Pencarian

Perawan Lembah Wilis 1

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Perawan Lembah Wilis Karya : Asmaraman Kho Ping Hoo
Sumber DJVU : Hanaoki Website
Convert & Edit : Ebook oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Jilid I HARI PESPATI (Kamis) malam terang bulan! Malam
yang berbeda daripada malam-malam lainnya. Sejak surup
(senja) orang tidak berani keluar pintu, melainkan tekun di
dalam rumah membakar kemenyan dan menaruh sesajen
dan bunga-bunga rampai di sudut rumah. Asap kemenyan.
yang mengepul dari setiap rumah, berkumpul di angkasa
bermain dengan sinar bulan, suram-muram mengandung
keajaiban menyeramkan. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa pada malam
hari Respati, apalagi di waktu terang bulan, jin setan iblis
siluman dan roh-roh yang gentayangan berpesta-pora,
keluyuran di seluruh permukaan bumi untuk mencari
mangsa dan korban di antara manusia yang lemah
batinnya. Setelah senja, begitu matahari yang amat ditakuti
mereka tenggelam, mereka, keluar dari pohon-pohon besar,
dari guha-guha angker, memasuki kota dan dusun. Mula-
mula ributlah suara mereka, bercampur-baur dengan suara
margasatwa, kerak jangkerik, tangis walang kekek, kerak
kalak dan bunyi burung burung malam.
"Kulikkk kulik kulikkk I"
Suara ini terdengar di angkasa, melewati rumah-rumah
orang, nyaring dan tinggi suaranya, kadang-kadang diiringi
kelepak sayap. "Huuuuukk.. huukkk huuukkk.... !"
Suara besar parau, jarang akan tetapi amat mengesankan
sehingga gemanya terdengar membangunkan bulu roma.
"Klebek". klebek". klebek,,,, suara ini! terdengar di
bawah di sekitar rumah, membuat orang menengok ke
kolong balai dengan hati giris.
Sukar menentukan siapa pembuat suara-suara itu.
Burung kulikkah atau kuntilanak yang menangis kehilangan
anak yang mencari-carl penggantinya di antara bayi-bayi
manusia yang baru terlahir" Suara burung hantukah yang
besar parau itu, ataukah suara iblis raksasa dan gendruwo
berambut panjang riap-riapan dan gimbal, bermata merah
menyala sebesar bende, bersiung sejengkal-jengkal dan
lidahnya tergantung sampai di leher" Dan yang terakhir itu,
suara kalepak sayap ayamkah, atau suara banaspatl si
glundung pringis, kepala tanpa tubuh yang bergulingan ke
atas tanah kadang-kadang berloncatan seperti bola,
matanya melotot mulutnya lebar meringls ketawa tidak
menangispun bukan" Kadang-kadang, apabila angin berhentl bertiup, suara-
suara ltupun lenyap. Sunyi senyap menyelimuti bumi,
keadaan begini lebih menyeramkan lagi karena kata orang,
pada saat beginilah roh-roh jahat menerkam korbannya.
Kalau sudah begini, bunyi pintu berderit sedikit saja cukup
menegangkan urat syaraf. Dan pada saat sunyl senyap seperti itu, di waktu bulan
purnama menyembunyikan sebagian mukanya yang
keemasan di balik awan hitam berbentuk kepala Bathara
Kala, di waktu angin berhenti bertiup dan semua penduduk
Kota Raja Jenggala tak berani berkutik pula dalam rumah
di atas tempat tidur masing-masing, ibu-ibu mendekap
anaknya, suami-suami mendekap isterinya, hati berdebar-
debar gelisah, pada saat itulah terdengar jerit melengking
yang nyaring mengerikan. Jerit yang hanya dapat keluar
dari mulut iblis, atau dari mulut seekor serigala terluka, atau
juga dari mulut seorang yang nyawanya direnggut maut!
Jerit melengking yang membuat seluruh penghuni Kota
Raja Jenggala terbelalak ketakutan. Sampai berdiri rambut
kepala saking kaget dan takut. Dan lebih gelisah lagi
mereka yang berdekatan tinggalnya dengan rumah gedung
itu dari mana jerit melengking tadi terdengar kemudian
disusul tangis dan ratap memilukan hati.
Mereka ini tahu bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat
di dalam rumah gedung Tumenggung Wirodwipo itu. Akan
tetapi rasa serem dan ngeri membuat mereka pura-pura
tidak tahu karena siapakah yang berani datang bertandang"
Siapa berani keluar dari pintu rumah pada malam terkutuk
sepertl itu" Dua bayangan hitam menyellnap keluar dari pekarangan
rumah gedung Tumenggung Wirodwipo. Mereka adalah
dua orang laki-laki tinggi besar dengan tubuh yang kokoh
kuat. Keduanya memelihara kumis tebal sekepal sebelah
dan kepala mereka memakai pengikat kepala yang ujungnya
menjulang runcing ke atas sehingga bayangan mereka
tampak bertanduk. Biarpun tubuh mereka dempal besar,
namun gerakan mereka amat lincah, ringan dan cepat
mengagumkan. Seakan-akan kaki mereka tidak menlmbulkan suara sama sekali. Kalau ada penduduk yang
melihat mereka pada saat itu, tentu dia yakin telah melihat
setan, tidak akan percaya bahwa manusia?manusia jugalah
yang ia lihat. Dua orang tinggi besar itu berlari terus tanpa
mengeluarkan suara, tanpa berkata-kata dan mereka. keluar
dari kota raja dengan cara yang hebat pula, yakni dengan
melompati pintu gerbang sebelah selatan. Mereka
memasuki hutan Jati yang berada tak jauh dari kota raja,
akhirnya membuka pintu sebuah pondok
"Geriiiiiittttt !" Daun pintu bergerit terbuka dan api pelita
dl sebelah dalam bergoyang-goyang terbawa angin yang
ikut masuk bersama dua orang tinggi besar ke dalam
pondok. Pintu ditutupkan kembali dan api pelita berhenti
bergoyang. Tiga ekor binatang kalong (kelelawar) yang
amat besar terbang berputaran dalam pondok itu,
mengeluarkan bunyi mencicit dan kelepak sayap mereka
terdengar jarang. Kembali api pelita bergoyang. Agaknya
binatang?binatang menyeramkan ini terbang menyambut
kedatangan dua orang tinggl besar, atau mungkin juga
karena kaget. Setelah kedua orang laki-laki itu duduk,
kalong-kalong itu berhentl terbang, hinggap menggantung
di bawah atap. "Heh-heh-heh-hih-hikl" Di balik asap kemenyan yang
mengepul tinggi dan tebal, suara ketawa itu terdengar
seperti suara ketawa iblis, Dua orang laki-laki tinggi besar
itu memandang kagum bercampur seram. Mereka berdua
adalah orang-orang yang biasa akan hal-hal menyeramkan,
bahkan mereka berdua mampu mencekik leher orang
sampai mati, tanpa mengejapkan mata. Namun penglihatan
malam ini di dalam pondok, apalagi setelah tadi mereka
membuktikan sendiri hasilnya di dalam gedung Tumenggung Wirodwipo, benar?benar melampaui batas
ketabahan mereka dan bulu tengkuk mereka meremang.
Kakek yang bersila di belakang tabir asap kemenyan itu
sudah tua. Begitu tuanya sampai wajahnya yang
berkeriputan itu seperti bukan wajah manusia lagi.
Tubuhnya kurus bongkok, mukanya berkulit hitam
sehingga yang tampak jelas hanya warna putih matanya
dan dua buah giginya yang menguning. Kepalanya
dibungkus sorban kuning yang kotor. Memang segala
sesuatunya pada kakek ini kelihatan kotor belaka. Ruangan
pondok yang tidak luas terhias banyak tengkorak manusia
yang oleh gerakan asap bergulung tampak seakan?akan
hidup, mata yang tak berbiji seperti melotot dan mulut tak
berbibir seperti tertawa.
Kakek yang tertawa-tawa itu memegang sebatang keris
kecil, hanya sejengkal panjangnya dan ujung keris berlumur
darah segar. Di depan perutnya, tangan kirinya memegang
sebuah boneka dari lempung, boneka yang juga berlumur
darah, boneka yang memakai pakaian. Kalau dipandang
dengan teliti, tampaklah bahwa boneka ini serupa benar
dengan Tumenggung Wirodwipo!
"Heh-heh-hi-hik, bagaimanakah, anakmas" Berhasilkan?"
Kakek itu bertanya kepada dua orang laki-laki itu sambil
melempar boneka ke sudut dan menyimpan keris di ikat
pinggangnya. "Bagus sekali hasilnya, paman wiku. Kami mendengar
sendiri jerit kematiannya yang terakhir setelah dua kali ia
mengerang kesakitan," jawab Klabangkoro yang mempunyai tanda bekas bacokan pada pipi kanannya.
"Ha-ha-heh-heh, aku sudah tahu, anakmas. Sebelum
kalian datang, kalong?kalongku sudah pulang lebih dulu
mewartakan hasil usahaku. Dan darah di kerisku menjadi
tanda yang tak dapat dlsangkal lagi, heh-heh-heh!"
Klabangmuko, adik Klabangkoro, bergidik. Memang tadi
ia mendengar kelepak sayap kalong-kalong itu di atas
rumah gedung Tumenggung Wirodwipo. "Paman Wiku
Kalawisesa, hebat sekali kesaktian paman. Semua berhasil
sesuai dengan rencana. Gusti adipati di Blambangan tentu
akan gembira sekali mendengar ini."
"Paman wiku tentu akan menerima ganjaran (hadiah)
yang besar. Ha-ha?hal" kata Klabangkoro yang ikut gembira
karena berhasilnya tugas ini berarti dia sendiri berdua
adiknya akan menerima ganjaran pula.
"Heh-heh-heh, nanti dulu, masih kurang satu. Kalian
lihat saja nanti hari Respati pekan depan, lihat baik-baik
dan bergembiralah karena pada malam hari itu, Pangeran
Panjirawit menerima gilirannya mati di ujung keris
wasiatku. Heh-heh-heh-heh!"
Dua orang kakak beradik itu kaget, juga girang. "Dia "."
Tapi ".. menurut rencana, kita hanya akan menghitamkan
namanya agar ia menerima hukuman dari dua kerajaan
bersaudara, tidak ?".. tidak perlu paman bunuh."
"Heh-heh, kalian tahu apa, nak-mas" Bukan hanya Gusti
Adipati Blambangan yang menaruh dendam kepada isteri
pangeran itu, juga aku mempunyai perhitungan setinggi
langit!! Adik seperguruanku, Cekel Aksomolo, tewas di
tangan Endang Patibroto, yang kini menjadi isteri Pangeran
Panjirawit. Inilah sebabnya mengapa aku segera menerima
penawaran kerja sama dari Gusti Adipati Blambangan.
Memang, cara yang direncanakan gusti adipati cukup
hebat, akan tetapi hatiku tidak puas kalau tidak melihat
wanita itu sengsara hebat. Maka suaminya harus kubunuh,
baru nanti dia dimusuhi kedua kerajaan. Ha-ha-heh-heh!"
"Tapi ?". dia amat sakti ?".. bukankah berbahaya
itu, paman?" tanya Klabangmuko.
"Hik"hik" boleh jadi dia sendiri tak dapat dibunuh
secara ini. Akan tetapi suaminya orang biasa! Kalian boleh
lihat pekan nanti, akan tetapi awas, jangan terlalu dekat
mengintai istana pangeran itu."
"Baiklah, paman. Kini kami mohon pamit untuk
melaporkan hasil ini kepada Raden Sindupati."
Kakek itu mengangguk-angguk. Dua orang tinggi besar
ini lalu membuka daun pintu pondok, keluar dan
menutupkan. kembali daun pintunya. Pelita di dalam
bergoyang apinya, si kakek terkekeh girang lalu bangkit
menghampiri sebuah arca Bathara Kala yang berdiri angker
di s?dut, menjatuhkan diri berlutut dan mencium kaki arca,
menyembah dan mulut yang ompong itu berkemak-kemik.
Sepasang mata arca itu seolah-olah mengeluarkan cahaya
berkilat. Siapakah sesungguhnya kakek sakti yang mengerikan
ini" Para pembaca BADAI LAUT SELATAN tentu
mengenal nama Cekel Aksomolo, seorang pendeta seperti
Bhagawan Durna bentuk tubuhnya, pendeta sakti yang
menyeleweng ke jalan resat, dan akhirnya tewas di tangan
Endang Patibroto isteri Pangeran Panjirawit dari Kerajaan
Jenggala. Pendeta Itu adalah kakak seperguruan Cekel
Aksomolo, yang selama puluhan tahun bertapa di Gunung
Cermai. Pendeta ini sebetulnya adalah seorang Bangsa
Hindu yang datang merantau ke Nusantara, seperguruan
dengan Cekel Aksomolo dalam ilmu hitam dan ilmu sihir,
juga kesaktian. Akan tetapi berbeda dalam agama karena
Wiku Kalawisesa ini adalah seorang penyembah Bathara
Kala. Ketika ia mendengar tentang kematian adik
seperguruannya di tangan Endang Patibroto, hatinya sakit
sekali. Maka turunlah ia dari pertapaannya di Gunung
Cermai dan mulailah ia berdaya upaya untuk membalas
dendam. Namun karena ia mendengar bahwa isteri
Pangeran Panjirawit itu adalah seorang wanita yang
memiliki kesaktian luar biasa, maka ia berlaku hati-hati dan
hampir sepuluh tahun lamanya belum berani turun tangan.
Akhirnya tibalah kesempatan yang dinanti-nantikannya.
Adipati Blambangan yang juga merasa sakit hati kepada
Endang Patibroto atas kematian Bhagawan Kundilomuko,
pamannya dan penyembah Bhatari Durgo, dan di samping
sakit hati terhadap Endang Patibroto juga kepada Kerajaan
Jenggala yang sudah menghancurkan Kadipaten Nusabarung yang masih saudaranya, datang menghubungi
kakek ini. Maklum akan kesaktian Endang Patibroto, maka
lalu direncanakan siasat keji yaitu mengenyahkan orang-
orang penting di Kerajaan Jenggala dan Panjalu dengan


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjatuhkan dosanya di pundak Endang Patibroto. Dengan
siasat ini kalau berhasil, selain kedudukan dua kerajaan
menjadi lemah, juga Endang Patibroto akan ditangkap dan
kalau sudah begitu, Blambangan akan datang menyerbu
Jenggala! Adapun yang dipercayal tugas ini oleh Adipati
Blambangan adalah seorang perwiranya yang bernama
Raden Sindupati, seorang bekas senopati Jenggala yang
sudah melarikan diri karena mempunyai dosa, yaitu
membujuk rayu dan memperkosa seorang puteri Jenggala
dan kini ia menjadi perwira di Blambangan. Raden
Sindupati membawa sepasukan pengawal Blambangan
yang berkepandaian tinggi, dipimpin oleh kakak beradik
Klabangkoro. Ia bermarkas di dalam hutan yang
tersembunyi dan melakukan "operasinya" dari tempat ini.
Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi penghubung
antara pasukan ini dengan si dukun lepus Wiku Kalawisesa.
