Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 18

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 18


rahasia di tengah jalan itu! Hmm, aku justru tidak percaya dengan
segala dewa, apalagi takut dengan setan!"
"Bagus sekali! Kalau begitu cabut pedangmu! Kalau punya
kemampuan, rubahlah aku jadi setan, bila kau yang tidak punya
kemampuan.... hmm, akulah yang akan mengubahmu jadi setan."
Perkataan itu diucapkan dengan nada sengau, seolah suara yang
membawa nada hidung, seperti orang yang sedang menderita flu
berat. Tapi anehnya Lan Giok-keng justru merasa suara hidung yang
sangat aneh itu seakan "sangat dikenal" olehnya, namun dia tidak
teringat dimanakah dia pernah mendengar suara orang itu. Lagipula
diapun merasa tidak pernah mendengar suara orang yang sedang
menderita flu berat sedang berbicara. Tapi mengapa bisa timbul
perasaan seaneh ini"
Belum habis ingatan itu melintas, Bouw It-yu telah melancarkan
sebuah tusukan sambil membentak, "Bagus, berubah jadi setan
tidak masalah, dianggap mencari penyakit pun tidak mengapa. Yang
pasti aku memang sedang mencarimu!"
Serangan yang dilancarkan cepat bagaikan sambaran petir, di
saat ujung pedang hampir menusuk di tubuh orang tersebut,
mendadak bergetar tiga buah lingkaran yang membuat gerakan
tusukan yang lurus seketika berubah.
Diam-diam Lan Giok-keng memuji, pikirnya, 'Ternyata begini
caranya menggunakan jurus sam-huan-tau-gwee (tiga lingkaran
membelenggu rem-bulan)!' Sam-huan-tau-gwe merupakan salah satu jurus serangan dalam
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, pada dasarnya thay-kek-kiam
memang mengutamakan kelembutan untuk mengatasi kekerasan,
maka dalam penggunaan jurus ini tenaga lembek jauh lebih di
utamakan. Namun Bouw It-yu yang menggunakan jurus ini justru berbeda
sekali dengan prinsip dasarnya, bukan saja tenaga keras dan
lembek digunakan bersama bahkan kecepatannya bagaikan
sambaran kilat, hingga teori "menyerang belakangan tapi
menguasahi musuh duluan" pun ikut dirubah pula.
Sekalipun terdapat banyak perbedaan dan pertentangan prinsip,
jurus serangan itu tidak bisa dikatakan bukan merupakan bagian
dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Lan Giok-keng bagaikan orang mabok saja, dia begitu kesemsem
menyaksikan permainan jurus itu, pikirnya, 'Tidak heran kalau
Sucouw selalu berkata bahwa ilmu pedang perguruan kita tertumpu
pada pencerahan dan pemahaman, aaai.... kusangka sudah banyak
teori yang kupahami, sekarang terbukti bahwa kata pencerahan dan
pemahaman memang gampang diucapkan susah dilaksanakan!"
Dalam waktu singkat tujuh puluh gebrakan sudah lewat, tiba-tiba
manusia berkerudung itu berkata sambil menghela napas, "Ayahmu
memang seorang jago silat berbakat luar biasa, tapi sayang ilmu
pedang yang berhasil dia rubah dari pelajaran yang diterima dari
Thio-cinjin belum berhasil kau pelajari barang setengahnya pun."
Sementara berbicara, serangan tangannya semakin diperketat,
tidak selang berapa saat kemudian dia sudah berhasil memaksa
Bouw It-yu hanya bisa bertahan saja tanpa memiliki kekuatan untuk
melancarkan serangan balasan.
Kini Lan Giok-keng baru paham, rupanya pada belasan jurus
pertama, manusia berkerudung itu hanya berniat mengintip rahasia
ilmu pedang keluarga Bouw, begitu gerak jurus lawan telah
dipahami, dia pun tidak memberi kesempatan lagi bagi Bouw It-yu
untuk bertarung lebih lama.
Biarpun Lan Giok-keng menaruh rasa curiga terhadap Bouw Ityu,
namun bagaimanapun orang itu adalah paman gurunya
sementara manusia berkerudung itu tidak lain adalah pembunuh
yang telah mencelakai nyawa Hwee-ko Thaysu, bicara dari sudut
mana pun, tidak mungkin lagi baginya untuk berpangku tangan
saja. Sedari tadi dia tidak ikut turun tangan karena dianggapnya Bouw
It-yu seorang diri sudah mampu menghadapi manusia berkerudung
itu. Kini, setelah melihat Bouw It-yu keteter hebat dan mulai tidak
sanggup menahan diri, tanpa berpikir panjang lagi Lan Giok-keng
segera mencabut pedangnya dan maju menyerang.
"Hey bocah cilik, kau pun ingin menghantar kematian?" tegur
manusia berkerudung hitam itu.
"Kau telah membunuh Hwee-ko Thaysu, sekali-pun aku tidak
mampu mengalahkanmu, biar harus korbankan nyawa pun aku
tetap akan beradu jiwa melawanmu!"
Kembali manusia berkerudung itu menghela napas.
"Aaaai.... budi dan dendam susah untuk dibicarakan!"
Dengan telapak tangan kirinya dia menghadapi serangan dari
bocah itu. Ketika pedang Lan Giok-keng membabat ke depan, manusia
berkerudung itu berusaha merampas senjatanya, siapa tahu tibatiba
dia berganti gerakan dan menusuk tubuh manusia berkerudung
itu dari posisi yang sama sekali tidak terduga.
"Ilmu pedangbagus!" puji manusia berkerudung itu sambil
berseru tertahan. Dimana cahaya pedang Lan Giok-keng menyambar lewat,
pakaian yang dikenakan manusia berkerudung itu segera robek
memanjang. Namun pedangnya kena ditangkis juga oleh kebasan
lawan hingga mencelat ke samping.
Dalam jurus serangan kali ini Lan Giok-keng telah menggunakan
taktik menuding ke barat menyerang ke timur, perubahannya
sangat hebat dan luar biasa, namun kebasan dari manusia
berkerudung itu bukan saja dapat membebaskan diri dari ancaman
bahkan langsung melancarkan serangan balasan, kehebatannya
benar-benar di luar dugaan siapa pun.
Kebasan ujung baju itu seketika membua t napas Lan Giok-keng
menjadi amat sesak dan tidak leluasa, tiba-tiba dia teringat dengan
cerita "sang koki menjagal sapi" yang dijelaskan Hwee-ko Thaysu
sewaktu masih terkurung dalam penjara Toan-hun-kok, pikirnya,
'Tidak salah, kenapa aku tidak belajar dari si koki" Sang koki bisa
menusukkan pisaunya di tempat yang luang, hal ini tidak lain karena
dalam pandangannya tidak melihat sapi'
Dia sadar kalau kepandaian silat yang dimiliki lawan jauh diatas
kemampuannya, tidak mungkin baginya untuk bertarung untunguntungan,
terpaksa seluruh perhatiannya ditujukan ke telapak
tangan lawan. Lambat laun terhadap lingkungan di sekelilingnya dia seolah
memandang tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak menangkap,
bahkan terhadap manusia berkerudung yang sedang bertarung
melawan dirinya pun dia seakan hanya melihat sepasang telapak
tangannya saja. Kalau dikatakan memang aneh sekali, begitu dia mencapai
keadaan seakan lupa segala galanya, peredar-an darah serta
dengusan napasnya malah menjadi begitu lega dan leluasa, tenaga
yang menekan dan menghimpit dirinya pun makin bertambah
ringan. Diam-diam manusia berkerudung itu memuji, pikirnya, 'Selama
puluhan tahun terakhir, banyak sudah murid Bu-tong-pay yang
kujumpai, tapi rasanya hanya pemuda ini yang benar-benar dapat
mewarisi seluruh kemampuan dan kepandaian dari Thio-cinjin. Tidak
heran kalau Bu-siang Cinjin begitu serius membina dan
membimbingnya, keberhasilannya di kemudian hari pasti diatas Busiang
Cinjin dan tidak mungkin di bawah nya."
Begitu timbul rasa pujian itu, serangan yang dilancarkan pun jadi
bertambah serius, dia seolah sedang berhadapan dengan musuh
tangguh, tidak berani lagi memandang pihak lawan sebagai kanak
kanak. Pada mulanya dia menggunakan kekuatan tujuh bagian untuk
menghadapi Bouw It-yu, tapi kini keadaan malah sebaliknya, dia
hanya menggunakan tiga bagian kekuatannya untuk menghadapi
jago muda ini. Diam-diam Bouw It-yu mengeluh, pikirnya, 'Sungguh menyesal!
Kusangka ilmu pedang ciptaan ayahku sudah tiada tandingan di
kolong langit, tapi kalau dilihat sekarang, mungkin masih kalah jauh
bila dibandingkan dengan ilmu pedang hasil pencerahan dari Giokkeng
si bocah ini' Lambat laun manusia berkerudung itupun mulai tidak kuasa
menahan diri lagi, pikirnya, 'Walaupun aku tidak bisa melukainya,
tapi bila keadaan seperti ini dibiarkan berlarut, mungkin bakal
mengacaukan urusan besarku'
Sementara dia masih mempertimbangkan bagaimana caranya
menaklukkan Lan Giok-keng tanpa melukai tubuhnya, Bouw It-yu
telah menggunakan kesempatan ini melancarkan serangkaian
serangan berantai. Satu ingatan segera melintas dalam benak manusia berkerudung
itu, bentaknya, "Manusia she-Bouw, akan kubunuh dirimu lebih
dulu!" Dengan satu gerakan cepat dia berputar ke samping, sebuah
kebasan baju memunahkan serangan pedang Lan Giok-keng yang
meluncur tiba, sementara telapak tangan kirinya diangkat siap
dihantamkan ke atas ubun-bun Bouw It-yu.
Saat itu Lan Giok-keng nyaris sudah berada dalam keadaan "lupa
diri", namun sewaktu melihat telapak tangan manusia berkerudung
itu tinggal lima inci dari ubun-ubun Bouw It-yu, mau tidak mau
perasaan hatinya bergetar keras.
Kunci utama dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat adalah timbul
niat pedang langsung menyerang, rangkaian serangan berhubungan
menjalin satu lingkaran, begitu perasaan hatinya bergetar keras,
gerakan pedangnya yang semula mengalir bagaikan lingkaran pun
muncul titik kelemahan. Dengan gerakan cepat yang tidak terlukiskan dengan kata
manusia berkerudung itu segera manf aatkan peluang dengan
sebaik-baiknya, Lan Giok-keng merasakan tubuhnya jadi enteng,
tahu-tahu dia sudah kena ditangkap dan dilempar keluar arena.
Tubuh Lan Giok-keng meluncur sejauh tiga tombak lebih
dan...."Bruuuk!" terbanting keras-keras di tanah, tidak sempat lagi
menjerit kesakitan, bocah itu jatuh tidak sadarkan diri.
Tidak terlukiskan rasa kaget Bouw It-yu, bentaknya penuh
amarah, "Kauherani membunuh keponakan muridku!"
Dia sangka Lan Giok-keng sudah dibanting mati manusia
berkerudung itu, padahal bocah itu meski kehilangan kesadaran,
tubuhnya sama sekali tidak terluka.
Ternyata sewaktu membanting Lan Giok-keng tadi, manusia
berkeru dung itu telah menggunakan sejenis ilmu bantingan yang
khas, bantingan semacam itu tidak bakalan membuat yang
bersangkutan jatuh pingsan.
Lan Giok-keng bisa tidak sadarkan diri karena sewaktu
dicengkeram manusia berkerudung tadi, dia telah menotok pula
jalan darahnya. Dicekam perasaan terkejut bercampur marah, Bouw It-yu
melancarkan serangan semakin garang, bahkan nyaris mendekati
beradu jiwa. Bukan jadi gusar, sorot mata manusia berkerudung itu sebaliknya
justm berubah makin lembut dan lunak, pikirnya, 'Memandang atas
rasa sayang dan perhatiannya untuk melindungi keselamatan jiwa
Giok-keng, aku tidak boleh mencelakai jiwanya'
Setelah bertarung satu lawan satu, mana mungkin Bouw It-yu
bisa menandingi kehebatan manusia berkerudung itu" Ketika
pedangnya dengan jurus sam-coan-hoat-lun menerobos keluar,
tanpa menggubris datangnya ancaman manusia berkerudung itu
menyodokkan kedua jari tangannya memasuki lingkaran pedang.
Jurus Sam-coan-hoat-lun baru berputar satu lingkaran, tahu-tahu
punggung pedangnya sudah terjepit oleh dua jari tangan manusia
berkerudung itu. "Lebih baik bunuhlah aku!" seru Bouw It-yu dengan nada parau,
dia sadar kalau dirinya bukan tandingan, saat inipun dia sudah tidak
memiliki kekuatan lagi untuk melawan.
Begitu dia buka suara, hawa murninya kontan saja membuyar, isi
perutnya seketika terasa bagai dibolak balik dengan kerasnya.
Belum lagi manusia berkerudung itu buka suara, mendadak
terdengar seseorang telah menegur lebih dulu.
Sesaat sebelum jatuh tidak sadarkan diri, tiba tiba Bouw It-yu
mendengar ada orang berseru, "Kungfu yang hebat, kau adalah
Tianglo yang mana dari Bu-tong-pay?"
Dari balik cahaya fajar yang baru menyingsing, tampak seorang
wanita berbaju kuning muncul dari balik kegelapan dan berjalan
menghampiri. Perempuan itu sebetulnya sudah setengah umur, tapi bila tidak
tahu siapakah dia, mungkin akan menyangka usianya masih sangat
muda. Dia memiliki perawakan tubuh yang kecil dan ramping, tidak
mirip perempuan yang pernah melahirkan, apalagi sebagai seorang
ibu yang putrinya telah menanjak dewasa. Kecantikan wajahnya
pada hakekatnya bagaikan sekuntum bunga segar yang baru mekar
di pagi hari. Begitu melihat kemunculan wanita itu, perasaan hati manusia
berkerudung itu bergetar keras, kedua jari tangannya yang sedang
menyodokpun segera ditarik kembali.
Begitu kehilangan daya tekanan yang berat, tubuh Bouw It-yu
pun "roboh" dengan lemas, dia hanya bisa duduk diatas tanah
dengan napas tersengkal sengkal.
Perlahan perempuan setengah umur itu berjalan mendekat.
Sesaat itu bukan hanya manusia berkerudung itu saja yang
merasakan hatinya bergetar keras, Bouw It-yu sendiripun
merasakan hatinya berdebar.
Paras muka perempuan setengah umur itu beberapa bagian mirip
Seebun Yan, tapi jauh lebih cantik dibandingkan gadis itu. Hal ini
masih tidak aneh, yang lebih aneh lagi adalah perasaan yang timbul
di hati Bouw It-yu, dia merasa seakan sedang berhadapan dengan
orang yang sangat dikenalnya, tanpa sadar timbul lah perasaan
simpatik yang tebal di hati kecilnya.
Perasaan kenal ini tidak sama seperti perasaan kenal terhadap
Seebun Yan, melainkan jauh melebihi perasaan itu. Padahal mereka
belum pernah saling bertemu.
Siapakah dia" Siapakah dia"
Ooo)*(ooO JILID KE LIMA BAB XIV Jago pedang dari Tiong-ciu.
Tapi bukan persoalan ini yang ingin diketahui jawabannya, sebab
biarpun dia belum pernah bertemu wanita setengah umur itu,
namun secara lamat-lamat telah dapat menebak siapa gerangan
perempuan ini. Yang paling ingin diketahui jawabannya adalah....
Manusia berkerudung itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung
batu, dia seakan sudah tertegun dibuatnya.
"Hey kau tuli" Kau bisu?" terdengar wanita cantik itu kembali
membentak, "aku sedang bertanya, kau adalah tianglo yang mana
dari Bu-tong-pay" Kenapa" Tidak berani menjawab?"


