Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 5

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 5


Mendadak suara guntur membangunkan dia dari tidurnya.
Ternyata bukan suara guntur.
Suara guntur yang terdengar dalam alam mimpinya ternyata
adalah suara genta. Tapi suara genta itu justru lebih mangagetkan, lebih
mengejutkan dirinya daripada suara guntur.
Ternyata suara genta itu berasal dari puncak Giok-hong-teng.
Suara genta yang berasal dari genta besar di pagoda Leng-siau-kek,
puncak Giok-hong-teng. Konon genta tembaga itu beratnya mencapai tiga ribu tujuh ratus
kati, asal suara genta itu dibunyikan, maka seluruh anggota
perguruan yang tersebar di bukit Bu-tong akan mendengarnya
dengan jelas. Tapi genta itu tidak pernah dibunyikan bilamana tidak ada
kejadian penting atau gawat. Menurut aturan, setiap tahun genta itu
hanya dibunyikan tepat di hari kelahiran Lo-kun. Atau kalau tidak,
genta itu baru dibunyikan bila sedang menghadapi peristiwa besar
yang perlu untuk mengumpulkan seluruh anggota perguruan.
Sudah enam belas tahun lamanya Put-ji berada di gunung Butong,
kecuali setiap tahun satu kali di saat hari kelahiran Lo-kun,
belum pernah dia mendengar suara genta itu di hari-hari biasa.
Hari ini bukanlah hari kelahiran Lo-kun.
Tapi.... mengapa genta itu dibunyikan"
Untuk memperingati hari kelahiran Lo-kun, setiap kali genta itu
hanya dibunyikan tujuh kali, tapi sekarang suara genta itu
dibunyikan bertalu-talu, ketika mencoba dihitung, ternyata genta itu
dibunyikan sebanyak dua puluh satu kali sebelum berhenti.
Dari penuturan kedua orang tianglo, dia pernah mendapat tahu
bahwa suara genta yang dibunyikan dua puluh satu kali pertanda
Ciangbunjin hendak mengumumkan masalah besar yang
menyangkut mati hidupnya perguruan Bu-tong-pay.
Sambil menggosok matanya dia menengok keluar kamar,
ternyata matahari telah memenuhi jendela, hari sudah siang.
Dia tidak menyangka hari ini akan begitu terlambat bangun dari
tidurnya, teringat bagaimana semalam dia tidak dapat memejamkan
mata, perasaan getir menyelimuti hatinya.
"Peristiwa besar apa yang telah terjadi?" demikian dia berpikir,
'jangan-jangan aku masih berada dalam alam impian"'
Hujan badai yang dialami dalam impian ternyata disambut hari
yang cerah setelah mendusin, tapi sayang perasaannya kini justru
jauh lebih gelap, lebih kelam ketimbang hujan badai.
Terpaksa dia bersihkan muka dengan terburu-buru, lalu segera
berangkat ke kuil Hok-tin-koan dimana Ciangbunjin berdiam.
Di depan kuil Hok-tin-koan terdapat sebuah pelataran yang luas
dan datar, saat itu seluruh anggota perguruan yang mendengar
suara genta itu sudah berdatangan dan berkumpul di sana.
Put-ji datang sedikit terlambat, belum sampai dia tiba di tengah
pelataran, tampak Ciangbun Suhu telah muncul dari balik kuil Hoktin-
koan. Bu-siang Cinjin dan seorang lelaki setengah umur berjalan
bersanding, sementara kedua orang Tianglo mengikut di
belakangnya. Paras muka Bu-siang Cinjin layu, kering dan kusut, persis seperti
yang dilukiskan Lan Giok-keng semalam, wajahnya seakan-akan
dilapisi oleh kabut berwarna abu-abu.
Begitu menyaksikan kondisi wajah Ciangbunjinnya, hampir semua
anggota perguruan merasa terkejut bercampur cemas. Tapi bagi
Put-ji, justru kehadiran lelaki setengah umur itulah yang paling
membuatnya terkejut bercampur keheranan.
Selama hidup belum pernah dia bertemu dengan orang ini, tapi
sikap Ciangbun Suhu nampak begitu akrab dengan orang itu!
Mungkinkah posisi dan kedudukan orang itu masih jauh di atas
kedudukan Bu-liang Totiang serta Bu-si Tojin"
Sementara Put-ji menduga-duga, dari arah belakang kembali
berjalan keluar seseorang.
Tosu setengah umur itu tidak lain adalah murid pertama Bu-liang
Totiang, Put-pay. Enam belas tahun berselang, sewaktu pertama kali Put-ji tiba di
gunung Bu-tong, dia pernah dipersulit Put-pay, oleh sebab itu
kesannya terhadap orang ini sangat buruk.
Tapi Put-ji adalah seseorang yang pandai menahan diri, setelah
naik gunung, meskipun posisinya sekarang adalah murid penutup
Ciangbunjin yang status serta kedudukannya jauh di atas Put-pay,
namun bukan saja dia tidak menunjukkan sikap bermusuhan atau
ingin membalas dendam, bahkan berusaha merangkul Put-pay agar
berpihak kepadanya. Put-pay bukan orang bodoh, tapi dia tahu kalau Suhunya ingin
memperalat Put-ji, kalau sampai gurunya saja berusaha mengambil
hati Put-ji, apalagi dirinya"
Itulah sebabnya meskipun mereka berdua sama-sama berlagak
hangat, namun dalam pandangan orang lain kedua orang itu justru
sudah dianggap sebagai "sahabat karib."
Agak tertegun juga Put-ji begitu melihat Put-pay, pikirnya,
'Biarpun dia tidak berani berlagak sebagai murid Ciangbunjin, paling
tidak kedudukannya dalam perguruan masih dianggap senior, aneh,
kenapa dia pun datang terlambat?"
Sekarang dia baru mulai memperhatikan balutan kain yang
membungkus lengan kiri Put-pay, kelihatannya dia pun sedang
menderita luka. Selesai saling menyapa, Put-pay pun menegur, "Apakah
Ciangbunjin tidak memberi kabar dulu kepadamu, kenapa kau pun
datang terlambat?" "Aku senasib dengan gurumu, beberapa hari belakangan gagal
bertemu Ciangbunjin. Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
"Aku sendiri pun kurang jelas. Hanya kuketahui kalau perguruan
kita telah kedatangan seorang tamu agung. Ehm, kalau dibilang
tamu agung mestinya kurang pas, sebab biarpun dia memang tamu,
namun sesungguhnya merupakan orang sendiri."
Tergerak hati Put-ji, cepat bisiknya, "Kau maksudkan tamu yang
berada di samping Suhu" Siapa orang itu?"
"Hah, masa dia pun tidak kau kenal?"
"Rasanya seperti sangat kukenal, cuma...."
"Coba perhatikan sekali lagi, mirip siapa dia?"
Seperti baru tersadar dari mimpi, Put-ji segera berseru, "Aahh,
betul, mirip Bouw It-yu!"
"Betul, dia adalah ayah Bouw It-yu, keluarga persilatan yang
mempunyai hubungan paling dalam dengan perguruan kita, dia
dihormati sebagai Tiong-ciu Tayhiap (pendekar dari daratan
Tionggoan) Bouw Ciong-long!"
"Ooh, rupanya dia. Tidak heran Suhu pun bersikap hormat
kepadanya." "Justru yang paling kutakuti adalah setelah kehadirannya,
perguruan kita bakal tertimpa banyak masalah."
"Kenapa?" "Aku hanya menduga saja, semoga saja dugaanku keliru."
"Suheng, apakah lengan kirimu terluka?"
"Betul, luka ini merupakan persembahan dari Bouw-tayhiap."
"Apa yang terjadi" Jadi kalian sudah saling kenal?" seru Put-ji
melengak. Dia sangka Put-pay lagi-lagi melakukan kesalahan seperti apa
yang pernah dia lakukan terhadapnya enam belas tahun berselang,
tapi setelah dipikir kembali, dia merasa dugaan seperti itu sangat
tidak masuk akal dan lagi mustahil dia bisa berbuat begitu.
Oleh karena itulah di balik ucapannya kepada Put-pay tadi, dia
sisipkan maksud sebagai berikut, "Kalau memang kalian sudah
saling mengenal, dan dia pun sudah tahu kau adalah murid pertama
Bu-liang Totiang, sekalipun sikapmu terhadapnya kurang sopan,
rasanya mustahil dia bakal turun tangan memberi pelajaran
kepadamu." Tentu saja perkataan semacam ini tidak leluasa diungkap keluar,
nampaknya Put-pay sangat paham akan maksudnya.
Setelah tertawa getir, ujarnya, "Sute, kau sangka aku masih
ceroboh dan gegabah seperti dulu" Kali ini justru aku bersikap
kelewat hati-hati, kelewat hangat kepadanya maka aku tertimpa
bencana ini." Kalau memang sudah berhati-hati, kalau sudah bersikap hangat,
kenapa Bouw Ciong-long masih 'memberi hadiah' kepadanya" Apa
yang menyebabkan Put-pay terluka"
Semakin mendengar, Put-ji merasa makin kebingungan.
Ternyata beginilah ceritanya: Oleh karena nasib tragis yang
menimpa Put-coat dan lagi Ciangbunjin sedang menderita sakit,
penjagaan yang dilakukan di Bu-tong pun otomatis ditingkatkan dan
makin ketat. Untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan, dipilihlah delapan
belas orang tojin dari angkatan "Put" yang memiliki kungfu cukup
bagus untuk melakukan perondaan siang malam.
Dari angkatan "Put", sebenarnya kungfu Put-ji yang terhitung
paling bagus dan tangguh, tapi berhubung dalam pandangan rekan
seperguruan bahwa Put-ji merupakan 'bakal Ciangbunjin', maka
dalam tugas perondaan ini mereka tak berani mengusiknya.
Pagi itu Put-pay yang mendapat giliran meronda di depan
gunung. Ketika fajar baru saja menyingsing, ia sudah melihat ada
seseorang sedang naik gunung.
Pagi ini kabut sangat tebal, pada mulanya tidak terlihat dengan
jelas siapa gerangan orang itu, setelah makin dekat dia baru tahu
kalau orang itu adalah Bouw Ciong-long.
Kehadiran Bouw Ciong-long secara tiba-tiba di gunung Bu-tong
segera membuatnya tercengang, tapi belum sempat dia maju ke
depan untuk menyapa, peristiwa lain yang jauh lebih tidak terduga
telah berlangsung di hadapannya.
Dari balik kabut tebal, tepatnya dari belakang tebing terjal tibatiba
muncul dua orang lelaki berbaju hitam.
Bouw Ciong-long yang berjalan di tengah kabut ternyata
melangkah dengan santainya, seolah dia sama sekali tidak tahu
kalau ada orang hendak membokongnya dari belakang.
Tanpa berpikir panjang buru-buru Put-pay melayang turun dari
tempat ketinggian dan menggunakan pedangnya untuk melindungi
Bouw Ciong-long. Jurus Eng-ki-tiang-khong (sergapan elang di tengah udara) yang
dia gunakan telah mengubah tubuhnya bagaikan panglima langit
yang turun dari kahyangan, tidak disangka gerakan pedang lawan
ternyata jauh lebih cepat dari gerak serangannya.
Belum lagi tubuhnya menyentuh tanah, tahu-tahu hawa dingin
yang menembus tulang telah menyayat tubuhnya, tidak jelas apa
yang telah terjadi, lengan kirinya sudah terluka parah.
Pada saat itulah terdengar "trang", pedang milik Put-pay masih
berada dalam genggaman, sementara pedang lelaki yang menusuk
lengannya itu justru sudah terjatuh ke tanah.
Put-pay tahu dengan jelas, bukan dia yang menjatuhkan pedang
lawan. Setelah merasakan hawa dingin yang merasuk ke dalam
tulang, rasa sakit yang luar biasa segera menyelimuti seluruh
tubuhnya. Diikuti kemudian pedangnya ikut rontok ke bawah.
Rasa sakit terasa menyayat hingga ke dasar lubuk hati membuat
pandangannya jadi kabur, namun dia tahu dengan jelas, pastilah
Bouw Ciong-long yang telah meroboh kan kedua orang lelaki itu,
tapi bagaimana caranya menaklukkan mereka" Dia sama sekali tidak
jelas. Saking kesakitan dia nyaris jatuh tidak sadarkan diri. Bouw
Ciong-long sepertinya telah mengucapkan sesuatu, tapi sayang dia
tidak dapat mendengar dengan jelas.
Tapi dia sempat mendengar lelaki berbaju hitam itu berteriak
nyaring, "Dia dulu yang menusuk aku, jangan salahkan diriku!"
Rasa kaget membuat sakitnya sedikit berkurang, buru-buru dia
menengok ke arah lelaki itu, tampak dia sedang mempersembahkan
sebuah kotak kepada Bouw Ciong-long, dari sikap serta gerakgeriknya
kelihatan dia sangat menaruh hormat.
"Baiklah," kata Bouw Ciong-long setelah menerima kotak itu,
"serahkan saja kartu nama itu kepadaku, kalian tidak perlu ikut naik
gunung." Sepeninggal kedua orang lelaki itu, Bouw Ciong-long
membubuhkan obat luka ke seputar luka tusukan di lengan Put-pay,
kemudian katanya, "Maaf, gara-gara aku terlambat turun tangan
hingga berakibat kau terluka. Untung tidak sampai melukai tulang,
kau tidak usah meributi mereka lagi."
"Siapa kedua orang itu" Kenapa mereka seperti ingin
membokong dirimu tadi?" tidak tahan Put-pay bertanya.
"Tidak nanti mereka mempunyai nyali sebesar itu. Mungkin
lantaran berada di balik kabut yang tebal hingga tidak mampu
melihat jelas, mereka tidak berani memastikan apa benar diriku,
maka sengaja menggunakan cara menggertak untuk menjajal.
Mereka datang karena mengantarkan kartu nama seorang sobat
karib Ciangbunjin." Setelah mendengar penuturan Put-pay, diam-diam Put-ji merasa
amat terperanjat, pikirnya, 'Biarpun nama Put-pay belum tersohor,
namun dalam perguruan ilmu silatnya masih terhitung cukup
canggih, jurus sergapan elang di tengah udara yang digunakan
terhitung jurus paling lihai dalam ilmu pedang Hong-lui kiam-hoat,
tapi orang itu bisa melukai lawannya lebih dulu, padahal mencabut
pedangnya belakangan, malah dalam satu gebrakan berhasil
melukainya, jelas orang itu sangat tangguh, tapi Bouw Ciong-long
berhasil mengendalikan kedua orang itu dalam sekejap, hal ini
semakin membuktikan kungfu yang dimiliki Bouw Ciong-long sudah
mencapai tingkatan yang luar biasa!"
Put-ji bukannya tidak tahu kalau Bouw Ciong-long minta Bu-si
Tojin mengajari putranya ilmu pedang. Dia pun pernah mendengar
pembicaraan rekan-rekan seperguruannya kalau ilmu silat keluarga
Bouw makin lama semakin mundur.
Dari rangkuman kejadian itulah membuat dia selama ini selalu
memandang enteng kemampuan silat yang dimiliki Bouw Cionglong.
Tapi setelah mendengar penuturan peristwa yang menimpa Putpay,
dia mulai sadar bahwa berita yang tersebar selama ini tidak
boleh dipercaya. "Berarti lenganmu bisa selamat gara-gara Bouw-susiok turun
tangan melindungimu" Tampaknya kau seperti sama sekali tidak
dendam kepadanya?" tanya Put-ji.
"Hm, berbicara dari kemampuan silat yang dimiliki, andaikata dia
betul-betul ingin melindungiku, seharusnya aku tidak perlu
menderita luka," kata Put-pay jengkel, "menurut pendapatku, dia
memang berniat membuat malu diriku."
"Lalu apa keuntungan baginya?"
