Perawan Lembah Wilis 6
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
seorang pertapa sakti, tentu saja wanita inipun bukan
seorang penyombong seperti puteri-puteri bangsawan biasa,
kini dengan segala kerendahan hati la berlutut menyembah
kakek yang ia tahu telah menolong puteranya itu.
"Eyang panembahan, hamba suami isteri menghaturkan
banyak terima kasih kepada Eyang panembahan yang
sudah menyuruh harimau putih untuk menolong putera
kami dari ancaman para perampok yang menyerang
Kadipaten Selopenangkep," Tejolaksono berkata dengan
sikap menghormat. Ki Tunggaljiwa tersenyum, mengelus jenggotnya dan
mengangguk-angguk. Ia kagum juga menyaksikan sikap
adipati dan isterinya ini yang begitu rendah hati, sikap yang
jarang ditemukan di antara pembesar atau bangsawan.
"Harap Andika suka bangkit dan marilah kita duduk dan
bicara yang enak dan Angger adipati harap jangan keliru
menduga. Saya bukanlah seorang panembahan melainkan
seorang petani biasa saja, seorang tua yang lemah dan tidak
semestinya Andika sembah. Bangkitlah, Angger dan marl
kita duduk di atas rumput yang empuk ini."
Tejolaksono dan isterinya tidak membantah dan mereka
lalu duduk bersila di depan Ki Tunggaljiwa, sedangkan
Bagus Seta duduk di samping ibunya yang bersimpuh.
"Angger adipati, ketahuilah bahwa puteramu berjodoh
dengan saya. Harap jangan mengira bahwa saya yang
memaksanya datang ke sini, melainkan dia sendiri yang
dengan suka rela ikut bersama sardulo pethak datang ke sini
kemudian secara suka rela pula menjadi muridku. Inilah
yang dinamakan jodoh, dan selama lima tahun saya harap
Andika berdua rela melepaskan putera Andika itu untuk
tinggal bersamaku mempelajari ilmu."
"Aahhhh............ !" Ayu Candra berseru kaget lalu
memeluk puteranya seolah-olah tidak merelakan puteranya
berpisah dari sampingnya.
"Eyang, seperti telah Eyang saksikan sendiri betapa
beratnya seorang ibu berpisah dari puteranya yang hanya
satu-satunya. Bagus Seta masih terlalu kecil dan biarpun
saya seorang bodoh yang tiada kepandaian, namun saya
masih sanggup untuk memberi pendidikan kepada putera
saya. Kelak, kalau dia sudah besar dan menghendaki
memperdalam ilmunya kepada Eyang, tentu kami tidak
keberatan. Akan tetapi sekarang.......... harap Eyang suka
memaafkan kalau hamba berdua tidak dapat menyetujuinya," kata Adipati Tejolaksono dengan suara
tenang. "Kanjeng Rama, saya senang sekali menjadi murid Bapa
guru, harap Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu tidak melarang
hamba..........." kata Bagus Seta tiba-tiba sambil memandang ayah bundanya. "Hushhh............ Bagus Seta, bagaimana Ibumu dapat
berpisah darimu, Nak" Apalagi sampai lima tahun!" kata
Ayu Candra. "Bagus Seta, tidak boleh kau membikin susah hati
Ibumu!" kata Tejolaksono.
Ki Tunggaljiwa tertawa. "Angger adipati berdua harap
maklum bahwa kehendak Hyang Widhi tidak dapat diubah
oleh perbuatan manusia. Ketahuilah bahwa bukan semata-
mata kehendak saya untuk mengambil murid Bagus Seta,
melainkan agaknya Sang Hyang Wishnu sendiri yang
memilih anak ini untuk kelak menyelamatkan nama
besarNya." "Akan tetapi, Eyang............ !!!"
Suara bantahan Adipati Tejolaksono terhenti karena
pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak dan
muncullah dua orang kakek yang entah dari mana tahu-
tahu telah berada di tempat itu, berdiri sambil tertawa
menghadapi Ki Tunggaljiwa. Kakek ini memandang,
menghela napas lalu bangkit berdiri. Melihat sikap ,dua
orang yang baru tiba, Adipati Tejolaksono juga bangkit
berdiri, diikuti Ayu Candra yang masih memeluk
puteranya. Tejolaksono yang memandang penuh perhatian, diam-
diam menjadi terkejut. Dari cahaya muka dan sinar mata
mereka, ia maklum bahwa dua kakek ini adalah orang-
orang yang berilmu tinggi. Kedua orang kakek itu sudah
amat tua, sukar diduga berapa usianya, akan tetapi agaknya
tidak kalah tua oleh Ki Tunggaljiwa yang juga sukar ditaksir
berapa usianya. Yang seorang bertubuh pendek gendut,
berkepala gundul licin, dengan jubah kuning yang besar.
Wajah kakek ini amat tenang, mulutnya tersenyum dan
pandang matanya tajam penuh pengertian seakan-akan
tidak ada rahasia lagi baginya akan apa yang terjadi di
kolong langit ini. Tangan kirinya memegang seuntai tasbih
dari batu putih halus mengkilap, sedangkan tangan
kanannya memegang sebatang tongkat kayu cendana yang
kepalanya berbentuk ukiran kepala naga. Seluruh sikap
kakek gundul ini, dari kaki sampai ke kepala, pada senyum
mulutnya dan sinar matanya, semua membayangkan
ketenangan dan kesabaran, kepala yang gundul dan jubah
kuningnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pendeta
beragama Buddha dan melihat betapa sinar kasih terpancar
keluar dari matanya, mudah diduga bahwa pendeta ini
adalah seorang pendeta suci yang sudah matang betul
ilmunya. Orang ke dua adalah seorang kakek tinggi kurus dan
kakek inilah yang tadi tertawa-tawa. Kakek ini rambutnya
panjang seperti rambut Ki Tunggaljiwa, juga sudah putih
semua, akan tetapi mukanya berkulit merah sehat seperti
muka seorang anak kecil yang banyak bermain di bawah
sinar matahari. Matanya amat tajam dan penuh semangat
hidup, penuh gairah dan panas. Anehnya, pakaian kakek ini
yang juga merupakan jubah seorang pendeta Hindu,
berwarna merah menyolok. Kedua tangannya kosong tidak
memegang sesuatu, akan tetapi di pinggangnya tampak
terselip gagang sebuah senjata yang tersembunyi di ba;ik
jubahnya. Ki Tunggaljiwa menghela napas panjang dan mengucapkan puja-puji kepada dewata sambil berkata,
"Puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Wisesa yang
telah menurunkan anugerah kebahagiaan pada saat ini!
Pantas saja angin bersilir sejuk, burung prenjak meng-ganter
. (berkicau riang), bajing lompat-lompat berkejaran gembira,
hari cerah dan jauh lebih indah daripada biasanya. Kiranya
puncak Merapi mendapat kehormatan besar menerima
sentuhan kaki dua orang suci yang mendatangkan kebajikan
kepada sesama umat manusia! Sang Biku Janapati............
dan Sang Wasi Bagaspati, selamat datang di puncak
Merapi!" "Sadhu............ sadhu............ sadhu............ semoga
Sang Tri Ratna melindungi kita semua!" Biku Janapati yang
gendut dan berkepala gundul itu berdoa sambil merangkapkan kedua telapak tangan ke depan dada.
"Wahai sang sakti Ki Tunggaljiwa, alangkah pandainya
Andika memilih tempat yang begini indah. Sahabatku yang
baik Ki Tunggaljiwa, seperti telah dikatakan oleh sabda suci
Sang Buddha bahwa yang meninggalkan kejahatan
dinamakan Brahmana, yang hidup tenang dan tenteram
disebut Samana (orang suci), dan yang mengenyahkan
kekotoran dirinya dlnamakan Pabbayita (berslh dari noda).
Semoga Andika sudah mencapal tingkat itu, oh, sahabat
dan saudaraku Ki Tunggaljiwal"
Ki Tunggaljiwa tersenyum ramah, sepasang matanya
yang bening dan bersinar terang itu ikut pula tersenyum.
"Saudaraku yang bijaksana, Sang Biku Janapati. Sabda sucl
Buddha-darma dalam kitab Dhammapada itu menerangkan
tentang sifat-sifat seorang Brahmana dan Andika pergunakan untuk memuji seorang seperti aku. Ha-ha-ha-
ha! Terlalu tinggi, sang biku. Masa mungkin seorang petani
bodoh macam Ki Tunggaljiwa ini disebut seorang
Brahmana" Tidak berani aku menerimanya, Saudaraku.
Andika inilah yang patut disebut seorang Bhikku yang telah
matang jiwanya, seperti telah disabdakan dalam Dhamma-
pada bahwa seorang Bhikku hendaknya tidak melebih-
lebihkan apa yang diterima olehnya, tidak iri hati terhadap
orang lain, karena seorang Bhlkku yang mengiri terhadap
orang lain. Takkan memperoleh ketenangan batin!"
"Ucapan Andika amat menyenangkan dan baik, Ki
Tunggaljiwa. Sadhu............ !"
"Ha-ha-ha-ha-ha! Semenjak puluhan tahun yang lalu Ki
Tunggaljiwa memang seorang yang pandai dan bijaksana.
Pandai lahir batin dan pandai pula mengelus hati dan
perasaan. Sampai-sampai Biku Janapati dapat kau nina-
bobokkan dengan sabda-sabda suci Buddha-dharma
(pelajaran Agama Buddha). Akan tetapi, Ki Tunggaljiwa,
suara dari mulut itu bukanlah pernyataan pikiran dan
senyum bukanlah cermin hati. Karena kita bertiga bukanlah
anak-anak kecil lagi, kuminta, Ki Tunggaljiwa, janganlah
menggunakan basa-basi dan tak perlu menanam madu di
bibir. Lebih baik kita mengeluarkan isi hati dan pikiran
sebagaimana adanya. Nah, aku telah berkata demi nama
Sang Hyang Syiwa yang berkuasa! Omm, shanti-shanti-
shanti...........!!"
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk, masih tersenyum
ramah dan sepasang matanya makin tajam bersinar-sinar.
Lengan kanannya memeluk dada, lengan kirinya bertopang
siku pada lengan kanan dan tangannya mengelus-elus
jenggotnya yang putih seperti benang-benang sutera perak
yang halus. "Duhai, Jagad Dewa Bhatara...........! Sang Wasi
Bagaspati semenjak puluhan tahun yang lalu masih saja
penuh api dan semangat, seperti tidak pernah menjadi tua.
Sungguh mengagumkan sekali! Sesungguhnyalah, aku sama
sekali tidak ............ berkedok basa-basi yang kosong,
Sahabat. Memang aku menanam madu di bibir, akan tetapi,
ini merupakan tata susila dan kepribadian bangsa kita.
Bukankah amat indah tata susila dan kepribadian bangsa
kita, Sang Wasi" Tata susila pencerminan peradaban dan
tanpa peradaban, apa bedanya antara manusia dan
binatang" Betapa janggalnya kalau Andika berdua datang
bertemu dengan aku lalu kita saling memandang dengan
mata melotot dan mulut cemberut penuh ancaman seperti
sekumpulan binatang bertemu lawan."
Mendengar sikap Ki Tunggaljiwa dan mendengar ucapan
kakek ini, Adipati Tejolaksono benar-benar amat kagum
dan tertarik hatinya. Juga ia tadi kaget dan kagum
mendengar bahwa kakek yang diangkat guru puteranya ini
benar-benar adalah Ki Tunggaljiwa seperti yang pernah
disangka oleh mendiang bibinya Kartikosari. Saking kagum
hatinya, tak terasa lagi ia mengangguk-anggukkan
kepalanya tanda setuju dengan bantahan itu.
"Ha-ha-ha! Dia yang tidak mengerti apa-apa, hanya
pandai mengangguk-angguk menelan semua kata-kata
manis seperti seekor kerbau mendapat makanan rumput
kering dari si petani!" kata pula Wasi Bagaspati yang
berwatak brangasan itu sambil memandang.
Tejolaksono tentu saja merasa dirinya disindir. Ia
mengangkat muka memandang pendeta pemuja Sang
Hyang Syiwa itu dan begitu pandang matanya bertemu
dengan pandang mata kakek itu, ia terkejut bukan main.
Dari sepasang mata kakek itu seperti keluar api berkilat
yang panas sekali sehingga menyilaukan matanyal Akan
tetapi Adipati Tejolaksono bukan orang sembarangan. Dia
pernah digembleng oleh Ki Patih Narotama, bahkan pernah
pula diwejang oleh Sang Prabu Airlangga, maka diapun
memiliki kekuatan batin amat hebat. Cepat ia mengerahkan
tenaga batinnya menentang pandang mata ini, namun biar
dia kuat menentangnya, tidak urung jantungnya berdebar
dan uap panas mengepul dari ubun-ubun kepalanya!
"Ha-ha-ha! Kiranya temanmu yang muda ini seorang
muda yang berisi juga, Ki Tunggaljiwa! Muridmukah dia
ini" Lebih baik kau menyuruh mereka bertiga ini
menyingkir lebih dulu agar percakapan kita yang maha
penting tidak terganggu."
Tejolaksono bergidik ketika kakek itu mengalihkan
pandang mata kepada Ki Tunggaljiwa. Ia maklum bahwa
sebentar lagi, kalau adu pandang itu dilanjutkan, a takkan
kuat bertahan. Alangkah hebatnya kakek pemuja Sang
Hyang Syiwa itu! "Heh-heh, dia bukan orang lain, juga bukan muridku,
Sang Wasi. Dia adalah Adipati Tejolaksono, Adipati
Selopenangkep." "Aaahhh! Kiranya dia ponggawa Panjalu, bukan" Bagus
sekali! Biarlah dia menjadi saksi dan pendengar untuk
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyampaikan kepada sang prabu di Panjalu. Kami tidak
takut!" "Sudahlah, Sabahatku Wasi Bagaspati. Tidak ada yang
menentangmu, maka memang tidak ada persoalan berani
atau takut. Lebih baik kalau Andika berdua Sang Biku
Banapati menjelaskan maksud kedatangan Andika berdua."
"Ha-ha, seperti anak kecil engkau, Ki Tunggaljiwa. Perlu
lagikah dijelaskan kepada seorang sakti mandraguna seperti
engkau yang kabarnya memiliki mata batin yang tajam dan
awas sehingga dapat melihat keadaan masa mendatang?"
Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng kepala. "Andika
maklum, bukan hak manusia untuk mendahului kehendak
Hyang Widhi Wisesa. Kalau engkau enggan mengaku, aku
mohon Sang Biku Janapati menjelaskan maksud kedatangannya." Biku Janapati yang sejak tadi hanya berdiri diam tak
bergerak, kini mendehem tiga kali, lalu merangkapkan
kedua tangannya lagi. "Ah, saudaraku Ki Tunggaljiwa.
Semoga Sang Buddha menjauhkan hatiku daripada
kehendak buruk! Kedatanganku ini tidak lain hanya mohon
petunjuk dan penjelasan mengenai perjumpaanmu setengah
tahun yang lalu di puncak Sanggabuwana dengan seorang
di antara murid-muridku. Engkau dan muridku berdebat,
juga dengan murid Saudara Wasi Bagaspati, dan
mendengar bahwa Andika menentang berkembangnya
Agama Buddha dan Agama Shiwa. Aku hanya ingin
mendengar dari mulut Andika sendiri, benarkah Andika
menentang Agama Buddha?"
"Biku Janapati, perlu apa bertanya lagi" Andaikata benar
demikian, tentu Ki Tunggaljiwa yang plintat-plintut ini
tidak akan mengaku. Kita semua tahu bahwa dia
penyembah Sang Hyang Wishnu dan kita sama tahu pula
betapa para penyembah Wishnu selalu menyelamatkan diri
di balik ketajaman lidahnya!"
Ki Tunggaljiwa tidak menjadi marah, hanya mengangguk-angguk dan tersenyum lalu mengelus-elus
jenggotnya. "Memang benar seperti yang diucapkan Wasi
Bagaspati. Perlu apa lagi aku bicara kalau orang datang
dengan etikat buruk" Orang yang telah diracuni kebencian
tidak akan dapat melihat kebenaran, tidak akan dapat
mempertimbangkan keadilan! Kalau aku bicara dan
membela kebenaran, tentu akan kalian anggap keliru pula,
bahkan jangan-jangan aku disangka tumbak-cucukan
(penceloteh). Tidak, kedua saudaraku yang bijaksana. Aku
tidak akan membela diri dan membenarkan diri sendiri.
Hanya pendirianku begini, hendaknya kalian berdua
dengarkan secara teliti, dengan kepala dingin. Tidak aku
sangkal lagi bahwa aku, bersama sebagian besar rakyat
Panjalu dan Jenggala, memuja Sang Bathara Wishnu yang
penuh kasih dan yang bijaksana yang hendak menuntun
manusia ke jalan kebenaran, tidak melawan kehendak Sang
Hyang Widhi Wisesa! Akan tetapi, sungguh menyimpang
daripada ajaran Sang Hyang Wishnu kalau kami para
pemujanya membenci dan menghalangi perkembangan
agama lain, karena kami tahu bahwasanya semua agama itu
bagaikan jalan-jalan yang berlainan namun kesemuanya
mempunyai titik tujuan yang sama! Sinar agung Sang
Hyang Wisesa merupakan mercu suar dan ke arah mercu
suar itulah semua jalan menuju. Sahabat berdua, sekali lagi
kutekankan bahwa kami anak murid Sri Wishnu tidak akan
menentang agama lain, akan tetapi tentu saja kami juga
tidak mau ditekan." "Sungguh baik dan benar wawasan Ki Tunggaljiwa dan
semoga Sang Buddha memberkahi kita sekalian yang
berkemauan baik," kata Biku Janapati dengan wajah
berseri. Akan tetapi Wasi Bagaspati lalu tertawa bergelak
penuh ejekan, kemudian berkata, suaranya nyaring,
"Ha-ha-ha, pemutaran kata-kata yang manis beracun!
Heh, Ki Tunggaljiwa! Kakek-kakek seperti kita ini, perlu
apa memutar-rnutar omongan" Lebih baik engkau katakan
bahwa engkau tidak rela melihat agama kami berkembang
ke Panjalu dan Jenggala!,. Aku Wasi Bagaspati semenjak
muda terkenal sebagai orang yang paling suka akan sikap
jantan yang blak-blakan, membenci sifat plintat-plintut!"
Keras dan memanaskan hati ucapan yang keluar dari
tokoh pemuja Agama Shiwa ini, akan tetapi Ki Tunggaljiwa
masih tersenyum, bukan senyum sabar melainkan senyum
penuh makium, seperti senyum seorang tua melihat
kenakalan kanak-kanak. "Wasi Bagaspati, aku tidak menyembunyikan sesuatu
yang aku sudah tahu pula akan latar belakang kemarahan
Andika berdua. Misalnya, aku tahu bahwa Andika dan
murid Andika adalah utusan-utusan atau wakil Kerajaan
Cola yang ingin menancapkan kekuasaan di Jawa-dwipa,
seperti juga sahabat Biku Janapati ini adalah utusan
Sriwijaya yang semenjak dahulu memang ingin mendesak
Mataram! Kedua kerajaan ini memperalat kalian, entah
kalian sadari ataukah tidak. Akan tetapi aku tidak
mencampuri urusan kerajaan. Bagiku, kujelaskan lagi, asal
kalian tidak menekan kami para anak murid Sri Wishnu,
kami tidak akan menentang siapa-siapa."
"Ha-ha-ha! Tanpa tedeng aling-aling memang kuakui
bahwa aku utusan Kerajaan Cola! Dan Biku Janapati
memang utusan Sriwijaya! Akan tetapi kau tidak perlu
berpura-pura lagi, Ki Tunggaljiwa. Siapakah tidak tahu
kepada engkau dan kakak seperguruanmu Bhagawan
Satyadarma di Gunung Agung" Siapakah tidak tahu betapa
dahulu, semenjak di Balidwipa, kalian mengusahakan agar
dapat menguasai Jawa" Buktinya, anak Balidwipa, murid
Bhagawan Satyadarma, menjadi Raja Kahuripan! Dan kini
putera-puteranya merajai Jenggala dan Panjalu. Tentu saja
engkau melindungi mereka! Pendeknya, Kerajaan Cola dan
Sriwijaya akan maju terus, dan kamipun akan maju terus!"
Ki Tunggaljiwa menggeleng kepalanya. "Kalau begitu
Sriwijaya dan Cola takkan berhasil, dan Andika berdua juga
akan menghadapi banyak tantangan!"
"Ahh............ , begitukah" Dan siapa yang akan
menentang kami" Engkaukah, Ki Tunggaljiwa!"
"Mungkin............ kalau perlu," jawab Ki Tunggaljiwa
dengan sikap tenang. Wasi Bagaspati mengedikkan kepala, membusungkan
dada dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Babo-
babo............ Ki Tunggaljiwa, kami anak murid Sang Hyang
Shiwa memang bertugas membasmi yang jahat!"
"Aku tidak akan menyangkal, Wasi Bagaspati. Sang
Hyang Shiwa memang berwenang membasmi akan tetapi
pengertianmu tentang yang baik dan yang jahat kacau-balau
dan hanya menurutkan nafsu dan mencari kemenangan
pribadi belaka. Dengan demikian, kalau engkau menentang
yang benar, berarti engkau bahkan mengkhianati tugas suci
Sang Hyang Shiwa." "Bagus! Jadi menurut pendapatmu, siapa yang benar"
Orang-orang macam engkau inikah" Atau adipati antek
Panjaiu ini" Huh, kalau saja dahulu aku diberi kesempatan,
sudah kubasmi Airlangga dan Narotama, biang keladi
utama sehingga agama-agama lain menjadi muhdur dan
hanya menonjolkan penyembahan Sang Hyang Wishnu!
Hayo, Ki Tunggaljiwa, majulah, biar kumusnahkan
sekarang juga agar kelak tidak mendatangkan banyak
korban. Engkaulah biang keladi utama sekarang!"
"Wasi Bagaspati, Andika sudah berjanji kepadaku tidak
akan menggunakan kekerasan!" Tiba-tiba Biku Janapati
berkata dengan suaranya yang tenang dan mantap.
Mendengar ini, Sang Wasi Bagaspati tertawa dan
kepalanya menengadah ke atas.
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Biku Janapati. Aku tidak
akan menggunakan kekerasan, akan tetapi kalau tua bangka
ini maju, hemmm, dia akan menemui kebinasaanl Orang
Mataram semenjak dahulu adalah orang-orang sombong
dan pengecutI" Kalau Ki Tunggaljiwa tersenyum tenang saja mendengar
semua kata-kata yang kasar dan menghina itu, adalah
Adipati Tejolaksono yang tidak dapat menahan sabar.
Tadinya hanya kedua telinganya saja yang merah. Akan
tetapi makin lama, warna merah menjalar ke leher dan
seluruh mukanya. Apalagi ketika mendengar bahwa Ki
Tunggaljiwa adalah saudara seperguruan Sang Bhagawan
Satyadharma, ia menjadi terkejut karena Bhagawan
Satyadharma adalah eyang gurunya, dan kini melihat Ki
Tunggaljiwa yang masih terhitung eyang gurunya pula itu
diperhina orang, mendengar pula Mataram dan orang-
orang Mataram disebut sombong dan pengecut, malah tadi
nama Airlangga dan Narotama disebut-sebut, adipati yang
jauh lebih muda ini segera melangkah maju dan
menudingkan telunjuknya ke arah Wasi Bagaspati samba
berkata tandas, "Heh, nanti dulu, Sang Wasi Bagaspati! Andika mudah
saja memaki-maki orang Mataram! Saya mendengar tadi
bahwa Andika adalah utusan Kerajaan Cola! Padahal
melihat warna mata, rambut dan kulit, Andika adalah
bangsa saya juga! Akan tetapi Andika sudah merendahkan
diri menjadi antek kerajaan asing! Andika bertugas demi
kepentingan Bangsa Cola di seberang lautan! Sebaliknya,
kami keturunan orang Mataram mengabdi kepada tanah air
dan bangsa! Dan Andika masih berani menyebut orang-
orang Mataram sombong dan pengecut?"
"Uaaahhh, babo-babo, si keparat! Engkau bocah masih
bau pupuk berani kurangajar terhadap seorang kakek seperti
aku" Majulah kalau kau ingin musnah hari ini!"
"Eyang guru Ki Tunggaljiwa tentu sependapat dengan
saya bahwa sebagai anak murid Sang Hyang Wishnu yang
taat, saya tidak akan menyerang orang lain tanpa sebab dan
hanya akan melayaninya apabila diserang!"
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk girang, akan tetapi
Wasi Bagaspati menjadi makin marah sehingga matanya
melotot mukanya merah. "Eyang guru" Jadi Ki
Tunggaljiwa ini eyang gurumu" Murid siapa engkau,
bocah?" "Mendiang Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih
Narotama pernah membimbing hamba."
"Hua-ha-ha-ha-ha! Hanya murid si Airlangga dan
Narotama sudah berani menentang aku, Wasi Bagaspati?"
"Saya sama sekali tidak menentang seorang tua bernama
Wasi Bagaspati, yang saya tentang adalah kelaliman.........."
"Huuuuushhh, keparat! Kau bilang aku lalim" Heh,
Adipati Tejolaksono, tahukah engkau bahwa dengan mata
meram aku sanggup membinasakanmu" Berani kau
menerima dua kali pukulanku?"
"Saya tidak menantang, hanya akan membela diri kalau
diserang." "Bagus! Kalau begitu aku akan menyerangmu dengan
dua kali pukulan. Nah, kau terimalah pukulan tangan
kananku, bocah!" Wasi Bagaspati tidak melangkah maju, tetap berdiri di
tempatnya semula, sejauh dua meter dari Tejolaksono,
tangan kanannya dldorongkan ke depan, kelihatannya
perlahan saja, namun datanglah angin pukulan yang amat
dahsyat menyambar ke arah dada Tejolaksono!
Tejolaksono adalah seorang sakti. La rnaklum bahwa
pukulan jarak jauh yang ampuhnya menggila dan tidak
mungkin dielakkan karena jarak lingkungannya tak dapat
diduga berapa luasnya. Terpaksa ia lalu mengerahkan
seluruh tenaga disalurkan kepada kedua lengannya, sampai
ke ujung-ujung jari kemudian kedua tangannya itu
dikipatkan ke depan untuk menghalau pukulan lawan. Ia
menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang sudah berkali-
kali ternyata keampuhannya dalam menghadapi lawan
tangguh. Sudah banyak sekali lawan sakti roboh olehnya
dengan aji pukulan Pethit Nogo ini. Adipati Tejolaksono
sudah mahir sekali menggunakan aji pukulan ini sehingga
terkenal menjadi buah bibir orang bahwa dengan Aji Pethit
Nogo, sang adipati sanggup memukul permukaan sungai
sehingga dalam beberapa detik lamanya air itu terpecah
atau terpisah sampai tampak dasar sungai! Kini ia
menggunakan aji pukulan Pethit Nogo dengan pengerahan
seluruh tenaganya, dapat dibayangkan hebatnya dan
agaknya si penyerang yang tertangkis tentu akan patah-
patah tulang lengannya. "Syuuuuutttt............ !" Dari tangan kanan Wasi
Bagaspati dan dari kedua tangan Adipati Tejolaksono
meluncur angin yang saling menghantam di tengah udara,
di antara tangan mereka yang hanya berpisah satu meter.
"Dessss............ !!"
Sang adipati merasa betapa kedua telapak tangannya
panas seperti dibakar dalam pertemuan tenaga yang tak
tampak itu, dan menurut perasaannya, betapapun hebat
tenaga Sang Wasi Bagaspati, namun tidak banyak
selisihnya dengan tenaga saktinya sendiri. Akan tetapi,
alangkah kaget dan herannya ketika tanpa dapat ia cegah
lagi, tubuhnya terlempar ke belakang seperti ditolakkan
tenaga yang luar biasa dahsyatnya. Untung ia tidak
kehilangan akal dan cepat berjungkir balik di udara
menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga ia dapat melayang
turun ke bawah dan tidak sampai terbanting ke atas tanah.
"Hemmm ............ kau dapat bertahan"
Coba yang kedua kali dan terakhir ini, terimalah!" kata
pula Wasi Bagaspati dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke
depan. Lebih tepat disebut meluncur karena kedua kakinya
tidak tampak bergerak akan tetapi tahu-tahu tubuhnya
sudah meluncur maju. Kini tangan kirinya yang mendorong
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan telapak tangan terbuka dan jari-jari tangannya
merenggang. Sang adipati berlaku hati-hati sekali. Jelas bahwa tadi
tangkisan aji pukulan Pethit Nogo tidak kuat menahan
pukulan sang wasi, maka kini ia kembali mengerahkan
seluruh tenaganya dan menggunakan aji pukulan Bojro
Dahono yang ia pelajari dari Ki Patih Narotama. Pukulan
Bojro Dahono ini setingkat lebih dahsyat daripada Aji
Pethit Nogo dan memiliki hawa panas seperti api dari
dalam kawah Gunung Merapil Kalau tidak yakin betul
bahwa lawannya seorang yang saki mandraguna, kiranya
Adipati Tejolaksono tidak akan menggunakan aji ini karena
ia tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kakek itu.
"Wessssssssss............ !!" Telapak tangan mereka
bertumbuk di udara, belum saling menempel, dalam jarak
setengah meter, akan tetapi dari kedua telapak tangan
mereka mengebul asap dan uapl Hawa dil sekitar tempat itu
menjadi panas dan kiranya kedua orang itu menggunakan
aji pukulan yang berhawa panas!
Kembali seperti halnya tadi, Tejolaksono merasa bahwa
tenaga lawan tidaklah banyak lebih kuat daripada
tenaganya sendiri. Ia hanya kalah seusap. Akan tetapi aneh
sekali, kini tangannya itu
terbetot oleh tenaga dahsyat
yang tak tampak dan betapapun ia mempertahankan diri, tetap
saja ia terbetot dan tangannya
makin maju mendekati tangan
lawanI Ia mengerahkan tenaga menarik, namun percuma, kini bahkan kakinya
terseret dan di lain saat,
bagaikan besi tertarik besi
sembrani, telapak tangannya
yang penuh dengan Aji Bojro
Dahono itu menempel pada telapak tangan Wasi Bagaspati!
