Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 6

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 6


masih jauh di bawah kehebatannya?" seru Put-po terperanjat,
"padahal selama ini Dewa pedang selalu tinggi hati, betulkah dia
sampai berkata begitu?"
"Sama sekali tidak bohong, dia benar-benar berkata begitu.
Malah ucapan tersebut diutarakan Pa-san-kiam-kek kepada
Ciangbunjin Ceng-sia-pay. Selama ini hubungan ketua Ceng-sia-pay
dengan Put-coat sangat akrab, dialah yang mengatakan sendiri
kepada Put-coat. Jadi aku rasa tidak bakal keliru lagi."
Menyinggung kembali soal muridnya yang telah meninggal,
sedikit banyak muncul juga perasaan sedih dihati kecil Bu-siang
Cinjin. "Aku bukannya menaruh curiga kalau Put-coat Suheng
menyampaikan berita salah, aku.... aku.... aku hanya...."
Siapa pun dapat menangkap maksud hatinya, jelas Put-po dibuat
sangat terkejut hingga 'tidak berani' percaya kalau semuanya itu
merupakan kenyataan. "Peristiwa ini berlangsung tiga tahun berselang, usia orang itu
sepuluh tahun lebih muda daripada usia Pa-san-kiam-kek, setelah
lewat tiga tahun, aku rasa kemampuan ilmu pedangnya saat ini
mungkin sudah jauh lebih hebat daripada kemampuan Pa-san-kiamkek."
"Jadi orang ini adalah murid cilik Hian Tin-cu waktu itu?"
"Sebelum ini aku masih agak ragu, tapi sekarang aku sudah
sangat yakin. Betul, tokoh yang bergelar Malaikat pedang ini tidak
lain adalah murid Hian Tin-cu waktu itu, Siang Thian-beng!"
Begitu nama murid Hian Tin-cu disebutkan Bu-siang Cinjin, Putpay
yang sudah sering berkelana dalam dunia persilatan langsung
berteriak kaget, "Aaaah, tidak heran kalau begitu!"
Waktu itu semua orang sedang mendengarkan cerita dengan
asyik, ketika mendengar dia memotong perkataan Ciangbunjin,
sebagian orang segera mendesis, sebagian lagi memandang dengan
penuh amarah. Sambil tersenyum Bu-siang Cinjin berkata, "Kebetulan sekali aku
memang ingin beristirahat sejenak, Put-pay, coba kau saja yang
bercerita, dimana letak keanehannya."
Sambil berkata dia segera duduk kembali, tosu cilik yang
melayaninya buru-buru menyiapkan air teh.
Kelihatannya setelah berbicara sekian lama, dia benar-benar
mulai merasa lelah. Put-pay pun menyambung perkataannya, "Musim semi tahun ini,
kebetulan aku sedang lewat di kota Ci-lam di wilayah Soa-tang,
waktu itu kudengar satu berita baru yang menggemparkan dunia
persilatan. Tentunya kalian semua tahu bukan siapa busu paling
tersohor di wilayah Soa-tang?"
Put-po mendengus dingin. "Hmm, siapa lagi kalau bukan orang yang menganggap ilmu
pedangnya jauh lebih tinggi dan hebat ketimbang ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat dari Bu-tong-pay, Ciangbunjin dari Bu-kek-pay
Cong Liu-tong." "Benar, dia namakan ilmu pedang hasil ciptaannya sebagai ilmu
pedang Bu-kek-kiam-hoat (ilmu pedang tanpa batas), adapun nama
ini diambil berdasarkan teori bahwa. Bu-kek menciptakan Thaykhek,
Thay-kek menciptakan Ji-gi (positip dan negatip), Ji-gi
menghasilkan Su-siang (dalam positip ada negatip, dalam negatip
ada positip) dan Su-siang menghasilkan Pat-kwa.
"Ciangbunjin serta dua orang tianglo memang tidak sudi ribut
dengannya, tapi aku sangat tidak puas dengan kecongkakan dan
kejumawaannya, terus terang, ketika kebetulan lewat di kota Ci-lam
tempo hari, pernah terlintas dalam ingatanku untuk menjajal
kemampuannya, siapa tahu dua hari sebelum kulakukan
keinginanku itu, ternyata ada orang lain yang telah mewakiliku
untuk melakukan hal tersebut."
"Meskipun Cong Liu-tong memang jumawa dan takabur, namun
ilmu pedang ciptaannya memang sangat mirip dengan ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat kita, menggunakan kelembutan untuk
mengalahkan kekerasan. Kau tidak boleh kelewat pandang enteng
dia. Siapa yang berhasil mengalahkan dia?" kata Bu-si Tojin.
"Seorang dusun yang sangat asing dan aneh, konon waktu itu
Cong Liu-tong sedang melatih anak muridnya bermain pedang di
halaman dalam, entah siapa yang mempersilahkan tamu aneh itu
masuk, tiba tiba saja dia sudah muncul persis dihadapannya. Saat
itu seorang putra Cong Liu-tong yang baru berusia tujuh tahun
sedang bermain dengan sebilah pedang kayu.
"Ketika Cong Liu-tong menegur apa maksud kedatangan orang
itu, orang dusun itupun menjawab, "Tidak bermaksud apa-apa, aku
hanya ingin ikut bermain denganmu, mumpung kelihatannya kau
sedang gembira. Adik cilik, boleh aku pinjam pedang kayu mu
sebentar, biar aku bermain dengan ayahmu."
"Mendengar orang itu mau bermain dengan ayahnya, dengan
senang hati bocah itupun meminjam pedang kayunya.
"Cong Liu-tong menyangka orang itu setengah gila, diapun
segera menghardik, "Siapa bilang aku mau bermain denganmu"
Cepat pergi, cepat pergi, kalau tidak akan kulempar tubuhmu keluar
dari sini!" Orang desa itu kembali berkata, "Biar kau tidak ingin bermain
denganku pun kau tetap harus menemani! Adik cilik, lihat baik-baik,
jangan sampai kelewatan!"
Setelah menarik napas, kembali Put-pay melanjutkan, "Waktu itu
Cong Liu-tong sedang melatih murid muridnya ilmu pedang
sehingga dalam tangannya masih menggenggam sebilah pedang
yang belum sempat diloloskan dari sarungnya. Sebagai seorang
ketua satu perguruan besar, tentu saja dia tidak ingin bertarung
melawan seseorang yang hanya memegang pedang kayu dengan
sebilah pedang mestika. Tapi mau berkelit dari pertarungan pun
sulit baginya, karena sambil berbicara orang dusun itu sudah
menggunakan pedang kayu nya untuk menusuk tenggorokannya.
Dua orang muridnya buru-buru mendorong tubuh orang dusun itu,
tapi sayang tidak nampak bagaimana dia bergerak, tahu-tahu ke
dua orang murid Cong Liu-tong itu sudah terlempar sejauh tiga
depa lebih dari posisi semula!"
Mendengar sampai disitu, Put-po tidak dapat menahan rasa
kagetnya lagi, dia segera menjerit keras, "Haaah" Bukankah itu
adalah ilmu Can-ih-cap-pwe-tiap (menempel baju tersungkur
delapan belas kali) yang sangat lihay!"
"Betul, itulah sebabnya mau tidak mau Cong Liu-tong harus
menangkis datangnya tusukan itu, dia sambut datangnya serangan
dengan menggunakan pedangnya, dalam perkiraannya tangkisan itu
pasti dapat mematahkan pedang kayu itu, siapa sangka....
hehehehe.... coba kalian tebak apa jadinya?"
"Bagaimana pun juga Cong Liu-tong adalah seorang ketua partai,
tentunya dia tidak sampai dikalahkan pihak lawan dengan pedang
kayunya dalam satu jurus saja bukan" Orang dusun itu
membutuhkan beberapa gebrakan untuk bisa mengalahkan
dirinya?" "Jangankan kau salah menduga, mungkin Cong Liu-tong sendiri
mimpipun tidak pernah menduga akan hal ini. Konon sebelum
beberapa orang murid Cong Liu-tong sempat melihat jelas apa yang
terjadi, diantara percikan bunga api yang menyebar ke empat
penjuru, tahu-tahu pedang dalam genggaman Cong Liu-tong sudah
mencelat dari genggamannya. Jumlah jurus yang digunakan tidak
sampai tiga gebrakan! Itupun dikatakan sendiri oleh Cong Liu-tong
sesudah kejadian." Semua orang terbelalak kaget sehabis mendengar kisah cerita
itu. Tidak tahan Put-po bertanya, "Bagaimana dengan pedang
kayunya?" "Kebetulan pedang baja milik Cong Liu-tong terjatuh di sisi tubuh
putranya, orang dusun itu berjalan menghampiri sambil
menyerahkan kembali pedang kayu itu ke tangan putranya,
kemudian ujarnya, "Adik cilik, coba lihat, bukankah pedang kayu mu
masih utuh" Coba perhatikan lagi pedang baja milik ayahmu itu,
bukankah ada gumpilan besar di mata pedangnya?"
"Bukan hanya putra Cong Liu-tong yang dapat menyaksikan
dengan jelas, seluruh murid Cong Liu-tong yang berada di seputar
arena pun dapat menyaksikan dengan jelas sekali. Dalam keadaan
begini, siapa lagi yang berani tampil ke depan untuk
menghalanginya" "Dalam keheningan, orang dusun itu berkata lagi, "Pedang kayu
tetap utuh, pedang baja justru gumpil. Adik cilik, bagus tidak
permainanku dengan ayahmu ini?"
"Dasar anak kecil yang tidak tahu apa-apa, bocah itu malah
bertepuk tangan sambil memuji, "Bagus sekali, bagus sekali,
maukah kau ajarkan kepandaian itu kepadaku?"
"Sambil tertawa orang dusun itu menyahut, "Adik cilik, tidak
sepatutnya aku membohongimu, aku bukan sedang bermain sulap,
kepandaian ini namanya kungfu. Maaf, biar saat ini kuajarkan
kepadamu pun belum tentu kau mampu mempelajarinya," selesai
berkata dia pun beranjak pergi dari situ.
"Pucat pias selembar wajah Cong Liu-tong, katanya dengan nada
sedih, "Kepandaian pedangmu memang luar biasa, aku orang she
Cong mengaku kalah. Boleh tahu siapa namamu?"
"Aku hanya seorang Bu-beng-siau-cut," jawab orang dusun itu
kemudian, "buat apa musti meninggalkan nama" Aku sendiripun
tidak berniat mencari gara gara denganmu."
"Sambil memungut pedangnya dari tanah ujar Cong Liu-tong lagi,
"Bila meninggalkan nama pun kau tidak sudi, buat apa aku orang
she Cong hidup terus dikolong langit."
"Melihat lawannya berniat bunuh diri, terpaksa orang dusun itu
berkata lagi, "Sebenarnya aku hanya bermaksud main-main
denganmu, baiklah kalau memang ingin mengetahui namaku, aku
bernama...." Tiba-tiba dia mengayunkan segenggam mata uang ke atas tiang
bangunan, mata uang itupun berjajar diatas kayu membentuk tiga
huruf "Siang Thian-beng".
"Selesai meninggalkan namanya, orang dusun itu pun pergi
tanpa bicara lagi. Sementara Cong Liu-tong serta anak muridnya
hanya bisa saling berpandangan tanpa mengucapkan sepatah kata
pun!" Begitu Put-pay selesai menyampaikan 'berita terbaru" itu, seluruh
anak murid Bu-tong-pay saling berpandangan tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Ada diantara mereka yang berpikir begini, "Jikalau Siang Thianbeng
bertarung melawanku, mungkinkah akupun masih sanggup
menahan tiga jurus serangannya?"
Tapi ada juga yang berpikir lebih mendalam, "Usia Ciangbunjin
sudah uzur, meskipun dari kedua orang tianglo yang ada, satu amat
menguasai ilmu tenaga dalam (Bu-liang) dan yang lain hebat ilmu
pedangnya (Bu-si), tapi rasanya masih sulit untuk menandingi
kesempurnaan tenaga dalam maupun ilmu pedang yang dimiliki
Siang thian-beng. Andaikata dia muncul di Bu-tong secara tiba-tiba
dan menantang berduel, siapa yang sanggup mewakili perguruan
untuk mempertahankan nama baik?"
Setelah termenung beberapa saat lamanya, Put-po pun
bergumam, "Sungguh tidak kusangka Ciangbunjin dari Bu-kek-pay
keok ditangan Siang Thian-beng hanya dalam tiga gebrakan saja,
kali ini Cong Liu-tong benar-benar sudah ketimpa nasib sial."
"Benar, ujar Put-pay kembali, "ketika aku sedang lewat di kota
Ci-lam musim semi ini, peristiwa itu belum lama terjadi, saat itu
masih banyak umat persilatan yang sedang merundingkan masalah
ini, tidak ada yang tahu asal usul Siang Thian-beng, dan satu hal
yang membuat semua orang tidak habis mengerti adalah antara
Cong Liu-tong dengan Siang Thian-beng ternyata tidak saling
mengenal, lalu atas dasar apa Siang Thian-beng sengaja
mendatangi tempat tinggal Cong Liu-tong dan meninggalkan aib
yang begitu besar baginya?" Tiba tiba Put-po berkata, "Hal ini
dikarenakan mereka hanya tahu kalau Siang Thian-beng bukanlah
seorang Bubeng Siau-cut seperti apa yang dia katakan, namun sama
sekali tidak menyangka kalau dialah si Malaikat pedang yang sudah
menghebohkan seluruh dunia persilatan."
"Apakah lantaran dia adalah Malaikat pedang lantas boleh
berbuat semena-mena" Cong Liu-tong toh tidak pernah mengusik
atau menyalahi dirinya."
"Pada mulanya aku sendiripun tidak habis mengerti, tapi
sekarang aku sudah paham," perlahan-lahan Put-po berkata, "betul,
Cong Liu-tong memang tidak pernah menyalahi Malaikat pedang,
tapi tujuan sebenarnya dari Siang Thian-beng yang ternyata adalah
muridnya Hian Tin-cu itu sesungguhnya adalah ingin mencari garagara
dengan Bu-tong-pay kita!"
Biarpun Put-pay sedikit lamban pikirannya, namun begitu
dijelaskan dia pun segera menjadi paham kembali, katanya, "Ooh,
mengerti aku sekarang. Ilmu pedang Bu-kek-pay sangat mirip
dengan Thay-kek-kiam-hoat dari Bu-tong-pay kita, oleh sebab itulah
dia sengaja menjajal ilmunya melawan Cong Liu-tong."
"Betul," Put-po mengangguk, "lebih tegasnya, tujuan dia
menantang Cong Liu-tong hanyalah satu pertunjukkan pamer
kekuatan sebelum secara resmi dia tantang perguruan kita untuk
berduel! Krnm, hrnmm, Cong Liu-tong tidak sanggup menghadapi
tiga jurus serangannya bukan berarti tidak ada jago Bu-tong-pay
yang tidak mampu merobohkan dia!"
Kawanan anggota Bu-tong-pay lainnya tidak berani begitu yakin
dan percaya diri seperti apa yang diperlihatkan Put-po, tanpa sadar
sorot mata semua orang dialihkan ke wajah Ciangbunjin.
Setelah meneguk secawan air teh bercampur jinsom, semangat
Bu-siang Cinjin pulih kembali jadi segar, duduk diatas panggung
katanya kemudian lembut, "Tahukah kalian apa sebabnya mendiang
guruku memerintahkan aku untuk menerima tantangan yang tidak
terikat jangka waktunya?"
"Bukankah mereka berdua akan bunuh diri bila kalian tidak
mengabulkan permintaannya?" tanya Put-pay.
"Jawabanmu hanya betul separuh."
"Lantas apa separuh yang lain?"