"Paling tidak ada dua hal, pertama, bisa membuat nama baik dan
kewibawaan guruku terganggu, orang lain pasti berkata, coba lihat,
ternyata murid tertua Bu-liang Tianglo tidak sanggup menahan satu
gempuran orang lain. Kedua, dari jurus serangan yang kugunakan,
dia pun dapat meraba sampai dimana kemampuan ilmu silat yang
dimiliki guruku." "Jadi antara dia dengan gurumu memang ada konflik meski di
luaran kelihatan berbaikan?"
"Aku tidak jelas apakah dia punya sakit hati atau tidak, tapi yang


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuketahui dia mempunyai rencana busuk. Guruku adalah ketua para
tianglo, sementara dia adalah pemimpin dari murid preman, bahkan
masih terhitung ahli waris keluarga persilatan yang paling panjang
sejarahnya dengan Bu-tong-pay, tentu saja dia iri dengan posisi
guruku di dalam partai."
Perkataan ini sengaja dia ucapkan dengan kata yang berat dan
tandas. Put-ji tidak berani menyela, baru saja Put-pay ingin
mengucapkan sesuatu lagi, saat itulah tiba-tiba mereka saksikan
Bouw It-yu sedang berjalan menghampiri mereka berdua.
Cepat Put-ji berdehem berulang kali, buru-buru Put-pay tutup
mulut dan maju menyongsong sambil menyapa, "Bouw-sute,
selamat pagi." Sebenarnya sejak tadi Bouw It-yu sudah hadir di situ, setelah
melihat kehadiran merekalah dia baru tampil dari balik kerumunan
orang banyak dan datang menghampiri.
"Gara-gara kedatangan ayahku pagi tadi, kau sampai menderita
luka. Kejadian ini sungguh membuat perasaanku tidak enak," ujar
Bouw It-yu. "Aah, hanya sedikit luka ringan, tidak terhitung seberapa. Justru
akulah yang harus berterima kasih kepada ayahmu, kalau bukan
lantaran dia, mungkin aku sudah kehilangan sebuah lengan."
Tampaknya Put-pay merasa kurang senang berkumpul dengan
Bouw It-yu, begitu selesai berbasa-basi dia segera menyingkir dari
situ. Put-ji sendiri pun menaruh perasaan waswas terhadap Bouw Ityu,
namun dia tidak seperti Put-pay, bagaimanapun dalam
pembicaraan dia harus lebih sungkan dan pandai berbasa-basi.
Katanya, "Sudah lama kukagumi nama besar ayahmu, sungguh
beruntung hari ini aku dapat menjumpainya, sayang kedatanganku
agak terlambat hingga tidak bisa ikut menyambut kedatangannya.
Kejadian ini sungguh membuat hatiku menyesal. Sute, bersediakah
kau memperkenalkan ayahmu selesai pertemuan nanti."
"Aah, kita adalah keluarga sendiri, buat apa mesti sungkansungkan.
Ketahuilah suheng, sewaktu siaute menemani ayah pergi
menjumpai Ciangbunjin tadi, ayah pun sempat menanyakan tentang
kau di hadapan Ciangbunjin."
"Benarkah?" Put-ji tertawa paksa, "aah, kejadian ini betul-betul
membuat aku merasa tercengang. Semula kukira ayahmu malah
tidak tahu tentang diriku."
"Suheng terlalu merendah. Terus terang saja, bukan tanpa sebab
ayah langsung menanyakan tentang dirimu begitu bertemu
Ciangbunjin tadi." Terkesiap Put-ji sehabis mendengar perkataan itu.
"Hah, apa sebabnya?" dia berseru.
"Tentunya suheng tahu bukan, sejak dulu ayahku adalah sahabat
karib mendiang gurumu, Ho-Tayhiap. Selama ini ayah selalu
termenung tiap kali memikirkan musibah yang menimpa keluarga
Ho-Tayhiap, bahkan setiap kali teringat dia pasti merasa amat sedih.
Sebelum menjadi pendeta, dulu suheng adalah murid kepala Ho-
Tayhiap, bahkan aku dengar hubunganmu dengan mendiang
gurumu lebih akrab daripada hubungan ayah dan anak. Karena itu
terus terang saja aku katakan, selama ini ayah pun selalu
menganggap kau sebagai putra sahabat karibnya. Begitu beliau
mendapat tahu bahwa kau telah menjadi murid Ciangbunjin, bukan
saja pandai bekerja bahkan bakal memikul tanggung jawab berat,
tidak heran ayah menjadi tidak tahan untuk menanyakan tentang
dirimu." Sepintas perkataan itu seakan-akan sedang memuji kehebatan
Put-ji, namun dalam pendengaran Put-ji sendiri, dia justru merasa
sangat terkesiap. Apalagi ketika mendengar perkataan tentang
"musibah yang menimpa Ho-Tayhiap", kata-kata itu semakin
membuat hatinya terkejut bercampur penuh curiga.
Dengan kedudukan Bouw Ciong-long, memang tidak aneh jika
dia pun mengetahui rahasia besar ini (maksudnya kematian Ho-
Tayhiap, Ho Giok-yan serta Keng King-si, meskipun selama enam
belas tahun rahasia ini tidak pernah disebar luaskan, namun para
petinggi Bu-tong-pay hampir semuanya sudah mengetahui).
Yang menjadi masalah adalah mengapa Bouw It-yu justru
mengungkap hal itu dalam situasi seperti ini" Apakah Bouw It-yu
memang sengaja membocorkan hal itu agar dia tahu bahwa
ayahnya sudah mengetahui kejadian sesungguhnya atas peristiwa
dulu" Di samping itu, menurut Bouw It-yu hubungan keluarga Bouw
dan keluarga Ho sangat akrab, padahal setahunya, kedua keluarga
persilatan ini jarang sekali berhubungan.
Jika mereka memang bersahabat, semestinya di saat dia belum
terjun ke dunia persilatan dulu, gurunya pasti akan mengajak dia
menyambangi dulu keluarga Bouw yang nama besarnya telah
menggetarkan daratan Tionggoan.
Tentu saja tidak leluasa bagi Put-ji untuk menyangkal bahwa
mendiang gurunya bukan sahabat karib Bouw Ciong-long, dengan
cepat katanya, "Hatiku sungguh terharu, tidak nyana ayahmu begitu
menaruh perhatian atas nasibku. Aai.... menyesal sekali garis
jodohku teramat cetek, biarpun mendiang ayahmu adalah sahabat
karib keluarga Ho, namun hingga detik ini aku baru sempat
berjumpa dengan ayahmu."
Bouw It-yu bukan orang bodoh, sekali dengar dia sudah
memahami maksud hatinya. Dia pun berkata, "Kalau dibicarakan
sesungguhnya, aku sendiri pun belum pernah bertemu mendiang
gurumu. Semasa hidup nya dulu, Ho-Tayhiap sama seperti ayahku,
selalu sibuk melerai pertikaian orang lain, kalau bukan bertemu
secara kebetulan dalam dunia persilatan, jarang sekali mereka
punya kesempatan untuk saling berkunjung. Cuma pepatah bilang
persahabatan para Kuncu lebih tawar daripada air, mana mau
mereka terbelenggu oleh segala adat istiadat dan tata-krama."
"Benar, benar sekali," terpaksa Put-ji mengiakan berulangkah.
Dengan senyum tidak senyum kembali Bouw It-yu berkata lebih
jauh, "Orang-orang keluarga Bouw dan keluarga Ho bukan nya
sama sekali tidak pernah berhubungan, aku masih ingat pada
delapan belas tahun berselang, pembantu tua kalian Ho Liang
pernah mampir di rumah kami, kenapa aku masih ingat dengan
jelas" Karena waktu itu kebetulan merupakan ulang tahun keenam
puluh mendiang kakek kami, mendiang gurumu yang
memerintahkan Ho Liang untuk datang menyampaikan selamat.
Saat itu hampir semua yang hadir adalah tokoh-tokoh kenamaan
dunia persilatan, hanya Ho Liang seorang yang tidak dikenal, oleh
sebab itu banyak orang berusaha mencari tahu identitas Ho Liang
dari anak buah kami."
Put-ji seolah teringat juga, dua tahun sebelum terjadinya
musibah tragis itu, Ho Liang memang pernah satu kali meninggalkan
rumah, hanya saja dia tidak jelas lantaran apa pembantu tua itu
pergi melakukan perjalanan jauh.
"Sungguh kasihan Ho Liang harus mati secara tragis, padahal dia
termasuk orang yang tidak tahu apa-apa," kembali Bouw It-yu
berkata, "masih untung jenazahnya dikubur berbareng dengan
jenazah Bu-kek Tianglo, paling tidak di saat telah mati dia masih
memperoleh sedikit penghargaan. Oya, masalah yang menyangkut
penguburan kembali jenazah mereka di gunung kita, hingga kini aku
masih belum punya kesempatan untuk melaporkannya kepada
ayahku." Terbayang kembali tengkorak Ho Liang yang menurut Bouw It-yu
masih tertinggal di tempat semula, tidak tahan merinding sekujur
tubuh Put-ji, pikirnya, 'Tadi dia mengungkit soal Suhu, lalu sekarang
menying-gung juga soal Ho Liang, sebenarnya apa maksud orang
ini"' Padahal secara lamat-lamat dia sudah dapat menduga maksud
tujuan Bouw It-yu. Hari ini, Ciangbun Suhu sengaja mengumpulkan seluruh anggota
perguruan di tempat itu, menurut dugaannya, sembilan puluh
persen pasti lantaran gurunya hendak mengangkat dia menjadi
Ciangbunjin baru. Oleh sebab itulah Bouw It-yu sengaja menggunakan isu itu untuk
mengompas dirinya, tujuannya sudah pasti demi bidak ayahnya
dalam kancah perebutan pengaruh dengan Bu-liang Totiang.
"Jangan-jangan ambisi mereka ayah dan anak bukan terbatas
ingin merebut pengaruh dari tangan kedua orang Tianglo, bahkan
bisa jadi ingin menggunakan diriku menjadi ketua boneka, agar
mereka bisa menguasai partai Bu-tong dari belakang layar. Ehm....
sementara waktu ada baiknya aku ikuti saja permainan mereka, tapi
setelah aku jadi Ciangbunjin nanti, hmm, hmm.... akan kusuruh
kalian merasakan kelihaianku."
Belum habis dia berpikir, terlihat Bu-siang Cinjin, Bouw Cionglong
dan kedua orang tianglo lainnya sudah duduk di atas
panggung. Ketika petugas upacara memberi tanda dengan tangannya,
semua murid yang ada di bawah panggung pun seketika tutup
mulut hingga suasana jadi sunyi senyap.
"Sudah siap?" tanya Bu-siang Cinjin lirih.
"Sudah siap!" petugas upacara segera memberi tanda, seorang
Tosu muncul sambil membawa baki dan dipersembahkan ke
hadapan Ciangbunjin dengan sikap menghormat.
Baki itu bukan sembarangan baki, selain terbuat dari batu kemala
putih, bentuknya pun berkilat, halus dan memancarkan sinar terang.
Benda itu merupakan salah satu benda mustika yang diberikan
kaisar Beng Seng-cou kepada Thio Sam-hong karena pendiri Butong-
pay ini sangat berjasa dalam membela negara.
Selama ini baki kemala putih itu selalu tersimpan rapi dalam
istana Ci-siau-kiong, anggota perguruan yang rendah jabatannya
nyaris tidak pernah melihat benda mustika itu.
Put-ji mulai meraba-raba, apa gerangan yang bakal terjadi,
begitu pula kawanan murid perguruan, hampir semuanya terheranheran,
mereka tidak tahu untuk apa Ciangbunjin mengeluarkan baki
yang terbuat dari batu kemala putih itu.
Baki kemala itu dilapisi kain sutera berwarna hijau, karena
tertutup rapat, hampir semua orang yang berada di bawah
panggung tidak dapat melihat benda apakah yang terdapat di dalam
baki itu. Setelah menerima baki kumala putih itu, Bu-siang Cinjin
meletakkannya di atas panggung, sementara petugas pembawa baki
yakni Put-hu, murid pertama Bu-si Tianglo segera mengundurkan
diri. Suasana hening makin mencekam seluruh panggung, hampir
semua anggota perguruan telah berdiri rapi, dengan tenang mereka
menanti wejangan dari sang ketua.
Perlahan Bu-siang Cinjin bangkit berdiri, dengan nada suara yang
rendah dan berat ujarnya, "Perguruan kita, semenjak Thio cinjin
sebagai pendiri partai selalu dibanjiri jago-jago yang bermoral tinggi
dan berbakat bagus, setelah melalui perjuangan hampir dua ratusan
tahun lamanya, bukan saja Bu-tong-pay sudah tersohor sebagai
pusat ajaran agama yang ternama, kedudukan dalam dunia
persilatan pun hampir sejajar dengan partai Siau-lim. Tapi setelah
kedudukan Ciangbunjin jatuh ke tanganku, selama tiga puluhan
tahun aku menjabat, bukan saja sama sekali tidak menanamkan
jasa apa pun, bahkan.... bahkan...."
Berbicara sampai di sini, mendadak nada suaranya berubah jadi
rendah dan lirih, "Bahkan untuk melindungi keselamatan murid
sendiri pun aku tidak mampu. Musibah demi musibah yang
menimpa perguruan kita belakangan ini betul-betul membuat aku
merasa malu untuk bertemu kembali dengan Couwsu kita selama
generasi demi generasi...."
"Musibah yang menimpa Put-coat Sutit merupakan kejadian yang
tidak pernah diduga siapa pun, harap Ciangbun suheng jangan
kelewat menyalahkan diri sendiri," buru-buru Bu-liang Totiang
menghibur dengan suara rendah.
Sementara dalam hati kecilnya dia berpikir, 'Semua yang dia
ucapkan sekarang tidak lebih cuma kata pembukaan, entah masalah
apa yang sesungguhnya hendak dia sampaikan"'
Setelah menghela napas panjang, kembali Bu-siang Cinjin
berkata, "Hari terkadang cerah terkadang mendung, rembulan pun
terkadang bulat terkadang tidak, rumput bisa segar bisa layu, begitu
juga mati hidup manusia. Jaya atau lemah selalu berputar, hukum
alam pun selalu berlaku, tapi sebagai seorang Ciangbunjin Bu-tongpay
tentu saja aku berharap perguruan kita selalu berjaya dan
harum namanya. Sungguh menggelikan, aku sendiri bergelar Busiang
(tiada wujud) tapi perasaan hatiku tidak pernah bisa
melepaskan diri dari masalah keduniawian, harap Sute jangan
menertawakan aku." "Tingkatan suheng telah mencapai puncak kesempurnaan, ada
atau tidak bukan masalah, punya nama atau tidak pun bukan
halangan. Tapi sesuai kodrat, bila ingin mencapai sesuatu maka
dibutuhkan perjuangan. Sebagai bagian dari perguruan ini, siapa sih
yang tidak berharap melihat partai sendiri berjaya?"
Bu-siang Cinjin manggut-manggut, lanjutnya, "Ada kemurungan
baru ada kegembiraan, ada kematian baru ada kehidupan, bencana
atau rejeki, berjaya atau melemah semuanya saling berkaitan. Jadi
memang tidak perlu kita singgung musibah yang sedang menimpa
perguruan kita sekarang. Kenapa aku mengumpulkan kalian hari ini"
Tidak lain karena ada satu berita gembira yang akan kuumumkan
kepada kalian semua."
Mendengar sampai di sini, tanpa terasa semua orang segera
menahan napas sambil pasang telinga baikbaik, semua orang ingin
tahu masalah apa yang akan segera diumumkan.
Begitu pula halnya dengan Bu-liang Totiang, diam-diam pikirnya,
'Kalau didengar dari nada suaranya, jangan-jangan dia segera akan
mengumumkan siapa penerusnya yang akan memangku jabatan
sebagai Ciangbunjin baru?"