Begitu telapak tangannya menempel pada telapak tangan
lawan, Adipati Tejolaksono terkejut bukan main. Ia merasa
betapa hawa saktinya tersedot tanpa dapat dicegah lagi,
memasuki telapak tangan lawan dan kulit tangannya sendirI
terasa seperti dibakar api Kawah Condrodimuko! La
mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan tangan,
namun sia-sia karena tenaganya "amblas" ke dalam telapak
tangan lawan. "Huah-ha-ha-ha! Hayo kerahkan seluruh tenagamu,
keluarkan semua aji kesaktianmu, coba lepaskan tanganmu
kalau engkau mampu, bocah!" Wasi Bagaspati tertawa-
tawa dan kelihatan enak-enak saja sedangkan Tejolaksono
mulai bermandi peluh dan mukanya berubah pucat,
napasnya terengah-engah menahan nyeri dan panas. Kalau
dilanjutkan ia tentu akan kehabisan tenaga yang disedot
oleh lawan, dan seperti orang kehabisan darah, akhirnya ia
akan roboh lemas! "Lepaskan suamiku"......... li" Ayu Candra sudah
meloncat maju dan mengirim pukulan ke arah lambung
Wasi Bagaspati. Ayu Candra adalah puteri mendiang Ki
Adibroto, seorang warok Ponorogo aliran putih yang sakti,
tentu saja pukulannya tidak boleh dipandang ringan.
Apalagi semenjak menjadi isteri Tejolaksono, ia telah
memperoleh banyak kemajuan berkat bimbingan suaminya.
Akan tetapi, pukulannya tidak pernah menyentuh kulit
lambung Wasi Bagaspati. Kira-kira dalam jarak sejengkal
jauhnya dari lambung, pukulan itu bertemu dengan tenaga
yang berhawa panas sehingga Ayu Candra yang memukul
bahkan terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung.
Wanita itu tentu roboh kalau saja tidak cepat dipeluk dari
belakang oleh puteranya, Bagus Seta.
"Ah, Angger adipati, harap Andika mundur karena Wasi
Bagaspati bukanlah lawan Andika!"
Mendengar ucapan Ki Tunggaljiwa ini, Wasi Bagaspati
tertawa dan Tejolaksono bingung. Tangannya sudah
melekat dan tenaga saktinya disedot terus oleh kakek
lawannya yang luar biasa itu. Bagaimana ia dapat mundur"
Melepaskan tangannya saja tidak mampu! Akan tetapi pada
saat itu, Ki Tunggaljiwa memegang pundaknya dan dari
tangan kakek itu menjalar hawa yang amat dingin yang
menembus punggung berkumpul di pusar, mendatangkan
tenaga yang amat hebat. Tejolaksono, seorang yang sakti
mandraguna, tahu akan bantuan ini dan cepat menyalurkan
hawa itu ke arah lengannya dan ............ terdengar suara
seperti api disiram air dingin. Dari telapak tangan yang
saling menempel itu keluar asap dan sekali tarik,
Tejolaksono berhasil melepaskan tangannya. Ia tidak
membuang waktu lagi dan cepat melompat mundur. Akan
tetapi karena ia lelah sekali, ia jatuh terduduk lalu bersila
dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.
"Ha-ha-ha, bagus sekali, Tunggaljiwa! Memang bocah
ini bukan lawanku. Hayo engkau majulah. Engkau
lawanku. Kita tua sama tua!" Wasi Bagaspati menantang
sambil membusungkan dadanya yang tipis. Ketika
Tejolaksono dan Ayu Candra memandang wajah kakek
penyembah Bajhara Shiwa ini, mereka bergidik dan
menjadi gentar. Kini mengertilah Tejolaksono mengapa ia
tadi tidak berdaya sama sekali menghadapi kakek itu. Ia
jauh kalah kuat perbawanya. Sekarang pun memandang
wajah kakek itu, ia seakan-akan melihat wajah itu
mengeluarkan cahaya mencorong yang membuat hatinya
gentar. Hebat bukan main Wasi Bagaspati ini.
Akan tetapi menghadapi Wasi Bagaspati yang brangasan
dan tinggi hati ini, Ki Tunggaljiwa tetap tenang dan penuh
kesabaran. Ia agaknya tidak memandang mata kepada Wasi
Bagaspati yang menantangnya, sebaliknya ia lalu menjura
ke arah Biku Janapati dengan sikap menghormat. Pendeta
Buddha ini sejak tadi hanya menjadi penonton saja dan
sedikitpun tidak ada perubahan pada wajahnya yang amat
tenang seperti air telaga yang dalam.
"Aku tidak akan berdebat dengan orang yang telah
dikuasai amarah. Saudaraku Biku Janapati, bagaimana
pendapat Andika" Apakah aku harus melayani tantangan
Wasi Bagaspati?" Pendeta Buddha yang tak berambut itu menarik napas
panjang. "Sadhu, sadhu! Harus diakui bahwa dalam hal
pengendalian perasaan, Andika lebih menang setingkat
daripada Saudara Wasi Bagaspati, Ki Tunggaljiwa!
Memang tidak selayaknya orang-orang tua seperti kita
berkelahi seperti orang-orang muda! Bertempur bukanlah
permainan para pertapa dan pendeta, melainkan tugas para
ksatria. Saudara Wasi Bagaspati, simpanlah kembali aji-aji
kesaktianmu. Biarlah kalau kelak terjadi keharusan
pertempuran, murid-murid kita yang akan mewakili kita."
"Ha-ha-ha, engkau untung sekali, Ki Tunggaljiwa!
Usiamu yang tinggal sedikit diperpanjang beberapa tahun
lagi. Kalau Biku Janapati tidak membujukku, betapa-pun
kau mengeluarkan seluruh keampuhanmu, pasti hari ini
engkau kukirim kembali ke alam asalmu!"
Ki Tunggaljiwa tersenyum dan membungkuk. "Akupun
amat berterima kasih kepada Biku Janapati atas
pengertiannya yang mendalam dan kepadamu yang telah
bersikap murah kepadaku, Wasi Bagaspati. Aku setuju
dengan pendapat Biku Janapati, biarlah kelak murid-murid
kita yang akan mewakili kita dan tentu saja biarlah kelak
Sang Hyang Widhi Wisesa yang akan menentukan. Becik
ketitik ala ketara (yang baik tampak yang buruk kelihatan)!"
"Berat............ , berat............! Ki Tunggaljiwa seorang
bijaksana dan sakti mandraguna, sungguh merupakan
lawan berat. Marilah, Wasi Bagaspati, kita pergi. Selamat
tinggal, Ki Tunggaljiwa. Semoga Sang Tri Ratna memberi
penerangan kepada Andika!"
"Doa restuku mengiringi perjalananmu, Biku Janapati
dan Wasi Bagaspati!"
Dua orang kakek itu berkelebat dan dalam sekejap mata
saja lenyap dari tempat itu. Adipati Tejolaksono dan
isterinya mengikuti bayangan mereka dengan hati kagum
dan gentar. Tejolaksono menghela napas panjang dan
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sungguh amat berbahaya............ I" Ia bergidik kalau
teringat pengalamannya tadi. Semenjak muda ia sudah
seringkali menghadapi lawan tangguh, akan tetapi sekali ini
benar-benar tidak berdaya menghadapi Wasi Bagaspati
yang dalam dua kali gebrakan saja hampir menewaskannya
dalam keadaan mengerikan, menyedot semua hawa sakti
dari dalam tubuhnyal "Wasi Bagaspati belum seberapa, Angger adipati. Aku
yang tua masih sanggup menanggulanginya. Akan tetapi
baiknya Biku Janapati berpemandangan luas dan hatinya
bersih. Kalau dia yang dimabuk nafsu amarah seperti Wasi
Bagaspati, tidak dapat aku membayangkan apa jadinya.
Ilmu kesaktian pendeta Buddha itu sedikitnya dua tingkat
lebih tinggi dari-pada tingkat Wasi Bagaspati!"
Adipati Tejolaksono melongo, kaget dan khawatir sekali.
Kalau Panjalu dan Jenggala diancam bahaya serangan
orang-orang sesakti itu, benar-benar amat mengkhawatirkan! Kemudian ia teringat bahwa kakek ini
masih eyang gurunya, maka ia segera memegang tangan
isteri dan puteranya, diajak menjatuhkan diri berlutut dan
menyembah orang tua itu. "Mohon Eyang mengampunkan hamba yang tidak tahu
bahwa Eyang adalah Paman guru Sang Prabu Airlangga
dan Rakyana Patih Narotama. Ternyata Eyang adalah
Eyang guru hamba sendiri!"
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya,
kemudian iapun duduk bersila seperti tadi. "Kalian
duduklah baik-baik dan dengarkan aku bicara," katanya.
Sikapnya tak pernah berubah, tetap tenang dan kini
matahari yang telah naik tinggi menyoroti rambutnya yang
putih seperti perak sehingga berkilauan menambah
keagungannya. "Kiranya Hyang Widhi telah membuka rahasia dengan
kunjungan dua orang pendeta tadi. Angger adipati, setelah
Andika menyaksikan dan mendengarkan semua, apakah
Andika berdua isteri masih ragu-ragu untuk menyerahkan
pendidikan puteramu kepadaku" Ketahuilah
bahwa menurut penglihatanku, hanya puteramu ini yang kelak
akan sanggup menyelamatkan Panjalu, dan terutama sekali
menyelamatkan kewibawaan dan kebesaran Sang Hyang
Wishnu. Kalian tadi telah menyaksikan sendiri betapa
saktinya pihak lawan."
Suami isteri itu saling berpandangan dengan pucat.
Betapapun berat rasa hati mereka harus berpisah dari Bagus
Seta, namun mereka dapat melihat kebenaran kata-kata
kakek itu. Musuh yang mengancam negara amat sakti dan
kalau tidak ada yang menanggulanginya, akan berbahaya
sekali. Mereka amat mencinta putera tunggal mereka, akan
tetapi mereka bukanlah orang-orang yang berpemandangan
picik dan hanya mementingkan diri sendiri saja. Dari
sepasang mata Ayu Candra bertitik dua air mata, akan
tetapi Tejolaksono makium dari pandang mata isterinya
bahwa isterinya sudah merelakan puteranya. Maka ia lalu
berkata, "Setelah melihat keadaan dan menginsyafi dasar
pengangkatan anak kami sebagai murid Eyang guru, hamba
hanya pasrah kepada kebijaksanaan Eyang. Semoga saja
.Bagus Seta kelak tidak akan mengecewakan mengemban
tugas yang maha berat itu."
Ki Tunggaljiwa tertawa. "Bagus sekali kalau kalian
berdua sudah rela, Angger. Aku hanya mempunyai
kesempatan selama lima tahun dan semoga dalam waktu
itu, Sang Hyang Wishnu akan memberi bimbingan kepada
puteramu sehingga berhasil dalam mengejar ilmu.
Ketahuilah, dua orang pendeta tadi memiliki kesaktian
yang amat tinggi. Dalam hal ilmu, kiranya engkau sendiri
tidak akan kalah banyak oleh mereka, akan tetapi dalam hal
kekuatan batin, ah, mereka itu sukar dilawan dan
dikalahkan. Mereka sudah matang dalam gemblengan tapa
dan mantra. Andaikata tadi engkau menggunakan Aji
Triwikrama, agaknya tidaklah begitu terpengaruh oleh
perbawanya yang amat kuat, namun betapapun juga, tidak
akan mudah mengalahkan Wasi Bagaspati, apalagi Biku
Janapati. Nah, sekarang harap Andika berdua pulang ke
Kadipaten Selopenangkep. Masih ada hal yang harus
kauhadapi Angger, namun betapapun berat, harus banyak
hal yang harus kauhadapi, Angger adipati. Namun,
betapapun berat, harus dapat kauhadapi dengan tabah
karena segala macam hal yang menimpa diri manusia telah
ditentukan oleh Hyang Widhi, sesuai dengan karma dan
sesuai pula dengan perbuatan-perbuatan manusia sendiri,
sehingga segala hal itu amatlah adil dan wajar. Segala hal
yang terjadi pada diri manusia adalah akibat, dan mencari
sebab dari luar adalah perbuatan bodoh, Angger, karena
sebab-sebabnya adalah perbuatan dan pakarti kita sent diri."
Berdebar jantung Tejolaksono. Teringatlah ia akan
semua perbuatannya selama ini. Diawali dengan perburuan
di hutan dan pembunuhan anak harimau, pertemuannya
dengan Ki Tunggaljiwa. Kemudian teringat ia akan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengalamannya dengan Endang Patibroto yang belum
sempat ia ceritakan kepada Ayu Candra. Teringat akan ini
semua, ia menundukkan mukanya, menduga-duga apa
gerangan yang akan menjadi akibat daripada semua
perbuatannya itu. Dan adipati yang arif bijaksana dan sakti
mandraguna ini mengkirik, ngeri ia melihat kenyataan
semua perbuatannya itu. Ah, betapa lemahnya manusia.
Betapa manusia diombang-ambingkan oleh nafsunya
sendiri sehingga terbentuklah sebab-sebab yang akan
menelurkan akibat-akibat yang di kemudian hari tidak akan
diakui sebagai akibat perbuatannya sendiri, lalu menimbulkan sengsara! Tiba-tiba sang adipati merasa
nelangsa batinnya dan ia lalu bersembah sungkem di depan
Ki Tunggaljiwa dan berkata, suaranya menggetar penuh
perasaan haru, "Duhai, Eyang............ hamba mohon petunjuk untuk
menggayuh (menjangkau) kesempurnaan, Eyang."
Kakek itu tertawa, suara ketawanya ramah dan lunak.
"Ha-ha-ha-ha, Angger Adipati Tejolaksono. Kata-katamu
amatlah lucu. Kesempurnaan apakah yang dapat dijangkau,
Angger" Dan mengapa mencari kesempurnaan" Lihatlah
dirimu sendiri, telitilah sedalam-dalamnya, lihatlah baik-
baik segala warna-warni dan bentuk-bentuk, dengarlah
segala suara, ciumlah segala ganda (bau), adakah sesuatu di
dunia ini yang kurang atau belum sempurna" Segala sesuatu
ciptaan Hyang Widhi Wisesa adalah sempurna, Angger,
termasuk jasmani dan rohani kita manusia adalah
sempurna. Sempurna, bersih dan suci. Yang menjadi
persoalan hanyalah betapa cara menjaga kebersihan itu,
mempertahankan kesucian itu. Jadi persoalannya hanyalah
usaha, ikhtiar yang berupa laku-lampah dan karya kita.
Segala perbuatan dan ucapan kita haruslah sesuai dengan isi
hati dan pikiran sehingga tidak ada perbedaan antara lahir
dan batin, atau jelasnya, perbuatan kita adalah pencerminan
daripada isi hati kita. Perbuatan yang sesuai lahir batin
inilah, Angger, yang akan menentukan akibat-akibat di
belakang hari dalam kehidupan kita."
"Perbuatan yang bagaimanakah, Eyang" Mohon petunjuk." "Tengoklah sekeliling kita, Angger. Adakah sebuah
bendapun yang tiada guianya bagi. Kita" Semua berguna,
semua demi kenikmatan hidup kita. Demikianlah sifat
Hyang Widhi Wisesa, sekalian isi alam diberikan kepada
manusia. Memberi, memberi, dan member!, tanpa pamrih!
Tidak pernah meminta, tidak pernah menuntut, berkah dan
anugerah berlimpah-limpah dalam pemberian yang ikhlas
tanpa pamrih. Tidak pilih kasih! Lihat cahaya matahari.
Siapapun adanya dia, bodoh atau pintar, kaya atau miskin,
boleh menikmatinya. Pendeknya, seluruh ciptaan Hyang
Widhi Wisesa diberikan kepada siapa saja yang mau dan
dapat menikmatinya! Lalu, apakah balas jasa manusia
terhadap semua berkah yang tak kunjung habis itu" Apakah
yang telah diberikan oleh manusia" Janganlah hanya pandai
meminta, meminta, dan meminta lagi! Kita harus meniru
sifat yang amat indah itu, ialah memberi, memberi, dan
memberi tanpa pamrih! Melakukan kewajiban sebagai
manusia tanpa pamrih, berarti membantu kelancaran
perputaran roda kesempurnaan yang diciptakan Hyang
Widhi Wisesa." "Kewajiban dan perbuatan yang bagaimanakah kiranya,
Eyang" Maafkan, Eyang, sungguhpun sudah banyak hamba
dengar dari para guru, namun petunjuk Eyang akan
menjadi penambah sinar terang dalam jalan hidup hamba."
Ki Tunggaljiwa tersenyum. "Memang, manusia harus
senantiasa belajar, dan biarlah semua wawasanku ini tidak
akan sia-sia. Terutama sekali kutujukan kepada muridku,
Bagus Seta karena wawasan inipun merupakan pelajaran
baginya." Bagus Seta yang tadi berada dalam pelukan ibunya, kini
duduk bersila dan mendengarkan penuh perhatian.
"Semua sikap dalam hidup sudah digambarkan secara
jelas dalam Bhagawad Gita ketika Sang Hyang Wishnu
dalam diri Sang Bhatara Kresna memberi wejangan kepada
Sang Harjuna. Akan tetapi sebagai dasar permulaan, aku
mempunyai dua macam pelajaran yang amat mudah dan
sederhana, mudah dimengerti sungguhpun belum tentu
mudah dijalankan. Pertama : JANGAN MENYUSAHKAN HATI ORANG LAIN! Pelajaran
pertama ini amat luasnya, Angger dan jangan mengira akan
mudah saja dilaksanakan. Karena, jika pelajaran pertama
ini sudah mendarah daging pada diri kita, maka kita tidak
melakukan segala macam perbuatan jahat yang merugikan
atau menyinggung perasaan, pendeknya merugikan lain
orang. Nah, kalau pelajaran pertama ini sudah benar-benar
menjadi watak, mulailah kita meningkat kepada pelajaran
ke dua, yaitu : SENANGKANLAH HATI ORANG LAIN!
Senangkaniah hati orang lain sesering dan sebanyak
mungkin karena sifat ini sesuai dengan semua ciptaan Sang
Hyang Widhi yang serba sempurna. Hidup adalah suatu
berkah dan nikmat, maka harus dinikmati bersama dengan
landasan kasih sayang antar manusia yang sesungguhnya
adalah senasib di dalam dunia ini."
Tejolaksono mendengarkan penuh perhatian. Filsafat
yang keluar dari mulut kakek itu amatlah sederhana, namun
apabila benar-benar dijalankan manusia, kiranya tidak ada
perlunya lagi manusia mengejar-ngejar kesempurnaan
seperti banyak dilakukan orang sehingga sesat ke mana-
mana. Cara hidup baik yang sesungguhnya amat sederhana
dan mudah itu menjadi sulit dan membingungkan karena
dituangkan dalam wejangan-wejangan dan pelajaran-
pelajaran yang rumit-rumit dan sukar dimengerti.
Setelah menerima banyak wejangan tentang sifat-sifat
ksatria dan tentang pembelaan keadilan dan kebenaran,
Adipati Tejolaksono dan Ayu Candra berpamit kembali ke
Selopenangkep. Ayu Candra dapat menekan keharuan
hatinya, hanya memeluk dan mencium pipi puteranya
sambil berbisik, "Yang baik-baik dan rajin engkau belajar di
sini, Anakku!" "Jangan khawatir, Kanjeng Ibu. Saya tidak akan
mengecewakan hati Kanjeng Rama Ibu dan Bapa guru,"
jawab Bagus Seta dengan tabah. Ada keharuan membayang
di pandang mata anak itu, akan tetapi wajahnya tetap
berseri dan hal ini menjadi tanda bahwa anak ini sudah
mulai pandai menguasai perasaannya. Melihat ini, kembali
Tejolaksono menjadi kagum. Dalam waktu dua bulan lewat
saja sudah tampak perubahan besar pada diri puteranya,
kemajuan yang kiranya belum tentu dapat dicapai
puteranya itu selama setahun dalam gemblengannya. Ia
maklum bahwa mengenai kekuatan batin, Ki Tunggaljiwa
sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga ia percaya
bahwa puteranya tentu akan memperoleh ilmu kesaktian
yang takkan pernah dapat ia ajarkan kepada puteranya itu.
Hatinya menjadi lega dan gembira, dan sedikitpun pada
wajahnya tidak tampak kedukaan seperti terdapat pada
wajah isterinya ketika mereka berdua menuruni lereng
Gunung Merapi. -oo0dw0oo- Setelah suami isteri itu turun dart puncak Gunung
Merapi, barulah Adipati Tejolaksono mendapat waktu dan
kesempatan untuk menceritakan pengalamannya yang
hebat di Blambangan. Ia menceritakan segala yang dialami
Endang Patibroto, tentang tipu muslihat Blambangan dan
tentang pengalamannya bersama Endang Patibroto yang
terjeblos ke dalam perangkap, dalam sumur yang hampir
saja menewaskan mereka berdua. Akhirnya ia menceritakan
pula apa yang terjadi di dalam ruangan di bawah tanah itu,
betapa dalam menghadapi kematian yang agaknya tak
dapat dielakkan lagi, dia dan Endang Patibroto telah
terangkap menjadi suami isteri.
Mula-mula mendengar cerita suaminya, Ayu Candra
menjadi terharu sekali dan merasa amat kasihan kepada
Endang Patibroto yang bernasib malang. lapun menjadi ikut
gelisah dan tegang ketika mendengar cerita betapa
suaminya bersama Endang Patibroto menghadapi lawan
yang amat banyak, kemudian terjeblos ke dalam lubang
jebakan menderita ancaman maut yang mengerikan. Ketika
mendengar penuturan suaminya dengan suara tersendat-
sendat tentang hubungan suaminya dengan Endang
Patibroto sebagai suami isteri, wajah Ayu Candra menjadi
pucat sekali dan sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya
langkah-langkah kaki mereka saja yang terdengar dan kini
langkah Ayu Candra agak lemas.
Tejolaksono memegang tangan isterinya dan berdiri
berhadapan di sebuah lereng.
"Nimas, aku harap Adlnda tidak akan menjadi marah.
Percayalah, Nimas, bahwa hal ini terjadi di waktu kami
menghadapi maut yang kami anggap tak dapat dihindarkan
lagi sehingga pikiran kami menjadi gelap. Andaikata tidak
dalam keadaan seperti itu, aku yakin hal itu tidak akan
terjadi. Adinda tentu tahu bahwa kalaupun aku berhasrat
mengambil selir, tentu dengan persetujuanmu lebih dahulu.
Maka, harap Adinda tidak marah dan kalau hal ini
menyinggung perasaanmu harap kau suka memaafkan kami
..... " Kini Ayu Candra tersenyum, wajahnya berserl dan ia
membenamkan mukanya di dada suaminya. "Maaf,
Kakangmas. Sebentar tadi aku digoda cemburu. Tidak....
..... ! Aku tidak cemburu. Apalagi Endang Patibroto yang
menjadi selirmu. Aku bahkan bangga mempunyai madu
seorang wanita yang sakti mandraguna! Memang dia patut
dikasihani, Kakangmas. Apalagi setelah kanjeng bibi
Kartikosari tidak ada. Biarlah, dia akan kusambut sebagai
saudaraku, sebagai adikku, karena memang dia maduku,
dia isterimu. Aku tidak cemburu, Kakangmas."
Alangkah girang dan besar hati Tejolaksono. Ia maklum
akan kehalusan budi Ayu Candra. Ia lalu memegang wajah
isterinya di antara kedua tangan, diangkatnya muka yang
cantik jelita itu sehingga muka mereka berhadapan, mata
mereka saling tatap. Tejolaksono melihat betapa pandang
mata isterinya benar-benar tutus ikhlas, tidak ada sedikitpun
bayangan amarah atau cemburu. Ia amat bersyukur dan
berterima kasih maka diciumnya mata yang indah itu. Ayu
Candra meramkan matanya dan merangkul leher suaminya
yang amat dikasihinya. Ketika suami isteri ini tiba kembali di Kadipaten
Selopenangkep, mereka disambut oleh Roro Luhito dan
puterinya, Pusporini, kemudian puteri Kartikosari yang
bernama Setyaningsih, dan seorang lagi yang amat
mengejutkan dan menggirangkan hati suami isteri itu, yakni
Endang Patibroto! Melihat Endang Patibroto, Ayu Candra lalu maju dan
merangkulnya. "Adikku wong ayu, Endang Patibroto............ , aku sudah mendengar semua tentang
dirimu. Ahhh, betapa banyak kesengsaraan kau derita,
Adikku. Biarlah mulai sekarang kita bersama menikmati
kebahagiaan, dan aku sungguh girang dapat memelukku
seperti seorang kakak, Adikku."
Endang Patibroto sekilas mengerling kepada Tejolaksono
yang tersenyum kepadanya, maka mengertilah wanita ini
bahwa Tejolaksono telah membuka rahasia mereka kepada
Ayu Candra. Hal ini amat menggelisahkan hatinya tadi,
menjadi ganjalan karena ia merasa malu kepada Ayu
Candra dan selalu mengkhawatirkan pertemuan ini.
Apalagi ketika ia tiba di Selopenangkep dan mendengar
tentang tewasnya ibu kandungnya, hatinya makin trenyuh
dan gelisah. Akan tetapi setelah kini bertemu, sikap Ayu
Candra benar-benar tak pernah ia sangka-sangka dan
hatinya menjadi lega dan terharu sekali. Wanita ini telah ia
bunuh ayah ibunya (baca Badai Laut Selatan), dan kini
bahkan seakan-akan ia "curi" suaminya, akan tetapi
menerimanya seramah ini. Ia balas merangkul dan per-kata
lirih, ............ terima kasih............ , engkau baik
sekali............ sudi menerima orang yang buruk watak dan
buruk nasib seperti aku............ biarlah mulai saat ini aku
mengaku ayunda kepadamu............ dan aku akan
mentaatimu seperti mentaati kakak sendiri............ "
Melihat betapa dua orang wanita itu berpelukan terharu,
Roro Luhito mengerutkan keningnya. Wanita inI tahu
benar akan watak Endang Patibroto, dan sudah mengenal
pula watak Ayu Candra. Sifat dan watak kedua orang
wanita ini bagaikan bumi dan langit. Endang Patibroto liar
dan keras, berdarah panas dan tidak punya rasa rendah hati
sama sekali, sukar ditundukkan. Adapun Ayu Candra
lemah lembut dan manja atau ingin dimanjakan suaminya.
Betapa mungkin dua orang wanita ini menjadi madu" Dia
tadi kaget bukan main mendengar percakapan dua orang
wanita ini karena semenjak datang ke Selopenangkep pagi
tad!, Endang Patibroto tidak pernah bercerita tentang itu.
"Anaknda adipati, harap ceritakan bagaimana dengan
hasil usaha kalian mencari Bagus Seta. Mana dia" Mengapa
tidak ikut pulang?" Pertanyaan ini ia ajukan dengan suara
keras untuk menutupi ketidaksenangan hatinya melihat
Endang Patibroto dan Ayu Candra berpelukan sebagai
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
madu. Roro Luhito sama sekali bukan tidak setuju kalau
Adipati Tejolaksono mernpunyai selir. Dia sendiri adalah
isteri ke dua, isteri selir. Akan tetapi karena persatuan
antara Endang Patibroto dan Ayu Candra, menurut
pemandangannya, dapat menimbulkan hal-hal yang tidak
baik dan ada bahaya meruntuhkan kebahagiaan rumah
tangga Tejolaksono, maka ia merasa tidak setuju di dalam
hatinya. Tentu saja bagi Roro Luhito, yang terpenting
adalah kebahagiaan Tejolaksono karena adipati ini adalah
keponakannya, putera dari kakaknya,
Ketika Tejolaksono dan Ayu Candra menceritakan
tentang keadaan Bagus Seta yang dalam keadaan selamat
dan menjadi murid kakek sakti Ki Tunggaljiwa, Roro
Luhito menjadi lega hatinya. Sebagai orang tua, ia maklum
bahwa pada saat itu merupakan pertemuan segi tiga yang
mesra antara Tejolaksono dan kedua orang isterinya, maka
ia lalu menggandeng tangan Pusporini dan Setyaningsih
sambil berkata, "Anaknda adipati tentu lelah dan ingin beristirahat.
Marilah, kedua anakku, kita ke belakang."
Setyaningsih yang digandeng Roro Luhito, beberapa kali
menengok ke arah Endang Patibroto. Semenjak Endang
Patibroto datang pagi tadi, anak ini selaIu memandang
kakaknya itu dengan pandang mata kagum dan penuh
kasih. Sudah banyak ia mendengar dari mendiang ibunya
tentang kakaknya ini yang menurut ibunya amat sakti
mandraguna. Kini setelah ibunya meninggal dunia,
munculnya kakaknya ini seakan-akan menjadi pengganti
ibunya. Sebaliknya, Endang Patibroto juga amat mencinta
adik kandungnya ini. Adipati Tejolaksono yang bercakap-cakap dengan kedua
isterinya, agaknya penuh dengan kebahagiaan dan suasana
tenteram damai penuh kasih menyelimutl mereka bertiga.
Agaknya kekhawatiran Roro Luhito adalah kekhawatiran
kosong belaka. Ayu Candra telah rela dan ikhlas terhadap
Endang Patibroto, demi cinta kasihnya yang murni
terhadap suaminya. Bahkan malam hari itu, sebagai isteri
pertama yang bijaksana, Ayu Candra membujuk suaminya
agar menemani Endang Patibroto di dalam kamarnya.
Sukar dilukiskan betapa besar kebahagiaan hati
Tejolaksono dan Endang Patibroto yang melihat bahwa
hubungan mereka dapat perlangsung dengan amat baiknya,
tiada halangan sesuatu. Dan dalam pertemuan yang mesra
itu Endang Patibroto menceritakan tentang perang yang
dilakukan Jenggala dan Panjalu terhadap Kadipaten
Blambangan. Kedua kerajaan ini mengirim pasukan besar.
Bahkan Panjalu mengirim pasukan istimewa yang dipimpin
sendiri oleh Pangeran Darmokusumo dan setelah kedua
pasukan ini menggabung, penyerbuan Blambangan dimulai.
Blambangan dilanda serbuan besar-besaran dan biarpun
Blambangan melakukan perlawanan mati-matian, namun
kadipaten ini bukanlah lawan pasukan kedua kerajaan yang
dipimpin orang-orang pandai. Apalagi ada Endang
Patibroto di dalam pasukan itu yang mengamuk hebat dan
banyak senopati Blambangan roboh di dalam tangan wanita
sakti ini. Dalam waktu beberapa hari saja pertahanan
Blambangan dapat dipatahkan, kadipaten diserbu, dan
Adipati Menak Linggo tewas pula di tangan Endang
Patibroto. Juga Ki Patih Kalanarmodo dan Senonatl
Mayangkurdo, Klabangkoro dan Klabangmuko semua
tewas dalam perang yang pendek namun dahsyat. Hanya
Sindupati yang dapat melarikan diri, berhasil menyelamatkan diri dengan sebuah perahu menyebrang
selat dan bersembunyi di Bali-dwipa, dimana ia mencari
orang-orang pandai untuk memperdalam ilmunya sambil
bersembunyi dari pengejaran musuh.
Jilid XI "SETELAH Blambangan terbasmi, aku meninggalkan
pasukan dan berpamit dari Pangeran Darmokusumo untuk
pergi lebih dulu karena kuanggap tugasku sudah selesai.
