Pencarian

Perawan Lembah Wilis 20

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


sekali. Setelah itu .......... aku seperti dalam mimpi yang
kacau .......... seperti hanya berdua dengan Kakangmas
Pangeran .......... ah, aku tidak tahu lagi apa yang telah
terjadi. Tahu-tahu aku sadar dan telah berada di sini,
berbaring di atas tanah dan melihat kalian berdua berkelahi
seperti kemasukan setan!"
"Aha! Sudah mulai kelihatan belangnya sekarang!" Tiba-
tiba Joko Pramono berkata sambil menepuk pahanya
sendiri. 'Pusporini, ceritakanlah pengalamanmu agar kita
dapat membandingkan!"
Dengan suara trenyuh karena ia pun mulai dapat
menduga akan jalannya tipu muslihat musuh dan hatinya
penuh keharuan karena sikapnya tadi terhadap Joko
Pramono, Pusporini lalu bercerita, "Ki Mitra datang
kepadaku malam tadi dan mengatakan bahwa Ayunda dan
.......... Joko .......... mengadakan .......... eh, per-..........
temuan rahasia .......... di taman sari, bahkan Ayunda dan
Joko sudah lama mengadakan hubungan percintaan dan
malam tadi bertemu di taman sari akan tetapi tertangkap
basah dan akan ditangkap para pengawal yang dikerahkan
oleh .......... perempuan iblis itu.......... ! Aku datang ke sana
dan melihat Ayunda .......... dalam pondongan .......... ahhh,
sudahlah,.......... aku memang bersalah .......... mataku
seperti buta .......... !" Pusporini menangis, kini tangisnya
sukar dikatakan, apakah tangis itu karena menyesali
perbuatannya ataukah tangis girang bahwa Joko Pramono
tidak jadi direbut orang, ataukah kedua-duanya!
"Wah, jelas sudah sekarang! Ini tentu tipu daya keji
Suminten yang jahanam itu! Sengaja diatur, mungkin sudah
lama diaturnya dan dicari kesempatan ini. Siasat untuk
memecah-belah di antara kita dan sekaligus menghancurkan kita dengan dalih pelanggaran susila dan
melawan para pengawal! Dan hampir saja siasatnya
berhasil." Kembali pemuda ini meraba bibirnya yang
menyendol dan pecah pinggirnya. "Kalau tidak cepat-cepat
aku menghindar, tentu kepalaku telah pecah sekarang dan
andika berdua hanya akan menangisi sebuah mayat tiada
gunanya lagi!" "Joko .......... !!" Pusporini menubruk pemuda itu dan
menangis sesenggukan di atas dadanya. Joko Pramono
mengejap-ngejapkan matanya menahan dua butir air
matanya yang akan menitik turun saking terharu dan
girangnya hati. Pusporini yang penuh penyesalan, seperti
lupa diri, lupa bahwa di situ terdapat Setyaningsih yang
memandang dengan mata basah air mata. Dia mengangkat
mukanya dan dengan terisak-isak ia meraba pinggir bibir
yang pecah itu, meraba dan membelainya, kemudian
mengecup luka di bibir dengan halus.
"Joko, maafkan aku, Joko .......... maafkan aku dan kau
pukullah aku sebagai hukuman ...... !"
Joko Pramono tersenyum lebar dan mendekap muka itu
ke dadanya, erat-erat seolah-olah ia hendak menyimpan
kepala dan wajah yang amat dicintanya itu ke dalam
dadanya, dan takkan diperbolehkan keluar lagi. Kemudian
ia mencium dahi Pusporini dan memegang dagu gadis itu,
diangkatnya muka yang basah itu menghadap mukanya,
lalu ia berkata, "Engkau ........." Dihukum pukulan" Wah,
eman-eman (sayang) ?"..! Kalau aku tadi tahu upahnya
akan sebesar ini, mau rasanya aku menerima sebuah
pukulanmu lagi ?"."
"Kau memang ceriwis!" Pusporini berkata, akan tetapi
dengan sikap manja dan tangannya menampar lirih ke arah
pipi Joko Pramono. Pemuda itu tertawa dan menunduk,
dengan mesra dan sepenuh cinta kasih hatinya ia
mengambung pipi kiri Pusporini dengan hidungnya.
Sejenak Pusporini terlena dalam belaian mesra ini, akan
tetapi tiba-tiba ia melepaskan diri dan mencela,
"Ihhh .......... , tak tahu malu. Ada ayunda melihat kita!"
Joko Pramono yang sadar dari buaian asmara yang
memabukkan, seakan-akan baru timbul dari keadaan
tenggelam ke dalam perasaan bahagia yang tadi
membuatnya lupa akan segala. Cepat ia menghadapi
Setyaningsih dan berkata, "Maafkan kami, Ayunda, karena
terharu kami sampai lupa diri, lupa akan kegawatan
keadaan. Kita semua telah menjadi korban siasat buruk
Suminten, dan sungguh mengkhawatirkan kalau mengingat
akan keadaan Kakangmas Pangeran yang masih tertinggal
di sana." "Aku akan kembali ke sana dan membantu Kakangmas
Pangeran lolos keluar istana!" Pusporini yang agaknya ingin
menebus kesalahan, kini mengajukan diri dengan suara
tetap dan tabah. "Biarkan aku saja yang pergi, Rini, engkau perlu menjaga
dan menemani Ayunda di sini .......... " kata Joko Pramono
yang sebetulnya tentu saja merasa khawatir kalau Pusporini
dibiarkan pergi sendirian memasuki tempat yang penuh
dengan musuh-musuh itu dan yang ia tahu amat berbahaya.
Sebaliknya, Pusporini juga mengkhawatirkan keselamatan pria yang dicintanya karena tadi malam pun
para pengawal hendak membunuh Joko Pramono. Kalau
pemuda itu kembali ke istana, bukanlah sama halnya
dengan menyerahkan nyawanya"
"Tidak, Joko. Mereka semalam memusuhimu, belum
tentu akan memusuhi aku!"
Melihat betapa kedua orang muda itu berebut,
Setyaningsih menghela napas, merangkul leher Pusporini
sambil berkata, "Kalian berdua tidak boleh kembali ke sana lagi setelah
berhasil lolos. Karena suamiku berada di sana, maka akulah
yang akan kembali ke sana. Aku harus berada di samping
Kakangmas Pangeran, dalam keadaan bagaimanapun juga.
Kalian berdua sebaiknya lekas pergi ke Panjalu dan
memberi laporan kepada Rakanda Patih Tejolaksono dan
Pangeran Dar mokusumo."
"Ah, berbahaya sekali, Ayunda!" Joko Pramono berseru
keras. "Setelah iblis betina itu melakukan siasat fitnah keji,
tentu dia tidak akan segan-segan melakukan hal yang lebih
jahat lagi. Siapa tahu, Kakangmas Pangeran juga terjeblos
ke dalam perangkap seperti kita, dan celakanya kalau
Kakangmas Pangeran juga tertipu seperti halnya Diajeng
Pusporini tadi. Jangan-jangan dia akan .......... akan
menganggap Ayunda tidak setia ?"".."
Setyaningsih menggeleng kepala dan tersenyum penuh
keyakinan. "Suamiku tidak akan meragukan kesetiaanku
seujung rambut pun. Kakangmas Pangeran percaya penuh
akan cinta kasih yang kami pupuk bersama."
"Yunda, aku akan ikut kembali ke sana karena aku tidak
terima, aku akan menghancurkan kepala perempuan iblis
Suminten!" kata Pusporini penuh amarah dan dendam
terhadap selir raja yang amat cerdik dan keji itu.
"Benar, Ayunda. Biarkan kami ikut, selalu menemani
dan mengawal Ayunda, juga kita bersama akan dapat lebih
kuat melindungi dan membela Kakangmas Pangeran di
sana. Selain itu, aku harus pula menangkap Ki Mitra yang
entah mengapa telah menjadi palsu laporannya itu!"
Baru Pusporini teringat akan hal ini. "Ki Mitra! Ah, dia
tentu menjadi kaki tangan iblis betina itu, dan telah
berkhianat! Aku pun ingin membagi sebuah tamparan di
kepalanya!" "Dia bukan Ki Mitra .......... " Suara ini terdengar tiba-
tiba dari batik semak-semak, kemudian muncullah dua
orang dari balik semak-semak itu. Mereka adalah seorang
pria setengah tua yang gagah perkasa dan seorang wanita
muda yang berwajah manis. Setyaningsih tidak mengenal
mereka ini, akan tetapi Joko Pramono dan Pusporini
berseru kaget dan girang,
"Paman Wiraman dan Widawati ...... !!" Ki Wiraman
lalu melangkah maju bersama Widawati dan bekas
pengawal pilihan dari Jenggala ini cepat memberi hormat:
"Harap maafkan kami berdua. Sebetulnya telah lama
kami berdua berada di balik semak-semak itu, memimpin
belasan orang anak buah penyelidik. Akan tetapi melihat
betapa andika berdua tadi bertanding hebat, kami tidak
berani melerai dan baru setelah mendengar percakapan, hati
kami lega dan berani keluar."
"Ah, tidak mengapa, Paman. Paman Wiraman, apa
artinya ucapanmu tadi bahwa dia bukan Ki Mitra?" Juga
Pusporini memandang penuh pertanyaan, sedangkan
Setyaningsih juga memandang penuh per hatian.
Ki Wiraman sebagai seorang pejuang yang banyak
pengalaman tidak segera menjawab, melainkan memandang kepada Setyaningsih dengan sinar mata
meragu dan penuh kecurigaan. Dia tidak mengenal puteri
cantik ini dan dia harus berhati-hati untuk menceritakan
rahasia yang diketahuinya.
"Jangan khawatir, Paman. Ini adalah Ayundaku,
Setyaningsih, isteri dari Rakanda Pangeran Panji Sigit yang
kini masih tertinggal di istana Jenggala."
"Ah, maafkan keraguan hamba," kata Ki Wiraman
sambil menyembah dengan hormat, diturut pula oleh
Widawati. -oo0dw0ooo- Jilid XXXVI SEBAGAI cucu puteri mendiang Ki Patih Brotomenggala, tentu saja Widawati segera menghormat
ketika mendengar bahwa puteri cantik ini adalah isteri
Pangeran Panji seorang mantu sang prabu!
"Ayunda, dia ini adalah Paman Wiraman yang telah
kuceritakan padamu." Pusporini memperkenalkan bekas,
pengawal itu kepada Setyaningsih.
Setyaningsih memandang ke arah Widawati yang
menundukkan mukanya sambil berkata, "Dan dia ini
tentulah Widawati, cucu kepatihan Jenggala yang bernasib
malang itu?" Widawati mengangkat mukanya dan dengan pandang
mata sayu ia menyembah dan menjawab, "Tepat seperti
dugaan paduka, hamba adalah Widawati ......... "
Wiraman menarik napas panjang dan berkata, "Sungguh
berbahaya sekali keadaan paduka bertiga, dan masih untung
dapat meloloskan diri. Ketika saya mendengar paduka
menyebut-nyebut nama Ki Mitra, maka yakinlah saya
bahwa paduka telah ditipu karena Ki Mitra telah tewas
beberapa bulan yang lalu. Hanya para penyelidik saya yang
mengetahui bahwa Ki Mitra telah dibunuh oleh kaki tangan
Pangeran Kukutan dan mayatnya dikubur dalam hutan.
Mereka mengira bahwa tidak ada orang yang mengetahui
rahasia itu!" "Ahh ......... !!" Hampir berbareng Setyaningsih,
Pusporini dan Joko Pramono berseru kaget. Kalau mereka
ingat betapa mereka mengajak Ki Mitra bicara tentang
rahasia perjuangan mereka! Kiranya Ki Mitra itu adalah Ki
Mitra palsu! Kaki tangan Pangeran Kukutan dan Suminten!
Terbukalah mata mereka kini bahwa sesungguhnya,
semenjak menginjakkan kaki di Kerajaan Jenggala, mereka
telah berada dalam cengkeraman Suminten dan sekutunya!
Mengerti bahwa semua yang terjadi telah direncanakan
oleh Suminten yang licin bagai belut dan cerdik bagai setan
itu! "Wah, kalau begitu, Kakangmas Pangeran terancam
bahaya ......... " Suara Setyaningsih mengandung isak
tertahan karena gelisahnya memikirkan keselamatan
suaminya. "Kita harus kembali ke sana sekarang juga untuk
menolong Rakanda Pangeran!" kata Pusporini.
"Tidak ada lain jalan! Kita mengamuk di istana
Jenggala!" kata pula Joko Pramono.
"Hendaknya paduka bertiga bersabar," kata Ki Wiraman
dengan suara tenang dan penuh pengertian. "Memang
hanya orang-orang sakti seperti paduka bertiga yang
agaknya akan dapat memasuki kota raja dan istana
Jenggala, akan tetapi hendaknya bersabar dan jangan
menggunakan kekerasan. Di sana selain banyak pengawal,
juga hamba tahu banyak terdapat pembantu-pembatu
rahasia yang sakti mandraguna. Kalau. menggunakan
kekerasan, selain paduka akan menghadapi perlawanan
yang kuat dan berbahaya, juga hal ini akan membahayakan
keadaan Gusti Pangeran Panji Sigit. Sebaiknya dilakukan
secara diam-diam dan di waktu malam."
"Apakah tidak akan terlambat, Paman" Kami harus
menyelamatkan Rakanda Pangeran dan tangan mereka,"
bantah Joko Pramono. "Hamba kira tidak begitu. Gusti Sinuwun amat cinta
kepada Gusti Pangeran Panji Sigit Sehingga mereka tidak
akan begitu sembrono untuk mencelakai Gusti Pahgeran.
Selain itu ......... hemmm......... .. . harap maafkan hamba,
hamba sudah tahu bahwa Suminten menaruh hati kepada
Gusti Pangeran. Sebaiknya malam nanti saja paduka bertiga
menyelundup ke dalam kota raja dan diam-diam
mengusahakan agar Gusti Pangeran Panji Sigit dapat lolos
dari sana. Adapun hamba akan berjaga di luar kota raja dan
mengirim laporan mengenai paduka sekalian ke Panjalu."
Mereka mengadakan perundingan dan tiga orang muda


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang perkasa namun dalam hal pengalaman dan siasat tentu
saja tidak dapat menang dari Ki Wiraman itu selalu
mendengarkan nasehat dan pendapat Ki Wiraman. Bahkan
mereka banyak mendengar tentang keadaan Jenggala dari
bekas pengawal ini dan terkejutlah hati mereka ketika
mendengar bahwa sesungguhnya bukan hanya Pangeran
Kukutan, Suminten dan Ki Patih Warutama yang
menguasai Jenggala, melainkan kekuasaan-kekuasaan dari
Sriwijaya dan Cola. Ketika mereka bertanya kepada Ki
Wiraman tentang Nini Bumigarba, Ki Wiraman menarik
napas panjang dan berkata,
"Sungguh kasihan kalau hamba mengingat akan nasib
Gusti Patih Tejolaksono dan keluarganya. Dua orang
puteranya, Bagus Seta dan Retna Wilis, pergi dibawa orang
maha sakti, entah berada di mana dan sampai kini tiada
berita. Banyak orang pernah mendengar nama Nini
Bumigarba, dan hamba sendiri pernah mendengar nama
yang dihubungkan dengan nama Ni Dewi Sarilangking,
seorang wanita iblis yang sudah terkenal semenjak jaman
Mataram dahulu. Akan tetapi siapakah orang yang pernah
melihatnya" Agaknya hamba kira tak mungkin nenek sakti
itu ada hubungannya dengan mereka yang mencengkeram
Jenggala, bahkan hamba masih ragu-ragu apakah wanita
yang sudah terkenal di jaman Mataram itu benar-benar
sekarang masih hidup! Tentu dia sudah berusia tidak kurang
dari dua ratus tahun!"
