Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 16

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 16


dipunahkan. Kendatipun dia masih belum dapat menerapkan teori 'pinjam
tenaga memukul tenaga' dalam permainan pedangnya, namun
dengan menggiring kekuatan lawan ke luar lingkaran pertarungan,
paling tidak dia sanggup melenyapkan tujuh bagian daya hancurnya,
dengan begitu Liong Pa-thian sendiripun tidak sanggup untuk
melukainya. Akan tetapi Liong Pa-thian memiliki tenaga dalam yang amat
sempurna, pengalamannya pun sangat luas, sesudah menjajal dua
gebrakan, dia segera tahu kalau tenaga dalam yang dimiliki Lan Suileng
masih sangat cetek, belum mencapai tiga bagian. Satu ingatan
pun seketika melintas dalam benaknya.
"Biarpun ilmu pedang yang dimiliki budak ini cukup tangguh,
namun belum mencapai kesempurnaan.
Bila pertarungan dilanjutkan, aku masih punya peluang untuk
meraih kemenangan' Maka dalam setiap pukulannya dia sertakan enam, tujuh bagian
tenaga pukulan, serangan yang dilancarkan susul menyusul
membuat Lan Sui-leng sama sekali tidak mampu lolos dari
kuningannya. Dalam menghadapi ancaman musuh, setiap jurus Lan Sui-leng
hanya sanggup memunahkan tujuh bagian tenaganya, padahal dia
pun belum mampu menggunakan Sim-hoat tenaga dalam
perguruannya, akibatnya meski tenaga yang dia pakai untuk
memunahkan ancaman musuh jauh lebih sedikit ketimbang pihak
lawan, cukup parah kerugian yang dideritanya.
Lebih kurang setengah batang hio kemudian, peluh sebesar
kacang kedele sudah bercucuran membasahi jidatnya, lambat laun
dia mulai kewalahan dan tidak mampu mempertahankan diri.
Sambil menggertak gigi, menggunakan kesempatan disaat
tenaga dalamnya belum melemah, kembali tubuhnya melambung ke
udara, mata pedang langsung dibabat ke bawah dengan ganasnya,
sekali lagi dia menggunakan jurus bangau putih pen tang sayap.
Tentu saja Liong Pa-thian membuat persiapan yang matang
begitu tahu gadis itu menggunakan lagi jurus serangan yang pernah
mengalahkan In Thian-tek, dengan jurus Ki-hwee-liau-thian
(mengangkat obor membakar langit) telapak tangan kirinya
mendorong ujung sikut lawan sementara telapak tangan kanannya
mencengkeram tulang pi-pa-kut nya.
Kendatipun dia telah membuat persiapan, tidak urung kehebatan
dan kesaktian jurus serangan itu cukup membuatnya tercengang
dan diluar dugaan. Dalam waktu singkat baik Hong-sihu yang berada diatas kereta
maupun The dan Li sekalian yang menonton dari pinggir arena
bermandikan keringat dingin saking tenang dan gelisahnya.
Mengapa mereka sampai gelisah hingga bermandi kan peluh
dingin" Karena bila jurus serangan itu dilanjutkan lebih jauh maka
lengan Liong Pa-thian segera akan terbabat kutung oleh sabetan
pedang Lan Sui-leng, sebaliknya tulang pi-pa-kut di tubuh nona
itupun akan tercengkeram hingga hancur.
Pada detik detik terakhir dimana kedua belah pihak sama-sama
akan terluka parah itulah tiba-tiba terjadi perubahan yang sama
sekali diluar dugaan siapa pun, perubahan yang terjadi pada saat
yang paling kritis. Sewaktu telapak tangan kiri Liong Pa-thian yang digunakan untuk
mendorong sikut gadis itu hampir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba
dia merasa lututnya seolah digigit oleh semut merah, gigitan yang
seketika membuat sepasang lututnya jadi kaku dan lemas, tidak
kuasa lagi dia menjatuhkan diri berlutut ke tanah.
Biarpun tubuhnya telah merendah setengah bagian, tidak urung
di mana cahaya pedang Lan Sui-leng berkelebat lewat, dua jari
tangannya segera terpapas kutung.
Sebenarnya perhitungan Liong Pa-thian sudah sangat tepat, di
saat tubuh Lan Sui-leng meluncur turun ke atas permukaan itulah
cengkeraman tangan kanannya dengan tepat akan menghancurkan
tulang pi-pa-kut nya. Kendatipun akibatnya dia bakal kehilangan
lengan kiri, namun bersamaan waktu diapun dapat memunahkan
ilmu silat yang dimiliki Lan Sui-leng.
Namun ketika secara mendadak tubuhnya merendah ke bawah,
cengkeraman yang dilancarkan pun hanya mampu mencengkeram
rerumputan. Agak tertegun Lan Sui-leng ketika menyaksikan kejadian itu,
segera tegurnya, "Hey, sedang apa kau?"
Waktu itu Peng-toaso telah sadar dari pingsannya, sembari
tertawa terbahak-bahak sindirnya, "Hahahaha.... masa kau tidak
paham" Dia sedang berlutut minta ampun!"
Biarpun nada suaranya parau tidak enak didengar, namun penuh
dengan nada gembira dan puas.
Liong Pa-thian mencak-mencak dengan wajah merah padam,
bentaknya, "Siapa yang telah membokongku" Menang pun tidak
gagah." "Eeei.... siapa yang kau tuduh?" tegur Lan Sui-leng sambil
berseru tertahan. "Siapa yang sedang membokongmu?" sindir Hong-sihu pula
sambil tertawa dingin, "huuh, aku lihat paling kau sedang mencari
alasan untuk menutupi rasa malumu. Hmmm! Sebagai seorang
Pangcu beraninya hanya menganiaya seorang nona cilik, laki-laki
macam apa pula kau?"
Liong Pa-thian mendengus dingin, tanpa mengucapkan sepatah
kata pun dia melompat naik ke atas kudanya dan berlalu dari sana.
"Toako...." teriak The Thian-hau.
"Aku tidak punya kemampuan untuk menjadi tokomu!" seru
Liong Pa-thian dari kejauhan, "kalau tidak kabur, memang harus
menunggu makin dibuat malu lagi?"
Belum lama dia masih bisa mengatakan kalau "menang kalah
adalah hal lumrah dalam sebuah pertarungan" bahkan menyindir In
Thian-tek tidak cukup gagah, namun ketika tiba gilirannya, diapun
dari malu dan menjadi gusar.
The Thian-hau tidak berani banyak bicara, cepat dia melompat
naik ke atas kuda dan ikut kabur.
Li Bun-kiat maupun Suma Cau tidak perlu disebut lagi, mereka
berdua justru sudah ikut kabur lebih duluan, bahkan kedua orang itu
seolah khawatir tertinggal, mereka cemplak kudanya keras-keras.
Dalam waktu sekejap orang orang Liong-bun-pang telah kabur
tidak berbekas. "Sayang!" keluh Hong-sihu kemudian sambil menghela napas.
"Hong-hiocu," tegur Lan Sui-leng ketus, "sebuah permusuhan
lebih baik diselesaikan daripada diperpanjang, kuanjurkan
kepadamu lebih baik sudahi sampai disini saja."
Selama ini dia selalu memanggilnya sebagai Hong-toaci, ketika
secara tiba-tiba panggilannya berubah jadi Hong-hiocu, hal ini
menunjukkan kalau dia merasa sangat tidak puas dengan sepak
terjang Hong-sihu selama ini.
"Nona Lan," ujar Hong-sihu sambil tertawa paksa, "aku hanya
merasa sayang mengapa tidak kau rampas kuda tunggangannya."
Sebagaimana diketahui, kaki ke dua ekor kuda mereka telah
dibuat pincang, dengan begitu kuda-kuda tersebut tidak mampu lagi
menarik kereta. Sementara itu Peng-toaso telah bangkit berdiri, setelah
mematahkan sebatang dahan untuk digunakan sebagai tongkat, dia
berjalan menghampiri seraya berkata, "Nona Lan, ilmu pedangmu
sungguh hebat, terima kasih kau telah membalaskan dendamku."
"Peng-toaso, bagaimana dengan luka mu?"
"Hanya luka luar, tidak masalah. Apalagi kulit tubuhku dasarnya
memang tebal seperti badak, tidak bakalan mampus!"
"Kalian butuh obat luka luar" Aku masih punya tiga butir Siauhuan-
wan pemberian guruku."
Siau-huan-wan adalah obat mustajab yang bisa menyembuhkan
luka dalam, kehebatannya tidak kalah jauh dengan siau-huan-wan
dari biara Siau-lim. "Nona tidak usah kuatir, kami masih memiliki obat luka luar,"
tampik Peng-toaso, "lagian menurutku luka yang diderita Honghiocu
pun hanya luka luar, setelah dibubuhi obat luar beberapa hari
lagi akan sembuh dengan sendirinya, tidak perlu membuang
percuma pil Siau-huan-wan yang tidak ternilai harganya."
"Baiklah, kalau begitu baik-baiklah kalian merawat diri, maaf
kalau aku tidak dapat menemani kalian lagi!"
"Nona Lan...." teriam Hong-sihu.
"Kenapa?" tukas Lan Sui-leng ketus, "kalian masih ingin
memaksaku kembali ke Pek-hoa-kok?"
"Terus terang saja, aku hanya tahu mentaati perintah Toa-siocia,
seandainya tidak berada dalam keadaan terluka, biarpun tahu kalau
tidak sanggup mengalahkan dirimu, aku tetap akan berusaha untuk
menghalangi kepergianmu, tapi sekarang.... tentu saja terpaksa
akan kubiarkan kau pergi!"
Hong-sihu segera berlagak tertawa, katanya, "Nona Lan, kau
salah paham, aku hanya merasa menyesal karena tidak dapat
membalas budi kebaikanmu, bahkan mengucapkan terima kasih pun
tidak." Seandainya perkataan itu disampaikan pada beberapa hari
berselang, mungkin saja Lan Sui-leng akan sangat terharu
dibuatnya, tapi kini Lan Sui-leng telah mengetahui wajah aslinya,
biarpun dia berbicara manis, lembut dan senyumannya ramah pun
kesemuanya itu hanya membuat Lan Sui-leng semakin muak dan
ingin muntah. "Tidak usah berterima kasih lagi," tukas Lan Sui-leng ketus,
"orang tidak menggangguku, akupun tidak akan mengganggu orang
lain. Aku mengusir orang orang Liong-bun-pang karena mereka
mengusikku lebih dahulu."
Kemudian sambil berpaling katanya pula kepada Peng-toaso,
"Peng-toaso, aku suka dengan keterus terangan-mu, akupun akan
bicara blak-blakan kepadamu, coba kalau tidak memandang di atas
siocia kalian, mungkin saja akupun tidak akan bersikap sungkan
kepada kalian!" Padahal perkataan itu sengaja dia tujukan kepada Hong-sihu,
begitu selesai berkata dia segera membalikkan tubuh dan berlalu.
"Ternyata perkataan Seebun Yan tidak salah, hati manusia
memang amat berbahaya dan busuk, jadi orang memang tidak
boleh kelewat jujur. Ehmm, entah bagaimana keadaannya
sekarang" Apakah dia berhasil menyusul Tonghong toako" Mogamoga
saja apa yang diharapkan bisa terkabulkan."
Begitu teringat akan Tonghong Liang, perasaan hatinya kontan
jadi hangat, buru-buru dia mempercepat langkah kakinya dan
berlarian cepat, seakan-akan sedang berusaha untuk melepaskan
diri dari bayangan Tonghong Liang.
Dia tidak tahu harus berjalan lewat mana untuk kembali ke
gunung Bu-tong, terpaksa dia hanya bisa berbalik arah dan
menelusuri jalan yang ada.
Menelusuri jalan perbukitan, suasana terasa amat hening dan
tidak nampak sesosok bayangan manusia pun. Yang terdengar
hanya suara air yang lamat-lamat mengalir dikejauhan serta suara
serangga yang mengerik. Tiba-tiba dari balik pepohonan lebat muncul seseorang, begitu
muncul dihadapannya segera menegur sambil tersenyum, "Sui-leng,
kau kaget?" "Eeei.... Siau-susiok, kenapa.... kenapa kau pun bisa muncul di
sini?" ketika Lan Sui-leng mendongakkan kepalanya dan mengetahui
siapa yang muncul, dia berteriak penuh kegirangan bercampur rasa
kaget. Bahkan diantara rasa gembira dan kaget terselip juga
perasaan ngeri yang aneh dan tidak jelas sebab musababnya.
Ternyata orang itu tidak lain adalah Bouw It-yu, Bouw It-yu yang
perintahkan dia untuk membunuh Tonghong Liang dengan
"menghalalkan segala cara".
"Sebetulnya tidak bisa dibilang kebetulan," sahut Bouw It-yu
sambil tertawa, "sudah dua hari aku ikuti perjalanan kalian."
Seolah baru sadar kembali, Lan Sui-leng segera berseru, "Jadi
kaulah yang membantuku mengalahkan Liong Pa-thian dengan
sambitan senjata rahasia?"
Terbayang kembali pertarungannya saat melawan Liong Pa-thian,
dia merasa jantungnya masih berdebar keras, dia menganggap
suatu keberuntungan besar karena bisa terhindar dari akibat yang
lebih fatal dari pertarungan seru itu.
Waktu itu Liong Pa-thian sempat mengumpat karena ada orang
menyambitkan senjata rahasia secara diam-diam, waktu itu dia
menganggap hal semacam ini mustahil, siapa yang bakal
membantunya secara diam-diam, kendatipun kenyataan mana
membuatnya setengah percaya setengah tidak.
"Padahal bukan termasuk senjata rahasia yang khusus," sahut
Bouw It-yu perlahan, "aku hanya menimpuknya dengan sebuah
batu kerikil kecil."
"Siau-susiok, tadi kau mengatakan sudah dua hari mengikuti
perjalananku?" Nada lain dari perkataan itu adalah, mengapa baru sekarang kau
menampakkan diri. "Hong toa-ci itu terhitung seorang jago kawakan dalam rimba
hijau, dia mempunyai nama yang cukup termashur kendatipun ilmu
silatnya tidak terhitung seberapa hebat. Pengetahuanku tidak
seberapa luas, tapi secara kebetulan aku mengetahui asal-usulnya,
justru akulah yang sedang merasa heran, mengapa kau bisa
melakukan perjalanan bersama mereka. Itulah sebabnya untuk
sementara aku tidak menampakkan diri, ingin kulihat mereka dan
kau hendak pergi ke mana."
Diam-diam Lan Sui-leng terperanjat, padahal Hong-sihu maupun
Peng-toaso adalah jago-jago kalangan hitam yang amat cekatan dan
banyak pengalaman, namun dalam kenyataan walaupun sudah
dikuntit selama dua hari pun mereka tidak menyadarinya.
Selain itu, dia pun lamat-lamat merasakan ada sesuatu yang
tidak beres sehabis mendengar perkataan dari Bouw It-yu tadi,
dimana letak ketidak beresan itu, dia sendiripun tidak tahu. Namun
ada satu hal yang pasti, besar kemungkinan Bouw It-yu masih
mempunyai alasan lain dengan penguntitannya selama dua hari ini,
tidak mungkin alasannya hanya begitu sederhana.
"Kenapa aku bisa berkumpul bersama mereka" Soal ini panjang
untuk diceritakan!" Bouw It-yu tersenyum, tukasnya, "Selama menguntil dibelakang
kalian, aku dapat mendengar semua keributan diantara kalian
dengan sangat jelas, karena itu kau tidak perlu memberi penjelasan
lagi, hanya saja sejak berpisah denganku selama tiga bulanan ini
pasti ada banyak hal yang ingin kau katakan kepadaku bukan?"
Lan Sui-leng merasa sedikit gugup, katanya, "Walaupun aku
berhasil menemukan Tonghong Liang, namun kemudian lantaran
terjadi suatu peristiwa yang sama sekali diluar dugaan, aku pun
berpisah dengannya setelah melakukan perjalanan bersama selama
satu hari." "Aku tahu. Kau diundang paksa Piaumoynya Seebun Yan untuk
berkunjung ke rumahnya bukan. Aah benar, dimana sih letak Pekhoa-
kok itu?" "Akupun tidak tahu dimana letaknya, tapi gunung itu disebut
gunung Nyainqentanglha, sebuah nama gunung yang sangat aneh."


