Pencarian

Perawan Lembah Wilis 8

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


dan gerakan lengan kakinya ketika menari amatlah lemas
dan indah! Diiringkan tiga belas orang wanita cantik
berpakaian sutera putih itu, dara remaja ini tampak seperti
setangkai kuncup bunga yang sedang mekar dengan
segarnya di antara tiga belas tangkai bunga yang sudah
terlalu banyak kehilangan madu karena setiap hart dihisap
kumbang. Dara remaja ini bukan lain adalah Pusporini! Baru pagi
tadi rombongan anak buah Ni Dewi Nilamanik yang
menawannya tiba di puncak Mentasari. Pusporini disambut
dengan bangga dan girang oleh Ni Dewi Nilamanik yang
segera membuatnya pingsan dengan ilmunya, kemudian
memberi minum secara paksa ramuan obat yang membuat
dara itu tidak sadar akan keadaan dirinya lagi!
Inilah sebabnya mengapa pada malam hari itu, ketika
Pusporini disambut oleh tiga belas orang wanita berpakaian
putih dan diperintahkan menari, seperti sebuah boneka
berjiwa Pusporini lalu keluar dari tempat tahanan, dan
begitu mendengar suara gamelan dan melihat tiga belas
orang itu menari, iapun lalu melangkah maju dan menari!
Tentu saja tarian Pusporini amat indah karena dara remaja
ini memang seorang ahli tari di Selopenangkep! Ia menari
dengan kedua mata setengah terpejam, bibirnya otomatis
tersenyum manis karena guru tarinya selalu memesan
bahwa dalam membawakan tarian, wajah harus berseri dan
bibir tersenyum manis, senyum sopan untuk mempercantik
wajah. Semenjak ia masih kecil, Pusporini sudah belajar menari
dan setiap kali di Kadipaten Selopenangkep diadakan tari-
tarian, tentu dia menjadi bintang panggungnya. Kini, dalam
keadaan tidak sadar akibat pengaruh jamu yang dicekokkan
kepadanya ketika ia pingsan, Pusporini menari dengan
perasaan bahwa dia harus menari seperti yang ia lakukan di
Selopenangkep. Menari seindah-indahnya.
"Bagaimana, Rakanda Wasi" Apakah cukup memuaskan
hati Rakanda?" bisik Ni Dewi Nilamanik sambil mendekati
Wasi Bagaspati yang duduk terhenyak dan kesima
memandang ke arah Pusporini. Teguran ini membuat ia
sadar dan ia cepat memegang tangan Ni Dewi Nilamanik,
ditariknya wanita itu mendekat dan dengan mata masih
memandang ke arah Pusporini, ia mengambung pipi kanan
wanita cantik itu di depan semua orang yang memandang
hal ini tanpa heran sedikitpun.
"Wah, Yayi Dewi, benar hebat .............. ! Tiada
ubahnya dengan Dewi Sang Hyang Saraswati sendiri
.............. ! Dan dara ini adik misan Tejolaksono" Bagus!
Hukuman baik bagi adipati yang keras kepala itu. Biarkan
dia menghibur dengan tari-tarian sampai pestamu selesai,
Yayi. Sesudah itu, bawa dia ke kamarku, akan tetapi aku
menghendaki dia seaseli-aselinya, tanpa pengaruh jamu-
jamu?"" Ni Dewi Nilamanik tersenyum dan maklum akan
kehendak Sang Wasi Bagaspati. Ia mengangguk lalu duduk
kembali ke atas kursinya sambil memberi isyarat dengan
tangan untuk meningkatkan acara perayaan. Tiga belas
orang wanita berpakaian putih itu lalu menari sambil
mengurung Pusporini dan mengiring dara remaja ini naik
ke sebuah panggung yang paling tinggi di samping barisan
tiga buah arca. Panggung ini hanya dua meter luasnya, agak
tinggi dan bentuknya bundar. Tiga buah obor besar menyala
di belakang panggung sehingga ketika Pusporini menari-
nari di atas panggung sendirian saja, tampak seperti seorang
bidadari menari. Permainan cahaya dan bayangan yang
menyelimuti tubuh dan wajahnya benar-benar amat indah.
Setelah Pusporini "disingkirkan" di atas panggung
menyendiri dan menari dijadikan tontonan dan dikagumi
semua orang, Ni Dewi Nilamanik kembali memberi isyarat
dengan tangan. Tiga belas orang wanita berpakaian putih
itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka
datang berlari-lari sambil menari dan masing-masing
membawa sebuah bokor pula, kini bokor perak yang berisi
benda cair berwarna merah. Begitu mereka memasuki
lapangan, bau yang harum bercampur amis berhamburan
dan semua orang yang hadir, baik laki-laki maupun
perempuan tertawa-tawa gembira dan pandang mata
mereka penuh kehausan melihat ke arah bokor-bokor itu.
Semua bokor perak, tiga belas buah jumlahnya, kini
ditaruh di depan kaki tiga buah arca. Ni Dewi Nilamanik
lalu bangkit dan menghampiri, mencelupkan sebatang daun
ke dalam bokor-bokor itu dan memercik-mercikkan cairan
merah ke arah tiga arca hingga tubuh arca-arca itu berwarna
merah, bertotol-totol seperti darah. Kemudian Ni Dewi
Nilamanik mengambil dua buah cawan, mengisinya dengan
cairan merah itu dan ia menghampiri Wasi Bagaspati.
Dengan sikap hormat sambil bersimpuh di depan sang wasi,
ia menyodorkan sebuah cawan yang diterima sambil
tertawa oleh Wasi Bagaspati. Kemudian kedua orang ini
minum cairan merah itu dari dalam cawan, terus ditenggak
sampai habis. Semua anak buah laki-laki perempuan yang hadir di situ
bersorak gembira, dan mulailah mereka berteriak-teriak
minta bagian cairan merah yang mereka sebut "Anggur
Darah". Di Dewi Nilamanik memberi isyarat dengan tangan. Di
bawah hujan sorak-sorai gemuruh, tiga belas orang wanita
berpakaian putih, kini dibantu oleh tiga puluh sembilan
wanita berpakaian aneka warna mulai membagi-bagikan
anggur darah dari tiga belas bokor perak itu kepada semua
orang. Mula-mula tentu saja para tamu yang duduk di kursi
kehormatan yang menerima secawan yang mereka minum
dengan lahap. Kemudian semua orang mendapat bagian,
sampai para penabuh gamelan dan semua anggauta, baik
anggauta penyembah Durga maupun penyembah Shiwa
dan Kala. Setelah semua orang minum, makin riuhlah
suasana, makin gembira seakan-akan mereka semua itu
mabuk oleh secawan anggur darah itu. Gamelan
dibunyikan dengan keras dan iramanya panas merangsang,
lima puluh dua penari itu kini menari-nari secara liar,
makin lama makin cepat gerakan mereka, makin cepat dan
makin liar. Aneh dan hebat bukan main. Setelah minum anggur
darah yang berwarna merah itu, wanita-wanita itu tidak
hanya seperti mabuk, bahkan seperti orang-orang yang telah
kemasukan roh jahat. Juga suasana makin menjadi berubah
sama sekali. Seluruh lapangan itu seakan-akan terselimut
hawa yang dingin menyeramkan, namun yang mengandung
rangsangan hawa panas yang membuat darah mendidih,
yang membangkitkan gairah nafsu berahi, dan jelas . terasa
getaran-getaran aneh yang tidak sewajarnya. Malam di
puncak Gunung Mentasari ini menjadi malam penuh hawa
kotor, dikuasai iblis. Tiga puluh sembilan orang wanita yang berpakaian
sutera tipis beraneka warna itu makin hebat tariannya.
Tidak lagi mengikuti bunyi gamelan yang iramanya makin
panas merangsang, melainkan menari secara liar, menggerak-gerakkan ginggul ke kanan kiri ke depan
belakang, membusungkan dada dan menggerak-gerakkan
pundak, pinggang mereka bergoyang-goyang, tubuh mereka
seolah-olah menjadi tubuh ular yang meliuk-liuk, melekuk,
melengkung dan menggeliat-geliat. Wajah mereka yang
rata-rata cantik dan muda itu kini agak pucat, keringat
membasahi dahi dan leher, muka diangkat ditengadahkan
membayangkan gairah nafsu berahi, mata setengah
terpejam, cuping hidung berkembang kempis mendengus-
dengus, bibir terbuka memperlihatkan kilauan gigi putih di
antara rongga mulut yang merah seperti dasar mereka,
ujung lidah merah meruncing menjilat-jilat bibir seperti
lidah ular, membasahi bibir yang merah basah, dada yang
membusung itu turun naik terengah-engah seperti ombak
samudra dilanda badai. Nafsu berahi makin memuncak
dalam suasana yang tidak wajar itu. Keadaan seperti ini
makin lama menjalar sehingga tiga belas orang wanita
remaja berpakaian putih itupun terkena pengaruhnya dan
merekapun mulai meniru gerak-gerik tiga puluh sembilan
orang rekannya yang tingkatnya lebih rendah itu.
Gamelan ditabuh makin menggila. Tari-tarian itupun
makin menggila. Para anggauta wanita penyembah Bathari
Durga itu kini mulai pula menggerak-gerakkan tubuh
mengikuti irama gamelan. Merekapun terpengaruh setelah
tadi minum secawan anggur darah. Juga para tamu, anak
buah Wasi Bagaspati dan Ki Kolohangkoro, mulai
berteriak-teriak seperti gila, menjadi histeris dan dengan
pandang mata seperti hendak melahap dan menelan bulat-
bulat para penari itu. Yang tidak terpengaruh oleh anggur darah, biarpun ikut
minum, hanya para pimpinan saja. Sang Wasi Bagaspati,
biarpun wajahnya menjadi makin merah, namun tetap
tenang dan memandang kesemuanya itu sambil tersenyum
gembira. Ni Dewi Nilamanik, juga merah sepasang pipinya,
membuatnya tampak makin cantik dan kini pimpinan
penyembah Bathari Durga melempar kerling mata penuh
nafsu ke arah Sang Wasi Bagaspati, namun ia tetap duduk
tenang. Di samping kedua orang sakti ini, Ki Kolohangkoro
juga tidak terpengaruh. Matanya terbelalak lebar dan ia
minum arak terus-menerus, kadang-kadang tertawa bergelak seperti orang gila. Yang lainnya, termasuk Cekel
Wisangkoro, Sariwuni, kedua orang Gagak Dwipa dan
Gagak Kroda, terseret pula oleh gelombang getaran hawa
nafsu berahi, bahkan Sariwuni dan kedua orang Gagak
Dwipa dan Gagak Kroda sudah saling mendekat dan saling
pegang dalam belaian-belaian penuh nafsu. Yang mengherankan adalah dua puluh empat orang tinggi besar
gundul, anak buah Cekel Wisangkoro. Mereka ini tadipun
mendapat bagian anggur darah, akan tetapi mereka kini
tetap saja duduk di bawah tanpa bergerak dengan mata
memandang kosong ke depan!
Tak lama kemudian, setelah gamefan kini berbunyi
kacau-balau karena para penabuhnya sudah mabuk semua,
beterbanganlah sutera-sutera halus yang tadi membungkus
tubuh lima puluh dua orang penari itu. Sorak-sorai
terdengar dan para wanita penyembah Bathari Durga
semua lalu ikut menari sambil menanggalkan pakaian,
melempar-lemparkan pakaian mereka dan mempermainkannya seperti selendang, sementara tubuh
mereka terus melanjutkan tari-tarian penuh gairah. Sorak-
sorai dari mulut para pria yang hadir makin gemuruh dan
mereka-pun bangkit tanpa aturan lagi, ikut menari-nari dan
mendapatkan pasangan masing-masing. Bahkan Cekel
Wisangkoro sudah pula meloncat dari tempat duduknya
dan terjun ke dalam medan tari-tarian menggila itu. Suara
ketawa bercampur cekikikan dan semua bercumbuan
mengotorkan udara. "Hua-ha-ha-ha, Bunda Dewi! Manakah hidanganku yang
Bunda janjikan tadi?" terdengar suara Ki Kolohangkoro
menggema dan mengatasi semua suara hiruk-pikuk dari
mereka yang berpesta-pora dalam nafsu binatang itu.
"Jangan.............. khawatir,.............. Kolohangkoro,"
jawab Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum, lalu ia
memanggil Sariwuni, "Sariwuni, kau ambillah si bagus ke
sini, berikan kepada Kolohangkoro!"
Sariwuni terpaksa melepaskan diri dari pelukan Gagak
Dwipa, lalu tubuhnya yang kini sudah setengah telanjang
itu melesat pergi. Hanya sebentar ia menghilang karena
sepuluh menit kemudian wanita sakti ini telah datang
kembali, memondong seorang anak laki-laki yang bertubuh
montok dan berwajah tampan. Anak laki-laki itu berusia
kurang lebih enam tahun, matanya lebar terbelalak
memandang ketakutan dan di kedua pipinya yang segar
kemerahan dan montok itu tampak titik-titik air mata.
Ki Kolohangkoro memekik keriangan ketika ia
menyambar tubuh anak ini dari tangan Sariwuni yang
terkekeh genit dan meloncat lagi ke dalam pelukan Gagak
Dwipa sambil mendorong pergi seorang wanita penari yang
tadi menggantikan tempatriya.
"Kolohangkoro, kaubawa pergi korbanmu itu dari depan
mataku," kata Sang Wasi Bagaspati sambil menyeringai. Ki
Kolohangkoro yang memeluk anak itu tertawa, membungkuk lalu meloncat pergi, akan tetapi saking tak
dapat menahan nafsunya, ia berlari sambil menundukkan
mukanya ke arah leher anak Itu yang berkulit putih halus.
Rahangnya bergerak, tampak giginya yang meruncing dan
terdengarlah jerit anak itu yang tenggelam ke dalam suara
ketawa di tenggorokan Ki Kolohangkoro yang mulai
menghisap darah segar! Pusporini yang tadinya menari-nari di atas panggung
bundar, kini masih menari-nari seperti kehilangan
semangat. Karena gamelan kini tidak berbunyi lagi dan para


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penabuhnya sudah pula terjun ke dalam kancah nafsu
jalang yang dipuja-puja, Pusporini kini berdiri termangu-
mangu seperti orang bingung. Sepasang matanya kini
terbelalak, penuh kengerian akan tetapi juga seperti orang
dalam mimpi. Pengaruh jamu yang membiusnya masih
belum lenyap semua, akan tetapi penglihatan yang
terbentang di depan matanya terlalu hebat sehingga
mengguncangkan perasaannya, membuatnya terbelalak
penuh kengerian, ketakutan, dan kebingungan.
Apa yang terjadi di lapangan puncak Gunung Mentasari
itu memang tidak lumrah. Seorang manusia normal tentu
akan terguncang perasaannya menyaksikan semua itu.
Agaknya semua orang yang berada di situ telah terseret ke
dalam tingkat yang amat hina dan rendah, jauh lebih
rendah daripada binatang-binatang yang tidak berakal budi.
Mengerikan dan memuakkan!