Hari itu juga, Ki Wiraman mengutus beberapa orang
anak buahnya untuk pergi ke Panjalu dan membawa
laporan-laporannya mengenai peristiwa yang terjadi di
Jenggala yang dialami oleh empat orang muda perkasa itu.
Malamnya, sebelum bulan muncul dan keadaan masih
gelap, Setyaningsih, Pusporini, dan Joko Pramono
menyelundup masuk ke kota raja melalui dinding tembok,
mempergunakan kesaktian mereka melompati dinding
tembok yang tinggi. Adapun Ki Wiraman dan Widawati
memimpin sisa anak buah mereka mengadakan penjagaan
di luar kota raja sambil terus menghubungi anak buah
mereka yang mereka selundupkan sebagai mata-mata di
dalam kota raja untuk mendengar apa yang terjadi dengan
tiga orang muda yang berusaha menolong Pangeran Panji
Sigit itu. -oo(mch-dwkz)oo- Dengan tubuh lemas dan semangat terbang, Pangeran
Panji Sigit di malam hari itu melihat betapa Setyaningsih
yang dipondong Pusporini dapat lolos, demikian pula Joko
Pramono dan melihat betapa Pusporini, Joko Pramono
bersama isterinya itu dapat keluar dari istana, dikejar-kejar
oleh para pasukan pengawal yang dipimpin oleh Pangeran
Kukutan sendiri. Ia terlalu marah untuk dapat mengeluarkan suara, terlalu heran dan kaget menyaksikan
adegan antara isterinya dan Joko Pramono sehingga ia
seolah-olah sejak melihatnya telah berubah menjadi sebuah
arca, tak dapat bergerak sama sekali, tubuhnya lemas
kakinya menggigil. Sampai keadaan di dalam taman sunyi
kembali karena suara pengawal yang melakukan pengejaran
sudah terlalu jauh untuk dapat didengar dari situ, Pangeran
Panji Sigit masih saja berdiri termenung dengan hati dan
tubuh lemas. Tiba-tiba sebuah tangan yang halus dan lemas,
menyentuh pundaknya dengan mesra, dan bisikan suara
Suminten menyusup ke dalam telinga kirinya.
"Pangeran, jangan khawatir, orang-orang jahat yang
menyakiti hatimu itu pasti akan dapat tertangkap dan
diseret di depart kakimu, Pangeran ........."
Suara bisikan yang lembut basah ini memasuki
telinganya, mula-mula seperti air sewindu yang amat
dingin, kemudian seperti ujung pisau runcing menusuk
jantungnya, membuat Pangeran Panji Sigit tersentak kaget
dari lamunannya dan ia cepat menoleh lalu membentak,
"Tidak ......... ! Aku tidak percaya ......... Ini semua tentu
siasatmu ........! tentu perbuatanmu ........! Aku tidak
percaya isteriku akan berbuat keji dan hina ........!"
Bibir merah semringah itu tersenyum di belakang
punggung Pangeran Panji Sigit yang sudah membuang
muka membelakangi wanita itu. Karena senyum itu tidak
sewajarnya timbul dari kegembiraan hati, maka bukan
tersenyum lagi, melainkan menyeringai dan andaikata
pangeran itu dapat melihatnya tentu akan makin curiga
hatinya. Akan tetapi hanya sebentar, karena Suminten
sudah berkata lagi, kini tidak berbisik karena dia ingin
memaksa kata-katanya agar dapat sejelas mungkin menusuk
kedua telinga pangeran yang tampan dan yang setiap kali ia
temui membuat api dalam tubuhnya menggelora dan
nafsunya menyengat-nyengat.
"Pangeran, mengapa andika tidak mau melihat
kenyataan" Wanita adalah makluk lemah yang mudah
tergoda. Lihatlah aku! Aku mencinta sang prabu, akan
tetapi begitu melihat andika yang lebih gagah, aku tergila-
gila dan bertekuk lutut terhadap gelora nafsu cintaku!
Apalagi Setyaningsih yang masih muda belia! Dan Joko
Pramono adalah seorang jantan muda yang memiliki daya
tarik luar biasa sekali. Mungkin dalam hal ketampanan, dia
tidak dapat mengatasimu, Pangeran. Akan tetapi, dia lebih
gagah, tubuhnya lebih kuat seperti seekor banteng muda!
Dan Setyaningsih adalah seorang wanita muda yang sejak
kecil hidup bersama Endang Patribroto! Andika mangenal
siapa Endang Patibroto! Isteri rakandamu Pangeran Panji
Rawit dan belum lama ditinggal mati suaminya sudah
menjadi kekasih Tejolaksono! Mana mungkin kesetiaannya
dapat dipercaya" Andika baru melihat dia membelai Joko
Pramono dan merangkul mesra, sayang keburu datang para
pengawal dan Pusporini perempuan setan itu. Kalau tidak,
tentu andika akan dapat menyaksikan adegan yang lebih
mesra lagi antara Setyaningsih dan Joko Pramono .........
ahhh, kalau saja andika dapat melihat apa yang kusaksikan
sendiri ......... mereka berkasih-kasihan di luar taman, di
atas rumput seperti dua ekor menjangan muda, bergelut
mesra bercumbu-cumbuan ........."
"Diam ......... !! Diammmmm......... !! Diammmm .........
!!!" Pangeran Panji Sigit berteriak-teriak seperti orang gila,
menubruk ke depan dan menggunakan kepalan tangan
kanannya menghantam batang pohon tanjung yang tumbuh
di taman sari itu sehingga pohon itu berguncang dan daun-
daun kuning rontok. Akan tetapi karena ia memukul batang
pohon karena kemarahan dan sakit hati, tanpa mengerahkan aji kesaktiannya, maka kulit tangannya
pecah-pecah berdarah dan tangannya membengkak.
Kemudian pangeran ini terisak-isak dan menyandarkan
dahinya pada batang pohon, mulutnya berteriak-teriak
lemah seperti berbisik-bisik,
"Tidak ......... , tidak ......... tidak ........!!!"
Akhirnya pangeran itu terkulai lamas dan roboh pingsan.
Pukulan batin itu terlalu hebat baginya. Betapa pun ia
menggunakan kekuatan batinnya untuk menolak dan tidak
percaya bahwa isterinya akan berbuat serong, berjina
dengan Joko Pramono, namun kedua matanya menyaksikan sendiri isterinya membelai-belai Joko Pramono, dan andaikata ada keraguan, maka keraguan ini
disapu hilang oleh teriakan Pusporini yang memaki Joko
Pramono ceriwis, cabul, dan mata keranjang !
Pangeran Panji Sigit tidak tahu betapa dalam keadaan
pingsan itu, bibir dan seluruh mukanya diciumi oleh bibir
Suminten yang sudah tak dapat menahan nafsunya,
kemudian wanita ini dengan muka mangar-mangar
kemerahan bertepuk tangan. Muncullah empat orang
pelayan wanita kepercayaannya dan ia lalu memerintahkan
mereka menggotong tubuh pria yang membuatnya tergila-
gila ini ke dalam kamarnya.
Malam telah lama lewat dan hari telah menjelang siang
ketika Pangeran Panji Sigit siuman dari pingsannya dan ia
mendapatkan dirinya telah rebah di atas sebuah
pembaringan yang lunak harum di dalam kamar yang indah
dan ......... sebuah lengan yang lunak. halus melintang di
atas dadanya, pernapasan yang halus terdengar di sebelah
kanannya. Ketika ia menoleh ke arah si pemilik lengan dan
si pembuat napas, kiranya Suminten yang memeluknya
dalam keadaan pulas! Suminten dengan wajahnya yang
manis, rambut terurai lepas merupakan satu-satunya alat
penutup tubuh, sama dengan keadaan dirinya sendiri yang
hanya berselimut kain merah. Raden Panji Sigit
mengerutkan kening, teringat akan semua peristiwa
semalam, tahu bahwa dia telah di bawa ke dalam kamar
Suminten, dan tidur sepembaringan dengan ibu tirinya itu,
pembaringam yang biasanya ditiduri ramandanya! Ia
menjadi muak dan cepat menurunkan lengan yang
melintang di atas dadanya, kemudian melompat turun,
menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaian tergesa-
gesa. Suminten menggeliat, mengeluarkan suara seperti
seekor anak kucing manja dan mau tidak mau Pangeran
Panji Sigit harus memandang tubuh yang amat indah dan
memiliki daya tarik menggairahkan dan merangsang nafsu
berahi itu. Namun ia menekan semua gelora batinnya yang
mulai bangkit ini dengan kesadaran betapa jahat, keji, dan
berbahayanya selir ramandanya ini.
Suminten membuka mata, dimulai dengan berkejapnya
bulu mata yang lentik itu,
kemudian matanya terbuka dan seperti seorang kaget
wanita ini bangkit duduk,
membiarkan rambutnya yang
panjang menjadi tirai jarang
di depan dadanya yang telanjang sehingga mencipta
penglihatan yang dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. "Ouhhhh ......... Pangeran,
andika sudah siuman" Syukurlah ......... aduhh, andika amat mencemaskan hatiku ......... semalam suntuk
kujaga di sini belum juga siuman, sampai akhirnya aku
tertidur di sampingmu. Marilah ke sini, Pangeran ?"."
Pangeran Panji Sigit mengerutkan keningnya dan
menggeleng. "Terima kasih, saya akan pergi ........."
"Ehhh, jangan pergi, Pangeran. Andika masih perlu
istirahat. Ke sinilah, mari rebah di sini, lupakan segala
kesedihan. Suminten akan menghiburmu, Pangeran,
Suminten mencintamu dengan seluruh jiwa raganya,
dengan seluruh hatinya, setiap helai bulu di tubuhnya
mencintamu, Pangeran ........."
Pangeran Panji Sigit bergidik. Bukan main wanita ini.
Siapa yang terjerat oleh wanita seperti ini, yang memiliki
wajah cantik manis, memiliki tubuh yang menggairahkan,
memiliki suara yang merangsang nafsu, kiranya takkan
mudah dapat melepaskan diri lagi.
Suminten sudah turun dari pembaringan sehingga kini
tidak ada bagian tubuhnya yang tertutup selimut. Ia lari
menghampiri dan memeluk pinggang pangeran itu dengan
kemanjaan yang memikat hati. "Pangeran, tak tahukah
engkau betapa siang malam Suminten selalu merindukanmu" Marilah ......... bersikapIah manis kepadaku, Pangeran, dan Suminten akan mencipta surga
untukmu." Ia meraih ke atas, berdiri jinjit untuk mencapai
bibir Pangeran Panji Sigit dengan mulutnya. Pangeran itu
membuang muka dan mendorong pundak Suminten
sehingga wanita ini terjengkang dan jatuh terlentang di atas
pembaringan. "Tak perlu andika merayuku! - Aku sudah tahu siapa dan
orang macam apa andika ini! Aku akan pergi dari istana


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkutuk ini, sekarang juga!" Sambil berkata demikian,
tanpa menoleh lagi Pangeran Panji Sigit sudah melangkah
menuju pintu untuk keluar.
"Engkau kasar sekali, Pangeran! Tak tahu dicinta orang!
Hi-hik, apa kaukira aku tidak tahu akan segala tugas
rahasiamu" Engkau mata-mata Panjalu, mengkhianati
kerajaan ramamu sendiri! Hihi-hik, kaukira akan mudah
saja keluar dari sini" Ratusan orang pengawal sudah
mengurung dan siap menanti tanda dariku untuk
menyambutmu dengan seratus batang anak panah, seratus
buah golok dan seratus batang tombak!"
Pangeran Panji Sigit telah tiba di pintu dan dibukanya
daun pintu kamar itu. Ia melihat betapa tak jauh dari situ,
di luar gedung telah berdiri barisan pengawal yang
mengurung gedung itu dengan senjata lengkap di tangan!
Wanita ini tidak membohong. Tak mungkin dia dapat lolos
dari tempat ini dan agaknya untuk menerobos penjagaan
demikian ketat merupakan hal yang berbahaya sekali. Ia
menoleh dan melihat betapa Suminten sudah mengenakan
pakaiannya, kini sedang memasang hiasan daun telinga
sambil miringkan muka yang manis itu, yang memandangnya dengan kerling tajam dan senyum
mengejek. Betapa ayu dan luwesnya wanita ini! Kalau
bukan selir ramandanya dan bukan seorang wanita yang
berwatak iblis! Tiba-tiba Pangeran Panji Sigit tersenyum dan sinar
matanya berkilat. Sekali melompat dia telah berada di dekat
wanita itu yang memandangnya dengan mata terbelalak.
Agaknya Suminten dapat melihat sinar mata itu dan
terkejut. "Engkau ......... mau apa ?"..?" tanyanya dengan mata
terbelalak. "Tidak apa-apa, hanya akan keluar dengan aman dari
istana ini, bahkan dari Kerajaan Jenggala, dan engkau yang
akan menjadi pengawalku sampai aku terbebas dari
ancaman orang-orangmu!"
"Apa ......... ?" Akan tetapi seruan Suminten terpaksa
berhenti karena Pangeran Panji Sigit telah menjabak
rambutnya, rambut yang halus hitam dan panjang, yang
amat lemas mengkilap karena setiap hari dikeramasi air
bunga dan diminyaki yang harum dan selalu dikagumi
setiap orang pria yang pernah merasai kenikmatan
menemani wanita ini di kamarnya. Kini rambut itu
dijambak dengan kasar dan hampir Suminten tak dapat
percaya akan kenyataan ini. Seluruh tubuhnya telah ia
sediakan, dengan rela hendak ia serahkan kepada pemuda
tampan ini, tubuhnya yang dapat meruntuhkan kerajaan
yang ia yakin akan diperebutkan oleh laksaan orang pria.
Akan tetapi sekali ini sama sekali tidak ada pengaruhnya
terhadap pangeran yang mengingatkannya akan Pangeran
Panji Rawit ini, yang sekaligus merampas hatinya,
merampas cinta kasihnya yang selamanya belum pernah ia
jatuhkan kepada seorang pria kecuali kepada mendiang
Pangeran Panji Rawit. Baru sekali ini, semenjak Pangeran
Panji Rawit, ada pria yang menolak tubuhnya, namun yang
sekaligus malah membangkitkan gairahnya karena penolakan itu. "Tidak perlu ribut-ribut. Mungkin kalau engkau
berteriak, para anjing pengawalmu itu akan mengeroyokku
sampai tewas, akan tetapi sebelum mereka sempat
melakukan hal itu, lebih dulu aku akan memukul pecah
kepalamu! Engkau menurut raja, kawal aku sampai lolos
dari kerajaan dan aku tidak akan membunuhmu, biarpun
engkau sudah sepatutnya dibunuh!" Sambil berkata
demikian, Pangeran Panji Sigit lalu menggandeng tangan
Suminten keluar dari kamar itu. Suminten yang maklum
bahwa kalau ia melawan, tentu pangeran ini tidak akan
segan-segan untuk membunuhnya, menjadi pucat mukanya,
menggigit bibirnya dan mendesis,
"Engkau kejam, engkau tak tahu dicinta orang. Ada jalan
ke surga, mengapa memilih neraka?"