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oooh, gunung itu terletak jauh di wilayah Hwee."
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Lan Sui-leng, segera
serunya, "Tonghong Liang dengan Seebun Yan adalah saudara
misan, jadi kau berencana menguntit kami hingga sampai di Pekhoa-
kok?" Bouw It-yu tertawa getir.
"Kau sangka aku masih berniat mencari Tonghong Liang untuk
membuat perhitungan?" serunya, "sayang hingga kini aku masih
belum memiliki kemampuan untuk berbuat begitu."
Kemudian setelah berhenti sejenak, tanyanya lagi, "Jadi kau
berniat tidak akan kembali lagi ke Pek-hoa-kok?"
"Benar, justru gara-gara alasan inilah aku sampai ribut dengan
Hong-sihu." "Bukankah Seebun Yan memperlakukan dirimu dengan sangat
baik?" Diam diam Lan Sui-leng tertawa getir, namun jawabnya juga,
"Sebaik apapun perlakuannya terhadapku, tidak mungkin aku akan
menganggap rumahnya sebagai rumahku. Sudah tiga bulan lebih
aku meninggalkan orang tuaku, kalau tidak segera kembali,
mungkin mereka akan menungguku dengan gelisah."
"Oooh, jadi kau enggan balik ke lembah Pek-hoa-kok karena
rindu rumah?" tanya Bouw It-yu lagi dengan senyum tidak senyum.
"Memangnya masih ada alasan lain?"
"Bukankah kau takut bertemu Tonghong Liang lagi di Pek-hoakok
bukan" Walaupun kau pernah menyanggupi permintaanku
untuk membunuhnya dengan segala cara, padahal dalam hati
kecilmu kau tidak tega untuk membunuh dirinya!"
Lantaran rahasia hatinya sudah tertebak, sambil pura-pura
jengkel seru Lan Sui-leng, "Siau-susiok, kau sedang mengajakku
bergurau ataukah sedang bicara serius?"
"Bagaimana kalau sedang bergurau" Bagaimana pula kalau
sedang bicara serius?"
"Kalau dikatakan sedang bergurau, gurauanmu sedikit kelewatan
dan aku akan memakimu sebagai orang tua yang tidak tahu sopan.
"Tapi kalau dibilang sedang bicara serius, hal ini menunjukkan
kalau kau tak percaya denganku, bila tak percaya, kenapa mesti
minta aku yang melakukan tugas ini untukmu!"
"Waaah, waah.... sungguh lihay mulut kecilmu itu."
seru Bouw It-yu sambil tertawa.
"Bicara sejujurnya saja," ujar Lan Sui-leng lebih lanjut,
"kesempatan sudah terlewatkan satu kali, aku khawatir sulit untuk
memperoleh kedua kalinya. Lagipula jika dia dan Seebun Yan telah
kembali ke Pek-hoa-kok, bagaimana mungkin aku bisa lebih sering
berdekatan dengan dirinya?"
"Baiklah, kalau begitu persoalan ini tidak perlu diperdebatkan
lagi. Tapi masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepadamu."
Baru saja Lan Sui-leng merasa sedikit lega, tanpa terasa hatinya
menjadi tegang kembali, cepat tanyanya, "Soal apa?"
"Aku dengar Tonghong Liang serta adikmu secara beruntun telah
muncul di Toan-hun-kok, sementara Liok Ki-seng dan komplotannya
telah mendirikan pos penjagaan di bukit Pa-san diluar Toan-hunkok.
Karena kau keluar dari tempat sana bersama seorang hiocu
anak buahnya, aku rasa kaupun pasti mengetahui juga akan
peristiwa ini bukan?"
"Betul, aku pernah mendatangi Toan-hun-kok, sewaktu tiba
disana, Giok-keng sedang bertanding pedang melawan Tonghong
Liang. Kemudian mereka pun pada kabur."
"Bertanding pedang" Mereka sedang bertanding pedang?"
gumam Bouw It-yu seolah tidak percaya.
"Kenapa" Kau tidak percaya" Hampir semua orang yang berada
di Toan-hun-kok tahu akan hal ini. Jika tidak percaya, kenapa kau
tidak...." "Bukannya aku tidak percaya, aku hanya ingin tahu karena
persoalan apa mereka sampai bertanding pedang?"
"Aku sendiripun tidak tahu, yang kuketahui pertandingan pedang
itu bukan suatu permainan! Tentunya kau tidak akan mencurigai
Giok-keng sedang bersekongkol dengan pihak musuh bukan?"
"Aaah, ucapanmu kelewat serius. Aku hanya khawatir adikmu
dengan usianya yang masih muda gampang ditipu orang jahat. Tapi
kalau toh dia sudah bentrok dengan Tonghong Liang, aku pun dapat
merasa sedikit lega. Apa yang kemudian dia katakan tentang
peristiwa ini?" "Dia lalu meninggalkan Toan-hun-kok bersama seorang hweesio
tua, kepergian mereka sangat tergesa gesa, adik hanya bertanya
tentang keadaan di rumah dan berpesan agar aku baik-baik
merawat ayah dan ibu."
"Ke mana dia akan pergi" Tentunya hal ini dia katakan kepadamu
bukan?" Bila Lan Sui-leng menjawab tidak tahu, jelas jawaban itu sangat
tidak masuk diakal, terpaksa jawabnya, "Aku dengar mereka hendak
pergi ke wilayah Liauw-tong."
"Mau apa pergi ke Liauw-tong?"
"Menurut hwesio tua itu, tampaknya mereka sedang mencari
seseorang." "Siapa?" "Orang itu adalah sahabat hwesio tua itu, kalau dia tidak
mengatakan, darimana aku bisa tahu siapakah orang itu. Kau pun
tidak usah bertanya kenapa adikku pergi menemaninya, aku bukan
seorang nona yang cerewet, tidak bakalan aku bertanya ini itu
dihadapan hwesio tua itu hingga menimbulkan kesan muak bagi
orang lain. Eeei Siau-susiok, sudah selesaikah interogasi-mu?"
Bouw It-yu segera tertawa.
"Hahahaha.... kalau kuteruskan pertanyaanku, sudah pasti akan
menimbulkan kesan muak bagimu. Baiklah, pulanglah sana. Tapi
tahukah kau bagaimana cara untuk kembali ke gunung Bu-tong?"
"Kau sendiri tidak pulang gunung?" tanya Lan Sui-leng agak
melengak. "Sebetulnya aku ingin sekali menemanimu pulang, tapi
sayangnya masih ada urusan lain yang harus kuselesaikan dulu."
Sebetulnya Lan Sui-leng tidak membenci Siau-susioknya ini,
namun selama berada bersamanya, dia selalu merasa hatinya
tegang dan tidak tenang. Kontan saja dia menghembuskan napas lega setelah mendengar
perkataan itu, ujarnya, "Asal aku tidak malas bertanya jalan, apa
susahnya untuk balik ke gunung Bu-tong" Kau tidak usah
menguatirkan diriku."
"Daripada bertanya kepada orang lain, lebih baik sekarang
bertanyalah kepadaku. Tahukah kau dimana-kah posisi kita
sekarang" Tempat ini dekat sekali dengan dermaga Hong-leng-tok
di tepi sungai Huang-ho."
'Tidak heran kalau secara lamat-lamat aku mendengar suara
aliran air yang cukup deras,' pikir Lan Sui-leng.
Bouw It-yu segera menjelaskan arah jalan dengan amat teliti,
sembari menerangkan dia gunakan sebatang ranting pohon untuk
menggambar peta di atas tanah.
"Terima kasih banyak Siau-susiok atas petunjukmu," ucap Lan
Sui-leng kemudian. Kembali Bouw It-yu tertawa.
"Padahal usiaku paling berapa tahun lebih tua ketimbang kau,
bila tidak keberatan, akan kuminta kepada ayah untuk menerimamu
sebagai murid, jadi waktu itu kaupun menjadi Siau-sumoayku,
memanggil akupun jadi Toa-suheng."
Setengah bergurau setengah serius kata Lan Sui-leng, "Huuuh,
siapa yang kesudian" Kapan jenasah Sucouw akan dikebumikan?"
"Kalau tidak salah telah ditentukan pada bulan berikut tanggal
delapan, kau masih sempat untuk kembali ke gunung dan mengikuti
upacara penguburan."
Kembali Lan Sui-leng merasa keheranan, pikirnya: Ayahnya
adalah Ciangbunjin baru, kenapa dia tidak ikut pulang untuk
menghantar keberangkatan jenasah Ciangbunjin lama" Memangnya
ada urusan lain yang jauh lebih penting"'
Hanya saja diapun tidak ingin bertanya lebih mendetil, bisa
terlepas dari Bouw It-yu pun sudah merupakan kejadian yang paling
dia inginkan. Siapa sangka baru saja dia akan meninggalkan tempat itu,
mendadak terdengar suara seseorang yang amat dikenalnya
memanggil nyaring, "Tunggu sebentar!"
Ternyata orang yang muncul dihadapannya adalah Seebun Yan!
Dengan wajah agak gusar teriak Seebun Yan, "Mengapa kau
enggan balik ke Pek-hoa-kok?"
Terkejut bercampur girang Lan Sui-leng berseru tertahan, "Mana
Tonghong toako" Kau tidak berhasil menemukannya?"
"Perduli amat dengan dirinya, aku hanya ingin bertanya, kenapa
kau enggan balik?" "Bukankah sejak awal telah kuberitahu padamu" Aku ingin
pulang ke rumah." "Aku perlakukan dirimu dengan begitu baik, sungguh tidak
disangka kau begitu membenciku!"
Tanpa terasa Lan Sui-leng ikut mendongkol juga oleh perkataan
itu, serunya, "Kenapa kau mencampur adukkan masalah itu jadi
satu" Jelas hal itu merupakan dua masalah yang berbeda!"
"Aku memang senang mencampur adukkan semua masalah.
Hmmm! Tidak masalah bila kau membenci diriku, tapi gara-gara
kau, Hong-sihu dan Peng-toaso sampai terluka parah!"
"Aaah, kau betul-betul tidak tahu aturan. Apa urusannya mereka
terluka dengan diriku" Ketika orang orang Liong-bun-pang melukai
mereka, malah akulah yang telah membantu mereka untuk
memukul mundur bandit-bandit itu!"
"Mereka mendapat perintahku untuk menghantar kau balik ke
Pek-hoa-kok, coba kalau bukan lantaran harus menemanimu,
bagaimana mungkin mereka bisa bertemu dengan bandit-bandit
busuk dari Liong-bun-pang!"
Ucapan tersebut benar-benar sebuah perkataan yang tidak pakai
aturan, dan mencari menangnya sendiri, masih untung bukan baru
kali ini Lan Sui-leng menghadapi keadaan tidak tahu aturan seperti
ini. Pikirnya, 'Tampaknya gara-gara tidak berhasil menyusul
Tonghong toako, dia jadi jengkel dan ingin melampiaskan
amarahnya kepadaku' Berpikir begitu, maka ujarnya cepat, "Aku tidak ingin ribut
denganmu, cici Yan, lebih baik kau cepatlah pulang ke rumah. Siapa
tahu Tonghong toako sudah menunggumu di rumah."
"Dia tidak bakalan menunggu aku. Dia tidak bakal baik kepadaku
sebaik perhatiannya pada dirimu!"
Perkataan ini dipenuhi nada cemburu dan julas, membuat Lan
Sui-leng jadi melengak lalu tertegun.
Dengan mata melotot besar kembali Seebun Yan berseru, "Cepat
katakan, mengapa dia berusaha menghindariku?"
Lan Sui-leng merasa mendongkol bercampur geli, serunya,
"Darimana aku tahu keributan apa yang sedang terjadi diantara
kalian berdua" Lagian sewaktu berada di Toan-hun-kok, kita pun
bersama-sama bertemu dengannya, bahkan aku pun cuma sempat
berbicara sepatah dua patah kata dengannya."
"Tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun padaku!" protes
Seebun Yan. Habis sudah kesabaran Lan Sui-leng menghadapi ulahnya itu,
dengan nada sedikit marah teriaknya, "Kalau dia tidak
menggubrismu, kenapa kau malah melampiaskan amarahnya
kepadaku." "Kau tidak boleh pergi!" bentak Seebun Yan lagi, "kau harus ikuti
aku pulang ke rumah!"
"Hey, kau pakai aturan tidak?" teriak Lan Sui-leng gusar.
"Kalau kau mengatakan aku tidak pakai aturan, aku sengaja tidak
pakai aturan! Kau harus menunggu sampai sepulangnya Tonghong
Liang baru boleh pergi."
Tidak tahan Bouw It-yu ikut tertawa, katanya, "Kau mengatakan
dia tidak pakai aturan, padahal dia pun mempunyai alasan tersendiri
untuk berbuat begitu."
"Oooh, lantas apa alasannya?" tanya Lan Sui-leng.
"Dia kuatir kakak misannya jatuh hati kepadamu, bila kau
dibiarkan berkeliaran diluar, takutnya kau bakal pergi bersama-sama
Piaukonya. Karena itu dia harus membawamu untuk tetap berada di
sampingnya, dengan demikian hatinya baru lega."
"Ngaco belo, apa hubunganmu dengannya?" bentak Seebun Yan
semakin gusar. "Dia adalah Siau-susiokku," cepat Lan Sui-leng menjelaskan.
Mula mula Seebun Yan agak tertegun, kemudian katanya, "Oooh,
jadi kau adalah itu yang bernama Bouw It-yu?"
"Apa ini itu?" sela Bouw It-yu tertawa, "dikolong langit hanya ada
satu yang bernama Bouw It-yu, akulah orangnya. Siau-sumoay, kau
pergi saja, kalau dia suka menyusahkan orang, biar aku saja yang
melayani dia." Lan Sui-leng memang ingin sekali ada orang yang mewakilinya
menghadapi gadis itu, sambil tertawa cepat ujarnya, "Enci Yan, kau
sudah menemui lawan tanding, maaf kalau aku tidak bisa
menemanimu lagi." "Sreeeet!" Seebun Yan segera mencabut pedangnya dan
menuding sambil membentak, "Kau ingin pergi" Coba saja kalau
bisa kabur dari sini!"
Dalam keadaan begini, terpaksa Lan Sui-leng harus menangkis
pedangnya, tapi berhubung pertama dia tidak ingin bertarung
kelewat lama, kedua ilmu pedangnya memang setingkat masih di
bawah kemampu an Seebun Yan, maka dia ingin secepatnya
meninggalkan tempat itu. Dengan sebuah jurus Hu-yu-Huan-hun (mengundang hujan
membalik awan) Seebun Yan segera menekan pedang gadis itu
hingga turun ke bawah, jengeknya sambil tertawa dingin, "Kau
sangka setelah belajar ilmu pedang dari ibuku, lantas bisa kau pakai
untuk melawanku" Lebih baik suruh Siau-susiokmu...."
Belum selesai dia berkata, terdengar...."Criiing."
Bouw It-yu benar-benar telah menerima "undangan" nya dan
begitu turun tangan, pedangnya segera tertangkis hingga mencelat
ke samping. "Nona Seebun," ujarnya, "biarkan Siau-sumoay ku pulang.
Sementara akulah yang akan membantumu menemukan Tonghong
Liang!" "Siapa yang butuh bantuanmu?" teriak Seebun Yan gusar.
Diam-diam Lan Sui-leng tertawa geli, pikirnya: 'Nah, kali ini kau
telah mendapat pembalasan yang setimpal, dia ingin merecoki aku,
siapa tahu malah direcoki Siau-susiok'
Menggunakan kesempatan itu cepat-cepat dia kabur
meninggalkan tempat itu. Sambil tertawa kembali Bouw It-yu berkata, "Kau tidak percaya
kalau aku dapat membantumu menemukan jejak Piauko mu"
Padahal aku bicara sejujur nya."