Bagaimana adanya rencana itu dapat dlikuti dalam
peristiwa-peristiwa selanjutnya, siasat yang keji dan
menciptakan malam-malam terkutuk yang mengerikan,
seperti yang terjadi pada malam itu yang membawa maut
bagi Tumenggung Wirodwipo, seorang tokoh perajurit
Jenggala yang tangguh. Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala geger! Betapa
tidak kalau dalam waktu beberapa pekan saja beberapa
orang perwira yang penting-penting telah mati dalam
keadaan yang amat ajaib" Mula-mula lengan kiri korban-
korban ini secara tiba-tiba mengucurkan darah, kemudian
lengan kanan bercucuran darah dan terasa sakit seperti
ditusuk keris, dan akhirnya ulu hati mereka mengucurkan
darah segar yang mendatangkan kematian. Dan semua
terjadi tiap hari Respati ma'am! Perbuatan setankah"
Kanjeng Ratu Raro Kidul entah sebab apa menjadi murka
dan bala tentaranya mendarat lalu mengamuk menyebar
maut dl antara ponggawa kedua kerajaan" Ataukah iblis-
iblis penghuni Pancagiri (Lima Gunung Semeru-Bromo-
Kelud-Arjuno-Anjasmoro) oleh sebab yang belum diketahui
menjadi marah-marah kepada dua kerajaan bersaudara"
Sang prabu di Panjalu dan sang prabu di Jenggala
menjadi prihatin dan mengerahkan para cerdik pandai
untuk mencari sebab-sebabnya dan menangkap biang
keladinya. Dan terdengarlah desas-desus yang disebar oleh
kaki tangan Raden Sindupati di Kerajaan Panjalu bahwa
satu-satunya orang yang mungkin dapat melakukan
perbuatan keji itu bukan lain adalah Endang Patibroto,
isteri Pangeran Panjirawit yang masih mendendam hati
kepada Kerajaan Panjalu! Desas-desus ini santer ditiupkan
oleh kaki tangan Blambangan. Endang Patibroto, bekas
kepala pengawal Jenggala itu adalah murid mendiang
Dibyo Mamangkoro, seorang manusia setengah iblis,
senopati kerajaan iblis, yaitu Kerajaan Wengker yang
dahulu dirajai Prabu Boko! Mungkin karena mendendam,
atau karena iri hati melihat betapa Kerajaan Panjalu lebih
besar dan makmur daripada Kerajaan Jenggala! Atau
mungkin untuk melampiaskan amarah karena isteri
Pangeran Panjirawit ini setelah menikah selama hampir
sepuluh tahun belum juga dikaruniai putera!
Bermacam-macamlah isi desas-desus itu yang kesemuanya jatuh ke pundak Endang Patibroto. Wanita
sakti yang banyak musuhnya karena sepak terjangnya yang
dahulu telah menjatuhkan banyak korban itu kini dikeroyok
oleh mereka yang membencinya, biarpun tidak tahu-
menahu sama sekali tentang pembunuhan-pembunuhan
rahasia itu, langsung saja memberi komentar dan
menjatuhkan fitnahnya atas namanya! Desas-desus itu
menembus pintu gerbang istana dan sampai ke telinga sang
prabu di Panjalu. Akan tetapi karena sang prabu adalah
seorang yang arif bijaksana, tidak mau menelan mentah-
mentah fitnah yang jatuh atas diri Endang Patibroto,
maklum betapa hebat dan berbahayanya fitnah ini. Diam-
diam sang prabu hanya berpesan kepada ponggawa-
ponggawa yang pandai dan setia untuk memasang mata
dan memperketat penyelidikan.
Endang Patibroto sendiri juga terkejut ketika mendengar
tentang kematian?kematian aneh mengerikan Itu. Sebagal
murid Dibyo Mamangkoro yang ahil Ilmu hitam, Ia dapat
menduga bahwa ini tentulah hasil perbuatan seorang ahli
sihir yang jahat. Lebih kaget dan penasaran lagi hatinya
ketika sampai ke telinganya desas-desus bahwa dialah
orangnya yang disangka umum melakukan pembunuhan-
pembunuhan keji itu. Pangeran Panjirawit juga mendengar desas-desus ini dan
melihat sikap isterinya yang marah-marah dan penasaran,
Ia di senja hari itu menghibur isterinya. Dipeluknya isteri
tercinta Itu dan dItariknya duduk di atas pangkuan.
Sepuluh tahun mereka menjadI suami isteri, dan biarpun
Endang Patibroto belum melahirkan putera, namun sang
pangeran tidak berubah cinta kasihnya yang mendalam,
bahkan tidak pernah mau mengambil selir untuk
menyambung keturunan. Pangeran Panjirawit adalah putera selir Sang Prabu
Jenggala. Dia seorang pangeran yang tampan dan pandai
olah keprajuritan. Seorang pangeran yang hidup sederhana,
tidak suka bermewahan, setia kepada kerajaan ramanda,
dan jujur dalam melakukan tugas, ramah terhadap
bawahan, tidak menjilat kepada atasan. Oleh karena itu,
semua orang suka belaka kepada pangeran ini dan
tertutuplah sebagian rasa tidak suka terhadap isterinya,
Endang Patibroto. Tidak mengherankan apabila banyak orang tidak suka
kepada Endang Patibroto. Sebelum menjadi isteri Pangeran
Panjirawit (baca Badai Laut Selatan), Endang Patibroto
adalah seorang gadis yang liar, sakti mandraguna sehingga
menggiriskan semua orang, wataknya ganas dan mudah
membunuh, pernah pula menjadi kepala pengawal keraton
Jenggala. Akan tetapi semenjak ia menjadi isteri Pangeran
Panjirawit, ia tidak pernah lagi bertualang, bahkan jarang
keluar dari istana di mana ia tenggelam dalam kasih sayang
suaminya. Harus diakui bahwa tadinya tidak ada cinta
kasih dalam hatinya terhadap Pangeran Panjirawit, akan
tetapi penumpahan cinta kasih yang berlimpahan dari
suaminya mencairkan kekerasan hatinya dan menumbuhkan cinta kasih yang besar pula.
Endang Patibroto adalah seorang wanita yang amat
sakti. Sebelum menjadi murid Dibyo Mamangkoro, ia
sudah memiliki bermacam ilmu. Setelah menjadi murid
tokoh iblis ini, ia seperti seekor harimau yang tumbuh
sayap. Sakti mandraguna dan jarang bertemu tanding. Akan
tetapi, peristiwa-peristiwa pembunuhan itu membangkitkan
semangatnya, membakar hatinya membuatnya penasaran
dan bersumpah di dalam hati untuk menangkap dan
menghukum biang keladinya.
Ketika suaminya memeluk dan memangkunya, ia
merangkulkan kedua lengan di leher Pangeran Panjirawit.
Sudah sepuluh tahun menikah, namun suami isteri ini
masih tetap seperti pengantin baru, saling menumpahkan
kasih sayang yang tak kunjung padam. Betapapun gagah
dan saktinya, dalam saat?saat bermain asmara seperti itu,
timbul pula sifat kewanitaan Endang Patibroto dan ia
kadang-kadang menjadi aleman (manja).
Sore itu mereka duduk di ruangan dalam, di samping
kamar tidur, menghadapi taman bunga. Tempat inilah
menjadl tempat kesukaan mereka sehabis makan sore,
duduk bercakap-cakap atau bersenda-gurau, bermain
asmara, menghadapi bunga-bunga yang mekar dan
semerbak wangi. Kesukaan Endang Patibroto adalah bunga
melati dan bunga menur yang sedap. Adapun kesukaan
sang pangeran adalah bunga mawar merah dan putih yang
harum. Ketiga macam bunga itu memenuhi taman di depan
ruang duduk ini, di samping bunga-bunga kenanga, kantil,
dan arum dalu yang menyiarkan ganda harum sedap seperti
di dalam taman sorgaloka, menyentuh rasa dan
membangkitkan cinta. Ruangan itu sederhana namun
menyenangkan. Hanya terdapat beberapa kursi, sebuah
meja hiasan-hiasan binatang. Sejuk hawanya, harum
semerbak baunya, dan para pelayan memang tidak pernah
memasuk ruangan ini di waktu suami isteri di situ. Mereka
semua sudah maklum akan keadaan pangeran dan isterinya
yang selaIu berpengantinan mesra sehingga mereka enggan
dan takut mengganggu. "Isteriku Endang jiwa hatiku tersayang, mengapa
wajahmu yang ayu muram sejak siang tadi" Lihat bulan
sampai bersembunyi di balik awan seperti wajahmu yang
muram. Apa yang kau susahkan, sayang?" Pangeran
Panjirawit bertanya sambil mengelus-elus rambut ikal
dengan belaian mesra. Endang Patibroto menghela napas panjang. Biasanya,
kalau suaminya sudah mencumbunya seperti inl, hatinya
serasa nikmat dan senang, sebesar Gunung Semeru. Akan
tetapi sekali ini perasaan senang itu tidak kunjung datang,
bahkan ingin ia menangis, makin tertindih dan risau
hatinya mengingat akan segala penasaran yang didengarnya. "Aduh, pangeran. Bagaimana hatiku tidak risau kalau
teringat akan segala peristiwa yang terjadi dan mendengar
segala desas-desus tentang diriku" Ah, tentu kakangmas
pangeran telah mendengar pula ",
Panjirawit mempererat pelukannya sampai terasa detak
jantung isterinya menjadi satu dengan debar jantungnya
sendiri. Alangkah besar cintanya kepada isterinya ini!
"Endang, mengapa kau perdulikan segala omong kosong
itu" Biarkan saja mulut usil bicara, asal tidak langsung di
depan kita. Di bagian manakah di dunia in! tidak ada orang
yang usil mulut" Mereka itu iri hati terhadap engkau,
nimas, terhadap kita, melihat kebahagiaan kita?" "
"Tidak ".. tidak begitu, pangeran. Semua desas-desus
tentu ada sebabnya. Kematian-kematian yang aneh itu.
Bahkan pekan lalu kakang Tumenggung Wirodwipo juga
menjadi korban. Sudah tiga orang ponggawa setla dan
perkasa Jenggala tewas secara keji. Juga ada tujuh orang
ponggawa Panjalu tewas seperti itu ?"."
"Hidup mati manusia berada di tangan Dewata, lsteriku.
Kebetulan saja para ponggawa yang mati itu yang telah
terpilih oleh Hyang Widi untuk dipanggil kembali,
mengapa merisaukan kematian yang sudah disuratkan
takdir?" Pangeran itu masih berusaha menghibur, jari-
jarinya dengan penuh cinta kasih menyislhkan sinom
rambut yang berikal di tengkuk, kemudian mencium kulit
tengkuk yang putih bersih itu dengan bibirnya.
Biasanya, kalau dicium seperti itu, meremang seluruh
bulu di tubuh Endang Patibroto, menimbulkan gairah dan
ia akan membalas belaian suami tersayang. Akan tetapi kali
ini la melawan gairah itu dengan menggeliatkan tubuh dan
berkata lagi, agak merajuk,
"Pangeran, suami junjunganku, berpura-purakah paduka" Kematian?kematian itu jelas berada di tangan
Hyang Widi, akan tetapi sebab kematiannya dapat dibuat
orang yang mengandung hati jahat. Itupun tidaklah amat
kurisaukan kalau saja nama hamba tidak didesas-desuskan
orang. Siapa dapat menahan kalau mendengar desas-desus
itu" Dlkabarkan bahwa hambalah yang melakukan
perbuatan keji itu, karena hamba murid Dibyo Mamangkoro, karena hamba iri hati, dengki, karena hamba
tidak ".tidak punya anak ?".." Kalimat terakhir ini
disusul dengan sedu-sedan.
Pangeran Panjirawit mengerutkan kening, memegang
dagu isterinya, diangkat muka itu sehingga berhadapan
dengan mukanya, kemudian dengan sepenuh cinta kasihnya
ia menempelkan mulut pada mulut isterinya, menciumnya
dengan halus, lembut dan mesra.
Sedu-sedan itu terhenti, lenyap dalam ciuman yang
dibalas oleh Endang Patibroto dengan penyerahan yang
tulus, dengan cinta kasih yang sama besarnya. Sejenak
keduanya tenggelam dalam kasih asmara, sampai akhirnya
Endang Patibroto terengah dan gemetar dalam dekapan
suaminya, tubuhnya menjadi hangat, kedua pipinya
kemerahan. Akan tetapi kembali pangeran itu mengerutkan
keningnya yang tebal ketika melihat air mata mengalir
turun di kedua pipi isterinya.
"Endang, kekasihku, dewiku ..... kau ...... kau
menangis?" Memang mengherankan bahkan mengejutkan melihat
isterinya menangis. Endang Patibroto adalah seorang
wanita sakti, gagah perkasa tak kenal takut, tak kenal susah,
dan tak pernah meruntuhkan waspa (air mata).
"Kakangmas, hamba harus ?" harus menyelidiki
semua ini "...!"
Panjirawit mencium kening isterinya yang kanan.


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kening ini kecil panjang dan hitam, melengkung indah dan
sedemikian indahnya sehingga kulit di dekat kening tampak
lebih putih daripada kulit di bagian lain pada wajah ayu itu.
"Aduh yayi, mutiara hatiku. Sesungguhnya aku tidak mau
bicara tentang semua peristiwa ini, khawatir mencemaskan
hatimu. Jangan mengira bahwa aku tidak mendengar segala
macam desas-desus keji tentang dirimu, nimas. Akan tetapi,
setelah sekarang engkau mendesak dan agaknya engkau
benar-benar merasa penasaran, baiklah kita bicara tentang
ini. Akan tetapi, adindaku, lupakah engkau akan janjimu
kepadaku bahwa kau tidak akan bertualang mempergunakan kesaktianmu seperti dahulu lagi" Aku
amat khawatir, nimas ?"."
Kini Endang Patibroto bangkit, merangkul leher
suaminya dan dialah yang kini mencium mulut yang
dicintanya itu. Kemudian ia turun dari atas pangkuan
sambil berkata manja, "Takkan mungkin bicara benar kalau
kita tenggelam dalam bercinta." Ia tersenyum dan lenyaplah
semua kemuraman wajahnya. Senyum itu pula yang
membuat Panjirawit lupa akan kekhawatirannya, bahwa
isterinya akan menonjolkan kesaktiannya yang mengerikan
dan ditakutinya, karena sekali isterinya bertualang dalam
permusuhan, bencana hebat tentu akan timbul. Akan tetapi
senyum itu terlalu cerah, terlalu indah dan menyilaukan
mata, mengusir semua keraguan hati.
"Betapa aku dapat menghentikan cintaku kepadamu
walaupun sekejap mata?" ia menggoda dan hendak meraih
lagi. Akan tetapi Endang Patibroto mlringkan tubuh, raihan
itu tidak mengenai sasaran. Endang Patibroto duduk di atas
kursi menghadapi suaminya, lalu berkata sungguh-sungguh,
"Pangeran, aku tahu apa yang terjadi pada mereka.
Dahulu guruku pernah menjelaskan tentang ilmu membunuh musuh melalui guna-guna, melalui aji ilmu
hitam yang disebut Aji Kalacakra. Ilmu itu mujijat dan keji,
sanggup membunuh orang dari jauh hanya dengan
menusuk-nusuk boneka yang dibuat menyerupai orang yang
dijadikan korbannya."
"Ihhh?" ! Aji terkutuk!"
Endang Patibroto tersenyum. "Memang semua aji itu
terkutuk kalau dipergunakan untuk kejahatan, kakanda."
"Dan siapakah orangnya yang dituju, akan tewas begitu
saja?" Pangeran itu masih kurang percaya.
Endang Patibroto menggeleng kepala. "Tidak ada
kekuasaan di dunia ini, betapapun hebatnya, dapat
mengalahkan orang yang bersih batinnya dan yang tidak
mempunyai dosa. Aji Kalacakra tidak mempan tentunya
kepada orang yang memiliki kesaktian lebih tinggi daripada
orang yang melakukan aji itu, juga tidak akan mempan
(mempengaruhi) orang yang tidak pernah berdosa. Akan
tetapi, manusia manakah yang tidak pernah melakukan
dosa" Itulah sebabnya mengapa aji itu amat berbahaya."