"Waktu itu mendiang guruku bertanya, orang kuno berkata 'Bila
satu negara tidak ada gangguan dari luar, perlahan dia akan runtuh
sendiri. Mengapa satu negara yang tidak ada gangguan dari luar
malah runtuh dengan sendirinya" Kau mengerti maksudnya" Akupun
menjawab, jika suatu negara seringkali diancam dan diserang
musuh dari luar, maka negara itu pasti akan selalu waspada,
memperkuat angkatan perangnya dan membangkitkan semangat
juang rakyatnya. Sebaliknya bila tiada ancaman yang datang dari
luar, mereka akan mengendorkan kewaspadaan, hidup senang dan
santai, lama-kelamaan hal ini justru akan memperlemah mereka
sendiri. Bila kelemahan semakin berlarut, bila suatu saat benarbenar
ada musuh yang menyerang datang. Maka negara itu akan
runtuh dan musnah dengan sendirinya'.
"Kembali mendiang guruku berkata, "Betul, teori ini bisa
diterapkan juga dalam satu perguruan ilmu silat. Selama ini ilmu
pukulan maupun ilmu pedang Bu-tong-pay selalu disanjung dan
disegani orang, hal ini menyebabkan anggota perguruan kita selama
ini sombong dan jumawa, bahkan seolah-olah menganggap
kemampuan sendiri sudah menjadi nomor satu di kolong langit.
Hian tin-cu berdua memang tidak bisa dikatakan sebagai musuh,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi tujuan mereka jelas adalah ingin mengalahkan ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat dengan ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat nya,
kalau diartikan lebih luas, kedatangan mereka bisa diibaratkan
"serangan musuh dari luar". Tidak lama kemudian aku akan
serahkan posisi Ciangbunjin kepadamu, dengan adanya perjanjian
untuk beradu pedang melawannya, hal ini sama halnya dengan
sebuah cambuk yang selalu akan mengingatkan dirimu agar di
samping selalu berlatih ilmu pedang peninggalan Couwsu, kaupun
harus selalu membina orang orang berbakat agar sampai waktunya
tidak kewalahan untuk mencari calon yang tepat untuk menghadapi
tantangan ini." Berbicara sampai disini diapun telah selesai menjelaskan separuh
alasan yang lain, sesudah berhenti sejenak dan menghela napas
panjang kembali Bu-siang Cinjin berkata, "Aku sudah tiga puluh lima
tahun memangku jabatan sebagai Ciangbunjin, tapi harapan
mendiang guruku belum pernah kulakukan, kalau dipikir kembali
sungguh membuat hatiku menyesal...."
"Suheng, perkataanmu kelewat merendahkan diri sendiri," sela
Bu-liang Totiang cepat, "Put-coat sutit memang sudah mati, tapi
menurut aku ilmu pedang yang dimiliki Put-ji sutit juga tidak kalah
hebatnya, siapa tahu dia sanggup menghadapi murid Hian Tin-cu!"
"Sayang masih belum cukup," Bu-siang Cinjin menggeleng
dengan wajah serius, "aku sebagai seorang Ciangbunjin wajib bicara
sejujurnya dengan kalian semua, jangan lagi kemampuan yang
dimiliki Put-ji masih selisih jauh dibandingkan murid Hian Tin-cu itu,
bahkan Bu-si sute sendiri pun belum tentu mampu menandingi dia.
"Sebab bila suaru hari nanti dia benar-benar berani datang ke
Bu-tong-san untuk menantang berduel, ke tiga celah yang terdapat
dalam ilmu pedang Hui-eng-kiam- hoat nya pasti sudah dibenahi
hingga sempurna. Itu berarti ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat nya
sudah mampu untuk menandingi ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Memang benar belum tentu ilmu pedang yang Bu-si sute miliki bisa
kalah di tangannya, tapi.... tapi...."
"Suheng tidak perlu ragu untuk bicara terus terang," sela Bu-si
Tojin sambil tertawa, "akupun sadar kalau tenaga dalamku sangat
cetek, dalam bidang ini, jangan lagi dengan musuh tangguh, bahkan
melawan Put-ji saja tidak cukup mampu."
"Oleh sebab itulah begitu mendapat tahu kalau Siang thian-beng
telah muncul di daratan Tionggoan, aku pun harus segera
mempersiapkan diri untuk menghadapi serbuan musuh," lanjut Busiang
Cinjin lebih jauh, "setelah berpikir sekian lama, akhirnya aku
pun merasa, satu-satunya jalan hanyalah mengundang Tiong-ciu
Tayhiap Bouw-sute datang ke gunung untuk memimpin perguruan
kita." "Tidak berani," buru-buru Bu-beng bangkit berdiri seraya
menjura. Paras muka Bu-liang Totiang berubah menjadi sangat tidak sedap
di pandang, katanya, "Suheng telah serahkan posisi Ciangbunjin
kepada mu, kenapa kau masih mengatakan tidak berani."
Dengan sikap yang tetap tenang dan kalem Bu-siang Cinjin
segera memberi penjelasan, "Sebetulnya masalah pengangkatan
Ciangbunjin baru merupakan masalah besar yang harus
dirundingkan dulu dengan sute berdua, namun berhubung
masalahnya sangat mendesak, akhirnya aku ambil keputusan secara
sepihak, untuk itu aku berharap sute berdua jangan berkecilhati."
Karena kakak seperguruannya telah berkata begitu, terpaksa Buliang
Totiang dan Bu-si Tojin sama sama berkata, "Perkataan
Suheng terlalu serius, kami percaya pilihan Suheng tidak bakal
salah, untuk bergembira bagi keberuntungan perguruan saja tidak
sempat, masa kami akan berkecil hati?"
Biarpun mengucapkan perkataan yang sama, namun siapa pun
dapat membedakan bahwa Bu-si Tojin bicara dengan tulus,
sementara Bu-liang Totiang masih terbelenggu oleh kesulitan yang
susah diucapkan dengan kata kata.
Selang beberapa saat kemudian kembali Bu-liang Totiang
bertanya, "Suheng, kau mengatakan bahwa masalah ini sudah
sangat mendesak, apakah kau telah memperoleh berita baru?"
"Betul, aku telah menerima kartu nama dari Siang Thian-beng!"
"Hah, kapan menerimanya?" seru Bu-liang Totiang terkejut.
"Pagi tadi!" Bu-liang Totiang segera teringat kalau pagi tadi muridnya yang
mendapat tugas untuk berpatroli di depan gunung, seandainya
Siang Thian-beng telah mengutus orang untuk menghantar kartu
namanya, tidak mungkin Put-pay tidak mengetahui akan hal ini, tapi
mengapa tidak melapor kepadanya"
Begitu timbul perasaan curiga, tanpa terasa dia pun melotot ke
arah muridnya. Waktu itu Put-pay sedang merasa sangat mendongkol,
menggunakan kesempatan itu segera teriaknya, "Suhu, jangan
salahkan aku karena tidak melapor, waktu itu aku terluka lagipula
tidak tahu kedatangan kedua orang itu untuk menghantar kartu
nama siapa. Saat itu kebetulan Bu-beng susiok baru tiba di gunung,
dialah yang telah mewakili Ciangbunjin untuk mene-rima kartu
tersebut." "Sebenarnya apa yang telah terjadi?" tanya Bu-liang Totiang
dengan kening berkerut. Put-pay mengalihkan sorot matanya ke wajah Ciangbunjin, Busiang
Cinjin pun berujar, "Put-pay, coba kau ceritakan kembali kisah
pengalaman mu pagi tadi kepada semua orang."
Sementara Bu-liang Totiang berpikir dalam hati, "Kenapa kartu
nama itu disampaikan oleh Bu-beng" Bisa jadi dibalik kesemuanya
ini masih terdapat hal lain yang tidak beres."
Berpikir begitu diapun berkata, "Jadi kalau begitu kedua orang
utusan yang dikirim Siang Thian-beng benar-benar kelewat kurangajar."
"Sebetulnya tidak bisa salahkan orang lain sebab waktu itu Putpay
turun tangan lebih dulu, peristiwa ini hanya boleh dibilang satu
kesalahan paham saja, tapi ke dua orang itupun telah memperoleh
hukuman sewajarnya dari Bu-beng sute. Jadi kalau dihitung
kembali, sebetulnya Bu-tong-pay kita tidak sampai kehilangan
muda. Hanya saja yang aku khawatirkan sekarang adalah
kemampuan Siang Thian-beng, kalau dua orang pembantunya saja
sudah begitu hebat kungfunya, apalagi kemampuan Siang Thianbeng
sendiri." Bu-liang Totiang mendongakkan kepalanya meme riksa keadaan
cuaca sebentar, lalu ujarnya, "Menurut kebiasaan yang berlaku
dalam dunia persilatan, setelah kartu nama dipersembahkan, yang
bersangkutan pasti akan munculkan diri. Kini tengah hari sudah
lewat, kenapa masih belum nampak orang itu munculkan diri?"
"Asal tidak melewati hari yang sama, hal ini tidak terhitung
melanggar kebiasaan," sahut Bu-si Tojin.
"Lantas bagaimana kalau dia baru datang malam nanti" Masa kita
semua harus menunggunya terus di tempat ini" Kemudian masalah
pemilihan Ciangbunjin baru bukankah sebaiknya ditunda sampai
persoalan ini selesai dulu kemudian baru ditentukan" Atau mungkin
mau diputuskan sekarang juga" Suheng, kau jangan salah mengira
aku keberatan atas pengangkatan Bu-beng sute menjadi penerus
Ciangbunjin, tapi aku toh tidak bisa mewakili seluruh anggota
perguruan untuk memberikan pendapat. Mengikuti kebiasaan yang
berlaku dalam dunia persilatan, mau tidak mau aku harus
mengajukan pertanyaan ini."
Sebagaimana kebiasaan yang berlaku dalam dunia persilatan,
andaikata timbul perbedaan pendapat tentang calon terpilih sebagai
Ciangbunjin baru, maka di samping harus memperoleh persetujuan
dari para tianglo, harus didengar pula pendapat dari sebagian besar
anggota perguruan lainnya.
Tadi, Put-po sudah mengemukakan pendapatnya bahwa dia baru
akan mengambil keputusan mendukung Bu-beng sebagai ketua baru
atau tidak setelah dia menyaksikan kemampuan ilmu silatnya,
kendatipun pendapatnya bukan merupakan pendapat sebagian
besar anggota perguruan, paling tidak ada sebagian orang yang
berpendapat sama. Sementara Bu-siang Cinjin sengaja menyisipkan kisah ceritanya
tentang "peristiwa pada tiga puluh enam tahun berselang" pun tidak
lebih karena dia berharap bisa mencegah keinginan Put-po yang
bersikeras ingin beradu kepandaian melawan ketua baru.
Kendati pun hingga kini dia belum sampai mengungkap secara
jelas, semua orang juga tahu kalau ketua mereka memang sengaja
hendak memberikan kesempatan bertarung melawan Siang Thianbeng
ini kepada Bu-beng. Andaikata Bu-beng berhasil memenangkan pertarungan ini, maka
peristiwa itu akan semakin membuktikan kalau kepandaian silat
yang dimilikinya memang jauh melebihi orang lain.
Oleh karena hingga kini perundingan masih belum menemui
kesimpulan akhir, maka sekali pun di mulut mereka sudah
memberikan persetujuannya, bukan berarti dikemudian hari tidak
boleh berubah pikiran. Atau dengan perkataan lain siapa calon
Ciangbunjin baru masih belum ada kepastian.
Sesudah termenung beberapa saat akhirnya Bu-siang Cinjin
berkata, "Begini saja, mari kita menunggu satu jam lagi, jika Siang
Thian-beng belum muncul juga, kita boleh membubarkan diri."
"Baiklah, kalau begitu ijinkanlah aku untuk mengundurkan diri
lebih dulu," kata Bu-liang Totiang "aku akan memeriksa dulu
bagaimana keadaan luka yang diderita Put-pay."
Waktu itu Put-pay sedang berdiri di samping Put-ji, begitu turun
dari mimbar, Bu-liang Totiang langsung berjalan ke sisi mereka
berdua, dengan lagak seakan mengkhawatirkan keadaan luka
muridnya, dia periksa sejenak tubuh Put-pay sambil berbasa basi,
sementara secara diam-diam dia menghimpun tenaga dalamnya dan
mengirim suara ke telinga Put-ji.
Tenaga dalam yang dimiliki Put-ji saat itu selisih tidak jauh dari
kemampuannya, apalagi dalam jarak sedekat ini mereka berbicara
dengan menggunakan ilmu Coan-im-jip-pit, bukan saja Bu-siang
Cinjin dan Bu-si Tojin sekalian yang berada diatas mimbar tidak
dapat mendengar suara pembicaraan itu, bahkan Put-pay yang
berdiri di samping Put-ji pun tidak dapat mendengarnya.
"Put-ji," bisiknya, "kau jangan sampai tertipu oleh Bouw Cionglong!
Siapa tahu mereka sudah bersekongkel dengan si Malaikat
pedang Siang Thian-beng, kau memahami maksudku bukan?"
Padahal Put-ji adalah seseorang yang licik dan banyak akal, tidak
perlu diingatkan orang lain pun dia sudah berpikir sampai ke situ.
Waktu itu pikirnya, "Aku tidak boleh mengendorkan kewaspadaanku
dengan tidak menaruh curiga terhadap mereka, sekali pun Malaikat
pedang benar-benar adalah murid Hian Tin-cu di masa lalu, tidak
menjamin antara dia dengan Bouw Ciong-long sama sekali tidak ada
hubungan." Kembali Put-ji berpikir, 'Pertarungan antara jago tangguh,
menang kalah hanya ditentukan satu garis tipis. Antara menang dan
kalah pun ibarat orang minum air, dingin atau hangat segera akan
ketahuan. Andai kata mereka sudah bersekongkel lebih dulu, belum
tentu Ciangbun Suhu bakal mengetahuinya. Bagi Siang Thian-beng,
jelas tujuannya adalah ingin tersohor di seantero jagad, namun dia
nampaknya tidak yakin bisa mencapai tujuan tersebut. Andaikata
Bouw Ciong-long bersedia memberikan keuntungan besar baginya,
apa salahnya kalau dia pun mengalah dalam pertarungan. Bu-tongpay
jelas merupakan satu partai besar dalam dunia persilatan, bila
Iantarannya mengalah dalam perta-rungan sehingga Bouw Cionglong
dengan mulus menjadi Ciangbunjin, mungkin saja keuntungan
yang diperolehnya di kemudian hari akan jauh lebih banyak."
Melihat dia manggut-manggut, sambil tersenyum Bu-liang
Totiang berkata lagi, "Baguslah bila kau sudah mengerti maksudku,
aku percaya kau adalah orang pintar, bila Siang Thianbeng benarbenar
datang memenuhi janji nanti, tentunya kau juga sudah
mengerti bukan apa yang musti dilakukan."
Semua pembicaraannya dengan Put-ji dilakukan dengan
menggunakan ilmu menyampaikan suara, selain mereka berdua,
orang lain tidak ada yang mendengar pembicaraan tersebut.
Pada saat itulah mendadak dari tempat kejauhan berkumandang
suara gelak tertawa yang amat nyaring, begitu nyaring suaranya
bagaikan pekikan bangau sakti yang baru turun dari langit.
"Siapa yang datang, berani amat bersikap kurang ajar!" bentak
Bu-liang Totiang nyaring.
Begitu keras suara bentakan tersebut, membuat ratusan anggota
Bu-tong-pay yang hadir disana merasakan telinganya mendengung
keras. Padahal dia sudah dapat menduga siapa yang telah datang, tapi
dia memang berniat pamer kekuatan untuk menggertak lawan, di
samping itu juga ingin menunjukkan kebolehannya di hadapan Bubeng.
