Pencarian

Perawan Lembah Wilis 2

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


terkejut setengah mati. Pondok itu sudah hancur lebur,
seperti diamuk gajah! Arca Bathara Kala sudah menjadi
keping-kepingan batu dan di luar pondok sang wiku
bertanding melawan Endang Patibroto. Cantik dan gagah
dia. Cantik manis sekali ya, adi Klabangmuko?"
"Seperti bidadari dari Bali!" kata Klabangmuko meram-
melek, agaknya membayangkan wajah yang jelita dan
tubuh yang montok itu. Ia tampak seperti seekor anjing
Herder melihat daging, menjilat-jilat bibir.
"Teruskan, kakang. Bagaimana akhir pertandingan?"
"Kami tadinya hendak membantu sang wiku, akan tetapi
tidak keburu lagi karena sekali tampar sang wiku
menggeletak tak berkutik lagi. Bahkan berdiripun tidak
mampu dia. Agaknya lengannya poklek (patah) dan iganya
remuk. Kemudian.......... kemudian.........." Orang tinggi
besar dengan kumis sekepal sebelah ini bergidik ngeri.
"Tenanglah, kakang. Lalu bagaimana, terbunuhkah sang
wiku?" tanya Raden Sindupati tenang.
"Kalau terbunuh biasa saja kami tidak akan ngeri, raden.
Wanita itu.......... huh, begitu cantik jelita, begitu halus
kulitnya, begitu manis senyumnya,
kiranya...... seperti iblis sendiri! Dia membuat boneka
dari lempung menyerupai sang wiku, kemudian..........
kemudian ia terbang.........."
"Terbang?"" Raden Sindupati terkejut juga, karena
sesakti-saktinya manusia, belum pernah ia mendengar ada
orang dapat terbang, kecuali kalau sudah memiliki tingkat
setengah dewa seperti misalnya mendlang Sang Prabu
Airlangga, atau Sang Rakyan Kanuruhan Patih Narotama,
atau sedikitnya setingkat Sang Resi Empu Bharodo!
"Betul, terbang! Bukankah kau melihat dia terbang,
Klabangmuko?" "Betul! Dia bersila begini, lalu tubuhnya dalam keadaan
bersila itu melayang ke arah sang wiku, mencabut
rambutnya dan kembali melayang ke tempat tadi, masih
duduk bersila seperti ini," kata Klabangmuko sambll meniru
gerak-gerak Endang Patibroto. Raden Sindupati mengangguk-angguk. Ia mengerti sekarang dan diam-diam
ia kagum juga. Blarpun bukan terbang, namun cara
meloncat dengan keadaan duduk bersila bukanlah hal yang
mudah dilakukan. Kakek tinggi besar yang matanya lebar
hanya mendengus lagi, seakan-akan semua yang diceritakan
Itu tidak aneh baginya, biasa saja dan sudah diketahuinya.
"Kemudian.......... kemudian ia melakukan persis seperti
yang dilakukan sang wiku selama ini dengan Aji
Kalacakranya. Ia mengambil tusuk konde dan menusuk-
nusuk boneka dan ?". dan sang wiku berlumur darah dari
semua tubuhnyal" cerita ini membuat para prajurlt merasa
ngeri dan mereka hanya saling pandang.
"Sudah kuduga.......... sudah kuduga.......... wiku sombong itu mana mampu menandingi murid gustiku
Dibyo Mamangkoro?" kata kakek tinggi besar itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Semua itu tidak penting," kata Raden Sindupati tak
sabar, "yang penting.......... apakah yang dikatakan oleh
sang wiku ketika ia hendak dibunuh" Tentu kalian dapat
mendengar apa yang mereka, bicarakan."
"Betul, raden. Endang Patibroto mengancam dan
mendesak agar sang wiku mengaku siapa yang menyuruhnya melakukan pembunuhan-pembunuhan itu.
Dan sang wiku, dalam saat terakhir sekalipun, tetap
berpegang kepada kesetiaan, dia mengatakan bahwa yang
menyuruhnya adalah Pangeran Darmokusumo dari
Panjalu." "Bagus..........I Ha-ha-ha-ha, bagus.......... Wiku Kalawisesa, andika (kamu) tewas sebagai seorang gagah
sejati yang masih memegang kesetiaan. Bagus, ha-ha-ha,
tepat sekali rencana Sang Adipati Blambangan." Tiba-tiba ia
menoleh ke arah kakek tinggi besar Itu.dan berkata,
"Paman Brejeng, kau yakin betul bahwa Endang
Patibroto akan mengenalmu?"
"Mungkin lupa, akan tetapi kalau aku mengingatkan hal-
hal lalu, tentu ia ingat bahwa aku adalah Brejeng, pelayan
pribadi Gusti Dibyo Mamangkoro," jawab kakek itu dengan
sikap dan kata-kata yang kasar sekali. Agaknya ia tidak bisa
bicara halus seperti sikap orang-orang liar. Memang orang
liarlah kakek ini, bekas anak buah Dlbyo Mamangkoro.
"Baik sekali. Memang untuk itulah kau kubawa serta,
paman Brejeng. Sekarang dengarkan kalian semua
rencanaku selanjutnya." Raden SIndupatl duduk di atas
sebuah batu dan anak buahnya berjongkok mengelilinginya,
mendengarkan rencana siasat yang akan dipergunakan
terhadap Endang Patibroto.
Kita tInggalkan dulu pasukan Blambangan yang sedang
mengatur slasat dan mari kita mengikuti perjalanan Endang
Patibroto. Tentu saja Endang Patibroto tidak mengetahui
sama sekali akan keadaan suaminya, dan lebih?lebih tidak
menyangka ada pasukan Blambangan yang merencanakan
siasat untuk menjebaknya. Ia melakukan perjalanan siang
malam menuju ke istana Kota Raja Panjalu. Di sepanjang
perjalanan, ia mellhat betapa kehidupan rakyat Panjalu jauh
lebih makmur daripada keadaan rakyat JenggaIa. Rumah-
rumah penduduk dusun lebih baik, pakaian mereka lebih
bersih dan terutama sekali sinar wajah mereka lebih
gembira dan tubuh mereka leblh gemuk sehat. Ia menghela
napas panjang dan harus mengakui bahwa sang prabu di
Panjalu jauh lebih pandai mengatur pemerintahan daripada
sang prabu di Jenggala. Ketika tiba di Kota Raja Panjalu, ia tidak berani
memperlihatkan dirl, bersembunyi dan malam harinya ia
menyusup ke dalam kota raja, langsung ia mencari istana
tempat tinggal Pangeran Darmokusumo. Malam itu sunyi
sekali karena hujan turun rintik-rintik semenjak sore. Akan
tetapi suasana sunyi ini menyenangkan hati Endang
Patibroto. Memang lebih sunyi lebih baik. la hendak
menculik Pangeran Darmokusumo dan dipaksanya mengaku. Kemarahannya terhadap pangeran ini masih
belum mereda, bahkan setelah tiba di situ, amarahnya
makin meluap. Ia teringat betapa pangeran ini yang menjadi
biang keladi segala urusan, yang mengotorkan dan
mencemarkan nama baiknya, bahkan yang hampir saja
membunuh suaminya. Kalau teringat akan ini, sudah
sepatutnya kalau ia membunuh pangeran ini. Akan tetapi ia
tidak akan membunuhnya, hanya akan memaksanya
mengakui semua perbuatannya di depan sang prabu, di
depan umum. Endang Patibroto sama sekall tidak mengira bahwa
desas-desus tentang dirinya pada waktu itu lebih hebat lagl.
Berita yang didesas-desuskan oleh Suminten kiranya telah
mendahuluinya sampai ke Panjalu! Juga kepergiannya,
bahkan ia tidak berada di rumah, telah terdengar sampai ke
Panjalu. Di dalam beberapa hari ini tidak pernah terjadi
pembunuhan-pembunuhan mujijat lagi dan hal ini
dihubungkan dengan kepergiannya. Setelah ia pergi, tidak
ada lagi terjadi pembunuhan-pembunuhan. Makin yakinlah
hati orang-orang yang tidak menyukainya bahwa dialah
biang keladi semua pembunuhan! Juga Endang Patlbroto
sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada saat itu,
baris pendem pasukan Panjalu sudah siap menantinyal Para
senopati Panjalu telah menerima berita rahasia yang dikirim
oleh Raden Sindupati tentang kedatangannya ke Panjalu.
Terutama istana Pangeran Darmokusumo telah dijaga oleh
baris pendem yang amat banyak dan kuat. Inllah
merupakan hasil sebuah di antara siasat Raden Slndupati.
Dengan menyamar sebagaI seorang ponggawa Jenggala ia
mengirim seorang pembantunya berkuda secepatnya ke
Panjalu membawa berita bahwa Endang Patibroto berusaha
menyerang dan membunuh Pangeran Darmokusumo! Dan
karena memang desas-desus tentang Endang Patibroto
sudah santer mempengaruhi orang-orang dan terutama
sekali para senopatl Panjalu, maka tanpa memeriksa lebih
lanjut lagi para senopati lalu membuat persiapan
menyambut kedatangan Endang Patibroto!
Karena memang dibiarkan masuk, dengan mudah
Endang Patibroto malam itu meloncat masuk melalui
dinding tinggi yang mengelilingi istana Pangeran Darmokusumo. Akan tetapi begitu ia menyelinap ke
ruangan depan, terdengar bentakan keras,
"Tangkap pembunuh!" Seketika ia dikurung oleh
puluhan orang pengawal bersenjata lengkap. Obor-obor
dipasang dan ia segera diserbu!
Endang Patibroto terkejut sekali. Ia hendak membuka
mulut, akan tetapi maklum bahwa percuma saja bicara.
Para pengawal itu tentulah kaki tangan Pangeran
Darmokusumo yang entah bagaimana sudah mengetahui
kedatangannya. "Pangeran Darmokusumo, keluarlah kalau kau laki-lakil
Jangan mengusahakan rencana pemberontakan dan
pembunuhan secara keji dan pengecut!" teriak Endang
Patibroto, akan tetapi segala macam senjata sudah
mengurung dan menyerangnya. Terpaksa Endang Patibroto
bergerak dan robohlah empat orang pengeroyok! Ia hendak
nekat masuk, ingin menangkap Pangeran Darmokusumo,
akan tetapi dari dalam berlompatan keluar lima orang
senopati pilihan dari Panjalu dikepalai oleh Ki Patih
Suroyudo sendiri! Patih tua ini memegang tombak pusaka
dan ia membentak. "Endang Patibroto, kau benar-benar iblis betina! Kau
pembunuh pengecut dan keji, masih berani mengeluarkan
kata-kata keji terhadap gusti pangeran?"
"Paman Patih Suroyudo! Dengarlah baik-baik.., Bukan
aku, melainkan Pangeran Darmokusumo yang menjadi
biang keladi segala.........."
"Tutup mulut, iblis wanita laknat!" Ki Patih Suroyudo
sudah menerjang dengan tombaknya, namun sedikit
miringkan tubuh, Endang Patibroto sudah mengelak dan
sekali tangannya bergerak, ia menangkap tombak dan
didorong kuat-kuat ke belakang sehingga ki patih yang tua
itu terhuyung-huyung dan terjengkang roboh. Lima orang
senopati berseru marah dan menubruk dengan senjata
masing-masing. "Kalian tidak mau mendengar kata-kataku?" Biarkan aku
menghadap sang prabu, akan kubuka semua rahasia
Pangeran Darmokusumo!" teriaknya akan tetapl siapa sudi
mendengar kata-katanya"
Jilid Ill SEMUA ORANG sudah membentinya, yakin bahwa
dialah wanita iblis yang menyebar maut dan kini datang
hendak membunuh Pangeran Darmokusumo pula. Lima
orang senopati dengan gerakan lincah mendesak maju.
Endang Patibroto kewalahan juga karena hujan senjata
menyerang dirinya. la mengeluarkan pekik melengking
saking marahnya dan...,... Aji Sardulo Bairowo ini
membuat lima orang pengawal yang kurang kuat terguling
roboh. Menggunakan kesempatan selagi lima orang
senopati , itu mundur karena pengaruh Sardulo Bairowo,
Endang Patibroto meloncat ke belakang. Seorang senopati
melontarkan tombaknya. Endang Patibroto membuat gerak
loncat berjungkir balik, ujung kakinya menyentuh tombak
yang terbang menyeleweng dan menembus dada seorang
pengawal, pengawal itu menjerit dan roboh tewas, dadanya
ditembus tombak. Geger di pekarangan istana Pangeran Darmokusumo.
Tampak oleh Endang Patibroto kini Pangeran Darmokusumo keluar dari istana berdiri tegak dengan
muka marah. Puteri Mayagaluh berdiri di samping
suaminya, sebatang keris telanjang di tangan, menjaga
keselamatan suaminya. Hampir Endang Patibroto tertawa.
Puteri ini masih cantik, bekas sahabatnya,. adik suaminya.
Memegang keris, seakan-akan dengan keris itu akan dapat
melawannya. Ingin ia terbang menyambar pangeran itu,
namun jarak terlampau jauh dan di depannya terlampau
banyak pengawal mengeroyoknya. Bahkan kini lima orang
senopati sudah maju lagi, yang kehilangan tombak sudah
memegang tombak baru. Juga Ki Patih Suroyudo sudah
maju samba memberi aba-aba membesarkan hati anak
buahnya. Endang Patibroto menarik napas panjang. Percuma saja


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan kekerasan. Tak mungkin ia dapat melawan
sekian banyaknya perajurit, belum lagi kalau pasukan-
pasukan pembantu tiba. Dia seorang diri mana mampu
menghadapi ratusan, bahkan ribuan perajurit Panjalu" Juga,
tidak baik kalau ia menyebar maut di antara para perajurit
ini, yang tidak tahu apa-apa dan yang terkena bujuk
Pangeran Darmokusumo si pengkhianat, si pemberontak!
Lebih baik ia pulang, menceritakan terus terang kepada
suaminya. Suaminya tentu akan mencari jalan keluar yang
baik, mungkin dengan melapor kepada sang prabu di
Jenggala. Ingin rasanya ia menangis saking kecewa hatinya.
Usahanya gagal malah ia dikurung rapat. Ia menjadi marah
dan kembali beberapa orang pengeroyok roboh terjungkal.
Ia hanya mengandalkan kaki tangan, namun para perajurit
itu tidak berdaya. Sekali tangkis tombak patah, pedang
golok beterbangan. Sekali tampar biarpun perlahan,
pengeroyok-pengeroyok berjatuhan. Endang Patibroto
memekik lagi, hebat sekali pekik Sardulo Bairowo ini. Para
pengeroyok terdekat mundur ketakutan, saling tabrak saling
tindih, saling himpit. Endang Patibroto meloncat, dan terus
berloncatan menggunakan kepala-kepala dan pundak-
pundak para pengeroyok sebagai landasan. Akhirnya ia tiba
di luar istana. "Tangkap.......... ! Bunuh.......... ! Kejar.......... !!"
