Perawan Lembah Wilis 21
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
kulit mukamu pulih kembali, kaupupuri dengan tanah
sawah, jika Sang Hyang Widhi menghendaki, pasti akan
pulih kembali." Mendengar ini, Sutarmi merenggutkan tangannya
terlepas dari ayahnya, lari ke tengah sawah, mengambil
lumpur dan memupuri mukanya dengan lumpur sampai
rata. Saking tergesa-gesa, matanya kemasukan lumpur dan
ia tersandung-sandung ketika lari ke air untuk mencuci
mukanya yang penuh lumpur. Sekali saja ia menyiramkan
air ke mukanya, warna hitam itu lenyap sama sekali. Tarmi
bercermin dan melihat mukanya sudah pulih kembali, ia
......... menangis lagi saking girangnya!
"Wah-wah, Tarmi. Apakah engkau sudah menjadi
gemblung (gila)" Mukamu menjadi hitam menangis,
sekarang sudah pulih menangis juga!"
"Berduka mengeluarkan air mata, bersuka juga
mengeluarkan air mata. Duka maupun suka bagi air mata
memang sama saja, Paman, hanya merupakan permainan
hati manusia." Kemudian pemuda itu berkata kepada Tarmi
yang sudah berhenti menangis, "Bagaimana, Dik. Sudah
percayakah engkau" Apakah sekarang engkau suka
membiarkan mukamu kubikin hitam lagi untuk menghindarkan dirimu daripada bahaya dan menghindarkan ayahmu dari kesusahan?"
"Harus kau lakukan, Anakku. Sampai urusan ini beres
dan bahaya lewat, kelak mudah saja mengobati mukamu, di
mana-mana di dunia ini terdapat tanah sawah!"
Sutarmi memandang pemuda itu, mengangguk sambil
tersenyum. Kini ia mengangkat mukanya dengan muka
berseri dan memejamkan matanya ketika pemuda itu
mengusap mukanya dengan telapak tangan kanan sehingga
muka gadis itu kembali menjadi belang-belang menghitam,
buruk dan menjijikkan dalam pandangan pria yang
matanya bernapsu. Seperti tadi, Sutarmi bercermin di air
dan kini ia tertawa geli.
"Paman, dan Dik Tarmi, sekarang perkenankan aku
pergi." Tanpa menanti jawaban pemuda itu menghampiri
kerbau dan menepuk-nepuk pundaknya. "Kerbau, bantulah
majikanmu. Memang sudah menjadi nasibmu harus
membantu manusia, berbahagialah dalam menunaikan
kewajibanmu." Ia lalu membalikkan tubuhnya dan
melangkah pergi dari pinggir sawah, diikuti pandang mata
Tarmi dan pandang mata petani itu yang terbelalak
keheranan melihat kini kerbaunya bangkit berdiri dan
tampak segar bersemangat.
"Nanti dulu, Nak! Perkenalkanlah namamu ......... !"
Pemuda itu menghentikan langkah, menoleh dan berkata
sambil tersenyum, "Namaku Bagus Seta, Paman!" Ia lalu
membalikkan tubuh dan berjalan pergi lagi dengan langkah
ringan. Bagus Seta kini telah menjadi seorang pemuda yang
berpakaian sederhana dan mempunyai wibawa yang aneh.
Gerak-geriknya halus, sikapnya bersahaya, sama sekali
tidak membayangkan kekuatan, akan tetapi sepasang
matanya yang jernih itu mengandung pengaruh halus yang
akan melemahkan hati orang yang keras, dan akan
mendatangkan rasa segan karena seolah-olah pandang mata
itu dapat menjenguk di dasar yang paling dalam dari hati
orang. Ia baru beberapa pekan turun dari puncak Gunung
Bromo, puncak terakhir di mana ia dibawa gurunya, Sang
Sakti Bhagawan Ekadenta, setelah selama lima tahun
gurunya membawanya ke puncak-puncak gunung hampir di
seluruh tanah Jawa. Masih bergema di telinganya pesan
gurunya ketika menyuruhnya meninggalkan puncak,
"Kulup Bagus Seta, kini telah tiba saatnya engkau harus
turun gunung dan tiba saatnya kita harus saling berpisah.
Kiranya tidak perlu lagi kuulangi semua wejangan dan
pelajaran yang telah kuberikan kepadamu selama ini. Dan
aku pun tidak akan memaksamu melakukan sesuatu karena
segala sesuatu yang akan kaulakukan adalah bebas dan
terserah atas keputusanmu sendiri, Kulup. Hanya satu hal
saja yang kuingin ingatkan kepadamu agar kaucamkan di
dalam hati sanubarimu."
"Hamba siap mendengarkan petunjuk Eyang dan siap
pula melaksanakan segala perintah Eyang," kata Bagus Seta
ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menghirup udara
sejuk bersih puncak Gunung Bromo.
"Ingatlah selalu bahwa tidaklah sia-sia manusia
dihidupkan di dunia ini. Hidup adalah perjuangan yang tak
kunjung henti, perjuangan manuju ke titik terakhir yang
menjadl puncak kesempurnaan. Hidup barulah tidak sia-sia
dan berhasil apabila engkau selalu radar bahwa perjuangan
itu adalah pelaksanaan kewajiban. Tanamkan dalam
sanubarimu bahwa setiap gerak hidup harus didasari
pelaksanaan kewajiban itulah. Apakah kewajiban manusia
hidup" Tengoklah di sekelilingmu, Kulup. Pandanglah Sang
Surya dan kenalilah sifat-sifatnya, pandanglah bulan dan
bintang, awan dan angin, segala macam tetumbuhan dan
segala mahluk. Adakah mahluk yang tiada manfaat atau
kegunaannya dalam dunia, yaitu kegunaan atau kemanfaatannya bagi benda atau mahluk lain" Kalau toh
ada kautemukan benda atau mahluk yang tidak berguna
bagi yang lain, hal itu hanya karena engkau belum mengerti
akan kegunaannya, masih belum terbuka rahasia alam yang
ada pada benda atau mahluk yang kauanggap tidak berguna
itu. Semua Benda dan mahluk di dunia ini bermanfaat bagi
makhluk dan Benda lain. Dan itulah kewajiban diciptakannya semua alam mayapada dan isinya. BERGUNA BAGI BENDA DAN MAHLUK LAIN.
Lebih mudah lagi, bagi manusia kewajibannya adalah
berguna bagi manusia lain! Dengan demikian, maka engkau
berarti telah hidup sesuai dengan kehendak alam, berarti
sudah wajar dan dapat menuju ke titik kesempurnaan itu.
Nah, selamat berjuang, Kulup Bagus Seta."
Wejangan-wejangan gurunya masih teringat semua oleh
Bagus Seta. Semuda itu ia telah digembleng oleh gurunya
dalam hal ilmu-ilmu kesaktian dan wejangan-wejangan
kebatinan yang dalam. Semuda itu ia sudah dapat
menangkap inti sari wejangan gurunya. Bahwa ia harus
memanfaatkan hidupnya bagi kepentingan orang lain,
karena inilah kewajibannyaa, inilah tugas hidup dia sebagai
manusia. Adapun apa dan bagaimana pilihannya dalam
sepak terjangnya, oleh gurunya diserahkan kepada dirinya
sendiri, berarti diserahkan kepadanya untuk menilai dan
memilih. Bagus Seta adalah putera seorang satria. Adipati
Tejolaksono, seorang sakti yang berjiwa patriot, yang rela
berkorban untuk nusa dan bangsanya. Sifat ini, sifat
ayahnya, ibunya, bahkan sifat nenek-neneknya yang juga
semua berjiwa patriot, membekas di dalam sanubarinya.
Karena itu, ada juga niatnya untuk menghambakan diri
kepada nusa dan bangsanya, menentang kekuasaan-
kekuasaan yang hendak menyengsarakan nusa bangsanya.
Pertemuannya dengan petani yang menyinggung soal
watak Ki Patih Jenggala, yang sewenang-wenang dan suka
sekali mempermainkan anak gadis orang, membangkitkan
pula semangat patriotiknya ini. Dia harus meninjau ke
Jenggala sebelum ia mencari ayah bundanya. Harus
meninjau Jenggala karena keadaan paman tadi mencerminkan kelaliman yang berkuasa di kerajaan itu.
Dan Jenggala termasuk kerajaan yang harus pula dibelanya,
karena Jenggala adalah kerajaan keturunan Mataram.
Pertemuannya dengan petani ayah Sutarmi itulah yang
menggerakkan hati Bagus Seta sehingga menggerakkan pula
kakinya untuk membelok menuju Kerajaan Jenggala. Di
sepanjang perjalanan, makin dekat dengan Kota Raja
Jenggala, makin banyaklah mendengar keluh-kesah rakyat
akan kelalilam para pamong praja Jenggala. Bukan ini raja
yang menarik hatinya, melainkan kenyataan bahwa kini
rakyat setengah dipaksa oleh para pamong praja untuk
mengganti Agama Wishnu menjadi Agama Syiwa dan
Agama Buddha. Bahkan ada didengarnya berita bahwa
para pendeta Wishnu banyak yang lenyap secara aneh, dan
bahwa sebagian kecil sisa pendeta-pendeta Wishnu kini
terpaksa melarikan diri dan bersembunyi ke gunung-gunung
yang sunyi. -oo(mch-dwkz)oo- Kita tinggalkan dulu Bagus Seta untuk menjenguk
keadaan di dalam tempat tahanan di istana Jenggala. Di
dalam sebuah ruangan tahanan yang berbentuk persegi dan
terbuat daripada dinding batu-batu tebal tampak empat
orang muda terbelenggu dengan rantai-rantai baja yang
amat tebal dan kuat. Kedua lengan mereka, pada
pergelangan tangan, terbelenggu dan karena rantai itu
dikaitkan pada besi pengait yang dipasang di dinding di atas
kepala mereka, maka mereka berempat terpaksa mengangkat kedua lengan mereka di kanan kiri dan dalam
keadaan seperti itu sukar sekali bagi mereka untuk mencoba
melarikan diri atau mempergunakan kekerasan.
Mereka dibelenggu pada dinding itu berjajar. Paling
kanan adalah Pusporini, di sebelah kirinya Joko Pramono,.
kemudian Setyaningsih dan paling kiri adalah Pangeran
Panji Sigit. Ketika mereka berempat itu siuman dari
pingsan, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di
dalam kamar tahanan ini. Pangeran Panji Sigit menoleh ke
kanan, terkejut melihat Joko Pramono juga terbelenggu di
sebelah kanan isterinya bersama Pusporini, mereka
berpandangan mata dan pangeran itu berkata dengan suara
dingin dan tajam melebihi pedang habis diasah,
"Joko Pramono, setelah engkau berhasil memikat
burung, mengapa tidak memelihara dan menjaga burung itu
baik-baik akan tetapi membiarkannya celaka dan terancam
maut?" Tentu saja Joko Pramono tahu apa makna ucapan ini,
akan tetapi ia sudah maklum betapa pangeran ini, seperti
halnya Pusporini, juga menjadi korban tipu muslihat keji
dan curang dari Suminten, maka dengan sikap sabar dan
bibir tersenyum ia menjawab,
"Kakangmas Pangeran, burung itu suci, tidak terpikat
dan juga tidak pernah kupikat, melainkan sedang gelisah
mencari pasangannya yang terkurung dan aku bersama
Pusporini hanya membantunya untuk berusaha menolong
pasangannya ......" "Joko Pramono! Sungguhpun rayuanmu berhasil
menjatuhkan hati isteri orang, jangan harap akan dapat
menjatuhkan hatiku, setelah mataku sendiri menyaksikan
semua yang terjadi. Aku tidak mendendam, aku rela
menyerahkannya kepadamu, rela mengalah kalau memang
dia cinta kepadamu, aku ......... aku ........."
"Kakangmas Pangeran!" Terdengar Setyaningsih menjerit lirih di sampingnya, sedangkan Pusporini berbisik
kepada Joko Pramono, "Kau maafkanlah dia seperti engkau memaafkan aku,
Joko." Joko Pramono tersenyum dan memandang ke depan.
"Tidak ada yang dimaafkan, Rini, karena memang seperti
engkau juga, dia tidak bersalah. Melainkan si iblis betina
itulah yang bersalah."
"Rakanda Pangeran, jangan menuduh yang bukan-bukan
terhadap Joko Pramono. Dia telah mengerahkan seluruh
daya dan tenaganya untuk menolong kita, bahkan rela
mempertaruhkan nyawa untuk kita. Dia bersama Pusporini
sekarang ikut pula tertawan, untuk siapa lagi kalau bukan
untuk membela kita" Paduka telah khilaf, terjebak menjadi
korban tipu muslihat keji yang juga mengorbankan
Pusporini. Tahukah paduka, bahwa karena kesalahfahaman
yang sama seperti paduka, Pusporini hampir saja
membunuh Joko Pramono yang tidak berdosa?" Dengan
singkat namun jelas Setyaningsih lalu menceritakan semua
peristiwa yang terjadi di dalam taman, kemudian tentang
pertemuan mereka dengan Ki Wiraman dan Widawati,
tentang Ki Mitra yang mereka percaya itu sesungguhnya Ki
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mitra palsu, mata-mata yang sengaja dipergunakan oleh
Suminten untuk memalsu Ki Mitra yang telah dibunuh.
Pangeran Panji Sigit mendengarkan dengan mata
terbelalak, mukanya menjadi berubah-ubah, sebentar merah
sebentar pucat. Apalagi ketika ia mendengar penjelasan dari
Pusporini kemudian dari Joko Pramono, tak tertahankan
olehnya lagl dua titik air mata membasahi pelupuk matanya
ketika ia memandang kepada Joko Pramono.
"Dimas ......... Dimas Joko Pramono ......... maukah
andika mengampuni aku yang seperti buta mata ini?"
katanya dengan suara menggetar saking terharu.
Joko Pramono tersenyum lebar. "Kakangmas Pangeran,
paduka tidak bersalah apa-apa, bahkan saya merasa terharu
sekali mendengar ucapan dan menyaksikan sikap paduka
tadi. Sungguh sikap yang bijaksana dan saya sendiri tak
mungkin dapat bersikap sebijaksana paduka andaikata saya
yang tertipu seperti paduka. Sekarang tidak perlu kiranya
persoalan itu dibicarakan karena sudah jelas bahwa kita
semua menjadi korban tipu muslihat keji wanita iblis itu
dan bahwa semenjak kita berempat menjejakkan kaki di
kota raja ini, kita telah berada dalam cengkeraman mereka,
sudah diawasi seluruh gerak-gerik kita. Sekarang kita
tertawan, jalan satu-satunya hanya dapat menyerahkan diri
dalam tangan Dewata sambil bersikap waspada akan gerak-
gerik mereka selanjutnya."
"Andika hebat dan mengagumkan sekali, Dimas. Apa
pun yang terjadi, aku tidak menyerah terhadap bujukan
Suminten yang berusaha menarik kita menjadi sekutunya.
Daripada mengkhianati Kanjeng Rama, lebih baik aku
tewas di tangan iblis betina itu."
"Tepat sekali, Kakanda. Saya pun rela tewas di samping
Kakanda sebagai dharma bakti kita terhadap Kanjeng Rama
Prabu dan terhadap kerajaan paduka, Jenggala," kata
Setyaningsih. "Kita lihat saja apa yang akan dilalakukan selanjutnya
oleh wanita iblis itu terhadap kita," kata Joko Pramono.
Dan apa yang dilakukan selanjutnya oleh Suminten
segera dihadapi oleh empat orang muda itu. Suminten
adalah seorang wanita yang kukuh dalam mengejar hasrat
hatinya. Ia masih tergila-gila kepada Pangeran Panji Sigit,
dan takkan puaslah hatinya kalau hasrat itu belum
terpenuhi. Daya upaya dengan muslihat yang betapa rendah
dan keji sekali pun akan ditempuhnya untuk mencapai cita-
cita hatinya. Tidak sampai lama setelah mereka berempat
sadar, pintu kamar tawanan yang kokoh kuat itu terbuka
dan tampaklah Suminten yang dikawal oleh enam orang
pengawal bersenjata tombak.
"Kalian menanti dan menjaga di luar!" kata Suminten
dengan suaranya yang serak basah mengandung penuh
getaran nafsu berahi. Enam orang pengawal yang muda-
muda dan kelihatan gagah dan kuat itu membungkuk
dengan hormat dan menjaga di luar pintu, sedang Suminten
lalu melangkah masuk dan menutupkan daun pintunya. Ia
melangkah maju dan berdiri dalam jarak yang cukup aman,
sejauh dua meter sehingga andaikata empat orang tawanan
itu yang hanya dapat menggunakan kaki menyerangnya
takkan dapat mencapai tubuhnya. Ia tersenyum manis
sekali, lalu menggeleng kepalanya dan berkata,
"Sungguh sayang sekali bahwa empat orang muda belia
yang gagah perkasa, wanitanya cantik-cantik dan prianya
tampan-tampan akhirnya harus mengakhiri hidup dalam
keadaan begini menyedihkan. Aku sendiri ikut terharu dan
bersedih, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan setelah
kalian berempat menjadi pemberontak-pemberontak yang
membahayakan Kerajaan Jenggala?"
"Suminten, wanita iblis yang kelak menjadi intip neraka
jahanam!" Pangeran Panji Sigit memaki penuh kemarahan
karena ia teringat betapa wanita itu telah mengatur tipu
muslihat keji sehingga ia sampai kehilangan kepercayaan
akan kesetiaan isterinya, bahkan telah menjatuhkan
tuduhan rendah terhadap Joko Pramono. "Tak perlu
memutar lidahmu yang seperti lidah ular bercabang! Kami
tidak akan mendengarkan dan kalau kau hendak
membunuh kami, lakukanlah, kami adalah orang-orang
berjiwa satria yang tidak gentar menghadapi kematian!"
"Duh Pangeran yang bagus seperti Harjuna, yang gagah
perkasa seperti Gatutkaca, betapa gagah beraninya engkau.
Suminten takkan pernah meragukan kegagahanmu, Pangeran. Akan tetapi kaulihatlah baik-baik keadaan
isterimu, keadaan Joko Pramono dan Pusporini. Tidakkah
engkau merasa kasihan kepada mereka bertiga ini,
Pangeran" Mengapa engkau begini kukuh mempertahankan
kegagahan dan kekesatriaan sendiri tanpa mengingat akan
kehidupan mereka bertiga ini" Engkau menyerahlah dan
menjadi pengeran terhormat di sini, menghentikan
permusuhanmu denganku, dan aku berjanji akan membebaskan mereka bertiga ini. Tidakkah ini amat murah
hati dariku" Tiga orang yang kauhormati dan kaukasihi ini
kubebaskan dan sebagai tebusannya, engkau bersekutu
dengan aku, meraih kebahagiaan bergelimang kesenangan
di sini sebagai seorang pangeran ......... ah, tidak, sebagai
pangeran mahkota di sini !"
Hebat dan muluk bukan main bujuk rayu ini sehingga
hati Setyaningsih menjadi amat khawatir, akan tetapi
karena ia percaya penuh kepada suaminya, ia tidak berkata
sesuatu, hanya memandang Suminten dengan sinar mata
penuh kebencian. Memang sejenak Pangeran Panji Sigit
termenung dan memikirkan penawaran ini. Ia tidak berpikir
demi, keselamatan dan kepentingan dirinya sendiri. Sama
sekali tidak! Jauh daripada itu. Yang dipikirkan sekarang
adalah kemungkinan membebaskan tiga orang muda itu,
terutama sekali isterinya, Setyaningsih! Kalau ia berpura-
pura menurut dan menyerah, kemudian isterinya, Joko
Pramono dan Pusporini sudah dibebaskan, bukankah dia
dapat memberontak sampai terbunuh mati"
-oo0dw0oo- Jilid XXXVIII DARIPADA menolak dan mereka semua terbunuh,
bukankah lebih menguntungkan kalau dia seorang saja yang
tewas sedangkan mereka bertiga itu bebas" Suminten hanya
menghendaki dirinya, maka jalan satu-satunya untuk
menyelamatkan. isterinya, Pusporini dan Joko Pramono
adalah berpura-pura menyerah. Mereka masih muda-muda,
berhak untuk hidup puluhan tahun lagi.
Tiba-tiba terdengar suara Pusporini melengking nyaring,
tertawa. Kemudian gadis yang agaknya menyelami pikiran
Pangeran Panji Sigit itu berkata, "Heh, Suminten
perempuan tak bermalu! Kalau penawaran itu kauajukan
kepada orang lain, mungkin mereka itu akan menganggap
amat baik mengorbankan diri sendiri demi kebebasan tiga
orang yang dikasihinya. Akan tetapi andaikata aku yang
kautawari hal rendah itu aku akan mengatakan bahwa aku
akan bangga menyaksikan tiga orang yang kukasihi tewas
sebagai satria-satria sejati, berkorban demi negara dan demi
kebenaran!" Ucapan gadis perkasa ini seolah-olah percikan air
sewindu yang dingin sejuk, menyadarkan Pangeran Panji
Sigit dari lamunannya. Ia kini sadar bahwa yang terpenting
bukanlah nyawa dan hidupnya tiga orang yang dikasihinya
itu, melainkan kehormatan mereka sebagai pembela-
pembela kebenaran. Kalau ia menyerah lalu tewas dan
mereka bertiga itu terbebas, mereka bertiga akan hidup
merana dan merasa terhina selamanya. Apalagi Setyaningsih, tentu akan tersiksa hidupnya dan menganggap suaminya seorang pengecut yang mudah
tunduk terhadap rayuan seorang wanita iblis macam
Suminten. "Duh Yayi Pusporini, terima kasih! Suminten, kau sudah
mendengar sendiri, dan begitulah jawabanku untuk
penawaran dan rayuanmu yang keji dan palsu itu!"
Suminten merasa seperti ditampar mukanya, akan tetapi
ia masih belum putus asa. Pendirian Pangeran Panji Sigit
dan Pusporini seperti itu, akan tetapi belum tentu demikian
pendirian Joko Pramono, pemuda yang bertubuh tegap dan
kejantanannya menarik hatinya dan membangkitkan
berahinya itu. Ia memandang kepada Joko Pramono dan
berkata, "Bagaimana dengan engkau, Joko Pramono" Bagaimana
pendapatmu kalau kau kuangkat menjadi komandan
pengawal dalam istana, hidup di sini dengan aman dan
makmur seorang diri atau berdua dengan Pusporini yang
kaucinta?" "Aku tidak sudi! Kalau engkau ingin menjilati telapak
kaki iblis betina ini, Joko, silahkan akan tetapi aku lebih
baik mati!" bentak Pusporini dengan galak.
Joko Pramono tersenyum. "Jangan khawatir, Rini dewi
pujaan hati yang terkasih. Wanita ini kuanggap sebagai ular
beracun, mana aku sudi mendengarkan bujukannya" Seribu
kali lebih baik mati daripada menyerah kepada wanita ini!"
Suminten tidak merasa sakit hati mendengar jawaban ini,
malah kini ia memandang kepada Setyaningsih yang sejak
tadi memandangnya penuh kebencian, lalu berkata,
"Setyaningsih, aku tahu betapa engkau mencinta suamimu.
Mengapa engkau tega benar melihat suamimu terancam
bahaya maut" Apakah kau akan tega kalau melihat
suamimu disiksa sampai mati, sekerat demi sekerat, di
depan kakimu" Kau bujuklah suamimu agar suka menyerah
dan menuruti permintaanku dan engkau akan hidup
bahagia di sini bersama suamimu yang akan menjadi
pangeran mahkota dan kelak mungkin menjadi raja di
Jenggala dan engkau menjadi permaisurinya!"
Setyaningsih memandangnya dengan sinar mata makin
marah, lalu menjawab, "Suminten, aku mendengar bahwa
engkau adalah bekas pelayan, bekas abdi dalem Ayunda
Endang Patibroto. Biarpun sekarang dengan kelicikanmu
engkau telah menduduki tempat tinggi, namun watakmu
lebih rendah daripada watak seorang abdi dalem yang
paling rendah. Lebih rendah daripada watak seorang Sudra
yang paling hina! Aku adalah adalah seorang wanita
berdarah satria, apa yang diucapkan suamiku, apa yang
menjadi pendirian suamiku adalah pendirianku pula sampai
mati!" Suminten merasa mendongkol sekali hatinya, akan tetapi
patut dipuji wanita ini yang pandai menyembunyikan
perasaan tidak senang ini di balik senyum manis.
Senyumnya manis memikat, kerling matanya seperti kerling
mata orang yang ramah, akan tetapi kata-kata yang keluar
dari mulutnya sebelum meninggalkan empat orang tawanan
itu mengandung ancaman yang mengerikan.
"Baiklah, saat ini kalian boleh merasa bangga akan
kekerasan hati dan menganggap kalian gagah dan menang,
boleh menertawakan aku dan menganggap aku kalah. Akan
tetapi kalian belum mengenal Suminten! Akan tiba saatnya
kalian menyembah dan meratap minta diampuni." Setelah
berkata demikian, wanita ini membalikkan tubuhnya dan
pergi dari tempat itu, meninggalkan empat orang muda
yang saling pandang dan sama sekali tidak bernapsu untuk
mentertawakan Suminten. -oo(mch-dwkz)oo- "Kita harus menolong mereka! Kalau tidak segera
ditolong, keadaan mereka akan terancam bahaya besar."
Wiraman berkata sambil mengepalkan tinju. Baru saja
menerima laporan mata-matanya yang beroperasi di Kota
Raja Jenggala, bahwa Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono,
Pusparini dan Setyaningsih telah menjadi tawanan di dalam
kamar tahanan istana, dan bahwa keselamatan nyawa
mereka terancam karena didesas-desuskan keluar istana
bahwa keempat orang muda itu telah memberontak.
Widawati memandang suaminya, dan berkata, "Memang
tidak ada jalan lain. Kita berdua harus menyelundup ke
kota raja dan menolong mereka. Hanya kita yang dapat
menolong mereka, karena kita yang lebih mengenal akan
keadaan di istana." Widawati memandang suaminya, dan berkata, "Memang tidak ada jalan lain. Kita berdua harus
menyelundup ke kota raja dan menolong mereka. Hanya
kita yang dapat menolong mereka, karena kita yang lebih
mengenal akan keadaan istana."
Wiraman memegang tangan Widawati dengan penuh
kasih sayang. Wanita muda ini telah menjadi selirnya dan
di antara mereka, biarpun terdapat perbedaan usia yang
cukup banyak, telah terjalin cinta kasih dan pengertian yang
kokoh kuat. "Adinda Widawati isteriku yang tercinta. Tugas
menolong mereka itu akan kulakukan sendiri dan engkau
tak perlu ikut, Adinda. Tugas ini amat berbahaya dan
akulah yang mengetahui dengan jelas akan seluk-beluk
rumah tahanan di istana dengan semua alat rahasianya.
Ingat, aku pernah bertugas sebagai kepala penjaga di sana."
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, Kakang Wiraman. Aku harus ikut karena ini
juga menjadi tugasku. Dengan menentang Suminten berarti
aku telah melaksanakan dharma baktiku terhadap
keluargaku yang terbasmi gara-gara kekejaman Suminten.
Di samping itu, susah terlalu lama kita berkumpul dan
sekarang aku tidak akan dapat berpisah lagi dari
sampingmu. Ingatkah janjimu, Kakang" Kita hidup
bersama mati berdua, senang sama dinikmati dan susah
sama diderita?" Wiraman menggeser duduknya, mendekat dan merangkul wanita muda dan cantik yang menjadi selirnya
yang tercinta itu. Selatna hidupnya, biarpun ia dahulu
menjadi seorang pengawal pilihan yang berkedudukan
tinggi di kepatihan Jenggala, belum pernah Wiraman
mempunyai selir. Sekarang, setelah mereka berdua menjadi
korban racun ular wilis sehingga melakukan hubungan
sanggama dan terpaksa mereka saling terikat sebagai suami
isteri, Wiraman merasa betapa kasih sayangnya terhadap
wanita ini makin lama makin mendalam.
"Duhal Yayi Widawati, isteriku yang budiman.
Alangkah akan bahagia rasa hatiku kalau dapat hidup
aman- dan tenteram dalam sebuah rumah tangga di
sampingmu dan isteri tua serta putera-puteriku. Adinda
akan merupakan cahaya matahari dalam rumah tanggaku.
Isteriku akan bangga mempunyai madu seperti Adinda, dan
putera-puteriku akan menganggap Adinda sebagai contoh
dan guru yang pandai !"
Widawati tersenyum sehingga lesung pipit di samping
bibirnya nampak makin jelas. "Semoga Dewata akan
mengabulkan harapan Kakanda. Setelah tugas kita berhasil
baik dan selesai, tentu akan tercapai idaman hati kita."
"Semoga begitulah, atau kalau gagal ?".."
"Kita mati bersama," sambung Widawati, dan mereka
berangkulan dengan hati penuh keharuan. Tidak ada kata-
kata yang dapat dikeluarkan akan dapat lebih jelas
menunjukkan perasaan hati mereka yang penuh cinta kasih
dan penuh keprihatinan menghadapi tugas berat itu.
Namun mereka berdua manusia yang saling mencinta ini
memiliki pegangan yang amat kuat, yaitu cinta mereka dan
keyakinan bahwa hidup atau mati, mereka takkan saling
berpisah. Cinta yang demikian besar amatlah kuatnya,
mengatasi segala keraguan dan kekhawatiran, bahkan
dengan modal cinta seperti itu, mereka akan menghadapi
maut dengan mulut tersenyum.
Demikianlah, pada keesokan harinya, menjelang senja,
Wiraman dan Widawati berhasil menyelundup memasuki
kota raja. Tentu saja tidaklah begitu sukar bagi Wiraman
untuk menyelundup masuk dalam kota raja yang dahulu
menjadi daerah dia bertugas. Tidak ada lorong atau jalan
rahasia yang tak dikenalnya dan pada malam harinya
Wiraman dan Widawati sudah berhasil pula menyelundup
masuk ke dalam kompleks bangunan tahanan di istana.
Tentu saja mereka tidak menempuh jalan depan seperti
yang dilakukan Joko Pramono, Pusporini dan Setyaningsih
dua hari yang lalu, melainkan mengambil jalan rahasia
yang hanya diketahui oleh "orang-orang dalam" saja;
Mereka berdua muncul dari lorong rahasia itu dan tiba di
bagian belakang bangunan tahanan, menyelinap di bawah
pohon dan bersembunyi di bayangan yang gelap. Untuk
keperluan tugas penting menyelamatkan empat orang
tawanan, Wiraman dan Widawati sudah bersiap-siap.
