. "Bagaimana pun juga,
aku tetap merasa khawatir. Biarpun engkau telah memiliki ilmu
silat yang tinggi dan tangguh, namun di selatan sana banyak
terdapat penjahat yang sakti."
Moguhai tersenyum. "Ibu tidak perlu khawatir. Selain aku sendiri
mampu membela dan menjaga diri, juga ada Souw Thian Liong
yang memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku. Dia lihai
sekali, ibu. Lihai dan bijaksana. Dan tahukah ibu siapa gurunya"
691 Gurunya adalah seorang sakti yang amat terkenal, yaitu bukan
lain adalah Tiong Lee Cin-jin!"
Wajah Tan Siang Lin berubah. Matanya terbelalak
dan mulutnya mengeluarkan seruan, "Ahh
mendengar disebutnya nama itu. Akan
menundukkan mukanya dan diam saja.
!" ketika ia tetapi ia lalu Moguhai memperhatikan sikap ibunya. "Ibu, ada satu hal yang
merupakan kejutan besar."
"Hemm, apakah itu, anakku?"
"Aku telah bertemu dengan paman Sie!"
"Eh" Benarkah" Bagaimana engkau mengetahui bahwa yang
kautemukan itu Paman Sie?"
"Aku tidak lupa akan wajahnya, ibu. Aku pernah melihat dia
ketika dia datang menemui ibu di taman beberapa tahun yang
lalu itu. Dia benar-benar paman Sie yang telah memberi kitabkitab dan perhiasan rambut ini kepadaku melalui ibu. Dan dialah
yang menyelamatkan kami ketika aku dan Thian Liong tertawan
kaki tangan pemberontak."
"Ah !" Selir kaisar itu memandang wajah puterinya.
"Dan dia menemuimu, bicara denganmu?"
"Sayang sekali tidak, ibu. Aku hanya melihat dia di kejahuan, lalu
dia menghilang setelah menolong aku dan Thian Liong." Kini
692 gadis itu memandang wajah ibunya dengan tajam. "Dan ada
satu lagi kejutan besar, ibu."
Tan Siang Lin agaknya telah dapat menguasai perasaannya. Ia
memandang puterinya sambil tersenyum dan berkata, "Ah,
engkau ini penuh dengan kejutan. Apa lagi yang hendak
kauceritakan, Moguhai?"
"Paman Sie itu ternyata adalah Tiong Lee Cin-jin, guru Souw
Thian Liong!" Moguhai melihat betapa kini tidak ada perubahan pada wajah
ibunya. Ia tahu bahwa hal ini jelas menunjukkan bahwa ibunya
pasti telah tahu bahwa paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Dan
Tan Siang Lin masih tersenyum ketika bertanya kepada
puterinya. "Bagaimana engkau dapat memastikan bahwa paman Sie itu
Tiong Lee Cin-jin?" "Ketika dia muncul setelah menyelamatkan Thian Liong dan aku,
Thian Liong berseru memanggilnya dengan sebutan suhu.
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suhunya adalah Tiong Lee Cin-jin, maka jelaslah bahwa paman
Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Benarkah itu, ibu" Ibu tentu lebih
mengenal dan mengetahui, bukan?"
Tan Siang Lin menghela napas dan diam saja tidak menjawab
dan hanya menundukkan mukanya, kemudian malah melamun
dan kedua matanya menjadi basah! Puteri Moguhai merangkul
ibunya. Ia biasanya manja kepada ibunya, akan tetapi melihat
ibunya seperti orang yang berduka, ia merasa gelisah dan ingin
sekali menghiburnya. Ia amat menyayang ibunya.
693 "Ibu, ada apakah, ibu" Ibu agaknya menyimpan rahasia!
Ceritakanlah kepadaku, ibu."
Tan Siang Lin menggeleng kepalanya. "Tidak, tidak ada apaapa, anakku. Hanya aku merasa terharu mendengar sahabat
baikku itu, Paman Sie itu, telah menyelamatkan engkau. Diapun
sudah menyelamatkan ayahmu ketika ayahmu terancam oleh
dua orang pengawal yang agaknya menjadi kaki tangan
Pangeran Hiu Kit Bong."