Teriakan-teriakan ini saling sahut dan bertubi-tubi. Mereka
mengejar, namun sia-sia. Bagaikan bayangan iblis tubuh
Endang Patibroto berkelebat dan senjata-senjata beterbangan lagi. Teriak-teriakan kesakitan terdengar susul-
menyusul. Para pengeroyok banyak yang roboh, membuat
yang lain gentar. Namun Endang Patibroto tidak berniat
membunuh mereka, hanya merobohkan dengan tamparan-
tamparan sekedar membuat tulang lengan patah dan kepala
pening. Kemudian ia melompat lagi, merobohkan lagi
beberapa belas pengeroyok kemudian lenyap menghilang
ditelan malam. Hujan masih turun rintik-rintik, keadaan
gelap pekat namun para perajurit masih sibuk mencari dan
mengejar sampai jauh. Suara mereka berisik, mengagetkan
para penduduk yang tidak berani keluar dan menjadi
penakut sejak terjadinya peristiwa pembunuhan- pembunuhan aneh pada diri para ponggawa selama ini.
Terengah-engah Endang Patibroto berhenti berlari di
dalam hutan, berteduh di bawah sebatang pohon besar. Ia
lelah, lelah sekali. Lelah lahir batin, Sudah sepuluh tahun ia
tidak pernah bertanding, maka pertandingan melawan
Wiku Kalawlsesa yang sakti, ditambah lagi perjalanan tak
kunjung henti ke Panjalu, kemudian pengeroyokan ketat
tadi, membuat tubuhnya lelah luar biasa. Dan sepuluh
tahun ia hidup bahagia, aman tenteram di samping
suaminya yang tercinta, kini menghadapi pelbagai hal
menjengkelkan hati, batinnyapun lelah sekali. Ia bersandar
kepada sebatang pohon, dan tak terasa lagi tertidur, biarpun
air hujan ada satu dua yang menetes turun ke atas tubuhnya
melalui daun-daun pohon yang lebat.
Hatinya diliputi kekhawatiran besar ketika Endang
Patibroto melanjutkan perjalanannya, pulang ke Jenggala.
Ia dapat membayangkan betapa gelisah hati suaminya yang
malam itu ditinggalkan, kemudian sampai hampir dua
pekan ia tidak pulang! Akan tetapi suaminya akan lebih
gelisah lagi kalau sudah mendengar ceritanya tentang
pengakuan Wiku Kalawisesa. Siapa kira, Pangeran
Darmokusumo. Bedebah! Hari telah senja ketika ia tiba di pintu gerbang sebelah
selatan Kota Raja Jenggala. Tiba-tiba dari arah kiri ia
mendengar bunyi burung emprit gantil.
"Tiiiiit-tuiiiiit-tuiiit-tit-tit-tit.........."
Tak mungkin bunyi burung emprit gantil. Itulah suara
tanda rahasia yang biasa dipakai para pengawal suaminya!
Hatinya berdebar tak enak dan secepat kilat tubuhnya
berkelebat ke kiri. Keadaan sudah remang-remang akan
tetapi ia dapat melihat bergeraknya tubuh orang di selokan
dekat sawah. "Gusti puteri.......... Bayangan itu memanggil, lirih dan
suaranya mengandung rintihan.
Ia meloncat dekat. Melihat orang itu merangkak keluar
dari selokan. "Gusti puterl.......... !"
"Aahhh, engkaukah ini, kakang Sungkono..........?"
Endang Patibroto meloncat menghampiri dan orang itu
mengeluarkan keluhan, lalu menubruk kaki Endang
Patibroto. "Aduhhh, gusti puteri.......... "
"Ada apa, kakang Sungkono" Mengapa kau di sini
dan.......... eh, kenapa berlumur darah" Engkau terluka,
kenapa?" Hati Endang Patibroto seperti ditusuk-tusuk pisau,
indra ke enamnya bekerja dan ia tahu bahwa telah terjadi
sesuatu yang hebat. "Gust! puteri.......... bencana hebat menimpa.......... gusti
pangeran ditangkap dengan tuduhan melindungi paduka.......... dituduh memberontak.......... karena pembunuhan-pembunuhan itu.......... karena paduka menyerang istana Pangeran Darmokusumo.......... !"
Dada Endang Patibroto terguncang, menggelora,
kakinya menggigil. Suaminya ditangkap! Akan tetapi ia
masih dapat menguasai suaranya yang bertanya mendesak.
"Lalu bagaimana.......... " Dia dibawa kemana.......... ?"
Ia merasa ngeri mendengar suaranya sendiri, seperti suara
orang lain yang asing, suara yang kosong.
"Mula-mula..........
pasukan datang........ hendak menangkap paduka, atas perintah gusti prabu. Gusti
pangeran membantah, melawan dan dikeroyok. Hamba.......... hamba membelanya, tapi kena tusuk
tombak....... aduhh, hamba tak kuat lagi, gusti......."
Endang Patibroto berjongkok, memegang pundak Raden
Sungkono yang ternyata terluka parah, terutama di
lambungnya. "Kakang.......... ke mana dibawanya suamiku.......... " "Di penjara istana.......... paduka larilah .......... paduka
akan ditangkap.......... hamba............ hamba tak kuat,
aduhhhh........." Sungkono menjadi lemas tubuhnya.
"Kakang.......... ! Kakang Sungkono........." Akan tetapi
Endang Patibroto tahu bahwa panggilannya tak terjawab.
Sungkono pengawal setia itu sudah menghembuskan nafas
terakhir. Ia meletakkan kepala pengawal itu ke atas tanah,
lalu berdiri seperti arca. Suaminya ditangkap gara-gara
Pangeran Darmokusumo! Ia menggertakkan giginya. la
harus membebaskan suaminya, biar harus mengorbankan
nyawa. Ia harus menyerbu penjara istana, biar dikepung
seluruh perajurit Jenggala! Suaminya tidak bersalah,
suaminya tidak berdosa. Dan kalau hendak menangkap
Pangeran Darmokusumo si pengkhianat dianggap dosa,
dialah yang berdosa, bukan suaminya.
"Kakangmas pangeran.......... !" Ia menjerit lalu terduduk
mendeprok di atas tanah, dekat mayat Sungkono,
menangis! Baru kali ini Endang Patibroto menangis hebat
semenjak menjadi isteri Pangeran Panjirawit. Kemudian ia
memegang pundak mayat itu dan berbisik, "Terima kasih,
kakang.......... terima kasih atas pembelaanmu sehingga kau
mengorbankan nyawa untuk suamiku.......... maafkan aku,
tak dapat aku mengurus mayatmu karena aku harus
membebaskan suamiku.......... selamat tinggal, kakang
Sungkono!" Ia lalu meloncat bangun, mukanya beringas
dan lahirlah kembali Endang Patibroto wanita sakti
mandraguna. Air matanya berhenti mengucur, pandang
matanya berkilat ketika tubuhnya melesat jauh ke depan,
menuju dinding tinggl yang mengelilingi Kota Raja
Jenggala. Karena sudah sepuluh tahun menjadi isteri Pangeran
Panjirawit, tentu saja Endang Patibroto sudah hafal akan
keadaan di istana dan tahu pula di mana letaknya tempat
tahanan. Tempat tahanan ini merupakan sebuah gedung
besar di sudut belakang kelompok bangunan istana, terbuat
daripada dinding batu yang tebal dan kuat, dikelilingi
pekarangan yang lebar. Malam itu amat sunyi di lingkungan istana. Endang
Patibroto yang berkelebat melalui jalan di atas wuwungan,
melihat betapa penjagaan di tempat-tempat biasa diperketat,
bahkan tampak seragam-seragam perajurit yang biasanya
tidak tampak menjaga keraton. Ia dapat menduga bahwa
pasukan pengawal keraton yang tidak berapa besar
jumlahnya, kini ditambah dengan pasukan-pasukan perajurit. Namun berkat ilmu kepandaiannya yang hebat,
Endang Patibroto berhasil menyusup melalui wuwungan-
wuwungan, dilindungi kegelapan malam, sampai ia berada
dekat dengan rumah tahanan. Dari atas wuwungan dapur
istana di belakang, ia mengintai. Rumah tahanan itu berada
di depannya, di bawah. Ketika ia mengintai, kagetlah hatinya melihat banyaknya
perajurit dan pengawal memenuhi pekarangan rumah
tahanan itu. Bukan main! Sedikitnya tentu ada tiga ratus
orang perajurit, mengawal etat, menjaga rumah tahanan itu
seperti semut-semut merubung bangkai jangkerik. Bahkan ia
melihat pula banyak perajurit berada di atas wuwungan
rumah itu, siap dengan busur dan anak panah! Kalau ia
nekat menyerbu, agaknya takkan mungkinlah menembus
penjagaan yang sekuat itu. Kiranya sang prabu Jenggala
benar-benar sudah siap sedia menanti kedatangannya! Ia
mengertak gigi, hatinya panas sekali. Apapun yang akan
terjadi, ia harus dapat membebaskan suaminya! Siapapun
orangnya, baik sang prabu sendiri, tidak boleh menahan
suaminya, tidak boleh membelenggu suaminya, kecuali
melalui mayatnya sendiri!
Endang Patibroto termenung, mengasah otak mencari
akal. Ia tidak mau secara sembrono menyerbu begitu saja.
Bukan karena ia takut. Ditambah lima kali jumlah itupun ia
tidak akan takut, mati bukan apa-apa baginya. Akan tetapi
ia harus dapat membebaskan suaminya dan hal ini takkan
mungkin terlaksana kalau ia berlaku nekat. Ia harus cerdik.
Setelah termenung sejenak, tubuhnya lalu berkelebat,
melayang turun di bagian yang tak terjaga.
Kurang lebih satu jam kemudian tampak asap mengebul
di bagian sebelah kanan dapur istana.
"Kebakaran?" ! Kebakaran ?"!!" teriak penjaga yang
melihat asap dan api. "Air.......... ! Air.......... !"
"Hayo bantu padamkan........., lekas sebelum membesar
apinya.......... !" Seorang perwira berseru keras ketika melihat anak
buahnya tersebar panik. "Hei! Jangan membantu semua!
Sebagian tetap menjaga di sini!"
Karena tindakan tegas sang perwira, keadaan tidak
begitu panik lagi, dan hanya beberapa orang penjaga
secukupnya saja yang ditugaskan membantu pemadaman
apa yang membakar atap bangunan itu. Akan tetapi pada
menit?menit berikutnya, kembali tampak asap mengebul,
kini di sebelah utara dekat kandang kuda.
"Kebakaran lagi! Itu di sana, dekat kandang!"
"Dan itu di sana ada api! Dekat gudang!"
"Tolong! Bantu! Kebakaran di mana-mana.......... !"
Kini tak dapat dicegah lagi, kepanikan terjadi dengan
hebat. Para perajurit tersebar seperti semut digebah.
Seorang di antara para perajurit, yang memisahkan diri,
agaknya hendak mencari ember atau alat lain pemadam
kebakaran, tiba-tiba menerima pukulan dua jari yang
ditekuk, tepat mengenai leher di bawah telinga kiri. Hanya
terdengar suara "ngukkk!" dan perajurit ini roboh lamas tak
sadarkan diri. Endang Patibroto cepat menanggalkan
pakaian luar perajurit ini, dan cepat pula mengenakan
pakaian itu pada tubuhnya sendiri. Tubuh perajurit ini lebih
besar daripadanya, akan tetapi karena pakaian itu ia
kenakan di luar pakaiannya sendiri, maka tidaklah terlalu
besar amat. Rambutnya kini tersembunyl di dalam topi
perajurit dan jadilah ia kini seorang perajurit yang tampan
dan gagah. Endang Patibroto menyambar tombak perajurit
itu kemudian iapun berlari-lari. Tak lama kemudian, iapun
tampak di antara para perajurit dan pengawal yang
bercampur-aduk,sehingga tidak ada bahaya baginya
ketahuan kepala pasukan. Keadaan amat panik dan lima


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat kebakaran yang dibuat olehnya cukup membuat
para perajurit tidak begitu memperhatikan rumah tahanan.
Dengan pura-pura berdiri tegak dengan tombak di tangan,
Endang Patibroto beraksi "menjaga" di' depan jendela
kamar tahanan. Ketika mendapat kesempatan, ia membuka
daun jendela dari kayu itu. Jeruji-jeruji besi di sebelah
belakang daun jendela yang sebesar lengan-lengan manusia
bukan apa-apa bagi Endang Patibroto.
Ia mengerahkan aji kekuatannya dan sekali tangannya
mementang, dua buah jeruji melengkung lebar, bahkan
bagian atas yang menancap pada kayu terlepas! Bagaikan
seekor burung, Ia melompat masuk dan tidak lupa menarik
daun jendela dari dalam sehingga jeruji yang tidak
sebagaimana mestinya itu tidak tampak dari luar. Cepat ia
lari ke dalam. "Hai.......... , kawan, mau apa kau masuk ke sini?" Tiba-
tiba muncul empat orang penjaga penjara, yaitu petugas
penjara. Endang Patibroto meniru suara pria lalu berkata.
"Kepala pasukan menyuruh melihat apakah Pangeran
Panjirawit masih ada di tempatnya. Di luar banyak terjadi
kebakaran, kepala pasukan khawatir kalau-kalau pangeran
dilarikan musuh." "Mana bisa" Kami menjaga di sini siapa dapat
melarikannya" Akan tetapi, baik kau lihat sendiri, kawan."
Karena keadaan di luar yang panik membuat para penjaga
di sebelah dalam juga panik sehingga dalam keadaan kacau
itu penistiwa masuknya seorang perajurit yang mestinya
tidak wajar dianggap biasa. Bersama empat orang petugas
penjara itu, Endang Patibroto dibawa masuk ke sebelah
belakang. la melihat bahwa petugas di dalam tahanan
hanya ada delapan orang, maka hatinya menjadi lega.
"Nah, itulah dia. Masih meringkuk seperti tikus. Apa
kaukira siluman yang menjadi isterinya itu dapat.......... "
"Ngekk!!" Sebuah tinju mengenai ulu hati si pembicara
yang roboh tak bersuara dan tak bernapas lagi. Tiga yang
lain terkejut, akan tetapi tiga kali tubuh Endang Patibroto
bergerak dan tiga kali terdengar suara mengaduh dibarengi
robohnya tiga orang. Mendengar ribut-ribut ini, empat
petugas yang lain datang. Inilah yang dikehendaki Endang
Patibroto. "Eh, ada apakah.......... Empat orang petugas yang masih
mengira Endang Patibroto seorang perajurit biasa, datang
berlarian dan bertanya. Namun pertanyaan mereka
disambut gerakan kaki tangan yang luar biasa cepatnya dan
hampir berbareng empat orang itupun roboh semua.
"Endang.......... "Pangeran.......... !!,!
Mereka berpelukan, saling dekap eraterat seakan-akan
takut kalau-kalau mereka terpisah lagi........... .
"Aku tahu, kau takkan membiarkan aku dikeram terus,
isteriku.......... ?"
Pangeran Panjirawit merangkul dan menciumi isterinya........... "
Air mata Endang Patibroto membasahi pipi dan dagu
suaminya. "Kakanda .......... maafkan hamba.......... telah
membikin sengsara kakanda.......... "
"Hushhh.......... !" Pangeran Panjirawit menutup mulut
isterinya dengan bibir, untuk mencegahnya melanjutkan
kata-kata. "Kau tidak pernah salah, aku yakin. Apakah yang
telah terjadi" Benarkah engkau menyerbu ke Panjalu" Aku
tidak percaya.......... "
"Nanti saja, kakanda. Kita belum bebas. Yang penting
sekarang bagaimana kita dapat keluar dari sini."
