Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 19

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 19


setingkat dibandingkan Bouw It-yu, apalagi saat ini harus bertarung
dengan mengandalkan sebuah lengan, mana mungkin dia bisa
menahan serangan jurus pedang Bouw It-yu yang dahsyat"
Terdengar dia menjerit keras, tubuhnya yang baru menerjang ke
depan segera mundur kembali. Biarpun kali ini luka yang dideritanya
tidak terhitung parah, namun dua jari tangan kirinya telah terpapas
kutung oleh sabetan pedang tajam Bouw It-yu.
Saking mendongkolnya Ouyang Yong berteriak keras, "Siang
Ngo-nio, kau benar-benar hanya membutuh kan si muka putih tidak
tidak perdulikan sahabatmu?"
"Bagus," jawab Siang Ngo-nio dingin, "kau maju saja, akan
kubiarkan kau bertarung satu lawan satu dengannya."
Eng Siong-leng segera goyangkan tangannya memberi tanda
agar dia segera mundur. Sementara dia sendiri sambil maju ke
depan katanya, "Ngo-nio, kaupun tahu kemungkinan besar pihak
lawan masih mempunyai bala bantuan, hingga sekarang Tonghong
Liang dan Lan Giok-keng belum muncul disini!"
"Lantas kenapa?"
"Kita harus selesaikan pertarungan ini secepatnya!" sahut Eng
Siong-leng hambar, "Ngo-nio, bila kau sudah lelah, pergilah
beristirahat sejenak, biar aku bertarung satu lawan satu melawan
bocah muda ini!" Eng Siong-leng tidak bisa dibandingkan dengan Ouyang Yong,
sebab baik soal status maupun ilmu silat, dia masih jauh diatas
kemampuan rekannya. Terhadap Ouyang Yong boleh saja Siang Ngo-nio
mempermainkan dan pandang enteng dirinya, tidak demikian
terhadap Eng Siong-leng, dia harus menaruh rasa hormat
terhadapnya. Hanya saja karena antara dia dengan Bouw It-yu mempunyai
hubungan yang khusus, tentu saja dia enggan membiarkan Bouw Ityu
terjatuh ke tangan Eng Siong-leng.
Sementara dia masih serba salah dibuatnya, mendadak terdengar
suara teriakan seorang pria dan wanita berkumandang secara
bersamaan. Yang lelaki memanggil, "Susiok!", sedang yang wanita
memanggil, "Ibu!"
Tidak salah lagi, mereka berdua adalah Lan Giok-keng dan
Seebun Yan. Kedatangan mereka berdua sebenarnya sudah berada dalam
dugaan Siang Ngo-nio, namun juga diluar dugaannya.
Cepat atau lambat Seebun Yan pasti akan balik kesana untuk
mencari Bouw It-yu, sementara kedatang-an Lan Giok-keng
mendampingi gadis itupun sangat masuk diakal, tentu saja Siang
Ngo-nio tidak akan merasa keheranan.
Justru yang membuat Siang Ngo-nio tidak menyangka adalah
kedatangan mereka yang begitu cepat.
Seebun Yan sudah terkena bubuk pemaboknya, menurut
perkiraan dia, sekalipun dapat pulih kembali paling tidak juga butuh
waktu berapa jam lamanya.
Tentu saja dia tak mengira kalau Seebun Yan mengandalkan
khasiat dari pil Bi-leng-wan serta "tenaga bantuan" dari Lan Giokkeng
hingga tidak sampai setengah jam kemudian, dia sudah dapat
menggunakan lagi ilmu meringankan tubuhnya.
Begitulah, dengan kecepatan luar biasa Lan Giok-keng telah
menerjang tiba dan menggantikan posisi Bouw It-yu.
"Lagi-lagi bocah keparat ini!" umpat Eng Siong-leng gusar.
"Tua bangka yang tidak tahu malu, baru saja kau berhasil
melarikan diri, sekarang berani mencari gara-gara lagi."
Umpatan ini mempunyai arti ganda, tadi wajah Eng Siong-leng
terhasil dihajar Seebun-hujin hingga robek berdarah, dia memang
benar-benar sudah kehilangan muka sedari tadi.
Tidak heran kalau Eng Siong-leng jadi amat gusar, bentaknya,
"Bocah keparat, akan kucabutnyawamu!"
Diiringi bentakan nyaring, dia segera melancarkan serangan
mematikan! "Bagus, kalau memang punya kepandaian ayoh keluarkan
semua!" Sambil mencabut pedang dia melancarkan sebuah babatan.
Cengkeraman maut yang dilancarkan Eng siong-leng diarahkan
ke tulang Pi-pa-kut nya, bukan saja jurus serangannya matang
bahkan sudah diperhitungkan ke mana pun pihak lawan akan
berkelit, meski tulang Pi-pa-kut nya tidak sampai hancur, paling
tidak akan menyebabkan luka yang cukup parah.
Siapa tahu Lan Giok-keng bukannya berkelit malahan merangsek
maju ke depan, pedangnya dengan membentuk garis melingkar
langsung menyongsong datangnya cengkeraman itu.
Dengan begitu cengkeraman ini sama artinya usaha yang sia-sia
meski sudah dilakukan dengan resiko.
Tampak dimana cahaya putih berkelebat lewat, percikan darah
segar berhamburan ke udara, tahu-tahu sebuah jari tangan Eng
siong-leng sudah terpapas kutung. Masih untung dia cepat menarik
kembali tangannya, kalau tidak mungkin ke lima jari tangannya
bakal terpapas kutung semua.
Bouw It-yu sebagai seorang paman guru tidak tahan bersorak
memuji juga setelah melihat kejadian ini, serunya, "Sebuah gerak
tipuan yang hebat, jurus Hian-nio-hua-sah yang kau gunakan sangat
bagus!" Sementara itu Eng siong-leng justru merasa terkesiap, pikirnya,
'Heran, baru selisih saru hari, kenapa ilmu pedang yang dimiliki
bocah ini bisa mengalami kemajuan secara tiba-tiba"'
Sewaktu bertarung melawan Lan Giok-keng kemarin, walaupun
kekuatan mereka hanya seimbang namun dia masih bisa mengambil
porsi enam bagian untuk melancarkan serangan. Dia yakin kalau
bukan Tonghong Liang ikut menimbrung secara mendadak, dia
seharusnya masih bisa mengungguli Lan Giok-keng. Itulah sebabnya
tadi dia masih berani bicara sesumbar.
Dia mana tahu kalau ilmu pedang dari Lan Giok-keng lebih
menitik beratkan pada "pemahaman", ilmu Eng-jiau-kang yang
diyakini Eng siong-leng merupakan sebuah ilmu manunggal yang
jarang beredar dalam dunia persilatan, ketika bertarung pertama
kali, oleh karena Lan Giok-keng belum pernah menjumpai ilmu
tersebut sebelumnya, tidak urung dia sedikit dirugikan.
Tapi setelah bentrok untuk kedua kalinya, keadaan sedikit
berbeda, dari pengalaman sebelumnya dia berhasil menempa diri
untuk menciptakan cara untuk mematahkan serangan lawan, itulah
sebabnya tidak sulit baginya untuk merebut posisi diatas angin.
Selain itu masih terdapat alasan lain, dalam hal tenaga dalam
Eng siong-leng memang jauh diatas kemampuannya, tapi sebelum
ini Eng Siong-leng sudah menghadapi dua pertarungan secara
beruntun, hal ini menyebabkan tenaga dalamnya terkuras habis,
keadaannya sekarang malah jauh berada di bawah kemampuan Lan
Giok-keng. Sayangnya Eng siong-leng bukan saja tidak tahu kekuatan
sendiri, diapun tidak mengetahui kekuatan lawan, begitu sadar
kalau kemampuannya tidak sanggup mengatasi serangan pedang
lawan, dia masih ingin mengandalkan tenaga dalamnya untuk
meraih kemenangan, sebuah tendangan kilat dia lontarkan ke dada
Lan Giok-keng. Terkesiap hati Bouw It-yu begitu melihat Eng siong-leng berniat
adu nyawa. Tapi belum sempat dia maju untuk memberi bantuan,
terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati, bergema memecahkan
kehening-an, tampak seseorang roboh terjungkal ke atas tanah.
Tapi orang itu bukan Lan Giok-keng, juga bukan Eng Siong-leng
melainkan Ouyang Yong. Ternyata begitu Ouyang Yong melihat Seebun Yan hanya
seorang gadis muda, dia anggap "gadis ingusan" itu gampang
dipermainkan, waktu itu dia sedang duduk diatas batu sambil
mengobati lukanya, begitu melihat Seebun Yan lewat dihadapannya,
tanpa banyak bicara dia langsung menerkam ke depan.
Biarpun sedang bertempur, namun perhatian dan pendengaran
Seebun-hujin masih cukup tajam, begitu tahu anaknya terancam
bahaya, cepat dia berteriak, "Heng-im-toan-hun! (awan melintang
memotong puncak)!" Sejak kecil Seebun Yan sudah belajar silat dari ibunya, begitu
mendengar teriakan itu dia langsung lancarkan jurus serangan itu.
Sekalipun dalam keadaan tidak terluka pun Ouyang Yong sudah
sulit mengungguli gadis itu, apalagi sekarang setelah memperoleh
petunjuk dari ibunya. Daya jangkauan dari jurus Heng-im-toan-hun ini sangat kecil,
namun daya penghancurnya justru besar sekali, merupakan jurus
paling tangguh untuk menghadapi sergapan dari musuh. Begitu
jurus ini digunakan gadis tersebut, derita yang diterima Ouyang
Yong bukan hanya sekedar lepas tulang saja, seluruh lengannya
tertebas hingga kutung jadi dua.
Ternyata Ouyang Yong terhitung jagoan yang bandel dan nekad,
biar lengan sudah berpisah dengan tanah, biar badan sudah
tergeletak ditanah namun dia sama sekali tidak pingsan.
Sambil menggertak gigi dia segera menggulingkan diri ke bawah
tebing. Padahal di bawah tebing penuh dengan batu cadas tajam dan
runcing, begitu menggelinding ke bawah, bukan saja mati hidup
susah diketahui, yang pasti seluruh tubuhnya bakal luka dan robek
karena gesekan batu-batu itu.
Untuk sesaat Seebun Yan berdiri tertegun saking kagetnya.
Saat itulah kebetulan Eng Siong-leng sedang melambung sambil
melepaskan tendangan, ketika secara tiba-tiba mendengar jeritan
ngeri dari Ouyang Yong, seketika pikirannya jadi kalut, tendangan
yang dilancarkan pun otomatis bergeser arah.
Tapi justru karena tendangannya miring dari sasaran, dia malah
berhasil menyelamatkan kakinya dari babatan lawan. Waktu itu Lan
Giok-keng dengan jurus Sam-coan-hoat-lun sebetulnya sedang
menunggu sampai kaki lawan menendang keatas dadanya, maka
tebasan pedangnya segera akan memotong tumit sebatas lutut
musuhnya hingga kutung. Begitu tendangannya miring kesamping, cepat dia gunakan
kesempatan itu menggelinding pula ke bawah tebing dengan gaya
burung belibis membalikkan badan.
Gara-gara harus memberi petunjuk kepada putrinya, meski
berhasil memukul mundur Ouyang Yong namun Seebun-hujin
sendiri semakin tidak sanggup menghadapi gempuran gempuran
dahsyat dari Ka-cok Hoatsu, kini seluruh badannya nyaring
terkurung di bawah kepungan awan merah yang pekat.
Begitu hilang rasa kagetnya, Seebun Yan segera berteriak keras,
"Bajingan gundul, jangan lukai ibuku!"
Rasa kasih sayang seorang anak terhadap ibunya membuat
Seebun Yan untuk sesaat seolah lupa kalau kepandaian yang dimiliki
ibunya masih sepuluh kali lipat diatas kemampuannya, kalau ibunya
saja tidak sanggup melawan, apa pula gunanya dia maju memberi
bantuan" Tampak jubah merah yang diputar Ka-cok Hoatsu menimbulkan
deruan angin serangan yang sangat kuat, baru saja Seebun Yan
berlari mendekati ruas tiga tombak dari arena pertarungan, tiba-tiba
dia merasakan munculnya segulung tenaga yang sangat kuat
menghantam dadanya, seketika itu juga bagaikan sebuah bola kain,
tubuhnya mencelat sejauh tiga tombak lebih.
Dalam terkejut bercampur panik, secara beruntun Seebun-hujin
melancarkan berapa pukulan untuk memunahkan tenaga kekuatan
lawan. Untung saja dia melepaskan pukulan tepat waktu, sehingga
tenaga pukulan yang menyentuh tubuh Seebun Yan hanya tidak
lebih dari tiga bagian dari kekuatan Ka-cok Hoatsu semula, dengan
begitu si nona pun lolos dari luka yang parah.
Namun, kendatipun tidak sampai terluka parah, namun bantingan
dari tengah udara cukup membuatnya menderita.
Cepat Bouw It-yu dan Lan Giok-keng memburu ke depan untuk
menolong, Lan Giok-keng yang berada paling depan persis
menyongsong jatuhnya tubuh Seebun Yan dari udara, tanpa
berpaling lagi dia membalik tangan sambil melemparkan tubuh
Seebun Yan ke arah Bouw It-yu.
Dengan gugup Bouw It-yu menerima lemparan itu dan
membopongnya erat-erat, untuk sesaat mereka berdua berdiri
bodoh saking kagetnya. Dalam pada itu Lan Giok-keng bagai segulung angin kencang
telah menyerbu ke dalam arena pertarungan dan bertarung
bersanding dengan Seebun-hujin, gejolak tenaga dalam yang
dipancarkan kedua orang jago ini membuat anak muda itu
merasakan napasnya sesak dan tidak leluasa.
Cepat pemuda itu memusatkan konsentrasinya, dengan tehnik
"biarkan gunung Thay-san datang menindih, aku tanggapi bagai
hembusan angin berlalu" dia tusukkan pedangnya ke dalam
gumpalan awan merah pendeta itu.
Sebetulnya permainan jubah dari Ka-cok Hoatsu sangat ketat,
sedemikian rapatnya ibarat angin dan hujan pun sukar tembus, tapi
aneh sekali, ternyata tusukan pedang Lan Giok-keng yang
sederhana dan tidak dikenal itu berhasil menembusinya.
Padahal kalau berbicara soal ilmu silat, jelas kemampuan yang
dimiliki Ka-cok Hoatsu jauh diatas kemampuannya, mengapa dia
bisa memiliki kekuatan sedemikian 'sakti'"
Tentu saja hal ini disebabkan Seebun-hujin telah memberikan
bantuannya, kalau tidak ada Seebun-hujin yang mewakilinya
menghadang serbuan dari Ka-cok Hoatsu, tentu saja anak muda itu
tidak sanggup mengeluarkan kebolehannya.
Tapi alasan lain yang lebih penting lagi adalah karena dia sudah
memusatkan seluruh pikiran dan kekuatannya dalam jurus serangan
ini, dia telah menyatukan jiwa serta tubuhnya menjadi satu dengan
serangan pedangnya. Dalam waktu singkat, bukan saja dia seolah tidak melihat dan
tidak mendengar suasana di sekelilingnya, bahkan terhadap diri
sendiripun dia seolah sudah melupakannya.
Dalam detik yang singkat ini, dia seakan telah menjelma jadi si
tukang jagal sapi. "Tusukan pisaumu ke dalam celah kosong antara tulang dengan
otot, karena menurut anatomi tubuh sapi, bagian sambungan otot
dengan tulang adalah bagian yang susah ditusuk dengan pisau,
apalagi menusuk tulang keras. Oleh sebab itu walaupun pisau sudah
digunakan selama sembilan belas tahun, ketajamannya masih
seperti baru. Walau begitu, setiap kali bertemu bagian pertemuan
antara otot dan tulang, aku selalu bertindak hati-hati dengan
tingkatkan kewaspadaan, pusatkan pandangan ke satu titik, gerakan
semakin melambat, ketika menggerakkan pisau pun sangat ringan.
Lalu daging pun terurai dari tulang dan.... berserakan diatas tanah.
