Pencarian

Pemberontakan Taipeng 7

Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


akal untuk dapat mengeluarkan Sheila dan anaknya dari istana
itu. Kebetulan sekali pada suatu hari dia melihat sebuah kereta yang
memuat beberapa peti besar, dikawal oleh tiga orang berikut
kusir. karena sikap mereka bertiga itu mencurigakan, dengan
gerak-gerik mereka yang jelas membayangkan kekuatan dan
kepandaian silat, diam-diam Bu Beng Kwi yang telah keluar dari
istana untuk mencari jalan mengeluarkan Sheila dan anaknya,
membayangi dan pada malam harinya, ketika tiga orang itu
berhenti dan bermalam di sebuah rumah penginapan,
413 menurunkan peti-peti yang jumlahnya delapan buah itu ke dalam
kamar, diapun melakukan pengintaian.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, akhirnya Bu Beng Kwi dapat
membuka sebuah di antara peti-peti itu di luar tahu pemiliknya dan
terkejutlah dia melihat bahwa setiap peti terisi dua puluh lima
pucuk senjata api ! Kemudian, pengintaiannya membuat dia
maklum bahwa tiga orang itu adalah kaki tangan orang kulit putih
yang menyelundupkan dua ratus buah senjata api untuk dijual
kepada pihak pemerintah baru di Nan-king.
Tanpa banyak kesukaran, Bu Beng Kwi dapat menyingkirkan dan
membunuh tiga orang itu, yang dianggapnya sebagai
pengkhianat-penghianat yang menjual diri kepada orang kulit
putih. Dia merampas kereta berikut delapan peti berisi dua ratus
pucuk senjata api itu, dan dialah yang melanjutkan perjalanan
menuju keluar kota Nan-king seperti yang telah didengarnya dari
percakapan antara tiga orang mata-mata itu. Dan tepat seperti
yang sudah didengarnya, kedatangannya disambut oleh matamata Tai Peng. Akan tetapi, untuk dua ratus pucuk senjata api itu,
dia tidak minta uang. Menyamar sebagai mata-mata pihak kulit
putih, dia mengatakan bahwa dia diperintah oleh para komandan
kulit putih untuk menukar dua ratus pucuk senapan itu dengan diri
nyonya Sheila, wanita kulit putih yang berada di istana Nan-king.
Demikianlah, yang menjadi mata-mata itu adalah Bu Beng Kwi,
dan Raja Ong Siu Coan telah menyetujui penukaran itu.
Dan malam itu, seperti telah dijanjikan, dengan keretanya, Bu
Beng Kwi menanti di tempat gelap, siap untuk menukarkan
414 delapan peti yang masih disembunyikan dengan diri Sheila dan
puteranya. Setelah menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan,
akhirnya yang dinanti-nantikannya datanglah. Ibu dan anak itu
datang dikawal oleh pasukan pengawal, naik kuda dan begitu tiba
di situ, Sheila dan Han Le langsung saja naik ke dalam kereta
tanpa bertanya lagi. Mereka memang sudah diberitahu bahwa
mereka akan dijemput oleh mata-mata orang kulit putih yang akan
membawanya pergi. Dengan pasrah, karena maklum betapa
bahayanya kalau ia tetap berada di istana, Sheila menggandeng
tangan puteranya dan naik ke dalam kereta, Karena cuaca di situ
gelap, iapun tidak melihat siapapun juga, kecuali bayangan
beberapa orang di bawah pohon tidak jauh dari kereta itu. Belum
nampak ada kusir yang duduk di depan kereta.
Setelah melihat bahwa Sheila dan Han Le memasuki kereta,
barulah Bu Beng Kwi mengambil delapan peti terisi senjata api.
Para mata-mata dan pengawal memeriksa dan menghitung.
Setelah mendapat kenyataan bahwa dua ratus pucuk bedil itu
lengkap jumlahnya, mereka mengangguk. Tanpa banyak cakap
lagi Bu Beng Kwi lalu naik ke tempat duduk kusir di depan dan
mencambuk dua ekor kuda yang menariknya. Keretapun berjalan
meninggalkan tempat itu melalui jalan yang gelap.
"Ibu, kita hendak ke manakah ?" beberapa kali Han Le
mengajukan pertanyaan ini kepada ibunya. Ada sedikit
kekecewaan di dalam hati anak ini. Dia sudah dipisahkan oleh
ibunya dari gurunya yang sangat dihormati dan dikasihinya, yaitu
Bu Beng Kwi. Kemudian, dia mendapatkan guru baru di istana,
415 dan dia mulai belajar silat dan juga ilmu baca tulis, akan tetapi
kembali dia diajak pergi oleh ibunya !
Beberapa kali Sheila hanya menjawab, "Diam dan tenanglah,
Henry, dan tidur sajalah. Besok engkau akan tahu sendiri ke mana
kita pergi." Sheila agak ragu-ragu untuk memberi tahu kepada
puteranya bahwa mereka akan pergi ke bangsa kulit putih. Ia
dapat membayangkan betapa puteranya, yang hanya warna
matanya saja menurun kepadanya dari darah kulit putih, akan
merasa asing di antara bangsa kulit putih. Apalagi Han Le tidak begitu lancar berbahasa Inggris walaupun
sejak kecil ia sudah mengajarnya. Han Le tidak pernah mendapat
kesempatan untuk berbicara dalam bahasa Inggris dengan orang
lain kecuali dengan ibunya. Karena itu, maka ditangguhkannya
keterangan yang sebenarnya kepada anak itu, agar anaknya tidak
gelisah dan dapat tidur di dalam kereta itu.
"Ibu, kenapa ibu tidak memberitahu sekarang saja" Aku akan
gelisah dan tidak dapat tidur, menduga-duga ke mana kita akan
pergi. Kemanakah kita pergi, ibu?" kembali Han Le mendesak.
"Aku sendiri belum tahu, Henry."
"Belum tahu " Kalau begitu, kenapa kita pergi?"
"Sribaginda yang memerintahkan. Kita harus pergi dari istana,
malam ini juga. Kita menurut saja kepada kusir kereta ini, kemana
kita akan dibawa pergi."
416 "Heii, pak kusir ! Ke manakah kami akan kaubawa pergi " Ke
mana ?" Han Le berteriak ke arah punggung kusir. Akan tetapi,
kusir itu tidak menjawab, duduk diam seperti arca yang hanya
nampak punggungnya yang lebar. Beberapa kali Han Le berteriak
dan bertanya, namun tidak ada jawaban. Akhirnya anak itu
mengomel. "Ibu, sungguh jahat sekali raja yang menjadi suheng dari
mendiang ayah itu, ya" Dia mengusir kita tanpa memberi tahu ke
mana kita akan dibawa pergi. Sungguh aku tidak senang
mempunyai supek macam dia, walaupun dia telah menjadi raja'"
"Husshh, Henry, tidurlah dan jangan banyak cakap lagi."
Sheila berkata dalam bahasa Inggris kepada puteranya sambil
menuding ke arah punggung kusir, seperti memberi tahu agar
puteranya tidak bicara lagi yang bukan-bukan karena ada kusir itu
yang mendengarkan. Han Le bersungut-sungut, akan tetapi
diapun lalu merebahkan diri miring di atas tempat duduk,
berusaha untuk tidur. Sheila juga menyandarkan tubuhnya dan berusaha untuk
memejamkan matanya. Namun, tidak mungkin ia dapat tidur
menghadapi keadaan seperti itu. Nasibnya belum dapat
ditentukan akan menjadi bagaimana. Ia tidak begitu perduli akan
dirinya sendiri. Setelah apa yang dideritanya, kehancuran hatinya
melihat kenyataan bahwa pria yang dipujanya, yang bahkan
dicintanya, Bu Beng Kwi, ternyata adalah musuh besar, yaitu
Koan Jit orang yang paling dibencinya, iapun tidak perduli lagi
akan apa yang terjadi dengan dirinya. Bahkan rasanya kalau tidak
417 melihat puteranya, ia ingin mati saja menyusul suaminya. Akan
tetapi di sampingnya ada Henry, puteranya. Tidak, ia tidak ingin
mati lebih dulu. Ia harus mendidik Henry, yang penting adalah
nasib Henry, bukan nasib dirinya. Karena itu ia akan melihat
bagaimana nanti keadaan di antara bangsanya sendiri. Kalau
Henry merasa tidak berbahagia berada di antara bangsa kulit
putih, ia akan mengajak Henry pergi lagi, entah ke mana, asal
Henry dapat hidup berbahagia.
Terbayanglah di depan matanya peristiwa pembukaan rahasia diri
Bu Beng Kwi yang sudah sering terbayang olehnya. Dan seperti
biasa, tak dapat ia menahan membasahnya kedua matanya. Ia
tahu benar betapa besar rasa cintanya kepada Bu Beng Kwi.
Teringat ia betapa laki-laki itu seringkali menangis dan menyesali
diri sendiri, dan iapun merasa terharu Tak mungkin ia dapat
membenci Bu Beng Kwi. Ia merasa kasihan, terharu dan juga
kagum yang membangkitkan cinta kasih yang besar.
Akan tetapi kalau ia teringat akan wajah Koan Jit, setelah topeng
Bu Beng Kwi dilepas, ia segera teringat kepada mendiang
suaminya dan iapun merasa benci sekali kepada Koan Jit. Dan
ternyata bahwa Koan Jit adalah Bu Beng Kwi, bahwa Bu Beng
Kwi adalah Koan Jit ! Ia terjepit di antara kasih sayang dan
kebencian. namun yang jelas, ia amat berduka dan merasa
kehilangan, kehilangan pria yang dikasihinya, Bu Beng Kwi !
Kalau ia masih berada di dekat Bu Beng Kwi, tidak akan begini
nasibnya. Ia tentu masih hidup berbahagia di Bukit Ayam Merah,
melayani segala keperluan Bu Beng Kwi. Mencuci untuknya,
memasak untuknya, membersihkan rumahnya, melakukan segala
pekerjaan yang amat disukanya karena dengan pekerjaan itu ia
418 memperlihatkan rasa cintanya kepada pria itu. Dan kini ia merasa
menyesal mengapa Bu Beng Kwi membuka rahasianya" Kenapa
Bu Beng Kwi menghidupkan lagi Koan Jit sehingga
menghidupkan pula dendam dan kebenciannya" Mengapa" Air
matanya mengalir turun di kedua pipinya.
Tiba-tiba kereta berhenti. Han Le yang tadinya sudah pulas itu
terbangun. "Ibu, kenapa kereta berhenti" Sudah sampaikah kita?" tanyanya.
"Ssttt, diam saja kau," kata Sheila dalam bahasa Inggris, berbisik
lirih karena ia melihat bayangan orang menghadang di depan
kereta dan mendengar orang membentak-bentak di depan kereta
itu, agaknya ditujukan kepada kusir kereta.
"Turunlah kalau engkau mau selamat !" terdengan suara kasar
membentak. "Kereta ini dan seisinya untuk kami ! Kalau kau
membantah, kami akan menyeret dan membunuhmu lebih dulu !"
"Kalian siapakah " Tidak tahukah bahwa aku melaksanakan
perintah Sribaginda Raja di Nan-king ?" terdengar suara berat dari
kusir itu. "Ha-ha-ha, kami pemungut pajak di jalan tidak mengenal utusan
kaisar atau utusan siapa saja. Harus tunduk kepada perintah
kami. Hayo menggelinding turun kau, atau engkau sudah bosan
hidup?" terdengar suara pertama membentak.
Terdengar suara pecut meledak-ledak dan kereta itu berguncang.
Sheila yang membayangkan bahwa kusir itu tentu dikeroyok oleh
419 para perampok itu, memeluk puteranya dan menanti dengan
jantung berdebar penuh kekhawatiran.
"Tenanglah, ibu. aku akan melindungimu ...... " terdengar Han Le
berbisik dan biarpun kata-kata ini menggelikan, namun cukup
mengharukan hati Sheila yang memeluk lebih keras lagi.
Terdengar teriakan-teriakan perkelahian di luar kereta. Kusir itu
bukan lain adalah Bu Beng Kwi, tadi mendengar percakapan
antara Sheila dan Han Le dengan hati terharu.
Diapun kagum melihat betapa Sheila tetap tabah dalam keadaan
apapun juga. Dia tidak ingin memperlihatkan diri dan hanya akan
membawa ibu dan anak itu sejauh mungkin dari jangkauan tangan
Ong Siu Coan dan anak buahnya, kemudian akan meninggalkan
mereka. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya sama sekali
bahwa di tempat sunyi di luar hutan yang berada di kaki sebuah
bukit itu keretanya akan dihadang oleh perampok yang jumlahnya
tidak kurang dari dua puluh orang. Bu Beng Kwi menjadi marah
dan tentu saja dia tidak sudi menyerahkan kereta dan isinya. Dia
tadi menggunakan cambuknya merobohkan perampok yang
mengancamnya, akan tetapi dia terkejut melihat betapa perampok
itu dapat meloncat bangun kembali. Dia lalu meloncat turun dari
kereta. Belasan orang, atau mungkin juga dua puluh itu, kini
mengepungnya dan ketika mereka bergerak menyerang, tahulah
Bu Beng Kwi bahwa mereka bukanlah perampok sembarangan
saja. Rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang cukup tinggi ! Dan
mereka mempergunakan golok atau pedang yang baik ! Diam420
diam dia terkejut sekali. Tidak dapat dia menduga siapa yang
mengirim pasukan pilihan ini untuk menghadang keretanya.
Dugaannya memang tepat. Dua puluh empat orang itu bukanlah
perampok biasa saja, melainkan dua lusin perajurit pilihan yang
dikirim oleh permaisuri untuk menghadang kereta dan membunuh
Sheila dan Han Le ! Melihat betapa Sheila telah membuat Ong
Siu Coan, kemudian bahkan Lee Song Kim, jatuh cinta, timbul
perasaan tidak senang, bahkan kebencian dan iri hati di dalam
dada permaisuri itu. Oleh karena itu, diam-diam ia
mempersiapkan dua losin perajurit pengawal pilihan dan
mengutus mereka untuk menghadang kereta itu dan menyamar
sebagai perampok-perampok, membunuh ibu dan anak itu, juga
kusirnya yang didengarnya adalah seorang mata-mata bangsa
kulit putih. Betapapun lihai dua losin perajurit itu namun mereka terkejut
bukan main menghadapi kusir itu. Sinar bulan tua memberi
penerangan yang cukup sehingga para pengeroyok itu dapat
melihat wajah orang yang mereka keroyok. Dan mereka terkejut
setengah mati. Wajah itu sepeti wajah setan! Lebih lagi rasa kaget
mereka ketika melihat betapa kusir itu berkelebat dan dalam
waktu beberapa gebrakan saja, empat orang di antara mereka
telah roboh tak dapat bangun kembali ! Si wajah setan ini ternyata
lihai bukan main, pikir mereka. Tadinya mereka mentertawakan
perintah permaisuri. Untuk membunuh seorang kusir, seorang
wanita kulit putih dan anaknya saja permaisuri telah mengutus
sebanyak dua losin perajurit pilihan! Akan tetapi kini mereka
terkejut dan mereka memperketat pengepungan, mempercepat
dan memperkuat gerakan senjata mereka. Tak mungkin seorang
421 kusir bertangan kosong mampu mengalahkan mereka yang
jumlahnya dua losin dan semua bersenjata lengkap !