Sang Wasi Bagaspati dan Ni Dewi Nilamanik masih
duduk tenang, sungguhpun kini mereka duduk berdekatan
dan tangan Wasi Bagaspati membelai-belai rambut, kadang-
kadang mencium muka Ni Dewi Nilamanik. Mereka
berdua yang sakti mandraguna, yang dengan pengaruh ilmu
hitam mereka telah menimbulkan suasana seperti ini, tentu
saja dapat menguasai diri dan keadaan. Ketika Pandang
mata Wasi Bagaspati beralih ke arah Pusporini yang berdiri
bingung di atas panggung, ia segera bangkit perlahan,
menudingkan telunjuknya ke arah Pusporini dan berkata
perlahan, "Ni Dewi, aku ingin mengaso dan antarkan dia itu
kepadaku." Ni Dewi Nilamanik juga bangkit berdiri dan tersenyum
lebar. "Baiklah, Rakanda Wasi. Saya sendiri yang akan
menjemput dan mengantarnya kepadamu."
Akan tetapi pada saat itu, secara tiba-tiba sekali jatuhlah
air hujan dari angkasa! Kedua orang itu kaget dan
menengadah. Langit yang tadinya bersih kini tertutup
mendung menghitam. Sinar bulan tertutup mendung dan
datang pula angin bertiup sehingga banyak obor secara tiba-
tiba menjadi padam. Suasana menjadi gelap, angin bertiup,
dan air hujan turun makin deras. Akan tetapi, pasangan-
pasangan yang sudah dimabuk nafsu itu masih berdekapan
dan bergulingan di atas tanah berumput, sama sekali tidak
perduli akan turunnya air hujan. Suara ketawa dan
cekikikan masih terdengar, bahkan agaknya makin gembira
dengan turunnya air hujan!
"Ah, hujan .............. !" seru Ni Dewi Nilamanik dengan
kaget dan heran. "Biar saya menyuruh Sariwuni
menjemputnya!" Karena Sariwuni yang dipanggil dua kali
tidak mendengar, asyik mengumbar nafsu binatang bersama
Gagak Dwipa, sekali bergerak Ni Dewi Nilamanik sudah
mendekati lalu menarik bangun wanita itu. "Sariwuni! Kau
bawa dara remaja itu ke dalam!"
Jilid XIV SETELAH berkata demikian, Ni Dewi Nilamanik lalu
menghampiri Wasi Bagaspati, menggandeng tangannya dan
berkata. "Marilah, Rakanda Wasi, kita berteduh di dalam
dan menantinya." Dua orang pimpinan kaum sesat itu sudah berjalan
cepat-cepat meninggalkan lapangan menuju ke bangunan
pondok-pondok yang berada di puncak. Adapun Sariwuni
sambil bersungut-sungut terpaksa meninggalkan Gagak
Dwipa lagi, lari ke arah panggung di mana tadi Pusporini
berdiri bingung. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia
tidak melihat dara remaja itu di sana! Cepat ia meloncat ke
tempat yang tinggi itu dan memandang, lalu terkekeh genit
dan keji ketika melihat bayangan Pusporini berlarl-lari pergi
dari tempat itu! Beberapa obor yang masih bisa bertahan
terhadap serangan angin dan hujan, menerangi tempat itu
sehingga ia dapat melihat ke mana Iarinya Pusporini.
Keadaan Pusporini tadi masih setengah sadar setengah
mabuk jamu yang membiusnya. Pemandangan yang
mengerikan Itu mengguncang perasaannya dan membaritunya untuk cepat sadar ketika air hujan tnenlmpa
kepalanya, Pusporini merasa seakan-akan ia disiram air
embun suci dari surgaloka. Seketika ia menjadi sadar dan
dara remaja ini cepat menutup mulut menahan jerit yang
akan keluar dari mulutnya. Pemandangan yang terbentang
di depannya terlalu hebat. Ia meramkan matanya,
kemudian meloncat turun dari panggung dan Ian' ketakutan
dan penuh kengerian. Ia harus lari dari tempat itu. Harus
cepat pergi menjauhi mereka ini! Kini teringatlah ia.
Tadinya ia berada di taman sari Kadipaten Selopenangkep.
Lapat-lapat ia teringat betapa ia berada di dalam kekuasaan
wanita-wanita genit yang menyeramkan. Kemudian teringat
bahwa ia dibawa ke dalam sebuah pondok di puncak bukit
itu, melihat wajah seorang wanita cantik yang pandang
matanya mengerikan, lalu ia tidak ingat apa-apa lagi.
Bagaimana ia tahu-tahu bisa berada di panggung itu" Dan
pemandangan yang ia lihat di atas rumput, lhhh,
mengerikan sekali! Perutnya menjadi muak dan mual,
membuat ia hampir muntah. Akan tetapi karena ia maklum
bahwa tempat itu penuh dengan orang-orang jahat yang
amat sakti, ia tidak mau berhenti, terus berlari sambil
mengerahkan Aji Bayu Sakti. Namun tubuhnya terasa
lemas dan lelah. Kepalanya masih pening berdenyut-
denyut. Pandang matanya berkunang dan malam amat
gelap. Hujan turun makin deras sehingga jalan liar yang
dilaluinya menjadi licin sekali.
"Heeeeiii .............. , Pusporini! Berhenti kau! Hendak
lari ke mana?" Mendengar suara dari sebelah belakang ini, Pusporini
terkejut sekali. Ia menoleh dan di antara sinar obor yang
bergoyang-goyang hampir mati ia melihat bayangan
seorang wanita yang mengejarnya dengan gerakan tangkas
dan larinya cepat bukan main. Pusporini bukanlah seorang
penakut, akan tetapi apa yang disaksikan di sana tadi benar-
benar telah melenyapkan semua keberaniannya. Terlalu
ngeri dan terlalu menakutkan baginya sehingga kini seluruh
hati dan pikirannya dicekam rasa takut yang hebat. Maka ia
mengeluh pendek dan terus berlari makin cepat lagi.
Beberapa kali ia jatuh tersandung, akan tetapi ia bangkit
lagi. Bahkan ia jatuh tersungkur dan terguling-guling,
namun setelah mendapat kesempatan meloncat bangun, ia
terus berlari lagi tidak memperdulikan betapa kakinya
babak-belur dan kainnya robek di sana-sini. Sanggul
rambutnya terlepas sehingga rambutnya yang hitam
panjang terurai. Untung bagi Pusporini bahwa sinar bulan lenyap tertutup
mendung dan malam gelap pekat sehingga agak sukarlah
bagi Sariwuni untuk mengejarnya. Biarpun Pusporini tidak
dapat melakukan perjalanan cepat menuruni bukit di dalam
gelap itu, namun sama pula halnya dengan Sariwuni yang
juga harus berhati-hati sekali karena selain jalan amat licin,
juga amat gelap dan banyak jurang di situ. Akhirnya
Sariwuni r berteriak keras memanggil nama Gagak Dwipa
dan Gagak Kroda untuk membantunya mengejar Pusporini.
Kedua orang Gagak ini tentu saja cepat bangkit berdiri dan
berlari ke arah datangnya suara Sariwuni. Mereka ingin
menyenangkan hati wanita cantik yang membuat mereka
tergila-gila ini. Seperti kita ketahui, Gagak Dwipa dan Gagak Kroda
adalah kedua orang di antara Lima Gagak Serayu.
Semenjak gerombolan mereka gagal menyerang Selopenangkep bahkan dihancurkan oleh pasukan yang
dipimpin Adipati Tejolaksono sendiri, mereka menyembunyikan diri di dalam hutan-hutan dengan hati
penuh dendam. Kemudian tibalah saat bagi mereka untuk
membalas dendam ketika melihat pasukan-pasukan asing
yang dipimpin oleh orang-orang Kerajaan Sriwijaya dan
Kerajaan Cola. Mereka lalu membawa pasukan yang masih
ada untuk menggabungkan diri dan bahkan menghambakan
diri kepada pasukan asing yang dipimpin banyak orang
pandai itu. Setelah Gagak Dwipa dan Gagak Kroda. mendekat,
Sariwuni dan kedua orang laki-laki tinggi besar ini
melanjutkan pengejaran mereka terhadap Pusporini. Dara
remaja itu terus berlari ke depan, menuruni bukit, meraba-
raba dan merangkak-rangkak dalam gelap, sebentarpun
tidak berani berhenti. Apaiagi ia mendengar suara tiga
orang pengejarnya di belakang! Tiga orang itu biarpun tidak
tampak olehnya, namun selalu berada di belakang, suara
mereka kadang-kadang jauh, akan tetapi kadang-kaclang
amat dekat. Malam telah berganti pagi, cuaca gelap menjadi remang-
remang ketika akhirnya Pusporini tiba di kaki gunung.
karena kini cuaca tidak segelap tadi sehingga jalan di depan
tampak remang-remang, Pusporini menjadi girang hatinya.
"Heee, itu dia .............. !" Tiba-tiba terdengar teriakan
dari belakang, suara seorang laki-laki yang parau..
"Pusporini, hendak lari ke mana engkau?"
"Kejar.............. !!"
Mendengar suara-suara ini, Pusporini tanpa menoleh lagi
lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya, lari secepatnya
ke depan memasuki sebuah hutan di kaki gunung itu.
Karena khawatir, ia lupa akan kelelahannya, lupa bahwa
tubuhnya sudah lelah sekali, kedua kakinya lemas dan
pandang matanya berkunang. Ia berlari terus, secepatnya
masuk hutan. Teriakan-teriakan itu masih terdengar di
belakang, akan tetapi makin perlahan yang berarti bahwa
jarak di antara mereka makin jauh.
Sambil berlari cepat, Pusporini memutar otaknya yang
tadi digelapkan oleh rasa ngeri dan takut. Ah, mengapa ia
lari-lari seperti orang dikejar setan" Pengejarnya hanya tiga
orang! Takut apa" Kalau mereka dapat menyusulku, akan
kulawan saja. Belum tentu aku kalah, demikian dara remaja
yang tadihya ketakutan karena pengalaman hebat di puncak
Gunung Mentasari itu kini mulai mendapatkan kembali
ketabahannya. Pada hakekatnya, Pusporini adalah seorang
dara yang pemberani. Dia keturunan orang sakti. Ayahnya
yang tak pernah dilihatnya karena telah meninggal dunia di
waktu ia masih dalam kandungan ibunya, Pujo, adalah
seorang ksatria perkasa. Juga ibunya, Roro Luhito bukanlah
wanita sembarangan, melainkan murid Sang Resi
Telomoyo pertama yang memuja Hanoman. Selain
menuruni watak ksatria ayah bundanya, juga sejak kecil
Pusporini telah digembleng oleh kakak misannya, Adipati
Tejolaksono yang menjadi gurunya. Tidak, Pusporini
bukanlah seorang dara penakut. Dia seorang dara perkasa
yang' biarpun belum matang ilmunya, namun telah
mempelajari pelbagai aji kesaktian yang hebat-hebat. Kalau
semalam ia melarikan diri penuh kengerian dan ketakutan
adalah karena ia mengalami goncangan batin yang hebat
menyaksikan peristiwa mengerikan di puncak Gunung
Mentasari. Kini, berbareng dengan munculnya sinar
matahari. pagi, batinnya mulai tenang kembali dan
keberaniannya mulai timbul.
Tiba-tiba dara ini menahan jeritnya dan tubuhnya roboh
terguling ke atas .............. sepasang paha manusia. Ketika
ia memandang, hampir ia menjerit kaget dan marah karena
mendapat kenyataan bahwa ia jatuh terduduk di atas
pangkuan seorang laki-laki muda yang tampan! Ketika lari
tadi, cuaca masih remang-remang dan kakinya tersandung
sehingga tubuhnya terguling. Ternyata yang menyandung
kakinya bukanlah akar pohon melainkan dua buah kaki
pemuda itu yang dilonjorkan, sedangkan tubuh pemuda itu
bersandar pada pohon cemara. Pemuda itu tadinya tertidur
melenggut dan kini berseru kaget sambil membuka
matanya. Sejenak ia tertegun, memandang muka yang amat
cantik, yang amat dekat dan kini sepasang mata indah itu
terbelalak. Kemudian pemuda itu menggaruk-garuk
kepalanya dan mencubit telinganya sendiri sambil berkata,
"Segala puji bagi Sang Hyang Widhi .............. ! Masih
mimpikah aku .............. " Mimpi bulan jatuh di
pangkuanku, akan tetapi .............. ah, Andika tentulah
seorang bidadari dari bulan .............. !"
Saking kagetnya, Pusporini sampai kesima dan sampai
lama ia terduduk di atas pangkuan pemuda itu. Mereka
saling pandang dengan muka berdekatan, wajah pemuda itu
penuh kekaguman dan heran, wajah Pusporini penuh
kekagetan dan kemarahan. Setelah dapat menguasal rasa
kagetnya, kemarahan memuncak di dalam hati Pusporini.
Ia merasa malu dan marah bukan main. Sungguh seorang
pemuda yang kurang ajar, berani mati memangkunya!
"Plak-plak .............. !!" Dua kali tamparan tangannya
yang dilakukan keras sekali membuat pemuda itu mencelat
dan bergulingan beberapa kali. Tamparan bukan sembarang
tamparan, melainkan pukulan telapak tangan dengan Aji
Pethit Nogo yang tepat mengenai pipi dan leher. Akan
tetapi, sungguhpun pemuda itu terlempar dan bergulingan,
namun ia segera bangkit duduk kembali, mengelus-elus
pipinya yang menjadi merah dan matanya memandang
terbelalak, mulutnya mengomel,
"Aduh-aduh.............. , ada bidadari kok begini keji dan
tangannya seperti besi panas .............. I"
Melihat betapa pemuda kurangajar itu tidak mati,
bahkan lukapun tidak oleh pukulannya, Pusporini menjadi
makin penasaran dan marah. Ia sudah berdirl dan
menudingkan telunjuknya ke arah hidung pemuda itu
sambil membentak,

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heh, engkau manusia keparat, tak tahu susila,
kurangajar!" Pemuda yang masih duduk itu terbelalak, menoleh ke
belakangnya akan tetapi karena tidak melihat lain orang,
baru ia mau mengerti bahwa dirinyalah yang dimaki.
Karena telunjuk dara itu menuding tepat ke arah
hidungnya, iapun lalu menunjuk hidungnya sendiri dan
berkata, "Siapa kurangajar" Aku" Kurangajar .............. "
Mengapa.............. ?"
"Siapa lagi kalau bukan engkau" Ihh, manusia tak tahu
malu, mengapa engkau berani mati memangku aku?"
Pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal, lalu
meloncat bangun dan bertolak pinggang. Baru sekarang
Pusporini melihat bahwa pemuda itu masih remaja,
sepantar dengannya, tubuhnya, tegap jangkung dan
wajahnya tampan, matanya bersinar seperti mata harimau.
Pemuda itu tersenyum mengejek dan makin panaslah hati
Pusporini. "Eh-eh, nanti dulu .............. Enak benar kau bicara,
gadis! Aku memangkumu" Hemm, aku sedang tidur dan
tahu-tahu kau menjatuhi pangkuanku sampai kedua pahaku
seperti akan remuk, dan kau bilang aku kurangajar
memangkumu" Ini namanya maling teriak maling!"
Kemarahan Pusporini makin menjadi. Mukanya menjadi
merah, sepasang matanya berkilat dan ia mengepal kedua
tinjunya. "Siapa maling" Engkau maling! Engkau kecu
(perampok), engkau copet! Engkau menjegal kakiku ketika
aku sampai aku terjatuh! Hemm, bedebah, apa kau masih
mau menyangkal" Berani berbuat tidak berani mengaku,
apa ini laki-laki namanya?"
Pemuda itu menggosok-gosok hidungnya, makin
terheran dan makin marah. "Aku menjegalmu" Walah-
walah, engkau ini perawan galak seperti sarak gadungan!
Aku sedang tidur dan kakiku terlonjor, kau yang jalan tidak
melihat-lihat, nabrak saja masih hendak menyalahkan aku?"