Dengan bangga kupandang empat penjuru, dengan hati-hati
kugosok pisauku dan menyimpannya kembali."
Kini dia sudah menjadi si koki yang hendak menjagal sapi, dia
berhasil menemukan "rongga kosong" di tubuh Ka-cok Hoatsu.
Jaman kuno ada seorang pemanah sakti bernama Yang Yu-ki, dia
pernah menggunakan cara semacam ini untuk melatih diri, dia ikat
seekor kutu dengan benang dan digantungkan diatas kelambunya,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setiap hari dipandangnya kutu itu, hingga suatu hari dari pandangan
matanya dia dapat melihat kutu itu telah berubah sebesar roda
kereta, maka anak panah yang dilepaskan pasti akan mengenai
sasaran tanpa meleset. Cerita ini mempunyai banyak kesamaan dan kemiripan dengan
cerita sang koki penjagal sapi.
Dan keadaan Lan Giok-keng saat ini tidak beda dengan Yang Yuki
yang melihat seekor kutu sebesar roda kereta, dia telah
menemukan setitik kelemahan yang muncul pada diri Ka-cok
Hoatsu, betapa pun ketat dan rapatnya perputaran jubah Ihasanya,
namun keadaan "angin dan hujan sukar tembus" hanya berlaku bagi
pandangan orang lain, dalam pandangan Lan Giok-keng dia berhasil
menemukan setitik 'ruang kosong' yang tidak terlihat orang lain.
Maka seperti panah sakti dari Yang Yu-ki, pedang saktinya pun
menusuk tembus jubah lhasa milik Ka-cok Hoatsu (Gb 13).
Biarpun hanya sebuah lubang yang kecil, namun jubah lhasa Kacok
Hoatsu yang semula menggelem-bung bagaikan layar perahu
samudra, tiba-tiba saja mengem-pis lalu rontok sama sekali. Ka-cok
Hoatsu bagaikan seekor ayam jago yang kalah bertarung segera
membuang jubah Ihasanya lalu membalikkan tubuh dan melarikan
diri. Untuk sesaat keheningan mencekam seluruh jagad. Lama
kemudian baru terdengar Bouw It-yu dan Seebun Yan berteriak
serentak, "Ilmu pedang hebat!"
Hanya bedanya, teriakan Seebun Yan penuh dengan nada
gembira sementara Bouw It-yu justru merasakan kekecutan yang
sukar diurai dengan perkataan.
Lama Seebun-hujin menatap wajahnya, kemudian tanyanya
perlahan, "Siapa yang mengajarkan ilmu pedang itu kepadamu?"
"Ibu," sela Seebun Yan, "rupanya kau belum tahu, dia adalah
adik Lan Sui-leng, murid dari Bu-tong-pay, menurut Bouw-toako, dia
adalah cucu murid yang paling disayang Bu-siang Cinjin "
Maksud dari perkataan itu sangat jelas, siapa yang telah
mengajarkan ilmu pedang itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Tapi Seebun-hujin seolah tidak mendengar perkataan dari
putrinya, dengan tatapan tanpa berkedip dia masih menanti
jawaban dari Lan Giok-keng.
Dan jawaban dari Lan Giok-keng ternyata jauh diluar dugaan
Seebun Yan. "Aku tidak tahu," sahutnya.
"Hey, apa maksud jawabanmu itu," sela Seebun Yan lagi dengan
nada tercengangm, "kenapa kau...."
Sebetulnya dia ingin menegur Lan Giok-keng, tapi setelah
menyaksikan pandangan mata ibunya maupun Bouw It-yu samasama
tertuju ke wajah Lan Giok-keng, seakan mereka tidak
menganggap aneh jawaban pemuda itu, terpaksa kata berikut tidak
dia lanjutkan. Lan Giok-keng berpikir sejenak, kemudian ujarnya lebih jauh,
"Kiam-koat aku dapatkan dari warisan Sucouw, gerakan jurus aku
belajar dari Gihu, tapi dengan pikiran yang kalut akupun
menciptakan sejumlah jurus baru."
"Oooh, dengan pikiran yang kalut" Pintar amat kau!" ujar Bouw
It-yu hambar. "Hwee-ko Thaysu pernah memberi petunjuk kepadaku, tapi yang
dia bicarakan adalah makna dan inti sari dari ilmu silat, sama sekali
bukan ilmu pedang." "Bila sebuah makna berhasil dipahami, berbagai pengertian lain
dengan sendirinya akan lebih mudah dicerna, meskipun petunjuk
yang dia berikan bukan ilmu pedang, namun banyak manfaat yang
berhasil kau peroleh bukan?" kata Seebun-hujin.
"Tepat sekali seperti yang hujin katakan."
Diam-diam Seebun-hujin berpikir, "Tampaknya apa yang dia
katakan bukan bohong, ilmu pedangnya memang jauh diatas
kemampuan anak Yu, meski belum tentu bisa mengungguli ayahnya
anak Yu, namun jelas dia telah membuka sebuah aliran baru."
Ternyata ketika dia menyaksikan kehebatan ilmu pedang yang
dimiliki Lan Giok-keng, sempat muncul kecurigaan dihati kecilnya,
curiga apakah ilmu pedang itu merupakan ajaran dari Bouw Cionglong.
Sementara dia dapat menerima penjelasan dari Lan Giok-keng,
berbeda dengan Bouw It-yu, dia masih menaruh sedikit kecurigaan.
"Tentunya orang yang memberi petunjuk ilmu silat kepadamu
bukan hanya Hwee-ko Thaysu seorang bukan?"
Belum sempat Lan Giok-keng menjawab, Seebun Yan sudah
kehabisan sabar, segera selanya, "Masalah ini bukanlah sebuah
masalah yang sangat penting, apa salahnya ditanyakan nanti saja.
Aku baru bertemu dengan ibuku, bolehkah aku berbicara duluan?"
"Anak Yan, kenapa kau begitu tidak tahu adat, jangan memotong
pembicaraan orang!" tegur Seebun-hujin.
Lan Giok-keng segera berpikir, "Mumpung Seebun-hujin masih
berada disini, inilah kesempatan terbaik bagiku untuk melepaskan
tali simpul mati ini!"
Maka sahutnya cepat, "Aku pernah bertanding ilmu pedang
melawan Tonghong Liang, kalau dibilang bertanding, lebih cocok
disebut menempa diri. Tapi saat itu aku sama sekali tidak tahu kalau
antara Tonghong Liang dengan perguruan kami pernah terjadi
perselisihan. Bouw-susiok, bila kau anggap perbuatanku salah, aku
bersedia menerima hukumanmu!"
Bouw It-yu sama sekali tidak menyangka kalau pemuda itu bakal
bicara tanpa tedeng aling-aling di hadapan Seebun-hujin, untuk
sesaat dia jadi serba salah, rikuh dan tidak tahu bagaimana harus
menanggapinya. "Anak Yu," ujar Seebun-hujin kemudian, "aku mohon kau sudi
mengabulkan sebuah permintaanku."
Bouw It-yu segera dapat menebak apa yang hendak
disampaikan, namun diapun terpaksa harus menyahut, "Nyawa ku
saja diperoleh kembali berkat bantuan ibu angkat, silahkan ibu
memberikan perintah."
"Tonghong Liang adalah keponakanku, walaupun dia pernah
membuat keonaran di gunung Bu-tong, namun bukankah Bu-siang
Cinjin pun telah memaafkan kesalahannya" Aku harap kau jangan
lagi menganggapnya sebagai musuh besar."
"Hahahaha.... mana mungkin aku mengingat terus perselisihanku
dengan keponakanmu, bila aku menganggapnya sebagai musuh
besar, tidak nanti akan kutemani adik Yan untuk mencarinya di
Liauw-tong," sahut Bouw It-yu sambil tertawa tergelak, "hanya saja
aku harus bicara dulu dimuka, aku adalah murid Bu-tong-pay, bila
suatu saat keponakanmu datang mencari keributan lagi dengan Butong-
pay kami, saat itu paling banter aku hanya bisa menghindar,
tapi tidak bisa mencegah rekan sesama seperguruanku untuk
bermusuhan dengannya."
Seebun-hujin tahu kalau pemuda itu tidak bicara sejujurnya, tapi
dia berkata pula, "Aku sudah merasa puas bila kau dapat berbuat
begitu. Hanya saja akupun ada sepatah kata ingin minta tolong
untuk disampaikan kepada sesama seperguruanmu, aku tahu kalian
curiga dia telah mencuri belajar ilmu pedang perguruanmu, maka
aku perlu bicara sejujurnya, sekalipun berniat mencuri belajar, dia
tidak perlu harus mencuri belajar dari anggota perguruanmu. Ilmu
pedang Bu-tong-pay bukanlah ilmu rahasia yang tidak pernah
diwariskan kepada orang luar, sudah banyak orang pernah
melihatnya, bukan anggota perguruan kalian pun bukan berarti tidak
mengerti ilmu pedang perguruan kalian. Jika Tonghong Liang ingin
belajar, akupun dapat mengajarinya."
"Baik, aku tahu," sahut Bouw It-yu.
Padahal sewaktu menjawab pertanyaan ini, timbul sebuah
kecurigaan lain dihati kecilnya.... kenapa Seebun-hujin pun mengerti
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat"
Sambil tertawa Seebun Yan berkata pula, "Akupun jadi orang
suka bicara blak-blakan. Bouw-toako, sekarang ibuku telah
memberikan penjelasannya, aku harap di kemudian hari kau tidak
usah mencurigai lagi kalau keponakan muridmu itu pernah
mengajarkan ilmu pedangnya secara diam-diam kepada piauko ku!"
"Toako mu sudah mendengar dengan jelas," sela Seebun-hujin
sambil tertawa, "buat apa kau musti melukis kaki di gambar ular"
Baiklah, sekarang katakan-lah apa yang ingin kau ucapkan
kepadaku." Menggunakan kesempatan ibunya sedang senang, Seebun Yan
segera berseru, "Sebelum si Lebah hijau Siang Ngo-nio muncul
disini, aku pernah bertemu satu kali dengannya bahkan nyaris
dicelakai olehnya, untung Lan Giok-keng berhasil menyelamatkan
nyawaku. Ibu, bagaimana kalau kucarikan sebuah anak angkat lagi
untukmu" Dia adalah adik Sui-leng, bukankah Sui-leng pun sudah
memanggil kau ibu angkat."
Seebun-hujin tidak berkata apa-apa, begitu pula dengan Lan
Giok-keng. Cepat Seebun Yan mengerdipkan matanya berulang kali ke arah
Lan Giok-keng sambil serunya, "Kenapa kau tidak segera memberi
hormat kepada ibu angkatmu, bila kau sudah menjadi anak
angkatnya maka kaupun bisa minta ibu mengajarkan ilmu pedang
untukmu." "Ilmu pedangnya sudah jauh diatas kemampuanku, pelajaran apa
lagi yang bisa kuajarkan kepadanya?" kata Seebun-hujin hambar.
"Maafkan aku tidak tahu diri, aku telah mempunyai seorang ayah
angkat," kata Lan Giok-keng pula.
"Memangnya setelah punya ayah angkat lantas tidak boleh punya
ibu angkat?" pikir Seebun Yan dalam hati.
Namun berhubung kedua belah pihak sama sama tidak berminat,
terpaksa dia hanya bisa menggerutu dalam hati.
Sejenak kemudian kembali Lan Giok-keng berkata, "Bouw-susiok,
maafkan aku karena tidak bisa pulang gunung untuk menghadiri
pemakaman Sucouw, aku harus pergi duluan karena masih ada
urusan lain." "Apakah urusanmu tidak bisa diwakilkan orang lain?" tanya Bouw
It-yu. "Persoalan ini merupakan tugas yang dicerikan Sucouw semasa
masih hidup dulu, maaf kalau aku tidak bisa minta bantuan orang
lain." Bouw It-yu merasa amat rikuh dan serba salah, terpaksa dia
hanya bisa mengawasi bayangan punggung pemuda itu lenyap dari
pandangan matanya. Tiba tiba Seebun-hujin berbisik, "Daripada bertambah dengan
satu masalah, lebih baik berkurang dengan satu masalah, biarkan
saja dia pergi seorang diri!"
"Eeei.... ibu, kau seakan sudah mengetahui semuanya!" seru
Seebun Yan tercengang. "Masa kau lupa, ayahmu dulu pernah menjadi Liok-lim Bengcu,
biarpun di wilayah Liauw-tong, banyak juga bekas anak buahnya
yang bermukim disini, apa sulitnya bagiku untuk menyelidiki jejak
kalian semua?" "Bukan soal ini yang kumaksud. Yang kumaksud adalah
tampaknya kau jauh lebih mengerti persoalan Bouw-toako
ketimbang apa yang kuketahui."
Seebun-hujin terperanjat, dia sangka putrinya sudah timbul
curiga, tanyanya cepat, "Mengapa kau punya pikiran begitu?"
"Atas dasar perkataanmu tadi."
"Oooh, perkataanku tadi yang mana?"
"Kau membujuk Bouw-toako lebih baik kurangi satu masalah
ketimbang bertambah satu masalah, bukankah hal ini mengartikan
kau sedang beritahu kepada orang bahwa kau telah mengetahui apa
tujuan kedatangan Bouw-toako ke Wilayah Liauw-tong kali ini" Aku
tidak mengerti apa yang kau maksud dengan bertambah satu
masalah." "Dasar budak nakal, rupanya kau sedang menelaah kata per kata
dan memaksa orang untuk memberi penjelasan...."
Meski begitu diam-diam dia merasa lega sekali.
"Bouw-toako," ujar Seebun Yan lagi, "bukankah kedatangamu
dan aku ke Liauw-tong kali ini adalah untuk mencari Lan Giok-keng
dan mengajaknya pulang gunung?"
Tergerak pikiran Bouw It-yu, serunya sambil tertawa tergelak,
"Hahahaha.... sejak kapan kau berubah jadi begitu bawel dan suka
mencampuri urusan orang?"
"Coba lihat, hal ini membuktikan kalau kau memang masih punya
urusan lain. Baik, aku tidak akan ikut campiir urusanmu, aku hanya
ingin membantumu." "Oooh, ingin membantuku?"
"Aku belum selesai bicara. Sekalipun aku tidak mampu
membantumu, toh masih ada ibuku. Coba katakan, siapa tahu ibu
dapat membantumu." "Jangan kau anggap ibumu hebat, serba bisa dan luar biasa,"
tegur Seebun-hujin tertawa.
Diam-diam Bouw It-yu berpikir, "Bekas anak buah suaminya
tersebar luas di kolong langit, jelas berita mereka amat tajam dan
cepat, apa salahnya aku mencari tahu darinya....?"
Berpikir begitu diapun berkata, "Aku tahu, kedatangan Giok-keng
dan Hwee-ko Thaysu ke Liauw-tong karena sedang mencari
seseorang, tapi aku tidak tahu siapakah yang sedang mereka cari?"
"Aaah, keponakan muridmu memang kurang sopan dan tidak
menghormatimu, masa dia enggan memberitahukan hal ini
kepadamu?" seru Seebun Yan.
"Apakah masalah ini sangat penting untukmu?" tanya Seebunhujin
pula. "Boleh dibilang begitu."
"Ooh, jadi rupanya masalah ini adalah masalah yang ingin
diketahui ayahmu?" Seebun-hujin menam-bahkan sambil
tersenyum. Bouw It-yu tidak menjawab tapi mimik mukanya sudah
mengakuinya. Tiba-tiba Seebun-hujin berkata lagi, "Menurut dugaan kalian,
siapakah orang yang sedang dicari dia dan Hwee-ko Thaysu?"
"Menurut dugaan kami, kemungkinan besar orang itu adalah Jitseng-
kiam-kek." "Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay?" seru Seebun-hujin agak
tertegun, "kalian yakin dia masih hidup di dunia ini?"
"Tahun berselang, Put-ji-suheng pernah datang ke Liauw-tong
dan bertemu dengannya."
"Berapa usia Put-ji dibandingkan usiamu?"
"Mungkin usianya seputar empat puluh tahunan."