"Ah, benarkah ibu" Kenapa Sri Baginda tidak bercerita tentang
hal itu!" kata Moguhai, ikut gembira karena bagaimanapun juga,
ia merasa dekat dengan "Paman Sie" yang telah memberi tiga
kitab pelajaran ilmu silat tinggi dan perhiasan rambut, dan
menganggap dia sebagai gurunya walaupun ia belum pernah
bertemu dan bercakap-cakap.
"Mungkin ayahmu belum sempat bercerita karena masih banyak
persoalan yang harus diurus ayahmu berhubung dengan
pemberontakan itu." "Ibu saja yang bercerita! Bagaimana terjadinya peristiwa itu,
Ibu?" "Malam kemarin, ketika kami berkumpul di ruangan dalam,
dalam keadaan tegang karena pada siang harinya terjadi
pertempuran dan pasukan kita terdesak mundur sehingga hanya
menjaga di dalam benteng istana dan pintu gerbang ditutup
rapat. Malam itu tidak terjadi pertempuran akan tetapi kami
semua dapat menduga bahwa besok paginya para pemberontak
tentu akan menyerang lagi.
694 Tiba-tiba dua orang pengawal pribadi ayahmu, dengan golok di
tangan, menyerang ayahmu. Mereka telah menjadi antek
Pangeran Hiu Kit Bong. Karena serangan itu dilakukan tiba-tiba
maka agaknya tidak ada yang akan dapat menyelamatkan
ayahmu, akan tetapi tiba tiba dari luar jendela ada dua sinar
hijau meluncur masuk dan mengenai dua orang penyerang itu
yang senjata mereka terlepas dan mereka sendiri lalu
terpelanting. Mereka ditangkap para pengawal lainnya dan
ternyata yang menancap di tangan mereka hanyalah dua helai
daun hijau!" Moguhai memandang ibunya dengan sinar mata kagum. "Hebat!
Bukan main! Daun basah dapat dipergunakan sebagai senjata
rahasia! Alangkah saktinya!"
"Aku tahu bahwa hanya paman Sie saja yang mampu
melakukan hal itu. Aku memandang keluar jendela dan aku
yakin melihat bayangannya berkelebat di luar jendela.
Kemudian, selagi ayahmu bertanya-tanya di mana adanya
engkau, tiba-tiba dari luar jendela melayang sehelai kertas
bersurat." Tan Siang Lin lalu mengambil sebuah lipatan kertas
dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Moguhai.
"Inilah suratnya, masih kusimpan."
Moguhai yang sudah merasa kagum sekali cepat menerima
surat itu dan membuka lipatan lalu membacanya.
"Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja
dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka
datang." 695 "Ibu yakin bahwa surat inipun dilayangkan oleh Paman Sie?"
tanya puteri itu. Ibunya mengangguk. "Aku
tulisannya yang indah itu."
yakin sekaIi. Aku mengenal Diam-diam Moguhai menduga bahwa tentu hubungan antara
ibunya dan Paman Sie amat akrab, kalau tidak begitu tentu
ibunya tidak akan dapat mengenal tulisan Paman Sie! Apakah
mereka itu pernah saling bersurat?suratan" Moguhai tidak
berani menanyakan ini karena takut menyinggung perasaan
ibunya dengan dugaan yang terlalu jauh itu.
"Ibu menurut cerita Thian Liong, Tiong Lee Cin-jin itu melakukan
perantauan jauh ke barat sampai belasan tahun dan ketika dia
kembali, dia membawa banyak kitab milik aliran-aliran persilatan
yang dulunya hilang. Dia mengembaIikan kitab-kitab itu kepada
pemilik aselinya. Paman Sie juga telah memberi tiga jilid kitab
pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadaku. Juga ilmu kepandaian
mereka berdua itu amat tinggi. Aku kira mereka berdua itu hanya
satu orang saja. Benarkah bahwa paman Sie itu adalah Tiong
Lee Cin-jin?" Tan Siang Lin menghela napas. "Mungkin sekali demikian,
Moguhai. Dia tidak pernah mengatakan kepadaku bahwa dia
juga disebut Tiong Lee Cin-jin
walaupun eh, dia juga telah pergi selama belasan
tahun lamanya dan kami tidak pernah saling berjumpa."
696 "Hemm, dan ibu baru berjumpa padanya di taman itu setelah
belasan tahun saling berpisah?"