Pangeran Panjirawit baru teringat akan hal ini dan
keningnya berkerut penuh kekhawatiran. Ia memandang
isterinya yang berubah menjadi seorang perajurit dan kalau
saja keadaan tidak berbahaya seperti itu, tentu ia akan
mentertawakan dan menggoda isterinya sedemikian rupa
sampai isterinya menghentikan godaannya dengan cium,
gigit dan cubit. Biasanya begitu kalau di rumah. Kemudian
ia melirik ke arah petugas tahanan yang menggeletak
malang-melintang. "Benar, kakanda. Sebaiknya kanda menyamar," kata
Endang Patibroto yang agaknya mengikuti .gerak mata dan
sikap suaminya. Hatinya lega bukan main melihat
suaminya dalam keadaan sehat selamat dan hanya hal
inilah yang terasa di hatinya. Yang lain-lain tidak ia
hiraukan. Cepat Endang Patibroto membelejeti (menanggalkan) pakaian luar seorang di antara para petugas
tahanan yang tubuhnya sama besar dengan tubuh
suaminya, kemudian membantu suaminya mengenakan
pakaian itu. Pada saat itu, terdengar pintu depan digedor-gedor dari
luar. Teriakan perwira menggema ke dalam rumah tahanan,
"Haii! Penjaga-penjaga di dalam, apakah kalian tuli"
Ataukah tertidur" Keparat, hayo buka pintu ini.......... !!"
Endang Patibroto memegang lengan suaminya. "Cepat,
pangeran." Ia menarik lengan suaminya melalui ruangan
dalam, terus menuju ke jendela yang jerujinya sudah ia
buka tadi. Dari belakang jendela itu terdengar suara
hiruk?pikuk para perajurit, dan pintu depan kini digedor-
gedor dengan kerasnya, bahkan mulai didorong oleh
banyak perajurit. "Cepat, kakanda. Melalui jendela ini!" bisik Endang
Patibroto. "Tapi.......... tapi di luar banyak perajurit, yayi.
Bagaimana engkau.......... ?" Di dalam hatinya Endang
Petibroto terharu. Dalam keadaan seperti itu, suaminya
masih mengkhawatirkan dirinya, tidak menghiraukan diri
sendiri. Sama pula dengan dia, baginya mati tidak apa-apa
asal suaminya selamat! "Jangan khawatir, kakanda sayang, adinda meiindungi."
Endang Patibroto kini mengerahkan Aji Gelap Musti
memukul ke arah jendela dan.......... "krekkk!" jeruji-jeruji
itu patah-patah semua. "Mari kugendong, pangeran, agar
kami dapat lari lebih cepat, menggunakan ajiku Bayu
Tantra!" Pangeran Panjirawit maklum akan kesaktian isterinya,
maklum bahwa dalam usaha melarikan diri ini sepenuhnya
tergantung dari tenaga isterinya. Ia lalu merangkul pundak
isterinya dari belakang, membiarkan dirinya digendong,
mengempit pinggang yang ramping itu dengan kedua
kakinya. Mulutnya berbisik di dekat telinga isterinya, "Aku
sudah siap .......... mati bersama.......... "
"Tidak, kita hidup bersama, suamiku" bisik Endang
kembali, kemudian ia melangkah mundur tiga tindak lalu
mengerahkan Aji Bayu Tantra dan tubuhnya melesat
melalui jendela. Daun jendela itu tertabrak dan terbuka
lebar. Pangeran Panjirawit sungguhpun sudah yakin akan
kesaktian isterinya, tak dapat tidak menjadi kagum sekali
ketika tubuhnya "diterbangkan" melalui lubang jendela
yang tidak berapa lebar, begitu tepat dan hanya sedikit
pundaknya menyentuh pinggir jendela!
Di luar para perajurit masih sibuk memadamkan api dan
sebagian pula mendongkrak pintu depan rumah tahanan.
Ketika melihat munculnya seorang perajurit muda
menggendong seorang berpakaian penjaga, mereka tertegun
dan terbelalak heran. Akan tetapi ketika tubuh perajurit itu
meloncat jauh dan mereka mengenal wajah si penjaga yang
digendong, berteriak-teriaklah mereka.
"Pangeran lolos.......... ! Kepung.......... ! Tangkap..........
Segera banyak perajurit menghadang dengan tombak dan
pedang di tangan. Endang Patibroto sudah menduga bahwa
ia harus bertanding mati?matian, tidak membuang banyak
waktu, kaki tangannya bergerak dan empat orang perajurit
roboh. la tidak biasa menggunakan tombak, maka tombak
tadi kini ia serahkan kepada suaminya, sedangkan ia sendiri
menyambar sebatang pedang lawan yang ia robohkan.
Mulailah Endang Patibroto mengamuk. Suaminya yang
berada di punggungnya juga menggerakkan tombak ke
kanan kiri merobohkan perajurit yang datang dari jurusan
ini. Biarpun punggungnya menggendong Pangeran Panjirawit, namun gerakan Endang Patibroto masih amat
lincah dan ganas. Pedangnya berkelebat, bergulung-gulung
sinarnya dan banyak perajurit roboh.
Akan tetapi, makin banyak yang roboh, makin banyak
pula yang datang, seperti semut mengeroyoknya dan
,teriakan-teriakan mereka amat bising. Endang Patibroto
mulai khawatlr, mengkhawatirkan suaminya, ia dapat
mengamuk lebih leluasa, akan tetapi takut kalau-kalau
suaminya terpisah dan terluka.
"Pangeran, buang tombak dan pegang erat-erat!"
bisiknya. Biarpun Pangeran Panjirawit tak mengerti mengapa ia
harus membuang tombak, namun percaya penuh kepada
isterinya, ia melemparkan tombaknya dan memeluk leher
isterinya erat-erat. "Awas, pangeran!" bisik Endang Patibroto. Dengan
pedangnya ia menyapu dengan gerakan tiba-tiba sehingga
lima enam orang prajurit yang tak menyangka-nyangka
wanita itu akan berjongkok dan menyapu ke bawah, roboh
dengan kaki buntung atau setengah buntung terbabat
pedang! Dan tiba-tiba, bagaikan seekor burung, Endang
Patibroto sudah mengenjot tubuhnya dan melayanglah
tubuhnya ke atas genteng rumah tahanan! Akan tetapi
sebelum kakinya menginjak genteng, belasan batang anak
panah menyambar dari depan seperti hujan!
"Celaka.......... awas anak panah, Endang .......... I"
Pangeran Panjirawit berteriak cemas. Akan tetapi kembali
ia kagum bukan main karena biarpun tubuhnya masih
melayang di udara, namun dengan memutar pedang sampai
pedang itu mengeluarkan bunyi mengaung, semua anak
panah dapat dipukul runtuh. Bahkan tangan kirinyapun
menyambar dan.......... dua batang anak panah dapat
ditangkapnya. Tubuhnya terus ke depan sambil tangan
kiranya bergerak menyambitkan anak panah ke depan.
Terdengar, teriakan dua orang pemanah yang dadanya
termakan senjata sendiri. Kini Endang Patibroto sudah
turun ke atas genteng. Segera la dikeroyok oleh belasan
orang pengawal yang memiliki ilmu sIlat lumayan. DI sini
Endang Patibroto mengamuk lagi, dalam waktu singkat
merobohkan lima orang pengeroyok dengan pedangnya.
Akan tetapi kini banyak pengawal dan perwira yang
berkepandaian sudah berlompatan naik ke atas genteng.
Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang. Endang
Patibroto yang sudah banyak pengaiamannya bertempur di
waktu mudanya (baca Badai Laut Selatan), mengerti bahwa
tidak akan mungkin dapat melayani mereka semua.
Sedangkan kini fajar hampir menyingsing. Kalau malam
sudah berganti pagi, tidak mungkin lagi dapat melarikan
diri keluar dari kota raja. Ia harus dapat melarikan
suaminya sekarang juga. Harus!
"Kakanda, tutup telinga kakanda keduanya.......... " Ia
berbisik dan maklumlah Pangeran Panjirawit bahwa
isterinya hendak menggunakan Aji Sardulo Bairowo. Ia lalu
menggunakan kedua tangan menutupi sepasang telinganya.
Benar saja, Endang Patibroto lalu mengeluarkan suara
pekik dahsyat, melengking tinggi mengatasi semua suara
hiruk-pikuk para perajurit!
Semua pengeroyoknya yang berjumlah tiga puluh orang
lebih itu terkejut, bahkan ada delapan orang yang tidak
dapat menahan, roboh bergulingan di atas genteng terus
jatuh ke bawah! Yang lain-lain tersentak mundur, kaget dan
ngeri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Endang Patibroto
untuk mengerahkan tenaga meloncat ke atas genteng
bangunan yang berdekatan, yaitu bangunan dapur istana.
Banyak anak panah mengaung dan bercuitan di kanan kiri,
bawah dan atasnya. Akan tetapi tidak sebuahpun
mengenainya. Tiba-tiba Endang Patibroto merasa betapa
tubuh suaminya di atas punggungnya menegang.
"Ada apa, pangeran?"
"Ti....... tidak apa-apa .......... " Suaminya mengerang
ditahan. "Lekas pergi, Endang, lekas.......... !
Dengan hati berdebar Endang Patibroto mempercepat
larinya. Para pengejarnya tertinggal jauh dan anak-anak
panah tidak dapat mencapainya lagi. Ia amat khawatir.
Apakah suaminya menjadi gentar" Akan tetapi kini
selamatlah sudah. la mempercepat pula larinya dan sebentar
saja ia sudah berhasil keluar dari dinding kota raja, terus
berlari menuju ke selatan.
"Kita selamat dan bebas, pangeran .......... !" bisiknya
sambil lari terus. "......... syukurlah.......... , mari kita istirahat, isteriku.......... "
"Nanti, kakanda. Biar jauh dulu ...... ." Endang lari terus,
masih amat cepat larinya sehingga bagaikan terbang saja
layaknya. Dusun-dusun dilalui, hutan?hutan dan sementara
itu, angkasa sudah mulai merah, terbakar sinar sang surya.
"Endang.......... nimas.......... berhentl dulu ..........
aku.......... aku tak kuat.......... "
Endang Patibroto menghentlkan larinya dengan tiba-tiba,
wajahnya pucat, matanya terbelalak, hampir tidak berani ia


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menurunkan suaminya, tidak berani melihat suaminya.
Jangan-jangan.......... !
"Paduka.......... paduka.......... kenapa.......... kakanda.......... ?"
"......... ughh, terluka.......... , anak panah .......... "
Endang Patibroto menahan isak, lari ke sebuah gubuk di
tengah sawah yang berada tak jauh dari situ. Kemudian la
menurunkan suaminya yang ternyata sudah lemas
tubuhnya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan cemas
hatinya ketika melihat punggung suaminya tertancap anak
panah. "Kakanda.......... !" Ia menjerit, merebahkan suaminya ia
sendiri berlutut memeriksa. Seluruh bulu di tubuhnya
berdiri ketika ia melihat betapa anak panah itu menancap
dalam sekali, hampir sampai ke gagangnya, agaknya
menembus celah-celah tulang iga. "Kakanda pangeran.....
!!" kembali ia menjerit dan memeluk, menangis terisak-isak.
Sebagai seorang ahli, sekali pandang tahulah ia bahwa
suaminya takkan dapat tertolong lagi. Anak panah itu
menancap amat dalam, menembus bagian yang penting.
Kalau dicabut, tentu akan mempercepat suaminya
meninggalkannya. "Aduh, pangeran.......... , suamiku..........
bagaimana.......... ?""
Pangeran Panjirawit meraih leher isterinya sehingga
tubuh Endang Patibroto kini juga rebah di sampingnya,
miring beradu muka. Diciumnya mulut isterinya, dihisap
air matanya, tangannya mengelus-elus rambut, mulutnya
berbisik, "Isteriku, mutiara hatiku.......... ingatkah engkau
akan pembicaraan kita tentang takdir" Mati hidup manusia
dalam tangan Hyang Widhi.........."
Endang Patibroto memandang suaminya dan mellhat
bahwa mulut itu tersenyum! Ah, hampir ia lupa bahwa
suaminya menghadapi maut, bahwa mereka berada di
gubuk sawah. Rebah beradu muka seperti ini mebuat ia
merasa seakan-akan mereka masih di dalam istana, tidur di
atas pembaringan, rebah miring beradu muka, bercengkerama, bersendau gurau, bermain cinta mencurahkan kasih sayang.
"Kakangmas pangeran.......... !" Ia menjerit lagi dan
merangkul leher suaminya, mendekap muka itu ke atas
dadanya, seakan-akan ia hendak membenamkan muka itu
ke dalam dasar hatinya, menjadi satu dengan dirinya,
takkan dilepaskan lagi. "Ah, semua gara-garaku, kakanda.......... paduka tertimpa bencana karena hamba.......... !! Dengan muka masih terbenam di dada isterinya,
Pangeran Panjirawit berbisik,
"Hushhh, aku tak pernah menyalahkan engkau, jiwaku.
Apapun yang kaulakukan, aku akan berfihak kepadamu,
apapun juga yang kau lakukan.......... !"
Biarpun ucapan ini menunjukkan kasih sayang yang
tiada batasnya, namun menusuk perasaan Endang Patibroto
karena mengandung pula kepercayaan bahwa dia telah
bertindak salah. Maka cepat-cepat ia berkata, "Suamiku,
dengarlah baik-baik. Betapapun juga, isterimu tidak
melakukan hal-hal yang jahat. Dengarlah .......... "
"Aku percaya, Endang.......... "
"Tapi harap paduka mendengarkan ...... beginilah
sebenarnya yang terjadi." Dengan suara mengandung isak
Endang Patibroto menceritakan betapa ia telah berhasil
mencari si pembunuh gelap yaitu Wiku Kalawisesa, betapa
ia bahkan telah berhasil membunuh si laknat dan mengorek
rahasia dari mulutnya, betapa kakek itu mengaku bahwa ia
bersekutu dengan Pangeran Darmokusumo yang bermaksud jahat, hendak memberontak.
"Nah, hamba memang menyerbu ke sana. Akan tetapi
hanya untuk menawannya dan untuk memaksanya
mengaku. semua perbuatan dan dosanya di depan sang
prabu, akan tetapi.......... hamba ?". hamba
gagal.......... " "......... nimas.......... aku percaya.......... augghh..........
dekaplah aku, nimas, dekaplah aku erat-erat.......... "
Hati Endang Patibroto bagaikan ditusuk-tusuk keris
berkarat. Didekapnya suaminya, diciuminya. "Kakangmas..........
aku tahu.......... kakangmas tak mungkin dapat disembuhkan lagi.......... "
"......... oohhh, kekasihku.......... , jadi kau sudah
tahu.......... " Susahkah hatimu, sayang.......... "
Endang Patibroto mencium lagi. "Tidak, pangeran,
karena kita akan berangkat bersama. Hamba akan ikut, ke
mana juapun paduka pergi. Ingat akan kata-katamu tadi,
kakangmas" Kita mati bersama!"
Tiba-tiba tubuh yang sudah lemas itu bertenaga lagi,
dekapannya amat kuat dan terdengar pangeran itu
mengguguk, menangis! "Mengapa, suamiku" Jangan takut, kematian bukan apa-
apa, dan lagi, hamba berada di samping paduka.......... !!