Akan tetapi, kembali empat orang roboh berturut-turut dan tidak
mampu bangun kembali tercium kedua tangan dan kaki kusir itu !
Delapan orang telah tewas dan kini para pengeroyok menjadi
marah, penasaran, akan tetapi juga agak gentar. Bahkan tiga orang di antara mereka, yang menjadi pemimpin
pasukan dan dua orang pembantunya, diam-diam meninggalkan
teman-teman yang mengeroyok dan merekapun menghampiri
kereta. Mereka, bagaimanapun juga, harus dapat melaksanakan
tugas yang diperintahkan permaisuri, karena kalau sampai gagal,
mereka tentu akan dihukum mati ! Ketika mereka menyingkap tirai
pintu kereta, mereka melihat seorang wanita sedang berpelukan
dengan anaknya, seorang laki-laki belasan tahun. melihat
munculnya tiga orang yang memegang pedang, Han Le terkejut


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan marah. Apalagi ketika seorang di antara mereka menangkap
lengan ibunya dan menyeretnya turun dari kereta.
"Jangan ganggu ibuku !" bentak Han Le sambil memukul.
Akan tetapi, sebuah tamparan membuat dia terpelanting keluar
kereta. Tiga orang itu lalu menangkap Sheila, memondongnya
dan merekapun melarikan diri menghilang ke dalam gelap, ke
arah hutan yang berada di kaki bukit. Han Le tidak perduli akan
kepeningan kepalanya dan diapun lari mengejar.
"Lepaskan ibuku ...... !" bentaknya sambil mengejar. Akan tetapi
tiga orang itu berlari cepat ke dalam hutan yang gelap. Han Le
nekat, terus mengejar ke dalam hutan secepat mungkin.
422 Sementara itu, mendengar teriakan Han Le, Bu Beng Kwi terkejut
sekali. Teriakan itu berarti bahwa Sheila telah ditangkap orang,
pikirnya. Hal ini membuat dia marah sekali. Dari dalam dadanya keluar suara menggereng hebat. Para
pengeroyok yang kini tinggal tiga belas orang jumlahnya itu,
terkejut dan gentar. Gerengan itu seperti mengguncang jantung
mereka dan di antaranya ada yang seketika menjadi lumpuh
seperti anak kambing mendengar harimau mengaum. Memang
gerengan yang dikeluarkan Bu Beng Kwi itu mengandung tenaga
khikang yang amat kuat. Bu Beng Kwi mengamuk. kaki tangannya
menyambar-nyambar dan demikian cepat gerakannya seolaholah
dia berkaki enam dan bertangan enam. Dalam waktu sebentar saja, tiga belas orang itu telah roboh
semua. Di tempat itu berserakan tubuh dua puluh satu orang yang
agaknya telah tewas semua !
Sekali loncat, Bu Beng Kwi telah mendekati kereta dan ketika dia
menjenguk ke dalam tidak melihat Sheila dan Han Le, dia
mengeluarkan keluhan dalam dan tubuhnya sudah berkelebat
lenyap meninggalkan kereta itu Dan nampak bayangan putih
berkelebat ke dalam hutan, ke arah dari mana dia mendengar
suara Han Le tadi. Dengan kecepatan yang luar biasa, bayangan putih itu
berkelebatan ke sana-sini di dalam hutan, dan akhirnya Bu Beng
Kwi yang sudah merasa gelisah sekali melakukan pengejaran ke
atas bukit, keluar dari hutan itu. Dan di luar hutan, nampaklah
olehnya Han Le sedang menangis di bawah pohon, dengan
pakaian robek-robek dan tubuh lecet-lecet. Tanpa terasa waktu itu malam telah hampir lewat, fajar telah
423 menyingsing dan kegelapan telah berobah menjadi keremangan
fajar. "Han Le, mana ibumu ?" Bu Beng Kwi berseru sambil cepat
memondong tubuh anak itu.
Bagaikan mimpi rasanya, Han Le terbelalak memandang wajah
orang yang memondongnya, kemudian dengan bercampurnya
tangis dan tawa dia menuding ke atas bukit, "Ibu dilarikan mereka
ke sana, suhu ...... "
Tanpa membuang waktu lagi Bu Beng Kwi melompat dan
mendaki bukit itu seperti terbang cepatnya sambil memondong
tubuh Han Le yang masih bengong terlongong karena kaget,
heran dan juga girang sekali mengatasi rasa khawatirnya akan
nasib ibunya. Gurunya telah muncul, itu berarti bahwa ibunya
pasti dapat tertolong. Sebuah kuil tua bobrok yang berdiri miring di lereng bukit itu
menarik perhatian Bu Beng Kwi. Apalagi ketika mendengar jerit
tertahan dari tempat itu, disusul suara ketawa yang parau.
Bagaikan terbang dia lari ke arah kuil tua itu. Ternyata sebuah kuil
yang sudah tidak terpakai lagi. Nampak pintu reyot tertutup dan
sekali tendang, daun pintu itu roboh dan apa yang nampak di
dalam membuat sepasang mata Bu Beng Kwi seperti
mengeluarkan api. Sheila sedang dipegangi tiga orang laki-laki
dan sudah tertawa-tawa sedang menelanjanginya dan sudah
berhasil merobek hampir seluruh pakaian wanita itu yang
meronta-ronta. Agaknya tadi mulut yang mendekap mulut Sheila
pernah terlepas maka terdengar jeritnya yang tertahan.
424 "Ibuuu ...... !" Han Le berteriak.
Bu Beng Kwi melepaskan tubuh Han Le di luar ruangan itu dan
tubuhnya sendiri sudah menerjang ke dalam. Tiga orang laki-laki
itu tadi terkejut mendengar hiruk-pikuknya daun pintu jebol dan
mereka menjadi pucat melihat bahwa yang menjebol pintu adalah
si muka setan yang tadi mereka keroyok. Akan tetapi, kekagetan
mereka masih terbayang pada wajah mereka ketika nyawa
mereka melayang. Demikian cepatnya Bu Beng Kwi menerjang
dan tiga kali tamparan kedua tangannya berturut-turut membuat
tubuh tiga orang itu terpental dalam keadaan tidak bernyawa lagi,
mati tanpa menderita luka yang kelihatan.
Sheila terbelalak memandang dan melihat bahwa yang menolong
adalah Bu Beng Kwi, ia mengeluh panjang dan tubuhnya terkulai,
jatuh pingsan. Tadi, sekuat tenaga ia mempertahankan diri
sehingga tidak sampai pingsan, dan sekarang, begitu terbebas
dari malapetaka yang mengerikan, apalagi melihat munculnya Bu
Beng Kwi yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya
sedetikpun, perasaannya terguncang hebat dan iapun roboh
pingsan. Bu Beng Kwi cepat memondong tubuh Sheila dengan
penuh kasih sayang. diselimutinya tubuh itu dengan pakaian yang
sudah compang-camping, dan dibawanya keluar,
"Ibu ...... !" Han Le berseru, khawatir sekali.
"Tenanglah, Han Le. Ibumu tidak apa-apa, hanya pingsan karena
cemas dan lelah. Mari kau naik ke punggungku dan kita cepat
kembali ke kereta kita."
425 Han Le mentaati perintah gurunya dan ketika suhunya
berjongkok, diapun naik ke gendongan punggung suhunya. Bu
Beng Kwi menggendong Han Le dan memondong tubuh Sheila,
lalu berlari cepat ke tempat di mana dia meninggalkan kereta tadi,
di seberang hutan. HAN LE bergidik melihat mayat-mayat yang berserakan, akan
tetapi gurunya segera membawa dia ke dalam kereta, lalu
merebahkan tubuh Sheila ke atas bangku kereta pula.
"Kau jaga ibumu baik-baik agar jangan sampai jatuh. Kita harus
segera pergi dari tempat ini." katanya dan Han Le mengangguk,
lalu berlutut dan merangkul tubuh ibunya. Keretapun bergerak,
dikusiri Bu Beng Kwi, meninggalkan tempat itu.
Setelah mereka meninggalkan bukit itu dan jauh dari sana,
matahari sudah naik tinggi dan Bu Beng Kwi menghentikan
keretanya di bawah sebatang pohon besar. Tempat itu sunyi.
Ketika dia menjenguk ke dalam kereta, ternyata Sheila masih
pingsan, dijaga puteranya yang kelihatan khawatir.
"Suhu, ibu belum juga sadar," kata Han Le dengan muka cemas.
"Tenangkan hatimu. Ibumu mendapat guncangan batin yang
cukup hebat. Sekarang pergilah engkau mencari air dalam panci
ini, kemudian buatlah api unggun dan masak air itu sampai
mendidih." Melihat sikap suhunya yang tenang, giranglah hati Han Le yang
tadinya amat mengkhawatirkan keadaan ibunya.
426 "Baik, suhu," katanya sambil melompat turun dan membawa panci
itu, mencari air. Bu Beng Kwi naik ke dalam kereta dan memeriksa denyut jantung
Sheila melalui urat nadi tangannya. Denyut itu lemah dan tidak
teratur. Wajah wanita itu pucat sekali dan melihat wajah itu,
keharuan menusuk perasaan Bu Beng Kwi. Betapa besarnya
dosa yang ditanggungnya terhadap wanita ini, pikirnya. Dia
menghela napas panjang dan mengeluh di dalam batinnya. Mulamula, dia sebagai Koan Jit telah membunuh suami wanita ini.
Kemudin sebagai Koan Jit pula dia telah membunuh Bu Beng Kwi,
laki-laki yang dicinta olehwanita ini dengan hati murni.
"Hemm, Koan Jit, engkau harus menerima hukuman yang
bagaimana beratnya untuk menebus dosa-dosamu," demikian
suara hatinya mengeluh. Dan hukuman terberat yang pernah
dirasakan selama dia mengubah jalan hidupnya adalah sekarang
ini ! Hukuman ini jauh lebih berat daripada hukuman yang
bagaimanapun juga, bahkan dianggapnya lebih berat dari siksa
yang membawa mati sekalipun. Dia mencinta wanita ini, dan
mencinta puteranya. Dia mencinta mereka berdua dengan
sepenuh jiwanya, ingin membahagiakan mereka. Namun, wanita
yang dicintanya itu membencinya, menjauhinya.
Padahal, wanita ini sesungguhnya juga mencintanya, hanya
karena perbuatannya yang lalu maka cinta itu berubah menjadi
kebencian yang amat mendalam. Dan kenyataan ini amat
menyiksa batinnya, mendatangkan penyesalan yang agaknya
tidak akan mereda walaupun ditebus dengan nyawa sekalipun.
427 Ada dua macam penyesalan. pertama adalah penyesalan karena
menyadari akan dosa yang telah dilakukan, penyesalan yang
dapat membuat si pelaku bertaubat dan tidak akan melakukan
dosa itu untuk kedua kalinya. Penyesalan kedua adalah
penyesalan yang timbul karena akibat buruk menimpa diri sebagai
akibat perbuatan dosanya itu. Penyesalan yang kedua ini tidak
akan menimbulkan kesadaran dan tidak membuat orang
bertaubat. Bu Beng Kwi menyesal karena keduanya. Dia telah
menyadari dosa-dosanya semenjak bertemu dengan pendeta
sakti Siauw-bin-hud dan seketika kesadaran itu merobah jalan
hidupnya. Dia meninggalkan kehidupan bergelimang dosa
sehingga sinar cinta kasih dan keadilan yang berada di dalam
batin setiap manusia, kini bersinar terang dan tidak tertutup oleh
debu-debu kekotoran. Namun, siksa batin yang dideritanya sebagai akibat dosadosanya, ketika dia bertemu dengan Sheila dan puteranya,
mendatangkan pula penyesalan yang amat hebat, membuat dia
kehilangan gairah hidup. Bagaimanapun macamnya, penyesalan tidak ada gunanya sama
sekali. hanya permainan pikiran saja yang mengingat- ingat masa
lalu, dan ingatan akan masa lalu ini hanya membuahkan
penyesalan, duka, dendam, kemarahan dan sebagainya lagi.
Kalau kita mau waspada setiap saat, sehingga setiap gerak-gerik
kita lahir maupun batin selalu berada di bawah pengamatan,
maka kebijaksanaan akan selalu menyertai kita sehingga kita
tidak akan salah langkah. Namun, betapapun saktinya, Bu Beng
Kwi alias Koan Jit hanyalah seorang manusia biasa. Diapun
menginginkan kesenangan, antara lain kesenangan agar selalu
dapat berdekatan dengan Sheila dan Han Le, dua orang yang
428 dicintanya, keinginan agar cintanya terhadap mereka dibalas
tanpa halangan apapun. Dan keinginan, dalam bentuk apapun
juga, tak terpisahkan dari suka. Keinginan selalu melahirkan duka,
karena keinginan tak ada batasnya, makin mekar dan sekali
waktu pasti keinginan takkan terpenuhi dan timbullah kecewa,
timbullah duka. Lenyapnya keinginan adalah apabila kita hidup saat demi saat,
menikmati yang ada karena keinginan adalah pengejaran hal
yang belum ada. Kalau kita selalu hidup di saat ini, tanpa ikatan
dengan masa lalu, tanpa harapan untuk masa depan, hidup
sepenuhnya saat demi saat, maka dalam keadaan apapun juga
kita akan selalu waspada. Waspada dan sadar dalam arti kata
tidak tebuai masa lalu dan tidak terseret keinginan masa depan.
Hanya dengan beginilah kita dapat hidup sesungguhnya,
menikmati apa yang ada hidup bahagia saat demi saat,
bagaimanapun keadaan hidup kita di saat-saat itu. Kebahagiaan
hanya terdapat di saat ini, bukan kemarin atau esok, karena hidup
adalah saat ini pula, saat demi saat di mana kita harus
sepenuhnya sebagai seorang manusia.
Sayang, sungguh sayang. Kita membiarkan sebagian besar
kehidupan kita menjadi permainan pikiran, dikuasai sepenuhnya
oleh pikiran yang selalu sibuk berceloteh sehingga batin
melahirkan emosi. Pikiran menciptakan kemarahan, kekhawatiran, rasa takut, kebencian, prasangka, iri hati. dan
sebagainya lagi. Pikiran mejadi debu kotoran yang menutupi
sehingga cahaya kebahagiaan tidak nampak lagi. Kita dapat
melihatnya dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa hidup ini
hanya dipenuhi oleh permainan pikiran yang menciptakan si aku.
Aku ingin ini, aku ingin itu, aku senang lalu bosan, aku kecewa
429 karena tak terpenuhi keinginanku, aku marah karena terganggu,
karena aku dirugikan, aku takut karena aku terancam, karena ada
bahaya aku dipisahkan dari orang atau benda milikku yang
kusayang. Setiap hari kita diombang-ambingkan dari saat ke saat
oleh segala macam emosi. dan semua ini timbul hanya karena
kesadaran kita dirampas dan diduduki oleh pikiran yang selalu
mempermainkan masa lalu, masa ini, dan masa mendatang.