Belum habis ingatan itu melintas, terdengar Bu-siang Cinjin telah
berkata lagi, "Bouw-sute, angkatan muda rasanya belum pernah
bersua denganmu, silakan kau memberi hormat dulu kepada semua
orang." Bouw Ciong-long segera bangkit berdiri dan menjura ke empat
penjuru, serunya lantang, "Sungguh merupakan satu keberuntungan
bagiku, Bouw Ciong-long dari kota Lok-yang, bahwa pada
kedatanganku kali ini di gunung Bu-tong dapat bersua dengan
kalian semua." "Bouw Ciong-long adalah tokoh yang sangat menonjol dari
perguruan kita," sambung Bu-siang Cinjin lagi, "sudah banyak tahun
dia berjuang dalam dunia persilatan untuk membela yang benar dan
menolong kaum lemah, keharuman namanya sudah dikenal siapa
pun, jadi tidak perlu aku perkenalkan lagi. Adapun berita gembira
yang kumaksudkan tadi merupakan berita yang dibawa olehnya."
Biarpun sebagian besar murid Bu-tong belum pernah bersua
muka dengan Bouw Ciong-long, namun nama besar Tiong-ciu
Tayhiap sudah amat dikenal oleh mereka, tempik-sorak pun segera
bergema gegap-gempita. Di tengah hiruk-pikuknya suara sorakan memuji, semua orang
mulai menduga-duga, kabar gembira apa yang dibawa olehnya"
Bu-liang Totiang yang ada di atas panggung maupun Put-ji yang
berada di bawah panggung diam-diam merasa terperanjat.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan-jangan Ciangbunjin hendak menyerahkan jabatannya
kepada Bouw Ciong-long?" demikian mereka berpikir, namun
setelah dipikir kembali rasanya hal itu tidak mungkin terjadi.
Meskipun dalam peraturan Bu-tong-pay tidak pernah tercantum
aturan kalau Ciangbunjin tidak boleh dijabat murid preman,
kenyataan Ciangbunjin generasi ketiga pernah dijabat seorang
murid preman, bahkan murid preman itu tidak lain adalah Bouw
Tok-it, leluhur Bouw Ciong-long (tentang kisah Bouw Tok-it, silakan
membaca Hoan-kiam-ki-ceng atau sebilah pedang mustika).
Biarpun begitu, sejak didirikan hingga kini, dari tujuh belas
generasi baru satu kali itu saja Ciangbunjinnya dari murid preman.
Sewaktu Bouw Tok-it menjadi Ciangbunjin, dia bukan termasuk
seorang ketua yang baik, sebab pada masa jabatannya pernah
terjadi pertikaian berdarah yang amat dahsyat.
Oleh sebab itulah semenjak kejadian itu, sudah menjadi
peraturan yang tidak tertulis bahwa ketua Bu-tong-pay harus
dipangku oleh murid dari aliran To.
Kembali Put-ji berpikir, 'Sehebat-hebatnya Bouw Ciong-long,
tidak mungkin dia bisa melampaui kehebatan leluhurnya, Bouw Tokit.
Masakah Ciang-bunjin berani melanggar aturan dengan
menyerahkan posisi ketua kepadanya?"
Perlu diketahui, walaupun penerus sang ketua selalu ditunjuk
oleh Ciangbunjin sebelumnya, namun bila kemampuan orang itu
tidak bisa diharapkan, apalagi ada tianglo dan sebagian murid yang
mendukung, hak pilih itu bisa dibatalkan.
Bu-liang Totiang sendiri pun diam-diam menggerutu dalam hati,
namun oleh karena dia adalah ketua para tianglo, maka tidak terlalu
kuatir baginya bila Bouw Ciong-long bakal 'merusak kebiasaan'
dengan naik jadi Ciangbunjin. Hanya pikirnya, 'Bouw Ciong-long
adalah murid preman, selama inipun dia tidak tinggal di Bu-tongsan,
tapi kenapa dia menggunakan ungkapan "balik ke gunung'"
Jangan-jangan dia berencana mengendon seterusnya di sini?"
Sementara Bu-liang Totiang dan Put-ji masih bengong sambil
termenung, tiba-tiba terdengar Bu-siang Cinjin berkata lagi,
"Sebenarnya Bouw-tayhiap punya satu keinginan, sejak tiga puluhan
tahun berselang dia sudah ingin menjadi pendeta dan menjadi
murid mendiang guruku. Melihat dia adalah putra tunggal keluarga
Bouw, lagi pula waktu itu belum berkeluarga, maka mendiang
guruku pun tidak mengabulkan permintaannya. Tapi beliau pernah
berjanji, setelah kau berputra dan putramu sudah menginjak
dewasa, jika masih punya ingatan itu, setiap saat bisa datang
kembali ke Bu-tong-san. Nah, persoalan inilah yang akan
kusampaikan kepada kalian semua, aku bersedia membantunya
melaksanakan kaul itu. Inilah berita gembira baginya, juga terhitung
berita gembira untuk kalian semua."
Begitu ucapan itu diutarakan, meskipun semua anggota
perguruan tidak berani berbisik-bisik, namun mereka berusaha
berunding sendiri-sendiri.
Apalagi Put-ji dan Put-pay, mereka hanya bisa saling pandang
dengan mulut membungkam. Yang membuat semua orang terperanjat adalah keinginan Bouw
Ciong-long sebagai seorang Tayhiap dengan nama besarnya yang
telah menggetarkan sungai telaga ternyata mau menjadi seorang
tosu, satu keputus-an yang mencengangkan dan di luar pemikiran
siapa pun. Namun bagaimanapun di luar perkiraannya persoalan ini,
keputusan Bouw Ciong-long mau menjadi tosu hanya bisa disebut
'kejadian aneh' dan belum termasuk satu 'kejadian besar'.
Tapi kenapa Ciangbunjin harus mengumpulkan seluruh anggota
perguruan hanya karena ingin mengumumkan kejadian ini" Apakah
tindakannya itu tidak terkesan "membesar-besarkan masalah?"
Berhubung persoalan ini menyangkut untung ruginya Put-ji,
tanpa sadar dia saling bertukar pandang dengan Put-pay, paras
muka pun berubah hebat. Bouw It-yu yang menyaksikan kejadian itu, diam-diam berjalan
menghampir ke sampingnya.
Berbeda dengan Bu-liang Totiang yang berada di atas panggung,
sikapnya masih sangat tenang, dalam pikirannya walaupun sudah
menjadi pendeta pun, sebagai murid yang baru masuk perguruan
rasanya masih belum cukup berhak bagi Bouw Ciong-long untuk
segera menjadi seorang Ciangbunjin.
"Jika Suheng mau bersikeras dengan keinginannya, akan
kutentang dia memakai aturan. Cuma.... aku rasa tidak mungkin
suheng akan mengorbankan murid kesayangannya dengan
menyerahkan peluang itu kepada orang luar."
Dalam pada itu Bu-siang Cinjin telah menyingkap kain penutup
sutera dari atas baki batu kemala putih, ternyata isi baki adalah
sebuah jubah pendeta dan sebuah kopiah.
Sesudah menyembah ke langit, Bu-siang Cinjin berkata, "Hari ini
Tecu Bu-siang mewakili mendiang Suhu menerima murid."
Sementara itu petugas upacara telah membantu Bouw Cionglong
menggulung rambutnya menjadi sebuah sanggul, maka Busiang
Cinjin pun membantunya mengenakan jubah pendeta dan
memasang kopiahnya. Bouw Ciong-long segera berlutut sambil menyembah memberi
hormat, buru-buru Bu-siang Cinjin mengegos ke samping, dia hanya
menerima separuh penghormatan itu sambil ujarnya, "Bouw Cionglong,
mulai sekarang kau sudah menjadi seorang pendeta, jadi
nama lamamu tidak boleh digunakan lagi. Telah kusiapkan sebuah
gelar baru untukmu, kau termasuk dalam angkatan 'Bu', sedang
nama panggilanmu adalah Bu-beng."
"Silakan Ciangbun suheng memberi petuah mewakili mendiang
Suhu," sekali lagi Bouw Ciong-long menyembah.
Dengan suara keras Bu-siang Cinjin pun berseru, "To yang dapat
dibicarakan bukanlah To yg sebenarnya.
Nama yang dapat diberikan bukanlah nama yang sejati.
Tiada nama itulah kondisi permulaan terjadinya langit dan bumi.
Setelah ada nama itulah induk dari segala benda. Dengan
meniadakan keinginan melihat kegaiban To.
Dengan kemauan yang sungguh-sungguh dapatlah orang
menyelami buah kerja To. Keduanya adalah sama, hanya namanya yang berbeda, keduanya
dikatakan pintu gaib, sekali lagi gaib dan pintu dari segala
kegaiban." Itulah pembukaan dari kitab suci To-tek-keng.
Diam-diam Bu-liang Totiang merasa amat terkejut, pikirnya,
'Sungguh tidak kusangka Ciangbunjin harus membacakan kitab suci
dari perguruan untuk penerimaan murid kali ini, kelihatannya
peristiwa ini merupakan kejadian yang luar biasa!"
Seusai membacakan To-tek-keng, Bu-siang Cinjin pun berkata
kembali, "Bu-beng dengarkan baik-baik, tiada nama tiada napsu, To
yang sejati adalah keteguhan yang sejati. Ingat baik-baik pemberian
nama dari perguruan dan jadilah teladan bagi sesama saudara
perguruan!" Sekali lagi Bu-liang Totiang dan Put-ji berpikir, 'Jadilah teladan
bagi sesama saudara perguruan" Apa maksudnya" Hanya
Ciangbunjin seorang yang pantas menjadi teladan bagi semua
anggota perguruan, jangan-jangan Ciangbunjin memang berniat
mengangkat Bouw Ciong-long sebagai Ciangbunjin berikutnya?"
Biarpun menggerutu dalam hati, namun tidak mungkin bagi BuTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
liang Totiang untuk tidak maju bersama Bu-si Tojin untuk
mengucapkan selamat. Teka-teki yang selama ini tersimpan dalam hati pun segera
terbongkar sudah. Setelah Bouw Ciong-long berganti nama menjadi Bu-beng dan
menerima ucapan selamat dari kedua orang Tianglo, maka upacara
pelantikan jadi pendeta pun berakhir.
Bu-siang Cinjin pun berkata lebih jauh, "Berita paling
menggembirakan masih ada di belakang, masih ada dua persoalan
yang akan kuumumkan kepada kalian semua."
Begitu perkataan itu diucapkan, seketika suasana di bawah
panggung kembali dicekam dalam kehe-ningan. Setiap orang dapat
menduga, tujuan Ciang-bunjin menghimpun semua anggota
perguruan di situ sudah pasti bukan hanya lantaran masalah
upacara "mewakili mendiang guru untuk menerima murid" saja, bisa
jadi "berita paling menggembirakan" yang bakal diumumkan adalah
pengangkatan Ciangbunjin baru.
Perhatian semua orang pun tanpa terasa bersama-sama dialihkan
ke arah Put-ji, sementara Put-ji merasakan detak jantungnya tibatiba
berdebar sangat keras. Benar saja, terdengar Bu-siang Cinjin berkata lagi, "Kini usiaku
sudah bertambah tua, beban yang sudah kupikul selama banyak
tahun pun sudah saatnya untuk diturunkan. Berita besar pertama
adalah segera akan diangkat seorang Ciangbunjin baru, begitu
Ciangbunjin baru telah ditetapkan, maka hari ini juga akan diadakan
upacara pelantikan."
Walaupun peristiwa ini sudah berada dalam dugaan semua
orang, namun begitu cepatnya 'alih tugas' yang dilakukan Bu-siang
Cinjin, benar-benar di luar dugaan siapa pun.
Cepat Bu-liang Totiangberkata, "Ciangbun suheng, aku rasa lebih
baik berpikirlah tiga kali sebelum mengambil keputusan."
"Oooh, apa lagi yang kau kuatirkan?"
"Suheng, walaupun usiamu sudah agak lanjut, namun kondisi
kesehatanmu sangat bagus dan segar, lebih baik ditentukan dulu
siapa calon pengganti Ciangbunjin untuk menggantikan tugas rutin,
kemudian setelah usiamu mencapai seratus tahun, alih tugas baru
dilaksanakan." "Sute, sebagai orang beribadah kita harus bicara menurut
kenyataan, dengan kondisi tubuhku sekarang, apakah masih pantas
disebut kuat dan segar" Aku sangat menyadari kondisi tubuhku dan
aku yakin kalian pun seharusnya mengetahui juga keadaanku, kini
keadaanku ibarat lentera yang mulai kehabisan minyak. Mumpung
sekarang masih bisa bernapas, aku ingin menyaksikan penerusku
dilantik!" Karena Ciangbunjin sudah berkata begitu serius, tentu saja Buliang
Totiang tidak berani mencegah lagi, namun dia tetap berkata
juga, "Sekalipun Ciangbun Suheng berencana untuk pensiun dini,
rasanya juga tidak pantas untuk mundur dengan begitu saja.
Pertama, perguruan kita adalah salah satu di antara dua perguruan
besar yang memimpin dunia persilatan, kalau perguruan lain yang
jauh di bawah kita pun akan melakukan upacara besar-besaran
dalam pelantikan ketua barunya, apalagi kita sebagai perguruan
besar yang sejajar dengan Siauw-lim-pay, masa pelantikan
dilakukan dengan terburu-buru" Kedua, sejak partai kita didirikan
Thio Couwsu, turun temurun Ciangbunjin kita selalu mendapat gelar
kehormatan dari pihak kerajaan sebagai seorang cinjin, aku rasa
tidak terkecuali juga untuk pelantikan kali ini, menurut pendapatku
lebih baik kita buat laporan dulu ke pihak kerajaan tentang rencana
ini, setelah firman dari kaisar turun, barulah upacara pelantikan
dilaksanakan." "Perkataan Sute keliru besar, sebagai pendeta kita harus
mengutamakan ketenangan dan kesederhanaan, bila berada dalam
suasana penuh kedamaian, memang tidak salah kalau kita adakan
upacara pelantikan yang meriah, tapi sekarang perguruan kita
sedang dirundung masalah dan kesulitan. Sekalipun kalian tidak bisa
lepas dari adat kebiasaan dengan mengundang rekan-rekan lain,
aku rasa perayaan bisa kita lakukan belakangan hari saja. Kedua,
Ciangbunjin partai Bu-tong bukanlah seorang pejabat negara,
laporan dan lain sebagainya kepada pihak kerajaan yang dilakukan
di masa lampau tidak lebih hanya satu pelengkap saja. Jadi aku rasa
kalau dilakukan belakangan pun rasanya masih belum terlambat."
Sebagaimana diketahui, Hwesio maupun Tosu adalah kaum
orang beribadah, kecuali mereka telah melanggar hukum negara,
kalau tidak, selama masih memegang peraturan dan pantangan
perguruan, biasanya gerak-gerik mereka tidak pernah diawasi oleh
hamba hukum. Oleh sebab itu Bu-siang Cinjin hanya menggunakan kata
'melapor' dalam masalah ini.
Terdengar Bu-siang Cinjin berkata lebih lanjut, "Saat ini situasi
yang kita hadapi ibarat api lilin di tengah hembusan angin kencang,
mengangkat ketua baru sudah menjadi kebutuhan yang mutlak dan
tidak bisa ditunda. Aku harap seluruh anggota perguruan dapat
memaklumi kesulitanku ini."
Sebenarnya Bu-liang tianglo berharap ketuanya bisa menentukan
lebih dulu calon murid yang bakal jadi ketua baru, agar dia
mempunyai cukup waktu untuk melakukan persiapan lain. Tapi
setelah melihat Bu-siang Cinjin bersikeras dengan keinginannya, dia
pun kembali berpikir, 'Bagaimanapun Put-ji sudah berada dalam
cengkeramanku, mau diangkat sekarang pun rasanya tidak
masalah." Berpikir begitu, dia pun berkata, "Ucapan Ciangbun Suheng tepat
sekali, aku memang kelewat kolot, kalau begitu silakan Ciangbun
Suheng menunjuk Ciangbunjin pengganti."