"Tidak! Tidak.......... !! Sekali lagi tidak ?" !" Pangeran
itu mencengkeram pundak Endang Patibroto seakan-akan
hendak menarik tenaga dari isterinya. "Betapapun hancur
hatiku oleh perpisahan ini, namun tidak! Engkau tidak
boleh ikut bersamaku ......... aku tidak rela membiarkan
isteriku membunuh diri........... "
Endang Patibroto tersenyum, air matanya masih
bercucuran. "Suamiku, kakanda pujaan hati; lupakah
kakanda akan nama hamba" Hamba adalah Endang
Patibroto" Ingat, kakanda, Patibroto" Hamba adalah
seorang isteri yang setia, yang siap sedia dengan segala
kesenangan hati untuk ikut mati bersama suaminya!"
"Tidak! Endang, isteriku. Aku akan mati penasaran!
Rohku akan menjadi setan gentayangan kalau kau
membunuh diri! Aku tidak suka. Tidak suka!!" Pangeran itu
memekik-mekik keras. Pucat wajah Endang Patibroto,
kaget hatinya dan ia bangkit duduk. Dipegangnya wajah
suaminya, dipandangnya baik-baik dan ia mendapat
kenyataan bahwa suaminya masih sadar sepenuhnya.
"Apa.......... apa maksud paduka........." Kembali tubuh
pangeran Itu menjadi lemas, napasnya terengah-engah
karena tadi dikuasai nafsu amarah.
"Endang.......... kalau benar kau mencintaku..........
sepenuh jiwa raga seperti aku mencintamu.......... kau
mutiara hatiku.......... sebelum aku mati.......... agar aku
dapat mati tenang, kau berjanjilah untuk memenuhi
pesanku ini, yaitu.......... kau jangan ikut, jangan
membunuh diri.......... kau berjanjilah, sayang.......... demi
cintaku.......... !! Jantung Endang Patibroto serasa dikerat-kerat, perih dan
sakit. Air matanya membanjir, ia terisak-isak, sesenggukan,
tersedu-sedan dan tidak dapat menjawab untuk beberapa
lamanya. Ia maklum bahwa suaminya tidak ingin melihat ia
mati membunuh diri dan.......... tiba-tiba ia teringat bahwa
kalau ia mati, siapakah yang akan membalas dendam ini
kepada Pangeran Darmokusumo" Teringat akan pangeran
yang menjadi biang keladi kematian suaminya ini, timbul
semangatnya untuk hidup, dan ia menggangguk sambil
berkata, "Hamba berjanji, kakangmas ...... "
"Aahhh, terima kasih, Endang. Kini lega hatiku. Ke
sinilah, adinda.......... mendekatlah engkau, kekasih.......... !
Kembali Endang Patibroto rebah berhadapan muka,
berpelukan, berbisik?bisik seperti pengantin baru. "Endang.......... ingatkah engkau.......... Dahulu..........
ketika kita berpengantinan.......... ?"
"Aduhhh.......... kakanda.......... " Endang Patibroto
menjerit dari dasar hatinya, tubuhnya menggigil saking
sakit hatinya mendengar ucapan itu.
"Eh-eh, biarkan aku mengenangkan kemball peristiwa
itu, manis. Biarkan aku mati membawa kenangan masa kita
berpengantinan. Ahhh.......... mula?mula.......... engkau
tidak suka kudekati.......... engkau seperti hendak menolakku.......... "
"Kakangmas.......... "
"Aku tahu.......... tadinya engkau tidak mencinta..........
akan tetapi.......... oh, akhirnya cinta kasihku yang murni
dan sepenuh jiwa raga.......... ha-ha, meruntuhkan juga hati
bajamu.......... mencairkan gunung es.......... dan kau
menjadi panas membara ...... kau menjadi kawah Gunung
Bromo .......... sampai nanar aku oleh cintamu, nimas..........
sampai mabuk aku.......... mabuk kebahagiaan.......... ah,
tiada wanita keduanya sepertimu, adindaku.......... " Tangan
Pangeran Panjirawit membelai-belai, bibirnya mencium-
cium, pandang matanya mesra.
Terisak-isak Endang Patibroto. "Kakanda, hamba
bersumpah.......... sungguhpun amat berat hamba harus
hidup menyendiri, paduka tinggalkan.......... hamba takkan
membunuh diri, hamba akan menanti maut seperti
ditakdirkan Hyang Widdhi.... akan tetapi.......... paduka
sabarlah...... sabarlah menanti hamba.......... !!
"Endang.......... auugghhh.......... terlalu lama kutahankan.......... tak kuat lagi aku............. Endang
Patibroto, isteriku, ciumlah .......... ciumlah.......... "
Sambil menangis sesunggukan Endang Patibroto menangkap kedua pipi suaminya, lalu mencium mulut yang
terengah-engah itu, mencium mesra sepenuh hatinya. Tiba-
tiba ia merasa betapa tubuh suaminya mengejang,
mengerang dan menghembuskan napas panjang. Endang
Patibroto merasa dunia berputar, pandang matanya gelap,
akan tetapi ia meramkan mata, tidak melepaskan ciuman,
menyedot dari mulut suaminya, seakan hendak menghisap
napas terakhir itu.......... terasa darah.......... darah suaminya
.......... terasa pelukan tangan suaminya mengendur, lepas,
tampak suaminya tersenyum, lalu segala berputaran, gelap,
lalu merah, seribu bintang menari.......... dan iapun tidak
ingat apa-apa lagi. Endang Patibroto pingsan dengan tubuh masih
menelungkupi mayat suaminya, bibir mereka masih saling
menempel, kedua tangan Endang Patibroto merangkul
leher. Angin pagi yang bertiup di sawah itu menerobos
memasuki gubuk, menggerak-gerakkan ranibut Endang
Patibroto yang tadi dilepas sanggulnya oleh suaminya dan
yang kini menyelimuti tubuh mereka berdua.
Wajah mayat Pangeran Panjirawit tersenyum, matanya
setengah terbuka, seperti mata orang mengantuk, seperti
matanya kalau sedang bercinta dengan isterinya. Ia tidak
nampak seperti mati, melainkan seperti orang tidur
bermimpi indah, mimpi bercumbu rayu dengan isteri
tercinta. Anak panah yang menancap di punggungnya kini
membengkok karena tertindih tubuhnya ketika melepaskan
napas terakhir dan tubuhnya yang miring menjadi
terlentang. Endang sadar, serasa bangun dari mimpi buruk.
Membuka mata. Ah, suaminya masih tidur seperti biasa.
Suaminya akan bangun agak siang seperti biasa, tidur
kelelahan, dengan wajah membayangkan kelelahan dan
kepuasan, kebahagiaan yang nikmat, Endang Patibroto
tersenyum. Melihat wajah yang puas dan bahagia itu
mendatangkan nikmat luar biasa di dalam hatinya. Ah, ia
harus cepat bangun, menyediakan santapan pagi untuk
suaminya. Biar banyak abdi dalam di situ, ia selalu
menyediakan santapan suaminya dengan tangannya sendiri,
pekerjaan ini amat menyenangkan hatinya seperti
menyiapkan pakaian, membereskan pembaringan, tak boleh
pelayan melakukannya, dilakukan sendiri dengan kasih
sayang. Ia menunduk dan mencium perlahan dan..........
matanya terbelalak, lehernya serasa dicekik dan dalam


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekejap mata teringatlah ia kembali, datanglah semua itu
seperti cahaya kilat menyambar.
"Aduh.......... kakanda.......... !!" la menjerit, masih tidak
percaya, memandang anak panah di punggung, meraba-
raba wajah suaminya, meraba dada, pergelangan tangan
sampai ia yakin bahwa suaminya benar-benar telah
meninggalkannya. "......... kakanda pangeran ...... suami hamba ?"" !" Ia
memeluk tubuh itu, menangis sampai mengguguk,
merintih, mengerang seperti orang tersiksa hebat.
"Tangkap.........! Tangkap.......... !!"
Bagaikan seekor harimau betina marah, Endang
Patibroto yang sedang menangis mengguguk itu membalikkan tubuh. Wajahnya yang pucat penuh air mata
amat beringas, rambutnya masih terurai riap-riapan,
matanya bersinar?sinar kemarahan. la melihat tiga belas
orang perajurit mengepung gubuknya, dengan tombak dan
pedang ditodongkan, seperti para pemburu mengurung
seekor harimau yang sudah tersudut. Sejenak Endang
Patibroto menyapu mereka dengan pandang mata,
kemudian menoleh ke wajah suaminya yang tersenyum.
Inilah! Ya, untuk inilah suaminya tidak menghendaki ia
ikut mati. Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik dahsyat dan
tubuhnya mencelat keluar gubuk. Bagaikan angin puyuh
tubuhnya bergerak, berputaran di antara para pengepung
yang cepat menggerakkan senjata masing-masing. Terdengar tombak-tombak patah, pedang-pedang beterbangan, jerit-jerit kesakitan dan dalam waktu sebentar
saja tiga belas orang perajurit itu sudah menggeletak mati
semua di tengah sawah! "Hayoh, majulah semua perajurit Jenggala dan Panjalu!
Amuk-amuk sura?mrata jayamrata! Inilah Endang Patibroto, isteri Pangeran Panjirawitl" Ia menebak-nebak
dada, matanya liar memandang, kemudian la melihat
penduduk kampung di dekat sawah itu berbondong-
bondong keluar karena mendengar ribut-ribut. Melihat
mereka ini, Endang Patibroto yang sudah menggila saking
marah dan duka, segera meloncat menyambut mereka.
Seorang laki-laki tinggi besar yang berada paling depan
ditangkapnya seperti seekor burung rajawali menangkap
anak ayam, diangkatnya ke atas, diputar?putarnya sehingga
penduduk kampung itu kaget dan gentar. Lalu dibantingnya
laki-laki itu sampai pecah kepalanya. Endang Patibroto
mengamuk dan penduduk kampung Itu tersebar cerai-berai
seperti gabah diinteri! "Wanita gila mengamuk!"
"Bukan! Dia silumanl"
"Iblis mengamukl"
Penduduk kampung melarikan diri dan beberapa orang
yang kurang cepat menjadi korban amukan Endang
Patibroto. Setelah dusun itu kosong, Endang Patibroto
kembali ke gubuk dan menangisi mayat suaminya.
la tidak tahu bahwa semua gerak-geriknya diikuti orang-
orang dari jauh. Itulah pasukan Blambangan yang dipimpin
Raden Sindupati. Kini dari tempat sembunyinya, tidak jauh
dari gubuk Itu, Raden Sindupati menyaksikan gerak?gerak
Endang Patibroto, kagum melihat wanita itu membunuh
tiga belas orang perajurit Jenggala yang hendak
menangkapnya, dan ngeri menyaksikan Wanita itu
mengamuk ke dusun membuat semua penghuni dusun lari
cerai-berai. Namun ia masih belum yakin benar akan
tingginya ilmu kepandaian Endang Patibroto. Ketika
Endang Patibroto menyerbu tempat tahanan dan membebaskan suaminya, ia tidak berani membawa
pasukannya masuk ke kota raja, hanya menanti di luar
dinding, sehingga ia tidak melihat sepak terjang wanita sakti
itu yang menggiriskan. "Kakang Klabangkoro dan Klabangmuko, kalian ikut
bersamaku menghadapinyal" katanya tenang.
Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi pucat wajahnya. "Tapi.......... tapi........." mereka meragu, hati
mereka giris menyaksikan kehebatan wanita itu yang tidak
saja sudah membunuh Wiku Kalawisesa, juga telah berani
menyerbu Panjalu malah berhasil membebaskan suaminya
dari keraton Jenggala dan baru saja membunuhi tiga belas
orang perajurit dan penduduk kampung.
"Hemm, beginikah sikap majurit" Takut apa" Aku di
samping kalian, dan juga, ini hanya siasat. Paman Brejeng,
kalau kau melihat kami terdesak, kau dan semua kawan
maju, lakukan apa yang sudah kupesan padamu."
Raksasa tua Ki Brejeng hanya mengangguk, akan tetapi
matanya memandang ke arah gubuk dengan pandang mata
termenung, seperti orang sedih.
Dengan langkah tegap yang membesarkan hati
Klabangkoro dan Klabangmuko, Sindupati menghampiri
gubuk. Dilihatnya Endang Patibroto masih menangisi
mayat suaminya. Ia lalu berdiri tegak dan menegur,
"Teja-teja sulaksana! Siapakah gerangan andika, seorang
wanita cantik menangis seorang diri di antara sekian
banyaknya mayat?" Endang Patibroto yang sedang menangis dan memeluki
tubuh suaminya, mengangkat muka dan menengok.
Matanya membendul merah karena tangis, kini mengeluarkan sinar yang beringas dan liar. Sejenak ia
menyapu tiga orang itu dengan pandang matanya,
membuat Klabangkoro undur dan ngeri, kemudian Endang
Patibroto turun dari gubuk itu dan berkata, suaranya serak
karena terlalu banyak menangis,
"Semua orang harus mati, mengikuti suamiku!"
bentaknya sambil melangkah maju.
Sindupati tersenyum, senyumnya yang selalu dapat
meruntuhkan hati wanita, baik ketika ia masih muda
menjadi senopati di Jenggala dahulu maupun sekarang
setelah ia berada di Blambangan. Banyak wanita
Blambangan, termasuk puterl adipati sendiri, jatuh hatinya
oleh senyum itu. Akan tetapi Endang Patibroto hanya
memandang dengan mata mendelik marah.
"Aih-aihh, tidak begitu mudah, wong ayu!" katanya
sambil siap karena maklum betapa saktinya wanita ini.
Endang Patibroto mengeluarkan seruan keras dan
tubuhnya sudah menerjang, dengan tangan kanan
menghantam arah kepala Sindupati. Lawannya mundur
sambil mengerahkan tenaga mengibas, menangkis.
"Dukkkl" Raden Sindupati terhuyung mundur sampai tiga langkah,
terkejut bukan main karena lengan wanita itu mengeluarkan
tenaga dahsyat dan hawa panas. Juga Endang Patibroto
terheran. Laki-laki itu dapat menangkis pukulannya Gelap
Musti" Baik, makin tangguh lawannya makin baik, pikirnya
dan timbul kegembiraannya bertanding. la lalu menerjang
lagi. Kali ini Sindupati mengelak dengan gerakan yang
cepat sekali sehingga kembali Endang Patibroto tertegun.
Pada saat itu, sambil mengeluarkan gerengan seperti
harimau, dari kanan kiri Klabangkoro dan Klabangmuko
menerjang maju, menghantam dengan kepalan tangan
mereka sebesar buah kelapa muda! Antep dan keras sekali
pukulan mereka, seperti serudukan celeng (babi hutan).
Namun dengar cekatan Endang Patibroto dapat mengelak,
bahkan menyambar dan berhasil menepuk pundak
Klabangkoro dengan ujung jari tangan. Biarpun hanya
menepuk karena tangannya tidak sampai, namun ujung-
ujung jari itu mengandung Aji Pethit Nogo, maka tubuh
Klabangkoro terguling masuk ke selokan, mukanya
berlumur lumpur! Ia kaget dan terbelalak, lalu marah dan
bangkit kembali Klabangmuko, seperti kakaknya, memilik
aji kekebalan Lindungseto sehingga tidak tedas tapak
paluning pande sisaning gurindo (tidak mempan senjata
tajam), akan tetapi tepukan jari tangan Endang Patibroto
membuat kulit pundaknya pedas panas dan tulang
pundaknya linu! Pertandingan itu berlangsung seru. Sepak terjang
Klabangkoro dan Klabangmuko seperti dua ekor celeng
goteng yang marah membabi-buta, tenaga mereka besar dan
pukulan-pukulan mereka walaupun tidak akan menimbulkan luka dalam, namun cukup berbahaya bagi
kulit Endang Patibroto yang halus. Adapun Sindupati
gerakannya amat cepat, bagaikan seekor trenggiling,
adakalanya bergulingan dan memang dia adalah ahli Aji
Trenggiling Wesi, semacam ilmu silat mendasarkan gerakan
bergulingan kemudian dari bawah mengirim tendangan-
tendangan kilat atau kadang-kadang meloncat dan
mengirim pukulan-pukulan ampuh.