Baru kali ini Pusporini bertemu dengan seorang laki-laki
yang dianggapnya cerewet dan selalu membantahnya.
Kemarahannya membuat ia hampir menangis. Ia membanting kaki kanan dan membentak,
"Laki-laki bosan hidup! Kenapa menaruh kaki sembarangan saja?" Pemuda itupun marah dan membalas gerakan Pusporini
dengan membanting kaki kanannya juga, selain untuk
meniru mengejek juga karena tidak mau kalah, lalu berkata,
"Dan engkau ini perempuan yang agaknya semalam
kesurupan setan dan sekarang masih marah-marah tidak
karuan. Pagi-pagi buta sudah menabrak seperti maling
kesiangan, sudah begitu masih memaki-maki orang tidak
karuan. Benar-benar perempuan tidak genap kau ini!"
"Jahanam busuk! Berani kau, ya ..... ?"
"Mengapa tidak berani?"
Dua orang muda remaja itu sudah saling berhadapan,
memasang kuda-kuda dan slap untuk saling serang.
Keduanya sudah marah sekali, mereka sebelum bertanding
tangan sudah bertanding pandang mata, sekan-akan hendak
saling bakar dengan pandang mata masing-masing. Biarpun
sedang marah, kini Pusporini teringat bahwa pemuda ini
tidak roboh oleh pukulan Pethit Nogo dan hal ini
membuktikan bahwa pemuda kurang-ajar ini memiliki ilmu
kepandaian yang tak boleh dipandang ringan. Di lain fihak,
setelah mencicipi aji Pethit Nogo tadi, si pemudapun
maklum bahwa gadis betapapun galak dan kasarnya, adalah
seorang dara yang sakti. Maka keduanya bersikap hati-hati
dan sedapat mungkin menahan nafsu amarah. Inilah pula
sebabnya mengapa mereka tidak segera turun tangan
menyerang, bahkan saling menanti lawan turun tangan
lebih dulu. "Pusporinl, hendak lari ke mana engkau?"
Suara inl mengejutkan Pusporini yang cepat membalikkan tubuh. Kiranya tiga orang pengejarnya sudah
berada di situ, di hadapannya! Akan tetapi Sariwuni yang
sudah melompat ke depan Pusporini, tiba-tiba melihat
pemuda itu dan la berdiri seperti orang kesima. Tanpa
mengalihkan pandang mata dari pemuda itu, Sariwuni
berkata kepada dua orang temannya,
"Kakang Gagak berdua, harap bantu aku menangkap
dara itu!" Dua orang laki-laki tinggi besar yang tadinya merasa
kecewa dan menyesal bahwa mereka terganggu kesenangan
mereka di puncak Mentasari tadi, dan pengaruh anggur
darah masih membuat darah mereka bergolak panas, kini
menjadi girang mendapat tugas menangkap dara remaja
yang jelita itu. Dengan mata berkilat-kilat dan mulut
menyeringai, kedua tangan dikembangkan mereka kini
mengurung dan mendekati Pusporini, sikap mereka seperti
dua orang anak nakal hendak menangkap seekor anak itik!
Pusporini tidak takut, hanya agak jijik menghadapi wajah
dua orang yang beringas menyeramkan itu, sepasang mata
mereka merah terbelalak, mulut menyeringai penuh nafsu.
Ia mundur-mundur dan memasang sikap, siap untuk
bertanding mati-matian. Adapun Sariwuni kini melangkah maju mendekati
pemuda itu dengan pandang mata penuh gairah dan ujung
lidahnya yang merah dan kecil menjilat-jilat bibir. Sikapnya
seperti seekor ular kelaparan melihat seekor katak hijau
yang montok gemuk, seolah-olah hendak ditelannya
pemuda itu bulat-bulat! Pada saat itu, seperti juga kedua
orang temannya, wanita yang pada dasarnya memang
berwatak cabul ini masih berada di bawah pengaruh anggur
darah. Kini melihat seorang pemuda remaja yang demikian
tampan dan ganteng, jauh bedanya dengan semua pria yang
dilihatnya malam tadi di puncak Gunung Mentasari, tentu
saja ia menjadi tertarik sekali.
"Duhai, bocah bagus. Andika siapakah" Dan ada
hubungan apakah dengan gadis ini?"
Pemuda ini tidak menjawab, melainkan menoleh ke arah
Pusporini yang menghadapi ancaman dua orang laki-laki
tinggi besar yang liar itu. Gagak Dwipa mengembangkan
kedua lengannya yang besar dan berbulu, menyeringai lebar
dan berkata, "Marilah, manis, kau menyerah saja,
kupondong kembali ke puncak .............. ha-ha-ha!"
"Eh, bocah ayu, engkaupun boleh memilih aku.
Kuemban .............. kupundak .............. ataukah kau ingin
gendong-pekeh" Ha-ha-ha, Gagak Kroda siap, cah denok!"
Pusporini tidak takut, akan tetapi menyaksikan sikap
mereka dan mendengar kata-kata mereka, ia mengkirik,
kedua kakinya menggigil saking jijik dan ngeri. Pada saat
itu, Gagak Dwipa menubruk hendak memeluk pinggang
yang ramping itu dan pada saat berikutnya, Gagak Kroda
juga menyambar lengannya. Namun dengan gerakan amat
manis dan indah, tubuh yang kecil ramping itu sudah
menyelinap dan kedua orang raksasa itu menubruk angin
belaka. Jangankan tubuh dara jelita, ujung kainnyapun tak
dapat mereka sentuh! Pemuda itu tertawa dengan dada lapang. Ia tidak
khawatir lagi. Melihat gerakan Pusporini, tahulah ia bahwa
tidak akan mudah bagi dua orang raksasa itu untuk dapat
menangkap dara remaja yang amat lincah itu. Ia tertawa
sambil menghadapi Sariwuni lagi.
"Andika ingin tahu namaku" Aku Joko Pramono, bocah
gunung kabur kanginan (tertiup angin) yang tidak menentu
tempat tinggalku. Hubunganku dengan dia itu" Ah, bukan
apa-apa. Bukan sanak bukan kadang akan tetapi kalau mati
ikut kehilangan. Engkau dan dua orang raksasa itu mau
apakah" Mengapa mengganggu orang?"
Sariwuni tertawa sehingga tampak deretan giginya yang
rata dan putih menghias rongga mulut yang merah. "Hihi-
hik, bocah bagus, engkau lucu juga. Tidak perlu engkau
mencampuri urusan kami. Lebih baik kau mendekat sini,
kita omong-omong yang enak. Engkau mau bukan" Engkau
tentu suka bercakap-cakap dengan Sariwuni, ya" Aduh,
bocah bagus, bocah ganteng, sinilah mendekat!" Sariwuni
yang sudah tergila-gila akan ketampanan wajah pemuda itu
melangkah maju, tangannya meraih, jari-jarinya hendak
mencubit dagu. Pemuda itu melangkah mundur sehingga cubitan
Sariwuni tidak mengenai sasaran. Kini pemuda itu
memandang penuh perhatian, melihat betapa wanita cantik
di depannya itu pakaiannya tidak karuan, hampir telanjang
sehingga tampak sebagian besar dada dan pahanya.
Pemuda itu mengerutkan keningnya, menggeleng-geleng
kepala lalu berkata, "Aduh-aduh, sialan benar hari ini aku! Mimpi kejatuhan
bulan kiranya dalam kenyataan bertemu dengan bidadari
galak lalu disambung bertemu dengan iblis-iblis laknat yang
menyeramkan. Engkau ini siapakah dan mau apa ..............
?" Sariwuni yang sudah mabuk itu melangkah maju lagi,
membusungkan dada dan langkahnya lenggang-lenggok
penuh daya tarik, matanya melirik tajam seakan-akan
membetot-betot sukma, semyumnya makin panas, "Cah
bagus, jangan menjual mahal, ya" Aku Sariwuni dan aku
.............. ah, aku amat cinta kepadamu. Kau tampan
seperti Harjuna! Aihh .............. jangan mundur menjauhkan diri, ke sinilah kau .............. !" Kembali
Sariwuni meraih dan kali ini dengan kedua tangannya,
hendak memeluk dan merangkul. Akan tetapi dengan
gerakan yang tenang namun cepat pemuda itu sudah
melangkah mundur dan mengelak.
"Wah-wah, celaka tiga belas, aku bertemu dengan
siluman seperti ini! Engkau ini manusia apa kok begini
nekat" Pergilah dan ajak pergi pula dua orang kawanmu
yang menjemukan itu. Lekas, kalau tidak, jangan salahkan
kalau aku Joko Pramono terpaksa harus turun tangan dan
memaksa kalian bertiga menggelinding pergi dari sini!" Kini
pemuda itu berdiri tegak dan bertolak pinggang, sikapnya
menantang. Sariwuni memandang makin kagum. Pemuda ini tidak
hanya tampan akan tetapi juga gagah berani. Tentu saja ia
merasa geli menyaksikan betapa pemuda remaja ini dengan
sikap amat gagah menantangnya! Alangkah lucunya dan ia
sama sekali tidak memandang mata kepada seorang
pemuda seperti ini. Kembali ia melangkah maju dan
tertawa. "Joko Pramono, bocah bagus. Marilah kau turuti
hasratku, aaahhh, kau bocah menggemaskan sekali!"
Sariwuni menubruk maju hendak memeluk, akan tetapi
kembali ia menubruk tempat kosong. Heranlah hati wanita
ini. Tubrukannya cepat sekali dan ia sudah memperhitungkan bahwa pemuda itu tak mungkin dapat
mengelak, akan tetapi nyatanya tubrukannya itu luput!
"Aehhh, jangan mengelak, cah bagus ?"!" Kembali ia
menerjang maju, kini lengan kiri hendak memeluk pinggang
dan tangan kanan meraih hendak merenggut leher.
"Perempuan tak tahu malu!" Joko Pramono tidak lagi
mengelak, melainkan miringkan tubuh membebaskan diri
daripada renggutan dan menangkis lengan kiri Sarlwuni
yang hendak memeluk pinggang.
"Dukk .............. !"
Sariwuni memekik lirih dan meloncat ke belakang
dengan mata terbelalak. Ia kaget bukan main ketika
benturan lengan pemuda pada lengannya itu mendatangkan
hawa panas yang menusuk tulang lengannya. Tak pernah
disangkanya bahwa pemuda ini dapat menangkis seperti itu
dan mengertilah ia kini bahwa pemuda ini, sungguhpun
masih remaja, namun telah memiliki ilmu kesaktian yang
tinggi. Berubahlah pandangannya, makin kagum hatinya,
dan timbul kemauan hatinya hendak menaklukkan dan
menguasai pria muda yang hebat ini.
"Bagus! Engkau mempunyai sedikit kepandaian, ya"
Baik, mari kita main-main sebentar untuk membangkitkan
kegembiraan dan memanaskan darah, hihik!" Sariwuni lalu
menyerbu ke depan, kini dengan langkah-langkah dan
gerak-gerak silat yang cepat bagaikan badai menyerbu.
Sambil membuat gerakan memutar seperti angin lesus,
Sariwuni menerjang maju, tangan kiranya mencengkeram
ke arah pusar bawah, tangan kanannya dengan dua jari
menusuk ke arah mata. Inilah serangan yang amat keji,
ganas dan hebat sekali! "Hemmm .............. , keji seperti orangnya!" Joko
Pramono menghadapi serangan yang dahsyat ini dengan
sikap tenang sekali. Pemuda ini jenaka dan sikapnya
gembira, juga berwatak nakal suka menggoda akan tetapi


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbeda dengan watak dan sikapnya, gerakannya dalam
menghadapi lawan bertempur amatlah tenangnya. Tubuhnya membuat gerakan ke samping, menggeser kaki
mengganti kuda-kuda, kedua lengannya bergerak ke atas
dan ke bawah menyambut kedua serangan lawan. Tusukan
ke arah mata ia biarkan saja, akan tetapi jari-jari tangannya
sudah menghadang di depan mata, mengancam pergelangan tangan lawan yang hendak menusuk,
sedangkan cengkeraman lawan ke arah pusarnya itu ia
tangkis dengan kipatan lengannya data atas ke bawah.
"Aihhh, kau boleh juga!" Sariwuni terpaksa menarik
kembali kedua serangannya, kalau dilanjutkan ia akan
menderita rugi. Akan tetapi ia menarik kembali untuk
mengirim serangan ke dua yang dahsyat sekali, kakinya
menendang dari samping menuju lambung, disusul
tubuhnya yang mendoyong ke depan mengirim pukulan
dengan kepalan tangan kanan menuju ke ulu hati.
Joko Pramono ternyata bukanlah seorang pemuda
sembarangan. Serangan yang dilakukan Sariwuni dengan
amat cepatnya ini tentu akan merobohkan seorang jagoan,
atau setidaknya akan membuat lawan terdesak dan
bingung. Akan tetapi, pemuda itu dengan tenang saja
menanti datangnya sambaran kaki, kemudian secara tiba-
tiba menggerakkan tangan kiri dari bawah ke atas dan
tangan kanannya dari atas ke bawah menangkis pukulan.
Sariwuni terkejut karena kakinya kini tertangkap pergelangannya. Ia memekik dan kaki kirinya menyusul
dengan tendangan berantai, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya
terlontar ke belakang tanpa dapat ia cegah lagi, karena Joko
Pramono telah menyentak kaki kanannya itu ke atas lalu
mendorong. Hanya dengan gerak loncat jungkir-balik di
udara sampai tiga kali saja yang mencegah tubuh Sariwuni
terbanting. Hampir saja ia menderita malu dan kini
wajahnya yang tadi berseri menjadi merah, matanya
berkilat-kilat, tanda bahwa kekaguman dan cinta kasihnya
tertutup oleh hawa amarah yang mendidih.
"Bocah keparat! Kau tidak mengenal cinta kasih orang,
kau tidak ingin senang dan sudah bosan hidup" Baik, kau
mampuslah!" Setelah berkata demikian, Sariwuni menerjang maju lagi dengan kecepatan kilat sambil
mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat bukan main ilmu
kepandaian wanita ini. Sebelum menjadi anak buah Wasi
Bagaspati, Sariwuni sudah memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Apalagi setelah ia menjadi murid Wasi Bagaspati,
murid tersayang dan juga kadang-kadang menjadi kekasih
sang wasi, ia menerima pelbagai aji kesaktian yang dahsyat,
di antaranya adalah Aji Wisakenaka yang tidak mudah
dipelajari sembarang orang. Terhadap pemuda itu, ia maslh
menaruh rasa sayang dan hanya ingin merobohkan tanpa
membunuhnya karena ia masih menaruh harapan untuk
menaklukkan dan menguasai pemuda yang menimbulkan
seleranya dan membuatnya mengilar itu. Maka biarpun ia
kini menerjang dengan dahsyat, ia masih belum
mengeluarkan ajinya yang hebat itu, juga masih belum
menyentuh gagang pedangnya yang terselip di pinggang.
Akan tetapi sekali ini ia benar-benar kecelik. Serangannya yang dahsyat itu disambut dengan sikap
tenang saja oleh Joko Pramono, bahkan kini pemuda itu
yang tahu akan kesaktian lawan, membalas dengan
pukulan-pukulan yang juga cepat dan antepnya tidak kalah
oleh lawan! Terjadilah pertempuran yang amat seru di
antara mereka sehingga debu mengebul di pagi hari itu dan
tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan yang
berkelebatan cepat sekali.