Bu-siang Cinjin manggut-manggut.
"Menurut aku, Ciangbunjin yang berusia kelewat muda pasti
kurang pengalaman, sementara Ciangbunjin yang kelewat tua justru
kurang gesit dan cekatan. Menurut pendapatku, calon Ciangbunjin
yang paling tepat adalah orang berusia pertengahan yang belum
mencapai enam puluh tahun, bagaimana menurut pendapat sute
berdua?" Tahun ini Bu-liang Totiang sudah mencapai usia tujuh puluh
tahun, pikirnya, "Bagaimanapun aku tidak berniat ikut
memperebutkan posisi ini, kalau didengar dari nada suheng, janganjangan
orang yang dia pilih adalah Bu-si Sute?"
Bu-si Tojin merupakan tianglo paling muda sejak Bu-tong-pay
didirikan, dia ?""sudah diangkat menjadi tianglo pada usia empat
puluh tahun dan tahun ini baru berusia lima puluh enam tahun.
Selama ini Bu-si Tojin hanya berkonsentrasi melatih ilmu pedang,
walaupun dia bukan orang kolot dan hubungannya sangat luas,
namun dalam pandangan rekan seperguruan, mereka menganggap
dia bukanlah orang yang cocok menjadi seorang Ciangbunjin.
Kembali Bu-liang Totiang berpikir, 'Semisal terjadi kejutan dan
Bu-si sute yang terpilih, walaupun dia tidak segampang Put-ji untuk
dikuasai, paling tidak dia masih butuh tunjangan dariku untuk
memangku jabatan itu." Cepat dia pun menyahut, "Perkataan
Ciangbun suheng tepat sekali, aku sendiri pun berpendapat yang
sama." Ooo)*(ooO JILID KE DUA BAB IV Ayah angkat menyimpan rencana busuk.
Terkuaklah semua niat jahatnya.
Semua orang pun membungkam sambil pasang telinga baik-baik,
mereka menunggu Bu-siang Cinjin mengumumkan siapa calon
pengganti Ciangbunjin. Tampaknya masih ada sesuatu yang sedang dipikirkan Bu-siang
Cinjin, dia tidak langsung menjawab.
Mendadak dengan senyum tidak senyum Bu-liang Totiang
bertanya, "Bu-beng sute, berapa usiamu tahun ini" Aku benar-benar


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikun sampai lupa menanyakan hal ini kepadamu."
"Tahun ini siaute berusia lima puluh delapan," sahut Bu-beng.
"Oh, lebih tua dua tahun daripada Bu-si sute, masih terhitung
sangat muda." Siapa pun dapat menangkap maksud lain dari perkataan itu,
kalau usia dijadikan syarat utama untuk menjadi seorang
Ciangbunjin, maka orang yang paling tepat untuk terpilih adalah
Put-ji, kemudian Bu-si. Sementara Bu-beng karena baru masuk jadi
anggota perguruan maka dia hanya menempati urutan ketiga.
Bu-beng berlagak pilon, seolah tidak mengerti apa yang
dimaksud, segera katanya, "Perguruan dalam dunia persilatan
mengutamakan urutan waktu masuk, jadi biarpun usiaku dua tahun
lebih tua ketimbang Bu-si Suheng, aku tetap harus menghormatinya
sebagai suheng." "Hmm, pandai amat kau berlagak," pikir Bu-liang Tianglo sambil
tertawa dingin. Mendadak terdengar Bu-siang Cinjin berdehem perlahan, sambil
menatap Bu-liang Totiang katanya, "Sute, kau adalah ketua tianglo,
bila ingin mengucapkan sesuatu, silakan ucapkan."
Perkataan itu jelas sekali artinya, dia minta kalau Bu-liang
Totiang ingin mengucapkan sesuatu, jangan dibicarakan secara
pribadi tapi diutarakan kepada semua orang.
Menggunakan kesempatan itu Bu-liang Totiang pun bertanya,
"Boleh tahu, apakah suheng sudah menemukan calon yang paling
cocok untuk jabatan ini?"
"Cocok atau tidak bukan aku seorang yang bisa memutuskan,
terlebih dulu aku memerlukan persetujuan kalian semua sebelum
mengambil keputusan. Sute, apakah kau pun punya calon yang
ingin diajukan sebagai Ciangbunjin" Katakan saja terus terang."
"Menurut pendapatku, orang yang paling cocok adalah Put-ji
Sutit, pertama, karena dia masih muda, bertenaga kuat, mampu
diserahi tugas berat. Kedua, dia adalah murid penutup yang
langsung dididik Suheng, bukan saja wataknya baik, selama enam
belas tahun mengikuti Suheng pun tidak pernah melakukan
kesalahan, dia pasti dipercaya semua orang."
Dia sangka Ciangbun suhengnya merasa rikuh buat mengusulkan
murid sendiri sehingga minta kepadanya untuk mewakilinya bicara.
Siapa tahu Bu-siang Cinjin menggeleng kepala berulang kali,
sahutnya, "Masih muda, bertenaga kuat memang sangat penting,
tapi yang lebih penting lagi orang itu harus berjiwa pendekar, punya
moral yang tinggi serta sepak terjang yang dihormati banyak orang.
Aku bukan mengatakan watak Put-ji jelek, tidak, dia sangat bagus
dan patut dipuji." Put-ji merasa sedikit lega dan terhibur setelah mendengar
ungkapan gurunya itu, pikirnya, 'Bagaimana pun juga, ternyata
Suhu masih percaya padaku, paling tidak dia masih menganggap
moral dan akhlakku tidak jelek."
Kendatipun begitu, timbul juga perasaan kecewa yang sangat
mendalam karena gurunya tidak setuju mengangkat dia sebagai
pengganti Ciangbunjin. Kembali Bu-liang Totiang berkata, "Selama enam belas tahun
terakhir, nyaris sebagian besar hidup Put-ji dihabiskan untuk berlatih
silat di atas gunung, itulah sebabnya dia belum berhasil mendapat
julukan sebagai pendekar besar, tapi masalah itu toh bukan lantaran
ketidak mampuannya, melainkan karena dia memang belum
memperoleh kesempatan untuk berkelana dalam dunia persilatan."
Bu-siang Cinjin sama sekali tidak menyangkal atas kebenaran
perkataan itu, namun dia tetap berpegang teguh pada ucapannya
semula, katanya kembali, "Lagi pula orang muda masih kalah
pengalaman daripada orang yang usianya lebih tua, terlepas apakah
Put-ji telah memperoleh warisan seluruh ilmu silatku atau belum,
menurutku, biar sudah mewarisi semua ilmuku pun masih belum
cukup untuk memangku jabatan itu."
"Kalau memang begitu, tolong Suheng tunjukkan siapa gerangan
yang paling cocok untuk memangku jabatan ini?" tanya Bu-liang
Totiang cepat, sementara sorot matanya beralih memandang Bu-si
Tojin. "Kau tidak perlu melibatkan aku, aku sadar kalau diriku tidak
cocok menjadi seorang Ciangbunjin," buru-buru Bu-si Tojin berseru.
Bu-siang Cinjin segera tertawa.
"Bu-si Sute, sebetulnya kau cocok sekali menjabat sebagai
seorang Ciangbunjin," katanya, "tapi aku tahu, dia lebih tertarik
untuk memperdalam ilmu pedangnya, jadi aku pun tidak akan
terlalu memaksa." "Ciangbun Suheng, ternyata kau memang sangat memahami
jiwaku," kata Bu-si Tojin cepat, "kalau memang begitu, tidak usah
berpanjang-panjang lagi membahas tentang diriku, cepat tentukan
saja Ciangbunjin baru."
"Sebetulnya orang itu.... jauh di ujung langit, dekat di depan
mata," perlahan-lahan Bu-siang Cinjin berkata.
Begitu perkataan "jauh di ujung langit, dekat di depan mata"
meluncur keluar dari mulut Bu-siang Cinjin, serentak sorot mata
semua orang yang hadir di tempat itu mengalihkan perhatiannya
dari wajah Put-ji ke wajah Bu-beng.
Betul saja, terdengar Bu-siang Cinjin berkata lebih jauh, "Orang
itu tidak lain adalah Bu-beng sute, biarpun Bu-beng Sute baru saja
menjadi pendeta, namun di saat masih preman dulu, dia sudah
amat tersohor di Seantero jagad sebagai Tiong-ciu Tayhiap,
pendekar besar yang dihormati semua orang. Dalam sejarah dua
ratusan tahun, hampir setiap generasi keluarga Bouw adalah anak
murid Bu-tong-pay, jadi bicara soal betapa dalamnya hubungan
keluarga mereka dengan perguruan kita, mungkin tiada orang lain
yang bisa menandinginya."
"Jadi aku rasa, dialah orang yang paling tepat untuk memangku
jabatan sebagai Ciangbunjin baru."
Keputusan ini meski sudah diduga sebagian orang, namun cukup
di luar dugaan sebagian besar anggota perguruan lainnya. Selesai
Bu-siang Cinjin mengumumkan keputusannya, ada sementara orang
yang segera bertepuk tangan sambil bersorak-sorai, ada pula yang
segera berbisik-bisik membicarakan masalah itu (Gb 4).
Waktu itu Bouw It-yu sedang duduk di samping Put-ji, begitu
keputusan diumumkan, Bouw It-yu segera berpaling, dengan nada
mengejek katanya, "Kejadian ini sungguh di luar dugaan, aku sendiri
pun tidak menyangka ayahku bakal memikul beban dan tanggung
jawab sebesar ini." Sebetulnya saat itu Put-pay sudah menyingkir dari situ, entah
sejak kapan tiba-tiba saja dia sudah muncul kembali di samping
mereka dan menyela, "Benar, ternyata ada begitu banyak kejadian
di luar dugaan yang terjadi hari ini."
"Benar," seru Bouw It-yu lagi, "tidak disangka belakangan
terdapat begitu banyak kejadian yang di luar dugaan."
Dia seolah-olah sedang 'mengulang' apa yang diucapkan Put-pay,
meski bagi Put-pay ucapan itu tidak berarti apa-apa, tidak demikian
halnya dengan Put-ji. Sebab di antara kata-kata Put-pay yang
diulang itu, dia telah menambahkan kata 'belakangan'.
Put-coat tewas secara mengenaskan baru-baru ini, dan penyebab
kematian Put-coat yang mengenaskan pun gara-gara mendapat
perintah memindahkan tulang belulang Bu-kek tianglo dari bukit
Boan-liong-san. Secara kebetulan hari itu Bouw It-yu sedang lewat di sana dan
bertemu dengan peristiwa itu, bukan saja dia berhasil menemukan
kerangka Ho Liang yang dikubur seliang dengan Bu-kek, ternyata
dia menemukan lagi sesosok tulang belulang yang ternyata
merupakan kerangka dari Keng King-si, adik seperguruan Put-ji.
Secara kebetulan pula karung yang dibawa Put-coat ternyata
tidak muat untuk membawa ketiga kerangka manusia itu, sehingga
terpaksa Bouw It-yu meninggalkan tulang kepala Ho Liang di situ....
Ada begitu banyak kejadian di luar dugaan yang telah terjadi,
bukankah semua peristiwa itupun dijumpai Bouw It-yu belakangan
ini" Apalagi selama pembicaraan berlangsung, dia pun sengaja
menepuk batok kepala sendiri sambil menandaskan setiap patah
katanya. Jika sampai di situ Put-ji masih belum memahami
maksudnya, berarti dia memang goblok setengah mati. ~
Put-ji terhitung orang pintar yang 'berlagak bodoh', bukan saja
dia sangat memahami maksud Bouw It-yu, bahkan dia pun berhasil
menemukan sesuatu, tiba-tiba dia merasa ada begitu banyak
'kebetulan' yang terjadi dalam rentetan peristiwa ini.
Justru karena dia cerdik, maka sikap dan lagaknya pun seolaholah
orang yang ikut bergembira dengan keputusan itu, serunya,
"Ayahmu telah diangkat menjadi Ciangbunjin baru, satu peristiwa
yang patut digembirakan, apalagi bagi pribadiku sendiri, aku betulbetul
bersyukur dan merasa sangat gembira!"
Dalam hati diam-diam Put-pay tertawa dingin, pikirnya, 'Kalian
berdua benar-benar sangat hebat, pandai benar bermain
sandiwara!' Tanpa sadar tertawa dinginnya pun tampil di wajah.
"Apa yang kau tertawakan?" tegur Put-ji segera.
"Aah, tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu dari mana datangnya
rasa gembiramu itu" Kalau sudah tahu, siapa tahu aku pun ikut
bergembira untukmu."
"Setelah Bouw-tayhiap menjabat sebagai Ciangbunjin, berarti
guruku bisa meletakkan beban tanggung jawab yang berat dari
pundaknya, beliau bisa menggunakan waktunya untuk
menyembuhkan luka yang dideritanya, sementara aku pun bisa
membantu Suhu mengerjakan pekerjaan rutin lainnya serta
melayani dia orang tua dengan khusuk. Apakah kejadian seperti ini
bukan peristiwa yang menggembirakan?"
Perkataan itu walaupun diucapkan secara gagah perkasa, tapi
tiba-tiba Put-pay merasa dirinya sesungguh nya "senasib
sependeritaan", karena itu dia merasa tidak enak untuk menyindir
lebih jauh. Katanya, "Bouw-tayhiap yang dahulu, mulai hari ini
sudah berganti nama menjadi Bu-beng, yaitu Ciangbun susiok kita
semua, kita mesti mengubah nama panggilan terhadapnya."
Dia sengaja mengucapkan kata 'hari ini" dengan suara berat dan
dalam. Dengan kening berkerut Bouw It-yu berpikir, 'Biarpun kedua
orang ini merasa sangat tidak puas, namun mereka tidak bakal
berani membangkang, lebih baik aku pun tidak usah menggubris
mereka lagi." Sementara itu di atas panggung pun sedang berlangsung
sandiwara yang persis seperti di bawah panggung.
Sejak awal Bu-beng sudah tahu akan hasil keputusan itu, namun
di bibir mau tidak mau dia mesti berlagak sungkan, ujarnya, "Baru
hari ini Bu-beng menjadi pendeta berkat kasih sayang mendiang
Suhu, rasanya kurang pantas bagiku untuk memikul tanggung
jawab berat ini, harap Ciangbun suheng sudi mempertimbangkan
kembali." "Justru karena ada banyak urusan besar dalam perguruan kita
yang harus kau pikul dan selesaikan, maka sengaja kuundang
kehadiranmu hari ini juga di gunung Bu-tong," kata Bu-siang Cinjin
cepat, "bukankah kau pun sudah berjanji akan membantuku
menghadapi berbagai musibah ini" Jadi tidak perlu berbasa-basi
lagi." "Mara bahaya yang mengancam perguruan sudah menjadi
kewajiban setiap murid untuk menanggulanginya, tentu saja tidak
terkecuali bagiku, tapi toh bukan mesti menjadi Ciangbunjin."
"Kelompok naga tanpa kepala, mana mungkin bisa
menyelesaikan masalah besar" Kalau kau tidak menjadi Ciangbunjin,
siapa lagi yang akan membantuku untuk menghadapi berbagai
masalah?" Bu-liang Totiang tertawa dingin dalam hati, pikirnya, 'Ooh,
rupanya kalian sudah bersekongkol sebelumnya, jadi selama ini
hanya aku saja yang tertipu...."
Berpikir sampai di situ, dia pun maju ke depan seraya berkata,
"Bu-beng Sute, kau tidak perlu menampik lagi. Aku mesti
menyampaikan selamat karena di antara kegembiraan kau
mendapat kegembiraan yang lain."
"Bu-liang Suheng, apa maksudmu?" Bu-beng tertegun.
