Perawan Lembah Wilis 5
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
mereka tidak perduli apa-apa lagi, bahkan menanti
datangnya maut dengan bibir tersenyum.
Tiga hari tiga malam mereka berada di ruangan bawah
tanah itu. Tubuh mereka sudah lemah. Kekosongan perut
membuat mereka lemas. Namun mereka tak pernah
mengeluh, juga tak pernah saling melepaskan. Seakan-akan
mereka hendak menebus semua kehilangan belasan tahun
itu dalam beberapa hari ini selagi nyawa masih belum
meninggalkan badan yang makln lemah. Beberapa kali
Endang Patibroto sudah pingsan di atas pangkuan Adipati
Tejolaksono, pingsan dalam pelukannya. Akan tetapi begitu
ia siuman, la selalu merangkul leher pria itu, berbisik-bisik
mesra, selalu haus akan cinta kasih Joko Wandiro, kini
suaaminya! Kehausan yang tak pernah terpuaskan.
Bagi orang-orang yang memiliki kesaktian seperti
Endang Patibroto dan Adipati Tejolaksono, agaknya
berpuasa sampai sebulan pun kiranya tidak akan membuat
mereka mati. Akan tetapi, sekali ini mereka bukan
berpuasa, bukan bertapa, melainkan terpaksa tidak makan
tidak minum. Dltambah lagi dengan luka-luka mereka
bekas pertempuran hebat, kemudian tenggelam dalam
bercinta kasih yang hanya dapat dilakukan oleh orang-
orang yang sudah tiada harapan untuk hidup lagi! Pada hari
ke empat, Endang Patibroto rebah terlentang di atas
pangkuan Adipati Tejolaksono, tubuhnya lemas, wajahnya
pucat sekali, dan sinar matanya layu, akan tetapi bibirnya
tersenyum penuh bahagia ketika ia menengadah dan
memandang wajah Tejolaksono. Ia baru saja siuman
kembali dari pingsan yang ke sekian kalinya. Akan tetapi ia
merasa seperti orang baru bangun dari tidur yang amat
nyenyak dan nyaman., Ia menggerakkan lengan dengan
lemah, lalu menangkap tangan Tejolaksono yang mengelus-
elus rambutnya. Jari-jari tangan mereka saling cengkeram
dan dari jari-jari tangan mereka itu saja sudah terpancar
getaran-getaran penuh cinta kasih! Jelas terasa oleh jari-jari
tangan masing-masing. Endang Patibroto tersenyum
bahagia, mempererat cengkeraman jari tangannya.
"Joko Wandiro............ belum mati jugakah kita............
?" Tejolaksono tersenyum, menaikkan pahanya, merangkul
dan mencium dahi yang pucat itu, di mana rambut-rambut
sinom melingkar layu. "Ingin benarkah engkau mati,
nimas?" Jari-jari tangan Endang Patibroto yang sudah lemas itu
seketika menjadi kuat kembali terdorong oleh cinta
kasihnya yang selalu membara. Ia sudah menjambak
rambut kepala Tejolaksono, menarik kepala itu sehingga
turun dan bukan lagi dahinya yang tercium, melainkan
mulutnya. Kemudian ia melepaskan tangannya dan terkulai
lemas ke atas dada Tejolaksono, napasnya terengah ketika
menjawab lirih. "Mati bersamamu adalah nikmat bagiku,
Joko Wandiro............ "
Mendengar betapa Endang Patibroto selalu menyebut
nama kecilnya, Tejolaksono tersenyum. Selama tiga hari
tiga malam itu, di waktu Endang Patibroto tidur entah
pingsan di atas pangkuannya, tak pernah bosan ia
memandang wajahnya, penuh cinta kasih, kekaguman dan
keheranan. Tak pernah disangka-sangkanya dahulu bahwa
di dalam diri Endang Patibroto ini terdapat api cinta kasih
yang berkobar-kobar terhadap dirinya, api yang begitu
panas membakar, bagaikan kawah Gunung Bromo. Ia
merasa seakan-akan terbakar oleh api cinta kasih ini,
membuatnya panas dan nanar akan tetapi juga bahagia!
"Nimas, engkau sudah tahu bahwa aku sekarang adalah
Adipati Tejolaksono............ mengapa kau tak pernah
menyebutku kakanda" Kau nakal sekali, manis............
masa memanggilku dengan menyebut nama kecilku............
Endang Patibroto tersenyum, lalu menghela papas
panjang, tertawa kecil dan berkata, suaranya penuh
kesungguhan, "Akan tetapi aku masih menganggapmu Joko
Wandiro, karena engkau adalah Joko Wandiro bagiku, dan
selamanya akan menjadi Joko Wandiro-ku! Joko Wandiro
yang bertahun-tahun kurindukan, yang telah sering
kumusuhi, biarlah sekarang kumelepaskan rinduku dan
menebus kesalahan-kesalahanku kepada Joko Wandiro."
Tejolaksono mencium dua butir air mata di atas pipi
Endang Patibroto. "Engkau memang wanita aneh dan hebat
sejak dahulu." "Joko Wandiro, adakah sedikit cinta kasih di hatimu
kepadaku sekarang?" Tejolaksono membelai rambut yang kusut masai di atas
pangkuannya. "Adindaku, perlu lagikah kau bertanya"
Perlukah aku menyatakan dengan mulut" Nimas, bagi cinta
kasih di antara kita, pengakuan bibir adalah jauh terlalu
hambar dan bahkan mengecilkan arti dan kebesarannya.
Mungkinkah kata-kata dapat mewakili getaran yang terasa
oleh kita" Pancaran sinar dari pandang matamu yang
bagaikan cahaya sinar matahari pagi menembus dan
menimbulkan embun sejuk di bunga dalam hatiku"
Nyanyian dan gamelan dari Lokananta yang terkandung
dalam getaran suara kita" Dapatkah kata-kata menggambarkan perasaan yang aneh dan ajaib ini"
Menggantikan perasaan yang tercurah sehingga terasa benar
cinta kasih di antara kita sampai ke bulu-bulu di tubuh yang
meremang" Sampai ke denyut-denyut darah yang mengencang tak menentu" Sampai, ke ujung-ujung hidung
kita yang mencium ganda harum semerbak seluruh
kembang di Indraloka" Endang Patibroto kekasihku, masih
perlu lagikah aku mengaku cinta?"
Endang Patibroto rebah terlentang di atas pangkuan
Tejolaksono, kedua matanya dipejamkan, bulu matanya
yang hitam panjang melengkung itu membentuk bayang-
bayang manis di pipinya dan bagaikan mutiara-mutiara
keluarlah air matanya bertitik-titik. Bibirnya bergerak dan ia
berbisik lirih, "Terima kasih............ , terima kasih Joko Wandiro,
kekasihku, suamiku............ sekarang aku siap untuk
menerima datangnya Sang Yamadipati, marilah Joko
Wandiro, mari kita bersama menghadap ramanda Pujo.......
kita bersama menemui Pangeran Panjirawit, kau bimbinglah tanganku, Joko Wandiro............ 111
Pada saat itu terdengar suara percik air dari atas lubang
sumur dan............ bagaikan hujan turun, berjatuhan air ke
atas kepala dan tubuh mereka berdual Air yang segar dingin
ini seketika membuat tubuh mereka berdua yang sudah
lunglai itu menjadi segar dan meloncatlah mereka bangun,
berdiri lalu menengadah, memandang ke atas. Kiranya dari
atas sumur itu kini dipasangi bambu besar berlubang dan
dari bambu itulah air dipancurkan ke dalam sumur! Dan
tampak bayangan beberapa orang, bahkan terdengar, suara
yang tertawa bergelak, suara Raden Sindupati,
"Ha-ha-ha, kalau mereka belum mampus, biarlah
sekarang mereka menjadi tikus-tikus tenggelam! Joko
Wandiro dan Endang Patibroto, selamat minum dan mandi
sepuasnya!" Kini dari bawah tampak bentuk kepala
Sindupati yang sebentar kemudian lenyap lagi.
Dan kata-kata Sindupati itu benar-benar dilakukan oleh
Endang Patibroto dan Tejolaksono! Setelah empat hari
tidak pernah mendapat air, kini pancuran air itu membuat
mereka berdua tiba-tiba menjadi haus. Mereka menerima
air dengan kedua tangan dan minum sepuasnya,
membiarkan air menyiram tubuh sehingga merekapun
mandi sepuasnya. Sejenak mereka lupa bahwa air tadi dipancurkan dari
atas sama sekali bukan karena kebaikan hati Adipati
Blambangan, sama sekali bukan memberi kesempatan
mereka dapat minum dan mandi! Mereka tertawa-tawa dan
menikmati air sambil berpelukan dan barulah mereka sadar
akan ancaman kematian mengerikan setelah air menggenang di dalam ruangan itu sampai ke lutut mereka!
"Endang, air mulai naik............ " kata Adipati
Tejolaksono. Biarpun dia tahu kematian berada di depan
mata, namun suaranya masih tenang saja, sedikitpun tidak
membayangkan rasa takut atau ngeri.
Endang Patibroto malah tertawa! "Joko Wandiro,
pegang tubuhku erat-erat agar kita tidak berpisah lagi. Mari
kita hadapi kematian yang indah ini?".!"
"Endang, kurasa tidak seharusnya kita membiarkan diri
mati konyol. Kalau begitu, akan sia-sia saja dahulu Eyang
Resi Bhargowo menggembleng kita, kemudian orang
tuamu, dan guru-guru kita. Tidak, kekasih, selama nyawa
kita belum direnggut Sang Yamadipati, kita berkewajiban
untuk mempertahankannya!"
"Engkau selalu benar, Joko Wandiro. Akan tetapi betapa
mungkin" Air akan naik terus memenuhi tempat ini, dan
tenaga dalam tubuh kita tidak ada setengahnya lagi. Betapa
kita akan dapat melawan cengkeraman maut" Akan tetapi
kita tidak akan mati seperti tikus yang dikatakan si jahanam
keparat Sindupati tadi. Kita akan mati dengan tenang dan
tak kenal takut, bukan, Joko Wandiro?"
"Hemmm, kalau air naik sampai memenuhi sumur, kita
dapat berenang ke atas dan berusaha lolos dengan
perlawanan. Setidaknya kita harus dapat membunuh si
keparat Sindupati!" kata TejolakSono.
Akan tetapi, pada saat itu seakan-akan sebagal jawaban
pernyataannya, dari atas menyambar turun banyak sekall
anak panah! Terpaksa Tejolaksono dan Endang Patibroto
mundur sampai terlindung, tidak tepat di bawah lubang
sumur yang lebih sempit. "Tiada gunanya, Joko Wandiro. Lebih baik kita mati
tenggelam daripada dikeroyok anak panah dari atas.
Marilah pegang erat-erat dan kita berpegang batu karang di
sini sampai mati!" Endang Patibroto memeluk pinggang Tejolaksono dan
mendekapkan muka di dada pria yang dikasihinya ini.
Mereka berdekapan, sementara air makin naik sampai di
atas lutut. Dari atas lubang terdengar gema suara ketawa
dan anak panah kadang-kadang menyambar turun seperti
hujan. Agaknya Sindupati dan kawan-kawannya sudah
menjaga kalau-kalau dua orang korban di bawah itu hendak
naik melalui air. Bencana kematian sudah membayang di
depan mata, agaknya mereka berdua tidak akan dapat lolos
lagi! Dengan mulut tersenyum Endang Patibroto membenamkan muka di dada Tejolaksono dan ia menutup
seluruh panca indranya, dicurahkan kepada detak jantung
di dada kekasihnya. Ia hendak mati dengan detak jantung
ini memenuhi semua perasaan dan pikirannya, tidak mau
memikirkan hal lain lagi, tidak merasa betapa air kini tidak
lagi naik, malah turun sampai ke bawah lutut!
"Eh............ airnya menurun............ !!" Tejolaksono
berseru girang dan juga heran. Air dari atas masih terus
memancur, akan tetapi mengapa air di kaki kini tidak
menaik malah menurun"
Karena merasa betapa Tejolaksono melepaskan pelukannya karena pria ini sekarang memandang ke
sekeliling penuh selidik, Endang Patibroto sadar dan
membuka mata. Kebetulan sekali ia menghadap pada
dinding yang berlapis besi dan dengan mata terbelalak ia
melihat din-ding itu bergerak-gerak!
"Dinding itu bergerak............ !!" Iapun berteriak kaget
dan heran. Tejolaksono cepat memutar tubuh menengok dan benar
saja, perlahan akan tetapi pasti dinding besi itu bergerak dan
membuka lubang yang kini sudah kurang lebih setengah
meter lebarnya! Dan air menerobos cepat sekali melalui
lubang itu! "Endang, lekas, melalui lubang itu...... ....!!" Tejolaksono
menarik tangan Endang Patibroto dan mereka cepat
menyelinap memasuki celah dinding yang terbuka itu.
Mereka harus mengerahkan seluruh sisa tenaga mereka
karena arus air yang menyerbu keluar amat kuatnya
sehingga mereka yang sudah lemah itu menjadi terhuyung-
huyung ke depan. Namun dengan bergandeng tangan,
mereka dapat menahan arus air. Karena air yang membobol
keluar mendapat jalan lebih cepat dan lebih besar daripada
air yang memancur dari atas, maka sebentar saja air
mengecil dan dua orang itu lalu meraba-raba dan terhuyung
maju melalui terowongan tanah yang amat gelap.
"Ke mana kita............ ?" Endang Patibroto bertanya,
suaranya gemetar penuh ketegangan. Hal ini amat tidak
disangka-sangkanya sehingga menimbulkan ketegangan
hati.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan Adipati Tejolaksono yang biasanya tenang
itupun kini tampak tegang dan gugup. Diapun tadinya
sudah yakin akan tewas di tempat itu dan hal ini benar amat
ajaib baginya. "Entahlah, setidaknya tentu ada jalan keluar dan kita
tidak mati di dasar sumur!"
"Tapi............ tapi............ siapa yang membuka dinding
itu?" "Siapa tahu, nimas" Tentu Dewata yang menolong kita
".." "Jangan-jangan jebakan mereka untuk menyiksa kita
lebih hebat lagi............
"Tidak perduli, setidaknya setiap kesempatan harus kita
pergunakan. Lebih baik mati dalam perlawanan daripada
mati konyol di dalam sumur. Mari, nimas, jangan lepaskan
tanganku, begini gelap?"."
Mereka berjalan terus terhuyung-huyung dan meraba-
raba ke depan. Air dari belakang masih terus mengalir dan
suara air mancur menimpa dasar terdengar jelas sekali.
Akan tetapi aliran air tidaklah kuat lagi, hanya setinggi
mata kaki. "Aihhh, apa ini............ ?""
Tejolaksono yang berjalan di depan tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kakinya tadi menyentuh benda
lunak hangat. Mereka berdua siap sedia menghadapi segala
kemungkinan. "Aduhhh............ ............ Rintihan di bawah mereka itu
lemah dan jelas adalah suara seorang wanita. Mendengar
ini, Endang Patibroto cepat berjongkok dan tangannya
meraba ke depan. Memang seorang wanita yang rebah di
situ, merintih-rintih kini, suaranya lirih dan napasnya
terengah-engah. Ketika Endang Patibroto meraba terus, ia
mendapat kenyataan bahwa wanita itu menderita luka
parah di bagian kepalanya, seperti bekas dipukul atau
terbanting pada benda keras.
Ia merangkul pundak wanita itu yang ia dudukkan, lalu
bertanya, "Engkau siapakah?"
"Endang Patibroto............ aku............ aku isteri
Sindupati?"?" Teringatlah Endang Patibroto akan seorang wanita yang
masIh amat muda, baru lima belas tahun usianya, puteri
selir Sang Adipati Menak Linggo yang dihadiahkan sebagai
selir Sindupati. Pernah ia beberapa kali bertemu dengan
wanita ini di dalam gedung Sindupati.
"Ahh............ kau....... Dew! Umirah....
"Betul, Endang Patibroto, aku ..... aku............ aduhh............ " "Mengapa kau berada di sini" Kaukah yang membuka
dinding besi?" "Memang aku yang membuka....... tempat ini merupakan
tempat rahasia...... peninggalan jaman dahulu............
hanya R?manda Adipati dan para puteranya yang tahu
akan rahasianya............ aku............ aku............ ah, tidak
sangka air itu amat deras, arusnya menyeret aku............
terbanting pada batu-batu............ aduuuhhh............ "
Terharu hati Tejolaksono. Kiranya Hyang Widhi telah
mengirim pertolongan melalui puteri Sang Adipati
Blambangan sendiri. Hal yang amat luar biasa sekali. Juga
Endang Patibroto menjadi terheran-heran.
"Dewi Umirah, kenapa engkau menolong kami?"
Napas wanita muda itu makin terengah-engah dan susah
payah sekali ia memaksa diri bicara, "............ Sindupati...... dia terlalu menyakitkan hatiku............ ,
Endang Patibroto, berjanjilah............ kau balas pertolonganku dan............ kau............ bunuhlah
Sindupati untukku !" Suaranya tersendat-sendat dan hanya
di kerongkongan. Payah sekali agaknya keadaan wanita
muda ini, kepalanya yang terluka parah mengeluarkan
banyak darah. Endang Patibroto menggigit bibir karena gemas.
Sindupati memang jahanam besar dan tidak mengherankan
kalau wanita muda yang dihadiahkan menjadi selirnya ini
mendendam sakit hati. "Legakan hatimu, Dewi Umirah. Aku bersumpah untuk
membunuh si jahanam keparat Sindupatil" katanya geram-.
"........... terima kasih............ tidak sia-sia aku
mengorbankan diri............ menolongmu ...... Rama,
maafkan hamba ..... " napasnya makin sesak.
"Katakanlah di mana jalan untuk keluar............ !"
Tejolaksono berkata di dekat telinga wanita yang sudah
sekarat itu. "Terus saja............ melalui terowongan yang amat
jauh............ , jangan belok............ akan tiba di hutan
............ lubang tertutup batu............ di guha............ "
Terhenti kata-kata Dewi Umirah bersamaan dengan
terhentinya napas dan darahnya.
"Dia mati............ " kata Endang Padbroto. "Kasihan dia
telah menolong kita ?""
"Hyang Widhi yang menggerakkan dia. Mari, Endang!"
Tejolaksono bangkit dan menarik tangan Endang Patibroto.
Mereka terpaksa meninggalkan jenazah penolong mereka
itu dan terus berjalan sambil meraba-raba melalui
terowongan yang gelap dan panjang, terowongan yang
makln lama makin sempit sehingga tak dapat bagi mereka
berjalan berdampingan lagi. Endang Patibroto berjalan di
belakang Tejolaksono, namun tangan mereka masih saling
berpegangan, tak pernah tangan mereka terpisah semenjak
berada di dalam sumur. Lebih dari satu jam mereka berjalan dan akhirnya,
setelah jalan terowongan itu melalui banyak jalan
simpangan yang menanjak, mereka tiba di dalam sebuah
guha yang tertutup batu besar. Agaknya jalan-jalan
simpangan tadi adalah jalan yang menjadi jalan rahasia
yang menembus istana dan tempat-tempat rahasia di kota
raja Blambangan. Setelah mengintai dari celah-celah batu penutup guha,
Endang Patibroto dan Tejolaksono lalu mendorong batu
penutup ke pinggir, kemudian mereka melompat keluar.
Kiranya mereka telah berada di dalam sebuah hutan yang
lebat dan liar! Tak tampak seorangpun manusia di situ.
"Mari kita lari, Endang. Ke barat!" kata Tejolaksono.
Matahari telah naik tinggi dan mulai condong ke barat.
Agaknya waktu itu sudah lewat tengah hari. Akan tetapi
Endang Patibroto menahan tangannya yang ditarik.
"Tidak, aku mau kembali ke Blambangan!" katanya,
suaranya keras dan tegas. "Eh, mau apa?"
"Membunuh si keparat Sindupati dan sebanyak mungkin
orang Blambangan, apa lagi?"
Melihat wajah itu membayangkan kemarahan, Tejolaksono lalu merangkul pundaknya. "Aihh, Endang,
belum waktunya sekarang! Keadaan kita amat lemah,, dan
mereka itu amat banyak. Betapa mungkin kita melawan
orang senegara" Kita harus menyelamatkan diri, ini yang
terpenting. Kelak kita akan membawa pasukan Jenggala
dan Panjalu, menggempur Blambangan dan itulah saatnya
kita membunuh si jahat itu!"
Endang Patibroto tetap saja kelihatan ragu-ragu dan kini
ia memandang wajah Tejolaksono dengan sinar mata penuh
selidik. "Joko Wandiro............ !" dan tiba-tiba saja Endang
Patibroto menangis sesenggukan!
"Eh-eh....... mengapa pula ini" Endang Patibroto,
kekasihku, jiwa hatiku, kenapa kau menangis" Bukankah
semestinya kita harus bergirang dan berbahagia bahwa
Hyang Widhi masih melindungi kita dan menyelamatkan
kita daripada ancaman bahaya maut?"
Endang Patibroto terisak-isak. "Joko Wandiro,............
aku ingin mati bersamamu............ !"
Tejolaksono tersenyum, lalu dipegangnya muka Endang
Patibroto dengan kedua telapak tangannya, dipaksanya
muka itu tengadah dan menentang mukanya agar mereka
dapat berpandangan. "Bocah bodoh kau............ Tidak
senangkah engkau menjadi isteriku" Tidak cintakah kau
kepadaku?" Endang Patibroto yang mukanya dihimpit kedua tangan
itu hanya bergerak mengangguk. Tejolaksono lalu
menciumi muka yang penuh air mata itu, menghapus air
mata dengan kecupan bibirnya. "Nah, kalau begitu,
hentikan tangismu. Bukahkah anugerah yang membahagiakan sekali kalau kita masih hidup, masih
mendapat kesempatan untuk lebih lagi menikmati hidup
dan cinta kasih kita" Bocah bodoh, pujaan hati, kalau aku
girang dan bahagia, mengapa kau menangis?"
"Aku............ aku............ tadinya mengira kita akan
mati............ , kalau tahu akan dapat lolos............ ah,
betapa aku dapat membuka rahasia hatiku............ Betapa
memalukan....... betapa hina aku...... "
"Ehhh, memang kau wanita aneh. Wanita aneh dan
hebat, tiada keduanya di dunia ini. Ha-ha-ha!" Tejolaksono
mencium bibir yang hendak banyak membantah lagi itu
kemudian memondongnya dan membawanya lari cepat ke
barat. Tubuhnya amat lelah, tenaganya hampir habis, akan
tetapi kebahagiaannya karena dapat lobos dari kematian itu
seakan-akan mendatangkan tenaga baru kepadanya. Ia
berlari terus keluar hutan masuk hutan sampai matahari
tenggelam, cuaca menjadi gelap dan ia kehabisan tenaga
lalu roboh terguling di dalam hutan. Pingsan!
Kini Endang Patibroto yang menjadi bingung dan gelisah
setengah mati melihat Tejolaksono rebah tak berkutik.
Dipeluk dan dipanggil-panggil namanya, ditangisi! Akan
tetapi, barulah ia sadar akan kelakuannya yang seperti gila
itu ketika ia mendapat kenyataan bahwa Tejolaksono hanya
pingsan karena lelah. Ia menjadi geli dan tertawa sendiri.
Endang Patibroto, menangis dan bingung melihat Joko
Wandiro yang hanya pingsan biasa. Takut kalau-kalau
mati! Padahal tadinya mengajak mati bersama! Ah, benar-
benar cinta kasih yang menggelora membuat orang menjadi
bodoh dan lucu. Di mana lagi perginya kegagahperkasaannya"
Dia seorang wanita sakti mandraguna. Namun tadi bersikap sebagai seorang wanita
lemah yang menangis takut ditinggal mati suaminyal
Ketika Tejolaksono sadar dari pingsannya, ia telah rebah
telentang di dekat api unggun yang hangat. Kepalanya
berbantal paha Endang Patibroto yang membelai rambutnya dengan jari-jari tangan penuh kasih sayang.
Begitu ia membuka mata, Endang Patibroto mencium
matanya dan berbisik, "Kakanda............ , makanlah pisang ini, kupetik tadi
dari dalam hutan di sana...."
Tejolaksono membelalakkan mata, lalu bangkit dan
duduk. "Kakanda............ ?" Ia bertanya, mengulang
sebutan itu. Endang Patibroto menundukkan mukanya dan............
aneh bukan main bagi Tejolaksono melihat betapa wajah
wanita sakti ini menjadi kemalu-maluan seperti seorang
dara diajak kawin! Di bawah sinar api yang kemerahan,
wajah itu tampak amat jelita menggairahkan. Rambut itu
tidak kusut lagi, agaknya tadi Endang Patibroto sudah
sempat membereskan rambutnya, pakaian mereka tidak
basah lagi karena terpanggang dekat api unggun.
"Kita............ kini akan hidup terus........ lain lagi halnya
dengan ketika di dalam sumur maut............ , kini kita akan
hidup di dunia ramai............ tentu saja tidak pantas bagi
seorang isteri menyebut suaminya dengan nama kecilnya
saja............ !!"
Adipati Tejolaksono tertawa bergelak, lalu merangkul.
Luar biasa sekall wanita ini. Wataknya amat aneh akan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi segalanya menyenangkan hatinyal Endang Patibroto
menggunakan kedua tangan mendorong dadanya dengan
gerakan halus. "Hiss............ kau makanlah dulu agar jangan mati
kelaparan!" katanya tersenyum.
Koko Wandiro kembali tertawa, lalu mengambil pisang
yang besar-besar dan matang kemudian dikupas kulitnya.
"Nih, kau makanlah." ia menawarkan, karena tanpa
bertanya ia tahu bahwa Endang Patibroto juga belum
makan. Pisang itu masih dua sisir.
Endang Patibroto menerima pisang dan makanlah
mereka. Perut yang sudah empat hari tidak diisi itu
menerima pisang yang lembut dan terasa agak tidak enak
pada permulaannya. Akan tetapi lama-lama mendatangkan
rasa lega dan memulihkan tenaga sehingga tubuh mereka
tidak lemas lagi. "Endang, kenapa kau tadi tidak makan dulu pisang ini?"
"Bagaimanakah aku boleh makan dulu, Kakangmas
Tejolaksono" Seorang isteri harus selalu melayani suami
lebih dulu." "Aduh, isteriku yang tersayang............ !" Tejolaksono
menarik lengan Endang Patibroto, mendudukkannya di atas
pangkuannya dan bagtikan. sepasang pengantin baru,
mereka saling menyuapi pisang sambil bercumbuan!
"Kakanda," kata Endang Patibroto kemudian jauh lewat
tengah malam ketika tubuh mereka yang kelelahan itu
beristirahat, rebah di atas rumput yang lunak dan dekat api
unggun yang hangat, kepala Endang Patibroto berbantal
dada'uaminya, "bagaimanakah nanti kalau isterimu yang di
Selopenangkep marah mengetahui bahwa aku telah menjadi
isterimu?" "Ayu Candra" Ah, tidak, nimas. Dia tidaklah demikian
sempit pendapat. Apa-lagi kalau sudah kujelaskan akan
semua pengalaman kita. Dia akan menyambutmu sebagai
saudara madu yang baik dan aku percaya kalian akan dapat
hidup rukun seperti ibumu, bibi Kartikosari dan bibi Roro
Luhita." Endang Patibroto menarik napas panjang. "Aku
khawatir............ kalau-kalau ibu akan marah kepadaku............ ah, kalau aku ingat betapa dahulu aku
menyakitkan hati ibu, dan Ayu Candra............ betapa aku
dahulu ingin membunuhnya............ "
"Hushhh............ urusan yang lalu tak perlu dipikirkan
lagi. Aku yang akan mengatur segalanya, tak perlu kau
khawatir, nimas." "Aku tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi kalau teringat
bahwa engkau berada di sampingku, Kakangmas Adipati.
Asal engkau mencintaku, aku............ aku sanggup
menghadapi kesengsaraan yang bagaima-- napun juga............ " Akhirnya kedua orang yang amat lelah itu tertidur pulas
dan pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi,
baru mereka bangun, kemudian mereka melanjutkan
perjalanan menuju ke Jenggala. Perjalanan mereka
merupakan perjalanan penuh kegembiraan dan kebahagiaan, penuh dengan cinta kasih mesra.
-o0dw0o- Munculnya Endang Patibroto di Jenggala tentu akan
menimbulkan geger hebat kalau saja tidak bersama Adipati
Tejolaksono. Melihat wanita sakti yang dianggap memberontak ini muncul disamping Adipati Tejolaksono,
para perwira dan ponggawa Jenggala menjadi terheran-
heran. Lebih besar lagi keheranan dan kebingungan mereka
ketika Adipati Tejolaksono membawa Endang Patibroto
menghadap sang prabu. Barulah mereka tercengang ketika
mendengar pelaporan Adipati Tejolaksono tentang semua
penistiwa yang telah terjadi, tentang siasat adu domba yang
dilakukan oleh pihak Blambangan. Bukan main besarnya
penyesalan mereka ketika mendapat kenyataan bahwa
Endang Patibroto sama sekali bukanlah seorang pemberontak, bahkan wanita sakti inilah yang telah
menumpas Wiku Kalawisesa yang melakukan semua
pembunuhan gelap dan keji itu! Endang Patibroto bukan
seorang yang berdosa terhadap Jenggala dan Panjalu,
bahkan sebaliknya menjadi seorang yang amat berjasa! Dan
untuk semua jasanya itu, Pangeran Panjirawit, suaminya,
ditangkap bahkan mengorbankan nyawanya terkena anak
panah ketika dikeroyok! Yang paling menyesal dan berduka adalah Sang Prabu
Jenggala sendiri. Raja yang sudah mulai tua itu sampai
berlinang air mata mendengar semua itu. Panjirawit adalah
puteranya dan dia sendiri yang membunuh puteranya
melalui tangan para perajuritnya ketika mereka ini
mengeroyok Endang Patibroto! Karena menyesal dan
berduka, sang prabu menjadi marah sekali kepada
Blambangan dan setelah menerima pelaporan Adipati
Tejolaksono dan Endang Patibroto, seketika itu juga Sang
Prabu di Jenggala mengumumkan perang terhadap
Blambangan, memerintahkan barisan besar untuk menggempur Blambangan dan menyerahkan pimpinan
pasukan kepada Endang Patibroto sendiri!
Adapun Adipati Tejolaksono, sebagai seorang ponggawa
Panjalu, lalu berpisah dari Endang Patibroto yang terpaksa
harus mempersiapkan pasukan-pasukan Jenggala, untuk
menghadap sang prabu di Panjalu menyampaikan laporan.