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tianglo dari partai Bu-tong?" tidak terlukiskan rasa terperanjat
yang dialami Bouw It-yu saat itu.
Kalau memang tianglo dari Bu-tong-pay, lalu siapakah dia"
Bu-tong-pay mempunyai dua orang tianglo, yakni Bu-liang
Totiang dan Bu-si Tojin, keduanya sangat dikenal olehnya,
sementara Put-ji, tianglo yang belum lama diangkat pun sudah
cukup lama bergaul dengannya, malah selama ini dia
memperhatikan orang ini secara khusus. Dia yakin tidak bakal tidak
bisa mengenalinya kendatipun dia telah mengenakan kain kerudung
muka. Bouw It-yu mencoba untuk memperhatikan dengan lebih
seksama, di pandang dari sudut manapun dia tidak bisa menemukan
bayangan rubuh dari ke tiga orang tianglonya di tubuh manusia
berkerudung ini. Hanya satu hal yang berhasil dia ketahui, orang berkerudung ini
adalah seseorang yang telah lanjut usia, paling tidak berusia lima
puluh atau enam puluh tahunan. Orang yang memiliki ilmu silat
hebat memang agak sulit untuk diduga usianya.
Namun bagaimanapun juga, biar seseorang yang telah lanjut usia
berusaha memelihara tubuhnya sebagus apapun, bila dibandingkan
dengan orang berusia pertengahan tetap terdapat perbedaan yang
nyata. Sewaktu bertarung melawannya tadi, Bouw It-yu tidak sempat
memperhatikan akan hal itu, tapi kini, setelah diamati lebih
seksama, dia segera dapat menemukan perbedaannya.
Dia percaya dengan kemampuan matanya, oleh sebab itu meski
dia kagum akan kehebatan perempuan cantik itu, yang bisa
mengetahui kalau orang itu adalah seseorang yang lanjut usia
dalam pandangan pertama, tapi diapun berani memastikan kalau
manusia berkerudung ini tidak mungkin tianglo dari Bu-tong-pay.
Lalu siapakah dia" Siapakah dia"
Manusia berkerudung itu tidak menjawab, dia hanya gelengkan
kepalanya. Biasanya gelengkan kepala tertanda menyangkal.
Tampaknya perempuan cantik itu tidak percaya, terdengar ia
bergumam diri, "Tenaga dalammu masih setingkat lebih hebat dari
Bu-liang Totiang, ilmu pedangmu juga tidak berada di bawah
kemampuan Bu-si Tojin...."
Dia bukan saja mengetahui kelebihan yang dimiliki para tianglo
dari Bu-tong-pay, mengetahui juga kalau manusia berkerudung itu
bisa menggunakan ilmu pukulan sebagai pengganti ilmu pedang.
"Tidak benar, tidak benar! Ehmm, benarkah Bu-kek Totiang telah
mati?" pertanyaan terakhir ini dia tujukan kepada Bouw It-yu.
Sebetulnya pertanyaan ini bisa dijawab Bouw It-yu secara tegas
dan tanpa ragu, sebab dialah yang mengambil kerangka tubuh Bukek
Totiang dan membawanya kembali keatas gunung Bu-tong. Tapi
sayang dia sudah tidak bertenaga lagi untuk bicara, yang bisa
dilakukan hanya manggutkan kepala.
Pada saat itulah manusia berkerudung itu menghela napas
panjang, namun dia tetap belum berbicara.
Tiba-tiba perempuan cantik itu mematahkan setangkai ranting
pohon, katanya dingin, "Kau sangka dengan berlagak bisu dan tuli
lantas bisa mengelabuhi aku" Kau tidak usah beritahu akupun aku
juga bisa mengetahui asal-usulmu."
Sambil tertawa dingin dia getarkan ranting pohon itu, kemudian
dengan menggunakan jurus pedang yang sangat hebat menusuk
tubuh manusia berkerudung itu.
"Sreeet, sreeet, sreeet" diiringi tiga desingan tajam, tahu-tahu
jubah yang dikenakan manusia berkerudung itu sudah bertambah
dengan tiga buah lubang kecil, tubuhnya mundur ke belakang
berulang kali. "Kau berani tidak membalas?" kembali perempuan cantik itu
membentak nyaring. Biarpun yang dia gunakan hanya sebatang ranting pohon, namun
setiap tusukan yang dilancarkan selalu disertai desingan angin
tajam, Giok-li-to-sou (gadis perawan memasukkan jarum), Ting-sansi-
hau (Ting-san memanah harimau), Gin-han-hu-chat (bianglala
mengam bang di angkasa), Kek-seng-huan-gwee (bintang tamu
mengusik rembulan). Jurus serangan yang keras dikombinasikan
dengan jurus serangan yang lembek, semua ancaman boleh dikata
terarah ke bagian tubuh yang mematikan ditubuh lawan.
Selangkah demi selangkah manusia berkerudung itu terdesak
mundur hingga ke tepi jurang, kini sudah tidak ada jalan mundur
lagi baginya. Dalam pada itu ranting pohon ditangan perempuan cantik itu
kembali telah menciptakan tiga lingkaran cahaya yang mengurung
seluruh tubuhnya, ujung ranting yang terarah persis di hadapannya
tampak segera akan berhasil mencongkel kain kerudung mukanya.
Dalam keadaan seperti inilah terpaksa manusia berkerudung itu
melakukan pembelaan, sepasang telapak tangannya dirangkap di
depan dada, dia membalas dengan jurus Tong-cu-pay-kwan-im
(bocah suci menyembah Kwan-im).
Maksud dari gerakan jurus ini adalah berniat menjepit ranting
pohon yang mengancam tiba, siapa tahu perempuan cantik itu
kembali mengubah jurus serangannya secepat kilat, dia tarik balik
rantingnya lalu berganti mengancam tiga bagian tubuhnya.
Hanya saja, biarpun perubahan jurus dilakukan sangat cepat,
namun hal ini justru memberi peluang kepada manusia berkerudung
itu untuk menghindarkan diri.
"Weesss....!" diiringi desingan angin tajam, manusia berkerudung
itu sudah melambung ke udara, bagaikan seekor burung terbang
lewat dari atas kepalanya, membopong Lan Giok-keng yang masih
tergeletak di tanah dan melarikan diri.
Berapa gerakan gesit dan cekatan yang diperlihatkan kedua
orang itu membuat Bouw It-yu yang menyaksikan merasakan
hatinya ngeri bercampur berdebar. Tapi diapun berhasil melihat
jelas sebuah kenyataan, kemungkinan besar manusia berkerudung
itu kenal dengan wanita cantik itu, karenanya dia tidak pernah
berani melancarkan jurus serangannya, bisa dipastikan hal ini
dikarenakan dia kuatir wanita cantik itu berhasil mengetahui asalusul
ilmu silatnya. Bouw It-yu tidak tahu apakah wanita cantik itu telah berhasil
mengetahui asal-usul jurus serangan yang dimiliki manusia
berkerudung itu, tapi dia telah mengenali sumber ilmu silat yang
digunakan sang wanita cantik itu.
Jurus serangan yang barusan dia gunakan tidak lain adalah jurus
Sam-coan-hoat-lun (tiga putaran roda hukum), sebuah jurus ciptaan
ayahnya yang diambil dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat,
malahan permain an jurus perempuan itu jauh lebih bagus
ketimbang ayahnya sendiri.
Bouw It-yu merasa bimbang bercampur bingung, dia tidak tahu
dengan cara apa manusia berkerudung itu berhasil melarikan diri.
Pandangan matanya penuh diliputi teka-teki, perasaan hatinya
pun dicekam kebingungan. Dia seakan telah balik kembali ketepi ranjang ibunya yang
sedang sakit, apa yang dilihat, apa yang didengar, hanya bayangan
semu dari ibunya, yang bergaung diangkasa hanya helaan napas
ibunya. Berada ditepi ranjang ibunya yang sedang sakit, dia mengumpat
dan menyumpahi "perempuan liar" itu. Besok adalah tanggal satu
hari raya Imlek, ibunya sakit begitu parah, tapi ayahnya.... dengan
alasan demi "perempuan liar" itu, ternyata enggan pulang kembali
ke rumah! Sambil menghela napas, saat itu ibunya berkata perlahan, "Dia
bukan wanita liar! Bukan, dia adalah wanita anggun yang
mempunyai status sosial tinggi, dia cantik, ilmu silatnya hebat,
dalam segala bidang dia jauh mengungguli aku!"
Sekarang dia sudah tahu siapakah "wanita liar" itu, dia tidak lain
adalah perempuan cantik yang berada dihadapannya sekarang.
Apa yang dikatakan ibunya memang tidak keliru, "perempuan
liar" ini memang anggun, ilmu silatnya tinggi, wajahnya cantik jelita!
Biarpun demi ibunya, dalam hati kecilnya dia tetap memaki dia
sebagai "perempuan liar", namun mau tidak mau diapun harus
mengakui, "perempuan liar" ini memang jauh lebih cantik daripada
ibunya, ilmu silat yang dimilikipun jauh lebih hebat. Tidak aneh bila
ayah begitu tergila gila kepadanya.
Sebuah jawaban lain pun ikut tersingkap, tidak perlu diberitahu
wanita cantik itu, diapun sudah tahu kalau wanita itu tidak lain
adalah ibu kandung Seebun Yan.
Semenjak pertemuan pertamanya dengan Seebun Yan, dia sudah
menaruh curiga akan hal ini. Dan sekarang dia telah memperoleh
sebuah bukti nyata yang amat jelas.
Tiba-tiba saja dia merasa peristiwa ini kelewat lucu, kelewat
menggelikan, dia dan Seebun Yan saling menyebut sebagai saudara,
tidak disangka ternyata ibunya Seebun Yan adalah kekasih gelap
ayahnya! Dia ingin tertawa, namun tidak ada suara tertawa yang muncul,
dia ingin menangis, tidak ada pula suara tangisan yang terdengar!
Perasaan dan tenaga yang runtuh seketika membuatnya jatuh tidak
sadarkan diri. Walaupun pikiran dan kesadaran mulai buram, namun dia masih
dapat merasakan. Kini keadaannya ibarat orang yang terlelap dalam alam impian,
seperti sedang bermimpi seperti bukan, seperti kejadian nyata tapi
seperti juga tidak. Sentuhan pertama yang terasa olehnya adalah sesuatu yang
lunak, seakan menyiarkan bau harum semerbak.
Dia seperti sedang berbaring diatas tumpukan bunga, begitu
lembut dan empuk, jauh lebih lunak daripada kasur yang terbuat
dari bulu angsa, dia pun merasa seakan sedang berbaring di pesisir
pantai dengan cahaya matahari yang hangat, pasir yang putih dan
lembut membuat setiap pori pori tubuhnya terasa hangat.
Tapi perasaan yang lebih mendekati adalah dia seperti sedang
berbaring dalam pelukan ibunya, merasakan belaian dan kasih
sayang seorang ibu. Aaaai, mungkinkah waktu berjalan berbalik" Apakah dia sedang
kembali ke alam mimpi, kembali ke masa kanak-kanaknya dulu"
Suara apakah itu" Apakah suara hembusan angin bulan ke lima
yang membangunkan berbagai bunga" Ataukah suara nyanyian
ibunya yang sedang mendendangkan nina bobo"
Di balik perasaan yang hangat terasa pula hawa dingin,
mungkinkah embun pagi yang menetes dari kelopak bunga
membasahi wajahnya" Seperti bermimpi, tapi bukan mimpi, seperti khayalan seperti
kejadian nyata! Aaai, terserah dia sedang bermimpi atau tidak,
semoga alam impian ini dapat bertahan kekal.
Manusia berkerudung itu telah membopong Lan Giok-keng dan
berlalu dari sana. Sementara perempuan cantik itu balik kembali ke
samping Bouw It-yu. Dia peluk tubuh Bouw It-yu, menempelkan telinga nya diatas
dada pemuda itu, mendengarkan detak jantungnya. Dia gunakan
sentuhan ujung jarinya untuk "mendengar" denyutan nadinya.
Detak jantung berjalan normal, denyutan nadi meski agak lemah
namun tidak menunjukkan kekalutan.
"Entah dikarenakan dia teringat dengan budi kebaikan teman
lama atau karena takut bertindak kelewat keji terhadap murid Butong-
pay" Ehmm, asal nyawa anak Yu masih dapat dipertahankan,
akupun tidak ingin membongkar kedok rahasianya...."
Wanita cantik itu mengalihkan matanya memandang ke tempat
kejauhan, sewaktu tidak menemukan kembali manusia berkerudung
itu, dia pun merasakan beban hatinya jauh lebih lega.
"Nak, tidak disangka aku masih bisa bertemu dirimu, aku
memang patut dikasihani, tapi kau pun lebih patut dikasihani!" dia
mencium lembut pipi Bouw It-yu, setetes air mata jatuh membasahi
wajah pemuda itu. Bouw It-yu sama sekali tidak terluka dalam, tapi gencetan tenaga
dalam manusia berkerudung itu telah membuat tenaganya jadi
lemah bahkan seluruh semangat dan kekuatannya telah runtuh.
Keadaan tersebut meski bukan merupakan luka yang bewujud,
namun termasuk juga sebuah luka tanpa wujud. Bila tidak
memperoleh perawatan yang setimpal, dia akan lemah seperti orang
yang baru sembuh dari penyakit parah, paling tidak dibutuhkan
waktu setahun lamanya untuk bisa pulih kembali seperti sedia kala.
Perempuan cantik itu menempelkan telapak tangannya
dipunggung Bouw It-yu, menyalurkan hawa murni ke dalam
tubuhnya. "Bila dia sampai tahu siapakah aku, mungkin perasaan hatinya
akan bertambah sedih. Aaai, lebih baik dia tidak usah tahu."
Kembali air mata jatuh berlinang.
Mimpi indah memang tidak akan langgeng, biarpun Bouw It-yu
enggan mendusin kembali, akhirnya toh dia telah mendusin juga.
Ketika membuka matanya kembali, dia menjum-pai wanita cantik
itu sedang duduk di sampingnya. Biarpun dia merasakan ke empat
anggota tubuhnya lemah tidak bertenaga, namun semangatnya
terasa segar kembali. Dia bukan orang bodoh, tentu saja tahu kalau
wanita cantik itu telah menyalurkan tenaga dalamnya untuk
menyembuhkan dia. "Terima kasih kau telah selamatkan nyawaku," ucap Bouw It-yu.
Biarpun dia sedang menyampaikan rasa terima kasihnya, namun
tidak dapat menutup perasaan benci terhadap dirinya.
"Kau tidak usah berterima kasih kepadaku, manusia berkerudung
itu memang tidak berniat mencelakai nyawamu," kata wanita cantik
itu. "Tapi kalau bukan kau menolongku tepat waktu, mungkin aku
harus berbaring entah sampai kapan di tengah pegunungan sunyi
ini!" Apa yang dia katakan memang tidak salah, sebab itulah
kendatipun masih terselip perasaan benci dan dendam, mau tidak
mau diapun merasa berterima kasih kepadanya.
Wanita cantik itu tersenyum.
"Mungkin kau belum tahu siapakah aku," katanya, "akulah ibu
Seebun Yan. Aku dengar kau datang ke Liauw-tong bersamanya,
karena itulah secara khusus aku datang kemari untuk mencari
kalian." Maksud ucapan itu jelas, karena kau baik pada putriku, jadi
sudah sepantasnya bila akupun membantumu.
"Padahal sedari tadi aku sudah tahu siapakah kau," batin Bouw
It-yu dalam hati kecilnya, tapi diluaran dia berlagak seolah terkejut
bercampur girang, serunya, "Ooh, ternyata bibi, coba kau datang
selangkah lebih awal, mungkin dapat bertemu dengan putrimu."
"Dia pergi ke mana?" tanya Seebun-hujin.
"Mengejar Piaukonya."
"Oooh, Tonghong Liang maksudmu?"
"Benar. Dia tiba duluan disini sebelum kehadiran kami, tapi entah
mengapa, begitu bertemu kami, dia langsung melarikan diri."