Dapatkah kita hidup berbahagia" Dapatkah kita hidup di saat ini"
Kalau pertanyaan ini timbul dari keinginan si aku pula yang
mengejar kesenangan dan kenikmatan, mempergunakan cara
"hidup berbahagia saat ini" sebagai suatu cara untuk memperoleh
kenikmatan, maka kita anak terseret dalam lingkaran setan. Itu
masih ulah pikiran yang selalu mengejar kesenangan belaka.
Akan tetapi mari kia buang segala ikatan, kita buang segala
kekotoran, kita buang segal gambaran-gambaran tentang diri
pribadi yang diciptakan si aku dan kita akan waspada setiap saat,
dan baru ada arti dalam kehidupan ini, karena kita benar-benar
HIDUP, bukan sekedar seonggok daging yang dipermainkan oleh
nafsu-nafsu keinginan! Tuhan Maha Kasih ! Segala isi mayapada, yang nampak maupun
yang tidak nampak, dilimpahkan kepada kita dengan penuh
kerelaan, dengan penuh kasih. Kalau kita tidak dapat
menikmatinya, tidak dapat menerimanya sebagai suatu berkah
dari saat ke saat, dan kita membiarkan diri, diseret suara setan
dan iblis yang selalu tidak mengenal puas, bukankah itu


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan suatu kebodohan" Mari kita nikmati denyut jantung
kita. Kita nikmati setiap hirupan hawa melalui napas kita. Kita
nikmati segala keindahan yang nampak oleh mata kita. Kita
430 nikmati segala kemerduan yang terdengar oleh telinga kita,
segala keharuman yang tercium oleh hidung kita, segala
kelezatan yang termakan oleh mulut kita. Dan kalau sudah begitu,
yang memenuhi batin kita hanyalah perasaan syukur dan terima
kasih kepada Tuhan Yang Maha Kasih, perasaan berbahagia
yang keluar masuk dalam batin kita melalui pernapasan kita.
Kalau sudah begitu, kita bebas dari ikatan duniawi yang
bagaimanapun juga. Kalau sudah begitu segala peristiwa yang
kita anggap baik maupun buruk hanya merupakan hembusan
angin saja yang wajar, karena segala akibat tentu ada sebabnya
walaupun sering kita tidak mengetahui adanya sebab itu, karena
kita sudah buta oleh pengejaran keinginan.
Serelah memeriksa keadaan Sheila dan maklum bahwa wanita itu
telah mengalami pukulan batin yang hebat, Bu Beng Kwi tidak
berani menyadarkan cepat-cepat. Keadaan pingsan ini bahkan
merupakan penyelamatan diri Sheila sendiri, pekerjaan
kekuasaan yang ada dalam tubuh Sheila. Karena pingsan, maka
untuk sementara ia terbebas dari rasa ngeri, kaget, marah,
kemudian keharuan melihat Bu Beng Kwi, dan selamatlah ia.
Kalau tidak pingsan, hantaman batin yang mengguncangkan itu
bisa saja membuatnya Sheila menjadi gila, bahkan mati. Karena
itu, Bu Beng Kwi membiarkan saja Sheila dalam keadaan
pingsan, hanya menotok beberapa jalan darah untuk
melapangkan pernapasannya dan membantu kekuatan jantung
saja. Ketika Han Le selesai menyediakan air mendidih, dia
menggunakan kain yang dibasahi air mendidih itu untuk mencuci
431 muka dan leher Sheila. kemudian, melihat betapa ada tandatanda Sheila akan siuman, dia cepat meninggalkan kereta.
"Siapkan pakaian ibumu, kalau ia siuman agar berganti pakaian
dan kau beri minuman air hangat-hangat. Ibumu sedang marah
kepadaku, aku tidak mau ia melihatku di sini kalau ia siuman."
"Tapi, suhu, kenapakah" Mengapa ibu marah kepada suhu?"
Justeru hal inilah yang ingin sekali diketahui Han Le semenjak dia
diajak ibunya pergi meninggalkan suhunya itu.
Akan tetapi, seperti juga ibunya, Bu Beng Kwi menggeleng kepala
dan tidak menjawab, melainkan pergi meninggalkan kereta. Han
Le melanjutkan pekerjaan gurunya tadi, menggunakan kain
hangat basah untuk membersihkan tubuh ibunya.
Dengan hati iba dia melihat bekas-bekas tangan tiga orang biadab
tadi di lengan dan kaki ibunya, tanda lembam kebiruan dan bekas
jari tangan. Untung suhunya datang tepat pada saat yang amat
berbahaya itu, pikir Han Le.
Sheila bergerak lemah, mengeluh panjang dan membuka kedua
matanya. Ketika membuka dan melihat Han Le, ia segera bangkit
dan merangkul puteranya. "Henry, apa yang terjadi" Kita di mana?" Ia terbelalak
memandang ke kanan kiri dan agaknya heran melihat bahwa ia
berada dalam kereta bersama puteranya.
"Tenangkan hatimu, ibu. Kita telah selamat terhindar dari pasukan
jahat itu, mereka telah mati semua dan kita telah selamat. Engkau
432 jatuh pingsan dan baru sekarang siuman, ibu. Engkau bergantilah
pakaian dan minumlah air hangat ini."
Karena masih merasa bingung dan belum sadar betul, Sheila
menurut saja dan minum air hangat. kesadarannya pulih dan kini
ia memandang kepada pakaiannya yang robek-robek, kulit kaki
tangannya yang terasa nyeri dan terdapat bekas- bekas tangan
membiru dan teringatlah ia akan peristiwa mengerikan yang
dialaminya semalam. matanya terbelalak dan kembali ia
memandang ke kanan kiri, kemudian ia menubruk puteranya
sambil menangis. "Ahhh ...... aku teringat sekarang ...... Henry ...... Henry, di
manakah dia ...... ?"
Sheila teringat betapa ia diseret oleh tiga orang dan ia melawan
mati-matian ketika tiga orang itu hendak memperkosanya di
dalam sebuah kuil tua. Kemudian ia melihat munculnya Bu Beng
Kwi yang mengamuk dan menyerang tiga orang itu.
"Siapakah yang ibu maksudkan?" Han Le bertanya, pura- pura
tidak mengerti siapa yang dimaksudkan ibunya.
"Dia ...... suhumu, bukankah dia yang menyelamatkan kita?"
"Benar, ibu. Akan tetapi mau apa ibu kini mencari suhu"
Bukankah ibu marah dan membenci suhu?"
"Henry ...... !" Sheila menangis makin mengguguk sambil
merangkul anaknya. 433 Biarpun tadinya dia merasa tidak senang karena ibunya marah
dan membenci suhunya yang demikian baiknya, bahkan
kemudian memaksanya pergi meninggalkan gurunya itu, kini
melihat ibunya menangis demikian sedihnya, hati Han Le menjadi
lunak dan merasa kasihan. seperti menghibur adiknya saja, dia
mengusap rambut di kepala ibunya, rambut yang seperti benang
sutera emas dan yang selalu dikaguminya itu.
"Ibu, jangan menangis, ibu. Kita telah selamat dari malapetaka
berkat pertolongan suhu. Ibu, setelah apa yang dilakukan suhu,
setelah dia bersikap demikian baiknya kepada kita, dahulu dia
menyelamatkan kita dari serangan pasukan Tai Peng, sekarang
dia menyelamatkan kita pula dari perampok- perampok jahat.
Setelah semua itu, ibu, betapapun marahnya engkau, apakah
engkau tidak dapat memaafkan suhu" Ibu, engkau seorang
wanita yang berhati mulia, aku tidak percaya bahwa engkau tidak
dapat memberi ampun kepada suhu, apapun kesalahannya
kepadamu, ibu.. Kalau perlu, biarlah aku yang memintakan
ampun untuknya kepadamu, ibu." dan tiba- tiba Han Le berlutut di
depan kaki ibunya, berkali-kali menyentuh kaki ibunya dengan
dahi. Melihat ini, Sheila mengeluarkan rintihan kecil dan merangkul
anaknya, diangkatnya bangun anak itu dan ia pun menangis
tersedu-sedu di pundak Han le yang juga ikut menangis, bingung
melihat kedukaan demikian hebat dari ibunya.
Memang, Sheila merasa betapa hatinya seperti disayat-sayat
mendengar kata-kata anaknya dan melihat betapa Han Le
berlutut memohonkan ampun bagi gurunya ! Haruskah ia
434 memberi tahu puteranya bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan J it,
pembunuh ayah kandung anak itu" Bahwa Bu Beng Kwi yang kini
dianggap orang paling mulia oleh anaknya itu sesungguhnya
adalah musuh besar mereka" Ah, ia tidak tega memberitahukan
hal itu kepada Han Le. Ia sendiri mengalami kehancuran hati
karena mengetahui rahasia itu, dan ia merasa yakin bahwa Han
Le juga akan merasa kecewa dan berduka sekali.
Setelah tangisnya mereda, Sheila bertanya dengan suara lirih,
"Henry, di manakah dia sekarang?"
"Dia tadi meninggalkan kereta setelah melihat ibu tidak apa-apa.
Dia bilang ..... dia bilang bahwa lebih baik ketika siuman ibu tidak
melihat dia karena ...... dia bilang bahwa ibu sedang marah
kepadanya." Sheila menarik napas panjang. Ia dapat membayangkan betapa
tersiksa hati Bu Beng Kwi, mungkin lebih tersiksa darinya. Ia
sendiri hanya kecewa melihat kenyataan pahit bahwa Bu Beng
Kwi adalah Koan Jit, musuh besarnya. Akan tetapi Bu Beng Kwi
atau Koan Jit itu bukan hanya kecewa, melainkan menyesal
setengah mati. sebelum membuka rahasianya saja, ia sendiri
melihat betapa Bu Beng Kwi menangis semalaman seperti anak
kecil, dan hal ini seringkali dilakukannya.
"Dia berada di bawah ?" tanyanya sambil berganti pakaian utuh.
"Mungkin, aku tidak tahu pasti, ibu."
435 Setelah membereskan pakaiannya, Sheila lalu turun dari atas
kereta, dibimbing oleh puteranya. Ketika mereka sudah berada di
bawah dan memandang ke kanan kiri, di situ sunyi saja. Tidak
nampak bayangan Bu Beng Kwi. Dua ekor kuda penarik kereta
dilepas dari kendali dan ditambatkan pada batang pohon, dan dua
ekor kuda itu kini makan rumput dengan tenangnya. Tidak ada
tanda-tanda bahwa di dekat situ ada Bu Beng Kwi atau orang lain.
Hanya mereka berdua dan kuda-kuda itu, selebihnya sunyi.
"Dia ...... dia tidak ada ...... " kata Sheila suaranya hampa dan
ringan. Han Le merasa penasaran. Baru saja suhunya masih berada di
situ. Dia lalu berteriak-teriak memanggil.
"Suhuuu ...... ! Suhuuuuu ....... !" Berulang kali Han Le memanggil,
menghadap ke empat penjuru, namun tidak terdengar jawaban,
juga tidak muncul orang yang dipanggilnya itu.
"Dia ...... sudah pergi lagi ...... " kata pula Sheila, suaranya lirih
dan seperti orang kehilangan semangat atau putus asa.
Konflik yang terjadi di dalam batin Sheila membuatnya menjadi
lemah sekali, seperti orang kehilangan semangat.
Kita selalu hidup dengan konflik batin yang tiada hentinya. Konflik
antara apa yang ada dengan apa yang kita inginkan. Keadaan
dan kenyataannya begini, kita ingin begitu. Kita susah, kita ingin
melenyapkan kesusahan itu, kalau kita marah, kita ingin tidak
marah dan kita ingin sabar. Kita membenci, demikian
kenyataannya, namun kita ingin tidak membenci. 436 Kita melihat betapa kita dengki dan iri, akan tetapi kita ingin agar
tidak demikian, dan masih banyak lagi pertentangan yang terjadi
setiap saat di dalam batin kita. Konflik itu menghamburkan
kekuatan batin, konflik itu membuat kita lemah. Bahkan konflik ini
memperkuat hal yang buruk itu. Kalau kita marah dan kita ingin agar tidak marah dan bersabar,
maka keingian itu sendiri menjadi minyak yang akan
menghidupkan terus kemarahan itu ! Kita tidak melihat bahwa
marah dan keinginan sabar itu sama saja, timbul dari si aku juga,
si aku yang selalu ingin enak, ingin senang. Aku marah
karena aku meresa dirugikan, dan aku melihat betapa merugikan
marah itu, maka aku ingin tidak marah dan ingin sabar, tentu saja
dengan pengertian bahwa sabar itu baik dan menguntungkan !
Dalam keadaan marah, mana mungkin sabar" Kalau toh
kemarahan itu mereda, hal itu hanya karena pemaksaan diri.
Pemaksaan macam ini tidak melenyapkan api kemarahan,
melainkan hanya menutupinya saja untuk sementara.
Nampaknya saja lenyap, namun api kemarahan itu belum padam,
seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu akan menyala lagi
bahkan lebih besar dan kuat! Kenapa kita tidak mau hidup dan
menghayati apa adanya, saat demi saat" Kalau kita marah,
kenapa kita tidak membiarkannya saja sewajarnya dan kita
mengamatinya, mempelajarinya, merasakannya, dengan penuh
perhatian dan kewaspadaan" Kenapa harus lari dari padanya"
Kemarahan adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri
sendiri" Pelarian bukanlah untuk mengatasi kemarahan.Akan
tetapi kalau ada pengamatan terhadap diri sendiri di waktu marah,
maka pengamatan inilah yang akan melenyapkan api kemarahan,
437 lenyap bukan dipaksa lenyap atau ditutupi, melainkan lenyap
sama sekali. Dan kalau sudah tidak ada lagi api kemarahan di
dalam batin, apakah kita perlu untuk bersabar lagi " Yang penting
adalah lenyapnya kemarahan dari sumbernya, bukan
menutupinya dengan kesabaran yang dipaksakan. Demikanlah
pula dengan duka, takut dan sebagainya. Sumber semua
perasaan itu berada di dalam diri sendiri, oleh karena itu
penyembuhannya dalam diri sendiri, bukan diusahakan dari luar.
Siapakah yang menyuruh kita takut, susah, marah dan
sebagainya" Tidak ada bukan" Jelas,rahasia sumbernya berada
di dalam diri sendiri dan karena itu, untuk mempelajarinya dan
mengatasinya, penyelidikan harus ditujukan ke dalam diri sendiri
pula. Kita yang susah, kita yang marah, kita yang takut, jadi kitalah
yang harus diselidiki ! Dengan pengamatan setiap saat, pada saat kita marah, pada saat
kita susah, pada saat kita takut dan seterusnya. Setiap saat !
Demikianlah pula dengan keadaan Sheila. Kenyataan adalah
bahwa ia mencinta Bu Beng Kwi. Akan tetapi ia tidak ingin
mencinta, ia ingin agar ia membenci Bu Beng Kwi, karena Bu
Beng Kwi adalah Koan Jit, musuh besarnya, pembunuh
suaminya. Ia harus membenci ! Ia tidak mencinta musuh itu.