Seebun-hujin termenung dengan kening berkerut, sesaat
kemudian dia baru berkata lagi, "Sudah hampir dua puluh tahunan
Jit-seng-kiam-kek lenyap dari peredaran dunia persilatan, kalau
dilihat Suhengmu dulunya adalah seorang murid preman, aku rasa
tidak mungkin bukan dia sudah berkelana sejak belasan tahun"
Lantas darimana bisa tahu kalau orang yang dijumpainya adalah Jitseng-
kiam-kek?" "Put-ji-suheng telah menderita kerugian fatal di tangannya,
hanya menggunakan satu jurus, dada Put-ji-suheng telah
bertambah dengan tujuh buah titik bekas tusukan pedang, tujuh
titik yang berjajar membentuk barisan tujuh bintang gugus utara."
Berubah paras muka Seebun-hujin, serunya, "Kalau begitu orang
itu memang Jit-seng-kiam-kek, kurasa lebih baik kau tidak usah
pergi mencarinya."

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibu, kau takut terhadap Jit-seng-kiam-kek?" seru Seebun Yan
penasaran. "Ibu bukannya takut kepadanya...." jelas masih ada kelanjutan,
tapi setelah berhenti sejenak, Seebun-hujin tidak melanjutkan
perkataan itu. Tiba-tiba dia mengalihkan pokok pembicaraan, "Yan-ji, kau telah
datang ke Liauw-tong, keinginanmu juga telah kesampaian, mari
ikut aku pulang." "Aku belum menemukan Piauko."
"Tapi kalian telah bertemu muka."
"Tidak sepatah kata pun dia bicara denganku, bertegur sapa pun
tidak! Aku ingin pulang bersamanya!"
"Aaaai, dalam masalah apa pun tidak baik untuk kelewat
dipaksakan," kata Seebun-hujin sambil menghela napas, "mari kita
pulang dulu, nanti akan kuutus orang untuk menyampaikan
pesanmu kepadanya." "Ibu, aku bukannya menguatirkan Piauko, tapi apa salahnya
kalau kita pulang setelah kau membantu Bouw-toako?"
Kembali Seebun-hujin tertawa.
"Hahahaha.... aku sedang berpikir kenapa secara tiba-tiba kau
bersikap begitu perhatian terhadap urusan orang lain, rupanya
hanya untuk memenuhi harapanmu untuk menunggu kedatangan
Piauko mu. Baiklah, agar hatimu lebih tenteram, kita tinggal sehari
lagi disini." "Ibu angkat," Bouw It-yu segera menyela, "aku tidak ingin
kelewat memaksa dirimu, lagipula persoalan ini mengandung resiko
yang kelewat besar'' "Kau salah paham," sahut Seebun-hujin tertawa, "masih ada
alasan lain mengapa aku tidak ingin kau pergi mencari Jit-sengkiam-
kek, hanya saja sekarang aku telah berubah pikiran, sebab
saat ini hatiku ter-dorong juga oleh rasa ingin tahu yang besar, ingin
kujumpai sahabat lamaku ini."
"Aaah, ternyata ibu angkat sudah lama kenal dengan Jit-sengkiam-
kek?" seru Bouw It-yu sedikit diluar dugaan.
"Benar, aku sudah berkenalan dengannya sejak tiga puluh tahun
berselang, waktu itu kau belum lahir," jawab Seebun-hujin hambar.
"Jadi ibu angkat tahu, dimanakah dia sekarang?"
"Aku tidak tahu."
"Tapi katamu hanya butuh waktu sehari...."
"Aku tidak mengetahui kabar beritanya, tapi bukan berarti tidak
bisa bertanya dimana dia berada, bukankah di kota Uh-sah-tin
sudah siap seseorang yang bisa ditanyai."
"Maksudnya Kim-lopan?" hampir berbareng Bouw It-yu dan
Seebun Yan berteriak. "Betul, mungkin saja orang lain tidak tahu kabar berita tentang
Jit-seng-kiam-kek, tapi Kim Teng-hap pasti tahu."
"Masa dia mau memberitahukan kepada kami?" tanya Seebun
Yan. "Jadi kau sangka aku pergi untuk memohon kepadanya?"
"Berarti kita akan memaksanya untuk menjawab" Aku tidak
seberapa tahu ilmu silat yang dimiliki Kim Teng-hap, tapi jumlah
anak buahnya cukup banyak, jika manusia berkerudung ditambah
pendeta asing berjubah merah itu berada disana juga, aku kuatir....
aku kuatir.... aaai, kenapa Lan Giok-keng buru-buru pergi."
"Kedua orang itu bukan anak buah Kim Teng-hap, lagipula
akupun bukan mencari mereka untuk berkelahi," sela Seebun-hujin.
Agaknya Bouw It-yu sudah dapat menebak beberapa bagian,
katanya kemudian, "Apakah ibu angkat ingin menggunakan
peraturan dunia persilatan dengan mengundang seorang penengah
untuk menyelesaikan perselisihan ini kemudian sekalian mencari
berita tentang jejak Jit-seng-kiam-kek?"
"Bagaimana pun kau memang lebih berotak," Seebun-hujin
tertawa, "benar, Kim Teng-hap mempunyai anak buah, akupun
mempunyai anak buah. Bila benar benar harus bertarung, belum
tentu kekuatan yang kita miliki kalah dari mereka."
"Lantas apakah sekarang juga kita akan pergi ke Uh-sah-tin?"
"Aku telah minta tolong seseorang yang kenal dengan Kim Tenghap
untuk menyampaikan kartu namaku, kartu nama itu memakai
namanya tapi dari status kedudukannya, dia adalah utusanku. Kita
menanti kabar beritanya terlebih dulu."
Berkata sampai disini, dia memeriksa sebentar keadaan cuaca
kemudian melanjutkan, "Seharusnya sebentar lagi dia sudah tiba
disini...." Benar saja tidak lama kemudian terdengar suara desingan anak
panah bergema di udara kemudian terlihat sebuah lidah api
berwarna biru meledak di angkasa. Inilah tanda rahasia panah lidah
ular yang seringkali dipergunakan kalangan hek-to untuk
menyampaikan berita. Dengan mengerahkan ilmu Coan-im-jip-bit (ilmu menyampaikan
suara) Seebun-hujin berseru kepada orang yang berada di bawah
bukit, "Aku tidak ada masalah, kalian tidak perlu naik kemari."
Walaupun sudah ada perintah, namun sewaktu Seebun-hujin,
Seebun Yan dan Bouw It-yu tiba di punggung bukit, masih ada dua
orang yang segera berlarian menyongsong kedatangannya.
Kedua orang itu adalah orang-orang yang sama sekali diluar
dugaan Seebun Yan. Ternyata kedua orang yang munculkan diri itu tidak lain adalah
Peng-toaso serta Hong-sihu.
Tempo hari, Hong-sihu telah dihajar Suma Cau dari perkumpulan
Liong-bun-pang hingga sekujur tubuhnya babak belur, kendatipun
hanya luka luar dan kini telah sembuh, namun berapa bekas luka
diwajahnya hingga kini masih belum hilang sama sekali.
Di hari mereka terluka itulah Seebun Yan berjumpa dengan Bouw
It-yu. Biarpun waktu itu dia hanya bersembunyi di tempat kegelapan
tanpa menampilkan diri, namun setelah itu dia menempuh
perjalanan bersama Bouw It-yu, bisa diduga kalau jejaknya tidak
akan bisa mengelabuhi kedua orang ini.
Begitu bertemu kedua orang itu, Seebun Yan seakan memahami
akan sesuatu, segera serunya, "Ooh, ternyata kalianlah yang
menyampaikan berita diriku kepada ibu."
"Mana Kuai-be Han?" tiba-tiba Seebun-hujin bertanya.
"Liok-tuocu sendiri yang telah pergi mencarinya, kini Liok-tuocu
sedang menunggu di bawah," jawab Hong-sihu.
Yang mereka maksudkan sebagai 'Liok-tuocu' tidak lain adalah
Liok Ki-seng yang bergelar Im-kian-siucay si pelajar dari alam baka.
Seebun-hujin kelihatan sedikit tidak suka hati, dengusnya, "Hmm,
tidak dinyana dia sudi menjual tenaga untukku dengan jauh-jauh
dari Toan-hun-kok menyusul kemari. Sayang aku tidak punya imbal
balik yang setimpal untuknya."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, mereka sudah tiba
di bawah bukit. Benar saja, terlihat Liok Ki-seng telah menunggu
disana. Cepat Liok Ki-seng maju memberi hormat sambil berkata, "Salam
hormat untuk Bcngcu-hujin."
"Suamiku sudah mati hampir dua puluh tahun lamanya, mana
ada Bengcu-hujin?" sahut Seebun-hujin dingin, "eei.... aku harus
bicara dulu di muka, biarpun kali ini kau telah datang membantuku,
bukan berarti aku akan memberi keuntungan apa pun kepadamu."
"Sudah menjadi kewajiban hamba untuk menyusul kemari," buruburu
Liok Ki-seng menyahut sambil tertawa dibuat-buat, "mana
berani hamba mengharapkan imbalan?"
"Waah, waah.... aku tidak tahan dengan perkataanmu itu,
jangan-jangan setelah kau menjadi Bengcu nanti, gantian aku yang
harus melayanimu." "Bengcu-hujin, perkataanmu benar-benar seperti membunuh aku
orang she-Liok. Bagaimana pun usaha-ku mengumpulkan kembali
semua bekas anggota Bengcu yang lama tidak lebih hanya ingin
memberi pelajaran setimbal atas ulah kurangajar Toan-hun kokcu
Han Siang." "Aku dengar Tonghong Liang telah menasehati kalian berdua
untuk berdamai dan menyelesaikan masalah lama dengan
berunding, jadi kau masih tetap merasa tidak puas?"
"Tentu saja aku tidak berani menentang niat baik Piau-sauya.
Aku justru kuatir kalau Piau-sauya telah terperangkap oleh tipu
muslihat lawan. Hanya saja, urusan ini lebih baik nanti dibicarakan
lagi saja." "Betul, kalau toh kau tidak mengharapkan balas jasa apa-apa
dariku, sekarang kita boleh mulai membicarakan pokok persoalan,
mana si Kuay-be Han?"
"Soal ini, soal ini...."
"Apakah lantaran aku sudah bukan Bengcu-hujin, maka dia tidak
sudi datang menjumpaiku?"
"Harap hujin jangan salah paham, semestinya dia memang mau
kemari, hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?"
"Sudah lama Kuai-be Han tidak melakukan usaha di kalangan
Hek-to lagi, kini dia sudah menjadi pejabat negara."
"Oooh, apa kedudukannya sekarang?"
"Konon sudah menjadi seorang pejabat militer yang
kedudukannya cukup lumayan dalam pasukan berkuda pengawal
Nurhaci Khan. Sekalipun posisinya belum terhitung tinggi sekali,
namun dia sudah menjadi orang kepercayaan Khan."
"Lantas setelah dia jadi pejabat, apakah aku harus pergi
menyambanginya lebih dulu?"
"Dia tidak berani kelewat pandang tinggi jabatannya, ketika aku
minta dia untuk menjalin kontak dengan Kim Teng-hap, dia pun
telah melakukannya. "Tapi menurutnya, kemungkinan besar Kim Teng-hap ingin
mengajukan berapa syarat pertukaran, oleh sebab itu dia minta aku
melapor dulu kepada hujin sebelum kedatangannya, agaknya,
maksud.... maksud hatinya adalah mohon pengertian dari hujin."
"Kalau bicara buat apa putar kesana kemari, langsung saja
katakan terus terang, bilang saja dia minta imbalan untuk jasanya
karena telah bantu aku bertemu dengan Kim Teng-hap, bukankah
urusan jadi jelas?" Dengan suara rendah Liok Ki-seng segera berbisik, "Sepintas
orang mengira Kim Teng-hap adalah seorang juragan di rumah
lelang ikan, padahal jabatan pangkatnya masih jauh diatas
kedudukan Kuai-be Han."
"Tentang hal ini aku telah menduganya. Hmm! Baru pertama kali
ini aku berhubungan dengan kaum pejabat. Lantas syarat apa yang
mereka tuntut sebagai imbalannya?"
Pada saat itulah dari tempat kejauhan terlihat debu beterbangan
di udara, kemudian tampak satu pasukan berkuda bergerak
mendekat dengan kecepatan tinggi, pasukan berkuda itu baru
menghentikan kudanya setelah berada seratus langkah dihadapan
mereka. Ternyata orang yang berada paling depan adalah Kim Teng-hap,
disusul kemudian dibelakangnya adalah Kuai-be Han.
"Maafkan aku agak terlambat menyambut kedatangan Seebunhujin,"
Kim Teng-hap segera menjura seraya berseru.
"Ternyata Tauke Kim adalah seorang pejabat tinggi, maaf, maaf.
Han Cau, kionghi juga untukmu, tidak nyana kaupun sudah menjadi
pejabat tinggi!" jengek Seebun-hujin.
Han Cau atau Kuai-be Han (si kuda cepat Han) sebetulnya hanya
seorang begal berkuda, dulu dia beroperasi di seputar perbatasan
sebelum akhirnya diterima dan dibina ayah Seebun Yan.
"Saudara Liok, tentunya kau telah menyampaikan maksud Kimlopan
kepada hujin bukan?" kata Han Cau, "aku memang khusus
datang untuk menyambut hujin dan siap mengawal hujin hingga
tiba di kotaraja." "Kotaraja" Kotaraja yang mana?" seru Seebun-hujin.
Han Cau tampak melengak, dia segera mengalihkan matanya ke
wajah Liok Ki-seng. Sambil tertawa getir sahut Liok Ki-seng, "Tidak kusangka kalian
tiba begitu cepat, baru saja ingin kusampaikan kepada hujin, kalian
telah tiba." Sambil tertawa paksa kata Kim Teng-hap, "Karena hujin sudah
berada disini, aku rasa tidak perlu orang lain untuk menyampaikan
lagi. Hujin, boleh saja aku beritahu kepadamu bila kau ingin
mengetahui kabar berita tentang Jit-seng-kiam-kek, aku bukan
hanya bisa memberitahu saja bahkan bisa mengaturkan pertemuan
bagi kalian berdua. Hanya saja, akupun mempunyai satu
permintaan, harap hujin mau berkunjung dulu ke kotaraja Sengkeng
bersamaku." "Oooh, ternyata kotaraja yang kalian maksudkan adalah kotaraja
kerajaan Kim. Aku hanya seorang wanita, lagipula tidak berniat
mencari pangkat untuk berbakti kepada Khan kalian, buat apa musti
pergi ke kotaraja?" "Hujin, kau kelewat merendah. Aku tahu, kau bukanlah seorang
wanita sembarangan, apalagi pernah menjadi Liok-lim Bengcu-hujin
yang dihormati dan disegani banyak orang. Terus terang saja, Khan
kami sudah lama mendengar dan mengagumi nama besar hujin.
Mungkin kau tidak ingin bertemu Khan, namun Khan kami ingin
sekali bertemu dengan dirimu!"
Seebun-hujin segera tertawa dingin.
"Aneh sekali. Jangankan suamiku sudah lama meninggal, aku
pun sudah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan. Kalau toh
hingga sekarang aku masih dipanggil Bengcu-hujin, panggilan itu
tidak lebih hanya bermakna aku adalah bini bekas pentolan bandit.
Masa seorang Khan yang tersohor ingin bertemu bini seorang
pentolan bandit?" "Harap hujin maklum. Khan sangat menghargai orang pintar,
saat ini amat membutuhkan dukungan dari orang berbakat untuk
bekerja sama dengan beliau, Khan tidak pernah mempersoalkan
asal usul seseorang. Apalagi Khan berniat menyerang dan
menguasai wilayah Kanglam, saat inilah beliau sedang
mengumpulkan para orang gagah kalangan rimba hijau yang berada
di dalam perbatasan untuk bersama-sama mendukung
perjuangannya. "Sekalipun hujin enggan bergabung dengan Khan, kami tetap
akan menyambut kedatangan hujin dengan segala hormat, semoga
hujin bisa memaklumi niat baik Khan."