Baru selesai dia bertanya, orang itu sudah menyahut dengan
nada dingin, "Tentunya kau adalah ketua tianglo dari Bu-tong-pay,
Bu-liang Totiang bukan" Hehehehe.... konon dalam Bu-tong-pay,
selain Bu-siang Cinjin, tenaga dalammu terhitung paling hebat,
ternyata nama besarmu bukan nama kosong saja. Sayangnya aku
tahu siapa kau sementara kau tidak tahu siapa aku, jika kau sudah
tahu siapa aku, tidak nanti berani menuduhku bersikap kurang
ajar!" Sewaktu dia mulai berbicara, bayangan tubuhnya sama sekali
belum menampakkan diri. Suara itu memang tidak terlampau keras,
tapi herannya, setiap orang yang berada dalam arena dapat
merasakan, seolah orang itu sedang berbicara di samping telinga.
Di antara sekian banyak anggota Bu-tong-pay, ilmu silat mereka
memang ada yang lihay ada pula yang cetek, namun rata-rata
memiliki pengetahuan yang sangat luas, dari demonstrasi yang
dilakukan orang tersebut, mereka dapat menyimpulkan bahwa
kemam-puan orang itu nampaknya jauh lebih lihay setingkat
ketimbang ketua tianglo mereka.
Belum habis pikiran melintas, tahu-tahu bayangan tubuh orang
itu sudah muncul dihadapan mereka semua.
Ketika sorot mata semua orang dialihkan ke wajah nya, maka
terlihatlah wajah seorang lelaki yang pucat pasi tanpa warna darah,
bahkan kaku tanpa perasaan seolah-olah sesosok mayat hidup yang
baru bangkit dari kuburan.
Kembali semua orang tertegun dibuatnya. Kalau ditinjau dari
gelak tertawa yang nyaring dan lantang tadi, semua orang mengira
orang tersebut tentulah seseorang yang jumawa dan sombong,
siapa sangka orang yang muncul justru mayat hidup yang
membawa bau kematian. Dengan suara nyaring Put-po segera membentak, "Aku tidak
perduli siapakah dirimu, segera lepaskan pedangmu!"
Sembari menghardik, dengan jurus 'merampas pedang" dia bacok
pergelangan tangan orang itu.
"Huuuh, peraturan bau dari mana itu?" jengek orang itu sambil
tertawa dingin, dia sama sekali tidak meloloskan pedangnya
malahan dengan sarung pedang balas menyodok jari tangan Put-po.
Berbarengan itu ada dua orang sama-sama membentak nyaring,
"Kau berani melanggar peraturan yang dibuat pihak Kerajaan?"
"Jangan menodai pesan para leluhur, setiap orang musti
mentaati peraturan yang berlaku disini!"
Perkataan pertama berasal dari Put-pay sementara perkataan ke
dua berasal dari Put-po. Sementara berbicara, jari tangannya
dengan bertindak sebagai pedang menghindari serangan lawan


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian melancarkan serangan balasan, kali ini dia tusuk jalan
darah Leng-ciu-hiat di punggung tangan lawan.
"Sebenarnya peraturan mana yang hendak kalian bicarakan?"
jengek orang itu sambil tertawa dingin, pedang berikut sarung yang
berada didalam genggaman nya segera menghadang ke depan lalu
dengan jurus Heng-im-toan-hong (Awan melintang memotong
bukit) melancarkan serangan balasan.
Semua anggota Bu-tong-pay bersama-sama memperhatikan
gerakan pedangnya, benar saja, gaya serangannya ibarat gulungan
ombak di tengah samudra menyebar luas ke depan.
Put-po segera menggeser posisinya melangkah maju ke depan,
dengan satu gerakan Pau-ciang (mengepal tangan), dia ciptakan
satu gerakan melingkar untuk memunahkan datangnya ancaman
tersebut, kemudian katanya dingin, "Ciangbunjin partai Bu-tong
hadir disini, berbicara dari usia maupun kedudukan, tentunya kau
tidak bisa melampui ketua kami bukan! Jadi kalau ingin berbicara
soal peraturan yang mana pun, lebih baik lepaskan dulu pedangmu
sebelum berbicara lebih jauh."
Di dalam dunia persilatan memang berlaku peraturan semacam
ini, apabila jagoan dari partai lain ingin menjumpai ketua perguruan
lain untuk pertama kalinya, sekalipun mereka boleh berhadapan
dengan status yang setara, namun sebagai pihak tetamu, mereka
wajib meninggalkan senjatanya sebagai tanda penghormatan
terhadap tuan rumah. Terlebih lagi jika pihak lawan jauh lebih muda usia dan posisinya
jauh dibawahnya, hal ini semakin berlaku bagi mereka.
Bu-siang Cinjin adalah seorang pendeta yang saleh dan bernama
besar, diantara sekian banyak Ciangbunjin perbagai perguruan,
boleh dibilang usianya terhitung paling tinggi. Jadi orang yang
benar-benar pantas dan berhak untuk duduk sejajar dengannya
tidak lebih hanya beberapa gelintir orang saja.
Tapi yang membuat seluruh anggota perguruan merasa kagum
dan memuji bukanlah pokok pembicaraannya, melainkan
kesempurnaan dia di dalam menggunakan jurus serangan.
Walaupun dia tidak menggunakan pedang, namun jurus pedang
Thay-kek-kiam-hoat telah berhasil dilebur dalam permainan jari
tangannya. Yang lebih hebat lagi adalah gerak serangannya seolah
hanya bermaksud untuk membendung gerak maju lawan.
Entah sejak kapan tahu tahu Bouw It-yu sudah berada di
samping Put-ji sembari berbisik, "Ternyata Put-po Suheng memang
jagoan lihay yang sengaja menyembunyikan kemampuannya, coba
lihat jurus yang barusan digunakan, kelihatannya dia benar-benar
sudah menguasai inti sari dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat."
"Benar," sahut Put-ji mengangguk, "betul betul sebuah
pertarungan pedang yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Memang kungfu Put-po Suheng sangat ampuh, namun kepandaian
lawan pun tidak lemah!"
Sementara dihati kecilnya dia berpikir, "Biarpun ilmu pedang
yang dimiliki Siang Thian-beng boleh dibilang tangguh, ternyata
kehebatannya tidak seperti yang di gembor-gemborkan selama ini!"
Baru berpikir sampai disitu, terdengar orang itu berkata lagi,
"Bagi orang lain, membawa pedang sambil menghadap Ciangbunjin
perguruanmu bisa jadi di anggap kurangajar, namun terkecuali
bagiku seorang!" Bicara sampai disitu dia pun membalikkan tubuh dan berteriak ke
arah Bu-siang Cinjin, "Anak murid Hian Tin-cu khusus datang
memenuhi janji!" "Ooh, rupanya saudara Siang telah tiba," kata Bu-siang Cinjin,
"Put-po, tahan...."
Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar suara benda
yang terbelah pecah, tahu-tahu tokoan yang dikenakan Put-po di
kepalanya sudah terbelah jadi dua oleh bacokan sarung pedang itu,
menyusul kemudian terdengar Siang Thian-beng bertanya sinis,
"Sekarang aku boleh lewat bukan?"
"Hmm, kepandaianmu memang setingkat lebih tinggi ketimbang
aku, tapi kekalahanku kali ini belum membuat diriku menyerah."
Perlu diketahui, di saat Bu-siang Cinjin sedang berbicara tadi,
walaupun Put-po belum sampai turun tangan, namun dihati kecilnya
dia sudah punya rencana untuk segera melancarkan serangan
begitu Ciangbunjin nya selesai bicara, karena perencanaan ini,
secara tidak sadar hawa kekuatan yang tersalur diujung jarinya
yang dipakai untuk menggantikan pedang pun menjadi melemah
beberapa bagian. Padahal pertarungan antar dua jago tangguh paling pantang
menjumpai keadaan seperti ini, begitu kekuatannya melemah, tidak
heran kalau pihak lawan segera manfaatkan kesempatan itu untuk
menerobos masuk. Di dalam kenyataan, tanpa harus meloloskan pedang dari
sarungnya ternyata Siang Thian-beng sanggup membelah tokoan
yang dikenakan Put-po tanpa merontokkan rambut dikepalanya,
kelincahan dari ilmu pedangnya dan kesempurnaan tenaga
dalamnya seketika membuat seluruh anggota perguruan Bu-tongpay,
termasuk Put-po sendiri merasa terkejut bercampur kagum.
Satu hal yang membuat Put-po tidak puas hanya-lah karena
kemenangan ini diperoleh dengan taktik.
"Benarkah begitu?" jengek Siang Thian-beng sambil tertawa,
"tidak menjadi masalah, kalau belum puas sebentar kita boleh
bertanding lagi." "Aku sudah mengakui kalau kemampuanmu satu tingkat
diatasku, kalah, dalam sepuluh jurus atau kalah dalam seratus jurus,
sama saja hasilnya, jadi buat apa musti bertanding lagi" Dalam Butong-
pay, aku tidak lebih hanya seorang murid yang tidak berguna,
masih banyak sekali saudara seperguruanku yang kemampuan nya
satu, dua tingkat lebih tinggi dariku, lebih baik simpan dulu
tenagamu." Maksud dari perkataan inipun sangat jelas, artinya coba kalau
Siang Thian-beng tidak menggunakan akal, niscaya dia sanggup
bertarung seratus jurus lagi melawannya.
"Hmm, moga-moga saja perkataanmu benar," kata Siang Thianbeng
dengan wajah kaku tanpa emosi, "dengan begitu aku punya
kesempatan untuk merasakan sampai dimana kehebatan jago-jago
Bu-tong yang katamu dua tiga tingkat lebih hebat."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, dia telah berjalan ke
bawah mimbar dan berkata sambil memberi hormat, "Bu-siang
Cinjin, sejak berpisah tanpa terasa tiga puluh enam tahun sudah
lewat, tidak sangka kau telah diangkat menjadi seorang
Ciangbunjin, maaf bila aku tidak berkesempatan mengucapkan
selamat kepadamu." Bu-siang Cinjin balas memberi hormat, sahutnya, "Siang-heng,
dari pada memilih waktu lebih baik datang setiap saat,
kedatanganmu hari ini sungguh tepat waktu."
"Tentunya Cinjin telah menerima kartu namaku bukan" Acara
penyambutan dari Ciangbunjin yang begitu megah benar-benar
membuat aku si Bu-beng-siau-cut merasa tersanjung."
Dibalik perkataan itu dia selipkan nada sindiran yang pedas.
Bu-siang Cinjin tersenyum.
"Nama besar Malaikat pedang sudah tersohor di se antero jagad,
saudara Siang tidak perlu merendah. Cuma.... dari kata-katamu
barusan, rupanya telah terjadi sedikit kesalah pahaman."
"Dimana letak kesalah pahaman itu" Silahkan Ciangbunjin
memberi petunjuk!" seru Siang Thian-beng setelah tertegun
sejenak. "Kini aku sudah bukan seorang Ciangbunjin lagi, Ciangbunjin
baru telah dijabat suteku ini. Berkumpulnya seluruh anggota
perguruan ini pun bukan lantaran menyambut kedatanganmu."
"Ooh, ternyata kedatanganku hanya kebetulan bersamaan
dengan upacara kebesaran tersebut. Itu lebih bagus lagi, aku bisa
menjadi tamu pertama yang akan memberi selamat kepada
Ciangbunjin baru." Perkataan inipun lamat-lamat mengandung nada tantangan
untuk mengajak Ciangbunjin baru berduel.
"Tidak berani," sahut Bu-beng yang mengikuti di belakang
Suhengnya dengan hormat, "lebih baik simpan dulu ucapan
selamatmu sampai kita selesaikan urusan ini."
Menurut peraturan yang berlaku dalam dunia persilatan, begitu
Ciangbunjin baru selesai ditetapkan, maka diperlukan sebuah
upacara lagi untuk mengumum kan pengangkatan itu secara resmi,
dalam upcara ini selain diundang seluruh ketua pelbagai partai juga
tokoh tokoh kenamaan dunia persilatan.
Oleh karena itu perkataan dari Bu-beng barusan tidak lain adalah
sebuah pernyataan bahwa sampai sekarang dia belum resmi
menjabat sehingga tidak berani menerima ucapan selamat dari
orang lain. Tapi semua anggota perguruan Bu-tong-pay tahu bahwa Bubeng
hanya mau menduduki jabatannya sebagai Ciangbunjin bila
dia telah berhasil mengalahkan Siang Thian-beng, sebab kalau tidak,
walaupun semua anggota perguruan mau mengakuinya sebagai
ketua demi menghormati keputusan Ciangbunjin lama, namun
baginya, hal semacam ini bukanlah satu kejadian yang patut
dibanggakan. Dengan pandangan dingin Siang Thian-beng mengawasi Bu-beng
beberapa saat, tiba-tiba tegurnya, "Bukankah kau adalah Tiong-ciu
Tayhiap Bouw Ciong-long?"
"Itu namaku dulu, sekarang sudah menjadi pendeta, gelarku
adalah Bu-beng." "Kalau tidak salah melihat, pagi tadi kau masih seorang preman?"
"Betul, pagi tadi sewaktu kau mengutus orang untuk
menyampaikan kartu nama, akulah yang telah mewakili Suheng
menerimanya." "Saat itu mustinya kau sudah ditetapkan sebagai calon
Ciangbunjin baru bukan, jadi memang sewajarnya kalau kau yang
mewakili Bu-siang Cinjin untuk menerima kartu namaku, bahkan aku
harus mengucapkan terima kasih karena kau telah memberi
pelajaran yang berharga untuk kedua erang bawahanku."
"Anggota perguruan kami Put-pay juga menyatakan banyak
terima kasih atas hadiah pemberian urusanmu. Kuharap perselisihan
kecil ini tidak usah kelewat dimasukkan ke dalam hati."
Maksud dari perkataan itu sangat jelas, berhubung ke dua belah
pihak sama-sama menderita luka, berarti kejadian inipun sudah
impas hingga tidak perlu dipersoalkan lagi.
"Perselisihan kecil semacam itu sih tidak ada harganya untuk
disinggung kembali. Ada baiknya kita balik ke persoalan pokok, tiga
puluh enam tahun berselang aku pernah membuat perjanjian
dengan Suheng mu, pernah dia menyinggung soal ini?"
"Sudah sejak awal aku mengetahui masalah ini."
"Bagus, kalau toh sekarang kau sudah menjabat ketua Bu-tongpay,
lalu janji pertarungan pedangku dengan Bu-siang Cinjin akan
kau wakili atau tetap akan dia lakukan sendiri?"
Bu-siang Cinjin tertawa getir.
"Coba kau lihat," sahutnya, "keadaanku sudah mirip seseorang
yang hampir masuk peti mati, mana mungkin bisa bertanding
pedang melawanmu?" "Hmm, aku sendiri juga hanya manis-manis bibir mengatakan
begitu, padahal terus terangan saja, biar kau ingin beradu
melawanku pun belum tentu aku bakal melayani, aku tidak sudi
ditertawakan orang, mengatakan aku hanya beraninya menganiaya
yang tua. Bagus, kalau begitu biar aku tantang Ciangbunjin barumu
saja." "Aku rasa perjanjian yang dibuat tiga puluh enam tahun
berselang lebih baik dibatalkan saja."
"Dibatalkan?" jengek Siang Thian-beng sambil tertawa dingin,
"aku tidak ingin arwah mendiang guru-ku tidak beristirahat dengan
mata meram di alam baka!"
"Tujuan mulia orang belajar silat adalah menghindari saling luka
melukai, tapi kalau kudengar omongan Siang sianseng, nampaknya
kedatanganmu kali ini adalah untuk menuntut balas."
"Betul, aku memang datang untuk membalaskan dendam sakit
hati mendiang guruku, terus kenapa?"
"Alangkah baiknya kalau semua masalah diselesai kan secara
damai, kenapa Siang sianseng musti kelewat serius?"
"Masalah ini menyangkut nama baik perguruan, jadi harus
diselesaikan secara serius! Hmmm.... hmm....
boleh saja kalau ingin menyelesaikan masalah sampai disini, tapi
kau harus mengaku kalah dulu di depan umum!"