"Tak usah banyak rewel. Surgamu merupakan jalan
menuju neraka bagiku!" jawab Pangeran Panji Sigit sambil
menarik tangan ibu tirinya itu keluar dari gedung.
"Pangeran Panji Sigit, engkau dikhianati isterimu dan
sahabatmu, mau apa engkau pergi dari sini" Apakah engkau
hanya ingin dijadikan bahan tertawaan dan ejekan orang"
Tinggal saja di sini sebagai seorang pangeran terhormat dan
kalau engkau ingin menjadi pangeran pati ?"."
"Cukup, tak usah banyak cakap lagi dan jangan mencoba
untuk melawan. Aku tidak main-tnain dan engkaulah
orangnya yang akan tewas lebih dahulu, kalau ada yang
menghalangi aku." Suminten mengeluarkan isak tertahan dan tidak bersuara
lagi. Para pengawal yang melihat Suminten keluar
bergandeng tangan dengan Pangeran Panji Sigit, tidak
menjadi heran karena memang selir muda ini sudah biasa
menggandeng para pangeran muda yang tampan. Akan
tetapi keadaan dua orang muda itu yang mengherankan
para pengawal. Pakaian mereka kusut, rambut juga belum
disisir, bahkan agaknya baru bangun tidur. Wajah dua
orang itu sama sekali tidak membayangkan kemesraan,
bahkan kelihatan kaku dan keruh. Namun para pimpinan
pengawal tidak berani bertanya, hanya memimpin anak
buahnya untuk memberi hormat kepada selir muda yang
sesungguhnya menjadi junjungan pertama mereka itu.
"Jaga di sini baik-baik, aku hendak pergi berjalan-jalan
sebentar dengan puteranda pangeran," kata Suminten,
suaranya tenang dan biasa sungguh pun mukanya keruh.
Pangeran Panji Sigit menarik napas lega. Ia tadi sudah siap
untuk memukul pecah kepala wanita ini lebih dulu sebelum
menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi, ucapan Suminten
itu membuka jalan ke arah kebebasan baginya dan ia terus
menggandeng tangan wanita itu yang mulai terasa dingin,
keluar dari lingkungan istana.
Akan tetapi Pangeran Panji Sigit terlalu memandang
rendah Suminten dan anak buahnya. Biarpun tadi Suminten
mengeluarkan kata-kata yang membuka jalan kebebasan
baginya, namun tanpa ia ketahui, Suminten telah membuat
gerakan dengan jari tangannya yang dilihat oleh pimpinan
pengawal. Gerakan jari tangan yang merupakan isyarat
bahwa ada sesuatu yang tidak beres sehingga begitu
Suminten dan pangeran muda itu lewat, pemimpin
pengawal segera lari menemui Pangeran Kukutan dan
melaporkan hal itu. "Hamba khawatir sekali, gusti. Kepergian beliau agaknya
bukan sewajarnya, melihat dari wajah beliau yang keruh,"
demikian pengawal itu menutup pelaporannya.
Pangeran Kukutan mengerutkan keningnya. Hatinya
sebetulnya sudah merasa tidak senang sekali melihat betapa
Suminten mengeram Pangeran Panji Sigit dalam kamarnya.
Dia bukan seorang pecemburu. Tidak, terhadap Suminten
dia tidak bisa merasa cemburu lagi. Mereka sudah saling
mengenal dan saling bersepakat untuk mendapat kebebasan
sepenuhnya dalam memilih kekasih. Setiap malam wanita
itu boleh saja berganti pria yang menemaninya. Akan tetapi
Pangeran Panji Sigit ini lain lagi. Bukankah pangeran muda
itu satu-satunya pangeran yang amat disayang ramandanya"
Bukankah sebelum ia diangkat menjadi pangeran pati,
sebetulnya ramandanya lebih condong untuk memilih
Pangeran Panji Sigit menjadi pangeran pati atau, pangeran
mahkota" Kini Suminten merayu pangeran yang menjadi
musuh utama atau menjadi saingan terberat baginya itu.
Setelah berhasil memecah-belah empat orang itu, mengapa
tidak turun tangan menangkap Pangeran Panji Sigit"
Saatnya tepat, kesempatan terbuka untuk menjatuhkan
tuduhan bahwa pangeran itu mempunyai niat memberontak
dan berkhianat kepada kerajaan, dengan bukti terbunuhnya
banyak pengawal di tangan Pusporini dan Joko Pramono!
Juga banyak saksi-saksi, di antaranya yang terpenting
adalah pembantunya yang menyamar sebagai Ki Mitra,
yang telah mendengar akan siasat mereka sebagai
pembantu-pembantu Darmokusumo dan Tejolaksono dari
Panjalu, menjadi mata-mata menyelidiki keadaan kerajaan
ramandanya sendiri! "Biar kukejar dan tangkap keparat itu" Pangeran
Kukutan berkata lalu cepat pergi, tentu saja bukan untuk
menangkap dengan kedua tangan sendiri karena dia merasa
jerih terhadap Pangeran Panji Sigit yang kini telah menjadi
seorang pria yang amat sakti itu. Dia pergi menemul Cekel
Wisangkoro yang kebetulan sekali malam tadi datang
berkunjung secara diam-diam dan kini berada di dalam
kamar yang disediakan untuk tamu-tamu rahasia yang
dihormati. Dengan mudah Pangeran Panji Sigit dapat lolos keluar
dari istana, akan tetapi baru saja ia menggandeng Suminten
keluar dari pintu gerbang lapis ke tiga, tiba-tiba berkelebat
sesosok bayangan kuning dan dari atas pintu gerbang itu
menerjangnya dengan sebatang tongkat yang berbentuk ular
hitam. Serangan ini cepat sekali datangnya, tongkat
berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan suara
mengaung sebagai tanda betapa cepat dan kuatnya tongkat
digerakkan menghantam ke arah kepala Pangeran Panji
Sigit! "Pengecut!" Pangeran muda itu mengelak dan menjatuhkan diri ke belakang terus berjungkir balik dan
meloncat agak jauh untuk menghindarkan diri dari
ancaman maut itu. Ketika ia berdiri tegak memandang, ia
melihat Pangeran Kukutan sudah menggandeng tangan
Suminten, dan di depannya menghadangi seorang kakek
tinggi kurus bermuka halus kemerahan, akan tetapi
hidungnya seperti paruh kakaktua, rambutnya yang penuh
uban terurai panjang sampai di pinggangi jubahnya kuning
baru dan bersih akan tetapi kakinya telanjang dan tongkat
hitam yang berbentuk ular itu memang sesungguhnya
seekor ular besar yang sudah dikeringkan! Di sebelah kanan
kakek mi berdiri Ki Patih Warutama yang tersenyum
mengejek sehingga Pangeran Panji Sigit menjadi marah
sekali. "Ah, kiranya persekutuannya telah lengkap sekarang!"
kata Pangeran Panji Sigit. "Aku ingin sekali mendengar apa
yang akan dikatakan ramanda sinuwun. kalau dapat
menyaksikan selirnya, patihnya, dan puteranya untuk
menjatuhkan aku, dibantu oleh seorang pendeta palsu!"
"Pangeran Panji Sigit, memang akan menarik sekali
kalau andika mendengar perintah sang prabu yang baru saja
dijatuhkan kepada saya, yaitu bahwa saya diberi wewenang
untuk membasmi dan membunuh andika dan tiga orang
sekutu andika yang telah berkhianat dan menjadi mata-
mata yang menyelidiki Kerajaan Jenggala!"
"Omongan keji dan bohong! Andaikata kanjeng rama
mengeluarkan perintah seperti itu pun hanya karena fitnah
yang kalian jatuhkan! Kalian adalah persekutuan busuk
yang hendak merampas Kerajaan Jenggala dengan cara keji
dan halus, membunuhi para ponggawa setia, menjauhkan
kanjeng rama dari hamba-hamba setia agar dapat kalian
kuasai! Aku tahu! Ya, aku tahu akan semua kepalsuan
kalian!" "Keparat bermulut lancang kau!" Pangeran Kukutan
memaki. "Paman patih dan Paman Cekel, harap lekas turun
tangan membunuh pengkhianat ini!"
Cekel Wisangkoro, kakek itu, terkekeh dan kembali ia
menerjang maju dengan tongkat ularnya. Pangeran Panji
Sigit yang sudah menjadi marah dan nekad sekali
melakukan perlawanan, mengelak ke kiri sambil balas
memukul dengan sebuah tamparan ke arah kepala kakek
itu. Namun, Cekel Wisangkoro adalah murid yang sakti
dari Wasi Bagaspati, sambil terkekeh ia menangkis pukulan
itu dengan tangan kirinya sehingga kedua lengan itu beradu,
membuat sang pangeran terjengkang ke belakang sambil
terhuyung, sedangkan kakek itu hanya mundur dua
langkah. "Heh-heh, Pangeran Muda, lebih baik menyerah dan siap
menerima hukuman!" kata kakek itu dengan nada
memandang rendah. "Paman Cekel, bunuh saja!" bentak Ki Patih Warutama
yang telah berunding dengan Pangeran Kukutan dan
mendapatkan kata sepakat untuk membunuh Pangeran
muda yang berbahaya ini. Dia sendiri sudah menerjang
maju, gerakannya seperti kilat menyambar, bahkan ki patih
ini sekali maju telah mencabut kerisnya yang mengeluarkan
sinar kehijauan, yaitu keris pusaka Naga-kikik yang berluk
tujuh. Melihat sambaran sinar hljau ini, Pangeran Panji
Sigit terkejut dan kembali ia terpaksa membuang diri ke
belakang dan melakukan loncatan berjungkir-balik. Namun
baru saja ia berdiri tegak, sinar hitam tongkat Cekel
Wisangkoro sudah menyambar dari arah samping. Biarpun
pangeran ini cepat mengelak, namun ujung tongkat itu
masih menciumnya, membuatnya jatuh terguling. Betapa
pun juga, pangeran muda ini bukan seorang lemah dan
memiliki keberanian yang didorong kenekadan luar biasa.
Ia mengerti bahwa lawan-lawannya akan mengirim
serangan maut, maka begitu tubuhnya terjatuh, ia
menggunakan kedua tangan menekan tanah dan sambil
mengeluarkan teriakan keras, ia mencelat ke atas mengirim


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tendangan ke arah lawan terdekat, yaitu Ki Patih
Warutama! Serangan ini tidak terduga-duga datangnya
sehingga biar pun ki patih yang sakti itu cepat miringkan
tubuh, pahanya masih saja kena didupak sehingga ia pun
terpelanting jatuh berbareng dengan terpelantingnya tubuh
Pangeran Panji Sigit yang kembali kena dihantam
pundaknya dengan tongkat ular di tangan Cekel
Wisangkoro! Dengan gemas Pangeran Kukutan meloncat maju
dengan pedang di tangan, siap ditabaskan ke batang leher
adik tirinya, akan tetapi tiba-tiba terdengar jerit Suminten,
"Jangan bunuh! Tangkap saja dia!"
Suara selir raja ini amat berpengaruh sehingga pada saat
itu, tiga orang yang sudah siap dengan senjata di tangan itu,
menarik kembali senjata mereka dan Ki Warutama
menubruk ke depan, menelikung kedua lengan Pangeran
Panji Sigit yang masih merasa lumpuh tangannya karena
pukulan tongkat pada pundaknya. Ia dibelenggu dan
digiring kembali di dalam istana, kemudian atas perintah
Suminten, pemuda bangsawan itu dijebloskan ke dalam
kamar tahanan bawah tanah yang tersedia di dalam
lingkungan istana. Atas perintah yang sangat dari Suminten, pangeran
muda itu biarpun menjadi seorang tawanan namun ia
ditempatkan di dalam sebuah kamar di bawah tanah yang
cukup indah dan menyenangkan, sama sekali bukan sebagai
kamar tahanan, melainkan sebuah kamar tidur yang
lengkap dengan pembaringan indah dan sutera-sutera
berkembang menghias kamar. Akan tetapi, untuk mencegah
pangeran muda yang berani dan nekat ini memberontak
dan melarikan diri, kaki dan tangannya dibelenggu dengan
belenggu baja, bahkan lehernya juga dibelenggu sehingga
biarpun Pangeran Panji Sigit dapat bergerak bebas dalam
kamar, namun sukarlah baginya kalau hendak mencoba
melarikan diri. Pangeran Panji Sigit termenung di dalam kamar tahanan
itu. Hidangan dan minuman lezat yang disuguhkannya
tidak disentuhnya. Ia duduk termenung di atas pembaringannya dengan wajah pucat dan Pandang mata
yang suram, kening berkerut. Ia tidak merasa susah karena
menjadi tawanan, bahkan menghadapi kematian pun ia
tidak akan gentar. Ia merasa bahwa lebih baik mati
daripada hidup menanggung siksa batin yang hebat.
Isterinya, Setyaningsih yang amat dicintanya, telah berjina
dengan Joko Pramono! Ia terlalu mencinta isterinya dan
setelah kini ia renungkan, ia rela mengalah, ia rela tersiksa
asal isterinya berbahagia. Kalau isterinya menemukan
kebahagiaan dengan Joko Pramono, biarlah ia yang
mundur dan jalan terbaik untuk mundur mengalah adalah
mati! Kalau ia mati, berarti tidak akan ada kesukaran dan
halangan lagi bagi Setyaningsih untuk melanjutkan hasrat
hatinya berlangen-asmoro (bermain cinta) dengan Joko
Pramono dan dia pun tidak akan menderita batin lagi
karena kematian akan membebaskannya dari segala derita.
Akan tetapi, sebagai seorang satria, tentu saja la tidak boleh
mati begitu saja. Masih banyak sekali tugas menanti,
terutama sekali menyelamatkan ramandanya dan Kerajaan
Jenggala dari cengkeraman oknum-oknum jahat.
"Duhai Adinda Setyaningsih, betapa tega hatimu ......... "
Ia mengeluh panjang dan pada saat itu masuklah sesosok
bayangan melalui pintu yang dikunci dari luar. Di dalam
kamar itu mulai gelap karena Pangeran Panji Sigit tidak
menyalakan lampu, sedangkan senja telah mendatang.
Maka ia menjadi kaget ketika kamar itu tiba-tiba menjadi
terang oleh lampu yang dibawa masuk orang. Ia cepat
menengok dan kembali ia membuang muka ketika melihat
bahwa yang datang adalah Suminten!
Malam itu Suminten berusaha benar-benar untuk
mengambil hati Pangeran Panji Sigit. Ia bersolek dengan
teliti dan pada saat itu ia tampak amat cantik. Kulitnya
yang halus hitam manis itu kelihatan seperti keemasan,
halus lembut dan seolah-olah kehangatan terpancar keluar
dari balik kulit itu. Ketika ia melangkah masuk, kamar itu
serta merta penuh dengan keharuman yang amat sedap dan
seolah-olah segala macam bunga yang harum dikumpulkan
dan sarinya berada di tubuh wanita ini. Rambutnya yang
hitam panjang dan halus mengkilap itu disisir rapi, sebagian
disanggul dan dihias pengikat rambut dari emas bertabur
batu permata, ujung rambut masih terurai panjang sampai
ke pinggulnya. Sepasang telinganya hinggap di belakang
rambut pelipis bagaikan sepasang kupu-kupu menghisap
madu bunga, menjadi lebih manis lagi karena dihias anting-
anting panjang terbuat dari mutiara yang diuntai seperti
embun berantai tergantung di ujung daun. Alisnya amat
hitam, menjerit bukan dibuat, memang sudah sewajarnya
rambut alis itu tumbuh amat rapi melindungi sepasang
matanya yang seolah-olah selalu mengeluarkan api gairah
asmara yang membakar. Sepasang mata dengan bulu mata
lentik panjang, yang selalu agak meredup, apalagi di saat
itu, di waktu hatinya bergelora oleh asmara, mata itu
kelihatan seperti mata yang mengantuk dan justeru
keredupan matanya inilah yang menambah daya tariknya
yang luar biasa. Hidung kecil mancung itu amat bagus
bentuknya, akan tetapi bukan apa-apa kalau dibandingkan
dengan mulut di bawahnya. Memang keistimewaan
Suminten, di samping seluruh bagian tubuhnya yang
menarik, terutama sekali terletak pada mata dan mulutnya.