"Oooh, ternyata kalian ingin menggunakan merek ku, dengan
menggotong namaku maka bekas anak buah suamiku yang sudah
mampus mau bergabung pula dengan kalian. Tapi sayang aku
sudah tidak mencampuri urusan rimba hijau lagi, kalian telah salah
mencari orang." Bicara sampai disini seperti sengaja tidak sengaja dia melirik Liok
Ki-seng sekejap, maksud lain dari ucapan itu adalah, disini telah siap
Liok Ki-seng, kalian seharusnya pergi menghubunginya.
Kim Teng-hap tidak menanggapi, dia berkata lebih jauh, "Begitu
pula dengan Bouw-siauhiap, walaupun dengan kami pernah terjadi
sedikit perselisihan, namun kami tidak akan mempermasalahkan.
Menurut apa yang kami ketahui, ayah Bouw-sauhiap adalah
Ciangbunjin Bu-tong-pay saat ini. Khan sangat menghargai orang
orang saleh dan orang terpelajar, apalagi Bouw-siauhiap jauh-jauh
sudah sampai kemari, kami akan berusaha menjadi tuan rumah
yang baik, harap Bouw-siauhiap mau datang ke kotaraja kami


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama Seebun-hujin."
Bouw It-yu tertawa dingin.
"Sayang aku bukan orang terpelajar, juga bukan seorang
pendekar," katanya, "aku tidak lebih hanya seorangbangsa Han,
bukan penghianat bangsa!"
Begitu perkataan itu diucapkan, paras muka Kim Teng-hap serta
Han Cau seketika berubah hebat.
"Sudah, tidak usah banyak bicara lagi," Seebun-hujin segera
menukas, "kini aku dengan mengikuti peraturan dunia persilatan
ingin bertanya kepadamu, inikah syarat yang kalian ajukan?"
"Benar," Kim Teng-hap membenarkan, "harap hujin mau berpikir
tiga kali!" "Tidak perlu dipikirkan lagi, transaksi batal!"
"Bagaimana dengan Bouw-siauhiap?" tanya Kim Teng-hap, "kau
jauh jauh datang ke luar perbatasan, bukankah tujuannya adalah
ingin bertemu Jit-seng-kiam-kek?"
Tercekat perasaan Bouw It-yu, pikirnya, 'Darimana dia bisa
membaca jalan pikiranku"'
Namun dengan lantang sahutnya, "Aku memang ingin bertemu
Jit-seng-kiam-kek, namun tidak ingin bertemu dengan Khan kalian!"
"Anak Yu, tidak kusangka kau sehati dengan pemikiranku. Mari
kita pergi dari sini!" seru Seebun-hujin girang.
"Tunggu sebentar! "bentak Kim Teng-hap tiba-tiba. Seebun-hujin
tertawa dingin. "Hmm, aku toh tidak melanggar hukum negara kalian, a tas
dasar apa kalian melarang aku pergi?"
"Hujin, bukankah tadi kau mengatakan akan menyelesaikan
persoalan ini menurut peraturan dunia persilatan."
"Tepat sekali! Tolong tanya, bila transaksi gagal lantas kalian
memaksa akan menahan kami, peraturan mana yang berkata
begitu?" "Tidak ada orang yang memaksa hujin untuk tetap tinggal disini,
hanya saja, hujin boleh pergi, tidak demikian dengan Bouwsiauhiap."
"Benar, Bouw-siauhiap memang pernah mempunyai perselisihan
dengan kalian," kata Seebun-hujin, "tapi bukankah kau pernah
berkata tadi, sejak awal kalian sudah tidak mempermasalahkan lagi
perselisihan kecil ini. Eei, kalau bicara masuk hitungan tidak?"
"Bouw-siauhiap, tolong tanya apakah kau adalah Siauciangbunjin
dari Bu-tong-pay" Apakah Lan Giok-keng adalah
keponakan muridmu?" "Kalau benar kenapa?" dengus Bouw It-yu.
"Bouw-siauhiap, perselisihan diantara kita boleh saja kusudahi
sampai disini. Tapi Lan Giok-keng pernah membunuh dan melukai
beberapa orang saudaraku, hutang piutang ini bagaimana pun harus
dilunasi. Menurut peraturan yang berlaku dalam dunia persilatan,
bila murid melanggar kesalahan maka kalian yang jadi angkatan
tuanya harus ikut bertanggung jawab. Apalagi kau adalah putra
Ciangbunjin! Kami sama sekali tidak berniat menyusahkan dirimu,
tapi tolong bantulah kami untuk menemukan kembali keponakan
muridmu itu dan serahkan kepada kami untuk dihukum. Kapan Lan
Giok-keng balik kemari, saat itulah kau boleh pergi dengan
merdeka!" Di dalam dunia persilatan memang berlaku peraturan semacam
ini, tapi bila Bouw It-yu sampai 'ditahan', mana mungkin Seebunhujin
dan Seebun Yan akan berpeluk tangan meninggalkan dirinya
seorang" "Menurut apa yang kuketahui, baru tiba di kota Uh-sah-tin, Lan
Giok-keng sudah dikepung dan dikejar orang-orang mu. Karena
terpaksalah dia baru melukai orang-orangmu," seru Seebun Yan.
Kim Teng-hap segera tertawa tergelak.
"Hahahaha.... menurut peraturan dalam dunia persilatan, untuk
membicarakan masalah yang terjadi maka orang yang bersangkutan
harus hadir. Lagipula menurut pengetahuanku, saat kejadian
rasanya kau tidak hadir ditempat peristiwa. Malah semalam kau dan
Bouw It-yu baru saja mencuri dalam rumahku!"
Berubah paras muka Seebun Yan.
"Jadi kau pun akan menganggapku sebagai orang buronan?"
teriaknya gusar. "Sesungguhnya dengan senang hati setiap waktu setiap saat
kami siap menerima nona sebagai tamu kami, walaupun kedatangan
nona yang tidak diundang sedikit melanggar tata cara, tapi aku
anggap itu mah urusan kecil."
"Terima kasih kau tidak mempersoalkan...." baru saja dia akan
menyinggung lagi urusan Bouw It-yu, mendadak terdengar Kim
Teng-hap tertawa paksa sambil menukas, "Maaf, mungkin aku
masih tidak bisa menerima rasa terima kasih nona."
Seebun Yan berpaling mengikuti arah pandangan matanya,
terlihat ada dua orang lelaki dengan wajah penuh keringat sedang
berlarian mendekat sambil menggotong sebuah tandu.
Kedua orang itu menurunkan tandu keatas tanah, sambil berkata
mereka menyingkap selimut yang menutupi tandu itu.
Ternyata orang yang digotong tandu tidak lain adalah Ouyang
Yong yang belum lama berselang kehilangan sebuah lengannya
karena tertebas kutung pedang Seebun Yan.
"Untung ditemukan lebih cepat, kami telah membubuhi lukanya
dengan obat penghenti darah. Hanya saja karena darah yang
mengalir kelewat banyak, biar bisa disembuhan pun paling dia akan
menjadi seorang cacat," ujar kedua orang itu.
Mendadak Ouyang Yong bangkit terduduk, dengan suara yang
parau teriaknya, "Budak bajingan itu yang memenggal lenganku.
Tang-keh, kau harusbalaskan dendamku!"
Begitu habis berkata, kembali tubuhnya roboh terkapar.
"Nona," ujar Kim Teng-hap kemudian dingin, "aku boleh saja
tidak mempermasalahkan kejadian semalam, tapi dalam peristiwa
hari ini, biar aku ingin menyudahi pun belum tentu saudara saudara
ku bisa menerima dengan begitu saja."
"Siapa suruh dia membokongku lebih duluan, toh aku belakangan
baru memenggal lengannya," sahut Seebun Yan.
"Terlepas bagaimana kejadian yang sebenarnya, nona, kau tidak
merasa tindakan yang kaulakukan kelewat jahat dan telengas!" kata
Kim Teng-hap hambar. Perkataan itu kontan saja membangkitkan tabiat nona besarnya,
sambil mendengus teriaknya, "Mau pantas atau tidak, buktinya
sudah kutebas. Mau apa kalian?"
"Tidak mau apa-apa," kepada salah seorang anak buahnya Kim
Teng-hap berkata, "bunuh orang bayar nyawa, hutang duit bayar
duit. Kau telah mengutungi sebuah lengannya, kami pun hanya
minta ganti sebuah lenganmu."
"Hmm, jangan lagi hanya sebuah lengan," jengek Seebun Yan
sambil tertawa dingin, "kalau memang punya kemampuan, silahkan
ambil saja nyawa ku!"
Tampaknya watak orang itu jauh lebih temperamen
danberangasan, seketika itu juga dia membentak, "Kau sangka aku
tidak berani mencabut nyawamu!"
Di tengah umpatan keras, tangannya langsung diayun ke depan,
sebuah senjata rahasia berbentuk bola segera meluncur ke depan
dengan kecepatan tinggi. "Hey, pembicaraan belum selesai, jangan bersikap kurang sopan
kepada tamu kita!" bentak Kim Teng-hap.
Tapi belum habis perkataan itu diucapkan, senjata rahasia
berbentuk bola itu sudah meledak di tengah udara, ternyata di balik
bulatan itu tersimpan sembilan pisau terbang, ada yang terbang
miring ke samping, ada yang terbang lurus, dari pelbagai sudut
yang berbeda benda-benda itu melesat ke tubuh Seebun Yan.
Dalam waktu sekejap ada dua sosok bayangan tubuh melambung
bersama ke tengah udara. Yang satu adalah Bouw It-yu, sementara yang lain adalah
seorang perwira yang berada di samping Kim Teng-hap.
Gerakan tubuh perwira itu benar-benar amat cepat hingga sulit
dilukiskan dengan kata, melambung, mencabut pedang dan
mengejar pisau-pisau terbang itu!
"Triiing.... triiing...." terdengar suara dentingan nyaring bergema
berulang kali, entah sudah berapa banyak pisau terbang yang
berhasil ia rontokkan. Kedatangan Bouw It-yu hanya terlambat setengah detik, mulamula
dia belum tahu maksud perwira itu dengan gerakannya, maka
begitu berada di tengah udara dia langsung mengeluarkan jurus
kebanggaannya, Pek-hok-liang-ci.
Sungguh kuat tenaga serangan dari perwira itu, "Traaang....!"
begitu dua bilah pedang saling membentur, terperciklah bungabunga
api. Dengan gaya burung belibis membalikkan tubuh, perwira itu
melayang turun lebih kurang tiga tombak dari posisi semula, namun
begitu menyentuh tanah, tubuhnya nampak sempoyongan beberapa
langkah. Sebaliknya Bouw It-yu melayang turun di hadapan Seebun
Yan, begitu kakinya menyentuh tanah, dia segera dapat berdiri
tegak. Bila berada dalam kondisi biasa, tentu saja dalam gebrakan
barusan Bouw It-yu telah meraih posisi diatas angin, namun perwira
itu memapas pisau terbang terlebih dulu sebelum menyambut
serangan pedang, sekalipun ilmu pedang yang dimiliki tidak berada
diatas kemampuan Bouw It-yu, jelas kemampuannya tidak mungkin
berada di bawahnya. Terdengar perwira itu berkata, "Aku datang hanya untuk
meluruskan kesalahan yang dilakukan saudaraku, boleh tahu apa
sebabnya Bouw-siauhiap malah berusaha menghalanginya" Jika
Bouw-siauhiap masih tetap berkeinginan adu pedang melawanku,
lebih baik berbuatlah setelah tahu keadaan yang sejelasnya. Jika
kau ngotot ingin bertarung, aku pasti akan melayani tantanganmu
itu!" Kini Bouw It-yu dapat melihat dengan jelas, ternyata ada
sembilan bilah pisau terbang yang disambit tapi tujuh bilah
diantaranya telah dipapas kutung perwira itu. Sisanya yang dua
bilah jatuh di sisi kaki Seebun Yan.
Biarpun perkataan lawan kedengaran amat tidak sedap, namun
andaikata bukan dia yang turun tangan tepat waktunya, niscaya
tubuh Seebun Yan telah bertambah dengan berapa buah lubang
luka tembus. Merah padam selembar wajah Bouw It-yu karena jengah, dalam
keadaan begini mau berang pun dia jadi sungkan sendiri.
Tiba-tiba terdengar Seebun-hujin berkata, "Kau adalah jago dari
Tiang-pek-pay. Walaupun dalam jurus Oh-ka-cap-pwe-pai (delapan
belas ketukan seruling) hanya mampu menggunakan empat belas
ketukan, namun hal ini sudah lebih dari cukup. Masih tersisa dua
bilah pisau terbang dalam keadaan utuh, sayang kalau dibuang
begitu saja. Yan-ji, kembalikan kepada mereka."
"Memangnya mereka tidak dapat memungut sendiri?" sahut
Seebun Yan malu bercampur jengkel. Sekalipun sangat mendongkol,
namun keder juga hatinya, cepat dia kabur balik ke samping ibunya.
Sementara itu Bouw It-yu merasa kebingungan dengan
perkataan dari Seebun-hujin, dia tak habis mengerti apa yang
dimaksud perempuan itu. Dia tidak menyangka kalau diantara anak
buah Kim Teng-hap ternyata terdapat seorang jago pedang yang
demikian hebatnya. Tentu saja dia tidak tahu kalau perwira yang bernama Che Tinkun
ini merupakan salah satu busu dari pasukan tenda emas yang
khusus mengawal Nurhaci Khan, berbicara soal tenaga dalam,
mungkin dia masih di bawah Ka-cok Hoatsu tapi dalam hal ilmu
pedang, boleh dibilang kehebatannya tidak terkalahkan.
Bila Bouw It-yu tidak paham maksud dan tujuan Seebun-hujin,
maka Che Tin-kun begitu mendengar perkataan tadi langsung
menunjukkan sikap terkejut bercampur sangsi. Yang membuatnya
terkejut bercampur sangsi bukan hanya lantaran dalam sekilas
pandang Seebun-hujin dapat menebak asal perguruan serta jurus
silatnya saja. Rupanya Oh-ka-cap-pwe-pai merupakan ilmu dahsyat penusuk
jalan darah dari aliran Khong-tong-pay, bila seseorang telah
melatihnya hingga mencapai tingkatan paling tinggi maka dalam
satu jurus saja, dia dapat menusuk delapan belas buah jalan darah
di tubuh lawannya. Tiga puluh tahun berselang, ketua Tiang-pek-pay dengan tiga
jurus ilmu pukulan Hong-lui-ciang-hoat berhasil menukar dengan
sebuah jurus pedang dari Khong-tong-pay ini dan meleburnya ke
dalam ilmu silat perguruannya, sejak itulah jurus Oh-ka-cap-pwe-pai
berubah menjadi salah satu ilmu andalan Tiang-pek-pay.
Atau dengan perkataan lain, walaupun nama sebutannya sama
namun keistimewaan dan cirinya berbeda. Tenaga dalam Tiang-pekpay
lebih menjurus ke sifat keras, kekuatannya jauh lebih hebat
daripada Khong-tong-pay, karena keras otomatis kelincahan dan
kecepatannya jauh agak berkurang.
Oleh sebab itu jurus Oh-ka-cap-pwe-pai dari aliran Tiang-pek-pay
walau sudah dilatih hingga mencapai tingkat tertinggi pun, hanya
enam belas titik jalan darah yang bisa ditusuk dalam satu gebrakan.
Tapi bila jago lihay dari Khong-tong-pay yang menggunakan kedua
jurus itu, mereka tidak akan mampu menebas tujuh batang pisau
terbang pada saat yang bersamaan seperti apa yang dilakukan Chi
Tin-kun. Padahal kemampuan Chi Tin-kun menguasai "enam belas
ketukan" sudah merupakan tingkatan tertinggi dalam perguruan
Tiang-pek-oay, sebetulnya dia mampu menebas kutung sembilan
batang pisau terbang, namun entah kenapa, pedangnya tidak
mampu menyentuh ke dua bilah pisau terbang yang lain hingga
pisau pisau terbang itu rontok ke tanah.
Begitu selesai mendengar perkataan Seebun-hujin, timbul
kecurigaan dihati kecilnya, maka dia pun maju ke depan dan
memungut ke dua bilah pisau terbang itu.
Begitu diperiksa dia pun menjerit tertahan karena kaget.