Tan Siang Lin mengangguk dan kembali menghela napas.
"Sudahlah, Moguhai. Jangan banyak membicarakan dia, tidak
enak kalau didengar orang lain,
disangkanya nanti ada apa-apa
" "Jangan khawatir, ibu. Aku selalu merahasiakan Paman Sie
seperti yang ibu pesan dulu."
"Baik sekali kalau begitu, anakku. Ingat saja bahwa Paman Sie
itu adalah gurumu dan dulu, dulu sekali dia adalah sahabat baik
ibumu." Moguhai amat menyayang ibunya. Setelah ibunya berkata
demikian iapun membelokkan percakapan tentang hal lain dan
tidak menyinggung nama Paman Sie lagi. Setelah melepaskan
kerinduannya kepada keluarga istana selama tiga hari, Moguhai
lalu ikut Thian Liong melakukan perjalanan ke Selatan.
*** Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu, lebih tepat kita sebut Pek
Hong Nio-cu karena selama melakukan perjalanan bersama
Thian Liong ia tidak pernah mengaku sebagai Puteri Moguhai,
menunggang kuda di sebelah Thian Liong. Mereka telah
melakukan perjalanan jauh dan kini sudah mulai memasuki
wilayah kerajaan Sung setelah kemarin mereka menyeberangi
Sungat Yang-ce. 697 Selama perjalanan mereka di wilayah kerajaan Kin, yaitu di
seberang utara Sungai Yang-ce, mereka tidak menemui banyak
kesulitan. Pek Hong Nio-cu selalu disambut dengan penuh
kehormatan setelah para pembesar setempat mengetahui, dari
pedang kekuasaannya, bahwa ia adalah puteri kaisar. Dan
perjalanan itu dipergunakan pula oleh Pek Hong Nio-cu
menyelidiki para pembesar. Kalau menemukan pembesar yang
sewenang-wenang terhadap rakyat, jahat dan korup, seperti raja
kecil yang lalim, ia segera turun tangan memberi hajaran dan
memperingatkan mereka dengan keras.
Pada suatu pagi mereka memasuki Kota Ciu-siang, kota
pertama wilayah kerajaan Sung yang berada di daerah barat.
Mereka tidak langsung memasuki wilayah Kerajaan Sung dari
timur yang sebetulnya lebih dekat dan mereka dapat langsung
tiba di Lin-an (Hang-chouw) yaitu kota raja Sung karena daerah
timur itu merupakan tempat yang gawat, perbatasan dijaga
kedua pihak sehingga melakukan perjalanan lewat daerah itu
akan mengalami banyak gangguan dan bahaya.
Karena malam tadi mereka berdua melakukan perjalanan
setengah malam di bawah sinar bulan purnama, mereka dan
juga kuda mereka telah lelah. Pek Hong Nio-cu mengajak Thian
Liong yang kini menjadi penunjuk jalan di daerah Sung yang
lebih dikenalnya, untuk mencari rumah penginapan agar mereka
dapat beristirahat. Sebelum memasuki daerah kerajaan Sung,
atas nasihat Thian Liong, Pek Hong Nio-cu mengganti
pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai para gadis
pribumi Han. Hal ini amat penting karena kalau ia mengenakan
pakaian gadis bangsawan bangsa Nu chen (Yuchen), hal itu
698 akan menimbulkan banyak masalah dan mungkin saja ia akan
dimusuhi oleh rakyat pribumi.
Pek Hong Nio-cu yang memang sudah mempersiapkan pakaian
pengganti, memakai pakaian gadis Han, akan tetapi tetap saja
pakaian itu dari sutera putih dan perhiasan burung Hong di
kepalanya masih dipakainya, hanya gelung rambutnya
disesuaikan dengan bentuk gelung rambut gadis pribumi Han.
Penampilannya tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali
karena wajah puteri itu memang lebih mirip gadis pribumi Han
daripada bangsa Nuchen. Hanya saja, karena ia memang amat
cantik jelita, maka di mana saja, orang-orang, terutama para
pria, yang melihatnya akan memandang dengan kagum.
Mereka berdua turun dari atas punggung kuda mereka di
pelataran sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan segera
menyambut dan mengurus kuda mereka.