Mata dan mulutnya itu merupakan sumber-sumber yang
penuh api membara, api yang dapat membakar nafsu berahi
setiap orang pria. Mata dan mulut yang indah bentuknya
dan membayangkan ketelanjangan yang menantang!
Suminten menghampiri Pangeran Panji Sigit yang
membuang muka. Ketika melangkah maju, pinggulnya
yang ramping seperti patah-patah dan pinggulnya yang
menonjol keras mengimbangi dadanya itu bergerak-gerak.
"Duh Pangeran ........" Suminten merapatkan tubuhnya,
sengaja menekankan dadanya yang membusung itu ke
pangkal lengan Pangeran Panji Sigit suaranya menggetar
ketika memanggil napasnya agak terengah karena begitu
menyentuh pangeran itu, darahnya telah mendidih,
nafasnya menggelora menuntut pelepasan. Tangan kirinya
merangkul pundak, tangan kanannya menggerayang dada
pangeran muda itu. "Duh Pangeran, mengapa begini jadinya ......... ?""
Suminten mengeluh lagi dan sekali ini dia tidak berpura-
pura, bukannya merayu sembarang merayu, melainkan
secara sungguh-sungguh karena dia benar-benar jatuh cinta
kepada pemuda ini. Dua titik air mata yang mengalir di atas
pipinya bukanlah air mata palsu, melainkan timbul dari
hatinya yang merasa nelangsa mengapa pemuda ini tidak
mau menyambut cinta kasihnya, bahkan rela menjadi
tawanan dan rela pula menghadapi maut.
Tanpa menoleh, Pangeran Panji Sigit berkata kasar,
"Mau apa engkau, wanita iblis" Pergilah, aku sudah
tertawan, mau bunuh atau mau siksa, terserah. Aku tidak
takut mati!" "Pangeran Panji Sigit, butakah engkau, wahai pria
pujaan hamba" tidak tahukah atau memang pura-pura tidak
tahu betapa Suminten mencintamu dengan seluruh jiwa
raganya" Aduh Pangeran, sungguh, aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu! Tunjukkanlah bahwa
engkau seorang pria yang suka kepadaku, akan membalas
cinta kasihku, dan, percayalah, aku dapat membuat engkau
menjadi Putera Mahkota Kerajaan Jenggala! Kelak, kalau
engkau sudah menjadi Raja Jenggala, aku Suminten akan
cukup puas kalau engkau tidak melepaskanku, akan selalu
mendampingiku, menguburku dengan timbunan cinta
kasihmu, sayang ?".."
Pangeran Panji Sigit adalah seorang manusia biasa,
seorang pria yang masih muda. Menghadapi cumbu rayu
seorang wanita muda cantik jelita seperti Suminten ini
benar-benar terasa amat berat baginya untuk mempertahankan hatinya. Ia merasa betapa daging lembut
mendekap di bahunya, merasa betapa jantung di balik dada
itu berdenyar-denyar penuh hembusan nafsu berahi,
mendengar getaran penuh kemesraan dalam suara yang
berbisik-bisik itu, merasa hembusan napas yang hangat dari
mulut yang merah menantang, merasa betapa jari-jari
tangan yang membelai dada dan lehernya mengeluarkan
getaran-getaran yang membuat dia merinding. Dapatkah
kita menyalahkan Pangeran Panji Sigit kalau jantungnya
sendiri mulai berdebar" Apalagi mendengar bujukan yang
amat muluk itu. Dia akan dijadikan putera mahkota, calon
pengganti ramandanya! Akan tetapi, ia mengingat akan
kekejian wanita ini dan tanpa menoleh ia membentak,
"Tak perlu membujukku, pergilah kau wanita berhati
palsu!" "Aduh, Pangeran Panji Sigit. Tak dapatkah engkau
membedakah antara cinta sejati dan cinta palsu" Pangeran,
kalau memang cintaku palsu, tentu aku tidak berani datang
mengunjungimu di saat ini. Engkau dan aku tahu bahwa
kalau engkau kehendaki, dengan mudah engkau akan dapat
membunuhku di saat ini tanpa ada yang dapat
menolongnya. Akan tetapi aku tidak perduli.. Bunuhlah
kalau kau mau membunuhku; karena kalau engkau
menolak cintaku, berarti engkau sudah setengah membunuhku! Duh Pangeran, dari debar jantungmu, aku
tahu bahwa engkau bukan, seorang pria berdarah dingin.
Aku tahu bahwa di sudut hatimu, engkau juga mancinta
Suminten........" "Tidak pergilah ......... !!"
Akan tetapi Suminten telah merasa betapa di balik kulit
dada bidang yang dibelai ujung jari tangannya itu berdebar,
betapa rongga dada itu bergelora, kulitnya menjadi panas,
urat-urat di leher pangeran itu menjadi berdenyut-denyut,
mukanya kemerahan dan pandang matanya merenung,
nafasnya memburu. Semua ini menjadi tanda akan
bangkitnya nafsu berahi yang menjalar dari tubuhnya
kepada pangeran itu. Melihat tanda-tanda yang amat
dikenalnya ini, Suminten tersenyum dan cepat ia menarik
leher pangeran itu dengan kedua lengannya yang bulat
panjang, seperti dua ekor ular lengannya. membelit leher,
bergantung sehingga muka pangeran itu menunduk dan
dengan sepenuh cinta kasih dan kemesraannya, Suminten
mencium bibir Pangeran Panji Sigit dengan mulutnya.
Begitu mesra belaian dan ciuman wanita ini sehingga
pangeran muda itu kehilangan akal dan kesadaran, himpir
secara otomatis Pangeran Panji Sigit membalas ciuman itu
dengan napas terengah karena dorongan nafsu berahi yang
dibangkitkan oleh Suminten yang amat pandai merayu.
Pada saat mulut mereka berciuman, Suminten tak dapat
menahan hatinya, sehingga naiklah gelak tawa dari dalam
dadanya yang tertahan di mulut yang sedang berciuman.
Suara ini, suara gelak...tertahan ini, memasuki telinga
Pangeran Panji seperti suara ketawa iblis sendiri..yang
mengejek dan menyorakinya. Jiwa satria dalam diri
Pangeran Panji Sigit meronta mendengar ini, kesadarannya
kembali dan ia cepat merenggut mukanya dari pagutan
wanita itu, dari ciuman yang sepertl gigitan seekor lintah.
Kemudian, terbawa oleh rasa sesal mengapa ia tadi
melayani belaian dan cumbuan Suminten, Pangeran Panji
Sigit menggerakkan tangan kanannya menampar pipi yang
halus, harum dan hangat itu.
"Plakkk ......... !!"
Tamparan itu keras sekali dan tubuh Suminten
terpelariting lalu roboh terguling di atas lantai. Wanita itu
menjerit kecil, kini bangkit dengan muka merah dan pipi
sebelah kirinya membiru. Ia mengelus pipi kirinya dengan
tangan kiri, menengadah memandang pangeran itu dan
......... tersenyum! "Pangeran, tamparan keras itu tidak dapat menghapus
kebahagiaan hatiku telah merasai belaianmu tadi.
Pangeran, marilah ......... marilah ke sini ......... kita saling
mencinta, tak perlu disangkal lagi mari bersama Suminten,
Pangeran Kemudian, engkau akan membunuhku, atau akan
lebih suka menjadi calon raja, terserah kepadamu ......... aku
siap menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu, Pangeran
......... " Pangeran Panji Sigit terbelalak memandang wanita yang,
setengah rebah di atas lantai itu. Ketika terguling tadi,
rambut Suminten terlepas sanggulnya dan terurai kacau,
kembennya. merosot dan kainnya tersingkap sampai ke
paha. Tubuh yang ramping padat itu meliuk-liuk, seperti
seekor ular kepanasan, penuh daya memikat sehingga ada
dorongan hasrat di hati Pangeran Panji Sigit untuk
melompat, menerkam wanita itu dan melahap hidangan
yang disediakan untuknya dengan kerelaan yang menggila,
bahkan hampir mengharukan! Wanita ini, betapa pun jahat
dan kejinya, benar-benar mencintanya, bukan hanya cinta


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nafsu, melainkan cinta tulus ikhlas yang aneh, cinta yang
didasari kesiapan untuk berkorban apa juga.
Akan tetapi saat itu Pangeran Panji Sigit sudah sadar
betul sehingga semua dorongan nafsu berahi telah dapat ia
tolak dan lenyapkan. Ia memandang dan sinar matanya
menjadi dingin sekali. Wanita ini telah mencelakakan
ramandanya, telah mencelakakan kerajaan, telah melakukan banyak kekejaman, menyebabkan terbasminya
keluarga Ki Patih Brotomenggala, menyebabkan sengsaranya permaisuri dan banyak orang tak berdosa
menerima hukuman bahkan banyak pula yang ditewaskan.
Biarpun dari luar keilhatan seperti seorang wanita yang
amat cantik dan gerak-geriknya selalu membetot semangat
dan cinta kasih pria, namun sesunggahnya iblis sendiri yang
bersembunyi di balik segala keindahan tubuh wanita ini.
"Suminten, tidak ada gunanya lagi membujuk. Aku tidak
akan terpikat olehmu karena aku merasa yakin bahwa
engkau sesungguhnya adalah seekor ular beracun, seorang
wanita yang menjadi alat Iblis untuk menggoda dan
menyeret manusia ke lembah kehinaan. Aku tidak mau
membunuhmu karena engkau adalah selir kanjeng rama,
akan tetapi aku pun tidak akan sudi lagi menjamahmu
apalagi mencintamu karena setiap sentuhan akan mendatangkan dosa dan noda bagiku. Jiwamu rendah
sehingga tubuhmu menjadi kotor menjijikkan, lebih baik
seribu kali mati daripada menuruti cinta kasihmu yang hina
dan rendah!" Wajah Suminten menjadi pucat. Setelah kini yakin
bahwa cinta kasihnya tidak akan terbalas pemuda yang
dipujanya dan dicintanya ini, hatinya seperti disayat-sayat
pisau dan terasa perih sekali. Sakit hati menimbulkan
kebencian dan dendam. Bagi seorang seperti Suminten, mudah saja merubah
cinta kasih berkobar menjadi benci yang mendalam. Ia
bangkit, membenarkan sanggulnya, merapikan pakaiannya,
sikapnya juga dingin sekali. Sejenak ia berdiri tegak
memandang wajah pangeran itu, menahan isak dengan
napas dihela panjang, kemudian berbalik yang terdengar
seperti desis seekor ular,
"Aku bisa mencinta bisa pula membenci, bisa
mendatangkan nikmat bisa pula mendatangkan derita!
Kaukira dapat menentang kehendakku" Kita sama lihat
saja, akan datang saatnya engkau bertekuk lutut di depanku,
meratap mohon kasihan kepadaku!" Setelah berkata
demikian, Suminten keluar dari kamar tahanan itu.
Pangeran Panji Sigit sejenak termenung, kemudian
menghela napas dan duduk di atas pembaringan. Ia
mendengar suara Suminten di luar kamar, agaknya
bercakap-cakap dengan penjaga. Namun dia tidak perduli.
-oo(mch-dwkz)oo- "Akan tetapi, dua orang muda itu, Pusporini dan Joko
Pramono, memiliki kesaktian yang luar biasa!" kata Ki
Patih Warutama sambil mengerutkan keningnya yang tebal.
Mereka sedang berunding. Ki Patih Warutama,
Suminten yang duduk di kursi paling tinggi dengan sikap
seperti seorang ratu, Pangeran Kukutan dan di situ
menghadap, pula Cekel Wisangkoro dan dua orang tokoh
sakti lainnya yang sudah kita kenal yaitu Ni Dewi
Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Biarpun tidak atau belum
berani berkunjung ke Jenggala secara berterang, namun kini
tokoh-tokoh anak buah Wasi Bagaspati dan Biku Janapati
sudah seringkali secara diam-diam, berkunjung ke Jenggala,
bahkan telah diterima, sebagai sekutu oleh Suminten,
Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama yang
merupakan tiga serangkai yang pada saat itu memegang
kendali Kerajaan Jenggala.
"Ha-ha-ha, hanya dua orang bocah, mengapa begitu
dikhawatirkan" Serahkan saja kepada Ki Kolohangkoro,
akan kutangkap mereka berdua dengan sebelah tanganku!"
kata Ki Kolohangkoro yang sudah biasa menyombongkan
diri dan bersikap kasar kepada slapa pun juga.
"Boleh jadi Ki Kolohangkoro agak sombong, akan tetapi
kurasa, kalau hanya dua orang pemuda itu saja, tentu dia
dapat mengalahkannya. Andaikata masih terlalu berat
baginya, di sini ada aku dan ada pula Kakang Cekel
Wisangkoro. Selain itu di sini banyak terdapat pengawal-
pengawal yang cukup kuat, mengapa khawatir?" kata Ni
Dewi Nilamanik sambil mengerling tajam ke arah Ki Patih
Warutama yang tampan dan gagah itu.
Ki patih yang gagah itu sekali ini tidak melayani lirikan
wanita cantik yang mengandung tantangan bagi kejantanannya. Dia mengerutkan alisnya dan berkata,
"Saya sama sekali tidak hendak merendahkan kesaktian
andika bertiga yang sudah saya ketahui dengan baik. Akan
tetapi, saya telah menyaksikan pula malam tadi ketika
Pusporini dan Joko Pramono dikeroyok oleh barisan
pengawal pilihan. Sepak terjang mereka hebat bukan main
dan ......... dan agaknya ......... saya sendiri belum tentu
dapat menandingi mereka. Memang kalau andika bertiga
yang maju, saya tidak perlu khawatir lagi, hanya ......... ah,
andaikata kami bisa mendapat kunjungan Paman Wasi
Bagaspati sendiri atau Paman Biku Janapati, barulah hati
saya akan menjadi lega karena yakin bahwa hanya beliau-
beliau itulah yang akan dapat menundukkan mereka berdua
tanpa ragu lagi." Ni Dewi Nilamanik juga mengerutkan alisnya yang
menjelirit hitam akan tetapi bukan sewajarnya melainkan
buatan, kemudian ia berkata penuh penasaran,
"Mengapa Ki Patih demikian berkecil hati" Sesungguhnya, kalau saya tidak salah ingat, saya dan Ki
Kolohangkoro pernah menghadapi dua orang muda yang
bernama Joko Pramono dan Pusporini itu, dan kami pernah
menawan mereka dengan amat mudah!"
Ki Patih Warutama mengangkat mukanya memandang
dan tercengang. "Benarkah itu". Ah, kalau memang sudah
terbukti andika dapat mengalahkannya, itulah baik sekali!"