Demikian, terjadilah konflik yang terus menerus antara kenyataan
yang ada dan keinginan hati yang diciptakan oleh jalan pikirannya.
Teringatlah Sheila betapa begitu ia dan puteranya meninggalkan
Bu Beng Kwi maka kesukaran dan ancaman bermunculan, dan
semua bahaya itu baru dapat terhalau setelah Bu Beng Kwi
muncul. Agaknya, ..... ia tidak akan dapat hidup aman dan
bahagia lagi tanpa Bu Beng Kwi. Dan kini pendekar itu telah pergi
438 meninggalkannya. Tak terasa lagi air matanya turun menetesnetes walaupun ia tidak ingin menangis kehilangan Bu Beng Kwi.
Han Le juga merasa penasaran ketika teriakan-teriakannya
memanggil suhunya tidak mendapatkan jawaban. Tidak mungkin
gurunya meninggalkan mereka begitu saja ! Dia teringat betapa
suhunya tidak berani bertemu dengan ibunya karena ibunya
sedang marah kepadanya. Mendadak timbul sebuah akal.
"Ibu, katakanlah, apakah ibu mau memaafkan suhu ?" tiba-tiba dia
bertanya dengan suara nyaring.
Sheila memandang puteranya dengan linangan air mata,
kemudian ia mengangguk. "Ibu, katakanlah dengan jelas agar hatiku menjadi yakin. Apakah
ibu mau memaafkan suhu, mengampuni semua kesalahan suhu
kepada ibu?" Dengan bibir gemetar Sheila berkata,
"Aku ...... aku maafkan dia ...... "
"Dan apakah ibu tidak marah lagi kepadanya?" kembali Han Le
bertanya, suatanya nyaring.
Sambil menggeleng, Sheila menjawab, "Aku tidak marah
kepadanya lagi." Dengan suara girang Han Le lalu berteriak, membentuk corong


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kedua tangan di kanan kiri mulutnya.
439 "Suhuuu ! Harap suhu suka ke sini ! Ibu tidak marah lagi kepada
suhu !" Dan tiba-tiba saja nampak bayangan putih berkelebat dan tahutahu Bu Beng Kwi sudah berdiri di situ, di depan mereka !
"Suhu ...... !" Han Le berseru dan dia segera menjatuhkan dirinya
berlutut menghadap gurunya. Akan tetapi Sheila hanya berdiri
dengan tubuh terasa lunglai, dan hanya sebentar ia mengangkat
muka memandang kepada Bu Beng Kwi dengan sepasang mata
berlinang air mata, kemudian ia menunduk dan air matanya
mengalir turun di sepanjang kedua pipinya yang agak pucat.
Bu Beng Kwi tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia tadi
merasa seolah-olah hidup kembali ketika mendengar suara Sheila
yang selain menyatakan bahwa wanita itu telah memaafkannya,
juga tidak marah lagi kepadanya. Kini, melihat wanita yang dicinta
sepenuh jiwanya itu berdiri dalam keadaan demikian
menyedihkan, hatinya dipenuhi rasa iba dan sayang diapun cepat
melangkah maju lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki
Sheila ! "Benarkah engkau dapat mengampuni semua kesalahan dan
dosaku, Sheila" Ya Tuhan, betapa mulia hatimu, Sheila, dan
betapa jahat dan hinanya diriku ini ...... " Suara Bu Beng Kwi meng
etar penuh perasaan. Bagaikan tiba-tiba lumpuh kedua
menjatuhkan diri berlutut "Taihiap ...... "
lututnya, dan Sheila juga menangis. 440 Mereka bertiga berlutut dan kini Bu Beng Kwi menggunakan
kedua lengannya untuk merangkul Sheila dan Han Le. Berkali-kali
dia berdongak ke atas, seolah-olah hendak menyatakan terima
kasihnya kepada Tuhan dan berkali-kali mulutnya berkata lirih.
"Sheila ...... Han Le ...... betapa aku cinta kepada kalian. hanya
kalianlah yang kumiliki di dunia ini ...... " Didekapnya ibu dan anak itu, rapat-rapat di dadanya seolah-olah
dia tidak ingin berpisah lagi dan ingin memasukkan kedua orang
itu ke dalam rongga dadanya.
Sampai beberapa lamanya mereka berada dalam keadaan yang
amat mengharukan itu. Akhirnya Bu Beng Kwi berkata kepada
Han Le, lirih, "Han Le, bagaimana pendapatmu kalau mulai
sekarang engkau bukan hanya menjadi muridku, melainkan
menjadi anakku?" Han Le mengangkat muka memandang wajah yang buruk namun
amat disayangnya itu. Ucapan itu tadi membuat dia bingung,
walaupun amat menggirangkan hatinya.
"Suhu, apa...... apakah maksud suhu ......?"
Akan tetapi suhunya tidak menjawab, melainkan berkata kepada
ibunya, "Sheila, sudikah engkau " Kita bukan anak kecil lagi, juga Han Le
sudah besar, oleh karena itu biarlah kesempatan ini
kupergunakan untuk melamarmu, Sheila. Bolehkah aku menjadi
441 ayah Han Le" Maukah engkau ...... sudikah engkau menjadi
isteriku?" Han Le terbelalak dan wajahnya berseri gembira. Ingin dia
meneriakkan sebutan ayah kepada gurunya, akan tetapi dia
merasa malu dan juga takut kepada ibunya yang belum
menjawab. Sampai lama Sheila hanya menunduk, kemudian
menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara halus.
"Marilah kita pulang dulu, kita bicarakan urusan ini dirumah."
Bu Beng Kwi menarik mereka bangkit berdiri dan diapun tertawa.
" Ha-ha, sungguh aku orang yang kasar dan tidak memakai aturan.
Meminang orang di tengah jalan ! Mari kita pulang, Sheila ! Han
Le ! Mari kita pulang !" Betapa indahnya kata "pulang" itu bagi
Sheila di saat itu. Betapa ia selama meninggalkan Bukit Awan
Merah merasa amat rindu kepada rumah tempat tinggal mereka
itu, rindu akan "pulang"
Sheila mendapatkan banyak waktu untuk merenungkan pinangan
Bu Beng Kwi. Harus diakuinya bahwa ia benar-benar mencinta Bu
Beng Kwi, dan iapun melihat kenyataan bahwa orang yang
bernama Koan Jit itu telah benar-benar berubah.
Bukan baru sekarang berubah, bukan berubah karena kini
bertemu dengannya dan jatuh cinta. Bukan berubah karena ingin
mengambilnya sebagai isteri. melainkan sudah lama sekali Koan
Jit telah berubah menjadi seorang manusia lain yang telah
mengubah jalan hidupnya. Sebelum bertemu dengannya, jauh
442 sebelum itu, Koan Jit telah menjadi seorang pendekar budiman
yang mengorbankan nyawa demi menolong para pimpinan
pejuang yang tertawan. Dunia menganggapnya sudah tewas dan
karena Koan Jit selalu merasa menyesal akan dirinya, akan
dosanya, dia sendiri membiarkan dunia menganggap Koan Jit
telah mati. Dia bahkan lalu meniadakan Koan Jit, memakai topeng
buruk dan menjadi Bu Beng Kwi.
Hal ini telah dilakukan jauh sebelum berjumpa dengannya.
Kemudian, setelah bertemu dengannya dan saling mencinta,
barulah Bu Beng Kwi membuka topengnya. Hal ini menunjukkan
bahwa Koan Jit adalah seorang manusia yang kini telah berubah
sama sekali, memiliki kejujuran. Kalau tidak begitu, tentu dia akan
diam saja, tidak mau membuka rahasianya yang ditutupnya
terhadap dunia umum. Akan tetapi tidak, dia tidak mau menipu
Sheila. Dia memperlihatkan diri sebagai musuh besar yang
dibencinya, dengan mempertaruhkan kebahagiaan dirinya,
kehilangan cintanya! Mempertimbangkan semua ini, dan bertanya kepada batin sendiri,
Sheila mendapatkan jawaban. Ia mencinta Bu Beng Kwi atau
Koan Jit yang sekarang ini. dan ia pun merasa yakin bahwa
mendiang suaminya juga tidak akan dapat membenci bekas toasuheng ini, yang telah berubah menjadi seorang manusia yang
berhati mulia. Maka diterimalah pinangan itu ! Mereka menikah secara
sederhana sekali, hanya disaksikan beberapa orang penduduk
dusun yang berdekatan. Para penduduk merasa terheran-heran
melihat seorang wanita kulit putih yang demikian cantiknya mau
443 menjadi isteri seorang laki-laki tua yang berwajah seperti setan !
Namun mereka tidak berani berkata apa-apa. Yang paling
bergembira adalah Han Le.
Dengan sepenuh hati, Bu Beng Kwi minta kepada Sheila agar
keadaan dirinya sebagai Koan Jit dirahasiakan lebih dulu dari Han
Le. "Jangan mengganggu ketenangan perasaannya," demikian dia
berkata. "Biarkan dia hidup tenang dan menganggap aku sebagai gurunya
dan ayahnya, agar dia belajar dengan baik. Kelak, kalau dia
sudah tamat belajar dan sesudah dewasa, aku sendiri yang akan
membuka rahasia ini. Aku tidak akan mengelak dari tanggung
jawab, Sheila. Aku hanya menjaga agar jangan sampai
terguncang perasaannya dan hal itu akan mengganggu dia
belajar." Sheila merasa semakin kagum dan hormat kepada bekas musuh
besar yang kini menjadi suaminya itu. Ternyata di balik topeng
buruk itu ia menemukan seorang laki-laki yang jantan, yang
lembut, yang penuh cinta kasih, bijaksana dan berhati mulia. Dan
ia tidak merasa enyesal dengan keputusannya menerima pria ini
sebagai suaminya. Ia merasa yakin benar bahwa demi
kebahagaian puteranya, ia telah mengambil langkah yang benar.
Ia tahu bahwa di bawah asuhan Bu Beng Kwi, puteranya akan
menjadi seorang laki-laki yang berjiwa pendekar dan menjadi
seorang manusia yang berguna bagi dunia. 444 Keadaan negara menjadi semakin kalut. Pemerintah Mancu
menjadi semakin lemah dengan adanya pemberontkan Tai Peng.
Hanya berkat kegigihan menteri-menteri dan panglima-panglima
setia saja maka gerakan Tai Peng terhenti, akan tetapi daerah
yang luas di sebelah selatan Sungai Yang-ce telah dikuasai
"Kerajaan Sorga", yaitu kerajaan yang didirikan oleh pemberontak
Tai Peng di bawah pimpinan Ong Siu Coan itu.
Selain rongrongan dari pemberontak Tai Peng, juga pemerintah
Mancu selalu dirongrong oleh pasukan orang kulit putih.
Kekalahan pemerintah Mancu dalam perang candu membuat
orang-orang kulit putih menjadi semakin berani.
Mereka makin melebarkan sayap untuk mengeduk keuntungan
sebesarnya dari negeri yang luas, rakyatnya yang banyak akan
tetapi yang lemah karena adanya perang saudara yang terus
menerus di sebelah dalam. Dari menyebaran candu, orang kulit
putih mengeduk keuntungan yang luar biasa besarnya, dengan
mengorbankan rakyat yang menjadi pecandu-pecandu yang tidak
ketolongan lagi. Juga orang kulit putih mengeduk keuntungan
besar dari pembelian rempah-rempah, teh, sutera dan barangbarang lain dari pedalaman. Bahkan adanya pemberontakan Tai
Peng yang menimbulkan perang saudara besar itupun menjadi
sumber penghasilan dan keuntungan bagi orang kulit putih,
dengan jalan menjual senjata ke kanan kiri.
Pemberontakan Tai Peng yang melemahkan pemerintah Ceng
(Mancu), juga menimbulkan pemberontakan daerah-daerah lain
yang tentu saja merasa tertarik dan mempergunakan kesempatan
selagi pemerintahan menjadi lemah, mereka memberontak
445 terhadap pemerintah Mancu. Suku bangsa Nien-fei memberontak
dalam tahun 1853, juga disusul suku Miauw di Kwei-couw Barat
yang memberontak dalam tahun 1854. Payahlah pemerintah menghadapi pemberontakanpemberontakan ini. Mereka harus membagi-bagi pasukan untuk
memadamkan pemberontakan di sana-sini dan karena kekuatan
mereka terpecah, mereka menjadi semakin lemah dan sukar
untuk dapat memadamkan pemberontakan- pemberontakan itu.
Dalam keadaan yang semakin lemah itu, pihak orang kulit putih
menjadi semakin berani. Pada suatu hari dalam tahun 1856,
terjadilah peristiwa yang akan mengobarkan perang baru antara
pemerintah Mancu dengan pasukan kulit putih. Banyak candu
diselundupkan ke dalam daerah yang masih dikuasai oleh
pemerintah Mancu, karena daerah selatan tidak aman bagi
penyelundupan candu. Pemerintah baru dari Tai Peng melarang
keras perdagangan candu dan sukarlah menyelundupkan candu
di daerah yang dikuasai Kerajaan Sorga itu.
Pada suatu pagi, sebuah kapal berlabuh di pantai timur. Kapal itu
memakai bendera Inggris dan bernama Kapal Arrow (Anak
Panah). Sebetulnya kapal itu milik kongsi pelayaran Cina,
segolongan orang yang rela menjadi kaki tangan orang asing
demi memperoleh keuntungan besar. Anak buah kapal Arrow itu,
kesemuanya orang pribumi, tidak tahu bahwa gerak-gerik kapal
mereka itu diamati dengan seksama oleh para penjaga pantai.
Ketika kapal itu sudah berlabuh dan berhenti, sepasukan penjaga
pantai menyerbu naik kapal. Anak buah kapal tidak berani
mengadakan perlawanan dan ketika kapal diperiksa, ternyata
membawa barang selundupan, candu dan senapan ! Tentu saja
446 anak buah kapal ditangkap dan kapal itu ditahan di pelabuhan,
dan barang selundupan disita.
Peristiwa seperti ini sebetulnya biasa saja dan sudah wajar. Kapal
ditahan dan anak buahnya ditangkap, barang-barang selundupan
disita karena memang perbuatan itu melanggar. Akan tetapi,
orang-orang asing kulit putih yang memang selalu menanti
kesempatan itu, mempergunakan peristiwa ini sebagai alasan
mereka untuk bergerak ! Orang Inggris menganggap bahwa
penangkapan ini merupakan penghinaan pemerintah Mancu
terhadap mereka karena kapal itu berbendera Inggris.Alasan ini
cukup bagi mereka untuk "menghukum" pemerintah Mancu !