Ternyata pada gagang kedua pisau terbang itu masing-masing
telah tertancap sebutir bunga mutiara yang kecil (bunga mutiara
adalah butiran mutiara yang lembut seperti beras). Kini Chi Tin-kun
baru mengerti, rupanya kedua bilah pisau terbang itu telah
dirontokkan lebih dulu oleh Seebun-hujin.
Biarpun bunga mutiara itu sudah terbenam dalam gagang pisau
namun masih tetap berada dalam keadaan utuh. Hal ini
menunjukkan kalau kemampuannya menggunakan tenaga dalam
jauh lebih tinggi dari kemampuan Chi Tin-kun sendiri. Apalagi
Seebun-hujin sedang berdiri saling berhadapan dengan Kim Tenghap,
bahkan Kim Teng-hap yang sedang bertatap muka pun tidak
mengetahui tindakan yang dilakukan perempuan tersebut, dalam hal
kecepatan melancarkan serangan pun terbukti masih diatas
kehebatan Chi Tin-kun. Andaikata gerak serangan itu dilakukan dengan menggunakan
pedang, bisa diduga jurus Oh-ka-cap-pwee-pai yang dilancarkan Chi
Tin-kun bisa kalah di tangannya.
Kim Teng-hap menerima pisau terbang itu dari tangan Chi Tinkun,
lalu digetarnya perlahan, bunga mutiara itu pun segera
mencelat keluar. "Hujin cukup mengembalikan pisau terbangnya saja, buat apa
musti buang harta pula" Silahkan hujin menerima kembali bunga
mutiara milikmu itu!" sembari berkata dia sentilkan jari tengahnya,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunga mutiara itupun segera meluncur balik.
Dengan sekali raup Seebun-hujin menerima kembali ke dua butir
bunga mutiara itu. Kini kedua belah pihak sama sama telah menunjuk kan
kebolehannya, tenaga dalam milik Kim Teng-hap terbukti memang
tidak lemah, namun kemampuan Seebun-hujin pun sama sekali
tidak kalah dari lawannya.
Dengan wajah dingin Seebun-hujin berkata, "Seharusnya kau
mengendalikan ulah anak buahmu. Kini sudah saatnya kita kembali
membicarakan urusan pokok bukan?"
"Transaksi kita sudah batal, rasanya persoalan yang ada saat ini
sudah tidak ada sangkut pautnya dengan hujin," sengaja Kim Tenghap
menyahut. "Kau tidak usah berlagak pilon, memangnya kau tidak tahu kalau
dua orang yang hendak kau tahan, satu adalah putriku, satu lagi
adalah anak angkatku?"
"Harap hujin maafkan kelancanganku," sahut Kim Teng-hap
tertawa paksa, "yang mula-mula mengusulkan penyelesaian
masalah menurut aturan dunia persilatan pun rasanya hujin sendiri!"
"Benar!" "Kalau begitu urusan jadi lebih mudah. Menurut peraturan yang
berlaku dalam dunia persilatan, aku rasa hujin sendiripun pasti
paham. Sikap menghormat kami terhadap hujin adalah satu
masalah, sementara pertikaian yang terjadi antara putra putrimu
dengan kami pun merupakan masalah yang lain!"
Sebetulnya Bouw It-yu hanya anak angkat Seebun-hujin, tapi kini
sebutannya diubah menjadi 'putra' mu, tidak jelas apakah
perubahan panggilan itu memang sengaja dia lakukan karena
mengandung maksud tertentu ataukah karena situasi yang tegang
sehingga dia sadar akan kekeliruan itu.
Namun dalam situasi seperti ini, tidak seorang pun yang
mempermasalahkan apalagi memperhatikannya.
"Tidak usah kau ingatkan aku, justru hari ini aku akan
mengajakmu berbicara tentang peraturan dunia persilatan," tukas
Seebun-hujin. "Kalau begitu, silahkan hujin memberi petunjuk."
"Aku bukan minta kau membebaskan mereka, tapi aku adalah
Cianpwee mereka, perselisihan yang mereka lakukan sudah wajar
bila penyelesaiannya pun dipikul oleh angkatan tuanya!"
Dalam dunia persilatan memang terdapat peraturan semacam ini,
Kim Teng-hap sendiripun tadi telah menggunakan peraturan yang
sama untuk menahan Bouw It-yu karena persoalan yang telah
dilakukan Lan Giok-keng. Buru-buru Han Cau tampil ke depan, serunya, "Hujin, harap
dengarkan dulu perkataan hamba."
"Kau adalah pejabat sementara aku hanya rakyat jelata," sela
Seebun-hujin dingin, "aku tidak berani menerima sanjunganmu.
Harap kau jangan marah karena aku tidak tahu diri, kalau memang
ingin menyampaikan sesuatu, lebih baik sampaikan saja kepada
atasanmu." Dari malu Han Cau jadi gusar, teriaknya, "Hujin, biarpun kau
tidak sudi menanggapi diriku, aku masih tetap memandang wajah
Lo-tang-keh dan selalu menghormatimu. Hujin, maaf kalau aku akan
bicara blak-blakan, jadi orang yang bijaksana haruslah tahu situasi
dan keadaan. Kau musti ingat, tempat ini bukan wilayah Tionggoan.
Hujin, kau pun tidak punya banyak anak buah yang bisa
diperintahkan di tempat ini. Kim-thayjin menaruh niat baik
kepadamu, itulah sebabnya ingin mengajak kau pergi ke kotaraja
untuk menjumpai Khan. Jadi orang sedikitlah tahu diri, jangan arak
kehormatan ditampik, arak hukuman justru dicari!"
"Bagus sekali, kalau begitu suruh Kim-thayjin mu segera
suguhkan arak hukuman. Betul, kalian boleh saja mengandalkan
jumlah banyak, tapi paling banter kalian hanya bisa merenggut
nyawa kami bertiga, aku tidak percaya kalau dengan kemampuan
kami, tidak mampu mencari modal balik!"
Berubah paras muka Kim Teng-hap. Barusan dia telah
menyaksikan kehebatan dari Seebun-hujin, maka pikirnya,
'Kemampuan Chi tin-kun hanya setingkat lebih unggul ketimbang
Bouw It-yu, andaikata perempuan bangsat ini benar-benar
melakukan pembunuhan yang secara besar-besaran, mungkin tiada
orang yang mampu membendungnya. Betul, mengandalkan jumlah
banyak memang menguntungkan dan akhirnya kemenangan tetap
berpihak padaku. Tapi seperti apa yang dia katakan, paling banter
hanya mereka yang terbunuh, sementara berapa banyak nyawa
pihak kami yang harus ikut menjadi tumbal"'
Dia sadar keselamatan jiwanya memang tidak perlu dikuatirkan,
namun bukan berarti bisa lolos dari luka-luka.
Sementara dia masih berdiri sangsi dan tidak bisa mengambil
keputusan, mendadak terdengar suara pekik an panjang
berkumandang, suara pekikan itu sebentar panjang sebentar
pendek, suaranya keras seperti benda logam yang saling beradu,
gemerincingan dan menggaung sangat menusuk telinga, anehnya
sama sekali tidak terlihat orang yang mengeluarkan pekikan itu.
Seolah terbetot sukmanya, Kim Teng-hap berdiri mematung
setelah mendengar suara pekikan itu. Han Cau pun kelihatan kaget
dan ketakutan setengah mati.
Yang lebih aneh lagi, ternyata Seebun-hujin sendiri pun berdiri
termangu, seolah dibalik suara pekikan itu tersimpan sesuatu
rahasia dan rahasia itu sedang mengetuk perasaan hatinya.
Mendadak Seebun Yan seperti tersentak bangun, serunya, "Ibu,
suara pekikan ini mirip sekali dengan irama tambur yang biasa
digunakan orang-orang Sikang serta Tibet!"
Beberapa kelompok pribumi yang tinggal di wilayah Sikang serta
Tibet sering menggunakan irama tambur untuk menyampaikan
berita, dari komposisi irama tambur yang terkadang cepat atau
melambat, mereka dapat menyampaikan ungkapan isi hatinya
kepada pihak lain, tentu saja ungkapan yang kelewat rumit tidak
mungkin bisa disampaikan, tapi percakapan sehari-hari biasanya
dapat disampaikan lewat irama tambur.
Seebun-hujin manggut-manggut, lalu gelengkan kepalanya.
Mengangguk pertanda ucapan putrinya benar; menggeleng artinya
dia tidak bisa menangkap artinya.
Mendadak Chi Tin-kun bertanya, "Han Cau, apa yang dikatakan
orang itu?" Dari mimik mukanya, dia seolah sudah tahu kalau Kim Teng-hap
serta Han Cau pasti memahami arti irama tambur itu. Tapi karena
kedudukan Kim Teng-hap hampir sejajar dengan statusnya, maka
dia bertanya kepada Han Cau.
Benar saja, Han Cau tidak berani berbohong, segera sahutnya,
"Dia bilang, kau hanya mendengarkan putranya, apakah tidak
menurut kepada yang tua?"
"Apa maksud perkataan itu?" tanya Kim Teng-hap keheranan.
"Aku sendiripun tidak paham," Han Cau menggeleng.
Han Cau boleh tidak paham, tapi Kim Teng-hap memahami
artinya. Surat yang kemarin dibawa pulang Ouyang Yong dari kota Kimleng
tidak lain adalah surat yang ditulis putra orang itu. Dalam surat
itu dia diminta tidak menyusahkan Lan Giok-keng.
Orang yang menulis surat itu mempunyai status dan kedudukan
khusus, sehingga mau tidak mau dia harus mentaatinya.
Dan kini dia ingin menahan Bouw It-yu, untuk melancarkan
rencananya itu maka diapun menggunakan alasan Lan Giok-keng
telah membuat perselisihan dengan dirinya untuk menahan paman
gurunya. Tapi sekarang, suara pekikan orang itu menyampaikan pesan
lagi, mengingatkan dia, terlepas apa pun maksud dan tujuannya, dia
tidak boleh menyusahkan semua orang yang ada hubungannya
dengan Lan Giok-keng. Bahkan Kim Teng-hap tahu dengan jelas
bahwa orang tua itu jauh lebih susah dihadapi daripada anaknya.
Kim Teng-hap termangu beberapa saat lamanya, kemudian
teriaknya lagi, "Kwik locianpwee, disini ada orang ingin bertemu
denganmu!" Kembali suara pekikan orang itu berkumandang, kali ini waktunya
jauh lebih panjang. Begitu suara pekikan berhenti, paras muka Chi Tin-kun ikut
berubah hebat. Ternyata "Kwik locianpwee" yang disebut Kim Tenghap
tidak lain adalah salah satu tokoh yang paling ditakuti
sepanjang hidupnya. Tanpa terasa dia alihkan pandangan matanya ke arah Han Cau.
Dengan setengah berbisik sahut Han Cau, "Dia bilang, sahabat
yang ingin kujumpai tidak perlu kalian atur, teman yang tidak ingin
kujumpai, biar kalian atur pun tidak ada gunanya."
Jawaban itu sama artinya telah menyangkal semua janji yang
diberikan Kim Teng-hap kepada Seebun-hujin.
Sambil tertawa dingin Seebun-hujin menyindir, "Huuh,
pertukaran syarat apa yang kau ajukan" Ternyata hanya menjual
pepesan kosong!" Kim Teng-hap benar-benar malu setengah mati, tanpa
mengucapkan sepatah katapun dia mengulapkan tangannya lalu
beranjak pergi dari situ.
Begitu dia berlalu, kawanan tentara itupun ikut berlalu dari sana.
Siapa pun tidak menyangka kawanan manusia yang sewaktu
datang nampak begitu garang dan menakutkan, kini harus menarik
kembali pasukannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Bouw It-yu sendiri pun terkejut bercampur sangsi, begitu
kawanan tentara itu angkat kaki, dia cepat bertanya kepada
Seebun-hujin, "Apakah orang itu adalah Jit-seng-kiam-kek?"
Entah Seebun-hujin tidak ingin menjawab pertanyaan itu atau
memang tidak sempat menjawab, begitu kawanan tentara itu
mundur, dia langsung lari menuju ke arah bukit dimana suara
pekikan itu berasal. Tiba di tepi bukit, sejauh mata memandang hanya tanah lapang
nan luas terbentang di depan mata. Nun jauh diatas permukaan
samudra terlihat sebuah perahu kecil membuang sauh. Kecuali
perahu kecil itu, tidak nampak perahu-perahu lainnya.
Bouw It-yu yang mengikuti dari belakang, sama sama merasa
terperanjat bercampur heran. Angin dan suara ombak di samudra
sangat kencang, bila suara pekikan tadi berasal dari seseorang yang
berada di atas perahu kecil itu, dapat diduga kalau kesempurnaan
tenaga dalam yang dimiliki orang itu benar-benar jarang ditemui di
kolong langit (Gb 14). Seebun-hujin menarik napas panjang, teriaknya, "Kwik-toako,
harap tunggu sebentar!"
Begitu mendengar sebutan 'Kwik-toako', Bouw It-yu segera tahu
kalau dugaannya tidak keliru, ternyata orang itu memang Jit-sengkiam-
kek. Perahu kecil itu sama sekali tidak berbalik, hanya terdengar irama
senandung bergema dari lautan, "Kehidupan berganti bintang
beralih, berapa musim gugur telah berlalu. Simpatik dan rasa
hormat untuk sahabat lama.
Air hitam bukit putih memendam hawa pedang, sahabat lama
hanya berkumpul di daratan Tiong-ciu."
Baru suara senandung bergema di telinga, perahu sampan itu
telah lenyap diujung lautan.
"Ibu, apa maksud syair yang disenandungkan itu?" tanya Seebun
Yan kemudian. "Dia bilang waktu sudah berganti situasi telah berubah, dia tidak
ingin bertemu aku lagi. Julukan Jit-seng-kiam-kek yang sebenarnya
adalah Tiong-ciu-kiam-kek, dia bilang sahabat lama hanya
berkumpul di daratan Tiong-ciu, artinya sekarang dia sudah bukan
dia yang dulu, hanya sewaktu dia masih berada di Tiong-ciu lah
baru merupakan sahabat lamaku."
"Yang dimaksud air hitam bukit putih tentulah luar perbatasan,
air hitam bukit putih memendam hawa pedang, tampaknya
kehidupan dia di luar perbatasan adalah karena keadaan terpaksa,
kalau tidak kenapa dia begitu putus asa dan kehilangan semangat"
Ibu, kenapa dia tidak kembali ke Tiong-ciu (daratan Tionggoan)"
Bila dia mau kembali ke Tiong-ciu, bukankah kalian masih tetap
sahabat karib." "Aku telah berpisah dengan dirinya hampir tiga puluh tahun
lamanya, aku sama sekali tidak tahu bagaimana kehidupannya
selama di luar perbatasan. Tapi aku rasa dia pasti mempunyai
kesulitan yang memaksanya berbuat begitu, karena itulah dia lebih
suka mati tua di tempat ini."
Habis berkata dia berpaling dan ujarnya kepada Bouw It-yu, "Yuji,
bukannya aku tidak ingin membantumu, kalau akupun tidak ingin
dijumpainya, apalagi kau!"
"Biarpun tidak dapat bertemu dengannya, tapi untung sudah
mengetahui sedikit kabar tentangnya, kalau kusampaikan kepada
ayah, sudah pasti beliau akan gembira sekali. Ibu angkat, boleh aku
bertanya satu hal kepadamu."
"Tentang apa?" "Ayah sangat mengkhawatirkan kabar berita tentang Jit-sengkiam-
kek, dulu apakah mereka adalah sahabat karib?"
"Aku hanya kenal dengan Jit-seng-kiam-kek, aku tidak tahu
berapa banyak sahabat yang dia miliki, lebih baik kau pulang dan
tanyakan sendiri kepada ayahmu."
Bouw It-yu adalah pemuda yang cerdas, sekali pandang dia
sudah tahu kalau wanita ini mempunyai masalah yang sulit untuk
dijelaskan, segera pikirnya, 'Entah masih ada berapa banyak
persoalan yang sengaja dia rahasiakan kepadaku"'
Dalam pada itu Liok Ki-seng telah maju ke depan sambil
bertanya, "Hujin, apakah kita boleh segera pulang?"