"Siang sianseng tersohor sebagai Malaikat pedang, jelas ilmu
pedang yang pinto yakinkan masih belum dapat menandingi
kehebatan Malaikat pedang."
"Kau keliru besar, yang kuinginkan adalah mengundang
kedatangan semua jago persilatan, kemudian dengan jabatanmu
sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pay, mengumumkan secara resmi
kalau ilmu pedang Bu-tong-pay tidak mampu menandingi ilmu
pedang Kun-lun-pay kami!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, terjadilah kehebohan di
antara seluruh anggota perguruan Bu-tong-pay yang hadir disitu,
malah ada banyak diantaranya yang mulai berteriak, "Bu-si tianglo,
cepat hajar orang ini, kasi pelajaran yang setimpal!"
"Bu-beng Suheng," ujar Bu-si Tojin pula seraya menggeleng,
"aku rasa tidak mungkin kau bisa menyelesaikan masalah ini tanpa
bertarung melawan Siang sianseng, tolong kau tidak usah merendah
lagi!" "Soal ini...." "Hey, sudah selesaikah perundingan kalian?" bentak Siang Thianbeng
keras. Tiba tiba Put-ji melompat keluar dari kerumunan orang banyak,
serunya lantang, "Guruku tidak dapat bertarung melawanmu, biar
aku yang bertanding melawan dirimu!"
"Ooh, jadi kau adalah murid Bu-siang Cinjin?"
"Benar, kau boleh mewakili mendiang gurumu untuk menantang
berduel, aku pun berhak mewakili guruku untuk melayani
tantanganmu." Siang Thian-beng melirik sekejap dengan nada sinis, sesaat
kemudian katanya, "Sewaktu membuat perjanjian dengan gurumu
tiga puluh enam tahun berselang, aku sempat berkata, jika sampai
saatnya lantaran kelewat tua kau tidak sanggup bertarung
melawanku, kau boleh memilih salah satu orang dari perguruanmu
yang berilmu paling hebat untuk bertarung melawanku. Kini
Suhumu sama sekali tidak menunjuk kau untuk bertarung,
kelihatannya dalam pandangan gurumu kau masih belum terhitung
jagoan nomor wahid dari Bu-tong-pay."
"Hmm, waktu itupun kau hanya berkata untuk dirimu sendiri,
Suhuku sebagai seorang yang saleh tentu saja sungkan untuk
melukiskan dirinya sebagai orang yang terhormat. Betul,
perkataanmu tepat sekali, tentu saja aku bukan jago nomor satu
dari Bu-tong-pay, aku cukup tahu diri. Hanya saja, menurut
pandanganku mungkin kaupun belum pantas untuk bertarung
melawanku!" Siang Thian-beng sama sekali tidak nampak gusar, dengan wajah
hambar tanpa perasaan sahutnya, "Perkataanmu memang benar,
dalam hal ini kau memang punya hak untuk melayani tantanganku
ini. Cuma saja, berhubung kau bukan ditunjuk langsung gurumu,


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan lagi juga bukan orang yang terpilih untuk menghadapi
tantanganku, maka meski aku bisa saja melayani tantanganmu itu
namun pertarungan itu hanya sebatas pertarungan pribadi.
Tegasnya lagi, lantaran memberi muka kepada gurumu maka aku
bersedia bermain beberapa jurus melawanmu, jadi jangan kau
anggap kau bertarung karena mewakili Bu-tong-pay! Paham?"
Put-ji tertawa dingin. "Saat ini aku ogah berdebat denganmu, terserah mau kau
anggap apa diriku ini, yang penting kau berani melayani
tantanganku ini. Cepat lancarkan seranganmu!"
"Hahahaha.... aku mau melayani tantanganmu pun sudah lebih
dari cukup," Siang Thian-beng tergerak keras, 'baiklah, aku akan
mengalah tiga jurus kepadamu! Bu-beng Totiang, sebentar aku akan
minta lagi petunjuk darimu!"
Arti dari perkataan ini sangat jelas, seolah baginya mengalahkan
Put-ji adalah masalah kecil, segampang dia membalikkan telapak
tangan, oleh sebab itu dia hanya minta Bu-beng Totiang untuk
"menunggu sebentar saja".
"Kau tidak perlu mengalah," tampik Put-ji cepat, "kedudukanku
setengah tingkat lebih rendah darimu, jadi biarlah aku yang
melancarkan serangan lebih dahulu!"
Begitu selesai bicara, ujung pedangnya langsung ditutul ke arah
bawah, gerak serangan ini disebut Tiau-thian-it-co-hio (menyembah
langit dengan sebatang hio), pertanda sikap menghormatnya untuk
jagoan yang berkedudukan hampir berimbang.
Bu-beng yang berdiri persis di samping Bu-siang Cinjin manggut
manggut sambil berbisik, "Ternyata Put-ji sangat mampu menahan
diri!" Gerakan Tiau-thian-it-co-hio bukanlah sebuah jurus untuk
menyerang musuh, kembali Siang Thian-beng berseru, "Kau tidak
perlu sungkan, aku tidak akan menghitung gerakan ini."
Siapa tahu baru selesai dia bicara, mendadak Put-ji merangsek
maju ke muka, diiringi percikan bunga pedang, tahu-tahu dia
lepaskan sebuah tusukan kilat ke depan.
"Kalau jurus ini terhitung tidak?" bentaknya.
Siang Thian-beng belum juga meloloskan pedangnya, sambil
memutar tubuh dia sambut datangnya tusukan pedang dari Put-ji
dengan sarung pedangnya. Sungguh cepat datangnya serangan itu, mata pedang langsung
menggulung ke atas menyusul gerakan itu, kali ini membabat jari
tangan yang sedang menggenggam senjata.
"Triiing!" dimana ujung pedang melejit, tusukan itu persis
mengarah jalan darah Leng-ciu-hiat di punggung tangan lawan.
Cepat Siang Thian-beng merendahkan tubuh sambil menarik
tangannya untuk berkelit, saat itulah jurus serangan ke tiga dari
Put-ji kembali menyapu tiba dengan kecepatan bagaikan sambaran
petir. Serangan yang dilancarkan kali ini benar-benar ganas lagi cepat,
ketika mata pedang membabat miring ke bawah, kali ini dia ancam
lutut lawan. Bukan saja jurus serangannya cepat bagai sambaran kilat,
bahkan ganas dan tepat, tampaknya sulit bagi Siang Thian-beng
untuk berkelit dari ancaman itu.
Tiba-tiba terlihat sekilas cahaya tajam melesat lewat di tengah
udara, menyusul kemudian terdengar Siang Thian-beng membentak
nyaring, "Tiga jurus sudah lewat, lihat serangan balasan!"
"Traaang....!" diiringi dentingan nyaring, pedang Put-ji sudah
ditangkis hingga mencelat ke samping.
Saat itulah semua hadirin dapat melihat dengan jelas kalau
sarung pedang milik Siang Thian-beng sudah tergeletak jatuh ke
tanah, terbelah menjadi dua bagian.
Dia sama sekali tidak menggunakan gerakan mencabut pedang
seperti biasanya untuk meloloskan senjata itu, sarung pedang itu
retak dan pecah jadi dua bagian lantaran getaran tenaga dalamnya,
itulah sebabnya disaat yang paling kritis dia masih dapat
melancarkan serangan balasan dengan kecepatan tinggi, dengan
pedang menghadapi pedang dia punahkan ancaman lawan.
Karena pedang itu muncul dari sarung yang pecah, bukan saja
berhasil menangkis serangan maut dari Put-ji, malah masih punya
kekuatan untuk langsung menusuk perut lawannya itu.
Reaksi Put-ji tidak kalah cepatnya, dengan gerakan angsa liar
menembus awan dia melejit ke tengah udara, mata pedang Siang
Thian-beng persis menyambar lewat dari bawah kakinya, coba kalau
terlambat sedikit saja, niscaya kakinya bakal kutung.
Berada di tengah udara, dengan gaya burung belibis
membalikkan tubuh, dengan kepala di bawah kaki diatas, dia
melancarkan tusukan ke bawah dengan jurus Bong-po-kiu-siau
(rajawali menyusup dari awan).
Cepat Siang Thian-beng melintangkan pedangnya untuk
menangkis, terdengar...."Traaang!" di tengah benturan benda keras,
dua sosok bayangan manusia saling berpisah satu dengan lainnya,
dua bilah senjata itu menyambar lewat persis menempel di atas
tulang Pie-pa-kut di bahu masing-masing.
Beberapa gerakan pertarungan itu dilakukan begitu cepat bagai
sambaran kilat, membuat semua orang yang menonton jadi silau
dan terkagum-kagum, sampai saat itulah suara tepuk tangan dan
tempik sorak baru bergema gegap gempita.
Sesudah tertegun beberapa saat, Put-po baru mulai berpikir,
"Setelah sekian lama menekuni kitab pusaka peninggalan Couwsu,
aku sangka seluruh rahasia ilmu pedang perguruan telah kupahami
dan kukuasahi, siapa tahu kehebatan dari perubahan ilmu pedang
yang dimiliki Put-ji sute jauh berada diluar dugaanku!
"Dalam hal tenaga dalam, dia memang belum sanggup
melampaui kemampuanku, tapi kehebatan ilmu pedangnya jelas
masih satu tingkat diatasku, hanya anehnya kenapa jurus pedang
yang sebenarnya berasal dari aliran lurus, kini berubah penuh tipu
dan muslihat" Kalau begitu cara berlatihnya, mana mungkin bisa
mencapai tingkat yang paling sempurna?"
Biarpun dalam hati kecilnya dia berpikir begitu, namun diluaran
dia justru bersorak memberi semangat, "Put-ji sute, baru
melancarkan tiga jurus serangan, kau telah berhasil membuat
sarung pedang Malaikat pedang pecah jadi dua bagian, terbukti kau
sudah menang satu jurus darinya!"
Kelihatannya dia sengaja tidak menyinggung tentang Siang
Thian-beng yang telah mengalah tiga jurus untuk lawannya, jadi
sesungguhnya posisi kedua orang itu masih seimbang.
Pertarungan pedang pun berlangsung makin lama semakin
bertambah sengit, dalam keadaan begini semua orang tidak punya
waktu lagi untuk berpikir banyak, bahkan tidak sempat lagi
mengkhawatirkan keselamatan rekan sendiri. Perhatian setiap orang
nyaris tersedot oleh permainan ke dua belah pedang itu.
Tampak permainan pedang Put-ji yang berkembang terus
menciptakan lingkaran demi lingkaran cahaya pedang yang
menggulung saling menyusul, sebaliknya gerakan pedang Siang
Thian-beng bagai pukulan ombak, mengembang ke empat penjuru,
tatkala hawa serangan mencapai pada puncaknya, kekuatan yang
dihasilkan bagaikan gulungan ombak di tengah badai dahsyat,
nyaris menenggelamkan seluruh tubuh Put-ji.
Anak murid Bu-tong-pay yang mengerti ilmu pedang Bu-tong-pay
hampir semuanya dibuat kesem-sem dan mabuk kepayang
menyaksikan pertarungan yang sedang berlangsung, pikir mereka,
"Ternyata ilmu pedang Thay-kek-kiam bisa juga digunakan
sedemikian cepat!" Bagi anggota perguruan yang belum pernah belajar ilmu pedang
Thay-kek-kiam, pertarungan ini membuat mereka semakin
terbelalak dengan mulut melongo, apa yang bisa mereka saksikan
sekarang hanya lah dua kilas cahaya pedang yang saling
menyambar, tidak seorang pun tahu sudah beberapa gebrakan
pertarungan itu berlangsung.
Brbeda dengan Bu-siang Cinjin, dia mengikuti jalannya
pertarungan itu dengan seksama, ketika Siang Thian-beng
menyelesaikan ke tiga puluh enam jurus serangannya, diam diam
bisiknya kepada Bu-si Tojin, "Ternyata ke tiga celah yang terdapat
dalam ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat milik Hian Tin-cu telah
ditambal, kini sama sekali tidak nampak ada kelemahan lagi."
Walaupun ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat terdiri dari enam puluh
empat jurus, namun Siang Thian-beng tidak menggunakannya
secara berurutan, ke tiga celah tersebut yang pertama ada pada
jurus ke tiga puluh enam, kedua ada di jurus ke empat puluh
delapan dan ke tiga ada di jurus ke lima puluh sembilan. Sementara
dalam permainan kali ini biarpun Siang Thian-beng baru
menggunakan tiga puluh enam jurus, namun ke tiga jurus yang ada
celahnya telah selesai digunakan semua.
"Put-ji dapat bertahan sampai sekarang, hal ini sudah terhitung
luar biasa baginya," sahut Bu-si Tojin, "terus terang saja dalam hal
belajar ilmu pedang, bakatnya memang jauh diatas kemampuanku,
hanya sayang dia lebih memilih jalan taktik dari pada jalan lurus...."
"Taktik dan lurus saling menumbuhkan, tidak salah kalau dipakai
untuk saling menunjang dan menutup kelemahan yang ada," sela
Bu-beng, "sudah terhitung hebat kalau dia bisa berpikiran ke situ.
Sute, ilmu pedangnya bukankah merupakan hasil gemblengan mu"
Kalau dia bisa mencapai taraf sehebat ini, bukan saja kau patut
merasa gembira, kamipun wajib memberi selamat kepadamu."
"Tidak benar, tidak benar!" tiba tiba Bu-siang Cinjin berseru
tertahan. "Jurus mana dari ilmu pedangnya yang tidak benar?" tanya Bu-si
Tojin tertegun. "Bukan ilmu pedangnya yang kumaksud."
"Maksudmu ilmu pedang dari Siang Thian-beng" Sungguh
mengecewakan, aku tidak berhasil menemukan apa-apa."
"Ilmu pedang yang dimiliki Siang Thian-beng nyaris tanpa celah,
mana mungkin tidak benar?"
"Lantas apa yang dimaksud Suheng sebagai tidak benar?" tanya
Bu-si Tojin tak habis mengerti.
"Masalah ini tidak mungkin bisa dijelaskan dengan sepatah dua
patah kata, lebih baik dibicarakan lagi besok. Siapa tahu dugaanku
yang salah." Kata "tidak benar" biasanya digunakan untuk menunjuk sesuatu
kenyataan, kalau memang begitu, kenapa pula dia masih
mengatakan kalau hal tersebut masih "dugaan?"
Dalam pada itu pertarungan pedang yang berlangsung di tengah
arena makin lama makin bertambah tegang dan seru, karena Busiang
Cinjin enggan bicara maka diapun merasa rikuh untuk
mendesak lebih lanjut, apalagi Bu-siang Cinjin sudah berkata akan
dibicarakan lagi dikemudian hari, terpaksa dia hanya menyimpan
kecurigaan tersebut di dalam hati.
Ternyata yang membuat Bu-siang Cinjin merasa "tidak benar"
adalah masalah tenaga dalam yang di miliki Siang Thian-beng.
Sejak awal dia sudah menduga kalau Siang Thian-beng pasti
sudah memperbaiki permainan ilmu pedangnya, namun dalam hal
tenaga dalam, walaupun ter-masuk tidak lemah juga namun jauh
dari apa yang diduganya semula.
Sebagaimana diketahui Put-ji baru menjadi pendeta setelah dia
berusia dua puluh enam tahun, saat itulah dia baru secara resmi
belajar di bawah bimbingan Bu-siang Cinjin.
Sebaliknya Siang Thian-beng selama ini berlatih terus ilmu
pedang Hui-eng-kiam-hoat nya di bawah bimbingan Hian Tin-cu,
berlatih tekun selama tiga puluh enam tahun sudah pasti akan
menghasilkan kemampuan yang luar biasa, jadi berbicara soal
tenaga dalam, tidak seharusnya kemampuannya tidak dapat
mengungguli Put-ji. Di samping itu, berbicara soal ilmu pedang, meski dalam
permainan pedang Siang Thian-beng tidak dijumpai celah, namun
dalam pandangan Bu-siang Cinjin sekalian sebagai para ahli,
permainan orang itu terkesan kelewat "kanak-kanak" dan kesan
'kanak-kanak" itu tentu saja dikarenakan kekuatan tenaga dalamnya
belum mencapai puncak kesempurnaan.