Pusporini sekarang telah menemukan kembali kepribadiannya, menemukan kembali ketangkasan dan
ketabahannya, setelah mengalami guncangan batin yang
hebat di puncak Gunung Mentasari. Menghadapi pengeroyokan dua orang Gagak, makin lama makin timbul
kembali kegembiraannya bertanding, bangkit kembali
semangatnya. Mula-mula, kedua orang Gagak itu seakan
berlomba untuk menangkapnya, untuk memeluk mendekapnya dan memondongnya kembali ke puncak agar
mereka selain dapat mendekap tubuh yang muda
menggairahkan itu, juga akan mendapat pujian dari Sang
Wasi Bagaspati. Akan tetapi ternyata gadis itu lebih licin
daripada belut, lebih tangkas daripada monyet dan tubuh
yang langsing itu dapat berkelebatan laksana seekor burung
srikatan! Berkali-kali mereka menubruk, namun selalu
menangkap angin dan ketika Pusporini sudah bangkit
benar-benar semangatnya, dara remaja ini bahkan mengelak
sambil menampar! "Plak! Plenggg ..............
Tubuh dua orang raksasa itu terpelanting. Gagak Dwipa
jatuh terduduk, megap-megap seperti ikan terlempar di
darat karena dadanya terkena dorongan telapak tangan
yang halus, yang kecil, akan tetapi mengandung tenaga
mujijat itu. Serasa terhenti jalan napasnya dan ia terengah-
engah sambil memandang dengan mata melotot, penuh
keheranan, kekagetan, dan juga kemarahan. Adapun Gagak
Kroda yang kena ditempiling pelipisnya, terpelanting dan
bergulingan di atas tanah, lalu bangkit duduk dengan mata
juling. Bumi dan pohon-pohon di sekelilingnya serasa
berputaran, tanah yang didudukinya bergelombang. Setelah
ia menggoyang-goyang kepalanya dengan keras, barulah
agak reda kepeningan kepalanya.
Pusporini berdiri tegak menanti, bibirnya yang manis
tersenyum mengejek. Dia kurang pengalaman sehingga ia
tidak tahu bahwa dua orang yang terkena pukulan Aji
Pethit Nogo hanya terpelanting dan tidak tewas atau terluka
itu sesungguhnya merupakan hal yang aneh, menjadi bukti
bahwa kedua orang lawannya itu memiliki kekebalan yang
luar biasa. Maka ia cukup girang melihat betapa tamparan
tangannya membuat kedua lawan itu roboh.
"Demi iblis .............. ! Tangan kecil halus itu .............. ,
kuat benar pukulannya!" Gagak Dwipa berseru sambil
melompat bangun. "Huh-huh, kita telah bersikap ceroboh tadi, Kakang
Dwipa. Kita lupa bahwa gadis ini adalah adik Tejolaksono,
tentu saja bukan sembarangan bocah." Diapun sudah
melompat bangun dengan gerakan yang sigap.
Gagak Dwipa melangkah maju menghampiri Pusporini,
sikapnya penuh ancaman, wajahnya bengis ketika ia
berkata, "Hamm, bocah, jangan kau tertawa-tawa dulu dan
mengira akan dapat mengalahkan kami! Kau bocah
kemarin sore masih bau pupuk dringo, lebih baik kau
menyerah baik-baik agar kami bawa kembali ke puncak
menghadap sang wasi karena kalau kau tetap berkeras
menolak dan terpaksa kami mempergunakan paksaan, tidak
urung kau akan mengalami sakit-sakit dan kalau hal ini
terjadi, sungguh sayang kalau kulitmu yang halus sampai
lecet-lecet, dagingmu yang muda ranum akan terluka."
Pusporini yang sudah "mendapat hati" melihat betapa
tadi ia dapat merobohkan kedua orang lawannya, kini
tersenyum mengejek. "Dua ekor lutung korengen yang
menjemukan! Kalian masih banyak cakap lagi! Sungguh tak
tahu diri. Lebih baik kalian cepat-cepat minggat dari
depanku sebelum kupatahkan batang leher kalian! Aku
Pusporini sama sekali tidak gentar menghadapi gertak
sambelmu!" Gagak Dwipa melebarkan matanya dan menoleh kepada
saudaranya. "Wah..wah, bocah ini memang tidak boleh
diberi hati. Hayo, kita beri hajaran biar dia kapok, adi
Kroda!" Dua orang Gagak itu kini menyerbu maju, masih seperti
tadi hendak mencengkeram dan menangkap, akan tetapi
kalau tadi melakukan hal ini secara sembrono, kini mereka
berhati-hati. Pusporini seorang dara remaja yang cerdik
sekali. Biarpun belum banyak pengalamannya dalam
pertandingan, namun ia dapat menduga bahwa dua orang
ini tentu bertenaga besar sekali dan kalau ia harus mengadu
tenaga, la akan menderlta rugi. Oleh karena Itu, la segera
mengerahkan ilmunya meringankan tubuh dan biarpun Aji
Bayu Sakti yang ia pelajari belum sempurna benar, namun
sudahlah cukup untuk membuat tubuhnya berkelebatan
cepat sekali sehingga dengan mudah ia dapat mengelak dari
tubrukan-tubrukan kedua orang itu. Gagak Dwipa
melengak heran ketika ia menubruk tempat kosong dan
tahu-tahu lawannya sudah hilang. Akan tetapi Gagak
Kroda cepat menyusul gerakan saudaranya dan menyambar
pinggang Pusporini dari belakang. Kembali gadis itu
menyelinap dan hanya hawa pukulan Gagak Kroda saja
yang mampu menyentuh pinggangnya. Sambil mengelak,
Pusporini sudah menotolkan ujung kakinya ke tanah,
sehingga tubuhnya melayang naik, dan cepat ia turun di
belakang Gagak Dwipa, tangan kirinya menampar ke arah
punggung. Gagak Dwipa juga bukan seorang lemah. Dia adalah
orang pertama dari Lima Gagak Serayu, ilmu kepandaiannya tinggi dan tentu saja ia maklum akan
datangnya tamparan dari belakang ini. Kalau tadi dia dan
adiknya sampai menjadi korban tamparan tangan Pusporini
adalah karena mereka berdua memandang rendah dan
mengira bahwa tamparan tangan dara yang halus itu akan
menimpa tubuh mereka yang kebal seperti pijatan mesra.
Kini ia cepat miringkan tubuhnya, menekuk siku tangannya
dan menangkis tamparan itu. Pusporini tidak menarik
kembali tangannya melainkan mengerahkan tenaga dan
sengaja mengadu lengannya untuk mengukur tenaga lawan.
"Dukk I" Lengan yang kecil berkulit halus itu beradu
dengan lengan yang besar kasar berbulu, dan akibatnya
tubuh Pusporini terpental ke belakang! Akan tetapi hal ini
hanya berarti bahwa dara itu kalah dalam hal tenaga kasar,
sebaliknya, ia menang dalam tenaga dalam, buktinya
raksasa itu kini meringis dan menggosok-gosok lengannya
yang beradu dengan lengan dara itu, yang kini terasa panas
seperti bertemu besi merah bernyala dan seperti ditusuk-
tusuk jarurril "Rebahlah !" bentak Gagak Kroda yang marah sekali dan
penasaran. Ia menubruk dari belakang, tangannya
menghantam ke arah pundak dara itu. Pusporini hanya
memutar tumit menggeser kaki. Lengan yang panjang besar
lewat di samping pundaknya, dara ini cepat menusuk
dengan jari tangan ke lambung lawan.
"Ngekkk .............. !" Gagak Kroda sudah mengeraskan
lambung bahkan disusul gerakan tangan menangkis, namun
karena lambungnya sudah "dimasuki" jari tangan yang
menotok dengan tenaga mujijat itu, seketika tubuhnya
berputaran dan ia memegangi lambungnya sambil meringis-
ringis. Perutnya mendadak terasa mulas sekali, seperti
diremas-remas dari dalam, seperti orang terlalu banyak
makan lombok sehingga kalau saja ia tidak memiliki hawa
sakti untuk menahannya, tentu pada saat itu juga ia sudah
kecirit-cirit terberak-berak di dalam celana saking nyerinya!
Kemarahan dua orang Gagak itu membuat mereka
menjadi gelap mata, tidak ingat lagi bahwa dara ini harus
ditangkap hidup-hidup dan dibawa kembali kepada Wasi
Bagaspati. Mata mereka menjadi merah, menyinarkan
nafsu membunuh, tidak ingat apa-apa lagi. Dengan teriakan
seperti lolong srigala, Gagak Dwipa dan Gagak Kroda mencabut senjata mereka, yaitu sebuah golok yang melengkung dan tajam sekall sampai

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkilau tertimpa matahari pagi. "Perempuan setan, kuminum darahmu!" bentak Gagak Dwipa. "Kuganyang dagingmu!" terlak pula
Gagak Kroda. Mereka berdua sudah menerjang maju, membacok dengan golok. Senjata mereka itu menyambar
dengan cepat dan kuat sehingga mengeluarkan suara
berdesing. Pusporini maklum akan bahaya serangan mereka
itu, maka iapun cepat mengerahkan Aji Bayu Sakti dan
mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menyelamatkan
diri, berkelebat ke sana ke marl menghindarkan sambaran
dua batang golok. Pertandingan ini kini berjalan cepat sekali
karena dua buah golok yang diputar-putar itu berubah
menjadi gulungan dua sinar yang menggulung-gulung tubuh
dua orang Gagak itu dan menyambar-nyambar ke arah
Pusporini. Namun gadis inipun hebat, tubuhnya berkelebatan dan yang tampak hanya bayangannya saja
yang menyelinap di antara sambaran sinar golok. Untung
bagi Pusporini bahwa kedua orang lawannya mempergunakan senjata golok karena justeru dia adalah
seorang ahli permainan senjata golok seperti yang diajarkan
rakandanya, yaitu Ilmu Golok Lebah Putih. Biarpun kini ia
bertangan kosong, namun ia yang sudah mengenal sifat
senjata golok dengan amat baiknya, kini tidaklah begitu
terancam dan biarpun tampaknya terdesak, namun selalu
dapat menghindar dan menanti kesempatan baik untuk
merobohkan dua orang lawannya yang kuat.
Sementara itu, pertempuran antara Sariwuni yang
memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi daripada
Gagak Dwipa atau Gagak Kroda, melawan Joko Pramono
pemuda remaja yang jenaka dan aneh itu, makin lama
menjadi makin seru dan hebat sekali. Tadinya Sariwuni
yang tergila-gila kepada pemuda ganteng ini tidak mengirim
serangan maut, karena ia merasa sayang kalau membunuhnya, hanya ingin menaklukkan dan menguasainya. Akan tetapi makin lama wanita ini menjadi
makin penasaran karena semua terjangannya dapat
dielakkan atau ditangkis pemuda itu dan setiap lengan
mereka bertemu, Sariwuni merasa betapa lengannya
tergetar. Ketika dengan rasa penasaran Sariwuni untuk ke
sekian kalinya meloncat tinggi dan dari atas tubuhnya
menyambar turun, menubruk dan hendak memeluk
pemuda itu agar dapat ia ringkus dan dibuat tidak berdaya,
Joko Pramono tertawa mengejek, akan tetapi membiarkan
diri terjengkang ke belakang dan terjatuh. Ia seolah-olah
sudah tidak berdaya lagi dan Sariwuni girang bukan main.
Melihat pemuda itu terjengkang dan kedua lengannya
terbuka seolah-olah menanti dia menubruk untuk dipeluk,
Sariwuni tertawa dan berkata,
"Aduh, bocah bagus, akhirnya kau menyerah .............. "
la menubruk dengan kedua lengan terpentang.
"Aiilhhhh.............. .............. dessss .............. !!"' Tubuh
Sariwuni terlempar ke belakang sampai empat meter
jauhnya dan ia terbanting ke atas tanah lalu bangkit berdiri
sambil meringis kesakitan. Kiranya ketika ia menubruk tadi,
Joko Pramono yang kelihatan tidak berdaya itu mengirim
sebuah tendangan yang tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka
sama sekali sehingga tepat mengenai perut lawan!
Wajah yang cantik dan tadinya tersenyum-senyum genit
itu seketika berubah. Kini pandang matanya penuh
kemarahan, sepasang mata yang indah bentuknya itu kini
menjadi melotot merah, hidungnya kembang-kempis dan
mulutnya cemberut, wajahnya diliputi kemarahan. Sariwuni menjadi marah bukan main. Perlahan-lahan
tangannya bergerak-gerak, jari tangannya bergerak seperti
kuku harimau dan terdengar suara berkerotokan ketika
kedua tangannya itu perlahan-lahan berubah warnanya,
mula-mula kemerahan, lalu merah tua kehitaman, akhirnya
berubah menjadi hitam sama sekali, dari pergelangan
tangan sampai ke ujung kuku jari tangannya! Kini sinar
maut membayang di wajahnya, memancar keluar dari
matanya ketika ia melangkah maju menghampiri Joko
Pramono, mulutnya menyeringai dan membuat wajahnya
yang cantik menjadi mengerikan.
"Keparat, tak tahu disayang .............. kau memang patut
mampus!" Mulutnya mengeluarkan ucapan ini lirih dan
lambat, namun secara tiba-tiba ia sudah menerjang maju,
kedua tangannya seperti cakar harimau, gerakannya cepat
dan kuku serta tangan itu menjadi bayangan hitam yang
mengeluarkan bau busuk memuakkan, amis dan keras
seperti bau bangkai! Joko Pramono cepat menghindarkan diri dengan
loncatan tinggi ke kiri. Pemuda ini tidak mau senyum-
senyum lagi, tidak berani main-main lagi karena ia maklum
betapa hebat dan jahatnya kedua tangan wanita itu. Biarpun
ia tidak tahu jelas aji sesat apakah yang digunakan wanita
itu, namun ia dapat menduga bahwa tentu kuku-kuku
tangan wanita itu mengandung racun yang ampuhnya
menggila. Oleh karena dugaan ini, maka ia tidak berani
sembarangan menangkis beradu lengan, malah berdekatan
pun ia tidak berani melainkan mengelak dan mengandalkan
kecepatan dan kelincahannya urituk menghindar ke sana ke
marl. Tanpa disengaja atau diatur terlebih dahulu, keadaan
pemuda ini sama benar dengan keadaan Pusporini. Juga
dara remaja ini berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri daripada pengeroyokan dua buah golok
lawan yang menyambar-nyambar laksana sepasang tangan
maut. Dan karena pertandingan yang tadinya menjadi dua
rombongan ini sifatnya sama, yaitu dua orang muda itu
berloncatan ke sana-sini dan lawan-lawannya melakukan
pengejaran dan desakan, maka lambat-laun pertandingan
itu saling berdekatan, bahkan kini bayangan Pusporini dan
Joko Pramono kadang-kadang bertukar tempat dan
bersilang! Tanpa disengaja oleh dua orang remaja itu, hal ini amat
menguntungkan. Di dalam kemarahan para lawan, baik
edua orang Gagak yang mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada Pusporini, maupun Sariwuni yang
mencurahkan perhatian kepada Joko Pramono tanpa
memperdulikan hal-hal lain, dua orang remaja ini mendapat
kesempatan untuk balas memukul bukan kepada lawan
sendiri, melainkan kepada lawan lain yang tidak menyerang
mereka! Demikianlah, ketika Pusporini meloncat jauh ke
belakang, mengelak daripada sambaran dua batang golok
para pengeroyoknya, secara kebetulan sekali ia tiba di dekat
Sariwuni yang mendesak Joko Pramono. Pemuda inipun
meloncat jauh dan Sariwuni membalikkan tubuh untuk
mengejar. Saat ini pundaknya menyentuh pundak Pusporini
dan dara remaja itu dengan kemarahan meluap-luap karena
belum juga dapat membalas dua orang lawannya, lalu
memutar lengan mengirlm hantaman sambil mengerahkan
Aji Bojro Dahono! Aji pukulan yang ampuhnya
menggiriskan ini baru ia latih setengah bagian, belum
matang, namun akibatnya hebat sekali. Sariwuni yang sama
sekali tidak pernah menyangka akan mendapat hantaman
dari Pusporini karena seluruh perhatiannya ditujukan
kepada Joko Pramono, menjerit lirih dan tubuhnya
terputar-putar, kedua tangannya memegangi kepala yang
tadi kena hantaman. Seluruh kepalanya terasa panas seperti
dibakar, membuat air matanya bercucuran tak dapat ia
cegah lagi dan akhirnya Sariwuni jatuh terduduk di atas
tanah sambil meramkan mata. Wanita ini maklum bahwa ia
menderita luka pukulan sakti, maka ia cepat mengerahkan
hawa sakti di tubuhnya untuk memulihkan keadaan
dirinya. Pusporini yang tanpa sengaja sudah merobohkan
Sariwuni, kini menengok dan alangkah mendongkol
hatinya ketika ia melihat betapa pemuda kurang ajar itu kini
menggantikan dia menandingi kedua orang Gagak. Ia
mendengus dan menerjang maju, saking marahnya maka
terjangannya pun hebat bukan main. Gagak Dwipa dan
Gagak Kroda kini sedang mengeroyok Joko Pramono,
melihat robohnya Sariwuni hati mereka menjadi girls, juga
marah terhadap Pusporini. Tadi mereka terpaksa melayani
pemuda ini karena si pemuda menerjang mereka kalang-
kabut seperti orang gila, akan tetapi sekarang melihat
Pusporini, mereka cepat memalingkan perhatian mereka
dan segera mendesak dara itu dengan kelebatan golok
mereka yang makin cepat dan makin kuat saja. Pusporini
terpaksa kembali mengandalkan kelincahan tubuhnya,
berkelebat mengelak. "Eh, Bajul, tidurlah!" tiba-tiba Joko Pramono berteriak.