"Adinda, untuk sementara kita harus berpisah. Engkau
laksanakanlah perintah . Sang Prabu dan persiapkan
pasukan yang kuat. Aku akan melaporkan ke Panjalu, dan
tidak lama aku tentu akan memimpin pasukan Panjalu
untuk menggabung dan kita berdua akan kembali ke
Blambangan membawa pasukan kuat dan mengancurkan
Blambangan." Endang Patibroto mengangguk. Betapapun besarnya
cinta kasihnya kepada Adipati Tejolaksono dan betapapun
inginnya tidak berpisah lagi dari suaminya ini, namun
sebagai seorang perkasa ia mengenal kewajiban. Sudah
pulih kembali kegagahannya, sudah bangkit lagi jiwa
ksatrianya. "Baiklah, kakanda. Akan tetapi jangan terlalu
lama Kakanda ke Panjalu. Saya menanti dan kita bersama
akan pergi menggempur Blambangan."
Adipati Tejolaksono lalu meninggalkan Jenggala sedangkan Endang Patibroto mulai mempersiapkan dan
melatih pasukan sambil membuat rencana dengan para
senopati yang akan ikut menggempur Blambangan. Para
senopati yang kini sudah tahu akan duduknya perkara, dan
sudah mengenal kesaktian wanita ini, semua tunduk dan
taat akan perintahnya. Juga sang priibu di Panjalu bersama para senopati
tercengang mendengar laporan yang disampaikan Adipati
Tejolaksono. Sungguh tidak mereka duga bahwa Blambanganlah yang menjadi biang keladi semua peristiwa
itu. Pangeran Darmokusumo tidak menyesal mendengar
betapa Endang Patibroto menyerbunya karena dihasut oleh
Wiku Kalawisesa, bahkan ia menjadi marah sekali kepada
Blambangan. Seketika itu juga Pangeran Darmokusumo
mohon kepada sang prabu untuk memimpin barisan
Panjalu menggempur Blambangan!
"Biarlah hamba menggabungkan barisan Panjalu dengan
barisan Jenggala yang dipimpin yayi Endang Patibroto,
Kanjeng Rama. Hamba harus membalas kematian Adimas
Pangeran Panjirawit! Juga kematian para ponggawa harus
dibalas!" "Hamba juga siap untuk membantu dalam perang
melawan Blambangan!" kata pula Adipati Tejolaksono
penuh semangat. "Seyogianya memang andika yang paling tepat
memimpin barisan menjadi senopati perang, Kakang
Adipati," kata Pangeran Darmokusumo. "Akan tetapi ..... "
Pangeran ini menghentikan kata-katanya dan memandang
kepada ramandanya. Adipati Tejolaksono dapat menangkap pandang mata
ini. Hatinya merasa tidak enak sekali dan ia cepat bertanya,
"Ada apakah, Gusti Pangeran" Apakah yang terjadi?"
Sang prabu mendehem beberapa kali, lalu menarik napas
panjang. "Adlpatiku yang baik! Kami khawatir bahwa
engkau tak mungkin ikut menggempur Blambangan dan
harus cepat kembali ke Selopenangkep. Ketahullah bahwa
seperglmu dari sana, Selopenangkep telah diserbu oleh
pasukan-pasukan dari barat yang kabarnya adalah
gabungan dari para pemberontak Bagelen dan kerajaan-
kerajaan kecil di Lembah Serayu yang dipimpin oleh Gagak
Dwipa. Kami telah mengirim pasukan bantuan ke
Selopenangkep dan perang di daerah itu masih belum dapat
dipadamkan. Karena itu,. engkau harus cepat pergi ke sana
untuk menanggulangi musuh dari barat itu!"
Di dalam hatinya, sang adipati kaget bukan main,
namun wajahnya yang tampan tidak menampakkan
perasaan hatinya ini. Teringat ia akan ucapan kakek tua
renta yang memperingatkannya di dalam hutan. Kakek
pemelihara macan putlh itu telah Memperingatkan bahwa
ia akan segera meninggalkan Selopenangkep, dan telah
membayangkan bahwa akan datang malapetaka sebagai
hukumannya atas kedosaannya membunuh anak harimau
yang tak bersalah apa-apa.
"Hamba menerima titah paduka, Gusti. Hamba akan
segera kembali ke Selopenangkep. Hanya karena hamba
tadinya telah berjanji dengan yayi Endang Patibroto untuk
bersama-sama menggempur Biambangan, maka hamba
mohon kepada Gusti Pangeran Darmokusumo untuk
menyampaikan halangan ini kepada Yayi Dewi Endang
Patibroto." "Baiklah, Kakang Adipati Tejolaksono," jawab Pangeran
Darmokusumo. Setelah bermohon diri, berangkatlah Adipati Tejolaksono
menuju pulang ke Selopenangkep. Ia menunggang sebuah
kuda besar yang kuat karena kuda tunggangannya sendiri
yang dibawanya ketika melakukan pengejaran ke Blambangan, masih ia titipkan pada seorang dusun dan
ketika ia melarikan diri bersama Endang Patibroto melalui
terowongan, tak dapat ia mengambilnya kembali. Kuda
tunggangannya inipun bukan kuda sembarangan karena
kuda ini pemberian Sang Prabu Panjalu sendiri.
Tejolaksono melakukan perjalanan siang malam dengan
cepat. Hatinya mulai gelisah sekali. Ia memang percaya
penuh kepada isterinya yang bukan orang lemah, apalagi di
sana terdapat kedua orang bibinya, Kartikosari dan Roro
Luhito yang sukar dicari tandingannya, di samping para
pengawalnya yang pilihan dan terlatih pula. Ia tidak akan
merasa gelisah kalau Selopenangkep hanya menghadapi
serangan gerombolan-gerombolan liar. Akan tetapi kali ini
yang menyerang adalah pasukan-pasukan besar yang
dipimpin oleh Gagak Dwipa! Dan ia sudah cukup
mendengar tentang kekuatan pasukan-pasukan Bagelen dan
Lembah Serayu! Tahu pula akan kesaktian dan kekejaman
Lima Gagak Serayu! Ia sudah mendengar betapa Lima
Gagak Serayu ini sudah bertahun-tahun merajalela di
sepanjang Lembah Serayu. Akan tetapi oleh karena mereka
itu tidak pernah mengganggu wilayah Selopenangkep, ia
membiarkannya saja. Kini mendengar mereka itu menyerbu
Selopenangkep dengan pasukan besar yang digabungkan
dengan pasukan Bagelen, inilah hebat dan berbahaya!
Lebih tidak enak lagi hatinya ketika ia sudah tiba di
wilayah Selopenangkep sebelah timur, la melihat banyak
penduduk dusun yang pergi mengungsi ke timur. Mereka
ini tidak mengenal adipati mereka yang ketika ditanya
mereka mengatakan bahwa pasukan-pasukan Bagelen dan
Lembah Serayu membakari dusun-dusun di sebelah barat,
membunuh dan merampok, memperkosa wanita-wanita
muda dan bahwa Selopenangkep setiap hari sudah diserbu
oleh para pengacau! "Selopenangkep tidak akan dapat bertahan lama!"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikian penuturan seorang di antara mereka. "Dan lebih
baik kamu mengungsi lebih dulu sebelum para perampok
itu datang menyerbu ke dusun kami."
Sakit hati Adipati Tejolaksono mendengar ini. "Si
keparat Lima Gagak Serayu! Berani engkau mengganggu
rakyatku selama aku tidak berada di Selopenangkep!" geram
hatinya dan ia melanjutkan perjalanannya dengan cepat.
Kurang lebih sepuluh pal lagi jauhnya dari kota kadipaten,
dari jauh ia mendengar ribut-ribut di dalam dusun di depan,
bahkan tampak asap mengepul tinggi.
Mereka telah berani merampoki dusun-dusun di
sekeliling Selopenangkep yang hanya sepuluh pal jauhnya!
Tejolaksono membalapkan kudanya yang sudah lelah itu
masuk ke dusun dan amarahnya berkobar-kobar ketika ia
melihat banyak sekali perampok tinggi besar sedang
mengamuk di dusun. Para penduduk lari cerai berai dan
mayat berserakan. Empat buah rumah sudah terbakar. Jerit
lengking wanita terdengar di sana-sini. Dan di tengah-
tengah dusun terjadi perang tanding mati-matian antara tiga
puluh orang lebih perajurit Panjalu melawan perampok.
Akan tetapi tidak seimbang perang itu. Pihak perampok ada
seratus orang lebih dan pihak perajurit sudah terdesak
hebat! "Bedebah!" seru Tejolaksono dan pada saat itu terdengar
jerit mengerikan keluar dari sebuah rumah terdekat.
Tejolaksono melompat turun dan atas kudanya. Jerit itu
adalah jerit wanita, maka ia harus mendahulukan untuk
menolongnya. Sekali tendang, daun pintu ambrol dan
tubuhnya melesat ke dalam dengan penuh kemarahan.
Tangannya menyambar dan terangkatlah tubuh tinggi besar
itu seperti seekor anak ayam disambar elang. Di lain saat
tubuh Tejolaksono sudah berada di luar rumah dan sekali ia
membanting, tubuh orang tinggi besar - itu sudah ia
banting. Orang itu menjerit satu kali dan tak bergerak lagi
karena kepalanya pecah dan tulang-tulang iganya berantakan! Wanita di dalam jatuh pingsan dengan pakaian
robek-robek! Adipati Tejolaksono yang sudah menjadi marah laksana
seekor harimau kelaparan mencium darah, kini berlari ke
depan. Ia menyelinap ke kanan ketika mendengar pekik
wanita yang meronta-ronta dan dipanggul di atas pundak
seorang perampok yang tertawa-tawa.
Wanita ini masih muda, rambutnya awut-awutan,
pakaiannya robek-robek hampir telanjang. Ia meronta dan
menjerit minta dilepaskan.
Tiba-tiba tubuh wanita itu terlepas karena sekali pundak
perampok itu tercium jari tangan Tejolaksono, seketika
tangannya lumpuh. Wanita itu terjatuh lalu melarikan diri.
Si perampok memandang ganas kepada Tejolaksono, akan
tetapi sebelum ia sempat bergerak, kaki Tejolaksono
menyambar ke depan, mengenai pusatnya dan............
perampok itu terlempar sampai lima meter dan roboh
dengan mata mendelik dan napas putus karena isi perutnya
sudah hancur lebur di balik kulit perut yang menjadi biru
menghitam! Kini mengamuklah Adipati Tejolaksono. Biarpun ia
menggunakan tangan kosong, namun ketika ia menyerbu ke
dalam pertempuran, mawutlah pihak perampok. Siapa saja
pihak perampok yang kena digerayang tangannya yang
penuh dengan Aji Pethit Nogo, tentu terpelanting dengan
kepala pecah, tidak usah dipukul sampai dua kali! Para
perajurit Panjalu menjadi besar hati melihat ini, apalagi
ketika mereka mengenal siapa jagoan Sakti yang membantu
mereka Ini. "Sang Adipati telah tiba............ !"
"Gusti Adipati Tejolaksono telah pulang?"!"
"Hidup Gusti Adipati.,.....!!"
Adipati Tejolaksono yang sudah marah sekali berkelebat
maju dan sekali bergerak, tiga orang perampok terpelanting
tak bernyawa lagi terkena pukulan kedua tangan dan
disusul sebuah tendangannya! Kini Tejolaksono melihat
pemimpin perampok yang bermuka hitam bermata besar.
Pemimpin ini memegang sebatang golok besar yang sudah
berlepotan darah. Pemimpin perampok inilah yang sudah
menjatuhkan banyak korban di antara para perajurit dan
penduduk dusun karena memang ia kuat sekali. Meluap
kemarahan Adipati Tejolaksono. la melompat jauh dan
tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan si kepala rampok.
"Setan keparat!!" Tejolaksono memaki.
Perampok bermuka hitam itu tadl sedang enak
membabati musuh maka tidak melihat sepak terjang
Tejolaksono yang menggiriskan hati. Kini ia tertawa, "Ha-
ha-hal Babo-babo, siapa lagi ini yang ingin mampus?"
Goloknya membabat dari kanan ke kiri, mengarah leher
Adipati Tejolaksono. Ia sudah tertawa-tawa membayangkan betapa leher itu akan putus dan muka yang
tampan itu akan menggelinding bersama kepalanya seperti
korban-korbanya yang lain karena goloknya menyambar
amat cepatnya dan kelihatannya takkan dapat dihindarkan
lawan. "Singgg............ " Ia terbelalak karena tahu-tahu
goloknya mengenai angin ketika orang yang diserangnya itu
menunduk. Goloknya lewat tidak ada sejengkal dari kepala
orang itu dan tahu-tahu eritah bagaimana ia tidak tahu,
orang itu sudah menyentuh siku kanannya dan goloknya
terlepas dari pegangan karena tiba-tiba lengannya lumpuh.
Golok itu sebelum tiba di tanah, telah disambar oleh
Tejolaksono sehingga kini golok berpindah tangan! Kepala
rampok itu marah sekali, menggunakan tangan kirinya
memukul, pukulan dengan kepalan tangan sebesar buah
kelapa! Tejolaksono mengangkat tangan kirl menangkis. "Krakkkk!!" Orang itu berteriak kesakitan karena tulang
lengannya patah! la terbelalak, kini baru merasa ............
jerih! "Siapa............ siapa engkau?" tanyanya gagap.
"Adipati Tejolaksono namakul"
"Aahhhhh............ !" Kepala rampok bermuka hitam itu
berteriak kaget akan tetapi pada saat itu juga, kepalanya
sudah mencelat ketika lehernya terbabat putus oleh
goloknya sendiri! Para perajurit Panjalu bersorak gembira, sebaliknya para
perampok menjadi panik dan ketakutan. Karena mereka ini sudah kacau-balau, enak saja Adlpati Tejolaksono dan para perajurit membabati mereka sehingga banyak sekall anak buah perampok roboh binasa. Yang lain- lain segera lari pontang-panting menyelamatkan diri. Adipati Tejolaksono mematah-matahkan golok rampasannya dengan kedua
tangan menjadi tujuh potong. Kemudian kedua tangannya
itu digerakkan ke depan dan "cet-cet-cet-cet-cet-cet-cet!!"
tujuh sinar meluncur ke depan dan robohlah tujuh orang
perampok yang betusaha lari karena punggung mereka telah
dimasuki potongan-potongan golok itu. Bahkan yang
menyisip tulang sampai tembus keluar dari dada. Para
perajurit bersorak-sorak dan mengejar para perampok yang
makin ketakutan. Hanya belasan orang perampok saja yang
berhasil melarikan diri dan dusun itu kini penuh dengan
tumpukan mayat para perampok!
Setelah memberi pesan kepada para sisa perajurit agar
melakukan penjagaan di daerah itu, Adipati Tejolaksono
lalu melompat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda itu terus ke barat, menuju Kadipaten
Selopenangkep yang sudah tak jauh lagi letaknya. Hatinya
makin gelisah karena dari para perajurititu ia mendengar
bahwa kadipaten sudah beberapa kali diserbu pasukan
perampok yang amat kuat. Hari telah menjadi senja ketika ia memasuki kota
kadipaten yang kelihatan sunyi, namun penuh dengan para
pengawal yang melakukan penjagaan. Para perwira
pengawal menyambut kedatangannya dengan wajah
gembira, namun dengan pandang mata duka. Adipati
Tejolaksono tidak mau membuang banyak waktu lagi, terus
membalapkan kuda memasuki kota, menuju ke gedung
kadipaten. Ia merasa betapa semua pandang mata para
pengawal kepadanya mengandung iba dan duka, maka
hatinya berdebar tidak enak ketika ia melompat turun dari
kuda, menyerahkan kuda kepada seorang pengawal,
kemudian ia meloncat dan lari memasuki gedungnya.
"Gusti Adipati tiba ?"..!!"
"Gusti Adipati pulang............ , kita tertolong............ I!"
Teriakan-teriakan ini menggema di seluruh kadipaten,
bahkan masuk ke dalam gedung kadipaten sebelum Adipati
Tejolaksono sampai ke ruangan dalam. Maka baru saja ia
melewati pendopo, ia disambut Ayu Candra yang
menjatuhkan diri berlutut, merangkul kakinya dan
menangis! Di belakang Ayu Candra yang berpakaian
perang, ringkas dan dalam keadaan siap, menyambut pula
Setyaningsih dan Pusporini, dua orang gadis cilik yang juga
menangis. Jilid IX BAHKAN dua orang gadis cilik inipun berpakaian
ringkas, pakaian untuk bertanding dan di pinggang mereka
yang kecil tampak gagang keris!
Dapat dibayangkan betapa gelisah dan kaget hati
Tejolaksono menyaksikan penyambutan isterinya ini. Cepat
ia membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan
menariknya bangun sambil berkata,
"Tenangkanlah hatimu, yayi, dan ceritakan apa yang
terjadi di sini." Ayu Candra masih terisak-isak ketika ia dituntun
suaminya memasuki ruangan dalam dan diajak duduk di
situ. Setyaningsih dan Pusporini tidak berani --ikuf masuk
dan segera mengundurkan diri.
"Aduh, Kakangmas.......... malapetaka telah menimpa
keluarga kita selama Kanda pergi.......... " Ayu Candra
kembali menangis. ".......... Bagus Seta.......... bibi
Kartikosari dan bibi Roro Luhito.......... " Adipatl
Tejolaksono merasa seakan-akan jantungnya berhenti
berdetik. Punggung dan tengkuknya terasa dingin sekali.
Kemball ia meraih isterinya dan bertanya, suaranya
gemetar, "Ada apa dengan mereka" Mana Bagus Seto.......... ?"
".......... serangan pertama.......... sebulan yang
lalu.......... di malam hari terjadi tlba-tiba. Keadaan menjadi
kacau dan......dan anak kIta itu hilang.......... "
"Apa......." Tertawan oleh Lima Gagak Serayu?""
Pertanyaan ini mengandung kemarahan besar terhadap
pimpinan para penyerbu itu.
"Mudah-mudahan tidak begitu, Kakangmas AdIpati.
Mereka itu amat keji dan kejam! Ada di antara para
pengawal kita yang melihat bahwa pada malam terjadinya
penyerbuan itu ada seekor harimau putih yang besar sekali
larikeluar dari taman sari dan.......... dan Bagus Seta
menunggang di punggungnya ..... "
"Aahhhh.......... harimau putih.......... " Ki Tunggaljiwa.......... ?"
"Mudah-mudahan begitulah seperti yang diperkirakan
pula oleh mendiang ...... bibi Kartikosari.......... "
"Haaaa.......... ?"?" Kini Adipati Tejolaksono benar-benar
terkejut, sampai pucat mukanya. "Mendiang.......... ?"
Ayu Candra terisak-isak dan berkata tersendat-sendat,
"Tiga hari berikutnya"...... dalam perlawanan terhadap
para musuh yang dipimpin sendiri oleh bibi Kartikosari dan
bibi Roro Luhito.......... bibi Kartikosari tewas di tangan
musuh ?"?"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan bibi Roro Luhito.......... ?"
"Terluka parah.......... kini beristirahat di kamarnya
?".." "Duh Jagad Dewa Bathara.. ..... !!" Adipati Tejolaksono
duduk termenung seperti arca. Wajahnya pucat, matanya
sayu dan bibirnya menggigil. Isterinya hanya rnenangis
terisak-isak. Adipati Tejolaksono ingin sekali memukul
kepala sendiri. Mala petaka hebat terjadi di rumahnya.
Puteranya lenyap, bibinya tewas dan yang seorang terluka,
rakyatnya banyak yang dirampok, dibakar rumahnya,
diperkosa dan dibunuh, para perajuritnya banyak pula yang
tewas. Dan dia.......... , dia bersenang-senang memadu kasih
bersama Endang Patibroto! Akan tetapi, haruskah ia
menyalahkan diri sendiri" Ah, tidak bisa! Mereka berdua
bukan sengaja hendak bersenang-senang! Mereka berdua
bukan sengaja hendak memadu kasih karena terdorong
nafsu belaka! Tidak! Mereka berduapun terancam bahaya
hebat yang nyaris merenggut nyawa mereka. Dan
keberangkatannya ke Blambangan adalah karena tugas yang
dibebankan sang prabu ke atas pundaknya, seperti juga
pada saat ini Endang Patibroto dibebani tugas menyerbu
Blambangan. Nyawa manusia di tangan Hyang Widhi.
Nyawa manusia setiap saat terancam maut. Kalau Hyang
Widhi menghendaki, tiada kekuasaan apapun di dunia ini
yang dapat merubah jalan hidup seseorang. Yang dapat
merubah saat datangnya kematian!
"Bagaimanakah Bibi Kartikosari dan Bibi Roro Luhito
yang sakti mandraguna sampai terkalahkan oleh musuh?"
"Kedua orang bibi Itu tidak dapat menahan kemarahan
ketika mendengar akan sepak terjang dan kekejaman para
perampok yang merusak dusun-dusun di sekitar Selopenangkep. Mereka membawa pasukan dan mengejar
jauh keluar kadipaten, ke dusun-dusun. Akan tetapi
pasukan mereka terkepung dan karena jumlah lawan jauh
lebih banyak, mereka terjebak dan dikeroyok oleh Lima
Gagak Serayu dengan anak buah mereka. Bibi Kartikosari
terluka parah dan biarpun dapat dilarikan pleh Bibi Roro
Luhito yang juga luka-luka sampal ke kadipaten, namun
Bibi Kartikosari meninggal karena terlalu banyak kehilangan darah. Beberapa kali kadipaten diserbu musuh,
namun kami dan para pengawal yang setia dapat
mempertahankan kadipaten."
"Sudahlah, keringkan air matamu, nimas. Setelah aku
berada di sini, aku akan membalaskan kematlan Bibi
Kartikosari, kemudlan setelah musuh dapat terbasmi, aku
akan menyusul Bagus Seta ke Merapi."
Adipati Tejolaksono tidak membuang waktu lagi. Ia
menengok Roro Luhito yang biarpun terluka parah namun
tidak membahayakan nyawanya. "Sayang kau datang
terlambat.......... sebetulnya aku dan Bibimu Kartikosari
tidak akan kalah melawah Lima Gagak Serayu.......... akan
tetapi.......... musuh terlalu banyak.......... dan Bibimu
Kartikosari mengamuk, memisahkan diri.......... ah,
maafkan, anakku. Kami tidak dapat menjaga..........
puteramu Bagus Seta..........
"Sudahlah, Kanjeng Bibi. Yang sudah terjadi tidak perlu
disesalkan lagi. Semua sudah dikehendaki Hyang Widhi.
Pembelaan sudah cukup dan saya amat berterima kasih.
Saya sendiri akan menghajar Lima Gagak Serayu!" kata
Adipati Tejolaksono. Adipati ini segera mengumpulkan semua pengawal dan
barisan bantuan dari Panjalu, menyusun barisan dan
rnembagi-bagi tugas. Sebagian daripada pasukan bertugas
menjaga kadipaten, dipimpin sendiri oleh Ayu Candra.
Kemudian Adipati Tejolaksono memimpin pasukan
pilihan, keluar dari kadipaten dan mulailah pasukan
istimewa ini melakukan pengejaran dan pembersihan ke
dusun-dusun di sekitar Selopenangkep. Karena dipimpin
sendiri oleh Adipati Tejolaksono yang sakti mandraguna,
maka semangat pasukan ini hebat sekali. Setiap gerombolan
perampok yang mengganas dan bertemu dengan pasukan
ini dihancurkan, jarang ada yang dapat melarikan diri.
Mawutlah gerombolan-gerombolan perampok Bagelen dan
Lembah Serayu. Mereka mundur terus bahkan lalu
menggabung dengan induk pasukan di sebelah barat, dan
terus dikejar oleh Adipati Tejolaksono. Pasukan sang
adipati makin lama makin besar karena ke manapun
pasukan itu tiba, selalu disambut oleh rakyat yang menjadi
girang sekali dan di situlah pasukan bertambah besar
dengan adanya rakyat yang menggabungkan diri untuk
membalas dendam kepada perampok yang mengganas
selama ini. Bala bantuan dari Panjalu yang diminta oleh Adipati
Tejolaksono yang mengirim utusan ke sana, tiba tak lama
kemudian, maka makin kuatlah barisan Kadipaten
Selopenangkep. Akhirnya, setelah mengejar dan menghancurkan banyak gerombolan sebulan kemudian
pasukan Adipati Tejolaksono yang kini menjadi besar
jumlahnya bertemu dengan induk pasukan Lima Gagak
Serayu. Terjadilah perang tanding yang amat hebat!
Perang tanding yang terjadi di lembah Serayu ini amat
hebat dan ia jadi cerita perajurit yang lobos dari maut untuk
diceritakan kepada anak cucu mereka kelak. Perang ini
terkenal dengan sebutan Perang Serayu yang amat dahsyat.
Ribuan orang, sebagian besar di pihak gerombolan Bagelen
dan gerombolan Lembah Serayu, tewas dalam perang ini.
Biarpun pihak pasukan Adipati Tejolaksono kalah banyak,
namun mereka ini menang semangat dan memang pasukan
pengawal Kadipaten Selopenangkep dan pasukan bantuan
dari Panjalu adalah pasukan istimewa yang rata-rata terdiri
dari perajurit-perajurit gemblengan dan pilihan. Apalagi
karena mereka ini semua dipenuhi dendam kemarahan
terhadap para gerombolan yang sudah mengacau daerah
mereka, sudah membinasakan dan merusak dusun-dusun.
Sepak terjang barisan di bawah pimpinan Adipati
Tejolaksono seperti banteng ketaton (terluka). Menurut
cerita, sampai tiga hari tiga malam perang tanding ini
berlangsung, dan mereka yang berhenti untuk makan atau
tidur digantikan oleh rombongan lain.
Adipati Tejolaksono sendiri menjadi buah bibir semua
orang yang ikut beryuda, baik dari pihak lawan maupun
pihak kawan. Barisan Selopenangkep menjadi makin besar
semangatnya menyaksikan sepak terjang Adipati Tejolaksono sedangkan pihak lawan menjadi giris hatinya.
Menurut cerita para perajurit kemudian, jika lapar, sang
adipati ini mengepal nasi. dan makan dengan tangan kanan
sedangkan tangan kiri yang memegang keris terus
mengamuk. Setiap kepal nasi yang memasuki mulut diantar
dengan nyawa seorang musuh yang roboh oleh kerisnya!
Bahkan ada yang bilang bahwa sang adipati ini tidur sambil
berperang! Jasmaninya tertidur, akan tetapi dalam tidur itu
sang adipati bermimpi mengamuk dan berperang merobohkan banyak sekali perajurit lawan!
Pada hari ke tiga, terjadilah perang tanding yang amat
dahsyat antara Adipati Tejolaksono yang dihadapi oleh
Lima Gagak Serayu sendiri! Di sinilah letak pertandingan
yang akan memutuskan keadaan perang itu. Lima Gagak
Serayu adalah lima orang kakak beradik yang tinggi besar
dan memiliki kesaktian yang luar biasa, juga masing-masing
mempunyai keistimewaan sendiri, akan tetapi rata-rata
bertubuh kebal. Banyak perajurit Selopenangkep yang
roboh dan tewas di tangan mereka ini. Golok dan tombak
tak dapat melukai tubuh mereka dan sekali mereka
menggunakan bedog (golok) mereka yang lebar dan berat,
tentu tubuh lawan terpotong menjadi dua. Karena inilah
maka Adipati Tejolaksono sengaja mencari mereka dan
kini, di waktu siang dan panas sedang membakar medan
perang, sang adipati bertemu dengan lima orang pimpinan
barisan musuh itu. Orang pertama dari mereka adalah Gagak Dwipa, yang
paling sakti di antara mereka. Sama tinggi besar dengan
adik-adiknya, hanya karena ia paling kurus maka kelihatan
paling tinggi. Permainan bedog di tangannya amat cepat
dan kuat dan memang dialah yang terpandai di antara
kelima orang Gagak Serayu itu. Orang ke dua adalah
Gagak Kroda yang memiliki tubuh paling besar dengan
otot-otot melingkar-lingkar di seluruh tubuh, terutama di
kedua lengannya yang sebesar kaki manusia lumrah.
Demikian kuat dan kebal si Gagak Kroda ini sehingga ia
bersombong bahwa setiap pagi ia "sarapan" golok dan
tombak yang harus ditusuk-tusukkan dan dibacok-bacokkan
pada tubuhnya untuk menghilangkan gatal-gatal dan
kekakuan tubuhnya! Orang ke tiga adalah Gagak Tirta yang
di samping kesaktiannya, juga memiliki keistimewaan
bermain di dalam air. Kabarnya dia ini sanggup menyelam
ke dalam air sampai setengah hari lamanya! Senjatanya
juga bedog, akan tetapi dia memiliki sebuah senjata rahasia
yang aneh, yaitu sehelai jaring yang kuat sekali. Orang ke
empat dan ke lima adalah Gagak Maruta dan Gagak
Legawa. Sejenak Adipati Tejolaksono yang berdiri berhadapan
dengan lima orang lawannya itu memandang dengan mata
bersinar-sinar penuh kemarahan. Ia memandang dengan
penuh perhatian lima orang yang telah membikin kacau
daerahnya ini, dan sinar matanya menyapu mereka seperti
lecutan cambuk sakti. Lima orang itu tak tahan menentang
pandang mata Adipati Tejolaksono dan untuk menyembunyikan kegentaran hati mereka tertawa-tawa
mengejek. "Heh, si keparat Gagak Serayu berlima! Sudah lama aku
mendengar kejahatan kalian di sepanjang Lembah Serayu,
akan tetapi selama itu aku berdiam diri saja karena jalan
hidup kita memang tak pernah saling bersilang. Akan tetapi
mengapa kalian berani mengganggu Selopenangkep secara
pengecut, selagi aku tidak berada di sana?"
"Babo-babo, Adipati Tejolaksono! Sudah lama kami
menanti saat ini untuk berhadapan dengan senjata di tangan
denganmu! Ingatkah engkau ketika engkau dahulu masih
menjadi seorang bocah gunung yang hina" Ingatkah engkau
bahwa sejak dahulu engkau memusuhi orang-orang dari
Bagelen dan Lembah Serayu?"
"Hemmm, aku tidak ingat lagi karena terlampau banyak
orang jahat yang terpaksa menjadi lawanku. Aku tidak
memusuhi siapa-siapa kecuali orang jahat, dari manapun
datang dan asalnyal"
"Ha-ha-ha-ha! Demi setan jin brekasakan! Kau hendak
memungkiri" Lupakah engkau kepada Ki Krendoyakso dari
Bagelen" Dia adalah kakak segemblengan kami! Dan lupa
pula engkau kepada Sang Dibyo Mamangkoro" Dia adalah
bekas junjungan kami!"
Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk. Mengertilah
ia kini mengapa mereka ini memusuhinya, adapun Dibyo
Mamangkoro adalah dia sendiri yang membunuhnya (baca
Badai Laut Selatan)! "Ah, kiranya kalian ini segolongan mereka" Tentu saja
aku masih ingat kepada tokoh-tokoh jahat itu. Nah, inilah
dadaku, Gagak Serayu! Inilah aku Adipati Tejolaksono
yang takkan undur setapakpun menghadapi keganasan
kalian. Majulah, tandingilah Tejolaksono!"
"Ha-ha-ha-ha!" Kembali Gagak Dwipa tertawa bergelak.
"Sumbarmu seperti hendak mengeringkan air Kali Serayu!
Ketahuilah bahwa saat kematianmu sudah berada di depan
mata, Tejolaksono. Rasakan ini.......... haaiiiiittttt.......... -"
Gagak Dwipa menerjang maju menggerakkan bedognya
secepat kilat. Adipati Tejolaksono hanya merendahkan tubuh sedikit
untuk mengelak, akan tetapi pada saat itu, empat orang
Gagak yang lain sudah menyambar dari kiri kanan dan
bedog mereka menyambar-nyambar sampai mengeluarkan
suara berdesing. Adipati Tejolaksono mengerahkan Aji Bayu Sakti
sehingga tubuhnya menjadi seringan kapas tertiup angin,
melayang ke sana ke marl menghindarkan diri daripada
hujan sinar kilat senjata kelima, orang pengeroyoknya.
Iapun cepat mencabut keris Megantoro dari pinggangnya
dan terjadilah pertandingan yang luar biasa hebatnya. Lima
orang itu selain bertenaga besar dan dapat bergerak cepat,
juga memiliki kerja sama yang amat rapi sehingga gerakan
mereka seolah-olah teratur sekali, dapat saling menjaga dan
saling bantu. Mereka ini memang sedang mainkan ilmu
silat barisan yang mereka sendiri namakan Gagak Yuda.
Gerakan mereka teratur seperti seekor burung gagak
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertanding dan kelima orang itu merupakan kedua cakar,
kedua sayap, dan sebuah paruh yang dapat bekerja sama
dengan baik, kadang-kadang sekaligus menerjang maju,
kadang-kadang yang satu menyerang yang lain melindungi.
Di lain pihak, Adipati Tejolaksono memiliki kelincahan
yang sedemikian cepatnya sehingga lima pasang mata
lawan sampai-sampai menjadi silau dan kabur. Pertandingan itu seakan-akan lima ekor burung gagak
mengepung seekor garuda! Selain amat seru menyeramkan,
juga amat indah ditonton sehingga para anak buah kedua
belah pihak yang kebetulan bertempur di dekat tempat itu,
otomatis tanpa diperintah menunda pertandingan mereka
sendiri dan berdiri melingkari medan pertempuran itu,
menonton dan menjagoi pimpinan masing-masing! Hanya
mereka yang jauh saja yang masih melanjutkan perang
tanding. Pertandingan antara Tejolaksono dan lima orang Gagak
Serayu itu makin seru dan hebat. Tejolaksono memang
sakti, lebih lincah dan lebih kuat, namun ia menghadapi
kerja sama yang amat rapi sehingga tidak banyak mendapat
kesempatan untuk balas menyerang. Ksatria yang sakti itu
maklum bahwa kalau ia melanjutkan cara bertanding
seperti ini, yaitu hanya mempertahankan dan membela diri,
ia akan celaka karena setiap serangan kelima orang itu tidak
boleh dipandang ringan, penuh dengan tenaga yang didasari
hawa sakti. Apalagi, ia telah berperang tanpa mengenal
istirahat sehingga tubuhnya mulai lelah. Ia harus cepat-
cepat mengakhiri pertandingan ini dengan pengerahan
tenaga yang dahsyat. Sayang bahwa perasaannya tidaklah
se-marah dan sakit hati seperti sebelum lima orang Gagak
Serayu ini memperkenalkan diri sebagai adik seperguruan
Ki Krendoyakso tokoh Bagelen itu. Tadinya ia memang
marah dan sakit hati atas kematian Bibi Kartikosari, akan
tetapi setelah ia mendengar bahwa mereka ini saudara Ki
Krendroyakso, ia dapat memaklumi sikap mereka
memusuhinya dan lenyaplah sakit hatinya. Mereka ini
memang musuh dan mereka memusuhinya adalah hal yang
sewajarnya. Dan karena ia tidak marah dan tidak lagi
merasa sakit hati, akan percuma sajalah kalau ia
menggunakan Aji Triwikrama, sebuah aji yang hanya dapat
dilakukan dalam keadaan marah dan sakit hati. Ia lalu
mengumpulkan tenaga batinnya dan meledaklah pekiknya
yang dahsyat, yaitu pekik Dirodo Meta yang keluar dari
dadanya. Lima orang lawannya tergetar dan terkejut. Saat itu
dipergunakan oleh Tejolaksono untuk, menubruk dada
Gagak Dwipa yang merupakan lawan paling tangguh. Akan
tetapi sungguh di luar dugaannya. Lima orang itu benar-
benar sudah merupakan lima orang dengan satu perasaan
agaknya. Tanpa dikomando lagi, lima batang golok itu
sudah menangkis kerisnya dengan kekuatan yang amat
hebat! "Tranggggg"..!!!"
Pengerahan tenaga yang amat hebat dari Adipati
Tejolaksono tersalur di dalam keris Megantoro dan akibat
dari pertemuan senjata ini hebat sekali karena berbareng
dengan suara yang amat nyaring ini tampak api berpijar
menyilaukan mata dan lima batang golok itu patah semua!
Akan tetapi, karena sebuah di antara golok yang patah itu
meleset dan menyambar turun menggores lengan sang
adipati, maka keris itu pun terlepas dari tangan
Tejolaksono! Melihat bahwa lawan yang dikeroyok inipun kehilangan
senjatanya, Lima Gagak Serayu menjadi girang dan sambil
berteriak ganas mereka menubruk dan mengirim serangan
serentak. Namun Tejolaksono juga sudah siap. Begitu lima
orang lawan bergerak menyerangnya penuh nafsu, la
melihat kesempatan baik sekali. Tubuhnya mengelak ke
kiri, melewatkan tiga pukulan lawan dan sengaja menerima
hantaman dua orang gagak yang ia terima dengan dada dan
pundaknya sambil mengerahkan tenaga, namun berbareng
jari-jari tangan kanannya menusuk dengan Aji Pethit Nogo
ke arah dada Gagak Legawa dan tangan kirinya menangkis
pukulan susulan dari Gagak Dwipa.
"Dessss.......... krakkk.......... !!"
Tubuh Tejolaksono yang menerima pukulan Gagak
Maruta di dada kiri dan hantaman Gagak Legawa di
pundak itu hanya tergoncang seperti sebatang pohon
beringin diserang angin lalu, akan tetapi jari-jari tangan
kanannya amblas masuk ke dalam dada Gagak Legawa,
mematahkan tulang-tulang iganya! Gagak Legawa berteriak
ngeri dan roboh berkelojotan. Seorang di antara lima Gagak
Serayu, menjadi korban dan tewas. Para perajurit
Selopenangkep yang menonton pertandingan dahsyat itu
bersorak gembira, sebaliknya pihak pasukan Lembah
Serayu marah dan gelisah.
"Siuuuuuttttt.......... !!"
Benda yang berubah menjadi bayang-bayang hitam yang
amat lebar itu adalah senjata rahasia Gagak Tirta, yakni
sehelai jaring yang amat lebar dan ujungnya dikelilingi mata
kaitan terbuat daripada baja. Jaring itu sendiri terbuat
daripada kawat-kawat halus yang amat kuat. Dengan jaring
pusakanya yang ampuh ini, Gagak Tirta sanggup
menangkap hidup-hidup seekor harimau!
Karena secara otomatis, tiga orang Gagak yang lain
dengan kemarahan meluap-luap melihat kematian Gagak
Legawa juga menerjang maju dengan pukulan tangan
kosong dari kanan kiri sehingga tertutuplah jalan keluar
bagi Tejolaksono, maka adipati inipun memutar tubuh
menangkis pukulan-pukulan itu dan sengaja membiarkan
dirinya disambar jaring. Ia tidak takut menghadapi jaring
itu, bahkan adipati yang sakti dan cerdik ini hendak
menggunakan kesempatan ini untuk mencapai kemenangannya. Empat orang Gagak Serayu berseru girang dan anak
buah mereka bersorak ketika melihat betapa tubuh Adipati
Tejolaksono terselimut dan tertangkap oleh jaring itu,
Tejolaksono meronta dan mendapat kenyataan bahwa
jaring ini benar-benar amat kuat, dan pada saat itu, Gagak
Tirta menyendal tali jaringnya sehingga tanpa dapat
dicegah lagi tubuh Tejolaksono terguling roboh! Makin riuh
sorak sorai anak buah Gagak Serayu dan makin kecil hati
para perajurit Selopenangkep melihat jagoan mereka
tertangkap! Akan tetapi pada saat yang memang dinanti-
nanti oleh Tejolaksono itu, tiba-tiba tubuh sang adipati yang
terguling tadi terus bergerak bergulingan dengan kecepatan
yang tak tersangka-sangka. Tahu-tahu tubuh yang berada
dalam libatan jaring ini telah menggelundung ke arah
lawan. Empat orang Gagak Serayu kaget dan meloncat,
namun kurang cepat bagi Gagak Tirta yang memegang
ujung tali jaring. Kakinya tertangkap tangan Tejolaksono
yang menyambar dari dalam jaring sehingga Gagak Tirta
dapat ditarik roboh! Gagak Maruta yang berada paling dekat, cepat
menubruk maju untuk menolong adiknya, hendak
merampas adiknya yang kakinya terpegang lawan.
"Maruta.......... .......... mundur.......... !" Gagak Dwipa
memperingatkan adiknya, namun terlambat karena pada
saat Tejolaksono yang menggunakan aji kekuatan sakti,
sudah melompat bangun dengan kaki Gagak Tirta rnasih
dipegangnya dan tubuh lawan ini ia ayun sedemikian rupa
merupakan senjata yang luar biasa. Gagak Maruta hendak
menghindar, namun terlambat.
"Prakkk ii" Suara keras beradunya kepala Gagak Maruta
dengan kepala Gagak Tirta ini disusul pekik yang
mengerikan, pekik kematian dua orang kakak beradik itu
yang pecah kepalanya! Darah dan otak keluar muncrat-
muncrat dan Adipati Tejolaksono cepat membebaskan diri
dari libatan jaring untuk menghadapi lawannya yang kini
hanya tinggal duaorang lagi, yaitu Gagak Dwipa dan
Gagak Kroda. Akin tetapi, pada saat itu para anak buah
pasukan Lembah Serayu sudah menerjangnya dan disambut
pula oleh perajurit-perajurit Selopenangkep yang mendapat
hati. Ketika Tejolaksono keluar dari jaring dan melihat,
ternyata dua orang pimpinan musuh itu sudah lenyap, lari
sambil membawa pergi mayat tiga orang adik mereka!
Tejolaksono tidak mengejar, melainkan memimpin anak
buahnya menghajar musuh. Perang itu selesai pada sore hari itu juga. Karena
kehilangan pimpinan, para pasukan Lembah Serayu yang
terdiri dari perampok-perampok dan bajak menjadi kacau,
apalagi karena mereka sudah jerih dan ketakutan ketika
mendengar berita bahwa Lima Gagak Serayu yang mereka
agul-agulkan itu kalah oleh Adipati Tejolaksono. Bubarlah
mereka, melarikan diri ke seberang barat Sungai Serayu.
Ada pula yang melarikan diri ke utara untuk bersembunyi
di dalam hutan-hutan di kaki dan lereng Gunung Slamet,
Gunung Beser, atau Gunung Ragajembangan.
Adipati Tejolaksono dan pasukannya membuat pembersihan, mendapat kemenangan besar dan disambut
oleh rakyat dari Lembah Serayu sampai ke Selopenangkep
dengan penuh kegirangan dan terima kasih. Akan tetapi
sang adipati sendiri tetap tidak bergembira, bahkan
wajahnya muram dan keningnya selalu berkerut. Ia tetap
gelisah teringat akan putera tunggalnya, Bagus Seta.
Apakah yang telah terjadi atas diri Bagus Seta" Anak
yang baru berusia sepuluh tahun ini telah, mewarisi sifat-
sifat ayah bundanya. Ia tidak pernah mengenal takut,
bersikap tenang dan biarpun masih kanak-kanak, namun
sudah nnempunyai pandangan yang jauh dan cerdik, tidak
kekanak-kanakan. Selain memiliki sifat-sifat ksatria ini,
Bagus Seta juga semenjak kecil digembleng oleh ayahnya
sendiri dengan ilmu sehingga biarpun ia belum memiliki
kedigdayaan yang hanya dicapai oleh seseorang dengan
latihan-latihan yang matang, namun ia sudah memiliki
tubuh yang kuat, hati yang tabah dan pikiran yang cerdas.
Nama yang diberikan ayah bundanya kepadanya, yaitu
Bagus Seta, selain untuk mengingat nama Joko Seta bekas
tunangan ibunya yang gugur di dalam perang membela
Kerajaan Panjalu, juga amat cocok dengan kulit tubuh anak
ini yang putih kuning dan wajahnya yang amat tampan.
Yang amat menyolok pada diri Bagus Seta adalah sepasang
matanya yang bersinar-sinar dan amat tajam itu dan
mulutnya yang membayangkan hati yang tabah, kemauan
yang keras, dan watak yang berbudi dan welas asih.
Ketika Kadipaten Selopenangkep diserbu oleh gerombolan perampok Lembah Serayu, Bagus Seta
sedikitpun tidak menjadi takut. Seperti halnya dua orang
bibinya yang masih kecil, yaitu Setyaningsih dan Pusporini,
Bagus Seta juga siap untuk ikut berperang! Sebatang keris
kecil terselip di pinggang, bahkan goloknya yang kecil, yang
biasa ia pakai berlatih jika diajar oleh ayahnya, kini
tergantung di pinggangnya.
"Ibu, kalau ada perampok jahat berani masuk ke rumah
kita, kita gempur mereka sampai habis!" demikian kata-kata
yang keluar dari mulut anak ini.
"Betul, aku juga tidak takut!" kata Setyaningsih dengan
suara nyaring. "Aku juga!" kata Pusporini dengan mata bercahaya.
"Husssshhh i Anak-anak, kalian tidak boleh keluar,"
pesan Kartikosari dan Roro Luhito yang sudah siap
menerjang musuh. "Sembunyi saja dalam kamar dan baru
boleh melawan kalau sampai ada musuh yang menyerbu
masuk ke kamar kalian."
Setyaningsih dan Pusporini tidak berani membantah ibu
mereka, juga di depan ibunya yang memerintahkan agar dia
berdiam di dalam kamar, Bagus Seta tidak berani
membantah. Akan tetapi begitu ia mendengar malam itu
suara hiruk-pikuk di luar kamarnya dan mendengar dari
para pelayan yang ketakutan bahwa para gerombolan
perampok sudah menyerbu istana kadipaten, hati Bagus
Seta berdebar penuh kemarahan dan ketegangan. Ia marah
sekali karena menganggap para perampok itu pengecut,
melakukan penyerbuan pada saat ayahnya tidak berada di
rumah. Coba kalau ayahnya berada di rumah, sudah lama
para perampok itu dibasmi habis. Ia merasa penasaran
sekali akan perintah dan larangan ibunya. Kenapa ia harus
bersembunyi di dalam kamar" Ia tidak takut sama sekali
terhadap para perampok! Memalukan benar! Putera Adipati
Tejolaksono yang terkenal sakti mandraguna harus
bersembunyi karena serbuan perampok!
Tidak! Ia tidak mau bersembunyi lagi dan membiarkan
ibunya dan kedua eyang puterinya menghadapi para
perampok sendiri. Apalagi ketika malam itu suara
pertempuran makin hebat, Bagus Seta tak dapat menahan
dirinya lagi. Terdengar olehnya suara pertempuran itu
makin mendekat dan kini bahkan terdengar suara
beradunya senjata tajam dan teriakan-teriakan orang
bertanding di luar kamarnya, di dalam taman! Cepat Bagus
Seta membuka daun jendelanya dan memandang keluar.
Lampu-lampu penerangan yang tergantung di sudut-sudut
taman menambah cahaya bulan dan di dalam taman yang
remang-remang itu tampaklah banyak orang berkelebat dan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saling bertanding. la mengenal belasan orang pengawal
istana ayahnya yang dengan gagah berani melawan serbuan
para perampok yang berjumlah besar, dua kali lebih besar
daripada jumlah para pengawal.
Melihat daun jendela terbuka dan seorang anak laki-laki
tampak di jendela, dua orang perampok yang bertubuh
tinggi besar segera melompat maju dan lari menghampiri
Bagus Seta. Anak ini tidak takut, bahkan ia segera
melompat keluar dari jendela dengan golok terhunus di
tangan kanan dan keris di tangan kiril
Melihat ini, dua orang perampok itu tertawa terbahak-
bahak. "Ha-ha-ha, anak kecil berani bukan main!"
"Wah, pakaiannya indah. Tentu bukan anak sembarangan. Di dalam kamarnya tentu banyak terdapat
barang berharga!" kata perampok ke dua.
"Keparat jahanam, kalian perampok-perampok jahat!
Jangan memasuki kamarku!" bentak Bagus Seta sambil
meloncat ke depan jendela menghadang ketika ia melihat
betapa dua orang perampok itu hendak memasuki
kamarnya. Dua orang perampok itu saling pandang lalu tertawa
bergelak. Biarpun mereka ini orang-orang kasar dan
perampok liar, namun tadinya mereka tidak berniat
memusuhi seorang kanak-kanak. Akan tetapi melihat sikap
Bagus Seta, mereka menjadi marah juga dan sambil tertawa
mereka menerjang maju, perampok pertama mengayun
goloknya dengan kuat, hendak memenggal leher anak itu
sekali mengayun golok. Ayunan goloknya ini cepat dan
kuat sekali dan dua orang perampok itu sudah memastikan
bahwa si I anak kecil tentu akan roboh binasa. Mereka
sudah mengilar ketika mengerling ke arah dalam kamar dari
jendela. Memang kamar yang indah dan mereka ingin
sekali menjadi orang-orang pertama , memasukinya dan
memilih isinya yang berharga.
"Aihhh !I" Perampok yang mengayun golok berseru
kaget karena goloknya membacok angin kosong ketika
Bagus Seta dengan cepat dan tangkas mengelak ke kiri, dan
lebih besar lagi rasa kaget perampok itu ketika tiba-tiba
pahanya sakit sekali dan robek berdarah, kena hantam
golok kecil di tangan Bagus Seta! Untung baginya bahwa
anak berusia sepuluh tahun itu tenaganya belum matang,
kalau lebih kuat sedikit saja bacokan itu, tentu pahanya
sudah menjadi buntung! Perampok yang terluka pahanya itu menjadi marah
sekali, akan tetapi pahanya terasa amat perih dan nyeri
sehingga ia tidak dapat menerjang maju. Hanya temannya
yang kini dapat menduga bahwa anak kecil itu bukan bocah
sembarangan, sudah meloncat maju dan ayun goloknya
melakukan serangan bertubi-
tubi. Namun, makin besar keheranan dua orang perampok itu karena betapa-
pun cepatnya si perampok membacok, selalu bacokannya
mengenai tempat kosong. Anak itu gesitnya melebihi
seekor kera! Pada saat itu, dari tempat
pertempuran datang pula dua
orang perampok. Memang jumlah perampok lebih banyak sehingga para pengawal terdesak dan karena
para perampok itu sudah Ingin sekali menyerbu istana
untuk merampok harta benda dan memperkosa puteri-
puteri kini dua orang perampok itu yang melihat dua orang
teman mereka mengeroyok seorang anak kecil di dekat
jendela terbuka, cepat menghampiri. Mereka terheran-heran
dan kagum melihat betapa seorang anak kecil dengan golok
di tangan kanan dan keris di tangan kiri dapat melayani
terjangan seorang kawan mereka begitu gesitnya!
"Aaahh, anak Ini tentu putera adipati! Puteranya hanya
seorang, siapa lagi kalau bukan anak setan ini?" Demikian.
kata seorang di antara mereka.
Bagus Seta yang mendengar ucapan ini lalu meloncat
mundur sambil menghardik, "Sudah tahu aku putera
Adipati Tejolaksono yang sakti mandraguna, kalian masih
berani datang?" Sejenak empat orang perampok itu tercengang akan
tetapi mereka lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Bagus
sekali! Dia ini lebih berharga daripada segala benda
rampasan. Gagak Lembah Serayu tentu akan memberi
hadiah besar kepada kita kalau kita menyerahkan anak ini
sebagai tawanan!" Mendengar ucapan ini, tiga orang perampok yang tidak
terluka itu lalu menubruk maju seakan berlumba hendak
berdulu-duluan menangkap Bagus Seta. Anak ini cepat
melompat ke kanan menghindarkan diri sambil menyabet
dengan goloknya. "Tranggggg.......... !!" Dua buah golok perampok
menangkisnya dengan pengerahan tenaga keras. Tentu saja
tenaga Bagus Seta tidak dapat melawan tenaga dua orang
perampok kasar itu. Golok kecil di tangannya terlempar
jauh! Perampok-perampok itu tertawa dan menubruk lagi.
Akan tetapi biarpun goloknya sudah hilang, Bagus Seta
tidak menjadi gugup atau takut. Melihat dirinya ditubruk
tiga orang, ia cepat menggerakkan keris kecilnya,
menyambut tangan-tangan mereka dengan tusukan keris ke
depan! "Eh-eh, bocah ini seperti anak harimau saja!" kata
seorang perampok sambil menarik kembali tangannya yang
nyaris tertusuk keris. Akan tetapi kakinya melayang dari
kiri dan tepat mengenai pinggang Bagus Seta yang jatuh
terguling-guling dan kerisnya terlepas dari pegangan.
Namun, anak itu meloncat bangun lagi, sudah slap
menghadapi para perampok dengan kedua tangan kosong!
Melihat sikap ini, mau, tak mau empat orang perampok itu
memandang kagum dan terheran-heran. Belum pernah
selama hidup mereka yang penuh kekejaman itu mereka
bertemu dengan seorang anak kecil yang memiliki
keberanian seperti ini! Seekor harimau sekalipun agaknya
tentu akan tunggang-langgang kalau sudah dihajar dan
mendapat kenyataan bahwa pihak lawan jauh lebih kuat.
Anak ini sudah kehilangan golok dan keris, sudah pula
terjengkang roboh, akan tetapi masih bangkit lagi dan
sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, apalagi
menyerah! Rasa penasaran membuat tiga orang perampok yang tak
terluka itu menjadi marah. Masa tiga orang gagah seperti
mereka tidak mampu merobohkan seorang anak kecil"
Alangkah akan malu hati mereka kalau hal itu diketahui
kawan-kawan mereka. Tentu mereka akan menjadi bahan
ejekan. Karena marah, berubahlah keinginan hati mereka
yang tadi hendak menawan Bagus Seta, menjadi nafsu
untuk membunuhnya! Dengan golok di tangan terangkat
tinggi-tinggi, tiga orang itu kini melangkah maju, slap untuk
menghancurkan tubuh yang kecil itu dengan golok mereka
yang tajam. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara auman yang
menggetarkan taman. Bumi yang terpijak serasa bergoyang.
Tiga orang perampok itu tiba-tiba terbelalak dan berdiri
seperti berubah menjadi arca. Entah dari mana datangnya,
tak jauh dari situ berdiri seekor harimau yang besarnya
seperti lembu! Seekor harimau berbulu putih yang besar dan
menyeramkan sekali! Akan tetapi kalau para perampok dan juga sebagian
pengawal yang bertanding di dekat tempat itu terkejut dan
gentar, sebaliknya Bagus Seta menjadi girang sekali. Ia
menoleh dan melihat harimau putih itu, segera mengenalnya sebagai harimau yang pernah ia jumpai di
dalam hutan bersama ayahnya, harimau yang telah
menggondolnya. Karena anak inipun maklum bahwa ia
tidak akan menang menghadapi pengeroyokan para
perampok, maka ia lalu lari menghampiri binatang itu dan
memeluk lehernya. Harimau itu merendahkan tubuhnya
sambil menggereng dan di lain saat Bagus Seta telah
menunggang di atas punggungnya!
."Paman sardulo, amuk para perampok itu! Basmi
mereka, usir mereka.......... Bagus Seta menepuk-nepuk
punggung harimau itu sambil berbisik di dekat telinganya.
Anak ini memang pandai menunggang kuda, akan tetapi
menunggang kuda jauh sekali bedanya dengan menunggang
harimau yang tanpa kendali tanpa sela itu. Maka ia duduk
sambil menelungkup dan merangkul leher menengkeram
bulu yang panjang putih pada leher harimau.
Harimau itu kembali mengaum dan tubuhnya menerjang
maju. Tiga orang perampok yang tadi hendak membunuh
Bagus Seta, berbareng mengangkat golok untuk menyerang
dalam pembelaan diri mereka, akan tetapi hanya satu kali
sang harimau putih mengangkat kaki depan sebelah kanan,
menampar atau mencakar dan tiga batang golok mereka
terlepas dan pegangan, bahkan lengan seorang di antara
mereka kena cakar sampai robek-robek dagingnya! Yang
dua orang membalikkan tubuh dan lari, diikuti dua orang
temannya yang sudah terluka, yaitu yang tadi terluka golok
pahanya dan yang terluka lengannya. Harimau itu dengan
Bagus Seta di punggungnya, lalu berlari perlahan memasuki
taman. Gegerlah mereka yang sedang berperang di dalam
taman. Para perampok menjadi ketakutan dan otomatis
bubar meninggalkan lawan. Beberapa orang perampok yang
mencoba untuk melawan harimau putih, roboh oleh
tamparan kaki depan harimau itu yang berbeda dengan
harimau-harimau biasa, bergerak seperti seorang manusia,
bukan menubruk atau menggiglt seperti harimau lain. Akan
tetapi gerakan kaki depannya amat kuat sehingga senjata-
senjata tajam selalu terlempar kalau bertemu kaklnya.
Sebentar saja, para perampok yang menyerbu kadipaten
menjadi geger dan bubar meninggalkan kadipaten.
Bermacam-macam cerlta mereka. Bahkan yang tidak
sempat bertemu dengan harimau putih itu dapat bercerita
bahwa "penjaga kadipaten" harimau yang sebesar gajah
telah mengamuk! Ada yang bilang bahwa Itu adalah sang
adipati sendiri yang berubah menjadi harimau putlh.
Bahkan para pengawal yang sempat melihat harimau di
dalam taman, menjadi panik. Akan tetapi ada pula di antara
mereka yang berusaha merampas kembali Bagus Seta. Akan
tetapi mereka inipun roboh oleh tamparan sang harimau
yang kemudian melarikan Bagus Seta dari dalam taman
sambil berlompatan cepat sekali! Bagus Seta merasa ngeri
juga dan terpaksa ia meramkan mata sambil memeluk leher
harimau lebih kuat lagi. Angin berdesir di pinggir
telinganya dan tubuhnya kadang-kadang terkena lecutan
rumput alang-alang di kanan kirL
"Paman sardulo.......... ke mana kau membawaku pergi"
Kembalilah, kita harus membantu ibuku.......... harus
membasmi dan mengusir para perampok jahat .......... !"
Bekali-kali Bagus Seta berbisik di dekat telinga si harimau,
akan tetapi harimau putih itu tidak memperdulikannya lagi
dan berlari terus keluar masuk hutan dan naik turun
gunung. Malam telah berganti pagi ketika harimau putih tiba di
lereng sebuah gunung, lalu mengaum dan berhenti. Bagus
Seta yang merasa lelah sekali lalu melorot turun dari atas
punggung harimau, memandang kepada kakek tua yenta
berpakaian putih yang tahu-tahu telah berdiri di depan
harimau. Kakek itu berdiri sambil memegang tongkat
bambu gading, tangan kiri mengelus jenggot panjang yang
putih itu dan mulutnya tersenyum.
"Terpujilah Sang Hyang Wishnu ?""! Kakek tua
renta itu berkata halus. "Suratan takdir tak dapat dihapus
oleh siapapun juga di dunia ini! Kulup, Bagus Seta,
kedatanganmu ini meyakinkan hatiku bahwa engkau
memang berjodoh dengan aku. Engkaulah yang kelak akan
mempertahankan kebesaran Sang Hyang Wishnu, angger.......... !!! Bagus Seta memang seorang anak kecil yang baru
berusia sepuluh tahun. Namun ia telah banyak mempelajari
tata susila dan tahu menghormat dan menghargai seorang
tua yang suci dan bijaksana. Biarpun masih kecil, ia
maklum bahwa kakek di hadapannya ini bukanlah seorang
manusia biasa dan bahkan menjadi majikan dari sang
harimau putih yang hebat. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
"Jadi Eyangkah yang menyusuh paman sardula putih
datang menolong saya daripada pengeroyokan perampok"
Saya mengucap syukur dan menghaturkan banyak terima
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kasih, Eyang." Kakek itu tertawa, suara ketawanya halus dan sepasang
matanya yang bersinar amat tajam itu berseri-seri gembira.
"Sardulo pethak, kau dengar, alangkah pandainya sang
adipati di Selopenangkep mendidik puteranya! Heh-heh-
heh, angger Bagus Seta. Tidak ada yang menolong atau
ditolong. Sardulo pethak kusuruh datang ke Selopenangkep
hanya untuk mempersiapkan diri kalau-kalau memang
engkau berjodoh denganku, Angger. Kalau bukan karena
kehendakmu sendiri engkau ikut dengannya, dia tidak akan
memaksamu. Bukankah engkau sendiri yang ikut bersamanya,' kulup?"
"Tidak salah, Eyang. Memang saya menunggangi
punggungnya. Akan tetapi.... ...... saya tidak mengerti
mengapa dia membawa saya ke sini menghadap Eyang."
"Kekuasaan berada di tangan Sang Hyang Widhi,
Angger. Bahkan semua dewata dan manusia hanya
mempunyai tugas kewajiban, namun keputusan terakhir
sepenuhnya berada di tangan Yang Maha Kuasa. Akupun
hanya berusaha, angger, dan agaknya usahaku mendapat
berkah Sang Hyang Wishnu yang memelihara dan menjaga
semua kebaikan. Engkau berjodoh untuk menjadi muridku,
kulup, dan kepadamulah aku harus menurunkan semua
pengertian yang kumiliki."