Seebun Yan benar-benar naik pitam, dia mendongkol setengah
mati, hardiknya, "Bagus sekali, Bouw It-yu, aku memang hendak
mencarimu untuk membuat perhitungan!"
"Rasanya sebelum pertemuan hari ini, kita belum pernah
bertemu, kapan aku pernah berhutang padamu?" kata Bouw It-yu
sambil tertawa.

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak seperti teringat akan sesuatu, terusnya, "Aaah benar,
aku pernah berkelahi melawan Piaukomu, jadi lantaran peristiwa ini
kau mendongkol dan membenciku?"
"Huuh, kau tidak lebih hanya panglima perang yang pernah kalah
di tangan Piaukoku, buat apa aku musti mewakilinya untuk
membuat perhitungan."
"Tempo hari aku memang sengaja berniat mengalah kepada
kakak misanmu, jadi kau sangka aku benar-benar kalah
ditangannya" Hanya saja, kalau toh kau bukan demi kakak misanmu
itu, lalu dikarenakan urusan apa kau hendak membuat perhitungan
dengan-ku?" "Kalau dikatakan hendak membuat perhitungan, rasanya
perkataan ini kelewat serius, padahal aku.... aku hanya merasa tidak
puas!" kata Seebun Yan, "ibuku selalu memujimu setinggi langit,
seakan-akan di dunia ini kau adalah segalanya, jelas dia maksudkan
kalau kau lebih hebat dari Piauko, bahkan katanya Piauko ku tidak
mungkin bisa melebihi kemampuanmu."
"Oooh, rupanya begitu," kini Bouw It-yu baru mengerti, "tidak
heran kalau dia mengatakan "Itu si Bouw It-yu", ternyata hal ini
dikarenakan ibunya pernah memuji-mujiku."
Sebagaimana diketahui, ayah Seebun Yan adalah Seebun Mu,
seorang Liok-lim Bengcu pada dua puluh tahun berselang,
sementara ibunya In Beng-cu adalah perempuan paling cantik dari
dunia persilatan, mereka berdua merupakan tokoh-tokoh besar yang
namanya amat tersohor sampai dimana-mana.
Tentu saja Bouw It-yu pun mengetahui siapakah ayah ibunya,
namun Seebun Mu maupun In Beng-cu adalah tokoh persilatan satu
angkatan dengan ayahnya, selama hidup belum pernah dia
menjumpai mereka. Kemudian sejak meninggalnya Seebun Mu, In Bengcu selalu
hidup mengasingkan diri dalam Pek-hoa-kok, dia semakin tidak
berkesempatan untuk berjumpa dengannya.
"Aneh, darimana ibunya bisa mengetahui tentang aku" Sekalipun
ayah adalah seorang ternama dalam dunia persilatan, dia pun tahu
kalau Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long mempunyai seorang
putra, darimana pula dia bisa mengetahui tinggi rendahnya
kepandaian silatku serta sampai dimana sifat dan akhlakku" Bila dia
tidak mengetahui detilku dengan jelas, darimana pula bisa
memberikan perbandingan antara aku dengan Tonghong Liang?"
Sementara dia masih termenung, sambil tertawa dingin Seebun
Yan telah berkata lagi, "Cuuuh, kau merasa bangga karena ibuku
memujimu?" "Hingga kini aku belum pernah bertemu muka dengan ibumu,
kenal pun tidak, namun aku merasa berterima kasih sekali atas
pujiannya, aku merasa malu untuk menerima pujian itu. Tentu saja
aku tidak dapat menutupi rasa senang dan banggaku."
"Oooh, ternyata kaupun tahu juga kalau ucapannya hanya
sekedar kata pujian! Hmmm, aku pun tidak habis mengerti apa
sebabnya ibu memujimu secara ngawur. Dia memujimu, aku merasa
tidak puas! Mari, mari, mari, aku akan mengajakmu bertanding
pedang, bila kaupun tidak mampu mengungguli diriku, lebih baik
selanjutnya tidak usah berlagak sombong lagi!"
Sudah cukup lama dia ingin melampiaskan perasaan tidak
puasnya itu, apalagi sekarang dia berada dalam kondisi labil karena
perasaan emosinya yang sedang bergejolak, maka dari itu tanpa
mempertimbangkan lebih jauh atas perkataan ibunya, dengan
penuh amarah dia lancarkan sebuah tusukan ke depan.
Bouw It-yu segera memutar pedangnya satu lingkaran, dengan
jurus Sam-coan-hoat-lun (tiga putaran roda hukum) dia sampok
pedang lawan hingga miring ke samping.
"Hmm, kau bisa membuat garis lingkaran, di sangka aku pun
tidak bisa?" seru Seebun Yan jengkel.
Dengan cepat pedangnya membentuk pula satu gerakan
melingkar, benar saja, tenaga giringan dari Bouw It-yu seketika
terpunahkan. Melihat itu, Bouw It-yu berpikir dalam hati, 'Tonghong Liang
mampu menggunakan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, sudah
pasti jurus serangan ini dia pelajari dari Tonghong Liang'
Namun dia segera merasakan ada sesuatu yang "tidak beres",
setelah bergebrak berapa jurus lagi, dia menjumpai Seebun Yan
sanggup mematahkan setiap jurus, setiap gerakan yang dia
lancarkan, kini Bouw It-yu baru sadar dimanakah letak "ketidak
beresan" itu. Yang paling diutamakan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat adalah,
"Berputar bulat bagai gelang, tiada putus tiada cacat, niat berada di
pedang, bergerak bersambungan tanpa berhenti".
Asal kau dapat memahami makna dari rumus tersebut dan
bergerak mengikuti niat, maka semuanya akan berjalan dengan
sendirinya. Itulah sebabnya guru yang bijak selalu mengharapkan
muridnya lebih mengutamakan kesaktian daripada keindahan
wujud. Hanya saja karena pemahaman yang diterima setiap orang
berbeda, murid yang dilatih oleh guru yang berbeda otomatis akan
memperlihatkan gaya pedang yang berbeda pula meski sama-sama
menggunakan sebuah jurus serangan yang sama.
Ketika Tonghong Liang bertarung melawan Bouw It-yu tempo
hari, dia hanya menggunakan berapa jurus Thay-kek-kiam-hoat,
sementara saat ini Bouw It-yu telah bertarung belasan jurus
melawan Seebun Yan, dari pertarungan itupun dia mulai
menemukan kalau gaya pedang yang mereka gunakan ternyata
"sama tapi berbeda, berbeda tapi sama".
Misalkan saja dalam "berputar bulat", dalam bidang ini ilmu
pedang Tonghong Liang jauh lebih tangguh dan hebat, namun
dalam masalah "ketajaman", dia masih kalah jauh bila dibandingkan
Seebun Yan. Dengan perasaan heran Bouw It-yu berpikir, 'Bila ditinjau dari
kejadian ini, pada mula mereka belajar pedang rasanya kedua orang
itu berasal dari perguruan yang sama. Tapi kemudian masingmasing
mempunyai guru pembimbing yang berbeda. Kalau
Tonghong Liang semakin cekatan dalam ilmu pedangnya maka
Seebun Yan lebih banyak memahami jurus pedang Thay-kek-kiamhoat.
Tapi.... mengapa bisa begitu"'
Bagaimanapun juga dia adalah seorang yang ahli dalam hal ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat, sekalipun dugaannya tidak benar
seratus persen, namun selisihpun tidak terlalu banyak.
Ternyata ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dipelajari
Tonghong Liang serta Seebun Yan sama-sama berasal dari ibu
Seebun Yan, hanya saja pemahaman yang diperoleh Tonghong
Liang jauh lebih maju dan berkembang.
Dengan kemampuan ilmu pedang yang dimiliki Bouw It-yu saat
ini, sebetulnya tidak sulit baginya untuk mengalahkan gadis itu tidak
sampai sepuluh gebrakan, namun berhubung rasa ingin tahunya, dia
sengaja berlagak seolah kekuatan mereka seimbang.
Belasan gebrakan kemudian, kejadian aneh lain kembali
mencekam perasaan hati Bouw It-yu.
Begitu pertarungan berlanjut, dia semakin merasa kalau gaya
pedang yang digunakan Seebun Yan seolah sangat dikenal olehnya,
setelah dipikirkan sejenak, tiba tiba dia menjadi sadar kembali.
Bukankah gaya yang digunakan gadis itu persis sama seperti gaya
pedang yang diajarkan ayahnya kepada dirinya"
Ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dipelajari ayah Bouw It-yu
boleh dibilang merupakan bentuk aliran yang tersendiri, jauh
berbeda dengan gaya dari Bu-siang Cinjin maupun Bu-si Tojin.
Diantara sekian banyak murid Bu-tong-pay, hanya dia seorang
yang memahami semua rahasia dan intisari ilmu pedang ayahnya.
Tapi mengapa Seebun Yan pun seakan sangat memahaminya"
Sudah barang tentu mustahil kalau gadis itu belajar dari ayahnya,
satu hal yang membuat Bouw It-yu kebingungan dan tidak habis
mengerti. Kelihatannya Seebun Yan pun sudah merasa kalau gelagat tidak
menguntungkan dirinya, secara beruntun dia lancarkan tiga babatan
kilat kemudian dengan gaya nekad dia meneter maju, serangan
demi serangan bagaikan gulungan ombak samudra menerjang ke
depan tiada hentinya. Garis-garis busur yang terbentuk kian tidak beraturan, di balik
kekerasan tersimpan kelembutan, ada enam tujuh bagian mirip
dengan jurus Thay-kek-kiam-hoat tapi tidak mirip secara
keseluruhan. Menghadapi gerak serangan semacam ini, untuk
sesaat Bouw It-yu dibuat bimbang juga, kendatipun
pengetahuannya luas namun dia tidak bisa menebak darimana
gerakan pedangnya akan berubah.
Tatkala Seebun Yan masih bayi, ayahnya telah meninggal dunia.
Karena itu ilmu pedangnya dipelajari dari ibunya. Namun disaat
usianya sudah mulai lanjut, dia pun mulai mempelajari kitab kiamTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
boh peninggalan ayahnya, setiap kali menjumpai hal yang tidak
dipahami, dia selalu minta petunjuk dari ibunya. Ilmu pedang
andalan ayahnya itu bernama Keng-to-kiam-hoat (Ilmu pedang
pukulan ombak), sebuah ilmu pedang bersifat positip yang keras.
Biarpun ibunya memahami ilmu pedang tersebut, namun belum
berhasil menguasahi semua rahasia serta intisari yang terkandung
dalam jurus pedang itu. Lantaran dia sebagai anak gadis keluarga
Seebun, mau tidak mau gadis itu tetap harus mempelajari ilmu
pedang warisan ayahnya. Dengan begitu, kendatipun dia
mempelajari ilmu pedang dari dua keluarga yang berbeda, namun
pemahamannya jauh lebih matang dalam menggunakan ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Dan kini, permainan jurus pedang yang dia kembangkan tifak lain
adalah jurus gubahan hasil peleburannya antara ilmu pedang Thaykek-
kiam-hoat dengan ilmu pedang Keng-to-kiam-hoat. Dari seluruh
perubahan itu, sebagian besar adalah hasil ciptaan ibunya, dan
sebagian kecil merupakan gerakan spontan yang dia lakukan
menyesuaikan diri dengan kondisi.
Saat ini seandainya Bouw It-yu melancarkan serangan dengan
sepenuh tenaga, sebetulnya tidak sulit baginya untuk mengalahkan
lawannya ini, tapi berhubung rasa ingin tahunya, dia enggan meraih
kemenangan dengan mengandalkan tenaga dalam, tapi lebih
mengimbanginya dengan jurus pedang.
Jurus-jurus aneh yang dilancarkan Seebun Yan seketika membuat
dia kelabakan, karena untuk sesaat tidak mampu mematahkan jurus
yang datang, tidak lama kemudian pemuda ini sudah keteter hebat
hingga kalang kabut sendiri.
Berhasil dengan serangannya, Seebun Yan semakin tidak
memberi kesempatan kepada lawannya untuk bernapas, secara
beruntun dia lancarkan kembali tiga jurus serangan berantai.
Diam-diam Bouw It-yu berpikir kembali, 'Dia sedang mencoba
menggunakan jurus barunya, mengapa akupun tidak mencoba jurus
baruku"' Perlahan-lahan pedangnya membabat keluar, lingkaran busur
seakan dibikin rata oleh getaran gelombang serangannya, kalau
dibicarakan memang sangat aneh, gerakan pedang yang begitu
lambat ternyata seketika memunahkan seluruh serangan gencar dari
Seebun Yan. Tampaknya hasil serangan inipun sama sekali diluar dugaan
Bouw It-yu. Rupanya jurus itu bernama Oh-teng-siong-tou (sambil
berbaring mendengarkan suara pohon siong), sebuah jurus pedang
yang diciptakan ayahnya belakangan, dia sendiripun belum berhasil
menguasahinya dengan sempurna.
Berhubung menurut teori jurus pedang ini paling sesuai
digunakan untuk mematahkan serangan berantai lawan, karena
itulah dengan mengambil resiko dia mencoba menggunakannya.
Dalam hati kecil dia memang sudah membuat persiapan, seandainya
jurus itu menemui kegagalan, dia berencana akan mementalkan
pedang Seebun Yan dengan mengandalkan tenaga dalam.
Siapa tahu tanpa menggunakan tenaga dalam pun jurus
serangan tersebut berhasil dipunahkan.
Begitu serangannya berhasil dipunahkan lawan, Seebun Yan
menyangka ilmu pedang warisan ayahnya belum berhasil dipelajari
dengan sempurna, terpaksa dia harus berubah lagi menggunakan
jurus Thay-kek-kiam-hoat ajaran ibunya.
Begitu berhasil dengan percobaan pertamanya, Bouw It-yu
kembali menggunakan jurus jurus baru yang lain untuk menjajal
memunahkan ancaman lawan.
Begitu dicoba, seketika itu juga dia berhasil mendapatkan lagi
sebuah penemuan baru. Bila dia menggunakan jurus pedang yang
belakangan diciptakan ayahnya, Seebun Yan seketika akan dibuat
gelagapan dan susah untuk menghadapi, namun bila dia
menggunakan ilmu pedang ayahnya yang sering digunakan pada
usia tiga puluh tahun berselang, kendatipun jurus pedang tersebut
baginya jauh lebih sempurna dan matang, sebaliknya bagi Seebun
Yan justru dapat melayani dan menghadapi dengan sama baiknya.
Rasa heran dan curiga semakin mencekam perasaan Bouw It-yu,
pikirnya, 'Bila dianalisa dari gejala yang kujumpai sekarang, rasanya
hanya ada satu penjelasan yang masuk diakal. Dia pernah diterima
ayahku menjadi muridnya pada tiga puluh tahun berselang'
Sudah jelas hal ini merupakan satu kejadian yang mustahil, tahun
ini ayahnya sudah berusia lima puluh tahunan, sewaktu dia masih
berusia dua puluh tahun, Seebun Yan jelas belum lahir.
Tidak salah, memang masih ada sebuah kemungkinan lagi, pada
dua puluhan tahun berselang orang tua Seebun Yan pernah belajar
ilmu pedang dari ayahnya. Akan tetapi 'kemungkinan' semacam
inipun tidak bisa diyakini dengan begitu saja. Orang tua Seebun Yan
adalah tokoh Liok-lim yang termasyhur nama besarnya, bahkan
berasal dari satu angkatan dengan ayahnya, bagaimana mungkin
mereka bisa menjadi murid ayahnya"
Hasil pemolesan yang kebetulan mirip memang ada
kemungkinan, tapi ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang digunakan
Seebun Yan jelas bukan hasil pemolesan yang secara kebetulan
mirip dengan ilmu pedang perguruannya.
Biarpun Bouw It-yu sudah mencoba peras otak untuk
memecahkan masalah ini, namun dia gagal memperoleh jawaban
yang memuaskan, bahkan secara lamat-lamat dia dapat merasakan
kalau dibalik kesemua nya ini seolah tersimpan sebuah rahasia
besar yang sulit dipercaya.