Widawati mengenakan pakaian ringkas, bahkan bajunya
ringkas tak berlengan, sebatang keris pusaka terselip di
pinggang, rambutnya yang hitam panjang diikat ke atas
agar tidak mengganggu gerakannya. Adapun Wiraman
sendiri bertelanjang baju sehingga tampak dadanya yang
bidang dan kuat, sarung di luar celananya diikatkan ke
pinggang dan tangannya memegang sebatang golok tajam,
wajahnya serius dan penuh kewaspadaan. Setelah
digembleng selama dua tahun oleh Resi Mahesapati,
kepandaian Wiraman meningkat dan kini ia menjadi
seorang yang digdaya, sedangkan Widawati yang dahulunya seorang gadis yang lemah kini menjadi seorang
gadis yang boleh diandalkan dalam pertandingan melawan
musuh berat. "Kita membobol jendela itu yang menuju ke dapur
tahanan sang pangeran," bisik Wiraman. Widawati
memandang ke depan. Dari bawah pohon itu, sejauh lima
puluh meter, tampaklah jendela itu, sebuah jendela besar
yang atasnya, pada dinding batu diukir muka seorang
raksasa sehingga jendela dengan ruji-rujinya dari besi itu
merupakan mulut raksasa. Akan tetapi di depan jendela itu
terdapat empat orang penjaga yang berdiri tegak memegang
tombak. Agaknya penjagaan di tempat tahanan itu amat
kuat, sehingga jendela dapur saja dijaga oleh empat orang!
"Dijaga kuat ....... " bisik Widawati di dekat telinga
Wiraman. "Jendela itu jalan masuk yang paling mudah, dan
penjaganya hanya empat orang. Melalui jalan lain tak
mungkin pintu-pintu dijaga oleh lebih banyak penjaga. Kita
harus robohkan mereka. Wati engkau robohkan penjaga
yang berdiri paling kiri, dialah yang paling lemah di antara
mereka. Sanggupkah?"
Widawati mengangguk dan memandang calon lawan itu
dengan mata bersinar sambil meraba gagang keris yang
terselip di pinggangnya. Melihat Widawati sudah siap,
Wiraman menyentuh lengan yang berkulit harus itu,
berbisik, "Tunggu sampai mereka menoleh ke arah
sambitan batu dari tanganku, baru turun tangan secepatnya,
jangan memberi kesempatan mereka memekik. Mari kita
mendekat, ke bawah pohon depan jendela itu."
Kembali Widawati mengangguk dan mereka berdua lalu
menyelinap menyelinap melalui tempat gelap sehingga
akhirnya mereka bersembunyi di balik batang pohon dekat
jendela dan tempat para penjaga berdiri hanya beberapa
meter saja dari mereka. Jantung kedua orang ini berdebar.
Wiraman menyentuh lengan Widawati, kini tidak lagi
mereka berani saling berbisik. Widawati menoleh, mereka
berpandangan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi lampu yang tergantung di sudut atas, dekat
jendela. Biarpun mulut mereka tidak berbicara, namun
sepasang mata mereka berbicara banyak mencurahkan isi
hati, sama-sama maklum bahwa saatnya telah tiba di mana
mereka akan mempertaruhkan nyawa. Kalau berhasil,
mereka akan dapat menyelamatkan empat orang tokoh
penting yang mereka junjung tinggi, kalau gagal berarti
mereka akan tewas dan tidak ada kesempatan lagi bagi
mereka untuk saling mengucapkan selamat berpisah di
dunia ini. Sedetik mereka terharu dan seperti ada yang
menggerakkan, keduanya saling mendekatkan muka dan
berciuman sebagai pengganti kata-kata. Ciuman yang amat
mesra, ciuman yang mendatangkan semangat dan
menambah keberanian karena dalam ciuman itu mereka
dapat merasakan cita kasih masing-masing yang amat
mendalam sehingga mereka yakin bahwa hidup atau mati,
mereka takkan berpisah lagi. Setelah menghentikan ciuman,
mereka saling pandang. Wiraman mengangguk sebagai
pertanyaan dan Widawati mengangguk bagai jawaban
bahwa ia telah siap. Wiraman mengambil segenggam kerikil dari atas tanah,
kemudian setelah mengukur jarak, ia menyambitkan
genggaman itu ke arah kanan. Empat orang penjaga itu
mendengar suara berkerosok di kanan, cepat menengok,
bahkan memutar tubuh ke kanan dengan seluruh perhatian
dicurahkan untuk melihat apa yang menimbulkan bunyi itu.
Dan pada detik itu, Wiraman dan Widawati meloncat
keluar dengan gerakan cepat bagaikan dua ekor harimau
menerkam. Widawati yang sejak tadi sudah memperhatikan
penjaga yang tadi di ujung kiri menerjang maju, kerisnya
diayun. Penjaga itu terbelalak kaget, memutar tubuh dan
menggerakkan tombak, namun terlambat karena pada saat
itu, keris pusaka di tangan Widawati telah menancap tepat
di ulu hatinya. Keris dicabut sambil meloncat ke samping
agar tidak terkena muncratnya darah yang menyembur
keluar dari dada, disusul robohnya penjaga itu. Wiraman
juga sudah menggerakkan goloknya sehingga tampak sinar
putih berkelabat. Seorang penjaga roboh seketika dengan
leher putus, penjaga ke dua roboh dengan perut robek dan
isi perutnya keluar, akan tetapi penjaga ke tiga dapat
menangkis sambaran golok dengan tombaknya. Tombak itu
patah, akan tetapi ia dapat terhindar dari golok Wiraman.
Namun, pada detik berikutnya, sebelum penjaga ini sempat
berteriak, keris di tangan Widawati telah amblas memasuki
lambungnya dan robohlah penjaga itu pula. Tubuh keempat
orang penjaga itu hanya berkelojotan sebentar lalu terdiam,
tak bernyawa lagi. Tanpa banyak cakap Wiraman lalu menyeret dan
melempar empat batang mayat itu ke dalam semak-semak
di bawah pohon, kemudian ia menggandeng tangan
Widawati mendekati jendela yang kini tidak terjaga lagi.
Mereka mengintai dari luar jendela melalui ruji-ruji jendela
dan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa di
sebelah dalam dapur rumah tahanan itu terdapat belasan
orang penjaga lain yang sedang makan minum. Agaknya
mereka adalah penjaga-penjaga yang tiba giliran beristirahat
lalu mengenyangkan perut di dalam dapur itu.
Wiraman dan Widawati cepat melompat menjauhi
jendela, kembali ke bawah pohon. "Tidak ada jalan lain,
harus memancing semua penjaga keluar dari tempat
tahanan, kemudian dalam keributan kita masuk melalui
jendela, membebaskan mereka dan melarikan diri melalui
terowongan rahasia yang terdapat dalam kakus kamar
tahanan," bisiknya. "Cara bagaimana memancingnya?"
Wiraman menunjuk ke arah lampu yang tergantung di
atas jendela. "Dengan api." Ketika melihat kekasihnya
mengangguk, Wiraman berbisik lagi, "Kau tunggu di sini,
aku akan membakar gudang perlengkapan di sebelah kanan
itu. Setelah terjadi kebakaran dan keadaan geger,
pergunakan golok ini untuk membabat putus ruji-ruji
jendela." Wiraman menyerahkan golok lalu menyelinap pergi.
Widawati memandang ke arah lenyapnya bayangan
suaminya dengan jantung berdebar tegang. Tak lama
kemudian tampaklah api berkobar di sebelah kanan dan
terdengar teriakan-teriakan orang. Widawati melihat betapa
banyak penjaga lari berserabutan keluar dari dalam rumah
tahanan. Ia cepat menghampiri jendela dan mengintai.
Girang hatinya melihat dapur itu kosong dan para penjaga
yang tadi makan minum tidak nampak lagi, hanya tinggal
bekas-bekas makanan dan minuman yang agaknya
ditinggalkan dalam keadaan tergesa-gesa. Widawati lalu
menggerakkan goloknya membabat ke arah jendela yang
beruji besi. "Trangggg ......". Golok itu terpental dan terlepas dari
tangan Widawati karena tertangkis oleh sebatang keris yang
digerakkan sebuah lengan tangan yang kuat sekali.
"Ha-ha-ha, sudah kuduga! Menimbulkan kebakaran
untuk memancing para penjaga keluar! Kiranya seorang
wanita yang cantik manis berani mati hendak menolong
para tawanan. Aha, engkau boleh juga, manis, patut
menjadi tawananku dalam kamar tidurku. Ha-ha-ha,
senangkan hatimu karena menjadi tawanan Patih Warutama adalah hal yang amat nikmat dan menyenangkan!" Mendengar bahwa orang yang menangkis goloknya itu
adalah Patih Warutama, kemarahan dan kebencian
Widawati tak dapat ia bendung lagi. Tangan kanannya
mencabut keluar kerisnya, dan telunjuk kirinya menuding.
"Si keparat! Kiranya engkau inilah Warutama manusia
iblis yang bersekongkol dengan iblis betina Suminten dan
menghancurkan seluruh keluarga kakekku, Eyang Patih
Brotomenggala" tahanan laknat, rasakan pembalasan
Widawati, cucunya!" Ucapan ini disusul dengan terjangan Widawati yang
marah sekali. Ia menyerang dengan kerisnya, dan biarpun
kepandaiannya sama sekali belum ada artinya kalau
dibandingkan dengan kesaktian Ki Patih Warutama, namun
dalam keadaan marah dan benci itu ia menjadi nekat dan
gerakannya amatlah dahsyat dan ganas. Ki Patih
Warutama juga terkejut nendengar bahwa wanita muda
yang antik ini adalah cucu mendiang Ki Patih
Brotomenggala. Tentu saja keturunan Brotomenggala harus
dibasmi, akan tetapi sifat mata keranjang Warutama
membuat ia merasa sayang kalau wanita cantik ini harus
dibunuh begitu saja. Sebelum dibunuh akan ia tangkap
dulu, dan memaksa seorang wanita untuk menuruti
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nafsunya merupakan hal yang menyenangkan bagi laki-laki
yang berwatak bejat ini. Sambil tertawa ia mengelak, tangan
kanannya mencengkeram ke arah pergelangan tangan
Widawati dengan gerakan amat cepat sehingga Widawati
kaget sekali dan tentu saja ia segera menarik kembali
kerisnya agar jangan terampas lawan. Akan tetapi ternyata
bahwa gerakan cengkeraman dengan tangan kanan itu
hanya gertak belaka, atau pancingan karena yang
sesungguhnya bergerak adalah tangan kirinya yang tahu-
tahu telah menyelonong maju, memegang dan membelai
dada Widawati dengan remasan!
"Jahanam ........ !" Widawati menjerit.
"Ha-ha-ha-ha, engkau denok menggairahkan, manis!"
Warutama mengejek sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan Wiraman telah
muncul di situ. Ketika Wiraman melihat isterinya
berhadapan dengan Ki Patih Warutama, ia terkejut bukan
main. Cepat ia menyambar golok yang menggeletak di atas
tanah. "Yayi Widawati, isteriku yang terkasih. Saat bagi kita
berdharma bakti telah tiba. Keparat ini adalah Warutama,
kita harus menandinginya dan mengadu nyawa!"
"Aku sudah tahu, Kakang Wiraman. Mari kita basmi
iblis ini!" jawab Widawati.
"Apa" Cucu Brotomenggala ini isterimu" Heh, keparat,
siapakah engkau berani membikin kacau di sini?"
"Buka telingamu baik-baik, Warutama. Aku Wiraman
bekas pengawal rahasia kepatihan Janggala dan aku pernah
melihat ketika engkau melakukan permainan sandiwaramu
menolong sang prabu ....... "
"Babo-babo, engkau mencari mampus ....... !" Warutama
menjadi marah sekali karena orang ini merupakan orang
yang amat berbahaya, yang mengetahui rahasianya ketika
menjalankan siasat untuk menipu Raja Jenggala. Ia telah
menghunus kerisnya sambil loncat menghindar ketika golok
Wiraman menyambar, kemudian ia menangkis tusukan
keris Widawati dengan kerisnya sendiri. Widawati
mengeluh karena telapak tangannya terasa panas dan
hampir saja kerisnya terlepas dari pegangan tangannya.
Akan tetapi ia menerjang terus dengan nekat. Juga
Wiraman yang cukup maklum betapa saktinya patih baru
dari Jenggala ini, menggerakkan goloknya dengan nekat
dan menghujankan serangan bertubi-tubi yang selalu dapat
dielakkan atau ditangkis oleh Patih Warutama.
Ki Patih Warutama menjadi penasaran dan juga heran.
Setelah dua tahun yang lalu, ketika ia menghadapi para
pengawal rahasia yang dikirim Patih Brotomenggala untuk
melindungi sang prabu, ia menganggap para pengawal itu
berkepandaian biasa saja. Akan tetapi mengapa pengawal
ini memiliki kepandaian yang cukup hebat sehingga ia tidak
dapat merobohkannya dalam waktu singkat" Juga cucu
Patih Brotomenggala ini, biarpun gerakannya terlatih, akan
tetapi memiliki dasar ilmu yang tinggi. Kalau tidak lekas
dibasmi, pengawal ini amat berbahaya dan cucu
Brotomenggala itu pun amat berbahaya, pertama sebagai
cucu bekas musuh besarnya, ke dua sebagai isteri Wiraman
yang tahu akan semua rahasianya dahulu. Dengan
penasaran, Ki Patih Warutama lalu mengeluarkan pekik
dahsyat dan tiba-tiba tubuhnya bergulingan di atas tanah
seperti seekor trenggiling. Itulah Aji Trenggiling-wesi yang
amat dahsyat dan banyak gerak tipunya. Sambil
bergulingan dia mencari kesempatan untuk meloncat dan
mengirim serangan tiba-tiba. Menghadapi ilmu bertanding
yang aneh itu, Wiraman dan Widawati menjadi bingung
dan mereka hanya dapat mengikuti gerak lawan yang
bergulingan itu untuk dipapaki serangan kalau bangkit
berdiri. "Haaiiiitttt !" Tiba-tiba tubuh Ki Patih Warutama
mencelat ke atas dengan gerakan yang sukar diduga
sebelumnya. Sambil meloncat ini ia mengayun keris pusaka
Naga-kikik yang bereluk tujuh itu dan mengeluarkan sinar
hijau dingin. Sinar hijau berkelebat menyentuh dada
Wiraman dan Widawati, tampaknya , hanya menyerempet
saja, akan tetapi ujung keris Naga-kikik itu menjadi merah
oleh darah yang memancur keluar dari ulu hati Wiraman
dan Widawati. Kedua orang gagah ini merintih, golok dan
keris terlepas dari tangan. Keris Naga-kikik itu mengandung
racun yang berhawa dingin sehingga siapa terkena akan
menjadi beku darahnya. Wiraman dan Widawati pun yang
tertusuk ulu hatinya hanya mengeluarkan darah sekali mancur lalu membeku, keduanya terhuyung, tangan meraih sambil membuka mata saling pandang berhasil saling peluk, roboh terguling bersama dan menghembuskan napas terakhir pada detik yang sama. Mereka tewas dalam keadaan saling berdekapan, mati bersama sesuai dengan janji-janji
mesra di kala mereka memadu cinta. Para pengawal berdatangan dan Ki Patih Warutama
memberi perintah, "Seret mayat mereka ini, merekalah yang
melakukan pembakaran dengan maksud merampas tawanan. Seret dan ikat di tengah alun-alun, biar besok
semua rakyat dapat melihati"
Pada keesokan harinya, berduyun-duyun penduduk di
sekitar kota raja berdatangan untuk melihat dua orang
penjahat yang membakar gudang istana. Akan tetapi betapa
kaget dan ngeri hati mereka ketika mengenal mayat laki-laki
itu sebagai mayat Wiraman, seorang pengawal kepatihan
dahulu yang amat disegani dan dihormati karena gagah
perkasa dan baik budi. Apalagi ketika mereka mengenal
mayat Widawati yang seringkali dikagumi tari-tariannya
semenjak masih kecil. Biarpun tidak ada yang berani secara
terang-terangan, namun banyaklah penduduk yang diam-
diam menangisi kematian demikian menyedihkan dari dua
orang itu, terutama sekali kematian Widawati.
Segala yang terjadi dan tampak oleh pandangan mata
manusia keadaannya seringkali tidak sesuai dengan
pendapat manusia yang menyaksikannya, bahkan kadang-
kadang berlawanan. Orang-orang menjadi terharu, menangisi kematian Wiraman dan Widawati yang mereka
anggap amat menyedihkan. Akan tetapi, bagaimanakah
sesungguhnya" Adakah kematian mereka itu benar-benar
menyedihkan, tentu saja terutama sekali bagi dua orang itu
sendiri" Hal ini amat diragukan dan sungguhpun keadaan
mati tak dapat dibuktikan oleh manusia hidup, namun
mengingat akan janji-janji mereka berdua sebelumnya,
kematian bersama itu belum tentu merupakan peristiwa
yang menyedihkan bagi Wiraman dan Widawati. Siapa
tahu kalau arwah kedua orang yang saling mencinta ini
bergandeng tangan sambil tersenyum-senyum bahagia
menyaksikan dunia dengan segala leluconnya yang mereka
tinggalkan untuk selamanya.
Patih Warutama menyuruh mempertontonkan kedua
sosok mayat itu. kepada penduduk dengan maksud agar
mereka yang masih mempunyai niat memberontak menjadi
gentar dan maklum akan kekuatan mereka yang kini
menguasai Jenggala. Akan tetapi, keadaan sesungguhnya
bukanlah demikian karena rakyat diam-diam menjadi
makin muak dan benci akan kekejaman-kekejaman dan
pembunuhan-pembunuhan yang terjadi semenjak Suminten
menjadi selir raja terkasih, semenjak Pangeran Kukutan
menjadi putera mahkota, dan semenjak Ki Patih Warutama
menjadi Patih Jenggala. Kebencian dan kemuakan yang
menjadi rabuk berseminya rasa tak puas dan dingin
memberontak dari rakyat! Adapun tentang kematian Wiraman dan Widawati itu
sendiri. Sia-siakah pengorbanan mereka" Sia-siakah usaha
mereka membebaskan empat orang tawanan" Sia-siakah
mereka mengorbankan nyawa sedang empat orang tawanan
itu masih tetap tertawan" Kiranya tidaklah demikian dan
hal ini akan terbukti dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya.
Peristiwa yang menyusul karena terjadi pada siang harinya
setelah malam keributan di bangunan tempat tahanan itu.
Ketika Suminten mendengar akan usaha Wiraman dan
Widawati yang hendak merampas tawanan dengan jalan
membakar gudang, ia menjadi marah sekali dan habis
kesabarannya. Ia cepat memberi perintah kepada pengawalnya, kemudian dia sendiri datang ke tempat
tahanan untuk menyaksikan pelaksanaan usahanya yang
terakhir untuk memaksa Pangeran Panji Sigit dan loko
Pramono bertekuk lutut di depannya. Ia merasa yakin
bahwa akalnya yang terakhir ini akan berhasil dan harus
berhasil, karena kalau tidak, ia sudah mengambil keputusan
untuk membunuh empat orang muda yang keras hati itu.
Keputusannya itu tentu saja mengecewakan hati Ki Patih
Warutama dan Pangeran Kukutan yang mempunyai niat
lain lagi terhadap dua orang wanita cantik yang menjadi
tawanan. Pangeran Kukutan yang selalu merasa iri hati
kepada Pangeran Panji Sigit, begitu melihat Setyaningsih
sudah timbul hasrat hatinya untuk merampas isteri adik
tirinya itu, atau setidaknya memperkosanya, baru akan
puaslah hatinya. Adapun Ki Patih Warutama tertarik akan
kecantikan Pusporini, bahkan malam tadi ia sampai tersesat
ke tempat tahanan semata-mata bermaksud untuk melihat
Pusporini dan kalau mungkin, "mendahului" Suminten
menggagahi gadis itu. Akan tetapi peristiwa pembakaran
gudang membuat ia terpaksa membatalkan niatnya dan kini
keputusan Suminten itu mengecewakan hatinya. Namun,
baik Pangeran Kukutan maupun Patih Warutama tidak
berani membantah lagi ketika Suminten berkata,
"Kalau yang dua jantan suka menyerah kepadaku, yang
dua betina akan kuserahkan kepada kalian. Kalau tidak,
keempatnya akan kubunuh hari ini juga!"
Di dalam ruangan tahanan berdinding batu tebal dan
kokoh kuat itu, telah diatur persiapannya oleh para
pengawal. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono masih
terbelenggu di dinding batu, akan tetapi Setyaningsih dan
Pusporini telah dipindahkan. Kini kedua orang wanita itu
diikat pada dua batang balok besar, diikat kaki, tangan dan
lehernya pada balok itu sehingga mereka tak mampu
bergerak. Suminten duduk di luar kamar tahanan,
menonton dari lubang jendela yang digerakkan dengan alat
rahasia sehingga dinding yang berhadapan dengan kedua
orang muda itu terbuka tengahnya dan kepala Suminten
kelihatan dari dalam kamar tahanan.
Melihat keadaan dua orang wanita itu, dan melihat
munculnya kepala Suminten di balik lubang dinding,
Pangeran Panji Sigit berseru,
"Suminten, andika seorang manusia dari darah daging,
bukan siluman. Muslihat keji apakah yang hendak
kaulakukan atas diri isteriku dan Pusporini" Kalau mau
membunuh kami; bunuhlah karena kami tidak takut mati.
Dan ingat, bahwa apapun juga yang anda lakukan, kami
takkan menyerah dan andika akan melakukan hal yang sia-
sia belaka." Suminten tersenyum. "Pangeran, apa yang akan
kulakukan bukanlah hal sia-sia, dan akan terjadi di depan
mata kalian berdua. Baru dapat dihentikan dengan
penyerahan diri kalian kepadaku tanpa syarat!" Sehabis
berkata demikian Suminten bertepuk tangan tiga kali
memberi isyarat kepada kaki tangannya. Pintu kamar
tahanan terbuka dan masuklah dua orang laki-laki yang
keadaannya mengerikan hati Pusporini dan Setyaningsih.
Mereka itu adalah dua orang laki-laki bertubuh besar dan
bersikap kasar, bermuka liar dengan mata terbelalak lebar
penuh nafsu, mulut yang besar dengan gigi yang menguning
terkekeh-kekeh meneteskan air liur ketika mereka melangkah maju dan terkekeh-kekeh menghampiri dua
batang balok berdiri di mana kedua orang wanita muda itu
terikat tak berdaya! Tanpa bicara sekalipun maklumlah
Pusporini dan Setyaningsih, juga Pangeran Panji Sigit dan
Joko Pramono, apa yang akan dilakukan oleh dua orang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
algojo setengah telanjang itu. Setyaningsih dan Pusporini
menjadi pucat wajahnya, memandang kepada dua orang
yang tubuhnya hanya ditutupi cawat kasar, tubuh setengah
telanjang bulat yang berisi otot-otot melingkar seperti
dadung dan begitu mereka masuk telah tercium bau
keringat yang kecut dan apek.
"Mundur kalian! Jangan ganggu isteriku dan Pusporini!"
bentak Pangeran Panji Sigit. Akan tetapi dua orang raksasa
itu hanya tertawa ha-hah-he-heh sambil langkah maju terus
mendekati dua orang wanita itu.
"Kalau berani menjamah mereka, kuhancurkan lumat-
lumat kepala kalian!" Joko Pramono juga berteriak yang
dijawab dengan suara terkekeh-kekeh oleh dua orang itu.
Mereka sama sekali tidak memperdulikan ancaman kedua
orang muda itu dan berdiri di depan Pusporini dan
Setyaningsih, dekat sekali. Mereka kini kelihatan makin
bernafsu dan air liur mereka menetes-netes menjijikkan.
Keadaan. mereka itu, ketika kedua orang wanita
memandang wajah mereka, mengingatkan Pusporini dan
Setyaningsih akan muka dua ekor anjing kelaparan melihat
tulang. Napas mereka yang terengah engah keluar dari
mulut menimbulkan bau yang lebih menjijikkan daripada
bau keringat mereka, seperti bau sampah membusuk. Tidak
akan mengherankanlah kiranya andaikata ada ulat-ulat
berloncatan keluar dari mulut mereka, begitu busuk baunya.
Tadinya empat orang tawanan itu menyangka bahwa
dua orang raksasa ini agaknya gagu, akan tetapi ternyata
tidak demikian karena kini raksasa yang berdiri dekat
Pusporini berkata, suaranya serak kasar seperti kaleng
diseret. "Wah-wah, Kakang Suro. Aku menjadi semlengeren
(silau) melihat dua orang wanita denok montok dan segar
ranum ini sehingga sukar untuk memilih. Kalau boleh
keduanya saja untukku, ha-ha-ha!"
"Heessss, Adi Digdo, biar yang putih kuning dan denok
montok ini untukku, yang manis legit itu untukmu!" jawab
algojo yang berdiri di depan Setyaningsih sambil meraba
dagunya dengan kepalan tangannya yang besar dan
berbulu. "Buaya darat, monyet kau! Celeng goteng kau! Coba
lepaskan ikatanku dan aku akan menginjak-injak hancur
kepala kalian berdua babi hutan! Kalau kalian begitu
pengecut dan tidak berani melepaskan, bunuh saja kami
berdua!" teriak Pusporini yang tak dapat menahan
kemarahannya lagi. "Wah-wah, eman-eman (sayang) kalau dibunuh, cah ayu
....... !" kata algojo yang bernama Digdo sambil
memandang seolah-olah hendak menelan bulat-bulat tubuh
Pusporini. "Suro dan Digdo, jangan banyak cerewet! Lekas lakukan
perintahku, tepat seperti yang kalian ketahui. Awas, kalau
tidak tepat seperti perintahku, kusuruh penggal batang leher
kalian!" Tiba-tiba terdengar suara Suminten dari balik
lubang dinding. Dua orang algojo itu terkejut, menoleh dan menyembah.
"Renggut baju mereka sampai habis lepas!" kembali
Suminten berteriak. Dua buah lengan penuh bulu dengan jari-jari tangan
sebesar pisang ambon itu bergerak ke depan, mencengkeram baju Pusporini dan Setyaningsih.
"Breeettt ....... breeeettt ....... !!"
Baju yang dipakai kedua orang wanita itu seperti kertas
saja di tangan Suro dan Digdo dan dalam sekejap mata,
sekali gentak dan renggut baju-baju itu robek semua dan
terlepas dari tubuh bagian atas. Setyaningsih dan Pusporini
memejamkan mata dan mereka menjadi telanjang dari
pinggang ke atas. Dua orang algojo itu memandang sambil
menelan ludah, kedua tangan mencabik-cabik baju yang
tadi menutupi tubuh atas Pusporini dan Setyaningsih.
Diam-diam Suminten kagum dan iri hati menyaksikan
keindahan tubuh atas kedua orang wanita itu. Harus ia akui
bahwa biarpun tubuh atasnya sendiri pun indah dan terawat
baik, namun tidaklah memiliki kesegaran seperti tubuh atas
mereka. Pada waktu itu, bertelanjang tubuh atas bagi wanita
bukanlah merupakan hal yang terlalu berat. Akan tetapi
keadaan mereka itu berbeda lagi, mereka tengah
ditelanjangi oleh tangan kedua orang algojo itu dan hal ini
merupakan penghinaan yang amat hebat.
Joko Pramono dan Pangeran Panji Sigit meronta-ronta
namun hanya berhasil membuat rantai-rantai besar yang
membelenggu mereka berkerontangan.
"Suminten, perempuan terkutuk! Bunuh saja Setyaningsih!" teriak Panji Sigit, hampir ia terisak
menyaksikan penghinaan yang dihadapi isterinya tercinta.
"Suminten, engkau dan algojo-algojomu ini sekali waktu
akan terjatuh ke tanganku, dan awaslah akan pembalasanku
atas perlakuan yang kaujatuhkan pada Pusporini saat ini!"
kata pula Joko Pramono, suaranya dingin akan tetapi
mengandung ancaman yang jelas melebihi suara halilintar
menyambar. Suminten tersenyum penuh kemenangan. Memang
itulah yang ia kehendaki. Menyiksa batin kedua orang pria
itu agar suka tunduk dan berlutut di depan kakinya.
"Hi-hik, kalian merasa kasihan dan ngeri" Mengapa tidak
menolong mereka dan membebaskan mereka dari keadaan
yang lebih hebat lagi" Mudah saja dan ringan syaratnya,
asal suka membantuku. Kalau kalian masih berkeras
kepala, dengarkan apa yang akan dilakukan oleh kedua
orang algojoku ini. Atas perintahku, mereka nanti akan
merenggut lepas seluruh pakaian dua orang wanita itu.
Setelah itu, mereka berdua akan membeIai dan meremas
bagian-bagian tubuh Setyaningsih dan Pusporini, bagian-
bagian yang kalian tak ingin dijamah laki-laki lain. Setelah
puas, mereka itu akan kuperintahkan untuk memperkosa
Setyaningsih dan Pusporini di depan mata kalian sekuat
mereka sampai dua orang wanita pujaan hati kalian ini
mati! Ya, akan kuperintahkan agar dua orang wanita ini
diperkosa sampai mati di sini, tiada henti-henti sampai
mereka berdua ini mati atau kedua orang algojo ini kurang
kuat dan mereka yang diperkosa itu belum mati, akan
kudatangkan dua orang algojo lain yang masih segar dan
kuat untuk menggantikan mereka memperkosa Setyaningsih dan Pusporini, kemudian dua lagi, menjadi
enam orang, sepuluh orang, dua puluh, sampai seratus
orang, sampai Setyaningsih dan Pusporini kehabisan napas
dan mati !" "Perempuan iblis terkutuk ....... Joko Pramono memekik,
wajahnya pucat kini. "Tidak ....... jangan ....... kau bunuh saja kami,
Suminten, bunuh saja kami, ....... !" Pangeran Panji Sigit
merintih suaranya lemah, air matanya bertitik menuruni
pipinya. Melihat keadaan suaminya seperti itu, hati Setyaningsih
seperti diiris-iris. Ia lupa akan keadaan dirinya sendiri,
lenyap rasa ngerinya karena ia kasihan menyaksikan
penderitaan batin yang ditanggung suaminya, maka ia lalu
berkata lantang setengah menjerit,
"Kakangmas Pangeran, mengapa berduka" Tubuhku ini
bukanlah milik paduka, bukan pula milikku, hanya tanah
dan debu. Yang kita miliki adalah rasa cinta kasih yang
takkan lenyap dan abadi, dan kita akan dapat berkumpul
kembali setelah aku mati dan kemudian paduka menyusul.