"Banyak terima kasih saya haturkan kepada Eyang.
Menurut wejangan Ayah saya, amatlah bahagia menjadi
murid seorang yang maha sakti seperti Eyang. Akan tetapi,
saya harus kembali ke Selopenangkep, Eyang. Selopenangkep diserbu penjahat, Kanjeng Ibu tentu
terancam bahaya. Bagaimana saya dapat mendiamkannya
saja dan berada di sini dalam aman tenteram sedangkan
Kanjeng Ibu terancam bahaya?"
"Ha-ha-ha, bagus sekali, sekecil engkau sudah mengenal
dharma bakti kepada orang tua! Akan tetapi engkau lupa,
Bagus Seta, bahwa kehadiranmu di sana sama sekali tidak
akan membantu ibumu,melainkan menambah beban ibumu
karena harus melindungimu. Jangan khawatir, Angger.
Engkau ikutlah bersamaku dan kelak pasti engkau akan
bertemu kembali dengan orang tuamu."
"Memang saya tidak dapat membantu ibu, Eyang. Akan
tetapi.......... apapun yang terjadi di Selopenangkep, saya
harus menyaksikannya. Kata Kanjeng Rama, bukanlah
watak seorang ksatria kalau melarikan diri daripada bahaya
meninggalkan orang lain yang terancam malapetaka.
Mencari keselamatan sendiri tanpa memperdulikan orang
lain, apalagi Kangjeng ibu sendiri, adalah perbuatan
pengecut yang hina!"
Kakek itu merangkul pundak sambil membungkuk, lalu
membelai kepala Bagus Seta. "Wahai muridku yang bagus
dan baik! Engkau benar-benar calon seorang ksatria
budiman yang selalu mengingat wejangan baik di dalam
hati. Semoga pengetahuanmu tentang itu akan mendarah
daging pada dirimu, tidak hanya akan menjadi hafalan-
hafalan kosong belaka melainkan kau nyatakan di dalam
semua sepak terjangmu dalam hidup! Tidak salah seujung
rambutpun wejangan Ramandamu, Angger. Akan tetapi,
sekali ini keadaannya berbeda. Engkau bukan melarikan
diri, melainkan dituntun oleh tangan gaib Sang Hyang
Wishnu sendiri sehingga engkau datang kepadaku. Sekali
lagi kukatakan, janganlah kau khawatir dan marilah kau
ikut aku. Sudah tentu saja aku tidak hendak memaksakan
kehendakku, karena aku selalu bertindak sesuai dengan -
kehendak Sang Hyang Widhi. Sukakah engkau menjadi
muridku, Bagus Seta?"
Anak itu menyembah lagi. "Demi semua Dewata di
Suralaya, Eyang. Saya suka sekali menjadi murid Eyang."
"Nah, kalau begitu, mulai saat ini juga engkau kuangkat
menjadi muridku. Aku dikenal sebagai Ki Tunggaljiwa dan
ketahuilah, muridku, bahwa sesungguhnya Ramandamu itu
masih cucu muridku sendiri! Bagus Seta, biarpun engkau
masih seorang kanak-kanak, tentu Ramandamu pernah
bercerita kepadamu. Tahukah engkau guru ramandamu?"
Jantung anak itu sudah berdebar tegang saking kagetnya
mendengar bahwa kakek ini masih eyang guru ayahnya!
Tentu saja ia sudah banyak mendengar dari ayahnya
tentang guru-guru ayahnya maka tanpa ragu-ragu ia
menjawab. "Menurut penuturan Kanjeng Rama, pertama-tama yang
menjadi guru Kangjeng Rama adalah Kanjeng Eyang Pujo
sendiri, ayah angkat Kanjeng Rama. Kemudian Kanjeng
Rama digembleng oleh Eyang Buyut Resi Bhargowo, dan
yang terakhir, guru Kanjeng Rama adalah sang bijaksana
yang sakti mandraguna Rakyana Patih Narotama."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Benar sekali apa yang
kaudengar dari Ramandamu itu, Angger. Yang membuat
Ramandamu menjadi seorang ksatria sakti mandraguna
seperti sekarang ini adalah karena beliau menjadi murid
mendiang Ki Patih Narotama. Ketahuilah, bahwa bersama
mendiang Sang Prabu Airlangga, Ki Patih Narotama
adalah murid-murid terkasih dari Sang Bhagawan
Satyadharma yang bertapa di puncak Gunung Agung di
Ball. Nah, adapun Bhagawan Satyadharma itu adalah
kakak seperguruanku sendiri, Angger."
Terkejutlah hati Bagus Seta. Ia menyembah lagi dan
berkata penuh takjub. "Kalau begitu.......... Eyang adalah Eyang guru dari
Kanjeng Rama dan saya .......... adalah cucu buyut
Eyang.......... "Ha-ha-ha, tidak perlu terlibat dalam urutan yang tiada
artinya, muridku. Engkau adalah terpilih menjadi muridku,
karena itu engkau adalah muridku dan kau boleh saja
menyebutku Bapa Guru. Nah, setelah kau menjadi
muridku, kau tentu tahu, apakah kewajiban pertama dari
seorang murid kepada gurunya?"
"Kalau saya tidak keliru, kewajiban pertama adalah
mentaati semua perintah dan petunjuk sang guru."
"Tepat sekali, Angger. Nah, sekarang perintahku yang
pertama kali, engkau harus ikut bersamaku ke puncak dan
lenyapkan, semua kegelisahan hatimu tentang Selopenangkep." Bagus Seta masih seorang kanak-kanak. Berat sekali
rasanya mentaati perintah ini, apalagi harus melupakan
Selopenangkep. Mana mungkin" Akan tetapi sebagai
seorang anak gemblengan yang tahu akan arti kata
kegagahan dan memegang teguh kata-kata yang sudah
keluar dari mulut, ia tidak berani membantah, lalu bangkit
berdiri dan mengikuti gurunya yang mulai mendaki
Gunung Merapi. Sardulo pethak,- si macan putih, tampak
gembira sekali melihat Bagus Seta ikut naik ke puncak.
Seperti seekor anak kambing yang nakal, ia melonjak-lonjak
dan kadang-kadang lari mendahului mendaki lereng, dan di
lain saat ia sudah berlari lagi turun, mengitari Bagus Seta,
dan mendorong-dorong punggung anak itu dari belakang,
seperti rnengajak berlumba lari. Karena diapun masih
seorang kanak-kanak, Bagus Seta timbul kegembiraannya
dan tak lama kernudian iapun sudah lupa akan
kegelisahannya dan bermain-main di sepanjang jalan
pendakian itu bersama sardulo pethak.
Kakek tua renta itu memang benar adik seperguruan
Sang Bhagawan Satyadharma di Gunung Agung yang
terkenal maha sakti itu. Berbeda dengan Sang Bhagawan
Satyadharma yang terkenal menjadi seorang pendeta, adik
seperguruan yang jauh lebih muda ini semenjak dahulu
suka melakukan perantauan. Akan tetapi kakek ini yang
memakai nama sederhana, yaitu Ki Tunggaljiwa, tidak suka
menonjolkan diri di dunia ramai dan ke manapun juga ia
pergi, ia selalu mengunjungi puncak-puncak gunung yang
sunyi, jarang bertemu dengan manusia dan hidup bertani di
tempat sunyi. Karena itulah maka jarang ada orang
mengenalnya. Andaikata ada yang melihatnya sekalipun
tentu akan mengira bahwa dia seorang petani tua biasa saja.
Pada-hal sesungguhnya kakek ini adalah orang yang
memiliki ilmu amat tinggi!
Mengapa kini Ki Tunggaljiwa yang biasanya hidup
menyendiri itu secara tiba-tiba mengambil murid" Bukan
sedikit anak-anak yang ia lihat bertulang baik dan berjiwa
bersih yang cukup berharga untuk diambil murid selama ia
melakukan perantauannya, akan tetapi tadinya ia memang
tidak ingin mencampuri urusan dunia, maka hatinyapun
menjadi dingin dan hambar, tidak ingin mempunyai murid,
bahkan ingin membawa semua ilmunya yang dianggap
tiada gunanya itu ke alam baka. Akan tetapi, sungguh di
luar perkiraannya, terjadilah hal-hal yang membuat ia
terkejut dan prihatin sekali. Ia melihat ada usaha-usaha
untuk mendesak agama yang dianut oleh rakyat terbanyak
di daerah Daha (Panjalu), Jenggala dan terus timur sampai
ke Bali, yaitu agama yang memuja Sang Hyang Wishnu!
Kalau yang mengancam ini hanyalah penyembah-
penyembah Bathara Kala atau Bathari Durgo yang tidak
banyak pengikutnya, ia tidak merasa khawatir. Akan tetapi
musuh- musuh yang akan muncul ini merupakan bahaya-
bahaya besar karena selain didukung oleh kerajaan-kerajaan
besar, juga dikendalikan atau dijagoi oleh orang-orang yang
memiliki kesaktian tinggi sekali. Melihat ancaman yang
tidak terlihat oleh kebanyakan orang ini, hati Ki
Tunggaljiwa merasa risau dan ia tahu bahwa kini tibalah
saat baginya untuk berdharma bakti kepada dunia, kepada
manusia dengan perbuatan-perbuatan yang nyata. Ia sudah
amat tua, dan betapapun saktinya, la bukan sebangsa ular
yang yang ditakdirkan dapat berganti kulit. Dia seorang
manusia yang tidak akan luput daripada kematian. Maka ia
pikir bahwa jalan terbaik baginya adalah menurunkan atau
mewariskan seluruh ilmunya kepada seorang murid yang
terbaik. Memang apa yang dikhawatirkan Ki Tunggaljiwa itu
tidaklah berlebihan kalau dilihat dari perkembangan
keadaan negara di waktu itu. Semenjak Kerajaan
Kahuripan yang tadinya menjadi amat besar dan kuat
sebagai lanjutan Kerajaan Mataram di bawah pimpinan
Sang Prabu Airlangga dipecah menjadi dua seperti keadaan
waktu itu, yaitu menjadi Kerajaan Panjalu yang kemudian
terkenal dengan sebutan Kerajaan Daha dan Kerajaan
Jenggala, maka keadaan menjadi lemah. Hal ini mungkin
karena pemecahan kerajaan menjadi dua mendatangkan
pandangan dan kesan yang amat tidak menguntungkan
kerajaan-kerajaan keturunan Sang Prabu Airlangga. Raja-
raja yang tadinya takluk, menganggap pemecahan itu
sebagai kelemahan dan banyaklah di antara mereka yang
memberontak dan berdiri sendiri, tidak mengakui kedaulatan kedua kerajaan itu.
Hal ini menjadi lebih memburuk dan berbahaya ketika
pada masa itu ancaman membesar dari Kerajaan Sriwijaya
yang memasukkan pengaruhnya lewat Pulau Jawa di
sebelah barat. Tadinya, ketika Sriwijaya masih menghadapi
musuh utamanya yaitu Kerajaan Cola (India selatan) yang
terus menerus menyerang Sriwijaya dan setiap kali
mengalahkan pasukan-pasukan Sriwijaya, maka Sriwijaya
tidak ada kesempatan untuk mendesak Daha (Panjalu) dan
Jenggala. Akan tetapi pada waktu itu, terjadilah
perdamaian antara Sriwijaya dan Cola, juga dengan
kerajaan dari India utara dari mana Sriwijaya mendapat
banyak pelajaran tentang ilmu dan agama, yaitu Agama
Buddha (Mahayana). Setelah terdapat perdamaian ini,
Sriwijaya merasa dirinya kuat kembali dan mulailah
melakukan desakan ke selatan, yaitu kepada musuh
lamanya, Mataram yang kini menjadi Panjalu atau Daha
dan Jenggala itu. Seperti telah menjadi catatan sejarah, semenjak dahulu
Sriwijaya dan Mataram selalu bertentangan. Hanya pada
masa jayanya Sang Prabu Airlangga, terjadilah hubungan
baik, yaitu ketika Sang Prabu Airlangga menikah dengan
puteri dari Sriwijaya yang kemudian menjadi ibu dari sang
prabu di Jenggala. Akan tetapi, setelah terjadi pertikaian
antar saudara antara kedua orang pangeran putera Sang
Prabu Airlangga, hal ini kembali merenggangkan perhubungan dengan Sriwijaya. Apalagi setelah Sang Prabu
Airlangga dan puteri dari Sriwijaya telah meninggal dunia,
hubungan dengan Sriwijaya boleh dibllang terputus sama
sekali. Namun tentu saja hal ini tidak memutuskan cita-cita
Sriwijaya untuk menanam pengaruhnya di Jawadwipa dan
terutama sekali untuk keperluan Agama Buddha yang
dianutnya. Selain itu, juga Kerajaan Cola yang kini sudah
berbaik dengan Sriwijaya tidak mau ketinggalan, ikut
membonceng dan mencari kesempatan menanam pengaruh
dan mencari keuntungan di pulau yang indah dan lohjinawi
(subur makmur) itu. Golongan ini mempergunakan para
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penganut Sang Hyang Syiwa untuk mencari kedudukan.
Dahulu, memang pernah Agama Buddha yang
memegang kekuasaan, yaitu ketika Pulau Jawa berada di
bawah pimpinan Raja-raja Syailendra. Akan tetapi, pada
jaman Mataram di bawah raja yang berjuluk Rakai Pikatan,
agama yang memuja Sang Bathara Syiwa menjadi
berkembang karena raja ini beragama Syiwa. Dan pada
masa itu dua agama itu, yaitu Agama Buddha dan Agama
Syiwa yang merupakan pecahan daripada Agama Hindu
lama, mengalami masa kebesarannya. Akhirnya, setelah
Kerajaan Mataram berpindah ke timur di bawah pimpinan
Sang Prabu Airlangga, kedua agama ini mulai terdesak dan
karena sang raja memuja Sang Bathara Wishnu, maka
rakyatpun banyak yang mengikuti jejak raja.
Dan sekarang, menurut wawasan Ki Tunggaljiwa yang
menjadi seorang penyembah Sang Hyang Wishnu, mulailah
tampak ancaman dari Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan
Cola. Kakek ini sama sekali tidak prihatin akan
pertentangan antara kerajaan, akan tetapi ia merasa prihatin
sekali melihat betapa Agama Wishnu terancam kebesarannya oleh agama-agama lain.
Ki Tunggaljiwa tahu akan hal itu karena beberapa bulan
yang lalu, ketika ia melakukan perjalanan merantau ke
barat, dan hendak bertapa dan bersunyi diri di Gunung
Sanggabuwana, bertemulah ia di sana dengan seorang
tokoh Agama Syiwa dan seorang pendeta Buddha. Sebagai
manusia-manusia biasa, biarpun tiga orang tokoh besar ini
sudah memiliki kepandaian tinggi, terjadilah perdebatan
yang berlarut-larut sehingga memanaskan suasana dan
kedua orang tokoh Agama Syiwa dan Agama Buddha itu
dalam keadaan hati panas menyatakan bahwa agama
mereka sudah siap untuk mengembalikan kekuasaannya di
Daha (Panjalu) dan Jenggala!
"Kami akan menghalau setiap rintangan!" Demikian
tokoh Agama Syiwa yang marah itu berkata. "Dan
terutama sekali andika, sebagai tokoh pemuja Sang Bathara
Wishnu, kalau merintangi akan kami lenyapkan lebih
dahulu!" Hanya karena kesadaran dan kesabaran hati Ki
Tunggaljiwa saja maka pertemuan dan perdebatan itu tidak
berubah menjadi pertempuran. Setelah terjadi hal itu,
dengan hati penuh prihatin kembalilah sang pertapa ke
timur dan menetap di puncak Merapi. Biarpun ia sudah
mengambil keputusan untuk mencari murid, namun tetap
saja sang pertapa menyerahkan pemilihannya kepada Sang
Hyang Wishnu sendiri, dan setiap hari hanya berdoa agar
,memberi petunjuk dan agar bisa mendapatkan seorang
murid yang baik. Maka terjadilah pertemuannya dengan Bagus Seta
dengan perantaraan sardulo pethak, binatang ajaib yang
jarang ada ini dan yang menjadi kelangenannya atau
binatang peliharaan yang amat dikasihinya. Pertemuan
inilah yang dijadikan tanda oleh Ki Tunggaljiwa bahwa
Sang Hyang Wishnu telah memberi petunjuk. Apalagi
setelah diketahuinya bahwa anak itu adalah putera Adipati
Tejolaksono yang ia tahu adalah murid Ki Patih Narotama,
hatinya menjadi girang sekali. Inilah murid yang selama ini
ia tunggu-tunggu! Di puncak Merapi, tak jauh dari kawah yang selalu
mengeluarkan asap, uap dan api panas, terdapat sebuah
pondok yang dijadikan tempat bertapa Ki Tunggaljiwa.
Pondok tempat tinggalnya berada di sebelah bawah puncak,
di tempat yang subur, di mana tumbuh banyak pohon dan
buah-buahan dan di situ terdapat pula mata air yang
mengeluarkan dua macam air dari dua sumber yang
berdampingan, yaitu sebuah sumber air panas mengandung
belerang, dan yang sebuah pula sumber air dingin yang
amat dingin dan jernih. Begitu tiba di situ, pada hari-hari pertama Bagus Seta
digembleng oleh gurunya dengan ilmu bersamadhi yang
amat berat. Biarpun baru berusia sepuluh tahun, Bagus Seta
tidaklah asing akan ilmu samadhi, karena sudah diajari
ayahnya. Akan tetapi, latihan samadhi yang diajarkan
gurunya ini amatlah sukar dan menyiksa diri karena ia
disuruh bersamadhi di siang hari sambil merendam tubuh
sampai ke leher dalam air dari sumber air panas yang
berbau belerang dan panasnya bukan main itu. Pada hari
pertama, tubuhnya terasa terbakar dan hampir saja ia tidak
kuat bertahan kalau saja di situ tidak ada Ki Tunggaljiwa
yang setiap kali menyentuh kepalanya rasa panas
membakar itu menjadi berkurang dan dapat ia tahan!
Latihan di malam hari tidak kurang menyiksanya karena ia
diharuskan bersamadhi sambil merendam diri di dalam air
dari sumber air dingin. Bukan main dinginnya. Tubuhnya
serasa membeku dan giginya sampai berbunyi karena saling
beradu, tubuh menggigil dan ia tentu pingsan kalau saja
tidak disentuh gurunya pada tengkuknya. Sentuhan bukan
sembarang sentuhan karena dari jari tangan gurunya ifu,
keluar hawa panas yang dapat melaw,an rasa dingin
membeku itu! Setelah genap tiga pekan berlatih samadhi seperti ini,
mulailah Bagus Seta terbiasa dan tidak perlu dibantu
gurunya pula. Tubuhnya dapat menahan, akan tetapi masih
belum mudahlah baglnya untuk merigheningkan cipta.
Semua pancaindranya ia kerahkan untuk melawan rasa
panas jika berendam di air panas dan rasa dingin pada
malam harinya jika berendam di air dingin, sehingga ;tidak
ada sisa kekuatan lagi untuk mengendalikan pancaindra dan
mematikan raga. Akan tetapi sudah mulai mendapat
kemajuan, sedikit demi sedikit dibimbing gurunya. Adanya
sardulo pethak di siitu banyak membantu Bagus Seta karena
harimau ini ternyatapun kuat bertahan berendam di dalam
air dingini Bagus Seta adalah seorang anak yang
menjunjung tinggi kegagahan, juga telah memiliki harga
diri yang tinggi, maka tentu saja la merasa malu kalau
sampai kalah, oleh seekor harimau! Hal ini banyak
menolongnya dan banyak membantunya memperoleh
kemajuan pesat. Kemajuan yang mulai tampak itu menggembirakan hati
Bagus Seta sehingga anak ini menjadi makin rajin. Memang
dalam waktu kurang lebih satu bulan itu, seringkali
termenung kalau memikirkan orang tuanya dan Selopenangkep, akan tetapi justeru hal inipun merupakan
latihan batin yang amat baik baginya. Mula-mula seringkali
ia duduk menangis seorang diri teringat akan,ibunya, akan
tetapi akhirnya ia dapat melawannya, bahkan kalau
perasaan rindu kepada ibunya Itu datang menyerangnya, ia
menceburkan diri ke dalam air panas di waktu siang hari
dan air dingin di waktu malam, kemudian, menghilangkan
semua rasa rindu itu dengan bersamadhi! Biarpun di
luarnya tidak menyatakan sesuatu, namun sesungguhnya,
setiap saat Ki Tungaljiwa memperhatikan gerak-gerik
muridnya dan ia gembira bukan main menyaksikan betapa
muridnya yang masih kecil itu ternyata sudah lulus dari
ujian pertama yang amat berat. Ia kini yakin bahwa
memang Sang Hyang Wishnu sendirilah yang telah
memilihkan murid baginya dan ia merasa berterima kasih
sekali, -oo0dw0oo- Kurang lebih delapan pekan telah lewat semenjak Bagus
Seta berada di puncak Gunung Merapi bersama Ki
Tunggaljiwa. Pagi hari itu, seperti biasa, setelah sarapan
pagi yang amat sederhana, yaitu ubi bakar dan minum air
panas dari sumber yang berbau belerang untuk mengusir
hawa dingin pagi hari itu, Ki Tunggaljiwa bersama Bagus
Seta duduk di depan pondok. Setiap pagi, Ki Tunggaljiwa
tentu mengajak muridnya untuk menyambut munculnya
matahari sambil duduk bersila di atas tanah.
"Sebelum dewangkara (matahari) naik sampai ke atas
kepala kita, cahayanya mengandung berkah yang berlimpah-limpah, sarinya, mengandung dasar kekuatan
yang tak ternilai harganya. Karena itu, kita harus dapat
menikmati berkahnya dan sedapat mungkin kau harus
dapat menampung inti sari kekuatan mujijat yang terdapat
di dalam sinar kencana itu, muridku." Demikian Ki
Tunggaljiwa memberitahu muridnya sehingga setiap pagi
mereka duduk bersila tak .berbaju. Hal ini dilakukan oleh
guru dan murid dengan sikap yang amat menghormat,
karena menurut pendapat Ki Tunggaljiwa, yang menguasai
sang dewangkara adalah Sang Hyang Bathara Surya sendiri,
oleh karena itu berkah dan kekuatan itu harus diterima
dengan penuh hormat. Guru yang amat tua dan murid yang masih kanak-kanak
itu duduk bersila di pagi hari itu di depan pondok. Tak
lama kemudian, keduanya sudah duduk diam dan berlatih
samadhi sambil menikmati cahaya sinar matahari pagi yang
memandikan tubuh mereka. Demikian tekun dan hening
mereka dalam samadhi sehingga, tidak tahu bahwa ada dua
orang yang memiliki gerakan ringan dan gesit telah
mendaki puncak dan tiba di dekat pondok mereka.
Dua prang itu bukan lain adalah Adipati Tejolaksono
sendiri bersama isterinya, Ayu Candra. Wanita ini berkeras
tidak mau ditinggalkan suaminya, hendak ikut dan turun
tangan sendiri mencari puteranya yang hilang.
Jilid X ADIPATI TEJOLAKSONO tidak dapat, melarang
isterinya maka berangkatlah suami isteri ini menunggang
kuda menuju ke kaki Gunung Merapi di mana dahulu sang
adipati pernah bertemu dengan Ki Tunggaljiwa ketika
sedang memburu binatang hutan. Setelah perjalanan
mendaki gunung sampai di lereng dan amat sukar, terpaksa
suami isteri perkasa ini meninggalkan kuda mereka dan
melanjutkan pendakian ke puncak dengan jalan kaki.
Hati mereka berdebar keras penuh ketegangan dan
harapan ketika dari jauh mereka melihat pondok kecil di
dekat puncak itu. Akan tetapi tiba-tiba Adipati Tejolaksono
memegang lengan isterinya dan menarik isterinya itu
menyelinap ke belakang gerombolan pohon. Cepat ia
menutup mulut isterinya dengan tangan ketika melihat Ayu
Candra hendak membuka mulut bertanya. Mereka
mengintai keluar rumpun dan tampaklah oleh Ayu Candra
dua sosok bayangan orang melesat naik ke puncak. Mata
wanita itu terbelalak dan bulu tengkuknya berdiri. Setan-
setankah yang dilihatnya itu" Kalau manusia mengapa
dapat melakukan gerakan sehebat itu, seolah-olah terbang
saja mendaki puncak" Dan melihat bahwa mereka berdua
itu agaknya sudah amat tua, sungguh luar biasa sekali. Di
dalam hatinya, Adipati Tejolaksono juga terkejut dan
maklum bahwa dua orang kakek yang lewat dengan
kecepatan laksana terbang itu adalah orang-orang sakti yang
amat luar biasa. Maka ia lalu bersikap hati-hati, mengajak
isterinya melanjutkan perjalanan mendekati pondok.
Ketlka mereka berdua tiba di depan pondok dan melihat
Ki Tunggaljiwa yang duduk di depan pondok di atas tanah
bersama Bagus Seta, keduanya tercengang dan terharu
sekali. Putera mereka sehat dan selamat. Dan baru sekarang
mereka melihat betapa putera mereka itu amat sehat dan
tampan, duduk ber. Sila bertelanjang dada seperti sebuah
arca Sang Hyang Wishnu sendiri di waktu masih kanalk-
kanak, tubuhnya yang tertimpa sinar matahari itu
bercahaya seperti kencana, dari kepala tampak uap putih
membumbung atas membenttik lingkaran pelangi tipis.
Hebat! Dan anak mereka itu sedang tekun bersamadhi.
Belum pernah mereka melihat putera mereka bersamadhi
seperti itu, demikian tenang, demikian hening, penuh
kedamaian yang terpancar keluar dari wajahnya yang
tersenyum. Sampai terisak Ayu Candra saking girang dan
terharu hatinya melihat puteranya ini. Ingin ia berteriak
memanggil dan lari memeluk puteranya, akan tetapi
tangannya dipegang dan ditahan oleh Tejolaksono yang
tidak berani berlaku sembrono di depan kakek yang ia tahu
memiliki kesaktian yang amat tinggi itu.
Tiba-tiba dari belakang pondok itu muncul seekor
harimau putih yang langsung melompat ke depan
Tejolaksono dan isterinya, lalu mengeluarkan suara
gerengan keras dan memperlihatkan taring-taringnya yang
runcing. Ayu Candra kaget sekali dan memegang lengan
suaminya, siap menghadapi binatang buas yang amat besar
dan menyeramkan itu. Akan tetapi Tejolaksono bersikap
tenang, bahkan ia lalu maju ke depan harimau itu dan
berkata nyaring, "Harimau putih, apakah andika masih menaruh dendam
atas kematian anakmu" Tak dapatkah engkau memaafkan
aku?" Ki Tunggaljiwa membuka matanya dan menarik napas
panjang, lalu tertawa halus. "Ahh, kiranya Sang Adipati
telah datang! Ketahuilah, Angger. Harimau dan semua
binatang tidaklah semua pendendam seperti manusia.
Kematian anaknya pun dianggapnya sesuatu peristiwa yang
wajar dan tak terelakkan, maka tak pernah menaruh
dendam, baik kepada manusia maupun dewata, karena
segala perbuatan akan menimpa si pembuat sendiri, tidak
perlu dibalas oleh orang lain! Tidak, sardulo pethak tidak
mendendam kepadamu, tidak pula memaafkan dan tidak
sakit hati. Dia hanya merasa khawatir kalau-kalau kalian
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
datang untuk membawa pergi Bagus Seta dari sinil"
Dengan perlahan sang pertapa bangkit berdiri, bersandar
pada tongkatnya sambil berkata lirih, "Kulup, Bagus Seta
muridku yang baik, bangunlah. Ini ayah bundamu telah
datang, Angger." Bagus Seta yang tadinya rnaslh dalam keheningan
sarnadhinya tidak mendengar sesuatu, karena sudah biasa
gurunya mernbangunkannya darl samadhi, kini menjadi
sadar dan membuka matanya. Sepasang mata yang tajam
bersinar-sinar akan tetapi kini bertambah dengan kehalusan
yang tenang, memandang kepada ayah bundanya. Anak itu
lalu melompat bangun dan berseru gembira,
"Kanjeng Rama............ ! Kanjeng Ibu ..... !"
"Bagus Seta anakku............ !!" Ayu Candra lari
menghampiri, berlutut di depan puteranya sambil memeluk
dan menciuminya. Air mata ibu ini bercucuran saking
girang hatinya. Akan tetapi puteranya bersikap tenang,
bahkan sambil merangkul leher ibunya la berkata,
"Ibu, kenapa menangis" Saya tidak apa-apa, senang di
sini bersama Bapa Guru dan sardulo pethak."
Aneh sekali tetapi nyata terasa oleh Ayu Candra.
Ucapan puteranya ini biarpun dlucapkan dengan suara yang
sama sebulan yang lalu, yaitu suara puteranya yang nyaring
dan halus, namun ada sesuatu yang jauh berbeda. Di dalam
suara ini terkandung sesuatu yang amat berpengaruh,
sesuatu yang membuat jantungnya berdetak aneh dan yang
sekaligus membuat ia malu akan diri sendiri, malu bahwa ia
tadi telah memperlihatkan perasaan yang rnembayangkan
kelemahan hati. Puteranya ini sekarang seolah-olah bicara
seperti seorang dewata yang memiliki wibawa besar, seperti
ayahnya! Dlam-dlarn Tejolaksono yang menyaksikan sikap
dan mendengar suara puteranya, juga menjadi heran dan
kagum sekali, apalagi ketika ia tadi mendengar kakek itu
menyebut murid kepada Bagus Seta dan puteranya itu
menyebut bapa guru kepada kakek itu!
Karena maklum bahwa kakek itu bukan seorang manusia
sembarangan, maka Tejolaksono menarik tangan Ayu
Candra dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
Dia seorang adipati dan sebetulnya tidaklah semestinya
kalau ia sebagaI seorang pembesar dan bangsawan harus
menyembah seorang kakek biasa yang tidak memiliki
kedudukan. Akan tetapi Tejolaksono bukan seorang adipatl
biasa yang terlalu mementingkan dan membanggakan
kedudukannya. Di sudut hatinya, dia adalah seorang ksatria
yang selalu tahu menghormat dan menjunjung tinggi
seorang tua yang sakti, maka kini ia berlutut menyembah
tanpa ragu-ragu lagi. Juga Ayu Candra adalah puteri
Panji Sakti 6 Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Pendekar Pemetik Harpa 26
mereka tidak perduli apa-apa lagi, bahkan menanti
datangnya maut dengan bibir tersenyum.