"Takkk!! Aduhhh .............. Gagak Kroda tiba-tiba
membuang goloknya dan berjingkrak-jingkrak memegangi
kaki kanannya dengan kedua tangan, berloncatan di atas
kaki kirinya, berputar-putar dan mengaduh-aduh, meringis
dan menangis karena rasa nyeri yang datang dari kakinya
itu menembus ke tulang sumsum. Orang yang pernah
mengalami betapa nyerinya gares kaki (tulang kering)
digajul, tentu akan memaklumi penderitaan Gagak Kroda
ini. Kiranya Joko Pramono yang tadi turun tangan
membantu Pusporini, dari belakang ia menyapu kaki dan
menggajul gares raksasa itu.
Pusporini makin marah, bukan terhadap lawan
melainkan terhadap pemuda kurang ajar itu yang telah
berlancang tangan merobohkan musuhnya. Ia mengerahkan
tenaga, menyalurkan Aji Pethit Nogo menampar lengan
Gagak Dwipa yang datang menyerang dengan golok.
Sambil melejit ke samping, ia menyambut serangan itu
dengan tamparan yang menangkis, kemudian terus disusul
dengan tusukan jari tangan ke dada lawan dengan Aji Pethit
Nogo. "Trangg .............. huuukkk!" Gagak Dwipa yang tadinya
terkejut menyaksikan , adiknya berjingkrakan, menjadi
terpecah perhatiannya. Ketika lengannya berciuman dengan
jari-jari tangan yang penuh berisi hawa sakti Aji Pethit
Nogo, lengan itu sendiri menjadi lumpuh sehingga
goloknya terlepas, kemudian totokan jari tangan pada
dadanya membuat napasnya seketika terhenti. Gagak
Dwipa menekuk tubuhnya ke depan, terbatuk-batuk dan
terengah-engah. Kemudian iapun lari tunggang-langgang
karena melihat betapa Sariwuni dan Gagak Kroda juga
sudah lari mendaki bukit. Gagak Kroda masih mengaduh-
aduh dan terpincang-pincang, Sariwuni lari sambil
memegangi kepala seolah-olah wanita itu khawatir kalau-
kalau kepalanya copot, sedangkan Gagak Dwipa lari
dengan membungkuk-bungkuk dan terengah-engah.
Joko Pramono berdiri menolak pinggang dan tertawa
bergelak memandang ke arah tiga orang yang sedang
berlomba melarikan diri itu. Akan tetapi tiba-tiba ia
melempar tubuhnya ke kiri, menjatuhkan diri dan
bergulingan, mengelak dari serangan Pusporini yang ,
memukulnya bertubi-tubi dan gencar.
"Eh-eh .............. wah .............. Apa-apaan ini?" Joko
Pramono sudah melompat berdiri dan kini berdiri
menghadapi Pusporini yang memandangnya dengan
sepasang mata marah. "Tidak ada hujan tidak ada angin,
kau menyerang seperti kilat menyambar-nyambar! Apa
.............. kau .............. begini .............. ?" Joko Pramono
meraba dahi dengan telunjuk dimiringkan.
Terbelalak mata Pusporini saking marahnya. Cuping
hidungnya kembang-kempis, mendengus-dengus, dadanya
turun naik bergelombang. "Apa" Kau anggap aku gila" Kau
yang miring otakmu, tidak jejeg! Engkau yang gila,
gendeng, edan, goblok,,tolol!"


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heeitit, heeittt, cukup! Kalau kau tidak miring, kenapa
engkau marah-marah dan menyerangku seperti seekor
kucing terpijak ekornya?"
Mata yang jernih bersinar-sinar itu makin lebar. "Apa"
Kau maki aku kucing" Berani benar kau, keparat jahanam!
Engkau monyet munyuk, lutung kethek! Engkau celeng-
gotheng, bajul barat, engkau tikus kadal coro .............. "
"Walah-walah .............. , cukup! Katakan saja aku ini
segala macam binatang di hutan, kan lebih lengkap dan
tidak perlu menghambur-hamburkan kata-kata" Eh, engkau
bocah perempuan yang galak seperti kucing beranak,
kenapa engkau marah-marah dan membenci aku begini
rupa" Kita sating kenalpun tidak, kenapa engkau
memusuhiku?" Pusporini menudingkan telunjuknya ke arah hidung Joko
Pramono dan kemball pemuda ini merasa tidak enak kalau
tidak meraba-raba hidungnya yang ditunjuk.
"Engkau pemuda keparat. Engkau bocah yang masih
hijau berani bertingkah di depanku! Engkau telah
melakukan dosa dua kali dan masih pura-pura bertanya
lagi! Hemm, aku tidak akan sudah kalau belum memenggal
batang lehermu!" Joko Pramono kini meraba lehernya dan bergidik. Galak
benar wanita ini, akan tetapi juga amat lucu. "Hemm,
memang aku masih hijau, akan tetapi setidaknya hijau tua
seperti daun, sedangkan kau masih hijau pupus! Kau bilang
aku mempunyai dua macam dosa" Wahai, ampunilah
kiranya hambamu, Sang Hyang Dewi dari kahyangan!
Kalau hamba berdosa sampai dua kali, dosa apakah
gerangan?" Pemuda itu sengaja mengejek karena ia merasa
penasaran sekali. "Dasar laki-laki bajul yang lidahnya bercabang!"
Mendengar ini, otomatis Joko Pramono menjulurkan
lidahnya keluar dari mulut dan matanya sampai menjadi
juling, kedua manik mata mendekati hidung ketika ia
berusaha sedapat mungkin melihat ujung lidahnya, untuk
melihat apakah lidahnya benar-benar bercabang seperti
lidah ular. Gerakan ini tidak dibuat-buat dan amatlah
lucunya sehingga hampir saja Pusporini tertawa. Gadis
inipun berwatak lincah periang, akan tetapi karena ia ingat
bahwa pada saat itu ia sedang marah, maka tentu saja ia
tidak sudi tertawa, bahkan segera menyambung kata-
katanya, "Manusia tak tahu diri! Pertama, engkau tadi secara
kurang ajar dan tidak sopan telah melanggar susila, berani
mampus engkau memangku aku setelah menjegal kakiku
ketika aku lari. Dosa ini saja sudah cukup menjadi sebab
mengapa aku memusuhimu, kemudian kau susul dengan
dosa ke dua, yaitu kau berani sekali membantu aku
merobohkan seorang di antara pengeroyokku! Ini namanya
penghinaan dan kau memandang rendah kepadaku. Apa
kaukira aku butuh akan bantuanmu" Apa kaukira engkau
ini yang paling gagah, yang paling pandai; yang paling
perkasa di dalam dunia maka kauanggap perlu sekali
membantuku?" Joko Pramono menjadi penasaran sekali. Ia membusungkan dadanya yang bidang, dagunya berkerut
sehingga lekuk di tengahnya tampak nyata, giginya berkerot
dan matanya yang tajam itu bersinar-sinar. "Eh-eh-eh, nanti
dulu. Enak saja engkau menjatuhkan fitnah. Memfitnah
lebih keji daripada membunuh, kau tahu" Pertama-tama
kau fitnah aku menjegal kakimu dan memangkumu.
Padahal sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, aku sedang
tidur dan kakiku kulonjorkan, siapa menjegal orang"
Apakah engkau sendiri yang tidak dapat menggunakan
mata dengan baik, tidak melihat kakiku, kautendang dan
sandung saja sampai kau terjatuh ke atas kedua pahaku.
Bukan aku menjegal dan memangku, malah engkau sendiri
yang menyandung dan menjatuhi pangkuanku! Sekarang
hal ke dua yang kaukatakan dosaku itu. Kau bilang aku
membantumu" Sama sekali tidak! Malah engkau sendirilah
yang mula-mula membantuku dan memukul iblis betina
tadi sampai ia roboh. Karena dua orang laki-laki raksasa
tadi adalah kawan-kawan si iblis betina, tentu saja aku lalu
menyerang mereka dan berhasil merobohkan seorang di
antara mereka. Aku sama sekali tidak membantumu, justeru
engkaulah yang pertama kali membantuku dengan
merobohkan iblis betina itu!"
"Wah, memang kau pintar bicara seperti Patih Sangkuni,
atau Pendeta Durna! Kalau aku tersandung kakimu dan
terjatuh, itu tidak kusengaja, keparat! Dan kalau aku
menyerang si perempuan rendah Sariwuni atau membunuhnya sekalipun, sama sekali bukan membantumu.
Kau ini apaku maka aku membantu-bantu" Huh! Bukan
membantumu, memang dia musuh besar keluarga kami,
musuh besar rakanda Adipati Tejolaksono!" Dalam ucapan
ini, selain menyangkal dan membantah, juga dara remaja
ini setengah sengaja menyebut nama rakandanya yang ia
tahu amat terkenal untuk menaikkan "gengsinya" di mata
pemuda itu. Hati dara ini girang bukan main karena ternyata
dugaannya tepat. Pemuda itu kelihatan terkejut sekali dan
wajahnya berubah, tidak tersenum-senyum seperti tadi,
bahkan lalu berkata, "Apa" Engkau keluarga Sang Adipati Tejolaksono di
Selopenangkep?" Pusporini mengangkat dadanya yang membusung,
matanya bercahaya, wajahnya berseri penuh kebanggaan
ketika ia berkata, "Aku Raden Ajeng Pusporini, adik misan
gustimu Adipati Tejolaksono!" Ia percaya bahwa pemuda
ini sekarang tentu akan lenyap watak dan sikapnya yang
sombong, tentu akan cepat menjatuhkan diri berlutut dan
menyembah kepadanya, menggigil ketakutan karena telah
berani bersikap kurang ajar terhadap sang puteri bangsawan
sehingga ia akan dapat dengan sepuas hati menegur dan
menghukumnya. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu tertawa mengejek, lalu
berkata, "Ah, pantas saja engkau begini galak dan sombong!
Kiranya engkau adalah anggota keluarga kadipaten yang
terkenal sombong itu! Hemm .............. !"
Pusporini kaget dan marah sekali. Sungguh di luar
perkiraannya bahwa pemuda ini sama sekali tidak menaruh
hormat bahkan mengejek dan menyatakan bahwa keluarga
Kadipaten Selopenangkep sombong. Ia membanting kaki
dan menudingkarf telunjuknya, mukanya merah dibakar
kemarahan. "Heh, si keparat bocah
gunung nangnung yang kurang ajar! Berani kau menghina Kadipaten Selopenangkep" Sebelum aku turun tangan membunuhmu, mengakulah siapa gerangan engkau ini
agar kelak aku dapat menerangkan kepada rakanda adipati. Kalau sudah terlanjur aku turun
tangan, tentu mayatmu tidak
akan dapat memberi keterangan lagi!" Pemuda itu tertawa lagi, tertawa mengejek. Wajahnya
yang tampan itu membuat Pusporini makin marah karena
ketampanan dan senyum itu mengejeknya! "Sombongnya
bukan main! Eh, perawan bangsawan, kau dengarlah. Aku
bernama Joko Pramono. Rumahku adalah jagat ini, asalku
dari atas angin. Hidupku di alam bebas, beratap langit
berlantai tanah bertilam rumput, berdinding batu dan
pohon, siang hari berdian surya, malam hari berdian bulan
dan bintang .............."
"Stop .............. Aku hanya ingin mengetahui namamu.
Tidak perduli kau datang dari dasar neraka, hari ini adalah
saat ajalmu.............. !"
"Wah, sumbarmu seperti kicau burung nuri! Boleh coba-
coba kalau kau mampu membunuhku, kalau tidak mampu,
aku akan menawanmu, bocah sombong .............. !"
"Setan mampuslah!" Pusporini berseru keras dan
tubuhnya sudah menerjang maju, mengirim pukulan
dengan Aji Pethit Nogo mengarah pelipis kiri lawan.
Joko Pramono bukanlah seorang pemuda yang
sembrono. Biarpun wataknya periang dan jenaka, bahkan
agak ugal-ugalan, akan tetapi ia cukup mengerti bahwa dara
remaja yang galaknya kepati-pati (amat luar biasa) ini sama
sekali tidak boleh dipandang ringan dan bahwa pukulan
yang dilancarkan ini adalah aji yang amat ampuh. Maka ia
tidak berani menerimanya, apalagi pelipis merupakan
bagian kepala yang ringkih (lemah). Tanpa merubah
kedudukan tubuh karena ingin menguji keampuhan tangan
lawan, Joko Pramono mengangkat tangan kiri ke atas,
sengaja menerima dan menangkis telapak tangan dara itu
dengan telapak tangannya yang dikipatkan.
"Plakkk .............. I I" Dua tangan bertemu dan
akibatnya Joko Pramono terpelanting ke belakang dan
hampir saja ia roboh kalau ia tidak cepat melompat ke atas
dan berjungkir-balik. Matanya terbelalak memandang dara
itu, penuh kekaguman dan kekagetan. la sudah menyangka
bahwa Pusporini seorang dara sakti, akan tetapi sama sekali
tidak mengira bahwa pukulannya ampuhnya bukan buatan!
"Ihh, takutkah engkau" Laki-laki macam apa, baru sekali
gebrakan saja mukanya sudah berubah hijau!" Pusporini
mengejek dan menerjang maju lagi.