"Sudah sejak tiga puluh tahun berselang kau ingin menjadi
pendeta, siapa tahu justru hari ini keinginanmu itu bisa terkabul,
bukankah peristiwa ini terhitung suatu peristiwa yang sangat
menggembirakan?" Tidak perlu dijelaskan pun semua orang juga tahu kalau peristiwa
menggembirakan kedua yang dimaksud adalah diangkatnya dia
menjadi Ciangbunjin baru.
Sepintas lalu, perkataan itu seolah-olah diucapkan dengan tulus
hati, padahal siapa pun tahu kalau perkataan itu berarti ganda.
Kelihatannya Bu-siang Cinjin tidak senang dengan sindiran itu,
langsung serunya, "Betul, justru karena aku ingin mengangkat Bubeng
Sute menjadi Ciangbunjin yang baru, maka sengaja
kutetapkan hari ini untuk menyelenggarakan upacara pelantikan
pendeta lebih dulu baginya. Kulakukan semua ini demi keselamatan
perguruan kita, aku percaya Sute berdua pasti tidak akan menuduh
aku punya tujuan pribadi bukan?"
"Putranya adalah muridmu, tentu saja kau membantunya,"
gerutu Bu-liang Totiang dalam hati.
Tapi dia bukan orang bodoh, dengan mengikuti arah hembusan
angin, cepat ujarnya sambil tertawa paksa, "Ciangbun suheng, kau
jangan salah paham. Jika kau punya kepentingan pribadi, posisi
Ciangbunjin pasti sudah kau serahkan untuk muridmu. Kau adalah
seorang pendekar berjiwa besar, selama ini aku sangat
mengagumimu. Suheng, aku percaya pilihanmu kali ini pasti sangat
tepat. Aku bersama Bu-si sute merasa amat bersyukur karena
peristiwa besar ini."
Walaupun dia seolah sedang 'bersyukur'dan perkataan itu
seakan-akan khusus hanya ditujukan kepada Bu-siang Cinjin, tapi
dengan sengaja menyinggung soal muridnya, sebetulnya dia berniat
untuk memprovokasi Put-ji agar timbul rasa dendam di hatinya.
Siapa tahu baru selesai dia berkata, Put-ji sudah berjalan maju ke
atas panggung, dia menjadi orang pertama yang memberi hormat
kepada Bu-beng sebagai Ciangbunjin baru.
Cepat Bu-beng turun ke bawah panggung sambil
membangunkan. "Tidak berani, tidak berani."
Melihat itu Bu-liang Totiang tertawa dingin dalam hati, pikirnya,
'Dasar bajingan cilik yang tidak punya harga diri, pandainya cuma
menjilat pantat, hmm, tahu gelagat tidak menguntungkan, cepat dia
beralih mengikuti arah angin."
Mendadak terdengar seseorang berkata dengan nada dingin,
"Tepat sekali, perkataan Bu-beng susiok tentang 'tidak berani'
memang tepat sekali. Put-ji suheng, aku rasa penghormatan yang
kau lakukan kelewat dini."
Perlu diketahui, hingga sekarang Ciangbunjin lama belum
meninggal, sekalipun calon yang diusulkan sudah dapat diterima
oleh semua pihak, namun upacara pelantikan Ciangbunjin yang
resmi belumlah diselenggarakan, jadi seharusnya penghormatan
kepada ketua baru hanya bisa dilakukan selesai pelantikan resmi
nanti. Orang yang barusan berbicara adalah seorang tosu bermuka


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam berjenggot panjang.
Merah padam wajah Put-ji, sebetulnya dia ingin balas menyindir,
tapi begitu tahu siapa yang baru saja berbicara, dia pun segera
menahan diri, sebab orang itu hanya boleh dibuat 'malu' tapi tidak
berani membuatnya 'marah'.
Ternyata tosu berwajah hitam ini tidak lain adalah murid pertama
mendiang Bu-kek tianglo, dia bergelar Put-po.
Semenjak kematian Bu-kek tianglo, Bu-siang Cinjin mengirimnya
untuk menjaga kuil Tong-wi-kiong.
Kuil Tong-wi-kiong dalam partai Bu-tong sama derajatnya dengan
ruang Tat-mo di Siauw-lim-pay, walaupun di atas kertas ketua yang
menjaga kuil itu adalah Bu-liang Totiang, namun kenyataan tosu
inilah yang mengurus. Hingga kedudukannya dalam partai boleh
dibilang hampir sejajar dengan para Tianglo lainnya.
Kuil Tong-wi-kiong penuh berisikan kitab pukulan dan rahasia
ilmu pedang peninggalan Thio Sam-hong, sepanjang tahun boleh
dibilang Put-po selalu bersembunyi di dalam kuil dan amat jarang
berhubungan dengan saudara seperguruan lainnya.
Put-ji terhitung orang yang paling jarang bicara dalam
perguruan, namun dibandingkan Put-po, dia masih kalah jauh. Bagi
Put-po, dua-tiga hari tanpa bicara sepatah kata pun sudah menjadi
hal yang jamak. Siapa pun tidak menduga orang yang begitu jarang bicara, tibatiba
saja bisa tampil dan mengucapkan kata-kata sepedas itu.
Put-ji tidak berani menyalahi orang ini, terpaksa buru-buru dia
memberi penjelasan, "Aku hanya ingin menyatakan rasa hormatku
secara pribadi, sama sekali tidak mewakili orang lain."
Tampaknya peristiwa inipun jauh di luar dugaan Bu-liang Totiang.
Pikirnya dengan perasaan senang, 'Untung saja ada orang pintar,
ada juga orang goblok. Kalau Put-ji ingin jadi orang pintar, biarlah
Put-po yang jadi orang bodoh. Memang paling pas jika dia yang
tampil.' Maka setelah mendengus tegurnya, "Put-po, tidak kusangka kau
berani menyampaikan rasa tidak puasmu atas penerus yang telah
ditunjuk langsung Ciangbun supekmu?"
Dia tahu, watak Put-po sedikit agak kaku dan kolot, selama dia
menganggap apa yang dikatakan benar, orang ini pasti akan tetap
bersikukuh dengan pendapatnya.
Benar saja, siasatnya itu segera mendatangkan reaksi. Put-po
langsung berang, dengan langkah lebar dia berjalan menuju ke
depan panggung, kemudian setelah memberi hormat kepada Busiang
Cinjin, serunya, "Ciangbun suheng, bolehkah aku
menyampaikan beberapa patah kata?" ?.
"Walaupun aku yang mengusulkan calon pengganti Ciangbunjin,
namun asal ada perbedaan pendapat, semua bisa dirundingkan dan
dibahas secara baik-baik," sahut Bu-siang Cinjin sambil
mengangguk. "Ciangbun supek, aku bukannya merasa tidak puas dengan calon
yang kau pilih. Maaf kalau aku lancang, tapi aku merasa ada satu
syarat pencalonan Ciangbunjin yang mungkin telah kau lupakan."
"Oh, syarat yang mana?"
"Ilmu silat!" sahut Put-po lantang, "selama ini kedudukan partai
kita dalam dunia persilatan boleh dibilang sejajar dengan posisi
Siauw-lim-pay, selama dua ratus tahun terakhir, ilmu pukulan, ilmu
pedang maupun tenaga dalam peninggalan Thio Couwsu selalu
menjadi panutan dan sanjungan umat persilatan. Kalau cuma
menyandang sebutan Tayhiap saja, aku rasa masih belum cukup
untuk memikul tanggung jawab sebagai Ciangbunjin perguruan
kita." Bu-beng manggut-manggut, sahutnya pula, "Perkataan ini sangat
masuk akal, setelah menjadi Ciangbunjin perguruan kenamaan,
memang sulit untuk terhindar dari pertarungan melawan jago-jago
yang ingin menjajal ilmu, apalagi sebagai partai besar ibarat pohon
besar yang gampang mendatangkan angin. Atas ketiga jenis ilmu
sakti peninggalan perguruan, aku merasa belum berhasil menguasai
kulit luarnya sekalipun."
"Baguslah kalau kau sudah tahu," pikir Put-po dalam hati, 'kalau
memang merasa dirimu tidak sanggup, seharusnya ikhlaskan
posisimu untuk mereka yang jauh lebih mampu."
Bu-siang Cinjin tersenyum, katanya lembut, "Ilmu pukulan Thaykek-
kun yang kumiliki tidak mampu menandingi mendiang Suhumu,
ilmu pedangku pun tidak mampu menandingi Bu-si sute. Jadi
menurut kau, aku pun tidak pantas menjabat sebagai Ciangbunjin?"
"Ciangbun supek, kau terlalu merendah," buru-buru Put-po
menyanggah, "semasa hidupnya dulu Suhu pernah berkata,
walaupun dia lebih mengkhususkan diri melatih ilmu pukulan Thaykek-
kun, tapi pada sepuluh tahun pertama dia hanya sanggup
menahan tiga puluh jurus pukulanku, pada sepuluh tahun kedua
pun dia hanya mampu bertahan lima puluh gebrakan. Dia berharap
setelah berlatih sepuluh tahun lagi, beliau sudah sanggup bertarung
seratus jurus melawanmu, dan hasil itu sudah cukup membuatnya
puas, sayang...." Bicara sampai di situ, tenggorokannya terasa kering hingga dia
tidak melanjutkan lagi kata-katanya.
Tentu saja hal ini disebabkan gurunya sebelum berhasil melatih
hingga sepuluh tahun ketiga sudah keburu menemui ajalnya secara
mengenaskan. "Kalau bicara dari siapa yang paling pesat berlatih ilmu pukulan
Thay-kek-kun, menurutku tidak ada yang bisa menandingi Suhumu,"
ucap Bu-siang Cinjin, "bicara sejujurnya, setahun sebelum dia
meninggal dunia, aku sudah bukan tandingannya lagi. Hanya saja
dia belum sampai menjajalnya melawanku."
Siapa pun dapat menangkap kalau ucapan itu tidak lebih hanya
kata-kata untuk menghibur Put-po.
Tiba-tiba tosu berwajah hitam itu berpaling ke arah Bu-si tianglo,
kemudian ujarnya, "Sam-susiok, kau adalah jago pedang nomor
satu yang diakui semua anggota perguruan, latihan Tecu masih
sangat cetek, jika ada yang kurang mohon dimaafkan."
Dia langsung memasang 'kuda-kuda' dan ternyata sudah siap
untuk bertanding ilmu pedang melawan Busi Tojin.
Di antara para tianglo, usia Bu-si Tojin terhitung paling muda,
walaupun Put-po hanya merupakan murid tertua dari Bu-kek tojin,
namun selisih usia mereka berdua hanya satu tahun.
Sebagai orang yang tidak suka dengan segala adat dan tatakrama,
Bu-si Tojin memang tidak pernah berlagak sok lebih senior di
hadapan 'keponakan murid tua'nyaini.
Melihat lagak keponakan muridnya itu, sambil tersenyum dia
berkata, "Aku tahu, setelah mengendon hampir belasan tahun
dalam ruang Tong-wi-kiong sambil memperdalam ilmu pukulan dan
ilmu pedang warisan Sucouw, kepandaian silatmu pasti sudah
mengalami kemajuan pesat. Kebetulan sekali aku memang ingin
bertukar pendapat denganmu."
"Susiok, kalau kau berkata demikian, tecu jadi tidak berani
berbicara. Kau harus berjanji memaafkan aku lebih dulu sebelum
aku berbicara lebih jauh."
Bu-si Tojin tertawa. "Bicara saja belum, darimana aku tahu kalau kau benar atau
salah, katakan saja secara blak-blakan," serunya.
"Kalau begitu maafkan jika aku bicara terus terang, dalam hal
ilmu pedang, kemampuanku jelas bukan tandinganmu, tapi dari
kitab pukulan dan ilmu pedang yang ditinggalkan Sucouw, sedikit
banyak aku pun berhasil memahami inti sarinya. Menurut
pendapatku, ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat merupakan ilmu
pedang tingkat tinggi, dibutuhkan tenaga dalam yang sangat
sempurna bila ingin mencapai tingkatan yang paling sempurna."
"Perkataanmu tepat sekali," Bu-si Tojin manggut-manggut,
"tenaga dalamku memang masih ketinggalan jauh."
"Bicara tentang ilmu pedang, aku rasa jurus baru ciptaan Samsusiok
kelewat banyak, justru karena kelewat banyak menciptakan
hal yang baru, ada sementara bagian justru malah nampak
kedodoran dan melupakan Sim-hoat sejati yang dimaknakan dalam
gerakan itu. "Orang kuno berkata, orang yang kelewat cerdas justru kelihatan
bodoh. Yang kelewat indah justru mirip kebodohan. Bebal bisa
menangkan kelincahan, menurut pendapatku begitu juga
keadaannya dengan ilmu pedang tingkat tinggi. Maafkan kalau aku
bicara lancang, susiok, ilmu pedangmu memang indah dan lincah,
tapi jika benar-benar digunakan untuk bertanding melawan
Ciangbun supek, pada lima puluh jurus pertama mungkin dalam hal
gerakan jurus kau bisa berada di atas angin, tapi lima puluh jurus
kemudian aku yakin kau bakal berada di bawah angin."
"Pendapat yang hebat, pendapat yang hebat!" puji Bu-si Tojin
sambil bertepuk tangan, "terus terang baru belakangan aku
menyadari akan hal itu, caraku berlatih ilmu pedang selama ini
memang kelihatan sebagai tindakan yang keliru dan sangat bodoh.
Justru karena aku sadar bahwa kemampuanku tidak pernah bisa
mencapai taraf kesempurnaan seperti yang dicapai Ciangbun
suheng, maka aku tidak pernah berani menjajal kemampuannya.
Hanya saja ada satu hal kau keliru besar."
"Dalam hal mana" Silakan susiok memberi petunjuk."
"Jago pedang nomor wahid dalam perguruan kita bukanlah aku.
Juga bukan Ciangbun suheng. Maaf Ciangbun suheng kalau aku
bicara terus terang."
Bu-siang Cinjin tersenyum.
"Sejak lama aku sudah mengetahui akan hal ini," sahutnya,
"kalau tidak kau katakan, aku malah akan menegurmu."
Begitu perkataan itu diucapkan, semua anggota perguruan yang
hadir jadi tercengang dan tidak habis mengerti, khususnya Put-po.
Sesudah tertegun sesaat, tanyanya, "Boleh tahu siapakah orang
itu?" "Orang itu jauh di ujung langit, dekat di depan mata. Dia tidak
lain adalah Ciangbunjin kita yang baru, Bu-beng suheng."
"Aah suheng, kau hanya menempelkan emas di wajahku, aku
tidak berani menerima pujianmu," buru-buru Bu-beng merendah.
"Eh, aku bicara baik-baik, kenapa kau malah memakiku?" teriak
Bu-si Tojin sambil menarik muka.
"Kenapa kau berkata begitu?" Bu-beng tertegun.
"Kau bilang tidak berani menerima pujianku, bukankah berarti
kau menuduh aku sedang berbohong" Biarpun kadangkala dalam
banyak hal aku suka asal bicara dan ngawur, tapi dalam hal ilmu
silat aku tidak pernah mengurangi atau menambahi kehebatan
orang, kalau memang setengah kati akan kukatakan setengah kati,
kalau cuma delapan liang akan kukatakan delapan liang. Tidak
terkecuali dalam memuji orang lain!"
Semua anggota perguruan tahu kalau Bu-si Tojin memang
demikian wataknya, melihat dia berbicara begitu serius, tanpa
terasa kembali semua orang merasa terkejut bercampur sangsi.