Hanya sayang sekali, si keparat Sindupati dapat meloloskan
diri, agaknya ia melarikan diri ke Bali-dwipa, akan tetapi
aku tidak sempat mengejarnya, Kakangmas. Karena............
karena............ aku ingin sekali segera menyusulmu ke
Selopenangkep." Adipati Tejolaksono tertawa dan mencium isterinya ini
yang bercerita sambil rebah dalam pelukannya. "Mati hidup
berada di tangan Hyang Widhi, adinda Endang Patibroto.
Agaknya memang belum tiba saatnya Sindupati menerima
hukumannya. Memang tepat sekali adinda cepat-cepat
datang ke Selopenangkep karena ............ hemm............
aku telah rindu sekall............ "
Sejenak sunyi di antara mereka karena Endang Patibroto
terbuai dalam belaian suaminya yang mesra dan penuh
kasih sayang. Kemudian terdengar ia berkata,
?"?".. Kakangmas, sesungguhnya............ baru berpisah hampir dua bulan bagiku ............ pun amat berat.
Akan tetapi............ ah, terus terang saja, Kakangmas.
Sebelum bertemu dengan engkau dan ............ ayunda Ayu
Candra, hatiku amat gelisah dan khawatir. Aku telah
banyak melakukan kisalahap dahulu terhadap ayunda Ayu
Candra, dan tadinya aku takut untuk bertemu muka, takut
untuk mengakui hubungan antara kita, takut dan malu.
Tadinya aku bahkan hendak diam-diam pergi minggat saja,
biar aku hidup sebagai pertapa, biar selamanya tidak
bertemu dengan ayunda Ayu Candra, betapa pun akan
beratnya penanggulangan hatiku yang penuh dendam rindu
kepadamu, tapi ?"."
Adipati Tejolaksono menghentikan kata-kata isterinya
dengan ciuman. Kemudian ia tertawa. "Cukuplah, Yayi,
tidak perlu dilanjutkan persangkaan yang bukan-bukan itu,
karena buktinya sekarang tidak seperti yang kau
khawatirkan, bukan?"
Endang Patibroto menarik napas panjang dengan hati
lapang. "Memang, dan aku bersyukur kepada Dewata,
berterima kasih kepada ayunda Ayu Candra yang bijaksana
dan berbudi luhur. Sesungguhnya, akan kelirulah kalau aku
menuruti kata hati lalu minggat meninggalkanmu untuk
selamanya seperti yang tadinya terniat di hatiku.
Aduhh............ betapa akan sengsaranya hatiku kalau
begitu. Untung ............ , untung sekali ada sesuatu yang
memaksa aku harus bertemu dengan engkau, Kakangmas.
Yang memaksakan datang ke Selopenangkep dan yang
mencegah aku pergi minggat mengasingkan diri." Adipati
Tejolaksono menunda belaian kasih sayangnya dan
menatap wajah dalam rangkulannya, memandang penuh
pertanyaan. "Apakah sesuatu itu, Yayi?"
Tiba-tiba ia melihat air mata berlinangan di mata yang
indah itu. Endang Patibroto menangis! Akan tetapi bukan
tangis karena duka, buktinya bibir yang merah membasah
itu tersenyum! Segera Tejolaksono mengecup sepasang
mata itu untuk menghapus beberapa titik air mata bening
yang turun ke pipi. Kedua lengan Endang Patibroto
merangkul lehernya dengan ketat dan mulutnya berbisik
dekat telinga Tejolaksono,
"Kakangmas............ Joko Wandiro?"?" Suaranya
menggetar penuh perasaan dan jantung Tejolaksono
berdebar pula mendengar disebutnya nama kecilnya.
"............ aku............ aku telah mengandung............ ,
semenjak kita berpisah dari Blambangan ............ " Dan kini
air mata makin deras berlinang dari sepasang mata itu. Air
mata kebahagiaan! Selama sepuluh tahun menjadi isteri
Pangeran Panjirawit, Endang Patibroto tidak mempunyai
anak dan kini ia telah mengandung keturunan Joko
Wandiro, pria yang dahulu untuk pertama kalinya telah
merebut kasih hatinya namun bertentangan karena
keadaan. "Heeeiiii............ ?"?" Saking kaget dan girangnya,
Adipati Tejolaksono melompat turun dari pembaringan,
memandang kepada Endang Patibroto dengan mata
terbelalak. "Ti............. tidak girangkah............
hatimu........... mendengar hal itu"...., Kakanda?"?"?"
"Girang?" Ha-ha-ha-ha! Hampir gila aku karena girang!
Aduh, adinda pujaan hati, kekasih hatiku, engkau masih
bertanya apakah aku girang............ " Ha-ha-ha!" Adipati
Tejolaksono merangkul dan mengangkat tubuh isterinya,
dipondong dan dibawa berjingkrakan dan berputaran di
dalam kamar mereka! Malam penuh madu asmara, penuh kebahagiaan bagi
kedua orang ini. Malam yang indah di mana seluruh
perasaan cinta kasih ditumpahkan dan saling dilimpahkan
satu kepada yang lain. Malam bahagia yang agaknya
menyangkal kekhawatiran hati Roro Luhito. Dan agaknya
memang demikianlah kalau ditengok keadaan Ayu Candra
yang rebah sendirian di dalam kamarnya, kadang-kadang
tersenyum puas karena selain puteranya selamat dan
menjadi murid seorang sakti, suaminya telah berkumpul
kembali dengan kekasih lama. Sebagai seorang wanita, ia
berperasaan halus dan sejak dahulupun ia sudah menduga
bahwa ada jalinan kasih yang terpendam di antara
suaminya dan Endang Patibroto. Kini agaknya Endang
Patibroto sudah insyaf, sudah merubah wataknya yang liar
dan ia merasa puas. Malam itu, biarpun tidur sendirian di
dalam kamarnya, Ayu Candra tidur pulas tanpa mimpi.
Akan tetapi, jalan hidup manusia sudah ada garisnya
yang ditentukan oleh Tuhan. Garis ini wajar dan sudah
semestlnya terjadi demikian, sudah adil dan baik, sesuai
dengan karma manusia masing-masing. Berat atau ringan,
duka atau suka dalam menerima garis ini tergantung kepada
manusia sendiri. Manusia tak mampu merubahnya.
Manusia hanya wajib mengisi hidupnya dengan kebaikan
karena hanya dengan cara ini sajalah, dengan menumpuk
kebaikan dan menjauhi kejahatan, manusia akan dapat
"meluruskan" garis hidupnya di kemudian hari karena
Tuhan itu Maha Adil. Dosa-dosa yang lalu hanya dapat
ditebus dengan rasa tobat yang setulusnya disertai
pemupukan perbuatan-perbuatan yang baik dan penerimaan
hukuman dengan ikhlas dan sadar. Perbuatan-perbuatan
baik barulah benar kalau dilakukan tanpa pamrih, tanpa
mengharapkan anugerah atau hadiah!
Kekhawatiran Roro Luhito bukanlah kekhawatiran
dungu, bukan ditimbulkan karena hati iri atau dengki,
bukan pula oleh benci atau marah. Roro Luhito seorang
wanita yang sudah tua, sudah banyak makan garam dunia,
sudah berpengalaman dan wawasannya juga tajam
berdasarkan pandangan luas.
Pada malam berikutnya, terbuktilah apa yang dikhawatirkan oleh Roro Luhito. Adipati Tejolaksono,
sebagai seorang suami bijaksana, sungguhpun dendam
rindunya terhadap Endang Patibroto masih menggelora,
pada malam ke dua itu berdlam di dalam kamar Ayu
Candra. Seperti biasa, suami isteri yang saling mencinta ini
berkasih-kasihan, berbisik-bisik di atas pembaringan dan
dalam kesempatan ini, Tejolaksono menceritakan isterinya
tentang Endang Patibroto yang telah mengandung!
"Kiranya Hyang Widhi Wisesa juga memberkahi
perjodohanku dengan Endang Patibroto, nimas Ayu.
Buktinya, ikatan jodoh yang kami laksanakan di dalam
ruangan bawah tanah dalam menghadapi maut itu ternyata
dianugerahi dewata dan dia kini telah mengandung dua
bulanl" Untuk menjaga perasaan isterinya pertama ini, sang
adipati menekan kegirangan hatinya, namun dalam
suaranya masih jelas terdengar kegirangan yang meluap-
luap. Ayu Candra mula-mula tersenyum dan ikut merasa
bahagia. Akan tetapi, ketika suaminya hampir pulas, Ia tak
dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan menangislah
Ayu Candra! Sebagai seorang sakti mandraguna yang memiliki tubuh
selalu dalam keadaan siap siaga, sedikit saja keadaan tidak
wajar telah membuat Adipati Tejolaksono lenyap kantuknya dan ia bangklt duduk. Dlpandangnya isterinya
dan la bertanya Iirih dan halus,
"Yayi dewi............ mengapa kau menangis" Apakah
yang menyusahkan hatimu?"
Pertanyaan ini membuat Ayu Candra makin sedih dan
menangis sampai mengguguk, menyembunyikan mukanya
di atas bantal. Setelah dua tiga kali suaminya bertanya,
barulah ia menjawab dengan suara tersendat-sendat,
"Aku............ aku teringat akan Bagus Seta............ !,
"Aaah, mengapa, Yayi" Bukankah putera kita itu sudah
aman tenteram di bawah bimbingan Eyang Guru Ki
Tunggaljiwa" Bayangkan betapa kelak ia akan pulang
sebagai seorang ksatria yang gagah perkasa dan............ !!"
"Kakangmas............ aku ?"" besok akan pergi
menyusulnya di puncak Merapi............ !"
"Ehhhh............ ?"" Tejolaksono terkejut dan memegang
kedua pundak isterinya, dibangunkannya isterinya itu
duduk di depannya. Rambut yang terurai itu menutupi
sebagian muka Ayu Candra. "Kenapa begitu, Nimas?"
"Aku............ aku tidak dapat berpisah darinya.. ..... aku
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan menjaga dan menemaninya di sana sampai ia lulus
dari perguruan di sana............ aku............ aku".." Ayu
Candra terisak-isak. Tejolaksono menarik napas panjang, bingung dan tidak
mengerti. "Nimas Ayu, engkau tentu maklum bahwa aku
sendiri-pun merasa berat berpisah dari Bagus Seta, akan
tetapi............ kita sudah melihat peristiwa yang terjadi di
sana dan sudah mendengar semua penuturan Eyang Guru
Ki Tunggaljiwa. Betapapun berat rasa hatiku berpisah dari
putera kita, terpaksa kutahankan karena.......... "
"Karena engkau sebentar lagi akan mempunyai putera
lain, Kakangmas! Engkau dan diajeng Endang Patibroto
akan mempunyai seorang putera yang selalu dekat dengan
kalian, akan tetapi aku............ aku tidak punya siapa-
siapa............ " Diam-diam Tejolaksono tersentak kaget. Jantungnya
berdebar dan ia maklum bahwa inilah sebuah di antara
akibat daripada perbuatannya! "Aduh, nimas Ayu............
mengapa engkau berpendapat begitu" Ingatlah, Nimas
............ anak Endang Patibroto adalah anakku, dan anakku
berarti anakmu pula, bukan" .Ahhh, apakah akan jadinya
kalau engkau pergi menyusul Bagus Seta" Hal ini tidak
mungkin, tidak boleh kaulakukan, Nimas. Engkau tahu
bahwa kalau hal itu kaulakukan, berarti engkau akan
menghancurkan hatiku............ betapa engkau tega melakukan hal seperti itu............ "
Ayu Candra mengangkat mukanya memandang wajah
suaminya. Melihat betapa sepasang alis suaminya berkerut,
sepasang mata itu sayu dan sedih, ia lalu menubruk,
merangkul dan membenamkan muka di dada suaminya.
"Duh............ Kakangmas ............ ampunkan hamba
............ ampunkan hamba yang picik dan lemah ............
Kakangmas, legakan hatimu, aku......... aku takkan
melakukan hal itu............ betapapun berat rasa hatiku,
akan kukuat-kuatkan............ "
Rasa hati Tejolaksono seperti disiram air embun di
puncak Semeru. Batu seberat gunung yang menindih hati
serasa diangkat. Lapang bukan main rasa dadanya.
Diciumnya ubun-ubun kepala Isterinya dengan sepenuh
kasih sayangnya dan ia berbisik, "Aku tahu............ aku
tidak pernah meragukanmu, Yayi............ aku tahu bahwa
engkau adalah isteriku yang tercinta, seorang isteri yang
setia dan bijaksana............ "
Agaknya urusan itu akan menjadi beres kembali dan
hanya sampai sekian saja karena Ayu Candra sudah
kelihatan tenang kembali dan hati Tejolaksono sudah
menjadi lega dan girang. Akan tetapi sang adipati ini tidak
melihat dan tidak tahu apa yang terjadi di luar kamarnya.
Kalau saja ia tahu, tentu ia tidak akan dapat begitu bahagia
memadu kasih dengan Ayu Candra.
Dengan gerakan yang amat ringan, Endang Patibroto
meninggalkan jendela kamar Ayu Candra. Ia menahan
suara isak tangisnya dengan kedua tangan yang didekapkan
rapat-rapat ke depan mulut dan hidung, kemudian setelah
agak jauh, ia lari memasuki taman yang gelap dan sunyi. Ia
tidak berani kembali ke kamarnya, karena khawatir kalau-
kalau suara tangisnya terdengar oleh bibi Roro Luhito. Kini
ia berada di taman sari yang sunyi dan gelap dan di sinilah,
di atas sebuah bangku di bawah pohon kenanga, Endang
Patibroto menangis mengguguk. Dengan kekerasan hatinya
ditahannya tangis Itu, dan kini ia hanya terisak-isak dan
duduk melamun. Percakapan antara Tejolaksono dan Ayu
Candra masih terngiang-ngiang di telinganya dan jantungnya serasa ditusuk-tusuk.
Apa yang selama ini ia khawatirkan terjadi! Ayu Candra
tidak rela ia menjadi isteri Tejolaksono, tidak rela ia berada
di situ! Memang tidak terang-terangan menyatakan
ketidakrelaannya, akan tetapi sama saja artinya. Masih
terngiang dalam telinganya ucapan Ayu Candra sambil
menangis tadi. "Karena engkau sebentar lagi akan
mempunyai putera lain! Engkau dan diajeng Endang
Patibroto akan mempunyai seorang putera yang selalu
dekat dengan kalian, akan tetapi aku............ aku tidak
punya siapa-siapa........."
Ayu Candra bahkan rela hendak meninggalkan
kadipaten! Ah, betapa mungkin ia mendesak kedudukan
Ayu Candra seperti ini" Dahulu ia sudah melakukan
banyak hal yang menyakitkan hati Ayu Candra.
Membunuh ayah kandung dan ibu tirinya, bahkan hendak
membunuh Ayu Candra. Dan sekarang, ia merampas
suaminya dan hendak merebut pula kedudukannya" Tidak!
Sampai matipun tidak sudi ia melakukan hal tak tahu malu
ini! Dialah yang harus pergi dari situ! Memang sejak semula
ia sudah ingin pergi, akan tetapi ............ cinta kasihnya
terhadap Joko Wandiro demikian besar ...... ingin ia selalu
berdampingan, dan karena kandungannya, ia tak ingin
berpisah lagi dari suaminya itu, ayah dari anak dalam
kandungannya. Akan tetapi sekarang jelas baginya bahwa tidak mungkin
terlaksana keinginan hatinya itu. Ayu Candra hanya di
lahirnya saja mau menerimanya dengan rela, akan tetapi
batinnya menolak dan membencinya! Dan Adipati
Tejolaksono amat mencinta Ayu Candra! Dia tidak sudi
kalau harus memperebutkan cinta! Dia tidak sudi kalau
harus tunduk, memperlihatkan kelemahan hatinya. Tidak,
hidup seperti itu akan membuatnya sengsara dan sewaktu-
waktu ia tentu takkan dapat mengendalikan hatinya lagi
dan mungkin timbul keributan kalau ia sampai bertentangan dengan madunya. Ia tidak ingin menimbulkan
ribut dan dosa lagi. Ia akan pergi mengasingkan diri,
mencari tempat sunyi. Biarpun hatinya mengambil keputusan demikian, namun
Endang Patibroto merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk
yang membuatnya menangis tersedu-sedu lagi. Teringat ia
akan Tejolaksono, terbayang ia akan segala kemesraan yang
dinikmatinya malam tadi. Ia tahu bahwa sesungguhnya pria
inilah yang ia idam-idamkan semenjak dahulu. Dan
sekarang, setelah menjadi miliknya, harus ia lepaskan lagi!
Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya diikuti
suara yang halus pula, menggetar penuh keharuan,
"Ayunda............ mengapa ayunda menangis............ "
Mendengar suara adik kandungnya ini, makin sedih hati
Endang Patibroto. Ia meraih Setyaningsih, merangkul dan
mendekapnya sambil menangis makin sesenggukan.
Setyaningsih biarpun baru berusia sebelas tahun, akan tetapi
anak ini mewarisi watak ayahnya, yaitu mendiang Pujo,
satria yang sakti mandraguna, bijaksana, berpandangan luas
dan bersikap tenang. Setyaningsih biarpun saudara
sekandung Endang Patibroto, namun wataknya jauh
berbeda. Tidak mudah terseret perasaan sehingga biarpun
kini air matanya juga turun bercucuran, namun ia dapat
menahan diri, tidak sampai mengguguk seperti tangis
Endang Patibroto. Wanita perkasa ini dahulu juga memiliki
watak yang kuat, akan tetapi kekuatannya berdasarkan
kekerasan, bukan seperti Setyaningsih yang berdasarkan
ketenangan, "Ayunda, apakah ayunda teringat ke: pada ibunda" Ah,
ayunda. Kanjeng Ibu sudah seda (tewas) sebagai seorang
wanita utama, sebagai seorang perajurit perkasa. Selayaknyakah kalau puteri-puterinya menangisinya terus"
Ayunda, harap ayunda jangan menangis............ "
Setyaningsih membelai-belai rambut kakaknya dengan
penuh kasih sayang. "Aduh, adikku Setyaningsih?"".." Endang Patibroto
mencium pipi adiknya dan sambil memegangi kedua
pundak anak itu, mereka berpandangan. "Engkau benar,
Setyaningsih, tidak perlu banyak menangis karena
menangis adalah tanda kelemahan. Dan kita berdua
bukanlah orang-orang lemah, kita berdua adalah keturunan
suami isteri yang sakti mandraguna! Kini ayah bunda kita
telah meninggal dunia, adikku dan aku hanya mempunyai
engkau, engkaupun hanya mempunyai aku! Karena itu
............ kita harus pergi data sini, Setyaningsih, sekarang
juga." Setyaningsih memandang ayundanya dengan sepasang
mata terbelalak kaget dan heran. Ucapan ayundanya ini
sama sekali tak pernah disangkanya. Biarpun ia baru
berusia sebelas tahun, namun dia bersama Pusporini sudah
mengerti bahwa ayundanya ini menjadi garwa selir Adipati
Tejolaksono. "Akan tetapl ............ Ayunda ............ bukankah ayunda
telah menjadi isteri rakanda adipati?"
Endang Patibroto menghela napas panjang. "Benar,
adikku. Akan tetapi rumah ini adalah mink ayunda Ayu
Candra. Setelah ibu kita sekarang meninggal dunia, kita
berdua tidak berhak lagi tinggal di sini."
"Mengapa begitu, ayunda" Kalau ayunda menjadi isteri
rakanda adipati, ayunda mempunyai hak sepenuhnya
tinggal di sini. Siapakah yang akan melarang Ayunda" Saya
kira tidak ada seorangpun yang akan, merasa keberatan
dan............ "Sudahlah, Setyaningsih. Engkau masih terlalu kecil
untuk dapat mengerti urusanku. Pendeknya, malam in! juga
aku akan pergi dari sini. Kalau engkau kasihan dan
mencinta kepada ayundamu ini, marilah engkau ikut
bersamaku." Sambil berkata demikian, Endang Patibroto
bangkit berdiri. Setyaningsih bangkit pula dan memegang
tangan ayundanya erat-erat.
"Ayunda menjadi penggantl kanjeng ibu. Aku ikut
............ " "Anak baik, seharusnya begitulah. Mari kita pergi!"
Endang Patibroto memondong tubuh Setyaningsih dan
dibawanya meloncat cepat meninggalkan taman sari,
menghilang di dalam kegelapan malam. Beberapa kali
Setyaningsih menoleh dan memandang lampu-lampu yang
menerangi gedung kadipaten sampaI akhirnya bayangan
gedung itu lenyap. Dua matanya menjadi basah dan di
dalam hati anak ini timbul kesangsian apakah ia akan dapat
melihat kembali gedung Kadipaten Selopenangkep ini.
Pada keesokan harinya, keluarga kadipaten menjadi
gempar ketika melihat lenyapnya Endang Patibroto dan
Setyaningsih. Lenyap begitu saja tanpa meninggalkan
pesan, bahkan pakaian Setyaningsih di dalam kamarnyapun
masih lengkap yang berarti bahwa anak itu lenyap hanya
membawa pakaian yang dipakainya malam itu!
Roro Luhito menghela napas dan memeluk puterinya
yang menangis karena hilangnya Setyaningsih, saudara
tirinya yang amat dikasihinya. "Ahhh, kukira tentu Endang
Patibroto yang membawa Setyaningsih pergi. Agaknya
masih juga belum berubah watak yang keras dan aneh luar
biasa dari Endang Patibroto. Aku sudah merasa tidak enak
hati dan menduga tentu akan terjadi sesuatu yang tidak baik
ketika ia datang. Ah, angger, anakku adipati, kuatkanlah
hatimu menghadapi ujian Hyang Widhi yang amat berat
ini." Kembali Roro Luhito menghela. napas lalu
menggandeng tangan Pusporini diajak masuk ke belakang.
Tak tahan ia menyaksikan pandang mata sayu Adipati
Tejolaksono. Hanya suami isteri itulah yang mengerti apa sebabnya
Endang Patibroto melarikan diri. Mereka dapat menduganya. Tentu Endang Patibroto telah mendengar
percakapan antara mereka semalam! Melihat sinar mata
suaminya yang begitu sayu, wajah yang pucat dan muram,
tarikan mulut yang membayangkan kedukaan yang hebat,
Ayu Candra lalu membalikkan tubuhnya, terisak dan lari
memasuki kamarnya. Adipati Tejolaksono melangkah dengan lemas mengikuti
isterinya, memasuki kamar. Ketika Ayu Candra melihat
suaminya masuk kamar, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan kedua kaki suaminya, menangis dan berkata,
"Aduh, Kakangmas Adipati. Semua adalah kesalahanku
............ ! Karena kelemahan dan kepicikanku ............ ,
tentu diajeng Endang Patibroto mendengarnya dan merasa
tersinggung hatinya ............ padahal sungguh mati aku
sudah menghapus perasaan itu, Kakangmas. Pergilah
menyusulnya, Kakangmas. Bujuklah agar suka kembali ke
sini dan aku akan mohon ampun kepadanya............ !"
Sejenak Adipati Tejolaksono termenung. Terbayanglah
di depan matanya segala peristiwa dahulu di waktu dia
masih muda. Watak Endang Patibroto amatlah keras liar
dan aneh. Biarpun akhir-akhir ini Endang Patibroto
bersikap amat mesra, lembut, dan merupakan seorang
wanita yang mencintanya dengan seluruh jiwa raga, yang
sepenuhnya wanita, namun agaknya, tepat seperti wawasan
Roro Luhito, Endang Patibroto masih belum berubah
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wataknya yang keras dan aneh luar biasa. Dan mengingat
akan watak ini, agaknya akan sia-sia belaka kalau Ia
menyusul. Selain amatlah sukar mencari seorang wanita
sesakti Endang Patibroto yang melarikan diri, juga
andaikata bertemu kiranya tidak mudah membujuknya
untuk pulang ke Selopenangkep. la tahu bahwa Endang
Patibroto mencintanya, namun kekerasan hati wanita itu
akan mengalahkan cinta kasihnya karena wanita itu
berwatak baja, tidak mau tunduk terhadap siapapun juga.
Ia menghela napas panjang, lalu mengangkat bangun
Ayu Candra. ,"Tidak akan ada gunanya, Nimas. Seorang
yang berhati baja seperti diajeng Endang Patibroto, tidak
akan mudah dibujuk. Dia tidak akan menyerah sampai
mati, kalau tidak karena kehendak sendiri. Dia sudah pergi,
dan satu-satunya yang dapat kita lakukan hanyalah menanti
sampai dia suka pulang sendiri. Apa boleh buat .........
seorang manusla hanya dapat menerima apa yang telah
ditentukan oleh Hyang Widhi............ "
Semenjak terjadi peristiwa ini, terjadi perubahan yang
amat besar di dalam Kadipaten Selopenangkep. Perubahan
yang amat terasa oleh seluruh penghuni kadipaten. Ayu
Candra seringkali termenung dan berduka, tidak hanya
karena rindunya kepada Bagus Seta, juga karena rasa
penyesalan di dalam hati karena wanita yang halus budi ini
tak pernah berhenti menyesali diri sendiri dan menganggap
dialah yang menyebabkan larinya Endang Patibroto
sehingga akibatnya, dia pula yang menyebabkan suaminya
selalu berduka. Tubuh Adipati Tejolaksono menjadi kurus dan adipati
yang sakti ini kehilangan cahaya kegairahan sinar matanya.
Sikapnya menjadi makin tenang dan pendiam sungguhpun
terhadap Ayu Candra tidak pernah berubah kemesraan
cinta kasihnya. Kadipaten yang bertahun-tahun selalu
gembira dan suasana riang dengan adanya tiga orang yaitu
Setyaningsih, Pusporini dan Bagus Seta, kini kelihatan
sunyi karena dua dari tiga orang anak itu telah pergi dan
kini tinggal Pusporini seorang.
Karena di situ hanya tinggal Puspotini seoranglah maka
sang adipati dan isterinya melimpahkan rasa sayangnya
kepada anak ini. Seakan-akan anak ini yang merupakan
penghibur bagi mereka. Memang Pusporini seorang anak
yang dapat mendatangkan kegembiraan. Dia amat lincah
dan gembira, cerdik dan pandai bicara. Melihat kecerdikan
Pusporini, Adipati Tejolaksono lalu mulai mendidik anak
ini dengan ilmu silat den kedigdayaan.
Roro Luhito amat girang melihat hal ini. Terutama sekali
girang karena anak keponakannya itu dan isterinya
mendapat hiburan dengan adanya Pusporini, maka iapun
melepas tangan dan membiarkan puterinya menerima
gemblengan sang adipati yang memiliki ilmu kesaktian jauh
lebih tinggi daripada dia sendiri. Maka mulai tenteram
pulalah keadaan hati Adipati Tejolaksono dan isterinya.
Memang mereka selalu masih merindukan Bagus Seta dan
menyesalkan kepergian Endang Patibroto, akan tetapi hati
mereka terobat oleh kelincahan dan keriangan Pusporini.
Hanya di waktu malam yang sunyi, kadang-kadang apabila
teringat akan puteranya dan akan Endang Patibroto, Ayu
Candra suka menangis dan suaminya selalu siap untuk
menghiburnya. Suami isteri ini seolah-olah mengikuti hari
demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun
mengharapkan lewatnya lima tahun untuk menyambut
kembalinya putera mereka, Bagus Seta.
Pusporini seorang anak perempuan yang cerdik sekali di
samping wajahnya yang cantik manis. Kulit tubuhnya
hitam manis seperti ibunya, perawakannya singsat padat
dan langsing, rambutnya hitam agak berikal. Anak ini
maklum akan kehebatan ilmu kesaktian rakandanya, maka
ia belajar dengan amat tekun dan berIatih amat rajin
sehingga amat mengagumkan hati Tejolaksono. Adipati ini
maklum bahwa puteranya mendapatkan guru yang jauh
lebih saktl daripadanya, dan karena tidak ada anak lain
yang akan ia warisi ilmunya, maka satu-satunya anak yang
telah menjadi muridnya adalah adik misannya ini, puteri
bibinya yang ternyata merupakan murid yang patut
dibanggakan. Yang terutama sekali mengagumkan pada diri Pusporini
adalah bakatnya dalam ilmu meringankan tubuh dan
gerakan yang amat gesit lincah, sesuai dengan wataknya
yang periang. Bakatnya dalam hal ini jauh lebih menonjol
daripada yang lain-lain sehingga dalam beberapa tahun saja
ia sudah pandai berloncatan dan berkelebat cepat sekali
melampaui kecepatan ibu kandungnya sendiri, bahkan
menyusul pula tingkat Ayu Candra! Aji kecepatan Bayu
Tantra dapat ia pelajari dengan mudah dan tidak
menghabiskan waktu terlalu lama, bahkan empat tahun
kemudian ia sudah mulai mempelajari aji kecepatan Bayu
Sakti! Dalam hal ilmu silat, memang terdapat bakat menari
pada diri Pusporini. Ia dapat bergerak dengan lemas dan
lemah gemulai sehingga di waktu ia dilatih ilmu silat oleh
Adipati Tejolaksono, gerakan-gerakannya begitu indahnya
seperti orang menari-nari saja. Rakandanya yang menjadi
gurunya ini sampai menjadi terheran-heran dan juga amat
kagum, tak pernah menyangka bahwa ilmu silatnya dan aji-
aji seperti Pethit Nogo yang dahsyat dan terkenal
keampuhannya itu dapat dimailnkan sedemikian indahnya
sehingga merupakan tari-tarian luar biasa oleh Pusporini!
Bakat-bakat yang baik dalam diri Pusporini menambah
kegembiraan Adipati Tejolaksono dalam memberi pelajaran, dan kemajuan-kemajuan anak ini menambah rasa
sayang pada hati ketiga orang tua itu, Roro Luhito,
Tejolaksono, dan Ayu Candra. Bahkan bukan hanya tiga
orang ini saja yang menaruh rasa sayang kepada Pusporini,
juga semua abdi dalem Kadipaten Selopenangkep dan
akhirnya rasa sayang ini menjalar sampai keluar kadipaten,
di antara para ponggawa dan penduduk sekitar kadipaten.
Hal ini adalah karena Pusporini yang lincah gembira itu
selalu bersikap baik dan ramah kepada siapapun juga, selalu
rendah hati dan tidak sombong seperti biasanya puteri-
puteri bangsawan yang memandang rendah rakyat kecil.