Dia tahu Seebun-hujin selalu menganggap Tonghong Liang
seperti putra sendiri, dalam perkiraannya, setelah mendengar kabar
itu, dia pasti akan segera pergi mencari putrinya dan keponakannya
itu. Siapa tahu Seebun-hujin sama sekali tidak berniat meninggalkan
tempat itu, dia malah duduk di sampingnya dan berkata sambil


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghela napas panjang, "Budak itu memang selalu menuruti suara
hati sendiri, apa yang dia inginkan selalu berusaha untuk
mendapatkannya. Namun dalam persoalan dia, aku tidak bisa
membantu apa-apa, biarkan saja mereka urusi sendiri. Bagaimana
keadaanmu sekarang" Apakah sudah baikan" Sekarang cobalah
berjalan dua langkah."
Bouw It-yu merasa tidak leluasa untuk membantah, namun dihati
kecilnya timbul perasaan heran, pikirnya, Aneh, kalau memang dia
tidak bisa membantu putrinya, tapi setelah jauh-jauh datang kemari,
kenapa tidak secepatnya ingin bertemu dengan putrinya" Malahan
aku lihat dia lebih menaruh perhatian terhadap aku sebagai orang
luar"' Dia bangkit berdiri, mencoba berjalan dua langkah, lalu sahutnya,
"Aku sudah jauh lebih baik. Kelihatannya besok aku sudah dapat
bergerak seperti biasa."
"Kau tidak usah terburu-buru," kata Seebun-hujin sambil
tersenyum, "beristirahatlah barang dua hari, setelah ilmu silatmu
pulih tujuh, delapan bagian, belum terlambat untuk pergi."
"Terima kasih atas perhatian bibi. Aah benar, aku masih belum
memperkenalkan diri, aku dari marga Bouw bertanam It-yu."
Padahal tidak ada gunanya dia memperkenalkan nama sendiri.
Perlu diketahui, Seebun-hujin justru khusus datang ke Liauwtong
mencari mereka karena dia telah mendapat kabar kalau
putrinya melakukan perjalanan bersamanya. Dalam keadaan seperti
ini, apa gunanya dia memperkenalkan nama sendiri"
Namun, Bouw It-yu tentu saja tidak pernah akan berpikir sampai
disitu, karena dia merasa situasi saat ini serba rikuh dan untuk
sesaat tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengan Seebun-hujin,
maka dia mencari bahan bicaraan untuk mengisi kekosongan ini.
Sejak bertemu dengan dirinya, Seebun-hujin belum pernah
menanyakan namanya, sebagai seorang Boan-pwee, demi sopan
santun dia memang sepatutnya memperkenalkan diri.
Benar saja, Seebun-hujin tersenyum, katanya, "Aku tahu, biarpun
aku hidup mengasingkan diri di pinggir perbatasan, pengetahuanku
sangat cupat namun ayahmu adalah Tiong-ciu Thayhiap yang
namanya telah menggetarkan sungai telaga, kinipun sudah menjadi
Ciangbunjin Bu-tong-pay, secupat apapun pengetahuanku, rasanya
tidak mungkin kalau tidak mengenali kalian ayah beranak. Apalagi
sewaktu anak Yan pulang tempo hari, diapun pernah menying-gung
tentang dirimu. Konon kalian berkenalan gara-gara saling
bertarung" Terus terang saja, sejak mendengar pujiannya atas
dirimu, akupun sudah sejak lama ingin bertemu denganmu."
Tentang persoalan ini, Bouw It-yu sudah mendengar dari cerita
Seebun Yan, hanya saja yang memuji dia adalah Seebun-hujin dan
bukan putrinya. Malahan Seebun Yan sempat merasa tidak puas dan
marah gara-gara ibunya memuji dia jauh lebih hebat dari Piauko
nya. Dia tidak mengerti apa sebabnya Seebun-hujin begitu
menyayangi dirinya, diapun tidak mengerti setelah memuji dirinya,
mengapa dia harus meminjam nama putrinya, atau janganjangan....
Dia bersama Seebun Yan telah menempuh perjalanan sejauh
ribuan li hanya berduaan, kendatipun bagi orang persilatan batasan
antara lelaki dan perempuan tidak seketat pandangan orang
sekolahan, namun bagaimana pun juga dia merasa wajib memberi
penjelasan dihadapan ibunya.
"Terima kasih banyak atas pujian ini. Tempo hari, aku hanya
bertemu putri anda secara kebetulan, oleh karena dia bilang sedang
mencari Piauko nya, sementara secara kebetulan akupun hendak
pergi ke Liauw-tong untuk mencari keponakan muridku, maka kami
memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama-sama.
Sepanjang jalan aku dan putri anda selalu mengaku sebagai kakak
beradik...." Tiba-tiba paras muka Seebun-hujin berubah sedikit agak aneh,
setelah tertegun serunya, "Oooh, jadi kalian sudah mengaku
sebagai kakak beradik?"
"Aku tahu, sebetulnya aku tidak pantas menjadi kakaknya, tapi
untuk leluasanya terpaksa kami saling menyebut...."
Seebun-hujin tersenyum, tukasnya, "Kau tidak usah jelaskan
lebih jauh, bila anak Yan ku benar-benar mempunyai seorang kakak
macam kau, oooh, betapa indahnya. Sejak kecil dia sudah
kehilangan ayahnya, akupun tidak mendidiknya terlalu ketat hingga
sejak kecil sudah terbiasa manja. Sepanjang jalan tentu banyak
mendatangkan kesulitan bagimu bukan?"
Bouw It-yu menyangka perempuan itu berkata begitu karena
tidak berputra, maka sahutnya, "Bibi, bila kau tidak keberatan,
bagaimana kalau aku memanggilmu ibu angkat."
Sementara diliati kecilnya dia berpikir, 'Kau adalah musuh besar
ibuku, dengan mengakui mu sebagai ibu angkat, dikemudian hari
semakin memudahkan aku bila ingin membalas dendam'
Dengan wajah berseri karena kegirangan sahut Seebun-hujin
cepat, "Bagus, bagus sekali. Kini kesehatan tubuhmu belum pulih
kembali, kau tidak perlu melakukan penghormatan."
Setelah menerima penghormatan dari Bouw It-yu, kembali dia
berkata lebih lanjut, "Sejak hari ini, aku akan menganggapmu
sebagai putra kandungku sendiri, aku tahu ayahmu hanya
mempunyai kau seorang putra, dia pasti telah mendidikmu secara
baik." Berbicara sampai disini, tiba-tiba dia mengucapkan sepatah kata
yang membuat Bouw It-yu tercengang, "Apakah ibumu baik
terhadapmu?" Baru pertama kali bertemu "ibu angkat" nya, ternyata dia malah
bertanya apakah ibu kandungnya bersikap baik terhadapnya,
apakah pertanyaan ini tidak aneh dan di luar kebiasaan"
"Tabiat Seebun Yan sudah terhitung antik, siapa tahu ibunya
lebih antik lagi, coba kalau aku tidak tahu siapakah dia, pasti
kuanggap dia sudah gila."
Membayangkan nasib buruk yang menimpa ibunya, tidak tahan
Bouw It-yu menyahut dengan sedih, "Ayahku jarang berada
dirumah, kecuali mengajar kan ilmu silat, hampir urusan yang lain
semuanya dilakukan ibuku. Terus terang saja aku lebih banyak
mendapat didikan ibu ketimbang ajaran bapak. Sayangnya dia orang
tua mati terlalu awal."
"Ibumu berasal dari keluarga kenamaan, akupun tahu, dia pasti
akan bersikap baik sekali kepadamu. Maaf kalau aku telah
mengungkit kembali kesedihan hatimu."
Bouw It-yu kembali berpikir, 'Kalau hanya membuat aku sedih
mah bukan masalah, tapi kau telah membuat ibuku mati merana,
mati karena sedih. Betapa pun baiknya sikapmu kepadaku, aku tak
bakalan akan memaafkan dirimu!'
Seebun-hujin memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian
katanya, "Tenaga murnimu mengalami kerugian besar, tenagamu
belum pulih seperti sedia kala, aku tidak seharusnya mengajakmu
banyak bicara, tapi karena pertemuan ini baru terjadi untuk pertama
kalinya, aku tidak tahan untuk bicara panjang lebar. Sekarang kau
harus beristirahat dulu, aku tahu disana terdapat sebuah gua,
malam ini mari kita ibu beranak menginap semalam disana. Aku
dapat membantumu untuk menghimpun kembali hawa murnimu,
asal bisa pulih lebih cepat, besok kau sudah dapat bergerak seperti
biasa. Hanya saja, bila ingin ilmu silatmu pulih kembali seperti sedia
kala, mungkin harus menunggu dua, tiga hari lagi."
"Kau tidak perlu pergi mencari adik Yan dan keponakanmu?"
tidak tahan Bouw It-yu bertanya.
"Mereka tidak terluka, juga tidak sakit, aku tidak perlu mengurusi
mereka berdua. Terlepas anak Yan berhasil atau tidak menyusul
kakak misannya, aku rasa dia pasti akan kembali juga ke sisiku."
Bicara sampai disini, diapun menarik bangun Bouw It-yu dan
memapahnya untuk berjalan. Karena tidak bertenaga untuk
melawan, terpaksa pemuda itu membiarkan dirinya dipapah.
Ilmu silat yang dimiliki Seebun-hujin memang sangat luar biasa,
ketika tangannya mencekal pinggang Bouw It-yu dan menariknya,
tubuh pemuda itupun melayang di udara, tanpa mengeluarkan
sedikit tenaga pun, kakinya tidak usah menempel ditanah pun, dia
sudah digiring untuk melakukan perjalanan.
Setelah membimbingnya masuk ke dalam gua, Seebun-hujin
mengeluarkan ransum kering, katanya, "Makanlah dulu sedikit
ransum yang kubawa, oyaa.... ini arak susu kuda, mungkin kau
tidak biasa untuk meneguknya, tapi berfaedah untuk memulihkan
tenagamu." Perawatan dan layanan yang begitu lemah lembut dari Seebunhujin
membuat rasa heran dan curiga Bouw It-yu makin bertambah,
pikirnya, 'Tidak jelas rencana apa yang dia susun dengan
perbuatannya ini, sudah jelas dia tahu kalau aku adalah putra
musuh cintanya, kenapa sikap dia terhadapku justru seakan aku
adalah putra kandungnya"
Sementara dia masih berpikir, terdengar Seebun-hujin telah
berkata lagi, "Baiklah, sekarang kau boleh duduk bersamadi, ulurkan
tanganmu kemari, aku akan membantumu."
Digenggamnya tangan Bouw It-yu, kemudian segulung hawa
murni perlahan-lahan mengalir keluar dari telapak tangannya
mengalir masuk ke tubuhnya.
Selang beberapa saat kemudian, kembali Seebun-hujin berkata,
"Selama mengatur pernapasan, kau harus menjaga konsentrasimu,
sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak pikir apa apa. Hari sudah hampir gelap, kenapa adik Yan
belum juga kembali!" Seebun-hujin tersenyum.
"Mungkin saja dia telah menemukan Piauko nya dan sedang
bermanja-manja. Aku yang jadi ibunya saja tidak kuatir, kenapa kau
musti khawatir" Yang perlu kau kuatirkan adalah dirimu sendiri. Jika
ingin secepatnya hawa murnimu terhimpun kembali di Tan-tian,
jangan cabangkan pikiran untuk berpikir yang bukan-bukan."
"Baik!" sahut Bouw It-yu.
Walaupun dia berusaha keras untuk membuang jauh-jauh pikiran
yang kalut, namun masih tetap tidak berhasil menenangkan diri.
"Anak Yu," kata Seebun-hujin kemudian, "ganjalan apa yang
masih kau rahasiakan terhadapku" Lebih baik katakan saja berterus
terang, siapa tahu aku dapat membantumu untuk memecahkan
persoalan itu." Diam diam Bouw It-yu terkesiap, pikirnya, Aaah.... jangan sampai
rahasia hatiku diketahui olehnya.... '
Cepat-cepat dia berkata, "Ibu angkat, aku memang masih ada
masalah yang membuatku tidak tenang."
"Baiklah, apa masalahmu, katakan saja!"
"Keponakan muridku ditangkap manusia berkerudung itu, entah
apa yang akan dia lakukan terhadapnya?"
"Ooh, rupanya persoalan itu yang kau kuatirkan, kalau begitu aku
berani memberi jaminan, keponakan muridmu pasti dapat kembali
dengan selamat." "Kenapa?" "Kalau kau saja tidak dilukai, bagaimana mungkin manusia
berkerudung itu akan mencelakainya" Masa kau tidak bisa melihat,
betapa sayang dan cintanya dia terhadap keponakan muridmu itu.
Sewaktu dia membanting tubuhnya tadi, yang digunakan adalah
sebuah tehnik membanting tingkat tinggi, dia saja kuatir
bantingannya membuat dia terluka, mana mungkin jiwanya akan
terancam." Bouw It-yu mencoba untuk membayangkan kembali kejadian
tadi, ternyata apa yang dikatakan Seebun-hujin memang tidak
salah. Dengan hati tercengang ujarnya kemudian, "Keponakan
muridku ini tumbuh dewasa diatas bukit Bu-tong, seharusnya dia
tidak pernah berhubung-an dengan orang luar. Kenapa manusia
berkerudung itu bersikap luar biasa baiknya terhadap dia?"
"Darimana aku tahu. Aku rasa sudah cukup asal kau tahu kalau
dia tidak berniat akan mencelakai keponakan muridmu."
'Kau pasti tahu, hanya enggan mengatakannya kepadaku' batin
Bouw It-yu dalam hati. Tidak bisa dibilang dia sama sekali tidak mengkhawatirkan
keselamatan Lan Giok-keng, tapi persoalan yang benar-benar
membelenggu dirinya bukanlah keselamatan bocah itu, dia memang
masih mempunyai masalah lain yang lebih berat. Hanya saja
persoalan itu enggan dia kemukakan di hadapan Seebun-hujin.
Kuatir rahasia hatinya ketahuan, terpaksa dia berusaha keras
mengendalikan pikirannya, di bawah bantuan Seebun-hujin
perlahan-lahan dia himpun hawa murni dan mulai menggiringnya
mengitari badan. Begitu pikiran terkonsentrasi, kesadarannya pun lambat laun
mulai jernih kembali. Entah berapa lama sudah lewat, kini peredaran hawa murni di
tubuh Bouw It-yu telah berhasil menembus semua sumbatan.
Seebun-hujin pun menghembuskan napas panjang seraya
berkata, "Biarpun taraf pemulihan yang kau capai tidak sesuai
harapan, namun sudah cukup baik untukmu. Sekarang tidurlah
sejenak." Bouw It-yu tidak tidur, malah Seebun-hujin yang tidur duluan.
Setelah membantu Bouw It-yu menembus semua nadinya dengan
sepenuh tenaga, dia benar-benar kepayahan, jauh lebih letih
ketimbang sewaktu bertarung melawan manusia berkerudung itu,
kini dia benar-benar sangat lelah.
Bagian atap gua ini terdapat sebuah celah yang berbentuk
setengah lingkaran, dari sana cahaya rembulan yang bersinar terang
memancar masuk ke dalam gua, menyinari tubuh Seebun-hujin
yang indah. Entah mimpi indah apa yang sedang diperolehnya, sekulum
senyuman seolah tersungging diujung bibirnya.
Aaah! Senyuman tersebut mengapa terasa begitu hapal, begitu
dikenal olehnya" Tiba-tiba Bouw It-yu mulai berpikir, memikirkan ibunya yang
telah meninggal, mungkin saja wajah ibu tidak secantik Seebunhujin,
namun senyuman yang menghiasi bibirnya sama lembut,
sama hangatnya seperti senyuman ibunya.
Dia amat menyukai senyuman ibunya, senyuman sewaktu sadar,
senyuman saat tertidur, dia menyukai semua. Tapi sayang
senyuman ibu jarang sekali terlihat.