Tentu saja hal ini terjadi karena keadaan pemerintah Mancu yang
mulai lemah. Pasukan Inggris mengadakan persekutuan dengan orang- orang
asing lainnya, yaitu terutama sekali perancis, Rusia, dan Amerika.
mereka berempat menggabungkan pasukan mereka dan
menyerbu Kan-ton. Kota ini berhasil direbut dan diduduki
Perang yang baru muncul semenjak Perang Madat ini tentu saja
menggegerkan Kerajaan Mancu yang sudah dirongrong banyak
pemberontakan. Para pejuang rakyat menjadi gelisah dan
bingung, merasa serba salah. Mereka itu adalah kaum patriot
yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah
Mancu dan berusaha menggulingkannya, akan tetapi tentu saja
mereka sama sekali tidak ingin melihat tanah air mereka terjatuh
ke dalam cengkeraman bangsa lain yang lebih asing lagi, yaitu
orang-orang kulit putih. Perang yang dikobarkan oleh orang kulit
putih ini membuat semua perhatian dicurahkan kepada mereka
447 karena memang kekuatan orang kulit putih yang bersenjata
lengkap itu sukar dilawan. Tai Peng tidak diperhatikan lagi.
Kalau saja pihak Tai Peng pada suatu saat itu bergerak,
mempergunakan kesempatan itu untuk menyerbu ke utara, tentu
dengan mudah Tai Peng akan mampu menguasai seluruh
daratan Cina. Akan tetapi, agaknya Ong Siu Coan sudah
keenakan menjadi raja di selatan sehingga dia seolah-olah tidak
perduli akan gerakan yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih
itu. Padahal, sepatutnya dia melihat bahaya besar
berkembangnya kekuasaan kulit putih ini yang akan
mencengkeram tanah air dan bangsanya.


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapa banyaknya sudah tercatat dalam sejarah tentang
perjuangan yang dipimpin oleh orang-orang yang menamakan
dirinya pahlawan bangsa, patriot dan pejuang. Selagi mereka ini
memimpin perjuangan, merebut kekuasaan, mereka mempergunakan slogan-slogan yang muluk untuk membangkitkan semangat rakyat jelata yang menjadi kekuatan
mereka. Segala sepak terjang mereka selalu demi rakyat, demi
negara, demi bangsa dan sebagainya. Dan rakyat terbius oleh
kata-kata muluk, terbakar semangat mereka oleh slogan-slogan
sehingga rakyat dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, bergerak
mendukung dan terjun membantu gerakan yang dinamakan
perjuangan itu. Itu awalnya. Bagaimana akhirnya" Bagaimana
kalau perjuangan itu akhirnya berhasil" Yang pasti, para pimpinan
rakyat itu setelah perjuangan berhasil, saling memperebutkan
kedudukan ! Mereka menjadi penguasa- penguasa baru dan
hidup bergelimang dalam kemuliaan, kehormatan dan
kemewahan. Bagaimana dengan slogan-slogan yang mereka
448 pergunakan untuk membangkitkan rakyat" Yang mengatakan
bahwa perjuangan itu dilakukan demi rakyat, menolong rakyat
dari penindasan, medatangkan kemakmuran kepada rakyat"
Begitulah! Slogan tinggal slogan dan rakyat tetap dilupakan.
Penindasan tetap ada, walaupun kini berganti bentuk dan berganti
orang yang menjadi penindasnya. Ong Siu Coan menjadi satu di
antara pemimpin-pemimpin semacam itu.
Mula-mula memang perjuangannya didengung-dengungkan
sebagai perjuangan untuk rakyat. Akan tetapi setelah dia berhasil
menjadi raja" Rakyat tetap saja sengsara. Yang makmur jelas dia
yang menjadi raja dan teman-temannya, kaki tangannya yang
merupakan sekelompok penguasa baru, menggantikan yang
telah mereka kalahkan dengan bantuan darah dan keringat rakyat
dalam prjuangan. Masih untunglah bagi pemerintah Mancu bahwa pada waktu itu,
kekuatan pasukan Inggris terpecah karena adanya pemberontakan kaum Sepoy di India, negara besar yang mulai
dicengkeram penjajah Inggris. Karena ini, maka pasukan Inggris
tidak dapat menyerbu dengan kekuatan penuh sehingga terhenti
setelah menduduki Kanton dan daerahnya ke barat dan utara.
Padahal waktu itu, keadaan pmerintah Mancu sudah lemah
sekali. Di utara dan barat terdapat pemberontakan kaum Nien-fei
dan suku Bangsa Miauw, dari selatan ada pemberontakan Tai
Peng, dan dari timur, dari arah laut, terdapat ancaman orang kulit
putih ! Kelemahan pemerintah Mancu bukan hanya karena timbulnya
banyak pemberontakan, akan tetapi terutama sekali bersumber
449 dari keadaan di dalam istana sendiri. Kaisar yang sejak muda
hanya menjadi seorang pengejar kesenangan itu tidak ada
perhatian sama sekali atau acuh saja terhadap keadaan negara.
Dia seperti telah buta oleh kesenangan, dan tubuhnya menjadi
semakin lemah. bahkan dia tidak tahu betapa diam-diam selirnya
tercinta, Yehonala yang kini telah menjadi permaisuri kedua,
bermain gila dengan thaikam (orang kebiri) Li Lian Ying,
merupakan perhubungan jina yang tidak wajar.
Kaisar tidak tahu akan hal itu, tidak tahu pula bahwa kerajaannya
mengalami ancaman akan runtuh. Dia hanya terus mengejar
kesenangan biarpun tubuhnya sudah menjadi semakin lemah,
dan dia harus mempergunakan banyak obat kuat untuk
membangkitkan kembali kegairahannya, tidak tahu bahwa hal ini
semakin merusaknya lahir batin.
Didalam keadaan negara kacau seperti ini, biasanya menurut
sejarah negara di seluruh dunia, selalu ada saja orang gagah
sejati yang tampil menjadi pemimpin rakyat. Demikian pula, dalam
keadaan kacau itu, muncul dua orang pendekar muda yang
berkepandaian tinggi,memimpin rakyat petani yang sudah
kehilangan segala-galanya karena dusun mereka dilanda perang,
membentuk pasukan-pasukan dan melatih pasukan ini dengan
ilmu berperang dan bekelahi sehingga mereka berdua berhasil
membentuk pasukan rakyat yang makin lama menjadi semakin
kuat. Apalagi ketika para pendekar merasa cocok dan suka
melihat gerakan ini lalu mendukung dan menggabungkan diri,
pasukan rakyat yang dipimpin dua orang tu menjadi semakin kuat.
Siapakah mereka itu" Mereka bukan lain adalah Ceng kok Han
450 dan Li Hong Cang, dua orang murid Bu Beng Kwi yang sudah kita
kenal ! Akan tetapi, pasukan mereka belum bergerak karena mereka,
dibantu oleh para pendekar, sedang membangun dan
memperkuat pasukan mereka, dan menggembleng para anak
buah pasukan. Mereka baru akan bergerak kalau sudah memiliki
pasukan besar yang kuat dan boleh diandalkan.
Sementara itu, di Kerajaan Sorga yang dipimpin oleh Ong Siu
Coan, juga terjadi kemunduran. Ong Siu Coan yang kini sudah
menjadi seorang raja yang hidupnya mulia dan penuh
kemewahan, agaknya menjadi semakin gila saja dengan pikiranpikirannya yang aneh. Dia diganggu oleh pikirannya sendiri, yang
menghubungkan isi Alkitab dengan dirinya sendiri. Dia semakin
acuh, bahkan dia seperti tidak perduli lagi melihat betapa
permaisurinya, Tang Ki, kini terlibat dalam hubungan gelap
bersama Lee Song Kim yang menjadi orang kepercayaannya.
Satu di antara nafsu yang amat kuat dan besar kekuasaannya
terhadap diri manusia adalah nafsu berahi. Tang Ki tadinya
merupakan seorang isteri yang mencinta dan setia dari Ong Siu
Coan, yang sama sekali tidak pernah mempunyai sedikitpun
pikiran untuk menyeleweng dan suka menyerahkan dirinya
kepada pria lain. Akan tetapi, bagaimanapun juga ia hanyalah
seorang wanita biasa saja. Setelah memperoleh kedudukan
sebagai raja, tercapainya ambisi dan cita-citanya, Ong Siu Coan
mulai kurang memperhatikan isterinya. Apalagi karena Tang Ki
tidak dapat memberinya keturunan, kemesraannya terhadap Kiki
atau Tang Ki berkurang bahkan hubungan di antara mereka
451 menjadi agak renggang. Dalam keadaan haus akan rayuan dan
belaian pria inilah muncul Lee Song Kim, seorang laki-laki yang
berpengalaman dan pandai sekali merayu wanita, juga tampan
dan gagah. Biarpun dahulu pernah Kiki membenci suhengnya ini,
namun pertemuannya kembali dengan suhengnya itu membawa
perubahan. Ia sedang haus cinta kasih dan kemesraan seorang
pria sebagai pengganti suaminya yang bersikap acuh dan Lee
Song Kim yang ahli tentu saja dapat memenuhi kebutuhan ini.
Bahkan ternyata bahwa suhengnya itu dapat memberinya
kesenangan dan kepuasan yang jauh melampaui apa yang
didapatkannya dari Ong Siu Coan. Song Kim melimpahkan
rayuan dan kemesraan pada wanita yang sedang kering
kehausan itu. Anehkah kalau Kiki lalu melekat kepadanya"
Semenjak dahulu, wanita adalah mahluk yang selalu
mendambakan sanjungan, pujian dan cinta kasih pria. Karena
itulah maka pada umumnya wanita amat lemah terhadap pujian
dan rayuan, dua hal yang memang amat didambakannya.
Apalagi kalau yang merayu itu pria yang berkenan di hati mereka.
Akan mudah saja jatuh dan lupa diri kalau menghadapi rayuan
seorang pria yang menarik dan pandai.
Tahun 1859. Biarpun tadinya terhalang oleh pemberontakan di
India yang membuat pasukan kulit putih terhambat penyerbuan
mereka dan hanya dapat menduduki Kanton dan sekitarnya,
namun kurang dari dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1858,
setelah berhasil memadamkan pemberontakan di India, pasukan
Inggris yang bergabung dengan pasukan kulit putih Perancis,
452 Rusia dan Amerika, untuk kedua kalinya melakukan penyerbuan
kembali. Dengan tenaga sepenuhnya, tentara kulit putih
gabungan itu menyerbu lewat teluk Po-hai, menyerbu dan
menduduki Tien-cin setelah terjadi perang selama berbulanbulan. Dan kini mereka bersiap-siap menyerbu ke Peking ! Tentu
saja keadaan menjadi geger dan kacau. Pemerintah Mancu
sudah bersiap-siap mempertahankan Peking dari serbuan
pasukan kulit putih. Pada suatu hari, di sebuah kuil Agama To di luar kota Pao-ting,
diadakan pertemuan antara para pendekar yang merasa perlu
untuk berunding dan bergerak menyaksikan kekacauan yang
timbul karena penyerbuan pasukan kulit putih itu.
Nampak di antara mereka pendekar Tan Ci Kong dan isterinya,
Siauw Lian Hong. Suami isteri pendekar itu kini tidak muda lagi.
Ci Kong sudah berusia empat puluh empat tahun sedangkan
isterinya, Lian Hong sudah berusia empat puluh satu tahun. hadir
pula suami isteri thio Ki dan ciu Kui Eng yang usianya sebaya
dengan suami isteri pendekar pertama. tidak kurang dari dua
puluh orang pendekar yang berdatangan di kuil itu, atas prakaesa
dan undangan Tan Ci Kong yang merasa delisah menyaksikan
keadaan yang kacau akibat penyerbuan pasukan kulit putih.
Para tosu yang berada di kuil itu adalah sahabat Ci Kong, dan
merekapun prihatin akan keadaan negara, maka mereka
membantu dan memperbolehkan kuil mereka dijadikan tempat
pertemuan para pendekar itu. Berkumpullah para pendekar itu di
ruangan belakang kuil, di tempat yang tersembunyi dan tidak akan
453 terlihat atau terdengar oleh mereka yang datang berkunjung ke
kuil untuk bersembahyang.
Pertemuan itu dipimpin oleh Ci Kong. Setelah mereka semua
saling memberi hormat dan mengambil tempat duduk mengelilingi
meja, Tan Ci Kong lalu bangkit berdiri. "Selamat datang, Cuwi
Enghiong (para pendekar sekalian), selamat bertemu kembali.
Cuwi (kalian) tentu dapat menduga mengapa kita harus
berkumpul lagi di sini. Semua orang gelisah melihat
perkembangan di negara kita. Pasukan kulit putih yang amat kuat
menyerbu dan mengancam Peking, sedangkan pemberontak Tai
Peng tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk
menyerbu pula ke utara. Bagaimana pendapat cuwi dan apa yang
harus kita lakukan ?"
Para pendekar itu menjadi gaduh, saling bicara sendiri dan Ci
Kong terpaksa minta agar mereka tenang. "Apabila di antara cuwi
ada yang mempunyai usul, harap suka bicara seorang demi
seorang agar dapat kita pertimbangkan bersama."
Seorang di antara mereka yang berpakaian tamal-tambalan,
seorang tokoh dari perkumpulan Tiat-pi Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Lengan besi) yang muncul selama beberapa tahun ini
sebagai tokoh jembel yang berjiwa pendekar dan patriot, bangkit
berdiri dan bicara dengan suaranya yang parau.
"Dahulu kita membantu gerakan Tai Peng, kemudian kita
bersama meninggalkannya karena Tai Peng menyeleweng.
Apalagi sekarang. Orang she Lee itu telah mengangkat diri
menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap dan menghimpun orang-orang
454 golongan sesat untuk membantu Tai Peng. Jelas kita tidak dapat
membantu Tai Peng lagi, bahkan harus menentangnya."
Semua orang mengangguk dan menyatakan setuju.
"Memang benar demikian, dan kita yang selalu memikirkan
kepentingan rakyat jelata yang tertindas, sekarang menjadi serba
salah. Jelas tidak dapat membantu Tai Peng, juga tidak mungkin
membantu orang kulit putih, dan sejak dahulu kita bercita-cita
mengusir penjajah Mancu. Apa yang harus kita lakukan sekarang
?" Kini Thio Ki yang telah menjadi ketua Kang-sim-pang, bangkit
berdiri. "Dengan penyerbuan orang kulit putih, keadaan menjadi kacau
dan rakyat pula yang mengalami pnderitaan. Bagaimanapun juga, orang kulit putih dapat menjadi penjajah
yang lebih kejam daripada orang Mancu. Oleh karena itu, untuk
sementara kita harus menentang orang kulit putih ...... "
"Kalau begitu apakah kita harus membantu pemerintah penjajah
Mancu?" tanya seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka
merah. Dia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang lihai.
"Tidak ada pilihan lain dan kita mau tidak mau harus menyetujui
pendapat Thio pangcu dari Kang-sim-pang itu." Ci Kong
membenarkan. "Tak mungkin dalam keadaan sekarang kita menentang
keduanya. menghadapi dua orang lawan, bahkan tiga orang
455 dengan Tai Peng, kita harus bersikap cerdik. Lebih dulu
menghalau lawan yang paling berbahaya, dalam hal ini orang kulit
putih dan Tai Peng. Kalau keduanya sudah tidak ada, kiranya
tidak sukar merobohkan kekuasaan penjajah Mancu yang sudah
semakin lemah itu." Ciu Kui Eng yang juga terkenal di antara para pendekar sebagai
seorang pendekar wanita yang pernah memimpin perjuangan,
bangkit dan dengan suara lantang ia berkata, "Kita boleh saja
membantu pemerintah Mancu untuk menyelamatkan rakyat dari
serbuan orang kulit putih, akan tetapi jelas bahwa kita tidak akan
menjadi kaki tangan Mancu ! Apakah cuwi belum mendengar
akan munculnya pemimpin rakyat yang baru, yang kini telah
menghimpun pasukan yang cukup kuat dan didukung oleh banyak
pendekar?" Ci Kong mengangguk-angguk. "Kami juga sudah mendengar,
akan tetapi belum jelas benar."