Tidak, Pusporini tidak seperti itu. Puteri ini bahkan
seringkali membantu para petani dalam pekerjaan di sawah
ladang milik sang adipati. Membantu dalam hal bercocok
tanam, ramai-ramai ikut menanam dan memotong padi
dengan paman-paman dan bibi-bibi tani. Juga ia amat
terkenal dan disayang di antara para pengawal dan perajurit
karena selain memiliki ilmu kepandaian yang mengagumkan, juga Pusporini ikut pula berlatih perang-
perangan, berlatih menunggang kuda sehingga semua
perajurit yang menyaksikan ketangkasan gadis cilik ini
menjadi kagum dan sayang. Jangan disangka bahwa
Puspirini hanya suka akan olah keperajuritan, sama sekali
bukan demikian. Iapun terkenal di dalam kadipaten, di
antara para abdi dalem, di antara para seniman dan
seniwati kadipaten karena anak ini semenjak kecil ikut pula
belajar seni tari di mana bakatnya amat menonjol dan
belajar pula seni suara dengan suaranya yang nyaring sekali.
Demikianlah, dengan adanya Pusporini, sedikitnya
mendung yang menyelimuti Kadipaten Selopenangkep
dapat terusir. Atau setidaknya, pada lahirnya Pusporini
dapat menciptakan sinar kegembiraan di dalam kadipaten
sehingga sang adipati dan isterinya dapat terhibur dan
agaknya keadaanpun menjadi aman dan tenteram. Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan-bulan
ditelan tahun. Sang Waktu bergerak terus, tiada kekuasaan
di bumi ini yang dapat menahannya, merayap amat
perlahan jika diperhatikan, membalap cepat melebih kilat
apabila tidak diingat. Betapapun juga, segala yang tampak
dan tidak tampak di dunia ini, besar maupun kecil, keras
maupun lunak, apa saja tidak pandang bulu, kesemuanya
ditelan habis oleh Sang Waktu yang memegang rahasia
akhir kemenangan. Segala sesuatu yang diperoleh manusia di dunia ini tidak
ada yang kekal. Pertemuan akan berakhir perpisahan. Yang
mendapatkan atau mempunyai akan kehilangan. Karena
sesungguhnya, segala di dunia ini bukanlah milik manusia.
Manusia hanya berhak menikmati, namun sama sekali
tidak berhak memiliki. Harta benda dan kedudukan, semua
itu hanya benda titipan, sewaktu-waktu kita akan dipaksa
berpisah dari mereka, mau atau tidak, suka atau tidak.
Harta benda atau kedudukan akan pergi meninggalkan kita,
atau kita yang akan pergi meninggalkan mereka. Bahkan
keluarga yang kita cinta, anak-anak, isteri dan semua
keluarga, sesungguhnya bukanlah milik kita! Manusia
hanya mendapat titipan yang dilengkapi dengan kewajiban-
kewajiban sebagai manusia beradab, dan tidak lebih
daripada itu. Jika sudah tiba saatnya Yang Maha Kuasa
yang menjadi Pemilik Sejati mengambilnya kembali dari
tangan kita, tidak ada kekuasaan lain di dunia ini yang akan
menahan atau mencegahnya. Harta benda dan kedudukan
bisa musnah sewaktu-waktu. Anggauta keluarga tersayang
bisa mati sewaktu-waktu. Atau dengan lain cara, jika Yang
Maha Kuasa menghendaki, kita sendiri bisa mati sewaktu-
waktu meninggalkan dan berpisah dari kesemuanya itu!
Ditinggalkan oleh atau meninggalkan segala sesuatu yang
hanya "dititipkan" kepada kita. Karena itu, makin besar
cinta kasih kita kepada semua itu, makin sengsaralah
apablia dipisah dari kita. Seperti dua buah benda, makin
kuat melekat, makin parah kalau dipaksa berpisah, makin
parah luka yang terobek oleh perpisahan paksaan itu.
Sesungguhnyalah bahwa manusia tidak mempunyai
kekuasaan atas segala benda, yang terkecil maupun
terendah sekalipun, bahkan,, tidak mempunyai kekuasaan
atas dirinya sendiri, tidak kuasa mengatur denyut jantung,
aliran darah, tumbuhnya kuku dan rambut di tubuh kita.
Tidak kuasa atas nyawa sendiri. Karena hanya Yang Maha
Kuasa sajalah yang berkuasa atas segala benda, yang
tampak maupun tidak! Manusia tidak punya kuasa, hanya
mempunyai hak menikmati anugerah dan kewajiban
memelihara segala sesuatu yang dititipkan atau dianugerahkan kepadanya. Kalau tidak melaksanakan
kewajiban, tidak benar pemeliharaannya, akan rusaklah
kesemuanya itu dan akibatnya menimpa diri sendiri.
Segala peristiwa yang terjadi di atas bumi ini telah
dikehendaki oleh Yang Maha Adil, dan betapapun
peristiwa itu, adalah sudah tepat, wajar dan adil! Bukanlah
hal yang aneh kalau sesuatu peristiwa mendapat tanggapan
yang berlawanan. Ada yang menganggapnya adif ada pula
yang tidak, karena manusia amat dipengaruhi oleh nafsu
ego masing-masing yang selalu mementingkan diri pribadi.
Peristiwa yang menguntungkan dirinya pribadi akan
dianggap adil, dan sebaliknya yang merugikan atau tidak
menyenangkan dirinya pribadi akan dianggap tidak adil!
Akan tetapi sesungguhnya, setiap peristiwa itu adalah wajar
dan adil, sesuai dengan sifat Yang Maha Adil! Manusia
yang tidak dapat melihat keadilan dalam setiap peristiwa,
hanya disebabkan karena tidak mengertinya. Tentu saja
orang tidak akan dapat melihat keadilan kalau dia tidak
mengerti akan duduknya perkara, tidak tahu akan sebab
akibat. Peristiwa yang menimpa diri Adipati Tejolaksono
berturut-turut kalau dipandang dan dinilai mata manusia
biasa tampaknya juga tidak adil karena satria perkasa ini
seakan-akan selalu ditimpa kemalangan. Empat tahun telah
lewat semenjak Endang Patibroto minggat pada malam hari
itu, tak diketahui ke mana perginya, membawa Setyaningsih bersamanya. Empat tahun telah lalu semenjak
Bagus Seta tidak berada di Kadipaten Selopenangkep.
Sementara itu, bahaya besar datang mengurung, seperti
mendung-mendung hitam yang ditiup datang oleh angin
angkasa yang keras sehingga tanpa disangka-sangka tahu-
tahu telah memenuhi udara di atas kepala. Tadinya Adipati
Tejolaksono hanya mendengar berita bahwa ada pergerakan
pasukan-pasukan asing di barat dan utara, akan tetapi
karena tidak terjadi perampokan dan penyerbuan terhadap
dusun-dusun, maka tidak ada laporan apa-apa yang sampai
ke telinganya. Kalau terjadi perampokanperampokan
seperti yang dilakukan pasukan gerombolan Lembah
Serayu seperti yang terjadi empat tahun yang lalu, tentu
siang-siang sudah banyak rakyat yang datang melapor ke
kadipaten. Akan tetapi malam hari itu hati Sang Adipati
Tejolaksono merasa gelisah tanpa sebab. Seringkali
jantungnya berdebar aneh. Sebagai seorang sakti, sang
adipati segera memasuki kamar dan duduk bersila di atas
pembaringan, bermuja samadhi. Isterinya, Ayu Candra,
juga merasa tidak enak hati, maka iapun duduk di dekat
suaminya, siap melayani kebutuhan suaminya yang sedang
bersamadhi itu. Di dalam keheningan samadhinya, telinga
sang adipati menangkap suara berisik, seolah-olah ia
mendengar ombak laut selatan mengamuk, atau seolah-olah
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar kawah Gunung Mahameru mendidih, ataukah
Sungai Progo membanjir" Bulu tengkuknya meremang dan
ia sadar dari samadhinya, menoleh kepada isterinya sambil
menarik napas panjang. "Nimas, apakah engkau merasa juga apa yang
kurasakan?" Ayu Candra mengangguk. "Semenjak sore tadi hatiku
merasa tidak enak?""..."
"Biarlah kita serahkan segalanya kepada kehendak
Hyang Widhi, Nimas. Sekarang kau perintahkan pengawal
untuk memanggil kepala pengawal menghadap, sekarang
juga." Biarpun agak heran mendengar suaminya menyuruh
kepala pengawal menghadap di malam hari, hampir tengah
malam, namun Ayu Candra tidak membantah, tidak pula
bertanya, melainkan bergegas dari kamar dan memanggil
pengawal yang menjaga di depan kadipaten Seorang di
antara para pengawal itu cepat melakukan perintah ini,
pergi memanggil kepala pengawal yang tinggal di ksatrian.
Tentu saja kepala pengawal segera menghadap dengan
gelisah. Kala pada waktu seperti itu sang adipati
memanggilnya menghadap, sudah pasti terjadi hal yang
amat penting. Alangkah herannya ketika menghadap, sang
adipati memerintahkan dia membawa pasukan dan
berangkat malam itu juga keluar dari kadipaten, membagi
pasukan dan melrkukan penyelidikan ke barat da utara.
"Bawa separuh pasukan keluar dan bagi menjadi dua,
selidiki keluar kadipaten bagian barat dan utara. Separuh
pasukan tinggalkan menjaga kadipaten, perkuat penjagaan
dan perketat kewaspadaan. Kau sendiri pimpinlah pasukan
yang bertugas keluar, kakang Mundingyudo, dan selidikilah
desas-desus tentang gerakan pasukan asing di barat dan di
utara itu. Kalau bertemu dengan pasukan-pasukan itu,
jangan sekali-kali turun tangan menggempur mereka
sebelum mengetahui apa kehendak mereka. Kemudian
kirim laporan kepadaku tentang penyelidikanmu."
Maka ributlah para perajurit Kadipaten Selopenangkep
karena pada tengah malam itu mereka semua diperintah
untuk bangun dan bersiap-siap. Kepala pasukan Raden
Mundingyudo segera membagi-bagi tugas dengan para
bawahnnya dan setelah berunding secara singkat, berangkatlah pasukan-pasukan Selopenangkep ini keluar
dari kota kadipaten dan seperti rombongan semut pindah
tempat mereka terpecah menjadi dua bagian, sebagian ke
barat dan sebagian lagi ke utara. Pasukan-pasukan yang
tertinggal di kadipaten memperkuat penjagaan dan
kewaspadaan sesuai dengan perintah sang adipati melalui
Raden Mundingyudo. Semua persiapan bahkan sampai
pemberangkatan pasukan keluar kadipaten, dilangsungkan
dengan rapi. dan tidak sampai diketahul para penduduk
sehingga tidak menimbulkan kepanikan.
Adipati Tejolaksono sendiri lalu mengajak isterinya pergi
menghadap Roro Luhito di bagian belakang kadipaten
kemudian sang adipati menceritakan tentang perasaannya
yang tidak enak. "Pergerakan pasukan-pasukan asing itu amat mencurigakan, Bibi. Karena itu malam ini juga saya sendiri
akan pergi melakukan penyelidikan. Harap Kanjeng Bibi
dan Ayu Candra bersikap waspada memlmpin pasukan
yang melakukan penjagaan di kadipaten."
"Jangan khawatir, Ananda Adipati. Memang seyogianya
dilakukan penyelidikan sendiri. Setelah apa yang Ananda
saksikan ketika terjadi pertemuan di puncak Merapi, desas-
desus tentang pasukan-pasukan asing itu harus dicurigai.
Tentang kadipaten, cukup berada di tanganku dan isterimu
Ayu Candra. Juga Pusporini sekarang bukan kanak-kanak
lagi, tenaganya dapat kita pergunakan untuk memperkuat
penjagaan kadipaten;" demikian kata Roro Luhito yang
biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, hampir lima
puluh dua tahun, namun semangatnya masih besar dan
ketangkasannya tidak banyak berkurang.
Setelah meninggalkan pesan kepada isterinya agar
berhati-hati menjaga kadipaten, dan mengatakan bahwa
penyelidikannya tidak akan lebih daripada sepekan
lamanya, Tejolaksono malam itu juga menyusul keberangkatan pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Raden
Mundingyudo dan teman-temannya. Karena Ia ingin agar
penyelidikannya dapat dilakukan dengan leluasa, maka
Adipati Tejolakspno mengganti pakaiannya dengan pakaian
petani biasa dan ia berangkat dengan jalan kaki saja.
Namun, kiranya jika ia berkuda, tidak akan secepat
perjalanannya sekarang karena ia mempergunakan Aji
Bayu Sakti sehingga tubuhnya berkelebat cepat sekali
bagaikan burung terbang sehingga dalam waktu singkat ia
telah melampaui pasukannya yang menuju ke barat.
Kalau Mundingyudo ia perintahkan menyelidiki keadaan
dan gerak-gerik pasukan asing yang kabarnya bergerak di
daerah barat dan utara, adalah dia sendiri ingin menyelidiki
keadaan rakyat di dusun-dusun, ingin melihat apakah
terjadi sesuatu di dalam tata kehidupan rakyat pedesaan,
terutama sekali tentang kehidupan budaya dan kepercayaan
agama, karena sang adipati khawatir kalau-kalau rakyat
akan dipaksa dalam hal ini oleh kekuatan-kekuatan asing.
Dalam penyamarannya sebagai seorang petani sederhana, dengan mudah Tejolaksono dapat masuk keluar
dusun-dusun tanpa ada yang mengenalnya. Dan apa yang
disaksikan membuat ia terkejut bukan main. Memang, pada
lahirnya, tidak terjadi sesuatu yang menghebohkan di dalam
dusun-dusun itu dan keadaan rakyatnya tampak senang dan
tata tenteram kerta raharja. Akan tetapi sesungguhnya telah
terjadi perubahan yang hebat. Di dalam beberapa buah
dusun ia melihat telah didirikan wihara-wihara dan candi
dan sebagian besar penduduk dusun sudah menukar pujaan
mereka. Di sebuah dusun, penduduknya mulai menukar
pujaan menjadi pemeluk Agama Buddha, dan di lain dusun
memuja Sang Hyang Shiwa. Akan tetapi karena ia tidak
melihat kekerasan atau paksaan dalam hal pengembangan
kedua agama itu, ia tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya ia
melihat gejala-gejala aneh dalam penukaran pujaan ini,
yaitu lenyapnya para pendeta pemuja Sang Hyang Wishnu
dan digantinya kepala-kepala dusun oleh pemuja Sang
Hyang Shiwa atau yang beragama Buddha! Di samping itu,
rakyat tertarik berganti pujaan karena kegaiban-kegaiban
yang didemonstrasikan oleh pendeta-pendeta pembawa
agama baru itu. Adipati Tejolaksono lalu mendatangi Dusun Sumber
karena ia mengenal baik kepala dusun di situ. Bahkan dia
sendiri yang mengangkat Ki Sentana menjadi kepala dusun
Sumber. Ia tahu benar bahwa Ki Sentana adalah seorang
pemeluk atau pemuja Sang Hyang Wishnu yang patuh,
seorang bekas perajurit Panjalu yang setia. Ia mengharapkan keterangan yang jelas dari bawahannya itu
tentang segala rahasia yang kini mencengkeram dusun-
dusun di sebelah barat Selopenangkep. Ia memasuki dusun
Sumber di waktu senja dan langsung mendatangi rumah
kepala dusun. Rumah itu sunyi dan gelap, bahkan di ruangan depan
tidak ada meja kursinya, juga pekarangan depannya kotor
sekali, tidak terpelihara. Tejolaksono memasuki halarnan
yang penuh dengan daun kering, terus maju memasuki
ruangan depan, memandang ke arah pintu yang terbuka
separuh sambil berseru, "
"Kulonuwun ............ t
Tidak ada jawaban, akan tetapi telinganya yang tajam
mendengar suara langkah kaki dari dalam rumah itu.
Langkah kaki wanita, pikirnya, karena langkah itu halus
perlahan, ia menanti dengan hati berdebar. Ada sesuatu
yang tidak wajar dalam rumah Ki Sentana ini, pikirnya.
Mengapa begini sunyi dan gelap" Mengapa rumah kepala
dusun begini kotor tidak terawat"
Sinar terang tampak dari dalam dan tak lama kemudian
muncullah wanita. yang langkah kakinya terdengar oleh
Tejolaksono. Wanita yang masih muda, kurang lebih dua
puluh lima tahun usianya. Wanita yang cantik dengan
sepasang mata yang bersinar tajam dan kerling serta tarikan
mulutnya genit sekali. Wanita ini melangkah keluar dengan
lenggang menarik, membawa sebuah lampu kecil. Begitu
muncul dari pintu dan berhadapan dengan Tejolaksono, ia
memandang penuh selidik dan pandang mata itu menjadi
manis sekali, diikuti senyumnya memikat dan malu-malu.
Biarpun wanita itu tidak berkata sesuatu, namun pandang
matanya penuh pertanyaan dan Tejolaksono cepat
memperkenalkan diri tanpa menyebut namanya,
"Maafkan kalau saya menganggu. Saya mohon berjumpa
dengan Paman Sentana lurah dusun ini."
"Oohhh, sungguh tidak kebetulan sekali. Paman Sentana
sedang tidak berada di rumah." Suara wanita itu halus dan
merdu seperti suara seorang waranggana, dan di waktu
bicara, bibirnya bergerak memikat dan tampak giginya yang
putih rata menggigit-gigit bibir bawah menyeling kata-
katanya. Bibir yang penuh basah dan bergerak seperti itu,
gigitan bibir, dagu yang kadang-kadang menggeser ke kanan
kiri, kerling yang tajam menyambar, semua itu membayangkan kegenitan yang memikat sehingga Tejolaksono terheran-heran dan menduga-duga siapa
gerangan wanita ini. Ia tahu bahwa Ki Sentana yang sudah
tua tidak mempunyai puteri, hanya ada dua orang
puteranya yang lima tahun lalu masih perjaka. Apakah
wanita ini seorang di antara menantunya"
"Kalau bibi ............ adakah ............ ?" tanyanya agak
gugup, karena memang merasa canggung sekali dan tidak
terduga-duga bahwa kedatangannya akan disambut seorang
wanita muda yang selain cantik jelita juga jelas
memperlihatkan sikap genit memikat!
Wanita itu menahan senyum, bibir bawah agak berjebi
dan menggeleng kepala. "Sayang sekali, bibi juga pergi bersama Paman Sentana."
Makin tidak enak rasa hati Tejolaksono melihat bibir
yang berjebi sehingga tampak penuh dan merah itu serta
mata yang makin menantang. "Kalau begitu, biarlah lain
kali saya datang lagi ............ "
Ia sudah hendak memutar tubuh ketika wanita itu
berkata, "Aehh, nanti dulu harap jangan tergesa-gesa pergi.
Saya bukanlah orang lain, melainkan keponakan Paman
Sentana, namaku Sariwuni. Lebih baik andika menanti di
sini sebentar, karena malam ini paman dan bibi akan
pulang. Paman dan bibi tentu marah sekali kepada saya
kalau mendengar bahwa ada tamu datang tidak saya
persilahkan menunggu. Silahkan masuk, Raden ..............
kamar tamu di sebelah kiri ini kosong. Harap suka menanti
sebentar, tidak lama lagi paman dan bibi tentu akan
pulang." Lenyap keraguan hati Tejolaksono. Hemm, kiranya anak
keponakan Ki Sentana. Heran dia bahwa Ki Sentana
mempunyai seorang anak keponakan yang secantik dan
segenit ini! Tidak apalah ia menanti sebentar, karena ia
ingin sekali bicara dengan Ki Sentana. Pula, kalau ia tidak
mau menanti, ke manakah ia akan mencari keterangan"
Tanpa berkata sesuatu ia lalu menganggukkan kepala dan memasuki rumah itu, terus memasuki sebuah kamar yang cukup bersih namun sederhana di sebelah kiri ruangan depan.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita yang bernama Sariwuni itu meninggalkan pelitanya dalam kamar, lalu berkata manis, "Silahkan Raden beristirahat sambil menanti." Berdebar hati Tejolaksono. Baru sekarang ia melihat
kejanggalan itu. Sudah dua kali Sariwuni menyebutnya
"raden"! Tentu saja hal ini janggal dan aneh sekali! Biarpun
ia seorang adipati, akan tetapi pada saat itu ia menyamar
sebagai seorang petani sederhana dan wanita ini tidak
mengenal siapa dia. Mengapa menyebut raden" Hatinya
tidak enak, akan tetapi wanita. itu sudah melangkah keluar
dari pintu kamarnya. Jelas tampak sepasang buah pinggul
wanita itu bergoyang turun naik karena langkahnya yang
sengaja dibuat-buat melenggang-lenggok. Ah, kalau tidak
sudah terlanjur memasuki kamar tamu, dan kalau tidak
amat penting baginya menemui Ki Sentana, tentu ia tidak
suka berada di sini. Ada sesuatu yang aneh pada diri wanita
itu, seperti anehnya keadaan di rumah Ki Sentana ini yang
sunyi dan tidak seperti dahulu.
Tejolaksono duduk di atas pembaringan di dalam kamar
itu, pembaringan terbuat dari kayu jati. la termenung dan
mengharapkan kedatangan Ki Sentana dengan cepat. Akan
tetapi ketika terdengar langkah kaki, ia tahu bahwa yang
mendatangi kamarnya kembali adalah wanita cantik itu. la
tetap duduk dan mengangkat muka memandang ke arah
pintu. Benar saja, Sariwuni yang muncul di pintu kamar,
kini kedua tangannya membawa sebuah penampan (baki)
berisi nasi panas, lauk-pauk dan kendi air. Sambil
tersenyum dan dengan wajah berseri-seri mata bersinar-
sinar, Sariwuni menurunkan penampan dan mengatur
hidangan itu di atas meja dalam kamar, dan berkata,
suaranya halus, "Raden, silahkan dahar seadanya." Sambil berkata
demikian, Sariwuni dengan gerakan yang luwes menuangkan air ke dalam kobokan (tempat mencuci tangan
sebelum makan), kemudian memandang wajah Tejolaksono, tersenyum dan matanya menunduk seperti
malu-malu dan mengundurkan diri.
"Nanti dulu ............!" Tejolaksono berkata dan Sariwuni
berhenti melangkah lalu membalikkan tubuhnya yang
ramping, memandang dengan alis terangkat. Manis sekali
sikap dan wajahnya. "Apakah yang dapat saya lakukan untukmu, Raden?"
"Tahukah engkau ke mana perginya paman dan bibi"
Hari telah menjadi malam dan mereka belum juga pulang."
Dengan gerakan kenes wanita itu mengangkat kedua
pundaknya dan kembali giginya tampak berkilau terkena
sinar api pelita ketika ia membuka bibir. "Saya tidak tahu ke
mana, Raden. Akan tetapi paman tadi berkata bahwa tidak
akan lama pergi dan malam ini pasti pulang."
Tejolaksono mengangguk-anggul< dan ketika wanita itu
hendak membalikkan tubuh lagi ia berkata, "Eh, Sariwuni,
mengapa engkau menyebut aku raden" Aku hanya seorang
petani kenalan Paman Sentana ............ "
Sariwuni tertwa dan menutupi mulut dengan tangan
kirinya. Kembali gerakan ini amat manis dan kenes,
gerakan wanita yang tahu akan kebiasaan puteri-puteri
bangsawan dan tidak seperti biasanya seorang perawan
dusun yang polos dan jujur.
"Hi-hik ............ seorang petani tidak bicara sehalus
bicaramu, Raden. Juga kaki tangannya tidak sehalus kaki
tanganmu, kulltnya tidak seputih dan sebersih kulitmu.
Selain itu, wajah seorang petani ............ eh, tidak setampan
............ " Wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya, lalu
membalikkan tubuh dan setengah berlari keluar kamar
meninggalkan suara ketawa ditahan.
Tejolaksono termangu, mengerutkan keningnya kemudIan karena memang perutnya sudah lapar dan
mulutnya haus, ia minum air dari kendi, mencuci tangan
dan makan nasi putih yang pulen ditemani lauk-pauk yang
cukup sedap. Selesai makan, ia mencuci tangan,
membersihkan kakinya lalu naik ke pembaringan, duduk
bersila menanti kedatangan Ki Lurah Sentana.
Akan tetapi sampai lama dan jauh ma'am, belum juga
tuan rumah yang dinanti-nantinya itu datang. Tejolaksono
menjadi hilang sabar. Akan tetapi ketika ia hendak turun
dari pembaringan untuk menyelidiki hal ini, tiba-tiba pintu
kamarnya itu terbuka dari luar. la terkejut karena kali ini ia
tidak mendengar langkah kaki. Tahu-tahu pintu kamar itu
terbuka dan muncul pula Sariwuni.
Tejolaksono yang masih duduk bersila di atas
pembaringan, memandang dengan mata terbelalak. Wanita
itu kini telah berubah jauh sekali. Kalau tadi hanya bersikap
manis, kini sikapnya benar-benar keterlaluan. Menantangl
Senyumnya masih manis memikat seperti tadi, rnatanya
bersinar-sinar penuh daya tarik, rambutnya terurai lepas
dan pakaian yang menutupi tubuhnya hanyalah sehelai
tapih pinjung yang membungkus tubuh sampai ke dada
kemudian bagian atasnya disuwelkan begitu saja di antara
lekuk-lekuk dadanya. Begitu ia masuk, bau yang harum
menyerbu kamar. Bau mawar yang segar, seakan-akan
Wanita itu baru mandi keramas air mawar" Kulit pundak
dan lengan yang kuning langsat itu seperti lilin diraut, halus
dan tipis sehingga membayangkan urat-urat yang halus
berwarna kemerahan. Dengan lenggang lemah gemuiai,
disertai pandang mata dan senyum malu-malu yang makin
memperkuat daya pikat, Sariwuni bergerak memasuki
kamar dan mendekati Tejolaksono. Bau harum bunga
mawar makin memabukkan. Bau bunga mawar ini memang
amat sedap dan kiranya tidak ada orang di dunia ini,
terutama kalau ia laki-laki, yang tidak menyukainya.
"Raden, ............ tentu engkau merasa kesal menanti
kembalinya paman dan bibi ............ , agaknya mereka
besok pagi kernbali ............ biarlah saya menemani Raden
malam ini di sini ............ " Suaranya tersendat-sendat, dada
itu bergelombang turun naik dan suwelan tapih itu lama-
lama tentu akan terlepas oleh gerakan dada.
Tejolaksono adalah seorang laki-laki. Pemandangan
yang dihadapinya itu tentu saja amat menarik dan
menggairahkan karena diapun seorang pria yang sehat dan
normal. Akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang
ksatria sejati. Keteguhan batinnya tidak mudah tergoncang
oleh pikatan dan bujuk rayu karena didasari keyakinan
bahwa hal ini adalah tidak benar! Dia memiliki harga diri
yang tinggi, tidak sudi ia melakukan pelanggaran susila
yang akan menyeretnya turun ke lembah kehinaan. Wanita
ini adalah keponakan Ki Sentana dan ia sebagai seorang
tamu, bagaimana ia akan sudi mencemarkan kehormatan
keluarga tuan rumah" Pula, ia dapat melihat bahwa watak
yang rendah sajalah yang dapat mendorong seorang wanita
muda seperti Sariwuni untuk bersikap tidak tahu malu
seperti ini. "Eh, perempuan! Di mana kesusilaanmu" Mundurlah!"
Bentaknya dengan muka menjadi merah.
Akan tetapi Sariwuni tidak menjadi takut, apalagi
mundur. la berjebi sehingga bibir bawahnya melebar,
memperlihatkan bagian bibir yang sebelah dalam dan amat
merah. "Duhai Raden, mengapa menolak cinta kasih mesra
yang kusodorkan kepadamu" Jangan khawatir, paman dan
bibi tidak ada, dan di rumah ini hanya ada kita berdua!"
Tiba-tiba Sariwuni sudah melangkah dekat dan kedua
lengannya bergerak merangkul, suwelan tapihnya tiba-tiba
terlepas dan ia hendak mencium muka sang adipati,
"Perempuan tak tahu malu! Pergilah!" Tejolaksono
menggerakkan tangan kirinya mendorong pundak Sariwuni.
Tubuh wanita itu terdorong dan terlempar ke belakang.
Akan tetapi alangkah kaget hati Tejolaksono ketika melihat
wanita itu membuat gerakan jungkir balik ke belakang
sehingga tidak sampai roboh dan kini sudah berdiri dengan
mata terbelalak marah! Kedua tangan itu kini mengikatkan
lagi ujung tapih yang terlepas, mengikatnya erat-erat pada
dadanya. Lenyaplah kini sikapnya yang memikat, berganti
pandang marah dan mulutnya cemberut. Lenyaplah wajah
bidadari terganti wajah iblis betina yang siap nenerkam
korbannya! Setelah ikatan kainnya erat betul-betul, wanita
itu menggerakkan kedua lengannya dengan gerakan aneh,
membentuk lingkaran dan terdengar suara berkerotokan
seolah-olah kedua lengannya menjadi patah-patahl Dan
perlahan-lahan kedua tangan itu, dari ujung kuku sampai ke
pergelangan tangan, berubah menjadi hitam. Pandang
matanya menjadi buas ketika ia memekik,
"Si keparat Tejolaksono! Kau tidak suka mati dalam
kenikmatan, biarlah kau mampus dalam penderitaan!"
Mendadak sekali wanita cantik itu menubruk maju, kedua
tangannya' yang berkuku hitam itu mencengkeram ke arah
muka dan perut. Serangannya ini ganas dan cepat bukan
main! Tejolaksono masih duduk bersila di atas pembaringan.
Dia tadi terlampau kaget dan heran menyaksikan
perubahan ini, apalagi mendengar namanya disebut. Akan
tetapi ia maklum bahwa wanita ini bukan orang
sembarangan. Terjangannya amat kuat dan cepat, sepasang
tangan yang berkuku hitam itu dahsyat sekali. lapun tahu
bahwa aji pukulan ini mengandung racun yang amat jahat.
Bau harum kembang mawar kini lenyap tertutup bau
wengur seperti bau ular berbisa. Karena maklum bahwa
sepuluh buah kuku hitam itu tidak boleh menggurat
kulitnya, ia lalu mengerahkan Ayi Pethit Nogo menyampok
dari samping. "Plakkk ............ !!"
Sariwuni merintih perlahan dan terdorong mundur
terhuyung-huyung. Akan tetapi ia tidak roboh dan hal ini
saja membuktikan bahwa dia memang kuat dan berilmu
tinggi. Tidak sembarang orang dapat bertahan terhadap
sampokan Pethit Nogo. Maka Tejolaksono berlaku hati-hati
dan sekali ia bergerak, tubuhnya sudah melompat turun,
berdiri dan hersiap sedia menanti serangan lawan, sikapnya
tenang. Ia memandang tajam dan bertanya dengan suara
tegas, "Perempuan, siapakah gerangan engkau sesungguhnya"
Tidak mungkin keponakan Paman Sentana!"