"Akan tetapi, betul-betulkah aji semacam itu dapat
dilakukan orang?" "Kakanda masih sangsi akan kebenarannya" Sungguhpun hamba selamanya belum pernah melakukannya, akan tetapi mengerti caranya. Harap
paduka lihat baik-baik!" Endang Patibroto lalu turun dari
anak tangga ke dalam taman, mengambil sekepal tanah
lempung dan sehelai bulu ayam, lalu kembali ke dekat
suaminya yang memandangnya dengan mata penuh
perhatian. "Paduka mengenaI ini?"
"Eh?" , itu bulu ayam. Putih ?".. hemm, hanya
ayam kelangenan (kesukaan) kita Si Petak yang suka masuk
ke taman." "Betul, kakangmas. Ini bulu Si Petak, dan lihatlah ini."
"Engkau membuat boneka Si Petak dari tanah lempung!"
"Kembali benar," kata Endang Patibroto sambil
memasangkan bulu putih itu pada tubuh boneka ayam.
Kemudian ia mencabut tusuk kondenya yang terbuat
daripada emas, lalu duduk bersila pada permadani dan
berkata, "Sekarang harap paduka lihat baik-baik, adinda
akan membuat bukti akan kebenaran dugaan adinda."
Pangeran Panjirawit memandang dengan mata terbelalak. Dilihatnya isteri tercinta itu duduk bersamadhi,
boneka di tangan kiri, tusuk konde di tangan kanan,
matanya dipejamkan dan bibirnya berkemak-kemik,
kemudian tubuh isterinya seperti menegang dan kedua
tangan gemetaran, matanya dibuka lalu ujung tusuk konde
yang runcing itu ia tusukkan ke arah paha boneka ayam.
Hampir Pangeran Panjirawit terpekik saking kagetnya
melihat darah keluar dari paha ayam itu! la melompat dari
tempat duduknya dan keluar dari situ melalui pintu tengah
dan ?" hampir ia bertubrukan dengan seorang gadis yang
jongkok di belakang pintu.
"Eh"! Engkau ini, Minten" Apa yang kau kerjakan di
sini?"" Gadis Itu berusia kurang lebih enam belas tahun. Cantik
manis, tubuhnya padat dan mulai mekar, jelas nampak
pada bagian dadanya yang tertutup kemben, kulitnya halus
dan hitam manis. Tubuh gadis itu gemetar ketika ia
berjongkok di depan sang pangeran.
"Ampun ?".gusti?" hamba?". hamba tadinya
ingin mencari kembang melati dan mawar untuk tambah
sesaji ".." "Hemm, jangan ganggu kami. Pergi!" kata pangeran itu
yang tergesa-gesa lari terus menuju ke belakang, ke kandang
ayam di mana Petak berada. Sebagai seorang pria ia tidak
begitu memperhatikan tentang sesaji, tidak tahu bahwa
kembang untuk itu sudah lengkap tersedia. Akan tetapi
bukankah Suminten seorang gadis pelayan dalam" Tidak
terlalu mengherankan kehadiran gadis itu di sana. Ia tidak
pikirkan lagi gadis Itu dan jantungnya berdebar keras ketika
tiba di luar kandang ia mendengar suara Petak
berkeok?keok. Cepat ia membuka pintu kamar dan
wajahnya menjadI pucat. Si Petak tampak rebah miring,
paha kanannya mengucurkan darah! Pangeran Panjirawit
cepat melompat dan lari kembali ke tempat isterinya.
"Endang jangan bunuh Si Petak..... !" katanya Iirih,
suaranya gemetar wajahnya masih pucat.
Endang PatIbroto yang duduk bersila menggeleng
kepala, lalu mencabut tusuk kondenya dari paha boneka
ayam, mencabut bulu putih lalu melempar boneka dan bulu
ayam ke taman. Ia bangkit berdiri sambil berkata, "Jangan
khawatlr, kakanda. Hamba terlalu sayang kepada ayam kita
itu untuk membunuhnya. Hanya untuk pembuktian
kebenaran ucapan dan dugaan adinda."
Pangeran Pannirawit menghela napas panjang. "Engkau
benar, yayi. Kulihat tadi paha Si Petak berdarah. Hiihhhh
menggigil aku sekarang. Terkutuk benar orang yang
melakukan perbuatan sekeji itu terhadap para ponggawa
kerajaan." "Dan setelah terjadi perbuatan pengecut itu, disebar
desas-desus tentang diri hamba. Tidakkah sekarang kakanda
pikir bahwa hamba harus menyelidiki peristiwa ini?" kata
pula Endang Patibroto sambil membetulkan rambutnya
yang terurai lepas karena tadi ia mencabut tusuk kondenya.
Ia menggunakan kedua tangan untuk membereskan
gelungnya dan gerakan ini, mengangkat kedua lengan
membetulkan rambut, amatlah manisnya. Lenyaplah sifat
Endang Patibroto wanita sakti, yang tampak kini seorang
puteri yang cantik jelita, dengan sepasang lengan yang
indah bentuknya dan halus kulitnya seperti batu pualam.
Pangeran Panjirawit meraih, menangkap pinggang
isterinya dan menariknya duduk di atas pangkuannya
kembali. "Biarkan rambutmu, sayang. Biarkan terurai
seperti itu ?"!" Ia menyusupkan muka pada selimut
rambut yang harum dan halus, meramkan mata.
Endang Patibroto tertawa kecil, mengelus dagu
suaminya. "Belum paduka jawab pertanyaan adinda ?"."
"Apa?" " Ah, tentang penyelidikan, biarlah besok
kuperintahkan kakang Sungkono untuk mengerahkan para
abdi pengawal menyelidik."
"Tidak akan ada gunanya, pangeran. Penjahat itu sakti,
kakang Sungkono bukanlah lawannya. Harus diakui bahwa
kakang Sungkono merupakan abdi yang baik dan setia,
akan tetapi menghadapi penjahat sakti ini harus dilawan
dengan kesaktian pula."
"Baiklah, yayi. Besok kau bersama aku menyelidik,
sekarang mari temani aku tidur, sayang. Aku menjadi ngeri
dan serem." la memeluk dan hendak memondong tubuh
isterinya. Akan tetapi Endang Patibroto meronta dan turun
dari pondongan suaminya karena la tahu bahwa sekali ia
sudah memasuki peraduan bersama suaminya, ia akan lupa
segala. Padahal malam inilah saat yang tepat untuk
menyelldik, malam hari Respati !
"Kakanda, maafkan adinda untuk saat in!. Hari ini hari
Respati, bukan" Nah, inilah saatnya penjahat itu turun
tangan. Karena, ketahuilah kanda bahwa amat sukar untuk
mencari penjahat sakti Ini kalau tidak pada waktu ia
melepas kejahatannya. Biasanya, pada saat ia melakukan
kejahatannya, tentu ia melepas pengintai yang akan
mengabarkan apakah usahanya itu berhasil atau tidak."
"Pengintai" Kalau begitu, mengapa para penyelidik
kedua kerajaan tidak dapat menangkapnya?"
"Ah, mana dapat" Biasanya, pengintai itu bukan
manusia, melainkan binatang, biasanya burung hantu,
burung gagak dan sebangsanya ".."
"Ihhh ?".! Pangeran itu bergidik dan merangkul leher
isterinya. "Jangan pergi, Endang, aku ?" aku ?" hihh,
aku takut!" Endang tersenyum dan mencium suaminya. "Paduka"
Takut" Pangeran Panjirawit yang gagah perkasa, suami
hamba yang terclnta".. , takut "..?""
Panjirawit mencubit pinggul isterinya dengan gemas.
"Tidak takut menghadapi musuh siapapun juga, tapi setan
dan ibiis....... hihh, ngeri aku?"."
"Perkenankan hamba pergi, kakanda. Tidak akan lama.
Setelah selesai menyelidik, hamba akan cepat kembali.
Mudah-mudahan berhasil membekuk batang leher penjahat
itu, demi keamanan Jenggala dan Panjalu dan demi
bersihnya nama hamba. Hamba past! kembali dan "..
mudah-mudahan paduka belum tidur."
"Mana bisa aku tidur tanpa kau di sampingku, manis"
Bibirmu itu lho ?".."
"Mengapa dengan bibir hamba?"..?" Endang mengusap-usap bibirnya dan suaminya tertawa.
"Bibirmu yang membuat aku tidak bisa tidur sendirian."
lapun meraih lagi isterinya, mencium bibir yang selalu
merah tanpa menginang (makan sirih) itu, merah
membasah, lembut dan hangat penuh madu asmara. setelah
puas berciuman, Endang Patibroto akhirnya merenggut
tubuhnya terlepas dari pelukan suaminya, membenarkan
rambutnya yang awut-awutan, meringkaskan pakaiannya.
Melihat isterinya berkemas dan mengenakan celana hitam
sebatas lutut, mengaitkan kain yang berubah menjadi
dandanan seorang pendekar wanita, kembali Pangeran
Panjirawit gelisah. "Engkau tidak membawa senjata, Endang?" Ia bergidik
kalau teringat betapa dahulu, sepuluh tahun yang lalu,
isterinya ini dengan keris pusaka Ki Brojol Luwuk (pusaka
Mataram) merupakan seorang wanita perkasa yang
menggiriskan dan menggegerkan seluruh Kerajaan Panjalu
dan Jenggala. Endang tersenyum. "Menghadapi penjahat pengecut
perlu apa bersenjata" Tusuk konde hamba inipun belum
tentu perlu hamba pergunakan. Nah, suami pujaan hati,
hamba pergi, sampai nanti!" Begitu selesai kata-kata ini,
tubuh Endang Patibroto berkelebat dan lenyap dari depan
Pangeran Panjirawit. Pangeran ini termenung, tidak heran
menyaksikan kesaktian isterinya yang ia tahu memiliki ilmu
Aji Bayu Tantra yang memungkinkan isterinya berkelebat
cepat seperti terbang dan lari seperti angin cepatnya. Ia
menarik napas panjang berkali-kali, hatinya merasa kosong
setelah isterinya tidak berada di sampingnya. Ia lalu bangkit
dan memasuki kamar tidurnya. Akan tetapi di pintu ia
terhenti karena melihat bayangan Suminten menyelinap.
"Heiii, kau lagi, Minten" Tidak dipanggil mengapa kau
berada di sini" Tidak mengaso di belakang, di pondok abdi
dalem?" Gadis yang berdada montok itu maju, berlangkah
jongkok sampai dekat

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaki Pangeran Panjirawit, menyembah dan sedikit menyentuh kaki sang pangeran,
kemudian menengadah memandang pangeran itu, mata
yang jeli bersinar-sinar penuh harapan, hidung yang
mancung berkembang-kempis, mulutnya setengah terbuka
sehingga tampak di balik sepasang bibir yang basah itu
ujung deretan gigi yang putih dalam mulut yang merah.
Lalu terdengar mulut yang menggairahkan itu berbisik,
"Ampunkan hamba, gusti ?"" hamba kira ?"
barangkali ?" paduka masih membutuhkan sesuatu yang
dapat hamba kerjakan ?""
Pangeran Panjirawit mengerutkan kening. Aneh sekali,
pada mata dan mulut gadis ini terdapat sesuatu yang
mengingatkan ia akan isterinya, akan pandang mata dan
mulut isterinya sewaktu ia cumbu! Aiihh, tidak! Ia takkan
membiarkan dirinya tertarik oleh lain wanita. Tiada wanita
di dunia ini yang dapat menandingi isterinya!
"Tidak, Minten. Kau pergilah ke belakang, aku mau
tidur." Pangeran. itu memasuki kamarnya tanpa menutup
daun pintu karena ia ingin melihat apabila isterinya pulang.
Perlahan Suminten bangkit berdiri, sejenak ia berdiri di
depan pintu kamar, kedua tangan dengan jari-jari kecil itu
dikepal-kepal, glginya yang kecil-kecil putih menggigit bibir
bawah, matanya layu dan air mata mengalir turun di kedua
pipinya. Ia sampal tak sedap makan tak nyenyak tidur,
siang malam memikirkan sang pangeran, mengharap-harap
dan diusahakannya sedapat mungkin menarik perhatiannya. Namun sia-sia, pangeran itu sama sekali
tidak tertarik padanya, melihat dengan pandang mata
seperti kebanyakan pria kalau memandangnyapun tidak
pernah. Bukankah wajar dan sudah selayaknya kalau
seorang pangeran mengambil dara abdi-dalem menjadi
selir" Apakah yang dipunyai isterl pangeran yang tidak ada
pada dirinya" Ia penasaran dan menderita karena tergila-
gila dan jatuh cinta kepada sang pangeran. Begitu gagah,
begitu tampan, begitu halus, begitu dekat namun?" begitu
jauh tak terjangkau tangan dan hati. Ini semua gara-gara
isteri pangeran. Gara-gara Endang Patibroto sehingga
suaminya tidak wajar seperti para pangeran lain. Wanita
iblis itu, dengan ilmu iblisnya. Suminten bergidik ngeri,
akan tetapl matanya menyinarkan cahaya. Desas-desus itu
memang benar. Ia telah menyaksikan sendiri. Dengan ilmu
iblisnya isteri pangeran telah mengguna?gunai Si Petak tadi!
Bergeraklah kedua kakinya perlahan menuju ke belakang, di
mana tersedia kamar-kamar dalam pondok khusus untuk
para abdi. Bagaikan iblis sendiri, tubuh Endang Patibroto melesat
naik ke atas atap rumah dan mulailah ia dengan
petualangannya, dengan perjalanan malamnya melakukan
penyelldikan. Begitu kedua kakinya menginjak genteng,
begitu angin malam bermain dengan rambutnya, timbul
kegairahannya, teringat ia akan hidupnya, naluri seorang
pendekar yang waspada akan setiap gerak dan suara.
Ketajaman telinganya bertambah, pandahg matanya yang
selama sepuluh tahun ini terbenam dalam kemesraan,
dalam lautan asmara yang tak kunjung padam bersama
suaminya kini bersinar-sinar tajam, indera ke enam yang
ada pada diri setiap orang pendekar yang sudah matang
ilmunya, kini hidup dan menjadi sandaran baginya untuk
melakukan penyelidikan. Tubuhnya berkelebat cepat sekali, kadang-kadang di atas
genteng berlompatan, kadang-kadang di bawah berlarian.
Malam ini amat sunyi. Tak tampak seorangpun penduduk
kota raja keluar dari pintu. Hanya orang-orang yang mabuk
minuman, mabuk asmara, mabuk judi, dan sebangsa maling
saja yang berani keluar pintu di malam Respati itu. Mereka
ini tentu saja tidak takut dicaplok iblis karena sudah mabuk.
Namun Endang Patibroto tidak menaruh perhatian kepada
mereka ini. Ia bahkan menujukan perhatiannya ke atas! Ke
arah pohon-pohon besar, ke arah atap-atap gedung di mana
tinggal para ponggawa tinggi, para pangeran dan
tumenggung, para panglima dan perwira.
Kalau ia berloncatan dari genteng ke genteng, jelas
tercium bau kemenyan yang memenuhi udara. Suasana
malam itu tentu akan mengecilkan hati seorang pendekar,
namun Endang sama sekali tidak merasa gentar.
Kepercayaan akan diri sendiri timbul kembali pada saat itu.
Di dalam pelukan dan di bawah cumbu rayu dan belaian
Pangeran Panjirawit, la merasa kehilangan kepercayaan ini,
tidak berdaya dan lemah, seakan-akan tidak kuasa akan
tubuhnya sendiri, tidak kuasa akan hatinya sendiri. Seakan-
akan tubuh dan hatinya sudah menjadi sebagian milik
suaminya dan ia hanya menurut apa yang dikehendaki
suaminya karena kebahagiaanlah yang terasa olehnya
dalam pelayanan terhadap suaminya ini. Ia bahagia melihat
suaminya bahagia karena dia. la puas melihat suaminya
puas karena dia.. Tapi sekarang ia merasa seperti seekor burung yang
bebas. Dengan seluruh dlrinya seorang la menentang segala
bahaya. Tiba-tiba, ketika ia meloncat ke atas genteng tinggi
gedung Pangeran Panjirawit, ia berhenti bergerak.