Semua jurus ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dikuasahi
Seebun Yan telah diperlihatkan dihadapannya, dalam hal ini dia
sudah tidak merasa perlu untuk menyelidiki lebih jauh. Sengaja dia
membuka sebuah titik kelemahan, membiarkan jurus Seebun Yan
digunakan hingga puncaknya, kemudian dengan satu ayunan
lingkaran pedang, seketika dia sumbat seluruh gerakan dari gadis
itu dan...."Traaang!" pedang yang berada dalam genggaman
Seebun Yan terlepas dan jatuh ke tanah, sementara ujung pedang
Bouw It-yu langsung menempel di atas tenggorokannya.
Sambil pejamkan matanya rapat-rapat Seebun Yan berteriak,
"Kalau punya nyali, ayoh cepat bunuh aku. Biar ibu tidak
membalaskan dendamku pun, Piauko pasti akan membalaskan sakit
hatiku ini!" Biarpun dia masih sempat berteriak lantang, sejujurnya gadis itu
merasa ketakutan setengah mati. Begitu dekat ujung pedang itu
dengan tenggorokannya membuat dia tidak berani membuka


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya, dia sudah siap menerima kematiannya sambil
memejamkan mata. Setelah lewat berapa saat kemudian, tiba-tiba dia merasa hawa
pedang yang menempel didepan lehernya sudah tidak sedingin tadi
lagi, pihak lawan pun seolah sama sekali tidak bergerak, keheningan
yang sangat aneh membuat dia mau tidak mau harus membuka
matanya kembali. Tapi begitu membuka matanya, tidak kuasa lagi dia merasa
keheranan, malu bercampur mendongkol, ternyata ujung pedang
Bouw It-yu sudah tertuju ke bawah, tapi sepasang matanya yang
terbelalak besar, seakan begitu dekat mengawasi raut mukanya.
Saat itu Bouw It-yu memang sedang mengawasi wajah gadis itu
dengan termangu, ingatannya seakan terbang balik pada kejadian
berapa tahun berselang. Ibunya sudah tiga bulan menderita sakit, waktu itu tahun baru
hampir menjelang tiba, tapi ayahnya belum kembali ke rumah.
Walaupun saat itu dia hanya seorang bocah berusia lima, enam
belas tahunan, namun terhadap urusan orang dewasa dia cukup
banyak memahami. Dia pun mengetahui sedikit banyak mengenai rahasia seputar
ayahnya, rahasia itu sempat dicuri dengar ketika orang bawahannya
sedang berkasak kusuk membicarakan hal tersebut, tapi ada juga
sebagian rahasia yang berhasil dia curi dengar ketika ibunya
berkeluh kesah terhadap ayahnya.
Waktu itu dengan penuh rasa jengkel dan mendongkol dia
berkata di hadapan ibunya yang masih tergolek sakit di ranjang,
"Sudah pasti ayah terpikat lagi oleh perempuan yang tidak tahu
malu itu!" "Jangan kau maki ayahmu," cegah ibunya, "jangan pula
mengumpat perempuan itu. Dia bukanlah perempuan liar yang tidak
tahu malu!" Dia merasa sangat tidak puas dengan jawaban ibunya itu, segera
bantahnya, "Ibu, kau jadi orang kelewat baik hati, sudah jelas
perempuan yang tidak memperolehkan ayah pulang adalah
perempuan jalang yang tidak tahu malu, mengapa kau masih
berusaha membelainya?"
"Perempuan jalang" Siapa yang mengatakan kalau dia
perempuan jalang?" "Kau tidak perlu mengusut siapa yang telah memberitahukan
kepadaku, pokoknya aku sudah tahu siapakah perempuan busuk
itu." "Ooh.... kau sudah tahu" Siapakah dia?"
"Perempuan busuk yang amat tersohor karena jahatnya, si lebah
hijau Siang Ngo-nio."
Ibunya segera menghela napas panjang, desisnya, "Alangkah
baiknya bila dia adalah si Lebah hijau Siang Ngo-nio."
"Jadi orang itu jauh lebih keji daripada Siang Ngo-nio?" tanyanya
terkesiap. "Bukan," ibunya menggeleng, "dia adalah seorang wanita anggun
yang mempunyai reputasi tinggi, selain cantik dan berbakat,
kungfunya sangat lihay, hampir dalam hal apa pun dia jauh
mengungguli diriku."
"Ibu, aku tidak percaya masih ada perempuan lain yang jauh
lebih baik daripada dirimu."
Ibunya tertawa getir, ujarnya, "Di dalam pandanganmu, aku
adalah perempuan yang terbaik di dunia ini. Akan tetapi kebaikan
dan kelebihanku masih jauh ketinggalan bila dibandingkan
perempuan itu, bukan saja dalam pelbagai hal dia mengungguli aku,
bahkan jauh mengungguli diriku!"
Dengan perasaan ragu bercampur tidak habis mengerti ujarnya,
"Ibu, kau terlalu mengunggulkan musuh dengan memadamkan
semangat sendiri. Tapi aku tetap tidak mengerti maksud dari
perkataan yang barusan kau ucapkan."
"Kau tidak mengerti" Manusia semacam ayahmu tidak bakalan
bisa menyukai perempuan semacam Siang Ngo-nio, kendatipun
mereka pernah berselingkuh, paling hubungan tersebut hanya
sekedar panggung sandiwara. Oleh karena itu, bila perempuan
tersebut adalah Siang Ngo-nio, aku justru merasa lega sekali,
karena perempuan semacam itu tidak bakalan akan membuat
ayahmu terpikat hingga tergila-gila."
Kini dia baru memahami maksud ibunya.
"Lantas perempuan manakah yang benar-benar disukai ayah?"
tanyanya kemudian. Ibunya tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya berkata,
"Ayahmu pun benar-benar mencintai aku."
"Berarti kesemuanya ini merupakan kesalahan ayah, dia dikenal
orang sebagai seorang pendekar sejati, mengapa cintanya justru
bercabang-cabang?" "Jangan salahkan ayahmu, jangan salahkan juga perempuan itu,
kesemuanya ini.... kesemuanya ini.... aaaai, boleh dibilang memang
nasib, memang takdir kita semua."
"Siapakah perempuan itu?"
"Jangan mencampuri urusan ayahmu, padahal ayahmu, dia....
perasaan hatinya sudah cukup men derita."
Saat ibunya mengucapkan perkataan itu dulu, dia sama sekali
tidak paham, tapi sekarang, setelah mengamati paras muka Seebun
Yan, tiba-tiba saja dia seakan memahami akan sesuatu.
Perkenalannya dengan Seebun Yan baru saja berlangsung belum
lama, tapi Seebun Yan yang berada dihadapannya sekarang terasa
seakan seseorang yang sangat dikenalnya.
Mengapa dia bisa memiliki perasaan sedemikian aneh"
Ketika menatap kembali paras muka Seebun Yan yang cantik,
tiba-tiba hatinya tergerak, "Jangan-jangan perempuan itu adalah
ibunya?" In Beng-cu, ibunda Seebun Yan berasal dari keluarga persilatan
kenamaan, semasa masih muda dulu, dia pernah dijuluki orang
sebagai Bulim Tee-it Bi-jin (perempuan paling cantik dari persilatan),
setelah menikah dengan Seebun Mu, diapun menjadi nyonya
seorang Liok-lim Bengcu, bukan saja statusnya sangat tinggi dan
terhormat, kecantikan dan kepintarannya juga luar biasa, hingga
kini dia masih disegani banyak orang.
Dengan pelbagai syarat yang dimilikinya, dia memang pantas
menyandang predikat sebagai seseorang dengan status istimewa,
bukankah syarat seperti ini sangat cocok dengan penuturan ibunya
dulu" Akan tetapi dia pun tidak berani menduga kalau "perempuan itu"
tidak lain adalah ibunda Seebun Yan.
Benarkah apa yang dia bayangkan" Atau salah" Sungguh" Atau
palsu" Dia merasa bingung, tidak habis mengerti, pikirannya kalut....
Seebun Yan membuka kembali matanya, melihat pedang di
tangan Bouw It-yu sudah tertunduk ke bawah sementara wajahnya
dengan mimik terpesona sedang mengawasi wajahnya tanpa
berkedip, dia jadi mendongkol bercampur gusar, "Ploook!" sebuah
tamparan langsung dilayangkan ke depan.
Bagi seorang jago silat berilmu tinggi, biarpun sedang
menghadapi sergapan yang sangat tiba-tiba, namun daya
refleksinya cukup tinggi, sayangnya kendatipun dia sudah
menghindar cukup cepat, tidak urung tamparan itu mengena juga.
Tentu saja bukan menghantam diwajahnya melainkan menghantam
pada pedangnya hingga terlepas dari pegangan.
"Kalau ingin membunuh, cepatlah bunuh aku. Buat apa kau
mempermainkan diriku?" umpat Seebun Yan.
"Eeei.... kapan aku mempermainkan dirimu" Bukankah kau
mempunyai ibu yang gagah, mana berani aku permainkan dirimu?"
Seebun Yan berpikir sejenak, benar juga, dia hanya menatap
wajahnya dengan terpesona, sama sekali tidak melakukan tindak
tanduk kurangajar atau berniat mempermainkan dirinya, dia pun
berpikir, "Kelihatannya dia benar-benar hanya terpesona oleh paras
muka ku!" Bagaimana pun wanita memang senang bila tahu ada orang
lelaki yang terpikat oleh paras mukanya, otomatis rasa
mendongkolnya ikut mereda, katanya kemudian, "Asal tahu saja
kau...." Bouw It-yu tidak banyak bicara lagi, dengan ujung kakinya dia
congkel gagang pedang Seebun Yan, menyusul kemudian
memungut juga pedang milik sendiri.
Agak tertegun Seebun Yan melihat hal itu, segera bentaknya,
"Kau ingin...."
Belum sempat kata berikut diucapkan, terdengar Bouw It-yu
telah berkata lagi, "Aku telah menjatuhkan pedangmu, kaupun telah
menjatuhkan pedangku, boleh dikata kita berdua seimbang.
Rasanya tidak perlu bertanding lagi bukan?"
Seebun Yan tahu kalau dia sengaja berkata begitu karena ingin
mengambil hatinya, karena tidak perlu kehilangan muka lagi maka
dengan perasaan girang katanya, "Padahal ilmu pedangmu jauh
lebih tinggi ketimbang aku, hanya saja dibandingkan Piauko ku, kau
masih selisih sedikit saja. Baiklah, pedangpun sudah
dipertandingkan, sekarang silahkan."
"Silahkan" Silahkan aku ke mana?"
"Siau-sumoay mu sudah pergi cukup lama, masa kau tidak
segera mengejarnya?"
"Oooh, ternyata kau sedang mempersilahkan aku pergi!"
"Tentu saja, masa aku harus menahanmu disini."
"Eeei, jangan buru-buru pergi, kau tidak ingin menahanku tapi
aku justru ingin menahammu!"
Sambil berkata tiba tiba dia melompat ke depan dan menangkap
pergelangan tangan Seebun Yan.
Dengan perasaan terkesiap jerit Seebun Yan, "Kau.... mau apa
kau...." Bouw It-yu tidak menjawab, dia menarik gadis itu ke tepi telaga,
air telaga dalam lembah bukit itu bening bagaikan cermin, bayangan
wajah mereka pun segera muncul diatas permukaan.
"Coba kau perhatikan dengan seksama!" kata Bouw It-yu.
"Melihat bayangan tubuhmu?"
"Melihat bayanganku, melihat juga bayanganmu. Coba
perhatikan, bukankah wajah kita sangat mirip?"
"Aaaah benar," Seebun Yan ikut menjerit tertahan, "wajah kita
benar benar mirip sekali. Lantas kenapa?"
"Paras mukamu mirip ayahmu atau mirip ibumu?" tiba-tiba Bouw
It-yu bertanya lagi. "Buat apa kau menanyakan soal ini?"
"Tidak apa apa, aku hanya ingin tahu saja."
'Jangan-jangan inilah penyebab mengapa dia awasi wajahku
dengan termangu tadi,' pikir Seebun Yan. Maka sahutnya,
"Kerabatku kebanyakan mengatakan kalau aku mirip ibuku, tapi ibu
bilang aku lebih banyak mirip ayah. Hanya sayang disaat ayahku
meninggal dunia, aku masih tidur dalam bokongan ibuku sambil
menetek. Jadi aku sama sekali tidak tahu bagaimana sebetulnya
wajah ayahku." "Aku belum pernah bertemu ayahmu, juga belum pernah
bertemu ibumu, tapi menurut pendapatku, kau lebih banyak mirip
ibumu." Timbul rasa ingin hati dihati kecil Seebun Yan, cepat tanyanya,
"Kenapa kau bisa berkata begitu?"
"Hampir semua orang tahu kalau ibumu adalah perempuan
paling cantik dalam persilatan."
Seebun Yan segera tertawa.
"Mulutmu pandai amat berbicara, rupanya setelah bicara ke utara
selatan, akhirnya tujuanmu hanya ingin memujiku. Tapi, tadi kau
mengatakan kalau wajah kita mirip sekali, bukankah perkataanmu
sama artinya sedang memuji diri sendiri."
"Sayang aku hanya berapa bagian mirip dengan dirimu. Tapi
dimasa masih muda dulu, ayahku pun pernah disebut orang sebagai
lelaki paling tampan dalam persilatan."
"Jangan kau katakan wajahmu lebih banyak mirip ayahmu," goda
Seebun Yan sambil tertawa.
Bouw It-yu hanya tertawa tanpa menjawab, sementara dalam
hatinya berpikir, 'Mungkin wajahmu pun lebih banyak mirip ayah'
Kelihatannya Seebun Yan masih tetap bingung dan tidak habis
mengerti, kembali dia bertanya, "Bouw It-yu, sebenarnya apa
maksudmu dengan tindakanmu ini?"
"Apa maksudnya?" Bouw It-yu balas bertanya sambil menirukan
gayanya. "Tidak ada angin tidak ada hujan kau mengajakku mengaca di
permukaan air telaga, kemudian mengucapkan juga perkataan yang
tidak ada ujung pangkalnya, aku tidak yakin kalau perbuatanmu ini
hanya ulah seorang bocah cilik."
"Tentu saja aku bukan berulah. Sekarang tentunya kau sudah
tahu bukan kalau diantara kita berdua sesungguhnya sangat mirip?"
"Jadi kau bermaksud agar aku mengetahui hal ini" Tapi apa
manfaatnya bagimu setelah aku mengetahuinya?"
"Bukan bermanfaat bagiku saja, bagimu pun bermanfaa tjuga."
"Ini lebih aneh lagi, manfaat apa yang bisa kuperoleh?"
"Jika kau menyamar sebagai adikku, orang lain pasti akan
mempercayainya." "Buat apa aku harus menyamar menjadi adikmu?"
"Dengan begitu kau bisa ikut aku pergi ke wilayah Liauw-tong,
kita pun tidak usah kuatir ada perbedaan antara lelaki dan wanita."
"Karena alasan apa aku harus mengikutimu pergi ke wilayah
Liauw-tong?" "Bukankah kau hendak mencari Piauko mu?"
"Jadi kau tahu kalau Piauko ku berada di Liauw-tong?"
"Kau tidak usah perduli darimana aku mengetahui nya, yang
pasti aku tidak bakalan menipumu!"
"Kau sangka aku akan mempercayaimu?"
"Bila aku berniat membohongimu, biar aku mendapat nama
busuk, tidak bisa menancapkan kaki lagi dalam Bui-lim, tidak bisa
mendongakkan kepala lagi dihadapan orang lain!"
Seandainya dia hanya bersumpah "biar aku mati tidak wajar"
atau ucapan sebangsanya, mungkin saja Seebun Yan tidak bakalan
percaya, tapi sumpah itu sangat berat, mau tidak mau gadis itu
harus mempercayai juga akan ketulusan hatinya.