"Kalau tidak pulang, memang mau apa disini?" jawab Seebunhujin
ketus. "Aku telah menyiapkan kereta untuk hujin dan siocia, kereta
menanti di tepi bukit sebelah sana. Harap hujin mengijinkan aku
untuk mengiringi perjalananmu."
"Buat apa musti merepotkan!"
"Bila kita empat orang wanita asing harus melakukan perjalanan
bersama-sama, kemunculan kita pasti akan memancing perhatian
orang," kata Hong-sihu, "bagaimana kalau kita naik kereta saja?"
"Hujin," ujar Peng-toaso pula, "bila kau merasa tidak terbiasa
dilayani orang luar, biar aku saja yang akan menjadi kusir keretamu.
Urusan lain mungkin aku tidak berani membanggakan diri, tapi
kalau soal jadi kusir, akulah ahlinya."
"Aku tahu," sahut Seebun Yan sambil tertawa, "adik angkat ku
pernah naik kereta yang kau kusiri."
"Menyinggung kembali kejadian tersebut, aku belum minta maaf
kepada siocia. Waktu itu siocia berpesan agar kami menghantar
nona Lan balik ke lembah Pek-hoa-kok, siapa tahu kami menemui
kejadian ditengah jalan. Hanya saja, kesalahan itu bukan
disebabkan kemampuanku membawa kereta tidak canggih."
"Aku tahu. Bila ada waktu dikemudian hari, pasti akan kubantu
kalian mencari orang orang Liong-bun-pang dan melampiaskan
semua kekesalanmu. Sudah cukup, tidak usah bercerita lagi, ibu.
Biar kita terima saja niat baik Peng-toaso."
Saat i tulah Seebun-hujin baru berkata, "Liok Ki-seng, ternyata
semua yang kau persiapkan untukku telah tersusun rapi, tampaknya
bila aku menolak naik keretamu, keputusanku- itu sedikit tidak tahu


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aturan. Baiklah, kalau begitu mari kita buktikan kehebatan Pengtoaso."
Setelah mengalami peristiwa kali ini, sikap maupun
pandangannya terhadap Liok Ki-seng jadi telah banyak mengalami
perubahan. "Bouw-toako," kata Seebun Yan, "kau pun sudah lelah karena
menemani aku datang ke Liauw-tong, hal ini sungguh membuat
perasaanku tidak enak. Apa rencanamu selanjutnya?"
"Biarpun tugas yang kuemban gagal dilaksanakan dengan baik,
sedikit banyak akupun berhasil meraih sedikit hasil. Tentu saja aku
harus balik ke Bu-tong-san," kata Bouw It-yu, "kegagalan yang
kualami tidak mutlak, biarpun hasil yang diperoleh sedikit. Siapa
tahu masih sempat ikut menghadiri upacara penguburan jenasah
Bu-siang Cinjin " "Yan-ji," tiba-tiba Seebun-hujin bertanya, "kau merasa berat hati
untuk berpisah dengan toakomu?"
"Kalau benar lantas kenapa?" tanya Seebun Yan.
"Kalau begitu sementara waktu kita tidak pulang ke rumah, ikut
bersama toakomu naik ke Bu-tong."
"Sama-sama pergi ke gunung Bu-tong?" tanya Seebun Yan agak
melengak. "Bu-siang Cinjin merupakan tokoh dalam dunia persilatan yang
paling bagus reputasinya dan paling dihormati setiap umat
persilatan, sayang aku tidak punya rejeki hingga semasa hidupnya
belum sempat memperoleh petunjuk darinya, mumpung saat ini ada
kesempatan, sewajarnya bila kita ikut hadir dalam upacara
penguburannya sebagai wujud hormat kita. Apalagi ayah Bouwtoako
mu adalah Ciangbunjin Butong-pay saat ini, kalau tidak hadir
rasanya kurang sopan. Bagaimana, apakah kau...."
"Tentu saja aku seribu kali setuju," jawab Seebun Yan cepat,
"sejujurnya, akupun ingin sekali bertemu dengan adik angkatku."
Padahal yang benar dia ingin bertemu Lan Giok-keng dan
bertanya mengenai hal-hal yang menyangkut piauko nya.
Walaupun dalam hati Bouw It-yu agak curiga dengan niat dan
tujuan Seebun-hujin, tentu saja tidak leluasa baginya untuk
menampik, terpaksa katanya, "Bagus sekali kalau kita melanjutkan
perjalanan bersama-sama!"
Setelah turun ke bawah bukit, benar saja disana telah menunggu
dua buah kereta besar, selain kereta tersedia pula lima orang anak
buah Liok Ki-seng serta belasan ekor kuda.
Kereta diperoleh dari menyewa penduduk setempat, sedang anak
buah dan kuda dibawa sendiri Liok Ki-seng dari daerah perbatasan.
Kepada dua orang kusir kereta penduduk setempat, Liok Ki-seng
pun berkata, "Kami sudah punya kusir sendiri, kalian tidak usah ikut.
Kedua kereta milik kalian ini biar kubeli saja."
Karena harga yang dibayar untuk kedua buah kereta itu adalah
harga dua kali lipat, tentu saja kedua orang pemilik kereta itu
menyetujuinya. "Hong-hiocu," ujar Seebun-hujin kemudian, "kau naik satu kereta
dengan aku karena aku ingin mendengar ceritamu."
"Terima kasih atas perhatian hujin," jawab Hong-sihu, "aku telah
menimbulkan banyak kesulitan dan masalah, sudah saatnya untuk
mohon petunjuk dari hujin."
"Bouw-toako, kalau begitu kau naik satu kereta dengan aku,"
ajak Seebun Yan. Bouw It-yu segera tertawa.
"Aku adalah seorang lelaki, naik satu kereta denganmu bisa
menimbulkan tertawaan orang. Buat aku lebih baik naik kuda sendiri
saja." Kecuali mereka yang duduk dalam kereta dan menjadi kusir
kereta, yang tersisa adalah enam orang penunggang kuda, berarti
masih tiga ekor kuda yang kosong.
"Liok-tuocu, banyak amat kuda yang kau siapkan," seru Bouw Ityu
kemudian. "Lebih banyak toh lebih baik," jawab Liok Ki-seng sambil tertawa
licik, "apalagi kusangka kau masih ada teman lainnya."
Tergerak hati Bouw It-yu, pikirnya, 'Jangan-jangan diapun sudah
tahu kalau Lan Giok-keng dan Hwee-ko Thaysu pun sudah datang
ke Liauw-tong"' Mula-mula Bouw It-yu masih sedikit khawatir, dia takut selama
masih berada di wilayah Liauw-tong, setiap saat mereka bakal
bertemu para pengejar, siapa tahu sepanjang jalan aman tenteram,
karena itu perasaan hatinya pun mulai lega.
Kalau pada hari pertama tidak ada masalah, lain halnya pada hari
ke dua. Selesai bersantap siang, ketika kereta sedang bergerak ke depan,
entah mengapa Peng-toaso yang bertugas menjadi kusir kereta tibatiba
merasakan kepalanya pening dan pandangan matanya
berkunang kunang, sedikit teledor, kereta yang dibawanya nyaris
terjerumus ke dalam sawah di tepi jalan.
Cepat-cepat dia menarik tali les kudanya, dengan susah payah
akhirnya kereta pun berhasil dihentikan, namun dia sudah kecapaian
hingga napasnya tampak terengah-engah.
Dengan wajah tersipu karena malu Peng-toaso berseru, "Selama
hidup aku belum pernah mengalami kecelakaan, entah mengapa,
tiba-tiba kepalaku terasa pening, kakiku lemas, seakan baru
terserang penyakit parah."
"Mungkin kau lelah," kata Seebun-hujin, "coba ganti orang lain."
Siapa tahu baru selesai dia berkata, orang yang bertugas jadi
kusir kereta yang membawa Seebun Yan "sakit" lebih parah lagi,
bahkan jauh lebih parah daripada Peng-toaso, tiba-tiba saja
tubuhnya jatuh terguling dari atas kereta.
Begitu kusirnya terjatuh, kereta pun ikut terguling, sambil
melompat keluar Seebun Yan segera berteriak, "Ibu, apa yang
terjadi, kenapa kepala ku pun terasa berat sekali, semua tenaga
seakan hilang lenyap dan tidak bisa digunakan lagi."
Menyusul kemudian, berapa orang anak buah Liok Ki-seng pun
susul menyusul berteriak tidak enak badan, seakan-akan mereka
semua telah terjangkit penyakit.
Bouw It-yu sendiripun merasakan ada perubahan aneh dalam
tubuhnya, namun dia tetap membungkam.
Liok Ki-seng yang berada di punggung kudapun nampakber
goncang keras, segera jeritnya, "Celaka, kemungkinan besar kita
semua sudah terkena hawa kabut racun!"
"Kabut beracun" Darimana datangnya kabut beracun?" seru
Seebun Yan. "Di Bawah bukit yang kita lalui pagi tadi terdapat sebuah hutan
bunga Tho yang amat luas, bunga Tho yang berguguran dan
menumpuk selama banyak tahun menimbulkan bau busuk yang
lama-kelamaan membentuk kabut beracun yang sangat jahat, bisa
jadi hawa beracun itu tersebar ketika terhembus angin. Hutan
bunga Tho itu tak akan terlihat dari bawah bukit," Liok Ki-seng
menerangkan. Seebun Yan merasakan rubuhnya makin lama semakin lemas
tidak bertenaga, pikirnya, 'Biarpun tenaga dalam yang kumiliki tidak
termasuk bagus, namun tidak banyak kabut racun yang terhisap
olehku, apalagi kalau kabut racun itu berasal dari atas bukit. Aneh,
kenapa 'sakit' ku bertambah parah"'
Namun gadis inipun sadar kalau pengetahuannya sangat
terbatas, dia tidak berani menyampaikan rasa curiganya terhadap
Liok Ki-seng, hanya tanyanya, "Ibu, bagaimana perasaanmu?"
"Tidak apa-apa," jawab Seebun-hujin, "aku hanya merasa sedikit
tidak enak badan." Sambil tertawa getir Liok Ki-seng segera berkata, "Tenaga dalam
yang dimiliki hujin serta Bouw-siauhiap sangat hebat, sekalipun
terkena kabut racun, rasanya tidak akan terlalu mengganggu. Hanya
saja, kalau dilihat kondisi sekarang, mungkin sulit bagi kita untuk
melanjutkan perjalanan."
"Lantas bagaimana baiknya?" tanya Seebun Yan.
"Aku rasa mungkin kita harus mendirikan tenda disini. Untung
aku menyiapkan pula sedikit peralatan untuk berkemah serta obat
obatan, walaupun bukan obat untuk memunahkan racun kabut,
siapa tahu setelah diminum, kondisi tubuh kita akan lebih
mendingan. Bila selewat malam nanti kondiri kita sedikit lebih
baikkan, aku akan pergi mencari tabib. Hujin, bagaimana menurut
pendapatmu?" Seebun-hujin seperti kehabisan akal, sahutnya kemudian, "Aku
belum pernah datang ke Liauw-tong, segala sesuatunya baiklah kau
putuskan sendiri." Selesai mendirikan tenda, Liok Ki-seng mengeluarkan bubuk obat
yang dibawanya dan dibagikan kepada semua orang.
"Aku tidak perlu," tampik Seebun-hujin, "bagikan saja lebih
banyak obat yang kau bawa kepada mereka."
Begitu Bouw It-yu melihat Seebun-hujin menampik pemberian
itu, tergerak hatinya, cepat katanya pula, "Aku dengar kabut
beracun yang berasal dari hutan bunga Tho merupakan jenis kabut
paling beracun, betul bubuk obatmu bisa memunahkan pelbagai
racun, tapi bila dipakai dalam kadar sedikit sama sekali tidak ada
gunanya. Lagian aku hanya merasa sedikit pening dan tidak
masalah, berikan saja lebih banyak kepada mereka yang kondisi
sakitnya parah. Adik Yan, bagaimana keadaanmu?"
"Kondisiku pun tidak terlalu parah," sahut Seebun Yan, "kalau
kau tidak mau, akupun tidak mau."
Oleh karena gadis ini bersikeras menampik, terpaksa Liok Ki-seng
mengulang kembali pembagian jatahnya, termasuk satu bagian buat
diri sendiri. Padahal keadaan Seebun Yan saat itu bagaikan orang yang baru
terserang penyakit parah, seluruh tubuhnya terasa bagaikan dilolosi,
bukan saja matanya berkunang telinganya mendengung, ke empat
anggota tubuhnya lemah tidak bertenaga.
Namun setelah menyaksikan Liok Ki-seng maupun semua anak
buahnya menelan bubuk obat yang dibagikan, perasaan curiga
terhadap dirinya ikut pula hilang separuh bagian.
Tapi sayang khasiat bubuk obat itu tidak terlalu besar, lewat
setengah jam kemudian kecuali Seebun-hujin dan Bouw It-yu,
seluruh anggota rombongan nyaris dalam kondisi 'sakit parah'.
Berhubung begitu banyak orang jatuh sakit, persoalan mendesak
pun segera muncul di depan mata.
Dengan tubuh lemas dan tidak bertenaga bisik Peng-toaso,
"Tampaknya aku sudah tidak sanggup bertahan lagi, tapi.... Lioktuocu,
malam ini harus ada orang yang menanakkan nasi untuk
hujin." "Kalian tidak perlu menguatirkan diriku," sela Seebun-hujin cepat,
"aku bisa saja mengisi perut dengan rangsum kering. Kalian sedang
sakit dan tidak sehat, tidak cocok rangsum kering untuk kalian
semua." "Benar, nasi boleh saja tidak di makan tapi toh harus ada air
yang bisa diminum, Liok-tuocu.... persediaan air kita...."
Sambil tertawa getir sahut Liok Ki-seng, "Beras mah masih
tersedia dua karung, tapi air yang tersisa tinggal sepoci. Untuk
membuatkan bubur satu orang pun mungkin tidak cukup."
Saat itu Seebun Yan merasakan pula sangat haus, segera
serunya, "Apa jadinya bila orang yang sedang sakit tidak punya air"
Toako, di tempat ini selain ibu, mungkin hanya kau seorang yang
masih dapat bergerak, kau...."
"Baik, aku segera akan pergi mencari air," jawab Bouw It-yu
cepat. "Jangan," cegah Liok Ki-seng, "kami tidak berani merepotkan
Bouw kongcu, lagian soal ini.... soal ini...."
"Apa itu soal ini soal itu, jadi kau tetap menganggap aku sebagai
orang luar?" tukas Bouw It-yu cepat.
Terpaksa Liok Ki-seng menyahut, "Aku tidak bermaksud begitu,
hanya saja.... kemampuanku memang terbatas, aku merasa kurang
enak...." Keluar dari tenda, Bouw It-yu menghirup napas segar, walaupun
langkah kakinya agak limbung namun otak dan pikirannya tetap
segar. "Aneh, tanpa sebab yang jelas kenapa ada begitu banyak orang
yang jatuh sakit?" Dia tidak percaya dengan perkataan Liok Ki-seng, apalagi
menggambarkan pengamh racun kabut hutan bunga Tho yang
konon begitu lihay. Tapi demikianlah kenyataan yang terpampang di depan mata,
bahkan saat ini tenaga dalamnya sudah tidak dapat digunakan lagi,
yang bisa dia lakukan sekarang hanya bergerak dengan paksakan
diri. "Moga-moga saja tenaga dalam yang dimiliki Seebun-hujin tidak
lenyap seperti apa yang kualami."
Biarpun sikap permusuhannya terhadap Seebun-hujin belum
lenyap sama sekali, diapun bukan bersungguh hati menganggapnya
sebagai ibu angkat, namun satu-satunya harapan yang dimilikinya
saat ini hanyalah dia. Mendadak satu ingatan melintas lewat, "Aduh celaka! Bila tenaga
dalam yang dimiliki Seebun-hujin belum lenyap, dia seharusnya
mulai interogasi Liok Ki-seng, datangnya kejadian ini sangat aneh,
bahkan aku pun merasa kalau Liok Ki-seng sangat mencurigakan,
dia sebagai jago kawakan masa tidak dapat berpikir ke situ?"