Bayangan semu yang muncul dihadapannya sudah berubah
menjadi ibunya yang terkapar sakit diatas pembaringan. Yang
terlihat hanya wajah yang sayu, wajah yang kusut, yang tersisa
hanyalah senyum-an getir yang memilukan hati, senyuman yang
menghiasi wajah kurusnya.
Segulung angin dingin berhembus lewat, Bouw It-yu bergidik,
tiba-tiba yangan semu ibunya hilang lenyap. Begitu mendusin,
hanya kenyataan yang ter-pampang dihadapannya, musuh besar
ibunya sedang tidur di samping tubuhnya.
Gaya Seebun-hujin sewaktu tidur begitu tenang, anggun dan
indah, hal ini memperlihatkan perasaan hatinya yang bahagia dan
penuh kedamaian. Sinar mata Bouw It-yu mulai bergeser dari wajah Seebun-hujin,
hatinya penuh diliputi rasa benci yang mendalam. Siapa yang telah
mencelakai ibunya" Siapa yang telah membuat ibunya sengsara"
Perempuan inilah! Siapa yang membuat ibunya merana sepanjang
hidup" Perempuan ini juga!
Tiba-tiba muncul dorongan emosi untuk membalaskan dendam


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagi ibunya! Kini musuh besar ibunya telah berada di sampingnya,
pedang pun berada disisinya, asal dia cabut pedang itu maka ulu
hatinya segera akan tertembus.
Tapi, apakah perbuatannya tidak kelewatan" Apalagi membalas
dendam dengan cara begini"
Atau mungkin tidak usah membunuhnya, cukup patahkan saja
tulang Pi-pa-kut nya, agar dia jadi cacat seumur hidup, agar semua
ilmu silatnya yang paling hebat pun tidak bisa dipergunakan lagi.
Atau cukup merusak wajahnya yang cantik, agar selama hidup
dia menjadi perempuan jelek, dia ingin tahu apakah ayahnya masih
tetap mencintainya" Tentu sajak bila dia gunakan cara seperti itu untuk membalas
dendam, dia sendiripun bakal mampus di tangan Seebun-hujin, tapi
asalkan bisa membalaskan dendam ibunya, apalah artinya
kehilangan nyawa" "Seorang lelaki sejati, seorang lelaki jantan, masa membokong
seorang wanita dengan cara begitu licik" Apakah tindakan semacam
ini tidak kelewat hina" Benar, lebih baik aku tidak membunuhnya...."
Tangan yang menggenggam pedang mulai gemetar keras.
"Malaikat baik" dan "Malaikat jahat" seolah sedang bertarung
didalam batinnya, apakah pada akhirnya dia akan terjerumus ke
"jalan kesesatan?" ataukah segera tersadar dari kekeliruannya"
Ooo)*(ooO Akhirnya Lan Giok-keng tersadar dari pingsannya.
Di saat manusia berkerudung itu menurunkan tubuhnya, dia telah
mendusin. Hanya saja manusia berkerudung itu tidak
mengetahuinya. Sewaktu bertemu manusia berkerudung itu, Lan Giok-keng
merasakan suatu perasaan yang aneh, dia merasa seolah pernah
mengenalnya. Apalagi ketika mendengar suara pembicaraannya yang membawa
logat suara yang berat. Perasaan tersebut lebih kentara lagi.
Perasaan "aneh" itu sesungguhnya memang sangat tepat. Bukan
saja manusia berkerudung itu mengenali dirinya, bahkan sangat
memahami ilmu silatnya. Namun yang dia ketahui adalah ilmu silat yang dimiliki Lan Giokkeng
sewaktu masih berada di gunung Bu-tong, bagaimana
kemajuan yang berhasil dicapai bocah itu dalam setengah tahun
terakhir, rupanya tidak diketahui secara jelas.
Biarpun baru saja dia bertarung melawan Lan Giok-keng, namun
yang menimbulkan perasaan heran dan curiganya baru terbatas
pada ilmu pedangnya saja, tinggi rendahnya tenaga dalam yang
dimiliki masih belum dapat dia lihat dalam waktu singkat.
Dia tahu kalau ilmu silat yang dimiliki Lan Giok-keng seharusnya
mengalami kemajuan pesat, namun dia tidak mengira kalau
kemajuan yang berhasil dicapainya jauh diluar dugaan dan
perkiraannya semula. Dia sengaja menotok jalan darah tidur Lan Giok-keng, karena
kuatir akan melukai tubuhnya maka totokan itu tidak menggunakan
ilmu totokan yang terlalu berat, dia hanya mengendalikan jalan
darahnya pada taraf menguntungkan, dalam perhitungannya paling
tidak dua jam kemudian Lan Giok-keng baru akan tersadar kembali.
Siapa tahu belum sampai satu jam, Lan Giok-keng telah pulih
kembali kesadarannya. Dia menurunkan tubuh Lan Giok-keng lalu menghela napas
panjang, gumamnya, "Aku selalu memandang rendah ayah
angkatnya, padahal semua perbuatan dan tindak tandukku tidak
jauh berbeda dengan tingkah laku Put-ji, kami berdua ibarat lima
puluh langkah mentertawakan seratus langkah!"
Lan Giok-keng yang mendengar suara gumanan itu jadi amat
tergetar hatinya, manusia berkerudung itu bisa menyebut ayah
angkatnya bahkan dapat pula menyebut gelar kependetaan ayah
angkatnya, tidak bisa di sangkal lagi manusia berkerudung ini
pastilah murid Bu-tong-pay, bahkan merupakan orang yang amat
dikenal ayah angkatnya! Mungkinkah dia adalah Bu-liang tianglo" Tidak mirip, sama sekali
tidak mirip! Mungkinkah Bu-si Tianglo" Rasanya semakin tidak
mungkin. Manusia berkerudung itupun tidak mengenakan pakaian pendeta,
biarpun seringkali ada tamu preman yang menginap diatas gunung
Bu-tong, namun kalau bukan murid pendeta yang sering
berhubungan, darimana dia bisa kenal begitu dekat dengan ayah
angkatnya" Penyamaran memang bisa merubah tampilan seseorang, hanya
kemampuan ilmu silat yang tidak mungkin bisa dipalsukan.
Ilmu silat yang dimiliki manusia berkerudung ini masih jauh
diatas kemampuan ayah angkatnya, kalau bukan satu diantara ke
dua orang Tianglo itu lantas siapakah dia"
Padahal berbicara soal ilmu silat yang dimiliki ayah angkatnya,
dia sudah terhitung jago yang cukup diandalkan pada angkatannya.
Ada satu hal lagi yang membuat perasaan hatinya bergoncang
keras, bila didengar dari nada pembicaraan manusia berkerudung
itu, ternyata ayah angkatnya memang seseorang yang sangat jahat!
Atau paling tidak dia adalah manusia yang tidak benar tingkah
lakunya. Kalau bukan begitu, mengapa bisa menimbulkan
pandangan hina dari orang ini.
Saking goncangnya perasaan hati yang dialaminya saat itu, tanpa
terasa tubuhnya bergetar keras.
Tampaknya manusia berkerudung itu terperanjat, sambil
menepuk tubuhnya dia menegur, "Kau sudah mendusin?"
Lan Giok-keng tidak menjawab, cepat dia mengatur napasnya
dan pura-pura masih tertidur nyenyak.
Manusia berkerudung itu segera mentertawakan dirinya yang
banyak curiga, gumamnya lagi, "Lebih baik biar kubangunkan dia
lebih awal saja. Aaai, bocah yang patut dikasihani!"
Lan Giok-keng merasa telapak tangannya di tempelkan ke
punggungnya lalu terasa ada aliran hawa panas menyusup masuk
ke dalam tubuhnya, membuat sekujur tubuhnya terasa panas sekali.
Perutnya jadi kembung bagai balon yang diisi hawa, begitu
menggelembung seluruh pori-pori tubuhnya, membuat dia seolah
mau meletup saja. Hawa panas yang menyusup ke dalam tubuhnya makin lama
semakin bertambah kuat. Sambil menggertak gigi Lan Giok-keng
mencoba untuk bertahan, tapi akhirnya dia tidak kuasa menahan
diri dan mulai merintih. "Bocah yang tidak kenal tingginya langit tebalnya bumi!" bentak
manusia berkerudung itu nyaring, "baru menerima sedikit siksaan
saja sudah tidak tahan, begitu masih berani membela orang lain!"
"Cepat bunuhlah aku," rintih Lan Giok-keng, "bila kau tidak
membunuhku, pada akhirnya aku pun akan membalaskan dendam
atas kematian Hwee-ko Thaysu!"
Sebetulnya yang dimaksudkan manusia berkerudung sebagai
orang lain adalah Bouw It-yu, siapa tahu Lan Giok-keng ternyata
masih mendendam terus atas serangan gelapnya terhadap Hwee-ko
Thaysu. Diam-diam manusia berkerudung itu menghela napas panjang,
dalam waktu sekejap pelbagai ingatan melintas dalam benaknya,
"Bagaimana pun aku bersikap baik terhadapnya, belum tentu bocah
ini mau menerima niat baikku. Kalau aku tidak membunuhnya,
dikemudian hari bisa jadi dia akan mendatangkan bencana bagiku!"
"Aaah tidak, tidak! Aku membunuh Hwee-ko Thaysu karena
terpaksa, aku tidak boleh menciptakan dosa besar lagi" Apalagi aku
menyaksikan bocah ini sejak kecil hingga tumbuh jadi dewasa!"
"Kini sebelah kakiku sudah melangkah masuk ke dalam peti mati,
sekalipun nanti bakal muncul bencana, kenapa musti kumasukkan
ke dalam hati!" "Sampai mimpi pun bocah ini tidak bakal menduga siapakah aku,
buat apa aku musti takut" Dia adalah cucu murid yang paling
disayang Bu-siang Cinjin, seluruh pengharapan Bu-siang Cinjin
untuk kemajuan dan kejayaan Bu-tong-pay pun tertumpu pada
dirinya, aaai.... budi kebaikan Bu-siang Cinjin tidak mungkin bisa
kubalas, satu-satunya jalan yang bisa kulakukan hanyalah
membantu dia untuk mewujudkan cita-cita dan pengharapannya.
Asal bocah ini tidak menyia-nyiakan harapan Bu-siang Cinjin,
biarpun di kemudian hari aku harus mati ditangannya pun,
kematianku terhitung cukup berharga!"
Berpikir begitu, hawa pembunuhan yang semula muncul pun kini
kian memudar, namun dia tetap berlagak berniat jahat, katanya
sambil tertawa dingin, "Hmm, aku sengaja tidak akan
membunuhmu, aku sengaja akan menyiksamu! Hehehe.... bukankah
Sim-hoat tenaga dalam Bu-tong-pay paling mengutamakan cara
menggiring hawa murni" Kenapa" Rupanya hanya bualan belaka"
Hmmn, dasar bocah yang tidak punya rejeki, rasakan saja siksaan
itu perlahan-lahan!"
Di tengah tawa dinginnya yang menyeramkan, manusia
berkerudung itu pergi dari tempat itu.
Namun dari suara tertawa dingin orang itulah, tiba-tiba Lan Giokkeng
menyadari akan sesuatu. "Dia sengaja menyinggung soal Sim-hoat tenaga dalam
perguruanku, jangan-jangan dia memang secara khusus
menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh-ku dengan tujuan
untuk membantu aku meningkatkan tenaga dalam yang kumiliki"
Tapi dia telah membunuh Hwee-ko Thaysu, mengapa masih
bersikap begitu baik kepadaku?"
Pelbagai kecurigaan dan teka-teki menyelimuti benak Lan Giokkeng,
tapi rasa panas yang menusuk tubuh benar-benar
membuatnya tidak kuasa menahan diri, dalam keadaan begini,
terpaksa dia harus mencoba untuk mengatur napas.
Kali ini dia mencoba mengerahkan Sim-hoat tenaga dalam
perguruan nya, benar saja hawa panas yang menusuk tubuhnya
lambat laun mulai beredar menurut garisnya, setetes demi setetes
terhitumpun ke dalam Tandan, setiap kemajuan yang berhasil diraih
membuat penderitaannya lebih ringan dan memudar.
Di saat dia sedang berkonsentrasi mengatur pemapasan,
mendadak terdengar suara seseorang yang dikenalnya
berkumandang memecahkan keheningan, "Piauko, Piauko!"
Ternyata Seebun Yan yang sedang mencari kakak misannya telah
melacak hingga ke puncak bukit itu.
Lan Giok-keng pernah bertemunya satu kali ketika masih berada
di Toan-hun-kok, waktu itu Seebun Yan pun sedang mengejar
Piauko nya. Diam diam Lan Giok-keng tertawa geli, pikirnya, 'Sungguh tidak
nyana walaupun sudah dikejar hingga ke Liauw-tong pun, dia masih
belum berhasil menyusulnya. Konon dia binal dan susah diatur, apa
mau dikata justru benda yang paling ingin diperolehnya susah
didapat, benar-benar mengenaskan'
Belum lagi ingatan itu melintas lewat, mendadak terdengar
seseorang berkata, "Benar-benar gadis cilik yang patut dikasihani,
apakah Piauko mu sudah tidak maui dirimu lagi?"
Nada ucapan itu penuh dengan nada ejekan dan sndirian, tapi
nadanya manja dan amat merdu di dengar.
Tidak perlu dilihatpun Lan Giok-keng sudah tahu, siapa gerangan
yang telah muncul. Tidak salah lagi, yang muncul adalah si lebah hijau Siang Ngonio.
Wajah merah padam Seebun Yan, bentaknya, "Kau tidak usah
ngaco belo, urusanku tidak perlu kau campuri!"
Sesungguhnya, ilmu silat yang dimiliki Siang Ngo-nio tidak
terhitung tinggi, tapi dia kekasih gelap Tong Ji-sianseng,
kepandaiannya menggunakan racun pun berhasil dipelajari dari
rahasia ilmu silat keluarga Tong.
Biarpun Seebun Yan terhitung gadis yang tidak takut langit dan
bumi, namun terhadap perempuan ini sedikit banyak dia menaruh
perasaan jeri juga. Sambil tertawa terkekeh kembali Siang Ngo-nio berkata, "Siapa
yang ngaco belo" Aku sedang bicara serius dan sejujurnya. Dalam
kepandaian lain, mungkin Lonio tidak berani bicara besar, tapi
masalah ilmu menggaet lelaki, kau harus mengangkat ku sebagai
gurumu. Atau bila kau mohon bantuanku, aku pun bersedia
memberikan bantuannya!"
"Tidak tahu malu!" tidak tahan Seebun Yan mengumpat.
Siang Ngo-nio segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak bahak. Seebun Yan jadi keheranan, tegurnya, "Apa yang kau
tertawakan" Aku tidak punya waktu menemanimu gila, minggir, biar
aku lewat!" Siang Ngo-nio telah menghadang jalan perginya, setelah tertawa
sesaat dia baru berhenti sambil berkata, "Tahukah kau, memaki aku
sama halnya kau sedang memaki ibu kandungmu sendiri!"
Kontan Seebun Yan naik pitam, sesungguhnya dia menaruh
berapa bagian perasaan jeri terhadap Siang Ngo-nio, tapi kini
dengan wajah memerah umpatnya, "Dasar perempuan cabul yang
tidak tahu malu, hmm, perempuan busuk macam kaupun berani
membandingkan diri dengan ibuku."
"Hahahaha.... kau jangan membuat aku sakit perut lantaran
tertawa geli," jengek Siang Ngo-nio sambil tertawa tergelak, "kau
sangka ibumu benar-benar wanita suci yang setia pada suami"
Teras terang, akupun merasa kalah jauh bila dibandingkan dengan
kcmampu-annya menggaet suami orang. Hanya saja, bila dugaanku
tidak salah, selama berada dihadapanmu, dia pasti berlagak sok
suci, karena itu aku pun tidak bakal menyalahkan dirimu."