Perlu diketahui, Siau-lim dan Bu-tong merupakan tonggak dunia
persilatan, sebagai putra dari seorang Ciangbunjin partai besar,
tentu saja dia tidak ingin mendapat nama busuk, apalagi tidak ada
tempat untuk tancapkan kaki dalam rimba persilatan.
Jika seseorang berada dalam kondisi "tidak bisa mendongakkan
kepala lagi didepan orang lain", jelas keadaan itu jauh lebih
menakutkan daripada mati.
Setelah termangu berapa saat, akhirnya Seebun Yan bertanya
lagi, "Antara kau dengan Piauko pernah terjadi perselisihan,
mengapa kau bersedia membantuku?"
"Karena aku ingin membalas pujian yang diberikan ibumu
kepadaku, sekalipun aku tidak berani menerimanya, namun
bagaimana pun dia telah menyam paikan pujian itu."
Setengah percaya setengah tidak Seebun Yan bertanya, "Jadi
lantaran ibuku pernah memujimu, maka kau pun bersedia menahan
cemoohan orang lain?"
Perlu diketahui, dengan Bouw It-yu bersedia membantunya
mencari Tonghong Liang, sama artinya dia bersedia mengajak


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

damai kakak misannya itu.
Tiba tiba Bouw It-yu bertanya lagi, "Apakah sikap ibumu
terhadap Piaukomu sangat baik?"
"Tentu saja. Aku tidak punya saudara, karena itu ibu selalu
menganggapnya seperti anak kandung sendiri."
Berbicara sampai disini, tiba-tiba dia seperti teringat akan
sesuatu, katanya lagi sambil tertawa, "Ibu sama sekali tidak
mengenalmu, tapi dia sangat memuji dirimu, kalau didengar dari
nadanya, dia seolah menaruh sikap yang jauh lebih baik ketimbang
terhadap Piauko ku."
"Benar, itulah sebabnya aku harus membalas budi kebaikan
ibumu, dia telah memujiku, padahal Kau dan Piauko mu adalah
orang yang paling dia kasihi, masa aku masih bisa bersikukuh atas
perselisihanku dengan Tonghong Liang?"
Pada dasarnya tabiat Seebun Yan memang istimewa, dia
termasuk orang yang senang gusar semaunya sendiri, seringkali apa
yang dia lakukan jauh diluar kebiasaan pada umumnya.
Jika berganti orang lain, kemungkinan besar mereka tidak bakal
percaya dengan penjelasan dari Bouw It-yu itu, tapi baginya,
apalagi setelah melihat ketulusan hati Bouw It-yu ketika
mengucapkan kata kata tersebut, tanpa terasa dia mempercayai
semua perkataan nya. Melihat gadis itu hanya termenung tanpa menjawab, sambil
tertawa Bouw It-yu bertanya lagi, "Apa yang sedang kau pikirkan,
masih tidak percaya dengan diriku?"
"Bukannya tidak percaya, tapi aku tidak bisa mendampingimu
pergi Liauw-tong. Maukah kau memberitahukan jejak Piauko ku?"
"Aku pun hendak ke Liauw-tong untuk mencari tahu kabar
beritanya. Mengapa kau tidak bisa pergi bersamaku?"
"Tidak apa-apa, aku hanya tidak ingin."
"Apa lantaran kau kuatir Piauko mu cemburu?" desak Bouw It-yu
sambil senyum tidak senyum.
Merah jengah selembar wajah Seebun Yan.
"Kau tidak perlu mencampuri urusanku!"
"Piaukomu benar benar amat jahat!" tiba tiba Bouw It-yu
berbisik. "Atas dasar apa kau menuduh Piaukoku jahat?" tegur Seebun
Yan gusar. "Jadi menurutmu tidak jahat" Bayangkan saja, dia mempunyai
seorang Piaumoay yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan,
tapi dia justru berlagak seolah tidak memahami perasaan hatimu,
tidak perduli padamu, bahkan acuh tidak acuh, aku lihat sikapnya
terhadap Lan Sui-leng justru jauh lebih baik kan. Masa kau masih
bisa menahan diri" Hmm, coba kalau berganti aku...."
"Kenapa kau?" "Maaf, aku salah bicara. Kalau kuteruskan, pasti akan kau anggap
sedang mengadu domba. Lebih baik pikirlah sendiri."
"Tidak kau ucapkan pun aku juga tahu, betul, aku memang
sepatutnya membuat panas hatinya juga, kalau dia sampai salah
paham, biarkan saja dia salah paham."
"Jadi adikku, kau sudah paham bukan" Bagus, kalau begitu mari
kita segera berangkat!"
"Huuh, siapa yang jadi adikmu?" seru Seebun Yan gusar.
"Tentu saja kau," sahut Bouw It-yu sambil tertawa, "jangan lupa,
kita sedang menyamar menjadi kakak beradik. Bila tidak dibiasakan
panggilannya sejak sekarang, aku kuatir rahasia penyamaran kita
bakal terbongkar." Sementara dia berbicara, dalam hati kecilnya berpikir, 'Mogamoga
saja dia memang bukan adikku. Tapi kalau dilihat gelagatnya,
kemungkinan besar perempuan itu adalah ibunya, mungkin aku
tidak ingin menjadi kakaknya pun tidak mungkin bisa dihindari'
Berpikir sampai disitu dia hanya bisa tertawa getir, paras
mukanya tampak makin bimbang d an kosong.
Seebun Yan berjalan berdampingan dengannya, melihat
perubahan wajahnya itu dia jadi keheranan, segera tegurnya, "Aku
lihat pikiranmu sangat kalut dan tak tenang, apakah sedang
merindukan siau sumoay mu?"
Tentu saja Bouw It-yu tidak bisa mengemukakan alasan
sebenarnya, maka sahutnya, "Aku memang sedikit kuatir
membiarkan dia pulang gunung seorang diri, namun setelah
berjumpa denganmu, aku pun sedikit merasa lebih lega."
"Kenapa?" tanya Seebun Yan tercengang.
"Kau pintar, cekatan lagi, meskipun usiamu sedikit lebih tua
daripadanya, pengetahuanmu tentang rimba persilatan pun jauh
lebih banyak, bukankah selama berapa bulan terakhir dia selalu
mengikutimu" Asal dia pernah mempunyai seorang guru yang begini
bagus, tentu saja aku tidak perlu menguatirkan keselamatannya
lagi." "Pandai amat kau mengambil hati orang, tapi ada satu hal aku
ingin bertanya kepadamu, mengapa kau panggil dia sebagai SiauTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
sumoay, sementara dia sendiri menyebutmu Siau-susiok?"
"Berbicara soal tingkatan, aku memang setingkat lebih tinggi
darinya. Tapi bicara soal usia, aku hanya berapa tahun lebih tua dari
umurnya, jadi aku berniat minta ayahku untuk menerimanya
sebagai murid." "Memangnya ayahmu bersedia" Dalam perguruan lain, soal
tingkat kesenioran tidak bisa dirubah semau sendiri."
"Ayahku sama seperti aku, tidak suka mengurusi segala urusan
tetek bengek yang tidak berguna."
"Pepatah kuno mengatakan: begitu bapaknya, begitu anaknya.
Kau seharusnya mengatakan kalau kaulah yang mirip ayahmu."
"Terima kasih banyak atas petunjukmu, tapi kalau semua
perkataan harus dipikir dulu sebelum diucapkan, aku merasa seolah
diriku jadi terkekang."
"Aaah, benar, memang disinilah terlihat kalau kau bukan orang
yang suka dikekang."
Setelah memandang Bouw It-yu sekejap, tiba tiba ujarnya lagi,
"Tahukah kau, ketika kau sedang memikir sesuatu masalah,
tampangmu.... tampangmu...."
"Tentunya amat jelek bukan?"
"Tidak, sangat menarik malah," bicara sampai disitu, Seebun Yan
tertawa cekikikan. "Tertawamu aneh sekali, pasti ada penyebab lain?"
"Bukankah sudah kukatakan," sahut Seebun Yan sambil tertawa,
"alasannya adalah karena tampangmu menarik sekali!"
Alasan yang sesungguhnya sudah tentu bukan lantaran
"menarik", melainkan karena secara tiba-tiba dia teringat dengan
ibunya. 'Seringkali tanpa sebab ibu seperti sedang memikirkan sesuatu,
ketika dia sedang termenung, alis matanya selalu berkenyit, sorot
matanya memandang ke tempat kejauhan, bukankah tampang ibu
saat itu mirip sekali dengan tampang Bouw It-yu sekarang.... '
Ketika berpikir sampai disini, tiba-tiba perasaan aneh lain kembali
melintas dalam benaknya. "Bukan hanya gayanya saja, bahkan dari atas mimik mukanya
aku seolah dapat melihat bayangan dari ibu."
Ooo)*(ooO BAB XIII. Mengarungi jalan mencari jejak
Hati beku nyali baja saling berkaitan.
"Hey, apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Bouw It-yu.
"Aku sedang berpikir, mungkinkah ada kehidupan lain sebelum
kehidupan kali ini?"
"Mengapa kau berpikir ke situ?"
"Seringkali di dunia ini terdapat dua orang yang tidak saling
mengenal, ternyata memiliki wajah yang sangat mirip, bahkan jalan
pikiran mereka pun sering-kali sama. Mungkinkah dalam
penghidupan mereka sebelumnya pernah menjadi sanak
saudaranya" Kemudian ada juga orang yang merasa begitu cocok
satu sama lainnya ketika baru bertemu, mungkinkah dalam
kehidupan mereka sebelumnya pernah mengikat tali kasih atau
jodoh?" "Aaah, makin bicara perkataanmu semakin mendekati tahayul.
Pepatah kuno bilang: manusia ada yang mirip, benda pun ada yang
sama. Masa kau tarik masalahnya jadi jodoh pada penghidupan
sebelumnya?" Kembali Seebun Yan tertawa.
"Kau tidak tahu, aku memang seringkali terjangkit penyakit suka
berpikir yang bukan-bukan. Tapi anehnya, kadangkala pikiran yang
bukan-bukan itu sering bisa berubah menjadi kenyataan."
Tidak jelas apakah hal semacam inipun termasuk "jodoh", belum
lama berselang mereka masih saling menyerang, tapi kini
pembicaraan berlangsung begitu hangat dan akrab.
Sepanjang perjalanan Bouw It-yu selalu merawat dan
memperlakukan gadis itu sebagai seakan dia adalah kakak
tertuanya, namun sikap serta tindak tanduknya tidak pernah
melanggar batas kesopanan.
Tidak selang berapa hari kemudian, bukan saja orang lain telah
menganggap mereka sebagai dua bersaudara, Seebun Yan pun
telah menganggap Bouw It-yu sebagai saudara kandung sendiri.
Hanya saja diantara mereka berdua ada satu hal yang berbeda,
Bouw It-yu bukan orang yang suka mengurusi masalah kecil dan
urusan tetek bengek, dia adalah seseorang yang penuh dengan akal
dan cerdas, seringkali dia menggunakan sejumlah tehnik yang halus
untuk melakukan penyelidikan tentang urusan yang berhubungan
dengan orang tuanya. Suatu kali Bouw It-yu membicarakan masalah pemandangan
alam di wilayah Kanglam, Seebun Yan pun berkata, "Diatas langit
ada surga, di bawah bumi ada Siok-Hang (Siok-ciu, Hang-ciu), tidak
usah kau jelaskan pun aku sudah tahu. Khususnya mengenai telaga
See-ouw, biarpun aku belum pernah mengunjunginya, namun dalam
alam mimpi entah sudah berapa kali aku pesiar ke sana."
"Hahahaha.... macam apakah telaga See-ouw dalam alam mimpi
mu itu?" tanya Bouw It-yu sambil tertawa.
"Baik, akan kuceritakan satu per satu, coba kau perhatikan
apakah aku telah salah jalan?"
Dari pohon Yang-liu yang tumbuh disepanjang tanggul Siok-ti,
Pek-ti, sampai bunga Tho di bukit Ku-san, bayangan ombak di
pagoda Ou-sim-teng, suasana bulan purnama di Sam-than-eng,
malah sampai tempat tempat terkenal di telaga See-ouw dan
hidangan lezat yang tersedia, satu per satu dia uraikan dengan detil.
Selesai mendengar uraian nona itu, sambil tertawa Bouw It-yu
berkata, "Aneh, kau seolah seperti benar-benar pernah mendatangi
kota Hang-ciu, masa tentang telaga See-ouw kau bisa menjelaskan
begitu hapal dan detil."
"Desa asal kakak misanku berada di kota Hang-ciu. Ibu pun
pernah tinggal di rumah Cihu (suami Cici) hampir setahun lamanya,
dia paling senang telaga See-ouw, bukan saja seringkali
membicarakan keindahan alam See-ouw denganku, bahkan dia pun
tunjukkan juga banyak lukisan yang pernah dibuatnya dulu."
"Tentunya kisah cerita banyak tahun berselang bukan?"
"Waktu itu ibu belum menikah, aku merasa paling tidak sudah
dua puluhan tahun berselang."
"Waah, rupanya kejadian pada dua puluhan tahun berselang!"
seru Bouw It-yu sambil tertawa, "tentunya waktu itu akupun belum
lahir. Tidak heran kalau kau begitu mengagumi telaga See-ouw,
ternyata semasa masih dalam kandungan ibumu pun kau sudah
menghapalkannya." Sementara diluar dia berbicara sambil tertawa, dalam hati
kecilnya semakin dicekam perasaan ragu dan tanda tanya, pikirnya,
Aku masih ingat ibu pernah berkata kalau ayah buru-buru pulang ke
rumah dari Hang-ciu untuk menikah dengannya. Dia tiba dirumah
persis dihari perkawinan yang telah ditetapkan. Ehmm, janganjangan
pada tahun ayah menikah, ibu Seebun Yan juga kebetulan
berada di rumah Cihunya di kota Hang-ciu?"
Sekarang dia hampir berani memastikan kalau Seebun-hujin
adalah "perempuan itu", namun masih ada berapa pertanyaan yang
mencurigakan hatinya. "Bila dia adalah perempuan itu, mengapa dia bisa sangat memuji
diriku" Mengapa Seebun Yan bisa iri dan cemburu gara-gara
pujiannya jauh melebihi pujian terhadap kakak misannya" Jelas
keadaan semacam ini tidak sesuai dengan kenyataan."
Kalau berbicara menurut kenyataan, biasanya pikiran dan
perasaan kaum wanita jauh lebih sempit dan cupat, mana mungkin
dia memuji putra dari musuh cintanya" Lagipula selama inipun
mereka belum pernah berjumpa muka.
Seebun Yan sendiripun dicekam oleh keraguan, setelah
menempuh perjalanan bersama selama beberapa hari, tidak tahan
dia bertanya kepada Bouw It-yu, "Selama berapa hari mencari
tempat penginapan, kau sering mencari berita dari para pelayan
losmen tentang seorang pemuda, tapi kalau kudengar dari raut
muka yang kau lukiskan, rasanya orang yang sedang kau cari bukan
kakak misanku?" "Lalu kau sangka siapa dia?"
"Kalau kubayangkan dari raut muka yang kau lukiskan, rasanya
dia adalah adik Lan Sui-leng bukan" Aku pernah satu kali berjumpa
dengannya dalam Toan-hun-kok."
"Dugaanmu tepat sekali, aku memang sedang mencari kabar
tentang Lan Giok-keng, adik Lan Sui-leng."
"Kenapa kau harus mencari tahu kabar beritanya?"
"Karena aku tahu Lan Giok-keng memang sedang pergi ke Liauwtong,
bila kita berhasil menemukan Lan Giok-keng, Piauko mu pasti
akan ditemukan juga."
Dengan nada setengah tidak percaya, tanya Seebun Yan,
"Mengapa bisa begitu?"
"Dengan mencermin masa lalu kita akan tahu masa depan,
selama ini di mana Lan Giok-keng munculkan diri, cepat atau lambat
Piauko mu pasti akan muncul juga disana. Contoh yang paling jelas
adalah sewaktu kau bertemu mereka di Toan-hun-kok."
"Siapa tahu kalau pertemuan itu hanya secara kebetulan?"