Telinganya mendengar sesuatu. Pekik mengerikan!.. Jelas
sekali dari atas genteng itu. Datang dari rumah gedung
Demang Kanaroga, demang yang ahli dalam ilmu perang
yang selalu menjadi tangan kanan setiap orang senopati
Jenggala dalam perang. Secepat kilat tubuhnya melesat dan
berlarilah ia ke arah gedung itu, lalu melayang naik ke atas
atap gedung. Ia mencari-cari lalu mengintai ke dalam kamar
ki demang. Terlambat! Demang Kanaroga tampak terkapar
di dalam kamarnya, dirubung dan ditangisi anak isterinya.
Mati dan darah mengalir dari kedua lengan, dan terutama
banyak sekali dari dadanya. Tiada gunanya masuk, ia
takkan mampu berbuat sesuatu.
Endang Patibroto meloncat ke bagian yang paling tinggi
dari atap itu. Dan tampaklah olehnya kini dua ekor benda
terbang berputaran di atas gedung itu.
Burungkah" Burung hitam" Bukan! Sayapnya tidak
mengeluarkan bunyi dan bentuk tubuhnya tidak seperti
burung, pendek, tapi sayapnya amat lebar. Dua ekor
binatang Itu mencicit. Kalong (kelelawar)! Tak salah lagi,
lnilah yang ia cari-cari, pikir Endang Patibroto. Jantungnya
berdebar tegang dan gembira. Mampuslah kau sekarang,
pengecut berhati keji! Peliharaanmu yang akan mengantarku ke sarangmu. Awas kau, ini Endang Patibroto
akan datang untuk membekuk batang lehermu! Ketika dua
ekor kelelawar itu terbang ke barat, Endang Patibrotopun
segera melompat turun dan berlari cepat ke barat, mengikuti
dua ekor kelelawar itu dari bawah. Ke manakah ia akan
dibawa oleh dua ekor binatang itu" Ke luar kota" Ke
manapun juga, akan kuikuti kalian!
Heee! Mereka menuju ke barat terus". Eh, membelok ke
selatan kini. Terus ke selatan. Endang Patibroto masih
berdebar tegang dan terus berlari. Kini ia berlari melalui
depan istana suaminya! Arah terbang dua ekor kelelawar
menuju ke selatan itu mengharuskan ia mengambi jalan ini.
Aduh, betapa kalau suaminya mengetahui! Ah, tentu
suaminya kini sedang tidur seorang diri di atas pembaringan
bersih lunak yang menjadi saksi tunggal cinta kasih di
antara mereka. Mendadak saja timbul perasaan mesra yang
membuat Endang Patibroto meloncat naik ke atas atap
rumahnya sendiri. Dua ekor kelelawar masih terbang di
atas. Dan pada saat kedua kakinya menglnjak genteng
rumahnya itulah ia menahan pekik yang hampir keluar dari
mulutnya. Di atas genteng itu terbang berputaran pula
seekor kelelawar yang lain! Lebih besar daripada yang dua
itu. Dan ia mendengar suara mengaduh di bawah. Suara
suaminya!! Serasa berhenti detak jantung Endang Patibroto. Ia tidak
memperdulikan lagi kepada kalong itu dan langsung ia
melayang turun, memasuki taman dan melompat ke dalam,
terus berkelebat masuk melalui pintu kamar tidur mereka
yan tidak tertutup. "Kakanda?"..!!!"
Suaminya tidak tidur, melainkan duduk dengan mata
terbelalak. Lengan kirinya berdarah di dekat siku dan
tangan kanannya berusaha menghentikan keluarnya darah
dari lengan yang tidak luka itu. Dan pada saat ia meloncat
masuk, suaminya mengaduh lagi dan terbelalak memandang lengan kanannya yang sekarang juga berdarah!
Dari atas terdengar suara burung hantu terbang lewat,
"Huuu uukkkk huukk huuukkk !" Seakan-akan burung
hantu Itu mentertawakan Pangeran Panjirawit.
"Endang ?". lekas?". ! Ini lenganku ini "..,
bagaimana ?"..?""
"Tenanglah, suamiku! Tenang ?" hemm, bedebah!
Keparat ?""!"
Panjirawit bukanlah seorang penakut, apalagi ada
isterinya di situ. Mendengar maki-makian keluar dari mulut
isterinya yang biasanya halus ramah itu, ia memandang,
bertanya, "Kau memakl siapa, yayi?"
"Tenanglah, suamiku?". , tenanglah......... " kata
Endang Patibroto dengan suara bercampur sedu-sedan.
Terlambat sedikit saja, ia akan menemukan suaminya
dalam kamar seperti halnya Demang Kanaroga tadi,
terkapar mati! Cepat ia menubruk suaminya, bersila di
depan suaminya, menaruh kedua telapak tangan ke depan
dada, menempel ulu hati suaminya.
Melihat keadaan isterinya yang demikian sungguh-
sungguh, teringatlah lagi Pangeran Panjirawit akan
keadaannya. Teringat lagi bahwa kali ini dialah yang
hendak dijadikan korban. Mula-mula kedua lengan,
kemudian ulu hati. Tahulah ia bahwa isterinya mempergunakan kesaktiannya untuk melindunginya. Dari
kedua telapak tangan yang halus itu, yang ia ingat benar
kalau membelai?belainya, kini keluar hawa panas yang
menjalar dari ulu hati ke seluruh tubuhnya, ke arah kedua
lengannya dan darah tidak mengalir lagi dari kedua
lengannya. Tiba-tiba Endang Patibroto melompat dan menyambar
bokor perak, tempolong perak dan semua benda terbuat
daripada perak yang berada di kamar itu. Pangeran dan dia
memang lebih suka akan perak daripada emas. Kedua
tangannya bergerak cepat, secepat tubuhnya ketika melesat
dan bergerak mengumpulkan benda-benda tadi. Tidak
sampai satu menit lamanya, semua benda perak itu telah ia
robek, kait-kaitkan dan kini la kembali kepada suaminya,
menggunakan robekan-robekan perak itu menutupi tubuh
suaminya. "Tutup baik-baik, kakanda. Bagian-bagian yang lemah,
kakanda tahu, dada, punggung, perut, pusar, kepala. Kaki
tangan tidak mengapa. Tutup bagian?bagian yang lemah.
Jangan takut, jangan khawatir, kakanda tidak akan
mengapa, aku akan menghancurkan bedebah laknat itu!
Berani dia mengganggu suamiku!" Suara ini bercampur isak
dan tubuh Endang Patibroto sudah melesat lenyap lagi.
"Endang". !" Pangeran Panjirawit memanggil, akan
tetapi ia menahan kecemasannya. Ia harus percaya kepada
isterinya. Endang tidak akan kalah. Cepat ia melakukan
pesan isterinya, menutupi bagian-bagian tubuh yang lemah
yang akan membuatnya tewas dengan sekali tusuk. Kaki
tangan biarlah, tusuklah kalau mau tusuk, pikirnya penuh
geram. Endang Patibroto sudah melompat naik, tangannya
menyambar genteng, sekali remas ia mendapatkan sepotong
genteng. Kelelawar yang dua ekor tak tampak lagi, akan
tetapi yang seekor dan paling besar masih beterbangan di
atas gedungnya, berputaran, seakan-akan menanti keluarnya pekik maut yang diharapkan keluar dari dalam
gedung. Dengan menahan geram dan mengukur tenaga
karena ia tIdak ingin membunuh kelelawar Itu, la
mengayun tangan menyambit.
Kelelawar besar itu mengeluarkan bunyi mencicit keras,
terbangnya terhuyung dan setelah mencicit-cicit bingung
akhirnya ia terbang ke arah selatan. Inilah yang dikehendaki
Endang Patibroto. ia berhasli mengusir kelelawar itu agar
terbang pulang sebelum menyelesalkan tugas. Terbang
pulang dan membawa dia ke tempat majikannyal Dengan
jantung berdebar tegang dan girang Endang Patibroto
melesat cepat. Ia tidak mau tertinggal oleh kelelawar itu.
Kelelawar itu terbang terus ke selatan melalui pintu
gerbang selatan. Keluar kota raja. Sudah ia duga akan hal
inl. Siapapun dia yang melakukan semua pembunuhan keji
dan pengecut ini, tentu tidak berani tinggal di kota raja, di
mana terdapat banyak perwira-perwira berilmu tinggi dan di


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana terdapat dia. Ia meloncat melalul dinding yang
mengelilingi kota raja, terus berlari cepat. Untung bulan
yang tinggal sepotong masih terang. Tidak ada awan malam
itu. Langit tampak suram muram, namun bayangan kecil
hitam Itu tampak jelas. Alangkah besarnya kelelawar Itu
yang terbang rendah. Dari ujung ke ujung sayap tentu lebih
daripada sedepa. Binatang Itu terbang ke atas sebuah hutan.
Celaka! Hutan yang banyak pohonnya, kalaulah di bawah
pohon itu ia akan kehilangan bayangan Itu. Terpaksa
Endang Patibroto lalu meloncat naik ke atas pohon,
kemudian dengan cekatan la berloncatan dari pohon ke
pohon. Betapapun juga, tak salah perhitungannya, tentu
penjahat itu berdiam dan bersembunyi di dalam hutan ini.
Ia naik ke atas pohon yang tinggi dan tampaklah
kelelawar itu yang menukik turun ke atas atap sebuah
pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu! Tentu di situ
tempat bersembunyi si bedebah. Dengan hati-hati Endang
Patibroto melompat ke atas pohon yang berdekatan dengan
pondok, mengintai. Kelelawar itu menggelepar-gelepar di
atas atap lalu menerobos masuk melalui pintu setelah
dengan berat badannya menabrak pintu terbuka sedikit.
Terdengar suara orang mengutuk dari dalam. Endang
Patibroto meloncat turun, kakinya tidak menimbulkan
suara sedikitpun seperti seekor kucing melompat. Berindap-
indap namun cepat ia mendekati pondok, mengintai dari
celah daun pintu yang terbuka sedikit. Giginya berkerotan
ketika ia melihat ke dalam pondok!
Kakek tinggi kurus itu duduk bersila, memaki-maki
kelelawar yang hinggap di bawah atap, di atas sebuah arca
Bathara Kala. "Kelelawar bodoh! Kalong yang tiada. gunanya! Belum
selesai tugas sudah pulang! Apa hendak melapor akan
gagalnya usahaku" Bedebah, kubakar dagingmu besok
untuk santapan!" Kakek itu mengomel panjang pendek.
Sebuah boneka berada di tangan kirinya, sebatang keras
kecil di tangan kanan. "Setan alas! Belum mau tunduk juga engkau, Pangeran
Panjirawit" Tubuhmu kebal, ya" Keparat!" Ia menggunakan
kerisnya menusuk-nusuki tubuh boneka ltu, dadanya,
lambungnya, pusarnya, punggungnya, kemudian lehernya
dan kepalanya. Akan tetapi betapapun kuat ia menusuk,
kerisnya tidak mampu menembusl tanah lempung yang
tidak keras itu, seolah-olah tubuh boneka lempung itu
berubah menjadi baja! Endang Patibroto bergidik. Kalau terlambat sedikit saja
ia pulang tadi, tentu suaminya sudah terkapar mati dengan
tubuh mandi darah. Ia melihat kaki kanan dan lengan kiri
boneka itu berlumur darah. Suaminya tentu menderita,
akan tetapi alangkah gagah suaminya.
Biarpun kaki dan tangan berdarah, namun tetap dapat
menjaga tubuh di bagian berbahaya. Dapat ia bayangkan
betapa suaminya menderita dan cemas.
"Setan keparat kau Panjirawit. Heh-heh-hih-hi-hik!
Hanya kaki tanganmu saja yang tidak kebal, ya" Hendak
kulihat bagaimana kalau darahmu habis keluar dari kaki
tanganmu, akan kuhancurleburkan kaki tanganmu!"
Tangan yang hanya tulang terbungkus kulit itu kini
menghujamkan keras ke arah kaki kira boneka Panjirawit.
Akan tetapi keras itu terhenti di tengah gerakan karena
tangannya tertahan oleh sebuah tangan yang berkulit putih
halus. Hidungnya mencium bau sedap harum dan tiba-tiba
ada tangan putih halus lain lagi yang menyambar dan
merampas boneka itu. Wiku Kalawisesa terbelalak kaget dan mengangkat
muka. Matanya yang tersembunyi dalam-dalam di rongga
mata, memandang seolah-olah ia tidak percaya akan apa
yang tampak olehnya. Seorang wanita cantik jelita sudah
berdiri di depannya, boneka itu telah berada di tangan si
wanita yang dengan tenang mencabuti beberapa helai
rambut hitam yang menempel di kepala patung. Rambut
suaminya. la memasukkan gumpalan rambut itu ke balik
kemben, lalu menghancurkan patung dengan remasan
tangannya sehingga berubah menjadi sekepal tanah
lempung! "Manusia berwatak iblis, tua bangka yang tidak mencari
jalan terang, calon penderita di dasar neraka jahanam!
Siapakah engkau wahai kakek yang lebih rendah daripada
binatang, lebih keji daripada iblis?"
Biarpun suara Endang Patibroto halus, merdu, akan
tetapi bagi kakek itu seperti menyambarnya guntur di siang
hari!. Tahulah ia kini mengapa usahanya membunuh
Pangeran Panjirawit gagal. Kiranya ada wanita sakti ini dan
biarpun selama hidupnya ia belum pernah bertemu muka
dengan Endang Patibroto, namun ia dapat menduga dengan
siapa ia berhadapan. Lalu meloncat bangun, gerakannya
cepat dan tangkas tidak sesuai dengan tubuhnya yang
lapuk. "Engkaukah yang bernama Endang Patlbroto?" Gumamnya, matanya mendeilk mukanya terasa panas
membakar karena memang wanita inilah yang dimusuhinya. Semua perbuatannya membunuhi para
ponggawa itupun didasari rasa benci dan dendam kepada
wanita ini. Endang Patibroto tersenyum, senyum yang dingin yang
sudah sepuluh tahun tak pernah membayang di bibirnya.
Biasanya hanya untuk suaminya, senyum mesra dan
hangat. Hampir ia lupa bagaimana ia tersenyum di waktu ia
masih gadis dan menghadapi lawan yang sakti dan jahat.
Kini otomatis senyum itu muncul di bibirnya. senyum yang
membuat seorang seperti Wiku Kalawisesa saja sampai
bergidik. "Tidak salah seujung rambutpun dugaanmu, keparat tua
bangka. Aku bukan pengecut macam engkau yang
melempar batu sembunyi tangan melakukan pembunuhan-
pembunuhan keji sambil bersembunyi. Akulah Endang
Patibroto, isteri dari Pangeran Panjirawit yang kau
usahakan kematiannya. Kau ?" Kau ".. si laknat
pengotor jagad! Kau telah berani lancang tangan,
menyerang suamiku secara keji. Hayo mengakulah siapa
namamu, sebelum kujuwing?juwing (cabik-cabik) kulitmu,
sebelum kupatahkan semua tulangmu, sebelum kuhancurkan kepalamu!" Kini senyum dingin meninggalkan wajah ayu itu, berganti dengan warna merah
membara, sepasang mata itu berkilat seperti mengeluarkan
cahaya terang, lubang hidungnya mendengus seolah-olah
keluar apinya. Teringat akan suaminya, kemarahan Endang
Patibroto memuncak dan beginilah Endang Patibroto di
kala gadisnya, di kala ia menjadi orang yang paling ditakuti
seluruh kerajaan, di kala keris pusaka Ki Brojol Luwuk
masih berada di tangannya. Kalau sudah begini, dia seolah-
olah menjadi malaikat maut sendiri!