Tiba-tiba waita itu terkekeh ketawa. Suara ketawanya
berbeda dengan tadi. Kalau tadi halus merdu dan penuh
Jejak Di Balik Kabut 28 Alap Alap Laut Kidul Seri Ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pedang Dan Kitab Suci 15
seorang pertapa sakti, tentu saja wanita inipun bukan
seorang penyombong seperti puteri-puteri bangsawan biasa,
kini dengan segala kerendahan hati la berlutut menyembah
kakek yang ia tahu telah menolong puteranya itu.
"Eyang panembahan, hamba suami isteri menghaturkan
banyak terima kasih kepada Eyang panembahan yang
sudah menyuruh harimau putih untuk menolong putera
kami dari ancaman para perampok yang menyerang
Kadipaten Selopenangkep," Tejolaksono berkata dengan
sikap menghormat. Ki Tunggaljiwa tersenyum, mengelus jenggotnya dan
mengangguk-angguk. Ia kagum juga menyaksikan sikap
adipati dan isterinya ini yang begitu rendah hati, sikap yang
jarang ditemukan di antara pembesar atau bangsawan.
"Harap Andika suka bangkit dan marilah kita duduk dan
bicara yang enak dan Angger adipati harap jangan keliru
menduga. Saya bukanlah seorang panembahan melainkan
seorang petani biasa saja, seorang tua yang lemah dan tidak
semestinya Andika sembah. Bangkitlah, Angger dan marl
kita duduk di atas rumput yang empuk ini."
Tejolaksono dan isterinya tidak membantah dan mereka
lalu duduk bersila di depan Ki Tunggaljiwa, sedangkan
Bagus Seta duduk di samping ibunya yang bersimpuh.
"Angger adipati, ketahuilah bahwa puteramu berjodoh
dengan saya. Harap jangan mengira bahwa saya yang
memaksanya datang ke sini, melainkan dia sendiri yang
dengan suka rela ikut bersama sardulo pethak datang ke sini
kemudian secara suka rela pula menjadi muridku. Inilah
yang dinamakan jodoh, dan selama lima tahun saya harap
Andika berdua rela melepaskan putera Andika itu untuk
tinggal bersamaku mempelajari ilmu."
"Aahhhh............ !" Ayu Candra berseru kaget lalu
memeluk puteranya seolah-olah tidak merelakan puteranya
berpisah dari sampingnya.
"Eyang, seperti telah Eyang saksikan sendiri betapa
beratnya seorang ibu berpisah dari puteranya yang hanya
satu-satunya. Bagus Seta masih terlalu kecil dan biarpun
saya seorang bodoh yang tiada kepandaian, namun saya
masih sanggup untuk memberi pendidikan kepada putera
saya. Kelak, kalau dia sudah besar dan menghendaki
memperdalam ilmunya kepada Eyang, tentu kami tidak
keberatan. Akan tetapi sekarang.......... harap Eyang suka
memaafkan kalau hamba berdua tidak dapat menyetujuinya," kata Adipati Tejolaksono dengan suara
tenang. "Kanjeng Rama, saya senang sekali menjadi murid Bapa
guru, harap Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu tidak melarang
hamba..........." kata Bagus Seta tiba-tiba sambil memandang ayah bundanya. "Hushhh............ Bagus Seta, bagaimana Ibumu dapat
berpisah darimu, Nak" Apalagi sampai lima tahun!" kata
Ayu Candra. "Bagus Seta, tidak boleh kau membikin susah hati
Ibumu!" kata Tejolaksono.
Ki Tunggaljiwa tertawa. "Angger adipati berdua harap
maklum bahwa kehendak Hyang Widhi tidak dapat diubah
oleh perbuatan manusia. Ketahuilah bahwa bukan semata-
mata kehendak saya untuk mengambil murid Bagus Seta,
melainkan agaknya Sang Hyang Wishnu sendiri yang
memilih anak ini untuk kelak menyelamatkan nama
besarNya." "Akan tetapi, Eyang............ !!!"
Suara bantahan Adipati Tejolaksono terhenti karena
pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak dan
muncullah dua orang kakek yang entah dari mana tahu-
tahu telah berada di tempat itu, berdiri sambil tertawa
menghadapi Ki Tunggaljiwa. Kakek ini memandang,
menghela napas lalu bangkit berdiri. Melihat sikap ,dua
orang yang baru tiba, Adipati Tejolaksono juga bangkit
berdiri, diikuti Ayu Candra yang masih memeluk
puteranya. Tejolaksono yang memandang penuh perhatian, diam-
diam menjadi terkejut. Dari cahaya muka dan sinar mata
mereka, ia maklum bahwa dua kakek ini adalah orang-
orang yang berilmu tinggi. Kedua orang kakek itu sudah
amat tua, sukar diduga berapa usianya, akan tetapi agaknya
tidak kalah tua oleh Ki Tunggaljiwa yang juga sukar ditaksir
berapa usianya. Yang seorang bertubuh pendek gendut,
berkepala gundul licin, dengan jubah kuning yang besar.
Wajah kakek ini amat tenang, mulutnya tersenyum dan
pandang matanya tajam penuh pengertian seakan-akan
tidak ada rahasia lagi baginya akan apa yang terjadi di
kolong langit ini. Tangan kirinya memegang seuntai tasbih
dari batu putih halus mengkilap, sedangkan tangan
kanannya memegang sebatang tongkat kayu cendana yang
kepalanya berbentuk ukiran kepala naga. Seluruh sikap
kakek gundul ini, dari kaki sampai ke kepala, pada senyum
mulutnya dan sinar matanya, semua membayangkan
ketenangan dan kesabaran, kepala yang gundul dan jubah
kuningnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pendeta
beragama Buddha dan melihat betapa sinar kasih terpancar
keluar dari matanya, mudah diduga bahwa pendeta ini
adalah seorang pendeta suci yang sudah matang betul
ilmunya. Orang ke dua adalah seorang kakek tinggi kurus dan
kakek inilah yang tadi tertawa-tawa. Kakek ini rambutnya
panjang seperti rambut Ki Tunggaljiwa, juga sudah putih
semua, akan tetapi mukanya berkulit merah sehat seperti
muka seorang anak kecil yang banyak bermain di bawah
sinar matahari. Matanya amat tajam dan penuh semangat
hidup, penuh gairah dan panas. Anehnya, pakaian kakek ini
yang juga merupakan jubah seorang pendeta Hindu,
berwarna merah menyolok. Kedua tangannya kosong tidak
memegang sesuatu, akan tetapi di pinggangnya tampak
terselip gagang sebuah senjata yang tersembunyi di ba;ik
jubahnya. Ki Tunggaljiwa menghela napas panjang dan mengucapkan puja-puji kepada dewata sambil berkata,
"Puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Wisesa yang
telah menurunkan anugerah kebahagiaan pada saat ini!
Pantas saja angin bersilir sejuk, burung prenjak meng-ganter
. (berkicau riang), bajing lompat-lompat berkejaran gembira,
hari cerah dan jauh lebih indah daripada biasanya. Kiranya
puncak Merapi mendapat kehormatan besar menerima
sentuhan kaki dua orang suci yang mendatangkan kebajikan
kepada sesama umat manusia! Sang Biku Janapati............
dan Sang Wasi Bagaspati, selamat datang di puncak
Merapi!" "Sadhu............ sadhu............ sadhu............ semoga
Sang Tri Ratna melindungi kita semua!" Biku Janapati yang
gendut dan berkepala gundul itu berdoa sambil merangkapkan kedua telapak tangan ke depan dada.
"Wahai sang sakti Ki Tunggaljiwa, alangkah pandainya
Andika memilih tempat yang begini indah. Sahabatku yang
baik Ki Tunggaljiwa, seperti telah dikatakan oleh sabda suci
Sang Buddha bahwa yang meninggalkan kejahatan
dinamakan Brahmana, yang hidup tenang dan tenteram
disebut Samana (orang suci), dan yang mengenyahkan
kekotoran dirinya dlnamakan Pabbayita (berslh dari noda).
Semoga Andika sudah mencapal tingkat itu, oh, sahabat
dan saudaraku Ki Tunggaljiwal"
Ki Tunggaljiwa tersenyum ramah, sepasang matanya
yang bening dan bersinar terang itu ikut pula tersenyum.
"Saudaraku yang bijaksana, Sang Biku Janapati. Sabda sucl
Buddha-darma dalam kitab Dhammapada itu menerangkan
tentang sifat-sifat seorang Brahmana dan Andika pergunakan untuk memuji seorang seperti aku. Ha-ha-ha-
ha! Terlalu tinggi, sang biku. Masa mungkin seorang petani
bodoh macam Ki Tunggaljiwa ini disebut seorang
Brahmana" Tidak berani aku menerimanya, Saudaraku.
Andika inilah yang patut disebut seorang Bhikku yang telah
matang jiwanya, seperti telah disabdakan dalam Dhamma-
pada bahwa seorang Bhikku hendaknya tidak melebih-
lebihkan apa yang diterima olehnya, tidak iri hati terhadap
orang lain, karena seorang Bhlkku yang mengiri terhadap
orang lain. Takkan memperoleh ketenangan batin!"
"Ucapan Andika amat menyenangkan dan baik, Ki
Tunggaljiwa. Sadhu............ !"
"Ha-ha-ha-ha-ha! Semenjak puluhan tahun yang lalu Ki
Tunggaljiwa memang seorang yang pandai dan bijaksana.
Pandai lahir batin dan pandai pula mengelus hati dan
perasaan. Sampai-sampai Biku Janapati dapat kau nina-
bobokkan dengan sabda-sabda suci Buddha-dharma
(pelajaran Agama Buddha). Akan tetapi, Ki Tunggaljiwa,
suara dari mulut itu bukanlah pernyataan pikiran dan
senyum bukanlah cermin hati. Karena kita bertiga bukanlah
anak-anak kecil lagi, kuminta, Ki Tunggaljiwa, janganlah
menggunakan basa-basi dan tak perlu menanam madu di
bibir. Lebih baik kita mengeluarkan isi hati dan pikiran
sebagaimana adanya. Nah, aku telah berkata demi nama
Sang Hyang Syiwa yang berkuasa! Omm, shanti-shanti-
shanti...........!!"
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk, masih tersenyum
ramah dan sepasang matanya makin tajam bersinar-sinar.
Lengan kanannya memeluk dada, lengan kirinya bertopang
siku pada lengan kanan dan tangannya mengelus-elus
jenggotnya yang putih seperti benang-benang sutera perak
yang halus. "Duhai, Jagad Dewa Bhatara...........! Sang Wasi
Bagaspati semenjak puluhan tahun yang lalu masih saja
penuh api dan semangat, seperti tidak pernah menjadi tua.
Sungguh mengagumkan sekali! Sesungguhnyalah, aku sama
sekali tidak ............ berkedok basa-basi yang kosong,
Sahabat. Memang aku menanam madu di bibir, akan tetapi,
ini merupakan tata susila dan kepribadian bangsa kita.
Bukankah amat indah tata susila dan kepribadian bangsa
kita, Sang Wasi" Tata susila pencerminan peradaban dan
tanpa peradaban, apa bedanya antara manusia dan
binatang" Betapa janggalnya kalau Andika berdua datang
bertemu dengan aku lalu kita saling memandang dengan
mata melotot dan mulut cemberut penuh ancaman seperti
sekumpulan binatang bertemu lawan."
Mendengar sikap Ki Tunggaljiwa dan mendengar ucapan
kakek ini, Adipati Tejolaksono benar-benar amat kagum
dan tertarik hatinya. Juga ia tadi kaget dan kagum
mendengar bahwa kakek yang diangkat guru puteranya ini
benar-benar adalah Ki Tunggaljiwa seperti yang pernah
disangka oleh mendiang bibinya Kartikosari. Saking kagum
hatinya, tak terasa lagi ia mengangguk-anggukkan
kepalanya tanda setuju dengan bantahan itu.
"Ha-ha-ha! Dia yang tidak mengerti apa-apa, hanya
pandai mengangguk-angguk menelan semua kata-kata
manis seperti seekor kerbau mendapat makanan rumput
kering dari si petani!" kata pula Wasi Bagaspati yang
berwatak brangasan itu sambil memandang.
Tejolaksono tentu saja merasa dirinya disindir. Ia
mengangkat muka memandang pendeta pemuja Sang
Hyang Syiwa itu dan begitu pandang matanya bertemu
dengan pandang mata kakek itu, ia terkejut bukan main.
Dari sepasang mata kakek itu seperti keluar api berkilat
yang panas sekali sehingga menyilaukan matanyal Akan
tetapi Adipati Tejolaksono bukan orang sembarangan. Dia
pernah digembleng oleh Ki Patih Narotama, bahkan pernah
pula diwejang oleh Sang Prabu Airlangga, maka diapun
memiliki kekuatan batin amat hebat. Cepat ia mengerahkan
tenaga batinnya menentang pandang mata ini, namun biar
dia kuat menentangnya, tidak urung jantungnya berdebar
dan uap panas mengepul dari ubun-ubun kepalanya!
"Ha-ha-ha! Kiranya temanmu yang muda ini seorang
muda yang berisi juga, Ki Tunggaljiwa! Muridmukah dia
ini" Lebih baik kau menyuruh mereka bertiga ini
menyingkir lebih dulu agar percakapan kita yang maha
penting tidak terganggu."
Tejolaksono bergidik ketika kakek itu mengalihkan
pandang mata kepada Ki Tunggaljiwa. Ia maklum bahwa
sebentar lagi, kalau adu pandang itu dilanjutkan, a takkan
kuat bertahan. Alangkah hebatnya kakek pemuja Sang
Hyang Syiwa itu! "Heh-heh, dia bukan orang lain, juga bukan muridku,
Sang Wasi. Dia adalah Adipati Tejolaksono, Adipati
Selopenangkep." "Aaahhh! Kiranya dia ponggawa Panjalu, bukan" Bagus
sekali! Biarlah dia menjadi saksi dan pendengar untuk
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyampaikan kepada sang prabu di Panjalu. Kami tidak
takut!" "Sudahlah, Sabahatku Wasi Bagaspati. Tidak ada yang
menentangmu, maka memang tidak ada persoalan berani
atau takut. Lebih baik kalau Andika berdua Sang Biku
Banapati menjelaskan maksud kedatangan Andika berdua."
"Ha-ha, seperti anak kecil engkau, Ki Tunggaljiwa. Perlu
lagikah dijelaskan kepada seorang sakti mandraguna seperti
engkau yang kabarnya memiliki mata batin yang tajam dan
awas sehingga dapat melihat keadaan masa mendatang?"
Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng kepala. "Andika
maklum, bukan hak manusia untuk mendahului kehendak
Hyang Widhi Wisesa. Kalau engkau enggan mengaku, aku
mohon Sang Biku Janapati menjelaskan maksud kedatangannya." Biku Janapati yang sejak tadi hanya berdiri diam tak
bergerak, kini mendehem tiga kali, lalu merangkapkan
kedua tangannya lagi. "Ah, saudaraku Ki Tunggaljiwa.
Semoga Sang Buddha menjauhkan hatiku daripada
kehendak buruk! Kedatanganku ini tidak lain hanya mohon
petunjuk dan penjelasan mengenai perjumpaanmu setengah
tahun yang lalu di puncak Sanggabuwana dengan seorang
di antara murid-muridku. Engkau dan muridku berdebat,
juga dengan murid Saudara Wasi Bagaspati, dan
mendengar bahwa Andika menentang berkembangnya
Agama Buddha dan Agama Shiwa. Aku hanya ingin
mendengar dari mulut Andika sendiri, benarkah Andika
menentang Agama Buddha?"
"Biku Janapati, perlu apa bertanya lagi" Andaikata benar
demikian, tentu Ki Tunggaljiwa yang plintat-plintut ini
tidak akan mengaku. Kita semua tahu bahwa dia
penyembah Sang Hyang Wishnu dan kita sama tahu pula
betapa para penyembah Wishnu selalu menyelamatkan diri
di balik ketajaman lidahnya!"
Ki Tunggaljiwa tidak menjadi marah, hanya mengangguk-angguk dan tersenyum lalu mengelus-elus
jenggotnya. "Memang benar seperti yang diucapkan Wasi
Bagaspati. Perlu apa lagi aku bicara kalau orang datang
dengan etikat buruk" Orang yang telah diracuni kebencian
tidak akan dapat melihat kebenaran, tidak akan dapat
mempertimbangkan keadilan! Kalau aku bicara dan
membela kebenaran, tentu akan kalian anggap keliru pula,
bahkan jangan-jangan aku disangka tumbak-cucukan
(penceloteh). Tidak, kedua saudaraku yang bijaksana. Aku
tidak akan membela diri dan membenarkan diri sendiri.
Hanya pendirianku begini, hendaknya kalian berdua
dengarkan secara teliti, dengan kepala dingin. Tidak aku
sangkal lagi bahwa aku, bersama sebagian besar rakyat
Panjalu dan Jenggala, memuja Sang Bathara Wishnu yang
penuh kasih dan yang bijaksana yang hendak menuntun
manusia ke jalan kebenaran, tidak melawan kehendak Sang
Hyang Widhi Wisesa! Akan tetapi, sungguh menyimpang
daripada ajaran Sang Hyang Wishnu kalau kami para
pemujanya membenci dan menghalangi perkembangan
agama lain, karena kami tahu bahwasanya semua agama itu
bagaikan jalan-jalan yang berlainan namun kesemuanya
mempunyai titik tujuan yang sama! Sinar agung Sang
Hyang Wisesa merupakan mercu suar dan ke arah mercu
suar itulah semua jalan menuju. Sahabat berdua, sekali lagi
kutekankan bahwa kami anak murid Sri Wishnu tidak akan
menentang agama lain, akan tetapi tentu saja kami juga
tidak mau ditekan." "Sungguh baik dan benar wawasan Ki Tunggaljiwa dan
semoga Sang Buddha memberkahi kita sekalian yang
berkemauan baik," kata Biku Janapati dengan wajah
berseri. Akan tetapi Wasi Bagaspati lalu tertawa bergelak
penuh ejekan, kemudian berkata, suaranya nyaring,
"Ha-ha-ha, pemutaran kata-kata yang manis beracun!
Heh, Ki Tunggaljiwa! Kakek-kakek seperti kita ini, perlu
apa memutar-rnutar omongan" Lebih baik engkau katakan
bahwa engkau tidak rela melihat agama kami berkembang
ke Panjalu dan Jenggala!,. Aku Wasi Bagaspati semenjak
muda terkenal sebagai orang yang paling suka akan sikap
jantan yang blak-blakan, membenci sifat plintat-plintut!"
Keras dan memanaskan hati ucapan yang keluar dari
tokoh pemuja Agama Shiwa ini, akan tetapi Ki Tunggaljiwa
masih tersenyum, bukan senyum sabar melainkan senyum
penuh makium, seperti senyum seorang tua melihat
kenakalan kanak-kanak. "Wasi Bagaspati, aku tidak menyembunyikan sesuatu
yang aku sudah tahu pula akan latar belakang kemarahan
Andika berdua. Misalnya, aku tahu bahwa Andika dan
murid Andika adalah utusan-utusan atau wakil Kerajaan
Cola yang ingin menancapkan kekuasaan di Jawa-dwipa,
seperti juga sahabat Biku Janapati ini adalah utusan
Sriwijaya yang semenjak dahulu memang ingin mendesak
Mataram! Kedua kerajaan ini memperalat kalian, entah
kalian sadari ataukah tidak. Akan tetapi aku tidak
mencampuri urusan kerajaan. Bagiku, kujelaskan lagi, asal
kalian tidak menekan kami para anak murid Sri Wishnu,
kami tidak akan menentang siapa-siapa."
"Ha-ha-ha! Tanpa tedeng aling-aling memang kuakui
bahwa aku utusan Kerajaan Cola! Dan Biku Janapati
memang utusan Sriwijaya! Akan tetapi kau tidak perlu
berpura-pura lagi, Ki Tunggaljiwa. Siapakah tidak tahu
kepada engkau dan kakak seperguruanmu Bhagawan
Satyadarma di Gunung Agung" Siapakah tidak tahu betapa
dahulu, semenjak di Balidwipa, kalian mengusahakan agar
dapat menguasai Jawa" Buktinya, anak Balidwipa, murid
Bhagawan Satyadarma, menjadi Raja Kahuripan! Dan kini
putera-puteranya merajai Jenggala dan Panjalu. Tentu saja
engkau melindungi mereka! Pendeknya, Kerajaan Cola dan
Sriwijaya akan maju terus, dan kamipun akan maju terus!"
Ki Tunggaljiwa menggeleng kepalanya. "Kalau begitu
Sriwijaya dan Cola takkan berhasil, dan Andika berdua juga
akan menghadapi banyak tantangan!"
"Ahh............ , begitukah" Dan siapa yang akan
menentang kami" Engkaukah, Ki Tunggaljiwa!"
"Mungkin............ kalau perlu," jawab Ki Tunggaljiwa
dengan sikap tenang. Wasi Bagaspati mengedikkan kepala, membusungkan
dada dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Babo-
babo............ Ki Tunggaljiwa, kami anak murid Sang Hyang
Shiwa memang bertugas membasmi yang jahat!"
"Aku tidak akan menyangkal, Wasi Bagaspati. Sang
Hyang Shiwa memang berwenang membasmi akan tetapi
pengertianmu tentang yang baik dan yang jahat kacau-balau
dan hanya menurutkan nafsu dan mencari kemenangan
pribadi belaka. Dengan demikian, kalau engkau menentang
yang benar, berarti engkau bahkan mengkhianati tugas suci
Sang Hyang Shiwa." "Bagus! Jadi menurut pendapatmu, siapa yang benar"
Orang-orang macam engkau inikah" Atau adipati antek
Panjaiu ini" Huh, kalau saja dahulu aku diberi kesempatan,
sudah kubasmi Airlangga dan Narotama, biang keladi
utama sehingga agama-agama lain menjadi muhdur dan
hanya menonjolkan penyembahan Sang Hyang Wishnu!
Hayo, Ki Tunggaljiwa, majulah, biar kumusnahkan
sekarang juga agar kelak tidak mendatangkan banyak
korban. Engkaulah biang keladi utama sekarang!"
"Wasi Bagaspati, Andika sudah berjanji kepadaku tidak
akan menggunakan kekerasan!" Tiba-tiba Biku Janapati
berkata dengan suaranya yang tenang dan mantap.
Mendengar ini, Sang Wasi Bagaspati tertawa dan
kepalanya menengadah ke atas.
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Biku Janapati. Aku tidak
akan menggunakan kekerasan, akan tetapi kalau tua bangka
ini maju, hemmm, dia akan menemui kebinasaanl Orang
Mataram semenjak dahulu adalah orang-orang sombong
dan pengecutI" Kalau Ki Tunggaljiwa tersenyum tenang saja mendengar
semua kata-kata yang kasar dan menghina itu, adalah
Adipati Tejolaksono yang tidak dapat menahan sabar.
Tadinya hanya kedua telinganya saja yang merah. Akan
tetapi makin lama, warna merah menjalar ke leher dan
seluruh mukanya. Apalagi ketika mendengar bahwa Ki
Tunggaljiwa adalah saudara seperguruan Sang Bhagawan
Satyadharma, ia menjadi terkejut karena Bhagawan
Satyadharma adalah eyang gurunya, dan kini melihat Ki
Tunggaljiwa yang masih terhitung eyang gurunya pula itu
diperhina orang, mendengar pula Mataram dan orang-
orang Mataram disebut sombong dan pengecut, malah tadi
nama Airlangga dan Narotama disebut-sebut, adipati yang
jauh lebih muda ini segera melangkah maju dan
menudingkan telunjuknya ke arah Wasi Bagaspati samba
berkata tandas, "Heh, nanti dulu, Sang Wasi Bagaspati! Andika mudah
saja memaki-maki orang Mataram! Saya mendengar tadi
bahwa Andika adalah utusan Kerajaan Cola! Padahal
melihat warna mata, rambut dan kulit, Andika adalah
bangsa saya juga! Akan tetapi Andika sudah merendahkan
diri menjadi antek kerajaan asing! Andika bertugas demi
kepentingan Bangsa Cola di seberang lautan! Sebaliknya,
kami keturunan orang Mataram mengabdi kepada tanah air
dan bangsa! Dan Andika masih berani menyebut orang-
orang Mataram sombong dan pengecut?"
"Uaaahhh, babo-babo, si keparat! Engkau bocah masih
bau pupuk berani kurangajar terhadap seorang kakek seperti
aku" Majulah kalau kau ingin musnah hari ini!"
"Eyang guru Ki Tunggaljiwa tentu sependapat dengan
saya bahwa sebagai anak murid Sang Hyang Wishnu yang
taat, saya tidak akan menyerang orang lain tanpa sebab dan
hanya akan melayaninya apabila diserang!"
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk girang, akan tetapi
Wasi Bagaspati menjadi makin marah sehingga matanya
melotot mukanya merah. "Eyang guru" Jadi Ki
Tunggaljiwa ini eyang gurumu" Murid siapa engkau,
bocah?" "Mendiang Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih
Narotama pernah membimbing hamba."
"Hua-ha-ha-ha-ha! Hanya murid si Airlangga dan
Narotama sudah berani menentang aku, Wasi Bagaspati?"
"Saya sama sekali tidak menentang seorang tua bernama
Wasi Bagaspati, yang saya tentang adalah kelaliman.........."
"Huuuuushhh, keparat! Kau bilang aku lalim" Heh,
Adipati Tejolaksono, tahukah engkau bahwa dengan mata
meram aku sanggup membinasakanmu" Berani kau
menerima dua kali pukulanku?"
"Saya tidak menantang, hanya akan membela diri kalau
diserang." "Bagus! Kalau begitu aku akan menyerangmu dengan
dua kali pukulan. Nah, kau terimalah pukulan tangan
kananku, bocah!" Wasi Bagaspati tidak melangkah maju, tetap berdiri di
tempatnya semula, sejauh dua meter dari Tejolaksono,
tangan kanannya dldorongkan ke depan, kelihatannya
perlahan saja, namun datanglah angin pukulan yang amat
dahsyat menyambar ke arah dada Tejolaksono!
Tejolaksono adalah seorang sakti. La rnaklum bahwa
pukulan jarak jauh yang ampuhnya menggila dan tidak
mungkin dielakkan karena jarak lingkungannya tak dapat
diduga berapa luasnya. Terpaksa ia lalu mengerahkan
seluruh tenaga disalurkan kepada kedua lengannya, sampai
ke ujung-ujung jari kemudian kedua tangannya itu
dikipatkan ke depan untuk menghalau pukulan lawan. Ia
menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang sudah berkali-
kali ternyata keampuhannya dalam menghadapi lawan
tangguh. Sudah banyak sekali lawan sakti roboh olehnya
dengan aji pukulan Pethit Nogo ini. Adipati Tejolaksono
sudah mahir sekali menggunakan aji pukulan ini sehingga
terkenal menjadi buah bibir orang bahwa dengan Aji Pethit
Nogo, sang adipati sanggup memukul permukaan sungai
sehingga dalam beberapa detik lamanya air itu terpecah
atau terpisah sampai tampak dasar sungai! Kini ia
menggunakan aji pukulan Pethit Nogo dengan pengerahan
seluruh tenaganya, dapat dibayangkan hebatnya dan
agaknya si penyerang yang tertangkis tentu akan patah-
patah tulang lengannya. "Syuuuuutttt............ !" Dari tangan kanan Wasi
Bagaspati dan dari kedua tangan Adipati Tejolaksono
meluncur angin yang saling menghantam di tengah udara,
di antara tangan mereka yang hanya berpisah satu meter.
"Dessss............ !!"
Sang adipati merasa betapa kedua telapak tangannya
panas seperti dibakar dalam pertemuan tenaga yang tak
tampak itu, dan menurut perasaannya, betapapun hebat
tenaga Sang Wasi Bagaspati, namun tidak banyak
selisihnya dengan tenaga saktinya sendiri. Akan tetapi,
alangkah kaget dan herannya ketika tanpa dapat ia cegah
lagi, tubuhnya terlempar ke belakang seperti ditolakkan
tenaga yang luar biasa dahsyatnya. Untung ia tidak
kehilangan akal dan cepat berjungkir balik di udara
menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga ia dapat melayang
turun ke bawah dan tidak sampai terbanting ke atas tanah.
"Hemmm ............ kau dapat bertahan"
Coba yang kedua kali dan terakhir ini, terimalah!" kata
pula Wasi Bagaspati dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke
depan. Lebih tepat disebut meluncur karena kedua kakinya
tidak tampak bergerak akan tetapi tahu-tahu tubuhnya
sudah meluncur maju. Kini tangan kirinya yang mendorong
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan telapak tangan terbuka dan jari-jari tangannya
merenggang. Sang adipati berlaku hati-hati sekali. Jelas bahwa tadi
tangkisan aji pukulan Pethit Nogo tidak kuat menahan
pukulan sang wasi, maka kini ia kembali mengerahkan
seluruh tenaganya dan menggunakan aji pukulan Bojro
Dahono yang ia pelajari dari Ki Patih Narotama. Pukulan
Bojro Dahono ini setingkat lebih dahsyat daripada Aji
Pethit Nogo dan memiliki hawa panas seperti api dari
dalam kawah Gunung Merapil Kalau tidak yakin betul
bahwa lawannya seorang yang saki mandraguna, kiranya
Adipati Tejolaksono tidak akan menggunakan aji ini karena
ia tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kakek itu.
"Wessssssssss............ !!" Telapak tangan mereka
bertumbuk di udara, belum saling menempel, dalam jarak
setengah meter, akan tetapi dari kedua telapak tangan
mereka mengebul asap dan uapl Hawa dil sekitar tempat itu
menjadi panas dan kiranya kedua orang itu menggunakan
aji pukulan yang berhawa panas!
Kembali seperti halnya tadi, Tejolaksono merasa bahwa
tenaga lawan tidaklah banyak lebih kuat daripada
tenaganya sendiri. Ia hanya kalah seusap. Akan tetapi aneh
sekali, kini tangannya itu
terbetot oleh tenaga dahsyat
yang tak tampak dan betapapun ia mempertahankan diri, tetap
saja ia terbetot dan tangannya
makin maju mendekati tangan
lawanI Ia mengerahkan tenaga menarik, namun percuma, kini bahkan kakinya
terseret dan di lain saat,
bagaikan besi tertarik besi
sembrani, telapak tangannya
yang penuh dengan Aji Bojro
Dahono itu menempel pada telapak tangan Wasi Bagaspati!