"Aehh, sombongnya. Siapa takut pada-mu!" Joko
Pramono panas juga perutnya oleh ejekan ini, ketika
Pusporini menghantamnya lagi dengan Aji Pethit Nogo, ia
cepat miringkan tubuh mengelak dan secara tiba-tiba
tubuhnya merendah, hampir berjongkok dan dari bawah ia
mendorong dengan kedua tangannya ke arah tubuh lawan.
Pusporini terkejut ketika merasa betapa dari kedua
tangan pemuda itu menyambar keluar hawa pukulan yang
amat kuat dan panas. Cepat ia mengerahkan tenaga dan
menangkis dengan tangan kanannya.
"Wesss .............. !" Sebelum tangannya yang menangkis
itu bertemu dengan kedua tangan lawan, tubuhnya sudah
terdorong ke belakang tanpa dapat dicegahnya lagi, kakinya
terhuyung-huyung ke belakang dan hampir ia roboh.
Untungnya tangan kirinya dapat menyambar ranting
sebatang pohon sehingga ia dapat meloncat dan mengatur
keseimbangan tubuhnya. Kini ia memandang dengan penuh
kemarahan. Kedua pipinya merah dan matanya menyinarkan cahaya berapi.
"Heh-heh-heh, kau kenapa" Jerih sekarang, ya" Belum
lecet belum benjol sudah jerih. Wanita gagah macam apa
ini?" Joko Pramono balas mengejek.
"Ooohhh, kau .............. kau .............. rasakan pembalasanku, bocah dusun!" Dengan kemarahan yang
meluap-luap kini Pusporini menerjang maju, mengerahkan
kegesitan dengan Aji Bayu Sakti sambil menggerak-
gerakkan kedua lengan mengirim pukulan-pukulan ampuh.
Saking jengkel dan marahnya menghadapi pemuda yang
pandal mengejek dan tidak kalah sombongnya ini, ia
menyerang seperti seekor banteng terluka, menyeruduk saja
tanpa perhitungan lagi, penuh nafsu dan keinginannya
hanya satu, yakni merobohkan pemuda sombong kurang
ajar ini! Justeru kemarahan meluap-luap inilah kesalahan
Pusporini. Dara remaja ini sesungguhnya telah memiliki
ilmu kesaktian yang hebat dan jarang ada tandingnya, dan
sungguhpun pemuda itupun ternyata sakti mandraguna,
namun tingkat kepandaiannya tidaklah jauh lebih unggul
daripada Pusporini. Tingkat mereka seimbang dan biarpun
Pusporini agaknya kalah sedikit dalam hal tenaga, namun
dara ini menang sedikit dalam kecepatan sehingga kalau
mereka bertanding dalam keadaan sama tenangnya, tentu
tidak akan ada yang dapat dikalahkan dalam waktu singkat.
Akan tetapi, Pusporini seperti terbakar saking gemas dan
marahnya, sebaliknya pemuda itu tenang-tenang saja


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahkan kadang-kadang tertawa mengejek dan tersenyum-
senyum. Di sinilah letak kekalahan Pusporini yang makin
lama menjadi makin marah karena terdorong oleh hati yang
penasaran. Sampai sejam lebih ia menerjang dan
mengeluarkan pelbagai aji pukulan yang ampuh-ampuh,
namun selalu dapat dihindarkan pemuda itu dengan
mengelak atau menangkis. Belum pernah satu kali juga ia
berhasil mengenai tubuh pemuda itu maka ia menjadi
makin ganas dan nekat. "Sudahlah, sampai habis seluruh kepandaianmu, sampai
putus napasmu, tidak mungkin kau dapat mengalahkan
aku, heh-heh!" Joko Pramono mengejek.
"Ssssetan I" Pusporini mendesis marah dan menghantam
dengan aji pukulan Bojro Dahono yang ampuhnya
menggiriskan itu. Biarpun belum sepenuhnya ia menguasai
aji pukulan ini, namun kalau mengenai kepala lawan,
kepala itu akan hancur berikut isi kepalanya, kalau
mengenai dada tentu akan ambrol dengan tulang iga patah-
patah. "Heeeiiiittt!" Dengan gerakan indah dan lagak mengejek
memanaskan hati Joko Pramono merendahkan tubuhnya
sehingga dua pukulan tangan dara itu lewat di atas
kepalanya. Dari bawah, dengan cepat sekali kini Joko
Pramono mengirim pukulan dorongan seperti tadi, pukulan
dorongan yang berhawa panas dan kuat sekali, ke arah
lambung Pusporini. Dara itu cepat mencelat ke atas sambil
menangkis, akan tetapi tiba-tiba ia menjerit dan tubuhnya
terguling. Kiranya pemuda itu tadi memukul hanya sebagai
gertakan atau pancingan saja karena begitu dara itu
mengelak, kakinya menjegal dan tepat mengenai kedua kaki
Pusporini, mengait betis sehingga tanpa dapat dicegah lagi
tubuh Pusporini terguling. Sebelum dara itu sempat
memperbaiki posisinya, Joko Pramono sudah menubruk,
menangkap kedua lengan Pusporini, memutar dan
menelikungnya ke belakang.
"Kau curang .............. ! Lepaskan aku ..... ! Lepaskan
.............. !" Pusporini meronta-ronta dan berteriak-terlak
marah. Ia marah sekali sampai hidungnya mendengus-
dengus dan mulutnya terengah-engah.
"Enak saja dilepaskan. Susah-susah aku merobohkanmu
?"".." "Kau curang?"".! Kau menjegal! Mana ada
aturannya bertanding pakai jegal-jegalan?" Pusporini
memprotes. Akan tetapi pemuda itu tidak memperdulikannya, bahkan kini dara itu merasa betapa
kedua pergelangan tangannya dibelenggu dengan ikat
kepala pemuda itu! "Keparat! Bedebah! Setan kurang ajar kau! Lepaskan aku
kalau tidak .............. !!"
"Kalau tidak .............. mau apa .............. " Enak saja
Joko Pramono bertanya, suaranya penuh ejekan.
"Kubunuh kau .............. Kucekik kau .............. Ku
.............. !" "Cobalah kalau mampu!"
Pusporini marah sampai hampir menangis. Ia membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya tak dapat
digerakkan, akan tetapi kakinya masih bebas dan tiba-tiba ia
mengirim tendangan berantai dengan kedua kakinya.
Kedua kaki itu bagaikan kitiran angin saja bergerak
menendang bergantian mengarah lutut, pusar sampai ke
dada. "Heh-heh, kau benar-benar seperti seekor kuda betina!
Hanya kuda yang menendang-nendang kalau marah!"
Makin jengkel Pusporini dan tendangannya yang terakhir
terlalu keras sampai tubuhnya terbawa dan karena kedua
tangannya dibelenggu ke belakang, maka ia kehilangan
keseimbangan dan .............. "bukkk!" pinggulnya terbanting
ke atas tanah sampai terasa pegal dan linu. Sebelum ia
sempat bangun, Joko Pramono sudah menyambar
tubuhnya dan memondongnya. Lengan kiri pemuda itu
merangkul kedua kaki, perut Pusporini menumpang di
pundak dan dara itu meronta-ronta makin keras.
"Setan kurang ajar kau! Berani kausentuh aku! Berani
kau memanggulku! Hayo lepaskan.............. lepaskan
.............. I" Dengan kedua tangan yang terbelenggu, Pusporini
memukul-mukul pundak dan punggung Joko Pramono,
akan tetapi pemuda itu hanya terkekeh dan lari cepat
membawa pergi tubuh dara itu menuju ke utara.
Jilid XV PUNGGUNG dan pundak itu kuat sekali, dan tak
mungkin Pusporini dapat menggunakan ajinya dalam
keadaan terbelenggu seperti itu. Karena tahu bahwa sia-sia
saja ia meronta-ronta, akhirnya dara itu diam dan hatinya
mulai diliputi kekhawatiran dan ketakutan. Ke mana ia
hendak dibawa" Siapakah sesungguhnya, pemuda ini dan
mengapa agaknya tidak suka kepada keluarga kadipaten"
"Kau .............. mau bawa aku ke mana .............. ?"
Akhirnya Pusporini tak kuat menahan kegelisahan hatinya,
bertanya tanpa meronta lagi di atas pundak pemuda itu.
"Hemm .............. , ke mana lagi kalau tidak ke dasar
neraka" Kau tadi sendiri bilang aku dari dasar neraka.
Wanita galak macam engkau ini patutnya dijadikan umpan
setan neraka!" Jawaban ini tidak menimbulkan takut, malah menambah
kemarahan hati Pusporini. Ia meronta-ronta lagi kemudian
kakinya menendang-nendang, namun hal ini malah
membuat lengan pemuda itu memeluk kedua kakinya lebih
erat sehingga perutnya tertekan pada pundak dan
mebuatnya sukar bernapas. Terpaksa ia diam lagi tidak
meronta dan Joko Pramono melanjutkan larinya yang cepat
sekali. "Awas kau kalau terjatuh ke tanganku kelak .............. "
mengancam, suaranya penuh kegemasan dan sakit hati.
"Sekarang juga akupun sudah awas!" jawab pemuda itu
menggoda terus. Karena tubuhnya "disampirkan" di pundak pemuda itu
sehingga kepalanya tergantung ke bawah, lama-kelamaan
Pusporini menjadi lelah dan pening. Sedikit demi sedikit ia
melorot turun dan agaknya pemuda itupun maklum akan
keadaannya maka membiarkan saja, bahkan melonggarkan
pelukan lengannya sehingga kini bukan kaki yang
dirangkulnya, melainkan paha dan pinggul sehingga kepala
Pusporini sekarang mendekati pundak dan leher. Karena
keadaannya tidak begitu melelahkan lagi, agak lega hati
Pusporini. Ia memandang leher yang dekat sekali itu,
melihat betapa otot-otot yang kuat tampak merentang di
bawah kulit yang bersih halus, betapa anak rambut yang
hitam gemuk tumbuh melingkar di, tengkuk yang kuat itu.
Heran sekali dia mengapa pemandangan yang selama
hidupnya tak pernah ia perhatikan ini, tengkuk seorang laki-
laki, sekarang tampak begini indah! Tapi hal ini sama sekali
tidak mengurangi kemarahan dan kebenciannya kepada
laki-laki yang menggemaskan hatinya ini.
"Engkau kenapa membenci keluarga rakanda adipati?" ia
bertanya, perlahan karena toh mulutnya sudah dekat
telinga. Biarpun lirih suaranya, namun Joko Pramono
masih dapat menangkap nada penuh kemarahan dalam
suara itu. "Huh, keluarga sombong! Busuk hati! Karena keluarga
Selopenangkep itulah pamanku Adibroto sampai mengorbankan nyawa secara sia-sia! Padahal mendiang
Paman Adiproto, menurut mendiang ibuku, adalah seorang
yang paling baik di dunia ini."
"Hemm, kaumaksudkan Ki Adibroto warok Ponorogo
aliran putih?" Pusporini yang sudah pernah mendengar
cerita dari ibunya bertanya, diam-diam ia kaget dan
menduga-duga. "Betul dia. Ah, engkau mengenaI pula namanya. Apa
yang kau tahu tentang mendiang pamanku?"
"Aku hanya mendengar bahwa Ki Adibroto adalah ayah
kandung ayunda Ayu Candra, isteri rakanda Adipati
Tejolaksono! Jadi engkau ini masih adik misan ayunda Ayu
Candra! Mengapa memusuhi Kadipaten Selopenangkep?"
Mendengar ini, pemuda itu berhenti dan dengan sikap
kasar ia menurunkan tubuh Pusporini ke atas tanah. Gadis
ini tergelimpang lalu bangkit duduk dengan sukar karena
kedua tangan terbelenggu ke belakang. Ia masih marah
sekali dan diam-diam ia terheran-heran mengapa tadi ia
dapat bercakap-cakap dengan penawannya seperti dua
orang sahabat lama saja. Ia kini cemberut dan membuang
muka, tidak mau memandang muka orang yang duduk di
depannya menghapus peluh dari dada dan leher. Mereka
berhenti di dalam hutan, dan enak sekali berteduh di bawah
pohon besar itu. Joko Pramono memandang wajah dara
yang membuang muka itu, lalu sambil mengebut-ngebut
lehernya dengan kain, ia bercerita tentang dirinya.
Di dalam cerita "Badai Laut Selatan" diceritakan betapa
ibu Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono yang bernama
Listyakumolo, setelah berpisah dengan suaminya, Raden
Wisangjiwo, telah menikah lagi dengan seorang warok
gagah perkasa bernama Ki Adibroto yang juga telah
mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Ayu Candra.
Dengan demikian, Adipati Tejolaksono dengan isterinya itu
adalah dua orang saudara tiri yang sama sekali tidak ada
hubungan darah. Adapun ibu kandung Ayu Candra yang
lebih dulu telah meninggal dunia bernama Ni Rasmi. Ni
Rasmi mempunyai seorang adik perempuan bernama Ni
Wirani. Semenjak Ni Rasmi meninggal dunia dan Ki
Adibroto membawa Ayu Candra pergi merantau dalam
kesedihan, putuslah hubungan antara Ni Wirani dengan
kakak iparnya itu. Ni Wirani menikah dengan seorang
petani dan mempunyai putera yang diberi nama Joko
Pramono. Akan tetapi malapetaka menimpa Ni Wirani dan
suaminya ketika Joko Pramono baru berusia sepuluh tahun,
yaitu ketika suami isteri dan anak mereka ini menyeberang
sungai yang banjir, perahu mereka terguling dan mereka
hanyut. Suami isteri itu tewas, dan Joko Pramono yang
baru berusia sepuluh tahun tertolong oleh seorang sakti,
yaitu Resi Adiluhung pendeta perantau .yang kemudian
mengambilnya sebagai murid dan membawanya ke
pertapaan di puncak Gunung Sindoro.
Seperti telah diceritakan dalam cerita Badai Laut Selatan,
Ki Adibroto tewas bersama Listyakumolo di tangan Endang
Patibroto karena permusuhan yang balas-membalas dengan
Pujo, ayah Endang Patibroto, suami Kartikosari dan Roro
Luhito, atau juga ayah Pusporini dan Setyaningsih.
"Di waktu masih kecil, ibuku telah menceritakan tentang
paman. Adibroto," demikian antara lain dengan muka
keruh Joko Pramono bercerita di depan Pusporini yang
mendengarkan dengan jantung berdebar karena ia sudah
tahu semua akan peristiwa yang terjadi sebelum ia terlahir
itu, mendengar dari penuturan ibunya. "Paman Adibroto
yang berbudi mulia dan bijaksana itu mati karena ikatan
perjodohannya dengan puteri mantu Selopenangkep. Mati
di tangan anak perempuan dari Pujo yang bernama Endang
Patibroto, mati penasaran! Kalau pamanku itu tidak
berhubungan dengan orang-orang Selopenangkep, tentu
tidak akan terbunuh sia-sia."
Pusporini memandang wajah pemuda itu, matanya
bersinar dan mukanya merah. Ia marah dan penasaran.
"Akan tetapi, hal itu adalah urusan orang-orang tua dahulu.
Bahkan ayunda Ayu Candra kini menjadi isteri Adipatl
Selopenangkep. Bukankah ayunda Ayu Canda itu puteri
kandung Ki Adibroto dan sama sekali tidak menaruh
dendam apa-apa" Kenapa engkau ini yang hanya
keponakan Ki Adibroto, kini menaruh dendam dan marah-
marah seperti orang sinting?"