Biarlah mereka lakukan apa saja atas tubuh bukan milik
kita ini, Kakangmas."
Semua orang tertegun bagaikan disiram air dingin
mendengar ini. Suminten merasa seperti ditampar
mukanya, bahkan dua orang algojo itu sejenak terbelalak.
"Duh Ayunda, engkau bijaksana sekali dan terima kasih
....... " bisik Pusporini di sampingnya dan kini gadis inipun
dapat memandang kekasihnya dengan tabah dan wajah
berseri-seri, seolah-olah apa yang akan dialami dan yang
berangkir dengan kematian merupakan saat-saat dia hendak
melangsungkan pernikahan dengan Joko Pramono, pernikahan di akhirat! "Isteriku Setyaningsih yang tercinta! Maafkanlah kakanda yang diserang kelemahan tadi. Kini hatiku lega
dan marilah kita hadapi hukuman tubuh yang penuh dosa
dengan segala penyerahan kepada Hyang Widi. Suminten,
jangan mengira bahwa kejahatan dapat mengalahkan
kebajikan, bahwa iblis dapat mengalahkan dewata,
lakukanlah sesuka hatimu, wahai perempuan malang calon
intip neraka!" kata Pangeran Panji Sigit.
"Ha-ha-ha, engkau mau berkata apa lagi sekarang,
Suminten perempuan rendah budi?" Joko Pramono tertawa
bergelak, hatinya juga lapang setelah mendengar ucapan
Setyaningsih tadi. Suminten memandang dengan sinar mata penuh
kemarahan dan muka pucat. Ia masih belum mau
menerima kalah. Ia tidak percaya bahwa dua orang pria
mu-da itu akan kuat bertahan menyaksikan. kekasih-kekasih
mereka diperkosa dan disiksa. "Suro dan Digdo, renggut
kain-kain mereka, telanjangi mereka!" perintahnya.
Sikap dan ucapan empat orang muda itu mengandung
wibawa yang amat hebat, menggetarkan isi dada dua orang
algojo yang kasar seperti binatang buas itu sehingga gairah
dan nafsu berahi mereka sudah banyak mendingin. Akan
tetapi perintah Suminten bagaikan cambuk yang memecut
punggung mereka, membuat mereka tergesa-gesa mengulur
tangan meraih ke depan hendak merenggut kain
Setyaningsih dan Pusporini yang sudah memejamkan mata
sambil bersamadhi mematikan raga dan rasa, sedangkan
dua orang pria muda itu memandang dengan muka pucat
akan tetapi dengan penuh keikhlasan dan penyerahan
kepada Yang Maha Kuasa. Pada saat itu terdengar jelas tarikan napas panjang yang
entah dari mana datangnya dan tiba-tiba berkelebat dua
sinar kecil menyambar tengkuk dua orang algojo itu.
Bagaikan disambar petir dua orang algojo itu yang sudah
menyentuh kain Setyaningsih dan Pusporini, mengejang
dan ....... berdiri kaku seolah-olah mereka telah berubah
menjadi dua buah arca batu! Kembali datang menyambar
sinar-sinar kecil, kini menuju ke arah tambang-tambang
kuat yang mengikat leher, lengan, dan kaki kedua orang
wanita itu dan seketika semua tambang pengikat tubuh
mereka putus seperti dikerat pisau tajam!
Keadaan ini membuat semua orang tertegun, bahkan
Setyaningsih dan Pusporini sendiri kini sudah sadar dari
samadhi, membelalakkan mata memandang semua tali
pengikat yang sudah putus. Sedemikian besar keheranan
dan kekagetan mereka sehingga mereka tidak mampu
menggerakkan kaki dan tangan yang sudah bebas itu!
Hanya pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono yang sadar
dan kini mereka menoleh ke arah pintu dari mana tadi
menyambar sinar-sinar itu, setengah dapat menduga bahwa
ada seorang sakti yang telah menolong mereka. Akan tetapi
ketika perlahan-lahan daun pintu yang berat itu terbuka,
mereka inipun melongo keheranan karena yang muncul
bukanlah seorang kakek sakti mandraguna, juga bukan Resi
Mahesapati seperti yang tadinya disangka oleh Joko
Pramono, melainkan seorang pemuda remaja berpakaian
sederhana berwajah tampan berkulit putih yang melangkah
perlahan memasuki tempat itu dengan senyum tenang
penuh kesabaran di bibir!
Pemuda remaja ini bukan lain adalah Bagus Seta.
Kedatangannya yang tepat sekali pada waktunya itu
merupakan hasil daripada usaha Wiraman dan Widawati
semalam. Malam tadi, Bagus Seta masih berada di luar kota
saja, mendapatkan sebuah tempat yang amat nyaman
dalam hutan sehingga ia berhenti dan bersamadhi di tempat
itu menikmati keindahan tetumbuhan dan kebersihan hawa
segar. Akan tetapi pada malam harinya, Bagus Seta melihat
sinar merah tanda kebakaran membubung tinggi. Hal inilah
yang membuat pemuda sakti mandraguna mempercepat
kepergiannya ke kota raja dan begitu memasuki kota raja
mendengar akan peristiwa ditawannya Pangeran Panji Sigit,
Joko Pramono, Setyaningsih dan Pusporini. Disebutnya
nama kedua orang wanita ini membuat Bagus Seta
langsung saja mendatangi tempat tahanan, mempergunakan
kesaktiannya dan berhasil datang pada saat yang tepat
sehingga kedua orang bibinya itu tertolong. Dengan
demikian maka tidak sia-sialah kiranya pengorbanan yang
dilakukan oleh Wiraman dan Widawati. Kalau saja mereka
tidak melakukan usaha itu dan tidak terjadi kebakaran tentu
kedatangan Bagus Seta akan terlambat. Tentu saja segala
macam liku-liku peristiwa yang kebetulan itu telah ada yang
mengatur-Nya dan hanya atas kehendak-Nya sajalah maka
dapat terjadi semua kebetulan itu !
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan langkah perlahan dan sikap tenang sekali Bagus
Seta langsung menghampiri Pangeran Panji Sigit dan Joko
Pramono, kemudian menggunakan jari-jari tangannya yang
halus itu meraih ke arah rantai baja. Terdengar bunyi
berkerotokan dan ....... dalam sekejap mata saja kedua
tangan merekapun bebas, rantai itu patah-patah dan jatuh
ke atas lantai. Bagaikan menerima komando, tubuh Pangeran Panji
Sigit dan Joko Pramono meloncat ke depan dan
menghantan dengan tangan yang mengandung aji kesaktian
ke arah kepala Suro dan Digdo yang masih berdiri seperti
arca. Terdengar suara keras "prakk!" dua kali dan tubuh
tinggi besar kedua algojo itu roboh dengan kepala pecah
dan tewas di saat itu juga. Pangeran Panji Sigit dan Joko
Pramono dengan sikap beringas memutar tubuh hendak
mencari Suminten, akan tetapi sudah sejak tadi wanita itu
lenyap dari balik lubang dinding, bahkan dinding itu sendiri
kini tidak berlubang lagi, tertutup oleh gerakan alat rahasia.
Karena tak dapat melihat Suminten, Pangeran Panji Sigit
dan Joko Pramono menjatuhkan diri berlutut di depan
Bagus Seta, demikian pula Setyaningsih dan Pusporini yang
kini telah sadar dari keadaan terpesona, merekapun cepat
berlutut hendak menyembah, lupa akan keadaan tubuh atas
mereka yang masih telanjang.
"Harap jangan banyak penghormatan, kini bukan
waktunya bicara, yang terpenting harap lekas ikut bersama
saya keluar dari kota raja." Bagus Seta menggunakan kedua
tangan menyentuh pundak mereka, akan tetapi sentuhan jari tangan itu mengandung kekuatan mujijat yang tak terlawan
sehingga keempat orang itu seperti ditarik tenaga
raksasa dan bangkit berdiri. Ucapan itu pun sekaligus mengingatkan mereka bahwa bahaya belumlah terhindar selama
mereka masih berada di tempat itu. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono lalu menanggalkan baju masing-masing
dan memberikan baju mereka untuk dipakai oleh
Setyaningsih dan Pusporini sekedar untuk menutupi
ketelanjaan tubuh atas mereka. Kemudian mereka
melangkah keluar mengikuti Bagus Seta yang tenang-tenang
saja berjalan keluar dari ruangan tahanan itu. Mereka
disambut oleh belasan orang pengawal yang bergerak
kebingungan seperti rombongan semut diganggu. Melihat
ini, empat orang muda itu siap untuk mengamuk, akan
tetapi Bagus Seta berkata perlahan,
"Harap tenang dan tidak perlu melayani mereka, lebih
baik cepat keluar dari sini."
Dua pasang orang muda itu terheran. Dihadang
rombongan pengawal tidak boleh melawan, habis
bagaimana akan dapat meloloskan diri" Akan tetapi mereka
berempat menjadi kagum dan terheran-heran ketika melihat
pemuda remaja itu mengembangkan kedua lengan dengan
perlahan, akan tetapi akibatnya, rombongan pengawal yang
datang dari kanan kiri itu terlempar dan roboh saling tindih
seperti tertiup angin badai yang amat kuat. Kini yakinlah
hati kedua pasang orang muda itu akan kesaktian penolong
mereka dan mereka berjalan terus mengikuti Bagus Seta
dengan cepat keluar dari bangunan. Setiap bagian yang
mengandung alat rahasia menjadi macet tak dapat bergerak
karena dari jauh Bagus Seta telah menggunakan hawa sakti
yang meluncur tak tampak dari telapak tangannya untuk
memukul rusak alat-alat rahasia yang tersembunyi di balik
dinding atau di bawah lantai, dan setiap usaha para
pengawal yang puluhan orang banyaknya untuk menghalangi pelarian mereka, roboh malang-melintang dan
jatuh bangun oleh gerakan kedua lengan pemuda sakti
mandraguna ini. Tak seorang pun di antara para pengawal
itu tewas, akan tetapi karena tiupan angin kuat yang keluar
dari gerakan kedua lengan pemuda baju putih, membuat
mereka menjadi gentar dan jerih.
"Harap pergunakan aji berlari cepat," kata Bagus Seta
setelah mereka berhasil keluar dari dinding istana. Dua
pasang orang muda itu cepat berlari mempergunakan ilmu
mereka, sedang Bagus Seta berlari di belakang mereka
sebagai perisai. Apabila ada pengawal berani menghadang,
pukulan-pukulan dua pasang orang muda itu sambil berlari
cukup untuk merobohkan para penghalang. Ratusan anak
panah yang diluncurkan oleh para pengawal yang
melakukan pengejaran dari belakang, runtuh semua hanya
oleh lambaian tangan Bagus Seta sehingga para pengawal
menjadi makin gentar. Akan tetapi, ketika dua pasang orang muda itu sudah
hampir keluar dari dinding kota raja melalui pintu gerbang
yang terjaga kuat namun para penjaganya kembali
dirobohkan secara mudah oleh Bagus Seta, tiba-tiba mereka
tersusul oleh serombongan pengawal yang jumlahnya lima
puluh orang menunggang kuda dan dipimpin oleh Cekel
Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro!
Mereka ini ternyata telah mengejar melalui pintu gerbang
lain dan memotong jalan sehingga mereka dapat menyusul,
apalagi karena mereka menunggang kuda. Begitu melihat
empat orang tawanan yang lolos bersama penolong mereka
yang muda belia dan aneh itu, tiga orang tokoh sakti ini
meloncat turun dari kuda diikuti lima puluh orang
pengawal anak buah mereka.
"Babo-babo! Siapakah gerangan bocah lancang yang
berani mati membebaskan para tawanan Kerajaan Jenggala!
Mengakulah, anak muda, siapa andika sebelum nenggalaku
memenggal batang lehermu!" bentak Ki Kolohangkoro
menyembunyikan rasa ragu dan gentarnya mendengar
berita betapa pemuda berpakaian putih itu memiliki
kesaktian yang tidak lumrah manusia biasa!
Akan tetapi, sebelum Bagus Seta menjawab, Joko
Pramono yang sudah menjadi marah sekali melihat
munculnya musuh-musuh besar itu, membentak, "Ki
Kolohangkoro, sekaranglah tiba saatnya kita boleh
mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang!"
Joko Pramono sudah menerjang maju dengan kepalan
tangannya, menyerang Ki Kolohangkoro dan saking
marahnya, begitu menyerang Joko Pramono sudah
menggunakan aji kesaktiannya yang amat ampuh, yaitu
Cantuka-sekti yang merupakan pukulan mendorong dari
bawah dengan tubuh agak direndahkan hampir berjongkok.
Ki Kolohangkoro menggereng keras dan menggerakkan
nenggalanya menangkis sambil mengerahkan tenaga
saktinya, akan tetapi seperti ketika untuk pertama kalinya ia
bentrok dengan pemuda sakti murid Resi Mahesapati ini, ia
kalah tenaga dan tubuhnya terpental ke belakang.
Kekebalannya melindunginya sehingga hawa pukulan
Cantuka-sekti itu tidak mampu merobohkannya. Bentrokan
antara Joko Pramono dan Ki Kolohangkoro ini merupakan
komando bagi para pengawal sehingga mereka menyerbu ke
depan sambil berteriak-teriak. Ni Dewi Nilamanik dan
Cekel Wisangkoro sudah pula menerjang maju, disambut
oleh Pusporini yang menghadapi Ni Dewi Nilamanik,
sedangkan Setyaningsih bersama Pangeran Panji Sigit
menyambut terjangan Cekel Wisangkoro.
Serangan Ni Dewi Nilamanik yang menggunakan
kebutan merah amat dahsyatnya. Ujung kebutan yang
kadang-kadang dapat lemas seperti ujung cambuk kadang-
kadang dapat mengeras dan runcing seperti ujung pedang
itu meluncur cepat ke arah leher Pusporini. Namun secepat
kilat Pusporini menggerakkan tangan kiri dari samping
diputar dengan jari-jari tangan mencengkeram ujung
kebutan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka
mengirim tamparan dengan Aji Pethit Nogo yang
ampuhnya menggila! Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan
suara menjerit, menarik kembali kebutannya dan menangkis
tamparan dengan kebutan yang diputar ke kiri
"Prattt!" Ujung kebutan bertemu dengan jari tangan yang
mengandung Pethit Nogo itu menjadi bobol sedikit dan
tubuh Ni Dewi Nilamanik agak terhuyung ke belakang.
Akan tetapi Pusporini juga merasa betapa jari tangannya
pedas dan panas, tanda bahwa lawannya ini bukanlah
lawan yang ringan. Yang hebat adalah Cekel Wisangkoro, murid terpandai
dari Wasi Bagaspati. Tongkatnya yang hitam berbentuk ular
itu berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih. Suami isteri ini
bertangan kosong, maka mereka cepat mengelak, kemudian
dari kanan kiri membalas dengan pukulan sakti yang
mereka perdalam di bawah pimpinan mendiang Ki
Datujiwa. Namun ternyata bahwa tingkat kesaktian suami
isteri ini masih kalah oleh tingkat Cekel Wisangkoro yang
sudah tinggi sehingga sekali memutar tongkatnya secara
tepat, tidak saja cekel tua berhasil menggagalkan serangan
mereka, bahkan sebaliknya membalas dengan pukulan dan
tusukan tongkatnya bertubi-tubi membuat suami isteri itu
sibuk mengelak. Tiba-tiba gerakan tongkat ular itu terhenti di tengah
udara oleh kekuatan yang iak tampak. Ternyata Bagus Seta
sudah turun tangan, menggerakkan tangannya mendorong
dengan pukulan jarak jauh, menahan gerakan tongkat
sehingga suami isteri itu dapat meloncat mundur. Ketika
Setyaningsih dan suaminya memandang, ternyata para
pengawal yang tadi menyerbu dan berada di bagian paling
depan, telah roboh terjengkang seperti yang dialami para
pengawal yang menghadang di sepanjang jalan tadi.
"Harap andika berempat cepat melarikan diri dan
menanti saja di dalam hutan menuju Panjalu!" Terdengar
pemuda remaja itu berkata halus. Mendengar ini, Pusporini
dan Joko Pramono tidak suka membantah, mereka
meloncat mundur karena maklum bahwa kalau dilanjutkan
melawan, biarpun mereka tidak akan kalah menghadapi
lawan itu seorang lawan seorang, namun kalau dikeroyok
oleh puluhan orang pengawal akan memakan waktu lama.
Apalagi kalau sampai Patih Warutama datang membawa
barisan, akan berbahayalah keadaan mereka. Mereka
berempat maklum akan kesaktian pemuda remaja itu, maka
ucapannya merupakan perintah bagi mereka dan cepat
mereka meloncat dan melarikan diri ke selatan.
"Kejar! Tangkap tawanan yang kabur. Bunuh!" teriak Ki
Kolohangkoro dan sebagian besar para pengawal sudah
berlari dan hendak menunggang kuda melakukan pengejaran. Mereka semua maklum bahwa kalau mereka
gagal menangkap para tawanan, mereka akan mendapat
marah besar dari Pangeran Kukutan dan Ki Patih
Warutama, terutama sekali mereka ngeri kalau mengingat
akan kemarahan Suminten. Sebaliknya kalau mereka
berhasil menawan kembali empat orang pelarian itu, tentu
mereka akan mendapat hadiah yang banyak. Karena inilah
maka mereka seakan-akan berlumba hendak melakukan
pengejaran. "Berhenti!" terdengar suara halus namun amat berpengaruh sehingga semua orang seketika menghentikan
gerakan mereka. Beberapa orang yang sudah meloncat ke
atas kuda dan sudah melarikannya, tiba-tiba terguling dari
atas punggung kuda ketika Bagus Seta mendorongkan
tangan kirinya ke arah mereka.
"Bocah berilmu setan! Siapakah engkau sesungguhnya
berani menentang para pengawal Jenggala?" Cekel
Wisangkoro kini bertanya dengan hati tertarik karena
selama hidupnya dalam perantauan, dia belum pernah
mendengar tokoh muda seperti ini.
"Cekel Wisangkoro, ilmu apa pun juga di dunia ini kalau
dipergunakan untuk melakukan kejahatan menjadi ilmu
hitam atau ilmu setan. Akan tetapi aku akan selalu
menggunakan sedikit pengertian yang kumiliki untuk
mengabdi kebenaran dan keadilan."
"Babo-babo! Engkau telah mengenal aku?"
Kini tidak hanya Cekel Wisangkoro yang menghadapi
pemuda ini, juga. Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi
Nilamanik mendekat dan memandang penuh perhatian,
penuh takjub dan menduga-duga.
"Aku mengenal siapa andika, Cekel Wisangkoro. Andika
murid utama dari Sang Wasi Bagaspati, seorang pendatang
dari Hindu yang memperjuangkan perkembangan Agama
Syiwa, bukan" Aku mengenal pula Ni Dewi Nilamanik
yang menjadi pemuka dari penyebaran Agama Bathari
Durgo di Tanah Jawa, yang menganggap dirinya sebagai
penitisan Sang Bathari Durgo sendiri. Aku mengenal pula
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Kolohangkoro pemuka dari penyebaran Agama Bathara
Kolo di Tanah Jawa, yang mengaku dirinya sebagai
penitisan Sang Bathara Kolo sendiri. Wahai andika bertiga,
mengapa mengabaikan perbedaan antara baik dan buruk,
antara salah dan benar dan menjadi hamba nafsu pribadi
yang hanya akan menimbulkan kebakaran dan kehangusan
diri andika sekalian sendiri" Manusia bebas memeluk
agama apa pun juga, memilih sesembahan mereka, bahkan
bebas pula menyebarkannya. Akan tetapi, kalau penyebaran
agama itu dilakukan dengan tipu muslihat, dengan
kekerasan dan bahkan tidak segan-segan dengan kekacauan
dan pembunuhan, hal ini sudah menyeleweng daripada
kebenaran, merupakan pemerkosaan yang keji. Mengapa
andika tidak mau sadar?"
Tiga orang tokoh sakti itu terbelalak keheranan. Orang-
orang seperti mereka itu mana mungkin dapat mudah
disadarkan" Betapa manusia dapat mudah sadar daripada
penyelewengan kalau mereka menganggap bahwa penyelewengan itu bukanlah penyelewengan melainkan
kebenaran! Berbahagialah manusia yang dapat mengenal
penyelewengan mereka sendiri!
"Wahai bocah muda yang amat luar biasa. Siapakah
sebenarnya andika?" "Namaku Bagus Seta, dan sekali lagi kuperingatkan
andika sekalian bahwa usaha Negeri Sriwijaya dan Negeri
Cola untuk menanamkan kuku-kuku beracun mereka di
Tanah Jawa akan mengalami kegagalan. Setiap
kemenangan dari kejahatan
pasti akan tersusul, cepat
atau pun lambat, oleh kebenaran yang akan menggulung dan menghancurkannya. Belum terlambat kalau andika insyaf dan mengundurkan diri, menyampaikan kepada
Sang Biku Janapati untuk tidak melanjutkan usaha mereka mengembangkan agama dengan tipu muslihat
dan kekarasan. Terutama sekali, insyafkan mereka bahwa angkara murka yang datang
dari negara-negara asing untuk menjajah Tanah Jawa
takkan mendatangkan kebahagiaan melainkan hanya
mendatangkan kehancuran dan kesengsaraan, terutama
bagi fihak penjajah."
"Babo-babo, bocah sombong! Lagakmu seolah-olah
engkaulah penitisan Sang Hyang Jagad Nata sendiri!
Ataukah engkau bicara mewakili para penyembah Sang
Hyang Wishnu dan sengaja hendak menentang kami?"
bentak Cekel Wisangkoro marah.
Bagus Seta menggelengkan kepalanya dan sikapnya
masih tenang sekali, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar yang membuat silau ketiga orang sakti
itu. "Agaknya andika bertiga lupa akan inti sari dan sumber
daripada semua agama yang kalian anut. Apakah
perbedaan antara Sang Hyang Brahma, Sang Hyang
Wishnu, dan Sang Hyang Syiwa" Ketiganya adalah sifat
daripada Sang Hyang Widhi Wasesa, satu-satunya
kekuasaan tertinggi yang menguasai seluruh jagad-raya
seisinya. Ketiga sifat Tritunggal, disebut tiga namun satu
juga yang membuat jagad raya ini berputar terus. Kesatuan
dari tiga sifat inilah yang merupakan lingkaran tak pernah
putus. Hyang Brahma Maha Pencipta, yang mencipta
seluruh alam mayapada seisinya. Hyang Wishnu Maha
Pelindung dan memelihara, yang memelihara segala ciptaan
tadi, yang bergerak maupun tidak. Hyang Syiwa Maha
Pembinasa, yang menghancurkan dan membinasakan
segala ciptaan itu. Ketiganya adalah Trimurti, selalu
bersatu, tak pernah dapat terpisahkan karena ketiga sifat ini
dengan kerja sama yang wajar dan tak terelakkan membuat
alam mayapada seperti yang terjadi dahulu, yang kita lihat
sekarang, dan yang akan terjadi kelak. Sebuah raja di antara
Tiga Sifat Yang Maha Kuasa ini dipisahkan, segalanya
akan terhenti. Sang Pencipta mencipta segala benda dan
mahluk sesual dengan kehendak Yang Maha Kuasa, Sang
Pemelihara memelihara ciptaan-ciptaan itu agar dapat
berlangsung, dan Sang Pembinasa menghancurkan satu
demi satu untuk memberi kelangsungan pula kepada
ciptaan-ciptaan baru!"
-oo0dw0oo- XXXIX TIGA orang sakti itu mendengarkan dengan melongo.
Hampir mereka tidak percaya bahwa yang bicara di depan
mereka itu adalah seorang pemuda berusia dua puluhan
tahun. "Andika telah kesiku (terkutuk) kalau memisah-
misahkan tiga sifat itu dan hanya menjadi penyembah Sang
Bathara Syiwa saja, atau Sang Bathari Durgo yang hanya
menjadi pelengkap dan pembantu, maupun juga Sang
Bathara Kolo yang membantu tugas Bathara Syiwa. Di
dunia ini, tidak mungkin hanya sifat pembinasa saja yang
berkuasa, juga akan pincang kalau hanya sifat pencipta saja,
atau sifat pemelihara saja. Harus ada ketiganya, maka
disebut Trimurti, Tri-tunggal, tiga sifat dari SATU KEK
UASAAN MAHA SEMPURNA yang saling bantu, saling
mengisi. Demikianlah, wahai andika bertiga orang-orang
yang telah mempergunakan sebagian besar umur andika
untuk memipelajari ilmu, janganlah sia-siakan hidup kalian
dengan penyelewengan daripada wajib hidup."
Tiga orang sakti itu melongo dan tertegun bukan untuk
taat, sama sekali tidak, hanya terheran saja. Kini, setelah
pemuda itu selesai bicara, bangkitlah kemarahan di hati
mereka, terutama sekali Ni Dewi Nilamanik dan Ki
Kolohangkoro. Mereka berdua adalah kepala agama,
seorang yang ahli dalam agama yang dianutnya, kini
mereka dikuliahi seorang bocah tentang agama! Hal ini
mereka terima sebagai penghinaan dan kesombongan si
pemuda. "Bocah sombong, katakan siapa gurumu" Gurumu
tentulah musuh besar dari kami, atau musuh besar Sang
Wasi Bagaspati!" bentak Ni Dewi Nilamanik.
Bagus Seta menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
Heran ketiga orang itu melihat sikap yang demikian
tenangnya, sama sekali tidak membayangkan kemarahan
niaupun permusuhan, lunak dan lembut penuh kesabaran
clan pengertian. "Guru manakah yang lebih besar daripada Yang Maha
Kuasa" Kalau Yang Maha Kuasa dapat diumpamakan
apinya matahari, di dalam diri setiap orang manusia
terdapat setitik bunga api. Kalau dapat diumpamakan air
samudera, di dalam diri setiap orang manusia terdapat
setetes airnya. Segala pengetahuan telah berada di dalam
diri manusia yang tak pernah terpisah dari Gurunya, yang
tak pernah ditinggdlkan. Yang Maha Kuasa tidak pernah
sedetikpun meninggalkan setiap orang manusia, hanya si
manusialah yang terlalu sering meninggalkanNya. Guru
yang berujud manusia hanyalah sebagai petunjuk dan
penggali sehingga si manusia menemukan kembali
pengertian yang terpendam di dalam dirinya, tertutup oleh
sampah-sampah nafsu. Guruku yang berujud manusia sama
dengan aku, tidak pernah mempunyai musuh dan tidak
akan mempunyai musuh karena sudah terbebas daripada
nafsu membenci. Benci menimbulkan dendam, dan dendam
menimbulkan permusuhan. Tanpa benci berarti tidak akan
punya miasuh, namun dia sendiri tidak pernah mempunyai
musuh. Kalau andika bertiga menganggap aku ini musuh,
itu adalah kerugian bagi andika sendiri, akan tetapi aku
tidak menganggap andika bertiga ini musuh karena aku
tidak membenci siapa-siapa."
"Babo-babo! Lidahmu lemas seperti lidah ular, engkau
pandai bicara, orang muda. Hendak kulihat apakah
kesaktianmu juga sehebat bicaramu!" Sambil membentak
keras, tongkat ular di tangan Cekel Wisangkoro sudah
meluncur ke depan, menusuk ke dada pemuda itu.
Serangan ini diikuti oleh kebutan di tangan Ni Dewi
Nilamanik yang mengeluarkan suara meledak keras, dan
dibarengi pula oleh tusukan nenggala di tangan Ki
Kolohangkoro. Hebat bukan main serangan berbareng yang
dilakukan tiga orang sakti itu, datangnya dari tiga jurusan
dan memiliki keampuhan masing-masing. Akan tetapi Bagus Seta bersikap tenang saja, kemudian secara tiba-tiba
tubuhnya lenyap seolah- olah ditelah bumi sehingga tongkat di tangan Cekel Wisangkoro hampir bertemu dengan nenggala Ki Kolohangkoro sendiri. Ketiganya terkejut sekall
dan dengan hati ngeri menduga bahwa pemuda aneh itu memiliki kesaktian menghilang dari
depan mata mereka! Benarkah Bagus Seta pandai
menghilang" Sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda
sakti itu tidak menghilang, melainkan menggunakan aji
kesaktian meringankan tubuh yang amat tinggi tingkatnya
sehingga tubuhnya dapat berkelebat mengelak secara
demikian cepatnya dan karena gerakannya jauh melampaui
ketiga orang lawannya, sehingga mereka bertiga itu tidak
dapat mengikuti gerakannya dengan pandang mata. Tubuh
Bagus Seta berkelebat cepat menghindarkan diri dari
serangan lawan lalu melesat keluar kepungan dan pergi
melarikan diri dari tempat itu menyusul dua pasang orang
muda yang telah lebih dulu melarikan diri.
Tlga orang sakti itu akhirnya sadar akan hal ini dan
benar saja, ketika memandang, bayangan pemuda itu telah
pergi agak jauh dart tempat itu.
"Bocah keparat, hendak lari ke mana kau?" bentak Ki
Kolohangkoro yang cepat melontarkan nenggalanya ke
arah Bagus Seta. Juga Cekel Wisangkoro mengayun
tongkat ularnya dan melontarkari tongkat itu menyusul
nenggala ke arah tubuh Bagus Seta. lontaran nenggala dan
tongkat ini tak boleh dipandang rendah karena tenaga
lontarannya sedemikian kuatnya membuat kedua macam
senjata itu meluncur lebih cepat daripada luncuran anak
panah terlepas dari busurnya.
Bagus Seta mendengar angin luncuran dua bush senjata
pusaka ampuh itu, dan ia hanya menoleh tanpa
menghentikan langkahnya, mengangkat tangan kanannya
menyampok kedua senjata itu berturut-turut sehingga
nenggala dan tongkat itu runtuh ke atas tanah. Kemudian
pemuda ini berlari terus dan sebentar saja lenyap dari
pandangan mata ketiga orang lawannya.
Ki Kolohangkoro dan Cekel Wisangkoro dengan hati
penasaran berlari dan mengambil senjata mereka. Dapat
dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa ujung
nenggala dan tongkat ular itu telah hancur! Terpaksa
mereka lalu memimpin para pengawal untuk terus
melakukan pengejaran, namun pekerjaan ini dilakukan
dengan setengah hati karena mereka bertiga kehilangan
kepercayaan kepada kekuatan sendiri setelah bertemu
dengan Bagus Seta, pemuda yang memiliki kesaktian yang
tidak lumrah itu. Malah Cekel Wisangkoro tidak ikut
melakukan pengejaran yang ia tahu akan sia-sia itu,
melainkan ia tergesa-gesa pergi menghadap gurunya, Sang
Wasi Bagaspati untuk memberi laporan tentang munculnya
Bagus Seta yang memiliki kesaktian luar biasa itu.
Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan
Pusporini cepat maju menyambut kedatangan Bagus Seta
yang melangkah perlahan akan tetapi tidak lama telah dapat
mengejar dan menyusul dua pasang orang muda itu, dan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sertamerta dua pasang orang muda itu menjatuhkan diri
berlutut di depan kakinya.
"Tanpa bantuan paduka yang sakti mandraguna, kami
berempat tentu tewas. Kami amat bersyukur dan berterima
kasih ........ " Namun ucapan Setyaningsih ini diputus oleh
ucapan halus Bagus Seta, "Harap andika berempat bangun dan kalau perlu
bersyukur dan berterima kasih, berterima kasihlah kepada
Hyang Widhi Wisesa karena hanya dengan kehendak-Nya
sajalah kita semua masih hidup di saat ini. Dan harap
jangan menyembah saya, terutama sekali kedua bibi, karena
sesungguhnya sayalah yang harus berlutut menyembah ke
hadapan bibi berdua." Setelah tadi mengangkat bangun
empat orang itu, kini Bagus Seta yang menjatuhkan diri
berlutut dan menyembah dua orang wanita itu.
"Ahhhh, Raden ........ bagaimana mungkin kami dapat
menerima penghormatanmu yang tak pada tempatnya ini?"
Pusporini cepat berseru saking kagetnya. Biarpun pria ini
masih amat muda, lebih muda daripadanya, akan tetapi
betapa mungkin pemuda sakti mandraguna yang telah
menyelamatkan nyawa mereka, bahkan lebih daripada itu,
telah menyelamatkan mereka daripada ancaman bahaya
penghinaan yang lebih hebat mengerikan daripada maut
sendiri, kini menyembahnya"
"Bibi Setyaningsih dan Bibi Pusporini, harap suka
pandang baik-baik kepada hamba. Tidakkah Bibi berdua
dapat mengenal keponakanmu lagi?"
Setyaningsih dan Pusporini terkejut, memandang wajah
tampan yang terangkat itu dengan seksama, kemudian
keduanya menjerit, "Bagus Seta ........ !!"
Setyaningsih dan Pusporini menubruk dan merangkul
Bagus Seta sambil menangis.
"Aduhai ........ Bagus Seta ........ ke mana saja engkau
pergi selama ini?" Setyaningsih terisak-isak dengan muka
bersandar pundak Bagus Seta. "Semenjak engkau pergi,
banyak sekali hal telah terjadi .......
"Seta, anak nakal ........ ! Mengapa engkau menghilang
sekian lamanya" Ke mana saja engkau pergi" Aihhh,
sekarang eyang-eyangmu ........ " Pusporini sukar melanjutkan kata-katanya karena lehernya tercekik oleh
keharuan. Ia hanya dapat merangkul dan menciumi rambut
kepala keponakannya itu. Kalau kedua wanita itu menangis dan menumpahkan
rasa haru, adalah Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono
yang berdiri bengong. Tentu saja mereka sudah seringkali
mendengar dari Setyaningsih dan Pusporini tentang Bagus
Seta, putera Tejolaksono yang pergi dibawa orang sakti
semenjak berusia sepuluh tahun. Kini ternyata anak itu
telah menjadi seorang pemuda yang amat sakti, dan yang
kini hanya tersenyum-senyum dengan wajah sama sekali
tidak dipengaruhi tangis kedua orang bibinya yang
mengguguk mengharukan. "Syukur engkau datang menolong, Bagus Seta. Kalau
tidak, bagaimana akan jadinya dengan nasib kedua bibimu
........ !!" Setyaningsih berkata lagi, suaranya terputus-putus,
"Anakku Seta! Engkau telah menjadi seorang sakti, mari
bantu kami menghancurkan yang mencengkeram dan
menguasai Jenggala!" Pusporini berseru, mengepal tinju
karena bangkit kemarahannya teringat kepada Suminten
dan kaki tangannya. Setelah membiarkan kedua bibinya itu menumpahkan
rasa terharu mereke sejenak, akhirnya Bagus Seta yang
tersenyum penuh pengertian itu lalu memegang tangan
kedua orang bibinya, bangkit berdiri dap berkata,
"Harap Bibi berdua tenangkan hati dan mari kita bicara
tentang Jenggala dan pengalaman-pengalaman Bibi sehingga menjadi tawanan di sana. Sebelumnya harap Bibi
perkenalkan kedua Paman yang gagah perkasa in!."
"Bagus Seta, dia adalah Pamanmu Pangeran Panji Sigit,
suamiku. Dan dia itu Dimas Joko Pramono, kakak
seperguruan Bibimu Pusporini." Setyaningsih memperkenalkan. Bagus Seta maju member! hormat. "Girang sekali hati
saya dapat berjumpa dengan Paman Pangeran Panji Sigit
dan paman Joko Pramono. Saya Bagus Seta menghaturkan
sembah dan hormat?""
Sejenak kedua orang pria perkasa Itu tertegun
menyaksikan sikap penuh hormat dari pemuda remaja itu.
Hati mereka menjadl makin kagum akan kerendahan hati
Bagus Seta dan kehalusan tutur sapa dan sikapnya, sama
sekali tidak tampak kebanggaan dan kesombongannya akan
kesaktian luar biasa yang dimilikinya. Tersipu-sipu mereka
lalu menjawab, "Ah, sudah lama aku mendengar akan dirimu dari
bibimu Setyaningsih, Bagus. Dan amatlah bahagia hatiku
kini bertemu dan melihat bahwa keponakan isteriku adalah
seorang yang memiliki kesaktian."
Adapun Joko Pramono yang sejak tadi memandang
Bagus Seta seperti termenung kini berkata, "Andika Bagus
Seta ........ seorang pemuda sakti yang akan muncul ........
ah, Pusporini! Kini mengertilah aku! Yang dimaksudkan
oleh Eyang Guru Resi Mahesapati bukan lain orang adalah
Bagus Seta sendiri!"
"Ah, benar! Tidak salah lagi! Girang sekali hatiku kalau
yang akan kubantu adalah keponakan sendiri."
Dari kedua orang bibinya itu Bagus Seta mendengar
akan segala peristiwa yang menimpa keluarga di
Selopenangkep, mendengar bahwa ayah bundanya kini
telah berada di Kota Raja Panjalu, ayahnya menjabat
pangkat patih muda. Kemudian ia mendengar penuturan
kedua pasang orang muda itu tentang keadaan di Jenggala
dan tentang usaha Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih
Tejolaksono yang mulai mengadakan penyelidikan ke
Jenggala. Setelah semua peristiwa didengarnya secara singkat
namun jelas, Bagus Seta menghela napas panjang lalu
berkata, "Aku merasa girang sekali bahwa kedua Bibi dan
Paman telah berusaha untuk menolong Jenggala. Terutama
sekali bagi Paman Pangeran, memang sudahlah menjadi
kewajiban setiap orang kawula untuk membela negaranya.
Akan tetapi, urusan di Jenggala ternyata bukanlah urusan
kecil dan menyangkut pencampuran tangan Negeri-negeri
Sriwijaya dan Cola. Oleh karena itu, seyogyanya kalau kita
lebih dahulu menghadap ke Panjalu memberi laporan dan
sudah tiba saatnya pula aku harus menghadap Kanjeng
Rama lbu." Demikianlah, lima orang muda itu lalu melanjutkan
perjalanan menuju ke Panjalu untuk melaporkan segala
peristiwa yang mereka alami di Jenggala. Akan tetapi,
ketika mereka tiba di tapal batas kedua kerajaan itu, tiba-
tiba perjalanan mereka terhadang oleh seorang laki-laki
setengah tua yang menggeletak melintang di tengah jalan,
masih bergerak-gerak di samping belasan buah mayat orang
yang berserakan di tempat itu.
"Kalau tak salah, perajurit-perajurit Panjalu ........!" seru
Setyaningsih dan mereka segera menghampiri perajurit
setengah tua yang belum tewas itu. Karena mereka semua
maklum akan kesaktian Bagus Seta yang luar biasa, maka
otomatIs empat orang muda itu menganggap pemuda
remaja itu sebagai pemimpin mereka, maka kini Bagus Seta
pula yang berlutut memeriksa tubuh perajurit yang terluka
itu. Lukanya parah sekali, tak mungkin dapat ditolong dan
patut dikagumi daya tahan perajurit itu sehingga masih
dapat mempertahankan hidupnya. Kiranya perajurit itu
memang mempergunakan seluruh kekuatan berdasarkan
kesetiaannya untuk menunda kematiannya agar dapat
menyampaikan berita kepada orang yang lewat. Dapat
dibayangkan betapa girang hatinya melihat bahwa yang
lewat adalah lima orang muda yang di antaranya terdapat
Pangeran Panji Sigit dan isterinya yang sudah ia kenal
ketika pangeran itu datang ke Panjalu.
"....... tolong ........ lekas ........ , Gusti Patih Tejolaksono
dan kedua isteri beliau ....... tertawan dibawa ke gunung itu
....." Habislah kekuatan perajurit itu dan tubuhnya lemas,
nyawanya terbang meninggalkan raganya.
Setyaningsih, Pusporini, Pangeran Panji Sigit, dan Joko
Pramono terkejut bukan main mendengar ucapan terakhir
perajurit itu. Betapa mungkin hal ltu terjadi" Ki Patih
Tejolaksono adalah seorang yang sakti mandraguna,
apalagi di situ terdapat dua orang isterinya yang berarti
bahwa Endang Patibroto juga hadir, sedangkan Ayu
Candra bukanlah seorang lemah pula. Bagaimana dapat
ditawan orang dan siapakah penawannya"
Memang sungguh mengherankan dan meragukan pesan
dalam ucapan terakhir perajurit Panjalu itu. Kalau memang
benar yang memimpin para perajurit yang kini rebah
malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi adalah
Ki Patih Tejolaksono, Endang Patibroto, dan Ayu Candra,
bagaimana mereka itu dapat dikalahkan dan ditawan
orang" Untuk mengetahui hal yang tak dapat terjawab oleh
dua pasang orang muda itu, baiklah kita mengikuti sebentar
apa yang telah terjadi di tempat itu pada pagi hari tadi.
Sebelum Ki Wiraman dan Widawati dengan nekat
menyerbu ke penjara istana Jenggala untuk menolong dua
pasang orang muda yang tertawan, Ki Wiraman telah
mengirim pembantunya ke Panjalu untuk memberi kabar
tentang penangkapan empat orang muda itu kepada Ki
Patih Tejolaksono karena dia maklum bahwa kalau dia dan
Widawati gagal, satu-satunya orang yang boleh diharapkan
akan dapat menyelamatkan empat orang muda itu adalah ki
patih muda di Panjalu yang sakti itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Ki Patih
Tejolaksono ketika mendengar berita itu. Setyaningsih dan
Pusporini ditangkap dan dipenjara di Jenggala! Juga
Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono! Segera
Tejolaksono menghadap Pangeran Darmokusumo untuk
melaporkan hal itu, kemudian Tejolaksono mohon
perkenan dari sang prabu dan dari Pangeran Darmokusumo
untuk pergi sendiri turun tangan ke Jenggala, selain untuk
menolong mereka yang tertawan, juga sekalian menanggulangi kekacauan di sana. Permohonannya
diperkenankan, maka berangkatlah Tejolaksono disertai
Endang Patibroto dan Ayu Candra. Kedua orang isterinya
ini tidak mau ditinggal, apalagi Endang Patibroto yang
sudah marah-marah mendengar betapa Setyaningsih adik
kandungnya itu ditangkap.
"Sedikit banyak sang prabu di Jenggala pernah menerima
bantuan-bantuanku, dan juga bantuanmu, apalagi kalau
diingat bahwa Suminten itu ternyata adalah bekas abdi
dalemku. Kalau aku yang datang meminta, kiranya mereka
itu akan segera dibebaskan," demikian kata Endang
Patibroto. "Kalau tidak ........ hem mm, Jenggala akan
kuratakan dengan bumi!"
Tejolaksono tersenyum dan memandang wajah Endang
Patibroto dengan sinar mata berseri dan kagum. isterinya ke
dua ini tak pernah menjadi tua, masih selalu penuh
semangat seperti di waktu masih menjadi perawan yang
ganas dan liar. "Aku kira tidak perlu kita menggunakan
kekerasan. Apapun yang telah kudengar beritanya, aku tak
percaya bahwa gusti sinuwun di Jenggala sampai demikian
tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuasaan lagi di sana.
Sebaiknya kita buktikan sendiri."
Ayu Candra menggerakkan alisnya. "Betapapun juga,
kita harus selalu waspada dan hati-hati. Peristiwa yang
melanda Jenggala bukanlah hal yang wajar, melainkan ada
rahasia di balik semua itu. Lupakah Kakanda akan
perjumpaan kita dengan dua orang kakek amat sakti di
puncak gunung ketika kita mencari Bagus Seta?"
Tejolaksono mengangguk dan diam-diam ia harus
membenarkan pendapat isterinya ini. Wasi Bagaspati dan
Biku Janapati adalah dua orang pendeta yang amat sakti,
dan kalau betul seperti yang pernah disindirkan oleh Ki
Tunggaljiwa, dan kedua orang pendeta itu mencampuri
urusan kekacauan di Jenggala, maka dia bersama dua orang
isterinya harus berhati-hati sekali.
"Engkau benar, Adinda Ayu Candra. Kita harus berhati-
hati sekali. Aku akan membawa lima belas orang pengawal
pilihan untuk melayani keperluan kita dalam perjalanan. Di
sana aku akan menghadap secara resmi kepada sang prabu
dan langsung mengajukan permohonan untuk kebebasan
mereka." Rombongan Tejolaksono melakukan perjalanan cepat
sekali siang malam tanpa berhenti, bertukar kuda di dalam
perjalanan. Pada keesokan harinya ketika rombongan ini
memasuki tapal batas Jenggala, tiba-tiba dalam sebuah
hutan mereka dihadang oleh puluhan orang laki dan
perempuan yang kesemuanya memegang senjata, dan para
penghadang itu dipimpin oleh seorang wanita cantik yang
memegang pedang. Ketika Tejolaksono melihat wanita ini
dan mengenalnya sebagai Sariwuni si penyembah Bathari
Durgo, anak buah juga kekasih Wasi Bagaspati, tahulah dia
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa fihak musuh sudah mulai turun tangan. Maka ia
berbisik di dekat telingan kedua isterinya.
"Dia Sariwuni yang telah kuceritakan kepada kalian.
Kita basmi saja mereka karena mereka pun merupakan
sebagian daripada akar-akar pohon kekacauan di Jenggala."
Setelah berbisik demikian, Tejolaksono memberi aba-aba
kepada lima belas orang pengawal untuk menerjang maju.
Para pengawal maklum bahwa kalau ki patih serentak
memberi perintah menyerang tanpa bertanya, tentu ki patih
mempunyai alasan kuat dan mereka yakin bahwa
rombongan orang-orang laki perempuan bercampur aduk
merupakan barisan liar ini pastilah golongan musuh.
Merekapun lalu menerjang maju, melarikan kudanya
menyerbu di antara puluhan orang lawan yang juga sudah
berteriak-teriak dan menyerang dalam sambutan mereka
terhadap terjangan perajurit-perajurit Panjalu.
"Sariwuni perempuan jahat, kebetulan sekali andika
muncul menyerahkan nyawa!" bentak Tejolaksono sambil
menudingkan telunjuknya ke arah wanita itu yang
tersenyum mengejek dengan gerakan mulut genit sekali.
"Heh-heh, Tejolaksono, engkau masih hidupkan" Aku
memang sengaja menantimu di sini untuk menangkapmu!"
"Setan alas, mampuslah kamu ........ Tiba-tiba Endang
Patibroto melayang dari atas kudanya dan langsung
tubuhnya meluncur dan menyambar ke arah Sariwuni
bagaikan seekor burung elang menyambar anak ayam.
Sariwuni terkejut sekali dan cepat menggerakkan
pedangnya membacok tubuh lawan yang menyambar
seperti burung itu. "Krekk ........ Aaliihhhhh ........ !" Sariwuni terpental ke
belakang sampai tiga meter dan pedangnya sudah patah-
patah ketika bertemu dengan jari tangan Endang Patibroto!
Sariwuni memandang terbelalak dan berkata tertegun,
"Inikah ......... Endang Patibroto ...... .?"
Sudah lama dia mendengar akan kehebatan seorang
wanita bernama Endang Patibroto dan karena akhir-akhir
ini dia mendengar berita bahwa Endang Patibroto telah
menjadi isteri Tejolaksono, kini menyaksikan terjangan
yang ganas dan dahsyat itu, mudah saja dia menduga.
"Benar dugaanmu. Akulah Endang Patibroto yang
datang untuk menghancurkan kepalamu yang hanya terisi
hawa busuk itu. Nah, rasakan pukulan ini !"
Endang Patibroto tidak mau memberi kesempatan lagi
kepada lawan yang kini sudah bertangan kosong, lalu
menerjang maju dengan gerakan Bayu Tantra yang
membuat tubuhnya menjadi gesit dan ringan, sambil
memukul dengan aji pukulan Wisangnolo!
Sariwuni menjadi gentar, akan tetapi ia pun tidak mau
menyerah mentah-mentah begitu saja. Begitu ia menggerakkan tangan dan memekik, berubahlah warna
tangannya menjadi hitam sampai ke kukunya dan kedua
lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Itulah
pengerahan ajinya yang sangat keji dan kotor, yaitu Aji
Wisekenaka yang ia pelajari dari Wasi Bagaspati sebagai
hadiah atas jasa- jasanya, terutama sekali dalam melayani
nafsu sang wasi. "Bressss !" Kembali tangan Endang Patibroto tertangkis
oleh lengan yang mengandung hawa beracun, bahkan kuku-
kuku tangan Sariwuni dalam tangkisan itu telah
mencengkeram lengan Endang Patibroto yang berkulit
halus putih. Akan tetapi akibatnya, tubuh Sariwuni
terbanting ke kiri dan perempuan ini bergulingan sambil
mengeluarkan rintihan karena lengannya seperti terbakar
api neraka ketika bertemu dengan lengan Endang Patibroto
yang mengandung hawa Wisarignolo !
Sementara itu, Tejolaksono dan Ayu Candra juga tidak
tinggal diam melihat lima belas orang pengawal mereka
bertempur dikeroyok oleh tiga puluh orang lebih
gerombolan musuh. Ki patih dan isterinya sudah membedal
kuda mereka maju memasuki gelanggang pertempuran dan
sebentar saja, beberapa orang pengeroyok sudah roboh oleh
tendangan-tendangan kaki Tejolaksono dan ayunan pedang
Ayu Candra setelah dia merampas pedang dari tangan
seorang pengeroyok. Dengan majunya suami isteri perkasa
ini, biarpun fihak lawan dua kali lebih besar jumlahnya,
tetap saja mereka menjadi kocar-kacir dan panik. Sepak
terjang suami isteri itu, terutama sang patih, terlalu hebat
dan kuat bagi mereka seperti terjangan angin badai.
Endang Patibroto yang melihat betapa Sariwuni sudah
terluka, mengambil keputusan untuk menghabisi saja
nyawa lawan itu, maka tubuhnya kembali mencelat ke
depan dan kakinya bergerak . menendang ke arah kepala
Sariwuni untuk memberi pukulan maut terakhir.
"Desss ........ !" Kini tubuh Endang Patibrpto yang
terpental ke belakang dan kakinya terasa nyeri hampir
lumpuh. Kiranya tendangan tadi telah ditangkis oleh
sebuah lengan tangan berbulu yang kulitnya kemerahan.
Endang Patibroto cepat berdiri tegak memandang penuh
perhatian. Orang yang menolong Sariwuni itu adalah
seorang kakek tinggi kurus bermuka merah sekali,
rambutnya panjang putih terurai dan pakaiannya terbuat
dari kain berwarna merah darah!
"Hoah-hah-ha-ha! Inikah puteri yang bernama Endang
Patibroto, murid dari Dibyo Mamangkoro"........ buruk
......!" Kakek itu lalu memegang lengan tangan Sariwuni
yang terluka dan sekali menggosoknya dengan telapak
tangan kiri, sembuhlah dan lenyaplah rasa panas.
"Wuni cah-ayu, lenganmu tidak apa-apa, sekarang lebih
baik kau membantu anak buahmu itu yang terdesak," kata
kakek itu lalu menggunakan tangannya meraba pinggul
Sariwuni, membelai dan mendorongnya. Sariwuni terkekeh
genit lalu berlari untuk membantu anak buahnya yang
kocar-kacir. "Kakanda, lihat siapa itu ........ Tiba-tiba Ayu Candra
berbisik dengan suara menggetar.
Tejolaksono cepat menoleh dan terkejutlah ia ketika
melihat pendeta berjubah merah itu yang bukan lain adalah
Wasi Bagaspati! "Ah, Endang Patibroto terancam bahaya.
Mari kita bantu ........ !" ia lalu meloncat turun dari
kudanya, diikuti Ayu Candra, merobohkan dua orang
pengeroyok lalu berlari menghampiri Endang Patibroto
yang masih berdiri tegak di depan Wasi Bagaspati.
Tejolaksono kini berdiri di sebelah kanan Endang Patibroto
sedangkan Ayu Candra berdiri di sebelah kanannya.
"Wasi Bagaspati! Kiranya andika yang menghadang
perjalanan kami ke Jenggala," kata Tejolaksono. "Ada
maksud apakah menghadang perjalanan kami?"
"Ha-ha-ha, andika Tejolaksono, dahulu Adipati Selopenangkep dan sekarang kabarnya menjadi patih muda
di Panjalu, bukan" Sebagai patih di Panjalu, mau apa
gentayangan dan berkeliaran di daerah Jenggala" Andika
melanggar tapal batas, harus ditangkap. Ha-ha-ha!"
"Wasi Bagaspati! Sejak kapan andika menjadi penjaga
tapal batas?" Tejolaksono berseru keras.
"Kakangmas, perlu apa banyak bicara dengan raksasa
tua bangka ini" Hantam saja!" Endang Patibroto sudah
menerjang maju lagi, kini gerakannya hati-hati sekali karena
ia makium bahwa yang ia hadapi adalah lawan yang benar-
benar amat sakti. Ia menerjang sambil mengerahkan Aji
Bayu Tantra agar tubuhnya menjadi ringan dan gerakannya
menjadi cepat, dan ia mengerahkan ajinya Pethit Nogo
untuk menampar ke arah dada Sang Wasi Bagaspati. Keras
sekali tamparan tangan itu, namun kakek bermuka merah
itu hanya tertawa-tawa, sama sekali tidak mengelak dan
menerima tamparan Aji Pethit Nogo dengan dadanya yang
bidang. "Plakkkk!!" Endang Patibroto merasa betapa jari-jari
tangannya bertemu dengan getaran hawa yang kuat, yang
melumpuhkan ajinya Pethit Nogo dan pada detik
berikutnya ia berseru keras sambil melesat pergi karena
hampir saja pundaknya kena dicengkeram oleh tangan
Wasi Bagaspati yang sengaja menerlma pukulan sambil
berusaha menangkap Endang Patibroto.
Tejolaksono juga kaget menyaksikan betapa pukulan
Endang Patibroto sedemikian ampuhnya sehingga jarang
sekali ada tokoh yang akan mampu menerima pukulan
Pethit Nogo kini ternyata tidak mempunyai pengaruh apa-
apa terhadap Wasi Bagaspati, cepat melambung tinggi dan
menerjang dari atas. Ia mengerahkan aji keringanan tubuh
Bayu Sakti dan dari atas ia menukik turun ke bawah dengan
pukulan Bojro Dahono, mengarah ubun-ubun kepala Wati
Bagaspati! Pada saat yang hampir berbareng dengan
serangan Tejolaksono, kedua orang isterinya pun sudah
menerjang maju. Ayu Candra kini mencabut keris
pusakanya dan menyerang dengan tusukan ke arah Wasi
Bagaspati, sedangkan Endang Patibroto menggunakan aji
pukulan Wisangnolo, kini yang dipukul adalah tenggorokan
lawan untuk mematahkan batang lehernya!
Menghadapi tiga serangan yang mematikan ini, yang
amat berbahaya kalau dilawan dengan kekebalan karena
yang diserang adalah bagian-bagian paling lemah, Wasi
Bagaspati menjadi terkejut juga. Tadinya ia hendak
menyambar lengan Tejolaksono dan sekaligus menangkapnya, akan tetapi keris yang menuju matanya dan
pukulan panas yang mengarah tenggorokannya bukanlah
hal yang boleh dipandang rendah begitu saja. Terpaksa ia
menangkis saja pukulan Tejolaksono, menggeser kaki
belakang dan miringkan tubuh menghindarkan serangan
dua orang wanita sakti itu. Akan tetapi begitu ia terhindar
dari serangan pertama, ketiga orang pengeroyoknya sudah
menerjang lagi dengan serangan yang lebih hebat dan
berbahaya. Tejolaksono yang pernah bertanding dengan
kakek sakti ini di lereng Merapi di depan Ki Tunggaljiwa
dan hampir saja tewas, teringat akan nasehat Ki
Tunggaljiwa kemudian bahwa biarpun dalam hal ilmu
kedigdayaan kakek ini tidaklah terlalu banyak selisihnya
dengan tingkatnya seridiri, akan tetapi dalam hal kekuatan
batin ia kalah jauh dan ia harus mempergunakan aji
kesaktian ! Triwikromo untuk menentang pengaruh mujijat
yang keluar dart batin Sang Wasi Bagaspati. Kini
Tejolaksono mengeluarkan suara menggereng keras yang
menggetarkan seisi hutan dan ia sudah mengerahkan aji
kesaktian Triwikromo. Aji kesaktian ini dahulu dipelajari
oleh Tejolaksono dari mendiang Sang Prabu Airlangga
yang telah mengundurkah diri menjadi pertapa dengan
sebutan Sang Resi Jentayu ayau Sang Bhagawan
Jatinendra. Aji ini mendatangkan wibawa yang amat hebat
dan sekiranya lawan yang menghadapinya bukan. Wasi
Bagaspati tentu telah luluh dan lemah segala natsu
perlawanannya. Tejolaksono kini menerjang maju dan
menyerang bawah pusar lawan dengan gerakan silat Kukilo
Sakti. Adapun Endang Patibroto yang maklum pula akan
kehebatan lawan, berturut-turut tecepat kilat melepaskan
tujuh batang panah tangah beracun yang diluncurkah ke
arah tujuh bagian lemah dari tubuh Wasi Bagaspati,
kemudian ia mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo dan
menghantam dari belakang mengarah tengkuk.
Ayu Candra bukan seorang lemah dan dia telah
mewarisi segala ilmu dan aji kesaktian dari ayahnya, Ki
Adibroto, seorang tokoh warok Ponorogo aliran putih, dan
di samping itu, telah banyak pula ia mendapat bimbingan
suaminya. Namun dalam menghadapi Wasi Bagaspati ini,
Ayu Candra maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih
terlalu rendah. Begitu ia melihat suaminya menyerahkan
Aji Triwikromo dan mendengar Endang Patibroto
mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo yang membuat kedua
kakinya sendiri sampai menggigil, Ayu Candra lalu mundur
dan menyaksikan pertandingan dahsyat itu dari pinggir
gelanggang pertandingan. Ketika ia menengok ke kiri, ke
arah pertempuran antara para pengawal dan anak buah
Sariwuni, ia terkejut sekali karena semua pengawal telah
menggeletak tewas, pertempuran telah terhenti, Sariwuni
dan sisa pasukannya juga sedang menonton pertandingan
dahsyat antara Wasi Bagaspati yang dikeroyok dua oleh
Tejolaksono dan Endang Patibroto.
Wasi Bagaspati juga terkejut bukan main ketika ia
melihat pengaruh wibawa yang tiba-tiba mencuat keluar
dan tubuh Tejolaksono! Wibawa yang begitu kuatnya
sehingga ketika ia memandangnya, jantungnya tergetar
hebat dan isi dadanya terguncang. Cepat kakek sakti Itu
menggereng dan setelah ia dapat mengatasi wibawa Aji
Triwikromo, lenyaplah guncangan hebat dalam dadanya.
Cepat ia menggerakkan tangan menagkis pukulan
Tejolaksono yang mengarah bawah pusar, dan sekali ini
keduanya terdorong mundur. Pada saat itu terdengar bunyi
berciutan nyaring sekali, yaitu saat meluncurnya tujuh
batang panah tangan yang dilepas oleh Endang Patibroto.
Panah tangan yang merupakan anak panah kecil dan cara
mempergunakannya adalah disambitkan dan disentil
dengan jari tangan dengan dorongan tenaga sakti itu
ujungnya sudah direndam racun. Kini dilepas dari jarak
dekat oleh Endang Patibroto, menuju ke arah tujuh bagian
tubuh yang berbahaya. "Cet-cet-cet-cet-cet-cet-cet ?"..!!!"
Anak panah itu datangnya beruntun susul-menyusul.
Yang dua pertama meluncur ke arah sepasang lutut kaki
Wasi Bagaspati dan dapat ditendang runtuh oleh kakek
sakti itu. Panah ke tiga dan ke empat yang menyerang pusat
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan ulu hati ia terima begitu saja dan dua batang anak
panah itu runtuh, tak dapat membikin lecet sedikitpun
tubuhnya yang dilindungi kekebalan. Anak panah ke lima
meluncur ke tenggorokan, sedangkan yang ke enam dan ke
tujuh terbang meluncur ke arah sepasang matanya. Wasi
Bagaspati menggereng marah, merendahkan kepala sehingga anak panah yang menusuk tenggorokannya kini
menusuk mulutnya. ia membuka mulut dan "menangkap"
anak panah itu dengan bibirnya, sedangkan kedua
tangannya menyambar dua batang anak panah yang tadi
menyerang sepasang matanya. Pada saat itu, pukulan ke
arah tengkuk yang dilakukan Endang Patibroto yang
memekikkan Aji Sardulo Bairowo sudah tiba. Wasi
Bagaspati secara tiba-tiba membanting tubuhnya kekanan
dan terus bergulingan di atas tanah. Gerakan ini membuat
Tusuk Kondai Pusaka 10 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Pasangan Naga Dan Burung Hong 7
kulit mukamu pulih kembali, kaupupuri dengan tanah
sawah, jika Sang Hyang Widhi menghendaki, pasti akan
pulih kembali." Mendengar ini, Sutarmi merenggutkan tangannya
terlepas dari ayahnya, lari ke tengah sawah, mengambil
lumpur dan memupuri mukanya dengan lumpur sampai
rata. Saking tergesa-gesa, matanya kemasukan lumpur dan
ia tersandung-sandung ketika lari ke air untuk mencuci
mukanya yang penuh lumpur. Sekali saja ia menyiramkan
air ke mukanya, warna hitam itu lenyap sama sekali. Tarmi
bercermin dan melihat mukanya sudah pulih kembali, ia
......... menangis lagi saking girangnya!