Ki Kolohangkoro yang ingatannya tidak setajam ingatan
Ni Dewi Nilamanik, dengan wajah bodoh bertanya,
"Bunda Dewi, yang manakah mereka itu?"
"Ihh, apakah andika tidak ingat lag?" Ni Dewi
Nilamanik mencela. Biarpun usia Ki Kolohangkoro lebih
tua dari Ni Dewi Nilamanik, akan tetapi ia selalu menyebut
wanita cantik genit itu "Ibunda Dewi", hal ini adalah karena
pertama, Ni Dewi Nilamanik adalah kekasih Wasi
Bagaspati, dan kedua karena Ki Kolohangkoro menganggap
diri sendiri sebagai penitisan Sang Bathara Kala sedangkan
Ni Dewi Nilamanik dianggap sebagai penitisan Sang
Bathari Durgo, maka ia menyebutnya Ibunda Dewi.
Raksasa yang menyeramkan itu menggeleng kepalanya
sehingga rambutnya yang panjang dan gimbal bergoyang-
goyang. "Sudah terlalu banyak orang muda kita tangkap,
mana bisa saya Mengingat mereka satu-satu?"
"Hemm, ingatkah engkau akan pertemuan kita dengan
paman guruku, Paman Resi Mahesapati di dalam hutan
itu?" Raksasa itu membelalakkan matanya yang sudah lebar,
lalu menyambar cawan berisi minuman tuwak yang
disediakan untuknya, menggelogok isinya sampai kosong,
kemudian berkata, "Ibunda maksudkan kakek jambel yang
membawa batok kelapa dan sapu lidi itu" Ihhh, tentu saja
aku masih ingat!" Raksasa itu menggerakkan pundaknya
seperti orang kedinginan karena ia merasa serem kalau
teringat akan kakek itu. "Nah, waktu itulah kita menawan Joko Pramono dan
Pusporini yang terpaksa kita tinggalkan karena pertemuan
kita dengan paman guru itu."
"Oh-oh, ha-ha-ha! Mereka itu" Ah, mereka hanyalah
bocah-bocah yang rupawan saja, biarlah kalau mereka
datang, akan kutangkap mereka!"
Ki Patih Warutama memandang Ni Dewi Nilamanik
dengan pandang mata penuh selidik.
"Jadi ketika itu mereka ditolong olehpaman guru andika
yang bernama Resi Mahesapati" Apakah paman guru
andika itu sakti mandraguna?"
"Paman guru Mahesapati" Ihh, mengerikan sekali!
Kesaktiannya seperti dewa! Kiranya setingkat dengan
kesaktian Sang Wasi Bagaspati sendiri!" jawab wanita itu.
Ki Patih Warutama mengangguk-angguk. Dia sudah
menyaksikan kehebatan sepak terjang dua orang muda itu
dan dalam urusan ini dia tidak mau bersikap sembrono
seperti Ki Kolohangkoro yang memandang rendah semua
urusan. "Kalau begitu, siapa tahu kalau mereka lalu menjadi
murid kakek sakti itu,"
"Aihhh ......... Kalau begitu ......... memang mengkhawatirkan !" Ni Dewi Nilamanik berkata dan ketika
mendengar kemungkinan dua orang muda itu menjadi
murid Resi Mahesapati yang amat ditakutinya, Ki
Kolohangkoro juga diam saja, tidak lagi berani membual.
Suminten yang tidak mengerti tentang kesaktian dan
yang sejak tadi diam saja mendengarkan para pembantunya
berunding, tiba-tiba membuka mulut berkata,
"Mengadu kesaktian saja memang meragukan, akan
tetapi jika menggunakan siasat kurasa tidak akan sukar
menjatuhkan mereka, betapapun sakti mereka itu."
Semua mata memandang dan dalam pandang mata Ni
Dewi Nilamanik terbayang kekaguman. Wanita ini sudah
cukup berpengalaman, sudah banyak bertemu dengan pria
atau wanita yang bagaimana pun. Akan tetapi baru sekali
ini ia kagum melihat seorang wanita muda yang lemah
tiada kesaktian namun dapat mengangkat dirinya secara
sedemikian hebatnya, dari seorang abdi sampai menjadi
orang yang paling berkuasa di Kerajaan Jenggala! Kini,
wanita muda ini sengaja mengumpulkan mereka untuk
berunding menghadapi dua orang muda yang sakti degan
sikap sedemikian dingin, penuh perhitungan, dan matang!
Dibandingkan dengan kematangan wanita muda ini, akal
dan pikiran seorang kakek seperti Ki Kolohangkoro tiada
bedanya dengan seorang bocah saja!
Suminten sengaja memanggil para pembantunya,
langsung setelah ia keluar dari kamar tahanan, setelah gagal
ia merayu Pangeran Panji Sigit. Kini, mendengar betapa
orang-orang sakti ini seperti kehilangan akal mendengar
kemungkinan bahwa dua orang muda lawan mereka itu
benar-benar amat sakti dan murid Resi Mahesapati, dia
menjadi hilang sabar. "Kalau mereka datang, dan hal ini aku yakin pasti akan
terjadi, mereka itu tentu bermaksud untuk membebaskan
Pangeran Panji Sigit. Karena itu, kita bahkan sebaiknya
menggunakan pangeran itu sebagal umpan. Di dalam
penjara istana terdapat banyak alat-alat rahasia. Kalau kita
tempatkan pangeran itu di dalam kamar yang sudah
dipasangi perangkap, dan mereka datang, tentu akan
mudah kita menangkap mereka tanpa mengerahkan banyak
tenaga dan kerepotan lagi. Ada aku mendengar tentang
kamar tahanan yang lantainya dapat menjebloskan
penginjaknya ke dalam lubang di bawah tanah yang terbuat
dari-pada baja, tanpa pintu dan jendela. Kalau kita
menggunakan kamar itu ......... "
"Sayang hal itu tak mungkin dapat dilakukan karena
adinda ......... eh, si bedebah Panji Sigit itu pun tahu akan
rahasia kamar tahanan itu sehingga kalau para temannya
datang, dia tentu akan dapat dia tentu akan memperingatkan mereka," Pangeran Kukutan mencela.
Suminten tersenyum mentertawakan pendapat Pangeran
Kukutan ini. Ketika ia tersenyum dan giginya yang putih
mengkilat terkena cahaya lampu, semua yang hadir di situ
memandang kagum. Dalam senyum ini terkandung segala
yang mengagumkan dari diri atau pribadi Suminten karena
senyum ini membayangkan kecerdikan yang mengerikan di
samping kekejaman, keberanian dan ketenangan yang
tersembunyi di balik kecantikan dan kemanisan yang
mempesonakan. "Ah, Pangeran, mengapa kekurangan akal" Apa
sukarnya membuat Pangeran Panji Sigit pingsan" Dalam


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan pingsan dia dibaringkan dalam kamar itu
bukankah itu merupakan umpan yang amat baik" Setelah
mereka terjeblos ke dalam lubang jebakan, terkutung dalam
ruangan di bawah tanah itu, tinggal terserah kepada kita
tentang nasib mereka."
"Akan kuhujani anak panah! Eh, tidak, akan kusuruh
kumpulkan seratus ekor ular berbisa dan kumasukkan ular-
ular itu ke dalam ruangan di bawah itu!" Pangeran Kukutan
berkata dengan geram. Suminten menarik napas panjang. "Hemm, amat tidak
baik menurutkan hati panas. Hati boleh saja panas
membara, akan tetapi kepala harus tetap dingin agar kita
dapat menggunakan kepala untuk menciptakan buah
pikiran yang tepat. Mereka itu adalah orang-orang muda
yang amat berguna karena memiliki kesaktian, di samping
itu, Pangeran Panji Sigit adalah seorang putera terkasih
sang prabu, Setyaningsih dan Pusporini adalah adik-adik
Endang Patibroto yang menjadi isteri Ki Patih Tejolaksono
di Panjalu. Tidak baik kalau membunuh mereka begitu saja
karena mereka itu adalah orangorang yang berharga, orang-
orang yang penting dan masih banyak kegunaannya bagi
kita. Membunuh mereka begitu saja berarti menyia-nyiakan
kegunaan mereka. Kita laksanakan lebih dulu pancingan
sampai berhasil, setelah mereka berhasil terjebak baru dicari
jalan yang tepat?".."
"Saya amat kagum dan setuju dengan siasat itu. Harap
paduka jangan khawatir, kalau mereka telah terjebak, saya
mempunyai asap beracun untuk membuat mereka tak
berdaya sehingga mudah ditawan," kata Ni Dewi
Nilamanik. Demikianlah, dengan rencana yang dikemukakan
Suminten sebagai dasar, mereka dapat mempersiapkan
segala sesuatu untuk melaksanakan siasat itu. Mudah saja
bagi Ni Dewi Nilamanik untuk membikin pingsan
Pangeran Panji Sigit yang selain kalah jauh kedigdayaannya, juga sudah tertawan dan dibelenggu
sehingga tidak dapat melawan ketika asap beracun
memabukkan disemprotkan ke mukanya. Pangeran ini
roboh pingsan seperti orang tertidur dan sama sekali tidak
tahu bahwa dia digotong ke dalam sebuah kamar tahanan,
dibaringkan di atas sebuah pembaringan batu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, malam hari itu
juga, setelah berunding dan mendapat petunjuk-petunjuk
dari Ki Wiraman, tiga orang muda perkasa, Setyaningsih,
Pusporini, dan Joko Pramono, menyelundup memasuki
kota raja dengan niat menyerbu istana dan menolong
Pangeran Panji Sigit yang masih tertinggal di istana.
Malam itu gelap karena udara tertutup mendung. Tiga
bayangan berkelebat gesit sekali, berhasil meloncati pagar
tembok istana dan bagaikan tiga ekor burung saja, Joko
Pramono, Pusporini, dan Setyaningsih sudah melayang
turun ke dalam taman istana yang paling ujung. Mereka itu
sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedatagan
mereka memang sudah diduga, bahkan telah direncanakan
secara matang untuk menyambut mereka!
Joko Pramono selalu bergerak di sebelah depan sebagai
pelopor. Setyaningsih di tengah karena kalau dibuat
perbandingan, di antara mereka bertiga, Setyaningsih yang
paling lemah. Pusporini berada di belakang menjaga bahaya
tiba-tiba. Mereka berindap-indap bergerak maju, menuju ke
gedung tamu di mana Pangeran Panji Sigit selama ini
tinggal bersama isterinya.
Joko Pramono yang dapat bergerak seperti angin saja
tanpa mengeluarkan suara telah mengintai jendela pondok
tempat tinggal Pangeran Panji Sigit, lalu menoleh dan
memberi isyarat kepada Setyaningsih dan Pusporini . agar
jangan berisik. Mereka bertiga lalu berindap mengintai sinar
jendela.Ternyata pondok yang tadinya menjadi tempat
tinggal Pangeran Panji Sigit dan isterinya itu kini ditempati
oleh Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Cekel
Wisangkoro! Tiga orang sakti itu sedang duduk
mengelilingi meja dan bercakap-cakap dengan asyiknya.
Agaknya mereka itu sudah setengah mabuk karena di atas
meja tersedia banyak minuman keras dan percakapan
mereka sudah tidak karuan, tidak sopan sehingga
Setyaningsih dan Pusporihiyang mendengarnya menjadi
tersipu-sipu, merah mukanya dan gemas.
"Ha-ha-ha, lbunda Dewi. Kalau ingin mencari kepuasan
malam ini, marilah kulayani! Jarang sekali Ibunda
mengajak aku, dan aku tanggung Ibunda. Dewi akan puas
sekali!" kata Ki Kolohangkoro.
"Heh-heh, jangan percaya dia, Ni Dewi! Biarpun
tubuhnya tinggi besar, akan tetapi hal ini bukan
kesenangannya, mana bisa dia memberi kepuasan"
Kesenangannya hanya makan bocah. Mari kulayani
engkau, Ni Dewi. Aku peranakan Hindu aseli, dalam hal
itu tidak kalah oleh guruku, Bapa Wasi sendiri, heh-heh!"
kata Cekel Wisangkoro. "Hushh, kalian jangan ribut-ribut. Bukan waktunya
bersenang-senang. Bukankah kita ditugaskan menjaga
datangnya musuh-musuh yang akan menolong Pangeran.
Panji Sigit?" Tiga orang muda di luar jendela yang tadinya merasa
muak dan hendak pergi, kini mendengarkan dengan jantung
berdebar. "Aha! Panji Sigit sudah dikurung dalam kamar tahanan
batu di ujung barat; selain terjaga kuat juga sudah kita
pasangi alat-alat sehingga setiap usaha untuk menolongnya
berarti malah membunuhnya. Perlu apa khawatir?" kata Ki
Kolohangkoro dengan suara keras.
"Andaikata dapat membebaskannya, tak mungkin akan
dapat lolos dari pengejaran kita. Hayolah, Ni Dewi,
kaulayani aku ......... sudah tiga tahun aku tidak berdekatan
dengan wanita ......... " kata pula Cekel Wisangkoro.
Tiga orang muda perkasa itu tidak mau mendengarkan
lagi bahkan Joko Pramono sudah bergerak pergi
meninggaikan pondok itu dibayangi oleh Setyaningsih dan
Pusporini. Untung mereka mendengar percakapan itu
sehingga mereka tidak perlu lagi mencari-cari. Pangeran
Panji Sigit ditahan dalam kamar tahanan batu di ujung
barat! Selama mereka berada di istana, mereka sudah
melakukan penyelidikan, akan tetapi mereka hanya tahu
akan letak perumahan yang disediakan untuk tahanan
rahasia di lingkungari istana. Mereka tidak mungkin
menyelidiki keadaan kamar-kamar tahanan itu satu demi
satu, akan tetapi mereka tahu di mana letaknya kamar
tahanan batu di ujung barat.
Malam sudah larut sekali, keadaan, sudah sunyi tanda
bahwa semua penghuni istana sudah tidur. Hanya sekali
dua terdengar suara penjaga malam yang meronda. Joko
Pramono dan Pusporini, dibantu pula oleh Setyaningsih,
bersedakep di luar bangunan tahanan di ujung barat,
mengheningkan cipta dan mengerahkan aji penyirepan.
Dalam waktu yang tidak lama, keadaan di situ menjadi
makin sunyi karena belasan orang penjaga yang bertugas
menjaga di luar bangunan itu telah jatuh pulas semua,
terpengaruh oleh aji panyirepan yang amat kuat.
Tiga orang muda perkasa itu sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa aji panyirepan mereka tidak dapat
mempengaruhi beberapa orang yang memang sudah
bersiap-siap sebelumnya, tiga orang sakti yang bukan lain
adalah mereka yang tadi bercakap-cakap di dalam pondok
tempat tinggal Pangeran Panji Sigit!
Mereka ini, Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, dan
Ki Kolohangkoro, telah lebih dulu memasang aji penolak
sirep dan merekalah yang menjaga kamar tahanan siap
untuk menggerakkan alat rahasia yang terpasang di lantai
kamar! -oo0dw0oo- Jilid XXXVII SETELAH keadaan menjadi sunyi dan merasa yakin
bahwa semua penjaga telah pulas, Joko Pramono berbisik
kepada Pusporini dan Setyaningsih,
"Andika berdua menjaga di luar sini, biarkan saya sendiri
menyelidiki ke dalam."
Pusporini mengangguk, Memang sebaiknya demikian.