Tiga hari tiga malam mereka berada di ruangan bawah
tanah itu. Tubuh mereka sudah lemah. Kekosongan perut
membuat mereka lemas. Namun mereka tak pernah
mengeluh, juga tak pernah saling melepaskan. Seakan-akan
mereka hendak menebus semua kehilangan belasan tahun
itu dalam beberapa hari ini selagi nyawa masih belum
meninggalkan badan yang makln lemah. Beberapa kali
Endang Patibroto sudah pingsan di atas pangkuan Adipati
Tejolaksono, pingsan dalam pelukannya. Akan tetapi begitu
ia siuman, la selalu merangkul leher pria itu, berbisik-bisik
mesra, selalu haus akan cinta kasih Joko Wandiro, kini
suaaminya! Kehausan yang tak pernah terpuaskan.
Bagi orang-orang yang memiliki kesaktian seperti
Endang Patibroto dan Adipati Tejolaksono, agaknya
berpuasa sampai sebulan pun kiranya tidak akan membuat
mereka mati. Akan tetapi, sekali ini mereka bukan
berpuasa, bukan bertapa, melainkan terpaksa tidak makan
tidak minum. Dltambah lagi dengan luka-luka mereka
bekas pertempuran hebat, kemudian tenggelam dalam
bercinta kasih yang hanya dapat dilakukan oleh orang-
orang yang sudah tiada harapan untuk hidup lagi! Pada hari
ke empat, Endang Patibroto rebah terlentang di atas
pangkuan Adipati Tejolaksono, tubuhnya lemas, wajahnya
pucat sekali, dan sinar matanya layu, akan tetapi bibirnya
tersenyum penuh bahagia ketika ia menengadah dan
memandang wajah Tejolaksono. Ia baru saja siuman
kembali dari pingsan yang ke sekian kalinya. Akan tetapi ia
merasa seperti orang baru bangun dari tidur yang amat
nyenyak dan nyaman., Ia menggerakkan lengan dengan
lemah, lalu menangkap tangan Tejolaksono yang mengelus-
elus rambutnya. Jari-jari tangan mereka saling cengkeram
dan dari jari-jari tangan mereka itu saja sudah terpancar
getaran-getaran penuh cinta kasih! Jelas terasa oleh jari-jari
tangan masing-masing. Endang Patibroto tersenyum
bahagia, mempererat cengkeraman jari tangannya.
"Joko Wandiro............ belum mati jugakah kita............
?" Tejolaksono tersenyum, menaikkan pahanya, merangkul
dan mencium dahi yang pucat itu, di mana rambut-rambut
sinom melingkar layu. "Ingin benarkah engkau mati,
nimas?" Jari-jari tangan Endang Patibroto yang sudah lemas itu
seketika menjadi kuat kembali terdorong oleh cinta
kasihnya yang selalu membara. Ia sudah menjambak
rambut kepala Tejolaksono, menarik kepala itu sehingga
turun dan bukan lagi dahinya yang tercium, melainkan
mulutnya. Kemudian ia melepaskan tangannya dan terkulai
lemas ke atas dada Tejolaksono, napasnya terengah ketika
menjawab lirih. "Mati bersamamu adalah nikmat bagiku,
Joko Wandiro............ "
Mendengar betapa Endang Patibroto selalu menyebut
nama kecilnya, Tejolaksono tersenyum. Selama tiga hari
tiga malam itu, di waktu Endang Patibroto tidur entah
pingsan di atas pangkuannya, tak pernah bosan ia
memandang wajahnya, penuh cinta kasih, kekaguman dan
keheranan. Tak pernah disangka-sangkanya dahulu bahwa
di dalam diri Endang Patibroto ini terdapat api cinta kasih
yang berkobar-kobar terhadap dirinya, api yang begitu
panas membakar, bagaikan kawah Gunung Bromo. Ia
merasa seakan-akan terbakar oleh api cinta kasih ini,
membuatnya panas dan nanar akan tetapi juga bahagia!
"Nimas, engkau sudah tahu bahwa aku sekarang adalah
Adipati Tejolaksono............ mengapa kau tak pernah
menyebutku kakanda" Kau nakal sekali, manis............
masa memanggilku dengan menyebut nama kecilku............
Endang Patibroto tersenyum, lalu menghela papas
panjang, tertawa kecil dan berkata, suaranya penuh
kesungguhan, "Akan tetapi aku masih menganggapmu Joko
Wandiro, karena engkau adalah Joko Wandiro bagiku, dan
selamanya akan menjadi Joko Wandiro-ku! Joko Wandiro
yang bertahun-tahun kurindukan, yang telah sering
kumusuhi, biarlah sekarang kumelepaskan rinduku dan
menebus kesalahan-kesalahanku kepada Joko Wandiro."
Tejolaksono mencium dua butir air mata di atas pipi
Endang Patibroto. "Engkau memang wanita aneh dan hebat
sejak dahulu." "Joko Wandiro, adakah sedikit cinta kasih di hatimu
kepadaku sekarang?" Tejolaksono membelai rambut yang kusut masai di atas
pangkuannya. "Adindaku, perlu lagikah kau bertanya"
Perlukah aku menyatakan dengan mulut" Nimas, bagi cinta
kasih di antara kita, pengakuan bibir adalah jauh terlalu
hambar dan bahkan mengecilkan arti dan kebesarannya.
Mungkinkah kata-kata dapat mewakili getaran yang terasa
oleh kita" Pancaran sinar dari pandang matamu yang
bagaikan cahaya sinar matahari pagi menembus dan
menimbulkan embun sejuk di bunga dalam hatiku"
Nyanyian dan gamelan dari Lokananta yang terkandung
dalam getaran suara kita" Dapatkah kata-kata menggambarkan perasaan yang aneh dan ajaib ini"
Menggantikan perasaan yang tercurah sehingga terasa benar
cinta kasih di antara kita sampai ke bulu-bulu di tubuh yang
meremang" Sampai ke denyut-denyut darah yang mengencang tak menentu" Sampai, ke ujung-ujung hidung
kita yang mencium ganda harum semerbak seluruh
kembang di Indraloka" Endang Patibroto kekasihku, masih
perlu lagikah aku mengaku cinta?"
Endang Patibroto rebah terlentang di atas pangkuan
Tejolaksono, kedua matanya dipejamkan, bulu matanya
yang hitam panjang melengkung itu membentuk bayang-
bayang manis di pipinya dan bagaikan mutiara-mutiara
keluarlah air matanya bertitik-titik. Bibirnya bergerak dan ia
berbisik lirih, "Terima kasih............ , terima kasih Joko Wandiro,
kekasihku, suamiku............ sekarang aku siap untuk
menerima datangnya Sang Yamadipati, marilah Joko
Wandiro, mari kita bersama menghadap ramanda Pujo.......
kita bersama menemui Pangeran Panjirawit, kau bimbinglah tanganku, Joko Wandiro............ 111
Pada saat itu terdengar suara percik air dari atas lubang
sumur dan............ bagaikan hujan turun, berjatuhan air ke
atas kepala dan tubuh mereka berdual Air yang segar dingin
ini seketika membuat tubuh mereka berdua yang sudah
lunglai itu menjadi segar dan meloncatlah mereka bangun,
berdiri lalu menengadah, memandang ke atas. Kiranya dari
atas sumur itu kini dipasangi bambu besar berlubang dan
dari bambu itulah air dipancurkan ke dalam sumur! Dan
tampak bayangan beberapa orang, bahkan terdengar, suara
yang tertawa bergelak, suara Raden Sindupati,
"Ha-ha-ha, kalau mereka belum mampus, biarlah
sekarang mereka menjadi tikus-tikus tenggelam! Joko
Wandiro dan Endang Patibroto, selamat minum dan mandi
sepuasnya!" Kini dari bawah tampak bentuk kepala
Sindupati yang sebentar kemudian lenyap lagi.
Dan kata-kata Sindupati itu benar-benar dilakukan oleh
Endang Patibroto dan Tejolaksono! Setelah empat hari
tidak pernah mendapat air, kini pancuran air itu membuat
mereka berdua tiba-tiba menjadi haus. Mereka menerima
air dengan kedua tangan dan minum sepuasnya,
membiarkan air menyiram tubuh sehingga merekapun
mandi sepuasnya. Sejenak mereka lupa bahwa air tadi dipancurkan dari
atas sama sekali bukan karena kebaikan hati Adipati
Blambangan, sama sekali bukan memberi kesempatan
mereka dapat minum dan mandi! Mereka tertawa-tawa dan
menikmati air sambil berpelukan dan barulah mereka sadar
akan ancaman kematian mengerikan setelah air menggenang di dalam ruangan itu sampai ke lutut mereka!
"Endang, air mulai naik............ " kata Adipati
Tejolaksono. Biarpun dia tahu kematian berada di depan
mata, namun suaranya masih tenang saja, sedikitpun tidak
membayangkan rasa takut atau ngeri.
Endang Patibroto malah tertawa! "Joko Wandiro,
pegang tubuhku erat-erat agar kita tidak berpisah lagi. Mari
kita hadapi kematian yang indah ini?".!"
"Endang, kurasa tidak seharusnya kita membiarkan diri
mati konyol. Kalau begitu, akan sia-sia saja dahulu Eyang
Resi Bhargowo menggembleng kita, kemudian orang
tuamu, dan guru-guru kita. Tidak, kekasih, selama nyawa
kita belum direnggut Sang Yamadipati, kita berkewajiban
untuk mempertahankannya!"
"Engkau selalu benar, Joko Wandiro. Akan tetapi betapa
mungkin" Air akan naik terus memenuhi tempat ini, dan
tenaga dalam tubuh kita tidak ada setengahnya lagi. Betapa
kita akan dapat melawan cengkeraman maut" Akan tetapi
kita tidak akan mati seperti tikus yang dikatakan si jahanam
keparat Sindupati tadi. Kita akan mati dengan tenang dan
tak kenal takut, bukan, Joko Wandiro?"
"Hemmm, kalau air naik sampai memenuhi sumur, kita
dapat berenang ke atas dan berusaha lolos dengan
perlawanan. Setidaknya kita harus dapat membunuh si
keparat Sindupati!" kata TejolakSono.
Akan tetapi, pada saat itu seakan-akan sebagal jawaban
pernyataannya, dari atas menyambar turun banyak sekall
anak panah! Terpaksa Tejolaksono dan Endang Patibroto
mundur sampai terlindung, tidak tepat di bawah lubang
sumur yang lebih sempit. "Tiada gunanya, Joko Wandiro. Lebih baik kita mati
tenggelam daripada dikeroyok anak panah dari atas.
Marilah pegang erat-erat dan kita berpegang batu karang di
sini sampai mati!" Endang Patibroto memeluk pinggang Tejolaksono dan
mendekapkan muka di dada pria yang dikasihinya ini.
Mereka berdekapan, sementara air makin naik sampai di
atas lutut. Dari atas lubang terdengar gema suara ketawa
dan anak panah kadang-kadang menyambar turun seperti
hujan. Agaknya Sindupati dan kawan-kawannya sudah
menjaga kalau-kalau dua orang korban di bawah itu hendak
naik melalui air. Bencana kematian sudah membayang di
depan mata, agaknya mereka berdua tidak akan dapat lolos
lagi! Dengan mulut tersenyum Endang Patibroto membenamkan muka di dada Tejolaksono dan ia menutup
seluruh panca indranya, dicurahkan kepada detak jantung
di dada kekasihnya. Ia hendak mati dengan detak jantung
ini memenuhi semua perasaan dan pikirannya, tidak mau
memikirkan hal lain lagi, tidak merasa betapa air kini tidak
lagi naik, malah turun sampai ke bawah lutut!
"Eh............ airnya menurun............ !!" Tejolaksono
berseru girang dan juga heran. Air dari atas masih terus
memancur, akan tetapi mengapa air di kaki kini tidak
menaik malah menurun"
Karena merasa betapa Tejolaksono melepaskan pelukannya karena pria ini sekarang memandang ke
sekeliling penuh selidik, Endang Patibroto sadar dan
membuka mata. Kebetulan sekali ia menghadap pada
dinding yang berlapis besi dan dengan mata terbelalak ia
melihat din-ding itu bergerak-gerak!
"Dinding itu bergerak............ !!" Iapun berteriak kaget
dan heran. Tejolaksono cepat memutar tubuh menengok dan benar
saja, perlahan akan tetapi pasti dinding besi itu bergerak dan
membuka lubang yang kini sudah kurang lebih setengah
meter lebarnya! Dan air menerobos cepat sekali melalui
lubang itu! "Endang, lekas, melalui lubang itu...... ....!!" Tejolaksono
menarik tangan Endang Patibroto dan mereka cepat
menyelinap memasuki celah dinding yang terbuka itu.
Mereka harus mengerahkan seluruh sisa tenaga mereka
karena arus air yang menyerbu keluar amat kuatnya
sehingga mereka yang sudah lemah itu menjadi terhuyung-
huyung ke depan. Namun dengan bergandeng tangan,
mereka dapat menahan arus air. Karena air yang membobol
keluar mendapat jalan lebih cepat dan lebih besar daripada
air yang memancur dari atas, maka sebentar saja air
mengecil dan dua orang itu lalu meraba-raba dan terhuyung
maju melalui terowongan tanah yang amat gelap.
"Ke mana kita............ ?" Endang Patibroto bertanya,
suaranya gemetar penuh ketegangan. Hal ini amat tidak
disangka-sangkanya sehingga menimbulkan ketegangan
hati.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan Adipati Tejolaksono yang biasanya tenang
itupun kini tampak tegang dan gugup. Diapun tadinya
sudah yakin akan tewas di tempat itu dan hal ini benar amat
ajaib baginya. "Entahlah, setidaknya tentu ada jalan keluar dan kita
tidak mati di dasar sumur!"
"Tapi............ tapi............ siapa yang membuka dinding
itu?" "Siapa tahu, nimas" Tentu Dewata yang menolong kita
".." "Jangan-jangan jebakan mereka untuk menyiksa kita
lebih hebat lagi............
"Tidak perduli, setidaknya setiap kesempatan harus kita
pergunakan. Lebih baik mati dalam perlawanan daripada
mati konyol di dalam sumur. Mari, nimas, jangan lepaskan
tanganku, begini gelap?"."
Mereka berjalan terus terhuyung-huyung dan meraba-
raba ke depan. Air dari belakang masih terus mengalir dan
suara air mancur menimpa dasar terdengar jelas sekali.
Akan tetapi aliran air tidaklah kuat lagi, hanya setinggi
mata kaki. "Aihhh, apa ini............ ?""
Tejolaksono yang berjalan di depan tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kakinya tadi menyentuh benda
lunak hangat. Mereka berdua siap sedia menghadapi segala
kemungkinan. "Aduhhh............ ............ Rintihan di bawah mereka itu
lemah dan jelas adalah suara seorang wanita. Mendengar
ini, Endang Patibroto cepat berjongkok dan tangannya
meraba ke depan. Memang seorang wanita yang rebah di
situ, merintih-rintih kini, suaranya lirih dan napasnya
terengah-engah. Ketika Endang Patibroto meraba terus, ia
mendapat kenyataan bahwa wanita itu menderita luka
parah di bagian kepalanya, seperti bekas dipukul atau
terbanting pada benda keras.
Ia merangkul pundak wanita itu yang ia dudukkan, lalu
bertanya, "Engkau siapakah?"
"Endang Patibroto............ aku............ aku isteri
Sindupati?"?" Teringatlah Endang Patibroto akan seorang wanita yang
masIh amat muda, baru lima belas tahun usianya, puteri
selir Sang Adipati Menak Linggo yang dihadiahkan sebagai
selir Sindupati. Pernah ia beberapa kali bertemu dengan
wanita ini di dalam gedung Sindupati.
"Ahh............ kau....... Dew! Umirah....
"Betul, Endang Patibroto, aku ..... aku............ aduhh............ " "Mengapa kau berada di sini" Kaukah yang membuka
dinding besi?" "Memang aku yang membuka....... tempat ini merupakan
tempat rahasia...... peninggalan jaman dahulu............
hanya R?manda Adipati dan para puteranya yang tahu
akan rahasianya............ aku............ aku............ ah, tidak
sangka air itu amat deras, arusnya menyeret aku............
terbanting pada batu-batu............ aduuuhhh............ "
Terharu hati Tejolaksono. Kiranya Hyang Widhi telah
mengirim pertolongan melalui puteri Sang Adipati
Blambangan sendiri. Hal yang amat luar biasa sekali. Juga
Endang Patibroto menjadi terheran-heran.
"Dewi Umirah, kenapa engkau menolong kami?"
Napas wanita muda itu makin terengah-engah dan susah
payah sekali ia memaksa diri bicara, "............ Sindupati...... dia terlalu menyakitkan hatiku............ ,
Endang Patibroto, berjanjilah............ kau balas pertolonganku dan............ kau............ bunuhlah
Sindupati untukku !" Suaranya tersendat-sendat dan hanya
di kerongkongan. Payah sekali agaknya keadaan wanita
muda ini, kepalanya yang terluka parah mengeluarkan
banyak darah. Endang Patibroto menggigit bibir karena gemas.
Sindupati memang jahanam besar dan tidak mengherankan
kalau wanita muda yang dihadiahkan menjadi selirnya ini
mendendam sakit hati. "Legakan hatimu, Dewi Umirah. Aku bersumpah untuk
membunuh si jahanam keparat Sindupatil" katanya geram-.
"........... terima kasih............ tidak sia-sia aku
mengorbankan diri............ menolongmu ...... Rama,
maafkan hamba ..... " napasnya makin sesak.
"Katakanlah di mana jalan untuk keluar............ !"
Tejolaksono berkata di dekat telinga wanita yang sudah
sekarat itu. "Terus saja............ melalui terowongan yang amat
jauh............ , jangan belok............ akan tiba di hutan
............ lubang tertutup batu............ di guha............ "
Terhenti kata-kata Dewi Umirah bersamaan dengan
terhentinya napas dan darahnya.
"Dia mati............ " kata Endang Padbroto. "Kasihan dia
telah menolong kita ?""
"Hyang Widhi yang menggerakkan dia. Mari, Endang!"
Tejolaksono bangkit dan menarik tangan Endang Patibroto.
Mereka terpaksa meninggalkan jenazah penolong mereka
itu dan terus berjalan sambil meraba-raba melalui
terowongan yang gelap dan panjang, terowongan yang
makln lama makin sempit sehingga tak dapat bagi mereka
berjalan berdampingan lagi. Endang Patibroto berjalan di
belakang Tejolaksono, namun tangan mereka masih saling
berpegangan, tak pernah tangan mereka terpisah semenjak
berada di dalam sumur. Lebih dari satu jam mereka berjalan dan akhirnya,
setelah jalan terowongan itu melalui banyak jalan
simpangan yang menanjak, mereka tiba di dalam sebuah
guha yang tertutup batu besar. Agaknya jalan-jalan
simpangan tadi adalah jalan yang menjadi jalan rahasia
yang menembus istana dan tempat-tempat rahasia di kota
raja Blambangan. Setelah mengintai dari celah-celah batu penutup guha,
Endang Patibroto dan Tejolaksono lalu mendorong batu
penutup ke pinggir, kemudian mereka melompat keluar.
Kiranya mereka telah berada di dalam sebuah hutan yang
lebat dan liar! Tak tampak seorangpun manusia di situ.
"Mari kita lari, Endang. Ke barat!" kata Tejolaksono.
Matahari telah naik tinggi dan mulai condong ke barat.
Agaknya waktu itu sudah lewat tengah hari. Akan tetapi
Endang Patibroto menahan tangannya yang ditarik.
"Tidak, aku mau kembali ke Blambangan!" katanya,
suaranya keras dan tegas. "Eh, mau apa?"
"Membunuh si keparat Sindupati dan sebanyak mungkin
orang Blambangan, apa lagi?"
Melihat wajah itu membayangkan kemarahan, Tejolaksono lalu merangkul pundaknya. "Aihh, Endang,
belum waktunya sekarang! Keadaan kita amat lemah,, dan
mereka itu amat banyak. Betapa mungkin kita melawan
orang senegara" Kita harus menyelamatkan diri, ini yang
terpenting. Kelak kita akan membawa pasukan Jenggala
dan Panjalu, menggempur Blambangan dan itulah saatnya
kita membunuh si jahat itu!"
Endang Patibroto tetap saja kelihatan ragu-ragu dan kini
ia memandang wajah Tejolaksono dengan sinar mata penuh
selidik. "Joko Wandiro............ !" dan tiba-tiba saja Endang
Patibroto menangis sesenggukan!
"Eh-eh....... mengapa pula ini" Endang Patibroto,
kekasihku, jiwa hatiku, kenapa kau menangis" Bukankah
semestinya kita harus bergirang dan berbahagia bahwa
Hyang Widhi masih melindungi kita dan menyelamatkan
kita daripada ancaman bahaya maut?"
Endang Patibroto terisak-isak. "Joko Wandiro,............
aku ingin mati bersamamu............ !"
Tejolaksono tersenyum, lalu dipegangnya muka Endang
Patibroto dengan kedua telapak tangannya, dipaksanya
muka itu tengadah dan menentang mukanya agar mereka
dapat berpandangan. "Bocah bodoh kau............ Tidak
senangkah engkau menjadi isteriku" Tidak cintakah kau
kepadaku?" Endang Patibroto yang mukanya dihimpit kedua tangan
itu hanya bergerak mengangguk. Tejolaksono lalu
menciumi muka yang penuh air mata itu, menghapus air
mata dengan kecupan bibirnya. "Nah, kalau begitu,
hentikan tangismu. Bukahkah anugerah yang membahagiakan sekali kalau kita masih hidup, masih
mendapat kesempatan untuk lebih lagi menikmati hidup
dan cinta kasih kita" Bocah bodoh, pujaan hati, kalau aku
girang dan bahagia, mengapa kau menangis?"
"Aku............ aku............ tadinya mengira kita akan
mati............ , kalau tahu akan dapat lolos............ ah,
betapa aku dapat membuka rahasia hatiku............ Betapa
memalukan....... betapa hina aku...... "
"Ehhh, memang kau wanita aneh. Wanita aneh dan
hebat, tiada keduanya di dunia ini. Ha-ha-ha!" Tejolaksono
mencium bibir yang hendak banyak membantah lagi itu
kemudian memondongnya dan membawanya lari cepat ke
barat. Tubuhnya amat lelah, tenaganya hampir habis, akan
tetapi kebahagiaannya karena dapat lobos dari kematian itu
seakan-akan mendatangkan tenaga baru kepadanya. Ia
berlari terus keluar hutan masuk hutan sampai matahari
tenggelam, cuaca menjadi gelap dan ia kehabisan tenaga
lalu roboh terguling di dalam hutan. Pingsan!
Kini Endang Patibroto yang menjadi bingung dan gelisah
setengah mati melihat Tejolaksono rebah tak berkutik.
Dipeluk dan dipanggil-panggil namanya, ditangisi! Akan
tetapi, barulah ia sadar akan kelakuannya yang seperti gila
itu ketika ia mendapat kenyataan bahwa Tejolaksono hanya
pingsan karena lelah. Ia menjadi geli dan tertawa sendiri.
Endang Patibroto, menangis dan bingung melihat Joko
Wandiro yang hanya pingsan biasa. Takut kalau-kalau
mati! Padahal tadinya mengajak mati bersama! Ah, benar-
benar cinta kasih yang menggelora membuat orang menjadi
bodoh dan lucu. Di mana lagi perginya kegagahperkasaannya"
Dia seorang wanita sakti mandraguna. Namun tadi bersikap sebagai seorang wanita
lemah yang menangis takut ditinggal mati suaminyal
Ketika Tejolaksono sadar dari pingsannya, ia telah rebah
telentang di dekat api unggun yang hangat. Kepalanya
berbantal paha Endang Patibroto yang membelai rambutnya dengan jari-jari tangan penuh kasih sayang.
Begitu ia membuka mata, Endang Patibroto mencium
matanya dan berbisik, "Kakanda............ , makanlah pisang ini, kupetik tadi
dari dalam hutan di sana...."
Tejolaksono membelalakkan mata, lalu bangkit dan
duduk. "Kakanda............ ?" Ia bertanya, mengulang
sebutan itu. Endang Patibroto menundukkan mukanya dan............
aneh bukan main bagi Tejolaksono melihat betapa wajah
wanita sakti ini menjadi kemalu-maluan seperti seorang
dara diajak kawin! Di bawah sinar api yang kemerahan,
wajah itu tampak amat jelita menggairahkan. Rambut itu
tidak kusut lagi, agaknya tadi Endang Patibroto sudah
sempat membereskan rambutnya, pakaian mereka tidak
basah lagi karena terpanggang dekat api unggun.
"Kita............ kini akan hidup terus........ lain lagi halnya
dengan ketika di dalam sumur maut............ , kini kita akan
hidup di dunia ramai............ tentu saja tidak pantas bagi
seorang isteri menyebut suaminya dengan nama kecilnya
saja............ !!"
Adipati Tejolaksono tertawa bergelak, lalu merangkul.
Luar biasa sekall wanita ini. Wataknya amat aneh akan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi segalanya menyenangkan hatinyal Endang Patibroto
menggunakan kedua tangan mendorong dadanya dengan
gerakan halus. "Hiss............ kau makanlah dulu agar jangan mati
kelaparan!" katanya tersenyum.
Koko Wandiro kembali tertawa, lalu mengambil pisang
yang besar-besar dan matang kemudian dikupas kulitnya.
"Nih, kau makanlah." ia menawarkan, karena tanpa
bertanya ia tahu bahwa Endang Patibroto juga belum
makan. Pisang itu masih dua sisir.
Endang Patibroto menerima pisang dan makanlah
mereka. Perut yang sudah empat hari tidak diisi itu
menerima pisang yang lembut dan terasa agak tidak enak
pada permulaannya. Akan tetapi lama-lama mendatangkan
rasa lega dan memulihkan tenaga sehingga tubuh mereka
tidak lemas lagi. "Endang, kenapa kau tadi tidak makan dulu pisang ini?"
"Bagaimanakah aku boleh makan dulu, Kakangmas
Tejolaksono" Seorang isteri harus selalu melayani suami
lebih dulu." "Aduh, isteriku yang tersayang............ !" Tejolaksono
menarik lengan Endang Patibroto, mendudukkannya di atas
pangkuannya dan bagtikan. sepasang pengantin baru,
mereka saling menyuapi pisang sambil bercumbuan!
"Kakanda," kata Endang Patibroto kemudian jauh lewat
tengah malam ketika tubuh mereka yang kelelahan itu
beristirahat, rebah di atas rumput yang lunak dan dekat api
unggun yang hangat, kepala Endang Patibroto berbantal
dada'uaminya, "bagaimanakah nanti kalau isterimu yang di
Selopenangkep marah mengetahui bahwa aku telah menjadi
isterimu?" "Ayu Candra" Ah, tidak, nimas. Dia tidaklah demikian
sempit pendapat. Apa-lagi kalau sudah kujelaskan akan
semua pengalaman kita. Dia akan menyambutmu sebagai
saudara madu yang baik dan aku percaya kalian akan dapat
hidup rukun seperti ibumu, bibi Kartikosari dan bibi Roro
Luhita." Endang Patibroto menarik napas panjang. "Aku
khawatir............ kalau-kalau ibu akan marah kepadaku............ ah, kalau aku ingat betapa dahulu aku
menyakitkan hati ibu, dan Ayu Candra............ betapa aku
dahulu ingin membunuhnya............ "
"Hushhh............ urusan yang lalu tak perlu dipikirkan
lagi. Aku yang akan mengatur segalanya, tak perlu kau
khawatir, nimas." "Aku tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi kalau teringat
bahwa engkau berada di sampingku, Kakangmas Adipati.
Asal engkau mencintaku, aku............ aku sanggup
menghadapi kesengsaraan yang bagaima-- napun juga............ " Akhirnya kedua orang yang amat lelah itu tertidur pulas
dan pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi,
baru mereka bangun, kemudian mereka melanjutkan
perjalanan menuju ke Jenggala. Perjalanan mereka
merupakan perjalanan penuh kegembiraan dan kebahagiaan, penuh dengan cinta kasih mesra.
-o0dw0o- Munculnya Endang Patibroto di Jenggala tentu akan
menimbulkan geger hebat kalau saja tidak bersama Adipati
Tejolaksono. Melihat wanita sakti yang dianggap memberontak ini muncul disamping Adipati Tejolaksono,
para perwira dan ponggawa Jenggala menjadi terheran-
heran. Lebih besar lagi keheranan dan kebingungan mereka
ketika Adipati Tejolaksono membawa Endang Patibroto
menghadap sang prabu. Barulah mereka tercengang ketika
mendengar pelaporan Adipati Tejolaksono tentang semua
penistiwa yang telah terjadi, tentang siasat adu domba yang
dilakukan oleh pihak Blambangan. Bukan main besarnya
penyesalan mereka ketika mendapat kenyataan bahwa
Endang Patibroto sama sekali bukanlah seorang pemberontak, bahkan wanita sakti inilah yang telah
menumpas Wiku Kalawisesa yang melakukan semua
pembunuhan gelap dan keji itu! Endang Patibroto bukan
seorang yang berdosa terhadap Jenggala dan Panjalu,
bahkan sebaliknya menjadi seorang yang amat berjasa! Dan
untuk semua jasanya itu, Pangeran Panjirawit, suaminya,
ditangkap bahkan mengorbankan nyawanya terkena anak
panah ketika dikeroyok! Yang paling menyesal dan berduka adalah Sang Prabu
Jenggala sendiri. Raja yang sudah mulai tua itu sampai
berlinang air mata mendengar semua itu. Panjirawit adalah
puteranya dan dia sendiri yang membunuh puteranya
melalui tangan para perajuritnya ketika mereka ini
mengeroyok Endang Patibroto! Karena menyesal dan
berduka, sang prabu menjadi marah sekali kepada
Blambangan dan setelah menerima pelaporan Adipati
Tejolaksono dan Endang Patibroto, seketika itu juga Sang
Prabu di Jenggala mengumumkan perang terhadap
Blambangan, memerintahkan barisan besar untuk menggempur Blambangan dan menyerahkan pimpinan
pasukan kepada Endang Patibroto sendiri!
Adapun Adipati Tejolaksono, sebagai seorang ponggawa
Panjalu, lalu berpisah dari Endang Patibroto yang terpaksa
harus mempersiapkan pasukan-pasukan Jenggala, untuk
menghadap sang prabu di Panjalu menyampaikan laporan.