"Wah-wah, Tarmi. Apakah engkau sudah menjadi
gemblung (gila)" Mukamu menjadi hitam menangis,
sekarang sudah pulih menangis juga!"
"Berduka mengeluarkan air mata, bersuka juga
mengeluarkan air mata. Duka maupun suka bagi air mata
memang sama saja, Paman, hanya merupakan permainan
hati manusia." Kemudian pemuda itu berkata kepada Tarmi
yang sudah berhenti menangis, "Bagaimana, Dik. Sudah
percayakah engkau" Apakah sekarang engkau suka
membiarkan mukamu kubikin hitam lagi untuk menghindarkan dirimu daripada bahaya dan menghindarkan ayahmu dari kesusahan?"
"Harus kau lakukan, Anakku. Sampai urusan ini beres
dan bahaya lewat, kelak mudah saja mengobati mukamu, di
mana-mana di dunia ini terdapat tanah sawah!"
Sutarmi memandang pemuda itu, mengangguk sambil
tersenyum. Kini ia mengangkat mukanya dengan muka
berseri dan memejamkan matanya ketika pemuda itu
mengusap mukanya dengan telapak tangan kanan sehingga
muka gadis itu kembali menjadi belang-belang menghitam,
buruk dan menjijikkan dalam pandangan pria yang
matanya bernapsu. Seperti tadi, Sutarmi bercermin di air
dan kini ia tertawa geli.
"Paman, dan Dik Tarmi, sekarang perkenankan aku
pergi." Tanpa menanti jawaban pemuda itu menghampiri
kerbau dan menepuk-nepuk pundaknya. "Kerbau, bantulah
majikanmu. Memang sudah menjadi nasibmu harus
membantu manusia, berbahagialah dalam menunaikan
kewajibanmu." Ia lalu membalikkan tubuhnya dan
melangkah pergi dari pinggir sawah, diikuti pandang mata
Tarmi dan pandang mata petani itu yang terbelalak
keheranan melihat kini kerbaunya bangkit berdiri dan
tampak segar bersemangat.
"Nanti dulu, Nak! Perkenalkanlah namamu ......... !"
Pemuda itu menghentikan langkah, menoleh dan berkata
sambil tersenyum, "Namaku Bagus Seta, Paman!" Ia lalu
membalikkan tubuh dan berjalan pergi lagi dengan langkah
ringan. Bagus Seta kini telah menjadi seorang pemuda yang
berpakaian sederhana dan mempunyai wibawa yang aneh.
Gerak-geriknya halus, sikapnya bersahaya, sama sekali
tidak membayangkan kekuatan, akan tetapi sepasang
matanya yang jernih itu mengandung pengaruh halus yang
akan melemahkan hati orang yang keras, dan akan
mendatangkan rasa segan karena seolah-olah pandang mata
itu dapat menjenguk di dasar yang paling dalam dari hati
orang. Ia baru beberapa pekan turun dari puncak Gunung
Bromo, puncak terakhir di mana ia dibawa gurunya, Sang
Sakti Bhagawan Ekadenta, setelah selama lima tahun
gurunya membawanya ke puncak-puncak gunung hampir di
seluruh tanah Jawa. Masih bergema di telinganya pesan
gurunya ketika menyuruhnya meninggalkan puncak,
"Kulup Bagus Seta, kini telah tiba saatnya engkau harus
turun gunung dan tiba saatnya kita harus saling berpisah.
Kiranya tidak perlu lagi kuulangi semua wejangan dan
pelajaran yang telah kuberikan kepadamu selama ini. Dan
aku pun tidak akan memaksamu melakukan sesuatu karena
segala sesuatu yang akan kaulakukan adalah bebas dan
terserah atas keputusanmu sendiri, Kulup. Hanya satu hal
saja yang kuingin ingatkan kepadamu agar kaucamkan di
dalam hati sanubarimu."
"Hamba siap mendengarkan petunjuk Eyang dan siap
pula melaksanakan segala perintah Eyang," kata Bagus Seta
ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menghirup udara
sejuk bersih puncak Gunung Bromo.
"Ingatlah selalu bahwa tidaklah sia-sia manusia
dihidupkan di dunia ini. Hidup adalah perjuangan yang tak
kunjung henti, perjuangan manuju ke titik terakhir yang
menjadl puncak kesempurnaan. Hidup barulah tidak sia-sia
dan berhasil apabila engkau selalu radar bahwa perjuangan
itu adalah pelaksanaan kewajiban. Tanamkan dalam
sanubarimu bahwa setiap gerak hidup harus didasari
pelaksanaan kewajiban itulah. Apakah kewajiban manusia
hidup" Tengoklah di sekelilingmu, Kulup. Pandanglah Sang
Surya dan kenalilah sifat-sifatnya, pandanglah bulan dan
bintang, awan dan angin, segala macam tetumbuhan dan
segala mahluk. Adakah mahluk yang tiada manfaat atau
kegunaannya dalam dunia, yaitu kegunaan atau kemanfaatannya bagi benda atau mahluk lain" Kalau toh
ada kautemukan benda atau mahluk yang tidak berguna
bagi yang lain, hal itu hanya karena engkau belum mengerti
akan kegunaannya, masih belum terbuka rahasia alam yang
ada pada benda atau mahluk yang kauanggap tidak berguna
itu. Semua Benda dan mahluk di dunia ini bermanfaat bagi
makhluk dan Benda lain. Dan itulah kewajiban diciptakannya semua alam mayapada dan isinya. BERGUNA BAGI BENDA DAN MAHLUK LAIN.
Lebih mudah lagi, bagi manusia kewajibannya adalah
berguna bagi manusia lain! Dengan demikian, maka engkau
berarti telah hidup sesuai dengan kehendak alam, berarti
sudah wajar dan dapat menuju ke titik kesempurnaan itu.
Nah, selamat berjuang, Kulup Bagus Seta."
Wejangan-wejangan gurunya masih teringat semua oleh
Bagus Seta. Semuda itu ia telah digembleng oleh gurunya
dalam hal ilmu-ilmu kesaktian dan wejangan-wejangan
kebatinan yang dalam. Semuda itu ia sudah dapat
menangkap inti sari wejangan gurunya. Bahwa ia harus
memanfaatkan hidupnya bagi kepentingan orang lain,
karena inilah kewajibannyaa, inilah tugas hidup dia sebagai
manusia. Adapun apa dan bagaimana pilihannya dalam
sepak terjangnya, oleh gurunya diserahkan kepada dirinya
sendiri, berarti diserahkan kepadanya untuk menilai dan
memilih. Bagus Seta adalah putera seorang satria. Adipati
Tejolaksono, seorang sakti yang berjiwa patriot, yang rela
berkorban untuk nusa dan bangsanya. Sifat ini, sifat
ayahnya, ibunya, bahkan sifat nenek-neneknya yang juga
semua berjiwa patriot, membekas di dalam sanubarinya.
Karena itu, ada juga niatnya untuk menghambakan diri
kepada nusa dan bangsanya, menentang kekuasaan-
kekuasaan yang hendak menyengsarakan nusa bangsanya.
Pertemuannya dengan petani yang menyinggung soal
watak Ki Patih Jenggala, yang sewenang-wenang dan suka
sekali mempermainkan anak gadis orang, membangkitkan
pula semangat patriotiknya ini. Dia harus meninjau ke
Jenggala sebelum ia mencari ayah bundanya. Harus
meninjau Jenggala karena keadaan paman tadi mencerminkan kelaliman yang berkuasa di kerajaan itu.
Dan Jenggala termasuk kerajaan yang harus pula dibelanya,
karena Jenggala adalah kerajaan keturunan Mataram.
Pertemuannya dengan petani ayah Sutarmi itulah yang
menggerakkan hati Bagus Seta sehingga menggerakkan pula
kakinya untuk membelok menuju Kerajaan Jenggala. Di
sepanjang perjalanan, makin dekat dengan Kota Raja
Jenggala, makin banyaklah mendengar keluh-kesah rakyat
akan kelalilam para pamong praja Jenggala. Bukan ini raja
yang menarik hatinya, melainkan kenyataan bahwa kini
rakyat setengah dipaksa oleh para pamong praja untuk
mengganti Agama Wishnu menjadi Agama Syiwa dan
Agama Buddha. Bahkan ada didengarnya berita bahwa
para pendeta Wishnu banyak yang lenyap secara aneh, dan
bahwa sebagian kecil sisa pendeta-pendeta Wishnu kini
terpaksa melarikan diri dan bersembunyi ke gunung-gunung
yang sunyi. -oo(mch-dwkz)oo- Kita tinggalkan dulu Bagus Seta untuk menjenguk
keadaan di dalam tempat tahanan di istana Jenggala. Di
dalam sebuah ruangan tahanan yang berbentuk persegi dan
terbuat daripada dinding batu-batu tebal tampak empat
orang muda terbelenggu dengan rantai-rantai baja yang
amat tebal dan kuat. Kedua lengan mereka, pada
pergelangan tangan, terbelenggu dan karena rantai itu
dikaitkan pada besi pengait yang dipasang di dinding di atas
kepala mereka, maka mereka berempat terpaksa mengangkat kedua lengan mereka di kanan kiri dan dalam
keadaan seperti itu sukar sekali bagi mereka untuk mencoba
melarikan diri atau mempergunakan kekerasan.
Mereka dibelenggu pada dinding itu berjajar. Paling
kanan adalah Pusporini, di sebelah kirinya Joko Pramono,.
kemudian Setyaningsih dan paling kiri adalah Pangeran
Panji Sigit. Ketika mereka berempat itu siuman dari
pingsan, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di
dalam kamar tahanan ini. Pangeran Panji Sigit menoleh ke
kanan, terkejut melihat Joko Pramono juga terbelenggu di
sebelah kanan isterinya bersama Pusporini, mereka
berpandangan mata dan pangeran itu berkata dengan suara
dingin dan tajam melebihi pedang habis diasah,
"Joko Pramono, setelah engkau berhasil memikat
burung, mengapa tidak memelihara dan menjaga burung itu
baik-baik akan tetapi membiarkannya celaka dan terancam
maut?" Tentu saja Joko Pramono tahu apa makna ucapan ini,
akan tetapi ia sudah maklum betapa pangeran ini, seperti
halnya Pusporini, juga menjadi korban tipu muslihat keji
dan curang dari Suminten, maka dengan sikap sabar dan
bibir tersenyum ia menjawab,
"Kakangmas Pangeran, burung itu suci, tidak terpikat
dan juga tidak pernah kupikat, melainkan sedang gelisah
mencari pasangannya yang terkurung dan aku bersama
Pusporini hanya membantunya untuk berusaha menolong
pasangannya ......" "Joko Pramono! Sungguhpun rayuanmu berhasil
menjatuhkan hati isteri orang, jangan harap akan dapat
menjatuhkan hatiku, setelah mataku sendiri menyaksikan
semua yang terjadi. Aku tidak mendendam, aku rela
menyerahkannya kepadamu, rela mengalah kalau memang
dia cinta kepadamu, aku ......... aku ........."
"Kakangmas Pangeran!" Terdengar Setyaningsih menjerit lirih di sampingnya, sedangkan Pusporini berbisik
kepada Joko Pramono, "Kau maafkanlah dia seperti engkau memaafkan aku,
Joko." Joko Pramono tersenyum dan memandang ke depan.
"Tidak ada yang dimaafkan, Rini, karena memang seperti
engkau juga, dia tidak bersalah. Melainkan si iblis betina
itulah yang bersalah."
"Rakanda Pangeran, jangan menuduh yang bukan-bukan
terhadap Joko Pramono. Dia telah mengerahkan seluruh
daya dan tenaganya untuk menolong kita, bahkan rela
mempertaruhkan nyawa untuk kita. Dia bersama Pusporini
sekarang ikut pula tertawan, untuk siapa lagi kalau bukan
untuk membela kita" Paduka telah khilaf, terjebak menjadi
korban tipu muslihat keji yang juga mengorbankan
Pusporini. Tahukah paduka, bahwa karena kesalahfahaman
yang sama seperti paduka, Pusporini hampir saja
membunuh Joko Pramono yang tidak berdosa?" Dengan
singkat namun jelas Setyaningsih lalu menceritakan semua
peristiwa yang terjadi di dalam taman, kemudian tentang
pertemuan mereka dengan Ki Wiraman dan Widawati,
tentang Ki Mitra yang mereka percaya itu sesungguhnya Ki
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mitra palsu, mata-mata yang sengaja dipergunakan oleh
Suminten untuk memalsu Ki Mitra yang telah dibunuh.
Pangeran Panji Sigit mendengarkan dengan mata
terbelalak, mukanya menjadi berubah-ubah, sebentar merah
sebentar pucat. Apalagi ketika ia mendengar penjelasan dari
Pusporini kemudian dari Joko Pramono, tak tertahankan
olehnya lagl dua titik air mata membasahi pelupuk matanya
ketika ia memandang kepada Joko Pramono.
"Dimas ......... Dimas Joko Pramono ......... maukah
andika mengampuni aku yang seperti buta mata ini?"
katanya dengan suara menggetar saking terharu.
Joko Pramono tersenyum lebar. "Kakangmas Pangeran,
paduka tidak bersalah apa-apa, bahkan saya merasa terharu
sekali mendengar ucapan dan menyaksikan sikap paduka
tadi. Sungguh sikap yang bijaksana dan saya sendiri tak
mungkin dapat bersikap sebijaksana paduka andaikata saya
yang tertipu seperti paduka. Sekarang tidak perlu kiranya
persoalan itu dibicarakan karena sudah jelas bahwa kita
semua menjadi korban tipu muslihat keji wanita iblis itu
dan bahwa semenjak kita berempat menjejakkan kaki di
kota raja ini, kita telah berada dalam cengkeraman mereka,
sudah diawasi seluruh gerak-gerik kita. Sekarang kita
tertawan, jalan satu-satunya hanya dapat menyerahkan diri
dalam tangan Dewata sambil bersikap waspada akan gerak-
gerik mereka selanjutnya."
"Andika hebat dan mengagumkan sekali, Dimas. Apa
pun yang terjadi, aku tidak menyerah terhadap bujukan
Suminten yang berusaha menarik kita menjadi sekutunya.
Daripada mengkhianati Kanjeng Rama, lebih baik aku
tewas di tangan iblis betina itu."
"Tepat sekali, Kakanda. Saya pun rela tewas di samping
Kakanda sebagai dharma bakti kita terhadap Kanjeng Rama
Prabu dan terhadap kerajaan paduka, Jenggala," kata
Setyaningsih. "Kita lihat saja apa yang akan dilalakukan selanjutnya
oleh wanita iblis itu terhadap kita," kata Joko Pramono.
Dan apa yang dilakukan selanjutnya oleh Suminten
segera dihadapi oleh empat orang muda itu. Suminten
adalah seorang wanita yang kukuh dalam mengejar hasrat
hatinya. Ia masih tergila-gila kepada Pangeran Panji Sigit,
dan takkan puaslah hatinya kalau hasrat itu belum
terpenuhi. Daya upaya dengan muslihat yang betapa rendah
dan keji sekali pun akan ditempuhnya untuk mencapai cita-
cita hatinya. Tidak sampai lama setelah mereka berempat
sadar, pintu kamar tawanan yang kokoh kuat itu terbuka
dan tampaklah Suminten yang dikawal oleh enam orang
pengawal bersenjata tombak.
"Kalian menanti dan menjaga di luar!" kata Suminten
dengan suaranya yang serak basah mengandung penuh
getaran nafsu berahi. Enam orang pengawal yang muda-
muda dan kelihatan gagah dan kuat itu membungkuk
dengan hormat dan menjaga di luar pintu, sedang Suminten
lalu melangkah masuk dan menutupkan daun pintunya. Ia
melangkah maju dan berdiri dalam jarak yang cukup aman,
sejauh dua meter sehingga andaikata empat orang tawanan
itu yang hanya dapat menggunakan kaki menyerangnya
takkan dapat mencapai tubuhnya. Ia tersenyum manis
sekali, lalu menggeleng kepalanya dan berkata,
"Sungguh sayang sekali bahwa empat orang muda belia
yang gagah perkasa, wanitanya cantik-cantik dan prianya
tampan-tampan akhirnya harus mengakhiri hidup dalam
keadaan begini menyedihkan. Aku sendiri ikut terharu dan
bersedih, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan setelah
kalian berempat menjadi pemberontak-pemberontak yang
membahayakan Kerajaan Jenggala?"
"Suminten, wanita iblis yang kelak menjadi intip neraka
jahanam!" Pangeran Panji Sigit memaki penuh kemarahan
karena ia teringat betapa wanita itu telah mengatur tipu
muslihat keji sehingga ia sampai kehilangan kepercayaan
akan kesetiaan isterinya, bahkan telah menjatuhkan
tuduhan rendah terhadap Joko Pramono. "Tak perlu
memutar lidahmu yang seperti lidah ular bercabang! Kami
tidak akan mendengarkan dan kalau kau hendak
membunuh kami, lakukanlah, kami adalah orang-orang
berjiwa satria yang tidak gentar menghadapi kematian!"
"Duh Pangeran yang bagus seperti Harjuna, yang gagah
perkasa seperti Gatutkaca, betapa gagah beraninya engkau.
Suminten takkan pernah meragukan kegagahanmu, Pangeran. Akan tetapi kaulihatlah baik-baik keadaan
isterimu, keadaan Joko Pramono dan Pusporini. Tidakkah
engkau merasa kasihan kepada mereka bertiga ini,
Pangeran" Mengapa engkau begini kukuh mempertahankan
kegagahan dan kekesatriaan sendiri tanpa mengingat akan
kehidupan mereka bertiga ini" Engkau menyerahlah dan
menjadi pengeran terhormat di sini, menghentikan
permusuhanmu denganku, dan aku berjanji akan membebaskan mereka bertiga ini. Tidakkah ini amat murah
hati dariku" Tiga orang yang kauhormati dan kaukasihi ini
kubebaskan dan sebagai tebusannya, engkau bersekutu
dengan aku, meraih kebahagiaan bergelimang kesenangan
di sini sebagai seorang pangeran ......... ah, tidak, sebagai
pangeran mahkota di sini !"
Hebat dan muluk bukan main bujuk rayu ini sehingga
hati Setyaningsih menjadi amat khawatir, akan tetapi
karena ia percaya penuh kepada suaminya, ia tidak berkata
sesuatu, hanya memandang Suminten dengan sinar mata
penuh kebencian. Memang sejenak Pangeran Panji Sigit
termenung dan memikirkan penawaran ini. Ia tidak berpikir
demi, keselamatan dan kepentingan dirinya sendiri. Sama
sekali tidak! Jauh daripada itu. Yang dipikirkan sekarang
adalah kemungkinan membebaskan tiga orang muda itu,
terutama sekali isterinya, Setyaningsih! Kalau ia berpura-
pura menurut dan menyerah, kemudian isterinya, Joko
Pramono dan Pusporini sudah dibebaskan, bukankah dia
dapat memberontak sampai terbunuh mati"
-oo0dw0oo- Jilid XXXVIII DARIPADA menolak dan mereka semua terbunuh,
bukankah lebih menguntungkan kalau dia seorang saja yang
tewas sedangkan mereka bertiga itu bebas" Suminten hanya
menghendaki dirinya, maka jalan satu-satunya untuk
menyelamatkan. isterinya, Pusporini dan Joko Pramono
adalah berpura-pura menyerah. Mereka masih muda-muda,
berhak untuk hidup puluhan tahun lagi.
Tiba-tiba terdengar suara Pusporini melengking nyaring,
tertawa. Kemudian gadis yang agaknya menyelami pikiran
Pangeran Panji Sigit itu berkata, "Heh, Suminten
perempuan tak bermalu! Kalau penawaran itu kauajukan
kepada orang lain, mungkin mereka itu akan menganggap
amat baik mengorbankan diri sendiri demi kebebasan tiga
orang yang dikasihinya. Akan tetapi andaikata aku yang
kautawari hal rendah itu aku akan mengatakan bahwa aku
akan bangga menyaksikan tiga orang yang kukasihi tewas
sebagai satria-satria sejati, berkorban demi negara dan demi
kebenaran!" Ucapan gadis perkasa ini seolah-olah percikan air
sewindu yang dingin sejuk, menyadarkan Pangeran Panji
Sigit dari lamunannya. Ia kini sadar bahwa yang terpenting
bukanlah nyawa dan hidupnya tiga orang yang dikasihinya
itu, melainkan kehormatan mereka sebagai pembela-
pembela kebenaran. Kalau ia menyerah lalu tewas dan
mereka bertiga itu terbebas, mereka bertiga akan hidup
merana dan merasa terhina selamanya. Apalagi Setyaningsih, tentu akan tersiksa hidupnya dan menganggap suaminya seorang pengecut yang mudah
tunduk terhadap rayuan seorang wanita iblis macam
Suminten. "Duh Yayi Pusporini, terima kasih! Suminten, kau sudah
mendengar sendiri, dan begitulah jawabanku untuk
penawaran dan rayuanmu yang keji dan palsu itu!"
Suminten merasa seperti ditampar mukanya, akan tetapi
ia masih belum putus asa. Pendirian Pangeran Panji Sigit
dan Pusporini seperti itu, akan tetapi belum tentu demikian
pendirian Joko Pramono, pemuda yang bertubuh tegap dan
kejantanannya menarik hatinya dan membangkitkan
berahinya itu. Ia memandang kepada Joko Pramono dan
berkata, "Bagaimana dengan engkau, Joko Pramono" Bagaimana
pendapatmu kalau kau kuangkat menjadi komandan
pengawal dalam istana, hidup di sini dengan aman dan
makmur seorang diri atau berdua dengan Pusporini yang
kaucinta?" "Aku tidak sudi! Kalau engkau ingin menjilati telapak
kaki iblis betina ini, Joko, silahkan akan tetapi aku lebih
baik mati!" bentak Pusporini dengan galak.
Joko Pramono tersenyum. "Jangan khawatir, Rini dewi
pujaan hati yang terkasih. Wanita ini kuanggap sebagai ular
beracun, mana aku sudi mendengarkan bujukannya" Seribu
kali lebih baik mati daripada menyerah kepada wanita ini!"
Suminten tidak merasa sakit hati mendengar jawaban ini,
malah kini ia memandang kepada Setyaningsih yang sejak
tadi memandangnya penuh kebencian, lalu berkata,
"Setyaningsih, aku tahu betapa engkau mencinta suamimu.
Mengapa engkau tega benar melihat suamimu terancam
bahaya maut" Apakah kau akan tega kalau melihat
suamimu disiksa sampai mati, sekerat demi sekerat, di
depan kakimu" Kau bujuklah suamimu agar suka menyerah
dan menuruti permintaanku dan engkau akan hidup
bahagia di sini bersama suamimu yang akan menjadi
pangeran mahkota dan kelak mungkin menjadi raja di
Jenggala dan engkau menjadi permaisurinya!"
Setyaningsih memandangnya dengan sinar mata makin
marah, lalu menjawab, "Suminten, aku mendengar bahwa
engkau adalah bekas pelayan, bekas abdi dalem Ayunda
Endang Patibroto. Biarpun sekarang dengan kelicikanmu
engkau telah menduduki tempat tinggi, namun watakmu
lebih rendah daripada watak seorang abdi dalem yang
paling rendah. Lebih rendah daripada watak seorang Sudra
yang paling hina! Aku adalah adalah seorang wanita
berdarah satria, apa yang diucapkan suamiku, apa yang
menjadi pendirian suamiku adalah pendirianku pula sampai
mati!" Suminten merasa mendongkol sekali hatinya, akan tetapi
patut dipuji wanita ini yang pandai menyembunyikan
perasaan tidak senang ini di balik senyum manis.
Senyumnya manis memikat, kerling matanya seperti kerling
mata orang yang ramah, akan tetapi kata-kata yang keluar
dari mulutnya sebelum meninggalkan empat orang tawanan
itu mengandung ancaman yang mengerikan.
"Baiklah, saat ini kalian boleh merasa bangga akan
kekerasan hati dan menganggap kalian gagah dan menang,
boleh menertawakan aku dan menganggap aku kalah. Akan
tetapi kalian belum mengenal Suminten! Akan tiba saatnya
kalian menyembah dan meratap minta diampuni." Setelah
berkata demikian, wanita ini membalikkan tubuhnya dan
pergi dari tempat itu, meninggalkan empat orang muda
yang saling pandang dan sama sekali tidak bernapsu untuk
mentertawakan Suminten. -oo(mch-dwkz)oo- "Kita harus menolong mereka! Kalau tidak segera
ditolong, keadaan mereka akan terancam bahaya besar."
Wiraman berkata sambil mengepalkan tinju. Baru saja
menerima laporan mata-matanya yang beroperasi di Kota
Raja Jenggala, bahwa Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono,
Pusparini dan Setyaningsih telah menjadi tawanan di dalam
kamar tahanan istana, dan bahwa keselamatan nyawa
mereka terancam karena didesas-desuskan keluar istana
bahwa keempat orang muda itu telah memberontak.
Widawati memandang suaminya, dan berkata, "Memang
tidak ada jalan lain. Kita berdua harus menyelundup ke
kota raja dan menolong mereka. Hanya kita yang dapat
menolong mereka, karena kita yang lebih mengenal akan
keadaan di istana." Widawati memandang suaminya, dan berkata, "Memang tidak ada jalan lain. Kita berdua harus
menyelundup ke kota raja dan menolong mereka. Hanya
kita yang dapat menolong mereka, karena kita yang lebih
mengenal akan keadaan istana."
Wiraman memegang tangan Widawati dengan penuh
kasih sayang. Wanita muda ini telah menjadi selirnya dan
di antara mereka, biarpun terdapat perbedaan usia yang
cukup banyak, telah terjalin cinta kasih dan pengertian yang
kokoh kuat. "Adinda Widawati isteriku yang tercinta. Tugas
menolong mereka itu akan kulakukan sendiri dan engkau
tak perlu ikut, Adinda. Tugas ini amat berbahaya dan
akulah yang mengetahui dengan jelas akan seluk-beluk
rumah tahanan di istana dengan semua alat rahasianya.
Ingat, aku pernah bertugas sebagai kepala penjaga di sana."
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, Kakang Wiraman. Aku harus ikut karena ini
juga menjadi tugasku. Dengan menentang Suminten berarti
aku telah melaksanakan dharma baktiku terhadap
keluargaku yang terbasmi gara-gara kekejaman Suminten.
Di samping itu, susah terlalu lama kita berkumpul dan
sekarang aku tidak akan dapat berpisah lagi dari
sampingmu. Ingatkah janjimu, Kakang" Kita hidup
bersama mati berdua, senang sama dinikmati dan susah
sama diderita?" Wiraman menggeser duduknya, mendekat dan merangkul wanita muda dan cantik yang menjadi selirnya
yang tercinta itu. Selatna hidupnya, biarpun ia dahulu
menjadi seorang pengawal pilihan yang berkedudukan
tinggi di kepatihan Jenggala, belum pernah Wiraman
mempunyai selir. Sekarang, setelah mereka berdua menjadi
korban racun ular wilis sehingga melakukan hubungan
sanggama dan terpaksa mereka saling terikat sebagai suami
isteri, Wiraman merasa betapa kasih sayangnya terhadap
wanita ini makin lama makin mendalam.
"Duhal Yayi Widawati, isteriku yang budiman.
Alangkah akan bahagia rasa hatiku kalau dapat hidup
aman- dan tenteram dalam sebuah rumah tangga di
sampingmu dan isteri tua serta putera-puteriku. Adinda
akan merupakan cahaya matahari dalam rumah tanggaku.
Isteriku akan bangga mempunyai madu seperti Adinda, dan
putera-puteriku akan menganggap Adinda sebagai contoh
dan guru yang pandai !"
Widawati tersenyum sehingga lesung pipit di samping
bibirnya nampak makin jelas. "Semoga Dewata akan
mengabulkan harapan Kakanda. Setelah tugas kita berhasil
baik dan selesai, tentu akan tercapai idaman hati kita."
"Semoga begitulah, atau kalau gagal ?".."
"Kita mati bersama," sambung Widawati, dan mereka
berangkulan dengan hati penuh keharuan. Tidak ada kata-
kata yang dapat dikeluarkan akan dapat lebih jelas
menunjukkan perasaan hati mereka yang penuh cinta kasih
dan penuh keprihatinan menghadapi tugas berat itu.
Namun mereka berdua manusia yang saling mencinta ini
memiliki pegangan yang amat kuat, yaitu cinta mereka dan
keyakinan bahwa hidup atau mati, mereka takkan saling
berpisah. Cinta yang demikian besar amatlah kuatnya,
mengatasi segala keraguan dan kekhawatiran, bahkan
dengan modal cinta seperti itu, mereka akan menghadapi
maut dengan mulut tersenyum.
Demikianlah, pada keesokan harinya, menjelang senja,
Wiraman dan Widawati berhasil menyelundup memasuki
kota raja. Tentu saja tidaklah begitu sukar bagi Wiraman
untuk menyelundup masuk dalam kota raja yang dahulu
menjadi daerah dia bertugas. Tidak ada lorong atau jalan
rahasia yang tak dikenalnya dan pada malam harinya
Wiraman dan Widawati sudah berhasil pula menyelundup
masuk ke dalam kompleks bangunan tahanan di istana.
Tentu saja mereka tidak menempuh jalan depan seperti
yang dilakukan Joko Pramono, Pusporini dan Setyaningsih
dua hari yang lalu, melainkan mengambil jalan rahasia
yang hanya diketahui oleh "orang-orang dalam" saja;
Mereka berdua muncul dari lorong rahasia itu dan tiba di
bagian belakang bangunan tahanan, menyelinap di bawah
pohon dan bersembunyi di bayangan yang gelap. Untuk
keperluan tugas penting menyelamatkan empat orang
tawanan, Wiraman dan Widawati sudah bersiap-siap.