"Kebetulan hanya bisa terjadi satu kali. Menurut apa yang
kuketahui, sejak Lan Giok-keng turun gunung, dia sudah ditempel
terus oleh Piauko mu!"
Sebetulnya Seebun Yan sendiripun sudah merasa kalau peristiwa
yang terjadi dalam Toan-hun-kok sangat aneh dan mencurigakan,
namun setelah mendengar ucapan dari Bouw It-yu, tidak tahan
segera bantahnya, "Masa kaupun percaya dengan segala isu yang
beredar selama ini, menyangka Piauko ku ingin mencuri belajar ilmu
pedang perguruanmu dari tangan Lan Giok-keng?"
"Aku tidak mempunyai maksud begitu, tapi aku yakin dia pasti
akan mengikuti Lan Giok-keng berangkat ke Liauw-tong!"
Begitu melihat pemuda itu berbicara dengan begitu serius,
Seebun Yan jadi setengah percaya setengah tidak, pikirnya,
'Bagaimana pun aku toh tidak punya cara lain untuk menemukan
jejak Piauko, lagipula orang she-Bouw ini tidak terlalu memuakkan,
apa salahnya aku ikut jalan jalan ke wilayah Liauw-tong"'
Berpikir begitu maka sahutnya, "Baiklah, aku akan
mempercayaimu kali ini saja, bila tetap tidak berhasil menemukan
Piauko ku...."

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan kuganti dengan...."
"Ngaco belo, emang Piauko pun bisa dicarikan penggantinya?"
"Nanti dulu, perkataanku kan belum selesai diucapkan, bukan
diganti dengan Piauko tapi dengan seorang kakak kandung."
Seebun Yan mengira pemuda itu sedang mencari untung darinya,
kontan dia mengumpat, "Cisss.... aku mah ogah mendapat kakak
macam kau." Tapi kemudian sambil tertawa terusnya, "Hanya saja, rasanya
kau masih punya harapan bila ingin menjadi anak angkat ibuku.
Cuma.... biar begitupun aku tidak bakalan mengakui dirimu sebagai
kakak angkatku." Begitulah sepanjang jalan mereka berdua melakukan perjalanan
sambil berbincang dan bergurau, suasana tidak terasa kelewat sepi.
Namun mereka tidak berhasil mendapatkan berita mengenai Lan
Giok-keng, tanpa terasa mereka berdua telah memasuki wilayah
Liauw-tong. Hari ke tiga setelah menginjakkan kaki di wilayah Liauw-tong,
ketika sedang menempuh perjalanan, mereka melihat ada sebuah
kedai arak dipinggir jalan.
Hampir semua kedai arak yang ada disepanjang jalan memiliki
bentuk yang sama, dinding empat penjuru berada dalam keadaan
terbuka, tiada jendela, tiada pintu. Sang pemilik kedai merangkap
pula menjadi pelayan, biasanya mereka hanya menggaji seorang
kacung cilik. Arak yang dijual pun hanya arak putih biasa, sedang hidangan
teman minum arak biasanya adalah daging sapi asin atau itik
goreng. Sebenarnya Bouw It-yu tidak terlalu menaruh perhatian terhadap
kedai arak itu, namun sewaktu lewat tadi, dia sempat mendengar
suara pembicaraan dari sang pemilik kedai dengan kacungnya,
pembicaraan itulah yang menarik perhatiannya.
"Pemuda asing yang datang dari luar daerah itu sungguh begitu
lihay?" terdengar si kacung bertanya.
"Walaupun aku tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
tapi banyak orang dikota ini yang berkata begitu, masa bisa
bohong?" Tergerak pikiran Bouw It-yu, dia segera balik kembali.
Melihat itu Seebun Yan segera menegur, "Bukankah baru saja
kita bersantap siang, masa kau sudah lapar kembali?"
"Arak di kedai tadi kurang enak, aku ingin meneguk barang dua
cawan arak lagi disini."
"Darimana kau bisa tahu kalau arak disini enak?"
"Kau bukan peminum arak, tentu saja tidak bakal tahu. Begitu
kuendus bau harum arak disini, segera kutahu kalau arak di tempat
ini pasti arak yang harum."
Ketika melihat sang tamu hanya berjalan lewat, pemilik kedai itu
sebenarnya kecewa, maka begitu melihat kedua orang itu balik
kembali ke arah kedainya, buru-buru dia menambahkan, "Betul,
betul, ketajaman matamu memang luar biasa, arak putih yang kami
jual memang arak putih kwalitas satu, dijamin tidak dicampuri air,
silahkan masuk!" Bouw It-yu memesan sepoci arak dan setengah kati daging sapi,
selesai bersantap dia pun mengeluarkan sebiji goanpo seberat lima
tahil perak dan diserahkan kepada pemilik kedai itu.
"Kami tidak punya hancuran perak sebanyak itu untuk
pengembaliannya," kata pemilik kedai kemudian dengan kening
berkerut. Untuk membayar arak dan hidangan yang dipesan Bouw It-yu,
paling banter harganya tidak lebih dari lima rence (seperlima tahil).
"Kau tidak perlu memberi pengembaliannya, asal
memberitahukan satu hal kepadaku," kata Bouw It-yu sambil
tersenyum. "Soal apa?" "Pernahkah kau menjumpai seseorang macam begini lewat di
tempat ini?" Mencorong sinar terang pemilik kedai itu selesai mendengar
penjelasan tamunya, cepat dia berseru, "Oooh, bukankah pemuda
itu berlogat selatan?"
"Tepat sekali. Aku hanya ingin tahu apakah dia telah tiba di
wilayah Liauw-tong, bila kau tahu cepat katakan padaku, soal yang
lain, kau tidak perlu banyak bertanya lagi."
Pemilik kedai itupun orang kawakan yang sudah berpengalaman
dalam pergaulan, tujuan baginya hanya ingin mendapat uang perak
tersebut, sudah barang tentu diapun tidak ingin mencari tahu latar
belakang Bouw It-yu. Begitu menerima uang tersebut segera katanya, "Aku sendiri
belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi aku tahu ada banyak
orang pernah berjumpa dengannya."
"Bertemu di mana?"
"Dikota Uh-sah-tin!"
"Uh-sah-tin" Sah dari kata pasir atau Sah dari kata ikan hiu?"
"Sah dari kata ikan hiu. Kota Uh-sah-tin terletak lebih kurang
tujuh puluh li dari sini, kota itu adalah sebuah bandar, oleh karena
di wilayah lautan sekitar sana seringkali muncul sejenis ikan hiu
yang seluruh badannya berwarna hitam pekat, maka orang orang
pun menyebut bandar itu sebagai kota Uh-sah-tin, padahal tidak
terlalu sering muncul ikan hiu hitam disitu, dalam setahun paling
banter hanya muncul satu, dua kali, kalau bukan begitu mana ada
orang berani menangkap ikan lagi di seputar sana."
Bouw It-yu tidak sabar mendengar penjelasan yang bertele-tele
itu, segera tukasnya, "Apa yang dilakukan si bocah muda itu di kota
Uh-sah-tin?" "Berkelahi dengan pedagang ikan."
"Kenapa berkelahi dengan pedagang ikan?"
"Katanya mah pedagang ikan, padahal mereka adalah tukang
pukul dari pengumpul ikan. Semua nelayan yang berada di kota Uhsah-
tin harus menjual semua ikan hasil tangkapannya kepada
pengumpul ikan itu, pemilik pengumpul ikan tersebut konon
merupakan seorang saudagar yang mempunyai kemampuan duduk
sejajar dengan pembesar setempat, aku dengar beberapa buah toko
perdagangan yang ada di kota itupun miliknya seorang."
"Tentunya transaksi jual beli berjalan tidak adil bukan?" tanya
Seebun Yan. "Eeei, darimana kau bisa tahu" Tidak ada salahnya aku beritahu,
secara diam-diam penduduk kota Uh-sah-tin mengumpat juragan
ikan itu sebagai Hi-pa (manusia lalim pengumpul ikan)!"
"Aku rasa tidak mungkin bocah muda itu melakukan transaksi
jual beli dengan para nelayan, lantas mengapa bisa berkelahi?"
tanya Bouw It-yu. "Itulah dia, kejadian ini memang benar-benar aneh sekali, konon
baru saja anak muda itu tiba di kota, para tukang pukul pengumpul
ikan itu sudah mengerubuti dirinya. Penduduk kota tidak berani
mendekat, mereka hanya menonton dari tempat kejauhan saja,
siapa pun tidak berani bertanya apa sebabnya.
"Konon ada tujuh delapan orang tukang pukul yang mengerubuti
anak muda kurus kering itu, tapi anehnya, ke tujuh delapan orang
lelaki itu berhasil dihajar sampai tidak mampu merangkak bangun!"
Diam diam Seebun Yan tertawa geli, pikirnya: 'Terhitung manusia
macam apa berapa orang tukang pukul itu, jangan lagi Lan Giokkeng,
aku pun sanggup menghajar berapa orang itu sampai tidak
mampu merangkak bangun' Berbeda dengan gadis itu, Bouw It-yu justru menunjukkan mimik
muka yang amat serius, dengan berlagak kaget bercampur
keheranan serunya, "Aaah, benarkah ada kejadian seperti ini" Aku
tidak berani percaya kalau seorang anak muda memiliki kemampuan
sedemikian hebatnya, jangan-jangan ada orang yang secara diamdiam
membantunya?" "Betul sekali, ada orang memang curiga begitu."
"Lantas mereka mencurigai siapa?"
"Waktu itu si anak muda datang bersama seorang hwesio tua,
hwesio itu kurus kering dan batuk tiada hentinya, sepertinya sedang
sakit parah, kondisi tubuhnya jauh lebih lemah ketimbang bocah laki
itu. Selama bocah itu terlibat pertarungan, si hwesio sendiri hanya
berdiri ditepi arena, tapi anehnya ketika ada dua orang tukang pukul
menumbuk badannya, yang jatuh terpelanting bukan sang hwesio
melainkan ke dua orang tukang pukul itu sendiri."
"Bagaimana nasib hwesio tua dan bocah muda itu kemudian?"
"Tentu saja kabur. Pepatah mengatakan: naga sakti susah
melawan ular setempat. Kali ini mereka memang menang, bukan
berarti dalam pertarungan berikut mereka seuntung sekarang, tentu
saja mereka tidak berani berdiam lagi di dalam kota."
Tanpa banyak bicara lagi Bouw It-yu melanjutkan perjalanan,
Seebun Yan menyusulnya sambil bertanya, "Bagaimana kita
sekarang?" "Aku rasa lebih baik kita segera menuju kota Uh-sah-tin."
"Betul, sekalipun mereka sudah tidak berada dikota itu, paling
tidak kita sudah berhasil memperoleh sedikit keterangan tentang
jejak mereka berdua."
Kalau si nona bergembira karena berhasil menemu kan setitik
petunjuk, sebaliknya mimik muka Bouw It-yu justru berubah jadi
lesu dan murung, jauh berbeda dengan sikap biasanya yang banyak
bicara danbergurau. "Eeei, apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Seebun Yan
kemudian. "Tidak apa-apa, aku hanya merasa hwesio tua itu sedikit rada
aneh." "Oooh, rupanya kau sedang memikirkan hwesio tua itu, kenapa
tidak kau tanyakan kepadaku?"
"Memangnya kau tahu siapakah si hwesio tua itu?"
"Tentu saja tahu, dia adalah seorang hwesio juru masak dalam
biara Siau-lim dengan gelar Hwee-ko. Aku dan Lan Sui-leng pernah
mendatangi biara Siau-lim untuk mencarinya. Tapi sayang waktu itu
dia bersama Lan Giok-keng sudah pergi ke Toan-hun-kok. Kemudian
kami pun pernah bersua lagi dengannya dalam Toan-hun-kok."
"Apakah hwesio tua yang kau jumpai dalam Toan-hun-kok
memberitahukan kepadamu kalau dia bernama Hwee-ko Thaysu?"
"Dia jalan bersama Lan Giok-keng, kalau bukan Hwee-ko Thaysu
lantas siapa lagi?" Dalam hati dia benar-benar merasa keheranan, dengan
kecerdasan Bouw It-yu, masa pandangan semacam inipun tidak
terpikirkan olehnya. "Aku justru merasa keheranan," kata Bouw It-yu, "mana mungkin
seorang hwesio juru masak dari biara Siau-lim bisa memiliki
kepandaian sehebat itu?"
"Sudah pasti dia bukan seorang hwesio juru masak biasa, ketika
aku hendak berangkat ke Toan-hun-kok untuk mencari Piauko, ibu
pernah menyarankan aku untuk minta bantuannya di biara Siau-lim.
Hanya saja aku tidak tahu asal-usul serta identitasnya yang
sesungguhnya." Padahal Bouw It-yu jauh lebih mengetahui tentang asal-usul
Hwee-ko Thaysu ketimbang Seebun Yan, sejak awal dia sudah
curiga kalau hwesio tua yang jalan bersama Lan Giok-keng adalah
Hwee-ko Thaysu, dia tidak lebih hanya ingin membuktikan dan
mencari ketegasan dari pernyataan Seebun Yan.
"Ternyata dugaan ayah tidak salah, dikolong langit hanya Hweeko
Thaysu seorang yang bisa menemukan Jit-seng-kiam-kek, dan
ternyata Lan Giok-keng telah berhasil mengundangnya untuk turun
gunung. Tentu saja Hwee-ko Thaysu membantunya bukan lantaran
dia memberi muka kepada Lan Giok-keng, tapi siapakah tokoh besar
yang mempunyai reputasi begitu tinggi hingga berhasil
mengundangnya membantu Lan Giok-keng?"
Bisa jadi ayahnya sudah tahu siapakah tokoh di belakang layar
itu, hanya saja tidak sampai mengemukakan dugaan itu kepada
putranya, mau tidak mau Bouw It-yu harus menganalisanya sendiri.
"Eeei, kenapa kau hari ini" Sejak tadi hanya murung terus seperti
sedang memikirkan sesuatu, kenapa kau tidak berbicara?" tegur
Seebun Yan tiba-tiba. Bouw It-yu tertawa, baru saja akan bicara, mendadak paras
mukanya berubah. "Kau tunggulah sebentar," ujarnya.
Di tepi jalan merupakan tanah pegunungan yang dipenuh rumput
ilalang, ternyata dia lari masuk ke balik rumput ilalang itu.
Seebun Yan segera menyusul dari belakang, tampak pemuda itu
sedang memungut sekerat tulang belulang dari balik rumput ilalang.
"Apa bagusnya tulang belulang itu?" tegur Seebun Yan.
Bouw It-yu memperhatikan sekejap tulang itu, kemudian sambil
membuangnya kembali ujarnya tertawa, "Mungkin aku yang banyak
curiga." "Apa yang kau curigai?"
"Aku curiga dia mati karena dibunuh orang, ingin mencari tahu
bekas lukanya dari tulang belulang itu."
"Benar benar sinting, tidak waras otakmu. Tidak terhitung
manusia yang mati di tengah alas seperti ini, masa mereka yang
mati pasti karena kasus pembunuhan?"
Lagi-lagi Bouw It-yu tidak berbicara.
"Padahal aku sendiri pun mungkin sudah terjangkit juga penyakit
curiga," kata Seebun Yan lagi.
"Apa pula yang kau curigai?"
"Mencurigai dirimu!"
"Dalam hal mana aku pantas dicurigai?" seru Bouw It-yu
terperanjat. Padahal tujuan Seebun Yan hanya ingin memancing
perhatiannya, begitu tujuannya tercapai segera ujarnya sambil
tertawa, "Kau tidak usah gugup, aku bukan curiga atas akhlak dan
kelakuanmu. Tapi ada satu hal aku merasa tidak habis mengerti,
tolong berilah penjelasan."
"Oooh, kenapa kau malah bersikap begitu sungkan."
"Bukankah hari penguburan jenasah Bu-siang Cinjin telah
ditetapkan akan terselenggara pada bulan depan?"
"Benar, kenapa kau menanyakan hal ini?"