Paras muka Seebun Yan berubah jadi hijau membesi saking
marahnya, "sreeet!" dia mencabut keluar pedangnya kemudian
bentaknya nyaring, "Kalau kau berani bicara sembarangan lagi,
segera kubunuh dirimu!"
Siang Ngo-nio gelengkan kepalanya berulang kali sambil
menghela napas, katanya, "Kasihan, sungguh kasihan, ternyata kau
telah dikelabuhi ibumu sendiri selama hampir dua puluh tahun
lamanya! Apakah kau ingin mengetahui apa yang sedang dilakukan
ibumu sekarang" Dia sedang mengada kan pertemuan gelap dengan
anak jadahnya! Bila kau tidak percaya, ayoh kuajak kau untuk
melihatnya. Bila perkataanku terbukti bohong, bunuh saja diriku!"
Paras muka Seebun Yan merah membara, amarahnya benarbenar
memuncak, sambil melancarkan sebuah tusukan kilat,
bentaknya, "Siluman perempuan, rupanya kau ingin masuk neraka
dengan lidah terbetot. Hmmm, biar aku tidak mampu
membunuhmu, ibuku pasti akan menjagal nyawamu!"
"Hahahaha.... terima kasih atas peringatanmu," kembali Siang
Ngo-nio tertawa terkekeh, "sejujurnya aku memang bukan
tandingan ibumu." Seebun Yan bukan gadis bodoh, dari nada ucapan Siang Ngo-nio
dia segera tahu kalau perempuan beracun ini berniat menangkapnya
sebagai sandera. Betul saja, dengan ilmu Liong-heng-cuan-ciang (pukulan
terobosan naga) Siang Ngo-nio mencengkeram jalan darah Ciankeng-
hiat diatas bahunya. Sadar kalau dirinya bukan tandingan lawan, sebetulnya Seebun
Yan berniat meminjam nama besar ibunya untuk menggertak pergi
perempuan itu, siapa sangka hasil yang diperoleh justru
kebalikannya. Dasar dia seorang gadis cerdas yang banyak akal, cepat dia


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpikir, "Bila dia ingin menangkapku sebagai sandera, berarti
nyawaku pasti tidak berani diusiknya!"
Jalan darah Cian-keng-hiat berada dilekukan tulang Pi-pa-kut,
menurut keadaan pada umumnya, saat Siang Ngo-nio
mencengkeram ke bagian tubuhnya yang mematikan, gadis itu
seharusnya segera berkelit ke samping.
Waktu itu pukulan Siang Ngo-nio telah memblokir semua jalan
perginya, mau berkelit ke arah mana pun, Siang Ngo-nio dapat
merampas pedangnya. Begitu senjata terlepas, dapat dipastikan
gadis itu akan terjatuh ke tangan Siang Ngo-nio.
Seebun Yan yakin kalau perempuan itu tidak bakal berani
menghancurkan tulang Pi-pa-kut nya, maka bukannya mundur dia
malah merangsek maju ke depan, dengan jurus Hian-nio-hua-sah
(burung hitam mendayung pasir) dia menghadang pergelangan
tangan lawan. Ternyata perkiraannya tidak salah, Siang Ngo-nio benar-benar
tidak berani turun tangan telengas, perlu diketahui, bila tulang Pipa-
kut seseorang sampai tercengkeram hancur, dia bakal menderita
cacat seumur hidup, menghancurkan tulang Pi-pa-kut lawan hampir
sama seperti telah mencelakai jiwanya.
Padahal Siang Ngo-nio bermaksud menggunakan Seebun Yan
sebagai sandera lalu mengompas Seebun-hujin, tentu saja dia tidak
berani bertindak kelewat telengas.
Begitu dia ragu-ragu, cahaya pedang Seebun Yan segera
menyambar lewat dan merobek sebagian dari pakaian yang
dikenakan. Masih untung dia menarik tangannya dengan cepat, kalau tidak,
ke lima jari tangannya mungkin sudah terpapas kutung.
Seebun Yan kuatir dia menggunakan senjata rahasia beracun,
maka begitu berhasil dengan serangan pertamanya, kembali dia
mencecar dengan serangkaian serangan yang cepatbagaikan
sambaran kilat. Tampaknya Siang Ngo-nio dapat membaca jalan pikirannya,
sambil tertawa serunya, "Sebetulnya ilmu pedang Tui-hong-kiamhoat
dari keluarga Seebun sangat hebat, sayang kau baru belajar
tentang kecepatan, hmmm! Kau kira dengan melancarkan
serangkaian serangan kilat, lantas aku tidak bisa melepaskan
senjata rahasiaku" Kalau kulukai dirimu dengan senjata rahasia, kau
pasti kalah dengan perasaan tidak puas, biar kuimbangi pertarungan
ini dengan menggunakan senjata saja."
Sementara berkata, dia telah bergeser posisi ke samping, begitu
tusukan pedang Seebun Yan mengenai sasaran kosong, tahu-tahu
sepasang goloknya telah tergenggam ditangan.
Sebagaimana diketahui, golok Wan-yo-to yang dia gunakan
adalah sebilah golok panjang dan sebilah golok pendek, yang
panjang dipakai untuk melindungi tubuh sementara yang pendek
dipakai untuk menyerang musuh.
Berbicara soal kehebatan ilmu pedang, seharusnya ilmu yang
dimiliki Seebun Yan tidak kalah dari musuhnya, namun masalah
pengalaman menghadapi musuh serta ilmu meringankan tubuh dia
masih kalah setingkat. Begitu Siang Ngo-nio merangsek maju, jurus serangan yang
dilancarkan Seebun Yan seketika terbendung semua oleh permainan
golok panjangnya, menggunakan kesempatan itu golok pendeknya
menerobos masuk menyerang.
Seebun Yan benar-benar keteter hebat, kini dia sudah tidak
sanggup lagi membendung datangnya serangan dari pihak lawan.
Dalam pada itu serangan yang dilancarkan Siang Ngo-nio
semakin lama semakin garang dan dahsyat, Seebun Yan hanya
merasakan golok pendek itu selalu menyambar di depan mukanya.
Tidak selang berapa saat kemudian, dia sudah semakin terdesak,
permainan pedangnya makin kalut, posisinya semakin kacau dan
terdesak di bawah angin. Lan Giok-keng yang berada dibelakang batu cadas hanya bisa
mendengar suara benda tajam yang saling beradu, suara bentrokan
yang memekakkan telinga itu membuat bocah ini tanpa sadar
mengucurkan keringat dingin.
Diam-diam pikirnya, 'Biarpun tabiat nona ini kasar, binal dan
sukar diatur, bagaimana pun dia adalah sahabat ciciku, aku tidak
boleh berpeluk tangan saja tanpa berusaha menolongnya.'
Tapi gumpalan hawa panas yang mengeram dalam lambungnya
baru separuh yang terserap masuk ke dalam tan-tian, keadaannya
waktu itu tidak berbeda seperti orang yang sedang panas tinggi,
biarpun punya niat namun sama sekali tidak bertenaga.
Dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa dia hanya bisa duduk
tenang sambil menanti. Tiba-tiba terdengar lagi suara bentrokan senjata yang amat
nyaring, namun suara deruan golok sama sekali tidak terdengar lagi.
Begitu mendengar ini Lan Giok-keng segera tahu kalau Seebun
Yan sedang menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci dari ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat. Dalam hati diam-diam dia berpikir, "Sayang,
sayang dia tidak tuntas mempelajarinya, bahkan setengah dari
kemampuan piauko nya pun belum tercapai."
Entah mengapa, Siang Ngo-nio justru kelihatan sangat
terperanjat, jeritnya keras, "Kau.... ternyata kaupun bisa
menggunakan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat!"
Dibalik jeritan kaget, terselip pula perasaan jengkel dan
mendongkol, malah terdengar pula rasa cemburu, sedih yang amat
mendalam. Seebun Yan yang menyaksikan kejadian itu jadi keheranan,
pikirnya, 'Aku belum mampu tarung berimbang melawannya,
kenapa dia nampak sangat ketakutan" Masa dia dibikin keder oleh
nama besar Thay-kek-kiam-hoat" Padahal aku hanya bisa
menggunakan tapi belum berhasil menyelaminya. Baiklah, kalau
begitu biar aku takut-takuti dirinya.'
Maka dengan berlagak bangga segera bentaknya lagi, "Siluman
perempuan, sudah tahu kelihayanku bukan" Hmm, yang lebih hebat
masih ada di belakang!"
"Baiklah, kalau begitu keluarkan juga jurus jurusmu yang lebih
lihay!" kata Siang Ngo-nio dingin.
Secara beruntun Seebun Yan melancarkan beberapa jurus
serangan dengan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, walaupun
hampir semua serangannya berhasil dipunahkan Siang Ngo-nio,
namun kini keadaannya sudah jauh lebih mendingan, selain
bertahan diapun dapat melancarkan serangan balasan.
"Apakah ilmu pedang ini kau pelajari dari ibumu?" tiba-tiba Siang
Ngo-nio bertanya. "Kalau benar kenapa" Apa yang kupelajari belum lagi satu bagian
dari kemampuan yang dimiliki ibuku!"
Siang Ngo-nio menghela napas panjang.
"Aaaai.... aku percaya dengan perkataanmu itu."
katanya. Mendadak dia mengumpat, "Tidak tahu malu!"
"Siapa yang kau maki tidak tahu malu!" teriak Seebun Yan gusar.
Siang Ngo-nio melotot besar, lama kemudian dia baru menghela
napas lagi. "Betul, aku memang tidak pantas memaki ibumu, aku seharusnya
mengumpat manusia yang tidak punya perasaan itu!"
Ternyata dia jengkel kepada Bouw Ciong-lor.g karena tidak
pernah mengajarkan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat kepadanya,
sementara Seebun-hujin diajari secara khusus.
Sebetulnya Seebun Yan kebingungan setengah mati, dia tidak
habis mengerti melihat ulah lawannya yang aneh, tapi setelah
melihat otot hijau di wajah Siang Ngo-nio pada menonjol keluar,
sepasang matanya merah membara dan wajahnya diliputi hawa
napsu membunuh, rasa takut tiba-tiba mencekam hatinya, begitu
melancarkan sebuah serangan tipuan, cepat dia membalikkan tubuh
siap melarikan diri. "Mau kabur ke mana kau!" bentak Siang Ngo-nio keras, golok
panjangnya segera diputar balik, lalu dengan memakai gagang
goloknya dia sodok jalan darah tertawa dipinggang lawan.
Seebun Yan tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa
terbahak-bahak, tertawa sampai tubuhnya jadi lemas dan kakinya
mulai limbung. "Roboh kau!"bentak Siang Ngo-nio lagi.
Siapa tahu bukan saja Seebun Yan tidak roboh, malah dia berdiri
stabil dan suara tertawanya seketika terhenti.
Menghadapi perubahan yang sama sekali diluar dugaan ini, Siang
Ngo-nio merasa tercengang, padahal saat itu Seebun Yan pribadi
jauh lebih terkejut dari pada dia.
Ternyata sewaktu bersiap kabur tadi, secara kebetulan Seebun
Yan lari menuju ke batu karang dimana Lan Giok-keng sedang
menyembunyikan diri. Maka secepat kilat bocah itu mengulurkan
tangannya untuk menahan pinggang si nona.
Saat itu delapan bagian tenaga murni yang disalur kan manusia
berkerudung itu sudah meresap di dalam tubuhnya, sisanya yang
dua bagian langsung tercecer keluar, satu bagian dipakai untuk
menahan pinggang Seebun Yan sementara bagian yang lain
menyusup ke dalam tubuh gadis itu dan menerjang jalan darah Ihkhi-
hiat nya. Jalan darah Seebun Yan yang tertotok pun seketika terbebaskan!
Hanya saja diapun tidak kuasa menahan rasa sesak yang
mendadak menyumbat dadanya, ketika menjumpai Lan Giok-keng,
dia seperti tidak mampu tertawa lagi, mau bicara pun tidak
sanggup. Ketika Lan Giok-keng membaringkan badannya, dia pun roboh
terkapar diatas tanah dengan lemas.
"Siapa yang bersembunyi disana, cepat menggelinding keluar!"
bentak Siang Ngo-nio. Dengan mata melotot besar Lan Giok-keng menampilkan diri,
jengeknya sambil tertawa dingin, "Perempuan siluman, biar kau
tidak mencari akupun aku sedang mencarimu. Pentang matamu
lebar lebar, perhatikan siapakah aku!"
Begitu tahu orang yang munculkan diri adalah Lan Giok-keng,
Siang Ngo-nio segera merasakan hatinya tenang kembali, dia segera
tertawa terkekeh-kekeh. "Hahahaha.... rupanya anak kesayanganku, anak tersayang,
cepat panggil ibu. Asal kau bersedia mengangkat aku sebagai ibu
angkatmu, akan kuampuni budak cilik yang kau sukai itu."
"Dasar perempuan siluman yang tidak tahu malu!" umpat Lan
Giok-keng penuh amarah. Cepat tubuhnya melambung, mencabut pedang, mengumpat dan
melancarkan serangan, berapa tindakan itu dilakukan sekaligus
nyaris bersamaan waktu. Ketika baru turun dari bukit Bu-tong, Lan Giok-keng sudah
pernah bersua Siang Ngo-nio di tengah jalan bahkan tertawan,
peristiwa itu berlangsung baru pada berapa bulan berselang.
Jadi Siang Ngo-nio tidak menyangka kalau baru berpisah berapa
bulan, ternyata ilmu silat yang dimiliki bocah itu telah mengalami
kemajuan yang amat pesat.
"Traaangg!" golok pendek Siang Ngo-nio terpental hingga jatuh
ke tanah, sementara ujung pedang Lan Giok-keng secepat petir
langsung menutul urat nadinya.
Buru-buru Siang Ngo-nio membuang tubuhnya ke samping
dengan gerakan VVan-yo-si-liu (membungkuk pinggang memetik
pohon liu), sementara golok panjangnya melakukan tangkisan,
perpaduan gerakan tubuh dengan ilmu golok yang sangat indah.
Sebenarnya tangkisan itu sudah cukup untuk membendung
serangan ganas pihak lawan, siapa tahu sebelum ujung pedang Lan
Giok-keng menyentuh urat nadinya, hawa pedang yang kuat
seketika membuat pergelangan tangannya lamat-lamat terasa linu
dan kaku. "Traang....!" begitu golok dan pedang saling membentur, lagi-lagi
golok panjang di tangan Siang Ngo-nio terlepas dari genggamannya.
Menyaksikan sorot matanya yang berapi api dan sepak
terjangnya yang garang, tanpa terasa Siang Ngo-nio jadi sedikit
ketakutan, segera bentaknya, "Kalau enggan menjadi putraku yaa
sudah, memang ada dendam sakit hati apa antara kau dengan
aku?" Dengan sepenuh tenaga dia melompat, melejit, menghindar,
menyusup berusaha untuk meloloskan diri dari ancaman maut,
sayang belum selesai dia berkata, lagi lagi...." Triiing! Tusuk konde
yang menancap diatas rambutnya kembali sudah terpapas kutung.
Siang Ngo-nio malah merasakan juga hawa dingin yang
membabat persis diatas kulit kepalanya.
Sambil menggigit bibir bentak Siang Ngo-nio, "Dasar tidak tahu
kebaikan orang, akan kusuruh kau rasakan kelihayan lonio!"
Sambil berkata dia mengayunkan tangannya, di hadapan Lan
Giok-keng segera muncul selapis kabut asap tebal berwarna keabuabuan.
Ternyata di balik ujung bajunya tersimpan bubuk pembingung
sukma yang dapat merobohkan orang.
Sayang, walaupun Lan Giok-keng merasakan kepalanya agak
pening, namun dia sama sekali tidak roboh ke tanah.
Bocah itu hanya seperti lelaki mabok, langkah kakinya gontai dan
agak sempoyongan, namun tetap menempel terus di belakang
musuhnya dan tetap melakukan pengejaran.