Tanpa terasa Bu-siang Cinjin membayangkan kembali kejadian
pada tiga puluh enam tahun berselang, sewaktu bertemu murid dari
Hian Tin-cu itu, pikirnya, "Benar, tinggi rendahnya tenaga dalam
sangat mempengaruhi kwalitas dari suatu permainan pedang, itupun
tergantung seberapa bagus bakat yang dimiliki, bukan berarti
karena waktu berlatih yang panjang, pasti menghabiskan tenaga
dalam yang sempurna. Tapi kalau dilihat murid kecil dari Hian TinTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
cu, seharusnya dia terhitung orang yang berbakat bagus, tidak
semestinya kemampuan yang berhasil dia yakini berada di bawah
kemampuan Put-ji. Namun kenyataannya sekarang, sekalipun dia
berhasil mengungguli Put-ji, kelebihan yang dimiliki pun tidak terlalu
banyak selisihnya, kenapa bisa begitu?"
Pada saat yang bersamaan, dari tengah ratusan murid Bu-tongpay
yang menonton dari bawah mimbar mendadak terdengar pula
seseorang berteriak keras, "Tidak benar, tidak benar!"
Orang itu tidak lebih hanya seorang gadis berusia enam belas
tahunan, dia tidak lain adalah 'cici' Lan Giok-keng, Lan Sui-leng.
Waktu itu Lan Sui-leng sedang berdiri berjajar dengan gurunya
Put-hui Tokouw. Agak tertegun Put-hui mendengar teriakan itu, buru-buru
bisiknya, "Anak kecil tahu apa" Jangan berteriak-teriak."
"Aku tidak mengerti ilmu pedang yang mereka miliki, yang
kumaksud bukan ilmu pedang mereka."
"Lantas masalah apa yang kau katakan tidak benar?" tanya Puthui
dengan perasaan ingin tahu.
?"Suhu, kau jangan marah, aku hanya merasa kalau perkataan
yang pernah kau ucapkan dulu sedikit tidak benar."
"Perkataan apa?"
"Suhu, masih ingatkah kau ketika suatu hari tanpa sengaja kau
melihat Put-ji Totiang sedang mewariskan ilmu pedang kepada
adikku, sekembalinya ke rumah kau pernah berkata, walaupun ilmu
pedang dari Put-ji Totiang memiliki banyak rancangan dan gerakan
baru namun sayang semua gerakannya hanya kembangan dan
sama sekali tidak berguna, kemudian ketika aku bertarung melawan
adik, benar saja, aku berhasil mengungguli dirinya. Aku merasa
perkataanmu waktu itu sama sekali tidak betul.
"Coba kau lihat kemampuannya sekarang, bukan saja Put-ji
Totiang sanggup bertarung menghadapi orang yang disebut
Malaikat Pedang ini bahkan sanggup bertarung seimbang, bukankah
hal ini membuktikan kalau perkataanmu dulu tidak benar" Dari
pembicaraan Ciangbunjin tadi, jelas kedengaran kalau beliau sangat
menyanjung kehebatan si Malaikat Pedang, masa nama besar
Malaikat pedang hanya nama kosong belaka?"
"Tentu saja Malaikat Pedang bukan jagoan bernama kosong,
hanya saja...." "Hanya saja kenapa?"
Put-hui Tokouw termenung tanpa bicara, kelihatannya dia sedang
tercekam dalam masalah yang pelik.
Tiba tiba Lan Sui-leng berseru lagi sesudah memandang sekejap
sekeliling tempat itu, "Hei, ke mana perginya adikku?"
Sebagaimana diketahui, Put-ji adalah guru Lan Giok-keng, di saat
gurunya sedang bertarung melawan musuh tangguh, sudah


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seharusnya dia tampil di depan untuk mengikuti jalannya
pertarungan itu. Sewaktu semua murid berkumpul di bawah mimbar tadi, Lan Suileng
telah berusaha mencari adiknya namun gagal. Sekarang dia
hanya berharap adiknya berada diantara kerumunan orang banyak
dan berdiri dibarisan terdepan. Sayang harapan inipun sia-sia.
Tiba tiba Put-hui Tokouw berseru tertahan, "Aaah, betul, betul!"
"Apanya yang betul?" buru-buru Lan Sui-leng bertanya.
Put-hui Tokouw tidak langsung menjawab, dia memandang
sekejap sekeliling tempat itu, ketika melihat semua orang sedang
mencurahkan seluruh perhatiannya ke tengah arena dan yakin tidak
akan ada yang memperhatikan mereka berdua, dia baru berbisik ke
sisi telinga Lan Sui-leng, "Ilmu pedang Put-ji memang sangat
berkembang, bahkan dia berhasil menciptakan banyak gerakan baru
dalam ilmu pedangnya, tapi jurus serangan yang dia gunakan
sekarang, jauh berbeda dengan jurus pedang yang diajarkan
kepada adikmu tempo hari. Malah dapat kulihat kalau perbedaannya
bagaikan langit dan bumi."
"Jadi Put-ji Totiang sengaja mengajarkan ilmu pedang
kembangan kepada adikku" Tapi kenapa begitu?"
Put-hui Tokouw semakin merendahkan suaranya, setengah
berbisik katanya, "Aku khawatir Put-ji mempunyai maksud jahat
terhadap adikmu!" "Haah, kenapa bisa begitu?" jerit Lan Sui-leng terkesiap.
Saking kerasnya teriakan ini membuat banyak orang segera
berpaling ke arah nya, bahkan ada beberapa diantaranya yang
menegur agar mereka jangan berisik.
Buru-buru Put-hui Tokouw menarik Lan Sui-leng untuk
menyingkir ke pojokan arena.
Dalam pada itu pertarungan antara Siang Thian-beng melawan
Put-ji sudah mencapai pada puncak ketegangan, tiba-tiba tampak
tubuh Put-ji mundur beberapa langkah ke belakang, sementara
permainan pedang dari Siang Thian-beng mengembang makin
melebar, pada hakekatnya dia sudah mengurung seluruh tubuh
lawan di bawah ancamannya.
Beruntun Put-ji melancarkan tujuh lingkaran pedang, setiap
lingkaran pedang yang diciptakan segera memunahkan setengah
bagian tenaga serangan lawan, dengan susah payah akhirnya dia
berhasil juga memperkokoh kembali posisinya.
Tapi kini kendali berpihak pada Siang Thian-beng, enam puluh
persen serangan yang dilancarkan nyaris berasal dari pedangnya.
Justru karena situasi pertarungan telah mencapai puncak
ketegangan, tiada orang lagi yang menaruh perhatian terhadap
mereka berdua. Melihat itu dengan perasaan lega Put-hui Tokouw baru berbisik
lagi, "Aku sendiripun tidak mengerti apa maksud tujuannya, tapi bila
adikmu mempelajari ilmu pedang yang tidak ada gunanya itu, bila
suatu ketika benar-benar bertarung melawan musuh tangguh, jelas
keselamatan jiwanya bakal terancam bahaya maut! Aku tidak
paham apa maksud tujuannya, yang pasti dia mempunyai maksud
jahat! Tapi kau jangan bicara sembarangan di luaran, apalagi
sampai mengatakan hal ini kepada orang lain!"
Lan Sui-leng semakin bimbang dan kebingungan, sebelum ini, dia
selalu menaruh perasaan dengki dan iri terhadap adiknya karena
dianggap Put-ji Totiang kelewat sayang dan memanjakan dirinya,
bagaimana mungkin dia bisa menduga kalau Put-ji ternyata
mempunyai maksud jahat terhadap adiknya"
Sadar kalau masalah ini amat serius, buru-buru bisiknya lagi,
"Lalu apa yang harus kulakukan" Apa yang harus kuperbuat?"
Put-hui Tokouw tidak menjawab tapi menarik tangannya dan
menulis diatas telapak tangannya, "Beritahu adikmu!"
Kembali Lan Sui-leng berpikir, "Apa gunanya kalau hanya
beritahu adikku, mestinya laporkan langsung ke Ciangbun Sucouw."
Tampaknya Put-hui Tokouw dapat membaca suara hatinya, lagilagi
dia menulis di telapak tangannya, "Adikmu pintar sekali, aku
yakin dia pasti tahu apa yang harus dilakukan."
Kendatipun diwaktu biasa dia sering dengki dan iri terhadap
adiknya, tidak urung hatinya girang juga setelah mendengar pujian
dari Put-hui Tokouw. Bukan hanya gembira bahkan serasa baru
terlepas dari beban berat.
"Benar," sahutnya, "adik memang jauh lebih cerdas ketimbang
diriku, asal kuceritakan kejadian yang sesungguhnya, aku pun tidak
usah putar otak lagi memikirkan persoalan ini."
Untuk menyampaikan kejadian ini kepada adiknya, pertama-tama
dia harus menemukan adiknya lebih dahulu, tapi ke mana adiknya
telah pergi" Sementara dia masih termenung, mendadak dirasakan ada
'suasana aneh' sedang mencekam arena pertarungan, begitu hening
dan sepinya suasana saat itu hingga terasa sangat menakutkan.
Ternyata pertarungan pedang di tengah arena sudah mencapai
saat penentuan siapa menang siapa kalah.
Siang Thian-beng melambung ke udara, sepintas orang
menyangka dia akan mengulang kembali jurus Bong-po-kiu-siau
(Rajawali menyusup dari awan), padahal jurus serangan yang
digunakan adalah Eng-ki-tiang-gong (Elang sakti menggempur
langit) yang memiliki gerakan mirip dengan jurus semula.
Jika hawa serangan yang dipancarkan dari jurus Bong-po-kiu-siau
melebar ke empat penjuru maka hawa serangan yang dihasilkan
jurus Eng-ki-tiang-gong justru berpusing menusuk ke bawah.
Sekalipun ke dua serangan ini masing-masing memiliki kelebihan,
namun jurus serangan yang belakangan justru jauh lebih ganas dan
mengerikan, ibarat elang yang menerkam kelinci, sulit bagi
musuhnya untuk menghindarkan diri.
Ternyata jurus ini adalah jurus ke tiga belas dari ilmu pedang
Hui-eng-kiam-hoat dan merupakan juga jurus serangan paling
ganas, bila digunakan berurutan maka seharusnya jurus ini sudah
digunakan sejak pertama kali tadi.
Namun Siang Thian-beng sengaja menyimpannya hingga pada
saat penting, begitu tahu kalau jurus serangan Put-ji telah
digunakan hingga tua dan mustahil ditarik kembali, dia baru
menggunakan jurus tersebut untuk menghabisi lawannya.
Sayang diapun tidak menyangka kalau Put-ji pun secara diam
diam menyimpan juga satu jurus pamung-kas untuk
menghadapinya. Betul dalam hal tenaga dalam, Put-ji masih setingkat di bawah
kemampuannya, namun gejala terakhir yang terjadi justru
merupakan satu kesengajaan darinya untuk menipu lawan.
Disaat yang kritis itulah tiba-tiba tubuh Put-ji melejit ke udara,
dengan melayang ke samping dia balas serangan lawan dengan
jurus Pek-hok-liang-ji (Bangau putih pentangkan sayap) (Gb 5).
Inilah jurus Pek-hok-liang-ji yang tidak mungkin bisa dilupakan
Lan Sui-leng karena pernah digunakan untuk mengalahkan adiknya.
Waktu itu adiknya menggunakan pedang kayu untuk
menghadapinya, bahkan sebelum menyerang masih sempat
memperingatkan cicinya agar lebih berhati-hati, namun alhasil dia
sendiri yang justru nyaris terluka oleh pedang cicinya.
Karena itu Lan Sui-leng memperhatikan dengan lebih seksama,
benar saja, ternyata jurus yang digunakan Put-ji saat ini sama sekali
berbeda dengan jurus yang digunakan adiknya.
Mereka berdua sama-sama menggunakan jurus Pek-hok-tian-ji,
radius bentangan yang dihasilkan pun sama-sama melebar sesuai
dengan ajaran ilmu Thay-kek-kiam-hoat, hanya bedanya, bentangan
yang dihasilkan Put-ji membentuk setengah lingkaran busur yang
serong ke samping sementara bentangan yang dihasilkan adiknya
justru membentuk satu lingkaran yang membujur ke tengah.
Meskipun perbedaan itu kecil sekali, ternyata manfaat yang
dihasilkan dalam pertempuran justru sangat besar.
Tubuh Siang Thian-beng menerkam ke bawah dari tengah udara,
sedang Put-ji melambut sambil menyambut datangnya ancaman,
kedua orang itu bukan saja telah beradu kecerdikan, pun beradu
kekuatan. "Traaaang....!" di tengah benturan nyaring yang disertai percikan
bunga api, ke dua bilah pedang itu saling membentur satu dengan
lainnya. Tubuh ke dua orang itu seakan saling menempel, begitu
sepasang pedang saling membentur, tubuh mereka pun ikut tidak
bergerak. Oleh karena Siang Thian-beng menyergap dari udara, saat itu
hanya ujung kakinya yang menempel tanah sementara kekuatan
seluruh tubuhnya bertumpu pada pedangnya, seolah sebuah bukit
Thay-san yang menindih tubuh Put-ji kuat-kuat.
Sebaliknya sepasang kaki Put-ji seolah terpaku di atas
permukaan tanah, dia melakukan perlawanan dengan sekuat
tenaga. Berdebar keras jantung Lan Sui-leng menyaksikan adegan itu,
bisiknya kemudian kepada Put-hui Tokouw, "Kalau pertarungan
dilanjutkan dengan cara begini, bukankah pihak musuh yang justru
akan memperoleh keuntungan" Kenapa dia tidak lepas tangan saja"
Kalau lepas tangan secara tiba-tiba, siapa tahu pihak musuh malah
jatuh terjerembab." "Aaah, kau ini kurang paham, sekarang mereka sedang beradu
tenaga dalam, siapa yang lepas tangan lebih dulu, dialah yang bakal
dirugikan." Saking tegangnya dia menonton, tanpa terasa peluh dingin
membasahi seluruh telapak tangannya.
Perlu diketahui, walaupun Put-hui Tokouw menaruh curiga kalau
Put-ji bukan orang baik, namun bagaimana pun juga pertarungan ini
merupakan pertarungan demi Ciangbunjin mereka Bu-siang Cinjin ,
tentu saja dia tidak berharap pihak lawan yang menangkan
pertarungan. Begitu juga jalan pikiran Lan Sui-leng saat itu.
Sayang situasi di tengah arena justru bertolak belakang dengan
pengharapan mereka berdua.
Kabut putih mulai mengepul dari batok kepala Put-ji, pedangnya
pun sudah tertekan oleh senjata lawan hingga melengkung dan
membentuk garis busur. Sebagaimana diketahui, tenaga dalam yang dimiliki Siang Thianbeng
memang setingkat di atas Put-ji, apalagi posisinya berada dari
atas menekan ke bawah, daya tekanannya otomatis jauh lebih besar
dan kuat. Hal ini memaksa Put-ji mulai tidak sanggup menahan diri.
Sayang pertarungan saat ini merupakan pertarungan beradu
tenaga dalam, seluruh hawa murni yang dimiliki mereka berdua
telah dihimpun ke dalam pedang masing-masing, jika Put-ji
melepaskan atau mengendorkan pedangnya maka kecuali dia
menarik lebih dulu tenaga dalamnya, kalau tidak tubuhnya pasti
akan terjerembab ke muka.
Di samping itu mana dia berani melepaskan pertahanannya yang
terakhir, andaikata musuh mengirim lagi dengan sebuah tusukan
maut, bukankah jiwanya akan terancam bahaya maut"
Bila kondisi seperti ini dibiarkan berlangsung lebih lama,
tampaknya selembar nyawa Put-ji akan terancam bahaya maut.