Tapi, sekalipun dapat membuktikan kalau semuanya ini
merupakan ulah yang dilakukan Liok Ki-seng, apa pula yang bisa dia
lakukan" Dengan kondisi tubuhnya sekarang, jangan lagi
memikirkan keselamatan orang lain, keselamatan diri sendiripun
masih menjadi tanda tanya besar.
Sementara dia masih bingung dan tidak tahu apa yang mesti
diperbuat, mendadak terdengar suara pekikan nyaring muncul dari
balik hutan. Suara pekikan itu disertai irama yang istimewa, sekali mendengar
Bouw It-yu segera tahu kalau suara itu berasal dari Jit-seng-kiamkek.
Biarpun dia tidak bisa menangkap arti dari suara pekikan itu,
tidak urung muncul juga secercah harapan dihati kecilnya. Maka
dengan langkah cepat dia menghampiri sumber munculnya suara
tersebut. Sementara dia masih berlarian dengan napas ngos-ngosan,
mendadak terdengar suara yang sangat menusuk pendengaran
bergema, "Hey bocah muda, kau anggap setelah mempunyai ibu
angkat maka aku tidak bisa berbuat apa-apa kepadamu?"
Suara itu membawa nada hidung yang kental, seperti orang yang
sedang sakit pilek. Begitu mendengar suara orang itu, dia segera tahu siapa yang
datang, tahu-tahu di depan mata telah muncul manusia
berkerudung itu. Dalam pada itu Bouw It-yu telah mencabut keluar pedangnya,
Sreeet! Dia langsung melepaskan sebuah bacokan.
Dalam kondisi tenaga dalam masih utuhpun dia tidak sanggup
menghadapi sepuluh jurus serangan dari manusia berkerudung itu,
apalagi sekarang tenaga dalamnya telah punah sama sekali, hanya
saja dia tidak rela untuk menyerah kalah dengan begitu saja.
"Traaang....!" baru saja ujung pedang Bouw It-yu menyentuh
pakaian lawan, serangan itu seketika tersampok runtuh oleh
kebasan manusia berkerudung itu.
Agaknya manusia berkerudung itupun tidak menduga akan hal
ini, sambil mendengus segera tegurnya, "Kau sedang berlagak


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bodoh atau benar-benar telah kehilangan ilmu silat?"
Perlu diketahui mereka baru berpisah selama dua hari, biarpun
saat itu Bouw It-yu telah menderita kerugian besar ditangannya,
namun manusia berkerudung itupun tidak berhasil melukai
lawannya. "Aku telah kehilangan ilmu silatku," jawab Bouw It-yu dingin,
"bila ingin membunuhku, bukankah bisa kau lakukan dengan lebih
gampang lagi?" Tampaknya manusia berkerudung itu sudah tahu kalau lawannya
benar-benar telah kehilangan ilmu silat, sebagai seorang jagoan
kelas satu dalam dunia persilatan, mana mungkin dia mau
membunuh seseorang yang telah kehilangan kemampuannya untuk
melawan" Tangan manusia berkerudung yang telah diangkat ke atas
perlahan-lahan diturunkan kembali, kemudian setelah berpikir
berapa saat akhirnya dengan nada dingin ujarnya, "Baiklah, aku
tidak akan membunuhmu, tapi akan kumusnahkan ilmu silatmu!"
Kondisi Bouw It-yu saat ini tidak lebih hanya 'kehilangan' ilmu
silat, 'kehilangan' dan 'dimusnahkan' jelas dua hal yang berbeda
sekali, bila kehilangan ilmu silat karena keracunan hebat atau sakit
parah, suatu saat kemampuannya dapat pulih kembali, sebaliknya
bila dimusnahkan seorang jago silat maka selama hidup ilmu
silatnya tidakbakalan pulih kembali seperti sedia kala.
Biarpun terancam bahaya maut, Bouw It-yu tidak sudi minta
ampun, dalam keadaan begini dia hanya menggertak giginya kuatkuat.
Tampaknya manusia berkerudung itupun tidak sanggup
mengambil keputusan, tapi saat ini telapak tangannya telah
menempel diatas tulang Pi-pa-kut di tubuh Bouw It-yu.
Pada saat dia sambil menggigit bibir siap melancarkan serangan
yang mematikan itulah, tiba tiba suara pekikan aneh itu kembali
berkumandang. Manusia berkerudung itu tampak agak tertegun, kemudian
serunya, "Bukannya aku lupa dengan hubungan persahabatan di
masa lampau, aku toh sudah berulang kali memperingatkan bocah
muda ini!" Kembali suara pekikan berkumandang tapi kini telah berubah
iramanya. Bouw It-yu tahu suara pekikan itu merupakan irama tambur
untuk menyampaikan berita, hanya sayang dia tidak paham apa
maksud dari pekikan itu. Dia memang tidak mengerti n,;mun manusia berkerudung itu
sangat memahami artinya, begitu suara pekikan berhenti, kembali
dia berseru, "Baiklah, kau adalah lotoa kami, bila kau bersedia
mewakili bocah ini memberikan janjinya, tentu saja aku akan
mempercayai jaminanmu itu. Memandang diatas wajahmu sebagai
penanggung, kulepaskan dirinya kali ini'
Begitu manusia berkerudung itu berlalu, terdengarlah seseorang
berkata lagi, "Sebetulnya aku tidak ingin bertemu dengan mu, tapi
sekarang mau tidak mau harus bertemu juga!"
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, dalam sekejap mata
seorang kakek berwajah merah yang tinggi besar telah muncul
dihadapannya. Banyak pertanyaan berkecamuk dalam benak Bouw It-yu selama
ini, cepat dia berseru, "Kwik-locianpwee, terus terang, kedatangan
tecu kali ini ke wilayah Liauw-tong adalah karena ingin menanyakan
berapa masalah yang pelik kepada diri cianpwee...."
Belum sempat dia menyelesaikan perkataannya, secara tegas Jitseng-
kiam-kek telah menukas, "Hanya aku yang boleh bicara, kau
tidak boleh bertanya!"
Bouw It-yu melengak dan berdiri melongo. Sebagaimana
diketahui dia adalah putra seorang pendekar kenamaan, sedikit
banyak dia masih memiliki sedikit pamor dan nama, siapa tahu
bukan saja orang tua itu sama sekali tidak sungkan, bahkan begitu
bertemu muka telah membuatnya ketanggor batunya.
Maka sesudah termangu berapa saat, ujarnya, "Urusan orang lain
boleh saja tak kutanyakan, tapi kalau masalahnya menyangkut
pribadiku dan aku ingin mengetahuinya, hal ini tidak kelewat batas
bukan" Kalau didengar dari perkataan manusia berkerudung itu,
kelihatannya locianpwee telah mewakili aku menyanggupi sesuatu,
apakah hal seperti inipun aku tak pantas bertanya?"
"Kau menyalahkan aku karena berani mewakilimu mengambil
keputusan?" "Tidak berani, aku tahu cianpwee berbuat begini demi
kebaikanku. Hanya saja aku masih tetap ingin tahu."
"Betul, persoalan ini memang harus kau ketahui. Sederhana
sekali, aku hanya mewakilimu berjanji setelah balik ke gunung nanti
tidak pernah akan bercerita kepada siapa pun kalau di wilayah
Liauw-tong pernah bertemu dengannya.... termasuk kepada
ayahmu." "Tapi bukan hanya tecu seorang yang pernah bertemu
dengannya." "Aku tahu," jawab Jit-seng-kiam-kek, "selain kau, Seebun-hujin
dan putrinya pernah bertemu juga. Tapi mereka tidak bakalan akan
bercerita kepada orang-orang Bu-tong-pay, lagipula yang mereka
ketahui tidak sebanyak apa yang kau peroleh. Seperti misalnya
kejadian barusan, mereka toh tidak tahu. Cuma kau tidak usah
kuatir, siapa yang akan membocorkan rahasia nya dikemudian hari,
dia pasti punya cara untuk menyelidikinya, tidak mungkin dia akan
menagih hutang orang lain kepadamu."
Bouw It-yu bukan orang bodoh, begitu berpikir sejenak diapun
segera menjadi paham, yang di maksud manusia berkerudung itu
sebagai "kepada siapa" sesungguhnya hanya kata kiasan, sebab
orang yang benar-benar paling ditakuti olehnya hanya ayahnya
seorang. "Mengapa dia tidak berani membiarkan ayah tahu kalau dia
pernah muncul di Liauw-tong bahkan berulang kali berusaha
menyusahkan diriku" Mungkin masalahnya bukan hanya takut ayah
bakal menuntut balas kepadanya, dulu dia pasti pernah saling
mengenal dengan ayahku dan sekarang ada sesuatu rahasia yang
tidak ingin diketahui ayahku. Semisal secara diam-diam
kuberitahukan hal ini kepada ayah, darimana dia bisa
mengetahuinya?" Agaknya Jit-seng-kiam-kek dapat membaca suara hatinya, cepat
katanya, "Bila kau mengira dapat mengelabuhinuya, maka
dugaanmu itu keliru besar. Bila ingin orang lain tidak tahu, kecuali
kau tidak pernah melakukannya. Bila kau beritahukan persoalan ini
kepada ayahmu, bukan saja bakal tidak menguntungkan bagimu,
terhadap ayahmu sendiripun lebih banyak ruginya daripada untung.
Jangan kau sangka aku sedang menakut-nakutimu!"
"Boanpwee akan mentaati pesan cianpwee."
"Bagus, apa yang ingin kau tanyakan telah kujawab, sekarang
kaulah yang harus mendengarkan perkataanku."
"Boanpwee siap mendengarkan."
"Tadi kau mengatakan kalau aku mau mewakilimu menyanggupi
permintaan manusia berkerudung itu karena demi kebaikan, salah!"
Tanpa terasa kembali Bouw It-yu tertegun, namun berhubung dia
tidak boleh bertanya terpaksa ditunggunya sampai Jit-seng-kiamkek
sendiri yang memberi penjelasan.
"Aku berbuat demikian demi Seebun-hujin," Jit-seng-kiam-kek
menerangkan, "bagaimanapun juga, dia masih terhitung sahabat
lamaku. Sekarang dia sedang ketimpa masalah, aku tidak bisa
berpeluk tangan tanpa menolong. Oleh karena itulah terpaksa aku
harus meminjam tanganmu untuk menolongnya! Bila ilmu silatmu
sampai dipunahkan manusia berkerudung itu, berarti tidak bisa
selamatkan dirinya!"
Bouw It-yu merasa terkejut bercampur kaget, tanpa sadar
serunya tertahan, "Apakah Liok...."
Baru mengucapkan dua kata, Jit-seng-kiam-kek telah mengerling
sekejap ke arahnya sambil menukas, "Bagaimana aku berpesan
kepadamu tadi, secepat itu sudah kau lupakan?"
"Tecu hanya sembarangan menebak, tidak berani banyak
bertanya." "Kau ingin menduga seperti apapun, itu urusanmu, kau ingin
menggunakan cara apa untuk menghadapi orang yang kau curigai,
itupun urusanmu sendiri, aku tidak mau ikut campur. Yang ingin
kukatakan kepadamu adalah racun yang bersarang di tubuh kalian
bukan racun yang berasal dari kabut melainkan racun yang
dicampur orang di dalam makanan kalian, racun ini dibuat dari
bunga setan yang banyak tumbuh di Tibet, tiada warna tiada bau,
siapapun yang terkena racun itu maka tenaga dalamnya segera
akan punah, kendatipun ilmumu sangat hebat. Racun ini jauh lebih
lihay dari bubuk pelemas tulang."
Berbicara sampai disini dia mengeluarkan sebuah botol porselen,
di dalam botol itu berisi lima butir obat, katanya, "Untung aku
mempunyai obat penawarnya, kau telanlah sebutir lebih dulu,
sisanya yang empat butir bawa pulang dan berikan kepada orang
orang yang kau anggap butuh pertolongan."
Tergerak hati Bouw It-yu, pikirnya, 'Ucapan ini terdapat titik
kelemahan. Tujuannya yang paling utama adalah selamatkan
Seebun-hujin, tapi sekarang minta akulah yang melakukan tugas
pem-bagian ini. Mungkin dia sangka jalan pikiranku sama seperti
jalan pikirannya, pasti akan selamatkan Seebun-hujin terlebih dulu.'
Berbagai ingatan segera melintas dalam benaknya, namun mimik
mukanya tidak menunjukkan perubahan apa pun.
Terdengar Jit-seng-kiam-kek berkata lebih jauh, "Obat penawar
ini baru menunjukkan khasiatnya setelah waktu berjalan berapa
saat, bagi orang yang memiliki tenaga dalam seperti Seebun-hujin,
setelah menelan pil pemunah itu maka dalam setengah jam
kekuatannya dapat pulih kembali, namun bagi kau paling tidak
butuh waktu satu jam. Aku rasa dia tidak bisa menunggu
kedatanganmu satu jam lagi, mari biar kubantu dirimu."
Habis berkata diapun menepuk punggung Bouw It-yu, segulung
hawa panas segera memancar keluar dari telapak tangannya dan
langsung menembusi ke dalam tan-tian Bouw It-yu.
"Nah sudah," ujar Jit-seng-kiam-kek kemudian, "di saat kau
sudah tiba kembali di tempat semula, aku rasa tenaga dalammu
telah pulih kembali enam, tujuh bagian."
"Terima kasih banyak atas pemberian obat dari Cianpwee, tecu
mohon diri," kata Bouw It-yu kemudian sambil menyimpan botol
obat itu ke dalam sakunya.
"Tunggu sebentar," tiba-tiba Jit-seng-kiam-kek berseru, "melihat
kau sudah jauh-jauh datang ke Liauw-tong, tampaknya paling tidak
aku harus memberi-tahukan sedikit tentang persoalan yang paling
ingin kau ketahui." "Terima kasih atas petunjuk Cianpwee!" seru Bouw It-yu
kegirangan, "perguruan kami pasti akan sangat berterima kasih atas
budi kebaikan ini." Dia tidak tahu apakah apa yang akan dikatakan Jit-seng-kiam-kek
merupakan persoalan yang benar-benar ingin dia ketahui, karena
itulah dia ingin menggunakan ucapan tersebut untuk "mengunci"
janjinya didalam lingkungan yang dia maksud, agar Jit-seng-kiamkek
tidak salah paham dengan maksud hatinya.
"Kau tidak usah berterima kasih kelewat awal," kata Jit-sengkiam-
kek lagi, "aku tidak mungkin memberitahukan kepadamu siapa
pembunuh yang kau curigai. Yang bisa kuberitahukan kepadamu
hanyalah.... ehmm, jangan salahkan kalau aku bicara tanpa sungkan
sungkan. Walaupun ayahmu bukanlah terhitung seorang lelaki
sejati, namun dia tidak bakalan mau menjadi pembantu dalam kasus
pembunuhan terhadap orang lain."
Sedikitpun tidak salah, apa yang dia katakan memang merupakan
persoalan yang paling ingin diketahui Bouw It-yu. Walaupun dia
tidak memberitahukan siapa pembunuh sebenarnya dalam berapa
kasus pembunuhan yang menimpa tokoh-tokoh Bu-tong-pay,
namun jawaban ini telah menghilangkan satu keraguan yang paling
ditakuti Bouw It-yu, dia pernah mencurigai ayahnya tersangkut
langsung dengan beberapa kasus pembunuhan itu.
"Terima kasih Kwik-locianpwee telah membebaskan simpul mati
yang mengganjal pikiranku selama ini!"
Walaupun perkataan Jit-seng-kiam-kek sama sekali tidak
sungkan, namun rasa terima kasihnya ini tetap muncul dari hati
sanubarinya yang paling tulus.
"Cukup, sekarang kau boleh segera kembali. Kalau terlambat
kuatirnya tidak sempat lagi!"
Ketika mengucapkan perkataan yang terakhir, tubuh Jit-sengkiam-
kek telah lenyap di balik hutan belukar.
Setelah mendapat bantuan dari Jit-seng-kiam-kek, di saat Bouw
It-yu balik kembali ke tempat dimana tenda itu didirikan, tenaga
dalamnya telah pulih kembali tujuh bagian.