"Aku sudah bertemu dengan mereka dan harus kuakui bahwa dua
orang pemimpin itu agaknya akan menjadi pemimpin besar yang
gagah perkasa dan tanpa pamrih. Pasukan mereka kini sudah
berjumlah puluhan ribu orang, dari para petani dan pengungsi,
juga dibantu oleh golongan pendekar. Mereka adalah dua orang
pendekar yang muncul begitu saja, entah dari perguruan mana,
akan tetapi aku tahu bahwa mereka lihai sekali. Usia mereka
sekitar tiga puluh tahun, yang seorang bernama Ceng Kok Han
dan yang kedua bernama Li Hong Cang. Mereka telah berhasil
menghimpun kekuatan dan sudah mulai merongrong pemerintah


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

456 Tai Peng di selatan dan bentrokan-bentrokan sering terjadi yang
merugikan pihak Tai Peng."
Semua pendekar mendengarkan dengan kagum. Merekapun
mendengar akan munculnya dua orang yang memimpin pasukan
rakyat baru, akan tetapi para pendekar itu tadinya tidak
mengambil perhatian karena pada waktu itu memang banyak
sekali orang yang mengangkat diri menjadi "bengcu" (pemimpin
rakyat) dan menggerakkan rakyat jelata untuk menjadi anak
buahnya, akan tetpi sebagian besar di antara mereka hanyalah
orang-orang petualang yang bermaksud memperalat kekuatan
rakyat demi kepentingan diri sendiri.
banyak di antara para kelompok itu kemudian bahkan hanya
menjadi perampok-perampok. Kini mendengar cerita Ciu Kui Eng
yang mereka sudah kenal baik sebagai seorang pendekar wanita
yang berjiwa pahlawan.mereka merasa kagum dan tertarik.
"Kalau begitu, kiranya tidak keliru kalau kita mengumpulkan
teman-teman sehaluan untuk membantu gerkan Ceng Kok Han
dan Li Hong Cang itu." kata Ci Kong.
Semua orang merasa setuju, akan tetapi Tiat-pi Kai-pang tadi
segera berkata, "Akan tetapi bagaimana kita dapat begitu saja
membantu pasukan baru itu sebelum mengetahui benar tujuan
dari gerakan mereka?"
"Aku dapat menerangkan itu, karena aku sudah bicara panjang
lebar dengan kedua orang itu. Mereka tidak hanya pandai sekali
457 ilmu silat, akan tetapi juga memiliki pemikiran yang mendalam dan
pandangan yang luas," kata Ciu Kui Eng.
"Mereka menjelaskan bahwa sebagai langkah pertama, pasukan
mereka akan membantu pemerintah menenteramkan keadaan,
menentang Tai Peng dan membantu untuk memadamkan
pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di utara dan barat.
Baru setelah keadaan tidak kacau lagi, ketika pemerintah
penjajah sedang beristirahat dari perang yang melelahkan, selagi
mereka lengah, maka pasukan kita akan menyerbu dan
menggulingkan kekuasaan Mancu untuk selamanya !"
"Kalau begitu kita berarti akan membantu pemerintah penjajah Mancu !" teriak tokoh Tiat-pi Kai-pang itu.
"Hanya nampaknya saja begitu dan hanya untuk sementara saja."
Ci Kong berkata. "Itulah satu-satunya jalan. Membantu
pemerintah penjajah untuk menenteramkan keadaan, juga
membantu menghadapi orang kulit putih. Setelah itu, tibalah
saatnya yang tepat, selagi penjajah lengah, kita bergerak dan
menjatuhkan mereka. Bukan berarti kita untuk selamanya menjadi
kaki tangan mereka. Ini hanya merupakan siasat belaka. Kalau
tidak demikian, bagaimana mungkin kita dapat berhasil kalau
sekaligus kita harus menghadapi dan menentang Tai Peng, orang
kulit putih, pemerintah Mancu, dan para pemberontak lain itu" Kita
tidak akan kuat dan sebelum maju jauh, kita sudah akan tergencet
dan dihancurkan oleh musuh yang terlalu banyak dan terlalu
kuat." 458 Akhirnya semua orang meyatakan persetujuan mereka setelah
mengerti benar akansiasat yang akan dijalankan oleh pasukan
rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua
orang kakak beradik seperguruan itu.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Semua
orang bangkit berdiri dan bersiap-siaga, memandang ke luar pintu
masuk ke ruangan belakang itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan
orang dan tahu-tahu di situ berdiri seorang pemuda yang
mengempit tubuh seorang laki-laki setengah tua, kemudian
pemuda itu melemparkan tubuh orang yang dikempitnya ke atas
lantai. Orang itu mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak,
tanda bahwa jalan darahnya tertotok sehingga untuk sementara
dia menjadi lumpuh, tak mampu menggerakkan kaki tangannya.
Semua orang memandang kepada pemuda itu dengan pandang
mata penuh selidik dan kedurigaan. Seorang pemuda yang
tampan dan gagah, berusia paling banyak delapan belas tahun,
dengan wajah berbentuk bulat putih bersih, alisnya tebal
menghitam dan sepasang mata mencorong namun lembut,
pakaiannya sederhana akan tetapi bersih.
"Bun Hong, apa yang kau lakukan ini" Siapa dia?" tiba-tiba Siauw
Lian Hong bertanya kepada pemuda itu.
"Ibu, dia ini seorang mata-mata, entah mata-mata Tai Peng atau
pemerintah atau kulit putih, akan tetapi dia mata-mata !" jawab
pemuda itu tenang. 459 Tan Ci Kong yang juga sudah bangkit, memperkenalkan pemuda
itu kepada semua orang. "Cuwi, harap diketahui bahwa pemuda
ini adalah anak tunggal kami bernama Tan Bun Hong. Harap cuwi
maafkan penampilannya dan suka duduk kembali. Nah, Bun
Hong, sekarang ceritakan apa yang terjadi dan siapa orang ini."
Tan Bun Hong mengangkat kedua tangan dan memberi hormat
kepada semua orang yang hadir, barulah dia bercerita kepada
ayah ibunya. Memang pemuda ini ikut orang tuanya turun gunung
dan mengadakan pertemuan di dalam kuil luar kota Pao-ting. Baru
pertama kali itulah dia turun gunung setelah kedua orang tuanya
menganggap bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup untuk
dapat dipakai membela diri karena Bun Hong mewarisi ilmu-ilmu
silat tinggi ayah dan ibunya. Bahkan ketika tiba di kuil, Ci Kong
yang hendak menggembleng puteranya itu, memberinya tugas
yang cukup penting, yaitu agar pemuda itu mengamati dari luar
kuil kalau-kalau ada musuh tersembunyi yang hendak
mencelakakan para tokoh kang-ouw yang sedang mengadakan
pertemuan di dalam kuil. Maksud Ci Kong, kalau tidak terjadi
sesuatu, setelah pertemuan itu selesai, barulah dia akan
memperkenalkan puteranya kepada mereka.
Ketika Bun Hong melakukan pengintaian dan pengamatan di kuar
kuil, dengan penuh perhatian dia mengamati orang- orang yang
berdatangan ke kuil itu untuk bersembahyang. Tidak banyak orang yang bersembahyang. Sejak pagi tadi, hanya
ada belasan saja yang datang dan pergi lagi. Dia melihat
serombongan keluarga membawa alat-alat sembahyang
memasuki kuil, diterima oleh tosu penjaga di pintu depan.
Keluarga ini terdiri dari seorang ayah, ibu, nenek dan seorang
460 anak laki-laki berusia enam tahun yang pucat dan nampak baru
sembuh dari sakit. Dari percakapan antara keluarga itu dengan
tosu penjaga kuil dia tahu bahwa keluarga itu datang membayar
kaul, dan menghaturkan terima kasih kepada kuil karena putera
mereka yang tadinya sakit keras kini telah sembuh kembali. Ada
beberapa orang lagi memasuki kuil dan di antara mereka, yang
menarik perhatian adalah seorang anak perempuan, seorang
gadis remaja yang usianya paling banyak enam belas tahun.
Bun Hong memandang penuh perhatian, bukan bercuriga
melainkan tertarik karena belum pernah dia melihat seorang gadis
remaja yang demikian menarik seperti gadis itu. seorang gadis
yang jelita dan manis, wajahnya berbentuk bulat telur dengan
dagu merincing yang manis sekali karena di sudut bawah dagu itu
terdapat sebuah tahi lalat merah yang kecil. Mulutnya indah dan selalu nampak tersenyum, membuat wajah
itu nampak cerah selalu, dan terutama sekali sepasang mata yang
bening dan taham itu juga selalu bergembira. Pakaiannya ringkas
dan rapi. karena tidak ada lagi lain orang kecuali keluarga tadi,
tiga orang laki-laki yang datang tidak berbareng, dan gadis remaja
itu, Bun Hong yang merasa tertarik, keluar dari tempat dia
mengintai dan memasuki kuil itu seperti seorang pelancong. Dia
melihat gadis itu bicara dengan seorang laki-laki tinggi kurus yang
berusia empat puluhan tahun dan bersikap sopan.
"Apakah nona hendak bersembahyang ?" terdengar laki-laki itu
bertanya. Gadis remaja itu tersenyum dan nampak kilatan giginya
yang putih dan rapi seperti mutiara dijajarkan.
"Ah, tidak, aku hanya melihat-lihat saja. Aku seorang pelancong."
461 "Aih, engkau seorang pelancong, nona" Kalau begitu engkau
belum mengenal kuil ini, sebuah kuil yang amat keramat dan
manjur sekali ! Sudah banyak orang yang tertolong diobati
penyakitnya, diperbesar rejekinya, memperoleh kemujuran, naik
pangkat, bahkan ringan jodoh ! Kenapa nona tidak mencoba-coba
bersembahyang " Meramalkan nasib di Kuil Ban-hok-si (Kuil
Selaksa Rejeki) inipun baik sekali !" kata orang itu dengan ramah.
"Kalau nona belum biasa, aku mau memberi petunjuk kepadamu."
Gadis remaja itu tetap tersenyum menatap wajah laki-laki itu.
"Terima kasih, paman. Eh, kenapa paman begini baik kepadaku"
Apakah paman termasuk orang yang menjadi pengurus kuil ini ?"
"Tidak, tidak, pengurusnya adalah para tosu itu. Aku juga seorang
tamu yang ingin bersembahyang. Akan tetapi ketika melihat nona
masuk seorang diri ke dalam kuil, hatiku tertarik dan mengira nona
tentu berada dalam kesukaran. Ketahuilah, terus terang saja,
nona, engkau mirip sekali dengan keponakanku, anak enciku
yang tinggal jauh di utara. Aku sudah amat rindu kepada
keponakanku itu, sudah bertahun- tahun tidak jumpa dan melihat
engkau begini mirip dengannya, kalau sekiranya bisa, aku akan
suka sekali menolongmu dalam suatu hal ...... "
"Ah, begitukah" Terima kasih, engkau sungguh baik, paman.
Akan tetapi, aku tidak mau bersembahyang, aku hanya mau
melihat-lihat, Kalau paman mempunyai keperluan bersembahyang, silakan."
462 "Kalau begitu, maafkan aku," orang itu lalu menjura dan
meninggalkan gadis itu, masuk ke dalam kuil. Sejenak Bun Hong
mengamati dari jauh dan mendengar percakapan itu, timbul
curiga dalam hatinya terhadap laki-laki tadi. Seorang laki-laki
berani menegur dan mengajak bercakap-cakap seorang gadis
remaja yang tidak dikenalnya, bahkan menawarkan jasa-jasa
baiknya, sungguh patut dicurigai karena biasanya, sikap baik itu
tentu mengandung pamrih ! Dan diapun melihat gadis itu
menyelinap masuk ke dalam kuil dengan gerakan cepat. Hal ini
mengejutkan Bun Hong. Gerakan seperti itu cepatnya bukan
gerakan orang biasa, pikirnya dan diapun cepat meloncat dan
menyelinap masuk ke dalam pintu gerbang kuil.
Ketika tiba di dalam, ternyata beranda depan kuil itu luas sekali
dan begitu memasuki pintu gerbang, hidungnya disambut bau
dupa yang memenuhi tempat sembahyang di sebelah dalam dari
beranda itu. Dia celingukan ke sana-sini dan merasa heran. Baik
laki-laki tinggi kurus tadi maupun si gadis remaja, tidak nampak
bayangannya. Betapa cepat gerakan mereka, terutama gadis itu.
Baru saja menyelinap masuk dan diapun sudah mengejar
secepatnya, Bagaimana mungkin gadis itu sudah lenyap"
Kecurigaannya makin menjadi-jadi, Akan tetapi agaknya di
beranda itu tidak pernah terjadi sesuatu yang menarik perhatian
orang. Buktinya, beberapa orang yang sedang melakukan
sembahyang di situ nampak tenang-tenang saja, demikian pula
beberapa orang tosu yang melayani tamu dan yang
melaksanakan pekerjaan mereka. Tidak nampak seorangpun di
antara mereka itu seperti pernah melihat kejadian yang tidak
wajar. Lalu, kemana menghilangnya gadis remaja tadi, dan orang
tinggi kurus tadi " 463 Bun Hong melakukan penyelidikan dengan cepat dan diapun
dapat melihat adanya sebuah pintu kecil di samping beranda,
agak jauh dan tertutup oleh tanaman bunga-bunga yang lebat
daunnya. Kalau orang menyelinap melalui pintu itu, dengan
gerakan secepat yang dilakukan oleh gadis remaja tadi, tentu
tidak akan nampak oleh orang lain. Ke sanakah gerangan mereka
tadi" Jantungnya berdebar penuh keregangan. Di belakang itu, di
dalam ruangan belakang, ayah dan ibunya sedang mengadakan
pertemuan dengan para pendekar lain untuk membicarakan
urusan negara. Jangan-jangan dua orang yang mencurigakan tadi
menyelinap masuk untuk memata-matai pertemuan itu ! Sangat
boleh jadi si tinggi kurus tadiseorang mata-mata, entah mata-mata
Tai Peng, mata-mata orang kulit putih, atau mata-mata
pemerintah Mancu. Akantetapi gadis remaja tadi " Tidak mungkin
juga mata-mata ! Akan tetapi, kenapa gerakannya demikian cepat dan ke mana ia
sekarang pergi " Agaknya seorang mata-mata pula, akan tetapi
berbeda dengan si tinggi kurus !