Di saat yang kritis itulah mendadak terlihat sesosok bayangan
manusia meluncur ke tengah udara dan bagaikan sambaran burung
rajawali, langsung menyela di tengah mereka berdua.
Orang itu tidak lain adalah Tiong-ciu Tayhiap Bouw Ciong-long
yang sejak hari ini sudah berubah menjadi Bu-beng, pejabat
Ciangbunjin yang baru. Begitu menyusup masuk diantara ke dua orang itu, Bu-beng
segera mengebaskan ujung bajunya ke samping, tampak cahaya
pedang berkelebat lewat, tahu tahu ujung bajunya telah terkoyakkoyak
dan beterbangan di angkasa bagai sekumpulan kupu-kupu.
Saking terkejutnya semua orang hanya bisa berdiri melongo
dengan mata terbelalak, kedua bilah pedang itu sudah dipenuhi
pancaran tenaga dalam, bila tidak hati-hati dalam penanganan, bisa
jadi akan melukai tubuh sendiri dan bila sampai terjadi begitu, biar
tubuhnya terbuat dari lapisan baja pun tidak urung akan muncul
juga beberapa lubang ditubuhnya.
Namun sama sekali diluar dugaan, begitu termakan kebasan
ujung baju itu tubuh Put-ji justru mundur sempoyongan sampai
beberapa kaki jauhnya sebelum berhasil berdiri tegak.
Siang Thian-beng ikut tergoncang juga tubuhnya walau sepasang
kakinya masih menjejak di tanah, sekalipun tusukan pedangnya
tetap berlanjut, namun karena goncangan itu otomatis sasarannya
jadi meleset. Dengan berpisahnya ke dua orang jago ini maka menang kalah
pun segera ketahuan, Siang Thian-beng memang menggunakan
tehnik dan akal dalam serangan kali ini, namun dalam pertarungan
kemenangan tetap berada dipihaknya.
Selesai memisahkan kedua orang itu, dengan lantang Bu-beng
berseru, "Kalau hanya ingin menjajal kepandaian, berhentilah pada
saling menutul, buat apa musti bertarung habis-habisan!"
Perkataan itu Cengli dan masuk diakal, namun dalam
pendengaran Siang Thian-beng justru mendatangkan perasaan yang
tidak sedap. Sementara kawanan jago lainnya pun berdiri semakin termangu,
sekarang mereka baru tahu bahwa ilmu meminjam tenaga ternyata
memang luar biasa hebatnya.
Kalau dibahas dari saling menutul, tentu saja dalam hal ini dia
berhasil mengungguli Put-ji satu gebrakan, namun dia dikalahkan
pula oleh Bu-beng. Padahal tujuan kedatangan Siang Thian-beng adalah hendak
mengalahkan Bu-tong-pay, mana mungkin dia mau menyudahi
persoalan sampai disitu saja"
Dari malu dia jadi gusar, mendadak sambil melepaskan satu
tusukan ke tubuh Bu-beng, bentaknya, "Bagus, aku memang ingin
minta petunjukmu!" Tubuhnya sempoyongan sementara kakinya terhuyung-huyung
keadaannya persis seperti orang mabuk. Tapi caranya
memanfaatkan kesempatan sungguh luar biasa, tampaknya ujung
pedang itu segera akan menembusi tenggorokan Bu-beng.
Mendadak dia hentikan serangannya seraya membentak,
"Kenapa belum meloloskan pedangmu" Mau menunggu sampai
kapan?" Bu-beng tersenyum.
"Tahu diri dan tidak sampai membuat malu, Kau berhasil
menangkan satu gebrakan dari sutitku, aku rasa anggap saja kaulah
pemenangnya." Sepintas perkataan ini seakan mengalah, padahal yang benar
gebrakan itu justru merupakan jurus mundur untuk maju.
Sebagaimana diketahui, ketika melawan Siang Thian-beng, Put-ji
bertarung dengan posisi sebagai satu satunya murid Bu-siang Cinjin,
bila Siang Thian-beng benar-benar 'menarik diri setelah berhasil',
tentu saja anggota perguruan Bu-tong-pay lainnya tidak dapat
berbuat apa apa terhadapnya.
Tapi masalah ini justru hebatnya terletak pada ucapan "tahu diri
dan tidak sampai membuat malu", jangan lagi Siang Thian-beng
memang pada dasarnya tidak ingin menyudahi persoalan itu, bila
dia bersedia berdamai pun, tindakannya ini bakal membuat dia
kehilangan muka. Berubah hebat paras muka Siang Thian-beng, hardiknya, "Apa
maksudmu dengan perkataan tahu diri tidak sampai malu" Kau


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anggap aku benar-benar bukan tandinganmu?"
"Tentu saja Pinto tidak punya maksud begitu, Pinto hanya
merasa bahwa ilmu pedang kedua partai kita masing-masing
mempunyai kelebihan sendiri, kalau benar-benar harus ditentukan
menang kalah, aku khawatir justru akan merusak suasana."
"Sejak awal aku sudah bilang!" teriak Siang Thian-beng semakin
gusar, "kemenanganku atas keponakan murid itu tidak masuk
hitungan, bagaimana pun aku tetap akan berduel melawanmu."
"Buat apa musti begitu?" Bu-beng tetap ter-senyum.
"Jadi kau bersikeras enggan memberi petunjuk?" bentak Siang
Thian-beng gusar, sambil menghardik dia lancarkan sebuah
tusukan. Serangan ini selain cepas, ganas pun berbahaya, tahu-tahu ujung
pedangnya telah mengancam di ujung hidung Bu-beng.
"Ooh, jadi Siang-heng tetap ingin paksa aku untuk pamer
kejelekan?" tanya Bu-beng kemudian sambil tersenyum.
"Betul, aku tidak akan mengulang perkataan yang sama, jika kau
enggan membalas, itu berarti sedang mencari penyakit buat diri
sendiri!" Serangan yang dilancarkan ke tiga kalinya ini jauh lebih ganas
ketimbang serangan ke dua, kali ini sasaran yang diarah adalah
sepasang mata Bu-beng. "Kejadian yang sama tidak akan diulang tiga kali!" teriak Put-po
tiba-tiba, "Ciangbun susiok, kau telah mengalah tiga jurus!"
Pada saat itulah terlihat cahaya pedang bagai sebuah rantai
membentuk satu lingkaran besar yang mengelilingi arena, kemudian
diiringi suara benturan keras, dua sosok bayangan manusia saling
berpisah satu dengan lainnya.
Hampir delapan-sembilan puluh persen anggota Bu-tong-pay
tidak sempat melihat dengan jelas peristiwa apa yang telah terjadi,
ada diantara mereka yang khawatir, ada pula yang merasa ngeri,
mereka takut Bu-beng telah dilukai oleh serangan maut itu, bahkan
ada pula yang langsung mengumpat, "Tidak punya muka!
Ciangbunjin kami telah mengalah kepadamu, kau justru...."
Tiba-tiba semua orang tertegun dan tidak mampu melanjutkan
umpatannya lagi. Tapi saat itulah ada seseorang yang melanjutkan
makian tersebut, "Hahahaha.... tepat sekali, dia memang benar
benar tidak punya muka!"
Apa yang disebut "dia memang benar-benar tidak punya muka?"
Ucapan itu kedengarannya memang agak susah untuk dicerna,
tapi setiap murid Bu-tong-pay yang hadir saat itu dapat
menyaksikan kejadian dihadapan mereka dengan jelas sekali,
hingga tidak perlu dijelaskan pun mereka sudah paham sendiri.
Apa yang telah mereka saksikan" Ternyata mereka telah
menyaksian "Siang Thian-beng" yang lain, tidak tepat kalau
dikatakan orang yang lain, lebih tepatnya kalau dibilang mereka
telah menyaksian Siang Thian-beng tapi dengan wajah yang
berbeda. Kalau Siang Thian-beng yang tadi adalah seorang lelaki setengah
umur yang berwajah kaku, dingin dan tanpa emosi, bahkan lebih
tepat dibilang mirip sesosok mayat hidup, maka Siang Thian-beng
yang tampil dihadapan mereka sekarang adalah seorang pemuda
tanpa kerutan sedikitpun di wajahnya, waktu itu dia sedang berdiri
dengan wajah kaget, gugup dan melongo.
Tidak sedikit anggota perguruan Bu-tong-pay yang kaya
pengalaman dunia persilatan, setelah diawasi lebih seksama, banyak
diantara mereka yang sadar akan kejadian yang telah berlangsung.
Ternyata Siang Thian-beng yang tampil dari tadi adalah
seseorang yang mengenakan topeng kulit manusia, dan Siang
Thian-beng yang tampil sekarang inilah baru benar-benar tampil
dengan wajah aslinya. Setelah termangu sesaat tiba-tiba Put-po berteriak keras,
"Sebuah jurus Hian-nio-hua-sah (Burung hitam mengayuh pasir)
yang sangat hebat!" Menyusul teriak itu, Put-hu, Put-hui, Put-lam,
Put-tin sekalian anggota murid yang berdiri di belakangnya seakan
baru mendusin dari impian, serentak mereka ikut berteriak, "Ilmu
pedang yang digunakan Ciangbun susiok benar-benar sangat hebat!
Siang Thian-beng, kali ini kau bisa menyerah dengan hati puas
bukan?" Ternyata walaupun Bu-beng tidak sampai mencabut pedangnya,
namun jurus yang digunakan untuk memunahkan tusukan Siang
Thian-beng ke arah matanya benar-benar adalah jurus ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat tingkat tinggi.
Dengan tangan sebagai pengganti pedang, mula mula dia
gunakan jurus Sam-coan-hoat-lun (tiga kali memutar roda hakim)
untuk mengunci serangan lawan dalam lingkaran hawa pedangnya,
kemudian dengan tehnik menggiring dan membetot dia paksa
pedang lawan mau tidak mau berputar mengikuti kemauan sendiri
lalu memutar balik ke arah yang berlawanan, dalam gerakan itu
pedangnya justru senjata makan tuan dengan merobek topeng kulit
manusia yang dikenakan. Oleh sebab itu pujian Put-po tentang "Sebuah jurus Hian-niohua-
sah (Burung hitam mengayuh pasir) yang sangat hebat!"
sesungguhnya merupakan jurus serangan yang digunakan Siang
Thian-beng saat itu. Hanya sayang gerak tangannya sudah tidak
mentaati perintahnya lagi melainkan di bawah pengaruh Bu-beng.
Dengan meminjam pedangnya, meminjam tangannya dan
meminjam jurus serangannya, Bu-beng telah memaksa dia untuk
membongkar kedok penyaruannya sendiri.
Bila diuraikan peristiwa itu rasanya begitu pelik dan kalut,
padahal gerakan yang dilakukan Bu-beng saat itu jauh lebih cepat
daripada sambaran petir. Bisa meminjam jurus serangan lawan untuk melukai pihak lawan
pun sebenarnya sudah terhitung satu tindakan yang luar biasa,
apalagi Bu-beng masih bisa menggunakan ujung pedang lawan
untuk merobek topeng kulit manusia yang dikenakan diwajahnya
tanpa melukai kulit muka itu sendiri, hal ini benar-benar diluar
dugaan siapa pun. Perlu diketahui, topeng kulit manusia yang dikena kan Siang
Thian-beng saat itu begitu halus dan tipis, melebihi tipisnya
selembar kertas. Kejutan lain masih ada di belakang! Kejadian yang membuat para
anggota Bu-tong-pay terperangah bukan hanya lantaran
kedahsyatan ilmu pedang itu saja.
Mula-mula konsentrasi mereka hanya tertumpu pada kehebatan
ilmu pedang itu, namun setelah termangu beberapa saat, mereka
baru merasakan hal lain yang tidak beres.
Paras muka Siang Thian-beng yang muncul di depan mata saat
ini adalah wajah seorang pemuda yang berusia paling dua puluh
tahunan, padahal murid Hian Tin-cu yang mengadakan perjanjian
dengan Bu-siang Cinjin terjadi pada tiga puluh enam tahun
berselang. "Kau bukan Siang Thian-beng!" kata Bu-beng dingin.
"Hmm, aku hanya mengatakan kalau aku dari perguruan Hian
Tin-cu- sahut pemuda itu ketus, "tentang kalian telah
menganggapku sebagai orang lain, itu sih urusan kalian sendiri."
Sejujurnya dia memang tidak pernah mengakui kalau dirinya
adalah Siang Thian-beng. Sekalipun menurut keadaan pada
umumnya, istilah dari 'perguruan' sama artinya adalah "murid" dari
seseorang, namun kata dari perguruan tidak mengharuskan kalau
dia adalah murid langsung, boleh jadi dia hanya seorang cucu
murid. Kembali Put-po mendengus dingin.
"Hmm, paling tidak kau punya hubungan dengan Siang Thianbeng
bukan?" sindirnya. "Tentu saja! Kalau tidak, buat apa aku kemari. Aku adalah murid
Siang Thian-beng, dengan nama Tonghong Liang."
"Apa sebab gurumu tidak datang sendiri?" tanya Bu-siang Cinjin.
"Dulu, kau boleh mewakili gurumu untuk bertanding, mengapa
pula aku tidak boleh mewakili guruku untuk memenuhi janji?"
"Kalau begitu perjanjianku dengan gurumu tempo hari sudah
dapat dianggap selesai bukan?"
"Seharusnya pertanyaan itu kau langsung tanyakan kepada
pejabat Ciangbunjin barumu!"
Beberapa orang anggota Bu-tong-pay yang temperamen kontan
saja mencaci maki kalang kabut, tapi Bu-beng tetap tenang bahkan
emosi pun tidak, tanyanya dengan suara lembut, "Maaf aku tidak
mengerti apa maksud perkataanmu?"
"Jika kau anggap dengan berhasil mengungguli diriku maka
reputasi Bu-tong-pay bisa terjaga, maka sesuai peraturan dunia
persilatan, lantaran aku datang mewakili guruku, kau boleh saja
menganggap masalah ini telah selesai."
Bicara dari tingkat kesenioran, posisi Tonghong Liang hanya
sejajar dengan murid angkatan "Put" dalam partai Bu-tong,
sebaliknya Ciangbunjin baru Bu-beng berasal dari tingkatan yang
sejajar dengan Ciangbunjin lama Bu-siang Cinjin, jadi kekalahan
Tonghong Liang di tangan Bu-beng tidak bisa dianggap kehilangan
muka. Tapi bila lantaran kemenangan tersebut kemudian pihak Bu-tongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
pay menganggap masalah terselesaikan, maka tindakan tersebut
paling tidak akan menjadi bahan pembicaraan orang banyak, karena
mereka "rela turun pangkat" kalau sampai terjadi begitu, bagaimana
mungkin mereka dapat menjaga reputasi dan nama baik partai"
Sekarang semua orang baru sadar, rupanya sejak awal dia
memang sengaja berusaha mengaburkan suasana dengan mengaku
dirinya dari perguruan Hian Tin-cu, rupanya dia berniat mencari
tahu kehebatan ilmu pedang Bu-tong-pay demi gurunya.
Hanya saja, walaupun pihak Bu-tong-pay sadar kalau dia sedang
main siasat untuk mencari keuntungan, akan tetapi sulit bagi
mereka untuk tidak menerima tantangan tersebut.
Dalam pada itu Tonghong Liang telah menyarungkan kembali
pedangnya dan berkata kepada Bu-beng seraya menjura, "Harus
kuakui bahwa aku takluk kepadamu karena ilmu pedangmu
memang jauh lebih hebat ketimbang kemampuanku. Cuma sayang,
belum tentu kau dapat memenangkan guruku f4'
Dalam situasi begini, betapa bagusnya kesabaran Bu-beng, tidak
urung dia tidak ingin menunjukkan kelemahan sendiri dihadapan
orang, segera sahutnya dengan suara dalam, "Jadi kau berniat
membuatkan janji untuk gurumu?"