Endang Patibroto makin gembira. Sudah lama ia tidak
bertemu tanding yang tangguh. Wiku Kalawisesa tidak
termasuk lawan yang tangguh mengenai ilmu berkelahi,
sungguhpun ilmu hitam kakek hitam Itu berbahaya. KinI
Endang Patibroto menggunakan ilmunya, gerakannya
seperti burung walet, kedua tangannya mengandung aji
yang amat ampuh, yang kanan terkepal mengandung Aji
Gelap Musti ajaran Dibyo Mamangkoro, yang kiri terbuka,
jari?jarinya mengandung Aji Pethit Nogo ajaran kakeknya,
mendiang Resi Bhargowo! Hebat bukan main gerakannya,
cepat tak dapat diikuti pandang mata, hanya tampak
bayangannya berkelebat menyambar ke sana ke mari.
Tiga orang tokoh Blambangan itu terdesak hebat.
Klabangkoro roboh terguling-guling ketika kena serempet
pukulan Gelap Musti, untungnya hanya terserempet pada
pundaknya saja, akan tetapi tulang pundak serasa remuk.
Klabangmuko juga roboh terpental oleh tendangan kaki
Endang Patibroto, untung Aji Lindungseto membuat ia
tidak terluka. Raden Sindupati yang dianggap lawan
terberat oleh Endang Patibroto didesak sampai tak mampu
balas menyerang. Betapapun tubuhnya bergulingan, selalu
dikejar dan dibayangi pukulan-pukulan maut sehingga ia
terengah-engah dan wajahnya berubah pucat.
Tiba-tiba sinar terang menyambar dari kiri. Endang
Patibroto maklum bahwa lawannya menggunakan senjata.
Golok di tangan Klabangkoro yang menyambar itu
dielakkan dan terpaksa ia mengurangi tekanannya pada
Sindupati karena pada saat yang hampir bersamaan, golok
Klabangmuko juga menyambar, membabat ke arah
pinggangnya. Dua serangan sekaligus. Ia mengelak,
miringkan tubuh dan meloncat ke atas ketika golok ke dua
membabat pinggang. Dari atas ia lalu menerjang Sindupati
yang sudah mencabut kerisnya. Keris ini mengeluarkan
sinar hijau, keris Nogo-kikik berlekuk tujuh dengan gandhik
berbentuk kepala anjing serigala. Ada hawa dingin terbawa
oleh keris ini. Namun Endang Patibroto sudah menggerakkan kakinya, dari depan membuat gerakan
melingkar, kemudian dari samping ia menendang dengan
tumit kakinya mengenai pergelangan tangan lawan.
Sindupati berseru keras dan meloncat menghindarkan
tangannya, akan tetapi tusukannya gagal.
Baru saja kaki Endang Patibroto sudah menginjak tanah,
kembali dua buah golok menyambar, menyilang dari kanan
kiri. Endang Patibroto membiarkan dirinya terancam golok,
agaknya ia memang memasang diri untuk dimakan golok
yang menyambar dari kanan kiri! Sesuai dengan rencana
Sindupati, memang sedapat mungkin kakak beradik itu
akan membunuh Endang Patibroto. Kalau ternyata wanita
itu terlalu sakti dan kuat, barulah dijalankan siasat
selanjutnya. Maka kini melihat betapa golok mereka
agaknya akan berhasil mengenai sasaran, kedua kakak
beradik ini menjadi girang sekali. Merupakan pantangan
bagi ahli silat untuk terlalu terburu nafsu dan terseret
perasaan. Takut, gentar atau girang mabuk kemenangan
merupakan titik-titik kelemahan. Karena kegirangan ini,
Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi kurang waspada,
tidak dapat melihat bahwa wanita itu agaknya sengaja
memasang diri untuk dimakan golok dari kanan kiri, suatu


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal yang sama sekali tidak wajar dalam perkelahian.
"Awasss.......... !" teriak Sindupati yang lebih matang
dalam siasat pertempuran, namun terlambat. Pada setengah
detik terakhir, Endang Patibroto yang berada di tengah itu
merendahkan diri, kedua tangannya menangkap ke atas,
tepat pada pergelangan tangan kedua lawan yang
memegang golok, "meminjam" tenaga bacokan mereka
menarik mereka saling bacok sendiri dan pada detik
berikutnya, ia menggantung pada kedua lengan sambil
menendang dengan kedua kaki ke kiri kanan, tepat
mengenai perut gendut kedua lawan.
"Blekk! Blekk!!"
"Aduuhh.......... I Augghl" Kedua orang raksasa
Blambangan itu terjengkang ke belakang, golok terpental
dan pundak mereka berdarah terkena bacokan saudara
sendiri ! Masih untung bahwa kekebalan mereka membuat
golok itu meleset dan hanya melukai kulit dan sedikit
daging pundak, akan tetapi tendangan pada perut itu
membuat perut mereka seketika mules sekali. Mereka
menggeh-menggeh (terengah-engah) memegangi perut
sambil menyeringai seperti kuda kedinginan.
Endang Patibroto hendak menerjang Sindupati, akan
tetapi orang itu sudah mengangkat tangan kanan ke atas
dan Endang Patibroto menunda serangannya, melihat
dengan mata tajam ke arah pasukan sebanyak puluhan
orang yang datang berbondong-bondong dari tempat
sembunyi. "Bagus! Lebih banyak yang mati men jadi pengiring
suamiku lebih baik!" bentak Endang Patibroto dan
tubuhnya sudah siap menerjang.
"Tahan dulu.......... !" Tiba-tiba terdengar suara parau
besar dan majulah seorang raksasa yang tubuhnya amat
kuat dan kokoh, sambil mengangkat kedua tangannya ke
atas. "Gusti Endang Patibroto..... Gusti puteri.......... ! Ah,
kiranya padukakah ini?"
Endang Patibroto memandang dengan mata merah. Ia
merasa kenal dengar raksasa ini akan tetapi lupa lagi di
mana dan kapan. Dengan wajah dingin ia membentak,
"Siapa engkau?"
Ki Brejeng lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Duhai gusti puteri Endang Patibroto.......... ! Lupakah
paduka kepada hamba" Hamba Ki Brejeng.......... "
Berkerut kening Endang Patibroto. Nama inipun tidak
asing baginya. " Brejeng .......... ?" Suaranya berbisik.
"Ya, hamba Ki Brejeng, pelayan guru paduka, Senopati
Dibyo Mamangkoro........!. Lupakah paduka ketika di
Pulau Iblis hamba mengajak paduka bermain-main ...... ?"
Teringatlah kini Endang Patibroto, matanya berkejap-
kejap memandang penuh perhatian, terbayang semua
peristiwa ketika ia masih kecil dahulu, bersama gurunya
Dibyo Mamangkoro. Ya, Ki Brejeng temannya bermain-
main di pulau itu. "Gusti puteri, kita orang-orang sendiri, bukan musuh.......... Ah, kenapa gusti sampai menjadi begini.......... ?" Mendengar suara yang menyatakan belas kaslhan ini, tak
tertahan lagi air mata Endang Patibroto jatuh berderai, ia
terhuyung maju, berlutut di depan Ki Brejeng lalu
merangkul pundak raksasa itu, menaruh muka pada dada
yang bidang itu sambil menangis.
"Aduh.......... paman Brejeng.......... !!" keluhnya.
Ki Brejeng merangkul pundak wanita Itu, menepuk-
nepuk punggungnya, teringat ia dahulu ia seringkali
mengendong wanita itu di waktu masih kecil dan tak terasa
lagi sepasang mata raksasa yang keras hati ini menjadi
basah. Setelah tangis Endang Patibroto mereda, Ki Brejeng lalu
berkata halus dan parau, "Tenanglah, gusti puteri dan mari
saya perkenalkan dengan kawan?kawan ini. Sudah lama
semenjak guru paduka tewas, hamba melarikan diri ke
Blambangan dan bekerja mengabdi pada Adipati Blambangan. Hamba ikut dengan pasukan Blambangan ini,
di bawah pimpinan Raden Sindupati untuk menyelidil
keadaan Panjalu dan Jenggala. Marilah gusti.......... "
Endang Patibroto bangkit berdiri dan Raden Sindupati
cepat melangkah maju lalu member! hormat.
"Ah, mohon maaf sebanyaknya atas kelancangan kami.
Sungguh saya menyangka bahwa andika adalah puteri
Endang Patibroto yang sudah terkenal di seluruh dunia!
Melihat andika bersama mayat-mayat perajurit Jenggala,
kami menglra andika adalah musuh. Maafkan saya
Sindupati dari Blambangan."
Kalau tidak ada Ki Brejeng di situ, tentu Endang
Patibroto tidak sudi berbicara dengan orang-orang
Blambangan. Sikapnya masih angkuh ketika ia bertanya.
"Hemm, kalian orang-orang Blambangan mengapa berada
di sini?" Raden Sindupati tersenyum dan kembali memberi
hormat. "Seperti telah dikatakan paman Brejeng tadi, kami
bertugas untuk menyelidiki keadaan Jenggala dan Panjalu
dan kami banyak mendengar hal-hal aneh sekali yang
membayangkan betapa kacau keadaan Jenggala! Hamba
mendengar betapa Raja Jenggala menangkap puteranya
sendiri, tanda bahwa Kerajaan Jenggala sudah mendekati
kehancuran! Blambangan sudah lama mencita-citakan
untuk menyerbu Jenggala, membalas atas penumpasan
Adipati Nusabarung."
Akan tetapi mendengar peristiwa suaminya disebut-
sebut, Endang Patibroto teringat akan suaminya dan ia
berkata, "Suamiku, Pangeran Panjirawit telah meninggal
dunia ........." "Ya Jagad Dewa Bathara.......... l" Raden SIndupatl
berseru kaget dan di dalam suaranya terkandung iba hati.
Akan tetapi Endang Patlbroto sudah menangis lagi dan lari
memasuki gubuk, tidak memperdulikan lagi kepada
pasukan Blambangan. Raden Sindupati lalu memberi
isyarat kepada Ki Brejeng yang menghampirinya, lalu
raksasa Itu dibisiki. Ki Brejeng berulang-ulang mengangguk,
kemudlan perlahan-lahan memasuki gubuk. Dia memang
kasihan kepada Endang Patibroto, maka suaranya
menggetar ketika berkata,
"Gusts puteri, yang sudah matl tidak perlu terlalu
ditangIsl, tidak baik untuk perjalanan ke alam asal. Lebih
baik kita merawat dan melakukan penyempurnaan jenazah
gusti pangeran suami paduka. Biarlah, serahkan saja kepada
Ki Brejeng dan kawan-kawan dari Blambangan, gusti.
Percayalah, Ki Brejeng tidak akan menipu paduka, tidak
akan membikin susah paduka."
"Aduh.......... paman Brejeng.......... " kembali Endang
Patibroto menangis mengguguk, akan tetapi ia tidak
membantah ketika Ki Brejeng memegang pundaknya dan
menariknya keluar dari gubuk. Kemudian Ki Brejeng yang
dibantu Sindupati dan anak buahnya lalu membersihkan
jenazah Pangeran Panjirawit, mencabut anak panah dan
membereskan pakaiannya. Kebetulan sekali di situ terdapat
gubuk itu, mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu dan
daun-daun kering, lalu mereka semua bermuja samadhi
untuk menghormat dan mengantar roh yang mati ke alam
akhir. Semua upacara ini diikuti oleh Endang Patibroto
dengan hati penuh keharuan. Akhirnya, ketika api
dinyalakan, gubuk dibakar di mana terdapat suaminya, ia
menangis lagi mengguguk memanggil?manggil nama
suaminya. Semangatnya seakan-akan ikut terbang melayang
bersama asap putih yang membubung tinggi.
Sementara itu Ki Brejeng yang menemani dan mendekati
Endang Patibroto mulai membujuk Endang Patibroto. la
bertanya apa sebenarnya yang sudah terjadi. Karena pada
saat seperti itu Endang Patibroto amat membutuhkan
seorang kawan yang dapat ia ajak bicara dan dapat
mendengarkan curahan hatinya yang penuh penasaran dan
karena ia percaya akan kesetiaan raksasa ini, berceritalah ia
secara singkat akan segala peristiwa yang sebetulnya sudah
diketahui oleh Ki Brejeng.
Ki Brejeng menyumpah-nyumpah Pangeran Darmokusumo dan Sang Prabu Jenggala, kemudian ia
membujuk Endang Patibroto agar suka ikut ke Blambangan. "Paduka tentu dicari-cari dan dikejar-kejar oleh kedua
kerajaan itu." "Aku tidak takut! Aku akan melawan!" jawab Endang
Patibroto, penuh dendam. "Apa gunanya, gusti" Apa gunanya paduka seorang diri
melawan barisan kedua kerajaan itu" Tidak, seyogianya
paduka ke Blambangan. Kebetulan sekali Blambangan
memang berniat menggempur Jenggala dan Panjalu, dan
Adipati Blambangan amat baik, dapat menghargai orang-
orang pandai. Lihat saja, hamba juga telah diterima
menjadi ponggawa. Kalau paduka suka bersama hamba ke
sana, paduka dapat bersama bala tentara Blambangan kelak
maju menggempur Jenggala dan Panjalu dan saat itulah
paduka dapat melakukan balas dendam atas kematian
suami paduka!" Akhirnya, setelah Raden Sindupati juga ikut membujuk-
bujuk dengan" manis budi dan janji-janji yang memungkinkan wanita ini membalas kematian suaminya,
Endang Patibroto mengangguk. "Baiklah, Ki Brejeng, aku
menurut nasehatmu. Raden Sindupati, aku suka ikut
bersamamu ke Blambangan."
Bukan main girangnya hati Sindupati. Biarpun ia tidak
berhasil membunuh Endang Patibroto, namun ia sudah
berhasil memancing wanita ini ke sana! Alangkah akan
girangnya hati Adipati Blambangan dan untuk ini ia tentu
akan menerima pahala besar sekali. Apalagi, ia telah
berhasil pula melemahkan kedua kerajaan dengan
pembunuhan para ponggawanya. Betapapun juga, di
hatinya terkandung niat lain. Melihat Endang Patibroto,
janda kembang yang cantik jelita dan menggairahkan ini,
hatinya sudah jatuh! la merasa sayang kalau wanita secantik
ini dibunuh begitu saja oleh Adipati Blambangan. Tidak,
terlalu sayang kalau begitu! Ia mempunyai siasat lain!
Setelah pembakaran jenazah selesai dan abu jenazah
sudah dirawat untuk kemudian dilarung (dihanyutkan) di
laut, pasukan itu melanjutkan perjalanan. Endang Patibroto
memulai hidup baru dan di sepanjang perjalanan, ia dihibur
oleh Ki Brejeng yang betul-betul merasa kasihan kepada
bekas junjungannya ini. Kadipaten Selopenangkep! Kadipaten ini letaknya dl tepi
Sungai Progo, tidak amat jauh dari pantai Laut Kidul.