Begitu telapak tangannya menempel pada telapak tangan
lawan, Adipati Tejolaksono terkejut bukan main. Ia merasa
betapa hawa saktinya tersedot tanpa dapat dicegah lagi,
memasuki telapak tangan lawan dan kulit tangannya sendirI
terasa seperti dibakar api Kawah Condrodimuko! La
mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan tangan,
namun sia-sia karena tenaganya "amblas" ke dalam telapak
tangan lawan. "Huah-ha-ha-ha! Hayo kerahkan seluruh tenagamu,
keluarkan semua aji kesaktianmu, coba lepaskan tanganmu
kalau engkau mampu, bocah!" Wasi Bagaspati tertawa-
tawa dan kelihatan enak-enak saja sedangkan Tejolaksono
mulai bermandi peluh dan mukanya berubah pucat,
napasnya terengah-engah menahan nyeri dan panas. Kalau
dilanjutkan ia tentu akan kehabisan tenaga yang disedot
oleh lawan, dan seperti orang kehabisan darah, akhirnya ia
akan roboh lemas! "Lepaskan suamiku"......... li" Ayu Candra sudah
meloncat maju dan mengirim pukulan ke arah lambung
Wasi Bagaspati. Ayu Candra adalah puteri mendiang Ki
Adibroto, seorang warok Ponorogo aliran putih yang sakti,
tentu saja pukulannya tidak boleh dipandang ringan.
Apalagi semenjak menjadi isteri Tejolaksono, ia telah
memperoleh banyak kemajuan berkat bimbingan suaminya.
Akan tetapi, pukulannya tidak pernah menyentuh kulit
lambung Wasi Bagaspati. Kira-kira dalam jarak sejengkal
jauhnya dari lambung, pukulan itu bertemu dengan tenaga
yang berhawa panas sehingga Ayu Candra yang memukul
bahkan terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung.
Wanita itu tentu roboh kalau saja tidak cepat dipeluk dari
belakang oleh puteranya, Bagus Seta.
"Ah, Angger adipati, harap Andika mundur karena Wasi
Bagaspati bukanlah lawan Andika!"
Mendengar ucapan Ki Tunggaljiwa ini, Wasi Bagaspati
tertawa dan Tejolaksono bingung. Tangannya sudah
melekat dan tenaga saktinya disedot terus oleh kakek
lawannya yang luar biasa itu. Bagaimana ia dapat mundur"
Melepaskan tangannya saja tidak mampu! Akan tetapi pada
saat itu, Ki Tunggaljiwa memegang pundaknya dan dari
tangan kakek itu menjalar hawa yang amat dingin yang
menembus punggung berkumpul di pusar, mendatangkan
tenaga yang amat hebat. Tejolaksono, seorang yang sakti
mandraguna, tahu akan bantuan ini dan cepat menyalurkan
hawa itu ke arah lengannya dan ............ terdengar suara
seperti api disiram air dingin. Dari telapak tangan yang
saling menempel itu keluar asap dan sekali tarik,
Tejolaksono berhasil melepaskan tangannya. Ia tidak
membuang waktu lagi dan cepat melompat mundur. Akan
tetapi karena ia lelah sekali, ia jatuh terduduk lalu bersila
dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.
"Ha-ha-ha, bagus sekali, Tunggaljiwa! Memang bocah
ini bukan lawanku. Hayo engkau majulah. Engkau
lawanku. Kita tua sama tua!" Wasi Bagaspati menantang
sambil membusungkan dadanya yang tipis. Ketika
Tejolaksono dan Ayu Candra memandang wajah kakek
penyembah Bajhara Shiwa ini, mereka bergidik dan
menjadi gentar. Kini mengertilah Tejolaksono mengapa ia
tadi tidak berdaya sama sekali menghadapi kakek itu. Ia
jauh kalah kuat perbawanya. Sekarang pun memandang
wajah kakek itu, ia seakan-akan melihat wajah itu
mengeluarkan cahaya mencorong yang membuat hatinya
gentar. Hebat bukan main Wasi Bagaspati ini.
Akan tetapi menghadapi Wasi Bagaspati yang brangasan
dan tinggi hati ini, Ki Tunggaljiwa tetap tenang dan penuh
kesabaran. Ia agaknya tidak memandang mata kepada Wasi
Bagaspati yang menantangnya, sebaliknya ia lalu menjura
ke arah Biku Janapati dengan sikap menghormat. Pendeta
Buddha ini sejak tadi hanya menjadi penonton saja dan
sedikitpun tidak ada perubahan pada wajahnya yang amat
tenang seperti air telaga yang dalam.
"Aku tidak akan berdebat dengan orang yang telah
dikuasai amarah. Saudaraku Biku Janapati, bagaimana
pendapat Andika" Apakah aku harus melayani tantangan
Wasi Bagaspati?" Pendeta Buddha yang tak berambut itu menarik napas
panjang. "Sadhu, sadhu! Harus diakui bahwa dalam hal
pengendalian perasaan, Andika lebih menang setingkat
daripada Saudara Wasi Bagaspati, Ki Tunggaljiwa!
Memang tidak selayaknya orang-orang tua seperti kita
berkelahi seperti orang-orang muda! Bertempur bukanlah
permainan para pertapa dan pendeta, melainkan tugas para
ksatria. Saudara Wasi Bagaspati, simpanlah kembali aji-aji
kesaktianmu. Biarlah kalau kelak terjadi keharusan
pertempuran, murid-murid kita yang akan mewakili kita."
"Ha-ha-ha, engkau untung sekali, Ki Tunggaljiwa!
Usiamu yang tinggal sedikit diperpanjang beberapa tahun
lagi. Kalau Biku Janapati tidak membujukku, betapa-pun
kau mengeluarkan seluruh keampuhanmu, pasti hari ini
engkau kukirim kembali ke alam asalmu!"
Ki Tunggaljiwa tersenyum dan membungkuk. "Akupun
amat berterima kasih kepada Biku Janapati atas
pengertiannya yang mendalam dan kepadamu yang telah
bersikap murah kepadaku, Wasi Bagaspati. Aku setuju
dengan pendapat Biku Janapati, biarlah kelak murid-murid
kita yang akan mewakili kita dan tentu saja biarlah kelak
Sang Hyang Widhi Wisesa yang akan menentukan. Becik
ketitik ala ketara (yang baik tampak yang buruk kelihatan)!"
"Berat............ , berat............! Ki Tunggaljiwa seorang
bijaksana dan sakti mandraguna, sungguh merupakan
lawan berat. Marilah, Wasi Bagaspati, kita pergi. Selamat
tinggal, Ki Tunggaljiwa. Semoga Sang Tri Ratna memberi
penerangan kepada Andika!"
"Doa restuku mengiringi perjalananmu, Biku Janapati
dan Wasi Bagaspati!"
Dua orang kakek itu berkelebat dan dalam sekejap mata
saja lenyap dari tempat itu. Adipati Tejolaksono dan
isterinya mengikuti bayangan mereka dengan hati kagum
dan gentar. Tejolaksono menghela napas panjang dan
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sungguh amat berbahaya............ I" Ia bergidik kalau
teringat pengalamannya tadi. Semenjak muda ia sudah
seringkali menghadapi lawan tangguh, akan tetapi sekali ini
benar-benar tidak berdaya menghadapi Wasi Bagaspati
yang dalam dua kali gebrakan saja hampir menewaskannya
dalam keadaan mengerikan, menyedot semua hawa sakti
dari dalam tubuhnyal "Wasi Bagaspati belum seberapa, Angger adipati. Aku
yang tua masih sanggup menanggulanginya. Akan tetapi
baiknya Biku Janapati berpemandangan luas dan hatinya
bersih. Kalau dia yang dimabuk nafsu amarah seperti Wasi
Bagaspati, tidak dapat aku membayangkan apa jadinya.
Ilmu kesaktian pendeta Buddha itu sedikitnya dua tingkat
lebih tinggi dari-pada tingkat Wasi Bagaspati!"
Adipati Tejolaksono melongo, kaget dan khawatir sekali.
Kalau Panjalu dan Jenggala diancam bahaya serangan
orang-orang sesakti itu, benar-benar amat mengkhawatirkan! Kemudian ia teringat bahwa kakek ini
masih eyang gurunya, maka ia segera memegang tangan
isteri dan puteranya, diajak menjatuhkan diri berlutut dan
menyembah orang tua itu. "Mohon Eyang mengampunkan hamba yang tidak tahu
bahwa Eyang adalah Paman guru Sang Prabu Airlangga
dan Rakyana Patih Narotama. Ternyata Eyang adalah
Eyang guru hamba sendiri!"
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya,
kemudian iapun duduk bersila seperti tadi. "Kalian
duduklah baik-baik dan dengarkan aku bicara," katanya.
Sikapnya tak pernah berubah, tetap tenang dan kini
matahari yang telah naik tinggi menyoroti rambutnya yang
putih seperti perak sehingga berkilauan menambah
keagungannya. "Kiranya Hyang Widhi telah membuka rahasia dengan
kunjungan dua orang pendeta tadi. Angger adipati, setelah
Andika menyaksikan dan mendengarkan semua, apakah
Andika berdua isteri masih ragu-ragu untuk menyerahkan
pendidikan puteramu kepadaku" Ketahuilah
bahwa menurut penglihatanku, hanya puteramu ini yang kelak
akan sanggup menyelamatkan Panjalu, dan terutama sekali
menyelamatkan kewibawaan dan kebesaran Sang Hyang
Wishnu. Kalian tadi telah menyaksikan sendiri betapa
saktinya pihak lawan."
Suami isteri itu saling berpandangan dengan pucat.
Betapapun berat rasa hati mereka harus berpisah dari Bagus
Seta, namun mereka dapat melihat kebenaran kata-kata
kakek itu. Musuh yang mengancam negara amat sakti dan
kalau tidak ada yang menanggulanginya, akan berbahaya
sekali. Mereka amat mencinta putera tunggal mereka, akan
tetapi mereka bukanlah orang-orang yang berpemandangan
picik dan hanya mementingkan diri sendiri saja. Dari
sepasang mata Ayu Candra bertitik dua air mata, akan
tetapi Tejolaksono makium dari pandang mata isterinya
bahwa isterinya sudah merelakan puteranya. Maka ia lalu
berkata, "Setelah melihat keadaan dan menginsyafi dasar
pengangkatan anak kami sebagai murid Eyang guru, hamba
hanya pasrah kepada kebijaksanaan Eyang. Semoga saja
.Bagus Seta kelak tidak akan mengecewakan mengemban
tugas yang maha berat itu."
Ki Tunggaljiwa tertawa. "Bagus sekali kalau kalian
berdua sudah rela, Angger. Aku hanya mempunyai
kesempatan selama lima tahun dan semoga dalam waktu
itu, Sang Hyang Wishnu akan memberi bimbingan kepada
puteramu sehingga berhasil dalam mengejar ilmu.
Ketahuilah, dua orang pendeta tadi memiliki kesaktian
yang amat tinggi. Dalam hal ilmu, kiranya engkau sendiri
tidak akan kalah banyak oleh mereka, akan tetapi dalam hal
kekuatan batin, ah, mereka itu sukar dilawan dan
dikalahkan. Mereka sudah matang dalam gemblengan tapa
dan mantra. Andaikata tadi engkau menggunakan Aji
Triwikrama, agaknya tidaklah begitu terpengaruh oleh
perbawanya yang amat kuat, namun betapapun juga, tidak
akan mudah mengalahkan Wasi Bagaspati, apalagi Biku
Janapati. Nah, sekarang harap Andika berdua pulang ke
Kadipaten Selopenangkep. Masih ada hal yang harus
kauhadapi Angger, namun betapapun berat, harus banyak
hal yang harus kauhadapi, Angger adipati. Namun,
betapapun berat, harus dapat kauhadapi dengan tabah
karena segala macam hal yang menimpa diri manusia telah
ditentukan oleh Hyang Widhi, sesuai dengan karma dan
sesuai pula dengan perbuatan-perbuatan manusia sendiri,
sehingga segala hal itu amatlah adil dan wajar. Segala hal
yang terjadi pada diri manusia adalah akibat, dan mencari
sebab dari luar adalah perbuatan bodoh, Angger, karena
sebab-sebabnya adalah perbuatan dan pakarti kita sent diri."
Berdebar jantung Tejolaksono. Teringatlah ia akan
semua perbuatannya selama ini. Diawali dengan perburuan
di hutan dan pembunuhan anak harimau, pertemuannya
dengan Ki Tunggaljiwa. Kemudian teringat ia akan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengalamannya dengan Endang Patibroto yang belum
sempat ia ceritakan kepada Ayu Candra. Teringat akan ini
semua, ia menundukkan mukanya, menduga-duga apa
gerangan yang akan menjadi akibat daripada semua
perbuatannya itu. Dan adipati yang arif bijaksana dan sakti
mandraguna ini mengkirik, ngeri ia melihat kenyataan
semua perbuatannya itu. Ah, betapa lemahnya manusia.
Betapa manusia diombang-ambingkan oleh nafsunya
sendiri sehingga terbentuklah sebab-sebab yang akan
menelurkan akibat-akibat yang di kemudian hari tidak akan
diakui sebagai akibat perbuatannya sendiri, lalu menimbulkan sengsara! Tiba-tiba sang adipati merasa
nelangsa batinnya dan ia lalu bersembah sungkem di depan
Ki Tunggaljiwa dan berkata, suaranya menggetar penuh
perasaan haru, "Duhai, Eyang............ hamba mohon petunjuk untuk
menggayuh (menjangkau) kesempurnaan, Eyang."
Kakek itu tertawa, suara ketawanya ramah dan lunak.
"Ha-ha-ha-ha, Angger Adipati Tejolaksono. Kata-katamu
amatlah lucu. Kesempurnaan apakah yang dapat dijangkau,
Angger" Dan mengapa mencari kesempurnaan" Lihatlah
dirimu sendiri, telitilah sedalam-dalamnya, lihatlah baik-
baik segala warna-warni dan bentuk-bentuk, dengarlah
segala suara, ciumlah segala ganda (bau), adakah sesuatu di
dunia ini yang kurang atau belum sempurna" Segala sesuatu
ciptaan Hyang Widhi Wisesa adalah sempurna, Angger,
termasuk jasmani dan rohani kita manusia adalah
sempurna. Sempurna, bersih dan suci. Yang menjadi
persoalan hanyalah betapa cara menjaga kebersihan itu,
mempertahankan kesucian itu. Jadi persoalannya hanyalah
usaha, ikhtiar yang berupa laku-lampah dan karya kita.
Segala perbuatan dan ucapan kita haruslah sesuai dengan isi
hati dan pikiran sehingga tidak ada perbedaan antara lahir
dan batin, atau jelasnya, perbuatan kita adalah pencerminan
daripada isi hati kita. Perbuatan yang sesuai lahir batin
inilah, Angger, yang akan menentukan akibat-akibat di
belakang hari dalam kehidupan kita."
"Perbuatan yang bagaimanakah, Eyang" Mohon petunjuk." "Tengoklah sekeliling kita, Angger. Adakah sebuah
bendapun yang tiada guianya bagi. Kita" Semua berguna,
semua demi kenikmatan hidup kita. Demikianlah sifat
Hyang Widhi Wisesa, sekalian isi alam diberikan kepada
manusia. Memberi, memberi, dan member!, tanpa pamrih!
Tidak pernah meminta, tidak pernah menuntut, berkah dan
anugerah berlimpah-limpah dalam pemberian yang ikhlas
tanpa pamrih. Tidak pilih kasih! Lihat cahaya matahari.
Siapapun adanya dia, bodoh atau pintar, kaya atau miskin,
boleh menikmatinya. Pendeknya, seluruh ciptaan Hyang
Widhi Wisesa diberikan kepada siapa saja yang mau dan
dapat menikmatinya! Lalu, apakah balas jasa manusia
terhadap semua berkah yang tak kunjung habis itu" Apakah
yang telah diberikan oleh manusia" Janganlah hanya pandai
meminta, meminta, dan meminta lagi! Kita harus meniru
sifat yang amat indah itu, ialah memberi, memberi, dan
memberi tanpa pamrih! Melakukan kewajiban sebagai
manusia tanpa pamrih, berarti membantu kelancaran
perputaran roda kesempurnaan yang diciptakan Hyang
Widhi Wisesa." "Kewajiban dan perbuatan yang bagaimanakah kiranya,
Eyang" Maafkan, Eyang, sungguhpun sudah banyak hamba
dengar dari para guru, namun petunjuk Eyang akan
menjadi penambah sinar terang dalam jalan hidup hamba."
Ki Tunggaljiwa tersenyum. "Memang, manusia harus
senantiasa belajar, dan biarlah semua wawasanku ini tidak
akan sia-sia. Terutama sekali kutujukan kepada muridku,
Bagus Seta karena wawasan inipun merupakan pelajaran
baginya." Bagus Seta yang tadi berada dalam pelukan ibunya, kini
duduk bersila dan mendengarkan penuh perhatian.
"Semua sikap dalam hidup sudah digambarkan secara
jelas dalam Bhagawad Gita ketika Sang Hyang Wishnu
dalam diri Sang Bhatara Kresna memberi wejangan kepada
Sang Harjuna. Akan tetapi sebagai dasar permulaan, aku
mempunyai dua macam pelajaran yang amat mudah dan
sederhana, mudah dimengerti sungguhpun belum tentu
mudah dijalankan. Pertama : JANGAN MENYUSAHKAN HATI ORANG LAIN! Pelajaran
pertama ini amat luasnya, Angger dan jangan mengira akan
mudah saja dilaksanakan. Karena, jika pelajaran pertama
ini sudah mendarah daging pada diri kita, maka kita tidak
melakukan segala macam perbuatan jahat yang merugikan
atau menyinggung perasaan, pendeknya merugikan lain
orang. Nah, kalau pelajaran pertama ini sudah benar-benar
menjadi watak, mulailah kita meningkat kepada pelajaran
ke dua, yaitu : SENANGKANLAH HATI ORANG LAIN!
Senangkaniah hati orang lain sesering dan sebanyak
mungkin karena sifat ini sesuai dengan semua ciptaan Sang
Hyang Widhi yang serba sempurna. Hidup adalah suatu
berkah dan nikmat, maka harus dinikmati bersama dengan
landasan kasih sayang antar manusia yang sesungguhnya
adalah senasib di dalam dunia ini."
Tejolaksono mendengarkan penuh perhatian. Filsafat
yang keluar dari mulut kakek itu amatlah sederhana, namun
apabila benar-benar dijalankan manusia, kiranya tidak ada
perlunya lagi manusia mengejar-ngejar kesempurnaan
seperti banyak dilakukan orang sehingga sesat ke mana-
mana. Cara hidup baik yang sesungguhnya amat sederhana
dan mudah itu menjadi sulit dan membingungkan karena
dituangkan dalam wejangan-wejangan dan pelajaran-
pelajaran yang rumit-rumit dan sukar dimengerti.
Setelah menerima banyak wejangan tentang sifat-sifat
ksatria dan tentang pembelaan keadilan dan kebenaran,
Adipati Tejolaksono dan Ayu Candra berpamit kembali ke
Selopenangkep. Ayu Candra dapat menekan keharuan
hatinya, hanya memeluk dan mencium pipi puteranya
sambil berbisik, "Yang baik-baik dan rajin engkau belajar di
sini, Anakku!" "Jangan khawatir, Kanjeng Ibu. Saya tidak akan
mengecewakan hati Kanjeng Rama Ibu dan Bapa guru,"
jawab Bagus Seta dengan tabah. Ada keharuan membayang
di pandang mata anak itu, akan tetapi wajahnya tetap
berseri dan hal ini menjadi tanda bahwa anak ini sudah
mulai pandai menguasai perasaannya. Melihat ini, kembali
Tejolaksono menjadi kagum. Dalam waktu dua bulan lewat
saja sudah tampak perubahan besar pada diri puteranya,
kemajuan yang kiranya belum tentu dapat dicapai
puteranya itu selama setahun dalam gemblengannya. Ia
maklum bahwa mengenai kekuatan batin, Ki Tunggaljiwa
sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga ia percaya
bahwa puteranya tentu akan memperoleh ilmu kesaktian
yang takkan pernah dapat ia ajarkan kepada puteranya itu.
Hatinya menjadi lega dan gembira, dan sedikitpun pada
wajahnya tidak tampak kedukaan seperti terdapat pada
wajah isterinya ketika mereka berdua menuruni lereng
Gunung Merapi. -oo0dw0oo- Setelah suami isteri itu turun dart puncak Gunung
Merapi, barulah Adipati Tejolaksono mendapat waktu dan
kesempatan untuk menceritakan pengalamannya yang
hebat di Blambangan. Ia menceritakan segala yang dialami
Endang Patibroto, tentang tipu muslihat Blambangan dan
tentang pengalamannya bersama Endang Patibroto yang
terjeblos ke dalam perangkap, dalam sumur yang hampir
saja menewaskan mereka berdua. Akhirnya ia menceritakan
pula apa yang terjadi di dalam ruangan di bawah tanah itu,
betapa dalam menghadapi kematian yang agaknya tak
dapat dielakkan lagi, dia dan Endang Patibroto telah
terangkap menjadi suami isteri.
Mula-mula mendengar cerita suaminya, Ayu Candra
menjadi terharu sekali dan merasa amat kasihan kepada
Endang Patibroto yang bernasib malang. lapun menjadi ikut
gelisah dan tegang ketika mendengar cerita betapa
suaminya bersama Endang Patibroto menghadapi lawan
yang amat banyak, kemudian terjeblos ke dalam lubang
jebakan menderita ancaman maut yang mengerikan. Ketika
mendengar penuturan suaminya dengan suara tersendat-
sendat tentang hubungan suaminya dengan Endang
Patibroto sebagai suami isteri, wajah Ayu Candra menjadi
pucat sekali dan sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya
langkah-langkah kaki mereka saja yang terdengar dan kini
langkah Ayu Candra agak lemas.
Tejolaksono memegang tangan isterinya dan berdiri
berhadapan di sebuah lereng.
"Nimas, aku harap Adlnda tidak akan menjadi marah.
Percayalah, Nimas, bahwa hal ini terjadi di waktu kami
menghadapi maut yang kami anggap tak dapat dihindarkan
lagi sehingga pikiran kami menjadi gelap. Andaikata tidak
dalam keadaan seperti itu, aku yakin hal itu tidak akan
terjadi. Adinda tentu tahu bahwa kalaupun aku berhasrat
mengambil selir, tentu dengan persetujuanmu lebih dahulu.
Maka, harap Adinda tidak marah dan kalau hal ini
menyinggung perasaanmu harap kau suka memaafkan kami
..... " Kini Ayu Candra tersenyum, wajahnya berserl dan ia
membenamkan mukanya di dada suaminya. "Maaf,
Kakangmas. Sebentar tadi aku digoda cemburu. Tidak....
..... ! Aku tidak cemburu. Apalagi Endang Patibroto yang
menjadi selirmu. Aku bahkan bangga mempunyai madu
seorang wanita yang sakti mandraguna! Memang dia patut
dikasihani, Kakangmas. Apalagi setelah kanjeng bibi
Kartikosari tidak ada. Biarlah, dia akan kusambut sebagai
saudaraku, sebagai adikku, karena memang dia maduku,
dia isterimu. Aku tidak cemburu, Kakangmas."
Alangkah girang dan besar hati Tejolaksono. Ia maklum
akan kehalusan budi Ayu Candra. Ia lalu memegang wajah
isterinya di antara kedua tangan, diangkatnya muka yang
cantik jelita itu sehingga muka mereka berhadapan, mata
mereka saling tatap. Tejolaksono melihat betapa pandang
mata isterinya benar-benar tutus ikhlas, tidak ada sedikitpun
bayangan amarah atau cemburu. Ia amat bersyukur dan
berterima kasih maka diciumnya mata yang indah itu. Ayu
Candra meramkan matanya dan merangkul leher suaminya
yang amat dikasihinya. Ketika suami isteri ini tiba kembali di Kadipaten
Selopenangkep, mereka disambut oleh Roro Luhito dan
puterinya, Pusporini, kemudian puteri Kartikosari yang
bernama Setyaningsih, dan seorang lagi yang amat
mengejutkan dan menggirangkan hati suami isteri itu, yakni
Endang Patibroto! Melihat Endang Patibroto, Ayu Candra lalu maju dan
merangkulnya. "Adikku wong ayu, Endang Patibroto............ , aku sudah mendengar semua tentang
dirimu. Ahhh, betapa banyak kesengsaraan kau derita,
Adikku. Biarlah mulai sekarang kita bersama menikmati
kebahagiaan, dan aku sungguh girang dapat memelukku
seperti seorang kakak, Adikku."
Endang Patibroto sekilas mengerling kepada Tejolaksono
yang tersenyum kepadanya, maka mengertilah wanita ini
bahwa Tejolaksono telah membuka rahasia mereka kepada
Ayu Candra. Hal ini amat menggelisahkan hatinya tadi,
menjadi ganjalan karena ia merasa malu kepada Ayu
Candra dan selalu mengkhawatirkan pertemuan ini.
Apalagi ketika ia tiba di Selopenangkep dan mendengar
tentang tewasnya ibu kandungnya, hatinya makin trenyuh
dan gelisah. Akan tetapi setelah kini bertemu, sikap Ayu
Candra benar-benar tak pernah ia sangka-sangka dan
hatinya menjadi lega dan terharu sekali. Wanita ini telah ia
bunuh ayah ibunya (baca Badai Laut Selatan), dan kini
bahkan seakan-akan ia "curi" suaminya, akan tetapi
menerimanya seramah ini. Ia balas merangkul dan per-kata
lirih, ............ terima kasih............ , engkau baik
sekali............ sudi menerima orang yang buruk watak dan
buruk nasib seperti aku............ biarlah mulai saat ini aku
mengaku ayunda kepadamu............ dan aku akan
mentaatimu seperti mentaati kakak sendiri............ "
Melihat betapa dua orang wanita itu berpelukan terharu,
Roro Luhito mengerutkan keningnya. Wanita inI tahu
benar akan watak Endang Patibroto, dan sudah mengenal
pula watak Ayu Candra. Sifat dan watak kedua orang
wanita ini bagaikan bumi dan langit. Endang Patibroto liar
dan keras, berdarah panas dan tidak punya rasa rendah hati
sama sekali, sukar ditundukkan. Adapun Ayu Candra
lemah lembut dan manja atau ingin dimanjakan suaminya.
Betapa mungkin dua orang wanita ini menjadi madu" Dia
tadi kaget bukan main mendengar percakapan dua orang
wanita ini karena semenjak datang ke Selopenangkep pagi
tad!, Endang Patibroto tidak pernah bercerita tentang itu.
"Anaknda adipati, harap ceritakan bagaimana dengan
hasil usaha kalian mencari Bagus Seta. Mana dia" Mengapa
tidak ikut pulang?" Pertanyaan ini ia ajukan dengan suara
keras untuk menutupi ketidaksenangan hatinya melihat
Endang Patibroto dan Ayu Candra berpelukan sebagai
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
madu. Roro Luhito sama sekali bukan tidak setuju kalau
Adipati Tejolaksono mernpunyai selir. Dia sendiri adalah
isteri ke dua, isteri selir. Akan tetapi karena persatuan
antara Endang Patibroto dan Ayu Candra, menurut
pemandangannya, dapat menimbulkan hal-hal yang tidak
baik dan ada bahaya meruntuhkan kebahagiaan rumah
tangga Tejolaksono, maka ia merasa tidak setuju di dalam
hatinya. Tentu saja bagi Roro Luhito, yang terpenting
adalah kebahagiaan Tejolaksono karena adipati ini adalah
keponakannya, putera dari kakaknya,
Ketika Tejolaksono dan Ayu Candra menceritakan
tentang keadaan Bagus Seta yang dalam keadaan selamat
dan menjadi murid kakek sakti Ki Tunggaljiwa, Roro
Luhito menjadi lega hatinya. Sebagai orang tua, ia maklum
bahwa pada saat itu merupakan pertemuan segi tiga yang
mesra antara Tejolaksono dan kedua orang isterinya, maka
ia lalu menggandeng tangan Pusporini dan Setyaningsih
sambil berkata, "Anaknda adipati tentu lelah dan ingin beristirahat.
Marilah, kedua anakku, kita ke belakang."
Setyaningsih yang digandeng Roro Luhito, beberapa kali
menengok ke arah Endang Patibroto. Semenjak Endang
Patibroto datang pagi tadi, anak ini selaIu memandang
kakaknya itu dengan pandang mata kagum dan penuh
kasih. Sudah banyak ia mendengar dari mendiang ibunya
tentang kakaknya ini yang menurut ibunya amat sakti
mandraguna. Kini setelah ibunya meninggal dunia,
munculnya kakaknya ini seakan-akan menjadi pengganti
ibunya. Sebaliknya, Endang Patibroto juga amat mencinta
adik kandungnya ini. Adipati Tejolaksono yang bercakap-cakap dengan kedua
isterinya, agaknya penuh dengan kebahagiaan dan suasana
tenteram damai penuh kasih menyelimutl mereka bertiga.
Agaknya kekhawatiran Roro Luhito adalah kekhawatiran
kosong belaka. Ayu Candra telah rela dan ikhlas terhadap
Endang Patibroto, demi cinta kasihnya yang murni
terhadap suaminya. Bahkan malam hari itu, sebagai isteri
pertama yang bijaksana, Ayu Candra membujuk suaminya
agar menemani Endang Patibroto di dalam kamarnya.
Sukar dilukiskan betapa besar kebahagiaan hati
Tejolaksono dan Endang Patibroto yang melihat bahwa
hubungan mereka dapat perlangsung dengan amat baiknya,
tiada halangan sesuatu. Dan dalam pertemuan yang mesra
itu Endang Patibroto menceritakan tentang perang yang
dilakukan Jenggala dan Panjalu terhadap Kadipaten
Blambangan. Kedua kerajaan ini mengirim pasukan besar.
Bahkan Panjalu mengirim pasukan istimewa yang dipimpin
sendiri oleh Pangeran Darmokusumo dan setelah kedua
pasukan ini menggabung, penyerbuan Blambangan dimulai.
Blambangan dilanda serbuan besar-besaran dan biarpun
Blambangan melakukan perlawanan mati-matian, namun
kadipaten ini bukanlah lawan pasukan kedua kerajaan yang
dipimpin orang-orang pandai. Apalagi ada Endang
Patibroto di dalam pasukan itu yang mengamuk hebat dan
banyak senopati Blambangan roboh di dalam tangan wanita
sakti ini. Dalam waktu beberapa hari saja pertahanan
Blambangan dapat dipatahkan, kadipaten diserbu, dan
Adipati Menak Linggo tewas pula di tangan Endang
Patibroto. Juga Ki Patih Kalanarmodo dan Senonatl
Mayangkurdo, Klabangkoro dan Klabangmuko semua
tewas dalam perang yang pendek namun dahsyat. Hanya
Sindupati yang dapat melarikan diri, berhasil menyelamatkan diri dengan sebuah perahu menyebrang
selat dan bersembunyi di Bali-dwipa, dimana ia mencari
orang-orang pandai untuk memperdalam ilmunya sambil
bersembunyi dari pengejaran musuh.
Jilid XI "SETELAH Blambangan terbasmi, aku meninggalkan
pasukan dan berpamit dari Pangeran Darmokusumo untuk
pergi lebih dulu karena kuanggap tugasku sudah selesai.