Sebagaimana diketahui, selama ini keyakinan ilmu pedang Thaykek-
kiam-hoat dari kalangan murid beragama selalu mengungguli
kemampuan murid preman, selama inipun ilmu pedang yang dimiliki
Bu-si Tojin dianggap sebagai jago nomor wahid dalam perguruan,
tapi sekarang ternyata dia menyerahkan 'kopiah kebesaran' itu
kepada orang lain secara 'ikhlas', bahkan diberikan untuk Bu-beng
tojin yang baru saja dilantik menjadi pendeta. Kejadian itu mau
tidak mau membuat semua orang sekali lagi tercengang dan merasa
di luar dugaan. Diam-diam Bu-liang Totiang berpikir juga, 'Hubunganmu dengan
Bouw Ciong-long paling akrab, lagi pula menjadi guru putranya,
tidak heran kau rela merendahkan kemampuan sendiri dengan
menyanjung kehebatan orang. Tapi.... apakah tindakanmu
merendahkan kemampuan Ciangbun suheng bukan merupakan
perbuatan yang kelewat batas"'
Tapi begitu melihat sang ketua, Bu-siang Cinjin seperti amat
setuju dengan pernyataan itu, terpaksa Bu-liang Totiang menelan
kembali kata-katanya di dalam hati dan tidak berani diutarakan
keluar. Kalau dia tidak enak untuk mengucapkan, berbeda dengan orang
lain. Watak Put-po memang termasuk orang yang tidak sanggup
menahan diri, apa yang merasa tidak sependapat dia selalu
mengutarakan dengan terus terang, karena itu meski dia menegur
dari sudut yang lain, namun ucapannya tetap disampaikan secara
blak-blakan. "Bu-si tianglo," serunya, "aku tahu kalau selama ini kau tidak
pernah berbohong, tapi ada satu hal aku merasa tidak jelas,
maukah kau memecahkan keraguan-ku ini?"
"Soal apa?" "Kalau memang ilmu pedang yang dimiliki Bu-beng susiok jauh
lebih hebat dari kemampuanmu, kenapa bukan dia yang langsung
mendidik putranya, melainkan malah minta kau yang mengajari
anaknya?" Bu-si Tojin tertawa. "Kau sudah banyak membaca buku, tentunya tahu bukan cara
orang kuno mengajar anaknya dengan saling bertukar putra. Tapi
sayang aku tidak berputra, kalau tidak, pasti akan kusuruh putraku
mengangkat dia menjadi gurunya. Lagi pula meski ilmu pedangku
tidak mampu menandinginya, tapi aku pun memiliki kelebihanku
sendiri, jika putranya bisa menguasai kelebihan dari dua keluarga
sekaligus, bukankah hal ini jauh lebih bagus?"
Perkataan ini memang merupakan perkataan sejujurnya. Semua
orang juga tahu, ketika Put-coat terluka oleh orang berkerudung
yang tidak diketahui asal-usulnya di bukit Boan-liong-san tempo
hari, beruntung Bouw It-yu berhasil memukul mundur orang
berkerudung itu sehingga Put-coat dapat hidup beberapa hari lagi
sebelum kembali ke gunung Bu-tong.
"Tidak heran Bouw It-yu meski masih muda namun sanggup
memukul mundur musuh tangguh. Ternyata dia berhasil menguasai
kelebihan dari dua orang sekaligus."
Karena itu, banyak orang yang mulai menaruh kepercayaan atas
apa yang dikatakan Bu-si Tojin.
Tapi Put-po masih tetap tidak percaya.
Setelah berdiri di depan mimbar dan memandang wajah seluruh
anggota perguruan sekejap, perlahan ujarnya, "Sampai dimana
kehebatan ilmu pedang Bu-si tianglo, hampir semua di antara kita
pernah mengetahui nya. Tapi bagaimana dengan ilmu pedang yang
dimiliki Bu-beng Susiok" Dari sekian banyak murid beragama,
kecuali Bu-si Tianglo seorang, nyaris belum pernah ada yang
melihatnya. Kini Bu-si tianglo mengaku ilmu pedangnya kalah jauh
dari kehebatan Bu-beng susiok, andaikata hal itu merupakan
kenyataan, jelas kejadian ini merupakan satu keberuntungan bagi
kita semua karena memiliki Ciangbunjin baru yang hebat. Agar kita
semua yakin akan kebenaran itu, bagaimana bila Bu-beng susiok
memberi sedikit petunjuk, agar mata kami semua pun ikut terbuka."
Kata 'minta petunjuk' di sini mempunyai dua makna, pertama
adalah pertarungan terbatas antara seorang angkatan tua yang
memberi petunjuk kepada angkatan muda, arti kedua adalah
petunjuk dalam arti satu 'pertarungan adu kekuatan'.
Dalam hal pertarungan adu kekuatan, maka tidak ada batasan
antara angkatan tua dengan angkatan muda, hanya menang kalah
yang menentukan hasil akhir. Sebaliknya dalam pertarungan
terbatas beda sekali artinya.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam situasi seperti ini, ternyata Put-po mengucapkan kata-kata
seperti itu, siapa pun dapat menangkap bahwa minta petunjuk yang
dia maksud adalah petunjuk dalam pertarungan adu kekuatan.
Memanfaatkan kesempatan itu Bu-liang tianglo sengaja
mendesak lebih jauh, dengan nada menegur serunya, "Put-po,
besar amat nyalimu, Bu-beng sute pernah malang melintang dalam
dunia persilatan dengan nama Bouw-tayhiap, masa kau baru puas
setelah menjajal kepandaian silatnya?"
Benar saja, perkataan itu semakin mengobarkan keberanian Putpo,
serunya lantang, "Bu-tong dan Siauw-lim merupakan pusat ilmu
silat di kolong langit yang diketahui setiap orang. Sekalipun seorang
jago hebat yang biasa malang melintang dalam dunia persilatan,
setelah tiba di kuil Siauw-lim-si atau kuil Sam-cing-koan di gunung
Bu-tong, belum tentu dia masih berhak disebut jagoan nomor wahid
yang tidak terkalahkan. Bu-beng Susiok, kau tidak usah salah
paham, aku bukan maksudkan dirimu. Aku hanya menanggapi
setiap persoalan yang ada saja dalam kenyataan."
"Perkataanmu tepat sekali," sahut Bu-beng dengan hambar,
"memang banyak sekali manusia bernama kosong dalam dunia
persilatan saat ini. Biarpun orang lain menghormatiku sebagai
seorang Tayhiap, namun aku tidak berani menerimanya. Menurut
pendapatku, sebutan Tayhiap yang diberikan kepadaku mungkin
hanya dikarenakan umat persilatan menilai moral, sepak terjang dan
tingkah lakuku selama ini lurus, jadi bukan karena mereka takut
dengan ilmu pedangku."
Secara keseluruhan, perkataan inipun mengandung dua arti.
Pertama, yang dia maksudkan sebagai manusia yang bernama
kosong hanya sebatas "banyak" dan bukan menuduh "semuanya".
Kedua, dalam perkataan itupun dia ingin menandaskan bahwa
kriteria menjadi seorang Ciangbunjin seharusnya "menaklukkan
orang dengan moral dan ringkah laku yang baik" dan bukan
"menaklukkan orang dengan mengandalkan kekuatan".
Namun dalam perkataan itu, dia sama sekali tidak menolak
permintaan Put-po yang ingin minta petunjuk beberapa jurus
darinya. Untuk sesaat Put-po masih belum menyadari akan hal itu
(bahwasanya Bu-beng tidak menampik permintaannya), berbeda
dengan Put-pay, dia segera dapat merasakan hal itu. Sambil bangkit
berdiri segera serunya, "Bu-beng susiok, meskipun kau menjagoi
dunia persilatan dengan mengandalkan ilmu pedang, tapi setelah
berada di gunung Bu-tong, rasanya kau tidak menampik bukan
untuk memberi petunjuk beberapa jurus kepadaku."
Tidak menunggu jawaban Bu-beng apakah setuju atau tidak, dia
kembali berpaling dan ujarnya kepada Put-po, "Put-po suheng,
entah siapa saja yang kau maksud kan sebagai kami?"
Kata "kami" di sini maksudnya sangat jelas, Put-pay ingin Put-po
segera menunjuk jago mana yang dianggap paling berhak dan
punya kemampuan untuk bertanding melawan Bu-beng.
Tampaknya Put-po sendiri pun ingin mendesak Bu-beng agar
tidak bisa menghindar dari pertandingan itu, sahutnya cepat, "Saat
ini Put-ji sute sudah dianggap sebagai jago pedang nomor dua
dalam perguruan kita, kalau memang Bu-si tianglo merasa ilmu
pedangnya tidak sanggup menandingi Bu-beng susiok, lebih baik
Put-ji Sute saja yang minta petunjuk beberapa jurus dari Bu-beng
Susiok! Andaikata Bu-beng tidak sanggup menghadapi Put-ji, hal itu
membuktikan kalau apa yang diucapkan Busi tadi hanya kata bualan
belaka." Buru-buru Put-ji menggeleng kepala berulang kali, serunya,
"Tecu tidak berani melampaui batas!"
Yang diartikan sebagai tidak berani melampaui batas jelas
dimaksudkan kedudukannya yang lebih rendah dari lawannya, dan
bukan bermaksud kemampuan silatnya.
Dari ucapan itu orang dapat menarik kesimpulan kalau dalam hal
ilmu silat, paling tidak dia masih belum takluk.
"Put-ji, perkataanmu keliru besar," ujar Put-po, "saat ini kau
hanya minta petunjuk dari Ciangbunjin baru, sama sekali tidak ada
niat melampaui batas atau tidak."
Put-ji tetap menggeleng sambil tersenyum.
"Put-po suheng, aku rasa kau yang paling pantas untuk
melakukan hal ini. Kesatu, karena kalian hampir setara
kedudukannya, kedua, kau pun sudah lama mempelajari kitab ilmu
pukulan dan ilmu pedang pening-galan Thio-Couwsu dalam ruang
Tong-wi-kiong, aku percaya kemampuan ilmu pedangmu pasti
sudah mencapai tingkatan yang luar biasa."
Diam-diam Put-po mendengus jengkel, pikirnya, 'Dasar licik, kau
tidak ingin mendapat masalah, orang lain yang kau korbankan. Ya
sudahlah, biar kau saja yang jadi orang pintar sementara aku jadi
orang bodoh.' Walaupun begitu, dia sendiri merasa agak rikuh untuk langsung
mengajak Bu-beng berduel, hanya sorot matanya saja yang
dialihkan ke wajah Bu-beng.
Dengan wajah tetap tenang Bu-beng tersenyum, ujarnya,
"Waktuku di gunung Bu-tong masih panjang sekali, kelak pasti
masih ada kesempatan untuk saling memoles kepandaian dengan
rekan sesama perguruan. Sedang hari ini.... aku rasa.... aku rasa...."
Kalau sorot mata Put-po sedang mengawasi wajahnya, maka
sorot matanya justru dialihkan memandang wajah Bu-siang Cinjin.
Biarpun perkataan itu tidak selesai diucapkan, namun jelas dia
pun menyimpan satu maksud yang mendalam.
Dalam ucapannya, dia menggunakan kata 'memoles' untuk
mengajak rekan sesama perguruannya untuk saling memoles
kemampuan, ini jelas menunjukkan kalau dia telah bersikap sebagai
seorang Ciang-bunjin. Put-po tidak terlalu menangkap arti yang sangat mendalam itu,
berbeda dengan Bu-liang Totiang maupun Put-ji. Tanpa sadar kedua
orang itupun berpikir, 'Mana ada kejadian yang begitu enak, yang
jelas menguntungkan sepihak.'
Namun lantaran Bu-siang Cinjin sebagai Ciangbunjin saat ini
belum memberikan pendapatnya, tentu saja mereka pun tidak
berani buka suara. Perlahan-lahan Bu-siang Cinjin berkata, "Kita adalah perguruan
kaum lurus yang menjadi panutan umat persilatan, berbeda jauh
dibandingkan perkumpulan atau partai-partai pada umumnya. Bagi
perguruan lain, boleh saja mereka menentukan seorang Ciangbunjin
berdasarkan adu kepandaian, tapi kalau kita pun melakukan hal
yang sama, jelas kejadian ini bakal ditertawakan orang banyak.
Semenjak Thio cinjin mendirikan perguruan ini, belum pernah kita
gunakan cara beradu silat untuk menentukan calon Ciangbunjin."
Merah padam selembar wajah Put-po sesudah mendengar
ucapan itu, tapi dasar keras kepala, dia tetap ngotot dengan
pendapatnya, serunya keras, "Perkataan Ciangbunjin memang
benar. Tapi selama ini ilmu silat yang dimiliki para calon Ciangbunjin
sudah diketahui semua orang karena berasal dari angkatan
yang sama. Sementara niat Tecu untuk menjajal kemampuan
Ciangbunjin baru pun tidak lebih hanya sebatas ingin menyaksikan
sampai dimana kehebatan kungfunya."
Maksud dari perkataan inipun amat jelas, selama Ciangbunjin
baru belum memperlihatkan ilmu silatnya hingga jelas, dia tidak
bakal tunduk dan takluk. Rupanya Bu-siang Cinjin dapat menduga maksud hatinya, dia
pun berkata lembut, "Kalian tidak perlu terburu napsu, tidak lama
kemudian kalian pasti dapat menyaksikan dengan mata kepala
sendiri kemampuan silat dari Ciangbunjin baru. Sekarang biar aku
sampaikan sebuah cerita lebih dulu."
Tidak lama kemudian" Beberapa lama yang dimaksud" Sebulan"
Setengah bulan" Sepuluh hari" Delapan hari" Atau hari ini juga"
Sepintas lalu saja perkataan itu seolah memberikan sebuah
jaminan, padahal jaminan itu kosong karena tidak ada sebuah
kepastian yang jelas. Bu-liang Totiang yang picik pikirannya dan berhati sempit,
bahkan mulai curiga kalau Ciangbun Suhengnya sengaja
menggunakan siasat menunda waktu karena ingin membantu Bubeng
agar menerima jabatan ketua dengan mulus.
Namun karena Ciangbunjin telah memberikan "Jaminan", tentu
saja Put-po tidak berani ngotot menuntut ketuanya memberikan hari
yang pasti, kendatipun kalau menuruti adatnya sendiri, dia tidak
gampang menyudahi urusan dengan begitu saja.
Ciangbunjin berkata akan menceritakan satu kisah cerita, aneh
sekali, dalam situasi seperti ini kenapa dia masih punya minat untuk
bercerita" Semua orang merasa tercengang, bingung dan ingin tahu,
serentak perhatian mereka pun dialihkan ke wajah sang ketua.
Bu-siang Cinjin tidak langsung bercerita, dia mendongakkan
kepalanya memandang ke tempat kejauhan, seakan sedang
mengingat kembali peristiwa masa silam.
"Peristiwa ini sesungguhnya sudah terjadi pada tiga puluh enam
tahun berselang," ujar Bu-siang Cinjin kemudian, "waktu itu Hian
Tin-cu dari Kun-lun-pay datang berkunjung ke gunung Bu-tong, dia
memohon untuk bertanding pedang melawan Ciangbunjin dulu.
Sewaktu datang dia mengajak serta muridnya yang paling kecil,
seorang bocah yang baru berusia sebelas, dua belas tahunan. Ketika
mendiang Suhu menerima kedatangan mereka, kebetulan aku pun
ikut berada di samping."
Kawanan tosu yang usianya rata-rata diatas lima puluh tahun
secara lamat-lamat masih teringat akan peristiwa itu. Hanya saja
tidak seorangpun diantara mereka yang tahu bagaimana hasil dari
pertarungan itu. Yang mereka ketahui, Hian Tin-cu terhitung jago pedang nomor
wahid dari Kun-lun-pay saat itu, ketenaran dan kehebatannya jauh
diatas nama besar Hian Tong-cu sebagai Ciangbunjin Kun-lun-pay.
Sama seperti Bu-tong-pay, partai Kun-lun pun tersohor di kolong
langit karena ilmu pedangnya. Hanya saja yang satu jauh di wilayah
barat-laut sementara yang lain berada di daratan Tionggoan,
sebuah jarak yang melebihi puluhan ribu li, oleh karena itu kedua
belah pihak jarang sekali saling berhubungan.
Ketua Bu-tong-pay waktu itu, Kim-kong Cinjin tidak lain adalah
Suhu Bu-siang Cinjin Ciangbunjin saat ini.