"Aku ingin bertanya lagi, menurut dugaanmu masih butuh berapa
lama lagi untuk menemukan Piauko ku?"
"Kalau soal ini mah tidak pasti, walaupun sekarang kita telah
memperoleh titik terang, namun tidak jelas sampai kapan baru bisa
menemukan Lan Giok-keng, bila kita berhasil menemukan Lan Giokkeng,
kita pun harus menunggu lagi sampai munculnya Piauko mu."
"Berarti sulit bagimu untuk pulang ke gunung dan mengikuti
upacara penguburan?"
Bouw It-yu tertawa getir.
"Sekalipun sekarang aku menyusul pulang, rasanya tidak akan
bisa mengikuti upacara itu," katanya. "Persoalan inilah yang ingin
kutanyakan kepada-mu, Bu-siang Cinjin adalah seorang tokoh saleh
yang tersohor nama besarnya, bukan saja penyelenggaraan upacara
penguburan baginya merupakan kejadian besar bagi partai Bu-tong,
terhitung kejadian besar juga bagi umat persilatan. Apalagi ayahmu
saat ini adalah Ciangbunjin partai, sudah pasti upacara itu akan
dipimpin ayahmu. Aku duga para pemimpin dunia persilatan khususnya para ketua
partai besar pasti akan berbondong-bondong naik ke Bu-tong untuk
mengikuti upacara tersebut. Sebagai putra Ciangbunjin kenapa kau


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukannya balik ke gunung untuk turut hadir dalam upacara akbar
itu, sebaliknya malah menemani aku mencari Piauko sampai ke
wilayah Liauw-tong?"
Sejak awal Bouw It-yu telah mempersiapkan jawaban untuk
pertanyaannya itu, segera sahutnya, "Kau hanya tahu satu, tidak
tahu dua." "Lantas apakah yang ke dua itu?"
"Lan Giok-keng adalah cucu murid yang paling disayang Bu-siang
Cinjin, secara tiba-tiba dia turun gunung, jangankan orang lain
bahkan ayah angkatnya pun tidak tahu lantaran apa dia pergi, tentu
saja kami harus menemukannya dan membawa dia pulang. Aku
hanya mendapat tugas untuk menemukan jejaknya, jadi membantu
kau menemukan Piauko sebetulnya hanya kebetulan saja."
Dengan setengah percaya setengah tidak kata Seebun Yan,
"Ternyata masih terdapat alasan istimewa lainnya, sebagai orang
luar mana aku bisa menduga sampai ke situ" Namun bagaimana
pun juga, nasibku memang terhitung cukup baik, bukan saja secara
kebetulan bertemu kau, bahkan mendompleng juga keberuntungan
dari Lan Giok-keng!"
Bouw It-yu tahu penjelasan semacam itu sulit untuk membuatnya
percaya, tapi dia tidak ada waktu untuk berpikir lebih jauh.
Padahal apa yang dia katakan bukan ucapan bohong,
kehadirannya untuk mencari tahu jejak Lan Giok-keng memang atas
perintah ayahnya, hanya saja latar belakang dibalik kesemuanya itu
tidaklah sesederhana apa yang dia lukiskan tadi.
Mendadak cuaca berubah jadi sangat buruk, hujan turun tidak
terlalu deras pun tidak terlalu kecil. Sambil mengenakan jas hujan
kedua orang itu melanjutkan perjalanannya ditengah curahan hujan,
meski harus melalui jalan perbukitan namun tidak terlalu
menyulitkan mereka berdua.
Namun sepanjang perjalanan, perasaan Bouw It-yu gelap dan
murung segelap cuaca saat itu, bahkan tiada hentinya bersih
berulang kali. Di hadapan matanya dia seakan melihat ada sesosok tengkorak
sedang bergoyang, dia teringat kembali dengan kejadian yang
dialaminya ketika berada di Boan-liong-san tempo hari, saat itupun
hujan sedang turun cukup deras.
Di atas Boan-liong-san tersimpan kasus pembunuhan yang telah
terlangsung hampir tujuh belas tahun lamanya, Bu-kek Totiang,
ketua Tianglo Bu-tong-pay terkubur diatas bukit tadi. Bersamanya
terkubur pula murid Bu-tong-pay lainnya, Keng King-si, Ho Giok-yan
serta Ho Liang pelayan tua dari keluarga Ho.
Jauh sebelum kedatangannya di gunung Boan-liong-san, seorang
murid Bu-tong-pay lainnya telah tiba disana.
Murid Bu-tong-pay itu bukan orang sembarangan, dia adalah Putcoat
murid pertama dari Bu-siang Cinjin . Put-coat mendapat
perintah gurunya untuk mendatangi Boan-liong-san dan membawa
pulang kerangka tulang Bu-kek yang terkubur disana.
Tatkala Bouw It-yu tiba di Boan-liong-san, secara kebetulan dia
bertemu dengan Put-coat yang sedang diserang seorang manusia
berkerudung. Waktu itu dia sudah terkena jarum lebah hijau milik
Siang Ngo-nio terlebih dulu, tampaknya sebentar lagi bakal tewas di
tangan manusia berkerudung itu.
Bouw It-yu segera membantunya memukul mundur manusia
berkerudung itu, walaupun pada akhirnya dia tidak berhasil
selamatkan jiwa nya, namun paling tidak Put-coat meninggal sesaat
setelah dihantar balik ke gunung Bu-tong. Kalau tidak, mungkin
sampai mati pun dia akan mah tidak meram.
Padahal peristiwa itu bukan suatu kejadian yang "kebetulan",
jauh sebelum terjadinya peristiwa itu, Bouw It-yu sudah mengetahui
kabar itu hingga secepatnya berangkat ke Boan-liong-san. Adapun si
pemberi kabar telah membeberkan pula semua untung rugi yang
bakal terjadi kepadanya. Hujan turun semakin deras, membayangkan kembali duel yang
terjadi di tengah hujan lebat waktu itu, perasaan takut bercampur
ngeri kembali timbul dihatinya.
Ilmu pedang Bu-tong-pay yang dimiliki manusia berkerudung itu
jauh lebih hebat ketimbang kemampuannya, dia sendiripun tidak
habis mengerti kenapa manusia berkerudung itu bisa kalah
ditangannya, hingga orang itu melarikan diri, dia masih seolah
berada dalam alam impian.
Tapi yang membuatnya lebih terkejut adalah ditemukannya
sebatang jarum lebah hijau diatas tulang tengkorak kepala Ho
Liang. Jarum lebah hijau adalah senjata rahasia andalan Siang Ngo-nio,
sementara sejak awal diapun sudah tahu kalau ayahnya pernah
mempunyai hubungan istimewa dengan Siang Ngo-nio.
Tentu saja dia tisak ingin merembetkan persoalan ini dengan
ayahnya, karena itulah dia sengaja menyembunyikan tengkorak
kepala itu dan tidak berani membiarkan Bu-siang Cinjin
mengetahuinya. Pepatah kuno mengatakan "kalau ingin mengetahui anaknya,
lihatlah bapaknya". Tapi sebaliknya pikiran seorang ayah terkadang
dirasakan juga secara langsung oleh putranya.
Selama ini ayahnya memang tidak pernah berkata apa pun, tapi
dia dapat "merasakan" kalau ayahnya seperti tidak berharap
beberapa kasus pembunuhan misterius itu bisa terungkap hingga
tuntas. Sudah barang tentu dia tidak bakalan mencurigai ayahnya
sebagai seorang pembunuh, tapi mengapa ayahnya takut kasus
pembunuhan itu terungkap" Apakah rasa takutnya itu hanya
lantaran dia pernah mempunyai hubungan khusus dengan Siang
Ngo-nio" Tapi, bukankah Siang Ngo-nio hanya seorang pembantu
dalam kasus pembunuhan itu" Lagipula kemampuannya toh belum
sanggup menghabisi nyawa Bu-kek Tianglo yang berilmu.
Ooo)*(ooO Yang paling menjurigakan justru manusia berkerudung itu,
hampir dalam beberapa kasus pembunuhan yang terjadi,
kesemuanya itu terkait erat dengan manusia berkerudung itu, lalu
siapakah manusia berkerudung itu"
Kali ini ayahnya perintahkan dia untuk menguntil Lan Giok-keng,
alasannya adalah lantaran tindak tanduk serta gerak-gerik Lan Giokkeng
sangat aneh dan mencurigakan, dia sebagai seorang
Ciangbunjin harus mencari tahu akan masalah ini.
Tapi Bouw It-yu sebagai putranya dapat merasakan kalau
perkataan yang disampaikan ayahnya hanya sebuah alasan yang
dibuat-buat, masalah apakah yang membuat dia tidak berani
berterus terang kepada putranya sendiri"
Kini dia makin lama semakin tahu banyak tentang segala
persoalan yang terjadi setelah Lan Giok-keng turun gunung, dia pun
makin lama semakin yakin kalau Lan Giok-keng pasti sedang pergi
ke wilayah Liauw-tong, dan kepergiannya sudah jelas terkait dengan
penyelidikannya atas berapa kasus pembunuhan yang pernah
terjadi. Sekalipun Lan Giok-keng sendiri belum tentu mengetahui
latar belakang yang sebenarnya.
Entah mengapa, tiba tiba muncul sebuah ingatan aneh dalam
benak Bouw It-yu, "Bila hasil pelacakan membuktikan kalau manusia
berkerudung itu ada keterkaitan yang erat dengan ayah, lantas apa
yang harus kulakukan?"
Bagi Seebun Yan, dia hanya ingin secepatnya menemukan
Piaukonya, karena itu segera tegurnya, "Eeei, kenap^ kau" Aku lihat
pikiranmu tidak tenang sepertinya ada yang sedang kau renungkan!
Ayoh kita jalan lebih cepat, dengan begitu menjelang malam nanti
kita bisa tiba di kota Uh-sah-tin!"
Pikiran dan perasaan Bouw It-yu sangat kalut, terpaksa dia
mempercepat langkahnya menyusul di belakang gadis itu.
Setelah berjalan berapa saat, mendadak Seebun Yan
menghentikan kembali langkahnya sembari berteriak, "Coba kau
lihat ke sana!" Memandang ke arah yang ditunjuk gadis itu, Bouw It-yu segera
menemukan sebuah bekas telapak tangan yang tertinggal jelas di
atas sebuah batu cadas yang licin bagaikan cermin.
"Bekas tangan itu tampaknya sangat aneh, biar kuperiksa
sebentar," kata Seebun Yan lagi dengan rasa ingin tahu.
"Bukankah kau ingin cepat-cepat tiba ditempat tujuan" Buat apa
mesti mencampuri urusan yang tidak berguna?" cegah Bouw It-yu.
Tapi Seebun Yan tidak menggubris, dia telah mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya untuk mendekati bawah batu cadas itu.
"Hati-hati!" teriak Bouw It-yu cepat.
Belum selesai dia berteriak, mendadak dari permu kaan tanah di
bawah batu cadas itu terbuka sebuah liang besar, ternyata ada
orang telah menyiapkan jebakan di sekitar tempat itu.
Dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat Bouw It-yu segera
melesat ke depan, untung saja dia bertindak cepat, ketika tiba di
tempat tersebut secara kebetulan dia masih berhasil menangkap
kaki Seebun Yan dan menariknya ke atas.
Dengan tubuh masih melambung di tengah udara sementara
tangan sebelah menggenggam kuat pedang berikut sarungnya, dia
sodokkan pedang tersebut di atas permukaan tanah yang keras lalu
menggunakan kekuatan tadi meluncur kembali ke arah lain, dengan
cara itulah dia berhasil menyelamatkan Seebun Yan yang
terperangkap dalam liang itu.
Belum hilang rasa kaget Seebun Yan, lamat-lamat terdengar ada
orang seperti sedang tertawa dingin.
"Bangsa tikus yang tidak tahu malu, berani amat kau
membokong nonamu, kalau punya nyali ayoh cepat keluar!" umpat
Seebun Yan dengan nada sewot.
Tiada jawaban, ketika mereka periksa sekeliling tempat itu,
jangankan manusia, bayangan setan pun tidak nampak.
"Aneh!" bisik Bouw It-yu sambil membungkukkan tubuh
memeriksa perangkap itu. "Apa yang aneh?"
"Coba kau perhatikan sendiri."
Seebun Yan mengira di dalam liang itu terdapat suatu benda atau
makhkuk yang aneh atau sesuayu menyeramkan, siapa tahu setelah
diperiksa ternyata liang itu kosong, tidak ada sesuatupun yang
terlihat. Setelah tertegun sejenak, diapun seolah menyadari akan sesuatu,
ujarnya, "Benar juga, tampaknya memang sedikit agak aneh,
berbicara pada umumnya, bila mereka telah menyiapkan perangkap
disini, seharusnya di dalam liang itu disiapkan juga sesuatu alat
rahasia atau alat perangkap yang mematikan. Sekalipun tidak ada
alat perangkap, paling tidak didalam liang harus ditebari senjata
rahasia duri atau sebangsanya untuk melukai sang korban. Tapi
liang itu kosong tidak berisi, biar orang biasa pun yang terperosok
ke dalam, dia toh masih sanggup merangkak keluar lagi."
"Kalau di dengar dari suara tertawa dingin tadi, jelas ada orang
bersembunyi di belakang batu cadas itu, jika mereka berniat
mencelakai dirimu, seharusnya sejak tadi mereka telah melancarkan
bokongan dengan senjata rahasia," kata Bouw It-yu.
"Masa mereka hanya berniat mengagetkan hati-ku?" seru Seebun
Yan. Bouw It-yu tidak menjawab, dia melompat naik ke atas batu
cadas itu. "Orang itu sudah kabur sejak tadi, mau apa kau naik ke sana?"
kembali gadis itu menegur.
"Bekas cap tangan ini sedikit agak aneh, akan kuperiksa dengan
lebih seksama." Apa yang diucapkan pemuda itu tidak lain adalah perkataan yang
pernah diucapkan Seebun Yan tadi.
Tidak heran gadis itu segera tertawa cekikikan, serunya, "Burung
beo belajar bicara, cepat amat kau menirukannya."
Dengan nada parau diapun segera menirukan gaya bicara Bouw
It-yu tadi, "Bukankah kau ingin cepat tiba ditempat tujuan, buat apa
mencampuri urusan orang!"
"Tidak mencampuri urusan orang lain pun kini telah dicampuri,"
kata Bouw It-yu, "biar kita mempercepat langkah kaki saja nanti."
Dia benar-benar menunjukkan gaya seseorang yang sedang
menganggur dan suka mencampuri urusan orang, bukan saja bekas
telapak tangan itu diteliti dengan seksama bahkan masih dipegang
dan dirabanya berulang kali.
"Apa bagusnya bekas telapak tangan itu?" tegur Seebun Yan,
"coba lihat tampangmu, seakan sedang menikmati sebuah lukisan
antik!" Bouw It-yu tertawa. "Lukisan antik hanya bisa dinikmati seniman atau sastrawan yang
mengerti lukisan, kalau aku mah orang kasar, tidak mengerti soal
begituan." "Kalau kau hanya ingin mengetahui kungfu orang itu, seharusnya
sedari tadi sudah terlihat jelas. Sudah begitu lama kau perhatikan,
masa masih belum cukup?"
Bouw It-yu tidak langsung menjawab, dia melompat turun dari
atas batu cadas. "Sudah menemukan sesuatu?" tanya Seebun Yan.
"Ternyata memang sedikit agak aneh."
Seebun Yan tidak tahu pemuda itu sedang bergurau atau sedang
bicara sungguhan, tapi dia melihat paras mukanya memang amat
berat dan serius, maka tanyanya, "Apa yang aneh" Hey, aku sedang
bertanya kepadamu, dengar tidak" Kenapa tidak menjawab?"
Seolah baru mendusin dari impian, sahut Bouw It-yu kemudian,
"Batu cadas itu berada enam tujuh tombak dari permukaan tanah,
bagi orang dengan ilmu meringankan tubuh hebat mungkin saja
masih berdiri tegak disitu, tapi kalau melambung sambil
meninggalkan bekas telapak tangan yang begitu jelas di atas
dinding jelas bukan perbuatan yang gampang dilakukan, apa kau
tidak merasa aneh sekali?"