Dengan gerakan cepat, mempergunakan ilmunya, Bun Hong
menyelinap ke samping beranda dan melihat betapa pintu pagar
taman yang tidak berapa tinggi, diapun lalu meloncat ke atas pintu
itu dan melihat betapa di balik pintu itu benar merupakan sebuah
taman yang luas, diapun meloncat lagi turun ke sebelah dalam.
Dengan berindap-indap diapun mencari-cari. Tempat itu sunyi. Sebelah kiri menuju ke taman dan kebun sayur,
dan sebelah kanan menuju ke ruangan terbuka dari bagian
tengah kuil. Bun Hong meloncat ke dalam ruangan ini dan
menyelinap di antara pot-pot bunga, menuju ke dalam melalui
sebuah pintu yang sudah terbuka daunnya.
464 SETELAH melalui dua ruangan, tiba-tiba dia berhenti dan
bersembunyi di balik tiang. Dia melihat si tinggi kurus tadi keluar
dari sebuah tikungan dan menyeret seorang tosu tua yang
agaknya sudah lemas tubuhnya, entah pingsan ataukah tertotok
jalan darahnya. Dengan cepat si kurus itu menyeret tubuh tosu itu
ke balik meja di sudut, mengikat kaki tangannya dengan pakaian


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tosu itu sendiri dan mengikat pula mulutnya, lalu meninggalkan
tosu itu menggeletak di balik meja itu, tersembunyi dan tidak
mudah nampak dari luar. Kini Bun Hong tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa orang itu adalah
seorang mata-mata, atau penjahat dan setidak-tidaknya tentu
orang yang tidak mempuyai iktikad baik terhadap para tosu atau
para pendekar yang tengah mengadakan pertemuan di ruangan
belakang kuil itu. "Berhenti, siapa engkau ?" Bun Hong membentak sambil
meloncat keluar, dan tubuhnya sudah berdiri di depan laki-laki
tinggi kurus itu. Orang itu terkejut bukan main, sama sekali tidak
mengira bahwa perbuatannya diketahui orang. Lebih lagi
kagetnya melihat bahwa yang muncul bukan sorang di antara
para tosu kuil itu, melainkan pemuda remaja tampan. Dia
memandang rendah dan tersenyum mengejek.
"Bocah setan, mampuslah !" bentaknya dan dia menyerang
dengan kecepatan kilat, jari tangan kirinya menotok ke arah jalan
darah di pundak sedangkan tangan kanan mencengkeram ke
arah lambung. Serangan-serangan itu hebat bukan main dan
amat berbahaya. Namun, pada waktu itu, Bun Hong telah
mewarisi ilmu kepandaian ayah bundaya dan dia memang
465 seorang pemuda yang berbakat baik sekali, memiliki gerakan
yang tenang namun cepat. Dengan mudah dia mengelak dengan
melangkah mudur, dan cepat tubuhnya memutar ke kanan lalu
mengirim serangan balasan, yaitu tendangan ke arah lutut lawan
dan tangannya menyusul dengan cengkeraman ke arah pundak.
"Ehhh ...... ?" Orang itu nampaknya terkejut melihat betapa
pemuda yang dipandang rendah itu bukan saja dapat
menghindarkan diri dari serangannya, bahkan dapat membalas
dengan cepat sekali sehingga hampir saja lutut kakinya terkena
tendangan. Dia meloncat ke belakang, lalu menyerang lagi, kini
karena tahu bahwa lawannya lihai, dia mengerahkan tenaga dan
kecepatannya untuk melumpuhkan pemuda yang telah
memergokinya itu. Namun dia kecele. Pemuda itu mampu menangkis dan membalas
dan mereka terlibat dalam perkelahian yang seru. makin kaget
dan gentarlah hati si tinggi kurus dan dia mulai mencari
kesempatan untuk melarikan diri. Akan tetapi betapa kagetnya
melihat pemuda itu sama sekali tidak memberi kesempatan
kepadanya dan dia kehilangan jalan untuk lari karena terus
terdesak oleh pemuda itu. Akhirnya, memang karena kalah
tingkatnya dan bingung, jari tangan pemuda itu berhasil menotok
pundaknya dan diapun roboh terkulai dalam keadaan lumpuh kaki
tangannya. Pada saat itu ada bayangan biru berkelebat dan terdengar
bentakan halus. 466 "Engkau orang jahat !" Tahu-tahu gadis remaja yang berbaju biru,
yang tadi menarik perhatian Bun Hong, telah datang dan
menyambar ke arah Bun Hong dengan cepat sekali, menyerang
dengan tamparan ke arah kepala Bun Hong dan tusukan jari
tangan yang lain ke arah dada.
"Ehhh ...... ?" Bun Hong mengelak. Aka tetapi, serangan pertama
yang luput itu disusul oleh tonjokan tangan ke arah lambung Bun
Hong, cepat dan keras bukan main serangan susulan ini sehingga
tidak ada kesempatan lagi bagi Bun Hong untuk mengelak. Dia
terpaksa menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk ...... !" Dua lengan bertemu dan gadis itu mengeluarkan
jerit tertahan karena lengannya terasa nyeri. Ia meloncat ke
belakang dengan muka merah karena marah sedangkan Bun
Hong sendiri juga harus mengakui betapa lengan yang kecil
berkulit halus itu mengandung tenaga sinkang yang kuat. Akan
tetapi, Bun Hong juga merasa penasaran dan kini timbul
dugaannya bahwa gadis remaja yang lihai itu tentulah seorang
mata-mata pula, agaknya sahabat dari orang yang telah
dirobohkannya. Mungkin saja percakapan antara mereka di luar
kuil tadi hanya sandiwara belaka, atau dalam percakapan tadi
mengandung kata-kata rahasia yang hanya diketahui mereka
berdua saja. Pikiran ini membuat Bun Hong penasaran dan ketika
gadis remaja itu menyerangnya lagi, dia mengerahkan tenaga
menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya sehingga
gadis itu terkejut, terdorong ke belakang dan terpaksa gadis itu
meloncat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari
serangan susulan. 467 Agaknya gadis inipun baru sekarang yakin akan kelihaian Bun
Hong. Akan tetapi serangan susulan itu tidak datang karena Bun
Hong sudah menyambar tubuh orang yang dirobohkannya tadi,
mengempitnya dan membawanya meloncat dan lari ke belakang
"Demikianlah, ayah." Bun Hong mengakhiri ceritanya yang
didengarkan oleh ayah ibunya dan para pendekar.
"Aku membawa mata-mata ini ke sini, aku yakin dia mematamatai pertemuan ini."
Pada saat itu, terdengar bentakan halus dan nampak bayangan
biru berkelebat masuk, "Penjahat busuk, engkau hendak lari ke
mana?" Dan muncullah gadis remaja yang tadi dan tanpa memperdulikan
banyak orang yang berada di situ ia langsung saja menyerang
Bun Hong. Melihat gadis remaja ini Bun Hong menjadi marah. Dia
menangkis dan balas menyerang sehingga mereka berdua
segera bekelahi dan saling serang dengan seru dan ternyata
bahwa gadis itu memang lihai dan dapat bergerak cepat sekali.
Tiba-tiba Ciu Kui Eng sudah meloncat dan menengahi kedua
orang muda yang sedang berkelahi itu sambil membentak "Eng
Hui, kiranya engkau gadis remaja itu !"
Gadis itu terkejut ketika melihat ibunya tahu-tahu menahan
serangannya. "Ibu ...... !" Kemudian ia melihat Thio Ki hadir di antara semua
orang gagah yang berada di situ. "Ayah ...... !"
468 Suami isteri pendekar ini tentu saja merasa heran bukan main
melihat puteri tunggal mereka. tadi mereka mendengar cerita
putera dari sahabat mereka Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong
tentang gadis remaja yang disangkanya sahabat mata- mata,
sama sekali mereka tidak menyangka bahwa gadis itu ternyata
adalah Thio Eng Hui, puteri mereka sendiri.
"Ayah ! Ibu ! Orang ini jahat sekali, membunuh orang tak berdosa
!" teriak gadis itu.
"Nah, inilah gadis yang menjadi mata-mata itu !" Bun Hong yang
balas berteriak dan keduanya sudah saling pandang dengan mata
melotot lagi. "Eng Hui, diam kau !" Ciu Kui Eng membentak puterinya,
kemudian menghadapi para pendekar yang masih memandang
bingung dan memperkenalkan.
"Cuwi, gadis ini adalah Thio Eng Hui, puteri tunggal kami.
Agaknya terjadi kesalah pahaman di antara ia dan pemuda ini.
Kita sudah mendengar cerita pemuda ini. Dan biarlah kini giliran
anak kami yang bercerita. Eng Hui, hayo ceritakan mengapa
engkau sampai datang ke sini dan tiba-tiba menyerang pemuda
ini?" Eng Hui sejenak memandang Bun Hong, kemudian ke arah orang
kurus yang masih rebah di atas lantai dengan muka pucat dan
memandang dengan mata mengandung ketakutan. "Ayah dan
ibu, setelah kalian pergi, aku merasa tidak betah di rumah, maka
aku memberi tahu kepada para murid di rumah untuk menjaga
469 rumah dan aku sendiri pergi menyusul ayah dan ibu. Tadi, ketika
aku tiba di depan kuil, aku bertemu dengan orang kurus itu yang
mengajak bicara dan dia amat ramah dan baik. Karena aku
hendak menyelidiki apakah ayah dan ibu benar berada di kuil ini,
diam-diam aku menyelinap masuk. Ketika sedang mencari-cari di
dalam, aku melihat betapa pemuda ini memukul roboh orang
kurus yang ramah itu, maka akupun segera turun tangan
membelanya. Pemuda itu membawa si kurus lari ke belakang dan
aku mengejar sampai sini."
Mendengar penjelasan ini, semua pendekar tersenyum. Memang
telah terjadi kesalah-pahaman di antara dua orang muda itu. Ciu
Kui Eng sendiri tertawa dengan hati lega karena ternyata
puterinya tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan
keributan. Hanya kesalah-pahaman biasa saja.
Siauw Lian Hong juga girang mendengar penuturan puteri
sahabatnya itu, maka iapun lalu menghampiri puteranya.
"Bun Hong, ketahuilah bahwa gadis manis ini adalah puteri dari
sahabat kami. Ayahnya adalah Thio Ki atau Thio-pangcu ketua
Kang-sim-pang, sedangkan ibunya adalah Ciu Kui Eng yang
sudah seringkali kaudengar namanya. Ternyata Thio Eng Hui ini
menyangka engkau seorang penjahat maka menyerangmu." Bun
Hong memandang kepada Eng Hui dengan muka merah.
Sementara itu Kui Eng juga berkata kepada puterinya.
"Pemuda itu Tan Bun Hong, putera dari Tan Ci Kong dan Siauw
Lian Hong, dua orang sahabat kami yang paling baik dan yang
sudah sering kaudengar namanya. Dia menangkap orang ini
470 karena orang ini agaknya seorang mata-mata yang menyelundup
dan kini kami akan memeriksanya."
"Ah, begitukah ?" Eng Hui juga menjadi merah mukanya dan tidak
berani lagi memandang langsung kepada pemuda itu.
"Eng Hui, engkau yang bersalah dalam hal ini. Lekas minta maaf
kepada kakakmu Tan Bun Hong. Bagaimanapun juga, engkau
lebih muda dan engkau yang kurang teliti."
"Nanti dulu, ibu," kata Eng Hui penasaran.
"Orang kurus itu belum diperiksa dan belum ternyata bahwa dia
memang bersalah, jadi masih belum terbukti bahwa dia yang
benar dan aku yang bersalah. Kita tunggu sampai orang ini
diperiksa." lalu ia melirik ke arah Bun Hong.
"Kalau kemudian ternyata aku memang bersalah, biarlah aku
akan minta maaf." Bun Hong merasa tidak enak. "Sudahlah, bibi. Sebaiknya urusan
ini tidak diperpanjang karena kesalah-pahaman bukanlah suatu
kesalahan, tidak perlu minta maaf. Ayah, sebaiknya orang ini
segera diperiksa," sambungnya kepada ayahnya.
Tan Ci Kong mengangguk, lalu menghampiri orang yang rebah di
lantai itu dan diapun berjongkok di dekatnya. "nah, sobat. lebih
baik engkau mengaku sekarang, apa artinya perbuatanmu yang
mencurigakan itu " Engkau menyelinap masuk ke dalam kuil
seperti seorang pencuri, dan engkau bahkan telah menotok roboh
471 seorang tosu. Siapa engkau dan apa maksud perbuatanmu yang
mencurigakan itu ?" Orang kurus itu kini sudah mulai dapat menggerakkan kaki
tangannya dan dengan agak sukar dia bangkit duduk di atas
lantai, sepasang matanya memandang ke kanan kiri dan melihat
betapa dia berada di tengan kerumunan para pendekar dia
merasa gentar sekali. Akan tetapi mendengar perkataan Ci Kong
tadi, dia mendapatkan harapan dan segera berpegang kepada
harapan itu. "Benar taihiap, saya ...... saya memang pencuri, saya masuk ke
dalam kuil ini karena mendengar bahwa di dalam kuil terdapat
banyak harta yang disimpan para tosu. Karena ketahuan seorang
tosu, saya merobohkannya, akan tetapi ...... sial, perbuatan saya
diketahui oleh orang muda ini ...... "
"Cukup !" Ci Kong membentak, karena sebagai seorang pendekar
yang sudah seringkali menghadapi mata-mata dan sudah banyak
kali terjun dalam perjuangan, dia sudah berpengalaman sehingga
tidak mudah dibohongi begitu saja.
"Mengaku saja terus terang bahwa engkau sudah tahu akan
pertemuan kami ini dan datang untuk memata-matai kami. Hayo
katakan, kau mata-mata pihak mana dan siapa yang
mengutusmu, dan apa saja tugasmu?"
"Saya ...... saya betul pencuri, akan tetapi belum mencuri apaapa, harap taihiap suka memberi ampun dan membebaskan saya
......" 472 "Ah, aku ingat sekarang !" Tiba-tiba seorang di antara para
pendekar itu berseru dan dia bukan lain adalah tokoh Tiat-pi Kaipang tadi.
"Bukankah engkau ini yang berjuluk Pek-ci Sin- to (Maling Sakti
Tikus Putih) yang terkenal di kota Pao-ting" Tan-taihiap, dia ini
jelas mata-mata pemerintah Mancu ! Sudah lama aku mendengar
betapa maling hina ini menghambakan diri kepada pemerintah
Mancu dan menjadi mata-mata !"
Tan Ci Kong mencengkeram rambut orang itu dan
mengguncangnya. "Nah, sekarang telah kelihatan belangmu !
Hayo mengaku saja apa yang kaulakukan di sini !"
Orang kurus itu kelihatan semakin ketakutan, apalagi ketika dia
merasa betapa kuatnya cenkeraman tangan Tan Ci Kong.