"Memang ayunda Ayu Candra sudah menjadi orang
Selopenangkep. Hal ini membuktikan kelemahan hatinya.
Kasihan sekali paman Adibroto, mempunyai seorang
keturunan saja mengkhianatinya. Akan tetapi aku tidak!
Akulah yang akan membalaskan sakit hatinya. Aku yang
akan kelak mencari Endang Patibroto dan menghadapi
semua keluarga Selopenangkep yang sombong, termasuk
engkau!" "Cih! Kepalamu besar sekali, sebesar kelenting (tempat
air), sebentar lagi tentu pecah berantakan! Orang macam
engkau ini mana mungkin melawan kakakku Endang
Patibroto" Idih, sombongnya. Belajarlah kau seratus tahun
lagi, masih juga belum dapat mengalahkan tangan kiri
kakakku Endang Patibroto!"
Joko Pramono meloncat bangun, wajahnya merah
matanya terbelalak marah. "Dia kakakmu" Jadi engkau inl
puteri Pujo pula" Anak Kartikosari atau anak Roro Luhlto?"
Kalau saja kedua tangannya tidak dibelenggu, tentu
Pusporini sudah menerjang dan menyerang dengan nekad
saking marahnya mendengar betapa pemuda ini menyebut
nama kedua orang ibunya begitu saja. Alangkah kurang
ajarnya. "Benar sekali! Pujo adalah mendiang ramandaku! Rara
Luhito adalah ibu kandungku. Kau mau apa" Mau bunuh
aku" Bunuhlah, kaukira aku takut mati" Huh, manusia
macam engkau ini beraninya hanya membuka mulut besar
terhadap lawan yang terbelenggu. Lepaskan aku, dan
kepalamu tentu akan lumat!"


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kedua tangan pemuda itu tergetar, seakan-akan
ia hendak memukul hancur tubuh dara yang menjadi
tawanannya. Akan tetapi pandang matanya bersinar aneh
ketika bertemu pandang dengan Pusporini yang melotot
dan sedikitpun tidak takut itu. Kemudian Joko Pramono
tertawa lebar. "Ha-ha-ha-ha, enak benar! Kau sudah tertawan, itu
buktinya kau kalah olehku. Dan jangan kira begitu enak
saja kau mati. Tidak! Aku akan menyeretmu ke dasar
neraka! Ha-ha, engkau akan kujadikan tawanan dan
pancingan agar orang-orang Selopenangkep datang. Akan
kubalas sakit hati pamanku Adibroto. Kalau Endang
Patibroto mau datang dan berhasil kubunuh, barulah kau
akan kubebaskan. Aku tidak bermusuhan dengan engkau,
sungguhpun engkaupun seorang anggauta keluarga Selopenangkep yang sombong, berkepala batu dan galak!"
"Engkau yang sombong! Engkau yang besar kepala!
Lepaskan aku!" Akan tetapi pemuda itu hanya tertawa, lalu menyeret
tubuh Pusporini ke dekat pohon, menggunakan ujung ikat
kepala yang membelenggu kedua tangan dara itu, diikatkan
pada batang pohon. Setelah itu, sambil tersenyum ia lalu
meloncat pergi dari tempat itu.
Pusporini berusaha melepaskan diri, namun sia-sia.
Ikatan itu kuat sekali dan tubuhnya mulai lemah. Lemah,
karena lelah dan lapar dan marah. Ia ditinggalkan di dalam
hutan, dalam keadaan terbelenggu. Kalau datang seekor
harimau, tentu ia akan diterkam dan tak dapat melawan.
Atau ular. Ular?" Ia bergidik dan hampir menjerit ngeri.
Teringat akan binatang ini, Pusporini yang biasanya tabah
dan tidak takut mati itu menjadi ngeri ketakutan. Ingin ia
menjerit minta tolong, siapa tahu terdengar orang di dekat
tempat itu. Akan tetapi ia teringat akan pemuda tadi yang
mungkin sekali bersembunyi dan mentertawakan ketakutannya, maka tiba-tiba saja kemarahan mengusir rasa
takutnya. Ia diam saja, bahkan tidak merasa ngeri lagi.
Jangan harap aku akan minta tolong dan minta-minta
kepadamu, kau monyet kurang ajar, pikirnya gemas.
Tak lama kemudian tampak bayangan berkelebat dan
Joko Pramono telah berada di depan Pusporini, tangan kiri
membawa sesisir pisang ambon yang sudah matang dan
tangan kanan membawa sebutir buah semangka yang besar.
Anehnya, pada saat itu, wajah pemuda ini sama sekall tidak
mengejek, juga tidak. marah, malah senyumnya wajar dan
ramah. Ketika bicara, sinar matanya berseri gembira.
"Tidak ada dusun dekat. Untung sekall aku bisa
mendapatkan pisang dan semangka Lumayan untuk
mengusir lapar. Kau makanlah!"
"Tidak sudi!" Agaknya Joko Pramono baru terIngat bahwa mereka
bukanlah dua orang sahabat yang sedang pesiar! Dan
wajahnya yang tampan itu kini berubah seperti tadi lagi,
keruh, marah, dan mengejek.
"Heh-heh, kau tidak mau makan, tidak mau minum biar
mati kelaparan, ya" Kok enak benar. Apa kaukira aku tidak
bisa mendublak (menjejalkan makanan ke mulut) secara
paksa" Mau tidak mau, perutmu harus dimasuki pisang ini,
sedikitnya dua buah, dan air semangka ini!"
Joko Pramono mengambil sebuah pisang, mengupas
kulitnya perlahan-lahan sehingga tampak daging pisang
yang putih kuning, baunya harum sedap menimbulkan
selera. Pusporini tadinya membuang muka, akan tetapi
karena merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-
benar melaksanakan ancamannya dan menjejalkan makanan ke mulutnya dengan paksa, ia kini memandang
dengan mata lebar, lalu berkata, "Lepaskan dulu tanganku,
dengan tangan terbelenggu, bagaimana aku bisa makan?"
"Melepaskan kau dan membiarkan kau memukul pecah
kepalaku dengan jari-jari tanganmu yang ampuh itu"
Enaknya! Nih, kau makanlah, jangan membikin aku jengkel
dan memaksamu." Pemuda itu mendapatkan ujung pisang
kupasan ke mulut Pusporini. Dara ini marah sekali, merasa
dihina, akan tetapi iapun takut kalau-kalau ia akan dijejal
dengan paksa. Ia tahu bahwa pemuda kurang ajar ini
agaknya sampai hati melakukan ancamannya, maka dengan
muka merah dan mata berapi-api, ia membuka mulutnya,
menerima pisang itu memasuki mulut lalu menggigit
sepotong. "Nah, begitu baru anak baik!" kata Joko Pramono,
wajahnya berseri lagi memandang Pusporini yang
mengunyah pisang dengan terpaksa dan marah, kemudian
pemuda itu juga menggigit sepotong pisang dari bekas
gigitan Pusporini itu. Dara ini makin merah kedua pipinya
melihat betapa musuh yang dibencinya ini makan pisang
bekas gigitannya. Kembali Joko Pramono menyodorkan
sisa pisang itu ke depan mulutnya yang sudah kosong.
"Tidak sudi! Bekas gigitanmu!" bentak Pusporini.
Joko Pramono membelalakkan mata mengangkat alis,
lalu berkata dengan nada kesal, "Wah, dasar sombong!
Tadipun aku tidak menolak bekas gigitanmu. Kalau bekas
gigitanku kenapa sih" Gigiku tidak beracun seperti gigi
ular." "Lebih baik makan bekas gigitan ular daripada bekas
gigitanmu. Pendeknya, kalau bekasmu itu, aku tidak sudi,
biar kau mau jejal, terserah!"
Joko Pramono menarik napas panjang, seperti orang
yang menyabarkan dirinya, lalu mengupas pisang lain dan
menyuapkan pisang itu ke mulut Pusporini. Kini mereka
makan pisang dan semangka tanpa bicara sampai kenyang.
Biarpun ia makan dengan hati marah dan secara terpaksa,
akan tetapi setelah perutnya terisi dua buah pisang ambon
yang besar-besar dan setengah butir semangka jingga yang
manis dan banyak airnya, Pusporini merasa tubuhnya segar
kembali dan pulih kekuatannya.
Melihat betapa sekitar mulut dan dagu dara itu basah
oleh air semangka, Joko Pramono menggunakan ujung
bajunya dan menghapus dengan gerakan cepat dan kasar.
Pusporini berusaha mengelak dengan menggeleng- gelengkan kepala ke kanan kiri sambil berseru marah.
"Lepaskan! Tak sudi aku.............. !!"
Akan tetapi Joko Pramono memaksanya sampai bersih
air semangka dari sekeliling mulut dan dagu. "Huh, kau
jangan mengira aku melakukan ini karena memanjakanmu,
ya" Aku hanya tidak ingin nanti pundakku kotor dan basah
jika aku memondongmu. Hayo, kita berangkat!" Ia
melepaskan ikatan pada batang pohon lalu memondong
tubuh Pusporini lagi di atas pundaknya seperti tadi,
kemudian berlari cepat meninggalkan hutan itu, terus ke
arah utara. Pusporini yang kini menjadi marah bercampur dengan
rasa gelisah, hanya dapat memandang ke arah belakang
pundak Joko Pramono dengan mata terbelalak. Ia harus
dapat membebaskan diri dan membalas semua penghinaan
yang telah dialaminya ini, pikirnya. Tak mungkin ia begini
tak berdaya dan diam saja dilarikan seorang yang begini
kurang ajar. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan"
Tangannya terbelenggu. Akan tetapi mulutnya tidak! Kalau
tangannya terbelenggu dan kedua kakinya dipeluk kuat
sehingga tak dapat meronta, ia dapat mempergunakan
giginya! Begitu pikiran ini memasuki benaknya, Pusporini
lalu menundukkan mukanya dan .............. menggigit
daging pundak pemuda itu sekuatnya.
"Aduhh-duh-duh-duh .............. aduhhhh!"
Joko Pramono berteriak-teriak kesakitan, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar pinggul
di depannya itu beberapa kali. "Plak-plak-plak-plak..............
!" Pusporini terbelalak kaget, malu, dan kesakitan.
Pinggulnya menjadi panas dan ngilu, akan tetapi ia sudah
nekat dan tidak mau melepaskan gigitannya, bahkan
memperkuatnya. "Lepaskan .............. .............. aduhhh-duh-duh .............. lepaskan .............. kau kucing, monyet .............!"
Joko Pramono tak dapat menahan rasa nyeri di pundaknya
dan terpaksa ia lalu melemparkan tubuh tawanannya.
Tubuh Pusporini terlempar, gigitannya terlepas dan kini
kembali pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai ia
mengeluarkan suara "hekkk!" dan sekarang tak dapat
ditahannya lagi Pusporini menangis! Menghadapi serangan
dan maki-makian Pusporini, Joko Pramono sama sekali
tidak gentar, akan tetapi sekarang menghadapi dara remaja
yang menangis itu, yang mempergunakan "senjata
terampuh" seorang wanita, pemuda itu melongo! Ia
meraba-raba pundaknya yang menjadi matang biru bekas
gigitan Pusporini, akan tetapi matanya menatap wajah yang
kini basah air mata itu dengan perasaan kasihan.
"Kenapa kau menangis?" Ia mengomel untuk menutupi
perasaan iba hatinya. "Aku tidak akan mengganggumu,
hanya menawanmu agar keluargamu mencari dan
menyusulmu. Aku ingin membalas dendam pamanku
kepada Endang Patibroto dan keluarga Selopenangkep yang
sombong." Pusporini terisak-isak kemudian berkata di antara
tangisnya, "Kau manusia kejam, laki-laki kurang ajar
.............. Kenapa tidak kaubunuh saja aku?"
"Habis engkau menggigit, sih! Apa kaukira tidak sakit
digigit pundaknya" Lihat, bajuku sampai robek dan kalau
tidak kuat kulitku tentu robek pula. Lihat, sampai matang
biru!" Pemuda ini membuka bajunya memperlihatkan kulit
pundak yang membiru. Melihat ini, tiba-tiba ada perasaan
geli di dalam hati Pusporini, geli dan puas. Sedikitnya ia
.telah dapat membalas, biarpun hanya merupakan gigitan di
pundak sampai kulit pundak itu matang biru.
"Kalau kau tidak menggigit, aku tentu tidak akan
menampar dan membantingmu," kata pula Joko Pramono.
"Kalau kau diam saja menurut kubawa sebagai tawanan
dan umpan keluargamu agar menyusulmu, aku bersumpah
tidak akan mengganggu seujung rambutmu. Aku bukan
seorang laki-laki yang suka mengganggu seorang gadis cilik
macam engkau." Setelah berkata demikian, Joko Pramono
kembali memondong tubuh Pusporini dan berlari cepat
sekali. Entah mengapa Pusporini sendiri tidak mengerti.
Ucapan pemuda itu yang menyebutnya seorang gadis cilik,
membuat ia mendongkol dan tidak senang. Dia dianggap
seperti anak kecil! Awas kau, demikian bisik hatinya dan
tiba-tiba ia menjadi girang sekali. Ikatan pada kedua
pergelangan tangannya mengendur! Mungkin karena
banyak pergerakan, atau mungkin karena tadi ia diikat pada
batang pohon, kemudian terbanting tadi, ikatan itu
mengendur di luar tahu Joko Pramono yang tak pernah
memeriksanya. Mulailah dara ini . menggerak-gerakkan
kedua tangan di belakang, berusaha membebaskan belenggu
yang mulai mengendur itu. Jantungnya berdebar-debar
karena tegang dan khawatir. Ia harus dapat membebaskan
kedua tangannya sebelum pemuda ini tahu bahwa ikatan
telah mengendur. "Heh-heh-heh, hi-hik!"
Pusporini terkejut. Celaka, pikirnya, pemuda ini tentu
mentertawakan usahanya untuk membebaskan ikatan!
Berarti pemuda ini sudah tahu akan keadaan belenggunya
yang hampir terlepas. Akan tetapi karena Joko Pramono
berlari terus, ia memberanikan diri bertanya, "Kenapa kau
cekikikan seperti orang gila?"
"Heh-heh, detik jantungmu begitu keras, sampai keri
(geli) rasanya di pundakku!" jawab Joko Pramono yang
berlari terus. Seketika wajah Pusporini menjadi merah.
Sungguhpun maksudnya lain sekali, namun pemuda ini
mengingatkannya betapa dadanya terhimpit di atas pundak
pemuda itu dalam usahanya meloloskan diri dari ikatan.
Akhirnya terlepaslah belenggu yang mengikat kedua
pergelangan tangan Pus-porini! Dengan hati-hati sekali dara
remaja ini menggerak-gerakkan jari tangannya, membuka
dan menutup untuk melancarkan jalan darahnya yang agak
kaku. Kemudian, dengan gerakan hati-hati sekali ia
mengangkat tangan kanan, meluruskan jari-jarinya, mengerahkan tenaga dan bagaikan ular mematuk,
tangannya bergerak turun menyambar ke arah tengkuk Joko
Pramono, di belakang telinga.