"Aku tidak bisa mewakili gumku untuk memberi jawaban, tapi
aku bersedia menyampaikan niatmu untuk bertanding pedang
kepada beliau." Sebagaimana diketahui, dia datang karena sedang mewakili
gurunya untuk memenuhi janji, dengan sendiri nya tata cara dan
pembicaraan semuanya harus mengikuti 'aturan'. Itulah sebabnya
dia hanya bisa mengatakan begitu.
"Bagus," jawab Bu-beng perlahan, "tolong sampaikan kepada
gurumu, bila dia masih berniat untuk menjajal ilmu silatku, setiap
saat pinto bersedia memenuhi undangannya."
"Pesan dari Totiang pasti akan kusampaikan. Bila kau tidak ada
pesan lain, aku mohon pamit."
Begitu selesai bicara, dia langsung menerobos dari antara
kerumunan murid Bu-tong-pay dan turun gunung.
Berbicara dari tingkat kesenioran, posisinya paling hanya sejajar
dengan murid Bu-tong-pay dari angkatan "Put", meskipun sekarang
pihak Bu-tong-pay berhasil menangkan pertarungan ini, namun dua
orang murid angkatan "Put" yang paling tinggi kepandaiannya, Putpo
dan Put-ji telah keok ditangan orang itu, boleh dibilang
kekalahan yang diderita pemuda itu bukanlah kekalahan yang
memalukan. Menyaksikan kepergian orang itu, para anggota Bu-tong-pay
merasa amat masgul, semua orang merasa sangat kehilangan
muka. Di tengah rasa malu, kecewa dan menyesal, dengan sendirinya
kesan para anggota Bu-tong-pay terhadap Bu-beng pun berubah
menjadi baik-baik, rasa kagum dan rasa berterima kasih terpancar
keluar dari wajah semua orang.
Coba kalau bukan Bu-beng tampil ke depan, bahkan berhasil
menangkan pertarungan itu secara cantik, mau ditaruh kemana
nama baik dan reputasi partai Bu-tong"
Jalan pemikiran semua anggota perguruan segera diutarakan
oleh Put-po dengan tampil ke depan dan sekali lagi memberi
penghormatan kepada Bu-beng, ujarnya, "Hari ini aku baru sadar,
ternyata aku tidak lebih hanya katak dalam sumur, tidak tahu
tingginya langit dan tebalnya bumi, harap susiok mau memaafkan
ketidak sopananku tadi."
Put-pay adalah murid pertama Bu-liang Totiang, walaupun dia
menaruh kesan jelek terhadap Bu-beng, namun saat ini mau tidak
mau harus mengikuti juga di belakang Put-po dan menyampaikan
perasaan kagumnya itu. "Ilmu pedang susiok betul-betul membuat pandangan mata tecu
semakin terbuka, Tonghong Liang bajingan cilik itu benar-benar
kelewat latah dan jumawa, tapi kenyataannya susiok hanya butuh
tiga jurus telah berhasil membuatnya kehilangan muka. Kalau
muridnya saja hanya begitu, tidak mungkin gurunya bisa kelewat
hebat. Menurut pendapat tecu, biarpun bajingan itu omong besar
untuk gurunya, mungkin perbuatannya itu hanya gertak sambal
belaka." "Bisa jadi ilmu pedang yang dimiliki guru bermurid itu tidak
selisih banyak, namun bila disertai dengan kesempurnaan tenaga
dalam, jelas hasilnya akan jauh berbeda. Gurunya tersohor sebagai
Malaikat pedang, jadi menurut pendapatku, kita tidak boleh
pandang enteng kemampuan mereka berdua."
Put-ji yang terakhir kali tampil ke depan menyampaikan selamat,
diapun mengucapkan terima kasih karena Bu-beng telah
membantunya melepaskan diri dari kesulitan.
Sambil tersenyum ujar Bu-beng, "Ilmu pedangmu cukup bagus,
bila di kemudian hari kau berhasil melatih ilmumu hingga sanggup
menggabungkan gerakan lurus dan gerakan sesat, sudah pasti
kehebatanmu bisa membantu menaikan pamor perguruan."
Melihat Ciangbunjin baru mereka begitu rendah hati, para murid
semakin merasa kagum. Sementara itu Bu-si Tojin yang berada diatas mimbar sedang
minta petunjuk dari Suhengnya, dia berkata, "Ilmu pedang Hui-eng
kiam-hoat memang tidak ditemukan celah apa pun, bila Siang
Thian-beng sendiri yang menggunakan ilmu pedang tersebut,
menurut pendapat mu apakah Bu-beng Suheng berpeluang untuk
menangkan pertarungan?"
Bu-siang Cinjin termenung sejenak, kemudian sahutnya, "Ilmu
pedang itu mati, perubahan itulah yang hidup. Jika kita dapat
menggunakan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat sesuai dengan
kehendak hati sendiri, biar ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat tanpa
celah pun kita tetap bisa menciptakan celah baginya. Menurut
pandang anku, ilmu pedang Bu-beng sudah hampir mendekati
puncak kesempurnaan. Aku tidak berani mengatakan dia pasti bisa
menang, yang bisa kukatakan hanyalah dia lebih banyak berpeluang
untuk menang." Berbicara sampai disitu, tiba-tiba Bu-siang Cinjin menghela napas
panjang.

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat itu Bu-si Tojin jadi tertegun, tanyanya, "Kalau memang
Bu-beng Suheng berpeluang besar untuk menang, mengapa
Ciangbunjin masih menghela napas?"
Sekali lagi Bu-siang Cinjin menghela napas panjang, katanya,
"Bila satu perguruan besar hanya mengandalkan kehebatan dari
satu, dua orang jagoan saja, jelas kemampuannya belum sanggup
untuk menunjang seluruh partai, yang penting justru ada generasi
penerusnya. Dulu, walaupun Hian Tin-cu menderita kekalahan,
namun ahli warisnya justru generasi yang lebih hebat daripada
generasi sebelumnya. Kini kemam-puan Siang Thian-beng sudah
jauh melampui kehebatan gurunya Hian Tin-cu, sementara
Tonghong Liang yang barusan datang, walau usianya masih muda
namun kemampuannya sudah sangat hebat, entah bagaimana
jadinya setelah usia pertengahan nanti, menurut pandanganku, bisa
jadi dia akan jauh lebih hebat daripada gurunya sekarang, Siang
Thian-beng." "Tapi kemampuan Put-ji sutit juga terhitung hebat!" seru Bu-si
Tojin. "Dia memang hebat, hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?"
"Aku khawatir dia tidak menempuh jalan yang lurus, apalagi dia
baru menjadi pendeta setelah setengah jalan, sulit rasanya untuk
mencapai puncak kesempurnaan. Memang betul bakatnya termasuk
orang pilihan dalam perguruan kita, namun bila dibandingkan
Tonghong Liang, aku rasa.... dia masih ketinggalan sedikit."
Kelihatannya kesehatan tubuh Bu-siang Cinjin semakin mundur,
baru selesai mengucapkan perkataan itu dia sudah terbatuk
berulang kali, bahkan suaranya pun semakin lemah dan lirih, begitu
lemah hingga murid yang berdiri di dekat mimbar pun tidak sempat
mendengar. Saat itu para anggota Bu-tong-pay sedang berkasak-kusuk
sendiri membicarakan peristiwa yang barusan berlangsung, otomatis
tidak ada diantara mereka yang berniat mencuri dengar
pembicaraan Ciangbunjin mereka.
Namun ada satu orang yang terkecuali, dia tidak lain adalah Putji,
satu-satunya murid Bu-siang Cinjin.
Tenaga dalam yang dimiliki Put-ji termasuk cukup sempurna dan
jauh melampaui kemampuan rekan-rekan se angkatannya, bahkan
dibandingkan Bu-liang Totiang pun hanya selisih sedikit, begitu dia
mendengar Bu-si Tojin menyinggung namanya, dengan cepat dia
pun pasang telinga untuk mencuri dengar pembicaraan itu.
Ketika gurunya bilang kalau dia bukan tandingan Tonghong
Liang, mau tidak mau dia harus mengakui akan kenyataan tersebut,
tapi dengan cepat dia pun merancang sebuah rencana baru bagi diri
sendiri, pikirnya, "Benar, sekarang aku memang belum sanggup
mengalahkan Tonghong Liang si bajingan muda itu, tapi sepuluh
tahun kemudian, ketika aku telah berhasil menguasai seluruh ilmu
silat perguruan, lihat saja bagaimana hasilnya nanti. Yang aku
khawatirkan justru sampai waktunya, kau hanya bisa mendengar
laporanku dari dalam kuburanmu."
Tapi ada satu hal yang membuatnya girang dan lega, pikirnya,
"Untung saja Suhu hanya menyesal karena aku tidak sanggup
mengungguli kehebatan murid orang, dia hanya terbatas menyesali
soal kemampuan ilmu pedangku dan bukan membicarakan soal
tabiat serta tingkah lakuku."
Bu-si Tojin sendiripun diliputi perasaan bingung dan rasa tidak
paham, dia tidak habis mengerti dengan perkataan Ciangbun
Suhengnya tentang "tidak menempuh jalan yang lurus".
Yang dimaksudkan Suhengnya adalah soal ilmu pedangnya yang
tidak lurus" Ataukah tingkah lakunya yang tidak lurus" Sebab secara
diam-diam diapun dapat merasakan bahwa tingkah laku Put-ji
belakangan semakin aneh dan mencurigakan.
Tentu saja semua kecurigaan tersebut hanya bisa disimpan di
dalam hati, dia segan untuk menanyakan masalah ini kepada
Ciangbun Suhengnya hingga jelas.
Agaknya Bu-siang Cinjin sendiripun merasakan ganjalan yang
sama, kembali dia menghela napas panjang.
Ooo)*(ooO BAB V. Put-ji tidak mentaati pesan terakhir.
"Suheng, mengapa kau menghela napas lagi?" Bu-si Tojin segera
bertanya. "Sebenarnya dalam perguruan kita bukannya tidak ada muridmurid
berbakat bagus, seperti misalnya Lan Giok-keng, cukup
berbicara dari bakatnya saja, menurut pandanganku dia tidak kalah
dari Tonghong Liang! Hanya sayang...."
"Hanya sayang kenapa?"
Bu-siang Cinjin hanya terengah-engah tanpa menjawab.
Bu-si Tojin segera perintahkan orang untuk menyuguhkan
secawan kuah jinsom, selesai meneguk satu tegukan dan mengatur
pernapasan, Bu-siang Cinjin baru berkata lagi, "Sayang usianya
masih kelewat kecil, mungkin sulit bagiku untuk melihatnya tumbuh
hingga dewasa, Sute, tolong kau yang merawatnya di kemudian
hari." Tentu saja Bu-si Tojin mengiakan berulang kali, namun muncul
perasaan "istimewa" di hati kecilnya, dia seperti merasa Suhengnya
punya sesuatu rahasia yang sulit diutarakan kepadanya saat itu.
"Sute," kembali Bu-siang Cinjin berkata sambil tertawa getir, "aku
sudah tidak punya waktu untuk berbicara panjang lebar lagi,
sekarang aku harus menyerahkan pekerjaan besar terakhir
kepadamu." Bu-si Tojin mengerti tugas terakhir apa yang akan diserahkan
kepadanya, cepat dia bertepuk tangan dua kali, para anggota
perguruan yang sedang ramai berbincang pun menjadi tenang
seketika. Setelah menarik napas panjang, dengan suara yang lebih lantang
ujarnya lagi, "Ilmu pedang yang dimiliki Bu-beng telah kalian
saksikan, sekarang, apakah masih ada orang yang keberatan untuk
mengangkat dia sebagai Ciangbunjin baru?"
Tentu saja tidak ada orang yang berani membantah.
Maka Bu-siang Cinjin pun berseru, "Bu-beng sute, silahkan naik
ke atas mimbar." Baru saja Bu-beng naik ke atas mimbar, Bu-siang Cinjin telah
mengambil sebuah kotak bersulam dan dipegangnya dalam
genggaman sambil berkata, "Kotak ini berisikan sejilid kitab ilmu
pukulan Thay-kek-kun yang ditulis sendiri oleh Thio Cinjin, Couwsu
pendiri partai serta sebuah cap batu kemala hadiah Kaisar Thaycouw,
mulai sekarang kuserahkan benda ini kepadamu dan kaulah
Ciangbunjin angkatan ke sembilan belas partai Bu-tong kita!"
"Suheng, lebih baik ke dua benda mustika ini kau serahkan
kepadamu setelah kau berusia seratus tahun!" seru Bu-beng
terperanjat. Bu-siang Cinjin menggeleng, katanya lagi dengan sungguh
sungguh, "Kini perguruan kita sedang terancam bahaya, ada banyak
pekerjaan besar yang menantimu untuk dilakukan. Sementara aku
telah berusia delapan puluh tahun lebih, masa kau tidak rela
membiarkan aku melepaskan diri dari beban berat ini?"
Nada pembicaraan itu disertai dengan wibawa yang sulit dilawan,
terpaksa sambil menjatuhkan diri berlutut Bu-beng menerima
pemberian kotak tersebut.
Kini Bu-siang Cinjin baru tertawa terbahak-bahak, katanya, "Sute,
kepandaian silatmu sepuluh kali lipat lebih hebat dari
kemampuanku, setelah tiga puluh tahun lebih memangku jabatan
sebagai Ciangbunjin tanpa berhasil menumbuhkan bibit baru, baru
hari ini aku merasa bahwa apa yang kulakukan sangat tepat.
Dengan kau memangku jabatan sebagai Ciangbunjin, pikiran dan
perasaan ku pun jadi sangat lega tanpa beban lagi."
Begitu selesai mengucapkan perkataan terakhir, dia pun
pejamkan matanya sambil menundukkan kepala.
Bu-si Tojin cepat memburu maju sambil memeriksa, kemudian
jeritnya, "Ciangbun Suheng telah berangkat ke alam baka!"
Dengan berdiri tegak sambil merangkap tangannya di depan
dada, Bu-beng pun berseru, "Tiada wujud sumber dari tiada
halangan, tiada halangan mencerahkan kebebasan, apalah arti
tubuh kasar dibandingkan berpesiar ke empat samudra. Apalagi
Suheng sudah berusia diatas delapan puluh tahun dan pergi dengan
senyuman dikulum...."
Dengan kedudukan Bu-siang Cinjin dalam dunia persilatan, tentu
saja upacara penguburannya harus dilakukan secara besar besaran.
Hasil perundingan Bu-beng dan kedua orang tianglo, mereka
putuskan untuk mengabarkan kepada semua Ciangbunjin dari
pelbagai partai untuk ikut menghadiri upacara penguburan itu, dan
atas usul dari Bu-liang Totiang, mereka putuskan untuk menyelenggarakan
dua kejadian besar sekaligus.
Dua hari sesudah upacara penguburan, mereka berniat
mengadakan upacara pelantikan atas diangkatnya ketua baru.
Dengan begitu para tamu undangan tidak perlu melakukan
perjalanan dua kali. Berhubung partai Bu-tong semenjak di dirikan Thio Sam-hong
selalu mendapat 'perlindungan' dari pihak kerajaan, semua
Ciangbunjin baru pun selalu mendapat anugerah gelar "Cinjin" dari
Kaisar. Maka dua kejadian besar yang menimpa Bu-tong-pay pun
harus secepatnya dilaporkan ke pihak Kerajaan.
Saat itu para murid belum membubarkan diri, Put-po dengan
mewakili angkatan "Put" segera minta petunjuk kepada Ciangbunjin
baru. Kata Bu-beng kemudian, "Petunjuk tidak berani, hanya ada satu
masalah perlu kuumumkan kepada kalian semua."