Para pendekar ini tentu akan memaksa dan kalau perlu
menyiksanya agar dia mengaku, pikirnya. Tiba-tiba dia berusaha
meronta dan memandang kepada seorang di antara pendekar itu
sambil berseru, "Toako, kenapa kau diam saja" Tolonglah aku
...... aughhhh ...... "
Semua orang, termasuk Ci Kong terkejut bukan main karena tibatiba saja seorang di antara para pendekar menggerakkan
tangannya dan sebuah piauw (senjata rahasia runcing) telah
menyambar dan menancap di ulu hati tawanan itu. Selagi semua
orang terkejut, orang tinggi besar itu telah melompat dan keluar
dari ruangan itu. Semua orang yang terkejut dan bingung itu
disadarkan oleh Bun Hong yang berteriak.
473 "Dia tentu pemimpinnya. Kejar ...... !" Semua orang baru sadar
bahwa tentu si tinggi besar yang mereka kenal sebagai Ciang
Koai, seorang pendekar yang dulu pernah berjuang bersama
mereka membantu Tai Peng, kini menjadi kaki tangan pemerintah
Mancu dan tentu dia membunuh pembantunya, si kurus itu, agar
si kurus tidak membuka rahasia. Maka, semua orang lalu
berserabutan mengejar keluar kuil.
Akan tetapi ketika semua orang tiba di luar kuil, ternyata kuil itu
telah dikepung oleh sedikitnya seratus orang tentara kerajaan !
Ternyata gerakan si kurus tadi memang sengaja dilakukan untuk
memancing kalau-kalau ada penjaga pihak para pendekar di luar
kuil itu tanpa diketahui para pendekar ! Melihat hal ini, Ci Kong mengepal tinju. Baru saja para pendekar
mengambil keputusan untuk bergabung dengan pasukan rakyat
yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, bukan untuk
melawan pemerintah Mancu melinkan untuk menenteramkan
keadaan dengan menghadapi Tai Peng dan para pemberontak
lain, dan kini mereka malah dikepung oleh pasukan pemerintah !


Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita berpencar dan lari mencari jalan masing-masing ! Ingat akan
keputusan rapat pertemuan kita !" teriaknya dan mereka lalu
berpencaran. Ci Kong bersama Lian Hong dan putera mereka,
Bun Hong, segera menyerbu ke arah kiri.
Mereka disambut oleh tombak-tombak para perajurit, akan tetapi
mereka mengamuk dan menerjang terus, merobohkan siapa saja
yang menghalang jalan keluar mereka. Para pendekar yang lain
juga menyerbu ke semua jurusa. Thio Ki juga disertai Kui Eng,
dan puteri mereka Eng Hui, menerjang ke arah kanan dan
474 mmerekapun mengamuk untuk membuka jalan keluar. terjadilah
pertempuran yang sengit di luar kuil. Para tosu dan para tamu kuil
itu menjadi ketakutan dan berjongkok di belakang meja-meja
sembahyang untuk bersembunyi.
Biarpun jumlah para pendekar itu hanya kurang lebih dua puluh
orang sedangkan para perajurit ada seratus orang, namun tidak
mudah bagi pasukan itu untuk menangkap para pendekar yang
rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi itu.
Setelah terjadi pertempuran yang tidak terlalu memakan waktu
lama, sebagian besar dari para pendekar itu dapat lolos, hanya
meninggalkan tiga orang yang tewas dan beberapa orang di
antara mereka membawa lari luka, akan tetapi di pihak pasukan
perajurit Mancu, tidak kurang dari lima puluh orang roboh dan
terluka, bahkan ada beberapa orang yang tewas pula ! Karena
para pendekar itu melarikan diri berpencar, sukar bagi para
perajurit yang sudah merasa jerih untuk melakukan pengejaran.
Mereka hanya menyerbu kuil, menangkapi para tosu, bahkan
para tamu yang datang hanya untuk bersembahyang, ikut pula
ditangkap! "Han Le, muridku dan juga anakku yang baik, duduklah di sini, aku
ingin membicarakan sesuatu yang amat penting denganmu."
Han Le tersenyum. semenjak gurunya ini menjadi suami ibunya,
selalu gurunya menyebutnya murid dan anak, dan kasih sayang
gurunya menjadi semakin jelas dilimpahkan kepadanya.
Kini dia sudah berusia sembilan belas tahun dan selama ini dia
menerima gemblengan yang tak mengenal lelah dari Bu Beng
475 Kwi. Menurut keterangan suhunya, hampir semua ilmu silat yang
dimiliki suhunya telah dia kuasai dengan baik. Dan dia amat
sayang kepada suhunya, apalagi ketika dia mendapat kenyataan
betapa terdapat cinta kasih yang besar antara gurunya atau ayah
tirinya dan ibunya.. Dia melihat betapa ibunya hidup berbahagia
sebagai isteri suhunya, nampak dari wajah ibunya yang selalu
berseri cerah penuh kebahagiaan, bagaikan setangkai bunga
yang terpelihara baik dan tak pernah haus dari siraman air yang
menghidupkan dan menyegarkan.
Untuk ibunya itu saja dia sudah amat berterima kasih kepada
suhunya dan diam-diam dia kagum kepada ibunya, yang demikian
waspada dan bijaksana, tidak keliru memilih walaupun pada
lahirnya, ibunya amat cantik dan suhunya amat buruk rupa. Dia
yakin benar bahwa suhunya adalah seorang laki-laki sejati,
seorang pendekar budiman yang sukar dicari keduanya. bahkan
kini kedua orang suhengnyapun telah menjadi pemimpinpemimpin rakyat yang gagah perkasa, pejuang-pejuang
kenamaan dan patriot-patriot yang membela kepentingan rakyat.
Diapun berniat untuk mengikuti jejak kedua orang suhengnya
yang bercerita banyak tentang perjuangan ketka dua tahun yang
lalu berkunjung ke tempat itu.
"Suhu, bagiku, suhu merupakan guru dan ayah yang amat baik
dan setiap yang dibicarakan suhu selalu penting bagiku.
Sekarang ada kepentingan apakah yang membuat suhu bersikap
demikian sungguh-sugguh?" katanya sambil duduk di atas
bangku depan suhunya, terhalang sebuah meja di mana terdapat
minuman air teh yang tadi dihidangkan ibunya untuk orang tua itu.
476 Bu Beng Kwi memandang kepada murid yang juga menjadi anak
tirinya itu dengan sepasang mata yang mencorong penuh kasih
sayang, juga penuh perhatian. Anak itu kini telah menjadi seorang
dewasa, pikirnya puas, seorang laki-laki yang gagah perkasa.
Dalam hal ilmu silat, murid ini sudah melampaui tingkat Ceng Kok
Han dan Li Hong Cang, dua orang muridnya yang kini telah
menjadi pejuang-pejuang kenamaan. Muridnya ini telah berusia
sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi besar, tingginya sama
dengan dia, dengan dada yang bidang dan perawakan yang
gagah sekali. Bangga dia mempunyai murid seperti Gan Han Le
ini. Dan bukan saja Han Le pandai ilmu silat tinggi, bahkan oleh
ibunya dia diajari ilmu mempergunakan senjata api, yaitu sebuah
pistol. Isterinya itu, Sheila, adalah seorang wanita kulit putih yang
pernah mempelajari cara menembak dan ia sendiri yang melatih
puteranya itu menjadi seorang penembak mahir ! Bu Beng Kwi
berhasil mendapatkan sebuah pistol dan senjata inilah yang
dipergunakan oleh Han Le untuk belajar menembak sehingga dia
menjadi seorang penembak mahir yang amat jitu tembakannya.
Dan pistol itu kini tersimpan oleh Han Le, kadang-kadang
diselipkan di pinggang tertutup baju, dan dengan adanya senjata
api ini, tentu saja Han Le menjadi seorang ahli silat yang amat
hebat dan berbahaya bagi lawannya.
"Han Le, ada suatu rahasia besar yang selama ini kusembunyikan
darimu, dan aku sengaja menanti sampai engkau menjadi dewasa
baru rahasia itu kubuka dan kuberitahukan padamu. Akan tetapi
sebelum hal itu kulakukan, lebih dulu aku ingin sekali mengetahui
apa yang akan kaulakukan sekarang, setelah kunyatakan bahwa
sudah habis waktunya engkau mempelajari ilmu dariku. Engkau
telah dewasa, telah matang dan cukup kuat untuk membela diri,
477 untuk menentukan langkah hidupmu nanti, Nah, apakah yang
akan kaulakukan, anakku?"
"Suhu, aku ingin sekali pergi turun gunung dan ikut dalam
perjuangan membela rakyat jelata agar segala yang pernah
kupelajari dari suhu tidak akan tersia-sia." jawabnya dengan tegas
dan sungguh-sungguh. "Apa yang mendorongmu untuk berjuang?"
"Suhu, aku ...... tertarik untuk mengikuti jejak kedua suheng, dan
...... bahkan mendiang ayah kandungku juga seorang pejuang,
bukankah begitu" Jadi, sudah selayaknyalah kalau akupun
menjadi seorang pejuang. Bukankah suhu akan menyetujuinya?"
Bu Beng Kwi mengangguk-angguk, "Tentu saja, tentu saja aku
setuju. Akan tetapi, apakah tidak ada lain cita-cita lagi dalam
hidupmu, hal yang amat ingin kaulakukan?" Bu Beng Kwi ingin
mengetahui semua isi hati muridnya ini, karena sebelum dia
membuka rahasia yang mungkin akan menghabisi hidupnya, dan
dia sudah siap siaga menghadapi hal ini, dia ingin lebih dahulu
memberi pengarahan kepada muridnya untuk melakukan apa
yang diinginkannya. Han Le mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat, lalu dia
menggeleng kepala perlahan. "Kiranya tidak ada lagi, suhu. Aku
hanya mempunyai ibu dan suhu, dan kini ibu telah hidup
berbahagia bersama suhu di sini. Dulu, di waktu aku belum
mengetahuinya, ada cita-cita di hatiku untuk membalas kematian
ayah ! Akan tetapi setelah ibu memberi tahu bahwa yang
478 membunuh ayah ternyata sudah tewas pula, padamlah cita-cita
itu ...... eh, kenapa suhu " Kenapa suhu memandangku seperti
itu?" Han Le terkejut ketika melihat perubahan pada pandang mata
suhunya. Sepasang mata yang besar sebelah yang biasanya
mencorong itu kini tiba-tiba saja seperti lampu kehabisan minyak,
dan pandang mata suhunya itu aneh sekali.
"Han Le, tahukah engkau siapa nama ayahmu?"
"Tentu saja ! Ayah bernama Gan Seng Bu."
"Tahukah engkau siapa pembunuh ayahmu, yang masih suheng
dari ayahmu sendiri?"
Han Le merasa heran, akan tetapi dia menjawab juga. "Ibu pernah
memberi tahu. Pembunuh ayah itu adalah suhengnya sendiri
yang bernama Koan Jit, akan tetapi ada apakah ...... ?"
"Gan Han Le, apakah engkau ingin melihat bagaimana wajah
Koan Jit, pembunuh ayah kandungmu itu?"
Han Le tekejut sampai bangkit berdiri, memandang kepada
suhunya dengan mata terbelalak penuh selidik, alisnya berkerut.
Apakah gurunya hendak main-main dengan dia" Kalau bermainmain, keterlaluan sekali permainan ini !
"Suhu, apa artinya ini" Bukankah di sudah meninggal dunia?"
479 Bu Beng Kwi menggeleng kepala, meraba mukanya
dan berkata. "Dia masih hidup, sayang sekali, dan kau boleh
memandang wajahnya dengan baik-baik. Inilah orangnya !"
Tangannya bergerak cepat dan tiba-tiba saja wajah buruk Bu
Beng Kwi itu berobah sama sekali ! Bukan lagi wajah seorang
kakek yang mukanya pletat-pletot, matanya besar sebelah,
hidungnya menyerong dan mulutnya mencong telinganya kecil.
Sama sekali bukan, melainkan wajah seorang laki-laki yang dapat
dibilang tampan, dengan muka penuh kerut-merut dan
membayangkan kedukaan, kulit mukanya agak kehitaman dan
sepasang matanya yang tajam itu kini diliputi kedukaan besar.
"Inilah wajah Koan Jit, pembunuh ayahmu itu !"
Sampai beberapa amanya Han Le berdiri terbelalak,wajahnya
berubah pucat sekali, tak mampu mengeluarkan kata- kata.
kemudian dia berteriak, "Suhu ! Harap jangan main-main!"
Bu Beng Kwi atau Koan Jit itu tersenyum sedih dan menggeleng
kepalanya. "Gan Han Le, aku tidak main-main. Aku adalah Koan Jit,
pembunuh ayah kandungmu, dan aku sudah siap untuk menerima
pembalasan dendam darimu, aku siap untuk menerima kematian
di tanganmu. Nah, balaslah kematian ayahmu itu dan bunuhlah
aku !" Dengan kakinya, Bu Beng Kwi menendang meja yang
menghalangi mereka ke samping sehingga kini mereka
480 berhadapan. Bu Beng Kwi masih duduk di atas kursinya dan Han
Le sudah berdiri sejak tadi.
"Tapi ...... tapi ...... bagaimana ini" Apa artinya ini " Mengapa suhu
melakukan semua itu " Mengapa " Ah, suhu ...... aku tidak
percaya ! Jangan permainkan aku, jangan membikin bingung aku
....... dan diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya.
"Bangkitlah, Han Le, dan hadapi kenyataan. Engkau bukan mimpi
dan aku tidak berbohong. Dahulu aku bernama Koan Jit dan aku
pernah membunuh suteku yang bernama Gan Seng Bu.
Kemudian, karena malu akan sepak terjangku sendiri aku
mematikan nama Koan Jit dan aku berubah menjadi Bu Beng Kwi.
Akhirnya aku berjumpa dengan ibumu, jatuh cinta dan ...... engkau
tahu sendiri. Aku sengaja menunggu sampai engkau dewasa,
baru memberi tahu akan hal ini agar engkau dapat mengambil
keputusan secara dewasa pula. Nah, aku sudah siap. Akulah
Koan Jit pembunuh ayahmu dan engkau boleh melakukan apa
saja !" Sambil mendengarkan keterangan suhunya, Han Le menangis
dan tiba-tiba dia meloncat berdiri tegak, memandang wajah orang
di depannya itu dengan muka beringas dan sepasang mata
berkilat. Air matanya masih mengalir turun membasahi kedua
pipinya ketika dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Bu
Beng Kwi. "Kau ...... ! Engkau telah membunuh ayahku, kemudian ......
engkau menggunakan muslihat ...... engkau pergunakan
kelemahan hati ibuku dan engkau malah mengawininya ! Engkau
481 sungguh kejam, keji dan tidak berperikemanusiaan !...... Engkau
bunuh ayahku dan menipu ibuku !" Han Le mengepal tinju dan
napasnya tersengal-sengal saking marahnya.
"Dan engkau menipu aku, menjadikan aku muridmu ...... kau kira
dengan kebaikan-kebaikan berselubung itu kau sudah menebus
dosamu terhadap ayahku" Kau keji, kau kejam'"
"Aku siap menerima hukuman, Gan Han Le ...... " kata Koan Jit
dan suaranya lirih sekali, mukanya kini tunduk dan kedua
Terbang Harum Pedang Hujan 6 Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Harpa Iblis Jari Sakti 18
^