Merurut apa yang mereka dengarkan dalam percakapan
antara tiga orang tokoh sakti tadi, tempat tahanan ini
dipasangi alat-alat rahasia yang amat berbahaya. Jika
mereka semua masuk, sekali terjebak, mereka semua akan
celaka. Kalau hanya seorang; andaikata terjadi sesuatu,
yang berada di luar dapat saja sewaktu-waktu menolong.
Sebaliknya, jika ada bahaya yang datangnya dari luar, dia
dapat menyambutnya untuk melindungi Joko Pramono
yang bertugas di dalam. Akan tetapi Setyaningsih membantah, "Saya akan ikut
masuk mencari Kakangmas Pangeran ......... "
"Harap Ayunda suka menjaga saja di luar bersama
Pusporini," kata Joko Pramono. "Bergerak seorang diri di
dalam akan lebih leluasa, pula kita belum tahu bahaya apa
yang mengancam di dalam."
"Betul, Ayunda. Tugasnya sudah amat berat, dan dia
harus dapat menemukan dan membebaskan Rakanda
Pangeran. Kita sudah mendengar tadi akan percakapan
mereka. Di dalam banyak terdapat alat-alat rahasia yang
berbahaya. Pula, keadaan. di luar sini tidak kurang
pantingnya. Kalau ada musuh-musuh sakti menyerbu,
Ayunda dapat membantuku menghadapi mereka."
Setyaningsih terdesak dan terpaksa menyerah sungguhpun hatinya sudah ingin sekali bertemu dengan
suaminya yang tercinta. Setyaningsih tidak membantah
lagi, mulailah Joko Pramono memasuki bangunan besar
yang dijadikan tempat tahanan itu. Dengan tenaga saktinya,
mudah saja Joko Pramono mendorong pintu gerbang
terbuka dan ia merasa lega ketika melihat empat orang
penjaga menggeletak di balik pintu gerbang dalam keadaan
pulas. Untuk mencegah kalau-kalau ada musuh datang dari
luar dan melihat pintu gerbang terbuka, ia menutupkan lagi
daun pintu gerbang sehingga kini Setyaningsih dan
Pusporini yang berada dl luar tidak dapat melihatnya, lagi.
Joko Pramono melangkah maju terus dengan hati-hati
sekali, matanya memandang ke depan dan kanan-kiri.
Untung baginya bahwa bangunan itu cukup terang
mendapat cahaya lampu-lampu gantung yang cukup banyak
di tempat itu, Pintu ke dua merupakan pintu dari baja, akan
tetapi ketika ia mendorongnya, ternyata pintu itu tidak
terpalang hanya ditutupkan saja, maka mudah terbuka.
Ketika ia melihat para penjaga malang-melintang tidur
pulas di bawah pengaruh aji penyirepannya tadi. Banyak
sekali penjaga di sebelah dalam ini, ada belasan orang. Di
antara mereka terdapat seorang kakek tinggi besar yang
bersandar dinding, suara dengkurnya keras seperti macan
menggereng. Joko Pramono maklum bahwa penjaga yang
seorang ini bukanlah sembarang penjaga, tentu setidak-
tidaknya kepala penjaga. Tubuh penjaga ini kuat sekali
tampaknya, bahkan menyeramkan. Akan tetapi karena
panjaga ini pun pulas, la tidak memperhatikannya lagi dan
melangkah maju terus. Di depan terdapat ruangan yang
luas, lantainya dari papan tebal. Ia berlaku hati-hati, tidak
segera meloncat maju, melainkan mencoba lantai papan itu
dengan cara menekan-nekannya dengan sebelah kakinya. Ia
khawatir kalau-kalau lantai, itu dapat bergerak. Akan tetapi
lantai itu kokoh kuat dan Joko Pramono melangkah terus,
matanya mencari-cari bagian mana kiranya yang akan
dimasukinya untuk mencari Pangeran Panji Sigit. la telah
tiba di tengahtengah ruangan itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa di sebelah belakangnya
dan ketika secepat kilat ia membalikkan tubuh, kiranya
penjaga yang tinggi besar seperti raksasa itu telah berdiri di
depannya! Kini tampak jelas betapa penjaga yang tua ini
tubuhnya benar mengejutkan, seperti raksasa. Telinganya
dihias anting-anting dan tangan kanannya memegang
sebuah senjata nenggala, tombak kecil yang runcing kedua
ujungnya, dipegang di tengah-tengah. Melihat keadaan kakek ini, terkejutlah hati Joko Pramono karena ia segera mengenalnya. Inilah Ki Kolohangkoro! Pernah ia bersama Pusporini menghadapi kakek ini dan Ni Dewi Nilamanik, bahkan akhirnya dia ditawan Ni Dewi Nilamanik

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedangkan Pusporini ditawan kakek ini. Untung dia dan Pusporini tertolong oleh guru mereka, Resi Mahesapati! "Ah, kiranya andika menjadi seorang di antara tikus-
tikus yang menggerogoti Kerajaan Jenggala, Ki Kolohangkoro!" Joko Pramono berkata tenang dan ia bersiap-siap dengan
penuh kewaspadaan karena maklum bahwa lawan ini
bukanlah seorang yang lemah.
"Ha-ha-ha-ha! Engkau Joko Pramono" Apakah yang
engkau andalkan maka berani memasuki sarang harimau"
Hendak membebaskan Pangeran Panji Sigit" Ha-ha-ha,
jangan mimpi, orang muda. Lebih baik menyerah sebelum
nenggalaku yang sudah lama tidak mencium darah ini
menggelogok darahmu!"
"Manusia raksasa seperti engkau berhati iblis! Jangan
mengira akan mudah mengalahkan Joko Pramono seperti
lima tahun yang lalu. Sambutlah ini!" Joko Pramono cepat
menerjang maju dengan pulkulan kepalan kanannya.
Dahsyat sekali gerakannya akan tetapi sambil tertawa Ki
Kolohangkoro menggerakkan nenggalanya menyambut
terjangan pemuda itu dengan terjangan balasan, yaitu ia
menusukkan nenggalanya ke arah dada Joko Pramono.
"Plakk!" Dengan gerakan indah, Joko Pramono sudah
membuka kepalannya tadi, merubah pukulan menjadi
gerakan tangan terbuka melingkar dari kiri ke kanan,
diputar sedemikian rupa sehingga ia berhasil menangkap
pergelangan tangan lawan yang memegang nenggala itu
dari samping. Sedetik dua tenaga raksasa bertemu, saling
betot, dan tiba-tiba Joko Pramono berseru keras dan
menyendal tangan lawan itu dengan gentakan kuat sekali
sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh raksasa itu
kehilangan keseimbangan, kuda-kudanya tergempur dan
tubuhnya terbanting ke kanan.
Hal ini amat mengejutkan hati Ki Kolohangkoro.
Hampir ia tidak percaya bahwa pemuda yang lima tahun
lalu masih amat lemah dan hanya memiliki kepandaian
yang tidak ada artinya, kini dapat memiliki tenaga sakti
yang sedemikian kuatnya sehingga hampir-hampir ia tidak
kuat menahan nenggalanya. Untung ia masih dapat
mempertahankan senjatanya itu sehingga tidak terampas
biarpun tubuhnya hampir terbanting roboh.
"Babo-babo, kiranya engkau telah memperoleh kemajuan
yang lumayan. Makanlah senjataku!" Raksasa itu menerjang lagi, kini lebih hebat dengan memutar
pergelangan tangannya sehingga nenggala itu berputar
seperti kitiran, mendatangkan angin dan mengeluarkan
suara berdesing. Hebat memang Ki Kolohangkoro yang
memiliki tenaga gajah, sedangkan senjata nenggala di
tangannya itu pun merupakan sebuah nenggala yang amat
ampuh. Akan tetapi Joko Pramono sekarang sama sekali berbeda
dengan Joko Pramono lima tahun yang lalu. Setelah
mendapatkan gemblengan dari Resi Mahesapati yang sakti
mandraguna, kedigdayaannya menjadi berlipat ganda dan
kini menghadapi tendangan Ki Kolohangkoro itu, ia dapat
melihat dengan jelas gerakan lawan sehingga dapat dengan
mudah pula mengelak ke kiri, secepat kilat kakinya
menyambar dari samping ke arah lambung lawan.
Andaikata tadi Ki Kolohangkoro belum merasakan
betapa kuatnya pemuda ini tentu dengan memandang
rendah ia berani menerima tendangannya itu karena ia
dapat mengandalkan kekebalannya yang akan melindungi
lambungnya. Akan tetapi ia tahu bahwa tendangan pemuda
sekuat itu tenaga saktinya, apalagi yang ditujukan ke arah
lambung, amatlah berbahaya. Maka ia lalu memutar
pergelangan tangan, membuat nenggala yang luput sasaran
tadi membalik ke kanan untuk memapaki kaki lawannya
dengan senjatanya yang ampuh ini. Akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat perkembangan selanjutnya. Ternyata kaki itu tidak
dilanjutkan menendang lambung, melainkan meluncur ke
bawah dan menendang ke arah lututnya! Ki Kolohangkoro
berusaha untuk meloncat agar terhindar dari tendangan
yang dapat membuat sambungan lututnya terlepas itu, akan
tetapi masih kurang cepat sehingga kakinya masih tercium
tendangan lawan, mengenai betisnya sehingga kuda-
kudanya tergempur dan ia roboh terguling!
Biarpun merasa amat kaget, namun Ki Kolohangkoro
adalah seorang yang sudah banyak pengalamannya dalam
pertempuran, maka ia cepat menggerakkan tubuhnya
bergulingan sehingga Joko Pramono yang sudah datang
menerjang dengan tendangan susulan itu tidak berhasil.
Cepat sekali Ki Kolohangkoro bergulingan lalu meloncat
dan menghilang melalui sebuah pintu ruangan itu.
Joko Pramono yang ingin mencari di mana adanya
kamar tahanan Pangeran Panji Sigit, cepat meloncat pula
mengejar. Dia berada di ruangan lain yang dindingnya
berwarna hijau, akan tetapi tidak melihat bayangan Ki
Kolohangkoro yang telah lenyap entah lari ke mana.
Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya maju ke
ruangan hijau yang kosong itu, siap menjaga kalau-kalau
ada serangan lawan atau kalau-kalau ada jebakan rahasia.
Ruangan itu kosong dan sunyi. Hanya terdapat sebuah
pintu kecil di sebelah kanan ruangan. Karena itu, tentu dari
pintu itulah larinya Ki Kolohangkoro. Joko Pramono
menghampiri pintu, tidak sembrono melainkan dengan hati-
hati sekali ia mendorong daun pintu sambil menyelinap
untuk menjaga kalau-kalau ada senjata rahasia menyambutnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kini
daun pintu terbuka lebar, selebar mata Joko Pramono yang
memandang terbelalak ke dalam ruangan ke tiga ini.
Ruangan di balik pintu itu berwarna merah muda dan di
ujungnya terdapat sebuah pembaringan di mana tampak
Pangeran Panji Sigit rebah terlentang tak bergerak, entah
tidur ataukah pingsan. Dan di pinggir pembaringan,
membelakanginya, duduk bersimpuh seorang wanita yang
mengelus-elus rambut kepala pangeran itu dengan jari-jari
tangan mesra. Dari belakang tampak bahwa wanita itu
adalah Suminten. Melihat ini, bangkit kemarahan Joko Pramono. Wanita
iblis itulah yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang
terjadi. Wanita itulah yang mengatur siasat mengadu
domba sehingga hampir saja Pusporini membunuhnya.
Kebetulan sekali ia mendapatkan wanita itu di situ. Ia dapat
membebaskan Pangeran Panji Sigit dan sekalian menangkap wanita itu. Ia dapat menangkap Suminten.
Kalau wanita ini ditangkap dan diseret ke Panjalu, tentu
akan hancur persekutuan jahat yang mencengkeram
Jenggala. "Perempuan iblis!" bentaknya dan tubuhnya sudah
meloncat ke dalam ruangan itu, siap untuk menangkap
Suminten. Ia maklum bahwa yang terpenting menawan
wanita ini karena hal itu akan dapat dipergunakan untuk
perisai dan untuk memaksa kaki tangan Suminten memberi
kebebasan kepada Pangeran Panji Sigit.
"Wirrrr ......... tar-tar ......... hi-hihik!"
Joko Pramono mengeluarkan suara tertahan dan cepat
sekali membalikkan tubuh berjungkir balik menghindar diri
dari sambaran pengebut lalat berwarna merah yang
digerakkan oleh wanita itu yang kini telah membalikkan
tubuh. Ia terluput dari serangan maut dan kini berdiri di
tengah ruangan, memandang wanita yang disangkanya
Suminten itu, akan tetapi yang ternyata adalah Ni Dewi
Nilamanik yang dahulu pernah menawannya! Yang
disangkanya Suminten adalah wanita iblis itu yang agaknya
sengaja menyamar sebagai Suminten dan karena wanita
yang usianya sudah empat puluh tahun lebih ini memang
masih cantik dan bertubuh ramping, maka dari belakang
tidak jauh bedanya dengan Suminten.
"Ah, kiranya andika juga berada di sini" Kalau begitu
lengkaplah sudah. Jenggala, tepat di dalam istananya,
dijadikan sarang sekumpulan iblis bertubuh manusia!" Joko
Pramono berseru marah. "Hi-hi-hik, bocah bagus, engkau terlalu sombong!"
"Ha-ha-ha, kematian sudah di depan mata!" Terdengar
suara Ki Kolohangkoro dari belakangnya. Joko Pramono
cepat membalik dan ternyata raksasa itu kini sudah berdiri
di ambang pintu, di belakangnya.
Joko Pramono tidak menjadi gentar menghadapi dua
orang musuh lama ini. Ia hanya cemas melihat keadaan
Pangeran Panji Sigit yang rebah tak bergerak, agaknya
pingsan karena pangeran itu sama sekali tidak terganggu
oleh keributan di situ. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang dan
siap untuk mengadu kesaktian melawan dua orang manusia
iblisitu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berderit keras
di atas kepalanya. Karena mengira bahwa tentu ada alat
rahasia yang akan menyambarnya dari atas, Joko Pramono
memandang ke atas dan sebagian besar perhatiannya tertuju
ke langit-langit ruangan itu. Dan memang inilah yang
dikehendaki oleh ahli pembuat alat rahasia di tempat
tahanan istana Jenggala itu. Begitu orang mengarahkan
perhatiannya ke atas, tentu saja perhatiannya ke bawah
berkurang dan tiba-tiba lantai yang diinjak Joko Pramono
terkuat ke bawah! Pemuda itu terkejut sekali, namun
terlambat. Tubuhnya sudah meluncur ke bawah dan lantai
yang tadi terkuak ke bawah, itu telah menutup kembali
diiringi suara tertawa Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi
Nilamanik. Joko Pramono maklum bahwa la telah terjebak. Akan
tetapi sebagai seorang satria perkasa, ia pantang menyerah
terhadap keadaan. Ia mengerahkan hawa saktinya sehingga
biarpun tubuhnya meluncur ke bawah, namun ia masih
menguasai dirinya dan tidak akan terbanting ke dasar
sumur itu. Begitu kakinya menyentuh lantai, tubuhnya
sudah bergerak seperti per sehingga daya luncuran tertahan
dan sekali meloncat ia telah mematahkan daya luncuran
tadi. Ia berdiri di tengah ruangan di bawah tanah itu dan
memaksa matanya untuk menembus kegelapan di situ.