Pertama-tama yang dia dengar adalah suara tertawa dingin dari
Liok Ki-seng. Di saat semua orang sedang berharap harap cemas akan
munculnya kembali Bouw It-yu, tiba-tiba Liok Ki-seng berkata,
"Nona Seebun, jangan salahkan kalau aku bicara terus terang, aku
kuatir kau sedang bermimpi bila ingin melihat Bouw It-yu balik
kembali kemari!" "Kenapa?" tanya Seebun Yan terperanjat.
"Sebab bocah keparat itu sudah kehabisan tenaga, dimulut saja
dia masih berbicara sok gagah, mau pergi mencari air, hmmm....
mungkin saja saat ini tubuhnya sudah terpelanting masuk ke dalam
jurang dan tidak mampu bangkit kembali. Bila nasibnya sedang
baik, mungkin saja jiwanya akan ditolong pemburu yang kebetulan
lewat, tapi paling tidak dia bakal sakit parah setengah sampai
setahun lamanya, jika nasib sedang buruk, apalagi sampai bertemu
tanah longsor atau air bah, mungkin bukan cuma nyawanya saja
yang lenyap, tulang belulangnya pun tidak bakal bisa ditemukan
lagi!" Meledak hawa amarah Seebun Yan setelah mendengar ucapan
itu, umpatnya, "Liok Ki-seng, kau berani menyumpahi saudara
angkatku! Ibu, coba lihat, kurangajar benar bajingan ini, kita harus
memberi pelajaran yang setimpal kepadanya!"
Namun Seebun-hujin berlagak seolah tidak ada masalah, katanya
sambil tersenyum, "Mungkin Liok-tuocu sengaja menggodamu
setelah melihat kau panik tidak karuan, jangan ditanggapi serius."
Melihat Seebun-hujin tidak berani menegur atau memakinya, Liok
Ki-seng segera tahu kalau apa yang diduga tidak meleset, sikapnya
semakin bertambah kurangajar.
"Seebun-hujin," jengek Liok Ki-seng kemudian sambil tertawa
dingin, "aku dengar ilmu pedangmu sudah termasuk jagoan nomor
wahid, ternyata yang kau miliki hanya ilmu sandiwara yang hebat!"
Meledak hawa amarah Peng-toaso mendengar ucapan itu,
bentaknya, "Liok-tuocu, aku adalah anak buahmu, tapi kau pun
anak buah hujin, berani amat kau bersikap kurang ajar terhadap
hujin! Hmm, kalau kamipun bersikap seperti itu kepadamu, apa kau
sanggup untuk menerima nya?"
"Itu mah tergantung berada dalam situasi macam apa," jawab
Liok Ki-seng kembali tertawa dingin, "terkadang tidak tahan pun
terpaksa harus ditahan!"
Hong-sihu jauh lebih cerdas, tampaknya dia sudah menemukan
gejala yang tidak beres, cepat katanya, "Liok-tuocu, apa sih yang
kau andalkan, berani amat kurangajar terhadap hujin?"


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ucapan enci Hong kelewat serius. Aku hanya membuka jendela
lebar-lebar sambil bicara blak-blakan. Meski apa yang kukatakan
memang tidak enak didengar, tapi seharusnya hujin pun mengerti,
semua yang kukatakan adalah ucapan sejujurnya."
Bicara sampai disini, dia sengaja berlagak minta maaf, katanya
lagi kepada Seebun-hujin, "Hujin, aku tidak pandai bicara, bila
ucapanku menyinggung perasaanmu, harap kau sudi memaafkan
dan memberi hukuman yang seringan-ringannya."
Hampir meledak dada Seebun Yan saking gusarnya, kembali dia
berteriak, "Ibu, kenapa kau masih belum turun tangan untuk
memberi pelajaran kepadanya!"
Seebun-hujin menghela napas panjang.
"Aaaai, kau memang bocah yang tidak tahu urusan, hari ini kita
semua sudah terjatuh ke ceng-keraman orang lain!"
"Ibu, apa yang kau katakan?" jerit Seebun Yan terperanjat.
Saat itulah Seebun-hujin baru menatap Liok Ki-seng sambil
perlahan-lahan berkata, "Liok Ki-seng, ilmu meracunmu sungguh
luar biasa, sampai akupun berhasil kau kelabuhi!"
Begitu perkataan itu diucapkan, bukan hanya Seebun Yan saja
yang terperanjat, Hong-sihu serta Peng-toaso pun ikut melompat
bangun saking kagetnya, teriak mereka berbareng, "Liok Ki-seng,
ternyata kau telah meracuni kami!"
Liok Ki-seng tertawa terbahak-bahak, ejeknya, "Hujin kelewat
memujiku, padahal bukan caraku melepaskan racun yang hebat,
bahan racun itu sendiri yang memang luar biasa. Hujin, kau ingin
tahu bahan apa yang telah digunakan" Hahahaha.... obat itu adalah
bubuk Siu-lo-san yang dibawa Ka-cok Hoatsu dari Tibet, bubuk Siulo-
san terbuat dari bunga iblis (opium), daya pengaruhnya berlipat
ganda bila dibandingkan bubuk pelemas tulang."
"Liok Ki-seng! Kau memang bangsat, bajingan yang sudah
sinting!" umpat Peng-toaso sambil menu-ding ke arah wajahnya,
"hujin begitu baik kepadamu, beginikah balasan yang kau berikan?"
Kembali Liok Ki-seng tertawa keras.
"Peng-toaso, masa kau lupa kalau julukanku adalah sang pelajar
dari alam baka?" "Kalian tidak perlu mengumpatnya lagi," tukas Seebun-hujin
hambar, "manusia semacam dia lebih pantas disebut: manusia egois
yang takut dikutuk langit bila tidak mencelakai orang. Buat apa
kalian mengajaknya bicara soal perasaan dan kesetiakawanan"
Jangan sampai dia menterta wakan kalian hingga pecah kulit
perutnya." "Tepat sekali!" seru Liok Ki-seng sambil bertepuk tangan,
"ternyata hujin memang lebih tahu perasaanku...."
"Baiklah, sekarang aku ingin bertanya kepadamu, karena apa kau
meracuni diriku?" "Sebenarnya aku ingin mengandalkan hujin sebagai tulang
punggungku, tapi kau enggan menolong-ku, karena itulah agar bisa
menjadi seorang Liok-lim Bengcu, terpaksa aku mencari orang lain
untuk dijadikan sandaran."
"Kim Teng-hap maksudmu?"
"Tepat sekali, tapi yang benar-benar cocok menjadi sandaranku
adalah majikan Kim Teng-hap."
"Khan dari bangsa Boan?"
"Tepat sekali. Kim Teng-hap telah menyanggupi permintaanku,
asal aku berhasil membekuk kalian ibu dan anak dan menyerahkan
kepadanya, dia berjanji akan membantu aku membicarakan masalah
ini dihadapan Khan, agar keinginanku bisa kesampaikan!"
"Liok Ki-seng, anjing gelandangan!" umpat Peng-toaso teramat
gusar, "sungguh tak kusangka kau adalah manusia berhati serigala
berparu paru anjing! Kau ingin menangkap hujin" Lebih baik
bunuhlah aku terlebih dulu!"
"Peng-toaso, siapa yang telah mempromosikan dirimu" Kau lupa
pernah bersumpah setia sampai mati kepadaku?" seru Liok Ki-seng.
"Hmm, siapa pula yang telah menampungmu ketika kau
melarikan diri ke luar perbatasan seperti seekor anjing yang habis
digebuki" Terhadap hujin pun tidak setia, kau masih punya muka
untuk berbicara denganku!"
Bukannya gusar Liok Ki-seng malah tertawa tergelak.
"Hahahaha.... ternyata baru dicoba sudah ketahuan, sejak c.wal
aku sudah tahu kalau kau tidak dapat melupakan majikan lamamu,
kesetiaanmu terhadapku hanya palsu, kesetiaan terhadap majikan
lamalah baru beneran."
"Liok-toako...." tiba tiba Hong-sihu memanggil dengan suara
lembut. "Hong-hiocu," tukas Liok Ki-seng cepat, "kaupun jangan salahkan
aku karena harus meracuni pula dirimu, meski kita adalah rekan
kerja selama banyak tahun, namun selama beberapa hari
belakangan tampaknya hujin sedang berusaha merangkulmu, aku
musti bertindak hati-hati dalam setiap langkahku."
"Aku baik terhadap hujin, baik pula terhadapmu, bahkan aku bisa
bersikap lebih baik lagi kepadamu," ucap Hong-sihu.
"Oooh, kebaikan apa lagi yang bisa kau berikan untukku?"
"Asal kau bebaskan hujin, apa pun yang kau inginkan pasti akan
kukabulkan." Rupanya selama ini Liok Ki-seng selalu kesemsem dengan
kecantikan wajah Hong-sihu, bahkan berapa kali sempat
mengemukakan keinginannya, namun selama ini Hong-sihu selalu
berlagak tidak paham dan menolak keinginannya.
Liok Ki-seng tampak sangat puas setelah mendengar ucapan itu,
katanya, "Kalau begitu kau bersedia menikah denganku?"
Berlagak seolah tersipu malu Hong-sihu menundukkan kepalanya,
sesaat kemudian dia baru menyahut, "Hal ini tergantung dirimu."
"Baiklah, bagaimana kalau kita masing-masing mengalah satu
langkah," usul Liok Ki-seng sambil tertawa, "aku tidak keberatan
untuk membebaskan nona Seebun."
"Tidak bisa, kalau ingin dibebaskan harus ter-masuk juga hujin.
Bagaimana pun ilmu silat yang hujin miliki telah punah, kau tidak
usah menguatirkan lagi tindakannya untuk mencegahmu menjadi
Liok-lim Bengcu." Liok Ki-seng menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya,
"Aku pun tidak segan untuk bicara sejujurnya kepadamu, meski aku
menyukaimu tapi kalau gara-gara mendapatkan dirimu lantas aku
harus kehilangan posisi ku sebagai Liok-lim Bengcu, jelas kerugian
dipihakku kelewat besar. Selama mereka belum berhasil
mendapatkan hujin, tidak nanti orang orang itu akan mendukungku.
Bila aku gagal memperoleh kekuatan untuk mendukungku,
sekalipun hujin tidak menghalangi pun, rasanya sulit bagiku untuk
menduduki bangku kehormatan itu."
"Kalau ada harga tentu ada penawaran, begini saja," kata Hongsihu
kemudian, "berikan obat penawar untuk nona kami, aku akan
mengabulkan permintaanmu setelah menyaksikan ilmu silatnya pulih
kembali seperti sedia kala."
Tampaknya tergerak hati Liok Ki-seng setelah mendengar
tawaran itu, dia mulai termenung sambil mempertimbangkan.
Kembali Hong-sihu berkata, "Biarpun ilmu silat yang nona miliki
telah pulih kembali, diapun bukan tandinganmu, apa yang harus kau
takuti?" Menurut perhitungannya, asal dia bersedia kawin dengan Liok Kiseng
maka sedikit banyak orang itu akan membagikan juga obat
penawar baginya. Asal dia bekerja sama dengan Seebun Yan, paling
tidak dia masih bisa beradu nyawa dengan Liok Ki-seng.
Peng-toaso tidak berpikir sampai kesitu, ucapan mana membuat
sepasang matanya langsung melotot gusar, dia ingin memaki
namun tidak mampu bersuara, akhirnya yang bisa dilakukan
hanyalah menghela napas panjang.
Seebun Yan tidak kuasa menahan amarahnya, dengan nada
kasar kembali teriaknya, "Lebih baik kawin dengan babi atau anjing
daripada kawin dengan bangsat macam dia. Enci Hong, biar
kuterima dalam hati niat baikmu. Tapi aku tidak boleh membiarkan
tubuhmu jadi kotor dan terhina gara gara ingin menolongku."
Liok Ki-seng mendengus dingin.
"Budak busuk!" umpatnya, "jangan lupa, nyawamu sudah berada
dalam genggamanku, berani amat bicara kotor."
Buru-buru Hong-sihu melerai, katanya, "Liok-tuocu, kau telah
berjanji kepadaku untuk tidak bertindak sembarangan. Nona, lebih
baik kurangi perkataanmu, pepatah kuno mengatakan: selama
gunung nan hijau...."
Tidak menanti dia menyelesaikan perkataannya, kembali Seebun
Yan telah mengejek sambil tertawa dingin, "Memangnya aku salah
memaki" Aku ingin bertanya kepadamu, bukankah menjadi kuku
garudanya kaum Tartar sama hinanya dengan seekor anjing
busuk?" Paras muka Hong-sihu berubah jadi hijau kemerah merahan, dia
sadar setelah kejadian berubah jadi begini maka perkataan apa pun
tidak mungkin bisa pulihkan kembali keadaan.
Sambil tertawa dingin kembali Liok Ki-seng berseru, "Toa-siocia,
kau benar-benar tidak tahu diri, hmm! Jangan salahkan kalau aku
orang she-Liok tidak punya perasaan."
"Kalau kau ingin membunuh, bunuhlah, buat apa banyak bicara.
Setelah kau membunuhku, pasti ada orang yang akan membalaskan
dendam bagiku." Liok Ki-seng tertawa mengejek.
"Kau mengharapkan siapa yang akan membalaskan dendammu"
Tonghong Liang atau Bouw It-yu" Sayang Tonghong Liang
menganggap wajahmu kelewat jelek, begitu bertemu denganmu,
sedari jauh sudah berusaha menghindarkan diri, sedang Bouw It-yu
si bocah keparat itu.... hehehe...."
Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar lagi seseorang
sedang tertawa dingin. "Siapa?" hardik Liok Ki-seng.
Sambil tertawa dingin sahut orang itu, "Aku tidak mati
terpelanting, tidak pula roboh karena sakit, maaf, telah membuat
kau kecewa berat!" Ternyata Bouw It-yu muncul tepat waktu.
Begitu turun tangan dia langsung mengeluarkan jurus
pamungkas dari ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat,
niatnya ingin menggunakan serangan yang tercepat untuk segera
menyelesaikan pertarungan ini.
Ujung pedangnya langsung menusuk ke arah tenggorokan lalu
mata pedang mengikuti gerakan tadi menebas turun ke bahu,
sementara dengan gagang senjata dia sodok perut lawan. Tiga jurus
berantai dilancarkan bersamaan waktu, kedahsyatannya benar
benar luar biasa. Tapi sayang tenaga dalamnya baru pulih tujuh bagian, Liok Kiseng
berani mengincar kursi kebesaran Liok-lim Bengcu tentu saja
ilmu silat yang dia milikipun bukan sembarangan.
Cepat telapak kirinya menabok ke muka, dia tangkis gagang
pedang lawan terlebih dulu, otomatis tusukan ke arah tenggorokan
dan babatan ke arah bahu pun terurai dengan sendirinya.
Menyusul kemudian telapak tangan kanannya menyodok ke
depan, sepasang tangan bersatu membentuk satu lingkaran busur,
dalam waktu singkat gerakan pedang dari Bouw It-yu pun terkunci
sama sekali. Kini bukan saja gerakan pedang Bouw It-yu terkunci, bahkan
seluruh tubuhnya berada dalam kurungan angin pukulannya, hal ini
memaksa tubuhnya gontai berapa kali.
Sambil tertawa dingin Liok Ki-seng segera mengejek, "Bocah
dungu, kusangka kepandaianmu benar benar luar biasa, hmmm,
tidak tahunya hanya ujung tombak yang terbuat dari lilin. Hmm!
Tadi kau berhasil kabur satu kali, jangan harap bisa kabur untuk
kedua kalinya, inilah yang dinamakan jalan ke sorga kau tidak
lewati, jalan menuju ke neraka justru kau datangi!"
Walaupun mulutnya tetap berkobar mengejek ketidak becusan
musuhnya, sementara dalam hatinya dia merasa terperanjat
bercampur keheranan, pikirnya, 'Sim-hoat tenaga dalam dari Butong-
pay ternyata memang luar biasa saktinya, Seebun-hujin saja
Peristiwa Burung Kenari 1 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Hikmah Pedang Hijau 17
^