Sebetulnya ilmu pedang yang dia kuasai pada mulanya lebih
menitik beratkan pada kekuatan otot, namun sesudah mendapat
petunjuk dari Hwee-ko Thaysu, kepandaiannya mengalami
kemajuan lagi satu tingkat, kini dia sudah pandai mengalihkan
kekuatan ototnya dengan lebih menitik beratkan pada tehnik dan
akal. Kini dengan langkah delapan dewa mabok dia bergerak kian
kemari sambil merangsek terus ke depan, begitu gencar tekanan
yang dilakukan membuat Siang Ngo-nio benar-benar terdesak dan
keteter hebat. Diam-diam Siang Ngo-nio mengeluh, segera bentaknya, "Lan
Giok-keng, kau jangan percaya akan perkataan orang, aku bukan
musuh besarmu!" Perempuan ini sudah terbiasa memandang suatu masalah dari
sudut untung rugi bagi diri sendiri, begitu Lan Giok-keng
meneternya terus menerus, otomatis timbul perasaan curiga dihati
kecilnya. Tergerak perasaan Lan Giok-keng setelah mendengar ucapan itu,
sengaja dia mendengus, sahutnya dingin, "Perempuan siluman,
tanganmu sudah penuh berpelepotan darah, tidak usah aku
berbicarapun seharusnya kau sudah memahami sendiri!"
Keterlibatan Siang Ngo-nio di dalam berapa kasus pembunuhan
yang menimpa beberapa orang jago Bu-tong-pay diketahui Lan
Giok-keng dari pembicaraannya dengan Bu-si tianglo, sekarang dia
sengaja mengungkapnya secara sekilas, tujuannya tidak lain karena
ingin menyelidiki reaksinya.
Bila berada dalam keadaan biasa, tentu saja Siang Ngo-nio tidak
bakalan masuk perangkap, tapi saat ini dia sedang terdesak hebat,
bukan saja kerepotan menghadapi serangan lawan, pikirannya pun
ikut kalut, tanpa sadar segera teriaknya, "Bukan aku yang
membunuh ayahmu, akupun tidak membunuh ibumu, buat apa kau
merecoki aku terus seperti sukma penasaran?"
Sekalipun Lan Giok-keng berniat melakukan penyelidikan, namun
mimpi pun dia tidak menyangka akan memperoleh hasil seperti itu.
Ketika berjumpa cicinya di lembah Toan-hun-kok, dari mulut


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakaknya dia sudah tahu kalau si Lebah hijau Siang Ngo-nio pernah
mendatangi rumah mereka dan memaksa orang tuanya untuk
menyerahkan dia. Untung nya Put-hui suthay datang tepat waktu
sehingga berhasil memaksa Siang Ngo-nio kabur dan orang tuanya
tidak sampai menderita luka.
"Jangan-jangan aku masih mempunyai orang tua lain?" dalam
waktu seketika, pelbagai kecurigaan serta kesangsian yang
mengendap di dasar hatinya selama ini mulai terapung di
permukaan, hal mana membuat hatinya semakin kalut bahkan
nyaris membuatnya tertegun.
Menggunakan kesempatan itu Siang Ngo-nio melepaskan sebutir
peluru asap, di bawah perlindungan kabut asap yang tebal, dia
segera melarikan diri. Dengan sepenuh tenaga Lan Giok-keng melepaskan pukulan
demi pukulan untuk menyapu kabut asap yang menyelimuti
sekeliling tempat itu, menanti kabut mulai buyar, dia baru seolah
mendusin dari impian. Lamat-lamat dia mendengar di belakang tubuhnya bergema
suara orang merintih, saat itulah dia baru teringat kalau Seebun Yan
masih berada di bekas tempat persembunyiannya.
Ternyata saat itu Seebun Yan benar-benar sudah letih dan
kehabisan tenaga, karena dibalik kabut tebal itu mengandung bubuk
pemabok dari Siang Ngo-nio, kendatipun tubuhnya bersembunyi
dibelakang batu karang, tidak urung ada sedikit asap racun yang
menyusup ke dalam tubuhnya.
Padahal sisa tenaga dalam yang dimiliki saat itu sudah tidak
cukup untuk melawan serangan itu. Dalam keadaan kritis, terpaksa
dia hanya bisa menggigit ujung lidahnya, berusaha agar dirinya
tidak sampai roboh tidak sadarkan diri.
Lan Giok-keng sendiri meski pandai ilmu pertabiban, namun dia
sama sekali tidak tahu bagaimana cara untuk memunahkan racun.
Yang bisa dilakukan sekarang hanya berjongkok di samping Seebun
Yan dan membiarkan gadis itu bersandar ke tubuhnya sehingga
tubuhnya tidak sampai berguling di tanah yang berakibat terluka.
Untung saja kabut beracun yang terhisap oleh Seebun Yan tidak
terlalu banyak sehingga dia tidak sampai roboh tidak sadarkan diri.
Tatkala melihat gadis itu menggerakkan bibirnya, cepat Lan Giokkeng
menempelkan telinganya dekat dengan bibir dan mencoba
menangkap apa yang sedang dia katakan.
Dengan suara yang lemah dan lirih, bagaikan suara angin yang
menggoyangkan ranting liu, dia berbisik, "Bi-leng-wan, Bi-lengwan...."
Apa yang dimaksud Bi-leng-wan"
"Pil Bi-leng-wan yang terbuat dari Thian-san-soat-lian, pil itu....
pil itu berada di...."
Seketika Lan Giok-keng menjadi paham, teratai salju dari gunung
Thian-san memang berkhasiat memunahkan pelbagai racun, boleh
dikata setiap umat persilatan mengetahui akan hal ini.
"Aku tahu, pil itu adalah pil mestika yang dapat memunahkan
racun," kata Lan Giok-keng, "konon teratai salju dari gunung Thiansan
adalah barang langka yang susah diperoleh, kau telah
menggunakan bahan itu untuk membuat pil Bi-leng-wan?"
"Yaa.... pil itu berada.... berada di saku ku!"
Seebun Yan berkata dengan terbata-bata, satu kalimat yang
pendek dia harus membaginya jadi tiga bagian, bahkan selesai
bicara, napasnya semakin tersengkal. Dalam keadaan begini, dia
hanya bisa menempel semakin lekat di tubuh pemuda itu.
Tapi pil Bi-leng-wan berada disakunya, inilah masalah yang
membuatnya kesulitan. Sejak dilahirkan, baru pertama kali ini dia berdekatan begitu
mesra dengan seorang lawan jenis, tubuh yang halus, lembut,
hangat ternyata menempel di tubuhnya, kulit bertemu kulit, badan
bersentuhan dengan badan, ke semuanya ini sudah cukup membuat
wajahnya berseru merah dan jantungnya berdebar keras.
Dan kini, pil Bi-leng-wan ternyata berada dalam sakunya.
Seebun Yan menanti berapa saat, ketika tidak merasakan
pemuda itu melakukan tindakan berikut, dia pun berseru gusar,
"Hey setan cilik, ciut amat nyalimu.... tidak usah menghindar lagi...."
Merah padam selembar wajah Lan Giok-keng, terpaksa dia
masukkan tangannya ke dalam pakaian gadis itu, dari balik saku
yang berada di pakaian dalamnya dia berhasil menemukan sebuah
botol perak kecil, di dalam botol itu terdapat berapa butir pil
berwarna merah. "Apakah yang ini?"
"Benar, cepat lolohkan ke mulutku."
Pil semacam ini harus dimamah dulu sebelum ditelan, dengan
begitu daya kerja obat baru bereaksi lebih cepat. Tapi keadaan si
nona saat ini amat lemah, jangan lagi menghancurkan pil tersebut,
membuka mulut pun sudah tidak mampu.
Sambil membopong tubuhnya, Lan Giok-keng merasakan hatinya
goyah, jari tangannya gemetar, nyaris botol itu terjatuh dari
genggamannya. "Ini masalah nyawa, aku harus segera menolongnya," demikian
dia berpikir, "baiklah, biar kuanggap dia seperti ciciku sendiri."
Maka dia pun menggigit hancur sebutir pil Bi-leng-wan, kemudian
dilolohkan ke mulut gadis itu.
"Butuh berapa butir?"
"Cukup sebutir."
Seebun Yan bersandar lemas dalam pelukannya, tapi air
mukanya mulai nampak secercah cahaya kemerahan.
Bi-leng-wan memang nyata sebagai pil pemunah racun yang
amat tangguh, daya kerjanya sangat cepat.
Tidak sampai setengah batang hio kemudian, Seebun Yan telah
pulih kembali kekuatan tubuhnya, dia bangkit dari pelukan Lan Giokkeng,
duduk bersila dan berbisik, "Terima kasih banyak!"
Mukanya yang semula pucat pasi, kini mulai nampak memerah
dan segar kembali. "Tidak perlu berterima kasih. Kau adalah sahabat ciciku, jadi
sudah sepantasnya bila aku membantumu," sahut Lan Giok-keng.
"Ooh, kau adalah adik Sui-leng, kau bernama Lan Giok-keng?"
"Betul. Kita pernah berjumpa ketika masih di lembah Toan-hunkok.
Aku juga tahu kalau kau adalah Toa-siocia dari keluarga
Seebun." Lang Giok-keng tidak habis mengerti, mengapa dia ajukan
perkataan semacam itu padahal sebelumnya sudah tahu.
Tiba-tiba Seebun Yan tertawa cekikikan.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Lan Giok-keng tak habis
mengerti. "Kau tidak seharusnya memanggil aku Toa-siocia. Tahukah kau
kalau aku sudah mengangkat saudara dengan cici mu?"
"Lantas kenapa?"
"Lantas kenapa, kalau cici mu memanggil cici kepadaku, coba
jawab kau harus memanggil apa kepadaku" Kau musti menyebut
aku Lo-toaci!" "Aku lihat usiamu paling lebih tua sedikit ketimbang aku," sahut
Lan Giok-keng pura-pura serius, "lebih baik aku memanggil cici saja
kepadamu. Kalau musti ditambah kata 'lo' tua.... aku mah tidak
berani melakukannya."
Kontan Seebun Yan tertawa.
"Tidak nyana masih muda usia sudah pandai bicara manis,"
serunya, "aku dua tahun lebih tua dari cicimu, tahun ini berapa
usiamu?" "Aku dilahirkan pada tahun, bulan dan tanggal yang sama
dengan cici, sudah tujuh belas tahun."
"Oooh, rupanya kalian saudara kembar" Eeei, rasanya aneh
sekali." "Apanya yang aneh?"
"Orang bilang wajah saudara kembar pasti mirip satu dengan
lainnya, aku lihat kau sedikitpun tidak mirip dengan wajah cicimu!"
Lan Giok-keng jadi teringat kembali dengan ledekan dan ejekan
para Suheng-te nya sewaktu masih berada di gunung Bu-tong,
pikirnya, 'Kalau ditinjau dari apa yang dia katakan sekarang, berarti
isu yang beredar selama ini bukannya muncul tanpa sebab. Sayang
tadi aku tidak berhasil membekuk perempuan siluman itu.'
Maka sambil tertawa paksa katanya, "Segala macam persoalan
tentu ada pengecualian, ayah bilang aku mirip dengan engku, cici
mirip ibu. Apa anehnya akan hal ini?"
Seebun Yan seperti ada yang sedang dipikirkan, selang berapa
saat kemudian ia baru berkata, "Perlakuan cicimu terhadap dirimu
sungguh baik sekali, selama tinggal di rumahku, hampir setiap hari
dia selalu ribut merindukan dirimu. Aaai.... kau punya cici, kau jauh
lebih hokki ketimbang diriku. Sementara Aku hanya hidup sebatang
kara, tidak punya saudara laki-laki, tidak punya saudara
perempuan!" "Bukankah kau pun mempunyai seorang piauko?" entah
mengapa tiba-tiba Lan Giok-keng nyelutuk.
Tapi begitu ucapan tersebut diutarakan, dia baru tersadar, tidak
seharusnya mengungkit kembali luka hatinya.
Benar saja, paras muka Seebun Yan kontan berubah jadi gelap,
serunya, "Tidak usah mengungkit dia lagi, kapan dia pernah
menganggapku sebagai orang dekatnya" Hmm, dia tidak ambil
perduli diriku, aku pun tidak butuh dirinya."
Lan Giok-keng tidak berani memberi komentar, dia terbungkam
dalam seribu bahasa. Baru saja Seebun Yan menyinggung soal "tidak usah mengungkit
dia lagi", tapi malah dia pula yang segera mengungkitnya kembali,
"Piauko seringkali jalan bersamamu, tahukah kau dia hendak ke
mana?" "Aku sendiripun baru bertemu dia di puncak bukit itu," kata Lan
Giok-keng, "kedatangannya hanya setengah jam lebih awal daripada
kedatangan kalian. Tapi begitu melihat kemunculan kau berdua, dia
langsung angkat kaki kabur dari sini, jadi aku sendiripun tidak tahu
hendak kemana dirinya."
Begitu menyinggung soal 'kalian', Seebun Yan seolah baru
mendusin dari impian, dia mulai teringat dengan Bouw It-yu yang
datang ke Liauw-tong bersama dia.
"Kemana perginya Bouw-susiokmu" Apakah dia pun berada
diatas bukit itu" Kenapa kau datang kemari seorang diri?"
"Aku tidak tahu."
"Aku masih ingat," ujar Seebun Yan keheranan, "ketika aku
menyusul Piauko, dia sedang berada disini mengajakmu berbicara,
mana mungkin kau tidak tahu?"
"Tidak lama setelah kepergian kalian, datang seorang manusia
berkerudung. Ilmu silat yang dimiliki manusia berkerudung itu
sangat lihay, biar aku bersama Bouw-susiok mengerubutinya tetap
tidak berhasil mengalahkan dirinya. Kemudian aku dibanting sampai
jatuh tidak sadarkan diri. Sewaktu mendusin kembali, tahu-tahu aku
sudah berada disini."
Apa yang dia katakan memang semuanya merupa kan kejadian
nyata, tapi hanya separuh cerita yang dia sampaikan.
"Oooh, ternyata ada peristiwa seaneh ini, padahal jarak antara
tempat kita berada sekarang dengan puncak bukit itu paling tidak
mencapai tujuh, delapan li. Memangnya kau mimpi berjalan hingga
tiba disini?" "Aku sendiripun bingung dan tidak habis mengerti, mungkin saja
ada orang yang memindahkan diriku kemari di saat aku sedang tidur
terlelap." Padahal meski pada mulanya dia tidak sadarkan diri, namun
diapun tahu kalau manusia berkerudung itulah yang telah
memindahkan tubuhnya sampai disitu. Hanya saja dia tetap tidak
habis mengerti, mengapa manusia berkerudung itu berbuat
demikian. Tampaknya Seebun Yan pun tidak berniat menyelidiki lebih jauh
tentang kejadian aneh ini, apa yang dia pikirkan sekarang adalah
"apa yang bisa diperbuat manusia berkerudung itu terhadap Bouw
It-yu." Tiba tiba ia menjerit keras dengan nada terkesiap, "Pasti orang
itu!" "Kau pernah bertemu manusia berkerudung itu?" tanya Lan Giokkeng.
"Sehari sebelum aku dan Bouw It-yu tiba di kota Uh-sah-tin, di
tepi jalan kami jumpai tulisan besar di atas baru cadas yang
mencegah kami untuk melanjutkan perjalanan, tulisan itu berbunyi:
bila tidak segera kembali, berarti mencari penyakit buat diri sendiri.
Kami tidak bertemu dengannya, tapi tahu kalau kungfu yang
dimilikinya jauh diatas kemampuan kami berdua. Sebab selain
meninggalkan tulisan peringatan itu, dia pun meninggalkan bekas
telapak tangannya di atas batu cadas itu."