Widawati mengenakan pakaian ringkas, bahkan bajunya
ringkas tak berlengan, sebatang keris pusaka terselip di
pinggang, rambutnya yang hitam panjang diikat ke atas
agar tidak mengganggu gerakannya. Adapun Wiraman
sendiri bertelanjang baju sehingga tampak dadanya yang
bidang dan kuat, sarung di luar celananya diikatkan ke
pinggang dan tangannya memegang sebatang golok tajam,
wajahnya serius dan penuh kewaspadaan. Setelah
digembleng selama dua tahun oleh Resi Mahesapati,
kepandaian Wiraman meningkat dan kini ia menjadi
seorang yang digdaya, sedangkan Widawati yang dahulunya seorang gadis yang lemah kini menjadi seorang
gadis yang boleh diandalkan dalam pertandingan melawan
musuh berat. "Kita membobol jendela itu yang menuju ke dapur
tahanan sang pangeran," bisik Wiraman. Widawati
memandang ke depan. Dari bawah pohon itu, sejauh lima
puluh meter, tampaklah jendela itu, sebuah jendela besar
yang atasnya, pada dinding batu diukir muka seorang
raksasa sehingga jendela dengan ruji-rujinya dari besi itu
merupakan mulut raksasa. Akan tetapi di depan jendela itu
terdapat empat orang penjaga yang berdiri tegak memegang
tombak. Agaknya penjagaan di tempat tahanan itu amat
kuat, sehingga jendela dapur saja dijaga oleh empat orang!
"Dijaga kuat ....... " bisik Widawati di dekat telinga
Wiraman. "Jendela itu jalan masuk yang paling mudah, dan
penjaganya hanya empat orang. Melalui jalan lain tak
mungkin pintu-pintu dijaga oleh lebih banyak penjaga. Kita
harus robohkan mereka. Wati engkau robohkan penjaga
yang berdiri paling kiri, dialah yang paling lemah di antara
mereka. Sanggupkah?"
Widawati mengangguk dan memandang calon lawan itu
dengan mata bersinar sambil meraba gagang keris yang
terselip di pinggangnya. Melihat Widawati sudah siap,
Wiraman menyentuh lengan yang berkulit harus itu,
berbisik, "Tunggu sampai mereka menoleh ke arah
sambitan batu dari tanganku, baru turun tangan secepatnya,
jangan memberi kesempatan mereka memekik. Mari kita
mendekat, ke bawah pohon depan jendela itu."
Kembali Widawati mengangguk dan mereka berdua lalu
menyelinap menyelinap melalui tempat gelap sehingga
akhirnya mereka bersembunyi di balik batang pohon dekat
jendela dan tempat para penjaga berdiri hanya beberapa
meter saja dari mereka. Jantung kedua orang ini berdebar.
Wiraman menyentuh lengan Widawati, kini tidak lagi
mereka berani saling berbisik. Widawati menoleh, mereka
berpandangan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi lampu yang tergantung di sudut atas, dekat
jendela. Biarpun mulut mereka tidak berbicara, namun
sepasang mata mereka berbicara banyak mencurahkan isi
hati, sama-sama maklum bahwa saatnya telah tiba di mana
mereka akan mempertaruhkan nyawa. Kalau berhasil,
mereka akan dapat menyelamatkan empat orang tokoh
penting yang mereka junjung tinggi, kalau gagal berarti
mereka akan tewas dan tidak ada kesempatan lagi bagi
mereka untuk saling mengucapkan selamat berpisah di
dunia ini. Sedetik mereka terharu dan seperti ada yang
menggerakkan, keduanya saling mendekatkan muka dan
berciuman sebagai pengganti kata-kata. Ciuman yang amat
mesra, ciuman yang mendatangkan semangat dan
menambah keberanian karena dalam ciuman itu mereka
dapat merasakan cita kasih masing-masing yang amat
mendalam sehingga mereka yakin bahwa hidup atau mati,
mereka takkan berpisah lagi. Setelah menghentikan ciuman,
mereka saling pandang. Wiraman mengangguk sebagai
pertanyaan dan Widawati mengangguk bagai jawaban
bahwa ia telah siap. Wiraman mengambil segenggam kerikil dari atas tanah,
kemudian setelah mengukur jarak, ia menyambitkan
genggaman itu ke arah kanan. Empat orang penjaga itu
mendengar suara berkerosok di kanan, cepat menengok,
bahkan memutar tubuh ke kanan dengan seluruh perhatian
dicurahkan untuk melihat apa yang menimbulkan bunyi itu.
Dan pada detik itu, Wiraman dan Widawati meloncat
keluar dengan gerakan cepat bagaikan dua ekor harimau
menerkam. Widawati yang sejak tadi sudah memperhatikan
penjaga yang tadi di ujung kiri menerjang maju, kerisnya
diayun. Penjaga itu terbelalak kaget, memutar tubuh dan
menggerakkan tombak, namun terlambat karena pada saat
itu, keris pusaka di tangan Widawati telah menancap tepat
di ulu hatinya. Keris dicabut sambil meloncat ke samping
agar tidak terkena muncratnya darah yang menyembur
keluar dari dada, disusul robohnya penjaga itu. Wiraman
juga sudah menggerakkan goloknya sehingga tampak sinar
putih berkelabat. Seorang penjaga roboh seketika dengan
leher putus, penjaga ke dua roboh dengan perut robek dan
isi perutnya keluar, akan tetapi penjaga ke tiga dapat
menangkis sambaran golok dengan tombaknya. Tombak itu
patah, akan tetapi ia dapat terhindar dari golok Wiraman.
Namun, pada detik berikutnya, sebelum penjaga ini sempat
berteriak, keris di tangan Widawati telah amblas memasuki
lambungnya dan robohlah penjaga itu pula. Tubuh keempat
orang penjaga itu hanya berkelojotan sebentar lalu terdiam,
tak bernyawa lagi. Tanpa banyak cakap Wiraman lalu menyeret dan
melempar empat batang mayat itu ke dalam semak-semak
di bawah pohon, kemudian ia menggandeng tangan
Widawati mendekati jendela yang kini tidak terjaga lagi.
Mereka mengintai dari luar jendela melalui ruji-ruji jendela
dan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa di
sebelah dalam dapur rumah tahanan itu terdapat belasan
orang penjaga lain yang sedang makan minum. Agaknya
mereka adalah penjaga-penjaga yang tiba giliran beristirahat
lalu mengenyangkan perut di dalam dapur itu.
Wiraman dan Widawati cepat melompat menjauhi
jendela, kembali ke bawah pohon. "Tidak ada jalan lain,
harus memancing semua penjaga keluar dari tempat
tahanan, kemudian dalam keributan kita masuk melalui
jendela, membebaskan mereka dan melarikan diri melalui
terowongan rahasia yang terdapat dalam kakus kamar
tahanan," bisiknya. "Cara bagaimana memancingnya?"
Wiraman menunjuk ke arah lampu yang tergantung di
atas jendela. "Dengan api." Ketika melihat kekasihnya
mengangguk, Wiraman berbisik lagi, "Kau tunggu di sini,
aku akan membakar gudang perlengkapan di sebelah kanan
itu. Setelah terjadi kebakaran dan keadaan geger,
pergunakan golok ini untuk membabat putus ruji-ruji
jendela." Wiraman menyerahkan golok lalu menyelinap pergi.
Widawati memandang ke arah lenyapnya bayangan
suaminya dengan jantung berdebar tegang. Tak lama
kemudian tampaklah api berkobar di sebelah kanan dan
terdengar teriakan-teriakan orang. Widawati melihat betapa
banyak penjaga lari berserabutan keluar dari dalam rumah
tahanan. Ia cepat menghampiri jendela dan mengintai.
Girang hatinya melihat dapur itu kosong dan para penjaga
yang tadi makan minum tidak nampak lagi, hanya tinggal
bekas-bekas makanan dan minuman yang agaknya
ditinggalkan dalam keadaan tergesa-gesa. Widawati lalu
menggerakkan goloknya membabat ke arah jendela yang
beruji besi. "Trangggg ......". Golok itu terpental dan terlepas dari
tangan Widawati karena tertangkis oleh sebatang keris yang
digerakkan sebuah lengan tangan yang kuat sekali.
"Ha-ha-ha, sudah kuduga! Menimbulkan kebakaran
untuk memancing para penjaga keluar! Kiranya seorang
wanita yang cantik manis berani mati hendak menolong
para tawanan. Aha, engkau boleh juga, manis, patut
menjadi tawananku dalam kamar tidurku. Ha-ha-ha,
senangkan hatimu karena menjadi tawanan Patih Warutama adalah hal yang amat nikmat dan menyenangkan!" Mendengar bahwa orang yang menangkis goloknya itu
adalah Patih Warutama, kemarahan dan kebencian
Widawati tak dapat ia bendung lagi. Tangan kanannya
mencabut keluar kerisnya, dan telunjuk kirinya menuding.
"Si keparat! Kiranya engkau inilah Warutama manusia
iblis yang bersekongkol dengan iblis betina Suminten dan
menghancurkan seluruh keluarga kakekku, Eyang Patih
Brotomenggala" tahanan laknat, rasakan pembalasan
Widawati, cucunya!" Ucapan ini disusul dengan terjangan Widawati yang
marah sekali. Ia menyerang dengan kerisnya, dan biarpun
kepandaiannya sama sekali belum ada artinya kalau
dibandingkan dengan kesaktian Ki Patih Warutama, namun
dalam keadaan marah dan benci itu ia menjadi nekat dan
gerakannya amatlah dahsyat dan ganas. Ki Patih
Warutama juga terkejut nendengar bahwa wanita muda
yang antik ini adalah cucu mendiang Ki Patih
Brotomenggala. Tentu saja keturunan Brotomenggala harus
dibasmi, akan tetapi sifat mata keranjang Warutama
membuat ia merasa sayang kalau wanita cantik ini harus
dibunuh begitu saja. Sebelum dibunuh akan ia tangkap
dulu, dan memaksa seorang wanita untuk menuruti
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nafsunya merupakan hal yang menyenangkan bagi laki-laki
yang berwatak bejat ini. Sambil tertawa ia mengelak, tangan
kanannya mencengkeram ke arah pergelangan tangan
Widawati dengan gerakan amat cepat sehingga Widawati
kaget sekali dan tentu saja ia segera menarik kembali
kerisnya agar jangan terampas lawan. Akan tetapi ternyata
bahwa gerakan cengkeraman dengan tangan kanan itu
hanya gertak belaka, atau pancingan karena yang
sesungguhnya bergerak adalah tangan kirinya yang tahu-
tahu telah menyelonong maju, memegang dan membelai
dada Widawati dengan remasan!
"Jahanam ........ !" Widawati menjerit.
"Ha-ha-ha-ha, engkau denok menggairahkan, manis!"
Warutama mengejek sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan Wiraman telah
muncul di situ. Ketika Wiraman melihat isterinya
berhadapan dengan Ki Patih Warutama, ia terkejut bukan
main. Cepat ia menyambar golok yang menggeletak di atas
tanah. "Yayi Widawati, isteriku yang terkasih. Saat bagi kita
berdharma bakti telah tiba. Keparat ini adalah Warutama,
kita harus menandinginya dan mengadu nyawa!"
"Aku sudah tahu, Kakang Wiraman. Mari kita basmi
iblis ini!" jawab Widawati.
"Apa" Cucu Brotomenggala ini isterimu" Heh, keparat,
siapakah engkau berani membikin kacau di sini?"
"Buka telingamu baik-baik, Warutama. Aku Wiraman
bekas pengawal rahasia kepatihan Janggala dan aku pernah
melihat ketika engkau melakukan permainan sandiwaramu
menolong sang prabu ....... "
"Babo-babo, engkau mencari mampus ....... !" Warutama
menjadi marah sekali karena orang ini merupakan orang
yang amat berbahaya, yang mengetahui rahasianya ketika
menjalankan siasat untuk menipu Raja Jenggala. Ia telah
menghunus kerisnya sambil loncat menghindar ketika golok
Wiraman menyambar, kemudian ia menangkis tusukan
keris Widawati dengan kerisnya sendiri. Widawati
mengeluh karena telapak tangannya terasa panas dan
hampir saja kerisnya terlepas dari pegangan tangannya.
Akan tetapi ia menerjang terus dengan nekat. Juga
Wiraman yang cukup maklum betapa saktinya patih baru
dari Jenggala ini, menggerakkan goloknya dengan nekat
dan menghujankan serangan bertubi-tubi yang selalu dapat
dielakkan atau ditangkis oleh Patih Warutama.
Ki Patih Warutama menjadi penasaran dan juga heran.
Setelah dua tahun yang lalu, ketika ia menghadapi para
pengawal rahasia yang dikirim Patih Brotomenggala untuk
melindungi sang prabu, ia menganggap para pengawal itu
berkepandaian biasa saja. Akan tetapi mengapa pengawal
ini memiliki kepandaian yang cukup hebat sehingga ia tidak
dapat merobohkannya dalam waktu singkat" Juga cucu
Patih Brotomenggala ini, biarpun gerakannya terlatih, akan
tetapi memiliki dasar ilmu yang tinggi. Kalau tidak lekas
dibasmi, pengawal ini amat berbahaya dan cucu
Brotomenggala itu pun amat berbahaya, pertama sebagai
cucu bekas musuh besarnya, ke dua sebagai isteri Wiraman
yang tahu akan semua rahasianya dahulu. Dengan
penasaran, Ki Patih Warutama lalu mengeluarkan pekik
dahsyat dan tiba-tiba tubuhnya bergulingan di atas tanah
seperti seekor trenggiling. Itulah Aji Trenggiling-wesi yang
amat dahsyat dan banyak gerak tipunya. Sambil
bergulingan dia mencari kesempatan untuk meloncat dan
mengirim serangan tiba-tiba. Menghadapi ilmu bertanding
yang aneh itu, Wiraman dan Widawati menjadi bingung
dan mereka hanya dapat mengikuti gerak lawan yang
bergulingan itu untuk dipapaki serangan kalau bangkit
berdiri. "Haaiiiitttt !" Tiba-tiba tubuh Ki Patih Warutama
mencelat ke atas dengan gerakan yang sukar diduga
sebelumnya. Sambil meloncat ini ia mengayun keris pusaka
Naga-kikik yang bereluk tujuh itu dan mengeluarkan sinar
hijau dingin. Sinar hijau berkelebat menyentuh dada
Wiraman dan Widawati, tampaknya , hanya menyerempet
saja, akan tetapi ujung keris Naga-kikik itu menjadi merah
oleh darah yang memancur keluar dari ulu hati Wiraman
dan Widawati. Kedua orang gagah ini merintih, golok dan
keris terlepas dari tangan. Keris Naga-kikik itu mengandung
racun yang berhawa dingin sehingga siapa terkena akan
menjadi beku darahnya. Wiraman dan Widawati pun yang
tertusuk ulu hatinya hanya mengeluarkan darah sekali mancur lalu membeku, keduanya terhuyung, tangan meraih sambil membuka mata saling pandang berhasil saling peluk, roboh terguling bersama dan menghembuskan napas terakhir pada detik yang sama. Mereka tewas dalam keadaan saling berdekapan, mati bersama sesuai dengan janji-janji
mesra di kala mereka memadu cinta. Para pengawal berdatangan dan Ki Patih Warutama
memberi perintah, "Seret mayat mereka ini, merekalah yang
melakukan pembakaran dengan maksud merampas tawanan. Seret dan ikat di tengah alun-alun, biar besok
semua rakyat dapat melihati"
Pada keesokan harinya, berduyun-duyun penduduk di
sekitar kota raja berdatangan untuk melihat dua orang
penjahat yang membakar gudang istana. Akan tetapi betapa
kaget dan ngeri hati mereka ketika mengenal mayat laki-laki
itu sebagai mayat Wiraman, seorang pengawal kepatihan
dahulu yang amat disegani dan dihormati karena gagah
perkasa dan baik budi. Apalagi ketika mereka mengenal
mayat Widawati yang seringkali dikagumi tari-tariannya
semenjak masih kecil. Biarpun tidak ada yang berani secara
terang-terangan, namun banyaklah penduduk yang diam-
diam menangisi kematian demikian menyedihkan dari dua
orang itu, terutama sekali kematian Widawati.
Segala yang terjadi dan tampak oleh pandangan mata
manusia keadaannya seringkali tidak sesuai dengan
pendapat manusia yang menyaksikannya, bahkan kadang-
kadang berlawanan. Orang-orang menjadi terharu, menangisi kematian Wiraman dan Widawati yang mereka
anggap amat menyedihkan. Akan tetapi, bagaimanakah
sesungguhnya" Adakah kematian mereka itu benar-benar
menyedihkan, tentu saja terutama sekali bagi dua orang itu
sendiri" Hal ini amat diragukan dan sungguhpun keadaan
mati tak dapat dibuktikan oleh manusia hidup, namun
mengingat akan janji-janji mereka berdua sebelumnya,
kematian bersama itu belum tentu merupakan peristiwa
yang menyedihkan bagi Wiraman dan Widawati. Siapa
tahu kalau arwah kedua orang yang saling mencinta ini
bergandeng tangan sambil tersenyum-senyum bahagia
menyaksikan dunia dengan segala leluconnya yang mereka
tinggalkan untuk selamanya.
Patih Warutama menyuruh mempertontonkan kedua
sosok mayat itu. kepada penduduk dengan maksud agar
mereka yang masih mempunyai niat memberontak menjadi
gentar dan maklum akan kekuatan mereka yang kini
menguasai Jenggala. Akan tetapi, keadaan sesungguhnya
bukanlah demikian karena rakyat diam-diam menjadi
makin muak dan benci akan kekejaman-kekejaman dan
pembunuhan-pembunuhan yang terjadi semenjak Suminten
menjadi selir raja terkasih, semenjak Pangeran Kukutan
menjadi putera mahkota, dan semenjak Ki Patih Warutama
menjadi Patih Jenggala. Kebencian dan kemuakan yang
menjadi rabuk berseminya rasa tak puas dan dingin
memberontak dari rakyat! Adapun tentang kematian Wiraman dan Widawati itu
sendiri. Sia-siakah pengorbanan mereka" Sia-siakah usaha
mereka membebaskan empat orang tawanan" Sia-siakah
mereka mengorbankan nyawa sedang empat orang tawanan
itu masih tetap tertawan" Kiranya tidaklah demikian dan
hal ini akan terbukti dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya.
Peristiwa yang menyusul karena terjadi pada siang harinya
setelah malam keributan di bangunan tempat tahanan itu.
Ketika Suminten mendengar akan usaha Wiraman dan
Widawati yang hendak merampas tawanan dengan jalan
membakar gudang, ia menjadi marah sekali dan habis
kesabarannya. Ia cepat memberi perintah kepada pengawalnya, kemudian dia sendiri datang ke tempat
tahanan untuk menyaksikan pelaksanaan usahanya yang
terakhir untuk memaksa Pangeran Panji Sigit dan loko
Pramono bertekuk lutut di depannya. Ia merasa yakin
bahwa akalnya yang terakhir ini akan berhasil dan harus
berhasil, karena kalau tidak, ia sudah mengambil keputusan
untuk membunuh empat orang muda yang keras hati itu.
Keputusannya itu tentu saja mengecewakan hati Ki Patih
Warutama dan Pangeran Kukutan yang mempunyai niat
lain lagi terhadap dua orang wanita cantik yang menjadi
tawanan. Pangeran Kukutan yang selalu merasa iri hati
kepada Pangeran Panji Sigit, begitu melihat Setyaningsih
sudah timbul hasrat hatinya untuk merampas isteri adik
tirinya itu, atau setidaknya memperkosanya, baru akan
puaslah hatinya. Adapun Ki Patih Warutama tertarik akan
kecantikan Pusporini, bahkan malam tadi ia sampai tersesat
ke tempat tahanan semata-mata bermaksud untuk melihat
Pusporini dan kalau mungkin, "mendahului" Suminten
menggagahi gadis itu. Akan tetapi peristiwa pembakaran
gudang membuat ia terpaksa membatalkan niatnya dan kini
keputusan Suminten itu mengecewakan hatinya. Namun,
baik Pangeran Kukutan maupun Patih Warutama tidak
berani membantah lagi ketika Suminten berkata,
"Kalau yang dua jantan suka menyerah kepadaku, yang
dua betina akan kuserahkan kepada kalian. Kalau tidak,
keempatnya akan kubunuh hari ini juga!"
Di dalam ruangan tahanan berdinding batu tebal dan
kokoh kuat itu, telah diatur persiapannya oleh para
pengawal. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono masih
terbelenggu di dinding batu, akan tetapi Setyaningsih dan
Pusporini telah dipindahkan. Kini kedua orang wanita itu
diikat pada dua batang balok besar, diikat kaki, tangan dan
lehernya pada balok itu sehingga mereka tak mampu
bergerak. Suminten duduk di luar kamar tahanan,
menonton dari lubang jendela yang digerakkan dengan alat
rahasia sehingga dinding yang berhadapan dengan kedua
orang muda itu terbuka tengahnya dan kepala Suminten
kelihatan dari dalam kamar tahanan.
Melihat keadaan dua orang wanita itu, dan melihat
munculnya kepala Suminten di balik lubang dinding,
Pangeran Panji Sigit berseru,
"Suminten, andika seorang manusia dari darah daging,
bukan siluman. Muslihat keji apakah yang hendak
kaulakukan atas diri isteriku dan Pusporini" Kalau mau
membunuh kami; bunuhlah karena kami tidak takut mati.
Dan ingat, bahwa apapun juga yang anda lakukan, kami
takkan menyerah dan andika akan melakukan hal yang sia-
sia belaka." Suminten tersenyum. "Pangeran, apa yang akan
kulakukan bukanlah hal sia-sia, dan akan terjadi di depan
mata kalian berdua. Baru dapat dihentikan dengan
penyerahan diri kalian kepadaku tanpa syarat!" Sehabis
berkata demikian Suminten bertepuk tangan tiga kali
memberi isyarat kepada kaki tangannya. Pintu kamar
tahanan terbuka dan masuklah dua orang laki-laki yang
keadaannya mengerikan hati Pusporini dan Setyaningsih.
Mereka itu adalah dua orang laki-laki bertubuh besar dan
bersikap kasar, bermuka liar dengan mata terbelalak lebar
penuh nafsu, mulut yang besar dengan gigi yang menguning
terkekeh-kekeh meneteskan air liur ketika mereka melangkah maju dan terkekeh-kekeh menghampiri dua
batang balok berdiri di mana kedua orang wanita muda itu
terikat tak berdaya! Tanpa bicara sekalipun maklumlah
Pusporini dan Setyaningsih, juga Pangeran Panji Sigit dan
Joko Pramono, apa yang akan dilakukan oleh dua orang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
algojo setengah telanjang itu. Setyaningsih dan Pusporini
menjadi pucat wajahnya, memandang kepada dua orang
yang tubuhnya hanya ditutupi cawat kasar, tubuh setengah
telanjang bulat yang berisi otot-otot melingkar seperti
dadung dan begitu mereka masuk telah tercium bau
keringat yang kecut dan apek.
"Mundur kalian! Jangan ganggu isteriku dan Pusporini!"
bentak Pangeran Panji Sigit. Akan tetapi dua orang raksasa
itu hanya tertawa ha-hah-he-heh sambil langkah maju terus
mendekati dua orang wanita itu.
"Kalau berani menjamah mereka, kuhancurkan lumat-
lumat kepala kalian!" Joko Pramono juga berteriak yang
dijawab dengan suara terkekeh-kekeh oleh dua orang itu.
Mereka sama sekali tidak memperdulikan ancaman kedua
orang muda itu dan berdiri di depan Pusporini dan
Setyaningsih, dekat sekali. Mereka kini kelihatan makin
bernafsu dan air liur mereka menetes-netes menjijikkan.
Keadaan. mereka itu, ketika kedua orang wanita
memandang wajah mereka, mengingatkan Pusporini dan
Setyaningsih akan muka dua ekor anjing kelaparan melihat
tulang. Napas mereka yang terengah engah keluar dari
mulut menimbulkan bau yang lebih menjijikkan daripada
bau keringat mereka, seperti bau sampah membusuk. Tidak
akan mengherankanlah kiranya andaikata ada ulat-ulat
berloncatan keluar dari mulut mereka, begitu busuk baunya.
Tadinya empat orang tawanan itu menyangka bahwa
dua orang raksasa ini agaknya gagu, akan tetapi ternyata
tidak demikian karena kini raksasa yang berdiri dekat
Pusporini berkata, suaranya serak kasar seperti kaleng
diseret. "Wah-wah, Kakang Suro. Aku menjadi semlengeren
(silau) melihat dua orang wanita denok montok dan segar
ranum ini sehingga sukar untuk memilih. Kalau boleh
keduanya saja untukku, ha-ha-ha!"
"Heessss, Adi Digdo, biar yang putih kuning dan denok
montok ini untukku, yang manis legit itu untukmu!" jawab
algojo yang berdiri di depan Setyaningsih sambil meraba
dagunya dengan kepalan tangannya yang besar dan
berbulu. "Buaya darat, monyet kau! Celeng goteng kau! Coba
lepaskan ikatanku dan aku akan menginjak-injak hancur
kepala kalian berdua babi hutan! Kalau kalian begitu
pengecut dan tidak berani melepaskan, bunuh saja kami
berdua!" teriak Pusporini yang tak dapat menahan
kemarahannya lagi. "Wah-wah, eman-eman (sayang) kalau dibunuh, cah ayu
....... !" kata algojo yang bernama Digdo sambil
memandang seolah-olah hendak menelan bulat-bulat tubuh
Pusporini. "Suro dan Digdo, jangan banyak cerewet! Lekas lakukan
perintahku, tepat seperti yang kalian ketahui. Awas, kalau
tidak tepat seperti perintahku, kusuruh penggal batang leher
kalian!" Tiba-tiba terdengar suara Suminten dari balik
lubang dinding. Dua orang algojo itu terkejut, menoleh dan menyembah.
"Renggut baju mereka sampai habis lepas!" kembali
Suminten berteriak. Dua buah lengan penuh bulu dengan jari-jari tangan
sebesar pisang ambon itu bergerak ke depan, mencengkeram baju Pusporini dan Setyaningsih.
"Breeettt ....... breeeettt ....... !!"
Baju yang dipakai kedua orang wanita itu seperti kertas
saja di tangan Suro dan Digdo dan dalam sekejap mata,
sekali gentak dan renggut baju-baju itu robek semua dan
terlepas dari tubuh bagian atas. Setyaningsih dan Pusporini
memejamkan mata dan mereka menjadi telanjang dari
pinggang ke atas. Dua orang algojo itu memandang sambil
menelan ludah, kedua tangan mencabik-cabik baju yang
tadi menutupi tubuh atas Pusporini dan Setyaningsih.
Diam-diam Suminten kagum dan iri hati menyaksikan
keindahan tubuh atas kedua orang wanita itu. Harus ia akui
bahwa biarpun tubuh atasnya sendiri pun indah dan terawat
baik, namun tidaklah memiliki kesegaran seperti tubuh atas
mereka. Pada waktu itu, bertelanjang tubuh atas bagi wanita
bukanlah merupakan hal yang terlalu berat. Akan tetapi
keadaan mereka itu berbeda lagi, mereka tengah
ditelanjangi oleh tangan kedua orang algojo itu dan hal ini
merupakan penghinaan yang amat hebat.
Joko Pramono dan Pangeran Panji Sigit meronta-ronta
namun hanya berhasil membuat rantai-rantai besar yang
membelenggu mereka berkerontangan.
"Suminten, perempuan terkutuk! Bunuh saja Setyaningsih!" teriak Panji Sigit, hampir ia terisak
menyaksikan penghinaan yang dihadapi isterinya tercinta.
"Suminten, engkau dan algojo-algojomu ini sekali waktu
akan terjatuh ke tanganku, dan awaslah akan pembalasanku
atas perlakuan yang kaujatuhkan pada Pusporini saat ini!"
kata pula Joko Pramono, suaranya dingin akan tetapi
mengandung ancaman yang jelas melebihi suara halilintar
menyambar. Suminten tersenyum penuh kemenangan. Memang
itulah yang ia kehendaki. Menyiksa batin kedua orang pria
itu agar suka tunduk dan berlutut di depan kakinya.
"Hi-hik, kalian merasa kasihan dan ngeri" Mengapa tidak
menolong mereka dan membebaskan mereka dari keadaan
yang lebih hebat lagi" Mudah saja dan ringan syaratnya,
asal suka membantuku. Kalau kalian masih berkeras
kepala, dengarkan apa yang akan dilakukan oleh kedua
orang algojoku ini. Atas perintahku, mereka nanti akan
merenggut lepas seluruh pakaian dua orang wanita itu.
Setelah itu, mereka berdua akan membeIai dan meremas
bagian-bagian tubuh Setyaningsih dan Pusporini, bagian-
bagian yang kalian tak ingin dijamah laki-laki lain. Setelah
puas, mereka itu akan kuperintahkan untuk memperkosa
Setyaningsih dan Pusporini di depan mata kalian sekuat
mereka sampai dua orang wanita pujaan hati kalian ini
mati! Ya, akan kuperintahkan agar dua orang wanita ini
diperkosa sampai mati di sini, tiada henti-henti sampai
mereka berdua ini mati atau kedua orang algojo ini kurang
kuat dan mereka yang diperkosa itu belum mati, akan
kudatangkan dua orang algojo lain yang masih segar dan
kuat untuk menggantikan mereka memperkosa Setyaningsih dan Pusporini, kemudian dua lagi, menjadi
enam orang, sepuluh orang, dua puluh, sampai seratus
orang, sampai Setyaningsih dan Pusporini kehabisan napas
dan mati !" "Perempuan iblis terkutuk ....... Joko Pramono memekik,
wajahnya pucat kini. "Tidak ....... jangan ....... kau bunuh saja kami,
Suminten, bunuh saja kami, ....... !" Pangeran Panji Sigit
merintih suaranya lemah, air matanya bertitik menuruni
pipinya. Melihat keadaan suaminya seperti itu, hati Setyaningsih
seperti diiris-iris. Ia lupa akan keadaan dirinya sendiri,
lenyap rasa ngerinya karena ia kasihan menyaksikan
penderitaan batin yang ditanggung suaminya, maka ia lalu
berkata lantang setengah menjerit,
"Kakangmas Pangeran, mengapa berduka" Tubuhku ini
bukanlah milik paduka, bukan pula milikku, hanya tanah
dan debu. Yang kita miliki adalah rasa cinta kasih yang
takkan lenyap dan abadi, dan kita akan dapat berkumpul
kembali setelah aku mati dan kemudian paduka menyusul.