Wiku Kalawisesa bukan seorang yang lemah. Tidak,
bahkan sebaliknya. Dia adalah kakak seperguruan Cekel
Aksomolo yang dulu terkenal sakti mandraguna. Dia
seorang tokoh dari India yang membawa datang banyak aji
yang aneh-aneh, terutama sekali ilmu hitamnya. Maka ia
lalu menggunakan, kekuatan batinnya untuk menekan rasa
ngeri dan getarnya. Biarpun ia bongkok, namun karena
tubuhnya jangkung sekali, ia masih lebih tinggi daripada
Endang Patibroto dan ketinggiannya ini ia pergunakan
untuk memaksa hati memandang rendah lawan. Satu-
satunya syarat bagi keampuhan ilmu hitam adalah perasaan
lebih tinggl dan lebih kuat daripada lawan, jauh daripada
rasa gentar. "Heh-heh-hi-hi-hik! Babo-babo, Endang Pitibroto! Sumbarmu melebihi letusan Gunung Bromo! Kesombonganmu seolah-olah engkau dapat mencapai
puncak Mahameru dan menyelam sampai di dasar Laut
Kidul! Jangan kau mengira bahwa aku adalah sebangsa
coro yang dapat kau perbuat sesukamu begitu saja, inilah
lawanmu, Endang Patibroto, inilah Sang Wiku Kalawisesa
yang sudah bertahun-tahun menanti saat ini untuk
menyambut nyawamu dan membalas kematian adik
seperguruanku Cekel Aksomolo. Hah-hah-hi-hikl" Tangan
kiri kakek itu bergerak menyambar sebatang tongkat yang
tadi bersandar di dinding. Tongkat ini berwarna hitam,
sebesar ibu jari, bengkak?bengkok dan butut, akan tetapi
dari tongkat ini keluar pengaruh yang mengerikan. Tongkat
bukan sembarang tongkat, melainkan tongkat pusaka yang
sudah ia rapal, yang sudah bertahun-tahun menerima
hikmat sinar matahari dan bulan purnama, sudah bertahun-
tahun ia menghisap pengaruh sakti dan hawa mujijat dari
tempat-tempat angker dan kuburan-kuburan keramat!
Endang Patibroto menggangguk-angguk. Ia berdiri tegak,
bertolak pinggang, sinar matanya tajam menyelidik,
menyapu keadaan dalam pondok dan tahulah ia bahwa
pendeta ini adalah seorang pemuja Bathara Kala. Maka ia
berhati-hati, maklum bahwa pemuja Bathara Kala biasanya
memiliki ilmu-ilmu yang mujijat dan sakti mandraguna.
Gurunya dahulu pernah berpesan kepadanya agar hati-hati
kalau bertemu dengan tokoh pemuja Bathara Kala. "Arca
Bathara Kala dapat mengeluarkan mujijat, muridku."
demikian kata gurunya, "kalau dipuja secara setia berpuluh
tahun, dapat kemasukan roh dan kesaktian Bathara Kala
yang haus akan darah manusia, lapar akan daging manusia.
Hancurkan lebih dahulu kesaktian arca ini, baru
penyembahnya kehilangan sinar kesaktian yang menjadi
dasarnya." Teringat akan nasehat gurunya ini, besar hati Endang
Patibroto. Ia tersenyum mengejek ketika menjawab.
"Aehhh, kiranya engkau ini kakak seperguruan Cekel
Aksomolo si Durna itu" Dan namamu Wiku Kalawisesa"
Heh, wiku sesat ! Cekel Aksomolo adalah aku yang
membunuhnya! Kalau engkau hendak membalaskan
kematiannya, aku Endang Patibroto siap untuk menghadapi
setiap saat. Kenapa engkau berlaku begini pengecut,
menyerang suamiku" Dan kenapa pula engkau membunuh-
bunuhi ponggawa Panjalu dan Jenggala?""
Wiku Kalawisesa amatlah cerdik dan banyak siasatnya.
Karena cerdiknya, la amat berhati-hati dan harus mengakui
bahwa menghadapi wanita ini, belum tentu ia akan
menang. Kalau ia menang maka itulah yang dikehendakinya dan tidak akan ada urusan lagi. Akan tetapi
kalau ia kalah dan tewas" Ia tidak takut mata, akan tetapi
matinya akan mengandung mati penasaran karena
tujuannya tidak tercapai. Dan mati penasaran akan
membuat rohnya gentayangan tidak menentu. Karena itu ia
harus mengatur siasat sebelumnya. Baik ia akan kalah atau
menang, wanita musuh besarnya ini harus dlhancurkannya.
"Hoah-ha-ha-hah, bagaimana seorang perempuan muda
yang bodoh macam engkau ini hendak menjagoi" Urusan
yang terjadi di depan matamu saja engkau maslh tidak
mengerti, dan kau mengaku dirimu pintar?"
"Wiku sombong, aku memang bukan orang pintar, akan
tetapi setidaknya bukan manusia pengecut sebodoh engkau
sehingga berani kau mengganggu aku! Melihat adanya para
korban yang terdiri dari ponggawa-ponggawa pilihan, tentu
engkau bersekongkol dengan orang yang ingin melihat
Kerajaan Jenggala dan Panjalu menjadi lemah. Nah, kau
katakan siapa orangnya yang bersekongkol denganmu!"
Diam-diam kakek ini terkejut. Kiranya cerdik pula
wanita ini, dapat menduga dengan tepat. la tertawa
terkekeh-kekeh. "Kalau kau sakti mandraguna, awas
paningal, tahu akan segala rahasia alam, melihat akan
segala yang tergelar di jagad raya, tentu engkau tak perlu
bertanya-tanya lagi."
Jilid II "AKAN TETAPI, kuberitahu juga tidak mengapa agar
kau tidak mati dalam penasaran. Aku tahu bahwa engkau
akan mati di tanganku, Endang Patibroto, maka kau
dengarlah dulu baik-baik dan jangan kaget akan hal-hal
yang tentu tidak akan kau sangka-sangka. Heh-heh-heh!
Memang tanpa tedeng aling-aling aku mengaku bahwa para
ponggawa itu kubunuh atas perintah orang. Bukan
sembarang orang, melainkan calon maharaja besar yang
akan, menguasai seluruh Panjalu dan Jenggala dijadikan
satu! Dan untuk dapat menguasai kedua kerajaan ini, perlu
sekali para penentangnya dan para penghalangnya
disingkirkan lebih dulu untuk persiapan."
"Hemmm, sudah kuduga. Kemudian kau dan sekutumu


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghamburkan desas-desus bahwa akulah orangnya yang
melakukan pembunuhan?pembunuhan keji itu, bukan?"
"Heh-heh-hl-hi-hih! Itu akalku, Endang Patibroto.
Akalku untuk memancing kau keluar mencariku. Akan
tetapi kau ternyata penakut, tidak berani keluar sehingga
terpaksa aku menyerang suamimu sebagai pancingan dan
benar saja, kau datang menyerahkan nyawamu, heh-
hehheh!" "Wiku jahanam, katakan siapa sekongkolmu itu!"
"Itu rahasia, heh-heh-heh, kau carilah sendIri. Tapi kau
akan matl di sini, agar jangan menjadi setan penasaran, baik
kuberitahu. Calon maharaja itu adalah Pangeran Darmokusumo di Panjalu."
"Apa..........?"" Endang Patibroto benar-benar kaget
sekali karena tak pernah menduga. Pangeran Darmokusumo putera sang prabu di Panjalu" Ah, tidak
mungkin! Pangeran Darmokusumo selain putera Sang
Prabu Panjalu, juga putera mantu Sang Prabu Jenggala!
Menikah dengan Puteri Mayagaluh, adik kandung
Pangeran Panjirawit, suaminya! Mana mungkin ini"
"Engkau dukun lepus, engkau tukang tenung hina-dina,
engkau pembohong rendah! Siapa percaya omonganmu?"
"Heh-heh-heh, bocah kemarin sore semacam engkau ini
yang begini tolol mana percaya" Mana bisa melihat
kenyataan" Pangeran Darmokusumo tidak suka melihat
kerajaan menjadi dua, beliau hendak menguasai seluruh
kerajaan, dijadikan satu, pulih kembali seperti jaman
Kahuripan, jaman Mataram."
"Tak mungkin ia mau membunuh-bunuhi ponggawa
Jenggala, apalagi ponggawa Panjalu sendirI. Kau mengadu
domba.? "Sesukamulah, Endang Patibroto. Engkau memang tolol,
tidak tahu isi hati orang. Ponggawa-ponggawa Jenggala
yang penting harus disingkirkan karena kelak menjadi
penghalang, termasuk engkau sendiri yang terutama.
Karena inilah beliau memilih aku yang memang ingin
membunuhmu. Selama kau masih hidup, cita-citaku takkan
tercapai. Maka rencana cerdik beliaulah yang mendesas-
desuskan keadaanmu, mengatakan bahwa engkau yang
melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, karena engkau
murid Dibyo Mamangkoro si manusia iblis! Ha-ha-ha,
rencana yang bagus sekali dan kelak kalau beliau menjadi
maharaja, aku Sang Wiku Kalawisesa akan diangkat
menjadi sesepuh kerajaan."
Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh dan nafsu amarah
sudah memenuhi hati Endang Patibroto, matanya berkilat-
kilat dan ia mulai ragu-ragu akan kebersihan Pangeran
Darmokusumo. Memang semenjak kerajaan dibagi dua,
selalu timbul ketegangan di antara kedua kerajaan
bersaudara, bahkan dahulu sampai terjadi permusuhan,
peperangan. Bukan tak bisa jadi kalau Pangeran
Darmokusumo bercita-cita seperti itu, mempersatukan dua
kerajaan, kalau perlu dengan kekerasan.
"Jangan coba menipu aku, wiku keparat. Pangeran
Darmokusumo tidak mungkin suka membunuhi ponggawa-
ponggawa Panjalu sendiri..........!"
"Uuuuh, itulah kebodohanmu! Ponggawa-ponggawa
yang terbunuh itu, seperti Tumenggung Diroprono,
Senopati Surabala putera Patih Suroyudo, termasuk mereka
yang menentang cita-cita Pangeran Darmokusumo, maka
harus mati. Pangeran Darmokusumo sendiri yang memesan
kepadaku untuk jangan sampai gagal membunuh engkau
dan suamimu, heh-heh-heh, dan sekarang cita-cita beliau itu
akan terlaksana..........!
"Iblis laknat engkau, bukan aku, melainkan engkau yang
akan mampus mendahului Darmokusumo!" Kemarahan
Endang Patibroto tak tertahankan lagi. Kini ia makin
percaya bahwa benar-benar Pangeran Darmokusumo
hendak memberontak, dan lebih menjengkelkan lagi,
berniat membunuh dia dan suaminya, kakak ipar pangeran
itu sendiri. Alangkah keji dan jahatnya! Tak boleh ia
mendiamkan saja. Pangeran itu harus diseret di muka
umum, dihajar dan dipaksa mengakui semua rencana
pemberontakannya! Dalam amarah, ia sudah mengeluarkan
aji kesaktiannya, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang,
hawa sakti terkumpul di tubuh, berputaran merupakan
hawa panas yang menjalar dan berputar-putar dari ujung
kaki sampai di ubun-ubun kepala. Ia sudah siap menandingl
kakek sakti ini. Sambil terkekeh-kekeh Wiku Kalawisesa mengangkat
tongkat hitamnya sambil mengeluarkan bunyi mencicit
seperti suara kelelawar dan.........., tiga benda hitam tiba-
tiba terbang menyambar kepala Endang Patibroto.. itulah
tiga ekor kelelawar yang sejak tadi menggantung di bawah.
Mereka ini menerjang Endang Patibroto, di bawah sinar
pelita yang remang-remang itu tampak mata binatang-
binatang ini merah bersInar-sinar, mulut terbuka memperlihatkan gigi yang runcing, kuku-kuku melengkung
terbuka siap mencakar. Apa artlnya serangan tlga ekor kelelawar bagi Endang
Patibroto" Biarpun tiga ekor kelelawar itu besar-besar,
sebesar kucing, namun tanpa merubah kedudukan kaki,
hanya dengan gerakan tangan kiri saja tanpa menggerakkan
tangan kanan yang bertolak pinggang, Endang Patibroto
berhasil menampar tiga kali berturut-turut, amat cepat
gerakannya dan tiga ekor kelelawar itu mencelat, terlempar
dan terbanting pada dinding pondok! Akan tetapi, tiga ekor
binatang itu sudah terbang lagi menyambar, seakan-akan
pukulan dan bantingan itu tidak mereka rasakan sama
sekali. Endang Patibroto terkejut. tamparan tangannya tadi
cukup keras untuk membikin pecah kepala kerbau,
bagaimana tiga ekor kelelawar itu hanya terlempar dan
agaknya sama sekali tidak terluka" Ia mendengar kakek itu
terkekeh dan kini, bersama tiga ekor kelelawarnya, kakek
itu sudah menyerangnya dengan tusukan tongkat hitam ke
arah dadanya. Endang Patibroto lega melihat betapa gerakan menusuk
kakek itu tidak amat cepat, sungguhpun amat kuat.
Mengertilah ia bahwa betapapun sakti kakek ini, namun
dalam hal ilmu silat tidaklah tangguh. Kakek ini hanya
mengandalkan keampuhan aji ilmu hitam dan tenaga
mujijatnya saja. Dengan mudah ia mengelak sambil
melangkah mundur, kemudian merendahkan tubuhnya
membiarkan tiga ekor kelelawar menyambar lewat,
kemudian dengan Aji Bayu Tantra tubuhnya mencelat ke
depan, cepatnya melebihi seekor burung, dan tangannya
sudah mengandung Aji Gelap Musti ketika dipukulkan ke
dada Sang Wiku Kalawisesa.
"Dessss..........!!!"
Pukulan ini tepat sekali, mengenai dada yang hanya
tulang-tulang dibungkus kulit. Endang Patibroto dapat
merasa betapa kepalan tangannya bertemu dengan tulang-
tulang iga. Akan tetapi anehnya, ada semacam hawa dingin
yang menolak pukulannya, atau yang melindungi tulang-
tulang itu sehingga tulang-tulangnya tidak remuk, hanya
tubuh kakek itu yang terlempar ke dinding, dekat arca
Bathara Kala. "Aduuhhh.......... aduuhhh.......... aduuhhh.... ...... !"
Kakek itu mengeluh panjang pendek dan begitu tongkatnya
menuding ke arah Endang Patibroto, segumpal asap hitam
menyambar. Asap ini tebal dan membawa bau apak seperti
bau kelelawar. Endang Patibroto miringkan tangan dan menampar
dengan jari-jari terbuka, jari-jari yang mengandung Ajl
Pethit Nogo. "Pyurrr..........II" Asap hitam yang bergulung tebal itu
ambyar mawut, membubung ke atas, menerobos atap hitam
dan lenyap. Ketika itu, tiga ekor kelelawar sudah
menyambar lag, lebih ganas daripada tadi. Endang
Patibroto menjadi gemas, dua ekor dapat ia pukul terpental,
yang seekor, paling besar dan yang tadi mengelilingi
rumahnya, ia tangkap. Kedua tangannya bergerak,
mencengkeram sayap dan.......... "krek-krekkkk ...... !"
sepasang sayap binatang itu hancur berkeping-keping,
dlcabik-cabiknya, kemudian tubuh binatang Itu dibantIngnya ke Iantai. Tubuh yang sudah tak bersayap itu
terbanting, terpental, terbanting lagi seperti sebuah bola,
kemudian menggelundung ke sudut, mengeluarkan bunyi
mencicit aneh seperti orang mengerang dalam sekarat.