"Adinda, untuk sementara kita harus berpisah. Engkau
laksanakanlah perintah . Sang Prabu dan persiapkan
pasukan yang kuat. Aku akan melaporkan ke Panjalu, dan
tidak lama aku tentu akan memimpin pasukan Panjalu
untuk menggabung dan kita berdua akan kembali ke
Blambangan membawa pasukan kuat dan mengancurkan
Blambangan." Endang Patibroto mengangguk. Betapapun besarnya
cinta kasihnya kepada Adipati Tejolaksono dan betapapun
inginnya tidak berpisah lagi dari suaminya ini, namun
sebagai seorang perkasa ia mengenal kewajiban. Sudah
pulih kembali kegagahannya, sudah bangkit lagi jiwa
ksatrianya. "Baiklah, kakanda. Akan tetapi jangan terlalu
lama Kakanda ke Panjalu. Saya menanti dan kita bersama
akan pergi menggempur Blambangan."
Adipati Tejolaksono lalu meninggalkan Jenggala sedangkan Endang Patibroto mulai mempersiapkan dan
melatih pasukan sambil membuat rencana dengan para
senopati yang akan ikut menggempur Blambangan. Para
senopati yang kini sudah tahu akan duduknya perkara, dan
sudah mengenal kesaktian wanita ini, semua tunduk dan
taat akan perintahnya. Juga sang priibu di Panjalu bersama para senopati
tercengang mendengar laporan yang disampaikan Adipati
Tejolaksono. Sungguh tidak mereka duga bahwa Blambanganlah yang menjadi biang keladi semua peristiwa
itu. Pangeran Darmokusumo tidak menyesal mendengar
betapa Endang Patibroto menyerbunya karena dihasut oleh
Wiku Kalawisesa, bahkan ia menjadi marah sekali kepada
Blambangan. Seketika itu juga Pangeran Darmokusumo
mohon kepada sang prabu untuk memimpin barisan
Panjalu menggempur Blambangan!
"Biarlah hamba menggabungkan barisan Panjalu dengan
barisan Jenggala yang dipimpin yayi Endang Patibroto,
Kanjeng Rama. Hamba harus membalas kematian Adimas
Pangeran Panjirawit! Juga kematian para ponggawa harus
dibalas!" "Hamba juga siap untuk membantu dalam perang
melawan Blambangan!" kata pula Adipati Tejolaksono
penuh semangat. "Seyogianya memang andika yang paling tepat
memimpin barisan menjadi senopati perang, Kakang
Adipati," kata Pangeran Darmokusumo. "Akan tetapi ..... "
Pangeran ini menghentikan kata-katanya dan memandang
kepada ramandanya. Adipati Tejolaksono dapat menangkap pandang mata
ini. Hatinya merasa tidak enak sekali dan ia cepat bertanya,
"Ada apakah, Gusti Pangeran" Apakah yang terjadi?"
Sang prabu mendehem beberapa kali, lalu menarik napas
panjang. "Adlpatiku yang baik! Kami khawatir bahwa
engkau tak mungkin ikut menggempur Blambangan dan
harus cepat kembali ke Selopenangkep. Ketahullah bahwa
seperglmu dari sana, Selopenangkep telah diserbu oleh
pasukan-pasukan dari barat yang kabarnya adalah
gabungan dari para pemberontak Bagelen dan kerajaan-
kerajaan kecil di Lembah Serayu yang dipimpin oleh Gagak
Dwipa. Kami telah mengirim pasukan bantuan ke
Selopenangkep dan perang di daerah itu masih belum dapat
dipadamkan. Karena itu,. engkau harus cepat pergi ke sana
untuk menanggulangi musuh dari barat itu!"
Di dalam hatinya, sang adipati kaget bukan main,
namun wajahnya yang tampan tidak menampakkan
perasaan hatinya ini. Teringat ia akan ucapan kakek tua
renta yang memperingatkannya di dalam hutan. Kakek
pemelihara macan putlh itu telah Memperingatkan bahwa
ia akan segera meninggalkan Selopenangkep, dan telah
membayangkan bahwa akan datang malapetaka sebagai
hukumannya atas kedosaannya membunuh anak harimau
yang tak bersalah apa-apa.
"Hamba menerima titah paduka, Gusti. Hamba akan
segera kembali ke Selopenangkep. Hanya karena hamba
tadinya telah berjanji dengan yayi Endang Patibroto untuk
bersama-sama menggempur Biambangan, maka hamba
mohon kepada Gusti Pangeran Darmokusumo untuk
menyampaikan halangan ini kepada Yayi Dewi Endang
Patibroto." "Baiklah, Kakang Adipati Tejolaksono," jawab Pangeran
Darmokusumo. Setelah bermohon diri, berangkatlah Adipati Tejolaksono
menuju pulang ke Selopenangkep. Ia menunggang sebuah
kuda besar yang kuat karena kuda tunggangannya sendiri
yang dibawanya ketika melakukan pengejaran ke Blambangan, masih ia titipkan pada seorang dusun dan
ketika ia melarikan diri bersama Endang Patibroto melalui
terowongan, tak dapat ia mengambilnya kembali. Kuda
tunggangannya inipun bukan kuda sembarangan karena
kuda ini pemberian Sang Prabu Panjalu sendiri.
Tejolaksono melakukan perjalanan siang malam dengan
cepat. Hatinya mulai gelisah sekali. Ia memang percaya
penuh kepada isterinya yang bukan orang lemah, apalagi di
sana terdapat kedua orang bibinya, Kartikosari dan Roro
Luhito yang sukar dicari tandingannya, di samping para
pengawalnya yang pilihan dan terlatih pula. Ia tidak akan
merasa gelisah kalau Selopenangkep hanya menghadapi
serangan gerombolan-gerombolan liar. Akan tetapi kali ini
yang menyerang adalah pasukan-pasukan besar yang
dipimpin oleh Gagak Dwipa! Dan ia sudah cukup
mendengar tentang kekuatan pasukan-pasukan Bagelen dan
Lembah Serayu! Tahu pula akan kesaktian dan kekejaman
Lima Gagak Serayu! Ia sudah mendengar betapa Lima
Gagak Serayu ini sudah bertahun-tahun merajalela di
sepanjang Lembah Serayu. Akan tetapi oleh karena mereka
itu tidak pernah mengganggu wilayah Selopenangkep, ia
membiarkannya saja. Kini mendengar mereka itu menyerbu
Selopenangkep dengan pasukan besar yang digabungkan
dengan pasukan Bagelen, inilah hebat dan berbahaya!
Lebih tidak enak lagi hatinya ketika ia sudah tiba di
wilayah Selopenangkep sebelah timur, la melihat banyak
penduduk dusun yang pergi mengungsi ke timur. Mereka
ini tidak mengenal adipati mereka yang ketika ditanya
mereka mengatakan bahwa pasukan-pasukan Bagelen dan
Lembah Serayu membakari dusun-dusun di sebelah barat,
membunuh dan merampok, memperkosa wanita-wanita
muda dan bahwa Selopenangkep setiap hari sudah diserbu
oleh para pengacau! "Selopenangkep tidak akan dapat bertahan lama!"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikian penuturan seorang di antara mereka. "Dan lebih
baik kamu mengungsi lebih dulu sebelum para perampok
itu datang menyerbu ke dusun kami."
Sakit hati Adipati Tejolaksono mendengar ini. "Si
keparat Lima Gagak Serayu! Berani engkau mengganggu
rakyatku selama aku tidak berada di Selopenangkep!" geram
hatinya dan ia melanjutkan perjalanannya dengan cepat.
Kurang lebih sepuluh pal lagi jauhnya dari kota kadipaten,
dari jauh ia mendengar ribut-ribut di dalam dusun di depan,
bahkan tampak asap mengepul tinggi.
Mereka telah berani merampoki dusun-dusun di
sekeliling Selopenangkep yang hanya sepuluh pal jauhnya!
Tejolaksono membalapkan kudanya yang sudah lelah itu
masuk ke dusun dan amarahnya berkobar-kobar ketika ia
melihat banyak sekali perampok tinggi besar sedang
mengamuk di dusun. Para penduduk lari cerai berai dan
mayat berserakan. Empat buah rumah sudah terbakar. Jerit
lengking wanita terdengar di sana-sini. Dan di tengah-
tengah dusun terjadi perang tanding mati-matian antara tiga
puluh orang lebih perajurit Panjalu melawan perampok.
Akan tetapi tidak seimbang perang itu. Pihak perampok ada
seratus orang lebih dan pihak perajurit sudah terdesak
hebat! "Bedebah!" seru Tejolaksono dan pada saat itu terdengar
jerit mengerikan keluar dari sebuah rumah terdekat.
Tejolaksono melompat turun dan atas kudanya. Jerit itu
adalah jerit wanita, maka ia harus mendahulukan untuk
menolongnya. Sekali tendang, daun pintu ambrol dan
tubuhnya melesat ke dalam dengan penuh kemarahan.
Tangannya menyambar dan terangkatlah tubuh tinggi besar
itu seperti seekor anak ayam disambar elang. Di lain saat
tubuh Tejolaksono sudah berada di luar rumah dan sekali ia
membanting, tubuh orang tinggi besar - itu sudah ia
banting. Orang itu menjerit satu kali dan tak bergerak lagi
karena kepalanya pecah dan tulang-tulang iganya berantakan! Wanita di dalam jatuh pingsan dengan pakaian
robek-robek! Adipati Tejolaksono yang sudah menjadi marah laksana
seekor harimau kelaparan mencium darah, kini berlari ke
depan. Ia menyelinap ke kanan ketika mendengar pekik
wanita yang meronta-ronta dan dipanggul di atas pundak
seorang perampok yang tertawa-tawa.
Wanita ini masih muda, rambutnya awut-awutan,
pakaiannya robek-robek hampir telanjang. Ia meronta dan
menjerit minta dilepaskan.
Tiba-tiba tubuh wanita itu terlepas karena sekali pundak
perampok itu tercium jari tangan Tejolaksono, seketika
tangannya lumpuh. Wanita itu terjatuh lalu melarikan diri.
Si perampok memandang ganas kepada Tejolaksono, akan
tetapi sebelum ia sempat bergerak, kaki Tejolaksono
menyambar ke depan, mengenai pusatnya dan............
perampok itu terlempar sampai lima meter dan roboh
dengan mata mendelik dan napas putus karena isi perutnya
sudah hancur lebur di balik kulit perut yang menjadi biru
menghitam! Kini mengamuklah Adipati Tejolaksono. Biarpun ia
menggunakan tangan kosong, namun ketika ia menyerbu ke
dalam pertempuran, mawutlah pihak perampok. Siapa saja
pihak perampok yang kena digerayang tangannya yang
penuh dengan Aji Pethit Nogo, tentu terpelanting dengan
kepala pecah, tidak usah dipukul sampai dua kali! Para
perajurit Panjalu menjadi besar hati melihat ini, apalagi
ketika mereka mengenal siapa jagoan Sakti yang membantu
mereka Ini. "Sang Adipati telah tiba............ !"
"Gusti Adipati Tejolaksono telah pulang?"!"
"Hidup Gusti Adipati.,.....!!"
Adipati Tejolaksono yang sudah marah sekali berkelebat
maju dan sekali bergerak, tiga orang perampok terpelanting
tak bernyawa lagi terkena pukulan kedua tangan dan
disusul sebuah tendangannya! Kini Tejolaksono melihat
pemimpin perampok yang bermuka hitam bermata besar.
Pemimpin ini memegang sebatang golok besar yang sudah
berlepotan darah. Pemimpin perampok inilah yang sudah
menjatuhkan banyak korban di antara para perajurit dan
penduduk dusun karena memang ia kuat sekali. Meluap
kemarahan Adipati Tejolaksono. la melompat jauh dan
tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan si kepala rampok.
"Setan keparat!!" Tejolaksono memaki.
Perampok bermuka hitam itu tadl sedang enak
membabati musuh maka tidak melihat sepak terjang
Tejolaksono yang menggiriskan hati. Kini ia tertawa, "Ha-
ha-hal Babo-babo, siapa lagi ini yang ingin mampus?"
Goloknya membabat dari kanan ke kiri, mengarah leher
Adipati Tejolaksono. Ia sudah tertawa-tawa membayangkan betapa leher itu akan putus dan muka yang
tampan itu akan menggelinding bersama kepalanya seperti
korban-korbanya yang lain karena goloknya menyambar
amat cepatnya dan kelihatannya takkan dapat dihindarkan
lawan. "Singgg............ " Ia terbelalak karena tahu-tahu
goloknya mengenai angin ketika orang yang diserangnya itu
menunduk. Goloknya lewat tidak ada sejengkal dari kepala
orang itu dan tahu-tahu eritah bagaimana ia tidak tahu,
orang itu sudah menyentuh siku kanannya dan goloknya
terlepas dari pegangan karena tiba-tiba lengannya lumpuh.
Golok itu sebelum tiba di tanah, telah disambar oleh
Tejolaksono sehingga kini golok berpindah tangan! Kepala
rampok itu marah sekali, menggunakan tangan kirinya
memukul, pukulan dengan kepalan tangan sebesar buah
kelapa! Tejolaksono mengangkat tangan kirl menangkis. "Krakkkk!!" Orang itu berteriak kesakitan karena tulang
lengannya patah! la terbelalak, kini baru merasa ............
jerih! "Siapa............ siapa engkau?" tanyanya gagap.
"Adipati Tejolaksono namakul"
"Aahhhhh............ !" Kepala rampok bermuka hitam itu
berteriak kaget akan tetapi pada saat itu juga, kepalanya
sudah mencelat ketika lehernya terbabat putus oleh
goloknya sendiri! Para perajurit Panjalu bersorak gembira, sebaliknya para
perampok menjadi panik dan ketakutan. Karena mereka ini sudah kacau-balau, enak saja Adlpati Tejolaksono dan para perajurit membabati mereka sehingga banyak sekall anak buah perampok roboh binasa. Yang lain- lain segera lari pontang-panting menyelamatkan diri. Adipati Tejolaksono mematah-matahkan golok rampasannya dengan kedua
tangan menjadi tujuh potong. Kemudian kedua tangannya
itu digerakkan ke depan dan "cet-cet-cet-cet-cet-cet-cet!!"
tujuh sinar meluncur ke depan dan robohlah tujuh orang
perampok yang betusaha lari karena punggung mereka telah
dimasuki potongan-potongan golok itu. Bahkan yang
menyisip tulang sampai tembus keluar dari dada. Para
perajurit bersorak-sorak dan mengejar para perampok yang
makin ketakutan. Hanya belasan orang perampok saja yang
berhasil melarikan diri dan dusun itu kini penuh dengan
tumpukan mayat para perampok!
Setelah memberi pesan kepada para sisa perajurit agar
melakukan penjagaan di daerah itu, Adipati Tejolaksono
lalu melompat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda itu terus ke barat, menuju Kadipaten
Selopenangkep yang sudah tak jauh lagi letaknya. Hatinya
makin gelisah karena dari para perajurititu ia mendengar
bahwa kadipaten sudah beberapa kali diserbu pasukan
perampok yang amat kuat. Hari telah menjadi senja ketika ia memasuki kota
kadipaten yang kelihatan sunyi, namun penuh dengan para
pengawal yang melakukan penjagaan. Para perwira
pengawal menyambut kedatangannya dengan wajah
gembira, namun dengan pandang mata duka. Adipati
Tejolaksono tidak mau membuang banyak waktu lagi, terus
membalapkan kuda memasuki kota, menuju ke gedung
kadipaten. Ia merasa betapa semua pandang mata para
pengawal kepadanya mengandung iba dan duka, maka
hatinya berdebar tidak enak ketika ia melompat turun dari
kuda, menyerahkan kuda kepada seorang pengawal,
kemudian ia meloncat dan lari memasuki gedungnya.
"Gusti Adipati tiba ?"..!!"
"Gusti Adipati pulang............ , kita tertolong............ I!"
Teriakan-teriakan ini menggema di seluruh kadipaten,
bahkan masuk ke dalam gedung kadipaten sebelum Adipati
Tejolaksono sampai ke ruangan dalam. Maka baru saja ia
melewati pendopo, ia disambut Ayu Candra yang
menjatuhkan diri berlutut, merangkul kakinya dan
menangis! Di belakang Ayu Candra yang berpakaian
perang, ringkas dan dalam keadaan siap, menyambut pula
Setyaningsih dan Pusporini, dua orang gadis cilik yang juga
menangis. Jilid IX BAHKAN dua orang gadis cilik inipun berpakaian
ringkas, pakaian untuk bertanding dan di pinggang mereka
yang kecil tampak gagang keris!
Dapat dibayangkan betapa gelisah dan kaget hati
Tejolaksono menyaksikan penyambutan isterinya ini. Cepat
ia membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan
menariknya bangun sambil berkata,
"Tenangkanlah hatimu, yayi, dan ceritakan apa yang
terjadi di sini." Ayu Candra masih terisak-isak ketika ia dituntun
suaminya memasuki ruangan dalam dan diajak duduk di
situ. Setyaningsih dan Pusporini tidak berani --ikuf masuk
dan segera mengundurkan diri.
"Aduh, Kakangmas.......... malapetaka telah menimpa
keluarga kita selama Kanda pergi.......... " Ayu Candra
kembali menangis. ".......... Bagus Seta.......... bibi
Kartikosari dan bibi Roro Luhito.......... " Adipatl
Tejolaksono merasa seakan-akan jantungnya berhenti
berdetik. Punggung dan tengkuknya terasa dingin sekali.
Kemball ia meraih isterinya dan bertanya, suaranya
gemetar, "Ada apa dengan mereka" Mana Bagus Seto.......... ?"
".......... serangan pertama.......... sebulan yang
lalu.......... di malam hari terjadi tlba-tiba. Keadaan menjadi
kacau dan......dan anak kIta itu hilang.......... "
"Apa......." Tertawan oleh Lima Gagak Serayu?""
Pertanyaan ini mengandung kemarahan besar terhadap
pimpinan para penyerbu itu.
"Mudah-mudahan tidak begitu, Kakangmas AdIpati.
Mereka itu amat keji dan kejam! Ada di antara para
pengawal kita yang melihat bahwa pada malam terjadinya
penyerbuan itu ada seekor harimau putih yang besar sekali
larikeluar dari taman sari dan.......... dan Bagus Seta
menunggang di punggungnya ..... "
"Aahhhh.......... harimau putih.......... " Ki Tunggaljiwa.......... ?"
"Mudah-mudahan begitulah seperti yang diperkirakan
pula oleh mendiang ...... bibi Kartikosari.......... "
"Haaaa.......... ?"?" Kini Adipati Tejolaksono benar-benar
terkejut, sampai pucat mukanya. "Mendiang.......... ?"
Ayu Candra terisak-isak dan berkata tersendat-sendat,
"Tiga hari berikutnya"...... dalam perlawanan terhadap
para musuh yang dipimpin sendiri oleh bibi Kartikosari dan
bibi Roro Luhito.......... bibi Kartikosari tewas di tangan
musuh ?"?"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan bibi Roro Luhito.......... ?"
"Terluka parah.......... kini beristirahat di kamarnya
?".." "Duh Jagad Dewa Bathara.. ..... !!" Adipati Tejolaksono
duduk termenung seperti arca. Wajahnya pucat, matanya
sayu dan bibirnya menggigil. Isterinya hanya rnenangis
terisak-isak. Adipati Tejolaksono ingin sekali memukul
kepala sendiri. Mala petaka hebat terjadi di rumahnya.
Puteranya lenyap, bibinya tewas dan yang seorang terluka,
rakyatnya banyak yang dirampok, dibakar rumahnya,
diperkosa dan dibunuh, para perajuritnya banyak pula yang
tewas. Dan dia.......... , dia bersenang-senang memadu kasih
bersama Endang Patibroto! Akan tetapi, haruskah ia
menyalahkan diri sendiri" Ah, tidak bisa! Mereka berdua
bukan sengaja hendak bersenang-senang! Mereka berdua
bukan sengaja hendak memadu kasih karena terdorong
nafsu belaka! Tidak! Mereka berduapun terancam bahaya
hebat yang nyaris merenggut nyawa mereka. Dan
keberangkatannya ke Blambangan adalah karena tugas yang
dibebankan sang prabu ke atas pundaknya, seperti juga
pada saat ini Endang Patibroto dibebani tugas menyerbu
Blambangan. Nyawa manusia di tangan Hyang Widhi.
Nyawa manusia setiap saat terancam maut. Kalau Hyang
Widhi menghendaki, tiada kekuasaan apapun di dunia ini
yang dapat merubah jalan hidup seseorang. Yang dapat
merubah saat datangnya kematian!
"Bagaimanakah Bibi Kartikosari dan Bibi Roro Luhito
yang sakti mandraguna sampai terkalahkan oleh musuh?"
"Kedua orang bibi Itu tidak dapat menahan kemarahan
ketika mendengar akan sepak terjang dan kekejaman para
perampok yang merusak dusun-dusun di sekitar Selopenangkep. Mereka membawa pasukan dan mengejar
jauh keluar kadipaten, ke dusun-dusun. Akan tetapi
pasukan mereka terkepung dan karena jumlah lawan jauh
lebih banyak, mereka terjebak dan dikeroyok oleh Lima
Gagak Serayu dengan anak buah mereka. Bibi Kartikosari
terluka parah dan biarpun dapat dilarikan pleh Bibi Roro
Luhito yang juga luka-luka sampal ke kadipaten, namun
Bibi Kartikosari meninggal karena terlalu banyak kehilangan darah. Beberapa kali kadipaten diserbu musuh,
namun kami dan para pengawal yang setia dapat
mempertahankan kadipaten."
"Sudahlah, keringkan air matamu, nimas. Setelah aku
berada di sini, aku akan membalaskan kematlan Bibi
Kartikosari, kemudlan setelah musuh dapat terbasmi, aku
akan menyusul Bagus Seta ke Merapi."
Adipati Tejolaksono tidak membuang waktu lagi. Ia
menengok Roro Luhito yang biarpun terluka parah namun
tidak membahayakan nyawanya. "Sayang kau datang
terlambat.......... sebetulnya aku dan Bibimu Kartikosari
tidak akan kalah melawah Lima Gagak Serayu.......... akan
tetapi.......... musuh terlalu banyak.......... dan Bibimu
Kartikosari mengamuk, memisahkan diri.......... ah,
maafkan, anakku. Kami tidak dapat menjaga..........
puteramu Bagus Seta..........
"Sudahlah, Kanjeng Bibi. Yang sudah terjadi tidak perlu
disesalkan lagi. Semua sudah dikehendaki Hyang Widhi.
Pembelaan sudah cukup dan saya amat berterima kasih.
Saya sendiri akan menghajar Lima Gagak Serayu!" kata
Adipati Tejolaksono. Adipati ini segera mengumpulkan semua pengawal dan
barisan bantuan dari Panjalu, menyusun barisan dan
rnembagi-bagi tugas. Sebagian daripada pasukan bertugas
menjaga kadipaten, dipimpin sendiri oleh Ayu Candra.
Kemudian Adipati Tejolaksono memimpin pasukan
pilihan, keluar dari kadipaten dan mulailah pasukan
istimewa ini melakukan pengejaran dan pembersihan ke
dusun-dusun di sekitar Selopenangkep. Karena dipimpin
sendiri oleh Adipati Tejolaksono yang sakti mandraguna,
maka semangat pasukan ini hebat sekali. Setiap gerombolan
perampok yang mengganas dan bertemu dengan pasukan
ini dihancurkan, jarang ada yang dapat melarikan diri.
Mawutlah gerombolan-gerombolan perampok Bagelen dan
Lembah Serayu. Mereka mundur terus bahkan lalu
menggabung dengan induk pasukan di sebelah barat, dan
terus dikejar oleh Adipati Tejolaksono. Pasukan sang
adipati makin lama makin besar karena ke manapun
pasukan itu tiba, selalu disambut oleh rakyat yang menjadi
girang sekali dan di situlah pasukan bertambah besar
dengan adanya rakyat yang menggabungkan diri untuk
membalas dendam kepada perampok yang mengganas
selama ini. Bala bantuan dari Panjalu yang diminta oleh Adipati
Tejolaksono yang mengirim utusan ke sana, tiba tak lama
kemudian, maka makin kuatlah barisan Kadipaten
Selopenangkep. Akhirnya, setelah mengejar dan menghancurkan banyak gerombolan sebulan kemudian
pasukan Adipati Tejolaksono yang kini menjadi besar
jumlahnya bertemu dengan induk pasukan Lima Gagak
Serayu. Terjadilah perang tanding yang amat hebat!
Perang tanding yang terjadi di lembah Serayu ini amat
hebat dan ia jadi cerita perajurit yang lobos dari maut untuk
diceritakan kepada anak cucu mereka kelak. Perang ini
terkenal dengan sebutan Perang Serayu yang amat dahsyat.
Ribuan orang, sebagian besar di pihak gerombolan Bagelen
dan gerombolan Lembah Serayu, tewas dalam perang ini.
Biarpun pihak pasukan Adipati Tejolaksono kalah banyak,
namun mereka ini menang semangat dan memang pasukan
pengawal Kadipaten Selopenangkep dan pasukan bantuan
dari Panjalu adalah pasukan istimewa yang rata-rata terdiri
dari perajurit-perajurit gemblengan dan pilihan. Apalagi
karena mereka ini semua dipenuhi dendam kemarahan
terhadap para gerombolan yang sudah mengacau daerah
mereka, sudah membinasakan dan merusak dusun-dusun.
Sepak terjang barisan di bawah pimpinan Adipati
Tejolaksono seperti banteng ketaton (terluka). Menurut
cerita, sampai tiga hari tiga malam perang tanding ini
berlangsung, dan mereka yang berhenti untuk makan atau
tidur digantikan oleh rombongan lain.
Adipati Tejolaksono sendiri menjadi buah bibir semua
orang yang ikut beryuda, baik dari pihak lawan maupun
pihak kawan. Barisan Selopenangkep menjadi makin besar
semangatnya menyaksikan sepak terjang Adipati Tejolaksono sedangkan pihak lawan menjadi giris hatinya.
Menurut cerita para perajurit kemudian, jika lapar, sang
adipati ini mengepal nasi. dan makan dengan tangan kanan
sedangkan tangan kiri yang memegang keris terus
mengamuk. Setiap kepal nasi yang memasuki mulut diantar
dengan nyawa seorang musuh yang roboh oleh kerisnya!
Bahkan ada yang bilang bahwa sang adipati ini tidur sambil
berperang! Jasmaninya tertidur, akan tetapi dalam tidur itu
sang adipati bermimpi mengamuk dan berperang merobohkan banyak sekali perajurit lawan!
Pada hari ke tiga, terjadilah perang tanding yang amat
dahsyat antara Adipati Tejolaksono yang dihadapi oleh
Lima Gagak Serayu sendiri! Di sinilah letak pertandingan
yang akan memutuskan keadaan perang itu. Lima Gagak
Serayu adalah lima orang kakak beradik yang tinggi besar
dan memiliki kesaktian yang luar biasa, juga masing-masing
mempunyai keistimewaan sendiri, akan tetapi rata-rata
bertubuh kebal. Banyak perajurit Selopenangkep yang
roboh dan tewas di tangan mereka ini. Golok dan tombak
tak dapat melukai tubuh mereka dan sekali mereka
menggunakan bedog (golok) mereka yang lebar dan berat,
tentu tubuh lawan terpotong menjadi dua. Karena inilah
maka Adipati Tejolaksono sengaja mencari mereka dan
kini, di waktu siang dan panas sedang membakar medan
perang, sang adipati bertemu dengan lima orang pimpinan
barisan musuh itu. Orang pertama dari mereka adalah Gagak Dwipa, yang
paling sakti di antara mereka. Sama tinggi besar dengan
adik-adiknya, hanya karena ia paling kurus maka kelihatan
paling tinggi. Permainan bedog di tangannya amat cepat
dan kuat dan memang dialah yang terpandai di antara
kelima orang Gagak Serayu itu. Orang ke dua adalah
Gagak Kroda yang memiliki tubuh paling besar dengan
otot-otot melingkar-lingkar di seluruh tubuh, terutama di
kedua lengannya yang sebesar kaki manusia lumrah.
Demikian kuat dan kebal si Gagak Kroda ini sehingga ia
bersombong bahwa setiap pagi ia "sarapan" golok dan
tombak yang harus ditusuk-tusukkan dan dibacok-bacokkan
pada tubuhnya untuk menghilangkan gatal-gatal dan
kekakuan tubuhnya! Orang ke tiga adalah Gagak Tirta yang
di samping kesaktiannya, juga memiliki keistimewaan
bermain di dalam air. Kabarnya dia ini sanggup menyelam
ke dalam air sampai setengah hari lamanya! Senjatanya
juga bedog, akan tetapi dia memiliki sebuah senjata rahasia
yang aneh, yaitu sehelai jaring yang kuat sekali. Orang ke
empat dan ke lima adalah Gagak Maruta dan Gagak
Legawa. Sejenak Adipati Tejolaksono yang berdiri berhadapan
dengan lima orang lawannya itu memandang dengan mata
bersinar-sinar penuh kemarahan. Ia memandang dengan
penuh perhatian lima orang yang telah membikin kacau
daerahnya ini, dan sinar matanya menyapu mereka seperti
lecutan cambuk sakti. Lima orang itu tak tahan menentang
pandang mata Adipati Tejolaksono dan untuk menyembunyikan kegentaran hati mereka tertawa-tawa
mengejek. "Heh, si keparat Gagak Serayu berlima! Sudah lama aku
mendengar kejahatan kalian di sepanjang Lembah Serayu,
akan tetapi selama itu aku berdiam diri saja karena jalan
hidup kita memang tak pernah saling bersilang. Akan tetapi
mengapa kalian berani mengganggu Selopenangkep secara
pengecut, selagi aku tidak berada di sana?"
"Babo-babo, Adipati Tejolaksono! Sudah lama kami
menanti saat ini untuk berhadapan dengan senjata di tangan
denganmu! Ingatkah engkau ketika engkau dahulu masih
menjadi seorang bocah gunung yang hina" Ingatkah engkau
bahwa sejak dahulu engkau memusuhi orang-orang dari
Bagelen dan Lembah Serayu?"
"Hemmm, aku tidak ingat lagi karena terlampau banyak
orang jahat yang terpaksa menjadi lawanku. Aku tidak
memusuhi siapa-siapa kecuali orang jahat, dari manapun
datang dan asalnyal"
"Ha-ha-ha-ha! Demi setan jin brekasakan! Kau hendak
memungkiri" Lupakah engkau kepada Ki Krendoyakso dari
Bagelen" Dia adalah kakak segemblengan kami! Dan lupa
pula engkau kepada Sang Dibyo Mamangkoro" Dia adalah
bekas junjungan kami!"
Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk. Mengertilah
ia kini mengapa mereka ini memusuhinya, adapun Dibyo
Mamangkoro adalah dia sendiri yang membunuhnya (baca
Badai Laut Selatan)! "Ah, kiranya kalian ini segolongan mereka" Tentu saja
aku masih ingat kepada tokoh-tokoh jahat itu. Nah, inilah
dadaku, Gagak Serayu! Inilah aku Adipati Tejolaksono
yang takkan undur setapakpun menghadapi keganasan
kalian. Majulah, tandingilah Tejolaksono!"
"Ha-ha-ha-ha!" Kembali Gagak Dwipa tertawa bergelak.
"Sumbarmu seperti hendak mengeringkan air Kali Serayu!
Ketahuilah bahwa saat kematianmu sudah berada di depan
mata, Tejolaksono. Rasakan ini.......... haaiiiiittttt.......... -"
Gagak Dwipa menerjang maju menggerakkan bedognya
secepat kilat. Adipati Tejolaksono hanya merendahkan tubuh sedikit
untuk mengelak, akan tetapi pada saat itu, empat orang
Gagak yang lain sudah menyambar dari kiri kanan dan
bedog mereka menyambar-nyambar sampai mengeluarkan
suara berdesing. Adipati Tejolaksono mengerahkan Aji Bayu Sakti
sehingga tubuhnya menjadi seringan kapas tertiup angin,
melayang ke sana ke marl menghindarkan diri daripada
hujan sinar kilat senjata kelima, orang pengeroyoknya.
Iapun cepat mencabut keris Megantoro dari pinggangnya
dan terjadilah pertandingan yang luar biasa hebatnya. Lima
orang itu selain bertenaga besar dan dapat bergerak cepat,
juga memiliki kerja sama yang amat rapi sehingga gerakan
mereka seolah-olah teratur sekali, dapat saling menjaga dan
saling bantu. Mereka ini memang sedang mainkan ilmu
silat barisan yang mereka sendiri namakan Gagak Yuda.
Gerakan mereka teratur seperti seekor burung gagak
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertanding dan kelima orang itu merupakan kedua cakar,
kedua sayap, dan sebuah paruh yang dapat bekerja sama
dengan baik, kadang-kadang sekaligus menerjang maju,
kadang-kadang yang satu menyerang yang lain melindungi.
Di lain pihak, Adipati Tejolaksono memiliki kelincahan
yang sedemikian cepatnya sehingga lima pasang mata
lawan sampai-sampai menjadi silau dan kabur. Pertandingan itu seakan-akan lima ekor burung gagak
mengepung seekor garuda! Selain amat seru menyeramkan,
juga amat indah ditonton sehingga para anak buah kedua
belah pihak yang kebetulan bertempur di dekat tempat itu,
otomatis tanpa diperintah menunda pertandingan mereka
sendiri dan berdiri melingkari medan pertempuran itu,
menonton dan menjagoi pimpinan masing-masing! Hanya
mereka yang jauh saja yang masih melanjutkan perang
tanding. Pertandingan antara Tejolaksono dan lima orang Gagak
Serayu itu makin seru dan hebat. Tejolaksono memang
sakti, lebih lincah dan lebih kuat, namun ia menghadapi
kerja sama yang amat rapi sehingga tidak banyak mendapat
kesempatan untuk balas menyerang. Ksatria yang sakti itu
maklum bahwa kalau ia melanjutkan cara bertanding
seperti ini, yaitu hanya mempertahankan dan membela diri,
ia akan celaka karena setiap serangan kelima orang itu tidak
boleh dipandang ringan, penuh dengan tenaga yang didasari
hawa sakti. Apalagi, ia telah berperang tanpa mengenal
istirahat sehingga tubuhnya mulai lelah. Ia harus cepat-
cepat mengakhiri pertandingan ini dengan pengerahan
tenaga yang dahsyat. Sayang bahwa perasaannya tidaklah
se-marah dan sakit hati seperti sebelum lima orang Gagak
Serayu ini memperkenalkan diri sebagai adik seperguruan
Ki Krendoyakso tokoh Bagelen itu. Tadinya ia memang
marah dan sakit hati atas kematian Bibi Kartikosari, akan
tetapi setelah ia mendengar bahwa mereka ini saudara Ki
Krendroyakso, ia dapat memaklumi sikap mereka
memusuhinya dan lenyaplah sakit hatinya. Mereka ini
memang musuh dan mereka memusuhinya adalah hal yang
sewajarnya. Dan karena ia tidak marah dan tidak lagi
merasa sakit hati, akan percuma sajalah kalau ia
menggunakan Aji Triwikrama, sebuah aji yang hanya dapat
dilakukan dalam keadaan marah dan sakit hati. Ia lalu
mengumpulkan tenaga batinnya dan meledaklah pekiknya
yang dahsyat, yaitu pekik Dirodo Meta yang keluar dari
dadanya. Lima orang lawannya tergetar dan terkejut. Saat itu
dipergunakan oleh Tejolaksono untuk, menubruk dada
Gagak Dwipa yang merupakan lawan paling tangguh. Akan
tetapi sungguh di luar dugaannya. Lima orang itu benar-
benar sudah merupakan lima orang dengan satu perasaan
agaknya. Tanpa dikomando lagi, lima batang golok itu
sudah menangkis kerisnya dengan kekuatan yang amat
hebat! "Tranggggg"..!!!"
Pengerahan tenaga yang amat hebat dari Adipati
Tejolaksono tersalur di dalam keris Megantoro dan akibat
dari pertemuan senjata ini hebat sekali karena berbareng
dengan suara yang amat nyaring ini tampak api berpijar
menyilaukan mata dan lima batang golok itu patah semua!
Akan tetapi, karena sebuah di antara golok yang patah itu
meleset dan menyambar turun menggores lengan sang
adipati, maka keris itu pun terlepas dari tangan
Tejolaksono! Melihat bahwa lawan yang dikeroyok inipun kehilangan
senjatanya, Lima Gagak Serayu menjadi girang dan sambil
berteriak ganas mereka menubruk dan mengirim serangan
serentak. Namun Tejolaksono juga sudah siap. Begitu lima
orang lawan bergerak menyerangnya penuh nafsu, la
melihat kesempatan baik sekali. Tubuhnya mengelak ke
kiri, melewatkan tiga pukulan lawan dan sengaja menerima
hantaman dua orang gagak yang ia terima dengan dada dan
pundaknya sambil mengerahkan tenaga, namun berbareng
jari-jari tangan kanannya menusuk dengan Aji Pethit Nogo
ke arah dada Gagak Legawa dan tangan kirinya menangkis
pukulan susulan dari Gagak Dwipa.
"Dessss.......... krakkk.......... !!"
Tubuh Tejolaksono yang menerima pukulan Gagak
Maruta di dada kiri dan hantaman Gagak Legawa di
pundak itu hanya tergoncang seperti sebatang pohon
beringin diserang angin lalu, akan tetapi jari-jari tangan
kanannya amblas masuk ke dalam dada Gagak Legawa,
mematahkan tulang-tulang iganya! Gagak Legawa berteriak
ngeri dan roboh berkelojotan. Seorang di antara lima Gagak
Serayu, menjadi korban dan tewas. Para perajurit
Selopenangkep yang menonton pertandingan dahsyat itu
bersorak gembira, sebaliknya pihak pasukan Lembah
Serayu marah dan gelisah.
"Siuuuuuttttt.......... !!"
Benda yang berubah menjadi bayang-bayang hitam yang
amat lebar itu adalah senjata rahasia Gagak Tirta, yakni
sehelai jaring yang amat lebar dan ujungnya dikelilingi mata
kaitan terbuat daripada baja. Jaring itu sendiri terbuat
daripada kawat-kawat halus yang amat kuat. Dengan jaring
pusakanya yang ampuh ini, Gagak Tirta sanggup
menangkap hidup-hidup seekor harimau!
Karena secara otomatis, tiga orang Gagak yang lain
dengan kemarahan meluap-luap melihat kematian Gagak
Legawa juga menerjang maju dengan pukulan tangan
kosong dari kanan kiri sehingga tertutuplah jalan keluar
bagi Tejolaksono, maka adipati inipun memutar tubuh
menangkis pukulan-pukulan itu dan sengaja membiarkan
dirinya disambar jaring. Ia tidak takut menghadapi jaring
itu, bahkan adipati yang sakti dan cerdik ini hendak
menggunakan kesempatan ini untuk mencapai kemenangannya. Empat orang Gagak Serayu berseru girang dan anak
buah mereka bersorak ketika melihat betapa tubuh Adipati
Tejolaksono terselimut dan tertangkap oleh jaring itu,
Tejolaksono meronta dan mendapat kenyataan bahwa
jaring ini benar-benar amat kuat, dan pada saat itu, Gagak
Tirta menyendal tali jaringnya sehingga tanpa dapat
dicegah lagi tubuh Tejolaksono terguling roboh! Makin riuh
sorak sorai anak buah Gagak Serayu dan makin kecil hati
para perajurit Selopenangkep melihat jagoan mereka
tertangkap! Akan tetapi pada saat yang memang dinanti-
nanti oleh Tejolaksono itu, tiba-tiba tubuh sang adipati yang
terguling tadi terus bergerak bergulingan dengan kecepatan
yang tak tersangka-sangka. Tahu-tahu tubuh yang berada
dalam libatan jaring ini telah menggelundung ke arah
lawan. Empat orang Gagak Serayu kaget dan meloncat,
namun kurang cepat bagi Gagak Tirta yang memegang
ujung tali jaring. Kakinya tertangkap tangan Tejolaksono
yang menyambar dari dalam jaring sehingga Gagak Tirta
dapat ditarik roboh! Gagak Maruta yang berada paling dekat, cepat
menubruk maju untuk menolong adiknya, hendak
merampas adiknya yang kakinya terpegang lawan.
"Maruta.......... .......... mundur.......... !" Gagak Dwipa
memperingatkan adiknya, namun terlambat karena pada
saat Tejolaksono yang menggunakan aji kekuatan sakti,
sudah melompat bangun dengan kaki Gagak Tirta rnasih
dipegangnya dan tubuh lawan ini ia ayun sedemikian rupa
merupakan senjata yang luar biasa. Gagak Maruta hendak
menghindar, namun terlambat.
"Prakkk ii" Suara keras beradunya kepala Gagak Maruta
dengan kepala Gagak Tirta ini disusul pekik yang
mengerikan, pekik kematian dua orang kakak beradik itu
yang pecah kepalanya! Darah dan otak keluar muncrat-
muncrat dan Adipati Tejolaksono cepat membebaskan diri
dari libatan jaring untuk menghadapi lawannya yang kini
hanya tinggal duaorang lagi, yaitu Gagak Dwipa dan
Gagak Kroda. Akin tetapi, pada saat itu para anak buah
pasukan Lembah Serayu sudah menerjangnya dan disambut
pula oleh perajurit-perajurit Selopenangkep yang mendapat
hati. Ketika Tejolaksono keluar dari jaring dan melihat,
ternyata dua orang pimpinan musuh itu sudah lenyap, lari
sambil membawa pergi mayat tiga orang adik mereka!
Tejolaksono tidak mengejar, melainkan memimpin anak
buahnya menghajar musuh. Perang itu selesai pada sore hari itu juga. Karena
kehilangan pimpinan, para pasukan Lembah Serayu yang
terdiri dari perampok-perampok dan bajak menjadi kacau,
apalagi karena mereka sudah jerih dan ketakutan ketika
mendengar berita bahwa Lima Gagak Serayu yang mereka
agul-agulkan itu kalah oleh Adipati Tejolaksono. Bubarlah
mereka, melarikan diri ke seberang barat Sungai Serayu.
Ada pula yang melarikan diri ke utara untuk bersembunyi
di dalam hutan-hutan di kaki dan lereng Gunung Slamet,
Gunung Beser, atau Gunung Ragajembangan.
Adipati Tejolaksono dan pasukannya membuat pembersihan, mendapat kemenangan besar dan disambut
oleh rakyat dari Lembah Serayu sampai ke Selopenangkep
dengan penuh kegirangan dan terima kasih. Akan tetapi
sang adipati sendiri tetap tidak bergembira, bahkan
wajahnya muram dan keningnya selalu berkerut. Ia tetap
gelisah teringat akan putera tunggalnya, Bagus Seta.
Apakah yang telah terjadi atas diri Bagus Seta" Anak
yang baru berusia sepuluh tahun ini telah, mewarisi sifat-
sifat ayah bundanya. Ia tidak pernah mengenal takut,
bersikap tenang dan biarpun masih kanak-kanak, namun
sudah nnempunyai pandangan yang jauh dan cerdik, tidak
kekanak-kanakan. Selain memiliki sifat-sifat ksatria ini,
Bagus Seta juga semenjak kecil digembleng oleh ayahnya
sendiri dengan ilmu sehingga biarpun ia belum memiliki
kedigdayaan yang hanya dicapai oleh seseorang dengan
latihan-latihan yang matang, namun ia sudah memiliki
tubuh yang kuat, hati yang tabah dan pikiran yang cerdas.
Nama yang diberikan ayah bundanya kepadanya, yaitu
Bagus Seta, selain untuk mengingat nama Joko Seta bekas
tunangan ibunya yang gugur di dalam perang membela
Kerajaan Panjalu, juga amat cocok dengan kulit tubuh anak
ini yang putih kuning dan wajahnya yang amat tampan.
Yang amat menyolok pada diri Bagus Seta adalah sepasang
matanya yang bersinar-sinar dan amat tajam itu dan
mulutnya yang membayangkan hati yang tabah, kemauan
yang keras, dan watak yang berbudi dan welas asih.
Ketika Kadipaten Selopenangkep diserbu oleh gerombolan perampok Lembah Serayu, Bagus Seta
sedikitpun tidak menjadi takut. Seperti halnya dua orang
bibinya yang masih kecil, yaitu Setyaningsih dan Pusporini,
Bagus Seta juga siap untuk ikut berperang! Sebatang keris
kecil terselip di pinggang, bahkan goloknya yang kecil, yang
biasa ia pakai berlatih jika diajar oleh ayahnya, kini
tergantung di pinggangnya.
"Ibu, kalau ada perampok jahat berani masuk ke rumah
kita, kita gempur mereka sampai habis!" demikian kata-kata
yang keluar dari mulut anak ini.
"Betul, aku juga tidak takut!" kata Setyaningsih dengan
suara nyaring. "Aku juga!" kata Pusporini dengan mata bercahaya.
"Husssshhh i Anak-anak, kalian tidak boleh keluar,"
pesan Kartikosari dan Roro Luhito yang sudah siap
menerjang musuh. "Sembunyi saja dalam kamar dan baru
boleh melawan kalau sampai ada musuh yang menyerbu
masuk ke kamar kalian."
Setyaningsih dan Pusporini tidak berani membantah ibu
mereka, juga di depan ibunya yang memerintahkan agar dia
berdiam di dalam kamar, Bagus Seta tidak berani
membantah. Akan tetapi begitu ia mendengar malam itu
suara hiruk-pikuk di luar kamarnya dan mendengar dari
para pelayan yang ketakutan bahwa para gerombolan
perampok sudah menyerbu istana kadipaten, hati Bagus
Seta berdebar penuh kemarahan dan ketegangan. Ia marah
sekali karena menganggap para perampok itu pengecut,
melakukan penyerbuan pada saat ayahnya tidak berada di
rumah. Coba kalau ayahnya berada di rumah, sudah lama
para perampok itu dibasmi habis. Ia merasa penasaran
sekali akan perintah dan larangan ibunya. Kenapa ia harus
bersembunyi di dalam kamar" Ia tidak takut sama sekali
terhadap para perampok! Memalukan benar! Putera Adipati
Tejolaksono yang terkenal sakti mandraguna harus
bersembunyi karena serbuan perampok!
Tidak! Ia tidak mau bersembunyi lagi dan membiarkan
ibunya dan kedua eyang puterinya menghadapi para
perampok sendiri. Apalagi ketika malam itu suara
pertempuran makin hebat, Bagus Seta tak dapat menahan
dirinya lagi. Terdengar olehnya suara pertempuran itu
makin mendekat dan kini bahkan terdengar suara
beradunya senjata tajam dan teriakan-teriakan orang
bertanding di luar kamarnya, di dalam taman! Cepat Bagus
Seta membuka daun jendelanya dan memandang keluar.
Lampu-lampu penerangan yang tergantung di sudut-sudut
taman menambah cahaya bulan dan di dalam taman yang
remang-remang itu tampaklah banyak orang berkelebat dan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saling bertanding. la mengenal belasan orang pengawal
istana ayahnya yang dengan gagah berani melawan serbuan
para perampok yang berjumlah besar, dua kali lebih besar
daripada jumlah para pengawal.
Melihat daun jendela terbuka dan seorang anak laki-laki
tampak di jendela, dua orang perampok yang bertubuh
tinggi besar segera melompat maju dan lari menghampiri
Bagus Seta. Anak ini tidak takut, bahkan ia segera
melompat keluar dari jendela dengan golok terhunus di
tangan kanan dan keris di tangan kiril
Melihat ini, dua orang perampok itu tertawa terbahak-
bahak. "Ha-ha-ha, anak kecil berani bukan main!"
"Wah, pakaiannya indah. Tentu bukan anak sembarangan. Di dalam kamarnya tentu banyak terdapat
barang berharga!" kata perampok ke dua.
"Keparat jahanam, kalian perampok-perampok jahat!
Jangan memasuki kamarku!" bentak Bagus Seta sambil
meloncat ke depan jendela menghadang ketika ia melihat
betapa dua orang perampok itu hendak memasuki
kamarnya. Dua orang perampok itu saling pandang lalu tertawa
bergelak. Biarpun mereka ini orang-orang kasar dan
perampok liar, namun tadinya mereka tidak berniat
memusuhi seorang kanak-kanak. Akan tetapi melihat sikap
Bagus Seta, mereka menjadi marah juga dan sambil tertawa
mereka menerjang maju, perampok pertama mengayun
goloknya dengan kuat, hendak memenggal leher anak itu
sekali mengayun golok. Ayunan goloknya ini cepat dan
kuat sekali dan dua orang perampok itu sudah memastikan
bahwa si I anak kecil tentu akan roboh binasa. Mereka
sudah mengilar ketika mengerling ke arah dalam kamar dari
jendela. Memang kamar yang indah dan mereka ingin
sekali menjadi orang-orang pertama , memasukinya dan
memilih isinya yang berharga.
"Aihhh !I" Perampok yang mengayun golok berseru
kaget karena goloknya membacok angin kosong ketika
Bagus Seta dengan cepat dan tangkas mengelak ke kiri, dan
lebih besar lagi rasa kaget perampok itu ketika tiba-tiba
pahanya sakit sekali dan robek berdarah, kena hantam
golok kecil di tangan Bagus Seta! Untung baginya bahwa
anak berusia sepuluh tahun itu tenaganya belum matang,
kalau lebih kuat sedikit saja bacokan itu, tentu pahanya
sudah menjadi buntung! Perampok yang terluka pahanya itu menjadi marah
sekali, akan tetapi pahanya terasa amat perih dan nyeri
sehingga ia tidak dapat menerjang maju. Hanya temannya
yang kini dapat menduga bahwa anak kecil itu bukan bocah
sembarangan, sudah meloncat maju dan ayun goloknya
melakukan serangan bertubi-
tubi. Namun, makin besar keheranan dua orang perampok itu karena betapa-
pun cepatnya si perampok membacok, selalu bacokannya
mengenai tempat kosong. Anak itu gesitnya melebihi
seekor kera! Pada saat itu, dari tempat
pertempuran datang pula dua
orang perampok. Memang jumlah perampok lebih banyak sehingga para pengawal terdesak dan karena
para perampok itu sudah Ingin sekali menyerbu istana
untuk merampok harta benda dan memperkosa puteri-
puteri kini dua orang perampok itu yang melihat dua orang
teman mereka mengeroyok seorang anak kecil di dekat
jendela terbuka, cepat menghampiri. Mereka terheran-heran
dan kagum melihat betapa seorang anak kecil dengan golok
di tangan kanan dan keris di tangan kiri dapat melayani
terjangan seorang kawan mereka begitu gesitnya!
"Aaahh, anak Ini tentu putera adipati! Puteranya hanya
seorang, siapa lagi kalau bukan anak setan ini?" Demikian.
kata seorang di antara mereka.
Bagus Seta yang mendengar ucapan ini lalu meloncat
mundur sambil menghardik, "Sudah tahu aku putera
Adipati Tejolaksono yang sakti mandraguna, kalian masih
berani datang?" Sejenak empat orang perampok itu tercengang akan
tetapi mereka lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Bagus
sekali! Dia ini lebih berharga daripada segala benda
rampasan. Gagak Lembah Serayu tentu akan memberi
hadiah besar kepada kita kalau kita menyerahkan anak ini
sebagai tawanan!" Mendengar ucapan ini, tiga orang perampok yang tidak
terluka itu lalu menubruk maju seakan berlumba hendak
berdulu-duluan menangkap Bagus Seta. Anak ini cepat
melompat ke kanan menghindarkan diri sambil menyabet
dengan goloknya. "Tranggggg.......... !!" Dua buah golok perampok
menangkisnya dengan pengerahan tenaga keras. Tentu saja
tenaga Bagus Seta tidak dapat melawan tenaga dua orang
perampok kasar itu. Golok kecil di tangannya terlempar
jauh! Perampok-perampok itu tertawa dan menubruk lagi.
Akan tetapi biarpun goloknya sudah hilang, Bagus Seta
tidak menjadi gugup atau takut. Melihat dirinya ditubruk
tiga orang, ia cepat menggerakkan keris kecilnya,
menyambut tangan-tangan mereka dengan tusukan keris ke
depan! "Eh-eh, bocah ini seperti anak harimau saja!" kata
seorang perampok sambil menarik kembali tangannya yang
nyaris tertusuk keris. Akan tetapi kakinya melayang dari
kiri dan tepat mengenai pinggang Bagus Seta yang jatuh
terguling-guling dan kerisnya terlepas dari pegangan.
Namun, anak itu meloncat bangun lagi, sudah slap
menghadapi para perampok dengan kedua tangan kosong!
Melihat sikap ini, mau, tak mau empat orang perampok itu
memandang kagum dan terheran-heran. Belum pernah
selama hidup mereka yang penuh kekejaman itu mereka
bertemu dengan seorang anak kecil yang memiliki
keberanian seperti ini! Seekor harimau sekalipun agaknya
tentu akan tunggang-langgang kalau sudah dihajar dan
mendapat kenyataan bahwa pihak lawan jauh lebih kuat.
Anak ini sudah kehilangan golok dan keris, sudah pula
terjengkang roboh, akan tetapi masih bangkit lagi dan
sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, apalagi
menyerah! Rasa penasaran membuat tiga orang perampok yang tak
terluka itu menjadi marah. Masa tiga orang gagah seperti
mereka tidak mampu merobohkan seorang anak kecil"
Alangkah akan malu hati mereka kalau hal itu diketahui
kawan-kawan mereka. Tentu mereka akan menjadi bahan
ejekan. Karena marah, berubahlah keinginan hati mereka
yang tadi hendak menawan Bagus Seta, menjadi nafsu
untuk membunuhnya! Dengan golok di tangan terangkat
tinggi-tinggi, tiga orang itu kini melangkah maju, slap untuk
menghancurkan tubuh yang kecil itu dengan golok mereka
yang tajam. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara auman yang
menggetarkan taman. Bumi yang terpijak serasa bergoyang.
Tiga orang perampok itu tiba-tiba terbelalak dan berdiri
seperti berubah menjadi arca. Entah dari mana datangnya,
tak jauh dari situ berdiri seekor harimau yang besarnya
seperti lembu! Seekor harimau berbulu putih yang besar dan
menyeramkan sekali! Akan tetapi kalau para perampok dan juga sebagian
pengawal yang bertanding di dekat tempat itu terkejut dan
gentar, sebaliknya Bagus Seta menjadi girang sekali. Ia
menoleh dan melihat harimau putih itu, segera mengenalnya sebagai harimau yang pernah ia jumpai di
dalam hutan bersama ayahnya, harimau yang telah
menggondolnya. Karena anak inipun maklum bahwa ia
tidak akan menang menghadapi pengeroyokan para
perampok, maka ia lalu lari menghampiri binatang itu dan
memeluk lehernya. Harimau itu merendahkan tubuhnya
sambil menggereng dan di lain saat Bagus Seta telah
menunggang di atas punggungnya!
."Paman sardulo, amuk para perampok itu! Basmi
mereka, usir mereka.......... Bagus Seta menepuk-nepuk
punggung harimau itu sambil berbisik di dekat telinganya.
Anak ini memang pandai menunggang kuda, akan tetapi
menunggang kuda jauh sekali bedanya dengan menunggang
harimau yang tanpa kendali tanpa sela itu. Maka ia duduk
sambil menelungkup dan merangkul leher menengkeram
bulu yang panjang putih pada leher harimau.
Harimau itu kembali mengaum dan tubuhnya menerjang
maju. Tiga orang perampok yang tadi hendak membunuh
Bagus Seta, berbareng mengangkat golok untuk menyerang
dalam pembelaan diri mereka, akan tetapi hanya satu kali
sang harimau putih mengangkat kaki depan sebelah kanan,
menampar atau mencakar dan tiga batang golok mereka
terlepas dan pegangan, bahkan lengan seorang di antara
mereka kena cakar sampai robek-robek dagingnya! Yang
dua orang membalikkan tubuh dan lari, diikuti dua orang
temannya yang sudah terluka, yaitu yang tadi terluka golok
pahanya dan yang terluka lengannya. Harimau itu dengan
Bagus Seta di punggungnya, lalu berlari perlahan memasuki
taman. Gegerlah mereka yang sedang berperang di dalam
taman. Para perampok menjadi ketakutan dan otomatis
bubar meninggalkan lawan. Beberapa orang perampok yang
mencoba untuk melawan harimau putih, roboh oleh
tamparan kaki depan harimau itu yang berbeda dengan
harimau-harimau biasa, bergerak seperti seorang manusia,
bukan menubruk atau menggiglt seperti harimau lain. Akan
tetapi gerakan kaki depannya amat kuat sehingga senjata-
senjata tajam selalu terlempar kalau bertemu kaklnya.
Sebentar saja, para perampok yang menyerbu kadipaten
menjadi geger dan bubar meninggalkan kadipaten.
Bermacam-macam cerlta mereka. Bahkan yang tidak
sempat bertemu dengan harimau putih itu dapat bercerita
bahwa "penjaga kadipaten" harimau yang sebesar gajah
telah mengamuk! Ada yang bilang bahwa Itu adalah sang
adipati sendiri yang berubah menjadi harimau putlh.
Bahkan para pengawal yang sempat melihat harimau di
dalam taman, menjadi panik. Akan tetapi ada pula di antara
mereka yang berusaha merampas kembali Bagus Seta. Akan
tetapi mereka inipun roboh oleh tamparan sang harimau
yang kemudian melarikan Bagus Seta dari dalam taman
sambil berlompatan cepat sekali! Bagus Seta merasa ngeri
juga dan terpaksa ia meramkan mata sambil memeluk leher
harimau lebih kuat lagi. Angin berdesir di pinggir
telinganya dan tubuhnya kadang-kadang terkena lecutan
rumput alang-alang di kanan kirL
"Paman sardulo.......... ke mana kau membawaku pergi"
Kembalilah, kita harus membantu ibuku.......... harus
membasmi dan mengusir para perampok jahat .......... !"
Bekali-kali Bagus Seta berbisik di dekat telinga si harimau,
akan tetapi harimau putih itu tidak memperdulikannya lagi
dan berlari terus keluar masuk hutan dan naik turun
gunung. Malam telah berganti pagi ketika harimau putih tiba di
lereng sebuah gunung, lalu mengaum dan berhenti. Bagus
Seta yang merasa lelah sekali lalu melorot turun dari atas
punggung harimau, memandang kepada kakek tua yenta
berpakaian putih yang tahu-tahu telah berdiri di depan
harimau. Kakek itu berdiri sambil memegang tongkat
bambu gading, tangan kiri mengelus jenggot panjang yang
putih itu dan mulutnya tersenyum.
"Terpujilah Sang Hyang Wishnu ?""! Kakek tua
renta itu berkata halus. "Suratan takdir tak dapat dihapus
oleh siapapun juga di dunia ini! Kulup, Bagus Seta,
kedatanganmu ini meyakinkan hatiku bahwa engkau
memang berjodoh dengan aku. Engkaulah yang kelak akan
mempertahankan kebesaran Sang Hyang Wishnu, angger.......... !!! Bagus Seta memang seorang anak kecil yang baru
berusia sepuluh tahun. Namun ia telah banyak mempelajari
tata susila dan tahu menghormat dan menghargai seorang
tua yang suci dan bijaksana. Biarpun masih kecil, ia
maklum bahwa kakek di hadapannya ini bukanlah seorang
manusia biasa dan bahkan menjadi majikan dari sang
harimau putih yang hebat. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
"Jadi Eyangkah yang menyusuh paman sardula putih
datang menolong saya daripada pengeroyokan perampok"
Saya mengucap syukur dan menghaturkan banyak terima
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kasih, Eyang." Kakek itu tertawa, suara ketawanya halus dan sepasang
matanya yang bersinar amat tajam itu berseri-seri gembira.
"Sardulo pethak, kau dengar, alangkah pandainya sang
adipati di Selopenangkep mendidik puteranya! Heh-heh-
heh, angger Bagus Seta. Tidak ada yang menolong atau
ditolong. Sardulo pethak kusuruh datang ke Selopenangkep
hanya untuk mempersiapkan diri kalau-kalau memang
engkau berjodoh denganku, Angger. Kalau bukan karena
kehendakmu sendiri engkau ikut dengannya, dia tidak akan
memaksamu. Bukankah engkau sendiri yang ikut bersamanya,' kulup?"
"Tidak salah, Eyang. Memang saya menunggangi
punggungnya. Akan tetapi.... ...... saya tidak mengerti
mengapa dia membawa saya ke sini menghadap Eyang."
"Kekuasaan berada di tangan Sang Hyang Widhi,
Angger. Bahkan semua dewata dan manusia hanya
mempunyai tugas kewajiban, namun keputusan terakhir
sepenuhnya berada di tangan Yang Maha Kuasa. Akupun
hanya berusaha, angger, dan agaknya usahaku mendapat
berkah Sang Hyang Wishnu yang memelihara dan menjaga
semua kebaikan. Engkau berjodoh untuk menjadi muridku,
kulup, dan kepadamulah aku harus menurunkan semua
pengertian yang kumiliki."