Kadipaten yang tidak berapa besar, namun jelas tampak
keadaan yang aman tenteram kerta raharja meliputi seluruh
daerah kadipaten. Pamong tani hidup ayem, tanahnya
subur tak kekurangan maupun kebanyakan air, sawah
ladang terlalu penuh tanaman yang subur sehingga di waktu
habis tandur, sawah ladang tampak ijo (hijau) royo-royo
bagaikan lautan tenang. Adapun menjelang panen, sawah
ladang berubah menjadi lautan emas dengan padi-padi
menguning dan gemuk-gemuk menunduk. Semua penduduk, dari dusun sampal kadipaten, tiada yang malas,
semua rajin bekerja karena hasil karya mereka selain
tampak di depan mata, juga terasa sampai di perut sendiri
dan perut anak isterinya. Di wajah mereka tampak
kegairahan bekerja itu, dari wajah anak-anak penggembala
yang mengarit rumput, sampai kepada wajah pamong tani,
nelayan, seniman dan pedagang, berseri penuh galrah kerja,
memuliakan karya masing-masing dengan hati cinta dan
tulus. Tidak ada iri-mengiri sehingga tak pernah tercipta
tindak sesat, tidak ada maling atau perampok. Tidak ada
waktu bermalas?malasan yang dapat terisi tindak iseng
maksiat, tidak ada perjudian, tidak ada perjinahan atau
mabuk-mabukan, semua tunduk kepada hukum yang tak
tertulis, hukum kehidupan masyarakat damai, makmur dan
tenteram, yang cinta akan ketenteraman.
Jilid IV SEMUA ini adalah sebaglan besar akibat wibawa dan
pengaruh dari penguasa setempat, yaitu sang adipati di
Selopenangkep. Perbawanya menyorot luas sampai keluar


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daerah Selopenapgkep, perbawa yang didasari keadilan dan
cinta kasih seorang penguasa, seperti keadilan dan cinta
kasih seorang bapak terhadap anak-anaknya. Keadilan
dan cinta kasih Adipati Tejolaksono seolah-olah sinar
matahari yang menyorot ke segenap pelosok, tiada
memilih bulu, tidak pilih kasih. Adil dan keras dalam
memberantas kejahatan disertai petunjuk-petunjuk kembali
ke jalan benar bagi yang sesat, menghukum bukan karena
benci karena bagi sang adipati yang arif bijaksana, bukan
manusialah yang dihukum, melainkan kejahatan untuk
memaksa manusianya insyaf sadar dan bertaubat, kembali
ke jalan benar. Kebaikan- kebaikan dipuji, dianjurkan,
dipupuk, seperti halnya kesenian dan kebudayaan yang
serba indah. Kebaikan disamakan dengan keindahan,
sehingga kebaikan bukan lagi merupakan perbuatan yang
dipamrihi balas jasa dan ingin puji, melainkan menjadi
semacam keindahan yang disuka oleh segenap golongan.
Sang Adipati Tejolaksono adalah seorang adipati yang
masih muda, baru tiga puluh dua tahun usianya, namun
memiliki kebijaksanaan seorang sepuh (tua) yang sepi
hawa, artinya sepi daripada hawa nafsu, yang patut
menjadi tetuanya masyarakat, yang bekerja bahkan hidup
hanya dengan satu pamrlh, yakni mengabdi kepada Hyang
Widhi dengan cara menyebar cinta kasih antara manusla,
bekerja demi kebahagiaan masyarakatnya, keluarganya,
baru dirinya sendiri. Keadilan dan cinta kasih inilah yang menyinar seperti
cahaya matahari merata di antara kawulanya, sehingga
menjadi milik semua orang, bahkan meresap menjadi
watak semua orang, yaitu, adil dan mencinta sesamanya.
Pagi itu amat indahnya. Matahari bersinar cerah.
Pamong tani tidak lagi begitu sibuknya seperti di musim,
tandur atau panen. Musim tandur baru saja lewat. Padi
sudah mulai tumbuh subur. Pekerjaan kaum tani menjadi
lebih ringan, hanya menjaga dan merawat agar tanaman
mereka tidak kekurangan atau kebanyakan air, tidak
terganggu hama dan rumput liar.
Pada hari itu, serombongan orang berkuda keluar dari
kadipaten. Dua belas orang perajurit pengawal yang gagah-
gagah menunggang kuda, mengiringkan seorang pria yang
tarnpan dan gagah perkasa menunggang kuda putih,
berpakaian sederhana namun berbeda dengan kedua belas
orang pengawal. Inilah Sang Adipati Tejolaksono sendiri, yang seperti
kedua belas orang pengiringnya, menyandang sebatang
anak panah. Sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan, sang
adipati mellrik ke arah sampingnya, di mana terdapat
seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menunggang
kuda berbulu dawuk. Anak ini biarpun baru berusia
sepuluh tahun, namun jelas membayangkan sifat-sifat
satria, duduk tegak di punggung kuda seperti seorang ahli
dan punggungnya tersandang sebuah busur kecil pula, di
pinggang kiri tergantung sebatang pisau bersarung kulit.
Sang adipati tersenyum bahagia melihat puteranya ini.
Pagi tadi ketika berangkat, isterinya berkali-kali
membekali pesan agar hati- hati menjaga Bagus Seta.
Isterinya, yang pagi hari itu kelihatan seperti Dewi Sri yang
dipuja-puja rakyatnya untuk memberkahi sawah ladang
mereka, yang tak pernah kelihatan berubah, tak pernah
bertambah tua sejak menikah, seperti ibu-ibu di seluruh
dunia ini amat menyayang puteranya dan mengkhawatirkan keselamatannya. Masih terdengar ucapan
isterinya, "Kakangmas adipati, sebetulnya Baguseta masih
terlalu kecil untuk diajak berburu. Di hutan banyak sekali
binatang buas." "Ah, nimas Ayu, mengapa khawatir" Bagus Seta sudah
cukup besar dan dapat menjaga diri, apalagi aku tidak akan
membiarkan ia diterkam harimau."
"Ihhh, kakangmas mengapa mengeluar kan kata-kata
yang mengerikan Itu?"
"Ha-ha-ha, nimas, lupakah bahwa engkau sendiri
sejak dahulu selalu bermain-main di hutan" Lupakah
ketIka dahulu kita bermain-main dengan harimau sebesar
lembu?" Ayu Candra, isterinya yang sesuai dengan namanya itu
amat cantik seperti bulan purnama, tersenyum dan
mengerling manja, dengan kedua pipi kemerahan, mengerling malu-malu kepada para pengawal yang sudah
siap mengiringkan junjungan mereka. Kalau mereka berdua
di dalam kamar di mana tiada mata lain memandang,
biasanya kalau sudah bersikap manja begitu Ayu Candra
tentu akan mencubitnya, karena percakapan tentang dahulu
tentu akan berlarut-larut menjadi godaan dan senda-gurau,
menghidupkan lagi kenangan lama yang membuat isterinya
tersipu-sipu malu dan manja.
Dulu, sepuluh tahun yang lalu, sebelum menjadi adipati
di Selopenangkep atas pengangkatan sang prabu di Panjalu,
dia bernama Jaka Wandiro. Setelah mengalami banyak
hal-hal yang hebat, akhirnya ia memperoleh Ayu Candra
sebagai isteri dan menjadi adipati (baca cerita Badal Laut
Selatan). Dahulu, Ayu Candra sejak kecil ditunangkan
dengan Joko Seta yang kemudian gugur dalam perang
sehIngga dara itu bebas dan dapat menikah dengannya.
Untuk mengenang Joko Seta, seorang satria perkasa yang
gugur membela negara, maka putera mereka ini mereka
beri nama Bagus Seta. Dan nama ini memang tepat karena
semenjak lahirnya, Bagus Seta berkulit putih kuning dan
bersih. Hidupnya penuh bahagia! Memang, sang adipati puas
dan selalu bersyukur kepada Hyang Widhi, yang telah
melimpahkan berkah yang tiada berk eputusan kepadanya.
Di dalam kadipaten, ia merasa seperti di tempat yang
aman, tenang, dan menyenangkan selalu. Isterinya setia
dan mencintanya sepenuh jiwa raga, dan di samping isteri
dan putera mereka, di kadipaten tinggal pula kedua bibinya,
yaitu bibi Roro Luhito dan bibi Kartikosari. Roro Luhito
adalah adik kandung mendiang ayahnya, dan Kartikosari
bibi gurunya, ibu Endang Patibroto. Kedua orang wanita
yang kini usianya sudah sekitar empat puluh tahun ini
sudah janda, keduanya adalah isteri mendiang guru
pertamanya, atau bapak angkatnya yang bernama Pujo,
seorang satria utama pendekar perkasa yang oleh sang
adipatl dijadikan cermin atau tauladan hidupnya (baca
Badal Laut Selatan). Bibinya, Kartikosari, mempunyai
seorang puteri yang usianya baru sebelas tahun, bernama
Setyaningsih sedang bibinya, Roro Luhito juga mempunyai
seorang puteri bernama Pusporini. Mereka ini kedua adik-
adiknya, biar baru berusia dua belas tahun, sudah nampak
sebagai dara-dara remaja yang cantik jelita, halus budi
pekertinya, sopan santun dan ramah budi bahasanya,
pandai dalam segala macam kesenian, merupakan calon-
calon puteri pilihan yang menjadi kebanggaan kadipaten.
Adipati Tejolaksono dan isterinya amat menyayang kedua
orang puteri ini yang terhitung adik-adik misan mereka.
Kini rombongan yang menjalankan kuda perlahan-
lahan melalui tegalan yang penuh rumput hijau. Tiga ekor
kerbau asylk makan rumput yang gemuk hijau dan tebal.
Tiba-tiba sang adipati menghentikan kudanya, diturut
oleh puteranya dan para pengawal yang tadinya
bersenda-gurau dan bercakap- cakap, otomatis juga
menghentikan kuda mereka, tidak ada yang bicara lagi,
ikut memperhatikan. Kiranya sang adipati tekun mendengarkan suara orang menembang, suara yang tidak
begitu merdu, agak serak Seperti suara orang- orang tua,
yang sedang menyanyikan tembang Asmaradana., "Nora
suwe wong urip iki lelana ing alam donya tan rinasa pira
lawase weruh-weruh sugih uwan nora suwe mesti sirna cilik
gedhe cendhek dhuwur wekasan mesthi palastra Suglh
mlarat kabeh sami menang kalah nora beda yen wis
pinasthi wancine kabeh bali marang asal mula yen sih
doyan sega ja nuruti hawa nepsu urip pisan sing sampurna."
Terjemahannya : "Tidak lama manusia hidup ini
berkelana di dalam dunia tidak terasa berapa lamanya tahu-
tahu banyak uban tidak lama tentu lenyap kecil besar
pendek tinggi akhlrnya tentu mati Kaya miskin semua sama
menang kalah tiada beda kalau sudah dipastikan waktunya
semua kembali kepada asal maka kalau masih suka nasi
jangan menurutkan hawa nafsu hidup sekall yang
sempurna." Sang Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk,
terharu dalam hatinya. "Kulup Bagus Seta. Kau mendengar tembang tadi,
bukan?" Anak itu mengangguk. Sejak kecil ia sudah diajar
tembang dan kesenian lain.
"Timbang Asmaradana, ayah. Tapi kata-katanya kasar
bersahaja." "Memang, anakku. Kata-kata itu hanyalah kulitnya
belaka. Menilai sesuatu lihatlah isi, jangan terpengaruh
kulit. Justeru kesederhanaan itulah yang mengharukan.
Kau ingat baik-baik, mencari pujangga-pujangga besar tak
usah jauh-jauh ke kota raja. Mencari orang bijaksana tak
usah dicari di antara orang cerdik pandai. Dia yang
mengerti akan hidup, dialah orang bahagia, bijaksana dan
berguna. Di dusun-dusun, di tempat -tempat sunyi tempat
orang-orang yang oleh orang kota dianggap bodoh,
dimana rakyat hidup diselimuti kesederhanaan yang tak
dibuat-buat, di sanalah tempat kebijaksanaan dan
kebahagiaan, di mana orang hidup tidak menjadi hamba
nafsu, di mana orang hidup penuh kebahaglaan karena
mereka ini menerima segala apa yang mereka miliki
dengan hati puas, dengan hati menerirna, dengan hati
tulus mengucap syukur kepada Hyang Widhi, dijauhkan
angkara murka dan ino hati. Kelak, kalau engkau sewaktu-
waktu berada di kota raja, dan engkau sudah dewasa, kalau
engkau terjalin dalam keributan orang-orang yang
berebutan keduniawian, kau ingatlah kepada kesederhanaan
tembang dan kehidupan di dusun, anakku."
Bagus Seta belum begitu mengerti atau belum dapat
menangkap betul arti daripada wejangan ayahnya, akan
tetapi para perajurit pengawal yang berada di belakang
menundukkan kepala dan di dalam hati terdapat kesan yang
dalam. Seorang kakek yang berpakaian serba hitam, amat
sederhana, akan tetapi biar pun kepalanya penuh uban,
wajahnya masih kemerahan dan sinar matanya berseri,
muncul dari balik rumput di mana tadi ia mengarit. Ketika
melihat rombongan sang adipati yang berkuda berhenti
di pinggir sawah, tergopoh-gopoh ia menghampiri dan
berjongkok menghaturkan sembah.
Adipati Tejolaksono tersenyum mengangguk. "Paman
sedang mengarit rumput menggembala kerbau?" tanyanya
dengan suara halus dan pandang mata berseri.
"Benar seperti yang paduka katakan, gusti adipati."
"Kerbaumukah itu, paman?"
"Bukan, gusti. Milik anak mantu hamba yang dua
ekor, yang seekor kepunyaan anak hamba. Hamba
membantu mereka, gusti."
Diam sejenak, pandang mata sang adipati menyelidik,
tertarik. "Paman, maafkan pertanyaanku ini karena,
menyangkut penghidupan dan isi hatimu. Bahagiakah
hidupmu, paman?" Kakek itu termenung, agaknya bingung mendengar
pertanyaan yang tak pernah disangka-sangkanya ini.
"Bahagia" Apa maksud paduka, gusti" Hamba tidak
membutuhkan bahagia itu!"
Sang adipati tertawa bergelak sambil menengadah,
memandang angkasa di mana awan putih bergerak seperti
domba-domba putih. Ada persamaan antara awan itu
dengan kakek ini. Tidak membutuhkan apa-apa, tidak
kekurangan sesuatu. ltulah bahagia. Karena tidak mencari
maka tidak pernah terluput, karena tidak membutuhkan
maka tidak kekurangan. Yang mengejar-ngejar bahagla
hanyalah orang pandir. Ha-ha-ha! Adipati Tejolaksono
tertawa gembira sampai keluar air matanya. Kemudian ia
mengambil dua potong emas dari saku bajunya,
memberikannya kepada si kakek sederhana.
"Sesungguhnya engkau tidak kekurangan sesuatu,
paman, terimalah hadiahku ini, belikan lagi satu dua ekor
kerbau untuk membantu pekerjaan keluargamu."
Kakek itu terbelalak, menerima hadiah itu lalu
menyembah, menghaturkan terima kasih kepada junjungannya, akan tetapi sang adipati telah menjalankan
kudanya lagi, wajahnya berseri-seri.