"Aaai, kalau sampai Bouw It-yu bertemu dengan orang itu, aku
kuatir.... aku kuatir bukan masalah saja yang dia jumpai. Kau saja
sudah dibanting sampai pingsan, meski Bouw It-yu itu paman
gurumu, dalam masalah ilmu silat, mungkin dia pun tidak lebih
hampir sama dengan kemampuanmu!"
Ketika berbicara sampai disini, nada suaranya kedengaran mulai
gemetar. Jelas dia sedang merasa takut bila Bouw It-yu bakal
kehilangan nyawanya. Melihat itu, Lan Giok-keng pun berpikir,
"Kusangka dalam hatinya hanya terdapat piauko nya seorang,
ternyata rasa kuatir dan perhatiannya terhadap Siau-susiok pun
sama sekali tidak berada di bawah perhatiannya terhadap sang
piauko." Maka dengan nada menghibur segera katanya, "Orang baik selalu
dilindungi Thian. Kau tidak perlu kelewat kuatir, Bouw-susiok pasti
bisa lolos dari segala mara bahaya."
"Kau tidak merasa apa yang kau ucapkan hanya kata yang sama
sekali tidak berguna?" bentak Seebun Yan gusar, "kecuali ada
seseorang dengan ilmu silat jauh lebih hebat dari manusia
berkerudung itu datang menyelamatkan jiwanya, kalau tidak, mana
mungkin dia bisa lolos dari bahaya maut?"
Lan Giok-keng tertawa. "Aku tidak tahu apakah di tempat ini terdapat seseorang yang
memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi daripada manusia berkerudung
itu, tapi aku tahu sejak awal sudah ada orang yang datang
membantunya." "Siapa dia?" buru-buru Seebun Yan bertanya.
"Rasanya seorang wanita."
"Kalau benar katakan benar, kalau tidak katakan tidak, kenapa
kau bilang sepertinya?"
"Waktu itu aku baru saja dibanting ke atas tanah oleh manusia
berkerudung itu, aku hanya sempat mendengar suaranya tapi belum
sempat melihat wajahnya, karena kesadaranku keburu hilang."
"Perkataan apa yang diucapkan orang itu?"
"Suara itu datang dari tempat yang jauh, tapi begitu lembut dan
halus sehingga enak didengar, kelihatannya dia sedang memanggil
nama seseorang, tapi aku hanya sempat mendengar salah satu
katanya saja." "Apa itu?" "Kata Yan." Seebun Yan seperti terperanjat, sesaat kemudian dia baru
bertanya lagi, "Menurut dugaanmu dia adalah ibuku?"
"Aku harap dugaanku tidak salah, bagaimana menurutmu
sendiri?" Seebun Yan tidak menjawab, wajahnya diliputi kebimbangan dan


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keraguan. "Eeei, apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Lan Giok-keng.
Seebun Yan memang sedang memikirkan sesuatu, tapi apa yang
dipikirkan tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Karena dia
teringat kembali dengan perkataan yang pernah diucapkan si Lebah
hijau Siang Ngo-nio. Bukan saja perkataan tersebut tidak boleh diberitahukan kepada
Lan Giok-keng, bahkan dia sendiripun merasa tidak pantas untuk
membayangkan kembali ucapan tersebut.
"Mana boleh aku mempercayai perkataan perempuan siluman
itu" Bouw It-yu adalah putra Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long,
ibu pun perempuan keturunan keluarga kenamaan, hampir setiap
umat persilatan mengetahui akan hal ini. Tidak pantas dia
mengenakan topi hijau ini diatas kepalanya tanpa didasari bukti
yang jelas." Biarpun jalan pikiran itu hanya 'ingatan sesaat' yang timbul dari
hatinya, lagipula telah dipermak disana sini. Namun
perumpamaannya tentang "asal usul yang tidak jelas" kedengaran
amat tidak sedap dalam telinga.
Waktu itu dia berkata secara terang terangan kalau Seebun-hujin
sedang bertemu dengan anak jadahnya.
Menghadapi sinar mata penuh tanda tanya dari Lan Giok-keng,
Seebun Yan segera tersadar kembali, sambil berlagak girang
serunya kemudian, "Kecuali ibuku, Perempuan yang bisa membuat
kabur manusia berkerudung dewasa ini rasanya tidak bakalan ada
keduanya. Tapi apakah Bouw-susiok mu dalam keadaan sehat
wal'afiat" Bagaimana kalau ku-temani kau balik ke sana?"
Seandainya bukan Seebun Yan yang memohon kepadanya,
sejujurnya Lan Giok-keng tidak ingin balik lagi menengok Bouw Ityu.
Entah mengapa, dia menaruh perasaan curiga bercampur takut
yang aneh terhadap paman guru kecilnya ini. Lagipula dia sendiri
masih ada tugas lain, harus berangkat ke kota Kim-leng untuk
melacak dan menyelidiki teka teki seputar asal usulnya.
Tapi dia tidak bisa memakai alasan itu untuk menampik
permohonan dari Seebun Yan.
Sementara dia masih sangsi, Seebun Yan telah berkata lagi
sambil tertawa cekikikan, "Masa kau merasa malu berjalan bersama
cici mu" Barusan saja kau malah sempat membopong dan memeluk
ku." Gadis ini memang sudah terbiasa menuruti suara hati sendiri, di
saat sedang bergembira, dia suka sekali bergurau, dan sekarang dia
ingin sekali melihat wajah Lan Giok-keng yang malu tersipu-sipu.
Dengan wajah merah padam terpaksa Lan Giok-keng menemani
gadis itu balik kembali ke atas bukit.
Seebun-hujin tertidur sangat nyenyak, entah apakah dia sedang
bermimpi indah, senyuman yang lembut dan ramah tersungging
diujung bibirnya. Perasaan budi dan dendam bercampur aduk, walaupun hati kecil
Bouw It-yu masih diselimuti perasaan benci, namun dia tidak berani
menatap senyuman di wajahnya, cepat dia alihkan sorot matanya ke
arah lain. Pedangnya telah dicabut keluar, namun tangan yang
menggengamnya masih gemetar keras.
Bila ingin membalaskan dendam bagi ibunya, inilah kesempatan
terbaik baginya, tapi bolehkah dia berbuat begitu"
Sementara pertarungan batin masih bergejolak, mendadak dia
seperti mendengar suara helaan napas bergema dari luar sana.
Cepat dia melangkah keluar dari gua, mencoba mendengarkan
dengan seksama. Waktu itu fajar baru saja menyingsing, diantara lamat-lamatnya
cuaca, dari puncak bukit berselimutkan salju di seberang sana
terlihat ada berapa bayangan manusia sedang bergerak mendekat.
Suara pembicaraan mereka pun telah terkirim datang oleh
hembusan angin fajar dan terdengar ditempat itu.
Terdengar suara seorang perempuan yang amat dikenalnya
bergema tiba, "Tonghong Liang pernah membuat keonaran di
gunung Bu-tong, tentu Thaysu telah mengetahuinya bukan"
Tonghong Liang si bocah keparat itu masih tidak seberapa, aku
justru kuatir bila ilmu pedang Seebun-hujin sudah jauh diatasnya."
Bouw It-yu sangat terperanjat, ternyata perem-puan itu tidak lain
adalah si Lebah hijau Siang Ngo-nio.
Menyusul kemudian terdengar suara seseorang yang bernada
keras menyahut, "Aku hanya merasa sayang Seebun Mu telah mati."
Yang berbicara adalah seorang pendeta asing berbaju merah.
Sebagaimana diketahui, Seebun Mu pernah menjadi Liok-lim
Bengcu, dari nada pembicaraan pendeta asing itu bisa disimpulkan
bahwa dia menganggap hanya Seebun Mu yang pantas menjadi
musuhnya, sementara istri Seebun Mu sama sekali tak dipandang
sebelah mata pun olehnya.
Siang Ngo-nio segera tertawa paksa, ujarnya, "Aku merasa
sangat kagum dengan ilmu silat yang dimiliki Thaysu, tentu saja
perempuan itu bukan tandinganmu, hanya saja segala sesuatu lebih
baik bertindak lebih hati-hati, yang aku kuatirkan hanyalah bila
Thaysu kelewat pandang enteng musuh kita."
Tiba-tiba orang ke tiga berkata, "Tonghong Liang kuserahkan
kepada kalian, sementara Bouw It-yu kalian serahkan kepadaku."
"Benar," sambung orang ke empat, "bila kita berempat turun
tangan bersama, betapapun lihaynya musuh kita, aku yakin masih
dapat menghadapinya. Yang paling ingin kutangkap adalah Lan
Giok-keng si bocah keparat itu."
Ke empat orang itu berjalan cepat diatas permukaan salju, dalam
waktu singkat mereka telah berjalan mendekat dari tebing bukit di
seberang sana. Bouw It-yu segera mengenali dua orang lelaki lainnya, ternyata
mereka adalah Ouyang Yong yang pernah ditotok jalan darahnya
serta Eng Siong-leng yang pernah dikalahkan Tonghong Liang.
Dari ke empat orang itu, dia mengenali tiga orang diantaranya,
hanya pendeta asing berbaju merah itu yang belum diketahui asal
usulnya. Sungguh tajam pandangan mata Siang Ngo-nio, dia yang
pertama kali mengetahui kehadirannya, sambil memperdengarkan
suara tertawa dinginnya yang menggidikkan, ujarnya, "Hahahaha....
tidak nyana kau si keparat masih berada disini, dimana perempuan
bangsat itu?" Sambil tertawa dingin dia menyentilkan sebutir peluru kabut
harum yang langsung meledak persis dihadapan Bouw It-yu.
Bertemu musuh besarnya, sepasang mata Ouyang Yong
langsung berubah jadi merah membara, bentaknya pula, "Bajingan
keparat, aku memang sedang mencari-mu untuk membuat
perhitungan, kalau punya nyali ayoh bertarung habis habisan
melawanku!" Buru-buru Bouw It-yu melepaskan satu pukulan untuk
membuyarkan asap beracun, namun tidak urung dia menghisapnya
juga beberapa bagian. Sebagaimana diketahui, peluru kabut harum yang diracik Siang
Ngo-nio merupakan sejenis bubuk pemabuk yang sangat lihay,
namun khasiatnya hanya dapat membuat orang pingsan dan sama
sekali tidak meracuni tubuh.
Padahal saat itu tenaga dalam yang dimiliki Bouw It-yu belum
sama sekali pulih, setelah menghisap kabut pemabok itu meski tidak
sampai jatuh pingsan, sedikit banyak dia merasakan juga kepalanya
jadi pening dan pandangan matanya berkunang.
Ketika telapak tangan Ouyang Yong membacok tiba, cepat Bouw
It-yu menyentilkan jari tengahnya menghajar urat nadi di punggung
tangannya, lengan kanan Ouyang Yong seketika terhajar telak
hingga lunglai lemas. Dalam keadaan begini ternyata orang itu enggan menyerah
dengan begitu saja, dia merangsek lebih ke depan, biar lengan
kanannya sudah lemas tidak bertenaga namun dia masih memiliki
tangan kiri, sebuah pukulan tinju langsung ditumbukkan ke depan.
Bila berada dalam keadaan biasa, Bouw It-yu tidak bakalan
merasa kuatir, tapi kini tenaga dalamnya belum pulih, gerakgeriknya
sama sekali tidak lincah, pertarungan keras melawan keras
ini menyebabkan kedua belah pihak sama-sama menderita kerugian
besar. Tidak ampun tubuh Bouw It-yu mundur dengan sempoyongan,
wajahnya bertambah pucat pias.
Pada saat yang bersamaan Eng Siong-leng telah menerjang maju
dan memapaki datangnya tubuh lawan.
"Tinggalkan bocah itu untukku," buru-buru Siang Ngo-nio
berteriak keras, "kalau ingin balas dendam, silahkan kalian balas
dendam, tapi jangan kalian usik nyawanya!"
"Tidak usah kuatir Ngo-nio," sahut Eng Siong-leng sambil
tertawa, "aku tidak bakal memusnahkan si pipi putih ini."
Saat itu tenaga dalam Bouw It-yu semakin berkurang, ditambah
lagi kungfunya memang kalah setingkat dari lawannya. Tidak
sampai beberapa gebrakan dia sudah dibuat kalang kabut.
"Ngo-nio, siapakah bocah muda itu?" tanya pendeta berbaju
merah itu tiba-tiba. "Dia bernama Bouw It-yu, ayahnya adalah Ciangbunjin Bu-tongpay
saat ini." Pendeta berbaju merah itu tentu saja mengetahui nama besar
Bu-tong-pay, namun dia sangat percaya dengan kemampuan
sendiri, jangan lagi hanya putra dari sang ketua, kemampuan
Ciangbunjin dari Bu-tong-pay pun sama sekali tidak dimasukkan ke
dalam hati. Maka sambil memasukkan sepasang tangannya ke balik baju, dia
gelengkan kepalanya berulang kali seraya berkata, "Lantas ke mana
perginya jago-jago lihay yang kalian maksudkan" Merusak selera,
merusak selera! Hanya menghadapi seorang bocah muda saja
dibutuhkan kekuatan berapa orang untuk mengerubutinya?"
Merah padam selembar wajah Eng siong-leng, segera bentaknya,
"Ouyang Yong, kau mundur!"
Waktu itu Ouyang Yong sedang merasakan kesakitan yang luar
biasa pada tangan kanannya, dia segera membangkang, sahutnya,
"Bocah keparat ini pernah membokongku secara diam-diam, boleh
saja kalau minta aku mundur, tapi harus menunggu sampai
kuhadiahkan sebuah bacokan terlebih dulu."
Waktu itu Eng Siong-leng telah berada diatas angin, pikirnya,
'Apa susahnya memberi kesempatan kepadamu untuk
menghadiahkan sebuah bacokan"'
Sambil berpikir dia melepaskan sebuah bacokan ke depan,
serangannya mulai dilancarkan sangat gencar, begitu perhatian
Bouw It-yu terpancing untuk memperhatikan gerak serangannya,
tiba-tiba dia melancarkan sebuah sapuan, membuat tubuh anak
muda itu seketika terpelanting jatuh ke tanah.
"Bocah keparat, jangan gugup!" jengek Ouyang Yong sambil
tertawa seram, "aku hanya menginginkan sebuah lenganmu!"
Tampaknya ayunan goloknya segera akan memisahkan lengan
Bouw It-yu dengan tubuhnya....
Mendadak dari sisi arena meluncur datang seekor "ular emas"
diikuti berkelebatnya segumpal bayangan putih, lalu terdengar
Ouyang Yong menjerit keras, goloknya terlepas dari genggaman dan
tubuhnya mencelat sejauh berapa tombak dari posisi semula.
Ternyata Seebun-hujin telah berjalan keluar dari dalam gua.
Karena tidak membawa senjata, dia melepaskan seutas tali ikat
pinggangnya dan digunakan untuk menggulung golok yang berada
ditangan Ouyang Yong. Tali pinggang itu berwarna warni dan meluncur bagaikan seekor
ular emas, namun kelihayannya jauh melebihi seekor ular berbisa,
bukan saja berhasil merampas golok di tangan Ouyang Yong,
bahkan sempat melilit pergelangan tangannya dan membuat tulang
tangannya patah jadi dua.
Dengan jurus ikan lehi melentik buru-buru Bouw It-yu melompat
bangun, sebuah tendangan langsung diarahkan ke tubuh Ouyang
Yong yang sedang ter-guling.
Sayang kekuatan tubuhnya sudah amat lemah, asap pemabok
yang terhisap dalam tubuhnya sedang bekerja, begitu berhasil
menendang tubuh Ouyang Yong, dia sendiripun berdiri
sempoyongan bagaikan lidah api yang dipermainkan angin.
Cepat Seebun-hujin memeluk ke dalam rangkulannya, bisiknya,
"Jangan gugup, ada ibu disini!" Tapi dia lupa kalau masih ada Eng
Siong-leng disisinya. Oleh karena perubahan ini terjadi sangat tiba
tiba, tidak urung Eng Siong-leng tertegun juga dibuatnya.