Put-ji yang mendengar itu diam-diam tidak suka hati, pikirnya,
'Hmmm, baru sehari memegang kekuasaan, kini sudah mau main
perintah. Belum lagi diangkat jadi ketua secara resmi, ada urusan
apa pula yang hendak diumumkan"'
Tidak disangka persoalan yang diumumkan Bu-beng ternyata
jauh di luar dugaannya. Ternyata Bu-beng dengan posisinya sebagai Ciangbunjin,
mengumumkan kalau Put-po dan Put-ji secara resmi diangkat
menjadi tianglo. Sebetulnya kedudukan tianglo itu sangat tinggi, biasanya seorang
Ciangbunjin harus menjalankan upacara pelantikan lebih dahulu
kemudian baru mengumumkan pengangkatan. Tapi berhubung Putpo
dan Put-ji adalah murid dari angkatan lebih muda, apalagi saat
itu Bu-tong-pay sedang dilanda pelbagai masalah, maka
pengangkatan yang tidak sesuai dengan prosedur masih bisa
diterima semua orang. Semenjak Bu-kek tianglo tertimpa musibah enam belas tahun
berselang, hingga kini perguruan belum pernah mengangkat tianglo
baru, Bu-tong-pay sebagai partai besar, tentu saja sangat kurang
bila hanya memiliki dua orang tianglo saja.
Dalam hal ini, banyak anggota perguruan yang dapat
merasakannya. Hanya saja mereka sangka Bu-siang Cinjin sudah
mempunyai pengaturan lain sehingga siapa pun tidak ada yang
berani berkomentar. Sama sekali diluar dugaan ternyata Bu-siang Cinjin tak pernah
menyinggung kembali masalah itu, tak heran kalau persoalannya
tertunda hingga kini. Put-po adalah ahli waris Bu-kek tianglo, sementara Put-ji adalah
satu-satunya murid almarhun Ciangbunjin. Biarpun usia mereka
relatif masih muda (Put-po berusia empat puluh delapan tahun, Putji
berusia empat puluh tiga tahun), tapi tradisi tianglo usia muda
sudah pernah terjadi sebelumnya, ketika Bu-si Tojin diangkat
menjadi tianglo, usianya baru empat puluh satu tahun. Maka tidak
seorang anggota Bu-tong-pay pun yang mengajukan protes.
Biarpun Put-ji telah diangkat menjadi seorang tianglo, namun
dalam hati kecilnya dia berkeluh kesah dan merasa sangat tidak
puas, biarpun posisi tianglo cukup tinggi, bagaimana pun masih
kalah dibandingkan kedudukan seorang Ciangbunjin.
Kemarin, dia masih mengira posisi Ciangbunjin pasti akan
terjatuh ke tangannya, siapa sangka hanya dalam seharian, ada
begitu banyak perubahan yang telah terjadi.
"Hubungan seorang guru dan murid ibarat hubungan ayah
dengan anak, di waktu biasa kusangka Suhu menaruh perhatian
kepadaku, siapa sangka di saat paling kritis, dia justru tidak
menganggap diriku. Melarang aku menjenguknya waktu sakit,
dalam pertemuan besar para sesepuh pun aku disingkirkan begitu
saja. Bahkan menjelang ajalnya pun dia tidak meninggalkan pesan
apa-apa. Benar-benar tidak kusangka kalau dia lebih menaruh
perhatian terhadap orang luar ketimbang terhadapku!"
Sebagai seseorang yang licik dan banyak akal, tentu saja dia pun
mengerti maksud Bu-beng mengangkat dirinya menjadi seorang
tianglo, semuanya itu tidak lain hanya ingin merangkul dirinya. Tapi
terlepas apapun niatnya, dia wajib memberi muka juga kepadanya.
Dalam kekecewaan dan keculasannya, tanpa terasa timbul
perasaan geramnya terhadap sang guru yang telah tiada.
Tapi bagaimana pun juga dia adalah satu-satunya murid Bu-siang
Cinjin, lagipula baru saja diangkat menjadi tianglo, sekalipun tidak
suka hati, paling tidak dia musti tunjukkan mimik kalau ikut bersedih
atas kematian gurunya. Oleh karena itu dari angkatan "put" boleh dibilang dia nyaris
meninggalkan arena paling belakang.
Waktu itu hari sudah semakin gelap. Seorang diri dia berjalan
menuju ke Tokoan tempat tinggalnya. Ketika segulung angin dingin
berhembus lewat dan menyegarkan otaknya yang sedang sumpek,
tiba-tiba dia seperti teringat akan sesuatu, rasanya ada yang tidak
beres" Apa yang tidak beres" Aah, benar. Kenapa tidak nampak Lan
Giok-keng" Dia adalah ayah angkat Lan Giok-keng, merang-kap sebagai
gurunya juga. Selama ini bocah itu selaki menurut dan rapat dengan
dirinya, tapi berhubung kali ini banyak masalah diluar dugaan yang
menimpa perguruan, dia jadi tidak sempat mencari Lan Giok-keng.
Sekalipun begitu, seharusnya bocah itulah yang datang mencarinya,
mengapa hingga sekarang tidak nampak batang hidungnya"
Biarpun Lan Giok-keng masih kecil dan berasal dari angkatan
muda, namun dia adalah cucu murid kesayangan Bu-siang Cinjin,
hal ini boleh dibilang siapa pun tahu.
Ketika Bu-siang Cinjin meninggal dunia di tengah arena, meski
dia belum berhak untuk ikut merundingkan masalah penguburan
dan bisa dimaklumi bila tidak ada orang yang pergi mencarinya,
namun secara pribadi seharusnya dia tampil sendiri ke sana, karena
bagaimana pun yang meninggal adalah Sucouw kesayangannya.
Sungguh aneh, kenapa sampai kini belum nampak juga batang
hidungnya" Padahal dia sudah tidak termasuk bocah yang tidak tahu
urusan. "Jangan-jangan dia sudah balik ke Tokoan dan menunggu aku
disana?" siapa sangka sampai di Tokoan pun bayangan tubuh Lan
Giok-keng belum terlihat juga.
Sebenarnya dia ingin mendatangi rumah Lan Kay-san untuk
menanyakan hal itu, tapi berhubung hari sudah malam, lagipula
gurunya baru meninggal, sebagai satu-satunya murid Ciangbunjin,
statusnya sekarang adalah anak berbakti. Kurang leluasa baginya


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk tinggalkan kuil dalam suasana begini.
Hingga keesokan harinya Lan Giok-keng belum kelihatan juga,
kini dia tidak tahan lagi untuk segera melakukan pencarian.
Baru keluar dari kuil Gi-tin-kiong, tiba-tiba dilihatnya Bouw It-yu
sedang berjalan mendekat, tidak tahan dia pun bertanya, "Saudara
Bouw, sepagi ini mau ke mana?"
"Ayah minta aku pulang ke rumah."
"Ciangbunjin baru segera akan diangkat, kenapa kau malah
tinggal pulang?" tanya Put-ji tertegun.
"Upacara penguburan Bu-siang Cinjin paling cepat pun baru akan
diselenggarakan setengah tahun lagi, bukankah disini sudah ada
Suheng yang bakal membantu ayahku, jadi rasanya tidak perlu
kehadiranku." "Aaah, mana-mana. Bicara soal bertugas, mana mungkin aku
bisa menandingi kehebatan saudara Bouw."
Dalam pembicaraan kedua orang ini, masing-masing menyelipkan
nada menyindir yang amat tajam.
Tiba tiba Bouw It-yu tertawa tergelak.
"Hahahaha.... jadi maksud Suheng, biarpun ingin pulang, tidak
seharusnya aku pulang begitu cepat. Apalagi kita sudah merasa
cocok sejak perkenalan pertama. Terus terang saja, kali ini aku
sedang menjalani tugas yang diperintahkan ayah. Setelah pulang ke
rumah sejenak, aku harus segera berangkat ke wilayah Liauw-tong."
"Mau apa ke Liauw-tong?" saking melengaknya tanpa sadar Put-ji
berseru. Begitu sadar kalau salah bicara, buru-buru dia menambahkan,
"Padahal aku bertanya lantaran ingin tahu saja, tugas yang
dibebankan Ciangbunjin kepadamu tidak pantas kalau kutanyakan."
"Aaah, kau kan tianglo partai, bila tidak bertanya malah kesannya
seperti dengan orang luar," Bouw It-yu tertawa, "terus terang,
kepergianku ke Liauw-tong adalah untuk mencari tahu jejak Jitseng-
kiam-kek Kwik Tang-lay!"
"Kwik Tang-lay?" biarpun dihari biasa Put-ji pandai membawa
diri, tidak urung dia menjerit juga saking kagetnya setelah
mendengar nama itu. Sebagaimana diketahui, ketika dia mendatangi desa nelayan
tempat tinggal Keng King-si di Liauw-tong tempo hari, dia pernah
berjumpa dengan Kwik Tang-lay bahkan pernah terluka diujung
pedangnya. Dengan senyum tidak senyum ujar Bouw It-yu, "Sebetulnya
urusan ini lebih cocok kalau dilaksana kan Suheng, sayang urusan
disini kelewat banyak, lagipula Suheng harus membantu ayah,
karena itu terpaksa ayah menyuruh aku yang berangkat."
Sudah sejak tiga puluh tahun berselang si jago pedang tujuh
bintang Kwik Tang-lay lenyap di wilayah Liauw-tong, Bu-siang Cinjin
pernah mengemukakan kecurigaannya kalau Kwik Tang-lay bisa jadi
adalah ayah Huo Bu-tuo, sahabat karib Keng King-si sewaktu hidup
di wilayah itu. Hingga kini mati hidup Huo Bu-tuo masih merupakan tanda tanya
besar, namun andaikata dia masih hidup maka orang itulah satu
satunya saksi yang mengetahui duduk perkaran Keng King-si yang
sebenarnya. Tercekat perasaan Put-ji setelah mendengar perkataan itu,
segera pikirnya, "Jangan jangan begitu ayahnya diangkat jadi
Ciangbunjin, kasus salah bunuhku terhadap Keng King-si segera
akan diusut dan diselidiki hingga tuntas?"
Kasus ini bisa menyangkut dua kasus lain yang jauh lebih besar
dan gawat. Sekalipun Put-ji yakin dapat menyangkal, tak urung
perasaan hatinya tercekat juga.
"Kalau dihitung dari usianya, tahun ini mungkin Kwik Tang-lay
sudah mencapai usia enam puluh tahunan," kata Bouw It-yu lagi,
"aku dengar Suheng pernah bertarung melawannya saat bertemu di
Liauw-tong?" "Benar," mau tidak mau terpaksa Put-ji mengaku, 'biarpun
usianya sudah tua, namun aku tidak sanggup mengalahkan dia."
"Aku dengar dalam setiap jurus ilmu pedang tujuh bintang milik
Kwin Tang-lay terdapat tujuh buah titik pedang yang sukar dihadapi.
Tapi hal ini bukan berarti tidak ada cara untuk mematahkannya.
"Ayah pernah berdiskusi denganku mengenai ilmu pedang ini.
Menurut ayah, asal kita dapat melatih ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat
hingga mencapai puncak kesempurnaan, dengan tenang
mengatasi gerak. Maka tidak sulit untuk mematahkan ancaman dari
Jit-seng-kiam-hoat ini."
Put-ji tertawa getir. "Mana gampang untuk melatih ilmu pedang
Thay-kek kiam-hoat hingga mencapai puncak kesempurnaan" Aku
rasa di dunia saat ini mungkin hanya ayahmu seorang yang dapat
mencapainya. Selama ini saudara Bouw banyak mendapat petunjuk
ayahmu, meski belum mencapai puncak kesempurnaan, rasanya
kemampuanmu masih lebih dari cukup untuk mengungguli Kwik
Tang-lay." "Masalahnya tidak segampang apa yang kau katakan. Apalagi
bicara soal kemampuan ilmu pedang, aku masih jauh bila
dibandingkan Suheng. Hanya saja, tugasku kali ini memang bukan
bertarung melawan Kwik Tang-lay, tapi hanya menyelidiki jejaknya
saja." Berbicara sampai disitu dengan senyum tidak senyum dia
memandang Put-ji, tiba-tiba nyelutuknya, "Suheng tidak perlu
khawatir!" Tanpa terasa berubah hebat paras muka Put-ji, sekuat tenaga dia
berusaha menenangkan diri, balik bertanya, "Apa yang perlu aku
khawatirkan?" "Perselisihan yang terjadi antara Suheng dengan Kwik Tang-lay
akan dibantu penyelesaiannya oleh ayah."
"Ooh, soal ini.... soal ini.... aku tidak berani merepotkan
ayahmu," jawab Put-ji kemudian agak tergagap.
"Aaah, kita semua kan orang sendiri, tidak perlu sungkanTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
sungkan. Ayahku bilang, kalau bukan lantaran desakan dan pesan
Bu-siang Cinjin, sebetulnya dia segan menerima jabatan sebagai
Ciangbunjin, untuk itu dikemudian hari masih butuh bantuan
Suheng. Sebab itulah bila urusan disini telah diselesaikan, beliau
akan datang sendiri mencari Kwik Tang-lay, sampai waktunya
dendam sakit hati Suheng pasti akan terbalaskan juga."
"Ooh, rupanya tujuan ayahmu mencari tahu jejak Kwik Tang-lay
adalah untuk maksud ini," kata Put-ji sambil tertawa getir.
"Tepat sekali, baguslah bila kau mengerti," sahut Bouw It-yu,
selesai berkata diapun menjura sambil berpamitan.
Put-ji bukan orang bodoh, tentu saja dia mema-hami maksud
dibalik perkataan itu, pikirnya, 'Rupanya mereka berdua berniat
menggunakan peristiwa ini untuk memaksa aku menuruti kemauan
mereka. Bila aku enggan membantu dan berbakti kepada mereka,
pastilah mereka berdua akan mengungkap peristiwa ini ke depan
umum.' "Hmm, kelihatannya mereka ayah beranak sudah tahu tentang
peristiwa 'salah membunuh" yang kulakukan terhadap Sute. Itulah
sebabnya mereka sengaja mencari Kwik Tang-lay untuk menyeliki
kasus ini hingga tuntas!"
Dalam keadaan tidak tenang, hampir saja dia bertubrukan
dengan seorang tosu tua yang tahu-tahu sudah muncul
dihadapannya. Sebagaimana diketahui, di atas gunung Bu-tong terdapat ratusan
orang tosu tua, seandainya tosu tua ini adalah orang lain, mungkin
dia tidak terlalu menaruh perhatian, tapi tosu yang nyaris
ditubruknya adalah seorang tosu istimewa, dia tidak lain adalah tosu
bisu tuli yang sebagian besar hidupnya dilewatkan untuk merawat
Bu-siang Cinjin. Melihat mimik muka tosu bisu tuli yang aneh, Put-ji segera
menegur, "Apakah kau datang mencari aku?"
Sebetulnya tosu bisu tuli bukan bisu dan tuli sejak lahir, oleh
karena itu walaupun tidak dapat mendengar suara pembicaraan
orang, namun dia dapat menebak maksud ucapan orang lain dari
gerakan mulutnya. Tentu saja bila orang lain berbicara dengan
lambat, sebab kalau terlalu cepat sulitlah baginya untuk menangkap
gerakan bibir orang. Kini, dengan cara itulah Put-ji mengajak dia berbicara.
Tosu bisu tuli manggut-manggut seraya membuat gerakan
tangan, artinya, "Betul, aku sedang mencarimu."
Walau begitu, diujung bibirnya tersungging tertawa dingin, Put-ji
tidak paham apa maksudnya.
"Tahukah kau anak Keng pergi ke mana?" tanyanya lagi dengan
perasaan was was. Tosu bisu tuli manggut-manggut lalu menggeleng, kemudian
diikuti melakukan beberapa gerakan tangan yang rumit. Put-ji hanya
bisa menebak beberapa bagian, maka dia sengaja menebak secara
ngawur yang membuat tosu itu makin gelisah.
Badai Laut Selatan 6 Pendekar Wanita Buta Serial Tujuh Manusia Harimau (7) Karya Motinggo Busye Jodoh Si Mata Keranjang 6
^