Kakek yang sederhana itu telah mengajarkannya flisafat
hidup yang tak ternilai yang hanya dia seorang yang dapat
menikmati dan mengertinya karena selosin perajurit
pengawalnya itu saling pandang, tidak mengerti. Bagus Seta
hanya bergembira karena kemball ayahnya melakukan
perbuatan yang amat elok, yang menyenangkan hati
seorang kakek-kakek sederhana.
Mereka berburu di kaki Gunung Merapi, di mana
terdapat sebuah hutan yang amat lebat dan liar, penuh


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

binatang-binatang hutan seperti harimau, kijang, dan lain-
lain binatang buruan. Mulailah mereka berburu. Yang
diutamakan oleh sang adlpati adalah memburu harimau
karena pemburuan ini lebih menggembirakan hati, lebih
menegangkan. Kalau bertemu harimau, pengawal-pengawalnya lalu
menggiring dan mengurungnya, kemudian sang adipati
akan menghadapinya dengan tangan kosong, membunuhnya dengan pukulan-pukulan maut. lni merupakan latihan baginya, di samping kegembiraan
mendapat kulit dan daging.
Akan tetapl kalau harimau itu terlalu gesit sehingga tidak
dapat dikurung, anak panah dipergunakan untuk
merobohkannya. Juga kijang dan binatang- binatang yang
mempunyal daging lezat dipanah roboh.
Sudah setengah harian mereka memburu binatang
akan tetapi hanya berhasil memanah roboh empat ekor
kijang. Tidak ada harimau tampak. Hati sang adlpati mulai
kesal. Akan tetapl Bagus Seta yang baru pertama kali ini
ikut berburu, menjadi gembira bukan main. Permainan ini
penuh ketegangan, dan suasana di dalam hutan liar itu
menggairahkan hatinya. Dua kali mereka diserang ular-
ular besar, sebesar pahanya, akan tetapi dengan cekatan
para pengawal memanah ular-ular itu
pada leher dan kepalanya. Mereka mengulitinya dan mengambil kulitnya yang berwarna dan bercorak indah.
"Kita masuk ke dalam, masa tidak ada harimau di
sana," kata sang adipati penasaran. Para pengawal
menurut, sungguhpun di dalam hati mereka khawatir
kalau-kalau mereka akan kemalaman pulang. Belum
pernah sang adipati berburu sampai bermalam, karena hal
ini tidak pernah diperkenankan isterinya, Juga para blbinya.
Sang adipati mengeprak kuda ke dalam hutan yang amat
rungkut, diikutl puteranya, kemudian baru para
pengawal yang merupakan barisan di kanan kiri dan
belakang, terdiri empat orang masing- masing bagian. Hal
ini dilakukan untuk dapat cepat bergerak mengurung kalau
ada harimau. Tiba-tiba kuda sang adipatl merlngkik aneh. Wajah sang
adipatl berseri, karena ia mengenal watak kudanya,
mengenal penciuman kudanya yang tajam terlatih.
Harimau, pikirnya. Benar saja, terdengar auman keras
yang menggetarkan seluruh rimba raya itu. Bagus Seta
tergetar hatinya, mendekatkan kudanya. Mereka semua
turun, dan Bagus Seta juga cepat-cepat turun terus
mendekati ayahnya, matanya memandang ke kanan kiri
karena auman harimau itu menimbulkan gema yang
sukar ia terka dari mana datangnya. Seakan-akan di
sekelilingnya penuh dengan harimau mengaung- ngaung.
Semua pengawal sudah menyiapkan tom bak, lalu mereka
menyelinap- nyelinap di antara semak belukar berusaha
mengurung harimau yang berada di sebuah gerombolan
alang-alang. Mereka mengambil batu, melempari semak-
semak itu dan mengeprak-ngeprak dengan tombak,
berteriak-teriak. Tak lama kemudian, terdengar pula aum
yang dahsyat dan tampaklah kepala seekor harimau
gembong yang besar sekali. Bagus Seta memandang
dengan mata terbelalak, mulut celangap. Sebesar kerbau
macan itu, pikirnya. Jantungnya berdebar, "bukan karena
takut, melainkan karena tegang. la sudah digembleng
sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak ada rasa takut
menyelinap ke dalam hatinya. Sekecil itu ia sudah dapat
mempertimbangkan dan menilai keadaan. Betapapun
besar dan galaknya macan gembong itu, di situ terdapat dua
belas orang pengawal, bahkan terdapat pula ayahnya. Perlu
apa takut" Tiada alasan untuk takut. Maka ia memandang
penuh perhatian, ingin melihat dengan mata kepala sendiri
kesaktian ayahnya yang sering didengarnya dari dongengan
para pengawal, betapa dengan tangan kosong ayahnya
sanggup mengalahkan seekor harimau. Kinilah tiba
saatnya ia melihat dengan mata kepala sendiri dan
mempelajari gerakan-gerakan ayahnya ketika menghadapi
macan. "Dia membawa anaknya ?" I" Tiba-tiba Bagus Seta
tak dapat menahan kata-katanya yang diucapkan setengah
berteriak ketika ia melihat kepala macan itu menunduk
lenyap ke dalam semak-semak kemudian tampak lagi dan
kiri seperti seekor kucing, harimau betina yang besar itu m
enggigit punggung seekor harimau kecil.
Terlambat sang adipati mencegah puteranya berteriak.
Harimau itu kaget, kemudian mengeluarkan suara gerengan
dengan kerongkongannya dan sekali tubuhnya bergerak, ia
sudah melompat jauh ke depan. Seorang pengawal yang
menjaga di situ, berusaha menggebah sang harimau
kembali ke tengah kurungan dengan menusukkan
tombaknya. Akan tetapi harimau yang amat besar itu
menggerakan kaki depan menyampok dan ?"?"krekkk".I" tombak itu patah dua dan si pengawal
terpelanting. Harimau lalu lari.
"Biar kupanah diaI" Tiba-tiba sang adipati berseru
keras. Seruan ini keras dan seperti auman harimau tadi,
mendatangkan gema. Si harimau agaknya terkejut,
menengok. Pada detik itulah anak panah sang adipati
menyambar, semula menyambar ke arah leher dengan amat
cepatnya, akan tetapi karena harimau itu menoleh, kini
anak panah itu tepat sekali mengenai perut harimau kecil
yang digigit punggungnya. Harimau kecil meronta, terlepas
dari gigitan induknya, dan harimau yang besar itu
melompat cepat lalu menghilang ke dalam rimba,
meninggalkan raung yang seperti ratap tangis bunyinya.
Bagus Seta sudah lari ke arah hari mau kecil yang
terpanah, melihat harimau itu berlumur darah dan sudah
matl dengan pandang mata penuh sesal. Ayahnya datang
menghampiri. "Rama, mengapa memanah anaknya.....?" tanyanya,
suaranya mengandung kemarahan dan kekecewaan.
Sang adipati menaruh tangannya di atas pundak
puteranya. "Bukan niatku memanah dia, Bagus. Tadinya
kuincar leher induknya, akan tetapl harimau itu menoleh
dan anak panah mengenai anaknya."
Karena cuaca sudah mulai gelap di dalam hutan itu,
sang adipati lalu mengajak rombongannya pulang.
Mereka menunggang kuda mereka dan biarpun sang
adipati tidak memperoieh seekor harimau besar
sebagaimana yang diharapkan, akan tetapi rombongan itu
tetap gembira karena kijang-kijang dan kulit dua ular besar
itu lumayan juga. Sate daging kijang amat lezat, tidak kalah
oleh sate daging kambing.
Tiba-tiba terdengar auman yang luar biasa dahsyatnya.
Auman yang jauh lebih dahsyat daripada auman harimau
tadi. Dan kali ini, auman ini membuat semua kuda,
termasuk kuda sang adipati, gemetar dan meringkik
ketakutan, berdiri di atas kaki belakang dan bahkan
beberapa ekor kuda tunggangan pengawal lalu meloncat
dan kabur. Kuda tunggangan Bagus Seta juga berdirl di atas
kaki belakang, meringkik-ringklk dan meloncat jauh sambil
meringkik terus ketakutan. Bagus Seta yang secara tiba-tiba
dlbawa lari itu, hampir terlempar jatuh, dan cepat-cepat ia
mendekam di atas kudanya, memegangi kendali eret- erat
dengan kedua tangannya. Akan tetapl ia sama sekall tidak
mampu lagi menguasai kudanya.
"Bagus.......... I Bagus..........I" Adipatl Tejoleksono
berterlak memanggil, namun karena Bagus Seta tak
dapat menguasai kudanya, anak itu hanya berteriak-
teriak, "Ayah.......... I Ayah.......... II"
Para pengawal juga bingung karena kuda mereka semua
menjadi binal, apalagi ketika suara auman itu terdengar
kembal i, membuat kuda mereka semua kabur ke
pelbagai jurusan tanpa dapat dicegah. Sang adipati
yang mengkhawatirkan puteranya segera melompat turun dari atas kuda, meninggalkan kuda yang
tak dapat dikuasai lagi itu lalu berlari cepat melesat di
antara semak belukar. Kuda putih itupun lari sambil
meringkik-ringkik. Akan tetapl kuda tunggangan Bagus Seta
sudah tak tampak dan dengan hati gelisah sang adipati terus
mengejar, mengerahkan ajinya berlarl cepat. Sang adipati
memiliki Aji Bayu Sakti yang amat hebat, akan tetapi
karena hutan itu amat liar, penuh semak belukar, dan ia
tidak tahu ke mana larinya kuda puteranya, ia harus
menyusup-nyusup dan menyelinap-nyelinap dengan hati
tidak karuan rasanya. Kuda tunggangan Bagus Seta berlari terus, jauh dari
tempat tadi. Tiba-tiba dari gerombolan semak belukar
muncul seekor harimau yang amat luar blasa. Harimau ini
amat besar, hampir setinggi kuda itu sendiri, berdiri
menghadang sambil menggereng. Gerengannya tidak
nyaring, akan tetapi bumi terasa tergetar. Kuda itu
berhenti seketika, ngoplok (menggigil kakinya) dan lumpuh
seketika, tidak mampu lari lagi, hanya mengeluarkan suara
meringkik seperti orang merintih. Melihat harimau yang
amat besar dan berbulu panjang putih ini, Bagus Seta juga
merasa takut. Baru kali ini ia merasa takut, karena ayahnya
tidak berada di situ, karena ia seorang diri harus
menghadapi harimau yang amat luar biasa ini. Namun
darah pendekar mengalir kencang di tubuhnya. Ketika
kudanya lumpuh dan mendeprok roboh, ia meloncat turun
dan mencabut pisau belatinya. Anak berusia sepuluh tahun
ini berdiri tegak, memasang kuda- kuda seperti yang
diajarkan ayahnya, pisau belati di tangan kanan, slap
menghadapi terjangan harimau putih yang besar sekali itul
Pantang menyerah sebelum kalah.
Macan putih itu berdiri memandang, agaknya terheran,
kepalanya miring ke kanan kemudian ke kiri, lalu
membuka, mulutnya yang besar memperlihatkan gigi yang
besar-besar panjang dan kuat meruncing, lidahnya merah
kasar dan kumisnya yang kaku bergerak-gerak tertarik kulit
bibir atas yang menaik. Kemudian terdengar suara gerengannya; gerengan yang
membuat tanah yang terpijak kaki Bagus Seta tergetar,
yang membuat daun-daun pohon di atasnya, yang sudah
menguning tua, rontok melayang-layang. Namun Bagus
Seta tidak menjadi gentar, bahkan melangkah maju,
mengatur kuda-kuda dan mencari akal bagaimana untuk
dapat mengatasi bahaya yang mengancam ini. Tiba-tiba ia
teringat akan busur dan anak panah yang tersandang di
punggung. Tangan kirinya perlahan-lahan merayap,
bergerak ke punggung, akan tetapi pandang matanya tak
pernah terlepas dari kepala harimau dan pisau belati masih
terpegang erat-erat di tangan kanan. ia berhasil mengambil
busur dan anak panah dengan tangan kini, kemudian
tangan kanannya membantu memasangkan anak panah
pada busur, pisau belati digigitnya agar sewaktu- waktu
mudah ia pergunakan. Kini ia menghadapi harimau
dengan busur terpentang dan anak panah siap diluncurkan.
Harimau itu setelah memandang sejenak tanpa berkejap
mata, kini melang kah maju, langkah seenaknya dan sama
sekali tidak bersikap untuk menerkam. la melangkah
menghampiri Bagus Seta yang tentu saja segera menarik
busur sampai melengkung dan begitu jarak antara dia dan
macan putih itu tinggal tiga meter lagi, ia melepas anak
panahnyal Busur dan anak panah itu memang kecil, akan
tetapl Bagus Seta sudah terlatih baik busur itupun buatan
seorang ahli dan anak panahnya yang runcing dibungkus
timah ujungnya. "Singggg.......... ll" Dengan cepat sekali anak panah
menyambar ke arah muka harimau, antara kedua matanya.
Kalau tepat mengenai sasarannya, tentu akan celaka
harimau itul Akan tetapi ternyata harimau itu hebat
sekali. ia menggereng lagi dan kaki depan kiri diangkat,
bergerak cepat menyampok ke depan dan?". anak
panah itu dapat ditangkap dalam cengkeramannyal
Bagus Seta tertegunl Dl antara para pengawal ayahnya
yang gagah perkasa sekalipun tidak ada yang mampu
melakukan ini. Hanya ayahnya dan eyang putri Kartikosari
saja yang mampu menangkap anak panah terbang. Tapi
harimau ini dapatI Bukan mainI Harimau itu melemparkan
anak panah kemudian melangkah maju terus, menghampiri
Bagus Seta. Anak ini melempar busurnya, memegang
pisau belatinya dan membentak, "Pergi.......... I Pergilah
kau, macanII" Ketika harimau itu menghampiri terus, Bagus Sera
bertekad melakukan perlawanan sedapat mungkin. Ia
menggerakkan kakinya dan tubuhnya menerjang harimau
itu, tangan yang memegang pisau bergerak menusuk ke
arah leher harimau itu . Akan tetapi sekali lagi harimau
putih itu mengangkat kaki depan yang kiri, menangkis


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan........pisau itu terlempar,..........Bagus Seta terpelanting.
ia meloncat berdiri akan tetapi sebuah tamparan kaki
harimau mengenai lehernya, membuat anak itu roboh dan
pingsan. Baiknya si harimau putih tidak mengulur kukunya
ketika menampar, maka leher anak itu tidak terluka. La
hanya pingsan oleh kerasnya tamparan. Harimau
itu mengendus-endus, mencium-cium dengan hidungnya pada
muka Bagus Seta, kemudian membuka rahangnya,
mendekati kepala anak itu dan..... menggigit punggung baju Bagus Seta, diangkatnya kemudian
dibawanya lari dari situ. Kalau Bagus Seta tidak pingsan
dan dapat menyaksikan hal ini, tentu ia akan teringat akan
anak harimau yang tadi dibawa induknya dengan cara
seperti ini pula, digigit punggungnyaI Harimau putih yang
menggondol tubuh Bagus Seta ini kini berlari cepat sekali
keluar dari hutan dan terus mendaki gunung. Pada saat
itu, Adipati Tejolaksono berada di atas sebuah pohon
yang tinggi, meneliti keadaan sekelilingnya dengan
pandang matanya, mukanya penuh kekhawatiran. Tadi ia
mendengar gerengan-gerengan harimau yang bergema
menggetar di seluruh hutan, dan ketika ia mengejar lebih
jauh, ia melihat busur, anak panak, dan pisau belati
puteranya menggeletak di atas tanah.