Binatang itu tidak mati, agaknya memiliki kekebalan luar
biasa akan tetapi tidak berdaya lagi karena sepasang
sayapnya sudah hancur. Yang dua lagi datang menyambar.
Endang Patibroto kembali menangkap mereka, merobek-
robek sayap mereka dan membanting tubuh mereka seperti
tadi. Dua ekor kelelawar inipun terguling ke sudut pondok,
tak dapat menyerang lagi.
Dengan pandang mata mulai beringas, semangat dan
kegembiraan bertanding mulai menggairah di hatinya,
Endang Patibroto membalikkan tubuh, mencari Wiku
Kalawisesa. Dilihatnya kakek itu berlutut memeluk kaki
arca, mengeluarkan ucapan-ucapan mantera yang tak
dimengerti maksudnya. Dan yang paling mengejutkan
adalah ketika ia melihat sepasang mata arca itu. Dari
sepasang mata itu keluar sinar kehijauan yang hebat dan
menyilaukan mata! Tanpa disadari Endang Patibroto
memandang sepasang mata arca itu dan ia seperti orang
kena pesona, tubuhnya menjadi kaku dan ia tak dapat
mengalihkan pandang matanya daripada sinar mata hijau
yang melekat pandang matanya itu!
Pada saat itu, perlahan-lahan Wiku Kalawisesa sudah
bangkit dari berlutut, tertawa terkekeh-kekeh dan terhuyunghuyung menghampiri Endang Patibroto. Tangan
kirinya mencabut keris kecil sejengkal, tangan kanan
mengangkat tongkat hitam tinggi-tinggi di atas kepala.
"Heh-heh-heh,..........hi-hi-hih,
bersiaptah mati kau Endang Patibroto.......... ha-ha!"
Endang hendak meloncat, tapi kedua kakinya seperti
lekat pada tanah, hendak menggerakkan tangan akan tetapi
kedua lengannya seperti lumpuh, hendak membuang muka
tapi tak mampu melepaskan sinar hijau itu. Matanya perih
dan lelah, amat lelah, mengantuk dan nikmat seperti kalau
ia berada dalam dekapan suaminya. Suaminya! Tentu
celaka kalau ia tidak segera menyelamatkan diri daripada
pengaruh kekuatan mujijat. Suaminya yang tercinta!
Endang Patibroto melihat dengan perasaannya bahwa
Wiku Kalawisesa sudah datang dekat, ujung keris sudah
makin dekat, siap menusuknya. Ia mengerahkan segala
tenaga batinnya, membayangkan wajah gurunya Dibyo
Mamangkoro yang tertawa terbahak-bahak, kemudian
bagaikan sebuah bendungan air yang pecah, terdengar
mulutnya mengeluarkan suara jerit melengking yang sama
sekali tidak menyerupai jerit manusia, melainkan lebih
mirip pekik auman harimau betina.
"Aaauuuuuhhhhhmmmmm..........!!!"
Luar biasa sekali pekik ini, karena ini bukan sembarang
pekik, melainkan Aji Sardulo Bairowo yang suaranya
mampu melumpuhkan lawan yang tangguh. Akibatnyapun
hebat karena tiga ekor kelelawar yang tadinya mencicit-cicit
belum mati, sekarang berkelojotan, kaku dan..... mati.
Kakek sakti Wiku Kalawisesa yang tadinya sudah
menyeringai kejam, siap menusuk dada dan menghantam
kepala Endang Patibroto seketika menjadi pucat dan
terhuyung ke belakang, ke dekat arca Bathara Kala. Akan
tetapi yang amat menguntungkan bagi Endang Patibroto,
pengaruh mujijat yang mempesonakannya tadi telah buyar,
tidak mengikatnya lagi sehingga ia mampu bergerak seperti
biasa. la maklum akan bahayanya sinar hijau dari mata arca
itu, dan ia tahu bahwa ia tIdak boleh terlalu lama
memandang sinar mata hijau itu. Ia meloncat ke depan dan
menantang. "Hayoh, Wiku Kalawisesa dukun lepus pendeta sesat,
kerahkan seluruh kesaktianmu! Inilah Endang Patibroto
yang takkan mundur setapak menandingimu. Akulah
orangnya yang akan menamatkan riwayatmu yang kotor,
mengirimmu ke asalmu menjadi intip neraka!"
Sumbar seperti ini sama sekali bukan terdorong oleh
kesombongan, melainkan sebuah di antara taktik-taktlk
pertandingan, karena sedikit banyak dapat melemahkan
batin lawan, menimbulkan takut dan ragu. Padahal,
pantangan bagi orang yang menghadapi lawan berat adalah
ragu dan gentar, yang dapat mengurangi kewaspadaan.
Wiku Kalawisesa yang sudah amat kecewa karena


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemenangan yang sudah di depan mata itu meleset dan
gagal, sedikit banyak menjadi gentar juga. Ia tahu apa
artinya pekik dahsyat tadi. Seorang yang sudah dapat
memiliki aji seperti itu, bukanlah orang sembarangan.
Aji itu tidaklah mudah dipelajari, membutuhkan
kematangan tenaga dalam dan harus pandai mengatur dan
menguasai "getaran". Akan tetapi, teringat akan hikmat
arca pujaannya yang lebih ia percaya daripada segala apa di
dunia ini, bahkan melebihi dirinya sendiri, bangkit kembali
semangat kakek itu. Kini ia menerjang maju, gerakannya
tidak cepat, tidak tergesa-gesa, bahkan perlahan?lahan
seperti orang mengancam. Yang mengejutkan hati Endang
Patibroto adalah keris kecil sejengkal itu. Dari keris ini
memancar keluar sinar hijau yang mempengaruhinya
seperti yang terpancar keluar dari sepasang mata arca
Bathara Kala! Ia mundur-mundur dan mengambil kuda-
kuda yang kuat untuk menghadapi lawan.
"Heh-heh-heh, kau takut, bocah sombong" Kau takut,
ya" Heh-heh, kau akan mati di ujung kerisku ini!" kata
Wiku Kalawisesa yang dapat melihat lawannya agak gentar
menghadapi kerisnya. "Inilah keris pusaka Ki Kolokenaka!
Inilah yang membunuh semua ponggawa, dan ini pula yang
akan membunuhmu, lalu membunuh suamimu. Heh-heh !"
Hemm, keras ini berbahaya, pikir Endang Patibroto. Ia
siap menanti terjangan lawan, awas terhadap kerisnya. Ia
harus dapat menghalau keras itu, harus dapat merampasnya! Ia mundur-mundur memasang sikap, kedua
tumitnya berjungkit, lengan kira ditekuk menyilang depan
dada, tangan kanan dlangkat tinggi di atas kepala, semua
jari tangan terbuka. Inilah gerak pembukaan Aji Wisang
Nala! Tubuhnya dimasuki aji meringankan tubuh yang dulu
ia pelajari dari ibunya, gerakan yang mengandung sari
gerakan burung walet dan camar di Laut Kidul. Seluruh
urat syaraf menggetar, siap dengan gerakan otomatis yang
mendarah daging. Serangan datang dengan tusukan keris disusul hantaman
tongkat. Dahsyat sekali. "Siuuutt.......... wussss..........!"
Wiku Kalawisesa gelagapan. Tahu-tahu lawannya
lenyap. la cepat membalik menurutkan gerak reflex dan
perasaan dan ternyata lawannya sudah berada di
belakangnya! Ia lalu menyerang bertubi-tubl, kinI cepat
karena maklum bahwa lawannya ini memiliki gerakan
cepat sekali melebihi burung walet. Endang Patibtoto
melejit ke sana ke sini, gerakannya cepat sekali, namun
diam-diam ia mengeluh karena sinar hljau keris itu benar-
benar ampuh sekali, seakan-akan menghalangi gerakannya,
membuat ia silau dan canggung. Ketika untuk ke sekian
kalinya tongkat menghantam ke arah kepala, la miringkan
tubuh membiarkan tongkat lewat di dekat pundak,
kemudian secepat kiIat ia menangkap dengan tangan
kanannya pergelangan tangan kiri lawan yang memegang
keris. Ia harus merampas keris ampuh ini, sebelum ia
celaka! Dengan pengerahan tenaga sakti, jari-jari tangan
kanan yang penuh dengan Aji Pethit Nogo ini
mencengkeram pergelangan tangan lawan.
Ajl Pethit Nogo adalah aji ciptaan eyangnya, ayah dari
ibunya, yang bernama Resi Bhargowo atau Bhagawan
Rukmoseto. Hebatnya bukan kepalang. Dengan aji ini,
tangan yang halus itu dapat meremas hancur batu karang
yang kuat! Kini ia mencengkeram pergelangan tangan Wiku
Kalawisesa, tak mau melepaskannya lagi. Sang wiku
mengaduh-aduh, memekik-mekik berusaha melepaskan
cengkeraman, namun sia-sia. Dengan marah tongkatnya
menyambar kepada Endang Patibroto, mengarah kepala,
dari atas ke bawah. Endang Patibroto tidak mau
melepaskan cengkeramannya, bahkan menambah tenaganya, sambil miringkan tubuh.
"Krekkkk..........! Dessss..........!!"
Bersamaan detik terjadinya! Pergelangan kiri Wiku
Kalawisesa hancur tulangnya, dan keris Ki Kolokenaka
terampas oleh Endang Patibroto, akan tetapi pukulan
tongkat hitam itu meleset dan mengenai pundak wanita
sakti ini. Endang Patibroto terlempar menabrak arca
Bathara Kala. Ia pening, pundaknya seperti remuk,
membuat lengan kirinya sementara lumpuh. Ia bersandar
kepada arca, terengah-engah.
"Augg.......... aduhh.......... tanganku........." Wiku Kalawisesa mengaduh?aduh, menyumpah-nyumpah, kemudian melangkah maju, mengayun tongkat.
Endang Patibroto maklum akan datangnya bahaya,
berusaha mengelak, akan tetapi.......... tubuhnya tak dapat
digerakkan. Punggungnya yang menempel arca seperti lekat
pada arca" atau seolah-olah ada tenaga mujijat yang keluar
dari tubuh arca itu yang menahannya! Tongkat sudah
datang, mengarah kepalanya! Endang Patibroto meronta,
dapat bergerak miring, namun pundaknya masih lekat.
Terpaksa ia mengangkat lengan kanannya yang memegang.
keris, menangkis tongkat dengan lengannya sambil
mengerahkan tenaga dalam yang didasari hawa sakti yang
kuat. "Duk.......... Wiku Kalawisesa terpental mundur, terhuyung-huyung ke belakang. Lengan kiri yang sudah
remuk tulangnya itu tergantung lumpuh. Ia marah sekali,
matanya mendelik marah, mulutnya mengeluarkan busa di
kanan kiri, hidungnya yang panjang dan melengkung
seperti hidung betet itu mekar, mendengus-dengus.
Kemudian ia mengerahkan seluruh tenaga, perlahan?lahan
mengangkat tongkat ke atas kepala, tidak tergesa-gesa
karena calon korbannya sudah tak berdaya, tak mampu
melepaskan diri dari arca, seperti seekor lalat yang terjaring
lekat di jala sarang laba-laba. Ia tidak tergesa-gesa, harus
memukul yang tepat, sekall pukul membinasakan lawan.
Terbelalak Endang Patibroto memandang. Maklum
bahwa nyawanya berada dalam bahaya. Karena tubuhnya
tak dapat terlepas dari arca, akhirnya ia tentu akan kena
pukul. Wanita sakti ini memutar otak, mengingat ucapan
gurunya, Dibyo Mamangkoro. Hancurkan dahulu kesaktian
arca Bathara Kala, baru kesaktian pemujanya akan punah,
demikian pesan gurunya. la melirik ke atas, tampak betapa
sinar kehijauan yang memancar keluar dari sepasang mata
arca Itu makin terang bercahaya, seakan-akan mengeluarkan api hijau. Dan keris di tangannyapun makin
terang cahayanya. Ia mengerahkan seluruh tenaga batlnnya,
bibirnya berkemak-kemik membaca mantera seperti yang
diajarkan gurunya untuk melawan kekuasaan ilmu hitam
yang ampuh, kemudian.......... secepat kilat keris di tangan
kanannya bergerak, menusuk mata arca itu, dua kali
berturut-turut pada sepasang mata yang bercahaya hijau.
"Cesss..........! Cesss..........!!" Terdengar suara seperti api
tersiram air dan tampak asap putih tebal bergulung-gulung
keluar dari sepasang mata arca! Dan.......... sinar hijau
lenyap, baik dari kedua mata maupun dari keris kecil.
Saat itu, tongkat di tangan Wiku Kalawisesa sudah
melayang datang, akan tetapi tiba-tiba terhenti di tengah
jalan dan mata kakek itu terbelalak memandang patung,
mulutnya celangap dan keluar rintihan dan tangisan dari
dalam mulut. Endang Patibroto menggerakkan tubuh, kini
tidak ada lagi kekuasaan hitam menahannya. la meloncat
dan melempar keris kecil ke sudut, tangannya dikepal dan
dengan tenaga dahsyat ia menghantam ke arah..........
kepala arca. "Darrr..........!" Kepala itu meledak hancur berkeping-
keping dihantam tangan sakti dengan Aji Gelap Musti,
seakan-akan disambar geledek. Dan pada saat itu, perut
patung yang besar, berikut kaki tangannya, mengeluarkan
bunyi gemuruh seperti Gunung Bromo mengamuk. Endang
Patibroto mencelat mundur dan cepat melesat keluar
pondok pada saat tubuh patung meledak.
"Blaaarrrr..........ill" Pondok itu hancur, atapnya terbang
entah ke mana, dinding bambu hancur berkeping-keping.
Tubuh Wiku Kalawisesa terlempar keluar pondok, jatuh
terbanting bergulingan. Kakek itu mengaduh tubuhnya sakit-sakit. Namun ia
memiliki kekebalan sehingga tidak terluka hebat. Dengan
satu lengannya yang maslh waras, ia memegang tongkat
hitam, ia merangkak bangun dan berdiri. Lengan klrinya
tetap lumpuh, pergelangan yang remuk tulangnya mulal
menggembung besar. Wajahnya pucat, matanya beringas,
kemarahan dan kedukaan bercampur dengan rasa takut
ketika ia melihat Endang Patibroto melangkah menghampirinya sambil tersenyum. Senyum yang dingin,
sedingin tengkuknya yang meremang karena gentar.
"Engkau masih belum mati, Wiku Kalawisesa" Mari kita
selesaikan." Habis harapan Wiku Kalawisesa. Ia takut sekali dan
karena tidak melihat jalan keluar, ia menjadi nekat. Sambil
menggereng macam serigala tersudut, ia menubruk maju,
tongkatnya menghantam. Akan tetapi dengan tenang
Endang Patibroto menanti sampai tongkat dekat, kemudian
secara tiba-tiba tubuhnya miring, kakinya digeser lalu
melangkah maju dari samping, tangan kanannya menyambar dan "Desss.......... lengan kanan kakek itu
terpukul dari samping, membuat tongkatnya terlempar
entah ke mana. Kemudian sebuah tamparan tangan kiri
Endang Patibroto disertai Aji Pethit Nogo membuat kakek
itu terpekik dan terbanting roboh, terengah-engah, tangan
kanan memegangi kepala yang disambar geledek, napasnya
hampir putus. Ia merangkak duduk, berusaha bangkit akan
tetapi tidak kuat dan ambruk terduduk lagi.
"Keparat.........., Endang Patibroto, sempurnakanlah
(bunuhlah) aku..........!!!"