Hanya sayang sekali, si keparat Sindupati dapat meloloskan
diri, agaknya ia melarikan diri ke Bali-dwipa, akan tetapi
aku tidak sempat mengejarnya, Kakangmas. Karena............
karena............ aku ingin sekali segera menyusulmu ke
Selopenangkep." Adipati Tejolaksono tertawa dan mencium isterinya ini
yang bercerita sambil rebah dalam pelukannya. "Mati hidup
berada di tangan Hyang Widhi, adinda Endang Patibroto.
Agaknya memang belum tiba saatnya Sindupati menerima
hukumannya. Memang tepat sekali adinda cepat-cepat
datang ke Selopenangkep karena ............ hemm............
aku telah rindu sekall............ "
Sejenak sunyi di antara mereka karena Endang Patibroto
terbuai dalam belaian suaminya yang mesra dan penuh
kasih sayang. Kemudian terdengar ia berkata,
?"?".. Kakangmas, sesungguhnya............ baru berpisah hampir dua bulan bagiku ............ pun amat berat.
Akan tetapi............ ah, terus terang saja, Kakangmas.
Sebelum bertemu dengan engkau dan ............ ayunda Ayu
Candra, hatiku amat gelisah dan khawatir. Aku telah
banyak melakukan kisalahap dahulu terhadap ayunda Ayu
Candra, dan tadinya aku takut untuk bertemu muka, takut
untuk mengakui hubungan antara kita, takut dan malu.
Tadinya aku bahkan hendak diam-diam pergi minggat saja,
biar aku hidup sebagai pertapa, biar selamanya tidak
bertemu dengan ayunda Ayu Candra, betapa pun akan
beratnya penanggulangan hatiku yang penuh dendam rindu
kepadamu, tapi ?"."
Adipati Tejolaksono menghentikan kata-kata isterinya
dengan ciuman. Kemudian ia tertawa. "Cukuplah, Yayi,
tidak perlu dilanjutkan persangkaan yang bukan-bukan itu,
karena buktinya sekarang tidak seperti yang kau
khawatirkan, bukan?"
Endang Patibroto menarik napas panjang dengan hati
lapang. "Memang, dan aku bersyukur kepada Dewata,
berterima kasih kepada ayunda Ayu Candra yang bijaksana
dan berbudi luhur. Sesungguhnya, akan kelirulah kalau aku
menuruti kata hati lalu minggat meninggalkanmu untuk
selamanya seperti yang tadinya terniat di hatiku.
Aduhh............ betapa akan sengsaranya hatiku kalau
begitu. Untung ............ , untung sekali ada sesuatu yang
memaksa aku harus bertemu dengan engkau, Kakangmas.
Yang memaksakan datang ke Selopenangkep dan yang
mencegah aku pergi minggat mengasingkan diri." Adipati
Tejolaksono menunda belaian kasih sayangnya dan
menatap wajah dalam rangkulannya, memandang penuh
pertanyaan. "Apakah sesuatu itu, Yayi?"
Tiba-tiba ia melihat air mata berlinangan di mata yang
indah itu. Endang Patibroto menangis! Akan tetapi bukan
tangis karena duka, buktinya bibir yang merah membasah
itu tersenyum! Segera Tejolaksono mengecup sepasang
mata itu untuk menghapus beberapa titik air mata bening
yang turun ke pipi. Kedua lengan Endang Patibroto
merangkul lehernya dengan ketat dan mulutnya berbisik
dekat telinga Tejolaksono,
"Kakangmas............ Joko Wandiro?"?" Suaranya
menggetar penuh perasaan dan jantung Tejolaksono
berdebar pula mendengar disebutnya nama kecilnya.
"............ aku............ aku telah mengandung............ ,
semenjak kita berpisah dari Blambangan ............ " Dan kini
air mata makin deras berlinang dari sepasang mata itu. Air
mata kebahagiaan! Selama sepuluh tahun menjadi isteri
Pangeran Panjirawit, Endang Patibroto tidak mempunyai
anak dan kini ia telah mengandung keturunan Joko
Wandiro, pria yang dahulu untuk pertama kalinya telah
merebut kasih hatinya namun bertentangan karena
keadaan. "Heeeiiii............ ?"?" Saking kaget dan girangnya,
Adipati Tejolaksono melompat turun dari pembaringan,
memandang kepada Endang Patibroto dengan mata
terbelalak. "Ti............. tidak girangkah............
hatimu........... mendengar hal itu"...., Kakanda?"?"?"
"Girang?" Ha-ha-ha-ha! Hampir gila aku karena girang!
Aduh, adinda pujaan hati, kekasih hatiku, engkau masih
bertanya apakah aku girang............ " Ha-ha-ha!" Adipati
Tejolaksono merangkul dan mengangkat tubuh isterinya,
dipondong dan dibawa berjingkrakan dan berputaran di
dalam kamar mereka! Malam penuh madu asmara, penuh kebahagiaan bagi
kedua orang ini. Malam yang indah di mana seluruh
perasaan cinta kasih ditumpahkan dan saling dilimpahkan
satu kepada yang lain. Malam bahagia yang agaknya
menyangkal kekhawatiran hati Roro Luhito. Dan agaknya
memang demikianlah kalau ditengok keadaan Ayu Candra
yang rebah sendirian di dalam kamarnya, kadang-kadang
tersenyum puas karena selain puteranya selamat dan
menjadi murid seorang sakti, suaminya telah berkumpul
kembali dengan kekasih lama. Sebagai seorang wanita, ia
berperasaan halus dan sejak dahulupun ia sudah menduga
bahwa ada jalinan kasih yang terpendam di antara
suaminya dan Endang Patibroto. Kini agaknya Endang
Patibroto sudah insyaf, sudah merubah wataknya yang liar
dan ia merasa puas. Malam itu, biarpun tidur sendirian di
dalam kamarnya, Ayu Candra tidur pulas tanpa mimpi.
Akan tetapi, jalan hidup manusia sudah ada garisnya
yang ditentukan oleh Tuhan. Garis ini wajar dan sudah
semestlnya terjadi demikian, sudah adil dan baik, sesuai
dengan karma manusia masing-masing. Berat atau ringan,
duka atau suka dalam menerima garis ini tergantung kepada
manusia sendiri. Manusia tak mampu merubahnya.
Manusia hanya wajib mengisi hidupnya dengan kebaikan
karena hanya dengan cara ini sajalah, dengan menumpuk
kebaikan dan menjauhi kejahatan, manusia akan dapat
"meluruskan" garis hidupnya di kemudian hari karena
Tuhan itu Maha Adil. Dosa-dosa yang lalu hanya dapat
ditebus dengan rasa tobat yang setulusnya disertai
pemupukan perbuatan-perbuatan yang baik dan penerimaan
hukuman dengan ikhlas dan sadar. Perbuatan-perbuatan
baik barulah benar kalau dilakukan tanpa pamrih, tanpa
mengharapkan anugerah atau hadiah!
Kekhawatiran Roro Luhito bukanlah kekhawatiran
dungu, bukan ditimbulkan karena hati iri atau dengki,
bukan pula oleh benci atau marah. Roro Luhito seorang
wanita yang sudah tua, sudah banyak makan garam dunia,
sudah berpengalaman dan wawasannya juga tajam
berdasarkan pandangan luas.
Pada malam berikutnya, terbuktilah apa yang dikhawatirkan oleh Roro Luhito. Adipati Tejolaksono,
sebagai seorang suami bijaksana, sungguhpun dendam
rindunya terhadap Endang Patibroto masih menggelora,
pada malam ke dua itu berdlam di dalam kamar Ayu
Candra. Seperti biasa, suami isteri yang saling mencinta ini
berkasih-kasihan, berbisik-bisik di atas pembaringan dan
dalam kesempatan ini, Tejolaksono menceritakan isterinya
tentang Endang Patibroto yang telah mengandung!
"Kiranya Hyang Widhi Wisesa juga memberkahi
perjodohanku dengan Endang Patibroto, nimas Ayu.
Buktinya, ikatan jodoh yang kami laksanakan di dalam
ruangan bawah tanah dalam menghadapi maut itu ternyata
dianugerahi dewata dan dia kini telah mengandung dua
bulanl" Untuk menjaga perasaan isterinya pertama ini, sang
adipati menekan kegirangan hatinya, namun dalam
suaranya masih jelas terdengar kegirangan yang meluap-
luap. Ayu Candra mula-mula tersenyum dan ikut merasa
bahagia. Akan tetapi, ketika suaminya hampir pulas, Ia tak
dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan menangislah
Ayu Candra! Sebagai seorang sakti mandraguna yang memiliki tubuh
selalu dalam keadaan siap siaga, sedikit saja keadaan tidak
wajar telah membuat Adipati Tejolaksono lenyap kantuknya dan ia bangklt duduk. Dlpandangnya isterinya
dan la bertanya Iirih dan halus,
"Yayi dewi............ mengapa kau menangis" Apakah
yang menyusahkan hatimu?"
Pertanyaan ini membuat Ayu Candra makin sedih dan
menangis sampai mengguguk, menyembunyikan mukanya
di atas bantal. Setelah dua tiga kali suaminya bertanya,
barulah ia menjawab dengan suara tersendat-sendat,
"Aku............ aku teringat akan Bagus Seta............ !,
"Aaah, mengapa, Yayi" Bukankah putera kita itu sudah
aman tenteram di bawah bimbingan Eyang Guru Ki
Tunggaljiwa" Bayangkan betapa kelak ia akan pulang
sebagai seorang ksatria yang gagah perkasa dan............ !!"
"Kakangmas............ aku ?"" besok akan pergi
menyusulnya di puncak Merapi............ !"
"Ehhhh............ ?"" Tejolaksono terkejut dan memegang
kedua pundak isterinya, dibangunkannya isterinya itu
duduk di depannya. Rambut yang terurai itu menutupi
sebagian muka Ayu Candra. "Kenapa begitu, Nimas?"
"Aku............ aku tidak dapat berpisah darinya.. ..... aku
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan menjaga dan menemaninya di sana sampai ia lulus
dari perguruan di sana............ aku............ aku".." Ayu
Candra terisak-isak. Tejolaksono menarik napas panjang, bingung dan tidak
mengerti. "Nimas Ayu, engkau tentu maklum bahwa aku
sendiri-pun merasa berat berpisah dari Bagus Seta, akan
tetapi............ kita sudah melihat peristiwa yang terjadi di
sana dan sudah mendengar semua penuturan Eyang Guru
Ki Tunggaljiwa. Betapapun berat rasa hatiku berpisah dari
putera kita, terpaksa kutahankan karena.......... "
"Karena engkau sebentar lagi akan mempunyai putera
lain, Kakangmas! Engkau dan diajeng Endang Patibroto
akan mempunyai seorang putera yang selalu dekat dengan
kalian, akan tetapi aku............ aku tidak punya siapa-
siapa............ " Diam-diam Tejolaksono tersentak kaget. Jantungnya
berdebar dan ia maklum bahwa inilah sebuah di antara
akibat daripada perbuatannya! "Aduh, nimas Ayu............
mengapa engkau berpendapat begitu" Ingatlah, Nimas
............ anak Endang Patibroto adalah anakku, dan anakku
berarti anakmu pula, bukan" .Ahhh, apakah akan jadinya
kalau engkau pergi menyusul Bagus Seta" Hal ini tidak
mungkin, tidak boleh kaulakukan, Nimas. Engkau tahu
bahwa kalau hal itu kaulakukan, berarti engkau akan
menghancurkan hatiku............ betapa engkau tega melakukan hal seperti itu............ "
Ayu Candra mengangkat mukanya memandang wajah
suaminya. Melihat betapa sepasang alis suaminya berkerut,
sepasang mata itu sayu dan sedih, ia lalu menubruk,
merangkul dan membenamkan muka di dada suaminya.
"Duh............ Kakangmas ............ ampunkan hamba
............ ampunkan hamba yang picik dan lemah ............
Kakangmas, legakan hatimu, aku......... aku takkan
melakukan hal itu............ betapapun berat rasa hatiku,
akan kukuat-kuatkan............ "
Rasa hati Tejolaksono seperti disiram air embun di
puncak Semeru. Batu seberat gunung yang menindih hati
serasa diangkat. Lapang bukan main rasa dadanya.
Diciumnya ubun-ubun kepala Isterinya dengan sepenuh
kasih sayangnya dan ia berbisik, "Aku tahu............ aku
tidak pernah meragukanmu, Yayi............ aku tahu bahwa
engkau adalah isteriku yang tercinta, seorang isteri yang
setia dan bijaksana............ "
Agaknya urusan itu akan menjadi beres kembali dan
hanya sampai sekian saja karena Ayu Candra sudah
kelihatan tenang kembali dan hati Tejolaksono sudah
menjadi lega dan girang. Akan tetapi sang adipati ini tidak
melihat dan tidak tahu apa yang terjadi di luar kamarnya.
Kalau saja ia tahu, tentu ia tidak akan dapat begitu bahagia
memadu kasih dengan Ayu Candra.
Dengan gerakan yang amat ringan, Endang Patibroto
meninggalkan jendela kamar Ayu Candra. Ia menahan
suara isak tangisnya dengan kedua tangan yang didekapkan
rapat-rapat ke depan mulut dan hidung, kemudian setelah
agak jauh, ia lari memasuki taman yang gelap dan sunyi. Ia
tidak berani kembali ke kamarnya, karena khawatir kalau-
kalau suara tangisnya terdengar oleh bibi Roro Luhito. Kini
ia berada di taman sari yang sunyi dan gelap dan di sinilah,
di atas sebuah bangku di bawah pohon kenanga, Endang
Patibroto menangis mengguguk. Dengan kekerasan hatinya
ditahannya tangis Itu, dan kini ia hanya terisak-isak dan
duduk melamun. Percakapan antara Tejolaksono dan Ayu
Candra masih terngiang-ngiang di telinganya dan jantungnya serasa ditusuk-tusuk.
Apa yang selama ini ia khawatirkan terjadi! Ayu Candra
tidak rela ia menjadi isteri Tejolaksono, tidak rela ia berada
di situ! Memang tidak terang-terangan menyatakan
ketidakrelaannya, akan tetapi sama saja artinya. Masih
terngiang dalam telinganya ucapan Ayu Candra sambil
menangis tadi. "Karena engkau sebentar lagi akan
mempunyai putera lain! Engkau dan diajeng Endang
Patibroto akan mempunyai seorang putera yang selalu
dekat dengan kalian, akan tetapi aku............ aku tidak
punya siapa-siapa........."
Ayu Candra bahkan rela hendak meninggalkan
kadipaten! Ah, betapa mungkin ia mendesak kedudukan
Ayu Candra seperti ini" Dahulu ia sudah melakukan
banyak hal yang menyakitkan hati Ayu Candra.
Membunuh ayah kandung dan ibu tirinya, bahkan hendak
membunuh Ayu Candra. Dan sekarang, ia merampas
suaminya dan hendak merebut pula kedudukannya" Tidak!
Sampai matipun tidak sudi ia melakukan hal tak tahu malu
ini! Dialah yang harus pergi dari situ! Memang sejak semula
ia sudah ingin pergi, akan tetapi ............ cinta kasihnya
terhadap Joko Wandiro demikian besar ...... ingin ia selalu
berdampingan, dan karena kandungannya, ia tak ingin
berpisah lagi dari suaminya itu, ayah dari anak dalam
kandungannya. Akan tetapi sekarang jelas baginya bahwa tidak mungkin
terlaksana keinginan hatinya itu. Ayu Candra hanya di
lahirnya saja mau menerimanya dengan rela, akan tetapi
batinnya menolak dan membencinya! Dan Adipati
Tejolaksono amat mencinta Ayu Candra! Dia tidak sudi
kalau harus memperebutkan cinta! Dia tidak sudi kalau
harus tunduk, memperlihatkan kelemahan hatinya. Tidak,
hidup seperti itu akan membuatnya sengsara dan sewaktu-
waktu ia tentu takkan dapat mengendalikan hatinya lagi
dan mungkin timbul keributan kalau ia sampai bertentangan dengan madunya. Ia tidak ingin menimbulkan
ribut dan dosa lagi. Ia akan pergi mengasingkan diri,
mencari tempat sunyi. Biarpun hatinya mengambil keputusan demikian, namun
Endang Patibroto merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk
yang membuatnya menangis tersedu-sedu lagi. Teringat ia
akan Tejolaksono, terbayang ia akan segala kemesraan yang
dinikmatinya malam tadi. Ia tahu bahwa sesungguhnya pria
inilah yang ia idam-idamkan semenjak dahulu. Dan
sekarang, setelah menjadi miliknya, harus ia lepaskan lagi!
Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya diikuti
suara yang halus pula, menggetar penuh keharuan,
"Ayunda............ mengapa ayunda menangis............ "
Mendengar suara adik kandungnya ini, makin sedih hati
Endang Patibroto. Ia meraih Setyaningsih, merangkul dan
mendekapnya sambil menangis makin sesenggukan.
Setyaningsih biarpun baru berusia sebelas tahun, akan tetapi
anak ini mewarisi watak ayahnya, yaitu mendiang Pujo,
satria yang sakti mandraguna, bijaksana, berpandangan luas
dan bersikap tenang. Setyaningsih biarpun saudara
sekandung Endang Patibroto, namun wataknya jauh
berbeda. Tidak mudah terseret perasaan sehingga biarpun
kini air matanya juga turun bercucuran, namun ia dapat
menahan diri, tidak sampai mengguguk seperti tangis
Endang Patibroto. Wanita perkasa ini dahulu juga memiliki
watak yang kuat, akan tetapi kekuatannya berdasarkan
kekerasan, bukan seperti Setyaningsih yang berdasarkan
ketenangan, "Ayunda, apakah ayunda teringat ke: pada ibunda" Ah,
ayunda. Kanjeng Ibu sudah seda (tewas) sebagai seorang
wanita utama, sebagai seorang perajurit perkasa. Selayaknyakah kalau puteri-puterinya menangisinya terus"
Ayunda, harap ayunda jangan menangis............ "
Setyaningsih membelai-belai rambut kakaknya dengan
penuh kasih sayang. "Aduh, adikku Setyaningsih?"".." Endang Patibroto
mencium pipi adiknya dan sambil memegangi kedua
pundak anak itu, mereka berpandangan. "Engkau benar,
Setyaningsih, tidak perlu banyak menangis karena
menangis adalah tanda kelemahan. Dan kita berdua
bukanlah orang-orang lemah, kita berdua adalah keturunan
suami isteri yang sakti mandraguna! Kini ayah bunda kita
telah meninggal dunia, adikku dan aku hanya mempunyai
engkau, engkaupun hanya mempunyai aku! Karena itu
............ kita harus pergi data sini, Setyaningsih, sekarang
juga." Setyaningsih memandang ayundanya dengan sepasang
mata terbelalak kaget dan heran. Ucapan ayundanya ini
sama sekali tak pernah disangkanya. Biarpun ia baru
berusia sebelas tahun, namun dia bersama Pusporini sudah
mengerti bahwa ayundanya ini menjadi garwa selir Adipati
Tejolaksono. "Akan tetapl ............ Ayunda ............ bukankah ayunda
telah menjadi isteri rakanda adipati?"
Endang Patibroto menghela napas panjang. "Benar,
adikku. Akan tetapi rumah ini adalah mink ayunda Ayu
Candra. Setelah ibu kita sekarang meninggal dunia, kita
berdua tidak berhak lagi tinggal di sini."
"Mengapa begitu, ayunda" Kalau ayunda menjadi isteri
rakanda adipati, ayunda mempunyai hak sepenuhnya
tinggal di sini. Siapakah yang akan melarang Ayunda" Saya
kira tidak ada seorangpun yang akan, merasa keberatan
dan............ "Sudahlah, Setyaningsih. Engkau masih terlalu kecil
untuk dapat mengerti urusanku. Pendeknya, malam in! juga
aku akan pergi dari sini. Kalau engkau kasihan dan
mencinta kepada ayundamu ini, marilah engkau ikut
bersamaku." Sambil berkata demikian, Endang Patibroto
bangkit berdiri. Setyaningsih bangkit pula dan memegang
tangan ayundanya erat-erat.
"Ayunda menjadi penggantl kanjeng ibu. Aku ikut
............ " "Anak baik, seharusnya begitulah. Mari kita pergi!"
Endang Patibroto memondong tubuh Setyaningsih dan
dibawanya meloncat cepat meninggalkan taman sari,
menghilang di dalam kegelapan malam. Beberapa kali
Setyaningsih menoleh dan memandang lampu-lampu yang
menerangi gedung kadipaten sampaI akhirnya bayangan
gedung itu lenyap. Dua matanya menjadi basah dan di
dalam hati anak ini timbul kesangsian apakah ia akan dapat
melihat kembali gedung Kadipaten Selopenangkep ini.
Pada keesokan harinya, keluarga kadipaten menjadi
gempar ketika melihat lenyapnya Endang Patibroto dan
Setyaningsih. Lenyap begitu saja tanpa meninggalkan
pesan, bahkan pakaian Setyaningsih di dalam kamarnyapun
masih lengkap yang berarti bahwa anak itu lenyap hanya
membawa pakaian yang dipakainya malam itu!
Roro Luhito menghela napas dan memeluk puterinya
yang menangis karena hilangnya Setyaningsih, saudara
tirinya yang amat dikasihinya. "Ahhh, kukira tentu Endang
Patibroto yang membawa Setyaningsih pergi. Agaknya
masih juga belum berubah watak yang keras dan aneh luar
biasa dari Endang Patibroto. Aku sudah merasa tidak enak
hati dan menduga tentu akan terjadi sesuatu yang tidak baik
ketika ia datang. Ah, angger, anakku adipati, kuatkanlah
hatimu menghadapi ujian Hyang Widhi yang amat berat
ini." Kembali Roro Luhito menghela. napas lalu
menggandeng tangan Pusporini diajak masuk ke belakang.
Tak tahan ia menyaksikan pandang mata sayu Adipati
Tejolaksono. Hanya suami isteri itulah yang mengerti apa sebabnya
Endang Patibroto melarikan diri. Mereka dapat menduganya. Tentu Endang Patibroto telah mendengar
percakapan antara mereka semalam! Melihat sinar mata
suaminya yang begitu sayu, wajah yang pucat dan muram,
tarikan mulut yang membayangkan kedukaan yang hebat,
Ayu Candra lalu membalikkan tubuhnya, terisak dan lari
memasuki kamarnya. Adipati Tejolaksono melangkah dengan lemas mengikuti
isterinya, memasuki kamar. Ketika Ayu Candra melihat
suaminya masuk kamar, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan kedua kaki suaminya, menangis dan berkata,
"Aduh, Kakangmas Adipati. Semua adalah kesalahanku
............ ! Karena kelemahan dan kepicikanku ............ ,
tentu diajeng Endang Patibroto mendengarnya dan merasa
tersinggung hatinya ............ padahal sungguh mati aku
sudah menghapus perasaan itu, Kakangmas. Pergilah
menyusulnya, Kakangmas. Bujuklah agar suka kembali ke
sini dan aku akan mohon ampun kepadanya............ !"
Sejenak Adipati Tejolaksono termenung. Terbayanglah
di depan matanya segala peristiwa dahulu di waktu dia
masih muda. Watak Endang Patibroto amatlah keras liar
dan aneh. Biarpun akhir-akhir ini Endang Patibroto
bersikap amat mesra, lembut, dan merupakan seorang
wanita yang mencintanya dengan seluruh jiwa raga, yang
sepenuhnya wanita, namun agaknya, tepat seperti wawasan
Roro Luhito, Endang Patibroto masih belum berubah
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wataknya yang keras dan aneh luar biasa. Dan mengingat
akan watak ini, agaknya akan sia-sia belaka kalau Ia
menyusul. Selain amatlah sukar mencari seorang wanita
sesakti Endang Patibroto yang melarikan diri, juga
andaikata bertemu kiranya tidak mudah membujuknya
untuk pulang ke Selopenangkep. la tahu bahwa Endang
Patibroto mencintanya, namun kekerasan hati wanita itu
akan mengalahkan cinta kasihnya karena wanita itu
berwatak baja, tidak mau tunduk terhadap siapapun juga.
Ia menghela napas panjang, lalu mengangkat bangun
Ayu Candra. ,"Tidak akan ada gunanya, Nimas. Seorang
yang berhati baja seperti diajeng Endang Patibroto, tidak
akan mudah dibujuk. Dia tidak akan menyerah sampai
mati, kalau tidak karena kehendak sendiri. Dia sudah pergi,
dan satu-satunya yang dapat kita lakukan hanyalah menanti
sampai dia suka pulang sendiri. Apa boleh buat .........
seorang manusla hanya dapat menerima apa yang telah
ditentukan oleh Hyang Widhi............ "
Semenjak terjadi peristiwa ini, terjadi perubahan yang
amat besar di dalam Kadipaten Selopenangkep. Perubahan
yang amat terasa oleh seluruh penghuni kadipaten. Ayu
Candra seringkali termenung dan berduka, tidak hanya
karena rindunya kepada Bagus Seta, juga karena rasa
penyesalan di dalam hati karena wanita yang halus budi ini
tak pernah berhenti menyesali diri sendiri dan menganggap
dialah yang menyebabkan larinya Endang Patibroto
sehingga akibatnya, dia pula yang menyebabkan suaminya
selalu berduka. Tubuh Adipati Tejolaksono menjadi kurus dan adipati
yang sakti ini kehilangan cahaya kegairahan sinar matanya.
Sikapnya menjadi makin tenang dan pendiam sungguhpun
terhadap Ayu Candra tidak pernah berubah kemesraan
cinta kasihnya. Kadipaten yang bertahun-tahun selalu
gembira dan suasana riang dengan adanya tiga orang yaitu
Setyaningsih, Pusporini dan Bagus Seta, kini kelihatan
sunyi karena dua dari tiga orang anak itu telah pergi dan
kini tinggal Pusporini seorang.
Karena di situ hanya tinggal Puspotini seoranglah maka
sang adipati dan isterinya melimpahkan rasa sayangnya
kepada anak ini. Seakan-akan anak ini yang merupakan
penghibur bagi mereka. Memang Pusporini seorang anak
yang dapat mendatangkan kegembiraan. Dia amat lincah
dan gembira, cerdik dan pandai bicara. Melihat kecerdikan
Pusporini, Adipati Tejolaksono lalu mulai mendidik anak
ini dengan ilmu silat den kedigdayaan.
Roro Luhito amat girang melihat hal ini. Terutama sekali
girang karena anak keponakannya itu dan isterinya
mendapat hiburan dengan adanya Pusporini, maka iapun
melepas tangan dan membiarkan puterinya menerima
gemblengan sang adipati yang memiliki ilmu kesaktian jauh
lebih tinggi daripada dia sendiri. Maka mulai tenteram
pulalah keadaan hati Adipati Tejolaksono dan isterinya.
Memang mereka selalu masih merindukan Bagus Seta dan
menyesalkan kepergian Endang Patibroto, akan tetapi hati
mereka terobat oleh kelincahan dan keriangan Pusporini.
Hanya di waktu malam yang sunyi, kadang-kadang apabila
teringat akan puteranya dan akan Endang Patibroto, Ayu
Candra suka menangis dan suaminya selalu siap untuk
menghiburnya. Suami isteri ini seolah-olah mengikuti hari
demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun
mengharapkan lewatnya lima tahun untuk menyambut
kembalinya putera mereka, Bagus Seta.
Pusporini seorang anak perempuan yang cerdik sekali di
samping wajahnya yang cantik manis. Kulit tubuhnya
hitam manis seperti ibunya, perawakannya singsat padat
dan langsing, rambutnya hitam agak berikal. Anak ini
maklum akan kehebatan ilmu kesaktian rakandanya, maka
ia belajar dengan amat tekun dan berIatih amat rajin
sehingga amat mengagumkan hati Tejolaksono. Adipati ini
maklum bahwa puteranya mendapatkan guru yang jauh
lebih saktl daripadanya, dan karena tidak ada anak lain
yang akan ia warisi ilmunya, maka satu-satunya anak yang
telah menjadi muridnya adalah adik misannya ini, puteri
bibinya yang ternyata merupakan murid yang patut
dibanggakan. Yang terutama sekali mengagumkan pada diri Pusporini
adalah bakatnya dalam ilmu meringankan tubuh dan
gerakan yang amat gesit lincah, sesuai dengan wataknya
yang periang. Bakatnya dalam hal ini jauh lebih menonjol
daripada yang lain-lain sehingga dalam beberapa tahun saja
ia sudah pandai berloncatan dan berkelebat cepat sekali
melampaui kecepatan ibu kandungnya sendiri, bahkan
menyusul pula tingkat Ayu Candra! Aji kecepatan Bayu
Tantra dapat ia pelajari dengan mudah dan tidak
menghabiskan waktu terlalu lama, bahkan empat tahun
kemudian ia sudah mulai mempelajari aji kecepatan Bayu
Sakti! Dalam hal ilmu silat, memang terdapat bakat menari
pada diri Pusporini. Ia dapat bergerak dengan lemas dan
lemah gemulai sehingga di waktu ia dilatih ilmu silat oleh
Adipati Tejolaksono, gerakan-gerakannya begitu indahnya
seperti orang menari-nari saja. Rakandanya yang menjadi
gurunya ini sampai menjadi terheran-heran dan juga amat
kagum, tak pernah menyangka bahwa ilmu silatnya dan aji-
aji seperti Pethit Nogo yang dahsyat dan terkenal
keampuhannya itu dapat dimailnkan sedemikian indahnya
sehingga merupakan tari-tarian luar biasa oleh Pusporini!
Bakat-bakat yang baik dalam diri Pusporini menambah
kegembiraan Adipati Tejolaksono dalam memberi pelajaran, dan kemajuan-kemajuan anak ini menambah rasa
sayang pada hati ketiga orang tua itu, Roro Luhito,
Tejolaksono, dan Ayu Candra. Bahkan bukan hanya tiga
orang ini saja yang menaruh rasa sayang kepada Pusporini,
juga semua abdi dalem Kadipaten Selopenangkep dan
akhirnya rasa sayang ini menjalar sampai keluar kadipaten,
di antara para ponggawa dan penduduk sekitar kadipaten.
Hal ini adalah karena Pusporini yang lincah gembira itu
selalu bersikap baik dan ramah kepada siapapun juga, selalu
rendah hati dan tidak sombong seperti biasanya puteri-
puteri bangsawan yang memandang rendah rakyat kecil.