Ketika itu usia Kim-kong Cinjin bara genap tujuh puluh tahun, Busiang
adalah murid tertuanya, saat itu usianya baru mencapai empat
puluhan tahun, masa yang paling kuat dan bersemangat bagi
seorang lelaki. Sedangkan usia Hian Tin-cu waktu itu hanya lebih
tua beberapa tahun dibandingkan umur Bu-siang.
Kalau berbicara dari soal tingkatan, maka posisi Hian tin-cu
berada diantara kedudukan Kim-kong dengan Bu-siang. (oleh
karena mereka bukan berasal dari perguruan yang sama, agak sulit
untuk menentukan tingkatan secara pasti. Kakak seperguruan Hian
Tin-cu, Hian Tong-cu sang ketua Kun-lun-pay selalu menganggap
"Cianpwee" kepada Kim-kong Cinjin, namun lantaran Kim-kong
Cinjin bukan orang yang gila hormat, dia selalu menganggap Hian
Tong-cu satu level dengan dirinya, itulah sebabnya level Hian tin-cu
boleh dibilang lebih rendah 'setengah tingkat' bila dibandingkan
Kim-kong Cinjin). Tentu saja orang orang yang mengetahui kejadian tersebut tidak
ikut hadir dalam pertandingan itu, mereka hanya mendengar dari
cerita di kemudian hari bahwa waktu itu Kim-kong Cinjin menolak
untuk turun tangan sendiri, karena itu Bu-siang Cinjin lah yang
menggantikan posisi gurunya untuk mengalahkan Hian Tin-cu.
Hanya saja mereka tidak mendengar cerita itu langsung dari
mulut Bu-siang Cinjin atau Kim-kong Cinjin, melainkan berasal dari
seorang tosu penjaga dupa yang akrab hubungannya dengan si tosu
bisu tuli. Waktu itu si tosu bisu tuli bertugas melayani kebutuhan Kim-kong
Cinjin, dia tidak bisa berbicara tapi menggunakan kode tangan
untuk menceritakan kisah itu kepada si tosu penjaga dupa.
Ibu jari digunakan untuk melambangkan Kim-kong Cinjin sedang
jari kelingking untuk melambangkan Bu-siang Cinjin. Dia gerakkan
ibu jarinya menyingkir ke samping lalu ditekuk, kemudian
menegakkan jari kelingkingnya untuk menusuk ke depan sambil
menjerit kesakitan, setelah itu sambil tersenyum dia bertepuk
tangan berulang kali. Tosu penjaga dupa itu adalah sahabatnya yang paling karib, dia
mengerti apa yang dimaksudkan rekannya itu.
Itu berarti Kim-kong Cinjin sama sekali tidak bertarung melawan
musuhnya melainkan hanya mundur ke samping, sedang muridnya,
Bu-siang Cinjin tampilkan diri mewakili gurunya untuk mengalahkan
lawan dari Kun-lun-pay itu.
Hanya "penjelasan" itu saja yang disampaikan si tosu penjaga
dupa, bagaimana keadaan sesungguhnya" Tidak seorang pun yang
tahu. Tidak heran kalau semua anggota perguruan merasa
tercengang ketika mendengar Bu-siang Cinjin secara tiba tiba
mengisahkan cerita lama itu.
Kembali Bu-siang Cinjin Cinjin bertutur, "Mendiang Suhu adalah
seorang pendeta yang saleh dan penyabar, dia enggan melayani
tantangan orang untuk berduel. Tapi sayang Hian Tin-cu kelewat
angkuh, dengan ucapan ucapan yang tajam dan menyakitkan dia
memaksakan terus kehendaknya, malah dengan nada tajam dia
berkata begini, "Mengatakan 'menyerah' bukan berarti menyerah
kalah, kalau tidak berani bertamng melawanku, maka kau musti
mengakui di depan umum kalau ilmu pedang Bu-tong-pay tidak
mampu menandingi ilmu pedang Kun-lun-pay kami."
"Aku tidak sanggup menahan diri lagi, terpaksa sambil bangkit
berdiri seruku, "Beda level, beda pula dalam usia, tidak mungkin
Suhuku bisa melayani tantanganmu itu, tapi kalau kau tetap
memaksa ingin bertarung, biar aku saja yang melayani tantanganmu
itu." "Mendengar perkataanku, Hian Tin-cu langsung tertawa dingin
sambil mengejek, "Betul juga perkataanmu itu, bicara soal level,
posisi gurumu memang setengah tingkat lebih tinggi ketimbang aku,
biar bisa menangpun bukan satu kemenangan yang terhormat. Tapi
bagaimana pun usianya sudah tua, andaikata aku beruntung bisa
menangkan dirinya pun kemenanganku bukan kemenangan yang
hebat, boleh saja kalau kau ingin menjajal kemampuanmu, hanya
saja.... tega tidak gurumu membiarkan kau bertanding pedang
melawanku" Kimkong Cinjin, jika kau anggap dia adalah orang
pilihan yang paling tepat, tentu saja aku tidak akan banyak bicara,
kalau tidak, lebih baik pilihlah calon lain yang kau anggap paling
memuaskan untuk bertanding pedang melawanku."
"Mendiang Suhu benar-benar tebal imannya, mula mula dia tegur
dulu diriku, "Jangan kurangajar terhadap tamu kita," kemudian baru
ujarnya kepada jago Kun-lun itu, "Maafkan muridku bila bersikap
kurang sopan, sesungguhnya Perguruan kita berasal dari sumber
yang sama, jadi tidak semestinya menggunakan kata menang kalah
untuk menentukan siapa lebih terhormat. Aku tidak ingin kelewat
membuang pikiran hanya untuk memilih murid yang lain, Hian-ti
toyu, silahkan kau memberi petunjuk kepada muridku yang ini saja."
Ternyata Hian Tin-cu tetap merasa tidak puas, dia mendesak
lebih jauh, katanya, "Boleh saja kau tidak berminat untuk
menentukan siapa lebih terhormat lewat pertarungan pedang, tapi
aku sangat menginginkannya. Sebelum pertarungan dimulai, aku
harus tegaskan sekali lagi, andaikata murid mu itu benar benar


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalah di tanganku, kau harus mengaku kekalahan ini dihadapan
umum." "Mendiang Suhu tersenyum, jawabnya, "Aku akan melakukannya
jika memang kau kehendaki. Cuma, terlepas bagaimana hasil
pertandingan nanti, aku tetap akan memberi kesempatan kepadamu
untuk memilih." "Waktu itu aku kurang mengerti apa maksud ucapan Suhu,"
begitu pula dengan Hian Tin-cu."
Mendengar sampai disini, para murid yang berada di bawah
panggung pun sama-sama berpikir, "Benar, kalau memang menang
kalah sudah ketahuan, buat apa musti memilih lagi?"
Tidak seorang pun yang paham apa maksud dibalik perkataan
itu. Kembali Bu-siang Cinjin berkata lebih lanjut, "Akhirnya keraguan
dan ketidak mengertiku di jawab juga oleh Hian tin-cu, dia berkata
begini. 'Jikalau hasil pertandingan pun sudah jelas, mana mungkin
aku punya kesempatan lagi untuk memilih" Kim-kong Cinjin, lebih
baik jelaskan dulu apa maksud perkataan-mu?"
Setelah ditanya, mendiang guruku pun menjawab, "Maksudku
kau masih punya kesempatan untuk memilih, apakah hasil
pertandingan ingin diumumkan kepada khalayak umum atau tidak,
namun andai kau ingin kami merahasiakan hasilnya, kami akan
menjaga rahasia tersebut dengan rapat."
"Bila maksud perkataan itu lebih diperjelas, maka artinya adalah
begini." "Bila dalam pertarungan nanti akulah yang dipecundangi Hian
Tin-cu, maka mendiang guruku bersedia mewakili Bu-tong-pay
untuk mengumumkan kekalahannya didepan umum, sebaliknya bila
Hian Tin-cu yang kalah ditanganku, demi menyelamatkan nama baik
serta harga dirinya, kami bersedia untuk merahasiakan kejadian ini.
Justru kelihayan dari ucapan tersebut adalah tidak mengungkap
secara jelas maksud yang terkandung."
Kembali semua murid yang ada di bawah punggung berpikir,
"Perkataan Sucouw benar-benar amat bijaksana, bukan saja
mempertegas posisinya sebagai seorang ketua, bahkan tidak ingin
pihak lawan kehilangan muka.
kalau Hian Tin-cu jengkel karena ucapan itupun, dia hanya bisa
menyimpan amarahnya dalam hati. Tidak mungkin baginya untuk
menuduh Sucouw kita telah pandang enteng dirinya."
Betul saja, terdengar Bu-siang Cinjin berkata lebih lanjut, "Hian
Tin-cu memahami dengan jelas maksud mendiang guru, tapi dia
hanya bisa jengkel di dalam hati, saking mendongkolnya, paras
muka pun ikut berubah hebat. Sambil tertawa dingin diapun
berseru, "Mau kalah biarlah kalah, buat apa musti di rahasiakan,
"maksud baik" mu biar kuterima dalam hati saja. Lebih baik kita
segera mulai bertanding. Cuma...."
"Cuma apa lagi?" tanyaku.
Sambil tertawa dingin kata Hian Tin-cu, "Seperti yang kau
katakan barusan, tingkat level kita berbeda, usia pun berbeda, kalau
dipaksakan aku masih terhitung 'setengah level' lebih tinggi darimu,
usia pun beberapa tahun lebih tua. Aku tidak ingin mencari
keuntungan dari hal ini."
Akupun berkata, "belum tentu aku akan mencari keuntungan dari
perbedaan itu." "Mendengar itu mendiang Suhu pun menegur, "Jangan
kurangajar. Sebagai tuan rumah yang baik, kita harus turuti
keinginan tamu. Hian-tin toyu, silahkan kau ajukan keinginanmu,
kami pasti tidak akan menampik."
"Hian tin-cu pun berkata, "Kita batasi pertarungan ini dalam
seratus jurus saja, jika muridmu sanggup menahan seratus jurus
seranganku, tanpa menunggu hasil menang kalah, aku bersedia
mengaku kalah." "Mendengar keangkuhan dan sesumbarnya itu aku sebetulnya
ingin balas menyindir, tapi berhubung ada Suhu disitu, aku jadi
merasa tidak leluasa untuk berdebat dengan tamu.
"Terpaksa akupun menjawab, "Kau ingin membatasi diri, terserah
saja, itu urusanmu. Dalam seratus gebrakan bila akupun gagal
menangkan dirimu, aku bersedia juga untuk mengaku kalah."
"Dengan begitu maka masing-masing pihak pun saling
mengumbar janji tanpa ada yang mau mengalah.
"Mungkin Hian Tin-cu sudah tidak sanggup menahan amarahnya
lagi, setelah mendengus segera teriaknya, "Baik, terserah apapun
yang ingin kau ucapkan. Tapi yang pasti aku tidak akan menjilat
kembali ludahku, terima seranganku!"
"Aku tidak mau kalah, akupun menjawab," akupun tidak akan
menarik kembali ucapanku, lihat seranganku juga!"
"Tidak disangka, dalam gebrakan pertama saja sudah terjadi
peristiwa yang sama sekali diluar dugaan kedua belah pihak."
Biarpun semua orang sudah tahu kalau hasil pertandingan ini
dimenangkan Bu-siang Cinjin, tidak urung jantung mereka berdebar
juga setelah mendengar sampai disitu. Apa yang telah terjadi"
Mengapa dalam jurus pertama sudah membuat kedua belah pihak
merasa diluar dugaan"
Setelah berhenti sejenak, kembali Bu-siang Cinjin melanjutkan
ceritanya, "Aku tahu ilmu pedang yang dilatih Hian Tin-cu bernama
Hui-eng-kiam-hoat (ilmu pedang elang terbang), semuanya terdiri
dari enam puluh empat jurus, hampir semua jurus serangannya
ganas dan telengas. Padahal aku hanya 'tahu' saja dan selama ini
belum pernah menyaksikan permainan pedangnya dengan mata
kepala sendiri. Menurut pengetahuanku, ilmu pedang Thay-kekkiam-
hoat mengutamakan tenang untuk mengungguli gerak,
dengan lembut mengatasi keras. Kalau memang ilmu pedang Huieng-
kiam-hoat mengutamakan keras dan ganas, bukankah ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat justru merupakan ilmu pedang
tandingannya" "Oleh sebab itulah aku sangat percaya diri, bahkan berani
sesumbar jika dalam seratus jurus tidak sanggup mengungguli dia
maka aku rela mengaku kalah.
"Benar saja, begitu turun tangan pada jurus yang pertama dia
sudah menyerangku secara ganas dan telengas, seandainya hanya
ganas dan telengas, hal itu sudah berada dalam dugaanku sejak
awal, siapa tahu di samping ganas dan telengas, jurus serangannya
begitu aneh dan luar biasa, satu keanehan yang belum pernah
kuketahui sebelumnya. "Pada ilmu pedang lain, baik sewaktu menusuk, membabat,
melingkar atau menutul, semua gerakan dilakukan secara jelas dan
teratur, asal kita mau perhatikan lebih seksama, sebetulnya tidak
susah untuk meramal arah sasarannya.
"Pada ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat andalannya, gerak
serangan yang dipakai justru berbeda, dia melambung diudara
sambil berputar dan menari, meliuk maupun lurus saling tumpang
tindih, persis seperti gulungan gelombang yang datang dari empat
penjuru, bukan saja terselip banyak perubahan, bahkan membuat
orang sama sekali tidak menduga.
"Rupanya dia sudah melancarkan serangan mematikan sejak
jurus pertama, tubuhnya melambung sejajar tanah, menggunakan
kesempatan ketika masih berada di udara, pedangnya ditusukkan ke
bawah secara ganas. "Dibalik gerakan pedangnya yang berputar dan meliuk itu, paling
tidak aku dapat melihat ada tujuh macam perubahan yang berbeda
terselip di dalamnya. Untuk sesaat sulit rasanya bagiku untuk
menghadapi ke tujuh macam perubahan itu sekaligus.
"Satu-satunya kemungkinan untuk mematahkan semua ancaman
itu hanyalah menggunakan sebuah jurus yang sangat sederhana,
yaitu gerakan Twie-cong-kan-gwat (mendorong jendela melihat
rembulan), dengan gerakan ini aku berharap bisa membuyarkan
kekuatan lawan sambil menyelamatkan diri.
"Akhirnya serangan pedang itu nyaris menyayat kulit jidatku dan
menyambar lewat, bagaimana pun serangannya tidak berhasil
melukai tubuhku. Aku melihat dia berseru kaget, paras mukanya
dari warna merah berubah jadi menghijau, jelas dia sama sekali
tidak menduga kalau aku berhasil mematahkan jurus serangannya.
"Aku tidak tahu apakah waktu itu dia bermandikan keringat
dingin, tapi sesaat aku lihat dia menghentikan gerak serangannya
sambil membesut keringat yang membasahi jidatnya."
Berbicara sampai disitu, Si tosu kecil yang melayani di
sampingnya buru-buru mempersembahkan secawan air teh. Setelah
minum setegukan dia baru berkata lebih lanjut, "Ilmu pedangnya
bagaikan elang sakti yang terbang berputar di angkasa, sekalipun
dia tidak ikut melambung pun, gerakan pedangnya seolah
menggempur tiba dari tengah udara, bahkan dalam setiap jurusnya
tersembunyi banyak perubahan yang berbeda satu dengan lainnya.
"Ada yang dalam satu jurus tersisip tiga gerakan, ada pula yang
dalam satu jurus terselip lima gerakan, yang paling banyak bahkan
mencapai sembilan perubah-an dalam satu gebrakan. Tentu saja
setiap gerakan berbeda satu dengan lainnya.