Endang Patibroto tersenyum menyindir. "Terlalu
nyaman bagimu. Kau harus merasakan hasil perbuatanmu
yang terkutuk!" Endang lalu membungkuk, mengambil
sekepal tanah lempung, dikepalkepal agar lunak sambil
memandang lawan, bibirnya masih tersenyum manis akan
tetapi pandang matanya dingin. Kakek itu mengangkat
muka, melihat wanita itu, terbelalak matanya.
"Apa.......... apa yang akan kau lakukan..."
"Seperti apa yang kau lakukan terhadap suamiku,
terhadap ponggawa?ponggawa lainnya."
Pucat wajah Wiku Kalawisesa, kemudian la terkekeh
menutupi rasa ngerinya. "He-he-heh, kau takkan mampu
...... " Endang Patibroto tak menjawab, melainkan duduk di
atas tanah, tiga meter jauhnya dari kakek yang ketakutan,
duduk bersila sambil membentuk lempung Itu menjadi
boneka, boneka yang menyerupai Wiku Kalawisesa.
Setelah jadi, tiba-tiba saja tubuhnya dengan masih bersila
mencelat ke arah kakek itu yang merasa, kepalanya sakit
dan sekali lagi Endang Patibroto berkelebat, kembalI ke
tempat semula dalam keadaan duduk bersila, segumpal
rambut kakek itu di tangannya. Wiku Kalawisesa
tercengang kagum. Ah, dla tidak tahu diri, pikirnya. Dia
terlalu memandang rendah wanita ini. Pantas saja adik
seperguruannya, Cekel Aksomolo tewas di tangan wanita
ini, dan diapun tentu akan tewas. Kiranya wanita inl
sedemikian saktinya. Dapat melompat dalam keadaan
duduk adalah perbuatan yang langka bagi orang yang tidak
memiliki kesaktian tinggi sekali. Ia tidak penasaran lagi
kalau roboh di tangan wanita sakti ini. Hanya rasa
penasaran karena tidak tercapai maksudnya membalas
dendam. Akan tetapi, ia tidak kehilangan kecerdikannya
dan kembali ia terkekeh. Siapa bilang tidak tercapai
maksudnya" Tunggulah saja kau, Endang Patibroto,
pembalasanku akan tiba juga!
Akan tetapi suara ketawanya lenyap ditelan kengerian
ketika ia melihat Endang Patibroto mencabut tusuk konde.
Rambutnya sudah dipasangkan pada boneka itu. Endang
Patibroto bersila dan bersamadhi sebentar, meramkan mata,
mulut masih tersenyum, kemudian tubuhnya gemetar dan
mata dibuka, ia menggerakkan tusuk konde mendekati kaki
kanan boneka. "Jaga kaki kananmu, Wiku Kalawlsesal"
"Kau takkan mampul" kakek itu mendengus marah.
"Kau lihat saja. Rasakanlah!" Tusuk konde ditusukkan
ke paha kaki kanan boneka. Sang wlku mengerahkan


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesaktian menolak. Endang Patibroto merasa betapa kaki
boneka itu mengeras, akan tetapi iapun mengerahkan
kesaktian, terus menusuk. Setelah mengadu kekuatan batin,
akhirnya.........."Blesssl" paha kanan boneka itu tertusuk
dan darah mengucur keluar.
"Aaaugggghh..........I" Wiku Kalawisesa mengaduh,
tangan kanan yang masih dapat bergerak memegangi paha
kanannya yang bercucuran darah.
"Sekarang paha kiri, wiku bedebah, manusia berhati
iblisl" Kembali Endang Patibroto menusuk, kali ini
lawannya tidak menahan karena maklum akan sia?sia
usahanya itu. "Blessss I" Dan paha kiri boneka itu tertusuk,
berdarah seperti juga paha kanan Wiku Kalawlsesa.
"Aduhh.......... bunuh saja aku, Endang Patibrotol"
"Enaknya ?".! Rasakan hasil kekejianmu sendiri.
Awas lenganmu!l" Kembali Endang Patibroto menusuk,
lengan kanan kemudlan lengan kiri. Kaki tangan kakek itu
mengucurkan darah segar dan ia mengeliat?geliat,..........
mengaduh-aduh..........dan merintih-rintih minta mati.
"Ja.......... jangan lanjutkan.......... jangan tusuk lagi.......... kau pukul matilah aku, Endang..........!!"
"Apa" Kau merasa tersiksa" Tak ingatkah akan para
ponggawa yang kau bunuh" Tidak ingatkah akan
penderitaan suamiku" Ya, suamiku yang hendak kau
bunuh" Rasakan sekarang, perlahan-lahan kutusuk dadamu..........!! "Aduh, ampun, Endang Patibroto! Ampunkan aku
seorang tua.......... hu-hu?huuhh.........." Kakek itu menangis
saking takutnya! Endang Patibroto menahan tusuk kondenya di kulit dada
boneka. "Ampunkan" Betapa mudahnya minta ampun.
Hayo katakan, jangan membohong, siapa yang menyuruhmu" Aku masih tidak percaya akan semua
keteranganmu tadi. Katakan siapa sekongkolmu" Siapa
menyuruhmu membunuh suamiku" Membunuh para
ponggawa?" "Sudah kukatakan,.......... kepadamu ..... tiada lain..........
Pangeran Darmokusumo....."
"Bohongl" "Demi dewata.........."
"Kau tidak mengindahkan para dewata!"
"Demi Hyang Widhi.........."
"Manusia macam kau tidak takut Hyang Widhil"
"Aduh, ampun, aku tidak membohong Endang
Patibroto. Benar Pangeran Darmokusumo yang menyuruhku.........."
"Sekali lagi, jangan bohong! Lihat tusuk kondeku siap
menusuk. Katakan sebenarnya, kalau kau mengaku,
mungkin aku dapat mengampunimul" Endang Patibroto
membujuk. "Bukan orang lain, melainkan Pangeran Darmokusumo,
seorang. Demi Sang Hyang Bathara Kala ...... aku
bersumpah?". !! Lega hati Endang Patibroto. la tidak lancang dan
sembrono. Setelah kakek pemuja Bathara Kala ini
bersumpah demi Bathara Kala, agaknya ia tidak berbohong.
Si keparat Pangeran Darmokusumo! Dengan gemas ia
menusukkan tusuk kondenya di ulu hat! boneka Itu.
"Aauuuurrrghh.......!"
Wiku Kalawisesa roboh tergelimpang. Dari dadanya mengucur darah segar.
Matanya mendelik dan aneh sekali, pada saat terakhir itu,
ia terkekeh"Heh-heh-heh-hih-hik, Endang Patibroto. Aku
akan membalas dendam kepadamu! Akan kuhancurkan
engkau, suamimu, rumah.......huah?ha-ha,.... .tunggu........
kau tunggu pembalasanku......!" Dan tubuhnya berkelojotan
dalam sekarat. Endang Patibroto melemparkan membersihkan tusuk
kondenya dan memakainya lagi di rambutnya. Kemudian ia
meloncat dan berkelebat lenyap diteIan kegelapan malam.
Sambil berloncatan Endang Patibroto berpikir, keparat si
Pangeran Darmokusumo! Kejam benar hatimu. Demi
tercapainya cita-cita, tega benar membunuhi para ponggawa
setia. Bahkan tega hendak membunuh Pangeran Panjirawit,
kakak iparnya sendiri. Kalau aku pulang dan menceritakan
hal ini kepada suamiku, tentu dia tidak akan percaya. Dan
celakalah kalau sampai ketidakpercayaan menguasai hati
suamiku. Ketidakpercayaan pangkal keruntuhan cinta.
Tidak baik menaruh ganjalan hati. Lebih tepat sekarang
juga bertindak sebelum terlalu parah keadaan. Ia dapat
menyelinap ke Kerajaan Panjalu, akan ditangkapnya,
Pangeran Darmokusumo, dipaksanya supaya mengakui
segala perbuatannya yang laknat. Kalau sudah begitu
terserah keputusan Sang Prabu Panjalu terhadap puteranya.
Akan tetapi ia akan bebas daripada tuduhan, akan tercuci
bersih namanya. Tiada jalan lain, Wiku Kalawisesa sudah
mati. Percuma saja ia jadikan bukti atau saksi.
"Heh, sira (kamu) Pangeran Darmokusumo! Awaslah
engkau, aku tidak akan mendiamkan saja ulah tingkahmu
memburuk-burukkan namaku dan terutama hendak
membunuh suamiku. Pangeran Darmokusumo, jangan
kaget. Endang Patibroto yang akan membuka kedokmu!"
Makin cepat tubuhnya berkelebat, mempergunakan ilmu
lari cepat sehingga tubuhnya lenyap hanya tampak
bayangan seperti bayangan seekor garuda melayang di
angkasa. "Nini bocah ayu, siapakah engkau?" tanya Ki Patih
Bratamanggala dengan sikap tenang dan sabar sambil
memandang Suminten yang duduk bersimpuh di depannya
dan menangis. "Hamba Suminten, gusti patih, hamba adalah abdi
dalem, pelayan Gusti Pangeran Panjirawit." Suminten
menyembah dan berkata dengan suara gemetar.
Ki Patih yang sudah berusia lima puluh tahun lebih itu
mengerutkan keningnya, kemudian sambil memandang
penuh selidik bertanya, "Heh, Suminten. Apa kehendakmu di pagi hari buta ini
memaksa para pengawal, mohon menghadap kepadaku?"
Hari itu masih pagi sekali, Ki Patlh Bratamenggala baru
saja bangun tidur ketika kepala pengawal menghadap dan
menyatakan bahwa, ada seorang gadis remaja memaksa
minta menghadap karena urusan yang amat penting. Dari
sikap pengawal ini, ki patih tahu bahwa tentu pengawal ini
sudah mendengar akan urusannya dan mempertimbangkan
bahwa hal itu amat-lah pentingnya sehingga ia berani
menyampaikan permohonan si gadis.
"Ampun beribu ampun, gusti. Hamba telah berani
mengganggu paduka di pagi hari ini. Akan tetapi kepada
siapakah gerangan hamba harus melaporkan peristiwa
mengerikan semalam kalau tidak kepada paduka" Hamba
tidak berani menghadap gusti prabu."
Berdebar jantung ki patih. Semalam ia sudah mendengar
akan berita dahsyat yang mengabarkan tentang kematian Ki
Demang Kanaroga, kematian yang mengerikan, seperti
terjadi pada diri Tumenggung Wirodwipo dan yang lain-
lain. Mengerikan berdarah sampai mati tanpa luka. Berita
apa pula yang dibawa gadis ini, yang lebih mengerikan
daripada peristiwa kematian Demang Kanaroga" Ia sedang
bingung dan pusing serta gelisah memikirkan kematian?kematian. itu, dan kini di pagi hari buta gadis ini
mengganggunya dengan urusan tetek-bengek.
"Hemm, bocah ayu, tahukah kau bahwa bukan main-
main menghadap dan mengganggu waktuku di pagi hari
begini" Ceritakanlah dan berdoalah bahwa ceritamu cukup
penting agar kau tidak membikin marah kepadaku."
Suminten tidak takut. la merasa yakin bahwa ceritanya
amat penting, dan bahwa sudah bulat tekatnya untuk
menyampaikan berita ini kepada ki patih. Hanya inilah
yang dapat dilakukan seorang pelayan rendah seperti dia,
hanya inilah yang dapat ia lakukan untuk melampiaskan iri
hati dan cemburu, melampiaskan duka karena tidak
mendapat perhatian Pangeran Panjirawit yang dicintanya.
"Ampun, gusti patih. Semalam, tanpa hamba sengaja,
hamba telah menyaksikan sesuatu yang hebat, perbuatan
mengerikan dan menyeramkan yang dilakukan oleh..........
gusti puteri..........!! "Gust! puteri..........?"
"Garwa (isteri) gusti pangeran," Suminten membenarkan. "Isterl Sang Pangeran Panjirawit?" Ki patih tertarik.
Tentu saja tertarik mendengar sesuatu tentang isteri
pangeran itu, tentang Endang Patibroto, wanita sakti bekas
kepala pengawal Jenggala sepuluh tahun yang lalu, yang
telah menggegerkan seluruh kerajaan. "Apa yang beliau
lakukan?" "Hamba.......... iihhh, hamba masih ngeri kalau
mengenangkan semua itu..........!
Suminten menggigil. "Tanpa hamba sengaja, hamba
melihat gusti puteri bercengkerama dengan gusti pangeran,
kemudian gusti puteri membuat sebuah boneka Si
Petak.........." "Siapa Si Petak?"
"Ayam kelangenan (kesayangan) gusti pangeran. Kemudian, gusti puteri mengambil tusuk kondenya dan
ditusukkan paha ayam itu dan.........."
"Dan bagaImana?" KI Patih Bratamenggala makin
tertarik, sampai terbungkuk dari kursinya agar lebih dekat
dengan gadis itu dan lebih jelas mendengar penuturannya.
"Terdengar Si Petak memekik.......... dan.......... ketika
kemudian hamba melihat ke kandang.......... paha Si Petak
itu berdarah seperti ditusuk, padahal tidak ada lukanya
sama sekali.........."
"Nanti dulu!" Ki patih membentak keras sampai
Suminten terkejut. Wajah patih itu menjadi pucat, tangan
yang memegang lengan kursi menggigil. "Coba ceritakan
lagi dengan jelas!" Kini Suminten bercerita lagi, tidak gugup macam tadi,
diceritakannya semua tentang perbuatan Endang Patibroto
menusuk boneka ayam putih dan betapa akibatnya ayam itu
bercucuran darah pahanya. Berdebar jantung Ki Patlh
Bratamenggala. Kiranya tidak kosong desas-desus itu!
Desas-desus yang mengatakan bahwa semua pembunuhan
yang terjadi atas diri para ponggawa Jenggala dan Panjalu
adalah perbuatan Endang Patibroto. Apa maksudnya
gerangan" Tentu tersembunyi nlat buruk. Perlu segera
dilaporkan kepada sang prabu, sekarang juga!
Tergesa-gesa Ki Patih Bratamenggala berdandan setelah
menyuruh Suminten menanti, kemudian Ia membawa
Suminten pergi ke istana, menghadap Sang Prabu Jenggala.
Di depan sang prabu yang mendengarkan dengan kening
berkerut, berceritalah Ki patih tentang apa yang
didengarnya dari Suminten. Sang prabu terkejut bukan
main. Sesungguhnya di dalam hatinya, sang prabu tidak
pernah senang mempunyai mantu Endang Patibroto yang
selain bukan "darah kusuma" (darah bangsawan) juga
riwayat hidupnya amat, mengecewakan itu. Apalagi setelah
ada kenyataan bahwa selama sepuluh tahun Endang
Patibroto tidak mempunyai putera, ditambah lagi kenyataan
bahwa Pangeran Panjirawit tidak mengambil selir yang
tentu saja karena takut kepada isterinya, makin tak senang
hati sri baginda. Desas-desus akhir ini menambah rasa tidak
senangnya, namun maklum bahwa puteri mantunya itu
seorang sakti, sang prabu tidak pernah menyatakan sesuatu.
Kini, mendengar pelaporan ini yang ada saksinya, sang
prabu menjadi murka dan Suminten lalu disuruh
mengulangi ceritanya. Dengan tubuh gemetaran karena
takut, Suminten bercerita kembali dan makin besar amarah
sri baginda. Setelah menitahkan pelayan. untuk membawa Suminten
yang sejak saat itu "dillndungl" atau "diamankan" di dalam
istana, menjadi anggauta kelompok abdi dalem sri baginda,
maka sang prabu lalu mengajak ki patih berunding.