Akan tetapi keadaan gelap pekat, tidak tampak sesuatu
sehingga akhirnya Joko Pramono terpaksa harus menggunakan kaki tangannya untuk meraba-raba. Kiranya
ia telah terkurung oleh dinding yang kuat dan yang
bentuknya bundar. Tidak ada pintu maupun jendelanya,
sedangkan ketika ia menengadah, lantai jebakan yang kini
menjadi langit-langit itu tidak tampak, hanya gelap dan
hitam saja yang membayang di matanya.
Betapapun juga, Joko Pramono tidak menjadi putus asa
menghadapi kenyataan bahwa dirinya benar-benar terancam bahaya maut ini. Ia melakukan hal yang
terpenting, yaitu duduk bersila di tengah-tengah ruangan
gelap itu untuk mengumpulkan tenaga sakti dan
menenangkan pikirannya. Ia maklum bahwa segala sesuatu
yang menimpa dirinya harus diterima dalam keadaan
tenang dan wajar, karena hanya ketenangan jiwanya sajalah
yang akan mampu membuat ia kuat menghadapi segala
kepahitan dan kemudian mengatasinya dengan langkah-
langkah yang tepat. Teringatlah pemuda ini kepada sebuah
di antara wejangan-wejangan Resi Mahesapati yang pada
saat itu terngiang di telinganya.
"Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, yang menimpa
dirimu, adalah sesuai dengan hukum yang ditentukan oleh
Tuhan. Oleh karena itu, kita harus dapat menerimanya
sebagai suatu kewajaran dan bersandarkan kesabaran dan
ketenangan, kita harus berani memandang ke depan. Segala
macam peristiwa yang menimpa diri kita, apabila sudah
dikehendaki demikian oleh Sang Jagad Nata (Pengatur
Dunia) takkan dapat dihindarkan oleh manusia, betapapun


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saktinya manusia itu. Maka, jalan satu-satunya bagi
manusia mahluk lemah ini hanyalah bersandar kepada
Hyang Widi Wisesa dengan penuh ketulusan hati, dengan
penuh pasrah namun tidak melepaskan segala ikhtiar yang
menjadi kewajiban manusia yang telah diberi perlengkapan
sempurna untuk kewajiban itu."
Joko Pramono tekun mengheningkan cipta dan ia
menanti datangnya kesempatan baik untuk menolong
dirinya sendiri. Dia tidak takut, tidak gentar karena dia
telah menyandarkan dirinya kepada kekuasaan Dewa,
sehingga andaikata kematian akan menjemputnya sekalipun, ia tidak merasa gentar karena maklum bahwa
semua itu sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba terdengar bunyi seperti desis ular. Joko
Pramono bangkit berdiri, bersikap tenang waspada, bersiap-
siap menghadapi hal yang seburuknya, tenaga sakti telah
menjalar ke arah kedua lengannya. Akan tetapi tiba-tiba ia
terbatuk karena mencium bau yang amat harum namun
menyengat hidung, dan tahulah ia bahwa fihak lawan telah
menyerangnya dengan asap yang entah masuk di ruangan
itu dari mana. la menahan napas, lalu menggerak-gerakkan
kedua lengannya untuk mengusir asap harum menyengat
hidung itu. Asap yang masuk berwarna putih dan menjadi
buyar terkena sambaran angin pukulan Joko Pramono.
Akan tetapi asap masuk makin banyak dan makin tebal,
sedangkan Joko Pramono, biarpun telah menjadi pemuda
sakti, namun tak mungkin dapat menahan napas
selamanya. Akhirnya ia tersedak, terengah dan cepat ia
duduk bersila, menghentikan perlawanan dan mengosongkan pikiran, siap untuk menerima datangnya
maut yang tak dapat ia hindarkan lagi. Sungguh patut
dikagumi Joko Pramono ini, biarpun masih amat muda
akan tetapi sudah dapat menghadapi bahaya maut dengan
sikap yang tenang, bahkan dapat mengatur diri sehingga
andaikata ia mati, pikiran dan hatinya kosong, sikap yang
amat sempurna. Sementara itu, Pusporini dan Setyaningsih yang menjaga
di luar bangunan tempat tahanan itu menjadi gelisah.
Menanti adalah pekerjaan yang amat sukar dan berat.
Apalagi menanti seperti mereka lakukan itu, menanti Joko
Pramono yang memasuki tempat tahanan, yang mereka
tahu amat berbahaya. Sukar ditentukan siapa yang lebih
gelisah antara kedua orang wanita muda cantik itu, karena
Setyaningsih cemas memikirkan suaminya, sedangkan
Pusporini tentu saja gelisah memikirkan keselamatan
kekasihnya yang memasuki "guha iblis" seorang diri.
Setelah lewat satu jam lebih belum juga Joko Pramono
kembali, dan keadaan tetap sunyi senyap, Setyaningsih tak
dapat lagi menahan kegelisahan hatinya.
"Pusporini, mari kita masuk menyusul Dimas Joko
Pramono, mencari Kakangmas Pangeran," kata Setyaningsih dengan suara perlahan.
Pusporini mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Tidak baik kalau kita pun pergi menyusulnya,
Ayunda. Bukankah tadi Joko Pramono sudah meninggalkan pesan agar kita berdua menanti dan menjaga
di sini?" "Ah, sudah begini lama dia pergi dan masih juga belum
ada tanda-tanda dia kembali. Sampai kapan kita menanti di
sini, adikku" Tepatkah kalau kita membiarkan dia
menempuh bahaya untuk menolong Kakangmas Pangeran
seorang diri" Bagaimana kalau Adimas Joko Pramono
tertangkap pula" Kita harus menyusul, Rini, dan kalau kau
tidak mau, biarlah aku pergi sendiri menyusul Joko
Pramono dan menolong suamiku."
Pusporini menghela napas panjang. Memang sesungguhnya kekhawatiran hatinya tidak kalah besar, dan
jawabnya tadipun hanya untuk menutupi kekhawatirannya,
atau untuk menghibur dirinya sendiri saja. Maka is berkata,
"Baiklah, Ayunda. Memang aku pun merasa heran
mengapa dia belum juga kembali. Marilah, akan tetapi biar
saya jalan di depan dan Ayunda di belakang. Kita harus
berhati-hati sekali, Ayunda. Musuh kita terlampau keji dan
curang." "Jangan khawatir, Pusporini. Untuk menolong suamiku,
aku siap menghadapi apapun juga."
Kedua orang wanita ini melangkah masuk melalui pintu
gerbang yang tadi sudah dibuka Joko Pramono. Mereka
berjalan dengan hati-hati, melihat pula para penjaga yang
masih tertidur pulas di bawah pengaruh aji penyirepan
mereka tadi, dan terus memasuki ruangan depan.
Seperti halnya Joko Pramono tadi, mereka pun tiba di
dalam ruangan yang berwarna hijau. Hanya bedanya, kalau
tadi di sebelah belakang itu terdapat sebuah pintu kecil, kini
pintu itu lenyap menjadi dinding rata, dan di sebelah kiri
muncul sebuah pintu lain. Pusporini yang berjalan di depan
dalam keadaan siap itu memberi tanda kepada ayundanya
dan mereka mendorong pintu sebelah kiri itu sehingga
terbuka. "Kakangmas Pangeran ......... !" Setyaningsih menjerit
lirih dan berlari memasuki kamar itu ketika melihat
suaminya duduk bersila di atas sebuah pembaringan di
sudut kamar. "Ayunda, jangan......... !" Pusporini berseru.
"Isteriku ......... , jangan masuk ........!" Pangeran Panji
Sigit juga berseru ketika melihat isterinya dan Pusporini
muncul di pintu. Akan tetapi Setyaningsih tidak perduli dan
sudah berlari masuk, lalu menubruk suaminya dan mereka
berpelukan. Pada saat itu terdengar suara ketawa di belakang
Pusporini yang cepat menengok, akan tetapi Ki
Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik telah menyerangnya darl belakang menggunakan senjata mereka.
Pusporini cepat meloncat ke belakang, ke dalam kamar itu
karena tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dari
serangan senjata nenggala dan kebutan yang ampuh itu.
Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai, pintu
itu tertutup sendiri dan hanya terdengar suara ketawa Ni
Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro di luar pintu.
"Ah, kalian terjebak ......... !" Pangeran Panji Sigit
berseru cemas. Pusporini menjadi marah sekali. Ia mengerahkan aji
kesaktiannya, menyalurkan tenaga sakti ke dalam
lengannya, kemudian sambil memekik ia meloncat ke
depan menghantam pintu itu.
"Desss!!" Hebat bukan main hantaman dara perkasa ini
sehingga seluruh dinding kamar itu tergetar, akan tetapi
daun pintu hijau itu ternyata terbuat daripada baja yang
kuat sekali dan tertutup oleh gerakan alat rahasia sehingga
hanya tergetar saja dan tidak terpecahkan. Kembali
Pusporini menghantam, sampai tiga kali tanpa hasil. Ia
menjadi makin marah, bertolak pinggang menghadapi daun
pintu lalu membentak, "Iblis-iblis laknat! Ni Dewi Nilamanik dan Ki
Kolohangkoro, kalau memang kalian orang-orang sakti,
bukalah pintu dan mari bertanding melawan Pusporini yang
akan menghancurkan kepala kalian dan memecahkan dada
kalian!!" Namun, yang menjawab tantangannya hanyalah asap
putih yang masuk melalui dua buah lubang kecil di lantai.
Asap itu masuk mengeluarkan suara mendesis seperti ular
menyambar dan sebentar saja kamar itu penuh oleh asap
yang berbau harum bercampur bau amis yang menyengat
hidung. "Awas asap beracun! Rakanda, Ayunda, bertiarap!" seru
Pusporini. Pangeran Panji Sigit yang merangkul isterinya
itu menarik tubuh Setyaningsih dan mereka segera bertiarap
di atas lantai, menelungkup. Adapun Pusporini, seperti juga
yang dilakukan Joko Pramono tadi, menahan napas dan
mengerahkan hawa sakti untuk mengayun-ayun lengannya,
mendorong dengan maksud mengusir asap itu keluar dari
kamar. Sambaran angin pukulannya membuat asap itu
buyar dan bergerak-gerak. Akan tetapi karena kamar itu
agaknya memang tidak diberi lubang, asap yang buyar dan
membubung ke atas itu menurun kembali, bersatu dengan
asap baru yang keluar terus dari lantai sehingga menjadi
tebal memenuhi kamar. Setelah melihat usahanya gagal, Pusporini melirik ke
arah Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih, melihat mereka
itu telah roboh pingsan sambil berpelukan. Dia menarik
napas panjang lalu. duduk bersila dalam keadaan samadhi,
seperti yang dilakukan Joko Pramono tadi sehingga tak
lama kemudian dia pun menjadi pingsan dalam keadaan
duduk bersila! -oo(mch-dwkz)oo- "Tak-tak, herrr ......... Hayolah, kerbau goblok, kerbau
malas! Plak-plak! Tarr!" Kerbau yang menarik luku di
sawah itu tetap mogok dan mendekam di atas lumpur yang
begitu sejuk dan nikmat rasanya di bawah terik sinar
matahari di siang hari. "Kerbau tolol, kubunuh engkau!" bentak petani setengah
tua itu yang sudah lelah memaki-maki kerbaunya dan kini
mulai mencambukinya sekuat tenaga.
Seorang pria muda yang berpakaian serba putih
sederhana menghentikan langkahnya menyaksikan peristiwa ini. Ia lalu memutar tubuh menghampiri pinggir sawah dan matanya sayu memandang ke arah kerbau yang digebuki. Pria ini masih muda sekali, usianya paling banyak dua puluh satu tahun, akan tetapi ia memiliki sepasang mata yang selain tajam berpengaruh, juga demikian penuh pengertian seperti yang hanya dimiliki oleh kakek-kakek
pendeta yang sudah memiliki ilmu batin yang kuat!
Pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi tidak mengurangi
ketampanan wajahnya yang berkulit putih halus seperti
kulit tubuh wanita. Alisnya yang tebal hitam dan kelihatan
garang itu tidak dapat menandingi kelembutan pandang
matanya, sedangkan bibirnya seperti yang selalu tersenyum
maklum, seperti senyum seorang ayah melihat tingkah laku
anaknya yang nakal dan masih kecil.
"Sudah, Paman. Tiada gunanya menyiksa pembantumu
dan tiada baiknya menurut hati yang digelapkan nafsu
amarah." Suara pemuda aneh ini demikian penuh ketenangan dan
kesabaran, begitu halus dan lemah lembut sehingga laki-laki
yang marah dan menggebuki kerbaunya itu menghentikan
perbuatannya dan menoleh dengan heran, siap untuk
menimpakan kemarahan dan kemendongkolan hatinya
kepada orang yang berani mencegah dia menggebuki
kerbaunya sendiri. Akan tetapi begitu bertemu pandang
dengan mata pemuda itu, seolah-olah ada tetesan embun
dingin yang memadamkan semua api kemarahannya,
bahkan membuat dia menjadi malu dan merah mukanya.
Akan tetapi, ia hendak membela diri dan mengusir rasa
malunya dengan bantahan, sungguhpun kata bantahannya
tidak terdorong kemarahan lagi,
"Orang muda, mudah saja maido (mencela). Kerbau ini
malas dan bodoh, dia tidak mau menarik luku, habis kalau
tidak digebuki apakah harus kutimang-timang?"
Pemuda itu memperlebar senyumnya yang sudah selalu
siap di bibir, kemudian ia duduk di atas galengan sawah.
"Maaf, Paman. Aku tidak mencela atau maido, hanya


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin mengingatkan Paman bahwa kerbau itu adalah
pembantu Paman. Dia mogok bekerja karena lelah dan
kurasa bukan hanya hari ini dia membantu Paman meluku
sawah. Manusia telah dikurniai akal budi sedangkan kerbau
dikurniai tenaga, sehingga dengan akalnya, manusia dapat
mempergunakan tenaga kerbau untuk membantunya
meluku sawah. Padahal, meluku sawah atau bekerja untuk
mencari pengisi perut adalah menjadi kewajiban si manusia
sendiri. Setelah dapat mempergunakan akal sehingga
kerbau dapat membantu, manusia seharusnya berterima
kasih, tidak hanya kepada Sang Hyang Wisesa yang
berkahnya begitu melimpah-limpah kepada manusia, juga
kepada kerbau yang membantunya. Kerbau mogok bekerja
tentu ada sebabnya, mungkin dia lelah, mungkin dia sakit,
karena kerbau termasuk binatang, mahluk yang selalu
bergerak berdasar kewajaran, tidak seperti manusia yang
lebih condong kepalsuan dan tidak wajar. Seperti tidak
wajarnya perbuatan Paman menggebuki kerbau yang selalu
menjadi pembantu Paman."
Petani itu melongo dan hanya bisa menangkap sedikit
saja dari ucapan yang mengandung arti dalam dan sukar
itu. "Akan tetapi dia tidak mau menarik luku, berarti
membuat pekerjaan terbengkalai, padahal tanah ini perlu
dibuka cepat-cepat agar jangan terlambat kalau hujan
turun!" "Sifat manusia memang tidak mengenal budi, berdasar
watak ingin senang sendiri, Paman. Kurasa sudah ribuan
kali kerbau ini membantu Paman meluku sawah, akan
tetapi satu kali saja dia mogok, yang ribuan kali itu tak
teringat lagi oleh Paman sehingga Paman tega untuk
menyiksanya." Petani itu kini melepaskan gagang lukunya dan
membalikkan tubuh, menghadapi langsung pemuda
itu,tidak seperti tadi yang hanya sambil menoleh saja. "Eh,
Kisanak, engkau masih muda akan tetapi bicaramu seperti
seorang pendeta saja! Bicara sih mudah, hanya menggoyang
lidak menggerakkan bibir, akan tetapi yang menjalankan ini
yang sukar. Kalau kerbaunya tidak mau membantu, habis
aku harus berbuat bagaimana?"