Namun bagaimana pun dia adalah seorang jago kawakan, begitu
melihat peluang emas, langsung saja dia lancarkan sebuah
cengkeraman maut ke tubuh Seebun-hujin.
Orang ini adalah seorang jagoan yang sangat menguasahi ilmu
Toa-kin-na-jiu-hoat, cengkeraman yang dia lancarkan benar-benar
sangat menakutkan, biar seorang jago lihay pun mungkin sulit untuk
meloloskan diri, atau paling tidak tulang tubuhnya bakal
tercengkeram hancur. Menghadapi datangnya ancaman maut itu, ternyata Seebun-hujin
masih tetap memeluk tubuh Bouw It-yu, malah tangan kirinya
sedang mengambil sebutir pil yang disuapkan ke mulut pemuda itu
sementara sepasang mata nya tertuju pula pada pemuda yang
berada dalam pelukannya. Dia seakan sama sekali tidak melihat kalau Eng Siong-leng sudah
berada disisi tu buhnya, tentu saja dia pun tidak berusaha untuk
menghindarkan diri. Tampaknya cengkeraman itu segera akan menghancurkan tulang
Pi-pa-kut nya.... Pada detik terakhir tiba-tiba dia mengayunkan tangan kanannya,
lagi-lagi tali ikat pinggang itu berubah jadi ular emas dan meluncur
ke depan, kali ini mengarah telapak tangan Eng Siong-leng.
Bagaimanapun Eng Siong-leng adalah seorang jago silat
kawakan, begitu merasakan angin serangan yang muncul membawa
daya 'tusukan', dia segera sadar kalau gelagat tidak
menguntungkan. Tali ikat pinggang termasuk benda yang lunak, namun setelah
memperoleh saluran tenaga dalam dari Seebun-hujin, kini tali yang
lemas telah berubah jadi tombak yang sangat tajam.
Bagi Eng siong-leng, dia lebih suka digigit ular berbisa daripada
membiarkan jalan darah Lau-kiong-hiat pada telapak tangannya
tertusuk ujung tali lawan. Bila jalan darah Lau-kiong-hiat sampai
tertusuk tembus, mungkin tenaga dalam yang dimilikinya bakal
punah separuh bagian. Sekalipun cukup cepat dia menarik kembali tangannya, tidak
urung punggung telapaknya terhajar juga oleh tali ikat pinggang itu,
seketika dia merasakan rasa panas dan sakit yang luar biasa.
Dalam pada itu Seebun-hujin sama sekali tidak bergeser dari
posisi asalnya, dia hanya memainkan tali pinggangnya kian kemari,
memaksa lawan tidak sanggup menghampirinya.
Terdengar pendeta asing berbaju merah itu bertanya kepada
Siang Ngo-nio, "Bukankah kau mengatakan kalau bocah she-Bouw
itu adalah putra Bu-tong Ciangbunjin Bouw Ciong-long" Setahuku
bini Bouw Ciong-long sudah lama mati, darimana bisa muncul
seorang nenek yang mengaku sebagai ibu kandungnya?"
Saat itu Ouyang Yong telah menyambung sendiri sendi tulangnya
yang terlepas, kontan dia nyeletuk sambil tertawa dingin, "Untuk


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa bermain dengan pipi putih, kalau tidak mengaku sebagai
anaknya, lalu musti diakui sebagai apa?"
"Mulutmu benar benar kotor dan tidak bermoral," umpat Siang
Ngo-nio cepat, "mana boleh kau sembarang an menuduh orang?"
"Eeei.... bukankah kaupun mengumpatnya sebagai perempuan
hina" Kenapa malah membantu bicara untuk dirinya?"
"Yang kukatakan adalah kenyataan, benar adalah benar, tidak
benar adalah tidak benar."
"Lantas menurutmu mengapa dia anggap si muka putih itu
sebagai anak kesayangannya?"
"Aaaah, kau seperti tidak mengerti saja, ini namanya mencintai
orangnya sekalian mencintai peliharaannya."
Maksud lain dari perkataan itu adalah menuding orang yang
benar-benar dicintai Seebun-hujin adalah ayah Bouw It-yu.
Tampaknya pendeta asing berbaju merah itu kurang begitu
paham dengan pepatah dari bangsa Han, padahal sejujurnya dia
memang tidak tertarik untuk mengetahui hubungan antara Seebunhujin
dengan Bouw It-yu, pertanyaan yang dilontarkan tidak lebih
hanya pertanyaan iseng. Yang benar-benar menarik perhatiannya
saat ini hanyalah ilmu silat yang dimiliki Seebun-hujin.
"Apakah perempuan ini adalah Seebun-hujin yang kau
maksudkan itu?" kembali pendeta berbaju merah itu bertanya.
Belum sempat Siang Ngo-nio menjawab, situasi kembali telah
terjadi perubahan baru, perubahan yang membuat hatinya
terkesiap. Saat itu Seebun-hujin telah menurunkan Bouw It-yu ke tanah,
dengan wajah penuh amarah dia bangkit berdiri dan...."plaaaak!
sebuah tempelengan keras telah mendarat di wajah Eng Siong-leng,
rupanya ikat pinggang Seebun-hujin telah mencambuk wajahnya
secara telak, bagaikan terkena sabetan cambuk ruyung, kontan
wajahnya sembab memerah dan mengucurkan darah. Masih untung
dia berkelit cukup cepat, kalau tidak mungkin sepasang matanya
telah buta dibuatnya. Kembali tubuh Seebun-hujin melambung ke udara, kali ini dia
bukannya mengejar ke arah Eng Siong-leng melainkan menerkam
Siang Ngo-nio. Buru-buru Siang Ngo-nio melepaskan segenggam jarum emas,
tapi mana mungkin serangannya itu dapat membendung terjangan
Seebun-hujin" "Triiiing, traaaang...." serangkaian dentingan nyaring bergema di
udara, tahu tahu seluruh jarum emas itu sudah tersapu oleh tali ikat
pinggangnya dan meluncur balik.
"Kungfu yang hebat!" puji pendeta asing berbaju merah itu.
Sebuah pukulan yang dibabat keluar menghancurkan segenggam
jarum emas yang terpental balik itu menjadi bubuk halus, hancuran
bubuk itu menyebar diseluruh tubuh Siang Ngo-nio, membuat
perempuan itu termangu saking kagetnya.
Dengan satu gerakan yang amat cepat pendeta asing berjubah
merah itu menyongsong kehadiran Seebun-hujin, dengan sebuah
pukulan Toa-jiu-eng dia lepaskan pukulan dahsyat.
Tali ikat pinggang Seebun-hujin yang semula tegak lurus seperti
seekor ular emas, kini telah berubah jadi berliuk-liuk karena tekanan
pukulan lawan. Siang Ngo-nio ikut melejit ke samping untuk menghindari
desakan hawa pukulan yang dahsyat.
Toa-jiu-eng memang sebuah pukulan yang menakutkan, begitu
meleset dari sasaran, angin pukulan yang maha dahsyat itu
langsung menggulung ke muka dan menghantam sebatang pohon
kecil yang tumbuh di sisi jalan.
"Blaaaam!" pohon sebesar paha itu langsung terhantam patah
jadi dua dan roboh ke tanah.
Ternyata pendeta asing berjubah merah itu adalah seorang
jagoan sakti dari Mi-tiong Tibet, dia bergelar Ka-cok. Konon ilmu
pukulan Toa-jiu-eng miliknya berada di urutan kedua di kolong
langit. Ketika Nurhaci Khan (kemudian menjadi kaisar Cheng Thay-cu)
mendengar nama besarnya, secara khusus dia mengundang
pendeta ini untuk datang ke Seng-keng (kini kota Shen-yang) dan
memberinya gelar Sin-bu-hoat-su Pendeta dewa silat.
Kehadirannya kali ini pun sedang menjalankan perintah dari
Nurhaci Khan untuk datang ke kota Uh-sah-tin dan menyampaikan
perintah rahasia kepada Kim-lopan.
Eng siong-leng pernah bekerja sebagai pengawal pribadi Nurhaci
Khan, sejak sepuluh tahun berselang dia sudah berkenalan
dengannya di kota Seng-keng. Ketika pendeta itu tiba di kota Uhsah-
tin, waktu itu kebetulan Eng Siong-leng baru pulang dari
pengejaran, maka begitu bertemu dengannya, dia pun
mengundangnya untuk sekali lagi mengejar Tonghong Liang serta
Lan Giok-keng sekalian. Di tengah jalan mereka bertemu Siang Ngo-nio, karena
mengandalkan orang-orang itu sebagai jimat pelindung dirinya,
maka diapun ikut balik lagi ke tempat itu. (semalam ketika Seebunhujin
sedang mengobati Bouw It-yu, diapun pernah bersembunyi di
sekitar sana sambil mengintip, hanya saja tidak berani menampilkan
diri). Ka-cok Hoatsu tampak tercengang ketika melihat serangan toajiu-
eng yang dilancarkan hanya mampu memaksa tali ikat pinggang
Seebun-hujin jadi meliuk. Cepat dia mengejar ke depan, sambil
tertawa tergelak serunya, "Ternyata kungfu mu hebat juga, kenapa
baru satu gebrakan sudah ingin kabur. Jangan kuatir, walaupun
Hudya tidak pantang membunuh, tapi belum pernah mencelakai
perempuan cantik, ayoh kemari, temani Hudya bermain beberapa
gebrakan lagi!" Seebun-hujin membalikkan tubuhnya sambil melompat keluar,
diantara kibaran ujung bajunya, bagaikan sekuntum awan putih
tahu-tahu dia sudah melayang turun di hadapan Ouyang Yong.
"Plaaak, plaaak, plaaak, plaaak!" dalam waktu sekejap Seebunhujin
telah melayangkan tamparannya berulang kali,
menghadiahkan empat gamparan keras ke wajah Ouyang Yong,
bukan saja membuat pipinya sembab merah, beberapa buah giginya
ikut patah dan tertelan berikut darah.
Coba kalau bukan Ka-cok Hoatsu segera menyusul tiba, mungkin
penderitaan yang dialami Ouyang Yong akan semakin parah.
Perlahan-lahan Seebun-hujin membalikkan tubuhnya, setelah
tertawa dingin ujarnya, "Hweesio gede, lebih baik gunakan
kesempatan ini untuk membaca mantera selamat!"
Setelah merasakan kelihayan Toa-jiu-eng dari hwesio itu, kali ini
Seebun-hujin bertindak lebih hati-hati. Tali ikat pinggangnya
berputar kencang di utara lalu menerobos masuk ke depan, kali ini
sasaran yang diarah adalah sepasang mata, lubang hidung dan
telinga dari Ka-cok Hoatsu.
Di bawah gempuran musuh yang dahsyat, tampak tali ikat
pinggang itu bergoyang tiada hentinya bagaikan ranting pohon liu
yang dimainkan angin puyuh, tapi sayang tali termasuk benda
lembek, Ka-cok Hoatsu tidak sanggup menggunakan angin
pukulannya untuk mematahkan senjata tersebut.
Di tengah pertempuran, berapa kali tali di tangan Seebun-hujin
menerobos masuk bagaikan seekor ular lincah, berapa kali nyaris
menyusup masuk ke dalam lubang hidung Ka-cok Hoatsu, hal ini
menyebabkan pendeta itu bersin berulang kali, terpaksa dia mundur
berapa langkah dengan wajah merah padam.
Menerobos masuk ke lubang hidung memang masalah kecil, tapi
urusan jadi besar jika sepasang matanya yang tertusuk.
Ka-cok Hoatsu tidak berani pandang enteng lawannya, cepat dia
memutar tubuh sambil melepaskan jubah merahnya, kemudian
bagaikan selapis awan merah dia hadang sergapan tali musuh yang
meliuk bagaikan ular emas.
Seebun-hujin tidak berani merangsek lebih ke depan, tidak lama
kemudian permainan tali ikat pinggangnya malah terhambat
sehingga terkurung sama sekali di bawah lapisan awan merah.
Sebetulnya kepandaian yang dimiliki wanita ini tidak kalah dari
Ka-cok Hoatsu, namun berhubung semalam dia telah mengorbankan
banyak tenaga murni untuk membantu Bouw It-yu menembusi
delapan nadi pentingnya, maka setelah pertarungan berlarut lebih
lama, dia mulai merasakan kehabisan tenaga.
Begitu berhasil menduduki posisi di atas angin, kembali Ka-cok
Hoatsu merasa bangga, katanya sambil tertawa, "Konon suamimu
sudah lama meninggal, selama ini hidup sebatang kara, benar-benar
kasihan, bagaimana kalau kau menjadi murid Hud-ya saja!"
Seebun-hujin tidak berani memecahkan perhatian untuk balas
mengumpatnya, terpaksa dia harus menahan diri dan bertarung
seraya menggertak gigi. Di pihak lain Bouw It-yu sudah bertarung seru melawan Siang
Ngo-nio. Setelah menelan pil Bi-leng-wan, semangat dan tenaga Bouw Ityu
telah pulih kembali, tapi tenaga dalamnya baru pulih delapan
bagian, karena Siang Ngo-nio tidak menggunakan senjata rahasia
beracun, maka kekuatan mereka pun berimbang.
Dengan berlagak seolah tidak terburu-buru, sambil tertawa seru
Bouw It-yu, "Apakah Tong ji-sianseng baik-baik saja" Tidak nyana
dia begitu tega membiarkan kau pergi seorang diri."
Siang Ngo-nio balas tertawa.
"Semestinya aku sudah terbaring di dalam liang kubur, apa mau
dikata aku jadi orang lebih suka mampus daripada kesepian, karena
itu terpaksa harus bangkit lagi dari liang kubur. Sekalipun begitu,
aku tetap berterima kasih kepadamu karena telah merancangkan
siasat ini. Karenanya kau tidak perlu gugup atau panik, asal mau
mengakui aku sebagai ibu angkatmu, aku tidak bakalan
mencelakaimu lagi." Yang dia maksudkan adalah peristiwa yang telah terjadi delapan
bulan berselang, ketika Bouw It-yu merancangkan siasat baginya,
membiarkan dia "tewas" ditangan Tong Ji-sianseng hingga terhindar
dari penangkapan yang dilakukan orang-orang Bu-tong-pay.
Dalam peristiwa ini, hanya tiga orang yang mengetahuinya, Eng
Siong-leng serta Ouyang Yong yang berada di samping perempuan
itu nampak tertegun dan tidak habis mengerti.
Wajah Eng Siong-leng saat itu hanya dihajar terluka oleh Seebunhujin,
yang diderita hanya luka luar saja, beda dengan luka dari
Ouyang Yong, baru saja dia menyambung tulangnya yang terlepas,
hal ini membuat tangannya untuk sementara tidak bisa digunakan.
Tapi dasar bandel, dia tidak tahan mendengar celoteh dari Siang
Ngo-nio dan Bouw It-yu itu.
Terdengar Bouw It-yu berkata sambil tertawa tergelak, "Ngo-nio,
kelihatannya kau sedang mengidap penyakit menular, bertemu
siapa pun ingin menjadikan dia sebagai anak pungutmu, hanya saja,
aku tidak ingin merusak tingkat kesenioranku dengan Lan Giokkeng."
Ouyang Yong tidak mengetahui sebab musabab dibalik ucapan
itu, dia sangka mereka sedang saling meledek, maka sambil
menerjang maju ke depan dan tertawa dingin, serunya, "Kalau kau
tidak mau menjadi anak angkatnya Ngo-nio, jadi anakku saja,
panggil aku bapak, segera kuampuni nyawamu!"
Siang Ngo-nio tidak suka hati mendengar perkataan itu, sengaja
dia kendorkan serangannya, menggunakan kesempatan itu Bouw Ityu
langsung melepaskan sebuah tusukan sambil membentak, "Kau
hanya pantas jadi cucu kura-kura!"
Sesungguhnya ilmu silat yang dimiliki Ouyang Yong kalah
Petualang Asmara 11 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Hina Kelana 7
^