"Banyak terima kasih saya haturkan kepada Eyang.
Menurut wejangan Ayah saya, amatlah bahagia menjadi
murid seorang yang maha sakti seperti Eyang. Akan tetapi,
saya harus kembali ke Selopenangkep, Eyang. Selopenangkep diserbu penjahat, Kanjeng Ibu tentu
terancam bahaya. Bagaimana saya dapat mendiamkannya
saja dan berada di sini dalam aman tenteram sedangkan
Kanjeng Ibu terancam bahaya?"
"Ha-ha-ha, bagus sekali, sekecil engkau sudah mengenal
dharma bakti kepada orang tua! Akan tetapi engkau lupa,
Bagus Seta, bahwa kehadiranmu di sana sama sekali tidak
akan membantu ibumu,melainkan menambah beban ibumu
karena harus melindungimu. Jangan khawatir, Angger.
Engkau ikutlah bersamaku dan kelak pasti engkau akan
bertemu kembali dengan orang tuamu."
"Memang saya tidak dapat membantu ibu, Eyang. Akan
tetapi.......... apapun yang terjadi di Selopenangkep, saya
harus menyaksikannya. Kata Kanjeng Rama, bukanlah
watak seorang ksatria kalau melarikan diri daripada bahaya
meninggalkan orang lain yang terancam malapetaka.
Mencari keselamatan sendiri tanpa memperdulikan orang
lain, apalagi Kangjeng ibu sendiri, adalah perbuatan
pengecut yang hina!"
Kakek itu merangkul pundak sambil membungkuk, lalu
membelai kepala Bagus Seta. "Wahai muridku yang bagus
dan baik! Engkau benar-benar calon seorang ksatria
budiman yang selalu mengingat wejangan baik di dalam
hati. Semoga pengetahuanmu tentang itu akan mendarah
daging pada dirimu, tidak hanya akan menjadi hafalan-
hafalan kosong belaka melainkan kau nyatakan di dalam
semua sepak terjangmu dalam hidup! Tidak salah seujung
rambutpun wejangan Ramandamu, Angger. Akan tetapi,
sekali ini keadaannya berbeda. Engkau bukan melarikan
diri, melainkan dituntun oleh tangan gaib Sang Hyang
Wishnu sendiri sehingga engkau datang kepadaku. Sekali
lagi kukatakan, janganlah kau khawatir dan marilah kau
ikut aku. Sudah tentu saja aku tidak hendak memaksakan
kehendakku, karena aku selalu bertindak sesuai dengan -
kehendak Sang Hyang Widhi. Sukakah engkau menjadi
muridku, Bagus Seta?"
Anak itu menyembah lagi. "Demi semua Dewata di
Suralaya, Eyang. Saya suka sekali menjadi murid Eyang."
"Nah, kalau begitu, mulai saat ini juga engkau kuangkat
menjadi muridku. Aku dikenal sebagai Ki Tunggaljiwa dan
ketahuilah, muridku, bahwa sesungguhnya Ramandamu itu
masih cucu muridku sendiri! Bagus Seta, biarpun engkau
masih seorang kanak-kanak, tentu Ramandamu pernah
bercerita kepadamu. Tahukah engkau guru ramandamu?"
Jantung anak itu sudah berdebar tegang saking kagetnya
mendengar bahwa kakek ini masih eyang guru ayahnya!
Tentu saja ia sudah banyak mendengar dari ayahnya
tentang guru-guru ayahnya maka tanpa ragu-ragu ia
menjawab. "Menurut penuturan Kanjeng Rama, pertama-tama yang
menjadi guru Kangjeng Rama adalah Kanjeng Eyang Pujo
sendiri, ayah angkat Kanjeng Rama. Kemudian Kanjeng
Rama digembleng oleh Eyang Buyut Resi Bhargowo, dan
yang terakhir, guru Kanjeng Rama adalah sang bijaksana
yang sakti mandraguna Rakyana Patih Narotama."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Benar sekali apa yang
kaudengar dari Ramandamu itu, Angger. Yang membuat
Ramandamu menjadi seorang ksatria sakti mandraguna
seperti sekarang ini adalah karena beliau menjadi murid
mendiang Ki Patih Narotama. Ketahuilah, bahwa bersama
mendiang Sang Prabu Airlangga, Ki Patih Narotama
adalah murid-murid terkasih dari Sang Bhagawan
Satyadharma yang bertapa di puncak Gunung Agung di
Ball. Nah, adapun Bhagawan Satyadharma itu adalah
kakak seperguruanku sendiri, Angger."
Terkejutlah hati Bagus Seta. Ia menyembah lagi dan
berkata penuh takjub. "Kalau begitu.......... Eyang adalah Eyang guru dari
Kanjeng Rama dan saya .......... adalah cucu buyut
Eyang.......... "Ha-ha-ha, tidak perlu terlibat dalam urutan yang tiada
artinya, muridku. Engkau adalah terpilih menjadi muridku,
karena itu engkau adalah muridku dan kau boleh saja
menyebutku Bapa Guru. Nah, setelah kau menjadi
muridku, kau tentu tahu, apakah kewajiban pertama dari
seorang murid kepada gurunya?"
"Kalau saya tidak keliru, kewajiban pertama adalah
mentaati semua perintah dan petunjuk sang guru."
"Tepat sekali, Angger. Nah, sekarang perintahku yang
pertama kali, engkau harus ikut bersamaku ke puncak dan
lenyapkan, semua kegelisahan hatimu tentang Selopenangkep." Bagus Seta masih seorang kanak-kanak. Berat sekali
rasanya mentaati perintah ini, apalagi harus melupakan
Selopenangkep. Mana mungkin" Akan tetapi sebagai
seorang anak gemblengan yang tahu akan arti kata
kegagahan dan memegang teguh kata-kata yang sudah
keluar dari mulut, ia tidak berani membantah, lalu bangkit
berdiri dan mengikuti gurunya yang mulai mendaki
Gunung Merapi. Sardulo pethak,- si macan putih, tampak
gembira sekali melihat Bagus Seta ikut naik ke puncak.
Seperti seekor anak kambing yang nakal, ia melonjak-lonjak
dan kadang-kadang lari mendahului mendaki lereng, dan di
lain saat ia sudah berlari lagi turun, mengitari Bagus Seta,
dan mendorong-dorong punggung anak itu dari belakang,
seperti rnengajak berlumba lari. Karena diapun masih
seorang kanak-kanak, Bagus Seta timbul kegembiraannya
dan tak lama kernudian iapun sudah lupa akan
kegelisahannya dan bermain-main di sepanjang jalan
pendakian itu bersama sardulo pethak.
Kakek tua renta itu memang benar adik seperguruan
Sang Bhagawan Satyadharma di Gunung Agung yang
terkenal maha sakti itu. Berbeda dengan Sang Bhagawan
Satyadharma yang terkenal menjadi seorang pendeta, adik
seperguruan yang jauh lebih muda ini semenjak dahulu
suka melakukan perantauan. Akan tetapi kakek ini yang
memakai nama sederhana, yaitu Ki Tunggaljiwa, tidak suka
menonjolkan diri di dunia ramai dan ke manapun juga ia
pergi, ia selalu mengunjungi puncak-puncak gunung yang
sunyi, jarang bertemu dengan manusia dan hidup bertani di
tempat sunyi. Karena itulah maka jarang ada orang
mengenalnya. Andaikata ada yang melihatnya sekalipun
tentu akan mengira bahwa dia seorang petani tua biasa saja.
Pada-hal sesungguhnya kakek ini adalah orang yang
memiliki ilmu amat tinggi!
Mengapa kini Ki Tunggaljiwa yang biasanya hidup
menyendiri itu secara tiba-tiba mengambil murid" Bukan
sedikit anak-anak yang ia lihat bertulang baik dan berjiwa
bersih yang cukup berharga untuk diambil murid selama ia
melakukan perantauannya, akan tetapi tadinya ia memang
tidak ingin mencampuri urusan dunia, maka hatinyapun
menjadi dingin dan hambar, tidak ingin mempunyai murid,
bahkan ingin membawa semua ilmunya yang dianggap
tiada gunanya itu ke alam baka. Akan tetapi, sungguh di
luar perkiraannya, terjadilah hal-hal yang membuat ia
terkejut dan prihatin sekali. Ia melihat ada usaha-usaha
untuk mendesak agama yang dianut oleh rakyat terbanyak
di daerah Daha (Panjalu), Jenggala dan terus timur sampai
ke Bali, yaitu agama yang memuja Sang Hyang Wishnu!
Kalau yang mengancam ini hanyalah penyembah-
penyembah Bathara Kala atau Bathari Durgo yang tidak
banyak pengikutnya, ia tidak merasa khawatir. Akan tetapi
musuh- musuh yang akan muncul ini merupakan bahaya-
bahaya besar karena selain didukung oleh kerajaan-kerajaan
besar, juga dikendalikan atau dijagoi oleh orang-orang yang
memiliki kesaktian tinggi sekali. Melihat ancaman yang
tidak terlihat oleh kebanyakan orang ini, hati Ki
Tunggaljiwa merasa risau dan ia tahu bahwa kini tibalah
saat baginya untuk berdharma bakti kepada dunia, kepada
manusia dengan perbuatan-perbuatan yang nyata. Ia sudah
amat tua, dan betapapun saktinya, la bukan sebangsa ular
yang yang ditakdirkan dapat berganti kulit. Dia seorang
manusia yang tidak akan luput daripada kematian. Maka ia
pikir bahwa jalan terbaik baginya adalah menurunkan atau
mewariskan seluruh ilmunya kepada seorang murid yang
terbaik. Memang apa yang dikhawatirkan Ki Tunggaljiwa itu
tidaklah berlebihan kalau dilihat dari perkembangan
keadaan negara di waktu itu. Semenjak Kerajaan
Kahuripan yang tadinya menjadi amat besar dan kuat
sebagai lanjutan Kerajaan Mataram di bawah pimpinan
Sang Prabu Airlangga dipecah menjadi dua seperti keadaan
waktu itu, yaitu menjadi Kerajaan Panjalu yang kemudian
terkenal dengan sebutan Kerajaan Daha dan Kerajaan
Jenggala, maka keadaan menjadi lemah. Hal ini mungkin
karena pemecahan kerajaan menjadi dua mendatangkan
pandangan dan kesan yang amat tidak menguntungkan
kerajaan-kerajaan keturunan Sang Prabu Airlangga. Raja-
raja yang tadinya takluk, menganggap pemecahan itu
sebagai kelemahan dan banyaklah di antara mereka yang
memberontak dan berdiri sendiri, tidak mengakui kedaulatan kedua kerajaan itu.
Hal ini menjadi lebih memburuk dan berbahaya ketika
pada masa itu ancaman membesar dari Kerajaan Sriwijaya
yang memasukkan pengaruhnya lewat Pulau Jawa di
sebelah barat. Tadinya, ketika Sriwijaya masih menghadapi
musuh utamanya yaitu Kerajaan Cola (India selatan) yang
terus menerus menyerang Sriwijaya dan setiap kali
mengalahkan pasukan-pasukan Sriwijaya, maka Sriwijaya
tidak ada kesempatan untuk mendesak Daha (Panjalu) dan
Jenggala. Akan tetapi pada waktu itu, terjadilah
perdamaian antara Sriwijaya dan Cola, juga dengan
kerajaan dari India utara dari mana Sriwijaya mendapat
banyak pelajaran tentang ilmu dan agama, yaitu Agama
Buddha (Mahayana). Setelah terdapat perdamaian ini,
Sriwijaya merasa dirinya kuat kembali dan mulailah
melakukan desakan ke selatan, yaitu kepada musuh
lamanya, Mataram yang kini menjadi Panjalu atau Daha
dan Jenggala itu. Seperti telah menjadi catatan sejarah, semenjak dahulu
Sriwijaya dan Mataram selalu bertentangan. Hanya pada
masa jayanya Sang Prabu Airlangga, terjadilah hubungan
baik, yaitu ketika Sang Prabu Airlangga menikah dengan
puteri dari Sriwijaya yang kemudian menjadi ibu dari sang
prabu di Jenggala. Akan tetapi, setelah terjadi pertikaian
antar saudara antara kedua orang pangeran putera Sang
Prabu Airlangga, hal ini kembali merenggangkan perhubungan dengan Sriwijaya. Apalagi setelah Sang Prabu
Airlangga dan puteri dari Sriwijaya telah meninggal dunia,
hubungan dengan Sriwijaya boleh dibllang terputus sama
sekali. Namun tentu saja hal ini tidak memutuskan cita-cita
Sriwijaya untuk menanam pengaruhnya di Jawadwipa dan
terutama sekali untuk keperluan Agama Buddha yang
dianutnya. Selain itu, juga Kerajaan Cola yang kini sudah
berbaik dengan Sriwijaya tidak mau ketinggalan, ikut
membonceng dan mencari kesempatan menanam pengaruh
dan mencari keuntungan di pulau yang indah dan lohjinawi
(subur makmur) itu. Golongan ini mempergunakan para
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penganut Sang Hyang Syiwa untuk mencari kedudukan.
Dahulu, memang pernah Agama Buddha yang
memegang kekuasaan, yaitu ketika Pulau Jawa berada di
bawah pimpinan Raja-raja Syailendra. Akan tetapi, pada
jaman Mataram di bawah raja yang berjuluk Rakai Pikatan,
agama yang memuja Sang Bathara Syiwa menjadi
berkembang karena raja ini beragama Syiwa. Dan pada
masa itu dua agama itu, yaitu Agama Buddha dan Agama
Syiwa yang merupakan pecahan daripada Agama Hindu
lama, mengalami masa kebesarannya. Akhirnya, setelah
Kerajaan Mataram berpindah ke timur di bawah pimpinan
Sang Prabu Airlangga, kedua agama ini mulai terdesak dan
karena sang raja memuja Sang Bathara Wishnu, maka
rakyatpun banyak yang mengikuti jejak raja.
Dan sekarang, menurut wawasan Ki Tunggaljiwa yang
menjadi seorang penyembah Sang Hyang Wishnu, mulailah
tampak ancaman dari Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan
Cola. Kakek ini sama sekali tidak prihatin akan
pertentangan antara kerajaan, akan tetapi ia merasa prihatin
sekali melihat betapa Agama Wishnu terancam kebesarannya oleh agama-agama lain.
Ki Tunggaljiwa tahu akan hal itu karena beberapa bulan
yang lalu, ketika ia melakukan perjalanan merantau ke
barat, dan hendak bertapa dan bersunyi diri di Gunung
Sanggabuwana, bertemulah ia di sana dengan seorang
tokoh Agama Syiwa dan seorang pendeta Buddha. Sebagai
manusia-manusia biasa, biarpun tiga orang tokoh besar ini
sudah memiliki kepandaian tinggi, terjadilah perdebatan
yang berlarut-larut sehingga memanaskan suasana dan
kedua orang tokoh Agama Syiwa dan Agama Buddha itu
dalam keadaan hati panas menyatakan bahwa agama
mereka sudah siap untuk mengembalikan kekuasaannya di
Daha (Panjalu) dan Jenggala!
"Kami akan menghalau setiap rintangan!" Demikian
tokoh Agama Syiwa yang marah itu berkata. "Dan
terutama sekali andika, sebagai tokoh pemuja Sang Bathara
Wishnu, kalau merintangi akan kami lenyapkan lebih
dahulu!" Hanya karena kesadaran dan kesabaran hati Ki
Tunggaljiwa saja maka pertemuan dan perdebatan itu tidak
berubah menjadi pertempuran. Setelah terjadi hal itu,
dengan hati penuh prihatin kembalilah sang pertapa ke
timur dan menetap di puncak Merapi. Biarpun ia sudah
mengambil keputusan untuk mencari murid, namun tetap
saja sang pertapa menyerahkan pemilihannya kepada Sang
Hyang Wishnu sendiri, dan setiap hari hanya berdoa agar
,memberi petunjuk dan agar bisa mendapatkan seorang
murid yang baik. Maka terjadilah pertemuannya dengan Bagus Seta
dengan perantaraan sardulo pethak, binatang ajaib yang
jarang ada ini dan yang menjadi kelangenannya atau
binatang peliharaan yang amat dikasihinya. Pertemuan
inilah yang dijadikan tanda oleh Ki Tunggaljiwa bahwa
Sang Hyang Wishnu telah memberi petunjuk. Apalagi
setelah diketahuinya bahwa anak itu adalah putera Adipati
Tejolaksono yang ia tahu adalah murid Ki Patih Narotama,
hatinya menjadi girang sekali. Inilah murid yang selama ini
ia tunggu-tunggu! Di puncak Merapi, tak jauh dari kawah yang selalu
mengeluarkan asap, uap dan api panas, terdapat sebuah
pondok yang dijadikan tempat bertapa Ki Tunggaljiwa.
Pondok tempat tinggalnya berada di sebelah bawah puncak,
di tempat yang subur, di mana tumbuh banyak pohon dan
buah-buahan dan di situ terdapat pula mata air yang
mengeluarkan dua macam air dari dua sumber yang
berdampingan, yaitu sebuah sumber air panas mengandung
belerang, dan yang sebuah pula sumber air dingin yang
amat dingin dan jernih. Begitu tiba di situ, pada hari-hari pertama Bagus Seta
digembleng oleh gurunya dengan ilmu bersamadhi yang
amat berat. Biarpun baru berusia sepuluh tahun, Bagus Seta
tidaklah asing akan ilmu samadhi, karena sudah diajari
ayahnya. Akan tetapi, latihan samadhi yang diajarkan
gurunya ini amatlah sukar dan menyiksa diri karena ia
disuruh bersamadhi di siang hari sambil merendam tubuh
sampai ke leher dalam air dari sumber air panas yang
berbau belerang dan panasnya bukan main itu. Pada hari
pertama, tubuhnya terasa terbakar dan hampir saja ia tidak
kuat bertahan kalau saja di situ tidak ada Ki Tunggaljiwa
yang setiap kali menyentuh kepalanya rasa panas
membakar itu menjadi berkurang dan dapat ia tahan!
Latihan di malam hari tidak kurang menyiksanya karena ia
diharuskan bersamadhi sambil merendam diri di dalam air
dari sumber air dingin. Bukan main dinginnya. Tubuhnya
serasa membeku dan giginya sampai berbunyi karena saling
beradu, tubuh menggigil dan ia tentu pingsan kalau saja
tidak disentuh gurunya pada tengkuknya. Sentuhan bukan
sembarang sentuhan karena dari jari tangan gurunya ifu,
keluar hawa panas yang dapat melaw,an rasa dingin
membeku itu! Setelah genap tiga pekan berlatih samadhi seperti ini,
mulailah Bagus Seta terbiasa dan tidak perlu dibantu
gurunya pula. Tubuhnya dapat menahan, akan tetapi masih
belum mudahlah baglnya untuk merigheningkan cipta.
Semua pancaindranya ia kerahkan untuk melawan rasa
panas jika berendam di air panas dan rasa dingin pada
malam harinya jika berendam di air dingin, sehingga ;tidak
ada sisa kekuatan lagi untuk mengendalikan pancaindra dan
mematikan raga. Akan tetapi sudah mulai mendapat
kemajuan, sedikit demi sedikit dibimbing gurunya. Adanya
sardulo pethak di siitu banyak membantu Bagus Seta karena
harimau ini ternyatapun kuat bertahan berendam di dalam
air dingini Bagus Seta adalah seorang anak yang
menjunjung tinggi kegagahan, juga telah memiliki harga
diri yang tinggi, maka tentu saja la merasa malu kalau
sampai kalah, oleh seekor harimau! Hal ini banyak
menolongnya dan banyak membantunya memperoleh
kemajuan pesat. Kemajuan yang mulai tampak itu menggembirakan hati
Bagus Seta sehingga anak ini menjadi makin rajin. Memang
dalam waktu kurang lebih satu bulan itu, seringkali
termenung kalau memikirkan orang tuanya dan Selopenangkep, akan tetapi justeru hal inipun merupakan
latihan batin yang amat baik baginya. Mula-mula seringkali
ia duduk menangis seorang diri teringat akan,ibunya, akan
tetapi akhirnya ia dapat melawannya, bahkan kalau
perasaan rindu kepada ibunya Itu datang menyerangnya, ia
menceburkan diri ke dalam air panas di waktu siang hari
dan air dingin di waktu malam, kemudian, menghilangkan
semua rasa rindu itu dengan bersamadhi! Biarpun di
luarnya tidak menyatakan sesuatu, namun sesungguhnya,
setiap saat Ki Tungaljiwa memperhatikan gerak-gerik
muridnya dan ia gembira bukan main menyaksikan betapa
muridnya yang masih kecil itu ternyata sudah lulus dari
ujian pertama yang amat berat. Ia kini yakin bahwa
memang Sang Hyang Wishnu sendirilah yang telah
memilihkan murid baginya dan ia merasa berterima kasih
sekali, -oo0dw0oo- Kurang lebih delapan pekan telah lewat semenjak Bagus
Seta berada di puncak Gunung Merapi bersama Ki
Tunggaljiwa. Pagi hari itu, seperti biasa, setelah sarapan
pagi yang amat sederhana, yaitu ubi bakar dan minum air
panas dari sumber yang berbau belerang untuk mengusir
hawa dingin pagi hari itu, Ki Tunggaljiwa bersama Bagus
Seta duduk di depan pondok. Setiap pagi, Ki Tunggaljiwa
tentu mengajak muridnya untuk menyambut munculnya
matahari sambil duduk bersila di atas tanah.
"Sebelum dewangkara (matahari) naik sampai ke atas
kepala kita, cahayanya mengandung berkah yang berlimpah-limpah, sarinya, mengandung dasar kekuatan
yang tak ternilai harganya. Karena itu, kita harus dapat
menikmati berkahnya dan sedapat mungkin kau harus
dapat menampung inti sari kekuatan mujijat yang terdapat
di dalam sinar kencana itu, muridku." Demikian Ki
Tunggaljiwa memberitahu muridnya sehingga setiap pagi
mereka duduk bersila tak .berbaju. Hal ini dilakukan oleh
guru dan murid dengan sikap yang amat menghormat,
karena menurut pendapat Ki Tunggaljiwa, yang menguasai
sang dewangkara adalah Sang Hyang Bathara Surya sendiri,
oleh karena itu berkah dan kekuatan itu harus diterima
dengan penuh hormat. Guru yang amat tua dan murid yang masih kanak-kanak
itu duduk bersila di pagi hari itu di depan pondok. Tak
lama kemudian, keduanya sudah duduk diam dan berlatih
samadhi sambil menikmati cahaya sinar matahari pagi yang
memandikan tubuh mereka. Demikian tekun dan hening
mereka dalam samadhi sehingga, tidak tahu bahwa ada dua
orang yang memiliki gerakan ringan dan gesit telah
mendaki puncak dan tiba di dekat pondok mereka.
Dua prang itu bukan lain adalah Adipati Tejolaksono
sendiri bersama isterinya, Ayu Candra. Wanita ini berkeras
tidak mau ditinggalkan suaminya, hendak ikut dan turun
tangan sendiri mencari puteranya yang hilang.
Jilid X ADIPATI TEJOLAKSONO tidak dapat, melarang
isterinya maka berangkatlah suami isteri ini menunggang
kuda menuju ke kaki Gunung Merapi di mana dahulu sang
adipati pernah bertemu dengan Ki Tunggaljiwa ketika
sedang memburu binatang hutan. Setelah perjalanan
mendaki gunung sampai di lereng dan amat sukar, terpaksa
suami isteri perkasa ini meninggalkan kuda mereka dan
melanjutkan pendakian ke puncak dengan jalan kaki.
Hati mereka berdebar keras penuh ketegangan dan
harapan ketika dari jauh mereka melihat pondok kecil di
dekat puncak itu. Akan tetapi tiba-tiba Adipati Tejolaksono
memegang lengan isterinya dan menarik isterinya itu
menyelinap ke belakang gerombolan pohon. Cepat ia
menutup mulut isterinya dengan tangan ketika melihat Ayu
Candra hendak membuka mulut bertanya. Mereka
mengintai keluar rumpun dan tampaklah oleh Ayu Candra
dua sosok bayangan orang melesat naik ke puncak. Mata
wanita itu terbelalak dan bulu tengkuknya berdiri. Setan-
setankah yang dilihatnya itu" Kalau manusia mengapa
dapat melakukan gerakan sehebat itu, seolah-olah terbang
saja mendaki puncak" Dan melihat bahwa mereka berdua
itu agaknya sudah amat tua, sungguh luar biasa sekali. Di
dalam hatinya, Adipati Tejolaksono juga terkejut dan
maklum bahwa dua orang kakek yang lewat dengan
kecepatan laksana terbang itu adalah orang-orang sakti yang
amat luar biasa. Maka ia lalu bersikap hati-hati, mengajak
isterinya melanjutkan perjalanan mendekati pondok.
Ketlka mereka berdua tiba di depan pondok dan melihat
Ki Tunggaljiwa yang duduk di depan pondok di atas tanah
bersama Bagus Seta, keduanya tercengang dan terharu
sekali. Putera mereka sehat dan selamat. Dan baru sekarang
mereka melihat betapa putera mereka itu amat sehat dan
tampan, duduk ber. Sila bertelanjang dada seperti sebuah
arca Sang Hyang Wishnu sendiri di waktu masih kanalk-
kanak, tubuhnya yang tertimpa sinar matahari itu
bercahaya seperti kencana, dari kepala tampak uap putih
membumbung atas membenttik lingkaran pelangi tipis.
Hebat! Dan anak mereka itu sedang tekun bersamadhi.
Belum pernah mereka melihat putera mereka bersamadhi
seperti itu, demikian tenang, demikian hening, penuh
kedamaian yang terpancar keluar dari wajahnya yang
tersenyum. Sampai terisak Ayu Candra saking girang dan
terharu hatinya melihat puteranya ini. Ingin ia berteriak
memanggil dan lari memeluk puteranya, akan tetapi
tangannya dipegang dan ditahan oleh Tejolaksono yang
tidak berani berlaku sembrono di depan kakek yang ia tahu
memiliki kesaktian yang amat tinggi itu.
Tiba-tiba dari belakang pondok itu muncul seekor
harimau putih yang langsung melompat ke depan
Tejolaksono dan isterinya, lalu mengeluarkan suara
gerengan keras dan memperlihatkan taring-taringnya yang
runcing. Ayu Candra kaget sekali dan memegang lengan
suaminya, siap menghadapi binatang buas yang amat besar
dan menyeramkan itu. Akan tetapi Tejolaksono bersikap
tenang, bahkan ia lalu maju ke depan harimau itu dan
berkata nyaring, "Harimau putih, apakah andika masih menaruh dendam
atas kematian anakmu" Tak dapatkah engkau memaafkan
aku?" Ki Tunggaljiwa membuka matanya dan menarik napas
panjang, lalu tertawa halus. "Ahh, kiranya Sang Adipati
telah datang! Ketahuilah, Angger. Harimau dan semua
binatang tidaklah semua pendendam seperti manusia.
Kematian anaknya pun dianggapnya sesuatu peristiwa yang
wajar dan tak terelakkan, maka tak pernah menaruh
dendam, baik kepada manusia maupun dewata, karena
segala perbuatan akan menimpa si pembuat sendiri, tidak
perlu dibalas oleh orang lain! Tidak, sardulo pethak tidak
mendendam kepadamu, tidak pula memaafkan dan tidak
sakit hati. Dia hanya merasa khawatir kalau-kalau kalian
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
datang untuk membawa pergi Bagus Seta dari sinil"
Dengan perlahan sang pertapa bangkit berdiri, bersandar
pada tongkatnya sambil berkata lirih, "Kulup, Bagus Seta
muridku yang baik, bangunlah. Ini ayah bundamu telah
datang, Angger." Bagus Seta yang tadinya rnaslh dalam keheningan
sarnadhinya tidak mendengar sesuatu, karena sudah biasa
gurunya mernbangunkannya darl samadhi, kini menjadi
sadar dan membuka matanya. Sepasang mata yang tajam
bersinar-sinar akan tetapi kini bertambah dengan kehalusan
yang tenang, memandang kepada ayah bundanya. Anak itu
lalu melompat bangun dan berseru gembira,
"Kanjeng Rama............ ! Kanjeng Ibu ..... !"
"Bagus Seta anakku............ !!" Ayu Candra lari
menghampiri, berlutut di depan puteranya sambil memeluk
dan menciuminya. Air mata ibu ini bercucuran saking
girang hatinya. Akan tetapi puteranya bersikap tenang,
bahkan sambil merangkul leher ibunya la berkata,
"Ibu, kenapa menangis" Saya tidak apa-apa, senang di
sini bersama Bapa Guru dan sardulo pethak."
Aneh sekali tetapi nyata terasa oleh Ayu Candra.
Ucapan puteranya ini biarpun dlucapkan dengan suara yang
sama sebulan yang lalu, yaitu suara puteranya yang nyaring
dan halus, namun ada sesuatu yang jauh berbeda. Di dalam
suara ini terkandung sesuatu yang amat berpengaruh,
sesuatu yang membuat jantungnya berdetak aneh dan yang
sekaligus membuat ia malu akan diri sendiri, malu bahwa ia
tadi telah memperlihatkan perasaan yang rnembayangkan
kelemahan hati. Puteranya ini sekarang seolah-olah bicara
seperti seorang dewata yang memiliki wibawa besar, seperti
ayahnya! Dlam-dlarn Tejolaksono yang menyaksikan sikap
dan mendengar suara puteranya, juga menjadi heran dan
kagum sekali, apalagi ketika ia tadi mendengar kakek itu
menyebut murid kepada Bagus Seta dan puteranya itu
menyebut bapa guru kepada kakek itu!
Karena maklum bahwa kakek itu bukan seorang manusia
sembarangan, maka Tejolaksono menarik tangan Ayu
Candra dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
Dia seorang adipati dan sebetulnya tidaklah semestinya
kalau ia sebagaI seorang pembesar dan bangsawan harus
menyembah seorang kakek biasa yang tidak memiliki
kedudukan. Akan tetapi Tejolaksono bukan seorang adipatl
biasa yang terlalu mementingkan dan membanggakan
kedudukannya. Di sudut hatinya, dia adalah seorang ksatria
yang selalu tahu menghormat dan menjunjung tinggi
seorang tua yang sakti, maka kini ia berlutut menyembah
tanpa ragu-ragu lagi. Juga Ayu Candra adalah puteri
Panji Sakti 6 Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Pendekar Pemetik Harpa 26