Biarlah mereka lakukan apa saja atas tubuh bukan milik
kita ini, Kakangmas."
Semua orang tertegun bagaikan disiram air dingin
mendengar ini. Suminten merasa seperti ditampar
mukanya, bahkan dua orang algojo itu sejenak terbelalak.
"Duh Ayunda, engkau bijaksana sekali dan terima kasih
....... " bisik Pusporini di sampingnya dan kini gadis inipun
dapat memandang kekasihnya dengan tabah dan wajah
berseri-seri, seolah-olah apa yang akan dialami dan yang
berangkir dengan kematian merupakan saat-saat dia hendak
melangsungkan pernikahan dengan Joko Pramono, pernikahan di akhirat! "Isteriku Setyaningsih yang tercinta! Maafkanlah kakanda yang diserang kelemahan tadi. Kini hatiku lega
dan marilah kita hadapi hukuman tubuh yang penuh dosa
dengan segala penyerahan kepada Hyang Widi. Suminten,
jangan mengira bahwa kejahatan dapat mengalahkan
kebajikan, bahwa iblis dapat mengalahkan dewata,
lakukanlah sesuka hatimu, wahai perempuan malang calon
intip neraka!" kata Pangeran Panji Sigit.
"Ha-ha-ha, engkau mau berkata apa lagi sekarang,
Suminten perempuan rendah budi?" Joko Pramono tertawa
bergelak, hatinya juga lapang setelah mendengar ucapan
Setyaningsih tadi. Suminten memandang dengan sinar mata penuh
kemarahan dan muka pucat. Ia masih belum mau
menerima kalah. Ia tidak percaya bahwa dua orang pria
mu-da itu akan kuat bertahan menyaksikan. kekasih-kekasih
mereka diperkosa dan disiksa. "Suro dan Digdo, renggut
kain-kain mereka, telanjangi mereka!" perintahnya.
Sikap dan ucapan empat orang muda itu mengandung
wibawa yang amat hebat, menggetarkan isi dada dua orang
algojo yang kasar seperti binatang buas itu sehingga gairah
dan nafsu berahi mereka sudah banyak mendingin. Akan
tetapi perintah Suminten bagaikan cambuk yang memecut
punggung mereka, membuat mereka tergesa-gesa mengulur
tangan meraih ke depan hendak merenggut kain
Setyaningsih dan Pusporini yang sudah memejamkan mata
sambil bersamadhi mematikan raga dan rasa, sedangkan
dua orang pria muda itu memandang dengan muka pucat
akan tetapi dengan penuh keikhlasan dan penyerahan
kepada Yang Maha Kuasa. Pada saat itu terdengar jelas tarikan napas panjang yang
entah dari mana datangnya dan tiba-tiba berkelebat dua
sinar kecil menyambar tengkuk dua orang algojo itu.
Bagaikan disambar petir dua orang algojo itu yang sudah
menyentuh kain Setyaningsih dan Pusporini, mengejang
dan ....... berdiri kaku seolah-olah mereka telah berubah
menjadi dua buah arca batu! Kembali datang menyambar
sinar-sinar kecil, kini menuju ke arah tambang-tambang
kuat yang mengikat leher, lengan, dan kaki kedua orang
wanita itu dan seketika semua tambang pengikat tubuh
mereka putus seperti dikerat pisau tajam!
Keadaan ini membuat semua orang tertegun, bahkan
Setyaningsih dan Pusporini sendiri kini sudah sadar dari
samadhi, membelalakkan mata memandang semua tali
pengikat yang sudah putus. Sedemikian besar keheranan
dan kekagetan mereka sehingga mereka tidak mampu
menggerakkan kaki dan tangan yang sudah bebas itu!
Hanya pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono yang sadar
dan kini mereka menoleh ke arah pintu dari mana tadi
menyambar sinar-sinar itu, setengah dapat menduga bahwa
ada seorang sakti yang telah menolong mereka. Akan tetapi
ketika perlahan-lahan daun pintu yang berat itu terbuka,
mereka inipun melongo keheranan karena yang muncul
bukanlah seorang kakek sakti mandraguna, juga bukan Resi
Mahesapati seperti yang tadinya disangka oleh Joko
Pramono, melainkan seorang pemuda remaja berpakaian
sederhana berwajah tampan berkulit putih yang melangkah
perlahan memasuki tempat itu dengan senyum tenang
penuh kesabaran di bibir!
Pemuda remaja ini bukan lain adalah Bagus Seta.
Kedatangannya yang tepat sekali pada waktunya itu
merupakan hasil daripada usaha Wiraman dan Widawati
semalam. Malam tadi, Bagus Seta masih berada di luar kota
saja, mendapatkan sebuah tempat yang amat nyaman
dalam hutan sehingga ia berhenti dan bersamadhi di tempat
itu menikmati keindahan tetumbuhan dan kebersihan hawa
segar. Akan tetapi pada malam harinya, Bagus Seta melihat
sinar merah tanda kebakaran membubung tinggi. Hal inilah
yang membuat pemuda sakti mandraguna mempercepat
kepergiannya ke kota raja dan begitu memasuki kota raja
mendengar akan peristiwa ditawannya Pangeran Panji Sigit,
Joko Pramono, Setyaningsih dan Pusporini. Disebutnya
nama kedua orang wanita ini membuat Bagus Seta
langsung saja mendatangi tempat tahanan, mempergunakan
kesaktiannya dan berhasil datang pada saat yang tepat
sehingga kedua orang bibinya itu tertolong. Dengan
demikian maka tidak sia-sialah kiranya pengorbanan yang
dilakukan oleh Wiraman dan Widawati. Kalau saja mereka
tidak melakukan usaha itu dan tidak terjadi kebakaran tentu
kedatangan Bagus Seta akan terlambat. Tentu saja segala
macam liku-liku peristiwa yang kebetulan itu telah ada yang
mengatur-Nya dan hanya atas kehendak-Nya sajalah maka
dapat terjadi semua kebetulan itu !
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan langkah perlahan dan sikap tenang sekali Bagus
Seta langsung menghampiri Pangeran Panji Sigit dan Joko
Pramono, kemudian menggunakan jari-jari tangannya yang
halus itu meraih ke arah rantai baja. Terdengar bunyi
berkerotokan dan ....... dalam sekejap mata saja kedua
tangan merekapun bebas, rantai itu patah-patah dan jatuh
ke atas lantai. Bagaikan menerima komando, tubuh Pangeran Panji
Sigit dan Joko Pramono meloncat ke depan dan
menghantan dengan tangan yang mengandung aji kesaktian
ke arah kepala Suro dan Digdo yang masih berdiri seperti
arca. Terdengar suara keras "prakk!" dua kali dan tubuh
tinggi besar kedua algojo itu roboh dengan kepala pecah
dan tewas di saat itu juga. Pangeran Panji Sigit dan Joko
Pramono dengan sikap beringas memutar tubuh hendak
mencari Suminten, akan tetapi sudah sejak tadi wanita itu
lenyap dari balik lubang dinding, bahkan dinding itu sendiri
kini tidak berlubang lagi, tertutup oleh gerakan alat rahasia.
Karena tak dapat melihat Suminten, Pangeran Panji Sigit
dan Joko Pramono menjatuhkan diri berlutut di depan
Bagus Seta, demikian pula Setyaningsih dan Pusporini yang
kini telah sadar dari keadaan terpesona, merekapun cepat
berlutut hendak menyembah, lupa akan keadaan tubuh atas
mereka yang masih telanjang.
"Harap jangan banyak penghormatan, kini bukan
waktunya bicara, yang terpenting harap lekas ikut bersama
saya keluar dari kota raja." Bagus Seta menggunakan kedua
tangan menyentuh pundak mereka, akan tetapi sentuhan jari tangan itu mengandung kekuatan mujijat yang tak terlawan
sehingga keempat orang itu seperti ditarik tenaga
raksasa dan bangkit berdiri. Ucapan itu pun sekaligus mengingatkan mereka bahwa bahaya belumlah terhindar selama
mereka masih berada di tempat itu. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono lalu menanggalkan baju masing-masing
dan memberikan baju mereka untuk dipakai oleh
Setyaningsih dan Pusporini sekedar untuk menutupi
ketelanjaan tubuh atas mereka. Kemudian mereka
melangkah keluar mengikuti Bagus Seta yang tenang-tenang
saja berjalan keluar dari ruangan tahanan itu. Mereka
disambut oleh belasan orang pengawal yang bergerak
kebingungan seperti rombongan semut diganggu. Melihat
ini, empat orang muda itu siap untuk mengamuk, akan
tetapi Bagus Seta berkata perlahan,
"Harap tenang dan tidak perlu melayani mereka, lebih
baik cepat keluar dari sini."
Dua pasang orang muda itu terheran. Dihadang
rombongan pengawal tidak boleh melawan, habis
bagaimana akan dapat meloloskan diri" Akan tetapi mereka
berempat menjadi kagum dan terheran-heran ketika melihat
pemuda remaja itu mengembangkan kedua lengan dengan
perlahan, akan tetapi akibatnya, rombongan pengawal yang
datang dari kanan kiri itu terlempar dan roboh saling tindih
seperti tertiup angin badai yang amat kuat. Kini yakinlah
hati kedua pasang orang muda itu akan kesaktian penolong
mereka dan mereka berjalan terus mengikuti Bagus Seta
dengan cepat keluar dari bangunan. Setiap bagian yang
mengandung alat rahasia menjadi macet tak dapat bergerak
karena dari jauh Bagus Seta telah menggunakan hawa sakti
yang meluncur tak tampak dari telapak tangannya untuk
memukul rusak alat-alat rahasia yang tersembunyi di balik
dinding atau di bawah lantai, dan setiap usaha para
pengawal yang puluhan orang banyaknya untuk menghalangi pelarian mereka, roboh malang-melintang dan
jatuh bangun oleh gerakan kedua lengan pemuda sakti
mandraguna ini. Tak seorang pun di antara para pengawal
itu tewas, akan tetapi karena tiupan angin kuat yang keluar
dari gerakan kedua lengan pemuda baju putih, membuat
mereka menjadi gentar dan jerih.
"Harap pergunakan aji berlari cepat," kata Bagus Seta
setelah mereka berhasil keluar dari dinding istana. Dua
pasang orang muda itu cepat berlari mempergunakan ilmu
mereka, sedang Bagus Seta berlari di belakang mereka
sebagai perisai. Apabila ada pengawal berani menghadang,
pukulan-pukulan dua pasang orang muda itu sambil berlari
cukup untuk merobohkan para penghalang. Ratusan anak
panah yang diluncurkan oleh para pengawal yang
melakukan pengejaran dari belakang, runtuh semua hanya
oleh lambaian tangan Bagus Seta sehingga para pengawal
menjadi makin gentar. Akan tetapi, ketika dua pasang orang muda itu sudah
hampir keluar dari dinding kota raja melalui pintu gerbang
yang terjaga kuat namun para penjaganya kembali
dirobohkan secara mudah oleh Bagus Seta, tiba-tiba mereka
tersusul oleh serombongan pengawal yang jumlahnya lima
puluh orang menunggang kuda dan dipimpin oleh Cekel
Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro!
Mereka ini ternyata telah mengejar melalui pintu gerbang
lain dan memotong jalan sehingga mereka dapat menyusul,
apalagi karena mereka menunggang kuda. Begitu melihat
empat orang tawanan yang lolos bersama penolong mereka
yang muda belia dan aneh itu, tiga orang tokoh sakti ini
meloncat turun dari kuda diikuti lima puluh orang
pengawal anak buah mereka.
"Babo-babo! Siapakah gerangan bocah lancang yang
berani mati membebaskan para tawanan Kerajaan Jenggala!
Mengakulah, anak muda, siapa andika sebelum nenggalaku
memenggal batang lehermu!" bentak Ki Kolohangkoro
menyembunyikan rasa ragu dan gentarnya mendengar
berita betapa pemuda berpakaian putih itu memiliki
kesaktian yang tidak lumrah manusia biasa!
Akan tetapi, sebelum Bagus Seta menjawab, Joko
Pramono yang sudah menjadi marah sekali melihat
munculnya musuh-musuh besar itu, membentak, "Ki
Kolohangkoro, sekaranglah tiba saatnya kita boleh
mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang!"
Joko Pramono sudah menerjang maju dengan kepalan
tangannya, menyerang Ki Kolohangkoro dan saking
marahnya, begitu menyerang Joko Pramono sudah
menggunakan aji kesaktiannya yang amat ampuh, yaitu
Cantuka-sekti yang merupakan pukulan mendorong dari
bawah dengan tubuh agak direndahkan hampir berjongkok.
Ki Kolohangkoro menggereng keras dan menggerakkan
nenggalanya menangkis sambil mengerahkan tenaga
saktinya, akan tetapi seperti ketika untuk pertama kalinya ia
bentrok dengan pemuda sakti murid Resi Mahesapati ini, ia
kalah tenaga dan tubuhnya terpental ke belakang.
Kekebalannya melindunginya sehingga hawa pukulan
Cantuka-sekti itu tidak mampu merobohkannya. Bentrokan
antara Joko Pramono dan Ki Kolohangkoro ini merupakan
komando bagi para pengawal sehingga mereka menyerbu ke
depan sambil berteriak-teriak. Ni Dewi Nilamanik dan
Cekel Wisangkoro sudah pula menerjang maju, disambut
oleh Pusporini yang menghadapi Ni Dewi Nilamanik,
sedangkan Setyaningsih bersama Pangeran Panji Sigit
menyambut terjangan Cekel Wisangkoro.
Serangan Ni Dewi Nilamanik yang menggunakan
kebutan merah amat dahsyatnya. Ujung kebutan yang
kadang-kadang dapat lemas seperti ujung cambuk kadang-
kadang dapat mengeras dan runcing seperti ujung pedang
itu meluncur cepat ke arah leher Pusporini. Namun secepat
kilat Pusporini menggerakkan tangan kiri dari samping
diputar dengan jari-jari tangan mencengkeram ujung
kebutan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka
mengirim tamparan dengan Aji Pethit Nogo yang
ampuhnya menggila! Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan
suara menjerit, menarik kembali kebutannya dan menangkis
tamparan dengan kebutan yang diputar ke kiri
"Prattt!" Ujung kebutan bertemu dengan jari tangan yang
mengandung Pethit Nogo itu menjadi bobol sedikit dan
tubuh Ni Dewi Nilamanik agak terhuyung ke belakang.
Akan tetapi Pusporini juga merasa betapa jari tangannya
pedas dan panas, tanda bahwa lawannya ini bukanlah
lawan yang ringan. Yang hebat adalah Cekel Wisangkoro, murid terpandai
dari Wasi Bagaspati. Tongkatnya yang hitam berbentuk ular
itu berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih. Suami isteri ini
bertangan kosong, maka mereka cepat mengelak, kemudian
dari kanan kiri membalas dengan pukulan sakti yang
mereka perdalam di bawah pimpinan mendiang Ki
Datujiwa. Namun ternyata bahwa tingkat kesaktian suami
isteri ini masih kalah oleh tingkat Cekel Wisangkoro yang
sudah tinggi sehingga sekali memutar tongkatnya secara
tepat, tidak saja cekel tua berhasil menggagalkan serangan
mereka, bahkan sebaliknya membalas dengan pukulan dan
tusukan tongkatnya bertubi-tubi membuat suami isteri itu
sibuk mengelak. Tiba-tiba gerakan tongkat ular itu terhenti di tengah
udara oleh kekuatan yang iak tampak. Ternyata Bagus Seta
sudah turun tangan, menggerakkan tangannya mendorong
dengan pukulan jarak jauh, menahan gerakan tongkat
sehingga suami isteri itu dapat meloncat mundur. Ketika
Setyaningsih dan suaminya memandang, ternyata para
pengawal yang tadi menyerbu dan berada di bagian paling
depan, telah roboh terjengkang seperti yang dialami para
pengawal yang menghadang di sepanjang jalan tadi.
"Harap andika berempat cepat melarikan diri dan
menanti saja di dalam hutan menuju Panjalu!" Terdengar
pemuda remaja itu berkata halus. Mendengar ini, Pusporini
dan Joko Pramono tidak suka membantah, mereka
meloncat mundur karena maklum bahwa kalau dilanjutkan
melawan, biarpun mereka tidak akan kalah menghadapi
lawan itu seorang lawan seorang, namun kalau dikeroyok
oleh puluhan orang pengawal akan memakan waktu lama.
Apalagi kalau sampai Patih Warutama datang membawa
barisan, akan berbahayalah keadaan mereka. Mereka
berempat maklum akan kesaktian pemuda remaja itu, maka
ucapannya merupakan perintah bagi mereka dan cepat
mereka meloncat dan melarikan diri ke selatan.
"Kejar! Tangkap tawanan yang kabur. Bunuh!" teriak Ki
Kolohangkoro dan sebagian besar para pengawal sudah
berlari dan hendak menunggang kuda melakukan pengejaran. Mereka semua maklum bahwa kalau mereka
gagal menangkap para tawanan, mereka akan mendapat
marah besar dari Pangeran Kukutan dan Ki Patih
Warutama, terutama sekali mereka ngeri kalau mengingat
akan kemarahan Suminten. Sebaliknya kalau mereka
berhasil menawan kembali empat orang pelarian itu, tentu
mereka akan mendapat hadiah yang banyak. Karena inilah
maka mereka seakan-akan berlumba hendak melakukan
pengejaran. "Berhenti!" terdengar suara halus namun amat berpengaruh sehingga semua orang seketika menghentikan
gerakan mereka. Beberapa orang yang sudah meloncat ke
atas kuda dan sudah melarikannya, tiba-tiba terguling dari
atas punggung kuda ketika Bagus Seta mendorongkan
tangan kirinya ke arah mereka.
"Bocah berilmu setan! Siapakah engkau sesungguhnya
berani menentang para pengawal Jenggala?" Cekel
Wisangkoro kini bertanya dengan hati tertarik karena
selama hidupnya dalam perantauan, dia belum pernah
mendengar tokoh muda seperti ini.
"Cekel Wisangkoro, ilmu apa pun juga di dunia ini kalau
dipergunakan untuk melakukan kejahatan menjadi ilmu
hitam atau ilmu setan. Akan tetapi aku akan selalu
menggunakan sedikit pengertian yang kumiliki untuk
mengabdi kebenaran dan keadilan."
"Babo-babo! Engkau telah mengenal aku?"
Kini tidak hanya Cekel Wisangkoro yang menghadapi
pemuda ini, juga. Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi
Nilamanik mendekat dan memandang penuh perhatian,
penuh takjub dan menduga-duga.
"Aku mengenal siapa andika, Cekel Wisangkoro. Andika
murid utama dari Sang Wasi Bagaspati, seorang pendatang
dari Hindu yang memperjuangkan perkembangan Agama
Syiwa, bukan" Aku mengenal pula Ni Dewi Nilamanik
yang menjadi pemuka dari penyebaran Agama Bathari
Durgo di Tanah Jawa, yang menganggap dirinya sebagai
penitisan Sang Bathari Durgo sendiri. Aku mengenal pula
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Kolohangkoro pemuka dari penyebaran Agama Bathara
Kolo di Tanah Jawa, yang mengaku dirinya sebagai
penitisan Sang Bathara Kolo sendiri. Wahai andika bertiga,
mengapa mengabaikan perbedaan antara baik dan buruk,
antara salah dan benar dan menjadi hamba nafsu pribadi
yang hanya akan menimbulkan kebakaran dan kehangusan
diri andika sekalian sendiri" Manusia bebas memeluk
agama apa pun juga, memilih sesembahan mereka, bahkan
bebas pula menyebarkannya. Akan tetapi, kalau penyebaran
agama itu dilakukan dengan tipu muslihat, dengan
kekerasan dan bahkan tidak segan-segan dengan kekacauan
dan pembunuhan, hal ini sudah menyeleweng daripada
kebenaran, merupakan pemerkosaan yang keji. Mengapa
andika tidak mau sadar?"
Tiga orang tokoh sakti itu terbelalak keheranan. Orang-
orang seperti mereka itu mana mungkin dapat mudah
disadarkan" Betapa manusia dapat mudah sadar daripada
penyelewengan kalau mereka menganggap bahwa penyelewengan itu bukanlah penyelewengan melainkan
kebenaran! Berbahagialah manusia yang dapat mengenal
penyelewengan mereka sendiri!
"Wahai bocah muda yang amat luar biasa. Siapakah
sebenarnya andika?" "Namaku Bagus Seta, dan sekali lagi kuperingatkan
andika sekalian bahwa usaha Negeri Sriwijaya dan Negeri
Cola untuk menanamkan kuku-kuku beracun mereka di
Tanah Jawa akan mengalami kegagalan. Setiap
kemenangan dari kejahatan
pasti akan tersusul, cepat
atau pun lambat, oleh kebenaran yang akan menggulung dan menghancurkannya. Belum terlambat kalau andika insyaf dan mengundurkan diri, menyampaikan kepada
Sang Biku Janapati untuk tidak melanjutkan usaha mereka mengembangkan agama dengan tipu muslihat
dan kekarasan. Terutama sekali, insyafkan mereka bahwa angkara murka yang datang
dari negara-negara asing untuk menjajah Tanah Jawa
takkan mendatangkan kebahagiaan melainkan hanya
mendatangkan kehancuran dan kesengsaraan, terutama
bagi fihak penjajah."
"Babo-babo, bocah sombong! Lagakmu seolah-olah
engkaulah penitisan Sang Hyang Jagad Nata sendiri!
Ataukah engkau bicara mewakili para penyembah Sang
Hyang Wishnu dan sengaja hendak menentang kami?"
bentak Cekel Wisangkoro marah.
Bagus Seta menggelengkan kepalanya dan sikapnya
masih tenang sekali, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar yang membuat silau ketiga orang sakti
itu. "Agaknya andika bertiga lupa akan inti sari dan sumber
daripada semua agama yang kalian anut. Apakah
perbedaan antara Sang Hyang Brahma, Sang Hyang
Wishnu, dan Sang Hyang Syiwa" Ketiganya adalah sifat
daripada Sang Hyang Widhi Wasesa, satu-satunya
kekuasaan tertinggi yang menguasai seluruh jagad-raya
seisinya. Ketiga sifat Tritunggal, disebut tiga namun satu
juga yang membuat jagad raya ini berputar terus. Kesatuan
dari tiga sifat inilah yang merupakan lingkaran tak pernah
putus. Hyang Brahma Maha Pencipta, yang mencipta
seluruh alam mayapada seisinya. Hyang Wishnu Maha
Pelindung dan memelihara, yang memelihara segala ciptaan
tadi, yang bergerak maupun tidak. Hyang Syiwa Maha
Pembinasa, yang menghancurkan dan membinasakan
segala ciptaan itu. Ketiganya adalah Trimurti, selalu
bersatu, tak pernah dapat terpisahkan karena ketiga sifat ini
dengan kerja sama yang wajar dan tak terelakkan membuat
alam mayapada seperti yang terjadi dahulu, yang kita lihat
sekarang, dan yang akan terjadi kelak. Sebuah raja di antara
Tiga Sifat Yang Maha Kuasa ini dipisahkan, segalanya
akan terhenti. Sang Pencipta mencipta segala benda dan
mahluk sesual dengan kehendak Yang Maha Kuasa, Sang
Pemelihara memelihara ciptaan-ciptaan itu agar dapat
berlangsung, dan Sang Pembinasa menghancurkan satu
demi satu untuk memberi kelangsungan pula kepada
ciptaan-ciptaan baru!"
-oo0dw0oo- XXXIX TIGA orang sakti itu mendengarkan dengan melongo.
Hampir mereka tidak percaya bahwa yang bicara di depan
mereka itu adalah seorang pemuda berusia dua puluhan
tahun. "Andika telah kesiku (terkutuk) kalau memisah-
misahkan tiga sifat itu dan hanya menjadi penyembah Sang
Bathara Syiwa saja, atau Sang Bathari Durgo yang hanya
menjadi pelengkap dan pembantu, maupun juga Sang
Bathara Kolo yang membantu tugas Bathara Syiwa. Di
dunia ini, tidak mungkin hanya sifat pembinasa saja yang
berkuasa, juga akan pincang kalau hanya sifat pencipta saja,
atau sifat pemelihara saja. Harus ada ketiganya, maka
disebut Trimurti, Tri-tunggal, tiga sifat dari SATU KEK
UASAAN MAHA SEMPURNA yang saling bantu, saling
mengisi. Demikianlah, wahai andika bertiga orang-orang
yang telah mempergunakan sebagian besar umur andika
untuk memipelajari ilmu, janganlah sia-siakan hidup kalian
dengan penyelewengan daripada wajib hidup."
Tiga orang sakti itu melongo dan tertegun bukan untuk
taat, sama sekali tidak, hanya terheran saja. Kini, setelah
pemuda itu selesai bicara, bangkitlah kemarahan di hati
mereka, terutama sekali Ni Dewi Nilamanik dan Ki
Kolohangkoro. Mereka berdua adalah kepala agama,
seorang yang ahli dalam agama yang dianutnya, kini
mereka dikuliahi seorang bocah tentang agama! Hal ini
mereka terima sebagai penghinaan dan kesombongan si
pemuda. "Bocah sombong, katakan siapa gurumu" Gurumu
tentulah musuh besar dari kami, atau musuh besar Sang
Wasi Bagaspati!" bentak Ni Dewi Nilamanik.
Bagus Seta menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
Heran ketiga orang itu melihat sikap yang demikian
tenangnya, sama sekali tidak membayangkan kemarahan
niaupun permusuhan, lunak dan lembut penuh kesabaran
clan pengertian. "Guru manakah yang lebih besar daripada Yang Maha
Kuasa" Kalau Yang Maha Kuasa dapat diumpamakan
apinya matahari, di dalam diri setiap orang manusia
terdapat setitik bunga api. Kalau dapat diumpamakan air
samudera, di dalam diri setiap orang manusia terdapat
setetes airnya. Segala pengetahuan telah berada di dalam
diri manusia yang tak pernah terpisah dari Gurunya, yang
tak pernah ditinggdlkan. Yang Maha Kuasa tidak pernah
sedetikpun meninggalkan setiap orang manusia, hanya si
manusialah yang terlalu sering meninggalkanNya. Guru
yang berujud manusia hanyalah sebagai petunjuk dan
penggali sehingga si manusia menemukan kembali
pengertian yang terpendam di dalam dirinya, tertutup oleh
sampah-sampah nafsu. Guruku yang berujud manusia sama
dengan aku, tidak pernah mempunyai musuh dan tidak
akan mempunyai musuh karena sudah terbebas daripada
nafsu membenci. Benci menimbulkan dendam, dan dendam
menimbulkan permusuhan. Tanpa benci berarti tidak akan
punya miasuh, namun dia sendiri tidak pernah mempunyai
musuh. Kalau andika bertiga menganggap aku ini musuh,
itu adalah kerugian bagi andika sendiri, akan tetapi aku
tidak menganggap andika bertiga ini musuh karena aku
tidak membenci siapa-siapa."
"Babo-babo! Lidahmu lemas seperti lidah ular, engkau
pandai bicara, orang muda. Hendak kulihat apakah
kesaktianmu juga sehebat bicaramu!" Sambil membentak
keras, tongkat ular di tangan Cekel Wisangkoro sudah
meluncur ke depan, menusuk ke dada pemuda itu.
Serangan ini diikuti oleh kebutan di tangan Ni Dewi
Nilamanik yang mengeluarkan suara meledak keras, dan
dibarengi pula oleh tusukan nenggala di tangan Ki
Kolohangkoro. Hebat bukan main serangan berbareng yang
dilakukan tiga orang sakti itu, datangnya dari tiga jurusan
dan memiliki keampuhan masing-masing. Akan tetapi Bagus Seta bersikap tenang saja, kemudian secara tiba-tiba
tubuhnya lenyap seolah- olah ditelah bumi sehingga tongkat di tangan Cekel Wisangkoro hampir bertemu dengan nenggala Ki Kolohangkoro sendiri. Ketiganya terkejut sekall
dan dengan hati ngeri menduga bahwa pemuda aneh itu memiliki kesaktian menghilang dari
depan mata mereka! Benarkah Bagus Seta pandai
menghilang" Sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda
sakti itu tidak menghilang, melainkan menggunakan aji
kesaktian meringankan tubuh yang amat tinggi tingkatnya
sehingga tubuhnya dapat berkelebat mengelak secara
demikian cepatnya dan karena gerakannya jauh melampaui
ketiga orang lawannya, sehingga mereka bertiga itu tidak
dapat mengikuti gerakannya dengan pandang mata. Tubuh
Bagus Seta berkelebat cepat menghindarkan diri dari
serangan lawan lalu melesat keluar kepungan dan pergi
melarikan diri dari tempat itu menyusul dua pasang orang
muda yang telah lebih dulu melarikan diri.
Tlga orang sakti itu akhirnya sadar akan hal ini dan
benar saja, ketika memandang, bayangan pemuda itu telah
pergi agak jauh dart tempat itu.
"Bocah keparat, hendak lari ke mana kau?" bentak Ki
Kolohangkoro yang cepat melontarkan nenggalanya ke
arah Bagus Seta. Juga Cekel Wisangkoro mengayun
tongkat ularnya dan melontarkari tongkat itu menyusul
nenggala ke arah tubuh Bagus Seta. lontaran nenggala dan
tongkat ini tak boleh dipandang rendah karena tenaga
lontarannya sedemikian kuatnya membuat kedua macam
senjata itu meluncur lebih cepat daripada luncuran anak
panah terlepas dari busurnya.
Bagus Seta mendengar angin luncuran dua bush senjata
pusaka ampuh itu, dan ia hanya menoleh tanpa
menghentikan langkahnya, mengangkat tangan kanannya
menyampok kedua senjata itu berturut-turut sehingga
nenggala dan tongkat itu runtuh ke atas tanah. Kemudian
pemuda ini berlari terus dan sebentar saja lenyap dari
pandangan mata ketiga orang lawannya.
Ki Kolohangkoro dan Cekel Wisangkoro dengan hati
penasaran berlari dan mengambil senjata mereka. Dapat
dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa ujung
nenggala dan tongkat ular itu telah hancur! Terpaksa
mereka lalu memimpin para pengawal untuk terus
melakukan pengejaran, namun pekerjaan ini dilakukan
dengan setengah hati karena mereka bertiga kehilangan
kepercayaan kepada kekuatan sendiri setelah bertemu
dengan Bagus Seta, pemuda yang memiliki kesaktian yang
tidak lumrah itu. Malah Cekel Wisangkoro tidak ikut
melakukan pengejaran yang ia tahu akan sia-sia itu,
melainkan ia tergesa-gesa pergi menghadap gurunya, Sang
Wasi Bagaspati untuk memberi laporan tentang munculnya
Bagus Seta yang memiliki kesaktian luar biasa itu.
Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan
Pusporini cepat maju menyambut kedatangan Bagus Seta
yang melangkah perlahan akan tetapi tidak lama telah dapat
mengejar dan menyusul dua pasang orang muda itu, dan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sertamerta dua pasang orang muda itu menjatuhkan diri
berlutut di depan kakinya.
"Tanpa bantuan paduka yang sakti mandraguna, kami
berempat tentu tewas. Kami amat bersyukur dan berterima
kasih ........ " Namun ucapan Setyaningsih ini diputus oleh
ucapan halus Bagus Seta, "Harap andika berempat bangun dan kalau perlu
bersyukur dan berterima kasih, berterima kasihlah kepada
Hyang Widhi Wisesa karena hanya dengan kehendak-Nya
sajalah kita semua masih hidup di saat ini. Dan harap
jangan menyembah saya, terutama sekali kedua bibi, karena
sesungguhnya sayalah yang harus berlutut menyembah ke
hadapan bibi berdua." Setelah tadi mengangkat bangun
empat orang itu, kini Bagus Seta yang menjatuhkan diri
berlutut dan menyembah dua orang wanita itu.
"Ahhhh, Raden ........ bagaimana mungkin kami dapat
menerima penghormatanmu yang tak pada tempatnya ini?"
Pusporini cepat berseru saking kagetnya. Biarpun pria ini
masih amat muda, lebih muda daripadanya, akan tetapi
betapa mungkin pemuda sakti mandraguna yang telah
menyelamatkan nyawa mereka, bahkan lebih daripada itu,
telah menyelamatkan mereka daripada ancaman bahaya
penghinaan yang lebih hebat mengerikan daripada maut
sendiri, kini menyembahnya"
"Bibi Setyaningsih dan Bibi Pusporini, harap suka
pandang baik-baik kepada hamba. Tidakkah Bibi berdua
dapat mengenal keponakanmu lagi?"
Setyaningsih dan Pusporini terkejut, memandang wajah
tampan yang terangkat itu dengan seksama, kemudian
keduanya menjerit, "Bagus Seta ........ !!"
Setyaningsih dan Pusporini menubruk dan merangkul
Bagus Seta sambil menangis.
"Aduhai ........ Bagus Seta ........ ke mana saja engkau
pergi selama ini?" Setyaningsih terisak-isak dengan muka
bersandar pundak Bagus Seta. "Semenjak engkau pergi,
banyak sekali hal telah terjadi .......
"Seta, anak nakal ........ ! Mengapa engkau menghilang
sekian lamanya" Ke mana saja engkau pergi" Aihhh,
sekarang eyang-eyangmu ........ " Pusporini sukar melanjutkan kata-katanya karena lehernya tercekik oleh
keharuan. Ia hanya dapat merangkul dan menciumi rambut
kepala keponakannya itu. Kalau kedua wanita itu menangis dan menumpahkan
rasa haru, adalah Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono
yang berdiri bengong. Tentu saja mereka sudah seringkali
mendengar dari Setyaningsih dan Pusporini tentang Bagus
Seta, putera Tejolaksono yang pergi dibawa orang sakti
semenjak berusia sepuluh tahun. Kini ternyata anak itu
telah menjadi seorang pemuda yang amat sakti, dan yang
kini hanya tersenyum-senyum dengan wajah sama sekali
tidak dipengaruhi tangis kedua orang bibinya yang
mengguguk mengharukan. "Syukur engkau datang menolong, Bagus Seta. Kalau
tidak, bagaimana akan jadinya dengan nasib kedua bibimu
........ !!" Setyaningsih berkata lagi, suaranya terputus-putus,
"Anakku Seta! Engkau telah menjadi seorang sakti, mari
bantu kami menghancurkan yang mencengkeram dan
menguasai Jenggala!" Pusporini berseru, mengepal tinju
karena bangkit kemarahannya teringat kepada Suminten
dan kaki tangannya. Setelah membiarkan kedua bibinya itu menumpahkan
rasa terharu mereke sejenak, akhirnya Bagus Seta yang
tersenyum penuh pengertian itu lalu memegang tangan
kedua orang bibinya, bangkit berdiri dap berkata,
"Harap Bibi berdua tenangkan hati dan mari kita bicara
tentang Jenggala dan pengalaman-pengalaman Bibi sehingga menjadi tawanan di sana. Sebelumnya harap Bibi
perkenalkan kedua Paman yang gagah perkasa in!."
"Bagus Seta, dia adalah Pamanmu Pangeran Panji Sigit,
suamiku. Dan dia itu Dimas Joko Pramono, kakak
seperguruan Bibimu Pusporini." Setyaningsih memperkenalkan. Bagus Seta maju member! hormat. "Girang sekali hati
saya dapat berjumpa dengan Paman Pangeran Panji Sigit
dan paman Joko Pramono. Saya Bagus Seta menghaturkan
sembah dan hormat?""
Sejenak kedua orang pria perkasa Itu tertegun
menyaksikan sikap penuh hormat dari pemuda remaja itu.
Hati mereka menjadl makin kagum akan kerendahan hati
Bagus Seta dan kehalusan tutur sapa dan sikapnya, sama
sekali tidak tampak kebanggaan dan kesombongannya akan
kesaktian luar biasa yang dimilikinya. Tersipu-sipu mereka
lalu menjawab, "Ah, sudah lama aku mendengar akan dirimu dari
bibimu Setyaningsih, Bagus. Dan amatlah bahagia hatiku
kini bertemu dan melihat bahwa keponakan isteriku adalah
seorang yang memiliki kesaktian."
Adapun Joko Pramono yang sejak tadi memandang
Bagus Seta seperti termenung kini berkata, "Andika Bagus
Seta ........ seorang pemuda sakti yang akan muncul ........
ah, Pusporini! Kini mengertilah aku! Yang dimaksudkan
oleh Eyang Guru Resi Mahesapati bukan lain orang adalah
Bagus Seta sendiri!"
"Ah, benar! Tidak salah lagi! Girang sekali hatiku kalau
yang akan kubantu adalah keponakan sendiri."
Dari kedua orang bibinya itu Bagus Seta mendengar
akan segala peristiwa yang menimpa keluarga di
Selopenangkep, mendengar bahwa ayah bundanya kini
telah berada di Kota Raja Panjalu, ayahnya menjabat
pangkat patih muda. Kemudian ia mendengar penuturan
kedua pasang orang muda itu tentang keadaan di Jenggala
dan tentang usaha Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih
Tejolaksono yang mulai mengadakan penyelidikan ke
Jenggala. Setelah semua peristiwa didengarnya secara singkat
namun jelas, Bagus Seta menghela napas panjang lalu
berkata, "Aku merasa girang sekali bahwa kedua Bibi dan
Paman telah berusaha untuk menolong Jenggala. Terutama
sekali bagi Paman Pangeran, memang sudahlah menjadi
kewajiban setiap orang kawula untuk membela negaranya.
Akan tetapi, urusan di Jenggala ternyata bukanlah urusan
kecil dan menyangkut pencampuran tangan Negeri-negeri
Sriwijaya dan Cola. Oleh karena itu, seyogyanya kalau kita
lebih dahulu menghadap ke Panjalu memberi laporan dan
sudah tiba saatnya pula aku harus menghadap Kanjeng
Rama lbu." Demikianlah, lima orang muda itu lalu melanjutkan
perjalanan menuju ke Panjalu untuk melaporkan segala
peristiwa yang mereka alami di Jenggala. Akan tetapi,
ketika mereka tiba di tapal batas kedua kerajaan itu, tiba-
tiba perjalanan mereka terhadang oleh seorang laki-laki
setengah tua yang menggeletak melintang di tengah jalan,
masih bergerak-gerak di samping belasan buah mayat orang
yang berserakan di tempat itu.
"Kalau tak salah, perajurit-perajurit Panjalu ........!" seru
Setyaningsih dan mereka segera menghampiri perajurit
setengah tua yang belum tewas itu. Karena mereka semua
maklum akan kesaktian Bagus Seta yang luar biasa, maka
otomatIs empat orang muda itu menganggap pemuda
remaja itu sebagai pemimpin mereka, maka kini Bagus Seta
pula yang berlutut memeriksa tubuh perajurit yang terluka
itu. Lukanya parah sekali, tak mungkin dapat ditolong dan
patut dikagumi daya tahan perajurit itu sehingga masih
dapat mempertahankan hidupnya. Kiranya perajurit itu
memang mempergunakan seluruh kekuatan berdasarkan
kesetiaannya untuk menunda kematiannya agar dapat
menyampaikan berita kepada orang yang lewat. Dapat
dibayangkan betapa girang hatinya melihat bahwa yang
lewat adalah lima orang muda yang di antaranya terdapat
Pangeran Panji Sigit dan isterinya yang sudah ia kenal
ketika pangeran itu datang ke Panjalu.
"....... tolong ........ lekas ........ , Gusti Patih Tejolaksono
dan kedua isteri beliau ....... tertawan dibawa ke gunung itu
....." Habislah kekuatan perajurit itu dan tubuhnya lemas,
nyawanya terbang meninggalkan raganya.
Setyaningsih, Pusporini, Pangeran Panji Sigit, dan Joko
Pramono terkejut bukan main mendengar ucapan terakhir
perajurit itu. Betapa mungkin hal ltu terjadi" Ki Patih
Tejolaksono adalah seorang yang sakti mandraguna,
apalagi di situ terdapat dua orang isterinya yang berarti
bahwa Endang Patibroto juga hadir, sedangkan Ayu
Candra bukanlah seorang lemah pula. Bagaimana dapat
ditawan orang dan siapakah penawannya"
Memang sungguh mengherankan dan meragukan pesan
dalam ucapan terakhir perajurit Panjalu itu. Kalau memang
benar yang memimpin para perajurit yang kini rebah
malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi adalah
Ki Patih Tejolaksono, Endang Patibroto, dan Ayu Candra,
bagaimana mereka itu dapat dikalahkan dan ditawan
orang" Untuk mengetahui hal yang tak dapat terjawab oleh
dua pasang orang muda itu, baiklah kita mengikuti sebentar
apa yang telah terjadi di tempat itu pada pagi hari tadi.
Sebelum Ki Wiraman dan Widawati dengan nekat
menyerbu ke penjara istana Jenggala untuk menolong dua
pasang orang muda yang tertawan, Ki Wiraman telah
mengirim pembantunya ke Panjalu untuk memberi kabar
tentang penangkapan empat orang muda itu kepada Ki
Patih Tejolaksono karena dia maklum bahwa kalau dia dan
Widawati gagal, satu-satunya orang yang boleh diharapkan
akan dapat menyelamatkan empat orang muda itu adalah ki
patih muda di Panjalu yang sakti itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Ki Patih
Tejolaksono ketika mendengar berita itu. Setyaningsih dan
Pusporini ditangkap dan dipenjara di Jenggala! Juga
Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono! Segera
Tejolaksono menghadap Pangeran Darmokusumo untuk
melaporkan hal itu, kemudian Tejolaksono mohon
perkenan dari sang prabu dan dari Pangeran Darmokusumo
untuk pergi sendiri turun tangan ke Jenggala, selain untuk
menolong mereka yang tertawan, juga sekalian menanggulangi kekacauan di sana. Permohonannya
diperkenankan, maka berangkatlah Tejolaksono disertai
Endang Patibroto dan Ayu Candra. Kedua orang isterinya
ini tidak mau ditinggal, apalagi Endang Patibroto yang
sudah marah-marah mendengar betapa Setyaningsih adik
kandungnya itu ditangkap.
"Sedikit banyak sang prabu di Jenggala pernah menerima
bantuan-bantuanku, dan juga bantuanmu, apalagi kalau
diingat bahwa Suminten itu ternyata adalah bekas abdi
dalemku. Kalau aku yang datang meminta, kiranya mereka
itu akan segera dibebaskan," demikian kata Endang
Patibroto. "Kalau tidak ........ hem mm, Jenggala akan
kuratakan dengan bumi!"
Tejolaksono tersenyum dan memandang wajah Endang
Patibroto dengan sinar mata berseri dan kagum. isterinya ke
dua ini tak pernah menjadi tua, masih selalu penuh
semangat seperti di waktu masih menjadi perawan yang
ganas dan liar. "Aku kira tidak perlu kita menggunakan
kekerasan. Apapun yang telah kudengar beritanya, aku tak
percaya bahwa gusti sinuwun di Jenggala sampai demikian
tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuasaan lagi di sana.
Sebaiknya kita buktikan sendiri."
Ayu Candra menggerakkan alisnya. "Betapapun juga,
kita harus selalu waspada dan hati-hati. Peristiwa yang
melanda Jenggala bukanlah hal yang wajar, melainkan ada
rahasia di balik semua itu. Lupakah Kakanda akan
perjumpaan kita dengan dua orang kakek amat sakti di
puncak gunung ketika kita mencari Bagus Seta?"
Tejolaksono mengangguk dan diam-diam ia harus
membenarkan pendapat isterinya ini. Wasi Bagaspati dan
Biku Janapati adalah dua orang pendeta yang amat sakti,
dan kalau betul seperti yang pernah disindirkan oleh Ki
Tunggaljiwa, dan kedua orang pendeta itu mencampuri
urusan kekacauan di Jenggala, maka dia bersama dua orang
isterinya harus berhati-hati sekali.
"Engkau benar, Adinda Ayu Candra. Kita harus berhati-
hati sekali. Aku akan membawa lima belas orang pengawal
pilihan untuk melayani keperluan kita dalam perjalanan. Di
sana aku akan menghadap secara resmi kepada sang prabu
dan langsung mengajukan permohonan untuk kebebasan
mereka." Rombongan Tejolaksono melakukan perjalanan cepat
sekali siang malam tanpa berhenti, bertukar kuda di dalam
perjalanan. Pada keesokan harinya ketika rombongan ini
memasuki tapal batas Jenggala, tiba-tiba dalam sebuah
hutan mereka dihadang oleh puluhan orang laki dan
perempuan yang kesemuanya memegang senjata, dan para
penghadang itu dipimpin oleh seorang wanita cantik yang
memegang pedang. Ketika Tejolaksono melihat wanita ini
dan mengenalnya sebagai Sariwuni si penyembah Bathari
Durgo, anak buah juga kekasih Wasi Bagaspati, tahulah dia
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa fihak musuh sudah mulai turun tangan. Maka ia
berbisik di dekat telingan kedua isterinya.
"Dia Sariwuni yang telah kuceritakan kepada kalian.
Kita basmi saja mereka karena mereka pun merupakan
sebagian daripada akar-akar pohon kekacauan di Jenggala."
Setelah berbisik demikian, Tejolaksono memberi aba-aba
kepada lima belas orang pengawal untuk menerjang maju.
Para pengawal maklum bahwa kalau ki patih serentak
memberi perintah menyerang tanpa bertanya, tentu ki patih
mempunyai alasan kuat dan mereka yakin bahwa
rombongan orang-orang laki perempuan bercampur aduk
merupakan barisan liar ini pastilah golongan musuh.
Merekapun lalu menerjang maju, melarikan kudanya
menyerbu di antara puluhan orang lawan yang juga sudah
berteriak-teriak dan menyerang dalam sambutan mereka
terhadap terjangan perajurit-perajurit Panjalu.
"Sariwuni perempuan jahat, kebetulan sekali andika
muncul menyerahkan nyawa!" bentak Tejolaksono sambil
menudingkan telunjuknya ke arah wanita itu yang
tersenyum mengejek dengan gerakan mulut genit sekali.
"Heh-heh, Tejolaksono, engkau masih hidupkan" Aku
memang sengaja menantimu di sini untuk menangkapmu!"
"Setan alas, mampuslah kamu ........ Tiba-tiba Endang
Patibroto melayang dari atas kudanya dan langsung
tubuhnya meluncur dan menyambar ke arah Sariwuni
bagaikan seekor burung elang menyambar anak ayam.
Sariwuni terkejut sekali dan cepat menggerakkan
pedangnya membacok tubuh lawan yang menyambar
seperti burung itu. "Krekk ........ Aaliihhhhh ........ !" Sariwuni terpental ke
belakang sampai tiga meter dan pedangnya sudah patah-
patah ketika bertemu dengan jari tangan Endang Patibroto!
Sariwuni memandang terbelalak dan berkata tertegun,
"Inikah ......... Endang Patibroto ...... .?"
Sudah lama dia mendengar akan kehebatan seorang
wanita bernama Endang Patibroto dan karena akhir-akhir
ini dia mendengar berita bahwa Endang Patibroto telah
menjadi isteri Tejolaksono, kini menyaksikan terjangan
yang ganas dan dahsyat itu, mudah saja dia menduga.
"Benar dugaanmu. Akulah Endang Patibroto yang
datang untuk menghancurkan kepalamu yang hanya terisi
hawa busuk itu. Nah, rasakan pukulan ini !"
Endang Patibroto tidak mau memberi kesempatan lagi
kepada lawan yang kini sudah bertangan kosong, lalu
menerjang maju dengan gerakan Bayu Tantra yang
membuat tubuhnya menjadi gesit dan ringan, sambil
memukul dengan aji pukulan Wisangnolo!
Sariwuni menjadi gentar, akan tetapi ia pun tidak mau
menyerah mentah-mentah begitu saja. Begitu ia menggerakkan tangan dan memekik, berubahlah warna
tangannya menjadi hitam sampai ke kukunya dan kedua
lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Itulah
pengerahan ajinya yang sangat keji dan kotor, yaitu Aji
Wisekenaka yang ia pelajari dari Wasi Bagaspati sebagai
hadiah atas jasa- jasanya, terutama sekali dalam melayani
nafsu sang wasi. "Bressss !" Kembali tangan Endang Patibroto tertangkis
oleh lengan yang mengandung hawa beracun, bahkan kuku-
kuku tangan Sariwuni dalam tangkisan itu telah
mencengkeram lengan Endang Patibroto yang berkulit
halus putih. Akan tetapi akibatnya, tubuh Sariwuni
terbanting ke kiri dan perempuan ini bergulingan sambil
mengeluarkan rintihan karena lengannya seperti terbakar
api neraka ketika bertemu dengan lengan Endang Patibroto
yang mengandung hawa Wisarignolo !
Sementara itu, Tejolaksono dan Ayu Candra juga tidak
tinggal diam melihat lima belas orang pengawal mereka
bertempur dikeroyok oleh tiga puluh orang lebih
gerombolan musuh. Ki patih dan isterinya sudah membedal
kuda mereka maju memasuki gelanggang pertempuran dan
sebentar saja, beberapa orang pengeroyok sudah roboh oleh
tendangan-tendangan kaki Tejolaksono dan ayunan pedang
Ayu Candra setelah dia merampas pedang dari tangan
seorang pengeroyok. Dengan majunya suami isteri perkasa
ini, biarpun fihak lawan dua kali lebih besar jumlahnya,
tetap saja mereka menjadi kocar-kacir dan panik. Sepak
terjang suami isteri itu, terutama sang patih, terlalu hebat
dan kuat bagi mereka seperti terjangan angin badai.
Endang Patibroto yang melihat betapa Sariwuni sudah
terluka, mengambil keputusan untuk menghabisi saja
nyawa lawan itu, maka tubuhnya kembali mencelat ke
depan dan kakinya bergerak . menendang ke arah kepala
Sariwuni untuk memberi pukulan maut terakhir.
"Desss ........ !" Kini tubuh Endang Patibrpto yang
terpental ke belakang dan kakinya terasa nyeri hampir
lumpuh. Kiranya tendangan tadi telah ditangkis oleh
sebuah lengan tangan berbulu yang kulitnya kemerahan.
Endang Patibroto cepat berdiri tegak memandang penuh
perhatian. Orang yang menolong Sariwuni itu adalah
seorang kakek tinggi kurus bermuka merah sekali,
rambutnya panjang putih terurai dan pakaiannya terbuat
dari kain berwarna merah darah!
"Hoah-hah-ha-ha! Inikah puteri yang bernama Endang
Patibroto, murid dari Dibyo Mamangkoro"........ buruk
......!" Kakek itu lalu memegang lengan tangan Sariwuni
yang terluka dan sekali menggosoknya dengan telapak
tangan kiri, sembuhlah dan lenyaplah rasa panas.
"Wuni cah-ayu, lenganmu tidak apa-apa, sekarang lebih
baik kau membantu anak buahmu itu yang terdesak," kata
kakek itu lalu menggunakan tangannya meraba pinggul
Sariwuni, membelai dan mendorongnya. Sariwuni terkekeh
genit lalu berlari untuk membantu anak buahnya yang
kocar-kacir. "Kakanda, lihat siapa itu ........ Tiba-tiba Ayu Candra
berbisik dengan suara menggetar.
Tejolaksono cepat menoleh dan terkejutlah ia ketika
melihat pendeta berjubah merah itu yang bukan lain adalah
Wasi Bagaspati! "Ah, Endang Patibroto terancam bahaya.
Mari kita bantu ........ !" ia lalu meloncat turun dari
kudanya, diikuti Ayu Candra, merobohkan dua orang
pengeroyok lalu berlari menghampiri Endang Patibroto
yang masih berdiri tegak di depan Wasi Bagaspati.
Tejolaksono kini berdiri di sebelah kanan Endang Patibroto
sedangkan Ayu Candra berdiri di sebelah kanannya.
"Wasi Bagaspati! Kiranya andika yang menghadang
perjalanan kami ke Jenggala," kata Tejolaksono. "Ada
maksud apakah menghadang perjalanan kami?"
"Ha-ha-ha, andika Tejolaksono, dahulu Adipati Selopenangkep dan sekarang kabarnya menjadi patih muda
di Panjalu, bukan" Sebagai patih di Panjalu, mau apa
gentayangan dan berkeliaran di daerah Jenggala" Andika
melanggar tapal batas, harus ditangkap. Ha-ha-ha!"
"Wasi Bagaspati! Sejak kapan andika menjadi penjaga
tapal batas?" Tejolaksono berseru keras.
"Kakangmas, perlu apa banyak bicara dengan raksasa
tua bangka ini" Hantam saja!" Endang Patibroto sudah
menerjang maju lagi, kini gerakannya hati-hati sekali karena
ia makium bahwa yang ia hadapi adalah lawan yang benar-
benar amat sakti. Ia menerjang sambil mengerahkan Aji
Bayu Tantra agar tubuhnya menjadi ringan dan gerakannya
menjadi cepat, dan ia mengerahkan ajinya Pethit Nogo
untuk menampar ke arah dada Sang Wasi Bagaspati. Keras
sekali tamparan tangan itu, namun kakek bermuka merah
itu hanya tertawa-tawa, sama sekali tidak mengelak dan
menerima tamparan Aji Pethit Nogo dengan dadanya yang
bidang. "Plakkkk!!" Endang Patibroto merasa betapa jari-jari
tangannya bertemu dengan getaran hawa yang kuat, yang
melumpuhkan ajinya Pethit Nogo dan pada detik
berikutnya ia berseru keras sambil melesat pergi karena
hampir saja pundaknya kena dicengkeram oleh tangan
Wasi Bagaspati yang sengaja menerlma pukulan sambil
berusaha menangkap Endang Patibroto.
Tejolaksono juga kaget menyaksikan betapa pukulan
Endang Patibroto sedemikian ampuhnya sehingga jarang
sekali ada tokoh yang akan mampu menerima pukulan
Pethit Nogo kini ternyata tidak mempunyai pengaruh apa-
apa terhadap Wasi Bagaspati, cepat melambung tinggi dan
menerjang dari atas. Ia mengerahkan aji keringanan tubuh
Bayu Sakti dan dari atas ia menukik turun ke bawah dengan
pukulan Bojro Dahono, mengarah ubun-ubun kepala Wati
Bagaspati! Pada saat yang hampir berbareng dengan
serangan Tejolaksono, kedua orang isterinya pun sudah
menerjang maju. Ayu Candra kini mencabut keris
pusakanya dan menyerang dengan tusukan ke arah Wasi
Bagaspati, sedangkan Endang Patibroto menggunakan aji
pukulan Wisangnolo, kini yang dipukul adalah tenggorokan
lawan untuk mematahkan batang lehernya!
Menghadapi tiga serangan yang mematikan ini, yang
amat berbahaya kalau dilawan dengan kekebalan karena
yang diserang adalah bagian-bagian paling lemah, Wasi
Bagaspati menjadi terkejut juga. Tadinya ia hendak
menyambar lengan Tejolaksono dan sekaligus menangkapnya, akan tetapi keris yang menuju matanya dan
pukulan panas yang mengarah tenggorokannya bukanlah
hal yang boleh dipandang rendah begitu saja. Terpaksa ia
menangkis saja pukulan Tejolaksono, menggeser kaki
belakang dan miringkan tubuh menghindarkan serangan
dua orang wanita sakti itu. Akan tetapi begitu ia terhindar
dari serangan pertama, ketiga orang pengeroyoknya sudah
menerjang lagi dengan serangan yang lebih hebat dan
berbahaya. Tejolaksono yang pernah bertanding dengan
kakek sakti ini di lereng Merapi di depan Ki Tunggaljiwa
dan hampir saja tewas, teringat akan nasehat Ki
Tunggaljiwa kemudian bahwa biarpun dalam hal ilmu
kedigdayaan kakek ini tidaklah terlalu banyak selisihnya
dengan tingkatnya seridiri, akan tetapi dalam hal kekuatan
batin ia kalah jauh dan ia harus mempergunakan aji
kesaktian ! Triwikromo untuk menentang pengaruh mujijat
yang keluar dart batin Sang Wasi Bagaspati. Kini
Tejolaksono mengeluarkan suara menggereng keras yang
menggetarkan seisi hutan dan ia sudah mengerahkan aji
kesaktian Triwikromo. Aji kesaktian ini dahulu dipelajari
oleh Tejolaksono dari mendiang Sang Prabu Airlangga
yang telah mengundurkah diri menjadi pertapa dengan
sebutan Sang Resi Jentayu ayau Sang Bhagawan
Jatinendra. Aji ini mendatangkan wibawa yang amat hebat
dan sekiranya lawan yang menghadapinya bukan. Wasi
Bagaspati tentu telah luluh dan lemah segala natsu
perlawanannya. Tejolaksono kini menerjang maju dan
menyerang bawah pusar lawan dengan gerakan silat Kukilo
Sakti. Adapun Endang Patibroto yang maklum pula akan
kehebatan lawan, berturut-turut tecepat kilat melepaskan
tujuh batang panah tangah beracun yang diluncurkah ke
arah tujuh bagian lemah dari tubuh Wasi Bagaspati,
kemudian ia mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo dan
menghantam dari belakang mengarah tengkuk.
Ayu Candra bukan seorang lemah dan dia telah
mewarisi segala ilmu dan aji kesaktian dari ayahnya, Ki
Adibroto, seorang tokoh warok Ponorogo aliran putih, dan
di samping itu, telah banyak pula ia mendapat bimbingan
suaminya. Namun dalam menghadapi Wasi Bagaspati ini,
Ayu Candra maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih
terlalu rendah. Begitu ia melihat suaminya menyerahkan
Aji Triwikromo dan mendengar Endang Patibroto
mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo yang membuat kedua
kakinya sendiri sampai menggigil, Ayu Candra lalu mundur
dan menyaksikan pertandingan dahsyat itu dari pinggir
gelanggang pertandingan. Ketika ia menengok ke kiri, ke
arah pertempuran antara para pengawal dan anak buah
Sariwuni, ia terkejut sekali karena semua pengawal telah
menggeletak tewas, pertempuran telah terhenti, Sariwuni
dan sisa pasukannya juga sedang menonton pertandingan
dahsyat antara Wasi Bagaspati yang dikeroyok dua oleh
Tejolaksono dan Endang Patibroto.
Wasi Bagaspati juga terkejut bukan main ketika ia
melihat pengaruh wibawa yang tiba-tiba mencuat keluar
dan tubuh Tejolaksono! Wibawa yang begitu kuatnya
sehingga ketika ia memandangnya, jantungnya tergetar
hebat dan isi dadanya terguncang. Cepat kakek sakti Itu
menggereng dan setelah ia dapat mengatasi wibawa Aji
Triwikromo, lenyaplah guncangan hebat dalam dadanya.
Cepat ia menggerakkan tangan menagkis pukulan
Tejolaksono yang mengarah bawah pusar, dan sekali ini
keduanya terdorong mundur. Pada saat itu terdengar bunyi
berciutan nyaring sekali, yaitu saat meluncurnya tujuh
batang panah tangan yang dilepas oleh Endang Patibroto.
Panah tangan yang merupakan anak panah kecil dan cara
mempergunakannya adalah disambitkan dan disentil
dengan jari tangan dengan dorongan tenaga sakti itu
ujungnya sudah direndam racun. Kini dilepas dari jarak
dekat oleh Endang Patibroto, menuju ke arah tujuh bagian
tubuh yang berbahaya. "Cet-cet-cet-cet-cet-cet-cet ?"..!!!"
Anak panah itu datangnya beruntun susul-menyusul.
Yang dua pertama meluncur ke arah sepasang lutut kaki
Wasi Bagaspati dan dapat ditendang runtuh oleh kakek
sakti itu. Panah ke tiga dan ke empat yang menyerang pusat
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan ulu hati ia terima begitu saja dan dua batang anak
panah itu runtuh, tak dapat membikin lecet sedikitpun
tubuhnya yang dilindungi kekebalan. Anak panah ke lima
meluncur ke tenggorokan, sedangkan yang ke enam dan ke
tujuh terbang meluncur ke arah sepasang matanya. Wasi
Bagaspati menggereng marah, merendahkan kepala sehingga anak panah yang menusuk tenggorokannya kini
menusuk mulutnya. ia membuka mulut dan "menangkap"
anak panah itu dengan bibirnya, sedangkan kedua
tangannya menyambar dua batang anak panah yang tadi
menyerang sepasang matanya. Pada saat itu, pukulan ke
arah tengkuk yang dilakukan Endang Patibroto yang
memekikkan Aji Sardulo Bairowo sudah tiba. Wasi
Bagaspati secara tiba-tiba membanting tubuhnya kekanan
dan terus bergulingan di atas tanah. Gerakan ini membuat
Tusuk Kondai Pusaka 10 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Pasangan Naga Dan Burung Hong 7