"Bagus Seta .......... II" ia mengerahkan suaranya
memanggil, namun tiada jawaban.
Hatinya gelisah dan akhirnya ia me-. loncat ke atas
pohon, memanjat ke pucuk dan dari tempat tinggi mencari-
cari. Akhirnya tampak olehnya bayangan putih itu berlari
mendaki bukit, menggondol tubuh puteranya.
"Duh Jagad Dewa Bathara.......... I" ia berseru terkejut,
melayang turun dari atas pohon dan mengerahkan seluruh
aji kesaktiannya untuk lari mengejar ke arah iarinya
harimau yang dilihat dari atas tadi. Dengan jantung
berdebar ia berdoa semoga Hyang Widhi melindungi
puteranya. Teringat akan hasil panahnya tadi yang
mengenai harimau kecil yang digondol induknya, ia cepat
membuang busur dan anak panahnya. ia tidak akan
memanah harimau itu, khawatir
kalau-kalau mengenai tubuh puteranya sendiri. Di tangannya terpegang sebatang
tombak dan ia berlari makin kencang.
Ketika ia mengejar sampai di lereng gunung, hari telah
mulai senja. Dapa t dibayangkan betapa kaget dan
khawatirnya ketika di luar sebuah hutan kecil ia melihat
harimau putih yang besar sekali itu mendekam, tubuh
Bagus Seta tak bergerak-gerak rebah menelungkup di depan
binatang itu. Saking gelisah, sang adipati tidak melihat
adanya bayangan putih yang berdiri tak jauh di sebelah
depan harimau itu, teraling pohon. Cepat ia memasang
kuda-kuda, mengambil sasaran lalu tombaknya
dilontarkan dengan pengerahan tenaga mengarah leher
harlmau yang sedang mendekam.
Tombak meluncur melebihi kecepatan anak panah,
lenyap bentuknya berubah menjadi sinar, menuju leher
harimau dengan ketepatan yang tak diragukan lagi.
Betapapun pandai dan sigapnya sang harimau, tak mungkin
dapat mengelak dari sambaran tombak seperti ini. Dan
agaknya tombak itu pasti akan mengena sasaran kalau saja
tidak terjadi hal yang mujijat. Akan tetapi terjadilah hal
yang mujijat itu. Kurang beberapa centimeter lagi ujung
tombak mengenai sasaran leher harimau, tiba-tiba sinar
putlh yang kecil hampir tak tampak menyentuh tombak
dan.......... tombak itu menyeleweng dan menancap ke
dalam tanah, ambles sampai setengahnya lebihI Adipatl
Tejolaksono terkejut. Belum pernah selama hidupnya ia
bertemu dengan harimau yang berbulu putih, apalagi
harimau yang pandai ilmu slhlr sehingga tanpa bergerak
mampu menangkis serangan tombaknya. ia menjadi makin
marah saking gelisahnya melihat keadaan Bagus Seta yang
ia tidak tahu maslh hidup ataukah sudah mati,
kegellsahan wajar seorang ayah melihat puteranya dalam
bahaya. Cepat bagaikan elang menyambar, tubuhnya sudah
melesat dan mencelat ke arah harimau putih, pukulan
Pethit Nogo sekuatnya berada dalam pukulan itu
menyambar kepala harimau, dan mulutnya berseru,
"Macan keparat, berani kau mengganggu puteraku?"
"Desss.......... III" Hebat bukan main pukulan Pethit
Nogo itu dan tepat bertemu dengan benda putih, akan
tetapi yang terang bukan kepala macan karena ketika Sang
Adipati Tejolaksono memandang, macan
itu tetap mendekam seakan-akan tidak merasakan sama sekali
hantamannya yang begitu hebat.
Ia mengangkat muka dan melihat seorang kakek tua
renta berambut panjang putih berdirl di depannya, maka
mengertilah ia bahwa kakek ini yan telah rnenangkis
tombak dan pukulannya. Kakek ini mengenakan kain putih
bersih yang dikelit-kelitkan di tubuhnya, memegang
sebatang tongkat bambu kuning gading, kakinya telanjang,
kepalanya juga telanjang, alis, dan jenggot kumis semua
putih, akan tetapi kulit mukanya segar kemerahan seperti
muka seorang pemuda remaja dan sepasang matanya
begitu bening dan terang seperti sepasang mata anak kecil.
"Orang muda yang perkasaI Kalau boleh aku bertanya,
mengapa andika hendak membunuh harimau ini?"
Sebelum menjawab, sang adipati mengerling ke arah
puteranya yang masih rebah menelungkup. Dia seorang ahli
maka sekilas pandang saja maklumlah ia bahwa puteranya
tidak terluka, juga sama sekali tidak mati, mungkin hanya
pingsan saja. Keadaannya seperti orang tidur. Hatinya lega
dan kembali ia memperhatikan kakek itu. ia maklum
sepenuhnya bahwa ia berhadapan dengan orang sakti
mandraguna, yang entah bagaimana tadi sudah sanggup
menangkis pukulannya Pethit Nogo. Akan tetapi karena
kakek ini membela harimau, maka ia anggap sebagai
musuhnya. "Kakek tua," jawabnya, suaranya juga halus akan
tetapi mengandung penasaran, "tentu saja aku hendak
membunuh harimau keparat ini karena dia telah
menggondol pergi dan hendak membunuh anakku."
Kakek itu mengulum senyum, wajahnya ramah sekali
akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh wibawa. "Orang
muda, mengapa andika hendak membunuhnya" Tidak
bolehkah ia menggondol puteramu, bahkan hendak
memangsanya?" "Tentu saja tidak boleh Sebagai seorang ayah aku
harus melindungi puteraku, dan harimau yang jahat ini
harus dibunuhi" Kakek itu tertawa, ketawanya halus dan nyaring, wajar
tidak dibuat-buat. "Ahhh, apakah artinya jahat, orang
muda" Lebih tepat disebut bodoh, akan tetapi siapakah
yang lebih bodoh antara harimau ini dengan andika" Kalau
andika bicara tentang kejahatan, andlkalah orangnya yang
jauh lebih jahat daripada harimau ini."
Adipat i Tejolaksono menjadi marah dan penasaran
sekali. ia menatap tajam wajah orang tua itu, dan berkata,
"Agaknya karena andika berbaik dengan harimau keparat
ini, andika hendak membelanya Apa maksud
andika mengatakan aku lebih jahat daripada binatang ini?"
Sikap sang adipati menantang, siap untuk bertarung
melawan kakek sakti ini. Akan tetapi kakek itu tidak marah, hanya pandang
matanya tajam menusuk. "Orang muda; kemanakah
perginya rasa keadilanmu" Baru saja andika telah
membunuh anak harimau ini dan andika sama sekali tidak
merasa bersalah, kini, harimau ini baru menggondol pergi
puteramu, andika sudah marah-marah hendak membunuhnyal" Adlpatl Tejolaksono terkejut sekali.ia memandang
harimau itu yang masih mendekam dan mengertilah ia.
Harimau itu tentulah harimau jantan yang menjadi
bapak dari harimau kecil yang dipanahnya tadi. Sejenak ia
termangu, akan tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja.
"Kakek tua yang sakti, tidak salah wawasan andika.
Akan tetapi andika lupa agaknya bahwa aku seorang
manusia, dan aku sedang berburu harimaui Aku memanah
induknya, tidak sengaja mengenai anaknya. Mana mungkin
manusia dapat disamakan dengan binatang harimau?"
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian berkata
dengan suara halus, akan tetapi ucapan ini terdengar
bagaikan halilintar menyambar bagi sang adipati. "Heh,
orang muda, apakah harimau ini juga tidak berhak
berburu" Untuk apa kau berburu harimau" Untuk
dimakan dagingnya dan diambil kulitnya untuk perhiasani
Apakah engkau kekurangan makanan di kadipaten
sehingga harus mencari daging harimau" Apakah hidupmu
akan kekurangan kalau tidak ada hiasan kulit harimau"
Engkau berburu hanya untuk menuruti nafsu kesenangan,
tidak mempunyai dasar atau alasan yang patuti Akan tetapi
harimau berburu karena tuntutan hidup, karena wajar,
yaitu bahwa harimau harus makan daging mentah agar
dapat hidup. Buaskah dia kalau terpaksa harus menerkam
mangsanya karena hanya itulah jalan yang diketahuinya
untuk dapat langsung hidup" Patutkah engkau yang tidak
membutuhkan dagingnya sebagai penyambung hidup,
mengejar-ngejar dan membunuhnya hanya untuk melampiaskan nafsu dan kepuasan hati?"
Sang adipati menundukkan kepalanya. Ucapan itu
menusuk perasaannya dan tidak
sanggup menjawab. "Tapi........ tapi ........ aku seorang manusia..... yang
dijelmakan menjadi mahluk tertinggi derajatnya, dan aku
hanya melakukan kebiasaan yang dilakukan semua orang
...... " ia menangkis dan bersandar kepada kebiasaan
manusia, termasuk raja dan para bangsawan yang suka
berburu. "Ha-ha-ha, engkau berlindung kepada kebiasaan
manusia. Salah kaprahi Kesalahan, betapapun basarnya
akan menjadi kebenaran kalau sudah dilakukan semua
orang. Begitukah" Hei, orang muda, beginikah ajaran yang
kau terima dari guru-gurumu" Dari Sang Patih
Narotama yang sakti mandraguna, dari Sang Prabu
Airiangga yang arif bijaksana?"
Pucat wajah sang adipati. ia segera menjatuhkan diri
berlutut dan berkata, "Aduh, eyang.......... , ampunkan
hamba. Hamba mengaku salah, eyang. Bolehkah hamba
mengetahui siapa gerangan julukan eyang panembahan?"
"Hemmm, sang adipati, harap jangan merendahkan diri
di depan seorang petani biasa seperti aku. Aku bukan
pendeta, bukan pertapa, aku seorang kakek biasa, namaku
Ki Tunggaljiwa. Bangkitlah, angger, dan mari kita bicara."
Pada saat itu, Bagus Seta sadar dari pingsannya. ia
membuka mata, teringat akan semua peristiwa. Dia masih
hidupi Dan harimau itu mendekam di sebelahnya, sama
sekali tidak kelihatan galak. Mata harimau itu kehijauan,
amat indahnya. Dan bulunya, seperti buiu kucing putih di
kadipaten. ia meraih, mengelus-elus leher binatang itu dan
sang harimau menjilati tangannya. Bagus Seta tersenyum,
menoleh dan ketika melihat ayahnya berada di situ bersama
seorang kakek tua renta, ia lalu berseru, "Ayah, lihati
Macan ini besar dan bagus sekali. Hamba kira tadi hendak
membunuhku, kiranya tidak, dia macan baiki"
Sang adipati terharu, lalu melangkah maju dan menarik
tangan puteranya, diajak menghadap kakek itu yang kini
sudah duduk di atas sebuah batu. Sang adipati mengajak
puteranya duduk bersila depan kakek itu.
"Eyang Tunggaijiwa, sekarang hamba telah sadar akan
semua kesalahan hamba. Hamba berjanji, mulai saat ini,
hamba tidak akan berburu binatang lagi."
Kakek itu tersenyum. "Berburu tidak mengapa asal
berdasarkan kebutuhan. Memang Hyang Widhi telah
menciptakan segala apa di mayapada ini untuk manusia
yang amat dikasihi-Nya. Kalau manusia lapar lalu
membunuh harimau atau apa saja untuk dimakan, itu
wajar namanya, sewajar seekor harimau menerkam dan
memangsa kelinci. Akan tetapi kalau membunuh
sekedar membunuh, itu keji namanya, tidak wajar dan
bersifat merusak. Betapa bodohnya merusak ciptaan
Hyang Widhi Wisesa. Sang adipati, bukan hanya kebetulan
saja pertemuan antara andika; putera andika, dengan saya.
Hyang Widhi sudah menentukannya bahwa puteramu akan
ikut bersamaku ke puncak Merapi. Andika harus tega
melepaskannya, sang adipati."
Adipati Tejolaksono terkejut sekali. Melepaskan puteranya, menjadi murid kakek ini" Putera tunggalnya si


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagus Seta" Mana mungkin" ibu anak inipun tentu akan
melarangnyai ia memegang tangan puteranya erat-erat, lalu
menjawab, "Mohon eyang sudi mengampunkan sayai
Agaknya tidak mungkin saya dan ibu anak ini berpisah
dari Bagus Seta, eyang. Hanya dia seorang putera kami,
betapa dapat kami berpisah daripadanya?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Sang adipati,
kehendak Dewata tak dapat dirubah. Perbuatanmu hari ini
pasti akan mendatangkan malapetaka dan hukuman yang
hebat, yang akan menimpa anak andika. Hanya sebuah
syarat membebaskannya, yaitu anakmu ini harus ikut
bersamaku selama lima tahun, menjadi muridku dan
menjadi sahabat si Putlh, menghibur hatinya yang
kehilangan anak. Aku tidak memaksa, akan tetapi hanya
memberi jalan demi kebalkan keluarga andika. Apalagi
karena dalam waktu mendatang, andika harus pergi
meninggalkan Selopenangkep, alangkah akan baiknya kalau
putera andika dititipkan kepada saya."
"Maafkan saya, eyang. Betapapun juga, saya tidak
dapat melepaskan puteraku ini sebelum mendapat
persetujuan daripada ibunya."
Kakek ini menghela napas lalu mengelus-elus kepala
harimau putih. "Putih, kau terimalah, memang tidak ada
mahluk di dunia ini yang hanya
mementingkan diri pribadi seperti manusia." Kemudlan kepada sang adipati ia
berkata, "Kalau begitu, sang adipati, biarlah saya
serahkan kepada takdir. Betapapun juga, sewaktu-waktu si
Putih dapat mengantar puteramu kepadaku. Nah, selamat
berpisah." Kakek itu lalu bangkit berdiri dan pergi dari situ
dengan langkah perlahan-lahan, diikuti harimau putih dari
belakang. "Eh, paman macan putih.......... i" Tiba-tiba Bagus Seta
berseru memanggil dan lari menghampiri harimau itu yang
menghentikan langkah membalikkan tubuh. Anak itu
merangkul lehernya dan si harimau merendahkan
tubuh, menjilat-jilat pipinya. ''Engkau ikut saja bersamaku
ke kadipateni" Harimau itu mengeluarkan suara gerengan perlahan,
kemudian membalikkan tubuhnya dan lari mengejar Ki
Tunggaljiwa. Bagus Seta tampak kecewa sekali, kembali
kepada ayahnya. "Ayah, macan itu indah dan baik sekali,
tidak galak. ingin aku bermain-main dengannya,
menunggang di punggungnya."
Adipati Tejolaksono menghela napas, hatinya merasa
tidak enak. ia seperti dapat merasakan getaran aneh yang
mengubungkan puteranya dengan kakek serta macan putih
itu. "Malam hampir tiba, hayo kita pulang. ibumu tentu
akan khawatir sekali," katanya.
Bagus Seta bertepuk tangan gembira. "Aah, betapa
kanjeng ibu akan terheran-heran mendengar cerita hamba
tentang macan putihl" soraknya.
Adipati Tejolaksono menggendong puteranya lalu
Tusuk Kondai Pusaka 20 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Si Pemanah Gadis 9
^