"Kukkkk!!" Sebuah pukulan dengan Aji Pethit Nogo
dengan cepat menghantam bagian kepala itu. Mulut Joko
Pramono mengeluh lirih, tubuhnya seketika menjadi lemas,
kedua kakinya tertekuk dan robohlah pemuda itu tanpa
dapat bensambat lagi, roboh terguling miring dalam


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan pingsan! "Uuugghhh .............. " Joko Pramono menggerak-
gerakkan kepalanya ke kanan kiri. Seluruh tubuhnya juga
bergerak-gerak, otot-otot di tubuh itu menegang, akan tetapi
ia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Ia
membuka mata, memandang ke kanan kiri dan meIihat
Pusporini berdiri sambil bertolak pinggang, teringatlah ia
dan mulutnya menyumpah, "Bodoh aku! Mudah saja
dicurangi seorang bocah! Sudah sepatutnya celaka."
Dengan gerakan sukar ia bangun duduk, kembali
menggoyang kepalanya yang terasa pening oleh pukulan
tiba-tiba tadi. Setelah bumi di sekelilingnya tidak berputaran
lagi, ia menentang pandang dara itu, tersenyum mengejek,
senyum yang amat dibenci Pusporini lalu berkata,
"Perempuan gagah macam apa kau ini" Kalau memang
kau gagah perkasa, hayo lepaskan ikatan kaki tanganku dan
kita bertanding sampai tujuh hari tujuh malam!"
Kini Pusporini yang tersenyum, senyum yang membuat
wajahnya yang amat manis itu menjadi makin manis
melebihi madu. Akan tetapi senyum yang luar biasa
manisnya ini menusuk hati Joko Pramono karena senyum
itu mengandung ejekan dan penghinaan kepadanya.
"Hi-hik, alangkah enaknya kau minta dibebaskan! Uhh,
tak tahu malu benar,muka tebal! Engkau kini sudah
tertawan olehku, ini merupakan bukti kuat bahwa engkau
sudah kalah olehku. Hi-hik, mau apa lagi?" Sambil
tersenyum-senyum mengejek, Pusporini berdiri di depan
pemuda itu sambil bertolak pinggang. Rambutnya yang
panjang hitam dan terlepas sanggulnya itu sebagian terurai
ke depan menutupi matanya. Pusporini menggerakkan
kepalanya sehingga rambutnya tersingkap ke belakang,
sebuah gerakan wanita yang amat indah menarik. Joko
Pramono menghela napas panjang, hatinya terserang
bermacam-macam perasaan yang teraduk-aduk menjadi
satu. Ia marah kepada diri sendiri yang bodoh sehingga
kurang waspada dan lengah, ia gemas kepada dara remaja
ini yang benar-benar memanaskan hatinya, akan tetapi
iapun kagum. Makin lama, makin tertarik hatinya oleh
segala solah-tingkah dan gerak-gerik dara. Biarpun sedang
marah, mengejek, ketakutan, atau menangis, semua gerak-
geriknya memikat hati dan amat manis! Ada sesuatu
terpancar keluar dari kepribadian dara ini yang mencengkeram perasaan hatinya, yang membuatnya
merasa suka dan gemas, bukan gemas untuk memukul atau
membunuh, melainkan gemas untuk mencubitnya dan
mendekapnya kuat-kuat, seperti perasaan gemas-gemas
sayang seseorang terhadap seorang bayi yang montok
menyenangkan. Bahkan saat itupun, di waktu nyawanya
terancam bahaya maut di tangan Pusporini, ia tidak dapat
membenci dara ini. "Pusporini, tak usah banyak lagak. Memang aku telah
kau curangi, telah kau akali sehingga aku tertawan. Nah,
kau mau apakan aku sekarang?"
"Mau diapakan" Kau sudah menyerah" Minta diapakan
kau, manusia kurang ajar?"
Joko Pramono tetap tersenyum. Ia sudah menyadari
sepenuhnya bahwa ia kini berada di tangan Pusporini yang
tentu akan membalas dendam. "Mau kau apakan
terserahlah. Mau bunuh juga, silahkan. Kau kira akupun
takut mati" Huh!"
"Bunuh" Nanti dulu! Kau tidak akan mati begitu
enaknya, sebelum engkau menerima balasan penghinaan-
penghinaan yang telah kau lakukan kepadaku tadi! Kau
sekarang menjadi tawananku, hendak kuseret ke depan
rakanda adipati agar beliau dapat memutuskan hukuman
apa yang harus dijatuhkan atas dirimu. Hayoh .............!"
Pusporini membungkuk, menyambak rambut pemuda itu
yang hitam lalu menyeretnya.
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi,
seorang pemuda sakti mandraguna, kalau baru dijambat
dan diseret seperti ini saja tentu Joko Pramono tidak terlalu
menderita. Ia malah tertawa dan berkata mengejek,
"Pusporini, kau bilang hendak membalas semua
penghinaanku tadi" Tadi kau menjadi tawananku, sekarang
aku menjadi tawananmu, ini sudah adil. Tadi aku
membawamu pergi dan memondongmu, sekarang ..............
hayo kau lekas pondong aku dan bawa lari, baru adil
namanya!" Pusporini bersungut-sungut. Ia kini yang menang, akan
tetapi tetap saja pemuda itu yang mengejek-ejeknya. "Tidak
sudi!" bentaknya dan menyeret terus, seperti seorang
pemburu menyeret seekor bangkai kijang yang menjadi
hasil buruannya. Tubuh Joko Pramono terlentang dan pemuda ini merem melek, kelihatan enak benar
diseret seperti itu. "Wah, angler .............. !
Cepatan lagi, Pusporini, enak benar ini .............. ha-
ha .............. !" Dan untuk
membuktikan omongannya, tak lama kemudian Joko Pramono yang diseret-seret
itu tidur mendengkur. Pusporini makin marah dan mendongkol. Tangannya sudah lelah menyeret. Karena yang dijambaknya rambut, benda lemas ini lama-lama menyakiti
jari-jari tangannya. Rambut itu terlalu lemas dan tubuh
pemuda itu terlalu berat. Apalagi melalui jalan tanjakan,
benar-benar membuat lengannya kesemutan dan lelah
sekali. Kini dia yang kecapaian dan pemuda itu keenakan
tidur. Ia menyumpah-nyumpah, hatinya panas. Sambil
mengerahkan tenaga, ia menjambak lebih keras, lalu lari
dan sengaja mengambil jalan berbatu-batu. Tangannya
makin lelah dan sakit, akan tetapi Joko Pramono tidak
mungkin tidur keenakan lagi karena tubuhnya terbentur-
bentur pada batu, berguncang dan terbanting-banting. Benar
saja, pemuda itu mengeluh.
"Wah-wah-wah, kau gilakah" Kalau mau bunuh,
bunuhlah, mengapa mesti menyiksa seperti ini?"
"Rasakan!" Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa Pusporini bukan
ingin menyiksanya, melainkan ingin membalas kemarahannya, ingin memancingnya dengan siksaan atau
apapun juga agar dia ketakutan atau sakit hati, maka ia lalu
diam saja dan diam-diam mengerahkan tenaganya untuk
membuat tubuhnya kebal dan tidak terlalu tersiksa oleh
bantingan-bantingan di jalan itu.
Benar saja dugaannya, setelah ia diam saja tidak
mengeluh, Pusporini merasa kecewa dan marah-marah.
Pemuda ini tetap tidak merasa sakit, tidak merasa lelah,
sedangkan ia telah mandi peluh, tangannya pedas
lengannya kesemutan. Keparat! Kini mereka tiba di dalam
hutan, di mana tadi ketika Joko Pramono menawan
Pusporini, mereka berhenti dan makan pisang.
"Pusporini .............. mukamu buruk seperti setan kalau
begini. Rambutmu awut-awutan, mukamu kotor karena
peluh dan debu, lihat kakimu juga kotor berlumpur. Ihhhh,
puteri kadipaten kok begini .............. "
Joko Pramono mengejek untuk menambah kemarahan
dara itu. "Brukkk!" Dengan gerakan kasar Pusporini melepaskan
jambakannya sehingga kepala Joko Pramono terbanting ke
atas tanah. Sejenak dara itu memandang marah, akan tetapi
pemuda itu hanya tersenyum kepadanya. Tiba-tiba
Pusporini membalikkan tubuh dan berkelebat pergi dari
tempat itu. Akan tetapi tidak lama ia pergi. Sebentar lagi ia
sudah kembali ke tempat itu dan .............. kaki tangan dan
muka serta lehernya telah bersih sekali, bekas dibersihkan
dengan air sungai bening yang mengalir di dalam hutan itu.
Juga rambutnya, biarpun tidak disisir rapi, namun tidaklah
awut-awutan lagi seperti tadi. Dalam pandangan Joko
Pramono, dia sama sekali tidak tampak lebih cantik karena
memang sejak tacii dara itu sudah cantik jelita dan manis
dalam pandangannya! Melihat betapa dara itu mencuci
muka dan kaki tangan, dia diam Joko Pramono menjadi
geli hatinya. "Nah, begini barulah kau tampak cantik jelita seperti
seorang puteri aseli, Pusporini!" Ia amat senang melihat
betapa kedua pipi dara itu menjadi merah maka ia terus
menggodanya. "Dan mana bawaanmu, Pusporini?"
Dara itu tak dapat mempertahankan kemarahannya, tak
dapat terus memuramkan mukanya menghadapi pujian ini.
Pertanyaan itu menerjangnya tiba-tiba sehingga tanpa ia
sadari, ia menjawab, "Bawaan apa" Apa maksudmu?"
"Ha-ha-ha-ha! Masa engkau pelupa benar, Pusporini"
Bukankah kau bilang bahwa kau akan membalas semua
penghinaanku" Lupakah kau bahwa di tempat ini benar aku
telah mendulangmu (menyuapimu) dengan pisang dan
semangka" Lihat tuh kulit pisang dan kulit semangka masih
d situ. Sekarang tentu akan kaubalas peng hinaanku tadi.
Lekas kaucari buah-buahan yang segar dan lezat, dan
kausuapi aku, perutku sudah lapar sekali!"
"Kau .............. lancang mulut! Kau kurang ajar!!"
Pusporini marah lagi dan membentak gemas.
Akan tetapi Joko Pramono malah tertawa memanaskan
hati. "Elhooo! Bukankah aku bicara sebenarnya" Untuk
membalas seadilnya, sekarang kau harus menyuapkan
makanan ke mulutku, kemudian kaupondong aku lagi dan
.............. dan .............. kauberikan pundakmu untuk
kugigit ..............!"
"Cihh! Laki-laki ceriwis! Kuhancurkan mulutmu!"
Dengan kemarahan meluap, Pusporini melangkah maju,
tangannya diangkat untuk menghantam muka pemuda itu.
Joko Pramono tetap tersenyum dan memandang dengan
sepasang mata yang sama sekali tidak kelihatan takut,
wajahnya berseri. Entah mengapa Pusporini sendiri tidak
mengerti. Tangan yang sudah diangkatnya itu mendadak
menjadi lemas, tidak kuasa ia menurunkan tangannya
menghantam muka yang tersenyum seperti itu, dengan
sepasang mata yang bersinar-sinar tajam seperti sepasang
bintang. "Kau .............. memang kurang ajar!" Hanya demikian
ia berkata. "Pukullah, mengapa tidak jadi" Pukullah agar sempurna
ketidakadilanmu terhadap aku. Aku merobohkanmu
dengan pertandingan, sebaliknya kau merobohkan aku
dengan akal curang. Aku menawanmu dan rrembawa pergi
dengan memondongmu, sebaliknya engkau menawan dan
membawaku pergi dengan menyeret-nyeretku. Aku memberimu makan buah agar kau tidak kelaparan,
sebaliknya engkau memberi makan aku dengan maki-
makian! Engkau menggigit pundakku sampai matang biru
dan aku .............. "
"Cukup! Cerewet amat engkau ini!" Pusporini kembali
menyambar rambut Joko Pramono dan menyeretnya pergi
melanjutkan perjalanan. Ingin ia lekas-lekas sampai di
Selopenangkep menyerahkan orang yang memusuhi
Kadipaten Selopenangkep ini kepada rakandanya, agar la
bebas dari orang yang selalu menimbulkan gemas di hatinya
ini. Akan tetapi belum jauh ia pergi, tiba-tiba berkelebat
bayangan orang dan tahu-tahu, seperti setan saja agaknya,
di depan Pusporini telah berdiri dua orang. Dapat
dibayangkan betapa kaget hati dara ini ketika mengenal
bahwa mereka itu bukan lain adalah Ni Dewi Nilamanik
dan Ki Kolohangkoro! Wanita cantik jelita yang berwajah
angker dan bersinar mata kejam itu berdiri tegak
memandang Pusporini, kemudian melirik ke arah Joko
Pramono yang rebah telentang dalam keadaan terbelenggu
pula. Wanita ini kelihatan marah, alisnya yang tipis dan
ditebalkan dengan penghitam, berkerut, tangan kini bertolak
pinggang, tangan kanan memegang sebatang pengebut yang
terbuat daripada ekor kuda berwarna kemerahan. Adapun
Ki Kolohangkoro yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa
itu, berdiri seperti sebuah tugu, kokoh kuat menyeramkan.
Matanya yang lebar memandang Pusporini, mulutnya
menyeringai dan sikapnya memandang rendah. Kepada
Joko Pramono, ia menengokpun tidak.
Joko Pramono yang tadlnya terseret meramkan matanya,
kini la membuka mata dan ia memandang dua orang itu
penuh perhatlan. Sebagal murld seorang sakti, ia dapat
menduga bahwa dua orang itu bukanlah orang baik-baik
dan tentu memlliki kesaktlan tinggl. Akan tetapi karena


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mengenal Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro,
sesuai dengan wataknya, ia tidak gentar dan bahkan
memandang rendah. Maka iapun tersenyum, dan mengejek
ketika melihat betapa Pusporini tampak khawatir,
"Eh, Pusporini, sekarang kau baru tahu rasa, bertemu
dengan dua orang siluman penjaga hutan!"
Pusporini tidak memperdulikan pemuda itu, hanya siap
dengan waspada, ingin melakukan perlawanan mati-matian
sungguhpun ia tahu bahwa Ni Dewi Nilamanik yang ia
tahu menjadi pemimpin para penyembah Durga di puncak
Gunung Mentasari tentulah memiliki ilmu kesaktian yang
luar biasa, bahkan jauh lebih sakti daripada Sariwuni!
Ni Dewl Nilamanik membuka mulut, terdengar suaranya
yang lemah lembut, akan tetapi mengandung getaran penuh
nafsu dan kekejaman, "Pusporini, hayo lekas kau maju
berlutut dan minta ampun, baru aku dapat mengampunlmu
dan membawamu menghadap sang wasl yang menantlmu
di puncak." Pusporini teringat akan pengalamannya di puncak
Mentasari, la bergidik dan timbul kenekatannya. Lebih baik
mat! dalam perlawanan daripada menyerah dan mengalami
penghinaan yang hebat di tempat neraka itu. Ia
mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya mencelat maju
menerjang, mengirim pukulan Bojro Dahono yang belum
sempurna itu ke arah dada Ni Dewi Nilamanik. Sungguh
seperti seekor capung menyerang gapura batu! Jangankan
Aji Bojro Dahono itu belum terlatih sempurna, andaikata
sudah sempurna latihannya sekalipun, belum tentu
Pusporini dapat merobohkan Nilamanik dengan sekali
pukul. Wanita penyembah Durga itu mengikik tertawa,
tubuhnya lama sekali tidak bergerak dari tempatnya, hanya
kebutan di tangannya bergerak dan tahu-tahu ujung bulu
kebutan itu menerima pukulan Pusporini, membelit
pergelangan tangannya dan sekali sendal, tubuh Pusporini
terlempar ke belakang dan jatuh tunggang-langgang!
Pahlawan Dan Kaisar 19 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Bersatu Padu 17
^