Kemudian dipanggillah para pangeran dan pejabat tinggi
dan akhirnya diputuskan untuk mengundang Pangeran
Panjirawit beserta isteri ke istana!
"Kakang patih, kepadamulah kuserahkan tugas ini,
undang Panjirawit dan isterinya ke istana menghadapku!"
Persidangan lalu dibubarkan setelah sang prabu mengatur
agar para pengawal siap untuk menangkap puteranya


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri bersama mantunya, apabila beliau memberi perintah
sewaktu-waktu setelah berwawancara dengan Pangeran
Panjirawit dan isterinya.
Dapat dibayangkan betapa bingung hati Pangeran
Panjirawit ketika pagi hari itu ia kedatangan Ki Patih
Bratamenggala yang menyampaikan perintah sandi prabu
mengundang dia dan isterinya ke istana. Semalam ia tidak
dapat tidur barang sekejap. Hatinya risau, gelisah
memikirkan isterinya. Endang Patibroto tak kunjung
pulang, dan sungguhpun kaki tangannya yang berdarah
tiba-tiba sembuh kembali sebagai tanda akan berhasilnya
usaha Endang Patibroto mencari musuh tersembunyi,
namun hatinya tetap khawatir sekali. Bagaimana ia tidak
akan gelisah kalau isteri tercinta itu belum juga pulang"
Sampai malam berganti pagi, Endang Patibroto belum
pulang! Payah ia menanti-nanti di dalam kamar, lalu keluar
dari kamar duduk di ruangan dekat taman, kembali ke
kamar, makin lama makin risau. Duduk tak senang, tidur
tak mungkin, hendak menyusul ke mana"
Wajahnya lesu dan kusut ketika ia menyambut
kunjungan ki patih. Dan ia makin bingung mendengar
perintah ramandanya. Bingung dan khawatir! Ada
kepentingan apakah sampai sang prabu memanggil dia dan
isterinya" Dan bagaimana ia harus menjawab karena
isterinya tidak ada di rumah" Mengatakan sakit" Minta
waktu diundur" Ramandanya tentu akan marah. Ia tahu
atau dapat menduga dalam hati kecilnya bahwa isterinya
tidak begitu disuka oleh keluarga ramandanya. Sikap
mereka dingin dan hormat dibuat-buat kepada lsterinya.
Kalau mengatakan isterinya pergi, pergi ke mana" Mana
mungkin isteri seorang pangeran pergi begitu saja tanpa
diketahui ke mana perginya" Ah, la menyesal sekali
mengapa malam tadi ia memperbolehkan isterinya pergi.
Hatlnya sudah tIdak enak dan sekarang ia menghadapi hal
yang lebih tidak enak lagi. Lebih baik berterus terang! Ya,
tidak ada jalan lain baginya dan bagi kebaikan nama
isterinya. "Paman patih, sungguh amat menyesal hati saya bahwa
untuk sementara ini tIdak mungkin saya mentaati perintah
kanjeng rama, karena sesungguhnya..........isteri saya yayi
dew! Endang Patibroto semalam telah pergi dan belum juga
pulang sampai pagi hari ini."
Ki patih mengangkat alisnya, menghubungkan kepergian
Itu dengan peristiwa yang ia dengar dari mulut Suminten.
"Ahhh, gusti puteri pergi" Eh, karena urusan ini
mengenai panggilan kanjeng gust! sinuwun, kalau boleh
hamba bertanya.......... ke manakah perginya, mengapa
malam-malam?" Dengan muka pucat Pangeran Panjlrawit memandang ki
patlh, kemudian menarik napas panjang dan berkata,
"TIdak baik kiranya kalau saya sembuhyikan lagi, paman,
setelah kini datang panggilan dari ramanda sinuwun."
Patlh itu mengangguk-angguk, mengira bahwa pangeran
ini akan membuka rahasia isterinya, wanita slluman itu.
*Betapapun juga, ki patlh ini di dalam hatinya mencinta
Pangeran Panjirawit yang terkenal sebagai pangeran yang
halus budi pekertinya, ramah-tamah bahasanya, dan sopan
tutur sapanya. la ingin melihat pangeran ini terlepas
daripada "cengkeraman" wanita iblis Endang Patibroto.
"Memang seyogyanya begitulah, gusti pangeran. Lebih baik
berterus terang sehingga hamba dapat menghaturkan
laporan yang jelas dan lengkap kepada sri baginda."
Seorang abdi dalem datang berjalan jongkok, menghidangkan minuman. Percakapan terhenti sebentar
dan Pangeran PanjlrawIt memberi tanda dengan tangah
agar abdi dalem itu cepat-cepat pergi. Akan tetapi abdi
dalem itu, seorang gadis berkulit kuning langsat berusia dua
puluh tahun, meragu dan memandang kepada sang
pangeran. "Ada apa lagi" Pergilah?"
Gadis pelayan itu menyembah. "Ampun kalau hamba
mengganggu, gusti. Hamba hanya hendak melapor bahwa
pagi hari ini Suminten pergi, entah ke mana tak seorangpun
abdi mengetahuinya."
Kalau tidak sedang dirisaukan urusan besar, tentu
Pangeran Panjirawit akan menjadi heran, menaruh
perhatian atau setidaknya teringat akan gerak?gerik
Suminten malam tadi. Akan tetapi pikirannya terlalu penuh
oleh isterinya yang belum pulang dan oleh panggilan sang
prabu, maka ia berkata tak sabar.
"Laporkan saja kepada Raden Sungkono agar dicari.
Pergilah!" Abdi dalem meninggalkan mereka dengan
langkah jongkok. "Paman patih, malam tadi telah terjadi hal yang
mengerikan. Paman tentu tahu akan peristiwa-peristiwa
kematian para ponggawa yang mengerikan, bukan" Nah,
malam tadi saya Sendiri telah diserang!"
"Haa..........?"" Ki patih terbelalak, dan memandang
:tubuh Pangeran Panjirawit yang tiada kurang sesuatu.
Pangeran Panjirawit mengerti akan makna pandang mata
ini. "Memang, saya selamat, paman. Kalau tidak ada
isteriku, kiranya pagi hari ini paman akan mendapatkan
diriku serupa dengan ponggawa-ponggawa lain, mati
berlumur darah tanpa luka.!!
Dengan wajah masih pucat ki patih berkata, "Malam tadi
Demang Kanoraga yang menjadi korban."
"Aiihh.......... kakang Demang Kanaroga juga..........?"
Sang pangeran menghela napas, lalu melanjutkan, "Saya
baru diserang pada lengan dan kaki. Malam tad! isteri saya
yang merasa penasaran, memaksa diperkenankan keluar
rumah untuk menyelidiki dan menangkap manusia atau
iblis yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji itu.
Baru ia pergi, tiba-tiba lenganku sakit dan berdarah. Untung
isteri saya datang tepat pada waktunya dan saya tertolong.
Paman tentu tahu akan kesaktian isteri saya. KemudIa isteri
saya pergi untuk mencari iblis itu dan.......... sampai pagi
hari ini belum kembali. Oleh karena itu, sampaikan
permohonan ampun saya kepada kanjeng rama, dan kalau
beliau menghendaki saya seorang diri menghadap, beri
kabarlah, saya tentu akan datang menghadap tanpa isteri
saya." Ki Patih Bratamenggala menjadi bingung sekali. Hatinya
bertanya-tanya. Benarkah cerita ini" Lengan pangeran ini
sama sekali tidak tampak bekas luka, atau tidak tampak
bekas berdarah. Apa buktinya kebenaran cerita ini" Akan
tetapi, tentu saja ia tidak berani mengajukan pertanyaan ini,
setelah minum hidangan lalu memohon diri.
Ketika Sang Prabu Jenggala mendengar laporan ki patih,
Ia termenung. Berkali-kali menarik napas panjang. "Urusan
ini sungguh ruwet dan meragukan. Biarlah kita menanti
perkembangan selanjutnya, kakang patlh."
Sementara itu, dengan hati gelisah Pangeran Panjirawit
memanggil Sungkono menghadap. "Kakang Sungkono, ada
tugas penting sekali bagimu."
"Hamba sudah mendengar dari abdi dalem, mencari
Suminten yang lari.........."
"Persetan dengan Suminten!" Pangeran Panjirawit
berseru tak sabar. "Bukan Suminten yang harus dicari,
kakang Sungkono, melainkan gusti puteri!"
"Gusti puteri..........?" Raden Sungkono terkejut, menatap
wajah junjungannya dengan heran dan kaget.
"Ya, gusti puteri. Dia malam tadi pergi, kakang. Kau
tahu tentang pembunuhan-pembunuhan rahasia terhadap
ponggawa-ponggawa Jenggala dan Panjalu?"
Raden Sungkono mengangguk-angguk. "Malam tadi
Demang Kanaroga yang terkena," katanya.
"Benar. Nah, gustimu puteri malam tadi pergi untuk
melakukan penyeiidikan, untuk menangkap si pembunuh
laknat setelah menyelamatkan aku yang hampir saja
menjadi korban juga."
"Paduka, gusti..........?"" Kembali Sungkono terkejut.
"Tak usah ribut-ribut. Betapapun saktinya pembunuh
pengecut itu, dia tak mungkin dapat mengalahkan gustimu
puteri. Karena itu dia malam tadi pergi melakukan
penyelidikan dan pengejaran."
Sungkono mengangguk-angguk. "Memang sesungguhnya
di dalam hati, hamba juga mengambil kesimpulan bahwa
penjahat iblis Itu hanya dapat dltangkap oleh gusti puteri
yang sakti mandraguna."
"Benar, kakang. Sekarang, gustimu belum juga pulang.
Aku merasa khawatir juga. Oleh karena itu, kau kerahkan
anak buahmu, kau lakukan penyelidikan ke mana gustimu
melakukan pengejaran dan apabila perlu, kau harus siap
membantunya. Mengerti, kakang?"
"Mengertl dan siap, gusti."
"Baik, aku percaya kepadamu. Apapun yang terjadi
dengan diriku di sini, kau tidak perlu mencampuri, yang
penting lekas susul dan temukan gustimu puteri. Nah,
berangkatlah sekarang juga, kakang Sungkono."
Setelah pengawalnya yang setia itu pergi, Pangeran
Panjirawit termenung, hatlnya merasa tidak enak sekali,
wajah isterinya yang tercinta terbayang?bayang dan
minuman panas di meja sampai menjadi dingin tanpa
disentuhnya. "Waahh.......... celaka, raden.......... celaka ..........tiga
belas..........!!" Raden SIndupati mengangkat alis dan menatap
Klabangkoro dan Klabangmuko yang datang berlari-lari
dengan napas senln kemis hampir putus, wajah penuh
keringat sehingga kumis mereka yang sekepal sebelah itu
menjadi basah kuyup dan kini berjuntai turun, sama sekali
kehilangan kegagahannya, Di belakang Raden Sindupati,
sekelompok pasukan terdiri dari dua puluh orang lebih,
rata-rata berperawakan tinggi besar berserijata tombak,
golok, atau penggada. Mereka berikat kepala seperti
Klabangkoro dan Klabangmuko, dengan ujung menjungat
ke atas seperti tanduk. Biarpun mereka itu orang-orang yang
kelihatan kasar, namun jelas mereka bukan orang-orang
sembarangan, melainkan "berisi' . Inilah pasukan dari
Blambangan, anak buah Adipati Blambangan yang tersohor
kuat. Pemimpin mereka, Raden Sindupati, berbeda dengan
mereka. Memang dia juga mengenakan ikat kepala yang
sama, akan tetapi perawakannya sedang, berdada bidang,
wajahnya tampan dan usianya belum lewat empat puluh
tahun. Kulitnya kuning bersih dan wajahnya selalu
tersenyum, pandang matanya tajam. Kalau anak buahnya
adalah orang-orang yang membayangkan kekuatan dan
ketangkasan, adalah Raden Sindupati ini membayangkan
kekuatan batin dan kesaktian. Senjatanya pun lebih
sederhana, sebatang keris terselip di pinggangnya.
Sudah belasan tahun, semenjak ia berusia kurang dari
dua puluh lima tahun, Raden Sindupati melarikan diri ke
Blambangan. Tadinya ia adalah seorang senopati muda di
Jenggala yang melakukan pelanggaran besar, yaitu
memperkosa dengan bujuk rayu dan ketampanannya
seorang puteri Jenggala. Ketika ketahuan, puteri itu
membunuh diri dan Raden Sindupati menjadi buronan.
Semenjak itu tak pernah ia kembali ke Jenggala dan karena
kesaktiannya, ia memperoleh kedudukan tinggi di
Blambangan, bahkan kini dipercaya oleh Adipatl Blambangan untuk mengacau dan melemahkan kedudukan
Jenggala dan Panjalu, bahkan kalau mungkin membunuh
Endang Patibroto. "Kakang Klabangkoro dan Klabangmuko!" katanya
tenang akan tetapi penuh wibawa. "Tidak layak seorang
prajurit tenggelam ke dalam kegelisahan. Takut dan gentar
merupakan pantangan terbesar bagi seorang perajurit
utama! Betapapun buruknya kenyataan yang dihadapi,
seorang perajurit harus tetap tenang dan waspada."
"Maaf, raden, kami memang salah .... " kata
Kiabangkoro merendah. "Yang belum mengerti itu tidak salah, kakang. Nah,
sekarang ceritakan, apa yang telah terjadi" Pagi ini kami
telah mendengar akan tewasnya Demang Kanaroga, Ini
berita baik, mengapa kalian seperti ketakutan?"
"Malam tadi, menurut rencana Wiku Kalawisesa akan
merobohkan dua orang ponggawa Jenggala, pertama
Demang Kanaroga dan ke dua Pangeran Panjirawit suami
Endang Patibroto." Terdengar suara mencela seorang kakek
berusia empat puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar dan
matanya lebar, dialah yang paling tinggi besar di antara
semua prajurit Blambangan yang berada di situ.
"Kami berdua mendapat tugas untuk menyelidiki hasil
usahanya itu di dekat gedung Pangeran Panjirawit. Malam
itu mula-mula kami melihat dua ekor kelelawar terbang
pulang dari atas gedung Demang Kanaroga, agaknya sudah
selesai tugas. Kemudian seperti bayangan iblis...... tampak
bayangan wanita itu.......... seperti terbang layaknya!"
"Hemm, kau maksudkan bayangan Endang Patibroto?"
tanya Raden Sindupati tertarik. Karena sudah belasan
tahun ia tidak kembali ke Jenggala, ia tidak pernah bertemu
dengan wanita sakti itu, hanya mendengar namanya.
"Betul, raden. Dia memang hebat luar biasa. Kelelawar
besar disambitnya, kemudian ia seperti terbang mengikuti
kelelawar itu. Dari istananya tidak terdengar sesuatu, tIdak
ada tanda-tanda Pangeran Panjirawit tewas. Kami sedapat
mungkin tergopoh-gopoh mengikutlnya pula, dari jauh
karena larinya cepat seperti angin. Dia membayangi


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelelawar terbang. Coba bayangkan!" Klabangkoro menoleh
kepada teman-temanaya dengan mata terbelalak. "Dia
dapat beriari begitu cepatnya sehingga dapat membayangi
seekor kelelawar terbang!"
Semua pasukan menjadi gempar, kecuali kakek tinggi
besar tad! yang kembali mengeluarkan suara mendengus
dari hidungnya, dan Raden Sindupati yang merasa tidak
aneh karena banyaknya pendekar di Jenggala yang mampu
melakukan hal ini, termasuk dia sendiri!
"Lalu bagaimana?" tanya Sindupati, tidak puas melihat
pasukannya ribut?ribut. Semua orang diam, tertarik dan
ingin mendengarkan lebih lanjut.
"Ketika kami berdua tiba di pondok sang wiku, kami
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 33 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Pendekar Riang 10
^