Mereka lalu berjalan memasuki ruangan depan rumah
penginapan itu dan minta kamar kepada pengurus penginapan
yang duduk di belakang meja penerima tamu.
Agaknya memang menjadi peraturan di kota dekat perbatasan
itu bahwa para tamu harus memperkenalkan namanya. Ketika
ditanya, Thian Liong menjawab tenang. "Namaku Souw Thian
Liong dan nona ini adalah adikku, Souw-siocia (Nona Souw).
Kami hendak pergi ke kota raja.
Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Mereka
lalu memasuki kamar masing-masing untuk tidur karena merasa
lelah dan mengantuk. Setelah matahari naik tinggi, keduanya
terbangun dengan tubuh terasa segar kembali. Setelah mandi
699 dan menukar pakaian, mereka berdua pergi ke rumah makan
yang berada di samping rumah penginapan dan memesan
makanan. Se!agi mereka minum air teh sehabis makan, tiba?tiba mereka
dan semua orang yang sedang makan dalam rumah makan itu
dikejutkan oleh masuknya serombongan orang yang ternyata
adalah perajurit-perajurit berpakaian seragam dan jumlah
mereka ada belasan orang, dipimpin oleh seorang perwira yang
bertubuh tinggi besar. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bersikap tenang dan
memandang kepada perwira yang memimpin pasukan kecil itu.
Mereka melihat pula pengurus rumah penginapan yang juga
tampak memasuki rumah makan dan orang ini mendekati sang
perwira dan menudingkan telunjuknya ke arah Thian Liong dan
Pek Hong Nio-cu. Mengikuti petunjuk pengurus rumah penginapan, perwira itu
segera melangkah lebar menghampiri Thian Liong, diikuti
belasan orang anak buahnya.
Para tamu rumah makan menjadi ketakutan dan mereka
bergegas meninggalkan rumah makan itu setelah cepat-oepat
menghentikan makan mereka dan membayar harga makanan di
meja pengurus rumah makan. Berdasarkan pengalaman, kalau
pasukan datang, tentu terjadi keributan dan mereka tidak ingin
tersangkut. Tak lama kemudian, hanya tinggal Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu yang masih tinggal di rumah makan itu. Para pelayan
700 rumah makan juga sudah keluar dan berkumpul di pelataran,
menonton dari kejauhan. Biarpun maklum bahwa perwira yang diikuti serombongan
perajurit itu menghampiri meja mereka, Thian Liong dan Pek
Hong Nio-cu masih tenang saja. Bahkan Pek Hong Nio-cu
dengan sikap acuh mengangkat cangkir air tehnya dan minum.
Setelah tiba dekat meja, Thian Liong, perwira yang berusia
kurang lebih empatpuluh tahun, tinggi besar dan mukanya
brewok, matanya lebar itu memandang kepada Thian Liong lalu
bertanya dengan suara parau dan sikapnya kasar.
"Hei, apakah kamu yang bernama Souw Thian Liong?"
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnys dan merasa tak senang,
akan tetapi Thian Liong memberi isyarat kepadanya agar diam,
lalu dia sendiri dengan sikap tenang menjawab. "Benar, aku
bernama Souw Thian Liong. Ada apakah, ciang-kun (perwira)?"
"Bagus!" Perwira itu mencabut pedangnya, diikuti belasan orang
anak buahnya yang juga mencabut golok mereka.
"Souw Thian Liong, menyerahlah, kami harus menangkapmu.
Jangan melawan agar kami tidak perlu menggunakan
kekerasan!" Thian Liong masih tetap duduk tenang. Pek Hong Nio-cu bahkan
lebih tenang lagi. Tanpa memperdulikan pasukan kecil itu yang
mengepung dan semua mata ditujukan kepadanya dengan mata
penuh marah dan mulut menyeringai kurang ajar, ia
menuangkan air teh dari poci memenuhi cangkirnya.
701 "Aku tidak mempunyai kesalahan apapun, ciangkun. Kenapa
engkau hendak menangkap aku" Katakan dulu apa
kesalahanku, kalau aku memang bersalah, tentu aku menyerah
dengan senang hati untuk kautangkap," kata Thian Liong, tidak
menunjukkan rasa penasaran di hatinya dalam ucapan atau
Kitab Pusaka 5 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Pedang Ular Mas 2