Tidak, Pusporini tidak seperti itu. Puteri ini bahkan
seringkali membantu para petani dalam pekerjaan di sawah
ladang milik sang adipati. Membantu dalam hal bercocok
tanam, ramai-ramai ikut menanam dan memotong padi
dengan paman-paman dan bibi-bibi tani. Juga ia amat
terkenal dan disayang di antara para pengawal dan perajurit
karena selain memiliki ilmu kepandaian yang mengagumkan, juga Pusporini ikut pula berlatih perang-
perangan, berlatih menunggang kuda sehingga semua
perajurit yang menyaksikan ketangkasan gadis cilik ini
menjadi kagum dan sayang. Jangan disangka bahwa
Puspirini hanya suka akan olah keperajuritan, sama sekali
bukan demikian. Iapun terkenal di dalam kadipaten, di
antara para abdi dalem, di antara para seniman dan
seniwati kadipaten karena anak ini semenjak kecil ikut pula
belajar seni tari di mana bakatnya amat menonjol dan
belajar pula seni suara dengan suaranya yang nyaring sekali.
Demikianlah, dengan adanya Pusporini, sedikitnya
mendung yang menyelimuti Kadipaten Selopenangkep
dapat terusir. Atau setidaknya, pada lahirnya Pusporini
dapat menciptakan sinar kegembiraan di dalam kadipaten
sehingga sang adipati dan isterinya dapat terhibur dan
agaknya keadaanpun menjadi aman dan tenteram. Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan-bulan
ditelan tahun. Sang Waktu bergerak terus, tiada kekuasaan
di bumi ini yang dapat menahannya, merayap amat
perlahan jika diperhatikan, membalap cepat melebih kilat
apabila tidak diingat. Betapapun juga, segala yang tampak
dan tidak tampak di dunia ini, besar maupun kecil, keras
maupun lunak, apa saja tidak pandang bulu, kesemuanya
ditelan habis oleh Sang Waktu yang memegang rahasia
akhir kemenangan. Segala sesuatu yang diperoleh manusia di dunia ini tidak
ada yang kekal. Pertemuan akan berakhir perpisahan. Yang
mendapatkan atau mempunyai akan kehilangan. Karena
sesungguhnya, segala di dunia ini bukanlah milik manusia.
Manusia hanya berhak menikmati, namun sama sekali
tidak berhak memiliki. Harta benda dan kedudukan, semua
itu hanya benda titipan, sewaktu-waktu kita akan dipaksa
berpisah dari mereka, mau atau tidak, suka atau tidak.
Harta benda atau kedudukan akan pergi meninggalkan kita,
atau kita yang akan pergi meninggalkan mereka. Bahkan
keluarga yang kita cinta, anak-anak, isteri dan semua
keluarga, sesungguhnya bukanlah milik kita! Manusia
hanya mendapat titipan yang dilengkapi dengan kewajiban-
kewajiban sebagai manusia beradab, dan tidak lebih
daripada itu. Jika sudah tiba saatnya Yang Maha Kuasa
yang menjadi Pemilik Sejati mengambilnya kembali dari
tangan kita, tidak ada kekuasaan lain di dunia ini yang akan
menahan atau mencegahnya. Harta benda dan kedudukan
bisa musnah sewaktu-waktu. Anggauta keluarga tersayang
bisa mati sewaktu-waktu. Atau dengan lain cara, jika Yang
Maha Kuasa menghendaki, kita sendiri bisa mati sewaktu-
waktu meninggalkan dan berpisah dari kesemuanya itu!
Ditinggalkan oleh atau meninggalkan segala sesuatu yang
hanya "dititipkan" kepada kita. Karena itu, makin besar
cinta kasih kita kepada semua itu, makin sengsaralah
apablia dipisah dari kita. Seperti dua buah benda, makin
kuat melekat, makin parah kalau dipaksa berpisah, makin
parah luka yang terobek oleh perpisahan paksaan itu.
Sesungguhnyalah bahwa manusia tidak mempunyai
kekuasaan atas segala benda, yang terkecil maupun
terendah sekalipun, bahkan,, tidak mempunyai kekuasaan
atas dirinya sendiri, tidak kuasa mengatur denyut jantung,
aliran darah, tumbuhnya kuku dan rambut di tubuh kita.
Tidak kuasa atas nyawa sendiri. Karena hanya Yang Maha
Kuasa sajalah yang berkuasa atas segala benda, yang
tampak maupun tidak! Manusia tidak punya kuasa, hanya
mempunyai hak menikmati anugerah dan kewajiban
memelihara segala sesuatu yang dititipkan atau dianugerahkan kepadanya. Kalau tidak melaksanakan
kewajiban, tidak benar pemeliharaannya, akan rusaklah
kesemuanya itu dan akibatnya menimpa diri sendiri.
Segala peristiwa yang terjadi di atas bumi ini telah
dikehendaki oleh Yang Maha Adil, dan betapapun
peristiwa itu, adalah sudah tepat, wajar dan adil! Bukanlah
hal yang aneh kalau sesuatu peristiwa mendapat tanggapan
yang berlawanan. Ada yang menganggapnya adif ada pula
yang tidak, karena manusia amat dipengaruhi oleh nafsu
ego masing-masing yang selalu mementingkan diri pribadi.
Peristiwa yang menguntungkan dirinya pribadi akan
dianggap adil, dan sebaliknya yang merugikan atau tidak
menyenangkan dirinya pribadi akan dianggap tidak adil!
Akan tetapi sesungguhnya, setiap peristiwa itu adalah wajar
dan adil, sesuai dengan sifat Yang Maha Adil! Manusia
yang tidak dapat melihat keadilan dalam setiap peristiwa,
hanya disebabkan karena tidak mengertinya. Tentu saja
orang tidak akan dapat melihat keadilan kalau dia tidak
mengerti akan duduknya perkara, tidak tahu akan sebab
akibat. Peristiwa yang menimpa diri Adipati Tejolaksono
berturut-turut kalau dipandang dan dinilai mata manusia
biasa tampaknya juga tidak adil karena satria perkasa ini
seakan-akan selalu ditimpa kemalangan. Empat tahun telah
lewat semenjak Endang Patibroto minggat pada malam hari
itu, tak diketahui ke mana perginya, membawa Setyaningsih bersamanya. Empat tahun telah lalu semenjak
Bagus Seta tidak berada di Kadipaten Selopenangkep.
Sementara itu, bahaya besar datang mengurung, seperti
mendung-mendung hitam yang ditiup datang oleh angin
angkasa yang keras sehingga tanpa disangka-sangka tahu-
tahu telah memenuhi udara di atas kepala. Tadinya Adipati
Tejolaksono hanya mendengar berita bahwa ada pergerakan
pasukan-pasukan asing di barat dan utara, akan tetapi
karena tidak terjadi perampokan dan penyerbuan terhadap
dusun-dusun, maka tidak ada laporan apa-apa yang sampai
ke telinganya. Kalau terjadi perampokanperampokan
seperti yang dilakukan pasukan gerombolan Lembah
Serayu seperti yang terjadi empat tahun yang lalu, tentu
siang-siang sudah banyak rakyat yang datang melapor ke
kadipaten. Akan tetapi malam hari itu hati Sang Adipati
Tejolaksono merasa gelisah tanpa sebab. Seringkali
jantungnya berdebar aneh. Sebagai seorang sakti, sang
adipati segera memasuki kamar dan duduk bersila di atas
pembaringan, bermuja samadhi. Isterinya, Ayu Candra,
juga merasa tidak enak hati, maka iapun duduk di dekat
suaminya, siap melayani kebutuhan suaminya yang sedang
bersamadhi itu. Di dalam keheningan samadhinya, telinga
sang adipati menangkap suara berisik, seolah-olah ia
mendengar ombak laut selatan mengamuk, atau seolah-olah
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar kawah Gunung Mahameru mendidih, ataukah
Sungai Progo membanjir" Bulu tengkuknya meremang dan
ia sadar dari samadhinya, menoleh kepada isterinya sambil
menarik napas panjang. "Nimas, apakah engkau merasa juga apa yang
kurasakan?" Ayu Candra mengangguk. "Semenjak sore tadi hatiku
merasa tidak enak?""..."
"Biarlah kita serahkan segalanya kepada kehendak
Hyang Widhi, Nimas. Sekarang kau perintahkan pengawal
untuk memanggil kepala pengawal menghadap, sekarang
juga." Biarpun agak heran mendengar suaminya menyuruh
kepala pengawal menghadap di malam hari, hampir tengah
malam, namun Ayu Candra tidak membantah, tidak pula
bertanya, melainkan bergegas dari kamar dan memanggil
pengawal yang menjaga di depan kadipaten Seorang di
antara para pengawal itu cepat melakukan perintah ini,
pergi memanggil kepala pengawal yang tinggal di ksatrian.
Tentu saja kepala pengawal segera menghadap dengan
gelisah. Kala pada waktu seperti itu sang adipati
memanggilnya menghadap, sudah pasti terjadi hal yang
amat penting. Alangkah herannya ketika menghadap, sang
adipati memerintahkan dia membawa pasukan dan
berangkat malam itu juga keluar dari kadipaten, membagi
pasukan dan melrkukan penyelidikan ke barat da utara.
"Bawa separuh pasukan keluar dan bagi menjadi dua,
selidiki keluar kadipaten bagian barat dan utara. Separuh
pasukan tinggalkan menjaga kadipaten, perkuat penjagaan
dan perketat kewaspadaan. Kau sendiri pimpinlah pasukan
yang bertugas keluar, kakang Mundingyudo, dan selidikilah
desas-desus tentang gerakan pasukan asing di barat dan di
utara itu. Kalau bertemu dengan pasukan-pasukan itu,
jangan sekali-kali turun tangan menggempur mereka
sebelum mengetahui apa kehendak mereka. Kemudian
kirim laporan kepadaku tentang penyelidikanmu."
Maka ributlah para perajurit Kadipaten Selopenangkep
karena pada tengah malam itu mereka semua diperintah
untuk bangun dan bersiap-siap. Kepala pasukan Raden
Mundingyudo segera membagi-bagi tugas dengan para
bawahnnya dan setelah berunding secara singkat, berangkatlah pasukan-pasukan Selopenangkep ini keluar
dari kota kadipaten dan seperti rombongan semut pindah
tempat mereka terpecah menjadi dua bagian, sebagian ke
barat dan sebagian lagi ke utara. Pasukan-pasukan yang
tertinggal di kadipaten memperkuat penjagaan dan
kewaspadaan sesuai dengan perintah sang adipati melalui
Raden Mundingyudo. Semua persiapan bahkan sampai
pemberangkatan pasukan keluar kadipaten, dilangsungkan
dengan rapi. dan tidak sampai diketahul para penduduk
sehingga tidak menimbulkan kepanikan.
Adipati Tejolaksono sendiri lalu mengajak isterinya pergi
menghadap Roro Luhito di bagian belakang kadipaten
kemudian sang adipati menceritakan tentang perasaannya
yang tidak enak. "Pergerakan pasukan-pasukan asing itu amat mencurigakan, Bibi. Karena itu malam ini juga saya sendiri
akan pergi melakukan penyelidikan. Harap Kanjeng Bibi
dan Ayu Candra bersikap waspada memlmpin pasukan
yang melakukan penjagaan di kadipaten."
"Jangan khawatir, Ananda Adipati. Memang seyogianya
dilakukan penyelidikan sendiri. Setelah apa yang Ananda
saksikan ketika terjadi pertemuan di puncak Merapi, desas-
desus tentang pasukan-pasukan asing itu harus dicurigai.
Tentang kadipaten, cukup berada di tanganku dan isterimu
Ayu Candra. Juga Pusporini sekarang bukan kanak-kanak
lagi, tenaganya dapat kita pergunakan untuk memperkuat
penjagaan kadipaten;" demikian kata Roro Luhito yang
biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, hampir lima
puluh dua tahun, namun semangatnya masih besar dan
ketangkasannya tidak banyak berkurang.
Setelah meninggalkan pesan kepada isterinya agar
berhati-hati menjaga kadipaten, dan mengatakan bahwa
penyelidikannya tidak akan lebih daripada sepekan
lamanya, Tejolaksono malam itu juga menyusul keberangkatan pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Raden
Mundingyudo dan teman-temannya. Karena Ia ingin agar
penyelidikannya dapat dilakukan dengan leluasa, maka
Adipati Tejolakspno mengganti pakaiannya dengan pakaian
petani biasa dan ia berangkat dengan jalan kaki saja.
Namun, kiranya jika ia berkuda, tidak akan secepat
perjalanannya sekarang karena ia mempergunakan Aji
Bayu Sakti sehingga tubuhnya berkelebat cepat sekali
bagaikan burung terbang sehingga dalam waktu singkat ia
telah melampaui pasukannya yang menuju ke barat.
Kalau Mundingyudo ia perintahkan menyelidiki keadaan
dan gerak-gerik pasukan asing yang kabarnya bergerak di
daerah barat dan utara, adalah dia sendiri ingin menyelidiki
keadaan rakyat di dusun-dusun, ingin melihat apakah
terjadi sesuatu di dalam tata kehidupan rakyat pedesaan,
terutama sekali tentang kehidupan budaya dan kepercayaan
agama, karena sang adipati khawatir kalau-kalau rakyat
akan dipaksa dalam hal ini oleh kekuatan-kekuatan asing.
Dalam penyamarannya sebagai seorang petani sederhana, dengan mudah Tejolaksono dapat masuk keluar
dusun-dusun tanpa ada yang mengenalnya. Dan apa yang
disaksikan membuat ia terkejut bukan main. Memang, pada
lahirnya, tidak terjadi sesuatu yang menghebohkan di dalam
dusun-dusun itu dan keadaan rakyatnya tampak senang dan
tata tenteram kerta raharja. Akan tetapi sesungguhnya telah
terjadi perubahan yang hebat. Di dalam beberapa buah
dusun ia melihat telah didirikan wihara-wihara dan candi
dan sebagian besar penduduk dusun sudah menukar pujaan
mereka. Di sebuah dusun, penduduknya mulai menukar
pujaan menjadi pemeluk Agama Buddha, dan di lain dusun
memuja Sang Hyang Shiwa. Akan tetapi karena ia tidak
melihat kekerasan atau paksaan dalam hal pengembangan
kedua agama itu, ia tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya ia
melihat gejala-gejala aneh dalam penukaran pujaan ini,
yaitu lenyapnya para pendeta pemuja Sang Hyang Wishnu
dan digantinya kepala-kepala dusun oleh pemuja Sang
Hyang Shiwa atau yang beragama Buddha! Di samping itu,
rakyat tertarik berganti pujaan karena kegaiban-kegaiban
yang didemonstrasikan oleh pendeta-pendeta pembawa
agama baru itu. Adipati Tejolaksono lalu mendatangi Dusun Sumber
karena ia mengenal baik kepala dusun di situ. Bahkan dia
sendiri yang mengangkat Ki Sentana menjadi kepala dusun
Sumber. Ia tahu benar bahwa Ki Sentana adalah seorang
pemeluk atau pemuja Sang Hyang Wishnu yang patuh,
seorang bekas perajurit Panjalu yang setia. Ia mengharapkan keterangan yang jelas dari bawahannya itu
tentang segala rahasia yang kini mencengkeram dusun-
dusun di sebelah barat Selopenangkep. Ia memasuki dusun
Sumber di waktu senja dan langsung mendatangi rumah
kepala dusun. Rumah itu sunyi dan gelap, bahkan di ruangan depan
tidak ada meja kursinya, juga pekarangan depannya kotor
sekali, tidak terpelihara. Tejolaksono memasuki halarnan
yang penuh dengan daun kering, terus maju memasuki
ruangan depan, memandang ke arah pintu yang terbuka
separuh sambil berseru, "
"Kulonuwun ............ t
Tidak ada jawaban, akan tetapi telinganya yang tajam
mendengar suara langkah kaki dari dalam rumah itu.
Langkah kaki wanita, pikirnya, karena langkah itu halus
perlahan, ia menanti dengan hati berdebar. Ada sesuatu
yang tidak wajar dalam rumah Ki Sentana ini, pikirnya.
Mengapa begini sunyi dan gelap" Mengapa rumah kepala
dusun begini kotor tidak terawat"
Sinar terang tampak dari dalam dan tak lama kemudian
muncullah wanita. yang langkah kakinya terdengar oleh
Tejolaksono. Wanita yang masih muda, kurang lebih dua
puluh lima tahun usianya. Wanita yang cantik dengan
sepasang mata yang bersinar tajam dan kerling serta tarikan
mulutnya genit sekali. Wanita ini melangkah keluar dengan
lenggang menarik, membawa sebuah lampu kecil. Begitu
muncul dari pintu dan berhadapan dengan Tejolaksono, ia
memandang penuh selidik dan pandang mata itu menjadi
manis sekali, diikuti senyumnya memikat dan malu-malu.
Biarpun wanita itu tidak berkata sesuatu, namun pandang
matanya penuh pertanyaan dan Tejolaksono cepat
memperkenalkan diri tanpa menyebut namanya,
"Maafkan kalau saya menganggu. Saya mohon berjumpa
dengan Paman Sentana lurah dusun ini."
"Oohhh, sungguh tidak kebetulan sekali. Paman Sentana
sedang tidak berada di rumah." Suara wanita itu halus dan
merdu seperti suara seorang waranggana, dan di waktu
bicara, bibirnya bergerak memikat dan tampak giginya yang
putih rata menggigit-gigit bibir bawah menyeling kata-
katanya. Bibir yang penuh basah dan bergerak seperti itu,
gigitan bibir, dagu yang kadang-kadang menggeser ke kanan
kiri, kerling yang tajam menyambar, semua itu membayangkan kegenitan yang memikat sehingga Tejolaksono terheran-heran dan menduga-duga siapa
gerangan wanita ini. Ia tahu bahwa Ki Sentana yang sudah
tua tidak mempunyai puteri, hanya ada dua orang
puteranya yang lima tahun lalu masih perjaka. Apakah
wanita ini seorang di antara menantunya"
"Kalau bibi ............ adakah ............ ?" tanyanya agak
gugup, karena memang merasa canggung sekali dan tidak
terduga-duga bahwa kedatangannya akan disambut seorang
wanita muda yang selain cantik jelita juga jelas
memperlihatkan sikap genit memikat!
Wanita itu menahan senyum, bibir bawah agak berjebi
dan menggeleng kepala. "Sayang sekali, bibi juga pergi bersama Paman Sentana."
Makin tidak enak rasa hati Tejolaksono melihat bibir
yang berjebi sehingga tampak penuh dan merah itu serta
mata yang makin menantang. "Kalau begitu, biarlah lain
kali saya datang lagi ............ "
Ia sudah hendak memutar tubuh ketika wanita itu
berkata, "Aehh, nanti dulu harap jangan tergesa-gesa pergi.
Saya bukanlah orang lain, melainkan keponakan Paman
Sentana, namaku Sariwuni. Lebih baik andika menanti di
sini sebentar, karena malam ini paman dan bibi akan
pulang. Paman dan bibi tentu marah sekali kepada saya
kalau mendengar bahwa ada tamu datang tidak saya
persilahkan menunggu. Silahkan masuk, Raden ..............
kamar tamu di sebelah kiri ini kosong. Harap suka menanti
sebentar, tidak lama lagi paman dan bibi tentu akan
pulang." Lenyap keraguan hati Tejolaksono. Hemm, kiranya anak
keponakan Ki Sentana. Heran dia bahwa Ki Sentana
mempunyai seorang anak keponakan yang secantik dan
segenit ini! Tidak apalah ia menanti sebentar, karena ia
ingin sekali bicara dengan Ki Sentana. Pula, kalau ia tidak
mau menanti, ke manakah ia akan mencari keterangan"
Tanpa berkata sesuatu ia lalu menganggukkan kepala dan memasuki rumah itu, terus memasuki sebuah kamar yang cukup bersih namun sederhana di sebelah kiri ruangan depan.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita yang bernama Sariwuni itu meninggalkan pelitanya dalam kamar, lalu berkata manis, "Silahkan Raden beristirahat sambil menanti." Berdebar hati Tejolaksono. Baru sekarang ia melihat
kejanggalan itu. Sudah dua kali Sariwuni menyebutnya
"raden"! Tentu saja hal ini janggal dan aneh sekali! Biarpun
ia seorang adipati, akan tetapi pada saat itu ia menyamar
sebagai seorang petani sederhana dan wanita ini tidak
mengenal siapa dia. Mengapa menyebut raden" Hatinya
tidak enak, akan tetapi wanita. itu sudah melangkah keluar
dari pintu kamarnya. Jelas tampak sepasang buah pinggul
wanita itu bergoyang turun naik karena langkahnya yang
sengaja dibuat-buat melenggang-lenggok. Ah, kalau tidak
sudah terlanjur memasuki kamar tamu, dan kalau tidak
amat penting baginya menemui Ki Sentana, tentu ia tidak
suka berada di sini. Ada sesuatu yang aneh pada diri wanita
itu, seperti anehnya keadaan di rumah Ki Sentana ini yang
sunyi dan tidak seperti dahulu.
Tejolaksono duduk di atas pembaringan di dalam kamar
itu, pembaringan terbuat dari kayu jati. la termenung dan
mengharapkan kedatangan Ki Sentana dengan cepat. Akan
tetapi ketika terdengar langkah kaki, ia tahu bahwa yang
mendatangi kamarnya kembali adalah wanita cantik itu. la
tetap duduk dan mengangkat muka memandang ke arah
pintu. Benar saja, Sariwuni yang muncul di pintu kamar,
kini kedua tangannya membawa sebuah penampan (baki)
berisi nasi panas, lauk-pauk dan kendi air. Sambil
tersenyum dan dengan wajah berseri-seri mata bersinar-
sinar, Sariwuni menurunkan penampan dan mengatur
hidangan itu di atas meja dalam kamar, dan berkata,
suaranya halus, "Raden, silahkan dahar seadanya." Sambil berkata
demikian, Sariwuni dengan gerakan yang luwes menuangkan air ke dalam kobokan (tempat mencuci tangan
sebelum makan), kemudian memandang wajah Tejolaksono, tersenyum dan matanya menunduk seperti
malu-malu dan mengundurkan diri.
"Nanti dulu ............!" Tejolaksono berkata dan Sariwuni
berhenti melangkah lalu membalikkan tubuhnya yang
ramping, memandang dengan alis terangkat. Manis sekali
sikap dan wajahnya. "Apakah yang dapat saya lakukan untukmu, Raden?"
"Tahukah engkau ke mana perginya paman dan bibi"
Hari telah menjadi malam dan mereka belum juga pulang."
Dengan gerakan kenes wanita itu mengangkat kedua
pundaknya dan kembali giginya tampak berkilau terkena
sinar api pelita ketika ia membuka bibir. "Saya tidak tahu ke
mana, Raden. Akan tetapi paman tadi berkata bahwa tidak
akan lama pergi dan malam ini pasti pulang."
Tejolaksono mengangguk-anggul< dan ketika wanita itu
hendak membalikkan tubuh lagi ia berkata, "Eh, Sariwuni,
mengapa engkau menyebut aku raden" Aku hanya seorang
petani kenalan Paman Sentana ............ "
Sariwuni tertwa dan menutupi mulut dengan tangan
kirinya. Kembali gerakan ini amat manis dan kenes,
gerakan wanita yang tahu akan kebiasaan puteri-puteri
bangsawan dan tidak seperti biasanya seorang perawan
dusun yang polos dan jujur.
"Hi-hik ............ seorang petani tidak bicara sehalus
bicaramu, Raden. Juga kaki tangannya tidak sehalus kaki
tanganmu, kulltnya tidak seputih dan sebersih kulitmu.
Selain itu, wajah seorang petani ............ eh, tidak setampan
............ " Wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya, lalu
membalikkan tubuh dan setengah berlari keluar kamar
meninggalkan suara ketawa ditahan.
Tejolaksono termangu, mengerutkan keningnya kemudIan karena memang perutnya sudah lapar dan
mulutnya haus, ia minum air dari kendi, mencuci tangan
dan makan nasi putih yang pulen ditemani lauk-pauk yang
cukup sedap. Selesai makan, ia mencuci tangan,
membersihkan kakinya lalu naik ke pembaringan, duduk
bersila menanti kedatangan Ki Lurah Sentana.
Akan tetapi sampai lama dan jauh ma'am, belum juga
tuan rumah yang dinanti-nantinya itu datang. Tejolaksono
menjadi hilang sabar. Akan tetapi ketika ia hendak turun
dari pembaringan untuk menyelidiki hal ini, tiba-tiba pintu
kamarnya itu terbuka dari luar. la terkejut karena kali ini ia
tidak mendengar langkah kaki. Tahu-tahu pintu kamar itu
terbuka dan muncul pula Sariwuni.
Tejolaksono yang masih duduk bersila di atas
pembaringan, memandang dengan mata terbelalak. Wanita
itu kini telah berubah jauh sekali. Kalau tadi hanya bersikap
manis, kini sikapnya benar-benar keterlaluan. Menantangl
Senyumnya masih manis memikat seperti tadi, rnatanya
bersinar-sinar penuh daya tarik, rambutnya terurai lepas
dan pakaian yang menutupi tubuhnya hanyalah sehelai
tapih pinjung yang membungkus tubuh sampai ke dada
kemudian bagian atasnya disuwelkan begitu saja di antara
lekuk-lekuk dadanya. Begitu ia masuk, bau yang harum
menyerbu kamar. Bau mawar yang segar, seakan-akan
Wanita itu baru mandi keramas air mawar" Kulit pundak
dan lengan yang kuning langsat itu seperti lilin diraut, halus
dan tipis sehingga membayangkan urat-urat yang halus
berwarna kemerahan. Dengan lenggang lemah gemuiai,
disertai pandang mata dan senyum malu-malu yang makin
memperkuat daya pikat, Sariwuni bergerak memasuki
kamar dan mendekati Tejolaksono. Bau harum bunga
mawar makin memabukkan. Bau bunga mawar ini memang
amat sedap dan kiranya tidak ada orang di dunia ini,
terutama kalau ia laki-laki, yang tidak menyukainya.
"Raden, ............ tentu engkau merasa kesal menanti
kembalinya paman dan bibi ............ , agaknya mereka
besok pagi kernbali ............ biarlah saya menemani Raden
malam ini di sini ............ " Suaranya tersendat-sendat, dada
itu bergelombang turun naik dan suwelan tapih itu lama-
lama tentu akan terlepas oleh gerakan dada.
Tejolaksono adalah seorang laki-laki. Pemandangan
yang dihadapinya itu tentu saja amat menarik dan
menggairahkan karena diapun seorang pria yang sehat dan
normal. Akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang
ksatria sejati. Keteguhan batinnya tidak mudah tergoncang
oleh pikatan dan bujuk rayu karena didasari keyakinan
bahwa hal ini adalah tidak benar! Dia memiliki harga diri
yang tinggi, tidak sudi ia melakukan pelanggaran susila
yang akan menyeretnya turun ke lembah kehinaan. Wanita
ini adalah keponakan Ki Sentana dan ia sebagai seorang
tamu, bagaimana ia akan sudi mencemarkan kehormatan
keluarga tuan rumah" Pula, ia dapat melihat bahwa watak
yang rendah sajalah yang dapat mendorong seorang wanita
muda seperti Sariwuni untuk bersikap tidak tahu malu
seperti ini. "Eh, perempuan! Di mana kesusilaanmu" Mundurlah!"
Bentaknya dengan muka menjadi merah.
Akan tetapi Sariwuni tidak menjadi takut, apalagi
mundur. la berjebi sehingga bibir bawahnya melebar,
memperlihatkan bagian bibir yang sebelah dalam dan amat
merah. "Duhai Raden, mengapa menolak cinta kasih mesra
yang kusodorkan kepadamu" Jangan khawatir, paman dan
bibi tidak ada, dan di rumah ini hanya ada kita berdua!"
Tiba-tiba Sariwuni sudah melangkah dekat dan kedua
lengannya bergerak merangkul, suwelan tapihnya tiba-tiba
terlepas dan ia hendak mencium muka sang adipati,
"Perempuan tak tahu malu! Pergilah!" Tejolaksono
menggerakkan tangan kirinya mendorong pundak Sariwuni.
Tubuh wanita itu terdorong dan terlempar ke belakang.
Akan tetapi alangkah kaget hati Tejolaksono ketika melihat
wanita itu membuat gerakan jungkir balik ke belakang
sehingga tidak sampai roboh dan kini sudah berdiri dengan
mata terbelalak marah! Kedua tangan itu kini mengikatkan
lagi ujung tapih yang terlepas, mengikatnya erat-erat pada
dadanya. Lenyaplah kini sikapnya yang memikat, berganti
pandang marah dan mulutnya cemberut. Lenyaplah wajah
bidadari terganti wajah iblis betina yang siap nenerkam
korbannya! Setelah ikatan kainnya erat betul-betul, wanita
itu menggerakkan kedua lengannya dengan gerakan aneh,
membentuk lingkaran dan terdengar suara berkerotokan
seolah-olah kedua lengannya menjadi patah-patahl Dan
perlahan-lahan kedua tangan itu, dari ujung kuku sampai ke
pergelangan tangan, berubah menjadi hitam. Pandang
matanya menjadi buas ketika ia memekik,
"Si keparat Tejolaksono! Kau tidak suka mati dalam
kenikmatan, biarlah kau mampus dalam penderitaan!"
Mendadak sekali wanita cantik itu menubruk maju, kedua
tangannya' yang berkuku hitam itu mencengkeram ke arah
muka dan perut. Serangannya ini ganas dan cepat bukan
main! Tejolaksono masih duduk bersila di atas pembaringan.
Dia tadi terlampau kaget dan heran menyaksikan
perubahan ini, apalagi mendengar namanya disebut. Akan
tetapi ia maklum bahwa wanita ini bukan orang
sembarangan. Terjangannya amat kuat dan cepat, sepasang
tangan yang berkuku hitam itu dahsyat sekali. lapun tahu
bahwa aji pukulan ini mengandung racun yang amat jahat.
Bau harum kembang mawar kini lenyap tertutup bau
wengur seperti bau ular berbisa. Karena maklum bahwa
sepuluh buah kuku hitam itu tidak boleh menggurat
kulitnya, ia lalu mengerahkan Ayi Pethit Nogo menyampok
dari samping. "Plakkk ............ !!"
Sariwuni merintih perlahan dan terdorong mundur
terhuyung-huyung. Akan tetapi ia tidak roboh dan hal ini
saja membuktikan bahwa dia memang kuat dan berilmu
tinggi. Tidak sembarang orang dapat bertahan terhadap
sampokan Pethit Nogo. Maka Tejolaksono berlaku hati-hati
dan sekali ia bergerak, tubuhnya sudah melompat turun,
berdiri dan hersiap sedia menanti serangan lawan, sikapnya
tenang. Ia memandang tajam dan bertanya dengan suara
tegas, "Perempuan, siapakah gerangan engkau sesungguhnya"
Tidak mungkin keponakan Paman Sentana!"
Tiba-tiba waita itu terkekeh ketawa. Suara ketawanya
berbeda dengan tadi. Kalau tadi halus merdu dan penuh
Jejak Di Balik Kabut 28 Alap Alap Laut Kidul Seri Ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pedang Dan Kitab Suci 15