"Paman keliru. Bicara tidaklah mudah, kalau kita tahu
bagaimana harus bicara. Apa yang masuk ke dalam mulut
haruslah yang baik dan bersih agar kesehatan kita selalu
terjamin. Sebaliknya apa yang keluar dalam mulut pun
harus selalu yang baik dan bermanfaat bagi orang lain.
Kalau kerbau Paman mogok bekerja karena lelah atau sakit,
sebaiknya dia dibiarkan beristirahat dan makan, sedangkan
soal pekerjaan dapat Paman lanjutkan dengan cangkul."
Petani itu melototkan matanya. "Orang muda, engkau
merasa pintar, ya" Kalau cuma begitu, tak perlu kau
nasehati. Tidak urung aku yang disuruh bekerja, sedangkan
untuk menyelesaikan sawah ini hanya dengan sebuah pacul,
tentu tidak selesai dalam tiga hari!"
"Paman butuh bantuan" Biarlah aku membantumu,
Paman." Pemuda itu menyingsingkan lengan baju dan
celananya, kemudian turun ke sawah.
"Hemm, andika seorang pemuda yang aneh. Apa
maksudmu mencampuri urusan orang lain, mencela dan
membantu" Apakah pamrihmu hendak membantuku, orang
muda?" "Pamrih" Perbuatan yang berpamrih bergelimang
kepalsuan, Paman. Membantu orang lain didasari pamrih,
bukanlah bantuan namanya, melainkan usaha tercapainya
pamrih itu sendiri. Bagiku, membantumu bekerja adalah
wajar, Paman. Andika membutuhkan bantuan karena
kerbaumu mogok, dan aku datang membantu, itu sudah
wajar, sudah tepat, seperti tepatnya orang lapar makan dan
orang haus minum. Ada pamrih apa lagi?" Pemuda itu lalu
menuntun kerbau yang mogok tadi dan anehnya kerbau itu
menurut saja dituntun minggir, tidak seperti tadi, digebuki
masih tetap mendekam. Setelah kerbau dan lukunya dibawa
ke pinggir, pemuda itu lalu mengambil cangkul dan tanpa
banyak cakap lagi mulailah mencangkuli tanah yang belum
terluku. Petani itu memandang dengan mata lebar, lalu
menggeleng-geleng kepala tidak mengerti akan sikap
pemuda ini, akan tetapi diam-diam girang juga hatinya
mendapat seorang pembantu suka rela yang melihat
caranya mengayun cangkul boleh diharapkan akan dapat
mengejar ketinggalan pekerjaannya karena kerbau mogok
tadi. Ia pun lalu menyambar cangkul sebuah lagi dan
bekerja tekun seperti lajimnya para petani bekerja di sawah.
Kelihatannya biasa saja pemuda itu bekerja, akan tetapi
betapa girang dan herannya petani itu ketika melihat bahwa
hasil cangkulnya pemuda itu empat lima kali lebih cepat
dan banyak daripada hasil pekerjaannya sendiri. Dengan
demikian maka dibantu pemuda ini tidaklah lebih lambat
daripada kalau dibantu kerbaunya menarik luku!
Lewat tengah hari, seorang gadis ke sawah itu,
membawa sebuah bakul berisi nasi bersama sambel wijen
dan ikan lele bakar. Bakul itu disunggi di atas kepala,
dipegangi tangan kiri sedangkan tangan kanannya
mencangking sebuah kendi berisi air.
"Pak, berhenti dulu. Mengaso dan makan!" serunya
dengan suara yang renyah melengking.
"Wah, kau sudah datang, Mil Siapkan dua pincuk
(pining daun pisang), kami sudah lapar sekali!"
Gadis yang usianya paling banyak tujuh belas tahun,
bertubuh ramping padat berkulit hitam manis dengan wajah
yang manis sekali itu mengangkat muka memandang ke
arah pemuda berkulit putih yang membantu ayahnya.
Kebetulan pada saat itu si pemuda juga menengok ke
arahnya dan si gadis tersenyum malu-malu, kemudian
menjawab, "Baik, Pak!" "Hayo mengaso dan makan dulu, Nak."
Pemuda itu mengangguk, melepas cangkulnya dan
menghapus peluh di dahi dengan lengannya. Kemudian
mereka berdua mencuci tangan dengan air kendi lalu duduk
di atas galengan sawah. Pemuda itu mendapat kenyataan
betapa gadis petani ini benar-benar manis dan cantik sekali,
kecantikan aseli tanpa bantuan bedak dan mangir sehingga
ia memandang kagum. "Paman, anak daramu cantik dan manis sekali!" kata
pemuda itu. Kembali petani itu terbelalak melihat sikap dan ucapan
yang blak-blakan dan tulus ini, akan tetapi Bagus Seta
sebagai seorang pria yang sudah banyak pengalaman ia
tidak melihat adanya pandang mata kurang ajar sehingga
kembali ia tertegun. Pemuda ini benar-benar seorang
manusia aneh dan tidak lumrah! Akan tetapi pujian yang
membuat gadis itu tiba-tiba melengos dan menyembunyikan
mukanya yang menjadi merah itu membikin hati kakek
petani ini gembira, akan tetapi berbareng juga mengingatkan kakek itu akan kesulitan yang dihadapinya.
"Itulah yang membikin aku tadi menggebuki kerbauku,
Nak." "Pak ......... ! Si Wage kaugebuki" Kenapa?" tiba-tiba
gadis itu bertanya sambil memandang bapaknya.
"Dia mogok, mungkin sakit ........!"
"Ah, kasihan Si Wage ......... !" Gadis itu lalu bangkit
berdiri dan berlari menghampiri kerbau yang kini makan
rumput di pinggir sawah. Ketika berlari, tubuh ramping
padat itu mendatangkan pemandangan yang amat
mempesonakan. "Paman, apakah artinya ucapanmu tadi?" tanya si
pemuda sambil mengepal nasi dicocol sambel dan ditemani
secuwil daging ikan lele panggang, lalu memasukkannya ke
mulut. Petani itu mengunyah nasi yang memenuhi mulutnya
dan menelan dengan anggukan kepala, kelihatan nikmat
sekali. Memang sesungguhnyalah bahwa kenikmatan
makan seorang petani yang telah bekerja keras dan lelah di
bawah terik panas matahari biarpun hanya nasi dengan
sambal, mengatasi kenikmatan makan seorang raja yang
menghadapi hidangan puluhan macam banyaknya!
"Memang demikian, Nak. Sutarmi anakku itu amat
cantik, kembangnya dusun ini, dan kecantikannya itulah
yang memaksa aku tadi naik darah menggebuki kerbauku.
Soalnya Kepala dusun menjatuhkan pajak yang amat besar
berupa hasil sawahku, lebih setengahnya diharuskan untuk
disetorkan kepadanya. Karena tahun-tahun yang lalu hasil
sawahku kurang baik dan mendiang isteriku pada waktu itu
sakit-sakit saja sehingga mengeluarkan banyak biaya, maka
aku jadi berhutang banyak pajak. Akhir-akhir ini, melihat
kecantikan anakku, ketua dusun menyatakan bahwa kalau
panen depan ini aku tidak dapat melunasi hutang, jalan
satu-satunya agar gusti patih, yaitu yang menguasai daerah
pertanian di sini, tidak marah, aku harus menyerahkan
Sutarmi kepada kepala dusun untuk dipersembahkan
kepada gusti patih. Katanya untuk dijadikan abdi dalem,
akan tetapi aku sudah tua dan sudah banyak mendengar
bahwa ......... " Petani itu menunda kata-katanya dan
celingukan ke kanan kiri.
"Bahwa bagaimana, Paman?"
"Bahwa gusti patih paling gemar akan gadis-gadis muda
yang cantik, untuk diselir tentunya," kakek itu berbisik.
"Demikianlah, aku harus bekerja keras agar panen depan
dapat melunasi hutang atau akan menjadi korbanlah
anakku karena kecantikannya. Ketika Si Wage mogok, aku
menjadi marah tadi ......."
Pemuda itu mengangguk-angguk. "Ahh, tepatlah
pendapat orang-orang pandai di jaman dahulu bahwa setiap
hal yang mendatangkan kesenangan, pasti dapat pula
mendatangkan kesusahan, seperti halnya engkau mempunyai seorang anak gadis cantik, Paman. Di samping
mendatangkan kesenangan dan kebanggaan, sekarang
ternyata mendatangkan kesusahan dan kesulitan. Akan
tetapi, tidak ada hal yang tak dapat diatasi dengan akal
bud!, Paman." "Akal budi bagaimana" Satu-satunya jalan harus
membayar hutang ........."
Kakek itu menghela napas dan melanjutkan makannya.
Gadis hitam manis itu, Sutarmi, kini kembali ke situ setelah
tadi mengelus-elus leher dan kepala Si Wage.
"Pak, lain kali jangan menggebugi Si Wage, kasihan!"
katanya merengut. "Memang, Mi seharusnya engkaulah yang kugebuki
karena kecantikanmu. Kalau saja engkau tidak secantik ini
tentu tidak akan terpilih sebagai abdi dalem gusti patih,"
ayahnya mengomel. "Ah, Bapak kembali membingungkan hal itu. Sudah
kukatakan bahwa panen depan ini kita pasti akan dapat
melunasi pajak. Kalau tidak pun, aku akan bekerja keras di
kepatihan, tidak akan mengecewakan Bapak. Pula, apa sih
jeleknya menjadi abdi dalem kepatihan, Pak?"
Ayahnya menggeleng-geleng kepala. "Aahhh, engkau
tidak tahu ......... engkau tidak tahu dan kalau sudah tahu
akan terlambat. Lebih baik engkau bermuka buruk akan
tetapi terhindar daripada malapetaka ........."
"Paman, kurasa kalau Paman hanya menghendaki adik
ini menjadi buruk mukanya, mudah sekali."
"Apa kau bilang" Apa maksudmu?" tanya petani itu
menghentikan cucuran air kendi yang tengah digelogoknya.
"Aku mempunyai semacam obat yang akan membuat
muka adik Sutarmi menjadi belang-belang dan hitam-hitam
sehingga ketua dusun akan jijik melihatnya ?"."
"Aku tidak mau! Aku tidak mau mukaku menjadi
menjijikkan!" Sutamni berkata dan memandang wajah
pemuda tampan itu dengan marah.
Pemuda itu tersenyum. "Bukan menjadi buruk seterusnya, Dik. Melainkan buruk dan belang-belang
menghitam karena obatku dan untuk menghindarkan Adik
daripada incaran ketua dusun. Kalau bahaya telah lewat,
dengan obat lain wajah Adik akan menjadi bersih dan halus
kembali." "Ehh ......... " Betulkah?" Ayah dan anak itu memandang
pemuda itu penuh keheranan, juga penuh harapan.
"Paman dan Adik Sutarmi membutuhkan jalan keluar
untuk menghindarkan hal yang tidak kalian sukai, dan aku
dapat memberi jalan itu, tentu saja aku tidak berbohong.
Aku akan membuat muka Adik Sutarmi menjadi buruk
sekali dan Paman dapat mengatakan bahwa dia terkena
penyakit. Kutanggung tidak akan ada dukun yang mampu
mengobatinya. Kemudian, kalau bahaya sudah lewat, atau
sebaiknya kalau Paman dan Adik pindah saja ke daerah
lain, dengan obat lain, muka yang menggitam itu akan
dapat bersih kembali."
Petani itu berseri wajahnya. "Ah, akal ini bagus sekali!
Anak muda yang aneh dan budiman. Lekas kauberikan
obat pemunah muka cantik menjadi muka buruk itu!"
"Obatnya ada pada telapak tanganku, Paman. Adapun
obat penawarnya, cukup dipupuri tanah sawah. Bolehkah
kucoba sekarang?" "Cobalah ......... cobalah .......!" petani itu mendesak.
Pemuda itu menghampiri Sutarmi

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang duduk bersimpuh. "Tengadahkan mukamu dan pejamkan matamu, Dik. Aku akan mengubah kulit mukamu menjadi
buruk." Sejenak mata gadis itu menatap wajah si pemuda, akan
tetapi ketika pandang mereka bertemu, gadis itu mendapat
perasaan yang aneh, yang membuat ia menaruh
kepercayaan besar dan perasaan pasrah. Ia mengangguk,
kemudian mengangkat muka dan memejamkan matanya.
Akan tetapi hanya sebentar karena ia membuka matanya
kembali dan bertanya, "Sakitkah?" Pemuda itu tersenyum lebar dan menggeleng kepala.
Setelah Sutarmi memejamkan matanya kembali, pemuda
itu lalu menggunakan tangan kiri untuk memegang dagu
kecil meruncing manis itu, dan mengusapkan telapak
tangan kanannya di seluruh muka Sutarmi. Terdengar
napas tersentak ketika si petani melihat betapa muka
anaknya secara mendadak telah berubah hitam! Kalau
hanya hitam saja dan merata, tidak apa. Akan tetapi
hitamnya tidak rata, totol-totol sehingga membuat muka itu
menjadi buruk sekali. Pemuda itu melangkah mundur dan
duduk lagi sambil berkata,
"Sudah selesai, Dik."
Sutarmi membuka matanya, memandang pemuda itu
yang tersenyum-senyum dan mengira bahwa tentu pemuda
itu membohonginya karena ia sama sekall tidak merasakan
apa-apa. Akan tetapi ketika ia memandang wajah ayahnya
yang melotot matanya dan melongo mulutnya, gadis ini
cepat lari mendekati kali kecil di pinggir sawah untuk
melihat bayangannya sendiri di air. Ia menjenguk dan
......... tiba-tiba ia menangis. "Aku tidak mau begini .........
hii hiii ......... aku tidak mau .........!" Kembali ia menjenguk
dan memandang ke air dengan air mata bercucuran dan
kembali menjerit-jerit dan menangis. Kemudian Sutarmi
lalu menggunakan air kali untuk mencuci mukanya,
menggosok-gosoknya dengan tangan dan ujung kemben.
Ketika ia bercermin lagi di air dan melihat mukanya masih
tetap belang-belang hitam, ia lalu mengambil batu dan
menggosok-gosok mukanya dengan batu dan mencucinya
kembali. Akan tetapi hasilnya tidak ada, mukanya tetap
totol-totol hitam dan buruk sekali.
"Aku tidak mau ......... ! Ah, engkau manusia kejam
......... mengapa membikin mukaku menjadi begini ......... ?"
Dalam kesedihan dan kemarahannya, Sutarmi lalu berlari
menghampiri pemuda itu dan menggunakan kedua
tangannya hendak memukul dan mencakar.
"Tarmi, jangan!" teriak ayahnya yang maju dan
memegangi kedua tangan anaknya. Sutarmi menangis
mengguguk. "Pak, lebih balk aku mati saja ......... hii-hiii .........
mukaku menjadi begini buruk menjijikkan ......... !"
"Jangan khawatir, Dik Tarmi. Sudah kukatakan tadi
bahwa segala macam obat atau air tidak akan mampu
menghilangkan warna hitam itu, dan segala dukun takkan
mampu mengobati. Akan tetapi kalau engkau menghendaki
Si Kumbang Merah 14 Pendekar Cacad Karya Gu Long Tugas Rahasia 5
^