"Pernyataanmu aneh juga! Pertama, seharusnya kau hanya bisa
mengatakan kalau ilmu silat yang dimiliki orang itu luar biasa,
kenapa menggunakan kata aneh?"
"Betul, aneh dan luar biasa memang ada bedanya, aku yang
tidak tepat dalam penggunakan kata. Lantas apa yang ke dua?"
"Biarpun dibutuhkan ilmu silat tingkat tinggi untuk
melakukannya, tapi bukan berarti tiada orang yang bisa
melakukannya. Dulu, seorang pelayan tua di rumahku pun memiliki
ilmu Kim-kong-ciang semacam ini."
"Dimana pelayan tuamu itu sekarang...."
"Sudah mati lama, dia adalah pelayan ayahku."
"Tidak ada yang ke tiga bukan?"
"Tepat sekali, masih ada yang ke tiga. Boleh saja orang lain
mengatakan aneh atau luar biasa, namun tidak seharusnya orang
macam kau berkata begitu juga!"
"Kenapa?" "Ayahmu adalah Ciangbunjin Bu-tong-pay, tokoh yang disegani
dan dihormati seluruh umat persilatan, boleh saja orang lain
tercengang atau bahkan terheran heran, namun tidak pantas untuk
dirimu. Apa kata orang jika mereka melihat sikap semacam itu?"
"Betul, bagi ayahku memang tidak sulit untuk meninggalkan
bekas telapak tangan di atas dinding batu itu, tapi untuk manusia
semacam aku, paling tidak harus berlatih sepuluh tahun lagi untuk
bisa melakukan hal yang sama."
Sesungguhnya jawaban tersebut bukan terhitung jawaban yang


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepat untuk pertanyaan yang diajukan, tapi berhubung Bouw It-yu
telah melangkah pergi, maka Seebun Yan pun tidak ingin
merecokinya lagi dengan mengajukan pertanyaan lain.
Darimana dia tahu kalau sikap "ringan dan santai" yang
diperlihatkan Bouw It-yu sesungguhnya kelewat dipaksakan. Saat
itu paras mukanya telah berubah sangat aneh bahkan jauh dari
keadaan biasa, perasaan hatinya terasa jauh lebih berat daripada
mimik mukanya yang murung dan kelabu.
Karena bukan saja dia telah berhasil meraba asal usul ilmu silat
yang dimiliki orang itu, bahkan sudah tahu juga siapakah dia.
Sewaktu berada di Boan-liong-san tempo hari, dia pernah
bertanding pedang melawan manusia berkerudung itu, pernah juga
beradu pukulan dengannya. Dia masih ingat dengan jelas, telapak
tangan kanan orang itu memiliki ciri khusus, kebanyakan orang jari
tengahnya pasti lebih panjang ukurannya dibandingkan ukuran jari
lain, tapi ukuran jari tengah orang ini pendek lagi kasar, bahkan
ukuran jari tengah dan jari telunjuknya nyaris seimbang.
Bekas telapak tangan yang tercetak diatas dinding batu itu
merupakan telapak tangan kanan, ternyata jari tangan cap tangan
itu persis sama seperti ciri-ciri jari tangan manusia berkerudung itu.
"Apa maksud dia meninggalkan bekas telapak tangan" Janganjangan
jejak ku sudah ketahuan olehnya sejak awal hingga dia
bermaksud agar aku tahu akan kehadirannya disini dan sekarang
minta aku segera mengundurkan diri?"
Sementara Bouw It-yu masih berpikir dengan perasaan sangsi,
tiba-tiba dia seperti mendengar lagi suara tertawa dingin dari
manusia berkerudung itu. Waktu itu Seebun Yan sudah berjalan melampaui dirinya,
sembari berpaling serunya, "Sudahlah, jangan berpikir yang bukanbukan,
ayoh kita beradu ginkang saja."
Bouw It-yu tidak ingin rahasia hatinya ketahuan lawan, maka
sambil membangkitkan kembali semangatnya dia beradu kecepatan
dengan gadis itu. Dan masing-masing mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki, terjadilah kejar mengejar di antara mereka berdua, tanpa
terasa puluhan li sudah terlampaui.
Sementara Seebun Yan sedang berlari dengan penuh keriangan,
tiba-tiba dia saksikan Bouw It-yu telah memperlambat kembali
langkahnya. "Hey ada apa kau?" tegur gadis itu kemudian, "kenapa kau sudah
kehilangan semangat lagi" Sudah ke tiga kalinya aku berhasil
melampaui dirimu!" Belum selesai dia berkata, terlihat Bouw It-yu bukan saja telah
memperlambat langkahnya, malah kali ini dia benar-benar telah
berhenti berlari. Seebun Yan tidak perlu menanyakan alasannya lagi, sebab dia
pun telah menyaksikan sendiri dengan amat jelas.
Apa yang dilihatnya" Ternyata di atas dinding batu cadas persis
dihadapannya tertulis dua huruf tulisan besar.
Tulisan itu berbunyi, "Bila tidak segera kembali, mencari penyakit
buat diri sendiri!" Seusai membaca tulisan itu, seru Seebun Yan, "Tampaknya
tulisan itupun hasil karya orang itu, hmmm! Sebentar meninggalkan
bekas telapak tangan, sebentar meninggalkan sederetan tulisan,
entah permainan busuk apa yang sedang dia lakukan?"
"Dia ingin menakut-nakuti kita, mencegah kita menempuh
perjalanan lebih jauh," sahut Bouw It-yu sambil tertawa getir.
"Memangnya kau takut kepadanya?"
Bouw It-yu tidak menjawab, dia telah menghampiri tulisan itu
dan memeriksanya dengan seksama.
"Kau telah mengetahui siapa yang meninggalkan tulisan itu, bisa
menulis huruf-huruf itu diatas dinding batu pun bukan sesuatu
kungfu yang hebat, buat apa kau musti meraba dan menelitinya
lagi?" tegur Seebun Yan sambil berkerut kening.
"Aku rasa gaya tulisan yang tertera di baru ini sangat indah."
"Bukankah kau bilang tidak suka dengan segala macam seni dan
budaya?" "Kita sudah cukup jauh menempuh perjalanan, tidak ada
salahnya untuk beristirahat sejenak. Lagipula kita memang tidak ada
urusan penting, apa salahnya kalau kali ini kita melanggar kebiasaan
dengan menikmati karya seni...."
Tulisan "Bila tidak segera kembali, mencari penyakit buat diri
sendiri!" yang tertera di atas dinding batu itu digores dengan
menggunakan pedang, 'gaya tulisan' nya tidak seberapa istimewa,
tapi khususnya huruf 'bila' terasa goresannya kelewat panjang
sementara huruf 'tidak' terlihat kelewat pendek.
Melihat pemuda itu begitu bersemangat mengawasi gaya tulisan
itu, bahkan nyaris termangu, tanpa terasa tergerak perasaan
Seebun Yan, pikirnya, 'Dia pasti bukan sedang menikmati gaya
tulisan itu saja, tidak mungkin masalahnya begitu sederhana'
Cepat dia maju mendekat. Tapi setelah diamati berapa saat tidak
tahan serunya tertahan. "Apakah kau pun telah melihat keanehan dibalik goresan tulisan
ini?" tanya Bouw It-yu kemudian.
"Benar, goresan hurufnya mirip sekali dengan sebuah gerakan
pedang, jangan-jangan dia menyembunyikan semacam aliran ilmu
pedang di balik goresan huruf itu?"
"Apakah sudah kau ketahui dari aliran mana ilmu pedang itu?"
"Tidak, cepat terangkan kepadaku."
"Aku sendiripun tidak mengetahuinya! Hanya kuketahui kalau
ilmu pedang ini adalah sebuah Kiam-hoat tingkat tinggi."
"Aku tidak percaya. Hanya sayang kita bukan berasal dari
perguruan yang sama, ilmu pedang yang kau pahami tidak mungkin
bisa kau jelaskan kepadaku. Kalau memang keberatan untuk
menjelaskan yaa sudahlah."
Bouw It-yu tertawa paksa.
"Tolong jangan terlalu menaruh curiga kepadaku, mari kita
lanjutkan perjalanan," katanya.
Tentu saja hal ini bukan dikarenakan Seebun Yan menaruh
banyak curiga. Setelah berkata begitu diam-diam Bouw It-yu tertawa getir,
pikirnya, 'Mungkin aku benar benar sudah terjangkit penyakit
banyak curiga' Apa yang di duga Seebun Yan memang tidak salah, Bouw It-yu
memang sudah mengetahui asal-usul ilmu pedang yang digunakan
orang itu. Hanya saja alasan dia enggan mengemukakan bukan
dikarenakan seperti apa yang digunakan Seebun Yan tadi,
melainkan karena dia sudah dapat melihat aliran ilmu pedang yang
digunakan orang itu, bahkan ilmu pedang tersebut tidak lain adalah
ilmu pedang yang pernah digunakan orang itu untuk
menghadapinya. Bahkan dari gaya tulisan orang itu diapun berhasil meraba
"gerakan pedang" yang dimiliki orang itu, bukan saja terselip
perubahan baru yang berhasil dia ciptakan bahkan mengandung
juga gerak serangan yang jauh lebih ganas, yang cukup mampu
untuk mengatasi gerak serangannya.
Bila bekas telapak tangan tadi merupakan peringat an pertama,
maka tulisan yang dijumpainya sekarang merupakan peringatan
untuk kedua kalinya, jika dia tetap "Tidak segera kembali" mungkin
tindakan berikut yang dilakukan manusia berkerudung itu tidaklah
seringan dan sesederhana saat ini.
Namun yang membuat dia merasa takut bercampur ngeri
bukanlah ilmu pedang yang sangat hebat dari manusia berkerudung
itu, melainkan dikarenakan keterlibatan secara langsung ayahnya di
dalam seluruh kasus pembunuhan yang telah terjadi.
Apakah dia akan melakukan penyelidikan lebih lanjut, ataukah
dilepas begitu saja" Bila dia tidak melakukan pelacakan dan
seandainya Lan Giok-keng yang berhasil menyelidiki ke semuanya
itu, mungkinkah bocah itu akan melakukan tindakan yang tidak
menguntungkan ayahnya"
Keadaan Bouw It-yu saat ini ibarat makan buah simalakama,
kalau dimakan bapak mati kalau tidak dimakan ibu mati. Perasaan
bimbang, gugup dan panik tanpa sadar tercermin semua di mimik
mukanya. Seebun Yan seperti mengetahui rahasia hatinya, cepat ujarnya,
"Aku tidak tahu apakah aku harus menyampaikan pertanyaanku ini
kepadamu, aku kuatir kalau sampai diucapkan, kau akan
menuduhku banyak curiga lagi."
Berdebar keras jantung Bouw It-yu setelah mendengar perkataan
itu, sahutnya, "Kalau begitu cepat katakan."
"Aku lihat kau seperti sedikit takut pergi ke kota Uh-sah-tin
bersama aku?" "Dugaanmu tepat sekali. Tapi aku bukan takut lantaran masalah
keselamatanku pribadi."
"Jadi lantaran aku?"
Bouw It-yu manggut-manggut.
"Aku kuatir perjalanan kita kali ini bakal menjumpai banyak mara
bahaya, atau begini saja, kau pulanglah dulu, bila aku berhasil
menjumpai Piauko mu, akan kusuruh dia segera pulang."
"Dia mau menuruti anjuranmu?" sela Seebun Yan sambil tertawa,
"lagipula akulah yang hendak mencari Piauko, jadi seandainya harus
menghadapi tantangan mara bahaya pun sudah sepantasnya aku
sendiri yang menghadapinya, mana boleh kau mewakiliku."
"Sejak awal aku telah berkata, kedatanganku kemari karena atas
nama Bu-tong-pay ingin mengajak pulang Lan Giok-keng, jadi bukan
karena ingin membantumu."
"Tahukah kau akan watakku?" tanya Seebun Yan sambil tertawa.
"Kau cerdas, bernyali besar, menurut kemauan sendiri, berjiwa
besar, egois.... hmmm, apa yang kau tertawakan, aku bukannya
sengaja mencari alasan untuk membela diri, disaat kau sedang baik
maka apa pun akan diberikan kepadamu, di saat jelek, maka urusan
apa pun dilimpahkan kepadamu."
"Aku lihat kau jauh lebih memahami perangaiku ketimbang kakak
misanku," kata Seebun Yan tertawa, "tapi apa yang kau katakan
belum lengkap. Mari biar kutambahkan sendiri. Aku bukanlah orang
yang dengan begitu saja mau menerima kebaikan orang lain. Aku
baru mau menerima kebaikan orang jika merasa yakin bisa
membalas kebaikan itu. Bila hutang budiku kelewat besar dan tidak
mungkin bisa kubayar, tahukah kau apa yang bakal kulakukan?"
"Tentu saja menolak kebaikan orang," jawab Bouw It-yu sambil
menghela napas. "Salah, keliru besar!" seru Seebun Yan sambil tertawa, "bila aku
harus menerima budi kebaikannya sementara aku tidak sanggup
membayar kebaikan budinya, maka satu-satunya jalan adalah
membunuh orang itu. Karena itu kau harus membiarkan aku pergi
bersamamu, kalau tidak berarti hutangku kepadamu tidak mungkin
bisa kubayar." Bouw It-yu sadar, sulit baginya untuk mencegah keinginan si
nona, akhirnya sambil tertawa katanya, "Budi bisa diimbangi dengan
dendam, bila kau merasa tidak mampu membayar budiku, biar
kucarikan sebuah masalah untuk mencelakaimu, bukankah urusan
jadi impas." "Aku tidak percaya kau bakal mencelakaiku."
"Siapa tahu," tiba-tiba Bouw It-yu menghela napas panjang,
"seringkali budi atau dendam seseorang sulit untuk dibicarakan.
Siapa yang berani menjamin sepanjang hidup kau tidak bakal
melakukan kesalahan terhadap orang lain!"
"Aneh benar sikapmu hari ini, tampaknya kau sedang dilanda
kemurungan yang luar biasa. Ehmm, tapi kalau dipikirkan dengan
seksama, rasanya apa yang kau ucapkan memang masuk diakal."
Dia jadi teringat kembali dengan kakak misannya, sesudah
termangu sesaat, ujarnya lagi sambil tertawa, "Sudah, tidak usah
bicara yang bukan-bukan lagi, ayoh kita segera berangkat sambil
mencari tahu kabar berita tentang Lan Giok-keng.
Ooo)*(ooO Langit sangat bersih, ditengah hamparan pantai berpasir yang
lembut tampak burung manyar terbang tinggi di udara, sampan dan
perahu hilir mudik di kejauhan.
Nama Uh-sah-ho atau sungai ikan hiu hitam mungkin saja
mendatangkan kesan menyeramkan bagi yang mendengarnya,
namun pemandangan alam di sana memang indah menawan.
Sungai itu bukanlah sebuah sungai besar, tapi berhubung sungai
itu terhubung dengan laut utara maka di saat musim hujan, air
sungai mengalir ke dalam laut sementara di musim kemarau, air laut
yang mengalir masuk ke dalam sungai. Oleh karena itu sepanjang
tahun permukaan air selalu rata dan seimbang, bukan hanya
pantainya yang berliku, tiga penjurunya pun dikelilingi pula oleh
pegunungan hingga terbentuklah sebuah bandar yang sangat indah
dan strategis. Bandar ini merupakan bandar andalan para nelayan
yang tinggal di seputar sana.
Suasana di sepanjang pesisir sungai Uh-sah-ho memang selalu
sepi dan jarang ada yang lewat, apalagi sebelum tiba saat perahu
nelayan bersandar, tapi pada saat itulah terlihat ada seorang lelaki
tua dan seorang lelaki muda sedang berjalan menelusuri pesisir,
bahkan yang tua tampak sebagai seorang hweesio. Jelas mereka
adalah tamu yang datang dari luar daerah.
Makam Asmara 3 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Pedang Medali Naga 20
^