"Selama hidup belum pernah kusaksikan permainan pedang
seperti ini, sesaat aku hanya bisa bertahan tanpa mampu
melancarkan serangan balasan, tapi dalam jangka waktu itu diamdiam
kuhapalkan setiap gerakan yang terkandung dalam jurus
serangannya, memperhati kan setiap perubahan yang dia lakukan
sambil memeras otak mencari celah-celah yang mungkin bisa
kumanfaatkan. "Selama jalannya pertarungan dia sudah memainkan ke enam
puluh empat jurus ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat pada ronde
pertama, aku hanya bisa "duduk manis" sambil menonton, mustahil
bagiku untuk menemukan cara yang tepat untuk mengunggulinya.
"Sejujurnya harus diakui, permainan pedangnya nyaris sudah
mencapai taraf yang sempurna, hampir tidak ada peluang yang
ditemukan untuk melancarkan serangan balasan.
"Pada ke tiga puluh enam jurus pertama, nyaris permainan
pedangnya begitu rapat tanpa celah, hingga dia memainkan jurus
ke tiga puluh tujuh, aku baru berhasil menemukan sebuah celah.
Dan ketika mencapai jurus ke empat puluh delapan, lagi lagi
kutemukan dua buah celah. Jadi di dalam rangkaian ke enam puluh
empat jurus pedangnya, aku hanya berhasil menemukan tiga buah
celah. Sebuah ilmu silat yang pantas dipuji dan diacungi jempol!"
Perlu diketahui, dengan kesempurnaan ilmu silat yang dimiliki Busiang
Cinjin, dia tidak bakal memandang sebelah mata pun terhadap
ilmu pedang biasa. Baginya, asal dalam sepuluh jurus hanya
ditemukan dua tiga buah celah saja, baginya sudah dianggap luar
biasa. Karena itu hampir semua yang hadir segera berpikir, "dalam ke
enam puluh empat jurus ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat milik Hian
Tin-cu, Ciangbunjin hanya menemukan tiga buah celah, tidak heran
kalau beliau sangat memuji kehebatan lawannya."
Kini semua orang pun ikut menghembuskan napas lega, dengan
berhasilnya Bu-siang Cinjin mene-mukan celah dalam jurus pedang
lawan, tidak sulit lagi baginya untuk meraih kemenangan.
Terdengar Bu-siang Cinjin berkata lebih lanjut, "Setelah
menemukan ke tiga celah tersebut, perasaan hatiku malah sedikit
agak gugup. Celah pertama muncul di saat ia menggunakan jurus
pedang ke tiga puluh tujuh, seandainya dia mengulang sekali lagi
permainan pedangnya berdasarkan urutan jurus, bukankah sampai
jurus ke seratus satu aku baru bisa mengungguli dia?"
Berbicara sampai disini, tanpa terasa dia menyeka peluh yang
membasahi jidatnya. Put-po seperti juga rekan-rekan seperguruan lainnya yang berada
di bawah panggung, segera berseru dengan rasa ingin tahu, "Betul
juga, kenapa tidak terpikirkan olehku akan masalah ini. Ciangbun
Supek, lantas pada jurus ke berapa kau berhasil mengungguli
dirinya?" "Untung saja ketika menggunakan ilmu pedangnya untuk ke dua
kalinya, dia tidak menyerang secara berurutan melainkan memakai
secara acak. Pada serangan yang ke dua puluh tujuh, dia telah
menggunakan jurus pedangnya ke empat puluh delapan. Begitu
celah dari jurus pedang ini muncul, aku pun langsung menggunakan
cara pemecahan jurus yang telah ku-persiapkan sebelumnya.
"Begitu jurus itu selesai kugunakan, tubuhku langsung melompat
keluar dari arena pertarungan, sungguh menggelikan, ternyata dia
tidak mengetahui akan hal ini malahan segera membentak, "Kau
mengaku kalah?" "Aku hanya tertawa sambil menuding dadanya dengan ujung
pedang, diapun tundukkan kepala sambil memeriksa, begitu tahu
apa yang terjadi, seketika paras mukanya berubah jadi merah
padam bagai kepiting rebus, dilihat mimik mukanya, kalau bisa,
mungkin dia ingin menyembunyikan wajahnya di dalam lubang
tikus!" Berseri paras muka Put-po sehabis mendengar cerita itu, buruburu
tanyanya, "Supek, kau belum bercerita dengan cara apa
mengungguli dirinya?"
"Aku tidak sampai melukai dirinya, hanya meninggalkan sebuah
tanda kecil diatas baju bagian dadanya. Sewaktu memeriksa
bajunya tadi, rupanya dia sudah menemukan lubang sebesar mata
uang diantara dadanya, jadi diapun segera sadar kalau aku telah
mengampuni jiwanya."
Semua anggota perguruan pun bersorak sorai dengan nada
gembira, beberapa orang diantaranya kembali bertanya, "Setelah
kejadian berkembang jadi begitu, tentunya Hian Tin-cu hanya bisa
mengaku kalah bukan?"
"Tidak, dia tidak mengaku kalah, paling tidak waktu itu perkataan
tersebut tidak sampai dia katakan. Namun paras mukanya berubah
hebat, padahal aku tidak melukainya, tapi tubuhnya gontai bagaikan
lidah api yang dihembus angin, kemudian tahu-tahu roboh ke
belakang." "Orang macam begini memang pantas kalau mampus karena
mendongkol!" Put-po menambahkan sambil tertawa.
Sama sekali tiada perasaan bangga yang terlintas di wajah Busiang
Cinjin, kembali ujarnya dengan serius, "Kalian jangan keburu
senang duluan, si murid kecil yang datang bersamanya segera
memayang bangun gurunya seraya berkata, "Sebenarnya
kedatangan guruku adalah mencari gurumu untuk beradu pedang,
kini kau telah mewakili gurumu untuk memenangkan pertarungan
ini, sayang usiaku sekarang masih kecil hingga tidak bisa terjun ke
arena pertarungan. Tapi harap diingat saja, suatu saat bila aku telah
selesai berlatih silat, kabulkan permintaan-ku untuk bertanding
sekali lagi melawanmu. "Sebetulnya aku ingin menolak, siapa tahu Hian Tin-cu berkata
pula, "Kekalahanku hari ini bukan disebabkan ilmu pedang Hui-engkiam-
hoat ku tidak mampu menandingi Thay-kek-kiam-hoat mu,
masalahnya akulah yang belum berhasil menguasai ilmu pedang itu
secara sempurna. Bila kau takut kuwariskan ilmu ini kepada muridku
dan dikemudian hari datang mencari balas, lebih baik bunuhlah kami
sekarang juga!" "Muridnya lebih sadis lagi, dia cabut keluar pedangnya seraya
berteriak, "Betul, sebetulnya aku tidak pantas mohon kesempatan
seperti itu kepadamu. Mari, mari, mari, sekarangjuga mari kita
bertanding!" "Hatiku jengkel bercampur geli setelah mendengar teriakannya
itu, akupun menjawab, "Sayang aku belum punya murid, kalau


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak, pasti akan kusuruh muridku bertanding melawanmu. Kalau
aku sendiri sih tidak bakal bertarung melawanmu."
"Kembali muridnya berkata, "Aku rasa lebih baik kau saja yang
bertanding melawanku, lebih baik lagi kalau dilakukan hari ini."
"Kenapa?" tanyaku.
"Karena kalau kita bertaring hari ini, kau masih bisa
membunuhku segampang membalikkan telapak tangan. Jika hari ini
kau membebaskan aku, mungkin kau malah menyesal bila suatu
hari kelak aku datang lari mencarimu!" kata muridnya.
"Tiba tiba mendiang guruku berkata, "Bagus, bagus sekali!
Muridmu masih muda usia tapi semangatnya hebat!"
Saat itu Hian Tin-cu kelihatan tertegun kemudian segera berkata,
"Kalau begitu kau sudah mengabulkan permin-taan muridku?"
"Untuk muridmu akupun mempunyai satu permintaan kecil," kata
mendiang guruku lagi. "Silahkan Ciangbunjin katakan."
"Peristiwa yang terjadi hari ini hanya diketahui kita berdua serta
murid kita. Tolong jangan sampai kau ceritakan kepada orang
lain...." Dengan mengulangi pesan tersebut, maksud mendiang guruku
sudah jelas yaitu demi menjaga nama baik Hian Tin-cu.
Dengan wajah sedikit menyesal Hian Tin-cu menyahut juga,
walau setelah termenung sesaat, "Baiklah, kuterima niat baikmu itu,
tapi budi ini hanya terbatas pada diriku seorang."
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Selama aku masih hidup, selamanya aku akan berterima kasih
atas budi kebaikanmu ini. Tapi setelah aku meninggal, aku tidak
ingin muridku terikat oleh budi ini, jadi saat tersebut janji ini batal."
Saat itulah aku baru mengerti, rupanya dia khawatir bila
muridnya berhasil menangkan pertarung-an pedang di kemudian
hari, kami akan menggunakan hal tersebut untuk mengikat
kebebasan muridnya. "Waktu itu sebenarnya aku rada jengkel, maka sahutku, "Baik,
aku setuju, Cuma dibandingkan muridmu, usiaku tiga puluh tahun
lebih tua, moga-moga saja muridmu bisa segera menyelesaikan
latihannya hingga keburu bertemu aku."
Muridnya pun berkata, "Baik, akupun berjanji, sampai waktunya
aku pasti akan memberi kesempatan kepadamu untuk memilih. Jika
saat itu kau sudah kelewat tua, silahkan saja menyuruh muridmu
untuk mewakili atau kau boleh memilih seorang murid perguruanmu
yang paling hebat ilmu silatnya untuk melawanku. Pokoknya
terlepas beberapa puluh tahun lagi kejadian ini bakal terealisasi,
janji ku tetap berlaku!"
Mendengar sampai disini, semua yang hadirpun ikut tercekat
perasaan hatinya, mereka tidak mengira murid Hian tin-cu walau
masih kecil usianya, namun perasaan hatinya sudah dipenuh pikiran
untuk membalas dendam yang begitu tebal, kenyataan seperti ini
benar-benar sangat menakutkan.
Sekarang semua orang baru mengerti mengapa Ciangbunjin
mereka mengingat dengan begitu jelas atas kejadian yang lampau,
sejak menjabat sebagai Ciangbunjin, hingga kini Bu-siang Cinjin
sudah memangkunya hampir tiga puluh lima tahun lamanya, itu
berarti kejadian itu berlangsung dua tahun sebelumnya.
Diam-diam Bu-liang Totiang berpikir, 'Berarti gara gara membuat
pahala besar dalam peristiwa tersebut, maka dia diangkat menjadi
Ciangbunjin' Sementara Put-po juga ikut bertanya, "Peristiwa itu sudah
berlangsung tiga puluh enam tahun berselang, selama ini apakah
murid Hian Tin-cu itu pernah datang mencarimu?"
"Belum pernah," Bu-siang Cinjin menggeleng, "tapi aku tahu dia
pasti akan datang." Dengan nada sedikit ragu kembali Put-po berkata, "Jika murid
Hian Tin-cu masih hidup, seharusnya dia sudah menjadi seorang
jago pedang yang tersohor namanya dalam dunia persilatan, kenapa
kami belum pernah mendengar kalau dari Kun-lun-pay pernah
muncul seorang jagoan lihay?"
"Perkataanmu tepat sekali, dia memang sudah lama tersohor
dalam dunia persilatan sebagai seorang jago pedang, tapi menurut
dugaanku, mungkin dia baru akan mengungkap identitasnya sebagai
murid Kun-lun-pay setelah berhasil mengalahkan diriku."
Hiruk pikuk pun segera menggema di arena, semua orang mulai
berbisik bisik sambil menduga siapa gerangan orang itu.
"Ciangbunjin, cepat katakan siapa gerangan orang itu," akhirnya
Put-po berseru dengan perasaan gelisah.
"Diantara sekian banyak jago pedang yang tersohor dikolong
langit, kecuali Bu-si tianglo dari Bu-tong-pay, siapa lagi yang
namanya amat tersohor?"
"Dia adalah Pa-san-kiam-kek (jago pedang dari bukit Pa-san) Kok
Thi-keng yang bergelar Kiam-sin (Dewa pedang). Tapi rasanya dia
berasal dari Khong-tong-pay?" sahut beberapa orang murid.
"Masih ada seorang lagi yang tersohor berbareng dengan
dirinya?" Sesudah agak ragu sejenak kata Put-po, "Menurut apa yang tecu
ketahui, belakangan diantara jago jago persilatan yang berasal dari
wilayah barat-laut, muncul seseorang yang disebut Kiam-seng
(Malaikat pedang), kemunculannya paling baru enam, tujuh tahun
tapi kebesaran namanya luar biasa sekali. Tapi kalau dibilang
ketenarannya sejajar dengan Pa-san-kiam-kek, aku rasa belum
tentu begitu. Banyak orang-menduga meski dia bergelar Malaikat
pedang namun dalam kenyataan kehebatannya belum sebanding
dengan kemampuan Dewa pedang."
"Apa alasanmu sampai bisa berpendapat begitu?"
"Pa-san-kiam-kek sudah dua puluh tahun tersohor dalam dunia
persilatan tanpa sekali pun menemukan lawan tangguh. Konon
ketua Ceng-sia-pay serta Go-bi-pay pernah bertarung melawannya
tapi berakhir keok tanpa ampun. Sementara manusia yang bernama
Malaikat pedang itu tidak jelas asal usulnya, bahkan tidak ada yang
tahu siapa nama sebenarnya. Aku rasa paling banter dia juga hanya
seorang tokoh misterius dari wilayah barat-laut. Belum pernah
kudengar ada jago dari golongan lurus yang pernah kalah di
tangannya." "Kau keliru besar," ucap Bu-siang Cinjin, "justru karena dia
adalah seorang jago pedang misterius dari wilayah barat-laut yang
belum pernah masuk wilayah Tionggoan, maka para jago daratan
Tionggoan tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dan mengira
namanya lebih besar ketimbang kemampuannya."
"Kalau begitu Ciangbun Supek sudah sangat mengetahui tentang
orang ini?" "Tidak bisa dibilang aku sangat mengetahui kepandaian orang ini,
tapi ada satu hal aku mengetahui secara pasti. Walaupun belum
pernah ada jagoan Tionggoan yang pernah bertarung melawannya,
tapi ada seorang jago pedang yang sangat terkenal pernah
bertarung melawan dia."
"Siapa?" tanya Put-po.
"Dia tidak lain adalah jagoan yang kau sebut sebagai si Dewa
pedang itu, Pa-san-kiam-kek (jago pedang dari bukit Pa-san) Kok
Thi-ceng!" "Pa-san-kiam-kek pernah bertarung melawannya" Bagaimana
akhir pertarungan itu?" seru Put-po terkejut.
"Tiga tahun berselang, ketika Pa-san-kiam-kek sedang pesiar ke
wilayah Hui, secara kebetulan mereka saling bertemu hingga
terjadilah satu pertarungan sengit.
"Waktu itu tidak ada jago silat lain yang hadir sehingga tidak
seorangpun yang tahu bagaimana kejadian sesungguhnya. Tapi
menurut cerita Pa-san-kiam-kek kepada ketua Ceng-sia-pay setelah
peristiwa itu, sebutan Dewa pedang dan Malaikat pedang memang
tidak sepandan untuk disejajarkan!"
"Kalau begitu Malaikat pedang menganggap namanya lebih hebat
daripada Dewa pedang?"
"Yang dimaksud tidak sepandan belum sampai taraf itu, dia
hanya bilang harus dibedakan siapa diatas siapa dibawah."
"Tapi dalam kenyataan, orang yang menyebut diri Malaikat
pedang itu tidak mampu mengalahkan Pa-san-kiam-kek yang lebih
dikenal sebagai Dewa pedang bukan?"
"Justru sebaliknya, Pa-san-kiam-kek merasa gelarnya sebagai
dewa pedang sudah sepantasnya diserahkan untuk orang itu, sebab
dewa selalu berada diatas malaikat."
"Jadi Dewa pedang pun beranggapan bahwa kemampuannya
Pendekar Jembel 2 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Neraka Hitam 8
^